Pencarian

Monte Cristo 11

The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas Bagian 11


bermimpi lagi. Perjalanan mereka berlaku cepat sekali, berkat kekuasaan dan pengaruh uang dari
Monte Cristo. Kota demi kota dilampaui. Keesokan harinya mereka sampai di
Chalons, di mana kapal api Monte Cristo telah menanti. Kereta langsung dimuatkan
ke dalam kapal dan mereka meneruskan perjalanan elalui lautan.
Kapal ini sengaja dibuat untuk berlayar cepat. Bahkan Maximilien pun mabuk
karena kecepatannya. Angin yang sewaktu-waktu meniup rambutnya seakan akan untuk
sejenak menghapus awan gelap di wajahnya.
Sedangkan Monte Cristo, makin jauh la merringgalkan Paris, makin bergairah
kelihatannya. Seakan-akan suatu kekuatan gaib menopangnya. Dia seperti seorang
buangan yang kembali ke kampung halamannya.
Segera Marseilles kelihatan putih hangat dan penuh de ngan kehidupan. Sejumlah
kenangan indah membayang pada kelopak mata kedua orang itu, ketika mereka
melihat menara bundar, benteng Saint-Nicolas, Hotel de Ville dan pelabuhan
berbata merah tempat mereka bermain-main waktu kecil.
Seperti merupakan persetujuan sebelumnya, keduanya berhenti di Cannebiere. Ada
sebuah kapal yang sudah siap untuk berlayar ke Aljazair. Para penumpang
berkerumun sepanjang geladak dan sanak saudara serta kawan-kawan mereka
berteriak dari bawah sambil melambai-lambaikan tangan mengucapkan selamat jalan.
Pemandangan serupa ini selalu mengharukan, sekalipun bagi mereka yang melihatnya
setiap hari. Namun terhadap Maximilien sama sekali tidak berpengaruh. Hal itu
tidak mampu mengalihkan pikirannya yang timbul begitu dia menginjakkan kakinya
di pelabuhan. "Lihat," katanya sambil memegang lengan Monte Cristo,
"di sanalah ayah saya berdiri ketika Le Pharaon masuk untuk berlabuh. Di sinilah
laki-laki perkasa yang Tuan selamatkan dari kematian dan kecemaran merangkul
saya. Saya masih dapat merasakan kehangatan air matanya pada pipi saya. Dan dia tidak
menangis sendirian; banyak orang sekeliling kami turut menangis."
Monte Cristo tersenyum. "Saya di sana ketika itu," katanya, sambil menunjuk ke
sebuah tempat di sudut jalan.
Ketika mengucapkan ini, dari arah yang dia tunjuk terdengar suara memilukan, dan
tampak seorang wanita melambaikan tangan kepada seorang penumpang muda di atas
geladak kapal yang hendak berangkat. Mukanya bercadar. Monte Cristo mengawasinya
dengan perasaan yang dengan mudah dapat terbaca Maximilien, seandainya saja dia
sedang tidak melihat ke arah kapal.
"Lihat" seru Maximilien. "Anak muda berseragam itu, yang melambaikan
topinya .... Albert de Morcerf!"
"Betul' jawab Monte Cristo. "Saya pun melihatnya."
"Bagaimana mungkin Tuan mengenalinya padahal Tuan melihat ke arah lain?"
Monte Cristo tersenyum kalau dia tidak mau menjawab, lalu memalingkan lagi
pandangannya kepada wanita bercadar yang sudah menghilang di ujung jalan. Monte
Cristo berkata, "Sahabat, tidakkah engkau mempunyai sesuatu urusan pribadi di
sini?" "Saya ingin menangis di kuburan ayah," jawab Maximilien bodoh.
"Baik, pergilah ke pekuburan dan tunggu saya di sana."
"Tuan sendiri mau ke mana?"
"Saya pun mempunyai urusan pribadi sedikit"
Monte Cristo mengikuti Maximilien dengan matanya
sampai dia menghilang. Setelah itu dia sendiri berjalan ke arah rumah kecil di
Allees de Meilhan. Rumah itu masih dalam keadaan cantik, sekalipun telah menua
dan tidak terurus. Keadaannya tetap sama seperti ketika ayah Edmond Dantes masih
tinggal di sana. Rumah itu
seluruhnya sekarang diberikan kepada Mercedes.
Mercedes sedang duduk di tempat yang teduh, menangis.
Cadarnya telah diangkat. Dengan menyembunyikan wajah di balik kedua telapak
tangannya dia melepaskan tangisnya.
Monte Cristo mendekatinya. Mercedes menengadah, terkejut melihat seorang laki-
laki yang tiba-tiba saja muncul di hadapannya.
"Saya sudah tidak mampu lagi membuatmu bahagia'
kata Monte Cristo, "tetapi saya dapat menawarkan sesuatu yang mudah-mudahan
menjadi penghibur. Bersediakah engkau menerimanya seperti pemberian dari seorang
sahabat?" "Tidak dapat disangkal bahwa aku sangat tidak bahagia,"
jawab Mercedes, "aku betul-betul sebatang kara. Satu-satunya yang kumiliki
adalah anakku, dan dia telah pergi."
"Apa yang dilakukannya benar sekali. Dia mempunyai hati yang mulia. Seandainya
dia tetap bersamamu, hidupnya akan menjadi tidak bermanfaat dan dia tidak akan
pernah berhasil membiasakan dirinya kepada kesedihanmu itu. Ketidakmampuannya
akan membuat dia sakit. Sekarang ia akan menjadi orang yang kuat berkat
perjuangannya melawan kemalangannya, dan dia akan berhasil me
rubahnya menjadi keberuntungan. Berilah dia kesempatan membangun kembali
kebahagiaanmu. Masa depanmu
berada di tangan yang aman."
"Oh," kata wanita malang itu sambil menggelengkan kepala dengan sedih, "aku
tidak akan sempat menikmati kebahagiaan yang kaumaksud itu, yang aku do'akan
supaya diberikan Tuhan kepada anakku. Terlalu banyak kejadian yang menyayat-
nyayat hatiku sehingga aku merasa sudah dekat ke alam kubur. Bijaksana sekali
engkau mengembalikan aku ke mari, Edmond, ke tempat aku pernah merasa
berbahagia. Sebaiknya orang mati di tempat di mana ia pernah merasa berbahagia."
"Kata-katamu membakar hatiku, Mercedes. Terutama sekali karena engkau mempunyai
cukup alasan untuk membenciku, setelah aku menyebabkan kemalanganmu
ini." "Membencimu, Edmond" Membenci orang yang pernah menyelamatkan jiwa anakku . ..
bukankah pernah menjadi niatmu membunuh anak yang menjadi kebanggaan
Morcerf" Pandanglah mataku, engkau tidak akan
menemukan tanda-tanda penyesalan atau menyalahkanmu pada diriku!"
Monte Cristo mengambil tangan Mercedes lalu
menciumnya dengan penuh penghargaan. Namun
Mercedes merasakan ciuman itu dingin seperti ciuman pada sebuah patung pualam
seorang suci "Banyak orang-orang yang rusak masa depannya karena kesalahannya di masa lalu,"
kata Mercedes. "Ketika aku menyangka engkau telah mati, selayaknya aku pun harus
mati Apa artinya bagiku berkabung terus-menerus dalam hati" Tak ada hasilnya,
kecuali membuat seorang wanita berumur tiga puluh sembilan seperti berumur lima
puluh tahun. Aku memang lemah dan pengecut! Aku mengkhianati cintaku sendiri,
dan seperti seorang murtad aku menimbulkan kemalangan di sekelilingku."
"Tidak, Mercedes," kata Monte Cristo, "engkau menghukum diri sendiri terlalu
keras. Engkau seorang wanita terhormat dan mulia dan kesedihanmu membuatku
lengah sejenak. Di belakangku, tidak tampak dan tidak diketahui ada Tuhan. Aku
hanya menjadi alatNya. Renungkanlah masa lalu dan sekarang cobalah menduga apa
yang terkandung masa depan, lalu ambil kesimpulan benarkah atau tidak aku hanya
alat Tuhan semata. Malapetaka yang paling mengerikan, penderitaan yang paling
pedih, terjauhnya aku dari mereka yang mencintaiku, dan
hukuman, yang ditimpakan oleh orang yang sama sekali tidak mengenalku . . itulah
bagian pertama dari hidupku.
Lalu, setelah penangkapan, pengasingan dan penderitaan, datanglah kebebasan
disertai dengan kekayaan yang luar biasa sehingga akan dungu dan butalah kalau
aku tidak melihatnya dan mengertinya bahwa Tuhan sengaja
memberikannya kepadaku sebagai suatu bagian dari sebuah rencana besar. Sejak
itulah aku menganggap kekayaan merupakan amanat suci dari Tuhan, sejak itu aku
tidak pernah berpikir untuk hidup biasa dengan segala
kesenangan duniawinya, sejak saat itu aku tidak pernah mengenal detik-detik
kedamaian. Aku merasa iliriku sebagai awan panas dihalau dari langit untuk
menghancurkan dan membakar kota. Seperti seorang kapten yang hendak berkelana,
aku mempersiapkan semua keperluan sehari-hari, mengisi semua senjata dan
mempelajari semua cara menyerang dan bertahan. Aku membiasakan tubuhku dengan
latihan-latihan yang berat dan melatih jiwaku untuk menghadapi kejutan yang
paling dahsyat. Aku melatih tanganku untuk membunuh, melatih mataku
melihat penderitaan seorang dan melatih bibirku tersenyum pada pemandangan yang
paling mengerikan. Dari seorang yang lunak, percaya dan pemaaf, aku merubah
diriku menjadi seorang pembalas dendam, terampil dan kejam, atau barangkali
lebih tepat dikatakan tak berperasaan, tuli dan buta seperti nasib itu sendiri.
Lalu aku menjalani jalan yang terbentang di hadapanku dan tercapailah tujuanku.
Celakalah mereka yang menghalangi perjalananku!"
"Cukup, Edmond. Percayalah, bahwa satu-satunya wanita yang mengenali
penyamaranmu, adalah juga satu-satunya wanita yang dapat memahaminya. Sekalipun
engkau menghancurkanku dalam perjalananmu, Edmond, aku
tetap akan mengagumimu! Seperti ada jurang luas antara aku dan masa laluku,
begitu juga ada jurang yang sangat luas antara dirimu dan orang-orang lain. Dan
aku akui, bahwa kepedihan yang paling menyiksa bagiku adalah mencari bandingan
bagimu. Aku tidak berhasil, karena di dunia ini tidak seorang pun setaraf
denganmu atau sama denganmu. Sekarang sebaiknya kita ucapkan selamat berpisah,
Edmond. Mari kita berpisah."
"Sebelum aku pergi, Mercedes, katakanlah dahulu apa yang kau kehendaki."
"Aku hanya menginginkan satu hal: kebahagiaan anakku."
"Berdo'alah kepada Tuhan agar dia terhindar dari kematian, dan aku akan
melakukan sisanya." "Terima kasih, Edmond"
"Bagaimana dengan engkau sendiri?"
"Aku tidak memerlukan apa-apa. Aku hidup di antara dua kuburan. Satu, kuburan
Edmond Dantes, laki-laki yang sangat kucintai dan yang sudah lama sekali
meninggal. Aku tidak mau menghilangkan kenangan itu dari pikiranku, apa pun
ditawarkan orang sebagai penggantinya. Kuburan yang satu lagi, kuburan laki-laki
yang dibunuh oleh Edmond Dantes. Aku dapat membenarkan tindakannya itu, tetapi
aku wajib tetap mendo'akan bagi kebaikan arwah korban."
"Tetapi apa yang hendak kaulakukan?"
"Aku tidak dapat berbuat apa-apa lagi kecuali berdo'a, dan aku tidak perlu
bekerja mencari nafkah, karena aku telah menemukan harta karun yang kaukubur dua
puluh empat tahun yang lalu."
"Mercedes, aku tidak bisa menyalahkan sikapmu itu, tetapi aku kira pengorbananmu
itu terlalu berlebihan ketika engkau meninggalkan semua harta kekayaan suamimu,
yang sebenarnya setengahnya menjadi hakmu berkat ke-hematan dan pemeliharaanmu."
"Aku tahu apa yang hendak kautawarkan, Edmond, tetapi aku tidak dapat
menerimanya. Anakku akan me-larangnya."
''Kalau begitu, aku tidak akan berbuat apa pun yang tidak akan disetujui
olehnya. Aku ingin mengetahui apa yang menjadi keinginannya dan akan berpegang
teguh kepadanya. Seandainya dia menyetujui apa yang hendak aku lakukan, apakah
engkau pun akan setuju?"
"Aku bukan orang yang berpikir lagi, Edmond, Tuhan telah menggoncangkan jiwaku
sehingga aku sudah tidak mempunyai kemauan lagi. Karena aku tetap hidup, berarti
DIA tidak menghendaki aku mati. Kalau Tuhan
mengantarkan pertolongan, berarti Tuhan menghendaki aku menerimanya."
"Bukan begitu caranya kita memuja Tuhan," kata Monte Cristo. "Tuhan menghendaki
kita mengertiNYA dan memikirkan tujuanNYA: Itulah sebabnya kita diberi kebebasan
kemauan" "Jangan berkata begitu!" seru Mercedes cepat. "Kalau aku mempercayai bahwa Tuhan
memberiku kebebasan kemauan, kemauanku adalah mati, dan ini berarti pula bahwa
aku sudah tidak percaya lagi bahwa masih ada sesuatu yang dapat menyelamatkan
aku dari puncak keputusasaan."
Monte Cristo mengalah kepada kemurungan yang sudah memuncak pada wanita itu.
"Maukah engkau mengatakan 'sampai berjumpa lagi'?"
tanyanya sambil mengulurkan tangan kepada Mercedes.
"Ya, 'sampai berjumpa lagi," jawab Mercedes khidmat sambil melihat ke langit.
"Aku mengatakannya karena aku hendak membuktikan kepadamu bahwa aku masih
mengharapkan bertemu kembali."
Setelah memegang tangan Monte Cristo yang gemetar Mercedes berbalik, lalu
berlari menaiki tangga. Monte Cristo berjalan perlahan-lahan kembali ke pelabuhan.
Sekalipun Mercedes berada di muka jendela kamar yang pernah ditinggali ayah
Dantes, dia tidak melihat kepergian Monte Cristo. Matanya mencari-cari kapal
yang membawa anaknya di lautan. Matanya mencari bayangan anaknya, tetapi
bibirnya mengucapkan, "Edmond! Edmond!"
BAB LXIX HATINYA terasa berat ketika ia meninggalkan
Mercedes, Ia mengira kemungkinan untuk dapat bertemu kembali sangat kecil.
Sejak kemattan Edouard banyak perubahan terjadi pada diri Monte Cristo. Setelah
dengan segala susah-payah sampai kepada akhir pembalasannya, dia terpaksa
menoleh lagi ke belakang dan ternyata menemukan banyak hal yang menimbulkan
keraguan. Tambahan lagi pembicaraan
dengan Mercedes membangkitkan beberapa pikiran dan perasaan yang harus
ditekannya. Untuk seorang seperti Monte Cristo tidak boleh terlalu lama berada dalam keadaan
seperti itu. Kepada dirinya sendiri terus-menerus dia katakan, kalau sampai
menyalahkan diri sendiri, berarti ada beberapa kesalahan di luar perhitungannya.
"Mungkin aku kurang tepat menuai masa laluku," pikirnya. "Bagaimana mungkin aku
membuat kesalahan seperti ini" Apakah usahaku ini sia-sia" Mungkinkah selama
sepuluh tahun ini aku menuruti jalan yang kurang benar" Tidak, aku tak dapat
menerima pikiran itu . .. Menerima itu berarti hatiku gelisah terus. Alasan
mengapa aku sekarang menjadi ragu, karena aku menilai masa lalu tidak seperti
dahulu lagi ketika aku mulai berangkat melaksanakan sumpah. Masa lampau itu
hilang bersama waktu, seperti hilangnya sebuah benda ditelan jarak. Apa yang
terjadi pada diriku sekarang sama dengan yang terjadi pada orang yang bermimpi
melihat dan merasakan sesuatu luka tetapi tidak ingat bila mendapatkannya."
Monte Cristo berjalan sepanjang Rue Saint-Laurent menuju pelabuhan. Sebuah
perahu sewaan kebetulan lewat.
Monte Cristo memanggil pemiliknya yang datang segera dengan harapan mendapatkan
upah yang baik. Hari sangat baik. Tetapi langit yang cerah, perahu-perahu pesiar yang berlayar
kian ke mari dengan lemah gemulai, dan cahaya matahari yang menyirami alam
sekeliling, semua itu sama sekali tidak menarik perhatian Monte Cristo.
Pikirannya sedang kembali ke beberapa tahun yang lalu, ketika dia menjalani
perjalanan yang tidak menyenangkan melalui jalur ini. Masih jelas terbayang
dalam ingatannya semua kejadian waktu itu. Gedung d'If yang memberitahu ke mana
dia akan dibawa, pergulatannya dengan para pengawal ketika dia mencoba menceburkan diri ke laut,
keputus-asaannya ketika merasakan dirinya tidak berdaya dan rasa dingin yang
menggigil ketika dia merasakan laras senapan ditekankan pada dahinya. Sedikit
demi sedikit Monte Cristo merasakan kembali kepahitan yang pernah merendam hati
Edmond Dantes. Bersamaan dengan itu tulanglah baginya langit dan cahaya matahari
yang cerah. Langit seakan-akan berubah menjadi gelap, hitam bagaikan berkabung.
Gedung d'If yang mulai membayang di kejauhan membuat dia
terperanjat seperti melihat hantu musuh yang sangat berbahaya.
Ketika mendekati pantai, secara naluriah Monte Cristo kembali ke buritan kapal.
"Kita hampir sampai, Tuan," kata pemilik perahu.
Monte Cristo ingat betul di tempat itu jugalah dia dahulu didaratkan dengan
paksa oleh para pengawal dan dipaksa pula menaiki lereng dengan ujung bayonet di
punggungnya. Sejak Revolusi Juli gedung itu sudah tidak dipergunakan lagi sebagai penjara.
Sekarang diisi oleh sebuah detasemen tentara yang bertugas menjaga jangan sampai
gedung itu dipergunakan oleh para penyelundup. Ada seorang penunjuk jalan
menunggu di gerbang untuk membantu para pengunjung yang ingin melihat-lihat
gedung yang pernah menyeramkan itu dan sekarang sudah berubah menjadi obyek
pariwisata. Sekalipun Monte Cristo sudah mengenalnya dengan
baik, namun ketika dia menuruni tangga gelap yang menuju ke sel bawah tanah, tak
urung keringat dinginnya keluar dari dahi. Hatinya serasa hendak membeku.
Monte Cristo bertanya kalau-kalau ada bekas pegawai penjara yang masih tinggal
di sana. Dia mendapat jawaban bahwa semua telah pensiun atau pindah bekerja di
tempat lain. Penunjuk jalan yang mengantarnya sekarang mulai bekerja di sana
sejak tahun 1830. Monte Cristo diantar memasuki selnya dahulu. Dia melihat secercah cahaya remang-
remang masuk melalui jendela yang sempit. Terlihatlah bekas ranjangnya.
Sekalipun sudah diperbaiki namun lubang yang dibuat oleh Padri Faria masih jelas
tampak. Monte Cristo merasakan lututnya melemah. Dia terduduk di atas sebuah
bangku kayu. "Apa ada ceritera yang berhubungan dengan penjara ini, kecuali ceritera tentang
penahanan Mirabeau?" tanya Monte Cristo.
"Ada, Tuan" jawab penunjuk jalan. "Salah seorang sipir pernah berceritera kepada


The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

saya tentang sel ini. Maukah Tuan mendengarnya?"
"Ya. Coba ceriterakan," Monte Cristo menekankan tangan kanannya di tentang
jantungnya untuk menahan debarnya, karena ada semacam rasa takut untuk mendengar
ceritera itu. "Sel ini," kata pengantar memulai, "pernah diisi seorang tahanan yang sangat
berbahaya. Begitu kata orang, sekurang-kurangnya. Dan di dalam sel yang
berdekatan ada lagi seorang pesakitan yang lain, yang sama sekali tidak
berbahaya. Ia seorang padri miskin yang menjadi gila di sini."
"Oh," kata Monte Cristo. "Gila bagaimana?"
"Dia selalu menawarkan jutaan frank untuk ditukar dengan kemerdekaannya."
"Bisakah kedua orang pesakitan itu bertemu?"
'Tidak, Tuan. Dilarang sama sekali. Tetapi, mereka berhasil membuat lubang di
bawah lantai yang dapat menghubungkan kamar masing-masing."
"Yang mana yang membuat lubang itu?"
'Tentu saja yang muda. Dia seorang yang kuat dan bersemangat, sedangkan padri
miskin itu telah tua dan lemah.
Lagipula, otak padri itu sudah tidak waras lagi untuk dapat membuat jalan
semacam itu." "Bodoh!" pikir Monte Cristo.
"Tak seorang pun tahu bagaimana caranya pesakitan muda itu bekerja," lanjut
pengantar, "tetapi tak dapat disangkal dialah yang membuatnya. Lihat, Tuan,
masih melihat bekas bekasnya." Dia menerangi dinding dengan obornya.
"Ya, ya " kata Monte Cristo sambil memendam berbagai perasaan.
"Dengan adanya jalan ini kedua pesakitan itu dapat berhubungan satu sama lain.
Tidak pernah diketahui berapa lama mereka berbuat begitu. Pada suatu hari
pesakitan tua itu sakit, lalu mati. Dapatkah Tuan mengira-ngira apa yang
diperbuat pesakitan muda itu?"
"Tidak." "Dia memindahkan mayat kawannya yang sudah dika-rungi ke ranjangnya sendiri.
Lalu, dia sendiri kembali ke sel padri tua dan masuk ke dalam karung mayat bekas
kawannya, setelah menutup lubang rahasia."
Monte Cristo menutup matanya, seperti sedang merasakan sekali lagi dinginnya
karung mayat itu menyentuh wajahnya.
"Begini rupanya rencana anak muda itu: Dia mengira bahwa mayat pesakitan dikubur
di bukit ini, oleh karena dia yakin Pemerintah tidak bakal mau menyediakan peti
mati. Dia bermaksud membongkar kuburnya sendiri dari dalam.
Tetapi sial sekali baginya, kebiasaan di penjara ini menghancurkan semua
rencananya. Mereka tidak pernah mengubur mayat. Mereka hanya memberati kaki
mayat dengan peluru meriam lalu melemparkannya ke dalam laut.
Itulah nasib anak muda itu. Keesokan harinya, para pengawal penjara menemukan
mayat padri tua di ranjang pesakitan muda. Selanjutnya dengan mudah mereka dapat
menduga segala-galanya, terutama sekali ketika petugas yang melemparkan mayat ke
laut menceriterakan sesuatu yang tidak pernah berani dia katakan sebelumnya.
Katanya, ketika melemparkan karung itu mereka mendengar jeritan yang sangat
mengerikan yang segera menghilang begitu karung itu menyentuh air."
Monte Cristo menarik napas berat sekali, amarahnya bangkit di hatinya. "Tidak!"
katanya dalam hati. "Aku ragu akan kebenaran tindakanku karena aku sudah mulai
lupa kepada masa laluku. Kini, luka dalam hatiku merekah lagi dan dahaga balas
dendam kembali bangkit." Lalu dia berkata kepada pengantarnya, "Apakah setelah
itu ada terdengar lagi berita mengenai pesakitan itu?"
"Tidak, Tuan. Dia dilemparkan dari ketinggian lima puluh kaki, dan kakinya
dahulu yang mengenai permukaan air. Jadi peluru meriam yang berat itu pasti
meluncurkannya langsung ke dasar lautan. Kasihan dia."
"Apa engkau merasa kasihan?"
"Tentu saja, Tuan, sekalipun dia mati dalam dunianya sendiri."
"Apa maksudmu?"
"Menurut ceritera orang, dia seorang pelaut yang dipenjarakan karena terlibat
dalam gerakan Bonaparte."
"Siapa namanya?"
"Dia hanya dikenal dengan Nomer 34."
"Villefort, Villefort!" katanya lagi dalam hati. 'Itulah tentu yang berteriak-
teriak dalam hati nuranimu setiap kali hantu diriku mengganggu tidurmu!"
"Apakah Tuan mau melihat yang lain-lainnya, Tuan?"
"Ya, terutama sel padri tua itu."
"Mari ikuti saya, Tuan."
"Sebentar," kata Monte Cristo. "Aku ingin melihat kamar ini sekati lagi."
"Baik, Tuan, dan kebetulan saya harus mengambil dahulu kunci sel padri itu.
Silakan Tuan melihat-lihat selama saya pergi."
"Ambillah!" "Saya tinggalkan obor ini."
"Biar, tidak usah."
"Tetapi di dalam gelap sekali."
"Saya dapat melihat dalam gelap."
"Seperti Nomer 34 saja. Kata orang, dia dapat menemu kau peniti dalam sudut yang
tergelap dalam sel ini."
''Diperlukan sepuluh tahun latihan untuk itu," jawab Monte Cristo dalam hatinya.
Pengantar itu pergi dengan membawa obor.
Hanya dalam beberapa detik, Monte Cristo sudah dapat melihat segala sesuatu
dalam sel dengan jelas sekali. "Ya,"
katanya sendiri, "inilah batu yang biasa kududuki, dan itu bekas darah dari
dahiku ketika aku mencoba memecahkan kepala pada tembok! Angka-angka ini . . .
ya, aku ingat. Aku membuatnya ketika aku menghitung usia ayahku
untuk mengira-ngira apakah mungkin aku menjumpainya lagi, dan umur Mercedes
untuk mengira-ngira apakah mungkin aku menemuinya masih belum kawin. Aku
mempunyai harapan ketika selesai menghitung itu. Aku tidak pernah
memperhitungkan kelaparan dan ketidaksetiaan ketika itu!"
Tawa pahit tersembur dari bibirnya. Seperti dalam mimpi dia melihat ayahnya
diusung ke kuburan-dan Mercedes diiringi berjalan ke altar.
Perhatiannya tertarik kepada sebuah tulisan di tembok lain: "OH TUHAN,
LINDUNGILAH INGATANKU!"
"Itulah satu-satunya do'aku menjelang akhir penyekapan," pikirnya. "Aku sudah
tidak lagi meminta kemerdekaan, aku hanya minta dipelihara ingatanku karena aku
takut gila dan lupa akan segala. Engkau telah mengabulkan doa ku, Ya Tuhan!
Terima kasih, terima kasih, Tuhanku!"
Cahaya obor membayang ditembok. Pengantar itu telah kembali dan Monte Cristo
keluar. "Silakan ikuti saya, Tuan."
Monte Cristo melihat sisa-sisa ranjang kematian Padri Faria. Melihat ini, bukan
amarah yang timbul dalam hatinya seperti ketika dia melihat bekas selnya
sendiri, melainkan perasaan haru dan terima kasih sehingga matanya berlinang-
linang. "Inilah kamar padri gila itu." Sambil menunjuk sebuah lubang yang masih terbuka
dia melanjutkan, "Dari situlah datangnya pesakitan muda kalau berkunjung.
Menilik kepada keadaan batunya, orang arif memperkirakan bahwa kedua orang itu
telah berhubungan sekitar sepuluh tahun, Waktu yang lama sekali tentu bagi
mereka itu! Kasihan!"
Dantes mengambil beberapa buah uang logam dua puluh frank dari saku bajunya dan
memberikannya kepada orang yang telah dua kali menyebut kasihan tanpa mengenal
siapa yang dikasihaninya. Pengantar itu menerimanya dengan mengira bahwa dia
hanya menerima beberapa uang receh saja. Tetapi setelah melihatnya dalam sinar
obor dia baru menyadari nilai sebenarnya.
"Mungkin Tuan keliru."
"Apa maksudmu?"
"Ini uang emas."
"Aku tahu." "Benarkah Tuan bermaksud memberikannya kepada saya?"
"Ya." Pengantar itu menatap wajah Monte Cristo penuh keheranan, 'Tuan," katanya. "Saya
tidak dapat memahami kemurahan hati Tuan."
'Tidak sukar sebenarnya. Aku pun bekas pelaut, jadi aku sangat terpengaruh oleh
ceriteramu tadi." "Oh! Karena Tuan telah bermurah hati, saya wajib menawarkan sesuatu."
"Apa yang dapat kautawarkan?"
"Sesuatu yang ada hubungannya dengan ceritera tadi."
"Betul?" kata Monte Cristo ingin segera tahu. "Apa itu?"
"Begini. Pada suatu hari saya berkata kepada diri saya sendiri: 'Kita akan dapat
menemukan sesuatu di dalam sel yang pernah dihuni seorang pesakitan selama lima
belas tahun.' Saya mulai mencari-cari dan akhirnya, di dalam lubang perapian
yang tertutup sebuah batu, saya
menemukan.." 'Tangga tali dan beberapa perkakas?" tanya Monte Cristo cepat.
"Bagaimana Tuan mengetahuinya?" tanya pengantar itu bertambah heran.
"Aku tidak tahu, aku hanya menduga saja. Itu kan barang-barang yang biasa
disembunyikan seorang pesakitan dalam selnya .. . Masih kausimpan barang-barang
itu?" 'Tidak, Tuan, saya telah menjualnya kepada seorang pengunjung. Tetapi saya masih
mempunyai sesuatu yang lain."
"Apa?" Monte Cristo sudah tidak sabar. "Semacam buku yang ditulis pada beberapa
lembar kain." "Masih ada buku itu?"
"Saya tidak tahu bahwa itu sebuah buku, tetapi masih ada pada saya."
"Ambil dan berikan kepadaku!"
Pengantar itu meninggalkan sel. Monte Cristo berlutut di depan ranjang yang
untuk Monte Cristo sekarang sudah berubah menjadi sebuah altar. "Oh, Bapakku
yang kedua," katanya, "yang arif bijaksana, engkau telah memberikan kepadaku kemerdekaan,
ilmu dan kekayaan . . . seandainya setelah wafat, Bapak masih dapat memberikan
sesuatu yang dapat menggembirakan atau membangkitkan semangat, wahai hati yang
mulia, yang arif bijaksana, wahai jiwa yang tenang, berikanlah isaratnya
kepadaku. Hapuskanlah rasa ragu dalam hatiku ini yang bisa berubah menjadi rasa
dosa dan akhirnya menjadi penyesalan!" Monte Cristo menundukkan kepala dan
merapatkan kedua belah tangannya.
"Inilah, Tuan," kata suara di belakangnya. Monte Cristo terperanjat dan
membalik. Pengantar menyerahkan sobekan-sobekan kain tempat Padri Faria
mencurahkan semua kekayaan ilmunya. Ini merupakan karya besarnya
mengenai kerajaan di Italia.
Monte Cristo menerima dengan gairah. Yang pertama-tama terbaca ialah motto yang
berbunyi: "Engkau wajib mencabut taring-taring ular naga dan menginjak-injak
kaki singa, begitulah sabda Tuhan."
"Ah!" kata Monte Cristo memekik gembira. "Inilah jawaban untukku! Terima kasih,
Bapak, terima kasih!"
Monte Cristo mengeluarkan dompet kecil yang berisi sepuluh lembar uang kertas
seribuan. "Ini," katanya kepada pengantar, "ambillah dompet ini."
"Untuk saya?" "Ya, tetapi dengan syarat, jangan dahulu dilihat isinya sampai aku pergi."
Sambil menekankan benda berharga itu ke dadanya
Monte Cristo berlari meninggalkan sel, kembali ke perahu yang menunggunya.
"Kembali ke Marseilles," perintahnya.
Selama dalam perahu matanya tidak pernah lepas dari penjara yang menyeramkan
itu, yang makin lama makin menjauh. "Terkutuklah mereka yang menjebloskanku ke
dalam lubang penderitaan itu dan mereka yang lupa bahwa aku pernah berada di
dalamnya!" Kemenangannya telah lengkap. Monte Cristo telah
berhasil mengalahkan keraguannya untuk kedua kalinya.
Setelah mendarat dia pergi ke pekuburan di mana ia menemukan Maximilien. Sepuluh
tahun yang lalu dia pun pernah berkunjung ke pekuburan ini, namun, kendati
dengan jutaan frank di tangannya dia tidak berhasil menemukan kuburan ayahnya
yang mati karena kelaparan.
Keadaan ayah Maximilien lebih baik. Dia meninggal dalam pelukan putra-putrinya,
dia dibaringkan di sisi istrinya yang meninggal dua tahun lebih dahulu. Nama-
nama mereka terukir pada batu pualam, diletakkan berdampingan, berpagar besi dan
diteduhi oleh empat batang pohon sip res.
Maximilien bersandar kepada salah satu pohon itu dan menatap kedua kuburan
dengan wajah dungu. ''Maximilien," kata Monte Cristo, "dalam perjalanan ke mari pernah engkau
mengatakan mau tinggal di Marseilles untuk beberapa hari. Apakah masih ada
keinginan itu?" "Saya sudah tidak mempunyai keinginan apa-apa lagi.
Tetapi, rasanya menunggu di sini akan lebih ringan dibandingkan dengan di tempat
lain." "Baik, kalau begitu. Aku akan meninggalkanmu untuk beberapa lama, tapi kuharap
engkau teguh memegang janji!"
Anak muda itu membiarkan kepalanya terkulai ke dada.
"Saya ingat janji itu," katanya setelah diam beberapa - saat.
'Tetapi, ingat . . ."
"Aku menunggumu di Pulau Monte Cristo pada tanggal 5 Oktober. Tanggal empat,
sebuah kapal pesiar akan menunggumu di pelabuhan Bastia. Nama kapal pesiar itu
Eurus. Sebutkan namamu kepada kaptennya, dia akan membawamu kepadaku."
"Saya akan bertindak seperti yang sayajanjikan, tetapi ingatlah bahwa pada
tanggal 5 Oktober . ."
"Sudah kukatakan lebih dari dua puluh kali bahwa apabila engkau masih bersikeras
mau mati pada hari itu, aku sendiri yang akan membantumu. Sekarang, selamat
tinggal." 'Tuan mau berangkat sekarang?"
"Ya. Ada sesuatu yang harus kukerjakan di Italia. Aku harus berangkat sekarang
juga. Mau engkau mengantarku sampai ke pelabuhan?"
"Siap, Tuan." Maximilien mengawani Monte Cristo ke pelabuhan.
Asap hitam sudah mengepul dari cerobong kapal ketika mereka tiba. Satu jam
kemudian kapal itu sudah menghilang di kaki langit timur.
BAB LXX TEPAT pada waktu yang bersamaan dengan
menghilangnya kapal Monte Cristo di Teluk Morgio, seorang laki-laki lain baru
saja melewati sebuah kota kecil antara Florence dan Roma. Aksen bicaranya
menunjukkan orang Peran cis Kata-kata Italia yang dikenalnya adalah istilah
musik. Dia katakan 'Allegro' kepada saisnya kalau dia menghendaki percepatan dan
'Moderate' kalau meminta berjalan sedang.
Ketika sampai di La Storta dari mana Roma dapat terlihat dari kejauhan, laki-
laki ini sama sekali tidak merasakan tertarik oleh pemandangan indah itu,
berbeda dengan orang asing lainnya yang selalu berhenti sejenak untuk menikmati
keindahan Gereja Saint Peter yang menjulang mengatasi bangunan-bangunan lain.
Dia, justru mengeluarkan dompet membuka kertas itu dan menatapnya dengan penuh
penghargaan lalu melipatnya kembali, dan akhirnya berkata: "Untung aku masih
punya ini." Kereta berjalan menyusuri Porta del Popolo, membelok ke kiri lalu berhenti di
muka sebuah hotel. Pemilik hotel Itu, Signor Pastrint, menyambut tamunya di
ambang pintu dengan topi di tangan. Laki-laki itu turun dari kereta, memesan
kamar dan makanan dan menanyakan alamat firma Thomson and French.
Ketika tamu ini meninggalkan hotel diantar seorang penunjuk jalan, seorang laki-
laki lain diam-diam mengikutinya. Rupanya orang Perancis itu sangat bergegas-gegas, sampai dia tidak
mau membuang waktu menunggu kuda kereta didandani dahulu. Dia berjalan saja
setelah memesan agar kereta itu menyusuinya dan menunggu di kantor firma Thomson
and French. Orang Perancis itu masuk, meninggalkan pengantarnya di ruang tamu.
"Firma Thomson and French!" tanya orang asing Itu kepada seorang karyawan.
Seorang pelayan berdiri atas isarat dari karyawan yang memperhatikan tamunya
dengan teliti. "Bolehkah saya mengetahui nama Tuan?" tanya pelayan.
"Baron Danglars,"
Pelayan dan baron itu memasuki ruangan lain. laki-laki yang mengikuti Danglars
sejak dari hotel duduk menunggu.
Karyawan menulis lagi, sedang laki-laki yang menunggu itu tetap diam. Pena
karyawan berhenti bergerak. Dia menengadah dan secara hati-hati melihat ke
sekelilingnya. "Ah!" katanya, "sudah di sini rupanya engkau, Peppino?"
"Ya," jawab laki-laki yang menunggu itu.


The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Apakah sudah menemukan keterangan-keterangan mengenai orang gemuk itu?"
"Kami sudah diberi tahu sebelumnya."
"Artinya kau sudah tahu apa maksudnya datang ke mari?"
"Tentu saja. Dia datang untuk mengambil uang. Yang kami perlukan sekarang berapa
banyak jumlahnya." "Akan saya beri tahukan sebentar lagi, kawan."
"Baik, tetapi jangan berikan keterangan yang salah, seperti yang kau berikan
mengenai Pangeran Rusia beberapa waktu yang lalu. Kaukatakan tiga puluh ribu
frank padahal kami hanya menemukan dua puluh lima ribu."
"Barangkali kalian kurang cermat menggeladahnya."
"Tak mungkin. Luigi Vampa sendiri yang melakukannya."
"Kalau begitu, pasti sudah dia gunakan untuk membayar hutangnya atau
membelanjakannya sebagian sebelum
kalian berhasil menangkapnya."
"Memang, mungkin begitu."
"Bukan mungkin, pasti. Maaf, aku tinggal dahulu, aku mau melihat berapa tepatnya
uang yang ditarik orang Perancisitu."
Peppino mengangguk. Ketika karyawan itu masuk ke
ruangan yang dimasuki Danglars tadi, Peppino mengeluarkan tasbih dari kantong
bajunya lalu mulai berdo'a seperti orang alim. Sepuluh menit kemudian karyawan
itu kembali. "Bagaimana?" tanya Peppino.
"Hampir tak masuk akal. Siap-siap untuk mendengarnya!"
"Lima juta, bukan?"
"Tepat. Bagaimana kau tahu?"
"Dari kwitansi yang ditandatangani Count of Monte Cristo."
"Betul!" jawab karyawan itu semakin heran. "Dari mana kau mendapatkan keterangan
yang secermat itu?" "Sudah kukatakan tadi, kami sudah diberitahu lebih dahulu."
"Jadi, apa gunanya lagi meminta keterangan dari aku?"
"Hanya untuk meyakinkan bahwa dialah orangnya."
"Memang dialah orangnya ... Sst. Dia keluar!"
Karyawan mengambil penanya dan Peppino tasbihnya.
Yang satu menulis yang lain berdo'a ketika pintu terbuka dan Danglars keluar
dengan wajah yang cerah, diantar oleh kepala bank sampai ke pintu. Peppino pun
keluar mengikuti Danglars.
Sebuah kereta menunggu Danglars di depan kantor.
Pengantar yang dibawanya dari hotel membukakan pintu dan Danglars naik. Setelah
itu pengantar menutup pintu kereta dan dia sendiri duduk di sebelah kusir.
Peppino naik ke tempat duduk di belakang.
"Apakah ada minat untuk pergi ke Gereja Saint Peter, Yang Mulia," tanya
pengantar. "Buat apa?" "Ya, untuk melihat-lihat!"
"Saya datang ke Roma tidak untuk pesiar."
"Ke mana jadi harus saya antarkan Tuan?"
"Kembali ke hotel!"
"Casa Pastrinl," kata pengantar kepada kusir.
Sepuluh menit kemudian Baron Danglars sudah kembali di kamarnya, Peppino duduk
di sebuah bangku di muka hotel. Danglars merasa letih, mengantuk dan bahagia.
Dia menyimpan dompetnya di bawah bantal, lalu tidur.
Sekalipun dia tidur dini sekali, namun keesokan harinya ia bangun terlambat
sekati. Mungkin disebabkan kurang tidur selama enam hari belakangan ini.
Sarapannya hebat sekali. Tanpa tertarik sedikit pun untuk melihat-lihat kota
Abadi itu, dia memesan kereta untuk tengah hari. Tetapi dia tidak
memperhitungkan kebiasaan kepolisian dan kelambatan kantor pos setempat.
Kereta pesanannya tidak datang sebelum jam dua, sedangkan paspornya baru selesai
diurus oleh petugas hotel jam tiga.
"Mengambil jalan mana, Tuan?"' tanya kusir dalam bahasa Italia.
"Jalan Ancona."
Signor Pastrini bertindak sebagai penterjemah. Kereta segera berangkat. Melalui
Venetia Danglars bermaksud menuju Wina, sebuah kota yang terkenal sebagai kota
hiburan. Di sanalah dia bermaksud menetap.
Ketika malam tiba, kereta sudah cukup jauh dari Roma.
Dia bertanya kepada kusir berapa jauhnya lagi sampai ke kota berikutnya.
"Non capisco," jawab kusir.
Danglars mengangguk. Kereta berjalan terus. "Aku akan menginap semalam di
perhentian berikut" katanya dalam hari.
Selama sepuluh menit dia memikirkan istrinya yang dia tinggalkan di Paris,
sepuluh menit berikutnya diberikan kepada anaknya yang sedang berkelana entah di
mana bersama Nona d'Armily. Berikutnya ia memikirkan bagaimana akan memanfaatkan
uangnya. Setelah tidak ada lagi yang dapat dipikirkannya, ia menutup mata lalu
tidur. Kereta berhenti. Danglars membuka mata, melihat ke luar melalui jendela, mengira
sudah sampai di sesuatu kota atau sekurang-kurangnya kampung. Tetapi dia tidak
melihat apa-apa, kecuali reruntuhan beberapa bangunan.
Empat orang berjalan bolak-balik seperti bayangan.
Danglars menunggu kusir yang baru saja selesai mengganti kuda datang meminta
bayaran. Aneh, kuda diganti tanpa ada orang meminta bayaran. Dia merasa heran,
lalu membuka pintu kereta. Sebuah tangan yang kasar
menutupnya kembali dengan keras, dan kereta berangkat lagi
Baron yang tidak dapat memahami kejadian ini, hilang kantuknya. "Hei, mio caro'"
dia memanggil kusir dengan kata kata Italia yang dia ambil dari sebuah lagu yang
dinya-nyikan berduet oleh anaknya dan Pangeran Cavalcanti. Tetapi mio caro tidak
menjawab. Danglars membuka jendela, menjulurkan kepala dan berteriak, "Ke mana
kita?" "Dentro la testa'" sebuah suara berat dengan nada mengancam menjawabnya
Danglars mengerti bahwa dentro la testa berarti 'masukkan kepalamu'. Cepat juga
dia belajar bahasa Italia itu.
Danglars menurut, tapi bukan tanpa risau. Kerisauan ini makin lama makin
meningkat, sehingga akhirnya kepalanya penuh dengan segala macam pikiran yang
menakutkan, terutama bagi orang dalam keadaan seperti dirinya. Dia melihat orang
berkuda di sebelah kanan keretanya.
"Polisi," pikirnya "Barangkali pemerintah Perancis telah mengirim kabar kepada
pemerintah Roma tentang diriku."
Dia ingin segera mendapat kepastian. "Ke mana aku akan kalian bawa?"
"Dentro la testa!" jawab suara yang tadi dalam nada yang sama.
Danglars melihat ke sebelah kiri Di sini pun ada orang berkuda mendampingi
kereta. "Tak syak lagi," katanya sendiri. "Aku tertangkap." Dia bersandar, bukan
untuk tidur melainkan untuk berpikir. Tak lama kemudian bulan muncul. Dia
menengok lagi ke luar dan terlihat lagi aliran air yang sudah dilihatnya tadi
pada ketika permulaan perjalanan. Hanya saja kalau tadi aliran itu berada di
sebelah kanan, sekarang di sebelah kirinya. Dia menyangka bahwa kereta telah
berputar haluan membawanya kembali ke Ro-ma. Akhirnya dia melihat bayangan hitam
d; hadapannya seakan-akan hendak diterjang kereta, tetapi pada detik terakhir
kereta menyimpang dan berjalan di sebelah bayangan hitam itu. Ternyata bayangan
hitam itu salah satu benteng pertahanan sekeliling Roma.
"Rupanya tidak kembali ke kota. Artinya mereka bukan polisi yang mau
menangkapku," pikir Danglars. "Ya Tuhanku! Mungkinkah mereka . . ." Ingatannya
kembali kepada ceritera-ceritera menarik tentang bandit-bandit Roma yang tidak
banyak dipercaya di Perancis. Teringat juga ia kepada pengalaman Albert de
Morcerf. Kereta berhenti dan pintu sebelah lari terbuka.
"Scendi!" perintah satu suara. Danglars segera turun.
Dia belum dapat berbicara bahasa Italia tetapi dapat mengerti.
Dalam keadaan lebih dekat kepada mati daripada hidup, Danglars melihat ke
sekelilingnya. Dia dikepung oleh empat orang, tidak termasuk sais.
"Di qua" kata salah seorang sambil berjalan memasuki jalan setapak. Danglars
mengikutinya tanpa membantah.
Setelah berjalan kurang lebih sepuluh menit tanpa berbicara dengan yang
membawanya, Danglars mendapatkan dirinya di antara dua bukit kecil. Tanahnya
penuh ditum-buhi rumput-rumput tinggi. Tiga orang berdiri tegak merupakan
segrtiga. Danglars berada di tengah-tengah mereka.
"Avanti!" Terdengar lagi suara yang bengis tadi memerintah. Sekali ini Danglars
memahami perintah itu tidak dari kata-katanya, melainkan dari gerakan tubuh
orang. Orang yang di belakangnya mendorongnya dengan kuat sekali sehingga dia menubruk
orang di hadapannya. Orang ini tiada lain dari Peppino, yang sudah hafal betul
liku-liku jalan ini. Peppino berdiri di muka sebuah batu karang besar yang setengah terbuka seperti
pelupuk mata, lalu masuk ke dalamnya. Suara dan gerakan orang di belakang
Danglars memerintah agar mengikuti Peppino. Danglars tidak ragu-ragu lagi bahwa
dia sudah jatuh ke tangan bandit-bandit Roma, Dua orang berjalan di belakangnya,
dan selalu mendorongnya apabila Danglars berhenti. Mereka membawa Danglars
melalui sebuah gang yang agak miring ke sebuah tempat yang menyeramkan.
"Siapa itu?" tanya seorang penjaga.
"Kawan!" jawab Peppino. "Di mana pemimpin?"
"Di dalam." Peppino memegang Danglars pada leher bajunya dan
menarik dia melalui sebuah lubang, membawanya ke ruangan tempat tinggal kepala
bandit. 'Inikah orangnya?" tanya kepala bandit yang sedang asyik membaca buku Kehidupan
Alexander di Plutarch. ''Betul." "Terangi mukanya."
Atas perintah ini Peppino mendekatkan obor begitu dekat ke wajah Danglars
sehingga baron itu mundur karena kepanasan. Air mukanya menunjukkan sangat
ketakutan. "Dia cape," kata kepala bandit. "Bawa dia ke tempat tidurnya."
Darahnya tersirap karena apa yang disebut tempat tidur terbayang olehnya sebagai
kuburan. Dia mengikuti Peppino,tanpa mencoba berteriak atau meminta dikasihani karena dia sudah tidak
mempunyai kekuatan, keinginan ataupun perasaan lagi. Dia dibawa ke semacam kamar
tahanan. Keadaannya bersih dan kering sekalipun berada di
bawah tanah. Di salah satu sudutnya terdapat tempat tidur dari tumpukan rumput
kering dilapisi kulit biri-biri. Ketika Danglars melihatnya dia menghela napas
lega karena apa yang dilihatnya itu merupakan suatu isyarat keselamatan.
"Terima kasih, Tuhan!" bisiknya. "Tempat tidur benar rupanya!"
"Eccotn kata pengantarnya. Dia mendorong Danglars ke dalam lalu mengunci pintu
dari luar. Danglars menjadi tahanan. Sekalipun pintu itu tidak dip alang
umpamanya, hanya seorang suci yang didampingi malaikat dari sorgalah yang akan
dapat lolos dari bandit-bandit di bawah pimpinan Luigi Vampa yang tersohor dan
bermarkas di pekuburan Saint Sebastian itu.
Danglars mengenali kepala bandit ini dari ceritera Albert sehingga sekarang mau
tak mau dia percaya kepada apa yang dahulu disangsikannya. Bukan saja dia
mengenali pribadi Luigi Vampa, tetapi juga mengenali kamar tahanannya sebagai
kamar tahanan Morcerf dahulu. Mungkin sekali tempat ini sengaja disediakan untuk
keperluan itu. Pemikirannya yang berikut ini memberikan sedikit ketenangan pada jiwanya: karena
tidak segera dibunuh, rupanya bandit-bandit itu memang tidak bermaksud
membunuhnya. Mereka menangkap pasti untuk merampok, tetapi karena di sakunya
hanya ada beberapa ribu frank saja mereka menahannya untuk meminta uang tebusan.
Dia ingat bahwa Albert dahulu dilepaskan dengan uang tebusan sekitar dua puluh
empat ribu frank. Oleh karena dia menganggap dirinya lebih penting dari Albert
maka dia memperkirakan uang tebusannya akan dua kali lipat. Masih akan mempunyai
sisa sebanyak lima juta frank lagi. Dengan jumlah itu, dapat hidup berkecukupan di mana saja dalam dunia
ini Dengan keyakinan yang hampir penuh akan dapat terbebas dari keadaannya sekarang
karena tidak pernah mendengar ada uang tebusan sebanyak lima juta frank,
Danglars merebahkan diri di tempat tidur dan tak lama kemudian lelap setenang
pahlawan yang ceriteranya sedang dibaca Luigi Vampa,
BAB LXXI YANG pertama-tama dilakukannya setelah terjaga,
menarik napas panjang untuk meyakinkan dirinya bahwa tiada luka di badannya.
Cara ini diketahuinya dari Don Quisot, satu-satunya buku yang pernah dia baca
sehingga hafal. "Tidak," katanya, "mereka tidak membunuh, juga tidak melukaiku. Tetapi mungkin
aku sudah dirampok?" Dengan cepat dia merogoh kantongnya. Uang dua ribu frank
yang dia sisihkan untuk bekal perjalanan masih berada di tempatnya. Juga dompet
yang berisi kertas berharga lima juta masih ada. "Perampok aneh!" pikirnya.
"Sangkaanku betul, mereka akan meminta uang tebusan."
Perlukah dia meminta penjelasan dari bandit-bandit itu atau menunggu saja dengan
sabar sampai mereka mulai bertindak" Pilihan yang kedua rupanya yang dianggapnya
paling baik. Dia menunggu.
Sementara itu seorang penjaga ditempatkan di muka pintunya. Jam delapan penjaga
diganti. Danglars ingin sekali mengetahui siapa yang menjaganya. Dia melihat
berkas-berkas cahaya . ,. bukan cahaya matahari melainkan cahaya lampu . . .
masuk melalui celah-celah pintu. Melalui celah itulah dia mengintip ke luar dan
melihat penjaga sedang minum brendi Tempat minumnya diperbuat dari kulit.
Itulah sebabnya baunya menjadi tidak sedap. Danglars mundur lagi.
Tengah hari penjaga diganti lagi. Keinginannya hendak mengetahui timbul lagi.
Sekali lagi dia mengintip. Penjaga yang baru ini seorang yang tinggi dan kekar
dengan mata besar, bibir tebal, hidung pesek, rambut merah sepanjang bahu
diuntun beberapa buah sehingga kelihatan seperti ular-ular bergantungan. Orang
ini lebih menyerupai raksasa daripada manusia, pikir Danglars. "Tapi aku ini
sudah terlalu tua dan liat untuk menjadi santapan yang sedap."
Danglars masih mempunyai sisa kepercayaan diri untuk bergurau.
Pada saat yang bersamaan, seperti hendak membuktikan bahwa dirinya bukan raksasa
pemakan manusia, penjaga itu duduk di depan pintu, lalu mengeluarkan dari
kantongnya sepotong roti hitam, beberapa buah bawang dan sekerat keju.
"Semoga setan menyergapku kalau aku dapat mengerti bagaimana orang dapat makan
bebusukan serupa itu!" pikir Danglars ketika dia mengintip lagi. Dia duduk
kembali di atas kulit biri-biri yang mengingatkannya kepada bau brendi penjaga
yang lalu. Betapapun busuknya sesuatu, ia mempunyai daya tarik yang kuat sekali untuk perut
yang kosong. Tiba-tiba Danglars merasa lapar. Tiba-tiba pula pandangannya
berubah, si penjaga sudah tidak buruk lagi, rotinya tidak hitam lagi dan kejunya
pun sudah kurang baunya. Dia berjalan ke pintu dan mengetuknya.
"Che cosa?" tanya penjaga.
"Sudah waktunya aku diberi makan," kata Danglars sambil menggedor-gedor daun
pintu. Mungkin karena dia tidak mengerti atau mungkin juga dia tidak mendapat perintah
untuk mengurus makan tahanannya, penjaga itu kembali meneruskan makan siangnya.
Danglars merasa tersinggung, dan karena tidak mau berurusan lagi dengan orang
kasar semacam itu. Dia pun kembali merebahkan dirinya.
Empat jam berlalu. Raksasa sudah diganti lagi dengan yang lain. Perut Danglars
sudah mefdHt-lilit pedih. Dengan perlahan-lahan dia berdiri, lalu mendekati
pintu dan mengintip lagi. Terlihatlah wajah cerdik Peppino. Danglars mengetuk
pintu perlahan-lahan. "Ya," jawab Peppino yang fasih berbahasa Perancis berkat seringnya berkunjung ke
hotel Signor Pastrini. Ketika dia membuka pintu, Danglars mengenalnya sebagai
orang yang berteriak 'Destro la testa " tadi malam. Tetapi sekarang bukan
waktunya untuk bertengkar. Danglars berkata dengan senyum seramah mungkin, "Maaf
Tuan, bolehkah saya mendapat makanan?"
"Makanan?" Peppino seperti terkejut. "Apakah Tuan merasa lapar?"
"Ya. Saya lapar. Lapar sekali."
"Kapan Tuan hendak makan, Yang Mulia?"
"Sekarang juga kalau mungkin."
"Tak ada yang lebih sederhana dari itu. Tuan dapat memesan apa saja . . . dengan
membayar tentu, seperti layaknya di antara orang-orang Kristen yang jujur."
"Tentu," kata Danglars, "sekalipun kalau boleh saya berterus-terang, menurut
pendapat saya orang yang menahan wajib memberi makan tahanannya."
"Itu bukan kebiasaan di sini, Yang Mulia."
"Sebenarnya bukan alasan yang baik, tetapi saya bersedia menerimanya," kata
Danglars yang berharap dapat mempengaruhi penjaganya dengan keramahannya.
"Apa yang hendak Tuan pesan" Tuan cukup memberi perintah saja."
"Ada dapur di sini?"
"Tentu saja, Tuan."


The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tukang masak juga?"
"Yang terbaik."
"Minta goreng ayam, daging ... apa saja asal dapat makan!"
'Terserah Tuan. Bagaimana kalau ayam goreng?"
"Baik." Peppino berteriak keras sekali, "Ayam goreng untuk Yang Mulia!" Tak lama
berselang seorang anak muda datang mengantarkan pesanan di atas talam perak.
"Silakan, Yang Mulia," kata Peppino setelah mengambil baki dari tangan anak muda
tadi dan meletakkan di atas meja, yang bersama sebuah kursi dan tempat tidur
merupakan satu-satunya perabotan dalam kamar itu. Danglars meminta pisau dan
garpu. "Baik, Yang Mulia," kata Peppino sambil menyerahkan garpu kayu dan pisau yang
tumpul ujungnya. Danglars memegang garpu di satu tangan dan pisau di tangan lainnya siap untuk
mengiris-iris goreng ayam.
"Maaf dulu, Yang Mulia" kata Peppino, meletakkan tangannya di bahu Danglars.
"Kebiasaan di sini membayar sebelum makan."
Danglars berpikir. "Mereka akan memerasku, sebaiknya aku berlagak royal. Aku
dengar bahwa harga-harga di Italia murah sekali. Seekor ayam mungkin hanya
sekitar dua belas sou saja." Dengan bergaya dia memberikan mata uang dua puluh
frank kepada Peppino. Peppino menerimanya dan Danglars menggerakkan pi-
saunya untuk mulai makan.
"Maaf sebentar, Yang Mulia " kata Peppino lagi, "masih kurang."
"Tidak salah dugaanku," pikir Danglars. Dia mengambil keputusan untuk mengalah.
"Berapa lagi yang harus saya bayar untuk ayam kurus kering ini?"
"Hanya sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus delapan puluh frank, Yang
Mulia." Mata Danglars terbelalak. "Lucu sekali," katanya sambil menghadapi lagi ayam
gorengnya. Tetapi Peppino mencegahnya.
"Engkau mau bergurau rupanya?"
"Kami tidak pernah bergurau, Yang Mulia," jawab Peppino sungguh-sungguh.
"Seratus ribu untuk ayam semacam ini?"
"Tuan tidak akan dapat membayangkan betapa sukarnya beternak ayam dalam gua
seperti ini, Yang Mulia."
"Sudah, sudah!" kata Danglars. "Lucu memang kelakar-mu itu, tetapi aku lapar.
Biarkan aku makan. Ini dua puluh frank lagi untukmu sendiri, kawan."
"Masih sisa sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus enampuluh frank. Dengan
sedikit sabar kita akan segera selesai."
'Tidak!" Danglars mulai marah. Dia masih tetap menyangka Peppino berkelakar.
"Persetan! Engkau tidak tahu dengan siapa engkau berhadapan!"
Peppino memberi isarat dan anak muda tadi mengambil kembali ayam itu dan
membawanya ke luar. Danglars melemparkan dirinya ke atas tempat tidur setelah
Peppino keluar dan mengunci pintu lagi. Perutnya terasa lapar sekali sehingga
dia mengira tak akan pernah dapat dikenyangkan.
Tetapi dia bertahan sejam lagi. Setelah itu kembali ke pintu dan berkata,
"Jangan menyiksa lebih lama lagi. Katakan apa yang sebenarnya kaukehendaki?"
"Tergantung pada Tuan, Yang Mulia, apa yang Tuan kehendaki dari kami," jawab
Peppino. "Berikan perintah Tuan dan kami akan melaksanakannya."
"Buka dulu pintu."
Peppino membukanya. "Aku mau makan!"
"Apakah Tuan merasa lapar. Yang Muba?"
"Engkau tahu betul aku lapar sekali!"
"Apa yang ingin Tuan pesan?"
"Sepotong roti saja karena ayam terlalu mahal."
"Roti!" Peppino berteriak.
Anak muda datang membawa sepotong kecil roti.
"Berapa harganya?"
"Sembilan puluh sembilan ribu sembilan ratus enam puluh frank, karena Tuan telah
membayar empat puluh frank tadi."
"Seratus ribu untuk roti sepotong ini?"
"Benar, Yang Mulia."
"Masa sama dengan ayam!"
"Apa pun yang Tuan pesan harganya sama." Masih juga engkau bersikeras untuk
berkelakar! Mengapa tidak kau katakan saja hendak membiarkan aku mati
kelaparan?" "Sama sekali tidak, Yang Mulia. Tuan sendiri yang bermaksud bunuh diri. Tuan
dapat makan kalau bersedia membayar."
"Tetapi dengan apa harus kubayar, bedebah" Kaupikir aku membawa uang sebanyak
itu?" "Tuan mempunyai lima juta frank dalam kantong, Yang Mulia. Cukup untuk lima
puluh ekor ayam." Tubuh Danglars gemetar. Baru dia mengerti bahwa ini benar-benar kelakar, tetapi
bukan kelakar yang main-main.
"Baiklah," katanya, "aku membayar seratus ribu frank, boleh aku makan apa yang
aku sukai?" 'Tentu saja, Yang Mulia."
"Bagaimana caranya aku membayar?" Danglars sudah merasa agak bebas bernafas.
"Sederhana sekali. Tuan mempunyai kridit di Firma Thomson and French. Berikan
saja surat perintah membayar dan kami akan menukarkannya di sana."
Danglars menerima pena dan kertas yang disodorkan Peppino, menulis surat itu dan
menandatanganinya. "Ini"
"Dan ini ayam Tuan."
Danglars menghela napas ketika dia memotong-motong ayam itu. Kecil sekali
rasanya untuk seharga itu.
Peppino meneliti dahulu surat itu baik-baik sebelum memasukkannya ke dalam
kantong. BAB LXXII HARI berikutnya Danojars merasa lapar lagi. Tetapi dia tidak mau membayar
semahal kemarin. Hemat seperti dia, Danglars menyisakan sebagian goreng ayam
kemarin. Setelah menghabiskannya, dahaga terasa. Minum tidak pernah dipikirkannya. Dia
bergulat melawan haus sampai lidahnya terasa melekat kepada langit langit
mulutnya. Setelah tidak kuat menahannya lagi dia berteriak memanggil
Penjaga membuka pintu. Penjaga yang baru lagi. Karena berpendapat lebih baik
berurusan dengan yang sudah dikenal, Danglars meminta Peppino.
"Ada apa, Yang Mulia," kata Peppino menghampiri dengan wajah cerah yang dianggap
Danglars sebagai tanda baik. 'Apa yang dapat saya lakukan?"
"Aku ingin minum."
"Seperti Yang Mulia ketahui, anggur sangat mahal di kampung sekitar Roma."
"Bawakan saja air biasa," jawab Danglars mencoba menghindari serangan yang akan
datang. "Air pun sama sukarnya dengan anggur, Yang Mulia.
Tahun ini kering sekali,"
''Rupanya engkau mau mulai lagi dengan permainan
seperti kemarin," kata Danglars. Orang yang malang ini memaksakan dirinya
tersenyum, tetapi dia merasakan, me-ngucurnya keringat di dahi. "Aku minta
segelas anggur, kawan" lanjutnya setelah melihat Peppino diam saja. "Engkau
menolak?" "Kami tidak menjual per gelas, Yang Mulia" jawab Peppino datar.
"Berikan saja satu botol."
"Anggur apa?" "Yang paling murah."
"Harganya sama semua."
"Berapa?" "Dua puluh lima ribu sebotol."
"Mengapa tidak kaukatakan saja kalian bermaksud menguras semua milikku?" tanya
Danglars pahit. "Itu akan lebih cepat berakhir daripada membinasakanku sedikit
demi sedikit seperti ini!"
"Barangkali itulah maksud pemimpin kami" jawab Peppino.
"Siapa pemimpinmu itu?"
"Yang tadi malam kita temui"
"Di mana dia sekarang?"
"Ada di sini." "Aku mau bicara dengan dia."
"Silakan, Yang Mulia."
Tak lama kemudian Luigi Vampa sudah berdiri di
hadapan Danglars. "Tuan meminta saya datang?"
"Tuankah pemimpin di sini?"
"Benar, Yang Mulia."
"Berapa uang tebusan yang Tuan minta" Katakan saja.'
"Kami menghendaki uang yang lima juta itu."
Danglars merasakan hatinya menciut "Itu adalah seluruh milikku," katanya, "dan
itu merupakan sisa dari kekayaanku. Kalau Tuan mau mengambilnya, ambil sekaligus
nyawa saya." "Kami dilarang menumpahkan darah Tuan, Yang
Mulia." "Oleh siapa?" "Oleh orang yang kami patuhi."
"Artinya masih ada yang lebih tinggi dari Tuan?"
"Benar." "Apa masih ada lagi di atas dia?"
"Ada, Yang Mulia"'
"Siapa?" "Tuhan." Danglars berfikir sejenak. "Saya tidak mengerti."
"Mungkin sekali."
"Mengapa Tuan diperintahkan memperlakukan saya seperti ini?"
"Kurang tahu." "Begini" kata Danglars, "maukah Tuan menerima satu juta?"
"Tidak." "Dua juta?" "Tidak." "Tiga juta . . . empat juta" Saya akan berikan empat juta kalau Tuan mau
melepaskan saya." "Mengapa Tuan menawar empat juta untuk sesuatu yang berharga lima juta?" tanya
Vampa. "Ambil semua dan bunuh saya!" Danglars berteriak.
"Tenang, Yang Mulia. Kalau tidak, Tuan terpaksa harus makan makanan yang
berharga satu juta frank sehari.
Harap lebih ekonomis!"
"Apa yang akan terjadi kalau uangku sudah habis?"
tanya Danglars masih marah.
"Tuan akan kelaparan."
"Kelaparan?" Wajahnya memucat.
"Mungkin," jawab Vampa menyindir.
'Tadi Tuan mengatakan tidak akan membunuh saya?"
"Betul" "Tetapi Tuan hendak membiarkan saya mati kelaparan?"
"Itu lain lagi."
"Baiklah, bangsat," kata Danglars keras, "Aku akan hancurkan rencana busukmu
itu. Oleh karena aku tokh akan mati, lebih cepat lebih baik untukku. Silakan
siksa aku, laparkan, tetapi engkau tak akan mendapatkan tanda-tanganku lagi!"
"Terserah kepada Tuan, Yang Mulia." Vampa keluar dari kamar itu.
Danglars melemparkan dirinya ke atas tempat tidur.
Siapa mereka itu" Siapa pemimpin sebenarnya" Apa
maksud mereka" Mengapa tahanan-tahanan lain dilepaskan dengan uang tebusan,
sedang dia sendiri tidak"
Barangkali untuk pertama kalinya Danglars ingat akan kematian dan dia
memikirkannya dengan takut bercampur harap.
Keputusannya tidak menandatangani surat perintah
pembayaran hanya berlangsung dua hari. Setelah itu dia meminta lagi makanan dan
terpaksa membayarnya satu juta frank. Penculiknya memberi dia makanan yang baik
dan banyak setelah menerima pembayarannya. Sejak itu, karena sudah sangat
menderita dan tidak mau menderita lebih hebat lagi Danglars memenuhi semua
permintaan mereka. Dua belas hari kemudian setelah selesai menghabiskan makanan sebaik ketika masa
jayanya, dia menjumlahkan semua pengeluarannya dan ternyata uangnya hanya
tinggal lima puluh ribu frank lagi.
Timbul sikap yang aneh bagi orang yang baru saja mengeluarkan uang sebanyak lima
juta frank. Dia bermaksud mempertahankan uang yang lima puluh ribu itu apa pun
yang harus terjadi dan mulailah dia membayang-bayangkan harapan yang berbatasan
dengan kegilaan. Dia, yang telah melupakan Tuhan sekian lamanya mulai menghibur
dan menabahkan diri dengan mengatakan bahwa sewaktu-waktu Tuhan sukamenciptakan
keajaiban seperti: tempat pekuburan ini hancur, atau posisi menyergap
persembunyian ini lalu membebaskannya. Kalau itu terjadi ia masih mempunyai lima
puluh ribu frank dan itu cukup untuk mencegah mati kelaparan. Dia memohon kepada
Tuhan dengan menangis agar mengizinkan memiliki uang yang lima puluh ribu itu.
Tiga hari berturut-turut nama Tuhan tidak pernah lepas dari bibir Danglars,
kalau bukan di hatinya. Hari berikutnya dia sudah tidak menyerupai manusia lagi,
sudah seperti mayat hidup. Untuk menekan lapar dia mulai memunguti sisa-sisa
makanan, selanjutnya menyobek-nyobek tikar yang menutupi lantai. Karena tidak
tahan, akhirnya dia meminta kepada Peppino diberi sedikit makanan dan
menawarkannya seribu frank. Tetapi Peppino tidak
menjawab. Hari berikutnya lagi dia meminta Vampa
datang. ''Ambillah sisa uangku ini semua dan biarkan saya hidup di sini, saya tidak
minta dibebaskan, saya hanya minta hidup."
"Benarkah Tuan menderita, Yang Mulia?"
"Ya, saya menderita. Saya menderita sekali!"
"Padahal banyak orang yang lebih menderita daripada Tuan."
"Saya pikir tidak ada."
"Ada, mereka yang mati kelaparan."
Danglars mengeluh lalu berkata lagi, "Mungkin ada yang pernah menderita lebih
dari saya, tetapi mereka itu setidak-tidaknya berkorban untuk orang lain."
"Akhirnya Tuan merasa menyesal juga?" terdengar orang bertanya dengan suara yang
dalam dan khidmat sehingga membuat berdiri bulu kuduk Danglars. Matanya yang
sudah lemah melihat laki-laki berdiri di belakang Vampa, bermantel dan sedikit
tersembunyi di bawah bayangan tiang.
"Menyesal karena apa?" tanya Danglars gagap.
"Karena perbuatan jahat yang pernah Tuan lakukan."
"Oh ya, ya, saya menyesal! Saya menyesal!" Danglars menangis sambil memukul-
mukul dadanya dengan kepalan-nya yang sudah mengecil.
'Kalau betul begitu, saya maafkan Tuan," kata orang itu sambil melemparkan
mantelnya dan maju ke tempat yang terang.
"Count of Monte Cristo!" -Danglars berteriak heran bercampur takut
"Tuan keliru. Saya bukan Count of Monte Cristo."
"Siapa kalau begitu?"
"Saya adalah yang tuan khianati dan hinakan, orang yang tunangannya Tuan paksa
kawin dengan orang lain, orang yang Tuan injak-injak dalam meraih kekayaan,
orang yang ayahnya mati kelaparan tetapi yang sekarang
memaafkan Tuan karena dia sendiri pun memerlukan
pengampunan. Saya adalah Edmond Dantes!"
Danglars memekik lagi lalu jatuh.
"Berdiri," kata Monte Cristo. "Nyawa Tuan akan selamat. Kawan Tuan yang dua
orang kurang beruntung. Yang satu gila, yang lain mati! Peganglah sisa uang yang lima puluh ribu frank
itu sebagai hadiah dari saya. Adapun yang lima juta, yang Tuan curi dari rumah
sakit, sudah saya kembalikan tanpa menyebut nama saya. Sekarang, silakan makan
dan minum. Tuan tamu saya malam ini. Vampa.
kalau tuan ini sudah kuat kembali, lepaskan dia."
Danglars masih tetap lemah tidak berdaya ketika Monte Cristo pergi. Waktu dia
mengangkat kepala, dia sudah tidak menemukan apa-apa lagi kecuali bayangan yang
menghilang. Seperti diperintahkan oleh Count of Monte Cristo, Vampa memberi Danglars anggur
yang terbaik dan buah-buahan yang terbaik di Italia. Setelah itu dia membawanya
dengan keretanya sendiri dan melepaskannya di tengah jalan.
Danglars diam di sana sampai keesokan paginya tanpa mengetahui di mana dia


The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berada. Ketika hari telah siang bara dia sadar bahwa dia berada dekat sebuah
sungai kecil. Karena haus, dengan terseok-seok dia mendekatinya. Ketika dia bertiarap untuk
meneguk air sungai, tahulah dia bahwa rambutnya telah memutih semuanya.
BAB LXXIII JAM enam sore sebuah kapal pesiar kecil mungil
meluncur cepat sekalipun pada saat itu tidak ada angin yang cukup, bahkan untuk
membelai rambut seorang gadis pun.
Di haluannya berdiri seorang pemuda tinggi dengan air muka murung, menatap
daratan yang makin lama makin jelas seakan-akan muncul dari bawah permukaan
laut. "Itukah Pulau Monte Cristo?" tanyanya dengan nada sedih.
"Benar, Tuan," jawab kapten kapal
Beberapa menit kemudian mereka melihat kilat di atas pulau disusul suara
tembakan. "Itu isarat buat kita, Tuan. Apakah Tuan mau membalasnya sendiri?"
"Ya." Kapten menyerahkan karaben yang telah berisi kepada anak muda itu yang dengan
perlahan-lahan mengarahkannya ke udara, lalu menarik picunya. Tak lama kemudian kapal itu sudah
membuang jangkar dan sebuah sekoci dengan empat orang pendayung dikeluarkan.
Anak muda itu naik ke sekoci, berdiri di buritan dengan bersidekap. Kedelapan
bilah kayu pendayung bergerak bersama-sama, boleh dikatakan tanpa memercikkan
air setitik pun. Sekoci melaju
Halaman 778-779 ga ada dewi kz http://kangzusi.com/
nya kepedihan." Maximilien duduk, Monte Cristo mengambil tempat di hadapannya. Mereka berada di
ruang makan yang mewah. Beberapa patung pualam berdiri di sudut-sudut yang tepat, pada masing-masing
kepalanya terdapat keranjang penuh bermacam-macam bunga dan buah-buahan.
Maximilien memperhatikan seluruh isi ruangan.
"Sekarang saya mengerti mengapa Tuan meminta saya datang ke istana bawah tanah
di pulau terpencil ini, yang akan merupakan kuburan, yang bagi seorang raja pun
akan merasa iri melihatnya, karena Tuan mencintai saya.
Bukankah begitu" Rupanya Tuan bermaksud memberi saya kematian yang nyaman,
kematian tanpa penderitaan, kematian yang memungkinkan saya pergi dengan nama
Valentine di bibir dan tangan Tuan di tangan saya."
"Terkaanmu tepat sekali, Maximilien," kata Monte Cristo. "Itulah maksudku."
"Terima kasih. Mengingat bahwa penderitaan saya akan segera berakhir membuat
saya tenteram sekarang."
"Apakah tak ada yang akan kausesalkan sama sekali?"
"Tidak." "Juga tidak untuk meninggalkan saya?" tanya Monte Cristo dengan perasaan yang
mendalam. Maximilien terdiam. Sebutir air mata tergulir.
"Air matamu itu menunjukkan bahwa di dunia ini ada yang terasa berat
kautinggalkan tetapi engkatt tetap berniat mati"
"Harap jangan berkata lagi. Tuan. Jangan memperpanjang penderitaan saya."
Monte Cristo yakin Maximilien sudah mulai ragu. Ia ingat kepada keraguannya
sendiri yang berhasil ia tundukkan di penjara d'If. "Aku bermaksud memberi dia
kebahagiaan," pikirnya. "Dan aku anggap maksudku ini sebagai imbalan kepada
keburukan yang pernah aku
perbuat. Bagaimana kalau aku keliru" Bagaimana kalau orang Ini merasa tidak
berbahagia untuk mengecap
kebahagiaannya" Apa yang akan terjadi dengan aku sendiri yang hanya dapat
melupakan keburukan dengan
mengingat-ingat kebaikan" Setelah itu dia berkata keras:
"Aku tahu kesedihanmu sangat mendalam, Maximilien, tetapi engkau tetap masih
mempunyai kepercayaan kepada Tuhan, tetapi pula tidak mau mengambil kesempatan
agar menolong jiwamu."
Maximilien tersenyum sedih. "Tuan telah cukup mengenal saya; saya bukanlah
pemain sandiwara. Saya bersumpah bahwa jiwa saya sudah bukan milik saya lagi."
"Coba dengarkan baik-baik, Maximilien," kata Monte Cristo. "Seperti kau tahu,
aku ini sebatang kara. Aku meng-anggapmu sebagai anak sendiri. Aku bersedia
mengorbankan diri untuk keselamatan jiwa anakku, berarti juga aku bersedia
mengorbankan seluruh kekayaanku."
"Apa maksud Tuan?"
"Maksudku, engkau mau mati karena tidak mengetahui kebahagiaan yang mungkin
diberikan oleh harta kekayaan.
Aku memiliki hampir seratus juta frank. Aku akan berikan itu semua kepadamu.
Dengan kekayaan sebanyak itu kau dapat memenuhi semua yang kauinginkan. Kalau
engkau cukup mempunyai ambisi, semua kedudukan terbuka bagimu. Kemudian dunia
Ini dan rubahlah wajahnya. Jangan biarkan dirimu hanyut dibawa gagasan-gagasan
gila. Kalau perlu biarlah jadi penjahat, asal jangan bumri\diri"
"Tuan telah berjanji," jawab Maximilien dingin. "Dan sekarang sudah setengah dua
belas." "Maximilien! Tegakah engkau melakukannya di hadapan mataku, di dalam rumahku?"
"Kalau begitu, izinkan saya pergi," Maximilien berdiri.
Mendengar ini wajah Monte Cristo bersinar. "Baik kalau begitu " katanya. "Engkau
mau mati dan kemauanmu itu sudah tidak dapat dirubah lagi. Memang,engkau sangat
tidak berbahagia, seperti katamu sendiri, hanya suatu keajaiban saja yang akan
dapat menyembuhkarimu. Du-
duklah Maximilien, dan tunggu."
Maximilien menurut, Monte Cristo berjalan ke sebuah lemari. Dari dalamnya ia
mengeluarkan sebuah kotak perak, lalu menaruhnya di atas meja. Kotak itu
dibukanya dan dikeluarkannya lagi sebuah kotak lain yang lebih kecil yang
diperbuat dari emas. Dengan menekan tombol yang kecil dan tersembunyi penutup
kotak emas itu membuka. Di dalamnya terdapat zat berminyak yang setengah padat dan warnanya serasi
sekali dengan warna emas, mirah delima dan jamrut yang menghias kotak itu. Monte
Cristo mengambil sebagian kecil dari zat itu dengan sebuah sendok kecil dan
memberikannya kepada Maximilien sambil
menatap wajahnya dengan tetap. Pada waktu itu warna zat tadi berubah menjadi
hijau. "Inilah yang kauminta dan inilah pula yang kujanjikan."
"Saya mengucapkan terima kasih dari lubuk hati, Tuan,"
kata anak muda itu ketika menerima sendok.
Monte Cristo mengambil lagi sedikit dengan sendok lain.
"Apa maksud Tuan?" tanya Maximilien dengan menahan tangan Monte Cristo.
"Semoga Tuhan mengampuniku," jawab Monte Cristo tersenyum. "Tetapi aku rasa aku
pun sudah bosan hidup sama seperti engkau. Dan karena sekarang ada kesempatan
yang baik..." "Jangan!" pekik Maximilien "Tuhan masih mempunyai apa yang Tuan cintai, dan
dicintai. Tuan masih mempunyai kepercayaan dan harapan . . . janganlah berbuat
seperti yang hendak saya perbuat! Bagi Tuan akan berarti kejahatan. Selamat
tinggal, wahai sahabat yang mulia dan sejati.
Akan saya ceriterakan kepada Valentine di seberang sana semua jasa Tuan kepada
saya." Dengan perlahan-lahan namun tanpa keraguan
Maximilien menelan zat yang aneh itu. Sedikit demi sedikit lampu-lampu yang
berada di tangan patung-patung pualam tampak berkurang cahayanya, demikian juga
wangi-wangian menjadi kurang semerbak. Di hadapannya duduk Monte Cristo
menatapnya. Tetapi Maximilien sudah tidak dapat melihatnya dengan jelas, kecuali
cahaya matanya yang berkilat-kilat.
Maximilien merasa badannya berat. Semua benda di
sekelilingnya sudah kehilangan bentuk dan warna. Matanya yang sudah buram
seperti melihat banyak pintu dan tirai terbuka.
"Saya sudah hampir habis, kawan," katanya. "Terima kasih." Dia mencoba
mengulurkan tangannya kepada Monte Cristo tetapi terjatuh lagi di sisinya.
Badannya terkulai di kursi dan merasakan dirinya melayang terbang ke alam
rrumpi. Sekali lagi dia mencoba mengangkat tangan. Sekarang bahkan sama sekali
tidak berdaya lagi. Dia mau mengucapkan selamat tinggal, tetapi lidahnya sudah
kaku. Monte Cristo membuka sebuah pintu. Samar-samar Maximilien melihat seorang wanita
yang sangat cantik masuk.
Dengan wajah yang sedikit pucat dan senyum yang sangat menawan seakan-akan dia
seorang bidadari dari kayangan.
"Apakah pintu surga sudah terbuka?" pikir orang yang sudah tidak berdaya itu.
"Tampaknya bidadari itu serupa benar dengan Valentine!"
Wanita itu datang mendekatinya.
'Valentine! Valentine!" pekik Maximilien dari dalam hatinya. Tetapi tak sedikit
pun suara keluar dari bibirnya.
Dan seperti semua tenaganya terhimpun dalam
perasaannya, dia menarik napas panjang. Tertutuplah kedua matanya.
Valentine memburunya. Bibir Maximilien bergerak lagi sedikit.
"Dia memanggilmu dalam tidurnya," kata Monte Cristo.
"Kematian hampir saja memisahkan kalian. Untung sekali aku berhasil
menghindarkannya. Valentine, jangan hendaknya kalian berpisah lagi di dunia ini.
Kalau itu terjadi dia bersedia membenamkan dirinya ke dalam kubur dan itu tidak
baik. Tanpa pertolonganku, mungkin sekali kalian sudah tiada. Aku kembalikan
masing-masing kepada hak masing-masing. Mudah-mudahan Tuhan sudi memperhitungkan
kebaikanku ini dengan keburukan-keburukan yang telah aku perbuat!"
Valentine memegang tangan Monte Cristo dan dengan kegembiraan yang tidak
terbendung dia menciumnya.
"Berterima kasihlah kepadaku, Valentine!" kata Monte Cristo. "Katakanlah
berulang-ulang bahwa aku telah mem-bahagiakanmu . .. Engkau tak akan dapat
merasakan beta pa perlunya keyakinan itu bagiku."
"Ya, Tuan, terima kasih banyak. Saya mengucapkannya dari kedalaman lubuk hati
saya!" jawab Valentine. "Kalau tuan masih meragukan perasaan saya, silakan
bertanya kepada Haydee, saudara saya yang tulus dan telah membuat saya sabar
menantikan saat bahagia ini dengan jalan banyak sekali berceritera tentang hal
Tuan sejak kami meninggalkan Perancis bersama-sama."
"Oh, engkau mencintai Haydee, Valentine," tanya Monte Cnsto dengan perasaan yang
tidak berhasil dia sembunyikan.
"Dengan sepenuh hati."
"Kalau begitu, rasanya aku mempunyai hak untuk meminta sesuatu darimu.."
"Kepada saya" Cukup berhargakah saya untuk itu?"
"Engkau menyebut Haydee sebagai saudara yang tulus.
Saya minta anggaplah dia sebagai saudara kandung sejati.
Valentine. Bayarkanlah kepadanya segala apa yang kauanggap sebagai hutang budi
kepadaku. Lindungilah dia oleh kalian, engkau dan Maximilien, karena ..." suara
Monte Cristo hampir tidak terdengar, "sejak sekarang dia akan menjadi sebatang
kara." "Sebatang kara?" tanya suara di belakang Monte Cristo.
"Mengapa?" Monte Cristo membalikkan badan. Haydee berdiri di belakangnya menatap wajahnya
dengan air muka heran dan cemas.
"Karena besok engkau akan menjadi orang merdeka, Haydee," jawab Monte Cristo.
"Karena mulai besok engkau harus menempati tempatmu yang terhormat dalam dunia
ini. Karena aku tidak menghendaki hidupku membuat gelap jalan hidupmu. Engkau
putri seorang pangeran. Aku kembalikan kepadamu nama dan kekayaan ayahmu."
Haydee menjadi pucat, dan berkatalah dia dengan suara tertahan tahan "Kalau
begitu Tuan bermaksud meninggalkan saya?"
"Haydee! Haydee! Engkau masih muda dan cantik, lupakan aku dan carilah
kebahagiaan." "Baik, Tuan. Perintah Tuan akan saya laksanakan dengan baik dan patuh. Saya akan
melupakan Tuan dan mencari kebahagiaan." Dia mundur untuk pergi.
"Oh Tuhanku!" Valentine memekik cemas. "Tidakkah Tuan lihat betapa pucat
wajahnya. Tidakkah Tuan lihat betapa menderitanya?"
"Mengapa engkau mengharapkan beliau mengerti, Valentine?" tanya Haydee dengan
air muka menunjukkan putus asa. "Beliau adalah tuanku dan aku budaknya. Beliau
berhak untuk tidak mau melihat apa yang ada padaku dan terasa olehku."
Monte Cristo bergetar mendengar suara Haydee yang telah menyentuh tali-tali
terhalus hatinya. 'Mungkinkah idamanku menjadi kenyataan" Haydee, apakah engkau
merasa berbahagia bersamaku?"
"Saya masih muda, Tuan," jawab Haydee perlahan-lahan. "Saya mencintai kehidupan
manis yang telah Tuan berikan kepada saya, dan saya akan merasa menyesal bila
harus mati" "Maksudmu, bila aku meninggalkanmu engkau akan ..."
"Saya akan mati. Benar, Tuan."
"Berarti engkau mencintaiku."
"Oh, Valentine. Beliau menanyakan apakah aku mencintainya! Tolong menjawabnya,
Valentine. Tolong!" Hati Monte Cristo mengembang karena bahagia. Dia
membuka kedua lengannya dan Haydee melemparkan dirinya ke dalam pelukannya
sambil menangis bahagia. "Saya mencintaimu!" katanya. "Saya mencintaimu seperti
mencintai jiwa saya sendiri, oleh karena bagi saya, Tuan adalah laki-laki yang
terbaik, yang termulia dan teragung dalam dunia ini!"
'Terima kasih, bidadariku," jawab Monte Cristo. "Rupanya, Tuhan yang telah
membesarkan aku untuk menghadapi musuh-musuhku dan memberikan kemenangan
kepadaku, tidak menghendaki aku menebus dosa pada akhir kemenanganku. Aku
bermaksud menghukum diri sendiri, namun rupanya Tuhan mengampuniku. Mungkin
cintamu itu akan membuat aku melupakan segala sesuatu yang harus aku lupakan.
Sepatah katamu itu, Haydee, telah membukakan hatiku lebih lebar daripada
kearifan selama dua puluh tahun. Hanya engkaulah sekarang yang masih kumiliki
dalam dunia ini. Bersamamu aku akan mengarungi hidup baru. Bersamamu aku akan
tahan menderita dan bersamamu pula aku akan merasa berbahagia. Betulkah saya
telah dapat menangkap kebenaran ini, ya Tuhan"
Namun, apakah ini hukuman atau ganjaran, saya ikhlas menerimanya. Mari Haydee,
mari." Sambil menggandeng Haydee, Monte Cristo menekan
tangan Valentine lalu berjalan keluar meninggalkan ruangan itu.
Satu jam lamanya Valentine menunggui Maximilien dengan penuh ketegangan.
Akhirnya dia melihat dada Maximilien naik-turun, yang menunjukkan kehidupan
telah kembali ke dalam tubuh anak muda itu. Lambat laun mata Maximilien terbuka.
Mereka saling berpandangan pada mulanya. Penglihatan Maximilien makin lama makin
terang. Bersamaan dengan pulihnya penglihatannya, perasaannya pun kembali. Namun pedih
pun mulai datang. "Oh!" katanya putus asa. "Aku masih hidup! Count of Monte Cristo menipu!" Dia
bangkit untuk mengambil pisau di atas meja.
"Sadarlah, kekasih, dan pandanglah aku," kata Valentine dengan senyum yang
menawan. Maximilien berteriak lagi. Maximilien meragukan panca-inderanya. Kepalanya
terasa pening melihat apa yang disangkanya tadi sebagai bayangan. Akhirnya dia
jatuh berlutut. Esok paginya ketika matahari baru terbit Maximilien dan Valentine berjalan-jalan
bergandengan sepanjang pantai.
Bintang-bintang terakhir masih berkilat-kilat di langit pagi.
Tiba-tiba Maximilien melihat seorang laki-laki berdiri di balik sebuah batu
karang, menunggu Maximilien memanggilnya. Maximilien berkata kepada Valentine
sambil menunjuk, "Jacopo, kapten kapal pesiar."
Valentine memanggil Jacopo.
"Ada apa, Kapten Jacopo"''tanya Maximilien.
"Count of Monte Cristo menyuruh saya menyerahkan surat ini''
Maximilien membuka dan membacanya:
Maximilien yang baik, Sebuah kapal telah menantimu di pelabuhan. Jacopo akan membawamu ke Livorno, di
mana Tuan Noirtier menunggu kedatangan cucunya yang ingin beliau berkahi sebelum
kaubawa dia ke jenjang perkawinan. Segala sesuatu yang berada dalam gua di pulau
ini, rumahku di Champs Elysees dan sebuah rumah peristirahatan kecil di Treport
adalah hadiah perkawinan dari Edmond Dantes untuk putra majikannya, Tuan Morrel
Ajaklah bidadari yang mulai hari ini akan mendampingi hidupmu berdo'a bagi
seorang laki-laki yang untuk sesaat seperti Setan pernah merasa dirinya sama
dengan Tuhan, tetapi pada akhirnya dengan segala kerendahan hatinya menyadari
bahwa kekuasaan dan kebijaksanaan yang mutlak hanya berada di tangan Tuhan.
Camkanlah ini, Maximilien, rahasia yang kutemukan dan mudah-mudahan dapat
menjadi pegangan bagimu: sebenarnya dalam dunia ini tidak ada kebahagiaan atau
ketidakbahagiaan itu.

The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Yang ada hanyalah perbandingan antara sesuatu keadaan dengan keadaan yang lain.
Hanya orang yang pernah merasakan puncak kepedihan akan dapat merasakan puncak
kebahagiaan. Ada perlunya suatu saat kita mengharapkan kematian, Maximilien, untuk mengetahui
dengan tepat, betapa baiknya sebenarnya hidup ini
Hiduplah, Maximilien, dan berbahagialah, wahai belahan hatiku, dan janganlah
lupa bahwa, sampai saat Tuhan berkenan membuka tabir masa depan seseorang,
seluruh kebijaksanaan kemanusiaan bersimpul hanya kepada dua kata ini: Menunggu
dan mengharap. Sahabatmu EDMOND DANTES COUNT OF MONTE CRISTO
Maximilien melihat ke sekelilingnya seperti mencari sesuatu,
"Kebaikan Count of Monte Cristo ini sudah sangat di luar jangkauan perkiraan,"
katanya. "Di mana beliau sekarang" Antarkan saya kepadanya."
Jacopo menunjuk ke kaki langit.
"Apa artinya?" tanya Valentine. "Di mana beliau" Di mana Haydee?"
"Lihatlah," kata Jacopo.
Kedua muda belia itu melihat ke arah yang ditunjukkan Jacopo. Pada garis hitam
yang memisahkan langit dan samudera mereka melihat layar putih.
"Sudah pergi!" kata Maximilien. "Selamat jalan, sahabatku, ayahku!"
"Sudah pergi," ulang Valentine. "Selamat jalan, sahabatku! Selamat jalan,
saudaraku!" "Mungkinkah kita akan bertemu kembali?"
"Kekasih," jawab Valentine, "Count of Monte Cristo baru saja menasihati kita
bahwa seluruh kebijaksanaan manusia bertumpu hanya kepada dua patah kata:
Menunggu dan mengharap."
TAMAT DI SCAN OLEH BBSC ebook by Dewi KZ
http://kangzusi.com/ Scanned book (sbook) ini hanya untuk pelestarian buku dari kemusnahan. DILARANG
MENGKOMERSILKAN atau hidup anda mengalami ketidakbahagiaan dan
ketidakberuntungan Document Outline THE COUNT OF MONTE CRISTO
BAB I BAB II BAB III BAB IV BAB V BAB VI BAB VII BAB VIII BAB IX BAB X BAB XI BAB XII BAB XIII BAB XIV BAB XV BAB XVI BAB XVII BAB XVIII BAB XIX BAB XX BAB XXI BAB XXII BAB XXIII BAB XXIV BAB XXV BAB XXVI BAB XXVII BAB XXVIII BAB XXIX BAB XXX BAB XXXI BAB XXXII BAB XXXIII BAB XXXIV BAB XXXV BAB XXXVI BAB XXXVII BAB XXXVIII BAB XXXIX BAB XL BAB XLI BAB XLII BAB XLIII BAB XLIV BAB XLV BAB XLVI BAB XLVII BAB XLVIII BAB XLIX BAB L BAB LI BAB LII BAB LIII BAB LVI BAB LVII BAB LVIII BAB LIX BAB LX BAB LXI BAB LXII BAB LXIII BAB LXIV BAB LXV BAB LXVI BAB LXVII BAB LXVIII BAB LXIX BAB LXX BAB LXXI BAB LXXII BAB LXXIII Panji Sakti ( Jit Goat Seng Sim Ki) 4 Pendekar Gila Karya Cao Re Bing Putri Samudera 2
^