Pencarian

Perintah Kesebelas 6

Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer Bagian 6


mungkin menyelesaikan seluruh kegiatan itu, dari atap hingga ke basement, dalam waktu
kurang dan dua menit. Jika semuanya sesuai dengan rencana, ia. akan keluar dari stadion dan
dalam perjalanan ke bandara sebelum mereka sempat memasang rintangan di jalan.
Connor menjaga keseimbangan nampan di satu tangan dan mengetuk pintu dengan
tangan lainnya; Beberapa detik kemudian pintu dibuka seorang laki* laki tinggi kekar yang
berdiri dengan bayangan me^j manjang ditimpa cahaya.
"Kau kubawakan makanan kecil," kata Connon dengan senyum hangat.
"Bagus," kata jago tembak itu. "Mengapa tak masuk saja dan menemaniku?" Ia
mengambil sandich pastrami dari nampan. Connor mengikutinya^ menyusuri podium baja berlapis seng
di balik layan sangat besar yang terdiri atas 786 pesawat televisi.i Orang Dinas Rahasia itu
duduk dan melahap sandich-* nya. Connor diam-diam mengamati senapannya.
JumboTron berada di tiga lantai, satu di atas podium dan satu di bawahnya.
Connor meletakkan i nampan di samping petugas yang duduk di tengah
424 deretan tangga yang menuju ke jalur yang melandai lebih rendah. Ia lebih
memperhatikan Diet Coke daripada melihat mata Connor yang jelalatan.
"Omong-omong," katanya di sela-sela tegukannya, "aku Arnie Cooper."
"Dave Krinkle," jawab Connor.
"Nah, berapa yang harus kaubayar untuk memperoleh hak istimewa bergabung
denganku siang ini?" tanya Arnie sambil menyeringai.
Marine One mendarat di landasan heli di sebelah timur laut stadion, dan sebuah
limusin menderu maju sebelum kaki heli menyentuh tanah. Sesaat kemudian Lawrence dan Lloyd
muncul. Presiden berpaling untuk melambai kepada kerumunan para penyambut yang cukup banyak, baru
kemudian masuk ke jok belakang mobil yang telah menunggu. Mereka menempuh jarak 400
meter ke stadion dalam waktu kurang dari satu menit. Setiap kali melewati pemeriksaan keamanan
tanpa rintangan sama sekali. John Kent Cooke, pemilik Redskins, yang sedang menunggu di pintu
masuk, menyambut mereka. "Ini merupakan kehormatan besar, Sir," katanya ketika Lawrence keluar dari
limusin. "Sungguh menyenangkan bertemu denganmu John," balas Presiden. Ia berjabat tangan
dengan orang kurus yang berambut keperakan itu.
Cooke mengajak tamunya menuju ke lift pribadi.
"Apa kau benar-benar percaya Skins akan menang, John?" tanya Lawrence sambil
menyeringai. "Nah, itulah pertanyaan berbobot yang bisa diharapkan dari seorang politisi, Mr.
President," jawab 425 Cooke, saat mereka masuk ke lift. "Semua orang tahu Andalah penggemar Packers
nomor satu. Tapi saya terpaksa menjawab pertanyaan Anda dengan 'Ya, Sir.' Berjuanglah bagi
DC. Skins akan menang." "Tapi Washington Post tak setuju dengan pendapat itu," kata Presiden ketika
pintu terbuka di lantai pers. "Saya yakin Andalah orang terakhir yang percaya pada yang Anda baca di Post, Mr.
President," kata Cooke. Kedua orang itu tertawa sementara Lawrence dipersilakan masuk ke
boks, ruangan luas dan nyaman terletak di atas garis lima puluh yard, dengan pemandangan
sempurna atas seluruh lapangan. "Mr. President, saya ingin memperkenalkan satu-dua orang yang telah
membuat Redskins menjadi tim football terbesar di Amerika. Saya mulai dengan istri saya,
Rita." "Senang berjumpa denganmu, Rita," kata Lawrence sambil berjabatan tangan. "Dan
selamat atas kesuk-sesanmu di National Symphony Bali. Kabarnya mereka mengumpulkan dana yang
terbesar di bawah kepemimpinanmu."
Mrs. Cooke berseri-seri dengan bangga.
Lawrence dapaj^ mengingat fakta ataupun anekdot yang sesuai untuk setiap orang
yang diperkenalkan kepadanya, tak terkecuali pria tua kecil yang mengenakan jaket
Redskins yang tak mungkin mantan pemain itu.
"Ini Pug Washer," kata John Kent Cooke sambil memegang bahu pria tua itu. "Nah,
dia ini..." "...satu-satunya orang dalam sejarah yang masuk Redskins Hall of Fame tanpa
memainkan satu pertandingan pun untuk tim," potong Presiden.
Senyum lebar menghias wajah Pug.
426 "Dan aku juga diberitahu bahwa Pug mengetahui sejarah tim itu melebihi siapa pun
yang masih hidup." Pug berjanji tidak akan mendukung Partai Republik lagi.
"Jadi, katakan padaku, Pug, dalam pertandingan-pertandingan Packers lawan Skins,
bagaimana poin musiman ketika Vince Lombardi melatih Packers, dibandingkan dengan tahun
ketika ia bersama Skins?" "Packers 459, Skins 435," jawab Pug dengan senyum menyesal.
'Tepat seperti yang kuduga - pertama-tama seha-I rusnya ia tak meninggalkan
Packers," kata Presiden sambil menepuk punggung Pug.
"Tahukah Anda, Mr. President," kata Cooke, "saya belum pernah dapat mengajukan
pertanyaan mengenai Redskins yang tak dapat dijawab Pug."
"Apakah pernah ada orang yang membungkammu, Pug?" tanya Presiden sambil
berpaling kepada ensiklopedi berjalan itu lagi.
"Mereka selalu mencoba, Mr. President," jawab Pug, "baru kemarin saja ada
orang..." Sebelum Pug menyelesaikan kalimatnya, Andy Lloyd menyentuh siku Lawrence.
"Maaf saya harus menyela, Sir, tapi baru saja kami diberitahu bahwa Presiden Zerimski kini
tinggal lima menit lagi dari stadion. Anda dan Mr. Cooke harus menuju ke pintu gerbang timur laut
sekarang juga agar tepat waktu untuk menyambutnya."
"Ya, tentu saja," kata Lawrence. Ia berpaling pada Pug dan berkata, "Kita
teruskan pembicaraan kita begitu aku kembali."
427 Pug mengangguk. Presiden dan rombongan mw ninggalkan ruangan itu dan menyambut
Zerimski. "Agak terasa sedikit kaku di dalam sini," terial Connor mengatasi deru fan
ventilasi pada langit-langill "Ya, memang," kata Arnie sambil meneguk hab? Diet
Coke-nya. "Tapi kupikir itu sesuai
dengan pen kerjaan."
"Apa kau mengharapkan ada masalah hari ini?"
"Tidak, sungguh tidak. Tentu saja kita semua waspada saat kedua presiden
berjalan menuju lapangan, tapi itu hanya berlangsung sekitar delapan menit. Walau bila mengikuti
cara Agen KhusuS Braithwaite, kedua presiden takkan diperbolehkan keluar dari boks pemilik
hingga pulang." Connor mengangguk dan mengajukan beberapa^ pertanyaan lagi yang tak berbahaya.
Dengan cermat', ia mendengarkan logat Brooklyn Arnie, dan berkonsentrasi pada ungkapan-
ungkapan yang secara teraturi digunakannya.
Sementara Arnie menggigit seiris kue cokelat, Connor mengintip melalui lubang
pada papan iklanf yang berputar. Kebanyakan para petugas Dinas Ra-j hasia di stadion juga sedang
beristirahat menyantap makanan kecil. Perhatiannya terpusat pada menara lampu di belakang
zona akhir barat. Brad sedang di sana, mendengarkan dengan cermat seorang petugas yang menunjuk ke
arah boks pemilik. Jenis orang muda yang perlu direkrut Dinas Rahasia, pikir. Connor. Ia
menoleh lagi ke Arnie. "Aku akan kenvl bali ke sini di awal pertandingan. Kau suka sepiring!
sandwich, seiris kue, dan Coke lagi?" 428 "Ya, asyik. Tapi jangan banyak-banyak kuenya. Aku tak peduli kata istriku aku
tambah gemuk, tapi akhir-akhir ini SAIC mulai mengomentari kegemukan-ku."
Gaung sirene memberitahu seluruh staf di stadion bahwa waktu telah menunjuk
pukul 10.30 dan gerbang-gerbang segera akan dibuka. Para penggemar segera membanjiri tribun-
tribun; kebanyakan dari mereka langsung menuju tempat duduk biasanya. Connor mengumpulkan kaleng
Coke kosong serta wadah plastik dan meletakkannya di atas nampan.
"Aka akan kembali membawa makan siangmu bila pertandingan dimulai," katanya.
"Ya," jawab Arnie. Kini ia memfokuskan teropongnya pada massa di bawah. "Tapi
jangan masuk sebelum kedua presiden kembali ke boks pemilik. Tak ada orang lain yang
diizinkan berada di dalam JumboTron sementara mereka berdua di lapangan."
"Oke. Aku mengerti," kata Connor sambil memandang terakhir kalinya ke senapan
Arnie. Ketika berbalik hendak pergi ia mendengar suara masuk melalui radio dua arah.
"Hercules 3." Arnie melepaskan radio dari belakang sabuknya, menekan tombol, dan berkata,
"Hercules 3, teruskan." Connor ragu-ragu di pintu.
"Tak ada yang perlu dilaporkan, Sir. Aku baru saja memeriksa tribun barat"
"Bagus. Segera lapor bila melihat sesuatu yang mencurigakan."
"Siap, Sir," kata Arnie. Dan ia menyangkutkan kembali pesawat radionya di
sabuknya. 429 Dengan tenang Connor keluar ke lorong beratap, menutup pintu di belakangnya, dan
meletakkan kaleng Coke di atas tangga.
Ia memeriksa jamnya, kemudian cepat-cepat berj.i lan menyusuri lorong itu. Ia
membuka pintu dan mo matikan lampu. Tempat pertemuan itu penuh dengan para penggemar yang menuju
kursi masing-masing. Ketika tiba di lubang lift, ia memeriksa jamnya lagi. 54 detik.
Saat lari terakhir kali haruslah kurang dari 35 detik. Ia menekan tombol. 47 detik kemudian lift
pelayanan muncul kembali. Jelas tak ada yang memanggilnya di lantai dua atau lima. Ia meletakkan
nampan di dalam lift dan menekan tombol lagi. Lift langsung mulai turun pelan-pelan menuju
basement. Tak ada yang tertarik memperhatikannya ketika Connor dengan jas panjang putih
katering dan topi Redskins berjalan santai melewati tribun bisnis menuju pintu bertulisan
"Pribadi". Ia menyelinap
masuk dan mengunci pintunya. Dalam kegelapan ia berjalan kembali tanpa suara
melalui lorong sempit beratap hingga beberapa meter saja dari pintu masuk JumboTron. Ia berdiri
memandang ke bawah ke penopang baja yang sangat besar yang menahan layar luas di tempatnya.
Sesaat Connor mencengkeram susuran tangga, kemudian berlutut. Ia membungkuk ke
depan, memegang penopang dengan kedua tangannya, dan keluar dari lorong. Ia menatap
layar di depannya, yang menurut denah arsitek berukuran 12,5 meter. Tampaknya lebih mirip
1,5 kilometer. Ia dapat melihat sebuah pegangan kecil, tapi masih juga belum tahu apakah pintu
jebak yang jelas di- 430 tandai pada denah arsitek benar-benar ada. Ia mulai merangkak pelan-pelan
menyusuri penopang, inci demi inci, tak pernah memandang ke bawah yang berjarak 51 meter. Terasa
seperti 3 kilometer. Ketika akhirnya tiba di ujung penopang, ia meng-angkangkan kedua kakinya dan
berpegangan kuat-kuat, seakan menunggang kuda. Layar beralih dari tayangan ulang sebuah gol
dalam pertandingan Skins sebelumnya ke iklan toko peralatan olahraga Modell. Connor
menarik napas dalam-dalam, mencengkeram pegangan pintu, dan menariknya. Pintu jebak terbuka,
menyingkapkan lubang seluas 55 sentimeter persegi. Pelan-pelan Connor menarik
masuk dirinya ke lubang itu dan menutup kembali pintunya.
Tertekan baja dari segala sisi, Connor mulai berharap seandainya ia mengenakan
kaus tangan tebal. Rasanya seperti berada di dalam kulkas. Namun dengan berlalunya menit demi
menit, ia mulai lebih yakin bahwa apabila harus kembali ke rencana daruratnya, tak ada yang tahu
di mana ia bersembunyi. Ia berbaring kaku di dalam lubang penopang baja 51 meter di atas tanah selama
satu setengah jam lebih, nyaris tak bisa membalikkan pergelangan tangan untuk melihat jam. Tetapi
dulu di Vietnam, ia pernah dikurung tersendiri selama sepuluh hari, berdiri tegak dalam kurungan
bambu yang digenangi air hingga dagunya.
Sesuatu yang ia duga belum pernah dialami Arnie.
431

Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

BAB TIGA PULUH TIGA ZERIMSKI berjabatan tangan hangat dengan siapa saja yang diperkenalkan
kepadanya, dan bahkan tertawa mendengar lelucon John Kent Cooke. Ia mengingat nama semua tamu itu dan
menjawab semua pertanyaan yang diajukan kepadanya dengan tersenyum. "Itu yang oleh orang-
orang Amerika dinamakan serangan pesona," kata Titov padanya: hanya akan menambah
kengerian yang telah direncanakannya untuk mereka malam itu.
la telah dapat mendengar para tamu berkata kepada pers, "Ia santai dan gembira,
khususnya saat bersama Presiden yang tetap disebutnya sebagai 'sahabatku yang baik Tom'."
Seingat para tamu, Lawrence tak menunjukkan kehangatan yang sama, dan agak dingin terhadap tamu
dari Rusia itu. Setelah perkenalan selesai, John Kent Cooke me-
432 ngetuk meja dengan sendok. "Maaf terpaksa menyela kesempatan yang begitu
menyenangkan ini," ia memulai, "tapi waktu berjalan terus, dan kemungkinan besar ini menjadi satu-
satunya kesempatan bagi saya untuk menjelaskan kepada kedua presiden sekaligus."
Terdengar tawa kecil. "Nah, ini dia." la memakai kacamatanya dan mulai membaca selembar kertas yang
diserahkan kepadanya oleh asisten urusan umum.
"Pukul 11.20 saya akan menemani kedua presiden menuju pintu selatan stadion, dan
pukul 11.36 saya akan mengantarkan keduanya keluar menuju lapangan." Ia mendongak. "Saya
telah mengatur supaya sambutan ramai sekali." katanya sambil tersenyum. Rita tertawa agak
terlalu keras. "Bila kita telah tiba di tengah lapangan, saya akan memperkenalkan kedua
presiden dengan para kapten tim, dan mereka ganti memperkenalkan kedua presiden dengan para ko-kapten
dan para pelatih. Kemudian kedua presiden akan diperkenalkan dengan para petugas
pertandingan. "Pukul 11.40 semuanya akan berbalik dan menghadap ke tribun barat, tempat band
Redskins akan memainkan lagu kebangsaan Rusia, disusul dengan lagu kebangsaan Amerika 77"
Star-Spangled Banner" "Pukul 11.48 tepat, tamu terhormat kita Presiden Zerimski melontarkan dolar
perak. Lalu saya akan mengawal kedua presiden meninggalkan lapangan dan kembali ke sini. Saya harap
semuanya dapat menikmati menonton Redskins mengalahkan Packers di sini."
Kedua presiden tertawa. Cooke memandang kedua tamunya, tersenyum lega
433 karena bagian pertama tugas berat telah selesai, dan bertanya, "Ada pertanyaan?"
"Ya, John, aku ingin bertanya," kata Zerimski. "Tak kaujelaskan mengapa aku
harus melontarkan koin." "Untuk mengundi sisi kepala atau ekor yang meng* hadap ke atas, agar kapten
dapat menentukan tim mana yang mulai menendang."
"Ide yang menyenangkan," kata Zerimski.
Sementara menit-menit berlalu, Connor semakin lebih sering memeriksa jamnya. Ia
tak mau berada di da* lam JumboTron lebih lama dari seperlunya, tetapi ia membutuhkan waktu
untuk membiasakan diri dengan senapan yang telah beberapa tahun tak digunakannya*.'
Ia melihat jamnya lagi. Pukul 11.10. Ia harus menanti 7 menit lagi. Walau sudah
tak sabar lagi;J jangan terburu-buru - hanya menambah risiko.
Pukul 11.12. Ia memikirkan Chris Jackson, dan, pengorbanannya hanya untuk
memberinya satu ke-j sempatan ini.
Pukul 11.14. Ia mengenang Joan, serta kematian kejam dan tak perlu yang
diperintahkan Gutenburg hanya karena wanita itu telah menjadi sekretarisnya.
Pukul 11.15. Ia memikirkan Maggie dan Tara. Jika berhasil melaksanakan ini,
mungkin ia dapat memberi mereka kesempatan hidup tenteram. Bila tidak, ia ragu apakah akan pernah
melihat mereka lagi. Pukul 11.17. Connor membuka pintu jebakan dan pelan-pelan mengeluarkan diri dari
ruangan sempit itu. Sesaat ia mengerahkan seluruh kekuatannya sebelum mengayunkan
kakinya ke atas penopang dan pahanya menjepit erat-erat. Lagi-lagi ia tidak melihat 434
ke bawah sambil pelan-pelan merayap kembali sejauh 12,5 meter menuju lorong.
Begitu tiba di langkau yang aman, ia mengangkat diri ke lorong. Beberapa saat ia
memegangi jeruji, menenangkan diri, dan mulai melakukan beberapa gerakan peregangan.
Pukul 11.27. Ia bernapas dalain-dalain sambil merunut rencananya untuk terakhir
kali. Kemudian ia berjalan cepat-cepat ke JumboTron, hanya berhenti sebentar untuk mengambil
kaleng Coke kosong yang ditinggalkannya di tangga.
Ia menggedor pintu keras-keras. Tanpa menunggu jawaban ia membukanya, menerobos
ke dalam, dan berteriak mengatasi kebisingan unit ventilasi, "Ini cuma aku."
Arnie memandang ke bawah dari langkan, tangan kanannya bergerak menuju picu
senapan Armalit. "Pergi!" katanya. "Sudah kubilang jangan kembali sebelum kedua presiden keluar
dari lapangan. Beruntung kau tak kutembak."
"Maaf," kata Connor. "Hanya karena merasa betapa panas di dalam sini, aku
membawakanmu Coke lagi." Ia menyerahkan kaleng kosong, dan Arnie membungkuk untuk mengambilnya dengan
tangannya yang bebas. Begitu jari-jarinya menyentuh pinggir kaleng, Connor melepasnya,
menyambar pergelangan Arnie, dan dengan sepenuh kekuatan yang dapat ia kerahkan menariknya
dari langkan. Arnie menjerit mengerikan ketika terjatuh dengan kepala mendarat lebih dulu di
atas lorong yang berlapiskan seng. Senapannya terpental menjauh.
Connor mengayunkan badan berputar dan melompat
435 ke atas lawan sebelum Arnie sempat berdiri. Saat Arnie mengangkat kepala, tangan
kiri Connor langsung menghantam dagunya dan membuatnya tuli sesaat, lalu Connor menyambar
borgol yang tergantung di sabuk Arnie. Ia hanya melihat sekelebat lutut yang melayang ke
selangkangannya, tapi dengan tangkas ia mengelak ke kiri dan terhindar dari serangan itu. Ketika
Arnie mencoba berdiri, Connor meninjunya lagi, kali ini tepai mengenai hidungnya. Connor
mendengar tulang retak. Darah mengucur membasahi wajah Arnie, kakinya tertekuk, dan ia roboh ke
tanah. Connor melompat lagi ke atasnya. Begitu Arnie berusaha bangkit lagi, Connor menghajar
bahu kanannya, akibatnya ia mengejat-ngejat. Kali ini ia ambruk tanpa bergerak lagi.
Connor melepaskan jas putih panjang, kemeja, dasi, pantalon, kaus kaki, dan
topinya. Semuanya ia onggokkan di sudut. Kemudian ia membuka borgol Arnie dan segera mencopot
seragamnya. Ketika mengenakannya, ternyata sepatu terlalu kecil setidaknya dua nomor, dan
pantalonnya terlalu pendek beberapa inci. Ia tak punya pilihan lain kecuali mengenakan kaus kakinya
dan sepatu olahraganya yang setidaknya juga berwarna hitam. Ia berpendapat bahwa dalam
penyiksaan yang akan dilaksanakannya tak ada orang yang akan ingat pernah melihat seorang agen
Dinas Rahasia yang mengenakan sepatu tidak sesuai aturan.
Connor mengambil dasinya dari onggokan pakaian di sudut dan mengikat kedua mata
kaki Arnie erat-erat. Kemudian orang pingsan itu diangkatnya dan disandarkannya pada
dinding, dilingkarkannya kedua lengannya pada tiang logam yang melintasi lebar
JumboTron, dan diborgolnya pergelangannya. Akhir-
436 nya ia mengeluarkan saputangan dari saku, menggulungnya menjadi sebuah bola, dan
menyumbatkannya ke mulut Arnie. Orang malang itu akan merasakan sakit beberapa
hari, bukan merupakan kompensasi yang cukup bila ia kehilangan berat badan beberapa kilo
lebih banyak daripada yang ditegur SAIC.
"Tak ada antipati pribadi," kata Connor. Ia meletakkan topi dan kacamata hitam
Arnie dekat pintu, lalu mengambil senapannya. Tepat seperti yang diduganya: M-16. Memang bukan
pilihan pertamanya, tapi bisa menyelesaikan tugas. Cepat-cepat ia naik tangga menuju ke
platform lantai dua di mana Arnie tadi duduk. Ia mengambil teropong, melalui lubang di antara
papan iklan dan layar video ia mulai mengamati massa di bawah.
Pukul 11.32. Sudah berlangsung 3 menit dan 38 detik sejak Connor memasuki
JumboTron. Ia memberi waktu empat menit untuk pengambilalihan. Ia mulai bernapas dalam-dalam
dan teratur. Tiba-tiba ia mendengar suara di belakangnya.
"Hercules 3." Mula-mula ia tak dapat mengetahui dari mana datangnya suara itu. Tapi kemudian
ia ingat pesawat radio dua arah yang terpasang pada sabuk Arnie. la menyambarnya. "Hercules 3,
silakan masuk" "Kukira sesaat kami kehilangan kau, Arnie," kata si SAIC. "Apakah semuanya
beres?" "Ya," kata Connor. "Hanya perlu buang air kecil sebentar. Dan rasanya tak baik
melakukannya di atas kerumunan itu."
"Sudah jelas," kata Braithwaite, sambil meledak tertawa. "Amati terus bagianmu.
Tak lama lagi Red Light dan Waterfall akan turun ke lapangan."
437 "Siap," kata Connor dengan logat yang pasti menu buatnya dihukum ibunya waktu ia
kecil. Radio lalu mati. Pukul 11.34. Ia memandang sekeliling stadion. Hanya sedikit saja tempat duduk
merah dan kuning yang tidak diduduki orang. Ia mencoba konsentrasinya tak dibuyarkan para
penggembira Redskinettes yang berpakaian minim dan menendang tinggi-tinggi tepat di
bawahnya. Gemuruh menggema dari tribun ketika dua tim muncul dari terowongan di ujung
selatan stadion. Mereka lari-lari kecil pelan menuju tengah lapangan, sementara massa mulai
menyanyi Hail to the Redskins. Connor memasang teropong di depan mata dan memfokuskannya pada menara lampu jauh
di atas stadion. Hampir semua agen kini sedang mengamati massa di bawah, mencari-cari
bila ada tanda-tanda masalah. Tak seorang pun menaruh perhatian pada satu tempat
yang sebenarnya akan jadi
sumber masalah. Pengamatan Connor terpaku pada Brad muda, yang sedang mengintai
tribun utara, memeriksanya deret demi deret. Anak muda itu tampak seakan berada paling
dekat dengan surga. Connor mengedarkan pandang dan mengarahkan teropong pada garis lima puluh meter.
Kedua kapten itu kini berhadap-hadapan.
Pukul 11.36. Suara gemuruh meningkat lagi ketika John Kent Cooke dengan bangga
mengiringi kedua presiden memasuki lapangan, dikawal oleh selusin agen yang hampir sebesar
para pemain. Dengan sekali pandang Connor langsung tahu bahwa Zerimski dan Lawrence
mengenakan rompi antipeluru. 438 Ia ingin mengarahkan senapannya ke Zerimski dan memfokuskan titik-titik mil pada
kepalanya di sana dan saat itu, tapi ia tak dapat mengambil risiko dilihat salah satu jago
tembak di menara lampu, yang semuanya menyangga senapan pada lekuk lengan masing-masing. Ia tahu
mereka telah dilatih membidik dan menembak dalam waktu kurang dari tiga detik.
Ketika kedua presiden diperkenalkan kepada para pemain, Connor memperhatikan
bendera Redskins yang berkibar diembus angin sepoi di atas ujung barat stadion. Ia
membuka senapan, ternyata senjata itu dalam keadaan siap tembak - terisi penuh, tidak terkunci,
tidak terkokang - sesuai dengan yang diharapkannya. Ia memasukkan peluru pertama ke dalam bilik
peluru dan menutup kembali gagang senapan. Bunyi itu bagi Connor seperti letusan pistol
start dan tiba-tiba degup jantungnya serasa hampir dua kali lebih cepat.
Pukul 11.41. Kedua presiden kini berbincang-bincang dengan para petugas
pertandingan. Melalui teropongnya Connor dapat melihat bahwa John Kent Cooke dengan gugup memeriksa
jam tangannya. Ia membungkuk dan berbisik di telinga Lawrence. Presiden Amerika
mengangguk, menyentuh siku Zerimski, dan menernaninya menuju tempat di antara dua tim. Di
rumput ada dua lingkaran putih dengan gambar seekor beruang di dalam salah satunya dan gambar
seekor rajawali di dalam yang lainnya. Dengan demikian kedua pemimpin tahu harus berdiri di
mana.

Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ladies and gentlemen," kata sebuah suara dari loudspeaker. "Silakan berdiri
untuk menghormati lagu kebangsaan Republik Rusia."
439 Terdengar bunyi kursi berderak-derak ketika mass bangkit berdiri, banyak di
antara mereka yang mele. paskan topi Redskins sementara mereka berpaling menghadap band dan paduan
suara di ujung barat Ia pangan. Dirigen mengangkat tongkatnya, berhenti sel jenak,
kemudian menurunkannya dengan penuh semangat. Dengan gelisah massa mendengarkan
yang su dah pernah didengar oleh sebagian kecil dari mereka.
Walau telah beberapa kali berdiri menghormati lagu kebangsaan Rusia di masa
silam, Connor berpendapat bahwa hanya sedikit band di luar negeri yang tahu persis tempo
dimainkannya lagu itu dan lagu itu mencakup berapa bait. Maka ia memutuskan menunggu lagu The Star-
Spangled Banner sebelum mengambil satu-satunya kesempatannya.
Begitu lagu kebangsaan Rusia usai, para pemain mulai melakukan peregangan dan
lari di tempat dalam usaha untuk menenangkan saraf mereka. Connor menunggu hingga dirigen
mengangkat tongkatnya sekali lagi. yang merupakan isyarat baginya untuk membidik Zerimski.
la memandang ke tiang bendera di sisi seberang: panji Redskins kini terkulai, tanda bahwa
praktis tidak ada angin. Dirigen mengangkat tongkat untuk kedua kalinya. Connor meletakkan senapan
melalui sela antara papan iklan segitiga dan layar video, menggunakan bingkai kayu sebagai dudukan,
la menyapukan pandangan teleskopis melintasi lapangan, kemudian memfokus-kannya pada belakang
kepala Zerimski sambil mengatur titik-titik mil hingga benar-benar memenuhi pusat alat
bidik senapan. Nada-nada pembukaan lagu kebangsaan Amerika
440 dimainkan, dan kedua presiden dengan jelas berdiri tegak. Connor mengembuskan
napas. Tiga... dua... satu. Dengan lembut ia menarik picu tepat pada saat tangan kanan Lawrence
melintasi dada dan berhenti di jantung. Tertarik oleh gerakan tiba-tiba ini, Zerimski menoleh
ke kiri, dan peluru melesat melewati telinga kanan tak mengenai apa-apa. Suara 78.000 orang yang tak
serasi memastikan bahwa tak ada yang mendengar gedebuk pelan saat logam satu inci itu
mendarat di rumput di luar garis lima puluh meter.
Brad, yang menelungkup di platform pencahayaan tinggi di atas suite eksekutif,
memandangi dengan cermat massa di bawah melalui teropongnya. Matanya tertuju pada
JumboTron. Layar raksasa itu dipenuhi gambar Presiden Lawrence yang lebih besar daripada ukuran
sesungguhnya, tangan di atas jantung, dengan penuh semangat menyanyikan lagu kebangsaan.
Teropong Brad terus menyapu. Tiba-tiba ia ter-enyak kembali. Ia menduga telah
melihat sesuatu di sela antara papan iklan segitiga dan layar. Ia memeriksa kembali... ternyata
laras senapan, yang terarah ke tengah lapangan dari lubang di mana sebelumnya ia melihat Arnie
memeriksa dengan teropongnya. Ia menggunakan fokus halus dan menatap wajah yang pernah dilihatnya
hari itu. Ia tidak ragu-ragu. "Lindungi dan singkirkan. Senapan."
Brad bicara dengan mendesak dan penuh otoritas, hingga Braithwaite dan kedua
penembak jitu tandingan langsung mengarahkan teropong ke JumboTron. Beberapa saat kemudian
mereka telah terfokus pada Connor yang sedang membidikkan tembakan kedua.
"Santai." gumam Connor pada diri sendiri. "Jangan buru-buru. Waktumu banyak."
Kepala Zerimski lagi-lagi memenuhi lingkup alat bidik. Connor
kembali mengatur titik-titik mil dan mengembuskan napas. Tiga... dua...
Peluru Braithwaite menerjang bahu kiri Connor hingga ia terjungkal. Peluru kedua
melesat melalui lubang tempat kepalanya sesaat yang lalu berada.
Lagu kebangsaan telah selesai.
Latihan selama 28 tahun telah menyiapkan Connor untuk saat ini. Segalanya dalam
tubuhnya menjerit-jerit kepadanya untuk lolos dengan selamat. Ia langsung melaksanakan
rencana A, mencoba tak memedulikan rasa nyeri di bahunya. Ia berjuang menuju ke pintu,
memadamkan lampu, dan merangkak naik ke lorong. Ia mencoba lari ke pintu yang menuju ke
tempat pertemuan, tetapi ternyata ia harus mengerahkan seluruh tenaganya hanya untuk bergerak.
Empat puluh detik kemudian, tepat ketika kedua presiden dikawal keluar lapangan, ia mencapai
pintu. Ia mendengar suara gemuruh massa ketika Redskins bersiap-siap memulai pertandingan.
Connor membuka pintu itu, terhuyung-huyung ke lift pelayanan, dan memencet
tombol beberapa kali Ia dapat mendengar deru pelan mesin lift yang bergerak pelan menuju ke
lantai tujuh. Matanya jelalatan ke kiri-kanan, mencari tanda bahaya seberapa kecil pun juga. Bahunya
semakin nyeri, tapi ia tahu ia tak bisa berbuat apa-apa. Tempat-tempat pertama yang diperiksa para
penegak hukum ialah rumah-rumah sakit setempat. Ia melongok ke lubang lift, dan mengamati
bagian atas lift menuju kepadanya. Kira-kira kurang dari lima belas detik lagi. Tapi tiba-tiba
lift berhenti. 442 Seseorang pasti sedang memasukkan atau mengeluarkan barang di lantai eksekutif.
Reaksi naluriah Connor ialah kembali ke rencana darurat. Sesuatu yang tak pernah
terpaksa dilakukannya di masa silam. Ia tahu ia tak dapat lagi berada di situ. Jika ia
menunggu beberapa detik lagi, pasti ada yang memergokinya.
Ia bergerak secepat mungkin kembali ke pintu yang menuju ke JumboTron. Lift
pelayanan kembali bergerak lagi. Sebuah nampan berisi sandwich, seiris Black Forest, dan sekaleng
Coke yang telah ditunggu-tunggu Arnie muncul beberapa detik lagi.
Connor menyelinap kembali melalui pintu bertulisan "Pribadi", membiarkannya tak
terkunci. Ia harus mengerahkan seluruh tenaga untuk menyusuri lorong sepanjang tujuh puluh
meter, tapi ia tahu para agen Divisi Intelijen Perlindungan akan menyerbu masuk melalui pintu
itu beberapa saat lagi. Dua puluh empat detik kemudian, Connor tiba di penopang besar yang menyangga
layar video. Ia memegang jeruji dengan tangan kanan dan pelan-pelan mengangkat diri melalui
pinggir lorong dan menuju ke langkan, tepat ketika pintu lorong terbentang lebar. Ia menyelinap ke
bawah lorong dan mendengar dua pasang kaki lari menuju ke arahnya. Mereka melintas di atasnya,
dan berhenti di luar pintu ke JumboTron. Melalui sela di lorong, ia dapat melihat seorang
perwira menggenggam pistol, mendorong pintu hingga terbuka. Tanpa masuk, ia meraba-raba sakelar
lampu. Connor menunggu hingga lampu menyala dan dua perwira itu menghilang ke dalam
JumboTron, 443 bui ulah kemudian ia mulai merangkak di sepanjang penopang 12,5 meter untuk
ketiga kalinya hari itu. Tapi sekarang ia hanya bisa berpegangan dengan tangan kanannya, yang
berarti ia maju lebih lamban lagi. Pada saat yang sama ia harus memastikan bahwa darah yang menetes
dari bahu kirinya jatuh sejauh 51 meter ke tanah dan tidak ke penopang sehingga dapat
dilihat semua orang. Ketika pemimpin agen Dinas Rahasia memasuki JumboTron, yang pertama dilihatnya
ialah Arnie yang diborgol pada tiang baja. Pelan-pelan ia menghampiri, sambil memeriksa
segala penjuru hingga tiba di samping Arnie. Partnernya melindunginya sementara ia membuka
borgol Arnie dan pelan-pelan menurunkannya. Kemudian ia mengeluarkan saputangan dari mulutnya dan
memeriksa nadinya. Ia masih hidup. Arnie membuka mata ke langit-langit, tapi tidak bicara. Agen pertama Dinas
Rahasia segera naik tangga ke lantai dua. Sementara agen lain melindunginya. Dengan hati-hati si
agen pertama menelusuri sepanjang langkan di belakang layar besar. Sorak bergemuruh membubung
dari stadion ketika Redskins mencetak gol, tapi ia tidak memedulikannya. Begitu tiba di
dinding paling ujung, ia berpaling dan mengangguk. Agen kedua mulai naik ke lantai teratas, di sana ia
memberi isyarat yang sama. Kedua agen itu kembali ke lantai bawah, sambil memeriksa ulang setiap tempat
persembunyian yang mungkin. Saat itu ada berita masuk melalui radio agen pertama.
"Hercules 7." "Hercules 7, silakan masuk."
444 "Ada tanda-tanda orang itu?" tanya Braithwaite.
'Tak ada siapa-siapa di sini kecuali Arnie, yang diborgol pada tiang dengan
hanya memakai celana dalam. Kedua pintu tak terkunci, dan ada tetes-tetes darah sepanjang jalan
menuju tempat pertemuan, jadi jelas kau sudah mengenainya. Ia pasti di suatu tempat di luar
sana. Ia mengenakan seragam Arnie, jadi tak terlalu sulit menemukannya."
"Jangan mengandalkan itu," kata Braithwaite. "Jika dia orang yang saya
perkirakan, dia bisa saja
ada di depan matamu."
445 BAB TIGA PULUH EMPAT TIGA pria duduk di Ruang Oval sedang mendengar kan tape. Dua di antaranya
mengenakan setelan resmi, sedangkan yang ketiga mengenakan seragam.
"Bagaimana kau dapat menemukannya?" tanya Lawrence.
"Di antara onggokan pakaian yang ditinggalkan Fitzgerald di JumboTron. Di saku
belakang jinsnya," kata Agen Khusus yang Sedang Bertugas, Braithwaite
"Berapa banyak orang yang telah mendengarnya?" tanya Llyod, berusaha tidak
terdengar terlalu cemas. "Hanya kita bertiga di ruangan ini, Sir," jawab Braithwaite. "Begitu
mendengarnya, saya langsung
menghubungi Anda. Saya bahkan belum memberitahu bos saya"
"Aku berterima kasih atas itu, Bill," kata Presiden. 'Tapi bagaimana dengan
orang-orang yang menyaksikan insiden itu di stadion?"
446 "Selain saya, hanya ada lima orang yang menyadari telah terjadi sesuatu. Dan
Anda boleh yakin akan kemampuan mereka menjaga rahasia," kata Braithwaite. "Empat di antaranya
telah bertugas jadi anggota staf saya selama sepuluh tahun lebih. Dan di antara mereka, mereka
telah cukup tahu rahasia yang harus diendapkan selama masa empat presiden terakhir, belum
termasuk setengah anggota Kongres." "Apakah ada yang sungguh-sungguh melihat Fitzgerald?" tanya Lloyd.
"Tidak, Sir. Dua agen yang langsung menyelidiki JumboTron sesudah insiden tak
melihat dia kecuali seonggok pakaian, banyak darah, dan salah satu anak buah saya diborgol
pada tiang. Setelah mendengarkan rekaman ini, saya memerintahkan supaya tak ada laporan
tertulis maupun lisan mengenai insiden itu."
"Bagaimana dengan agen yang tergantung di tiang baja?" tanya Presiden.
"Ia kehilangan tempat berpijak dan terpeleset dari langkan. Saya memberinya cuti
sakit sebulan." "Tadi kau sebutkan orang kelima," kata Lloyd.
"Ya, Sir, seorang peserta pelatihan yang berada di atas di menara pencahayaan
bersama kami." "Bagaimana bisa dipastikan ia takkan bicara?" tanya Lloyd.
"Lamarannya untuk bergabung dengan Dinas Rahasia terletak di meja saya," jawab
Braithwaite. "Saya kira dia mengharapkan ditugaskan di divisi saya begitu selesai dengan
pelatihan." Presiden tersenyum. "Dan peluru itu?"
"Setelah stadion dikosongkan, saya mengaduk-aduk seluruh lapangan hingga
menemukan ini," kata
447 Braithwaite sambil menyerahkan sekeping logam pipih kepada Presiden.
Lawrence bangkit dari meja, membalikkan badan, dan memandang ke luar jendela
yang menjorok. Senja telah meliputi Capitol. Pandangannya melintasi halaman rumput sementara ia
memikirkan apa yang akan dikatakannya.
"Penting bahwa kau menyadari satu hal, Bill," katanya akhirnya. "Memang suara
dalam pita rekaman itu kedengarannya seperti suaraku, tapi aku tak pernah meminta siapa
pun, kapan pun, untuk membunuh Zerimski atau orang lain mana pun."
"Saya menerimanya tanpa mempertanyakannya, Mr. President. Bila tidak, saya pasti
tak ada di sini sekarang ini. Tapi saya juga harus sama-sama jujur dengan Anda. Bila siapa pun
dalam Dinas Rahasia menyadari Fitzgerald yang ada di JumboTron, kemungkinan besar mereka
akan menolongnya lolos."

Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Orang macam apa yang dapat menumbuhkan kesetiaan yang begitu besar?" tanya
Lawrence. "Di dunia Anda, saya pikir itu Abraham Lincoln," jawab Braithwaite. "Di dunia
kami, itu Connor Fitzgerald." "Aku ingin sekali berjumpa dengannya."
"Tapi itu akan sulit, Sir. Bahkan bila ia masih hidup, tampaknya ia telah
menghilang dari muka bumi. Saya tak ingin karier saya tergantung pada bisa-tidaknya saya
menemukannya." "Mr. President," Lloyd menyela, "Anda telah terlambat tujuh belas menit untuk
santap malam di Kedubes Rusia." Lawrence tersenyum dan berjabatan tangan dengan
448 Braithwaite. "Satu orang baik lagi yang tak dapat kuceritakan pada bangsa
Amerika," katanya dengan senyum kecut. "Kupikir kau akan dinas lagi malam ini?"
"Ya, Sir, saya telah ditugaskan khusus untuk mengamankan seluruh kunjungan
Presiden Zerimski." "Kalau begitu aku mungkin bisa bertemu denganmu nanti, Bill. Jika memperoleh
informasi baru mengenai Fitzgerald, aku ingin mendengarnya sesegera mungkin."
"Sudah pasti, Sir," kata Braithwaite sambil berbalik pergi.
Beberapa menit kemudian Lawrence dan Lloyd berjalan sambil membisu menuju
deretan pilar sebelah selatan, di mana sembilan limusin dengan mesin telah dinyalakan sedang
berderet menunggu. Begitu telah berada di jok belakang mobil keenam, Presiden berpaling
pada Kepala Staf dan bertanya, "Menuiutmu di mana dia sekarang, Andy?"
"Entahlah, Sir. Tapi bila tahu, kemungkinan besar aku akan bergabung dengan tim
Braithwaite untuk menolongnya lolos."
"Mengapa kita tak punya orang seperti dia sebagai direktur CIA?"
"Sebenarnya kita telah punya, seandainya Jackson masih hidup."
Lawrence berpaling untuk memandang ke luar jendela. Sejak ia meninggalkan
stadion, ada sesuatu yang mengusik pikirannya, tetapi hingga ketika iring-iringan mobil memasuki
gerbang Kedubes Rusia, ia belum juga bisa mengeluarkannya dari lubuk hatinya.
"Apa yang membuatnya kelihatan sangat marah?" tanya Lawrence saat melihat
Zerimski mondar-mandir di luar Kedubes.
449 Lloyd melihat arlojinya. "Kau terlambat tujuh belas menit, Sir."
"Itu tak bisa dikatakan persoalan besar, sesudah apa yang telah kita alami.
Sejujurnya, orang sialan itu beruntung masih hidup."
"Menurutku itu tak bisa kaugunakan sebagai dalih, Sir."
Iring-iringan mobil berhenti di dekat Presiden Rusia. Lawrence keluar mobil dan
berkata, "Hai, Victor. Maaf kami terlambat beberapa menit."
Zerimski tidak berusaha menyembunyikan ketidaksenangannya. Setelah berjabatan
tangan dengan dingin, ia mempersilakan tamu kehormatan itu menuju ke Kedubes dan menaiki
tangga menuju ruang resepsi yang penuh sesak di Ruang Hijau tanpa mengeluarkan sepatah kata
pun. Kemudian ia mengemukakan alasan asal-asalan dan membiarkan Presiden Amerika Serikat ditemani
Duta Besar Mesir. Mata Lawrence mengitari ruangan sementara Dubes Mesir mencoba menumbuhkan
perhatiannya terhadap pameran artifak Mesir yang baru saja dibuka di Museum Smithsonian.
"Ya, saya telah mencoba menemukan waktu sela dalam jadwal saya untuk
melihatnya," kata Presiden mengikuti kemudi yang telah ditentukan. "Semua orang yang telah
melihatnya mengatakan bagus sekali." Duta Besar berseri-seri, sementara itu Lawrence
melihat orang yang dicari-carinya. Setelah tiga duta besar, dua istri, dan koresponden politik
Pravda, akhirnya ia bertemu dengan Harry Nourse tanpa menyebabkan kecurigaan yang tak perlu.
"Selamat malam, Mr. President," kata Jaksa Agung.
450 "Anda pasti senang dengan hasil pertandingan siang tadi."
'Tentu saja, Harry," kata Lawrence dengan semangat meluap-luap. "Packers selalu
bilang bisa mengalahkan Redskins kapan saja, di mana saja." Ia merendahkan suaranya, "Aku
ingin bertemu denganmu di kantorku tengah malam ini. Aku perlu nasihatmu berkenaan dengan
suatu masalah hukum." "Tentu saja, Sir," kata Jaksa Agung pelan.
"Rita," kata Presiden, sambil berpaling ke kanan, "sungguh senang bersamamu
siang tadi." Mrs. Cooke balas tersenyum, sementara gong berbunyi di latar belakang dan
seorang kepala pelayan mengumumkan bahwa santap malam segera disajikan. Obrolan mulai mereda,
dan para tamu menuju ke ruang dansa.
Lawrence ditempatkan di antara Mrs. Pietrovski, istri Duta Besar, dan Yuri
Olgivic, kepala Delegasi Perdagangan Rusia yang baru saja diangkat. Presiden Lawrence langsung
tahu bahwa Olgivic tak bisa berbahasa Inggris sepatah kata pun - isyarat tak langsung
Zerimski lagi mengenai sikapnya terhadap pembukaan hubungan perdagangan antara kedua bangsa.
"Anda pasti sangat senang dengan hasil pertandingan siang ini," kata istri Dubes
Rusia ketika mangkuk sup bit Rusia disajikan di depan Presiden.
"Tentu saja," jawab Lawrence. "Tapi menurutku kebanyakan orang tak berpihak
padaku dalam hal itu, Olga." Mrs. Pietrovski tertawa. "Apakah kau bisa mengikuti jalannya pertandingan itu?" tanya Lawrence, sambil
mengambil sendok sup. 451 "Sebenarnya tidak," jawab Olga. "Tapi saya ber untung ditempatkan di dekat Mr.
Pug Washer, yang tampaknya tak keberatan menjawab pertanyaan sangar sederhana yang saya
ajukan." Presiden melepaskan sendoknya sebelum mence-capnya. Ia memandang ke seberang
ruangan pada Andy Lloyd, dan menopang dagunya dengan kepalan tangannya - isyarat yang selalu
digunakannya bila mendesak perlu bicara dengan Kepala Staf.
Lloyd menggumamkan beberapa kata kepada wanita di sebelah kanannya, kemudian
melipat serbet, meletakkannya di atas meja, dan berjalan menghampiri Presiden.
"Aku perlu bicara dengan Braithwaite secepatnya," bisik Lawrence. "Kupikir aku
tahu bagaimana menemukan Fitzgerald."
Lloyd menyelinap keluar ruangan tanpa mengucapkan sepatah kata pun sementara
mangkuk sup Presiden diangkat pergi. Lawrence mencoba berkonsentrasi pada apa yang dikatakan istri Dubes Rusia,
tetapi tak dapat membuang Fitzgerald dari pikirannya. Sesuatu tentang bagaimana wanita itu akan
merindukan Amerika Serikat begitu suaminya pensiun.
"Dan kapan itu akan terjadi?" tanya Presiden, sama sekali tak tertarik dengan
jawabannya. "Sekitar delapan belas bulan lagi," jawab Mrs. Pietrovski, sementara sepiring
daging dingin disajikan di depan Presiden. Ia meneruskan pembicaraan itu ketika mula-mula
seorang pelayan menyajikan sayuran, dan sesaat kemudian pelayan lain membawa kentang. Ia
mengangkat pisau dan garpunya tepat 452 saat Lloyd kembali masuk ke ruangan itu. Sekejap kemudian ia telah berada di
sebelah Presiden. "Braithwaite menunggumu di belakang 'Stagecoach'."
"Kuharap tak ada masalah," kata Mrs. Pietrovski ketika Lawrence mulai melipat
serbetnya. 'Tidak penting, Olga," Lawrence meyakinkannya. "Mereka tak bisa menemukan
pidatoku. Tapi jangan khawatir, aku tahu di mana letaknya." Ia bangkit dari kursi, dan Zerimski
mengikuti setiap langkahnya ketika ia meninggalkan ruangan.
Lawrence keluar dari ruangan, menuruni tangga kayu, dan melewati pintu depan
Kedubes, kemudian berlari-lari menuruni tangga dan masuk ke mobil keenam.
Lloyd dan pengemudi berdiri di samping mobil sementara selusin agen Dinas
Rahasia mengelilinginya sambil mengawasi ke seluruh penjuru.
"Bill, jika Fitzgerald masih di stadion, ada satu orang yang tahu di mana dia
berada. Temukan Pug Washer, dan Fitzgerald pasti kautemukan."
Beberapa saat kemudian Presiden membuka pintu mobil.
"Oke. Andy," katanya, "ayo kita kembali sebelum mereka tahu apa yang akan kita
lakukan." "Apa yang akan kita laksanakan?" tanya Lloyd sambil mengejar Presiden menaiki
tangga. "Akan kuceritakan kelak," kata Lawrence sambil melangkah masuk ruangan dansa.
'Tapi, Sir," kata Lloyd, "kau masih memerlukan..."
"Tidak sekarang," kata Lawrence sambil duduk di dekat istri Dubes dan tersenyum
minta maaf. 453 "Sudah berhasil menemukannya?" tanya Olga. "Menemukan apa?"
"Pidato Anda," sahut Mrs. Pietrovski, sementara! Lloyd meletakkan berkas di
antara mereka berdua. < "Sudah tentu," kata Lawrence sambil menepuk berkas itu. "Omong-omong, Olga,
bagaimana kabar putrimu" Natasha, ya kan" Apa dia masih kuliah Fra Angelico di Florence?" Ia
memegang pisau dan garpunya. Presiden Lawrence memandang sekdas ke arah Zerimski, ketika para pelayan muncul
kembali dan menyingkirkan piring-piring. Ia kembali meletakkan pisau-dan garpu, mengoleskan
mentega ke roti gulung keras dan kering, serta berusaha mengetahui apa yang dilakukan Natasha
Pietrovski selama tahun ketiga kuliahnya di Florence. Ia tak bisa tidak melihat bahwa Presiden
Rusia tampak gugup bahkan cemas, ketika semakin mendekati waktu harus menyampaikan pidatonya. Ia
langsung mengasumsikan bahwa Zerimski akan kembali memberikan bom yang tak terduga.
Pikiran itu menjauhkannya dari raspberry souffle.
Ketika akhirnya Zerimski berdiri untuk menyampaikan pidato kepada para tamu,
bahkan para pengagum beratnya pun terpaksa harus mengakui bahwa usahanya itu tak lebih dari
biasa-biasa saja. Beberapa di antara mereka yang mengawasinya secara cermat, terheran-heran
mengapa ia tampak menyampaikan begitu banyak ucapannya ke arah patung besar Lenin di galeri
di atas ruang dansa. Lawrence menduga patung itu pasti baru-baru saja ditempatkan di situ,
sebab ia tidak ingat pernah melihat patung itu pada pesta perpisahan Bori s.
454 Ia tetap menunggu Zerimski kembali menekankan amanatnya kepada Kongres hari
sebelumnya, tapi ia tak mengatakan sesuatu yang kontroversial. Lawrence merasa lega karena
Zerimski ternyata berpegang teguh pada naskah lunak yang telah dikirimkan ke Gedung Putih siang
itu. Ia memeriksa pidatonya sendiri, yang seharusnya telah ia periksa bersama dengan Andy di dalam
mobil. Kepala stafnya telah membubuhkan saran-saran di tepi naskah, namun tak ada kalimat lucu
ataupun paragraf yang pantas diingat dari halaman satu hingga halaman tujuh. Tapi Andy
memang sangat sibuk hari itu. "Izinkan saya mengakhiri dengan berterima kasih kepada bangsa Amerika atas
keramah-tamahan yang melimpah dan sambutan yang hangat yang telah saya alami di mana-mana,
selama kunjungan saya di negeri Anda yang besar ini. khususnya dari pihak presiden Anda, Tom
Lawrence." Tepuk tangan yang menyambut pernyataan itu begitu meriah dan berkepanjangan
hingga Lawrence mendongak dari catatan-catatannya. Sekali lagi Zerimski berdiri terpaku, sambil
menatap patung Lenin. Ia menunggu hingga tepuk tangan berhenti, kemudian barulah duduk. Ia sama
sekali tidak tampak senang, yang mana membuat Lawrence keheranan, sebab menurutnya sambutan
pidato itu jauh lebih meriah daripada yang sepatutnya.
Lawrence bangkit untuk menjawab. Pidatonya diterima dengan minat yang santun,
tapi tak dapat dikatakan dengan bergairah. Ia mengakhiri dengan kata-kata, "Marilah kita
berharap, Victor, ini merupakan kunjungan pertama dari banyak kunjungan lagi yang 455
.ikan Anda lakukan ke Amerika Serikat. Atas nama seluruh hadirin, saya
mengucapkan selamat jalan, semoga penerbangan Anda besok berlangsung dengan selamat." Lawrence
mengakui dalam hati bahwa dua dusta dalam satu kalimat memang agak terlalu banyak, bahkan bagi
seorang politisi, dan berharap ia punya lebih banyak waktu untuk membaca kalimatnya lebih dulu
sebelum menyampaikan pidatonya. Ia duduk menerima tepuk tangan yang penuh hormat, tapi
yang tak ada

Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

apa-apanya dibandingkan dengan sorak-sorai yang diterima Zerimski untuk sajian
yang sama-sama dangkal. Ketika kopi telah disajikan, Zerimski bangkit dari kursi dan berjalan menuju ke
pintu dua daun di ujung ruangan. Ia segera mengatakan, "Selamat malam," yang terdengar di seluruh
ruangan. Jadi jelas bahwa ia menginginkan para tamu pergi dari tempat itu secepat mungkin.
Beberapa menit sesudah dentang pukul sepuluh dari beberapa jam di Kedubes,
Lawrence bangkit dan berjalan pelan menuju tuan rumah. Tetapi, bagaikan sang kaisar di Capitol,
setiap kali ia dihentikan oleh berbagai warga negara yang ingin menyentuh tepi jubah sang
kaisar. Ketika ia akhirnya sampai di pintu, Zerimski mengangguk singkat kepadanya, kemudian baru
menemaninya menuruni tangga menuju lantai satu. Karena Zerimski tak berkata apa-apa,
Lawrence memandang lama-lama ke patung Kristus di Salib karya Nzizvestni yang masih tetap di
tempatnya di platform pertama. Kini setelah Lenin kembali, ia heran bahwa Yesus masih tetap bertahan.
Di kaki tangga batu itu ia berpaling untuk melambai kepada tuan
456 rumah, tetapi Zerimski telah menghilang kembali ke dai am Kedubes. Seandainya ia
mau menemani Lawrence keluar pintu depan, ia akan melihat SAIC yang menunggu
Lawrence, sementara ia memasuki limusinnya.
Braithwaite tidak bicara hingga pintu tertutup.
"Anda benar, Sir," katanya ketika mereka melewati gerbang Kedubes.
Orang pertama yang dilihat Zerimski ketika ia berjalan kembali ke Kedubes adalah
Duta Besar. Yang Mulia Duta Besar tersenyum penuh harap.
"Apa Romanov masih ada di gedung ini?" sembur Zerimski, tak dapat menyembunyikan
amarahnya lebih lama lagi.
"Ya, Mr. President," jawab Duta Besar, sambil mengejar pemimpinnya. "Ia ada
di..." "Bawa dia menghadapku secepatnya."
"Anda akan berada di mana?"
"Di tempat yang biasanya jadi ruang kerjamu."
Pietrovski buru-buru pergi ke arah berlawanan.
Zerimski bergegas ke ujung koridor pualam, nyaris tanpa menghentikan langkah
ketika membuka pintu ruang kerja Dubes, mendorongnya keras-keras seolah sedang menonjok karung
latihan tinju. Hal pertama yang ia lihat ialah senapan itu, yang masih tergeletak di meja. Ia
duduk di kursi kulit besar yang biasanya diduduki Duta Besar.
Sementara menunggu mereka bergabung dengannya dengan tak sabar, ia mengambil
senapan itu dan mempelajarinya dengan lebih teliti. Ia mengamati laras dan melihat bahwa
satu peluru masih berada di tempat. Ketika menumpangkan senapan itu di bahunya, ia me-457
rasakan keseimbangan sempurna, dan ia memahami untuk pertama kalinya mengapa
Fitzgerald mau terbang melintasi setengah Amerika untuk menemukan kem-barannya.
Saat itulah ia melihat bahwa pasak tembak telah diganti.
Zerimski dapat mendengar dua orang bergegas melalui koridor pualam. Tepat
sebelum mereka mencapai ruang kerja, ia menurunkan senapan dan meletakkannya di atas
pangkuannya. Mereka nyaris berlarian memasuki ruangan itu. Zerimski tanpa basa-basi menunjuk
ke dua kursi di seberang meja. "Di mana tadi Fitzgerald?" tanyanya sebelum Romanov sempat duduk. "Di dalam
ruangan ini kau telah memastikan bahwa ia akan berada di sini menjelang pukul empat sore tadi.
Kau bahkan sesumbar, "Tak ada yang tak beres. Dia sudah menyetujui rencana." Begitu
tepatnya kata-katamu."
"Itu kesepakatan kami ketika aku bicara dengannya lewat tengah malam, Mr.
President," kata Romanov. "Lalu apa yang terjadi antara tengah malam dan pukul empat?"
"Sementara anak buahku mengawalnya ke kota tadi pagi, pengemudi terpaksa
berhenti di depan deretan lampu lalu lintas. Fitzgerald melompat keluar dari mobil, lari ke
seberang jalan, dan melompat ke dalam taksi yang sedang lewat. Kami mengejarnya sepanjang jalan ke
Bandara Dulles, dan ketika kami telah menyusulnya di luar terminal, ternyata Fitzgerald
tak ada di dalamnya." "Kebenarannya ialah bahwa kau membiarkannya
458 lolos," kata Zerimski. "Apakah bukan itu yang sebenarnya terjadi?"
Romanov menunduk dan tak berkata sepatah pun.
Suara Presiden merendah menjadi bisikan. "Aku tahu kalian punya peraturan dalam
Mafya," katanya sambil menceklikkan gagang senapan, "bagi mereka yang gagal melaksanakan
kontrak." Romanov mendongak ngeri ketika Zerimski mengangkat senapan hingga terarah tepat
ke tengah dadanya. "Ya atau tidak?" tanya Zerimski tenang.
Romanov mengangguk. Zerimski tersenyum kepada orang yang menerima vonis
pengadilannya sendiri, dan pelan-pelan menarik picu. Peluru berekor perahu mencabik dada
Romanov sekitar satu inci di bawah jantung. Tubuh kurus itu terpental ke belakang menabrak dinding,
sempat terhenti di situ selama satu dua detik, lalu merosot ke karpet. Serpihan-serpihan otot dan
tulang berhamburan ke segala arah. Dinding, karpet, setelan Duta Besar, dan kemeja putih berlipit,
semuanya berlumuran darah. Zerimski berputar hingga berhadapan dengan mantan wakilnya di Washington.
"Jangan, jangan!"
teriak Pietrovski, menjatuhkan diri berlutut. "Saya akan mengundurkan diri, saya
akan mengundurkan diri." Zerimski menarik pelatuk untuk kedua kalinya. Saat mendengar bunyi ceklik, ia
ingat bahwa hanya ada satu peluru di dalamnya. Ia berdiri dari kursinya, kekecewaan membayang di
wajahnya. "Kau terpaksa mencucikan setelan itu ke binatu," katanya, seolah Duta Besar tak
berbuat lain kecuali mengotori lengan bajunya dengan kuning telur. Presiden Zerimski
meletakkan senapan kembali di meja. 459 "Pengunduran dirimu kuterima. Tapi sebelum membereskan kantormu, usahakan supaya
jasad Romanov dikumpulkan dan dikirim ke St. Petersburg." Ia mulai berjalan menuju
pintu. "Kerjakan dengan cepat. AkJ ingin berada di sana ketika ia dikuburkan bersama ayahnya."
Pietrovski, sambil masih berlutut, tidak menjawab. Ia mual, dan sangat ketakutan
untuk membuka mulut. Ketika tiba di pintu, Zerimski berpaling ke diplomat yang gemetaran itu "Dalam
keadaan seperti ini, mungkin bijaksana kalau mengirim kembali jenazah^ itu dalam kantong
diplomatik." 460 BAB TIGA PULUH LIMA SALJU turun lebat ketika Zerimski menaiki tangga menuju pesawat Ilyushin 62 yang
telah menunggu. Karpet putih tebal tercipta di sekitar roda pesawat.
Tom Lawrence berdiri di atas tarmak, mengenakan jas hitam panjang. Seorang
ajudan memayunginya. Zerimski menghilang melalui pintu, bahkan tanpa berpaling dan melambaikan tangan
ke arah kamera yang merupakan tradisi. Semua saran bahwa inilah .waktunya untuk
menunjukkan iktikad baik bagi semua orang jelas tidak termakan olehnya.
Departemen Luar Negeri telah mengeluarkan pernyataan pers. Pernyataan itu
membicarakan panjang-lebar tentang keberhasilan kunjungan Presiden Rusia selama empat hari.
Merupakan langkah signifikan bagi kedua negara, dan harapan akan kerja sama lebih lanjut
suatu waktu di masa depan. "Berguna dan konstruktif adalah kata-kata yang digunakan Larry 461
Harrington sebelum konferensi pers pagi, dan setelah dipikir kembali ditambah
dengan "suatu langkah maju". Para wartawan yang baru saja menyaksikan keberangkatan Zerimski
akan menjabarkan perasaan Harrington dengan "sia-sia dan destruktif, serta tanpa ragu
lagi merupakan suatu langkah mundur".
Begitu pintu pesawat kelabu itu menutup, Ilyushin mendadak bergerak maju, seolah
seperti bosnya sudah tak sabar lagi untuk segera pergi.
Lawrence-lah orang pertama yang memunggungi pesawat yang sedang berangkat,
perlahan-lahan menuju landas pacu. Lawrence bergegas menghampiri helikopter yang telah
menunggu, di mana ia menemukan Andy LIyod sedang menelepon. Begitu baling-baling mulai berputar,
Lloyd cepat-cepat menyudahi teleponnya. Saat Marine One mengangkasa, ia duduk
bersandar dan menjelaskan
kepada Presiden mengenai hasil operasi darurat yang telah terjadi pagi itu di
Rumah Sakit Walter Reed. Lawrence mengangguk sementara Kepala Staf menerangkan garis besar urutan
tindakan yang direkomendasikan Agen Braithwaite. "Aku sendiri akan menelepon Mrs.
Fitzgerald," katanya.
Selama perjalanan pendek itu kedua orang tersebut mempersiapkan pertemuan yang
akan segera dilaksanakan di Ruang Oval. Helikopter Presiden mendarat di Halaman Selatan, dan
tak seorang pun di antara mereka berdua berbicara sementara berjalan menuju Gedung Putih.
Sekretaris Lawrence telah menunggu dengan cemas di dekat pintu
"Selamat pagi, Ruth," kata Presiden untuk ketiga kalinya pagi itu. Mereka berdua
terjaga hampir sepanjang malam. 462 Tengah malam Jaksa Agung datang tanpa diumumkan sebelumnya. Dan ia memberitahu
Ruth Preston bahwa ia dipanggil untuk menghadiri pertemuan dengan Presiden, tetapi
itu tak tercatat dalam agenda hariannya. Pukul 02.00 Presiden, Mr. Lloyd, dan Jaksa Agung pergi
ke Rumah Sakit Walter Reed, lagi-lagi kunjungan ini tak disebutkan dalam buku agenda harian,
bahkan nama pasien yang akan dikunjungi pun tak disebutkan. Mereka kembali sejam kemudian.
Dan mereka berada di Ruang Oval selama satu setengah jam kemudian. Presiden telah
memberikan instruksi bahwa mereka tidak dapat diganggu. Ketika Ruth tiba kembali di Gedung Putih
pukul 08.10, Presiden sudah dalam perjalanan menuju Lanud Andrews untuk mengucapkan selamat
jalan kepada Zerimski. Walaupun Presiden mengenakan setelan berbeda, demikian pula kemeja dan dasi yang
lain daripada yang telah dilihatnya sebelumnya, Ruth bertanya-tanya apakah bosnya
tidak tidur sama sekali malam itu. "Apa agenda berikutnya, Ruth?" tanyanya, meskipun ia telah tahu betul.
"Orang-orang yang telah Anda beri janji pertemuan untuk pukul sepuluh sudah
menunggu selama empat puluh menit di lobi."
"Oh ya" Kalau begitu persilakan mereka masuk."
Presiden berjalan menuju Ruang Oval, membuka laci meja, dan mengeluarkan dua
lembar kertas dan sebuah kaset. Ia meletakkan dua lembar kertas itu di atas pengering tinta di
meja di depannya, sedangkan kaset itu ia masukkan ke tape di mejanya. Andy Lloyd masuk dari
kantornya, sambil mengepit dua berkas. Seperti biasa ia duduk di samping Presiden.
463 "Kau sudah bawa surat-surat pernyataan itu?" tanya Lawrence.
"Ya, Sir," jawab Lloyd.
Terdengar ketukan di pintu. Ruth membuka pintu dan memberitahukan, "Direktur dan
Wakil Direktur CIA." "Selamat pagi, Mr. President," kata Helen Dexter ceria, ketika memasuki Ruang
Oval dengan diikuti Wakil Direktur selangkah di belakangnya. Wanita itu juga mengepit
berkas. Lawrence tidak menjawab salam Helen Dexter.
"Anda akan merasa lega," demikian lanjut Dexter sambil duduk di kursi yang
berhadapan dengan Presiden, "bila tahu aku telah bisa menangani masalah yang kita khawatirkan akan
timbul selama kunjungan Presiden Rusia. Ternyata, kita punya semua alasan untuk percaya bahwa
orang tersebut tidak lagi merupakan ancaman bagi negeri ini."
"Mungkinkah orang itu sama dengan yang kuajak bicara melalui telepon beberapa
minggu lalu?" tanya Lawrence sambil bersandar di kursi.
"Aku tak begitu mengerti maksud Anda, Mr. President," kata Dexter.
"Kalau begitu biar kujelaskan," kata Lawrence. Ia membungkuk dan menekan tombol
"Play" tape di meja. "Kurasa aku harus meneleponmu dan memberitahu betapa penting tugas ini
menurutku. Sebab aku

Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak ragu sedikit pun bahwa kaulah orang yang tepat untuk melaksanakannya. Maka
kuharap kau bersedia menerima tanggung jawab ini."
"Saya sangat menghargai kepercayaan Anda pada
464 sava, Mr. President. Dan saya berterima kasih pada Anda karena berkenan
menelepon saya secara pribadi.... " Lawrence memencet tombol "Stop".
"Tak diragukan lagi kau tentu punya penjelasan mengapa dan bagaimana pembicaraan
itu terjadi," katanya. "Aku tak yakin mengerti maksud Anda sepenuhnya, Mr. President. CIA tidak tahu
rahasia percakapan telepon pribadi Anda."
"Itu mungkin benar atau mungkin juga salah," kata Presiden. "Tapi seperti
kauketahui sendiri, percakapan itu tidak keluar dari kantor ini."
"Apa Anda menuduh CIA..."
"Aku tak menuduh CIA melakukan sesuatu. Tuduhan itu ditujukan padamu secara
pribadi." "Mr. President, bila ini lelucon Anda..."
"Apa aku kelihatan seperti sedang tertawa?" tanya Presiden. Kemudian ia memencet
tombol "Play" lagi. "Dalam keadaan seperti ini, kurasa setidaknya itulah yang bisa kulakukan."
"Terima kasih, M r. President. Meskipun M r. Gutenburg sudah meyakinkan saya
mengenai keterlibatan Anda, dan Direktur sendiri kemudian menelepon saya siang itu,
sebagaimana yang Anda ketahui, saya tetap belum juga bisa menerima tugas itu kecuali bila saya
tahu pasti bahwa perintah itu datang langsung dari Anda."
Presiden membungkuk dan sekali lagi menekan tombol "Stop".
"Masih ada lagi jika kau mau mendengarkannya."
"Dapat kupastikan," kata Dexter, "operasi yang 465
disebut agen itu tak lain daripada kegiatan rutin saja."
"Apa kau minta aku percaya bahwa pembunuhan Presiden Rusia sekarang dianggap CIA
sebagai kegiatan rutin?" kata Lawrence tak percaya.
"Kami tak pernah bermaksud agar Zerimski dibunuh," kata Dexter tajam.
"Hanya agar seseorang tak berdosa harus digantung untuk itu," tukas Presiden.
Setelah hening lama, akhirnya Presiden menambahkan, "Dengan demikian setiap bukti bahwa kau
juga yang memerintahkan agar Ricardo Guzman di Kolombia dibunuh dapat dihilangkan."
"Mr. President, bisa kupastikan bahwa CIA tak punya sangkut paut..."
"Tapi itu bukanlah yang dikatakan Connor Fitzgerald tadi pagi," kata Lawrence.
Dexter bungkam. "Mungkin kau mau membaca surat pernyataan yang telah ditandatanganinya di depan
Jaksa Agung." Andy Lloyd membuka berkas pertama dari kedua berkas, lalu menyerahkan kepada
Dexter dan Gutenburg salinan surat pernyataan yang telah ditandatangani Connor Fitzgerald
dan disaksikan oleh Jaksa Agung. Ketika kedua orang itu mulai membacanya, Presiden tak bisa
tidak melihat bahwa Gutenburg mulai berkeringat.
"Setelah mendapat nasihat dari Jaksa Agung, aku telah memerintahkan petugas SAIC
untuk menahan kalian berdua dengan tuduhan pengkhianatan. Bila kalian ternyata
bersalah, kunasihatkan bahwa hanya ada satu hukuman."
466 Bibir Dexter tetap terkatup rapat. Wakilnya kini tampak jelas gemetaran.
Lawrence berpaling kepadanya. "Tentu saja, Nick, mungkin kau tak menyadari bahwa Direktur tidak diberi
otoritas eksekutif yang diperlukan untuk mengeluarkan perintah seperti itu."
"Itu betul sekali, Sir," cetus Gutenburg. "Sebenarnya, ia membuat saya percaya
bahwa instruksi untuk membunuh Guzman datang langsung dari Gedung Putih."
"Sudah kuduga kau sebaiknya mengatakan demikian, Nick," kata Presiden. "Dan jika
kau merasa bisa menandatangani dokumen ini" - ia menyodorkan sehelai kertas ke seberang meja
- "Jaksa Agung telah memberitahuku bahwa hukuman mati akan diganti dengan hukuman penjara
seumur hidup." "Apa pun itu, jangan tandatangani," perintah Dexter.
Sesaat Gutenburg ragu, kemudian mengambil pulpen dari sakunya dan membubuhkan
tanda tangan di antara dua tanda silang pensil di bawah pernyataan pengunduran dirinya
sebagai wakil direktur CIA, mulai efektif pukul 09.00 hari itu.
Dexter memandangnya dengan penghinaan yang tak ditutup-tutupinya. "Jika kau
menolak mengundurkan diri, mereka takkan punya keberanian untuk melanjutkan. Pria itu
begitu lemah." Ia kembali berpaling kepada Presiden, yang lagi-lagi menyodorkan sehelai kertas ke
seberang meja. Dan wanita itu memandangi pernyataan pengunduran dirinya sendiri sebagai
direktur CIA, juga mulai efektif pukul 09.00 hari itu. Ia mengangkat muka kepada Lawrence dan
berkata me-467 nantang, "Aku takkan menandatangani apa pun, Mr. President. Saat ini Anda harus
memahami betul-betul bahwa aku tak mudah ditakut-takuti."
"Nah, Helen, jika kau merasa tak mampu melaksanakan tindakan terhormat seperti
Gutenburg," kata Lawrence, "begitu kau meninggalkan ruangan ini, kau akan bertemu dengan dua
agen Dinas Rahasia di luar pintu dengan perintah untuk menahanmu."
"Jangan menggertakku, Lawrence," kata Dexter sambil bangkit dari kursi.
"Mr. Gutenburg," kata Lloyd ketika Dexter mulai berjalan menuju pintu dan
meninggalkan lembar kertas yang tak tertandatangani itu di meja. "Aku menganggap hukuman seumur
hidup tanpa ada kemungkinan pembebasan bersyarat dalam keadaan begini merupakan harga yang
terlalu tinggi untuk dibayar. Khususnya bila kau dijebak dan bahkan tak tahu apa yang sedang
terjadi." Gutenburg mengangguk ketika Dexter tiba di pintu.
"Kuanggap hukuman enam, paling lama tujuh tahun, akan lebih sesuai dalam
kasusmu. Dan dengan sedikit bantuan dari Gedung Putih, akhirnya kau hanya perlu menjalaninya tiga
atau empat tahun." Dexter berhenti melangkah.
"Tapi itu tentu saja berarti kau setuju..."
"Aku akan menyetujui apa pun. Apa pun," kata Gutenburg dengan gugup.
"...untuk memberikan kesaksian demi kepentingan penuntutan."
Gutenburg mengangguk lagi, dan Lloyd mengeluarkan surat pernyataan dua lembar
dari berkas lain di pangkuannya. Mantan Wakil Direktur hanya perlu
468 beberapa saat nntuk membaca dokumen itu, kemudian membubuhkan tanda tangannya di
bagian bawah halaman kedua. Direktur memegangi kenop pintu, ragu sesaat, lalu berbalik dan berjalan pelan
kembali ke meja. Ia memandang mantan wakilnya untuk terakhir kali dengan muak. Ia mengambil pulpen
dan membubuhkan tanda tangan di antara dua tanda silang pensil.
"Kau tolol, Gutenburg," kata Dexter. "Mereka takkan mengambil risiko untuk
menghadirkan Fitzgerald di pengadilan. Tiap pengacara yang kurang baik akan mencabiknya
berkeping-keping. Dan tanpa Fitzgerald mereka takkan punya kasus. Aku yakin Jaksa Agung telah
menerangkan hal itu pada mereka." Ia berbalik lagi akan meninggalkan ruangan.
"Helen memang benar," kata Lawrence sambil mengeluarkan tiga dokumen dan
menyerahkannya pada Lloyd. "Bila kasus ini sampai ke pengadilan, kami takkan pernah bisa
menghadirkan Fitzgerald di boks saksi."
Dexter berhenti melangkah untuk kedua kalinya. Tinta tanda tangan pengunduran
dirinya itu pun belum kering. "Tapi celakanya," kata Presiden, "aku harus memberitahumu bahwa Connor
Fitzgerald telah meninggal pukul 07.43 pagi ini."
469 BUKU EMPAT Yang Gesit dan yang Tewas
BAB TIGA PULUH ENAM Iring iringan pemakaman maju pelan-pelan melewati punggung bukit.
Pemakaman Nasional Arlington penuh sesak bagi seseorang yang tak pernah mencari
pengakuan publik. Presiden Amerika Serikat berdiri di salah satu sisi makam, diapit oleh
Kepala Staf Gedung Putih dan Jaksa Agung. Berhadapan dengan mereka ada seorang wanita yang selama
empat puluh menit lalu tak pernah mengangkat kepala. Di samping kanan berdiri putrinya; dan
di samping kiri calon menantunya. Mereka bertiga terbang dari Sydney dua hari setelah menerima telepon pribadi
dari Presiden. Banyaknya kerumunan orang yang berkumpul di pemakaman itu pasti membuat Maggie
tak meragukan lagi betapa banyak sahabat dan pengagum yang ditinggalkan Connor.
Dalam pertemuan hari sebelumnya di Gedung Putih, Tom Lawrence telah mengatakan
kepada si janda bah- 473 wa kata-kata Connor yang terakhir adalah kata-kata sayang kepadanya dan
putrinya. Presiden masih melanjutkan memberitahu bahwa walaupun ia hanya bertemu dengan suaminya
satu kali, seumur hidup ia akan selalu mengingatnya. "Padahal ini ucapan seorang pria yang
berjumpa dengan ratusan orang dalam seharinya," demikian tulis Tara dalam buku hariannya
malam itu. Beberapa langkah di belakang Presiden berdirilah Direktur CIA yang baru saja
diangkat. Dan sekelompok pria dan wanita yang tak berniat melapor kerja hari itu. Mereka telah
mengadakan perjalanan dari empat penjuru bumi untuk berada di sana.
Seorang pria tinggi-kekar tanpa rambut di kepala berdiri agak jauh dari para
pelayat lainnya, sambil menangis tak terkendali. Tak seorang pun yang hadir di situ akan percaya bahwa
kebanyakan para bandit kejam di Afrika Selatan akan senang kalau tahu Cari Koeter sedang berada
di luar negeri, walau hanya beberapa hari.
FBI dan Dinas Rahasia juga hadir dalam jumlah banyak. Agen Khusus William
Braithwaite berdiri mengepalai dua belas jago tembak, yang masing-masing akan puas bila mengakhiri
kariernya dianggap sebagai penerus Connor Fitzgerald.
Di lereng bukit lebih ke atas lagi, para kerabat dari Chicago, para akademisi
dari Georgetown, para pemain bridge, para pedansa Irlandia, para pujangga, dan orang-orang dari setiap
profesi kehidupan memenuhi pemakaman sejauh mata memandang. Mereka menundukkan kepala mengenang
seorang pria yang mereka sayangi dan segani.
Iring-iringan pemakaman berhenti di Sheridan
474 Drive, beberapa meter dari pemakaman. Delapan pengawal kehormatan mengangkat
peti mati dari kereta meriam, memanggulnya, dan mulai berbaris pelan menuju makam. Peti mati
diselubungi bendera Amerika dan di atasnya terdapat pita-pita penghargaan pertempuran
Connor. Di tengah- tengahnya ada Medali Kehormatan. Setelah tiba di sisi makam, para pengusung
perlahan-lahan menurunkan peti mati ke tanah, kemudian bergabung dengan pelayat-pelayat
lainnya. Pastor Graham, yang telah menjadi imam keluarga Fitzgerald selama tiga puluh
tahun lebih, mengangkat tangan. "Sahabat-sahabatku," ia memulai. "Para imam sering diundang untuk melantunkan
kidung pujian bagi umat yang telah meninggal, yang hampir tak dikenal para pelayat dan yang
prestasinya tak selalu jelas. Tapi lain halnya dengan Connor Fitzgerald. Sebagai mahasiswa, ia
dikenang sebagai gelandang terhebat yang pernah dimiliki Universitas Notre Dame. Sebagai
prajurit, tak ada kata-kata lain yang dapat menandingi pujian yang ditulis
Kapten Christopher Jackson, komandan
peletonnya: 'Seorang prajurit yang tak gentar menghadapi bahaya, yang selalu
lebih mementingkan kehidupan anak buahnya daripada hidupnya sendiri.' Sebagai seorang profesional,
ia telah mendarmabaktikan hampir tiga puluh tahun jasanya bagi negaranya. Anda hanya
perlu melihat sekeliling untuk mengetahui penghargaan tinggi dari sesama rekannya. Namun lebih
dari itu semua, sebagai suami bagi Maggie dan ayah bagi Tara, kita akan mengenangnya. Kita
berdukacita bersama mereka berdua." Pastor Graham merendahkan suaranya. "Aku cu-
475 kup beruntung dapat menganggap diriku sebagai sahabatnya. Aku telah merindukan
main bridge lagi dengannya selama liburan Natal - sebenarnya aku berharap dapat memperoleh


Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kembali $10 kekalahanku dalam rubber set tepat sebelum ia pergi melaksanakan tugas terakhir.
Ya Tuhan, dengan senang aku akan memberikan apa saja yang kumiliki hanya untuk sekali lagi
bisa kalah main bridge dengannya. "Olahragawan, prajurit, profesional, kekasih, ayah, sahabat, dan bagiku - walau
aku tak pernah akan berani menyebutnya di depannya, cuma karena ia akan menertawakanku -
pahlawan. "Dimakamkan tak jauh darimu, Connor, ada seorang pahlawan Amerika yang lain."
Pastor tua itu mengangkat kepalanya. "Seandainya aku John Fitzgerald Kennedy, aku akan bangga
dimakamkan di pemakaman yang sama dengan Connor Fitzgerald."
Para pengusung melangkah maju dan menurunkan peti mati ke dalam liang kubur.
Pastor Graham membuat tanda salib, membungkuk, meraup segenggam tanah, dan menaburkannya di
atas peti mati. "Abu kembali ke abu, dan debu kembali ke debu," imam itu mulai menyanyi,
sementara seorang Marinir meniup trompet melantunkan lagu pemakaman. Para pengawal kehormatan
melipat bendera dari peti mati membentuk segitiga rapi di tangan kadet termuda, seorang
pemuda delapan belas tahun, yang dilahirkan di Chicago seperti Connor. Menurut kebiasaan, ia
akan memberikan bendera itu kepada sang janda sambil mengucapkan, "Ma'am, atas nama Presiden
Amerika Serikat." Tapi tidak demikian hari ini. Hari ini ia melangkah tegap ke arah
lain. Tujuh Marinir mengangkat senapan ke angkasa dan menembakkan salvo 21 kali, sementara kadet muda itu
berdiri tegak di hadapan Presiden Amerika Serikat, dan menyerahkan bendera.
Tom Lawrence menerimanya, pelan-pelan berjalan memutar ke sisi lain makam dan
berdiri di hadapan sang janda. Maggie mengangkat kepala dan berusaha tersenyum ketika
Presiden menghadiahkan panji bangsa.
"Atas nama negara yang berterima kasih, saya menyerahkan kepada Anda bendera
Republik. Anda dikelilingi oleh sahabat-sahabat yang mengenal suami Anda dengan baik. Saya
hanya berharap saya dapat mempunyai hak istimewa itu." Presiden menunduk dan kembali ke sisi
lain makam. Ketika band Marinir mulai memainkan lagu kebangsaan, ia menempatkan tangan
kanannya di dadanya. Tak seorang pun bergerak hingga Maggie didampingi Tara dan Stuart menuju ke
pintu gerbang makam. Ia berdiri di sana hampir selama sejam, berjabat tangan dengan semua
pelayat yang menghadiri upacara itu. Dua orang yang tetap di puncak bukit selama upacara telah terbang dari Rusia
sehari sebelumnya. Mereka tidak datang untuk berkabung. Mereka akan kembali ke St. Petersburg
dengan penerbangan malam, dan melapor bahwa jasa-jasa mereka tidak diperlukan lagi.
477 BAB TIGA PULUH TUJUH Air force one dikelilingi tank-tank ketika Presiden Amerika Serikat mendarat di
bandara Moskwa. Tak diragukan lagi Presiden Zerimski tidak berminat sedikit pun memberi Tom
Lawrence kesempatan ber-foto untuk orang-orangnya di tanah air. Juga tidak ada pidato-
pidato "Selamat datang di Rusia" seperti biasanya yang disampaikan dari podium di landas pacu.
Ketika menuruni tangga pesawat dengan wajah muram, Lawrence disambut oleh
kehadiran Marsekal Borodin yang berdiri di menara tank.
Saat kedua Presiden akhirnya bertemu di Kremlin pagi ini, butir pertama dalam
agenda ialah bahwa Presiden Zerimski meminta agar pasukan NATO yang melakukan patroli di perbatasan
Rusia sebelah barat segera ditarik kembali. Sebagai akibat kekalahan telak RUU
Pengurangan Senjata Nuklir, Biologis, Kimia, dan Konvensional di dalam Senat, dan kembalinya Ukraina
dengan sukarela ke Uni Soviet, Presiden
478 Lawrence tahu bahwa ia tidak dalam posisi untuk mundur seinci pun dari peranan
NATO di Eropa, khususnya sejak Senator Helen Dexter yang baru-baru ini terpilih tetap
melukiskan Lawrence sebagai "kaki tangan merah".
Sejak pengunduran diri Senator Dexter sebagai direktur CIA tahun lalu, supaya
dapat "lebih terbuka beroposisi terhadap kebijakan luar negeri Presiden yang salah arah",
telah ada perbincangan di Capitol Hill mengenai kemungkinan ia akan menjadi presiden
wanita pertama. Pada pembicaraan pendahuluan di Kremlin pagi ini, Presiden Zerimski tidak
berpura-pura... Stuart mendongak dari halaman depan Sydney Mor-ning Herald ketika Mnggie masuk
ke dapur, mengenakan jins dan sweter. Mereka telah tinggal serumah selama enam bulan dan
Stuart belum pernah melihat Maggie dengan sehelai rambut pun yang tak pada tempatnya.
"Selamat pagi, Stuart," katanya. "Ada yang menarik di koran?"
"Zerimski masih tetap ngotot pada tiap kesempatan walau sekecil apa pun," jawab
Stuart. "Dan presiden kalian menghadapinya dengan berani, setidaknya itulah pandangan
koresponden Herald di Rusia." "Zerimski akan menjatuhkan bom nuklir ke Gedung Putih bila ia beranggapan bisa
berhasil meloloskan diri," kata Maggie. "Apa tak ada berita yang lebih ceria untuk
diceritakan padaku Sabtu pagi seperti ini?" "Perdana Menteri sudah mengumumkan tanggal pemilihan presiden pertama kami."
479 "Kalian sangat lamban di negeri ini," kata Maggie, sambil mengisi mangkuk dengan
cornflakes. "Kami sudah lepas dari orang-orang Inggris dua ratus tahun lalu."
"Kami juga tak perlu waktu lebih lama lagi," kata Stuart sambil tertawa ketika
istrinya masuk ke ruangan itu dengan berkimono.
"Selamat pagi," kata Tara dengan mengantuk. Maggie bangkit dari kursi dan
mencium pipi putrinya. "Duduk saja di situ dan makan comflakes-mu ini Sementara kubuatkan omelette.
Sebenarnya kau tak usah..." "Mom, aku hamil, bukannya kelaparan," kata Tara. "Aku cukup makan semangkuk
cornflakes." "Aku tahu, tapi itu karena..."
"...Mom tak pernah berhenti "emas," kata Tara sambil memeluk ibunya. "Akan
kuungkapkan sebuah rahasia padamu. Tak ada bukti-bukti medis bahwa keguguran itu dari
keturunan; hanya membikin repot para ibu. Apa berita besar hari ini?" tanyanya sambil mengalihkan
pandangannya ke Stuart. "Kasusku di pengadilan jadi berita utama di halaman enam belas," sahut Stuart
sambil menunjuk ke tiga alinea yang tersembunyi di sudut kiri bawah halaman.
Tara membaca laporan itu dua kali, kemudian berkata, "Tapi mereka bahkan tak
menyebut namamu." "Tidak. Mereka tampaknya lebih berminat terhadap klienku saat ini," Stuart
mengaku. "Tapi kalau
aku dapat meloloskannya dari hukuman, itu bisa berubah."
"Kuharap kau tak meloloskannya dari hukuman," kata Maggie seraya memecah telur
kedua. "Kukira 480 klienmu itu penjilat, dan harus menghabiskan sisa hidupnya di penjara."
"Cuma gara-gara mencuri $73?" tanya Stuart tak percaya.
"Dari wanita tua yang tak berdaya." ^ "Tapi itu baru pertama kali."
"Pertama kali ditangkap, itu maksudmu, kan," kata Maggie.
"Tahukah, Maggie, kau pasti bisa jadi jaksa penuntut jempolan," kata Stuart.
"Sebaiknya jangan kauambil cuti besarmu tahun ini - lebih baik kau mendaftarkan diri di fakultas
hukum. Maaf ya, menurutku memenjarakan orang seumur hidup untuk pencurian $73 takkan membuat
seseorang jadi sedemikian besar."
"Kau akan terkejut karenanya, anak muda," tukas Maggie.
Terdengar bunyi sesuatu yang terjatuh di keset dekat pintu. "Aku akan
mengambilnya," kata Stuart
sambil berdiri. "Stuart benar," kata Tara, sementara ibunya meletakkan omelette di depannya.
"Sebenarnya Mom tak usah membuang-buang waktu dengan menjadi pengurus rumah tangga tanpa
dibayar. Mom terlalu baik untuk itu."
"Terima kasih, sayangku," kata Maggie. Ia kembali ke kompor dan memecahkan telur
lagi. "Tapi aku menikmati tinggal bersama kalian berdua. Aku cuma berharap keberadaanku tak
mengganggu." "Tentu saja Mom tak begitu," kata Tara. "Tapi kan sudah enam bulan lebih
sejak..." "Aku tahu. Sayang, tapi aku masih butuh waktu lebih lama lagi sebelum sanggup
kembali ke Washing- 481 ton. Aku akan baik-baik saja menjelang dimulainya semester musim gugur."
"Tapi Mom tak mau menerima undangan-undangan untuk hal-hal yang kausukai."
"Misalnya?" "Minggu lalu Mr. Moore mengundang Mom untuk menyaksikan Fidelio di Opera House,
dan Mom bilang sudah ada acara malam itu."
"Sejujurnya, aku tak ingat lagi apa yang kulakukan malam itu," kata Maggie.
"Aku ingat. Mom duduk di kamar membaca Ulysses."
"Tara, Ronnie Moore itu baik, dan aku tak ragu dia melakukan apa pun di bank itu
dengan baik sekali. Tapi dia tak perlu melewatkan malam denganku, hanya untuk
mengingatkanku betapa aku
sangat merindukan ayahmu. Dan tentu aku tak perlu melewatkan malam dengannya,
hanya untuk diberitahu betapa dia memuja almarhum istrinya, siapa pun namanya."
"Elizabeth," kata Stuart ketika kembali dengan membawa surat-surat. "Ronnie
sebenarnya memang agak baik." "Jangan ikut-ikutan," kata,, Maggie. "Sudah tiba waktunya kalian tak perlu
mencemaskan lagi kehidupan sosialku." Maggie meletakkan omelette yang lebih besar lagi di depan
Stuart. "Mungkin lebih baik aku menikah denganmu, Maggie," katanya sambil menyeringai.
"Kau jauh lebih cocok daripada kebanyakan pria yang coba-coba kaujodohkan
denganku," kata Maggie sambil menepuk-nepuk kepala menantunya.
Stuart tertawa dan mulai menyeleksi surat-surat,
482 kebanyakan untuk dirinya. Ia menyerahkan beberapa kepada Tara dan tiga kepada
Maggie, lalu mendorong tumpukan kecil surat-suratnya ke tepi dan lebih suka membaca rubrik
olahraga di Herald. Maggie menuangkan kopi ke cangkir kedua untuk dirinya sendiri, sebelum mengurusi
surat-suratnya. Seperti biasa ia lebih dulu meneliti prangko surat-surat itu
sebelum memutuskan urutan
surat-surat yang dibukanya. Dua surat berprangko sama, potret George Washington.
Yang ketiga berprangko gambar burung kookaburra yang penuh. Mula-mula ia membuka surat dari
Australia itu. Setelah membacanya, ia menyodorkannya kepada Tara di seberang meja. Sambil
membaca alinea demi alinea surat itu, senyum Tara semakin melebar.
"Sangat menggoda," kata Tara sambil meneruskan surat itu ke Stuart.
Stuart membacanya dengan cepat. "Ya, sangat menggoda. Bagaimana tanggapanmu?"
"Akan kubalas dan kujelaskan bahwa aku tak memasang iklan di bursa tenaga
kerja," jawab Maggie. "Tapi lebih dulu aku harus tahu siapa di antara kalian berdua yang harus
mendapat terima kasihku." Ia melambaikan surat itu.
"Tak bersalah," kata Tara.
"Mea culpa" Stuart mengaku. Sebelumnya ia telah tahu bahwa tak ada gunanya
mencoba mengelabui Maggie. Akhirnya Maggie akan selalu mengetahuinya juga.
"Aku melihat tawaran pekerjaan itu di Herald, dan kupikir kau sangat ideal
memenuhi kualifikasinya. Pokoknya, lebih dari kompeten."
483 "Ada gosip bahwa Kepala Penerimaan akan pensiun akhir tahun akademik ini," kata
Tara. "Jadi dicari penggantinya dalam waktu dekat ini. Siapa pun yang memperoleh pekerjaan
ini..." "Sekarang dengarkan aku, kalian berdua," kata Maggie, sambil mulai membenahi
piring-piring kotor. "Aku sedang cuti besar. Bulan Agustus yang akan datang, aku berniat
kembali ke Washington dan melanjutkan pekerjaanku sebagai ketua Penerimaan di Universitas
Georgetown. Universitas Sydney harus mencari orang lain." Ia duduk akan membuka surat kedua.


Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Baik Tara maupun Stuart tidak berkomentar lebih lanjut ketika Maggie
mengeluarkan cek sebesar $277.000, yang ditandatangani oleh Menteri Keuangan. "Pembayaran penuh",
demikian penjelasan surat yang terlampir, santunan atas kehilangan suami yang sedang berdinas
sebagai petugas dalam CIA. Bagaimana mereka dapat mulai memahami apa arti kata-kata "pembayaran penuh"
ini" Cepat-cepat ia membuka surat ketiga. Ia memang sengaja menaruhnya di urutan
terakhir, sebab ia mengenali bentuk huruf kuno itu dan tahu persis siapa yang mengirimnya.
Tara menyentuh Stuart. "Surat cinta tahunan dari Dr. O'Casey, kalau aku tak
salah," bisiknya menirukan adegan drama. "Harus kuakui, Mom. aku terkesan karena ia mampu
melacakmu." "Aku juga," kata Maggie dengan tersenyum. "Setidaknya dengan dia aku tak perlu
pura-pura." Dibukanya amplop itu. "Aku keluar dulu, kita siap berangkat sejam lagi,"
484 kata Stuart sambil melihat jamnya. Maggie memandang melalui atas kacamata
bacanya dan tersenyum. "Aku sudah memesan satu meja di kafe pantai buat pukul satu."
"Oh, Mom hebat sekali," desah Tara penuh kekaguman. Stuart baru saja akan
memukul kepala Tara dengan koran ketika Maggie berkala, "Ya ampun." Mereka berdua memandangnya
dengan takjub. Itulah ucapan yang paling mendekati makian yang pernah mereka dengar.
"Ada apa, Mom?" tanya Tara. "Apakah ia masih tetap melamar, atau setelah
bertahun-tahun akhirnya ia menikah dengan orang lain?"
"Kedua-duanya tidak. Ia ditawari pekerjaan sebagai ketua Jurusan Matematika di
Universitas New South Wales. Dan dia akan datang menemui Wakil Rektor sebelum mengambil
keputusan akhir." "Tak bisa lebih baik lagi," kata Tara. "Bagaimanapun* dia orang Irlandia,
tampan, dan selalu memujamu. Dan seperti yang berulang kali kauingatkan pada kami, hanya Dad yang
bisa mengalahkannya. Mau apa lagi?"
Terjadi keheningan yang lama. Akhirnya Maggie berkata, "Aku khawatir itu tak
sepenuhnya tepat." "Maksud Mom?" tanya Tara. "Yah, yang benar ialah, dulu ia memang tampan dan ahli
dansa', tapi juga agak membosankan." "Tapi Mom selalu bercerita padaku..." "Aku tahu apa yang
telah kuceritakan," kata Maggie. "Dan jangan memandangku seperti itu, nyonya muda.
Aku yakin kau kadang-kadang mengganggu Stuart dengan menceritakan pelayan muda dari Dublin itu
yang..." "Mom, bagaimanapun sekarang dia..." "Dia apa?" tanya Stuart.
"...dosen di Trinity College, Dublin," lanjut Tara. "Dan lebih-lebih lagi, dia
sudah menikah dengan bahagia dan dikaruniai tiga anak. Itu lebih dari apa yang dapat dikatakan
tentang kebanyakan mantan pacarmu." "Betul," Stuart mengaku. "Jadi katakan," ia berpaling pada Maggie, "kapan Dr.
O'Casey tiba di Oz?" Maggie membuka surat itu kembali dan membaca keras-keras:
"Aku terbang dari Chicago tanggal 14, tiba tanggal 15."
"Lho, itu kan hari ini," kata Stuart Maggie mengangguk, lalu melanjutkan:
'Aku akan menginap di Sydney semalam dan menemui Wakil Rektor hari berikutnya
sebelum kembali ke Chicago."
Maggie mendongak. "Ia sudah akan pulang sebelum kita kembali dari berakhir
pekan." "Itu sayang," kata Tara. "Sesudah bertahun-tahun, aku ingin bertemu dengan Dr.
Declan CTCasey yang setia itu " "Dan itu masih bisa," kata Stuart sambil melihat jamnya. "Pukul berapa
pesawatnya mendarat?"
"Pukul 11.20 pagi ini," kata Maggie. "Aku khawatir kita akan ketinggalan. Dan
dia tak mengatakan di mana akan menginap. Jadi tak ada cara untuk menghubunginya sebelum ia terbang
pulang." 486 "Jangan cepat menyerah," kata Stuart. "Kalau kita segera berangkat, mungkin
sepuluh menit lagi kita sudah sampai di bandara, tepat dengan mendaratnya pesawat itu. Kau bisa
mengundangnya santap siang bersama."
Tara memandang ibunya. Maggie tak tampak bersemangat terhadap gagasan tersebut.
"Bahkan bila kita bisa mengejarnya, kemungkinan besar ia akan menolak," kata Maggie. "Ia
masih jetlag dan mau mempersiapkan diri untuk pertemuannya besok."
"Tapi setidaknya Mom sudah berusaha," kata Tara.
Maggie melipat surat itu, melepas celemeknya, dan berkata, "Kau benar, Tara.
Setelah bertahun- tahun, setidaknya itulah yang bisa kulakukan." Ia tersenyum kepada putrinya,
cepat-cepat meninggalkan dapur, dan menghilang ke lantai atas.
Di kamarnya, Maggie membuka lemari pakaian dan memilih pakaian kesayangannya Ia
tidak ingin DeclJ^* menganggapnya setengah baya - meskipun itu agak konyol, karena ia memang
setengah baya, demikian pula Declan. Ia mematut-matut diri di cermin. Boleh juga,
demikian putusnya, untuk orang yang berumur 51. Ia tak bertambah gemuk, tetapi satu-dua garis telah
muncul di dahinya selama enam bulan terakhir.
Maggie tiba kembali di bawah dan menemukan Stuart hilir-mudik di ruang utama. Ia
tahu pasti mobil sudah siap, bahkan mungkin mesinnya sudah dihidupkan.
"Ayo, Tara," teriaknya ke lantai atas untuk ketiga kalinya.
Beberapa menit kemudian Tara muncul, dan ketidaksabaran Stuart menguap saat Tara
tersenyum. 487 Sambil naik ke dalam mobil, Tara berkata, "Aku sudah tak sabar lagi bertemu
dengan Declan. Bahkan namanya saja sudah kedengaran romantis."
"Begitulah persisnya yang kurasakan waktu itu," kata Maggie.
"Apalah artinya nama?" kata Stuart dengan meringis, sambil mengeluarkan mobil
dari jalur masuk dan membelok ke jalan. "Artinya banyak sekali jika kau dilahirkan sebagai Margaret Deirdre Burke,"
jawab Maggie. Stuart tertawa terbahak-bahak. "Ketika masih sekolah, aku pernah menulis surat pada
diriku sendiri dengan alamat kepada 'Dr. dan Mrs. Declan O'Casey'. Tapi itu tak membuatnya
lebih menarik lagi."
Maggie menyentuh rambutnya dengan agak gugup.
"Apakah tak mungkin," kata Tara, "sesudah berta-Jiun-tahun, Dr. O'Casey mungkin
berubah jadi menyenangkan, jantan, dan duniawi?"
"Aku meragukannya," sahut Maggie. "Lebih mungkin ia akan jadi sombong, keriput,
dan masih perjaka." "Bagaimana mungkin kau bisa tahu ia masih perjaka waktu itu?" tanya Stuart.
"Sebab ia tak pernah berhenti mengatakannya pada setiap orang," jawab Maggie.
"Gagasan Declan mengenai akhir pekan yang romantis adalah menyajikan makalah trigonometri pada
suatu konferensi matematika."
Tawa Tara meledak. "Tapi, terus terang, ayahmu pun tak begitu lebih berpengalaman daripada dia.
Kami mengalami malam pertama bersama di atas bangku taman. Dan satu-satunya yang hilang adalah
selopku." 488 Stuart tertawa terbahak hingga hampir menabrak pinggiran jalan.
"Aku bahkan tahu bagaimana Connor kehilangan keperjakaannva," lanjut Maggie.
"Dengan cewek yang terkenal dengan nama 'Jangan Pernah Bilang Tidak, Nancy'," bisik Maggie,
pura-pura berbagi rahasia. "Tak mungkin ia menceritakannya padamu," kata Stuart tak percaya.
"Memang tidak. Aku takkan pernah tahu jika ia tak pulang terlambat setelah
latihan sepak bola suatu malam. Kuputuskan meninggalkan pesan di dalam locker-nya, dan kutemukan
nama Nancy tercoret di balik pintu lemari. Tapi sebenarnya aku tak boleh mengeluh. Ketika
kuperiksa locker teman-teman sekesebelas-annya, skor Connor jauh yang paling di bawah."
Tara kini tertawa terpingkal-pingkal hingga memohon ibunya menghentikan
ceritanya. "Waktu ayahmu akhirnya..."
Saat mereka tiba di bandara, Maggie telah menghabiskan semua ceritanya tentang
persaingan antara Declan dan Connor, dan mulai merasa agak takut berjumpa dengan mantan
partner dansanya setelah sekian lama. Stuart menghentikan mobil di pinggir jalan, melompat keluar, dan membukakan
pintu belakang untuk Maggie. "Sebaiknya cepat-cepat," katanya sambil memeriksa jam.
"Apa ingin kutemani, Mom?" tanya Tara.
"Tidak Terima kasih," jawab Maggie, dan ia berjalan cepat menuju pintu otomatis
sebelum sempat berubah pikiran. 489 Ia memeriksa papan pengumuman kedatangan penerbangan. Penerbangan 815
United dari Chicago mendarat tepat waktu pukul 11.20. Sekarang sudah pukul 11.40. Seumur hidup belum
pernah ia terlambat begitu lama untuk menjemput seseorang dari pesawat terbang.
Semakin dekat dengan area kedatangan, semakin lambat langkahnya, dengan harapan
Declan punya waktu untuk menyelinap pergi. Ia memutuskan berada di situ selama
seperempat jam untuk memenuhi kewajiban, kemudian akan kembali ke mobil. Ia mulai mengamati para
penumpang yang datang ketika mereka melewati gerbang. Orang-orang muda, ceria, dan bergairah,
sambil mengepit papan selancar; orang-orang separo baya, buru-buru dan penuh perhatian, sambil
memegangi anak-anak mereka; orang-orang tua, berjalan pelan-pelan dan hati-hati,
berada di urutan terakhir. Maggie
mulai bertanya-tanya apakah ia akan mengenali Declan. Apakah Declan telah
melewatinya" Bagaimanapun sudah tiga puluh tahun lebih setelah mereka bertemu terakhir kali,
dan Declan tak berharap disambut seseorang di situ.
Maggie memeriksa jamnya lagi - waktu seperempat jam sudah hampir habis. Ia mulai
membayangkan sepiring gnocchi dan segelas Chardonnay untuk makan siang di
Cronulla, kemudian tidur-tiduran berjemur matahari siang sementara Stuart dan Tara
berselancar. Tiba-tiba matanya menatap seorang pria berlengan satu yang sedang melewati gerbang
kedatangan. Kaki Maggie terasa lemas. Ia menatap orang yang tak pernah berhenti dicintainya,
dan mengira ia akan pingsan. Air matanya berlinangan. Ia tidak minta pen-490
jelasan. Itu bisa nanti, kelak. Ia berlari ke arah pria itu, melupakan semua
orang di sekitarnya. Saat melihat Maggie, pria itu mengembangkan senyum yang tak asing lagi yang
menunjukkan ia tahu ia telah dikenali "Ya Tuhan, Connor," kata Maggie, sambil mengembangkan kedua lengannya.
"Katakan ini memang benar. Ya Tuhan, katakan ini benar."
Connor memeluknya erat-erat dengan tangan kanan, lengan baju kirinya menjuntai
di sisinya. "Memang benar, sayangku Maggie," katanya dengan logat Irlandia kental.
"Sayangnya, meskipun
Presiden bisa memperbaiki hampir segalanya, begitu mereka mematikanmu, kau tak
punya pilihan lain kecuali menghilang sementara waktu dan memakai identitas lain." Ia melepas
pelukannya dan memandang wanita yang ingin ia dekap setiap jam selama enam bulan terakhir ini.
"Kuputuskan memakai identitas Dr. Declan O'Casey, akademis/; yang sedang mempertimbangkan
untuk menerima tugas baru di Australia, sebab aku ingat kau pernah bilang yang
kauinginkan dalam hidup ini ialah menjadi Mrs. Declan O'Casey. Aku juga yakin takkan diganggu oleh
terlalu banyak orang Australia yang mengetes ke-pakaranku dalam matematika."
Maggie mengangkat muka menatapnya. Air mata bercucuran membasahi pipinya. Ia tak
yakin harus menangis atau tertawa
"Tapi surat itu, sayangku," kata Maggie. "Huruf 'e'-nya yang bengkok. Bagaimana
kau...?" "Ya, kupikir kau menyukai sentuhan itu," jawab Connor. "Itu sesudah aku melihat
fotomu di Washington Post, berdiri di dekat makam berhadapan dengan 491
3E" Presiden, kemudian membaca penghormatan kepada almarhum suamimu dengan berapi-
api, hingga aku berpikir. Declan. mungkin inilah kesempatan terakhirmu untuk menikahi nona
muda Margaret Burke dari East Side itu:' Connor tersenyum. "Jadi bagaimana sekarang. Maggie?"
tanyanya. "Maukah kau menikah denganku?"
"Connor Fitzgerald, masih banyak sekali yang harus kaujelaskan," kata Maggie.
"Memang benar, Mrs. O'Casey. Dan seluruh sisa hidup kita ini perlu untuk
menjelaskannya." Tamat

Perintah Kesebelas The Eleventh Commandment Karya Jeffrey Archer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Siluman Gila Guling 1 Kisah Dua Saudara Seperguruan Karya Liang Ie Shen Pangeran Dari Kegelapan 2
^