Pencarian

Monte Cristo 4

The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas Bagian 4


kematian seseorang dengan kematian orang lain. Bukankah masih banyak lagi macam-
macam penderitaan yang dijalani seseorang tanpa masyarakat
.membalasnya dalam bentuk apapun juga" Bukankah
banyak lagi kejahatan yang begitu kejam sehingga hukuman cara Turki, Persia atau
Irak masih terlalu lunak untuknya, tidak dihukum oleh masyarakat kita yang tidak
acuh" Silakan jawab, adakah kejahatan-kejahatan seperti itu?"
"Ya, banyak sekali," jawab Franz. "Dan untuk menghukum kejahatan semacam itulah,
duel diizinkan." "Duel! Suatu cara yang bagus untuk menghukum. Kalau ada seseorang yang merebut
kekasih kita, memperkosa isteri kita atau merusak kehormatan anak gadis kita,
atau merenggut harta kita yang diharapkan bisa membawa kebahagiaan yang
dijanjikan Tuhan kepada setiap insan, pendeknya, orang itu telah membuat
kepedihan yang abadi, kesengsaraan dan kehinaan, apakah Tuan percaya bahwa dosa
orang itu telah terhukum hanya karena Tuan telah berhasil menembuskan pedang
Tuan di dadanya, atau menempatkan peluru di kepalanya dalam duel" Dan jangan
lupa, bahwa ia bisa muncul sebagai pemenang dalam duel itu, yang berarti bahwa
dalam pandangan masyarakat dosa-dosanya telah terhapus, Seandainya saya ingin
membalas dendam kepada seseorang seperti itu, saya tidak akan melakukannya
dengan cara berduel."
"Kalau begitu Tuan tidak setuju dengan duel?" tanya Albert yang heran mendengar
pendapat yang bertentangan dengan pendapat umum.
"Oh tidak, bukan begitu," jawab Count of Monte Cristo.
"jelasnya begini. Saya bersedia berduel untuk suatu penghinaan, pemukulan atau
suatu kebohongan, dan saya akan melakukannya tanpa banyak berpikir, sebab,
berkat keahlian membela diri yang saya miliki karena latihan yang teratur dan
kebiasaan menghadapi bahaya yang secara berangsur-angsur telah mendarah daging,
saya hampir yakin akan selalu dapat membunuh lawan. Betul, saya bersedia berduel
untuk hal-hal seperti itu. Tetapi untuk suatu penderitaan yang perlahan-lahan,
yang mendalam, yang lama dan menimbulkan luka abadi, saya akan mencoba
membalasnya dengan memberikan penderitaan yang sama Mata untuk mata, gigi untuk
gigi." "Tetapi," kata Franz, "dengan teori seperti itu yang membuat Tuan bertindak
sebagai hakim sendiri, Tuan sendiri tidak akan terlepas dari kekuasaan hukum.
Kebencian adalah buta, amarah membuat kita dungu, dan barang siapa melampiaskan
nafsu balas dendamnya menghadapi bahaya menelan pil yang lebih pahit."
"Apabila dia miskin dan bodoh, benar, tetapi tidak bila ia kaya dan cerdik.
Selain itu, paling rugi ia harus menjalani hukuman mati di muka umum. Tetapi apa
artinya itu selama dia telah berhasil membayar hutangnya. Saya hampir merasa
menyesal karena Peppino yang telah rusak itu tidak jadi dipancung seperti
ditentukan semula. Bila tidak, Tuan dapat menyaksikan sendiri betapa cepat
deritanya berlalu dan apakah cukup berharga untuk menjadi bahan
pembicaraan..... Tetapi, pembicaraan kita agak aneh untuk suasana pesta karnaval. Bagaimana kita
sampai kepada persoalan ini" Oh ya, saya ingat, saya mengatakan bahwa saya dapat
menawarkan tempat untuk menonton hukuman mati. Dan Tuan akan menerima tawaran
saya itu. Sekarang, mari kita ke meja makan. Saya dengar ada orang datang untuk
memberi tahu bahwa hidangan sudah siap."
Ketiga bangsawan muda itu berdiri dan berjalan ke ruang makan.
Selama makan, yang benar-benar sedap dan dihidangkan dengan cara yang sangat
mengagumkan, Franz berkali-kali memperhatikan wajah Albert untuk mencoba
mengetahui bagaimana pengaruh percakapan tuan rumah kepadanya, tetapi Albert
tampak tidak mempunyai perhatian kepada hal lain kecuali makanan di hadapannya.
Sedangkan Count of Monte Cristo sendiri hampir-hampir tidak menyentuh hidangan.
Seakan-akan dia turut makan hanya untuk kesopanan belaka.
Setelah acara makan selesai, Franz mengambil erloji sakunya, "Maaf, Tuan, tetapi
masih banyak yang harus kami lakukan."
"Bolehkah saya mengetahui?"
"Kami masih harus mencari pakaian untuk karnaval nanti"
'Tak usah dipikirkan. Kita akah mempunyai kamar
pribadi di Piazza del Popolo. Saya akan menyuruh orang mengantarkan pakaian-
pakaian karnaval ke sana dan kita dapat berganti pakaian di sana pula, setelah
pelaksanaan hukuman. Sekarang telah jam setengah satu, Tuan-tuan.
Waktu kita tinggal sedikit"
Ketika Franz, Albert dan Count of Monte Cristo sudah dekat Piazza del Popolo,
lapisan manusia makin menebal.
Menjulang di atas kepala-kepala manusia mereka dapat melihat dua buah barang.
Sebuah tugu yang pada puncak-nya ada sebuah salib dan dua pasang tiang kayu
untuk pisau giiyotin. Tugu itu merupakan ciri titik tengah lapangan itu.
Jendela yang disewakan dengan harga yang sangat tinggi itu, berada di lantai
ketiga dari sebuah rumah yang terletak antara Via del Babuino dan Monte Pincio.
Kamarnya merupakan semacam kamar hias. Dari kamar ini orang dapat melihat ke
lapangan dengan leluasa. Seluruh lapangan seakan-akan disulap menjadi sebuah teater yang sangat luas.
Setiap jendela dan balkon dari gedung gedung yang berada di sekeliling lapangan
telah penuh oleh penonton. Count of Monte Cristo benar: pemandangan yang paling
menarik perhatian dalam hidup ini adalah kematian.
Tiba-tiba suara gemuruh manusia lenyap seketika, seakan-akan dihentikan oleh
sesuatu kekuatan gaib. Pintu gereja terbuka. Yang pertama keluar serombongan
pejabat gereja, masing-masing membawa sebatang lilin yang sudah dinyalakan.
Kepalanya tertutup kantung berwarna abu-abu yang berlubang dua di tentang mata.
Di belakang rombongan menyusul seorang tinggi kekar dengan dada telanjang.
Di pinggang kirinya tergantung sebilah pisau besar dalam sarungnya. Di bahunya
terpanggul sebuah gada besi besar.
Dialah algojo. Di belakang algojo menyusul si terhukum berturut-turut menurut
urutan gilirannya. Mula-mula Peppino kemudian Andrea, masing-masing didampingi
oleh dua orang padri. Andrea dipegang pada tangannya oleh kedua padri
pendampingnya. Sewaktu-waktu mereka menciumi salib yang disodorkan ke mukanya
Karena pemandangan ini pun Franz sudah merasakan
lututnya gemetar dan melemah. Dia melihat kepada Albert.
Wajah Albert pucat seperti warna kemejanya. Count of Monte Cristo tampak tidak
terpengaruh. Sementara itu kedua orang terhukum itu sudah cukup dekat untuk dapat dilihat
dengan jelas. Peppino adalah seorang muda tampan dengan kulit kecoklat-coklatan
karena sinar matahari. Matanya liar dan angkuh.
Sedangkan Andrea, pendek dan gemuk berwajah kejam.
"Kalau tak salah, Tuan tadi mengatakan bahwa hanya seorang yang akan dihukum,"
kata Franz kepada Count of Monte Cristo.
"Saya tidak bohong," jawabnya dingin.
"Tetapi itu ada dua orang."
"Benar, seorang sudah hampir mati dan yang seorang lagi masih akan hidup
bertahun-tahun lagi."
"Menurut pendapat saya, kalau memang mau ditangguhkan, mengapa membuang-buang
waktu?" "Tidak, lihat saja."
Tepat ketika Peppino sudah sampai di kaki tiang gilyotin, seorang pejabat gereja
berlari menerobos barisan serdadu menuju pimpinan rombongan. Kepadanya ia
menyerahkan secarik kertas. Pimpinan rombongan membacanya, laki mengangkat
tangan dan berteriak keras, "Puji bagi Tuhan dan Paus yang suci! Peppino alias
Rocca Priori diampuni!"
Teriakan gemuruh terdengar dari lautan manusia.
"Peppino diampuni!" Andrea yang sudah kehilangan seluruh tenaganya bangkit
kembali. "Mengapa dia, bukan aku" Kami harus mati bersama. Mereka telah berjanji
akan memancungnya lebih dahulu! Aku tak mau mati sendiri!" la berontak, meliuk-
liuk dan berteriak-teriak seperti binatang buas berusaha melepaskan diri dari
ikatannya. Algojo memberi isyarat kepada dua orang pembantunya, yang segera
meloncat turun dari panggung hukuman menyergap Andrea.
"Ada apa?" tanya Franz yang tidak faham betul akan dialek Roma.
"Ada apa?" jawab Count of Monte Cristo. "Apakah tuan tidak mengerti" Orang yang
telah mendekati ajalnya itu ngamuk karena kawannya tidak jadi mati bersama dia.
Kalau ada kesempatan pasti dia akan mengoyak-ngoyak kawannya dengan gigi dan
kukunya, daripada membiarkan menikmati hidup sedang dia sendiri harus kehilangan
hidup. Begitulah manusia dan kemanusiaannya. Buaya!
Begitu jelas sifat itu tampak di bawah sana dan betapa jelas orang mementingkan
dirinya sendiri" Sambil tetap berontak melawan kedua pembantu algojo tadi, Andrea tak henti-
hentinya berteriak, "Dia harus mati!
Aku mau dia mati! Kalian tidak mempunyai hak untuk membunuh aku sendiri!"
Pergulatan itu sangat mengerikan dan mendebarkan. Akhirnya mereka berhasil
menggusur Andrea ke panggung hukuman. Seluruh penonton tidak ada yang memihak
kepadanya. Semuanya berteriak bersama-sama, "Bunuh dia! Bunuh dia!"
Franz mau mundur tetapi Count of Monte Cristo me-
nahannya pada tangannya. "Ada apa?" katanya. "Kalau Tuan merasa kesihan, itu
tidak pada tempatnya. Apabila Tuan melihat anjing gila di jalanan, Tuan pasti
akan menembaknya tanpa rasa kasihan, padahal dosa binatang malang itu hanya
karena menjadi korban gigitan anjing gila lainnya. Tetapi di sini Tuan merasa
kasihan kepada orang yang bukan korban gigitan orang lain, melainkan seorang
pembunuh besar. Orang yang sekarang ini tidak mampu lagi membunuh karena
tangannya diikat, masih mau
menyeret kawan sepenjaranya mati bersama dia. Tidak, tidak. Kuatkan hati Tuan
dan lihat." Kata-kata Count of Monte Cristo sudah tidak perlu lagi, karena perhatian Franz
sudah tertarik oleh pemandangan di lapangan.
Kedua pembantu algojo tadi telah berhasil memaksa Andrea berlutut walaupun ia
terus meronta-ronta dan berteriak-teriak. Algojo mengayunkan gadanya, kedua
pembantunya mundur. Andrea berusaha berdiri tetapi gada algojo lebih dahulu
menimpa pelipis kirinya. Dia jatuh tersungkur seperti seekor sapi lalu berguling
sehingga terlentang. Algojo melemparkan gadanya, menghunus pisaunya lalu
menyobek leher Andrea Selanjutnya dia menekan dan meremas perut Andrea dengan
jari-jari kakinya. Setiap kali dia menekankan kakinya, darah memancar keluar
dari tenggorokan Andrea, Franz terhenyak ke belakang dan jatuh setengah pingsan ke atas sebuah kursi.
Albert masih tetap berdiri, tetapi kedua matanya menutup rapat dan tangannya
memegang tirai jendela erat-erat. Count of Monte Cristo tetap tegak seperti dewa
pembalas selesai bertugas.
BAB XXI KETIKA Franz siuman kembali, ia melihat Albert
sedang minum segelas air. Menilik wajahnya yang pucat, jelas sekali ia sangat
memerlukannya. Sedangkan Count of Monte Cristo sudah berganti pakaian dengan
pakaian pelawak istana. Franz melepaskan pandangannya ke arah lapangan. Semuanya
telah tiada: gjlyotin, algojo dan korban. Yang ada tinggal serombongan manusia
dengan teriakannya. "Ada apa?" tanya Franz.
"Tak ada apa-apa," jawab Count of Monte Cristo. "Sama sekali tak ada apa-apa.
Gemuruh manusia itu berarti bahwa karnaval sudah dimulai. Silakan cepat berganti
pakaian. Lihat, Tuan de Morcerf sudah memberi contoh."
Dengan pikiran entah di mana Albert mengenakan
celana kain tafeta di luar celana hitamnya, lalu mengenakan sepatu bot yang
tinggi. Akan sangat tidak lucu kalau Franz tidak mau segera mengikuti contoh
kawannya. Oleh sebab itu ia pun mengenakan pakaian karnavalnya, juga
topengnya yang warnanya tidak sepucat wajahnya.
Kereta telah menunggu di bawah, penuh dengan bunga-bunga dan kertas konfeti. Tak
mudah membayangkan per ubahan yang begitu sempurna seperti yang terjadi sekarang
di Piazza del Popolo. Kalau tadi dicekam oleh suasana murung dan kedinginan
kematian, sekarang diliputi kegaduhan pesta-pura yang liar. Bergerombol-gerombol
orang bertopeng datang dari semua penjuru. Ada yang keluar melalui pintu-pintu
gedung sekeliling lapangan, banyak pula yang bergelantungan menuruni jendela-
jendela. Kereta-kereta pun berdatangan dari semua jalan. Penumpangnya bermacam-
macam: badut, bangsawan, satria, petani dan la-in-lain yang pakaiannya
menggelikan, semuanya berteriak-teriak gembira, melambai-lambai atau menaburkan
konfeti dan bunga-bunga baik kepada yang dikenal maupun kepada yang tidak
dikenal. Yang dilempari bukannya marah, justru malah senang. Balkon dan jendela-
jendela gedung bertingkat empat atau lima yang berjejer sepanjang Via dd Corso semuanya berhias
indah mewah Semuanya penuh dengan manusia berbagai bangsa yang berdatangan dari
empat penjuru dunia. Di jalanan orang-orang bergembira hampir lupa diri, liar
dan tak mengenal lelah, berseliweran dengan pakaian karnaval yang beraneka
ragam. Yang seorang ingin lebih aneh atau lebih lucu dari yang tain. Ada kubis
raksasa menggelinding, manusia berkepala banteng, atau anjing besar seperti
berjalan di atas kedua kaki belakangnya. Di tengah tengah kepadatan dan
keramaian itu banyak yang berusaha melepaskan topeng orang lain mencari wajah
tampan atau cantik. Kalaupun ditemukan toh tak mungkin diikuti oleh karena
antara mereka seakan-akan terhalang oleh wajah-wajah setan seperti dalam mimpi.
Setelah mereka mengelilingi lapangan sebanyak dua kali.
Count of Monte Cristo menghentikan keretanya di depan Palazzo Rospoli lalu
meminta diri meninggalkan mereka.
"Tuan-Tuan," katanya, "apabila Tuan-tuan telah merasa lelah dan ingin menjadi
penonton kembali, Tuan-tuan mengetahui bahwa Tuan-tuan mempunyai tempat menonton
di jendela kamar saya. Sementara itu kereta dan saisnya saya serahkan untuk
dipergunakan sesuka hati."
Franz mengucapkan terima kasih untuk tawaran yang demikian baiknya.
Setelah kereta berjalan lagi Albert berpaling kepada kawannya dan bertanya, "Kau
lihat itu?" "Apa?" "Lihat di sana, sebuah kereta penuh dengan gadis-gadis berpakaian petani Roma
Aku yakin mereka cantik-cantik."
"Buat apa kita bertopeng, pikirmu" Nanti akan ada kesempatan mengejar kekurangan
petualangan cintamu di Italia ini."
"Oh," kata Albert setengah bergurau setengah sungguh-sungguh, "aku pikir tak
lucu kalau karnaval ini berlalu begitu saja tanpa sesuatu imbalan."
Meskipun Albert tetap berharap, namun hari itu berlalu tanpa memberikan
kejadian-kejadian yang mengesankan selain bertemu dengan kereta penuh gadis itu
dua tiga kali lagi. Pada salah satu kesempatan, entah disengaja entah tidak,
topeng Albert terlepas ketika ia melemparkan bunga-bunga ke dalam kereta mereka.
Rupanya salah seorang dari gadis-gadis itu terkesan oleh sikap Albert. Ketika
mereka bertemu sekali lagi, dialah yang sekarang melemparkan bunga ungu ke dalam
kereta Albert Albert segera mengambilnya dan Franz membiarkannya, karena Franz
tidak mempunyai alasan untuk mengira bunga itu dilemparkan untuknya. Albert
menyelipkannya di lubang kancing bajunya dan kereta berjalan terus,
"Tampaknya," kata Franz, "ini merupakan awal suatu petualangan."
"Engkau boleh tertawa Franz, kalau mau, tetapi aku yakin, begitulah adanya."
Keyakinan Albert bertambah kuat ketika mereka bertemu sekali lagi. Melihat bunga
yang dilemparkannya telah mendapat tempat terhormat pada jas Albeit, gadis itu
ber-tepuk gembira. Esok paginya, Count of Monte Cristo mengunjungi
mereka di kamarnya. "Tuan-tuan, saya datang untuk mengatakan bahwa Tuan-tuan
dapat menggunakan kereta sesuka hati sampai karnaval berakhir. Saya masih
mempunyai dua buah lagi. Bila ada sesuatu yang perlu dibicarakan, kita dapat
bertemu di Palazzo Rospoil"
Kedua bangsawan itu mencoba menolak, tetapi sebenarnya mereka tidak mempunyai
alasan yang cukup kuat untuk menolak tawaran itu, terutama karena tawaran itu
sangat menyenangkan. Count of Monte Cristo masih tetap tinggal untuk kira-kira
seperempat jam lamanya, berceritera tentang bermacam-macam perkara dengan penuh
gairah. Dia sangat menguasai bacaan berbagai negara Bila melihat dinding ruangannya
Franz dan Albert yakin bahwa dia pun seorang kolektor lukisan yang baik. Dari
pembicaraannya jelas juga bahwa ilmu pengetahuannya pun luas sekali terutama
dalam bidang ilmu kimia. Setelah tamunya berangkat, Franz dan Albert turun menuju kereta yang sudah
menunggu. Albert masih memasang bunga ungunya yang sudah layu di bajunya.
Hanya beberapa saat setelah mereka sampai di Via del Corso, bunga-bunga harum
yang masih segar dilemparkan orang ke dalam keretanya, Albert mengganti yang
layu dengan yang segar, dan memegang sisanya di tangan dan menciumnya ketika
bertemu kembali dengan kereta pembawa gadis-gadis. Suatu tindakan yang bukan
saja menyenangkan gadis pelemparnya, tetapi juga kawan-kawannya.
Sehari penuh mereka bercumbu dari kereta masing-masing.
Ketika kembali ke hotelnya pada malam hari, Franz menemukan sebuah surat dari
Kedutaan Perancis memberitahukan bahwa dia mendapat kehormatan diterima


The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berkunjung oleh Paus, esok hari.
la menghabiskan waktunya sehari penuh di Vatikan.
Setelah itu langsung pulang ke hotelnya Jam lima lebih lima menit Albert masuk.
Jelas kelihatan ia sangat gembira karena gadis pelempar bunga ungu telah
melepaskan topengnya ketika bertemu, dan ternyata ia sangat cantik.
Franz mengucapkan selamat dengan tulus, dan Albert menerimanya dengan bangga.
Dia bermaksud menyurati gadis itu esok hari. Franz tidak punya niat menghalangi
petualangan sahabatnya yang penuh harapan ini, bahkan bersedia memberinya
kesempatan. Ia menyilakan Albert menggunakan kereta sesukanya sedangkan ia akan
memuaskan diri dengan menonton dari jendela Palazzo Rospoli.
Esok paginya Franz melihat Albert dengan keretanya hilir-mudik di sepanjang Via
del Corso. Ia mempunyai persediaan bunga banyak sekali yang jelas tujuannya
untuk pengantar tintanya.
Malam itu Albert tidak gembira Ia sudah tergila-gila dirundung rindu. Dia yakin
gadisnya akan membalas suratnya, tetapi menunggunya, itulah yang menyiksa. Franz
memahami keadaan Albert, sebab itu dia berdalih bahwa kegaduhan karnaval sangat
melelahkan dan ia bermaksud esok tinggal seharian di kamar membaca dan menulis.
Harapan Albert tidak dikecewakan. Malam berikutnya Framt melihat dia berlari
masuk kamar sambil mengacung-acungkan sehelai kertas di tangannya.
"Surat balasan?" tanya Franz.
"Baca saja," kata-kata itu diucapkannya dengan air muka yang sukar dilukiskan.
Franz mengambil surat dari tangan Albert dan membacanya:
Selasa malam jam tujuh, tinggalkan kereta Tuan di muka Via del Ponrefeci Jangan
lupa memakai pita merah sebagai tanda pengenal. Apabila sudah sampai di kaki
tangga Geraja San Ciacomo, seorang gadis akan merenggut moccoletti dari tangan
Tuan. Ikuti dia. Tapi Tuan tidak akan melihat saya. Harap jangan mengecewakan
dan hati-hati. "Nah, apa katamu, Franz?"
"Kupikir, engkau berada diambang petualangan yang menggairahkan."
"Begitu juga perasaanku. Karena itu aku khawatir engkau harus memenuhi undangan
Duke Bracciano seorang diri."
Franz dan Albert telah menerima undangan dari seorang bankir Roma ternama tadi
pagi. Akhirnya, hari terakhir dan hari yang menjadi puncak kegembiraan karnaval, tiba.
Semua teater dibuka sejak jam sepuluh pagi karena masa berpuasa akan dimulai jam
delapan malam nanti. Mereka yang selama karnaval tidak turut serta karena
kekurangan waktu, uang atau semangat, pada hari terakhir itu semua turun ke
jalanan turut me-ramaikan puncak acara.
Menjelang petang para penjual moccoletti telah mulai kelihatan di mana-mana.
Moccoletti atau moccoli berarti lilin dalam berbagai ukuran. Tujuannya dalam
pesta ini ada dua. Pertama, bagaimana menjaga agar moccoletti sendiri tetap
menyala, dan kedua bagaimana memadamkan milik orang lain.
Franz dan Albert bergegas membeli moccoletti seperti orang lain. Ketika bintang-
bintang pertama mulai bersinar di langit yang seakan-akan dianggap sebagai
isyarat, ribuan cahaya lilin berkelap-kelip dan menari sepanjang jalan,
dibarengi dengan teriakan dan nyanyian gembira yang memekakkan telinga.
Setiap lima menit sekali Albert melihat erlojinya. Jam tujuh tepat, kedua
sahabat itu sudah sampai di sudut Via del Pontefeci. Albert meloncat ke luar
dari keretanya dengan sebuah moccoletti di tangan. Dua tiga orang mencoba
memadamkannya atau merenggut lilin dari tangannya, tetapi Albert yang memang
seorang petinju yang terlatih berhasil menggagalkan usaha mereka Dia berjalan ke
Gereja San Giacomo. Franz mengikuti Albert dengan pandangannya dan melihat dia sudah sampai di kaki
tangga gereja Seorang wanita bertopeng, berpakaian seperti petani Roma merebut
lilin Albert Sekali ini Albert tidak mengadakan perlawanan.
Jaraknya terlampau jauh bagi Franz untuk menangkap pembicaraan mereka, tetapi
jelas mereka tidak bertengkar sebab selanjutnya Franz melihat mereka berjalan
sambil bergandengan tangan.
Tiba-tiba bunyi lonceng tanda berakhirnya karnaval bergema. Serempak moccoletti
padam semua bagaikan di-hembus angin ajaib. Keadaan menjadi gelap gulita.
Segala kegaduhan dan kebisingan berhenti bersamaan dengan padamnya lilin-lilin.
Yang terdengar tinggal suara kereta-kereta berlari membawa peserta-peserta pesta
pulang ke rumahnya masing-masing.
Yang masih tampak jelas dalam kegelapan itu hanya cahaya teram-temaram dari
beberapa jendela. Karnaval telah berakhir.
Franz belum pernah mengalami perubahan yang begitu mendadak dan tajam seperti
sekarang. Dari kegembiraan kepada kesepian. Perubahan ini pun seakan-akan
disebabkan angin ajaib tadi yang menghembuskan setan-setan untuk merubah Roma
yang gembira menjadi suatu kuburan luas yang sepi mengerikan.
Dia kembali ke hotel dan mendapatkan makanan sudah disiapkan. Oleh karena Albert
sudah memberitahu bahwa mungkin sekali ia akan pulang lambat, Franz makan
sendirian. Jam sebelas, Albert masih juga belum pulang. Franz memesan keretanya dan
berangkat ke rumah Duke Braciano. Ketika Duke melihat Franz datang sendiri, yang paling dahulu
ditanyakan kemana Albert. Franz menjawab bahwa ia kehilangan Albert ketika
moccoletti padam semua "Dan apakah ia belum pulang?"
"Saya menunggu sampai jam sebelas."
'Tahukah Tuan ke mana dia pergi?"
"Tidak, tetapi saya rasa dia mempunyai janji dengan wanita."
"Sekarang ini sebenarnya kurang aman untuk berada di luar pada larut malam,"
kata Duke. 'Tuan yang telah mengenal Roma lebih baik, selayaknya menghalangi dia
pergi." "Mencegah Albert pada waktu ini sama halnya dengan menahan kuda kabur. Tetapi
saya meninggalkan pesan di hotel bahwa saya berada di sini dan meminta pemilik
hotel agar segera memberitahu apabila dia sudah datang."
"Nah, itu pelayan. Saya kira, dia mencari Tuan."
Duke tidak keliru. Ketika pelayan itu melihat Franz segera ia menghampirinya dan
berkata, "Yang Mulia, Signor Pastrini memberitahukan bahwa ada seseorang
menunggu Tuan di hotel dengan membawa surat dari Tuan de Morcerf."
"Mengapa dia tidak mengantarkannya ke mari?"
"Tidak ada penjelasan, Yang Mulia."
"Mana sekarang suruhan Sign or Pastrini itu?"
"Dia pergi lagi setelah menyampaikan pesannya kepada saya."
Franz mengambil topinya dan segera meninggalkan pesta. Ketika sudah dekat
hotelnya ia melihat seorang laki-laki berdiri di tengah jalan. Franz yakin, dia
tnesti orang yang membawa surat dari Albert Franz menghampirinya, tetapi
mengejutkan sekali, orang itu yang lebih dahulu bertanya:
"Ada apa?" "Apakah Tuan yang membawa surat untuk saya dari Tuan de Morcerf?"
"Siapa nama Tuan?"
"Baron Franz d'Epinay."
"Benar, surat itu dialamatkan kepada Tuan."
"Apa perlu jawaban?" tanya Franz sambil menerima surat.
"Ya, setidak-tidaknya demikianlah harapan teman Tuan."
"Mari masuk, nanti saya berikan jawabannya."
"Saya lebih senang menanti di sini," jawabnya tertawa.
"Mengapa?" 'Tuan akan memahami setelah membaca surat itu."
Franz masuk ke dalam, menyalakan sebatang lilin dan membaca:
Franz yang baik, Setelah engkau membaca surat ini, tolong ambilkan uangku dalam dompet yang
kusimpan dalam laci lemariku. Tambah dengan uangmu sendiri apabila tidak
mencukupi. Berikan empat ribu piaster kepada pembawa surat ini. Sangat penting,
aku memerlukannya sekarang juga.
Aku percaya padamu seperti engkau dapat mempercayaiku.
Sahabatmu ALBERT DE MORCKRF PS. Sekarang aku percaya akan ceritera tentang bandit Italia.
Di bawah itu, dengan tulisan tangan yang berbeda, terbaca lagi beberapa kalimat
dalam bahasa Italia: Apabila uang yang empat ribu piaster itu belum saya terima
pada jam enam pagi, jam tujuh Count Albert de Morcerf hanya tinggal nama saja.
LUIGI VAMP A Tanda tangan yang kedua ini menjelaskan semua persoalan, dan dia mengerti
mengapa pengantar surat itu tidak mau dibawa masuk. Albert telah jatuh ke tangan
kepala bandit yang tersohor, yang semula dianggapnya ada dalam dongeng belaka.
Ia tidak boleh kehilangan waktu. Franz lari ke laci lemari Albert dan mengambil
dompetnya. Uang yang ada hanya tiga ribu piaster. Franz sendiri, karena ia
tinggal di Florence dan bermaksud tinggal di Roma hanya untuk tujuh hari, hanya
membawa uang secukupnya saja dan sekarang
tinggal kurang lebih dua ratus piaster lagi. Kekurangan delapan ratus piaster.
Tiba-tiba ia teringat kepada Count of Monte Cristo. Dia akan memanggil Pastrini
ketika yang bersangkutan muncul.
"Signor Pastrini," tanya Franz, "apakah Count of Monte Cristo ada di kamarnya?"
"Ada, Tuan. Beliau baru saja kembali"
"Tolong tanyakan apakah beliau dapat menerima saya sekarang?"
Pastrini pergi membawa pesan itu, dan kembali tak lama kemudian.
"Count menunggu Tuan," katanya.
Franz menemukan Count dalam sebuah kamar kecil
yang belum pernah ia masuki sebelumnya. Sekeliling dindingnya dipasangi dipan.
"Angin baik apakah kiranya yang membawa Tuan pada malam selarut ini?" tanya
Count of Monte Cristo. "Barangkali Tuan hendak mengundang saya makan malam"1'
"Tidak, saya datang untuk membicarakan sesuatu yang sangat penting. Apakah kita
hanya berdua saja?" Count of Monte Cristo pergi ke pintu dan melihat ke luar kamar. "Tak ada orang
lain." Franz memberikan surat dari Albert. "Silahkan Tuan baca."
Setelah ia selesai membacanya, Franz bertanya lagi,
"Bagaimana pendapat Tuan?"
Untuk sesaat Count mengerutkan dahinya. "Di mana orang yang mengantarkan surat
ini?" "Dijalan." "Saya akan memanggilnya."
"Saya kira tak akan ada gunanya. Dia menolak masuk ke kamar saya."
"Mungkin ia tidak mau masuk ke kamar Tuan, tetapi lain lagi kalau ke kamar
saya." Dia pergi ke jendela yang menghadap ke jalan, lalu bersiul dengan lagu
yang khusus. Orang suruhan itu meninggalkan dinding tempat ia bersandar, pergi
berdiri di tengah jalan. "Ke mari!" Count of Monte Cristo berteriak dengan nada memerintah dalam bahasa
Itali. Orang itu menurut tanpa ragu ragu Beberapa saat kemudian dia sudah berada
dalam kamar. "Ah, engkau kiranya, Peppino!"
Laki-laki itu bukan menjawab, melainkan berlutut kemudian mengambil tangan Count
of Monte Cristo dan menciuminya beberapa kali.
"Aku lihat engkau tidak lupa bahwa aku telah menyelamatkan jiwamu," kata Count.
"Aneh, padahal kejadian itu terjadi seminggu yang lewat."
'Tidak, Yang Mulia, saya tidak akan pernah melupakannya," jawab Peppino dengan
nada penuh terima kasih. "Tak pernah" Waktu yang sangat lama! Setidak-tidaknya aku terkesan karena engkau
percaya tidak akan dapat melupakan itu. Berdiri, dan jawab pertanyaanku."
Peppino melemparkan pandangan ragu kepada Franz.
"Engkau dapat berbicara bebas di depan Tuan ini," kata Count yang faham akan
maksud Peppino. "Beliau kawanku."
"Baik," jawab Peppino, "silahkan Tuan bertanya."
"Bagaimana Viscount Albert bisa jatuh ke tangan Luigi?"
"Begini, Yang Mulia, beberapa kali kereta Bangsawan Perancis itu berpapasan
dengan kereta yang ditumpangi Teresa."
"Piaraan Luigi?"
"Benar. Bangsawan Perancis itu menaruh hati kepadanya, dan hanya sekedar untuk
bermain-main, Teresa membalasnya. Mereka saling melempar bunga. Semua ini dengan
seizin Luigi tentu. Dia pun berada dalam kereta itu."
"Apa!" Franz terkejut. "Luigi Vampa ada dalam kereta itu?"
"Benar, dia yang menjadi saisnya. Tuan Albert membuka topengnya dan Teresa juga
dengan izin pemimpin, memper-libatkan wajahnya. Orang Perancis meminta suatu
pertemuan, Teresa menyetujuinya Hanya saja, yang datang pada waktunya bukan
Teresa melainkan Beppo,"
"Apa!" Sekali lagi Franz tak dapat menahan dirinya.
"Wanita yang berpakaian petani yang merebut moccoletti dari tangan Albert..."
"Adalah seorang laki-laki berumur lima belas tahun,"
kata Peppino mengisi. 'Tetapi kawan Tuan tidak perlu malu jatuh ke dalam perangkapnya karena telah
banyak yang terpedaya oleh Beppo."
"Lalu Beppo membawanya ke luar kota?" tanya Count of Monte Cristo.
"Benar, Yang Mulia. Sebuah kereta telah menanti mereka di ujung Via Macello.
Tuan Albert dengan sopan sekali membantu Beppo naik kereta itu. Beppo mengatakan
akan membawanya ke sebuah vila beberapa kilometer di luar Roma. Dalam perjalanan
Tuan Albert telah berlaku
terlampau bebas sehingga Beppo terpaksa menodongkan pistolnya Sais pun
menghentikan keretanya dan membantu Beppo, Pada saat yang bersamaan empat orang
kami yang bersembunyi di pinggir jalan bermunculan mendekati kereta. Tuan Albert
berusaha sekuat tenaga mempertahankan diri. Saya dengar beliau hampir berhasil mencekik Beppo tetapi
apa daya beliau menghadapi lima orang bersenjata. Beliau terpaksa menyerah dan
mereka membawanya kepada Luigi dan Teresa yang sudah menanti di pekuburan bawah
tanah Saint Sebastian."
"Centera yang menarik sekali," kata Count of Monte Cristo melirik kepada Franz.
"Saya akan menganggapnya menarik juga," kata Franz,
"kalau kejadian itu menimpa orang lain, bukan Albert."
"Seandainya Tuan tidak datangkepada saya. petualangan cinta kawan kita itu harus
dia bayar mahal sekali Sekarang, paling tinggi ia hanya mengalami ketakutan yang
sangat. Lagi pula, ia berada di tempat yang sangat menyeramkan.
Pernahkah Tuan ke pekuburan Saint Sebastian?"
"Belum." "Kebetulan, sekarang ada kesempatan yang baik untuk melihatnya."
Count of Monte Cristo memijit bel dan seorang pelayan muncul.
"Suruh siapkan kereta. Sais tak perlu dibangunkan, biar Ali saja yang
membawanya." Beberapa saat kemudian terdengar kereta berjalan dan berhenti di muka pintu.
Count of Monte Cristo melihat jamnya dan berkata, "Setengah dua belas.
Sebenarnya kita dapat berangkat nanti jam lima pagi dan masih dapat mengejar
waktu, tetapi kelambatan kita akan menyebabkan kawan kita gelisah sepanjang
malam. Sebab itu lebih baik kita berangkat sekarang."
Franz dan Count keluar, diikuti oleh Peppino.
Kereta itu melalui jalan kuno Appian yang berbatasan dengan pekuburan. Sekali-
sekali Franz melihat pengawal muncul dari balik persembunyian tetapi terus
menghilang lagi setelah diberi isyarat oleh Peppino.
Tak seberapa jauh sebelum sampai ke dataran Caracalla kereta berhenti Peppino
membuka pintu, Franz dan Count keluar.
"Kita akan sampai dalam sepuluh menit," kata Count kepada Franz. Count of Monte
Cristo menarik Peppino kc samping dan memberikan suatu perintah dengan berbisik.
Peppino mengambil obor dari dalam kereta laki pergi.
Selang lima menit kemudian, Franz dan Count menempuh jalan menurun yang dilalui
Peppino, sampai mereka tiba di kaki sebuah lembah kecil. Di sana mereka melihat
dua orang sedang bercakap-cakap di tempat yang gelap.
"Apakah kita berjalan terus atau menunggu di sini?"
tanya Franz. "Kita terus," jawab Count. "Peppino pasti telah memberitahukan kedatangan kita
kepada penjaga." Salah seorang dari kedua laki-laki itu, memang Peppino.
Yang seorang lagi, bandit yang sedang bertugas menjaga.
"Silakan mengikuti saya, Yang Mulia," kata Peppino kepada Count, "pintu
pekuburan itu hanya beberapa yard lagi"
"Baik," jawab Count. "Engkau di depan."
Di belakang semak belukar, di tengah-tengah sejumlah batu karang, mereka melihat
sebuah lubang yang hanya cukup besar untuk dilalui satu orang. Peppino
menyelusup lebih dahulu. Setelah ditempuh beberapa langkah,
terowongan itu agak melebar. Dia berhenti, menyalakan obornya dan membalikkan


The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

badan untuk melihat apakah kedua tamunya telah mengikutinya. Franz dan Count of
Monte Cristo terpaksa berjalan dengan membungkuk
bungkuk dan beriringan. Jalan itu tidak cukup lebar untuk berdampingan. Setelah
berjalan kira-kira lima puluh langkah, mereka dihentikan oleh teriakan, "Siapa
itu?" pada saat yang bersamaan, cahaya obor dapat menangkap laras sebuah
karaben. "Kawan!" kata Peppino. Dia maju beberapa langkah dan berkata dengan suara
ditahan kepada penjaga kedua ini, yang seperti penjaga pertama, membungkukkan
badan memberi hormat dan mempersilakan tamu melanjutkan perjalanannya.
Di belakang penjaga ada sebuah tangga dengan kira-kira dua puluh anak tangga.
Franz dan Count menuruni tangga itu, dan mereka sekarang berada pada semacam
sebuah per-simpangan jalan. Ada lima buah jalan menuju ke lima arah seperti
sudut-sudut sebuah bintang. Dinding-dinding di sekitar yang berlubang-lubang
dalam bentuk peti mayat, menunjukkan bahwa mereka telah berada dalam pekuburan.
Dari salah satu rongga yang besarnya sukar dipastikan mereka melihat berkas-
berkas cahaya. Count of Monte Cristo meletakkan tangannya di pundak Franz. "Maukah Tuan melihat
gua penjahat dalam keadaan tenteram?"
"Tentu," jawab Franz.
"Baik, mari ikut saya. Peppino, matikan obor."
Peppino menurut. Keadaan menjadi gelap gulita. Kurang lebih lima puluh yard di
hadapannya mereka dapat melihat cahaya kemerah-merahan yang lebih jelas lagi
kelihatannya dalam gelap itu. Mereka berjalan terus tanpa berkata Count yang
mempunyai mata terlatih dalam gelap berjalan di depan. Mereka tiba di tiga buah
kubat. Satu di antaranya berlaku sebagai pintu. Di belakang kubat itu terdapat
sebuah lapangan yang cukup luas yang dinding-dinding sekelilingnya dipenuhi oleh
relung-relung seperti dinding di luar tadi. Di tengah-tengah ruangan terdapat
empat buah batu yang dahulunya dipergunakan sebagai altar, ternyata dari salib
yang masih terdapat di atasnya. Satu-satunya lampu yang terletak di kaki sebuah
tiang mempertunjukkan suasana dalam ruangan itu secara remang-remang kepada
kedua pendatang yang tersembunyi dalam gelap.
Seorang laki-laki duduk dekat lampu sambil membaca membelakangi pintu masuk.
Dialah pemimpin gerombolan bandit itu, Luigi Vampa. Sekeliling dia, berkelompok-
kelompok dengan kawan masing-masing, ada kira-kira dua puluh orang lagi, masing-
masing dengan sebuah senapan karaben yang terletak di tanah dalam jangkauannya.
Di ujung paling jauh dari ruangan itu seorang penjaga berjalan bolak-balik.
Ketika Count of Monte Cristo mengira bahwa Franz
sudah cukup lama memperhatikan ruangan itu, dia meletakkan telunjuknya di
bibirnya sebagai isyarat untuk tidak bersuara, lalu menaiki tiga buah anak
tangga yang menuju ke dalam ruangan dan berjalan mendekati Vampa yang lagi asyik
membaca sehingga ia tidak mendengar langkah-langkah orang menghampirinya
"Stop! Siapa itu?" teriak penjaga tadi yang melihat sesosok tubuh mendekati
pemimpinnya dari belakang. Karena teriakan ini Vampa bangkit dan menarik pistol
dari ikat pinggangnya. Dalam saat yang bersamaan pula semua penjahat sudah
berdiri, dan dua puluh laras senapan diarahkan kepada Count of Monte Cristo.
"Selamat malam, Vampa yang baik," kala Count of Monte Cristo dengan ketenangan
suara yang sempurna, "rupanya beginilah penyambutan bagi seorang kawan!"
"Letakkan senjata!" perintah Vampa. Dengan gaya seorang bangsawan ia
menggerakkan sebuah tangannya dan mengangkat topinya dengan tangan yang satu
lagi. Kemudian berpaling kepada orang yang telah menguasai suasana dalam ruangan
itu, dan dia berkata, "Maafkan saya, Count, saya sama sekali tidak mengira akan
mendapat kehormatan dengan kunjungan ini sehingga saya tidak mengenal Tuan."
"Rupanya ingatanmu sangat pendek, Vampa," jawab Count, "dan bukan saja engkau
cepat lupa kepada wajah seseorang, tetapi juga cepat lupa kepada perjanjian-
perjanjian yang engkau buat dengan orang itu."
"Perjanjian manakah yang saya lupakan, Count?" tanya Vampa dengan suara seperti
orang yang telah berbuat suatu kesalahan besar, atau setidak-tidaknya dengan
nada suara orang yang ingin memperbaiki kesalahannya.
"Bukankah telah kita sepakati, bahwa engkau bukan saja akan menghormati aku,
tetapi juga kawan-kawanku."
"Dan bagaimana pula saya telah melanggar perjanjian itu?"
"Engkau telah menangkap Viscount Albert de Morcerf dan menahannya di sini.
Pemuda itu kawanku. Dia tinggal dalam satu hotel yang sama dengan aku, seminggu
lamanya mempergunakan keretaku, tetapi saya ulangi, engkau menangkapnya dan
menahannya di sini dan meminta uang tebusan."
"Mengapa aku tidak diberi tahu?" tanya Vampa kepada anak buahnya yang pada
mundur melihat pandangan marahnya. "Mengapa kalian membuat aku mengingkari janji
kepada Count of Monte Cristo" Kalau nanti kuketahui ada yang merahasiakan ini
kepadaku, akan kuhancurkan
kepalanya." "Seperti telah saya katakan tadi, ada kekeliruan," kata Count of Monte Cristo
kepada Franz. "Tuan tidak sendiri?" tanya Vampa agak heran.
"Aku datang dengan Tuan yang menerima surat permintaan uang tebusan. Aku ingin
membuktikan kepadanya bahwa Luigi Vampa bukan orang yang suka melanggar janji."
Franz memasuki ruangan. Luigi Vampa maju selangkah menyambutnya. "Selamat
datang, Yang Mulia. Tuan telah mendengar apa yang dikatakan oleh Count of Monte
Cristo dan apa jawaban saya. Saya hanya ingin menambahkan bahwa saya tidak
menghendaki itu terjadi sekalipun untuk empat ribu piaster."
'Tetapi di mana Tuan Albert sekarang?" tanya Franz sambil melihat ke
sekelilingnya. "Saya tidak melihatnya."
"Saya percaya tidak terjadi apa-apa dengan dia," kata Count of Monte Cristo
mengerinyit. "Beliau ada di dalam " kata Vampa menunjuk ke lubang yang dikawat oleh penjaga.
"Saya sendiri yang akan mengatakan bahwa beliau bebas."
Dia pergi ke tempat Albert ditahan, Franz dan Count mengikutinya. Vampa menarik
sebuah palang lalu membukakan pintunya. Dalam ruangan yang diterangi lampu yang
sama seperti lampu di ruangan Vampa mereka melihat Albert terbungkus dengan
pakaian yang dipinjamkan oleh seorang bandit. Dia tidur dengan lelapnya di sudut
ruangan. "Wah, wah!" kata Count tersenyum. "Bagus sekali bagi orang yang akan ditembak
mati jam tujuh pagi nanti."
Vampa memandang Albert dengan pandangan kagum
untuk keberaniannya "Tuan benar, Count," katanya, "Tuan ini pasti salah seorang
kawan Tuan." Kemudian dia mendekati Albert dan menepuk bahunya. "Bangun, Yang
Mulia." Albert menggeliat dan menggosok matanya. "Ah, rupanya Tuan, Kapten!" katanya.
"Sebaiknya saya dibiarkan terus tidur karena sedang mimpi berdansa dengan
seorang wanita cantik dalam pesta di rumah Duke Bracciano." Dia melihat
erlojinya "Apa sebab Tuan membangunkan saya pada waktu seperti ini?"
"Untuk mengatakan bahwa Tuan telah bebas, Yang Mulia." .
"Apakah uang tebusan sudah dibayar?"
"Tidak, Yang Mulia. Tetapi seseorang yang permintaannya tidak mungkin saya tolak
telah datang meminta Tuan."
"Baik sekali orang itu!" Albert melihat ke sekelilingnya dan matanya berhenti
pada Franz. "Apa!" katanya terperanjat, "engkaukah yang..."
"Bukan, bukan aku," jawab Franz, "tetapi tetangga kita, Count of Monte Cristo."
"Lagi-lagi Count of Monte Cristo," kata Albert gembira sambil memperbaiki letak
dasinya. "Harap Tuan suka menerima pernyataan saya bahwa saya berhutang budi
untuk seumur hidup kepada Tuan. Mula-mula untuk kereta, dan sekarang untuk ini!"
Dia mengulurkan tangannya kepada Count of Monte Cristo. Yang diajak berjabat
tangan menerimanya dengan agak gemetar.
Vampa melihat adegan ini dengan keheranan. Dia sudah terbiasa melihat tawanannya
gemetar berpeluh dingin di hadapannya Sekarang dia menghadapi seorang tawanan
yang tidak pernah kehilangan semangat. Franz sendiri, sangat bangga melihat
sikap Albert yang sekaligus berarti menjunjung tinggi kehormatan bangsa dan
negaranya "Kalau engkau mau bergegas," kata Franz kepada Albert,
"kita masih sempat pergi ke rumah Duke Bracciano, dan engkau dapat melanjutkan
dansamu yang terganggu tadi.
Dengan demikian engkau tidak akan menyalahkan Signor Vampa yang benar-benar
telah bersikap dan bertindak sebagai seorang terhormat dalam urusanmu ini"
"Engkau benar, kita bisa sampai di sana jam dua. Signor Vampa, apakah masih ada
hal-hal yang harus kami lakukan sebelum minta diri?"
"Tidak ada, Yang Mulia," jawab kepala bandit itu. 'Tuan bebas, sebebas udara."
"Kalau begitu, saya mengucapkan selamat tinggal dan semoga Tuan panjang usia dan
hidup berbahagia. Mari, Tuan-tuan."
Albert diikuti oleh Franz dan Count of Monte Cristo menuruni tangga pintu lalu
berjalan melalui ruangan yang luas.
Semua bandit berdiri dengan topi di tangan masing-masing.
"Peppino!" kata Luigi Vampa, "berikan obor itu."
"Apa yang hendak kaulakukan?" tanya Count.
"Saya sendiri yang akan menunjukkan jalan, Yang Mulia. Inilah kehormatan
terkecil yang dapat saya lakukan." Setelah mengambil obor dari tangan Peppino,
Vampa berjalan mendahului tamu-tamunya, tidak sebagai pelayan menunjuk jalan,
melainkan sebagai seorang raja memimpin rombongan duta besar. Pada pintu
pekuburan dia membungkukkan badan sambil berkata, "Count of Monte Cristo,
ijinkanlah saya mengulangi permintaan maaf saya, dan saya harap Tuan tidak
menyimpan rasa dendam kepada saya karena kejadian yang tidak sengaja ini."
"Sama sekali tidak, Vampa yang baik," kata Count.
"Lagipula, engkau telah memperbaiki kesalahan itu demikian baiknya sehingga
orang hampir-hampir cenderung untuk berterima kasih karena kejadian itu."
"Tuan-tuan," katanya menghadap kepada kedua bangsawan muda, "tawaran saya ini
mungkin sekali tidak menarik bagi Tuan-tuan, tetapi seandainya pada suatu waktu
Tuan-tuan ada keinginan berkunjung lagi, pintu kami selalu terbuka, di mana pun
saya berada" Franz dan Albert membungkukkan badan tanda berteri-ma kasih.
"Adakah masih sesuatu yang ingin Tuan-tuan tanyakan atau minta?" tanya Vampa
tersenyum. "Ya," jawab Franz, "saya mengakui tidak dapat menahan rasa ingin tahu buku apa
yahg sedang Tuan baca dengan penuh minat ketika kami datang."
"Ulasan dan kritik tentang Julius Ceasar. Buku kesenangan saya."
"Bagaimana Franz, kita pergi sekarang?" tanya Albert.
"Ya, ya," kata Franz sambil melangkah ke luar dari pekuburan bawah tanah masuk
ke udara terbuka. "Dan sekarang, Count," kata Albert, "dapatkah kita pergi secepat mungkin" Saya
bernafsu sekali untuk menghabiskan sisa malam ini dalam pesta di rumah Duke
Bracciano!" Ketika terbangun pagi-pagi, pikiran pertama yang timbul pada Albert, mengajak
Franz berkunjung kepada Count of Monte Crista Dia telah mengucapkan terima kasih
tadi malam kepadanya, namun untuk pertolongan yang tidak ternilai itu ia merasa
wajib mengucapkannya lebih dari satu kali
Franz, yang memang terkesan sekali oleh Count of
Monte Cristo, tetapi juga dibarengi semacam perasaan takut, tidak ingin
membiarkan kawannya pergi sendirian.
Mereka diantarkan pelayan ke ruang lukisan. Lima menit kemudian Count of Monte
Cristo datang menemui mereka.
"Count," kata Albert, "ijinkanlah pada pagi ini saya mengulangi lagi apa yang
tadi malam saya ungkapkan dengan tidak begitu baik. Bahwa saya tidak akan pernah
melupakan pertolongan Tuan, dan selalu akan saya camkan dalam hati bahwa saya
berhutang nyawa kepada Tuan."
"Ah, tetanggaku yang baik," jawab Count tertawa, "Tuan terlalu melebih-lebihkan.
Sebenarnya apa yang telah saya lakukan hanyalah menolong Tuan menghemat dua
puluh ribu frank atau empat ribu piaster. Lain tidak. Suatu jumlah yang tidak
berharga untuk dipersoalkan."
"Tidak, Count, rasa hutang budi saya sangat besar" kata Albert, "dan saya datang
sekarang untuk menanyakan kalau-kalau saya, atau sahabat-sahabat saya atau
kenalan-kenalan saya, dapat melakukan sesuatu bagi Tuan."
"Tuan de Morcerf" jawab Count of Monte Cristo, "saya akui bahwa memang saya agak
mengharap tawaran itu, dan saya ingin menerimanya dengan segala senang hati.
Saya telah mempunyai rencana meminta bantuan Tuan yang berharga sekali."
"Apakah itu?" "Saya belum pernah mengenal Paris dan..."
"Apa!" Albert terkejut "Dengan keadaan seperti Tuan, Tuan belum pernah ke Paris"
Sungguh mustahil!" "Mustahil tetapi benar. Memang, sewaktu-waktu timbul juga pikiran pada saya,
seperti pada Tuan, bahwa tidak mungkin saya terus dalam keadaan tidak mengenal
kota yang termashur akan kemajuannya. Perjalanan yang tidak mungkin saya hindari
ini sebenarnya dapat saya lakukan dahulu, seandainya saya mempunyai seseorang
yang dapat memperkenalkan saya kepada masyarakat Paris. Tawaran Tuan sekarang,
sangat menentukan. Oleh sebab itu, sudikah Tuan de Morcerf yang baik," Count of
Monte Cristo menyertai ucapannya itu dengan Senyum yang ganjil, "memperkenalkan
saya kepada dunia yang masih asing bagi sa-ya?"
"Dengan segala senang hati, Tuan. Semua kawan dan sahabat saya akan membantu
Tuan." "Saya terima tawaran Tuan, kalau begitu," kata Count.
"Saya telah lama merencanakan perjalanan ini, dan inilah kesempatan baik untuk
melaksanakannya." "Bila Tuan bermaksud datang di Paris?"
"Bila Tuan sendiri akan kembali?"
"Dalam dua atau tiga minggu mendatang."
"Dalam hal demikian," kata Count, "saya akan datang tiga bulan lagi. Seperti
Tuan lihat, saya memberi waktu yang longgar sekali."
'Tiga bulan sejak sekarang Tuan akan mengetuk pintu saya?" tanya Albert gembira
seperti anak kecil "Apakah Tuan menghendaki kita menentukan hari dan jamnya sekali" Baik saya
bcntahukan, bahwa saya seorang yang biasa tepat memegang waktu sampai kepada
detiknya" "Hari dan jamnya" kata Albert "Tak ada yang lebih saya senangi daripada itu."
"Baiklah. Hari ini, tanggal dua puluh satu Pebruari jam setengah sebelas siang.
Bersediakah Tuan menantikan kedatangan saya pada tanggal 21 Mei jam setengah
sebelas siang?" "Tentu, dan makan siang sudah akan siap pada waktu itu."
"Di mana alamat Tuan?"
"Rue du Helder No. 27."
Count of Monte Cristo menuliskan alamat itu dalam bu-ku catatannya
"Apakah kita masih akan bertemu lagi sebelum saya pulang?" tanya Albert
"Tergantung . .. kapan Tuan akan berangkat?"
"Besok jam lima sore."
"Kalau begitu, saya mengucapkan selamat jalan sekarang. Saya mempunyai sesuatu
urusan di Napoli dan belum akan kembali ke sini sampai hari Sabtu malam atau
Minggu pagi yang akan datang. Bagaimana dengan Tuan, Baron Franz d'Epinay"
Apakah Tuan pun akan segera pulang?"
"Ya." "Ke Perancis?" "Tidak. Ke Venesia. Saya akan tinggal di Italia untuk satu dua tahun lagi."
"Baiklah, Tuan-tuan, saya mengucapkan selamat jalan,"
kata Count lalu menjabat tangan tamunya seorang-seorang.
Baru untuk pertama kali itu Franz merasakan tangan Count of Monte Cristo. Dia
terkejut, oleh karena tangan itu terasa sangat dingin seperti tangan mayat.
"Sekali lagi," kata Albert, "tanggal dua puluh satu Mei jam setengah sebelas
siang, bukan?" 'Tanggal dua puluh satu Mei jam setengah sebelas siang,"
kata Count mengulang. Kedua bangsawan muda itu membungkukkan badan me-
minta diri, lalu keluar. "Mengapa?" tanya Albert kepada Franz ketika mereka berjalan menuju kamarnya.
"Seperti ada yang mengganggu pikiranmu."
"Ya, aku akui," jawab Franz. "Orang itu sangat aneh, dan aku merasa agak
khawatir tentang perjanjian yang kalian buat untuk di Paris itu."
"Engkau gila, Franz."
"Gila atau tidak, aku tetap merasa khawatir."
BAB XXII PADA tanggal dua puluh satu Mei dalam rumah di Rue du Helder No. 27 di Paris,
segala sesuatu telah dipersiapkan Albert untuk menyambut tamunya.
Albert de Morcerf tinggal dalam sebuah bangunan kecil yang terletak di salah
satu sudut pekarangan luas, terpisah dari rumah induknya Hanya dua jendelanya
yang menghadap ke jalan. Tiga buah lainnya menghadap ke pekarangan, dan yang dua
buah lagi menghadap ke punggung kebun.


The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Di antara pelataran dan kebun itu terdapat gedung besar dan megah, tempat
tinggal Tuan dan nyonya de Morcerf.
Menilik kepada pemilihan rumah untuk Albert, kita dapat membaca kebijaksanaan
seorang ibu yang tidak mau terpisah jauh dari anaknya, tetapi juga menyadari
bahwa pemuda seusia Albert memerlukan semacam kebebasan.
Pada hari itu, Albert duduk di ruang tamu yang kecil di lantai pertama
Seperempat jam sebelum jam sepuluh seorang pelayan datang meletakkan beberapa
surat kabar di atas meja dan menyerahkan setumpuk surat kepada Albert.
"Jam berapa Tuan hendak makan siang, Tuan?" tanya pelayan itu.
"Tepat jam setengah sebelas. Sebenarnya aku kurang percaya kepada janji Count of
Monte Cristo itu, tetapi setidak-tidaknya aku ingin supaya yang menjadi
kewajibanku semua terpenuhi."
Pelayan mengundurkan diri. Albert merebahkan dirinya di dipan, mengambil surat
kabar melihat-lihat acara teater.
Ia agak kecewa karena malam nanti bukan balet yang akan dipertunjukkan melainkan
sebuah opera. Dia melihat lagi surat-surat kabar lainnya satu demi satu. Tiga
buah surat kabar yang paling banyak dibaca orang di Paris. "Surat kabar-surat
kabar ini makin lama makin membosankan saja," katanya sendiri di antara berkali-
kali menguap panjang. Sebuah kereta berhenti di muka pintu. Dan beberapa saat kemudian pelayan datang
memberitahukan kedatangan tuan Lucien Debray, seorang berbadan tinggi, pucat, berambut pirang, berbibir tipis dan bersorot mata penuh percaya diri. Dia
masuk ruangan tanpa berkata atau tersenyum.
"Selamat pagi, Lucien!" sambut Albert "Ketepatanmu agak menakutkan. Aku
memperhitungkan engkau akan
datang paling akhir, ternyata paling dahulu bahkan mendahului waktu. Aneh
sekali! Apakah kementerianmu telah runtuh, barangkali?"
"Tidak, jangan khawatir. Memang jalan kami tertatih-tatih, namun tak akan
jatuh." "Tuan Beauchamp!" kata pelayan memberitahukan kedatangan tamu lain.
"Silakan, silakan masuk, Pena Tajam!" kata Albert, berdiri dan melangkah
menyambut kedatangan tamu baru.
"Lihat, ini Debray yang membenci tulisanmu tanpa membacanya dahulu, setidak-
tidaknya begitulah katanya."
"Ia tidak salah," kata Beauchamp. "Dia sama seperti aku.
Aku merigritiknya tanpa mengetahui apa yang ia perbuat Selamat pagi"
Sekertaris Menteri dan wartawan berjabatan tangan sambil tersenyum.
"Kita hanya menunggu dua orang lagi," kata Albert,
"setelah itu kita akan pindah ke meja makan."
"Siapa mereka itu?" tanya Beauchamp.
"Seorang jentelmen dan seorang diplomat."
"Berarti kita harus menunggu dua jam lagi untuk jentelmen itu, di tambah
beberapa lama lagi untuk diplomat."
"Tidak," kata Albert mencoba meyakinkan. "Kita akan makan tepat jam setengah
sebelas, apa pun yang terjadi."
'Tuan de Chateau-Renaud dan Tuan Maximilen Morrel!"
seru pelayan. "Ah, sekarang lengkap sudah," kata Beauchamp.
"Bukankah mereka yang engkau nantikan, Albert?"
"Morrel . . ." Albert mengulang-ulang nama itu agak heran. "Morrel" Siapa dia?"
Tetapi sebelum dia habis berpikir, Tuan de Chateau-Renaud, seorang muda yang
tampan, berumur kira-kira tiga puluhan, yang perlente sampai ke ujung jari-
jarinya, memegang Albert di tangannya dan berkata, "Ijinkan saya memperkenalkan
Kapten Maximilien Morrel, sahabat dan lebih dari itu, penyelamat jiwa saya.
Terimalah pahlawanku, Viscount."
Dia melangkah ke samping memberi kesempatan kepada Albert untuk memandang
seorang tinggi kekar, berdahi lebar dan bermata tajam dengan kumis melintang di
bawah hidungnya. Seragam yang indah menonjolkan dadanyayang bidang dihias dengan
bintang kehormatan. Perwira muda itu membungkukkan badan memberi hormat.
Gerakannya sangat mengesankan karena ia seorang yang gagah.
'Tuan de Chateau-Renaud telah mengetahui terlebih dahulu betapa akan gembira
saya dapat berkenalan dengan Tuan," kata Albert ramah. 'Tuan telah menjadi
sahabatnya, terimalah saya menjadi kawan Tuan."
"Bagus sekali," kata de Chateau-Renaud, "saya harap, Viscount, bila ada
kesempatan ia akan berbuat untuk Tuan sebagaimana ia telah melakukan untuk
saya." "Apa yang telah dilakukannya?" tanya Albert
"Ah " kata Maximilien, "suatu hal yang tidak penting.
Baron de Chateau-Renaud terlalu membesar-besarkannya."
"Apa!" kata Baron Chateau-Renaud. "Tidak penting" Itu berarti bahwa nyawa tidak
penting!" "Jelas bagi saya, Baron, bahwa Kapten Morrel pernah menyelamatkan jiwa Tuan."
''Begitulah." "Bagaimana kisahnya?" tanya Beauchamp.
"Seperti kalian tahu, pada suatu waktu timbul pikiran pada saya untuk pergi ke
Afrika di mana sedang berlangsung pertempuran antara pasukan kita dengan orang-
orang Arab," kata Chateau-Renaud memulai "Dan oleh karena saya pikir akan
memalukan sekali apabila saya menyia-nyiakan bakat saya, saya mengambil
keputusan untuk mencoba dua buah pistol saya yang baru terhadap orang Arab.
Sebab itu, mula-mula saya menuju ke Oran. Dari sana melanjutkan ke Istambul dan
datang di sana tepat pada saat pengepungan terhadap orang Arab dikendurkan. Saya
turut mengundurkan diri bersama yang lain. Selama empat puluh delapan jam saya
harus menahan hujan di siang hari dan salju di malam hari. Tiba-tiba saya
melihat enam orang Arab datang berkuda mendekat. Dua orang dari padanya saya
tembak dengan senapan, dan dua orang lainnya dengan pistol. Mas di ada dua orang
lagi dan senjata saya sudah kosong semua. Salah seorang dari mereka
menjambak rambut saya, itulah sebabnya saya cukur pendek sekarang, siapa tahu
kejadian seperti itu bisa berulang lagi, dan yang seorang lagi men arahkan
pedangnya ke leher. Saya sudah merasakan dinginnya pedang itu di tenggorokan
ketika Tuan ini datang menyerang mereka. Dia menembak orang yang memegang rambut saya dan membelah
kepala yang lainnya dengan pedangnya Kapten Morrel telah mewajibkan dirinya
untuk menyelamatkan jiwa orang lain pada hari itu yang baginya mempunyai arti
yang istimewa. Dan ternyata takdir menentukan, sayalah orangnya yang
diselamatkan itu." "Benar," kata Maximilien, "hari itu tanggal lima September, hari diselamatkannya
ayah saya dari suatu kematian dengan cara yang menakjubkan sekali. Sepanjang
dalam batas kemampuan, saya mencoba untuk memperingati hari itu setiap tahun
dengan perbuatan yang..."
"Perbuatan yang bersifat kepahlawanan, begitu bukan?"
Chateau-Renaud menyela. "Ceritera yang tadi disinggung sedikit deh Tuan Morrel,
merupakan kisah tersendiri yang cukup menarik. Pada suatu hari nanti, apabila
kalian telah mengenalnya dengan baik, saya harap dia rnau menceriterakannya
selengkapnya Tetapi sekarang, lebih baik kita mengisi perut daripada mengisi
pikiran. Jam berapa kita akan makan, Albert?"
"Setengah sebelas."
"Tepat?" tanya Debray sambil mengambil erlojinya.
"Ijinkan saya menunggu lima menit lagi," kata Albert,
"karena saya pun menunggu seorang penyelamat."
"Penyelamat siapa?"
"Aku, tentu! Apa kalian mengira aku tidak dapat diselamatkan seperti orang lain,
dan bahwa orang Arab saja yang suka memotong leher" Tahun ini saya ke Roma untuk
melihat karnaval..."
"Kami tahu itu," kata Beauchamp.
"Ya, tetapi ada yang tidak engkau ketahui, aku ditangkap bandit."
"Di sana tidak ada bandit," kata Debray. "Mengapa tidak kauakui saja bahwa
tukang masakmu terlambat dan bahwa engkau bermaksud menyuguhkan sebuah ceritera
sebagai pengganti makanan" Kami cukup baik untuk memaafkan dan mendengarkan
kisahmu yang kedengarannya sangat fantastis."
"Aku akan mengisahkannya, tetapi, betapapun mengherankannya, aku bersumpah bahwa
ceriteraku benar sejak awal sampai akhir. Bandit-bandit menangkap dan memba-waku
ke sebuah tempat yang mengerikan, terkenal dengan nama pekuburan Saint
Sebastian. Aku ditangkap untuk mendapatkan uang tebusan sejumlah empat ribu
piaster. Celakanya, di kantongku pada waktu itu hanya ada seribu lima ratus. Waktu
kunjungan di Italia sudah hampir berakhir dan uangku sudah hampir habis. Aku
menulis surat kepada Franz. Oh, ya! Aku pergi bersama Franz, jadi, kalau perlu,
kalian boleh menyuratinya bertanya apakah aku bohong atau tidak. Aku menulis
surat kepada Franz, kalau uang yang empat ribu piaster itu belum diterima pada
jam enam pagi berikutnya aku akan segera bergabung dengan penghuni-penghuni
kuburan itu. Dan aku dapat meyakinkan kalian bahwa Signor Luigi Vampa - itulah
nama kepala bandit - akan memegang teguh kata-katanya"
"Dan Franz datang dengan uang yang empat ribu piaster itu, bukan?" kata Chateau-
Renaud. "Tidak. Sederhana sekali Dia datang dikawani seorang jentelmen yang
kedatangannya aku nantikan sekarang dan yang aku harapkan dapat
memperkenalkannya kepada kalian. Orang itu mengatakan beberapa kalimat kepada
kepala bandit, dan aku bebas."
"Dan aku kira, bahkan mereka meminta maaf karena telah menahanmu," kata
Beauchamp menyindir. "Ya, benar. Mereka meminta maaf," kata Albert
"Orang itu mesti atasannya kepala bandit!"
"Bukan, orang itu adalah Count of Monte Cristo."
'Tidak ada orang yang bernama Count of Monte Cisrto,"
kata Debray. "Aku kira juga tidak ada," tambah Chateau-Renaud dengan keyakinan seseorang yang
mengenal semua bangsawan Eropah di telapak tangannya, "Adakah di sini yang
pernah mendengar nama Count of Monte Cristo, di mana saja?"
"Barangkali ia datang dari Kota Suci," kata Beauchamp.
"Salah seorang leluhurnya mungkin pernah memiliki Calva-ri, sebagaimana halnya
kaum Mortemart dahulu memiliki Laut Mati."
"Maafkan saya," kata Maximilien, "barangkali saya dapat menjelaskan. Monte
Cristo adalah nama sebuah pulau kecil yang sering saya dengar dalam percakapan-
percakapan awak kapal ayah saya. Sebuah pulau pasir di tengah-tengah kepulauan
Mediterania." "Benar," kata Albert 'Dan orang yang aku maksud ini adalah pemilik dan raja
pulau pasir itu. Mungkin saja dia membeli gelar Countnya di sesuatu tempat di
Tuscani. Tetapi itu tidak merubah kenyataan bahwa Count of Monte Cristo memang ada."
"Setiap orang ada, tak ada yang aneh dalam hal ini."
"Setiap orang ada, memang benar, tetapi tidak seperti Count of Monte Cristo.
Orang itu sering sekali membuatku gemetar. Pada suatu hari, umpamanya, kami
menonton pelaksanaan hukuman mati. Aku kira aku hampir jatuh pingsan, tetapi
lebih banyak disebabkan melihat dan mendengarkan dia berceritera tentang
kekejaman-kekejaman di dunia ini daripada disebabkan melihat algojo melaksanakan
tugasnya dan mendengar jeritan maut orang yang dihukum."
"Setelah dia menolong jiwamu, apakah dia menyodorkan sebuah kontrak untuk engkau
tandatangani, dalam mana engkau harus menyerahkan hidupmu kepadanya?"
"Silakan tertawa!" kata Albert sedikit tersinggung.
"Tertawalah sebanyak dan selama kalian suka. Kalau aku melihat kalian sebagai
orang-orang Paris yang rapih, yang terbiasa dengan kemewahan dan kemegahan,
kemudian membandingkannya dengan dia, aku cenderung mengatakan bahwa kita
berasal dari jenis yang lain daripada dia!"
"Terima kasih, saya merasa dipuji dengan kata-katamu itu!" kata Beauchamp.
"Bagaimana juga, Count of Monte Cristo itu tidak dapat disangsikan lagi seorang
yang sopan dan terhormat, kecuali mengenai hubungannya dengan bandit-bandit
Italia itu," kata Chateau-Renaud. "Bandit-bandit Itali itu tidak ada!" kata Debray.
"Juga tidak ada Count of Monte Cristo," tambah lagi Beauchamp. "Dengar, lonceng
telah berbunyi setengah sebelas. Anggap saja ceritera itu sebagai suatu impian
dan mari kita makan."
Belum lagi gema lonceng menghilang, pintu terbuka dan pelayan berteriak, 'Yang
Mulia Count of Monte Cristo!"
Tak seorang pun dari mereka mendengar suara kereta datang atau suara orang
berjalan di ruang tunggu, bahkan tidak juga ada yang mendengar pintu dibuka
pelayan. Count of Monte Cristo muncul di ambang pintu, berpakaian dengan amat sederhana,
namun, seorang ahli busana pun tidak akan dapat menemukan kesalahan atau kecang-
gungan dalam pakaiannya itu. Dia tersenyum dan melangkah menghampiri Albert,
yang sudah maju menyambutnya dan dengan gembira menjabat tangannya
"Count," kata Albert, "saya baru saja memberitahukan kunjungan Tuan kepada
sebagian dari kawan-kawan saya yang sengaja saya undang untuk kesempatan ini dan
yang dengan senang hati ingin saya perkenalkan sekarang. Ini, Count Chateau-
Renaud yang kebangsawanannya telah berumur tua sekali dan leluhur-leluhurnya
semua termasuk golongan Ksatria. Tuan Lucien Debray, Sekertaris Menteri Dalam
Negeri; Tuan Beauchamp wartawan yang tajam
penanya, yang menjadi duri bagi Pemerintahan Perancis; dan akhirnya Tuan
Maximilien Morrel, kapten dari
Spahis." Mendengar nama terakhir ini, Count of Monte Cristo yang selama ini membungkukkan
badan dengan dingin dan acuh tak acuh setiap kali diperkenalkan, tanpa
disadarinya maju selangkah dan pipinya yang pucat berubah menjadi sedikit merah.
"Tuan mengenakan seragam Perancis yang baru."
'Betul," sahut Albert, "dan di balik seragam itu berdenyut jantung salah seorang
yang paling berani dalam ketentaraan Perancis."
"Ah, Tuan de Morcerf!" Maximilien menyela.
"Biarkan saya berkata terus, Kapten. Kami baru saja mendengar," lanjut Albert,
"bahwa Tuan Morrel telah melakukan suatu tindakan ksatria. Sekalipun saya baru
hari Ini untuk pertama kalinya bertemu, saya harap beliau tidak berkeberatan
saya perkenalkan sebagai salah seorang sahabat saya"
"Kapten Morrel berhati mulia!" sambut Count of Monte Cristo. "Senang sekali saya
rasanya!" Pernyataan spontan dari Count of Monte Cristo ini mengejutkan semua, terutama
Maximilien sendiri yang memandang kepada Count of Monte Cristo dengan rasa
heran. "Tuan-tuan," kata Albert, "pelayan telah memberitahukan bahwa makanan telah
siap. Ijinkanlah saya menunjukkan jalan, Count."
Mereka semua masuk ke dalam ruang makan dan
masing-masing mengambil tempat.
Albert memperhatikan bahwa Count makannya sedikit.
"Saya khawatir bahwa makanan Perancis tidak sesuai dengan selera Tuan.
Seharusnya sejak jauh-jauh hari saya sudah bertanya apa yang menjadi kesukaan
Tuan." "Kalau Tuan mengenal saya cukup baik," jawab Count tersenyum, "Tuan tidak perlu
bersusah-payah memikirkan hal-hal yang tidak begitu penting bagi seorang yang
suka bepergian seperti saya. Saya dapat hidup dengan makaroni di Napoli, dengan
polenta di Milan, olla podrida di Valensia, sayur kari di India, pilau di
Istambul atau sarang burung di Negeri Cina. Saya makan segala makanan di segala
tempat, tetapi sedikit. Dan hari ini, kebetulan sekali nafsu makan saya lagi
baik karena saya belum makan sejak kemarin pagi."
"Sejak kemarin pagi?" tamu-tamu lain berkata hampir berbarengan. "Tuan tidak
makan selama dua puluh empat jam?"
"Benar," jawab Count of Monte Cristo. "Saya agak terlambat dalam perjalanan
kemarin, sehingga saya tidak mau berhenti untuk makan."
"Apakah Tuan tidak makan dalam kereta?" tanya Albert.
'Tidak, saya tidur, seperti biasa kalau saya merasa jemu dan tidak bernafsu
menghibur diri, atau kalau saya lapar dan tidak mau makan."
"Rupanya Tuan dapat mengatur tidur?" tanya Albert lagi.
"Begitulah kurang lebih."
"Apakah ada resepnya?"
"Ada, dan manjur sekali"
"Bolehkah kami mengetahuinya?" tanya Debfay.
"Mengapa tidak," kata Count of Monte Cristo. "Saya tidak pernah merahasiakannya.
Campuran dari madat yang baik dengan ganja yang tumbuh di negri Timur. Untuk
mendapatkan madat yang baik dan mumi, sengaja saya pergi ke Canton. Campurkan
kedua bahan itu dalam perbandingan yang seimbang lalu dibuat pil. Kalau Tuan
memerlukannya, tinggal menelan saja. Akibatnya akan segera terasa dalam tempo
sepuluh menit" "Tetapi," kata Beauchamp, yang sebagai seorang wartawan sangat tidak mudah


The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

percaya, "apakah Tuan membawanya obat itu setiap waktu?"
"Setiap waktu," jawab Count of Monte Cristo.
"Tidak berlebih-lebihankah apabila saya meminta melihatnya?" tanya Beauchamp
lagi, mencoba menjebak. "Sama sekali tidak," kata Count. Dia mengeluarkan sebuah kotak indah terbuat
dari batu jamrud dari saku bajunya. Dalam kotak itu terdapat lima atau enam buah
pil bundar sebesar-besar kacang. Warnanya kehijau-hijauan, baunya menusuk.
Kotak itu dikelilingkan, tetapi para tamu lebih tertarik oleh jamrudnya daripada
oleh pil yang berada di dalamnya.
"Jamrud yang sangat menakjubkan," kata Chateau-Renaud, "dan yang paling besar
yang pernah saya lihat"
"Saya mempunyai tiga buah semacam itu," kata Count of Monte Cristo. ''satu saya
berikan kepada Grand Seigneur yang memasangnya pada pedangnya, dan sebuah lagi
kepada Paus yang memasangnya pada mahkotanya
berhadapan dengan jamrud lainnya yang sama jenisnya tetapi tidak begitu cantik.
Jamrud yang ada pada beliau itu diterima dari Kaisar Napoleon oleh pendahulunya,
Pius VII. Yang sebuah ini tetap saya pegang. Saya menyuruh mengoreknya menjadi
sebuah kotak. Setengah dari nilainya hilang terkorek, namun kehilangan itu
seimbang dengan kegunaan yang saya maksudkan."
Setiap orang melihat kepada Count of Monte Cristo dengan penuh keheranan. Dia
berbicara begitu polos sehingga menimbulkan kesan ia gila atau berkata
sebenarnya. Tetapi jamrud yang pernah dipegang masing-masing menjadi bukti nyata
bahwa apa yang dikatakannya benar belaka.
"Dan apa yang Tuan terima dari kedua pembesar itu sebagai penukarnya?" tanya
Debray. "Grand Seigneur memberikan kebebasan kepada seorang wanita," jawab Count, "dan
Bapa Suci memberikan nyawa seseorang kepada saya."
"Tentu Peppino yang jiwanya Tuan selamatkan itu, bukan?" tanya Albert.
"Mungkin," jawab Count of Monte Cristo tersenyum.
'Tuan tentu tak akan dapat membayangkan betapa senang hati saya mendengar Tuan
berbicara seperti itu!" kata Albert. "Saya tadi menggambarkan Tuan kepada teman-
teman sebagai orang yang aneh, seperti seorang bijaksana dari ceritera Seribu
Satu Malam, seperti seorang ahli sihir dari abad pertengahan. Tetapi orang-orang
Paris ini suka menganggap suatu kebenaran yang tidak terbantahkan sebagai suatu
permainan daya khayal belaka, apabila kebenaran itu tidak cocok dengan cara
hidup mereka sehari-hari.
Tolong Tuan ceriterakan bahwa saya ditangkap oleh bandit-bandit Italia dan bahwa
jika tidak karena campur tangan Tuan mungkin sekarang saya sedang menantikan
Pengadilan Terakhir di pekuburan Saint Sebastian, dan bukannya menjamu mereka
sekarang di rumah saya yang sederhana ini. Selain dari itu, saya pun ingin
mengetahui bagaimana Tuan telah menanamkan pengaruh yang begitu besar pada Luigj
Vampa yang kita ketahui tidak banyak yang dia segani. Franz dan saya betul-betul
merasa terkesan." "Saya telah mengenal Luigi Vampa kurang lebih sepuluh tahun lamanya," kata Count
of Monte Cristo. "Pada suatu hari, ketika ia masih kanak-kanak dan masih menjadi
gem-bala yang sederhana, pernah saya memberinya sebuah mata uang emas sebagai
hadiah karena telah menunjukkan jalan kepada saya. Supaya tidak merasa berhutang
budi, dia memberikan sebilah belati yang dibuatnya sendiri sebagai penukarnya.
Saya kira Tuan pernah melihatnya dalam koleksi senjata-senjata saya. Beberapa
tahun kemudian, mungkin karena dia telah lupa kepada pertukaran hadiah yang
sebenarnya dapat membuat kami bersahabat, atau mungkin juga karena dia tidak
mengenali saya, dia mencoba menangkap saya. Tetapi kejadiannya, bukan saya yang
dia tangkap, melainkan dia yang saya tangkap, termasuk selusin anak buahnya.
Sebenarnya, pada waktu itu saya dapat menyerahkannya kepada pengadilan Roma yang
tentu saja akan me-mashurkan nama saya dan
pengadilan pun akan dengan senang hati segera
mengadilinya. Tetapi saya tidak melakukannya. Saya membebaskan dia, juga anak
buahnya" "Dengan sarat bahwa mereka tidak berbuat jahat lagi"
kata si wartawan tertawa "Saya senang sekali mengetahui bahwa mereka memegang
teguh janjinya." 'Tidak," jawab Count of Monte Cristo, "hanya dengan sarat bahwa ia selalu akan
menghormati saya dan kawan-kawan saya. Itulah sebabnya saya dapat melepaskan
Tuan rumah kita dari tangannya. Saya mempunyai maksud tertentu dengan
menyelamatkan Tuan. Saya ingin mengunjungi Tuan dan meminta pertolongan Tuan
untuk memperkenalkan saya kepada masyarakat Paris apabila saya -ber kunjungan ke
Perancis. Ketika itu Tuan dapat menganggapnya sebagai suatu angan-angan
selintas, tetapi sekarang telah benar-benar menjadi suatu kenyataan yang akan
membuat Tuan menderita bila Tuan tidak memenuhi janji."
"Saya akan memegang janji itu," kata Albert, "tetapi saya khawatir Tuan akan
kecewa Tuan telah biasa dengan pemandangan-pemandangan yang indah, kejadian-
kejadian yang menakjubkan dan pengetahuan yang luas, padahal Perancis hanyalah
sebuah negara yang menjemukan dan Paris hanya sebuah kota yang terkenal
peradabannya saja. Sebab itu hanya ada satu hal saja yang dapat saya lakukan dan untuk itu saya
menyerahkan segala-galanya yang ada pada saya, yaitu memperkenalkan Tuan ke
mana-mana atau meminta sahabat-sahabat saya melakukannya. Saya tidak berani
menawarkan Tuan tinggal bersama saya seperti yang telah Tuan lakukan kepada saya
di Roma, karena tempat saya ini demikian kecilnya sehingga tak ada lagi tempat
untuk Sebuah bayangan pun, kecuali sebuah
bayangan seorang wanita."
"Aha, saya ingat" kata Count, "di Roma Tuan pernah mengatakan tentang
kemungkinan menikah apabila Tuan -
kembali ke Paris. Apakah ucapan selamat sudah pada tempatnya sekarang?"
"Belum ada sesuatu kepastian, tetapi saya harap tak lama lagi saya sudah dapat
memperkenalkannya, kalaupun tidak sebagai isteri, sebagai tunangan. Nona Eugenie
Danglars." "Eugenie Danglars!" kata Count of Monte Crista "Putri Baron Danglars?"
"Benar. Tuan mengenalnya?"
"Tidak, saya tidak mengenalnya," kata Count polos,
"tetapi mungkin sekali dalam waktu yang dekat ini saya akan menjadi kenalannya,
oleh karena saya mempunyai suatu perhitungan keuangan dengan beliau melalui
perusahaan Richard and Blount di London, Arstein and Eskeles di Wina, dan
Thomson and French di Roma."
Ketika menyebut nama yang terakhir ini Monte Cristo melirik kepada Maximilien
Morrel dengan sudut matanya.
Anak muda itu terkejut seakan-akan ia menerima sentakan aliran listrik. "Thomson
and French," katanya. "Tuan mengenal perusahaan itu?"
"Mereka adalah bankir saya di Roma," kata Count of Monte Cristo dengan tenang.
"Apakah ada sesuatu yang dapat saya lakukan bagi Tuan sehubungan dengan
perusahaan itu?" "Barangkali Tuan dapat menolong kami mengetahui sesuatu perkara yang selama ini
gelap bagi keluarga kami.
Perusahaan itu pernah membuat sesuatu jasa yang besar sekali artinya bagi kami,
tetapi, entah apa sebabnya, mereka selalu menyangkal telah melakukannya."
"Saya akan merasa senang sekali membantu Tuan sepanjang dalam batas kemampuan
saya, Kapten." "Maaf sebentar," kata Albert, "kita telah menyimpang terlalu jauh dari pokok
pembicaraan. Tadi kita sedang membicarakan rumah yang patut bagi tempat tinggal
Count of Monte Cristo. Mari, kawan-kawan, kita pecahkan bersama-sama: di mana
kita akan menempatkan tamu baru saya di kota Paris ini?"
"Di Faubourg Saint-Germain," kata Chateau-Renaud.
"Beliau akan mendapatkan rumah kecil mungil dengan pelataran dan kebun di sana."
"Engkau tidak mengetahui lebih dari daerah yang suram itu," kata Debray. "Jangan
dengarkan dia, Count. Ambillah sebuah rumah di Chaussee d'Antin pusat kota
Paris." "Jangan, lebih baik di Boulevard de 'Opera," kata Beauchamp. "Tuan akan dapat
melihat seluruh kota Paris dari sana."
"Bagaimana pendapatmu, Morrel?" tanya Chateau-Renaud. "Ada usul?"
"Ada," jawab perwira muda tersenyum. "Tadinya saya mengira Count of Monte Cristo
akan tertarik kepada salah satu usul yang dike mukakan tadi. Karena beliau tetap
diam, saya kira saya juga dapat menawarkan sebuah kamar dalam sebuah rumah kecil
yang disewa adik perempuan saya beberapa tahun terakhir ini. Letaknya di Rue
Meslay." "Apakah Tuan mempunyai saudara perempuan?" tanya Count of Monte Cristo.
"Betul, dan seorang adik yang baik."
"Sudah menikah?"
'Telah sembilan bulan."
"Bagaimana, berbahagia?"
"Sebahagia yang diijinkan Tuhan bagi manusia. Dia menikah dengan laki-laki yang
dicintainya, arang yang tetap setia kepada keluarga kami ketika kami ditimpa
nasib buruk. Emmanuel Herbaut namanya. Saya tinggal bersama mereka selama cuti
ini. Ipar dan saya sendiri siap melakukan apa saja yang Tuan perlukan."
'Terima kasih, Kapten. Saya akan merasa cukup puas dengan diperkenalkan kepada
adik Tuan dan suaminya, seandainya Tuan sudi melakukannya. Sebabnya saya tidak
menerima saran-saran, yang dikemukakan, hanya karena saya telah mempunyai sebuah
rumah. Saya mengirimkan pembantu saya lebih dahulu ke Paris untuk membeli sebuah
rumah, bahkan mungkin ia sudah selesai memperlengkapinya sekarang"
"Saya mengartikan bahwa pembantu Tuan telah mengenal Paris," kata Beauchamp.
"Ini merupakan kunjungannya yang pertama kali ke Paris, dan ia seorang bisu."
"Ali?" tanya Albert di tengah-tengah keheranan tamu-tamu lain.
"Benar. Ali orang bisu dari Nubia. Tuan telah melihatnya di Roma saya kira."
"Ya. Saya ingat benar. Tetapi bagaimana Tuan dapat mengutus seorang Afrika Nubia
lagi pula bisu untuk membelikan sebuah rumah di Paris dan memperlengkapinya"
Saya yakin semuanya akan salah. Kasihan dia."
Balikan sebaliknya. Saya yakin ia telah memilih segala-galanya sesuai dengan
selera saya. Seperti Tuan ketahui, selera saya jauh berlainan dari selera orang
lain. Dia sampai di sini seminggu yang lalu dan saya yakin telah menjelajahi
seluruh kota Paris dengan ketajaman hidung seekor anjing pemburu. Dia mengetahui
semua kebiasaan, kesenangan dan keperluan saya dan saya yakin juga ia telah
mengatur segala-galanya sesuai dengan kemauan saya. Dia tali u bahwa saya akan
datang hari ini pada jam sepuluh. Dia menunggu di Barriere de Fontainebeau untuk
memberikan secarik kertas ini, alamat saya di sini. Silakan baca." Count of
Monte Cristo menyerahkan kertas itu kepada Albert.
"Champs Elysee No. 30."
"Sungguh, suatu penemuan yang orisinil!" seru Beauchamp.
"Dan megah bagaikan rumah seorang putera raja," tambah Chateau-Renaud.
"Apakah ini berarti bahwa Tuan belum pernah melihat rumah Tuan sendiri?" tanya
Debray. "Benar, saya belum melihatnya. Saya tidak ingin datang terlambat di sini. Sebab
itu saya berganti pakaian dalam kereta dan langsung menuju pintu rumah Tuan de
Morcerf." Anak-anak muda itu berpandangan satu sama lain. Mereka tidak yakin apakah Count
of Monte Cristo ini bergurau atau bukan. Tetapi cara berbicaranya begitu
sederhana dan tegas sehingga sukar untuk menyangkalnya sebagai suatu kebohongan.
Lagi pula apa gunanya dia berbohong.
"Saya kira kita harus puas dengan jasa-jasa kecil yang masih dapat kita lakukan
dalam batas-batas kemampuan kita," kata Beauchamp. "Sebagai seorang wartawan
saya dapat membukakan semua pintu gedung-gedung teater di Paris."
"Terima kasih," jawab Monte Cristo tersenyum. "Tetapi saya telah memerintahkan
pengurus rumah tangga memesan tempat di setiap gedung."
"Apakah orang itu juga seorang seperti si Nubia bisu?"
tanya Debray. "Bukan. Saya kira Tuan telah mengenalnya, Tuan Morcerf."
"Signor Bertuccio, ahli menyewa jendela itu?"
"Tepat. Dia orang baik yang pernah menjadi prajurit, juga pernah menjadi
penyelundup. Tegasnya, dia adalah orang yang serba bisa. Bahkan saya tidak
berani bersumpah bahwa ia belum pernah terlibat dengan polisi karena perkara
penikaman." "Rupanya," kata Chateau-Renaud, "Tuan telah mempunyai rumah tangga yang lengkap.
Tuan mempunyai sebuah rumah di Champs Elysee, seorang pembantu dan seorang
pengurus rumah tangga. Yang masih Tuan perlukan sekarang, seorang gundik."
"Saya mempunyai yang lebih baik," jawab Monte Cristo.
"Saya mempunyai seorang hamba sahaya. Tuan-tuan menyewa gundik di gedung opera
atau gedung sandiwara, saya membelinya di Istambul. Memang saya membayar lebih
banyak, tetapi tak ada yang patut disesalkan."
"Tetapi Tuan lupa suatu hal," kata Debray tertawa,
"bahwa begitu hamba sahaya Tuan menginjakkan kakinya di Perancis dia menjadi
orang merdeka." "Siapa yang akan mengatakan itu kepadanya?" tanya Monte Cristo.
"Orang pertama yang berbicara dengan dia!"
"Dia tidak mengerti bahasa lain kecuali Yunani modern."
"Ah, kalau begitu lain soalnya,"
"Apakah kami boleh melihatnya nanti, paling sedikit?"
tanya Beauchamp. "Karena Tuan telah mempunyai seorang bisu, apakah Tuan juga
mempunyai seorang kasim?"
"Tidak. Saya tidak menganut kebiasaan Timur sampai mengebiri orang. Tidak sampai
sejauh itu! Setiap orang di sekeliling saya merdeka untuk meninggalkan saya
setiap saat. Dengan meninggalkan saya berarti dia sudah tidak memerlukan saya
lagi atau orang lain. Barangkali itulah sebabnya tak seorang pun bermaksud
pergi," Telah lama mereka selesai makan.
"Sudah setengah tiga," kata Debray tiba-tiba berdiri.
"Tamumu sangat menyenangkan, Albert. Tetapi cepat atau lambat kita tidak boleh
tidak harus meninggalkan pertemuan betapapun menyenangkannya pertemuan itu.
Sudah waktunya aku kembali ke Kementrian."
Ketika Beauchamp akan pulang dia berkata kepada
Albert, "Aku tidak akan pergi ke Parlemen hari ini. Aku mempunyai sesuatu yang
lebih baik bagi para pembaca daripada pidato Tuan Danglars."
"Jangan, Beauchamp" kata Albert, "jangan diberitakan.
Aku mohon! Jangan menghilangkan kehormatan ku untuk memperkenalkan beliau.
Bukankah beliau seorang yang aneh?"
"Lebih dari aneh," kata Chateau-Renaud, "beliau adalah salah seorang yang paling
luar biasa yang pernah kutemukan. Kau pulang juga, Morrel?"
"Setelah saya memberikan kartu namaku kepada Count.
Beliau berjanji akan berkunjung ke rumahku."
"Dan Tuan boleh yakin akan itu," kata Monte Cristo.
Maximilien Morrel keluar bersama Chateau-Renaud,
meninggalkan Monte Cristo berdua dengan Albert de Morcerf.
BAB XXIII KETIKA tamu-tamu lain sudah pergi, Albert berkata kepada Monte Cristo, 'Ijinkan
sekarang saya melakukan kewajiban saya sebagai pramugara dengan memperlihatkan
rumah yang khas seorang bujangan Paris."
Albert membawa tamunya ke ruang kerjanya yang menjadi ruang kesayangannya. Count
of Monte Cristo seorang pengagum yang patut disegani terhadap barang-barang yang
dikumpulkan Albert di situ: buah catur antik porselen Jepang, kain negeri Timur,
barang pecah belah dari Venesia dan senjata-senjata dari seluruh penjuru dunia.
Semua barang ini tidak asing bagi Monte Cristo. Dengan selayang pandang ia sudah
dapat menyebutkan abad dan negeri asal dari setiap barang. Albert berharap dapat
menerangkan sesuatu kepada tamunya, tetapi kenyataannya tamunya yang sedikit
memberikan kuliah kepadanya tentang ilmu purbakala dan sejarah.
Albert membawa tamunya ke ruang duduk yang dindingnya dihiasi karya-karya
pelukis modern. Dia berharap dapat menunjukkan sesuatu yang baru kepada orang
yang aneh ini Sekarang pun dia terheran-heran lagi sebab, tanpa melihat tanda
tangannya Monte Cristo dapat menyebutkan pelukis setiap lukisan, dengan cara
demikian rupa sehingga mudah diketahui bahwa bukan saja nama pelukisnya yang dia
kenali tetapi juga bahwa ia telah dengan cermat mempelajari dan menilai bakat
pelukis-pelukis itu. Dari ruang duduk mereka meneruskan ke kamar tidur.
Di sini diketemukan perpaduan antara keindahan dan selera yang tinggi. Satu-
satunya lukisan yang menghias dinding adalah sebuah potret karya Leopold Robert.
Lukisan ini dengan segera menarik perhatian Monte Cristo. Potret seorang wanita
muda sekitar dua puluh enam tahun dengan warna wajah agak gelap, sinar mata yang
menyala-nyala tetapi dengan pelupuk yang merana. Wanita itu berpakaian seorang
wanita nelayan dari Catalan, berwarna hitam merah dan sebuah rusuk konde di
kepalanya. Pandangnya ditujukan ke lautan luas. Profilnya tampak menonjol dengan
latar belakang ombak dan langit. Cukup lama Monte Cristo memandang gambar ini.
Akhirnya dia berkata dengan tenang sekali, "Gundik Tuan cantik sekali, Viscount,
dan pakaiannya, yang tentu pakaian samaran, sangat cocok."


The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ini merupakan kesalahan yang tidak akan dapat saya maafkan seandainya ada
gambar wanita lain di sebelahnya," kata Albert "Itu potret ibu, dilukis enam atau delapan tahun yang
lalu. Sepanjang pengetahuan saya pakaian itu merupakan hasil pemikiran beliau
sendiri, dan persamaan wajahnya itu begitu bagus sehingga seakan-akan saya
melihat beliau pada tahun 1830. Gambar itu dibuat ketika ayah sedang bepergian,
tentu dengan harapan akan merupakan suatu yang menyenangkan bagi ayah. Tetapi
anehnya, justru ayah tidak menyukainya sama sekali Oleh karena tidak hendak
berpisah jauh dengan karya seni yang seindah itu, ibu memberikannya kepada saya.
Maafkan saya karena telah membicarakan soal keluarga. Tetapi, karena saya akan
segera memperkenalkan Tuan kepada ayah, saya pikir ada baiknya Tuan mengetahui,
dan supaya Tuan tidak memuji lukisan itu di hadapannya. Saya mengirim surat
kepada ayah dari Roma mengabaikan jasa yang telah Tuan lakukan di sana. Ayah dan
ibu sangat mengharapkan sekali mempunyai kesempatan untuk menyampaikan rasa
terima kasih-nya kepada Tuan secara pribadi,"
Albert memanggil pelayannya dan memerintahkan memberi tahu Count dan Countess de
Morcerf bahwa Count of Monte Cristo akan segera menemuinya. Albert dan Monte
Cristo menyusul pelayan itu setelah dia pergi.
Di ruang duduk rumah keluarga Morcerf mereka berte-mu dengan Count Morcerf.
Seorang laki-laki berumur empat puluhan, tetapi yang tampaknya paling sedikit
lima puluh tahun. Misal dan alisnya yang hitam lebat bertentangan sekali dengan
rambutnya yang hampir memutih semua, yang dipotong pendek model militer.
"Ayah," kata Albert, "ijinkan saya memperkenalkan Count of Monte Cristo, kawan
baik yang secara beruntung sekali mulai berkenalan selagi saya berada dalam
keadaan yang sulit seperti yang pernah saya ccriterakan."
"Kami sangat bergembira karena kunjungan ini, Tuan,"
kata Count Morcerf tersenyum sambil membungkukkan badan. "Dengan menyelamatkan
jiwa anak kami, Tuan telah membuat suatu jasa yang membuat kami tidak boleh
melupakannya seumur hidup. Istri saya sedang di kamarnya ketika kedatangan Tuan
diberitahukan. kepada kami. Dia akan segera turun, saya kira."
"Adalah suatu kehormatan yang besar bagi saya," kata Count of Monte Cristo,
"untuk pada hari pertama datang di Paris dapat berkenalan' dengan Tuan yang
martabatnya seimbang dengan jasa-jasanya dan yang secara adil pula dianugerahi
kekayaan yang melimpah-limpah. Bukankah ke kayaan yang melimpah itu masih dapat
mempersembahkan tongkat marsekal kepada Tuan?"
"Oh, tidak, saya telah meninggalkan dinas militer," kata Morcerf, wajahnya merah
kemalu-maluan. "Rupanya Revolusi Juli itu begitu berjaya sehingga tidak
memerlukan lagi jasa-jasa orang yang tidak pernah berdinas kepada Napoleon.
Sebab itu saya mengajukan permohonan pensiun. Saya memasuki bidang politik
sekarang dan mendalami masalah-masalah industri dan mempelajari seni yang
berguna, suatu hal yang telah lama ingin saya kerjakan, tetapi yang dahulu tidak
dapat saya lakukan karena tidak mempunyai waktu."
"Itu adalah bidang-bidang yang membuat negri Tuan menonjol dari negri-negri
lain," kata Monte Cristo. "Tuan adalah keturunan bangsawan dan memiliki kekayaan
yang melimpah-ruah, tetapi aneh, Tuan mengejar kemajuan dengan menjadi prajurit
yang tidak dikenal. Lalu, setelah Tuan mencapai pangkat jendral menjadi
bangsawan Perancis dan komandan Legiun Kehormatan, sekarang ingin memulai sesuatu yang
baru lagi, tentu tanpa mengharapkan imbalan apa-apa kecuali dapat berguna bagi
sesama manusia. Itu, Tuan de Morcerf, adalah suatu sikap hidup yang sangat
mulia" Albert melihat kepada Count of Monte Cristo penuh heran. Dia tidak biasa
mendengar Monte Cristo berbicara dengan semangat seperti itu.
"Seandainya saya tidak khawatir melelahkan Tuan," kata Jenderal, yang jelas
merasa senang mendengar kata-kata Monte Cristo, "saya ingin mengajak Tuan ke
Parlemen. Perdebatan hari ini akan sangat menarik bagi mereka yang belum mengenal senator-
senator kami yang modem."
"Saya akan sangat berterima kasih apabila Tuan sudi mengundang lagi pada waktu
yang lain," jawab Monte Cristo, "tetapi hari ini saya telah mengharapkan untuk
dapat bertemu dengan Nyonya dan saya tidak berkeberatan menunggu."
"Itu ibu!" kata Albert.
Monte Cristo membalikkan badan dengan cepat dan melihat Nyonya de Morcerf
berdiri di ambang pintu. Mukanya sangat pucat, dan ketika Monte Cristo
melihatnya, ia segera melepaskan tangannya yang dipergunakan untuk - entah sebab
apa - menopang dirinya pada pintu. Telah beberapa saat ia berada di situ, cukup
lama untuk dapat mendengar kalimat-kalimat tamu yang terakhir.
Monte Cristo berdiri dan membungkukkan badan dalam-dalam. Countess membalasnya
tanpa berkata dengan ang-gukan kepala yang lugas.
"Mengapa?" tanya Morcerf. "Apakah ruangan ini terlalu panas bagimu?"
"Sakitkah ibu?" Albert berlari menghampirinya.
Nyonya de Morcerf mengucapkan terima kasih kepada keduanya dan tersenyum.
"Tidak," katanya, "saya hanya terharu akan bertemu untuk pertama kalinya dengan
orang yang telah menyelamatkan rumah kita dari keadaan berkabung Count," katanya
selanjutnya sambil berjalan menuju Monte Cristo dengan keanggunan seorang ratu,
"saya berhutang budi untuk keselamatan jiwa anak saya, untuk itu saya mendoakan
semoga Tuan selalu diberkahi Tuhan.
Sekarang saya berterima kasih lagi kepada Tuan karena telah memberikan
kesempatan untuk mengucapkan terima kasih - seperti doa saya - dari lubuk hati."
Sekali lagi Monte Cristo membungkukkan badan, lebih dalam daripada yang
permulaan. Balikan wajahnya lebih pucat dari Mercedes.
"Saya telah meminta diri kepada Count karena terpaksa harus pergi," kata
Morcerf. "Sidang sudah dimulai sejam yang lalu dan saya harus berpidato."
"Berangkatlah," kata Countess. "Saya akan mencoba merundingkan sesuatu dengan
tamu kita selama engkau pergi." Kemudian menghadap kepada Monte Cristo ia ber
tanya, "Sudikah Tuan memberikan kehormatan kepada ka-mi untuk tinggal sehari ini
bersama kami?" "Saya benar-benar berterima kasih untuk undangan itu, Nyonya, tetapi sayang
sekali, saya tiba di Paris ini dan langsung menuju ke mari. Bahkan saya belum
pernah melihat rumah saya di sini."
"Kalau begitu bolehkah kami mengharapkan kedatangan Tuan pada waktu yang lain?"
tanya Mercedes. Monte Cristo membungkuk tanpa menjawab. Tetapi
gerakan ini dapat diartikan sebagai setuju.
Setelah Albert mengantar Monte Cristo sampai ke pintu, dia kembali lagi menemui
ibunya yang telah pergi ke kamarnya "Betulkah ibu tidak sakit?" tanyanya sambil
masuk. "Ketika ibu masuk ke ruang duduk tampak pucat sekali."
Ibunya tidak segera menjawab. "Nama apa Monte Cristo itu" Nama keluarga, nama
sebuah perkebunan atau hanya sebuah nama saja?"
"Saya kira hanya sebuah nama. Monte Cristo adalah nama sebuah pulau kecil yang
dibeli oleh Count. Suatu hal pasti, beliau tidak menuntut kebangsawanan
sekalipun pendapat umum di Roma mengatakan bahwa beliau seorang bangsawan
besar." "Berapa usianya menurut perkiraanmu?" tanya Mercedes, dengan tekanan yang
menunjukkan perhatian besar.
"Tiga puluh lima atau tiga puluh enam."
"Semuda itu" Tak mungkin!"
"Tetapi itu benar. Beberapa kali beliau mengatakannya dalam beberapa kesempatan
di mana tidak ada alasan untuk bohong."
Kepala Mercedes tertunduk seakan-akan diberati oleh pikiran-pikiran yang pahit
"Apakah dia menyukaimu, Albert?" suaranya bergetar.
"Saya kira demikian."
"Dan engkau sendiri . . . juga menyukainya?"
"Ya, tanpa memperhatikan apa yang dikatakan Franz tentang beliau bahwa Count of
Monte Cristo orang yang kembali dari alam kubur"
Countess kelihatan gugup. "Albert," katanya dengan suara aneh, "aku selaklu
menasihatimu agar berhati-hati terhadap kenalan-kenalan baru. Sekarang engkau
telah dewasa, mampu untuk memberi dan menerima nasihat.
Aku ingin menasihatimu sekali lagi: Hati-hatilah, Albert"
"Seandainya saya akan memanfaatkan nasihat Ibu, saya ingin sekali mengetahui
terhadap apa atau siapa saya harus berhati-hati. Count of Monte Cristo bukan
penjudi, tidak minum kecuali air dicampur sedikit anggur Spanyol? dan dia begitu
kaya sehingga tak mungkin akan meminjam uang dari saya. Apa yang harus saya
takutkan?" "Engkau benar," jawab Mercedes, "ketakutanku sangat bodoh, terutama sekali
terhadap orang yang telah menyelamatkan jiwamu . . . Bagaimana Ayah menerimanya"
Beliau sangat sibuk dan kadang-kadang pikirannya telah penuh sehingga mungkin
sekali tanpa disengajanya .. ."
"Ayah baik sekali" sela Albert "dan lagi beliau kelihatannya senang sekali
mendengar pujian-pujian Count of Monte Cristo yang diselipkannya dalam
percakapannya, seakan-akan beliau telah mengenal sejak bertahun-tahun.
Mereka berpisah seperti sahabat, bahkan Ayah mengajaknya ke Gedung Parlemen."
Mercedes tidak menjawab. Dia begitu terserap oleh pikirannya sehingga lambat-
laun matanya menutup. Albert menatapnya dengan perasaan kasih sayang seorang
.anak kedi yang ibunya masih muda dan cantik. Karena mengira ibunya tertidur,
dengan berjingkat Albert keluar lalu menutup pintu dengan hati-hati.
BAB XXIV SEMENTARA itu Count of Monte Cristo telah sampai
ke rumahnya yang baru di Champs Elysee. Dua orang menyambutnya ketika keretanya
berhenti di muka pintu. Seorang di antaranya Ali, yang hatinya merasa senang bukan kepalang melihat
majikannya memandang ramah kepadanya. Yang seorang lagi membungkuk hormat lalu
mengulurkan tangan membantu majikannya turun dari kereta.
"Terima kasih, Tuan Bertuccio," kata Count "Apakah Notaris sudah datang?"
"Dia menunggu di ruang tamu, Yang Mulia," Count of Monte Cristo menuju ruang
tamu diantar oleh Bertuccio.
'Tuankah notaris yang dikuasakan menjual rumah yang ingin saya beli?"
"Benar, Tuan." "Ada Tuan bawa surat-surat jual-belinya?"
"Ini, Tuan." "Nah, di mana letaknya rumah yang saya beli itu?" tanya Monte Cristo seenaknya.
Notaris memandangnya heran. "Maksud Tuan, belum pernah melihatnya?"
"Bagaimana mungkin saya dapat melihatnya" Baru per'
tama kali ini saya datang di Paris, tadi pagi. Tegasnya, ini adalah kunjungan
saya yang pertama ke Perancis."
"Saya mengerti, Tuan. Rumah yang Tuan beli itu terletak di daerah Auteuil"
Mendengar nama ini wajah Bertuccio menjadi pucat.
"Dan di mana Auteuil itu?"
'Tidak berapa jauh dari sini, Tuan. Sedikit lewat Passy, di daerah yang nyaman
di tengah-tengah Bois de Boulogne."
"Begitu dekat" Kalau begitu bukan di luar kota! Mengapa Tuan memilihkan rumah
yang bukan di luar kota, Tuan Bertuccio?"
"Yang Mulia," kata Bertuccio terkejut takut, "saya tidak memilihnya! Sudikah
Tuan mengingat-ingat kembali ,
"Ah, ya, sekarang saya ingat," kata Monte Cristo, "saya membaca iklan dalam
sebuah koran dan terpedaya oleh kata-kata, Rumah Luar Kota."
"Masih ada waktu, Yang Mulia," kata Bertuccio, "seandainya Tuan menghendaki saya
mencari rumah lain di daerah yang lebih baik."
"Ah, tidak, biar saja," jawab Monte Cristo acuh tak acuh.
"Karena sudah jadi, saya akan memanfaatkannya."
'Tuan tidak akan menyesal," kata Notaris dengan sungguh-sungguh. "Rumah itu
bagus sekali" Dia menandatanganinya dengan cepat, lalu berkata
kepada Bertuccio, "Bayarkan kepada Tuan ini lima puluh ribu frank."
Bertuccio meninggalkan ruangan dan kembali lagi dengan membawa setumpuk uang
kertas. Notaris menghitungnya dengan cermat
"Masih ada lagi yang lain?"
"Tidak ada, Tuan." Count of Monte Cristo mengangguk, Notaris membungkukkan badan
lalu pergi. "Bertuccio," kata Count, "bukankah engkau pernah mengatakan pernah berkeliling
di Perancis?" "Hanya di daerah-daerah tertentu saja, Yang Mulia."
"Kalau begitu pasti engkau mengenal pula kota-kota pinggiran Paris?"
''Tidak, Yang Mulia, tidak," jawab Bertuccio sedikit gemetar, yang oleh Monte
Cristo, seorang yang ahli menilai perasaan manusia diartikan sebagai ketakutan.
"Sayang sekali," katanya, "karena aku ingin sekali melihat rumah itu malam ini
juga dan berharap engkau dapat memberikan beberapa keterangan yang penting dalam
perjalanan ke Auteuil."
"Ke Auteuil?" Bertuccio terkejut. Warna kulit mukanya yang kecoklat-coklatan
berubah menjadi kebiru-biruan.
"Tuan menghendaki saya pergi ke Auteuil?"
"Apa yang aneh dalam hal ini" Bukankah engkau anggota rumah tanggaku?"
Bertuccio menundukkan kepala karena pandangan ma-
jikannya yang berwibawa. Ia berdiri tanpa menjawab.
"Mengapa engkau, Bertuccio" Apakah engkau bermaksud supaya aku membunyikan bel
dua kali untuk memanggil keretaku?"
Bertuccio berlari ke ruang tunggu lalu berteriak dengan suara serak, "Kereta
Yang Mulia, siapkan!"
Monte Cristo duduk lalu menulis beberapa pucuk surat.
Ketika ia sedang merekat sampul surat terakhir, Bertuccio kembali. "Kereta telah
menunggu di muka pintu, Yang Mulia"
"Baik. Ambil topi dan sarung tanganmu."
"Apakah saya harus turut?"
'Tentu. Aku berniat tinggal di sana dan supaya aku dapat memberikan beberapa
petunjuk." Bertuccio mengikuti majikannya tanpa membantah lebih lanjut, tetapi Monte Cristo
melihat bahwa langkah-langkahnya goyah ketika berjalan dan bibirnya membisikkan
doa-doa ketika menduduki tempatnya dalam kereta.
Dua puluh menit kemudian mereka sudah sampai di
daerah Auteuil. "Kita berhenti di Rue de la Fontaine No.
28," kata Monte Cristo sambil menatap Bertuccio.
Keringat bercucuran dari dahi Bertuccio, tetapi ia tidak dapat menolak perintah.
Ia mengeluarkan kepalanya lewat jendela dan berteriak kepada sais. "Berhenti di
Rue de la Fontaine No. 28."
Selagi dalam perjalanan, malam telah tiba. Atau lebih tepat, awan-awan hitam
yang bergelantungan di awang-awang sarat dengan bahan-bahan halilintar,
memberikan suasana yang khidmat menyeramkan kepada kegelapan yang datang
terlampau cepat itu. Kereta berhenti, dan pembantu sais meloncat turun untuk
membukakan pintu. Monte Cristo dan Bertuccio turun.
"Ketuk pintu dan beritahukan kedatanganku," kata Monte Cristo.
Bertuccio mengetuk, pintu terbuka dan penjaga muncul.
"Majikanmu yang baru," kata pembantu sais memberikan surat dari notaris kepada
penjaga pintu. "Jadi rumah ini sudah terjual?" tanya penjaga pintu.
"Betul," jawab Monte Cristo, "dan aku akan berusaha agar engkau tidak mempunyai
alasan untuk menyesali kehilangan majikanmu yang lama."
"Oh, saya tidak akan begitu kehilangan, Tuan, karena boleh dikatakan kami tidak
pernah melihatnya. Sudah lima tahun beliau tidak datang ke mari."
"Siapa nama majikanmu dahulu?"
"Marquis of Saint-Meran."
"Marquis of Saint-Meran ... Rasanya aku pernah mendengar nama itu."
"Seorang bangsawan tua," kata penjaga pintu,
"pendukung setia dinasti Bourbon. Beliau mempunyai seorang puteri yang menikah
dengan Tuan Villefort, Jaksa Penuntut Umum di Nimes kemudian di Versailles."
Monte Cristo melirik kepada Bertuccio. Dia melihat wajah Bertuccio sudah pucat
seputih dinding tempat ia bersandar untuk menjaga jangan sampai jatuh.
"Bukankah puterinya itu telah meninggal?" tanya Count
"Kalau tidak salah, begitulah kabar yang pernah ku-dengar."
"Benar, Tuan, beliau meninggal dua puluh tahun yang lalu, dan sejak itu Marquis
of Saint-Meran datang ke mari tidak lebih dari tiga kali"
"Terima kasih " kata Monte Cristo, menyertai ucapannya dengan memberikan dua
buah uang emas yang menimbulkan ledakan kegembiraan dan serangkaian doa pada si
penjaga pintu. "Ambil salah satu lentera dari kereta, Bertuccio, dan antar aku melihat-lihat
rumah ini." Bertuccio menurut tanpa membantah, tetapi tangannya yang terus-menerus gemetar
menunjukkan betapa berat tugas itu baginya.
Setelah memeriksa lantai pertama, mereka naik ke lantai kedua. Dalam sebuah


The Count Of Monte Cristo Karya Alexander Dumas di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ruangan tidur Monte Cristo melihat pintu yang berhubungan langsung dengan sebuah
tangga spiral. "Ini pintu pribadi," katanya. "Coba terangi, Bertuccio, kita akan
melihat ke mana arah tangga ini."
"Ke kebun, Tuan."
"Bagaimana engkau mengetahuinya, kalau boleh aku bertanya?"
"Saya maksud, barangkali, Tuan."
"Mari kita buktikan."
Bertuccio mengeluh keras, lalu berjalan di muka. Tangga itu benar menuju ke
kebun. Ketika ia sampai di pintu keluar Bertuccio berhenti, pikirannya kacau-
balau, bahkan hampir pingsan.
"Mengapa?" tanya Count
"Tidak, Tuan, maaf," setengah menangis. "Saya tidak sanggup terus!"
"Apa maksudmu?" tanya Monte Cristo dingin.
"Aneh sekali, Tuan. Dari sekian banyak kota pinggiran di Paris, Tuan memilih
Auteuil, dan dari sekian banyak rumah di Auteuil, Tuan membeli rumah di Rue de
la Fontaine No. 28. Seperti tidak ada lagi rumah lain kecuali yang ini, di mana
pernah terjadi pembunuhan!"
"Engkau ini benar-benar orang Corsica tulen, Bertuccio.
Selalu penuh rahasia dan takhayul! Ayoh terus, ambil lentera itu dan mari kita
periksa kebun itu." Bertuccio memungut lentera dan menurut. Monte Cristo berhenti di dekat serumpun
pepohonan. Bertuccio sudah tidak dapat menahan dirinya lagi. "Jangan berdiri di
sana, Tuan. Saya mohon dengan sangat. Tuan berdiri tepat di tempat yang sama."
"Tempat apa?" "Tempat di mana ia terjatuh."
"Aku khawatir engkau menjadi gila, Bertuccio. Coba tenangkan dirimu dan
terangkan apa sebenarnya yang engkau maksud."
"Seumur hidup baru sekali saya menceriterakannya,"
jawab Bertuccio, "dan itu kepada Padri Busoni. Hal demikian hanya dapat
diungkapkan dalam pengakuan dosa saja, Tuan."
"Kalau demikian, Bertuccio, aku terpaksa mengembali-kanmu kepada penerima
pengakuan dosamu. Aku tidak menyukai anggota rumah tanggaku yang takut masuk ke
kebun rumahku di malam hari. Juga, harus kukatakan bahwa aku tidak akan merasa
senang harus menerima kedatangan polisi yang akan menangkapmu. Aku tahu bahwa
engkau pernah menjadi penyelundup, tetapi tidak pernah tahu bahwa masih ada
kejahatan lain yang menghantuimu.
Engkau, terpaksa kuberhentikan, Bertuccio."
"Oh, Yang Mulia!" Bertuccio menangis. "Bila imbalan-nya saya boleh tetap bekerja
pada Tuan, saya bersedia berbicara. Saya akan menceriterakan segalanya."
"Soalnya menjadi lain, kalau begitu," kata Monte Cristo.
"Tetapi harap diingat, kalau engkau bermaksud bohong, lebih baik tidak berbicara
sama sekali." "Tidak, Tuan, saya bersumpah demi keselamatan roh saya bahwa saya akan
mengatakan seluruhnya menurut apa yang sebenarnya. Dari manakah saya harus
mulai?" "Sekehendakmu, karena aku tidak mengetahui apa-apa tentang apa yang akan
kaukatakan itu." "Saya kira Padri Busoni telah menceriterakannya kepada Tuan."
"Benar, tetapi hanya sedikit sekali, lagi pula itu terjadi tujuh atau delapan
tahun yang lalu sehingga aku sudah hampir lupa semuanya.
Semua ini mulai terjadi dalam tahun 1815. Seluruhnya masih jelas dalam ingatan
saya seakan-akan baru terjadi kemarin. Saya mempunyai seorang kakak laki-laki
yang menjadi anggota tentara Napoleon. Pangkatnya letnan dalam resimen yang
semuanya terdiri dari orang-orang Corsica Kakak itu merupakan satu-satunya orang
yang terdekat kepada saya, katakanlah satu-satunya sahabat. Kami telah menjadi
yatim-piatu ketika saya berumur lima tahun.
Dialah yang membesarkan saya sebagai anaknya sendiri.
Dia kawin dalam tahun 1814 waktu Perancis masih dikuasai keluarga Bourbon.
Ketika Napoleon kembali dari Pulau Eiba dia kembali menggabungkan diri.
Pada suatu hari saya menerima surat darinya. Saya lupa mengatakan bahwa kami
tinggal di sebuah desa kedi di Corsica. Surat itu mengabarkan bahwa pasukan
Napoleon telah dibubarkan dan ia sedang dalam perjalanan kembali melalui
Chateauroux, Clermont-Ferrand, Le Puy dan Nimes. Dia meminta agar saya
mengirimkan sejumlah uang ke Nimes kepada seorang pemilik hotel yang telah ada
hubungan usaha dengan saya, dan dia akan menjemputnya di sana."
"Apakah dalam usahamu itu termasuk penyelundupan?"
Monte Cristo menyela "Kami harus makan, Tuan."
"Ya, ya, tentu saja. Teruskan,"
"Saya sangat mencintai kakak saya, seperti saya katakan tadi. Sebab itu saya
memutuskan untuk mengantarkan uang itu sendiri. Waktu itu saya mempunyai seribu
frank. Setengahnya saya tinggalkan untuk ipar saya, Assunta, lalu berangkat ke Nimes
dengan membawa yang setengahnya lagi-"
"Waktu itu bertepatan sekali dengan terjadinya pembunuhan besar-besaran yang
tersohor di Perancis Selatan.
Gerombolan pembunuh yang diatur rapi membunuh setiap orang yang dicurigai pernah
menjadi pengikut Napoleon Bonaparte. Seakan-akan saya harus mengarungi lautan
darah ketika saya memasuki Nimes. Mayat bergelimpangan di mana-mana. Para
pembunuh merampok dan membakar rumah-rumah. Melihat itu hati saya cemas, tidak
untuk diri sendiri karena saya hanyalah seorang nelayan Corsica sederhana,
tetapi untuk kakak saya dan masih mengenakan seragam Napoleon.
Saya berlari menemui pemilik hotel. Ketakutan saya memang terbukti. Kakak saya
datang ke Nimes malam sebelumnya dan dibunuh tepat di muka pintu hotel. Saya
lakukan apa yang mungkin dilakukan untuk menemukan pembunuhnya, tetapi orang-
orang di sana begitu takut sehingga tak seorang pun berani mengatakan nama-nama
pembunuh. Lalu saya menghadap Jaksa Penuntut Umum, namanya Villefort Dia berasal
dari Marseilles dan belum lama diangkat menjadi jaksa di sana. Orang-orang Nimes
mengatakan bahwa jaksa itulah yang paling dahulu memberi kabar kepada raja
tentang penyerangan kembali Napoleon dari Elba.
'Kakak saya dibunuh kemarin,' saya laporkan kepadanya.
'Saya tidak tahu siapa pelakunya, dan itu adalah kewajiban Tuan untuk
menemukannya.' 'Siapa kakakmu itu"' Villefort bertanya.
'Letnan dalam resimen Corsica.'
"Tentara Napoleon, kalau begitu.'
"Tentara Perancis."
'Setiap revolusi membawa bencana," kata Villefort, 'dan kakakmu merupakan
seorang korban dari bencana itu, yang tentu saja kita sesalkan. Seandainya
Napoleon tetap berkuasa, lalu pejuang-pejuangnya membunuh pejuang-pejuang
kerajaan, dan setiap pembunuh harus dihukum, maka kakakmu juga harus dihukum
mati. Apa yang terjadi sekarang adalah hal yang wajar. Begitulah hukum balas
dendam.' Saya terperanjat. 'Bagaimana, sebagai seorang petugas hukum, Tuan dapat berkata
begitu"' 'Kalian orang Corsica gila semua,' kata Villefort. 'Kau bermimpi teman senegrimu
itu masih jadi kaisar. Seharusnya engkau datang dua bulan yang lalu. Sekarang
sudah terlambat. Tinggalkan tempat ini, kalau tidak, aku akan perintahkan
melemparmu ke luar."
'Baik,' kata saya kepadanya, 'karena ternyata Tuan mengenal orang Corsica dengan
baik, Tuan tentu mengetahui pula bagaimana mereka memegang teguh ucapannya.
Tuan berpikir bahwa kakak saya patut dibunuh karena dia seorang Bonapartis dan
Tuan seorang kaum kerajaan. Saya pun seorang Bonapartis, dan saya hanya akan
mengatakan vendetta terhadap Tuan. Dalam pertemuan kita yang berikut, berarti
bahwa detik-detik terakhir untuk Tuan telah tiba'." Lalu melanjutkan, "Sebelum
dia pulih dari keterkejutannya saya membuka pintu dan berlari ke luar."
"Apa?" kata Monte Cristo. "Dengan wajah jujurmu seperti ini, kau berani
mengatakan kata-kata itu kepada seorang jaksa" Dan mengertikah ia apa arti kata
vendetta?" "Dia mengerti betul sehingga sejak saat itu dia tidak pernah lagi berjalan tanpa
pengawal dan dia meminta polisi mencari saya di mana-mana. Untung sekali saya
mempunyai tempat persembunyian yang baik sehingga tidak pernah diketemukan.
Akhirnya ia merasa takut tinggal di Nimes febih lama lagi. Dia mengajukan
permohonan pindah dan karena ia orang yang berpengaruh dia diangkat menjadi
jaksa di Versailles. Tetapi, seperti Tuan ketahui, tidak ada jarak yang terlalu
jauh bagi seorang Corsica yang telah mengikrarkan vendetta yang berarti sumpah
membalas dendam. Dalam perjalanan ke Versailles saya selalu berada dalam jarak
setengah jam perjalanan di belakang keretanya
Yang terpenting dalam urusan ini bukan membunuhnya
- saya telah mempunyai kesempatan lebih dari selusin kali
- tetapi membunuhnya tanpa diketahui atau ditangkap.
Hidup saya bukan milik saya sendiri lagi karena saya mempunyai seorang kakak
ipar yang harus diurus dan di-lindungi. Saya mengawasi Villefort terus-menerus
selama tiga bulan. Akhirnya saya mengetahui bahwa ia sering mengadakan
perjalanan rahasia ke Auteuil ke rumah yang ini. Dia tidak pernah masuk melalui
pintu depan. Selalu dia meninggalkan kuda atau keretanya di kedai dan masuk
rumah ini melalui pintu kecil yang Tuan lihat itu.
Saya meninggalkan Versailles pindah ke Auteuil, karena berpendapat akan
mempunyai kesempatan yang lebih baik di sini Saya temukan juga bahwa rumah ini
milik Marquis Saint-Meran, dan bahwa Marquis itu mertua Villefort. Karena
Marquis itu tinggal di Marseilles, rumah ini disewakan kepada seorang janda
baion yang.hanya dikenal dengan sebutan bareness' saja.
Pada suatu malam ketika saya mengintip lewat benteng, saya melihat seorang
wanita cantik berjalan-jalan dalam kebun. Seketika itu juga saya lihat bahwa dia
Lembah Selaksa Bunga 4 Prabarini Karya Putu Praba Darana Jaka Lola 13
^