Pencarian

Akhenaten Adventure 1

The Akhenaten Adventure Children Of The Lamp Karya P B Kerr Bagian 1


Saat itu baru lewat tengah hari dimusim panas yang
menyengat di Mesir. Hussein Hussaout, Baksheesh -
(putranya yang berusia dua belas tahun) - serta
Effendi - (anjing mereka) - berkemah di gurun sekitar
tiga puluh dua kilometer di selatan Kairo. Seperti
biasa, secara ilegal mereka menggali untuk mencari
artefak bersejarah yang bisa dijual di toko mereka.
Tak ada yang bergerak di gurun itu selain seekor ular,
kumbang tahi, dan kalajengking kecil. Di kejauhan,
seekor keledai sedang menarik gerobak kayu yang
penuh dimuati daun palem. Selain itu semua, hanya
kesunyian dan keheningan yang membakar.
Wisatawan biasa takkan membayangkan bahwa
tempat yang tandus ini adalah bagian dari situs
arkeologi terbesar di Mesir. Monumen serta harta
karun yang tak terhitung jumlahnya masih
tersembunyi di bawah gurun ini.
Baksheesh senang membantu ayahnya mencari
benda-benda di gurun. Tapi pekerjaan itu berat, dan
setiap beberapa menit, Baksheesh atau ayahnya akan
melempar sekop, lalu kembali ke mobil Land Rover
untuk minum dan menyejukkan diri selama beberapa
menit dalam mobil yang ber-AC. Pekerjaan itu juga
berbahaya karena ada banyak parit yang dalam dan
tersembunyi, yang dapat membuat orang atau unta
yang tidak waspada terperosok.
Pekerjaan di pagi itu menyenangkan karena mereka
telah menemukan beberapa patung shabti kecil,
beberapa gerabah yang pecah, dan sebuah anting-
anting emas kecil. Baksheesh sangat senang karena
dialah yang menemukan benda yang menurut
ayahnya sangat berharga itu.
"Pergilah makan siang, Nak," perintah Hussein, "kau
pantas mendapatkannya."
Tapi dia sendiri terus menggali dengan harapan
menemukan lebih banyak lagi artefak yang terkubur.
"Ya, Ayah." Baksheesh pergi ke belakang Land Rover, diikuti
Effendi yang berharap mendapatkan sesuatu untuk
dimakan. Baksheesh membuka pintu belakang dan hendak
mengambil kotak pendingin saat Land Rover itu
bergerak. Mengira rem tangan belum ditarik dengan
benar, dia cepat-cepat berlari ke pintu pengemudi,
berniat melompat ke dalam dan menarik rem lebih
kuat lagi. Namun saat dia meraih, mobil mendadak
bergerak menjauh. Satu atau dua detik kemudian
Baksheesh merasakan guncangan dahsyat di bawah
kakinya, seolah raksasa di bawah tanah telah
meninju langit-langit tanah berbatu diatasnya. Saat
menunduk, Baksheesh melihat tanah tampak
bergulung seperti gelombang. Kehilangan
keseimbangan, dia pun terjatuh menimpa mobil
sehingga sikunya lecet. Dia berteriak saat (Shabti =
bahasa Mesii: Ushabti atau Shawab, tiadalah figur
magis di jaman Mesir kuno yang ditempatkan di
makam Fir aun dengan tujuan membantu mumi di
alam baka) terjadi guncangan kedua, guncangan yang
lebih dahsyat. Baksheesh berusaha berdiri dan
mempertahankan pijakan, yang jadi lebih mudah bila
dia berhenti memerhatikan tanah. Sekitar empat ratus
meter dari tempatnya berdiri ada tebing terjal, tempat
Baksheesh dan ayahnya sering menggali. Ketika dia
melihat ke sana, satu tebing utuh terlepas dan jatuh
ke lantai gurun yang menyilaukan dalam lengkungan
besar debu, kerikil, batu besar, dan pasir. Baksheesh
buru-buru duduk agar tidak terjatuh lagi. Dia belum
pernah mengalami gempa, namun dia yakin kalau
gerakan bumi yang dahsyat itu pasti gempa.
Sebaliknya, ayahnya justru tampak gembira,
bukannya ketakutan. Dia malah tertawa histeris saat
berusaha tanpa hasil mendapatkan kembali
pijakannya. "Akhirnya, akhirnya," dia berseru, seakan yakin kalau
gempa itu terjadi demi keuntungan dirinya.
Saat guncangan semakin keras dan Baksheesh kaget
setengah mati, ayahnya justru tampak semakin
gembira. "Sepuluh tahun," teriak Hussein lantang mengalahkan
gemuruh keras tanah. "Sepuluh tahun aku menunggu ini."
Baksheesh semakin heran karena selera humor dan
kegembiraan ayahnya tidak menunjukkan tanda-
tanda akan berkurang. Bahkan, saat tanah terangkat
hingga menimbulkan ledakan, yang juga mengangkat
Land Rover hampir setinggi dua meter dan jatuh
dalam posisi terbalik, ayahnya tetap saja gembira.
"Ayah, hentikan," teriak Baksheesh sambil
mencengkeram Effendi yang melolong dan gemetar
ketakutan, "Ayah, kumohon hentikan. Ayah bisa mati."
Sebenarnya Hussein Hussaout, yang berusaha berdiri
di tanah yang berguncang, tidak dalam posisi
berbahaya ketimbang putra dan anjingnya yang
mencengkeram tanah; tapi bocah itu merasa ada
yang tidak beres pada tingkah ayahnya. Seolah roh
bumi melihat ada orang yang justru bergembira, dia
lalu menambah kekuatan gempa agar orang itu dapat
dihancurkan. Kemudian, sama mendadak dengan
terjadinya, gemuruh tanah menghilang. Gerakan
dahsyat itu berakhir. Debu dan pasir mengendap, dan
suasana pun hening, seolah alam menahan napas
untuk menunggu apa yang akan terjadi selanjutnya.
"Asyik, kan?" teriak Hussein Hussaout yang kini
terjatuh berlutut setelah gempa berakhir. Dia masih
menyeringai seperti orang gila, menangkupkan tangan
seolah berdoa. Baksheesh menoleh untuk melihat Land Rover mereka
yang terbalik. Dia menggeleng-gelengkan kepala.
"Kelihatannya kita harus berjalan kaki ke jalan raya
dan mencari bantuan," katanya, "aku tak mengerti
bagaimana hal ini dianggap menyenangkan?"
"Ini menyenangkan," ayahnya bersikeras, lalu
mengangkat sebongkah batu seukuran CD, "lihat!
Ayah tadi melihatnya ketika tanah bergerak. Selama
ribuan tahun angin dan pasir menjadi penjaga harta
karun Firaun, tapi terkadang saat tanah bergerak,
benda yang terkubur bisa terlihat."
Bagi Baksheesh, kepingan batu itu tidak mirip harta
karun. Sebenarnya, orang pasti akan mengabaikan
bongkahan batu basal halus segi empat yang
berwarna abu-abu dan bergurat-gurat itu.
Hussein mengangkat benda itu, dan dia segera tahu
kalau itu adalah stela Mesir.
"Lempengan batu ini berisi naskah kuno dalam huruf
hieroglyphic yang berasal dari Dinasti ke-18," jelas
Hussein Hussaout. "Bila benar dugaan Ayah, berarti kita telah
menemukan kunci untuk membuka misteri yang telah
tersimpan ribuan tahun. Ini mungkin akan menjadi
hari terpenting dalam hidup kita. Orang seperti Ayah
menunggu seumur hidup untuk mendapatkan
kesempatan seperti ini. Itulah yang ayah maksudkan
dengan menyenangkan, Anakku. Itulah yang
membuat Ayah senang."
(Stela = Tulisan yang dipahat didinding atau batu.
Hireoglyphic = Huruf Mesir kuno)
*** Mr dan Mrs Edward Gaunt tinggal di New York di Jalan
East 77th no. 7 di sebuah town house tua berlantai
tujuh. Mereka mempunyai dua anak kembar berusia
dua belas tahun: John dan Philippa. Meskipun kembar,
mereka sangat berbeda sesuatu yang membuat
kedua anak itu sangat lega dan puas. Orang sulit
memercayai kalau mereka kembar.John, yang lebih
tua sepuluh menit, berpostur tinggi dan kurus dengan
rambut cokelat lurus. Dia suka memakai baju serba
hitam. Sementara Philippa bertubuh lebih kecil.
Rambutnya merah bergelombang, dan mengenakan
kacamata berbingkai tanduk. Dia terlihat lebih cerdas
dibanding kakaknya. Philippa gemar memakai baju
serba merah muda. Mereka berdua merasa agak
kasihan pada orang yang kembar identik. Mereka
kesal bila ada yang berkomentar betapa tidak
miripnya mereka - seolah tak ada yang
memerhatikan hal itu sebelumnya. Tapi, dalam kepala
mereka, ceritanya lain lagi. John dan Philippa sering
memikirkan hal yang sama. Terkadang saat guru
mengajukan pertanyaan, mereka akan
mengacungkan tangan bersamaan untuk menjawab.
Bila menonton acara kuis di televisi, mereka akan
mengutarakan jawabannya berbarengan.
Dan mereka tidak mungkin kalah bila menjadi satu
tim dalam permainan Pictionary*.
Ayah mereka, Mister Gaunt, adalah seorang banker
investasi, cara lain untuk mengatakan bahwa dia
kaya-raya. Mrs Gaunt adalah wanita yang sangat
cantik dan sering melakukan acara penggalangan
dana. Itulah sebabnya dia banyak dicari, karena
semua yang disentuhnya pasti sukses. Dia lebih
dikenal masyarakat New York dengan nama Layla.
Bicaranya berkilau seperti lampu gantung kristal, dan
dia orang yang glamor. Jadi bisa dibilang dia cerdas
dan cantik. Tapi, tidak dapat disangkal bahwa Mr dan
Mrs Edward Gaunt adalah pasangan yang kontras.
Sama kontrasnya dengan gagasan yang mengatakan
bahwa kedua anak mereka kembar. Layla, yang
berambut gelap dengan fisik laksana atlet dengan
tinggi seratus delapan puluh tiga sentimeter bila tanpa
alas kaki. Sementara tinggi Edward hanya seratus
lima puluh dua sentimeter dalam sepatu merek
Berluti-nya, dan dengan rambut agak panjang
berwarna abu-abu. Dia mengenakan kacamata
berwarna pucat. Bila Layla memasuki ruangan,
banyak orang yang memerhatikan, sedangkan jarang
ada yang memerhatikan Edward. Untungnya dia lebih
suka diperlakukan seperti itu karena dia pemalu, dan
cukup puas membiarkan istri dan rumahnya yang
menjadi sorotan. (Pictionary adalah permainan tebak
kata yang dimainkan secara berpasangan. Seorang
pemain akan berusaha menebak apa yang digambar
rekannya.) Kediaman keluarga Gaunt, di Upper East Side, New
York, tampak lebih mirip kastil ketimbang sebuah
rumah yang sering muncul dalam majalah mahal.
Pintu depannya dilindungi gerbang raksasa berbentuk
melengkung dari besi tempa, dan semua dinding
rumahnya dilapisi kayu mahoni pilihan. Di dalam
rumah itu ada banyak lukisan Prancis terbaik, perabot
Inggris kuno, karpet Persia langka, dan vas Cina yang
mahal. Terkadang Philippa merasa kalau orangtuanya
lebih peduli pada perabotan ketimbang pada anak
mereka; tapi dia tahu ini tidak benar. Saat John dan
Philippa mengatakan bahwa nomor 7 terasa lebih
mirip galeri seni ketimbang rumah, Mister Gaunt akan
menjawab, jika nomor 7 adalah galeri seni, pasti
takkan ada izin memelihara anjing, termasuk dua
anjing kesayangan keluarga Gaunt. Alan dan Neil
adalah dua anjing Rottweiler besar. Mereka adalah
binatang hebat, setidaknya karena kedua anjing itu
dapat memahami semua perintah. Suatu ketika, John, yang terlalu malas
untuk bangkit dan mencari remote control,
memerintahkan Alan untuk mengganti saluran televisi.
Hebatnya, Alan bisa melakukannya. Neil tidak kalah
cerdas; kedua anjing itu tahu perbedaan antara
saluran Fox Kids, The Disney Channel, Nickelodeon,
dan CNN. Kedua anjing itu sering menemani si
kembar berkeliling New York . John dan Philippa
mungkin merupakan dua anak di kota itu yang
merasa cukup aman berjalan di malam hari di Central
Park yang terletak tidak jauh dari rumah. Tapi John
jengkel karena kedua anjing cerdas itu hanya
memiliki nama yang biasa-biasa saja.
"Rottweiler adalah jenis anjing pertama yang
dikembang-biakkan orang Romawi," keluh John
kepada orang-tuanya di suatu pagi saat sarapan
menjelang awal liburan musim panas, "sebagai anjing
penjaga. Hanya merekalah hewan peliharaan
keluarga yang disertai peringatan kesehatan dari
pemerintah. Tekanan gigitan mereka lebih besar
dibanding anjing lain, dengan pengecualian anjing
berkepala tiga yang menjaga Hades."
"Cerberus," gumam Mister Gaunt lalu mengambil
koran New York Times dan mulai membaca tentang
gempa di Kairo yang disertai foto besar yang dramatis
di halaman depan. "Aku tahu, Ayah," sahut John. "Rottweiler menjadi
jenis anjing favorit tentara dan polisi. Jadi, menurutku,
nama Alan dan Neil terasa agak konyol."
"Kenapa?" tanya Mister Gaunt, "memang begitulah
nama mereka selama ini."
"Aku tahu. Tapi Ayah, seandainya aku harus menamai
dua Rottweiler, aku pasti akan memberi nama yang
lebih cocok. Seperti Nero dan Tiberius. Nama dua
kaisar Romawi." "Nero dan Tiberius bukanlah orang yang
menyenangkan, Nak," celetuk ibunya.
"Benar," ayahnya menyetujui, "Tiberius kurang
kesopanan- civile ingenium. Dan dia manusia yang


The Akhenaten Adventure Children Of The Lamp Karya P B Kerr di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjijikkan. Sedangkan Nero benar-benar sinting.
Selain membunuh ibunya, Agrippina, dan istrinya,
Octavia, dia juga membumi-hanguskan Roma. Odisse
coepi, postquam parricida maths e t uxoris, auriga e t
his trio e t incendiaries extitisti."
Ayahnya tertawa keras, "coba Ayah tanya, teladan
macam apakah itu untuk seekor anjing?"
John menggigit bibir; dia selalu sulit berdebat bila
ayahnya mulai bicara bahasa Latin. Ada sesuatu pada
diri orang yang berbahasa Latin seperti hakim dan
Paus - yang membuat mereka sangat sulit diajak
berdebat. "Baiklah, mungkin bukan kaisar Romawi mana pun,"
John menerima dengan enggan, "mungkin nama lain.
Sesuatu yang lebih berbau anjing. Seperti Elvis,
mungkin." "Mungkin kau belum sadar," tegur Mister Gaunt kaku,
"tak satu pun dari kedua anjing kita yang benar-benar
berbau anjing, seperti istilahmu. Rottweiler, seperti
katamu tadi, disukai oleh penegak hukum. Mereka
bukan jenis anjing yang suka mengibaskan ekor.
Mungkin ada anjing lain yang bisa mengambilkan
koran dari kotak surat. Tapi anjing kita bisa pergi ke
toko kue dan mengambilkan sekantong bagei tanpa
memakannya satu pun. Bahkan Elvis Presley pun tak
bisa melakukan itu, sungguh. Dan anjing mana yang
pergi sendiri ke dokter hewan kalau merasa kurang
sehat" Atau mengisi meteran parkir" Ayah ingin lihat
Kaisar Nero mencoba mengisi meteran parkir."
"Lagi pula," tambah Mister Gaunt sambil melipat lalu
menyingkirkan korannya, "ini semua sudah terlambat.
Mereka anjing dewasa. Dari dulu kita telah
memanggil mereka Alan dan Neil. Apakah mereka
bisa menjawab bila dipanggil dengan nama baru"
Anjing tidak seperti musisi dan aktor bodoh. Orang-
orang itu mungkin terbiasa memakai nama baru yang
tolol. Seperti Pink, Dido,atau Sting. Anjing tua akan
sulit menerima nama baru."
Mister Gaunt menoleh sekilas pada putrinya. "Kau
setuju, Philippa?" Philippa mengangguk sambil merenung.
"Mereka memang bukan anjing yang berbau anjing.
Jadi, begini saja: kita jelaskan bahwa mereka dapat
nama baru, lalu kita lihat reaksi mereka. Anjing yang
cukup pintar untuk mengetahui perbedaan antara
saluran CNN dan Fox Kids mungkin cukup pintar untuk
menerima nama baru."
"Tapi Ayah masih tidak melihat ada yang salah
dengan nama mereka. Alan dan Neil adalah nama
Celtic. Alan berarti tampan; dan Neil berarti juara.
Ayah tidak mengerti apa yang salah pada anjing yang
namanya berarti tampan dan juara. Ayah benar-benar
tidak mengerti." "Kurasa itu ide yang bagus, Sayang," respons Mrs
Gaunt, "bagaimanapun, Alan tidaklah tampan. Dan
Neil belum pernah juara."
Wanita itu tersenyum seolah masalah itu sudah beres,
"jadi, kita akan panggil apa mereka" Ibu lebih suka
nama Elvis. Alan yang lebih besar dan lebih rakus. Dia
memang mirip Elvis."
Mister Gaunt menatap istrinya, seolah sangat tidak
sependapat. "Layla," katanya pelan, "itu tidak lucu."
"Dan kita coba ganti nama Neil dengan Winston," usul
Philippa, "seperti nama Winston Churchill. Dia lebih
garang, dan dengan dagu dobel serta geramannya,
dia memang mirip Winston Churchill."
"Dia juga suka cerutu," ucap John, "kalau ada tamu
yang mengisap cerutu, Neil pasti langsung
menghampiri dan mulai mengendus, seolah dia
menikmatinya." "Benar," sahut Philippa, "dia memang menikmati, kan?"
"Jadi tinggal satu pertanyaan, siapa yang akan
memberitahu mereka?" tanya John.
"Ibu," usul Philippa, "mereka selalu menurut pada Ibu.
Semua orang menurut pada Ibu. Bahkan Ayah."
Benar; Alan dan Neil selalu patuh pada Mrs Gaunt
tanpa keraguan sedikit pun.
"Ayah tetap tidak setuju," tandas Mister Gaunt.
"Baiklah, kalau begitu kita lakukan pemungutan
suara," usul John, "mereka yang setuju nama baru
untuk anjing-anjing ini, angkat tangan."
Saat tiga tangan teracung keatas, Mister Gaunt
mengembuskan napas panjang menerima
kekalahannya. "Ya sudah. Tapi Alan dan Neil pasti takkan mengerti."
"Kita lihat saja," kata Mrs Gaunt, "kau tahu,
seharusnya itu sudah terpikir sebelumnya, Sayang.
Anak-anak ada benarnya juga."
Dia memasukkan jari ke mulut dan membunyikan
siulan memekakkan telinga yang pasti akan bikin iri
semua koboi. Beberapa detik kemudian kedua anjing
itu muncul dan menempatkan diri di depan Mrs Gaunt,
seolah menunggu perintah.
"Dengar," katanya, "sudah diputuskan bahwa kalian
akan mendapat nama baru yang berbau anjing."
Neil menatap Alan, lalu menggeram pelan. Alan hanya
menguap dengan gaya angkuh dan duduk.
"Aku tidak ingin dibantah," desak Mrs Gaunt.
"Neil" Setelah ini namamu adalah Winston. Dan Alan"
Namamu adalah Elvis. Mengerti?"
Anjing-anjing itu tetap diam, jadi Mrs Gaunt
mengulangi, dan kali ini kedua anjing menggonggong
keras. "Cool," komentar John.
"Ayah akan tetap memakai nama lama mereka," ucap
Mister Gaunt, "anjing-anjing itu mungkin akan terbiasa
dengan nama barunya, tapi Ayah tidak."
"Winston" Berbaring," perintah Mrs Gaunt, dan anjing
yang semula bernama Neil berbaring di lantai dapur.
"Elvis" Berdiri."
Dan anjing yang awalnya bernama Alan, berdiri.
"Hebat," kata John, "siapa bilang kita tidak bisa
mengajari anjing tua dengan trik-trik baru?"
"Anjing-anjing itu seharusnya masuk televisi,"
komentar Philippa. Mister Gaunt melempar koran ke pinggir dan berdiri
dari meja dapur cherrywood yang besar.
"Jangan pernah memikirkan hal itu," katanya, lalu
berjalan keluar.Dia tampak sangat marah.
Tak lama kemudian si kembar berangkat ke sekolah
seperti biasa, dan tidak banyak yang terjadi, juga
seperti biasa. John dan Philippa hampir selalu mendapat nilai
tertinggi dalam semua mata pelajaran, kecuali
matematika. Mereka sangat unggul dalam pelajaran
Pendidikan Jasmani, jadi pastilah mereka sangat-
sangat bugar, jauh lebih bugar dibanding teman
sekolah mereka yang rata-rata pemalas serta
kelebihan berat badan. Si kembar begitu bugar karena keduanya pengidap
claustrophobia, artinya mereka tidak suka berada di
tempat tertutup. Mereka membenci lift, dan itu akan
menjadi masalah bagi orang yang tinggal di kota
seperti New York dimana begitu banyak gedung
bertingkat. Bila sebagian besar orang naik lift, John
dan Philippa justru naik tangga, terkadang mereka
berlari naik sebanyak lima puluh atau enam puluh
anak tangga untuk sampai ke tujuan. Ini membuat si
kembar sebugar sepasang kutu. Bahkan, kutu
terpaksa harus berlatih di pusat kebugaran agar bisa
sebugar John dan Philippa. Tapi anak sebugar John
dan Philippa takkan bisa bergerak secepat lift, dan
akibatnya, mereka sering terlambat. Itu bisa membuat
orangtua sangat marah, tapi kenyataannya Edward
dan Layla Gaunt lebih penuh pengertian ketimbang
yang diduga John dan Philippa.
Sebagian besar anak menunggu liburan musim panas
dengan tidak sabar. Namun bagi sikembar, hari
pertama liburan musim panas selalu dikaitkan dengan
sejumlah ketakutan dan kebencian karena itulah hari-
hari yang dipilih Mrs Gaunt untuk membawa mereka
ke dokter gigi. John dan Philippa memiliki gigi seputih
peppermint dan serapih deretan mobil yang diparkir.
Tak seorang pun dari mereka pernah ditambal giginya.
Sebenarnya hanya sedikit yang perlu mereka
cemaskan, tapi entah mengapa mereka selalu merasa
bahwa suatu saat Mister Larr pasti akan menemukan
sesuatu, kemudian bor baja, jarum, cungkil, dan
peralatan bedah akan disiapkan.
Si kembar sudah nonton cukup banyak fiIm untuk
mengetahui bahwa rasa sakit akan muncul begitu
dokter gigi mulai menggunakan alat-alat itu. Mungkin
itu sebabnya di pagi yang telah dijadwalkan untuk
menemui Mister Larr, John terjaga dari mimpi yang
benar-benar tampak nyata. Dia merasakan sakit gigi
yang menyiksa: jenis sakit yang bisa membuat orang
dewasa bertubuh kekar jadi cengeng. Jenis sakit gigi
yang, dalam mimpi John, berakhir dengan pencabutan
atas semua giginya. *** Dengan napas tersengal-sengal, badan bermandikan
keringat serta gemetar ketakutan, John terjatuh dari
ranjang sambil memegangi wajah.
Dia lega karena sakit gigi parah itu hanyalah mimpi.
Namun ada sisi aneh dari mimpi itu karena cermin di
dinding sebelah ranjangnya retak dari ujung ke ujung;
dan bukan hanya cerminnya tapi juga papan di ujung
ranjang di atas kepalanya retak begitu rupa sehingga
retakan cermin itu tersambung rapi dengan kayu. Di
sisi lainnya, terdapat tanda hangus kecil dan cabikan
pada sarung bantal tempat kepalanya direbahkan.
Seolah rasa sakit dalam mimpinya telah mewujudkan
diri menjadi semacam kekuatan atas benda perabot
di kamarnya. Setidaknya, itulah pikiran pertama John.
"Apa yang kau lakukan?" tanya Philippa, mengamati
kerusakan itu dari ambang pintu, "Semalam kau lapar
lalu mulai mengunyah dinding?"
"Memangnya aku hamster?" kata John gusar, tapi dia
tak berani mengatakan apa yang ada dalam
pikirannya. Dia takut akan ditertawakan.
"Tidak," sahut Philippa, "tapi terkadang baumu seperti
hamster." Dia berjalan ke cermin dan meraba retakan itu
dengan hati-hati. "Setahuku, ini memang akibat gempa. Hanya saja,
gempa besar terakhir di New York berskala 5,1 terjadi
pada tahun 1983." "Kau sepertinya tahu banyak soal gempa," kata John
terkesan. "Aku nonton fiIm televisi tentang itu dua minggu lalu,"
sahutnya, dan kemudian mengerutkan kening, "aneh."
"Tentu saja aneh," timpal John, tapi Philippa sudah
keluar kamar. Tak lama kemudian adiknya muncul sambil
membawa koran New York Times.
"Coba lihat ini," seru Philippa, menyodorkan Koran itu
ke tangan kakaknya. "Koran kemarin" Memangnya kenapa?"
"Ada gempa bumi di Mesir."
"Lalu apa hubungannya dengan retakan di cerminku?"
"Perhatikan," jawab Philippa sambil merebut koran
tersebut, lalu memperlihatkan gambar halaman depan
yang memuat retakan di dinding Museum Barang
Antik di Kairo. John merasakan mulutnya menganga. Dia tidak
mungkin dapat lari dari fakta bahwa dua retakan
zigzag acak itu memiliki kesamaan.
"Wow," desah John, "keren."
Philippa mengerutkan kening lagi. "Kau membuat
retakan ini agar aku takut, ya?"
"Tidak," bantah John, "sungguh. Aku terbangun dan itu
sudah ada di sana, sumpah."
"Memangnya apa yang telah terjadi?"
"Ini akan terdengar bodoh, tapi aku bermimpi
terserang sakit gigi yang parah. Dan anehnya, retakan
itu sepertinya bermula dari tempat pipiku menempel
di bantal." Bukan untuk mengolok-olok, Philippa pun memeriksa
bantal itu. "Lalu kenapa aku tidak bermimpi?" tuntutnya,
"maksudku, kita sering memimpikan hal-hal yang
sama, kan?" "Aku juga bingung," John mengakui, "sampai-sampai
aku menyimpulkan bahwa ini semua lantaran aku
lebih takut pada dokter gigi ketimbang kamu."
Philippa mengangguk membenarkan.
"Tapi itu masih tidak menjelaskan kesamaan antara
retakan di dindingmu dan retakan di dinding Cairo
Museum." Mereka masih mendiskusikan retakan di dinding
kamar John saat, beberapa jam kemudian, mereka
tengah menaiki dua puluh empat deret anak tangga
ke tempat praktek Dokter Gigi Maurice Larr di Third
Avenue. Si kembar mendapati ibu mereka, yang memilih
menggunakan lift, sedang berbincang dengan Mister
Larr di ruang tunggu. Mereka bukan berbincang soal
perawatan gigi, tapi tenis, permainan kegemaran Mrs


The Akhenaten Adventure Children Of The Lamp Karya P B Kerr di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Gaunt maupun Mister Larr.
Mister Larr melihat dari bagian atas kacamatanya dan
berkedip kepada anak-anak itu.
"Dia mengalahkanku dengan angka telak," kata Mister
Larr, menggambarkan pertandingan terakhir yang
telah mereka mainkan. "Ibu kalian bisa menjadi
petenis profesional. Ada petenis wanita profesional
yang berharap memiliki pukulan servis seperti ibu
kalian. Dan dia cantik, kalian tahu" Itu langka. Berapa
banyak juara tenis wanita yang lebih mirip petenis
pria" Tapi ibu kalian tidak.Seharusnya kalian bangga
padanya." Si kembar mengangguk sopan. Mereka sudah biasa
mendengar ibu mereka dipuji setinggi langit karena
kehebatan di bidang ini dan itu. Si kembar kadang
berpikir bahwa ibu mereka seperti memiliki kekuatan
aneh. Segala sesuatu pada dirinya jadi sedikit lebih
dari normal. Penata rambut memuji rambutnya yang
hitam berkilau dan berkata dia seharusnya tampil
dalam iklan sampo. Desainer pakaian memuji bentuk
tubuhnya yang sempurna dan berkata dia seharusnya
menjadi model. Ahli kosmetik memuji kulitnya yang
kencang juga sehalus sutra dan berkata dia
seharusnya meluncurkan lini kosmetik sendiri. Penulis
memuji kecerdasannya dan mengatakan dia
seharusnya menjadi penulis. Tamu-tamu pesta makan
malam memuji masakannya dan berkata dia
seharusnya membuka restoran. Organisasi
penggalangan dana memuji kemampuannya
mengumpulkan uang demi tujuan mulia dan berkata
seharusnya dia menjadi diplomat.
Bagi John dan Philippa, tak ada yang mengejutkan
dalam pujian tinggi Mister Larr atas permainan tenis
ibu mereka. "Hentikan, Mo," tawa Mrs Gaunt, "kau membuatku
malu." Tapi si kembar tahu kalau ibu mereka sebenarnya
senang. Bila ibu mereka memiliki kelemahan, itu
adalah karena pujian, dan dia menelan bulat-bulat
semua pujian seperti orang rakus melahap kue.
Mister Larr menatap anak-anak itu dengan senyum
paling ramah, dan menggosok-gosok tangan nya.
"Oke, siapa yang akan duduk lebih dulu di kursi
Paman Mo?" "John," jawab Mrs Gaunt, dan hanya itu yang perlu
diucapkan. Mrs Gaunt biasa dipatuhi - seperti hakim atau petugas
polisi - tanpa keraguan. John mengambil tempatnya di kursi, sementara Mister
Larr mengenakan sarung tangan karet sehingga
tangannya terlihat seperti telah dicelupkan ke dalam
ember susu. Lalu dia berdiri di sebelah John dan
menekan tombol di lantai dengan ujung sepatu kulit
berjumbainya sehingga kursi itu, yang lebih mirip sofa
kulit, terangkat, membuat John merasa seperti
penonton yang menjadi sukarelawan untuk seorang
pesulap. "Buka lebar-lebar," perintah Mister Larr, dan
menyalakan lampu yang menimbulkan rasa hangat
pada hidung John. John membuka mulut. "Lebih lebar, John, terima kasih."
Dan setelah mempersenjatai diri dengan cermin yang
mirip tongkat golf mini, dan pengait mini yang tajam,
Mister Larr mengintip ke dalam mulut John. Dokter gigi
itu mencondongkan tubuh cukup dekat sehingga John
bisa menghirup aroma pasta gigi pada napasnya dan
krim pencukur Acqua di Parma, sama seperti yang
digunakan ayah John. "Mmm-hrnm," komentar Mister Larr dengan gaya
seorang pria yang mengatakan "Mmm-hmm" seribu
kali sehari. Dan kemudian, "Astaga. Astaga. Apa yang
kita temukan ini?" Cengkeraman John ke lengan kursi semakin erat
karena cemas. "Oh, astaga. Apa ini" Dan itu" Ya ampun."
Setelah mengangkat kacamata pengaman dan
menarik turun masker wajahnya, Mister Larr menoleh
pada Mrs Gaunt. "Ingatkan aku lagi, Layla. Berapa
umur John?" "Dua belas tahun, Mo."
"Kupikir juga begitu. Kupikir juga begitu."
Dia menggeleng-gelengkan kepala dan menyeringai.
"Belum pernah aku melihat yang seperti ini pada anak
seumur John. Anak muda, kau punya geraham
bungsu. Orang termuda dengan geraham bungsu
yang pernah ada." "Geraham bungsu?" Mrs Gaunt menghempaskan
badan ke kursi dan mengerang, "gigi itu akan
merobek-robeknya." "Geraham bungsu?" tanya John, mendorong badannya
untuk bertumpu di satu siku. Punya geraham bungsu
tidak terdengar seburuk punya lubang yang harus
ditambal. "Apa itu geraham bungsu?"
"Gigi-gigi itu dinamai geraham bungsu karena
normalnya kau akan memilikinya saat kau sudah
lebih dewasa. Itu berarti kau semakin dewasa
sehingga kau akan semakin bijaksana, meskipun
tidak semua orang dewasa bertingkah bijaksana."
"Masalahnya, Layla," lanjut Mister Larr, "rahang anak
ini belum cukup lebar untuk menampung empat gigi
baru. Ya, benar, John. Ada empat gigi. Bila rahangmu
kurang besar, hal itu akan menimbulkan masalah
untuk gigi yang lain. Geraham bungsu ini akan
menekan gigi lain sehingga senyum memikatmu akan terlihat miring
dan tidak rata. Dan itu tidak kita inginkan, kan?"
"Apa maksudnya?" tanya John, meskipun dia merasa
sudah tahu jawabannya. "Geraham bungsu itu harus dikeluarkan, John. Gigimu
akan dicabut. Empat buah gigi yang akan dicabut. Kau
perlu dirawat di rumah sakit. Kau akan dibius total.
Kau takkan sadar selama kami mencabutnya."
"Apa?" John benar-benar tampak pucat.
"Hei, hei, hei," ucap Mister Larr ramah, "Tak ada yang
perlu dicemaskan, Anak Muda. Aku yang akan
mengerjakannya. Kau takkan menyadarinya. Soal
kecil, sungguh. Layla" Bagaimana kalau kita
jadwalkan pencabutan ini lusa?"
"Apa harus secepat itu, Mo?" tanya Mrs Gaunt, "apa
tidak bisa dibiarkan dulu" Maksudku, ini sangat
merepotkan." "Dalam mulut semuda mulut John," jawab Mister Larr,
"sebaiknya dicabut secepat mungkin. Terlepas dari
aspek kecantikan, giginya yang lain mungkin akan
menjadi miring. Juga ada risiko abses dan infeksi."
"Baiklah, Mo," desah Mrs Gaunt, "terserahlah. Bila harus
dicabut, cabut saja. Ketahuilah, aku hanya tidak siap
mendengar kabar ini begitu cepat."
"Siapa yang siap menghadapi sesuatu yang secepat
ini" Baiklah. Giliranmu sudah selesai, Anak Muda. Mari
kita periksa adikmu, Philippa. Phil! Kemari dan buka
mulutmu seperti penyanyi opera!"
Philippa mengambil tempat di kursi dan membuka
mulut lebar-lebar. Dia yakin Mister Larr takkan
menemukan sesuatu yang menarik dalam mulutnya.
Dia cukup bahagia karena dibilang bahwa giginya
adalah gigi yang paling tidak menarik di dunia oleh
Mister Larr. Sepertinya sudah menjadi ciri khas John
untuk menjadi orang termuda dengan geraham
bungsu yang pernah Mister Larr temui. John memang
suka pamer, pikir Philippa sambil berusaha rileks
dengan memikirkan fiIm yang akan dia pilih bila
pemeriksaan selesai: Mrs Gaunt selalu mengajaksi
kembar ke bioskop setelah ke dokter gigi.
"Wow, aku tidak percaya," seru Mister Larr, "siapa
sangka" Aku tahu kalian kembar, tapi wow!"
Mrs Gaunt menggerutu lagi.
"Apa, dokter?" tanya Philippa,tapi karena mulutnya
penuh dengan jari dan peralatan gigi sehingga yang
terdengar jadi mirip "A-ha, okher-ahr?"
Mister Larr, yang paham jenis bahasa ini dengan
sangat baik, mengeluarkan peralatan dan jarinya lalu
menampilkan senyuman lebar.
"Kuberitahu apa itu, Nona Muda. Itu sejarah dalam
ilmu perawatan gigi, itulah namanya geraham
bungsumu juga tumbuh, seperti saudara kembarmu."
"Bagus, bagus sekali," gumam Mrs Gaunt dengan cara
yang membuat John berpikir bahwa ibunya tidak
bersungguh-sungguh. "Nah," ucap Philippa, menatap John dengan penuh
kemenangan, "karena aku sepuluh menit lebih muda
dari John, berarti akulah orang termuda dengan
geraham bungsu yang pernah ada, bukan si cowok
jerawatan itu." Philippa selalu menyebut itu bila ingin kakaknya
marah. "Kurasa juga begitu," timpal Mister Larr, tersenyum
lebar pada Mrs Gaunt, "mereka luar biasa."
"Ya," sahut Mrs Gaunt lemah, "luar biasa."
"Aku tidak tahu kenapa aku harus terkejut," lanjut
Mister Larr, meraih tangan Mrs Gaunt dan menepuk-
nepuknya dengan lembut, "sungguh aku tidak tahu.
Itu bisa saja terjadi karena ibunya sangat hebat."
Kening Philippa berkerut mendengar ketidak-adilan
komentar itu. Di sinilah dia, orang termuda dengan
geraham bungsu,dan Mister Larr mengatakan bahwa
itu semua karena ibunya. Seolah itu sesuatu yang
ibunya lakukan, seperti kehebatan ibunya bermain
tenis atau memiliki kulit yang bagus.
"Jadi apa artinya?" tanya Philippa.
"Masalah," jawab Mrs Gaunt, "itulah artinya."
"Maksudku, apakah geraham bungsuku juga harus
dicabut?" "Ya, Philippa. Sebaiknya dilakukan bersamaan dengan
kakakmu. Ranjang kalian akan kami letakkan
berseberangan agar kau tidak kesepian," lalu menoleh
kepada Layla, Mister Larr menggeleng, "dan sungguh,
Layla, ini bukan masalah sama sekali."
Dengan kesal Mrs Gaunt mengatur jadwal dengan
Mister Larr lalu menggiring anaknya pulang ke rumah
di 77th Street. "Dalam situasi ini," katanya, "mungkin sebaiknya acara
ke bioskop ditunda dulu. Ibu harus menyampaikan
berita ini kepada ayah kalian. Ada beberapa hal yang
harus diatur." "Maksud Ibu, seperti menelepon rumah duka," cetus
John, berharap bisa membalas dengan membuat
Philippa gusar gara-gara komentar tentang cowok
jerawatan tadi. "Jangan konyol, Sayang. Mister Larr benar. Tidak perlu
khawatir." Mrs Gaunt tersenyum lemah seolah
berusaha meyakinkan dirinya sendiri.
"Sebaiknya ibu juga menyampaikan ini kepada
kalian," lanjut Mrs Gaunt, "Ibu tak ingin
mengatakannya di depan dokter Larr. Dia begitu
bersemangat. Tapi geraham bungsu dini bukanlah
sesuatu yang tidak biasa dalam keluarga Ibu. Bahkan,
Ibu hanya dua tahun lebih tua dari kalian saat
geraham bungsu Ibu tumbuh. Dan lihatlah Ibu
sekarang." Dia melayangkan senyum sempurna gaya iklan pasta-
gigi namun penuh dengan kesedihan dan
keprihatinan, "gigi Ibu sempurna."
"Ya, tapi rumah sakit itu," erang John.
"Anggap saja seperti ini," sahut ibunya, "Itu
merupakan tahap untuk menjadi orang dewasa.
Maksudku, tumbuh dewasa. Jadi dobel dalam kasus
kalian," tambahnya, "maksud Ibu, karena kalian
kembar." Mrs Gaunt mendesah lalu menyalakan rokok yang
diikuti dengan kernyitan dari si kembar: Mereka tidak
suka ibunya merokok. Sepertinya itu selalu menjadi
bagian yang paling tidak glamor dari Layla Gaunt,
terutama di New York City tempat orang tidak
menyukai hal-hal seperti merokok ketimbang senjata
api. "Apa Ibu harus merokok?" kernyit John.
"Begini," ucap Mrs Gaunt, mengabaikan kritik anaknya,
"bila kalian bersikap berani, bila kalian ke rumah sakit
dan membiarkan geraham bungsu itu dicabut tanpa
keributan, kalian boleh ke perkemahan musim panas.
Bagaimana?" "Ibu bersungguh-sungguh?"
"Tentu saja," jawab Mrs Gaunt, "yang Ibu minta
hanyalah agar kalian bersikap berani menghadapi ini.
Dan Ibu yang akan menyimpan geraham bungsu itu."
"Ibu menginginkan gigi itu?" tanya Philippa, "Ugh,
menjijikkan. Ambil saja semua."
"Kenapa Ibu menginginkan gigi itu?" tanya John.
"Sebut saja itu suvenir, bila kalian suka. Ibu pikir ibu
bisa menyuruh orang mencelupkannya ke dalam
emas dan membuatnya jadi gelang."
"Keren," komentar John, "seperti kanibal. Bisa aku
pahami." "Kalian akan bersenang-senang," kata Mrs Gaunt, "ada
perkemahan musim panas yang bagus di
Salem,Massachusetts, tempat kalian bisa..."
"Ibu," protes Philippa, "aku tidak mau ke perkemahan


The Akhenaten Adventure Children Of The Lamp Karya P B Kerr di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

musim panas bersama John."
"Dan jelas aku tidak mau ke perkemahan di
Massachusetts bersamanya," ucap John, "aku ingin
belajar keahlian bertahan hidup."
"Ibu berani jamin kalau Alembic House adalah
perkemahan residensial terbaik di Amerika Utara,"
kata Mrs Gaunt, "enam ratus hektar padang,
perbukitan, sungai, dan hutan dengan sekitar tiga
meter garis pantai. Kalian akan bersenang-senang.
Tapi, bila tidak ingin pergi,kalian bisa menghabiskan
musim panas bersama ayah dan ibu di Long Island,
seperti yang selalu kita lakukan."
John memandang Philippa dan mengangkat bahu.
Alembic House terdengar jauh lebih menarik daripada
tak ada perkemahan sama sekali; dan apa pun akan
jauh lebih menarik dibanding pergi Long Island.
Philippa membalas anggukan kakaknya, dia tampak
paham. "Alembic House sajalah," sahut Philippa.
"Ya, tentu," John mengiyakan, "kapan kami bisa
berangkat?" "Mungkin kalian akan butuh waktu beberapa hari
untuk memulihkan diri dari operasi itu sebelum
melakukan perjalanan," kata Mrs Gaunt, "dan sudah
pasti Ibu harus menjelaskannya kepada ayah kalian.
Ibu tahu dia sudah menunggu-nunggu saat untuk
menghabiskan waktu bersama kalian di musim panas
ini. Oh ya, bagaimana kalau minggu depan?"
***Pagi itu John dan Philippa akan menjalani operasi di
Rumah Sakit Anak-Anak W.C. Fields Memorial, gedung
modern indah yang di depannya ada patung perunggu
besar berwujud pria berwajah ceria yang sedang
memegang botol obat. Operasi mereka dijadwalkan
pada jam sembilan pagi, yang berarti si kembar tidak
boleh sarapan; dan saat Mister Larr singgah di ruang
mereka sesaat sebelum jam delapan untuk
memperkenalkan Mister Moody, ahli anaestesi, rasa
lapar dan kegelisahan John muncul lantaran ketidak-
hadiran ibunya yang pergi minum kopi di Starbucks.
"Jadi," kata John kepada Mister Moody, "obat bius apa
yang Anda usulkan?" Mister Moody, pria tinggi dengan tampang lelah, yang
tak terbiasa membahas pilihan obat biusnya -apalagi
kepada bocah berusia dua belas tahun -tersenyum
tidak nyaman. "Karena kau tanya, aku akan memakai Ketamine,
yang selalu memberi hasil terbaik."
John, yang sudah membaca semua artikel tentang
anaestesi di Internet dan merasa tahu soal subjek itu
mengerutkan kening. "Bukankah itu yang diberikan
dokter hewan kalau ingin membius pasiennya?"
"Anak-anak sekarang," kata Mister Larr sambil nyengir,
"kita tidak bisa memaksa mereka percaya, kau tahu?"
"Aku tidak memaksa siapa pun percaya," bantah
Mister Moody, berusaha menahan kejengkelannya,
"kau takut aku menggunakan Ketamine, Anak Muda?"
"Tidak, Pak, aku tidak takut," jawab John datar,
"bahkan, aku agak berharap akan diberi Ketamine."
"Oh" Kenapa begitu?"
"Konon itu yang terbaik untuk memberi pasien NDE.
Atau setidaknya fitur utama NDE."
"NDE" Rasanya aku belum pernah dengar kata itu,"
Mister Moody mengakui lewat giginya yang dikertak-
kertakkan. "NDE, Near Death Experience," sahut John tegas, "Anda
tahulah. Bila kita sedang dioperasi dan hampir mati
lalu kita melakukan perjalanan melewati terowongan
gelap menuju cahaya lalu dirampok oleh malaikat di
ujung lainnya." Wajah Mister Moody jadi keruh akibat marah.
Mister Larr melihat ini dan memutuskan untuk
menyela. "John, John," katanya bersemangat, "rileks.
Semua akan baik-baik saja. Ini operasi kecil. Dokter
Moody adalah ahli anaestesi yang sangat handal.
Yang terbaik di New York."
"Oh, tentu," sahut John, "aku tidak meragukannya
sedikit pun. Hanya saja aku pikir akan senang bila
bisa bertemu malaikat. Meskipun itu cuma halusinasi."
"Satu hal yang bisa kupastikan," ucap Mister Moody,
"tak satu pun pasienku yang sadar dari pembiusan
dan berkata mereka telah bertemu malaikat."
"Mengapa menurutku itu mudah dipercaya, ya?"
gumam John. Pintu terbuka dan Mrs Gaunt masuk sambil membawa
cangkir kopi Starbucks ukuran besar di tangannya
yang terawat baik. "Bicara soal malaikat," ucap Mister Larr, "inilah dia."
Philippa mengerang lalu membuang muka dengan
kesal. "Bisa kita mulai?" katanya, "aku belum sarapan.
Jangan sampai aku tidak makan siang juga."
Di dinding koridor di luar ruang operasi, ada pameran
seni yang diadakan anak-anak dengan cara
memajang gambar, poster, dan cerita tentang seperti
apa rasanya dioperasi. Tapi tak satu pun cerita dan
gambar itu memberi Philippa bayangan seperti apa
sesungguhnya rasanya dioperasi. Dia terpaksa
mengakui bahwa itu mungkin sesuatu yang sulit
ditulis. Satu menit dia memegang tangan ibunya dan
merasakan sesuatu yang dingin menyebar naik ke
lengannya, dan menit berikutnya, tak ada apa-apa.
Seolah seseorang telah mengklik tombol di dalam
kepalanya dan memutuskan hubungan dengan semua
indranya.Atau hampir semuanya. Dari percakapan
ibunya dengan Mister Moody, Philippa mendapat
kesan bahwa begitu obat bius bereaksi, dia takkan
merasakan apa-apa; tapi begitu Ketamine itu bekerja,
dia merasa sedang berjalan di tepi sungai berkelok-
kelok yang membelah gua besar nyaris tanpa batas
menuju lautan. Dia merasa ngeri, tapi untunglah di
sana juga ada John. "Apa ini?" dia bertanya kepada kakaknya.
"Mimpi, atau salah satu NDE yang kau bilang tadi?"
John memandang berkeliling. "Entahlah. Tapi ini tidak
mirip terowongan, dan tidak ada cahaya putih kecil
atau malaikat yang kulihat."
Sesampainya di tepi pantai dari laut, mereka melihat
sesuatu mengapung di udara - sekitar lima belas
meter di atas gelombang. Mereka yakin itu paviliun
kerajaan Timur Tengah dengan menara-menara kecil,
dan atap berkubah dengan jendela kecil berbentuk
wajik yang memantulkan cahaya matahari.
Memperhatikan ekspresi adiknya, John melihat bahwa
adiknya itu merasa tidak nyaman.
"Jangan cemas," katanya, "kau akan baik-baik saja."
"Aku pasti sedang bermimpi," ucap Philippa.
John mengerutkan kening. "Kenapa kau bilang
begitu?" "Karena kau bersikap baik padaku," jelasnya.
"Dengar, tak mungkin kita berdua mendapat mimpi
yang sama." "Kata siapa" Kau telah memaksa aku masuk ke dalam
mimpimu, itu saja." "Jadi sangat masuk akal kalau diungkapkan seperti
itu," timpal John, "tapi bagaimana kau yakin kalau kau
tidak berada dalam mimpiku."
"Entahlah. Aku tidak tahu pasti sampai kita terbebas
dari obat bius ini."
Setelah beberapa saat, salah satu jendela di kubah itu
membuka. Seorang pria berbadan agak besar dengan
mata berkilau dan rambut berkibar-kibar
mencondongkan badan ke luar dan melambai pada
mereka. "Hei, Phil, kau tahu apa yang tadi kukatakan tentang
keinginan untuk bertemu malaikat" Itu hanya omong
kosong. Ini menakutkan."
"Aku juga takut."
John meraih tangan adiknya dan menggenggam erat
hingga si adik merasa lebih tenang. John menarik
Philippa ke belakangnya, seperti hendak melindungi.
Ada kalanya John tampak seperti kakak terbaik di
dunia. "Jangan hanya berdiri di sana seperti dua jeruk sitrun,"
ujar pria di jendela kubah, "cepat kemari."
"Bagaimana?" teriak John, "tidak ada tangga."
"Begitukah?" Pria itu makin mencondongkan badan keluar jendela
dan menunduk melihat laut dibawahnya, "kau benar.
Sepertinya kita terbang, bukannya mengapung.
Salahku. Itu akan segera diperbaiki."
Dan dengan perlahan, seperti kapal luar angkasa
raksasa yang mendarat di planet terlarang, pavilion
kerajaan yang dihuni makhluk asing misterius mulai
turun dari langit sampai mendarat dengan mantap di
pantai. "Sudah beres," teriak pria itu, "sekarang cepatlah.
Waktu kita tidak banyak."
Masih berpegangan tangan, si kembar memasuki
bangunan yang penuh cermin sehingga menyerupai
gua es. Di suatu tempat ada wanita yang bernyanyi
diiringi instrumen musik yang tidak bisa mereka
kenali. "Mungkin itu memang malaikat," ujar Philippa
ketakutan, "ini halusinasi, kan?"
"Kalau bukan halusinasi, berarti kau dalam kesulitan
besar." "Aku?" "Katamu ini mimpimu, bukan mimpiku, ingat?"
Langkah kaki menggema dalam ruangan di depan
mereka. Tak lama kemudian muncul orang tinggi dan
gelap, mengenakan setelan merah serta kemeja dan
dasi merah. Orang itu tersenyum lebar.
"Well, apakah kalian tidak mengenalku?" tanya pria
itu dengan suara menggelegar yang menggema di
ruangan besar merah dan emas itu seperti peluit
kabut. "Kurasa malaikat tidak berpakaian serba merah,"
gumam Philippa. "Mungkinkah dia setan?" tanya John.
"Setan, katamu?" sembur pria itu, "kenapa kalian
berpikir begitu" Aku Paman Nimrod. Dari London."
Dia berhenti sejenak seolah menunggu tanda-tanda
mengenali. "Kita bertemu saat kalian lahir," katanya.
"Maaf kalau kami tidak ingat," ucap John.
"Masa?" Paman Nimrod terdengar heran.
"Tapi kami pernah dengar tentang dirimu," tambah
Philippa ramah. "Hanya saja kami agak ketakutan
menemukanmu di sini, dalam mimpi. Saat kami
dioperasi." "Ya, maaf soal selubung ini," kata Nimrod, "tapi
sepertinya itu tak bisa dielakkan."
Paman Nimrod merentangkan tangan. "Well, apakah
aku tidak mendapat pelukan?"
Karena itu hanya mimpi, dan karena dia adalah
paman yang samar-samar mereka kenali dari foto di
meja ruang kerja ibu mereka, keduanya tersenyum
gagah dan memeluk Nimrod dengan sopan.
"Tempat apa ini?" tanya Philippa dengan dahi berkerut.
"Kalian tidak suka" Ini Paviliun Kerajaan Brighton,"
jawab Nimrod. "Dari pesisir selatan Inggris. Kupikir akan cocok
dengan mimpi kalian. Kalian tahulah. Pria dari
Porlock?" Si kembar memandangnya dengan tatapan kosong.
"Dan siapa yang menyanyi itu?"
"Itu perawan Abyssinia, dengan alat musik mandolin,"
jawabnya sambil menggelengkan kepala dengan
malu-malu. "Sudah termasuk dalam kesepakatan. Oh ya, abaikan
saja dia. Seperti kataku tadi, waktu kita tidak banyak,
obat bius modern memang seperti itu."
Dia menunjuk ke perabot antik yang diatur
mengelilingi meja kartu. "Mari kita duduk dan bicara."
Mereka duduk dan Nimrod mengeluarkan cangkir
kayu besar dan menjatuhkan lima buah dadu ke
dalamnya. "Kita bisa bermain sambil berbincang," ujarnya ramah.
"Main apa?" tanya John.
"Tesserae," jawab Nimrod. "Dadu, Nak, ini dadu. Kita
lempar dadu sambil mengatur rencana, seperti orang
Romawi. Aku duluan."
Nimrod melempar dadu, dan meraupnya lagi ke
dalam telapak tangan bahkan sebelum John dan
Philippa sempat melihat angka yang muncul.
"Lalu bagaimana?" tanya John.
"Coba aku lihat," kata Nimrod sambil melirik arloji
emasnya, "apa pun yang kalian suka."
Pria itu menjatuhkan dadu ke dalam cangkir dan
menyerahkannya pada John. "Giliranmu!"
"Kuharap aku tahu aturan permainan ini," ujar John.
"Hanya ada satu aturan," sahut Nimrod saat John
mendapatkan tiga angka enam, "aturan sangatlah
penting dalam setiap permainan. Dan itu adalah
keberuntungan." Philippa meraup dadu itu.
"Semua yang bisa dia lakukan," katanya sambil
menjatuhkan dadu ke dalam cangkir, "bisa kulakukan


The Akhenaten Adventure Children Of The Lamp Karya P B Kerr di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dengan lebih baik." Dan dia melontarkan pekik senang lirih saat melihat
hasil lemparannya ada empat angka enam.
"Hebat," ucap Nimrod sambil mengambil dadu,
"Sekarang kita lihat apa yang bisa kalian lakukan
bersama." Dia menyerahkan cangkir itu pada John lalu dia
meletakkan tangan Philippa di atas tangan saudara
kembarnya. "Lemparlah. Aku tak punya banyak waktu."
Si kembar berpandangan, mengangkat bahu,dan
kemudian melempar... lima angka enam.
"Seperti yang kuduga," kata Paman Nimrod.
"Bagaimana pendapatmu?" ucap John riang.
"Akan lebih beruntung bila kalian bersama-sama.
Bagus. Bagus sekali. Itu bisa kita manfaatkan."
"Bagaimana?" tanya John.
"Kemarikan," ujar Philippa, "coba kulihat dadu-dadu
itu." "Dadu-dadu ini tidak diotak-atik," kata Nimrod.
"Tidak ada yang namanya keberuntungan," dengus
Philippa, "itu pendapat Ayah."
"Oh, Anakku, jangan bilang begitu," tegur Paman
Nimrod, "peluang menghasilkan lima angka enam
seperti itu adalah 6-5, atau 0,0001286. Menurut
hitunganku sebagian besar orang harus melempar
dadu sebanyak 3.888 kali agar memiliki peluang lima
puluh persen untuk mendapatkan lima angka enam.
Inilah cara matematis untuk mengatakan bahwa
kalian memang beruntung."
"Aku belum pernah melihat keberuntungan itu," ucap
John. "Mungkin belum. Tapi kau akan melihatnya. Pasti. Ayo
bermain Astaragali."
"Apa itu?" "Permainan yang dimainkan dengan tujuh dadu
heksagonal," jelas Nimrod. "Permainan yang
ditemukan ribuan tahun lalu untuk menghindari
keberuntungan. Bisa kuberitahukan aturannya kalau
kalian mau." "Aku benar-benar tidak yakin," sela Philippa, "kalau ini
memang mimpi." "Omong kosong. Orang Aborigin di Australia, misalnya,
mengetahui bahwa mimpi sama pentingnya dengan
kehidupan nyata. Cukup sering, di sanalah hal-hal
yang sangat penting terjadi."
"Ya, dan lihat apa yang terjadi pada mereka," timpal
John. "Aku ingin tahu kebudayaan manusia yang sesukses
suku Aborigin," kata Nimrod, "semua yang mereka
miliki bertahan selama 80.000 tahun. Aku berani
bertaruh kau tidak bisa memberitahuku hadiah ulang
tahun apa yang kau terima dua tahun lalu."
Nimrod mengangguk tegas seolah menutup diskusi
itu, tersenyum, mengantongi dadu-dadunya, dan
melirik arlojinya lagi. "Sekarang, setelah yakin kalian memang beruntung,
mari kita bahas masa depan kalian. Dengar. Kebetulan
sekali aku butuh bantuan kalian, jadi aku ingin kalian
lakukan ini. Bila pulih dari operasi, jangan ceritakan
bahwa kalian bertemu denganku. Aku ada masalah
dengan ibumu saat kalian lahir, karena alasan yang
tidak akan kita bahas sekarang. Tapi aku berjanji
akan memberitahukan semuanya bila kalian sampai
di London." "London" Kapan kami akan ke London?"
"Secepat yang kalian suka. Kalian memang ingin ke
London, kan?" "Tentu saja," jawab si kembar.
"Berarti kalian harus mengatakan pada orangtua
kalian, dengan sopan, bahwa kalian ingin sekali
berkunjung ke tempatku di London. Hanya kalian
berdua. Itulah yang hendak kusampaikan."
Nimrod melihat arlojinya lagi. "Oh, sial, kita kehabisan
waktu. Beberapa menit lagi kalian akan sadar."
John tertawa. "Kau bercanda, kan" Mereka takkan
setuju. Tidak mungkin."
"Justru sebaliknya," tukas Paman Nimrod, "kurasa
mereka akan setuju. Kecuali kalian memang ingin ke
perkemahan musim panas di Salem itu. Meskipun
dalam kenyataannya, tempat itu lebih mirip sekolah."
"Sekolah?" John berang.
"Ya," jawab Nimrod, "sekolah musim panas untuk
anak-anak berbakat."
"Sekolah musim panas," John mengulang kata-kata itu
dengan nada yang nyaris jijik.
"Jadi, saranku adalah datang ke London. Tapi harus
kalian ingat untuk tidak mengatakan bahwa aku yang
mengusulkan. Itu sangat penting, sungguh. Ibumu dan
aku tidak sependapat dalam sejumlah persoalan."
"Misalnya?" tanya John.
"Well, misalnya, cara yang tepat bagi dua remaja
untuk menghabiskan libur musim panas mereka.
Gagasan tentang sekolah yang menyenangkan, yang
aku usulkan. Dan gagasan tentang sekolah yang tidak
menyenangkan, seperti di Salem, yang ibu kalian
usulkan." "Tidak ada perdebatan," ujar Philippa, dan John
mengangguk setuju. Nimrod berdiri. "Baiklah. Pembicaraan kita selesai.
Kalian mulai sadar."
"Tunggu dulu," ucap John.
"Sudah selesai," sahut Paman Nimrod.
"Bagaimana kalau mereka menolak?" tanya John.
"Sudah selesai," ujar Mister Larr.
John bangkit duduk terhuyung-huyung di ranjang
rumah sakit dan secara naluriah memegang
rahangnya, mencari celah-celah baru di gusinya
dengan ujung lidah. "Mulutmu akan terasa agak lembek selama beberapa
hari," jelas Mister Moody, si ahli anaestesi, "tapi
memang harus begitu. Dan aku akan memberi kalian
sesuatu untuk rasa sakit itu."
Dia tersenyum lalu meninggalkan ruang operasi.
"Dia sudah pergi?" tanya Philippa sambil bangkit
duduk. "Ya, giginya sudah pergi," sahut Mister Larr, mengira
pertanyaan Philippa ditujukan padanya.
"Kau ingin melihat geraham bungsumu?" tanya Mister
Larr, "ini dia," lanjutnya, mengulurkan pada gadis itu
piring baja berbentuk ginjal yang di atasnya
tergeletak empat geraham bungsu, berlumuran darah.
Philippa melihat gigi-gigi itu mirip bidak catur.
"Ugh," komentarnya.
"Bawa sajalah."
"Kau bertemu dengannya?" tanya John pada adiknya.
"Nimrod." "Ya. Kau?" "Ada di sini," ujar Mister Larr, masih menganggap
bahwa si kembar sedang membicarakan gigi mereka
yang dicabut, dan menyerahkan pada John baki berisi
geraham bungsunya sendiri.
"Lihatlah, John."
John melihat dan merasa agak mual. Dia merasa
kalau giginya mirip sesuatu yang para pemburu Afrika
potong dari gajah kecil tapi langka. Pada saat yang
sama dia tahu bahwa bukan hanya profesi bankir dan
akuntan yang akan dia hindari; dia juga tidak mau
jadi dokter gigi. "Ya," jawab John pada Philippa, "aku bertemu
dengannya." "Jadi," sahut Philippa, "Apa itu karena Ketamine"
Mimpi" Dan hal-hal karena kita kembar?"
"Mungkin." "Menurutku, itu bukan persoalan yang harus kita
sampaikan pada Ibu dan Ayah. Setidaknya selama
beberapa waktu." *** Saat kepulangan mereka dari rumah sakit di sore hari,
pipi si kembar terlihat seperti dijejali makanan, seperti
sepasang hamster rakus. Mereka sedang berdiri di
tangga saat mendengar ayah dan ibunya berbincang.
"Well," ucap ayah mereka, "mereka baik-baik saja,
kan" Maksudku sejauh ini tak ada kejadian aneh."
"Begitukah?" timpal Mrs Gaunt.
"Ya, sejauh yang kulihat," Mister Gaunt berhenti
sejenak, "apa" Apa" Katakan, apakah sesuatu telah
terjadi?" "Tidak, Sayang. Aku hanya merasa John berubah." Mrs
Gaunt mendesah, "apa kau tidak lihat" Sejak kembali
dari rumah sakit, jerawatnya lenyap."
Philippa menatap wajah John lekat-lekat.
"Hei, cowok jerawatan, siapa sangka" Ibu benar.
Jerawatmu lenyap. Tak ada satu jerawat pun di
wajahmu." John melesat menaiki tangga, menuju ruang
berpakaian ibunya lalu berdiri di cermin seukuran
badan di seberang lemari.
Setahun lalu dia telah diserang wabah jerawat merah
menyala, mengingatkan kita pada gunung yang siap
meletus dengan sangat dahsyat. Dia meregangkan
kulit wajahnya ke satu arah dan ke arah sebaliknya,
tapi John tidak menemukan satu jerawat atau
komedo pun di kulitnya yang kini tanpa noda.
Biasanya, dia berusaha menjauhi cermin agar tidak
merasa tertekan karena berjerawat. Dia merasa tak
ada alasan bagi orangtuanya untuk menganggap
ketidak-hadiran jerawat di wajahnya adalah masalah.
Philippa muncul di ambang pintu kamar mandi dan
sepertinya merasakan kejengkelan kakaknya pada
keluarganya. "Sumpah," katanya, "saat kita kembali dari rumah
sakit, wajahmu masih kelihatan seperti peta bulan."
"Luar biasa," ujar John, "kelihatannya dokter-dokter itu
memang benar. Jerawat ini hilang sendiri."
"Yeah," sahut Philippa, sama sekali tidak yakin pada
kakaknya yang sudah kembali pada ilmu kedokteran,
"benar, kalau itu yang ingin kau pikirkan, silakan saja."
"Apa maksudmu?"
"Apa menurutmu tak ada yang aneh terjadi?"
"Mungkin," jawab John.
Dia masih terlalu terkesan pada wajahnya sendiri
sehingga tidak terlalu memerhatikan ucapan adiknya,
"entahlah." Mengeluarkan suara decak keras, dia mendesah gusar
dan menambahkan, "percayalah, kalau sesuatu yang
seperti ini terjadi padamu, Phil, kau pasti akan
menyukai dirimu." "Jadi, apa yang tadi mereka bicarakan?"
"Entahlah. Mungkin masa puber. Kudengar banyak
orangtua cemas bila itu terjadi. Hormon anak-anak
mereka mati dan si orangtua mulai mengirim mereka
ke psikiater. Felix Grabel dibawa ke ahli trichology*
saat kumisnya mulai tumbuh."
"Orangtua Felix Grabel lebih aneh daripada anaknya,"
tukas Philippa, "tapi kalau yang kau ingin keanehan,
ayo ikut aku. Akan kutunjukkan sesuatu yang benar-
benar aneh." Philippa mendahului John naik satu lantai ke
kamarnya, tempat yang jarang didatangi cowok itu,
karena menurutnya kecintaan adiknya pada mainan
lembut, binatang berbulu, dan poster boy band yang
kelihatan seperti cewek sangatlah menjijikkan. Pada
dinding di belakang pintu terdapat alat pengukur
tinggi Orang Pendek di Hollywood ("lihat berapa
sentimeter kau lebih tinggi dari bintang fiIm
favoritmu", tertulis dialat ukur tinggi itu).
Philippa menunjuk ke entri terakhir yang dibuat sehari
sebelum geraham bungsu nya dicabut.
"Dua hari lalu tinggiku tepat seratus dua puluh empat
sentimeter," katanya sambil menyerahkan penggaris
dan pensil pada John, "sekarang lihat."
Philippa menyentakkan sepatunya, kemudian berdiri
di antara Tom Cruise dan Robert De Niro.
John meletakkan penggaris datar di atas kepala
adiknya dan kemudian menandai tingginya dengan
pensil. "Aku sangat yakin kalau sudah bertambah tinggi," ujar
Philippa. "Oke, Phil," ucap John, "selesai."
Philippa menjauh dari alat pengukur itu dan mereka
berdua memekik terperanjat. Tak ada keraguan lagi
soal itu. Philippa sudah bertambah tinggi cukup
banyak. John memeriksa berapa banyak adiknya
bertambah tinggi. "Dua setengah senti?" tanyanya heran, "itu tidak
mungkin. Kau pasti salah mengukur saat terakhir kali."
"Tidak," bantah Philippa, "Mrs Trump yang
mengukurku." Mrs Trump adalah wanita yang dipekerjakan orangtua
mereka sebagai juru masak dan pengurus rumah
tangga. "Berarti dia telah membuat kesalahan. Tak seorang
pun yang tumbuh dua setengah senti dalam dua hari."
"Ya sudah, kapan terakhir kau ukur tinggimu?"
"Minggu lalu. Ayah yang mengukurku. Dia bilang
begitu tinggiku mencapai seratus enam puluh delapan
senti, aku akan mendapat sepatu ski baru. Dia tidak
mungkin membuat kesalahan. Dia selalu cermat."
"Kalau begitu, ayo kita lihat."


The Akhenaten Adventure Children Of The Lamp Karya P B Kerr di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mereka ke kamar John di mana dia berdiri dengan
punggung menempel pada alat pengukur tinggi James
Bond miliknya ("Lihat setinggi apa kau dibandingkan
DD7) antara Sean Connery dan Pierce Brosnan, dan
menunggu Philippa melakukan pengukuran.
"Tak ada keraguan sama sekali," ujar si adik, "kau
juga bertambah tinggi. Coba kita lihat, sebanyak
empat senti." "Benarkah" Wah, hebat sekali."
"Seperti yang selalu aku bilang," ujar Philippa, "sesuatu
yang sangat aneh sedang terjadi di sini. Mula-mula,
kita punya geraham bungsu bertahun-tahun lebih
cepat daripada yang seharusnya, lalu, saat cabut gigi,
kita mendapat mimpi yang sama dimana paman kita
muncul. Bukan hanya itu, pertumbuhan kita melejit
luar biasa dalam semalam."
"Jangan lupa dengan jerawatku."
"Tanpa melupakan jerawatmu."
"Dan retakan di dinding kamar tidurku. Bentuknya
kelihatan sama seperti retakan pada dinding museum
Mesir." Philippa berhenti sejenak, lalu berkata, "Kau ingin tahu
hal lain yang aneh" Apa cuma aku atau kau juga
merasa kalau AC rumah ini terasa agak dingin?"
"Sejak kembali dari rumah sakit," John mengangkat
bahu, "mungkin Mrs Trump menaikkan suhu AC. Bila
sedang mengisap debu karpet, dia jadi kepanasan."
"Ayo kita tanyakan kepadanya."
Si kembar berderap menuruni lima deret anak tangga
menuju dapur bawah tanah di mana Mrs Trump
sedang mengosongkan mesin pencuci piring.
Sulit dipercaya tapi dulu, di galaksi yang jauh, Mrs
Trump adalah seorang ratu kecantikan; anak-anak itu
sudah melihat foto dan guntingan koran untuk
membuktikannya. Tapi, waktu tidak bersikap baik
pada Mrs Trump, dan sekarang dia adalah wanita
bertampang menyedihkan yang biasa-biasa saja
dengan sebuah gigi ompong di rahang atas dan dua
putri yang tinggal di Eropa dan tidak pernah
ditengoknya. "Mrs Trump?" tanya Philippa, "Anda menaikkan suhu
AC?" "Tidak, aku tidak menaikkan suhu AC. Apa untungnya
menaikkan suhu AC" Aku suka bekerja dalam oven.
Ada orang yang harus membayar banyak untuk pergi
ke pusat kebugaran lalu duduk mandi uap dan
berkeringat. Tapi aku" Aku cukup beruntung bisa
datang ke sini dan mendapat perawatan yang sama
secara gratis." Mrs Trump tertawa mendengar lelucon kecilnya dan,
setelah membanting laci perlengkapan makan,
menutup dan mencondongkan tubuh ke depan dari
balik meja dapur, dia tersenyum, menutupi mulut
dengan tangan agar anak anak itu tidak melihat gigi
ompongnya, padahal mereka selalu dapat melihat.
"Kami merasa agak kedinginan sejak kembali dari
rumah sakit," ucap John.
Mrs Trump meraba kening John dengan tangannya
yang dingin. "Rasanya badanmu tidak panas,"
katanya, "tapi mungkin kau akan terserang flu."
"Begitukah," sahut John, "kami merasa sehat. Kami
hanya merasa agak kedinginan, itu saja."
"Kedinginan, katanya," kekeh Mrs Trump, "suhu di luar
tiga puluh dua derajat dengan kelembaban tujuh
puluh lima persen," dia menggeleng-gelengkan kepala,
"jadi jangan salahkan aku, salahkan ibumu. Benarkah
yang selama ini aku dengar tentang kalian berdua?"
Philippa menegang dan dia menatap Mrs Trump
dengan curiga. "Memangnya apa yang kau dengar?"
"Kalian memang anak-anak yang beruntung," ujar Mrs
Trump, "saat kecil, aku belum pernah pergi ke
perkemahan musim panas. Aku belum pernah ke
mana pun." "Ke mana kau ingin pergi, Mrs Trump?" Tanya
Philippa,menggodanya sedikit setelah wanita itu rileks
lagi, "kuharap kau dapat pergi ke mana pun."
"Kalau punya uang" Aku akan ke Roma dan
menengok kedua putriku. Mereka berdua menikah
dengan pria Italia."
"Apa perlu biaya banyak untuk pergi ke Roma?" tanya
John. "Bagi orang seperti aku, biayanya cukup besar,
sungguh. Tapi mungkin kelak aku akan pergi, kalau
aku memenangkan lotere."
"Pasti ada yang menang lotere," ujar Philippa, yang
menyukai Mrs Trump dan merasa kasihan padanya,
"kenapa bukan kau?"
"Mungkin saja, suatu hari," Mrs Trump mengangkat
tatapannya dan satu tangan ke atas, "kuharap."
Philippa mengerang dan tiba-tiba terduduk di kursi
dapur. "Kau baik-baik saja, Nak?" tanya Mrs Trump.
Philippa mengangguk. "Aku tidak apa-apa. Hanya saja
tadi aku merasa aneh. Sepertinya aku kehilangan
semua tenagaku." Dia menggeleng-gelengkan kepala.
Mrs Trump mengambilkan Philippa segelas air yang
diminumnya sebelum teringat bahwa dia sangat
membenci rasa air New York.
Satu atau dua menit kemudian, ketika merasa dirinya
sudah cukup segar, Philippa mengembuskan napas
dan tersenyum. "Aneh. Sekarang aku sudah merasa
sehat lagi." "Seperti yang tadi kukatakan. Setelah operasi, kalian
seharusnya tidak langsung bangun dan berkeliaran.
Kalian berdua seharusnya berbaring di ranjang. Mau
tambah air?" "Ugh. Tidak, terima kasih," jawab Philippa. Matanya
terpaku pada tas Mrs Trump yang tergeletak
membuka di meja dapur dan kotak rokok yang bisa
dia lihat berada hampir di bagian atas.
"Tapi kau tahu, yang paling aneh, tiba-tiba aku punya
keinginan besar untuk..." Philippa ragu untuk
melanjutkan ucapannya, seolah kata itu terlalu buruk
untuk diucapkan, dan memang demikian. Dia jijik
pada dirinya sendiri. Mrs Trump tertawa melengking lalu dengan malu
menutupi mulutnya dengan tangan, terutama giginya
yang ompong, karena bisa menebak apa yang
Philippa maksud. "Kalian selalu mengatakan hal-hal lucu," katanya.
"Aku tidak bisa menjelaskannya," ujar Philippa,
"maksudku aku benci gagasan tentang rokok. Kurasa
rokok sangat buruk untuk kita. Dan kuharap ibuku
tidak merokok. Hanya saja aku merasakan
ketertarikan untuk menyalakan sebatang saja.
Kumohon, Mrs Trump. Boleh kunyalakan sebatang
rokokmu?" Mrs Trump menatap John. "Dia bercanda ya?"
John mengangkat bahu dan tidak mengucapkan
sepatah kata pun. Diam-diam dia berharap Mrs Trump
akan mengizinkan, karena dia juga mengalami
perasaan aneh yang sama seperti saudara
kembarnya. Gagasan tentang rokok dan - yang lebih
penting - asap serta bara panas kecil yang menyala di
ujungnya, sepertinya begitu menarik dan menguasai
dirinya tanpa ada sedikit pun rasa jijik yang biasanya
dirasakan bila melihat ada yang merokok. Dia
sepertinya memerlukan asap dan panas, seolah
tubuhnya berpikir bahwa menyalakan rokok akan
memberinya semacam kehangatan sebagai reaksi
dari rasa dingin yang terus dirasakannya.
"Kumohon, Mrs Trump," desak Philippa, "kumohon
dengan amat-amat sangat."
"Kau ingin aku dipecat?" Mrs Trump tertawa gugup,
"ya Tuhan, aku tidak pernah mendengar hal-hal
seperti itu. Kau pernah merokok?"
"Tidak," jawab Philippa, "kurasa aku hanya tertarik
saja." "Aku juga," John mengakui, "dan aku sama sekali
tidak tahu alasannya."
"Itu karena kalian kembar," sahut Mrs Trump.
John mengangguk. "Masalahnya," ujarnya, "sejujur
nya, kami hanya main-main."
Dia menatap penuh arti pada adiknya, ingin
membuatnya mengerti, "jadi silakan saja kau
merokok di halaman, seperti yang selalu kau lakukan.
Kami pikir kalau kami bilang ingin merokok, kau akan
sangat terkejut dan langsung berhenti merokok. Benar
kan, Phil?" "Ya," jawab si adik, mulai paham ke mana
pembicaraan ini diarahkan oleh kakaknya. Karena
suatu alasan dia mulai memikirkan cara Winston,
anjing Rottweiler yang semula bernama Neil,
menghampiri bila ayah mereka mengisap cerutu dan
mulai mengendus-endus udara.
"Itu hanya lelucon jelek. Silakan saja merokok. Kami
tidak ingin merusak kesenanganmu."
Mrs Trump mengangguk. Kenyataannya, saat si
kembar masuk ke dapur, wanita itu baru saja akan
pergi kehalaman belakang dan merokok, kegiatan
yang telah dia nantikan selama berjam-jam. Dia
mengambil kotak rokok Salem-nya dan pergi ke
halaman. Rencana mereka terbentuk nyaris secara
telepati, si kembar mengikuti Mrs Trump ke halaman
dan duduk di sebelah wanita itu di kursi kebun.
Mereka memerhatikan dengan intens saat pengurus
rumah itu menyalakan rokok lalu mengembuskan
gumpalan asap biru. "Ke perkemahan musim panas itulah kami harus
pergi," ucap Philippa, "di Salem*."
Mrs Trump tampak terkejut. "Tempat yang aneh untuk
perkemahan musim panas," sahutnya, "maksudku
dengan semua sejarahnya itu."
"Itulah yang kami pikirkan," timpal John, "kami
memainkan drama Arthur Miller, The Crucible** di
sekolah. Dan...," dia mengendus-endus udara yang
penuh asap, "dan kau benar. Itu bukan tempat (Salem
= Kota di Inggris ini adalah lokasi persidangan orang-
orang yang terlibat dalam ilmu sihir dan eksekusinya
pada tahun 1693) yang ingin kita datangi untuk
menikmati perkemahan musim panas."
"Memang tidak," kata Mrs Trump, "tetap saja, aku
harap akan sangat menyenangkan bila kalian sudah
sampai disana." "Ya," sahut Philippa, menghirup asap rokok Mrs Trump
dalam-dalam lewat hidungnya yang mengembang,
"hanya saja kami lebih suka pergi ke Eropa."
Perlahan tatapan Mrs Trump jatuh pada Philippa,
seperti kucing mengawasi seseorang yang makan
sepotong ikan lezat. "Sore yang menyenangkan," cetus John polos
sementara adiknya mengendus udara dengan
menimbulkan suara keras. "Ya, memang," sahut Philippa, sementara kakaknya
melakukan hal yang sama. Mrs Trump mengerutkan kening. "Apakah kalian ...?"
Dengan marah dia berdiri, melempar rokoknya
kejalanan, dan meremukkannya di bawah sepatu
ketsnya, "sejujurnya," katanya sambil kembali ke
dapur, "aku tidak pernah melihat kejadian seperti itu.
Harus kulaporkan kepada Ibu kalian, itulah yang harus
aku lakukan. Untungnya aku bukan jenis orang yang
suka berbicara di belakang. Bahkan tentang dua orang
yang pantatnya pantas dipukul."
Merasa lebih dari sekadar malu, si kembar tetap
duduk di halaman, menatap langit oranye.
"Apakah sejelas itu yang kita lakukan tadi?" Tanya
John. (The Crucible = Drama tentang persidangan
penyihir di Massachusetts)
"Kurasa begitu. Kalau tidak, dia pasti tidak melihat."
"Tadi waktu di dapur, beberapa menit lalu, saat kau
duduk dan mengerang, kau kenapa?"
"Entahlah, John," Philippa berhenti karena berusaha
menemukan penggambaran yang akan memuaskan
kakaknya, "seolah-olah sesuatu menarik-narik otakku.
Sesuatu yang sudah lama kulupakan. Yang kuketahui
hanyalah tiba-tiba kupikir akan sangat menyenangkan
jadinya kalau Mrs Trump memenangkan lotere agar
dia bisa pergi menengok putrinya. Tapi tak lama
setelah aku mendapat pikiran itu, tiba-tiba aku
merasa lelah. Sama seperti yang kau rasakan bila
habis berlomba lari."
Dia mengangkat bahu, "kurasa itu hanya berlangsung
sesaat. Seakan aku mau pingsan. Aku rasa."
"Dan sekarang?"
"Aku merasa baik-baik saja."
"Hormon," sahut John.
"Kenapa bisa begitu?"
"Aku memikirkan ucapanmu tadi, dan aku yakin itulah
penyebab semua yang terjadi pada kita."
"Mungkin. Entahlah,"
Philippa berdiri, mendekap tubuhnya, "ayo ... Kita
kembali ke dalam. Aku kedinginan."
Orangtua mereka masih berbincang di ruang tamu,
dan si kembar duduk di tangga seperti sebelumnya
untuk menguping lagi. Menguping dari anak tangga
merupakan cara yang umum dilakukan seorang anak
untuk mengetahui hal-hal penting yang
mempengaruhi hidup mereka. Dan dengan cepat


The Akhenaten Adventure Children Of The Lamp Karya P B Kerr di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menjadi jelas bagi John dan Philippa bahwa Mr dan
Mrs Gaunt menganggap gigi dan perjalanan mereka
ke perkemahan musim panas di Salem sangatlah
penting. "Ya ampun. Semuanya baik-baik saja," ujar ayah
mereka, "dan kemudian hal ini harus terjadi."
"Bukan seolah kau tidak tahu ini akan terjadi," sahut
Mrs Gaunt, "aku sudah berusaha menjadikan rumah
ini normal. Melakukan pengorbanan yang cukup
banyak sebagai wanita. Melepas apa yang kulakukan
saat aku bertemu denganmu."
Hal ini berita baru bagi si kembar yang tidak pernah
berpikir bahwa ibu mereka pernah melakukan
sesuatu kecuali menjadi ibu rumah tangga.
"Aku tahu, aku tahu, jangan kaupikir aku tidak
menghargainya, Layla sayang."
"Tapi aku selalu, selalu, jujur padamu tentang anak-
anak kita, Edward." "Tentu, tentu, hanya saja aku tidak menduga ini
terjadi begitu cepat. Maksudku, demi Tuhan, Layla,
apa yang seorang ayah harapkan pada anak-anaknya
saat mereka kehilangan gigi bungsunya bahkan
sebelum remaja" Usiaku dua puluh empat tahun saat
geraham bungsuku tumbuh. Dua puluh empat tahun."
"Aku sudah memberitahumu. Proses penuaan dari
pihak keluargaku berbeda."
"Bukankah aku sudah tahu?" seloroh Mister Gaunt,
"Lihatlah dirimu, Layla. Kau tampak hebat. Dan aku,
aku kelihatan seperti..., entahlah. Seolah aku ayahmu,
atau apalah." "Lebih tua dan sukses," sahut Mrs Gaunt, "itu yang
kusukai dari seorang pria."
"Oh, sudahlah. Aku kebal pada pujian. Aku punya
cermin bercukur yang memberitahuku keadaan yang
sebenarnya setiap pagi. Jadi, apa yang akan terjadi
sekarang?" "Mereka akan ke Alembic House selama musim
panas, seperti yang kita sepakati. Sebelum mulai
terjadi sesuatu." "Astaga, Layla, kau membuatnya terdengar seolah hal
itu bisa..." Mister Gaunt membisikkan kata berikutnya sehingga
si kembar tak bisa mendengarnya. "... bila mereka ada
di rumah." "Tapi masa kau tidak lihat" Itulah kenyataannya.
Mungkin mereka belum tahu, tapi mereka sedang di
ambang kebangkitan. Inilah yang kucemaskan. Kita
mengirim mereka ke Dr. Griggs atau kau harus belajar
memperhatikan ucapanmu. Semua orang juga."
"Layla, katakan bahwa kau tidak serius," kata Mister
Gaunt, "mereka anakku, demi Tuhan. Kenapa aku
harus menjaga ucapanku?"
"Karena mereka tidak bisa mencegah diri mereka
sendiri. Misalnya salah satu dari mereka marah
kepadamu. Lalu apa?"
"Hanya saja yang kau usulkan itu terdengar sangat
drastis," ujar Mister Gaunt, "Perkemahan ini, Alembic
House, maksudku apa itu tempat yang bagus" Seperti
apa si Griggs itu?" "Edward sayang, tak ada yang perlu dicemaskan, bisa
kupastikan itu. Semua ini demi kebaikan mereka.
Tujuan mengirim mereka ke Alembic adalah agar
mereka bisa menentukan parameter tentang apa
yang boleh dan tidak boleh mereka lakukan. William
Griggs sangat berpengalaman dalam hal seperti ini,
jauh lebih berpengalaman daripada aku. Kau ingin
mereka hidup normal dan bahagia, kan?"
"Tentu saja. Kau tahu itu."
"Ini sudah cukup," bisik John, "Kurasa sudah waktunya
kita mencari tahu tentang Alembic House dan si Dr.
Griggs ini, kan?" Philippa mengikuti sang kakak naik ke kamarnya.
Setelah duduk di depan komputer, John mulai
mengetik dimesin pencari Internet. Setelah kurang
dari semenit, dia mendapatkan apa yang dia cari.
"Dr. William Griggs, M.D., Psikiater Anak dan Ahli
Pediatri. Spesialis dalam transfigurasi, transformasi,
transmutasi, dan sosialisasi umum anak-anak
berbakat. Pemilik Alembic House, Salem,
Massachusetts, Klinik dan Sekolah Musim Panas untuk
cendekiawan muda, anak ajaib, dan genii yunior.Apa
arti genii?" "Bentuk jamak bahasa Latin untuk jenius, bodoh."
"Jadi seperti yang Paman Nimrod katakan dalam
mimpi kita. Bukan perkemahan musim panas, tapi
sekolah musim panas. Bagi para jenius."
"Genii," Philippa mengerutkan kening, "yang betul
genii. Kau memang jenius."
"Tunggu dulu," ujar John, "tunggu dulu."
"Apa?" "Apa kau tidak melihat kalau ini membuktikan
sesuatu" Kita tidak mungkin tahu kalau itu bukan
perkemahan musim panas sungguhan. Bagaimana
kita bisa memimpikan kenyataan itu?"
John menggelenggelengkan kepala, "Tidak, itu bukan
mimpi." Philippa mengangguk. "Ya, aku paham maksudmu.
Berarti itu benar-benar Nimrod yang muncul di
hadapan kita." "Jadi, begini saja," ucap John, "ayo kita beritahu
mereka. Seperti yang Nimrod katakan. Bahwa kita
ingin ke London. Kalau dia benar tentang sekolah di
Salem itu, ada alasan untuk percaya bahwa dia
mungkin benar tentang kita akan diizinkan ke
London." Philippa mengernyit. Sebenarnya dia agak khawatir
membayangkan mereka melakukan perjalanan ke
London berdua saja, tapi dia tidak ingin John tahu.
"Mungkin kita harus pikirkan lagi. Kita lihat situasi
besok pagi." John mengangguk. "Ide bagus."
Dia mendorong Philippa dengan lembut ke arah pintu
kamar tidurnya. "Aku akan duduk di sini dan memikirkan
kemungkinan yang sesungguhnya bahwa aku
seorang jenius. Aku memang ingin memenangkan
hadiah Nobel." *** 333Keesokan harinya diawali dengan jeritan nyaring.
John melompat turun dari ranjang dan berjingkat-
jingkat masuk ke kamar Philippa. Adiknya sedang
duduk di ranjang sambil mengucek-ngucek mata dan
menguap. "Ada apa?" tanya Philippa, "rasanya aku mendengar
jeritan." "Kurasa juga begitu," jawab John. Dia berkaca, hanya
untuk memeriksa bahwa di malam hari jerawatnya
tidak kembali dengan penuh dendam; tapi wajahnya
masih halus dan bebas jerawat.
"Sungguh melegakan," ucapnya, "Aku kira aku hanya
bermimpi." "Apa" Maksudmu jeritan itu?"
"Bukan. Jerawatku lenyap."
Mereka turun ke lantai bawah lalu mendapati Ayah
dan Ibu mereka sedang berbisik-bisik di koridor.
"Mungkin itu cuma kebetulan," ujar Mister Gaunt.
"Kau tahu berapa kemungkinan dari kebetulan macam
itu?" tanya Mrs Gaunt, "sekitar sepuluh juta
berbanding satu. Tidak, ini baru awal."
"Kau terlalu banyak baca buku tentang hal ini."
"Begitukah"Kurasa tidak."
"Lagi pula, bagaimana bisa" Mereka 'kan belum tahu,"
Mister Gaunt berhenti, "atau mereka sudah tahu" Tapi,
kalau dipikir-pikir, mungkin kau benar. Kurasa agak
mencurigakan, ini terjadi tak lama setelah..."
ucapannya terhenti ketika melihat kehadiran si
kembar, "ehm... selamat pagi, anak-anak," katanya
gugup. "Kami mendengar jeritan," ujar Philippa, "ada apa?"
Mister Gaunt menatap istrinya lalu tersenyum lemah,
"Ibu kalian yang akan menceritakannya. Betul,
Sayang" Ayah harus berangkat kerja. Ayah sudah
terlambat. Nah... ehm... jangan nakal, dan usahakan
untuk tidak... ehm... berbuat onar."
"Apa maksudnya?" tuntut John.
"Tidak ada," jawab Mister Gaunt, pura-pura polos, "Tak
ada maksud apa-apa. Itu hanyalah ungkapan. Seperti
'jaga diri kalian', atau 'semoga hari kalian
menyenangkan'. Tidak perlu tersinggung. Ayah tidak
marah." "Well, tapi kedengarannya sebaliknya," tukas John,
"kurasa agak tidak adil kalau Ayah mengatakan agar
kami berusaha untuk tidak membuat onar. Seolah
kami sering bikin onar."
Begitu selesai bicara, John berpikir dia mungkin sudah
keterlaluan, bicara pada ayahnya seperti itu. John
berharap ayahnya akan melepas kacamata berwarna
pucat lalu memandangnya dengan tatapan paling
tajam dan menusuk. Tapi apa yang terjadi berikutnya
jauh lebih mengejutkan. Mister Gaunt meminta maaf.
"Maaf, John. Maaf, Philippa. Kalian benar. Betapa Ayah
tidak berpikir panjang. Ayah tidak bisa meminta anak
yang bersikap lebih baik dibanding kalian."
Bahkan saat bicara dia menjejalkan tangan ke saku
belakang, menarik keluar dompet uang kertas
seukuran sandwich besar, lalu menarik uang dua ratus
dolar. "Ini," katanya sambil menyodorkan uang itu pada
John, "masing-masing selembar. Belilah sesuatu yang
menyenangkan. Untuk perkemahan musim panas."
"Edward, kau tidak perlu melakukan itu," protes Mrs
Gaunt, "kau bersikap paranoid."
John -yang menganggap bersikap paranoid terdengar
seperti sesuatu yang sangat menyenangkan jika
membuat mereka menerima uang- mengulurkan
tangan untuk mengambil uang itu sebelum ayahnya
berubah pikiran. John terguncang ketika melihat
ayahnya bergidik saat mereka bersentuhan, dan
kebahagiaan yang dia rasakan karena mendapat
uang tiba-tiba menguap saat sadar bahwa ayahnya
seperti takut padanya. Saat menangkap tatapan
adiknya, John tahu bahwa Philippa juga melihat ini;
dan saat ibu mereka mengikuti Mister Gaunt menuruni
tangga di depan rumah menuju ke pintu limousin
yang sudah menunggu. John mencengkeram lengan Philippa lalu berbisik di
telinganya: "Kau lihat itu?" ujarnya, "kau lihat ayah"
Cara dia menatap kita" Kita takkan pernah punya
kesempatan yang lebih baik daripada ini."
"Untuk apa?" "Untuk melakukan usulan Nimrod yaitu memberitahu
mereka bahwa kita ingin ke Eropa."
"Entahlah." "Kau ingin menghabiskan seluruh musim panas di
sekolah bagi para jenius muda?"
"Genii," koreksi Philippa, "bentuk jamaknya adalah
genii. Kalau memang jenius, kau pasti ingat itu,"
Philippa mengangguk, "baiklah. Ayo kita coba."
Si kembar mengikuti Ayah mereka ke mobil.
"Kami sudah pikir-pikir," ujar John, "kami tidak ingin ke
perkemahan musim panas itu. Kami sudah
memeriksanya di Internet, dan sepertinya tempat di
Salem ini lebih mirip sekolah ketimbang perkemahan
musim panas." "Apalagi si Griggs seorang psikiater," tambah Philippa,
seolah hal itu membuat keadaan lebih buruk.
"Yeah. Dia akan memaksa kami minum Ritalin
sebelum ayah menyadarinya."
"Oh, John, itu omong kosong," ucap Mrs Gaunt, "Dr.
Griggs orang baik. Alembic House tempat yang
menyenangkan, untuk anak-anak berbakat,"
imbuhnya sambil membelai rambut Philippa, "tempat
di mana kau bisa belajar bersikap positif."
"Tapi aku tak ingin menjadi anak berbakat," tukas
John, "aku ingin menjadi anak normal."
"Lalu apa yang kau inginkan?" tanya Mister Gaunt.
John menoleh sekilas pada adiknya, menghela napas
panjang, dan berkata, "Kami ingin ke Eropa."
"Benar," ucap Philippa, "kami ingin mengunjungi
Paman Nimrod, di London."
"Berdua saja," timpal John, "Kami ingin pergi sendiri."
Mister Gaunt mengerutkan kening dan
menggelenggelengkan kepala.
"Sudah pasti..."
John merasa yakin bahwa kata "tidak boleh" akan
terlontar begitu kata "sudah pasti", tapi pada detik
terakhir Mister Gaunt menangkap tatapan istrinya, dan
si kembar melihat sang ibu menggelengkan kepala,
seolah menasihatinya agar tidak menolak.
Mister Gaunt berhenti dan bukannya memberi
jawaban negatif, dia malah tersenyum. Lalu, yang
membuat kedua anaknya terkejut, dia mengangguk.
"Sudah pasti," katanya. "Sudah pasti. Bila itu yang
kalian inginkan. Bila mereka ingin pergi ke London,
maka itulah yang harus mereka lakukan. Kau
sependapat kan, Layla?"
"Tentu," jawab sang istri dengan sabar, seolah si
kembar telah menyampaikan alasan yang paling
masuk akal di dunia, "aku tidak melihat ada alasan
untuk menolak. Kalian cukup bertanggung jawab


The Akhenaten Adventure Children Of The Lamp Karya P B Kerr di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk melakukan perjalanan sendiri. Aku akan
menelepon Nimrod dan memberitahukan bahwa
kalian ingin ke sana dan tinggal bersamanya, serta
mencari tahu kapan waktu yang luang."
"Dan akan Ayah suruh sekretaris Ayah pesankan tiket
pesawat," ujar Mister Gaunt, "kalian mau British
Airways kelas menengah?"
John merasakan mulutnya menganga. Dia dan
Philippa tak pernah naik pesawat kecuali di kelas
ekonomi. "Kelas menengah?" ujarnya, heran membayangkan
kemungkinan itu. "Baiklah, baiklah. Kelas utama," ucap Mister Gaunt,
"tidak masalah."
Melihat wajah ayahnya, John merasa pria itu tak akan
menolak jika diberitahu bahwa ia ingin bergabung
dengan sirkus. "Kelas menengah sudah cukup," ujar Philippa, "dan
terima kasih." "Terima kasih banyak, Ayah," senyum John.
Mister Gaunt tersenyum ramah, menutup pintu
limousin, dan bernapas lega begitu dia jauh dari anak-
anaknya, lalu memerintahkan supirnya agar melaju.
Si kembar kembali menaiki anak tangga ke pintu
depan, masih melambaikan tangan ke arah limousin
yang menghilang. Ibu mereka tersenyum sopan. "Apa yang membuat ini
terjadi?" tanyanya, "kalian tidak banyak menyebut
Nimrod sebelumnya." "Itu bukan salah kami," sahut Philippa, "Ibu yang
jarang menyebut tentang Paman Nimrod," dia
menggeleng- gelengkan kepala, "aku tidak mengerti.
Tapi dia saudara Ibu."
"Dulu kami sangat dekat, seperti kalian berdua," Mrs
Gaunt mengangkat bahu, "tapi kami tumbuh terpisah,
itu saja." John dan Philippa mengikuti ibu mereka ke dapur di
mana Philippa merangkul pinggang ibunya.
"Ibu baik sekali sudah mengizinkan kami ke London."
Mrs Gaunt tersenyum tegar tapi tampak jelas di mata
si kembar kalau ada sesuatu yang membuatnya
sedih. "Jangan sedih," ucap Philippa.
"Ibu mana pun akan merasa sedih bila melihat anak-
anaknya tumbuh besar," Mrs Gaunt mengakui,
"terjadinya lebih cepat daripada yang Ibu duga, itu
saja. Seperti geraham bungsu itu. Mungkin karena
kalian kembar. Tak lama lagi kalian akan kuliah, dan
kemudian meninggalkan rumah," dia mengangkat
bahu, "itulah kehidupan, Ibu rasa."
Di dapur, Winston dan Elvis menjauh dari John saat
dia berusaha memberi belaian selamat pagi di telinga
mereka. "Ada apa dengan kalian?" tanya John sambil mengejar
anjing-anjing itu mengelilingi meja dengan tangan
terulur ke depan untuk menunjukkan bahwa dia tidak
bermaksud jahat. Mrs Gaunt menatap kedua Rottweiler itu dengan
marah. "Mula-mula Edward, dan sekarang kalian berdua,"
katanya. "Ini benar-benar yang terakhir. Winston"
Elvis" Sini." Dengan enggan kedua anjing itu menampakkan diri
dengan malu-malu di depan sepatu Jimmy Choo Mrs
Gaunt. Wanita itu mengacungkan telunjuknya ke
moncong besar mereka. "Kalian bersikap sangat konyol," ujarnya, "tak ada
alasan sama sekali bagi kalian untuk takut pada
orang di rumah ini, apalagi pada anak-anak ini. Kalau
kalian bersikap nakal lagi, takkan ada makanan dan
televise sehari ini. Paham?"
Anjing-anjing itu menyalak berbarengan.
"Sekarang, minta maaf pada John karena sudah
bersikap tidak sopan."
Dengan kepala menunduk malu, kedua anjing itu
menghampiri John lalu menjilat tangannya untuk
menunjukkan penyesalan. "Tidak apa-apa, tidak ada sakit hati," ujar John.
Sebetulnya dia lebih tertarik pada sesuatu yang
ibunya katakan. Kenapa dia tidak memahaminya
sampai sekarang" Winston dan Elvis benar-benar suka menonton
televisi. "Di mana Mrs Trump?" tanya Philippa.
Bukannya menyiapkan sarapan anak-anak seperti
yang biasa dilakukannya, Mrs Trump tidak tampak di
mana-mana. "Dia di halaman belakang, menghirup udara segar,"
jawab Mrs Gaunt. "Apakah Mrs Trump yang tadi menjerit?" Tanya John.
"Yang pasti Ibu tidak tahu banyak. Tapi sepertinya dia
memenangkan New York Lotto."
"Apa?" pekik Philippa, "Fantastis. Berapa banyak?"
"Seperti kata Ibu tadi, Ibu tidak yakin. Menurut Ibu
masalah ini lebih mirip misteri. Tapi menurutnya, dia
memiliki lotere enam nomor dan percaya dia mungkin
sudah memenangkan jackpot itu."
John melihat koran tabloid yang biasa Mrs Trump baca
tergeletak di meja dapur, lalu mengambilnya dan
mendapatinya sudah terbuka di halaman berisi
nomor-nomor Mega Million dan perkiraan jumlah
jackpot. "Wow," komentarnya. "Di sini dikatakan bahwa ada
satu pemenang untuk jackpot sebesar 33 juta dolar."
John memandang berkeliling dapur dan di sana, di
sebelah tas jinjing Mrs Trump, tampaklah kupon
loterenya. Dia ambil lalu memeriksa angkanya.
"Luar biasa," desahnya, "dia benar-benar memiliki
lotere dengan keenam nomor itu."
"Bukankah itu menyenangkan?" cetus Philippa,
"sekarang Mrs Trump bisa ke Roma untuk
mengunjungi putri-putrinya."
"Itukah yang dia katakan tentang keinginannya?"
tanya Mrs Gaunt. "Ya. Dia bilang dia harap dapat memenangkan lotere
karena kelihatannya itu adalah satu-satunya cara
yang membuatnya bisa pergi."
"Ibu mulai memahami apa yang terjadi," ujar Mrs
Gaunt. "Apa maksud ibu?" tanya Philippa.
"Ibu mulai mengerti kenapa ayahmu gusar pagi ini,"
jawab Mrs Gaunt dengan yakin.
Melihat kening putrinya berkerut mendengar hal itu,
dia menam bahkan, "maksud Ibu, ayah kalian pasti
sedih bila Mrs Trump harus pergi. Karena dia sudah
seperti bagian dari keluarga kita. Maksud Ibu, bisakah
kalian membayangkan seseorang yang memiliki uang
33 juta dolar ingin menjadi pengurus rumah tangga"
Dia mungkin ingin punya pengurus rumah tangga
sendiri karena kini dia kaya-raya."
Mereka pergi ke kebun dan menemukan Mrs Trump
yang sedang mengipas tubuhnya dengan sekotak
benih lupin. Wajahnya bersimbah air mata dan
rahangnya gemetar saat bicara.
"Apa yang akan aku lakukan?" gumamnya. "Uang itu
banyak sekali. Apa yang akan kulakukan?"
"Lakukan?" tanya John seolah tak percaya, "lakukan"
Kurasa kau akan bersenang-senang
membelanjakannya. Itulah yang akan kulakukan."
"Aku tak ingin meninggalkan tempat ini, kau tahu,"
ucap Mrs Trump sambil menangis.
"Oh, Mrs Trump, kau pasti tak ingin terus bekerja.
Tidak sekarang, setelah kau punya semua uang itu.
Dengan uang sebanyak itu, keadaan menjadi sedikit
lebih mudah bagimu."
"Tidak, sejak tadi aku duduk di sini memikirkannya,"
isak Mrs Trump, "aku akan merindukan kalian semua
bila melepas pekerjaan ini. Aku tidak punya banyak
teman, kalian tahu. Dan apa yang akan aku lakukan"
Pergi berbelanja sepanjang waktu" Bukan begitu cara
orang hidup. Tidak, kalau Anda berkenan, Mrs Gaunt,
aku hanya akan mengambil libur dua minggu. Pergi
mengunjungi anakku. Memberikan sebagian uang itu
pada mereka, kurasa. Lalu kembali ke sini. Kalau
boleh." "Berliburlah selama yang kau suka, Mrs Trump.Dan
jangan memutuskan apa-apa dulu. Itu saranku. Kau
mungkin merasa sangat berbeda dalam satu dua hari
ini. Orang biasanya begitu setelah harapan mereka
tiba-tiba terkabul."
Sore hari, Mrs Gaunt membujuk Mrs Trump agar
mengambil libur beberapa hari untuk memulihkan diri
dari guncangan karena secara mendadak menjadi
nyaris sekaya majikannya.
"Selamat bersenang-senang di perkemahan musim
panas," ujar Mrs Trump pada John dan Philippa saat
dia hendak pulang ke apartemennya di Jalan
Aqueduct di Bronx, "aku tahu kalian pasti akan
menikmati suasana di sana."
"Kami tidak pergi ke perkemahan musim panas, Mrs
Trump," sahut John. "Kami akan ke London," tambah Philippa penuh
kemenangan. "Itu menyenangkan," ucap Mrs Trump, "kirimi aku
kartu pos bila sempat."
"Pasti," jawab Philippa, dan berusaha tidak
meneteskan air mata saat dia bertanya-tanya apakah
mereka akan bertemu lagi.
*** Beberapa hari kemudian Mrs Gaunt mengantar John
dan Philippa ke Bandara John F. Kennedy, New York,
untuk mengejar penerbangan pada pukul sembilan
malam ke London. Dia membantu si kembar
memeriksa barang bawaan mereka, dan kemudian
mengawal hingga ke ruang tunggu keberangkatan
maskapai British Airways.
"Siapa tahu kalian merasakan akan ada serangan
claustrophobia," ujar Mrs Gaunt, "ini obat yang akan
membuat kalian merasa lebih tenang, Anak-anak."
Dia memberi Philippa botol kecil ungu dengan tutup
uliremas, "Minumlah sebutir setiap empat jam."
"Terima kasih, Bu," ucap Philippa sambil
mengembuskan napas lega. Dia sudah yakin kalau
ibunya akan memberi pil itu sebagaimana beberapa
perjalanan sebelumnya. Obat anti ciaustrophobia itu
telah dilarutkan dalam minuman, atau dihaluskan
bersama sesendok the selai. Tapi karena ini adalah
kali pertamanya mereka berpergian tanpa orangtua,
maka ini juga menjadi kali pertama mereka
dipercayakan menangani obat-obatan mereka sendiri.
"Kalian akan sampai di London sekitar jam setengah
delapan pagi," kata Mrs Gaunt sambil menyerahkan
kedua tiket kepada John, "Nimrod akan menjemput
kalian." Mrs Gaunt membungkuk untuk memeluk anak-
anaknya, "Selamat jalan, Anak-anak," katanya sambil
terisak, "Ibu akan sangat merindukan kalian. London
dan Nimrod mungkin akan kelihatan agak aneh pada
mulanya. Tapi apapun yang terjadi, cobalah
mengingat bahwa Ayah dan Ibu sangat menyayangi
kalian. Dan semua yang kami lakukan adalah demi
kebaikan kalian." Dia mengambil saputangan dari tas kulit buaya Kelly
Hermes, lalu mengusap sudut matanya yang tampak
berkaca-kaca, "Selamat jalan."
Kemudian Mrs Gaunt pergi.
Setelah menunggu, yang terasa seperti sudah
bertahun-tahun, akhirnya seorang pramugari datang
untuk mengantar si kembar ke pesawat. Itu adalah
isyarat bagi mereka untuk meminum pil anti claustro
phobia. John mengamati pil perak itu di telapak tangannya
dengan tatapan ingin tahu, "Apakah aku harus
menelan atau membuang lapisan luarnya."
"Pil ini memang kelihatan indah, ya?" ujar Philippa.Dia
pun menelannya, "kau tidak minum, John?"
"Aku akan tunggu sampai kita sudah di pesawat.
Siapa tahu kau mati akibat obat itu."
Sesampainya di pesawat, John berkeringat dingin. Hal
itu karena anggapannya sendiri bahwa naik pesawat
sama seperti menghabiskan waktu tujuh atau
delapan jam di dalam pipa metal besar.
"Kelihatannya kecil sekali didalam sini," ucapnya saat
menemukan nomor tempat duduk mereka.
"Seperti berada di dalam mesin pengisap debu. Kau
tidak keberatan kalau aku duduk di dekat jendela,
Phil" Aku merasa seperti terkurung. Aduh, sesak.
Bagaimana kau bisa mendapatkan lebih banyak udara
di dalam benda ini" Apakah orang itu harus menutup
pintunya sekarang?" "Minum pilnya," perintah Philippa kalem.
Tanpa membantah, John menelan pil perak itu.
Efeknya nyaris seperti keajaiban. Seketika itu juga
sinar hangat mulai menyebar dari tenggorokan dan
dada hingga dalam perutnya. Juga kepala dan bagian
tubuh lainnya. Seakan sesuatu telah memutar saklar,
membuatnya merasa lebih rileks dan tenang meng
hadapi keadaan sekelilingnya. John berpikir bahwa
seseorang boleh-boleh saja mengurung diri di dalam
botol, tapi dia sudah tidak merasa berkeberatan sama


The Akhenaten Adventure Children Of The Lamp Karya P B Kerr di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sekali. Dua puluh menit kemudian mereka sudah di udara.
Minuman disajikan bersamaan dengan hadirnya
hiburan in-flight. Kedua anak kembar itu sudah menunggu-nunggu
untuk menonton semua fiIm yang tidak boleh
ditonton kalau bepergian bersama orangtua mereka.
John tidak tidur semalaman. Dia menonton dua
setengah fiIm yang tidak sepatutnya ditonton
berturut-turut tanpa jeda. Tapi Philippa lain lagi,
setelah fiIm pertama, dia langsung tertidur. Gadis itu
terjaga karena pesawat berguncang keras. Seolah
mereka berada di dalam bus yang melaju di jalan
berlubang. Pesawat itu bergetar mengerikan seperti
menunggang kuda-kudaan di arena pekan raya
murahan. Sementara di luar jendela, sayap-sayap
pesawat berguncang naik turun seperti papan lompat
di atas kolam renang. Merasa kembali gelisah karena
terkurung suasana pesawat itu. Philippa pun menelan
satu pilnya lagi, yang terasa seperti mencicipi daging
pesta barbekyu. Sambil mencuri dengar, dia juga coba
melihat ke arah pasangan suami-istri di seberang
lorong. Mereka terlihat bergandengan tangan dan
benar-benar gemetar. Jelas sekali bahwa pasangan itu
tidak menikmati penerbangan ke London ini.
"Oh, Tuhanku," seru si wanita dari pasangan itu. Dia
berbadan besar,mengenakan topi bisbol dan ponco
berwarna cerah, "ini mengerikan. Oh, Tuhan. Apakah
pesawat memang harus berguncang seperti ini"
Rasanya seperti mau terbelah. Otis" Kalau kita
berhasil melewati malam ini, berjanjilah padaku kalau
kita tidak akan terbang lagi. Kecuali untuk pulang
kembali ke Amerika Serikat."
Otis adalah lelaki bertubuh lebih besar dari wanita itu.
Dia memandang Philippa dan tersenyum lemah,
seolah - bahkan dalam ketakutannya - dia berharap
bisa menghibur orang lain. Ini sudah cukup untuk
membuat Philippa merasa bahwa dia menyukai dan
merasa sangat kasihan pada Otis. Pria itu terceguk
sedikit, menelan ludah dengan rasa tidak nyaman,
seolah berusaha mengendalikan keinginan untuk
muntah, menutup mulut dengan satu tangannya yang
gemuk. Dia pun berkata, "Apakah kau baik-baik saja, Gadis
kecil?" Philippa mengangguk. "Baik," jawabnya.
"Aku kagum pada keberanianmu, Nona muda.
Sungguh. Aku berharap bisa kembali ke
Poughkeepsie. Aku tak malu memberitahumu.
Kuharap aku pulang ke rumah."
Poughkeepsie, sebagaimana yang diketahui semua
orang, adalah sebuah kota kecil, dengan populasi
30.000, di dekat New York dan terkenal karena pabrik
bohlamnya. Philippa membalas senyum Otis dengan cara yang
simpatik. Jelaslah kalau pria malang itu sedang
ketakutan. "Kami akan pergi ke London," ucap Otis.
Philippa menahan keinginannya untuk berkata bahwa
semua orang di pesawat itu akan pergi ke London.
"Dunia memang sempit," begitulah yang pada
akhirnya dikatakan Philippa, "kami juga akan ke
sana." "Tapi sekarang" Kami harap kami kembali ke
Poughkeepsie," balas Otis.
"Perjalanan ini memang kurang mulus," Philippa
mengakui. "Yah, senang berbicara denganmu, Gadis kecil. Aku
juga punya seorang putri yang sudah dewasa. Tapi
jangan takut berteriak kalau kau butuh sesuatu. Akan
kulihat apa yang bisa kulakukan untuk membantu."
"Terima kasih banyak."
Philippa beranggapan Otis mungkin pria tersopan
yang pernah dia temui. Tak lama setelah itu Philippa
tertidur. Philippa tak tahu berapa lama ia tertidur tapi
saat dibangunkan - dengan kasar pikirnya - oleh
seorang pramugari, John sedang menonton fiIm
tentang kera yang bisa bicara.
Pramugari itu tampak khawatir.
"Kau melihat pasangan di seberang lorong?" Wanita
itu menunjuk ke arah dua tempat duduk di mana
pasangan dari Poughkeepsie tadi duduk sebelumnya.
"Maksud Anda Otis dan istrinya?"
"Benar. Otis Barstool dan istrinya, Melody."
"Ya, aku melihat mereka. Aku berbicara dengan Otis.
Dia baik. Agak ketakutan pada turbulensi udara, tapi
menyenangkan." "Kau tahu di mana mereka sekarang" Apakah
mungkin mereka sedang bersembunyi?"
"Bersembunyi?" Kalau Philippa heran, itu karena dia yakin hanya ada
sedikit tempat di mana seorang anak seperti dirinya
bisa bersembunyi di pesawat Boeing 747, apalagi dua
orang sebesar Otis dan Melody Barstool. Philippa
mungkin bisa memanjat ke dalam loker di atas
kepala, tapi Otis tidak, begitu juga Melody. Selain
toilet dan lemari mantel, Philippa tak tahu harus
memberi saran apa kepada pramugari untuk mencari
pasangan yang menghilang itu. Lagi pula, menurut
Philippa, Otis bukanlah tipe orang yang merepotkan
seperti bersembunyi di pesawat trans-atlantik karena
bukankah lelaki itu sudah memiliki tiket penumpang
pesawat. "Kenapa mereka harus bersembunyi?"
Pilot pesawat muncul di belakang si pramugari.
"Kami berharap kau mungkin bisa memberitahu
alasan- nya," ujar si pramugari, "Karena sepertinya
kau orang terakhir yang bercakap-cakap dengannya.
Begini, Philippa, mereka tidak ada di tempat duduk
mereka, dan kapten sudah memasang tanda untuk
mengenakan sabuk pengaman. Tak lama lagi kita
akan mendarat di London, dan pada kenyataannya,
kami sudah memeriksa seluruh ruang pesawat, tapi
mereka tak ditemukan. Kami bahkan memeriksa
ruang bagasi." Pilot pesawat itu duduk berjongkok di sebelah tempat
duduk Philippa, tersenyum ramah, "Kami memiliki
catatan tentang siapa yang naik pesawat ini dan di
mana mereka duduk, jadi tidak ada yang bisa pergi
begitu saja. Mereka pasti bersembunyi di suatu
tempat. Satu-satunya pertanyaan adalah di mana dan
kenapa" Mungkin kau tahu alasannya, agar kami tahu
dimana mereka." Dia mengangkat bahu. "Ini persoalan serius,
kehilangan penumpang pada saat penerbangan.
Sangat serius. Ada bermacam-macam peraturan yang
dimaksudkan untuk mencegah hal-hal seperti ini
terjadi. Kalau ada sesuatu yang terpikir olehmu,
sesuatu yang mungkin bisa membantu kami
menemukan mereka, apa saja, kami akan sangat
berterima kasih." Philippa menggeleng-gelengkan kepala. Dia terlalu
bingung untuk menjawab. "Maaf. Aku tidak bisa memikirkan apa pun. Hanya
saja sepertinya dia sangat tidak suka terbang."
"Anda sudah menghitung semua penumpang?" tanya
John. "Tentu saja," jawab pilot itu dengan sabar, "empat
ratus sembilan puluh orang naik pesawat ini di
bandara JFK. Sekarang hanya ada 488 orang menurut
perhitungan kami." "Ups." John menyeringai.
Pilot pesawat dan si pramugari itu mengangguk lelah
dan berjalan menjauh dengan tampang lebih cemas
daripada sebelumnya. "Menurutmu apa yang mungkin terjadi pada mereka?"
tanya Philippa. "Aku tidak tahu bagaimana mereka bisa terjun keluar
memakai parasut dan menutup pintu di belakang
mereka," ucap John. "Takkan bisa kecuali mereka punya kaki tangan di
pesawat. Tapi kalau begitu si pilot akan tahu bahwa
pintu pesawat telah dibuka. Kita semua akan tahu.
Jadi kurasa hanya ada satu kemungkinan."
"Apa itu?" "Well, kau membaca tentang orang-orang yang
menghilang dari kapal. Seperti kapal Marie Celeste,
Segitiga Bermuda, hal semacam itu. Mungkin kejadian
ini serupa. Mungkin mereka dibawa naik ke pesawat
ruang angkasa." "Aku senang sekali kau tidak mengatakan itu pada
pilot tadi," ujar Philippa.
Si kembar menatap ke tempat duduk kosong yang
sebelumnya ditumpangi Otis dan Melody, seolah
kedua penumpang yang hilang itu mungkin bisa saja
kembali setiap saat. "Kuharap mereka akan muncul," desah Philippa. "Otis
pria baik. Kuharap kejadian ini tidak merusak liburan
mereka." "Dengar," ujar John, "bila mereka benar-benar muncul,
berarti aku benar. Mereka akan menegaskan
perkataanku, catat itu. Bahwa makhluk luar angkasa
telah menculik mereka."
"Makhluk luar angkasa?" dengus Philippa, "berhenti
bicara soal makhluk luar angkasa. Teori itu benar-
benar sulit dipercaya sampai-sampai aku heran
bagaimana kau bisa menjadi saudara kembarku."
"Pernah baca buku Sherlock Holmes?"
Philippa menggeleng. "Mungkin kau ingat sesuatu yang pernah dia katakan."
"Yang mana?" "Bila kita sudah menyingkirkan hal-hal yang tidak
mungkin, apa pun yang tersisa, meskipun sangat sulit
dipercaya, pastilah itu kebenaran." John mengangguk.
"Mereka sudah menggeledah pesawat ini dari atas ke
bawah. Berarti pasangan itu tak ada di pesawat.
Begitu itu kau akui, maka menurutku kau dihadapkan
pada hal yang tidak mungkin, entah kau suka atau
tidak." *** 333Setelah melewati gerbang kedatangan di Bandara
Heathrow, London, si kembar khawatir tidak bisa
mengenali paman mereka yang tengah berada dalam
kerumunan para penjemput. Untunglah Paman
Nimrod mengenakan setelan dan dasi merah dengan
bintang-bintang emas sebagaimana yang
dikenakannya di dalam mimpi mereka. Dengan
pakaian seperti itu, dia terlihat mencolok bagaikan
sebuah strowberi merah di atas sponge cake biasa.
Sekarang, setelah bertemu lagi, mereka melihat
bahwa Nimrod terlihat lebih mengerikan ketimbang
sebelumnya. Seolah-olah pamannya itu benar-benar
menjadi bagian dari pertunjukan drama Inggris karya
William Shakespeare yang bercerita tentang seorang
Raja lalim yang ahli berpidato. Saat Nimrod melihat
kedua keponakannya, suaranya yang berat
menggema hingga terdengar ke seluruh terminal,
seakan dia menggunakan mikrofon- bukannya cerutu
seukuran teleskop kecil yang berada di mulutnya-.
"Oh, pelita hatiku, akhirnya kalian datang juga,"
ujarnya, nyaris tidak peduli kalau semua orang
mendengar teriakannya. Bahkan, di sebuah toko buku
di sisi lain terminal yang berjarak sekitar lima belas
meter jauhnya, dua orang gadis menoleh karena
mengira sedang diajak bicara.
"Astaga, kalian sudah bertambah besar. Kalian tampak
lebih tinggi dibanding saat kita terakhir bertemu."
"Tiga koma delapan-satu senti sejak geraham bungsu
kami dicabut," ungkap John bangga.
"Tiga koma delapan-satu senti, ya" Well, aku tidak
heran. Di New York segala sesuatunya mengesankan,
bukan" Gedung, mobil, sandwich, orang-orangnya, dan
semuanya. Lalu mengapa kalian harus jadi
pengecualian?" Setelah memasukkan cerutu besarnya ke mulut, jari
Nimrod pun -yang banyak mengenakan cincin emas-
mencengkeram kereta dorong yang mengangkut tas
si kembar. "Hanya ini barang kalian" Kalau kalian anak dari adik
perempuanku, pastinya kalian akan datang dengan
sedikitnya setengah lusin tas setiap orangnya."
"Memang cuma itu," sahut John.
"Ini saja" Kalau begitu, ayo kita cari Groanin dan
mobilnya." Kedua anak itu mengikuti Nimrod mendorong kereta
barang bawaan itu keluar.
Saat menghirup udara segar Bandara Heathrow,
mereka menguap lebar bagaikan seekor kucing.
Waktu itu pukul tujuh tiga puluh pagi, dan mereka
agak menggigil saat pagi musim panas Inggris
membekukan tulang. "Tadi kau bilang sejak terakhir kita bertemu?" selidik
Philippa, "yang kau maksud saat kami masih bayi,atau
dalam mimpi yang kami dapat minggu lalu di mana
kau muncul di hadapan kami?"
"Begitukah?" Nimrod tersenyum.
"Kau memakai setelan itu," timpal John, "dan kau
bilang kau membutuhkan bantuan kami."
"Semua ada saatnya," ujar Nimrod, "semua ada
saatnya. Sayangnya kita sangat jarang bertemu


The Akhenaten Adventure Children Of The Lamp Karya P B Kerr di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

selama sepuluh tahun terakhir ini."
"Ibu tidak bilang alasannya," kata Philippa menyelidiki.
"Apa" Tidak sama sekali?"
"Tidak sedikit pun," jawab Philippa.
Wajah Nimrod berkerut. "Begitukah" Kurasa memang begitulah ibu kalian," ujar
Nimrod, "dia tidak pernah senang membicarakan
keadaan kita ini." "Keadaan apa?" tanya John.
"Kita cari dulu mobilnya, OK" Oh, kita bertiga akan
mendapat petualangan yang sangat seru. Ini akan
menjadi musim panas yang hebat. Sejak kalian lahir,
aku sangat berharap semua ini akan terjadi."
Meskipun masih pagi sekali, Nimrod tampak sangat
bersemangat bagaikan sebotol soda yang
menyemburkan busa setelah dikocok, "walau
mungkin saja pada akhirnya hubungan kita memiliki
sisi yang berbahaya. Tapi petualangan sejati memang
seharusnya ada unsur risiko, lagi pula, satu-satunya
cara agar kita menjadi lebih tegar, tentunya lewat
kesulitan dan penderitaan, benar, kan" Nah, mana
Groanin dan mobilnya?" Nimrod memicingkan mata
saat melihat deretan mobil-mobil.
Hal itu menjadi kesempatan bagi John dan Philippa
untuk bertukar tatapan keheranan. Apa maksud
Paman Nimrod dengan kata "berbahaya?"
"Masalahnya, aku pergi dengan memakai kacamata
yang salah," keluh Nimrod.
John melihat sebuah Rolls-Royce besar warna merah
hati dan perak, yang diparkir sekitar 46 meter
jauhnya. Di sebelah mobil itu ada seorang pria tengah
melambai-lambaikan tangan dengan bersemangat ke
arah mereka. "Mobil yang di sana itu?" tanya John, mengarahkan
tatapan Nimrod pada Rolls-Royce tersebut.
"Aha, itu dia," gelegar Nimrod, lalu mulai berjalan ke
arah mobil, "tentunya ini tepat pada waktunya."
Saat sudah dekat, mereka melihat bahwa sopirnya
yaitu pria tinggi dan gempal seperti mayat yang
berpakaian abu-abu dan topi berujung lancip di
kepalanya yang botak. Orang itu ternyata hanya
memiliki satu lengan. Si kembar menganggap hal
itulah yang paling menarik, bukankah mengemudikan
mobil apa saja, apalagi Roll-Royce, memerlukan dua
buah tangan" "Ini Mister Groanin," Nimrod memperkenalkan.
Mister Groanin menggeramkan sapaan dan mulai
memasukkan tas-tas ke bagasi mobil besar itu.
"Seorang polisi lalu-lintas memaksa saya parkir disini,
Sir," jelas Groanin dengan suara yang lebih cocok
menjadi milik seorang pengusaha. "Saya katakan,
saya dipaksa melaju, Sir. Itu membuat saya
memutuskan untuk berkeliling saja sampai saya
melihat Anda semua di sini. Maaf atas ketidak-
nyamanan ini." "Kau selalu punya alasan yang bagus, Groanin," sindir
Nimrod seraya menunjuk ke kursi belakang pada si
kembar. "Terima kasih, Sir."
"Seperti yang kalian lihat, Anak-anak," ujar Nimrod,
"Mister Groanin bukannya tidak menunjukkan sikap
respek, dia memang hanya punya satu tangan. Kalian
mungkin berpikir itu mungkin adalah nasib buruk, tapi
bagi Mister Groanin itu bukan penghalang untuk
menjadi pengemudi yang hebat. Dan bisa aku
yakinkan bahwa kita akan sangat aman bila dia yang
mengemudi." "Terima kasih, Sir. Anda memang baik sekali."
"Sesuatu, yang juga mungkin kalian lihat," tambah
Nimrod sambil menunjuk gagang kemudi yang
dipasangi tombol besar, "mobil ini telah dimodifikasi
secara khusus agar memudahkan orang bertangan
satu mengemudikannya."
Akhirnya mereka melaju ke rumah Nimrod di London.
Nimrod membakar kembali cerutu lalu
mengembuskan gumpalan asap biru raksasa yang
membuat si kembar nyaris mengira knalpot bocor dan
asapnya bercampur dengan asap cerutu. Semakin
banyak asap yang mengalir dari cuping hidung Nimrod
yang mengembang. Tiba-tiba Nimrod menyadari kalau si kembar mulai
menaruh minat pada cerutunya. Mula-mula Nimrod
memandang sekilas ke cerutunya, lalu kepada si
kembar dengan gaya orang yang berpikir mungkin dia
telah membuat kesalahan konyol.
"Ya ampun, aku lupa," ucapnya, "kalian orang
Amerika, ya" Maaf, ya. Tidak terpikir olehku kalau
kalian mungkin tidak menyukai cerutuku."
"Kami tak berkeberatan mencium aroma cerutu," ujar
Philippa. "Kurasa kau dapatkan hal itu dari ibumu. Dulu dia
sangat suka pada cerutu bagus."
"Ibu" Paman pasti bercanda."
"Oh tidak. Ibu kalian memang penggemar berat
cerutu." Sementara Nimrod berbicara dengan fasih tentang
tema yang disukainya, Rolls-Royce itu meluncur mulus
membelah jalan-jalan kota London seperti karpet
ajaib beratap. Philippa memandang keluar lewat jendela untuk
mendapatkan pemandangan pertamanya atas kota
itu. London sepertinya jauh lebih luas ketimbang New
York. Pikiran pertamanya saat melihat gedung-gedung
kota itu adalah rasa lega,karena dia tidak perlu
menaiki deretan tangga yang berjumlah banyak. Dia
menyukai semua taman-taman kecil yang terlihat,
aneka pohon, dan hampir bersorak saat kali pertama
dia melihat bus berwarna merah dan taksi berwarna
hitam. John lebih tertarik pada mobil itu ketimbang kota
London. Dia belum pernah naik Rolls-Royce dan -
dengan jok kulit warna merah, karpet tebal, serta
meja walnut- mobil itu mengingatkannya pada ruang
kerja ayahnya: Begitu tenang, bahkan saat bergerak.
"Aku suka mobilmu, Paman," ucap John.
"Kau baik sekali, Anakku," kata Nimrod, "kualitasnya
bertahan bahkan setelah harga dan perusahaan yang
memproduksinya telah dilupakan. Aku beli mobil ini
dari seorang sutradara. Dia menjualnya lantaran
istrinya sembuh dari buta warna dan mengamuk saat
melihat ternyata mobil ini berwarna merah. Malang
bagi si suami, dia harus menjualnya kepadaku."
"Apa semua orang Inggris bicara seperti Paman?"
tanya John. "Jelas tidak. Bahasa Inggris terbaik diucapkan oleh
orang Belanda dan Jerman. Orang Inggris sendiri
berbicara dalam susunan bahasa seperti bubur-
kentang yang sangat halus, tidak memiliki awal dan
akhir yang jelas. Hanya seperti kotoran tebal yang
mereka tuang di atas piringmu lalu mereka berharap
kau mengerti. Terutama di utara Inggris. Bahasa di
sana sangat tidak berbentuk."
Mister Groanin menggerutu lirih, seolah-olah dia tahu
bahwa kalimat itu ditujukan untuk memprovokasi
dirinya. Paman Nimrod bertempat tinggal di Stanhope Terrace
nomor 7, setelah Bayswater Road dan sangat dekat
ke Kensington Gardens, lokasi yang dia tunjuk melalui
jendela mobil. "Ada patung Peter Pan di dalam sana," imbuhnya
dengan nada sangat menghina, "Bocah yang Tak Mau
Tumbuh Besar. Jangan pernah percaya pada bocah
yang senang menjadi bocah. Itu sama anehnya
dengan orang tidak suka daging, cokelat, kebun
binatang, sirkus, taman hiburan, mobil balap, atau hari
ulang tahun. Kalian tahu apa sebutan bagi anak-anak
yang tidak menyukai hal-hal seperti itu?"
Philippa berpikir sejenak.
"Bodoh?" "Hampir benar, tapi belum tepat. Bayi. Itulah
sebutannya. Bayi." Wajah Nimrod mengernyit jijik, "Susu, susu, dan susu,
cuma itu yang mereka pikirkan. Aku tidak tahan pada
makhluk seperti itu. Aku bisa mual hanya karena
memikirkan makhluk kecil botak itu. Serakah, egois,
ketakutan yang luar biasa."
"Tapi paman kan pernah menjadi bayi," tegur Philippa
yang memang menyukai bayi, "benar, kan?"
"Jangan ingatkan aku," Nimrod tampak bergidik,
"seluruh pengalaman itu terus menghantui setiap
lamunan kosongku, seperti hantu Banquo yang tak
diundang." "Maksud Paman, kau ingat saat menjadi bayi?"
"Ya. Setiap piring bubur bayi. Setiap popok basah."
"Bagaimana mungkin?"
"Itulah kejanggalan keluarga kita. Saat bertambah
tua, kita mulai ingat semua yang mengerikan di masa
kecil kita. Pada hari kematiannya, kakekku
memberitahu bahwa dia baru saja ingat pada momen
kelahiran dirinya. Bahkan, menurutku, kenangan itulah
Kutukan Brahmana Loka Arya 2 Rajawali Emas 12 Hantu Seribu Tangan Anak Harimau 15
^