Pencarian

Monte Cristo 3

The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas Bagian 3


kebimbangan ia menuruni tangga diantar oleh satu-satunya kata yang menggambarkan
kebijaksanaan terakhir manusia,
"Mudah-mudahan."
Setelah berada dalam gua untuk beberapa saat lamanya, matanya yang memang telah
terbiasa dalam kegelapan, sudah dapat menembus ke setiap penjuru. Dinding gua
itu terdiri dari batu granit yang keras seperti besi. Dia teringat kepada salah
satu kalimat dalam surat wasiat Kardinal itu:
"Di ujung yang terdalam pada gua kedua." Dia baru menemukan gua yang pertama.
Tugasnya sekarang menemukan gua yang kedua. Dengan belincongnya ia memukul-mukul
dinding. Akhirnya dia menemukan tempat pada dinding yang tidak padat. Hal ini
diketahuinya dari suara ketukan pada dinding. Tempat itu dipukulnya lagi dengan
agak keras. Sekali ini, terjadi suatu hal yang aneh. Pukulan belincongnya
menyebabkan adukan tembok berguguran. Ternyata di sebelah dalam ada batu lain
yang berwarna keabu-abuan dan bukan granit. Rupanya lubang pada dinding itu
ditambal dengan batu-batu lain, kemudian ditutupi dengan adukan tembok, dan
permukaan tembok itu dibuat menyerupai granit. Dantes menghantam batu itu dengan
ujung belincongnya yang runcing. Perkakas ini menembus batu sedalam satu inci.
Dantes melanjutkan kerjanya. Setelah beberapa saat, jelas bahwa batu-batu itu
tidak disemen, melainkan hanya ditumpuk, kemudian ditutupi dengan adukan itu.
Dia menekankan ujung belincong yang runcing di antara celah-celah batu, kemudian
menekan gagangnya ke bawah. Dan betapa gembiranya ketika salah sebuah batu itu
terjatuh, dekat kakinya. Setelah itu, tugasnya hanya mencungkil batu-batu itu
satu per satu. Akhirnya setelah mengalami lagi keraguan untuk beberapa detik
lamanya, Dantes memasuki gua yang kedua.
Gua ini kosong seperti yang pertama. Harta karun itu, kalau memang ada, terkubur
di sudut sebelah dalam. Saat-saat yang mendebarkan tiba. Jarak antara Dantes
dengan puncak kegembiraan atau puncak kekecewaan hanya
tinggal dua kaki lagi. Dia melangkah menuju sudut gua dan seperti didorong oleh
suatu kekuatan gaib ia menghantamkan belincongnya dengan sekuat tenaga. Pada ayunan kelima atau keenam,
belincongnya mengenai sesuatu barang dari logam. Sekali lagi ia mengayunkan belincongnya agak ke
pinggir. Masih juga tertumbuk pada sesuatu, tetapi suaranya berbeda dengan yang
tadi. "Ini mesti sebuah peti kayu yang diperkuat dengan ikatan besi,"
katanya sendiri. Tiba-tiba sebuah bayangan lalu, menghalangi cahaya matahari yang masuk melalui
lubang di atas tanah. Dantes meletakkan belincongnya, mengambil senapannya dan
cepat-cepat keluar dari dalam gua. Seekor biri biri liar rupanya meloncat
melangkahi lubang gua dan sekarang sedang merumput beberapa langkah dari situ.
Dantes berpikir sebentar, kemudian menebang sebuah pohon cemara yang masih
kecil, dan menyalakannya dari sisa api yang dipergunakan kawan-kawannya untuk
memanggang biri-biri. Dantes kembali lagi masuk ke dalam gua membawa obor. Dia
ingin melihat semua yang berada dalam gua dengan jelas sampai kepada hal-hal
yang sekecil-kecilnya. Dia menerangi lubang yang telah dibuatnya dengan
obor. Benar, belincongnya mengenai kayu dan besi Dantes menancapkan obor di
tanah dan melanjutkan lagi kerjanya.
Dalam waktu yang tidak lama ia sudah berhasil menggali lubang sebesar dua kali
dua kaki dan dapat melihat dengan jelas sebuah peti kayu diikat dengan besi. Di
tengah-tengah tutup peti terdapat lambang keluarga Spada, terbuat dari perak,
yang dengan mudah dapat dikenali Dantes karena Padri Faria telah berulang kali
menggambarkannya. Tak ada keraguan lagi sekarang: harta karun itu ada. Tak
mungkin ada orang yang mau bekerja begitu hati-hati dan teliti hanya untuk
meninggalkan sebuah peti yang telah diambil seluruh isinya yang berharga.
Dantes membersihkan tanah di sekeliling peti itu. Mula-mula tampak kuncinya,
sesudah itu pegangannya pada kedua pinggirnya. Dantes menarik peti itu dari
pegangannya, namun peti itu tidak bergeser sedikit pun. Dia mencoba membukanya,
juga tidak dapat karena terkunci rapat.
Kemudian dia menempatkan ujung belincong di antara peti dan penutupnya, sesudah
itu menekan gagangnya ke bawah. Terdengar suara berderak, dan terbukalah peti itu.
Mendadak kepala Dantes menjadi pusing. Dia meme-
jamkan mata seperti kanak-kanak, kemudian membukanya lagi dan berdiri dengan
takjub. Peti itu terbagi menjadi tiga bagian. Dalam petak pertama terdapat uang mas yang
berkilauan. Petak kedua penuh dengan emas batangan yang tersusun rapih. Dari
petak ketiga yang hanya berisi setengahnya, ia menjumput segeng-gam berlian,
mutiara dan batu merah delima. Ketika dilepaskan lagi permata-mata itu mengalir
melalui jari-jarinya bagaikan sebuah air terjun kecil yang berkilauan,
mengeluarkan suara seperti hujan es menimpa kaca-kaca jendela.
Setelah menyentuhnya, menggenggamnya dan mengu-
burkan tangannya yang gemetar ke dalam tumpukan emas dan batu-batu berharga itu,
Dantes berlari ke biar gua dengan gejolak hati seseorang yang sudah berada di
ambang kegilaan. Dia naik ke sebuah batu karang tinggi sehingga ia dapat
memandang laut di sekelilingnya. Dia hanya sendirian, sendiri dengan kekayaan
yang tidak ternilai, yang hanya ada dalam dongeng, yang sekarang menjadi
miliknya pribadi. Apakah dia ada dalam alam mimpi atau alam nyata" Dia ingin
melihat kekayaannya sekali lagi, namun ia merasa tidak mempunyai kekuatan untuk
melakukannya. Dia menekan kepalanya dengan kedua belah tangan,
seakan-akan ingin mencegah jangan sampai pikiran
warasnya menghilang dari kepalanya. Dia berlari-lari sambil berjingkrak-jingkrak
dan berteriak-teriak seperti kanak-kanak seputar pulau itu sehingga menimbulkan
ketakutan kepada biri-biri dan burung-burung laut Akhirnya dia kembali, tetapi
masih tetap diliputi keraguan. Dia masuk lagi ke dalam gua. Emas dan permata itu
tetap berada di hadapannya. Sekali ini, dia berlutut dan menekankan kedua belah
tangan pada dadanya yang masih berdebar keras, kemudian mengucapkan do'a syukur
yang hanya akan difahami oleh Tuhan sendiri.
BAB XV KEESOKAN harinya Dantes mengisi penuh saku-
sakunya dengan batu permata. Peti harta karunnya dia kubur kembali, lubang ke
dalam gua disembunyikan dengan cermat. Sekarang timbullah ketidaksabaran menanti
kedatangan kawan-kawannya yang berjanji akan menjemput.
Dia sama sekali tidak berniat tetap berdiam di. pulau itu untuk meraba-raba dan
memandangi hartanya seperti seekor ular naga menunggui kekayaan yang tidak
bermanfaat. Sudah tiba saatnya bagi dia kembali ke masyarakat untuk meraih
kedudukan, pengaruh dan kekuasaan yang dapat diberikan oleh harta kekayaan dalam dunia ini.
Kawan-kawannya datang pada hari keenam. Dari
kejauhan pun Dantes sudah dapat mengenali Jeune-Amelie.
Dia bertari ke pantai. Ketika kawan-kawannya mendarat ia menceritakan bahwa
sekalipun rasa sakitnya belum hilang sama sekali, namun ia sudah merasa kuat.
Setelah itu, Dantes mendengarkan kisah petualangan kawan-kawannya.
Perjalanan mereka telah berhasil dengan baik. Semua, terutama, Jacopo,
menyesalkan sekali gangguan yang menimpa Dantes sehingga ia tidak dapat turut
serta dan menikmati keuntungan sebesar lima puluh piaster buat masing-masing.
Dantes berusaha keras menahan diri agar tidak tersenyum mendengar jumlah
keuntungan itu. Karena kedatangan Jeune-Amelie ke Monte Cristo hanya untuk
menjemput Dantes, pada malam itu juga kapal melanjutkan pelayarannya ke Livorno.
Di Livorno Dantes menjual empat butir intan yang terkecil dengan harga lima ribu
frank sebutirnya. Keesokan harinya ia membeli sebuah kapal kecil untuk Jacopo,
menambahnya lagi dengan seratus piaster agar Jacopo dapat menyewa awak kapal,
dengan syarat Jacopo mau pergi ke Marseilles mencari keterangan tentang seorang
tua bernama Louis Dantes dan seorang wanita muda bernama Mercedes, Mula-mula
Jacopo serasa mimpi menerima
hadiah ini. Dantes mengatakan bahwa ia menjadi pelaut hanya sekadar memenuhi
dorongan darah muda saja.
Ketika kembali di Livorno ia menerima warisan dari pamannya. Pendidikan Dantes
yang jauh lebih tinggi, membuat ceritera Dantes masuk di akal Jacopo sehingga ia
tidak meragukannya sedikit pun. Hari berikutnya Jacopo berlayar ke Marseilles.
Dia harus menemui Dantes nanti di Pulau Monte Cristo.
Pada hari yang sama Dantes meminta diri dari semua awak kapal Jeune-Amelie dan
memberi mereka masing-masing hadiah yang berharga dan berjanji akan mengabari
Kapten lagi pada suatu waktu.
Dantes pergi ke Genoa. Pada hari kedatangannya ia membeli sebuah kapal pesiar yang sebenarnya dipesan oleh seorang Inggris, yang mendengar
berita bahwa orang-orang Genoa termashur sebagai pembuat kapal yang terbaik di
seluruh Kepulauan Mediterania. Orang Inggris itu telah sepakat dengan harga
empat puluh ribu frank. Dantes menawar empat puluh ribu frank asal kapal itu
diserahkan kepadanya segera. Si pembuat kapal menawarkan untuk mencarikan awak
kapal, tetapi Dantes menjawab bahwa ia mempunyai kebiasaan berlayar sendiri.
Yang diinginkannya hanyalah supaya dibuatkan sebuah ruang rahasia dalam kapal
itu. Ruang itu selesai keesokan harinya dan dua jam kemudian Dantes berlayar
meninggalkan pelabuhan Genoa menuju Monte Cristo.
Pada hari kedua Dantes sudah sampai di tempat tujuan.
Kapal pesiarnya itu baik sekali, dapat menempuh jarak itu dalam tiga puluh lima
jam. Dia pergi ke gua kekayaannya dan menemukan peti masih dalam keadaan seperti
waktu ditinggalkannya. Hari berikutnya, seluruh kekayaannya telah dipindahkan ke
dalam ruang rahasia dalam kapalnya.
Dantes menunggu Jacopo selama delapan hari. Selama itu ia mencoba kapalnya
sekitar pulau, menelitinya seperti seorang Joki memeriksa kudanya. Dalam waktu
itu juga ia sudah mengetahui apa kelebihannya dan apa pula kekurangannya. Dia
berjanji kepada dirinya untuk
meningkatkan kelebihan-kelebihannya dan memperbaiki kekurangan-kekurangannya.
Pada hari kedelapan Jacopo tiba. Dia menambatkan
kapal layarnya di sebelah kapal Dantes. Dia membawa berita tak sedap mengenai
kedua orang yang ditanyakan Dantes. Louis Dantes telah meninggal dan Mercedes
menghilang. Mendengar berita itu air muka Dantes tidak berubah sedikit pun, ia
tetap dapat menguasai dirinya.
Tetapi segera ia pergi ke pantai dan menolak siapa saja yang hendak
menyertainya. Dia kembali dua jam kemudian. Dua orang anak buah Jacopo
diperbantukan kepada Dantes. Dia memerintahkan berlayar menuju Marseilles.
Berita kematian ayahnya tidak terlampau mengejutkannya, tetapi bagaimana keadaan
Mercedes" Masih banyak hal lain yang ingin ia ketahui dan harus ia selidiki
sendiri. Setelah bercermin di Livorno, ia yakin bahwa ia tidak perlu khawatir dikenal
orang. Selain dari itu ia mempunyai segala sesuatu yang diperlukan untuk
menyamar. Pada suatu pagi, kapal pesiarnya diikuti oleh kapal Jacopo, langsung
memasuki pelabuhan Marseilles dan berlabuh tepat di seberang tempat Dantes
menaiki perahu menuju ke gedung If empat belas tahun yang lalu.
Di dalam kapal karantina, hatinya tak urung merasa cemas ketika melihat seorang
serdadu menghampirinya. Namun, dengan penguasaan diri yang sempurna dan telah menjadi salahsatu
kemampuannya, ia menyodorkan paspor Inggris yang dibelinya di Livorno. Tanpa
kesukaran sedikit pun ia mendarat.
BAB XVI BARANG SIAPA yang pernah berkeliling di Perancis
Selatan dengan berjalan kaki, pasti akan menemukan sebuah kedai kecil yang
terletak antara Bellegarde dan Beaucair Di depannya terpampang sebuah papan nama
dari besi yang aneh bertuliskan Pont du Garde. Untuk selama tujuh sampai delapan
tahun kedai ini diusahakan oleh sepasang suami isteri yang hanya dibantu oleh
seorang pelayan dan seorang anak pengurus kandang kuda. Dua orang pembantu ini
sekarang sudah terlalu banyak, mengingat kedainya yang selalu lengang karena
terletak di jalan yang telah menjadi sepi.
Pemilik kedai yang kurang beruntung ini tiada lain adalah Gaspard Caderousse,
kawan lama Dantes. I terinya yang pucat dan kurus karena dirundung sakit,
terpaksa selalu berada dalam kamarnya di lantai kedua tanpa sanggup membantu
suaminya mengerjakan kewajiban sehari-hari. Untuk menjawab keluh-kesah isterinya
yang tidak berkesudahan tentang nasibnya yang buruk, Caderousse selalu menjawab,
"Sabarlah, ini sudah menjadi kehendak Tuhan."
Pada suatu pagi, ketika Caderousse sedang berdiri di ambang pintu kedainya
sambil mengawasi jalan yang lengang dengan air muka sedih, tampak di kejauhan
seorang berkuda datang dari arah Bellegarde. Penunggang kuda itu seorang padri
berjubah hitam dan mengenakan topi bersegi tiga, meskipun udara sedang panas
sekali. Padri itu turun dari kudanya di depan kedai, menghapus keringat di
dahinya dengan saputangan merah.
Dengan gembira Caderousse keluar menjemputnya.
Padri menatap wajah Caderousse dengan tajam untuk beberapa saat lamanya,
kemudian berkata dengan logat Italia, 'Tuan Caderousse, bukan?"
"Benar, Tuan," jawab pemilik kedai keheranan. "Saya Gaspard Caderousse. Apa yang
dapat saya lakukan?"
"Bukankah Tuan dahulu penjahit?"
"Benar, usaha itu tidak menguntungkan lagi. Udara di Marseilles demikian
panasnya sehingga saya tidak heran kalau orang di sana sudah tidak berkeinginan
lagi memakai baju . . . Berbicara tentang udara panas, tidakkah Tuan ingin minum
sesuatu?" "Ya, coba minta anggur terbaik yang ada dan kita akan lanjutkan percakapan
kita." Ketika Caderousse kembali beberapa menit kemudian, ia mendapatkan padri itu
sedang duduk dengan kedua sikunya di atas meja.
"Apakah Tuan sendiri di sini?" tanya padri itu ketika pemilik kedai meletakkan
gelas dan botol anggur di hadapannya.
"Sama dengan sendiri. Isteri saya sudah sakit-sakitan sehingga tidak dapat
membantu." "Oh, Tuan sudah beristeri?" kata padri itu dengan suatu perhatian tertentu. Dia
melayangkan pandangannya ke sekeliling ruangan seakan-akan menaksir nilai semua
perabotan yang berada dalam kedai itu.
"Tuan lihat, saya tidaklah kaya," kata Caderousse dengan nada mengeluh. "Tetapi
apa yang dapat Tuan harapkan" Menjadi orang jujur bukan jaminan untuk menjadi
kaya di dun a ini." Padri memandangnya dengan tajam.
"Ya, orang jujur," Caderousse mengulang. "Itulah satu-satunya yang dapat saya
banggakan, dan pada jaman sekarang ini tidaklah banyak orang yang dapat
mengatakan begitu." 'Tuan beruntung sekali apabila yang Tuan banggakan itu benar," kata padri,
"karena saya yakin betul bahwa lambat afau cepat, yang baik akan mendapat
imbalan kebaikan dan yang buruk akan dihukum."
"Sebagai padri Tuan harus berkata begitu," kata Caderousse dengan pahit, "tetapi
setiap orang mempunyai kebebasan untuk tidak mempercayai ucapan itu."
"Itu keliru, karena mungkin saya dapat membuktikan kebenaran ucapan saya."
"Apa maksud Tuan?" tanya Caderousse heran.
'Terlebih dahulu saya harus yakin bahwa Tuan benar-benar orang yang saya
cari . , . Dalam tahun 1814 atau 1815, apakah Tuan mengenal seorang pelaut
bernama Dantes?" "Dantes" Ya, saya mengenalnya, Edmond Dantes yang malang. Dia salah seorang dari
sahabat baik saya. Apa Tuan mengenalnya juga" Apakah ia masih hidup" Apakah
sudah bebas" Apakah dia berbahagia?"
"Ia sudah meninggal dalam penjara, hancur dan putus asa."
Wajah Caderousse berubah pucat. Dia memalingkan
mukanya dan padri itu melihat dia menghapus air mata dengan sudut saputangan
merah yang membelit kepalanya.
"Kasihan!" katanya perlahan-lahan. "Itu satu bukti lagi untuk kebenaran seperti
apa yang saya katakan tadi, bahwa Tuhan hanya baik kepada yang jahat saja. Ah,
dunia ini makin lama makin buruk saja."
'Tampaknya Tuan sangat menyukainya," kata padri Itu.
"Ya, saya sangat mencintainya, sekalipun saya harus mengakui bahwa pernah saya
iri sebentar karena ke baha-giannya. Tetapi sejak itu. Tuan boleh yakin, saya
sangat bersedih karena nasib buruk yang menimpanya'
Kedua-duanya diam. Dalam kediaman padri itu menatap wajah Caderousse tajam-tajam
seakan-akan mencari sesuatu pada air mukanya.
"Apakah Tuan mengenalnya?" tanya Caderousse lagi.
"Saya diminta datang ke ranjang kematiannya untuk memberikan hiburan keagamaan
yang terakhir. Dan di sana, dalam ranjang kematiannya dia bersumpah dengan nama
Yesus Kristus bahwa ia tidak mengetahui sebab penangkapan atas dirinya.'
"Itu benar, dia tidak akan mengetahuinya. Tidak, ia tidak berdusta."
"Oleh sebab itu dia meminta kepada saya untuk menyelidiki sebab kecelakaannya
yang tidak pernah diketahuinya sendiri, dan untuk menghilangkan noda-noda yang
mengotori kebersihan hatinya. Seorang Inggris kaya yang tinggal di penjara itu
juga, tetapi kemudian dibebaskan pada masa pemerintahan Raja yang kedua,


The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mempunyai sebuah intan yang besar sekali nilainya. Ketika dia meninggalkan
penjara, ia memberikannya kepada Dun tes sebagai balas jasanya karena telah
merawatnya ketika sakit. Dantes tidak mau menggunakannya untuk menyuap sipir,
karena dia khawatir, setelah menerima intan itu si sipir akan mengkhianatinya.
Dia menyimpan intan itu baik-baik dengan harapan pada suatu saat dapat bebas
kembali." "Tentu nilainya tinggi sekali, seperti kata Tuan tadi,"
kata Caderousse, matanya berkilat-kilat.
"Segala sesuatu itu relatip sekali," jawab padri. "Untuk Dantes berharga sekali.
Intan itu ditaksir berharga lima puluh ribu frank."
"Lima puluh ribu frank!" kata Caderousse terbelalak.
"Sekarang ada pada saya. Dantes telah mengangkat saya untuk melaksanakan
wasiatnya. 'Saya mempunyai tiga orang sahabat dan seorang kekasih, katanya
kepada saya, 'dan saya yakin mereka masih merasa kehilangan saya.
Salah seorang bernama Caderousse.'"
Badan Caderousse gemetar,
"Yang satu lagi bernama Danglars," lanjut padri, sambil pura-pura tidak melihat
air muka Caderousse-dw, "dan yang ketiga, saingan saya tetapi juga menyukai
saya, namanya Fernand. Sedangkan kekasih saya bernama
Mercedes. Pergilah ke Marseilles, jual Intan itu dan uangnya bagilah jadi lima,
kemudian berikan kepada mereka masing-masing, sebab hanya merekalah yang
mencintai saya di dunia ini."
"Mengapa Tuan katakan lima bagian?" tanya Caderousse. "Tadi Tuan hanya menyebut
empat nama." "Yang kelima telah meninggal, ia adalah ayah Dantes.
Saya mendengar berita kematiannya di Marseilles," kata padri selanjutnya, sambil
berusaha menunjukkan air muka tak peduli, "tetapi kejadian itu telah lama sekali
sehingga saya- tidak berhasil mendapatkan keterangan-keterangan lainnya.
Barangkali Tuan mengetahuinya"'
"Tak ada yang lebih mengetahui dari saya. Saya tinggal satu atap dengannya . . .
Oh, ya, dia meninggal kurang dari satu tahun sejak anaknya menghilang. Kasihan
orang tua itu!" "Apa sebab kematiannya?"
"Saya kira dokter menyebut penyakitnya radang usus, yang lain mengatakan ia mati
karena kesedihan. Tetapi saya yang melihatnya sehari-hari sampai saat
terakhirnya, cenderung mengatakan ia mati karena . . . " tiba-tiba saja
Caderousse berhenti. "Karena apa?" tanya padri tak sabar.
"Karena kelaparan!"
"Karena kelaparan!" padri berteriak heran, kemudian terloncat dari tempat
duduknya. "Bagaimana mungkin, bahkan binatang yang paling hina pun tidak ada
yang mati kelaparan. Seekor anjing yang berkeliaran sepanjang jalan akan selalu
menemukan seseorang yang sudi melemparkan sepotong roti kepadanya! Dan Tuan
mengatakan ada yang mati kelaparan di tengah orang-orang yang mengaku dirinya
Kristen! Terlalu! Betul-betul terlalu!"
"Saya mengatakan apa yang sebenarnya," kata Caderousse.
"Dan engkau keliru mengatakan itu!" terdengar suara dari tangga.
Kedua orang itu memalingkan kepala dan mereka me-
lihat isteri Caderousse yang pucat, yang memaksakan diri keluar dari kamar duduk
di ujung tangga dan mendengarkan percakapan suaminya dengan tamu.
Kepalanya diletakkan pada kedua lututnya.
"Ini bukan urusanmu," kata Caderousse. 'Tuan ini meminta beberapa keterangan.
Sangat tidak sopan kalau aku menolaknya."
"Ya, tetapi juga tidak bijaksana menceriterakan itu.
Bagaimana kau mengetahui maksudnya meminta kau berbicara, bodoh?"
"Tak ada yang perlu ditakutkan, Nyonya," kata padri,
"sepanjang ia berbicara jujur. Saya dapat memastikan bahwa tak akan ada
kesukaran yang menimpa Nyonya
karena saya." Isteri Caderousse menggumamkan kata-katanya yang
tidak jelas terdengar meletakkan kembali kepalanya pada kedua lututnya dan
badannya menggigil lagi karena demam, membiarkan suaminya meneruskan
percakapannya, tetapi memasang telinganya demikian rupa hingga tak ada satu kata
pun dari percakapan mereka yang terlepas dari pendengarannya.
"Kalau orang tua itu meninggal dalam keadaan begitu, mesti berarti bahwa selama
itu dia telah diabaikan oleh setiap orang," kata padri.
"Tidak, Mercedes dan Tuan Morrel tidak mengabaikan-nya. Orang tua itu sangat
membenci Fernand, Fernand itu,"
kata Caderousse dengan senyum menyindir, "yang oleh Dantes disebut sebagai salah
seorang sahabatnya."
"Apakah memang dia bukan sahabatnya?" tanya padri.
"Gaspard!" kata suara di pucuk tangga. "Hati-hati!"
Jawab Caderousse atas gangguan isterinya itu hanya berupa sikap marah saja.
"Mungkinkah kita menjadi sahabat dari orang yang menginginkan sekali isteri
kita?" katanya. "Dantes berhati emas, dia menganggap semua orang kawan nya . . . Edmond
yang malang! Saya kira, sebaiknya dia tidak mengetahui semua ini. Akan terlalu
sulit bagi dia memanfaatkan mereka. Dan apa pun kata orang, saya lebih takut
kepada kutukan orang yang menjelang mati daripada kebencian seorang yang masih
hidup." "Tahukah Tuan bagaimana Fernand mencelakakan Dantes?"
'Tentu." "Ceriterakanlah."
"Gaspard. Terserahlah!" teriak isterinya dari atas. 'Tetapi kalau kau mau
mendengarku, jangan bicara!"
"Sekali ini, kukira engkau benar," kata Caderousse.
"Berarti Tuan tidak bermaksud menceriterakannya kepada saya?"
"Apa gunanya. Seandainya Edmond masih hidup dan datang bertanya kepada saya
siapa kawan dan musuhnya yang sebenarnya, saya akan memberitahukannya. Tetapi
menurut ceritera Tuan, dia sekarang telah mati, sehingga tidak mungkin lagi dia
membenci dan melakukan pembalasan. Biarkanlah yang sudah lalu, lewat."
"Setujukah Tuan kalau saya memberikan hadiah ini kepada mereka, yang menurut
anggapan Tuan kawan-kawan palsu, sebagai imbalan kepada rasa
persahabatannya?" "Tidak, tentu tidak," kata Caderousse. "Lagipula apa arti hadiah Edmond ini bagi
mereka" Setitik air dalam
samudera!" "Benar, tetapi jangan lupa bahwa mereka dapat meng-hancurkanmu dengan
kelingkingnya, kalau mereka mau,"
sela isterinya. "Maksud Tuan bahwa mereka telah menjadi kaya dan berpengaruh?" tanya padri.
"Apa Tuan tidak mengetahuinya?"
"Tidak. Coba ceritakan."
Caderousse termenung sejenak. 'Tidak," katanya, "terlalu panjang."
"Tentu saja Tuan bebas untuk menolak, kawan," kata padri dengan suara acuh tak
acuh. "Dan saya menghargai sekali keengganan Tuan berbicara. Kita tidak akan
membicarakan lagi soat ini dan saya akan menjual intan ini."
Dia mengambil intan dari dalam kantongnya dan membiarkannya berkilat-kilat di
hadapan mata Caderousse yang terbelalak.
"Lihat ke mari!" Caderousse memanggil isterinya.
"Intan!" kata Nyonya Caderousse, berdiri kemudian menuruni tangga. "Dari mana
ini?" "Kau tidak mendengarnya" Ini intan yang ditinggalkan Dantes untuk ayahnya,
kekasihnya dan ketiga kawannya, Fernand, Danglars dan aku."
"Orang yang berkhianat bukan sahabat," kata Nyonya Caderousse.
"Ya, itu yang kukatakan tadi," kata Caderousse. "Memberi hadiah kepada
pengkhianat hampir sama dengan mencemarkan kesucian, bahkan barangkali sama
dengan kejahatan." "Dan itu tanggung jawab Tuan," kata padri dengan tenang sambil memasukkan
kembali intan itu ke dalam saku jubahnya. 'Tolong katakan di mana saya dapat
menemui kawan-kawan Dantes itu agar saya dapat melaksanakan keinginannya yang
terakhir." Butir-butir keringat yang besar bercucuran di dahi Caderousse. Dia melihat padri
berdiri, berjalan ke arah pintu hendak melihat kudanya, kemudian kembali lagi.
Caderousse dan isterinya saling berpandangan dengan air muka yang tak
terlukiskan. "Intan itu bisa menjadi milik kita," kata Caderousse.
"Kaupikir begitu?"
"Seorang padri tak akan berbohong."
"Lakukan apa saja yang kauanggap baik," kata isterinya.
"Aku serahkan kepadamu." Dia menaiki lagi tangga dengan terhuyung-huyung. Di
ujung tangga ia membalikkan badannya sebentar dan berkata lagi, "Pikirkan baik-
baik, Gaspard!" "Aku sudah membuat keputusan" kata Caderousse.
"Apa yang telah Tuan putuskan?" tanya padri,
"Mengatakan segala sesuatu kepada Tuan."
"Saya kira itulah yang terbaik. Bukan karena saya ingin mengetahui apa yang
ingin Tuan rahasiakan, tetapi agar saya dapat membagikan warisan Dantes sesuai
dengan kehendaknya."
"Mudah-mudahan" kata Caderousse, pipinya merah penuh harapan dan ketamakan.
"Baik, saya sudah siap untuk mendengarkan."
"Pertama-tama," Caderousse memulai, "saya harus minta Tuan berjanji dahulu."
"Apa?" "Saya harap Tuan berjanji bahwa seandainya pada suatu saat Tuan hendak
memanfaatkan keterangan yang akan saya ceriterakan nanti, Tuan tidak akan
mengatakan kepada siapa pun juga bahwa Tuan mendengar dari saya, sebab orang-
orang yang akan saya ceriterakan itu dapat dengan mudah menghancurkan saya
semudah mereka menghancurkan sebuah gelas."
"Jangan khawatir, kawan. Saya seorang padri dan saya tidak pernah men
ceriterakan kembali pengakuan seseorang yang telah disampaikan kepada saya-
Harap diingat pula, bahwa satu-satunya tujuan kita hanyalah melaksanakan
keinginan terakhir sahabat kita. Sebab itu berbicaralah terus terang tanpa
dicampuri rasa benci. Mungkin saya tidak akan pernah mengenal orang-orang yang
akan Tuan sebut. Lagi pula saya seorang Italia, bukan Perancis, dan saya akan segera kembali ke
biara yang saya tinggalkan hanya untuk memenuhi pesan orang yang berada di
ambang kematian." Caderousse merasa yakin sudah. "Kalau begitu," katanya, "saya akan
menceriterakan kebenaran yang sebenar-benarnya tentang orang-orang yang di
sangka Edmond malang itu sebagai sahabat-sahabat yang baik dan setia.
Ceritera ini menyedihkan. Tuan telah mengetahui permulaannya, bukan?"
"Ya, Edmond telah menceritakan semuanya sampat dia ditangkap pada hari pesta
pertunangannya" "Nah, setelah Edmond ditangkap, Tuan Morrel pergi mencari keterangan. Berita
yang diterima sangat menyedihkan. Ayah Edmond pulang sendirian dan mengurung
diri di kamarnya seharian penuh. Semalaman dia tidak tidur. Saya tinggal satu
lantai di bawah dia, oleh sebab itu saya dapat mendengar ia berjalan hilir-mudik
dalam kamarnya semalam suntuk. Saya pun tidak dapat tidur. Saya merasa sangat terganggu karena
kesedihan orang tua itu. Setiap langkahnya serasa menyayat hati, seakan-akan dia
berjalan di atas dada saya.
Esok harinya Mercedes datang di Marseilles hendak meminta pertolongan Tuan de
Villefort, namun tidak berhasil. Kemudian ia mengunjungi ayah Dantes. Ketika dia
melihat betapa parahnya kesedihan orang tua itu dan mengetahui pula bahwa ia
tidak tidur dan tidak makan sejak hari kemarin, Mercedes mengajak orang tua itu
tinggal di rumahnya untuk dirawat baik-baik. Tetapi orang tua itu menolak!
Tidak,' katanya, 'aku tidak akan meninggalkan tempat ini. Anakku mencintaiku
lebih dari apapun juga di dunia ini, dan kalau dia keluar dari penjara tempat
inilah yang paling dahulu akan dikunjunginya. Apa kata dia nanti kalau aku tidak
ada di sini"' Mulailah dia mengasingkan diri. Tuan Morrel dan Mercedes seringkali
mengunjunginya, tetapi pintu kamarnya selaki terkunci. Meskipun saya tahu betul
bahwa ia ada di dalam, dia menolak setiap tamu. Pada suatu hari, ketika dia mau
menerima Mercedes, dia berkata, Percayalah, anakku Dantes telah meninggal. Bukan
kita yang menunggu dia, tetapi dia sedang menunggu kita. Saya beruntung karena
lebih tua. Sayalah yang paling dahulu akan bertemu kembali dengan dia!'
Betapapun baik kita, akhirnya kita tidak akan menemui orang, yang dapat membuat
kita sedih. Lama-lama ayah Dantes benar-benar hidup menyendiri. Orang-orang yang
sering saya lihat menemuinya hanyalah orang-orang yang tidak saya kenal, yang
kalau keluar lagi dari kamar orang tua itu selalu membawa sesuatu dalam
bungkusan. Baru kemudian saya ketahui apa yang terbungkus itu. Orang tua itu
menjual barang-barang miliknya yang tidak banyak itu demi hidupnya, sampai
akhirnya segalanya terjual habis.
Sewa kamarnya telah tertunggak tiga bulan. Pemilik rumah mengancam akan
mengusirnya, kemudian bersedia
memberi tempo selama satu minggu. Saya mengetahuinya karena pemilik rumah itu
singgah sebentar di tempat saya.
Sejak hari itu saya masih mendengar dia hilir-mudik di kamarnya selama tiga
hari, tetapi pada hari keempat saya tidak mendengar sesuatu pun. Segera saya
naik ke atas. Pintu kamarnya terkunci, saya mengintai dari lubang kunci.
Dia kelihatan sangat pucat dan lesu sekali. Saya mengira dia sakit payah. Saya
mengabari Tuan Morrel dan
Mercedes. Mereka segera datang, Tuan Morrel membawa seorang dokter yang setelah
memeriksanya mengatakan ayah Dantes terkena radang usus, dan menyuruhnya
berpuasa. Ketika itu saya ada di sana, dan saya tidak akan dapat melupakan
senyum yang tersungging di wajah orang tua itu ketika ia mendengar nasihat
dokter untuk berpuasa. "Setelah kejadian itu dia tidak lagi mengunci kamarnya; dia mempunyai alasan
yang kuat untuk tidak makan. Kali lain ketika Mercedes menjenguknya, keadaannya
sudah demikian parah sehingga Mercedes sekali lagi mengajaknya pindah agar dapat
menjaga dan merawatnya sehari-hari.
Namun, orang tua itu menolak lagi. Tuan Morrel meninggalkan dompet berisi uang
di dekat perapian, namun orang tua itu tetap menolak makan. Akhirnya setelah
sembilan hari dalam keadaan demikian, dia meninggal Sesaat sebelum menghembuskan
nafasnya yang terakhir ia sempat mengutuk mereka yang telah mencelakakan dirinya
dan berkata kepada Mercedes, 'Kalau engkau bertemu dengan Edmond, katakan bahwa
aku meninggal sambil berdo'a untuk dia"
Padri berdiri dan berjalan-jalan sebentar dalam ruangan.
Setelah beberapa saat ia berkata dengan nada agak marah,
"Sungguh nasib yang sangat buruk!"
"Dan yang lebih buruk lagi karena manusia yang menyebabkannya, bukan Tuhan."
"Sekarang bagaimana tentang kawan-kawan Dantes itu,"
kata padri. "Tetapi ingat," katanya lagi sedikit mengancam.
"Tuan berjanji akan menceriterakan semuanya. Siapakah mereka itu yang
menyebabkan anaknya mati karena
keputusasaan dan ayahnya mati karena kelaparan?"
"Dua orang yang iri kepadanya. Yang satu karena cinta, yang lain karena benci;
Fernand dan Danglars."
"Bagaimana diwujudkannya iri hari itu?"
"Mereka mengadukan Dantes sebagai anggota kaum Bonaparte."
"Yang mana yang mengadukannya. Siapa yang sebenarnya bersalah?"
"Keduanya. Seorang menulis suratnya dan yang seorang lagi mengeposkannya."
"Di mana surat itu ditulis?"
"Dalam kedai minum, sehari sebelum pesta
pertunangan." "Tuan pun ada di sana!" kata padri tiba-tiba.
"Siapa yang mengatakan bahwa saya di sana?" tanya Caderousse heran.
Padri sadar, dia keseleo lidah. Segera ia
memperbaikinya, "Tak seorang pun. Karena Tuan mengetahui sampai kepada hal yang sekecil-kecilnya
maka kesimpulan saya Tuan mesti turut hadir."
"Memang benar," kata Caderousse dengan suara agak tertekan. "Saya ada di sana."
"Dan tuan tidak berusaha mencegah mereka," kata padri.
"Berarti tuan pun turut terlibat."
"Mereka membuat saya mabuk sehingga hampir tak sadarkan diri. Saya memprotes
maksud mereka sekuat kemampuan saya dalam keadaan demikian, namun mereka


The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjawab bahwa mereka hanya berolok-olok saja."
"Ternyata keesokan harinya Tuan melihat bahwa itu bukan olok-olok. Tuan pun ada
di sana ketika Dantes ditangkap."
"Benar, dan saya sudah berniat mengatakan kepada Komisaris Polisi apa yang saya
ketahui, tetapi Danglars menghalangi saya dengan mengatakan 'Seandainya Dantes
benar-benar berdosa, setiap orang yang membelanya akan dianggap sebagai
kakitangannya.' Saya selalu takut terlibat dalam urusan polisi, oleh karena itu
saya menutup mulut. Saya akui bahwa sikap itu sikap pengecut, tetapi saya kira bukan suatu
kejahatan." "Saya mengerti. Tuan hanya tidak berdaya mencegahnya."
"Ya, itulah yang tepat," kata Caderousse, "dan saya masih dan tetap menyesalkan
kejadian itu. Sering saya meminta ampun kepada Tuhan. Itulah satu-satunya
perbuatan yang sangat menodai seluruh hidup saya sampat sekarang, dan saya yakin
itu pulalah yang menyebabkan nasib saya seburuk ini. Sampai sekarang saya masih
harus menebus dosa karena terlalu mementingkan diri sendiri ketika itu. Bila
isteri saya mengeluh saya selalu menjawab: sabarlah, ini kehendak Tuhan!"
Caderousse menundukkan kepala menunjukkan penyesalan yang sedalam-dalamnya.
"Tuan telah berbicara terus terang," kata padri. "Orang yang menyesali dosanya
seperti yang Tuan lakukan, patut menerima pengampunan."
"Sayangnya," jawab Caderousse, "Edmond telah meninggal dan dia tidak pernah
memaafkan saya." "Dia tidak mengetahui persoalannya."
"Mungkin ia mengetahuinya sekarang. Kata orang, orang yang meninggal mengetahui
segala-gala." Keduanya diam. Padri berdiri kemudian berjalan bolak-balik sambil berpikir
beberapa saat. Lalu dia duduk kembali. "Tadi Tuan menyebut nama Morrel beberapa
kali. Siapakah dia?" "Pemilik kapal Le Pharaon."
"Apa peranan dia dalam ceritera sedih ini?"
'Peranan seorang yang jujur, berani dan setia-kawan. Dia pernah mengusahakan
pembebasan Dantes paling kurang dua puluh kali. Ketika Kaisar Napoleon berkuasa
kembali, ia menulis surat, memohon, balikan mengancam yang berwewenang sehingga
ketika Napoleon jatuh dan Raja berkuasa kembali ia diburu-buru sebagai seorang
Bonapartis. Seringkah ia menengok ayah Dantes seperti telah saya katakan tadi,
dan menawarkan kepada ayah Dantes untuk tinggal bersama dia di rumahnya. Sehari
sebelum ayah Dantes meninggal, dia meninggalkan
dompetnya. Dengan uang itu biaya penguburan dan
hutang-hutang ayah Dantes terbayar seluruhnya. Dengan demikian orang tua itu
sekurang-kurangnya dapat meninggal dalam keadaan seperti semasa hidupnya: tidak pernah merugikan orang
lain. Dompet itu masih ada pada saya."
"Apakah Tuan Morrel masih hidup?"
"Masih." "Mestinya ia diberkahi Tuhan, mestinya ia menjadi lebih kaya dan lebih
berbahagia sekarang-"
Caderousse tersenyum pahit dan berkata. "Ya, sama berbahagianya seperti saya."
'Maksud Tuan, Tuan Morrel dalam kesukaran?"
"Sekarang ia sedang berada dalam jurang kemiskinan, dan lebih buruk dari itu,
dalam jurang kehilangan kehormatan. Setelah bekerja dengan keras selama dua
puluh lima tahun, setelah menduduki tempat yang paling terhormat dalam dunia
perdagangan di Marseilles, nasib membawa Tuan Morrel kepada kehancuran. Lima
buah kapalnya tenggelam dalam tempo dua tahun dan tiga perusahaan lainnya telah
bangkrut. Harapannya sekarang bergantung kepada Le Pharaon, satu-satunya kapal
yang masih tinggal, kapal tempat Dantes bekerja dahulu. Le Pharaon diharapkan
datang dari India membawa bahan celup merah dan ungu. Kalau Le Pharaon tenggelam
juga, habislah sudah dia."
"Apakah Tuan Morrel mempunyai anak isteri?"
"Ya, isterinya seorang yang berhati bersih- Ia pun mempunyai seorang anak gadis
yang hampir menikah dengan pemuda pilihannya, tetapi pihak keluarga pemuda tidak menyetujui
perkawinan dengan anak seorang yang hampir bangkrut. Juga ia mempunyai seorang
anak laki-laki berpangkat letnan di Angkatan Darat. Tetapi keluarga itu justru
lebih menambah kesedihannya. Apabila dia hidup seorang diri, mungkin dia sudah
mengakhiri segala-galanya dengan menembak kepalanya sendiri."
"Menyedihkan sekali," kata padri. "Dan bagaimana dengan Danglars" Dia yang
paling bersalah, bukan" Si penghasut?"
"Dia meninggalkan Marseilles dan bekerja pada seorang Spanyol pemilik bank.
Ketika pecah perang Perancis-Spanyol ia dikontrak untuk mengisi kebutuhan
tentara Perancis, dan beruntung besar. Uangnya diputarkan lagi dan menjadi
berlipatganda. Setelah isteri pertamanya meninggal - anak pemilik bank bekas
majikannya itu - ia menikah lagi dengan seorang Janda bernama Nyonya de wikz
Nargonne, puteri seorang berkedudukan tinggi di Istana yang disukai oleh Raja.
Dia telah berhasil menjadi jutawan, dan sekarang diangkat menjadi bangsawan
dengan gelar Baron. Namanya sekarang: Baron Danglars,
rumahnya yang megah terletak di Rue du Mont-Blanc, dengan sepuluh ekor kuda di
kandang, enam pelayan di ruang tamu, dan saya tidak tahu berapa juta frank dalam
pundi-pundinya." "Bagaimana dengan Fernand?" tanya padri. "Bagaimana seorang nelayan Catalan
miskin tanpa pendidikan dapat menjadi kaya raya" Terus terang, saya tidak dapat
mengerti." "Tak seorang pun dapat mengerti. Mesti ada suatu rahasia dalam kehidupannya yang
tidak diketahui orang,"
"Tetapi usaha apa saja kiranya yang menyebabkan ia menjadi kaya dan
berpengaruh?" "Ya, Fernand masuk tentara Napoleon beberapa saat sebelum kekuasaannya direbut
kembali. Dia ditempatkan dalam resimen yang segera akan diberangkatkan ke medan
perang. Dia turut dalam pertempuran Ligny. Pada malam pecahnya pertempuran itu
dia sedang bertugas mengawal pintu seorang jendral yang mempunyai hubungan
rahasia dengan musuh. Pada malam itu juga jendral itu melarikan diri ke pihak
Inggris. Dia mengajak Fernand dan Fernand meninggalkan posnya lari bersama
jendral itu. "Ini akan berarti ancaman pengadilan militer apabila Napoleon tetap berkuasa,
tetapi sebaliknya, akan dihargai oleh dinasti Bourbon apabila mereka dapat
kembali merebut kekuasaan. Itulah sebabnya pangkatnya menjadi letnan ketika
kembali ke Perancis, kemudian kapten ketika pecah perang dengan Spanyol, pada
saat Danglars berhasil mengumpulkan kekayaan. Oleh karena Fernand orang
Spanyol, dia dikirim ke Madrid sebagai mata-mata. Di sana ia berjumpa dengan
Danglars, mempererat lagi
persahabatannya, memberikan jaminan dukungan kepada jendral kaum kerajaan di
seluruh negeri Spanyol, mengantar resimennya melalui jalan-jalan yang hanya
diketahui sendiri olehnya, menunjukkan pengabdian yang sedemikian rupa selama
tugas yang pendek itu sehingga akhirnya ia dinaikkan lagi pangkatnya menjadi
kolonel, menerima bintang kehormatan dan yang terakhir mendapat gelar bangsawan:
Count." "Nasib! Nasib!" kata padri- kepada dirinya sendiri.
"Ya, nasib, dan itu belum semua. Ketika perang dengan Spanyol berakhir, jabatan
Fernand terancam oleh karena tiada perang. Tampaknya perdamaian akan lama sekali
meliputi Eropa, Pada suatu saat Yunani berontak terhadap Turki dan memulai
kemerdekaannya. Semua mata memandang ke Atena. Banyak negara yang bersimpati dan
membantu Yunani. Fernand meminta dan mendapatkan izin untuk berdinas di Yunani
tanpa kehilangan pangkatnya di Perancis Beberapa lama kemudian terbetik berita
bahwa Count Morcef - nama Fernand sekarang - memasuki
dinas pada Ali Pasha dengan pangkat brigadir jendral.
Seperti Tuan ketahui, Ali Pasha tewas, tetapi sebelum meninggal, ia menghibahkan
sejumlah uang untuk Fernand.
Fernand kembali ke Perancis, dinaikkan pangkatnya menjadi letnan jendral.
Sekarang dia tinggal di rumahnya yang sangat megah di Paris, di Rue du Hefder
No. 27." Padri membuka mulutnya, ragu-ragu sebentar, kemudian berkata dengan agak sukar,
"Lalu, bagaimana beritanya tentang Mercedes" Saya dengar dia menghilang."
"Menghilang" Ya, dia menghilang, seperti menghilangnya matahari di malam hari
untuk kembali bersinar lebih cerah keesokan harinya."
"Apakah dia pun berhasil menumpuk kekayaan?" tanya padri dengan senyum
menyindir. "Sekarang Mercedes menjadi salah seorang nyonya terkemuka di Paris," kata
Caderousse. "Pada mulanya ia sangat terpukul karena kehilangan Dantes. Tetapi
saya katakan tadi, ia pernah meminta bantuan Tuan de Vitlefort dan bagaimana
setianya terhadap ayah Dantes. Di tengah-tengah keputusasaannya, ia dipukul lagi
dengan kesusahan yang lain: Fernand meninggalkannya masuk tentara.
Mercedes sama sekali tidak mengetahui apa yang diperbuat Fernand kepada Dantes,
dan ia mencintainya seperti seorang saudara. Sepeninggalnya, Mercedes merasa
kesepian. Tiga bulan berlalu tanpa berita, baik dari Edmond maupun dari Fernand.
Yang dihadapinya waktu itu
hanyalah seorang tua yang secara perlahan-lahan menuju kematiannya karena putus
harapan. Pada suatu malam Fernand datang dengan mengenakan seragam letnan. Kepergian
Fernand bukan menjadi sebab utama kesedihan Mercedes. Namun setidak-tidaknya ia
merupakan sebagian dari kehidupannya, oleh sebab itu, Mercedes menerimanya
dengan senang hati, ketika Fernand pulang. Fernand keliru, ia mengira
kegembiraan Mercedes itu berarti mencintainya, padahal hanya merupakan
kegembiraan orang yang terlepas sementara dari rasa kesepian.
Ayah Dantes meninggal, seperti telah saya katakan tadi.
Bila dia tetap hidup, Mercedes tak akan kawin dengan yang lain. Fernand
mengetahui hal ini. Ketika mendengar bahwa ayah Dantes telah meninggal, dia
pulang. Ia mengingatkannya lagi bahwa ia masih mencintai Mercedes.
Mercedes meminta tempo selama enam bulan untuk berkabung dan menunggu Dantes."
"Itu berarti delapan belas bulan lamanya sejak Dantes ditangkap " kata padri
dengan senyum pahit. Kemudian ia menggumamkan satu bait dari sajak seorang
Inggris: "Lemah, itulah wanitai"
"Enam bulan setelah itu," kata Caderousse selanjutnya,
"perkawinan dilangsungkan di Englise des Accoules "
"Gereja yang juga direncanakan menjadi tempat perkawinan dengan Edmond," kata
padri. "Perbedaannya hanya laki-lakinya."
"Sekalipun Mercedes tampak tenang setelah perkawinan itu namun banyak orang
tahu, bahwa ia pernah jatuh pingsan ketika berjalan lewat kedai tempat ia
merayakan pesta pertunangannya delapan belas bulan yang lalu dengan laki-laki
yang dicintainya dan tetap dicintainya.
Saya melihat Fernand ketika itu tampak lebih ber-
bahagia, namun jelas juga tampak masih mempunyai
kekhawatiran kalau-kalau Edmond kembali setiap saat. Tak lama setelah menikah,
mereka pindah. Perkampungan Catalan dirasakannya terlalu banyak bahaya dan
kenang-kenangan." "Pernah Tuan menjumpai lagi Mercedes sejak itu?"
"Pernah, pada waktu perang dengan Spanyol saya melihatnya di Perpignan, tempat
ia ditinggalkan Fernand ke Spanyol. Kesibukannya, mendidik puteranya."
Tanpa disadari padri berteriak heran, "Puteranya!" "Ya, Albert."
"Tetapi bagaimana ia dapat mendidiknya" Menurut ceritera Edmond, Mercedes
hanyalah seorang anak nelayan yang sederhana, cantik tapi tidak berpendidikan."
"Oh!" kata Caderousse. "Rupanya ia tidak .mengenal betul kekasihnya. Kalau
mahkota hanya diperuntukkan bagi wajah yang tercantik dan kepala yang paling
cerdas, Mercedes sudah menjadi ratu sekarang. Bersamaan dengan berkembangnya
kekayaannya, dia sendiri pun turut berkembang. Dia belajar melukis, dia
mempelajari musik, dia mempelajari segala. Tetapi antara kita saja - saya kira
dia mempelajari itu semua semata-mata hanya untuk mencari kesibukan mengikis
masa lampau. Dia telah kaya, dia telah menjadi nyonya bangsawan, tetapi,. .."
'Tetapi apa?" "Tetapi saya yakin dia tidak berbahagia."
"Apa yang menyebabkan Tuan berpikir begitu?"
"Ya, ketika kemelaratan saya hampir tak tertahankan lagi, saya berfikir mungkin
sekali kawan-kawan lama saya mau menolong. Saya pergi kepada Danglars, tetapi
menerima pun dia tidak mau. Sedangkan Fernand hanya menyuruh pelayannya
memberikan uang seratus frank."
"Berarti Tuan tidak menjumpai kedua-duanya?"
"Tidak, tetapi Nyonya de Morcef melihat saya. Ketika saya akan pulang sebuah
dompet jatuh di muka kaki saya, isinya dua puluh lima louis. Saya melihat ke
atas dan masih sempat melihat Mercedes menutup kain jendela."
"Dan bagaimana dengan Tuan de Villefort?" tanya padri.
"Dia bukan kawan saya, bahkan saya tidak
mengenalnya. Sebab itu saya tidak meminta apa-apa kepadanya."
'Tetapi tahukah Tuan bagaimana beritanya tentang dia dan peranan apa yang
dimainkannya dalam kecelakaan Edmond?"
"Tidak. Saya hanya tahu, beberapa waktu setelah ia menangkap Edmond, dia kawin
dengan Nona de Saint-Meran, kemudian meninggalkan Marseilles. Tak perlu di'
ragukan lagi, kepadanya pun keberuntungan tersenyum ramah seperti kepada yang
lain. Pasti dia telah kaya seperti Danglars dan mendapatkan kehormatan seperti
Fernand. Hanya saya sendiri yang tetap miskin, hina dan dilupakan oleh Tuhan."
"Keliru, kawan," kata padri. "Kadang-kadang Tuhan seperti melupakan, ketika
hukumNya belum berlaku, tetapi pada suatu saat, lambat atau cepat Beliau akan
menunjukkan keadilanNya. Dan inilah salah satu
buktinya." Sambil berkata begitu padri mengeluarkan lagi intan dari dalam
kantongnya, memberikannya kepada Caderousse. "Ambillah," katanya. "Itu milik
Tuan." "Apa! Buat saya sendiri?" teriak Caderousse. 'Tuan berolok-olok barangkali?"
"Intan ini harus dibagi antara kawan-kawan Dantes, tetapi ternyata ia hanya
mempunyai seorang kawan. Ambillah dan jual. Itu berharga lima puluh ribu frank,
seperti tadi saya katakan. Saya harap mudah-mudahan jumlah itu cukup besar untuk
menghentikan kemelaratan Tuan. Ambillah, tetapi harap ditukar . . ." Caderousse
yang sudah menyentuh intan itu menarik lagi tangannya.
Padri tersenyum. "Dengan dompet sutera merah yang ditinggalkan Tuan Morrel di
tempat perapian ayah Dantes.
Bukankah Tuan masih menyimpannya?"
Caderousse, lebih terheran-heran lagi, pergi ke sebuah lemari besar, membukanya
lalu mengeluarkan sebuah dompet yang sudah buram. Padri menerimanya dan
memberikan intan kepada Caderousse. Kemudian, selagi Caderousse masih terbata-
bata mengucapkan terima kasihnya, ia meninggalkan ruangan, menaiki kudanya,
melambaikan tangan kepada Caderousse, kemudian
melarikan kudanya ke arah datangnya tadi.
Ketika Caderousse membalikkan badan, ternyata
isterinya sudah ada di belakangnya. Mukanya lebih pucat dari biasa. "Apakah aku
tidak salah dengar?"
'Tentang apa" Bahwa dia memberikan intan itu untuk kita sendiri?" kata
Caderousse hampir gila karena gembira.
"Ya." "Tak ada yang lebih benar dari itu! Inilah dia!"
Isterinya memperhatikan intan itu sebentar, kemudian berkata dengan polos,
"Bagaimana kalau palsu?"
Caderousse tiba-tiba merasa pening kepalanya. "Palsu"
Apa maksud dia memberikan intan palsuf"
"Untuk mendapatkan rahasiamu tanpa membayar, bodoh!"
Caderousse makin pusing lagi. "Oh!" katanya setelah beberapa saat terdiam, lalu
mengambil topinya. "Kita akan segera tahu."
"Bagaimana?" "Di Beaucair ada pasar dan ada jauhari-jauhari dari Perancis di sana. Aku akan
memperlihatkan intan ini kepada mereka. Jagalah kedai, aku akan kembali dalam
dua jam." Dia melompat ke luar pintu dan terus berlari menuju pasar.
"Lima puluh ribu frank!" kata Nyonya Caderousse kepada dirinya sendiri.
"Banyak . . . tetapi bukan berlimpah."
BAB XVII SEHARI setelah kejadian di kedai Caderousse, seorang laki-laki sekitar tiga
puluh tahunan dengan gaya dan logat seorang Inggris datang menghadap walikota
Marseilles. "Tuan Walikota," katanya. "Saya Kepala Kantor Perusahaan Thomson and French di
Roma. Telah sepuluh tahun lamanya kami ada hubungan dagang dengan perusa sahaan
Morrel and Son di Marseilles. Usaha kami dengan perusahaan itu sekarang telah
meliputi jumlah seratus ribu frank, dan kami agak merasa cemas karena kami
mendengar berita-berita bahwa perusahaan itu sedang terancam kehancuran. Saya


The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sengaja datang dari Roma untuk
meminta keterangan dari Tuan tentang hal ini."
"Tuan," jawab Walikota. "Saya mengetahui bahwa Tuan Morrel sedang ditimpa nasib
buruk secara bertubi-tubi selama empat atau lima tahun ini. Tetapi, sekalipun
saya sendiri mempunyai pihutang kepadanya sekitar sepuluh ribu frank, saya tidak
mampu memberikan keterangan tentang keadaan keuangannya. Bila Tuan menanyakan
pendapat pribadi saya tentang Tuan Morrel, dapat saya katakan bahwa Tuan Morrel
adalah seorang pengusaha yang sangat jujur, yang selama ini selalu memenuhi
kewajiban-kewajibannya dengan seksama dan tepat. Hanya itu yang dapat saya
ketakan. Apabila Tuan menghendaki keterangan yang lebih banyak, saya sarankan
Tuan menemui Tuan de Boville, Inspektur Penjara. Saya kira uangnya yang tertanam
dalam perusahaan itu ada sebanyak dua ratus ribu frank. Oleh karena sahamnya
lebih besar dari saham saya dan kalau benar ada hal-hal yang perlu
dikhawatirkan, saya pasti dia akan jauh lebih mengetahui persoalannya daripada
saya." Orang Inggris itu meminta diri dan dengan gaya yang khas seorang putra Inggris
Raya dia pergi menemui Inspektur Penjara.
Tuan de Boville kebetulan ada di kantornya. Orang Inggris itu mengajukan
pertanyaan seperti yang diajukan kepada Walikota.
"Oh!" kata Tuan de Boville. "Kecemasan Tuan memang berdasar. Saya sendiri pun
sudah putus harapan. Saya mempunyai saham seharga dua ratus ribu frank dalam
perusahaan Morrel. Uang itu tadinya saya sediakan untuk bekal perkawinan anak
gadis saya, dan kami merencanakan perkawinannya dua minggu lagi yang akan
datang. Mestinya saya menerima seratus ribu frank tanggal lima belas bulan ini dan
seratus ribu lagi tanggal lima belas bulan depan. Baru setengah jam yang lalu,
Tuan Morrel datang ke mari mengatakan, kalau kapalnya Le Pharaon tidak
kembali pada tanggal lima belas, maka tidak mungkin baginya membayar
kewajibannya kepada saya. Saya
khawatir ia bangkrut."
"Saya kira Tuan sangat mencemaskan keselamatan saham Tuan, kalau begitu."
"Saya telah menganggapnya sebagai hilang."
"Baiklah, bagaimana kalau saham itu saya beli?"
"Maksud Tuan dengan harga yang rendah sekali, tentu?"
"Tidak, tetap dengan harga dua ratus ribu frank.
Perusahaan kami tidak mencari keuntungan dengan cara demikian."
"Bagaimana dengan cara pembayarannya?"
"Tunai." Orang Inggris itu mengeluarkan setumpuk uang kertas yang jumlahnya
paling sedikit empat ratus ribu frank.
Cahaya gembira bersinar di wajah Boville, tetapi dia berusaha menguasai diri dan
berkata, "Saya berkewajiban memperingatkan bahwa mungkin Tuan hanya akan
menerima kembali paling banyak sebesar enam persen dari jumlah itu."
"Itu bukan soal saya," jawab orang Inggris itu. "Itu persoalan Thomson and
French Mungkin saja mereka bermaksud mempercepat kehancuran perusahaan yang
menjadi saingannya. Kewajiban saya hanya membayar, apabila Tuan bersedia
menandatangani surat penyerahan saham itu. Tetapi saya perlu meminta komisi."
"Tentu saja, saya pikir cukup wajar!" kata de Boville.
"Biasanya komisi itu satu setengah persen berapa Tuan kehendaki" Dua - tiga -
lima atau lebih dari itu?"
"Tuan de Boville ," kata orang Inggris itu sambil tertawa.
"Saya pun sama dengan perusahaan yang saya wakili. Saya tidak mencari keuntungan
dengan cara demikian. Komisi yang saya harapkan, lain sekali sifatnya."
"Katakan saja."
"Tuan adalah Inspektur Penjara, bukan?"
"Ya." "Dan menyimpan daftar tahanan yang dilengkapi
dengan catatan-catatan mengenai setiap tahanan?"
"Ya, setiap tahanan ada catatannya."
"Baiklah. Saya dibesarkan oleh seorang padri yang miskin di Roma. Pada suatu
hari padri itu tiba-tiba menghilang. Baru kemudian saya mendapat berita bahwa
beliau ditahan di Penjara If. Saya ingin sekali mengetahui sebab-sebab
kematiannya." "Siapa namanya?"
"Padri Faria." "Oh ya, saya ingat betul!" kata Bovflle. "Dia menjadi gila. Ia mengaku
mengetahui tempat suatu harta karun dalam jumlah yang tak terbayangkan dan
menawarkan kepada pemerintah untuk ditukar dengan kemerdekaannya.
Dia telah meninggal lima bulan yang lalu. Saya ingat betul tanggalnya karena
kematian padri yang malang itu diikuti kejadian-kejadian yang aneh."
"Bolehkah saya mengetahui apa yang tuan maksud dengan kejadian yang aneh itu?"
"Sel Faria letaknya kira-kira lima puluh kaki terpisah dari sel seorang agen
Bonaparte, salah seorang yang turut membantu kembalinya Napoleon, dalam tahun
1815, agen yang sangat berbahaya. Saya telah pernah mengunjungi nya pada tahun
1816 atau 1817. Orang itu sangat mengesankan sehingga saya tidak mungkin
melupakan wajahnya."
Ada senyuman yang hampir-hampir tak tampak ter-
sungging pada wajah orang Inggris itu.
"Rupanya Dantes itu"
"Nama agen Bonaparte yang berbahaya itu?"
"Ya, Edmond Dantes. Rupanya Dantes tanpa diketahui membawa beberapa perkakas
atau mungkin juga ia berhasil membuatnya di dalam penjara, oleh karena ditemukan
ada terowongan yang menghubungkan kedua sel itu."
"Saya kira terowongan itu dibuat untuk melarikan diri, bukan?"
"Tepat sekali. Tetapi sial bagi mereka, Faria mengidap penyakit kataleptik, dan
mati. Kematian padri itu mau dimanfaatkan oleh Dantes. Mungkin dia mengira bahwa
tahanan yang mati dalam penjara akan dikubur dalam kuburan biasa, sebab itu dia
memindahkan mayat Faria ke dalam kamarnya dan dia sendiri mengambil tempat Faria
dalam karung. Tetapi dia keliru, Penjara If tidak mempunyai pekuburan. Mayat-
mayat pesakitan dikubur dalam laut dengan diberati peluru meriam pada kakinya.
Tentu Tuan dapat membayangkan betapa terkejutnya Dantes ketika menyadari bahwa
ia dilemparkan ke dalam laut. Saya ingin sekali melihat bagaimana air mukanya
pada waktu itu." "Suatu hal yang tidak mungkin," kata orang Inggris itu.
"Memang!" kata Boville yang telah kembali gembira karena yakin akan mendapatkan
lagi uangnya yang sudah dianggap hilang. "Tetapi saya dapat membayangkannya,"
Dia tertawa terbahak-bahak.
"Saya pun dapat," kata orang Inggris yang juga turut tertawa, tetapi dengan
lebih terkendalikan, khas seperti kebiasaan orang Inggris. Kemudian katanya
lagi, "Artinya, pelarian itu mati tenggelam bukan?"
"Pasti." "Baiklah. Bolehkah sekarang saya melihat daftar itu?"
"Oh, ya, ya, maafkan saya, cerita tadi membelokkan saya dari persoalan pokok."
Keduanya masuk ke dalam kantor Boville. Segala-
galanya tersusun rapi. Orang Inggris itu duduk pada tangan-tangan sebuah kursi,
Inspektur menyerahkan buku daftar pesakitan dan sebuah keterangan tentang Gedung
If. Ia mempersilakan tamunya mempelajarinya sesuka hatinya, sedangkan ia sendiri
mengambil tempat di sudut dan membaca surat kabar.
Tanpa kesukaran orang Inggris itu dapat menemukan catatan-catatan mengenai padri
Faria, tetapi ceritera Boville telah menggugah perhatiannya. Setelah membaca
catatan itu dengan teliti, ia terus memeriksa buku itu lembar demi lembar sampai
akhirnya ia menemukan catatan mengenai Edmond Dantes. Semuanya terdapat di sana:
surat pengaduan, catatan pemeriksaan, permohonan Morrel dan juga pendapat dan catatan
Viliefort Dengan hati-hati ia melipat surat pengaduan itu, kemudian
memasukkannya ke dalam sakunya. Lalu dia membaca catatan
pemeriksaannya. Dia tidak menemukan nama Noirtier.
Setelah itu membaca, surat permohonan Morrel yang bertanggal 10 April 1815.
Surat itu dibuat semasa Napoleon berkuasa. Itulah sebabnya dalam surat itu demi
kebebasan Dantes, Morrel melebih-lebihkan jasa Dantes dalam rangka kembalinya
Kaisar ke tampuk kekuasaan. Sekarang ia dapat mengerti dengan jelas sekali:
setelah Kaisar Napoleon jatuh lagi dan Raja berkuasa kembali, surat permohonan
itu menjadi senjata yang sangat berbahaya di tangan Viliefort Itu pula sebabnya
ia tidak terlalu terkejut ketika membaca kata-kata berikut di sebelah nama
Dantes: EDMOND DANTES. Agen Bonaparte yang gigih. Mengambil peranan aktif dalam pelarian
Napoleon dari Elba. Harus disekap terpisah dan dijaga dengan ketat.
Ia membandingkan catatan itu dengan keterangan yang dilampirkan kepada surat
Morrel, dan ternyata tulisan tangannya sama. Keduanya ditulis oleh Viliefort.
"Terima kasih," kata orang Inggris itu sambil menutup buku daftar. "Saya telah
mendapatkan semua yang saya perlukan. Sekarang giliran saya untuk memenuhi
janji. Silakan Tuan membuat surat penyerahan saham itu,"
Tuan Boville cepat-cepat mempersiapkan surat-menyurat sedangkan orang Inggris
itu menghitung uangnya. BAB XVIII KEADAAN perusahaan Morrel & Son sekarang sudah sangat berbeda dengan beberapa
tahun yang lalu. Kalau dahulu terasa suasana gembira dan kemakmuran yang
terpancar dari gedungnya yang mewah, selalu tampak kesibukan para pegawai,
pekarangannya selalu penuh dengan barang ber koli koli dan para penjaganya riang
gembira, sekarang yang sangat terasa suasana murung dan kelumpuhan. Dari sekian
banyak pegawainya yang dahulu memenuhi ruangan kantor sekarang hanya tinggal dua
orang lagi. Yang satu, seorang anak muda berumur dua puluh tiga tahun bernama
Emmanuel Herbaut, yang tetap saja bertahan sekalipun keluarga Morrel sudah
beberapa kali menasihatinya untuk pindah kerja. Mungkin sebabnya yang utama
untuk tetap tinggal karena ia sudah saling jatuh cinta dengan putrinya Tuan
Morrel. Yang seorang lagi kasir tua bermata satu bernama Cocles, seorang pegawai
yang baik, sabar dan setia, tetapi yang kokoh bagaikan batu karang apabila sudah
berbicara tentang angka-angka, kalau sudah berbicara tentang ini ia bersedia
mempertahankannya terhadap seluruh dunia, bahkan juga terhadap Morrel, kalau
perlu. Dia telah bekerja dengan Morrel selama dua puluh tahun. Oleh sebab itu
dia tidak melihat suatu alasan pun untuk merubah kesetiaannya.
Kewajiban-kewajiban perusahaan yang harus dilunasi bulan lalu telah dipenuhi
seluruhnya dan tepat pada waktunya. Tetapi untuk itu ia harus menyerahkan milik
keluarganya. Karena takut kesusahannya diketahui umum di Marseilles, secara
diam-diam ia pergi ke Beaucaire untuk menjual beberapa perhiasan istrinya dan
sebagian dari barang-barang peraknya. Berkat pengorbanannya inilah ia masih
dapat menyelamatkan nama baik perusahaannya.
Tetapi dengan terpenuhi kewajibannya yang terus
memberat itu, Morrel belum terlepas dari kesukarannya, bahkan setiap jam yang
dilalui, ia rasakan sebagai suatu siksaan yang kejam. Sekarang, kekayaannya
mulai surut. Hanya tinggal Le Pharaon yang merupakan andalan untuk dapat membayar hutangnya
sebesar seratus ribu frank kepada de Boville yang harus dipenuhi pada tanggal
lima'belas bulan ini, dan hutang-hutang lainnya yang keseluruhannya berjumlah
tiga ratus ribu frank, yang harus dibayar tanggal lima belas bulan berikutnya.
Kapal milik orang lain yang meninggalkan Calcuta pada hari bersamaan dengan Le
Pharaon telah tiba dua minggu yang lalu di Marseilles, sedangkan Le Pharaon
belum terdengar kabar beritanya.
Begitulah keadaan Morrel dengan perusahaannya ketika seorang utusan dari
perusahaan Thomson and French mengunjunginya. Dia diterima oleh Emmanuel yang
seterusnya meminta Cocles membawa tamu itu ke kamar
Morrel. Di tangga menuju ruang kerja Morrel mereka berpapasan dengan seorang
gadis cantik berumur kira-kira enam belas tahun yang memandang tamu itu dengan
kekhawatiran. "Tuan Morrel ada di kamarnya, Nona Julie?" kasir bertanya.
"Saya kira ada," jawabnya ragu-ragu. "Sebaiknya lihat saja dahulu, Cocles."
"Tak ada gunanya memberitahukan dahulu, karena
Tuan Morrel tidak mengenal nama saya, Nona," kata orang Inggris itu. "Saya
adalah Kepala Kantor Thomson & French perusahaan yang mempunyai hubungan dagang
dengan perusahaan ayah Nona."
Muka gadis itu mendadak pucat dan segera ia menuruni tangga, sedangkan Cocles
dan tamu itu terus naik. Gadis itu memasuki ruang kerja Emmanuel. Cocles dengan
menggunakan kuncinya sendiri membuka sebuah pintu di lantai ketiga. Dia membawa
tamunya ke ruang tunggu, kemudian masuk melalui pintu kedua, menutupnya, lalu
kembali lagi setelah beberapa saat, dan mempersilakan tamu itu masuk.
Morrel berdiri dan mempersilakan tamunya duduk.
Pemilik kapal yang pernah kaya itu telah banyak sekali berubah dalam empat belas
tahun ini. Sekarang umurnya lima puluh tahun. Rambutnya telah memutih, matanya
yang dahulu bersinar tegas dan penuh kepastian, sekarang telah layu dan
menyorotkan kebimbangan. Orang Inggris itu memandangnya dengan penuh perhatian dan rasa heran. "Saya kira
Tuan mengetahui siapa yang saya wakili, bukan?" tanyanya.
"Kasir saya memberitahukan bahwa Tuan Kepala Kantor Thomson & French,"
"Benar. Perusahaan saya mempunyai banyak kewajiban yang harus dilunasi di
Perancis dalam bulan ini dan bulan depan. Oleh karena kami mengetahui akan
ketepatan dan keseksamaan Tuan yang sangat kesohor, mereka membeli sebanyak
mungkin surat-surat hutang yang Tuan tandatangani dan saya ditugaskan menagihnya
kepada Tuan nanti apabila temponya telah jatuh."
Morrel terdengar mengeluh sambil mengusap dahinya.
"Jadi Tuan memegang surat-surat hutang yang saya tanda tangani?"
"Ya," kata orang Inggris itu, lalu mengeluarkan setumpuk surat "Pertama sekali,
ini ada sebuah surat penyerahan seharga dua ratus ribu frank yang diberikan
kepada kami oleh Tuan de Boville?"
"Ya, itu adalah saham yang dia tempatkan pada saya dengan bunga empat setengah
persen sejak lima tahun yang lalu. Setengahnya harus sudah saya kembalikan
tanggal lima belas bulan ini dan setengahnya lagi tanggal lima belas bulan
depan." "Tepat sekali. Kemudian ada beberapa lagi surat hutang yang harus dibayar akhir
bulan ini, semuanya berjumlah ti-ga puluh dua ribu lima ratus frank."
"Itu pun saya akui," kata Morrel. Wajahnya agak kemerah-merahan karena malu
ketika terbayang bahwa untuk pertama kali dalam hidupnya ia tidak akan dapat
memenuhi janjinya. "Masih ada lagi?"
"Tidak, kecuali surat-surat ini yang temponya jatuh pada akhir bulan depan.
Jumlahnya lima puluh lima ribu frank.
Jadi keseluruhannya tagihan kami berjumlah dua ratus delapan puluh tujuh ribu
lima ratus frank." Sangat sulit menggambarkan bagaimana menderitanya hati Morrel ketika mendengar
angka-angka itu. "Dua ratus delapan puluh tujuh ribu lima ratus frank,"
dia mengulanginya perlahan-lahan.
"Tepat," kata tamunya. "Sekarang," katanya lagi setelah berdiam sebentar, "saya
ingin berterusterang, Tuan Morrel.
Sekalipun Tuan termashur jujur, namun sekarang terdengar desas-desus yang santer
bahwa Tuan berada dalam keadaan tidak mampu membayar kewajiban-kewajiban Tuan."'
Wajah Morrel mendadak menjadi pucat mendengar ke-
terusterangan yang mendekati ketidaksopanan ini. "Saya menerima perusahaan ini
dari ayah saya " katanya, "setelah beliau sendiri memimpinnya selama tiga puluh
lima tahun. Setelah waktu itu tidak pernah ada satu pun surat hutang yang ditandatangani
oleh Morrel & Son yang tidak dibayar."
"Ya, ya, saya tahu," jawab tamu itu. "Tetapi, sebagai seorang yang biasa menjaga
nama baik terhadap orang lain dan juga menjaga kehormatan dirinya, sudikah Tuan
berterusterang, apakah Tuan akan sanggup membayar surat-surat ini dengan
ketepatan dan keseksamaan yang sama seperti dahulu?"
"Pertanyaan yang terus terang wajib mendapat jawaban yang terus-terang pula,"
jawab Morrel. "Ya, saya akan membayarnya kalau kapal saya datang dengan selamat
seperti yang saya harapkan, karena hanya kapal itulah yang akan dapat
mengembalikan hutang dan nama baik saya yang rusak akibat kernalangan-kemalangan
yang timpa-menimpa. Tetapi, seandainya Le Fharaon, milik saya yang terakhir itu
tidak datang, saya khawatir akan terpaksa menangguhkan pembayaran itu.
"Ketika saya datang ke mari," kata orang Inggris itu,
"saya melihat ada sebuah kapal masuk pelabuhan."
"Saya tahu. Kapal itu pun datang dari India, tetapi bukan milik saya," kata
Morrel. Kemudian menambahkan perlahan-lahan, "Keterlambatan ini tidak biasa. Le
Pharaon meninggalkan Calcuta tanggal lima Februari, seharusnya sudah sampai
sebulan yang lalu." "Apa itu?" tanya tamu tiba-tiba. "Apa arti kegaduhan itu?"
"Ya Tuhan!" Morrel pun berteriak terkejut. "Apapula yang terjadi sekarang?"
Terdengar suara orang-orang berjalan di tangga. Terdengar pula teriakan-teriakan


The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedih. Morrel berdiri hendak membuka pintu, tetapi tenaganya seakan-akan hilang
dan ia terjatuh kembali duduk di kursinya. Kemudian suara-suara itu lenyap,
namun Morrel masih memperkirakan akan segera muncul sesuatu yang lain.
Sekarang terdengar bunyi kunci di pintu sebelah luar.
"Hanya ada dua orang yang mempunyai kunci pintu itu, Cocles dan Julie," katanya
pelan-pelan. Setelah itu pintu ruang kerjanya terbuka dan anak perempuannya
berlari masuk, pipinya basah karena air mata. Dia merebahkan diri di pangkuan
ayahnya, lalu berkata, "Oh, Ayah, Ayah! Kuatkan hati Ayah!"
"Le Pharaon tenggelam, bukan?" tanya Morrel dengan suara tertahan.
Gadis itu tidak menjawab, kepalanya saja yang mengangguk. Lalu ia menekankan
kepalanya pada dada ayahnya. "Bagaimana dengan awaknya?"
"Mereka selamat ditolong kapal yang baru saja masuk pelabuhan."
Morrel menengadahkan kepalanya, air mukanya penuh rasa syukur. "Terima kasih, ya
Tuhan," katanya. "Setidak-tidaknya Engkau tidak memukul yang lain selain aku."
Pada saat itu Nyonya Morrel masuk sambil terisak-isak, diikuti oleh Emmanuel. Di
belakang mereka, di ruang tunggu ada delapan orang pelaut yang setengah
telanjang. Orang Inggris itu terkejut ketika melihat awak-awak kapal itu. Ia melangkah
menghampiri mereka, tetapi segera menahan dirinya lagi kemudian mengundurkan
diri ke sudut ruangan. "Bagaimana terjadinya?" tanya Morrel.
"Masuk, Penelon!" kata Emmanuel "Coba ceriterakan "
Seorang pelaut dengan muka kemerah-merahan karena sinar matahari maju ke depan
sambil memegang topi. "Selamat siang. Tuan Morrel," katanya dengan nada seperti ia meninggalkan
Marseilles baru hari kemarin.
"Selamat datang, kawan," jawab pemilik kapal yang tidak dapat menahan senyumnya
sekalipun matanya basah karena air mata. "Mana Kapten?"
"Ia sakit, Tuan Morrel. Dia tertinggal di Palma. Tetapi bila Tuhan
menghendakinya ia akan datang segera dalam keadaan sehat seperti saya,"
"Syukur.Sekarang, Penelon, coba ceriterakan."
Penelon memindahkan susurnya dari kanan ke kiri,
menghapus bibirnya, berbalik sebentar lalu meludahkan ludahnya yang kehitam-
hitaman. Setelah itu dia maju lagi selangkah dan mulai berkata. "Begini Tuan.
Ketika kami berada antara Tanjung Blance dan Tanjung Boyador
dengan mendapat angin yang baik, Kapten Gaumard
datang menghampiri saya - saya lupa mengatakan bahwa saya memegang kemudi - dan
berkata, 'Penelon, apa pendapatmu tentang awan yang muncul di kaki langit itu"'
Kebetulan saya sendiri pun sedang memperhatikannya.
'Akan saya katakan apa pendapat saya, Kapten,' jawab saya. 'Saya kira awan itu
bergerak terlampau cepat dari kebiasaannya, dan saya kira warnanya terlalu gelap
sehingga sangat mencurigakan!'
'Saya kira engkau benar" kata "Kapten. 'Kita menghadapi taufan.'
"Setelah kami diumbang-ambing selama dua belas jam, terjadi kebocoran pada
kapal. Yenelon" kata Kapten.
Kukira kita akan tenggelam. Aku pegang kemudi dan engkau periksa mang bawah.'
Ketika saya tiba di bawah ternyata air sudah setinggi tiga kaki di tempat
muatan. Saya cepat berlari kembali ke atas berteriak-teriak : Pompa! Pompa! Kami
semua berusaha keras, tetapi sudah terlambat. Makin banyak air kami pompa
keluar, lebih banyak pula yang masuk. Setelah bekerja kurang lebih satu jam saya
berkata: Oleh karena tak ada harapan lagi, biarlah dia tenggelam. Hanya sekali
kita mati! Itukah teladan yang akan kauberikan, Penelon"' kata Kapten. "Tunggu sebentar"
Dia pergi ke kamarnya dan kembali lagi membawa dua buah pistol di tangannya.
'Aku akan menghancurkan setiap kepala orang yang meninggalkan pompa!' katanya.
"Yah, rasanya tak akan ada sesuatu yang dapat membangkitkan lagi keberanian kami
kecuali ancaman seperti itu. Akhirnya, angin pun mereda tetapi air masih tetap
masuk. Tidak banyak, hanya sekitar dua inci dalam setiap jam. Tampaknya memang
sedikit - dua inci sejam - tetapi dalam dua belas jam menjadi dua puluh empat
inci, berarti dua kaki. Kalau kapal sudah mempunyai air lima kaki dalam perutnya, itu sudah
membahayakan. 'Cukup" kata Kapten. 'Kita sudah berusaha menyelamatkan kapal, sekarang kita
harus menyelamatkan diri kita sendiri. Naik sekoci! Cepat!"
"Kami mencintai Le Pharaon, Tuan Morrel. Tetapi betapapun seorang pelaut
mencintai kapalnya, ia akan lebih mencintai jiwanya sendiri. Kami tidak
membantah ketika Kapten memerintahkan kami naik sekoci, terutama setelah Le
Pharaon seakan-akan mengerang-ngerang dan berteriak kepada kami: Cepat! Pergi!
Pergi! Dan Le Pharaon yang malang itu memang tidak berbohong, karena kami pun
merasakan tenggelamnya. Tepat ketika saya meloncat ke dalam sekoci terdengar
kapal pecah bagaikan ledakan-ledakan meriam sebuah kapal perang yang dipasang
sekaligus berbarengan. Sepuluh menit kemudian, haluannya sudah di bawah air,
lalu buritannya, kemudian berputar seperti anjing mau menjilat buntutnya, dan
akhirnya.... lenyaplah Le Pharaon. Kami terapung-apung tiga hari lamanya tanpa makan tanpa minum. Kami sudah mulai
berbicara tentang undian siapa yang lebih dahulu harus menyediakan diri
untukmen-jadi makanan kami. Saat itulah kami ditolong kapal Gironde yang
kebetulan lewat, lalu membawa kami kembali ke Marseilles. Demi kehormatanku
sebagai pelaut, itulah ceriteranya, Tuan Morrel. Benar, kawan-kawan?"
Kawan-kawan Penelon bergumam membenarkan.
"Kalian telah bertindak sebaik-baiknya," kata Morrel.
"Kalian semua adalah pelaut yang baik. Sejak dari permulaan aku sudah tahu tidak
dapat menyalahkan orang lain, selain nasib burukku sendiri. Semua ini kehendak
Tuhan, bukan kesalahan manusia. Sekarang berapa gaji kalian yang belum dibayar?"
"Ah, tidak perlu kita membicarakan persoalan itu, Tuan Morrel."
"Aku mau membicarakannya," kata pemilik kapal dengan senyum sedih.
"Kalau itu yang Tuan kehendaki tiga bulan," kata Penelon.
"Cocles, beri pelaut-pelaut berani itu dua ratus frank masing-masing. Kalau
keadaannya tidak seperti sekarang, pasti aku akan menambahkan: 'Dan beri masing-
masing dua ratus frank lagi sebagai ekstra.' Tetapi sayang keadaanku sekarang
tidak mengizinkan, kawan. Sisa-sisa uang yang tinggal sedikit, dalam waktu yang
singkat sudah baukan milikku lagi. Oleh sebab itu maafkan aku dan harap hal ini
tidak akan menyebabkan kalian memandang rendah kepadaku. Terimalah uang itu dan
silakan mencari kapal Lain. Kalian bebas sekarang."
Kalimat yang terakhir ini memberikan pengaruh yang cukup besar pada kelasi-
kelasi itu. Mereka saling berpandangan dalam kebingungan. Susur Penelon hampir
saja tertelan kalau saja ia tidak cepat-cepat memegang tenggorokannya.
"Apa!" ia berteriak tertahan. "Apakah Tuan memecat kami, Tuan Morrel" Apakah
Tuan tidak puas dengan kami?" "Bukan, bukan begitu," jawab Morrel. "Aku bukan tidak puas, balikan sebaliknya
sekali. Tetapi apa lagi yang dapat aku perbuat" Aku tidak mempunyai lagi kapal
sekarang dan tidak lagi mempunyai uang untuk membuat kapal baru."
"Bila Tuan tidak mempunyai lagi uang, tak usah kami dibayar. Kami bisa bekerja
tanpa uang." "Cukup, cukup," kata Morrel lagi. Suaranya tersendat karena terharu. "Kita akan
berjumpa lagi nanti pada suatu saat, dalam keadaan yang lebih menyenangkan.
Emmanuel, antar mereka dan jaga agar keinginanku terlaksana."
Dia memberi isyarat kepada Cocles yang segera meninggalkan ruangan. Para pelaut
mengikutinya, kemudian disusul oleh Emmanuel.
"Nah," Morrel berpaling kepada isteri dan anak gadisnya. "Tinggalkan aku
sebentar dengan tamu kita ini." Dia melirik kepada utusan Thomson & French yang
sedari tadi mengikuti peristiwa itu dari sudut ruangan tanpa berkata sepatah
pun. Isteri dan puteri Morrel keluar meninggalkan mereka berdua.
"Tuan telah melihat dan mendengar semua," kata Morrel sambil merebahkan diri ke
kursi. "Saya rasa tidak ada yang perlu saya katakan lagi."
"Saya menyaksikan," jawab orang Inggris itu, "bahwa Tuan telah ditimpa lagi
kemalangan baru yang saya kira selayaknya tidak perlu Tuan derita. Hal ini
memperbesar keinginan saya untuk menolong Tuan. Bukankah kami pemegang surat
hutang Tuan yang terbesar?"
"Setidak-tidaknya Tuan memegang surat-surat hutang yang harus dibayar paling
cepat." "Berkeberatankah Tuan apabila saya mengundurkan hari pembayaran?"
"Pengunduran waktu itu akan berarti penyelamatan kehormatan saya, sekaligus juga
berarti penyelamatan jiwa saya." "
"Berapa lama Tuan kehendaki?"
Morrel ragu-ragu. "Dua bulan," katanya.
"Baik. Saya berikan tiga bulan."
'Tetapi, apakah perusahaan yang Tuan wakili akan ..."
"Jangan khawatir. Saya bertanggungjawab sepenuhnya.
Hari ini tanggal lima Juni. Silaukan Tuan menukar surat ini dengan yang baru
yang jatuh tempo tanggal lima September nanti. Saya akan berada lagi di sini
pada jam yang sama, jam sebelas siang, tanggal lima September."
Surat hutang yang baru segera dibuat, yang lama
disobek, pemilik kapal yang malang itu mempunyai waktu tiga bulan lagi untuk
mengerahkan sisa-sisa kekayaannya yang terakhir.
Orang Inggris itu menerima ucapan terima kasih dari Morrel dengan sikap yang
terkendalikan, kemudian meminta diri. Di tangga ia bertemu dengan Julie. Julie berpura-pura akan turun
ke bawah, padahal sebenarnya sengaja ia menanti tamu itu di sana.
"Oh, Tuan " "Nona," kata orang asing itu. "Nona akan menerima sepucuk surat yang
ditandatangani oleh 'Sinbad Pelaut'.
Lakukan dengan setepatnya apa yang tertulis dalam surat itu, betapapun anehnya
permintaannya." "Baik." "Maukah Nona berjanji akan melaksanakan semua yang tertulis?"
"Saya bersumpah."
"Terima kasih. Selamat tinggal, Nona. Tetaplah menjadi gadis yang baik seperti
sekarang dan saya yakin pada suatu saat nanti Tuhan akan membalas kebaikan itu
dengan menyerahkan Emmanuel sebagai suami."
Pipi Julie berubah menjadi merah, dari mulutnya keluar suara perlahan, entah
karena terkejut entah karena gembira.
Di pekarangan orang Inggris itu bertemu dengan Penelon sedang memegang uang di
kedua belah tangannya. Ia masih bingung, apakah ia akan menerima uang itu atau
tidak. "Ikut saya, kawan," kata tamu itu. "Saya ingin bicara sebentar."
BAB XIX PENGUNDURAN waktu yang diberikan secara tiba-
tiba itu diartikan oleh Morrel sebagai permulaan
kembalinya kemujuran dan dianggapnya sebagai
pemberitahuan bahwa nasib buruk sudah mulai bosan menyerangnya.
Satu-satunya jalan pikiran Thomson & French yang masuk di akal Morrel adalah:
"Lebih baik memberi kesempatan dan menerima lagi piutang sekitar tiga ratus ribu
frank itu tiga bulan kemudian daripada mempercepat kebangkrutan Mocrel tetapi
hanya menerima kembali sebanyak enam persen dari jumlah tagihannya."
Sayang sekali penagih-penagih lainnya tidak berpikir seperti itu. Bahkan
beberapa orang berpikir sebaliknya-Mereka menuntut dengan keras disertai ancaman
agar tagihannya dibayar pada waktunya. Hanya berkat keleluasaan orang Inggris
itu Morrel dapat membayar mereka.
Sejak itu tidak pernah lagi utusan Thomson & French itu tampak. Dia menghilang
dua hari setelah kunjungannya kepada Morrel. Adapun awak kapal Le Pharaon,
rupanya mereka telah mendapatkan lagi pekerjaan di kapal lain, karena mereka pun
semua menghilang. Dua bulan lamanya Morrel berusaha keras memperbaiki keadaannya namun tidak
berhasil. Pada tanggal dua puhih Agustus ia kelihatan meninggalkan Marseilles.
Kejadian ini menimbulkan sangkaan orang bahwa kebangkrutannya
akan diumumkan pada akhir bulan dan kepergiannya itu dianggap sebagai usaha
menjauhi hari kejatuhannya. Tetapi ketika tanggal tiga puluh satu Agustus tiba,
Cocles membayar semua tagihannya yang disodorkan kepadanya.
Hal ini sangat mengejutkan mereka yang meramalkan kehancuran Morrel. Tetapi
dengan kekerasan hati seorang peramal kehancuran, mereka mengundurkan tanggal
kejatuhan Morrel sampai akhir bulan September.
Morrel kembali ke Marseilles pada tanggal satu September. Keluarganya telah
menantinya dengan hati berdebar-debar, karena kepergiannya ke Marseilles itu
merupakan usaha penyelamatan yang terakhir. Morrel teringat kepada Danglars yang
sekarang telah menjadi jutawan dan yang seharusnya masih berhutang budi
kepadanya karena berkat pertolongannya, Danglars dapat memperoleh jabatan baik
pada bankir orang Spanyol dan mulai berhasil menumpuk kekayaannya. Danglars
mempunyai tagihan pada berbagai orang dalam jumlah yang tak terbatas, sehingga
kalau mau menolong ia tidak perlu mengambil satu frank pun dari'
kantongnya. Cukup dengan menjamin Morrel mendapatkan pinjaman-pinjaman baru.
Dengan itu Morrel akan selamat.
Sebenarnya telah lama sekali Morrel teringat kepada Danglars, tetapi selalu saja
ada rasa enggan untuk mengunjunginya, dan menundanya sampai keadaan sangat
mendesak. Ternyata perasaannya tidak keliru, ia kembali ke Marseilles dengan perasaan
pedih karena penolakan Danglars.
Walau demikian, tidak sepatah pun keluhan atau sebang-sanya keluar dari mulutnya
ketika ia tiba di rumah. Dia mencium isteri dan anaknya, menjabat tangan
Emmanuel dengan hangat, lalu masuk ke kantornya dan memanggil Cocles!
"Sekali ini kita betul-betul hancur," kata isteri dan anak Morrel kepada
Emmanuel. Setelah mereka berunding
sebentar, diputuskan agar Julie menyurati kakaknya yang tinggal di sebuah
garnisun di Nimes dan meminta supaya segera pulang.
Sekalipun baru berumur dua puluh tiga tahun,
Maxmilien Morrel mempunyai pengaruh yang besar
terhadap ayahnya. Ia seorang yang keras hati tetapi tulus.
Ketika tiba saatnya, ia memutuskan memilih kemiliteran sebagai lapangan
hidupnya, la menamatkan pendidikannya di Ecole Polytechnique dengan angka-angka
yang cemerlang. Sekarang sudah berpangkat letnan dan
mempunyai kemungkinan besar untuk mendapatkan
kenaikan pangkat yang dipercepat
Julie dan ibunya tidak salah meraba keadaan. Setelah beberapa saat bersama
Morrel di kantornya, Cocles keluar dengan wajah yang sangat pucat dan badan
lemas. Air mukanya penuh kecemasan. Julie mencoba menanyainya, tetapi Cocles
tidak mau berhenti. Dia hanya berkata,
"Sangat menyedihkan. Saya tidak pernah
membayangkannya!" Emmanuel Imencoba menenteramkan kedua wanita itu, namun tidak banyak hasilnya.
Ia mengetahui benar keadaan keuangan perusahaan itu sehingga tidak dapat
mengelakkan bayangan kehancuran yang mengancam keluarga Morrel.
Esok paginya Morrel tampak tenang dan memasuki kantornya seperti biasa. Tetapi
pada malam hari setelah makan, la tidak dapat menahan diri untuk merangkul
puterinya dan mendekapkannya ke dada untuk beberapa saat. Juhe
bercerita kepada ibunya, bahwa sekalipun ayahnya tampak tenang, namun ia dapat
mendengar dengan jelas detak jantungnya keras dan cepat.
Dua hari berikutnya berlalu seperti hari-hari yang lewat Pada tanggal empat
September malam hari Morrel
meminta agar Julie mengembalikan kunci pintu kantornya, Julie terkejut. Mengapa
ayahnya meminta kembali kunci yang telah sekian lama dipegangnya" Hanya pernah
sekali dahulu ayahnya meminta kunci itu sebagai hukuman ketika ia masih kanak-
kanak. "Apa kesalahan saya, Ayah?"
Pertanyaan yang sederhana itu menyebabkan mata
Morrel nerlinang. "Tidak ada, anakku " jawabnya. "Aku memerlukannya, hanya itu."
"Saya ambil dahulu di kamar" katanya pura-pura. Dia keluar, bukan ke kamarnya
melainkan menemui Emmanuel untuk meminta pendapatnya.
"Jangan diberikan", kata Emmanuel. "Dan kalau dapat, besok, jangan beliau
ditinggalkan sedetik pun."
Julie mendesak meminta penjelasan, tetapi Emmanuel tidak mau berbicara lagi.
Esok harinya Morrel sangat ramah terhadap isterinya dan menunjukkan kasih
sayangnya kepada Julie lebih daripada biasanya. Tak henti-hentinya ia memandang
wajah Julie, dan berkali-kali ia rnenciumnya. Julie teringat kepada nasihat
Emmanuel. Ia mencoba mengikuti ayahnya ke kantornya, tetapi dengan halus sekali
Morrel

The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menahannya dan berkata, "Temani ibumu." Caranya Morrel melarang demikian rupa
sehingga Julie tidak berani membantahnya Setelah ayahnya pergi, Julie bingung,
tegak berdiri bagaikan patung. Tiba-tiba pintu terbuka. Ia berteriak kegirangan,
"Maximillen!" Mendengar teriakan Julie, Nyonya Morrel datang berlari lalu melemparkan diri ke
dalam pelukan puteranya. "Ada apa" " tanya anak muda itu, mula-mula melihat
kepada ibunya kemudian kepada adiknya. "Suratmu sangat mencemaskan. Sebab itu
aku datang secepat mungkin."
"Julie," kata ibunya. 'Beritahu Ayah, Maximillen telah datang."
Julie berlari keluar tetapi di ujung tangga ia dicegat seorang laki-laki yang
memegang surat. "Nona Julie?" tanyanya dengan aksen Itali.
"Betul," Julie menjawab heran. "Apa yang Tuan kehendaki, saya tidak mengenal
Tuan." "Bacalah ini," kata orang itu menyerahkan surat. Julie ragu-ragu. "Keselamatan
ayah Nona tergantung kepada surat itu,"
Julie merebut surat itu, menyobek sampulnya, kemudian membaca:
Segera pergi ke Allees de Meilhan No. 15. Minta kepada penjaga kunci kamar di
lantai enam, masuk ke dalam kamar itu ambil dompet sutera merah yang akan Nona
temukan di dekat perapian lalu serahkan kepada ayah Nona. Usahakan supaya beliau
menerimanya sebelum jam sebelas. Sekali lagi sebelum jam sebelas. Nona telah
berjanji akan mengikuti petunjuk saya sepenuhnya. Saya ingatkan Nona kepada
sumpah itu. SlNBAD PELAUT Julie mengangkat kepalanya, hatinya gembira. Ia
mencari pengantar surat itu, namun ia telah hilang.
Dalam pada itu, Nyonya Morrel telah menceriterakan segala sesuatu kepada
puteranya. Anak muda itu telah mengetahui kemalangan-kemalangan yang menimpa ayahnya, namun tidak pernah mengetahui dengan tepat
bagaimana gawatnya. Untuk sementara ia berdiri termenung, setelah itu cepat-
cepat berlari menuju kamar kerja ayahnya. Lama dia. mengetuk pintu tanpa
jawaban. Tiba-tiba ia melihat ayahnya keluar dari kamar tidurnya, sambil menekan
perutnya dengan maksud menyembunyikan sesuatu di balik jasnya. Dia terkejut
melihat Maxlmilien, oleh karena tidak tahu bahwa anaknya akan datang.
Maxmilien berlari menghampiri ayahnya kemudian memeluknya. Tetapi tiba-tiba ia
melepaskan pelukannya lalu mundur lagi selangkah. Wajahnya pucat bagaikan mayat.
"Ayah, mengapa ayah membawa pistol?"
"Maxmilien," jawab Morrel sambil menatap anaknya.
"Engkau telah dewasa sekarang, dan seorang laki-laki terhormat. Mari ikut aku."
Keduanya masuk ke dalam ruang kerja. Morrel meletakkan kedua pistol'di sudut
meja, kemudian menunjuk kepada sebuah buku besar yang terbuka. Dalam buku itu
tercatat segala sesuatu tentang keadaannya. "Bacalah," katanya.
Maxmilien membaca dan tetap bungkam untuk semen
tara, terpengaruh oleh gejolak hatinya. Akhirnya ia berkata,
"Apakah semua kekayaan Ayah telah habis?"
"Semua." "Dalam tempo setengah jam lagi, kalau begitu, nama baik keluarga kita akan
tercemar." "Ya, tetapi darah dapat membersihkannya kembali '
"Ayah benar. Saya dapat memahami pendirian Ayah,"
kata Maxmilien. Dia memeluk lagi ayahnya, dan untuk beberapa saat dada kedua
orang yang mulia itu saling merasakan detak jantung masing-masing.
"Sekarang, temanilah ibumu dan adikmu," kata Morrel.
"Berkahilah saya dahulu, Ayah," kata anak muda itu lalu bertekuk lutut di
hadapan ayahnya. Morrel memegang kepala anaknya dengan kedua belah tangannya lalu berkata, "Ya.
Aku memberkahimu dengan nama keturunan kita yang tidak pernah tercela. Dengarkan
apa yang mereka katakan melalui mulutku: Sikap hemat dapat membangun kembali
bangunan yang hancur oleh kemalangan. Dengan keyakinan itulah aku'menjalani
kematianku. Kebanyakan orang yang lemah hatinya akan
menaruh iba kepada kita. Tunjukkan bahwa engkau bukan orang yang perlu
dikasihani. Bekerjalah, anakku,
berjuanglah dengan gigih dan berani. Belanjakan
penghasilanmu dengan sekedar cukup untuk menghidupi dirimu sendiri, ibumu dan
adikmu, agar engkau dapat membayar hutang-hutangku agar pada suatu hari nanti,
di dalam ruangan yang ini juga, engkau dapat mengatakan:
'Ayahku mati karena beliau tidak dapat mengerjakan apa yang aku kerjakan
sekarang, namun beliau meninggal dengan tenang karena beliau yakin aku akan
dapat melakukannya.' " "Oh, Ayah? Ayah! Jangan!" Hati yang sudah teguh tadi, luluh lagi.
"Bila aku tetap hidup, keadaan akan lain. Aku hanya akan menjadi orang yang
tidak dapat menghormati kata-katanya sendiri, yang gagal memenuhi kewajiban-
kewajiban nya. Tetapi bila aku mati, hanya jasadku saja yang hancur, sedang
kehormatan ku tetap terpelihara. Bila aku hidup, engkau akan malu memakai
namaku. Bila aku mati, engkau akan tetap dapat berdiri tegak dan dapat berkata
dengan bangga, 'aku anak seorang yang mati membunuh diri karena untuk pertama
kali dalam hidupnya tidak mampu memenuhi janjinya.'"
Maxirnilien terdengar menangis. Untuk kedua kalinya la yakin akan benarnya
tindakan ayahnya. Sekali ini bukan meresap ke dalam kepalanya, melainkan
langsung ke dalam hatinya. Dia pasrah.
"Dan sekarang selamat tinggal, anakku " kata Morrel.
Tinggalkan aku sendiri. Surat wasiatku ada di kamar tidur."
Maximilien berdiri ragu-ragu untuk beberapa saat, kemudian memeluk ayahnya erat-
erat, lalu berlari ke luar.
Setelah anaknya pergi, Morrel memijit bel. Cocles muncul.
"Cocles yang baik," katanya dengan nada suara yang sukar dilukiskan, "tunggu di
ruang tunggu. Bila utusan Thomson & French datang, beritahu aku."
Cocles tidak menjawab, ia hanya mengangguk, lalu keluar, duduk di ruang tunggu
menanti Morrel menyandarkan dirinya di kursi, melihat jam.
Hanya tinggal tujuh menit lagi. Pistolnya, kedua-duanya telah terisi. Salah satu
diambilnya sambil menyebut nama anak gadisnya perlahan-lahan. Pistol
diletakkannya kembali, dia mengambil pena dan kertas, menulis beberapa kalimat
perpisahan untuk Julie. Dia melihat lagi jam ketika selesai menulis. Sekarang
bukan menit lagi yang dihitung melainkan detik. Diambilnya lagi sebuah pistol
dengan mata memandang tajam ke jarum jam. Dia terkejut oleh suara yang dibuatnya
ketika ia mengokang pistolnya.
Tepat pada saat itu ia mendengar pintu kantornya dibuka orang Dia tidak menoleh
ketika Cocles berkata, "Utusan Thomson & French." Morrel mengarahkan laras
pistolnya ke mulutnya. Tiba-tiba ia mendengar orang berteriak. Suara Julie. Ia berbalik dan melihat
Julie masuk. Pistol terjatuh dari tangannya.
"Ayah! Ayah" Napasnya terengah-engah, matanya liat karena gembira. "Selamat!
Ayah selamat!" Julie rnenyerahkan dompet merah. "Lihat! Lihat!"
Morrel menerima dompet merah itu, hatinya bimbang karena secara samar-samar
merasa telah pernah melihatnya.
Di salah satu bagian dalam dompet itu terdapat surat hutang bernilai dua ratus
delapan puluh tujuh ribu frank.
Sudah dicap lunas. Di bagian lain ada sebuah intan sebesar kenari disertai
tulisan pada secarik kertas perkamen: "Hadiah perkawinan Julie." Morrel
memukulkan tangannya ke dahi. Serasa dia dalam mimpi. Jam berbunyi tepat sebelas
kali. "Katakan anakku," tanya Morrel. "Dari mana engkau mendapatkan dompet ini?"
"Di sebuah rumah di Allees de Meilhan."
"Tetapi ini bukan milikmu!"
Julie memperlihatkan surat yang diterimanya tadi pagi.
"Tuan Morrel!" teriak seseorang di tangga. Emmanuel masuk, wajahnya merah cerah.
"Le Pharaonf" katanya, "Le Pharaon!"
"Ada apa dengan Le Pharaon. Engkau gila barangkali, Emmanuel. Engkau tahu Le
Pharaon sudah tenggelam."
"Le Pharaon masuk pelabuhan!"
Tenaga Morrel tiba-tiba hilang sehingga ia terhenyak di kursinya. Pikirannya
tidak mampu mengikuti semua kejadian yang datang beruntun secara mendadak.
Kejadian-kejadian yang sukar dipercaya, tak masuk akal.
Maximilien masuk lagi. "Ayah!" katanya. "Mengapa Ayah mengatakan Le Pharaon
telah tenggelam" Dia sedang memasuki pelabuhan sekarang."
"Kawan-kawan," kata Morrel. "Bila ini benar, kita harus percaya kepada mukjizat.
Mari kita ke pelabuhan, dan mudah-mudahan Tuhan memaafkan kita bila berita itu
salah." Mereka menjumpai Nyonya Morrel di tangga. Nyonya
yang malang itu tidak berani masuk ke kantor suaminya.
Orang telah banyak berkerumun di pelabuhan. Mereka memberi jalan kepada Morrel
dan setiap orang berteriak! "le Pharaon! Le Pharaon!"
Benar, di hadapan Menara Saint-Jean ada sebuah kapal yang bertuliskan "Pharaon,
Morrel & Son, Marseilles" di buritannya. Huruf-hurufnya putih jelas. Kapal ini
merupapakan tiruan yang paling sempurna dari Le Pharaon yang telah tenggelam.
Muatannya pun sama, bahan celup.
Ketika sudah siap membuang sauh, kaptennya, Kapten Gaumard, berdiri di geladak
memberikan perintah-perintahnya dan Penelon melambai-lambaikan tangannya kepada
Morrel. Selagi Morrel dan keluarganya saling berpelukan di tengah-tengah orang lain yang
juga turut bergembira, seorang laki-laki yang wajahnya - setengah tertutup oleh
jenggot dan cambangnya, mengawasi mereka dari sebuah pos penjagaan yang kosong.
"Berbahagialah, wahai hati yang mulia. Semoga Tuhan selalu memberkahi apa yang
telah Tuan lakukan dan apa yang akan Tuan lakukan."
Dengan senyum puas dan bahagia orang itu meninggalkan tempat persembunyiannya,
berjalan tanpa diperhatikan orang ke pinggir pelabuhan, lalu berteriak, "Jacopo!
Jacopo!" Sebuah perahu mendekat datang. Dengan perahu itu
orang aneh tersebut dibawa ke sebuah kapal pesiar yang sangat mewah. Dia naik ke
dalam dengan kesigapan seorang pelaut. Dari kapal ia melemparkan lagi pandangan
terakhir kepada Morrel, yang saking gembiranya, menjabat tangan semua orang yang
dekat kepadanya sambil menangis. Morrel mencari-cari penolongnya yang tidak dikenal itu, namun tidak
berhasil seperti ia mencarinya di langit.
"Sekarang," kata orang dalam kapal pesiar itu, "selamat tinggal, wahai
kebajikan, kemanusiaan dan rasa syukur.
Selamat tinggal, wahai pancaran hati yang menyejukkan dan menyenangkan. Aku
telah diberi kesempatan menjadi perantara menyampaikan balasan Tuhan bagi mereka
yang baik, semoga selanjutnya Tuhan mengijinkan aku menjadi pelaksana beliau
menghukum yang jahat!"
Dengan kata-kata itu ia memberi isyarat, dan kapal meluncur mengarungi samudera
luas. BAB XX BARON Franz d'Epinay dan Viscount Albert de
Morcerf, dua orang bangsawan muda Perancis, pergi ke Roma untuk menyaksikan
karnaval. Sejak jauh-jauh hari mereka telah memesan kamar di Hotel de Londres.
Ketika mereka datang, ternyata kamar itu mempunyai dua buah ranjang kecil dan
sebuah ruang tamu. Kedua ranjang terletak dekat jendela yang menghadap langsung
ke jalan. Dengan tandas Pastrini - pemilik hotel itu -
mengatakan bahwa letak kamar mereka sangat strategis walaupun ukurannya kecil.
Semua kamar di lantai bawah telah disewa oleh orang-orang kaya, yang menurut
Pastrini, dari Sisilia atau Malta.
"Kamarnya cukup memuaskan, Tuan Pastrini." kata Franz. "Yang kami perlukan
sekarang, makan malam. Juga kami membutuhkan sebuah kereta untuk besok dan untuk
hari-hari berikutnya."
"Makanan dapat segera dihidangkan, tetapi kereta soal lain' kata pemilik hotel.
"Apa maksudnya soal lain?" Albert bertanya heran.
"Harap jangan bergurau, Tuan Pastrini Kami
membutuhkan kereta,"
"Kami akan mengusahakan sedapat-dapatnya, Tuan.
Hanya itu yang dapat kami janjikan."
"Bila kami akan dapat berita?"
"Besok pagi." "Begini," kata Albert, "kami bersedia membayar lebih.
Saya tahu kebiasaan di Paris. Dua puluh lima frank untuk hari-hari biasa, tiga
puluh atau tiga puluh lima untuk Minggu dan hari-hari libur."
"Saya khawatir, dengan dua kali lipat dari itu, Tuan tidak akan mendapat kereta
di Roma," "Kalau begitu, kami menyewa kuda saja. Sebenarnya kereta kami agak penyok-penyok
karena perjalanan jauh, tetapi tak mengapa."
"Kuda pun tak ada."
Albert melihat kepada Franz dengan wajah tak percaya.
"Kau dengar, Franz" Tidak ada kuda. Kuda kereta pos pun jadilah. Bisa itu?"
"Semuanya telah disewa orang dua minggu yang lalu.
Yang tinggal hanya seekor, agar kereta pos dapat berjalan seperti biasa."
"Bagaimana pendapatmu," tanya Franz kepada Albert.
"Pendapatku, bila sesuatu perkara sudah tidak masuk akalku, aku tidak mau
memikirkannya lagi dan mengalihkan perhatian kepada soal lain. Apakah makanan
sudah si-ap, Tuan Pastrini?"
"Sudah, Tuan." "Baik, mari lata makan dulu."
"Bagaimana dengan kereta dan kudanya?" tanya Franz.
"Jangan khawatir, kawan. Akan datang pada waktunya.
Soalnya hanya harga saja."
Albert de Morcerf dengan filsafatnya yang mengagumkan bahwa tidak ada yang tidak
mungkin bagi orang yang dompetnya tebal, menikmati makan malamnya, tidur
dengan nyenyak dan bermimpi hilir-mudik dalam karnaval dengan menggunakan kereta
berkuda enam. Begitu pagi-pagi terbangun Franz segera memijit bel.
Pastrini datang sendiri memenuhi panggilan Franz.
"Untung Saya tidak menjanjikan apa-apa kemarin," kata Pastrini tanpa menunggu
pertanyaan Franz. "Tuan agak terlambat, tidak ada lagi sebuah kereta pun di
seluruh Roma untuk tiga hari terakhir karnaval ini."
"Dan sesudah hari itu, kereta tidak diperlukan lagi"
jawab Franz. "Mulanya bayangan saya tentang Kota Abadi ini lain,"
kata Albert menyindir. "Saya maksud, tidak ada kereta mulai hari Minggu pagi sampai Selasa malam, Tuan.
Tetapi sejak hari ini sampai Minggu, Tuan dapat menyewa lima puluh buah kalau
Tuan mau," jawab Pastrini, sedikit bernafsu membanggakan kota dunia Kristen di
mata tamu-tamunya. "Aha, setidak-tidaknya masih ada kemungkinan," kata Albert. Sekarang hari Kamis,
siapa tahu apa yang akan terjadi antara hari ini dan Minggu yang akan datang."
"Apakah Tuan masih berminat menyewa kereta sampai hari Minggu nanti?"
"Tentu saja!" jawab Albert. "Apakah Tuan mengira kami mau mengelilingi Roma
dengan berjalan kaki seperti pegawai-pegawai ahli hukum?"
"Bila Tuan memerlukannya?"
"Satu jam lagi."
"Kereta itu akan siap di depan pintu pada waktunya."
Hari itu, Franz harus menulis beberapa surat ke Peran cis. Dia membiarkan Albert
menggunakan kereta itu sepanjang hari.
Jam lima sore Albert baru kembali. Dia telah menyampaikan semua surat perkenalan
yang dibawanya dari Paris kepada orang-orang terkemuka di Roma, berhasil
memperoleh undangan undangan untuk malam hari, kemudian berkeliling melihat-
lihat kota Roma. Sehari sudah cukup baginya untuk melakukan semua itu.
"Aku mempunyai suatu gagasan," katanya kepada Franz.
"Apa itu?" "Kita tidak akan mendapat kereta dan kuda sewaan untuk karnaval, bukan?"
"Ya." "Tetapi pedati dapat."
"Dan sepasang sapi jantan."
"Juga mungkin."
"Nah, aku akan menyewa sebuah pedati dan menyuruh menghiasnya. Kita sendiri akan
berpakaian seperti pemo-tong padi dari Neapolit."
"Bagus sekali!" kata Franz. "Sekali ini gagasanmu benar-benar baik! Siapa yang
sudah kauberitahu tentang ini?"
"Pemilik hotel. Dia meyakinkan aku bahwa tak ada yang lebih mudah dari itu. Aku
minta supaya tanduk-tanduk sapi dipulas warna emas tetapi menurut dia akan
memerlukan waktu tiga hari. Karena itu, biarlah tanpa kemewahan itu."


The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pintu kamar terbuka dan Pastrini menjengukkan kepalanya.
"Bagaimana?" Albert bertanya. "Sudah dapat pedati dan sapi itu?"
"Saya menemukan yang lebih baik lagi," jawab Pastrini dengan wajah puas.
"Apa lagi?" tanya Franz.
''Saya kira Tuan-tuan mengetahui bahwa Count of
Monte Cristo tinggal selantai dengan Tuan-tuan. Beliau mendengar tentang
kesulitan tuan-tuan mendapatkan kereta dan kuda. Sebab itu beliau berkenan
menawarkan dua tempat duduk dalam keretanya dan dua tempat duduk di depan
jendela di Palazzo-dwkz Rospoli"
Franz dan Albert saling berpandangan, "Apakah baik kita menerima tawaran dari
orang yang tidak kita kenal?"
tanya Albert. "Siapa Count of Monte Cristo ini?" sekarang Franz yang bertanya.
"Seorang bangsawan besar, kalau bukan dari Sisilia tentu dari Malta. Saya
sendiri tidak yakin dari mana. Walau bagaimana hatinya mulia seperti keturunan
Borgia dan kaya seperti tambang emas."
"Aku pikir," kata Franz kepada Albert, "apabila benar orang ini bangsawan
seperti yang dikatakan oleh Tuan Pastrini, selayaknya ia menyampaikan
undangannya dengan cara yang lain, apakah dengan surat atau . .."
Sebelum kalimat Franz habis diucapkan terdengar suara ketukan pada pintu.
"Masuk," kata Franz.
Seorang pelayan berpakaian dinas yang sangat bagus, masuk. "Dari Count of Monte
Cristo untuk Tuan Franz d Epynay dan Tuan Albert de Morcerf," katanya sambil
menyerahkan dua buah kartu kepada pemilik hotel, yang selanjutnya meneruskannya
kepada kedua bangsawan mu-da.
"Count of Monte Cristo," katanya lagi, "meminta kehormatan untuk dapat
berkunjung ke mari besok pagi dan mengharap diberi tahu waktu yang paling baik
bagi kedua beliau ini."
"Katakan kepada Count," kata Franz, "kamilah yang ingin mendapat kehormatan
mengunjungi beliau besok pagi"
Pelayan itu pergi. "Ini yang namanya menabur dengan kesopanan yang berlimpah-limpah," kata Albert
"Tuan benar, Tuan Pastrini, Count of Monte Cristo memang seorang berhati mulia."
"Bolehkah saya mengartikan bahwa Tuan berkenan menerima undangan beliau?" tanya
Pastrini. "Tentu, tentu," jawab Albert. ''Meskipun harus diakui aku agak menyesal
kehilangan pedati dan pakaian pemo-tong padi itu. Kalau tidak karena jendela di
Palazzo Rospoli, saya akan tetap pada gagasan semula. Bagaimana dengan engkau,
Franz?" "Aku kira, jendela di Palazzo Rospoli itu juga yang menentukan bagiku."
Esok paginya, Franz memanggil Pastrini Seperti biasa ia datang dengan sikap
mengabdi. Ketika itu jam sembilan.
"Apakah kami sudah dapat berkunjung kepada Count of Monte Cristo pada waktu
sepagi ini?" 'Tentu saja!" jawab Pastrini. "Beliau biasa bangun pagi sekali. Saya yakin
beliau telah bangun dua jam yang lalu."
"Kalau begitu) Albert, kalau engkau sudah siap, kita kunjungi tetangga kita
untuk mengucapkan terima kasih untuk keramahannya."
"Mari!" Franz dan Albert tidak perlu berjalan jauh. Pastrini mengantar mereka dan
memijitkan bel bagi mereka. Seorang pelayan membuka pintu.
"Tuan-tuan dari Perancis," kata Pastrini. Pelayan itu membungkukkan badan dan
mempersilakan masuk. Mereka masuk ke dalam ruangan yang dilengkapi
dengan perabotan yang indah mewah dan tak terbayangkan ada dalam hotel seperti
milik Pastrini. Lalu mereka sampai di ruang lukisan yang juga serba rapi dan
mewah. Permadani dari Timur menutupi seluruh lantai. Dinding-dindingnya terhias
lukisan-lukisan yang indah diselingi senjata-senjata yang juga sangat bagus dan
tengkorak-tengkorak binatang buruan. Tirai-tirai dari bahan permadani tergantung
di setiap pintu. "Silahkan Tuan-tuan duduk," kata pelayan. "Saya akan mengabarkan kehadiran Tuan-
tuan." Dia. menghilang melalui salah satu pintu.
Franz dan Albert saling berpandangan. Lalu mereka memperhatikan lagi perabotan
perabotan lukisan lukisan dan senjata-senjata. Semua kelihatan lebih indah
dibanding ketika terlihat pertama kalinya.
"Apa katamu tentang ini semua?" tanya Franz.
"Saya kira, tetangga kita ini, mesti seorang pengusaha saham yang sangat
berhasil, atau seorang putera mahkota yang sedang bepergian incognito."
"Sst! Kita akan segera tahu. Dia datang."
Sebuah pintu terbuka dan tirai tersingkap, memberi jalan kepada pemilik semua
kemewahan itu. ''Tuan-tuan," kata Count of Monte Cristo ketika masuk ruangan, "maafkan saya
telah membuat Tuan-tuan berkunjung kepada saya, tetapi saya khawatir akan
mengganggu apabila saya berkunjung kepada Tuan-tuan sepagi ini. Di samping itu
Tuan-tuan telah memberi tahu berniat akan datang dan saya menghormati keinginan
itu." "Franz dan saya sangat berterima kasih kepada Tuan,'
kata Albert. "Tuan telah menolong memecahkan persoalan kami. Kami sedang
memikirkan segala macam kendaraan yang mungkin ketika undangan tiba."
"Salah si bodoh Pastrini sehingga saya agak terlambat menawarkan bantuan."
Sambil mempersilakan kedua tamunya duduk di kursi panjang yang empuk, dia
melanjutkan lagi, "Dia sama sekali tidak menceriterakan apa-apa tentang
kesukaran Tuan-tuan. Segera setelah saya mengetahui bahwa saya dapat berbuat
sesuatu untuk Tuan-tuan, saya merasa sangat gembira."
Kedua bangsawan muda itu membungkukkan badan.
"Pula," kata Count of Monte Cristo selanjutnya, "hari ini ada acara pelaksanaan
hukuman mati di Piazza del Popolo.
Saya menyuruh pengurus rumah tangga saya kemarin
mencari tempat yang baik untuk menonton itu, sehingga dalam hal ini pun saya
dapat menawarkan jasa." Dia merentangkan tangannya menarik kabel bel.
Tak lama kemudian seorang berumur antara empat puluh lima dan lima puluh datang
memasuki ruangan. "Tuan Bertuccio " katanya, "sudahkah Tuan berhasil mendapatkan
jendela untuk menonton acara di Plazza del Polopo seperti yang saya mina
kemarin?" "Sudah, Yang Mulia," jawab pengurus rumah tangga itu.
"Tetapi agak terlambat."
"Apa?" Dahinya mengerut. "Bukankah saya perintahkan harus berhasil?"
"Benar, dan saya pun tidak gagal. Jendela itu sebenarnya telah disewakan kepada
Pangeran Lobanieff sehingga saya terpaksa membayar seratus - "
"Cukup, Tuan Bertuccio, jangan kita mengganggu tamu-tamu kita ini dengan hal-hal
yang kecil. Tuan telah berhasil mendapatkan sebuah jendela, itu yang perlu kami
ketahui. Berikan alamat rumahnya kepada sais,"
Pengurus rumah tangga itu membungkuk dan siap untuk mengundurkan diri.
"Sebentar" kata Count, "tanyakan kepada Pastrini apakah ia sudah menerima acara
pelaksanaan hukuman itu."
'Tidak perlu, saya kira," kata Franz sambil mengeluarkan buku catatannya dari
sakunya, "saya telah melihat acara itu dan menyalinnya di sini."
"Baik. Tuan boleh pergi, Tuan Bertuccio. Beritahu kami apabila makan siang sudah
siap Sudikah Tuan-tuan memberikan kehormatan dengan makan siang bersama saya?"
"Kami tidak ingin menyalahgunakan kebaikan hati Tuan," jawab Albert.
"Sama sekali tidak! Justru membahagiakan sekali bagi saya. Tuan-tuan dapat
membalasnya suatu waktu nanti di Paris. Tuan Bertuccio telah mempersiapkan meja
untuk tiga orang." Count of Monte Cristo mengambil buku catatan Franz kemudian membacanya dengan
keras, "Orang-orang tersebut ini akan dihukum mati hari ini, Februari tanggal
22: Andrea Rondolo, bersalah membunuh Don Cesare
Terlini; Peppino alias Rocca Priori, dinyatakan bersalah terlibat dalam
kejahatan-kejahatan yang dilakukan oleh Luigi Vampa, bandit yang sangat
menjijikkan. Yang pertama akan di-mazzolator yang kedua dipenggal."
"Ini adalah acara semula. Tadi malam ketika saya berada di rumah Kardinal
Rospigliosi saya mendapat kabar bahwa salah seorang ditangguhkan."
"Yang mana?" tanya Franz.
"Yang kedua," jawab Count of Monte Cristo. "Berarti kita akan kehilangan acara
pemenggalan. Tetapi tak mengapa, masih ada mazzolato, suatu cara pelaksanaan
hukuman mati yang aneh kalau kita baru melihatnya untuk pertama kali, bahkan
mungkin juga pada kali yang kedua.
Pemenggalan kepala terlalu sederhana, tak pernah terjadi suatu yang diluar
dugaan. Orang-orang Eropa tidak mengetahui apa-apa kalau sudah sampai kepada
urusan pelaksanaan hukuman mati dan penganiayaan. Dalam hal ini mereka masih
louiak kanak atau kuno."
"Rupanya tuan telah membuat perbandingan-perbandingan tentang pelaksanaan
hukuman mati di seluruh dunia," kata Franz.
"Hanya sedikit yang belum saya lihat," jawabnya dingin.
"Dan adakah kesenangannya dalam menyaksikan hal yang mengerikan itu?"
"Pada pertama kalinya ada perasaan menolak, selanjutnya tak acuh, lalu ingin
tahu." "Ingin tahu! Ungkapan yang cukup mengerikan."
"Mengapa" Kematian adalah satu-satunya hal yang penting dalam hidup kita ini
yang patut menjadi bahan renungan. Bukankah baik kalau kita mengetahui bermacam-
macam cara jiwa meninggalkan raganya, dan mempelajari bagaimana seseorang
berpindah dari ada ke tiada yang bergantung kepada adat dan wataknya, bahkan
juga kepada kebiasaan bangsanya" Bagi saya sendiri dapat saya katakan: makin
sering kita melihat orang mati, akan makin mudah bagi kita menghadapi kematian
sendiri. Jadi menurut pendapat saya, kematian mungkin sekali merupakan cobaan
Tuhan, tetapi jelas bukan penebusan dosa."
"Maaf, saya tidak dapat mengikuti," kata Franz. "Tolong dijelaskan. Tuan tidak
mengetahui betapa Tuan membangkitkan ke ingin tahuan saya."
"Begini," kata Count of Monte Cristo. Wajahnya memperlihatkan kebencian,
"apabila ada seorang yang menyiksa dan membunuh bapak kita, ibu kita, kekasih
kita, pendeknya salah seorang dari mereka, apabila direnggut dari hati kita akan
meninggalkan luka berdarah yang abadi, apakah tuan mengira dosanya telah
tertebus dan luka telah terobati hanya karena masyarakat telah menyuruh algojo
memisahkan kepala si pelaku dari badannya, hanya karena orang yang telah membuat
kita menderita batin bertahun-tahun lamanya, juga menderita siksaan yang-hanya
sekejap saja?" "Ya, saya tahu," kata Franz, "bahwa keadilan manusia sayang sekali tidak
sempurna. Ia hanya dapat menumpahkan darah untuk membalas darah yang telah
tertumpah. Tetapi tidak dapat mengharapkan lebih dari itu."
"Saya baru menyebutkan contoh yang sangat sederhana."
Count of Monte Cristo melanjutkan, "suatu contoh di mana masyarakat membalas
Pedang Kiri 4 Animorphs - 8 Ax Membalas Dendam Setan Harpa 14
^