Pencarian

Monte Cristo 10

The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas Bagian 10


dalam sakunya sedang tangan yang sebelah lagi
menyerahkan kwitansi kepada Danglars.
"Apa! Tuan mau mengambil cek itu?" tanyanya gugup.
"Maaf uang itu saham rumah sakit yang harus saya bayar hari ini."
"Ah, kalau begitu lain lagi soalnya," kata Monte Cristo
"Saya tidak mutlak memerlukan cek yang ini. Tuan dapat memberi saya yang lain.
Saya mengambil ini hanya agar dapat mengatakan: sebelum lima menit Tuan Danglars
dapat membayar saya lima juta frank di tempat saya memintanya. Orang akan sangat
kagum kepada Tuan mendengar pernyataan saya itu. Ini saya kembalikan, dan harap diberi yang baru."
Danglars mengulurkan tangannya untuk menerima kembali cek itu, tetapi tiba-tiba
berubah pendiriannya dan berusaha keras untuk menguasai diri. Lalu dia tersenyum
dan berkata, "Saya pikir, kwitansi Tuan sama nilainya dengan uang tunai."
"Tentu saja- Apabila Tuan di Roma, firma Thomson and French akan membayar Tuan
secepat Tuan membayar saya
. . . Apakah ini berarti saya boleh mengambil cek ini?"
"Ya, silakan," jawab Danglars sambil mengusap peluh di wajahnya yang seakan-akan
memancar dari akar-akar rambut kepalanya.
Monte Cristo memasukkan kembali kelima lembar cek itu ke dalam saku bajunya
dengan air muka yang tidak bisa berarti lain kecuali, "Pikirlah kembali . .
masih banyak waktu untuk merubah pikiran."
"Tidak, tidak, silakan ambil saja," kata Danglars yang memahaminya. "Tuan tentu
mengerti, bagaimana kebiasaan seorang bankir. Saya bermaksud membayarkan cek itu kepada rumah sakit. Untuk
sejenak saya merasa bahwa saya merampok mereka kalau tidak memberikan cek yang
sudah disediakan untuk mereka itu, rasanya seakan-akan setiap frank berbeda
dengan frank yang lain. Maafkan perasaan saya itu." Lalu dia tertawa terbahak-
bahak, namun jelas dipaksakan.
"Saya mengerti dan dapat memaafkan." kata Monte Cristo berlagak berlapang dada.
"Saya masih harus membayar seratus ribu frank lagi, bukan?"
"Ah, tidak mengapa. Jumlahnya tidak berarti. Tuan boleh menahannya, dan kita
anggap perhitungan kita sudah beres."
"Sungguh-sungguhkah, Tuan?"
"Saya tidak pernah bergurau dengan seorang bankir,"
jawab Monte Cristo dengan air muka sungguh-sungguh, hampir-hampir seperti orang
yang kurang sopan. Ketika Monte Cristo hendak ke luar, seorang pelayan masuk memberitahukan
kedatangan Tuan de Boville, pengurus rumah sakit.
Wajah Danglars pucat dan cepat dia meminta maaf
kepada Monte Cristo. Monte Cristo saling menghormat dengan Tuan de Boville
ketika mereka berpapasan di ruang tunggu. Ia langsung pergi ke bank.
Dengan menahan perasaannya Danglars menyambut
tamunya. Di bibirnya tersimpul senyum yang dipaksakan.
"Bagaimana kabarnya, Tuan" Benarkah perkiraan saya Tuan datang untuk mengambil
kembali uang tunai?"
"Tepat sekali. Rupanya Tuan telah menerima surat saya kemarin."
"Benar" "Sukur. Ini tanda terima."
"Tuan de Boville," kata Danglars, "saya terpaksa meminta kesediaan Tuan untuk
menunggu sampai besok, oleh karena Count of Monte Cristo, orang yang tentu Tuan
lihat tadi, telah mengambil cek yang sebenarnya saya sediakan untuk Tuan."
"Apa maksudnya?"
"Count of Monte Cristo membuka kredit pada saya tanpa batas, kredit yang dijamin
oleh firma Thomson and French di Roma. Hari ini tiba-tiba saja ia datang untuk
meminta lima juta frank sekaligus. Saya harus memenuhinya. Tuan tentu dapat
memahami, saya khawatir bank akan bertanya-tanya kalau saya mengeluarkan sepuluh
juta dalam sehari." "Maksud Tuan," kata Tuan de Boville sama sekali tidak percaya. "Tuan memberikan
lima juta frank kepada orang yang baru saja meninggalkan rumah ini dan
mengangguk kepada saya seakan-akan dia mengenal saya?"
"Ini tanda terimanya. Boleh Tuan lihat."
Tuan de Boville menerima kwitansi dan membacanya
dengan rasa kagum. "Saya mesti menemuinya untuk meminta sumbangan untuk rumah sakit. Saya akan
mencontohkan perbuatan Nyonya de Morcerf dan putranya."
"Mengapa dengan mereka?"
"Mereka menyerahkan seluruh kekayaannya kepada rumah sakit."
"Kekayaan apa?"
"Kekayaan mendiang Jendral de Morcerf."
"Mengapa mereka lakukan itu?"
"Mereka mengatakan tidak mau memiliki kekayaan yang diperoleh dengan jalan yang
tidak terhormat." "Bagaimana mereka akan hidup selanjutnya?"
"Ibunya bermaksud tinggal di daerah, sedangkan putranya mendaftarkan diri masuk
tentara . . . Tetapi, baik kita kembali kepada persoalan kita."
"Baik," jawab Danglars dengan nada yang wajar sekali.
"Apakah Tuan memerlukannya segera?"
"Tentu saja .. . pembukuan kami akan diperiksa besok."
"Besok . . . masih cukup waktu. Jam berapa?"
"Jam dua siang."
"Tuan dapat menyuruh orang mengambilnya jam dua belas."
Tuan de Boville mau tak mau menyetujuinya sambil
meraba-raba dompetnya. "Sebentar," kata Danglars tiba-tiba, "ada jalan yang lebih baik. Tanda terima
dari Count of Monte Cristo sama saja nilainya dengan uang tunai. Tuan bawa ini
kepada Rothschild atau Lafitte, mereka akan mau menerimanya dan menukarnya dengan uang
tunai;" "Bukankah tanda terima ini hanya dapat diuangkan di Roma?"
"Mereka akan mau. Tetapi tentu saja ada biayanya. Mereka akan memotong lima
sampai enam ribu frank."
"Lebih baik saya menunggu sampai besok. Aneh juga pikiran Tuan itu."
"Terserah. Saya akan bayar besok."
"Tidak akan gagal?"
"Rupanya Tuan berolok-olok. Suruh saja orang datang besok ke mari dan saya akan
memberitahu bank saya."
"Saya akan datang sendiri."
"Lebih baik lagi. Artinya saya akan mendapat kehormatan bertemu lagi dengan
Tuan." Mereka berjabatan tangan.
"Oh" kata de Boville tiba-tiba, "apakah Tuan tidak turut menghadiri penguburan
Nona de Villefort" Saya tadi berpapasan dengan iringan jenazahnya ketika sedang
ke mari." "Tidak, saya masih merasa malu karena peritiwa Benedetto itu. Saya mau
menghindari masyarakat sebanyak mungkin untuk sementara ini.."
"Tuan boleh yakin, setiap orang menaruh simpati kepada Tuan terutama kepada
putri Tuan." "Eugenie yang malang!" kata Danglars dengan keluhan yang dalam. "Apakah Tuan
tidak mendengar bahwa dia bermaksud masuk biara?"
"Tidak." "Begitulah keadaannya. Sehari setelah peristiwa itu dia memutuskan pergi dengan
seorang kawan karibnya yang sudah menjadi biarawati. Dia bermaksud mencari biara
yang terbaik di Italia atau di Spanyol."
"Oh, mengharukan sekali."
Tuan de Boville meminta diri, dengan mengucapkan
kata-kata simpati yang tulus ikhlas.
Begitu tamunya pergi Danglars berkata dengan berapi-api, "Tolol! Aku sudah jauh
dari sini kalau engkau datang besok!"
Dia mengunci pintu, mengeruk uang tunai dari laci -
mejanya yang berjumlah sekitar lima puluh ribu frank, membakar beberapa lembar
kertas tertentu, membereskan yang lain-lainnya, lalu menulis surat dengan
alamat: "Kepada Nyonya Danglars."
Setelah itu dia mengambil paspornya dan memeriksanya.
"Bagus, masih berlaku untuk dua bulan lagi."
BAB LXII SEBAGAI orang Paris asli. Tuan de Villefort
menganggap bahwa hanya pekuburan Pere Lachaise sajalah yang patut menerima
jenazah orang-orang terhormat di Paris. Hanya di situlah menurut anggapannya
arwah orang-orang berpendidikan tinggi akan merasa betah. Sebab itu sejak dahulu
dia sudah membeli tempat yang sudah ditulisi dengan "Saint-Meran dan Villefort."
Ini adalah permintaan terakhir dari Renee, ibu Valentine.
Iringan jenazah Valentine terutama sekali diikuti oleh anak-anak muda yang
merasa terharu dan terkejut oleh kematian Valentine yang mendadak, gadis cantik,
sopan dan menarik, gugur dalam masa remaja yang menyegarkan.
Ketika iringan sampai di perbatasan kota, sebuah kereta berkuda empat,
menyusulnya. Monte Cristo keluar dari kereta itu lalu menggabungkan diri.
Chateau-Renaud dan Beauchamp segera melihatnya. Mereka menghampiri dan berjalan
di sampingnya. "Apakah Tuan-tuan melihat Maximilien Morrel?"
"Tidak," jawab Chateau-Renaud. "Kami pun bertanya-tanya mengapa dia tidak
kelihatan sejak iringan ini akan berangkat."
Monte Cristo diam, tetapi matanya berkeliling. Dia tidak menemukan yang
dicarinya sampai iringan itu tiba di pekuburan. Di sana dia melihat Maximilien
berdiri di bawah sebuah pohon tidak jauh dari pekuburan keluarga Villefort.
Monte Cristo tidak pernah lepas mengawasinya selama upacara penguburan.
"Itu dia Maximilien!" kata Beuachamp yang baru melihatnya kepada Debray. "Sedang
apa dia di sana?" "Lihat betapa pucat mukanya," kata Chateau-Renaud.
"Kedinginan barangkali" jawab Debray.
"Bukan karena itu, saya kira," kata Chateau-Renaud lagi.
"Dia sangat perasa."
"Bukankah dia tidak mengenal Nona de Villefort?"
"Benar, tetapi saya ingat pernah melihatnya berdansa dengan Nona de Villefort
sebanyak tiga kali pada suatu pesta."
'Upacara telah selesai," kata Monte Cristo tiba-tiba.
"Selamat tinggal, Tuan tuan." Dia sudah pergi selagi yang lain baru bersiap-siap
untuk pulang. Monte Cristo menyembunyikan diri di balik sebuah
kuburan, mengawasi gerak-gerik Maximilien. Anak muda itu dengan perlahan-lahan
mendekati kuburan Valentine yang sudah sepi ditinggalkan para pengantarnya, lalu
bersimpuh di dekatnya. Dahinya bersandar pada batu nisan.
"Oh, Valentine!"
Hati Monte Cristo terasa pecah mendengar suara yang sangat mengharukan ini. Dia
mendekat, menyentuh bahu Maximilien dan berkata, "Saya mencarimu, sahabat."
Dia memperkirakan akan mendapat dampratan dan
tuduhan dari Maxinulien karena janjinya menjaga
Valentine akan tetap hidup ternyata meleset. Ternyata dia keliru. Maximilien
berbalik dan berkata dengan tenang sekali, "Saya sedang berdo'a."
Monte Cristo mengamat-amati wajah Maximilien
dengan cermat untuk beberapa saat. Setelah itu baru dia yakin. "Mau kau
kuantarkan pulang?" "Tidak, terima kasih."
"Barangkali ada sesuatu yang dapat aku lakukan?"
"Biarkan saya berdo'a,"
Monte Cristo pergi tanpa berkata apa-apa lagi. Dia mengambil tempat lain untuk
mengawasi Maximilien. Akhirnya anak muda itu berdiri dan pulang ke kota berjalan kaki. Monte Cristo
menyuruh keretanya pergi, sedang dia sendiri berjalan mengikuti Maximilien
beberapa ratus langkah di belakangnya.
Lima menit setelah pintu pekarangan rumah di Rue
Maslay tertutup di belakang Maximilien, terbuka lagi untuk Count of Monte
Cristo. Julie sedang berada di kebun mengawasi Penelon yang secara sungguh-
sungguh mau menjadi tukang kebun yang baik.
"Ah, Count of Monte Cristo!" teriaknya gembira seperti biasa dilakukan seisi
rumah kalau mereka menyambut kedatangan Monte Cristo.
"Maximilien baru saja pulang, bukan?" tanya Monte Cristo.
"Ya, saya kira saya melihatnya lewat."
"Maaf, saya harus menemuinya segera. Ada hal penting yang perlu saya katakan
kepadanya." "Silakan masuk saja," kata Julie. Dia mengikuti tamunya dengan senyuman yang
manis sekali sampai Monte Cristo tidak kelihatan lagi.
Ketika Monte Cristo datang dekat kamar Maximilien di lantai tiga dia berhenti
dan memasang kuping. Tak ada suara apa-apa. Pintu kamar itu berkaca sebagian,
tetapi Lak mungkin melihat ke dalam karena tertutup oleh tirai merah dari dalam.
Monte Cristo berpikir sebentar. "Membunyikan bel?" pikirnya. "Tidak, bunyi bel
sering kali mempercepat datangnya keputusan pada orang yang sedang berada dalam
keadaan seperti Maximilien sekarang." Seluruh badannya bergetar ketika mengingat
kemungkinan itu. Seperti biasa dia berpikir cepat dan mengambil keputusan cepat
juga. Dia memecahkan kaca pintu dengan sikutnya. Dengan cepat dia menarik tirai
ke samping. Tampak Maximilien sedang duduk menghadapi meja tulis dengan pena di
tangannya. Maximilien terperanjat bangkit.
"Maaf," kata Monte Cristo, "saya tergelincir dan sikut saya mengenai kaca.
Karena tokh sudah pecah, saya akan manfaatkan untuk membuka kuncinya. Biar biar
saya lakukan sendiri."
Monte Cristo memasukkan tangannya melalui lobang
kaca, lalu memutar kunci. Maximilien yang jelas sekali merasa terganggu maju
beberapa langkah, lebih banyak bermaksud menghalangi tamunya masuk daripada
untuk menyambutnya. "Salah pelayan-pelayanmu," kata Monte Cristo sambil mengusap-usap sikutnya.
"Lantai ini begitu licin seperti cermin."
"Terluka?" tanya Maximilien dingin.
"Entahlah. Kelihatannya engkau sedang menulis."
"Ya, sorang perjurit pun sekali-kali suka menulis."
Monte Cristo maju lagi ke dalam. Maximilien terpaksa membiarkannya, tetapi dia
mengikutinya dari belakang.
Monte Cristo melemparkan pandangannya ke seluruh
ruangan itu dengan cepat. "Buat apa pistol-pistol ini?" tanya dia sambil
menunjuk dua pucuk pistol yang terletak di meja.
"Saya mau berpergian," jawab Maximilien.
"Maximilien,'' kata Monte Cristo, "mari kita tanggalkan topeng masing-masing.
Engkau jangan menipu aku lagi dengan ketenanganmu itu, dan aku tidak akan
menipumu lagi dengan kekhawatiran yang membuang-buang waktu.
Engkau tentu mengerti, kalau aku terpaksa mendobrak kamar seorang kawan tentu
aku didorong oleh ketakutan yang bukan main-main. Maximilien, engkau mau
membunuh diri!" Maximilien terperanjat. "Dari mana dapat pikiran itu, Count?"
"Saya ulangi, engkau mau membunuh diri. Inilah buktinya!" Monte Cristo berjalan
ke meja, mengambil surat yang sedang ditulis yang disembunyikan di bawah kertas
lain. Maximilien bergerak untuk merebutnya, tetapi Monte Cristo mendahului
memegang pergelangan tangannya
dengan kuat sekali. "Apa salahnya saya membunuh diri?" tanya Maximilien yang sudah mulai kehilangan
ketenangannya. "Siapa yang berani menghalangi" Kalau saya mengatakan, 'Semua
harapan saya telah musnah, hati telah hancur, ludup sudah berakhir dan tak ada
apa-apa lagi sekelilingku kecuali kesedihan dan kepedihan,' siapa yang akan
menjawab, 'Engkau keliru"' Beranikah Tuan mengatakan itu, Count?"
"Ya, aku berani" jawab Monte Cristo dengan ketenangan yang bertentangan sekali
dengan kemarahan Maximilien"
"Tuan!" jawab Maximilien keras karena kemarahannya meningkat. "Tuan telah
membujuk saya dengan janji-janji palsu ketika saya masih mungkin menolong
Valentine atau sekurang-kurangnya melihat dia melepaskan nyawanya dalam pelukan
saya! Tuan berlagak berlaku seperti Tuhan, padahal Tuan sama sekali tidak mampu
memberi penawar kepada gadis yang kena racun!"
"Maximilien .."
"Tuan meminta saya membuka topeng, saya telah melakukannya! Ketika Tuan
mengikuti saya ke pekuburan saya berbicara kepada Tuan dengan sopan karena saya
berhati baik. Tetapi, karena Tuan telah datang ke mari untuk mencampuri urusan
saya dalam kamar ini yang akan menjadi tempat kuburan saya, dan karena Tuan


The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

datang membawa penderitaan baru pada saat saya mengira dapat menghabisi semua
penderitaan, maka mau tak mau Tuan harus menyaksikan matinya seorang sahabat!"
Maximilien berusaha melepaskan diri hendak mengambil pistolnya dibarengi tawa
seorang gila, tetapi Monte Cristo, dengan mata berkilat-kilat mencegahnya sekali
lagi dengan berkata, "Maximilien, jangan bunuh diri!"
"Silakan cegah saya, kalau dapat!" jawab Maximilien, masih tetap berusaha
mengambil pistol, namun tak berdaya dalam pegangan Monte Cristo yang kuat
sekali. "Aku akan mencegahmu!"
"Siapakah Tuan sebenarnya, sehingga berani berlaku kasar kepada orang yang
merdeka untuk membuat keputus-san sendiri7"
"Siapa aku" Dengarkan, akan kukatakan. Aku adalah satu-satunya orang dalam dunia
ini yang berhak berkata kepadamu: "Maximilien, aku tidak akan memperkenankan
anak ayahmu mati hari ini,"
"Apa hubungannya dengan ayah saya" Apa sebab Tuan mencampuradukkan urusan beliau
dengan apa yang terjadi atas diri saya hari ini?"
"Oleh karena aku adalah orang yang menyelamatkan jiwa ayahmu pada hari beliau
berniat membunuh diri, sama seperti engkau mau bunuh diri pada hari ini. Karena
akulah orangnya yang mengirimkan dompet sutra kepada adikmu dan mengirimkan
kapal Pkaraon kepada ayahmu Karena aku adalah Edmond Dantes, yang dahulu biasa
menimang-nimangmu ketika engkau masih kecil!"
Maximilien mundur karena terperanjat. Seluruh tenaganya seakan-akan menghilang
sehingga dia terjatuh ke lantai.
Tiba-tiba berdiri kembali dan berlari ke luar kamar sambil berteriak-teriak,
"Julie! Julie! Emmanuel! Emmanuel!"
Monte Cristo mencoba mengejarnya, tetapi Maximilien telah mengunci pintunya dan
menahannya dari luar dengan sekuat tenaga seakan-akan lebih baik mati daripada
membiarkan Monte Cristo membukanya.
Julie dan Emmanuel berlari ke atas mendengar teriakan MaximOien. Maximilien
membuka pintu dan membimbing mereka masuk; lalu dia berkata dengan suara
tertahan oleh perasaan hati, "Berlutut! Inilah pelindung keluarga kita, orang
yang menyelamatkan jiwa ayah. Tuan ini adalah ..."
Maximilien bermaksud mengatakan 'Edmond Dantes',
tetapi Monte Cristo mencegahnya dengan menekan
lengannya. Julie merangkul tangan Monte Cristo, sedang Emmanuel merangkul tubuhnya, dan
Maximilien berlutut di hadapan Monte Cristo sekali lagi. Pada saat itu, orang
yang berhati baja itu merasa hatinya meleleh dalam dadanya dan seakan-akan
segaris sinar meluncur dari tenggorokannya ke dalam matanya. Dia menundukkan
kepala dan menangis. Ketika Julie sudah agak tenang kembali dari lonjakan kegembiraan, dia berlari ke
bawah untuk mengambil dompet yang disimpan dalam bola dunia dari kristal.
Sementara itu Emmanuel berkata, "Tuan, Tuan pernah mendengar kami membicarakan
pelindung yang tidak kami kenal, dan Tuan melihat pula betapa rasa hutang budi
kami kepadanya . .. mengapa Tuan menunggu begitu lama untuk membukakan rahasia
ini?" "Kawan," jawab Monte Cristo, "mengapa sampai rahasia ini terbuka sekarang,
biarlah tetap menjadi rahasia. Tuhan adalah saksinya bahwa aku sebenarnya
menghendaki rahasia itu terkubur dalam lubuk hati sampai akhir hidup, tetapi Maximilien
telah mencungkilnya dengan kekerasan yang saya kira dia pun menyesalkannya
sekarang." Melihat Maximilien duduk di kursi termenung tanpa tenaga, Monte Cristo menambah
lagi dengan perlahan-lahan, "Perhatikan dia."
"Mengapa?" tanya Emmanuel heran.
"Saya tidak dapat mengatakan mengapa, tetapi perhatikan saja"
Emmanuel melihat ke seluruh ruangan dan akhirnya dia menemukan pistol-pistol
Maximilien. Dia menatap benda-benda itu dengan cemas dan perlahan-lahan
telunjuknya menunjuk pistol-pistol itu. Monte Cristo mengangguk.
Emmanuel bergerak ke arah pistol, tetapi Monte Cristo mencegahnya dengan
berkata, "Biarkan saja." Monte Cristo menghampiri Maximilien lalu memegang
tangannya. Gejolak perasaan yang menggoncangkan batin anak muda itu kini telah lenyap dan
berganti menjadi bingung.
Julie masuk kembali dengan membawa dompet sutera di tangannya. Butir-butir air
mata kegembiraan mengalir di pipinya.
"Inilah jimat itu," katanya. "Jangan Tuan mengira bahwa nilainya menjadi
berkurang setelah penyelamat yang sebenarnya telah diketahui."
"Kembalikanlah kepada saya," kata Monte Cristo, pipinya merah. "Oleh karena
engkau tokh sudah mengenal wajahku, saya ingin dikenang hanya dengan rasa kasih
sayang secara langsung, kalau boleh saya memintanya."
"Oh, jangan!" jawab Julie sambil menekankan dompet itu ke dadanya. "Jangan Tuan
minta kembali . . . saya takut Tuan akan meninggalkan kami!"
"Dugaanmu benar sekali," jawab Monte Cristo tersenyum. 'Dalam minggu ini juga
saya bermaksud meninggalkan negri ini, negri di mana banyak orang yang patut mendapat hukuman
Tuhan hidup berbahagia, padahal ayahku sendiri meninggal karena kelaparan dan
kesedihan." Ketika mengucapkan ini, Monte Cristo melirik kepada Maximilien, dan dia melihat
bahwa kalimatnya 'Saya bermaksud meninggalkan negri ini' sama sekali tidak
berpengaruh kepada Maximilien yang sedang berada dalam keadaan bingung tak
menentu. Sambil memegang tangan Julie dan Emmanuel dia berkata dengan kata-kata
seramah seorang ayah kepada anaknya, "Tinggalkan aku sebentar dengan
Maximilien." Julie melihat kesempatan untuk membawa kembali jimat yang tidak disebut-sebut
lagi oleh Monte Cristo. Dia cepat menarik suaminya ke luar kamar.
''Maximilien," kata Monte Cristo, menyentuhnya dengan jari tangannya. "Apakah
engkau sudah siap untuk menjadi laki-laki lagi?"
"Ya, saya sudah siap menderita lagi."
Monte Cristo mengerutkan dahinya. "Maximilien, engkau hanyut terbawa pikiran-
pikiran yang tidak terpuji oleh agama."
"Oh, jangan khawatir," jawab Maximilien, menengadah dan tersenyum sedih. "Saya
tidak akan lagi mencari kematian. Tidak, saya mempunyai yang lebih baik dari
pistol untuk menyembuhkan kepedihan ini. . kepedihan itu sendiri akan
mematikan," "Sahabat," kata Monte Cristo dengan nada suara yang sama mengharukannya,
"dengarkan baik-baik: Pada suatu hari, pada saat hilangnya semua harapan, aku
pun pernah mau bunuh diri. Bila pada waktu seperti itu, pada waktu ayahmu
mengarahkan pistol ke pelipisnya, atau ketika aku menolak semua makanan selama
tiga hari, ada orang yang berkata kepada kami: Tabahkan hati dan berusaha tetap
hidup, karena akan datang suatu hari di mana engkau akan merasa berbahagia dan
menghargai hidup, kami pasti akan tersenyum pahit tidak percaya atau menampiknya
dengan marah. Tetapi kemudian, betapa seringnya ayahmu
menyatakan penghargaannya terhadap hidup dan
kehidupan, dan betapa sering pula aku sendiri . . ."
'Tuan hanya kehilangan kemerdekaan," sela Maximilien,
"dan ayah hanya kehilangan kekayaan, tetapi saya kehilangan Valentine!"
"Perhatikan aku, Maximilien," kata Monte Cristo dengan air muka yang begitu
mengesankan yang dalam banyak kejadian begitu berwibawa sehingga orang yang
melihatnya tidak mampu menentangnya. "Tak ada air mata dalam mataku, tak ada
rasa sakit dalam hatiku dan tak ada kegelisahan dalam perangaiku, padahal
sekarang aku sedang menyaksikanmu, engkau yang sangat kucintai seperti anakku
sendiri, menderita. Bukankah itu berarti penderitaan itu sendiri berarti hidup.
Bukankah itu berarti bahwa masih ada sesuatu rahasia di balik itu" Aku minta
engkau percaya, Maximilien, kalau aku memintamu untuk tetap hidup, berarti aku
sendiri yakin bahwa pada suatu hari kelak engkau akan berterima kasih karena aku
telah menolong hidupmu."
"Oh. Tuhan! Apa yang Tuan katakan" Rupanya Tuan tidak pernah jatuh cinta."
"Anakku!" "Saya berbicara tentang cinta sejati," lanjut Maximilien.
"Saya telah menjadi perjurit sejak menginjak dewasa. Saya telah hidup sampai
berumur dua puluh sembilan tahun tanpa pernah jatuh cinta karena Selama itu
cinta tidak berarti apa-apa bagi saya. Semenjak bertemu dengan Valentine,
kebahagiaan saya sempurna, tak ada bandingannya. Suatu kebahagiaan yang
terlampau agung, terlampau sempurna untuk dapat ditemukan dalam dunia ini.
Sekarang setelah dia pergi, tak ada lagi yang tersisa bagi saya kecuali hati
yang luluh dan harapan yang punah."
"Sudah aku katakan agar engkau tetap berpengharapan, Maximilien."
"Harap hati-hati, Count Tuan bermaksud membujuk saya lagi, dan kalau Tuan
lakukan itu, saya akan kehilangan akal sehat saya karena mungkin Tuan akan
membuat saya percaya bahwa saya akan bertemu lagi dengan Valentine."
Monte Cristo tersenyum. "Sekali lagi saya harap Tuan berhati-hati!" kata Maximilien, meluncur dari
ketinggian semangat ke kedalaman putus asa. "Tuan tidak lebih dari seorang ibu
yang baik, atau barangkali seorang ibu yang mementingkan diri sendiri, yang
membujuk-bujuk anaknya yang sedang
menangis dengan kata-kata manis oleh karena tangisnya sudah menjengkelkan. Tidak
saya keliru dengan meminta Tuan berhati-hati. Jangan khawatir. Saya akan
mengubur kepedihan itu dalam lubuk hati, dan saya akan
merahasiakannya demikian sempurna sehingga Tuan tidak akan menyangka saya
bersedih hati. Selamat tinggal, kawan."
"Tidak, Maximilien, tidak ada selamat tinggal. Mulai sekarang engkau tinggal
bersamaku dan dalam tempo seminggu kita akan meninggalkan Perancis bersama-
sama." "Dan Tuan akan tetap meminta saya untuk tidak berputus asa?"
"Ya, karena aku tahu bagaimana menyembuhkanmu."
"Count, Tuan membuat saya lebih sakit kalau hal itu mungkin. Tuan melihat
kesedihan saya sebagai kesedihan biasa dan Tuan mengira dapat menyembuhkan saya
dengan obat yang biasa pula: bepergian." Maximilien menggelengkan kepala tak
percaya. "Aku percaya kepada janji-janjiku sendiri," kata Monte Cristo. "Beri aku
kesempatan mencobanya."
"Tuan hanya memperpanjang dukacita saya."
"Apakah hatimu begitu lemah sehingga tidak kuat memberi kesempatan beberapa hari
kepada sahabatmu membuktikan janjinya" Tahukah engkau apa yang dapat diperbuat
oleh Count of Monte Cristo" Tahukah engkau bahwa dia menguasai sebagian besar
dari kekuatan-kekuatan duniawi ini" Tahukah engkau bahwa dia mempunyai
kepercayaan yang teguh kepada Tuhan untuk meminta keajaiban-keajaiban dari Dia
yang pernah berkata bahwa dengan kepercayaan orang dapat menggeserkan sebuah
gunung" Aku minta engkau menunggu keajaiban ini, kalau tidak . . ."
"Kalau tidak?" "Aku akan menyebutmu orang yang tak tahu terima kasih."
"Maafkan saya, Count!"
"Dengarkan, Maximilien. Aku begitu mengasihammti sehingga apabila aku tidak
berhasil menyembuhkanmu dalam tempo sebulan, aku-sendiri yang akan menghadap'
kanmu kepada pistol ini dan sebotol racun yang paling mematikan di Italia, racun
yang lebih cepat dan lebih mematikan daripada racun yang digunakan untuk
membunuh Valentine."
"Tuan mau berjanji begitu?"
"Bukan hanya berjanji, melainkan bersumpah!" jawab Monte Cristo sambil memegang
tangan Maximilien. "Dalam tempo sebidai., demi kehormatan Tuan, apabila saya tetap tidak
tersembuhkan, Tuan akan membiarkan saya menentukan hidup saya sendiri seperti
yang saya sukai, dan apa pun yang saya iakukan Tuan tidak akan mengatakan saya
tidak tahu terima kasih."
"Tepat sebulan sejak hari ini, dan hari ini adalah hari keramat. Aku tidak tahu
apakah engkau menyadari bahwa liari ini tanggal lima September. Sepuluh tahun
yang lalu, tepat pada tanggal ini aku menyelamatkan jiwa ayahmu ketika beliau
mau mengakhiri hidupnya."
Maximilien mengambil tangan Monte Cristo lalu menciumnya. Monte Cristo
membiarkannya, seakan-akan dia menganggap penghormatan itu wajar saja.
"Sebulan sejak hari ini, pada tanggal dan jam yang sama," lanjut Monte Cristo,
"kita akan duduk berhadapan dengan senjata yang baik dan racun yang nyaman di
atas meja antara kita. Sebagai imbalan, maukah engkau berjanji akan tetap tabah
sampai waktu itu?" "Saya bersumpah."
Monte Cristo mendekapkan anak muda itu ke dadanya untuk beberapa lama.
"Sekarang," katanya, "engkau tinggal di rumahku.
Engkau boleh memakai kamar Haydee."
"Haydee" Ke mana dia?"
"Dia sudah berangkat tadi malam. Dia menunggu aku menyusulnya. Bersiap-siaplah
untuk pindah ke Champs Elysees, tetapi sebelum itu, tolong saya, keluarkan
dahulu dari rumah ini tanpa dilihat orang,"
Maximften mengangguk, lalu menurut seperti anak kecil
. . . atau seperti seorang murid.
BAB LXIII ALBERT dan ibunya menyewa sebuah kamar di lantai
tiga di sebuah hotel di Rue Saint-Germain-des-Pres. Kamar lain di lantai kedua
disewa oleh seorang laki-laki yang sangat aneh. Penyewa ini tidak pernah
kelihatan wajahnya baik ketika memasuki maupun ketika keluar dari kamarnya,
bahkan juga tidak oleh penjaga pintu. Ini disebabkan, kalau musim salju dia
selalu membungkus wajahnya dengan selendang merah, sedang di musim panas ia
selalu memalingkan wajah kalau melalui penjaga.
Kedatangannya selalu teratur. Dia datang menjelang jam empat sore, tetapi tidak
pernah menginap di kamarnya. Dua puluh menit setelah dia masuk kamar, selalu
saja datang sebuah kereta yang membawa seorang wanita yang
berpakaian hitam atau warna gelap dan selalu memakai cadar. Setelah melalui
penjaga wanita itu biasanya terus langsung naik tangga dengan langkah-langkahnya
yang ringan tidak bersuara. Tidak ada. orang yang iseng menanyakan siapa yang
hendak dikunjunginya. Oleh sebab itu pula wajahnya tidak pernah diketahui oleh
penjaga yang dua orang itu Barangkali hanya kedua orang itulah dari seluruh
penjaga hotel di Paris yang mampu menahan diri tidak mencampuri urusan orang
lain. Wanita itu tidak pernah naik ke tingkat lebih atas dari lantai dua. Di sana dia
mengetuk pintu kamar dengan cara tertentu, lalu pintu akan terbuka, dan dia
segera masuk kemudian pintu cepat-cepat ditutup rapat-rapat lagi.
Demikian pula caranya mereka meninggalkan hotel.
Dengan tetap bercadar wanita itu selalu keluar lebih dahulu, naik ke dalam
keretanya lalu berangkat, sekali menuju ke arah sana, lain kali mengambil arah
yang lain. Dua puluh menit kemudian baru yang laki-laki keluar, wajahnya
tertutup selendang atau saputangan, lalu menghilang.
Pada hari Monte Cristo mengunjungi rumah Danglars, atau pada hari penguburan
Valentine, penghuni kamar yang penuh rahasia ini datang pada jam sepuluh pagi,
bukan jam empat sore. Beberapa saat kemudian, sebuah kereta datang, dan wanita
bensandar itu berlari menaiki tangga ke lantai dua. Pintu kamar terbuka dan
menutup lagi setelah wanita itu masuk. Tetapi sebelum pintu itu rapat betul
wanita itu sudah berteriak, "Oh, Lucien!"
Mau tak mau penjaga di bawah mendengar teriakan ini.
Baru kali inilah dia mendengar bahwa penyewa kamar itu bernama Lucien. Namun,
sebagai seorang penjaga hotel teladan ia berjanji kepada dirinya sendiri untuk
tidak memberitahukan kepada istrinya.
"Ada apa?" tanya laki-laki itu.
"Bisa aku mengharapkan bantuanmu?"
"Tentu saja, engkau tahu itu. Tetapi katakan dahulu ada apa" Suratmu tadi pagi
sangat mencemaskan."
"Lucien, suamiku telah pergi tadi malam."
"Pergi" Tuan Danglars pergi" Ke mana?"
'Tidak tahu." "Maksudmu, dia pergi untuk selama-lamanya?"
"Aku kira begitu. Dia meninggalkan surat. Ini, baca saja."
Nyonya Danglars mengeluarkan sepucuk surat dan menyerahkannya kepada Debray.
Debray menerimanya dan membaca kalimat: "Kepada istriku yang setia." Tanpa sadar
dia berhenti dan melihat kepada Nyonya Danglars, yang pipinya menjadi merah
padam. "Baca," katanya
Debray melanjutkan membaca:
Kalau engkau membaca surat ini, engkau sudah tidak mempunyai suami lagi. Oh,
jangan terlampau terkejut dahulu: engkau tidak mempunyai suami dalam arti kata
sama dengan engkau tidak mempunyai anak lagi. Dengan kata-kata lain, aku sudah
berada di salah satu dari empat puluh jalan yang menuju ke luar Perancis.


The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku wajib memberi penjelasan, dan engkau adalah wanita yang dapat memahaminya
dengan baik. Tadi pagi aku harus melakukan pembayaran sebanyak lima juta frank,
dan aku memenuhinya. Tetapi hampir pada saat yang bersamaan, permintaan lain
untuk jumlah yang sama diajukan kepadaku.
Aku menangguhkannya sampai besok. Aku pergi hari ini untuk menghindari hari esok
itu yang akan sangat tidak menyenangkan bagiku. Engkau tentu mengerti, bukan"
Engkau akan dapat memahaminya karena engkau mengetahui semua persoalanku seperti
aku sendiri. Bahkan sebenarnya, engkau lebih mengetahui daripada aku sendiri,
karena bila ada orang bertanya apa yang terjadi dengan setengah dari kekayaanku
yang pernah menakjubkan orang, aku tidak akan dapat menjawabnya, sedangkan
engkau aku yakin dapat memberikan jawaban yang masuk akal.
Pernahkah engkau kagum akan kecepatan kejatuhanku, Nyonya" Pernahkah engkau
merasa heran melihat betapa mendadaknya emasku mencair dan menguap" Aku
mengakui, aku pun bingung. Aku hanya mengharap mudah-mudahan engkau masih dapat
menemukan beberapa keping dari puing-puing kehancuranku. Dengan harapan itulah
aku pergi, wahai istriku yang baik dan bijaksana, tanpa sedikit pun merasa men-
telantarkanmu. Engkau masih mempunyai kawan-kawan, puing-puing yang kumaksud
tadi, dan terutama sekali engkau mempunyai kemerdekaan yang kuberikan lebih
cepat. Sekarang baiklah kutambahkan beberapa penjelasan pribadi.
Sepanjang engkau berusaha untuk kepentingan keluarga kita atau demi masa depan
kita, aku bersedia menutup mata. Tetapi karena ternyata engkau justru
menghancurkan keluarga kita, aku berkeberatan untuk menjadi sumber kekayaan
orang lain. Engkau memang kaya, tetapi kurang dihormati orang ketika aku
mengawinimu (maafkan karena berbicara terus-terang). Tetapi karena aku percaya
bahwa hanya engkau sendiri yang akan membaca surat ini aku tak melihat alasan
mengapa aku harus memilih kata-kata ini.
Aku berhasil melipatgandakan kekayaan kita, yang terus meningkat selama lima
belas tahun sampai terjadinya serangkaian musibah yang sampai sekarang tetap
tidak dapat aku pahami. Yang pasti bukan karena kesalahanku. Sebaliknya engkau berusaha hanya untuk
menambah kekayaanmu sendiri, dan aku percaya engkau berhasil. Aku tinggalkan
engkau sekarang dalam keadaan seperti ketika aku menemukanmu dahulu, dengan
kekayaan yang lumayan dan nama yang tidak begitu baik. Mulai hari ini aku pun
akan bekerja untuk diriku sendiri. Terima kasih untuk teladan yang kauberikan
kepadaku. Suamimu yang tercinta BARON DANGLARS
Nyonya Danglars tidak melepaskan pandangannya
kepada Debray selama dia mambaca surat yang panjang dan pedih itu. Dua kali dia
melihat pipi Debray memerah, padahal laki-laki itu terkenal kuat menguasai diri.
Dengan tenang Debray melipat kembali surat itu dan diam untuk beberapa lamanya.
"Bagaimana?" tanya Nyonya Danglars.
"Bagaimana?" tanya Debray kembali seperti tak acuh
"Apa pendapatmu sesudah membaca surat itu?"
"Sederhana sekali. Pendapatku, suamimu itu menaruh sesuatu kecurigaan."
"Jelas, tetapi hanya itukah pendapatmu?"
"Aku tidak mengerti" jawab Debray dingin.
"Dia sudah pergi . . . pergi untuk selama-lamanya! Dia tidak akan kembali!"
"Aku kira tidak."
"Tidak, dia tidak akan kembali. Aku cukup
mengenalnya. Dia teguh sekali kalau sudah mengenai kepentingannya sendiri. Kalau
dia-berpendapat aku dapat berguna baginya, tentu aku sudah dibawanya. Ternyata
dia meninggalkan aku di Paris, berarti perceraian adalah rencananya selanjutnya.
Ini tidak perlu disangsikan lagi, dan aku merdeka untuk selama-lamanya," kata
Nyonya Danglars dengan air muka mengharap. Tetapi Debray tidak mengacuhkannya.
"Apa tak ada yang akan kaukatakan?" akhirnya dia bertanya.
"Aku hanya mempunyai sebuah pertanyaan: apa rencanamu?"
"Justru aku yang mau menanyakan itu kepadamu," kata Nyonya Danglars, hatinya
harap-harap cemas. "Maksudmu engkau meminta nasihatku?"
"Betul . . . aku minta nasihatmu" jawab Nyonya Danglars harapannya mulai
menipis. "Karena engkau meminta," jawab Debray masih tetap dingin, "aku sarankan untuk
bepergian." "Bepergian!" "Ya, bepergian. Seperti kata suamimu, engkau kaya dan merdeka, dan aku pikir
menyingkir dari Paris perlu sekali bagimu setelah mengalami musibah ganda, yaitu
putusnya pertunangan putrimu dan menghilangnya suamimu.
Engkau harus berusaha sedemikian rupa sehingga orang percaya bahwa engkau
ditelantarkan oleh suamimu dan mengira engkau miskin. Tetaplah di Paris untuk
beberapa minggu dan ceriterakan kepada kawan-kawanmu
bagaimana engkau ditinggalkan oleh suamimu. Mereka akan menceriterakan-nya
kembali kepada yang lain-lain Setelah itu barulah pergi, dan tinggalkan semua
perhiasanmu. Percayalah, semua orang akan berpihak kepadamu. Selanjutnya
masyarakat akan beranggapan bahwa engkau benar-benar ditinggalkan kabur dan
miskin, karena hanya akulah yang tahu tentang keadaan
keuanganmu. Dan sekarang aku sudah siap untuk membagi keuntungan kita sebagai
rekan yang jujur." Nyonya Danglars mendengar kata-kata ini dengan kecemasan dan keputusasaan yang
setara dengan ketenangan dan ketidakacuhan Debray.
"Ditinggal kabur!" kata Nyonya Danglars mengulang.
"Ya, aku ditinggal kabur. Orang tak akan menyangsikan nya." Hanya itulah jawaban
yang dapat diberikan Nyonya Baron yang sudah hilang harapannya untuk menjadi
istri Debray. "Jangan lupa, engkau ini kaya, kaya sekali" lanjut Debray sambil mengeluarkan
seberkas kertas dari tasnya, lalu membeberkannya di atas meja. Nyonya Danglars
sedang sibuk menahan debar jantung dan air mata yang terasa sudah mendesak. Rasa
harga dirinya menang, sekalipun hatinya masih tetap berdebar-debar, namun ia
berhasil menahan air mata.
"Kita sudah bekerjasama selama enam bulan," kata Debray. "Engkau mulai
menurunkan modal seratus ribu frank. Kita membangun kerjasama ini dalam bulan
April dan mulai bergerak sejak Mei. Dalam bulan Mei kita mendapat untung empat
ratus lima puluh ribu frank. Bulan Juni keuntungan kita bertambah dengan
sembilan ribu. Bulan Juli kita memperoleh satu juta tujuh ratus frank - ini dari saham-saham
Spanyol itu. Permulaan bulan Agustus kita merugi tiga ratus ribu,' tetapi pada
tanggal lima belas bulan itu juga kita berhasil meraihnya kembali. Keuntungan
kita sejak permulaan sampai hari kemarin menunjukkan jumlah dua juta empat ratus
ribu frank, atau satu juta dua ratus ribu untuk masing-masing. Uangmu ada di
sini sekarang. Aku menganggap lebih aman membawanya
selalu daripada menyimpannya di rumah atau
menitipkannya kepada notaris."
Setelah mula-mula membuka lemari, lalu koper, Debray berkata lagi, "Ini, delapan
ratus lembar uang kertas seribuan, dan ini surat berharga yang dapat ditukarkan
setiap saat. Karena bankirku bukan Tuan Danglars, engkau boleh yakin bahwa surat
ini dapat segera ditukarkan dengan uang tunai."
Kekayaan yang begitu banyak yang terletak di atas meja, sama sekali tidak
memberikan kesan apa-apa kepada Nyonya Danglars. Dengan mata kering tetapi hati
bengkak karena sedih, dia mengambil uang itu, lalu memasukkannya ke dalam
tasnya. Setelah itu dia menanti dengan penuh harap akan kata-kata manis Debray.
Namun harapannya sia-sia.
"Dengan kekayaan itu," kata Debray, "engkau akan mempunyai penghasilan sebanyak
sekitar empat puluh ribu frank setahun, suatu jumlah yang cukup besar untuk
seorang wanita yang tidak akan berumah tangga sekurang-kurangnya setahun lagi.
Jumlah itu akan dapat memenuhi semua keinginan apa saja yang timbul dalam
hatimu." Tanpa menunjukkan tanda-tanda marah, tetapi juga
tanpa ragu-ragu Nyonya Danglars mengangkat kepala, membuka pintu lalu berlari ke
luar, bahkan juga tanpa mengucapkan selamat tinggal kepada laki-laki yang
memperlakukannya begitu rupa.
Dengan tenang Debray mengambil buku catatannya, lalu menuliskan jumlah yang baru
dibayarkannya. Di atas kamar Debray, ada kamar lain yang dihuni oleh dua orang lain. Mercedes
dan Albert. Mercedes berubah banyak sekali dalam beberapa hari ini Matanya sudah tidak
bercahaya lagi, bibirnya sudah tidak berhiaskan senyuman lagi, dan
kebingungannya menghilangkan kefasihan bicaranya. Bukan kemiskinan itu yang mematahkan
semangatnya, bukan pula karena
keberanian untuk menanggung kemiskinan, sekalipun tak dapat disangkal bahwa apa
yang berada di sekelilingnya menunjukkan tanda-tanda kemiskinan. Dinding kamar
dilapisi dengan kertas dinding berwarna abu-abu yang sengaja dipipih oleh
pemilik hotel agar tidak lekas kotor. Perabotan kamarnya seakan-akan berteriak-
teriak meminta perbaikan.
Pendeknya segala apa yang berada dalam kamar itu sangat tidak menyenangkan bagi
orang yang sudah terbiasa dengan kemewahan dan selera yang tinggi.
Albert berusaha menyesuaikan diri dengan keadaannya sekarang, tetapi hatinya
masih terganggu juga karena masih ada sisa-sisa kemewahan yang melekat pada
dirinya. Dia menganggap tangannya terlalu putih bersih untuk tidak mengenal
sarung tangan, dan berpendapat sepatunya masih terlalu mengkilap untuk berjalan
kaki sepanjang jalan. "Ibu," katanya, pada saat Nyonya Danglars meninggalkan kamar Debray, "mari kita
hitung kekayaan kita. Saya perlu tahu untuk dapat menentukan rencana saya."
"Jumlahnya, nol," kata Mercedes dengan senyum sedih.
"Tidak" Jumlahnya tiga ribu frank, dan saya kira kita dapat hidup lumayan dengan
jumlah itu." "Anakku!" Mercedes mengeluh
"Mengapa" Tiga ribu jumlah yang cukup besar. Saya sudah merencanakan masa depan
yang meyakinkan dengan jumlah itu."
'Terlebih dahulu harus kita tetapkan, apakah kita akan menerima jumlah yang tiga
ribu itu?" tanya Mercedes, pipinya memerah.
"Saya kira kita sudah sepakat untuk menerimanya, terutama sekali karena uang itu
masih tetap terkubur dalam kebun rumah di Marseilles. Kita mempunyai bekal yang
memadai untuk bepergian sampai Marseilles. Saya telah menjual arloji saya
seharga seratus frank, dan itu belum semua . . . apa pendapat Ibu tentang ini?"
Albert mengeluarkan uang kertas seribu frank.
"Dari mana kaudapat itu?"
"Begini, tetapi harap Ibu jangan terkejut. Saya telah mendaftarkan diri masuk
resimen Spahis kemarin. Saya sadar, sekurang-kurangnya badan saya adalah milik
sendiri, oleh karena itulah kemarin saya menjual diri menjadi perjurit. Ternyata
saya menerima lebih besar daripada yang saya harapkan," Albert mencoba
tersenyum, "Saya akan dibayar dua ribu frank."
"Jadi, yang seribu ini . . ."
"Baru setengahnya Yang setengahnya lagi akan saya terima tahun depan."
Dua butir air mata bergulir di pipi Mercedes. "Harga darahnya?" katanya
perlahan-lahan. "Kalau saya mati terbunuh, benar," jawab Albert tertawa.
"Tetapi saya ingin meyakinkan Ibu bahwa saya akan berusaha sekuat tenaga untuk
tidak terbunuh dalam pertempuran. Saya- tidak pernah mempunyai gairah hidup
sekuat sekarang. Selain dari itu, coba bayangkan betapa Ibu akan merasa bangga
melihat saya dalam seragam yang bagus itu! Saya akui, saya memilih resimen
Spahis itu semata-mata karena seragamnya yang gagah."
Mercedes pun mencoba tersenyum.
"Jadi," lanjut Albert, "Ibu mempunyai empat ribu frank.
Dengan uang itu Ibu akan dapat bertahan untuk selama dua tahun."
"Kaukira begitu?" kata-kata ini meluncur dalam nada sedih yang benar-benar murni
sehingga Albert menangkap maksud yang sebenarnya. Darahnya tersirap.
Dia memegang tangan ibunya dan menekannya dengan
lembut, lalu berkata, "Ya, Ibu akan tetap hidup."
"Aku akan hidup!" kata Mercedes, semangatnya menaik lagi. 'Tetapi hendaknya
engkau jangan meninggalkanku."
"Ibu," jawab Albert teguh, "Ibu begitu mencintai saya sehingga Ibu tentu tidak
akan mengijinkan saya tetap menganggur dan tak berguna. Lagi pula saya sudah
menandatangani kontraknya."
"Bertindaklah menurut kemauanmu, anakku, dan aku akan menyerahkan diri kepada
keinginan Tuhan." . "Saya tidak bertindak menurut kemauan sendiri, Ibu,
melainkan menurut pemikiran dan keperluan. Kita berada dalam keadaan terdesak.
Apa arti hidup buat kita sekarang" Tak ada. Dan apa arti hidup bagi saya tanpa
Ibu. Saya ingin menegaskan kalau tidak untuk kepentingan Ibu, saya sudah bunuh
diri pada hari saya menolak memakai nama ayah.
Tetapi saya akan tetap mempertahankan hidup kalau Ibu berjanji untuk tidak putus
harapan. Kalau Ibu mempercayakan kebahagiaan Ibu di masa depan ke dalam tangan saya, ini akan
melipatgandakan kekuatan saya.
Setelah nanti berada di Afrika, saya akan mencoba menghadap Gubernur Aljajair.
Saya akan menceriterakan latar belakang kita, dan saya akan memohon agar beliau
sudi memperhatikan saya sewaktu-waktu. Kalau behau mau memperhatikan saya
berjuang, dalam enam bulan saja, mungkin saya sudah menjadi perwira atau menjadi
mayat. Kalau saya menjadi perwira, hidup kita akan terjamin, karena saya mempunyai
cukup uang dan nama baru yang dapat kita banggakan. Dan seandainya saya
gugur ... terserah kepada Ibu jalan mana yang akan Ibu tempuh untuk mengakhiri
penderitaan." "Baik, anakku," jawab Mercedes dengan sorot mata bergairah. "Engkau benar, mari
kita buktikan bahwa kita cukup berharga untuk disayangi orang."
"Ibu dapat berangkat hari ini juga ke Marseilles. Saya sudah mempersiapkan
segala sesuatunya untuk perjalanan itu."
"Dan engkau sendiri?"
"Saya masih harus tinggal di Paris untuk dua atau tiga hari lagi Saya memerlukan
surat-surat perkenalan untuk urusan di Afrika dan keterangan tertentu mengenai
negri itu. Saya akan menyusul kemudian."
"Baik. Kita berangkat saja," kata Mercedes, sambil melilitkan satu-satunya
selendang yang ia bawa. Albert cepat-cepat membereskan surat-menyuratnya.
Setelah itu dia memanggil pemilik hotel untuk membayar rekeningnya. Sambil
menuntun ibunya dia menuruni
tangga. Seorang laki-laki yang berjalan di mukanya, menoleh ke atas karena mendengar
gemerisiknya suara pakaian wanita.
"Debray!" Albert berteriak heran.
"Engkau di sini, Morcerf?" jawab Debray tidak kalah heran. Dia berhenti.
Keinginan tahunya lebih kuat dari pada keinginan tidak dikenal. Lagi pula dia
tokh sudah diketahui. Dalam cahaya remang-remang dia melihat wanita bercandar
hitam di samping Albert. Dia lalu tersenyum. "Oh, maaf, aku tidak akan
mengganggumu." Albert mengerti maksud Debray. "Ibu!" katanya agak keras sambil menoleh kepada
Mercedes, "ini Tuan Debray, Sekertaris Kementerian Dalam Negri dan bekas kawan
saya." "Apa maksudmu dengan bekas kawan?" Debray heran.
"Karena sekarang saya sudah tidak mempunyai kawan lagi, dan tidak boleh
mempunyainya lagi. Aku berterima kasih sekali karena engkau sudi menyapa."
Debray memegang tangan Albert erat-erat. "Percayalah Albert, betapa sedihnya aku
mendengar kejadian yang menimpamu dan betapa aku gembiranya kalau dapat
membantumu." 'Terima kasih." jawab Albert tersenyum. "Di tengah-tengah musibah itu kami masih
cukup kaya untuk tidak meminta bantuan siapa pun juga. Kami akan meninggalkan
Paris dengan lima ribu frank di tangan, sisa dari segala ongkos-ongkos
perjalanan dan lain-lain."
Walaupun Debray bukan orang yang mampu menilai
perbandingan-perbandingan yang puitis, namun tak urung terlintas dalam
pikirannya bahwa dalam hotel yang itu, pernah ada dua orang wanita, yang satu
sering dihinakan orang dan merasa tetap miskin walau mempunyai satu setengah
juta frank di tangannya, sedang yang seorang lagi ditimpa musibah bukan karena
kesalahannya, namun tetap tabah dan merasa kaya dengan hanya beberapa ribu
frank. Perbedaan ini sangat mempengaruhinya, sehingga dia terlupa kepada sopan santun.
Dia berkata perlahan-lahan kepada dirinya sendiri, lalu pergi cepat-cepat tanpa
pamit. Pada hari itu, anak buahnya di kantor banyak menderita karena Debray sering
marah-marah tak menentu. Tetapi pada malam harinya, dia sudah berbahagia lagi
karena berhasil memiliki sebuah rumah indah dan mempunyai penghasilan lima puluh


The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ribu frank setahun. Setelah mencium dan dicium anaknya dengan mesra,
Mercedes naik ke atas sebuah kereta pos sekira jam lima sore.
Seorang laki-laki mengawasi kepergiannya dari sebuah tempat tersembunyi Sambil
mengusap dahinya, laki-laki itu berkata kepada dirinya sendiri: ''Bagaimana saya
harus mengembalikan kebahagjan yang telah kurenggut dari kedua orang yang tidak
berdosa itu" Semoga Tuhan
menolongku." BAB LXIV SALAH satu sudut dalam penjara La Force yang
digunakan untuk menyekap penjahat-penjahat yang paling berbahaya di sebut Istana
Saint Bernard. Tetapi penghuninya sendiri menyebutnya 'Sarang Singa'. Mungkin karena para penghuninya
mempunyai gigi tajam untuk menggigit jeruji-jeruji besi atau kadang-kadang
menggigit para penjaga Tempat itu merupakan penjara dalam penjara.
Dindingnya dua kali lebih tebal dari bagian-bagian lain.
Setiap hari sipirnya memeriksa jeruji-jeruji jendelanya. Para penjaganya yang
bertubuh kekar dan bermata cerdik semuanya orang pilihan untuk menguasai segala
kehebohan yang mungkin terjadi.
Pekarangannya dikelilingi lagi oleh dinding tinggi tebal.
Di situlah berkeliaran dari pagi sampai malam orang-orang yang oleh hukum
diancam dengan pisau gilyotin.
Seorang anak muda berjalan-jalan dengan tangan di kantong jasnya. Hampir semua
penghuni Sarang Singa memperhatikannya dengan seksama. Dari pakaiannya, anak
muda ini tampak sebagai orang baik-baik dan
terhormat, seandainya1 berada di luar penjara. Pakaiannya belum lusuh atau
cabik-cabik, dibuat dari bahan yang mahal. Sepatunya tetap mengkilap berkat
kerajinannya menggosok dengan sudut-sudut saputangannya.
Dari sebuah pintu kecil terdengar orang Berteriak, "Benedetto!"
"Engkau memanggilku?" jawab narapidana itu. "Ke ruang tamu!"
Andrea terkejut, karena tidak seperti narapidana lain, ia tidak pernah merasa
memanfaatkan kesempatan menulis surat ke luar untuk meminta dikunjungi.
"Aku rupanya berada di bawah lindungan suatu kekuasaan tertentu" katanya kepada
dirinya sendiri. Segala galanya membuktikan itu. Kekayaan yang mendadak,
kemudahan mengatasi semua rintangan, keluarga yang tiba-tiba muncul, gelar baru
dan kesempatan mengawini seorang putri hartawan. Pelindungku meninggalkanku
sekarang, namun aku kira tak akan lama. "Mengapa aku harus terburu-buru" Ini
bisa mempengaruhi niat baik pelindungku. Ada dua jalan buat dia menolongku:
pertama, mengatur pelarian rahasia dengan penyuapan, atau dengan cara apa pun
menekan hakim untuk memutuskan aku tidak bersalah. Aku tidak akan berbuat apa
pun sebelum aku yakin benar bahwa aku betul-betul ditinggalkan oleh pelindungku,
tetapi..." Andrea telah merancang suatu rencana yang cerdik seka li. Anak muda ini berani
dalam menyerang dan ulet dalam mempertahankan diri. Daya tahannya pernah kuat
sekali berkat kekerasan dan kekejaman hidup dalam penjara.
Namun demikian, sedikit demi sedikit alam atau mungkin juga kebiasaan telah me
ubah daya tahannya itu. Dia sudah mulai merasa tersiksa oleh keburukan pakaian,
kekotoran dan kelaparan. Menunggu dan berharap sudah
dirasakannya berat sekali.
Dalam keadaan demikian ia dipanggil. Hatinya melonjak gembira. Dia diantar
penjaga ke sebuah ruangan yang dibagi menjadi dua bagian dengan jeruji besi
sebagai penyekat. Di bagian yang sebelah lagi dia melihat Bertuccio.
"Hallo, Benedetto," katanya dengan nada suara yang dalam.
"Engkau!" Andrea terkejut, matanya liar ketakutan.
"Engkau tidak mengenalku lagi, Benedetto?"
"Jangan keras-keras!" jawab Benedetto yang tahu bahwa dinding-dinding berkuping.
"Engkau mau kita berbicara dengan aman?"
"Ya!" Bertuccio mengambil sesuatu dari dalam sakunya, lalu berkata kepada seorang
penjaga yang kelihatan melalui sebuah jendela berterali. "Baca ini."
"Apa itu?" tanya Andrea.
"Surat perintah untuk memberimu kamar tersendiri dan yang membolehkan aku
berbicara denganmu di sana."
"Oh!" Dan segera pula dia berkata kepada dirinya sendiri. 'Pelindung yang tidak
dikenal itu! Dia tidak melupa-kanku. Bertuccio diutus olehnya."
Penjaga berunding dengan atasannya. Setelah itu membawa Andrea ke sebuah kamar
di lantai dua yang menghadap ke pekarangan. Dinding kamar itu putih dikapur,
seperti biasanya dalam sebuah penjara. Untuk Andrea merupakan suatu kemewahan
yang mempesonakan. Di dalamnya terdapat: tungku api, sebuah ranjang, sebuah
kursi dan meja. Bertuccio duduk di kursi, Andrea melonjor di ranjang, dan penjaga itu pergi.
"Nah, apa yang hendak kaukatakan sekarang?" tanya Bertuccio.
"Dan engkau sendiri?"
"Engkau dahulu."
"Tidak.... engkaulah yang menemuiku."
"Baik. Engkau tidak merubah tingkah lakumu Engkau telah mencuri dan membunuh."
"Kalau itu yang hendak kaukatakan, sebenarnya engkau tak perlu bersusah-payah
memberiku kamar tersendiri ini.
Aku tahu aku tidak berubah. Tetapi masih banyak yang tidak kauketahui. Sebab itu
lebih baik kita bicara tentang yang belum kauketahui itu, kalau engkau tidak
berkeberatan. Pertama-tama, siapa yang mengutusmu ke mari?"
"Rupanya engkau kurang sabar, Benedetto!"
"Betul,jangan-kita-membuang-buang-waktu.Siapa-yang mengutusmu?"
"Tidak ada." "Bagaimana engkau tahu aku di sini?"
"Aku mengenalimu sebagai laki-laki pesolek yang sombong ketika engkau sering
berkereta sepanjang Champs Elysees."
"Champs Elysees! Nah kita sudah makin dekat kepada titik persoalan. Coba
ceriterakan tentang ayahku."
"Siapa kaukira aku ini?"
"Ayah tiri, wahai kawan yang baik. Tetapi aku tidak percaya bahwa engkaulah yang
memberiku seratus ribu frank yang sudah aku habiskan dalam lima bulan. Bukanlah
engkau pula yang tiba-tiba memberiku seorang ayah bangsawan Italia. Bukan engkau
yang memperkenalkan aku ke dalam masyarakat Perancis dan sebuah pesta makan di
Auteuil. Dan aku kira bukan engkau pula yang mendukung aku dengan dua juta
frank, ketika aku akan kawin dengan anak hartawan. Sayang sekali batal karena
kecelakaan." "Apa yang mau engkau dengar?" tanya Bertuccio.
"Karena engkau mengatakan Champs Elysees, mulailah dari sana,"
"Maksudnya?" "Ada seorang hartawan tinggal di jalan Champs Elysees itu."
"Di mana engkau membunuh dan merampok?" "Ya, aku kira begitu."
"Engkau berbicara tentang Count of Monte Cristo.
Betul?" "Tepat sekali. Sekarang tolong katakan, apakah aku harus merangkul dan
mendekapnya sambil berkata: 'Ayah!
Ayah!?" "Jangan bergurau," jawab Bertuccio tenang, "dan jangan lagi berani berkata
begitu." "Mengapa?" tanya Andrea, sedikit terkejut melihat dan mendengar ketenangan
Bertuccio. "Oleh karena Count of Monte Cristo orang yang terlalu diberkahi untuk menjadi
ayah seorang penjahat sepertimu "
"Kata-kata yang sedap, tetapi... . "
"Akan kubuktikan dengan lebih daripada kata-kata, kalau engkau tidak hati-hati."
"Mengancam rupanya! Aku tidak takut! Aku katakan..."
"Engkau mengira berhadapan dengan orang kerdil seperti dirimu sendiri."
Bertuccio berbicara dengan ketenangan dan air muka yang meyakinkan sehingga
menyebabkan Andrea bingung dan takut. "Engkau berada dalam genggaman tangan yang
mengerikan, Andrea. Tangan itu bersedia melepaskanmu. Manfaatkanlah itu. Tetapi
jangan mempermainkan tangan yang sekarang dengan sengaja melemahkan pegangannya, yang
segera akan menyergapmu lagi kalau engkau mengganggu kebebasan bergeraknya."
"Aku ingin tahu siapa ayahku!" tanya anak muda yang keras kepala itu. "Dan aku
akan mencarinya sampai ketemu, apa pun yang harus terjadi. Siapa ayahku?"
"Untuk itulah aku datang ke mari."
''Ah!" matanya berkilat gembira.
Tepat saat itu pintu terbuka dan seorang penjaga masuk.
"Maaf, Tuan," katanya kepada Bertuccio. "Jaksa pemeriksa sudah menunggu anak
muda ini." "Aku akan kembali besok," kata Bertuccio.
Andrea mengulurkan tangannya untuk salaman, tetapi Bertuccio tetap menyimpan
tangannya di sakunya. Andrea memaksa diri untuk tersenyum, tetapi dia sangat terpengaruh oleh
ketenangan Bertuccio yang mengherankan itu.
"Mungkinkah aku keliru?" pikirnya. "Kita lihat saja"
Lalu dia berkata keras kepada Bertuccio, "Sampai besok."
"Sampai besok" kata Bertuccio.
BAB LXV VILLEFORT belum bertemu lagi dengan ayahnya sejak meninggalnya Valentine. Selama
ini dia mengunci diri mempersiapkan segala sesuatu untuk mengadili perkara
pembunuhan Caderousse. Peristiwa ini, seperti juga peristiwa-peristiwa lainnya
di mana nama Count of Monte Cristo terlibat, selalu menarik perhatian masyarakat
Paris. Sebenarnya, bukti yang ditemukan itu tidak terlampau meyakinkan, oleh
karena hanya berupa secarik kertas dengan beberapa kalimat yang ditulis oleh
pelarian narapidana yang lagi sekarat, menuduh kawan sepelariannya. Mungkin saja
tuduhan itu hanya didasarkan kepada keinginan membalas dendam belaka. Hanya
Villefort sendiri yang percaya bahwa Benedetto benar bersalah.
Pengadilan akan mulai bersidang tiga hari lagi, berkat ketekunan kerja
Villefort. Valentine belum lama dikuburkan, sehingga orang tidak merasa heran
melihat Villefort terserap oleh pekerjaannya, oleh karena hanya pekerjaan itulah
yang dapat mengalihkan kesedihannya.
Karena merasa letih dan pikirannya pun sudah terasa berat, ia keluar berjalan-
jalan ke kebun. Dari kebun itu dia melihat salah satu jendela kamar Noirtier
masih terbuka. Rupanya Noirtier sedang menikmati sinar terakhir matahari musim panas.
Pandangan Noirtier diarahkan kepada sesuatu, air mukanya menunjukkan kebencian
dan ketidak sabaran. Villefort mengikuti arah pandangannya, ingin mengetahui
siapa yang menjadi sasaran mata ayannya itu. Di bawah
serumpun pepohonan dia melihat istrinya sedang duduk membaca di bangku. Sewaktu-
waktu dia berhenti membaca untuk tersenyum kepada Edouard atau melemparkan
kembali bola yang terus-menerus dilemparkan anaknya dan dalam rumah ke kebun.
Wajah Villefort menjadi pucat, sebab dia mengerti pikiran Noirtier. Tiba-tiba
pandangan Noirtier berpindah dari istrinya kepada dirinya. Sekarang Villefortlah
yang harus menerima pancaran mata kebencian itu. Perlahan-lahan dia berjalan
menuju rumah. Dia dapat merasakan pandangan ayahnya yang senantiasa
mengikutinya. Wajah Noirtier menengadah seakan-akan dia hendak mengingatkan
Villefort kepada janjinya.
"Sabarlah, Ayah," kata Villefort yang sudah berdiri di bawah jendela kamar
Noirtier. "Sabarlah untuk sehari lagi saya akan tepati janji saya."
Tampaknya Noirtier menjadi sedikit tenang mendengar ini. Dia mengalihkan
pandangannya ke arah lain, sedang Villefort dengan paksa melepaskan kancing
lehernya karena terasa sangat mencekik. Setelah itu mengusap dahi, lalu kembali
ke kamar kerjanya. Pada malam itu, sesuai dengan kebiasaannya, Villefort lambat pergi tidur. Dia
bekerja sampai jam lima pagi, me-nelaah kembali laporan-laporan tentang
pemeriksaan kejak-saan terhadap Benedetto dan mempelajari lagi dengan seksama
pernyataan para saksi. Setelah itu, menyempurnakan dakwaan yang akan dibacanya.
Dakwaan ini merupakan yang paling baik yang pernah dibuatnya. Dia tertidur
sebentar, tetapi segera terbangun kembali karena kelap-kelip lampu yang hampir
habis minyaknya. Dia berjalan ke jendela dan membukanya. Cahaya kemerah-merahan
telah terbit di kaki langit. Udara yang lembab merasuk kedalam dirinya, dan
pikirannya menjadi segar kembali.
"Hari ini," katanya memaksakan diri, "orang yang memegang pedang hukum harus
menebas siapa saja yang bersalah." Tanpa disadarinya pandangannya berpindah ke arah
jendela kamar Noirtier. Tirainya masih tertutup namun bayangan wajah ayahnya
masih tetap segar sehingga tanpa disadarinya juga dia berkata seakan-akan
melihat pancaran mata ayahnya yang penuh ancaman. "Jangan khawatir,"
katanya. Dia berjalan hilir-mudik dalam ruang kerjanya beberapa kali, untuk akhirnya
merebahkan diri di kursi panjang tanpa mengganti pakaian dahulu. Bukan semata-
mata untuk tidur, melainkan hanya untuk melemaskan otot-otot yang sudah tegang.
Lambat-laun terdengar kehidupan dalam rumah itu. Dari kamar kerjanya Villefort
mendengar pintu tertutup dan terbuka, bunyi bel dari kamar istrinya memanggil
pelayan dan teriakan pertama anaknya, Edouard, yang bangun dengan riang seperti
layaknya anak-anak seusia dia.
Villefort membunyikan bel. Pelayannya yang baru masuk, mengantarkan koran pagi
dan secangkir coklat panas.
"Apa itu?" tanyanya.
"Coklat panas, Tuan."
"Aku tidak memintanya. Siapa yang menyuruh?"
"Nyonya, Tuan. Beliau mengatakan sidang pengadilan yang akan datang mungkin
sekali melelahkan Tuan, padahal Tuan memerlukan sekali kekuatan."
Pelayan itu meletakkan cangkir di atas meja, lalu keluar lagi. Villefort
memandang cangkir itu dengan air muka kecut, tetapi tiba-tiba mengambilnya dan
menghabiskannya sekali reguk. Seakan-akan dia mengharapkan coklat itu berisi
racun, seakan-akan dia hendak menjemput kematian untuk menghindarkan diri dari
kewajiban yang lebih berat dari mati. Dia berdiri, lalu berjalan lagi bolak-
balik. Pada wajahnya tersimpul senyuman yang sangat mengerikan.
Coklat itu tidak beracun, dan Villefort tidak merasakan apa-apa.
Waktu makan siang tiba, tetapi dia tidak hadir di meja makan. Pelayannya masuk
dan berkata, "Nyonya menyuruh saya memberitahu bahwa sudah jam sebelas dan
sidang akan dimulai pada jam dua belas."
"Lalu?" "Nyonya sudah siap dan menanyakan apakah beliau boleh turut?"
"Ke mana?" "Ke pengadilan."
"Mengapa?" "Nyonya mengatakan beliau ingin sekali menghadiri-nya.
"Ah!" jawab Villefort dengan nada yang keras. "Nyonya mau ikut?"
Pelayan itu mundur lalu berkata, "Bila Tuan hendak pergi sendiri, saya akan
sampaikan kepada Nyonya."
Untuk sejenak Villefort tidak menjawab, menggaruk-garuk pipinya yang pucat.
"Katakan. kepada Nyonya,"
akhirnya dia berkata, "bahwa aku ingin bicara dan supaya beliau menunggu di
kamarnya." "Baik, Tuan." "Setelah itu kau kembali lagi untuk mencukur dan membantu aku berpakaian."
"Baik, Tuan." Pelayan pergi, kembali lagi tidak lama kemudian, mencukur Villefort dan membantu
mengenakan pakaian berwarna gelap. Setelah selesai, baru dia berkata, "Nyonya
mengatakan beliau menunggu bila Tuan telah selesai berpakaian."
"Aku pergi sekarang."
Villefort berhenti di muka pintu kamar istrinya menghapus dahulu keringat yang
mengucur di dahi. Pintu dibukanya. Nyonya de Villefort sedang duduk di atas
sebuah bangku rendah berbantal, melihat-lihat dengan kesal koran yang telah
disobek-sobek anaknya sebelum dia sempat membacanya. Dia sudah siap untuk
bepergian. Topinya terletak di kursi sebelahnya dan sarung tangan sudah di-
kenakannya. "Ah! Wajahmu pucat sekali." Nada suaranya wajar dan tenang. "Rupanya engkau
bekerja semalam suntuk lagi Boleh aku ikut bersamamu, atau aku berangkat dengan
Edouard?" "Edouard!" kata Villefort kepada anaknya dengan nada memerintah. "Pergi bermain
di luar. Aku mau bicara dengan ibumu."
Edouard menengadah dan memandang kepada ibunya.
Karena ibunya tidak memberi isarat apa-apa, dia meneruskan lagi perbuatannya
mematah-matahkan kepala serdadu timahnya.
"Edouard!" teriak Villefort, begitu keras sehingga anak itu bangkit terkejut.


The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau dengar" Keluar!"
Anak yang tidak biasa menerima perlakuan seperti itu menjadi pucat. Sukar
dikatakan apakah karena marah atau karena takut. Ayahnya mendekatinya, memegang
tangannya lalu mencium dahinya, "Bermain sebentar di luar, anakku!"
Edouard meninggalkan kamar. Villefort mengunci pintunya.
"Apa artinya semua ini?" tanya wanita muda itu. Matanya menatap tepat ke wajah
suaminya sambil mencoba tersenyum.
"Di mana engkau menyimpan racun itu?" Villefort bertanya langsung. Dia berdiri
di antara istrinya dan pintu.
Menerima pertanyaan yang tiba-tiba dan menakutkan itu, perasaan Nyonya de
Villefort tak ubahnya seperti perasaan seekor burung kecil melihat rajawali yang
menyu-dutkannya untuk menerkam. Suara yang bukan teriakan dan bukan pula keluhan
terlontar dari dalam dadanya:
"Aku .. Aku tidak mengerti."
"Aku bertanya," kata Villefort dengan ketenangan yang mengherankan, "di mana
engkau menyembunyikan racun yang kaugunakan untuk membunuh kedua bekas mertuaku,
Barrois dan anakku Valentine."
"Oh! Apa yang kaukatakan?"
"Engkau harus menjawab, bukan bertanya."
"Apakah saya berhadapan dengan suami sendiri atau dengan seorang jaksa?" tanya
Nyonya de Villefort terbata-bata.
"Dengan jaksa, Nyonya, dengan jaksa!"
"Oh! Oh!" Hanya itu yang dapat keluar.
"Engkau belum menjawab, Nyonya!" teriak penanya yang menakutkan itu. Lalu dia
berkata lagi dengan senyuman yang lebih menakutkan daripada amarahnya. "Tentu
saja engkau tidak dapat menjawab, tetapi juga tidak menyangkal. Dan engkau tidak
akan dapat menyangkalnya."
Villefort mengarahkan tangannya ke tubuh istrinya seakan-akan hendak menerkamnya
atas nama keadilan. "Engkau melaksanakan kejahatanmu dengan ketrampilan yang mengagumkan. Orang
tidak akan pernah menyangka-mu berbuat demikian. Sejak kematian Nyonya de Saint-
Meran aku sudah tahu ada pembunuhan dalam rumah ini.
Dokter d'Avrigny memberitahu. Setelah pembunuhan Barrois, kecurigaanku . . .
semoga Tuhan memaafkanku ....
jatuh kepada seorang bidadari. Tetapi sesudah Valentine sendiri mati aku sudah
tidak ragu-ragu lagi demikian pula yang lain sama yakinnya seperti aku. Sudah
saatnya sekarang kejahatanmu dibongkar di muka umum. Seperti aku katakan tadi
aku bicara tidak sebagai suamimu, melainkan sebagai jaksa."
Wanita muda itu menyembunyikan mukanya di balik
kedua telapak tangannya. "Oh, aku ... aku mohon, jangan percaya..."
"Rupanya engkau seorang pengecut juga!" kata Villefort dengan nada menghina.
"Memang aku sudah lama tahu, bahwa peracun selalu seorang pengecut. Walau
demikian engkau masih mempunyai keberanian untuk membunuh
tiga orang dan menyaksikan mereka mati di depan matamu."
"Tidak! Tidak!"
"Dengan darah dingin engkau telah menghitung detik-detik terakhir empat orang
yang mati tersiksa oleh tanganmu," lanjut Villefort dengan perasaan benci yang
sudah meningkat "Engkau telah merancang rencana jahatmu dengan ketepatan yang
mengagumkan. Tetapi aku sangsi apakah engkau telah siap juga menghadapi akibat
dari perbuatanmu itu. Aku harap saja masih. Engkau mesti masih mempunyai
persediaan racun lain, yang lebih sedap tetapi lebih keras daripada yang telah
kaugunakan, untuk memungkinkan engkau menghindari hukuman yang patut dijatuhkan
kepadamu. Aku harap engkau masih punya persediaan itu,"
Nyonya de Villefort menjatuhkan diri berlutut di muka suaminya.
"Aku tahu, aku tahu, engkau mengaku. Tetapi pengakuan kepada jaksa pada detik-
detik terakhir di mana sudah tidak mungkin menyangkal lagi, tidak akan dapat
menghapuskan hukuman."
"Hukuman!" teriak Nyonya de Villefort. "Sudah dua kali engkau menyebut kata itu"
"Apakah engkau mengira akan terlepas dari hukuman karena engkau istri seorang
laki-laki yang berkewajiban menuntut hukuman itu atas nama hukum" Tidak! Hukuman
mati telah menanti setiap peracun, siapa pun dia orangnya."
Nyonya de Villefort berteriak mengerikan, wajah dan sinar matanya menunjukkan
ketakutan yang sangat. "Jangan takut" kata Villefort menenangkan. "Aku tidak akan menghinamu di muka
umum, sebab itu berarti aku menghinakan diriku sendiri. Tidak. Kalau engkau tadi
memperhatikan kata-kataku, engkau tentu mengerti bahwa engkau tidak dapat mati
di tiang gantungan."
"Aku tidak mengerti maksudmu," tanya wanita yang sudah hancur itu.
"Maksudku, bahwa istri seorang jaksa yang terkemuka di Paris tidak boleh menodai
suami dan anaknya dengan kejahatannya."
"Tidak! Tidak!"
"Baik kalau begitu, itu berarti tindakan yang tepat sekali dari pihakmu. Aku
berterima kasih untuk itu."
'Terima kasih" Untuk apa?"
"Untuk yang kaukatakan baru saja."
"Apa kataku" Aku pusing ... Aku sudah tidak mengerti apa-apa lagi. Oh Tuhan,
Tuhan!" "Engkau tidak menjawab pertanyaanku: 'Di mana racun itu'?"
Nyonya de Villefort mengangkat kedua tangannya.
"Tidak! Tidak!" teriaknya. "Engkau tentu bukan menghendaki aku meminumnya."
"Yang tidak aku kehendaki engkau mati di tiang gantungan. Mengerti?"
"Kasihanilah aku!"
"Yang aku kehendaki hukum ditegakkan," kata Villefort tegas. "Aku dilahirkan
untuk menghukum orang bersalah,"
katanya lagi dengan air muka yang keras. "Aku akan meng-giring setiap wanita
berdosa, sekalipun dia seorang ratu, langsung kepada algojo. Tetapi terhadapmu,
aku akan berlaku lunak. Kepadamu aku hanya berkata, 'engkau masih mempunyai
persediaan racun itu, bukan"'"
"Maafkan aku! Biarkan aku tetap hidup!"
"Pengecut!" "Ingatlah bahwa aku istrimu."
"Engkau pembunuh."
"Atas nama Tuhan ..,."
"Tidak!" "Atas nama cinta yang telah kauberikan padaku .."
"Tidak! Tidak!"
"Atas nama anak kita! Oh, biarkan aku hidup demi anak kita!"
"Tidak! Kalau aku biarkan engkau hidup, pada suatu hari engkau akan membunuhnya
juga seperti engkau membunuh yang lain-lain."
"Aku" Membunuh anakku?" kata ibu yang sudah kacau pikirannya itu, melemparkan
dirinya kepada Villefort.
"Membunuh Edouard?"
Sebuah tawa orang gila mengakhiri kalimatnya tadi. Dia jatuh di depan kaki
suaminya. "Ingat" kata Villefort, "kalau belum kaulakukan sampai aku pulang nanti, aku
akan mengadukanmu dengan bibirku sendiri dan menangkapmu dengan tanganku
sendiri." Nyonya Villefort mendengar kata demi kata suaminya, napasnya terputus-putus,
jiwanya terpukul. Hanya matanya saja yang masih menunjukkan kehidupan pada
dirinya, berkilat-kilat liar ketakutan.
"Engkau mengerti, bukan?" kata Villefort. "Sekarang aku harus pergi ke
pengadilan untuk menuntut hukuman mati bagi seorang pembunuh. Kalau aku
menemukanmu masih hidup ketika aku pulang nanti, malam ini juga engkau sudah
akan berada di penjara."
Nyonya de Villefort menarik napas panjang, seluruh tenaganya menghilang dan dia
terjatuh lagi ke lantai. Rupanya hati Villefort tergores juga. Air mukanya sudah tidak kejam lagi. Dia
berkata dengan lunak, "Selamat jalan,Nyonya selamat jalan."
Kata-kata lunak itu oleh Nyonya de Villefort terasa seperti irisan pisau tajam.
Dia pingsan. Jaksa Penuntut Umum itu keluar, lalu mengunci pintu dari luar.
BAB LXVI PERKARA Benedetto menarik perhatian yang besar
sekali. Selama beberapa bulan masa jayanya, Cavalcanti palsu ini telah berulang
kali mengunjungi toko-toko pakaian terkemuka di Paris dan selalu membayar lunas
rekening-rekeningnya Surat-surat kabar membeberkan kembali riwayatnya dengan
panjang lebar, baik yang dalam penjara maupun selama hidup dalam masyarakat
Paris. Pembeberan Ceritera ini lebih menarik perhatian orang, terutama mereka yang
pernah mengenalnya secara pribadi.
Banyak dari mereka yang mengenalnya sebagai anak muda yang tampan sopan dan
murah hati, sehingga mereka lebih mempercayai dia menjadi korban dari sekawanan
musuh yang jahat. Oleh karena itu, hampir setiap orang pergi ke gedung pengadilan. Sebagian untuk
menyaksikan dan sebagian lagi untuk bergunjing. Jam tujuh pagi orang sudah
berkerumun di luar gedung dan sejam sebelum sidang dimulai mang sidang sudah
penuh sesak. Beauchamp yang dikenal sebagai raja koran berada di antara para penonton. Dia
melihat Chateau'Renaud dan Debray yang baru saja menerima kebaikan seorang
polisi yang memberikkan tempat baik bagi mereka. Bahkan polisi itu bersedia pula
menjaga tempat mereka ketika
meninggalkannya sebentar untuk berbicara dengan
Beauchamp. "Wah," kata Beauchamp, "rupanya kita semua datang untuk menyaksikan kawan kita."
"Betul," jawab Debray. "Saya pikir dia akan dinyatakan bersalah. Bagaimana
pendapatmu?" "Aku kira engkaulah satu-satunya yang dapat menjawab pertanyaan itu, oleh karena
engkau tentu sudah berbicara dengan Ketua Sidang dalam resepsi yang baru lalu di
rumah Menteri." "Benar, tetapi kalau aku berbicara dengan Ketua Sidang, tentunya engkau sudah
berbicara dengan Jaksa Penuntut Umum."
"Tak mungkin . . . Tuan de Villefort tidak menerima siapa pun juga dalam minggu
terakhir ini. Dan ini mudah dimengerti mengingat rangkaian musibah yang
menimpanya .. "Lihat!" "Siapa?" "Aku kira dia sudah tidak ada di sini."
"Eugenie Danglars?" tanya Chateau-Renaud.
"Apa dia kembali?"
"Bukan, ibunya."
"Apa!" Chateau-Renaud terkejut. "Hanya sepuluh hari sejak anaknya kabur dan tiga
hari sejak suaminya bangkrut dia sudah berani keluar rumah?"
Tanpa diketahui yang lain wajah Debray memerah. Dia mengikuti arah pandangan
Beauchamp. "Wanita itu bercadar," katanya. "Mungkin orang lain, mungkin juga
seorang putri dari negeri lain . .. bahkan mungkin juga ibu Pangeran
Cavalcanti." "Hakim sudah tiba," kata Chateau-Renaud. "mari kita kembali."
Para hakim dan juri mengambil tempat masing-masing di teilgah-tengah ketenangan
ruang sidang yang mengesankan.
Tuan de Villefort yang menjadi pusat perhatian - boleh juga dikatakan menjadi
pusat kekaguman umum - menempati kursinya, lalu melayangkan pandangan ke seluruh
mangan. "Pengawal!" kata Ketua Sidang. "Bawa masuk terdakwa!"
Dengan perintah itu perhatian publik meningkat dan semua mata mengarah ke pintu
yang akan dilalui Benedetto. Benedetto masuk, wajahnya tenang tanpa mencerminkan
perasaan hatinya. Setelah tuduhan dibacakan, Ketua Sidang bertanya,
"Siapa namamu?"
Andrea berdiri. ''Maafkan, Paduka," katanya, "rupanya Paduka akan mengajukan
serangkaian pertanyaan dengan urutan yang tidak dapat saya ikuti. Nanti akan
saya jelaskan alasannya, tetapi sementara ini saya memohon agar urutan
pertanyaan di rubah, dan saya akan menjawabnya semua."
Ketua Sidang sangat terperanjat, memandang kepada anggota juri, yang semuanya
sedang memandang kepada Jaksa. Para penonton pun merasa heran, tapi semua itu
seperti tidak berpengaruh sama sekali kepada Andrea.
"Berapa umurmu?" tanya Ketua Sidang.
"Dalam beberapa hari lagi akan menjadi dua puluh satu tahun. Saya dilahirkan
tanggal 27 September 1815."
Tuan de Villefort yang sedang mencatat sesuatu mengangkat kepala ketika
mendengar tanggal ini. "Tempat lahir?"
"Auteuil dekat Paris."
Villefort mengangkat kepala untuk kedua kalinya, menatap Andrea seakan-akan
melihat sesuatu yang menyeramkan. Wajahnya pucat kebiru-biruan. "Pekerjaan?"
"Saya mulai dengan pemalsuan," jawab Andrea dengan ketenangan yang mengherankan.
"Setelah itu menjadi pencuri, dan terakhir sekali pembunuh."
Ruang sidang menjadi gaduh. Bahkan para hakim saling pandang-memandang, masing-
masing dengan pancaran mata keheranan. Para anggota juri menunjukkan
kesebelannya mendengar keterangan tertuduh yang seakan-akan hendak mengejek
pengadilan, sekaligus terperanjat karena tidak mengira keluar dari seorang anak
muda yang perlente. "Sekarang, maukah engkau menyebutkan namamu
kepada sidang?" tanya Ketua Sidang. "Mungkin sekali kebanggaanmu menyebut satu
persatu kejahatan yang kausebut sebagai pekerjaan itulah yang menyebabkan engkau
ingin menangguhkan menyebutkan namamu. Barangkali engkau ingin menonjolkan
namamu dengan menyebut lebih dahulu gelar-gelar pekerjaanmu."
"Sungguh tak masuk pada akal saya betapa benar Paduka membaca pikiran saya,"
jawab Andrea dengan sopan.
"Itulah sebabnya saya memohon untuk merubah urutan pertanyaan tadi"
Keheranan dalam ruang sidang sudah memuncak. Sudah tidak ada lagi kelancangan
atau ejekan tampak pada nada bicara atau tingkah-laku Andrea. Pengunjung sidang
semua mempunyai perasaan yang sama bahwa akan segera timbul kejutan yang
menghebohkan. "Jadi, siapa namamu?"
"Saya tidak dapat mengatakan karena saya tidak mengetahuinya. Saya hanya
mengetahui nama ayah saya."
"Katakan siapa nama ayahmu!"
"Ayah saya seorang Jaksa Penuntut Umum" jawab Andrea tenang.
"Jaksa Penuntut Umum!" ulang Ketua Sidang itu terperanjat, tanpa melihat
kegelisahan yang muncul pada wajah Villefort.
"Benar. Paduka. Dan oleh karena Paduka menanyakan namanya, dengan senang hati
akan saya katakan. Namanya Villefort."
Bagaikan guruh terdengar suara meledak di seluruh ruangan sidang. Baru sesudah
lima menit Ketua Sidang berhasil menenangkannya kembali. Di tengah-tengah
kegaduhan itu kurang-lebih sepuluh orang mengerumuni Villefort yang terhenyak setengah pingsan di kursinya.
Mereka menolong, menghibur dan menabahkan hatinya.
Ruang sidang sudah tenang kembali, kecuali di suatu sudut di mana seorang wanita
jatuh pingsan. Beberapa orang segera menolongnya.
"Paduka," kata Andrea, "bukan maksud saya untuk menghina persidangan ini atau
sengaja mau membuat heboh. Saya diminta menyebutkan nama saya, tetapi saya tidak
mampu karena orang tua saya mentelantarkan saya sejak saya dilahirkan. Kebetulan
akhirnya saya dapat mengetahui nama ayah saya. Dan saya ulangi, namanya adalah
Villefort dan saya siap untuk membuktikannya."
"Tetapi," kata Ketua Sidang marah, "dalam pemeriksaan pendahuluan engkau mengaku
bernama Benedetto, yatim-piatu dan dilahirkan di Corsica."
"Saya mengatakan itu karena saya takut: kalau saya mengatakan yang sebenarnya
maka pernyataan saya itu tidak akan diumumkan. Sekarang saya mengatakan yang
sebenarnya. Saya dilahirkan di Auteuil tanggal 27 September 1815, anak Jaksa
Penuntut Umum, Tuan de Villefort.
Perlukah saya memberikan keterangan lebih terperinci"
Saya akan senang sekali mengatakannya. Saya dilahirkan di rumah nomor 28 di Rue
de la Fontaine, Auteuil, dalam sebuah kamar yang dindingnya berlapis damas
merah. Ayah saya mengatakan kepada ibu saya bahwa saya mati setelah lahir, lalu
membungkus saya dengan handuk yang bertanda huruf H dan N, membawa saya ke dalam
kebun dan mengubur saya hidup-hidup."
Semua yang hadir melihat meningkatnya kegelisahan Villefort sejalan dengan
meningkatnya keyakinan diri Andrea.


The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagaimana engkau mengetahui semua itu?"
"Saya bermaksud akan mengatakannya, Paduka.
Seorang Corsica telah bersumpah membalas dendam
terhadap ayah saya. Dia selalu mengikuti ke mana ayali saya pergi dan menunggu
kesempatan yang baik untuk melaksanakan niatnya. Itulah sebabnya dia melihat
ayah saya mengubur sesuatu dalam kebun. Dia menikamnya dari belakang dan mengira
bahwa yang dikubur ayah saya itu harta kekayaan. Dia menggali kembali kuburan
dan menemukan saya masih bernyawa. Dia membawa saya ke rumah yatim-piatu Tiga bulan
kemudian saudara perempuannya datang ke Paris, lalu ke rumah perawatan itu dan menuntut saya
sebagai anaknya. Dia berhasil
membawa saya kembali ke Corsica. Itulah sebabnya, sekalipun saya dilahirkan di
Auteuil, saya dibesarkan di Corsica!"
Sejenak ruang sidang menjadi hening
"Teruskan!" perintah Ketua Sidang.
"Saya merasa berbahagia sekali dengan orang-orang baik yang merawat saya, namun
ternyata watak buruk saya telah mengalahkan pendidikan yang hendak ditanamkan
ibu tiri saya ke dalam diri saya. Saya menjadi anak liar dan segera meningkat
menjadi jahat. Pada suatu hari, ketika saya menyumpahi "Tuhan karena membuat
saya begitu jahat dan memberi nasib yang buruk, ibu tiri saya berkata, 'Jangan
menyalahkan Tuhan! DIA menciptakanmu tanpa
amarah. Kejahatan yang melekat padamu berasal dari ayahmu, yang akan
menjerumuskan engkau ke dalam
neraka kalau engkau mati atau ke dalam kepapaan dan kehinaan selama engkau
hidup!' Sejak hari itu saya berhenti mengumpat Tuhan, tetapi mulai dengan
mengutuk ayah sendiri. Itulah pula sebarnya saya di sini mengungkapkan segala
sesuatu untuk menangkis tuduhan yang ditimpakan kepada saya. Itulah sebabnya
mengapa saya sampai menggoncangkan ruang sidang ini. Kalau perbuatan saya ini merupakan kejahatan
baru, silakan hukum saya. Tetapi, apabila Paduka beranggapan bahwa nasib saya
sudah tragis dan pahit sejak dilahirkan, kasihanilah saya!"
"Bagaimana dengan ibumu?"
"Ibu saya percaya bahwa saya mati setelah lahir. Dia tidak bersalah. Saya tidak
berkeinginan mengetahui siapa namanya, dan sampai detik ini pun saya tidak
mengenal siapa dia."
Sebuah jeritan terdengar dari tengah-tengah kerumunan orang yang sedang menolong
wanita yang pingsan tadi, dan berakhir dengan tangis yang memilukan. Setelah
sadar dari pingsannya wanita itu menjadi histeris. Ketika dia diangkat ke luar
ruangan, cadarnya terlepas. Beberapa orang mengenalinya sebagai Nyonya Danglars.
Sekalipun dalam keadaan gelisah, kacau, tegang dan takut, Villefort masih sempat mengenalinya.
"Apa bukti-bukti yang kausebutkan tadi?"
"Bukti?" Benedetto balik bertanya sambil tertawa.
"Betulkah Paduka memerlukannya?"
"Betul" "Silakan Paduka memperhatikan Tuan de Villefort dan tanyakan bukti-bukti itu
kepada beliau." Semua mata mengarah kepada Villefort. Karena beratnya beban pandangan orang-
orang, Villefort terhuyung-huyung ke tengah-tengah ruang sidang. Rambutnya acak-
acakan, mukanya penuh dengan bekas cakaran kukunya sendiri. Hampir seluruh
hadirin bergumam menyaksikan keadaan Villefort.
"Paduka Tuan Hakim menanyakan bukti-bukti, Ayah,"
kata Benedetto. "Apakah perlu saya berikan?"
'Tidak... tidak," jawab Vfllefort gagap. "Tak ada gunanya lagi."
"Apa maksud Tuan?" tanya Ketua Sidang keras.
"Maksud saya," jawab Villefort, "saya menyadari tak ada gunanya lagi melawan
hukum Tuhan yang baru saja
menimpa saya. Apa yang dikatakan anak muda itu benar semua, tak perlu lagi
pembuktian." "Apa! Sadarkah Tuan, Tuan de Villefort" Sudah hilang-kah kesadaran Tuan" Tuduhan
yang aneh, tak terduga dan mengerikan itu mungkin sekali telah mengganggu
pikiran Tuan. Kami semua dapat memahaminya."
Villefort menggelengkan kepala. Giginya gemeretak, seperti orang dicekam demam.
"Pikiran saya jernih, Paduka," katanya. "Saya mengaku bersalah untuk semua
tuduhan yang dilontarkan anak muda itu kepada saya. Saya sekarang menyerahkan
diri kepada Jaksa Penuntut Umum yang akan menggantikan saya."
Setelah mengeluarkan kata-kata ini dengan suara tertahan hampir tidak terdengar,
Tuan de Villefort meninggalkan ruang sidang dengan terhuyung-huyung.
"Sekarang aku ingin mendengar adakah orang yang masih berani berkata bahwa tidak
ada drama dalam kehidupan nyata ini?" tanya Beauchamp.
"Ya Tuhan!" jawab Chateau-Renaud. "Kalau terjadi pa-da diriku, aku lebih suka
memilih jalan yang ditempuh Morcerf. Sebutir peluru akan lebih nyaman dibanding
dengan pencemaran nama seperti ini."
"Darahku tersirap kalau aku ingat bahwa pernah ada saat aku berniat mengawini
anaknya!" kata Debray. "Untung Valentine, tidak mengetahui peristiwa sekarang
ini." "Sidang ditunda dan akan dilanjutkan dalam waktu yang akan datang." Ketua Sidang
mengumumkan. Dalam keadaan tetap tenang Andrea meninggalkan
ruang sidang didampingi para pengawal. Tanpa disadarinya para pengawal ini
sekarang menaruh suatu penghargaan tertentu terhadap Andrea.
"Bagaimana pendapat Tuan?" tanya Debray kepada polisi yang memberinya tempat
sambil menyelipkan dua puluh frank ke tangannya.
"Akan ada banyak hal yang meringankan terdakwa,"
jawab polisi itu. BAB LXVII HAMPIR tidak mungkin melukiskan betapa bingungnya Villefort ketika meninggalkan
ruang pengadilan, betapa perasaan hatinya yang membuat setiap urat nadinya
berdenyut keras dan kencang, menegangkan setiap sarafnya, membengkakkan
pembuluh-pembuluh darahnya sehingga menimbulkan rasa sakit pada setiap titik di
seluruh tubuhnya. Hanya karena kebiasaannya saja ia berhasil keluar dari kantor itu. Hanya saja
sekali ini bukan dengan sikap gagah dan angkuh melainkan dengan terseok-seok. Di
luar dia melihat keretanya. Saisnya yang sedang tidur terjaga mendengar pintu
kereta dibuka sendiri oleh majikannya.
Villefort menjatuhkan diri di sudut tempat duduk, lalu dengan telunjuknya
memerintahkan pulang. Beban kehancuran hidupnya telah menimpa kepalanya, namun ia belum menyadari
benar seluruh akibatnya Terasa sudah, namun belum terkirakan. Dalam lubuk
hatinya dia merasakan adanya Tuhan. "Tuhan!Tuhan!" katanya berulang-ulang tanpa
mengetahui benar apa yang dikatakannya. Di balik puncak segala kekuasaan yang
pernah ia rasakan, di situlah dia memperkirakan adanya Tuhan.
Kereta berjalan dengan cepat. Ketika bersandar pada bantal, Villefort merasakan
sesuatu mengganggunya. Ternyata kipas istrinya yang tertinggal dalam kereta.
Secepat kilat yang menyambar dalam kegelapan malam, benda itu membawa pikirannya
kembali kepada kejadian tadi pagi di rumahnya Dia ingat kepada istrinya. "Oh!"
Hatinya tersentak seperti tersentuh besi panas. Selama ini dia baru melihat satu
segi saja sebagai akibat kehancurannya. Segi lain yang tidak kurang mengerikan
baru sekarang disadarinya. Dia telah bertindak sebagai hakim yang mahakuasa
terhadap istrinya sendiri. Dia telah menghukumnya mati.
Mungkin sekali pada detik ini istrinya sedang mempersiapkan diri untuk mati
memenuhi hukuman suaminya, sambil dicekam rasa takut, malu dan penuh sesal. Satu
jam yang lalu hukuman dari suaminya telah dijatuhkan.
Mungkin sekali dia sekarang sedang memikirkan kejahatan-kejahatan yang pernah
diperbuatnya, yang akan dia bayar sekarang dengan nyawanya sendiri, memohon
ampunan Tuhan dan menulis sepucuk surat permintaan maaf kepada suaminya yang
mulia. Villefort berteriak pedih untuk kedua kalinya ketika membayangkan semua ini.
Tangannya meremas-remas sarung bantal sutra yang sedang dipegangnya. "Dia menjadi jahat karena dekat
dengan aku!. Akulah sebenarnya sumber kejahatan. Dia hanya ketularan saja
seperti ketularan penyakit. Dan aku telah menghukumnya. Aku telah berani berkata
kepadanya: 'Sesali dan matilah!' Aku telah mengatakan begitu! Tidak, tidak, dia
tidak boleh mati! Dia harus hidup! Dia harus dan akan ikut aku .. . meninggalkan
Pe rancis. Kami akan pergi sejauh bumi kuasa memberi tempat bagi kami . . . Aku
telah berbicara kepadanya tentang hukuman mati ... Oh, Tuhanku, betapa mungkin
aku berani begitu" Hukuman itu kini menanti aku juga! Kami akan lari
.. . Aku akan mengakui semua dosa-dosaku kepadanya"
Setiap hari aku akan menghinakan diri dengan mengatakan bahwa aku pun telah
menjalankan kejahatan . . . Suatu perkawinan antara harimau dan ular berbisa!
Seorang istri yang sepadan bagi laki-laki seperti aku! Dia harus hidup, sehingga
semua keburukannya akan menjadi kurang berarti dibandingkan dengan kejahatanku
sendiri!" Villefort menurunkan kaca yang memisahkan dia dengan saisnya. "Cepat! Cepat!"
katanya dengan suara yang membuat sais tersentak.
"Ya, ya," kata Villefort berulang-ulang ketika dia mendekati rumahnya, "dia
harus hidup, supaya dia dapat menyesali perbuatannya dan memperbaiki hidupnya
dan membesarkan Edouard dengan baik pula. Dia mencintai Edouard. Untuk Edouard
dia melakukan semua ini. Hati seorang ibu yang mencintai anaknya tidak mungkin
jahat Kejahatan-kejahatan yang telah berlangsung di rumahku dan kini telah
membangkitkan kecurigaan orang, akan segera terlupakan ditelan waktu. Tetapi,
apabila ada di antara musuh-musuhku yang akan mengingatnya kembali, aku akan
menanggung semua dosanya. Istriku akan bebas bersama uang yang cukup banyak, dan
terutama sekali bersama anakku. Dia akan tetap hidup dan akan berbahagia lagi,
oleh karena seluruh cinta kasihnya tertumpah pada anaknya dan anaknya itu tak
akan pernah meninggalkannya. Dengan demikian aku telah bertindak mulia yang
pasti akan meringankan beban hatiku." Dengan pikiran itu Villefort dapat
bernapas lebih lega. Kereta berhenti di muka pintu rumah. Dia meloncat lalu berlari menaiki tangga.
Para pelayan heran melihat majikannya pulang dini, tetapi Villefort tidak
melihat sesuatu yang mencurigakan dalam pancaran mata mereka.
Ketika dia melewati kamar Noirtier yang kebetulan pintunya agak terbuka, dia
melihat dua orang di dalamnya.
Tetapi dia tidak menghiraukan orang yang sedang
berhadapan dengan ayahnya. Pikirannya sedang berada di tempat lain.
'Tak ada yang berubah," katanya kepada dirinya sendiri.
Ketika sudah mendekati ruang tinggal istrinya, dia memegang gagang pintu. Pintu
terbuka. "Tidak dikunci!"
pikirnya. "Bagus! Bagus sekali!"
Villefort berada dalam mang tamu yang tidak begitu besar, tempat Edouard tidur
pada malam hari. Matanya berputar ke sekeliling kamar. 'Tak ada orang," katanya
lagi sendiri. "Heloise mesti di kamar tidurnya." Dia berlari ke sana. Pintunya
terkunci. Dia berhenti, badannya gemetar, lalu berteriak, "Heloise!" Terdengar
sesuatu bergeser dalam kamar. "Heloise!"
"Siapa?" Suara istrinya terdengar.
"Buka pintu! Buka! Aku!"
Sekalipun dengan perintah keras pintu itu tetap tertutup.
Villefort menendangnya sekuat tenaga sampai hancur.
Nyonya de Villefort sedang berdiri di ambang pintu antara kamar tidurnya dengan
kamar duduk. Mukanya pucat, badannya kaku dan matanya menatap suaminya penuh
ketakutan. "Heloise! Heloise! Mengapa" Katakan!"
"Sudah saya lakukan," katanya dengan suara yang seperti menyobek tenggorokannya.
"Apa lagi yang kaukehendaki?" Dia jatuh tersungkur.
Villefort memburunya lalu memegang tangannya. Dia sudah mati. Karena takut dan
terkejut Villefort mundur beberapa langkah. Matanya tidak mau lepas dari mayat
yang tergeletak di lantai.
"Anakku" teriaknya tiba-tiba. "Di mana anakku"
Edouard! Edouard!" Dia berlari ke luar sambil terus memanggil-manggil.
"Edouard " Edouard!"
Teriakannya begitu keras sehingga semua pelayan berdatangan. "Anakku! Di mana
anakku?" tanya Villefort.
"Bawa dia dan jauhkan dari sini supaya jangan ..."
"Dia tidak ada di bawah, Tuan?" kata salah seorang pelayannya.
"Mungkin sedang bermain di kebun?"
'Tidak, Tuan. Nyonya telah memanggilnya setengah jam yang lalu, dan sampai
sekarang belum keluar lagi."
Keringat dingin memancar dari dahi Villefort, lututnya gemetar dan berbagai
pikiran berputar-putar di otaknya. "Di kamar ibunya?" Perlahan-lahan dia kembali
ke kamar istrinya sambil menghapus dahi dengan satu tangan dan tangan lainnya
berpegang pada dinding menjaga agar jangan sampai jatuh.
Ketika kembali masuk, terpaksa harus melihat lagi mayat istrinya. Untuk
memanggil Edouard suaranya pasti akan bergema dalam rumah yang sudah sunyi
seperti pekuburan itu. Berbicara berarti menyobek-nyobek kesunyian kubur.
Dia merasakan lidahnya kaku. "Edouard! Edouard . . .!"
katanya perlahan dengan susah.
Tak ada jawaban. Villefort maju lagi selangkah. Mayat istrinya melintang di
ambang pintu antara kamar tidur dan kamar duduk. Mungkin Edouard berada di ruang
duduk. Mayat istrinya seakan-akan mengawal pintu masuk. Matanya melotot, pada wajahnya
tersimpul senyum mengejek penuh rahasia.
Villefort maju lagi, melongok ke ruang duduk dan terlihatlah anaknya terbaring
di kursi panjang. Anak itu seperti sedang tidur. Laki-laki yang sedang menuju ke
titik terdalam kehancurannya itu menghela napas gembira yang tak terlukiskan.
Yang harus dikerjakannya sekarang melangkahi mayat istrinya, masuk ke mang
duduk, mengambil anaknya dan kabur jauh, jauh sekali. Villefort sudah bukan lagi
warga teladan masyarakat Dia sudah tidak lagi takut kepada prasangka orang. Dia
sekarang takut kepada hantu.
Dikerahkannya seluruh keberaniannya laki meloncat melangkahi mayat istrinya
seperti meloncati arang membara.
Dipangkunya anaknya, didekapnya, lalu digerak gerak kannya sambil memanggil-
manggil namanya. Edouard tidak menjawab. Villefort mencium pipinya yang biru dan dingin. Dia merasakan
kekakuan anggota badan anaknya.
Lalu dia meletakkan tangannya di dada anaknya. Jantung itu sudah berhenti
berdenyut. Secarik kertas terjatuh dari badan Edouard. Villefort terkejut seakan-akan
disambar petir, lalu terjatuh. Edouard terlepas dari pelukannya dan terguling ke
dekat mayat ibunya. Villefort memungut kertas yang terjatuh. Tulisan itu dia
kenal sebagai tulisan istrinya. Tertera di sana: "Engkau tahu, aku seorang ibu
yang baik, karena demi kepentingan anaklah aku berbuat jahat. Seorang ibu yang
baik tidak akan pergi tanpa membawa anaknya."
Villefort tidak dapat mempercayai matanya sendiri, juga tidak dapat mempercayai
kejernihan pikirannya sendiri. Dia mendekati lagi tubuh Edouard dan memeriksanya
kembali dengan teliti. Lalu jerit tangis seakan-akan muncrat dari rongga
dadanya. "Tuhan!" katanya. "Selalu Tuhan!"
Lambat-laun dia merasa ketakutan tinggal bersama dua mayat Beberapa saat yang
lalu ia masih sanggup menahan marah dan putus asa. Sekarang hatinya sudah luluh
sama sekali. Dia, yang tidak pernah merasa kasihan terhadap orang lain, sekarang
berjalan ke kamar ayahnya untuk mencurahkan semua kesedihannya. Dia memerlukan
seseorang tempat dia menangis.
Villefort masuk ke kamar Noirtier. Orang tua itu sedang asyik mendengarkan
pembicaraan Padri Busoni yang selalu tenang. Tanpa disadari tangan Villefort
pindah ke dahinya, ketika dia melihat padri itu. Dia ingat kunjungan padri itu
ketika Valentine meninggal. "Tuan lagi!" katanya. "Apakah Tuan datang hanya
untuk mengantarkan kematian?"
Busoni menatap Villefort. Melihat wajah Villefort yang kusut dan matanya yang
liar, padri mengira bahwa kejadian di ruang sidang itulah penyebabnya. Dia tidak
mengetahui kejadian berikutnya.
"Saya datang untuk berdo'a bagi putri Tuan," jawab Busoni.
"Dan mengapa Tuan datang hari ini?"
"Untuk mengatakan bahwa Tuan telah membayar
hutang Tuan kepada saya dan mulai sekarang saya akan berdo'a Semoga Tuhan tidak
lagi menghukum Tuan,"
"Ya Tuhanku!" Villefort terkejut sehingga terlangkan mundur. "Ini bukan suara
Padri Busoni!" "Memang bukan."
Padri melepaskan penutup kepalanya, maka terurailah rambutnya yang panjang dan
hitam menghias wajahnya yang penuh kejantanan.


The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Count of Monte Cristo?"
"Juga bukan, Tuan de Villefort . . . coba ingat-ingat lagi."
"Suara itu! Di mana saya pernah mendengarnya?"
'Tuan mendengarnya di Marseilles dua puluh tiga tahun yang lalu, pada hari
pertunangan Tuan dengan Nona de Saint Meran."
"Tuan bukan Busoni" Bukan pula Monte Cristo" Ya Tuhan! Tuanlah kiranya musuh
yang tersembunyi itu. Mungkinkah saya telah mencelakakan Tuan di Marseilles?"
"Betul," jawab Monte Cristo menyilangkan kedua belah tangannya di dadanya yang
bidang. "Coba Tuan ingat-ingat lagi."
"Apa yang pernah saya lakukan terhadap Tuan?" pikiran Villefort sudah berada di
antara kesadaran dan kegilaan.
"Apa yang pernah saya lakukan terhadap Tuan" Katakan, coba katakan!"
"Tuan telah menghukum saya mati dengan cara perlahan-lahan dan tersembunyi. Tuan
telah membunuh ayah saya, dan Tuan telah merenggut cinta, kemerdekaan dan
kekayaan dari diri saya!"
"Siapa Tuan sebenarnya" Demi Tuhan, siapa Tuan?"
"Saya adalah hantu seorang laki-laki yang telah Tuan kuburkan di dalam sel bawah
tanah di penjara Chateau d' If Ketika hantu itu berhasil keluar dari kuburnya,
Tuhan menyamarkannya dalam tubuh Count of Monte Cristo dan membekalinya dengan
emas dan intan berlian sehingga Tuan tidak akan mungkin mengenalnya lagi. Sampai
hari ini." "Ah! Saya ingat sekarang! Saya ingat! Tuan adalah ..
"Edmond Dantes!"
"Ya, Edmond Dantes!" kata Villefort keras. Sambil memegang pergelangan tangan
Monte Cristo dia berkata lagi. "Mari ikut saya!"
Villefort keluar lebih dahulu, Monte Cristo mengikutinya dengan heran, karena
tidak mengetahui ke mana maksud Villefort. Dia hanya mampu merasakan ada sesuatu
yang mengerikan. "Lihat, Edmond Dantes!" katanya sambil menunjuk mayat istrinya dan anaknya.
"Apakah pembalasanmu sudah sempurna sekarang?"
Wajah Monte Cristo menjadi pucat melihat keadaan
yang mengerikan itu. Dia sadar bahwa dia telah melampaui batas, sehingga
sekarang dia tidak dapat lagi berkata:
'Tuhan selalu bersamaku!" Dia cepat berlari mendekati tubuh Edouard dibarengi
dengan perasaan marah kepada dirinya sendiri Monte Cristo membuka mata Edouard,
merasakan denyut nadinya, lalu memangku dan
membawanya ke kamar Valentine. Pintu segera dikuncinya.
"Anakku!" Villefort berteriak. "Dia mencuri anakku!"
Dia mencoba mengejar Monte Cristo, tetapi anehnya bagaikan dalam mimpi, kakinya
seakan-akan tertanam dalam lantai. Matanya liar dan terbuka lebar-lebar seperti
hendak terloncat dari kelopaknya. Jari-jari tangannya mencakar-cakar dadanya
yang terbuka sampai kukunya merah karena berdarah. Pembuluh-pembuluh darah pada
dahinya membengkak seperti sedang memompakan darah panas dengan deras ke dalam
otaknya. Dia berdiri terpaku untuk beberapa saat lamanya sampai proses
menghilangnya kesadaran terlaksana dengan sempurna. Setelah itu baru dia
berteriak, diikuti tawa keras dan panjang. Dia berlari menuruni anak tangga.
Seperempat jam kemudian pintu kamar Valentine terbuka, dan Monte Cristo keluar.
Tingkah lakunya yang tenang dan agung terganggu oleh kesedihan yang sangat.
Edouard yang sudah tidak dapat ditolongnya lagi berada dalam pangkuannya. Dengan
bertekuk pada sebuah lututnya dia meletakkan mayat anak itu dengan kepalanya
pada dada ibunya. Setelah itu dia berdiri kembali dan berjalan keluar.
Di tangga dia berpapasan dengan seorang pelayan. "Di mana Tuan de Villefort?"
tanyanya. Tanpa menjawab pelayan itu menunjuk ke kebun. Monte Cristo berjalan menuju
kebun. Di sana dia melihat Villefort sedang menggali tanah dengan sebuah
singkup. Para pelayannya mengelilinginya menyaksikan.
'Tidak di sini!" kata Villefort. "Bukan di sini!" lalu dia pindah menggali di
tempat lain. Monte Cristo menghampirinya dan berkata dengan perlahan-lahan, 'Tuan de
Villefort, Tuan telah kehilangan seorang anak, tetapi. .."
'Tidak, saya akan menemukannya kembali!" Villefort cepat memotong. 'Tak ada
gunanya Tuan mengatakan dia tidak di sini . . . saya akan menemukannya,
sekalipun saya harus terus mencarinya sampai Pengadilan Terakhir!"
Monte Cristo terkejut. "Oh! Dia sudah gila!"
Seperti takut rumah terkutuk itu akan runtuh menimpa kepalanya Monte Cristo
berlari ke jalan. Untuk pertama kalinya dia merasa sangsi apakah dia berhak
melakukan apa yang telah dilakukannya.
BAB LXVIII PERISTIWA yang baru saja berlangsung di ruang
pengadilan telah menjadi buah bibir seluruh masyarakat Paris. Emmanuel dan Julie
membicarakannya dengan ketakjuban yang mudah dimengerti Mereka membanding-bandingkan malapetaka yang
mendadak menimpa Danglars, Morcerf dan Villefort. Maximilien yang datang berkunjung mendengarkan
tanpa ikut berbicara. Pikirannya terbenam dalam kesedihannya.
"Mengerikan sekali," kata Emmanuel, ingat kepada Danglars dan Morcerf.
'Dan betapa berat pula penderitaannya" jawab Julie, ingat kepada Valentine.
Naluri kewanitaannya membuat dia enggan menyebut nama itu di depan kakaknya.
"Bila benar ini hukuman Tuhan," lanjut Emmanuel,
"tentu karena Tuhan mengetahui tidak ada jasa sedikit pun dalam masa lalu mereka
yang dapat meringankan dosanya."
Berbarengan dengan habisnya kalimat Emmanuel, pintu ruang duduk terbuka dan
Monte Cristo muncul. Julie dan Emmanuel berseru gembira menyambutnya. Maximilien
menengadah sebentar, lalu merunduk kembali.
"Maximilien " kata Monte Cristo tanpa menghiraukan perbedaan kesan yang
ditimbulkannya pada ketiga orang itu. "Saya datang untuk menjemputmu."
"Menjemput?" tanya Maximilien seperti orang yang baru sadar dari mimpi.
"Ya, bukankah sudah kukatakan agar bersiap-siap?"
"Saya sudah siap," jawab Maximilien. "Saya justru datang ke mari untuk pamitan."
"Hendak ke mana, Count?" tanya Julie.
"Pertama-tama, ke Marseilles."
"Ke Marseilles?" Sepasang suami-istri itu menjawab hampir berbarengan.
"Ya, dan saya bermaksud membawa saudaramu."
"Oh, tolong kembalikan dia dalam keadaan sembuh!"
kata Julie. Maximilien memalingkan mukanya untuk menyembu-
nyikan perasaannya. "Ini, berarti kalian mengetahui bahwa dia sangat menderita?"
"Tentu saja. Saya takut dia sudah merasa bosan dengan kami."
"Saya akan mencoba mengalihkan perhatiannya."
"Saya sudah siap, Count," kata Maximilien. "Selamat tinggal, Emmanuel, selamat
tinggal Julie!" 'Apa artinya ini?" tanya Julie. "Bagaimana engkau akan berangkat mendadak
seperti ini, tanpa persiapan dan tanpa paspor?"
"Kalau ditangguhkan lagi, perpisahan akan terasa makin berat," kata Monte
Cristo, "dan saya yakin Maximilien sudah mengatur segala-galanya. Artinya, saya
sudah meminta menyelesaikannya."
"Paspor sudah ada dan kopor pun sudah selesai," kata Maximilien acuh-tak acuh.
"Dan engkau mau berangkat hari ini juga, tanpa memberitahu kami sebelumnya?"
tanya Julie. "Kereta sudah siap di depan. Lima hari yang akan datang saya sudah harus berada
di Roma." "Apakah Maximilien juga turut ke Roma?" tanya Emmanuel.
"Saya akan pergi ke mana saja dibawa Count of Monte Cristo," jawab Maximilien
dengan senyum sedih. "Saya menjadi miliknya untuk sebulan ini."
"Aneh sekali kata-katanya itu, Count!"
"Saudaramu akan selalu bersama saya, jadi tak usah khawatir."
"Selamat tinggal, Julie! Selamat tinggal, Emmanuel!"
"Saya bingung karena keanehannya," kata Julie. "Oh, Maximilien, engkau
menyembunyikan sesuatu!"
"Kalian akan melihat dia kembali dengan sehat dan gembira," kata Monte Cristo.
Maximilien melemparkan pandangan mata marah
kepada Monte Cristo. "Mari kita berangkat," kata Monte Cristo lagi.
"Sebelum berangkat," kata Julie, "saya ingin mengatakan dahulu bahwa kemarin
" "Apa pun yang akan engkau katakan tak akan lebih berharga daripada apa yang saya
lihat pada sorot matamu, apa yang terkandung dalam hatimu dan apa yang aku
rasakan dalam hatiku sendiri," kata Monte Cristo sambil memegang tangan Julie.
"Sebenarnya saya harus pergi tanpa menemuimu dahulu, seperti pahlawan-pahlawan
dalam buku, tetapi ternyata saya ini tidak sekuat mereka, saya ini lemah dan
senang sekali melihat orang berterima kasih, gembira dan penuh cinta kasih. Saya
pergi sekarang, dan egoismeku mendesak untuk mengatakan: Jangan lupakan aku
karena mungkin sekali kita tak akan bertemu lagi."
"Tak akan bertemu lagi?" tanya Emmanuel heran, sedangkan di pipi Julie bergulir
dua butir air mata. "Apakah Tuan ini malaikat yang harus kembali lagi ke langit
setelah muncul di bumi berbuat kebaikan?"
"Jangan berkata begitu," kata Monte Cristo. "Para malaikat tidak pernah berbuat
keburukan. Tidak, saya seorang manusia biasa, Emmanuel, dan kekagumanmu itu
tidak layak dan kata-katamu merendahkan segala sesuatu yang suci"
Monte Cristo memegang tangan Emmanuel erat-erat,
sedang tangan Julie diciumnya. Setelah itu segera meninggalkan rumah yang penuh
kebahagiaan itu, lalu melirik kepada Maximilien yang masih murung seperti pada
hari kematian Valentine. "Tolong gembirakan lagi saudara kami!" Julie berbisik ke telinga Monte Cristo.
Monte Cristo memegang lagi tangan Julie dengan erat seperti yang pernah
dilakukannya sebelas tahun yang lalu di tangga yang menuju kamar kerja ayahnya.
"Apakah engkau masih mempunyai kepercayaan kepada Sinbad Pelaut?"
tanyanya tersenyum. "Tentu, tentu saja."
"Kalau begitu, jangan khawatir."
Seperti dikatakan Monte Cristo tadi, keretanya sudah lama menunggu di muka
pintu. Empat kudanya yang
gagah-gagah menggerak-gerakkan kepalanya dan
menginjak-injak tanah seperti sudah tidak sabar menunggu.
Ali menunggu di bawah anak tangga, wajahnya berkilat-kilat karena keringat.
Rupanya dia baru kembali dari perjalanan jauh,
"Bertemu dengan orang tua itu?" tanya Monte Cristo dalam bahasa Arab.
Ali mengangguk. "Dan kaubuka surat itu di hadapannya seperti yang kuperintahkan?"
Ali mengangguk sekali lagi.
"Apa katanya, atau apa yang dia perbuat?"
Ali menutup matanya seperti yang biasa dilakukan
Noirtier kalau dia bermaksud mengatakan "ya".
"Bagus, artinya dia setuju. Mari kita berangkat."
Kereta bergerak, makin lama makin cepat. Dari telapak kaki kuda yang beradu
keras dengan jalan keluar percik-percik api. Maximilien duduk di sudut tanpa mau
berbicara. Setengah jam telah berlalu. Kereta berhenti, Monte Cristo menarik tali sutra
yang ujungnya terikat pada jari tangan Alt. Ali turun dan membuka pintu. Malam
cerah, bintang pun bertebaran. Mereka sudah sampai di puncak bukit Villejuif
Dari sini Paris kelihatan seperti lautan terhampar, jutaan cahayanya bagaikan
ombak yang berkilat-kilat, ombak yang lebih dahsyat, lebih bergelegak, lebih membahayakan
dari ombak lautan yang sedang
marah, ombak yang tidak pernah mengenal tenang, ombak yang selalu membelah-
belah, selalu berbuih, selalu menelan
... Monte Cristo berdiri sendiri. Atas isaratnya kereta bergerak ke depan beberapa
depa. Dia berdiri untuk beberapa saat dengan tangan sedekap, merenungkan kota
Babilonia modern ini yang telah membuat penyair-penyair keagamaan maupun para
pengejek agama, terharu melihatnya. "Kota yang besar!" katanya perlahan-lahan,
lalu menundukkan kepala seperti orang yang sedang berdo'a. "Kurang dari enam
bulan yang lalu aku memasuki gerbangmu. Aku percaya bahwa kehendak Tuhanlah yang
membawa aku ke sana, dan sekarang Tuhan membawa aku keluar lagi de ngan kemenangan. Hanya Dia
sendiri yang mengetahui bahwa kini aku berangkat tanpa rasa benci ataupun
bangga, tetapi juga tanpa sesal. Hanya Dia sendiri yang mengetahui bahwa aku
tidak menyalahgunakan kekuasaan yang di percayakanNya kepadaku, baik untuk
kepentingan diriku sendiri maupun untuk kepentingan-kepentingan yang tidak
berguna. Wahai Kota Yang Besar, dalam rongga
dadamulah aku menemukan apa yang kucari! Seperti
seorang penggali tambang yang sabar, aku telah menggali dalam sekali untuk
mencabut akar-akar kejahatan. Sekarang tugasku sudah selesai. Engkau tidak akan
dapat lagi memberiku kesenangan ataupun kesusahan. Selamat tinggal Paris!
Selamat tinggal!" Untuk terakhir kalinya dia melayangkan pandangannya kepada hamparan yang luas.
Setelah itu dia naik kembali ke dalam keretanya yang segera menghilang ditelan
kegelapan dan kepulan debu.
Mereka berjalan untuk beberapa lama tanpa berbicara.
"Maximilien," akhirnya Monte Cristo menyobek kesunyian, "menyesalkah engkau
pergi bersamaku?" "Tidak, Tuan, tetapi meninggalkan Paris itu...."
"Kalau aku yakin bahwa engkau akan menemukan kebahagiaan di sana, aku tidak akan
mengajakmu pergi." "Tetapi di sanalah Valentine dibaringkan. Meninggalkan Paris bagi saya berarti
kehilangan Valentine untuk kedua kalinya."
''Maximilien, kekasih-kekasih yang telah meninggal kita kuburkan dalam hati
kita, bukan dalam tanah. Saya mempunyai dua orang sahabat yang selalu saya bawa
dalam hati. Yang satu adalah orang yang menyebabkan saya lahir ke dunia ini,
yang satu lagi, yang memberikan saya kepandaian dan kebijaksanaan. Aku selalu
meminta nasihat mereka kalau aku dalam kebimbangan, dan kalau pernah aku berbuat
baik dalam dunia ini, itu berkat nasihat-nasihat mereka. Mintalah nasihat kepada
hati nuranimu sendiri, Maxiimlien, dan tanyakan kepadanya apakah patut engkau
terus-menerus bermuram durja seperti ini."
"Sahabat," jawab Maximilien, "suara hati nurani saya sangat memilukan, tak ada
yang dijanjikannya kecuali kesedihan."
"Seorang yang lemah selalu melihat persoalan dari segi gelapnya saja. Jiwamu
sedang gelap, sebab itu apa saja yang kaulihat tampak gelap semua."
"Mungkin sekali," jawab Maximilien. Dia bersandar kenv. bali pada sudutnya untuk
Kidung Senja Di Mataram 6 Tujuh Pendekar Pedang Gunung Thian San Karya Liang Ie Shen Geger Dunia Persilatan 7
^