Pencarian

Sungai Lampion 7

Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine Bagian 7


lupa bagaimana kalian berdua menyelamatkan hidupku
lima belas tahun yang lalu. Aku yakin persahabatan kita
akan langgeng seperti bulan, dan aku akan menerima luka
di hatiku ini seperti bercak-bercak hitam di bulan." Sesudah
itu ia mengeluarkan belatinya dari sarungnya untuk diper-
lihatkan kepada pasangan Lu. "Pisau ini merupakan jimat
keberuntunganku. Aku selalu membawanya ke mana-mana." "Inikah rantai dan bandul yang pernah kuberikan
padamu?" Bulu kuduk Lu merinding membayangkan
cipratan darah di atas karyanya itu.
"Pisau itu bagus sekali," ujar Lotus sopan, sambil
mengalihkan mata dari senjata mengerikan yang sama
sekali berbeda dari hasil ciptaan suaminya yang begitu
indah sebelumnya. Shu berkata, "Lu, ada yang ingin kuperlihatkan padamu."
Pasangan petani itu mengajak suami-istri Lu ke sebuah
ruang lain. Di sana sebongkah batu pualam hijau diletakkan
di atas sepotong sutra merah di meja kayu jati. Peony
menghampiri batu pualam itu, kemudian meletakkan
tangan di atasnya. Cahaya yang keluar dari batu indah itu
memantulkan sinar ke matanya, sehingga matanya tampak
berbinar saat ia menatap si Wali Kota. "Lu, suamiku
mengatakan kau ahll pahat berbakat, dan aku yakin kau
dapat mengukir apa saja yang kauinginkan. Kami ingin kau
mengukir sekuntum teratai dari batu kemala ini. Kami ingin
sekuntum bunga yang besar dengan tangkai panjang. Aku
takkan pernah bisa melupakan kolam-kolam teratai daerah
pinggiran kota Yin-tin, dan aku menyukai nama Negeri
Teratai." Ia mengalihkan mata ke suaminya. "Katakan pada
mereka bahwa kita sudah lama mencarl sebuah simbol. Dan
ungkapkan rencana kita untuk masa mendatang."
Dengan bangga Shu berkata, "Kami sudah menundukkan
lima provinsi dan membunuh lima raja. Aku sebetulnya raja
kelima provinsi itu sekarang, dan Peony permaisuriku.
Kami teringat akan batu kemala milik Peony saat akan
memasuki kota Yintin. Kami sadar, sementara kami masih
akan menaklukkan banyak provinsl lagi serta memperluas
wilayah kekuasaan kami, kami membutuhkan sebuah
nama." Ia menatap Peony.
Peony lalu berkata, "Para Petarung Shu bisa dipanggil
anggota Pasukan Teratai Hijau. Suamiku dan aku akan
menjadi raja dan ratu Teratai Hijau. Kami akan membawa
hasil ukiranmu ke mana pun kami pergi, untuk kemudian
diperagakan di kuil terbesar di setiap desa yang kami
taklukkan. Kami akan menanamkan keyakinan dalam diri
penduduk bahwa dengan menjadl pengikut Shu, orang bisa
mencapai Negeri Teratai di bumi. Tak lama lagi tidak hanya
daerah Selatan yang akan kami kuasai, tapi seluruh wilayah
Cina'." Shu menatap Lu. "Ukirlah teratai kemala itu untuk kami.
Berikanlah dukunganmu dengan menggunakan bakatmu
yang luar biasa." Lu mengawasi batu kemala di hadapannya dengan
serius. Ia belum pernah melihat batu kemala sebesar dan
sesempuma bongkahan itu. Dengan senang hati ia bersedia
mengubahnya menjadi sebentuk teratai yang indah. Tapi
kemudian ia menatap Shu dan Peony. Setelah melihat
kalungnya diubah menjadi hiasan sebilah belati, apakah
hasil karyanya nanti takkan dijadikan salah satu sarana
pemuas nafsu haus darah mereka lagi"
Tiba-tiba Lotus berdiri. Ia berpegangan pada kursinya
untuk menjaga keseimbangannya, kemudian melangkah
menghampiri Shu dan Peony. "Tolonglah. Kumohon pada
kalian," ujarnya dengan suara bergetar dan rendah, namun
tegas dan jelas. "Jangan gunakan suamiku. Dia seniman.
Jangan gunakan bakatnya untuk keperluan politik. Kalau
rakyat nanti menyanjung teratai kemala itu untuk alasan
yang keliru, suamiku takkan pernah dapat memaafkan
dirinya." Ucapan Lotus bak gong yang menggema di gendang
telinga seorang pemimpi. Lu tersentak. Hatinya menciut
saat ia menjauh dari bongkahan kemala itu. "Apa yang
dikatakan istriku itu betul. Aku tak dapat mengukir kemala
itu untuk kalian," ujarnya tegas.
Shu mengepalkan tinjunya sampai buku-buku jarinya
menjadi putih. "Lu! Tega-teganya kau menampik
permohonan yang sama sekali tak berarti untukmu" Apa
kau masih sahabatku?" serunya dengan nada tinggi.
"Aku sudah menjadi sahabatmu selama lima belas tahun
ini. Dan untuk selamanya aku akan selalu menjadi
sahabatmu, baik di dunia ini maupun kelak di dunia lain,"
jawab Lu. Masih marah, Shu dan Peony menggiring pasangan Lu
itu kembali ke ruang bangsal utama. Mereka duduk-duduk
sambil minum teh, tanpa berbicara. Akhirnya Lu menghela
napas dalam-dalam. Seandainya ia tak perlu mengajukan
pertanyaan yang sulit ini kepada Shu dan Peony, tapi apa
boleh buat. Ia memejamkan mata beberapa saat, kemudian
membukanya kembali. Sesudah itu dengan nada berat ia
berkata, "Para anggota liga dan aku tahu bahwa Gubernur
Mongol menyimpan uang banyak sekali di lemari besinya.
Setelah wakil komandanmu berlalu dari sini dan sebelum
aku datang ke tendamu, kami menggeledah seluruh isi
rumah ini. Ternyata lemari besinya sudah dibongkar dan
uangnya tidak ada." Ia menatap Shu, lalu bertanya,
"Seandainya wakil komandanmu mengambil uang itu dan
uang itu ada padamu sekarang, maukah kau mengembalikannya padaku?"
Shu menatap sahabatnya dengan pandangan tak
percaya. "Kau, orang kaya, memintaku, si miskin, untuk
menyerahkan satu-satunya gundukan uang yang kumiliki?"
Ia menggeleng-gelengkan kepala sambil tertawa. "Wakil
komandanku memang telah menyerahkan uang itu padaku
dan sekarang uang itu memang ada padaku, tapi aku takkan
pernah menyerahkannya padamu!"
Peony menimpali, "Lu! Ketika suamiku menanti dengan
hati berdebar saat-saat dia akan bertemu kembali dengan
sahabat yang telah begitu dirindukannya, dan aku menanti
dengan tak sabar saat saat untuk bertemu dengan laki-laki
yang begitu berarti bagi suamiku, kau sebetulnya sedang
sibuk mencari uang itu. "Aku menyesal kalian terpaksa menungguku," ujar Lu
tulus sambil membungkukkan tubuh ke arah Peony,
kemudian menambahkan, "Tapi Liga Rahasia membutuhkan uang itu untuk menolong yang miskin.
Rakyat kita sedang kelaparan. Wabah dan bahaya
kelaparan muncul sebagai akibat timbulnya perang..."
Peony memotong ucapannya dengan menunjuk ke arah
perhiasan yang dikenakan Lu dan Lotus, "Kenapa bukan itu
yang kalian berikan pada mereka yang miskin?"
Lotus menutupi bros kemalanya dengan tangan
bergetar, lalu berbisik, "Apa yang kaml pakai ini nilainya
lebih tinggi daripada harganya. Perhiasan kami harus tetap
tinggal dalam keluarga kami."
"Ha!" seru Peony sambil menepuk lengan kursinya
dengan keras. Kemudian ia menudingkan jannya ke arah
pasangan Lu. "Bangsawan Fong memberikan sebentuk
cincin batu mirah padaku. Benda itu satu-satunya
perhiasan yang pernah kumiliki seumur hidupku. Tapi aku
sudah menjadikannya satu dengan uang Gubernur Mongol.
Suamiku dan aku akan selalu memberikan semua yang
kami miliki, termasuk nyawa kami, untuk kepentingan
revolusi. Kami tidak makan sampai kenyang dulu, baru
melemparkan sisanya kepada rekan-rekan sebangsa kami,
lalu menyebut diri orang Samaria yang baik hati."
Sementara wajah pasangan Lu merah padam, dan
mereka menundukkan kepala rendah-rendah, Shu menunjuk ke arah pakaian yang mereka kenakan.
"Kalian mengenakan pakaian sutra, makan yang
enak-enak, dan tinggal di rumah megah." Ia menunjuk
pakaian yang dikenakan dirinya dan Peony.
"Baru kali ini kami mengenakan sesuatu yang tidak
kumal dan sobek-sobek." Ia menguraikan kepada mereka
caranya dan keluarganya hidup selama ini, kemudian
bertanya, "Seandainya kalian dan sahabat-sahabat kalian
yang begitu kaya mau menyisihkan sedikit saja yang kalian
miliki, kalian akan dapat membantu mereka yang miskin
semau kalian." Lu bergumam amat rikuh, "Aku tahu ini sulit sekali
untuk kalian mengerti, tapi gaya hidup kami tak bisa
diubah lagi. Ini semua kami peroleh sejak lahir. Kami tidak
hanya punya hak, tapi juga kewajiban untuk mempertahankannya." Ia menundukkan kepala. "Aku akan
memberi kalian uang dan bukannya meminta kalian
mengembalikan uang Gubernur Mongol itu, seandainya aku
memang mampu memberikannya."
Suaranya mulai bergetar. Ia tidak biasa berbohong, dan
ia sama sekali tak suka berbohong pada sahabatnya. "Shu,
aku sudah menurunkan uang pajak dan sewa tanah yang
harus dibayar penduduk Yin-tin. Pemasukan keluarga Lu
betul-betul berkurang karenanya. Selain itu aku punya
rumah tangga yang besar. Uang mengalir keluar dengan
cepat, seperti air. A-aku..." Wajah Lu memerah. Ia tak dapat
melanjutkan ucapannya. Shu menatap wajah sahabatnya dalam-dalam. "Jadi, kau
tiba-tiba miskin sekali" Rasanya kemarin kau masih bisa
menyelenggarakan pesta akbar!" Ia mengamati rona di
wajah Lu berubah jadi semakin merah, dan merasa lebih
yakin sekarang bahwa ia baru saja d1bohongi. Hatinya
terasa pedih sekali. Kebohongan Lu merupakan pukulan
baginya, yang jauh lebih menyakitkan daripada apa pun.
Setelah pasangan Shu meninggalkan rumah kediaman
mereka malam sebelumnya, Lu dan Lotus berunding
sampai menjelang subuh. Setelah menimbang-nimbang
kembali, Lu menjadi ragu-ragu membantu Shu dengan
mengeluarkan uang dari kantongnya sendiri. Alasannya
adalah sikap Shu. Sikapnya yang seakan tidak berperikemanusiaan membuat Lu enggan memberikan
uangnya. Uang yang akan dipakal untuk membuat senjata
pembunuh sesamanya. Lotus mendukung keputusan
suaminya, namun tidak menyetujui rencananya berbohong
mengenai itu. Lotus berdeham. Ia menatap wajah Shu dan Peony yang
sekarang berbercak-bercak, dan menyadari bahwa kalau
dibiarkan, sebentar lagi mereka bisa meledak. Ia harus
mencegahnya, kalau tidak suaminya bisa terluka. Ia
memaksa diri untuk meredakan situasi itu. Ia mulai
menawarkan diri untuk membantu Peony mengisi rumah
itu dengan pelayan, menyewa tukang jahit untuk membuat
pakaian-pakaian baru, serta menemukan pendidik yang
cocok bagi anak-anak mereka. Peony sama sekali tidak
tertarik pada masalah-masalah seperti itu, namun ia
mengerti maksud Lotus. Karenanya ia berusaha menahan
diri. Melihat Peony berbuat itu, Shu pun mencoba
sebisa-bisanya mengendalikan amarahnya.
Ledakan amarah itu akhirnya bisa dihindari. Tapi
persahabatan antara Shu dan Lu kini ibarat cangkir teh
yang retak. Dengan sedikit senggolan saja cangkir itu akan
hancur berantakan. 37 Musim Dingin, 1362 "SHU dan Peony Shu tiba!" seru penduduk Padang Emas
sambil berlari, kemudian menambahkan sebelum memasang palang rumah-rumah mereka, "Semoga mereka
berhasil membasmi Raja Yunnan dan semua orang
Mongol!" Padang Emas adalah desa kecil di sebelah barat, antara
Sungai Kuning dan Sungai Yangtze. Penduduknya berada di
bawah pemerintahan seorang raja Cina dari Yunnan dan
orang-orang Mongol yang kekuasaannya lebih besar
daripada si raja. Sambil menggigil, penduduk desa menunggu sementara
suara lalu lalang dan hiruk-pikuk itu terus berlangsung dari
pagi sampai sore. Akhirnya pertempuran pun mereda.


Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Pasukan kerajaan sudah dikalahkan! Raja sudah mati!
Orang-orang Mongol itu sudah diusir dari sini!" seru
mereka begitu keluar dari persembunyian.
Para petani yang menantikan kedatangan penyelamat
mereka kemudian melihat iring-iringan panjang berbaris
memasuki kota, dipimpin oleh dua anak laki-laki
berpakaian sutra merah dan stola-stola bulu binatang,
berdampingan di atas kuda-kuda putih. Bocah-bocah
berwajah tampan ini melambai-lambaikan tangan ke arah
penduduk desa sambil tersenyum-senyum nakal. Kuda-kuda mereka menarik sebuah gerobak kecil yang
membawa altar setinggi satu meter.
Para penduduk desa mengintip ke dalam gerobak,
kemudian menahan napas. Sutra merah yang menggelantung dari atas altar itu setengah menyelubungi
bunga teratal terindah yang pernah berkembang di muka
bumi ini. "Teratai Putih keramat!" desah mereka amat
terkesan. "Semoga hikmah Teratai Putih membawa keber-
untungan bagi kita!" Penduduk desa menundukkan kepala,
kemudian mulai berdoa. "Pulihkan yang sakit, basmilah
yang jahat, dan berilah kami berkat!"
Begitu gerobak itu lewat, dua kuda jantan hitam muncul.
"Nah, inilah Raja dan Ratu Teratai Putih! " seru penduduk
desa dengan penuh hormat.
Shu mengenakan stola bulu binatang berwarna hitam,
Peony memakai yang putih. Mereka sama-sama memakal
topi berpinggiran lebar serta sepatu bot tinggi yang
pinggirannya dihiasi bulu binatang Stola mereka dilapisi
satin merah, sehingga saat angin mengibaskan stola itu,
satinnya berkilauan bak api merah. Shu melambaikan
tangan sementara Peony tersenyum ke arah penduduk
desa. Mereka sama-sama mengangguk perlahan-lahan,
sebagaimana layaknya pasangan raja dan ratu yang anggun,
memasuki daerah yang baru mereka taklukkan.
"Aku tidak mendengar seorang pun menertawakan kita
di sini. Bagaimana dengan kau?" tanya Shu sambil terus
melambai. "Aku juga tidak," jawab Peony sambil tersenyum lebar.
"Kita sudah tahu sekarang, bagaimana caranya membuat
rakyat terkesan oleh penampilan kita. Itu sama pentingnya
seperti memenangkan pertempuran demi pertempuran."
Sementara rakyat bersorak-sorai dan berjanji untuk
menjunjung Teratai Putih, Shu dan Peony tersenyum satu
sama lain. Teratai Putih tercipta secara amat kebetulan.
Mereka telah meninggalkan batu kemala hijau mereka di
Yin-tin dengan sepucuk surat untuk Lu yang mengatakan
demikian: Kami akan kembali, dan kami harap sementara
itu teratai kemala ini pun sudah jadi. Selain itu kami juga
berharap kau sudah dapat menerima kami sebagai
penguasa, dan bersedia membujuk orang-orang Selatan lain
untuk mengikuti jejak kalian. Di salah satu desa yang
berhasil mereka tundukkan, mereka menemukan taring
gajah. Gadingnya putih bersih dan halus seperti sutra.
Mereka menyewa seorang seniman, lalu memberinya
instruksi untuk membuat teratai putih.
Peony dan Shu dlikuti tentara mereka, yang sekarang
disebut Pasukan Teratai Putih. Di belakang mereka
melangkah para biksu dan biksuni dengan jubah-jubah
putih. Mereka adalah Kaum terbuang dari berbagai kuil
karena berkelakuan kurang baik, dan mereka sekarang
tergabung dalam aliran baru bernama Teratai Putih.
Mereka berhasil. menanamkan keyakinan dalam diri
banyak orang bahwa Teratai Putih adalah kombinasi dari -
aliran Buddha dan Taois, dan para Buddha mereka
memiliki kekuatan yang sama seperti para Buddha di surga.
Namun sesungguhnya para biksu dan biksuni ini
pembunuh-pembunuh kejam. Kalau ada yang berani
berdebat dengan mereka atau menunjukkan keraguan, ia
akan dibunuh. Untuk memperoleh umat, mereka memahat
sebuah patung manusia dari batu dengan hanya satu mata
di dahi. Patung ini mereka tanam di dasar sungai, lalu
mereka menunggu sampai airnya surut. Patung bermata
satu itu kemudian ditemukan oleh para nelayan, yang akan
cepat-cepat memanggil seseorang untuk membaca tulisan
di plaketnya yang berbunyi: Berikan dukungan kalian pada
Pasukan Teratai Putih untuk mencapai nirwana. Hasil pe-
nemuan itu menyebar dengan cepat ke seluruh daerah itu,
kemudian ke seluruh negeri.
Di desa Padang Emas yang miskin itu hanya terdapat
seorang tuan tanah yang kaya. Orang ini bergegas turun ke
jalan, kemudian membungkuk-bungkuk di muka Shu dan
Peony sambil membuntuti mereka. "Raja dan ratuku,
berilah aku kehormatan dengan berkunjung ke rumahku
yang sederhana. Aku sudah menyiapkan makanan dan arak,
juga sedikit hadiah yang mungkin berkenan di hati Anda."
Shu mengibaskan stola hitamnya ke belakang, kemudian
mengangguk. Peony melirik dari bawah tepi topinya yang
lebar ke arah si tuan tanah, lalu tersenyum.
"Izinkan aku menunjukkan jalannya," ujar si tuan tanah.
Ia amat terharu menerima kehormatan itu. "Kami sudah
memanjatkan doa ke hadirat sang Buddha agar Anda dan
Pasukan Teratai Putih Anda lewat di sini. Kuil kami tidak
besar, tapi akan segera dipersiapkan agar rakyat mendapat
kesempatan melihat Teratai Putih keramat ini."
Shu dan Peony memperoleh kamar terbaik di rumah si
tuan tanah. Setelah mandi, mereka menemukan dua pasang
pakaian sutra di tempat tidur mereka; tuan dan nyonya
rumah akan memperoleh berkat dari sang Buddha
seandainya Raja dan Ratu Teratai Putih berkenan
mengenakan jubah-jubah itu.
Kemudian diselenggarakan sebuah perjamuan yang
hanya dihadiri oleh laki-laki, kecuall Ratu Teratai Putih.
Selesai makan, si tuan tanah membawa istri dan selir
termudanya menghadap tamu kehormatan mereka.
"A-ku laki-laki yang kurang beruntung, raja dan ratuku
yang kujunjung," ujarnya sambil berlutut di dekat kaki Shu
dan Peony bersama kedua wanita itu. "Aku punya seorang
istri dan empat selir, tapi aku tak punya anak laki-laki.
Sekarang istri dan selirku ini sama-sama hamil. Kudengar
di sebuah desa lain Anda menyentuh perut hamil seorang
wanita, dan tak lama kemudian dia melahirkan anak
laki-laki yang sehat. Tolonglah aku juga!"
Shu dan Peony meletakkan tangan mereka di perut si
istri, kemudian si selir. "Kau akan memperoleh dua anak
laki-laki," ujar Peony. Shu mengangguk.
Tuan tanah dan kedua wanita itu kemudian berkowtow
di muka Raja dan Ratu Teratai Putih. "Aku amat berterima
kasih," ujarnya. "Aku bersedia menukarkan setengah
kekayaanku untuk mendapatkan anak laki-laki!"
"Kami tak mau menerima uang dari siapa-siapa," ujar
Shu sambil menggeleng-gelengkan kepala seakan yang baru
dikatakannya itu tak bisa ditawar-tawar lagi. "Kotak
sumbangan sang Buddha ada di kuil, persis di sebelah
Teratai Putih." Sementara pasangan itu tidur di rumah si tuan tanah,
teratai gading mereka diletakkan di atas anjungan tertinggi
di kuil Buddha itu. Di sebelahnya terdapat sebuah kotak
sumbangan besar dari besi, sehingga setiap kali seseorang
menjatuhkan sekeping mata uang tembaga ke dalamnya,
akan terdengar dentingan. Bagi telinga si pemberi suara itu
merupakan jawaban positif yang diterimanya dari sang
Buddha. "Terima kasih karena mengabulkan permohonanku yang
sederhana ini," ujar mereka sambil meninggalkan tempat
itu dengan hati ringan, meski telah berpisah dengan keping
terakhir yang mereka miliki.
Beberapa anggota Pasukan Teratai Putih berjaga-jaga di
sekitar altar tempat Teratai Putih diletakkan, masing-masing menggenggam sepasang gunting di tangan.
Dengan sekeping mata uang perak, orang dapat membeli
sepotong sutra merah yang menggelayut dari altar itu.
"Akan kubakar potongan sutra ini, lalu abunya akan
kucampurkan dalam cangkir tehku," ujar seorang wanita
tua. "Akan kusuruh anakku meminumnya, supaya darahnya
tidak mengalir lagi dari paru-parunya. "
Sampai larut malam kuil itu masih dipenuhi orang. Kotak
sumbangannya semakin penuh, sehingga suara denting dari
dalamnya pun agak teredam. Para biksu dan biksuni yang
tinggal di kuil itu mengawasi segalanya dengan sedikit iri.
Mereka tidak berani mengatakan apa-apa saat melihat para
anggota Pasukan Teratai Putih mengangkut kotak
sumbangan itu di waktu subuh.
Shu dan Peony sedang makan pagi bersama si tuan
rumah saat para anggota pasukan tiba dengan membawa
kotak sumbangan itu. Dari cara mereka memanggulnya,
keduanya tahu kotak itu berat dan sudah penuh. Ekspresi
wajah mereka tidak mengungkapkan apa-apa, tapi di dalam
hati mereka bersorak-sorak. Mereka bisa memberi makan
para pengikut mereka, dan kelak mereka dapat membuat
Kantong-kantong Api dan Naga Kobar.
Salju mulai turun saat Pasukan Teratai Putih berangkat
meninggalkan desa itu. Setelah menoleh ke arah
wajah-wajah pucat dan tubuh-tubuh kurus di belakang
mereka, Shu dan Peony bertukar pandang dengan perasaan
bersalah. "Jangan terlalu kaupikirkan. Kita tak punya pilihan lain,"
ujar Shu, menghibur istrinya. "Mana ada yang mau
memberi kita sesuatu kalau kita tidak pakai akal."
"Kau juga jangan merasa bersalah Kita bukan
orang-orang pertama yang melakukan hal seperti ini, juga
bukan yang terakhir," ujar Peony membesarkan hati
suaminya. "Selalu ada aliran baru, dan sepertinya semua
aliran memang bertujuan mendapatkan salah satu
keuntungan pribadi."
Mereka menggusah kuda-kuda agar berderap lebih
cepat; masih banyak kota yang harus ditundukkan. Dari
belakang mereka dibuntuti oleh para pangeran Teratai
Putih, Pasukan Teratai Putih, serta para biksu dan biksuni
Teratai Putih. Musim Panas, 1364 Jangkrik-jangkrik berderik tiada henti. Rumah kediaman
keluarga Lu tampak begitu tenang di bawah kerimbunan
tanaman yangliu. Pintu depan terbuka, lalu delapan pengusung tandu
keluar. Mereka mempersiapkan dua tandu, kemudian
menunggu di tempat teduh.
Seorang gadis berusia tiga belas tahun muncul di pintu.
Ia mengenakan pakaian merah muda dan menyandarkan
tubuhnya pada pelayan. "Mama, jangan khawatir. Jasmine
akan menjagaku," ujar Kuncup Jingga sambil menoleh ke
belakang, sementara kakinya melangkah ke arah salah satu
tandu. Lotus muncul di ambang pintu, ditopang pelayannya. Ia
melambaikan tangan ke arah si gadis, lalu berseru dengan
lembut, "Sampaikan salamku pada Jasmine dan Ah Chin.
Katakan pada mereka bahwa lain kali seluruh keluarga
akan datang menengok mereka."
Lady Kuncup Jingga memasuki tandu, pelayannya di
tandu yang lain. Lady Lotus menanti hingga keduanya
menghilang ke arah Pelataran Bunga Hujan, kemudian
meninggalkan ambang pintu, menuju rumah induk.
Lu tampak seperti lelaki tua di usianya yang 38 tahun,
saat ia duduk meringkuk dengan tubuh kurusnya di
belakang meja kerjanya. Selama setahun terakhir ini ia tak
punya banyak waktu untuk keluarganya. Ia sering tidak
memperhatikan waktu makan dan tidurnya, dan hampir
tidak melakukan apa-apa lagi selain mengerjakan batu
kemala itu siang-malam. Lotus meletakkan tangannya di pundak suaminya. Lu
berpaling. Matanya bersinar begitu melihat istrinya,
bibirnya tersenyum. Rasa antusias membuat seluruh
wajahnya tampak bercahaya, memancarkan sinar wajah
seniman yang selalu merasa muda di hatinya.
"Coba lihat ini," ujarnya sambil menunjuk pahatannya
yang belum jadi. Lotus lertegun dan merasa senang. Lu
tidak pernah memperlihatkan karyanya kepadanya
sebelumnya. Ia selalu menyelubungi batu kemala itu
dengan sesuatu saat Lotus mampir di studionya.
Dari bongkahan batu kemala yang besar dan berharga
itu telah terpahat wujud seorang laki-laki, dalam jubah
cendekiawan. Wajahnya mulai kelihatan, rupanya mirlp Lu
yang menyunggingkan seulas senyum lembut.
"Shu akan terkejut melihat aku tidak memahat teratai
kemala, melainkan pasangan kekasih kemala untuknya,"
ujar Lu sambil mengacungkan pisau pahatnya. "Aku akan
mengukir tuan kemala dan nyonya kemala, persis yang
telah kuimpikan selama ini."
Ia pernah memahat sepasang patung dari kayu sebagat
contoh, dan itu dibuatnya berdasarkan gambar dirinya dan
Lotus. "Aku benar-benar merasa kehilangan guruku," ujar
Lu saat mempelajari karyanya yang teirdahulu. "Andai kata
dia tidak meninggal, dia pastl dapat membantu
menyelesikan pasangan kekasih kemala ini pada wak-
tunya." "Apa maksudmu?" tanya Lotus sambil menaikkan alis. Ia


Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tahu Shu dan Peony akan marah sekali begitu mendapati Lu
menggunakan batu kemala mereka yang berharga ini untuk
membuat sesuatu yang sama sekali berbeda dan yang
mereka inginkan. "Maksudku sebelum Shu kembali," jawab Lu, kemudian
ia melanjutkan pekerjaannya. "Perasaanku mengatakan dia
akan muncul di Yin-tin dalam waktu dekat. Aku ingin
memberi kejutan dengan menyerahkan pasangan kekasih
kemala ini," tambahnya tanpa menoleh lagi ke arah istri
yang begitu dicintainya. "Begitu dia melihat pasangan ini,
hatinya akan tersentuh rasa haru dan kelembutan yang
kemudian akan terpancar di matanya." Sesudah itu sambil
melamun ia berkata, "Shu dan Peony akan menjadi lebih
lembut dan ramah, seperti pasangan kekasihku kelak. Aku
begitu yakin mereka akan berubah."
Musim Dingin, 1366 Angin utara berdesau melintasi perairan Kanal Hui-tung
yang beku. Di kota Tsinan, yang terletak di kaki sebuah
gunung tinggi, terdapat beberapa tenda yang berkebat-kebit di bawah embusan angin dingin. Permadani
penutup tenda terbesar disingkap seseorang, kemudian
enam penghuninya keluar. "Ayo kita jalan-jalan," ujar Shu. Sebuah mantel dari bulu
binatang menutupi tubuhnya yang masif, sementara sepatu
botnya juga dilapisi bulu binatang.
"Bagaimana kalau kita menelusuri kanal?" usul Peony
yang berjalan paling depan. Ia juga mengenakan pakaian
dari bulu binatang. Selama empat tahun terakhir ini Teratai
Putlh telah menghasilkan cukup banyak uang untuk
membuat Kantong-kantong Api dan Naga Kobar. Garis-garis
halus mulai tampak di sudut-sudut matanya saat ia
menoleh ke arah putra-putranya, lalu tertawa. "Ayo kita
berlomba! Siapa yang berhasil menyentuh pohon pinus tua
itu pertama kali, dia yang menang! "
Kuat, yang sudah sangat tinggi untuk usianya yang dua
belas tahun, segera berlari begitu mendengar kata-kata
terakhir ibunya. Tegar setahun lebih- muda, tapi juga sudah
hampir setinggi kakaknya. Ia bertekad untuk selalu
mengalahkan Kuat dalam segala hal, karena itu ia pun
mulai larl dengan rupa yakin. Berani dan Nekat, yang masih
kecil, tak dapat berkonsentrasi cukup lama pada
perlombaan itu. Dalam waktu singkat mereka sudah
meluncur di punggung bukit. Shu dan Peony berhenti lari
untuk menunggu kedua anak bungsu mereka, sehingga
sekarang tinggal Kuat dan Tegar-lah yang masih berlomba.
"Aku menang!" teriak Kuat dari jauh, sambil berdiri di
samping pohon pinus tua. "Aku yang menang! Aku menyentuh pohon itu duluan!"
teriak Tegar. Kedua anak laki-laki itu mulai bertengkar, kemudian
berkelahi, masing-masing yakin dirinyalah yang sebetulnya
menang. Pertengkaran seperti itu sudah merupakan bagian
dari kehidupan sehari-hari mereka, dan selama ini tak
pernah dijadikan masalah oleh orangtua mereka. Untuk
waktu lama Shu dan Peony mengawasi kedua anak Sulung
mereka beradu kekuatan, dan yang lebih muda
bermain-main. Kemudian perhatian mereka teralih pada lam-
pion-lampion koyak di kanal yang saat itu beku. Kanal
Hui-tung diairi oleh Sungai Kuning, sehingga jlka sungai itu
diarungi lampion, sebagian besar akan ikut mengalir ke
kanal. "Peony," bisik Shu sambil mengawasi lampion-lampion
rusak itu. Peony melihat kesedihan membayang di wajah
suaminya, dan dapat membaca penyebabnya dari pancaran
di matanya. "Lampion-lampion itu bukan tanggung
jawabmu," ujarnya sambil meraih tangan Shu.
"Dua ratus lima puluh ribu serdadu meninggal tahun
lalu." Shu menghela napas. "Sementara angka kematian di
antara penduduk sipil jauh lebih tinggi dari itu. Bagaimana
bisa aku tidak merasa bertanggung jawab?"
Peony mengajak Shu meninggalkan tepi kanal itu.
"Hitunglah kemenangan yang kaudapatkan, jangan jumlah
korbannya," ujarnya.
Para pejuang Teratai Putih sudah berada jauh di sebelah
utara Yunnan. Mereka sudah melintasi provinsi-provinsi
Szechwan dan Shensi yang telah mereka tundukkan, dan
sekarang sudah memasuki Kansu. Singkatnya, Shu sudah
membunuh Raja Kansu dan menambahkan provinsi ini ke
dalam wilayah kekuasaannya. Kemudian mereka menelusuri Sungai Kuning untuk melaksanakan kampanye
terakhir mereka di sebelah utara Kanal Hui-tung.
Sambil melangkah menghampiri anak-anak mereka yang
lebih besar, Peony berkata, "Kau sudah menaklukkan
seluruh Cina, kecuali Da-du. Pembantaian-pembantaian itu
memang tak dapat dihindari. Para pemimpin pergerakan
lainnya juga akan membantaimu kalau kau tidak
menyerang mereka lebih dulu. Sekarang kau boleh
menyebut dirimu raja semua provinsi, dan ini sebetulnya
yang dlinginkan raja-raja lain yang terus bersaing sendiri
itu." Shu tahu apa yang dikatakan Peony memang benat, dan
ia sedikit terhibur karenanya. Mereka berhenti sesaat
untuk menatap garis cakrawala di kejauhan. Kanal Hui-tung
merupakan perairan yang panjang, dan Da-du terletak di
salah satu ujungnya, terlindung tiga lapis tembok kota.
Masih banyak pertempuran yang harus dihadapi
sebelum mereka mencapai ujung kanal itu, mengingat
orang-orang Mongol telah menempatkan pasukan-pasukan
terbaik mereka di sepanjang kanal tersebut untuk
mencegah masuknya kekuatan musuh di ibu kota mereka.
Penyerbuan ke Da-du akan merupakan tantangan berat
bagi mereka. Sulit untuk meramalkan apa-kah kemenangan
pada akhirnya akan berada di tangan orang-orang Cina.
Shu menghela napas. "Mudah-mudahan saat kita sampai
di ujung kanal itu, Naga Kobar kita sudah jadi. Kita
membutuhkannya untuk membobol tembok-tembok kota."
Peony memutar tubuh, lalu berdiri berhadaphadapan
dengan suaminya. Ia melingkarkan lengannya di pinggang
Shu, kemudian membenamkan wajah di dadanya. Sesudah
itu dengan nada bergetar ia berkata, "Aku takut, Shu. Untuk
pertama kalinya aku khawatir menghadapi kemungkinan
kita akan kalah dan orang-orang Mongol itu melampiaskan
dendam mereka pada kita."
Shu terdiam beberapa saat, kemudian setelah menghela
napas ia rnenjawab, "Peony, aku juga khawatir."
38 PADA musim dingin 1367, Pasukan Teratai Putih tiba di
pinggiran kota Da-du. Sepanjang malam salju jatuh dengan lembut. Para
anggota pasukan itu bergerak perlahan-lahan, menembus
hutan yang membatasi ibu kota bangsa Mongol itu dari
segala sisi. Kelompok pertama menyingkirkan batang-batang kayu yang sudah mati untuk membuka jalan,
kelompok kedua maju dengan Naga Kobar terhunus,
sementara yang ketiga mengangkut Kantong-kantong Api
serta Telur-telur Naga. Selama setahun terakhir, Peony
membantu para pembuat senjata memperbaiki desain
kedua perangkat mereka yang terdahulu dan menciptakan
Telur Naga dengan melebur besi yang kemudian dituang ke
dalam bentuk bola. Lingkaran pertama tembok kota panjangnya sekitar
delapan mil di satu sisi, dan di masing-masing tembok
terdapat dua pintu gerbang yang terbuat dari besi padat. Di
belakang kedelapan pintu gerbang ini para penjaganya
tiba-tiba terusik suara-suara aneh. Mereka segera
memanjat tangga-tangga untuk memeriksa.
Hujan salju sudah mereda ketika fajar mulai
menyingsing. Awan-awan tebal menyelubungi bulan yang
tampak bak bola kristal. Para penjaga masih dapat
menangkap suara seperti dahan-dahan sedang dipatah-patahkan, namun mereka tak dapat mendeteksi
adanya sesuatu yang bergerak. Kebanyakan di antara
mereka kemudian menduga itu suara binatang-binatang
liar yang sedang menjelajahi hutan, mencarl makan. Ketika
beberapa melihat sesuatu yang putih berkelebat sekilas,
mereka menduga itu ekor kijang. Mereka menuruni tangga,
lalu melanjutkan tidur. Stola Peony berpinggiran bulu binatang putih. Ia sedang
hilir-mudik di antara para serdadunya, untuk memastikan
Naga Kobar mereka sudah dibidikkan ke arah yang benar.
Moncong kuda Shu berwarna putih. Tanpa mendengus ia
berderap perlahan-lahan, membawa tuannya yang sedang
memimpin pasukan kavalerinya.
Di belakang mereka seorang jenderal Teratai Putih
memimpin sebuah pasukan infanteri besar. Para
serdadunya masing-masing membawa entah sebilah golok
atau tombak panjang dan Kantong-kantong Api atau
sepucuk Naga Kobar. Menjelang malam, Peony memanjat sebatang pohon
pinus tinggi. Ia melihat ke arah timur, sampai tampak
olehnya warna keabu-abuan samar di garis cakrawala.
Secercah sinar merah muda muncul seakan ragu. Suatu
lingkaran berwarna merah akhirnya bangkit dari
peraduannya, bak gadis pemalu yang enggan menghadapi
dunia. "Siap!" seru Peony dari pucuk pohon itu.
Naga-naga Kobar yang moncongnya sudah di arahkan ke
tembok kota cepat-cepat diisi, mula mula dengan mesiu,
kemudian Telur Naga. Di belakang setiap meriam berdiri
seorang serdadu dengan obor menyala dan beberapa orang
yang menjaga gerobak yang dimuati penuh dengan bola
bola baru. "Tembak!" teriak Peony.
Naga Kobar berdentum meninggalkan suara gelegar
yang mengguncangkan bumi begitu mesiunya memuntahkan Telur-telur Naga-nya keluar dari moncong
besi mereka. Telur-telur itu melayang melintasi hutan,
menciptakan lubang-lubang besar di sepanjang tembok
kota. Para serdadu Mongol yang sedang berada di belakang
pintu gerbang melihat tembok-tembok kokoh mereka
rontok dan pintu-pintu besi mereka ambruk. Penduduk
kota tersentak bangun, kemudian tertegun mendengar
gemuruh puing-puing berjatuhan. Aroma tajam bahan
peledak mulai menusuk-nusuk indra penciuman mereka.
Asap tebal kehitaman.memenuhi udara.
"Serbu!" seru Shu. Sambil memacu kudanya ia
mencondongkan tubuh ke depan, kemudian menghambur
keluar dari hutan. Di belakangnya, anak buahnya beserta kuda-kuda
mereka melompat menerobos lubang-lubang tembok,
kemudian menerjang siapa saja yang menghalangi mereka.
Dalam keremangan subuh mereka tak dapat melihat
apakah korban-korban mereka orang-orang Mongol, Cina,
atau bangsa mata berwarna, tapi kalaupun mereka dapat
membedakannya, itu takkan menjadi masalah.
"Maju!" perintah si jenderal Teratai Putih pada anggota
pasukannya, yang langsung menerobos kepulan debu yang
ditinggalkan oleh derap kuda-kuda.
Para serdadu ini terus maju memasuki bagian terluar
kota Da-du, sambil mengayun-ayunkan tombak dan golok
mereka, serta melontarkan Kantong-kantong Api. "Bunuh!
Bunuh!" teriak mereka sambil membantai siapa saja yang
tampak. Sementara barisan kavaleri dan infanteri membuat
suasana kota rusuh, brigade artileri mengisi Naga Kobar
mereka kembali, kemudian membidikkan senjata mereka
ke arah lingkaran kedua tembok kota.
Di tembok ini terdapat delapan benteng, empat di
masing-masing sudut tempat tembok yang satu bertemu
dengan bagian yang lain, dan empat lagi di tengah
masing-masing tembok. Benteng-benteng ini ditinggali oleh
para jenderal dan perwira Mongol beserta keluarga
mereka, juga para serdadu dan budak mereka.
Telur-telur Naga menghantam tembok-tembok ini,
sehingga benteng-benteng itu mulai roboh di beberapa
tempat. Kaum wanita menjerit-jerit sambil berusaha
mengumpulkan anak-anak mereka dan mencari tempat
persembunylan. Kaum laki-laki langsung membagi diri
dalam dua kelompok, yang satu mengumpulkan busur dan
anak panah, yang lain mengumpulkan Tangan Maut untuk
menghadapi para penyerang itu. Para budak Cina mene-
ngadahkan wajah ke arah langit pagi untuk mengucapkan
terima kasih pada sang Buddha karena membebaskan
mereka. Pedang Shu menebas siapa saja yang berada dalam
jangkauannya, kudanya menerjang semua orang, entah


Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cina maupun Mongol. Para anggota pasukan berkuda
mengikuti contoh yang diberikan Shu. Dalam suasana kacau
itu para budak Cina terbunuh sementara mereka asyik
mengucap syukur ke hadirat sang Buddha.
Penyergapan membabi buta itu membuat orang-orang
Mongol kalang-kabut. Orang-orang Cina itu telah
menghabiskan waktu satu tahun dalam perjalanan mereka
menuju Da-du dari sebelah selatan Kanal Hui-tung. Pedang
Dahsyat telah menempatkan serdadu-serdadu terbaiknya
di sepanjang kanal, sementara rombongan musuhnya
semakin mendekat. Selama sebulan terakhir pasukan
Teratai Putih nyaris tidak maju. selangkah pun. Bahkan
baru beberapa hari sebelumnya si panglima jenderal
meyakinkan anak buahnya yang menjaga tembok sebelah
dalam, bahwa orang-orang Cina itu takan sampai di ibu
kota. Orang-orang Mongol sama sekali tidak memper-
hitungkan bahwa jarak beberapa mil terakhir dari kanal itu
dapat ditempuh oleh musuh mereka dalam semalam.
Dalam gelap orang-orang Cina itu menyerang mereka dari
tiga arah. Melalui teknik yang sungguh-sungguh menakjubkan, diam-diam mereka menghabisi serdadu-serdadu Mongol penjaga daerah di sekitar kanal
itu satu demi satu, sebelum mereka yang berada di Da-du
curiga. Orang-orang Mongol yang berada di Da-d-u adalah para
pejabat tinggi serta anggota pasukan cadangan yang sama
sekali tidak siap tempur. Mereka orang-orang kota yang
tidak biasa menghadapi kekerasan dan sama sekali tidak
mirip nenek moyang suku bangsa nomad mereka, yang
dulu berhasil menaklukkan Cina. Mereka sudah terlalu
lama hidup sebagai pihak penguasa, sehingga merasa lebih
tinggi daripada orang-orang Cina yang amat mudah
ditendang ke sana-sini. Sikap arogan itu akhirnya harus
dibayar dengan nyawa mereka sendiri.
Setelah kedelapan benteng berhasil ditaklukkan dan
lingkaran tembok kedua terkepung habis, Peony
memerintahkan anggota pasukannya untuk mengarahkan
Naga Kobar ke tembok terakhir kota yang mengelilingi
istana orang-orang Mongol.
Khan Timur Tohan yang Agung beserta permaisurinya,
Bunga Matahari terjaga karena suara gelegar keras. Mereka
melihat tembok-tembok bergetar dan merasakan tempat
tidur mereka berguncang. Kandelar besar yang menempel
di langit-langit berayun-ayun, sementara plesternya mulai
rontok di sana-sini. "Gempa?" gumam Timur Tohan sambil melompat turun
dari tempat tidurnya. Ia merenggut mantelnya, lalu berlari
ke ruangan favoritnya. Namun di tengah jalan ia berhenti.
Ia dan Bunga Matahari menangkap suara teriakan
orang-orang Cina di kejauhan, "Bunuh! Bunuh! Bunuh!"
Shadow Tamu berlari dari tempat tidurnya ke arah
jendela. Setelah membukanya, ia melihat asap yang mulai
membubung dari bagian tembok kota sebelah dalam.
Wajahnya yang sempit langsung pucat pasi. Jari-jarinya
yang seperti cakar burung gemetar saat mengumpulkan
keping-keping uang emas dan barang-barang berharganya
yang lain. Seandainya saja lututnya yang lemas dapat
membawa kakinya secepat yang dikehendakinya, namun
tubuhnya yang rapuh tak mampu mematuhi komandonya
lagi. Pedang Dahsyat membuka mata, langsung duduk lebih
tegak di antara kedua gadis cantik yang menemaninya di
tempat tidurnya, lalu memasang telinga. Ia langsung
mengenakan baju besi, sepatu bot, dain topi metalnya yang
berujung runcing. Ketika Ia melirik ke arah cermin
kuningan, terlihat olehnya bekas luka di dahinya. Sama
seperti bekas luka di lengan kirinya, itu merupakan hasil
ulah Peony Shu. Ia mengertakkan gigi. Hari ini, sumpahnya,
akan dibunuhnya pasangan Shu itu.
Ia mengikatkan sabuknya yang lebar di pinggangnya,
kemudian meraba apakah pedangnya berada di tempat
semestinya. Sesudah itu ia meraih Tangan Maut-nya.
Rambut di bagian pelipisnya sudah keabu-abuan dan
wajahnya yang gelap bergaris-garls. Namun sikap siaga
yang terpancar dari matanya yang hitam dan kemantapan
hati yang tersirat pada garis bibirnya yang tampak tegang
membuat wajahnya yang tampan tampak seseram Buddha
Pencabut Nyawa. Pasukan Teratai Putih menyerbu halaman istana bak
gelombang pasang besar yang akan menelan sebuah desa.
Pasukan khusus Teratai Putih yang terdiri atas para biksu
dan biksuni melompati tembok-tembok rendah yang
memisahkan tempat kediaman para pangeran, sementara
rekan-rekannya menyulut Kantong-kantong Api serta
membidikkan Naga Kobar untuk membunuh berpuluh-puluh pangeran, putri, dan anak-anak sekaligus.
Di belakang mereka, Shu dan Peony menaiki
tangga-tangga marmer yang akan membawa mereka ke
sebuah pintu tembaga padat setinggi sembilan meter.
Daripada memasuki istana Mongol dengan melangkahi
puing-puing temboknya, mereka memilih masuk melalui
pintu masuk resminya. Orang-orang Mongol yang menjaga
di menara-menaranya sudah dibunuh semua. Anggota Pasukan Teratai Putih
membuka palang pintu istana bagi Raja dan Ratu Teratai
Putih. Shu dan Peony melangkahi tubuh-tubuh pengawal
Mongol yang tak berkepala. Tak lama kemudian mereka
berpapasan dengan seorang laki-laki bertubuh kekar dan
bersenjata lengkap. Mereka mengenalinya sebagai Pedang
Dahsyat. Dalam usia 39 tahun, Shu tampak seperti singa dengan
surai keabu-abuan. Ketika matanya beradu dengan mata
Pedang Dahsyat, si singa meraung marah, "Sudah 22 tahun
sejak pertemuan pertama kita di Gunung Makmur!"
Pedang Dahsyat menyeringai. "Aku kagum, petani
seperti kau bisa menghitung."
Dengan mata saling terpaku, mereka mencabut pedang
masing-masing. Wajah-wajah mereka menyiratkan kebencian, di hati mereka menggelora berbagai kenangan
panas. Dari sekian banyak pertemuan, yang paling sulit
dilupakan keduanya adalah yang pertama, ketika seorang
jenderal Mongol yang masih muda mendapati dirinya
dipelototi seorang pemuda Cina miskin di sebuah sudut
jalan, lalu memutuskan untuk menghabisi pemuda itu serta
bocah temannya. "Keluarga dan sobat-sobatku sudah menunggumu di
alam maut! Akan kukirim kau kepada mereka, supaya
mereka dapat menyiksamu di sana!" seru Shu.
"Aku sudah membiarkanmu hidup terlalu lama! Kau
takkan bisa melihat matahari terbenam sore ini!" desis
Pedang Dahsyat. Serentak mereka mengangkat pedang.
Lokasi kediaman Khan Timur Tohan terpisah dari
kediaman para pangeran dan putri lainnya. Mengikuti
anjuran Bunga Matahari, Timur Tohan sudah mengumpulkan sekitar seratus pengawal yang dapat
diandalkannya. Beberapa di antara mereka baru saja
terlibat pertempuran di bagian lain istana. Mereka
melaporkan, "Para pemberontak sudah membunuh seluruh
keluarga Anda dan sedang menuju ke sini!"
Timur Tohan mengangguk geram. Ia dan Bunga Matahari
masing-masing meraih sepucuk Tangan Maut, lalu lari dari
istana, di bawah perlindungan pengawal mereka. Mereka
tak punya banyak waktu lagi untuk bersembunyi.
Istana Shadow Tamu terletak persis di sebelah tempat
kediaman Khan Timur Tohan. Ia meninggalkan istananya
membawa sebuah kantong kulit di masing-masing tangan.
Isinya kepingan mata uang emas dan batu-batuan berharga.
Ia menjinjing bawaannya itu melintasi kebun, sambil
sesekali berlstirahat, sampai akhirnya tiba di pelataran.
Ia menyeret kantong-kantongnya menaiki tangga,
kemudian meletakkannya agar ia dapat mengusap keringat
di dahinya. Sesudah itu ia cepat-cepat berlutut untuk
menjamah kaki kiri patung Buddhanya. Namun tiba-tiba ia
mendengar suara di belakangnya. Ia berpaling, lalu melihat
Khan Timur Tohan serta permaisurinya bergegas ke
arahnya. Meskipun udara dingin sekali, Shu dan Pedang Dahsyat
basah kuyup bermandikan keringat. Salju di sekitar mereka
penuh cipratan darah, mengingat keduanya sudah terluka
beberapa kali. Namun mereka sama-sama tidak memedulikan luka masingmasing.
Matahari sudah bersembunyi, sementara angin mulai
meraung. Awan-awan gelap di langit tinggi bergulung-gulung gellsah. Mereka yang menyaksikan
pertarungan ini tak dapat menebak bagaimana cuacanya
sehabis ini. Mereka juga tak dapat meramalkan, siapa di
antara keduanya yang akan keluar sebagai pemenang
begitu duel ini berakhir.
"Kau rupanya," ujar Shadow Tamu pada Timur Tohan,
sinis seperti biasa. "Jangan kira aku akan mengajak kalian
ke tempat persembunyianku," ujarnya terengah-engah.
Timur Tohan dan Bunga Matahari melangkah mendekati
Shadow Tamu sambil mengacungkan Tangan Maut mereka
ke arah si penasihat yang sudah mendampingi banyak khan
di masa lalu. Shadow Tamu melirik ke arah Tangan Maut yang
diacungkan ke arahnya, lalu ke barisan pengawal yang
cukup besar jumlahnya di belakang pasangan itu.
Ketakutan mulai membayang di mata penasihat tua itu,
wajahnya yang putih semakin pucat. Ia mencoba tertawa.
"Kalau kalian berani menarik pemicunya, kalian akan
dilacak terus oleh adikku, lalu disiksa perlahan-lahan
olehnya!" gumamnya, menggunakan ancaman yang
biasanya selalu ampuh itu.
Pedang Dahsyat sudah mulai lelah. Keringat membasahl
wajahnya dan menetes di baju perangnya. Ia sudah
kehilangan topi metalnya dalam pertarungan itu. Ia masih
mampu bertahan, tapi tak bisa menyerang. Ia sudah
siap-siap memerintahkan pengawalnya untuk membantunya, ketika ia mendengar suara ledakan keras di
belakangnya. Jantungnya seakan berhenti berdenyut, kemudian ia
mendengar, entah dengan telinga atau hatinya, suara
jeritan kakaknya yang melemah, "Pedang Dahsyat! Adikku!
Di mana kau?" Suara Shadow Tamu menggema ke seluruh kebun,
sementara tubuhnya terjerembab ke muka. Kantong-kantongnya tertendang kakinya, tangannya mendarat di jari kaki kiri sang Buddha. Kedua kantong
kulitnya menggelinding di tangga, lalu terbuka di tengah
jalan. Kepingan uang emas dan batuan berharga berserakan
di seluruh permukaan lantai yang mengelilingi pelataran
itu. Salah satu papan yang terkena cipratan darah mulai
bergeser. Sebuah lorong membuka di pelataran itu. Timur
Tohan dan Bunga Matahari segera bergegas ke lorong itu,
kemudian menuruni tangganya yang sempit. Mereka diikuti
barisan pengawal yang ternyata cukup panjang.
Begitu sampai di ruang rahasianya, Timur Tohan
memutar tempat lilin emas yang terletak di meja samping
tempat tidur ruangan itu. Pintu masuk menutup, sehingga
mulut lorong pun tidak tampak lagi.
Shu begitu sibuk dengan duelnya, sampai tidak
memedulikan apa-apa lagi. Di lain pihak, musuhnya mulai
kehilangan konsentrasinya, seakan ada suara mengusiknya.
Begitu menyadarinya, Shu menyerangnya. Goloknya


Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melayang dalam gerakan membusur ke bawah, menghantam mata pedang Pedang Dahsyat yang sedang
diayunkan ke atas, sehingga terlepas dan tangannya.
Shu melemparkan pedangnya ke samping, lalu mencabut
belatinya. Ia mencengkeram Pedang Dahsyat dengan
tangan kosong, lalu sambil mengentakkan tubuh ke depan,
ia menghunjamkan belatinya tepat ke jantungnya.
Pedang Dahsyat tidak langsung jatuh. Ia berdiri sambil
menatap Shu, sementara darah muncrat dari lukanya.
Di matanya, wajah Shu tampak berubah-ubah, dari anak
petani menjadi utusan, kepala pemberontak, kemudian
anak petani kembali. "Dibunuh anak petani ... ?" gumam Pedang Dahsyat saat
tubuhnya terhuyung-huyung ke muka.
Shu menggunakan tangan kanannya untuk mencabut
belatinya dari tubuh Pedang Dahsyat. Ia mengelapkannya
pada lengan kiri bajunya, kemudian mengecup hiasan batu
kemala di tengah pangkalnya. Sesudah itu ia mengembalikan belatinya ke dalam sarungnya.
Orang Mongol yang kuat itu akhirnya ambruk di kaki
Shu. Shu menendang tubuh yang tak bergerak lagi itu untuk
memastikan ia sudah mati, kemudian memerintahkan
orang-orangnya, "Penggal kepalanya, lalu pancang di atas
tonggak tinggi!" Orang-orang Mongol yang masih berada di sekitar
mereka langsung menyerah. Peony merangkul Shu,
kemudian merawat luka-lukanya. Sesudah itu mereka
menengadahkan wajah ke ujung tonggak tempat kepala
Pedang Dahsyat dipamerkan.
Mata si panglima jenderal terbuka lebar, bibirnya
mengembang dalam seulas senyum dingin, memperlihatkan gigi-giginya yang putih.
"Baba, Mama, kematian kalian sudah terbalas!" bisik
Peony ke arah langit musim dingin yang keabu-abuan.
"Keluargaku, sobat-sobatku, kalian boleh tersenyum di
alam baka sekarang!" seru Shu sambil mengarahkan
suaranya ke arah awan-awan tebal yang masih terus
berubuh wujud di bawah embusan angin utara yang kuat.
Di mata Shu, salah satu awan itu mengambil bentuk
wajah seorang bocah berusia tiga belas tahun yang
bernama Ma. Khan Timur Tohan yang Agung beserta Permaisuri
Bunga Matahari akhirnya muncul di kuil Lama. Mereka dan
para pengikutnya segera menaiki kuda yang disiapkan oleh
para biksu Lama, kemudian berderap ke arah utara, menuju
Tembok Besar. Berjam-jam kemudian, persis sebelum memasuki daerah
Gurun Gobi, Timur Tohan dan Bunga Matahari
menghentikan kuda mereka. Mereka berpaling, lalu
menoleh ke belakang, ke arah selatan.
"Jangan sedih memikirkan barang-barang penemuan
serta koleksimu yang kautinggalkan di Cina," ujar Bunga
Matahari kepada suaminya.
"Untuk apa aku sedih?" jawab Timur Tohan. "Apa yang
kuketahui mengenai barang-barang penemuanku akan
tetap tinggal di kepalaku, sedangkan barang-barang
koleksiku akan selalu hidup dalam kenanganku. Di samping
itu, kau dan aku akan punya banyak anak, dan kelak salah
satu keturunan kita akan menaklukkan Cina kembali!"
Shu dan Peony memutuskan akan menetap di Da-du
sampai musim semi mendatang. Mereka memblarkan para
serdadu bebas berkeliaran di kota, tanpa lupa menegaskan
bahwa sebagai penakluk, mereka berhak melakukan apa
saja. Shu dan Peony lalu menjelajahi istana orang-orang
Mongol. Tembok-tembok yang jebol harus diperbaiki.
Bangunan-bangunan yang roboh harus dibangun kembali.
Seluruh istana harus dibersihkan dari segala sesuatu yang
berbau Mongol. Para tukang batu dan tukang kayu dikerahkan untuk
bekerja siang-malam. Pada suatu malam, beberapa minggu
kemudian, saat Shu dan Peony memasuki salah satu
ruangan, mereka tidak memperhatikan bahwa tiga tukang
kayu masih bekerja di para-para.
"Rasanya aku tak bisa percaya!" seru Shu sambil melihat
sekelilingnya, lalu tertawa terbahak-bahak. "Kau dan aku,
dua anak petani, menjadi Raja dan Ratu Teratai Putih
sekarang, pemilik sebuah istana!" Saat menengadahkan
kepala, ia melihat ketiga tukang kayu itu. Ia tahu mereka
telah mendengar ucapannya tadi. Ia memerintahkan
mereka untuk turun. Dua di antara ketiga orang itu langsung mematuhi
perintahnya. Yang ketiga terus memoles sebatang balok,
seakan tak peduli. "Berani-beraninya kau tidak mematuhi aku!" teriak Shu
kepada orang ltu. "Aku bilang turun! Sekarang! "
Laki-laki ltu tetap tidak memedulikan Shu, sampai Peony
tertawa. "Masa tak kaulihat dia tuli?"
Shu tidak membawa pedangnya, karenanya ia
mengeluarkan belatinya dari sarungnya. Begitu kedua
tukang kayu itu menyadari nasib yang menanti mereka,
mereka langsung berlutut dan memohon diampuni.
"Ampuni kami. Kami punya keluarga yang harus diberi
makan. Kami takkan mengulangi apa yang baru kami
dengar..." Mereka sudah dibunuh sebelum dapat memohon
lebih lanjut. Perjalanan setahun terakhir menelusuri Kanal Hui-tung
sambil terus menerobos garis pertahanan musuh telah
membuat hati Shu semakin keras dan dingin. Ia tak pernah
menghitung lagi jumlah serdadu dan penduduk sipil yang
menjadi korban ambisinya. Sekarang ia menghapus darah
kedua tukang kayu di belatinya dengan jubahnya, ke-
mudian kembali menoleh ke arah para-para.
Laki-laki di atas sana masih terus bekerja. Rupanya ia
tidak melihat sama sekali.
"Kau yakin dia tuli?" tanya Shu pada Peony.
"Tentu saja," jawab Peony. "Kecuali d ia aktor yang hebat
sekali." Setelah pasangan itu berlalu dan mayat kedua tukang
kayu itu diseret pergi, si tukang kayu ketiga turun dari
para-para. Ia menyelinap keluar dari istana, meninggalkan
Da-du, kemudian langsung menuju ke arah gunung, untuk
menemui para biksu yang bersembunyi di kuil-kuil yang
bersarang di hutan-hutan tua yang diselimuti kabut.
Saat bunga-bunga pohon apel di sepanjang Kanal
Hui-tung bermekaran, Shu, Peony, serta keempat putra
mereka bersiap-siap meninggalkan Da-du.
"Aku ikut menggalinya," ujar Shu sambil menunjuk ke
kanal itu. Ia teringat akan tajaknya yang berat, tangannya
yang berdarah-darah, perutnya yang keroncongan,
punggungnya yang pegal-pegal, serta cambukan mandor-mandor Mongol yang pernah diterimanya. "Dan
sekarang aku akan mengarunginya dalam segala
kemegahan!" Perahu naga terbesar yang dibangun Khan Timur Tohan
yang Agung segera diturunkan ke kanal. Keluarga Shu
menaiki perahu itu, sementara serdadu-serdadu mereka
mengiringi dari tepi. Tali-tali tambang yang panjang yang
diikatkan pada perahu itu kemudian ditarik oleh kuli-kuli
yang diseret dari desa-desa sepanjang kanal untuk dipaksa
bekerja. Pada saat keluarga Shu menghendaki perahu itu
bergerak lebih cepat, jenderal Teratai Putih akan
memerintahkan serdadu-serdadunya mencambuki kuli-kuli
itu lebih keras. Meskipun keluarga Shu bisa makan dan
tidur sepuasnya, kuli-kuli mereka tak pernah mendapat
sesuap nasi ataupun diizinkan beristirahat. Begitu sampai
di perbatasan desa, mereka digantikan oleh penduduk yang
tinggal di desa berikutnya. Hanya yang paling kuat dan ber-
untung di antara mereka yang akhirnya dapat bertahan.
Di samping para kuli itu, penduduk desa yang lain
berdiri berjejer di sepanjang perairan, menonton perahu
naga itu. "Coba lihat, begitu besar kaki Ratu Teratal Putih!" ujar
seorang wanita yang tidak tahan untuk tidak mengungkapkan ketakjubannya. "Dan dia tidak malu
mengayun-ayunkannya di bibir perahu, sampai dilihat
semua orang!" Suaranya sampai ke perahu naga. Shu langsung memberi
tanda kepada jenderalnya dengan mengayunkan tangan.
Wanita itu langsung dibunuh.
"Apa benar Raja Teratai Putih itu cuma putra buruh
tanl?" tanya seorang laki-laki dengan nada ingin tahu.
Angin musim semi menyampaikan pertanyaannya ke
telinga Shu. Sekali lagi ia mengirimkan tanda pada
jenderalnya, dan dalam sekejap air kanal itu sudah kena
cipratan darah laki-laki yang ingin tahu itu.
39 Musim Panas, 1638 XXX "KETERLALUAN memperlakukan kita seperti ini!
Mereka benar-benar kurang ajar sekarang!" umpat Shu
dengan suara bergetar menahan marah, saat ia melintasi
jalan-jalan kota Yin-tin di atas kudanya.
"Berani-beraninya mereka tidak mengacuhkan kita!"
teriak Peony sambil mengendalikan kudanya di samping
suaminya. "Tak seorang pun menyambut kedatangan kita di jalan!"
seru Kuat dengan marah dari atas kudanya. "Masa mereka
tidak mau melihat rupa pahlawan-pahlawan mereka?"
"Semua pintu tertutup. Bahkan para pedagang tidak
senang melihat kita. Coba lihat air muka mereka!" seru
Tegar sambil menunjuk-nunjuk ke segala arah. "Penduduk
Yin-tin harus diberi pelajaran. Bagaimana kalau kita bakar
saja kota ini?" Berani dan Nekat, yang masing-masing
berusia sembilan dan delapan tahun, tidak begitu tersing-
gung menerima penyambutan itu. Mereka hanya bosan
melintasi jalan-jalan kota yang sepi.
Sikap penduduk Yin-tin telah membuat Peony dan Shu
begitu sakit hati, sehingga sewaktu para anggota Pasukan
Teratai Putih, yang juga marah menghadapi penyambutan
yang dingin itu memutuskan untuk mengobrak-abrik kota,
keduanya sama sekali tidak berusaha mencegah mereka.
Para pemilik toko berusaha tersenyum ramah kepada
para. serdadu ini, tapi sudah terlambat. Mereka menjarah
apa saja yang ingin mereka miliki, menuntut makan gratis
kepada para pemilik restoran, serta membunuh siapa saja
yang berani memperlihatkan sikap kurang suka.
"Kami butuh tempat untuk tidur! Kami sudah cukup
lama tidur di tenda!" teriak mereka, kemudian mendobrak
pintu rumah-rumah dan minta diperlakukan sebagai tamu
terhormat. Di belakang para serdadu ini melangkah para biksu dan
biksuni Teratai Putih. Mereka tidak berhenti di mana-mana,
melainkan langsung ke Gunung Emas Ungu. Kebanyakan di
antara mereka pernah diusir dari kedua kuil di situ, dan
sekarang mereka ingin membalas dendam. Mereka kecewa
ketika ternyata kedua kuil itu sudah kosong. "Jadi, mereka
semua kabur! Oke, kalau begitu kita ambil alih tempat ini
dan kita terapkan peraturan-peraturan baru di sini," ujar
mereka. Peraturan pertama mereka adalah, setiap bulan
purnama, keluarga di Yin-tin harus menyerahkan sejumlah
persentase pemasukan mereka ke kuil-kuil ini."
Lu mengawasi saat pelayan-pelayannya mengunci
semua pintu, kemudian menuju ruang dalam.
Selama mengerjakan ukiran batu kemalanya, ia hanya
makan dan tidur sedikit sekali, sehingga berat tubuhnya
sekarang kurang dari lima puluh kilo.
Begitu sampai di ruang dalam, ia mengumpulkan
keluarganya, lalu mengungkapkan keputusannya kepada
mereka. Putra-putranya yang sudah menginjak usia dewasa
protes, anak perempuannya menangis. Lotus tidak
berkomentar apa-apa, hanya menatap suaminya dengan
mata berkaca-kaca. Setelah meminta anak-anak mereka keluar, Lu
merangkul Lotus. Matanya menatap wajah istrinya yang
cantik. Ia mulai mengecupi matanya yang berbentuk buah
badam, kemudian alisnya yang seperti daun yangliu.
Bibirnya menyentuh mulutnya yang mungil, yang diberi
perona merah hanya di bagian tengahnya, seperti buah ceri.
Sesudah itu ia mengalihkan mata ke kaki istrinya yang
besarnya hanya lima senti, yang merupakan bagian paling
menarik dari dirinya sebagai wanita Selatan dari kalangan
baik-baik. Dalam diri wanita yang sekarang sudah setengah baya


Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

itu, Lu hanya melihat pengantinnya yang masih muda. Ia
masih ingat saat pertama kali mereka meleburkan awan
serta menciptakan hujan. "Begitu banyak waktu telah kita
sia-siakan. Tradisi begitu sering merenggut hal-hal
menyenangkan dalam hidup ini dari tangan kita," bisiknya.
Ketika ia membuka simpul sabuknya, Lotus tidak
mencegahnya. Waktunya tidak cocok, baik Konfusius
maupun sang Buddha pasti takkan suka.
Tapi bagaimana mereka dapat mengganti waktu yang
sudah tersia-siakan itu" Selain itu Lotus merasa wajib
menolong suaminya melepaskan seluruh ketegangan,
ketakutan, serta kekhawatirannya. Ia menyandarkan tubuh
pada suaminya saat Lu membimbingnya ke tempat tidur. Ia
memeluknya erat-erat saat mereka bercinta. Ia merangkulnya dengan lebih dari sekadar mengikuti
perasaannya - ia begitu takut kehilangan dirinya.
"Bawa dia ke sini!" ujar Shu pada pelayannya sambil
mengertakkan gigi. Ia dan Peony sedang duduk-duduk di
gazebo mereka, menikmati hidangan malam.
Lu melangkah sempoyongan ke arah Shu dan Peony,
membawa sebuah buntelan yang kellhatannya berat.
Dengan susah payah ia membungkuk. "Aku senang bertemu
kembali dengan kalian," ujarnya apa adanya, kemudian
meletakkan bawaannya di meja gazebo. "Aku punya hadiah
untuk kalian." Dari bawah berlapis-lapis bahan sutra, muncullah dua
patung batu kemala. Yang, laki-laki ber pakaian seperti
seorang bangsawan, yang perempuan seperti seorang
nyonya. "Berani-beraninya kau menyia-nyiakan batu kemala
ayahku yang berharga!" jerit Peony melihat patung-patung
itu. "Bukankah sudah kami jelaskan kami menginginkan
teratai dari batu kemala!" teriak Shu.
Lu membungkuk kembali. "Pasangan bangsawan dari
batu kemala ini akan jauh lebih menyenangkan bagi mata
kalian daripada sekuntum bunga." Sesudah itu ia menunggu
sampai pasangan kerajaan itu memeriksa hasil karyanya
sekali lagi. Shu dan Peony mengawasi patung-patung itu dengan
hati waswas. Pasangan bangsawan itu ternyata mirip Lu
dan Lotus, dan kerniripan itu tidak hanya terpancar sejauh
penampilan mereka. Kedua patung itu sama-sama memiliki
wajah sendu dua pemimpi. Selain itu setiap goresan
pahatnya mengungkapkan kepolosan, ketulusan, ketenangan, kelembutan, serta kehangatan. Cahaya bulan
bersinar lembut ke atasnya, menerangi mata pasangan
bangsawan itu. Kedua patung itu tampak hidup, siap
membuka mulut mereka dan berbicara.
"Supaya kau tahu, patung-patung itu sama sekali tidak
membuat kami senang!" komentar Peony dingin.
"Buat apa kaupahat mereka untuk kami?" tanya Shu
curiga. Dengan tenang Lu menjelaskan, "Kupahat mereka untuk
kalian, untuk dijadikan contoh." Ia berhenti sebentar, lalu
menambahkan, "Tirulah mereka. Kalau kalian bisa bersikap
lembut dan hangat seperti mereka, kalian akan diterima
semua" Dengan wajah masam Shu dan Peony mengitari meja,
mempelajari wujud patung itu dari segala sudut Namun
semakin mereka mempelajari detail-detailnya, semakin
marahlah mereka. "Kau mau aku mencontoh nyonya kemala" Lalu kenapa
kauberi dia kaki yang dibebat?" Peony membandingkan
kakinya yang besar dengan kaki mungil si patung.
"Kaupikir aku bisa meniru si bangsawan kemala" Aku
bisa mati dalam pakaian seperti itu!" Jubah yang dikenakan
patung laki-laki itu menutupi seluruh tubuhnya, sedangkan
pakaian Shu selalu dibiarkan terbuka amat rendah,
sehingga dadanya yang berbulu kelihatan. "Kerahnya yang
tinggi saja bisa membuatku sesak napas!"
Lu menunggu sampai getaran yang ditimbulkan dua
suara marah di kebun yang tenang itu mereda. Seekor
burung bulbul berkicau dari dalam hutan. Beberapa katak
bersahutan dan memadu kasih di kolam. Seekor jangkrik
berderik di bawah pohon yang diterangi sinar rembulan.
"Coba dengar," ujar Lu, "pasangan kekasih dari kemala itu
sedang berbicara. Mereka sedang mengungkapkan pada
kalian bahwa perang sudah usai, dan sekarang waktunya
untuk meletakkan senjata dan membangun Cina agar
menjadi negeri yang cantik dan tenteram."
Shu memiringkan kepala ke satu sisi, sambil mengawasi
Lu dengan pandangan curiga. "Pasangan kemala itu tidak
mengatakan apa-apa! Kau yang berbicara untuk mereka!
Kau yang berbicara untuk kepentingan dirimu sendiri!" '
Peony menunjuk ke arah kedua patung itu.
"Mereka betul-betul mirip kau dan istrimu. Rupanya kau
dan Lotus ingin menguasai Cina sendirian, dan memakai
pasangan kemala ini sebagai simbol kalian."
"Mau menguasai Cina sendirian!" seru Shu, mengulangi
ucapan Peony. Itu masuk akal. Yin-tin adalah kota terbesar
di daerah Selatan, sedangkan orang-orang Cina Selatan
lebih terpelajar daripada mereka yang berasal dari Utara.
Mengingat Lu punya pengaruh di Yin-tin, jalan untuk
menjadi penguasa di Kiangsu, kemudian semua provinsi,
dan akhirnya sebagai Kaisar Cina, terbuka lebar baginya.
Lu menggeleng-gelengkan kepala. "Aku tidak berniat
menjadi penguasa. Aku cuma ingin segera pensiun dan
mungkin sesekali menasihati kalian dari jauh..."
Shu tidak memberinya kesempatan untuk menyelesaikan kalimatnya. "Jadi, kau ingin menjadi Shadow
Tamu Cina! Kau ingin aku dan Peony menjadi wayangmu
dan kau dalangnya. Karena itulah kaubuat pasangan kemala
serta bicara melantur seperti itu!"
Lu menatap mata sahabatnya tanpa berkedip, kemudian
berpaling ke arah Peony. Sesudah itu ia berkata dengan
nada rendah yang cukup jelas, "Sobat-sobatku, kalian
keliru. Aku sama sekali tidak berniat menjadi penguasa
Cina ataupun dalang. Tapi cobalah ubah sikap kalian,
menjadi pasangan yang lebih lembut seperti pasangan
kekasih dari batu kemala ini. Kalau tidak, akan kupastikan
bahwa rakyat Cina takkan pernah mau menerima kalian
sebagai penguasa mereka!"
"Kami takkan membiarkanmu melakukan itu!" teriak
Peony. "Akan kami hancurkan kau lebih dulu, sebelum kau
menghancurkan kami!" teriak Shu sambil mendekati Lu.
Ruang itu hanya memiliki sebuah jendela kecil berterali
besi. Daun pintu kayunya yang tebal terkunci dari luar.
Tempat tidurnya amat rendah, sementara papan-papannya
yang keras hanya ditutup selembar tikar jerami yang
lembap, tanpa bantal. Dinding dan langit-langitnya yang
rendah terbuat dari batu dan penuh lumut, karena ruang ini
terletak di pojok sebelah utara bangunan rumah, tempat
sinar matahari tak dapat menembus rimbunan tanaman
yangliu yang mengelilinginya. Gubernur Mongol selalu
menggunakan ruangan itu untuk menyekap para
tahanannya, dan kini Shu menganggap ruangan itu
merupakan sel penjara yang amat ideal.
Lu melangkah hilir-mudik di ruangan berlantai tanah itu.
Kalau ia berjalan sejajar dengan tempat tidurnya, ia dapat
menempuh jarak antara tembok yang satu ke yang lain
dalam enam langkah. Ia sudah mondar-mandir seperti itu
sejak ia dilemparkan ke dalam ruangan itu oleh para
pengikut Shu. "Kuberi kau waktu tiga hari untuk berpikir," ujar Shu
ketika itu dengan nada yang tak bisa
ditawar-tawar lagi. "Kalau kau masih ingin melihat
keluargamu, sebaiknya kaunyatakan kau bersedia berpidato di muka penduduk Yin-tin."
Lu tidak mengatakan padanya waktu itu bahwa pidato
seperti itu sama sekali tidak dibutuhkan Shu. Kaum
cendeklawan miskin dan kalangan elite kaya sebetulnya
sudah siap tunduk kepada penguasa mereka yang baru.
Kalangan petani terlalu polos untuk berpura-pura, tapi
mereka juga akan tunduk di bawah hunusan pedang.
Lu berhenti melangkah di muka jendela berterali itu. Di
sela-sela kerimbunan tanaman yangliu, ia melihat bulan
yang mulai memucat. Ia memasang telinga, lalu menangkap
nyanyian burung bulbul. Ia tahu bahwa di kaki bukit,
seluruh keluarganya masih terjaga, menanti ia kembali.
"Maafkan aku", bisiknya. "Ini masalah prinsip. Dengan
atau tanpa pidatoku, Shu toh akan menduduki takhta. Tapi
jika aku menjadi penasihatnya, kemudian ternyata rakyat
menderita di bawah pemerintahannya, aku takkan dapat
memaafkan diriku sendiri."
Ia meninggalkan jendela itu, kemudian duduk di tempat
tidur. Dari gulungan sanggulnya Ia menarik semua jepit
rambutnya yang terbuat dari batu kemala. Kepangnya jatuh
ke pundak. Ia meraih ujung kepangnya, lalu mulai
melepaskan jalinannya sambil menguraikan bermeter-meter benang sutra yang melilit rambutnya. Ia
menggulung benang panjang itu pada salah satu jepit
rambutnya, yang kemudian disatukannya bersama dua
saputangan di sakunya - yang satu merah, sementara yang
lain putih. Lu merebahkan diri di tempat tidur sambil melipat
lengan di bawah kepalanya. Matanya menatap ke luar
melalui jendela. Si burung bulbul berhenti menyanyi pada
saat bulan menghilang dan langit gelap berubah
keabu-abuan. "Lotus, kau sekarang tentu tahu aku tak bisa pulang
dengan seenaknya," bisiknya ke arah langit menjelang
subuh, sambil berharap angin pagi itu membawa suaranya
ke telinga istrinya. Hatinya sedih membayangkan seluruh
keluarganya. Ia memejamkan mata, lalu merasakan air
mata hangat mengalir membasahi wajahnya. Ia memaling
wajah dari jendela, menantikan datangnya pagi. Tak lama
kemudian ia mendengar suara para pelayan yang mulai
bangun. Tak lama kemudian seorang laki-laki membuka
pintu untuk mengantarkan nampan baginya.
Lu memeriksa apa yang terdapat di nampan itu dengan
jantung berdebar-debar, sampai ia melihat sepasang
sumpit. Ia tidak menyentuh makanan yang disajikan,
melainkan langsung mengambil sumpitnya, lalu mulai
bekerja. Di muka pintu, Shu mengerutkan alisnya ke arah cahaya
hangat musim panas yang memasuki ruang sempit itu.
Matanya membesar melihat layang-layang yang digenggam
Lu di tangannya. Layang-layang itu terbuat dari saputangan
putih, dua batang sumpit, dan beberapa meter benang sutra
yang berasal dari jalinan kepangnya.
"Kalian, orang-orang terpelajar, memang aneh! Sempat-sempatnya membuat layang-layang dalam waktu
seperti ini!" gerutu Shu sambil menggeleng-gelengkan
kepala. "Sudah ambil keputusan?" tanyanya.
Tanpa terburu-buru Lu menjawab, "Belum." Pan-
dangannya beralih ke layang-layang putihnya. Sulit baginya
untuk berbohong sambil menatap mata sahabatnya.
"Karena itulah aku membuat layang-layang ini. Sudah
menjadi kebiasaanku - pikiranku bisa menjadi lebih jernih
saat aku menerbangkan layang-layang."
Shu mengangkat bahu saat ia mengabulkan permintaan
Lu. "Aku ikut denganmu." .
Mereka melintasi kebun, kemudian berhenti di dekat
kolam yang besar. Lu mengalunkan layang-layangnya
menglkuti embusan angin, kemudian melepas gulungan
benangnya dengan cepat. Tangan-tangan angin yang tidak
tampak menahan layang-layang itu di udara, kemudian
mengangkatnya tinggi-tinggi. Saat Lu berhenti mengulurkan benangnya, layang-layang putih itu sudah
terbang tinggi sekali, melewati tembok kebun dan meliak--
liuk genit di atas Gunung Emas Ungu.
"Layang-layangnya putih!" seru Lotus. Lututnya langsung lemas. Teguh menopang berat tubuhnya di satu
sisi, sedangkan Tulus di sisi lain.
"Baba!" desah Kuncup Jingga. "Sepanjang malam aku
berdoa semoga Baba menerbangkan layang-layang merah
dan memberitahu kami bahwa segalanya berjalan dengan
baik! Oh, Baba! Turunkanlah layang-layang putih itu, lalu


Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

katakan kami tak perlu pergi dari sini!"
Kakak-kakak Kuncup Jingga menoleh ke arah layang-layang putih itu sekali lagi, kemudian cepat-cepat
mengeringkan air mata. Teguh membantu Lotus meninggalkan kebun, lalu berkata dengan tabah, "Mama,
kita barus mematuhi perintah Baba. Kita harus bergerak
secepatnya." Tulus membantu Kuncup Jingga, lalu membujuk gadis itu
untuk berjalan, "Kau sudah besar sekarang, Dik. Jangan
berlaku seperti bayi. Baba laki-laki yang tegar. Ayo kita
buat dia bangga." Mereka menuju bagian rumah yang didiami kedua nenek
mereka. Setelah menutup pintu-pintu, mereka terfibat
dalam pembicaraan panjang dengan Lady Lu dan Lady Lin,
yang sekarang berusia enam puluhan. Setelah puas
menangis dan berdiskusi, mereka berenam mulai
berkemas-kemas. Mereka tidak mengatakan apa-apa kepada para pelayan.
Meskipun penduduk Yin-tin kurang menyukai Shu, siapa
pun dapat memakai imbalanyang akan diperoleh untuk
menangkap mereka. Mereka tidak membawa sepotong pun
pakaian bagus, karena bahan sutra dan satin takkan cocok
dalam lembaran hidup baru mereka. Selain mata uang emas
dan perak, mereka hanya membawa apa yang dapat dijual
dengan mudah - kebanyakan batu-batu berharga yang tak
dapat mengungkapkan siapa mereka sebetulnya. Satu-satunya yang tidak berguna yang, dibawa Lotus adalah
sisir batu kemala, beberapa cincin buatan tangan yang juga
dari batu kemala, sebuah lukisan, dan sepasang patung
kayu. Ia tak dapat berpisah dengan benda-benda itu, karena
masing-masing mengingatkannya pada masa bahagia yang
dilewatinya bersama Lu. Saat malam mulai merengkuh rumah kediaman itu
dalam kegelapannya, mereka berenam menyelinap keluar
dari pintu belakang, lalu bergegas secepat kaki keempat
wanita yang terbebat itu mampu membawa mereka.
Kemudian keempat wanita itu menunggu sampai Teguh
dan Tulus menemukan enam tandu untuk disewa. "Ke
Pelataran Bunga Hujan," ujar Teguh kepada para
pengusung. Dari dalam rumah kediaman keluarga Lu, seorang
wanita berusia lima puluhan mengawasi keenam
majikannya dengan hati was-was. Ia tahu mereka sedang
melarikan diri dan kenapa. Wanita itu adalah Sesame.
Sewaktu kecil ia dijual kepada keluarga Lu sebagai budak,
dan ketika Lu menginjak usia empat belas tahun, ia
dijadikan selirnya. Ia tak pernah bergaul dengan laki-laki
lain sejak itu. Ia mencintai Lu sepenuh hati seumur hidup-
nya, meskipun ia hanya dipakai Lu sewaktu Lu tak boleh
mendekati Lotus karena tradisi. Sesame tidak membenci
ataupun cemburu terhadap Lotus. Ia mencintai anak-anak
pasangan Lu, seakan mereka anak-anaknya sendiri,
meskipun mereka memperlakukannya sebagai pelayan.
Sesame sedih karena para majikannya tak cukup
mempercayai dirinya untuk mengungkapkan rahasia
mereka kepadanya. Namun kesedihan tidak mempengaruhi
kesetiaannya kepada mereka.
Ia menuju kamar Lotus, mengenakan pakaian Lotus,
duduk di kursi yang biasa diduduki Lotus, lalu memutar
kursi itu menghadap tembok. Seandainya salah seorang
pelayan ingin melaporkan sesuatu kepada Lady Lu, mereka
akan mendapati si nyonya sedang enggan berbicara.
Mereka tidak akan tahu bahwa Lady Lotus yang
sesungguhnya sudah menghilang.
"Lu, junjunganku, setidaknya inilah yang dapat
kulakukan untukmu," bisik Sesame sambil menerawangi
dinding. Diam-diam Ia terisak saat melihat bayangan Lu
pada dinding kosong itu, yang tumbuh dari seorang bayl
menjadi bocah, kemudian dari seorang pemuda kalangan
bangsawan menjadi gubernur setengah baya.
Keluarga Lu menuju selatan kota Yin-tin, dan akhirnya
tiba di sebuah tanah pertanian di dekat Pelataran Bunga
Hujan. Pemilik tanah pertanian yang sudah tua itu adalah
Ah Chin dan Jasmine yang masih hidup di sana bersama
anak-anak mereka yang sekarang sudah dewasa.
Kedua keluarga itu berbincang-bincang sampai larut
malam. Paginya, sebuah gerobak yang dikemudikan oleh
Chin muda meninggalkan tanah pertanian itu, menuju
gerbang selatan. Para pejuang Teratai Putih sudah mengambil alih semua
pos jaga di gerbang itu, namun mereka belum terlatih
untuk menggeledah secara cermat orang-orang yang
berniat melakukan perjalanan panjang. Mereka hanya
melihat seorang petani muda mengemudikan gerobak, dan
penumpang-penumpangnya adalah enam petani - empat
wanita dan dua laki-laki. Mereka melambaikan tangan dan
membiarkan gerobak itu berlalu.
Ah Chin dan Jasmine menunggu dengan resah dari pagi
sampai malam. Mereka baru menghela napas lega setelah
seorang, petani mampir saat matahari akan terbenam,
memberitahukan bahwa anak mereka serta keluarga Lu
telah berhasil menyeberangi perbatasan Provinsi Kiangsu,
dan sedang dalam perjalanan menuju Provinsi Kiangsi.
Cepat-cepat pasangan itu meninggalkan tanah pertanian
mereka, lalu mendaki Pelataran Bunga Hujan, sementara
matahari mulai masuk ke peraduannya. Ah Chin baru saja
pulih dari sakit dan karenanya amat lelah setelah
pendakian itu. Akhirnya ia beristirahat di atas batuan
berwarna yang menjadi alasan pelataran itu diberi nama
demikian, sambil mengawasi istrinya mengeluarkan
layang-layang merah besar dari sebuah tas.
Jasmine berdiri di puncak pelataran, kemudian
menerbangkan layang-layang itu setinggi mungkin.
Layang-layang itu membubung di atas semua po hon, dan
terlihat jelas oleh semua yang berada di sekitar gunung itu.
Lu meminta izin Shu untuk berjalan-jalan di kebun. Sang
Kaisar tidak hanya mengabulkan permintaannya, tapi
malah ikut berjalan-jalan bersamanya.
"Ini malam ketiga kau di sini, juga malam terakhir kau
berada di rumahku sebagai tamuku," ujar Shu parau. "Aku
membutuhkan jawabanmu besok pagi."
Beberapa saat kemudian ia mengulangi pertanyaannya,
apakah Lu akan menyatakan setia kepadanya dengan
berbicara di hadapan rakyat serta membujuk rakyat
Kiangsu untuk mengikuti jejaknya.
Rupanya Lu tidak mendengar pertanyaannya itu. Ia terus
melangkah ke ujung kebun, lalu menatap ke arah kota yang
terhampar di bawah. Ia menyipitkan mata ke arah barat
daya, menatap hamparan pohon-pohon tinggi yang
mengelilingi Pelataran Bunga Hujan.
Kemudian ia melihat sebuah layang-layang melesat
tinggi di atas pepohonan, merah seperti warna matahari
yang sedang turun. Untuk pertama kali sepanjang hari itu Lu tersenyum.
"Selamat jalan, anak-anakku," gumamnya tanpa suara.
"Selamat jalan, Lotus-ku. Kita akan berkumpul kembali di
dunia yang lain." Bibirnya bergetar.
Shu berkata, "Tapi kalau jawabanmu masih tetap tidak,
aku terpaksa menghukummu di depan umum. Mengingat
kau wali kota favorit mereka, kematianmu akan amat
mempengaruhi mereka.Aku lebih suka menjadi penguasa
dengan dukungan rakyat, tapi kau memaksaku memimpin
mereka dengan menggunakan kekerasan."
Lu mengalihkan mata dari layang-layang merah itu, lalu
dengan tenang berpaling ke arah Shu. Ia meletakkan
tangannya di atas lengan sahabatnya, lalu menatap laki-laki
bertubuh besar itu. "Shu, kau tahu seperti halnya aku
bahwa kau hanya mencoba menakut-nakutiku agar aku
mengatakan ya. Kau takkan tega menghinaku di depan
umum." Bekas petani itu menatap Lu beberapa saat, lalu
berteriak, "Kepala batu kau!" Ia merentangkan kedua
lengannya sambil melepaskan diri dari cekalan tangan Lu.
"Apakah ini jawaban tidak-mu yang terakhir?"
Lu mengangguk tenang. "Betul, sobatku. Jawaban
terakhirku adalah tidak. Aku takkan pernah mau berpidato
seperti itu di hadapan rakyat. Malah, seandainya kau
membiarkan aku hidup, ada dua hal yang akan kulakukan.
Mendukung rakyat untuk melawanmu, dan menjadi suara
hatimu, untuk mengingatkan dirimu betapa kejamnya kau
sebagai penguasa." Shu meletakkan tangannya yang besar di pundak Lu, lalu
mengguncang-guncang lelaki bertubuh kecil itu dengan
gemas. "Konyol sekali kau! Mungkin kau tidak menghargai
nyawamu sendiri, tapi bagaimana dengan keselamatan
keluargamu" Aku bisa membunuh mereka semua, tahu!"
Lu menggeleng-gelengkan kepala. "Tidak, kau tak bisa
melakukan itu. Aku tahu kau akan menggunakan mereka
sebagai sarana untuk mengancamku, karena itu mereka
kusuruh pergi. Mereka sudah berada di luar provinsi ini
sekarang, dan kau takkan pernah tahu di mana mereka
berada." Shu meraung sekali lagi, kemudian mendorong tubuh Lu
dengan kasar. Cendekiawan yang rapuh itu jatuh telentang
dengan keras di atas batuan, sehingga siku dan telapak
tangannya terluka. Ia mengawasi Shu berlalu dari situ
dengan marah, sambil memanggil para pengawalnya untuk
memasukkan tahanan mereka kembali ke selnya.
Lu berdiri tanpa bantuan para pengawal itu. Namun
persis sebelum mereka menggiringnya ke kamar tahanan,
ia menatap ke arah Pelataran Bunga Hujan untuk terakhir
kalinya. Matahari telah menghilang dari muka bumi, warna langit
sudah berubah keabu-abuan. Kegelapan datang dengan
cepat. Tapi titik mungil berwarna merah itu masih tetap
merambah angkasa dengan bebas, bak secercah lidah api
abadi. Bulan tiga perempat menerangi langit malam, menyinari
kebun yang sunyi itu. Secercah cahaya keperakan
menerobos rimbunan daun-daun yangliu, membias
memasuki jendela berterali besi itu, sehingga memungkinkan si penghuni kamar tahanan melihat saat
pintunya dibuka seseorang.
Dari caranya berusaha tidak menimbulkan suara, Lu
menyadari si tamu tak ingin ia terjaga. Ia sedang berbaring
telentang, berbantalkan lengannya yang terlipat. Sekarang
ia berusaha ietap diam dalam posisi itu, seakan tertidur
lelap. Mata Lu sudah terbiasa dengan suasana gelap,
karenanya ia dapat melihat dengan lebih baik daripada si
tamu. Namun ia membiarkan matanya setengah tertutup
dan menjaga agar irama napasnya tetap teratur.
Shu menutup pintu itu dengan hati-hati. Ia berhenti,
menunggu sampai ia dapat melihat dengan lebih baik
dalam kegelapan. Wajah Lu tampak pucat di bawah sinar
bulan, sedangkan postur tubuhnya seperti postur bocah.
"Sobatku," gumamnya hampir tidak terdengar saat ia
menghamptri tempat tidur itu. "Sobat yang begitu kucintai!
" Irama napas Lu yang teratur tiba-tiba berubah. Shu
langsung berhenti melangkah. Ia takkan dapat melakukannya seandainya Lu terbangun, kemudian
menatapnya lurus-lurus di matanya.
Mendadak Shu merasa dirinya berusia enam belas tahun
kembali. Ia sedang berhadapan dengan seekor harimau. Si
harimau menatapnya lurus-lurus. Ia harus mengumpulkan
seluruh keberaniannya untuk membunuh raja semua
binatang itu. Dengan penuh sesal telah diputuskannya
bahwa pada saat dua makhluk berjiwa ksatria bertarung,
salah satu harus mati. Irama napas Lu kembali normal. Shu meneruskan
langkah-langkahnya. Begitu sampai di dekat tempat tidur
itu, ia mencondongkan tubuh ke arah Lu, kemudian
menimbang-nimbang lagi selama beberapa saat.
Ia tak pernah menyadari, seberapa jauh keteguhan Lu
dalam mempertahankan prinsipnya, sampai sobatnya
mengatakan tidak kepadanya untuk terakhir kali. Ia tidak
mengkhawatirkan ancaman Lu untuk menyulut rakyat agar
mereka tidak mendukungnya. Mereka toh sudah telanjur
tidak menyukainya. Tapi ia tak dapat membiarkan Lu men-
jadi suara hatinya. Ia sudah mempertaruhkan segalanya
untuk mendapatkan semua ini, dan karenanya ia tidak
berniat mengubah dirinya.
"Maafkan aku, sahabatku," bisiknya. Suaranya nyaris
tidak terdengar. Lu menangkap ucapannya. Hatinya begitu tersentuh.


Sungai Lampion Karya Ching Yun Bezine di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kelirukah ia kalau berbohong demi temannya" Manusia
sudah biasa berbohong. Bukankah ia bisa berpidato, lalu
angkat kaki dari Yin-tin, kemudian bergabung dengan
keluarganya" Betapa inginnya ia merangkul Lotus dan
merneluk anak-anaknya saat itu.
Namun kebimbangan itu hanya sempat menggoyahkannya sesaat. Ia dapat berbohong pada siapa
saja, kecuali Shu. Ia harus membimbing sahabatnya selama
ia masih hidup. Lu mengerahkan seluruh kernampuannya untuk tetap
diam saat ia mendengar Shu mencabut belatinya dari
sarungnya. Ia mengintip melalui bulu matanya dan melihat
rantai emasnya berkilauan pada pangkal pisau itu. Cahaya
bulan memantulkan sinarnya ke atas gagang itu, menerangi
hlasan batu kemala di tengahnya. Dua tangan yang sedang
bergenggaman - yang satu lebih besar dari yang lain.
Shu mengangkat belati itu tinggi-tinggi.
Lu menunggu. "Sobatku ... !" bisik Shu dengan nada amat sedih,
kemudian ia mengayunkan belati itu.
Saat pisau itu menembus jantungnya, Lu membuka
matanya lebar-lebar. Kedua lelaki itu berpandangan. Shu
langsung tahu bahwa sejak tadi Lu sebetulnya terjaga. Ia
hanya pura-pura tidur untuk mempermudah segalanya
baginya. Shu langsung berlutut di samping tempat tidur itu.
Hatinya hancur berkeping-keping. Sesaat ia mengawasi
belatinya, sambil menimbang-nimbang apakah ia akan
mencabutnya atau tidak. Seluruh mata pisau itu tertanam
di dalam tubuh Lu. Rantai emas beserta bandul kemala
yang berkilauan pada gagangnya terkena pantulan sinar
bulan. Sudah terlambat sekarang. Seandainya ia mencabut
belati itu, Lu akan mati lebih cepat.
"Kenapa kaubiarkan aku melakukannya" Kenapa"
Kenapa?" ratap Shu. Lu membuka mulutnya, mencoba berbicara, "Jangan
kausesali... aku mengerti... "
Ketika para pengawal mendengar suara ratapan dan
memasuki sel itu, mereka mendapati si tahanan sudah
meninggal, sementara Raja Teratai Putih bersimpuh di
sebelah tubuhnya, menangis sambil memukul-mukul
dadanya dengan sedih. EPILOG Musim Gugur, 1368 DI kota Yin-tin, saat bulan penuh, Shu dinobatkan
menjadi Kaisar Cina dan Peony permaisurinya.
Mereka menamakan kekaisaran mereka Dinasti Ming.
Ming adalah kata yang ditulis dengan mengombinasikan
aksara yang melambangkan matahari dan bulan, dan
maknanya adalah benderang.
"Masa-masa gelap negeri Cina sudah berakhir," ujar
Kaisar. "Mulai sekarang, kita adalah bangsa dengan semangat
menyala," tambah permaisurinya.
Penobatan itu menjadi peristiwa akbar yang dihadiri
oleh para duta besar berbagai negara asing. Seluruh dunia
terkesan pada pribadi seorang tokoh yang bangkit dari
kalangan petani, berhasil menyisihkan musuh-musuhnya,
kemudian menggulingkan kekuasaan keturunan Genghis
Khan. Hadiah-hadiah berdatangan dari seluruh pelosok dunia.
Di antara perhiasan emas dan batu-batuan berharga itu
berdiri gadis-gadis cantik dalam berbagal kostum, hasil
seleksi dari Negeri Cina serta negeri-negeri lain seperti
Jepang, Korea, India, dan Thailand.
Kaisar menoleh ke arah gadis-gadis cantik itu. Beberapa
di antara mereka langsung mengerut, yang lain merinding.
Mereka semua menundukkan kepala dengan takut, kesal
melihat ulah mereka, Kaisar membuang muka, kemudian
menghampiri permaisurinya, lalu menggenggam tangannya. "Akan kita apakan makhluk-makhluk cantik yang masih
muda-muda ini?" tanya Permaisuri.
Shu mengangkat bahu. "Simpan saja mereka di salah satu
pojok istana, seperti kita menggeletakkan hadiah-hadiah
yang tidak kita inginkan di gudang itu."
Ruang gudang yang luas di dalam istana itu penuh
dengan rak-rak, mulai dari lantai sampai ke langit-langit
keempat dindingnya. Berbagat benda, mulai dari
pedang-pedang dari emas murni sampai cangkir-cangkir
teh dari batu zamrud. Di salah satu rak teratas terdapat
sepasang patung batu kemala. Si nyonya kemala bersandar
pada bangsawan kemalanya. Mereka sama-sama tersenyum
sendu, mengungkapkan cinta, pengertian, ketulusan hati,
serta kedamaian abadi. Ketika bulan membias masuk
melalul jendela serta menyinari mereka, mata mereka
tampak bersinar, seakan mereka memiliki kisah panjang
untuk dicentakan- kepada dunia.
Bulan juga bersinar malam ini di atas kolam buatan di
kebun istana Setelah upacara penobatan itu selesai dan
tamu-tamu pulang, Kaisar dan Permaisurti berjalan-jalan di
sana sambil bergandengan tangan. Mereka berhenti di
muka tanaman azalea yang baru ditanam di sekitar kolam.
"Bertahun-tahun yang lalu, ketika aku sedang dalam
perjalanan mencarimu, aku melihat sebuah rumah
pedesaan dengan tanaman azalea bermekaran di dekat
pintunya. Sejak itu aku ingin sekali menanam azalea
untukmu," ujar Kaisar, yang kemudian berjongkok di dekat
air. "Akhirnya aku pun memiliki azalea sekarang. Terima
kasih, Shu," Ujar Peony sambil tikut berjongkok di
sebelahnya. Kaisar mengayunkan tangannya. Seorang pengawal
mendekati mereka, membawa sebuah lampion kertas putih.
Shu sendiri yang menyalakan lampion itu, lalu
menempatkannya di kolam dengan tangan bergetar.
Peony melihat kesedihan yang terpancar di mata
suaminya, lalu menghela napas. Belati yang indah itu sudah
dikuburkan bersama peti mati Lu, namun pengkhianatan
atas persahabatan mereka akan selalu hidup dalam
kenangannya. Permaisuri membantu Kaisar berdiri, kemudian
mengiringinya meninggalkan kebun itu.
Angin musim gugur meniup lampion yang sebatang kara
itu ke sisi lain kolam. Lamplon itu melesat keluar dari
sebuah celah kecil di bawah tembok istana, kemudian
terombang-ambing di sepanjang kanal yang mengalir dari
sebelah timur kota Yin-tin ke sebelah barat, dan akhirnya
terus ke Sungai Yangtze. Di sana ia membaur di antara
ribuan lamplon lain yang melarungi sungai itu seakan tiada
habisnya. Tentang Pengarang CHING YUN BEZINE lahir di Cina Utara pada tahun 1937,
tepat sebelum invasi Jepang yang membuat keluarganya
terpaksa mengungsi ke Shanghai. Di sana usaha perkapalan
ayahnya berkembang pesat dan Ching Yun hidup dalam
kemewahan, dilayani banyak pelayan. Tapi ketika Komunis
berkuasa pada tahun 1949, keluarga Ching terpaksa
mengungsi kembali, kali ini ke Taiwan. Memenuhi ke-
inginan keluarganya, Ching menjadi pengacara dan
menikah dengan pria pilihan orangtuanya, seorang tabib
Cina yang belum dikenalnya. Pada usia 25 tahun dan dalam
keadaan hamil, Ching meninggalkan suaminya, beremigrasi
ke Amenka Serikat. Sambil menjalani kehidupan keras
untuk bertahan sebagai orangtua tunggal, Ching berhasil
meraih gelar sarjana muda dan gelar master dalam seni
rupa, juga menulis 14 buku bestseller dalam bahasa Cina,
diterbitkan oleh Gown Taiwan. Pada tahun 1973, ketika
sedang berusaha meraih gelar Ph.D., ia bertemu Frank
Bezine, psikolog dan ahli pendidikan Amerika. Mereka
menikah di Hawaii setahun kemudian. Ching memulai
debutnya sebagai pengarang di Amerika dengan Children of
the Pearl, disusul oleh Temple of the Moon dan On Wings of Destiny. Ia dan
suaminya tinggal di Michigan.
-ooo0dw0ooo- Asmara Berdarah Biru 1 Jodoh Rajawali 03 Ratu Kembang Mayat Seruling Perak Sepasang Walet 10
^