Pencarian

Apalagi Jennings 3

Apalagi Jennings Karya Anthony Buckeridge Bagian 3


selesai sarapan pagi, kedua penggemar prangko itu pergi ke
tempat penyimpanan sepeda, menunggu kedatangan
Pettigrew yang dititipi untuk membelikan prangko.
Mereka tidak perlu menunggu terlalu lama. Pukul
delapan lewat tiga puluh dua menit terdengar bunyi sepeda
direm di atas kerikil. Pengendara sepeda yang ditunggu-
tunggu itu menghentikan kendaraan roda duanya lalu turun
dekat pintu. "Berhasil?" tanya Jennings bersemangat.
Pettigrew menggeleng. "Dinas intelijen kalian agak
meleset rupanya," katanya. "Kau waktu itu mengatakan,
kantor pos buka setengah sembilan."
"Lalu?" "Itu tidak benar. Bukanya pukul sembilan kurang
seperempat. Cukup lama aku menunggu di sana, sampai
akhirnya ada orang lewat dan memberi tahu."
Jennings sangat kaget mendengar rencananya gagal.
"Tidak bisakah kau menunggu?" serunya.
"Coba kau tetap di sana sampai saatnya buka, kau pasti
akan sudah bisa sampai di sini sebelum saat kita harus
berkumpul, jika kau bergegas-gegas mengayuh sepedamu." '
Menurut pendapat Pettigrew itu merupakan permintaan
yang keterlaluan. Dan itu juga dikatakan olehnya pada
Jennings. Setelah mau mengalah dan meninggalkan rumah
lebih pagi dari biasanya, ia tidak bersedia disuruh mengalah
lagi dan datang terlambat di sekolah. Yah, yang jelas tidak
untuk sesuatu seperti dua lembar prangko yang sepele,
katanya. Karena ia sendiri tidak suka mengumpulkan
prangko, ia benar-benar tidak bisa mengerti kenapa ada
orang yang bisa begitu ribut tentang soal kecil seperti itu.
Bagaimanapun, prangko-prangko itu bahkan bukan dari
luar negeri; setiap orang bisa membelinya di kantor pos
yang mana. pun juga. Selain itu, sambungnya, ia ingin
cepat-cepat tiba di sekolah pagi itu karena...
Tapi Jennings tidak tertarik mendengar alasan-alasan
Pettigrew, begitu pula pandangannya mengenai filateli.
Satu-satunya yang ada dalam pikirannya saat itu adalah
bahwa seluruh rencananya yang hebat berantakan.
"Yuk, Darbi!" katanya sambil mendengus kesal.
"Mestinya kita harus sudah tahu bahwa kita tidak bisa
mengharapkan pertolongan dari anak konyol berotak udang
dan sinting seperti Petters. Dia begitu goblok, sehingga
tidak bisa membedakan sisi yang satu pada prangko luar
negeri dari sisi lainnya."
Pettigrew menanggapi penghinaan itu dengan senyuman
ramah. "Filateli itu tidak ada gunanya," katanya dengan
nada membujuk. "Kenapa begitu" Tentu saja ada gunanya! Dengan
mengumpulkan prangko, kita bisa menambah pengetahuan
tentang..." "Ah, sudahlah," kata Petigrew dengan nada pasrah. "Aku
tadi kan cuma bercanda, cuma kau saja yang begitu tolol
sehingga tidak mengerti. Ada dua orang Cina penggemar
filateli, dan filatelis yang satu memuji-muji yang satu lagi.
Tapi dia tidak bisa menyebutkan huruf r dengan benar. Jadi
ketika filatelis yang pertama hendak mengatakan..."
"Ah, sudahlah, diam kau," potong Jennings. "Ini bukan
waktunya menceritakan lelucon konyol, sementara kau
baru saja merusak kesenangan kami hari ini." Ia berbalik
dengan cepat lalu pergi sambil marah-marah, diikuti oleh
Darbishire. Jennings begitu kecewa, sehingga ia tidak mau berbicara
tentang soal itu ketika mereka sudah ada di dalam. "Jadi
begitulah," katanya sambil mengangkat bahu. "Kau boleh
pergi mendatangi Matron sekarang dan minta kepalamu
dikerutkan menjadi kecil, atau entah apa maumu tadi."
"Sebenarnya sakit kepalaku sudah agak berkurang
sekarang," kata Darbishire mengaku.
"Setidak-tidaknya begitu keadaannya, sampai kita
mendengar bahwa Pettigrew tidak menepati janjinya pada
kita. Itu membuat aku sangat marah, sehingga sekarang aku
mungkin terserang tekanan darah tinggi,"
"Sebaiknya kaudatangi saja Matron," kata Jennings
menyarankan. "Jika kau mujur, mungkin dia akan
memutuskan bahwa kau benar-benar sakit, sehingga tidak
bisa ikut ulangan matematika yang akan diadakan Pak
Wilkie. Kau masih ingat Bromo waktu itu?"
Darbishire mengangguk. Beberapa minggu sebelumnya,
Bromwich, setelah mengaku kepada teman-temannya
bahwa ia tidak sempat melihat pekerjaannya yang harus
dibetulkan, kemudian pergi ke klinik dengan alasan sakit
yang tidak jelas di mana, tepat pada saat Pak Wilkins
berniat untuk menguji pengetahuan anak-anak Kelas Tiga
tentang verba bahasa Prancis. Alih-alih disuruh kembali ke
kelas, Matron mengizinkan anak yang mengaku sakit itu
duduk dengan tenang di sebuah kursi yang nyaman sampai
waktu bersekolah pagi selesai.
Perawatan itu benar-benar ajaib hasilnya. Karena begitu
lonceng berbunyi tanda waktu bersekolah pagi selesai, si
sakit bangkit dengan cepat dan mengatakan bahwa
pengobatan itu benar-benar hebat, sehingga ia kini merasa
segar bugar lagi. Sebagai buktinya, Bromwich pergi ke
ruang makan di bawah, makan sekenyang-kenyangnya dan
mencatat prestasi empat puluh tiga angka untuk regunya
dalam permainan cricket siang itu.
"Jika Bromo bisa melakukannya, kau pasti juga bisa,"
kata Jennings. Darbishire terkejut sekali mendengar saran yang begitu
tidak pantas. "Wah, aku tak mau berbuat semacam itu,
hanya agar tidak usah ikut ulangan," katanya memprotes.
"Kasusku lain sama sekali! Aku menderita sakit kepala yang
asli, dan luar biasa - setidak-tidaknya itu menurut
perasaanku!" Ia mencoba menggeleng-gelengkan kepala, lalu menarik
napas kesakitan. "Tentu saja jika urusannya terserah
padaku, aku akan merasakan sakit ini tanpa mengatakan
apa-apa. Tapi sebaiknya aku pergi saja melapor pada
Matron, karena kau mendesak-desak terus."
Ia menuju ke tangga dan menaikinya dengan langkah
pelan dan berhati-hati, seperti pasien yang diperingatkan
agar jangan terlalu banyak mengerahkan tenaga.
Jennings pergi ke arah yang berlawanan. Sambil
membisu direnungkannya dengan sedih bencana yang
terjadi pagi itu, sambil berusaha memutuskan bentuk
siksaan kuno mana yang cukup mengerikan untuk
dilakukan terhadap Pettigrew, sebagai pembalasan atas
kelakuannya yang melanggar janji.
Sewaktu ia lewat di depan ruang guru, pintu dibuka dari
dalam. Pak Wilkins menjenguk ke luar.
"Ah, Jennings! Bisakah kau kuandalkan untuk melakukan tugas yang sangat sederhana tapi penting tanpa
mengacaukannya?" tanya guru itu dengan nada bercanda.
"Ya, Pak. Tentu saja bisa, Pak."
Pak Wilkins menyodorkan sebuah sampul surat yang
dibubuhi prangko, jadi tinggal diposkan saja. "Aku ingin
surat ini dengan segera diposkan," katanya.
Pak Wilkins menutup pintu lagi, meninggalkan Jennings
di gang. Anak itu berdiri di situ dengan sampul surat di
tangan. Keningnya berkerut.
Urusan mengeposkan surat di Sekolah Linbury Court
sudah diketahui oleh semua yang berkepentingan. Apabila
sudah dibubuhi prangko, surat-surat diletakkan di keranjang
kawat yang terdapat di serambi depan. Setiap hari, pukul
lima, Robinson mengambil surat-surat yang ditaruh di situ
dan membawanya ke kantor pos bantu di desa, pada
waktunya untuk jemputan sore hari. Itu merupakan cara
yang normal, dan sudah jelas bahwa cara itulah yang
dimaksudkan oleh Pak Wilkins. Tapi kadang-kadang,
apabila keranjang surat sudah diambil isinya oleh Robinson,
bisa juga terjadi ada guru yang menyuruh salah seorang
anak pergi langsung ke kantor pos untuk mengeposkan
surat. Pak Wilkins tadi mengatakan bahwa ia ingin surat itu
diposkan, kata Jennings pada dirinya sendiri, dan dia juga
mengatakan bahwa itu harus dilakukan dengan segera...
Yah, kenapa tidak" Dengan berlagak salah menangkap
maksud guru itu ia bisa mengeposkannya ke kantor pos,
dan sekaligus memanfaatkan peluang itu untuk membeli
prangko-prangko baru yang diinginkannya.
Kening Jennings semakin berkerut. Pasti nanti akan
terjadi keributan jika ia sampai ketahuan - meski Pak
Wilkins secara tidak sadar memberikan alasan padanya.
Tapi cukup kuatkah alasan itu untuk menyelamatkan
dirinya jika nanti ternyata perlu" Itulah yang sangat
menentukan! Jennings melirik jam tangannya. Kantor pos akan dibuka
lima menit lagi, dan lonceng memanggil anak-anak
berkumpul, sepuluh menit lagi. Jika ia tidak hadir di aula,
ada kemungkinan ia diduga ada di atas, antre di depan
klinik Matron untuk... untuk... yah, untuk berbagai macam
keperluan, mulai dari obat batuk sampai tali sepatu yang
baru, sebagai penjelasan kenapa seorang anak bisa harus
mendatangi Matron pada saat berkumpul sebelum sekolah
dimulai. Ulangan akan dimulai pukul sembilan, apabila anak-
anak sudah masuk ke kelas dan diabsen. Jika sampai saat
itu ia belum juga kembali, ketidakhadirannya pasti akan
ketahuan...Dan ia takkan mungkin menempuh perjalanan
pergi-pulang ke kantor pos, ditambah lagi membeli prangko-
prangko yang diingini dalam batas waktu yang tersedia. Itu
takkan mungkin, biarpun ia menempuh perjalanan itu
dengan lari secepat mungkin.
Jadi gagasan itu takkan mungkin bisa dilakukan!
Kecuali... kecuali... mata Jennings bersinar-sinar, karena ia
mendapat akal. Kenapa harus berjalan kaki, apabila sepeda
Pettigrew ada di tempat penyimpanan yang letaknya tidak
jauh dari pintu samping! Kalau diingat bahwa anak itu telah
mengecewakan mereka pada saat bantuannya benar-benar
diharapkan, kata Jennings menimbang, sudah selayaknya
jika sebagai gantinya Pettigrew memberikan sumbangannya
demi tugas yang harus dilakukannya saat itu.
Dengan menggunakan sepeda anak itu, Jennings bisa
menghemat sepuluh menit dari waktu perjalanan. Minta
izin untuk meminjamnya bisa dilakukan nanti, jika ia sudah
kembali. Saat ini ia tidak sempat mencari-cari anak itu,
karena waktunya sudah terlalu mendesak.
Jennings membulatkan tekadnya: ia akan berangkat
dengan segera, keluar dan nanti masuk lagi lewat pintu
gerbang di ujung lapangan yang jarang dilewati orang. Jika
ia mengambil jalan itu, kecil kemungkinannya ada guru
yang melihatnya. Lagi pula jalan menuju ke situ tersamar
oleh semak-semak, hampir sepanjang lintasannya.
Perlukah ia memberi tahu Darbi tentang niatnya itu"
Tidak, tidak ada waktu lagi! Jennings menyelipkan sampul
surat Pak Wilkins ke saku jasnya, sambil bergegas-gegas
keluar lewat pintu samping. Sambil berjalan, pikirannya
sibuk menyusun jadwal operasi:
8.45 Bersepeda ke kantor pos, lewat gerbang belakang.
8.50 Tiba di kantor pos. Mengeposkan surat dan
membeli prangko-prangko baru itu, Pergi lagi dari kantor
pos. 8.55 Kembali ke sekolah. 9.00 Menggabungkan diri dengan barisan anak-anak
Kelas Tiga yang saat itu keluar dari aula.
Kedengarannya begitu gampang. Takkan mungkin
meleset, dengan adanya rencana hebat seperti itu dalam
otaknya. Pettigrew menaruh sepedanya di rak sepeda dekat pintu. Jennings mendorongnya ke luar, lalu menuntunnya sampai melewati jalan masuk ke pekarangan dapur. Ia melihat Robinson di gudang peralatan, sedang sibuk melakukan sesuatu dengan segulung jaring kawat. Orang itu begitu sibuk bekerja, sehingga tidak melihat Jennings sewaktu anak itu lewat agak jauh di depan matanya. Setelah memandang berkeliling dengan hati-hati untuk terakhir kali, Jennings
lari sambil masih mendorong sepeda, lalu naik ke sadel dan
mengayuh kendaraan beroda dua itu menyusuri jalan yang
berdebu dengan sekuat tenaga.
Tidak ada siapa-siapa di kJinik ketika Darbishire tiba di
situ. Matanya langsung melihat sejumlah kecil alat
termometer yang ditaruh dalam gelas yang terletak di atas
meja layan beroda.

Apalagi Jennings Karya Anthony Buckeridge di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Kalau Matron ada saat itu, ia pasti akan mengukur panas
badannya, kata Darbishire dalam hati. Dan jika ia terserang
sakit kepala, mestinya ia juga harus merasa demam, karena
kalau tidak Matron pasti menyangka bahwa ia hanya
hendak mangkir dari sekolah. Panaskah badannya"
Darbishire tidak tahu pasti, namun jika tidak, Matron pasti
akan menyuruhnya kembali ke kelas. Jadi sebaiknya ia
harus mengusahakan agar suhu badannya tinggi.
Diambilnya salah satu termometer dari gelas, lalu ia
pergi ke bak tempat cuci tangan. Dibukanya keran air
panas, dan disodorkannya ujung termometer selama
beberapa detik di bawah air panas yang mengucur,
Dilihatnya lajur air raksa - atau mercury - yang ada dalam
tabung termometer itu bergerak naik. Disodorkannya
pengukur suhu badan itu selama beberapa saat lagi di
bawah air panas, supaya aman. Kemudian didengarnya
langkah orang menghampiri pintu. Karena itu ia lantas
bergegas ke seberang ruangan lalu duduk di situ.
Sewaktu Matron masuk beberapa saat kemudian,
dijumpainya pasiennya duduk dengan termometer terselip
ke mulut, sementara wajah anak itu menampakkan bahwa
ia sangat menderita. "Halo, Darbishire. Kenapa kau?" sapa Matron.
"Saya sakit kepala, Matron," jawab Darbishire menggumam. "Kasihan! Cuma itu saja?"
"Yah, saya... eh... saya rasanya juga agak demam."
"Kita lihat saja sebentar." Matron mengambil termometer dari mulut anak itu lalu mengamatinya.
Kemudian ia mengatakan, "Hm! Aku ragu, apakah kau
perlu dikirim ke dokter hewan, atau langsung ke tukang
kubur." Pasiennya meneguk ludah karena kaget. "Apa maksud
Anda, Matron?" tanyanya tergagap.
"Yah, menurutku naga yang napasnya menyemburkan
api dan biasa makan batu belerang mungkin bisa darahnya
sepanas ini; tapi tidak ada manusia dengan suhu badan
empat puluh tiga derajat masih bisa hidup lama lagi."
Darbishire menunduk, memandangi ujung sepatunya.
Empat puluh tiga! Hancur rencananya, karena perbuatannya sendiri! "Yah... saya... eh...," katanya dengan
bingung. "Jangan repot-repot berusaha menjelaskan. Aku sudah
cukup sering menghadapi siasat ini." Matron menunjuk ke
bak cuci tangan di seberang ruangan. "Lagi pula, kau tadi
lupa menutup keran air panas setelah kau selesai
memanaskan termometer ini."
Darbishire merasa sangat malu. Ia menggumam, "Ya,
Matron. Maaf, Matron. Saya sebenarnya sungguh-sungguh
menderita sakit kepala tapi saya tidak bisa membuktikannya, jadi saya lantas..."
"Kau tidak perlu membuktikannya," kata Matron
memotong. "Aku bisa melihat bahwa mukamu agak pucat
pagi ini, dan aku yang paling bisa menentukan apa yang
harus dilakukan mengenainya."
Matron mengukur suhu badan Darbishire sekali lagi,
yang ternyata normal. Anak itu diberinya obat sakit kepala,
lalu disuruhnya duduk diam-diam di ruang sakit sampai
saat istirahat pagi. "Menurut Anda, tidak perlukah saya diperiksa dokter
juga, Matron?" tanya Darbishire berharap. "Dia kan datang
setiap Senin pagi?" "Betul, tapi sakitmu tidak seberapa, jadi tidak perlu kita
membuang-buang waktu Dr. Furnival," kata Matron.
Darbishire nampak merasa tidak enak. "Saya tahu,
Matron, cuma soalnya apabila saya kembali ke kelas nanti,
teman-teman mungkin beranggapan bahwa saya cuma
berpura-pura saja, jika sakit saya ini tidak cukup serius
untuk diperiksa dokter, karena kami ada ulangan
matematika pagi ini dan..."
Darbishire tidak bisa melanjutkan alasannya, karena
terpotong oleh tawa Matron. "Jangan keterlaluan menguji
kesabaranku, karena nanti aku bisa berubah pikiran dan
menyuruhmu kembali ke kelas pada saat Pak Wilkins mulai
aktif." Darbishire memaksa diri tersenyum lesu, lalu pergi ke
ruang sakit. Ia berjalan dengan langkah tabah seseorang
yang sakit parah tapi bertekad hendak mempertahankannya
nyawa, dengan bantuan sedikit obat sakit kepala.
0o-dwkz-ray-o0 11. BERBAGAI KEJADIAN BERUNTUN
PUKUL sembilan kurang sepuluh menit, ketika lonceng
berbunyi memanggil anak-anak berkumpul dan Darbishire
sedang duduk tenang di ruang sakit, Jennings sedang
mengayuh sepeda dengan cepat menyusuri jalan di desa. Ia
menghentikan kendaraan roda duanya itu di depan toko
yang bernama Linbury General Stores dan merangkap
sebagai kantor pos bantu. Sepeda Pettigrew disandarkannya
ke dinding toko itu. Sejauh itu, ia masih sesuai dengan jadwal yang diaturnya
tadi; dan asal saja tidak ada antrean di kantor pos, ia
berharap akan sudah bisa berangkat lagi pulang ke sekolah
dalam waktu beberapa menit.
Jennings melangkah ke pintu toko. Tiba-tiba ia terhenti,
karena saat itu dokter setempat yang masih muda orangnya
muncul dari toko dan masuk ke dalam mobilnya.
Jennings berpaling dengan cepat, dan pura-pura sedang
asyik mengamati barang-barang yang dipajang di balik kaca
jendela. Dr. Furnival mempunyai tempat praktek di desa
itu. Selain itu ia juga dokter Sekolah Linbury Court.
Sebenarnya mungkin tidak ada risikonya untuk mengucapkan selamat pagi kepadanya, karena dokter itu
hanya samar-samar saja mengenal aturan sehari-hari di
sekolah. Lagi pula, jika ia sampai menanyakan kenapa
Jennings ada di situ, kan ada surat Pak Wilkins di saku
jasnya sebagai alasan. Tapi di pihak lain, mendingan jangan menarik perhatian
dokter itu kepadanya. Dr. Furnival akan datang ke sekolah
pagi itu seperti biasanya setiap hari Senin, dan ada
kemungkinan dia nanti mengobrol sebentar dengan Kepala
Sekolah. Apabila ia secara sambil lalu mengatakan melihat
salah seorang murid di desa, itu akan bisa memberi suatu
petunjuk yang sebaiknya jangan sampai diketahui.
Ternyata bahaya itu dengan cepat berlalu, karena Dr.
Furnival langsung menjalankan mobilnya tanpa sekali pun
menoleh ke belakang. Dan begitu dia sudah pergi, Jennings
pun bergegas masuk ke dalam toko.
Kantor pos bantu terletak di ujung seberang. Untuk
sampai di situ harus melewati dulu tempat penjualan bahan-
bahan perbekalan dan makanan dalam kaleng yang ada di
sebelah kiri, lalu jebakan tikus, plester untuk menghilangkan mata ikan di kaki, serta alat pengocok telur
yang terdapat di sisi yang satu lagi.
Setiba di tempat yang merupakan kantor pos bantu,
ternyata sudah ada sekitar enam orang yang antre untuk
membeli prangko terbitan baru. Tapi karena antrean itu
kelihatannya bergerak maju dengan cepat, Jennings tidak
begitu merasa khawatir. Ia menggabungkan diri di belakang
barisan orang-orang itu, sambil merogoh saku untuk
mengambil uangnya. Ia terkejut! Sakunya kosong! Ia tadi lupa meminta
kembali uang itu dari Pettigrew yang tidak bisa diandalkan
itu! Selama beberapa detik Jennings berdiri di ujung belakang
antrean, sambil mengumpat-umpat dalam hati, menyalahkan dirinya sendiri. Dia rupanya sudah sinting,
katanya dalam hati! Otaknya perlu diperiksa! Sebagai
perencana yang hebat, ia ternyata sama tidak bergunanya
seperti tongkat hoki untuk orang kidal! Bagaimana
mungkin, ia sampai bisa melupakan hal terpenting dalam
rencananya itu" Ia mencari-cari dalam saku-sakunya yang lain, meski
sebelumnya pun ia sudah tahu bahwa ia takkan
menemukan uang di situ. Tapi di antara bulu-bulu kelabu
yang terlepas dari kain jas serta kertas-kertas bekas
pembungkus permen ditemukannya prangko yang sudah
renyuk. Prangko itu disimpannya untuk lain kali, jika ia
menulis surat lagi kepada Bibi Angela. Prangko itu
dilicinkannya dengan jari, dibersihkannya dari bulu-bulu
yang melekat, lalu ditelitinya dengan saksama. Tidak
banyak lagi lem yang ada di sisi belakangnya, tapi mungkin
masih cukup untuk membuatnya melekat ke sampul. Lagi
pula, jelas bahwa yang ada di tangannya itu prangko asli
kelas satu yang belum dipakai. Mungkinkah petugas kantor
pos nanti mau menukarnya dengan sebuah prangko terbitan
baru yang sama nilainya" Yah, sebaiknya dicoba saja!
Sementara itu orang antre langsung di depannya sudah
pergi. Kini Jennings yang paling depan. Dengan agak malu-
malu diletakkannya prangkonya di atas meja layan sambil
mengatakan, "Selamat pagi. Sudikah Anda menukar ini
dengan prangko kelas satu dari seri Penemuan-penemuan
Ilmiah Abad Kedua Puluh?"
"Kau bercanda, ya?" kata wanita muda yang melayani.
"Tidak, saya bersungguh-sungguh! Soalnya, uang saya
tertinggal di rumah--sebetulnya bukan tertinggal, tapi saya
menyerahkannya pada seseorang yang sekarang masih
memegang uang itu, karena saya lupa memintanya kembali.
Dan prangko ini masih laku, karena belum pernah dipakai."
Wanita muda itu menyodorkan prangko itu kembali ke
arah Jennings. "Maaf, tapi tidak bisa."
"Aduh, tapi mestinya..." Jennings berusaha mendesak.
"Ini penting sekali. Sebetulnya saya ingin membeli dua
prangko terbitan baru itu, satu untuk saya sendiri dan satu
lagi untuk seorang teman, tapi apabila kami hanya bisa
mendapat satu saja, itu sudah lebih baik dari pada tidak
mendapat apa-apa karena..."
Orang-orang yang antre di belakangnya mulai gelisah,
dan wanita muda itu berkata, "Kau cuma buang-buang
waktu saja, Nak, dan aku ini sibuk. Masih ada selusin orang
yang menunggu dilayani - orang-orang yang tidak lupa
membawa uang." Akhirnya Jennings menyerah. Dipungutnya prangkonya,
lalu ia berbalik untuk pergi ke luar.
Sejak kedatangannya tadi antrean sudah menjadi
bertambah panjang. Ia melihat Bu Thorpe berdiri di ujung
belakang antrean itu, menunggu saat dilayani.
"Selamat pagi! Selamat pagi," katanya dengan suara
seperti kicauan burung murai menyambut kedatangan pagi.
"Kabar bagus tentang babi itu, ya" Dia senang sekali di East
Brinkington. Pak Nutt memperlakukannya sebagai anggota
keluarga." Jennings tersenyum, menggumamkan salam dengan
sopan dan sudah hendak lewat, tapi saat itu Bu Thorpe
rupanya sedang ingin mengobrol. "Aku tidak mengerti
kenapa kantor pos begini penuh pada saat sepagi ini,"
kicaunya. "Biasanya jika aku datang pada waktu seperti
sekarang ini, tidak ada siapa-siapa di sini."
"Soalnya karena Penemuan-penemuan Ilmiah A1Jad
Kedua Puluh," kata Jennings memberi tahu.
"Penemuan ilmiah apa dari abad kedua puluh" Toko itu
kan sudah cukup lengkap, ada mesin penyayat daging asap,
ada lemari es. Masih kurang apa lagi" Jangan-jangan nanti
rekening kita dibuat dengan komputer!"
Jennings menjelaskan dengan sabar. "Itu adalah prangko-
prangko terbitan baru yang baru mulai dijual hari ini.
Orang-orang yang di depan itu membelinya, agar bisa diberi
cap pos dengan tanggal hari ini."
"Astaga, macam-macam saja!" Ada satu persamaan
antara Bu Thorpe dan Pettigrew si tampang bintik: kedua-
duanya tidak berminat mengoleksi prangko. "Merepotkan
saja, harus antre seperti begini. Tapi bagaimana coba, jika
otomat penjual prangko kebetulan sedang kosong?" kata
wanita itu menggerutu. "Dan sementara ini aku pasti akan
terlambat datang di Kelompok Bermain, padahal kini
giliranku untuk mengeluarkan perlengkapan; tapi surat ini


Apalagi Jennings Karya Anthony Buckeridge di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

harus kuposkan sekarang, agar masih bisa ikut dengan
jemputan pagi." Ia melambai-lambaikan sepucuk sampul
surat untuk menunjukkan. '
Itu merupakan peluang yang baik, dan Jennings langsung
menyambarnya. "Anda ingin membeli prangko" Prangko
yang biasa?" "Ya, tentu saja. Aku tidak peduli biasa atau tidak
prangko itu, pokoknya aku tidak perlu antre sampai
menjelang tengah hari untuk membelinya."
Jennings menyodorkan prangkonya yang renyuk. "Lem
di sisi belakangnya tinggal sedikit, tapi pasti mau menempel
jika Anda cukup kuat menekannya."
Bu Thorpe senang sekali mendapat tawaran itu.
Diberikannya uang yang sudah disiapkannya di tangan,
diambilnya prangko yang disodorkan Jennings, lalu ia
bergegas mengeposkan suratnya.
Jennings ikut berbaris lagi dalam antrean, dan lima menit
kemudian ia sudah berhadapan kembali dengan wanita
muda yang melayani penjualan prangko.
Wanita itu heran melihat Jennings muncul lagi di
depannya. "Kau lagi!" Menang lotre, atau habis merampok
bank?" tanya wanita itu bercanda, sementara tangannya
mengambil keping-keping mata uang yang diserahkan dan
menyodorkan prangko seri baru pada Jennings.
Coba uangnya cukup untuk membeli dua buah, katanya
dalam hati sambil meninggalkan meja layan! Bu Thorpe
kemungkinan akan dengan senang hati meminjamkan uang
yang diperlukan. Tapi ketika teringat akan kemungkinan
itu, sudah terlambat. Jadi bagaimana dengan Darbishire"
Kan tidak bisa satu prangko dimasukkan ke dalam dua
buah album! Apakah sebaiknya diundi saja, siapa yang
akan memperolehnya" Saat itu terlihat olehnya jam yang terpasang di dinding
kantor pos. Seketika itu juga ia melupakan segala-galanya,
kecuali bahwa ia harus kembali ke sekolah tanpa menyia-
nyiakan waktu satu detik pun.
Saat itu sudah pukul sembilan lewat hampir lima menit.
Saat menentukan sudah lewat, dan ia masih berada
setengah mil dari sekolah. Jennings bergegas keluar dari
toko, memasukkan surat Pak Wilkins ke dalam kotak surat,
menyambar sepeda, dan mengayuhnya secepat-cepatnya
menyusuri jalan desa. Mereka kini pasti sudah ada di kelas semuanya, katanya
mengingatkan diri sendiri, sementara ia melesat lewat di
depan pekarangan rumah pendeta. Pak Wilkins pasti sudah
mengabsen murid-murid dan mengetahui siapa yang tidak
hadir; jadi pasti nanti akan terjadi keributan lagi.
Pettigrew brengsek! kata Jennings dalam hati, sementara
pedal-pedal sepeda berputar semakin cepat. Dan aku juga
goblok, tambahnya dalam hati, ketika teringat bahwa
uangnya masih ada di saku anak itu pada saat ia sangat
membutuhkannya tadi. Ternyata Pak Wilkins tidak sedang mengabsen murid-
murid, ketika Jennings berada dalam perjalanan, pulang.
Guru itu masih berdiri di ambang ruang Kelas Tiga,
mendengarkan laporan Pettigrew yang mengeluh bahwa
sepedanya dicuri. "Dicuri! Omong kosong, mana mungkin sepedamu itu
dicuri?" kata Pak Wilkins dengan nada tidak percaya.
"Mungkin kau tadi menaruhnya di tempat lain."
"Tidak, Pak, sungguh!" Terdengar jelas kegugupan dalam
suara anak itu. "Saya menaruhnya di rak dalam sepeda
sebelum saya pergi kelapangan, bermain; lalu sewaktu saya
kembali untuk mengambil buku-buku saya dari tas, tahu-
tahu sepeda itu sudah tidak ada lagi di situ."
"Betul, Pak. Saya saksinya," kata Marshall menimbrung.
Dia juga anak yang tak tinggal di asrama, yang tiba dengan
sepedanya di sekolah, tidak lama setelah Pettigrew datang.
"Ketika saya tiba tadi, Pettigrew sedang bercakap-cakap
dengan Jennings dan Darbishire di luar tempat penyimpanan sepeda. Dan saat itu sepedanya masih ada di
dalam. Saya tahu betul, karena pedal sepeda saya
tersangkut ke ruji-ruji sepedanya sewaktu saya hendak
lewat." Pak Wilkins gelisah. Ia merasa tidak sabar, karena ingin
mulai memberikan soal-soal ulangan matematika. "Kau
datang saja padaku nanti, pada saat istirahat. Akan kuminta
beberapa orang anak membantumu mencarinya," katanya.
"Wah, Pak!" Pettigrew sudah nyaris menangis karena
bingung. "Saat itu pasti sudah terlambat. Pencurinya pasti
sudah jauh." "Tapi pencuri itu tidak ada, anak konyol! Sepedamu itu
cuma dipindahkan saja tempatnya oleh seseorang.
Bagaimana bisa orang mencurinya dari dalam tempat
penyimpanan tanpa terlihat?"
Anak-anak Kelas Tiga, yang duduk di bangku masing-
masing dengan penuh perhatian, bergegas-gegas mengajukan berbagai teori mengenai apa yang mungkin
terjadi dengan sepeda itu.
"Bisa saja ada orang menyelinap masuk sementara kita
semua sedang berkumpul di aula, Pak," kata Atkinson.
"Ya, betul, Pak. Bisa saja orang itu pura-pura berjualan
sikat atau hendak melihat meteran gas, atau salah satu
siasat seperti itu," kata Martin-Jones, yang menyukai
misteri yang serumit mungkin. "Orang itu menyamar
dengan memakai jenggot palsu dan berkacamata gelap.
Atau bisa juga dengan topi tua yang pinggirannya lebar dan
terkulai menutupi mata, pura-pura hendak menjual tali
sepatu." "Dan ada mobil yang laju larinya, menunggu di luar,
untuk dipakainya minggat," kata Rumbelow.
"Untuk apa mobil itu, kan ada sepeda," kata Bromwich
mengetengahkan pendapatnya.
"Baiklah... kalau begitu sepeda yang laju larinya," kata
Rumbelow. "Dan polisi dibuatnya melacak jejak yang
keliru, dengan cara mencampakkan topi tuanya..."
"Diam!" bentak Pak Wilkins. Sudah cukup banyak yang
perlu dipikirkannya, tanpa harus mendengarkan teori-teori
luar biasa tentang tukang periksa meteran gas dengan topi
berpinggiran lebar yang naik sepeda yang laju larinya, serta
tali sepatu ditarik ke bawah sehingga menutupi mata -
pokoknya entah apa saja yang diocehkan anak-anak konyol
itu. Menurut pendapatnya, kecil sekali kemungkinannya
sepeda itu dicuri orang. Tapi jika nanti terbukti bahwa
memang ada yang mencurinya, itu perlu dengan segera
dilaporkan ke polisi. Pertama-tama ia harus memastikan
fakta-faktanya. Ia berkata pada anak-anak yang duduk di
kelas, "Kalian teruskan menyiapkan diri untuk ulangan
matematika, sampai aku kembali nanti. Ayo, ikut aku,
Pettigrew," katanya sambil berjalan dengan cepat meninggalkan kelas. "Tunjukkan di mana tepatnya
sepedamu tadi berada, ketika terakhir kalinya kau
melihatnya." Saat itu sudah pukul sembilan lewat dua belas menit.
Ketika guru dan murid itu sampai di lantai dua dan
melintasi serambi di situ, mereka berpapasan dengan
Jennings yang bergegas-gegas ke arah yang berlawanan.
Secara otomatis Pak Wilkins berkata, "Ayo cepat, Jennings!
Kau terlambat!" "Ya, Pak! Saya sedang menuju ke sana, Pak." Pak
Wilkins dengan segera melupakan perjumpaan itu, karena
ada hal-hal lain yang sedang dipikirkan. Dengan langkah-
langkah cepat ia mendului pergi ke luar lewat pintu
samping, dan beberapa saat kemudian mereka sampai di
tempat penyimpanan sepeda, dan... yang pertama-tama
mereka lihat adalah sepeda Pettigrew, ditaruh rapi di rak
sepeda. Pemilik sepeda itu gembira melihatnya. "Wah, Pak,
lihatlah, Pak! Sepeda saya sudah kembali. Hebat!" Ia
menandak-nandak untuk menunjukkan kelegaan dan
kegembiraannya. Tapi Pak Wilkins tidak ikut bergembira.
"Inikah sepeda yang tadi kaulaporkan hilang?" tanya
guru itu dengan nada curiga.
"Betul, Pak. Ini sepeda saya." Pettigrew menepuk-nepuk
sadel, untuk membuktikan bahwa dialah pemiliknya. "Saya
tidak mengerti, apa sebetulnya yang terjadi tadi. Saya tahu
betul tadi tidak ada di sini, sewaktu saya melihat kemari
setelah acara di aula selesai."
"Jangan macam-macam. Sepeda ini pasti ada di sini
sejak tadi. Sepeda kan tidak bisa berjalan sendiri."
"Ya, saya juga tahu, Pak. Tapi saya tidak bisa
menjelaskan kenapa tadi tidak ada. Kalau Anda ingin tahu
pendapat saya, ini merupakan misteri besar, Pak."
Pak Wilkins tidak ingin membuang-buang waktu di
tempat penyimpanan sepeda untuk menyelidiki bermacam-
macam misteri, sementara anak-anak Kelas Tiga, karena
tidak ada guru yang mengawasi, pasti saat itu asyik
mengobrol sambil melempar-lempar pelor kertas ke segala
arah. "Ayo naik ke atas!" perintahnya dengan ketus. "Nanti
kita bereskan soal ini, jika sudah sampai di kelas."
Oodwkz-rayoO 12. IKTIKAD BAlK JENNINGS sudah duduk dengan tenang di bangkunya
ketika Pak Wilkins kembali ke kelas bersama Pettigrew.
Saat itu sudah pukul sembilan lewat lima belas menit.
Jennings merasa lega ketika mendengar bahwa Pak Wilkins
belum mengabsen mereka, karena itu berarti ia tidak perlu
mengemukakan alasan yang sudah disiapkan untuk
menjelaskan ketidakhadirannya.
Tapi meski Jennings duduk dengan tenang, tidak begitu
dengan teman-temannya yang lain, ketika guru memasuki
ruangan, didengarnya suara anak-anak bercakap-cakap
disertai bunyi kaki-kaki yang bergegas kembali ke tempat
duduk masing-masing. Anak-anak Kelas Tiga tadi
menikmati waktu luang yang timbul secara tiba-tiba itu.
Mereka merasa sayang, ternyata waktu luang itu hanya
sebentar saja. "Anda berhasil menangkap pencurinya, Pak?" tanya
Atkinson sambil cekikikan.
"Itu tidak mungkin, karena sepedanya ada di situ sejak
tadi," tukas Pak Wilkins.
"Wah, hebat, Pak! Meski begitu ada juga gunanya pergi
ke bawah untuk memeriksa, kan?"
Anggukan dan senyuman setuju yang nampak pada
wajah anak-anak itu menunjukkan bahwa kesibukan
membuang-buang waktu seperti apa pun mereka tanggapi
dengan senang, asal bisa menyebabkan mundurnya
pelajaran pagi itu. Pak Wilkins merengut. "Ini bukan urusan
yang lucu. Berkat kegoblokan luar biasa dari Pettigrew, kita
kehilangan waktu dua puluh menit dari ulangan
matematika kita." "Hebat kau, Petters," kata Martin-Jones berbisik pelan-
tapi tidak cukup pelan, sehingga sampai di telinga Pak
Wilkins yang memang tajam pendengarannya.
Dan itu berbahaya! "Baiklah! Karena kelas ini nampaknya menyetujui siasat
Pettigrew untuk mengulur-ulur waktu dengan jalan
memancing aku datang ke tempat penyimpanan sepeda
dengan alasan yang dibuat-buat, ulangan matematika itu
akan kita adakan siang ini, sebagai ganti bermain cricket."
Pettigrew yang semula dianggap pahlawan, tiba-tiba
menjadi orang yang jahat dalam kejadian itu.
"Pettigrew! Kau brengsek, Pettigrew," ejek anak-anak
dengan bisikan pelan. "Bayangkan, mempermainkan Pak
Wilkins yang baik hati! ...Sekarang kami yang harus
menderita! ...Kami tidak ingin tidak bisa main cricket nanti
hanya karena perbuatanmu."
Pettigrew merasa terpukul oleh ketidakadilan serangan
teman-temannya sekelas. "Tapi, Pak, itu tadi bukan salah
saya, sungguh!" katanya memprotes. "Saya benar-benar
mengira sepeda saya dicuri orang."
"Omong kosong," kata Pak Wilkins. "Semuanya tadi itu
merupakan persekongkolan yang disengaja."
"Tidak, Pak. Anda tidak mengerti maksud saya, saya
yang tidak mengerti bagaimana itu bisa terjadi. Benar-benar
misterius karena..." Pettigrew tidak bisa meneruskan kata-
katanya. Jennings, yang duduk di barisan belakang, saat itu
memutuskan bahwa demi keadilan penyebab misteri itu
perlu dibeberkan. Tidak adil rasanya membiarkan Pettigrew
menanggung akibat dari sesuatu yang bukan merupakan
kesalahannya, meskipun dia - J.C.T. Jennings - nanti akan
terpaksa menghadapi berbagai pertanyaan yang memojokkan dan harus dijawab. Nampaknya alasan yang
sudah disiapkan tapi sebenarnya lemah itu harus
dikemukakannya juga. Ia mengacungkan tangannya lalu berkata, "Pak, maaf,
saya tadi yang mengeluarkan sepeda Pettigrew sebelum
kami harus berkumpul di aula, Pak. Dan saya yang
kemudian mengembalikannya ke tempat semula."
Pak Wilkins langsung marah. "Kenapa itu kau lakukan"
Hendak mempermainkan Pettigrew, ya?"


Apalagi Jennings Karya Anthony Buckeridge di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tidak, Pak, saya meminjamnya untuk pergi ke desa."
"Kau berbuat apa?" Guru itu memandang Jennings
dengan heran bercampur bingung. "Dan bolehkah aku
bertanya siapa yang-demi geledek-memberimu izin untuk
pergi bersepeda ke desa pada saat berkumpul?"
"Anda, Pak." "Aku yang mengizinkan" Jangan macam-macam, ya. Itu
tidak pernah kulakukan. Jika ini merupakan suatu siasat
lagi untuk..." "Tapi sungguh, Pak, Anda tadi yang menyuruh," kata
Jennings memotong. "Anda menyerahkan sepucuk surat
pada saya dan mengatakan bahwa saya harus dengan segera
mengeposkannya. Saya cuma meminjam sepeda Pettigrew
agar bisa kembali pada waktunya untuk mengikuti ulangan
matematika, Pak." Pak Wilkins menepuk keningnya. "Tapi kau... kau, anak
konyol, Jennings, maksudku tadi bukan menyuruhmu
mengeposkannya di kantor pos! Aku memintamu menaruhnya ke dalam keranjang di serambi."
Di wajah Jennings nampak reaksi yang menunjukkan
bahwa dengan pelan ia mulai mengerti. "0, begitu maksud
Anda tadi rupanya, Pak! Ya, sekarang saya baru mengerti.
Dasar saya ini yang goblok!" Ia menggeleng-geleng,
menyesali dirinya sendiri. "Tapi walau begitu, Anda
mengatakan tadi bahwa Anda ingin surat itu diposkan
dengan segera. Urusan penting, kata Anda. Jika saya tidak
membawanya ke kantor pos, pasti sekarang masih ada di
dalam keranjang sampai pukul lima nanti sore. Ya kan,
Pak?" Suasana sunyi sesaat, sementara Pak Wilkins mencernakan penjelasan itu. Pada hakikatnya ia memang
harus berterima kasih pada Jennings, karena memang
penting surat itu dikirimkan dengan segera. Sebenarnya,
jika tadi masih ada waktu sebelum saat murid-murid harus
berkumpul di aula, ia sendiri sudah berniat hendak pergi ke
kantor pos agar suratnya masih sempat dibawa oleh
jemputan pagi. Kini, berkat bakat anak itu untuk salah
menafsirkan instruksi, surat itu mestinya akan sudah sampai
di alamat yang dituju besok pagi.
Pak Wilkins tidak mengatakan apa-apa lagi, sampai
sudah selesai mengabsen murid-murid. Kemudian diletakkannya pena lalu berkata, "Setelah kupikir-pikir, aku
cenderung berpendapat bahwa aku akan bersikap tidak adil
jika seluruh kelas kuhukum karena kesalahan yang
kusangka Pettigrew-lah penyebabnya. Begitu pula tidak adil
jika Pettigrew yang dihukum, karena sekarang diakui oleh
Jennings bahwa itu merupakan kesalahannya. Dengan
pertimbangan yang sama, juga tidak adil bila Jennings
dihukum, setelah aku tahu bahwa karena salah mengerti dia
berusaha melaksanakan instruksiku dengan sepenuh
kemampuannya yang terbatas."
Sementara itu anak-anak Kelas Tiga sudah benar-benar
bingung, siapa yang bertanggung jawab untuk perbuatan
yang mana. "Apakah itu berarti kami tidak harus ulangan
matematika sebagai ganti main cricket siang ini?" tanya
Atkinson berharap. "Tepat," kata Pak Wilkins. "Karena sudah begini banyak
waktu yang hilang sekarang, ulangan itu kita undurkan
sampai minggu depan, pada waktu yang sama. Ini mestinya
akan menyebabkan semua merasa senang, kecuali,
mungkin..." Ia memandang daftar absen sebentar, dan
melihat bahwa hanya seorang murid saja yang tidak hadir.
"Kecuali, barangkali, Darbishire. Ia kemungkinannya akan
kecewa apabila mendengar, sekembalinya dari ruang sakit,
bahwa ia ternyata tidak berhasil menghindari ulangan itu."
Masih ada waktu sedikit sebelum jam pelajaran itu
berakhir. Pak Wilkins tidak ingin melihat waktu itu
terbuang begitu saja. "Karena masih ada waktu beberapa menit, mari kita
tengok Teori Pythagoras," katanya sambil mengambil kapur
tulis. "Teori itu merupakan bagian dari i1mu ukur yang
sangat berguna dan praktis. Jadi kalian salin saja diagram
yang akan kugambar ini di buku catatan kalian."
Pak Wilkins menggambar sebuah segi tiga siku-siku di
papan tulis, dan membubuhkan gambar segi empat pada
ketiga sisi segi tiga itu. Ia sedang menambahkan garis-garis
selanjutnya ketika Temple bertanya padanya, "Apa maksud
Anda dengan mengatakan itu berguna, Pak" Menurut saya,
kelihatannya seperti baling-baling kincir angin yang
mencong, Pak." Pak Wilkins menyelesaikan diagram yang digambarnya,
lalu berdiri membelakangi papan tulis. "Ini sebuah segi tiga
dengan sudut siku-siku di puncaknya," katanya menjelaskan. "Persegi empat yang kubuat pada sisi yang
berhadapan dengan sudut siku-siku ini, yaitu yang disebut
hipotenusa, sama besarnya dengan jumlah kedua segi empat
lebih kecil yang kubuat pada kedua sisi yang lain."
Temple masih saja nampak tidak mengerti.
"Tapi tadi Anda mengatakan berguna, Pak," katanya
berkeras. "Saya tidak mengerti, bisa dipakai untuk apa?"
Dengan sabar Pak Wilkins menjelaskan, "Kukatakan
berguna, Temple, karena jika kau memahami prinsip yang
mendasari teori ini, kau akan bisa-misalnya saja-membuat
batas-batas lapangan tenis atau lapangan sepak bola dan
tahu pasti bahwa sudut-sudutnya benar, tidak melenceng."
Pak Wilkins melirik arlojinya: sudah hampir saatnya bel
dibunyikan. "Ayo, semuanya menulis di bawah diagram
yang baru saja kalian buat: Teori Pythagoras..."
"Bolehkah kami membuatnya secara kasarnya saja,
Pak?" tanya Atkinson.
"Kalian jangan sekali-kali melakukan apa pun secara
kasarnya saja," kata guru itu mengecam. "Tapi kal1an boleh
menyingkat, karena waktu kita tidak banyak lagi." Dengan
cepat ia mendiktekan, "Pada sebuah segi tiga siku-siku,
kuadrat hipotenusa sama dengan jumlah kuadrat kedua sisi
yang lain." Tepat pada saat itu lonceng berbunyi.
"Semua sudah mencatatnya?" kata Pak Wilkins,
Suaranya yang lantang mengalahkah bunyi lonceng. "Besok
siang akan kuteruskan. Sementara itu kalian pelajari saja
malam ini. Coba kalian selidiki sendiri makna kalimat tadi."
Jam pelajaran berikut adalah bahasa Inggris dengan Pak
Carter. Tapi pikiran Jennings saat itu tidak terarah pada
pelajaran. la duduk sambil menatap kosong ke arah buku
yang ada di depannya, sementara pikirannya melayang
pada hal-hal yang lain. Ia sudah berhasil menghindari kemarahan Pak Wilkins
tentang kepergiannya ke desa; bahkan dengan hasil yang
lebih baik daripada yang berani diharapkannya - dan terus
terang saja, jauh lebih baik dari yang sepantasnya. Ia
merasa bernasib baik, apalagi karena ia sekarang sudah
menjadi pemilik selembar prangko yang diperolehnya
dengan segala kerepotan. Tapi bagaimana dengan
Darbishire yang menderita di ruang sakit, tanpa ada
prangko yang akan diperolehnya apabila ia turun nanti"
Kasihan Darbi, kata Jennings dalam hati. Anak itu belum
tahu bahwa temannya, meski menghadapi kemungkinan
yang begitu kecil, ternyata berhasil memperoleh selembar
prangko terbitan baru itu. Ia juga belum tahu tentang segala
keributan yang terjadi selama dia tidak ada upaya Jennings
mengejar waktu, bencana yang nyaris terjadi ketika ia
menyadari bahwa ia tidak membawa uang, sepeda yang
dikira hilang karena dicuri orang, dan akhirnya kemurahan
hati Pak Wilkins, yang tidak terlalu banyak mengajukan
pertanyaan yang sukar dijawab. Nasib mujur dan Pak
Wilkins yang baik hati! Jennings merasakan hangatnya kebahagiaan dalam
hatinya. Dengan tiba-tiba saja ia memutuskan untuk
memberikan prangko kelas satu seri Penemuan-penemuan
Ilmiah Abad Kedua Puluh itu kepada Darbishire.
Ya, kenapa tidak" pikir Jennings, yang masih terus
menikmati kebahagiaannya. Tentu saja itu berarti pengorbanan, tanda adanya iktikad baik. Darbi nanti pasti
sangat terharu. Dan berbicara mengenai kejutan, dia nanti
mungkin bahkan... "Jennings! Apa yang baru saja kukatakan?" Suara Pak
Carter menyebabkan Jennings tergugah dengan cepat dari
lamunannya. "Eh... maksud Anda baru-baru ini, atau baru saja, Pak?"
tanyanya untuk mengulur waktu.
"Tentu saja yang kumaksudkan baru saja, berapa detik
yang lalu! Kurasa sangat diharapkan dari Kelas Tiga ini -
apalagi Jennings - untuk masih ingat apa yang pernah
kukatakan pada kalian pada masa sekolah yang lalu."
Jennings nampak seperti memusatkan pikiran.
"0 ya, saya tadi mendengarkan, Pak, tapi kebetulan saya
tidak menangkap kata-kata Anda yang terakhir."
"Aku tidak heran! Selama sepuluh menit yang lalu, kau
kelihatan seperti dihipnotis." Pak Carter mendesah.
"Supaya kau tahu, Jennings, aku tadi sedang membacakan
sepotong kutipan dari sebuah syair gubahan Wordsworth
tentang tugas dan pengorbanan."
Jennings menatap Pak Carter dengan senyuman
menawan. Senyumannya itu dimaksudkan untuk mengatakan bahwa tidak banyak tentang tugas dan
pengorbanan yang bisa diajarkan oleh penyair yang
bernama Wordsworth itu kepada seseorang yang baru saja
memutuskan untuk memberikan miliknya yang terbaru dan
sangat disayanginya kepada temannya.
Darbishire turun dari ruang sakit pada saat istirahat pagi.
Sakit kepalanya sudah lenyap sama sekali. Jennings
berpapasan dengan anak itu di pintu samping, ketika
hendak menuju ke lapangan bermain.
"Halo, Darbi! Bagaimana, sudah sembuh?" Jennings
merogoh sakunya, lalu mengeluarkan sebuah kotak korek
api yang diperolehnya dari Pak Carter. "Aku punya sesuatu
untukmu di dalam kotak ini. Hadiah!"
"Untuk aku?" tanya Darbishire bernada heran. Hadiah
dari Jennings - itu merupakan kejadian langka! "Aneh, kau
mengatakan begitu, karena aku punya hadiah untukmu."
"Sungguh?" "Ya, tentu saja." Dari sakunya, Darbishire mengeluarkan
selembar kertas yang terlipat. Kertas itu disobeknya dari
buku catatan nomor telepon di klinik. "Sesuatu yang pasti
akan menyebabkan kau benar-benar senang!"
"Hadiah untukmu juga begitu," kata Jennings membalas.
"Dan kau takkan bisa menebak, apa benda itu. Biar sampai
sejuta tahun pun, kau takkan mungkin bisa menebaknya.
Kau akan mengatakan, ini mustahil! Ini bisa dibilang
semacam pengorbanan dariku."
Dengan wajah berseri-seri, Jennings dan Darbishire
saling bertukar hadiah. Kedua anak itu melihat ke dalam
tempat hadiah masing-masing dan mengeluarkan hadiah
itu. Kemudian mereka saling berpandangan, terheran-heran.
Masing-masing anak memegang sebuah prangko dari seri
Penemuan-penemuan Ilmiah Abad Kedua Puluh yang
belum dipakai. Darbishire yang lebih dulu pulih dari kekagetannya.
"Dari mana kau mendapatnya?" tanyanya.
Jennings mengibaskan tangannya. "Ceritanya panjang,
nanti sajalah kuceritakan. Dan kau, dari mana kau
mendapatkannya?" "Dari Dr. Furnival. Ketika waktu sedang duduk di ruang
sakit, ia lewat bersama Matron. Ia bertanya padaku, apakah
aku mengoleksi prangko. Ketika kuiakan, ia lantas
mengatakan bahwa ia baru saja membeli beberapa lembar
terbitan baru." "0, begitu!" Jadi untuk itulah Dr. Furnival tadi datang ke
kantor pos! "Lalu kau diberinya selembar, untuk mengobati
sakit kepalamu?" "Bukan begitu, tapi pokoknya aku diberinya selembar.
Dia baik hati, ya?" Jennings mendesah. Dia sampai begitu repot untuk
memperoleh prangkonya, sementara Darbi cuma duduk-
duduk saja di kursi empuk, dan tanpa berbuat apa-apa ia
mendapat prangko juga! Ck! Memang ada orang yang selalu saja mujur!
"Lalu kemudian kupikir sebaiknya aku berbaik hati dan
menghadiahkannya padamu, karena kau tidak punya
kesempatan untuk memperolehnya," sambung Darbishire.
"Padahal, ternyata aku tidak perlu berbuat begitu. Ini edan
sebenarnya, karena kita bisa saja tetap mempertahankan
prangko kita masing-masing, dan keadaannya masih akan


Apalagi Jennings Karya Anthony Buckeridge di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tetap sama." "Wah, tidak!" kata Jennings sambil menggeleng.
"Dengan cara begini jauh lebih baik. Jika kita berbuat
seperti yang kaukatakan itu, kan tidak ada pengorbanan-
seperti yang diocehkan oleh Wordsworth."
"Oleh siapa?" "Pak Carter tadi membacakan salah satu syairnya dalam
bahasa Inggris," kata Jennings menjelaskan.
"Aku tidak tahu Pak Carter pernah menulis syair dalam
bahasa Inggris." "Bukan syair karangan Pak Carter, goblok - karangan
Wordsworth. Dan aku juga tidak mengatakan sebuah syair
dalam bahasa Inggris."
"Tidak" Kalau begitu ia menulisnya dalam bahasa apa?"
Jennings menggertakkan gerahamnya karena kesal.
Sungguh, Darbi ini bisa goblok sekali kalau dia sedang mau
begitu! Dengan sabar dijelaskannya, "Pada jam pelajaran
bahasa Inggris, Pak Carter membacakan sebuah syair yang
dikarang oleh orang yang bernama Wordsworth itu,
mengenai tugas dan pengorbanan, dan betapa mulianya
kedua hal itu. Jadi kini kita berdua sudah saling
memberikan satu-satunya prangko terbitan baru yang kita
miliki, tanpa tahu bahwa kita akan mendapat kembali
sebuah prangko yang serupa. Itu berarti kita sama-sama
sudah melakukan semacam pengorbanan."
Darbishire mengangguk. "Wordsworth pasti senang
kalau ia mendengarnya."
"Tapi tidak sesenang aku," kata Jennings. "Ketika kau
tadi pergi ke klinik, kita sama sekali tidak punya harapan
untuk memperoleh selembar pun. Kini kita punya dua,
berkat pengorbanan kita. Yuk, kita cari sampul surat lalu
kita tuliskan alamat kita sendiri di situ dan kita lekatkan
prangko-prangko kita."
Lonceng tanda saat istirahat berakhir berbunyi,
sementara kedua anak itu masih mengacak-acak meja
masing-masing mencari bloknot mereka. Dan baru pada
saat istirahat di perpustakaan seusai makan siang, mereka
punya waktu untuk menangani urusan filateli yang penting
itu. Sampul surat Jennings dialamatkan kepada :
J.C.T. Jennings, Sekolah Linbury Court, Linbury,
Sussex, Inggris, lalu prangko terbitan baru itu dilekatkannya
di sudut kanan atas. "Rasanya aneh, mengirimkan sampul surat kosong lewat
pos," katanya. "Membuang-buang uang saja."
"Pendapatku juga begitu, kata Darbishire yang duduk di
meja sebelah. "Karenanya aku sudah menulis surat padaku
sendiri, untuk kumasukkan ke dalamnya. Tapi suratku itu
pendek saja." Ia membacakannya: Charles yang baik, mudah-mudahan
kau sehat-sehat saja. Salam dari Charles.
"Lumayan, kan, daripada sampul yang kosong," katanya.
Jennings mengangguk. "Selama tiga minggu belakangan
ini aku sebenarnya berniat hendak menulis surat kepada
Bibi Angela, tapi belum sempat. Kurasa sekarang saja surat
itu kutulis; kalau besok datang kembali, suratnya bisa
kukeluarkan dari sampul ini lalu kumasukkan ke sampul
lain, habis perkara!"
Isi surat-surat Jennings kepada bibinya yang bernama
Angela itu selalu didasarkan pada kebenaran semata-mata;
tapi pemilihan kata-katanya selalu begitu rupa sehingga
orang yang membacanya memperoleh kesan bahwa
penulisnya dengan sepenuh hati ikut membantu agar
kegiatan sekolah berjalan lebih lancar. Sekali ini suratnya
berbunyi begini: "Bibi Angela yang baik hati,
Aku sebenarnya sudah lama berniat akan menulis surat
pada Anda, tapi selama ini aku s ibuk membantu Kepala
Sekolah menanam kembali tanaman mawarnya dalam
waktu luangku, dan juga melakukan pekerjaan berguna
seperti m isalnya meratakan rumput lapangan cricket
dengan alat giling. Anak-anak kelas rendah belum lama ini piknik
beramai-ramai, tapi aku dan Darbi pergi ke sebuah pesta
untuk membantu-bantu di sana. Acaranya menarik sekali.
Kami menolong seekor babi, dan memberi Matron sebotol
kristal pengharum air mandi.
Banyak sekali yang kami lakukan untuk sekolah,
seperti misalnya kami menemukan beberapa buah bola
yang hilang lalu memberikannya kepada teman-teman,
dan semua mengatakan aku mempunyai peluang besar
untuk memenangkan lomba lari dalam karung pada Hari
Olahraga, karena sudah berpengalaman.
Darbishire pernah sakit kepala tapi sekarang dia sudah
sembuh, jadi sekian saja surat ini.
Salam manis, John." Ketika masa istirahat di perpustakaan berakhir, kedua
anak itu bergegas turun untuk menaruh sampul surat
mereka yang sudah diberi alamat dan dibubuhi prangko ke
dalam keranjang kawat di serambi. Itu merupakan langkah
terakhir dari suatu rencana yang pelaksanaannya begitu
banyak menimbulkan kesulitan.
Besok mereka akan memetik hasilnya: besok, hanya
mereka berdua saja yang memiliki prangko seri baru
Penemuan-penemuan Ilmiah Abad Kedua Puluh, yang
sudah dicap dengan tanggal yang begitu penting artinya,
yaitu 16 Juni. Pukul lima sore Pak Robinson datang untuk mengambil
surat-surat yang akan dijemput petugas pos sore itu. Kedua
sampul surat yang dilihatnya dialamatkan kepada J.C.T.
Jennings dan C.E.J. Darbishire di Sekolah Linbury Court.
Pasti ada kekeliruan di sini, kata pesuruh itu dalam hati,
karena tidak ada gunanya membuang-buang uang,
mengirim surat lewat pos, apabila yang menerimanya
berada tidak jauh dari tempat pengumpulan surat itu.
Kedua sampul surat itu disisihkannya. Kemudian,
setelah ia kembali dari desa dan kiriman pos terakhir sudah
dijemput petugas pos, kedua sampul itu diberikannya
kepada Jennings, sewaktu anak itu hendak masuk setelah
istirahat sore. "Ini, ada surat untukmu dan satu lagi untuk temanmu,"
kata orang itu. Jennings menatap kedua sampul itu dengan perasaan
kecut. Tidak ada cap posnya-dan kini sudah terlambat
untuk melakukan sesuatu mengenainya!
"Tapi ini maksudnya untuk dikoleksi!" katanya
memprotes. "Seharusnya ikut dikirim dengan pos malam
ini." "Tidak perlu diposkan, cuma buang-buang uang saja,"
kata Pak Robinson. "Selain itu, dengan cara begini kan
lebih cepat, langsung diantar."
Jennings mengibaskan tangannya dengan kesal.
"Anda tidak mengerti! Ini bukan surat-surat biasa, yang
dikirim orang pada kami. Aku dan Darbishire sendiri yang
mengirimkannya." "Kalian sendiri yang mengirim?" kata Pak Robinson
mengulangi terheran-heran. Ia sudah terbiasa menghadapi
bermacam-macam perbuatan anak-anak, tapi ini merupakan
sesuatu yang tidak bisa diterima oleh akalnya, dari segi
mana pun ia melihatnya. "Sudah cukup payah jika
menghadapi orang yang bicara pada dirinya sendiri,"
katanya. "Tapi jika ada orang yang menulis surat yang
ditujukan pada dirinya sendiri, maka sudah waktunya otak
orang itu diperiksa dokter."
Jennings sudah malas menanggapinya lagi. Diambilnya
kedua sampul surat itu, lalu pergi mencari Darbishire untuk
memberi tahu tentang kegagalan rencana mereka. Hari itu
memang aneh, katanya dalam hati: berbagai orang secara
tak terduga menggerakkan harapan mereka turun naik
seperti papan jungkat-jungkit - mula-mula Pettigrew, lalu
Pak Wilkins, Bu Thorpe, lalu Dr. Furnival - dan sekarang,
sebagai penutup, Pak Robo menjungkitkan papan harapan
mereka itu ke bawah dengan sekeras-kerasnya!
Tapi apalah yang bisa diharapkan dari orang-orang yang
tidak tahu prangko-prangko terbitan baru yang sangat
menarik, bahkan sekalipun bila prangko-prangko itu
disodorkan pada mereka di atas baki dengan hiasan
serangkaian dedaunan penghias suasana Natal di atasnya!
Oodwkz-rayoO 13.WANITA INDIAN MENUNGGANG KUDA NIL
PAK CARTER berjalan dengan santai berkeliling ruang
makan pada saat sarapan pagi hari Selasa, membagi-
bagikan surat-surat yang tiba pagi itu. Ia sampai di meja
anak-anak Kelas Tiga dan dengan penuh minat memperhatikan salah satu sampul surat yang dipisahkannya
dari tumpukan surat lain.
"Kau mujur, Jennings!" katanya, sambil menyerahkan
sampul surat itu kepada anak itu.
"Ada yang mengirimimu salah satu prangko baru yang
mulai diedarkan kemarin."
Jenning merasa sulit mempercayai nasib baiknya. Dari
tulisan tangan pada sampul itu diketahuinya bahwa
pengirimnya Bibi Angela, dan prangko yang dilekatkan di
sudut nampak jelas cap posnya, bertanggal sehari
sebelumnya. "Bibi Angela memang baik hati!" serunya
dengan gembira. Sampul surat itu diacungkan ke atas,
untuk diperlihatkan pada anak-anak yang lain. Dengan
segera terdengar suara anak-anak yang ingin melihat dari
dekat. Karenanya, sampul yang belum dibuka itu
disodorkan kepada anak yang duduk paling dekat. Tapi
Jennings tidak mengizinkan, ketika sampul itu hendak
diteruskan pada anak-anak yang duduk lebih jauh.
"Kalian semua bisa melihatnya nanti," katanya. "Aku
dan Darbi akan mengadakan pameran khusus di ruang
tempat penyimpanan perbekalan kita, sesudah makan
siang." "Tidak dipungut bayaran. Semua boleh datang, tapi
harus antre tanpa berdorong-dorong- an," kata Darbishire
menambahkan. "Sebenarnya aku benar-benar mujur, mendapat prangko
ini dengan cap bertanggal seperti yang kuinginkan," kata
Jennings kepada teman-temannya ketika sampul surat itu
dikembalikan kepadanya, agak kotor karena ada bekas-
bekas lemak daging asap dan selai. "Bibiku itu tidak tahu
apa-apa tentang prangko. Ia tidak mungkin tahu bahwa ada
prangko seri baru diterbitkan kemarin, apalagi khusus antre
untuk memperolehnya. Aku berani bertaruh, ia pergi begitu
saja ke kantor pos untuk membeli prangko, lalu prangko ini
diberikan tanpa ia memintanya."
Darbishire menggeleng-geleng sambil meminum tehnya.
"Begitulah orang dewasa," katanya dengan suara bernada
iri. "Padahal kemarin kita sampai begitu repot mengusahakan agar prangko kita dicap dengan tanggal
kemarin-tapi semuanya sia-sia. Orang dewasa selalu saja
bernasib mujur." Jennings membuka sampul itu, mengeluarkan kertas
surat dari dalamnya lalu dengan sepintas lalu membaca
isinya. "Tidak ada kabar penting," katanya mengomentari.
"Bibi cuma ingin tahu apa sebabnya aku tidak menjawab
suratnya yang terakhir. Kalau begitu sebaiknya kuposkan
saja surat yang kutulis padanya kemarin."
"Tidak bisa," kata Darbishire. "Kaukatakan padaku
kemarin, prangko untuk surat ke Bibi Angela itu kaujual
pada Bu Thorpe agar kau bisa membeli salah satu prangko
dari seri terbitan baru itu; dan kau kan tidak berniat
memakai prangko yang itu untuk surat pada bibimu, kan?"
Nampaknya surat yang sudah ditulis untuk Bibi Angela
itu takkan bisa diposkan dengan segera - sampai Jennings
teringat bahwa uangnya dan uang Darbishire untuk
membeli dua prangko kelas satu masih ada pada Pettigrew.
Jadi setelah selesai sarapan pagi ia menambahkan
catatan pada surat untuk Bibi Angela, sambil menunggu
anak yang tinggal di luar asrama.
Catatan tambahan itu berbunyi begini:
"Terima kasih, Bibi menulis surat untuk menanyakan
apa sebabnya aku tidak menjawab surat Bibi. Sebabnya
karena aku terpaksa menjual prangko untuk surat ke Bibi
yang belum dipakai kepada seseorang untuk membeli
prangko baru yang belum dipakai, tapi karena Bibi
mengirim i sebuah prangko baru maka aku akan
memperoleh uangku kembali dari seseorang dan dengannya membeli prangko lama untuk dibubuhkan pada
surat pada Bibi, jadi so alnya beres.
Bibi Angela kemudian sampai berulang-ulang membaca
catatan tambahan itu, tapi ia tetap saja tidak bisa
memahami maksud Jennings.
Sementara Jennings sibuk menulis tambahan pada surat
untuk bibinya di ruang belajar bersama, Darbishire
mendengarkan kata-kata Pak Wilkins yang menyapanya
ketika anak itu lewat di depan ruang guru yang kebetulan
terbuka pintunya. "Kau tidak mengikuti pelajaran matematika yang
kuberikan kemarin pagi, karena saat itu kau berada di ruang
sakit, kata Pak Wilkins. "Demi kepentinganmu sendiri,
kurasa sebaiknya kau mengejar ketinggalan itu dalam waktu
luangmu. Kalau tidak, kau akan tidak mengerti apa-apa jika
aku melanjutkannya di kelas siang ini."
"Baik, Pak. Saya tidak ingin sampai tidak tahu apa-apa,


Apalagi Jennings Karya Anthony Buckeridge di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pak," kata Darbishire sependapat.
"Betul! Kautanyakan saja pada salah seorang temanmu
dari Kelas Tiga untuk meminjamkan buku matematikanya,
lalu kausalin apa yang sudah kuterangkan pada mereka
tentang Teori Pythagoras. Coba kauselidiki sendiri
maknanya. Teori-teori seperti itu perlu diketahui apabila
kau hendak membuat garis-garis batas lapangan tenis atau
sepak bola!" Darbishire pergi ke ruang Kelas Tiga. Hanya Bromwich
yang ada di situ. Anak itu sedang mengacak-acak isi laci
mejanya, mencari bola cricket.
"He, Bromo, bisakah aku meminjam buku catatan
matematikamu sebentar?" tanya Darbishire. "Pak Wilkie
tadi menyuruh aku menyalin pelajaran yang dijelaskan pada
kalian kemarin." "Yang tentang membuat garis-garis pinggir lapangan
tenis itu?" Bromwich mengacak-acak isi lacinya lagi, lalu
melemparkan sebuah buku catatan ke atas meja Darbishire.
"Itu! Mudah-mudahan saja kau bisa membacanya. Aku
kemarin terpaksa mencatatnya secara singkat saja karena
lonceng sudah berbunyi."
Darbishire membuka buku catatan itu dan memperhatikan diagram yang digambar oleh Bromwich
pada salah satu halamannya. "Tidak kelihatan seperti
lapangan tenis, kalau menu rut pendapatku - dan juga tidak
mirip lapangan sepak bola. Lebih mirip tumpukan kotak-
kotak yang miring ke sana-sini. Lagi pula, untuk membuat
garis pembatas itu rasanya kita perlu kapur atau cat, kan?"
"Bukan begitu maksud Pak Wilkie. Maksudnya - yah,
terus terang saja, aku tidak mengerti apa yang
dimaksudkannya, karena saat itu aku tidak mendengarkan.
Tapi kausalin sajalah, mungkin kau nanti bisa memahami
maksudnya. Itu kalau kau mujur!"
Bromwich menemukan bola cricket yang dicari-cari lalu
bergegas keluar, meninggalkan Darbishire seorang diri di
situ, sedang berusaha memahami tulisan Bromwich yang
disingkat itu. Gambar diagramnya bisa disalin dengan cukup mudah
oleh Darbishire, tapi tulisan di bawahnya menyebabkan
anak itu bingung. Pada sebuah sk-sk, begitulah ditulis oleh Bromwich, kudr dari hipo = jumlah kudr kedua sisi yang
lain. Apa arti kalimat itu" Darbishire menggaruk-garuk
kepalanya yang tidak gatal. Kebingungan Darbishire akan
semakin bisa dimengerti, jika kita membaca tulisan
Bromwich dalam bahasa aslinya, yaitu bahasa Inggris.
Mereka kan anak-anak Inggris dan bersekolah di Inggris.
Jadi tentu saja pelajaran apa pun, termasuk matematika,
diberikan dalam bahasa Inggris. Dan beginilah yang ditulis
oleh Bromwich dalam bahasa itu:
In a rt angled , the squar on the hippo =
sum of the squars on the other 2 sides.
Darbishire bingung. Mana ada kata dalam bahasa Inggris
yang ditulis squar. Jangan-jangan yang dimaksudkannya
squad, 'regu'! Atau squat, yang berarti 'jongkok'" Squaw,
'wanita Indian'" Wanita Indian pada hipo" Dalam
pikirannya, Darbishire membayangkan istri seorang kepala
suku bangsa Indian, lengkap dengan hiasan kepala yang
terbuat dari bulu-bulu burung elang atau rajawali, dengan.
sikap gagah menunggang kuda Nil milik sukunya.
Darbishire tidak tahu bahwa hipo itu singkatan dari
hipotenusa atau sisi miring. Dikiranya itu berarti
hippopotamus, yang berarti 'kuda Nil'!
Tapi mana mungkin wanita Indian itu sama dengan
wanita-wanita Indian yang ada pada kedua sisi binatang itu!
Sama berat tubuhnya" Atau tingginya" Atau martabatnya"
Darbishire terus menatap gambar diagram itu, sambil
menduga-duga apakah yang dimaksudkan adalah kuda Nil
yang bersisi tiga. Tapi tidak gampang membayangkan
bagaimana wujud binatang seperti itu dalam kenyataannya.
Ia mencoba lagi, karena ingin menyenangkan hati Pak
Wilkins. Mungkin yang dimaksudkan adalah bahwa dia
sama beratnya" Bayangkan saja ada wanita Indian yang
sangat gemuk, yang berat tubuhnya katakan saja hampir
seratus kilogram; lalu masing-masing wanita Indian
bertubuh lebih kurus yang duduk di kedua sisi
yang lain dari punggung binatang itu, berat badannya
katakanlah sekitar lima puluh lima dan empat puluh lima
kilogram. Kalau begitu, bagaimana"
Mata Darbishire bersinar gembira. Ia berhasil menemukan jawabannya! Lima puluh lima ditambah empat
puluh lima, itu kan sama dengan seratus. Jadi wanita Indian
yang duduk di satu sisi punggung kuda Nil itu sama berat
badannya dengan jumlah berat badan kedua wanita Indian
yang berada di kedua sisi lainnya. Itu berarti ada
keseimbangan di atas punggung kuda Nil itu, dan binatang
itu takkan terguling. Geometri ternyata merupakan hal yang aneh, kata
Darbishire menarik kesimpulan. Ia tidak bisa membayangkan, bagaimana dengannya bisa diselesaikan
berbagai persoalan. Pada awalnya memang agak membingungkan, tapi siapa pun juga yang memiliki
kecerdasan di bidang matematika pasti bisa melihat apa
sebetulnya yang dimaksudkan oleh Pythagoras itu.
Disalinnya kata-kata yang ditulis oleh Bromwich di bawah
gambar diagramnya. Ia merasa yakin, Pak Wilkins akan
terkesan melihat kemajuan' yang dicapai muridnya yang ini
dalam waktu luangnya. Beberapa saat sebelum waktu bersekolah siang itu
dimulai, di ruang tempat penyimpanan kotak-kotak
perbekalan makanan kecil dilangsungkan pameran filateli
yang kecil-kecilan tapi eksklusif. Hanya ada tiga prangko
yang dipamerkan - satu sudah dibubuhi cap pos, dan dua
lagi yang belum terpakai. Prangko-prangko baru seri
Penemuan-penemuan Ilmiah Abad Kedua Puluh itu
direkatkan pada sampul-sampul kosong. Pada salah satu
sampul itu nampak cap pos yang asli, bertanggal 16 Juni.
Kelangkaan benda-benda yang dipamerkan menimbulkan
rasa iri dan kekaguman di kalangan anak-anak yang datang
melihat. "Bagaimana kalau kita saling bertukar, Jen?" kata
Venables mengusulkan. "Kau kuberi dua dari seri prangko
Italia-ku yang baru sebagai penukar prangko Penemuan-
Penemuan Ilmiah-mu yang belum dipakai."
"Yang benar saja!" tukas Jennings dengan nada
merendahkan. "Prangkoku jauh lebih tinggi nilainya dari
prangko-prangko baru Italia-mu yang tidak menarik itu."
"Yah..." Venables berpikir-pikir, mencari apa yang bisa
ditambahkan. "Begini sajalah. Sebagai tambahan, kau
kuberi dua pak permen karet."
"Permen karet" Cih, terima kasih, tapi tidak bisa."
"Tapi permen karet ini kualitas nomor satu, pembagian
di pesawat terbang," kata Venables mendesak. "Pamanku
yang memperolehnya, sewaktu ia terbang ke New York.
Para penumpang diberi permen karet agar telinga mereka
tidak terasa sakit pada saat pesawat terbang lepas landas."
Darbishire tertarik mendengarnya. "Tapi bagaimana
mereka mengeluarkannya lagi dari dalam lubang telinga
sewaktu pesawat mendarat?" katanya ingin tahu.
Penawaran Venables akhirnya ditolak. Gengsi kedua
penggemar filateli itu menjulang tinggi, sementara anak-
anak yang ingin melihat berjalan beriringan melewati
prangko-prangko yang diletakkan di ambang jendela.
Mereka masih terus saja antre setelah lonceng berbunyi
tanda waktu bersekolah siang dimulai. Pak Wilkins, yang
saat itu lewat dalam perjalanan ke kelas yang akan
diajarnya masuk untuk melihat ada apa di situ.
"Apa yang kalian lakukan di sini?" tanyanya dengan
suara membentak pada anak-anak. "Lonceng sudah
berbunyi dua menit yang lalu. Cepat, naik ke atas, ke kelas
kalian." Anak-anak bergegas meninggalkan ruangan itu. Tapi
Jennings dan Darbishire enggan pergi tanpa membawa
prangko-prangko mereka. Malang bagi mereka, Pak
Wilkins berdiri di depan jendela, sehingga mereka tidak bisa
mengambil milik mereka itu tanpa mendorongnya ke
samping. "Ayo cepat, kalian berdua. Cepat, kataku!"
"Tapi saya ingin mengambil sesuatu dulu, Pak," kata
Jennings dengan nada memohon.
"Tidak ada waktu lagi! Banyak yang harus kita kerjakan
dalam jam pelajaran sekarang ini," tukas Pak Wilkins.
"Urusanmu itu harus menunggu sampai setelah jam
pelajaran selesai." "Tapi, Pak, prangko-prangko yang dipamerkan itu
langka." "Aku percaya, tapi takkan terjadi apa-apa dengannya di
sini. Takkan ada yang mencurinya, dan prangko tidak bisa
berjalan sendiri." Protes Jennings tidak diacuhkan. Sampul-sampul
berprangko itu ditinggal menghadapi nasibnya sendiri di
ambang jendela, sementara kedua anak itu digiring supaya
cepat naik ke atas, ke ruang Kelas Tiga.
Sekali ini Darbishire menghadapi saat pelajaran
matematika dengan perasaan gembira. Ia sudah bersusah-
susah mempelajari Teori Pythagoras dalam waktu
luangnya, dan kini ingin memamerkan pengetahuannya.
Pak Wilkins menggambar sebuah segi tiga siku-siku di
papan tulis, lalu membuat tiga buah segi empat bujur
sangkar pada ketiga sisinya.
"ah... aku tahu bahwa aku tidak sempat menjelaskannya
secara lengkap pada jam pelajaran yang lalu," katanya
mengingatkan anak-anak. "Tapi kalian kusuruh menggunakan otak kalian untuk membahas soal itu dan
melihat apa hasilnya."
Dengan pandangan berharap, matanya menyusuri anak-
anak yang duduk di barisan paling depan. Diharapkannya
ada satu di antaranya yang bangkit dari tempat duduknya
lalu menjelaskan makna dalil itu.
Tapi reaksi anak-anak mengecewakannya!
Temple mengatakan, baginya diagram itu masih saja
kelihatan seperti baling-baling kincir angin yang miring,
sementara Bromwich menambahkan bahwa menurutnya itu
ada hubungannya dengan pembuatan sudut-sudut lapangan
bola yang lurus. Tapi hanya itu saja yang bisa
dikatakannya. Pak Wilkins sudah nyaris menyerah, ketika dilihatnya
ada tangan berkibar-kibar seperti serbet yang tergantung
pada tali jemuran. Tangan yang bergerak-gerak itu
dimaksudkan untuk memperoleh perhatiannya.
"Nah, Darbishire, berhasilkah kau mengolah sendiri
makna dari bujur sangkar pada hipotenusa itu?"
"Ya, saya rasa bisa, Pak, meski agak rumit juga," kata
jago matematika itu. "Sejauh yang bisa saya pahami,
soalnya bersangkutan dengan penyebaran posisi beban, agar
tidak berat sebelah."
Pak Wilkins bingung mendengar penjelasan itu.
"Teruskan," katanya dengan waswas.
"Begini, Pak! Kita katakan saja ada seorang kepala suku
Indian yang punya tiga orang istri, dan ia hendak membawa
mereka bepergian. Menurut Pythagoras, kepala suku itu
harus menempatkan istrinya yang bertubuh gemuk di
depan, sedang keduanya lagi yang kurus-kurus disuruh
duduk di dekat ekor, agar kuda Nil itu tidak terbalik."
Darbishire berhenti sebentar. Keningnya berkerut, untuk
menunjukkan bahwa ia sedang berpikir. "Tapi saya masih
tetap belum bisa mengerti, bagaimana dalil itu bisa
membantu membuat garis-garis batas lapangan tenis!"
Seisi kelas bungkam karena bingung, ketika Darbishire
sudah selesai menyampaikan penjelasannya tentang Teori
Pythagoras. Teman-temannya semua memandang ke
arahnya sambil melongo. Pak Wilkins duduk di tempatnya
dengan kedua tangan menutupi wajah. Dalam hati ia
bertanya, untuk apa sebenarnya ia repot-repot berusaha
mengajarkan matematika kepada anak-anak Kelas Tiga.
Pasti ada cara-cara yang lebih mudah untuk mencari
nafkah, pikirnya. Ia memerlukan waktu sampai akhir jam pelajaran itu


Apalagi Jennings Karya Anthony Buckeridge di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk meyakinkan Darbishire bahwa dalil itu tidak ada
urusannya dengan wanita-wanita Indian di atas punggung
hippopotamus, atau kuda Nil. Tapi akhirnya ia mengaku
bahwa ia pun mungkin akan salah mengerti kalau membaca
catatan Bromwich yang penuh dengan singkatan itu.
Meski demikian Darbishire enggan melepaskan penjelasannya mengenai teori itu, karena baginya itu masuk
akal. "Orang yang bernama Pythagoras itu, Pak, pada tahun
kapan dia hidup, Pak?" tanyanya pada Pak Wilkins, sesaat
sebelum jam pelajaran berakhir.
Pak Wilkins menaksir sebentar. "Yah, sekitar dua ribu
lima ratus tahun yang lalu, kurang lebih."
"Nah, itu dia, Pak!" kata Darbishire bernada menang.
"Pada waktu itu permainan sepak bola kan sama sekali
belum diciptakan, jadi bagaimana mungkin Pythagoras bisa
mengembangkan suatu cara untuk membuat garis-garis
batas lapangan permainan?"
Begitu waktu bersekolah siang sudah selesai, Jennings
dan Darbishire bergegas ke ruang tempat penyimpanan
kotak-kotak bekal makanan kecil untuk mengambil
prangko-prangko mereka. Tapi mereka tidak bisa masuk ke situ. Pak Robinson
sedang menyapu lantai di dalamnya, dan pesuruh sekolah
itu telah menemukan cara yang menjamin bahwa selama
dia sedang bekerja di situ tidak ada anak-anak yang datang
mengganggu, Pintu ruangan itu selalu dikuncinya dari
dalam. "Percuma, dia pasti takkan mengizinkan kita masuk. Ia
belum pernah mau membukakan pintu jika sedang bekerja
di dalam," kata Darbishire, ketika gedoran di pintu yang
dilakukan oleh Jennings tidak menghasilkan apa-apa. "Kita
terpaksa meninggalkan sampul-sampul kita di dalam
sampai sesudah kita selesai main cricket. Pak Robo pasti
akan menyimpannya untuk kita, apabila ia menemukannya.
Dia biasanya bisa diandalkan, kalau urusan seperti ini."
Dengan perasaan gelisah, Jennings dan Darbishire pergi
menyiapkan diri untuk bermain cricket; dan sewaktu
mereka masuk ke ruangan itu beberapa saat sebelum waktu
makan sore, mereka menjumpai tempat itu dalam keadaan
bersih dan rapi. Tapi ketiga sampul berprangko yang
mereka tinggalkan di ambang jendela sudah tidak ada lagi!
"Mana Pak Robo" Kita harus menemukannya dengan
segera!" seru Jennings panik.
"Dia pasti sudah berangkat ke desa, membawa surat-
surat yang harus diposkan," kata Rumbelow, yang mencari-
cari sesuatu dalam kotak perbekalannya. "Aku tadi
melihatnya pergi, sewaktu aku mewasiti permainan kita."
"Wah, gawat-tapi itu belum tentu berarti bencana!
"Kalau begitu kita datangi dia sehabis makan sore," kata
Jennings memutuskan. "Mudah-mudahan saja milik kita itu
ditaruhnya di tempat yang aman,"
Pak Robinson masih belum nampak ketika anak-anak
sudah selesai makan sore, karena setelah kembali dari desa
pesuruh itu pergi ke pondoknya untuk beristirahat. Ia baru
keluar lagi dari situ menjelang malam, pada saat anak-anak
berbondong-bondong menuju ke lapangan bermain, untuk
memanfaatkan waktu luang selama satu jam sebelum
lonceng asrama berbunyi. Jennings menemukan orang itu di tempat penyimpanan
peralatan, dan langsung mengatakan maksud kedatangannya. "Maaf, tapi Anda tadi siang kan membersihkan ruang
tempat penyimpanan kotak-kotak perbekalan kami," kata
Jennings, "apakah saat itu Anda menemukan tiga sampul
surat yang terletak di ambang jendela?"
Pak Robinson mengangguk. Diletakkannya pahat yang
sedang diasahnya. "Betul. Dua di antaranya kelihatan persis
sama seperti yang kukembalikan pada kalian kemarin
petang." "Ya, memang sampul-sampul yang itu. Anda menyimpannya di mana?"
Pak Robinson merogoh saku jaketnya yang tergantung
pada daun pintu sebelah dalam, dan mengeluarkan dua
buah sampul surat. Ia menuding ke prangko-prangko yang
belum ada cap kantor posnya. "Karena belum dicap, kalian
bisa melepaskannya dengan uap air, supaya bisa dipakai
untuk surat yang lain."
"Tapi ini hendak kami masukkan dalam album-album
prangko kami, bukan untuk dipakai mengirim surat, karena
kami tidak bisa mendapat cap pos dengan tanggal yang
kami ingini." Jennings menerima kedua sampul yang
disodorkan dan mengantonginya. "Mana yang satu lagi?"
tanyanya. "Yang satu lagi?" Pak Robinson bingung. "Tidak ada
gunanya menyimpan yang itu, karena kulihat sudah
terpakai." Ia berbalik, menghadap ke bangku kerjanya lagi.
"Sudah kubuang, bersama sampah yang lain-lainnya."
Jennings menatap orang itu dengan perasaan kecut,
sementara matanya terbelalak. "Tapi justru yang itu yang
paling berharga!" serunya.
"Itu satu-satunya yang kami peroleh dengan cap pos
bertanggal hari pertama peredarannya."
Pak Henry Robinson bukan penggemar prangko. "Yah,
mana aku tahu?" katanya membela diri. Diambilnya pahat
yang tadi, lalu ia mulai mengasahnya kembali. Kemudian,
dengan segan-segan ia menambahkan, "Jika itu memang
sangat penting bagi kalian, pergilah mencarinya di
tumpukan sampah. Aku baru saja menyalakannya. Angin
saat ini bertiup dari arah barat daya. Jadi ada kemungkinan
tumpukan sampah hari ini dalam waktu sejam belum
terbakar habis." Oodwkz-ray-oO 14. KEMBALI SEPERTI SEMULA
JENNINGS bergegas meninggalkan Pak Robinson, lalu
lari secepat-cepatnya ke belakang rumah kaca, tempat Pak
Robinson membakar tumpukan sampah. Dalam perjalanan
ke situ ia berpapasan dengan serombongan anak Kelas Tiga
yang hendak mencari dedaunan segar untuk makanan ulat-
ulat bulu yang mereka pelihara.
"Ke tempat pembakaran sampah!" serunya sambil
menuding ke depan. "Keadaan darurat merah! Semua ikut
membantu! Salah seorang dari kalian tolong cari
Darbishire, suruh dia datang!"
Nada suaranya begitu panik, sehingga para pencari
makanan untuk ulat-ulat bulu itu berhenti mencari dan lari
mengikutinya dengan perasaan ingin tahu. Dengan
menghindari wilayah kebun sayur yang tidak boleh mereka
masuki, anak-anak itu lari menyusuri jalan setapak menuju
ke persimpangan dekat bangunan tempat pot. Di situ jalan
setapak itu bercabang, menuju ke jalan masuk ke kompleks
sekolah di sebelah belakang. Di sisi kiri jalan itu ada sebuah
rumah kaca dan sekumpulan bangunan lain. Di
belakangnya nampak asap tipis mengepul, menunjukkan
tempat Pak Robinson membakar sampah sekali seminggu.
Jennings lebih dulu sampai di situ. Ia berhenti sejenak
sambil memandang berkeliling. Ia berpikir, di mana ia harus
mulai mencari. Tumpukan sampah yang dibakar itu tidak banyak, terdiri
atas sedikit dedaunan dengan kertas-kertas dari berbagai
keranjang sampah. Kadang-kadang onggokan sampah itu
terbakar, tapi kadang-kadang tidak; dan sementara semakin
banyak saja sampah yang ditumpukkan di atasnya, lapisan
yang lebih bawah berubah menjadi kompos yang agak
hangus. Kompos itu makin lama makin tebal sepanjang satu
masa bersekolah. Baru pada waktu liburan Pak Robinson
benar-benar melakukan tugas membersihkan tempat itu
dengan kobaran api yang besar, sehingga tempat itu sudah
siap lagi untuk sampah yang akan ditumpukkan di situ pada
masa bersekolah berikutnya.
Jennings bergegas menghampiri kepulan asap yang
terdekat. la sedang dengan berhati-hati menyerakkan
sampah yang sudah mulai terbakar dengan ujung
sepatunya, ketika anak-anak yang berlari menyusul tiba.
"Kenapa kau begitu ribut?" tanya Martin-Jones.
"Sampul suratku yang ada prangko istimewanya itu
dibuang." Paling tidak ada tiga nyala api yang membara di
sisi atas onggokan sampah itu. Jennings mendesak teman-
temannya yang membantu agar jangan membuang-buang
waktu. "Aku akan mencari-cari di tumpukan sini. Kalian
memeriksa tumpukan-tumpukan yang lain. Dan periksa
juga bagian-bagian yang belum mulai terbakar. Sampul itu
bisa berada di mana saja."
Anak-anak yang membantu tahu apa yang dicari, karena
mereka menghadiri pameran prangko eksklusif yang
diadakan tadi. Jadi mereka lantas memencar, mencungkil-
cungkil kompos dengan ranting-ranting, menggeser-geser
abu dengan sepatu mereka dan menggaruk-garuk bagian
onggokan yang terbakar dengan alat apa saja yang ada.
Tidak lama kemudian Darbishire tiba di situ. Ia berlari
menghampiri Jennings yang saat itu sedang berjalan di
tengah tumpukan kotak bekas tempat cornflakes--semacam
keripik jagung -yang sudah sempat terbakar sedikit. "Ada
apa?" tanya Darbishire dengan suara bernada tegang.
Jennings menggerakkan tangannya kian kemari, menunjuk onggokan sampah yang sebagian sudah hangus
terbakar. "Pak Robo... dia membuang prangko kita!"
"Hih, jahatnya!" kata Darbishire yang langsung marah.
"Ia tak sengaja melakukannya, tapi hanya karena tidak
tahu saja," kata Jennings menjelaskan.
"Ia tidak mengerti untuk apa sampul bekas disimpan.
Lebih baik kau segera saja ikut mencari, sampul itu pasti
ada di sekitar sini-itu kalau belum terbakar."
Selama beberapa saat usaha pencarian itu nampaknya
akan sia-sia saja; tapi kemudian, ketika Jennings merogoh
agak lebih masuk ke dalam setumpuk kertas bekas, ia
melihat tulisan tangan Bibi Angela pada sepucuk sampul
yang belum tersentuh api.
"Hore! Berhasil! Berhasil!" teriaknya sambil melambai-
lambaikan sampul itu. "Kalian boleh berhenti mencari,
karena aku sudah menemukannya!"
Beberapa di antara anak-anak yang mencari itu
menegakkan tubuh mereka sambil membersihkan kotoran
dan abu dari kaus kaki dan sepatu mereka. Tapi yang lain-
lainnya terus saja mencari, terdorong oleh harapan akan
menemukan harta yang tanpa diduga-duga ada di bawah
kaki mereka. Atkinson menemukan sebuah mainan mobil pengangkut
semen milik Rumbelow; Bromwich menemukan kaca
pembesar milik Temple yang sudah lama hilang; dan
Martin-Jones menemukan tiga potong teka-teki gambar
milik Binns dan Blotwell yang berantakan akibat babi kecil
yang lari di atas gambar yang sedang disusun.
Tapi penemuan Venables yang paling menarik. Sekitar
lima belas senti di bawah permukaan ditemukannya sebuah
kantong kecil. Ia berhasil mengeluarkannya setelah
menarik-narik benda tersebut. Ia mengernyitkan hidung
karena kaget bercampur heran; kantong itu penuh dengan
benda-benda bulat dan lunak, yang mulanya dikira kentang.
"He! Kemarilah semua, dan lihat harta bajak laut ini,"
serunya. Kantong itu dijungkirkannya.
Tapi yang bergulingan keluar ternyata bukan kentang,
tapi bermacam-macam bola: bola tenis dan bola cricket.
"Ini kan bola-bola tua yang dilemparkan oleh Jen dan
Darbi dari atap ruang senam waktu itu."
"Ya, betul," kata Martin-Jones membenarkan. "Pak
Wilkie waktu itu mengatakan bahwa ia akan membuang
bola-bola yang berhasil disita olehnya - dan ini dia bola-bola
itu." Temple mengambil sebuah di antaranya. "Ini bola yang
dilemparkan oleh Darbi lalu kupukul sampai ke atap,"
katanya dengan bangga. "Masih ingat pertandingan kita
yang termasyhur waktu itu - Bumi lawan Angkasa Luar"
Sayangnya, kita hanya bisa sebentar saja bermain."
"Kita bisa meneruskannya kalau mau," kata Atkinson
mengajak. "Setidak-tidaknya, kita kini punya beberapa bola
cadangan." Jennings sudah bisa bergembira lagi, karena ketiga
sampul surat berprangko itu sudah diamankannya di dalam
saku jasnya "Ayo, kalau begitu! Angkasa Luar menantang Bumi!"
serunya dengan lantang. "Regu-regunya sama seperti waktu itu. Kita lanjutkan dengan Darbi
melemparkan bola pada Temple, saat permainan waktu itu
terputus." Masih ada waktu lebih dari setengah jam sebelum
istirahat sore berakhir. Venables memungut kantong yang
sudah mulai lapuk itu, lalu anak-anak bergegas menuju ke
lapangan berlapis aspal di luar ruang olahraga.
Gambar

Apalagi Jennings Karya Anthony Buckeridge di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

wicket masih ada di dinding tempat penyimpanan sepeda. Seorang anak menaruh jasnya di
aspal, sebagai tanda tempat melemparkan bola. Temple
melangkah ke depan wicket dengan tongkat pemukulnya
yang sudah tidak baru lagi. Para pemain yang harus
menangkap bola menempati posisi masing-masing, lalu
permainan dimulai. Bola pertama yang dilempar oleh Darbishire mengarah
ke kaki Temple. Anak itu melangkah maju dan memukul
bola itu dengan sekuat tenaga. Bola melambung melampaui
kepala anak-anak yang menjaga di lapangan. Bola itu terus
saja melayang, membentur tembok rendah di atap ruang
olahraga lalu berguling di atap.
"Bola melewati batas lapangan, angka enam! Hebat,
Bumi!" kata Temple dengan nada puas, sambil tertawa
nyengir pada kapten regu lawan.
"He, Jennings, bagaimana jika kau dan Darbi naik ke
atas untuk mengambilnya?"
"Tidak mau!" kata pemain dari Planet Mars itu.
"Tapi waktu itu kau melakukannya."
"Betul, tapi kau tahu sendiri bagaimana akibatnya!'!
Jennings mengernyitkan mukanya, karena terbayang
dalam ingatannya segala kejadian yang menyusul setelah ia
naik ke atas atap untuk mengambil bola.
"Keadaannya kembali seperti waktu itu," katanya
kemudian. "Biarkan saja bola itu di sana. Masih banyak
bola cadangan." Tapi ketika permainan dilanjutkan, bola-bola cadangan
itu ternyata menimbulkan berbagai masalah. Karena sudah
berbulan-bulan tergeletak di atas atap, disusul dengan empat
minggu terbenam dalam tumpukan sampah, keadaan bola-
bola itu sudah begitu rusak sehingga kalau ada yang masih
cukup baik untuk dipakai bermain, sewaktu dipukul tahu-
tahu bagian intinya terpental ke satu arah dan kulit luarnya
melayang ke arah lain. Ada pula yang langsung pecah dua begitu dipukul; yang
lain-lainnya hancur berantakan sewaktu melayang setelah
dipukul, berpencaran seperti pecahan roket yang kembali
memasuki atmosfer bumi. Bola-bola tenis lebih kuat dan
bisa bertahan lebih lama. Tapi bola-bola itu sudah tidak
memiliki daya lenting lagi, sehingga harus dilempar sekuat
tenaga agar bisa sampai di tempat anak yang harus
memukulnya. Dengan keadaan seperti itu tidaklah mengherankan
bahwa Temple, pemukul pertama Regu Bumi mengalami
nasib yang bermacam-macam.
Pada gilirannya yang kedua untuk memukul, ia nyaris
saja "mati" karena bola yang dipukulnya tertangkap oleh
Atkinson. Tapi begitu dipegang, bola itu hancur berantakan.
Pada giliran selanjutnya ia "mati", karena sebuah bola
plastik yang lonjong berbentuk telur meledak dengan bunyi
keras ketika mengenai tulang keringnya.
"Ini sudah keterlaluan," kata Venables memprotes,
setelah puas tertawa melihat tampang Temple yang
bingung. "Kita tidak bisa begini terus, Jen. Kita terpaksa
mengubah aturan permainan."
"Kenapa tidak," kata Darbishire menyetujui. "Bagaimanapun juga, kita kan menjadi regu dari angkasa
luar yang datang untuk bertanding di bumi. Siapa tahu,
aturan permainan cricket di Pluto dan planet-planet lainnya
berbeda sekali dari peraturan yang berlaku di sini," Ia
berpikir sebentar, lalu menyambung, "Katakanlah di planet
asalmu tidak ada gaya gravitasi. Nah, kalau begitu, bola
yang dipukul ke atas takkan pernah turun lagi ke tanah,
kan?" "Seperti bola kita tadi, ketika dipukul dan jatuh di atas
atap," kata Jennings. Matanya berkilat-kilat. Rupanya ia
mendapat ilham. "Ya, itulah yang akan kita lakukan!
Pertandingan menurut aturan permainan angkasa luar!
Semuanya kebalikan dari yang berlaku di bumi, dan angka
hanya bisa diraih dengan cara memukul bola ke orbit
sehingga tidak bisa kembali lagi ke bumi!"
Tidak seorang pun yang memahami maksud Jennings,
sehingga Jennings memerlukan waktu beberapa menit
untuk menjelaskan perbedaan antara permainan cricket
tanpa gaya gravitasi dan aturan yang lazim di bumi. Tujuan
permainan bukan meraih angka, tapi menghilangkan bola
sebanyak mungkin, dengan cara memukulnya ke angkasa
sehingga tidak kembali lagi. Dengan menggunakan atap
datar dari ruang olahraga sebagai ganti medan tanpa
gravitasi, anak yang memukul harus berusaha memukul
bola melewati tembok rendah di pinggiran atap itu sehingga
jatuh di atas atap. Untuk mencapai kemungkinan itu, pelempar dan
pemukul harus bekerja sama, jadi tidak lagi berhadap-
hadapan sebagai lawan. Jika bola yang dipukul jatuh ke
atap, mereka berdua mendapat kesempatan untuk mencoba
sekali lagi. Tapi jika gagal, mereka digantikan oleh
pasangan yang berikut. "Dengan lain perkataan, setiap pasangan harus berusaha
meraih enam angka dalam pertandingan cricket yang paling
sinting dalam sejarah," kata penganjur aturan permainan
baru itu. "Yuk, kita mulai saja sekarang. Sambil bermain, kita
buat aturan-aturan baru yang selanjutnya."
Pada waktu sejam sebelum bel asrama dibunyikan itu,
Pak Carter berjalan-jalan dengan Pak Wilkins di dalam
kompleks sekolah. Hawa yang masih panas saat itu
merupakan pertanda bahwa keesokan harinya besar
kemungkinannya cuaca akan bagus lagi. Di mana-mana
kelihatan bahwa baik para murid maupun para guru
Sekolah Linbury Court memanfaatkan istirahat petang itu.
Pak Hind sedang melatih serombongan anak-anak
bermain tenis. Kepala Sekolah berlatih melempar bola di
depan jaring Kesebelasan Utama. Paterson sedang
meminyaki tongkat pemukulnya di tribun; Thompson
melatih keterampilannya bermain gitar, sementara Binns
dan Blotwell mulai meletakkan potongan-potongan teka-
teki gambar yang baru di atas selembar papan persegi
empat. Teka-teki baru itu juga terdiri atas lima ratus
potongan. Tapi walau di mana-mana nampak aktivitas yang ada
tujuannya, Pak Wilkins tetap saja berperasaan suram.
Dengan suara bernada murung, ia berbicara mengenai
pokok persoalan yang jarang tidak menyibukkan pikirannya. "Yah, begitulah, Carter, anak-anak Kelas Tiga itu benar-
benar merupakan masalah. Apalagi Jennings," katanya
berkeluh kesah, sementara mereka melintasi lapangan
tempat bermain. "Sama sekali tidak punya rasa tanggung
jawab! Jika dipikir bahwa beberapa tahun lagi anak-anak
kecil yang konyol itu akan sudah bekerja atau melanjutkan
pendidikan mereka, cemas rasanya hatiku."
Ia berhenti sebentar, lalu melanjutkan, "Misalnya saja
Darbishire. Beberapa waktu yang lalu ia mengatakan, kalau
sudah besar nanti ia ingin menjadi ilmuwan. Bagaimana
mungkin kita bisa mendidik anak yang mengira bahwa
kuadrat hipotenusa ada hubungannya dengan orang Indian
yang menunggang kuda Nil menjadi ilmuwan?"
Saat itu terdengar suara tertawa-tawa dan bersorak-sorak.
Datangnya dari arah belakang ruang olahraga.
"Kedengarannya seperti ada perayaan di sana," kata Pak
Carter mengomentari sambil mengangkat alis.
"Kalau menurutku, lebih mirip huru-hara!" tukas
rekannya. "Sebaiknya kita ke sana saja untuk memeriksa."
Ketika kedua guru itu sampai di lapangan cricket darurat
di dekat tempat penyimpanan sepeda, mereka menjumpai
sekelompok anak Kelas Tiga sedang berkerumun membentuk lingkaran. Dari lutut ke bawah, tungkai mereka
berlumur abu dari tempat pembakaran sampah. Kebanyakan muka dan tangan mereka juga berlumur abu.
Di pinggir lingkaran itu, Venables berdiri dengan
setumpuk kecil bola di depan kakinya. Sebuah kantong
kotor bekas tempat kentang tersampir di bahunya. Di
tengah-tengah nampak Jennings memegang tongkat
pemukul cricket, berhadapan dengan Darbishire. Di tangan
anak itu ada bola karet yang sudah rusak.
Sementara kedua guru itu datang menghampiri,
Darbishire melambungkan bola dengan pelan ke arah
Jennings. Jennings membidik, lalu memukul bola itu ke
atas, setinggi ruang olahraga. Bola itu membentur tembok
rendah pinggiran atap dengan bunyi seperti buah jeruk yang
sudah terlalu ranum. Bola itu pecah berantakan, dan
berguling ke atas atap sehingga tak terlihat lagi.
Sekali lagi terdengar sorak-sorai kelompok anak-anak
yang berlumur abu itu. "Hore! ...Enam angka untuk Mars
dan Pluto... Sebuah Benda Terbang melesat lagi dari
landasan luncurnya!"
Pak Wilkins mendului masuk ke dalam lingkaran yang
dibentuk oleh anak-anak. "Demi geledek, kalian ini sedang
bermain apa?" tanyanya.
Jennings berpaling, menghadapi kedua guru itu sambil
tersenyum menyambut kedatangan mereka. "Halo, Pak!
Kami sedang bermain cricket."
"Bermain apa?" Pak Wilkins, yang gemar berolahraga,
tersinggung melihat permainan cricket dijadikan lelucon.
"Begini ini kalian sebut cricket?"
"Kami bermain dengan aturan antar planet yang baru,
Pak! Khusus diadakan untuk pertandingan-pertandingan
dalam sistem tata surya dan di tempat-tempat yang tidak
ada gaya tariknya," kata Jennings menjelaskan. "Tentu saja,
peraturan baru ini boleh disahkan oleh Persatuan Cricket
Nasional." Darbishire melangkah maju, untuk menambahkan.
"Bola-bola itu UFO, Pak, benda-benda terbang tak dikenal,"
katanya menjelaskan. "Dan alih-alih meraih angka dengan
cara biasa, kami harus meluncurkan benda-benda itu ke
orbitnya, sehingga tidak kembali lagi ke bumi."
"Permainan yang mahal," kata Pak Carter mengomentari. "Harga bola-bola yang baru pasti tidak
sedikit." "Ya, mungkin saja bagi orang lain, Pak. Tapi kami
beruntung karena punya persediaan khusus, benda-benda
terbang yang tidak sayang kalaupun hilang."
Pandangan Pak Wilkins berkeliling, menelusuri kelompok pemain cricket angkasa luar yang nampak kumal,
dan akhirnya berhenti pada tumpukan benda terbang yang
bisa dibuang, yang terdapat di depan kaki Venables. Sambil
mengerutkan kening ia berkata, "Bukankah itu bola-bola
yang kusita sebulan yang lalu" Siapa yang mengatakan pada
kalian bahwa kalian boleh mengambilnya" Kalian tidak
berhak menyentuhnya!"
Para pemain menggeser-geser kaki dengan perasaan
kikuk. Sekali lagi penjelasan mengenainya diserahkan pada
Jennings. "Begini, Pak, kami ini sebenarnya cuma
melaksanakan kemauan Anda saja."
Pak Wilkins tercengang. "Keinginanku?"
"Ya, sedikit-banyak begitulah, Pak. Soalnya, saya
teringat sewaktu saya dan Darbishire yang bisa dibilang
tanpa berpikir melempar-lemparkan bola-bola dari atas atap
waktu itu, Anda kedengaran agak... eh... yah, agak kesal
menanggapi perbuatan kami itu," kata Jennings menjelaskan dengan tampang polos, seakan sedikit pun
tidak merasa bersalah. "Jadi ketika kami tadi menemukan
bola-bola ini di tumpukan sampah sehingga tempat itu
nampak tidak rapi, kami lantas berpendapat bahwa
sebaiknya kami menolong Anda dengan mengirimkan
semuanya kembali ke tempat asalnya. Kami kira Anda akan
senang, Pak." "Doh! Anak-anak konyol! Seumur hidupku belum
pernah kudengar alasan yang begitu..."
Ia tidak melanjutkan omelannya, karena saat itu
terdengar bunyi peluit yang ditiup Pak Hind, tanda bahwa
istirahat petang itu sudah berakhir.
"Bawa bola-bola yang masih tersisa ke tumpukan


Apalagi Jennings Karya Anthony Buckeridge di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sampah yang sedang dibakar, lalu kalian bersihkan badan
masing-masing," bentak Pak Wilkins. "Kalian tidak bisa
masuk ke ruang makan dalam keadaan begitu. Kelihatannya seperti gerombolan orang-orangan pengejut
burung." Dengan demikian berakhirlah pertandingan yang
pertama (dan satu-satunya) yang dimainkan menurut aturan
antar planet yang baru, antara manusia dan makhluk-
makhluk dari kawasan pinggir sistem tata surya.
Para pemain tamu dari Yupiter, Venus, Pluto, dan Mars
mengibas-ngibaskan abu yang melekat pada kaki, tangan,
dan muka mereka, lalu bersama regu lawan dari Bumi
masuk untuk minum susu dan makan biskuit sebelum
lonceng asrama berbunyi. Pak Wilkins menggeleng-geleng dengan sikap putus asa,
sambil memperhatikan anak-anak pergi. "Bukankah itu tadi
merupakan bukti dari apa yang kukatakan tadi tentang
anak-anak Kelas Tiga, khususnya tentang Jennings?"
katanya pada Pak Carter, sementara kelompok anak-anak
itu menghilang di balik sudut gedung utama. "Kita
menyuruh mereka pergi ke lapangan bermain untuk berlatih
main cricket, mereka bukannya berusaha memperbaiki
teknik permainan, tapi malah mengubah permainan itu
menjadi suatu kesintingan yang luar biasa."
"Ah, nanti kalau sudah agak lebih dewasa, mereka pasti
takkan melakukannya lagi," kata Pak Carter menenangkan.
"Moga-moga saja kata-kata Anda itu benar, Carter, tapi
saat ini aku tidak melihat adanya tanda-tanda ke arah itu."
Pak Wilkins mendesah dengan perasaan putus asa
bercampur sebal. "Apakah yang akan terjadi beberapa tahun lagi, apabila
mereka nanti tidak lagi disuruh keluar ke lapangan bermain,
melainkan memasuki dunia kehidupan yang keras?"
Pak Carter hanya mengangkat bahu saja, menanggapi
pertanyaan itu. "Anda tidak usah cemas, Wilkins," katanya
dengan tenang. "Bahkan anak-anak Kelas Tiga pun nanti
akan tumbuh menjadi orang dewasa!"
SELESAI Rajawali Lembah Huai 6 Pendekar Bodoh 6 Muslihat Sang Durjana Tugas Tugas Hercules 5
^