Pembawa Kabar Dari 1
Pembawa Kabar Dari Andalusia Karya Ali Al Ghareem Bagian 1
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Karya : Ali Al Ghareem Djvu file oleh : K80 Ebook oleh : Dewi KZ http://kangzusi.com/ atau http://dewi.0fees.net/
01 Semilir angin musim semi memancarkan keindahan di salah satu sudut kota
pengantin; Andalusia. Di sekitarnya taman-taman dan tunas pepohonan tersinari cahaya
matahari berwarna keemasan. Ia memang tampak seperti lingkaran emas!
Di bawah kedua bukitnya, mengalir sungai yang bening laksana perak murni.
Perahu-perahu kecil berlayar membentangkan layar bagaikan kepak sayap merpati dan hijau daun
yang merindukan bunga. Para nelayan bertolak dengan diiringi nyanyian. Penuh
cinta.... Penuh cita. Sarat kesungguhan dan patriotik! Mereka melantunkan nyanyian dengan bermusikkan
angin sepoi-sepoi namun terdengar layaknya seorang penyanyi mahir dengan suara merdu.
Sebuah nyanyian yang menyirnakan ombak derita, tercopot oleh setiap bait lagu yang
mereka nyanyikan. Di atas sungai, terbentang jembatan panjang yang dibangun Umar bin Abdul Aziz.
Jembatan itu berdiri tegak dengan angkuh, seolah hendak menunjukkan kejayaan pemerintahan
abad ke-XVII. Kokohnya seakan tengah menyuratkan pesan ketidakmampuan zaman mana pun untuk
menandinginya. Demikianlah gambaran Cordova pada tahun 423 M. Pada masa pemerintahan Abu Hazm
bin Jahwar di saat para penguasa terlena gelimang jabatan dan kekayaan" sehingga
banyak timbul kekacauan, kesengsaraan, bahkan kemusnahan kota tersebut.
Inilah Cordova pada masa sang pahlawan, Lidinillah, harapan dunia dan kiblat
setiap umat. Dialah sosok panutan belahan timur dan barat. Pancaran cahayanya mampu
membinarkan mata di mana setiap pencari ilmu dari seluruh pelosok negeri berguru kepadanya.
Mudah-mudahan mereka mendapatkan ilmunya walau sedikit. Atau, mereka bisa mendapat petunjuk di
tempat api itu. Sampai hari ini, pengaruh kejayaan dan kesahajaannya tidak pernah sirna.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Inilah Cordova pada tahun 423 M. Engkau akan melihatnya tak lebih sebuah
lembaran yang menyulitkan sang pengkhotbah dalam membacakan tulisannya. Ia bagaikan pohon
rindang yang tidak dihinggapi burung-burung kecuali pada sebagian kecil dahannya. Sebuah
keinginan untuk tertawa namun gelap malam tak membuatnya menangis. Bagaikan sebuah pekik gema
yang tidak bisa menyembunyikan luka tubuh yang membuatnya menggigil. Engkau tidak bisa
menyembunyikan rasa takut meski dengan keramahan muka dan emosi terpendam.
Sekalipun tidak dapat menghalau bencana itu!
Cordova ibarat wanita cantik yang tumbuh uban di kepalanya sehingga
kecantikannya itu surut. Berbagai perhiasan langka menghiasi kaki zaman sehingga menjadi tampak berharga
dan bernilai. Di sana terdapat gedung-gedung megah, masjid-masjid lama, dan sekolah-sekolah
keilmuan yang penuh sesak dengan para pelajar. Pasar-pasar ramai dikunjungi dan pusat-pusat
perdagangan dikerumuni. Di sekelilingnya rumah-rumah penduduk yang jumlahnya lebih dari 30
rumah. Setiap pemilik rumah itu merasa lahir di tempat kota kelahiran mereka. Taman-
taman dan kebun mengelilingi pusat kota. Sungguh tidak ada dalam sejarah mana pun julukan
kota terindah dan sebanding dengan Kota Cordova saat itu.
Orang-orang Cordova menamai taman-taman itu dengan sebutan Mona; ada Mona
Rashafah, Mona Zubair, Mona Mashafiyah, dan Mona Aghab. Mona-mona itu merupakan tempat
bermain dan berkelakar orang-orang Andalusia saat itu dalam pergelaran teater kerinduan
mereka. Cordova tak lain pusat keilmuan dan kota zuhud maupun tasawuf. Demikianlah
Cordova menjadi kota yang penuh permainan, kelakar, dan kesia-siaan. Para pemuda kota
itu hanya bisa berkelakar dan menunjukan kesia-siaan hidup. Mereka adalah pemuja kesenangan dan
penyembah kebebasan hidup.
Para penyair mereka pernah menggambarkan:
Janganlah kau tanam Tetapi raihlah kesenangan sepanjang hari
Karena di bawali tanah Yang ada hanyalah tidur panjang
Sungguh mereka telah disengat oleh kesia-siaan hidup dan keterbatasan nilai
dalam mencintai kesenangan duniawi. Biji-biji gandum tidak membuat mereka kaya dan tidak
terdapat ungkapan maupun perumpamaan untuk melukiskan mereka hingga menyeret mereka untuk
mencintai kehidupan sekaligus kematian yang tidak ada kebangkitan setelaknya.
Matahari hampir terbenam dan suasana kota terang bersinar untuk menyambut malam
dan berbagai perlengkapan mainan, untuk menunjukkan suka ria dan kebahagiaan mereka.
Di salah satu sudut kamar, duduklah seorang pemuda. Tangannya memegangsebuahpena
untuk menuliskan ungkapan-ungkapan yang terkadang meneguhkan prinsipnya. Ia
kemudian memotong ujungnya. Terkadang ia terlihat seolah-olah seorang pemikir. Sesaat
kedua matanya terus-menerus memandangi atap langit dan ke seluruh dinding kamar seolah-olah
telah melayangkan puncak khayalannya atau merayu turunnya wahyu pada orang-orang yang
bingung. Ia khawatir tergelincir pada kalimat-kalimat yang membuat tulisan-tulisannya
rancu, namun ia juga tidak suka kehati-hatian.
Pemuda itu tak lain Ahmad Abu Walid bin Zaidun, sastrawan dan penyair Andalusia
terkenal. Dia adalah sosok seorang pemuda yang energik, elok perangainya, tinggi
komitmennya, dan tampan parasnya. Sosok dan wataknya mirip dengan tampang orang-orang Arab yang
lain. Jika kedua alisnya saling mendekat, tampaklah dengan jelas kebulatan tekadnya, kerja
kerasnya, dan kuat kehendaknya. Kedua matanya bagaikan ekor biji gandum, terlebih setelah lama
berkhayal. Hidung selalu mencium dengungan dan kebesaran jiwa, mulutnya berbicara lancang
seperti seorang peng-khotbah. Ibnu Zaidun memang gudangnya ilmu dan sastra serta kekayaan dan kebahagiaan
hidup. Ayahnya adalah salah seorang jaksa di Cordova.. Kedudukannya cukup agung dan
kuat. Maka hiduplah pemuda itu sebagaimana kehidupan anak-anak pejabat yang dikelilingi
kekayaan dan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kemewahan. Berpindah-pindah dari satu sumur kekayaan ke sumur kesenangan yang
lain. Untungnya, kehendaknya begitu suci dan bagus perangainya.
Dia menggunakan waktu istirahatnya untuk mempelajari sastra dan ilmu bahasa. Dia
menelaah isinya dan menggali kedalamannya dan keluarlah darinya cengkeraman ilmu yang
kokoh dan kuat, kejeniusan alami sehingga cukup pengetahuannya untuk sekadar tergambar dalam apa
yang telah dicapai oleh pembangunan saat itu. Beruban tanpa meraih pelita.
Suatu hari, Ibnu Zaidun menyusun beberapa bait syair dalam rangka memenuhi
undangan Aisyah binti Galib untuk menghadiri jamuannya bersama sekelompok penyair dan
sastrawan lainnya. Ia begitu hati-hati. Sebentar ia menulis, namun kemudian segera
menghapusnya. Ia memilih setiap kata sebelum kemudian dituliskan oleh penanya. Dengan penuh ragu,
ia pun akhirnya menulis: Ya, Kedua pelupuk matamu dalam lembar tulisanku Kau dapatkan air mataku meleleh
terhampar Saat ia hendak melanjutkannya pada bait kedua, tiba-tiba pembantunya - Ali Baghi -
masuk setelah memberitahukan kepadanya bahwa ia telah mempersilakan Abu Marwan bin
Hayyan datang bersama seorang pemuda asing dari belahan timur.
Ibnu Hayyan tercatat sebagai seorang sejarawan senior yang cerdas dari
Andalusia. Kritikannya dikenal tajam dan lantang bicaranya. Tidak ada satu biografi pun
yang ditulis olehnya penuh cela - bahkan banyak dipuji - terlebih menghilangkan
kebaikannya. Raja-raja diktator
sekalipun merasa segan kepadanya. Begitu pula para cendekiawan ternama, sangat
menghormati beliau. Para pejabat pun takut kepadanya. Namun, beliau pun dicintai para
seniman dan sastrawan. Ia selalu membawa kertas di dalam sakunya yang tidak terlepas darinya
sepanjang siang dan malam. Setiap kali ia menyaksikan suatu peristiwa dan mendengar berita
atau beberapa bencana yang menimpa masyarakat, ia tidak luput untuk menulis. Ia
mengomentari setiap kejadian yang ia lihat dan dengar untuk kemudian ditulisnya
sesuai dengan penafsirannya.
Ia tak lain teman akrab Ibnu Zaidun. Hanya saja, ia begitu kritis pada Ibnu
Zaidun. Ia sering menasihati Ibnu Zaidun untuk senantiasa menjauhi godaan-godaan pada usia muda.
Suatu saat Ibnu Hayyan mengunjungi Ibnu Zaidun. Ketika ia melihat di sekitar Ibnu Zaidun
kertas dan tempat tinta, ia berteriak dalam kelakar yang histeris, "Beginikah kamu, wahai
Abu Walid" Janganlah engkau berceloteh di antara kertas dan pena! Aku meniti engkau
tidaklah menulis sesuatu kecuali apa yang digandrungi dan disenangi hawa nafsu para pemuda.
Celakalah sastrawan Cordova! Seolah-olah syetan membentuk pena mereka untuk menuliskan
kemabukan dan kesia-siaan!" Ibnu Zaidun lalu menerima pemuda dari belahan timur itu. Ia menjawabnya dengan
senda gurau yang sungguh-sungguh, "Tidakkah engkau kagum pada mahaguru yang telah
menyerang rumahku dan melupakan untuk menghormatiku bahkan ia malah mencerca dan
mencelaku?" Ia melirik Ibnu Hayyan seraya berkata, "Duduklah dengan tenang, wahai Saudaraku!
Kelelahan telah menyitamu sepanjang hari. Perkenalkanlah tuan ini kepadaku agar
aku tahu bagaimana aku harus
menghoirnatinya." Ibnu Hayyan tertawa terbahak-bahak dan berkata, "Apakah aku harus memperkenalkan
orang yang pernah kautulis?"
"Aku terima syaratmu."
"Wahai Saudaraku, beliau adalah Abu Fadel Muhammad Al Darimi. Ia datang dari
Baghdad kepada kita untuk mendukung suatu keinginan yang sulit. Ia sangat berharap untuk
menyatukan bangsa Arab setelah mereka berpecah berpuak-puak karena kedengkian."
Muka Ibnu Zaidun pun berseri seraya memekik, "Inilah cita-citaku, wahai Tuanku!
Aku yakin, kekuatan bangsa Arab tidak akan bangkit lagi kecuali mereka mau
menyatukan panji dan mempersatukan pandangan mereka. Niscaya mereka bagaikan susunan bangunan yang
kokoh yang tidak dapat dirobohkan musuh-musuh."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ibnu Hayyan menarik napas panjang seraya berkata, "Dengan bekal apa kita dapat
mencapainya?" "Jangan dulu berputus asa dari pertolongan Allah, wahai sang Mahaguru!"
Al Darimi menyela, "Aku pernah pergi ke Afrika dan berbincang-bincang dengan
para pembesar di sana. Kemudian aku mengunjungi Andalusia selama satu tahun. Aku
bertemu dengan Ibnu Ibad dari bangsa Aprilia, Ibnu Dzunnun Raja Tulaitilla, dan Ibnu Shamadih pemuka
Patoleous. Mereka pun ternyata tengah menghimpun dan menyatukan barisan."
Ibnu Hayyan menggeleng-gelengkan kepala. Dengan berdecak sinis ia berkata,
"Seolah-olah setiap pemimpin mereka adalah raja yang agung!"
Ibnu Zaidun segera memotongnya, "Jagalah bicaramu, wahai sang Sejarawan!"
"Seandainya aku menemukan suatu kebaikan, aku sekali-kali tidak akan menutup-
nutupinya." "Penglihatan Anda ternyata tidak dapat melihat kecuali kejelekan orang lain."
"Tidak. Demi Allah! Aku sama sekali tidak menyembunyikan kebenaran sekalipun
membuat pening kepalaku." "Lalu, apa pendapat Anda mengenai kepribadian Ibnu Jahwar pemimpin negeri ini"
Katakanlah, semoga Anda punya nyali untuk mengatakannya."
Sejenak, Abu Marwan tampak bingung, kemudian ia berkata, "Saya akan berkata
sejujurnya, wahai sang Sastrawan! Seandainya aku mendapatkan pedang, niscaya tidak cukup
bagiku sebagai pena. Ibnu Jahwar adalah salah seorang politikus ulung yang dimiliki
negeri ini yang telah berhasil menyatukan bangsa ini. Beliau termasuk orang yang
paling rendah hati dan sangat bijak.
Ia adalah seorang yang cerdik cendikia, jiwa raganya, yang pertama dan yang
terakhir seandainya ia tidak menjaga hartanya dengan kekikiran dan mengunci
pintu kekayaannya di depan para
pengemis.* Ibnu Zaidun tertawa terbahak-bahak. "Seseorang ternyata tidak mau menyerahkan
dirinya pada bisa ular!"
"Ular yang mana, wahai Sastrawan".Sungguh aku telah menyaksikannya dan dia
memang seorang yang bijak yang jauh dari berbagai macam celaan."
Al Darimi menghela napas panjang. "Aku juga telah menemuinya dan memang beliau
Pembawa Kabar Dari Andalusia Karya Ali Al Ghareem di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sangatlah bijak dan dermawan. Ia begitu peduli akan nasib rakyat-rakyatnya. Ia pun sangat
memusuhi para pejabat yang korup dan tidak amanah akan kewajibannya. Inilah penyakit kronis
yang tengah menimpa bangsa ini sehingga menghancurkan sendi-sendi kesatuan dan persatuan
bangsa. Kemudian bangsa Arab sama sekali tidak akan bangkit kembali kecuali mereka mau
meneladani akhlak umat Islam generasi pertama. Persaudaraan dan kasih sayang mereka -
sebagaimana termak-tub dalam sebuah hadits Nabi - bagaikan kesatuan satu anggota tubuh yang
manakala salah satunya mengerang kesakitan maka terasalah oleh sekujur tubuhnya yang
menggigil seperti demam." Ibnu Hayyan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku tidak melihat undang-undang
yang paling menyeluruh dan paling ringkas selain ucapan Nabi saw. di mana umat Islam saling
menjaga kehormatan mereka. Mereka senantiasa menolong saudara mereka yang teraniaya.
Mereka adalah tangan bagi saudara mereka yang lainnya."
"Iri dengki, dendam, menggalang persatuan dengan musuh, dan memusuhi pemerintah
adalah di antara kejelekan mereka yang cukup nista."
Al Darimi berkata, "Di negeri kami di belahan .timur, para pemimpin mengabaikan
kewajibannya. Mereka menyerahkan tanggung jawab itu dalam pundak bangsa Arab.
Mereka memerangi para pemimpin dan khalifahnya serta sesudahnya. Kekhalifahan bagi
mereka hanyalah permainan dan senda gurau. Mereka berkuasa sekehendak hati dan mengundurkan diri
sekehendak hati." Ibnu Hayyan menyela, "Malapetaka yang menimpa bangsa Andalusia justru lebih
dahsyat dan besar. Sejak tahun 400 Masehi di mana saat itu terjadi peperangan sengit,
berbagai kekejian nista bangsa lain menimpa negeri ini, mulai dari kekejaman
bangsa Mudhori, bangsa-bangsa Yaman,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bangsa Slavia, bangsa Barbar (Eropa), dan orang asing lainnya. Akibatnya, rezim
Amiriyah tidaklah berakhir kecuali tersebar krisis multidimensi. Seolah kerasukan iblis
pemusnah yang senantiasa mengobarkan peperangan. Tidaklah biji-bijian tumbuh kecuali dijadikan
panah. Maka kekacauan itu - dan kita berlindung kepada Allah darinya - dimulai sejak
kepemimpinan Sulaiman bin Ha-kam yang terkenal dengan sebutan Al Musta'in Billah. Di bawah
kepemimpinannya, kondisi negara sungguh buruk. Bangsa Arab menjadi rapuh sehingga mudah dicerai-beraikan
bangsa asing!" "Adalah orang yang sadar akan pikiran dan kegilaannya, untuk menetapkan Ali bin
Hamid sebagai panglima tertinggi dan pahlawan penolong. Ia sungguh memilih burung
elang yang kemudian memangsanya. Atau menetapkan pedang untuk kemudian menebas urat
lehernya. Jika Allah menghendaki, niscaya hal itu terjadi!" Ia kemudian menoleh kepada Ibnu
Zaidun dan bersenandung, "Sungguh banyak para penyair sepertimu, wahai Abu Walid. Berhati-
hatilah dengan syair karena kebanyakan syair itu membuat malang si empunya. Dan aku
mampu untuk mendatangkan kepadamu ratusan orang yang binasa dengan syair mereka."
Al Darimi berkata, "Tidaklah aku menghafal selain syairnya: Kagum!. Saat Allaits
memuliakan susunan gigi-gigiku. Dan aku mempersembahkan mata pengawas di
pelupuknya. Dan aku mengekang diriku dari tiga perkara; darah, keelokan wajah, dan kesehatan raga.
Bulan purnama yang mengigau,. Di sana ada seorang gadis pembeli yang baik. Dan ceracau saudara
perempuan pohon Alban.' Ibnu Hayyan berkata, "Mereka mengira bait-bait syair ini dipersembahkan untuk
Harun Al Rasyid yang pernah bersenandung di dalam syairnya: Tiga perempuan menguasai
kemuliaan-ku. Dan mereka menebar hatiku di setiap tempat. Sama sekali aku tidak rela seluruh
kebaikan teraih. Aku menaati mereka namun mereka men-durhakaiku. Tidaklah itu selain kekuasaan
hawa nafsu. Kekuasaan mereka itu kuat. bahkan lebih kuat dari kendali kekuasaanku."
Ibnu Zaidun berkata, "Perkiraan itu tidak benar. Harun Al Rasyid bukanlah
seorang penyair." Abu Marwan menyepakatinya dengan isyarat anggukan kepalanya. Kemudian, Al Darimi
melontarkan pertanyaan, "Lalu apa yang sebenarnya terjadi di Cordova setelah Al
Musta'in tewas?" "Dinasti Hamud menguasai pemerintahan selama tujuh tahun yang dimulai oleh
Yusuf. Kemudian Al Mustazhar Billah Abdurrahman bin Hisyam. Dia tidak lama berkuasa
kecuali selama 47 hari tanpa sedikit pun harapan dan ketaatan rakyat-rakyatnya."
"Dia adalah benar-benar seorang penyair, wahai Abu Marwan!"
"Demi syair dan yang kami miliki, sesungguhnya kami membutuhkan siasat dan
pikiran untuk sampai pada ide yang cemerlang yang segera hadir. Sesungguhnya Ibnu Muktaz di
belahan timur termasuk penyair yang paling kreatif sejak ia menyatu dalam akhir bait syair.
Adakah yang lebih indah selain syair gubahannya?"
Al Darimi tidak sepakat. Ia berujar, "Saat kami di Baghdad, ada sebuah kasidah
indah dan bagus karya Al Mustazhar Billah. Syair itu dipersembahkan untuk seorang gadis
yang tak lain anak pamannya sendiri yang kemudian dipinangnya. Namun, ibunya
menghalanginya dan kurang setuju
kepadanya. Al Mustazhar bersenandung: Dan datang seorang gadis untuk memuaskan
nafsuku. Dan kautalak kesucian hanya membela kegadisan. Keluarga terbebani dan terjerumus
kebodohan. Adakah kebaikan pada matahari yang menolak bulan purnama". Apa yang terjadi jika
Ummu Habibah melihat. Kemuliaan kuasaku, untuk menjadi menantu lelakinya". Ia
mensyaratkan bakti kepadaku. Mengalir padanya di udara kebahagiaanku yang memuncak. Aku
mencintainya sebagai hamba matahari yang setia. Serombongan unta diburu ayahnya yang ber-penyakit
kulit. Merpati pada dinasti Abbasiyah pun mengepak-kepakkan sayap. Aku makan sarapan dari
kegembiraan mereka laksana madu anggur. Dan aku manusia yang paling utama dari kaumnya.
Paling keras kritiknya dan paling tinggi kedudukannya. Keelokan, kesantunan, kedermawanan
sikap dan budi kata. Jika kaukehen-daki aku mendengar syairmu bagaikan sihir."
Ibnu Zaidun berkata, "Ini barulah syair! Aku sangat mencintai Allah seandainya
setengah syairku seperti itu!"
"Setengah yang terjelek ataukah setengah yang terbaik?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Syairku tidak ada yang jelek, wahai Al Qamar bin Marrah! Lebih baik kamu
menulis sejarahmu yang kelam yang tiada bandingannya."
Ibnu Hayyan pun tertawa berbahak-bahak dan berkata, "Mereka itu tak lain bocah-
bocah Dinasti Umayyah yang suka menipu. Mereka menceramahi orang-orang di pelataran
masjid agung. Mereka menyeru dan menyuruh berbuat baik, padahal aku tidaklah
menertawaimu dari balik baju besi. Sedangkan engkau menangis dalam hamparan mulia permadani dan
keturunan bangsawan. Dan aku bersaksi Allah pun menyaksikan, bahwasanya kamu tidak
mengharapkan di balik itu semua kecuali kedudukan yang mulia."
Ibnu Zaidun berkata dengan marah, "Justru akulah yang menyeru Ibnu Murtadla dari
Dinasti Umayyah itu." "Aku tahu, aku tahu. Ia dari Cordova sebelum misi dakwah selesai. Dan kamu tidak
punya kehendak selain memenuhi dadamu dengan iri dengki."
Ia bersorak dan berujar, "Jangan dulu marah, wahai Saudaraku. Aku berkata begitu
karena aku mencintai dan menyayangimu setulus-tulusnya walaupun kamu tidak
menyadarinya. Akan tetapi,
apa yang dapat kuperbuat sementara Allah telah menciptakanku kawat berdiri yang
tidak dapat aku berbuat atas kebenaran untuk menutupinya dengan kebatilan?"
Al Darirni berkata, "Inikah usulan terbaik yang kamu miliki, wahai Abu Marwan.
Dan bagaimana Cordova bisa tenang terlebih setelah ditinggalnya Al Mustazhar?"
"Selamanya keadaan tidak akan tenang. Al Mustakfi Billah memimpin namun
pemerintahannya itu bagaikan bunga tanpa tangkai. Sementara Allah menginginkan berbagai ujian
dan celaan atas Cordova. Pada masa pemerintahannya, bangsa Barbar menghancurkan sisa-sisa istana
peninggalan kakeknya, Al Nashir. Kehancuran merajalela dan terus melintasi
hamparan dunia. Keceriaan pun sirna. Allah menguasai balatentara-Nya sesuai dengan apa yang Ia kehendaki. Bagi-Nya
kekuatan dan kekuasaan! Saat cobaan yang menimpa bangsa Cordova menemui puncaknya, Al
Mustakfi justru lari menghindar. Setelah itu, kepemimpinan beralih kepada Abu Hazm bin
Jahwar, seorang panutan masyarakat."
"Apakah Al Mustakfi adalah ayah Wilada yang penyair dan sastrawan itu?"
"Benar. Dialah orangnya. Segala puji bagi Allah yang tidak mengurangi dirinya
dari sifat-sifat ayahnya." Ia kemudian menoleh pada Ibnu Zaidun seraya bertanya,
"Apakah Anda mau hadir pada undangannya, wahai Abu Walid?"
Ibnu Zaidun menjulurkan bibir bawahnya, setelah meminta izin bicara ia pun
berkata, "Pantaskah aku menerima kehormatan ini" Ketahuilah, wahai Tuan, undangannya
tidaklah layak untuk orang sepertiku ini. Tahukah engkau, wahai Abu Marwan,
sesungguhnya aku hanyalah
seorang sekretaris di sebuah departemen pemerintahan biasa yang engkau anggap
sebagai departemen jahat belaka"!"
"Kenapa berkata seperti itu, wahai anak saudaraku" Tatkala aku menyertai Ibnu
Jahwar selama beberapa hari, sungguh ia terus memujimu di berbagai pertemuan.
Dan aku termasuk orang yang
kagum akan kecerdasan dan kejeniusan-mu."
"Akan tetapi, Tuan, di depanku terdapat tabir penghalang dan tirai penutup.
Lihatlah paras mukanya! Aku melihat sosok yang kosong dari paras yang lemah-
lembut. Engkau tidak tahu
apakah aku termasuk orang simpati atau benci kepadanya" Menganggap baik ataukah
justru menganggap jelek kepadanya" Kemarin aku menyampaikan surat yang aku kirimkan
untuk Raja Patholeus. Aku menulis surat itu dengan penuh kesungguhan. Aku yakin surat
tersebut tidak tertandingi sekretaris mana pun. Akan tetapi, ketika aku menyodorkan kepada
beliau, setelah beliau membacanya, beliau tidaklah berkata selain 'Engkau telah berlebih-
lebihan, wahai Seniman!" Beliau kemudian berpaling dariku dan memanggil seorang menterinya bernama
Muhammad bin Abbas. Seolah-olah anak Adam tidaklah ada wujudnya, hanya di kamarnya!"
"Laki-laki itu hanya menghawatirkanmu saja, wahai Abu Walid!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Menghawatirkanku?"
"Ya, sungguh aku melihat hal itu dari perbincanganku dengannya saat
menyerupakanmu dengan Abu Tayyib Al Mutanabbi. Lelaki itu benar-benar malapetaka yang
pengetahuannya cukup mendalam. Sungguh dia sendiri tidak menyerupakanmu dengan penyair ini kecuali
setelah dia tahu keluhuran misi dan cita-citamu. Waspadalah, wahai Abu Walid, dan jauhilah
negeri-negeri syubhat. Jagalah lidahmu sekuat mungkin!"
Ibnu Zaidun memekik keras seolah-olah dia marah, "Untuk orang sepertiku jelas
harus punya cita-cita dan harapan yang jelas. Jika tidak, maka bagi siapakah
berbagai bencana tercipta?"
"Bagus! Bagus! Sungguh aku akan bertemu dengan bencana dan fitnah."
"Bukan. Bukan fitnah dan bencana, wahai Abu Marwan. Akan tetapi singa dalam
kurungan maupun tawanan yang melarikan diri dari penjara."
"Jangan tergesa-gesa menyimpulkan urusan-urusan itu dalam waktu-waktu yang
tergadai. Dan singa di gelap-gulita pun laksana pancaran lampu yang tersenyum. Bagaimana
kabarmu dengan Menteri Ibnu Abbas!"
"Dia adalah sahabat ikan laut dan musuh bagi malapetaka."
"Benar, sungguh aku telah menyatukannya dalam satu kalimat."
Mendengar hal itu, Al Darimi berdiri. Ibnu Hayyan pun berteriak, "Kita mesti
mengetahui dan terlebih dahulu kita harus menentukan sikap terhadap apa yang
ditulis pemuda budak ini."
Ibnu Jaidun berkata, "Aku pernah menulis beberapa bait syair untuk Aisyah binti
Ghalib dan aku menemuinya sebelum syair itu aku rampungkan. Kalau tidak salah,
aku merobeknya dan aku membatalkan untuk mengirimkannya."
Ibnu Hayyan menengadahkan kepalanya ke belakang dan membusungkan dadanya dengan
bangga seraya berkata, "Aisyah binti Ghalib"! Dia adalah seorang perempuan yang
terpelajar. Para tokoh dan pemuka masyarakat maupun para seniman sering menghadiri
pertemuannya. Akan tetapi, dia buruk sifat pada kaum lelaki. Berwaspa-dalah dari cakaran buas
kebinatangannya, wahai Saudaraku. Jika kita mencacinya pasti akan terbunuh. Dari
sebagian isu yang beredar, dia adalah mata-mata Ibnu Azvonus. Tetapi aku pun
kurang yakin dengan kebenaran isu tersebut
dikarenakan dalam isu tersebut sering bertentangan dalam jiwa antara cinta dan
benci." Tak lama kemudian ia menyalami Ibnu Zaidun seraya berkata, "Untuk apa
waktu sore, wahai orang gila yang menyesatkan! Jauhilah sekemampuanmu dari
jendela wanita-wanita macam itu.
Pembawa Kabar Dari Andalusia Karya Ali Al Ghareem di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebagaimana kau pernah bersyair, mereka itu tak lain: Dan sungguh aku terhalang
akal warasku. Oleh desing yang dinyanyikan para tukang fitnah itu. Dan tersadarlah pikiranku."
02 Jalan istana kerajaan membentang di sepanjang tepi lembah pantai yang menjulang
tinggi di sebelah selatan Cordova. Di sepanjang jalan itu pepohonan yang rindang berjejer,
di pinggirnya rumah-rumah para pejabat pemerintah, petinggi negara, para
menteri, dan pembesar lainnya.
Rumah-rumah besar itu tampak bagaikan sebuah antrean panjang. Di depan rumah-
rumah itu terdapat taman-taman hijau yang berseri-seri. Semerbak bau ragam bunga yang
berwarna-warni di dalamnya berembus di sekeliling daerah itu.
Di antara rumah-rumah besar itu, tampak satu rumah tua yang mewah hasil kreasi
tangan- tangan usang. Pondasinya begitu kuat menyusuri hari-hari. Sebuah rumah yang
setiap kamarnya berbicara sebagai saksi kekuasaan dan kepongahan. Saksi pasukan balatentara.
Saksi para utusan bumi yang berlutut di gerbang-gerbang rumah itu dengan harap-harap cemas,
dengan penuh kerendahan dan kehinaan.
Akan tetapi, setiap dinding rumah ini menyembunyikan hari-hari yang bermuka
masam dan membisu. Sebuah harapan sia-sia yang mudah diserang angin topan. Dan piramida
ditemukan dalam berbagai bentuknya di setiap gedung-gedung. Rumah itu bagaikan negeri dan
rakyatnya yang saling bermuka masam kemudian menyergapnya dengan ragam kesengsaraan.
Gedung itu didirikan oleh Al Nashir Lidinillah yang terkenal dengan sebutan Al Mustakfi
Billah. Seandainya ada Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
seorang penulis yang mau mencatat niscaya apa yang terjadi di Andalusia saat itu
sarat dengan kebaikan sekaligus kejahatan, kesenangan sekaligus malapetaka.
Sang matahari tidak henti-hentinya menguap di pembaringannya setelah terlelap
tidur di sepanjang malam yang panjang. Cahayanya menghampar ke seluruh sungai besar
seolah tengah dicium ciuman pagi hari. Jalan-jalan sepi dan tenang, kecuali sedikit pejalan
kaki. Tidak ada bising terdengar kecuali suara para nelayan di kejauhan yang
hendak bertolak ke Aspilia. Suara penabuh rebana yang menyenandungkan nyanyian
hati yang nyaris membersihkan sebagian batu-batu.
Mereka mulai bersenandung seraya khawatir senandung itu nyaris sama dengan hari
kemarin tatkala sebagian biduanita menghibur para lelaki hidung belang di kedai-kedai
minuman. Hiburan-hiburan sambil berrnmum-minum ria nyaris tak pernah luput satu malam
pun, di setiap istana-istana kerajaan atau rumah-rumah para petinggi negara di Cordova. Rakyat
Andalusia memang diciptakan untuk bernyanyi dan hidup untuk sebuah nyanyian. Bahkan, dalam
menyambut kematian seseorang, mereka pun tidak terlepas dari iringan seruling
dan kecapi. Pagi itu, Wilada binti Al Mustakfi bangun dari tidur panjangnya laksana bunga
ros yang merekah karena terbasahi embun dengan embusan angin yang menggoyangkan daun-
daunnya. Tak urung, Mohga Cordovia pun kerap terpesona oleh kecantikannya. Ia kerap
menggoda dan memanjakan sang puteri jelita itu dengan penuh cinta dan kasih sayang
sebagaimana sang ibu yang memanjakan anaknya dengan mainan.
Wilada saat itu baru berusia 18 tahun. Seorang wanita yang berperawakan cantik,
cerdas dan luhur budi pekerti. Paras muka yang mampu meredam cahaya matahari yang menyala
di siang hari sehingga enggan terbit. Paras muka yang menorehkan kecantikan alami.
Seandainya orang- orang Yunani masih hidup niscaya mereka menjadikan
Wilada sebagai model bagi rubuh dan patung-patung khayalan karena keelokan,
keindahannya, dan kesempurnaan ciptaannya.
Kecantikan wajah Wilada benar-benar mema- ? bukkan setiap mata yang memandangnya
karena terus merasuk ke setiap hati dan perasaan. Terlebih kepada para hidung
belang yang melihat kecantikannya. Mereka bisa langsung jatuh hati dan mencoba merayunya.
Pendeknya, Wilada adalah pemilik dari segala sifat kecantikan seorang wanita.
Selain itu, Wilada juga adalah seorang seniman dan penyair. Setiap pertemuan
yang diselenggarakannya selalu dihadiri para sastrawan dan seniman terkenal. Mereka
benar-benar tersipu melihat kecantikan wajahnya dan mendengar senandung merdu syair yang
dinyanyikannya. Wilada kemudian bangkit dari tempat tidurnya dan meraih sejumlah makanan yang
disukainya. Setelah merapikan badannya, ia pun mengenakan baju. Saat itu, ia memakai baju
indah dari sutera Bampasagi yang dibordir dengan pernik-pernik emas. Baju indah dengan
tenunan yang kuat dan sudut-sudut yang berpersegi. Ia lalu berdiri di depan cermin kamarnya.
Tampaklah pada raut wajahnya rasa bingung seolah-olah ia tengah mencari orang
secantik dia di seluruh Cordova.
Dan ia memang mendapatkannya dalam cermin itu.
Sang puteri Mohga itu pun menatap kecantikan "temannya itu" dan dengan penuh
bangga dan kagum ia bersenandung:
Seandainya Ibnu Jahzvar tahu
Tenunan sutera nan penuh hiasan itu
Akan keluar seperti kecantikan dan keindahan baju ini,
Niscaya ia akan mengJtentikan baju-baju dari negeri asing ke Cordova.
Wilada tersenyum sinis seraya berkata, "Lelaki ini mutiara keangkuhan, wahai
Mohga! Tidak tampak dalam dirinya rasa ketaatan dan sifat zuhud selain di depan
orang-orang fakih yang maksud mereka itu tiada lain hendak menggelincirkan kemuliaannya dalam sekejap
mata." "Dia itu sering melarang meminum minuman keras, Tuan Puteri! Dia menghormatinya
dengan memecahkan guci-guci minuman itu karena takzim pada pekarangan Masjid Agung.
Sungguh Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
seorang penyair Cordova terkenal, Ahmad bin Zaidun pun pernah memujinya dalam
sebuah syair: Aturan pembolehan arak yang kotor itu tak lain dinding . Aturan orang-orang yang
peduli segala nilai. Ketika segala kebajikan tercerabut dari akarnya. Dalam
mabuk yang bagaikan batu yang
sangat keras. Dia adalah najis yang jika dihilangkan akan terpuji. Yang dapat
memecah kekuatan tangan-tangan beku. Prasangka dosa, induk kejahatan. Yang dapat
memangkas aib hina dari ingatan.' Wilada menengadahkan kepalanya layaknya seorang pemikir, seraya berkata, "Ibnu
Zaidun"! Pemuda yang dipenuhi tangga kemuliaan itu" Sayangnya, ia tengah berhadapan
dengan sepasang kaki yang lebih kokoh dari kakinya, dan dengan para sahabat yang lebih
kuat dari para pendampingnya. Dia menjual dirinya dengan murah di pasar
kebajikan. Kemuliaan dan kesia-siaan
seorang pemuda selamanya tidak akan menyatu!"
"Kalau begitu, dia adalah malapetaka bagi Cordova, Tuan Puteri, sekaligus
menjadi idola dan idaman para gadis. Syairnya benar-benar telah menjadi
senandung di setiap mulut orang dan
terngiang-ngiang di setiap telinga. Para penyanyi pun kerap melagukan syairnya.
Setiap perayaan di Cordova tak luput dari bait-bait syair gubahannya. Benar-
benar mengetuk dan mengira-makan
nyanyian hati. Aku mendengarkannya pada hari Selasa yang lalu, ketika aku
sebagaimana biasa pergi ke rumah Maryam Al Arudia untuk menghadiri salah satu ceramahnya. Dia
mengadakan pengajian di rumahnya untuk mendidik anak-anak para petinggi dan pejabat negara
dalam pelajaran tata bahasa dan sastra.'
"Aku mengenal dia. Bahkan aku mengetahui dia jika banyak para penyair yang
belajar syair kepadanya. Dialah yang menghafal benar buku 'Al Kamil' karya Mubardo dan 'Al
Nawadir' karya Abu Ali Al Qali." "Benar, Tuan Puteri, kami pernah menghadiri pertemuan itu di rumahnya. Di sana
terdapat beberapa gadis cantik dengan wajah senang dan penuh dengan aneka perhiasan. Saat
itu, Maryam tengah menceritakan syair-syair di Aspilia."
Dari penjelasannya, tidak tampak perbedaan jauh antara syair di sana dengan
syair di Cordova. Syair-syair di Aspilia tumbuh berkembang pesat oleh seorang penyair yang bernama
Abu Bakar. Maryam mengakui bahwa ia adalah seorang penyair ulung dengan gaya bahasa yang
tinggi dan imajinasi yang indah. Maryam pun mencoba menyenandungkan sebagian syair
miliknya: Wahai ciptaan terindah tanpa hiasan
Wajahmu sungguh memikat orang-orang yang melihatnya
Kendati saat kami tertimpa bahaya
Bunga ros pun mampu mengalahkan bunga melati
"Dan tidaklah Maryam menyenandungkan kedua bait syair itu, Tuan Puteri, kecuali
keluar dari lidah seorang gadis yang hadir pada saat itu, dengan pekik syairnya
ia seraya berkata, 'Sesungguhnya aku tidak menginginkan menggadaikan kota kelahiranku, wahai Tuan
Puteri. Karena setiap jengkal bidang tanah di Andalusia memu-liakanku. Syair dan sastra
keduanya tidaklah dimiliki bangsa tertentu. Kami kagum dengan syair-syair belahan timur
sebagaimana kami bangga dengan syair-syair kami. Akan tetapi sang penyair
Aspilia yang gila pujian tidak dapat
menandingi sebatas tepi kakinya sekalipun dari seorang penyair kita, Ibnu
Zaidun. Bait pertama cukup bingung untuk dipahami meski diulang-ulang beberapa
kali. Dan tidak diketahui kecuali
setelah masuk pada bait kedua. Ungkapan 'tanpa perhiasan' adalah ungkapan yang
sangat dangkal sekali. Selanjurnya aku menilai bait kedua tidaklah terdapat pada teori-
teori semestinya. Menyamakan pipi dengan bunga ros dan bunga melati adalah perumpamaan klasik.
Alangkah buruknya syair itu dan kegaduhan seorang juru penyair."
Segera Maryam memotong, "Memang betul, Saudariku, perumpamaan itu adalah
perumpamaan klasik. Akan tetapi sang penyair ini menghendaki sebuah perumpamaan
baru. Sebuah bentuk perumpamaan yang dapat ditemukan pada seorang kekasih yang malu
saat menemui pujaannya yang secara mendadak membuat wajah dan pipinya memerah dan
ternyata mampu mengalahkan putih di kedua pipinya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Gadis itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya tanda tidak setuju seraya
berkata, "Apakah Anda terkagum-kagum menyimak ungkapan kendati pada bait pertama
yang sejatinya hal itu mirip
ungkapan kosong" Bagaimana hal itu bila dibandingkan dengan syair Ibnu Zaidun
yang bersenandung: Adakah ajakan padamu terpenuhi". Ataukah sakitmu tersembuhkan".
Wahai sang dekat, tatkala saat hadir. Maupun tidak hadir. Bagaimana menanyakanmu. seorang
penyayang yang menghiasimu dengan cinta". Kamu adalah angin sepoi-sepoi . Yang hanya dapat
menyentuh kalbu. Inilah syair yang jika disandarkan kepada Ibnu Al Muntaz niscaya ia akan
melupakan, membuai, dan dapat menghiburnya dari kepapaan dirinya akan kekuasaannya selama
ini." Tak pelak, sang gadis itu pun berteriak histeris seraya berkata, "Ya, inilah
satu-satunya lantunan syair yang terdengar indah tanpa iringan musik. Para
pengamat dan ahli sastra sering
menyebut penyair kita (Ibnu Zaidun) sebagai cebol. Dapatkah seorang cebol untuk
berkata: Kenapa kau disia-siakan janjimu". Bagaimanakah kau mengingkari janjimu". Aku
melihatmu seorang amanah. Yang ridha namun tidak memberatkanmu.
Betapa indahnya syairku. Dan aku tidak memiliki cinta di sisimu. Apakah malammu
panjang setelanku. Sebagaimana panjang malamku setelanmu". Tanyakan padaku tentang
hidupku. niscaya aku menganugerahkannya. Tidaklah aku memiliki jawabmu."
Maryam pun berkata, "Ini adalah kemuliaan tiada banding dalam kebagusannya.
Kelebihan seorang Ibnu Zaidun tidak terbantahkan meski oleh para pembantah yang ulung.
Bahkan, sebagian dari sastrawan kita menyebutkan: Barang siapa yang memakai baju putih,.
Bercincin batu akik,. Meneladani Abu Amr,. Mempelajari kitab Imam Syafi'i,. Dan
meriwayatkan syair Ibnu Zaidun,. Sungguh ia adalah manusia sempurna."
Wilada menggeser duduknya gundah dan tampak masam pada mukanya seraya berkata,
"Anda sungguh bersimpati terhadap laki-laki ini, wahai Mohga!"
"Aku tidaklah tergila-gila, akan tetapi aku merasakan kehebatan syairnya yang
tidak didapatkan dalam syair yang lain. Tidaklah aku mencela lelaki ini kecuali
dalam satu perkara. Dia adalah
temannya Aisyah binti Galib. Apakah kau mengenalnya, wahai Tuan Puteri?"
"Aku mengenalnya. Aku tahu, ia adalah perempuan jalang. Dia menampakkan pada
setiap orang suatu sifat yang sebenarnya disembunyikannya. Dia tak lain adalah jiwa
harimau yang menempel pada jasad seorang perempuan. Temanmu Ibnu Zaidun kini benar-benar
terancam.' "Siapa orang yang memberitahumu kabar tentang hal ini, wahai Tuan Puteri?"
"Telah memberitahuku seorang perempuan yang mengetahui segala sesuatu tentang
segala seluk-beluk yang terjadi di kota ini. Sampai-sampai dia pun akan mengetahui di
mana hanyutnya dan tempat berlabuhnya sebuah ember timbaan ,yang hilang di lembah sungai yang
besar
Pembawa Kabar Dari Andalusia Karya Ali Al Ghareem di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekalipun. Dia layaknya seorang detektor setiap rahasia. Dia akan mengatakan
kepadamu suatu peristiwa dengan suara hati-hati. Dia selalu bersumpah di hadapanmu dengan
mengatasnamakan kedalaman iman agar ia dapat menghindari dari memprovokasi orang-orang. Jika
kamu berlalu pada pintu rumahnya, para pembantunya akan memberikan kabar yang sama kepadamu
dengan atas nama keimanan yang juga sama. Dia adalah manusia bijak dan mulia. Menebar
kasih sayang pada sahabat-sahabatnya dan tidak mengurangi rasa cinta dalam dendam pada musuh-
musuhnya." "Demi Allah! Aku memohon kepadamu, wahai Tuan Puteri, siapakah orang ini?"
"Aku mengira kamu lebih tahu dan cerdik untuk lebih mengenal dirinya."
"Namanya berlalu dari lidahku. Akan tetapi paling membenci kutukan dengan
prasangka. Bukankah dia adalah Naila Al Dimasykia?"
"Benar! Benar! Dialah orangnya, Sahabatku. Dialah mutiara Cordova. Kerentaannya
sungguh menggeregetkan. Apakah dia takut pada bulan?"
"Dia adalah seorang sastrawan pintar. Dia memiliki gaya bahasa yang menakjubkan
dalam memikat para lelaki. Menguasai dan membuat tunduk mereka di bawah titahnya.
Pintu mana pun tidak tertutup untuk kehadirannya. Berbagai undangan kerap mendatanginya.
Rahasia sekecil apa pun baginya tidak ada yang tersembunyi. Rumahnya pun menjadi tempat berkumpul
para pemuda Cordova, bahkan saat ia pesimis akan senyuman para pemuda itu. Ia sebenarnya
meng-mginkan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
agar kau melihat wanita lain. Nafsu ketika kondisi lemah pun tetap merasa puas
memandangnya. Terjejajilah diri dengan khayalan."
Tatkala dia terlena dalam obrolan, tiba-tiba masuk Utbah, seorang pelayan Wilada
seraya berkata, "Wahai Tuan Puteri, sesungguhnya Naila Al Dimaskia pernah menyaksikan
kiamat. Dia saat itu menunggunya di taman bunga ros."
Wilada kemudian menoleh Mohga yang tersenyum takjub. "Seandainya kami mengingat
iblis. niscaya tidak akan datang kepada kami kelaliman. Apa pendorong kunjungan pada
hari kiamat ini, wahai Pemimpi?"
Mohga menggoyangkan dan memanjangkan kedua pundaknya seraya mencibirkan mulutnya
berkata, "Seandainya prasangka datang untuk berbincang-bincang dan melepaskan
kekang lidahnya, ia akan menjelaskan setiap peristiwa dan apa yang terjadi di dalam
kata kebaikan dan kejelekannya."
"Akan tetapi dia benar-benar penghibur. Dia memiliki gaya bicara yang memaksamu
untuk mendengarkan setiap ucapannya, memikatmu untuk bergabung dalam setiap
obrolannya. Dialah mutiara yang tidak terkalahkan para penceloteh kecuali sedikit. Hampirilah ia,
wahai Mohga!" Saat Naila Al Dimaskia berusia enam puluh tahunan, kemolekan tubuh dan
kecantikan wajahnya masih tampak terpelihara. Ia ibarat sebuah taman yang dibiarkan
pemiliknya selama beberapa tahun sehingga mengeringlah tumbuh-tumbuhan yang kering, layulah
tumbuh-tumbuhan itu. Patahlah ranting-ranting yang tidak kunjung mengulurkan tangan untuk
mematahkannya Reruntuhan puing-puing pagar berserakan di sekelilingnya. Pagar itu seolah
memekik sedih sepanjang hari. Atau, mudah-mudahan ia seperti bait syair yang telah digubah
dengan bait-bait gaduh yang tak indah dan berirama sehingga nyaris kehilangan gaya bahasa dan
nilai sastranya. Ia ibarat sebuah kecapi yang kehilangan bunyinya. Senarnya acak-acakan sehingga
suaranya menjadi kacau dan mendesing laksana erang kesakitan. Ibarat surat cinta yang
ditulis tanpa kasih sayang dan sanjungan sehingga tiada lain rintihan saat
terjaga sepanjang malam dan bencana
yang menyakitkan. Tubuh Naila tinggi semampai dengan daging yang empuk. Rambut keritingnya sering
mengurai pada wajahnya. Tampak pada kulitnya sisa-sisa perjalanan hidup. Kebugaran
tubuhnya mulai melemah. Tidak ada lagi minyak maupun celupan yang dapat melembabkan mukanya
yang ditelan waktu kecuali sedikit sekali.
Watak keras kepalanya masih nampak bekasnya dalam setiap perangainya meskipun ia
sebenarnya mencoba menyembunyikan semua itu dalam setiap perangainya. Meskipun
ia sebenarnya mencoba menyembunyikan semua itu dalam karya seninya.
Dia adalah saksi bertahun-tahun atas kejahatan zaman. Sosok teladan yang tetap
teguh dan tidak membiarkan generasi di belakangnya terperangkap dalam generasi baru. Yang
mengagumkan, meski perjalanan waktu mengurangi kecantikan wajahnya, namun tidak
mampu melorotkan sorot magis kedua matanya dan keindahan suaranya. Dalam paras mukanya
terlintas kilat menyala yang tak kalah pikatnya oleh seorang gadis yang berusia dua puluh
tahun. Suaranya bagaikan senandung dan nyanyian yang tidak tertandingi terlebih
oleh para penyair yang tidak
ternama. Wilada masuk taman. Naila membiarkan Wilada merenung di antara dua sikutnya;
antara - senang dan sedih. Mulailah Naila mendaratkan ciuman bertubi-tubi di kedua
pipinya. Suara ciuman itu laksana kicau burung dipagi hari yang saling bersahutan. Setelah
puteri Al Mustakfi menyambutnya dengan gembira dan mempersilakannya, Naila pun
masuk seraya berkata, "Tidak!
Tidak, Puteriku! Sungguh dendamku masih lestari. Aku telah meneguhkan
keputusanku untuk memperbesar cintaku kepadamu dan memanjangkan kasih sayangku ketika menemuimu.
Ini adalah kali ketiga aku mengunjungimu di mana di dalamnya kau tak membahagiakan
rumahku dengan pengetahuan luasmu dan keberseri-serian untuk menyambutnya. Engkau angkuh
dan men-julangkan langit pada hidung besarnya. Hanya ayahmu yang memiliki seribu
kasih sayang yang dipancarkan padaku. Dengan penuh cinta, ia menghadiri pengajianku dan
mendengarkan ceramahku. Namun, terkadang aku berpaling darinya, karenanya Allah membalasku
dengan memalingkan anaknya dariku. Adalah seorang lelaki mengajarkan waktu dan ajaran."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wilada pun kemudian tertawa dan berkata, "Aku lebih mengetahui politik kehidupan
maupun politik kekuasaan dari beliau. Aku mengunjunginya setelah ia dipecat sehari
sebelumnya. Orang- orang sungguh telah berpaling darinya. Terlepaslah dari dirinya sebagian asa
yang kautemukan dari senda gurau dan tertawanya sehingga mampu menghilangkan kesedihan dan kepu-
tusasaan. Tatkala aku hendak meninggalkannya, ia memegang erat tanganku sambil berkata
dengan tersenyum, 'Seandainya orang-orang selalu berada dalam bimbinganmu, wahai Naila,
niscaya mereka akan melupakan kepahitan sebuah pemecatan dan raja itu ibarat seorang
perempuan farouk. Kau tak sempat menghibur diri dengan menemaninya sampai kau menahan
tantangan dan permusuhannya. Aku lalu segera memotong ucapannya, "Wahai Bani Ummayah! Kalian
memang dilahirkan sebagai raja dan diwafatkan pula sebagai seorang raja. Kalian
memiliki moralitas dan mentalitas kuat nan penuh mahkota dan tongkat kerajaan.
Inilah isi pembicaraanku dengan
ayahmu. Saat itu ternyata menjadi akhir hayatnya. Namun, kini dendam dan
kegelisahanku semakin keras dengan kedatangan seorang puterinya yang manja dan genit; sang
puteri Wilada!" Wilada akhirnya tersenyum penuh bercahaya dan berkata, "Tuan Puteri, sesunguhnya
gadis ini memendam ketulusan cinta dan kejujuran hati kepadamu. Seandainya panas
demam menimpaku, tidaklah akan menghalangiku dari mengunjungimu dengan satu halangan pun. Dia itu
dingin, Tuan Puteri! Ia mewaspadainya sehingga demam itu tidak terasa. Ia ibarat cinta yang
nampak ringan dalam ekspresi dan lemah dalam pembuktian. Ia kemudian angkuh dan keras kepala
sehingga laksana sakit urat syaraf."
Ia kemudian membenarkan duduknya kemudian berkata, "Apakah kau akan keluar pada
sore hari, wahai Anakku" Untuk bertamasya ke tempat yang dekat di malam bulan purnama
misalnya atau terjaga pada malam hari di taman-taman trotoar jalan atau menikmati hiburan
dengan sahabat-sahabat kita di kedai 'Ramirez'. Di kedai ini, gadis-gadis Spanyol
menggelar tarian-tarian yang menakjubkan."
"Hal itu jarang sekali, wahai Tuan Puteri!"
"Bagus! Bagus, wahai Anakku! Sesungguhnya dunia ini lebih sempit dari sekadar
timpaan bingung dan kesedihan."
Ia kemudian meletakkan kedua sikutnya di pinggangnya dengan penuh rasa sakit dan
mengaduh ia berkata, "Ah, seandainya para pemuda mengetahui apa yang berada di
balik uban rambutnya! Kemarin, Syekh Mujahid Al Anshari - seorang khatib di
masjid Ummu Salamah - datang ke rumahku. Dia seorang lelaki agung dan menjaga dirinya dari perbuatan
dosa. Ia takut untuk banyak berkata-kata karena khawatir tergelincir dosa. Ia tidak melewatkan
pandangan sehingga menjerumuskan dirinya pada jurang neraka jahanam.
Beliau adalah seorang ulama yang berhak dipakaikan 'qalis' kepadanya. Di
Cordova, seseorang tak berhak memakai qalis tersebut di kepalanya selain orang-orang yang hafal
kitab Al Muwa-tha' karya Imam Malik. Tidak datang kepadaku seorang Syekh pun kecuali jika ia punya
anak yang menginginkan anaknya itu terdaftar sebagai penerima zakat. Setelah mengetahui
hubunganku dengan menteri Abu Hafs bin Burd, ia menyambutku dengan menundukkan kepala dan
memicingkan kedua matanya.
Ia menyingsingkan bajunya demi menjaga diri. Seolah-olah ia khawatir Lajunya itu
menyentuh ujung bajuku. Aku lalu berkata dalam diriku dengan memekik,' Aku sepakat
denganmu, wahai sang musuh! Bukalah kedua matamu, sesungguhnya jika engkau ber-buat sesuatu
niscaya tak akan menimpa dirimu suatu kejelekan. Aku bersumpah sekalipun kau mengunjungiku
tiga puluh tahun yang lalu, niscaya ia membelalakkan matanya kepadaku seperti belalak mata
seekor harimau yang ganas. Kabarkanlah kepadaku keadaan sebenarnya mengenai anaknya.
Harapanku ketika aku membisikkan pada sang menteri, ia akan menerimanya. Kemudian ia
bertolak laksana air bah yang mengalir panas sepanas neraka jahanam dan segala macam siksaan yang
pedih di dalamnya. Ketika aku menyebutkan bahwa Allah luas rahmat-Nya, maha pengampun
atas segala kesa-lahan dan dosa-dosa serta Maha Penerima Taubat, ia bingung dan terkejut
sebagaimana kekagetan seorang pemburu ketika mendapatkan unta buruannya yang hampir
melarikan diri. Tuan Puteri, ia pun segera berujar dengan marah mendengar hal ini.
Para pendurhaka itu ternyata telah menipu diri mereka sendiri. Sesungguhnya
berpegang rahmat Allah menjadi binatang tunggang-an para pendurhaka. Saat ini, aku
menginginkan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bersenda gurau dengan laki-laki ini dan berkata, 'Kalau begitu, kenapa Allah
menciptakan berbagai kesenangan di dunia ini, Tuanku"' Lelaki itu menceracau kebingungan dan
berkata, 'Kesenangan....." O, ya kesenangan"' Jawabku, 'Ya, kesenangan! Kenapa diciptakan
untuk kita harta dan kedudukan" Kenapa Allah menciptakan bunga yang hijau, buah yang
matang, burung yang berkicau dan sungai yang mengalir deras" Kenapa pula diciptakan pagi yang
cerah, madu yang manis, bulan purnama yang membuat seseorang terjaga dari tidurnya, dan
malam yang sunyi" Semua itu nikmat agung, Tuanku. Tentang kenikmatan ini, Allah Swt.
berfirman, 'Sekiranya kalian menghitung nikmat Allah, niscaya kalian tidak
menghinggakannya. Sesungguhnya manusia
itu sangat zhalim dan sangat mengingkari nikmat-nikmat Allah."
Ia tak meneruskan ucapannya karena merasa khawatir. Ia lalu segera memakai kedua
sepatunya dan bertolak dengan penuh rasa takut dan kaget. Wilada akhirnya
berdiri dan berkata, "Luar biasa orang-orang ini! Mereka ternyata mampu membatasi karunia Allah yang
begitu luas dan agung."
- Naila buru-buru memotong, "Akan tetapi, sebagian mereka di antaranya
bersenang-senang dengan nikmat Allah yang hukumnya mubah. Mereka riang gembira dengan syair dan
puisi tanpa menyia-nyiakan nikmat Allah sedikit pun. Amr Al Malqi telah memberitahukan
kepadaku bahwasannya ia pernah mengunjungi sebuah kuburan di hari yang cukup terik. Ia
lalu berteduh ke salah satu masjid yang ada di tempat tersebut. Ketika sampai di
dalam, ia menjumpai seorang
penceramah yang tengah berceramah dengan perangai yang cukup baik. Sosoknya
menampakan kezuhudan. Tatkala keduanya mulai berbincangbincang tentang berbagai perkara,
sang pengkhut- bah itu pun meminta kepadanya agar menyenandungkan sebuah syair orang-orang
Andalusia. Ia pun mendendangkannya: Mereka merampas suatu pagi sehingga mempercantik pipi.Mereka mencabut akar-akar
Pembawa Kabar Dari Andalusia Karya Ali Al Ghareem di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pohon Arok yang terkoyak-koyak.Di belakang, mereka melempar Y akut tanpa pengorbanan.
Mereka lalu memasangkan kelabu bintang sebagai kalung
Syekh itu pun berteriak histeris sambil berdecak kagum. Ia bertepuk dengan kedua
tangannya. Saking larut gembiranya, kewibawaannya hampir saja tercerabut. Ketika ia
menyadarinya, ia berujar, 'Maafkan aku, wahai Anakku! Ada dua hal yan membuatku terpaksa tidak
dapat mengendalikan diriku. Kedua perkara itu adalah; suara yang merdu dan syair yang
indah." "Saya mendengar bahwa Muhammad bin Abdullah, seorang hakim negara pada masa Al
Nashir, keluar pada suatu hari untuk menghadiri upacara pemakaman. Kebetulan
sang mayat memiliki saudara laki-laki yang rumahnya dekat pekuburan Quraisy. Maka ia pun
ingin mengunjunginya. Ia dijamu dengan berbagai macam makanan. Tak lama kemudian, sang
pribumi memanggil pelayannya seraya bersenandung:
Suguhkanlah setitik embun segarmu dalam sebuah gelas.Dengan sinar merah wajahmu
laksana buah apel.Apabila musim semi bertiup sepoi-sepoi anginnya.Tumbuhkanlah
angin sepoi- sepoi itu dari lubuk hatimu.Apabila tiga malam terakhir dari bulan gelap
gulita.Kecerahan wajahmu dalam gelap laksana pelita
Sang hakim pun berdecak kagum. Sampai-sampai ia menuliskan bait-bait syair itu
di tangannya. Ia kemudian keluar untuk menunaikan shalat jenazah. Orang-orang lalu
melihat tulisan bait-bait syair di tangannya itu. Dia lalu bertakbir memulai
shalat jenazah. Hakim ini terkenal sebagai sosok zuhud dan hakim yang adil di
antara mereka. Wahai Puteriku, sesungguhnya jika
orang-orang itu benar-benar takut kepada Tuhannya di saat bersembunyi maupun
terang- terangan, niscaya ia akan menjauhi dosa-dosa besar dan permusuhan. Ia berhak
menikmati seluruh kenikmatan yang telah dianugerahkan Allah sebagai kesenangan yang
halal." Naila kemudian memandangi dengan tajam muka Wilada seolah-olah ia menginginkan
untuk menyingkap tabir rahasia yang tersembunyi di balik wajahnya itu. Naila berkata
sambil berkelakar, "Siapakah gerangan kini pemenang pertama dalam meminang sang puteri Hasan dan
Jamal itu?" "Pemenang yang mana" Hasan dan Jamal yang mana, wahai Naila?"
Muramlah muka Naila seraya berkata, "Engkau tidak dapat menyembunyikannya
dariku, wahai Anakku! Apa gunanya disembunyikan padahal kabar itu sudah menjadi buah bibir
orang-orang dan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
isu di antara mereka" Bahkan setiap ranting pohon di taman Cordova sering
menyeru rekan- rekannya sambil berbisik, 'Wilada dan Ibnu Abdus! Wilada dan Ibnu Abdus!'"
"Ibnu Abdus hanyalah memenuhi undanganku setiap malam. Ia tak lebih seorang
pemuda sastrawan dan penyair. Kami jarang berbincang-bincang dengannya."
"Ah, biasa. Wahai Anakku, jarang ngobrol dan bertemu itu sesungguhnya awal dari
pendam perasaan setiap lelaki dalam menyingkapkan perasaan sebenarnya. Wahai Wilada,
perlihatkan-lah kepadaku segala perasaan hidupmu sebelum engkau kehilanganku. Aku sering
mendapatkan beberapa masjid di mana para pengunjungnya mendapatkan hidayah dan menginsyafi
segala kekhilafannya. Ibnu Abdus itu sosok mulia dan terhormat. Ibnu Abdus adalah
seorang penyair unggul dan penulis kawakan. Ibnu Abdus adalah seorang menteri yang cukup bijak
dan sangat mulia. Nyaris tidak ada cela sehingga ia begitu dipercayai sahabat-sahabatnya.
Jangan kauharapkan imbalan darinya. Cukuplah cela namanya yang Spanyol itu untuk
menunjukkan perangainya yang buruk. Karenanya, ia mesti menjauhkan diri untuk mengharapkan
sebuah jalinan cinta dengan puteri-puteri khalifah. Hal ini menjadikan dirinya putus
asa, sepengetahuanku. Aku mengira bahwa engkau pun menjatuhkannya, ini tentunya sepengetahuanmu juga.
Di antara pemuda Cordova yang memiliki harta dan kedudukan yang menyerahkan
hidup mereka untuk mendapatkan kemuliaan dengan menikahimu. Namun, yang membuat aku
jengkel kepadamu, wahai Anakku, engkau adalah burung yang tidak mau hinggap pada satu
dahan dan tidak' merasa cukup dengan satu ranting. Engkau itu sangat angkuh! Tatkala kau
berniat memperoleh sesuatu, sangat mudah untukmu.
Engkau pun akhirnya memperolehnya darinya. Setelah itu, engkau kemudian akan
meminta sesuatu yang lainnya yang sulit untuk dipenuhinya. Engkau begitu lemah dalam
meng-arungi laut kehidupan yang cukup bergelombang ini. Setiap perahu yang ingin berlabuh di
daratanmu, tetapi apabila kamu jemu, kau pun kemudian mengkhianati yang pertama dan singgah pada
perahu berikutnya. Pertemuan yang kauseleng-garakan sesungguhnya hanyalah cara guna
menghimpun pemuda-pemuda terhormat Cordova keturunan bangsawan dan orang-orang yang
memiliki pengaruh besar. Engkau menyambut mereka dengan senyuman. Yang satu dengan
anggukan kepala, lainnya dengan keramahan gaya bicara. Bahkan dibumbui pula dengan janji
palsu. Tidak! Engkau sama sekali tidak mencintai mereka semuanya. Engkau Kanya menginginkan
materi sehingga diharapkan dapat melunakkan hatimu yang tengah bingung. Hatimu sungguh
dipenuhi ambisi pada orang-orang yang dianggap baik untuk kemudian dipilih menjadi
pendamping dan orang-orang yang hendak mewujudkan niatnya untuk meminangmu. Puteriku, engkau
bagaikan orang kikir yang menahan kekayaannya untuk diperjualbelikan karena khawatir
tertipu satu dua dirham. Anakku, bersegeralah menentukan pilihan.
Masa muda adalah kesempatan. Karena sesungguhnya bunga ros apabila sudah layu,
tidaklah sedikit pun akan tersisa keindahannya selain seonggok duri! Bersegeralah untuk
menentukan pilihan! Jauhilah setiap perilaku bangsa Quwath dan Barbar. Sesungguhnya aku
tidak menyukai sikap Barbar. Mereka itu sangat membenci kami karena usaha Thariq bin Ziad dan
aku tidak suka dengan sikap mereka ini. Lalu, di manakah orang-orang saat Musa bin Nushair atau
anaknya Abdul Aziz berhasil dibunuh oleh bangsa Barbar itu?"
"Demi Allah, berhentilah engkau, wahai Naila, dari membicarakan bangsa Barbar
dan tentang pernikahan itu! Lebih baik marilah kita mulai membicarakan berbagai
kejadian dan rahasia-di kota ini sekaligus berbagai seluk-beluknya."
"Kota ini tetaplah dalam keadaan tenang. Namun aku kira, ketenangan itu tidak
akan berlangsung lama. Tuan Puteri, ketenangan itu hanyalah ketenangan anak kecil
yang sedang marah yang tengah meminta dibelikan mainan namun tidak diperolehnya. Maka ia
akan menceracau dan merengek-rengek sampai kemudian ia merasa bosan dengan ceracauan
dan rengekan itu. Anak itu akan berdiam diri sebentar guna menanti kesempatan untuk
berjingkrak- jingkrak. Wahai Wilada, orang-orang Cordova itu sesungguhnya tidak rela satu
sistem pemerintahan selain sistem kekhalifahan. Mereka itu mencintai kekhalifahan,
menghormati kedudukannya, dan menaati kebijakan-kebijakannya. Datangkanlah kepada mereka
seorang khalifah dengan bangga, kemudian lihatlah olehmu bagaimana mereka mengagungkan
dan memuliakan sang khalifah. Mereka sesungguhnya rela dengan kepernimpian pada masa
pemerintahan Al Manshur bin Abu Amir sekalipun dikatator. Dikarenakan mereka
telah bekerja Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
keras untuk mengangkatnya dan kemudian wajib untuk menolongnya. Kalaulah
sekiranya mereka tidak mau bersabar atas hal itu suatu hari atau pada beberapa hari - yang padahal
pemerintahan ini dianggap batal oleh Ibnu Jahwar - percayalah, Tuan Puteri, sesungguhnya aku
mencintai orang ini dan mengagumi ketulusan dan kesuciannya, sebuah pemerintahan yang bergabung
dengan sekelompok orang untuk menyiasati negara dan menguasai sepenuhnya, niscaya aku
tak dapat memperkenankannya.' "Menurut mereka, Ibnu Jahwar mengabarkan hal itu dari para pembesar Yunani dan
Romawi." "Bukan! Bukan Yunani maupun Romawi, wahai Wilada! Ia hanyalah seorang lelaki
yang menilai orang-orang yang bertindak sewenang-wenang dengan pemerintahannya
mesti dihadiahi sebuah ciuman untuk menggulingkan mereka dari singgasananya. Ia mengelus janggutnya dan
kemudian bersembunyi di balik sekelompok orang-orang untuk mengambil alih kekuasaan tanpa
menjadikan diri dan para pengikutnya dalam deretan nama penggantinya.'
"Engkau ternyata tahu banyak, wahai Naila!"
"Sesungguhnya aku mengetahui rahasia setiap lelaki dan perempuan di negeri ini.
Jika tidak demikian, niscaya aku tidak akan mendapatkan berbagai penghormatan
ini dari mereka. Sesungguhnya orang-orang itu hanya tunduk pada rasa takut namun tidak mau tunduk
dalam mencurahkan pada apa yang diketahuinya"
"Beberapa hari yang lalu, Ibnu Zaidun menemuiku. Aku menasihatinya agar ia
menjauhi wanita yang telah mengundangnya, Aisyah binti Galib. Dia adalah seorang
wanita berkebangsaan Spanyol. Perangainya sangat buruk. Dia juga seorang mata-mata orang-orang
Spanyol. Adalah berlebih-lebihan jika engkau berusaha menutupi rahasia-rahasia tentangnya. Dia
itu wanita yang berbahaya. Pemburu para lelaki dan selalu menjanjikan kepada
setiap mereka bahwa ia siap
dinikahi. Namun, ketika ia merasa jemu dengan mereka, ia pun menelantarkan
mereka dari kedudukan mulianya laksana melemparkan kulit jeruk. Aku selalu menasihati banyak
pemuda. Aku sering menceritakan segala sesuatu tentang dirinya.
Aku memberitahukan kepada mereka bahwa-sannya ia pernah membuka jendela rumahnya
pada Abu Al Qasim putera hakim negara. Ia lalu menutup baginya jalan dan mulai
memikatnya dengan berbagai rayuan. Sang Abu akhirnya terangkat bak disihir dan ditarik. Ia
kemudian mengawini gadis itu dan hidup dalam surga cintanya sebagaimana seekor burung
yang hidup dalam sangkar emas. Ketika api sihir mulai reda sehingga menghilangkan pandangan
buta sang Abu, ia pun bersikeras ke luar dari surga ini untuk masuk dan berlindung pada
surga yang lain yang lebih luhur yang ada di Andalusia. Akan tetapi sang gadis terus mencucurkan
air matanya seraya menanyakan apa penyebab diri sang suami menceraikan dirinya. Sang gadis
pun merasa pesimis dan terpaksa menerima jerat-jerat dari perlakuan yang dilakukannya. Saat
ini ia tidak berhasil. Sang suami terus berusaha untuk menceraikan isterinya itu. Ketika sang
isteri berputus asa dari suaminya, ia meyakini bahwa penolakan dirinya adalah
suatu hal yang tidak mungkin. Ia kemudian memohon suatu permintaan untuk
menerima pemberian darinya. Ia telah
mempersiapkan sebuah pil yang telah dibumbuhi racun.
Ketika mulai mau berpisah, sang isteri menangis dengan tersedu-sedu dan ia
memeluk erat suaminya seolah-olah hendak mencekiknya hingga mati. Ibu sang isteri lantas
memberitahukan kepadanya bahwa sepasang kekasih harus membelah dua sebuah pil ketika hendak
berpisah, niscaya akan kembali kepada pemiliknya (suami-isteri) segala sesuatu yang sempat
hilang. Dikarenakan setengah pil yang satu tidak dapat meredakan musibah sehingga harus
dibagi dua. Sang isteri jahat itu lalu membenarkan pendapat ibunya. Pil itu akhiirnya
dibelah menjadi dua. Sang isteri lalu memberikan setengah pil itu pada suaminya yang kebingungan.
Sang suami kemudian menelannya. Ia kemudian pulang ke rumahnya. Tak lama kemdian, sang
suami akhirnya resmi menjadi penghuni kubur."
"Setelah mendengar kabar ini dariku, tidak henti-hentinya Ibnu Zaidun merasa
kaget dan merah muka. Ia menjadi gelisah. Aku memastikan, dia akan melepaskan
diri dari wanita itu sebelum
akhirnya ia masuk dalam perangkapnya. Wahai Wilada, Ibnu Zaidun itu seorang
penulis terkenal sekaligus penyair paling berkicau di seluruh Jazirah Andalusia ini. Dia tengah
tertimpa masalah. Adalah tepat bagimu untuk mengundangnya ke pestamu yang dipenuhi oleh sastrawan-
sastrawan terkenal Cordova dan petinggi-petinggi negara."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wilada menggeser-geserkan badannya di tempat duduknya itu seolah-olah bingung
dan resah. Kepalanya berputar-putar karena sejak tadi pagi ia hanya mendengar cerita
seorang Ibnu Zaidun. Tentang berbagai kelebihannya, tentang cemooh semua orang terhadapnya. Wilada
yang menilai laki-laki dengan keunggulan sastranya itu ternyata mampu membangkitkan rasa
angkuh dalam dirinya. Akan tetapi dia khawatir seandainya Aisyah memasang perangkap pada
lelaki itu untuk menjadikannya sebagai suami baginya. Namun, sang lelaki itu hanyalah seorang
Pembawa Kabar Dari Andalusia Karya Ali Al Ghareem di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sastrawan dan penyair. Bukan seorang anak pejabat maupun petinggi negara yang mampu mewujudkan
semua keinginannya itu. Beberapa saat Wilada mulai bingung dengan obrolan kali ini. Aku kemudian
mendengar dirinya berujar, "Wahai Naila! Pertemuan ini tidak terbuka bagi para penulis amatiran!"
Wilada terus nyerocos mengungkapkan seluruh luapan hatinya sehingga membuat
rongga dada Naila penuh sesak. Naila pun tertawa terbahak-bahak dan memekik kaget
bercampur bingung, "Ibnu Zaidun seorang penulis amatiran"! Wahai Tuan Puteri, apakah kau
hidup di Cordova ataukah di atas awan dan di balik lembah Ya'juj dan Ma'juj"
Bersegeralah, Tuan Puteri, sebelum engkau ketinggalan kereta. Kemarilah,
rekatkan-lah telingamu! Aku beritahu kamu suatu
rahasia yang aku telah bersumpah untuk menyembunyikannya dan tidak
memberitahukanya kepada seorang pun!"
Naila kemudian berbisik kepada Wilada dengan sangat hati-hati; "Sesungguhya Ibnu
Jahwar tengah memercayakan pada Ibnu Zaidun untuk mengantarkan dirinya ke singgasana
kementerian dalam waktu dekat ini"
Wajah Wilada mendadak tampak bingung. Ia tidak mengira bahwa Naila mengetahui
hubungannya selama ini dengan Ibnu Jahwar. Padahal, dia telah bertekad untuk
menyembunyikan rahasia ini. Wilada lalu berkata dengan' penuh kesenangan, "Ibnu Jahwar itu
adalah sosok yang bijaksana dan pemburu kesempatan. Ia mengetahui tempat di mana
ia menemukan sesuatu. Ia juga mengetahui bagaimana harus menolong seseorang saat ia dimintai pertolongan.
Ia mengetahui hubunganku dengan para menteri, petinggi negara, dan pemuka
masyarakat. Ia mengetahui desas-desus di Cordova bertumpuk di depan pintu rumahku sebagaimana
berkumpulnya ombak di pesisir pantai laut hijau (Al Ahdlar). Maka dari itu,
tidak heran jika ia mengunjungi rumahku dari waktu ke waktu. Bukan hal aneh ia
berbincang denganku seputar
masalah-masalah bangsa ini. Aku kembali mengingat nama Ibnu Zaidun tatkala
terakhir kali ia mengunjungiku. Aku melihat wajahnya mengerut dan mengembang bagaikan kepalan dan
bentangan tangan ini. Aku bertanya kepadanya, 'Adakah yang membuatmu bingung,
wahai Ibnu Zaidun?" Ia tersenyum seraya menjawab, "Ya, aku kagum. Nfcianya aku khawatir
kepandaiannya itu menipu dan tergelincir dengan rasa sombongnya."
Inilah penilaiannya sebagaimana yang diceritakan Naila.
Aku berujar kepadanya, "Dia itu lebih baik dari seribu pejabatmu yang hadir,
Ibnu Zaid Al Hassan. Mereka itu selamanya adalah mutiara kekonyolan dan simbol
kekalahan pasukan balatentara. Mereka tidak suka jika melihat sebuah cangkir penuh dengan air dan
mengobati rasa dahaga. Seandainya cangkir itu mengenyangkan, mereka pun mengisi
penuh kembali. Sebaliknya,
apabila cangkir itu penuh, mereka pun meminumnya hingga perut mereka kenyang."
Ibnu Jahwar tersenyum kecut seraya berkata, "Ibnu Zaidun sahabatmu itu adalah
orang lama di daerah ini. Orang yang dikenal paling baik. Terakhir aku mendengar
desas-desus tentang hubungan dekatnya dengan Aisyah binti Galib. Engkau tentunya lebih banyak
mengetahui watak wanita itu ketimbang apa yang aku ketahui."
Aku akiiirnya mencoba membohongi dirinya dan berkata dengan lirih, "Dia telah
meninggalkan wanita itu dan telah memutuskan hubungannya dengan wanita
tersebut." "Itu benar-benar berita baik dan menggembirakan!" Ia kemudian memegang kedua
pundakku dengan tangannya. Sambil berkelakar ia berkata, "Ibnu Zaidun itu sosok
yang kerap dimintai seseorang menduduki jabatan sebelum ia memintanya.
Percayalah, dia itu dalam waktu dekat
pasti akan menjadi seorang menteri."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Aku menjawab, "Bangsa ini benar-benar membutuhkan pandangannya, ide-idenya, dan
tipe kebijaksanaannya. Kecintaan rakyat Cordova kepadanya terhimpun di seluruh
pelosok negeri dengan kata yang sama. Dia berjuang bukan karena kekayaan yang melingkupi
singgasana kekuasaan sebagaimana para pendahulu-penda-hulumu. Tak tahu, apakah aku kelak
akan mendengar bahwa kau akan memilih dia sebagai menteri."
Naila kemudian menoleh kepada Wilada seraya berkata, "Apakah kau tercengang
mendengar kenyataan ini, wahai Puteriku?"
Wilada hanya tersenyum simpul seraya menjawab, "Bagaimana aku harus menjawabmu?"
Wilada tidak berkata sepatah kata pun. Hanya tatkala ia berdiri dari duduknya,
ia berbisik dekat telingaku sambil berbisik, "Sungguh kita telah riang gembira
malam ini dengan berbagai cerita yang kebetulan itulah yang aku inginkan, wahai
Naila! Janganlah engkau ceritakan rahasia ini.
Cukuplah hanya aku dan engkau yang mengetahuinya. Janganlah engkau libatkan
orang ketiga!" Naila tertawa terbahak-bahak sambil mengedipkan matanya. "Bukankan engkau telah
melihat sendiri bagaimana aku menjaga suatu rahasia dan tidak melibatkan pihak ketiga?"
"Karena itu, cepat atau lambat, Ibnu Zaidun pasti akan menjadi seorang menteri?"
"Setelah tiga hari. Biarkanlah sekarang aku menceritakan kepadamu apa yang aku
ketahui demi menyelamatkannya. Aku akan mengundang
Ibnu Zaidun dan sahabat-sahabat dekatnya dari kalangan para penulis, sastrawan,
dan para menteri. Aku juga akan mengundang gadis Cordova yang cantik-cantik dan keturunan
bangsawan. Jadilah malam itu pesta meriah yang tidak dapat tertandingi pesta lain sepanjang
zaman. Tidak lupa pula aku pun mengundangmu. Pesta tersebut tidak akan terwujud jika sang
Wilada binti Al Mustakfi tidak merasa senang, bahagia, indah, dan gembira. Tuan Puteri, aku
harap kau menghadiri undangan ini sebagai penghormatanku."
Sejenak Wilada berpikir. Terlintas dalam khayalannya bahwa takdir bisa
mempertemukan dirinya dengan Ibnu Zaidun. Sungguh dia tidak bisa berpaling dan menafikan
keinginan takdirnya itu. Ia berujar, "Aku menerima undangan ini dengan senang
hati dan gembira. Aku sangat
berterima kasih sedalam-dalamnya atas bantuanmu ini."
Naila bangkit berdiri. Ia menciumi Wilada bertubi-tubi sebagai tanda perpisahan.
Rongga dadanya benar-benar penuh sesak dengan berbagai cerita yang penuh kepiluan.
Belum sempat Naila meluruskan duduknya di tandu, ia memerintahkan para
penandunya segera bergegas pergi menuju rumah Ibnu Zaidun untuk mengundangnya dalam rencana
pertemuan itu. Tatkala Naila masuk ke rumahnya, ia melihat Ibnu Zaidun tengah sedih dan murung.
Dia lalu bertanya kepadanya tentang masalah yang membuat Ibnu Zaidun begitu bingung dan
gelisah. Ibnu Zaidun menjawab, "Hampir seluruh teman-temanku menyarankan kepadaku agar
aku menjauhinya. Banyak sekali di antara mereka yang mengecamku jika aku bertekad
menikahinya. Namun, di sisi lain, aku juga khawatir dengan kemarahannya. Sungguh aku tidak
kuasa untuk berbuat lancang sekemampuanku dalam memutuskan jerat cintanya itu.'
Naila tertawa seraya berkata, "Masalah inikah yang merisaukanmu sampai-sampai
mengecutkan kecerahan wajahmu yang berseri-seri itu" Baiklah, sekarang aku akan
menulis surat kepadanya dengan tegas dan singkat bahwa kau ingin memutuskan segala hubungan
pertemanan kalian berdua. Engkau tidak usah cemas dan khawatir, insya Allah tidak akan
terjadi apa-apa." "Aku benar-benar tidak kuasa, wahai Naila! Aku benar-benar khawatir."
Naila segera memotong, "Tulislah, wahai Abu Walid! Serahkanlah urusan ini
sepenuhnya kepadaku. Takut pada seekor ular tidak akan mampu membunuh ular itu. Ketahuilah,
pembantu Aisyah, Galia, adalah mata-mataku di rumahnya sejak lama. Aku akan berbuat apa
saja sekemampuanku untuk menjauhkanmu dari kejahatan wanita itu. Berdirilah, wahai
Anakku! Jabatan menteri telah mengepakkan kedua sayapnya di atas pintu rumahmu. Aku
telah membohongi Ibnu Jahwar bahwasannya engkau telah mengusir Aisyah dan melepaskan
pakaianmu dari pakaiannya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ibnu Zaidun berdiri dan kemudian membaca surat yang telah dituliskan Naila
dengan berulang-ulang kali.
"Ini adalah surat terakhirmu. Mulai saat ini engkau jangan berharap untuk
menemuinya lagi. Buanglah rasa putus asa dari dirimu. Karena menurutku jika kau berpaling sedikit
langkah saja, niscaya kau tidak akan kembali kepadanya."
Ibnu Zaidun kemudian memanggil pembantunya, Ali, untuk segera mengirimkan surat
itu ke rumah Aisyah. Ia kemudian melirik Naila seraya berkata, "Pernahkah engkau
mendengar kisah Thariq bin Ziad saat ia membakar perahunya di Selat Gibraltar"
Hari ini, aku juga telah membakar perahuku. Terserah Allah apa yang akan terjadi
sebelum dan setelannya!"
0==0 03 Telah penulis ceritakan pada para pembaca bagaimana karakter seorang Naila Al
Dimasykia sekemampuan apa yang dapat ditulis dan digambarkan mengenai sosok
dirinya. Penulis berupaya menghindari untuk membeberkan lebih jauh seputar aib
sifat-sifatnya, tabiatnya, dan gaya hidupnya yang konon murah hati dan dermawan.
Namun, ia pun bingung memilih jalan hidupnya.
Ia mengetuk semua pintu Allah Swt. menelusuri setiap jalan.
Penulis tidak bermaksud memberitahu para pembaca untuk menguraikan apa yang
penulis ketahui tentang tabiat dan filsafat kehidupannya agar penulis tidak
terjebak untuk mengacaukan jalan pikirannya yang barangkali telah menyerupai
dirinya, kendati sedikit informasi tentang gelagat seluk-beluk kehidupan wanita
itu lebih banyak dari apa yang penulis ketahui, atau dari hal samar yang penulis
kira bahwa penulis benar-benar mengetahuinya.
Yang paling merusak seseorang adalah memikirkannya dengan mendengki segala
keinginannya. Hendaklah memberitahukan segala sesuatu maka usahakan untuk tidak
menafikan segala pikiran dan keinginan yang meliputi dirinya. Ia akan
menciptakan gambaran dan kesan yang dapat menenteramkan hatinya.
Naila berasal dari keluarga pendatang di Andalusia. Abdurrahman Al Nashir
lidinillah menarik kakeknya dari negeri Syam pada tahun 330 Masehi. Kakeknya itu
kebetulan pakar pertanian yang ahli menggarap tanah dan bercocok tanam berbagai
macam buah-buahan. Ia kemudian diserahi tugas mengurus seluruh urusan sawah dan ladang. Kakek Naila
ternyata berhasil dengan sempurna. Ia mencurahkan segala kemampuan dan
pengetahuannya melebihi kesungguhan para pekerja kuat dan jujur lainya.
Tidak lama kemudian, setelah beberapa tahun lamanya, teciptalah taman surga yang
penuh dengan aneka buah-buahan sehingga menghasilkan banyak investasi. Khalifah
lalu memberi hadiah atas keberhasilannya itu sebidang tanah dekat Kota Cordova
yang membentang sepanjang tepi pantai 'Al Wadi Al Kabur' dalam jarak yang cukup
panjang. Keluarga Al Dimasyki menggarap tanah itu dengan telaten dan penuh kesungguhan.
Ia mendatangkan berbagai macam bibit buah-buahan dari Syam ke Cordova. Ia
kemudian menanam berbagai macam buah-buahan itu sehingga tumbuh berkembang
pesat. Tumbuhlah dari aneka buah-buahan itu kualitas tanah yang tidak
tertandingi di belahan timur. Bertambahlah pendapatannya. Kekayaannya terus
bertambah sampai akhirnya ia tercatat sebagai seorang konglomerat di kota itu.
Tatkala ia mendapatkan momongan, ia mewariskan seluruh kekayaannya pada anaknya
dan tidak memberikan sedikit pun dari kekayaannya itu selain kepada anaknya.
Anaknya itu kemudian menikahi seorang gadis cantik keturunan terhormat yang
berasal dari keluarga kaya. Keduanya lalu melahirkan Naila. Setelah melewati
beberapa tahun, ayah Naila meninggal dengan naas. Ia meninggalkan warisan harta
yang cukup berlimpah. Kemudian, ia menikahi salah satu anak bibinya. Ia berbahagia dengan
perkawinannya itu. Belum juga duka pertama berakhir, kebahagiaan itu ternyata tidak bertahan lama.
Bayi yang masih dalam kandungannya meninggal. Setelah itu, suaminya pun terbunuh
pada masa-masa perang Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dengan orang Barbar. Pada hari yang mengenaskan itu mereka membantai orang-
orang. Yaitu pada saat mereka menginvasi Cordova untuk mengudeta pemerintahan guna
mengembalikan Al Musta'in Billah ke singgasana.
Naila sangat terpukul kehilangan suaminya itu. Sebuah kesedihan mendalam dengan
penuh rasa bimbang dan gelisah yang tidak pernah dirasakan sebelumnya. Sampai-sampai
ia tidak bergabung dengan sahabat-sahabatnya dalam waktu yang cukup lama.
Setelah beberapa tahun lamanya, kebahagiaan itu akhirnya kembali menghampiri
dirinya. Bahkan nyaris berhura-hura dan besenang-senang. Ia memiliki harta, kesenangan,
dan kekayaan. Kelebihan lainnya, ia adalah seseorang sastrawan, terpelajar, bagus tutur
katanya sekaligus humoris. Kelebihan lain yang paling tampak di antara wanita yang lain seusianya, ia
menguasai dengan fasih bahasa Spanyol. Ia sering dikejar banyak orang sejak ia mulai dikenal.
Berguru kepadanya pendeta-pendeta Yahudi dan juga para 'qissis' Spanyol.
Pendeknya, Naila kini adalah sosok wanita ceria yang mencintai kehidupan berikut
seluruh kebahagiaan dan kesenangan yang ada di dalamnya. Berbagai pertemuany ang
diselenggarakannya selalu dihadiri pejabat-pejabat Cordova, para petinggi
negara, dan sastrawan-sastrawan terkenal.
Naila duduk di tempat tidurnya. Siang pun mulai terik. Para pelayannya segera
menghadap untuk melayani berbagai kebutuhannya sebagaimana mereka lakukan setiap pagi.
Namun, raut mukanya penuh kesedihan. Kedua matanya membengkak bekas cucuran air mata
sehingga membuat tipis kedua alisnya. Kesedihannya ini hampir menghilangkan putih rambut
di kepalanya yang telah bersusah payah dicat olehnya. Hitam rambutnya kembali tampak bagaikan
gelap malam. Ibarat lumur air dingin yang mengobati penatnya kehidupan. Ringkasnya,
dia selalu ceria di setiap pagi. Dia membujuk tentara yang berwatak tartarian
yang kerap membahayakan dengan
Pembawa Kabar Dari Andalusia Karya Ali Al Ghareem di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berbagai macam tipuan yang tidak diperkenankan olehnya bahkan oleh orang
kebanyakan. Naila duduk di ranjangnya sambil menguap malas. Tak lama kemudian, Su'da,
seorang bendaharawan istana, mengundangnya untuk datang ke istana. Naila pun mengharap
padanya. Su'da berkata, "Aku ingin engkau mencurahkan seluruh daya kreativitas senimu
agar pesta malam nanti tercatat sebagai pesta yang paling meriah di seluruh Cordova.
Janganlah engkau risau soal biaya. Jangan pula engkau bersusah payah memikirkan orang-orang iri.
Aku sudah memberitahumu siapa saja tamu-tamu yang akan datang. Persiapkanlah dirimu untuk
menghibur dan menyenangkan mereka. Persiapkan pula olehmu seluruh kekuatan agar membuat
mereka tertawa dan membebaskan hati-hati yang tengah dirundung keresahan. Aku
menginginkan engkau menghias Kota Cordova dalam pesta di malam nanti dengan aneka keceriaan. Aku
menginginkan pesta itu dapat mengembalikan kejayaan Andalusia, kegembiraan rakyat Andalusia,
dan menghidupkan kembali kelakar ala Andalusia. Bagaimana menurutmu?"
Sejenak Su'da termenung seolah-olah seorang pemikir. Ia mengangkat jari
telunjuknya mendekat dahinya seraya berkata, "Berbagai daftar menu makanan kemarin telah
disediakan di atas hamparan permadani. Macam-macam kelezatan makanan ini
semuanya tersedia mulai dari
makanan terkenal hingga selera .makanan yang belum dikenal sekalipun. Kubah
istana sungguh telah dipenuhi pula oleh aneka rasa minuman bahkan setiap gelas minuman diberi
minyak wewangi kasturi bak air surga. Yang tersisa kini adalah acara hiburannya, dan
untuk hal ini aku berharap kepadamu."
"Antarkanlah aku pada Gaia Al Muna sang penyair, pada Jumana sang penari, dan
pada para penari-penari Spanyol terkenal lainnya seperti group 'Bahana Ramirez'. Ajaklah
Zuraqa sang pelawak yang menggelikan itu! Satu hal yang harus kamu ingat, wahai Naila,
bahagiakanlah mereka dengan alunan nyanyian. Sebab, inilah penyembuh kesedihanku. Anggarkanlah
biayanya sekehendakmu!" Su'da tidak kunjung meninggalkan kamarnya karena keasyikannya hingga kemudian
masuk pelayannya yang memberitahu bahwa di luar ada seorang perempuan bercadar yang
ingin menemuinya. Su'da meminta pelayan itu menyebutkan namanya dan apa keperluannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Naila merenung keheranan. Ia mengangkat kepalanya. Tersungging di sekeliling
wajahnya senyuman panjang seraya berkata, "Biarkanlah dia masuk, wahai sang pemabuk!"
Tak lama kemudian masuklah seorang perempuan yang bercadar dengan kerudungnya
itu hingga laksana sepotong malam. Setelah wanita itu melewati pintu kamar, ia pun
membuka cadarnya. Ternyata, dia adalah Galia, pelayan Aisyah binti Galib. Sesudah
memberi hormat kepada Naila, ia pun berkata, "Wahai Puan, genderang perang di negeri kita
tengah ditabuh di mana barisan tentara disiapkan dengan pedang yang terhunus.
Sungguh hari-hari sekarang ini
tidak akan berlalu selain dengan kobaran dahsyat yang akan menimpa seluruh
pelosok Cordova." "Wahai Galia! Aku tahu jika Aisyah itu termasuk di antara orang yang hendak
membumihanguskan kota ini dengan kecantikannya hanya untuk membunuh satu orang
musuhnya! Aku tahu juga jika salah satu watak Aisyah itu tidak akan memberikan
kesempatan pada musuh-musuhnya perlawanan. Karena itu, engkau sungguh terlambat memberi
informasi ini hingga kau telah membuatku menabuh balik genderang antara kami dengannya
sehingga kami mampu menghalau setiap serangan yang digencarkannya maupun memadamkan api yang
sedang menyala-nyala."
"Bagaimana kondisinya saat dia menerima surat dari Ibnu Zaidun?"
"Tahukah engkau gunung merapi" Ya, dia itu seperti gunung merapi. Tahukah engkau
ombak laut yang bergelombang dengan hujan lebat dari angin topan" Ya, dia itu ibarat
ombak laut itu. Tahukah engkau "Cukup, Galia! Aku sudah mengetahui semua ini bahkan lebih komplit daripada yang
engkau beberkan. Yang justru membuatku penasaran adalah apa yang ia rencanakan
selanjutnya. Aku ingin tahu kira-kira apa senjata andalannya yang ia pilih dan strategi serangan
apa yang ia gencarkan dalam membidikkan anak-anak panahnya!"
"Tuanku, senjata andalannya tiada lain racun yang mematikan. Senjata ini
dipandang paling ganas dan berbahaya. Aku menangkap dari omongannya bahwa Tuan
Ibnu Zaidun telah membuat
hari-harinya dirundung gelisah. Ibnu Zaidun memang tidak mengontrol dan memiliki
kendali. Ia mengirimkan surat yang bernada ejekan, cemoohan, dan meremehkan pemimpin negeri
ini termasuk pada Ibnu Jahwar. Aisyah menyimpan surat laknat ini di lemarinya. Ia
bertekad di depan dirinya seraya bersumpah dengan mengangkat tangannya untuk
mengumumkan isi surat itu.
Benar saja, kemarin ia menyiarkan surat itu dengan terang-terangan dan kemudian
ia serahkan ke tangan Ibnu Jahwar."
"Celakalah bagi tukang fitnah! Dia benar-benar seorang iblis murni. Sedemikian
tegakah ia menjatuhkan dan memfitnah kami di depan para petinggi negara untuk
merusakkan hubungan yang terjalin baik selama ini?" Ia terdiam sejenak seraya berujar, "Baiklah,
Gaiia, besok aku akan menemuinya untuk mengetahui apa yang terjadi sebenarnya.
Di mana Aisyah menyimpan surat
itu?" "Di sebuah lemari yang berada di samping cermin kamarnya di sebelah barat."
"Di mana ia meyimpan kunci lemarinya itu?"
"Dia tidak pernah melepaskannya. Puanku, baik ketika tidur maupun terjaga. Kunci
itu selamanya dikalungkan di lehernya dengan benang sutra."
"Bagus, Galia! Sungguh bagus!"
Mendengar itu, Naila tersenyum lebar. Ia lalu merogohkan tangannya ke dalam
saku. Ia menghadiahkan segepok dinar pada tangan Galia.
Galia hanya berujar, "Terima kasih. Puan!"
"Informasimu ini benar-benar sesuai dengan jumlah dinar yang berkali lipat ini."
Naila kemudian bertanya seolah-olah khawatir akan bahaya baru mengancam dirinya,
"Apakah mahasiswa Universitas Cordova yang berkebang-saan Spanyol itu masih terus
menemuinya?" "Kadang-kadang saja. Puanku."
"Apakah antara dia dan laki-laki itu terjalin sebuah hubungan cinta?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Galia tersenyum seraya berkata, "Tidak, Tuanku. Dia itu hanyalah pemuda buruk
rupa yang tubuhnya cacat. Dia tidak berbincang kecuali seputar soal kuliah dan dosen-
dosennya di Universitas." "Semoga di balik kebutaannya dia tidak buta, Galia!"
"Benar, Puanku. Akan tetapi hingga sekarang tidak tampak apa-apa dari maksud
kunjungannya itu. Aisyah menyukainya tidak lebih karena ia seorang berkebangsaan
Spanyol, terutama karena ia mahasiswa teladan."
"Siapa namanya?"
"Aspioto. Dia belajar ilmu kedokteran pada Ibnu Zuhar."
"Aspioto! Dia belajar ilmu kedokteran dari Ibnu Zuhar!"
Naila kemudian berdiri seraya berkata, "Aku akan panggil laki-laki ini sekarang.
Akan tetapi, bukalah matamu, wahai Galia! Semoga Allah bersamamu dan senantiasa
menyertai kita." Setelah mengucapkan terima kasih, Galia kemudian beranjak pergi seraya
memakaikan cadarnya kembali sebagaimana ketika ia masuk.
Petang hari tiba. Para pejabat, petinggi negara, dan para pemuka masyarakat
Cordova serta keluarga terhormat lainnya mulai berdatangan. Di antara para undangan terhormat
itu ada Walid Muhammad putera Khalifah Andalusia (Ibnu Jahwar), Abu Hafs bin Burd, Abu Marwan
bin Hayyan sang sejarawan, Ibnu Zaidun, Ibnu Abdus, dan Ibnu Hannath sang penyair buta yang
juga seorang dokter. Adapun di antara undangan wanitanya ada Ummu 'Ala Al Hijaziah seorang sastrawan
penyair dan Maryam Al Arudia majikan Ibnu Galban. Selain itu, pesta itu dipenuhi juga
para gadis-gadis Cordova yang menginginkan kesenangan dan suka melarutkan diri
dalam air bah kemegahan dan
glamouritas. Andalusia memang menciptakan mereka sebagai godaan bagi mahluk
jenis lainnya di muka bumi ini. Perpaduan antara tradisi Arab dan Spanyol merupakan perpaduan sempurna. Antara
timur yang logis dan barat yang elok. Gambaran sempurna ketika kita melihat padang
pasir yang kering tersiram air hujan dan embun kemudian terembus angin dingin
dari sebelah utara. Apabila dalam keelokan tiada banding ini bercampur antara kesantunan tutur kata,
keindahan sastra, dan kesucian hati, hal ini benar-benar akan menjadi godaan bagi orang
yang melihatnya dan memabukkan orang-orang yang sadar sekalipun.
Tidak lama kemudian, datanglah tandu Wilada dengan Yahya Al Qurthubiah ke
istana. Buru- buru Naila menghadapnya. Para tamu pun memberi hormat kepada mereka berdua
dengan penghormatan yang cukup khidmat.
Ketika Ibnu Zaidun hendak memberi hormat pada Wilada, Naila berkata, "Wahai
puteri khalifah, inilah sang penyair Cordova, Ahmad bin Zaidun yang syairnya
merupakan kebajikan."
Wilada lalu mengeluarkan tangannya kepada Ibnu Zaidun sambil tersenyum ramah ia
berkata. "Aku harap agar Anda dapat menunjukkan cemiirimu yang jujur. Tuanku."
Ibnu Zaidun pun merasa tersanjung hingga membuat lidahnya kelu seraya ia
menjawab, "Tuan Puteri, aku sepenuhnya akan memecahkan cermin syairku semuanya. Karena cermin
itu ternyata tidak membuat aku bangga. Akan kubuat cermin baru untuk seorang gadis tercantik
di "seluruh Cordova ini."
Wilada pun menyunggingkan senyum simpul. Ia kemudian berkata dengan suara merdu
yang memekik dan mengagetkan. "Gadis tercantik di seluruh Cordova" Siapakah dia"
Alangkah bahagianya jika aku mengetahui wanita itu!"
"Apabila engkau melihat cerminmu, maka kau akan mengetahuinya pada saat kau
pertama kali memandangnya." Wajah Wilada pun memerah karena menahan rasa malu. Kedua matanya meleleh karena
beradu cahaya kilat pemuda itu. Ia berseloroh, "Syairmu begitu indah dan
memesona, wahai Abu Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Walid! Wahai para seniman penyair, ungkapan deret kata kalian, kami telah
mengetahuinya. Kami juga tahu, semua itu hanya fiktif belaka yang tidak hadir dalam kehidupan nyata
dari setiap bait-baitnya. Karena itu, sedikit pun diri kami tidak pernah merasa
ngilu dan tersentuh. Kami sering mendengar senandung-senandung cinta akan tetapi
hanya dalam waktu yang sebentar saja
seolah-olah nyanyian itu mantera-mantera sihir."
"Tuan Puteri, aku pernah membaca sebuah legenda nenek moyang orang-orang
Spanyol. Tatkala Andalusia menciptakan kecantikan, dia membentuk ciptaan-Nya itu dalam
sebagus-bagus bentuk dan gambar yang paling sempurna. Sang cantik itu pun pergi bersama
manusia di muka bumi ini sambil merasa bingung dengan kelakuan manusia yang saling berbaku
hantam untuk memperebutkannya. Dia hidup seolah sebagaimana manusia yang hidup tanpa
kelebihan dan keistimewaan bahkan tidak memberikan penghormatan padanya.
Tatkala ia meminum dari kolam yang tenang, tiba-tiba ia melihat bayangan
wajahnya dalam air. Ia pun merasa tersanjung dan memperhatikan kecantikan raut wajahnya itu dan
keelokan pesonanya. Sungguh kreasi Sang Pencipta yang Maha-agung yang telah membentuknya
sedemikian rupa. Ia begitu membenci manusia, mereka memiliki mata namun tidak
mampu melihat, memiliki hati namun tetap tidak bergetar oleh pesona cinta dan
kelembutan. Sang Cantik pun berinisiatif untuk kembali ke peraduannya dengan perasaan sedih
dan murung. Saat kesedihan itu terus berlarut-larut, turunlah seorang malaikat dari
langit menemuinya. Sang Cantik lalu memberitahu malaikat itu tentang apa yang sedang dialaminya. Ia
menggugat kenapa manusia menelantarkan dirinya. Padahal, Allah telah menganugerahkan
kepadanya kenikmatan. Dia tidak menciptakan yang lain yang sebanding dengannya. Dan, Dia
pun tahu betapa kecantikan itu sangat bernilai.
Sang malaikat pun merasa iba. Tidak lama kemudian Allah mengabulkan permohonan
sang Cantik. Dia lalu menciptakan cinta dalam diri manusia. Ternyata manusia itu sama
saja. Mereka bersaing mengejar sang Cantik. Mereka saling melempar untuk mendapatkannya.
Mereka sering meneriakkan kata-kata samar dan tidak jelas terdengar di sekelilingnya, sampai-
sampai kedua telinga sang Cantik merasa tuli.
Sang Cantik kemudian melarikan diri ke hutan untuk menghindari kejaran manusia
karena merasa takut, merasa bersalah, dan menjemukan tatkala terus-menerus mendengar
celotehan- celotehan kosong. Bagaikan suara-suara merintih yang kalah dari medan
peperangan. Ia akhirnya
Pembawa Kabar Dari Andalusia Karya Ali Al Ghareem di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengadu pada sang Cinta. Sayangnya, sang Cinta itu sadis dan kejam. Nyaris tak
ada kelembutan. Cinta melepaskan detak kasih sayang. Akibatnya, sang Cantik kembali
menangis. Turunlah kepadanya malaikat yang kedua kali sambil marah-marah. Ia berkata,
'Kenapa engkau menangis, sang Cantik"'
Sang Cantik menjawab, 'Aku menangis karena Allah menganugerahkan padaku
kenikmatan yang berbuah jahat dan derita. Bahkan, seseorang rela mati karenanya. Alangkah
bahagianya aku seandainya aku buruk rupa. Aku perhatikan, betapa setiap orang yang buruk rupa
dapat hidup. Sekelompok manusia geram dan bermuka masam lalu mengerumuninya. Mereka meluapkan
seluruh isi hati mereka. Mereka pun melolong di depan wajahku layaknya lolongan
seekor serigala lapar. Seandainya ini yang dinamakan cinta, 1 sekalipun teriakan
kering dalam bahasa manusia
yang memuji kecantikan itu, maka sesungguhnya aku lebih kaya daripada cinta
bahkan lebih kaya dari pujian itu sendiri. Aku berharap, seandainya aku bisa kembali lagi ke masa awal penciptaanku di
tengah-tengah orang-orang yang tidak memiliki perasaan, niscaya aku - sebagaimana yang pernah
aku alami - akan hidup tenang, aman, dan tenteram.
Lagi-lagi sang Malaikat merasa iba. Ia pun memohon kepada Allah agar
menganugerahkan syair pada diri manusia. Allah mengabulkan permohonan itu. Dia menciptakan syair
dalam diri mereka untuk mengiringinya. Dia juga menciptakan musik dan nyanyian. Para
makhluk seni itu pun menghadap pada sang Cantik dengan sopan, ramah, santun, dan merendah dengan
penuh kelembutan. Mereka pun mulai berdendang dengan merdu yang menggetarkan teluk-
teluk hati. Liuk-liuk nyanyiannya menjadikan burung-burung terbuai dan terdiam jauh di
angkasa sana. Mereka menggerak-gerakkan pepohonan yang menjadi istana kediaman mereka.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Begitu pula dengan Cantik yang sama-sama termerdu ketika mendengarkan alunannya.
Nyanyian merdu dan tabuhan suara benar-benar membuatnya terbuai. Saat sang
Malaikat lewat di depannya, ia mendapatkan sang Cantik tengah tertidur pulas di bawah naungan
pohon zaitun lebat nan kaya dahan. Di bawahnya mengalir sebuah kolam yang tenang dengan air
yang cukup jernih. Berembus di atasnya angin sepoi-sepoi yang diiringi nyanyian para
penyair berikut alat-alat musik yang beralun ria.
Si Malaikat itu mendekati sang Cantik seraya bertanya, 'Kenapa kau tidak
memanggilku hari ini"' Sang Cantik tampak bingung dan terheran-heran seraya menjawab, 'Aku sudah
memanggilmu dua kali. Saudaraku! Aku tidak mau mere-potkanmu lagi. Kini, pergilah engkau ke
langit dengan damai. Karena kabar bumi senantiasa damai selama kau menemukan cinta yang tulus
dan kecantikan yang penuh kasih sayang.
Ini luar biasa! Sungguh aku pernah melihat di suatu negeri yang jauh di sana -
sebuah kota di daerah Aspilia - sebuah patung marmer yang menyimbolkan kecantikan yang tidak
dapat kentara oleh mata lahir. Aku tahu, bahwa nenek moyang mereka itu adalah pemuja Dewi
Kecantikan. Ada pun tentang legenda yang kamu ceritakan itu, aku belum pernah mendengarnya.
Wilada memandang tajam Ibnu Zaidun seraya melanjutkan ucapannya, "Aku khawatir,
wahai Abu Walid, jangan-jagan legenda itu hanya rekaan fiksimu belaka.'
Segera Ibnu Zaidun menjawab, "Tidak, Tuan Puteri, sesungguhnya di antara kami,
orang yang paling mengetahui tradisi orang-orang Spanyol adalah bangsa Yahudi.
Mereka banyak menggali temuan dan khazanah kebudayaan yang tersimpan di 'Baitul Hikmah' di Tulaitila
terutama setelah penyerangan Pangeran Ludrick. Temuan-temuan ini tertulis dalam
berbagai macam ilmu pengetahuan, sastra, maupun syair. Mereka kemudian menjauhkannya dan
memublikasikan seluruh fakta-fakta itu "
Saat keduanya larut dalam obrolan, tiba-tiba datang menteri Ibnu Abdus
menghampiri keduanya. Ia lalu memegang tangan Wilada seraya berkata, "Tuan Puteri, sudikah
engkau menemaniku sebentar pergi ke taman untuk menikmati embusan angin sepoi-sepoi di
malam gemerlap rembulan ini sebelum makan malam" Aku yakin, engkau tidak mau berlarut-
larut mendengarkan cerita sang penyair Abu Walid ini. Karena aku telah menuang sebuah
cangkir dengan sisa minuman sampai setelah isya tiba."
Wilada pun bangkit berdiri bersamanya. Ia lalu memandang Ibnu Zaidun dengan
pandangan nanar. Ada rasa iba, haru, dan bangga dalam pandangan itu.
Wilada dan Ibnu Abdus akhirnya pergi bersama tamu-tamunya. Mereka memadati
setiap sudut itu yang tampak asyik dengan obrolannya masing-masing sambil memetik buah-buahan
dan dedaunan dengan riang gembira.
Ibnu Zaidun hanya duduk menyendiri sambil merenung. Terlintas suatu bisikan
dalam dirinya. Ada tiupan angin cinta dan kasih sayang. "Ke manakah aku" Di manakah aku berada
kini" Siapakah gadis yang tadi berada di sampingku sebelum akhirnya dirampas nafsu
yang malang, tengkuk yang panas, dan seorang tolol yang lemah akalnya" Diakah Wilada" Wilada
binti Al Mustakfi yang telah diciptakan Allah sebagai simljpl kecantikan dan
menjadikannya saksi zaman.
Wilada yang memiliki kekuasaan Tuhan dalam kecantikannya sebagai tamsil tatkala
Allah mempersiapkan pahala bagi orang-orang yang beriman dengan surga yang penuh
dengan kenikmatan. Dia adalah puncak khayalan ketika para penyair berupaya mencurahkan
syairnya sehingga dia berhenti merenung, tak punya kata, dan mengacaukan akhir dari bait
syairnya" Apakah aku termasuk salah seorang dari mereka" Apakah aku bagian dari para
penyair bodoh yang tengah resah. Yang menyita waktu dari kepemudaannya hanya demi cinta palsu,
kesenangan yang fatamorgana, pintu surga yang tertutup rapat, dan pohon Surga
Firdaus di sebuah rumah yang berhadap-hadapan dengan rumahnya" Sungguh aku melihat di kedua
matanya ada ketulusan cinta yang murni yang nyaris membakar gejolak hatiku. Aku
mendengar suaranya bagaikan nyanyian merdu yang membuai kalbu. Adakah aku pecinta yang
tengah dicarinya" Apakah aku setara dengan kecantikannya itu" Apakah dia membuka pintu
surga untukku satu kali tanpa aku terjerat kebencian padanya" Apakah dia tengah
meminta kebaikan yang cerdik dan penurut untuk mengurai tali kendali tanpa aku menghabiskan malam
dengan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terjaga dan cucuran air mata" Ah, aku nyaris tidak percaya. Sesungguhnya aturan
dunia dan perjalanan tidak datang semudah itu. Dunia tidak akan memberikan sebuah
kebahagiaan tanpa ketekunan dan kesungguhan yang susah dan menyulitkan sehingga sebanding dengan
pengorbanannya atau bahkan bisa mendapatkan yang lebih dari itu. Jika dia diberi
niscaya kau tidak cukup memberinya sekali saja dengan harta yang berlimpah sekalipun. Akan
tetapi dia akan mencucurkan air matanya sehingga menyirnakan arti sebuah
pemberian dan kebajikan. Tidak, aku
sungguh keliru. Aku tertipu. Dia tidak mencintaiku. Sedangkan aku hanyalah
seorang lelaki yang tengah terkelabui dan terburu-buru menyimpulkan. Aku
hanyalah peloncat yang bergantung pada
keraguan. Sementara dia adalah seorang gadis terpelajar yang keturunan bangsawan
dan tinggi status sosialnya yang melihat seorang penyair tak lebih sosok seseorang yang
membangga- banggakan dirinya sendiri. Dia hanya mempercantik, menghaluskan tutur kata dan
menemani untuk kemudian akan menghadiahkan senyuman. Ia akan berbincang-bincang panjang
dengannya, semuanya hanyalah perasaan yang sudah biasa. Tidak kurang dan tidak
lebih ini adalah soal hati yang mati yang menimpa seorang pemuda pembual sepertiku. Jika
aku mengatakan bahwa dia itu tertarik padaku, hal ini benar-benar cukup
menggelikan." Ibnu Zaidun tersenyum. Tiba-tiba, ia berpikir lagi sejenak seraya berkata dengan
ketus, "Tidak! Tidak! Pandangan terakhirnya padaku tatkala si burung gagak yang buruk rupa itu
mengajaknya di taman tadi, sungguh bagaikan fajar di pagi hari. Tak ada keraguan
dan kesangsian dari pancarannya. Kekuatan manusia itu lemah untuk berpura-pura menyembunyikan
kebenaran. Pandangan itu adalah pandangan iba penuh cinta. Aku dapat membacanya dari gerak-
gerik matanya. Aku mengetahui semua itu. Dan aku bukanlah orang bodoh dan tolol untuk
sekadar memahami cara memandangnya yang seperti itu. Aku akan tinggalkan semua keraguan
sekarang. Aku kini benar-benar memahaminya. Dan aku mampu menggapai harapan itu. Aku akan
melihat bumi terbentang untuk menyambutnya di hadapanku dengan limpahan keelokan. Di
sampingnya terayun bunga ros dan tiupan angin. Aku akan menjadi suami Wilada, wanita
tercantik dan terhormat seantero Andalusia. Aku akan menggapai jabatan tertinggi di negeri
ini." Tiba-tiba ia mendongakkan kepalanya sejenak sambil berkata-kata pada dirinya
sendiri, "Jabatan tertinggi di negeri ini" Dari mana muncul pikiran seperti ini" Bukankah
Ibnu Jahwar pun termasuk orang yang korup dan buta hati" Dan para menteri yang
ada di sekelilingnya juga kejam dan cela" Mereka pasti tidak menghendaki orang
sepertiku memiliki ambisi untuk mampu
menyamai kedudukan mereka. Dua orang guru yang juga anak pamannya, Muhammad bin
Abas dan Abdul Aziz bin Hasan telah membuatku sakit hati. Keduanya meninggalkan
sastra dan syairku. Akan tetapi, Naila kemarin membisik pada telingaku seputar kalimat-
kalimat yang membuat diriku bagaikan mendapatkan air tatkala rasa haru menyerang. Dia
mengatakan, 'Kekuasaan terkembang dalam kedua sayap Wilada di depan pintuku. Naila itu
memiliki hubungan yang sangat dekat dengan pejabat-pejabat pemerintahan. Dia mengetahui seluk-
beluk persoalan bangsa. Seorang Ibnu Jahwar pun terbodohi oleh dirinya sendiri. Dan dia tidak
suka berbohong" Apakah ia memiliki kepentingan di balik kebohongannya itu" Dia adalah seorang
intel wanita yang cakap dan andal. Sebab, jika bukan demikian, lalu mengapa ia
segera memperkenalkanku kepada
Wilada" Wilada telah membukakan pintu untukku yang penuh agung dan kemuliaan
yang tidak dilewati kecuali oleh para menteri dan petinggi negara. Wilada tidak duduk
bersama para penulis dalam pesta itu. Ia juga tidak tersenyum pada rakyat kecil,
para pekerja di Cordova. Semakin kuat dugaanku bahwa Naila tidak semata-mata
mendorongku pada kedudukan ini kecuali dia memang
percaya dan bersungguh-sungguh. Aku dengan Wilada ibarat telah menjadi dua ujung
busur panah atau lebih dekat lagi. Kami tidak puas dengan ini juga. Dan kami yakin
akan hal itu." Tampaklah kemuraman pada wajahnya. Ia diliputi rasa sedih dan bingung yang
menyirnakan ketampanannya. Ia menggigit jari telunjuknya seraya berkata, "Ya. Aisyah binti
Galib. Musibah inilah yang telah menjerumuskan aku dengan fitnah Neraka Jahim.
Dia melemparkan fitnah iblis
terlaknat itu untuk menghancurkan kehidupanku, menyia-nyiakan masa mudaku dan
memusnahkan harapanku. Dialah simbol kejelekan wanita jahat. Wanita yang
menyulut peperangan di antara kumpulan orang-orang dari berbagai kabilah. Tatkala ia
merayu dan menjerat seorang pemuda, maka ia memberikan padanya kasih sayang. Sebaik-baik
orang di hadapan Allah adalah yang memiliki pendirian dan keteguhan. Dia ibarat laba-laba
yang memiliki tangan panjang dan jaring maut. Dia tak ubahnya serigala lapar
yang tidak akan membiarkan
mangsanya yang masih berdarah. Celakalah aku dari jeratannya! Celakalah sisa-
sisa hariku! Sungguh aku tidak pernah menemukan kebahagiaan dan ketenteraman! Alangkah
gembiranya Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
syairku ternyata menyambar balik padaku seperti kilat setelah suratku sampai
kepadanya. Setelah surat ini, dia jelas tidak akan membiarkanku hidup bahagia
dengan menikahi Wilada. Dia akan
berbuat apa saja untuk merusak hubunganku dengannya. Dia akan menyerangnya di
dalam negerinya sendiri. Dia akan menyesaki dunia dengan teriak makian padaku dan
padanya. Dia akan menyiarkan tuduhan di setiap pesta dan pertemuan serta memaksa orang-orang
yang ada di setiap kedai minuman untuk mendengarkan celotehannya. Dia akan pergi mengadu
pada Abu Hazm bin Jahwar dengan menangis sedih dan tersedu-sedu sehingga Ibnu Jahwar
menjadi marah dan dendam padaku. Surat-surat yang ada padanya dariku, aku kirimkan kepadanya
pada saat- saat kenaasan dan kesialanku. Dalam surat itu aku memaki petinggi-petinggi
negara dan melemparkan berbagai cacian dan hujatan yang aku alamatkan pada Ibnu Jahwar
dengan
Pembawa Kabar Dari Andalusia Karya Ali Al Ghareem di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebutan-sebutan nifak dan lemah akal. Sungguh celakalah aku! Perempuan itu pasti
akan mengumpulkan surat-surat itu dan akan menyimpannya dengan rapi. Dia lalu akan
menunjukkan surat-surat itu pada setiap menteri yang aku caci. Dengan begitu, dia akan
melihatku terpuruk di saat aku seharusnya tersanjung. Aku terapung sebagaimana
orang yang tenggelam terapung
setelannya ia menyelam dalam air dan tak pernah kembali ke permukaan. Lantas,
apa yang menahanku pada penghormatan yang berbau fitnah ini" Apa pula yang membuatku
terjerat dalam perangkapnya" Tiada lain karena kebodohan dan kepemudaan yang diperbudak serta
kecerdikan busuk! Celakalah kamu, wahai Abu Walid! Dan Allah telah mengutuk padanya selama
beberapa saat di bawah perangkap seekor kucing liar dan buas! Tatkala dia tergelincir
dalam jurang marabahaya yang nista ini, si perempuan itu pasti mengawininya."
Tiba-tiba terdengar Naila berteriak memanggil para budak dan pemuda seraya
berkata, "Ajaklah para tetamu itu untuk segera makan malam bersama karena telah
dipersiapkan." Ibnu Zaidun pun tersentak kaget dari lamunannya layaknya seorang yang terkena
demam panas dan tersadar dari tidur gelisahnya karena meriang. Ia mengguncangkan
kepalanya dengan keras seolah-olah ia menginginkan untuk menghilangkan segala kekhawatiran dari
bisikan- bisikannya itu. Dan ia berkata pada dirinya seolah-olah sang perempuan itu telah
menegurnya, "Suatu kebaikan, tidak melewatkan hari-hari. Suatu kebaikan, untuk tidak menolak
bala'. Sebaiknya, aku menikmati kiamat yang menyongsongku ini dengan senang hati.
Hendaknya aku tidak menghiraukan apa yang akan terjadi besok nanti. Itu semua urusan Allah.
Dialah penentu segala urusan dan pemutus segala keputusan, tidak ada halangan apa pun untuk
keputusan-Nya, dan tidak ada sesuatu yang akan memenga-rungi takdir-Nya."
Ibnu Zaidun kemudian menghampiri Naila sambil tersenyum ia bertutur, "Sungguh
engkau telah berbuat baik padaku, wahai Puanku! Terutama saat engkau membukakan
jalan bagiku untuk meraih jabatan di kekuasaan langit yang sempat melemahkan harapanku untuk
menggapainya karena beberapa sebab. Aku telah tergelincir dalam tuduhan besar."
Naila lalu membungkukkan pundaknya menghormat seraya menjawab, "Bersabarlah,
wahai Pemuda! Sesungguhnya engkau tidak tahu betapa tinggi dan luhur penghargaan serta
penghormatan seorang Naila kepadamu."
Naila berdiri kemudian melanjutkan ucapannya, "Demi Allah! Aku tidak tahu
rahasia yang menusuk dan menyakitkan itu sehingga membuatku enggan untuk turut memedulikan
masalahmu, membanting tulang untuk ikut mengan-tarkanmu pada keluhuran cita-citamu itu,
serta mencurahkan segala kemampuan untuk senantiasa melindungimu dari tangan-tangan
jahil yang mencoba mengganggu dan mengusikmu. Sungguh kini aku tengah berusaha menyayangimu
terutama setelah sekian lamanya aku kehilangan anakku. Rasa kasih dan sayang
keibuanku yang luhur dan suci tidaklah tercurah pada pemuda-pemuda lain di Cordova ini selain
kepadamu. Selama menyusuri perjalanan hidupku, banyak sekali orang-orang yang mengharap
belai kasih sayangku. Namun, tidak sedikit pun hatiku tergetar selain kepadamu. Kedua
sayapku tidaklah terbentang selain untuk menyambutmu. Sebagaimana ungkapan seseorang yang pernah
mengaku-aku jadi seorang nabi di belahan timur, 'Bersitan nurani adalah rahasia
yang tidak terungkap. Bagiku, posisimu saat ini adalah mahkota muda yang elok, berani,
tampan, patriotik, dan terpelajar! Aku tidaklah menganggapmu kecuali tak ubahnya
sebagai puteraku sendiri, wahai
Abu Walid! Aku akan mengasuh dan menjagamu dari segala keruwetan yang kaualami
selama di Cordova yang membuatku resah dan tak nyaman karena dengan berbagai ujian, desas-
desus, dan kedengkian ini. Sekarang marilah kita makan malam, Anakku...."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Hidangan pun telah dipersiapkan. Aneka menu dan selera makanan yang dihidangkan
para pelayan dan hamba sahaya semuanya untuk menyambut para tetamu malam itu dengan
penuh ramah dan sopan. Mereka selalu memahami isyarat permintaan para tetamunya.
Mereka pun selalu menundukkan pundaknya yang berarti mengiyakan.
Duduk di sebelah kanan Wilada, Ibnu Zaidun. Di sebelah kirinya duduk Abu Walid
Muhammad putera Khalifah Andalusia. Para tetamu masing-masing meraih serta menikmati
makanan dan aneka minuman sambil masing-masing larut dalam topik pembicaraan masing-masing.
Ibnu Zaidun mengulurkan tangannya untuk meraih salah satu piring makanan di
sebelah Ibnu Hannath yang buta itu. Ia berkata pada Ibnu Zaidun. "Alangkah indahnya
nyanyianmu yang terdendang di awal pembukaannya:
Ketenangan yang diingatkan oleh angin sepoi-sepoi yang berbisik.
Keterapungan mematahkan sayap-sayap yang beterbangan.
Aku khawatir akan kegelapan jalan.
Namun kilat segera mene-ranginya.
Untuk menuntun layaknya pelita.
Seakan-akan suara geledek itu bersembunyi di balik awannya.
Di sebuah peraduan, dan awan pun menunggunya untuk berteriak."
Abu Hafs bin Burd seolah-olah merasa iri terhadap Ibnu Hannath seraya berujar,
"Syair yang bagus! Sayangnya, ia masih membutuhkan keindahan seni."
Tak urung, sang penyair buta itu pun mendongakkan kepalanya geram. Ciri khas
seorang guru syair tahun delapan puluhan. Dengan retoris ia mempertanyakan," Apanya yang
membutuhkan keindahan seni, wahai Tuanku Menteri?"
"Bahkan butuh lebih banyak dari itu, Tuanku. Engkau menyanyikan, 'Ketenangan
yang diingatkan oleh angin sepoi-sepoi yang berbisik. Setelah itu, engkau menyifati
gelap gulita malam dengan kilat dan geledek. Lantas, di manakah pengaruh angin
sepoi-sepoi itu dalam bait lagu
tersebut" Pada kegelapan malam semestinya engkau menyifatinya dengan gambaran yang mudah.
Seperti disandingkan dengan angin topan misalnya. Ada pun kata-kata 'untuk
menuntun' sungguh perumpamaan yang buruk sekali sehingga menjauhkan makna yang dapat merusak
keseluruhan bait-bait lagu tersebut. Hendaknya engkau memberi harakat fathah di akhir
hurufnya dikarenakan termasuk fi'il mudhari' yang berpredikat nasb. Yang
membingungkan, engkau menyebut awan dan
keterapungan di awal bait nyanyian itu, kemudian disusul dengan kata-kata,
'Seakan-akan suara geledek itu bersembunyi di balik awannya.' Kata ganti 'nya' dalam kata 'awannya'
Kelana Buana 17 Pendekar Mabuk 028 Bandar Hantu Malam Rantai Naga Siluman 1
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Karya : Ali Al Ghareem Djvu file oleh : K80 Ebook oleh : Dewi KZ http://kangzusi.com/ atau http://dewi.0fees.net/
01 Semilir angin musim semi memancarkan keindahan di salah satu sudut kota
pengantin; Andalusia. Di sekitarnya taman-taman dan tunas pepohonan tersinari cahaya
matahari berwarna keemasan. Ia memang tampak seperti lingkaran emas!
Di bawah kedua bukitnya, mengalir sungai yang bening laksana perak murni.
Perahu-perahu kecil berlayar membentangkan layar bagaikan kepak sayap merpati dan hijau daun
yang merindukan bunga. Para nelayan bertolak dengan diiringi nyanyian. Penuh
cinta.... Penuh cita. Sarat kesungguhan dan patriotik! Mereka melantunkan nyanyian dengan bermusikkan
angin sepoi-sepoi namun terdengar layaknya seorang penyanyi mahir dengan suara merdu.
Sebuah nyanyian yang menyirnakan ombak derita, tercopot oleh setiap bait lagu yang
mereka nyanyikan. Di atas sungai, terbentang jembatan panjang yang dibangun Umar bin Abdul Aziz.
Jembatan itu berdiri tegak dengan angkuh, seolah hendak menunjukkan kejayaan pemerintahan
abad ke-XVII. Kokohnya seakan tengah menyuratkan pesan ketidakmampuan zaman mana pun untuk
menandinginya. Demikianlah gambaran Cordova pada tahun 423 M. Pada masa pemerintahan Abu Hazm
bin Jahwar di saat para penguasa terlena gelimang jabatan dan kekayaan" sehingga
banyak timbul kekacauan, kesengsaraan, bahkan kemusnahan kota tersebut.
Inilah Cordova pada masa sang pahlawan, Lidinillah, harapan dunia dan kiblat
setiap umat. Dialah sosok panutan belahan timur dan barat. Pancaran cahayanya mampu
membinarkan mata di mana setiap pencari ilmu dari seluruh pelosok negeri berguru kepadanya.
Mudah-mudahan mereka mendapatkan ilmunya walau sedikit. Atau, mereka bisa mendapat petunjuk di
tempat api itu. Sampai hari ini, pengaruh kejayaan dan kesahajaannya tidak pernah sirna.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Inilah Cordova pada tahun 423 M. Engkau akan melihatnya tak lebih sebuah
lembaran yang menyulitkan sang pengkhotbah dalam membacakan tulisannya. Ia bagaikan pohon
rindang yang tidak dihinggapi burung-burung kecuali pada sebagian kecil dahannya. Sebuah
keinginan untuk tertawa namun gelap malam tak membuatnya menangis. Bagaikan sebuah pekik gema
yang tidak bisa menyembunyikan luka tubuh yang membuatnya menggigil. Engkau tidak bisa
menyembunyikan rasa takut meski dengan keramahan muka dan emosi terpendam.
Sekalipun tidak dapat menghalau bencana itu!
Cordova ibarat wanita cantik yang tumbuh uban di kepalanya sehingga
kecantikannya itu surut. Berbagai perhiasan langka menghiasi kaki zaman sehingga menjadi tampak berharga
dan bernilai. Di sana terdapat gedung-gedung megah, masjid-masjid lama, dan sekolah-sekolah
keilmuan yang penuh sesak dengan para pelajar. Pasar-pasar ramai dikunjungi dan pusat-pusat
perdagangan dikerumuni. Di sekelilingnya rumah-rumah penduduk yang jumlahnya lebih dari 30
rumah. Setiap pemilik rumah itu merasa lahir di tempat kota kelahiran mereka. Taman-
taman dan kebun mengelilingi pusat kota. Sungguh tidak ada dalam sejarah mana pun julukan
kota terindah dan sebanding dengan Kota Cordova saat itu.
Orang-orang Cordova menamai taman-taman itu dengan sebutan Mona; ada Mona
Rashafah, Mona Zubair, Mona Mashafiyah, dan Mona Aghab. Mona-mona itu merupakan tempat
bermain dan berkelakar orang-orang Andalusia saat itu dalam pergelaran teater kerinduan
mereka. Cordova tak lain pusat keilmuan dan kota zuhud maupun tasawuf. Demikianlah
Cordova menjadi kota yang penuh permainan, kelakar, dan kesia-siaan. Para pemuda kota
itu hanya bisa berkelakar dan menunjukan kesia-siaan hidup. Mereka adalah pemuja kesenangan dan
penyembah kebebasan hidup.
Para penyair mereka pernah menggambarkan:
Janganlah kau tanam Tetapi raihlah kesenangan sepanjang hari
Karena di bawali tanah Yang ada hanyalah tidur panjang
Sungguh mereka telah disengat oleh kesia-siaan hidup dan keterbatasan nilai
dalam mencintai kesenangan duniawi. Biji-biji gandum tidak membuat mereka kaya dan tidak
terdapat ungkapan maupun perumpamaan untuk melukiskan mereka hingga menyeret mereka untuk
mencintai kehidupan sekaligus kematian yang tidak ada kebangkitan setelaknya.
Matahari hampir terbenam dan suasana kota terang bersinar untuk menyambut malam
dan berbagai perlengkapan mainan, untuk menunjukkan suka ria dan kebahagiaan mereka.
Di salah satu sudut kamar, duduklah seorang pemuda. Tangannya memegangsebuahpena
untuk menuliskan ungkapan-ungkapan yang terkadang meneguhkan prinsipnya. Ia
kemudian memotong ujungnya. Terkadang ia terlihat seolah-olah seorang pemikir. Sesaat
kedua matanya terus-menerus memandangi atap langit dan ke seluruh dinding kamar seolah-olah
telah melayangkan puncak khayalannya atau merayu turunnya wahyu pada orang-orang yang
bingung. Ia khawatir tergelincir pada kalimat-kalimat yang membuat tulisan-tulisannya
rancu, namun ia juga tidak suka kehati-hatian.
Pemuda itu tak lain Ahmad Abu Walid bin Zaidun, sastrawan dan penyair Andalusia
terkenal. Dia adalah sosok seorang pemuda yang energik, elok perangainya, tinggi
komitmennya, dan tampan parasnya. Sosok dan wataknya mirip dengan tampang orang-orang Arab yang
lain. Jika kedua alisnya saling mendekat, tampaklah dengan jelas kebulatan tekadnya, kerja
kerasnya, dan kuat kehendaknya. Kedua matanya bagaikan ekor biji gandum, terlebih setelah lama
berkhayal. Hidung selalu mencium dengungan dan kebesaran jiwa, mulutnya berbicara lancang
seperti seorang peng-khotbah. Ibnu Zaidun memang gudangnya ilmu dan sastra serta kekayaan dan kebahagiaan
hidup. Ayahnya adalah salah seorang jaksa di Cordova.. Kedudukannya cukup agung dan
kuat. Maka hiduplah pemuda itu sebagaimana kehidupan anak-anak pejabat yang dikelilingi
kekayaan dan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
kemewahan. Berpindah-pindah dari satu sumur kekayaan ke sumur kesenangan yang
lain. Untungnya, kehendaknya begitu suci dan bagus perangainya.
Dia menggunakan waktu istirahatnya untuk mempelajari sastra dan ilmu bahasa. Dia
menelaah isinya dan menggali kedalamannya dan keluarlah darinya cengkeraman ilmu yang
kokoh dan kuat, kejeniusan alami sehingga cukup pengetahuannya untuk sekadar tergambar dalam apa
yang telah dicapai oleh pembangunan saat itu. Beruban tanpa meraih pelita.
Suatu hari, Ibnu Zaidun menyusun beberapa bait syair dalam rangka memenuhi
undangan Aisyah binti Galib untuk menghadiri jamuannya bersama sekelompok penyair dan
sastrawan lainnya. Ia begitu hati-hati. Sebentar ia menulis, namun kemudian segera
menghapusnya. Ia memilih setiap kata sebelum kemudian dituliskan oleh penanya. Dengan penuh ragu,
ia pun akhirnya menulis: Ya, Kedua pelupuk matamu dalam lembar tulisanku Kau dapatkan air mataku meleleh
terhampar Saat ia hendak melanjutkannya pada bait kedua, tiba-tiba pembantunya - Ali Baghi -
masuk setelah memberitahukan kepadanya bahwa ia telah mempersilakan Abu Marwan bin
Hayyan datang bersama seorang pemuda asing dari belahan timur.
Ibnu Hayyan tercatat sebagai seorang sejarawan senior yang cerdas dari
Andalusia. Kritikannya dikenal tajam dan lantang bicaranya. Tidak ada satu biografi pun
yang ditulis olehnya penuh cela - bahkan banyak dipuji - terlebih menghilangkan
kebaikannya. Raja-raja diktator
sekalipun merasa segan kepadanya. Begitu pula para cendekiawan ternama, sangat
menghormati beliau. Para pejabat pun takut kepadanya. Namun, beliau pun dicintai para
seniman dan sastrawan. Ia selalu membawa kertas di dalam sakunya yang tidak terlepas darinya
sepanjang siang dan malam. Setiap kali ia menyaksikan suatu peristiwa dan mendengar berita
atau beberapa bencana yang menimpa masyarakat, ia tidak luput untuk menulis. Ia
mengomentari setiap kejadian yang ia lihat dan dengar untuk kemudian ditulisnya
sesuai dengan penafsirannya.
Ia tak lain teman akrab Ibnu Zaidun. Hanya saja, ia begitu kritis pada Ibnu
Zaidun. Ia sering menasihati Ibnu Zaidun untuk senantiasa menjauhi godaan-godaan pada usia muda.
Suatu saat Ibnu Hayyan mengunjungi Ibnu Zaidun. Ketika ia melihat di sekitar Ibnu Zaidun
kertas dan tempat tinta, ia berteriak dalam kelakar yang histeris, "Beginikah kamu, wahai
Abu Walid" Janganlah engkau berceloteh di antara kertas dan pena! Aku meniti engkau
tidaklah menulis sesuatu kecuali apa yang digandrungi dan disenangi hawa nafsu para pemuda.
Celakalah sastrawan Cordova! Seolah-olah syetan membentuk pena mereka untuk menuliskan
kemabukan dan kesia-siaan!" Ibnu Zaidun lalu menerima pemuda dari belahan timur itu. Ia menjawabnya dengan
senda gurau yang sungguh-sungguh, "Tidakkah engkau kagum pada mahaguru yang telah
menyerang rumahku dan melupakan untuk menghormatiku bahkan ia malah mencerca dan
mencelaku?" Ia melirik Ibnu Hayyan seraya berkata, "Duduklah dengan tenang, wahai Saudaraku!
Kelelahan telah menyitamu sepanjang hari. Perkenalkanlah tuan ini kepadaku agar
aku tahu bagaimana aku harus
menghoirnatinya." Ibnu Hayyan tertawa terbahak-bahak dan berkata, "Apakah aku harus memperkenalkan
orang yang pernah kautulis?"
"Aku terima syaratmu."
"Wahai Saudaraku, beliau adalah Abu Fadel Muhammad Al Darimi. Ia datang dari
Baghdad kepada kita untuk mendukung suatu keinginan yang sulit. Ia sangat berharap untuk
menyatukan bangsa Arab setelah mereka berpecah berpuak-puak karena kedengkian."
Muka Ibnu Zaidun pun berseri seraya memekik, "Inilah cita-citaku, wahai Tuanku!
Aku yakin, kekuatan bangsa Arab tidak akan bangkit lagi kecuali mereka mau
menyatukan panji dan mempersatukan pandangan mereka. Niscaya mereka bagaikan susunan bangunan yang
kokoh yang tidak dapat dirobohkan musuh-musuh."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ibnu Hayyan menarik napas panjang seraya berkata, "Dengan bekal apa kita dapat
mencapainya?" "Jangan dulu berputus asa dari pertolongan Allah, wahai sang Mahaguru!"
Al Darimi menyela, "Aku pernah pergi ke Afrika dan berbincang-bincang dengan
para pembesar di sana. Kemudian aku mengunjungi Andalusia selama satu tahun. Aku
bertemu dengan Ibnu Ibad dari bangsa Aprilia, Ibnu Dzunnun Raja Tulaitilla, dan Ibnu Shamadih pemuka
Patoleous. Mereka pun ternyata tengah menghimpun dan menyatukan barisan."
Ibnu Hayyan menggeleng-gelengkan kepala. Dengan berdecak sinis ia berkata,
"Seolah-olah setiap pemimpin mereka adalah raja yang agung!"
Ibnu Zaidun segera memotongnya, "Jagalah bicaramu, wahai sang Sejarawan!"
"Seandainya aku menemukan suatu kebaikan, aku sekali-kali tidak akan menutup-
nutupinya." "Penglihatan Anda ternyata tidak dapat melihat kecuali kejelekan orang lain."
"Tidak. Demi Allah! Aku sama sekali tidak menyembunyikan kebenaran sekalipun
membuat pening kepalaku." "Lalu, apa pendapat Anda mengenai kepribadian Ibnu Jahwar pemimpin negeri ini"
Katakanlah, semoga Anda punya nyali untuk mengatakannya."
Sejenak, Abu Marwan tampak bingung, kemudian ia berkata, "Saya akan berkata
sejujurnya, wahai sang Sastrawan! Seandainya aku mendapatkan pedang, niscaya tidak cukup
bagiku sebagai pena. Ibnu Jahwar adalah salah seorang politikus ulung yang dimiliki
negeri ini yang telah berhasil menyatukan bangsa ini. Beliau termasuk orang yang
paling rendah hati dan sangat bijak.
Ia adalah seorang yang cerdik cendikia, jiwa raganya, yang pertama dan yang
terakhir seandainya ia tidak menjaga hartanya dengan kekikiran dan mengunci
pintu kekayaannya di depan para
pengemis.* Ibnu Zaidun tertawa terbahak-bahak. "Seseorang ternyata tidak mau menyerahkan
dirinya pada bisa ular!"
"Ular yang mana, wahai Sastrawan".Sungguh aku telah menyaksikannya dan dia
memang seorang yang bijak yang jauh dari berbagai macam celaan."
Al Darimi menghela napas panjang. "Aku juga telah menemuinya dan memang beliau
Pembawa Kabar Dari Andalusia Karya Ali Al Ghareem di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sangatlah bijak dan dermawan. Ia begitu peduli akan nasib rakyat-rakyatnya. Ia pun sangat
memusuhi para pejabat yang korup dan tidak amanah akan kewajibannya. Inilah penyakit kronis
yang tengah menimpa bangsa ini sehingga menghancurkan sendi-sendi kesatuan dan persatuan
bangsa. Kemudian bangsa Arab sama sekali tidak akan bangkit kembali kecuali mereka mau
meneladani akhlak umat Islam generasi pertama. Persaudaraan dan kasih sayang mereka -
sebagaimana termak-tub dalam sebuah hadits Nabi - bagaikan kesatuan satu anggota tubuh yang
manakala salah satunya mengerang kesakitan maka terasalah oleh sekujur tubuhnya yang
menggigil seperti demam." Ibnu Hayyan menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku tidak melihat undang-undang
yang paling menyeluruh dan paling ringkas selain ucapan Nabi saw. di mana umat Islam saling
menjaga kehormatan mereka. Mereka senantiasa menolong saudara mereka yang teraniaya.
Mereka adalah tangan bagi saudara mereka yang lainnya."
"Iri dengki, dendam, menggalang persatuan dengan musuh, dan memusuhi pemerintah
adalah di antara kejelekan mereka yang cukup nista."
Al Darimi berkata, "Di negeri kami di belahan .timur, para pemimpin mengabaikan
kewajibannya. Mereka menyerahkan tanggung jawab itu dalam pundak bangsa Arab.
Mereka memerangi para pemimpin dan khalifahnya serta sesudahnya. Kekhalifahan bagi
mereka hanyalah permainan dan senda gurau. Mereka berkuasa sekehendak hati dan mengundurkan diri
sekehendak hati." Ibnu Hayyan menyela, "Malapetaka yang menimpa bangsa Andalusia justru lebih
dahsyat dan besar. Sejak tahun 400 Masehi di mana saat itu terjadi peperangan sengit,
berbagai kekejian nista bangsa lain menimpa negeri ini, mulai dari kekejaman
bangsa Mudhori, bangsa-bangsa Yaman,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bangsa Slavia, bangsa Barbar (Eropa), dan orang asing lainnya. Akibatnya, rezim
Amiriyah tidaklah berakhir kecuali tersebar krisis multidimensi. Seolah kerasukan iblis
pemusnah yang senantiasa mengobarkan peperangan. Tidaklah biji-bijian tumbuh kecuali dijadikan
panah. Maka kekacauan itu - dan kita berlindung kepada Allah darinya - dimulai sejak
kepemimpinan Sulaiman bin Ha-kam yang terkenal dengan sebutan Al Musta'in Billah. Di bawah
kepemimpinannya, kondisi negara sungguh buruk. Bangsa Arab menjadi rapuh sehingga mudah dicerai-beraikan
bangsa asing!" "Adalah orang yang sadar akan pikiran dan kegilaannya, untuk menetapkan Ali bin
Hamid sebagai panglima tertinggi dan pahlawan penolong. Ia sungguh memilih burung
elang yang kemudian memangsanya. Atau menetapkan pedang untuk kemudian menebas urat
lehernya. Jika Allah menghendaki, niscaya hal itu terjadi!" Ia kemudian menoleh kepada Ibnu
Zaidun dan bersenandung, "Sungguh banyak para penyair sepertimu, wahai Abu Walid. Berhati-
hatilah dengan syair karena kebanyakan syair itu membuat malang si empunya. Dan aku
mampu untuk mendatangkan kepadamu ratusan orang yang binasa dengan syair mereka."
Al Darimi berkata, "Tidaklah aku menghafal selain syairnya: Kagum!. Saat Allaits
memuliakan susunan gigi-gigiku. Dan aku mempersembahkan mata pengawas di
pelupuknya. Dan aku mengekang diriku dari tiga perkara; darah, keelokan wajah, dan kesehatan raga.
Bulan purnama yang mengigau,. Di sana ada seorang gadis pembeli yang baik. Dan ceracau saudara
perempuan pohon Alban.' Ibnu Hayyan berkata, "Mereka mengira bait-bait syair ini dipersembahkan untuk
Harun Al Rasyid yang pernah bersenandung di dalam syairnya: Tiga perempuan menguasai
kemuliaan-ku. Dan mereka menebar hatiku di setiap tempat. Sama sekali aku tidak rela seluruh
kebaikan teraih. Aku menaati mereka namun mereka men-durhakaiku. Tidaklah itu selain kekuasaan
hawa nafsu. Kekuasaan mereka itu kuat. bahkan lebih kuat dari kendali kekuasaanku."
Ibnu Zaidun berkata, "Perkiraan itu tidak benar. Harun Al Rasyid bukanlah
seorang penyair." Abu Marwan menyepakatinya dengan isyarat anggukan kepalanya. Kemudian, Al Darimi
melontarkan pertanyaan, "Lalu apa yang sebenarnya terjadi di Cordova setelah Al
Musta'in tewas?" "Dinasti Hamud menguasai pemerintahan selama tujuh tahun yang dimulai oleh
Yusuf. Kemudian Al Mustazhar Billah Abdurrahman bin Hisyam. Dia tidak lama berkuasa
kecuali selama 47 hari tanpa sedikit pun harapan dan ketaatan rakyat-rakyatnya."
"Dia adalah benar-benar seorang penyair, wahai Abu Marwan!"
"Demi syair dan yang kami miliki, sesungguhnya kami membutuhkan siasat dan
pikiran untuk sampai pada ide yang cemerlang yang segera hadir. Sesungguhnya Ibnu Muktaz di
belahan timur termasuk penyair yang paling kreatif sejak ia menyatu dalam akhir bait syair.
Adakah yang lebih indah selain syair gubahannya?"
Al Darimi tidak sepakat. Ia berujar, "Saat kami di Baghdad, ada sebuah kasidah
indah dan bagus karya Al Mustazhar Billah. Syair itu dipersembahkan untuk seorang gadis
yang tak lain anak pamannya sendiri yang kemudian dipinangnya. Namun, ibunya
menghalanginya dan kurang setuju
kepadanya. Al Mustazhar bersenandung: Dan datang seorang gadis untuk memuaskan
nafsuku. Dan kautalak kesucian hanya membela kegadisan. Keluarga terbebani dan terjerumus
kebodohan. Adakah kebaikan pada matahari yang menolak bulan purnama". Apa yang terjadi jika
Ummu Habibah melihat. Kemuliaan kuasaku, untuk menjadi menantu lelakinya". Ia
mensyaratkan bakti kepadaku. Mengalir padanya di udara kebahagiaanku yang memuncak. Aku
mencintainya sebagai hamba matahari yang setia. Serombongan unta diburu ayahnya yang ber-penyakit
kulit. Merpati pada dinasti Abbasiyah pun mengepak-kepakkan sayap. Aku makan sarapan dari
kegembiraan mereka laksana madu anggur. Dan aku manusia yang paling utama dari kaumnya.
Paling keras kritiknya dan paling tinggi kedudukannya. Keelokan, kesantunan, kedermawanan
sikap dan budi kata. Jika kaukehen-daki aku mendengar syairmu bagaikan sihir."
Ibnu Zaidun berkata, "Ini barulah syair! Aku sangat mencintai Allah seandainya
setengah syairku seperti itu!"
"Setengah yang terjelek ataukah setengah yang terbaik?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Syairku tidak ada yang jelek, wahai Al Qamar bin Marrah! Lebih baik kamu
menulis sejarahmu yang kelam yang tiada bandingannya."
Ibnu Hayyan pun tertawa berbahak-bahak dan berkata, "Mereka itu tak lain bocah-
bocah Dinasti Umayyah yang suka menipu. Mereka menceramahi orang-orang di pelataran
masjid agung. Mereka menyeru dan menyuruh berbuat baik, padahal aku tidaklah
menertawaimu dari balik baju besi. Sedangkan engkau menangis dalam hamparan mulia permadani dan
keturunan bangsawan. Dan aku bersaksi Allah pun menyaksikan, bahwasanya kamu tidak
mengharapkan di balik itu semua kecuali kedudukan yang mulia."
Ibnu Zaidun berkata dengan marah, "Justru akulah yang menyeru Ibnu Murtadla dari
Dinasti Umayyah itu." "Aku tahu, aku tahu. Ia dari Cordova sebelum misi dakwah selesai. Dan kamu tidak
punya kehendak selain memenuhi dadamu dengan iri dengki."
Ia bersorak dan berujar, "Jangan dulu marah, wahai Saudaraku. Aku berkata begitu
karena aku mencintai dan menyayangimu setulus-tulusnya walaupun kamu tidak
menyadarinya. Akan tetapi,
apa yang dapat kuperbuat sementara Allah telah menciptakanku kawat berdiri yang
tidak dapat aku berbuat atas kebenaran untuk menutupinya dengan kebatilan?"
Al Darirni berkata, "Inikah usulan terbaik yang kamu miliki, wahai Abu Marwan.
Dan bagaimana Cordova bisa tenang terlebih setelah ditinggalnya Al Mustazhar?"
"Selamanya keadaan tidak akan tenang. Al Mustakfi Billah memimpin namun
pemerintahannya itu bagaikan bunga tanpa tangkai. Sementara Allah menginginkan berbagai ujian
dan celaan atas Cordova. Pada masa pemerintahannya, bangsa Barbar menghancurkan sisa-sisa istana
peninggalan kakeknya, Al Nashir. Kehancuran merajalela dan terus melintasi
hamparan dunia. Keceriaan pun sirna. Allah menguasai balatentara-Nya sesuai dengan apa yang Ia kehendaki. Bagi-Nya
kekuatan dan kekuasaan! Saat cobaan yang menimpa bangsa Cordova menemui puncaknya, Al
Mustakfi justru lari menghindar. Setelah itu, kepemimpinan beralih kepada Abu Hazm bin
Jahwar, seorang panutan masyarakat."
"Apakah Al Mustakfi adalah ayah Wilada yang penyair dan sastrawan itu?"
"Benar. Dialah orangnya. Segala puji bagi Allah yang tidak mengurangi dirinya
dari sifat-sifat ayahnya." Ia kemudian menoleh pada Ibnu Zaidun seraya bertanya,
"Apakah Anda mau hadir pada undangannya, wahai Abu Walid?"
Ibnu Zaidun menjulurkan bibir bawahnya, setelah meminta izin bicara ia pun
berkata, "Pantaskah aku menerima kehormatan ini" Ketahuilah, wahai Tuan, undangannya
tidaklah layak untuk orang sepertiku ini. Tahukah engkau, wahai Abu Marwan,
sesungguhnya aku hanyalah
seorang sekretaris di sebuah departemen pemerintahan biasa yang engkau anggap
sebagai departemen jahat belaka"!"
"Kenapa berkata seperti itu, wahai anak saudaraku" Tatkala aku menyertai Ibnu
Jahwar selama beberapa hari, sungguh ia terus memujimu di berbagai pertemuan.
Dan aku termasuk orang yang
kagum akan kecerdasan dan kejeniusan-mu."
"Akan tetapi, Tuan, di depanku terdapat tabir penghalang dan tirai penutup.
Lihatlah paras mukanya! Aku melihat sosok yang kosong dari paras yang lemah-
lembut. Engkau tidak tahu
apakah aku termasuk orang simpati atau benci kepadanya" Menganggap baik ataukah
justru menganggap jelek kepadanya" Kemarin aku menyampaikan surat yang aku kirimkan
untuk Raja Patholeus. Aku menulis surat itu dengan penuh kesungguhan. Aku yakin surat
tersebut tidak tertandingi sekretaris mana pun. Akan tetapi, ketika aku menyodorkan kepada
beliau, setelah beliau membacanya, beliau tidaklah berkata selain 'Engkau telah berlebih-
lebihan, wahai Seniman!" Beliau kemudian berpaling dariku dan memanggil seorang menterinya bernama
Muhammad bin Abbas. Seolah-olah anak Adam tidaklah ada wujudnya, hanya di kamarnya!"
"Laki-laki itu hanya menghawatirkanmu saja, wahai Abu Walid!"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Menghawatirkanku?"
"Ya, sungguh aku melihat hal itu dari perbincanganku dengannya saat
menyerupakanmu dengan Abu Tayyib Al Mutanabbi. Lelaki itu benar-benar malapetaka yang
pengetahuannya cukup mendalam. Sungguh dia sendiri tidak menyerupakanmu dengan penyair ini kecuali
setelah dia tahu keluhuran misi dan cita-citamu. Waspadalah, wahai Abu Walid, dan jauhilah
negeri-negeri syubhat. Jagalah lidahmu sekuat mungkin!"
Ibnu Zaidun memekik keras seolah-olah dia marah, "Untuk orang sepertiku jelas
harus punya cita-cita dan harapan yang jelas. Jika tidak, maka bagi siapakah
berbagai bencana tercipta?"
"Bagus! Bagus! Sungguh aku akan bertemu dengan bencana dan fitnah."
"Bukan. Bukan fitnah dan bencana, wahai Abu Marwan. Akan tetapi singa dalam
kurungan maupun tawanan yang melarikan diri dari penjara."
"Jangan tergesa-gesa menyimpulkan urusan-urusan itu dalam waktu-waktu yang
tergadai. Dan singa di gelap-gulita pun laksana pancaran lampu yang tersenyum. Bagaimana
kabarmu dengan Menteri Ibnu Abbas!"
"Dia adalah sahabat ikan laut dan musuh bagi malapetaka."
"Benar, sungguh aku telah menyatukannya dalam satu kalimat."
Mendengar hal itu, Al Darimi berdiri. Ibnu Hayyan pun berteriak, "Kita mesti
mengetahui dan terlebih dahulu kita harus menentukan sikap terhadap apa yang
ditulis pemuda budak ini."
Ibnu Jaidun berkata, "Aku pernah menulis beberapa bait syair untuk Aisyah binti
Ghalib dan aku menemuinya sebelum syair itu aku rampungkan. Kalau tidak salah,
aku merobeknya dan aku membatalkan untuk mengirimkannya."
Ibnu Hayyan menengadahkan kepalanya ke belakang dan membusungkan dadanya dengan
bangga seraya berkata, "Aisyah binti Ghalib"! Dia adalah seorang perempuan yang
terpelajar. Para tokoh dan pemuka masyarakat maupun para seniman sering menghadiri
pertemuannya. Akan tetapi, dia buruk sifat pada kaum lelaki. Berwaspa-dalah dari cakaran buas
kebinatangannya, wahai Saudaraku. Jika kita mencacinya pasti akan terbunuh. Dari
sebagian isu yang beredar, dia adalah mata-mata Ibnu Azvonus. Tetapi aku pun
kurang yakin dengan kebenaran isu tersebut
dikarenakan dalam isu tersebut sering bertentangan dalam jiwa antara cinta dan
benci." Tak lama kemudian ia menyalami Ibnu Zaidun seraya berkata, "Untuk apa
waktu sore, wahai orang gila yang menyesatkan! Jauhilah sekemampuanmu dari
jendela wanita-wanita macam itu.
Pembawa Kabar Dari Andalusia Karya Ali Al Ghareem di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Sebagaimana kau pernah bersyair, mereka itu tak lain: Dan sungguh aku terhalang
akal warasku. Oleh desing yang dinyanyikan para tukang fitnah itu. Dan tersadarlah pikiranku."
02 Jalan istana kerajaan membentang di sepanjang tepi lembah pantai yang menjulang
tinggi di sebelah selatan Cordova. Di sepanjang jalan itu pepohonan yang rindang berjejer,
di pinggirnya rumah-rumah para pejabat pemerintah, petinggi negara, para
menteri, dan pembesar lainnya.
Rumah-rumah besar itu tampak bagaikan sebuah antrean panjang. Di depan rumah-
rumah itu terdapat taman-taman hijau yang berseri-seri. Semerbak bau ragam bunga yang
berwarna-warni di dalamnya berembus di sekeliling daerah itu.
Di antara rumah-rumah besar itu, tampak satu rumah tua yang mewah hasil kreasi
tangan- tangan usang. Pondasinya begitu kuat menyusuri hari-hari. Sebuah rumah yang
setiap kamarnya berbicara sebagai saksi kekuasaan dan kepongahan. Saksi pasukan balatentara.
Saksi para utusan bumi yang berlutut di gerbang-gerbang rumah itu dengan harap-harap cemas,
dengan penuh kerendahan dan kehinaan.
Akan tetapi, setiap dinding rumah ini menyembunyikan hari-hari yang bermuka
masam dan membisu. Sebuah harapan sia-sia yang mudah diserang angin topan. Dan piramida
ditemukan dalam berbagai bentuknya di setiap gedung-gedung. Rumah itu bagaikan negeri dan
rakyatnya yang saling bermuka masam kemudian menyergapnya dengan ragam kesengsaraan.
Gedung itu didirikan oleh Al Nashir Lidinillah yang terkenal dengan sebutan Al Mustakfi
Billah. Seandainya ada Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
seorang penulis yang mau mencatat niscaya apa yang terjadi di Andalusia saat itu
sarat dengan kebaikan sekaligus kejahatan, kesenangan sekaligus malapetaka.
Sang matahari tidak henti-hentinya menguap di pembaringannya setelah terlelap
tidur di sepanjang malam yang panjang. Cahayanya menghampar ke seluruh sungai besar
seolah tengah dicium ciuman pagi hari. Jalan-jalan sepi dan tenang, kecuali sedikit pejalan
kaki. Tidak ada bising terdengar kecuali suara para nelayan di kejauhan yang
hendak bertolak ke Aspilia. Suara penabuh rebana yang menyenandungkan nyanyian
hati yang nyaris membersihkan sebagian batu-batu.
Mereka mulai bersenandung seraya khawatir senandung itu nyaris sama dengan hari
kemarin tatkala sebagian biduanita menghibur para lelaki hidung belang di kedai-kedai
minuman. Hiburan-hiburan sambil berrnmum-minum ria nyaris tak pernah luput satu malam
pun, di setiap istana-istana kerajaan atau rumah-rumah para petinggi negara di Cordova. Rakyat
Andalusia memang diciptakan untuk bernyanyi dan hidup untuk sebuah nyanyian. Bahkan, dalam
menyambut kematian seseorang, mereka pun tidak terlepas dari iringan seruling
dan kecapi. Pagi itu, Wilada binti Al Mustakfi bangun dari tidur panjangnya laksana bunga
ros yang merekah karena terbasahi embun dengan embusan angin yang menggoyangkan daun-
daunnya. Tak urung, Mohga Cordovia pun kerap terpesona oleh kecantikannya. Ia kerap
menggoda dan memanjakan sang puteri jelita itu dengan penuh cinta dan kasih sayang
sebagaimana sang ibu yang memanjakan anaknya dengan mainan.
Wilada saat itu baru berusia 18 tahun. Seorang wanita yang berperawakan cantik,
cerdas dan luhur budi pekerti. Paras muka yang mampu meredam cahaya matahari yang menyala
di siang hari sehingga enggan terbit. Paras muka yang menorehkan kecantikan alami.
Seandainya orang- orang Yunani masih hidup niscaya mereka menjadikan
Wilada sebagai model bagi rubuh dan patung-patung khayalan karena keelokan,
keindahannya, dan kesempurnaan ciptaannya.
Kecantikan wajah Wilada benar-benar mema- ? bukkan setiap mata yang memandangnya
karena terus merasuk ke setiap hati dan perasaan. Terlebih kepada para hidung
belang yang melihat kecantikannya. Mereka bisa langsung jatuh hati dan mencoba merayunya.
Pendeknya, Wilada adalah pemilik dari segala sifat kecantikan seorang wanita.
Selain itu, Wilada juga adalah seorang seniman dan penyair. Setiap pertemuan
yang diselenggarakannya selalu dihadiri para sastrawan dan seniman terkenal. Mereka
benar-benar tersipu melihat kecantikan wajahnya dan mendengar senandung merdu syair yang
dinyanyikannya. Wilada kemudian bangkit dari tempat tidurnya dan meraih sejumlah makanan yang
disukainya. Setelah merapikan badannya, ia pun mengenakan baju. Saat itu, ia memakai baju
indah dari sutera Bampasagi yang dibordir dengan pernik-pernik emas. Baju indah dengan
tenunan yang kuat dan sudut-sudut yang berpersegi. Ia lalu berdiri di depan cermin kamarnya.
Tampaklah pada raut wajahnya rasa bingung seolah-olah ia tengah mencari orang
secantik dia di seluruh Cordova.
Dan ia memang mendapatkannya dalam cermin itu.
Sang puteri Mohga itu pun menatap kecantikan "temannya itu" dan dengan penuh
bangga dan kagum ia bersenandung:
Seandainya Ibnu Jahzvar tahu
Tenunan sutera nan penuh hiasan itu
Akan keluar seperti kecantikan dan keindahan baju ini,
Niscaya ia akan mengJtentikan baju-baju dari negeri asing ke Cordova.
Wilada tersenyum sinis seraya berkata, "Lelaki ini mutiara keangkuhan, wahai
Mohga! Tidak tampak dalam dirinya rasa ketaatan dan sifat zuhud selain di depan
orang-orang fakih yang maksud mereka itu tiada lain hendak menggelincirkan kemuliaannya dalam sekejap
mata." "Dia itu sering melarang meminum minuman keras, Tuan Puteri! Dia menghormatinya
dengan memecahkan guci-guci minuman itu karena takzim pada pekarangan Masjid Agung.
Sungguh Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
seorang penyair Cordova terkenal, Ahmad bin Zaidun pun pernah memujinya dalam
sebuah syair: Aturan pembolehan arak yang kotor itu tak lain dinding . Aturan orang-orang yang
peduli segala nilai. Ketika segala kebajikan tercerabut dari akarnya. Dalam
mabuk yang bagaikan batu yang
sangat keras. Dia adalah najis yang jika dihilangkan akan terpuji. Yang dapat
memecah kekuatan tangan-tangan beku. Prasangka dosa, induk kejahatan. Yang dapat
memangkas aib hina dari ingatan.' Wilada menengadahkan kepalanya layaknya seorang pemikir, seraya berkata, "Ibnu
Zaidun"! Pemuda yang dipenuhi tangga kemuliaan itu" Sayangnya, ia tengah berhadapan
dengan sepasang kaki yang lebih kokoh dari kakinya, dan dengan para sahabat yang lebih
kuat dari para pendampingnya. Dia menjual dirinya dengan murah di pasar
kebajikan. Kemuliaan dan kesia-siaan
seorang pemuda selamanya tidak akan menyatu!"
"Kalau begitu, dia adalah malapetaka bagi Cordova, Tuan Puteri, sekaligus
menjadi idola dan idaman para gadis. Syairnya benar-benar telah menjadi
senandung di setiap mulut orang dan
terngiang-ngiang di setiap telinga. Para penyanyi pun kerap melagukan syairnya.
Setiap perayaan di Cordova tak luput dari bait-bait syair gubahannya. Benar-
benar mengetuk dan mengira-makan
nyanyian hati. Aku mendengarkannya pada hari Selasa yang lalu, ketika aku
sebagaimana biasa pergi ke rumah Maryam Al Arudia untuk menghadiri salah satu ceramahnya. Dia
mengadakan pengajian di rumahnya untuk mendidik anak-anak para petinggi dan pejabat negara
dalam pelajaran tata bahasa dan sastra.'
"Aku mengenal dia. Bahkan aku mengetahui dia jika banyak para penyair yang
belajar syair kepadanya. Dialah yang menghafal benar buku 'Al Kamil' karya Mubardo dan 'Al
Nawadir' karya Abu Ali Al Qali." "Benar, Tuan Puteri, kami pernah menghadiri pertemuan itu di rumahnya. Di sana
terdapat beberapa gadis cantik dengan wajah senang dan penuh dengan aneka perhiasan. Saat
itu, Maryam tengah menceritakan syair-syair di Aspilia."
Dari penjelasannya, tidak tampak perbedaan jauh antara syair di sana dengan
syair di Cordova. Syair-syair di Aspilia tumbuh berkembang pesat oleh seorang penyair yang bernama
Abu Bakar. Maryam mengakui bahwa ia adalah seorang penyair ulung dengan gaya bahasa yang
tinggi dan imajinasi yang indah. Maryam pun mencoba menyenandungkan sebagian syair
miliknya: Wahai ciptaan terindah tanpa hiasan
Wajahmu sungguh memikat orang-orang yang melihatnya
Kendati saat kami tertimpa bahaya
Bunga ros pun mampu mengalahkan bunga melati
"Dan tidaklah Maryam menyenandungkan kedua bait syair itu, Tuan Puteri, kecuali
keluar dari lidah seorang gadis yang hadir pada saat itu, dengan pekik syairnya
ia seraya berkata, 'Sesungguhnya aku tidak menginginkan menggadaikan kota kelahiranku, wahai Tuan
Puteri. Karena setiap jengkal bidang tanah di Andalusia memu-liakanku. Syair dan sastra
keduanya tidaklah dimiliki bangsa tertentu. Kami kagum dengan syair-syair belahan timur
sebagaimana kami bangga dengan syair-syair kami. Akan tetapi sang penyair
Aspilia yang gila pujian tidak dapat
menandingi sebatas tepi kakinya sekalipun dari seorang penyair kita, Ibnu
Zaidun. Bait pertama cukup bingung untuk dipahami meski diulang-ulang beberapa
kali. Dan tidak diketahui kecuali
setelah masuk pada bait kedua. Ungkapan 'tanpa perhiasan' adalah ungkapan yang
sangat dangkal sekali. Selanjurnya aku menilai bait kedua tidaklah terdapat pada teori-
teori semestinya. Menyamakan pipi dengan bunga ros dan bunga melati adalah perumpamaan klasik.
Alangkah buruknya syair itu dan kegaduhan seorang juru penyair."
Segera Maryam memotong, "Memang betul, Saudariku, perumpamaan itu adalah
perumpamaan klasik. Akan tetapi sang penyair ini menghendaki sebuah perumpamaan
baru. Sebuah bentuk perumpamaan yang dapat ditemukan pada seorang kekasih yang malu
saat menemui pujaannya yang secara mendadak membuat wajah dan pipinya memerah dan
ternyata mampu mengalahkan putih di kedua pipinya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Gadis itu hanya menggeleng-gelengkan kepalanya tanda tidak setuju seraya
berkata, "Apakah Anda terkagum-kagum menyimak ungkapan kendati pada bait pertama
yang sejatinya hal itu mirip
ungkapan kosong" Bagaimana hal itu bila dibandingkan dengan syair Ibnu Zaidun
yang bersenandung: Adakah ajakan padamu terpenuhi". Ataukah sakitmu tersembuhkan".
Wahai sang dekat, tatkala saat hadir. Maupun tidak hadir. Bagaimana menanyakanmu. seorang
penyayang yang menghiasimu dengan cinta". Kamu adalah angin sepoi-sepoi . Yang hanya dapat
menyentuh kalbu. Inilah syair yang jika disandarkan kepada Ibnu Al Muntaz niscaya ia akan
melupakan, membuai, dan dapat menghiburnya dari kepapaan dirinya akan kekuasaannya selama
ini." Tak pelak, sang gadis itu pun berteriak histeris seraya berkata, "Ya, inilah
satu-satunya lantunan syair yang terdengar indah tanpa iringan musik. Para
pengamat dan ahli sastra sering
menyebut penyair kita (Ibnu Zaidun) sebagai cebol. Dapatkah seorang cebol untuk
berkata: Kenapa kau disia-siakan janjimu". Bagaimanakah kau mengingkari janjimu". Aku
melihatmu seorang amanah. Yang ridha namun tidak memberatkanmu.
Betapa indahnya syairku. Dan aku tidak memiliki cinta di sisimu. Apakah malammu
panjang setelanku. Sebagaimana panjang malamku setelanmu". Tanyakan padaku tentang
hidupku. niscaya aku menganugerahkannya. Tidaklah aku memiliki jawabmu."
Maryam pun berkata, "Ini adalah kemuliaan tiada banding dalam kebagusannya.
Kelebihan seorang Ibnu Zaidun tidak terbantahkan meski oleh para pembantah yang ulung.
Bahkan, sebagian dari sastrawan kita menyebutkan: Barang siapa yang memakai baju putih,.
Bercincin batu akik,. Meneladani Abu Amr,. Mempelajari kitab Imam Syafi'i,. Dan
meriwayatkan syair Ibnu Zaidun,. Sungguh ia adalah manusia sempurna."
Wilada menggeser duduknya gundah dan tampak masam pada mukanya seraya berkata,
"Anda sungguh bersimpati terhadap laki-laki ini, wahai Mohga!"
"Aku tidaklah tergila-gila, akan tetapi aku merasakan kehebatan syairnya yang
tidak didapatkan dalam syair yang lain. Tidaklah aku mencela lelaki ini kecuali
dalam satu perkara. Dia adalah
temannya Aisyah binti Galib. Apakah kau mengenalnya, wahai Tuan Puteri?"
"Aku mengenalnya. Aku tahu, ia adalah perempuan jalang. Dia menampakkan pada
setiap orang suatu sifat yang sebenarnya disembunyikannya. Dia tak lain adalah jiwa
harimau yang menempel pada jasad seorang perempuan. Temanmu Ibnu Zaidun kini benar-benar
terancam.' "Siapa orang yang memberitahumu kabar tentang hal ini, wahai Tuan Puteri?"
"Telah memberitahuku seorang perempuan yang mengetahui segala sesuatu tentang
segala seluk-beluk yang terjadi di kota ini. Sampai-sampai dia pun akan mengetahui di
mana hanyutnya dan tempat berlabuhnya sebuah ember timbaan ,yang hilang di lembah sungai yang
besar
Pembawa Kabar Dari Andalusia Karya Ali Al Ghareem di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sekalipun. Dia layaknya seorang detektor setiap rahasia. Dia akan mengatakan
kepadamu suatu peristiwa dengan suara hati-hati. Dia selalu bersumpah di hadapanmu dengan
mengatasnamakan kedalaman iman agar ia dapat menghindari dari memprovokasi orang-orang. Jika
kamu berlalu pada pintu rumahnya, para pembantunya akan memberikan kabar yang sama kepadamu
dengan atas nama keimanan yang juga sama. Dia adalah manusia bijak dan mulia. Menebar
kasih sayang pada sahabat-sahabatnya dan tidak mengurangi rasa cinta dalam dendam pada musuh-
musuhnya." "Demi Allah! Aku memohon kepadamu, wahai Tuan Puteri, siapakah orang ini?"
"Aku mengira kamu lebih tahu dan cerdik untuk lebih mengenal dirinya."
"Namanya berlalu dari lidahku. Akan tetapi paling membenci kutukan dengan
prasangka. Bukankah dia adalah Naila Al Dimasykia?"
"Benar! Benar! Dialah orangnya, Sahabatku. Dialah mutiara Cordova. Kerentaannya
sungguh menggeregetkan. Apakah dia takut pada bulan?"
"Dia adalah seorang sastrawan pintar. Dia memiliki gaya bahasa yang menakjubkan
dalam memikat para lelaki. Menguasai dan membuat tunduk mereka di bawah titahnya.
Pintu mana pun tidak tertutup untuk kehadirannya. Berbagai undangan kerap mendatanginya.
Rahasia sekecil apa pun baginya tidak ada yang tersembunyi. Rumahnya pun menjadi tempat berkumpul
para pemuda Cordova, bahkan saat ia pesimis akan senyuman para pemuda itu. Ia sebenarnya
meng-mginkan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
agar kau melihat wanita lain. Nafsu ketika kondisi lemah pun tetap merasa puas
memandangnya. Terjejajilah diri dengan khayalan."
Tatkala dia terlena dalam obrolan, tiba-tiba masuk Utbah, seorang pelayan Wilada
seraya berkata, "Wahai Tuan Puteri, sesungguhnya Naila Al Dimaskia pernah menyaksikan
kiamat. Dia saat itu menunggunya di taman bunga ros."
Wilada kemudian menoleh Mohga yang tersenyum takjub. "Seandainya kami mengingat
iblis. niscaya tidak akan datang kepada kami kelaliman. Apa pendorong kunjungan pada
hari kiamat ini, wahai Pemimpi?"
Mohga menggoyangkan dan memanjangkan kedua pundaknya seraya mencibirkan mulutnya
berkata, "Seandainya prasangka datang untuk berbincang-bincang dan melepaskan
kekang lidahnya, ia akan menjelaskan setiap peristiwa dan apa yang terjadi di dalam
kata kebaikan dan kejelekannya."
"Akan tetapi dia benar-benar penghibur. Dia memiliki gaya bicara yang memaksamu
untuk mendengarkan setiap ucapannya, memikatmu untuk bergabung dalam setiap
obrolannya. Dialah mutiara yang tidak terkalahkan para penceloteh kecuali sedikit. Hampirilah ia,
wahai Mohga!" Saat Naila Al Dimaskia berusia enam puluh tahunan, kemolekan tubuh dan
kecantikan wajahnya masih tampak terpelihara. Ia ibarat sebuah taman yang dibiarkan
pemiliknya selama beberapa tahun sehingga mengeringlah tumbuh-tumbuhan yang kering, layulah
tumbuh-tumbuhan itu. Patahlah ranting-ranting yang tidak kunjung mengulurkan tangan untuk
mematahkannya Reruntuhan puing-puing pagar berserakan di sekelilingnya. Pagar itu seolah
memekik sedih sepanjang hari. Atau, mudah-mudahan ia seperti bait syair yang telah digubah
dengan bait-bait gaduh yang tak indah dan berirama sehingga nyaris kehilangan gaya bahasa dan
nilai sastranya. Ia ibarat sebuah kecapi yang kehilangan bunyinya. Senarnya acak-acakan sehingga
suaranya menjadi kacau dan mendesing laksana erang kesakitan. Ibarat surat cinta yang
ditulis tanpa kasih sayang dan sanjungan sehingga tiada lain rintihan saat
terjaga sepanjang malam dan bencana
yang menyakitkan. Tubuh Naila tinggi semampai dengan daging yang empuk. Rambut keritingnya sering
mengurai pada wajahnya. Tampak pada kulitnya sisa-sisa perjalanan hidup. Kebugaran
tubuhnya mulai melemah. Tidak ada lagi minyak maupun celupan yang dapat melembabkan mukanya
yang ditelan waktu kecuali sedikit sekali.
Watak keras kepalanya masih nampak bekasnya dalam setiap perangainya meskipun ia
sebenarnya mencoba menyembunyikan semua itu dalam setiap perangainya. Meskipun
ia sebenarnya mencoba menyembunyikan semua itu dalam karya seninya.
Dia adalah saksi bertahun-tahun atas kejahatan zaman. Sosok teladan yang tetap
teguh dan tidak membiarkan generasi di belakangnya terperangkap dalam generasi baru. Yang
mengagumkan, meski perjalanan waktu mengurangi kecantikan wajahnya, namun tidak
mampu melorotkan sorot magis kedua matanya dan keindahan suaranya. Dalam paras mukanya
terlintas kilat menyala yang tak kalah pikatnya oleh seorang gadis yang berusia dua puluh
tahun. Suaranya bagaikan senandung dan nyanyian yang tidak tertandingi terlebih
oleh para penyair yang tidak
ternama. Wilada masuk taman. Naila membiarkan Wilada merenung di antara dua sikutnya;
antara - senang dan sedih. Mulailah Naila mendaratkan ciuman bertubi-tubi di kedua
pipinya. Suara ciuman itu laksana kicau burung dipagi hari yang saling bersahutan. Setelah
puteri Al Mustakfi menyambutnya dengan gembira dan mempersilakannya, Naila pun
masuk seraya berkata, "Tidak!
Tidak, Puteriku! Sungguh dendamku masih lestari. Aku telah meneguhkan
keputusanku untuk memperbesar cintaku kepadamu dan memanjangkan kasih sayangku ketika menemuimu.
Ini adalah kali ketiga aku mengunjungimu di mana di dalamnya kau tak membahagiakan
rumahku dengan pengetahuan luasmu dan keberseri-serian untuk menyambutnya. Engkau angkuh
dan men-julangkan langit pada hidung besarnya. Hanya ayahmu yang memiliki seribu
kasih sayang yang dipancarkan padaku. Dengan penuh cinta, ia menghadiri pengajianku dan
mendengarkan ceramahku. Namun, terkadang aku berpaling darinya, karenanya Allah membalasku
dengan memalingkan anaknya dariku. Adalah seorang lelaki mengajarkan waktu dan ajaran."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wilada pun kemudian tertawa dan berkata, "Aku lebih mengetahui politik kehidupan
maupun politik kekuasaan dari beliau. Aku mengunjunginya setelah ia dipecat sehari
sebelumnya. Orang- orang sungguh telah berpaling darinya. Terlepaslah dari dirinya sebagian asa
yang kautemukan dari senda gurau dan tertawanya sehingga mampu menghilangkan kesedihan dan kepu-
tusasaan. Tatkala aku hendak meninggalkannya, ia memegang erat tanganku sambil berkata
dengan tersenyum, 'Seandainya orang-orang selalu berada dalam bimbinganmu, wahai Naila,
niscaya mereka akan melupakan kepahitan sebuah pemecatan dan raja itu ibarat seorang
perempuan farouk. Kau tak sempat menghibur diri dengan menemaninya sampai kau menahan
tantangan dan permusuhannya. Aku lalu segera memotong ucapannya, "Wahai Bani Ummayah! Kalian
memang dilahirkan sebagai raja dan diwafatkan pula sebagai seorang raja. Kalian
memiliki moralitas dan mentalitas kuat nan penuh mahkota dan tongkat kerajaan.
Inilah isi pembicaraanku dengan
ayahmu. Saat itu ternyata menjadi akhir hayatnya. Namun, kini dendam dan
kegelisahanku semakin keras dengan kedatangan seorang puterinya yang manja dan genit; sang
puteri Wilada!" Wilada akhirnya tersenyum penuh bercahaya dan berkata, "Tuan Puteri, sesunguhnya
gadis ini memendam ketulusan cinta dan kejujuran hati kepadamu. Seandainya panas
demam menimpaku, tidaklah akan menghalangiku dari mengunjungimu dengan satu halangan pun. Dia itu
dingin, Tuan Puteri! Ia mewaspadainya sehingga demam itu tidak terasa. Ia ibarat cinta yang
nampak ringan dalam ekspresi dan lemah dalam pembuktian. Ia kemudian angkuh dan keras kepala
sehingga laksana sakit urat syaraf."
Ia kemudian membenarkan duduknya kemudian berkata, "Apakah kau akan keluar pada
sore hari, wahai Anakku" Untuk bertamasya ke tempat yang dekat di malam bulan purnama
misalnya atau terjaga pada malam hari di taman-taman trotoar jalan atau menikmati hiburan
dengan sahabat-sahabat kita di kedai 'Ramirez'. Di kedai ini, gadis-gadis Spanyol
menggelar tarian-tarian yang menakjubkan."
"Hal itu jarang sekali, wahai Tuan Puteri!"
"Bagus! Bagus, wahai Anakku! Sesungguhnya dunia ini lebih sempit dari sekadar
timpaan bingung dan kesedihan."
Ia kemudian meletakkan kedua sikutnya di pinggangnya dengan penuh rasa sakit dan
mengaduh ia berkata, "Ah, seandainya para pemuda mengetahui apa yang berada di
balik uban rambutnya! Kemarin, Syekh Mujahid Al Anshari - seorang khatib di
masjid Ummu Salamah - datang ke rumahku. Dia seorang lelaki agung dan menjaga dirinya dari perbuatan
dosa. Ia takut untuk banyak berkata-kata karena khawatir tergelincir dosa. Ia tidak melewatkan
pandangan sehingga menjerumuskan dirinya pada jurang neraka jahanam.
Beliau adalah seorang ulama yang berhak dipakaikan 'qalis' kepadanya. Di
Cordova, seseorang tak berhak memakai qalis tersebut di kepalanya selain orang-orang yang hafal
kitab Al Muwa-tha' karya Imam Malik. Tidak datang kepadaku seorang Syekh pun kecuali jika ia punya
anak yang menginginkan anaknya itu terdaftar sebagai penerima zakat. Setelah mengetahui
hubunganku dengan menteri Abu Hafs bin Burd, ia menyambutku dengan menundukkan kepala dan
memicingkan kedua matanya.
Ia menyingsingkan bajunya demi menjaga diri. Seolah-olah ia khawatir Lajunya itu
menyentuh ujung bajuku. Aku lalu berkata dalam diriku dengan memekik,' Aku sepakat
denganmu, wahai sang musuh! Bukalah kedua matamu, sesungguhnya jika engkau ber-buat sesuatu
niscaya tak akan menimpa dirimu suatu kejelekan. Aku bersumpah sekalipun kau mengunjungiku
tiga puluh tahun yang lalu, niscaya ia membelalakkan matanya kepadaku seperti belalak mata
seekor harimau yang ganas. Kabarkanlah kepadaku keadaan sebenarnya mengenai anaknya.
Harapanku ketika aku membisikkan pada sang menteri, ia akan menerimanya. Kemudian ia
bertolak laksana air bah yang mengalir panas sepanas neraka jahanam dan segala macam siksaan yang
pedih di dalamnya. Ketika aku menyebutkan bahwa Allah luas rahmat-Nya, maha pengampun
atas segala kesa-lahan dan dosa-dosa serta Maha Penerima Taubat, ia bingung dan terkejut
sebagaimana kekagetan seorang pemburu ketika mendapatkan unta buruannya yang hampir
melarikan diri. Tuan Puteri, ia pun segera berujar dengan marah mendengar hal ini.
Para pendurhaka itu ternyata telah menipu diri mereka sendiri. Sesungguhnya
berpegang rahmat Allah menjadi binatang tunggang-an para pendurhaka. Saat ini, aku
menginginkan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
bersenda gurau dengan laki-laki ini dan berkata, 'Kalau begitu, kenapa Allah
menciptakan berbagai kesenangan di dunia ini, Tuanku"' Lelaki itu menceracau kebingungan dan
berkata, 'Kesenangan....." O, ya kesenangan"' Jawabku, 'Ya, kesenangan! Kenapa diciptakan
untuk kita harta dan kedudukan" Kenapa Allah menciptakan bunga yang hijau, buah yang
matang, burung yang berkicau dan sungai yang mengalir deras" Kenapa pula diciptakan pagi yang
cerah, madu yang manis, bulan purnama yang membuat seseorang terjaga dari tidurnya, dan
malam yang sunyi" Semua itu nikmat agung, Tuanku. Tentang kenikmatan ini, Allah Swt.
berfirman, 'Sekiranya kalian menghitung nikmat Allah, niscaya kalian tidak
menghinggakannya. Sesungguhnya manusia
itu sangat zhalim dan sangat mengingkari nikmat-nikmat Allah."
Ia tak meneruskan ucapannya karena merasa khawatir. Ia lalu segera memakai kedua
sepatunya dan bertolak dengan penuh rasa takut dan kaget. Wilada akhirnya
berdiri dan berkata, "Luar biasa orang-orang ini! Mereka ternyata mampu membatasi karunia Allah yang
begitu luas dan agung."
- Naila buru-buru memotong, "Akan tetapi, sebagian mereka di antaranya
bersenang-senang dengan nikmat Allah yang hukumnya mubah. Mereka riang gembira dengan syair dan
puisi tanpa menyia-nyiakan nikmat Allah sedikit pun. Amr Al Malqi telah memberitahukan
kepadaku bahwasannya ia pernah mengunjungi sebuah kuburan di hari yang cukup terik. Ia
lalu berteduh ke salah satu masjid yang ada di tempat tersebut. Ketika sampai di
dalam, ia menjumpai seorang
penceramah yang tengah berceramah dengan perangai yang cukup baik. Sosoknya
menampakan kezuhudan. Tatkala keduanya mulai berbincangbincang tentang berbagai perkara,
sang pengkhut- bah itu pun meminta kepadanya agar menyenandungkan sebuah syair orang-orang
Andalusia. Ia pun mendendangkannya: Mereka merampas suatu pagi sehingga mempercantik pipi.Mereka mencabut akar-akar
Pembawa Kabar Dari Andalusia Karya Ali Al Ghareem di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pohon Arok yang terkoyak-koyak.Di belakang, mereka melempar Y akut tanpa pengorbanan.
Mereka lalu memasangkan kelabu bintang sebagai kalung
Syekh itu pun berteriak histeris sambil berdecak kagum. Ia bertepuk dengan kedua
tangannya. Saking larut gembiranya, kewibawaannya hampir saja tercerabut. Ketika ia
menyadarinya, ia berujar, 'Maafkan aku, wahai Anakku! Ada dua hal yan membuatku terpaksa tidak
dapat mengendalikan diriku. Kedua perkara itu adalah; suara yang merdu dan syair yang
indah." "Saya mendengar bahwa Muhammad bin Abdullah, seorang hakim negara pada masa Al
Nashir, keluar pada suatu hari untuk menghadiri upacara pemakaman. Kebetulan
sang mayat memiliki saudara laki-laki yang rumahnya dekat pekuburan Quraisy. Maka ia pun
ingin mengunjunginya. Ia dijamu dengan berbagai macam makanan. Tak lama kemudian, sang
pribumi memanggil pelayannya seraya bersenandung:
Suguhkanlah setitik embun segarmu dalam sebuah gelas.Dengan sinar merah wajahmu
laksana buah apel.Apabila musim semi bertiup sepoi-sepoi anginnya.Tumbuhkanlah
angin sepoi- sepoi itu dari lubuk hatimu.Apabila tiga malam terakhir dari bulan gelap
gulita.Kecerahan wajahmu dalam gelap laksana pelita
Sang hakim pun berdecak kagum. Sampai-sampai ia menuliskan bait-bait syair itu
di tangannya. Ia kemudian keluar untuk menunaikan shalat jenazah. Orang-orang lalu
melihat tulisan bait-bait syair di tangannya itu. Dia lalu bertakbir memulai
shalat jenazah. Hakim ini terkenal sebagai sosok zuhud dan hakim yang adil di
antara mereka. Wahai Puteriku, sesungguhnya jika
orang-orang itu benar-benar takut kepada Tuhannya di saat bersembunyi maupun
terang- terangan, niscaya ia akan menjauhi dosa-dosa besar dan permusuhan. Ia berhak
menikmati seluruh kenikmatan yang telah dianugerahkan Allah sebagai kesenangan yang
halal." Naila kemudian memandangi dengan tajam muka Wilada seolah-olah ia menginginkan
untuk menyingkap tabir rahasia yang tersembunyi di balik wajahnya itu. Naila berkata
sambil berkelakar, "Siapakah gerangan kini pemenang pertama dalam meminang sang puteri Hasan dan
Jamal itu?" "Pemenang yang mana" Hasan dan Jamal yang mana, wahai Naila?"
Muramlah muka Naila seraya berkata, "Engkau tidak dapat menyembunyikannya
dariku, wahai Anakku! Apa gunanya disembunyikan padahal kabar itu sudah menjadi buah bibir
orang-orang dan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
isu di antara mereka" Bahkan setiap ranting pohon di taman Cordova sering
menyeru rekan- rekannya sambil berbisik, 'Wilada dan Ibnu Abdus! Wilada dan Ibnu Abdus!'"
"Ibnu Abdus hanyalah memenuhi undanganku setiap malam. Ia tak lebih seorang
pemuda sastrawan dan penyair. Kami jarang berbincang-bincang dengannya."
"Ah, biasa. Wahai Anakku, jarang ngobrol dan bertemu itu sesungguhnya awal dari
pendam perasaan setiap lelaki dalam menyingkapkan perasaan sebenarnya. Wahai Wilada,
perlihatkan-lah kepadaku segala perasaan hidupmu sebelum engkau kehilanganku. Aku sering
mendapatkan beberapa masjid di mana para pengunjungnya mendapatkan hidayah dan menginsyafi
segala kekhilafannya. Ibnu Abdus itu sosok mulia dan terhormat. Ibnu Abdus adalah
seorang penyair unggul dan penulis kawakan. Ibnu Abdus adalah seorang menteri yang cukup bijak
dan sangat mulia. Nyaris tidak ada cela sehingga ia begitu dipercayai sahabat-sahabatnya.
Jangan kauharapkan imbalan darinya. Cukuplah cela namanya yang Spanyol itu untuk
menunjukkan perangainya yang buruk. Karenanya, ia mesti menjauhkan diri untuk mengharapkan
sebuah jalinan cinta dengan puteri-puteri khalifah. Hal ini menjadikan dirinya putus
asa, sepengetahuanku. Aku mengira bahwa engkau pun menjatuhkannya, ini tentunya sepengetahuanmu juga.
Di antara pemuda Cordova yang memiliki harta dan kedudukan yang menyerahkan
hidup mereka untuk mendapatkan kemuliaan dengan menikahimu. Namun, yang membuat aku
jengkel kepadamu, wahai Anakku, engkau adalah burung yang tidak mau hinggap pada satu
dahan dan tidak' merasa cukup dengan satu ranting. Engkau itu sangat angkuh! Tatkala kau
berniat memperoleh sesuatu, sangat mudah untukmu.
Engkau pun akhirnya memperolehnya darinya. Setelah itu, engkau kemudian akan
meminta sesuatu yang lainnya yang sulit untuk dipenuhinya. Engkau begitu lemah dalam
meng-arungi laut kehidupan yang cukup bergelombang ini. Setiap perahu yang ingin berlabuh di
daratanmu, tetapi apabila kamu jemu, kau pun kemudian mengkhianati yang pertama dan singgah pada
perahu berikutnya. Pertemuan yang kauseleng-garakan sesungguhnya hanyalah cara guna
menghimpun pemuda-pemuda terhormat Cordova keturunan bangsawan dan orang-orang yang
memiliki pengaruh besar. Engkau menyambut mereka dengan senyuman. Yang satu dengan
anggukan kepala, lainnya dengan keramahan gaya bicara. Bahkan dibumbui pula dengan janji
palsu. Tidak! Engkau sama sekali tidak mencintai mereka semuanya. Engkau Kanya menginginkan
materi sehingga diharapkan dapat melunakkan hatimu yang tengah bingung. Hatimu sungguh
dipenuhi ambisi pada orang-orang yang dianggap baik untuk kemudian dipilih menjadi
pendamping dan orang-orang yang hendak mewujudkan niatnya untuk meminangmu. Puteriku, engkau
bagaikan orang kikir yang menahan kekayaannya untuk diperjualbelikan karena khawatir
tertipu satu dua dirham. Anakku, bersegeralah menentukan pilihan.
Masa muda adalah kesempatan. Karena sesungguhnya bunga ros apabila sudah layu,
tidaklah sedikit pun akan tersisa keindahannya selain seonggok duri! Bersegeralah untuk
menentukan pilihan! Jauhilah setiap perilaku bangsa Quwath dan Barbar. Sesungguhnya aku
tidak menyukai sikap Barbar. Mereka itu sangat membenci kami karena usaha Thariq bin Ziad dan
aku tidak suka dengan sikap mereka ini. Lalu, di manakah orang-orang saat Musa bin Nushair atau
anaknya Abdul Aziz berhasil dibunuh oleh bangsa Barbar itu?"
"Demi Allah, berhentilah engkau, wahai Naila, dari membicarakan bangsa Barbar
dan tentang pernikahan itu! Lebih baik marilah kita mulai membicarakan berbagai
kejadian dan rahasia-di kota ini sekaligus berbagai seluk-beluknya."
"Kota ini tetaplah dalam keadaan tenang. Namun aku kira, ketenangan itu tidak
akan berlangsung lama. Tuan Puteri, ketenangan itu hanyalah ketenangan anak kecil
yang sedang marah yang tengah meminta dibelikan mainan namun tidak diperolehnya. Maka ia
akan menceracau dan merengek-rengek sampai kemudian ia merasa bosan dengan ceracauan
dan rengekan itu. Anak itu akan berdiam diri sebentar guna menanti kesempatan untuk
berjingkrak- jingkrak. Wahai Wilada, orang-orang Cordova itu sesungguhnya tidak rela satu
sistem pemerintahan selain sistem kekhalifahan. Mereka itu mencintai kekhalifahan,
menghormati kedudukannya, dan menaati kebijakan-kebijakannya. Datangkanlah kepada mereka
seorang khalifah dengan bangga, kemudian lihatlah olehmu bagaimana mereka mengagungkan
dan memuliakan sang khalifah. Mereka sesungguhnya rela dengan kepernimpian pada masa
pemerintahan Al Manshur bin Abu Amir sekalipun dikatator. Dikarenakan mereka
telah bekerja Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
keras untuk mengangkatnya dan kemudian wajib untuk menolongnya. Kalaulah
sekiranya mereka tidak mau bersabar atas hal itu suatu hari atau pada beberapa hari - yang padahal
pemerintahan ini dianggap batal oleh Ibnu Jahwar - percayalah, Tuan Puteri, sesungguhnya aku
mencintai orang ini dan mengagumi ketulusan dan kesuciannya, sebuah pemerintahan yang bergabung
dengan sekelompok orang untuk menyiasati negara dan menguasai sepenuhnya, niscaya aku
tak dapat memperkenankannya.' "Menurut mereka, Ibnu Jahwar mengabarkan hal itu dari para pembesar Yunani dan
Romawi." "Bukan! Bukan Yunani maupun Romawi, wahai Wilada! Ia hanyalah seorang lelaki
yang menilai orang-orang yang bertindak sewenang-wenang dengan pemerintahannya
mesti dihadiahi sebuah ciuman untuk menggulingkan mereka dari singgasananya. Ia mengelus janggutnya dan
kemudian bersembunyi di balik sekelompok orang-orang untuk mengambil alih kekuasaan tanpa
menjadikan diri dan para pengikutnya dalam deretan nama penggantinya.'
"Engkau ternyata tahu banyak, wahai Naila!"
"Sesungguhnya aku mengetahui rahasia setiap lelaki dan perempuan di negeri ini.
Jika tidak demikian, niscaya aku tidak akan mendapatkan berbagai penghormatan
ini dari mereka. Sesungguhnya orang-orang itu hanya tunduk pada rasa takut namun tidak mau tunduk
dalam mencurahkan pada apa yang diketahuinya"
"Beberapa hari yang lalu, Ibnu Zaidun menemuiku. Aku menasihatinya agar ia
menjauhi wanita yang telah mengundangnya, Aisyah binti Galib. Dia adalah seorang
wanita berkebangsaan Spanyol. Perangainya sangat buruk. Dia juga seorang mata-mata orang-orang
Spanyol. Adalah berlebih-lebihan jika engkau berusaha menutupi rahasia-rahasia tentangnya. Dia
itu wanita yang berbahaya. Pemburu para lelaki dan selalu menjanjikan kepada
setiap mereka bahwa ia siap
dinikahi. Namun, ketika ia merasa jemu dengan mereka, ia pun menelantarkan
mereka dari kedudukan mulianya laksana melemparkan kulit jeruk. Aku selalu menasihati banyak
pemuda. Aku sering menceritakan segala sesuatu tentang dirinya.
Aku memberitahukan kepada mereka bahwa-sannya ia pernah membuka jendela rumahnya
pada Abu Al Qasim putera hakim negara. Ia lalu menutup baginya jalan dan mulai
memikatnya dengan berbagai rayuan. Sang Abu akhirnya terangkat bak disihir dan ditarik. Ia
kemudian mengawini gadis itu dan hidup dalam surga cintanya sebagaimana seekor burung
yang hidup dalam sangkar emas. Ketika api sihir mulai reda sehingga menghilangkan pandangan
buta sang Abu, ia pun bersikeras ke luar dari surga ini untuk masuk dan berlindung pada
surga yang lain yang lebih luhur yang ada di Andalusia. Akan tetapi sang gadis terus mencucurkan
air matanya seraya menanyakan apa penyebab diri sang suami menceraikan dirinya. Sang gadis
pun merasa pesimis dan terpaksa menerima jerat-jerat dari perlakuan yang dilakukannya. Saat
ini ia tidak berhasil. Sang suami terus berusaha untuk menceraikan isterinya itu. Ketika sang
isteri berputus asa dari suaminya, ia meyakini bahwa penolakan dirinya adalah
suatu hal yang tidak mungkin. Ia kemudian memohon suatu permintaan untuk
menerima pemberian darinya. Ia telah
mempersiapkan sebuah pil yang telah dibumbuhi racun.
Ketika mulai mau berpisah, sang isteri menangis dengan tersedu-sedu dan ia
memeluk erat suaminya seolah-olah hendak mencekiknya hingga mati. Ibu sang isteri lantas
memberitahukan kepadanya bahwa sepasang kekasih harus membelah dua sebuah pil ketika hendak
berpisah, niscaya akan kembali kepada pemiliknya (suami-isteri) segala sesuatu yang sempat
hilang. Dikarenakan setengah pil yang satu tidak dapat meredakan musibah sehingga harus
dibagi dua. Sang isteri jahat itu lalu membenarkan pendapat ibunya. Pil itu akhiirnya
dibelah menjadi dua. Sang isteri lalu memberikan setengah pil itu pada suaminya yang kebingungan.
Sang suami kemudian menelannya. Ia kemudian pulang ke rumahnya. Tak lama kemdian, sang
suami akhirnya resmi menjadi penghuni kubur."
"Setelah mendengar kabar ini dariku, tidak henti-hentinya Ibnu Zaidun merasa
kaget dan merah muka. Ia menjadi gelisah. Aku memastikan, dia akan melepaskan
diri dari wanita itu sebelum
akhirnya ia masuk dalam perangkapnya. Wahai Wilada, Ibnu Zaidun itu seorang
penulis terkenal sekaligus penyair paling berkicau di seluruh Jazirah Andalusia ini. Dia tengah
tertimpa masalah. Adalah tepat bagimu untuk mengundangnya ke pestamu yang dipenuhi oleh sastrawan-
sastrawan terkenal Cordova dan petinggi-petinggi negara."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wilada menggeser-geserkan badannya di tempat duduknya itu seolah-olah bingung
dan resah. Kepalanya berputar-putar karena sejak tadi pagi ia hanya mendengar cerita
seorang Ibnu Zaidun. Tentang berbagai kelebihannya, tentang cemooh semua orang terhadapnya. Wilada
yang menilai laki-laki dengan keunggulan sastranya itu ternyata mampu membangkitkan rasa
angkuh dalam dirinya. Akan tetapi dia khawatir seandainya Aisyah memasang perangkap pada
lelaki itu untuk menjadikannya sebagai suami baginya. Namun, sang lelaki itu hanyalah seorang
Pembawa Kabar Dari Andalusia Karya Ali Al Ghareem di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sastrawan dan penyair. Bukan seorang anak pejabat maupun petinggi negara yang mampu mewujudkan
semua keinginannya itu. Beberapa saat Wilada mulai bingung dengan obrolan kali ini. Aku kemudian
mendengar dirinya berujar, "Wahai Naila! Pertemuan ini tidak terbuka bagi para penulis amatiran!"
Wilada terus nyerocos mengungkapkan seluruh luapan hatinya sehingga membuat
rongga dada Naila penuh sesak. Naila pun tertawa terbahak-bahak dan memekik kaget
bercampur bingung, "Ibnu Zaidun seorang penulis amatiran"! Wahai Tuan Puteri, apakah kau
hidup di Cordova ataukah di atas awan dan di balik lembah Ya'juj dan Ma'juj"
Bersegeralah, Tuan Puteri, sebelum engkau ketinggalan kereta. Kemarilah,
rekatkan-lah telingamu! Aku beritahu kamu suatu
rahasia yang aku telah bersumpah untuk menyembunyikannya dan tidak
memberitahukanya kepada seorang pun!"
Naila kemudian berbisik kepada Wilada dengan sangat hati-hati; "Sesungguhya Ibnu
Jahwar tengah memercayakan pada Ibnu Zaidun untuk mengantarkan dirinya ke singgasana
kementerian dalam waktu dekat ini"
Wajah Wilada mendadak tampak bingung. Ia tidak mengira bahwa Naila mengetahui
hubungannya selama ini dengan Ibnu Jahwar. Padahal, dia telah bertekad untuk
menyembunyikan rahasia ini. Wilada lalu berkata dengan' penuh kesenangan, "Ibnu Jahwar itu
adalah sosok yang bijaksana dan pemburu kesempatan. Ia mengetahui tempat di mana
ia menemukan sesuatu. Ia juga mengetahui bagaimana harus menolong seseorang saat ia dimintai pertolongan.
Ia mengetahui hubunganku dengan para menteri, petinggi negara, dan pemuka
masyarakat. Ia mengetahui desas-desus di Cordova bertumpuk di depan pintu rumahku sebagaimana
berkumpulnya ombak di pesisir pantai laut hijau (Al Ahdlar). Maka dari itu,
tidak heran jika ia mengunjungi rumahku dari waktu ke waktu. Bukan hal aneh ia
berbincang denganku seputar
masalah-masalah bangsa ini. Aku kembali mengingat nama Ibnu Zaidun tatkala
terakhir kali ia mengunjungiku. Aku melihat wajahnya mengerut dan mengembang bagaikan kepalan dan
bentangan tangan ini. Aku bertanya kepadanya, 'Adakah yang membuatmu bingung,
wahai Ibnu Zaidun?" Ia tersenyum seraya menjawab, "Ya, aku kagum. Nfcianya aku khawatir
kepandaiannya itu menipu dan tergelincir dengan rasa sombongnya."
Inilah penilaiannya sebagaimana yang diceritakan Naila.
Aku berujar kepadanya, "Dia itu lebih baik dari seribu pejabatmu yang hadir,
Ibnu Zaid Al Hassan. Mereka itu selamanya adalah mutiara kekonyolan dan simbol
kekalahan pasukan balatentara. Mereka tidak suka jika melihat sebuah cangkir penuh dengan air dan
mengobati rasa dahaga. Seandainya cangkir itu mengenyangkan, mereka pun mengisi
penuh kembali. Sebaliknya,
apabila cangkir itu penuh, mereka pun meminumnya hingga perut mereka kenyang."
Ibnu Jahwar tersenyum kecut seraya berkata, "Ibnu Zaidun sahabatmu itu adalah
orang lama di daerah ini. Orang yang dikenal paling baik. Terakhir aku mendengar
desas-desus tentang hubungan dekatnya dengan Aisyah binti Galib. Engkau tentunya lebih banyak
mengetahui watak wanita itu ketimbang apa yang aku ketahui."
Aku akiiirnya mencoba membohongi dirinya dan berkata dengan lirih, "Dia telah
meninggalkan wanita itu dan telah memutuskan hubungannya dengan wanita
tersebut." "Itu benar-benar berita baik dan menggembirakan!" Ia kemudian memegang kedua
pundakku dengan tangannya. Sambil berkelakar ia berkata, "Ibnu Zaidun itu sosok
yang kerap dimintai seseorang menduduki jabatan sebelum ia memintanya.
Percayalah, dia itu dalam waktu dekat
pasti akan menjadi seorang menteri."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Aku menjawab, "Bangsa ini benar-benar membutuhkan pandangannya, ide-idenya, dan
tipe kebijaksanaannya. Kecintaan rakyat Cordova kepadanya terhimpun di seluruh
pelosok negeri dengan kata yang sama. Dia berjuang bukan karena kekayaan yang melingkupi
singgasana kekuasaan sebagaimana para pendahulu-penda-hulumu. Tak tahu, apakah aku kelak
akan mendengar bahwa kau akan memilih dia sebagai menteri."
Naila kemudian menoleh kepada Wilada seraya berkata, "Apakah kau tercengang
mendengar kenyataan ini, wahai Puteriku?"
Wilada hanya tersenyum simpul seraya menjawab, "Bagaimana aku harus menjawabmu?"
Wilada tidak berkata sepatah kata pun. Hanya tatkala ia berdiri dari duduknya,
ia berbisik dekat telingaku sambil berbisik, "Sungguh kita telah riang gembira
malam ini dengan berbagai cerita yang kebetulan itulah yang aku inginkan, wahai
Naila! Janganlah engkau ceritakan rahasia ini.
Cukuplah hanya aku dan engkau yang mengetahuinya. Janganlah engkau libatkan
orang ketiga!" Naila tertawa terbahak-bahak sambil mengedipkan matanya. "Bukankan engkau telah
melihat sendiri bagaimana aku menjaga suatu rahasia dan tidak melibatkan pihak ketiga?"
"Karena itu, cepat atau lambat, Ibnu Zaidun pasti akan menjadi seorang menteri?"
"Setelah tiga hari. Biarkanlah sekarang aku menceritakan kepadamu apa yang aku
ketahui demi menyelamatkannya. Aku akan mengundang
Ibnu Zaidun dan sahabat-sahabat dekatnya dari kalangan para penulis, sastrawan,
dan para menteri. Aku juga akan mengundang gadis Cordova yang cantik-cantik dan keturunan
bangsawan. Jadilah malam itu pesta meriah yang tidak dapat tertandingi pesta lain sepanjang
zaman. Tidak lupa pula aku pun mengundangmu. Pesta tersebut tidak akan terwujud jika sang
Wilada binti Al Mustakfi tidak merasa senang, bahagia, indah, dan gembira. Tuan Puteri, aku
harap kau menghadiri undangan ini sebagai penghormatanku."
Sejenak Wilada berpikir. Terlintas dalam khayalannya bahwa takdir bisa
mempertemukan dirinya dengan Ibnu Zaidun. Sungguh dia tidak bisa berpaling dan menafikan
keinginan takdirnya itu. Ia berujar, "Aku menerima undangan ini dengan senang
hati dan gembira. Aku sangat
berterima kasih sedalam-dalamnya atas bantuanmu ini."
Naila bangkit berdiri. Ia menciumi Wilada bertubi-tubi sebagai tanda perpisahan.
Rongga dadanya benar-benar penuh sesak dengan berbagai cerita yang penuh kepiluan.
Belum sempat Naila meluruskan duduknya di tandu, ia memerintahkan para
penandunya segera bergegas pergi menuju rumah Ibnu Zaidun untuk mengundangnya dalam rencana
pertemuan itu. Tatkala Naila masuk ke rumahnya, ia melihat Ibnu Zaidun tengah sedih dan murung.
Dia lalu bertanya kepadanya tentang masalah yang membuat Ibnu Zaidun begitu bingung dan
gelisah. Ibnu Zaidun menjawab, "Hampir seluruh teman-temanku menyarankan kepadaku agar
aku menjauhinya. Banyak sekali di antara mereka yang mengecamku jika aku bertekad
menikahinya. Namun, di sisi lain, aku juga khawatir dengan kemarahannya. Sungguh aku tidak
kuasa untuk berbuat lancang sekemampuanku dalam memutuskan jerat cintanya itu.'
Naila tertawa seraya berkata, "Masalah inikah yang merisaukanmu sampai-sampai
mengecutkan kecerahan wajahmu yang berseri-seri itu" Baiklah, sekarang aku akan
menulis surat kepadanya dengan tegas dan singkat bahwa kau ingin memutuskan segala hubungan
pertemanan kalian berdua. Engkau tidak usah cemas dan khawatir, insya Allah tidak akan
terjadi apa-apa." "Aku benar-benar tidak kuasa, wahai Naila! Aku benar-benar khawatir."
Naila segera memotong, "Tulislah, wahai Abu Walid! Serahkanlah urusan ini
sepenuhnya kepadaku. Takut pada seekor ular tidak akan mampu membunuh ular itu. Ketahuilah,
pembantu Aisyah, Galia, adalah mata-mataku di rumahnya sejak lama. Aku akan berbuat apa
saja sekemampuanku untuk menjauhkanmu dari kejahatan wanita itu. Berdirilah, wahai
Anakku! Jabatan menteri telah mengepakkan kedua sayapnya di atas pintu rumahmu. Aku
telah membohongi Ibnu Jahwar bahwasannya engkau telah mengusir Aisyah dan melepaskan
pakaianmu dari pakaiannya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ibnu Zaidun berdiri dan kemudian membaca surat yang telah dituliskan Naila
dengan berulang-ulang kali.
"Ini adalah surat terakhirmu. Mulai saat ini engkau jangan berharap untuk
menemuinya lagi. Buanglah rasa putus asa dari dirimu. Karena menurutku jika kau berpaling sedikit
langkah saja, niscaya kau tidak akan kembali kepadanya."
Ibnu Zaidun kemudian memanggil pembantunya, Ali, untuk segera mengirimkan surat
itu ke rumah Aisyah. Ia kemudian melirik Naila seraya berkata, "Pernahkah engkau
mendengar kisah Thariq bin Ziad saat ia membakar perahunya di Selat Gibraltar"
Hari ini, aku juga telah membakar perahuku. Terserah Allah apa yang akan terjadi
sebelum dan setelannya!"
0==0 03 Telah penulis ceritakan pada para pembaca bagaimana karakter seorang Naila Al
Dimasykia sekemampuan apa yang dapat ditulis dan digambarkan mengenai sosok
dirinya. Penulis berupaya menghindari untuk membeberkan lebih jauh seputar aib
sifat-sifatnya, tabiatnya, dan gaya hidupnya yang konon murah hati dan dermawan.
Namun, ia pun bingung memilih jalan hidupnya.
Ia mengetuk semua pintu Allah Swt. menelusuri setiap jalan.
Penulis tidak bermaksud memberitahu para pembaca untuk menguraikan apa yang
penulis ketahui tentang tabiat dan filsafat kehidupannya agar penulis tidak
terjebak untuk mengacaukan jalan pikirannya yang barangkali telah menyerupai
dirinya, kendati sedikit informasi tentang gelagat seluk-beluk kehidupan wanita
itu lebih banyak dari apa yang penulis ketahui, atau dari hal samar yang penulis
kira bahwa penulis benar-benar mengetahuinya.
Yang paling merusak seseorang adalah memikirkannya dengan mendengki segala
keinginannya. Hendaklah memberitahukan segala sesuatu maka usahakan untuk tidak
menafikan segala pikiran dan keinginan yang meliputi dirinya. Ia akan
menciptakan gambaran dan kesan yang dapat menenteramkan hatinya.
Naila berasal dari keluarga pendatang di Andalusia. Abdurrahman Al Nashir
lidinillah menarik kakeknya dari negeri Syam pada tahun 330 Masehi. Kakeknya itu
kebetulan pakar pertanian yang ahli menggarap tanah dan bercocok tanam berbagai
macam buah-buahan. Ia kemudian diserahi tugas mengurus seluruh urusan sawah dan ladang. Kakek Naila
ternyata berhasil dengan sempurna. Ia mencurahkan segala kemampuan dan
pengetahuannya melebihi kesungguhan para pekerja kuat dan jujur lainya.
Tidak lama kemudian, setelah beberapa tahun lamanya, teciptalah taman surga yang
penuh dengan aneka buah-buahan sehingga menghasilkan banyak investasi. Khalifah
lalu memberi hadiah atas keberhasilannya itu sebidang tanah dekat Kota Cordova
yang membentang sepanjang tepi pantai 'Al Wadi Al Kabur' dalam jarak yang cukup
panjang. Keluarga Al Dimasyki menggarap tanah itu dengan telaten dan penuh kesungguhan.
Ia mendatangkan berbagai macam bibit buah-buahan dari Syam ke Cordova. Ia
kemudian menanam berbagai macam buah-buahan itu sehingga tumbuh berkembang
pesat. Tumbuhlah dari aneka buah-buahan itu kualitas tanah yang tidak
tertandingi di belahan timur. Bertambahlah pendapatannya. Kekayaannya terus
bertambah sampai akhirnya ia tercatat sebagai seorang konglomerat di kota itu.
Tatkala ia mendapatkan momongan, ia mewariskan seluruh kekayaannya pada anaknya
dan tidak memberikan sedikit pun dari kekayaannya itu selain kepada anaknya.
Anaknya itu kemudian menikahi seorang gadis cantik keturunan terhormat yang
berasal dari keluarga kaya. Keduanya lalu melahirkan Naila. Setelah melewati
beberapa tahun, ayah Naila meninggal dengan naas. Ia meninggalkan warisan harta
yang cukup berlimpah. Kemudian, ia menikahi salah satu anak bibinya. Ia berbahagia dengan
perkawinannya itu. Belum juga duka pertama berakhir, kebahagiaan itu ternyata tidak bertahan lama.
Bayi yang masih dalam kandungannya meninggal. Setelah itu, suaminya pun terbunuh
pada masa-masa perang Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
dengan orang Barbar. Pada hari yang mengenaskan itu mereka membantai orang-
orang. Yaitu pada saat mereka menginvasi Cordova untuk mengudeta pemerintahan guna
mengembalikan Al Musta'in Billah ke singgasana.
Naila sangat terpukul kehilangan suaminya itu. Sebuah kesedihan mendalam dengan
penuh rasa bimbang dan gelisah yang tidak pernah dirasakan sebelumnya. Sampai-sampai
ia tidak bergabung dengan sahabat-sahabatnya dalam waktu yang cukup lama.
Setelah beberapa tahun lamanya, kebahagiaan itu akhirnya kembali menghampiri
dirinya. Bahkan nyaris berhura-hura dan besenang-senang. Ia memiliki harta, kesenangan,
dan kekayaan. Kelebihan lainnya, ia adalah seseorang sastrawan, terpelajar, bagus tutur
katanya sekaligus humoris. Kelebihan lain yang paling tampak di antara wanita yang lain seusianya, ia
menguasai dengan fasih bahasa Spanyol. Ia sering dikejar banyak orang sejak ia mulai dikenal.
Berguru kepadanya pendeta-pendeta Yahudi dan juga para 'qissis' Spanyol.
Pendeknya, Naila kini adalah sosok wanita ceria yang mencintai kehidupan berikut
seluruh kebahagiaan dan kesenangan yang ada di dalamnya. Berbagai pertemuany ang
diselenggarakannya selalu dihadiri pejabat-pejabat Cordova, para petinggi
negara, dan sastrawan-sastrawan terkenal.
Naila duduk di tempat tidurnya. Siang pun mulai terik. Para pelayannya segera
menghadap untuk melayani berbagai kebutuhannya sebagaimana mereka lakukan setiap pagi.
Namun, raut mukanya penuh kesedihan. Kedua matanya membengkak bekas cucuran air mata
sehingga membuat tipis kedua alisnya. Kesedihannya ini hampir menghilangkan putih rambut
di kepalanya yang telah bersusah payah dicat olehnya. Hitam rambutnya kembali tampak bagaikan
gelap malam. Ibarat lumur air dingin yang mengobati penatnya kehidupan. Ringkasnya,
dia selalu ceria di setiap pagi. Dia membujuk tentara yang berwatak tartarian
yang kerap membahayakan dengan
Pembawa Kabar Dari Andalusia Karya Ali Al Ghareem di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berbagai macam tipuan yang tidak diperkenankan olehnya bahkan oleh orang
kebanyakan. Naila duduk di ranjangnya sambil menguap malas. Tak lama kemudian, Su'da,
seorang bendaharawan istana, mengundangnya untuk datang ke istana. Naila pun mengharap
padanya. Su'da berkata, "Aku ingin engkau mencurahkan seluruh daya kreativitas senimu
agar pesta malam nanti tercatat sebagai pesta yang paling meriah di seluruh Cordova.
Janganlah engkau risau soal biaya. Jangan pula engkau bersusah payah memikirkan orang-orang iri.
Aku sudah memberitahumu siapa saja tamu-tamu yang akan datang. Persiapkanlah dirimu untuk
menghibur dan menyenangkan mereka. Persiapkan pula olehmu seluruh kekuatan agar membuat
mereka tertawa dan membebaskan hati-hati yang tengah dirundung keresahan. Aku
menginginkan engkau menghias Kota Cordova dalam pesta di malam nanti dengan aneka keceriaan. Aku
menginginkan pesta itu dapat mengembalikan kejayaan Andalusia, kegembiraan rakyat Andalusia,
dan menghidupkan kembali kelakar ala Andalusia. Bagaimana menurutmu?"
Sejenak Su'da termenung seolah-olah seorang pemikir. Ia mengangkat jari
telunjuknya mendekat dahinya seraya berkata, "Berbagai daftar menu makanan kemarin telah
disediakan di atas hamparan permadani. Macam-macam kelezatan makanan ini
semuanya tersedia mulai dari
makanan terkenal hingga selera .makanan yang belum dikenal sekalipun. Kubah
istana sungguh telah dipenuhi pula oleh aneka rasa minuman bahkan setiap gelas minuman diberi
minyak wewangi kasturi bak air surga. Yang tersisa kini adalah acara hiburannya, dan
untuk hal ini aku berharap kepadamu."
"Antarkanlah aku pada Gaia Al Muna sang penyair, pada Jumana sang penari, dan
pada para penari-penari Spanyol terkenal lainnya seperti group 'Bahana Ramirez'. Ajaklah
Zuraqa sang pelawak yang menggelikan itu! Satu hal yang harus kamu ingat, wahai Naila,
bahagiakanlah mereka dengan alunan nyanyian. Sebab, inilah penyembuh kesedihanku. Anggarkanlah
biayanya sekehendakmu!" Su'da tidak kunjung meninggalkan kamarnya karena keasyikannya hingga kemudian
masuk pelayannya yang memberitahu bahwa di luar ada seorang perempuan bercadar yang
ingin menemuinya. Su'da meminta pelayan itu menyebutkan namanya dan apa keperluannya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Naila merenung keheranan. Ia mengangkat kepalanya. Tersungging di sekeliling
wajahnya senyuman panjang seraya berkata, "Biarkanlah dia masuk, wahai sang pemabuk!"
Tak lama kemudian masuklah seorang perempuan yang bercadar dengan kerudungnya
itu hingga laksana sepotong malam. Setelah wanita itu melewati pintu kamar, ia pun
membuka cadarnya. Ternyata, dia adalah Galia, pelayan Aisyah binti Galib. Sesudah
memberi hormat kepada Naila, ia pun berkata, "Wahai Puan, genderang perang di negeri kita
tengah ditabuh di mana barisan tentara disiapkan dengan pedang yang terhunus.
Sungguh hari-hari sekarang ini
tidak akan berlalu selain dengan kobaran dahsyat yang akan menimpa seluruh
pelosok Cordova." "Wahai Galia! Aku tahu jika Aisyah itu termasuk di antara orang yang hendak
membumihanguskan kota ini dengan kecantikannya hanya untuk membunuh satu orang
musuhnya! Aku tahu juga jika salah satu watak Aisyah itu tidak akan memberikan
kesempatan pada musuh-musuhnya perlawanan. Karena itu, engkau sungguh terlambat memberi
informasi ini hingga kau telah membuatku menabuh balik genderang antara kami dengannya
sehingga kami mampu menghalau setiap serangan yang digencarkannya maupun memadamkan api yang
sedang menyala-nyala."
"Bagaimana kondisinya saat dia menerima surat dari Ibnu Zaidun?"
"Tahukah engkau gunung merapi" Ya, dia itu seperti gunung merapi. Tahukah engkau
ombak laut yang bergelombang dengan hujan lebat dari angin topan" Ya, dia itu ibarat
ombak laut itu. Tahukah engkau "Cukup, Galia! Aku sudah mengetahui semua ini bahkan lebih komplit daripada yang
engkau beberkan. Yang justru membuatku penasaran adalah apa yang ia rencanakan
selanjutnya. Aku ingin tahu kira-kira apa senjata andalannya yang ia pilih dan strategi serangan
apa yang ia gencarkan dalam membidikkan anak-anak panahnya!"
"Tuanku, senjata andalannya tiada lain racun yang mematikan. Senjata ini
dipandang paling ganas dan berbahaya. Aku menangkap dari omongannya bahwa Tuan
Ibnu Zaidun telah membuat
hari-harinya dirundung gelisah. Ibnu Zaidun memang tidak mengontrol dan memiliki
kendali. Ia mengirimkan surat yang bernada ejekan, cemoohan, dan meremehkan pemimpin negeri
ini termasuk pada Ibnu Jahwar. Aisyah menyimpan surat laknat ini di lemarinya. Ia
bertekad di depan dirinya seraya bersumpah dengan mengangkat tangannya untuk
mengumumkan isi surat itu.
Benar saja, kemarin ia menyiarkan surat itu dengan terang-terangan dan kemudian
ia serahkan ke tangan Ibnu Jahwar."
"Celakalah bagi tukang fitnah! Dia benar-benar seorang iblis murni. Sedemikian
tegakah ia menjatuhkan dan memfitnah kami di depan para petinggi negara untuk
merusakkan hubungan yang terjalin baik selama ini?" Ia terdiam sejenak seraya berujar, "Baiklah,
Gaiia, besok aku akan menemuinya untuk mengetahui apa yang terjadi sebenarnya.
Di mana Aisyah menyimpan surat
itu?" "Di sebuah lemari yang berada di samping cermin kamarnya di sebelah barat."
"Di mana ia meyimpan kunci lemarinya itu?"
"Dia tidak pernah melepaskannya. Puanku, baik ketika tidur maupun terjaga. Kunci
itu selamanya dikalungkan di lehernya dengan benang sutra."
"Bagus, Galia! Sungguh bagus!"
Mendengar itu, Naila tersenyum lebar. Ia lalu merogohkan tangannya ke dalam
saku. Ia menghadiahkan segepok dinar pada tangan Galia.
Galia hanya berujar, "Terima kasih. Puan!"
"Informasimu ini benar-benar sesuai dengan jumlah dinar yang berkali lipat ini."
Naila kemudian bertanya seolah-olah khawatir akan bahaya baru mengancam dirinya,
"Apakah mahasiswa Universitas Cordova yang berkebang-saan Spanyol itu masih terus
menemuinya?" "Kadang-kadang saja. Puanku."
"Apakah antara dia dan laki-laki itu terjalin sebuah hubungan cinta?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Galia tersenyum seraya berkata, "Tidak, Tuanku. Dia itu hanyalah pemuda buruk
rupa yang tubuhnya cacat. Dia tidak berbincang kecuali seputar soal kuliah dan dosen-
dosennya di Universitas." "Semoga di balik kebutaannya dia tidak buta, Galia!"
"Benar, Puanku. Akan tetapi hingga sekarang tidak tampak apa-apa dari maksud
kunjungannya itu. Aisyah menyukainya tidak lebih karena ia seorang berkebangsaan
Spanyol, terutama karena ia mahasiswa teladan."
"Siapa namanya?"
"Aspioto. Dia belajar ilmu kedokteran pada Ibnu Zuhar."
"Aspioto! Dia belajar ilmu kedokteran dari Ibnu Zuhar!"
Naila kemudian berdiri seraya berkata, "Aku akan panggil laki-laki ini sekarang.
Akan tetapi, bukalah matamu, wahai Galia! Semoga Allah bersamamu dan senantiasa
menyertai kita." Setelah mengucapkan terima kasih, Galia kemudian beranjak pergi seraya
memakaikan cadarnya kembali sebagaimana ketika ia masuk.
Petang hari tiba. Para pejabat, petinggi negara, dan para pemuka masyarakat
Cordova serta keluarga terhormat lainnya mulai berdatangan. Di antara para undangan terhormat
itu ada Walid Muhammad putera Khalifah Andalusia (Ibnu Jahwar), Abu Hafs bin Burd, Abu Marwan
bin Hayyan sang sejarawan, Ibnu Zaidun, Ibnu Abdus, dan Ibnu Hannath sang penyair buta yang
juga seorang dokter. Adapun di antara undangan wanitanya ada Ummu 'Ala Al Hijaziah seorang sastrawan
penyair dan Maryam Al Arudia majikan Ibnu Galban. Selain itu, pesta itu dipenuhi juga
para gadis-gadis Cordova yang menginginkan kesenangan dan suka melarutkan diri
dalam air bah kemegahan dan
glamouritas. Andalusia memang menciptakan mereka sebagai godaan bagi mahluk
jenis lainnya di muka bumi ini. Perpaduan antara tradisi Arab dan Spanyol merupakan perpaduan sempurna. Antara
timur yang logis dan barat yang elok. Gambaran sempurna ketika kita melihat padang
pasir yang kering tersiram air hujan dan embun kemudian terembus angin dingin
dari sebelah utara. Apabila dalam keelokan tiada banding ini bercampur antara kesantunan tutur kata,
keindahan sastra, dan kesucian hati, hal ini benar-benar akan menjadi godaan bagi orang
yang melihatnya dan memabukkan orang-orang yang sadar sekalipun.
Tidak lama kemudian, datanglah tandu Wilada dengan Yahya Al Qurthubiah ke
istana. Buru- buru Naila menghadapnya. Para tamu pun memberi hormat kepada mereka berdua
dengan penghormatan yang cukup khidmat.
Ketika Ibnu Zaidun hendak memberi hormat pada Wilada, Naila berkata, "Wahai
puteri khalifah, inilah sang penyair Cordova, Ahmad bin Zaidun yang syairnya
merupakan kebajikan."
Wilada lalu mengeluarkan tangannya kepada Ibnu Zaidun sambil tersenyum ramah ia
berkata. "Aku harap agar Anda dapat menunjukkan cemiirimu yang jujur. Tuanku."
Ibnu Zaidun pun merasa tersanjung hingga membuat lidahnya kelu seraya ia
menjawab, "Tuan Puteri, aku sepenuhnya akan memecahkan cermin syairku semuanya. Karena cermin
itu ternyata tidak membuat aku bangga. Akan kubuat cermin baru untuk seorang gadis tercantik
di "seluruh Cordova ini."
Wilada pun menyunggingkan senyum simpul. Ia kemudian berkata dengan suara merdu
yang memekik dan mengagetkan. "Gadis tercantik di seluruh Cordova" Siapakah dia"
Alangkah bahagianya jika aku mengetahui wanita itu!"
"Apabila engkau melihat cerminmu, maka kau akan mengetahuinya pada saat kau
pertama kali memandangnya." Wajah Wilada pun memerah karena menahan rasa malu. Kedua matanya meleleh karena
beradu cahaya kilat pemuda itu. Ia berseloroh, "Syairmu begitu indah dan
memesona, wahai Abu Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Walid! Wahai para seniman penyair, ungkapan deret kata kalian, kami telah
mengetahuinya. Kami juga tahu, semua itu hanya fiktif belaka yang tidak hadir dalam kehidupan nyata
dari setiap bait-baitnya. Karena itu, sedikit pun diri kami tidak pernah merasa
ngilu dan tersentuh. Kami sering mendengar senandung-senandung cinta akan tetapi
hanya dalam waktu yang sebentar saja
seolah-olah nyanyian itu mantera-mantera sihir."
"Tuan Puteri, aku pernah membaca sebuah legenda nenek moyang orang-orang
Spanyol. Tatkala Andalusia menciptakan kecantikan, dia membentuk ciptaan-Nya itu dalam
sebagus-bagus bentuk dan gambar yang paling sempurna. Sang cantik itu pun pergi bersama
manusia di muka bumi ini sambil merasa bingung dengan kelakuan manusia yang saling berbaku
hantam untuk memperebutkannya. Dia hidup seolah sebagaimana manusia yang hidup tanpa
kelebihan dan keistimewaan bahkan tidak memberikan penghormatan padanya.
Tatkala ia meminum dari kolam yang tenang, tiba-tiba ia melihat bayangan
wajahnya dalam air. Ia pun merasa tersanjung dan memperhatikan kecantikan raut wajahnya itu dan
keelokan pesonanya. Sungguh kreasi Sang Pencipta yang Maha-agung yang telah membentuknya
sedemikian rupa. Ia begitu membenci manusia, mereka memiliki mata namun tidak
mampu melihat, memiliki hati namun tetap tidak bergetar oleh pesona cinta dan
kelembutan. Sang Cantik pun berinisiatif untuk kembali ke peraduannya dengan perasaan sedih
dan murung. Saat kesedihan itu terus berlarut-larut, turunlah seorang malaikat dari
langit menemuinya. Sang Cantik lalu memberitahu malaikat itu tentang apa yang sedang dialaminya. Ia
menggugat kenapa manusia menelantarkan dirinya. Padahal, Allah telah menganugerahkan
kepadanya kenikmatan. Dia tidak menciptakan yang lain yang sebanding dengannya. Dan, Dia
pun tahu betapa kecantikan itu sangat bernilai.
Sang malaikat pun merasa iba. Tidak lama kemudian Allah mengabulkan permohonan
sang Cantik. Dia lalu menciptakan cinta dalam diri manusia. Ternyata manusia itu sama
saja. Mereka bersaing mengejar sang Cantik. Mereka saling melempar untuk mendapatkannya.
Mereka sering meneriakkan kata-kata samar dan tidak jelas terdengar di sekelilingnya, sampai-
sampai kedua telinga sang Cantik merasa tuli.
Sang Cantik kemudian melarikan diri ke hutan untuk menghindari kejaran manusia
karena merasa takut, merasa bersalah, dan menjemukan tatkala terus-menerus mendengar
celotehan- celotehan kosong. Bagaikan suara-suara merintih yang kalah dari medan
peperangan. Ia akhirnya
Pembawa Kabar Dari Andalusia Karya Ali Al Ghareem di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengadu pada sang Cinta. Sayangnya, sang Cinta itu sadis dan kejam. Nyaris tak
ada kelembutan. Cinta melepaskan detak kasih sayang. Akibatnya, sang Cantik kembali
menangis. Turunlah kepadanya malaikat yang kedua kali sambil marah-marah. Ia berkata,
'Kenapa engkau menangis, sang Cantik"'
Sang Cantik menjawab, 'Aku menangis karena Allah menganugerahkan padaku
kenikmatan yang berbuah jahat dan derita. Bahkan, seseorang rela mati karenanya. Alangkah
bahagianya aku seandainya aku buruk rupa. Aku perhatikan, betapa setiap orang yang buruk rupa
dapat hidup. Sekelompok manusia geram dan bermuka masam lalu mengerumuninya. Mereka meluapkan
seluruh isi hati mereka. Mereka pun melolong di depan wajahku layaknya lolongan
seekor serigala lapar. Seandainya ini yang dinamakan cinta, 1 sekalipun teriakan
kering dalam bahasa manusia
yang memuji kecantikan itu, maka sesungguhnya aku lebih kaya daripada cinta
bahkan lebih kaya dari pujian itu sendiri. Aku berharap, seandainya aku bisa kembali lagi ke masa awal penciptaanku di
tengah-tengah orang-orang yang tidak memiliki perasaan, niscaya aku - sebagaimana yang pernah
aku alami - akan hidup tenang, aman, dan tenteram.
Lagi-lagi sang Malaikat merasa iba. Ia pun memohon kepada Allah agar
menganugerahkan syair pada diri manusia. Allah mengabulkan permohonan itu. Dia menciptakan syair
dalam diri mereka untuk mengiringinya. Dia juga menciptakan musik dan nyanyian. Para
makhluk seni itu pun menghadap pada sang Cantik dengan sopan, ramah, santun, dan merendah dengan
penuh kelembutan. Mereka pun mulai berdendang dengan merdu yang menggetarkan teluk-
teluk hati. Liuk-liuk nyanyiannya menjadikan burung-burung terbuai dan terdiam jauh di
angkasa sana. Mereka menggerak-gerakkan pepohonan yang menjadi istana kediaman mereka.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Begitu pula dengan Cantik yang sama-sama termerdu ketika mendengarkan alunannya.
Nyanyian merdu dan tabuhan suara benar-benar membuatnya terbuai. Saat sang
Malaikat lewat di depannya, ia mendapatkan sang Cantik tengah tertidur pulas di bawah naungan
pohon zaitun lebat nan kaya dahan. Di bawahnya mengalir sebuah kolam yang tenang dengan air
yang cukup jernih. Berembus di atasnya angin sepoi-sepoi yang diiringi nyanyian para
penyair berikut alat-alat musik yang beralun ria.
Si Malaikat itu mendekati sang Cantik seraya bertanya, 'Kenapa kau tidak
memanggilku hari ini"' Sang Cantik tampak bingung dan terheran-heran seraya menjawab, 'Aku sudah
memanggilmu dua kali. Saudaraku! Aku tidak mau mere-potkanmu lagi. Kini, pergilah engkau ke
langit dengan damai. Karena kabar bumi senantiasa damai selama kau menemukan cinta yang tulus
dan kecantikan yang penuh kasih sayang.
Ini luar biasa! Sungguh aku pernah melihat di suatu negeri yang jauh di sana -
sebuah kota di daerah Aspilia - sebuah patung marmer yang menyimbolkan kecantikan yang tidak
dapat kentara oleh mata lahir. Aku tahu, bahwa nenek moyang mereka itu adalah pemuja Dewi
Kecantikan. Ada pun tentang legenda yang kamu ceritakan itu, aku belum pernah mendengarnya.
Wilada memandang tajam Ibnu Zaidun seraya melanjutkan ucapannya, "Aku khawatir,
wahai Abu Walid, jangan-jagan legenda itu hanya rekaan fiksimu belaka.'
Segera Ibnu Zaidun menjawab, "Tidak, Tuan Puteri, sesungguhnya di antara kami,
orang yang paling mengetahui tradisi orang-orang Spanyol adalah bangsa Yahudi.
Mereka banyak menggali temuan dan khazanah kebudayaan yang tersimpan di 'Baitul Hikmah' di Tulaitila
terutama setelah penyerangan Pangeran Ludrick. Temuan-temuan ini tertulis dalam
berbagai macam ilmu pengetahuan, sastra, maupun syair. Mereka kemudian menjauhkannya dan
memublikasikan seluruh fakta-fakta itu "
Saat keduanya larut dalam obrolan, tiba-tiba datang menteri Ibnu Abdus
menghampiri keduanya. Ia lalu memegang tangan Wilada seraya berkata, "Tuan Puteri, sudikah
engkau menemaniku sebentar pergi ke taman untuk menikmati embusan angin sepoi-sepoi di
malam gemerlap rembulan ini sebelum makan malam" Aku yakin, engkau tidak mau berlarut-
larut mendengarkan cerita sang penyair Abu Walid ini. Karena aku telah menuang sebuah
cangkir dengan sisa minuman sampai setelah isya tiba."
Wilada pun bangkit berdiri bersamanya. Ia lalu memandang Ibnu Zaidun dengan
pandangan nanar. Ada rasa iba, haru, dan bangga dalam pandangan itu.
Wilada dan Ibnu Abdus akhirnya pergi bersama tamu-tamunya. Mereka memadati
setiap sudut itu yang tampak asyik dengan obrolannya masing-masing sambil memetik buah-buahan
dan dedaunan dengan riang gembira.
Ibnu Zaidun hanya duduk menyendiri sambil merenung. Terlintas suatu bisikan
dalam dirinya. Ada tiupan angin cinta dan kasih sayang. "Ke manakah aku" Di manakah aku berada
kini" Siapakah gadis yang tadi berada di sampingku sebelum akhirnya dirampas nafsu
yang malang, tengkuk yang panas, dan seorang tolol yang lemah akalnya" Diakah Wilada" Wilada
binti Al Mustakfi yang telah diciptakan Allah sebagai simljpl kecantikan dan
menjadikannya saksi zaman.
Wilada yang memiliki kekuasaan Tuhan dalam kecantikannya sebagai tamsil tatkala
Allah mempersiapkan pahala bagi orang-orang yang beriman dengan surga yang penuh
dengan kenikmatan. Dia adalah puncak khayalan ketika para penyair berupaya mencurahkan
syairnya sehingga dia berhenti merenung, tak punya kata, dan mengacaukan akhir dari bait
syairnya" Apakah aku termasuk salah seorang dari mereka" Apakah aku bagian dari para
penyair bodoh yang tengah resah. Yang menyita waktu dari kepemudaannya hanya demi cinta palsu,
kesenangan yang fatamorgana, pintu surga yang tertutup rapat, dan pohon Surga
Firdaus di sebuah rumah yang berhadap-hadapan dengan rumahnya" Sungguh aku melihat di kedua
matanya ada ketulusan cinta yang murni yang nyaris membakar gejolak hatiku. Aku
mendengar suaranya bagaikan nyanyian merdu yang membuai kalbu. Adakah aku pecinta yang
tengah dicarinya" Apakah aku setara dengan kecantikannya itu" Apakah dia membuka pintu
surga untukku satu kali tanpa aku terjerat kebencian padanya" Apakah dia tengah
meminta kebaikan yang cerdik dan penurut untuk mengurai tali kendali tanpa aku menghabiskan malam
dengan Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terjaga dan cucuran air mata" Ah, aku nyaris tidak percaya. Sesungguhnya aturan
dunia dan perjalanan tidak datang semudah itu. Dunia tidak akan memberikan sebuah
kebahagiaan tanpa ketekunan dan kesungguhan yang susah dan menyulitkan sehingga sebanding dengan
pengorbanannya atau bahkan bisa mendapatkan yang lebih dari itu. Jika dia diberi
niscaya kau tidak cukup memberinya sekali saja dengan harta yang berlimpah sekalipun. Akan
tetapi dia akan mencucurkan air matanya sehingga menyirnakan arti sebuah
pemberian dan kebajikan. Tidak, aku
sungguh keliru. Aku tertipu. Dia tidak mencintaiku. Sedangkan aku hanyalah
seorang lelaki yang tengah terkelabui dan terburu-buru menyimpulkan. Aku
hanyalah peloncat yang bergantung pada
keraguan. Sementara dia adalah seorang gadis terpelajar yang keturunan bangsawan
dan tinggi status sosialnya yang melihat seorang penyair tak lebih sosok seseorang yang
membangga- banggakan dirinya sendiri. Dia hanya mempercantik, menghaluskan tutur kata dan
menemani untuk kemudian akan menghadiahkan senyuman. Ia akan berbincang-bincang panjang
dengannya, semuanya hanyalah perasaan yang sudah biasa. Tidak kurang dan tidak
lebih ini adalah soal hati yang mati yang menimpa seorang pemuda pembual sepertiku. Jika
aku mengatakan bahwa dia itu tertarik padaku, hal ini benar-benar cukup
menggelikan." Ibnu Zaidun tersenyum. Tiba-tiba, ia berpikir lagi sejenak seraya berkata dengan
ketus, "Tidak! Tidak! Pandangan terakhirnya padaku tatkala si burung gagak yang buruk rupa itu
mengajaknya di taman tadi, sungguh bagaikan fajar di pagi hari. Tak ada keraguan
dan kesangsian dari pancarannya. Kekuatan manusia itu lemah untuk berpura-pura menyembunyikan
kebenaran. Pandangan itu adalah pandangan iba penuh cinta. Aku dapat membacanya dari gerak-
gerik matanya. Aku mengetahui semua itu. Dan aku bukanlah orang bodoh dan tolol untuk
sekadar memahami cara memandangnya yang seperti itu. Aku akan tinggalkan semua keraguan
sekarang. Aku kini benar-benar memahaminya. Dan aku mampu menggapai harapan itu. Aku akan
melihat bumi terbentang untuk menyambutnya di hadapanku dengan limpahan keelokan. Di
sampingnya terayun bunga ros dan tiupan angin. Aku akan menjadi suami Wilada, wanita
tercantik dan terhormat seantero Andalusia. Aku akan menggapai jabatan tertinggi di negeri
ini." Tiba-tiba ia mendongakkan kepalanya sejenak sambil berkata-kata pada dirinya
sendiri, "Jabatan tertinggi di negeri ini" Dari mana muncul pikiran seperti ini" Bukankah
Ibnu Jahwar pun termasuk orang yang korup dan buta hati" Dan para menteri yang
ada di sekelilingnya juga kejam dan cela" Mereka pasti tidak menghendaki orang
sepertiku memiliki ambisi untuk mampu
menyamai kedudukan mereka. Dua orang guru yang juga anak pamannya, Muhammad bin
Abas dan Abdul Aziz bin Hasan telah membuatku sakit hati. Keduanya meninggalkan
sastra dan syairku. Akan tetapi, Naila kemarin membisik pada telingaku seputar kalimat-
kalimat yang membuat diriku bagaikan mendapatkan air tatkala rasa haru menyerang. Dia
mengatakan, 'Kekuasaan terkembang dalam kedua sayap Wilada di depan pintuku. Naila itu
memiliki hubungan yang sangat dekat dengan pejabat-pejabat pemerintahan. Dia mengetahui seluk-
beluk persoalan bangsa. Seorang Ibnu Jahwar pun terbodohi oleh dirinya sendiri. Dan dia tidak
suka berbohong" Apakah ia memiliki kepentingan di balik kebohongannya itu" Dia adalah seorang
intel wanita yang cakap dan andal. Sebab, jika bukan demikian, lalu mengapa ia
segera memperkenalkanku kepada
Wilada" Wilada telah membukakan pintu untukku yang penuh agung dan kemuliaan
yang tidak dilewati kecuali oleh para menteri dan petinggi negara. Wilada tidak duduk
bersama para penulis dalam pesta itu. Ia juga tidak tersenyum pada rakyat kecil,
para pekerja di Cordova. Semakin kuat dugaanku bahwa Naila tidak semata-mata
mendorongku pada kedudukan ini kecuali dia memang
percaya dan bersungguh-sungguh. Aku dengan Wilada ibarat telah menjadi dua ujung
busur panah atau lebih dekat lagi. Kami tidak puas dengan ini juga. Dan kami yakin
akan hal itu." Tampaklah kemuraman pada wajahnya. Ia diliputi rasa sedih dan bingung yang
menyirnakan ketampanannya. Ia menggigit jari telunjuknya seraya berkata, "Ya. Aisyah binti
Galib. Musibah inilah yang telah menjerumuskan aku dengan fitnah Neraka Jahim.
Dia melemparkan fitnah iblis
terlaknat itu untuk menghancurkan kehidupanku, menyia-nyiakan masa mudaku dan
memusnahkan harapanku. Dialah simbol kejelekan wanita jahat. Wanita yang
menyulut peperangan di antara kumpulan orang-orang dari berbagai kabilah. Tatkala ia
merayu dan menjerat seorang pemuda, maka ia memberikan padanya kasih sayang. Sebaik-baik
orang di hadapan Allah adalah yang memiliki pendirian dan keteguhan. Dia ibarat laba-laba
yang memiliki tangan panjang dan jaring maut. Dia tak ubahnya serigala lapar
yang tidak akan membiarkan
mangsanya yang masih berdarah. Celakalah aku dari jeratannya! Celakalah sisa-
sisa hariku! Sungguh aku tidak pernah menemukan kebahagiaan dan ketenteraman! Alangkah
gembiranya Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
syairku ternyata menyambar balik padaku seperti kilat setelah suratku sampai
kepadanya. Setelah surat ini, dia jelas tidak akan membiarkanku hidup bahagia
dengan menikahi Wilada. Dia akan
berbuat apa saja untuk merusak hubunganku dengannya. Dia akan menyerangnya di
dalam negerinya sendiri. Dia akan menyesaki dunia dengan teriak makian padaku dan
padanya. Dia akan menyiarkan tuduhan di setiap pesta dan pertemuan serta memaksa orang-orang
yang ada di setiap kedai minuman untuk mendengarkan celotehannya. Dia akan pergi mengadu
pada Abu Hazm bin Jahwar dengan menangis sedih dan tersedu-sedu sehingga Ibnu Jahwar
menjadi marah dan dendam padaku. Surat-surat yang ada padanya dariku, aku kirimkan kepadanya
pada saat- saat kenaasan dan kesialanku. Dalam surat itu aku memaki petinggi-petinggi
negara dan melemparkan berbagai cacian dan hujatan yang aku alamatkan pada Ibnu Jahwar
dengan
Pembawa Kabar Dari Andalusia Karya Ali Al Ghareem di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sebutan-sebutan nifak dan lemah akal. Sungguh celakalah aku! Perempuan itu pasti
akan mengumpulkan surat-surat itu dan akan menyimpannya dengan rapi. Dia lalu akan
menunjukkan surat-surat itu pada setiap menteri yang aku caci. Dengan begitu, dia akan
melihatku terpuruk di saat aku seharusnya tersanjung. Aku terapung sebagaimana
orang yang tenggelam terapung
setelannya ia menyelam dalam air dan tak pernah kembali ke permukaan. Lantas,
apa yang menahanku pada penghormatan yang berbau fitnah ini" Apa pula yang membuatku
terjerat dalam perangkapnya" Tiada lain karena kebodohan dan kepemudaan yang diperbudak serta
kecerdikan busuk! Celakalah kamu, wahai Abu Walid! Dan Allah telah mengutuk padanya selama
beberapa saat di bawah perangkap seekor kucing liar dan buas! Tatkala dia tergelincir
dalam jurang marabahaya yang nista ini, si perempuan itu pasti mengawininya."
Tiba-tiba terdengar Naila berteriak memanggil para budak dan pemuda seraya
berkata, "Ajaklah para tetamu itu untuk segera makan malam bersama karena telah
dipersiapkan." Ibnu Zaidun pun tersentak kaget dari lamunannya layaknya seorang yang terkena
demam panas dan tersadar dari tidur gelisahnya karena meriang. Ia mengguncangkan
kepalanya dengan keras seolah-olah ia menginginkan untuk menghilangkan segala kekhawatiran dari
bisikan- bisikannya itu. Dan ia berkata pada dirinya seolah-olah sang perempuan itu telah
menegurnya, "Suatu kebaikan, tidak melewatkan hari-hari. Suatu kebaikan, untuk tidak menolak
bala'. Sebaiknya, aku menikmati kiamat yang menyongsongku ini dengan senang hati.
Hendaknya aku tidak menghiraukan apa yang akan terjadi besok nanti. Itu semua urusan Allah.
Dialah penentu segala urusan dan pemutus segala keputusan, tidak ada halangan apa pun untuk
keputusan-Nya, dan tidak ada sesuatu yang akan memenga-rungi takdir-Nya."
Ibnu Zaidun kemudian menghampiri Naila sambil tersenyum ia bertutur, "Sungguh
engkau telah berbuat baik padaku, wahai Puanku! Terutama saat engkau membukakan
jalan bagiku untuk meraih jabatan di kekuasaan langit yang sempat melemahkan harapanku untuk
menggapainya karena beberapa sebab. Aku telah tergelincir dalam tuduhan besar."
Naila lalu membungkukkan pundaknya menghormat seraya menjawab, "Bersabarlah,
wahai Pemuda! Sesungguhnya engkau tidak tahu betapa tinggi dan luhur penghargaan serta
penghormatan seorang Naila kepadamu."
Naila berdiri kemudian melanjutkan ucapannya, "Demi Allah! Aku tidak tahu
rahasia yang menusuk dan menyakitkan itu sehingga membuatku enggan untuk turut memedulikan
masalahmu, membanting tulang untuk ikut mengan-tarkanmu pada keluhuran cita-citamu itu,
serta mencurahkan segala kemampuan untuk senantiasa melindungimu dari tangan-tangan
jahil yang mencoba mengganggu dan mengusikmu. Sungguh kini aku tengah berusaha menyayangimu
terutama setelah sekian lamanya aku kehilangan anakku. Rasa kasih dan sayang
keibuanku yang luhur dan suci tidaklah tercurah pada pemuda-pemuda lain di Cordova ini selain
kepadamu. Selama menyusuri perjalanan hidupku, banyak sekali orang-orang yang mengharap
belai kasih sayangku. Namun, tidak sedikit pun hatiku tergetar selain kepadamu. Kedua
sayapku tidaklah terbentang selain untuk menyambutmu. Sebagaimana ungkapan seseorang yang pernah
mengaku-aku jadi seorang nabi di belahan timur, 'Bersitan nurani adalah rahasia
yang tidak terungkap. Bagiku, posisimu saat ini adalah mahkota muda yang elok, berani,
tampan, patriotik, dan terpelajar! Aku tidaklah menganggapmu kecuali tak ubahnya
sebagai puteraku sendiri, wahai
Abu Walid! Aku akan mengasuh dan menjagamu dari segala keruwetan yang kaualami
selama di Cordova yang membuatku resah dan tak nyaman karena dengan berbagai ujian, desas-
desus, dan kedengkian ini. Sekarang marilah kita makan malam, Anakku...."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Hidangan pun telah dipersiapkan. Aneka menu dan selera makanan yang dihidangkan
para pelayan dan hamba sahaya semuanya untuk menyambut para tetamu malam itu dengan
penuh ramah dan sopan. Mereka selalu memahami isyarat permintaan para tetamunya.
Mereka pun selalu menundukkan pundaknya yang berarti mengiyakan.
Duduk di sebelah kanan Wilada, Ibnu Zaidun. Di sebelah kirinya duduk Abu Walid
Muhammad putera Khalifah Andalusia. Para tetamu masing-masing meraih serta menikmati
makanan dan aneka minuman sambil masing-masing larut dalam topik pembicaraan masing-masing.
Ibnu Zaidun mengulurkan tangannya untuk meraih salah satu piring makanan di
sebelah Ibnu Hannath yang buta itu. Ia berkata pada Ibnu Zaidun. "Alangkah indahnya
nyanyianmu yang terdendang di awal pembukaannya:
Ketenangan yang diingatkan oleh angin sepoi-sepoi yang berbisik.
Keterapungan mematahkan sayap-sayap yang beterbangan.
Aku khawatir akan kegelapan jalan.
Namun kilat segera mene-ranginya.
Untuk menuntun layaknya pelita.
Seakan-akan suara geledek itu bersembunyi di balik awannya.
Di sebuah peraduan, dan awan pun menunggunya untuk berteriak."
Abu Hafs bin Burd seolah-olah merasa iri terhadap Ibnu Hannath seraya berujar,
"Syair yang bagus! Sayangnya, ia masih membutuhkan keindahan seni."
Tak urung, sang penyair buta itu pun mendongakkan kepalanya geram. Ciri khas
seorang guru syair tahun delapan puluhan. Dengan retoris ia mempertanyakan," Apanya yang
membutuhkan keindahan seni, wahai Tuanku Menteri?"
"Bahkan butuh lebih banyak dari itu, Tuanku. Engkau menyanyikan, 'Ketenangan
yang diingatkan oleh angin sepoi-sepoi yang berbisik. Setelah itu, engkau menyifati
gelap gulita malam dengan kilat dan geledek. Lantas, di manakah pengaruh angin
sepoi-sepoi itu dalam bait lagu
tersebut" Pada kegelapan malam semestinya engkau menyifatinya dengan gambaran yang mudah.
Seperti disandingkan dengan angin topan misalnya. Ada pun kata-kata 'untuk
menuntun' sungguh perumpamaan yang buruk sekali sehingga menjauhkan makna yang dapat merusak
keseluruhan bait-bait lagu tersebut. Hendaknya engkau memberi harakat fathah di akhir
hurufnya dikarenakan termasuk fi'il mudhari' yang berpredikat nasb. Yang
membingungkan, engkau menyebut awan dan
keterapungan di awal bait nyanyian itu, kemudian disusul dengan kata-kata,
'Seakan-akan suara geledek itu bersembunyi di balik awannya.' Kata ganti 'nya' dalam kata 'awannya'
Kelana Buana 17 Pendekar Mabuk 028 Bandar Hantu Malam Rantai Naga Siluman 1