Pencarian

Piramida Bangsa Astek 1

Piramida Bangsa Astek Karya Dr. Karl May Bagian 1


Dr. KARL MAY PIRAMIDA BANGSA ASTEK (JILID I) Diterbitkan pertama kali oleh
Pradnya Paramita (1986). Pembuatan ebook atas sepengetahuan penerbit.
DISALIN OLEH Johannes Sulistio, Lidia Chang, Mai Damai Ria Hans Wuysang, & Mackylafry Darwin
UNTUK PAGUYUBAN KARL MAY INDONESIA
http://www.indokarlmay.com
The site for fellow pacifists
BAB I MERCUSUAR DI MONT-SAINT-MICHEL Pantai utara Perancis di suatu tempat membentuk sudut siku, mengapit teluk
Saint-Malo di sebelah selatan dan timur; di sudutnya menjorok teluk Mont-Saint-
Michel jauh ke darat. Dari teluk ini hanyalah setengah jam perjalanan letak
sebuah kota kecil Avranches, tinggi di atas bukit-bukit.
Di tepi teluk Mont-Saint-Michel itu pada tahun 1848
didirikan sebuah mercu suar kukuh kuat di atas batu karang, selaku pandu bagi
kapal-kapal yang berlayar di pantai Normandia yang penuh bahaya itu. Penjaga
mercu suar bernama Gabrillon. Karena orang itu tidak suka bergaul dengan
sesamanya, maka ia dianggap kurang waras. Ia tidak beranak istri. Hanya ada
seorang wanita yang sudah tua lagi tuli tinggal bersamanya, yang sekali-sekali
pergi meninggalkan mercu suar untuk mengambil gaji bagi Gabrillon dan sekalian
mengurus pembelian barang-barang kebutuhan sehari-hari.
Dahulu memang ada kalanya datang wisatawan asing ataupun dalam negeri berkunjung
untuk menikmati dari puncak mercu suar pemandangan yang sangat
menakjubkan di bawahnya, lautan luas nan kekal abadi namun senantiasa berubah-
ubah jua. Tetapi akhir-akhir ini kelakuan Gabrillon terhadap para wisatawan
demikian memburuk, sehingga orang merasa jera kembali lagi ke tempat itu. Orang
berusaha mencari sebab musabab kelakuannya yang demikian, namun tidak berhasil
menemukan apa-apa. Hanya ada beberapa nelayan yang berpendapat bahwa di tengah
malam mereka pernah melihat di atas menara dekat lampu berdiri sesosok tubuh
orang yang kurus kering meratap-ratap dalam bahasa asing, entah bahasa Spanyol
atau bukan. Sejak saat itu penduduk pesisir yang mempercayai takhyul itu mengira bahwa
penjaga mercu suar, Gabrillon itu, dapat berhubungan dengan setan atau roh-roh
jahat lainnya dan karena itu mereka makin menjauhinya. Hanya Maire (walikota)
mengetahui lebih baik, karena Gabrillon telah berkunjung padanya untuk melapor
bahwa ia membiarkan seorang keluarganya yang menderita sakit ingatan tinggal
bersamanya. Gabrillon terpaksa melaporkan hal itu dan walikota tidak meneruskan
berita itu kepada siapapun, karena menurut pendapatnya, ada baiknya juga bila
orang-orang menganggap keluarga gila itu sebagai hantu.
Hari sudah siang pada musim dingin yang cerah itu.
Pada hari sebelumnya badai telah mengamuk, sehingga laut masih berombak tinggi-
tinggi. Namun cuaca cerah pada saat itu. Sampai jauh ke tengah laut burung camar
terlihat dengan jelasnya menepis buih. Bulunya gemerlapan ditimpa cahaya
matahari dan bila seekor burung albatross mengepak-ngepakkan sayapnya yang lebar
itu tampak cemerlang bulu putihnya berkilat-kilat di antara yang gelap warnanya
laksana perak. Di stasiun Avranches tibalah sebuah kereta api dari Paris. Di antara
penumpangnya ada seorang laki-laki bertubuh tinggi mencari-cari sesuatu di
tengah-tengah kerumunan orang di atas peron. Tidak lama kemudian ia dihampiri
seorang laki-laki berpakaian cara Spanyol.
Setelah bersalam-salaman kedua orang itu pergi ke kamar tunggu.
"Bolehkah saya menanyakan keadaan kesehatan Condesa, senor Sternau?" demikian
dimulai oleh orang yang berpakaian cara Spanyol.
"Saya merasa puas. Secara badaniah kesehatan beliau
makin membaik." "Dan bagaimana secara rohaniah" Beliau masih belum dapat mengenali Anda?"
Wajah orang yang bertubuh besar itu berubah menjadi muram. "Saya masih belum
berani menggunakan obat mujarab itu, karena tubuh beliau masih terlalu lemah.
Saya harus menundanya sampai tiba di tanah airku.
Tetapi mari kita bicarakan tugas kita! Saya menyuruhmu pergi mendahului, supaya
dapat senantiasa mengawasi mercu suar. Bagaimana dengan Pangeran, apakah beliau
masih ada pada Gabrillon?"
"Sudah barang tentu! Saya sendiri tidak pernah melihat beliau lagi, tetapi
kehadirannya itu sudah nyata, karena Gabrillon masih tetap melarang pengunjung
datang. Bukankah itu sudah cukup bukti bahwa ia
menyembunyikan sesuatu?"
"Kini saya tahu apa yang harus kita lakukan. Pertama-tama kita harus pergi ke
Walikota." "Lalu kemudian?"
"Kemudian dengan pertolongan pejabat itu kita mengeluarkan Pangeran dari mercu
suar lalu membawanya ke Paris untuk menyerahkannya kepada putrinya."
Mereka menjumpai Walikota di kantornya dan diterima dengan ramah-tamah. Mereka
memperkenalkan diri lalu duduk.
"Apa keperluan Anda?" tanya Walikota.
"Kami ingin menanyakan sesuatu," kata Sternau. "Siapa yang mengeluarkan larangan
untuk menaiki mercu suar?"
"Sepanjang pengetahuanku tidak ada orang yang melarang," jawabnya.
"Sepanjang pengetahuan Anda?" Sepanjang
pengetahuan saya Anda sebagai Walikota wajib mengetahui perkara demikian."
"Jadi sepengetahuan Anda siapakah yang mengeluarkan larangan itu?"
"Penjaga mercu suar!", sela Mindrello.
"Gabrillonkah" Memang ia orang yang aneh, seakan-akan membenci sesamanya. Ia
ingin supaya tidak diganggu orang, Tuan!"
"Tetapi bagaimana mungkin seseorang dapat merasa terganggu, bila pekerjaannya
hanyalah menyalakan lampu pada malam hari dan mematikannya lagi keesokan
paginya?" tanya Sternau kurang puas. "Lagi pula ada seorang tua tinggal
bersamanya. Siapakah orang itu?"
"Seorang keluarga Gabrillon."
"Siapakah namanya dan dari manakah asalnya?"
"Namanya?" tanya Walikota kemalu-maluan.
"Ya......eh..... namanya.......saya kira.......tak tahulah saya.
Betul Gabrillon telah melaporkan, tetapi hanya secara lisan, tidak secara
tertulis." "Bukankah setiap kali orang melapor harus mengisi formulirformulir tertentu?"
"Ya, memang demikian. Saya masih harus
menyelidikinya lagi. Maklumlah, persoalan yang kecil-kecil kadang-kadang
dilupakan oleh kesibukan sehari-hari."
"Kami bukan semata-mata datang untuk mendapatkan penerangan saja. Persoalannya
lebih mendesak. Kami menginginkan bantuan Anda dalam suatu perkara kriminal."
"Perkara kriminal?" tanya walikota sambil mengamat-amati kedua tamunya dengan
cermat. Perkara pembunuhankah?" "Benarlah. Izinkan saya menerangkan pokok-pokoknya yang penting saja. Pangeran
Spanyol Manuel de Rodriganda y Sevilla tiba-tiba menjadi sakit ingatan dan saya
sebagai dokter beliau, dapat mengetahui bahwa penyakit itu disebabkan oleh racun
dari pohon Upas yang diberikan kepada beliau oleh beberapa penjahat. Oknum-oknum
penjahat menghendaki kematian Pangeran atau sekurang-kurangnya menjadikan beliau
sakit ingatan untuk memperoleh harta warisan Pangeran. Saya telah mengobati
beliau sehingga dapat sembuh kembali, tetapi pada suatu pagi Pangeran
menghilang. Kemudian telah
ditemukan dalam suatu jurang dekat daerah itu sesosok mayat. Orang-orang yang
bersekongkol mengenali mayat itu sebagai mayat Pangeran, namun menurut pendapat
saya mayat orang lain. Orang-orang yang beriktikad tidak baik itu sangat
berkuasa. Mereka tidak menghiraukan pendapat saya lalu mayat itu disemayamkan
dalam makam keluarga sebagai jenazah Pangeran.
"Astaga! Itu seperti dalam roman detektif saja. Namun apa sangkut pautnya saya
sebagai walikota di Perancis dengan perkara kejahatan yang terjadi di Spanyol?"
"Ceritera saya itu tidak ada sangkut pautnya dengan Anda, tetapi itu baru
permulaannya saja. Saya berkeyakinan bahwa mayat orang lainlah yang dimakamkan
dan bahwa Pangeran yang sakit ingatan itu telah diculik. Secara kebetulan juga
saya dapat menemukan jejaknya: orang sakit ingatan itu diculik, dibawa ke
Perancis dan ditahan di sini."
"Masya Allah! Itu tentu menjadi urusan kita juga! Tetapi mengapa Anda datang
pada saya?" "Karena tempat persembunyiannya terdapat dalam daerah kekuasaan Tuan."
"Astaga! Kalau begitu saya harus bertindak sekarang juga. Pangeran itu berada di
mana?" "Di mercu suar."
"Itu tak mungkin!" hardik walikota.
"Demikian pendapat Tuan" Tahukah Tuan bahwa sungguh Tuan akan mendapat susah,
karena Tuan membiarkan orang yang dibuat jadi gila tinggal di daerah Tuan tanpa
menanyakan surat-suratnya. Orang sakit yang dinyatakan oleh Gabrillon sebagai
keluarganya itu tak lain Pangeran Manuel di Rodriganda sendiri."
Rasa ketakutan mulai membuat peluh bercucuran di dahi walikota.
"Sangat menyusahkan!" katanya. "Akan saya ajukan pertanyaan-pertanyaan kepada
Gabrillon. Anda mempunyai bukti bahwa orang itu benar-benar Pangeran?"
"Tentu saja. Pangeran menjadi gila dan kehilangan
seluruh ingatannya...........disebabkan oleh racun itu.
Hanya satu hal masih melekat pada ingatannya. Saat itu penjaga puri yang bekerja
pada Pangeran, bernama Alimpo, hadir dekatnya dan itulah hanya satu-satunya yang
dapat diingat oleh Pangeran. Maka ia menganggap dirinya Alimpo dan terus-menerus
mengulang perkataan: "Saya ini Alimpo, abdi setia itu." Tentu Tuan akan setuju dengan saya bahwa
hampir-hampir tak mungkin ada dua orang di dunia ini yang mempunyai bayangan
halusinasi yang sama. Maka ucapan Pangeran itu dapat dijadikan tanda pengenal."
"Mungkin itu benar. Tetapi sebelumnya harus dapat ditetapkan secara resmi bahwa
Pangeran benar-benar mengucapkan perkataan itu."
"Kepastian itu dapat Anda peroleh dengan mudah.
Inilah beberapa surat resmi yang menyatakan bahwa saya adalah dokter pribadi
Pangeran di Rodriganda."
Walikota memeriksa surat-surat itu dengan seksama.
Kemudian ia bangkit berdiri, berjalan hilir mudik di dalam kamar, akhirnya
berhenti di hadapan Sternau.
"Saya akan membantu Tuan dengan sekuat tenaga saya, namun saya mengharap juga
Anda dapat menangani peristiwa ini sedemikian rupa, sehingga nama saya tidak
teraibkan olehnya." "Saya akan berusaha memenuhi permintaan Anda.
Tetapi biar kita secepatnya pergi ke mercu suar dengan membawa bala bantuan yang
secukupnya. Perkara yang lain akan beres dengan sendirinya."
"Baik! Akan saya laksanakan sesuai dengan nasihat Tuan."
Setengah jam kemudian berangkatlah walikota diikuti oleh Sternau, Mindrello, dan
tiga orang polisi menuju pantai. Setiba mereka dekat mercu suar, kata Sternau,
"Supaya jangan menarik perhatian, kita berpencar. Kita harus menghampiri mercu
suar sebagai wisatawan biasa; kemudian kita akan menantikan perkembangannya."
Usul itu dikerjakan dan mereka berpencar. Mindrello
dan Sternau diikuti oleh seorang polisi berjalan lebih dahulu menuju ke mercu
suar. Sesampai dekat pintu ternyata pintu itu terkunci. Namun Mindrello dapat
menemukan sebuah lonceng. Ia menarik pada tali lonceng.
Tidak lama kemudian pintu dibuka. Penjaga mercu suar menampakkan diri. Demi
dilihatnya orang Spanyol itu ia berseru dengan marahnya, "Lagi-lagi Anda! Kurang
ajar benar! persetan dengan Anda!"
Langsung pintu hendak ditutup lagi, tetapi Mindrello menghalangi.
"Jangan ditutup!" katanya. "Saya mau naik ke atas."
"Sudah saya katakana itu tidak boleh. Apakah kamu tuli?"
Gabrillon hendak berkeras menutup pintu, tetapi saat itu seorang polisi
menghampirinya. Hingga kini polisi itu berdiri agak ke belakang maka penjaga
mercu suar tidak melihatnya.
"Wah! Apa kata Anda, Gabrillon?" katanya. "Siapa menyuruh kamu mengeluarkan
larangan demikian?" Demi dilihatnya seorang alat negara yang sedang bertugas, ia mundur selangkah.
"Haruskah saya membiarkan saja sembarang orang datang untuk mengganggu
ketertiban?" tanyanya.
"Jadi Tuan ini nampaknya seperti sembarang orang saja, bedebah?" hardik polisi
itu. Atas nama walikota saya umumkan bahwa setiap wisatawan boleh mengunjungi
mercu suar. Dan bila sekali lagi dilarang, kau akan langsung dipecat. Mengerti"
Tuan ini akan melapor, bila merasa kurang puas dengan perlakuanmu. Camkanlah!"
Alat Negara itu setelah mengucapkan perkataan itu menuruni tangga dengan penuh
harga diri. Mindrello dan Sternau memasuki ruangan lantai dasar dari mercu suar.
Penjaga mercu suar tanpa berkata-kata cepat-cepat menaiki tangga. Kedua orang
itu mengikutinya dari belakang. Setelah mereka tiba di ruangan yang lebih tinggi
mereka menjumpai wanita pembantu rumah tangga yang tua itu sedang duduk di atas
bangku pendek; seperti seekor buaya ia mengawasi mereka. Tanpa mengindahkan wanita itu kedua mereka
naik lebih tinggi lagi. Tingkat ketiga mercu suar itu terdiri atas dua bagian.
Bagian yang pertama terkunci, namun dari dalamnya terdengar suara orang meratap,
"Saya ini Alimpo yang setia itu."
Kedua orang itu maklum mengapa Gabrillon cepat-cepat naik ke atas. Ia ingin
menghindari mereka. Penjaga mercu suar itu menempati bagian lain tingkat itu.
Dan dengan muka penuh kecurigaan ia mengawasi mereka, jangan-jangan perhatian
mereka tertarik oleh suara meratap itu.
"Mengapa Anda mengurung orang sakit itu?" tanya Sternau.
"Itu bukan urusan Anda!" jawab orang Perancis itu kasar.
"Mungkin Anda mempunyai iktikad kurang baik dengan pasien itu."
"Apa peduli Anda dengan keluarga saya!" hardik Gabrillon.
"Saya terpaksa menerima Tuan, tetapi bila Tuan menghina saya, akan saya lempar
Tuan ke bawah." "Apa" Anda melempar saya?" tanya Sternau. "Bila Anda tidak begitu menjijikkan
bagiku, Anda sudah lama menggelepar di bawah."
Sambil mengatakan ini ia mengeluarkan saputangan dari sakunya dan melambaikannya
ke arah luar. "Apa maksud Anda?" tanya Gabrillon penuh curiga.
Tubuh Sternau yang perkasa menimbulkan rasa hormat padanya.
Dokter tidak menjawab. Ia hanya memperhatikan tangga yang menuju ke bawah. Tidak
lama kemudian terdengarlah bunyi langkah kaki orang cepat-cepat.
Walikota menampakkan diri.
"Di mana orang sakit ingatan itu?" tanyanya.
"Di dalam situ," jawab Gabrillon sambil menunjuk ke arah pintu.
Karena disangkanya ia hanya berhadapan dengan walikota hatinya menjadi tenteram.
"Jadi ia keluargamu?" tanya walikota. "Siapa namanya?"
"Anselmo Marcello."
"Dan dari manakah asalnya?"
"Dari Navia." "Ada surat-suratnya?"
"Paman saya yang mengantarkannya ke mari. Dan ia berjanji masih akan mengirimkan
surat-suratnya. Dalam pada itu paman saya telah meninggal."
"Seharusnya kau minta orang lain mengirim surat-surat itu. Saya akan menanyakan
di Navia, benarkah pamanmu telah pergi mengantarkan orang sakit itu. Buka
pintu!" Penjaga mercu suar membuka pintu lalu tampaklah sebuah ruangan kecil sekali,
yang hanya muat sebuah karung berisi rumput kering. Di atas karung itu
terbaringlah Pangeran. Mata orang sakit itu seperti melamun-lamun dan ia
meratap, "Saya ini Alimpo yang setia itu."
"Anda telah mendengar?" tanya Sternau kepada Walikota.
"Memang benar perkataan itu!" jawabnya. "Sungguhkah ia Pangeran Spanyol itu,
Dokter?" Sternau menghampiri si sakit, memegang tangannya lalu berkata dengan terharu,
"Benarlah Tuan demikian! Ia tak lain dan tak bukan Pangeran Manuel. Badannya
sudah kurus kering serta rambutnya memutih, namun ia masih tetap seperti
dahulu." Si sakit masih memandangnya dengan pandangan hampa. Wajahnya pucat bagaikan


Piramida Bangsa Astek Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sebuah boneka dari lilin dan tidak ada sesuatu yang menandakan adanya kehidupan
rohani yang sehat. Hanya bibirnya bergerak-gerak bagaikan masih mengucapkan
kata-kata, "Saya Alimpo yang setia itu."
Sternau dan Mindrello berpaling menahan rasa terharu.
Bahkan Walikota pun terpaksa mendeham-deham untuk menyembunyikan emosinya yang
meluap-luap, yang tiadalah sesuai dengan harkat jabatannya.
Pada saat itu Gabrillon maju ke depan lalu berkata,
"Tuan itu khilaf. Si sakit bernama Anselmo Marcello; saya tahu dengan pasti."
"Diam, pendusta," hardik Sternau. "Tuan Walikota, saya minta supaya penjaga
mercu suar itu ditahan."
"Saya ditahan?" tanya penjaga mercu suar pura-pura marah. "Berdasarkan perbuatan
apa?" Orang gila itu keponakan saya. Mana mungkin seorang Pangeran menjadi gila.
Gilanya itu disebabkan oleh kemiskinan dan kelaparan yang telah dideritanya.
Berdasarkan belas kasihan saya menerimanya dan kini sebagai imbalannya saya
harus ditahan. Lucu benar sih!"
Walikota merasa tersinggung oleh perkataan itu.
"Diam!" perintahnya. "Apa yang diputuskan oleh pengadilan dan polisi bukanlah
sesuatu yang lucu. Kau saya tahan demi ketentuan dalam undang-undang Negara."
"Jadi mau menahan saya?" kata Gabrillon. "Boleh coba, kalau dapat."
Langsung ia menerjang Walikota yang tidak menduga-duga itu, kemudian lari
menuruni tangga. Namun malang baginya, ia terjatuh ke tangan beberapa orang
polisi yang sedang menantikannya di bawah.
"Celaka saya!" raung orang itu terkejut.
"Pegang dia!" perintah Walikota. "Usaha melarikan diri ini sudah cukup merupakan
bukti akan keterlibatannya. Ia harus dipaksa untuk mengumumkan nama-nama mereka
yang membawa pangeran kemari."
Penjaga mercu suar dibawa ke luar dan dimasukkan ke dalam penjara. Setelah ia
pergi kata Walikota,"Sebuah surat pengaduan akan dibuat sehubungan dengan
kejahatan ini. Akan saya siapkan laporan dan sesuai dengan kewajiban saya, akan
saya kirim berita kepada Rodriganda yang menyatakan bahwa mayat orang lainlah
yang dimakamkan di makam pangeran dan bahwa don Manuel kini berada di tengah-
tengah kita. Dan apakah yang kini Anda kehendaki dengan orang sakit itu" Masih
perlukah bantuan dari pemerintah juga?"
"Tidak, si sakit akan tinggal bersama kami!" kata Sternau. "Kami akan membawanya
dan saya akan berusaha menyembuhkannya."
"Kalau begitu, perkara ini sudah beres," kata Walikota.
"Kini saya harus pergi untuk menunaikan tugasku. Sudah agak malam untuk dapat
menginterogasi orang tahanan.
Esok hari pekerjaan itu dapat dilakukan dan waktunya akan saya beritahukan
kepada Anda, karena saya maklum tentu Anda ingin hadir dalam pemeriksaaan."
Ia minta diri dan langsung Sternau mengutus orang ke kota untuk menyediakan
pakaian luar dan dalam baru bagi Pangeran. Pangeran mungkin Nampak agak kurang
terurus, namun hasil pemeriksaan dokter menunjukkan bahwa keadaan kesehatannya
tidaklah buruk. Dua hari kemudian pasien itu dibawa pergi oleh Dokter dan Mindrello naik kereta
api ke Paris. Perjalanannya melalui tanah berbukit-bukit yang diliputi salju.
BAB II STERNAU DI RUMAH Bila di atas peta ditarik garis lurus dari kota Mainz ke Kreusnach, maka kita
akan menjumpai nama Rheinswalden. Di desa itu terdapat rumah seorang tuan tanah. Rumah yang besar
sekali serta menyerupai sebuah puri itu sebenarnya dibangun untuk dihuni oleh
lebih banyak orang daripada yang menghuninya pada tahun 1848 itu. Selama
beberapa bulan rumah itu dimiliki oleh keluarga Adlerhorst di Darmstadt. Tetapi
sehubungan dengan perkembangan politik pemilik itu telah menjualnya kepada
pemerintah dan mereka pindah ke luar negeri.
Puri yang suram itu bagi penghuninya yang baru, bernama Rodenstein, makin lama
makin terasa sepi, sehingga ia meminta seorang keluarga jauh beserta putrinya
tinggal bersamanya dalam puri. Keluarga tersebut yang bernama nyonya Sternau
ialah ibunda Dokter Karl Sternau. Sudah bertahun-tahun wanita itu hidup
menjanda, maka dengan senang hati ia menerima tawaran tuan tanah. Tuan tanah itu
dijuluki "kapten", berkat pangkatnya yang telah diperolehnya dalam tentara.
Dalam sebuah rumah kecil yang dapat disamakan dengan rumah penjaga pintu
gerbang, tinggallah seorang mualim kapal bernama Unger dengan keluarganya. Ayah
dalam keluarga itu jarang ada di rumah. Selain ayah, keluarga itu terdiri dari
dua orang lagi, nyonya Unger dan putranya yang baru berusia delapan tahun,
bernama Kurt. Putra itu meskipun sangat nakal, namun disukai oleh semua penghuni puri.
Pada suatu hari pagi-pagi sekali kapten berada di kamar kerjanya menghadapi
setumpuk daftar yang sedang dikerjakannya. Pekerjaan demikian sangat dibencinya.
Maka wajahnya suram muram dan matanya layak memancarkan api, bila ada orang di
dekatnya yang patut menjadi sasarannya.
Pintu diketuk orang. "Masuk!" teriak Rodenstein.
Pintu dibuka lalu penjaga hutan masuk. Ia adalah tangan kanan tuan tanah, orang
kepercayaannya dan orang inilah yang akan menjadi sasaran pertama dari amukan
badai, disebabkan oleh kemurungan hati majikan itu. Ia dalam dinas ketentaraan
pernah menjadi anak buah kapten, sehingga terbiasa dengan disiplin militer. Maka
tanpa memberi salam ia berdiri di muka pintu dengan memberi hormat secara
militer. "Apa khabar?" geram kapten.
"Selamat pagi, kapten."
"Hm... Selamat pagi! Menyusahkan benar!"
"Apa yang menyusahkan" Pencuri kayu itu?"
"Pencuri kayu" Bukan! Maksudku daftar-daftar itu."
"Memang, daftar-daftar demikian memusingkan kepala.
Alangkah baiknya saya ini bukan tuan tanah, sehingga tidak dipusingkan olehnya."
"Apa" Kau menjadi tuan tanah?" geram Rodenstein menakutkan. "Bukan hanya daftar-
daftar saja yang akan memusingkan. Pekerjaan lain tak ada satu pun yang dapat
kaukerjakan dengan baik berkat kedunguanmu.
Sebenarnya Carl Winter lebih berbakat untuk menjadi penerus pekerjaan saya.
Sayang bahwa perkembangan politik menyebabkan ia pindah ke Amerika. Apa maksudmu
datang ke mari?" "Di bawah ada seorang pria minta bicara dengan Anda.
Ia hanya mau menyebut namanya kepada Anda."
"Ada-ada saja. Tetapi biarlah, suruh masuk saja!"
"Perintah akan dilaksanakan."
Ludwig pergi, kemudian masuk seorang pria tinggi
kurus berhidung bengkok dan berkacamata. Ia masuk seenaknya saja lalu bertanya
tanpa menunjukkan hormat,
"Andakah tuan tanah bernama Rodenstein?"
Akhirnya Rodenstein mempunyai alasan kuat untuk mencurahkan pandangannya yang
berapi-api kepada mangsanya. Ia bangkit berdiri, membuka pintu dengan
mengempaskan lalu berkata, "Sebaiknya Anda keluar lagi dahulu!"
"Mengapa?" "Mengapa" Bukankah sudah jelas: karena saya perintahkan!"
"Namun saya kurang mengerti mengapa..."
"Keluar!" deru kapten dengan gegap gempita.
"Baik, bila Anda menghendaki demikian. Saya pergi."
Setelah berkata demikian ia keluar melalui pintu.
"Bagus," kata tuan tanah. "Sekarang Anda boleh masuk lagi dan memberi salam
secara sopan menurut tata kesopanan yang umum."
Ia mendorong orang itu lebih jauh lagi ke dalam lorong dan menutup pintu.
Semenit kemudian pintu diketuk.
"Masuk," seru Rodenstein.
Orang itu membuka pintu lalu masuk. Senyum
mengejek yang tampak pada bibirnya menandakan bahwa perlakuan terhadap dirinya
yang memalukan itu hanyalah akan diterimanya sementara saja.
"Tuan Rodenstein yang terhormat," katanya. "Saya menyatakan tunduk kepada Tuan.
Bolehkah saya sekarang mengucapkan selamat pagi?"
"Selamat pagi! Lalu, ada keperluan apa?"
"Saya ingin bicara secara resmi dengan Anda. Saya ini komis
aris polisi dari kerajaan Hessen." "Saya tidak ada banyak waktu, maka
berbicaralah singkat saja. Silakan duduk! Apa keperluan Anda?" "Bukankah di sini
tinggal seorang wanita bernama nyonya
Sternau?" "Benar." "Bersama putrinya?" "Benar juga."
"Kedudukannya sebagai apa?" "Masya Allah.
Kedudukannya sebagai manusia biasa, tinggal di rumah saya. Habis perkara!"
"Bolehkah saya memperingatkan Anda bahwa saya berhak
mendapat jawaban-jawaban yang sopan?" "Dapat Anda peroleh, Tuan komisaris dari
kerajaan Hessen." "Selain putri itu, masih adakah anak-anak yang lainnya?"
"Tidak ada anak lagi, melainkan hanya seorang putra yang su dah menjadi dokter."
"Di mana?" "Ketahuilah bahwa saya tidak ada waktu atau minat sedikit
pun untuk menjawab segala pertanyaan Anda yang entah apa makna atau pun
maksudnya. Ada apa sebenarnya dengan dokter Sternau itu?"
"Saya membawa perintah untuk menahannya."
"Me...na...han?" teriak kapten. "Anda sungguh
keterlaluan." "Itu kenyataannya. Ia sedang dicari polisi Spanyol karena
pembunuhan, pencurian, serta penculikan." Rodenstein melempar pandangan yang
ganjil kepada komisa ris lalu berseru, "Itu saja" Baru sedikit. Teruskan, apa
lagi?" "Baru sedikit, Tuan Rodenstein?"
"Anda rupanya masih belum maklum akan maksud saya. Inilah pendapat saya: dokter
Sternau itu orang baik-baik; tidak ada orang lebih baik daripadanya. Maka lebih
mudah bagiku percaya bahwa Anda sendirilah seorang pembunuh, pencuri, dan
penculik daripada dia. Sangkaan Anda itu tidak masuk di akal sama sekali. Dan
saya tidak mau melayani urusan yang hampa demikian. Betulkah Anda itu komisaris
polisi dari kerajaan Hessen" Dapatkah Anda memperlihatkan tanda-tanda bukti"
Saya tak kenal Anda."
"Berani Anda meminta tanda-tanda bukti dari saya,"
kata polisi itu dengan marahnya.
"Karena setiap penipu dapat juga menyamar sebagai seorang komisaris polisi. Maka
enyahlah dari sini. Dan janganlah kembali lagi sebelum dapat menunjukkan surat-
surat resmi." "Anda menyadari apa yang Anda perbuat."
"Pasti saya sadari. Dan bila Anda tidak mau pergi dengan sendirinya, saya
sanggup membantu Anda dengan melemparkan Anda keluar."
"Saya akan kembali lagi, membawa bala bantuan. Akan saya adukan Anda karena
berani menentang utusan dari pemerintah."
Rodenstein membunyikan lonceng dan Ludwig masuk.
"Ludwig!" "Ya, kapten!" "Orang ini harus ke luar dan bila kurang cepat keluarnya, ia harus dilemparkan
ke luar." "Perintah akan dilaksanakan, kapten!" kata penjaga hutan sambil menahan
tertawanya. Perintah demikian memang disukainya. Ia memegang bahu orang itu
mendorongnya masuk ke lorong dan menuruni tangga. Di taman sedang berkeliaran
beberapa orang calon pemburu.
Demi dilihat mereka, ada perkara yang membutuhkan tenaga mereka, dengan penuh
semangat mereka memberikan bantuannya, sehingga dalam waktu singkat polisi itu
diterbangkan ke luar daerah puri. Setelah terlepas polisi itu dari tangan
mereka, ia mengepalkan tinju serta mengancam akan mengadakan pembalasan kelak
kepada tuan tanah. Di taman puri berdiri seorang anak laki-laki berpakaian seperti seorang pemburu.
Ialah Kurt Unger, putra mualim Unger, berusia delapan tahun.
"Ludwig," katanya, "mengapa orang itu dikeluarkan dari puri" Apa salahnya?"
"Ia telah menghina Tuan kapten."
Anak kecil itu menjadi marah dan berseru, "Orang itu akan menyesali
perbuatannya. Akan kuambil senapanku dan akan kutembak penjahat itu. Kurang ajar
benar. Siapa yang menghina kapten akan kutembak mati!"
Penjaga hutan tertawa puas, senang hatinya melihat kesayangannya menunjukkan
keberaniannya. Sungguhpun demikian ia berkata, "Jangan!", ketika
dilihatnya Kurt benar-benar hendak mengambil senapannya. "Kau tidak boleh
menembak manusia begitu saja. Bila ingin sekali menembak ada seekor binatang
yang boleh menjadi sasaranmu."
"Binatang apa?"
"Rubah!" "Rubah!" seru anak itu dengan mata bersinar-sinar.
"Ada di mana binatang itu?"
"Di balik hutan pohon eik. Kemarin aku
menemukannya. Nanti aku akan membawa anjing memburunya."
"Boleh aku ikut?"
"Boleh, bila disetujui ibumu."
"Aku minta izin sekarang juga."
Anak itu lari ke rumahnya. Ibunya sedang memberi makan ayamnya. Ia melompat ke
tengah-tengah kelompok ayam yang beterbangan kian kemari sambil berkokok-kokok.
Kata anak itu terengah-engah, "Mama, mama, boleh aku menembak mati?"
"Siapa yang hendak kautembak mati, anak nakal?"
"Rubah yang suka memakani ayam kita."
"Ada di mana binatang itu?"
"Dia balik hutan pohon eik. Ludwig telah
menemukannya. Nanti ia akan memburunya. Boleh saya ikut?"
"Boleh, karena Ludwig ikut juga."
Kurt kurang senang mendengar perkataan itu lalu berkata dengan penuh harga diri,
"Sebenarnya Ludwig tak perlu ikut. Aku dapat menanganinya sendiri."
Ia masuk ke dalam rumah dan keluar lagi menyandang senapan. Senapan itu berlaras
dua, pemberian tuan rumah kepadanya sebagai hadiah ulang tahun. Mengingat
usianya yang baru delapan tahun, anak itu telah mengalami perkembangan jiwa
maupun badan secara sempurna.
Kapten merasa bangga, anak itu menghargai hadiah ulang tahunnya itu dan dapat
menggunakannya dengan baik
sekali. Anak itu sudah dapat dinamakan seorang penembak tepat. Kepandaiannya itu
didapatnya dari penjaga hutan yang lama bernama Winter, seorang ahli tembak yang
termasyhur. "Hari ini aku pergi berburu, mama," katanya.
Wanita itu menciumnya lalu anak itu melangkahkan kakinya dengan gagahnya,
seperti seorang raja layaknya, yang sedang berburu burung bangau. Ia datang
tepat pada waktunya untuk pergi bersama Ludwig dan beberapa orang pemburu.
Mereka membawa beberapa ekor anjing pemburu masing-masing diikat dengan tali
yang panjang. Perjalanan mereka melalui hutan lebat. Anak itu bertanya tentang berbagai hal
dan orang-orang rajin menjawab segala pertanyaannya.
Pagi itu suatu pagi yang cerah dalam musim dingin.
Matahari bersinar. Panas sinarnya itu menyebabkan salju di atas lapangan
mencair, namun di dalam hutan yang gelap masih terdapat lapisan salju yang
tebal. Kurt harus mempercepat langkahnya, supaya jangan ketinggalan.
Akhirnya mereka tiba di dekat hutan pohon eik dan segera menemukan jejak rubah.
Rombongan anjing itu mulai menarik-narik pada talinya, tetapi masih harus
bersabar dahulu sebelum menemukan sarang rubah dan sebelum dapat dipastikan
bahwa rubah itu ada di dalamnya.
Nampaknya rubah itu sendiri saja di dalam sarangnya, tanpa kawan-kawan. Semua
lorong disumbat ujungnya, hanya lorong jalan keluar yang terbesar dibiarkan
terbuka. Kemudian anjing-anjing dilepas. Anjing-anjing itu semuanya masuk ke dalam tanah.
Para pemburu bersiap-siap. Kurt mendapat tempat kehormatan disisi lubang jalan
keluar yang terbuka itu. Dengan bangga ia menempatinya.
Ludwig mengingatkan, "Jangan menembak anjingnya!
Itu akan merupakan kebodohan di tempat."
Ludwig mempunyai kebiasaan buruk, selalu
mengatakan "di tempat", meskipun acap kali dengan tidak ada sangkut-pautnya
dengan kalimatnya. Kurt merasa tersinggung lalu menyindir, "Pekerjaan menembak anjing itu biar aku
serahkan kepada Anda saja."
Supaya jangan menjadi lelah ia berbaring di atas tanah, memancangkan sebatang
cabang ke dalam tanah dan menyandarkan laras senapannya pada cabang. Tidak lama
kemudian terdengarlah dari dalam tanah gonggong anjing terus menerus ke arah
yang sama, suatu tanda bahwa anjing-anjing itu menemukan sang rubah. Jerit rubah
kemarahan menandakan bahwa ia sedang memberikan perlawanan sengit. Rubah itu
galak dan tidak mudah mengalahkannya.
Tiba-tiba terdengarlah dari bawah tanah suara ingar bingar yang memekakkan


Piramida Bangsa Astek Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

telinga. Suara itu memenuhi setiap lorong. Anjing-anjing telah memaksa sang
rubah meninggalkan sarang.
"Waspadalah Kurt. Ia segera keluar dari lubang ini!"
seru Ludwig sambil membidikkan senapannya ke arah lubang.
Kurt masih terbaring di atas tanah. Ia mencurahkan perhatiannya kepada suara
gaduh, ke mana arahnya suara itu menuju. Lalu ia mendengar juga raung anjing
kesakitan kena gigit. Tiba-tiba terbanglah segumpal benda hitam keluar dari
lubang. Ludwig berteriak, "Itu rubahnya!"
Serentak dengan teriak itu terdengar tembakannya lalu binatang yang terkena
peluru itu jatuh berguling-guling.
Pada saat yang sama melompatlah Kurt. Ia membidikkan senapannya ke arah yang
lain. Tembakannya meletup bersamaan benar dengan tembakan oleh penjaga hutan,
sehingga kedua tembakan itu terdengar seperti satu.
"Aku telah mengenainya di tempat!" seru Ludwig kegirangan, serta langsung lari
ke arah binatang yang kena tembak itu. Namun bukan main terkejutnya melihat apa
yang sesungguhnya telah ditembaknya itu.
"Itu Waldina!" seru salah seorang pemburu.
"Astaga! Aku telah menembak mati Waldina di tempat.
Itu sungguh perbuatan dungu di tempat. Mengapa aku
sebodoh itu" Namun aneh juga, mengapa anjing itu keluar lebih dahulu daripada
rubah?" "Sebab ia kena gigit oleh rubah," demikian dijelaskan Kurt.
"Diam, kau masih hijau!" geram orang itu.
Sesungguhnya ia marah kepada dirinya sendiri.
"Aku masih hijau?" kata Kurt sambil tertawa. "Kalau begitu, lihatlah di balik
pohon eik itu...ada apa?"
Setiap orang memandang ke arah yang ditunjuk.
"Masya Allah. Itu rubahnya!" seru Ludwig.
Benar juga, itulah rubahnya. Ia telah diburu oleh dua anjing lainnya.
"Jadi Anda tetap beranggapan aku ini masih hijau?"
tanya anak itu. "Maksudmu hendak mengatakan bahwa rubah itu kau yang menembaknya" Sangat tidak
mungkin. Kurasa Franz ataupun Ignaz yang telah menembaknya di tempat."
Anak itu merasa tersinggung. Ia mengambil sebuah selongsong peluru dan
memasukkannya ke dalam laras senapan.
"Bukan, bukanlah aku," kata Franz. "Aku tidak menembaknya."
"Akupun tidak," kata Ignaz.
"Kalau begitu, benarlah anak itu yang menembaknya, bukan main!" seru Ludwig.
"Tetapi mengapa kamu menembak ke arah lain?"
"Pertama karena aku mendengar di mana rubah itu hendak ke luar dan kedua karena
aku telah mengatakan biar pekerjaan menembak anjing itu kuserahkan kepada Anda
saja." Penjaga hutan merasa sangat malu karena
perbuatannya yang luar biasa bodoh itu. Lagi pula ia sangat menyesal karena
kehilangan salah seekor anjing pemburu yang disayanginya.
Ia berusaha membela dirinya, "Tetapi aneh juga. Mana mungkin rubah itu keluar
dari lubang lain, karena sudah tersumbat semuanya."
"Sayang penyumbatan itu kurang sempurna," kata Franz. "Lihat saja, ranting-
ranting penyumbat itu tidak cukup. Rubah itu dapat melihat ke luar melalui
celah-celahnya." "Perkara yang menyusahkan di tempat," kata Ludwig sambil menggaruk-garuk
telinganya. "Bagaimana aku harus mempertanggungjawabkannya kepada kapten?"
"Ya, carilah alasan yang dapat diterima. Mari, sekarang kita melihat rubah itu
dahulu." Orang-orang itu pergi melihat binatang perburuannya dan mengusir anjing-anjing
dari tempat itu. Rubah itu ternyata sangat cerdik. Mungkin ia sudah pernah
dikejar oleh anjing lebih dahulu dan mengalami bahwa lubang yang terbuka itu
justru yang mengandung bahaya maut.
Maka ia mendorong dengan moncongnya sumbat lubang sampingan dan akhirnya dapat
ke luar. Peluru anak itu telah masuk ke dalam kepala rubah, suatu tanda bahwa
penembaknya dapat membidik dengan tepat.
"Memang itu pelurumu, nak," kata Ludwig. "Kau benar-benar hebat! Dapat menembak
rubah, sedangkan aku yang lebih tua menembak anjing milik sendiri. Aku patut
dipukuli! Kalau perkara yang memalukan ini sampai ke telinga kapten, apa yang
akan terjadi" Wallahu'alam! Tapi kau patut mendapat penghargaan, Kurt! Mari,
akan kusematkan ranting di topimu."
Dengan "ranting" itu dimaksudkan dalam bahasa pemburu sebatang ranting berdaun
yang disematkan pada topi seorang pemburu, menandakan bahwa ia telah berhasil
dalam perburuan. Ludwig memetik sebatang ranting dan bermaksud menyematkannya
pada topi Kurt. Tetapi Kurt menolak. "Aku tidak mau ranting itu," katanya. "Kata Anda, ranting itu merupakan tanda
kehormatan." "Tentu dan kamupun patut menerimanya, bukan?"
"Bukankah tanda kehormatan itu hanya sesuai bagi orang yang mempunyai rasa
hormat." "Masya Allah! Aku tidak mengerti perkataanmu. Kau
sudah tentu mempunyai rasa hormat, bukan?"
"Apakah orang mempunyai rasa hormat, kalau ia membiarkan dirinya dihina orang?"
"Wah, jadi kau merasa dirimu dihina orang," kata Ludwig terheran-heran. "Dan
siapakah yang menghinamu di tempat, nak?"
"Anda sendiri. Dan aku tak mau dihina."
"Wah...aku menjadi bingung..."
"Bukankah Anda menganggap diriku masih hijau"
Siapa yang sebenarnya hijau dalam memburu rubah itu, aku atau Anda?"
Pemburu-pemburu lainnya hampir tertawa terbahak-bahak mendengar ucapan anak
kecil yang berontak karena merasa dirinya diremehkan itu, namun mereka menahan
diri ketika dilihat mereka, Ludwig diam saja. Bahkan matanya mulai berkaca-kaca.
Hatinya tergerak oleh rasa kasihan terhadap anak kesayangannya. Lalu ia
menghampiri anak itu, membuka topinya dan berkata dengan suara terharu,
"Sesungguhnya kau ini anak yang hebat, Kurt! Aku harus membuka topiku. Maukah
kamu memaafkanku mengenai perkataan "hijau" itu?"
Wajah anak itu berseri-seri. Ia menjabat tangan penjaga hutan lalu berkata,
"Baik Ludwig. Mari, aku ingin mencium Anda, sebab aku sayang kepada Anda.
Sekarang aku mau menerima ranting untuk disematkan pada topiku."
Itu dikerjakan dan Kurt mengenakan topinya dengan gerakan laksana seorang raja
mengenakan mahkotanya pada suatu upacara kebesaran.
"Masih ada satu permintaan lagi," katanya. "Rubah itu milikku. Aku sendiri ingin
membawanya pulang." "Tetapi kau masih terlalu kecil, tidak cukup kuat untuk pekerjaan itu."
"Aku sanggup. Aku tidak membutuhkan bantuan!"
Untuk membuktikan kesanggupannya, ia mengangkat rubah itu.
"Baik, kau boleh mencobanya," kata Ludwig mengalah.
"Rubah itu jasamu sendiri, tetapi bila ternyata bebanmu
terlalu berat, kami akan siap membantumu."
"Tak usah," jawab anak itu. "Aku akan membawanya sendiri pulang."
"Itu tak mungkin, nak. Jaraknya terlalu jauh, kau tidak akan sampai ke rumah."
"Aku dapat beristirahat bila perlu."
"Hmm," geram Ludwig, yang dapat menimbang rasa pahlawan kecil itu. "Ya, mungkin
kau benar juga. Biar kita mencobanya. Aku akan mengikat kaki belakang rubah.
Biar kau dapat memanggul binatang itu. Aku sendiri dapat kehormatan untuk...
membawa pulang Waldina yang sudah mati itu dan menghadiri penguburannya. Kapten
pasti akan mengucapkan pidato pemakaman yang pedas sekali!"
Ia mengikat kaki rubah, kemudian meletakkan rubah di atas bahu anak itu, supaya
beban itu tidak terlalu berat baginya lalu katanya, "Lekas-lekaslah pulang nak,
dengan membawa nama harum. Inilah rubah pertama yang telah kautembak dan bagiku
sendiri berharap, semoga kebodohanku itu adalah yang terakhir kali di tempat."
Ludwig mengangkat anjing mati itu dan pergi meninggalkan tempat itu bersama
pemburu lainnya. Kurt berdiam diri sejenak, kemudian ia memutar tubuhnya lalu
pergi ke arah rumahnya. Ia mengenali setiap batang pohon dan tidak akan
tersesat. Hatinya gembira, sehingga tidak terasakan olehnya beban di atas
pundaknya. Sungguhpun demikian tidak lama kemudian bercucuranlah peluh dari
dahinya. Majunya perlahan sekali. Di pertengahan jalan ia harus beristirahat.
Kurt kini sudah dekat rumah. Ia keluar dari hutan hendak melangkahkan kakinya ke
atas jalan raya. Ia mendengar bunyi langkah kaki orang. Ia menjumpai seorang
pria yang sedang sibuk memikirkan sesuatu.
Orang yang tidak dikenal itu bertubuh tinggi besar dan memakai baju panjang.
Kurt mengamati orang itu sejenak, kemudian berkata dengan garangnya, "Diam di
tempat! Ada keperluan apa Anda ke mari?"
Ucapan demikian kerap kali didengarnya dari Ludwig, bila menjumpai orang yang
tak dikenal atau yang sedang mencari kayu di hutan. Sungguhpun Ludwig tidak
hadir di situ, namun orang itu patut ditegur juga. Kurt telah menembak rubah dan
hal itu membuatnya merasa dirinya penting, sepenting Ludwig. Orang tidak dikenal
itu terheran-heran melihat anak itu. Kemudian ia tertawa ramah dan menjawab,
"Alangkah terkejutnya aku!
Sungguh kukira, mendengar suara tuan tanah sendiri memerintah."
Kurt membetulkan letak rubah dan berkata, "Itu sama saja."
"Apa maksudmu, nak?"
"Tuan tanah yang mengatakan ataupun saya, itu sama pentingnya. Apa keperluan
Anda di sini?" Rasa heran orang tidak dikenal itu berubah menjadi rasa kagum terhadap anak itu.
Ia menjawab, "Saya harus pergi ke Rheinswalden. Masih jauhkah dari sini?"
"Tidak. Di situ letaknya, di balik kelompok pohon eik itu. Boleh saya antarkan
Anda ke situ?" "Boleh. Mari, akan saya bantu membawa rubah itu."
"Tidak usah. Itu kubawa sendiri," kata Kurt.
"Bukankah terlalu berat bagimu?"
"Kukira tidak."
"Kau benar-benar anak yang kuat. Berapa usiamu"
Sepuluh tahun?" "Sepuluh" Salah terka! Delapan tahun!"
"Delapan tahun?" seru orang itu terkejut, sambil mengamati anak itu. "Hampir
tidak dapat dipercaya."
"Anda kira aku berdusta?" tanya anak itu tersinggung.
"Tidak, tetapi kau membawa senapan!"
"Memang," jawab anak itu bangga. Sambil
membungkukkan badan ia menambahkan, "Anda mau melihatnya" Boleh, asal hati-hati,
karena senapan itu berisi!"
Orang itu memegang senapan itu lalu berkata terheran-
heran, "Masya Allah, senapan benar-benar, dibuat sesuai ukuran tubuhmu sendiri."
"Tentu saja! Apakah Anda kira senapan mainan anak kecil saja" Dengan senapan
mainan, bagaimana dapat aku menembak mati seekor rubah."
"Maksudmu mengatakan bahwa kau sendiri menembak rubah itu?"
"Memang demikian."
"Kau...sendiri"!"
"Anda kira, aku mau berlelah-lelah membawa rubah bila bukan aku yang
menembaknya?" "Tapi kalau begitu, kau ini pahlawan sejati!"
Kurt mengangguk ramah kepada orang itu. Pujian itu benar-benar mengena. Sambil
tersenyum ramah ia berkata, "Anda masih akan tinggal di Rheinswalden, kukira.
Suatu kali Anda boleh ikut aku. Nanti akan kuperlihatkan, bagaimana menembak
seekor rubah." "Dengan senang hati, kawan kecilku!" jawab orang itu.
Kau boleh berceritera tentang rubahmu dan aku akan berceritera tentang bagaimana
memburu beruang, singa, banteng, dan gajah."
"Pernahkah Anda menembak binatang-binatang
demikian" Aku pernah mendengar tentang seorang pemburu semacam itu."
"Siapakah pemburu itu?"
"Dokter Sternau."
"Kau kenal dokter itu?"
"Aku belum pernah melihatnya, tetapi kulit singa dan beruang yang telah
ditembaknya pernah. Kulit-kulit itu disimpan di rumah nyonya Sternau. Nyonya itu
ibunya. Saya telah banyak mendengar ceritera tentang perburuannya. Aku ingin juga kelak
menjadi pemburu seperti dia."
"Sungguh kau berkeinginan demikian" Aku kira, kau dapat juga."
"Aku harus menjadi besar lebih dahulu, sebesar Anda.
Kepandaian naik kuda serta menembak sudah kumiliki.
Ludwig mengajarku main anggar dan senam. Dalam musim panas akan aku belajar
berenang. Bila Anda ingin bicara dengan nyonya Sternau, aku dapat menunjukkan
jalan." "Di mana rumahnya?" tanya orang itu sambil memutar badannya ke arah yang
ditunjuk. "Di sisi puri sebelah situ Anda dapat melihat kaca-kaca.
Itulah taman musim dingin. Dan dua orang wanita sedang berjalan di situ. Itu
nyonya Sternau dan nona Helena Sternau. Mereka sedang memetik bunga untuk
kapten." Ketika melihat kedua orang wanita itu, pada muka orang itu tampak senyum
gembira. Ia bertanya, "Aku tidak melihat pintu di pagar itu."
"Anda sebagai seorang asing harus masuk melalui pintu gerbang di muka."
"Aku ingin bertemu nyonya Sternau."
"Anda harus melapor dahulu."
"Nyonya kenal aku."
"Baik kalau begitu. Akan kutunjukkan pintu pagar.
Semuanya ini karena aku suka kepada Anda."
"Aku pun suka kepadamu. Siapa namamu?"
"Kurt." "Kurt...Ungerkah?"
"Benar. Anda tahu namaku?"
"Memang. Ayahmu seorang mualim kapal, bukan?"
"Benar. Anda tahu juga?"
"Nyonya Sternau pernah menyebut namanya dalam sebuah surat. Tetapi di manakah
pintu pagar itu, lekaslah!"
"Di sebelah kanan sini. Sepuluh langkah lagi dari sini."
Orang itu bergegas ke arah pintu itu, membukanya lalu masuk ke dalam taman.
Dengan langkah cepat ia menuju ke bangunan berkaca yang dinamakan taman musim
dingin oleh Kurt itu. Pintu bangunan itu tidak terkunci.
Orang itu membukanya lalu masuk.
Dekat sekelompok pohon palma dan pohon-pohon yang berdaun hijau sepanjang masa
sedang duduk-duduk dua orang wanita. Sekali pandang dapat kita mengenalinya sebagai ibu dan putri.
Mereka sedang mengarang bunga.
Setelah mereka mendengar pintu dibuka, mereka memandang ke arah itu dan melihat
orang yang bertubuh tinggi besar itu. "Siapa yang Anda cari?" tanya nyonya
Sternau. Tetapi orang tak dikenal itu memotong dengan suara yang bersorak, "Ibu!" serta
merta ia memeluk dan mencium ibunya. Nyonya itu menjadi pucat karena terkejut
dan terharunya. Beberapa saat ia tidak mampu berpikir, membiarkan dirinya
dipeluk. Namun kemudian ingatannya pulih kembali dan ia berseru, "Karl! Kamukah
ini, putraku" O, betapa gembiranya!" Sambil memegang ibunya ditangan kanannya,
orang itu mengulurkan tangan kirinya ke arah saudaranya, memohon, "Helene,
adikku, mari!" "Abangku!" sorak gadis itu dengan mata berseri-seri.
"Kami sedang membicarakanmu. Alangkah gembiranya!
Dan kami kira, kau berada jauh dari sini...di Spanyol."
"Ya, aku sengaja tidak memberitahukan kedatanganku dengan surat, karena aku
ingin memberi semacam hadiah kepada kalian, hadiah Natal."
"Dan kami sangat gembira dengan hadiahmu itu, Nak,"
kata ibunya. Dalam pada itu Kurt melanjutkan perjalanannya.
Bersama rubahnya ia masuk ke dalam taman puri. Di situ dijumpainya pekerja yang
tugasnya mengurus peternakan puri.
"Nah, akhirnya kalian dapat menembaknya," kata orang itu ketika melihat rubah
itu. "Bukan kami, aku!" jawab anak itu dengan penuh harga diri.
"Kau" Ya, aku lihat, kau yang membawanya, tetapi siapa yang menembaknya?"
"Seorang pahlawan dapur!" sindir Kurt sambil berjalan terus ke arah puri,
gayanya seperti seorang raja kehilangan muka. Ia menaiki tangga dan mengetuk


Piramida Bangsa Astek Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pintu rumah tuan tanah. "Masuk!" terdengar bunyi suara garang.
Rodenstein masih diliputi oleh kekesalan hati setelah ditinggalkan oleh
komisaris polisi dari kerajaan Hassen.
Kurt masuk ke dalam kamar, memberi hormat lalu berkata, "Inilah penjahatnya,
kapten!" Wajah tuan tanah dengan serta merta berubah menjadi jernih. Ia langsung bangkit,
menghampiri anak itu lalu berkata, "Jadi si tua ini...binatang cerdik kiranya!
Tentu bersusah payah menangkapnya, bukan?"
"Memang sangat sulit bagi para pemburu, tetapi bagiku sedikitpun tidak."
"Apa" Bukankah terlalu berat untuk dibawa!"
"Sebaliknya, kapten! Sangat mudah membawanya maupun menembaknya mati."
"Jadi kau sendiri yang menyeret binatang itu dari hutan ke mari" Persetan dengan
pemalas-pemalas itu! Tega membiarkan seorang anak kecil bersusah payah,
sedangkan mereka sendiri seenaknya berjalan di sampingnya!" gelegar Rodenstein.
Awas mereka masih harus mengadakan perhitungan denganku!"
Namun Kurt mendekat selangkah dan berkata, "Jangan kapten, Anda tidak boleh
menghukum mereka!" "Tidak boleh" Siapa berani melarangku?"
"Aku." "Kau" Apa alasanmu berkata demikian?"
"Aku telah memaksa mereka membiarkan aku
membawa rubah itu sendiri."
"Memaksa" Keterlaluan benar! Masa dapat dipaksa oleh seorang anak kecil!"
"Aku bukan anak kecil lagi! Sampai Ludwig pun mengakui bahwa aku yang berhak
membawa pulang rubah itu."
"Berhak" Hanya si penembaklah yang berhak."
"Memang akulah yang menembaknya."
"Kau...?" tanya tuan tanah dengan mata terbelalak keheranan.
"Benar. Tepat mengenai tengah kepalanya."
"Masya Allah! Bukan main! Namun sebenarnya tidak mengherankan juga, karena kau
ini anak yang luar biasa.
Coba lihat!" Ia mengangkat rubah itu untuk memeriksa luka bekas tembakannya.
"Benar juga, kaulah penembaknya!" seru Rodenstein.
"Lubang kecil itu...bekas peluru senapanmu! Tepat di tengah-tengah kepala! Hebat
benar! Kemarilah Nak, biar aku memeluk dan menciummu sepuas hati!" Rodenstein
memegang kepala anak itu dengan kedua belah tangannya lalu memberi ciuman mesra
di kiri kanan. Kurt berlagak seperti orang yang berhak penuh mendapat perlakuan
itu dan bertanya, "Bukankah Anda merasa puas denganku, kapten?"
"Memang, bukan buatan puasnya, Nak!"
"Kalau begitu, tentu aku akan mendapat pistol cantik yang pernah Anda janjikan
kepadaku, bukan" Dengan senapan aku sudah dapat menembak. Tiba waktunya untuk
belajar menembak dengan pistol."
"Baik, anak nakal, kau akan
mendapatkannya...sekarang juga."
Kapten membuka sebuah laci meja tulisnya lalu mengeluarkan sebuah kotak kecil.
"Inilah, Nak! Pistol yang baik lagi cantik, bertatahkan perak. Inilah sejumlah
pelurunya. Ludwig harus mengajarmu memakainya."
Kini anak itu membalas tuan tanah dengan memegang kepalanya dan menciumnya
berkali-kali. "Inilah pernyataan terima kasihku!"
"Kau ini anak yang tak ada tandingannya," seru tuan tanah terharu. "Kau
kubolehkan mengemukakan satu permintaan lagi! Sebut saja apa yang masih
kaukehendaki!" Kurt tiada berpikir lama-lama. Langsung ia berkata,
"Ya, aku masih mempunyai satu permintaan. Tetapi Anda harus berjanji
menepatinya." "Tentu saja, asal dirimu maupun diri orang lain tidak
dirugikan olehnya." "Sumpah?" "Masya Allah! Seram benar kedengarannya. Kau menyudutkan aku. Sungguh bukan
sesuatu kejahatankah?" "Bukan, Anda hanya diminta memaafkan seseorang."
"Wah, jadi kau ini berusaha melindungi seseorang"
Siapakah orang itu?"
"Baru mau kukatakan bila Anda mau bersumpah."
"Kurt, kau ini licik benar. Apakah ada pihak yang dirugikan, bila aku mau
memaafkan?" "Tidak ada." "Baik kalau begitu. Aku bersumpah. Dan sekarang cepat katakan!"
"Jangan memarahi Ludwig karena kebodohannya dalam menembak."
Tuan tanah mengerutkan keningnya. "Kebodohan dalam menembak" Tak mungkin! Ia
seorang ahli menembak."
"Namun aku benar juga. Ludwig sendiripun harus mengakuinya."
"Wah! Apa yang ditembaknya?"
"Anjing!" "Anjing?" seru tuan tanah. "Kau boleh berkelakar, tetapi ini sudah keterlaluan."
"Benar, anjing," ulang Kurt. "Waldina."
"Waldina" Bukan rubah" Benarkah demikian" Kau tidak mempermainkan aku, Nak?"
"Tidak. Aku tidak mempermainkan Anda, Kapten. Jadi Anda sudah berjanji, Anda
tidak akan memarahinya."
Amarah tuan tanah meledak. Ia berjalan hilir mudik dalam kamar, ia mengutuk dan
memaki, tapi akhirnya amarahnya pun mereda juga. Ia berkata, "Kau benar-benar
licik, tahu-tahu aku masuk ke dalam perangkapmu.
Ludwig itu sepantasnya dimaki dan dimarahi tanpa mengenal ampun, namun kau yang
menghalanginya. Kini aku terpaksa memegang janji. Baik, aku tidak akan
memakinya, tetapi alangkah baiknya, seandainya dialah
dahulu yang dipindahkan ke Amerika dan bukannya Carl.
Dan kau yang turut bersekutu, kau pun sebaiknya enyah dari sini, lekas! Aku
tidak sudi melihat maupun menemanimu lagi. Mengerti!"
Wajahnya tampak murka bukan kepalang, tangannya terentang menunjuk ke arah
pintu. Namun Kurt dengan tenang memasukkan pistolnya ke dalam saku, memanggul
kembali rubahnya, memegang senapannya lalu berkata sambil menentang tuan tanah
dengan matanya yang cerah itu tanpa merasa takut sedikit pun, "Kira Anda, Anda
dapat menakut-nakuti aku, Kapten" Namun aku kenal Anda lebih baik."
"O, begitu! Kau kenal aku lebih baik," geram Rodenstein. "Kalau begitu, tentu
kau tahu juga bahwa mulai sekarang putus hubungan antara kita, putus sama
sekali!" "Kedengarannya menakutkan benar, namun aku tidak peduli, karena aku tahu
sesuatu." "Tahu apa?" "Bahwa Anda sebenarnya sayang kepadaku."
"Apa katamu" Aku sa..., namun benar juga kau, anak nakal! Aku sayang kepadamu.
Maka lekas-lekas enyahlah dari sini. Jangan-jangan engkau meminta sesuatu lagi
yang tak dapat kupertanggungjawabkan!"
Tuan tanah mendorong anak itu ke luar lalu melihat Helene di lorong. Gadis itu
hendak mengetuk pintu. "Nona Helene," kata tuan tanah. "Silakan masuk! Anda membawa khabar apa?"
"Pertama-tama inilah karangan bunga untuk Anda!
Kemudian ingin juga saya menyampaikan kehendak ibunda untuk memperkenalkan abang
saya kepada Anda. Tiada berkeberatankah Anda?"
"Abang Anda" Dokter Sternaukah?" tanya Rodenstein agak keheranan. "Bukankah ia
ada di Spanyol?" "Ia baru saja datang."
"Masya Allah! Jadi benar juga," katanya perlahan sambil berpikir.
"O, jadi Anda sudah tahu...?" tanya Helene.
"Bukan, bukan, aku tidak tahu apa-apa," jawab tuan tanah cepat-cepat untuk
memperbaiki kekhilafannya.
"Suruh dia lekas-lekas ke mari. Aku ingin berkenalan dengannya."
"Ibu sedang berjalan ke mari. Saya mendahuluinya untuk melapor kepada Anda. Nah,
itu mereka sudah mengetuk pintu. Boleh saya membukanya, kapten?"
Helene membuka pintu lalu Sternau dan ibunya masuk ke dalam. Pada wajah tuan
tanah tampak rasa heran bercampur kagum, ketika ia melihat orang tak dikenal
itu. "Tuan inikah dokter Sternau, Nyonya" ...putra Anda?"
"Tak lain dan tak bukan, Kapten," jawab Sternau sendiri sebagai ganti ibunya.
"Saya telah tiba sepuluh menit yang lalu dan pertama-tama saya hendak
menyampaikan rasa terima kasih saya yang sebesar-besarnya atas keluhuran budi
Anda mau menerima ibunda beserta adik saya dan atas segala kebaikan hati dan
rasa persahabatan yang Anda limpahkan kepada mereka."
Rodenstein yang masih terpaku memandanginya menangkis, "Ada-ada saja! Semuanya
tidak benar yang Anda katakan. Malah sebaliknya akulah yang harus berterima
kasih kepada nyonya Sternau. Nyonya tak putus-putusnya berdaya-upaya untuk
mengubah seorang pertapa tua seperti aku ini menjadi orang yang dapat diterima
dalam masyarakat dan karena itu Anda tidak perlu merasa berhutang budi kepadaku.
Lagipula bukankah kita ini sekeluarga, sehingga dengan sendirinya tidak ada lagi
persoalan mengenai hutang budi. Silakan duduk dan maafkan aku memandangi Anda
begitu lama. Anda sekali-kali tidak sesuai dengan bayanganku semula."
"Bolehkah saya tahu bagaimana bayangan Anda yang semula itu?" tanya Sternau
sambil menempati kursi di antara ibu dan adiknya.
"Bayanganku tentang Anda sebagai seorang yang bertubuh kurus kecil dengan wajah
yang halus serta sungguh-sungguh, memakai kacamata kecil, tetapi
sekarang..." Tuan tanah memutuskan lukisannya dengan ragu-ragu.
Ia tak tahu apa yang masih dapat ditambahkannya lagi, tetapi Sternau menambahkan
sambil tertawa, "...dan kini datanglah seorang Goliath tanpa kacamata dan tanpa
muka yang sungguh-sungguh..."
"Bukan, bukan, itu bukan maksudku!" kata Rodenstein menangkis. "Yang
mengherankanku ialah tinggi besar tubuh Anda. Aku tidak dapat membayangkan
seorang raksasa sebagai putra nyonya Sternau. Tetapi aku gembira juga mengetahui
bahwa ada juga seorang raksasa dalam keluarga kita. Anda tidaklah memberi kesan,
akan jatuh pingsan oleh soal yang kecil-kecil saja. Maka aku mau berterus terang
saja dengan Anda dan mengatakan bahwa Anda sudah dilaporkan kepadaku."
"Benarkah?" "Benar, tadi pagi, oleh yang mulia polisi."
"Polisi?" tanya nyonya ketakutan. "Apa yang mereka kehendaki dari kita."
"Bahkan yang datang itu komisaris polisi dari kerajaan Hessen untuk menanyakan,
apakah ada seorang Dokter Sternau tinggal padaku."
Sternau mengangguk. "Itu sudah kuduga."
"Benarkah?" tanya Rodenstein. "Jadi polisi mempunyai alasan untuk menanyakan
tentang Anda?" Dokter tertawa. "Apakah tuan komisaris juga mengemukakan alasannya, kalau saya
boleh tanya?" "Memang, bahkan lebih dari satu. Ia berkata bahwa ia mendapat perintah untuk
menahan Anda berdasarkan tuduhan atas usaha pembunuhan, pencurian, dan
sebagainya." "Astaga!" seru adinda.
"Itu'kan mustahil!" kata ibunda. "Dapatkah kaujelaskan perkara itu, putraku?"
"Hingga kini saya masih belum berkesempatan untuk berbicara tentang hal itu
dengan ibu dan Helene. Lagi pula karena kapten pun harus mendengarnya pula, maka
saya telah menunda penjelasan, supaya dapat didengar oleh semuanya. Dapatkah Anda
menyisihkan waktu barang seperempat jam, kapten?"
"Sepuluh kali itu pun dapat. Silakan Anda berceritera sepuas hati Anda."
"Ceritera saya ini mungkin kedengaran seperti khayalan dalam ceritera roman."
Sternau melukiskan panjang lebar tentang pengalamannya, tentang sikapnya
menghadapi perkara itu dan tentang keputusan-keputusan perkara yang diambilnya.
Ceriteranya begitu memukau, sehingga Kapten pun lupa menggeraminya dengan
ledakan istilah-istilah keras di sana sini, seperti biasa dilakukannya dalam
keadaan seperti itu. Tetapi akhirnya angkara murka Rodenstein tiadalah tertahan
lagi. Ia melompat, berjalan dengan langkah besar-besar dalam kamar lalu
berteriak, "Astaga! Komplotan bangsat semuanya ini! Alangkah baiknya seandainya mereka ada
di sini! Akan kupenggal kepala mereka atau kucekik leher mereka dan kugantung
mereka berderet! Tetapi untung juga Anda masih dapat menyeberangi perbatasan."
"Ya. Mula-mula saya pergi mengunjungi duta di Paris untuk memberitahu segalanya
kepadanya dan untuk meminta bantuan. Duta itu berpanjang lebar dengan
nasehatnya: apa yang harus saya lakukan bila melampaui perbatasan, bagaimana
caranya membela diri terhadap penyerangan dan bagaimana dapat menyelamatkan
harta warisan Tuan Putri."
"Dan bagaimana keadaan Tuan Putri sekarang" Masih sakitkah" Ceriterakanlah lebih
banyak lagi, Dokter!"
"Setelah saya melewati perbatasan Jerman, saya mematuhi segala nasehat duta.
Saya membuat laporan tentang kejahatan-kejahatan yang dilakukan dan mengusahakan
supaya di Spanyol orang mengetahuinya juga. Kemudian saya pergi bersama kedua
orang dengan pengikutnya yang setia itu ke Mainz. Saya suruh mereka bermalam di
hotel. Saya sendiri kemudian pergi lagi untuk mengunjungi ibu dan adik saya."
"Jadi mereka ada di Mainz?" tanya kapten dengan penuh semangat. "Tetapi mengapa
harus ditampung di Mainz" Apakah aku ini orang yang tidak mengenal belas
kasihan" Orang yang tidak mampu menawarkan
pemondokan dan sepotong roti kepada orang yang membutuhkan" Bila anda tidak
lekas-lekas pergi ke Mainz untuk mengantarkannya ke Rheimswalden, maka aku
sendiri akan pergi untuk membajak putri hartawanmu dan menikah dengannya. Anda
ada barang-barang bawaan?"
"Ya." "Banyak" Dapatkah dimuatkan dalam sebuah kereta?"
"Saya rasa, dapat."
Rodenstein membuka jendela dan meneriakkan
perintahnya ke bawah ke taman. "Heinrich, siapkan dua buah kereta dan sebuah
kereta beban. Seperempat jam lagi kami akan pergi ke Mainz."
"Tetapi Kapten," kata Sternau, "apakah itu..."
"Tidak ada tetapi. Aku berkuasa di sini dan harus ditaati. Pendek kata, sudahkah
Anda mengambil keputusan, ke mana hendak Anda membawa mereka."
"Belum." "Rumahku itu mungkin di mata Anda masih belum layak?"
"Bukanlah itu yang menjadi persoalannya. Saya rasa, Anda tentu berkeberatan
untuk..." "Jauhkanlah segala keberatan itu. Pendek kata: mereka hari ini juga akan
diantarkan ke Rheimswalden, habis perkara! Anda, pangeran, putri dan nyonya...
keempatnya muat dalam satu kereta. Aku, nona Sternau, Alimpo dan Elvira,
kelompok empat orang lagi...dalam kereta yang kedua. Semua orang akan mendapat
tempat, jadi kita akan pergi. Habis perkara!
Kamar-kamar untuk tamu sudah siap. Apa yang masih harus diurus dapat dipikirkan
sementara Heinrich menyiapkan kereta. Dan sekarang saya minta nyonya Sternau,
supaya menyediakan makanan untuk dokter keponakanku. Aku tidak ada kepentingan
lain lagi dengan Anda, maka Anda dipersilakan pergi. Karena pakaianku masih kurang layak, aku
harus berganti pakaian dahulu.
Anda lihat, keponakanku yang baik, aku beritikad baik, tetapi tidak biasa
menyanjung-nyanjung. Kuharap Anda pun akan memperlakukanku demikian demi
keselarasan dalam hubungan antar kita."
BAB III PAHLAWAN CILIK Tiada lama kemudian keluarlah dua buah kereta dari pintu gerbang, diikuti oleh
kereta beban. Mereka menuju ke Mainz dan berhenti di muka hotel bernama
Englisher Hof. Para penumpang turun lalu pergi ke kamar-kamar yang telah disewa
Sternau. Dalam kamar yang pertama mereka menjumpai penjaga puri dengan istrinya.
"Inikah mesyeu Alimpo dengan kesayangannya Elvira?"
tanya kapten demi dilihatnya pasangan itu.
Penjaga puri mendengar nama mereka disebut-sebut, maka ia tahu bahwa mereka
sedang dibicarakan orang. Ia membungkuk dalam-dalam dan berkata, "Mira! Soy Juan
Alimpo y esa es mi Buena Elvira" ... yang berarti, "Aku ini Juan Alimpo dan dialah
Elvira yang kukasihi."
"Wah!" kata Kapten, "aku sedikit pun tidak pandai berbahasa Spanyol. Itu di luar
perhitunganku." "Pandaikah Anda berbahasa Perancis?" tanya Sternau.
"Kalau perlu dapat."


Piramida Bangsa Astek Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Maka Anda dapat berbicara dengan mereka. Mereka fasih dalam bahasa Perancis.
Mari masuk!" Sternau membuka pintu yang menuju ke kamar
berikutnya. Apa yang dilihat mereka di situ mendatangkan rasa iba yang sangat.
Di muka sebuah divan terletak sebuah bantal putih.
Roseta sedang berlutut di atasnya. Tangannya dalam keadaan terlipat sambil ia
menengadah ke atas. Bibirnya yang pucat pasi berkomat-kamit mengucapkan doa.
Wajahnya yang cekung menampakkan kecantikan yang
hampir-hampir dapat dikatakan luar duniawi.
"Betapa sedih melihatnya," bisik kapten. "Kejam di luar batas perikemanusiaan
perbuatan jahanam-jahanam itu.
Anak yang malang! Baik kita menaikkan doa meminta pertolongan Tuhan."
Helene diam saja. Ia pergi ke divan lalu berlutut di sisi Roseta dan memeluknya
dengan penuh belas kasihan. Ia menangis. Ibunya pun menghampiri si sakit. Kedua
wanita itu mengangkatnya serta membaringkannya ke atas divan, namun langsung si
sakit menggelosor kembali ke atas bantal di bawah dengan sikap seperti berdoa.
Pangeran Manuel duduk di sebelahnya di atas kursi. Biarpun tubuhnya tidak lagi
sekurus dahulu serta mukanya lebih berisi berkat perawatan yang lebih baik,
namun pandangan matanya yang hampa tak bermakna itu menusuk hati mereka yang
melihatnya. "Sudah Anda berikan obat penangkal racunnya?" tanya Rodenstein.
"Belum," jawab Sternau. "Di Paris tidak dapat diperoleh suasana yang cocok
maupun perawatan yang diperlukan."
"Anda kira pasien dapat sembuh?"
"Ada harapan, namun racun itu sudah mendapat kesempatan untuk menyebar ke
seluruh tubuh. Saya akan segera mulai dengan pengobatan. Mari kita berangkat,
kapten." Barang-barang bawaan Sternau dimuat dalam kereta beban. Kapten membayar rekening
lalu mereka meninggalkan hotel. Ketika mereka melalui jalan raya, kapten
menyuruh saisnya berjalan di sisi kereta Sternau, agar ia dapat berbicara
dengannya. "Keponakanku," katanya, "coba lihat ke arah kanan.
Tampak oleh Anda orang yang berbaju warna abu-abu itu?"
"Yang mengepit payung di bawah tangannya" Siapakah dia?"
"Komisaris polisi dari kerajaan Hessen. Agaknya ia telah melihat Anda. Kita
dapat mengharapkan kedatangannya
segera di rumah. Tentunya ia sudah menduga bahwa Anda dokter Sternau yang sudah
lama dinanti-nantikannya itu."
Memang orang itu berdiam diri ketika mereka lewat. Ia memperbaiki letak
kacamatanya dan setelah mereka lewat ia memutar badannya sambil tersenyum
mengejek. Segera ia masuk ke dalam gedung pengadilan.
Rodenstein dengan para tamunya berjalan terus tanpa menghiraukan peristiwa itu.
Segera mereka tiba di Rheimswalden. Kamar-kamarnya sudah siap menanti mereka.
Ibu Sternau telah menyuruh nyonya Unger menyiapkan segalanya.
Sisa hari itu dipakai untuk mengantarkan para tamu ke tempatnya masing-masing.
Pada malam hari mereka berkumpul berbincang-bincang lebih banyak lagi tentang
kejadian-kejadian yang dialami mereka di Spanyol itu.
Alimpo dan Elvira tiada hadir. Mereka ada di dalam kamar si sakit dan Kurt yang
langsung memikat hati mereka, hadir di situ juga. Ia pernah mengikuti pelajaran
bahasa Perancis, maka ia sangat gembira dapat
mempraktekkannya dengan Alimpo beserta istrinya, meskipun dengan agak tersendat-
sendat. Mereka berjaga sampai jauh malam, maka keesokan harinya bangun siang. Kaptenlah
yang pertama tampak dalam taman. Ia melihat Ludwig sedang memberi makan
anjingnya lalu ia menghampirinya.
"Satu ... dua ... empat ... enam ... tujuh ... delapan ekor," tuan tanah menghitung.
"Masih kurang seekor!"
"Dengarlah kapten, eh ... begini duduknya perkara ...
saya ... saya ...!" Ludwig begitu ketakutan, sehingga perkataannya tidak dapat keluar dari mulutnya.
"Ayo teruskan perkataanmu!" kata Rodenstein tanpa kasihan.
"Saya ... eh ... benar, masih kurang satu!"
"Itu sudah kuketahui. Anjing mana yang tidak ada?"
"Waldina. Ia ... eh ... mati."
"Mati" Astaga! Sebab apa mati" Anjing itu segar bugar!"
"Ia mati karena ... eh ..."
"Ia mati karena ... eh ..."
"Jadi apa sebabnya" Lekas ceritakan! Karena terlalu banyak makan barangkali?"
"Ya, be ... betul, kapten!"
"Masya Allah! Terlalu banyak makan apa?"
"Kena peluru, kapten!"
"Bohong! Masa anjing makan peluru. Itu mustahil."
"Bukan, kapten, maksudku ... tertembak mati olehku."
"Mengapa sampai begitu" Anjing itu tiba-tiba menjadi gila barangkali?"
"Tidak," raung Ludwig, "bukan anjing itu ... sayalah yang gila. Saya telah
menembak anjing, bukan rubah."
"Jadi pemburu yang berpengalaman menembak anjing, sedangkan anak kecil itu
menembak rubahnya." "Jadi Anda sudah tahu. Ya, memang saya sangat bodoh, maka saya selayaknya
dipecat saja." "Itu memang maksudku semula, namun untung bagimu Kurt melindungimu. Aku
disuruhnya berjanji tidak akan memarahimu."
"Kurt" Masya Allah! Baik hati benar anak itu di tempat.
Itu tidak akan kulupakan."
"Itu sudah sepatutnya. Anak itu diizinkan meminta apapun, namun ia lebih
mengutamakan menyelamatkan dirimu dari hukuman yang setimpal. Apa yang
kauperbuat dengan Waldina?"
"Telah kumakamkan di tempat yang baik dalam taman, kapten. Itulah selayaknya, di
tempat." Rodenstein tiada sempat lagi memberikan jawaban, karena sebuah kereta masuk ke
dalam taman. Penumpangnya adalah ... komisaris polisi beserta tiga orang pegawai polisi
bersenjata seakan-akan mereka sudah dipersiapkan untuk menangkap seseorang.
Tanpa memperhatikan mereka Rodenstein memutar badannya lalu masuk ke dalam
kamarnya. Tidak lama kemudian datang Ludwig melaporkan kedatangan komisaris.
"Suruh dia masuk," geram tuan tanah. "Pegawai
polisinya ada di mana?"
"Mereka menjaga segala tempat keluar."
"Bagus! Berdirilah di balik pintu!"
Pemburu itu pergi dan menyuruh komisaris masuk.
"Selamat pagi, selamat pagi, tuan tanah yang terhormat!" salamnya mengejek.
"Selamat pagi," jawab Rodenstein masam. "Jadi Anda melihat sendiri betapa besar
faedahnya mendapat pelajaran baik itu. Kini Anda sudah pandai memberi salam
secara sopan. Pertahankanlah senantiasa sikap demikian!"
"Mungkin kini tiba giliran saya untuk memberi pelajaran kepada Anda! Bolehkah
saya tanya lebih dahulu, apakah Anda masih berniat mengusir saya lagi?"
"Tentu, bila Anda tidak dapat menunjukkan surat-surat tanda pengenal."
"Surat-surat demikian sudah saya bawa. Bacalah saja, inilah!"
Komisaris mengeluarkan surat-surat dan
menyampaikannya kepada kapten masih dalam keadaan terlipat.
"Anda kira, aku budak Anda" Bukalah sendiri surat itu sebelum memberikannya
kepadaku." Komisaris berbuat seperti yang dikehendaki
daripadanya lalu tuan tanah membaca surat.
"Beres," kata Rodenstein. "Surat dari perwira pengadilan. Ia minta supaya aku
mau memberi informasi serta bantuan kepada Anda. Baik, apa yang Anda kehendaki."
"Dokter Sternau ada di sini?"
"Benar. Kemarin ia tiba. Anda telah melihatnya, bukan?"
"Apakah ada orang-orang lain bersama dia?"
"Memang ada ... seorang bernama Alimpo, seorang bernama Elvira, seorang bernama
don Manuel dan seorang lagi bernama entah Rosa, Rosita atau Roosje."
"Wanita itu putrikah?"
"Putri" Elvira seorang putri" Mustahil. Terlalu gemuk
untuk menjadi putri."
"Anda tentunya sudah tahu."
"O, maksud Anda Alimpo" Ya, bila dipikirkan masak-masak, mungkin dialah seorang
putri. Bukankah Anda sendiri menyinggung-nyinggung tentang kawanan perampok.
Mungkin saja dia seorang putri dalam keadaan menyamar, yang mempunyai rencana
menikah denganku untuk selanjutnya pergi merampok bersamaku. Wah, alangkah
seramnya!" "Tuan Rodenstein, saya harap tuan jangan
mempermainkan saya," kata komisaris dengan garangnya.
"Sekali-kali tidak," jawab Rodenstein. "Sejak Anda bicara tentang kawanan
perampok itu khayalku jadi menyajikan yang bukan-bukan."
"Banyakkah barang-barang bawaan mereka?"
"Entahlah! Maaf, aku tidak dapat menjawab segala pertanyaan yang mengada-ada
itu. Aku bukanlah pelayan mereka.
Lagi pula, bukankah tertulis dalam surat pengantar bahwa aku diminta untuk
memberi bantuan kepada Anda dan bukan untuk diinterogasi. Tapi begini sajalah,"
katanya lalu berseru, "Ludwig!"
Mendengar namanya dipanggil, pemburu itu masuk lalu melempar pandangan
permusuhan kepada komisaris.
"Minta dokter Sternau datang ke mari! Katakan, ada seorang polisi ingin bicara
dengannya. Cepat!" Pintu terbuka dan Sternau masuk. Ia menyalami kapten dengan mengulurkan tangan
sedangkan komisaris hanya dengan mengangguk secara dingin.
"Anda telah minta saya datang," demikian dimulainya.
"Benar. Tuan ini mau bicara dengan Anda."
"Siapakah dia?"
Rodenstein hendak menjawab, tetapi komisaris mendahuluinya. Ia berkata, "Saya
komisaris polisi dari kerajaan Hessen."
"Baik. Dan apa yang Anda kehendaki dari saya?"
"Anda dokter Sternau?"
"Betul." "Anda datang dari Spanyol, tinggal di rumah pangeran Rodriganda, telah
mengenakan belenggu pada Gasparino Cortejo dan telah melarikan diri dari penjara
Barcelona?" "Betul." "Pengakuan ini sudah cukup. Anda saya tahan, Tuan Sternau."
"Baik, saya mematuhi kehendak Anda."
"Apa?" tanya tuan tanah terheran-heran. "Anda membiarkan diri Anda ditahan?"
"Memang," kata dokter sambil tersenyum.
"Lebih dahulu saya harus memeriksa barang bawaan Anda," ujar komisaris.
"Saya kira, Tuan kapten sebagai pemilik rumah dan sebagai tuan rumah akan merasa
keberatan." "Ya tentu, keberatan sekali!" raung kapten.
"Saya tidak menghendaki perlawanan dalam bentuk apapun!" kata komisaris
mengancam. "Saya pun tidak menghendaki penyelewengan dari kekuasaan Anda," jawab Sternau.
"Agaknya Anda ini berprasangka buruk terhadap saya dan janganlah Anda lupa bahwa
saya dapat mengadukan Anda."
Perkataan itu serta nada mengucapkannya sangatlah mengesankan pada diri
komisaris. Dengan agak menundukkan kepala ia berkata, "Saya hanya melakukan
kewajiban saya." "Baiklah kita selidiki dahulu tentang kewajiban itu!"
jawab Sternau, "Kemarin Anda memberitahukan kepada kapten di dalam kamar ini
juga bahwa Anda telah menerima perintah dari Spanyol untuk menahan saya.
Dapatkah Anda memperlihatkan surat perintah itu?"
"Saya ... surat itu tak ada pada saya," jawab polisi itu.
"Sudahkah Anda membaca surat itu?"
"Saya ... eh ... pertanyaan itu tidak perlu saya jawab."
"Baik. Kini Anda sudah nampak belangnya. Anda telah berdusta kepada kapten.
Tidak mungkin ada perintah untuk menahan. Di Rodriganda mereka tahu bahwa saya
berasal dari Mainz. Mereka minta diadakan informasi tentang saya. Bagaimana itu
dapat menjelma menjadi penangkapan dan penggeledahan, tidak dapat saya mengerti.
Mengenai diri saya sendiri, saya tidak berkeberatan ikut Anda, meskipun dengan
syarat bahwa Anda sendiri yang akan bertanggungjawab penuh terhadap perbuatan
Anda. Selanjutnya: mengenai penggeledahan dalam bentuk apapun saya berkeberatan.
Rumah ini didiami oleh dua orang pasien jiwa. Mereka sekali-kali tidak boleh
diganggu. Saya sebagai dokter tahu benar akan hal itu. Bukan Anda, melainkan
perwira pengadilan yang berhak untuk mengadakan pemeriksaan, bila itu dianggap
perlu. Dan saya bermaksud pergi bertemu dengan dia, orang lain tidak perlu
ikut." "Dan aku," tambah kapten, "memperingatkan kepada setiap orang, termasuk juga
komisaris polisi, janganlah berusaha memasuki kamar tanpa izin dariku."
Komisaris melihat bahwa ia tidak dapat mengatasi dua orang lawan yang begitu tangguhnya, sehingga ia mengalah sedikit. Ia
berkata, "Jadi Anda rela pergi bersama saya menemui perwira pengadilan" Maka
saya minta Anda ikut saya naik kereta saya."
"Tiada terpikir sedikit pun olehku naik kereta Anda,"
jawab Sternau. "Saya bukanlah seorang pembunuh yang perlu dikawal ketat. Saya
yakin, kapten mau memberikan salah sebuah keretanya. Anda dapat mengikuti saya
bersama pengawal-pengawal Anda, supaya saya jangan sampai lari."
"Tentu keponakan, segera akan kusuruh menyiapkan sebuah kereta," kata Tuan
tanah. "Dan aku sendiri pun turut juga. Perwira yang menandatangani surat kuasa
itu kenalan baikku. Ingin juga kulihat, bagaimana ia memperlakukan kita."
Sebuah kereta disiapkan lalu kedua kereta itu berjalan beriring ke Mainz. Tiba
di gedung pengadilan kereta mereka berhenti lalu komisaris melaporkan kedatangan
Sternau kepada perwira pengadilan. Kapten turut
melangkah masuk ke dalam tanpa meminta izin.
Ketika ketiga orang itu masuk, perwira bangkit berdiri.
"Inilah Sternau," kata komisaris dengan nada resmi.
"Bagus," jawab perwira pengadilan. "Aha Kapten, apa yang mendorong Anda
melangkahkan kaki ke mari?"
"Saya datang dengan tujuan memperkenalkan
keponakan saya lebih ramah kepada Anda daripada hanya dengan perkataan: inilah
Sternau." Perwira pengadilan hampir-hampir tiada berhasil menyembunyikan senyum malunya.
Dengan agak menundukkan kepala di hadapan Sternau ia berkata ramah, "Sebenarnya saya lebih
suka berkenalan dengan Anda di tempat dan suasana lain daripada di sini, namun
saya harap semuanya ini akibat dari salah paham yang mudah diselesaikan."
"Itu adalah keyakinan saya, Tuan perwira pengadilan,"
jawab Sternau. "Pertama-tama bolehkah saya minta Anda meneliti surat-surat ini?"
Dengan berkata demikian ia mengulurkan sebuah map dan meletakkan seberkas surat
di hadapan pejabat itu. Pejabat itu menyilakan kedua orang itu duduk lalu ia mulai mempelajari surat-
surat itu. Air mukanya semakin tegang tiap menit. Kadang-kadang ia melemparkan
pandangannya ke arah Sternau secara menyelidik.
Akhirnya ia berseru, "Bagus, dokter! Anda memiliki surat-surat yang cukup kuat,
sehingga membuat musuh-musuh Anda, betapa besarnya pun, harus menyerah. Bolehkah
saya menjabat tangan Anda. Baik kita mengikat tali persahabatan dan saya
berjanji akan membantu Anda sebanyak mungkin." Sternau berjabat tangan dengan
perwira itu lalu menjawab, "Setuju, baik kita hidup bersahabat dan janganlah
segan-segan memberi nasehat, bila saya perlukan!"
Komisaris menjadi bingung. Perwira itu menegurnya dengan keras, "Anda telah
membuat kesalahan besar. Seorang polisi yang memperoleh data-datanya dari dunia khayal yang liar, orang
demikian tidak diperlukan di sini."
Seolah-olah mendapat guyuran air dingin, Komisaris berlalu dari tempatnya sambil
memberi hormat kemalu-maluan.
Dalam pada itu di Rheinswalden, Kurt sedang menuju ke puri untuk bertemu dengan
Kapten. Di taman ia tertabrak pada Ludwig.
"Selamat pagi, Ludwig. Kapten sudah ada di kamarnya?"
"Tidak," jawab Ludwig pendek serta marah-marah.
"Ada di mana ia?"
"Ia ditangkap."
"Oleh siapa?" "Oleh Komisaris Polisi. Ia dengan Dokter Sternau."
"Apa tuduhan terhadap mereka?"
"Entahlah. Tahukah kamu bahwa kadang-kadang orang tak bersalah pun dapat


Piramida Bangsa Astek Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dikenakan hukuman penjara selama bertahun-tahun?"
"Tetapi di mana mereka sekarang, Ludwig?"
"Setahu saya bersama perwira pengadilan, di Mainz.
Dalam gedung pengadilan."
"Aku akan mengeluarkan mereka dari kurungan."
"Ada-ada saja, di tempat! Perwira pengadilan tentu akan melihat kau datang."
"Tidak apa, aku akan membawa senapanku."
"Kau tidak akan diizinkan masuk. Lagi pula ibumu tak akan mengizinkanmu pergi
jauh-jauh." "Tapi aku tak mau Kapten ditangkap, Dokter Sternau pun tidak. Apakah tidak ada
orang yang sanggup membebaskan mereka?"
"Tidak ada. Tak ada jalan lain bagi kita daripada menunggu. Kau harus berjanji,
tak akan melakukan sesuatu yang bodoh berhubung dengan ini."
"Baik, aku berjanji tak akan melakukan suatu kebodohan."
"Bagus, Nak. Maka hatiku akan tenang kembali di tempat. Aku tidak perlu
mengawasimu lagi." Kurt pulang ke rumahnya. Di tengah jalan ia berkata pada dirinya, "Aku tidak
akan melanggar janjiku, karena
apa yang hendak kulakukan itu bukanlah kebodohan.
Akan kusiapkan kudaku lalu berangkat ke Mainz. Gedung yang penuh dengan terali
itu tentu tidak sukar menemukannya. Mula-mula ia masuk ke dalam rumahnya untuk
mengintip, kalau-kalau ibunya melihatnya. Untung ibu sedang sibuk di dapur. Ia
mengenakan topinya yang berwarna hijau lalu pergi menuju kandang kuda. Di
dalamnya terdapat seekor kuda kerdil berasal dari Skotlandia yang diperolehnya
sebagai hadiah dari Kapten.
Kuda itu hampir-hampir sama besarnya dengan seekor domba jantan dan mengikuti
anak itu seperti seekor anjing. Pembantu rumah tangga sedang bekerja di kandang.
"Tolong siapkan Hans bagiku, Pauline," katanya. "Aku mau pergi naik kuda
sebentar." Pauline menyiapkan kuda dan membawanya ke depan pintu. Kurt menaiki kudanya,
memegang kekangnya lalu melarikannya.
Penunggang kuda yang masih kecil itu menarik perhatian orang. Orang-orang di
jalan besar terdiam sejenak tertarik oleh pemandangan itu. Lebih-lebih di kota.
Lebih banyak lagi mata orang mengiringi penunggang kuda cilik itu. Kurt semakin
bangga melihat begitu banyak mata tertuju kepadanya. Di muka gedung pengadilan
ia berhenti, turun dari kudanya dan menambatkannya pada besi pintu gerbang.
Kemudian ia masuk. Di ruang muka ia menjumpai orang berseragam. Orang itu pegawai polisi.
"Di mana perwira pengadilan?" tanya anak itu tenang.
"Ada keperluan apa, Nak?"
"Saya ingin bicara dengannya."
"Mau melaporkan sesuatu, barangkali" Naik saja ke atas lalu melapor dahulu."
Kurt naik ke atas dan membuka pintu. Di kamar tunggu banyak orang sedang
menunggu gilirannya. Di belakang sebuah loket duduk seorang pegawai. Ia melihat
anak itu masuk. "Mau apa kau?" tanyanya.
"Saya mau bertemu dengan perwira pengadilan. Saya harus menyampaikan sebuah
pesan." Pegawai itu mengira bahwa ini mengenai soal keluarga, maka ia pergi melaporkan
kedatangan anak itu. Suasana kamar yang agak gelap itu membuat hati Kurt agak
kecut, namun ia memberani-beranikan diri. Bukankah ini demi kepentingan Kapten
dan Dokter, dua orang yang sangat dicintainya itu. Pegawai polisi tadi kembali
lagi dan berkata, "Masuklah Nak, ke dalam kamar itu!"
Kurt masuk ke dalam kamar perwira pengadilan.
Perwira itu kebetulan keluar dari kamar sebelah.
Pembantunya duduk di belakang meja tulisnya sedang menulis.
"Ada keperluan apa kau ke mari, Nak?" tanya perwira pengadilan ramah.
Pandangan matanya yang tajam serta menyelidik, yang agaknya sudah merupakan
kebiasaan baginya bila memandang kepada seseorang, membuat hati anak itu menjadi
kecut. Namun tiba-tiba teringat olehnya kata-kata yang sudah dipersiapkannya lalu ia
menjawab, "Andakah perwira pengadilan itu?"
"Benar." "Anda sebenarnya jahat sekali!"
Ucapan itu membuat keberanian anak itu pulih kembali. Pejabat pemerintah itu
bertanya terheran-heran, "Mengapa?" "Karena Anda mengurung orang dalam penjara."
"Itu bukan urusanmu."
"Itu urusanku, karena Anda memenjarakan dua orang sahabatku. Kapten dan Paman
Sternau yang kusayangi."
"O, begitu!" kata perwira pengadilan dengan merentang panjang ucapannya. "Lalu
siapakah kau sebenarnya?"
"Aku Kurt Unger dari Rheimswalden. Aku tidak membiarkan Anda mengurung mereka."
"O, jadi kau datang kemari untuk melawanku?"
"Ya. Tetapi mula-mula saya ingin meminta dengan hormat kepada Anda supaya mau
melepaskan kedua orang itu. Mereka tidak bersalah sedikit pun."
"Dan bila saya tidak membebaskan mereka?"
"Maka saya akan memaksa Anda. Bila Anda tidak segera membebaskan mereka, Anda
akan saya tembak mati."
"Tetapi bila kau menembak saya, kau pun akan turut dipenjarakan."
"O, itu tidak menjadi soal. Pendeknya Anda sudah mendapat ganjarannya sedangkan
aku duduk bersama mereka dalam penjara."
"Dan kau tidak akan mengapa-apakan saya, bila saya membebaskan mereka?"
"Benar. Aku tidak akan menembak Anda. Malah aku akan berterima kasih kepada
Anda." "Baik, berkat sifat ksatriamu, hendak membela mati-matian kawan-kawanmu, saya
akan memenuhi keinginanmu." "Dan harus dengan segera pula! Dapatkah Anda menjamin?"
"Tentu saja." "Aku tahu bahwa Anda akan menjadi takut. Masa, Ludwig telah melarangku pergi ke
kota untuk mengancam perwira pengadilan. Ia menamakan itu perbuatan bodoh.
Sendirinya yang bodoh."
"Tetapi Kapten maupun Paman Sternau tidak mengeluh sedikitpun. Mereka rela
ditahan. Maukah kau diantarkan ke tempat mereka?"
"Tentu mau." "Mari ikut saya."
Perwira pengadilan membawa Kurt ke kamar kerjanya.
Rodenstein dan Sternau terheran-heran melihat anak itu.
Kurt pun tidak tahu lagi apa yang harus dipikirkan ketika melihat mereka sedang
enaknya menikmati sebatang cerutu.
"Astaga Kurt! Mengapa kau ke mari?"
"Membebaskan Anda!" jawab anak itu pendek. "Aku telah memaksa perwira pengadilan
untuk segera membebaskan Anda dari tahanan."
"Nak, kukira tanpa sepengetahuan kami kau telah melakukan kebodohan yang besar."
"Apakah kehendak untuk menembak mati perwira pengadilan bila ia tidak mau
menurut, dapat dinamakan kebodohan?"
"Masya Allah, Nak. Kau mengoceh! Kami tidak pernah dipenjarakan. Aku harus
menjagamu lebih ketat lagi.
Peristiwa ini tidak boleh berulang lagi!"
"Sudah, jangan marahi dia, Kapten!" demikian perwira pengadilan menengahi.
"Sesungguhnya peristiwa ini agak mengganggu, namun" ... tambahnya dengan tertawa,
"anak itu mempunyai jiwa yang mulia. Tinggal terserah Anda bagaimana mendidiknya
selanjutnya: anak itu dapat berkembang menjadi penjahat atau orang berjiwa besar
yang menghendaki kebaikan. Jangan meremehkan tanggung jawab Anda, maka Anda akan
mendapat banyak kesenangan di kemudian hari."
Tuan tanah mengangguk. "Anda mengatakan hal-hal yang sudah lama menjadi bahan pertimbanganku. Saya
tidak mempunyai anak dan saya akan senantiasa berdaya upaya untuk kebaikan anak
itu. Percakapan kita berakhir karena peristiwa kecil ini.
Kita harus berpisah karena saya rasa, Dokter pun sudah berkeinginan untuk
melanjutkan pengobatannya."
"Anda hendak memberikan obat itu sekarang juga?"
"Ya, saya tidak boleh menundanya lama-lama."
"Saya sebenarnya ingin menyaksikannya."
"Anda tidak akan sempat menunggu sampai diperoleh hasilnya."
"Tetapi saya dapat menyaksikan pengobatannya hari ini dan kemudian saya lebih
sanggup menghargai hasilnya."
"Ya, bila Anda ingin ikut dengan kami, saya akan sangat gembira memperoleh saksi
sepenting Anda." "Benar Tuan Perwira, saya pun mengundang Tuan,
datang ke rumah saya," kata Kapten. "Anda tahu bahwa Anda selalu kami terima
dengan senang hati."
"Baik, saya ikut," kata Perwira itu. "Mungkin kemudian Anda mendapat keuntungan,
bila saya harus membuat laporan tentang tindakan-tindakan yang telah Anda ambil
dalam perkara ini." Perwira pengadilan memberi beberapa petunjuk kepada penggantinya lalu berangkat.
Mereka pergi berkereta, tetapi Kurt pulang ke rumah naik kudanya sambil
merenungkan pengalamannya dalam perjalanan. Anak itu masih belum dapat
memastikan perbuatannya yang lalu itu termasuk perbuatan bodoh atau cerdik.
Setelah dipikirkan dalam-dalam ia berkesimpulan bahwa perbuatannya itu bodoh. Ia
merasa malu serta menyesal. Setelah sampai di rumah ia turun dari kudanya.
Ibunya datang menghampirinya.
"Kurt, kemari!" perintahnya. "Kau pergi ke mana?"
"Ke Perwira pengadilan. Aku hendak menembaknya, bila ia tidak mau membebaskan
Kapten dan Paman Sternau."
"Astaga! Akan menjadi apa kau" Kau akan membuat kami semuanya menderita, anak
nakal! Bagaimana bunyi jawaban Perwira pengadilan" Untung kau sendiri tidak
langsung dimasukkan ke dalam penjara!"
"Ia tidak marah kepadaku, Bu. Bahkan ia tertawa sedikit dan mengatakan bahwa ia
akan membebaskan kedua tahanannya. Kemudian aku dibawa ke sebuah kamar. Di situ
aku lihat keduanya sedang enaknya mengisap cerutu."
"Jadi mereka itu sekali-kali tidak ditahan?"
"Tidak. Ibu, aku sebenarnya sangat malu! Mengapa aku sampai begitu bodoh!"
Air matanya bercucuran melalui pipinya. Pengakuan yang tulus ikhlas keluar dari
hatinya itu membuat ibunya tiada berdaya, sehingga ia hanya menenangkan hati
putranya. "Sudahlah, Nak! Jangan menangis lagi. Aku akan pergi menemui mereka
untuk memintakan maaf bagimu. Mereka, tadi kulihat, sudah pulang."
"Saya ikut juga, Bu," kata anak itu tanpa ragu. "Bukan
Anda yang harus meminta maaf, aku sendiri. Sampai sekarang aku masih belum
melakukannya." Wanita itu membungkuk untuk memeluk anaknya serta menciumnya. Hatinya penuh
dengan kegembiraan. Ia seorang wanita sederhana, namun ia berasa mempunyai anak
yang sangat berharga. Bagi jiwa anak kecil ini kekhilafan itu berguna untuk
mengarahkan jiwa dalam pertumbuhannya.
"Ya, kau boleh ikut. Kau berjanji tak akan berbuat lagi?"
"Sekarang kau boleh mendengar khabar yang bagus.
Ibu telah menerima surat. Coba terka, dari siapa?"
"Dari Ayah?" "Benar. Terka, apa yang ditulisnya."
"Ayah akan pulang hari Natal ... pasti benar terkaanku ya, Bu?"
"Benar, Nak, Ayah akan datang," sorak Nyonya Unger.
Muka wanita itu berseri-seri karena girangnya.
"Oree, Ayah pulang, oree!"
Anak itu menari-nari dan bersorak-sorak dalam taman.
Ia tidak dapat tenang kembali sebelum ibunya mengajaknya pergi ke puri untuk
meminta maaf. Ketika Kurt bersama ibunya masuk ke dalam puri, sayang sekali mereka tidak dapat
diterima, karena rombongan dokter itu sedang berada di kamar-kamar si sakit dan
mereka tidak mau diganggu. Si sakit itu boleh menempati dua kamar yang terindah
dan terbesar. Kedua kamar itu letaknya bersebelahan. Selain si sakit dengan
dokternya hadir juga Kapten, Perwira pengadilan, Nyonya serta Nona Sternau dan
Alimpo dengan istrinya di dalam kamar. Perwira pengadilan yang perasaannya sudah
agak kebal disebabkan oleh jabatannya itu merasa sangat iba demi melihat kedua
pasien itu. Lalu ia duduk di belakang meja dan menulis laporannya di atas
kertas. Setelah selesai ia membacakan laporannya serta
menandatanganinya lalu menyerahkannya kepada Sternau. Dokter itu kemudian
mengeluarkan sebuah botol kecil dari dalam sakunya lalu membayangkannya di sinar
matahari untuk meneliti isinya.
"Itu obat penangkal racunnya?" tanya perwira pengadilan.
"Benar. Saya mendapat pertolongan dari dua orang ahli kimia dalam meramunya."
"Semoga Anda berhasil dengan baik, Dokter. Saya merasa seakan-akan saya sendiri
duduk di tempat Anda."
"Aku pun demikian," kata Tuan tanah. "Jangan memandang kepadaku, karena aku
benar-benar merasa malu. Tua Bangka seperti aku masih mengucurkan air mata
seperti seorang anak sekolah yang baru kena dera.
Bila Tuan putri tidak dapat sembuh, maka segera aku akan terbang ke Spanyol
untuk meledakkan seluruh puri Rodriganda."
"Mari kita mulai," kata Sternau. Nyatalah bahwa ia dapat menguasai dirinya
secara sempurna, karena ketika ia mengisi senduk porselen kecil dengan air,
tangannya tiada gemetar sedikitpun. Kemudian ia menambah beberapa tetes isi dari
sebuah botol kecil. Air itu tetap tidak berwarna dan tidak berbau.
"Mula-mula harus diberikan kepada condesa," kata Sternau.
Ibu dan adiknya berlutut sebelah menyebelah si sakit untuk menyangga kepalanya.
Sternau mendekatkan sendoknya ke mulut Roseta, namun langsung menariknya kembali
lalu ia menutupi mukanya dengan tangannya.
Sebuah sedu yang pendek dan kering terdengar membuat seluruh tubuhnya yang tegap
itu gemetar. "Ya Tuhan," keluhnya. "Ini hampir-hampir tidak tertahan olehku. Berilah hambamu
kekuatan, kekuatan!"
Jeritannya terdengar sebagai doa yang sesujud-sujudnya dinaikkan ke langit.
Agaknya Tuhan mendengar jeritan itu dan menaruh kasihan, karena orang bertubuh
besar itu pulih kembali tenaganya. Kedua kalinya ia mendekati si sakit. Baru
saja sendok itu menyentuh mulutnya, putri membuka mulutnya dan meminum cairan
itu sampai tetes terakhir. Sternau mundur selangkah; ia
menarik nafas panjang, meletakkan sendok di atas meja lalu melipat tangannya.
"Bagaimana kerjanya obat itu?" tanya Perwira pengadilan.
"Sebentar lagi dapat kita lihat obat itu bekerja atau tidak," jawab Sternau.
"Dalam waktu sepuluh menit si sakit harus tertidur. Tidurnya lama sekali,
mungkin empat puluh delapan jam. Waktu itu diperlukan untuk menyelesaikan segala
sesuatu. Tidurnya itu sekali-kali tidak boleh terganggu. Bila si sakit bangun
sebelum waktunya, maka dosisnya terlalu kecil; saya harus menambah sedikit lagi.
Bila tidurnya menjadi gelisah, bahkan sampai si sakit mendapat demam maka dosis
obatnya terlalu besar. Si sakit akan meninggal, bila tidak lekas diberi
penangkal. Kita tidak dapat meramalkan perkembangannya, maka saya tidak boleh
meninggalkan tempat tidurnya semenitpun. Saya harap Kapten mau menyediakan kuda
yang siap pakai sepanjang siang dan malam hari, supaya saya dapat mengirim orang
ke kota, bila sewaktu-waktu diperlukan obat yang tak dapat diperhitungkan lebih
dahulu." "Perintahkan saja, Keponakan."
Sepuluh menit penuh ketakutan berlalu. Si sakit masih tetap dalam sikap berdoa
sambil berlutut di muka divan.
Tiba-tiba kepalanya jatuh terkulai, gerak bibirnya berkomat-kamit semakin
perlahan. Akhirnya matanya terkatup lalu tubuhnya dengan lemas rebah ke atas
lantai. "Terpujilah Allah," kata orang-orang.
"Sudah berhasil separuh pekerjaan kita," sorak Sternau.
"Ibu, baringkan putri ke atas tempat tidurnya! Sementara itu kami akan pergi ke
don Manuel untuk mencoba peruntungan kita dengannya."
Sedang kaum wanita sibuk mengurusi putri, maka Sternau, Kapten dan Perwira
pengadilan pergi ke tempat Pangeran, yang sedang diganti pakaiannya oleh Alimpo
dan dibaringkan di atas tempat tidur.
"Dapatkah kita mengharapkan hasil yang sama dengan
pada putrinya?" tanya Perwira pengadilan.
"Ya, hanya tidurnya - kalau segalanya berjalan beres -
lebih lama dari putri, berhubung dengan usianya yang lebih lanjut."
Keberhasilannya dengan putri membuat Sternau pulih kembali kepercayaan kepada
dirinya, sehingga tanpa mengalami goncangan emosi, ia dapat memberikan obat
tetes itu kepada Pangeran. Setelah sepuluh menit lampau Pangeran pun tertidur


Piramida Bangsa Astek Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nyenyak lalu rombongan dokter meninggalkan ruangan. Jiwa Sternau dipenuhi oleh
rasa bahagia yang tiada terperikan dalam menghadapi masa yang akan datang.
Alimpo tetap tinggal menjaga Pangeran.
Sejak saat ini Rheinswalden diliputi oleh suasana sunyi sepi selama satu
setengah hari. Setiap orang berjalan berjingkat dan hanya berbicara dengan
berbisik. Seorang pekerja yang lupa memanggil kawannya dengan suara keras, kena
tampar oleh Tuan tanah dan hampir-hampir dipecat karena kelalaiannya itu. Setiap
jam berita terakhir tentang si sakit disampaikan dari mulut ke mulut.
Suasana mencekam, diliputi oleh kekhawatiran dan ketakutan, seperti pada saat-
saat menjelang suatu putusan pengadilan.
Hari yang kedua pada jam yang sama Sternau masih duduk di sisi tempat tidur
Putri. Selain dokter hanyalah hadir ibunya dalam kamar. Wanita itu duduk
tersembunyi di balik kain tirai yang tebal sedang menjahit. Roseta sejak saat
yang mula-mula hingga kini tidur dengan nyenyaknya. Laksana sebuah patung marmar
yang luar biasa cantiknya ia terbaring di atas tempat tidurnya, tak selembar pun
bulu mata yang bergerak dan tak sedikit pun terdengar bunyi nafasnya. Pangeran
pun hingga saat ini tetap tidur nyenyak.
"Ibu," bisik seseorang.
"Ya, Nak," jawabnya berbisik pula.
"Kemarilah!" Nyonya Sternau bangkit lalu berjalan perlahan-lahan menghampiri putranya. Ia
memandang dengan pandangan
harap-harap cemas kepada putranya yang nampaknya membesarkan harapan itu.
"Coba pegang tangan Putri," katanya.
Wanita itu memegang tangan pasien yang sedang tidur itu lalu mengangguk dengan
gembira. "Ibu dapat merasakan denyut nadinya" Dan lihatlah bibirnya yang berangsur-angsur
menjadi merah. Warna pucat pada pipinya pun sudah lenyap. Tolong beritahukan
Kapten bahwa Putri sejam kemudian akan sadar kembali."
"Karl, sungguh benarkah itu?"
"Ya." Wanita itu memegang serta menarik kepala putranya ke arahnya, membelai pipinya
dengan mesra lalu bertanya berbisik, "Apakah semuanya ini akan berkesudahan
baik?" "Hanyalah Tuhan yang mengetahuinya, Bu! Belum pernah dalam hidupku saya berdoa
sesujud ini." "Semoga Tuhan mengabulkan doamu itu!"
Nyonya Sternau perlahan-lahan pergi ke luar. Sesaat kemudian ia kembali lagi dan
duduk di tempatnya. Namun pekerjaan menjahit tidak dapat diteruskan olehnya ... ia
pun turut berdoa dengan menyerahkan segenap jiwanya untuk memperoleh karunia
Allah, agar pekerjaan putranya berhasil.
Setelah menunggu setengah jam lamanya, nafas si sakit mulai terdengar dengan
lemahnya. Pipinya bertambah merah, kemudian ... ia menggerakkan tangannya ...
lengannya, lalu bergetarlah kelopak matanya. Sesaat kemudian pasien membalikkan
kepalanya. Sternau mengalami saat-saat yang sangat genting, namun secara
lahiriah ia tetap tenang dan tetap memegang tangan si sakit.
Kini Roseta menghadapkan mukanya padanya. Kerdip matanya memberi petunjuk kepada
Sternau bahwa pasiennya berada di ambang pintu kesadaran. Tidak lama kemudian si
sakit membuka matanya dengan perlahan sekali. Mula-mula matanya menatap ke muka
tanpa bergerak. "Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang, tolonglah saya.
Kini tiba saat yang paling gawat," demikian Sternau memohon dalam hati.
Mata Roseta memandang dengan melamun, suatu keadaan yang mendahului keadaan
sadar. Akhirnya matanya itu diarahkan secara sadar ke sekitarnya.
"Berhasil!" sorak hati Dokter.
Pandangan Roseta pindah dari satu benda ke benda lain lalu tampak rasa keheranan
yang sangat pada air mukanya. Ketika ia merasa tangannya dipegang orang, matanya
mencari orang yang berani memegangnya itu dan ketika ia melihat Sternau dan
mengenalinya, ia bangkit duduk tegak lalu berseru, "Carlos! Kaukah ini?"
"Benar," jawabnya dengan suara gemetar.
"Aku di mana" Berapa lamanya aku tertidur?"
"Tenang sajalah, aku tetap ada di sisimu!" kata Sternau serta memeluknya.
"Baik, aku merasa tenang karena kau ada bersamaku,"
kata Roseta dengan lemah lembut. "Tetapi agaknya telah lama aku
tidur." "Benar, lama sekali. Kau telah sakit."
"Sakit?" ulangnya dengan termenung. "Mana mungkin!
Kemarin saya pergi dengan Amy ke Pons dan ketika itu ...
kau tidak ada. Kemudian badanku berasa sakit lalu aku tertidur. Di mana saja kau
ketika itu, Carlos?"
"Aku ada di Barcelona," jawab Sternau.
"Tanpa memberitahu aku?"
Dari balik kain tirai yang tebal terdengar sedu tertahan.
Roseta mendengarnya. "Siapakah yang menangis itu" Ada orang di sini,"
katanya. "Mungkinkah ia Elvira yang baik itu?"
"Bukan, sayang. Ia seorang wanita baik hati yang sangat menyayangimu."
"Seorang wanita asing" Siapakah dia?"
"Wanita itu ... ibuku."
Mula-mula Roseta seperti kurang mengerti, tetapi
kemudian ia bersorak kegirangan, "Benarkah, ibumu" Aku senang sekali
mendengarnya. Tolong panggilkan ibumu ...
lekas!" "Tetapi ibu tidak pandai Bahasa Spanyol. Kau harus berbicara Bahasa Perancis
dengannya." "Baik. Panggilkan ibumu!"
"Bu, ke marilah!" kata Sternau. "Roseta ingin melihat Ibu."
"Aku tidak mengerti apa yang kalian bicarakan, hanya mengerti bahwa Putri sudah
sadar kembali, bukankah begitu, Nak?"
"Benar. Tuhan telah mendengar doa kita."
Perlahan nyonya Sternau mendekat. Roseta
mengulurkan tangannya dengan wajah berseri-seri ke arah wanita itu dan berkata,
"Jadi Anda itu Ibunda Carlosku"
Selamat bertemu. Alangkah bahagianya mempunyai seorang Ibu. Izinkan saya menjadi
anak Anda." Mata Nyonya Sternau berlinang-linang. Ia meletakkan tangannya di atas kepala
Condesa lalu berkata dengan suara gemetar, "Anakku, semoga Tuhan melimpahkan
berkatNya kepadamu. Aku rela memberikan nyawaku demi kebahagiaanmu."
Mereka berpelukan tanpa mengucapkan sepatah kata.
Kini Roseta mengulurkan tangannya ke arah tunangannya.
"Carlosku, terima kasih atas pemberianmu itu. O, sekarang sudah aku
mencintainya! Benarkah bahwa aku ini baru sembuh dari sakit?"
"Benar, sayang. Lama sekali."
"Bukankah apa yang kuceritakan tadi baru kemarin terjadi?"
"Tidak. Tiga bulan telah berlalu."
"Tiga bulan!" bisiknya terheran-heran. "Kalau begitu, aku telah kehilangan
kesadaran selama itu. Dan kau yang menyembuhkanku, kaukah?"
"Tuhanlah yang memberi jalan kepadaku sehingga aku dapat menemukan obatnya yang
tepat." "Dan dimanakah Alfonso, Cortejo, Alimpo dan Elvira
yang berbudi itu?" "Alimpo dan Elvira ada di sini. Mengenai yang lain akan kau dengar kemudian. Kau
masih belum boleh bicara banyak-banyak, kau harus berhati-hati."
"Baik, aku akan mematuhi perkataanmu. Hanya ingin aku tahu, di mana aku sekarang
berada." "Pada seorang teman kita yang baik."
"Bukan di Rodriganda?"
"Bukan, tetapi tentang segala hal itu masih akan kaudengar hari ini juga."
"Lalu ... ayahku?" tanyanya dengan suara terputus-putus.
"Benarkah, tubuhnya telah hancur terdampar?"
"Tidak, ia masih hidup. Tetapi baik kau jangan bicara banyakbanyak, sayang,
nanti kau akan sakit kembali."
"Carlos, aku sebenarnya mau minta sesuatu, tetapi agak segan."
"Mintalah apa saja."
"Bukan sebagai kekasih, tetapi sebagai dokter kau harus menjawab ..." ia
memulainya malu-malu. "Bila aku telah sakit selama itu, tentu aku ... tidak pernah
eh ... makan?" Sternau girang mendengar itu.
"Itu tidak perlu kausembunyikan kepada kekasihmu.
Permintaanmu untuk mendapat makan ialah suatu tanda bahwa kau segera akan sembuh
benar-benar. Ibu akan mengambil makanan yang aku pesan. Atau kau ingin Elvira
yang membawanya?" "Ya, aku ingin melihatnya kembali, tetapi Ibu harus datang juga."
Sternau menulis sesuatu di atas kertas yang dibawa ibunya ke dapur. Di lorong ia
bertemu dengan Tuan tanah.
Tuan itu memegang tangannya dan bertanya, "Benarkah Putri sudah sembuh?"
"Alhamdulillah, benarlah demikian."
"Hore, hore, bagus! Berhasil! Haleluya! Boleh aku pergi ke situ untuk ... untuk
melihatnya ..." Tidak" Aduh! Itu
sangat kejam! Itu melanggar segala norma kemanusiaan!
Apa dayaku sekarang" Bagaimana aku dapat
mencurahkan rasa gembiraku" Coba katakan, Nyonya yang baik, bagaimana?"
"Menyesal, tidak dapat saya katakan, Kapten. Lagi pula saya tidak sempat, saya
harus pergi ke dapur. Putraku telah menulis di atas kertas ini makanan apa yang
boleh dimakan si sakit."
"Apa" Coba berikan surat itu!"
Tuan tanah merebutnya dari tangan wanita itu lalu membaca, "Apa" Kaldu encer
campur sedikit tepung"
Sedikit rebusan buah! Aduh, sudah gila dia barangkali!
Makanan macam itu untuk menyegarkan orang sakit"
Berikan saja daging rusa, daun selada, macaroni, daging ham mentah, ketimun
berbumbu lada dan ikan haring berbumbu. Makanan demikian sehat, dapat menambah
selera dan menguatkan saraf dan otak. Dokter itu pandai sekali dalam bidang
pengobatan, namun dalam bidang makanan masih sangat diragukan kepandaiannya."
Kaldu encer untuk Roseta dapat disiapkan dalam waktu singkat dan Elvira membawa
secangkir kaldu ke kamar si sakit. Ketika ia masuk, putri sedang duduk tegak dan
Sternau ada di sisinya. "Selamat datang, Elvira," kata Roseta. "Sudah lama aku tidak berbicara
denganmu." Dengan air mata bercucuran Elvira berkata tersedu-sedu, "Condesa yang kusayangi.
Terpujilah Allah bahwa Anda dapat mengenali saya kembali! Ketika Anda sedang
sakit, kami semuanya bersusah hati!"
"Tapi sekarang aku sudah sehat kembali. Kau dapat bergembira lagi."
Roseta meminum kaldu secangkir itu. Pipinya berangsur-angsur menjadi merah dan
dokter beranggapan bahwa tak lama lagi ia sudah boleh berceritera tentang
kejadian-kejadian yang mengakibatkan sehingga Roseta harus diungsikan dari
Spanyol ke Jerman. Sesudah makan Roseta tertidur lagi. Itu sesuai dengan
keinginan Sternau, karena si sakit masih banyak memerlukan waktu istirahat.
Nyonya Sternau dan Elvira tetap tinggal di dalam kamar, sedangkan Sternau pergi
untuk menengok Pangeran. Lebih dari satu jam lewat sebelum ia kembali. Ia menjumpai Roseta masih di
tempat tidurnya, namun air matanya bercucuran di pipinya dan Elvira pun yang
duduk di sisinya turut menangis. Ibunya kembali menduduki tempatnya dekat
jendela. Ketika putranya datang, wanita itu cepat menghampirinya. Tentu ada
sesuatu yang terjadi. "Untung kau datang, Karl," kata wanita itu. "Aku tidak paham Bahasa Spanyol,
namun kurasa Elvira telah bicara terlalu banyak. Mereka telah bercakap lama dan
aku tak dapat menghentikan percakapan mereka!"
Sternau memandang dengan cemas kepada Roseta.
Roseta memohon dengan iba, "Jangan marah, Carlos!
Elvira yang baik hati itu telah berceritera sedikit dan aku tiada tahan lagi.
Aku suruh dia berceritera lebih banyak lagi."
"Ya, Tuhan, itu dapat memperburuk keadaan
kesehatanmu," kata Sternau dengan hati kesal.
"Tidak," jawab Putri. "Kepastian itu lebih
menenteramkan hatiku daripada kekhawatiran yang hingga kini menghantui diriku.
Setelah Elvira menceriterakan semuanya kepadaku aku berhenti menjadi gelisah.
Dan kini aku mohon sesuatu yang harus kaupenuhi juga, Carlos, karena aku merasa
diriku cukup kuat. Sebagai seorang putri ayahku tempatku adalah di sisi ayahku
yang sedang sakit. Maka aku mohon dengan sangat izinkanlah aku menjenguknya!"
Sternau hendak mengemukakan keberatan, tetapi Roseta tidak mau mendengar. Maka
akhirnya ia mengizinkan juga, lagi pula ia melihat bahwa Roseta sudah cukup kuat
untuk pergi melihat ayahnya. Ia menyuruh orang menyiapkan sebuah kursi malas
yang diberi bertilam di atasnya di sebelah tempat tidur Pangeran. Kemudian ia
mengangkat Roseta dan membawanya ke kamar
sebelahnya. Demi melihat ayahnya yang sudah lama tidak dilihatnya dan yang telah
dipisahkan secara kejam darinya itu, Roseta menangis tersedu-sedu. Setelah
Sternau mendudukkannya di atas kursi malas, maka Roseta memegang tangan ayahnya
dan menciuminya terus menerus. Baru sekarang ia melihat Alimpo yang sedang
memandanginya dengan terharu. Roseta menyapu air matanya dan mengulurkan
tangannya kepada penjaga puri, yang menyambut serta menciuminya.
Darah Seratus Bayi 1 Wiro Sableng 145 Lentera Iblis Rahasia Harta Karun 2
^