Pencarian

Piramida Bangsa Astek 5

Piramida Bangsa Astek Karya Dr. Karl May Bagian 5


Kedua orang berkawan itu sudah beraku berengkau sejak beberapa waktu.
"Tentu tahu," jawab Mariano. "Ia sudah yakin akan dapat membunuhmu. Bila salah
seorang tidak berhasil, yang lainnya pasti akan membunuhmu. Kudengar Letnan itu
seorang jurutembak. Kemarin aku mendengar pembicaraan mereka. Mereka benar-benar
memandang enteng perkara itu. Mereka tidak merasa takut sedikit pun."
"Aku pun yakin bahwa mereka tidak merasa takut, namun bukan karena sebab itu.
Mereka mengira perang tanding tidak akan berlangsung sama sekali."
"Tidak akan berlangsung" Mengapa?"
"Karena kita, kau dan aku, sebelumnya sudah akan menjadi mayat."
"Aku tidak mengerti."
"Maka dengarlah, akan kuceritakan."
Sternau menceritakan kepada kawannya, bagaimana dan di mana ia telah memata-
matai Kapten lalu mengetahui segala siasat jahatnya. Mariano terkejut mendengar
semuanya itu. "Jadi pembunuh itu kini ada di dalam kamarmu?"
tanyanya cemas. "Bagaimana kalau ia dapat melepaskan diri?"
"Begitu kuat belenggunya sehingga ia hampir-hampir tidak dapat bernafas. Ia pun
tidak dapat memanggil orang.
Bila sampai orang dapat mendengarnya mengerang, ia tidak akan dibebaskan. Mereka
tahu bahwa aku mempunyai alasan untuk menahan seseorang."
"Namun ia ada kawan-kawannya."
"Mereka akan kita tangkap semuanya seusai perang tanding. Para vaquero akan
membantu kita." Tidak lama setelah mereka sampai di tambang kapur, ketiga perwira pun tiba juga.
Mereka bersalaman secara dingin. Sternau dan Mariano diam-diam merasa puas
ketika melihat Kapten mengamati daerah sekitarnya.
Pandangannya berusaha menembusi kegelapan di antara pohon-pohonan untuk
menemukan kawan persekongkolannya, namun sia-sia belaka.
Kedua orang pendamping itu sekali lagi membicarakan persyaratannya. Pendamping
lawan membawa sebilah pedang untuk Sternau, karena dia sendiri tidak mempunyai.
Mula-mula diadakan usaha sesuai dengan tata cara lazim untuk merujukkan kedua
belah pihak, namun ditolak mentah-mentah oleh Kapten dengan congkaknya.
"Tak perlu diperbincangkan lagi!" katanya. "Lawanku sendiri yang menentukan
peraturannya bahwa perang tanding itu sudah dianggap selesai bila salah seorang
karena terluka terpaksa melepaskan pedangnya dari tangannya. Saya telah menerima
persyaratan itu dan tetap mau mempertahankannya."
"Dan bagaimana dengan Anda, Senor Sternau?" tanya pendamping itu.
"Saya pun tetap pada persyaratan itu," jawab Sternau dingin, "tentu saja karena
sayalah penyusunnya."
Setelah Sternau menerima pedangnya dan kedua pihak sudah berhadap-hadapan maka
dokter itu bertanya, "Bolehkah saya mengemukakan sesuatu?"
"Silahkanlah!" "Beginilah, orang yang berdiri di hadapanku itu sangat mengharapkan mendengar
tembakan dua kali dilepaskan dari sebelah sana, dari suatu tempat yang tinggi
ataupun dari antara pohon-pohon. Tembakan pertama harus mengenai diriku dan yang
kedua diri pendampingku. Pembunuhnya sudah dijanjikan bayaran yang akan diterimanya tengah malam di
ladrillos." Perwira pendamping mundur selangkah lalu berseru dengan berang, "Kurang ajar
benar. Perkataan Anda itu
merupakan penghinaan besar."
"Namun berdasarkan kebenaran," jawab Sternau dingin.
"Coba perhatikan kawan Anda, Kapten itu, baik-baik.
Mengapa kini wajahnya begitu pucat" Mengapa begitu terkejut" Lihat, pedangnya
gemetar dalam tangannya. Bibirnya pun gemetar. Kasihan, ada apa sebenarnya dengan dia?"
Pendamping itu memandang kepada atasannya lalu berkata sambil ikut-ikutan
menjadi pucat, "Astaga! Benar juga, Anda gemetar, Kapten!"
"Ia berdusta," kata Verdoja terputus-putus.
"Dengarlah. Suaranya pun gemetar," kata Sternau.
"Tentu karena ketakutan. Mari, kita mulai saja dengan permainannya!"
Kapten membesar-besarkan hatinya. "Baik, kita mulai saja!" serunya, sambil
serentak menyerang lawannya.
"Sabarlah dahulu!" perintah Sternau sambil memberi pukulan keras pada tangan
Verdoja sehingga pedangnya terpental dari tangannya. "Para pendamping masih
belum berdiri di sebelah kiri kita dan kita masih menantikan aba-aba. Patuhilah
segala peraturan, atau akan kulemparkan pedang ini ke tempat yang tidak
terjangkau lagi." Maka Verdoja memungut pedangnya lalu memasang kuda-kuda. Aba-aba diberikan dan
pertarungan dimulai. Dengan keberanian yang luar biasa Kapten menyerbu Sternau, namun lawannya itu
tetap tenang, tidak berkisar dari tempatnya. Setiap serangan ditangkisnya dengan
lincah, namun tiba-tiba matanya memercikkan api. Suatu pukulan yang keras
mengenai lengan Kapten. Secepat kilat pedang itu diputar, ujungnya yang tajam
melejit ke pangkal pedang lawannya dan tepat mengenai serta melukai tangan yang
memegangnya. Dengan disertai oleh jeritan kesakitan karena luka itu, pedang
terjatuh ke atas tanah. "Aduh, tanganku! Celaka aku!" raung Verdoja. Ia memasukkan tangannya yang
terluka itu ke dalam bajunya.
Dengan suara tenang Sternau berkata kepada para pendamping, "Orang ini selama
hidupnya tidak akan dapat memegang-megang wanita lagi yang tidak menyukai
perbuatan biadab demikian."
Kapten mengangkat tangannya yang penuh dengan darah itu lalu berteriak,
"Waspadalah kau, setan, perkara ini masih ada ekornya!"
Pendampingnya dan Letnan Pardero menghampirinya.
Mereka menghiburnya dan berusaha menghentikan darah mengalir dengan membalutnya.
Verdoja membiarkan kawan-kawannya mengerjakan hal itu sambil terus-menerus
mengumpat dan memaki lawannya. Sternau sekali-kali tidak menghiraukan hal itu.
Kini tangan Kapten sudah selesai dibalut. "Bila kau berhasil menembak mati
bedebah itu, akan kuhapuskan segala utangmu waktu berjudi denganku," katanya
dengan nada kesal kepada Pardero.
Pardero hanya menjawab dengan mengangguk saja, anggukan yang tidak mengandung
makna. Wajahnya sepucat wajah Kapten dan pandangan matanya mengikuti gerak-gerik
para pendamping yang sedang mengukur jarak itu dengan penuh rasa kecemasan.
Kedua pistol telah diperiksa dengan cermat lalu diisi peluru. Pistol-pistol itu
harus diambil oleh kedua orang yang bertanding itu dari dalam topi Mariano.
Mereka berdiri berhadap-hadapan, jarak di antara mereka hanya tiga langkah.
Letnan dan Mariano berdiri di sisi mereka.
Letnan mengangkat tangannya lalu menghitung, "Satu!"
Kedua orang yang bertanding mengangkat tangan kanannya masing-masing, laras
pistol mereka diarahkan kepada dada lawannya.
"Dua!" Tangan Pardero gemetar. Ia berusaha sekuat tenaga untuk menguasai dirinya serta
memusatkan pandangannya pada sasaran tembakannya, yaitu jantung Sternau. Dengan jarak tiga
langkah, tembakannya tidak mungkin meleset. Keyakinannya itu membuat harga
dirinya pulih kembali. Kedua laras pistolnya tetap dibidik ke arah jantung
lawannya. Sternau berdiri di hadapannya.
Senyum pada wajahnya menandakan kepercayaan pada dirinya.
"Tiga!" Aba-aba maut! Mata Sternau tetap mengamati mata Pardero. Ketika aba-aba terakhir
diberikan, maka Sternau secepat kilat membidikkan pistolnya ke arah pistol
lawannya. Tembakan meletup dua kali. Tangan Pardero terpental ke belakang
bersama pistolnya. Tembakan Sternau yang kedua meletup, sesaat kemudian diikuti
oleh tembakan lawannya, namun Pardero memekik serta menurunkan pistolnya. Pada
saat itu juga terdengar Kapten
mengerang. "Aduh tanganku!" seru Letnan Pardero.
"Aku tertembak," teriak Verdoja.
"Tak mungkin!" seru pendampingnya sambil berlari ke arahnya.
"Itu benar," kata Sternau tenang. "Tangan Senor Pardero sedikit kurang mantap.
Peluru saya yang pertama mengenai laras pistolnya dan membuat pelurunya melesat
ke samping. Peluru saya yang kedua menghancurkan tangannya. Karena itu pelurunya
yang kedua menempuh jalan lengkung mengitari saya dan mengenai - sungguh luar
biasa - lengan kapten yang sudah terluka itu. Siapa yang hendak berduel, harus
sedikit mengetahui cara-caranya dan siapa yang mempunyai keberanian untuk
mengganggu wanita, harus juga berani menanggung segala akibatnya. Saya sudah
biasa memberi pelajaran kepada orang-orang demikian dengan mencederakan tangan
kanannya. Selamat tinggal, Senores!"
Sternau menyisipkan kedua pistol yang sudah kosong itu ke dalam ikat
pinggangnya, menaiki kudanya lalu pergi.
Mariano mengikutinya. Ketiga orang perwira itu tetap tinggal. Pardero dengan
tangannya yang hancur dan Verdoja yang telah menyuruh potong lengan bajunya
untuk membalut lukanya. Sumpah serapah mereka mengiringi kedua orang yang pergi
itu. Sternau dan Mariano bergegas pergi ke ladrillos. Dari situ mereka mengikuti
jejak kepala perampok yang telah ditawan oleh dokter, menuju ke tempat
persembunyian mereka. Di padang rumput mereka minta beberapa orang vaquero ikut
mereka. Jejak kaki yang masih segar itu menuju ke sebuah jalan hutan di
pegunungan. Mereka berhasil menaklukkan para perampok tanpa memberi kesempatan
kepada mereka untuk mengadakan
perlawanan setelah terlebih dahulu pos jaga mereka dikalahkan. Orang-orang itu
diikat dan dibawa naik kuda kembali ke hacienda. Kelima orang tawanan itu begitu
kencang diikatkan pada kudanya sehingga mereka hampir tidak dapat bergerak. Di
tengah jalan Sternau melepaskan sumbat mulut mereka.
"Janganlah coba berteriak!" hardiknya, "kami tidak segan-segan menembak
kepalamu. Aku mau melepaskan belenggu asal kalian berjalan di muka kami. Kita
akan pergi ke hacienda del Erina."
Sternau melepaskan belenggu mereka supaya mereka dapat memegang kendali kuda.
Hanya kaki mereka masih terikat.
Sternau melakukan itu bukan hanya atas dasar perikemanusiaan, melainkan juga
sebagai siasat. Para vaquero disuruh kembali lagi menjaga ternak mereka.
Sternau bermaksud supaya pasukan bertombak yang berkemah di sekeliling hacienda
itu tidak mengetahui bahwa ia membawa tawanan. Bila tidak demikian, kapten
mereka akan mengetahui terlalu dini hal itu. Bila ia membiarkan para tawanan itu
mengendarai kuda sendiri, maka mereka akan dianggap sebagai penghuni hacienda.
Mereka berjalan terus. Seperti biasa pada hari-hari belakangan ini pintu pagar
sudah terbuka, maka mereka masuk ke taman tanpa diketahui oleh para prajurit.
Arbellez yang berdiri dekat pintu masuk terheran-heran melihat kawan-kawannya
tiba dikawani oleh beberapa
orang dan membawa seekor kuda tanpa penunggang.
"Untunglah Anda sudah kembali lagi. Kami telah lama mencari Anda. Anda membawa
tamu?" "Bukan tamu," jawab Sternau. "Mereka tawanan."
Pemilik hacienda tercengang-cengang mendengar keterangan itu. "Tawanan"
Tanyanya. "Mengapa sampai membawa tawanan" Apa yang telah terjadi?"
"Itu segera akan kami ceritakan. Tetapi lebih dahulu kami ingin mengasingkan
tawanan kami di dalam ruang bawah tanah. Dapatkah Anda menunjukkan kami tempat
itu" Ini perlu dirahasiakan terhadap para perwira pasukan bertombak."
Para tawanan kembali dibelenggu dan dimasukkan ke dalam ruang bawah tanah yang
tidak berjendela. Pintu dikunci, sehingga para tawanan tidak mungkin dapat
melarikan diri. Kedua kawan akrab itu kemudian pergi ke kamar makan untuk makan
pagi. Di situ mereka menjumpai Mualim, Karja dan Emma yang telah meninggalkan
sesaat tunangannya yang sudah mulai sembuh dari sakitnya itu. Kedua orang yang
baru datang itu menceritakan pengalamannya yang terakhir. Pedro Arbellez yang
tidak mengetahui bahwa putrinya telah diganggu orang ketika berada di atas atap,
sangat terkejut mendengarnya. Ketika diceritakan tentang perang tanding itu,
Emma menjadi pucat pasi. Mariano melukiskan kesudahan cerita dan Sternau
menerima segala pujian dari para pendengar. Sayang rasa kagum itu sedikit
bercampur juga dengan rasa cemas mengingat kemungkinan akan terjadinya
pembalasan dari pihak pasukan bertombak.
Mereka akan membalas dendam terhadap hacienda beserta para penghuninya. Sternau
berusaha menenangkan hati mereka. "Pasukan bertombak itu patuh di bawah perintah
Juarez yang tak dapat disangsikan lagi kelak akan menjadi presiden," katanya.
"Juarez berkenan dengan Anda, Senor Arbellez. Buktinya, ia telah mempercayakan
hacienda Vandaqua kepada Anda. Itu pun diketahui juga oleh para perwira. Lagi
pula kami mempunyai senjata ampuh
terhadap mereka, yaitu tawanan kita yang akan dapat kita tanyai berbagai
keterangan. Orang yang kemarin saya asingkan dalam kamar saya yang terkunci itu
tentu masih ada di situ. Saya masih belum sempat menengoknya. Akan saya bawa dia
ke mari." Sternau pergi ke kamarnya dan menemukan tawanan itu masih seperti ketika ia
meninggalkannya. Mukanya sedikit kebiru-biruan dan dari balik sumbat mulutnya
terdengar bunyi dengkur perlahan. Sternau melepas sumbat itu lalu membuka ikatan
pada kakinya. Hanya tangannya yang masih terbelenggu.
"Bangkitlah!" perintah Sternau. "Aku ingin bicara denganmu."
Tawanan itu bangkit dengan susah payah. Anggota badannya terasa kaku karena
tali-tali yang telah mengikatnya. Ia hampir-hampir tidak dapat bergerak.
Namun nafasnya sudah pulih kembali dan warna tubuhnya sudah seperti sedia kala.
Pandangan matanya sudah tiada lagi hampa, namun kini berani menentang mata
Sternau. "Atas dasar apa Anda berani menangkap saya?"
gerutunya. "Saya orang baik-baik!"
"Jangan banyak bicara!" jawab Sternau. "Kau sendiri seharusnya sudah tahu
mengapa kau sampai kutangkap."
"Namun saya tidak bersalah. Saya ingin segera dibebaskan serta mendapat ganti
kerugian." "Permintaanmu tidak perlu mendapat perhatian. Lebih penting bagimu untuk
merenungkan nasibmu beberapa saat yang akan datang. Tak ada gunanya bermain
sandiwara. Mari, ikut aku!"
Sternau memegang orang itu lalu mendorongnya berjalan di mukanya. Orang Mexico
itu berusaha mengadakan perlawanan, namun tak berhasil karena tubuhnya masih
lemah serta kaku disebabkan oleh belenggu yang menghambat jalan darah dalam
tubuhnya. Ketika mereka sampai di ruang makan dan perampok itu melihat orang-orang yang
hadir di situ, ia berkata,
"Mengapa aku dibawa ke mari?"
"Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaanku, hanya itulah pekerjaanmu," jawab
Sternau sambil terus mendorongnya. "Berdirilah di situ! Lihat pistolku sudah
siap di tanganku...aku tidak segan-segan menembakmu bila berusaha melarikan diri."
"Aku tak mau diperlakukan seperti itu!" gerutunya.
Sternau acuh tak acuh mengangkat bahunya lalu pergi ke arah jendela. Di luar
terdengar derap kaki kuda lalu ia melihat seorang prajurit pasukan bertombak
datang, tubuhnya bersimbah peluh. Tentulah ia seorang utusan yang membawa
perintah. Sternau sekali lagi menerangkan kepada tawanannya,
"Kau sedang kami periksa. Nasibmu tergantung pada sikapmu. Kuharap, engkau tidak
berbuat bodoh dan mau menjawab segala pertanyaan dengan sejujurnya. Aku tahu,
kamu telah disuap untuk membunuh dua orang di antara kami. Aku telah menangkap
pembicaraan rahasia di dekat pagar maupun di dekat reruntuhan itu. Aku pun
mengetahui tentang batu tempat menaruh surat rahasia itu. Surat itu sudah kubaca
isinya dan kini ada dalam sakumu. Di "Ngarai Harimau Kumbang" kau telah
menghadang aku... semua sudah kuketahui. Kau adalah seorang pembunuh. Tidaklah
sukar bagiku untuk mengusahakan supaya engkau digantung. Namun bila kau mau
bekerja sama, jiwamu masih dapat diselamatkan juga."
Perkataan yang tegas itu membuat tawanan itu berpikir sejenak. Ia memahami bahwa
segala rencana jahatnya itu sudah diketahui orang. Sikap angkuhnya mulai
mengendur dari wajahnya. Dengan wajah muram ia memandang ke bawah lalu berkata, "Janganlah Anda berani
mengapa-apakan saya. Anda pasti akan menerima balasannya."
"Dan siapakah orangnya yang akan membalas itu?"
Tanya Sternau. "Kawan-kawanku."
"Maksudmu tentu mereka yang menantikan
kedatanganmu, seperti yang telah kaukatakan kepada Kapten. Tadi pagi kami sudah
menangkap mereka semuanya. Sebentar lagi kau dapat menyaksikan sendiri."


Piramida Bangsa Astek Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Orang Mexico itu menjadi pucat. "Saya tak percaya, Anda berdusta untuk menakut-
nakuti saya." "Untuk kepentinganmu tak perlu aku berdusta. Mari, lihatlah ke luar jendela!
Kuda-kuda mereka masih ada di taman termasuk kudamu juga."
Orang itu melihat ke luar. Ia melihat kuda kawan-kawannya serta kuda
kepunyaannya sendiri lalu menyadari bahwa Sternau tidak berdusta. Namun ia masih
berusaha untuk menakut-nakuti dengan mengatakan,
"Kapten pasti tidak tinggal diam. Ia akan membalas segala perbuatan Anda."
Sternau yang berdiri di samping orang itu di muka jendela, melihat tiga orang
penunggang kuda datang dari arah barat menuju ke tempat perkemahan. Dengan serta
merta ia mengenali kedua penunggang kuda itu lalu berkata kepada tawanannya,
"Lihatlah siapa yang datang itu. Mereka adalah Kapten yang dikawani oleh kedua
orang letnan. Bila mereka mendekat, kau akan segera melihat bahwa tangan kanan
Verdoja dan Letnan Pardero dibalut.
Tadi pagi aku berperang tanding melawan mereka dekat tambang kapur dan kedua
lawanku itu telah kuhancurkan tangan kanannya. Maka dari pihak mereka tak dapat
kau harapkan bantuan."
Tawanan itu untuk kedua kalinya mendapat kejutan. Ia memandang-mandang ke luar
untuk menentukan apakah yang telah dikatakan oleh Sternau itu benar. Orang-orang
lainnya pun ingin melihat siapa-siapa yang datang itu.
Penunggang kuda itu memasuki pekarangan yang dikelilingi oleh pagar. Mereka
turun dari kudanya lalu pergi ke kamarnya masing-masing.
"Nah, masihkah kamu mengharapkan bantuan dari Kapten?" tanya Sternau. Perampok
itu berdiam diri. Ia segan benar menyerah.
"Jawab pertanyaanku menurut keadaan
sesungguhnya," sambung Sternau. "Kau mau mengaku telah disuap oleh Cortejo untuk
menghadang aku dengan kawan-kawanku?"
"Benar." "Setelah itu tidak berhasil, dan aku melukai sebagian besar dari kawananmu, maka
Kapten Verdoja menyuruh sisa gerombolan itu membunuh kami?"
"Benar." "Kau mengaku telah menembak aku?"
"Bukan saya, melainkan dua orang kami yang telah dilukai oleh Anda di ngarai."
"Jangan mencari-cari alasan. Kau adalah pemimpin mereka. Kau telah mempersiapkan
segalanya dengan Verdoja. Kemarin pada pertemuan yang terakhir ia menyuruhmu
menembak mati diriku dan Senor Mariano pada kesempatan diadakan perang tanding
pagi hari ini." "Benar," jawab orang Mexico itu perlahan. Meskipun ia menyadari bahwa berdusta
tidak akan menolongnya, namun ia menambahkan. "Tetapi sesungguhnya saya tidak
ada niat jahat dengan Anda, percayalah, Senor Sternau.
Saya tidak ingin menembak mati Anda."
"O, begitu! Jadi apa yang sesungguhnya ingin kau lakukan?"
"Sebenarnya saya ingin mendatangi Anda untuk membentangkan kepada Anda siasat
licik Kapten." "Omong kosong semuanya. Kini kau boleh bertemu dengan kawan-kawanmu. Mariano,
tolong ambil mereka."
Mariano pergi, sesaat kemudian ia kembali lagi dengan mereka. Mereka sangat
terkejut ketika melihat pemimpin mereka. Sternau tidak mendapat kesulitan
sedikit pun dalam mengorek pengakuan dari mereka. Mereka mendengar bahwa
pemimpin mereka sudah mengakui semuanya sehingga mereka tidak menganggap perlu
menutup-nutupi perbuatannya dengan dusta.
"Kalian ini pembunuh. Itu tidak dapat disangkal," kata Sternau. Kalian patut
digantung karena perbuatan itu,
namun bila kalian mau bekerja sama, maka aku masih dapat mempertimbangkan
hukumanmu." "Apa syarat-syaratnya?" tanya salah seorang.
"Kalian harus mau mengulangi lagi pengakuan kalian di hadapan Kapten Verdoja
bila hal itu kukehendaki. Tidak ada keberatan?"
"Apakah syarat itu benar-benar perlu?"
"Perlu. Dan bila kalian enggan berbuat demikian, maka tidak ada pilihan lain
lagi bagiku. Kalian semuanya akan segera digantung."
"Kami tidak bersedia digantung hanya untuk
menjunjung kehormatan Kapten. Bila tidak ada kemungkinan lain kami terpaksa
memenuhi keinginan Anda, menjawab pertanyaan Anda sesuai dengan kebenaran."
"Baik. Maka kalian boleh tetap hidup. Selanjutnya kita akan melihat bagaimana
perkembangannya. Kalian akan diasingkan. Perbuatan demikian akan langsung
dijatuhi hukuman mati."
Mereka diasingkan dalam ruang bawah tanah.
BAB V DI HADAPAN DEWAN KEHORMATAN Ketiga perwira itu setelah ditinggalkan oleh Sternau dan Mariano masih lama
tinggal di medan pertempuran.
Tangan Pardero hancur, namun tidak mengeluarkan banyak darah sehingga hanya
membutuhkan kain pembalut sederhana saja. Keadaan Kapten berbeda.
Tangan malang yang empat kali terkena itu, lukanya agak dalam dan darah
bercucuran keluar. Nampaknya sebuah urat nadi terkena. Pendarahan di tempat itu
jauh lebih sukar menangkalnya. Sambil pekerjaan membalut itu dilakukan, tidak
banyak dikatakan oleh Kapten dan perkataan yang sedikit itu penuh diliputi oleh
rasa benci dan dendam. "Siapa dapat menyangka demikian!" kata Pardero dengan geram.
"Mengapa kau begitu bodoh sampai dapat menembak diriku!" hardik Verdoja.
"Sebenarnya tidaklah mengherankan bila saya kalah, karena seperti Anda lihat
sendiri, Sternau itu ahli pedang maupun ahli tembak yang tak ada bandingnya."
"Memang kau sendiri pun tak ada bandingnya di dunia ini dalam kebodohan di
bidang tembak-menembak."
"Sebaiknya Anda jangan bertengkar!" demikian pendampingnya memohon. Ia harus
membalut luka kedua orang itu tanpa ada orang yang dapat membantu.
"Ketangkasan Senor Sternau dalam menggunakan senjata api maupun senjata tajam
itu sangat menakjubkan, namun yang lebih menarik perhatian ialah perkataannya yang tegas
itu." "Saya sependapat denganmu," kata Pardero. "Ia menuduh Anda, Kapten, telah
menyewa seorang pembunuh yang disuruh menembak mati Sternau beserta
pendampingnya." "Itu dusta besar," geram Verdoja. Namun ia tidak dapat mencegah, mukanya yang
sedianya pucat itu berubah menjadi merah karena rasa malu. Orang yang telah
banyak kehilangan darah seperti dia, bila sampai mukanya menjadi merah, maka
itulah tanda bahwa perkataan Sternau itu tepat mengenai sasarannya. Pendamping
itu memandang kepada wajah Kapten dengan cara seolah hendak menyelidikinya. Ia
adalah orang yang menjunjung tinggi kehormatannya dan maksud-maksud gelap dari
atasannya tidak diketahuinya. Sebenarnya ia merasa segan untuk bertindak selaku
pendampingnya, karena ia tahu bahwa soal penghinaan seorang wanitalah yang
menjadi penyebab perang tanding itu. Ia merasa yakin bahwa tuduhan yang
dilancarkan oleh Sternau itu mempunyai dasar yang kuat, maka ia bertanya, "Kalau
begitu, mengapa ia sampai berani melancarkan tuduhan demikian?"
"Orang itu, sudah kukatakan, penuh dengan akal busuk," jawab Kapten.
"Saya rasa Anda salah, Senor," kata pendamping itu.
"Sepanjang pengamatan saya, Senor Sternau itu bukanlah orangnya yang suka
berbuat curang." "Orang itu pandai benar bermain sandiwara. Bila kita kurang waspada, kita akan
ditipunya." "Itupun tidak masuk di akal. Orang yang dikenal dengan nama Matava-se itu
bukanlah seorang penipu."
Dengan menghentak-hentakkan kaki karena
amarahnya, Verdoja berseru, "Diam! Apakah Anda barangkali bermaksud mengatakan
bahwa Anda mempercayai ucapan orang itu?"
"Ia telah menuduh Anda terang-terangan dan Anda
belum menyangkal," jawab Letnan hati-hati. "Saya belum berani mengemukakan suatu
pendapat sebelum saya mendapat kepastian tentang persoalannya."
"Memang, itu harus menjadi pedoman Anda."
Perwira muda yang hingga kini sedang sibuk dengan kain pembalut yang dipegang
dalam tangannya itu memandang ke atas serta mengerutkan keningnya lalu bertanya,
"Apakah ucapan Anda itu harus saya anggap sebagai ancaman, Kapten?"
"Begitulah," jawab Kapten dengan marah.
Pada saat itu Letnan melepaskan tangan Kapten lalu mundur selangkah.
"Perlakuan demikian tidak akan saya terima begitu saja," kata Letnan. "Meskipun
Anda dalam ketentaraan adalah atasan saya, namun dalam perkara kehormatan, kita
setingkat. Sikap Anda terhadap saya agak ganjil.
Segera setelah saya tiba di rumah akan saya kunjungi Senor Sternau. Ia telah
meunuduh Anda berusaha membunuhnya dengan cara yang curang. Bila tuduhan itu
tidak benar, maka ia segera harus menarik kembali perkataannya serta meminta
maaf. Tetapi bila tuduhan itu benar, maka saya minta dilepas dari dinas
ketentaraan." "Saya melarng Anda berbicara dengan orang itu!" hardik Kapten.
"Anda hanya dapat memerintah saya dalam dinas ketentaraan, di luarnya Anda tidak
berhak. Kini Anda sudah memahami pendirian saya. Bila tangan Anda masih perlu
dibalut juga, maka saya harap Anda tidak menyinggung-nyinggung perkara ini
lagi." Verdoja terpaksa tutup mulut dan tetap berdiri dengan tangan direntangkan ke
atas. Amarahnya yang tidak dapat dikuasainya, tidaklah berakibat menenangkan
jalan darahnya, sehingga membuat pekerjaan membalutnya bertambah lama. Sedang
Letnan membalut tangan atasannya, maka Verdoja dan Pardero saling bertukar
isyarat dengan pandangan matanya: mereka bertekad akan tetap bersekutu dalam
menghadapi lawannya. Akhirnya
mereka menaiki kudanya dan kembali ke hacienda.
Di antara prajurit pasukan bertombak ada seorang yang pernah ingin menjadi
dokter, tetapi karena perilakunya yang kurang baik ia telah ditolak. Ia menjadi
dokter pasukan ini. Seharusnya ia hadir pada perang tanding itu.
Namun Sternau telah menganggap kedatangan seorang dokter tiadalah perlu. Kapten
pun merasa begitu yakin bahwa siasat liciknya akan membuahkan kemenangan, maka
ia pun tidak menganggap perlu akan kehadiran seorang dokter. Sesampai mereka di
hacienda, mereka langsung pergi ke dokter itu untuk memperoleh bantuan medis
seperlunya. Dari dokter itu mereka mendengar juga bahwa seorang utusan telah tiba yang
membawa perintah dari Juarez untuk segera berangkat dan pergi ke Monclova. Di
kota itu rakyat sedang berontak melawan pemerintah. Kapten menyuruh utusan itu
menghadap dia lalu membaca surat Juarez yang memerintahkan supaya segera datang
untuk membantu rakyat Monclova.
"Sudah bolehkah saya mengendarai kuda?" tanyanya kepada dokter.
"Boleh," jawab dokter. "Mengendarai kuda tidak akan memperburuk keadaan tangan
Anda. Hanya yang saya takuti adalah datangnya demam karena luka itu, namun
ramuan yang saya pakai untuk mengobati luka itu, saya rasa, akan cukup
menolong." "Dan bagaimana dengan Letnan Pardero?"
"Lukanya lebih terasa sakit daripada luka Anda, namun tidak lebih berbahaya. Ia
pun boleh berkendaraan kuda.
Namun Anda berdua ini tidak dapat memakai pedang sebagai senjata lagi, itu tentu
sudah Anda maklumi."
"Namun masih dapat juga saya memegang pedang di tangan kiri. Esok pagi kami akan
berangkat." Sedang dokter sibuk merawat luka orang itu, Letnan melaksanakan niatnya pergi ke
Sternau. Sternau menyadari bahwa ia berurusan dengan orang yang menjunjung
tinggi kehormatan, maka ia untuk sementara
masih belum mau memberi keterangan.
"Maaf Senor, akan tetapi keterangan Anda itu sangat perlu bagi saya," kata
Letnan. "Baru saja datang seorang utusan dari Juarez, yang mengharuskan kami
pergi ke Monclova. Bila tuduhan Anda terhadap Kapten bahwa ia berusaha sendiri
atau menyuruh orang lain melakukan pembunuhan secara curang terhadap Anda itu
benar, maka saya tidak sudi lagi tetap mengabdi sebagai bawahannya, lalu saya
pun bermaksud memaksanya untuk meletakkan jabatan. Itu pun berlaku terhadap
Pardero. Saya sudah dapat mencium permainan kotor mereka bersama."
"Namun mengapa Anda mau menjadi pendamping
mereka?" "Siapa lagi yang dapat melaksanakan tugas itu selain saya" Lagipula saya baru
mengetahui lebih banyak tentang perkara itu, ketika saya tiba di medan
pertemuan. Jadi tentu Anda sudah memahami, betapa pentingnya keterangan Anda itu
bagi saya." "Tidak lama lagi Anda akan dapat memperoleh keterangan demikian. Verdoja
menyadari bahwa usaha pembunuhannya itu gagal. Saya kira, ia akan segera pergi
untuk mengambil tindakan terhadap orang yang mendapat tugas membunuh itu. Maksud
saya untuk memata-matainya. Anda boleh ikut saya, maka Anda dapat menyaksikan
dengan mata kepala sendiri, apakah tuduhan saya beralasan atau tidak. Bersiap-
siaplah untuk segera berangkat, tetapi jagalah kerahasiaannya."
Letnan sementara harus merasa puas dengan
pemberitahuan itu lalu ia pergi. Dugaan Sternau ternyata benar. Baru saja dokter
tentara itu pergi, maka Verdoja pergi pula naik kuda meninggalkan hacienda.
Namun ia tidak seorang diri. Ia menyuruh Letnan Pardero mengikutinya, karena ia
ingin mengadakan pembicaraan dengannya.
Pardero ialah seorang yang asli berdarah Mexico: berdarah panas serta dalam
hidupnya mengutamakan pelampiasan hawa nafsu yang rendah. Ia tergolong orang yang miskin, namun ia
tidak mau tetap tinggal miskin.
Harta dan kekayaan dipandangnya sebagai jalan satu-satunya untuk memperoleh
sukses. Dan untuk mencapai kekayaan itu ia rela berbuat apa pun. Sayang sekali
bahwa kesempatan hingga kini belum terbuka baginya untuk mencapai kemajuan.
Hingga kini usahanya itu hanya membuahkan utang yang berlimpah-limpah. Penagih
utangnya yang utama ialah Kapten Verdoja yang ternyata lebih unggul dari padanya
dalam permainan judi. Verdoja cukup pandai untuk menarik keuntungan dalam
perkara itu. Ia sangat membutuhkan seorang rekan yang bergantung kepadanya dan
Pardero adalah orang demikian. Maka dengan maksud itulah ia meminta bantuan dari
letnan muda yang dapat dipakainya sebagai kuda penarik keretanya itu.
Verdoja tidaklah tahu bahwa para pembantunya semuanya telah tertawan. Ia tidak
dapat mengerti, bagaimana Sternau sampai dapat membongkar
komplotannya itu. Kini ia sekali lagi bermaksud hendak meletakkan sepucuk surat
di bawah batu, berisikan sebuah perintah kepada si pembunuh untuk hadir di
tempat itu menjelang tengah malam. Ia tidak langsung pergi ke tempat batu itu.
Ia tahu bahwa Sternau memata-matainya lalu menempuh jalan memutar yang lebih
jauh dari pada kemarin. "Mengapa baru esok hari kita pergi ke Monclova?" tanya Pardero di tengah
perjalanan. "Bukankah kita diperintahkan segera pergi?"
"Kita masih harus mengadakan perhitungan di sini, Anda dan aku," demikian
keterangan Verdoja. "Saya juga?" tanya Pardero terkejut.
"Memang begitu. Atau barangkali Anda ingin bermurah hati terhadap Sternau yang
telah menghancurkan tangan Anda itu?"
"Sekali-kali tidak. Bedebah itu perlu mendapat hukuman yang setimpal," kata
Letnan sambil menggertakkan gigi. "Setuju benar. Maka kita harus bersekutu dalam pekerjaan ini, Letnan." Verdoja
mengulurkan tangan kirinya ke arahnya.
"Saya pun setuju!" jawab Letnan seraya mengulurkan tangan kirinya juga kepada
Verdoja. "Namun bagaimana caranya?"
"Serahkan saja kepadaku! Aku ada rencana yang akan memberi keuntungan bagiku
maupun bagi Anda." "Bolehkah saya tahu rencana apakah itu?"
"Yah... sebenarnya besar juga bahayanya, sedangkan saya belum yakin Anda dapat
memegang rahasia atau tidak."
"Anda tak usah khawatir. Saya berani bersumpah!"
"Baik, saya percaya Anda. Kini coba Anda terangkan, bagaimana pendapat Anda
berhubung dengan tuduhan Sternau terhadapku."
"Eh...!" gumam Pardero sambil meundukkan kepala dan berpikir.
"Ya, katakan saja!"
"Bila Anda memaksa saya mengeluarkan pendapat, maka terus terang harus saya
katakan bahwa sikap Anda dalam perkara ini tidak meyakinkan saya bahwa Anda
tidak bersalah." "Tepatlah demikian. Saya harus mengaku bahwa tuduhan itu benar."
Pengakuan yang dinyatakan tanpa rasa malu itu membuat Pardero sedikit bingung.
"Jadi benar juga!"


Piramida Bangsa Astek Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

katanya terheran-heran. "Ya, bila sekiranya rencana pembunuhan yang sudah kupersiapkan dengan seksama
itu berhasil, maka tangan kita sekarang ini masih utuh dan Sternau beserta
pendampingnya yang terkutuk itu nyawanya sudah melayang ke neraka. Suatu rahasia
boleh saya sampaikan kepada Anda. Sebenarnya saya ini telah mendapat wewenang
dari seorang tokoh dari kalangan teratas untuk menyingkirkan Sternau dengan
kawan-kawannya." Penjelasan demikian diberikannya sebagai siasat cerdik untuk membuat Pardero
rela memihak kepadanya. "Benarkah demikian?" kata Pardero dengan penuh rasa hormat. "Bolehkah saya juga
mengetahui siapa yang member Anda wewenang itu?"
"Sekarang masih belum waktunya mengungkapkan hal itu. Sternau itu bukanlah lawan
yang enteng. Bila sampai ia dapat disingkirkan, maka hal itu akan membawa akibat
besar pada perencanaan di kalangan atas dan orang-orang yang melaksanakan
pekerjaan itu ataupun mereka yang membantunya, berjasa sekali sehingga patut
mendapat anugerah berlimpah-limpah serta akan mendapat jaminan kesejahteraan
selama hidupnya." Janji-janji muluk demikian sengaja ditiup-tiup oleh Kapten. Dengan menyatakan
dirinya bertindak atas kehendak seorang tokoh pembesar, maka ia layak dipandang
sebagai seorang utusan yang tidak dapat dimintai pertanggungjawaban atas
perbuatannya. Dan dengan menjanjikan anugerah serta jaminan kesejahteraan seumur
hidup ia memastikan diri akan bantuan dari pihak Pardero, karena Letnan itu
sedikit pun tidak menduga bahwa Verdoja berdusta.
"Apakah menurut pendapat Anda saya pun akan dapat menerima anugerah itu bila
saya mau membantu?" tanya Pardero.
"Sudah pasti. Bahkan anugerah ganda, seperti juga yang menjadi bagian bagi saya.
Mula-mula kita akan mendapat kenaikan pangkat atau imbalan berupa sejumlah uang
yang sangat besar. Kemudian kita mendapat kepuasan juga karena kita dapat
membuktikan bahwa kita mempunyai kesanggupan untuk membalas dendam. Jadi Anda
mau membantu?" "Pasti, Kapten! Dengan segala suka hati saya akan membantu Anda. Katakan saja,
apa yang harus saya lakukan!"
"Hingga kini aku sendiri masih belum mengetahuinya.
Mula-mula saya ingin memastikan, mengapa pembantuku
hari ini tidak datang."
"Apakah kita kini akan bertemu dengannya?"
"Tidak. Kini ia menerima pesan bahwa saya ingin bicara dengannya malam ini. Maka
akan saya dengar, apa yang menghalanginya datang, sehingga saya tahu apa yang
harus saya kerjakan. Itu pun sebabnya, mengapa saya tidak pergi hari ini,
melainkan esok hari ke Monclova."
"Tetapi mengapa Sternau sampai berhasil mengetahui rencana Anda" Mungkinkah
pembantu Anda itu berkhianat?" "Tidak mungkin. Orang itu dapat dipercaya. Saya rasa, Sternau telah berhasil
menangkap pembicaraan kami. Ia kebetulan hadir di tempat itu ketika kami
mengadakan pembicaraan. Maka saya kini mencari tempat pertemuan lain. Marilah!"
Pardero sementara harus merasa puas dengan
keterangan yang agak samar ini lalu mengikuti Kapten yang memacu kudanya.
Segera setelah kedua perwira itu meninggalkan hacienda, maka Sternau dan Letnan
menaiki kudanya. Mereka menempuh jalan seperti kemarin untuk sampai pada batu tempat
persembunyian surat itu. Letnan memanjat pohon sider dan Sternau bersembunyi di
balik pohon-pohonan yang cukup memberi perlindungan padanya. Mereka menanti
beberapa waktu lamanya, kemudian mereka mendengar bunyi derap kaki kuda. Para
penunggangnya berhenti dekat semak belukar, turun dari kudanya dan berjalan ke
arah batu. Mereka adalah Verdoja dan Pardero. Kapten mengangkat batu itu lalu
meletakkan sepucuk surat di bawahnya. Beberapa saat lamanya mereka bersikap
waspada terhadap tiap bunyi yang mencurigakan, lalu pergi menaiki kudanya. Kedua
orang yang memata-matai mereka kini keluar dari tempat persembunyiannya dan
Sternau mengambil surat itu dari bawah batu.
"Pardero juga turut, jadi ia pun terlibat dalam perkara ini. Bolehkah saya
membaca surat itu, Senor?"
Sternau yang telah selesai membaca surat itu menyerahkan kepadanya sehelai
kertas berisi tulisan: Janganlah pergi jauh-jauh dari sini. Menjelang tengah
malam kita harus bertemu. Kau harus
mempertanggungjawabkan perbuatanmu.
Tulisannya hampir-hampir tiada terbaca, karena Verdoja terpaksa harus menulis
dengan tangan kiri. Sekali ini pun surat itu tidak ditandatangani. Letnan
bertanya, "Apakah surat ini ditujukan kepada orang yang mendapat tugas membunuh Anda serta
Senor Mariano?" "Benar." "Apakah ia akan mendapat surat ini?"
"Tidak." "Jadi Anda tidak menaruh kembali surat itu di bawah batu" Saya kira, ada baiknya
bila hal itu dikerjakan, supaya kita mendapat kesempatan turut mendengarkan
percakapan mereka tengah malam."
"Itu tidak mungkin, karena orang itu tidak mungkin datang. Saya telah
menangkapnya. Kini ia berada di hacienda sebagai seorang tawanan. Mari kita
kembali ke kuda kita! Anda telah menyaksikan dengan mata kepala sendiri tindak-
tanduk para pembunuh. Pada perjalanan pulang akan saya ceritkan semuanya."
Cerita yang didengarnya itu membuat Letnan merasa jijik.
"Apa yang hendak Anda lakukan kini?" tanyanya kepada Sternau.
"Saya akan membuka kedok Kapten bersama
pembantunya," jawabnya.
"Setuju. Bolehkah saya ikut serta?"
"Tentu boleh. Bahkan maksud saya meminta Anda bertindak sebagai saksi."
"Dan apakah kehendak Anda dengan para tawanan itu?"
"Saya telah berjanji membiarkan mereka hidup, bila mereka mau mengakui terus
terang segala perbuatannya di hadapan Kapten. Saya wajib menepati janji saya."
"Apakah keputusan demikian tidak salah" Para penjahat sepantasnya dijatuhi
hukuman gantung. Bila mereka dilepaskan begitu saja, maka keselamatan Anda tetap
akan terancam." "Itu saya pahami, namun saya belum pernah
mengingkari janji dan kali ini pun saya akan menepatinya.
Siapa tahu, sikap lunak saya dapat menimbulkan rasa terima kasih pada mereka."
"Saya rasa tidak. Orang-orang seperti mereka tidak menghargai kelunakan;
kemurahan hati di mata mereka merupakan kelemahan."
Mereka tiba di hacienda jauh lebih kemudian daripada Verdoja dan Pardero. Kapten
yang hadir di tengah-tengah para prajurit melihat mereka datang. Ia mengerutkan
keningnya. Letnan bersama-sama dengan Sternau, itu sangat mencurigakan. Dengan
wajah berang ia menghampiri mereka lalu bertanya, "Anda dari mana?"
"Saya telah mengadakan perjalanan naik kuda," jawab Letnan.
"Apakah Anda sudah mendapat izin dari saya?" tanya Verdoja dengan geram.
"Memang harus ada izin?" tanya perwira itu tajam.
"Saya rasa, harus ada. Kita tidak berada dalam tangsi, melainkan dalam
perjalanan." "Sependapat saya, kita tidak dalam perjalanan, melainkan dalam tangsi."
"Jangan mengemukakan berbagai dalih! Pendek kata, Anda harus minta izin lebih
dahulu kepada saya sebelum Anda pergi."
Perwira muda itu merah padam wajahnya karena marahnya. Hal ini dapat dimengerti
karena pertentangan pendapat ini disaksikan pula oleh segenap prajurit yang
mengelilinginya. "Saya baru minta izin," bentaknya, "Kalau saya hendak bepergian atau pergi pada
waktu dinas. Kini saya hanya pergi berjalan-jalan, sama halnya seperti Anda
dengan Letnan Pardero."
Verdoja berdiri lurus di hadapannya lalu berkata dengan nada mengancam, "Tahukah
Anda, Senor, bahwa perbuatan berani menentang perintah atasan itu akan membawa
akibatnya?" "Tentu sudah saya ketahui peraturan itu, Senor. Namun ini bukanlah merupakan
perkara menentang perintah atasan, melainkan hanya sekedar perbedaan pendapat
yang dapat diselesaikan secara damai. Anda tentu maklum juga bahwa seorang
perwira tidak selayaknya menerima teguran di hadapan serombongan bawahannya."
Dengan mata berapi-api karena marahnya, Kapten menghampirinya serta memerintah,
"Serahkan pedang Anda kepadaku, Letnan! Cepat!"
Meskipun perwira itu masih sangat muda, namun ia tidak berjiwa pengecut. Dengan
sikap tenang ia menjawab,
"Pedang saya" Masa! Maaf, tak dapat saya serahkan!"
"Anda sedang bicara dengan atasan Anda."
"Maaf, Anda bukanlah atasan saya lagi! Anda seorang durjana. Pedang saya yang
mulia itu janganlah sampai tersentuh oleh tangan kotor Anda."
Ia telah berbicara dengan suara yang cukup kuat dan didengar oleh banyak
prajurit. Prajurit bangsa Amerika berbeda sifatnya dengan prajurit bangsa Eropa.
Ketika para prajurit pasukan bertombak mendengar kata-kata penghinaan itu,
mereka mengerumuni para perwira.
Pardero pun hadir juga. Sternau tetap berdiri mendampingi pahlawan muda yang
gagah berani itu, di tengah-tengah kerumunan orang. Kata-kata penghinaan yang
baru diucapkan oleh letnan itu begitu mengena, sehingga Verdoja menjadi bingung
sejenak dibuatnya, namun kemudian ia menyerbu kepada Letnan serta berseru dengan
suara gemetar karena amarah. "Tarik perkataan itu kembali!"
"Apa, menarik kembali perkataan saya" Tidak! Saya tetap pada pendirian saya
semula." Jawab Letnan tanpa menjadi gentar.
Kapten hendak menyerangnya, tetapi pada saat itu juga
Sternau memacu kudanya lalu melintas di muka Kapten sambil memukulkan tinjunya
keras-keras kepada Kapten sehingga ia jatuh tersungkur.
"Kurang ajar benar, berani melakukan perbuatan seperti itu!" seru Pardero.
"Saya tidak melakukan apa-apa," jawab Sternau.
"Hanya mengotori tangan saya sedikit."
"Ya," kata Letnan muda itu kepada kawannya, "Kau sama juga, sama-sama jahanam
terkutuk." Pardero menjadi pucat pasi karena terkejut dan takutnya.
"Sudah gila, Kau!" serunya.
"Tidak, jiwaku masih sehat, sebaliknya jiwamulah yang harus diragukan
kesehatannya." "Kau sedang bicara dengan atasanmu. Usiamu lebih muda dari usiaku."
"Kau bukan atasanku lagi. Aku tidak mau bekerja di bawah perintahmu. Pilih salah
satu, aku akan pergi atau kalian berdua!"
"Kau mungkin melupakan bahwa kau tidak dapat berhenti semaumu saja," kata
Pardero sambil tertawa mengejek. "Mula-mula akan kutangkap kamu berdasarkan
perlawanan terhadap perintah atasan, Senor Sternau pun akan kutangkap
berdasarkan perbuatannya mendatangkan cedera pada tubuh kami."
"Alangkah congkaknya perkataanmu itu," kata Sternau.
"Silahkanlah, bila kamu mempunyai selera menangkapku.
Akan kusambut kedatanganmu."
Pardero begitu bodoh, berdiri terlalu dekat dengan Sternau. Maka Sternau
memegang leher bajunya, mengangkat tubuhnya tinggi-tinggi lalu
menghempaskannya kuat-kuat ke atas tanah sehingga ia rebah tiada sadarkan diri.
Pasukan bertombak kini tidak dapat tinggal diam saja.
Salah seorang prajurit yang lebih tua usianya maju ke depan lalu bertanya,
"Senor Letnan, kami merasa heran akan segala kejadian ini. Harap Anda mau
memberi penjelasan sedikit."
Letnan muda itu mengangguk ramah lalu menjawab,
"Randoso, coba tolong katakan, siapakah yang paling Kausukai di antara para
perwira. Katakanlah saja terus terang, jangan takut-takut."
"Yah...tentu Anda sendiri sudah mengetahui jawabnya, Anda sendirilah orangnya.
Bila tidak demikian, maka kami tidak tinggal diam saja, ketika Anda mengeluarkan
tuduhan berat itu terhadap Senor Verdoja dan Senor Pardero, apa lagi ketika
mereka mendapat penghinaan juga dari seorang preman."
"Maka perhatikanlah apa yang kukatakan ini, Randoso, kedua perwira itu
sebenarnya orang jahat. Mereka bersekongkol dengan rombongan perampok serta
pembunuh untuk membunuh orang baik-baik dan untuk mengganggu wanita baik-baik.
Tadi pagi telah berlangsung perang tanding. Pada ketika itu tangan kanan mereka
mendapat cedera: itu tentu suatu amanat Tuhan. Aku bersama Senor Sternau telah
memata-matai perbuatan mereka dalam hutan. Percayalah, mereka bukanlah orang
baik-baik. Mereka tidak layak memegang pimpinan dalam pasukan kita. Aku tidak
rela tetap mengabdi di bawah perintah mereka!"
"Astaga, Senor, saya pun tidak rela!" seru prajurit tua itu.
"Janganlah bertindak tergesa-gesa, Randoso. Kamu sudah lama dalam dinas, sudah
banyak pengalaman. Kau dapat membedakan yang baik dengan yang buruk.
Sebaiknya kita menyelidiki lebih dahulu persoalannya.
Kemudian dapat kita pastikan, siapa yang harus mengundurkan diri, mereka atau
aku." "Saya setuju, Senor Letnan," kata prajurit itu. Ia memperbaiki letak kumisnya
lalu menyambung, "Bila Anda mengundurkan diri, maka saya pun akan mengikuti
jejak Anda. Dengan demikian seluruh laskar akan menjadi cerai-berai. Namun bila
kedua mereka yang dibenci oleh bawahannya itu dipecat, maka kami akan mengangkat
Anda menjadi Kapten."
"Dan kau akan menjadi Letnan kesatu, yang lainnya pun akan mendapat kenaikan
pangkat semuanya." "Haruskah kita membuka sidang pengadilan militer?"
"Tidak perlu. Pelanggaran mereka bukanlah di bidang kemiliteran. Pengadilan
kehormatan lebih tepat di sini."
"Baik kita melucuti senjata mereka."
"Tentu saja." "Haruskah mereka kita belenggu?"
"Tak usah. Mereka sementara ini harus ditempatkan dalam sebuah kamar di hacienda
dengan mendapat penjagaan. Sidang pengadilan kehormatan akan diadakan di
lapangan terbuka, sehingga seluruh laskar dapat menyaksikannya. Mereka masih
dalam keadaan tidak sadar. Suruh mengasingkan mereka serta menjaganya, maka Kau
dapat menyaksikan sidang permulaan pengadilan."
Untunglah bahwa letnan muda itu mendapat dukungan kuat dari bawahannya. Kalau
tidak, maka peristiwa itu dapat juga berakhir dengan cara yang sangat berbeda.
Sternau bersama Letnan tetap hadir di tengah-tengah laskar yang liar itu. Atas
anjurannya kedua perwira yang masih belum sadar itu dikunci dalam sebuah kamar
dan mendapat penjagaan ketat. Kedua orang itu kemudian naik ke atas untuk
menceriterakan pengalamannya. Mariano berkeinginan supaya sidang pengadilan
kehormatan itu disaksikan juga oleh segenap penghuni hacienda dan kedua tawanan
itu harus dibawa dengan pengawalan dua orang vaquero yang bertubuh tegap. Kedua
usul itu disetujui lalu dapat dimulai mengadakan persiapan sidang.
Sedang di luar, para prajurit pasukan bertombak berkelompok-kelompok
memperbincangkan peristiwa yang luar biasa itu, prajurit tua masuk ke dalam
rumah untuk bersama Letnan diantarkan ke tempat para tawanan.
Mereka ingin mendengarkan pengakuan para tawanan itu.
Kini semua persiapan sudah dikerjakan sebagaimana mestinya. Di taman disediakan
kursi dan bangku sebagai tempat duduk bagi orang-orang yang ada sangkut pautnya dengan peristiwa itu.
Letnan duduk di belakang sebuah meja, di sebelahnya duduk prajurit tua diapit
oleh perwira bawahan. Mereka merupakan para hakim. Di sisi meja duduk Sternau
dan Mariano. Mereka hadir sebagai para penuntut. Di seberang mereka duduk Unger,
pemilik hacienda dan kedua wanita sebagai saksi. Tidak jauh dari meja berdiri
sekelompok prajurit pasukan bertombak serta serombongan vaquero dan cibolero
yang merupakan pendengarnya.
Verdoja dan Pardero dibawa ke depan. Semangat mereka ada dalam keadaan yang
seburuk-buruknya. Penghinaan sedemikian besarnya belum pernah terlintas dalam angan mereka. Mulut
mereka berbusa karena menahan amarah. Bila sekiranya mereka masih dapat
menggunakan tangan kanannya, maka keempat vaquero itu tidak akan mudah
menguasainya. "Apa maksud segala keramaian ini?" seru Verdoja ketika melihat orang-orang itu.
"Mau apa kamu di sini?"
hardiknya kepada para prajuritnya. "Enyah kau, babi!"
"Tenang saja, Senor Verdoja!" perintah Letnan sebagai ketua. "Anda dihadapkan
dalam sidang ini sebagai terdakwa dan sikap Anda akan menentukan cara kami
memperlakukan Anda."
"Sebagai terdakwa!" seru Verdoja. "Dan siapa yang mengadukan saya?"
"Itu akan segera Anda dengar."
"Dan siapakah akan menghakimi saya?"
"Mereka yang hadir di sini."


Piramida Bangsa Astek Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Verdoja tertawa mengejek. "Sudah gila kamu sekalian.
Masa seorang perwira atasan dapat diadili oleh prajuritnya sendiri! Terlalu
benar! Ayo, pergi semuanya. Kalau tidak, akan saya suruh tembak mati kalian!"
Ia mengepalkan tinju tangan kirinya lalu pergi menghampiri prajurit tua, tetapi
vaquero menahannya. "Saya menyarankan untuk membelenggu kedua
tawanan bila mereka tidak dapat menjaga ketenangan
mereka," kata Sternau.
"Setuju!" kata Letnan.
"Coba, kalau berani!" teriak Kapten. "Akan saya hancurleburkan seluruh
hacienda." "Kalian membawa tali" tanya ketua kepada para vaquero. Orang-orang itu
mengeluarkan tali dari kantong mereka.
"Anda lihat, Senores, kami tidak main-main," kata Letnan. "Atau Anda menyerah,
atau kami harus menggunakan paksaan terhadap Anda."
"Mengapa harus menyerah?" seru Verdoja. "Apa kesalahan saya" Apakah boleh
seorang atasan diadili dalam suatu sidang pengadilan militer" Sayalah yang
sebenarnya berhak untuk mengadukan kalian!"
"Anda salah. Ini bukanlah pengadilan militer, melainkan pengadilan kehormatan.
Akan diambil keputusan, apakah pantas orang baik-baik tetap mengabdi di bawah
perintah Anda." Verdoja hendak mencaci-maki lagi, tetapi Pardero berusaha menenangkannya dengan
mengatakan, "Anda sebaiknya bersikap lebih tenang. Kita tidak dapat mencapai
sesuatu dengan jalan kekerasan."
Kapten menahan diri lalu berkata, "Kalau begitu, silahkan Anda mulai saja dengan
permainan gila ini. Saya sudah siap menghadapinya."
Suasana sudah tenang kembali dan ketua berkata,
"Senor Sternau dipersilakan mengemukakan
pendapatnya." Sternau bangkit berdiri. "Atas nama kedua wanita yang hadir di sini, saya
mengadukan orang-orang ini atas perbuatannya yang lalim serta mencemarkan nama
kedua wanita yang tidak berdaya ini. Selanjutnya saya mengadukan mereka atas
usahanya melakukan pembunuhan terhadap diri saya, Senor Mariano dan Senor Unger."
"Anda mempunyai bukti-bukti yang menguatkan tuduhan Anda itu?"
"Ya." Letnan bertanya kepada terdakwa, "Apakah pembelaan Anda terhadap tuduhan itu?"
"Begitu nyata kebohongannya sehingga saya tidak merasa perlu menjawabnya," kata
Verdoja. Pardero menyepakati ucapan tadi.
"Terima kasih," kata Letnan. "Bila Anda tidak mengajukan keberatan, maka hal itu
sangat mempermudah perkara ini. Tuduhan pertama, karena tidak disangkal berarti diakui
kebenarannya. Kini kita beralih pada tuduhan kedua: di sini perlu kita lebih
berpanjang lebar. Karena para terdakwa tidak mau menjawab, maka saya
mempersilakan Senor Sternau menyampaikan keterangannya."
Sternau memaparkan panjang lebar tuduhannya dan menjaga supaya pihak lawannya
tidak mengetahui bahwa ia mempunyai saksi-saksi. Ia memulai keterangannya dengan
melukiskan saat ketika Kepala Banteng memperingatkan mereka terhadap bahaya
penghadangan oleh musuh. Kemudian tentang perjalanan ke "Ngarai Harimau Kumbang"
ditemani oleh Verdoja dan Letnan.
Pada perjalanan itu mulai timbul curiganya. Ia menceritakan juga bahwa Kapten
suka bepergian di waktu malam untuk mempersiapkan usahanya yang jahat itu.
Selesai keterangan itu diucapkan, Verdoja ganti berbicara meskipun sebelumnya ia
mengatakan tidak akan mengutarakan sesuatu.
"Masya Allah! Saya ini seakan-akan terdampar dalam rumah gila saja," demikian ia
memulai pembelaannya. "Perkataan yang tadi diucapkan itu hanya persangkaan belaka, tidak berakar pada
bukti-bukti dan kini berdasarkan persangkaan demikian dua orang perwira
terhormat dari pasukan bertombak yang termashyur itu dihadapkan ke muka
pengadilan kehormatan. Itu merupakan suatu skandal besar. Namun, tunggu saja,
seusai sidang ini orang itu tidak akan dapat lepas dari ganjarannya."
"Anda tidak dapat menakut-nakuti saya," jawab Sternau, "Karena saya dapat
mengajukan bukti-bukti kuat.
Ketika kedua senores itu pergi, saya merasa curiga lalu saya pun bersama Letnan
pergi mengikuti jejak mereka.
Verdoja mempunyai tempat pertemuan rahasia dalam hutan. Di situ terdapat sebuah
batu. Di bawah batu itu disembunyikan sepucuk surat yang berisi perintah seperti
berikut: Jangan pergi jauh dari sini! Kau harus mempertanggungjawabkan
perbuatanmu. Saya kira Verdoja tidak dapat menyangkal ini."
Ketika Sternau menyinggung-nyinggung tentang batu itu lalu mengeluarkan sepucuk
surat dari dalam sakunya dan membacanya di muka sidang, maka para terdakwa
sangat terkejut dan menjadi pucat pasi. Mereka diam seribu bahasa ketika semua
mata memandang kepada mereka.
Sternau melanjutkan, "Saya menyatakan, telah memata-matai pertemuan gelap
mereka. Saya telah mendengar percakapan mereka dan mengambil tindakan
seperlunya. Kini saya mempunyai saksi-saksi yng dapat memberi kesaksian tentang
kebenaran keterangan saya."
Ia memberi isyarat tertentu dan semua tawanan dihadapkan ke muka sidang. Demi
Verdoja melihat tawanan itu ia sangat terkejut. Kini mereka dilepaskan dari
belenggunya. Meskipun mereka dengan malu-malu memberikan keterangannya, namun
keterangan itu begitu jelas dan masuk di akal sehingga tidak ada seorang pun
yang meragukan kebenarannya. Tulisan tangan di kedua surat itu dikenali sebagai
tangan Verdoja, sehingga ia tidak dapat menyangkalnya. Namun kedua terdakwa itu
bersikap membandel dan tidak mau mengakui
perbuatannya. "Para terdakwa sudah terbukti bersalah," kata ketua.
Sesuai dengan hukum kenegaraan maka Verdoja harus dijatuhi hukuman mati. Berapa
jauhnya Pardero terlibat dalam perkara ini, tidak perlu kita selidiki. Kita
hanya membentuk sebuah pengadilan kehormatan. Kita tidak
perlu menghukum mereka. Kita hanya ingin memastikan, apakah kita akan tetap
mengabdi bersama mereka atau tidak. Mengenai diri saya sendiri, saya sudah pasti
tidak mau dan keputusan ini berlaku mulai sekarang juga."
"Saya tidak dapat menerima pengunduran diri itu!" seru Verdoja.
"Anda tidak dapat melarang saya maupun kawan-kawan saya dan saya yakin bahwa
masih banyak orang akan mengikuti jejak saya."
"Baik. Kita tunggu saja, siapa yang berani mati seperti itu!" kata Verdoja
mengancam. Prajurit Randoso bangkit berdiri. "Saya pun tidak suka mengabdi di bawah
perintah jahanam itu," katanya, "dan saya harap kawan-kawanku juga sependapat
dengan saya." Verdoja berteriak-teriak untuk menakut-nakuti mereka, namun suara mereka yang
tidak setuju lebih keras lagi.
Mereka menyatakan kehendaknya untuk melepaskan diri dari Verdoja dan Pardero
lalu mengangkat Letnan menjadi Kapten.
Setelah ketenteraman pulih kembali, kata Letnan, "Saya akan memegang pimpinan
dalam pasukan ini dan akan membentuk staf perwira dan perwira bawahan yang baru.
Saya akan menyusun sebuah laporan untuk Juarez. Beliau akan memutuskan peraturan
darurat ini akan dikukuhkan atau tidak. Saya anggap pengadilan kehormatan kita
ini telah berhasil. Perencana pembunuhan beserta kawan-kawannya akan kita
serahkan kepada mereka yang menjadi tujuan perbuatan jahat itu. Mereka kita
tinggalkan di sini bersama harta benda mereka. Kita akan berangkat seperempat
jam kemudian ke Monclova."
Perintah ini diterima oleh pasukan dengan sorak-sorai gembira. Para tawanan
dikembalikan lagi ke tempat tahanannya semula dalam ruang bawah tanah lalu
Letnan bersiap-siap menulis laporan yang segera harus dikirimkan ke Juarez.
Kemudian ia berpamitan dengan segenap penghuni hacienda lalu berangkat sebagai
pimpinan pasukan. Setelah Verdoja bersama Pardero dikurung lagi, marahnya bukan buatan. Panas
hatinya makin menjadi-jadi karena penghinaan besar yang diterimanya. Hatinya
menjerit untuk mengadakan pembalasan. Akan tetapi ia menahan diri dan berusaha
supaya Pardero tidak mengetahuinya. Letnan sedang melihat ke luar jendela.
"Saya lihat dua orang vaquero bersenjata lengkap sedang menjaga di luar,"
katanya. "Tentu mereka takut bahwa kita akan melarikan diri. Bagaimana rencana
Anda sekarang, Senor Verdoja?"
"Apa maksud Anda?" tanya Kapten yang baru dipecat itu, pura-pura tenang.
"Bukankah kita ini harus menerima penghinaan besar"
Kini Anda seakan mau menelannya begitu saja. Saya mulai meragukan janji-janji
Anda yang telah Anda ucapkan di masa lampau. Bukankah Anda menjanjikan tentang
perlindungan dari kalangan atas, tentang rasa terima kasihnya seumur hidup...?"
"Sungguh tak terduga olehku bahwa semangat Anda begitu lemah, Pardero. Bukankah
sudah nyata bahwa pengalaman kita ini hanya bersifat sementara saja" Namun apa
yang harus kita lepaskan pada hari ini akan kita peroleh kembali berlipat ganda.
Maka janganlah menjadi putus asa semudah itu. Benarlah bahwa saya mendapat tugas
mulia dari kalangan atas untuk menyingkirkan beberapa orang dan saya yakin, kita
masih akan berhasil, meskipun karena itu kita harus mengalami perlakukan sepahit
ini. Penghargaan atas jasa kita justru akan naik setinggi-tingginya."
"Enak saja Anda bicara. Mana mungkin kita dapat membunuh orang bila kita sedang
meringkuk sebagai tawanan mereka" Justru merekalah yang leluasa membunuh kita
bila mereka kehendaki."
Sebenarnya Verdoja pun dihinggapi oleh rasa khawatir demikian, tetapi ia tidak
memperlihatkan perasaan itu. Ia berusaha sekuat tenaga untuk menenteramkan hati
Pardero dan akhirnya ia berhasil juga. Ia yakin bahwa dari pihak Juarez ia tidak
dapat mengharapkan apa-apa lagi dan dari pihak lawannya pun ia tetap akan
dicurigai. Ia berkehendak keluar saja dari dinas militer dan selanjutnya
mengabdikan hidupnya kepada dua hal saja, yaitu kesatu untuk memperoleh tanah
yang dijanjikan oleh Cortejo dan kedua untuk memiliki Emma. Dengan memiliki
gadis yang cantik itu ia merasa mendapat cukup imbalan bagi penghinaan yang
telah dideritanya. Namun dalam hal ini ia memerlukan seorang pembantu...pembantu
yang selalu setia dan bekerja dengan penuh pengabdian. Parderolah orangnya yang
memenuhi syarat demikian. Ia harus mengambil hatinya, maka ia berkata,
"Sebenarnya justru saya merasa beruntung dengan keadaan sekarang ini.
Dinas militer itu merupakan hambatan benar bagi tugas yang harus saya lakukan
itu. Kini dengan dibebaskannya saya dari ikatan itu saya lebih leluasa dalam
gerak-gerik saya. Dalam pada itu berapakah besar jumlah utang Anda pada saya,
Pardero?" "Eh... saya kira beberapa ribu uang piaster perak."
"Anda harus juga mengakui bahwa Anda tidak sanggup membayar kembali jumlah yang
sebesar itu. Namun bila Anda mau membantu saya, maka saya rela mengoyak semua
kwitansi utang Anda. Di samping itu Anda masih akan dapat dinaikkan pangkat
serta mendapat upah yang berlimpah-limpah! Lagi pula janganlah dilupakan masih
menanti pula hadiah yang menimbulkan selera: Karja, gadis Indian yang maha
cantik itu!" "Astaga! Jadilah! Segala yang Anda inginkan akan saya kerjakan!"
"Anda tidak usah terlalu takut. Percayalah, mereka tidak akan membunuh kita.
Kita akan segera dilepaskan dan...sesudah itu menanti giliran kita."
Verdoja tersenyum, senyum keiblisan. Sebelumnya ia sudah dapat merasakan nikmat
dari pembalasan dendamnya. Pardero menambahkan, "Arang yang tercoreng di muka
kita ini menuntut pembalasan yang setimpal.
Sudahkah ada rencana yang Anda pikirkan?"
"Mudah saja. Kita akan memperlakukan mereka seperti juga mereka memperlakukan
kita. Saya akan menawan mereka dan membawa mereka ke sebuah tempat istimewa.
Di situ mereka sungguh akan menikmati masa
tawanannya. Dekat hacienda milikku terdapat sebuah piramida, suatu bangunan dari
zaman purba yang pada masanya digunakan oleh bangsa Mexico sebagai kuil tempat
mereka melakukan ibadat. Piramida itu bagian dalamnya penuh dengan lorong-lorong
dan gua-gua. Hanya saya mengetahui jalannya di situ. Rahasia itu merupakan milik
turun-temurun dari nenek moyang. Dalam gua-gua itu para tawanan akan menemui
ajalnya secara mengerikan. Kedua senorita Emma dan Karja akan saya bawa juga ke
situ." "Mungkinkah Anda memperoleh ilham yang
secemerlang itu dengan bantuan iblis?" kata Pardero sambil tersenyum sinis.
"Namun saya tak peduli, karena iblis dalam hal ini menyenangkan juga."
"Benarlah, kita harus bekerja secerdik iblis. Itu bukan hanya karena keinginan
saya membalas dendam, tetapi juga berdasarkan perhitungan yang cermat. Seperti
Anda ketahui, saya telah dijanjikan upah yang berlimpah besarnya bila dapat
menyingkirkan ketiga orang itu.
Namun apakah sudah pasti benar bahwa mereka akan menepati janji" Meskipun hingga
kini masih belum ada tanda-tanda yang membuat saya perlu meragukan itikad baik
mereka, namun pada masa keruh seperti sekarang ini kita lebih baik bersikap
hati-hati. Seandainya, setelah saya menunaikan tugas saya dengan baik, ketiga
orang itu sudah terbunuh, tetapi atasan saya itu enggan memberi hadiah yang
sudah dijanjikan itu, maka saya masih ada sebuah senjata yang ampuh untuk
memaksakan kehendak saya, memperoleh juga hadiah itu. Mereka yang harus dibunuh
itu sebaiknya saya biarkan hidup. Bukankah sudah kupersiapkan baik-baik rencana
ini?" "Benarlah. Anda itu sangat cerdas, berhati-hati serta
licin dan cerdik. Sifat-sifat itu mempertebal kepercayaan saya kepada Anda.
Mulai saat ini saya akan memberikan tenaga saya sepenuhnya kepada Anda. Namun
apakah kita berdua ini sanggup membawa tiga orang laki-laki serta dua orang
wanita?" "Itu tidak perlu Anda risaukan. Dalam negeri kita yang tercinta ini dengan mudah
kita dapat memperoleh bantuan orang berapa banyaknya pun, asal mereka mendapat
bayaran." "Dan bagaimana bila mereka mengejar kita" Saya rasa, tentu hal itu akan
terjadi." "Itu tidak perlu kita takuti! Kita menempuh jalan melalui gurun Mapimi dan di
situ...tak ada orang yang dapat mengejar kita, percayalah!"
"Melalui gurun Mapimi!" jawab Pardero sambil menggigil. "Haruskah kita mencari
kematian kita sendiri di situ?"
"Keadaan di gurun itu tidak seburuk seperti yang dibayangkan orang. Saya kenal
baik daerah itu. Gurun itu bukan hanya terdiri atas pasir dan batu-batuan yang
tandus, melainkan terdapat juga bagian-bagian yang ditumbuhi pohon-pohonan dan
mengandung air." Sementara kedua penjahat itu memperbincangkan rencananya, maka di ruang makan
diadakan pula pembicaraan tentang mereka. Mariano mengusulkan untuk menembak
mati semuanya, tetapi yang lainnya tidak setuju. Sungguhpun para penjahat itu
telah berusaha membunuh, namun rencana jahat itu tidak sampai dilaksanakan. Lagi
pula mereka mengetahui dengan pasti bagaimana reaksi Juarez mengenai peristiwa
itu. Mereka menganggap lebih bijaksana bila mereka melepaskan tawanan itu tanpa
pertumpahan darah. Cedera pada tangan kanan mereka sudah menjadi hukuman yang cukup berat bagi
mereka. Akhirnya diambil keputusan untuk melepaskan para tawanan dua hari
kemudian tanpa mengembalikan senjatanya pada mereka.
Dengan demikian mereka tidak dapat mendahului utusan
yang dikirim hari itu. Para penjahat yang membantu mereka dibebaskan juga sesuai dengan janji Sternau.
Mereka mendapat kembali kuda, pisau serta tali laso mereka, namun senapan dan
pistol mereka ditahan. Mereka dilepaskan seorang demi seorang dengan ancaman
bahwa mereka akan langsung ditembak mati bila mereka masih berani kembali ke
hacienda. Dua hari kemudian Verdoja dan Pardero dikeluarkan dari tempat tahanannya dan
dibawa ke hadapan penghuni hacienda. Sternau mengumumkan keputusan mereka
berhubung dengan nasib para tawanan itu. Sudah itu tawanan itu pun pergilah.
Mereka pergi tanpa berkata-kata dan menempuh jalan menuju ke kota Saltillo di
bagian selatan propinsi Coahuila. Di situ mereka menukarkan pakaian seragamnya
dengan pakaian preman lalu menghilang.
Bersambung ke jilid III Dr. KARL MAY PIRAMIDA BANGSA ASTEK (JILID III) Diterbitkan pertama kali oleh
Pradnya Paramita (1986). Pembuatan ebook atas sepengetahuan penerbit.
DISALIN OLEH Svetlana Dayani, Tiur Ridawaty, & Windy Triana UNTUK
PAGUYUBAN KARL MAY INDONESIA
http://www.indokarlmay.com
The site for fellow pacifists


Piramida Bangsa Astek Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

BAB I DICULIK Masa penuh ketegangan di hacienda del Erina itu berganti dengan masa tenteram
damai. Sternau belum mau berangkat sebelum Anton Unger sembuh dengan sempurna.
Setiap perubahan yang tidak dapat diperhitungkan lebih dahulu dapat membahayakan
kesehatannya, bahkan hidupnya.
Empat belas hari kemudian keadaan si sakit mencapai kemajuan yang sangat pesat.
Ia boleh meninggalkan tempat tidurnya. Delapan hari kemudian ia boleh berjalan-
jalan dalam taman. Minggu berikutnya ia sudah boleh berjalan-jalan lebih jauh
lagi. Secara rohaniah ia sudah benar-benar sembuh. Sejak ingatannya pulih kembali, ia
hanya hidup untuk memenuhi tuntutan: akan membalas dendam terhadap Alfonso de
Rodriganda. Mengingat tujuan itu ia tidak membiarkan kawan-kawannya berangkat.
Ia ingin bergabung dengan mereka dalam perjalanan mereka untuk membalas dendam.
Itu baru dapat dilaksanakan bila ia sudah dapat mengendarai kuda. Maka mereka
terpaksa menunggu. Hingga kini kepalanya masih berasa sakit disebabkan oleh
gerakan-gerakan kudanya, tetapi dengan banyak latihan ia dapat membiasakan diri.
Beberapa pekan berlalu. Selama waktu itu Mariano mengadakan hubungan surat-
menyurat dengan tunangannya. Dua kali ia telah menulis surat dan menerima jawabannya pula.
Tunangannya menasihatinya untuk tetap berupaya di bawah pimpinan Sternau.
Selanjutnya ia menyatakan rasa cinta dan setianya.
Sternau telah meninggalkan pesan untuk istrinya di Vera Cruz sebelum ia bertolak
ke Mexico. Pesannya itu supaya istrinya mengalamatkan suratnya kepada kawannya
Amy Dryden di Mexico. Dengan demikian surat itu selalu akan sampai ke tangannya.
Hari ini Mariano menerima surat lagi dari tunangannya. Surat itu tebal; ketika
dibuka, ternyata terdapat juga surat untuk Sternau.
Surat itu dikirim dari Jerman, dari Rheinswalden. Di antara lembar-lembar kertas
yang penuh berisi tulisan itu terdapat sebuah untuk Unger. Satu halaman berisi
surat dari istrinya dan yang satunya lagi dari anaknya Kurt.
Roseta mengkhabarkan bahwa mereka di rumah tidak kekurangan suatupun lalu
menyebutkan beberapa hal lain lagi. Sternau membaca surat itu, melipatnya serta
memasukkannya ke dalam sakunya lalu pergi untuk menangkap kuda yang paling liar.
Ia melompat ke atas punggung kuda, melarikannya kencang-kencang menuju gurun
rumput. Ia harus menyendiri seketika.
Anton Unger hingga kini menutupi luka pada kepalanya dengan kulit yang telah
dimasak sampai lunak. Akhirnya kulit itu harus diganti dengan selembar pelat
dari emas. Setiap hari ia mengadakan perjalanan naik kuda bersama Sternau. Tak lama
kemudian tubuhnya makin bertambah kuat. Ia sudah dapat menempuh jarak yang lebih
jauh lagi asal ada kuda yang agak jinak yang dapat dikendarainya.
Sternau menetapkan hari berangkat mereka; mereka masih akan tinggal sepekan lagi
di hacienda del Erina. Pekan-pekan yang baru lalu itu merupakan masa yang sangat bahagia bagi Emma
dengan tunangannya, maka keduanya itu selalu diliputi oleh rasa terima kasih
kepada Sternau, pelindung mereka.
Arbellez, yang diangkat oleh Juarez sebagai pengusaha hacienda Vandaqua, kerap
kali mengunjunginya. Pada suatu hari ia harus pergi ke situ pula. Karena ia
masih mau mengecap bahagia bersama bakal menantunya itu, maka ia mengajaknya
pergi bersamanya. Hari sudah
menjelang senja, maka mereka berniat baru esok hari akan kembali lagi.
Baru saja mereka meninggalkan hacienda, maka Sternau melihat dari jendela
seorang penunggang kuda di kejauhan sedang menuju ke hacienda. Setelah orang itu
mendekat, tampak oleh Sternau bahwa ia adalah seorang perwira dari pasukan
bertombak. Sternau bergegas pergi ke ruang makan untuk memberitahukan kedatangan
itu kepada penghuni hacienda.
Sesaat kemudian penunggang kuda itu memasuki pintu gerbang. Ia diterima Emma
selaku wakil tuan rumah. "Apakah ini hacienda del Erina?" tanya orang itu sesudah memberi salam.
"Benarlah," jawab Emma.
"Apakah nama pemiliknya Pedro Arbellez?"
"Benar. Saya putrinya."
"Bolehkah saya memperkenalkan diri, Senorita. Saya seorang pesuruh Juarez, saya
sedang menuju Monclova. Kata Juarez, Senor Arbellez tentu akan memberi saya tumpangan, bila saya tidak
dapat mencapai tujuan saya sebelum malam."
"Tentu saja, Senor. Sungguhpun ayah saya tidak hadir, baru seok hari ia akan
kembali, namun Anda kami terima dengan tangan terbuka. Berikan saja kuda Anda
kepada seorang vaquero lalu silakan ikut saya!"
Sikap perwira itu ketika mengikuti Emma, seperti seorang ningrat. Gadis itu
memperkenalkan orang itu kepada penghuni rumah lalu mengajaknya turut makan
berama. Ia tidak turut bicara dengan yang lainnya dan ketika Sternau menanyakan
kepadanya, di mana Juarez kini berada, orang itu menjawab dengan mengelak,
"Alasan diplomatik maupun militer melarang saya pada saat ini menjawab
pertanyaan semacam itu, Senor. Juarez tidak suka tempat tinggalnya diketahui
orang." Terheran-heran Sternau memandang kepadanya.
Setelah itu ia menjauhi orang tak dikenal itu.
Sesaat kemudian perwira itu mengatakan hendak pergi
tidur saja, karena esok pagi ia harus berangkat lagi.
Wanita tua Maria Hermoyez mengantarkannya ke sebuah kamar. Namun ia tidak
menanggalkan pakaiannya lalu tidur melainkan langsung berbaring di atas tikar
gantung dan mengisap rokok, habis yang sebatang disambung dengan sebatang lagi,
dan seterusnya. Sambil merokok ia memasang telinga, berusaha menangkap segala
macam suara yang didengarnya.
Setelah orang tak dikenal itu meninggalkan ruang makan, percakapan dilanjutkan
lagi. Kehadiran orang itu tidak disukai orang. Pandangan matanya menusuk
menyakitkan, suaranya pun terdengar tajam dan kurang sedap. Sternau lah yang
paling banyak memikirkan perilaku tamu itu. Ada sesuatu yang kurang berkenan
pada hatinya, tetapi apa tepatnya yang kurang itu, tidak dapat dikatakan
Sternau. Baju seragam orang itu tidak sesuai benar dengan tubuhnya, seakan-akan
barang pinjaman saja. Hanya itulah kelainan yang tampak padanya.
Setelah orang-orang berpisah untuk pergi tidur masingmasing, maka Sternau masih
tetap jaga dalam kamarnya, berjalan hilir mudik sambil berpikir. Ada sesuatu
yang mengganggunya dan gangguan ini ada hubungannya dengan kedatangan tamu
perwira itu. Benarkah ia seorang perwira" Verdoja dan Pardero telah pergi dengan hati penuh
dendam dan hacienda del Erina sudah tidak memiliki pekerja vaquero lagi semenjak
Arbellez menjadi pemelihara hacienda Vandaqua. Sternau memutuskan hendak
bersikap waspada. Ia menyelinap ke lorong serta berdiri di muka pintu kamar
orang tak dikenal itu untuk mendengarkan, apakah ada sesuatu yang mencurigakan.
Tiada terdengar bunyi-bunyi yang mencurigakan; tentu orang itu sudah tidur.
Kemudian Sternau bergegas menyelinap menuruni tangga menuju ke taman untuk
menyelidiki keadaan. Dari arah Saltillo menjelang matahari terbenam datang segerombolan penunggang
kuda bersenjata. Jumlahnya
dua belas orang dan mereka dipimpin oleh... Verdoja dan Pardero. Orang-orang itu
melarikan kudanya ke hacienda del Erina. Ketika hari menjadi gelap mereka
berhenti di hutan di tempat batu yang digunakan Verdoja sebagai kantor pos itu.
Mereka menambatkan kudanya pada batang pohon, tersembunyi di tengah daun-daunan
lebat. Dua orang tinggal di situ bertugas sebagai penjaga.
Delapan orang lainnya mengikuti pimpinannya berjalan kaki ke hacienda.
Verdoja berbisik-bisik kepada Pardero.
"Untunglah pakaian seragam kita masih ada di kota,"
kata Kapten. "Maka Enrico dapat memasuki hacienda dengan menyamar untuk
bertindak sebagai mata-mata kita."
"Mudah-mudahan hal itu tidak diketahui oleh mereka!"
jawab Pardero. "Itu tidak perlu kita cemaskan. Enrico terlalu cerdik, tak pernah berlaku
ceroboh. Saya yakin ia dapat mengelabui mata mereka."
Malam itu gelap bulan. Orang-orang menyelinap mengelilingi hacienda. Tengah
malam mereka tiba di bagian belakang rumah.
"Di atas adalah tempat para tamu. Ia tentunya ada di situ," bisik Pardero. "Ia
akan segera memberi tanda.
Perlukah kita memanjat pagar?"
"Baik. Lalu kita bersembunyi di tempat yang gelap."
Orang lainnya tinggal di luar dan harus menanti sambil menunduk. Kedua pemimpin
menyelinap ke tempat yang terlindung. Baru saja mereka tiba di tempatnya itu,
mereka mendengar pasir di jalan dalam taman berderit. Sternau melewati jalan
itu. "Menunduklah... dalam-dalam! Ada orang datang!" bisik Verdoja.
Sternau berjalan perlahan-lahan tanpa terdengar orang.
Di sudut rumah ia berhenti, meneliti sejenak lalu berjalan lagi.
"Dialah orangnya," bisik Pardero. "Apa sekarang?"
"Serang saja! Akan kupukul dia dengan hulu senapan.
Kita beruntung, kita dapat menyerangnya dari belakang, kalau di dalam rumah
harus dari depan." "Bagaimana bila orang merasa kehilangan akan dia?"
"Tak mungkin. Setiap orang sedang tidur. Ia pergi atas kemauan sendiri, untuk
menyelidik. Berhati-hatilah!"
Verdoja memegang senapannya yang berlaras dua itu lalu menyelinap mengikuti
Sternau : Jalan pasir itu banyak ditumbuhi rumput sehingga langkah kakinya tidak
berbunyi. Setiba dekat Sternau ia menunduk sambil mereka-reka jarak dalam cahaya
bintang yang agak redup. Kemudian melompat ke depan.
Pendengaran Sternau cukup tajam ... Bunyi lemah di belakangnya membuat ia menoleh
ke belakang. Namun terlambat! Pada saat itu juga hulu senapan yang berat itu
menimpa kepalanya sehingga ia rebah tanpa mengeluarkan suara.
"Pardero!" panggil bekas Kapten dengan suara tertahan.
"Kemarilah!" "Anda sudah menguasainya?"
"Sudah. Saya akan membelenggunya. Suruh
melemparkan tali melalui pagar." Tak lama kemudian datang Pardero membawa tali.
"Inilah," katanya.
"Syukurlah usaha kita sudah membawa hasil. Benar-benar seperti raksasa tubuhnya
itu. Menakutkan juga. Lawan kita yang lain dapat kita anggap sepele saja. Wah!
Enrico memberi tanda!"
Perwira gadungan itu membuat tanda dengan membuat tiga kali lingkaran dengan api
di hadapan jendelanya. Kemudian api itu dipadamkan lagi.
"Di mana harus kita taruh Sternau?" tanya Pardero.
"Taruh saja di sudut tempat kita berdiri tadi. Di situ ia akan aman. Ia sudah
diikat demikian kencangnya.
Mungkin juga ia sudah mati kena pukul senapan saya.
Pendek kata ia tidak dapat melarikan diri."
Setelah menyembunyikan tubuh Sternau, Verdoja melempar sedikit pasir ke jendela,
tempat cahaya tadi nampak. "Enrico!" "Ya," terdengar jawabnya perlahan dari atas. "Semua sudah beres!"
"Ulurkan tali ke bawah!"
Enrico melemparkan sepotong tali ke bawah. Pardero mengambil sebuah tangga tali
dari kawan-kawannya di luar pagar. Ia mengikatkan tangga tali itu kepada tali
yang dilemparkan ke bawah. Kemudian tali ditarik kembali ke atas dan tangga tali
diikatkan pada jendela. "Cukup kuat!" bisik Enrico dari atas.
Verdoja memanjat tangga itu. Setibanya di jendela ia berkata, "Nasib kita mujur.
Sternau sudah kukuasai. Ia telah mengitari rumah untuk menyelidik. Saya
memukulnya sampai pingsan. Ia sudah dibelenggu."
"Bagus sekali. Hanya raksasa itulah yang dapat menakutkan kita. Tentunya ia
keluar melalui pintu depan.
Jadi tangga tali ini sebenarnya tidak kita perlukan."
"Perlu juga. Dengan memanjat tangga tali ini kita langsung ada di atas. Bila
kita harus menaiki tangga di rumah dan berjalan di lorong, mudahlah kehadiran
kita akan diketahui orang. Di pintu masuk utama akan saya tempatkan dua orang
jaga, supaya jangan ada orang yang terlepas."
Verdoja menuruni tangga lagi dan menyuruh sekutunya datang dan satu per satu
memanjati tangga untuk sampai di kamar Enrico. Dua orang ia bawa perlahan-lahan
membelok di sudut rumah ke pintu depan yang ternyata berada dalam keadaan
sedikit terbuka. Kedua orang itu diperintahkan mengambil posisi di balik pintu.
Mereka harus menjaga supaya tidak seorangpun dapat meninggalkan rumah.
Verdoja kembali lagi ke tangga tali. Ia memanjatnya dan menutup jendela. Hingga
kini semuanya berjalan lancar.
Mereka sudah dapat memasuki hacienda tanpa dilihat oleh kaum vaquero yang
bermalam di daerah sekitarnya. Lawan yang paling berbahaya sudah dikuasai
mereka. Kini tinggal menguasai yang lainnya dengan cara yang tanpa menggunakan kekerasan.
"Arbellez tidak ada di rumah," bisik Enrico.
"Ke mana perginya?" tanya Verdoja.
"Ke Vandaqua. Menantunya ikut dengannya."
"Persetan!" Apakah ia mempunyai seorang menantu?"
seru bekas Kapten terheran-heran.
"Maksud saya, tunangan putrinya."
"Siapakah orang itu?"
"Gadis itu memanggilnya Senor Antonio. Ia baru saja sembuh dari sakit yang
parah, kata orang." "O, orang itu. Dan ia sekarang ada di Vandaqua?"
"Benar." "Dan Kapten Unger?"
"Ada." "Dan Senorita Emma dan gadis Indian itu?"
"Saya telah melihat keduanya."
"Bagus. Saya tahu kamar tidur mereka. Apakah kau membawa lampu senter?"
"Ada. Perlu saya nyalakan?"
"Ya, nyalakan saja lalu ikut saya." Perlahan-lahan mereka membuka pintu kamar,
melalui lorong yang diterangi Enrico dengan lampu senternya. Kemudian ia
memasukkan lampu itu kembali ke dalam sakunya.
Verdoja mula-mula membawa orang-orangnya ke kamar Mariano. Ia mengetuk pintu
beberapa kali hingga dari dalam terdengar orang bertanya, "Siapa di situ?"
"Saya, Sternau," bisik Verdoja, cukup keras untuk dapat didengar dari dalam.
"O, kamu. Ada apa?"
"Cepat buka pintu! Aku ada khabar penting."
"Baik, aku datang."
Mereka mendengar tempat tidur berderit.
"Jangan nyalakan lampu," bisik Verdoja dengan cerdiknya.
Mariano cepat-cepat berpakaian lalu membuka pintu dan berkata perlahan-lahan.
"Masuklah." Ia sungguh ingin
tahu apakah gerangan yang hendak dikatakan Sternau itu.
Bahwa yang masuk itu lebih dari satu orang, tidak disadarinya.
Pada saat itu juga mereka memegangnya. Dua tangan memegang leher serta
mencekiknya. Mariano tidak dapat bernapas maupun mengeluarkan suara. Ia berusaha
mengadakan perlawanan tetapi tangan-tangan kuat menghalanginya. Kaki tangannya
diikat dan mulutnya disumbat dengan sepotong kain. Cengkaman di lehernya itu
mengendur ... ia sudah menjadi orang tawanan.
"Dia sudah kita bereskan. Kini kita ke Unger!" kata Verdoja.
Terhadap Unger mereka menggunakan siasat sama dengan hasil yang sama pula.
Sternau, Mariano, dan Unger telah dikuasai tanpa ada orang dalam rumah yang
terbangun. "Kini ke Senorita Emma!" perintah Verdoja
Mereka mengetuk perlahan pintu kamarnya.
"Siapa?" Tanya gadis itu.
Dengan suara bisik yang dibuat sehalus-halusnya jawab Verdoja, "Saya Karja!"
"Ada apa?" "Saya harus bicara dengan Anda. Bukalah pintu, Emma!"
"Bicara tentang apa?"
"Sst! Jangan keras-keras! Tentang tamu perwira kita.
Saya tidak tahu, apakah saya harus membangunkan Senor Sternau atau tidak."
Emma terperdaya. "O, jadi ada bahaya" Tunggu sebentar. Akan kubuka pintu."
Mereka mendengar gadis itu bangkit, berjalan ke arah pintu lalu membukanya.


Piramida Bangsa Astek Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Bisik gadis itu, "Masuklah. Ada apa sebenarnya?"
Verdoja menyelinap masuk lalu mencekau leher gadis itu dengan tangan kirinya.
Gadis itu rebah ke atas lantai tanpa memberi perlawanan sedikit pun. Begitu
terkejutnya sehingga sebelum apa-apa ia sudah jatuh pingsan.
Kemudian mereka pergi ke kamar gadis Indian. Siasat yang sama membawa hasil yang
sama pula. Hanya gadis Indian itu tidak jatuh pingsan. Ia, putri seorang kepala
suku bangsa Indian, tidaklah serapuh gadis Mexico yang kemanja-manjaan itu.
Gadis Indian itu diikat dan mulutnya disumbat.
Semua orang yang menjadi sasaran perbuatan jahat kaum perampok itu satu per satu
sudah jatuh ke tangan mereka. Tingkat pertama rumah seluruhnya sudah jatuh ke
tangan mereka. Verdoja dan Pardero mengetahui bahwa di tingkat bawah terdapat
kamar-kamar yang dihuni oleh kaum vaquero. Kaum penjahat tidak mau kehilangan
mangsanya, maka mereka melarang orang-orangnya merampok. Mariano dan Unger
masing-masing akan dibantu oleh tiga orang dalam mengganti pakaian. Verdoja
pergi ke Emma dan Pardero ke gadis Indian.
Ketika bekas Kapten memasuki kamar Emma, dalam kamar itu masih gelap. Ia
menyalakan lilin. Emma mulai sadar. Verdoja memerintah gadis yang gemetar itu
untuk berganti pakaian. Ia sendiri mengambil beberapa barang lagi dari lemari,
barang yang diperlukan sebagai bekal untuk perjalanan yang jauh.
Pardero tidak menemukan Karja yang tidak berdaya di atas lantai. Gadis itu
berguling-guling terus-menerus untuk dapat melepaskan diri dari belenggunya.
Pardero menutup pintu di belakangnya lalu menyalakan sebatang lilin. Mereka
harus mengejar waktu. Pardero mengendurkan sedikit tali pengikat tubuh gadis
itu, supaya ia dapat bergerak agak bebas untuk berganti pakaian. Mata gadis itu
yang mula-mula berapi-api, kini ditutupnya. Nampaknya ia acuh tak acuh terhadap
keadaannya. Pintu dibuka dan Verdoja muncul di sudut. "Kau sudah siap?" tanyanya.
"Sudah." "Bawa beberapa helai selimut dan selendang lagi. Kita akan berangkat!"
Kedua tawanan pria pun sudah berpakaian. Mereka diikat demikian kencangnya
sehingga mereka tidak dapat bergerak. Mereka harus digotong ke luar. Verdoja dan
Pardero membawa gadis-gadis itu ke bawah. Semuanya itu dikerjakan dengan hati-
hati sekali sehingga sedikit pun tidak terdengar oleh orang lain. Pintu pagar
dibuka dan Sternau dikeluarkan dari taman. Suasana terlalu gelap sehingga tidak
dapat diketahui apakah Sternau membuka matanya atau tidak. Ia tidak bergerak
sedikitpun. Semua tawanan digendong oleh para perampok ke daerah lain. Seorang tinggal untuk
menutup pintu pagar yang besar itu. Kemudian ia melompati pagar dan bergabung
dengan kawan-kawannya. Satu jam sudah lewat semenjak mereka memasuki hacienda.
Setengah jam kemudian mereka tiba di hutan tempat mereka menambatkan kudanya.
Untuk kelima tawanan sudah disediakan lima ekor kuda. Bahkan untuk gadis-gadis
itu disediakan pelana khusus untuk wanita. Mereka diikat pada kudanya. Kini
ternyata bahwa Sternau sudah sadar kembali.
Ketiga belas orang itu memecah menjadi tiga rombongan. Tiap tiga orang diserahi
tugas seorang tawanan, para pemimpin masing-masing dikawal oleh seorang. Mereka
pergi berpencar-pencar ke segala penjuru.
Suatu muslihat untuk mengelabui mata lawannya. Baru setelah berjalan satu hari
lamanya, rombongan-rombongan itu bergabung. Setelah dua hari berjalan mereka
bergabung dengan Verdoja. Tempat-tempat bergabung itu sudah ditetapkan lebih
dahulu dan semua perampok sudah mengadakan pengamatan tentang jalan yang hendak
ditempuh mereka itu. Semuanya itu demi berhasilnya usaha mereka.
Namun dua macam kesulitan dapat timbul dengan siasat ini : ada kemungkinan,
Verdoja akan dikhianati oleh orang-orangnya sendiri. Lagi pula bila terjadi
serangan, maka kelompok kecil terdiri atas tiga orang lebih mudah dikalahkan
daripada tiga belas orang. Perihal ini baru
dipikirkannya esok paginya bersama pengikutnya ketika mereka sedang
beristirahat. Emma hadir bersamanya, tawanan lainnya dipercayakan kepada Pardero
dengan orang-orangnya. Perjalanan pada hari pertama melalui bukit-bukit yang merupakan ujung sebelah
barat dari pegunungan yang terbentang dari utara ke selatan di Coahuila.
Keesokan paginya ia menuruni bukit-bukit dan menjelang tengah hari ia tiba di
gurun Mapimi, daerah yang paling tandus dan mengerikan di seluruh Mexico. Di
tempat itu keempat kelompok itu direncanakan akan bergabung. Dengan harap-harap
cemas Verdoja menanti. Rencananya itu akan berhasilkah" Sejam setelah
kedatangannya ia melihat dari arah selatan beberapa orang penunggang kuda
datang. Ketika mereka mendekat, ia dapat menghitung delapan orang. Benarlah mereka
orang-orangnya. Ia bernapas dengan lega. Ternyata mereka itu kelompok yang
diserahi tawanan Sternau dan Mariano. Dengan senang hati ia menyambut mereka.
Kedua tawanan itu telah dibelenggu secara tidak mengenal peri kemanusiaan, namun
mulutnya tidak disumbat sehingga mereka dapat bernapas.
Menjelang malam datang juga kelompok-kelompok yang membawa Karja dan Unger.
Tiada satu kelompok pun yang telah dikejar, maka Verdoja menganggap perjalanan
mereka berikutnya sudah aman. Orang boleh memasang kemah serta menyalakan api
unggun. Mereka makan, kemudian para tawanan mendapat giliran makan. Mereka yang
tidak dapat menggunakan tangannya, disuapi. Pos-pos jaga dibentuk, kemudian
orang-orang tidur. Verdoja dengan sengaja mendapat tugas jaga yang pertama
karena ingin menyiksa batin para tawanan yang hingga kini belum berkesempatan
untuk bicara. Para tawanan itu berbaring di tengah lingkaran yang dibentuk oleh
sebelas orang Mexico. Unger adalah korbannya yang pertama. "Perjalanan naik kuda tadi enak?" tanyanya.
"Kau mendapat salam dari orang yang merasa sangat tertarik kepadamu."
"Dari siapa?" tanya Unger.
"Dari seorang bernama Pablo Cortejo."
"Dari Mexico?" "Benar. Nampaknya ia kawan baikmu."
Rahasia ini dengan sengaja dilepaskan Verdoja sebagai umpan. Ia ingin
mengetahui, mengapa Cortejo begitu berharap akan kematiannya. Pengetahuan
demikian gunanya sebagai senjata untuk menjinakkan Cortejo. Maka Verdoja
mengarahkan percakapan kepadanya dengan berharap, mudah-mudahan ia mendapat
penerangan dari jawaban-jawaban tawanan itu yang terlompat dari mulutnya.
"Persetan dengan orang itu!" kata Unger.
"Tidak, bukan dia ... kalian yang akan dijemput setan."
"Tapi tidak tanpa kamu!"
"Diam, kau celaka! Atau ingin kau rasakan
kekuasaanku terhadapmu?"
Ia menendang Unger lalu pergi ke Mariano. "Kini kau rasakan sendiri betapa
bodohnya mau menjadi pendamping seorang bandit," katanya. "Bukankah demikian
bahwa barangsiapa membantu seorang penjahat, ia pun jahat pula" Kenalkah kau
akan Cortejo?" Mariano tidak menjawab. "Hei, kau diam saja. Mau tidak, menjawab
pertanyaanku?" Orang Mexico itu tetap diam.
"Baik, kau membandel. Jadi ingin mendapat pelajaran dari kami. Janganlah
khawatir, pelajaran itu masih akan kau terima."
Bekas kapten itu menendangnya pula lalu pergi ke Sternau. Ia diikat demikian
kencangnya sehingga tidak dapat menggerakkan kaki tangannya, tetapi ia masih
dapat menarik lututnya ke atas. "Kini tiba giliranmu, bangsat!"
kata Verdoja. "Kau telah mencederakan tangan kami, karena itu patut kau mendapat
ganjarannya yang setimpal.
Tentunya engkau tak akan keberatan bila kepalamu
dipukul." Sternau tidaklah menjawab.
"Apa, kau pun berani bertingkah demikian, tidak mau menjawab?" Tunggu sebentar,
sahabat... Anda harus mendapat pelajaran."
Verdoja bersiap-siap hendak menendang tawanannya kuat-kuat, namun secepat kilat
Sternau menarik kakinya ke atas lalu menerjang orang Mexico itu, tepat mengenai
kakinya ke atas lalu menerjang orang Mexico itu, tepat mengenai perutnya
sehingga orang itu jatuh tersungkur lalu kepalanya jatuh ke dalam api unggun
yang sedang menyala dengan semarak itu. Ia berhasil bangkit berdiri lagi, namun
ia meraung-raung secara mengerikan. Hal itu menandakan bahwa ia telah terluka,
entah di bagian mananya. "Mataku, aduh mataku!" raungnya kesakitan.
Orang-orang yang sedang tidur terbangun oleh gaduh itu lalu menghampiri Verdoja
untuk memeriksa matanya. Ternyata matanya terkena percikan api; sekeping kayu yang membara masuk ke dalam
mata dan tinggal di dalamnya.
"Mata itu tidak akan tertolong lagi karena kita tidak dapat meminta pertolongan
seorang dokter," kata salah seorang Mexico.
Verdoja yang menanggung sakit yang maha dahsyat tetap meraung-raung kesakitan.
Ia berlari berputar-putar sambil meraung, minta dikeluarkan keping kayu itu dari
dalam matanya. Tetapi tiada seorang pun yang berani melakukan pekerjaan itu.
"Hanya seorang di sini yang dapat memberi pertolongan.
Ialah Sternau. Ia seorang dokter," kata Pardero.
"Apa" Binatang itu" Bukankah dia penyebab
musibahku ini" Ia harus dipukuli sampai mati!" kata Verdoja mengancam.
"Namun ia dapat mengeluarkan keping itu. Ia seorang dokter!" bujuk Pardero.
"Baik! ... ia harus melakukannya ... namun kemudian
kuikat dia di belakang seekor kuda. Itulah pembalasanku yang setimpal untuk
perbuatannya." Pardero menghampiri Sternau lalu bertanya, "Apakah Anda juga seorang dokter
mata?" Karena pertanyaan itu cukup memenuhi tata kesopanan maka Sternau menjawab dengan
pendek, "Benarlah."
Sekiranya ia tidak melihat harapan untuk mendapat kebebasannya maka Sternau
pasti tidak akan menjawab.
"Dapatkah Anda mengeluarkan kepingan kayu itu?"
"Entahlah. Mata itu harus saya periksa lebih dahulu."
"Lakukanlah. Saya akan mengendurkan sedikit belenggu Anda supaya Anda dapat
bangkit." Pardero berbuat seperti yang dikatakannya lalu mendorong Sternau ke arah api
unggun, tempat Verdoja berada.
"Kini periksalah!" perintah Pardero.
Verdoja mengangkat tangannya dari mata yang terluka itu, namun matanya masih
dikejapkannya; dengan matanya yang sebelah lagi ia menatap Sternau dengan rasa
benci yang sangat lalu ia berkata, "Janganlah coba mengadakan ulah. Bila tidak
langsung kau sembuhkan mataku, akan kau rasakan akibatnya. Akan kuperintahkan
menyiksa kamu dengan kepingan kayu yang membara.
Periksalah mataku!" Ia membuka matanya selama sedetik sedang Pardero menyuluhi dengan lampu senter.
Percakapan itu dilakukan dalam bahasa Spanyol. Sternau mengetahui bahwa di
antara yang hadir hanyalah Unger yang mengerti bahasa Jerman, maka sambil
memeriksa mata ia berkata dalam bahasa Jerman, "Janganlah putus asa. Aku akan
membebaskan kalian!"
"Apa katamu tadi?" hardik Verdoja.
"Sebagai seorang dokter saya biasa menyebut penyakit itu dalam nama latinnya
maka itulah yang saya katakan tadi," jawab Sternau dengan tangkasnya.
"Dapatkah kepingan kayu itu dicabut?"
"Dapat." "Maka lakukanlah, dan cepat sedikit!"
"Tangan saya diikat."
"Lepaskan!" perintah Verdoja.
"Ia akan lari!" kata Enrico.
"Kamu pengecut benar!" hardik Pardero. "Kita berjumlah tiga belas orang. Mana
mungkin ia lari" Mari kita membuat pagar betis mengelilingi dia."
Perintah itu diturut. Ketika dokter itu berkata-kata dalam bahasa Jerman, maka
Unger mendeham perlahan untuk memberi isyarat bahwa ia mengerti. Kini Sternau
dapat bertindak. "Saya tidak sanggup mengeluarkan kepingan kayu itu dengan jari tanganku, tolong
berikan saya sebilah pisau,"
katanya. Ia mendapat pisau itu. Kini ia mempunyai senjata di tangan serta terlepas dari
ikatannya. Kini ia masih harus memperoleh senapan dengan pelurunya. Kuda mereka
sedang makan rumput di sekitar perkampungan. Senapan mereka tersusun dalam
bentuk piramida-piramida kecil dan Verdoja memakai ikat pinggang lebar penuh
berisi peluru. Dalam sekejap mata Sternau sudah mengatur siasatnya. Ia memeriksa
pisaunya. Pisau itu cukup untuk keperluannya : runcing serta tajam. Ia
menghampiri Verdoja dan meletakkan tangannya ke atas kepalanya.
Semua mata orang tertuju kepada kedua orang itu.
"Pejamkan mata Anda yang baik lalu bukalah mata yang terluka itu!" perintah
Sternau. Maksudnya supaya Verdoja tidak melihat apa yang terjadi. Kapten berbuat seperti
apa yang diminta kepadanya lalu Sternau mendekatkan pisaunya kepada muka orang
itu. Secepat kilat tangannya meluncur ke bawah, memotong ikat pinggang Verdoja
hingga putus. Kemudian ia menggigit pisaunya di antara giginya karena ia memerlukan tangannya.
Pada saat itu juga ia mengangkat tubuh Verdoja dengan tenaga seperti Hercules
dan melemparkan orang itu ke tengah-tengah kumpulan orang Mexico itu. Tiga atau
empat orang berjatuhan tertimpa oleh tubuh Verdoja itu sehingga membuat lubang pada pagar betis itu.
Dengan sekali lompat Sternau keluar dari lingkaran orang. Sesaat kemudian ia
meraih sepucuk senapan, melompat ke atas punggung seekor kuda dan melarikannya
ke arah barat, menghilang dalam kegelapan.
Semua itu terjadi dalam waktu yang singkat sekali. Suara orang meraung-raung di
belakang Sternau. Ada yang memegang senapan, ada yang memegang pistol. Tembakan
terdengar berletupan namun satu pun tiada mengena.
"Cepat! Kita harus mengejarnya. Ia harus kita tangkap!"
raung Verdoja. Beberapa orang menaiki kuda lalu pergi mengadakan pengejaran.
Sternau telah memperhitungkan hal itu. Sambil melarikan kudanya ia memeriksa
senapan di tangannya. Senapan itu berlaras dua serta berisi peluru, cukup
banyaknya untuk menembaki para pengejarnya.
Kuda mereka tidak berjalan beriring melainkan membentuk satu baris lebar. Mereka
yakin Sternau tetap berjalan lurus di hadapan mereka. Bahwa ia akan berhenti
menghadang mereka, tidak terpikir oleh mereka.
Hari sudah mulai gelap. Orang-orang sudah tidak kelihatan hanya suaranya masih
terdengar. Kuda Sternau berdiam diri. Sternau melompat turun dan menarik kudanya
supaya merebahkan diri ke atas tanah. Orang-orang Mexico itu datang, melaluinya
di sebelah kanan dan kirinya. Dalam sekejap mata Sternau bangkit, menarik
kudanya supaya berdiri tegak kembali, melompat ke atas punggung kuda lalu
melarikan kudanya mengejar lawannya. Beberapa saat kemudian ia berjalan di
antara dua orang lawannya tanpa diketahui mereka. Mereka mengira Sternau itu
salah seorang kawannya sendiri Sternau memegang senapannya lalu berjalan
mendekati orang di sebelah kanannya. Orang itu berteriak kepadanya,
"Jangan terlalu rapat denganku, menepilah sedikit!"
Tetapi hulu senapan Sternau sudah mengenai kepala orang itu sehingga ia terjatuh
ke tanah. Pada saat itu juga dokter yang perkasa itu memegang kekang kuda orang
Mexico itu dan dengan demikian menghentikannya. Dalam
beberapa menit ia sudah melucuti senjata orang itu lalu menghalau kudanya ke
dalam kegelapan. Kini ia mengejar penunggang kuda di sisi kirinya. Demi
didekatinya, orang itu berseru, "kau tadi menyuruh aku menepi, kini kau sendiri
berjalan di jalurku. Ayo, menepi ke kanan!"
"Boleh!" kata Sternau.
Ia menghampiri orang itu dan sebelum orang itu menyadari apa yang sebenarnya
terjadi, hulu senapan Sternau sudah mengenai kepalanya. Akibatnya ia mengalami
nasib serupa dengan kawannya, jatuh terkulai ke atas tanah. Kali ini juga kuda
orang itu dihentikan Sternau dengan menarik kekangnya. Setelah Sternau mengambil
segala barang yang diperlukannya dari orang itu, maka kuda orang itu dihalau
lagi. Dengan mengambil sikap waspada ia berusaha mendengar di mana sisa kawanan
penjahat itu berada. Segera ia mendengar bahwa mereka semuanya berada di sebelah
kanannya, lalu ia pergi ke arah itu. Ia memeriksa senapan yang jatuh ke
tangannya. Dua senapan berlaras tunggal. Bersama senapannya sendiri yang
berlaras dua maka ia memiliki empat peluru. Lebih dari cukup, karena ia hanya
melihat dua orang pengejar. Itu perkara kecil baginya.
"Hai!" serunya. "Kemarilah! Aku sudah menangkapnya!"
Ia menghentikan kudanya dan melihat bahwa dua orang itu berbuat serupa.
"Di mana?" tanya mereka.
"Ia telah terjatuh di sini!"
Beriring mereka datang untuk memeriksa. Sternau memegang senapannya yang


Piramida Bangsa Astek Karya Dr. Karl May di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berlaras dua lalu menembakkan dua peluru. Kedua orang itu jatuh tersungkur dari atas kudanya.
Kudanya tetap berdiri di tempatnya.
Sternau mengamati keadaan. Ia tidak mendengarkan apa-apa. Jadi jumlah orang yang
mengejarnya itu hanyalah empat orang. Ia turun dari atas kudanya untuk memeriksa
mereka yang terluka. Ia mengambil barang-barang yang diperlukannya dari tubuh
mereka. Kini ia sudah memiliki lima batang senapan, beberapa bilah pisau, dua pucuk pistol, dua
buah laso dan sejumlah besar peluru. Lagipula dilihatnya bahwa dalam ikat
pinggang Verdoja terdapat juga mata uang emas serta uang kertas.
Jadi ia sudah memiliki semuanya kecuali bahan makanan.
Namun soal itu dianggapnya kurang penting. Ia mengikatkan barang-barang rampasan
itu kepada pelana dua ekor kuda. Kemudian ia memegang kedua kekang kuda lalu
meneruskan perjalanan ke gurun yang diselubungi rahasia itu.
Pada malam hari ketika putrinya diculik, maka Pedro Arbellez bermalam di
hacienda Vandaqua bersama Unger, saudara Mualim. Ketika keesokan paginya wanita
tua Maria Hermoyez bangun lalu menjumpai kamar tamu sudah kosong, maka ia merasa
sangat heran. Mula-mula dikiranya para tamunya itu sedang berjalan-jalan
sebentar mengambil angin, namun ketika pagi itu lewat berganti menjadi siang dan
siangnya pun lewat juga, ia mulai merasa khawatir. Pedro dan Unger pulang
kembali dan kini wanita itu merasa yakin bahwa suatu musibah besar telah
terjadi. Lenyapnya kedua senorita serta prianya menyebabkan Unger dan Arbellez berhati
cemas. Sedangkan pemilik hacienda dengan meremas-remas tangan pergi mencari dari
satu kamar ke kamar yang lain, maka si Panah Halilintar tetap bersikap tenang.
Matanya berapi-api dan otot-ototnya menegang. Kini ia tidak lagi merupakan orang
sakit tanpa daya melainkan pria gagah perkasa seperti sediakala. Dalam waktu
seperempat jam ia telah berhasil dengan bantuan jejak kaki yang hanya dia pandai
membacanya memperoleh gambaran jelas tentang apa yang telah terjadi, dilengkapi
dengan dugaan-dugaannya. Seperempat jam kemudian ia pergi bersama si tua Fransisco ke arah barat. Mereka
masing-masing membawa kuda tambahan yang dimuati dengan kantung-kantung berisi
bahan makanan dan pakaian milik orang-orang yang diculik itu. Siang hari masih
tinggal beberapa jam lagi.
Para perampok telah meninggalkan hacienda setelah tengah malam, jadi mereka
mempunyai kelebihan kira-kira dua belas jam. Unger berharap akan dapat mengejar
mereka sedikit demi sedikit. Namun ia dan kawannya itu baru tiba di kaki
pegunungan ketika Verdoja bersama keempat tawanannya itu sudah melampaui
pegunungan itu dan menyeberang ke gurun Mapimi.
Sesampai mereka di tempat orang-orang Mexico itu berhenti dan beristirahat, maka
Panah Halilintar dapat membaca dari jejak-jejak yang masih segar itu apa yang
semalam telah terjadi. Fransisco sangat kagum melihat Unger bekerja, melihat kesanggupannya menarik
kesimpulan dari segala sesuatu yang dijumpainya, setiap jejak, setiap batang
rumput yang terpatah seakan merupakan halaman dalam sebuah buku bacaan. Dengan
mudah dan lincahnya ia dapat membaca tiap kejadian serta menghubung-hubungkannya
satu sama lain. "Wah!" gumam pemburu itu dengan termenung sejenak.
"Apa yang terjadi di sini" Terjadi perkelahian yang seru!
Terdapat jejak-jejak tumit yang masuk ke dalam tanah yang lunak. Ada juga jejak
kaki lawannya yang membenamkan jari kakinya dalam-dalam ke dalam tanah ketika
mengadakan perlawanan. Si pemenang dapat membebaskan diri. Nampaknya ia telah
mengangkat tubuh lawannya lalu melemparkannya ke tengah-tengah rombongan orang
untuk membuka jalan."
Panah Halilintar berjalan mengitari tempat bekas dinyalakan api unggun itu lalu
melanjutkan, "Inilah tempat senapan-senapan mereka tersusun. Salah satu senapan
disambar oleh orang yang melarikan diri itu. Sudah barang tentu ia adalah salah
seorang kawan kita, dan besarlah kemungkinannya orang itu Sternau."
Kemudian Unger dan Fransisco mengikuti jejak pelari bersama para pengejarnya
itu, mula-mula ke arah barat kemudian ke selatan. Tanpa banyak mengalami
kesulitan pemburu itu dapat membaca jejak yang seremehnya pun.
"Dapatkah kau melihat jejak kaki kuda itu, Fransisco"
Jejak itu berasa dari tiga ekor kuda, hanya seekorlah yang ditunggangi. Sternau
telah membawa dua ekor kuda tambahan untuk dapat memakainya berganti-ganti. Ia
menempuh jalan ke arah timur untuk mengejar orang-orang Mexico itu. Ia mengejar
mereka dengan jalan memutar. Jadi kita berada di belakang dia dengan orang-orang
Mexico itu." Setelah mengatakan ini ia melihat-lihat ke arah barat seakan-akan dapat melihat
mereka. Tiba-tiba ia melompat ke arah gundukan pasir di dekatnya yang hingga
kini tidak tampak oleh Fransisco. Agaknya gundukan itu ditimbun dengan sengaja
dan tidak terjadi secara kebetulan oleh tiupan angin.
"Sebuah tanda dari Sternau," seru Panah Halilintar gembira. "Mari kita
memeriksanya." Ia mengais-ngais dengan tangannya ke dalam gundukan pasir lalu berhasil
mengeluarkan sepucuk surat yang dilipat dua. Isi surat itu seperti berikut.
Saya telah membebaskan diri, yang lain masih tawanan, na
mun sehat walafiat. Saya memiliki tiga kuda, cukup senjata serta
peluru. Verdoja menyerang saya di taman.
Bersama dia adalah : Pardero dan sebelas orang Mexico.
Mereka masuk melalui jendela kawannya yang menjadi tamu kita. Mereka lupa
menggeledah bajuku. Saya memiliki pinsil dan kertas untuk meninggalkan pesan.
Para tawanan akan saya bebaskan. Jangan khawatir! Ikuti saya selekas mungkin.
Jangan meninggalkan bekas.
3 September 1849, pukul sembilan pagi.
Sternau Bukan buatan senang hati mereka. Mereka menaiki kudanya yang telah mendapat
istirahat selama itu. Kuda Mexico tidak menjadi lelah meskipun menempuh jarak
jauh bila berjalan tanpa penunggang. Kuda-kuda yang ditunggangi Panah Halilintar
dan Fransisco masih segar-bugar. Jarak jauh ditempuh dengan tanpa terasa. Tentu
saja Sternau sendiri juga melarikan kudanya cepat-cepat sehingga tiada mudah
terkejar. Pagi dan sebagian besar siang berlalu sebelum tampak oleh mereka tiga bintik
hitam di kejauhan. "Sudah tentu Sternaulah orang itu. Ia membawa dua ekor kuda tanpa penunggang!"
sorak Panah Halilintar. "Kita harus mengejarnya sebelum malam tiba."
"Mereka memacu kudanya yang kini melaju dengan kencangnya. Masih setengah jam
berlalu lagi sebelum tiga bintik itu membesar menjadi seorang penunggang kuda
dengan dua kuda tanpa penunggang. Mereka melihat dia memutar-mutar senapannya di
udara. "Ia telah menoleh ke belakang dan melihat kita," kata Panah Halilintar.
"Mungkinkah ia mengira kita musuh sehingga tidak mau menunggu kita?" tanya
Fransisco. "Fransisco, kau adalah seorang vaquero yang baik, namun bukan penjelajah
savanna. Sekiranya Sternau menunggu kita, ia akan kehilangan waktu serta
memperbesar jarak. Setiap menit berharga. Pada malam hari kita tidak dapat
melihat jejak perampok, sedangkan mereka dapat berjalan terus. Maka kita harus
memanfaatkan keuntungan yang diberikan oleh cahaya pada siang hari dengan
Dua Pendekar Buntung 2 Pendekar Rajawali Sakti 135 Peri Peminum Darah Pembalasan Selir Sesat 2
^