Pencarian

Monte Cristo 2

The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas Bagian 2


dia yang akan mendatanginya. Dia bekerja sehari penuh tanpa istirahat. Menjelang
malam, berkat perkakasnya yang baru, dia berhasil lagi mengikis sekurang-
kurangnya sepuluh genggam adukan tembok dan menanggalkan sebuah batu kecil dari
dinding. Dia menghentikan pekerjaannya pada saat Sipir harus melakukan
pemeriksaan malam. Dantes meluruskan kembali gagang panci yang menjadi bengkok.
Dia bekerja lagi setelah Sipir pergi. Setelah dua atau tiga jam didapatinya
sebuah rintangan. Dia meraba-raba dan ternyata ada sebuah balok kayu melintang
lubang yang digalinya. "Ya, Tuhan!" dia berteriak kecewa. "Telah lama sava berdo'a dan saya mengira
Engkau sudah akan mengabulkan do'a saya. Ya Tuhan, kasihanilah saya. Janganlah
saya dibiarkan mati dalam putus asa."
"Siapakah yang berbicara tentang Tuhan dan putus asa dalam satu tarikan napas?"
terdengar suara bertanya yang agak ditahan-tahan, seakan-akan muncul dari dalam
tanah. Bulu roma Dantes berdiri mendengar suara'yang tiba-tiba itu, tetapi dia
memaksakan diri berkata, "Atas nama Tuhan, berkatalah sekali lagL"
"Siapa engkau?" tanya suara itu.
"Seorang tahanan yang teraniaya."
"Sudah berapa lama di sini?"
"Sejak Pebruari tanggal 28 tahun 1815."
"Apa dosamu?" "Saya tidak berdosa."
"Kalau begitu, apa tuduhannya?"
"Berkomplot untuk mengembalikan Napoleon."
"Apa! Maksudmu Napoleon sudah tidak berkuasa lagi?"
"Beliau diturunkan dari tahta di Fontainebleau tahun 1814 kemudian dibuang ke
Pulau Elba. Tetapi engkau sendiri sudah berapa lama di sini hingga tidak
mengetahui semua itu?"
"Sejak 1811." Badan Dantes bergidik. Orang itu telah disekap empat tahun lebih lama daripada
dirinya. "Baiklah, jangan diteruskan lagi menggali," kata suara itu lagi. "Di mana lubang
yang kaugali itu?" "Sejajar dengan lantai."
'Terlindung oleh apa?"
"Di belakang tempat tidur."
"Apakah pernah ada orang yang memindahkan tempat tidurmu sejak ditahan?"
'Tidak pernah." "Apa yang di luar selmu?"
"Sebuah gang." "Menuju ke mana?"
"Ke pekarangan."
"Ampun!" "Mengapa?" tanya Dantes.
"Saya keliru. Denah yang saya buat sendiri keliru. Satu garis yang tidak cermat
dalam gambar ternyata berarti penyimpangan sejauh lima belas kaki. Dan saya
menganggap dinding yang saya gali sebagai dinding benteng."
"Dengan demikian engkau hanya akan sampai ke laut."
"Memang itu yang saya kehendaki. Sedianya saya bermaksud meloncat ke dalam laut
kemudian berenang ke Pulau Daume atau Pulau Tiboulen, atau mungkin juga ke
daratan Eropah." "Apakah engkau akan mampu berenang sejauh itu?"
"Semoga Tuhan akan memberikan tenaga yang diperlukan. Tetapi sekarang semua
menjadi sia-sia. Sebaiknya tutup lagi lubang yang kaugali itu dengan baik,
jangan bekerja lagi dan tunggu sampai ada berita lagi dari saya."
"Setidak-tidaknya katakan dahulu namamu."
"Saya... saya pesakitan nomor dua puluh tujuh."
"Rupanya engkau tidak percaya kepada saya?" tanya Dantes.
Dari seberang sana terdengar tawa yang pahit. "Berapa umurmu" Menilik suaramu,
engkau masih muda." "Tidak tahu, karena saya telah kehilangan hitungan waktu. Yang masih saya ingat
ketika ditangkap dalam tahun 1815 itu, saya berumur sembilan belas tahun."
"Belum dua puluh enam," kata suara tadi. "Dalam usia itu biasanya orang belum
suka berkhianat." "Oh, tidak!" teriak Dantes. "Saya lebih suka dicincang daripada mengkhianatimu!"
"Usiamu meyakinkan saya. Saya akan datang
berkunjung. Tunggulah."
"Kapan akan datang?"
"Saya perhitungkan dahulu akibatnya. Saya akan memberi tanda, nanti."
"Tetapi engkau tidak akan meninggalkan saya, bukan"
Kita akan melarikan diri bersama-sama, atau kalau kita tidak dapat melarikan
diri, kita akan berbincang-bincang.
Bila engkau seorang muda, saya akan menjadi sahabatmu.
Bila engkau seorang tua, saya akan menjadi anakmu."
"Baiklah. Sampai besok."
Dantes bangkit berdiri, menempatkan kembali batu pada dinding dan menggeserkan
tempat tidurnya. Sejak detik itu ia menggantungkan harapannya kepada kebahagiaan
yang baru. Dia tidak akan kesepian lagi, bahkan mungkin dia dapat bebas. Edmond
mengira bahwa kawannya akan
memanfaatkan kesunyian dan kegelapan malam untuk bercakap-cakap lagi. Ternyata
dia salah kira. Dia tidak mendengar apa-apa sepanjang malam itu. Baru esok
paginya, ia mendengar ketukan tiga kali pada dinding.
"Engkau itu" Saya di sini!"
"Sipir sudah pergi?" suara itu bertanya.
"Sudah. Dia tidak akan kembali lagi sampai malam nanti. Kita bisa bebas selama
dua belas jam." Tak lama kemudian Dantes mendengar suara batu-batu dan tanah berjatuhan lalu
terjadilah sebuah lubang. Dari lubang itu mula-mula muncul kepala, kemudian
badan, dan akhirnya berdirilah seseorang di dalam sel Edmond Dantes.
BAB X DANTES memeluk kawan barunya, seorang kawan
yang sudah lama sekali ia harap-harapkan dengan tidak sabar. Dia menarik orang
baru itu ke dekat jendela agar dapat melihat wajahnya dengan jelas dalam cahaya
remang-remang. Perawakannya agak pendek. Rambutnya telah memutih, lebih banyak disebabkan
karena penderitaan daripada sebab ketuaan. Matanya yang tajam hampir tersembunyi
di bawah alis tebal yang juga sudah putih. Janggutnya yang masih hitam
bergantung sampai ke dada. Pada wajahnya yang Ion' jong tampak garis-garis
keras, sebagaimana lazimnya ditemukan pada wajah orang yang biasa melatih
kekuatan batiniah daripada kekuatan badaniah. Pakaiannya sudah sukar dibayangkan
lagi bagaimana corak dan potongan asalnya karena sudah merupakan cabikan kain yang melekat di badannya.
Menilik keadaannya orang akan mengira umurnya tidak akan kurang dari enam puluh
lima tahun, namun kesigapan geraknya menunjukkan bahwa ketuaan yang tampak pada
wajahnya itu mungkin lebih banyak disebabkan karena terlampau lama dalam
sekapan. Dia menyambut kegembiraan Dantes dengan kegembira-an yang sama. Untuk seketika
hatinya yang sudah lama membeku seakan-akan mencair karena sukacita anak muda
ini. la menyambut Dantes dengan kehangatan, walaupun diliputi semacam kekecewaan
karena setelah bersusah-payah sekian tahun lamanya, hanya berhasil masuk ke sel
orang lain, bukannya ke alam bebas seperti yang dicita-citakannya.
"Terlebih dahulu " katanya, "sebaiknya kita menyembunyikan dahulu terowongan
kita. "Dia menutup kembali lubang dengan batu. "Engkau kurang hati-hati
tampaknya," katanya lagi memperhatikan batu itu. "Apakah tidak ada perkakas?"
"Apa Bapak mempunyainya?" tanya Dantes heran.
"Saya membuatnya sendiri, kecuali kikir. Saya mempunyai semua yang diperlukan:
pahat, kakatua dan pe-nyungkil." Dan ia memperlihatkan sebuah pisau yang tajam
dengan gagang kayu. "Bagaimana Bapak membuatnya?"
"Dari salah satu jepitan besi tempat tidurku. Dengan alat-alat itulah aku
menggali terowongan dari selku sampai ke selmu, jaraknya kurang lebih lima puluh
kaki." ' Lima puluh kaki!" Dantes semakin terheran-heran.
"Betul, tetapi semua susah payahku sia-sia sekarang.
Gang di luar kamarmu itu menuju ke pekarangan yang penuh dengan penjaga.
Sedangkan dari sini tidak ada jalan lari. Tetapi kehendak Tuhan pasti
terlaksana." Wajah orang tua itu menunjukkan kesabaran yang mendalam. Dengan
rasa heran bercampur kagum Dantes memandang orang tua ini yang dengan bijak
sekali mampu melepaskan harapannya yang selama ini telah menopang daya
juangnya. "Bersediakah Bapak menceriterakan diri Bapak?" tanya Dantes.
'Ya kalau itu masih juga penting bagimu, setelah ternyata sekarang bahwa aku
tiada gunanya bagimu. Aku ini Padri Faria Aku berada di Penjara If sejak tahun
1811, tetapi sebelum itu aku dipenjarakan di Benteng Fenestrella selama tiga
tahun. Tahun 1811 dipindahkan dari Piedmont ke Perancis."
"Apa sebab ditahan?"
"Karena dalam tahun 180" aku melontarkan suatu gagasan yang ternyata dicoba
dilaksanakan oleh Napoleon dalam tahun 1811. Karena seperti Machiavelli, aku
cenderung untuk melihat sebuah kekaisaran yang agung dan berwibawa daripada
kekuasaan yang terpecah yang membuat Italia menjadi sebuah kerajaan yang kecil,
lemah, rapuh dan dholim; oleh karena saya menganggap kaisarku, Kaisar Borgia
sebagai kaisar yang pandir yang berpura-pura saja mengerti pandanganku."
Dantes tidak habis pikir bagaimana seseorang dapat mempertaruhkan hidupnya untuk
soal-soal seperti itu. "Bukankah Bapak," dia bertanya setelah secara remang-remang dapat memahami
pendapat Sipir, "Padri yang dianggap . .. sakit?"
"Maksudmu, gila, bukan?"
"Saya tak berani mengatakannya," kata Dantes tersenyum.
"Benar, benar," jawab Faria dengan tawa yang pahit.
"Akulah yang dianggap gila itu."
Dantes berdiam sejenak, kemudian bertanya lagi, "Apa: kah Bapak sekarang sudah
melepaskan niat melarikan diri?"
"Sekarang aku tahu bahwa melarikan diri sangat mustahil. Itu akan berarti
pemberontakan terhadap kehendak Tuhan."
"Mengapa putus asa" Bukankah usaha yang telah dilakukan itu pun menuntut lebih
banyak daripada takdir Tuhan"
Mengapa tidak menggali lagi terowongan baru dengan arah yang lain?"
'Terowongan lain! Tahukah apa yang telah kukerjakan"
Tahukah bahwa untuk membuat perkakasnya saja aku memerlukan waktu empat tahun"
Tahukah bahwa selama dua tahun aku mengorek dan menggaruk tanah yang keras
seperti granit" Tahukah engkau bahwa aku harus mengungkit dan mengangkat batu-
batu besar yang aku sendiri tidak percaya dapat melakukannya" Tahukah bahwa
untuk menyembunyikan semua batu dan tumpukan' tanah itu aku harus menembus
dinding tangga dan bahwa tempat itu sekarang sudah sedemikian penuhnya sehingga
sudah tidak dapat memuat lagi debu sejemput pun" Dan di atas segala-galanya,
tahukah engkau bahwa aku mengira sudah hampir sampai di akhir kerjaku dan merasa
hanya mempunyai sisa tenaga cukup untuk menyelesaikannya saja ketika tiba-tiba
aku tahu bahwa semua jerih payahku selama bertahun-tahun itu sia-sia belaka" Oh,
tidak, aku tidak akan melakukan apa-apa lagi untuk memperjuangkan kembali
kebebasanku, oleh karena kehendak Tuhanlah aku kehilangan kemerdekaan untuk
selama-lamanya." Dantes menundukkan kepala agar Padri itu tidak melihat bahwa kegembiraannya
mendapatkan kawan telah meng-halanginya untuk turut merasakan kesedihan Padri
sepenuhnya, "Selama dua belas tahun di penjara," Padri Faria meneruskan, "aku telah
mempelajari dengan seksama semua usaha pelarian yang termashur dalam sejarah.
Yang berhasil sangat jarang sekali, dan kebanyakan dari yang sedikit itu benar-
benar merupakan hasil pemikiran yang cermat dan persiapan-persiapan yang
dilakukan dengan penuh kesabaran. Walaupun demikian, beberapa di antaranya ada
yang berhasil berkat kesempatan yang kebetulan saja tiba, dan bila dia tiba,
kita harus memanfaatkannya."
"Bapak dapat menunggu," kata Dantes mengeluh. "Saya tidak. Pekerjaan yang besar
itu memberi Bapak kesibukan.
Apabila kita tidak mempunyai kesibukan, hanya harapan sajalah yang dapat
menopang hidup kita."
"Menggali terowongan itu bukan satu-satunya kesibukan-ku," jawab Padri.
"Apa lagi yang lainnya?"
"Aku menulis dan belajar."
"Apakah mereka memberi Bapak kertas, pena dan tinta?"
"Tidak, aku membuatnya sendiri."
"Bapak membuat sendiri kertas, pena dan tinta?"
"Ya." Dantes memandangnya dengan penuh kekaguman,
tetapi sulit sekali untuk mempercayai apa yang
dikatakannya. Padri Faria merasakan keraguan Dantes, karena itu dia berkata,
"Kalau engkau nanti datang ke selku akan kuperlihat-kan sebuah buku, sebagai
hasil dari semua pemikiran penyelidikan dan penelitianku selama hidup.
Buku itu berjudul: Uraian Tentang Kemungkinan Sebuah Kerajaan Tunggal di
Italia." "Dan Bapak menulisnya di sini?"
"Ya, pada dua buah kemeja. Aku telah menemukan ramuan yang dapat membikin kain
menjadi halus dan kuat seperti kertas perkamen. Aku berhasil membuat pena yang
bagus sekali dari tulang rawan kepala ikan yang sekali-kali mereka berikan untuk
makan kita." "Bagaimana dengan tintanya?" tanya Dantes. "Bagaimana Bapak membuatnya?"
"Dahulu ada tungku api dalam selku. Tetapi mereka tidak mempergunakannya lagi
sejak beberapa saat sebelum aku masuk. Rupanya tungku itu pernah dipakai selama
bertahun-tahun, ternyata dari lapisan jelaga yang tebal di dalamnya. Aku
melarutkan sebagian dari jelaga itu ke 1
dalam anggur yang diberikan kepadaku setiap hari Minggu, dan hasilnya: tinta
yang baik. Apabila aku hendak memberikan tekanan pada bagian-bagian tertentu
dalam buku itu, aku menusuk salah satu jari dan menuliskannya dengan darahku
sendiri." "Bilamana saya dapat melihat itu semua?"
"Bilamana saja engkau suka."
"Sekarang sajalah!"
"Ikuti aku," kata Padri. Dia membalikkan badan dan menghilang ke dalam
terowongan- Dantes mengikutinya.
Setelah merangkak-rangkak dengan menundukkan
kepala tetapi tanpa kesukaran, mereka sampai ke ujung terowongan yang berakhir
di kamar Padri. Dengan jalan mengangkat salah satu ubin di sudut kamar itu yang
tergelap Padri itu tadi memulai pekerjaannya yang luar biasa.
Segera setelah Dantes berada di dalam kamar, ia memperhatikan keadaan
sekelilingnya, tetapi tidak melihat sesuatu yang luar biasa. "Saya ingin sekali
segera melihat kekayaan Bapak."
Padri Faria berjalan dekat ke tungku api dan menggeserkan sebuah batu. Setelah
tergeser tampaklah seperti sebuah gua yang agak dalam- Di sinilah
disembunyikannya semua barang yang diceriterakan kepada Dantes. "Apa yang ingin
kaulihat lebih dahulu?" tanyanya kepada Dantes.
"Buku tentang kerajaan di Italia itu."
Padri Faria mengeluarkan tiga atau empat gulungan kain terdiri dari beberapa
lembar yang mempunyai lebar kira-kira empat inci dan panjang delapan belas inci.
Setiap lembar diberi bernomor dan penuh dengan tulisan. Bahasa yang digunakan
bahasa Italia yang difahami oleh Dantes dengan baik sekali oleh karena ia orang
Provencal. "Semuanya di sini," kata Padri. "Baru seminggu yang lalu aku membubuhkan kata
tamat di bawah lembaran yang ke tujuh puluh delapan. Dua dari kemejaku dan semua
saputanganku kukorbankan untuk itu. Apabila aku bebas kembali dan apabila ada
penerbit di Italia yang berani me-nerbitkannya, namaku akan terpancang baik-
baik." Dia memperlihatkan pena yang dibuatnya sendiri,
Dantes melihat-lihat mencari alat yang sekiranya dapat digunakan membuat pena
sehalus itu. "Engkau mencari pisau yang kugunakan untuk membuat itu, bukan?"
kata Padri. "Inilah dia. Ini merupakan puncak karyaku, terbuat dari besi tempat
lilin tua. "Pisau itu setajam pisau cukur.
Dan aku berhasil pula membuat lampu sehingga aku dapat bekerja di malam hari,"
kata Padri Faria meneruskan lagi.


The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagaimana lagi membuatnya?"
"Aku memisahkan lemak dari daging yang diberikan kepadaku. Lalu memanaskannya
sehingga menjadi cair, sama dengan minyak yang kental."
"Dari mana apinya?"
"Aku berpura-pura mempunyai penyakit kulit dan meminta diberi belerang. Mereka
memberikannya." Dantes meletakkan barang-barang itu di atas meja dan kepalanya tertunduk
terpengaruh oleh ketabahan hati Padri.
"Itu belum semua," kata Padri Faria. "Tidak bijaksana menyimpan semua kekayaan
di satu tempat. Kita tutup lagi ini."
Mereka mengembalikan lagi batu penutup pada tempatnya. Padri menaburkan debu di
atasnya dan meratakan dengan kakinya Kemudian dia menghampiri tempat tidurnya
dan menariknya Di belakang tempat tidur itu, ada sebuah lubang yang tertutup
dengan rapi oleh sebuah batu yang cocok sekali ukurannya. Di dalamnya terdapat
sebuah tangga tali sepanjang dua puluh lima sampai tiga puluh kaki. Dantes
memeriksanya dan ternyata tangga itu mengherankan sekali kuatnya
"Bagaimana Bapak mendapatkan tali untuk membuat tangga sekuat ini?"
"Dari benang yang kuuraikan dari beberapa kemejaku dan seperai selama tiga tahun
di penjara Fenestrella. Aku berhasil membawanya ke mari ketika dipindahkan,
kemudian meneruskan menjalin tangga itu di sini."
"Apakah Sipir di sana tidak melihat bahwa seperai Bapak hilang kelirunya?"
"Aku menjahitnya lagi dengan jarum ini." Dia memperlihatkan tulang ikan,
panjang, tajam dan masih ada benang-nya "Semula aku berniat membongkar jeruji
dan melarikan diri lewat jendela. Seperti kaulihat, jendela ini sedikit lebih
lebar dari jendela di selmu, dan aku dapat melebarkannya lagi sedikit bila aku
sudah siap untuk lari. Tetapi dari jendela ini aku akan muncul di pekarangan
sebelah dalam. Oleh sebab itu, aku melepaskan rencana itu karena terlalu berbahaya. Tetapi
tangga ini tetap kusimpan, mungkin diperlukan, siapa tahu nanti ada kesempatan
baik datang." Sambil seakan-akan meneliti tangga, Dantes sebenarnya memikirkan soal lain.
Sebuah pikiran terlintas di kepalanya.
Orang ini begitu cerdas, begitu terampil, begitu mendalam, bahkan sanggup
menembus kegelapan rahasia nasib buruknya sendiri, Dantes sendiri tidak pernah
dapat memahaminya. "Apa yang kaupikirkan?" tanya Padri tersenyum.
"Bahwa Bapak telah menceriterakan sesuatu tentang diri Bapak, tanpa mengetahui
sedikit pun tentang diri saya."
'Hidupmu, anak muda masih terlalu pendek untuk dapat mengandung sesuatu yang
sangat berarti." "Paling tidak, mengandung nasib buruk yang tak terkatakan," sahut Dantes. "Nasib
buruk yang tidak seharusnya saya pikul, dan saya berharap dapat mempersalahkan
manusia, bukan mengutuk Tuhan seperti yang kadangkadang saya lakukan."
"Ceriterakanlah kepadaku, kalau begitu " kata Padri sambil menutup kembali
tempat rahasianya, kemudian menggeserkan tempat tidurnya.
Dantes menceriterakan apa yang dia sebut sebagai riwayat hidupnya, yang hanya
terbatas kepada pelayaran ke India dan dua atau tiga pelayaran lagi ke Timur
Dekat Akhirnya ia sampai kepada pelayarannya yang terakhir dan menceriterakan
tentang kematian Kapten Leclere, bungkusan yang diamanatkan kepadanya untuk
disampaikan ke Pulau Elba, surat dari Marsekal kepada Tuan Noirtier di Paris,
kemudian kedatangannya kembali di Marseilles, kunjungan kepada ayahnya, cintanya
kepada Mercedes, pesta pertunangan, penangkapannya, pemeriksaan kepada dirinya,
penahanan sementara di Kantor Kejaksaan, dan akhirnya pemindahannya ke penjara
If. Sejak itu Dantes sudah tidak mengetahui apa-apa lagi, bahkan tidak
mengetahui berapa lama sudah ia di dalam penjara.
Ketika ia selesai berceritera, Padri Faria tetap bungkam, hanyut dalam
pikirannya. Setelah beberapa lama barulah dia berkata, "Ada sebuah ungkapan
dalam dunia pengadilan yang berbunyi: 'Kalau ingin mengetahui siapa pelakunya,
temukanlah dahulu siapa yang beruntung dari kejahatan itu/ Siapakah yang
beruntung dengan hilangmu dari masyarakat?"
"Tidak seorang pun," kata Dantes. "Saya tidak sepenting itu"
"Jangan berkata begitu, segala sesuatu itu nisbi. Engkau hampir diangkat menjadi
Kapten, bukan?" "Ya." "Dan engkau hampir menikah dengan gadis yang cantik?"
"Ya." "Nah, pertama sekali, apakah ada orang yang tidak menghendaki engkau menjadi
Kapten kapal Le Pharaon?"
"Tidak, semua awak kapal menyukai saya. Tepatnya, seandainya mereka berhak
memilih kaptennya sendiri, saya yakin mereka akan memilih saya. Hanya seorang
dalam kapal yang mempunyai alasan untuk tidak metiyukai saya, karena pernah saya
bertengkar dengan dia dan menantang dia duel, yang ditolaknya"
"Aha! Siapa namanya?"
"Danglars. Kepala Penata Usaha Kapal. Kalau engkau menjadi kapten, apakah engkau
akan memecatnya?" "Ya, kalau saya mempunyai wewenang melakukannya.
Saya kira, saya menemukan sesuatu yang tidak beres dalam pembukuannya."
"Baik. Apakah ada orang lain hadir ketika engkau berbicara untuk terakhir
kalinya dengan Kapten Leclere?"
"Tidak, kami hanya berdua saja"
"Mungkinkah ada orang yang dapat mendengarkan pembicaraan itu?"
"Saya kira mungkin. Pintu kamar Kapten terbuka ketika itu. Tepatnya . . . Nanti,
nanti . . . Ya. Danglars lalu tepat ketika Kapten Leclere menyerahkan
bungkusan." "Baik," kata Padri. "Sudah mulai terang sekarang. Apakah engkau membawa kawan
ketika turun di Pulau Elba?"
"Tidak." "Apa yang kaulakukan dengan surat yang diterima di sana?"
"Menyimpannya dalam tas surat."
"Apakah tas surat itu kaubawa ketika itu?"
"Tidak. Ada di kapal. Saya memasukkannya setelah kembali di kapal."
"Di mana disimpannya, antara waktu meninggalkan pulau dan memasukkannya ke dalam
tas'?" "Saya pegang selalu."
"Berarti, ketika engkau kembali ke kapal semua orang dapat melihat bahwa engkau
membawa sebuah surat. Betul?" "Ya." "Sekarang," kata Padri Faria, "dengarkan baik-baik, dan coba ingat-ingat sebaik
mungkin. Dapatkah engkau mengatakan bagaimana bunyi surat pengaduan itu?"
"Tentu saja! Saya membacanya tiga kali berturut turut sehingga setiap kata
terpateri dalam ingatan saya." Dantes mengulangi isi surat pengaduan itu kata
demi kata. Padri Faria mengangkat bahunya "Terang bagaikan siang harikatanya. "Rupanya
hatimu terlalu bersih untuk dapat dengan segera memecahkan persoalannya.
Bagaimana bentuk tulisan Dangiars?"
"Bulat dan bagus."
"Bagaimana huruf-huruf surat pengaduan itu?"
"Agak miring ke kiri."
Padri Faria tersenyum dan berkata, "Tulisan itu palsu, bukan?"
"Sungguh kurang ajar kalau begitu," kata Dantes gemas.
"Tunggu," kata Padri Faria. Dia mengambil sebuah pena kemudian menulis beberapa
huruf dengan tangan kirinya pada secarik kain.
Dantes sangat terkejut sehingga tanpa disadarinya ia terloncat selangkah ke
belakang dan matanya terbelalak melihat Padri. "Sungguh mengherankan," katanya,
"betapa samanya tulisan itu dengan ini."
"Berarti bahwa surat pengaduan itu ditulis dengan tangan kiri. Aku telah
meneliti bahwa hampir semuaitulisan yang dilakukan dengan tangan kiri, sama
Sekarang mari kita teruskan dengan pertanyaan kedua apakah ada yang senang kalau
engkau tidak jadi kawin dengan Mercedes?"
"Ya, ada. Ada seorang pemuda yang juga mencintai Mercedes, orang Catalan bernama
Fernand." "Bagaimana menurut pendapatmu, apakah ia sanggup memfitnah seperti itu?"
"Saya kira tidak, saya lebih percaya bahwa ia akan sanggup menikam saya. Selain
dari itu, ia sama sekali tidak mengetahui apa-apa tentang yang disebutkan dalam
surat itu. Saya tidak pernah menceriterakan kepada siapa pun, bahkan juga tidak
kepada Mercedes." "Apakah Fernand kenal dengan Dangiars?"
"Tidak ... Ya! Saya ingat sekarang. Saya melihat mereka duduk bersama di sebuah
kedai dua hari sebelum hari pernikahan yang tidak jadi berlangsung. Dangiars
kelihatan ramah, Fernand tampak pucat dan marah. Masih ada seorang lagi, yaitu
Caderouse tukang jahit yang saya kenal baik, tetapi ketika itu dia mabuk sekali
"Menganalisa kedua kawanmu itu pekerjaan anak kecil,"
kata Padri, "tetapi sekarang saya ingin mendapat keterangan yang setepat-
tepatnya," "Silahkan saja tanyakan, Bapak dapat melihat masalah Saya lebih jelas daripada
saya sendiri.'' "Siapa yang memeriksamu setelah ditangkap?"
"Wakil Jaksa Penuntut Umum."
"Bagaimana dia mempcrlakukanmu?"
"Baik sekali" "Kau menceriterakan segala-galanya kepadanya?"
"Ya." "Apakah pernah ada perubahan sikap padanya selama pemeriksaan itu?"
"Ada, ketika beliau membaca surat yang saya terima di Pulau Elba itu. Tampaknya
beliau sangat cemas, membayangkan nasib buruk yang mungkin menimpa saya"
"Yakinkah engkau bahwa nasib burukmu yang membuatnya cemas?"
"Saya kira begitu, karena beliau memberi bukti. Beliau membakar surat itu di
hadapan saya sambil berkata: 'Itulah satu-satunya bukti yang dapat
mencelakakanmu dan seperti engkau lihat sendiri, aku telah memusnahkannya'."
"Tindakan itu terlalu halus untuk sewajarnya. Artinya, mencurigakan."
"Begitukah menurut pendapat Bapak?"
"Aku yakin. Kepada siapa surat itu dialamatkan?"
"Kepada Tuan Noirtier, Rue Coq-Heron 13 Paris."
"Menurut pendapatmu, mungkinkah Wakil Jaksa itu mempunyai alasan lain apa sebab
membakar surat itu?"
"Barangkali. Beliau meminta saya dua sampai tiga kali membuat janji agar tidak
akan menceriterakan surat itu kepada siapa pun, bahkan membuat saya bersumpah
untuk tidak pernah akan menyebutkan nama si alamat surat tadi."
"Noirtier.. Noirtier .. . ," kata Padri berulang-ulang sambil berfikir. "Pernah
aku mengenal seorang bernama Noirtier di Istana Ratu Etruna Noirtier yang
bergabung dengan kaum Girondi waktu zaman revolusi... Siapa nama Wakil Jaksa
itu?" "Villefort." Padri Faria tertawa terbahak-bahak. "Kasihan!" katanya kepada Dantes. "Wakil
Jaksa itu bersikap baik kepadamu, bukan?"
"Ya." "Dia membakar surat itu di hadapanmu dan meminta engkau bersumpah untuk tidak
pernah akan menyebut nama Noirtier?"
"Benar" "Tahukah engkau siapa Noirtier itu" Dia adalah ayahnya sendiri."
"Ayahnya!! Ayahnya!!" Dantes berteriak terkejut. Dia bangkit dan memegang
kepalanya dengan kedua belah tangannya seakan-akan hendak mencegah jangan sampai
meledak. "Benar, ayahnya, namanya Noirtier de Villefort."
Sekilas cahaya yang terang-benderang menerangi kepala Dantes sehingga semua
persoalan yang selama itu gelap gelita tiba-tiba menjadi jelas sejelas-jelasnya.
Perubahan sikap Villefort ketika memeriksa, surat yang dibakarnya, sumpah yang
dia minta, nada suaranya yang lebih banyak memohon daripada mengancam, semua itu
kembali lagi ke dalam ingatan Dantes seketika dan serentak. Dia bersungut-sungut
sambil berjalan berputar-putar seperti orang mabuk, kemudian lari ke lubang
galian yang menuju ke kamarnya sambil menangis. "Oh! Aku harus menyendiri untuk
memikirkan ini semua!"
Setibanya di selnya, dia merebahkan diri ke tempat tidur.
Ketika Sipir masuk pada malam hari itu ia menemukan Dantes masih terientang di
sana, matanya menatap kosong, wajahnya pun polos sedang badannya tak bergerak
seperti patung terbaring.
Selama berdiam diri seperti bersemedi yang seakan-akan hanya berlangsung
beberapa detik itu, dia telah membuat putusan yang mengerikan dan sumpah yang
menakutkan. Akhirnya, sebuah suara membangunkan dia kembali dari lamunannya. Padri
mengajaknya makan malam bersama.
Dantes mengikutinya Tarikan wajahnya yang keras dan sungguh-sungguh menunjukkan
bahwa ia telah membuat putusan. Padri Faria memperhatikannya dan berkata, "Aku
menyesal sekali telah membantumu memecahkan
persoalanmu dan m enceri terak an apa yang telah aku perbuat."
"Mengapa?" "Karena dengan itu aku telah menanamkan dalam hatimu sebuah perasaan yang tidak
pernah ada sebelumnya: pembalasan."
Dantes tersenyum. "Lebih baik kita berbicara tentang soal lain," katanya. Padri
memandangnya sebentar kemudian menggelengkan kepala dengan wajah yang sedih,
kemudi' an seperti yang diminta oleh Dantes ia mulai berbicara tentang soal-soal
lain. Pesakitan tua ini merupakan salah seorang dari manusia-manusia yang
pembicaraannya mengandung banyak Amu dan hikmah yang senantiasa dapat memikat
pendengarnya. Tetapi bukan pula pembicaraan yang berpusat kepada dirinya sendiri. Dantes
mendengarkan setiap kata dengan penuh rasa kagum. "Ajarkanlah sebahagian dari
ilmu pengetahuan Bapak itu kepada saya," katanya setelah beberapa saat,
"meskipun hanya sekedar untuk mencegah kebosanan Bapak kepada saya Tampaknya,
Bapak lebih suka ber-sunypsunyi daripada berkawan dengan orang yang tidak
terpelajar dan terbatas seperti saya ini."
"Wahai anakku," kata Padri tersenyum, "pengetahuan manusia itu sangat terbalfc.
Kalau engkau sudah mempelajari matematika, ilmu alam, sejarah dan tiga atau empat bahasa yang hidup
seperti yang aku kuasai, engkau pun akan mengetahui semua yang aku ketahui.
Untuk mempelajari itu tidak akan mengambil waktu lebih dari dua tahun."
"Dua tahun!" seru Dantes tidak percaya. "Maksud Bapak saya dapat menguasai semua
itu hanya dalam dua tahun?"
"Maksudku, tidak mempelajarinya untuk dipraktekkan keseluruhannya dalam waktu
itu, tetapi mempelajari p okok-p okokny a."
Pada malam itu juga kedua pesakitan itu membuat
rencana pendidikan bagi Dantes, untuk dimulai keesokan harinya, Dantes memiliki
kecerdasan dan daya ingatan yang kuat. Bakat matematikanya memberikan kemudahan
baginya untuk melakukan segala macam perhitungan. Dia sudah pandai berbicara
Italia dan sedikit berbahasa Yunani modern yang dipelajarinya dalam pelayarannya
ke Timur. Dengan bantuan kedua bahasa ini mudah bagi dia untuk memahami bangunan bahasa
lainnya Dalam tempo enam bulan dia sudah mulai bisa berbicara bahasa Spanyol,
Inggris dan Jerman. Hari-hari berlalu dengan cepatnya, tetapi setiap hari
dimanfaatkannya sebaik-baiknya sehingga dalam masa satu tahun Dantes sudah
berubah sama sekali. Sedang Padri Faria, sekalipun kehadiran Dantes merupakan perintang waktu yang
menyenangkan, namun dari sehari ke sehari ia bertambah muram, seperti bingung.
Hal ini terlihat juga oleh Dantes. Pikirannya seperti terpusat hanya kepada satu
masalah tertentu saja. Seringkali ia berdiam diri seperti bersemedi untuk
beberapa saat, lalu mengeluh, tanpa sadar kemudian berjalan mondar-mandir dalam
selnya. Pada suatu hari dengan tiba-tiba saja ia berhenti berjalan-jalan, lalu
berteriak, "Oh, kalau sajfl tak ada penjaga!"
"Apakah Bapak menemukan jalan melarikan diri?" Dantes bertanya dengan keinginan
yang kuat untuk segera mendengar jawabannya
"Ya, seandainya penjaga itu buta dan tuli."
"Dia akan buta dan tuli," kata Dantes dengan nada -
suara yang pasti sehingga menakutkan Padri Faria
"Tidak!" sahut Padri dengan keras. "Aku tidak menghendaki darah tertumpah!"
Dantes berkeinginan sekali membicarakan masalah ini lebih lanjut, tetapi Padri
Faria menggelengkan kepala dan menolak berbicara lagi.
Tiga bulan lagi telah berlalu.


The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagaimana kekuatanmu?" tanya Padri Faria pada suatu hari.
Tanpa menjawab Dantes mengambil pahat, melipatnya kemudian meluruskannya kembali
"Bersediakah engkau untuk tidak membunuh penjaga, kecuali kalau itu merupakan
jalan keluar yang terakhir" "
"Ya, bahkan saya bersedia bersumpah."
"Kalau begitu, kita dapat melaksanakan rencana kita"
"Berapa lama waktu yang diperlukan?"?
"Paling kurang setahun. Inilah rencanaku." Padri memperlihatkan gambar yang
dibuatnya: denah sel masing-masing dan terowongan yang menghubungkannya. Dari
tengah-tengah terowongan itu mereka akan menggali terowongan lain yang menuju ke
bawah serambi tempat penjaga berjalan mondar-mandir. Di sana mereka akan melong-
garkan salah sebuah ubin lantai serambi. Ubin itu akan terlepas kalau terinjak
oleh penjaga dan ia akan terperosok ke dalam terowongan. Dantes harus
meringkusnya dan mengikat mulutnya. Kemudian kedua tahanan itu akan keluar dari
salah satu jendela di serambi itu dan menuruni tembok dengan menggunakan tangga
tali dan ... berlari. Dantes ntenepukkan tangannya dan matanya bersinar karena gembira. Rencana itu
sangat sederhana sehingga pasti terlaksana Dantes dan Faria memulai bekerja pada
hari itu juga. Lebih dari setahun mereka bekerja, dan selama itu Faria tetap memberikan
pendidikan kepada Dantes. Setelah lima belas bulan terowongan itu selesai dan
mereka dapat mendengar suara sepatu penjaga berjalan mondar-mandir di atas
mereka. Mereka sekarang hanya tinggal menunggu datangnya suatu malam gelap tidak
berbulan. Untuk mencegah agar ubin jangan jatuh terlampau cepat, mereka penahannya dengan
sebuah palang kayu kecil yang kebetulan mereka temukan. Baru saja Dantes selesai
mengerjakan penahanan itu tiba-tiba ia mendengar suara Faria berteriak kesakitan
di selnya Dia segera kembali masuk dan ia menemukan Faria tergeletak di tengah-
tengah ruangan. Wajahnya pucat, kedua tangannya mengepal kaku dan dahinya basah
karena keringat "Ya Tuhan!" Dantes berteriak kebingungan. "Mengapa Bapak?"
"Tamat sudah riwayatku," kata Faria. "Dengarkan baik-baik: satu penyakit yang
mengerikan, mungkin juga mematikan akan segera menyerangku. Aku sudah
merasakannya Aku pernah diserangnya sekali, setahun sebelum dyenjara-kan. Hanya
ada satu obat untuk tai. Cepat lari ke selku angkat kaki ranjang. Di dalam kaki
ranjang yang kosong akan kautemukan sebuah botol setengah berisi dengan cairan
yang merah. Bawa itu ke mari ... tih, tidak, tidak, Sipir akan menemukanku di
sini. Tolong saja aku kembali ke selku mumpung masih ada tenaga,"
Segera Dantes membantu Faria dengan hati-hati kembali ke selnya. Dantes
membaringkan Faria di ranjangnya.
"Terima kasih" kata Padri, badannya menggigil seperti baru keluar dari air
sedingin es "Sekarang sudah dekat.
Sebentar lagi mungkin aku tidak dapat bergerak atau mengeluarkan suara, tetapi
dapat juga mulutku berbusa, badanku kejang dan berteriak-teriak. Kalau itu
terjadi, usahakan agar teriakanku tidak terdengar ke luar, sebab kalau terdengar
mereka akan memindahkan aku ke tempat lain dan kita akan terpisah untuk selama-
lamanya. Kalau engkau sudah melihat aku lemas, dingin dan tampak seperti mati,
lalu pada saat itu, dan hanya pada saat itu, renggangkan gigiku dengan pisau itu
kemudian teteskan cairan itu delapan sampai sepuluh tetes ke dalam mulutku.
Barangkali itu akan menolong."
"Barangkali?" kada Dantes sedikit kesal.
"Tolong! Tolong!" Faria memekik. "Aku .. Aku ma.."
Serangan itu mendadak dan begitu hebat sehingga Faria tidak sempat menyelesaikan
perkataannya. Matanya berputar-putar, pipinya berubah menjadi merah padam,
badannya meliuk-liuk dan mulutnya kaku berbusa dan memekik-meltik. Seperti yang
diminta sendiri oleh Faria, Dantes merungkup muka Faria dengan selimut agar
suaranya tidak terdengar keluar. Tahapan serangan seperti ini berlangsung selama
dua jam, setelah itu seluruh badannya mengejang, dingin, pucat seperti marmer.
Dantes mengambil pisau, dengan hati-hati merenggangkan gigi Faria yang rapat
ketat; kemudian meneteskan cairan obat ke dalam mulutnya sebanyak sepuluh tetes.
Setelah itu dia hanya dapat menunggu.
Satu jam telah berlalu, dan Faria belum juga bergerak sedikit pun Mata Dantes
tidak pernah beralih dari Faria, sedangkan kedua belah tangannya memegang
kepalanya. Akhirnya, tampak pipi Faria memerah lagi sedikit, demikian juga matanya yang
tetap terbuka selama itu mulai menunjukkan adanya hidup, dan kemudian terdengar
suara yang lemah sekali keluar dari mulutnya.
"Selamat! Selamat!" teriak Dantes gembira.
Faria belum dapat berkata-kata, tetapi ia sudah dapat menggerakkan tangan
kirinya menunjuk ke arah pintu disertai kecemasan yang jelas tampak pada
wajahnya. Dantes menajamkan telinga dan ia mendengar suara langkah Sipir
mendekat. Dengan segera ia lari dan masuk ke dalam terowongan, menutupi kembali
lubangnya dari bawah dengan batu dan kembali ke selnya. Pintu kamarnya terbuka,
dan sipir mendapatkan Dantes duduk di ranjangnya seperti biasa. Segera setelah
Sipir meninggalkan kamar dan suara sepatunya miang dari pendengaran, tanpa
memikirkan makan, Dantes segera kembali ke sel Faria.
Padri sudah sadar kembali, tetapi ia masih terlentang di ranjangnya, lemas tak
berdaya. "Aku kira tidak akan melihatmu lagi," katanya,
"Mengapa tidak?" tanya Dantes. "Apakah Bapak sudah putus harapan?"
"Bukan itu, tetapi segala sesuatu sudah siap untuk melarikan diri dan aku kira
engkau telah melakukannya."
Pipi Dantes memerah karena marah. "Dengan meninggalkan Bapak?" katanya. "Apakah
Bapak mengira saya akan sanggup melakukan hal seperti itu?"
"Aku sadar sekarang bahwa aku salah sangka. Oh, aku sangat lemah dan tak
berdaya." 'Tenaga Bapak akan pulih kembali," kata Dantes, duduk di tepi ranjang Faria
kemudian memegang kedua tangan Faria.
Faria menggelengkan kepala. "Serangan yang dulu berlangsung selama setengah jam.
Setelah itu berlalu aku merasa lapar dan dapat berdiri tanpa pertolongan. Sekali
ini, aku sama sekali tidak dapat menggerakkan kaki dan tangan kananku ini.
Serangan yang ketiga kalinya, akan menamatkan riwayatku atau melumpuhkan seluruh
badanku." 'Tidak, tidak, jangan khawatir, Bapak tidak akan meninggal. Bila serangan yang
ketiga itu datang, saat itu Bapak sudah menjadi orang merdeka, dan kita akan
menyelamatkan Bapak seperti yang kita lakukan sekarang, bahkan lebih baik dari
sekarang, sebab Bapak akan mendapatkan perawatan kedokteran yang terbaik yang
mungkin diperoleh." "Sahabatku," kata orangtua itu, "jangan memperdayakan dirimu sendiri. Serangan
yang baru saja kuderita telah memastikan aku untuk tetap menjadi tahanan seumur
hidup. Aku tidak akan dapat berenang lagi untuk selama-lamanya. Tangan ini telah
lumpuh, bukan untuk sementara, melainkan untuk selama-lamanya. Percayalah
kepadaku, aku telah dihantui penyakit ini sejak mendapat serangan yang pertama.
Dan aku tidak dapat menghindarinya karena penyakit ini turun-temurun. Ayahku
meninggal setelah mendapat serangan yang ketiga kalinya, demikian juga kakekku.
Tabib yang memberikan obat ini kepadaku meramalkan yang sama bagiku."
"Dia pasti salah" seru Dantes. "Adapun kelumpuhan Bapak sama sekali tidak
menjadi soal bagi saya. Saya akan berenang sambil memanggul Bapak."
"Anakku," sahut Faria? "engkau seorang pelaut dan perenang yang baik. Sebab itu
aku yakin engkau tahu, seseorang yang diberati beban seberat aku tidak mungkin
dapat berenang lebih jauh daripada lima puluh depa. Tidak, aku akan tinggal di
sini sampai detik pembebasanku, yang sekarang berarti tidak lain daripada detik
kematianku. Adapun engkau, pergilah! Larilah! Engkau masih muda dan kuat Jangan pikirkan
aku." "Baiklah," jawab Dantes. "Saya pun akan tinggal." Dia berdiri, dengan khidmat ia
mengangkat tangannya di atds badan orang tua itu, kemudian berkata, "Saya
bersumpah demi darah Kristus bahwa saya tidak akan meninggalkan Bapak selama
Bapak masih hidup." Faria menatap dalam-dalam anak muda yang tulus dan berbudi luhur ini, dan dapat
membaca kesungguhan sumpah itu pada wajahnya, yang dihidupkan oleh kesetiaan yang murni.
"Kalau itu keputusanmu" kata orang tua itu terharu,
"aku menerima dan terima kasih." Kemudian sambil memegang tangan Dantes ia
berkata lagi, "Barangkali untuk kesetiaan yang tanpa pambrih itu, pada suatu
hari nanti engkau harus mendapat penghargaan, tetapi sekarang, karena aku tidak
bisa dan engkau tidak mau melarikan diri, kita harus menutup kembali terowongan
ke serambi itu. Mungkin sekali penjaga itu akan menemukan suara yang mencurigakan kalau dia
berjalan di atas ubin yang longgar itu, yang dapat berakibat terbongkarnya
rahasia kita dan kita akan terpisah satu sama lain. Kerjakanlah sekarang juga,
anakku. Bekerjalah semalam suntuk kalau perlu, dan jangan kembali Jce sini
sampai besok pagi, setelah kunjungan Sipir. Ada sesuatu yang penting yang akan
kuceriterakan." Dantes memegang tangan Faria, kemudian meninggal
kannya dengan patuh dan hormat.
BAB XI KETIKA Dantes memasuki sel Faria keesokan harinya, dia mendapatkan Faria sedang
duduk dengan tenang sambil memegang secarik kertas di tangan kiri, satu-satunya
tangan yang dapat dipergunakan. Dia memperlihatkan kertas itu kepada Dantes
tanpa berkata sepatah pun. "Apa ini?"
"Perhatikan saja baik-baik," sahut Padri tersenyum.
"Saya memperhatikannya sebaik mungkin, dan yang sa-ya lihat hanyalah secarik
kertas yang terbakar separoh dengan huruf huruf yang ditulis dengan tinta yang
aneh." "Kertas yang secarik ini, sahabatku," kata Faria dengan tenang, "adalah
kekayaanku, yang sejak hari ini "tengahnya menjadi milikmu."
Keringat dingin membasahi badan Dantes. Selama berkenalan dengan Faria ia selalu
menghindari berbicara tentang kekayaan yang menyebabkan Faria selalu dianggap
gila. Faria tersenyum dan berkata, "Dari keterkejutanmu aku tahu apa yang kaupikirkan.
Jangan khawatir, aku tidak gila.
Kekayaan ini benar-benar ada, dan apabila takdir menghendaki aku memilikinya,
engkau pun akan memilikinya juga. Tak seorang pun pernah mau mendengar kepadaku,
karena mereka menyangka aku gila. Tetapi engkau tahu aku tidak gila. Sebab itu
dengarkanlah baik-baik, kemudian barulah engkau mengambil kesimpulan percaya
atau tidak kepada ceriteraku."
"Bapak yang baik," kata Dantes. "Serangan penyakit yang kemarin sangat
melelahkan Bapak. Tidakkah Bapak perlu istirahat" Saya bersedia mendengarkan
ceritera Bapak esok hari, tetapi sekarang saya ingin sekali merawat Bapak.
Lagipula," tambah Dantes sambil tersenyum, "pada saat ini kekayaan itu tidak
begitu penting buat kita, bukan?"
'Tenting sekali!" jawab Faria agak keras. "Bagaimana kita tahu bahwa besok aku
tidak akan terserang lagi" Aku melihat, engkau tidak percaya kepadaku. Untuk
membuktikan kebenaran kata-kataku bacalah tulisan itu, yang belum pernah aku
perlihatkan kepada orang lain."
"Besok, Bapak" kata Dantes, jelas berusaha keras menghindari pembicaraan itu.
"Pembicaraan boleh kita tangguhkan sampai besok, tetapi bacalah dahulu
sekarang." 'Ssst' Ada orang datang! Saya harus pergi. Selamat tinggal." Dengan perasaan
bahagia ia bisa terlepas dari ke-harusan mendengarkan ceritera yang mungkin bisa
menambah keyakinannya akan ketidakwarasan sahabatnya.
Dantes masuk ke dalam galian dengan kelincahan dan kecepatan seekor ular.
Sehari itu dia tetap tinggal di kamarnya. Dengan cara ini ia berusaha
menangguhkan datangnya saat yang sangat mengerikan, saat dia mau tidak mau harus
mengakui bahwa Faria benar-benar gila seperti yang disangka orang. Tetapi
setelah Sipir melakukan kunjungan malamnya, Faria yang menyadari bahwa Dantes
tidak juga kembali menemuinya, berusaha mendatangi Dantes.
Seluruh badan Dantes menggigil ketika ia mendengar Fana merangkak-rangkak penuh
kesakitan dengan tangan dan kaki yang lumpuh. Dia harus menolongnya, oleh karena Faria tidak akan
mampu naik ke kamar Dantes dengan kekuatannya sendiri.
"Inilah, aku dengan berkeras hati dan tanpa ampun mengejarmu," katanya dibarengi
senyum yang menunjukkan kemurahan hati. "Apa kau mengira dapat melepaskan diri
dari kebaikanku" Tidak. Dengarkan baik-baik!"
Dantes tidak mempunyai pilihan lain. Dia mempersilakan Faria duduk di
ranjangnya, sedang dia sendiri mengambil tempat di hadapannya, di atas bangku.
"Seperti pernah kukatakan," Faria memulai ceriteranya,
"aku pernah menjadi sekertaris dan sahabat dekat Kardinal Spada, bangsawan
terakhir dengan nama itu. Kepada beliaulah aku berhutang budi untuk segala
kebahagiaan yang pernah kunikmati di dunia ini. Beliau tidak kaya, walaupun
kekayaan keluarganya sangat terkenal. Aku sering mendengar ungkapan 'kaya
seperti Spada'. Istananya adalah sorgaku. Aku mendidik kemenakannya, yang sayang
sekali pendek umurnya. Oleh karena beliau menjadi sebatang kara, aku mencoba
membalas kebaikan budinya dengan Jalan memenuhi segala keinginannya.
Rumah Kardinal dalam, waktu yang singkat sudah tidak asing lagi bagiku dan aku
mengetahui segala rahasia yang berada di dalamnya. Seringkali aku melihat beliau
menekuni buku-buku tua dan dengan sangat bergairah membongkar dan meneliti
catatan-catatan keluarga. Pada suatu hari aku memperingatkan beliau karena
terlalu sering selama semalam suntuk menekuni pekerjaan yang hanya memeras
tenaga dan menghasilkan kemurungan saja. Terhadap peringatanku itu beliau
tersenyum pahit kemudian membuka sebuah buku mengenai sejarah Roma dan
memperlihatkannya kepadaku. Di sana, dalam bagian kedua puluh mengenai kehidupan
Paus Alexander VI, aku membaca kalimat-kalimat yang sampai sekarang pun masih
kuingat betul: Terang Romagna yang besar telah berakhir. Setelah mencapai kemenangan, Kaisar
Borgia memerlukan uang yang cukup banyak untuk membeli Italia. Demikian juga
Paus memerlukan uang untuk membebaskan diri dari Louis XII yang meskipun belum
lama menderita kekalahan masih kuat pengaruhnya. Oleh sebab itu dianggap perlu
sekali melakukan suatu usaha yang menguntungkan, yang
sebenarnya makin lama makin sukar melaksanakannya di Italia yang telah menjadi
lemah dan miskin pada waktu itu."
'Sri Paus mempunyai gagasan: beliau memutuskan untuk mengangkat dua orang
Kardinal baru. Dengan jalan
memilih dua orang yang paling terkemuka dan paling kaya di Roma untuk jabatan
Kardinal itu beliau dapat mengharapkan keuntungan yang besar sekali. Pertama,
beliau dapat menjual jabatan dan gelar yang sudah dimiliki sebelumnya oleh Kedua
Kardinal baru; kedua, beliau akan me-minta kedua Kardinal baru itu membayar
sebagai imbalan untuk kehormatan yang dianugerahkan. Masih ada satu segi lain
dari tindakan ini yang akan muncul kemudian.
Paus dan Kaisar Borgia memilih Giovanini Rospigliosi dan Kaisar Spada sebagai
calon-calon Kardinal yang tepat.
Govanini sendiri telah memegang empat dari jabatan tertinggi dalam Wilayah
Kekuasan Sri. Paus, sedangkan Kaisar Spada merupakan salah seorang yang paling
kaya dan paling terhormat di Roma. Dalam waktu yang singkat Kaisar Borgia sudah
mendapatkan peminat-peminat yang mau membeli jabatan yang akan dikosongkan oleh
kedua orang itu. Kesimpulannya, Rospigliosi dan Spada
membayar untuk mendapatkan jabatan Kardinal dan
delapan orang lainnya membayar untuk mendapatkan
kedudukan yang ditinggalkan oleh mereka. Delapan ratus ribu crown mengalir masuk
ke dalam dompet para pencari untung.
"Sekarang mari kita lihat segi ketiga dari gagasan Sri Paus ini. Setelah Sri
Paus mengangkat Rospigliosi dan Spada menjadi Kardinal dan mereka sudah
menyerahkan kekayaannya untuk membayar hutang budinya karena
mendapatkan kedudukan itu, Sri Paus dan Kaisar Borgia mengundang kedua Kardinal
baru itu makan malam bersama. Tindakan ini menimbulkan sedikit perbedaan f ah am antara Sri Paus dan
puteranya. Kaisar berpendapat lebih baik menggunakan salah satu alat yang biasa
dipergunakan untuk menyingkirkan kawan-kawan dekatnya. Pertama, dengan
menggunakan sebuah kunci. Dengan kunci itu orang yang dikehendaki diminta
membuka sebuah lemari tertentu. Pada kepala kunci itu ada bagian yang tajam
menonjol yang diakibatkan oleh kurang cermatnya
pembuatannya. Pintu lemari itu tidak mudah dibuka, dan memaksa si pembuka
sedikit menekan kuncinya. Pada waktu menekan ini tangannya akan tertusuk oleh
bagian yang tajam menonjol itu, dan ia akan mati .keesokan harinya. Selain kunci
ada cincin kepala singa, yang dipakai oleh Kaisar apabila ia ingin berjabatan
dengan seseorang tertentu. Kepala singa itu akan menggores tangan yang dijabat,
dan goresan ini sangat berbahaya sehingga menewaskan yang tergores dalam waktu
dua puluh empat jam. 'Kaisar mengusulkan kepada ayahnya, agar beliau meminta kedua Kardinal itu


The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membuka lemari kematian, atau memberikan kepada keduanya jabatan tangan maut,
tetapi Alexander VI menjawab, 'Jangan kita menyayangkan biaya makan malam untuk
menghormati kedua Kardinal yang berharga ini, karena aku merasa bahwa kita akan
menerima kembali uang kita. Selain dari itu, rupanya engkau hipa bahwa
pencernaan makan yang kurang baik akan segera terasa, sedangkan tusukan kunci
atau gigitan singa baru akan tampak akibatnya sehari atau dua hari kemudian.'
Kaisar akhirnya menyetujui pendapat ayahnya dan di-undangjah kedua Kardinal itu
untuk makan malam. Meja makan dipasang di kebun anggur milik Sri Paus dekat San
Pietro di Vincoli, sebuah tempat peristirahatan yang indah nyaman.
'Rospigliosi yang masih mabuk kepayang karena jabatannya yang baru, tanpa
kecurigaan sedikit pun mempersiapkan diri sebaik-baiknya untuk menikmati makan
malam itu. Lain dengan Spada, seorang yang bijak dan waspada, yang tidak mencintai orang
lain kecuali kemenakannya sendiri, seorang Kapten dengan masa depan yang cerah,
sebelum berangkat ke undangan menulis dahulu sebuah surat wasiat. Setelah itu ia
mengirimkan pesan kepada kemenakannya itu agar, dia menunggunya di kebun anggur,
tetapi sayang sekali pesuruhnya tidak berhasil menemukan kemenakan itu. Spada
sudah sangat mengenal makna undangan-undangan dari Sri Paus. Sejak agama Kristen
menanamkan pengaruh peradabannya di Roma, tidak pernah lagi ada seorang komandan
tentera datang kepada kita atas perintah seorang raja dholim dan berkata,
'Kaisar menghendaki kematian Tuan.' Sebagai penggantinya seorang utusan Sri Paus
akan datang dan berkata dengan sopan sekali, 'Sri Paus mengharapkan sekali
kedatangan Tuan untuk makan malam bersama beliau."
Ketika Spada datang di kebun anggur, Sri Paus telah menantinya dan menyambut.
Orang pertama yang tertangkap oleh pandangannya, adalah kemenakannya sendiri
yang sedang dihadapi oleh Kaisar dengan ramah sekali.
Wajah Spada menjadi pucat seketika itu juga. Kaisar melepaskan pandangan penuh
ejekan kepadanya, ingin menunjukkan bahwa ia cukup waspada untuk
mempersiapkan perangkap ini secermat-cermatnya..
Mulailah santap malam itu. Spada hanya berkesempatan bertanya kepada
kemenakannya apakah ia menerima
pesannya. Kemenakannya menjawab tidak, tetapi dapat memahami apa maksud
pertanyaan pamannya. Tetapi itu sudah terlambat karena ia baru saja menghabiskan
segelas anggur yang enak sekali yang dihidangkan oleh pelayan Sri Paus. Untuk
Spada dihidangkan anggur dari botol yang lain. Sejam kemudian, seorang tabib
memastikan bahwa keduanya telah meninggal akibat keracunan jamur. Spada
meninggal di ambang pintu kebun anggur itu, sedang kemenakannya menghembuskan
nafasnya yang terakhir di depan pintu rumahnya sendiri ketika hendak memberi
sesuatu isyarat kepada isterinya. Sayang, isterinya tidak mengerti isyarat itu.
Kaisar dan Paus segera berusaha menemukan wasiat
Spada dengan dalih memeriksa surat-menyurat beliau.
Wasiat yang diketemukan hanya berupa secarik kertas yang bertuliskan kalimat,
'Aku mewariskan peti tempat menyimpan barang-barang berharga dan semua buku,
termasuk buku pegangan Padri yang beipinggirkan emas kepada kemenakanku yang
tercinta dengan harapan agar dia selalu mengenangkan pamannya yang Selalu
mencintainya. 'Para ahli warisnya mencari wasiat lainnya di mana-mana, mengagumi
buku Misal mengambil perabot rumah tangga, tetapi mereka tetap sangat heran
mengapa orang sekaya Spada ternyata tidak memiliki apa apa. Tidak pernah
diketemukan adanya harta kekayaan. Kaisar dan ayahnya pun tak henti-hentinya
mencari dan menyelidiki, tetapi mereka pun tidak menemukan apa-apa. Spada hanya
meninggalkan dua buah rumah dan sebuah kebun anggur.
Oleh karena barang-barang ini dianggap kurang berharga untuk memenuhi nafsu
serakah Paus dan puteranya ahli waris Spada boleh tetap memilikinya.
Waktu berlalu terus. Setelah Pope dan puteranya meninggal, keluarga Spada
disangka orang akan meneruskan lagi cara hidup seperti yang telah mereka nikmati
dahulu. Kenyataannya tidak demikian. Mereka tetap hidup dalam kesederhanaan dan rahasia
yang menyedihkan itu tetap tidak pernah terbongkar. Masyarakat beranggapan bahwa
karena Kaisar lebih cerdik daripada ayahnya, beliau berhasil merebut semua
kekayaan yang diperoleh dari Rospigliosi dan Spada. Terutama kekayaan
Rospigliosi yang terkuras habis karena ketidakwarasannya.
'Sampai di sini," kata Faria sambil tersenyum, "ceritera belum menarik, bukan?"
"Menarik sekali!" kata Dantes. "Silakan meneruskan."
"Baik, saya lanjutkan: Lambat-laun keluarga Spada melupakan rahasia yang tetap
gelap itu. Sebagian dari mereka ada yang menjadi perajurit, sebagian lagi
menjadi diplomat, tokoh-tokoh gereja dan bankir; sebagian lagi ada yang berhasil
menjadi kaya, yang lainnya bahkan kehilangan kekayaan yang tidak seberapa yang
masih ada pada mereka. "Nah," kata Faria, "aku sampai kepada keluarga Spada yang terakhir, yaitu Count
Spada, majikanku. Aku menjadi sekertaris beliau. Buku Misal yang termashui tetap
berada pada keluarga, dan Count Spada yang terakhir
memilikinya. Buku itu diberikan turun-temurun dari ayah kepada anak. Surat
wasiat yang aneh itu telah membuat buku Misal itu menjadi barang pusaka yang
sangat dihormati dan dipuja oleh keluarga.
Aku sendiri hampir yakin bahwa baik keturunan Borgia maupun keturunan Spada
tidak ada yang berhasil menikmati harta kekayaan itu. Harta itu tetap merupakan harta rahasia tanpa
pemilik, seperti harta karun dalam ceritera-ceritera Arab yang tetap tersembunyi
di dalam bumi dengan dikawal oleh makhluk-makhluk halus. Aku
menyelidikinya di mana-mana. Berkali-kali aku
memperbandingkan penghasilan dan pengeluaran keluarga selama tiga ratus tahun,
tetapi semuanya sia-sia. Aku tetap tidak mengetahui apa-apa dan Count Spada
tetap melarat Ketika majikanku wafat beliau mewariskan perpustakaannya yang
terdiri dari lima ribu jilid buku kepadaku, termasuk buku Misal ditambah uang
seribu crown dengan Syarat bahwa aku bersedia mempersembahkan misa setiap tahun
bagi arwah beliau dan menulis sejarah keluarga Spada. Keduanya aku lakukan."
"Pada suatu hari dalam tahun 1807, sebulan sebelum aku ditangkap, atau dua
minggu setelah beliau wafat, aku membaca untuk keseribu kalinya surat-menyurat
yang harus aku bereskan karena istana telah dijual kepada orang lain, dan aku
sudah akan berangkat meninggalkan Roma untuk menetap di Florence. Letih karena
terlalu asyik bekerja dan mengantuk karena terlampau banyak makan, aku
merebahkan diri dengan berbantalkan kedua belah tangan, kemudian jatuh tertidur.
Ketika itu jam tiga siang."
"Aku terbangun ketika lonceng berbunyi enam kali.
Ternyata ruangan sudah gelap. Aku memanggil pelayan untuk membawa lampu, namun
tak ada yang datang. Dengan meraba-raba aku mengambil lilin, kemudian
mencari secarik kertas untuk mengambil api dari bara yang masih menyala di
tungku. Sebenarnya aku merasa ragu karena khawatir dalam kegelapan keliru
mengambil kertas yang berharga. Tiba-tiba aku teringat bahwa dalam buku Misal
yang terletak di atas meja di sebelahku, aku pernah melihat secarik kertas yang
sudah menguning karena ketuaan. Rupanya kertas itu berada dalam buku sebagai
penunjuk halaman, dan tetap berada di sana selama berabad-abad penghormatan
keluarga Spada terhadap buku itu. Tak ada yang berani membuangnya. Aku mengambil
kertas tua itu, meremasnya dan menyalakan salah satu sudutnya.
Tetapi, begitu terkena api, aku melihat huruf-huruf kuning terbaca pada kertas
itu. Aku terperanjat dan cepat-cepat memadamkan api yang membakar kertas itu.
Kemudian aku menyalakan lilin langsung mengambil api dari perapian. Dengan
perasaan yang tidak terlukiskan aku menghaluskan lagi kertas yang telah kerisut.
Segera aku mengerti bahwa kertas itu ditulisi dengan tinta rahasia yang
tulisannya akan timbul apabila kertas dipanaskan. Kurang lebih sepertiga bagian
daripadanya telah termakan api.
Yang aku perlihatkan kepadamu tadi pagi itulah kertas yang kumaksud. Bacalah
sekarang, setelah engkau selesai aku akan memperlihatkan bagian yang terbakar."
Faria menyerahkan kertas itu kepada Dantes, yang sekali ini, membacanya dengan
gairah: Tanggal 25 April 1498, diundang makan ma...
Paus Alexander VI, dan oleh karena kh....
tidak puas dengan pembayaranku untuk jab...
sehingga bermaksud juga menguasai h..
untuk itu mengakali aku mengikuti nasib kar
dinal Crapara dan Bentivoglio yang mati dira
ini aku menyatakan kepada kemenakanku Guido Sp
tu-satunya ahliwarisku, bahwa di sua
lah pernah dia kunjungi bersamaku, di d
di pulau kecil bernama Pulau Monte Cris
bur semua harta milikku yang terdiri dari bat
mas perhiasan dan uang; bahwa ha
mengetahui akan adanya harta keka
dia dapat menemukan harta i
batu cadas kedua puluh yang terletak se
sebuah sungai yang mengalir ke Ti
gua itu ada dua buah lubang; ke
ka sudut yang terdalam dari lubang yang ke d
riskan seluruh harta kekayaan itu kepada ke
sebagai satu-satunya ahliwarisku.
25 April 1498 KAI "Sekarang," kata Faria, "bacalah ini." Dia memberikan kepada Dantes kertas yang
lain juga berisi potongan-potongan kalimat. Dantes menerimanya dan membaca:
lam oleh Sri awatir bahwa dia atan kardinal arta warisanku dan dina kar- cun, dengan ada sa- tu tempat yang te alam sebuah gua to aku mengu- angan e- nya aku sendiri yang yaan itu, dan bahwa tu dengan jalan mengangkat
jajar dengan mur. Di dalam yaan itu terdapat di ua. Aku mewa- menakanku SAR + SPADA "Hubungkanlah kedua bagian itu dan tariklah kesimpulan sendiri," kata Faria
ketika Dantes selesai membaca.
Dantes menurut, kedua bagian yang telah dihubungkan itu membentuk tulisan ini:
Tanggal 25 April 1498, diundang makan malam oleh Sri Paus Alexander VI dan oleh
karena khawatir bahwa dia tidak puas dengan pembayaranku untuk jabatan kardinal
sehingga bermaksud juga menguasai harta warisanku dan untuk itu mengakali aku
mengikuti nasib kardinal-kardinal iCrapara dan Bentivoglio yang mati diracun,
dengan ini aku menyatakan kepada kemenakanku, Guido Spada satu-satunya
ahliwarisku, bahwa di suatu tempat yang telah dia kunjungi bersamaku, di dalam
sebuah gua di pulau kecil bernama Pulau Monte Cristo aku mengubur semua harta
milikku yang terdiri dari batangan emas, perhiasan dan uang; bahwa hanya aku
sendiri yang mengetahui akan adanya harta kekayaan itu, dan bahwa dia dapat
menemukan harta itu dengan jalan mengangkat batu cadas yang kedua puluh yang
terletak sejajar dengan sebuah sungai kecil yang mengalir ke Timur. Di-dalam gua
itu ada dua buah lubang; kekayaan itu terdapat di sudut yang terdalam dari
lubang yang kedua. Aku mewariskan seluruh harta kekayaan itu kepada kemenakanku, sebagai satu-
satunya ahli warisku. 2 5 April 1498 KAISAR + SPADA "Nah, mengertikah engkau sekarang?" tanya Faria.
"Apakah ini pernyataan kardinal dan merupakan wasiat beliau yang sebenarnya?"
kata Dantes, masih tetap tak percaya.
"Ya, ya!" "Siapakah yang menyusunnya kembali menjadi begini?"
"Aku. Dengan bantuan bagian yang tidak terbakar, aku menyusun sisanya dengan
cara mengukur dahulu garis kalimat dengan memperbandingkannya dengan lebar
kertas, kemudian mengisi kalimat-kalimat yang hilang dengan menghubungkannya
dengan kalimat-kalimat yang ada
padaku." "Dan apa yang Bapak kerjakan setelah Bapak berhasil memecahkan teka-teki itu?"
"Aku segera meninggalkan Roma, dengan membawa serta permulaan karya besarku
tentang Persatuan Kerajaan Italia. Tetapi polisi Kaisar, yang pada waktu itu
sangat menentang penyatuan Italia, telah lama sekali mengawasi gerak-gerikku.
Kepergianku yang mendadak membangkitkan kecurigaan mereka dan ditangkaplah aku
ketika aku akan naik kapal di Piombino."
"Sekarang," lanjut Faria dengan tatapan seorang ayah,
"engkau telah mengetahui rahasia ini sebanyak pengetahuanku sendiri. Kalau kita
berhasil melarikan diri, setengah dari kekayaan itu adalah milikmu; apabila aku
mati di sini dan engkau berhasil lari, semuanya menjadi milikmu."
"Tetapi," tanya Dantes ragu-ragu, "apakah tidak ada yang lebih berhak memiliki
harta itu daripada Bapak"
'Tidak, tentang itu engkau boleh merasa tentram.
Dengan meninggalnya Count Spada habislah seluruh
keluarga itu. Lagi pula Count Spada yang terakhir telah mengangkat aku sebagai
ahli warisnya. Dengan mewariskan buku Misal yang simbolik itu berarti beliau mewariskan seluruh hak
miliknya kepadaku. Seandainya kita berhasil menguasainya, kita dapat
memanfaatkannya tanpa perlu ada rasa khawatir."
Dantes merasa dirinya berada dalam alam mimpi, antara tak percaya dan gembira.
"Sekian lamanya aku merahasiakan soal ini kepadamu,"
kata Faria selanjutnya, "pertama, karena aku ingin yakin dahulu tentang dirimu
dan keduanya aku ingin memberikan sesuatu hadiah tak terduga."
"Harta karun itu milik Bapak," kata Dantes, "dan saya tidak mempunyai hak apa-
apa atasnya, bahkan saya sama sekali tidak terikat hubungan keluarga dengan
Bapak." "Engkau adalah anakku!" kata Faria dengan keras.
"Engkaulah anakku yang lahir dari pengasinganku.
Jabatanku mengharuskan aku hidup membujang seumur hidup, tetapi Tuhan telah
mengirimkan engkau kepadaku untuk menghibur aku yang tidak pernah akan menjadi
seorang ayah, dan seorang tahanan yang tidak mungkin mendapatkan kembali
kebebasannya." Faria mengulurkan tangannya kepada Dantes yang
merangkulnya sambil menangis.
BAB XII SETELAH ternyata bahwa harta karun yang sekian lama menjadi buah renungannya
sekarang dapat menjamin kebahagiaan masa depan anak muda yang dicintainya
seperti anak sendiri, nilainya di mata Faria menjadi berlipat ganda.
Yang menjadi bahan pembicaraannya setiap hari hanyalah tentang kebaikan harta
kekayaan. Dia menerangkan kepada Dantes betapa banyak kebaikan yang dapat
diperbuat seseorang kepada kawan-kawannya dalam jaman modern ini dengan kekayaan
sebanyak itu. Pada saat mendengar keterangan itu wajah Dantes sering menjadi
gelap karena ia teringat kepada sumpah pembalasannya, bahkan pikirannya sering
berkata sebaliknya: betapa banyak kejahatan yang dapat diperbuat, seseorang
kepada musuh-musuhnya dalam jaman modern ini dengan kekayaan sebanyak itu.
Faria tidak mengetahui letak pulau Monte Cristo tetapi Dantes mengetahuinya.
Seringkah ia berlayar melalui pulau yang terletak dua puluh lima mil dan
Pianosa, antara Corsica- dan Pulau Elba. Bahkan pernah sekali ia mendarati nya.
Ketika itu, dan sekarang pun masih, pulau itu sunyi tidak berpenghuni. Bentuknya
mengerucut seperti sebuah batu karang yang tersembul ke atas permukaan laut oleh
gempa laut. Seperti yang diramalkannya sendiri, tangan dan kaki kanan Faria tetap lumpuh dan
dia hampir kehilangan semua harapannya untuk menguasai harta karun itu.
Namun demikian ia tidak berhenti memikirkan dan
membicarakan pelarian untuk sahabat mudanya. Dia
meminta dengan sangat agar Dantes menghafalkan isi surat wasiat itu kata demi
kata, untuk mencegah kesukaran seandainya karena sesuatu hal aurat itu hilang.
Lalu, pada suatu malam Dantes terjaga dari tidurnya karena mendengar ada orang


The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang memanggilnya. Dia membuka matanya lebar-lebar mencoba menembus kegelapan.
Terdengar suara yang sangat lemah menyebut-nyebut namanya. Dantes meloncat dari
ranjangnya dan menajamkan kupingnya. Tak syak lagi, suara itu datang dari sel
Padri Faria. "Ya Tuhan!" kata Dantes. "Mungkinkah.. ?"
Ia menggeser ranjangnya, cepat-cepat masuk ke dalam galian dan dalam waktu yang
pendek sudah berada di ujung terowongan, ubin penutupnya telah terangkat. Berkat
cahaya lampu yang remang-remang dia dapat melihat orang tua itu dengan wajahnya
yang pucat dan tegang seperti yang pernah dikenalnya ketika mendapat serangan
pertama dari penyakit yang mengerikan itu.
'Nah,' kata Faria dengan kesabaran seorang yang telah pasrah kepada nasib, "kau
faham, bukan" Tidak perlu lagi aku menjelaskan. Sejak sekarang lebih baik
kaupikirkan tentang dirimu sendiri, tentang ketabahan menanggung derita dan
tentang kemungkinan melarikan diri. Tak lama lagi engkau akan bebas dari ikatan
seorang yang setengah mati, yang membuat lumpuh gerakan-gerakanmu. Pada akhirnya
Tuhan memberikan juga peluang-peluang kepadamu, dan bagiku saat telah tiba untuk
meninggalkan dunia ini"
Dantes tak dapat berbuat apa-apa kecuali menangis, "Oh Bapak, Bapak!" Lalu,
setelah memperoleh kembali sedikit keberanian, ia berkata lagi, "Saya pernah
menyelamatkan jiwa Bapak, dan saya akan melakukannya lagi!" Dia mengangkat kaki
ranjang dan mengeluarkan botol obat yang masih berisi sepertiga bagian lagi.
'Tak ada harapan lagi," jawab Faria sambil menggelengkan kepala, "tetapi engkau
boleh mencobanya kalau mau.
Seluruh tubuhku sudah terasa dingin. Darah sudah
mengalir semua ke kepala, dan getaran-getaran yang mengerikan sudah mulai terasa
pula. Dalam tempo lima menit serangan akan tiba dengan hebat, dan dalam
seperempat jam lagi aku sudah menjadi mayat."
"Oh!" teriak Dantes, hatinya seakan-akan pecah.
"Lakukanlah seperti yang dahulu kaulakukan, hanya saja, sekarang jangan menanti
terlalu lama. Setelah diminu-mi duabelas tetes aku tetap tidak sadarkan diri,
tuangkan saja semua isi botol ke dalam kerongkonganku. Baringkan aku sekarang di
ranjang, aku sudah tidak tahan lagi."
Dantes memangku orang tua itu dan membaringkannya di atas ranjang.
"Meskipun agak lambat" kata Padri Faria, "ternyata Tuhan telah mengirimkan
engkau kepadaku sebagai satu-satunya penghibur dalam menjalani kehidupan yang
hancur ini. Dan sekarang," ia berhenti sejenak seperti hendak mengumpulkan
seluruh kekuatan, "pada saat kita akan berpisah untuk selama-lamanya, aku
mendo'akan dengan sebesar-besarnya harapan semoga engkau, anakku, segera me'
nemukan kebahagiaan dan kemakmuran yang menjadi hak milikmu."
Dantes bertekuk lutut dan merebahkan kepalanya ke ranjang. Setelah mengalami
kejutan yang keras, orang tua itu berbisik lagi sambil memegang tangan. Dantes
erat-erat, "Selamat tinggal, selamat tinggal, anakku."
Serangan penyakit itu sangat hebat sehingga sekaligus mengejangkan kaki dan
tangan, membengkakkan pelupuk mata, menyemburkan busa dari mulut dan akhirnya
membuat kaku seluruh tubuh. Itulah sekarang yang tinggal dari seorang yang
cerdas dan dalam ilmunya, yang beberapa detik yang lalu masih dapat berkata-
kata. Pada saat yang dianggap tepat, Dantes merekahkan gigi Faria yang telah
rapat ketat dengan pisau, lalu memasukkan dua belas tetes obat ke dalam
mulutnya. Dia menanti sepuluh menit, seperempat jam, setengah jam. Tidak tampak
tanda-tanda kehidupan. Dengan badan gemetar dan dahi basah karena keringat
dingin, Dantes menganggap sudah tiba saatnya untuk melakukan usahanya yang
terakhir. Dia mengucurkan semua isi botol ke dalam mulut Faria.
Obat itu memperlihatkan juga pengaruhnya. Tangan dan kaki Faria tersentak
seketika, matanya terbuka, tetapi sangat mengerikan untuk dipandang, dan
mulutnya mengeluarkan suara yang mirip kepada teriakan,' Kemudian, badannya yang
bergetar mulai tegar kembali. Akhirnya, jantungnya berhenti berdenyut, wajahnya
menjadi kebiru-biruan dan seluruh cahaya kehidupan memudar dari matanya yang
tetap terbuka. Saat itu, jam enam pagi. Sinar-sinar pertama dari fajar telah menyelusup masuk
ke dalam sel dan sekali-sekali tumpah pada wajah jenazah sehingga menimbulkan
kesan yang aneh seakan-akan wajah itu hidup kembali. Selama malam berebut tempat
dengan siang Dantes masih dapat bimbang, namun setelah siang hari jelas
berkuasa, sadarlah Dantes sepenuhnya bahwa dia hanya berdua dengan mayat.
Kecemasan yang sangat mencekam dirinya. Dia sudah tidak berani lagi memegang
tangan Faria yang terkulai dari ranjang, juga tidak berani melihat mata yang
kosong yang telah berkali-kali ia coba menutupkannya namun tidak berhasil.
Dantes meniup lampu, menyembunyikannya
dengan baik, kemudian keluar dari sel itu dan menutup lagi lubang dengan batu
dari bawah sebaik mungkin.
Dantes berada kembali di selnya sendiri tepat pada waktunya, karena Sipir sudah
terdengar datang. Sekali ini ia mulai memasuki sel Dantes. Tak ada tanda-tanda
yang menunjukkan bahwa Sipir tahu tentang apa yang telah terjadi.
Dia keluar lagi. Terdorong oleh ketidaksabaran yang membara ingin mengetahui apa
yang akan terjadi di kamar kawan karibnya yang malang, Dantes merangkak kembali
melalui galian. Dia datang tepat sekali pada saat Sipir berteriak meminta
tolong. Sipir-sipir lainnya segera bermunculan, kemudian terdengar langkah-
langkah serdadu yang berat. Di belakangnya menyusul Gubernur Penjara.
Dantes mendengar ranjang berderak ketika mereka
mencoba mengangkat mayat Gubernur memerintahkan
menyembur muka Padri Faria dengan air. Setelah melihat bahwa semburan itu tidak
menyadarkan Padri, ia menyuruh memanggil dokter. Gubernur meninggalkan sel dan
Dantes mendengar kata-kata belas kasihan bercampur dengan ejekan dan tawa yang
kasar. "Akhirnya," kata salah seorang, "si tua ini pergi juga untuk menjemput harta
karunnya. Selamat jalan!"
Dengan uangnya yang berjuta-juta ia masih tidak
mampu membayar kain kafannya sendiri," kata yang lain.
"Oh, kafan di gedung If tidak mahal harganya."
"Oleh karena ia seorang padri mungkin sekali yang berwewenang mengeluarkan biaya
tambahan baginya." "Itu benar, ia akan mendapat kehormatan dikafani dengan karung."
Setiap kata terdengar oleh Dantes, tetapi ia tidak dapat memahami seluruhnya apa
yang dimaksud. Segera suara-suara orang bicara itu menghilang, rupanya semua
telah keluar meninggalkan sel. Tetapi dia tidak berani memasuki sel itu karena
khawatir mungkin ada seorang sipir ditinggalkan untuk menjaga mayat.
Setelah berlalu kurang lebih satu jam, kesunyian ter-pecahkan oleh suara samar-
samar yang makin lama makin jelas terdengar. Gubernur kembali disertai oleh
dokter dan beberapa orang pegawai lainnya.
Untuk sejenak tidak mendengar orang berbicara, rupanya dokter sedang memeriksa
mayat padri Akhirnya dokter menyatakan bahwa tahanan itu telah mati dan
menjelaskan sebab kematiannya.
"Bukan karena aku meragukan wewenang Tuan Dokter,"
kata Gubernur, "tetapi dalam hal seperti ini kami tidak dapat merasa puas dengan
pemeriksaan. Saya meminta Tuan memeriksa semata-mata hanya untuk menjalankan apa
yang telah ditentukan oleh hukum."
"Baiklah kalau begitu " kata dokter, "tolong panaskan sebatang besi."
Permintaan ini membuat diri Dantes bergidik. Dia men dengar orang berlari dan
pintu terbuka. Beberapa lama kemudian seorang sipir kembali lagi ke dalam sel.
Lalu, bau daging terbakar yang menusuk menyelusup masuk ke tempat Dantes
mendengarkan dengan penuh ketakutan. Keringat bercucuran di dahinya dan untuk
sejenak ia mengira akan jatuh pingsan.
"Tuan lihat sekarang, dia benar-benar telah mati," kata dokter lagi. "Pembakaran
di tumitnya itu sangat memastikan. Orang gila yang matang ini telah sembuh dari
penyakitnya dan bebas dari penyekapannya,"
Dantes mendengar suara gemerisik kain. Ranjang berderak. Kemudian terdengar
suara langkah orang berjalan sambil membawa beban yang berat dan ranjang
berderak sekali lagi karena tekanan barang berat yang diletakkan kembali di
atasnya. "Apakah akan ada misa rekwim?" tanya salah seorang.
"Tak mungkin" sahut gubernur, 'Tadri kita sedang pergi cuti selama seminggu.
Apabila Faria yang malang ini tidak terburu-buru mati, mungkin ia dapat
disembahyangkan," "Biarlah," kata dokter dengan nada kurang hormat seperti yang biasa dimiliki
oleh para dokter, "Tuhan toh tidak akan menggembirakan setan dengan mengirim roh
seorang padri kepadanya."
Terdengar suara tertawa terbahak bahak
"Malam nanti," kata Gubernur.
"Jam berapa?" tanya salah seorang sipir.
"Sekitar jam sepuluh atau sebelas, seperti biasa."
"Apakah kami perlu menjaga mayatnya?"
"Buat apa" Kunci saja pintunya seperti ia masih hidup."
Mereka semua meninggalkan sel Padri Faria dan suara langkah langkahnya makin
lama makin menghilang. Keadaan menjadi sunyi kembali. Namun ada kesunyian yang lebih mencekam daripada
sunyi sepi, yaitu sunyi kematian yang merasuk dan menggetarkan lubuk hati
Dantes. Dengan hati-hati ia mengangkat batu penutup lubang dengan kepalanya dan
melemparkan pandangan ke sekeliling ruangan. Kosong. Dia masuk.
Dengan diterangi oleh sinar siang yang remang-remang Dantes melihat jenazah
Padri Faria terbujur di ranjangnya, dibungkus dengan kain yang kasar. Itulah
kain kafan yang menurut sipir-sipir tidak mahal harganya. Segala sesuatu telah
berlalu. Kini. Dantes benar-benar telah dipisahkan untuk selama-lamanya dari
sahabat karibnya. Faria, seorang kawan yang banyak memberikan bantuan, kawan berbincang yang
menyenangkan, sekarang hanya tinggal dalam kenangan. Dantes duduk di tepi
ranjang yang mengerikan itu, hanyut dalam kesedihan yang pahit dan memilukan.
Sendiri! Dia menyendiri lagi! Pikiran membunuh diri yang pernah dienyahkan oleh
hadirnya Padri Faria kini muncul kembali bagaikan hantu.
"Seandainya aku dapat mati," katanya, "aku akan pergi ke tempat arah Padri dan
aku bersama-sama lagi dengan beliau. Tetapi bagaimana aku dapat mati?" Dia
berpikir sejenak, lalu tersenyum, "Mudah sekali. Aku akan tinggal di sini dan
menyerang orang pertama yang masuk ke dalam sel ini. Akan kucekik lehernya, dan
mereka tentu akan menebas leherku."
Tetapi segera ia memalingkan diri dari gagasan mati konyol seperti itu, dan
segera pula hatinya beralih dari putus asa kepada gairah hidup dan semangat
membebaskan diri. "Mati" Tidak, tidak " katanya kepada diri sendiri. "Apa guna penderitaanku kalau
aku mati sekarang" Tidak, aku ingin hidup dan berjuang sampai akhir. Aku ingin
memperoleh kembali kemerdekaan yang hilang dirampas orang. Aku mesti menghukum
dahulu musuh-musuhku sebelum aku mati, dan aku pun perlu membalas budi sahabat-sahabatku. Selama aku
di sini aku akan terlupakan.
Tetapi satu-satunya jalan meninggalkan sel bawah tanah ini hanya dalam keadaan
mati." Setelah mengucapkan kata-kata itu, dia duduk bagaikan terpaku. Matanya memandang
ke alam kosong seperti orang yang tiba-tiba tersentak oleh suatu pikiran yang
mengerikan. Kemudian dia berdiri, dan meletakkan tangan kanan pada dahi seperti
orang yang merasa pusing.
"Siapakah yang memasukkan pikiran, ini" Engkaukah ya Tuhanku" Oleh karena hanya
mayat saja yang dapat meninggalkan tempat ini, aku akan mengambil alih tempat Faria!"
Tanpa memberikan kesempatan kepada dirinya untuk
memikirkan kembali keputusannya yang nekad itu, dia menghampiri mayat dan
membuka karungnya dengan pisau yang dibuat dahulu oleh Faria. Jenazah Faria
dikeluarkannya dan membawanya ke dalam selnya sendiri, membaringkannya di atas
ranjang, membungkus kepalanya dengan kain-kain rombengan seperti biasa dia
lakukan sendiri, menyelimutinya, dan mencium dahinya untuk terakhir kalinya,
sekali lagi mencoba menutup mata jenazah tetapi tetap tak berhasil, kemudian
menghadapkan wajah padri itu ke dinding sehingga bila sipir datang mengantarkan
makan malam ia akan mengiranya sudah tidur, seperti yang telah sering ia
lakukan. Kemudian ia kembali ke kamar Faria. Ia mengambil jarum dan benang,
menanggalkan dan menyembunyikan pakaiannya sehingga sipir dapat merasakan badan telanjang dalam
karung, masuk ke dalam karung itu dan membaringkan diri seperti mayat, dan
akhirnya menjahit kembali karung itu dari dalam. Seandainya saja Sipir datang
ketika itu, dia akan mendengar detak jantung Dantes.
Rencananya telah disusun seperti berikut: apabila para penggali liang lahat
mengetahui bahwa mereka mengangkat mayat hidup, ia akan secepatnya menyobek
karung itu dengan pisau dan akan memanfaatkan keterkejutan mereka dengan cepat-
cepat melarikan diri; apabila mereka berusaha mencegahnya dia akan menggunakan
pisau untuk menyerang mereka. Apabila mereka membawanya sampai ke pe ku bu ran
dan memasukkannya ke dalam liang lahat, ia akan membiarkan dirinya dikubur, dan
oleh karena hari malam, segera setelah para pengubur pulang ia akan berusaha
keluar dari kubur menembus tanah yang masih empuk dan . . . berlari. Dia
mengharapkan mudah-mudahan tanah kuburannya tidak terlampau berat untuk
ditembus. Kalau tidak, ia akan mati terkubur. Namun demikian, kemungkinan mati pun tidak
mengecilkan hatinya, sebab paling tidak, kematian itu berarti berakhirnya
penderitaan. Menjelang jam tujuh malam kecemasannya sudah me-
ningkat. Seluruh anggota tubuhnya gemetar dan hatinya seakan-akan membeku. Waktu
berlalu tanpa sesuatu kejadian istimewa. Sampai sejauh itu muslihatnya tidak
terbongkar. Akhirnya ia mendengar langkah-langkah orang berjalan di tangga.
Saatnya telah tiba. Dia mengumpulkan semua keberaniannya, menahan napas dan
mencoba menekan detak jantungnya. Pintu kamar terbuka dan secercah cahaya mengenai
matanya. Melalui kain yang membungkus dirinya Dantes dapat melihat dua bayangan
menghampiri ranjangnya. Orang yang ketiga berdiri di ambang pintu sambil memegang lentera. Kedua orang
itu mengangkat karung pada kedua ujungnya. Dantes membuat dirinya sekaku
mungkin. "Berat sekali untuk orang sekecil padri tua itu," kata salah seorang.
"Kata orang, setiap tahun tulang manusia bertambah berat dengan seperempat
kilo," jawab yang lain.
Mereka membawa Dantes dengan sebuah usungan dan
iringan penguburan ini dipimpin oleh orang yang membawa lentera. Tiba-tiba
Dantes merasakan sejuk dan segarnya udara malam dan tajamnya angin yang
menghembus dari laut. Perasaan ini menimbulkan kegembiraan bercampur kecemasan.
Mereka masih mengusungnya kira-kira duapuluh yard lagi, lalu berhenti, dan
meletakkan usungan di tanah.
Dantes mendengar salah seorang pergi menjauh. "Di mana aku?" dia bertanya dalam
hati Pikiran yang pertama terlintas di kepalanya ialah mencoba melarikan diri, tetapi
untung m dapat menguasai diri.
Beberapa saat kemudian dia mendengar lagi salah seorang datang mendekat dan
menjatuhkan sesuatu yang berat di tanah Pada saat yang sama ia merasakan seuntai
tali diikatkan pada pergelangan kakinya, demikian erat sehingga sangat
menyakitkan. "Sudah disimpulkan talinya?" tanya orang yang sejak tadi tidak turut bekerja.
"Sudah, dan saya bertanggung jawab."
"Baik. Ayo terus"
Usungan itu diangkat kembali dan iringan berjalan lagi.
Gemuruh ombak yang menampar karang tempat berdiri gedung If terdengar makin
jelas oleh Dantes. "Buruk sekali cuaca malam ini," kata salah seorang "Aku tidak mau berada di laut
malam ini" "Aku juga," jawab yang lain, "ada kemungkinan padri ini akan membasuh kakinya!"
Keduanya tertawa terbahak-bahak.
Dantes tidak mengerti akan olok-olok itu, namun demikian bulu tengkuknya tak
urung berdiri. "Sudah sampai," kata orang pertama setelah beberapa saat.
"Tidak, terus lagi, terus lagi! Kau tentu masih ingat, yang terakhir kita
lemparkan terdampar pada batu karang, dan keesokan harinya Gubernur menyebut
kita bajingan bajingan malas." Mereka berjalan lagi beberapa langkah, kemudian
Dantes merasa terangkatnya pada kepala dan kalanya dan terayunkan ke muka dan ke
belakang.

The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Satu! Dua! Tiga!"
Berbarengan dengan kata 'tiga' Dantes merasakan dirinya melayang di udara. Rasa
takut mencekam hatinya ketika ia merasa dirinya menurun lagi ke bawah bagaikan
seekor burung yang lerluka. Akhirnya, setelah seakan-akan seabad lamanya,
terdengarkah suara sesuatu barang jatuh ke dalam air, dan Dantes melesat
bagaikan anak panah tenggelam ke dalam laut yang dingin. Dia berteriak keras
tetapi pekiknya segera menghilang ditelan air. Dengan cepat sekali ia tenggelam
karena badannya diberati oleh dua buah peluru meriam yang diikatkan kepada
kakinya. Laut itulah kiranya yang menjadi tempat penguburan para pesakitan penjara If.
BAB XIII SEKALIPUN sudah hampir pingsan dan lemas, Dantes
masih mempunyai cukup kesadaran untuk menahan nafas doa menyobek karung
pembungkusnya dengan pisau yang tetap dia pegang di tangan kanan. Namun, dia
masih juga meluncur cepat ke bawah karena diberati oleh dua buah peluru meriam
yang diikatkan kepada kakinya. Dantes membungkukkan badannya dan memotong tali
pengikatnya. Ia menekankan kakinya sekuat sisa-sisa tenaganya dan berhasil
muncul di atas permukaan air. Dia beristirahat sebentar sekedar untuk dapat
menarik nafas dalam-dalam, kemudian menyelam lagi karena khawatir terlihat
orang. Ketika muncul untuk kedua kalinya ia sudah berada lima puluh kaki dari
tempat ia dilemparkan. Di atas kepalanya hanya langit berselubung awan gelap
saja yang tampak, sedangkan di hadapannya terbentang lautan yang hitam kelam
dengan gelombang-gelombang yang sudah menggele gar pertanda badai akan datang.
Dan di belakangnya, lebih hitam dan gelap dari laut dan langit, tampak membayang gedung
If, menyeramkan bagaikan jin yang hendak menerkam. Dia memutuskan menuju Pulau
Tiboulen, pulau tak berpenghuni yang paling dekat, jauhnya kira-kira lima ribu
meter. Tetapi bagaimana ia dapat menemukannya dalam kegelapan ini" Tuhan
memberikan petunjuknya. Tiba-tiba ia melihat sinar berkelip bagaikan bintang.
Cahaya itu berasal dari mercusuar Harder. Apabila ia menuju lurus ke arah
mercusuar itu, ia tahu ia akan melalui Pulau Tiboulen di sebelah kiri. Jadi,
kalau dia mengubah arah sedikit ke kiri, pasti akan sampai di pulau itu. Dia
sangat gembira ketika menyadari bahwa
penyekapan yang bertahun-tahun itu tidak sampai
menggerogoti tenaga dan kesigapannya, dan ia masih tetap dapat menguasai lautan
tempat ta bermain-main ketika masih kecil.
Satu jam telah berlalu, dan selama itu Dantes tetap berenang ke arah yang telah
dipilihnya. "Kecuali bila aku keliru," pikirnya, "aku sudah dekat ke Pulau
Tiboulen. Bagaimana bila aku salah?" Darahnya tersirap berbarengan dengan timbulnya
pikiran itu. Ia mencoba mengambangkan dirinya untuk dapat beristirahat, tetapi
tidak mungkin sebab laut sudah mulai bertingkah. "Baik," katanya dengan tekad
yang bulat, "aku akan terus berenang sampai tanganku lemas, sampai otot-ototku
kejang dan sampai tenggelam ke dasar lautan."
Langit yang kelam makin bertambah gelap dan awan
yang tebal seakan-akan datang mendekati seperti hendak menghadang. Tiba-tiba ia
merasakan sakit yang menyengat pada lututnya. Persangkaannya mengatakan ia
terkena peluru dan mengira sebentar lagi akan terdengar suara tembakan. Namun,
tak ada suara senapan. Dia
memasukkan tangannya ke dalam air dan terpegang pada sesuatu yang keras. Ketika
kakinya ditegakkan ia merasa berpijak di atas tanah. Tahulah ia sekarang awan
gelap yang disangkanya datang menghadang itu, ternyata pulau karang yang
berbentuk nyala api. Itulah Pulau Tiboulen.
Dantes berdiri, kemudian maju beberapa langkah. Tanpa disadarinya keluar dari
mulutnya, "Terima kasih, ya Tuhan!" Dia membaringkan tubuh di atas sebuah karang
yang tajam-tajam, namun olehnya terasa lebih empuk daripada semua tempat tidur
yang pernah ditidurinya. Sekalipun angin sangat kencang dan hujan turun dengan
derasnya, ia dapat terdidur dengan lelap.
Sejam kemudian ia terbangunkan oleh menggelegarnya suara geledek. Dantes
berteduh di bawah karang yang menjulur, sesaat sebelum badai mengamuk dengan
hebatnya. Cahaya kilat yang bagaikan membelah langit menerangi tempat
sekelilingnya, dan beberapa ratus meter di hadapannya tampak sebuah kapal
nelayan yang kecil, terombang-ambing oleh angin dan ombak. Sebentar-bentar kapal
itu menghilang di antara dua gelombang kemudian muncul kembali di puncak ombak.
Kapal itu mendekat kepadanya dengan kecepatan yang cukup tinggi Dantes berteriak
sekeras-kerasnya dan mencari sesuatu yang dapat digunakan untuk menarik
perhatian penumpang kapal dan memperingatkan bahwa mereka bisa kandas pada
karang yang berbahaya. Dengan cahaya kilat yang berikut Dantes dapat melihat ada
empat orang dalam kapal itu yang berpegang erat-erat pada tiang layar dan tali-
temali, sedang orang yang kelima berpegang teguh pada tangkai kemudi yang telah
patah. Dantes mendengar suara beradunya dua benda yang keras, disusul dengan
teriakan-teriakan yang mengerikan. Kilatan cahaya yang ketiga memperlihatkan
hancurnya kapal kecil itu, dan di antara pecahan-pecahan kapal dia melihat
wajah-wajah manusia yang penuh ketakutan dan tangan-tangan yang menjulang
menggapai-gapai mencari pegangan. Lalu, keadaan menjadi gelap gulita kembali.
Dantes keluar dari tempat persembunyian dengan kemungkinan dia sendiri terjatuh.
Dia menajamkan mata dan telinganya, namun tak ada yang tampak atau terdengar.
Tak ada lagi teriakan yang mengerikan, tak ada lagi manusia-manusia yang
berusaha menyelamatkan jiwanya. Yang tinggal, hanyalah badai yang menderu dan
gelombang-gelombang dahsyat yang berbuih putih.
Sedikit demi sedikit angin mereda. Awan kelabu yan?
tebal mulai bergeser ke arah barat dan tak lama kemudian tampak segaris cahaya
kemerah-merahan di ufuk timur.
Sinar surya menyentuh permukaan taut mengubah pucuk-pucuk gelombang yang berbuih
menjadi jambul-jambul yang berkilau keemas-emasan. Hari telah berganti siang.
"Dalam dua atau tiga jam lagi," pikir Dantekz, "sipir akan masuk ke dalam selku,
menemukan mayat sahabatku dan akan berteriak memanggil kawan-kawannya. Mereka
pasti akan menanyai orang-orang yang melemparkan aku ke laut yang mestinya
mendengar teriakanku. Beberapa perahu penuh dengan serdadu akan berkeliaran
mencariku dan meriam-meriam pasti akan berjaga-jaga mengawasi
sepanjang pantai untuk menghadang seorang pelarian yang telanjang dan kelaparan.
Aku pasti akan diserahkan oleh petani pertama yang menemukan aku karena ingin
memperoleh hadiah. Ya Tuhan, ya Tuhan, Engkau mengetahui betapa aku telah
menderita. Tolonglah aku, karena aku sudah tidak berdaya lagi!"
Begitu selesai dia mengucapkan do'a yang sungguh-sungguh, di kaki langit dia
melihat layar bersegitiga dari sebuah kapal kecil. Matanya yang terlatih segera
mengenalinyasebagai kapal kecil buatan orang Genoa, datang dari arah Marseilles.
"Ah!, Sekarang aku dapat mencapainya dengan berenang dalam setengah jam, kalau
saja aku tidak takut diketahui sebagai seorang pelarian kemudian dibawa kembali
ke Marseilles! Mereka adalah penyehindup-penyelundup, kadangkadang juga
merompak. Mereka tentu akan lebih senang menyerahkan aku kepada yang berwajib daripada
menolongku tanpa mendapatkan keuntungan apa-apa. Ceritera apa yang dapat
kukarang untuk menipu mereka" Oh, begini: Akan kukatakan bahwa aku salah seorang
awak kapal yang menabrak karang tadi malam! Tak akan ada orang yang dapat
menyangkal pengakuanku oleh karena semua awak telah mati
tenggelam. "Lantas, ia melihat-lihat di tempat kapal tenggelam tadi malam.
Beberapa bilah papan masih
terapung-apung di dekat sana dan ia terperanjat senang melihat topi di ujung
sebuah batu karang. Dantes menyelam, berenang mengambil topi, mengenakannya lalu berpegang pada
salah satu papan, kemudian mendayung dengan kakinya ke arah yang dia perkirakan
akan dilalui oleh kapal Genoa itu.
Ketika dirasanya sudah cukup dekat, ia mempercepat renangnya, melambai-lambai
dengan topinya dan berteriak sekeras-kerasnya. Kapal berbalik ke arah Dantes dan
dia melihat awak kapal bersiap-siap untuk mengurangi kecepatan. Karena ia
berpikir tidak akan memerlukan papan lagi, dilepaskannya papan itu dan berenang
ke arah kapal. Tetapi sebenarnya ia rianya bergantung kepada sisa tenaganya yang sudah hampir
habis. Kaki dan tangannya sudah mulai kejang, gerakannya sudah berat dan tidak
teratur lagi, sedangkan dadanya sudah terasa sesak. Kedua pendayung dalam kapal
itu meningkatkan usaha memperlambat laju kapal, dan seorang di antara berteriak
dalam bahasa Italia 'Tahan!" Dantes masih menggapai-gapai sejenak, kemudian hilang dari permukaan
air. Dia masih dapat merasakan rambutnya dijambak dan diangkat ke atas, setelah
itu ia tak sadarkan diri lagi.
Ketika ia membukakan matanya, tubuhnya tergeletak di geladak kapal kecil itu.
Seorang kelasi menggosok-gosok tubuhnya dengan selimut wol, yang lain, yang
berteriak "Tahan!" menegukkan anggur ke dalam mulut Dantes, sedangkan orang yang ketiga,
yaitu Kapten kapal, menatapnya dengan pandangan penuh keharuan seorang yang
pernah terhindar dari malapetaka yang sama, atau kecemasan seseorang yang
khawatir tertimpa nasib yang sama di masa mendatang.
"Siapakah engkau?" tanya Kapten dalam bahasa Perancis yang buruk.
"Saya pelaut dari Malta," jawab Dantes dalam bahasa Italia yang sama buruknya.
"Kami datang dari Siracus. Badai tadi malam menghanyutkan kami dari teluk
Morgiou dan menghancurkan kapal kami pada batu karang sana.
Saya satu-satunya yang selamat. Ketika saya melihat Tuan datang saya berpegang
kepada sebilah papan dan berenang menghampiri kapal Tuan. Saya pasti mati lemas
seandainya tidak ditolong salah seorang anak buah Tuan."
"Akulah yang menarik dia pada rambutnya" kata seorang kelasi yang berwajah
jujur. "Tepat pada saat engkau akan tenggelam."
"Ya," jawab Dantes sambil mengulurkan tangan kepadanya, "Terima kasih banyak,
kawan." "Sebenarnya aku ragu melakukannya ketika melihat janggutmu yang panjang enam
inci dan rambut sepanjang satu kaki. Kau lebih mirip seorang bandit."
Dengan hati tersentak Dantes baru menyadari bahwa selama dalam penjara ia tidak
pernah memotong rambut dan janggutnya.
"Suatu hari, ketika berada dalam bahaya," katanya, "saya bersumpah tidak akan
memotong rambut dan janggut
selama sepuluh tahun. Hari inilah habisnya masa yang sepuluh tahun itu dan lucu,
saya merayakannya dengan hampir tenggelam."
"Sekarang, apa yang harus kami lakukan denganmu?"
tanya Kapten. "Terserah kepada Tuan. Saya pelaut yang baik. Tuan dapat menurunkan saya di
pelabuhan pertama yang Tuan singgahi, saya pasti dapat dengan mudah mendapatkan
pekerjaan di salah satu kapal dagang."
"Apakah kau mengenal Kepulauan Mediterania?"
"Saya sudah melayarinya sejak masa kanak-kanak. Saya mengenal hampir semua
pelabuhannya sehingga saya dapat dengan mudah memasukkan dan mengeluarkan kapal
dengan mata tertutup."
"Kapten," kata Jacopo, pelaut yang menyelamatkan jiwa Dantes, "tidakkah
sebaiknya dia turut kita?"
"Baik," sahut Kapten, "aku mau membawamu kalau engkau tidak meminta bayaran yang
terlalu tinggi." "Cukup sebanyak yang lain."
"Baik," kata Kapten lagi. "Jacopo, dapatkah kau me-minjaminya pakaian?"
"Saya masih mempunyai dua celana dan sebuah kemeJa."
Jacopo turun ke ruang bawah dan muncul kembali
beberapa saat kemudian dengan membawa pakaian.
"Apalagi yang kauperlukan?" tanya Kapten.
"Bila boleh, sepotong roti dan segelas anggur lagi yang sedap seperti tadi"
Jacopo menyodorkan anggur dan pelaut yang lain mem-bawakan sepotong roti.
Dantes bertanya apakah dia boleh memegang kemudi.
Jurumudi yang sangat gembira melihat kemungkinan
istirahat, menoleh kepada Kapten yang memberi isyarat untuk menyerahkan kemudi
kepada kawannya yang baru.
Dantes mengambil alih kemudi dan mengarahkan pan-
dangannya ke pantai Marseilles.
"Tanggal berapa dan bulan apa sekarang?" Dantes bertanya kepada Jacopo yang
duduk di sebelahnya. "Dua puluh delapan Pebruari."
'Tahun?" "Apa" Apakah kau tidak mengetahui tahun berapa sekarang?"
'Tadi malam aku sangat ketakutan," jawab Dantes sambil tertawa, "sehingga hampir
gila, dan sekarang pun ingatanku belum segar betul. Tahun berapa sekarang?"
"1829," jawab Jacopo.
Empas belas tahun sudah sejak Dantes ditangkap. Dia baru berusia sembilan belas
tahun ketika itu; sekarang tiga puluh tiga tahun umurnya. Senyum pahit melintas
di bibirnya ketika hatinya bertanya apa yang telah terjadi dengan Mercedes
selama masa itu, selama ia mengira pasti Dantes telah tiada. Matanya menyinarkan
amarah tatkala ingatannya sampai kepada ketiga orang yang menyebabkannya
menanggung derita yang lama dan kejam. Pada detik itu juga ia memperbaharui lagi
sumpah pembalasannya kepada Danglars, Fernand dan Villefort. Sekarang sumpah ini
bukan lagi merupakan ancaman hampa, karena ia sudah bebas dan tidak mungkin
tertangkap lagi. Pada saat ini kapal tercepat pun tidak akan dapat menyusul
kapalnya yang sedang meluncur cepat dengan layar penuh menuju Livarno.
Belum lagi sehari berada dalam kapal yang bernama Jeune-Amelie-dwkz itu Dantes
sudah mengetahui bahwa ia berada dalam lingkungan kaum penyelundup. Dalam hal
ini Dantes mempunyai keuntungan. Ia mengetahui siapa dan apa kapten itu sedang
Kapten tidak mengetahui apa dan siapa Dantes. Dantes berpegang teguh kepada
ceriteranya dan di mana peltu menambahnya dengan
ceritera-ceritera lain yang menunjukkan pengetahuannya yang mendalam tentang
Napoli dan Malta. Kapten kapal yang paling berpengetahuan pun akan mempercayai
centera Dantes tanpa keraguan.
Ketika mereka sampai di Livarno, Dantes hampir tidak dapat menahan diri untuk
dapat melihat bagaimana rupa wajahnya sekarang, Segera setelah mereka mendarat,
ia pergi ke tukang cukur. Setelah tukang cukur selesai mencukur, Dantes meminta
cermin kemudian menatapi wajahnya sendiri beberapa saat.
Umurnya sudah tiga puluh tiga tahun. Penyekapan
selama empat belas tahun telah merubah wajahnya banyak sekali. Dia memasuki
Gedung If dengan wajah yang lonjong berseri-seri penuh kebahagiaan seorang muda
yang telah berhasil menjejakkan langkah pertama ke arah masa depan yang
gemilang. Semua itu sekarang telah berubah.
Raut mukanya yang lonjong tampak lebih memanjang, bibir yang selalu tersenyum
berubah menjadi sebuah garis yang tegas penuh kepastian; alisnya jadi agak
melengkung di bawah jidat yang telah berkerut segaris; matanya memancarkan sinar
kesedihan yang mendalam, yang kadangkadang diselingi kilat kebencian, kulitnya
menjadi sangat pucat karena lama tidak tersentuh sinar matahari; ilmu
pengetahuan yang diperolclinya di penjara tercermin pada air mukanya yang cerdas
dan percaya diri Selanjutnya, sekalipun pada dasarnya ia berbadan tinggi, namun
tampak kesan gemuk pendek berkat ketegapan dan kekekarannya.
Dan matanya yang telah lama terbiasa dalam kegelapan mempunyai kemampuan untuk
segera dapat mengenali benda-benda dalam gelap bagaikan mata seekor anjing pemakan bangkai atau anjing
hutan. Dantes tersenyum melihat wajahnya di cermin. Sahabatnya yang pating dekat pun
tidak akan mungkin mengenalinya lagi, bahkan dia sendiri merasa pangling.
Sekembalinya di kapal Jeune-Amelie-dwkz kapten kapal memperbaharui tawarannya
kepada Dantes untuk terus turut sebagai awak kapal yang tetap. Dantes telah
mempunyai rencana sendiri hanya bersedia turut untuk selama tiga bulan saja
Dalam tempo seminggu sejak kedatangannya di Livarno, Jeune-Ametie telah penuh
dimuati kain muslin, yaitu kain yang tipis halus, katun, peluru senapan Inggris
dan tembakau. Petugas-petugas bea cukai mengabaikan cap
pemeriksaan terhadap barang-barang itu. Sekarang hanya tinggal mengeluarkan
barang-barang itu dari Livarno, kemudian bertabuh di pantai Corsica, di mana
sekelompok penyelundup lain akan melanjutkan pemasukannya ke Perancis.
Mereka meneruskan lagi pelayarannya, dan sekali lagi Dantes berada di samudera
biru yang sering terimpikan selama dalam penjara.
Ketika Kapten muncul di geladak keesokan paginya, dia menemukan Dantes sedang
bersandar sambil memandang dengan air muka yang aneh ke arah pulau karang yang
kemerah-merahan karena sinar matahari: Pulau Monte Cristo. Jeune-Amelie
melaluinya dalam jarak kurang lebih seribu lima ratus meter di sebelah kanan.
Dantes sudah terbiasa menunggu. Dia sudah pernah menanti selama empat belas
tahun untuk kemerdekaannya; pasti ia akan mampu menunggu setengah sampai satu
tahun untuk mengambil kekayaannya. Sambil memandang pulau itu ia mengulang-ulang
isi surat Kardinal kata demi kata dalam hatinya.
Dua bulan setengah telah bed alu. Dan selama itu Dantes telah memiliki keahlian
seorang penyelundup, sama dengan keahliannya sebagai seorang pelaut. Dia sudah


The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bukan orang asing lagi bagi semua penyelundup sepanjang pantai, dan ia sudah
menguasai semua isyarat rahasia untuk mengenali satu sama lain. Selama itu dia
telah melewati Pulau Monte Cristo sekurang-kurangnya dua puluh kali, namun tanpa
kesempatan sekali pun untuk mendaratiny a.
Dia telah mengambil keputusan, apabila kontrak kerjanya dengan Jeune-Amelie
berakhir, ia akan menyewa sebuah kapal layar kecil untuk pergi ke Monte Cristo.
Ia akan dapat mencari harta karunnya dengan leluasa, tetapi dengan kemungkinan
diintai oleh mereka yang membawanya ke sana. Ini adalah risiko yang harus dia
pikul, karena betapapun ia memutar otaknya ia tidak menemukan jalan laun pergi
ke pulau itu tanpa diantar orang lain.
Dia masih bergulat dengan persoalan itu ketika pada suatu malam Kapten yang
sudah mempunyai kepercayaan penuh kepadanya dan berkeinginan untuk tetap mempe-
kerjakannya, mengajak dia ke sebuah kedai minum di Via del Oglio, kedai yang
menjadi tempat pertemuan para penyelundup. Pada malam itu ada perundingan
rahasia yang sangat penting, mengenai sebuah kapal bermuatan permadani Turki,
kain wol halus dan pakaian dari Lebanon.
Untuk melakukan pertukaran barang-barang diperlukan suatu tempat yang netral dan
aman dan selanjutnya menye-lundupkannya ke pantai Perancis. Keuntungan dari
usaha ini akan sangat besar apabila berhasil. Setiap orang akan mendapat bagian
lima puluh sampai enam puluh piaster.
Kapten Jeune-Amelie mengusulkan Monte Cristo yang tak berpenghuni dan bebas dari
pengawasan serdadu dan pejabat bea cukai. Tempat itu dianggapnya sangat cocok
untuk menurunkan muatan. Ketika Dantes mendengar na-ma Monte Cristo hatinya
melonjak gembira. Dia berdiri untuk menyembunyikan perasaannya dan berjalan-
jalan dalam ruangan kedai yang penuh dengan asap tembakau.
Ketika dia kembali ke tempat duduknya, putusan telah diambil, yaitu bahwa mereka
akan mendarat di Monte Cristo dan akan mulai berangkat esok malam.
BAB XIV JAM tujuh malam keesokan harinya, segala sesuatu telah siap. Mereka memutari
mercusuar pada jam tujuh lewat sepuluh, tepat pada saat lampu dinyalakan. Laut
tenang dan angin segar berhembus dari arah tenggara.
Pada jam lima sore hari berikutnya Pulau Monte Cristo sudah tampak jelas. Mereka
mendarat pada jam sepuluh.
Jeune-Amelie yang datang paling dahulu di tempat pertemuan itu. Walaupun sudah
terbiasa menguasai diri, sekali ini Dantes tidak berhasil menahan dirinya. Dia
berlari ke darat mendahului yang lain. Mau rasanya dia mencium tanah Monte
Cristo itu seandainya tidak khawatir dicurigai orang. Tetapi, sia-sia apabila ia
mencoba memulai mencari hartanya pada malam hari. Oleh sebab itu mau tak mau ia
terpaksa menangguhkannya sampai esok harinya. Selain dari itu, dari arah laut
sudah terlihat isyarat yang dijawab dengan isyarat yang sama oleh Jeune-Amelie.
Isyarat itu berarti harus mulai bekerja. Kapal-kapal lain, setelah diyakinkan
oleh isyarat itu segera bermunculan bagaikan hantu. Mereka membuang sauh tak
berapa jauh dari pantai. Kemudian bekerja, Dantes berpikir betapa ia akan dapat membuat orang berteriak
kegirangan seandainya ia men-ce rite rak an apa yang selama ini memenuhi
pikirannya. Tak seorang pun menaruh curiga kepada Dantes ketika pagi berikutnya ia mengambil
senapan dan memberitahukan bahwa ia akan berburu biri-biri liar yang memang
kelihatan meloncat-loncat dari satu karang ke karang yang lain. Kepergiannya
dianggap sebagai pemenuhan
kesenangan berburu atau keinginan menyendiri. Hanya Jacopo yang memaksa ikut dan
Dantes tidak berani menolaknya karena khawatir akan membangkitkan
kecurigaan. Untung ia sudah berhasil menembak seekor biri-biri sebelum mereka
berjalan jauh. Dimintanya Jacopo mengantarkan hasil buruannya kepada teman-
temannya dan mengajak mereka memasaknya, kemudian memberi
isyarat dengan tembakan ke udara apabila sudah selesai.
Dantes meneruskan perjalanannya sambil berkali-kali menoleh ke belakang sampai
ke tempat yang diperkirakannya sebagai tempat letak gua rahasia itu. Setelah
memeriksa segala sesuatu di sekitarnya dengan ketelitian yang luar biasa, ia
melihat bahwa pada beberapa batu ada goresan-goresan yang jelas merupakan
perbuatan tangan manusia.
Tampaknya dibuat secara teratur, mungkin sekali dimaksudkan untuk menunjukkan
sesuatu tujuan tertentu. Tanda-tanda itu menghidupkan harapan Dantes. Mungkinkah
goresan-goresan itu dibuat oleh Kardinal untuk memberikan petunjuk kepada
kemenakannya" Dantes mengikutinya sampai habis, tetapi tanda-tanda itu tidak
membawanya ke gua apa pun. Tanda-tanda itu hanya mengantarkannya ke sebuah baru
karang yang besar bundar menjulang di atas tanah yang keras. Rupanya ia bukan
sampai pada akhir jalan melainkan justru pada awalnya. Dia kembali lagi
menelusuri tanda-tanda itu.
Dalam pada itu kawan-kawannya telah selesai memasak.
Ketika mereka mengangkat biri-biri itu dari
pemanggangnya, mereka melihat Dantes meloncat dari sebuah batu karang ke batu
karang yang lain. Mereka menembakkan isyarat, Dantes mengubah arahnya dan
menuju kepada teman-temannya. Tiba-tiba kakinya
tergelincir dan mereka melihat Dantes kehilangan
keseimbangan pada ujung sebuah karang, kemudian jatuh menghilang Segera mereka
berlari menuju tempat Dantes terjatuh, oleh karena mereka semua mencintai Dantes
sekalipun mempunyai lebih banyak kelebihan daripada mereka sendiri.
Mereka menemukan Dantes bercucuran darah dan ham-
pir pingsan. Dia terjatuh dari ketinggian dua belas sampai lima belas kaki.
Mereka menuangkan sedikit anggur ke dalam mulut Dantes dan seketika itu juga
Dantes membukakan matanya, ia mengeluh kesakitan pada lututnya, rasa berat pada
kepalanya dan rasa nyeri yang tak tertahankan pada punggungnya. Ketika kawan-
kawannya mencoba mengangkatnya ke pantai, Dantes berteriak kesakitan dan mengatakan tidak cukup
kuat mengikutinya. Kapten, yang harus berangkat pada pagi itu juga, memaksa
mereka supaya mengangkat Dantes ke kapal, tetapi Dantes tetap bersikeras lebih
baik mati daripada harus menanggung rasa sakit yang tak terkirakan. "Tinggalkan
saja biskuit secukupnya, sebuah senapan untuk berburu, sebuah belincong untuk
membuat tempat berteduh kalau-kalau kalian terlambat menjemputku," katanya.
"Tetapi engkau akan mati kelaparan!" kata Kapten.
"Paling sedikit kami akan pergi seminggu lamanya."
"Begini, Kapten," kata Jacopo, "inilah jawaban untuk masalah ini: Saya akan
tinggal di sini untuk merawatnya."
"Engkau mau melepaskan bagian keuntunganmu karena tinggal bersamaku di sini?"
tanya Dantes. "Ya," jawab Jacopo, "dan tanpa sesal."
"Engkau sahabat yang baik sekali, Jacopo," kata Dantes,
"pasti Tuhan akan membalas kebaikanmu, tetapi aku tidak memerlukan perawatan.
Dengan istirahat dua hari, aku akan pulih kembali." Dia menjabat tangan Jacopo
dengan penuh kehangatan. Ketetapan hatinya untuk tinggal seorang diri, tak dapat
digoyahkan lagi. Akhirnya para penyelundup itu memberikan semua yang diminta
Dantes, lalu meninggalkannya. Sejam kemudian kapal kecil itu sudah hampir hilang dari pemandangan. Dantes
berdiri, tegap sigap dan lincah seperti biri-biri liar di pulau itu, memegang
senapan di tangan kiri dan belincong di tangan kanan, kemudian berlari ke batu
besar tempat berakhirnya tanda-tanda goresan.
"Nah," katanya gembira, teringat kepada dongeng Arab yang diceriterakan Faria,
"buka pintu!" Setelah mengikuti goresan-goresan pada karang dengan mengambil arah yang
sebaliknya, dimulai dari batu besar, Dantes menemukan bahwa tanda-tanda itu
membawanya ke sebuah sungai kecil namun cukup lebar muaranya dan cukup dalam di
tengah untuk dapat dilayari sebuah perahu.
Menurut perhitungannya Kardinal yang bekerja tanpa mau diketahui orang itu telah
mendarat di sungai itu dan menyembunyikan perahunya di sana, kemudian berjalan
sambil membuat tanda dengan goresan-goresan pada batu, dan di ujung jalan itu
mengubur hartanya. Perkiraan inilah yang menyebabkan Dantes kembali lagi ke batu
karang yang besar tadi. Tetapi ada suatu hal yang meragukan perhitungannya.
Batu karang itu demikian berat, bagaimana Kardinal dapat mengangkatnya" Tiba-
tiba sebuah pikiran terlintas: mungkin bukan diangkat melainkan diturunkan. Dia
naik ke atasnya untuk mencari tempat letak asalnya. Segera ia menemu kan tanah
rniring. Batu itu didorong jatuh dari tempat asalnya sehingga berada dalam
kedudukannya sekarang. Sebuah karang lain di bawahnya menjadi pengganjal.
Dantes memotong dahan pohon zaitun dan dengan
dahan itu mencoba mencungkil batu besar itu. Tetapi karang itu demikian berat
dan tertanam begitu teguh sehingga tak mungkin tenaga manusia dapat menggeser
karinya Dantes berpikir sejenak dan menyimpulkan bahwa ganjalnyalah yang harus
dihilangkan dahulu. Dia melihat ke
sekelilingnya dan matanya tertumbuk pada mesiu yang ditinggalkan Jacopo.
Dengan menggunakan belincong ia membuat lubang
antara batu karang dan batu pengganjal, kemudian mengisi-nya dengan mesiu.
Setelah itu dia menyobek saputangannya, dan sobekan itu digunakan untuk
membungkus mesiu sehingga menyerupai sebuah gulungan. Dengan itulah dia membuat
sumbu dinamitnya. Dantes menyulut sumbu itu dan berlari menjauh. Ledakan yang dahsyat terjadi
dalam waktu yang singkat. Batu karang yang besar itu bergeser dan batu
pengganjalnya hancur lumat.
Batu yang besar itu sekarang sudah tidak kokoh lagi letaknya. Dia
mengelilinginya mencari bagian yang paling longgar. Dantes menancapkan ujung
dahan pada sebuah celah, kemudian dengan sekuat tenaganya mencungkil batu yang
telah lemah kedudukannya itu. Batu itu bergerak, akhirnya bergulir jatuh
menggelinding ke dalam laut.
Dengan bergulirnya batu besar itu tampak sekarang sebuah batu persegi buatan
manusia yang tadinya tersembunyi.
Untuk mengangkatnya, batu persegi itu telah diperlengkapi dengan sebuah gelang
besi di tengah-tengahnya.
Dantes berteriak kegirangan. Lututnya gemetar dan hatinya berdebar demikian
kuatnya, selungga ia terpaksa menghentikan pekerjaannya untuk sementara.
Kemudian dia memasukkan dahan kayu itu ke dalam gelang besi dan mengangkatnya
dengan sekuat tenaga. Dengan terangkatnya penutup ini, tampaklah sekarang sebuah
tangga curam yang menuju ke kedalaman sebuah gua yang gelap.
Orang lain, karena sangat gembiranya pasti akan segera menuruni tangga itu tanpa
berpikir panjang. Tetapi Dantes tidak. Dantes berdiri sejenak penuh ragu, dan
mukanya yang sudah pucat bertambah pucat lagi. "Aku tidak boleh membiarkan
diriku dihancurkan oleh kekecewaan," katanya kepada dirinya sendiri, "sebab,
kalau demikian, semua penderitaanku akan sia-sia belaka." Dengan senyum
Tujuh Mata Dewa 2 Pendekar Hina Kelana 24 Bencana Pedang Asmara Penghuni Goa Kramat 2
^