Pencarian

Jennings Si Iseng 1

Jennings Si Iseng Karya Anthony Buckeridge Bagian 1


JENNINGS SI ISENG Ebook by Raynold PERKENALKAN: JENNINGS - SI ISENG! MULAI dengan buku ini kita mendapat kawan baru. Ia bernama Jennings. Itu nama
keluarganya. Nama lengkapnya, J.C.T. Jennings. Ketiga huruf itu inisial, atau
huruf-huruf pertama dari nama-nama depannya. Saya tidak tahu apa kepanjangannya.
Tapi itu juga tidak penting. Dalam pergaulan di antara teman-teman maupun dengan
para guru di sekolah, ia dan teman-temannya selalu disapa dengan nama keluarga.
Begitulah kebiasaan mereka, lain dengan kita di Indonesia. Di sini orang yang
bernama Iwan misalnya, dan ayahnya bernama Darmawan, nama lengkapnya Iwan
Darmawan. Sehari-hari orang itu disapa dengan nama Iwan. Hanya dalam pergaulan
resmi ia disebut Darmawan, atau kalau orangnya sudah dewasa, Pak Darmawan.
Di atas juga tertulis kata SI ISENG. Ini merupakan julukan. Tapi bukan pemberian
teman-temannya, melainkan penerjemah buku ini. Sifat anak itu memang suka iseng.
Atau tepatnya, Jennings sebetulnya bukan hendak iseng. Tapi segala sesuatu yang
dilakukannya, hasilnya selalu berkesan seperti perbuatan anak iseng. Itu jika
yang menilai orang lain, terutama para guru! Dia sendiri tidak berpendapat
begitu. Dia selalu bersungguh-sungguh. Itu katanya!
Dalam buku ini diceritakan tentang kepindahannya ke sekolah yang baru, Linbury
Court Preparatory School. Artinya: Sekolah Persiapan Linbury Court. Tentang
sekolah ini perlu diberi penjelasan sedikit. Ini merupakan sekolah dasar yang
menyiapkan murid-muridnya untuk melanjutkan ke sekolah menengah tertentu, yakni
public school. Siswa sekolah menengah ini selanjutnya meneruskan ke universitas,
atau menjadi pegawai negeri. Untuk menuntut ilmu di universitas, anak-anak di
Inggris memerlukan pengetahuan tentang berbagai mata pelajaran yang disebut
klasik, di antaranya bahasa Latin. Ini sangat diperlukan, karena banyak sekali
istilah-istilah yang berasal dari bahasa Latin dalam berbagai bidang ilmu
pengetahuan, seperti kedokteran, biologi, kimia, dan sebagainya. Preparatory
School di Inggris merupakan sekolah swasta. Jumlah muridnya tidak sebanyak
sekolah-sekolah negeri. Hal terakhir yang rasanya perlu diberi penjelasan, adalah istilah "waktu minum
teh". Ini terjemahan dari istilah "tea-time" dalam bahasa Inggris. Waktu minum
teh ini sore hari, seperti merupakan kebiasaan di sementara keluarga di
Indonesia pula. Tapi kalau kita pada waktu itu paling-paling makan pisang goreng
atau kue-kue, "tea-time" di Inggris lebih cocok disebut "makan sore". Soalnya,
saat itu dihidangkan makanan lengkap. Dan walau namanya "minum teh" hidangan
minumannya tidak harus teh. Bisa kopi atau coklat susu, misalnya. Jadi hanya
namanya saja "waktu minum teh". Ini merupakan tradisi di Inggris. Dan orang
Inggris paling kuat mempertahankan tradisi. Tahu kan, arti kata "tradisi?"
Tradisi itu adat kebiasaan turun-temurun yang masih dijalankan di masyarakat.
Umumnya tradisi itu baik. Tapi ada juga tradisi yang jelek. Tradisi nyontek,
membolos, misalnya. Nah, tradisi jelek seperti ini perlu lekas-lekas dibuang!
Karena akhirnya kalian sendiri yang rugi.
Salam, Penerjemah 1. MURID BARU PAK CARTER menikmati sua sana siang itu. Sekolah itu, yang sekaligus juga
merupakan asrama tempat tinggal anak-anak yang bersekolah di situ, begitu tenang
dan sunyi. Keadaan itu sebentar lagi pasti buyar, jika anak-anak yang berjumlah
enam puluh tujuh orang tiba dengan kereta api khusus.
Hari itu anak-anak mulai bersekolah kembali, setelah liburan musim panas.
Beberapa orang anak sudah lebih dulu datang, diantar orang tua masing-masing
dengan mobil. Saat itu mereka sedang berkerumun di depan papan pengumuman.
Mereka asyik membaca berbagai pemberitahuan yang terpasang di situ. Anak-anak
memang perlu mengetahui siapa-siapa saja yang ditunjuk menjadi pengawas murid,
ketua asrama, petugas perpustakaan, dan sebagainya. Tapi yang lebih penting bagi
mereka adalah mengetahuinya lebih dulu daripada teman-teman yang datang
kemudian. Dengan begitu mereka nanti bisa menceritakannya, sementara anak-anak
yang datang belakangan cuma bisa mendengarkan saja, tanpa bisa ikut-ikut bicara.
Kedatangan Pak Carter di tempat papan pengumuman disambut dengan ramai oleh
anak-anak yang berkerumun di situ.
"Selamat siang, Pak Carter. Bagaimana liburan Anda, Pak" Asyik?" Sekitar sepuluh
orang murid bertanya dengan serempak.
"Kalau liburan kami, asyik deh, Pak," kata seorang murid lain. "Kami ke Prancis.
Penyeberangan dengan kapal ke sana benar-benar gawat, deh! Tapi saya tidak
mabuk. Sungguh, Pak! Untung saya bukan anak lelaki kenalan saya di rumah Paman,
karena saban kali naik kapal ia selalu mabuk laut. Ya kan, Pak?"
"Ya kan, apa?" "Untung saya bukan dia," kata murid itu menjelaskan.
"Dia itu siapa?" tanya Pak Carter, yang masih juga belum mengerti.
"Anak lelaki kenalan saya di rumah Paman itu, Pak."
"Ya, itu mungkin sekali," kata Pak Carter asal menjawab.
Ia bersalaman dengan dua belas orang anak, Dua belas kali ia harus mengatakan
bahwa keadaannya baik-baik saja, dan dua belas kali pula ia menjawab bahwa
liburannya menyenangkan. Kemudian ia pergi dari situ. Ia menggosok-gosokkan
telapak tangan kanannya ke celana, karena terasa agak lengket. Entah apa saja
yang dipegang kedua belas anak-anak itu tadi selama dalam perjalanan. Mungkin
permen. Tapi yang pasti, roti dengan olesan mentega dan selai!
Ia pergi ke ruang makan, untuk meletakkan nama-nama para murid di meja-meja
makan, di depan kursi tempat duduk masing-masing. Kepala sekolah juga ada di
situ. Ia sedang mengantar seorang pendeta berkeliling, melihat-lihat sekolah.
Pendeta itu sibuk bertanya-tanya. Dari gayanya yang begitu serius, Pak Carter
langsung bisa menebak bahwa ia pasti ayah salah seorang murid baru. Dan murid
baru itu ada di sisinya. Dari penampilan anak itu juga jelas bahwa ia murid
baru. Anak itu sangat mirip ayahnya. Keduanya berambut ikal berwarna pirang. Rambut
sang ayah sudah agak menipis di ubun-ubunnya, tapi sisirannya lebih rapi.
Keduanya bermata biru muda dan memakai kacamata. Gaya bicara mereka juga serupa,
selalu serius dan sangat jelas.
"Salah satu hal yang menarik dari ruang makan ini, Pak Darbishire," kata kepala
sekolah, "adalah bahwa suhu udara di sini selalu tetap, berkat panel-panel yang
dipanaskan dan terpasang di dalam dinding."
"O ya" Sangat menarik! Benar-benar sangat menarik!" kata Pak Darbishire. Ia
berbicara dengan sangat serius dan jelas. Kalau dituliskan, pantasnya kata-kata
yang diucapkannya itu semuanya dituliskan dengan huruf besar.
"Dan jendela-jendela ini memakai kaca khusus, yang memungkinkan sinar
ultraviolet lewat." Pendeta Percival Darbishire mendekatkan mukanya ke jendela yang dikatakan
memakai kaca khusus itu. Ia memperhatikannya dengan mata terpicing. Sikapnya
seolah-olah menyangsikan pengaruh sinar ultraviolet itu terhadap penglihatannya.
Menurut perasaannya, kaca jendela itu kelihatannya biasa-biasa saja. Tapi siapa
tahu! Pokoknya, ia hendak menunjukkan bahwa ia benar-benar terkesan pada semua yang
diperlihatkan kepadanya. "Sangat menarik! Benar-benar sangat menarik'" katanya.
"Selain itu masih ada pula sistem pengaliran udara yang terpasang di atas," kata
kepala sekolah melanjutkan. "Berkat sistem itu setiap anak memperoleh udara
segar sebanyak tiga ribu lima ratus meter kubik."
Pak Darbishire mendongak. Ia tidak melihat apa-apa di atas, kecuali lampu-lampu
yang terpasang di situ. Tapi mungkin saja matanya masih silau karena pengaruh
sinar ultraviolet yang menembus kaca jendela tadi. Dalam hati ia bertanya-tanya,
mungkin teko besar tempat minuman teh yang dilihatnya ada di ujung ruangan ada
sangkut-pautnya dengan pengaliran udara di situ.
"Sangat menarik! Luar biasa dan-ehm-sangat menarik:" katanya. Sementara itu ia
sudah merasa yakin, teko teh yang di sebelah sana itu pasti ada hubungannya
dengan pengaliran udara di situ.
Sementara itu kepala sekolah berpikir-pikir. Betulkah udara segar yang bisa
dihirup setiap murid dengan adanya sistem pengaliran udara itu tiga ribu lima
ratus meter kubik" Jangan-jangan mestinya tiga ratus lima puluh ribu liter! Itu
perlu dihitungnya lagi. Tapi berapa liter udarakah yang terdapat dalam setiap
meter kubik" Kepala sekolah tidak melanjutkan perhitungannya. Dia kan sarjana
ilmu filsafat. Masa ia juga harus menjadi jenius di bidang matematika!
"Astaga, sudah pukul empat!" katanya mengalihkan pokok pembicaraan. "Mari, Pak,
kita ke ruang kerja saya. Kita minum teh di sana."
Pak Carter kembali ke kamarnya. Ia mendengar bunyi berisik langkah anak-anak.
Itu pasti rombongan murid yang datang dengan kereta api, katanya dalam hati.
Anak-anak itu berebut-rebut naik tangga. Bunyi langkah mereka terdengar seperti
derap barisan berkuda yang menyerbu. Sekali lagi Pak Carter dikerumuni anak-anak
yang menyapanya dengan berisik.
"Liburan Anda menyenangkan, Pak?"
"Ya, terima kasih, Temple."
"Kami juga, Pak," kata anak yang bernama Temple itu. "Kami ke Guernsey, naik
pesawat terbang. Asyik sekali, deh! Tapi sebenarnya brengsek, Pak, karena kami
terbang menembus awan rendah. Jadi tidak bisa melihat apa-apa! Tapi jika tidak
begitu, dan kami terbang sekitar seratus kilometer lebih ke timur, saya bisa
melenyapkan sekolah ini dari permukaan bumi, Pak. Sungguh!"
"Wah!" kata Pak Carter dengan nada kagum.
"Itu jika saya membawa senapan mesin, Pak," kata Temple menjelaskan.
"Rupanya kami masih bernasib mujur." Kemudian Pak Carter berpaling pada anak
yang berikut. "Nah, Atkinson, apa yang kaulakukan selama liburan?"
"Saya pergi ke Lords, Pak, untuk menonton Middleex bertanding melawan
Lancashire, dan saya membawa buku kumpulan tanda tangan saya untuk minta tanda
tangan mereka semua, Pak."
"Bagaimana, berhasil tidak?" tanya Pak Carter.
"Saya mendapat satu, Pak," kata Atkinson dengan bangga.
"Tanda tangan siapa itu?"
"Saya tidak tahu pasti, Pak, karena tulisannya agak goyah, dan ia cuma membuat
beberapa lengkungan dan satu garis panjang, sedangkan saya tidak bertanya siapa
namanya," kata Atkinson. Kedengarannya agak menyesal. "Tapi kelihatannya seperti
B.K. Inman, Pak. Sedangkan kalau letak buku di balik, mungkin juga E.J.
O'Reilly." "Menurutmu sendiri, siapa kemungkinannya yang memberikan tanda tangan itu?"
tanya Pak Carter ingin tahu.
"Rasanya yang paling mungkin Smith, Pak. Soalnya tidak ada pemain bernama Inman
atau O'Reilly di kedua tim itu, tapi kalau Smith ada di . kedua-duanya," kata
Atkinson menjelaskan. "Jadi kemungkinannya dua banding satu bahwa yang
menandatangani itu salah satu dari mereka. Itu jika dibandingkan dengan pemain-
pemain lainnya, Pak."
Pak Carter menyalami anak-anak yang selebihnya, sambil sebentar-sebentar
membersihkan tangannya yang terasa lengket dengan saputangan.
"Coba kalian berbaris dulu," katanya. "Aku harus mengumpulkan surat keterangan
kesehatan kalian, serta uang yang harus ditaruh di bank, dan juga kunci koper-
koper kalian." Anak-anak berbaris dengan rapi. Pak Carter mulai melakukan pengecekan terhadap
semua yang harus diserahkan anak-anak itu kepadanya. Seperti biasanya, selalu
ada saja yang kurang. Atkinson tidak bisa menyerahkan kunci kopernya, karena ada
di kantong ayahnya. Dan ayah Atkinson sementara itu sudah kembali lagi ke kota.
Surat keterangan kesehatan Venables hilang. Ibunya yang menghilangkan. Tapi
ibunya menyertakan sebuah surat untuk mengatakan bahwa itu kan tidak begitu
penting. Rupanya ibu Venables mengandalkan kemampuan pengamatan Pak Carter untuk
bisa melihat kuman yang mungkin ada pada tubuh anaknya.
"Baiklah," kata Pak Carter. "Anak yang berikut."
Saat itulah untuk pertama kalinya Pak Carter bertemu dengan Jennings. Bagi Pak
Carter, itu merupakan urusan biasa dari seorang guru yang sibuk. Ia melihat
seorang anak lelaki yang tidak berbeda dari sekian banyak anak lainnya yang
antre dengan tertib di luar kamarnya. Jas, kaus kaki, begitu pula dasinya, tepat
sesuai dengan peraturan di sekolah itu. Rambutnya yang berwarna coklat tua,
masih menampakkan sisa-sisa sisiran. Tidak ada bedanya. dengan keadaan rambut
anak-anak lainnya. Mukanya juga biasa saja, seperti anak-anak seumur dia pada
umumnya. Jadi tidak banyak yang bisa diketahui oleh Pak Carter dari perjumpaan
pertama itu. Kemudian, nah, saat itu barulah akan banyak yang diketahuinya
tentang Jennings. "Anak baru, ya!" kata Pak Carter. "Siapa namamu?"
"Jennings, Pak."
"Ah ya, ini dia namamu, di daftar ini. J.C.T. Jennings, sepuluh tahun dua bulan.
Betul begitu?" ''Tidak, Pak, kurang tepat. Sepuluh tahun, dua bulan, dan tiga hari. Itu Selasa
yang lalu, Pak." "Begini juga sudah cukup tepat," kata Pak Carter. Sementara itu ia sudah ingat
lagi, siapa anak baru itu. Baru tadi pagi kepala sekolah menunjukkan sepucuk
surat kepadanya. Surat itu dari seseorang bernama Pak Jennings. Orang itu
menyatakan kesangsiannya, apakah anaknya akan bisa menyesuaikan diri dengan
kehidupan di asrama sekolah. Soalnya, ia baru sekali ini pergi ke tempat lain
tidak bersama orang tuanya. Pak Carter kembali mengarahkan perhatiannya kepada
J.C.T. Jennings. Nampaknya anak itu sudah bisa mengurus dirinya sendiri.
"Rupanya banyak yang masih harus kauketahui tentang segala kebiasaan di sini,
ya?" kata Pak Carter kepada anak itu, sambil meneliti kertas keterangan yang
disodorkan Jennings kepadanya.
"Daftar pakaian-beres. Uang untuk ditabung -juga beres. Mana surat keterangan
tentang kesehatanmu?"
"Rasanya saya tidak punya, Pak," kata Jennings. Sebetulnya ia tidak tahu,
seperti apa rupanya surat keterangan yang ditanyakan itu.
"Kau mestinya punya," kata Pak Carter dengan gaya sok serius. "Kalau surat itu
tidak ada, bagaimana bisa diketahui apakah kau tidak sakit beguk, campak, cacar
air, batuk rejan, atau sakit pes?"
Jennings nampak cemas mendengar segala jenis penyakit yang disebutkan Pak
Carter. "Saya yakin sekali bahwa saya tidak kena segala penyakit itu, Pak," katanya.
"Badan saya sedikit pun tidak ada bintil-bintilnya. Sungguh, Pak, periksa saja
sendiri!"' "Bukankah ini surat yang kutanyakan itu?" kata Pak Carter. Ia mengambil selembar
kertas yang dilihatnya tersembul dari kantong jas Jennings, lalu diperhatikan
isinya. "Ya, seperti sudah kukira. Kau seratus persen sehat."
"Jadi tidak sakit pes?" tanya Jennings. Ia agak kecewa, setelah kini ternyata
bahwa semuanya beres. "Bahkan beguk atau campak saja pun tidak. itu tadi cuma leluconku saja. Sekarang
kita perlu seseorang untuk menjadi pemandumu di sini."
Mata Pak Carter mencari-cari di antara anak-anak yang bergerombol di dekat
pintu. "Kemarilah sebentar, Venables," katanya kepada seorang anak berumur dua belas
tahun. Penampilan anak itu berantakan, untuk ukuran di sekolah itu.
"Ya, Pak," kata anak itu.
"Aku ingin kau memberi tahukan segala hal yang perlu diketahui kepada murid baru
kita ini. Tapi sebelumnya, kalian perlu kuperkenalkan dulu. Di sebelah kiri
saya," katanya, dengan gaya wasit pertandingan adu tinju, "di kiri saya,
Venables. Ia mudah dikenali, yaitu dari tali sepatunya yang selalu saja
terlepas." "Ah, Pak Carter ini ada-ada saja," kata Venables memprotes.
"Di kanan saya, Jennings, murid baru yang perlu ditemani. Venables-Jennings.
Jennings -Venables." Tepat pada saat itu terdengar bunyi lonceng berdentang di
kejauhan, seolah-olah sebagai tanda bahwa pertandingan dimulai.
"Nah, lonceng tanda saat minum teh sudah dimulai," kata Pak Carter, wasit
dadakan itu, "Ajak Jennings ke ruang makan, Venables. Perlakukan dia seperti
kawan karibmu." "Baik, Pak," kata Venables.
"Nanti dulu! Lebih baik jangan," kata Pak Carter buru-buru. "Baru kuingat
sekarang, bagaimana caramu memperlakukan kawan karibmu. Urus dirinya seperti
caramu mengurus dirimu sendiri. Dengan begitu ia pasti takkan kelaparan."
"Ah, Pak Carter ini,?" kata Venables dengan nada tersinggung. Padahal, dalam
hatinya ia merasa bangga diganggu dengan cara begitu. Venables mengajak Jennings
ke kamar kecil, untuk mencuci tangan.
Di kamar kecil tidak ada sabun. Bagi anak-anak itu malah lebih menyenangkan.
Mereka membasahi tangan di bawah keran air dingin, lalu menekankannya keras-
keras ke handuk-handuk yang bersih. Bekas tangan yang nampak pasti akan
menggembirakan bagian sidik jari dari kepolisian. Itu kalau anak-anak penjahat,
karena bekas tangan mereka di handuk-handuk itu nampak jelas sekali!
Bunyi bel terdengar lagi. Venables mengajak Jennings ke ruang makan, di mana Pak
Carter sudah menunggu. Ia hendak mengucapkan doa sebelum makan.


Jennings Si Iseng Karya Anthony Buckeridge di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Anak-anak berhenti mengobrol.
"Benedictus, benedicat, " kata Pak Carter mengucapkan doa.
Terdengar bunyi kursi-kursi digeser, dan anak-anak mulai bercakap-cakap lagi.
"Kau duduk di sini saja, Jennings, di sebelah anak baru ini," kata Venables,
lalu menyapa anak itu, "He, siapa namamu?"
"Charles Edwin Jeremy Darbishire," kata anak itu. Serupa dengan ayahnya, pendeta
yang diantar kepala sekolah melihat-lihat berkeliling tadi, anak ini pun
berbicara dengan nada yang sangat serius. Kata-katanya diucapkan dengan jelas
sekali. "Simpan saja namamu yang Charles Edwin Jeremy, karena di sini tidak diperlukan,"
kata Venables. "Dan sebaiknya kau bercakap-cakap dengan Jennings untuk saling
berkenalan, karena kalian sama-sama anak baru." Dengan sikap seseorang yang
sudah cukup banyak menunjukkan sikap ramah terhadap murid baru yang masih
ingusan, ia berpaling untuk mengobrol mengenai soal-soal penting dengan teman-
teman sebayanya. Jennings dan Darbishire berpandang-pandangan. Sikap mereka sama-sama tak acuh.
Karena disuruh bercakap-cakap, mereka malah bingung, tidak tahu apa yang harus
dikatakan. Akhirnya Darbishire mendehem, lalu memulai percakapan.
"Cuaca hari ini bagus sekali, untuk bulan September," katanya berbasa-basi.
dengan gaya orang yang sedang bertamu. Maklumlah, anak pendeta!
"Hah?" Jennings terkejut. Ia tidak biasa berbasa-basi dengan gaya yang begitu
sopan. "Ya, betul, sangat bagus! Eh - ngomong-ngomong," katanya melanjutkan,
"berapa uangmu yang ada di tabungan sekolah" Aku punya lima pound."
"Mulanya juga lima pound," kata Darbishire, "tetapi dalam perjalanan kemari
tadi, aku membelanjakan lima belas penny. Aku sudah menyerahkannya kepada guru
yang baru saja mengucapkan doa. Siapa namanya?"
"Kalau tidak salah, Pak-eh, siapa ya" He, Venables, siapa nama guru yang tadi
itu?" Venables menoleh dengan sikap segan. "Kau berbicara dengan aku?"
"Ya. Guru yang tadi itu. Siapa katamu, namanya?"
"Benedick," jawab Venables. ''Tapi itu nama julukan yang kami berikan padanya.
Sebenarnya ia bernama Pak Carter."
"Kenapa julukannya begitu?" tanya Jennings lagi.
"Ya, kau kan mendengar sendiri, ketika ia mengucapkan doa tadi. Benedictus dan
seterusnya. Lalu, sesudah selesai makan, ia mengatakan,
"Benedicto, benedictata."
Jennings bersikap menunggu. Dikiranya masih akan datang penjelasan lebih lanjut.
Tapi ternyata tidak. "Lalu?" katanya.
"Kan baru saja kukatakan," kata Venables dengan sabar. Kesabaran yang ditujukan
kepada teman bicara yang gobloknya luar biasa. "Karena selalu mengucapkan kata
benedicta, ia lantas mendapat julukan Benedick. Benedick Carter."
"Oh," kata Jennings. "Jadi julukan itu lelucon, ya ?"
"Otakmu ada di tumit rupanya," kata Venables.
"itu kata dalam bahasa Latin," kata Darbishire menjelaskan. "Ayahku mahir
berbahasa Latin. Ia pendeta, dan katanya - "
"Tapi apa artinya" Maksudku, kata benedict tadi itu?" tanya Jennings mengotot.
"Jangan tanya padaku," kata- Venables. "Dalam
semester kemarin, angkaku jeblok untuk pelajaran bahasa Latin. Sebentar,
kutanyakan saja pada Bod - dia itu pintar." Ia menyapa Temple, teman sebayanya,
yang duduk di seberang meja. "He, Bod, ini ada anak baru yang ingin tahu arti
kata-kata doa tadi. Semester kemarin, kau kan yang paling tinggi nilainya untuk
pelajaran bahasa Latin. Jadi mestinya kau tahu."
Temple, atau Bod, menurut julukan yang diberikan teman-temannya, berpikir
sebentar. Sebagai murid yang mendapat nilai tertinggi untuk pelajaran bahasa
Latin, ia tidak bisa terus terang mengatakan tidak tahu.
"Yah," katanya dengan gaya mantap, "jika kata-kata itu diucapkan sebelum makan,
artinya kurang lebih, 'Silakan makan'. Sesudah makan, artinya, 'Kalian sudah
makan.' " Sesudah memberi penjelasan itu, ia kembali menekuni hidangan makanan
yang ada di hadapannya. "Tapi jika apa yang dikatakan Bod itu benar..." kata Jennings.
"Kau tidak boleh menyebutnya dengan nama itu," kata Venables buru-buru. "Anak-
anak baru tidak diperbolehkan menyebut anak-anak yang lama dengan julukan
mereka. Kalau sudah lebih . dari satu semester di sini, baru boleh."
"Kalau begitu namanya yang benar bukan Bod, sama seperti nama Pak Carter bukan
Benedick," kata Jennings. Anak ini memang ingin memastikan segala-galanya.
''Tentu saja bukan," kata Venables. "Namanya Temple, dan singkatan nama-nama
depannya CAT. Kau tahu kan, cat" Kucing! Karena itu kami menjulukinya Dog.
Anjing!" "Tapi sewaktu kau menyapanya tadi, kau tidak menyebutkan kata itu. Kau
menyapanya dengan Bod."
"Tunggu dulu dong, aku belum selesai," kata Venables. "Julukan Dog itu agak
merepotkan, jadi untuk singkatnya kami memanggilnya dengan Dogsbody. "
"Tapi itu kan tidak singkat," bantah Jennings. "Dogsbody kan lebih panjang
daripada Dog." "BetuI. Jadi itu perlu disingkat. Bod itu singkatan dari Body, sementara
Dogsbody merupakan singkatan dari Dog. Huh!" Venables menggeleng-geleng dengan
sedih. "Sungguh deh, kalian anak-anak baru benar-benar payah! Begitu saja susah
mengertinya!" "Kau sudah berapa lama bersekolah di sini?" tanya Jennings ingin tahu.
"Aku" Wah, sudah lama sekali," jawab Venables. Dari suaranya mengucapkan kata-
kata, mestinya ia paling sedikit sudah puluhan tahun menjadi murid di situ.
"Yah, begitulah, dua semester," katanya mengaku.
*** Selesai minum teh, Venables mengantarkan Jennings dan Darbishire ke sebuah
ruangan. Di situ ada beberapa belas orang anak. Mereka sibuk menulis pada
lembaran kartu pos, untuk memberi tahu orang tua mereka bahwa mereka sudah tiba
dengan selamat. "Kalian tunggu saja di sini," kata Venables. "Jika tidak punya kartu pos, nanti
akan diberi Pak Wilkie." Setelah itu ia pergi. Jennings dan Darbishire memandang
ke kiri dan ke kanan, mencari-cari orang yang bernama Pak Wilkie itu.
Tiba-tiba pintu terbuka dengan cepat sekali, seolah-olah ada bom meledak di
belakangnya. Orang yang dijuluki Pak Wilkie oleh Venables tadi masuk dengan
langkah terburu-buru. Nama sebenarnya Pak Wilkins. Orangnya bertubuh besar. Tingkah lakunya serba
kasar dan tidak sabaran. Ia sebenarnya suka pada anak-anak yang berada di bawah
pengawasannya. Tapi ia merasa tidak bisa memahami mereka. Bagi orang dewasa
dengan jalan pikiran seperti Pak Wilkins, kata-kata dan perbuatan mereka selalu
menimbulkan keheranan. "Aku ingin agar semua kartu pos kalian dikumpulkan sekarang ini juga," katanya
dengan suara menggelegar. "Jika belum selesai menulis, mestinya sudah selesai
sejak tadi. Aku tidak bisa menunggu sampai besok. Banyak pekerjaan yang masih
harus diselesaikan."
"Maaf, Pak, tapi saya dan Darbishire tidak punya kartu pos, Pak," kata Jennings.
"Kalian murid baru, ya" Sudah kusangka, karena selama ini aku rasanya belum
pernah melihat tampang kalian di sini. Nah, ini-dua lembar kartu pos, dan dua
pena. Sana, tulislah!"
"Kepada siapa saya harus menulis, Pak?" tanya Darbishire.
"Tentu saja kepada ayah dan ibumu! Kepada siapa lagi" Untuk apa menulis kepada
Uskup Agung Canterbury - ia pasti takkan peduli. Katakan pada mereka, kalian
sudah tiba dengan selamat."
Jennings dan Darbishire mendatangi sebuah meja lalu duduk di situ. Darbishire
memasukkan ujung gagang penanya ke mulut sambil berpikir-pikir. Sementara itu
dengan perasaan senang Jennings melihat bahwa botol tinta yang ada di meja itu
sampai tiga perempatnya berisi kertas pengisap tinta. Dengan cermat dicongkelnya
potongan-potongan kertas itu keluar dengan mata penanya. Potongan-potongan
kertas itu diletakkannya di sisi atas meja. Tinta mengalir dari situ, seperti
sungai-sungai kecil berwarna biru tua.
Darbishire akhirnya mengambil keputusan. Ia akan menulis kepada orang tuanya
bahwa ia menaruh perhatian tentang keadaan kesehatan mereka. Ia mulai menulis,
'Linbury Court Preparatory School, Dunhambury, Sussex', dengan huruf yang besar-
besar, sehingga lebih separuh dari lembaran kartu pos terisi dengannya. 'Ayah
dan Ibu yang tercinta' sambungnya dengan huruf-huruf berukuran tinggi satu senti
dan lebar setengahnya. Ia melihat bahwa setelah menuliskan kalimat itu, tempat
yang tersisa hanya cukup untuk satu baris kalimat saja. 'Mudah-mudahan kalian
dalam keadaan -' Ia berhenti menulis, karena di kartu posnya tidak ada tempat
lagi. Ada juga tempat sedikit, cukup untuk membubuhkan tanda titik. Darbishire
membuat tanda titik. Lalu diserahkannya kartu pos itu kepada Pak Wilkins.
Mata guru itu terkejap-kejap ketika melihat tulisan dengan huruf-huruf yang
begitu besar itu, lalu membacanya.
"Mudah-mudahan kalian dalam keadaan-?" Dipandangnya Darbishire dengan sikap
bingung. "Mudah-mudahan kalian dalam keadaan apa?"
"Tidak, Pak, bukan dalam keadaan apa," kata Darbishire membetulkan, "tapi dalam
keadaan sehat." "Mestinya memang begitu," kata Pak Wilkins. "Tapi itu tidak kautuliskan. Di sini
tertulis, 'Mudah-mudahan kalian dalam keadaan', titik. Itu sama sekali tidak ada
artinya!" . "Tetapi tempat untuk menulis sambungannya tidak ada lagi, Pak," kata Darbishire
menjelaskan. "Dan begitu pun sebenarnya juga tidak apa-apa, karena dari tanda
titik di ujungnya ayah saya akan bisa tahu bahwa saya sudah selesai menulis.
Jadi kalimat itu terputus bukan karena saya dengan tiba-tiba berhenti karena
dipanggil atau ada urusan lain, Pak."
"Kau ini bagaimana, sih?" kata Pak Wilkins. "Masa kau tidak tahu bahwa kalimat
yang kautulis itu sama sekali tidak ada artinya" Dari mana ayahmu bisa tahu,
dalam keadaan bagaimana kauharapkan ia dan ibumu berada" Jangan-jangan ia nanti
lantas menduga, kau mengharapkan bahwa mereka dalam keadaan -" Pak Wilkins tidak
meneruskan kalimatnya. Ia tidak tahu, apa yang mungkin nanti ada dalam pikiran
Pak Darbishire tentang kalimat yang tidak selesai itu.
"Tapi sambungannya pasti harus 'sehat', Pak," kata Darbishire. "Anda sendiri
tadi juga sudah menduga begitu. Dan jika Anda bisa menduga sambungannya dengan
tepat, saya yakin ayah saya pasti juga bisa. Masa saya mengharapkan bahwa ayah
dan ibu saya berada dalam keadaan sakit. Itu baru aneh!"
Pak Carter, jika dia yang saat itu yang menghadapi Darbishire, kemungkinannya ia
hanya akan mendesah saja. Tapi Pak Wilkins lain wataknya. Ia mendengus. Bunyinya
seperti ban pecah. Tengkuknya memerah. Ia memejamkan mata dan menarik napas
dalam-dalam. Setelah ketenangannya pulih, disodorkannya selembar kartu pos lagi
kepada Darbishire. Sementara itu Jennings sudah mengeluarkan semua potongan kertas pengisap yang
ada di dalam botol tinta. Kini ia menggigit-gigit gagang penanya. Jika itu terus
dilakukannya, maka diperlukan waktu sekitar satu minggu sampai pena itu tinggal
matanya saja. Saat itu pangkalnya sudah berubah bentuk, pecah berserat-serat
seperti kuas. Menulis surat di kartu pos untuk dikirim ke rumah. Itu merupakan pengalaman baru
baginya. Sekarang, apa yang harus ditulisnya" Ketika ia hendak berangkat, ibunya
berpesan agar begitu sampai di sekolah, uang yang untuk ditabung harus dengan
segera diserahkan. Itu sudah dilakukannya. Dan itu bisa dituliskannya, sebagai
berita pertama. Jennings teringat bahwa ia lebih kaya dari Darbishire, karena
anak itu hanya punya uang tabungan lima pound dikurangi lima belas penny.
Sesudah itu, apa lagi yang bisa ditulis" O ya, lelucon Pak Carter tadi, ketika
guru itu mengatakan tentang dia sakit pes. Apa nama julukan Pak Carter di
kalangan anak-anak" Benny apa" Julukan itu ada hubungannya dengan doa yang bisa
diterjemahkan artinya oleh Bod, karena anak itu pintar sekali dalam pelajaran
bahasa Latin. Nah - mestinya semuanya itu sudah cukup untuk mengisi lembaran
kartu posnya. Jennings mulai menulis. Ibu yang tercinta, Punyaku sudah kuberikan pak Carter, Darbishire sudah kurang sedikit. Kartu anuku
ada dalam kantong. Katanya aku sakit pes itu lelucon saja, ia dipanggil Beni Dik
Tu bunyinya begitu. Salam John. Temple itu pintar sekali ia dipanggil singkatan dog sbodi.
Jennings memandang hasil tulisannya dengan puas. Dibawanya kartu pos yang sudah
penuh dengan tulisannya itu kepada Pak Wilkins. Ia menyerahkannya, lalu menunggu
pendapat guru itu. Pak Wilkins berusaha keras untuk memahami makna isi kartu pos yang ditulis oleh
Jennings. Ia gemar mengisi teka-teki silang. Karenanya ia berpendapat, jika ada
satu saja petunjuk untuk membuka jalan, mungkin ia akan bisa memahami surat yang
nampaknya merupakan surat rahasia itu. Tapi ia sama sekali tidak memiliki
petunjuk. Sekali ini ia membutuhkan waktu yang lebih lama untuk memulihkan
ketenangannya. Lonceng asrama berdering satu jam kemudian ketika Pak Wilkins dengan sikap segan
menerima kartu pos yang ditulis oleh Jennings. Itu merupakan percobaannya yang
ketujuh. Kini Pak Wilkins memahami isinya, setelah dijelaskan oleh Jennings
dengan sabar sekali. Tapi bagi orang tua anak itu, Pak dan Bu Jennings, isi
kartu pos itu tetap tidak mungkin bisa dipahami. Soalnya, tidak ada Jennings di
rumah, tidak ada yang bisa memberikan penjelasan. Jadi bagi mereka isi surat itu
tetap merupakan teka-teki, untuk selama-lamanya.
2. AWAL YANG TIDAK ENAK "KAU tidur di ranjang ini, Jennings," kata Venables, "dan kau di sini,
Darbishire, di sebelahnya. Ayo cepat, kalian cuma punya waktu sepuluh menit.
Sesudah itu sudah harus berada di ranjang masing-masing."
Ruang tidur itu tidak besar ukurannya. Ada lima buah ranjang di situ, masing-
masing dilengkapi dengan sebuah kursi di sebelahnya. Lalu tiga bak tempat cuci
muka di dekat jendela, dan sebuah cermin besar yang dipasang di sebuah pojok
yang gelap. Jennings masih terus terkagum-kagum menghadapi kehidupan yang sama sekali baru
baginya itu. Tapi Darbishire merasa kecewa melihat perlengkapan yang serba
seperlunya saja di ruang tidur itu. Ia membandingkannya dengan kenyamanan kamar
tidurnya di rumah. Ia meneguk ludah sampai dua kali untuk menelan kesedihannya
ketika melihat piyama, kantong tempat spons untuk mencuci badan, serta Kitab
Injilnya tergeletak di ranjangnya yang keras dan berkerangka besi.
"Kenapa kau, Darbishire?" tanya Temple.
''Tidak kenapa-kenapa," kata Darbishire. Dikejap-kejapkannya mata yang kabur
karena air mata. "Yah, aku tidak suka berada di sini. Di rumah, ayahku selalu
datang untuk bercakap-cakap sebentar apabila aku sudah berbaring di tempat
tidur. Yah-di sini begitu lain suasananya bagiku."
"Ah, entahlah," kata Jennings menekur, "mungkin lama-lama kita akan biasa juga,
setelah tiga atau empat tahun."
"Kalian harus membiasakan diri dengan macam-macam hal di sini," kata Venables.
"Tunggu saja sampai kalian sudah mengikuti pelajaran bahasa Latin. Gurunya
Kepala Sekolah sendiri. Caranya mengajar, gawat deh! Ya kan, Atki?"
"Betul," sambut Atkinson. "Aku pernah disuruhnya menuliskan bentuk pasif dari
'Audio', sebanyak dua puluh lima kali. Sampai setengah mati aku dibuatnya."
Temple tidak mau ketinggalan. Kedua anak baru ini harus dibuat sadar bahwa
Kepala Sekolah benar-benar galak. "Dan jika kita berhenti pada waktu disuruh
menyebutkan segala perubahan bentuk sebuah kata kerja," katanya, "atau bahkan
cuma menarik napas saja, ia langsung menghukum dengan memberi garis di daftar
nilai kita. Semester yang lalu aku mendapat lima puluh tujuh garis untuk
pelajaran bahasa Latin. Padahal aku yang paling baik di kelas."
Tampang Darbishire langsung menjadi agak pucat. Tapi Jennings tidak gampang
digertak. "Lalu guru-guru yang lain, bagaimana mereka?" tanyanya.
Venables, Temple, dan Atkinson diam sebentar. Berpikir. Ketiga anak itu, murid
lama, yang juga menempati ruang tidur itu sebenarnya senang sekali bersekolah di
situ. Mereka menyukai semua guru di situ. Mereka juga tahu bahwa segala
peraturan di sekolah itu diadakan untuk kepentingan mereka sendiri. Tapi mereka
merasa tidak enak jika mengakui kenyataan itu. Nanti kedua anak baru itu malah
menyepelekan mereka. "Pak Wilkie gawat sekali kalau sudah sewot," kata Temple sambil memutar-mutarkan
sepotong kaus kakinya di atas kepala. Ia berdiri di atas kasur ranjangnya, lalu
menirukan Pak Wilkins yang sedang marah.
"Aku-aku-aku-kalian -kalian- khmh!" semburnya. Sebetulnya sama sekali tidak ada
kemiripannya dengan Pak Wilkins yang sedang marah. Tapi teman-temannya tetap
saja bertepuk tangan. Mereka tidak peduli apakah peniruan itu mirip atau tidak.
"Coba kemari sebentar, Temple - makhluk brengsek!" sambung Temple, menirukan Pak
Wilkins. "Tidak tahukah kamu bahwa sudut-sudut dasar segitiga sama kaki boleh
dibilang sama besarnya" Tulis itu, seratus lima puluh juta kali! Harus sudah
selesai sebelum minum teh nanti!" Anak-anak bertepuk tangan menonton aksi yang
ditampilkan Temple. Anak itu, saking bangganya mendapat sambutan begitu,


Jennings Si Iseng Karya Anthony Buckeridge di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

langsung mencampakkan baju sweater-nya, lalu melayangkan pukulan jab kiri-kanan
bertubi-tubi ke arah Venables. Tentu saja secara bercanda, hanya untuk
melampiaskan perasaan senangnya.
Darbishire membebaskan diri dari sweater yang dicampakkan Temple dan jatuh
menyelubungi kepalanya. Hatinya yang memang sudah kecut, bertambah tidak enak
rasanya. "Maksudmu, ia suka marah-marah?" tanyanya dengan cemas.
"Istilah kami untuk itu, gempa," kata Atkinson. "Kadang-kadang gempanya begitu
kuat, sampai bergetar kaca-kaca jendela karenanya."
"Kalau Pak Carter, bagaimana dia?" tanya Jennings.
"Kalau dia sih, orangnya bolehlah," kata Venables. "Kadang-kadang agak sinting.
Tapi mana sih, ada guru yang tidak begitu?"
Pertandingan tinju antara Temple dan Venables terhenti dengan tiba-tiba.
Venables merasa bahwa ia perlu ikut menyumbangkan keterangan mengenai seluk-
beluk kebiasaan di sekolah itu.
"Apa lagi yang perlu kalian ketahui, ya?" katanya. "Pertama-tama, kalian tidak
boleh memasukkan tangan ke saku celana. Kecuali pengawas murid. Kalau mereka,
boleh!" "Kenapa begitu?" tanya Jennings.
"Entah, pokoknya begitulah peraturannya."
"Bagaimana jika aku perlu saputangan?" tanya Darbishire. "Kalau menunggu sampai
sudah menjadi pengawas murid, harus bertahun-tahun aku menunggu. Dan itu pun
belum tentu aku nanti terpilih. Masa selama itu aku harus menyedot-nyedot ingus
terus. Dan kata ayahku, jika pilekku nanti..."
"Bukan begitu," kata Venables. "Maksudku, kalian tidak boleh berkeliaran dengan
tangan di dalam saku, sepertinya kalian pemilik tempat ini. Dan kalian juga
tidak boleh berlari-lari dalam gang. Tidak boleh main lempar-lemparan di ruang
umum. Tidak boleh membaca buku komik. Tidak boleh mengudap sebelum makan siang,
dan tidak boleh memakai rompi untuk main sepak bola."
"Tapi kalian boleh bernapas tanpa perlu minta izin dulu," kata Temple menyela.
Venables terdiam, karena tidak tahu larangan mana lagi yang perlu disampaikan
kepada kedua murid baru itu. Tapi hanya sebentar saja ia terdiam.
"O ya, betul," katanya, "jika kalian tidak berhasil mencetak gol dalam
pertandingan melawan sekolah lain atau menyebabkan lawan berhasil memasukkan
bola ke gawang kita, kalian akan dijuluki 'Goblok' selama satu semester."
Peraturan itu sebetulnya tidak ada, dan hanya merupakan karangan Venables
sendiri. "Wah, payah kalau begitu," keluh Darbishire. "Aku sama sekali tidak berbakat
olahraga." Percakapan terhenti, karena saat itu terdengar bunyi bel di kejauhan.
"Wah!" kata Atkinson. "Itu tanda waktu tinggal. lima menit lagi. Yuk, kita harus
membersihkan badan."
Di ruang tidur itu ada lima orang anak. Sementara bak tempat mencuci muka hanya
ada tiga. Repot! Tapi menurut tradisi, murid-murid lama yang paling dulu
mendapat giliran. Anak-anak baru harus menunggu sampai mereka selesai.
Atkinson berlari ke bak yang biasa dipakainya. Ia membuka keran air, lalu lari
kembali ke ranjangnya untuk mengambil kantong tempat sponsnya. Tapi percuma saja
ia bergegas-gegas, karena ia lupa memasang penyumbat untuk menutup lubang di
dasar bak. Jadi bak itu tetap saja kosong, seperti semula.
Venables nampak sibuk sekali. Ia meloncat kian kemari. Naik ke ranjang yang
dijadikannya landasan pacu pesawat terbang. Mana pesawat terbangnya" Ya, dia
sendiri! Tapi saban kali ancang-ancangnya meleset. Jadi diulanginya lagi
loncatannya. Tapi tidak lama kemudian rambut di belakang telinganya basah juga
sedikit. Itu merupakan tanda bahwa ia juga sudah mencuci muka dan badan.
Temple bergegas mengambil baju piamanya dari atas kap lampu. Baju piama itu tadi
dicampakkannya ke sana, agar gerak-geriknya yang menirukan Pak Wilkins nampak
lebih mirip aslinya. Darbishire belum bisa membiasakan diri bahwa waktu tidurnya diatur bunyi
lonceng. Ia duduk di pinggir ranjangnya. Dengan sikap lesu ditarik-tariknya tali
sepatunya. "O ya, masih ada satu hal lagi, Jennings," kata Venables sambil membasahi
badannya dengan air yang diisap dengan spons, "kalian harus mencuci kaki setiap
malam kecuali jika giliran mandi. "
Ia meneguk air dari gelasnya lalu berkumur-kumur.
"He, Atki," katanya, "bisa tidak kau mengganti persneling saat sedang berkumur.
Seperti begini! Lihatlah-eh, maksudku dengar!"
Ia berkumur lagi sambil mendongak. Dari mulutnya mula-mula terdengar bunyi
bernada berat. Bunyi itu semakin meninggi, seperti bunyi mobil yang berjalan dan
persnelingnya berpindah-pindah. Dari gigi satu ke dua, lalu dari dua ke tiga.
Kendaraan itu bertambah laju, makin lama makin menjauh, dan akhirnya lenyap
bunyinya. "Hebat!" kata Jennings memuji.
"Ya, lumayan, kan?" kata Venables mengakui kehebatannya sendiri. "Selama liburan
kemarin ini aku sering berlatih."
"Biar begitu aku juga bisa," kata Jennings lagi.
"Aku juga," kata Atkinson.
Dengan segera ruang tidur itu sudah dipenuhi bunyi mobil-mobil yang berganti
persneling. Mobil sport yang lincah dengan mesin yang kuat. Truk-truk besar
bermuatan berat, yang dengan susah payah mendaki lereng bukit terjal. Atkinson
tersedak karena air kumurnya tertelan ketika ia mengganti persneling sewaktu
memasuki tikungan tajam dengan kecepatan lebih dari seratus kilometer per jam.
Ia terbatuk-batuk, sementara teman-temannya sibuk memukul-mukul punggungnya.
"Aku bisa sesuatu yang lebih bagus lagi," kata Jennings. "Aku bisa menirukan
bunyi pesawat jet tempur. Nih, dengar... Ngieengg, ngieeenggg, ngiengggg....
dododor; dododor..." Senapan mesinnya menghamburkan peluru dengan gencar.
"Ngieenggg... dododor... Grubyakkk!"
"Yang 'grubyak' itu apa?" tanya Venables.
"Pesawat musuh yang jatuh kena tembakanku," kata pilot ruang tidur itu.
"Sekarang aku menukik. Ngaienggggg... dododor, dododor..."
Dengan segera jumlah pilot bertambah tiga lagi. Venables, Atkinson, dan Temple
asyik berngieng-ngieng, ber-dododor, dan ber-grubyak dengan lengan terpentang,
memutar, memiringkan tubuh, dan menukik. Hanya Darbishire saja yang tidak ikut-
ikutan. Ia duduk di tepi ranjangnya sambil menyumbat lubang telinga dengan jari.
Tiba-tiba pintu ruang terbuka. Keempat pilot berhenti terbang. Padahal
sebetulnya belum mendarat!
"Hm," kata Pak Carter yang muncul di ambang pintu. "Jika skuadron ruang tidur
no. 4 tidak segera kembali ke pangkalan, bisa timbul kesulitan nantinya. Tiga
menit lagi lampu harus sudah mati."
"Ya, Pak," kata keempat pilot skuadron ruang 4 dengan malu-malu.
Pak Carter keluar lagi sambil menutup pintu.
"Ayo, cepatlah sedikit, Kawan-kawan," kata Venables. "Benedick tidak pernah
main-main..." Ia tidak melanjutkan kalimatnya, karena kaget melihat sesuatu yang
melanggar tradisi. "He, Jennings," bentaknya, "sedang apa kau di bak itu?"
"Mencuci kaki," kata Jennings. "Tadi kau kan bilang, aku harus mencuci kaki."
"Tapi kau tidak boleh lebih dulu memakai bak itu. Itu kepunyaan Bod. Semester
lalu ia mengatakan. 'Cup, bak ini punyaku!' Anak-anak baru, paling penghabisan
mencuci badan." "Tapi pokoknya sekarang aku sudah lebih dulu," kata Jennings.
Temple bergegas datang untuk mempertahankan haknya.
"Ini bakku, Jennings. Ayo minggir," katanya dengan nada memerintah.
"Tapi tadi aku kan tidak tahu," bantah Jennings.
"Kau seharusnya tahu. Sana, minggir!"
Jennings tidak mau digertak dengan cara begitu.
"Aku tadi lebih dulu di sini, jadi aku boleh mencuci kakiku lebih dulu,"
katanya. "Aku takkan mau dibegitukan anak baru, Bod," kata Venables.
"Jangan khawatir," kata Temple. "Takkan kubiarkan saja ada anak baru menyuruh
aku begini dan begitu. Aku akan menghitung sampai tiga, Jennings, dan kalau kau
masih juga belum minggir, akan kuperas spons basah ini di atas piamamu."
Kecut juga Jennings mendengar ancaman itu. Temple yang paling besar di antara
mereka berlima yang ada di ruang tidur itu. Selain itu masih ada pula dua
kawannya. Tapi Jennings ingat pesan ayahnya, bahwa ia harus berani menghadapi
tantangan. Ia memutuskan untuk mencobanya.
"Jangan ganggu aku," katanya, sementara Temple menghitung sampai tiga dengan
nada mengancam. "Kalau begitu baiklah," kata Temple, lalu memeras sponsnya di atas punggung
Jennings yang membungkuk di depan bak.
Jennings menjerit, karena air yang mengucuri punggungnya terasa dingin sekali.
Jeritannya nyaring, menggema ke mana-mana.
"Aku basah kuyup nih!" serunya dengan kesal.
"Awas, Benedick datang!" bisik Atkinson sambil melirik ke arah pintu.
Pak Carter masuk, dan memandang berkeliling.
"Siapa yang bertanggung jawab atas suara teriakan tadi?" tanyanya.
"Saya, Pak. Tapi Bod yang salah-maksud saya, Temple, Pak," kata Jennings dengan
gugup. "Ia memeras sponsnya yang basah di atas piama saya, sampai saya basah
kuyup." "Pengadu!" desis Atkinson dan Venables. Keduanya mengira bahwa Pak Carter takkan
mungkin bisa mendengar. Tapi mereka keliru!
"Kau salah mengerti, Jennings," kata Pak Carter. "Aku tadi tidak bertanya siapa
yang berteriak melainkan siapa yang bertanggung jawab atas keributan itu. Aku
sengaja bertanya dengan cara begitu. Maksudnya, dengan begitu anak yang bersalah
mendapat kesempatan untuk mengaku, tanpa menyebabkan anak yang menjadi korban
mengatakan sesuatu, karena itu mau tidak mau menyebabkan dia menjadi pengadu. Di
situlah letak perbedaannya."
"Ya, Pak, sekarang saya mengerti," kata Jennings.
"Tapi mungkin telingaku masih agak tuli karena suara berisik kalian menirukan
bunyi pesawat terbang tadi. Jadi aku tidak begitu mendengar jawabanmu, Jennings!
Nah - sekarang, siapa yang bertanggung jawab atas suara teriakan tadi?"
"Saya, Pak," kata Temple.
"Terima kasih, Temple," kata Pak Carter. "Besok, setelah selesai sarapan, kau ke
kantorku, ya! Kita selesaikan di situ urusan ini."
"Ya, Pak," kata Temple lagi.
"Sekarang kalian harus diam. Cepatlah, selesaikan persiapan kalian untuk masuk
ke tempat tidur." Pak Carter menunggu sementara anak-anak mencuci badan dan kaki dan melakukan
hal-hal selanjutnya yang bersangkutan dengan persiapan untuk tidur.
Darbishire belum biasa bergegas-gegas. Jadi Pak Carter terpaksa membantu. Ia
melipatkan pakaian Darbishire, lalu menunggu sementara anak itu membaca sepuluh
ayat dari Kitab Perjanjian Baru, menuruti suruhan ayahnya. Setelah Darbishire
selesai, barulah Pak Carter memadamkan lampu ruangan.
"Selamat tidur, Anak-anak!" katanya, lalu keluar.
Temple menunggu sampai Pak Carter sudah sampai di ujung gang, lalu berbisik
dengan sengit, "Kau pengadu, Jennings! Awas! Kuhajar kau besok!"
"Betul, Bod," kata Atkinson sambil berbisik pula. "Lakukan sebelum waktu minum
teh, itu saat yang paling baik."
''Tapi bukan aku yang salah," kata Jennings memprotes dengan suara keras.
"Ssst! Ssst!" Ketiga anak lama mendesis menyuruhnya diam. "Kita sekarang sudah
harus diam. Jadi berbisik. kalau mengatakan apa-apa."
"Benedick itu telinganya sangat tajam," kata Venables. "Biar sudah ada di bawah
pun, ia masih bisa mendengar kita."
"Pokoknya, bukan aku yang salah tadi itu," kata Jennings dengan suara yang
menurut anggapannya sudah berbisik.
"Tentu saja kau yang salah," kata Temple. "Kau kan tidak perlu berteriak sekeras
itu." "Maaf deh," kata Jennings mengalah.
"Baiklah," kata Temple dengan ketus, "tapi lain kali jangan kaulakukan lagi."
Venables tidak puas. Harapan bahwa besok akan bisa menonton murid baru dihajar,
tahu-tahu lenyap setelah ada permintaan maaf, sama sekali tidak disukainya.
Karena itu ia lantas memanas-manaskan suasana lagi.
"Kau mau saja menerima, urusan kita selesai dengan begitu saja?" katanya kepada
Temple. "Bahkan Benedick tadi pun tahu bahwa Jennings yang salah. Kan dia
diomeli, karena mengadu!"
"Oke deh," kata Temple. "Kau akan kuhajar besok, Jennings, seperti kukatakan
tadi." Darbishire merasa berkewajiban untuk ikut bicara.
"Itu tidak adil," katanya serius. "Kau sudah menerima permintaan maaf Jennings,
jadi tidak sepantasnya jika dia masih kauhajar pula."
"Jangan ikut-ikut ngomong, Darbishire! Tidak ada yang menanyakan pendapatmu,"
kata Venables. "Kalau kau masih mengatakan sesuatu lagi," kata Temple kepada Darbishire, "besok
kau akan kuhajar juga, sesudah aku membereskan Jennings."
Ruang tidur itu sunyi selama beberapa saat.
Kemudian Atkinson merasa bahwa keadaan bisa lebih asyik lagi, jika Jennings
dibuat sadar bahwa nasibnya benar-benar gawat.
"He, Jennings," katanya, "tahu tidak, Temple ini semester yang lalu memenangkan
kejuaraan tinju kelas junior."
"Biar saja," kata Jennings dengan sikap tidak acuh. Padahal, dalam hati ia
semakin ketakutan. "Menurutku, tidak adil jika-" kata Darbishire hendak menyatakan pendapat.
"Diam, Darbishire! Tidak ada yang bertanya padamu," kata ketiga murid lama
serempak. "Kalau kau mau tahu, Jennings," kata Atkinson, yang merasa semakin asyik, "kau
mengambil risiko yang besar sekali, karena berani menantang Bod. Kau tahu apa
yang dilakukannya semester yang lalu" Ia membolos, pergi ke kota dengan bus.
Padahal di sekolah ini hukuman untuk anak yang membolos berat sekali!"
Atkinson menceritakan kejadian itu, yang menyebabkan gengsi Temple menjadi
sangat tinggi di mata anak-anak. Kejadiannya pada suatu hari, ketika anak-anak
siangnya tidak bersekolah. Mereka sedang berlatih main cricket di bawah pimpinan
Pak Carter. Tahu-tahu Temple lari menyelinap, pergi ke kota dengan bus. Di sana
ia ke Valenti's, sebuah toko yang menjual beraneka macam makanan manis, termasuk
permen. Toko itu terkenal di kalangan anak-anak, karena menjual permen yang
sangat enak. Namanya Brighton Rock.
"Ia membelinya sebanyak empat puluh penny, lalu membawanya pulang di dalam
kantong yang ada nama toko itu di luarnya, sebagai bukti bahwa ia benar-benar ke
sana," kata Atkinson mengakhiri ceritanya dengan nada kagum.
"Dan aku tidak ketahuan," sela Temple. Ia merasa bangga karena perbuatannya itu
dipuji-puji sebagai tindakan kepahlawanan. "Begitulah aku ini," katanya dengan
nada merendah. Padahal ia ingin dipuji-puji lagi. "Tentu saja perbuatan begitu
sepele saja, bagi anak yang berani."
Anak-anak yang lain membenarkan ucapannya itu dengan suara pelan.
"Meski begitu," sambung Temple lagi, yang merasa belum cukup banyak dikagumi,
"belum pernah ada anak lain yang melakukannya. Mungkin memang tidak ada anak
lain yang berani! Yah, selamat tidur, deh," katanya dengan gaya orang terkenal
yang berbicara dengan manusia biasa.
"O ya, Atki, tolong ingatkan aku besok untuk menghajar Jennings sebelum waktu
minum teh, ya. Siapa tahu, bisa saja aku lupa."
Baik Jennings maupun Darbishire tidak tahu bahwa ancaman seperti itu pada
umumnya tidak pernah benar-benar dilaksanakan. Ancaman tentu saja harus
dilontarkan, demi harga diri anak yang merasa dirinya berada di pihak yang
benar. Tapi biasanya sebelum hajaran benar-benar dilakukan, ancamannya sudah
dilupakan dan kedua pihak yang bersengketa sudah menjadi teman kembali.
Dalam kejadian yang dialami Jennings pada malam pertamanya di asrama sekolahnya
yang baru, ketiga murid lama itu sebenarnya tidak berniat benar-benar
melaksanakan hukuman yang diancamkan. Mereka hanya bermaksud memberi peringatan
kepada Jennings. Anak baru itu perlu menyadari kedudukannya yang rendah dalam
kehidupan di sekolah itu. Ia tidak boleh menjadi besar kepala. Darbishire tidak
sadar bahwa segala ucapan ketiga anak lama itu sebenarnya hanya untuk menjaga
gengsi belaka. Karenanya ia benar-benar tersinggung.
"Itu tidak adil," katanya.
"Jika Darbishire mulai bertingkah, dia pun akan kuhajar pula," kata Temple.
"Aku tidak ingin menjadi dirimu besok, Jennings," kata Venables. Ia bergidik,
keasyikan sendiri. "Masa bodoh," kata Jennings. Ia tidak ingin ada orang lain tahu bahwa ia
sebenarnya ketakutan. Dibayangkannya ucapan ayahnya, bahwa ia harus berusaha
membela diri kalau berada di pihak yang benar. Kalau ia benar-benar membela
diri, mungkin... Tahu-tahu ia sudah tertidur.
Darbishire berbaring dengan mata terbuka. Hatinya pedih sekali rasanya. Sekolah
macam apa ini" Ini kekeliruan ayahnya! Tidak disangka olehnya bahwa sekolah
dengan asrama seperti ini merupakan tempat di mana kehidupan sehari-hari
dikuasai oleh bunyi lonceng, serta ancaman akan dihajar. Peraturan-peraturan


Jennings Si Iseng Karya Anthony Buckeridge di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

serba. melarang berbuat ini dan itu, sementara guru-guru menyuruh menulis macam-
macam sebanyak seratus lima puluh juta kali. Aduh, berapa lama waktu yang
diperlukan sampai tugas itu selesai dikerjakan" Jika untuk sekali diperlukan
waktu satu menit, itu berarti dalam satu jam menulis enam puluh kali. Ada dua
puluh empat jam dalam sehari, jadi itu berarti... Bukan main! Tapi kan perlu
waktu juga untuk makan dan sebagainya" Darbishire menghitung-hitung lagi.
Setelah menghitung untuk ketiga kalinya, ketika ia mendapat jawaban sebanyak
empat puluh tujuh tahun dan sekian hari, akhirnya ia juga tertidur.
3. GENGSI JENNINGS MENANJAK
KEESOKAN paginya Jennings sibuk sekali. Ia sampai bingung karenanya. Ia hanya
bisa ingat, setiap kali bunyi lonceng terdengar, ia harus berbaris lagi dalam
antrean yang panjang. Saban kali ikut dalam antrean. Jennings sebenarnya tidak
begitu tahu ke mana barisan itu bergerak. Pokoknya, saban kali pasti ia akhirnya
berhadapan dengan seorang guru. Guru demi guru itu selalu saja menanyai nama dan
umurnya. Lantas guru-guru itu memberikan sesuatu kepadanya. Ada yang memberikan
buku-buku pelajaran, ada yang menyodorkan sepasang kaus kaki untuk sepak bola,
pokoknya sesuatu yang mestinya sesuai dengan keperluan antrean.
Jennings merasa lega ketika saat makan siang tiba. Saat itu ia bisa merasa agak
tenang. Tapi ketenangan itu ternyata hanya sebentar saja, karena begitu anak-
anak selesai makan, lonceng berbunyi lagi dan semuanya mulai lagi membentuk
barisan yang bergerak ke salah satu tempat.
Jennings sudah bosan antre. Ketika dalam barisan itu ia sampai ke suatu sudut
dan harus membelok, ia menyelinap pergi seorang diri. Ia masih ingat pada
ancaman Temple malam sebelumnya. Hal itu menyebabkan ia merasa harus menghindar
sampai saat minum teh. Barangkali saja tidak ada lagi bahaya apabila saat itu sudah lewat.
Ia menjumpai Darbishire di ujung lapangan tempat bermain. Anak itu sendiri saja
di situ. "Kenapa kau di sini, Darbishire?" tanya Jennings. "Mestinya kau ikut antre,
entah ke mana lagi."
"Aku tahu," kata Darbishire sambil meneguk ludah. Jennings tidak bisa melihat
mata anak itu karena terlindung di balik kacamatanya. Tapi walau begitu ia bisa
juga tahu bahwa anak baru itu menangis, karena pipinya nampak basah.
"Kau menangis, ya?" kata Jennings.
"Ti-tidak, bukan benar-benar menangis. Aku hanya rindu, ingin kembali ke rumah.
Karena itulah kacamataku basah."
"Kan tidak ada yang perlu kaubingungkan," kata Jennings dengan maksud menghibur.
"Lain dengan aku! Kalau aku ini sudah sepantasnya cemas, karena akan dihajar
sebelum waktu minum teh nanti."
"Aku juga akan dihajar, apabila bertingkah," kata Darbishire.
"Lalu, apakah kau bertingkah?"
"Tidak. Sepanjang pagi ini aku rasanya sedih terus. Aku tidak suka bersekolah di
sini. Segala-galanya serba tidak menyenangkan, dan -ah, kenapa aku harus
bersekolah di sini?"
"Aku juga merasa tidak enak," kata Jennings. "Aku ingin bisa bicara sebentar
saja dengan ayahku. Aku ingin minta nasihat padanya, apa yang sebaiknya
kulakukan apabila dihajar nanti. Pasti ada sesuatu yang bisa kulakukan. Tapi
apa?" Tiba-tiba ia merasa mendapat akal yang bagus.
"He," katanya, "he, Darbishire, aku punya akal! Bagaimana jika kita lari saja
dari sini?" "Lari!" Darbishire terkejut, mendengar gagasan senekat itu.
"Ya, lari pulang. Lalu kau bisa mengatakan bahwa kau tidak suka bersekolah di
sini, dan ayahku akan bisa mengatakan bagaimana aku harus menghadapi juara tinju
yang hendak menghajar diriku."
"Tapi bagaimana kita bisa lari?" kata Darbishire. "Kita kan tidak diizinkan
keluar!" Anak itu memang sangat patuh.
Jennings hanya mengangkat bahu saja. Baginya, larangan itu merupakan urusan
kecil. "Itu kan gampang!" katanya. "Kita berjalan saja ke luar lalu naik bus ke
stasiun, dan dari sana pulang. Untuk membeli karcis kereta api, kita minta saja
uang tabungan kita kepada Pak Carter."
"Tapi uangku hanya ada empat pound dan delapan puluh lima penny."
"Itu kan banyak! Pasti cukup untuk membeli karcis," kata Jennings meyakinkan.
"Wah, asyik juga, ya?"
Darbishire tidak yakin apakah ia menyukai keasyikan seperti itu. "Bagaimana
kalau ketahuan?" katanya dengan nada bimbang.
Jennings berpikir-pikir. Kemungkinan itu memang ada. Tapi barangkali ada salah
satu cara untuk mengurangi risiko itu.
"Aku tahu akal," katanya kemudian. "Kita menyamar. Jadi jika ada yang melihat
kita, orang itu tidak bisa mengenali bahwa yang dilihatnya itu kita."
"Maksudmu dengan jenggot, hidung palsu, dan sebagainya?" kata Darbishire dengan
mata terbelalak. "Kenapa tidak?" jawab Jennings dengan santai, seakan-akan sudah biasa melakukan
penyamaran. "Tapi aku tidak punya jenggot," kata Darbishire.
"Lagi pula, aku pasti kelihatan eh nanti-berjenggot, tapi memakai seragam anak
sekolah." Hal seperti itu tidak dianggap penting oleh Jennings. Pokoknya, rencananya
menyamar itu bagus sekali menurut perasaannya. Harus bisa dilaksanakan!
"Yah, kalau begitu jangan memakai jenggotlah," katanya, "tapi aku kan bisa
memakai kacamatamu! Itu pun sudah merupakan penyamaran. Dan kau bisa-eh-"
Apa yang bisa dilakukan Darbishire"
"Kau bisa-kau bisa berjalan pincang!" kata Jennings dengan nada puas. Ia benar-
benar jenius, katanya dalam hati memuji dirinya sendiri.
Darbishire mulai merasa senang, untuk pertama kali sejak berada di sekolah yang
merangkap asrama itu. Bayangan bahwa ia nanti akan berjalan pincang sangat
menggembirakan dirinya. "Ya, betul, asyik!" serunya. Seketika itu juga ia sudah melupakan kesedihannya
tadi. "Seperti begini, lihatlah!" Darbishire berjalan terpincang-pincang,
berkeliling-keliling. Jennings agak menyesal, karena memberi peranan yang begitu asyik kepada
Darbishire. "Tidak, aku yang nanti berjalan pincang!" katanya. "Aku lebih bisa!"
"Itu tidak adil," bantah Darbishire. "Kau tadi mengatakan, aku boleh menyamar
dengan pura-pura pincang. Selain itu kau kan akan memakai kacamataku! Jadi aku
tidak punya apa-apa lagi."
"Kau kan tidak memakai kacamatamu," kata Jennings. "Itu juga sudah menyamar."
"Tidak memakai apa-apa, itu bukan menyamar namanya!"
"Oke deh, kalau begitu kau berjalan dengan tongkat, dan kerah jasmu
kautegakkan." "O ya, asyik!" kata Darbishire dengan gembira.
"Yuk, kita cari Pak Carter sekarang, untuk meminta uang tabungan kita." Dengan
bersemangat kedua anak itu lari masuk ke dalam, langsung naik ke atas menuju
ruang kerja Pak Carter. Ketika sudah hendak mengetuk pintu ruang kerja itu, tiba-tiba Darbishire
mendapat akal lagi, yang menurut perasaannya sangat hebat.
Pak Carter yang sedang duduk di balik mejanya mendongak sewaktu kedua anak itu
masuk. "Nah, ada keperluan apa?" tanyanya. .
"Kami ingin mengambil uang tabungan kami, Pak"
"Berapa?" tanya Pak Carter.
"Saya minta lima pound, dan Darbishire semuanya yang ada."
"Wah, banyak juga! Kalian memerlukannya untuk apa?"
Nah sulit juga menjawab pertanyaan itu.
"Perlukah kami mengatakannya, Pak?" tanya Jennings.
"Yah, minta uang sebanyak itu agak luar biasa, jawab Pak Carter. "Aku terpaksa
tidak bisa memberikan, kecuali jika kalian mengatakan untuk apa kalian
memerlukannya." Darbishire sudah langsung putus asa. Tapi Jennings tidak segampang itu menyerah.
"Begini saja, Pak," katanya. "Berapakah yang bisa kami minta tanpa perlu memberi
tahu untuk apa kami memerlukannya?"
"Kalau dua puluh lima penny, aku takkan merasa perlu tahu untuk apa uang itu,"
kata Pak Carter bermurah hati.
"Wah... ya, apa boleh buat. Kalau begitu bolehkah kami meminta uang sebanyak itu
saja, Pak?" Pak Carter menyerahkan jumlah uang yang diminta.
"Tapi kalian kan tidak bermaksud menggunakannya untuk sesuatu yang konyol?"
katanya. Pak Carter tersenyum ketika kedua murid baru itu sudah meninggalkan ruang
kerjanya. Ia menduga bahwa mereka pasti hendak merencanakan sesuatu yang tidak
boleh diketahui orang lain. Ia pun sudah berniat untuk mengamat-amati. Menurut
pengalamannya, tidak ada gunanya terburu-buru bertindak mencegah rencana-rencana
seperti itu. Soalnya, pelakunya kemudian mungkin akan melakukan hal-hal lain
yang sama konyolnya! Ia membuka pintu kerjanya, lalu membuntuti Jennings dan
Darbishire dari jarak yang agak jauh.
Kedua anak itu keluar dari gedung, lalu melintasi lapangan bermain. Sampai di
ujung mereka berhenti, lalu berunding lagi.
"Yah, jadinya begitulah," kata Darbishire. "Padahal aku tadi sudah asyik,
membayangkan akan berjalan pincang dengan kerah jas dikeataskan. Tapi sekarang
semuanya batal." "Tidak dong," kata Jennings. "Uang kita masih cukup untuk naik bus sampai ke
stasiun." ''Tapi bagaimana dengan karcis kereta api?"
"Kita naik taksi saja dari stasiun. Sesampai di rumah, ayahku nanti bisa
membayar ongkosnya. Tempat tinggalku di Haywards Heath. Cuma lima belas mil dari
sini." Lima bel as mil, itu kurang-lebih dua puluh dua kilometer.
Tapi tempat tinggal orang tua Darbishire di Hertfordshire. Menurut taksirannya,
biaya taksi ke sana pasti paling sedikit sejuta!
Jennings tetap saja bisa menemukan penyelesaian. Mereka berdua akan naik taksi
ke Haywards Heath, di mana ayahnya akan membayar ongkosnya. Setelah itu ia- Pak
Jennings, bukan Jennings sendiri-akan meminjamkan uang kepada Darbishire guna
membeli karcis kereta api untuk pulang ke rumahnya. Jennings merasa pasti bahwa
ayahnya tentu bersedia memberikan bantuan. Jadi rencana itu pasti bisa
terlaksana! Keadaan saat itu aman bagi mereka berdua. Dari suara ramai yang datang dari arah
aula mereka bisa mengetahui bahwa murid-murid lainnya sedang sibuk dengan salah
satu kegiatan bersama. "Ayo," kata Jennings, "kemarikan kacamatamu, dan kau keataskan kerah jasmu."
"Wah, Darbishire," sambungnya ketika kacamata teman barunya itu sudah bertengger
di batang hidungnya, "matamu benar-benar payah rupanya, ya! Aku tidak bisa
melihat apa-apa setelah memakai kacamatamu ini."
"Kalau aku, tidak bisa melihat apa-apa kalau tidak memakainya," keluh
Darbishire. Ia memandang berkeliling dengan mata terpicing.
Penglihatan kedua anak itu yang sama-sama menjadi kabur setelah kacamata
berpindah ke hidung Jennings menyebabkan mereka tidak sadar bahwa segala gerak-
gerik mereka diamat-amati oleh Pak Carter. Dengan langkah gamang dan terpincang-
pincang, dengan topi ditarik ujungnya ke depan untuk menutupi kening, mereka
keluar lewat gerbang sekolah. Sesampai di jalan besar, mereka berhenti.
"Untuk menuju ke kota, kita harus ke kanan," bisik Jennings. "Aku masih ingat
waktu datang kemarin. Dan kurasa tidak jauh dari sini ada halte bus."
Mereka berjalan dengan langkah ragu. Setelah kira-kira lima puluh meter, tahu-
tahu Jennings menubruk sesuatu yang tahu-tahu muncul di depannya.
"Maaf," katanya pada tiang yang ditubruknya. Pada tiang itu terpasang papan
dengan tulisan "Halte Bus". Karena tidak bisa melihat bahwa itu sebetulnya yang
hendak mereka datangi, kedua anak itu terus saja berjalan.
Beberapa saat kemudian Jennings berhenti.
"Aku tidak sanggup lagi memakai kacamatamu, Darbishire," katanya. "Kepalaku
pusing karenanya. Dan mestinya kita sudah hampir sampai di halte bus itu."
Darbishire memakai kacamatanya kembali, lalu memandang berkeliling.
"Itu dia," katanya sambil menunjuk tiang papan halte bus yang sekitar dua puluh
meter letaknya di belakang mereka. "Sekarang aku bisa melihatnya dengan jelas.
Kita sudah melewatinya."
"Sekarang aku juga bisa melihatnya," kata Jennings. Ia malu mengaku bahwa ia
tadi keliru dan minta maaf ketika menabrak tiang itu. "Yuk, kita kembali saja,
dan menunggu bus datang di sana. Nanti jika ada orang datang, kita bersembunyi
di balik semak pagar itu."
"Masih perlukah kita berjalan terpincang-pincang terus?" tanya Darbishire ketika
mereka sudah hampir sampai di halte bus. "Capek juga rasanya berjalan dengan
cara begini. Lagi pula, kan tidak ada siapa-siapa di sekitar sini."
"Oke," kata Jennings, "kalau begitu kita juga tidak perlu bicara berbisik-bisik
Aduh, ada orang datang! Orang laki-laki. Ia keluar dari gerbang sekolah. Cepat,
sembunyi di balik pagar!"
Kedua anak itu buru-buru melompat ke balik pagar semak yang tidak begitu rapat.
Mereka bersembunyi di situ, menunggu dengan perasaan tegang.
"Siapa dia?" bisik Darbishire. Tapi tahu-tahu ia menjerit.
"Aduh!" "Ssst, diam!" desis Jennings.
"Tapi aku duduk di atas jelatang," keluh Darbishire. Jelatang itu suatu jenis
tumbuhan liar yang gatal sekali rasanya.
"Jangan angkat kepalamu. goblok! Nanti kita kelihatan." Dengan hati-hati
Jennings mengintip lewat celah-celah pagar semak. "Aduh, mati kita!" serunya
dengan suara tertahan. "Itu Pak Carter! Ia menuju kemari. Kita berbaring dan
jangan bergerak, agar tidak ketahuan!"
Pak Carter berjalan dengan santai menuju halte bus. Ia bisa melihat kedua anak
yang menyembunyikan diri di balik pagar semak yang tidak begitu rapat tumbuhnya.
Tapi ia pura-pura tidak tahu. Ia ingin tahu apa sebenarnya yang hendak dilakukan
anak-anak itu. Tapi disadarinya bahwa ia terlalu cepat menyatakan ia sudah tahu
bahwa kedua anak laki-laki itu berencana hendak melakukan sesuatu, sehingga ia
takkan mungkin bisa mengetahui apa niat mereka sebenarnya. Kalau ia memanggil
mereka, keduanya pasti akan muncul. Tapi selanjutnya hanya akan membisu saja
apabila ditanyai. Mereka pasti bersikap kikuk, namun tetap saja takkan mau
mengatakan apa-apa. Tidak, katanya memutuskan dalam hati, satu-satunya cara untuk mengetahui apa
rencana mereka adalah untuk agak lebih lama lagi bersikap pura-pura tidak tahu.
Ia berjalan terus, melewati halte bus, lalu menghilang di balik tikungan jalan
tidak jauh dari situ. Karena mendengar langkah Pak Carter yang menjauh, dengan hati-hati Jennings
mengangkat kepalanya lalu mengintip ke arah jalan.
"Ia sudah tidak kelihatan lagi," bisiknya. "Untung saja kita tadi tidak
dilihatnya." "Kau yakin?" tanya Darbishire. Ia merasa sangsi.
"Tentu saja, karena kita tadi membungkuk sampai rendah sekali, kan" Jadi mana
mungkin Pak Carter bisa melihat kita."
"Untunglah, kalau begitu," kata Darbishire. "Sekarang aku ingin pindah tempat,
kalau kau tidak keberatan. Gatal sekali rasanya meringkuk di atas jelatang ini."
Mereka mendengar bunyi bus datang.
Sopir bus itu menghentikan kendaraannya ketika melihat kedua anak itu melambai-
lambaikan tangannya. Lumayan banyaknya penumpang bus itu. Tapi di depan ada dua
tempat duduk yang kosong. Seorang laki-laki yang duduk dekat pintu berdiri lalu
turun, sementara Jennings dan Darbishire buru-buru naik dan langsung menuju
kedua tempat duduk yang kosong di depan. Mereka melakukannya sambil celingukan,
memandang dengan cemas ke arah jalanan.
"Kau tidak perlu lagi pura-pura pincang mulai sekarang," kata Jennings,
sementara tubuh Darbishire terdorong ke depan ketika bus mulai berjalan lagi.
"Sebentar lagi kita akan melewati Pak Carter. Saat itu kita harus membungkuk
dalam-dalam, supaya tidak terlihat olehnya dari jalan. Asyik, ya?"
Keasyikan mereka berakhir lima detik kemudian, ketika bus terasa diperlambat
jalannya lalu berhenti. "Kenapa berhenti lagi?" tanya Darbishire. "Kita kan baru saja meninggalkan halte
bus." "Sebentar, akan kulihat," kata Jennings. Ia mengangkat kepalanya sampai sebatas
ambang jendela, lalu memandang ke luar.
Ia terkejut. Dilihatnya Pak Carter berdiri di pinggir jalan sambil mengangkat
tangannya untuk menghentikan bus.
Guru itu naik lalu duduk di kursi di dekat pintu. Ia sengaja tidak mau melihat
ke arah kursi-kursi yang ada di depan. Kelihatannya tidak ada orang yang duduk
di kedua kursi itu, karena Jennings dan Darbishire yang ada di situ duduk dengan
badan dibungkukkan serendah mungkin. Jennings mengintip ke belakang lewat sisi
sandaran kursinya.

Jennings Si Iseng Karya Anthony Buckeridge di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ia duduk di belakang," katanya berbisik kepada Darbishire, "dan ia belum
melihat kita." "Aduh, kita sebetulnya tidak boleh melakukan hal ini," keluh Darbishire. "Pasti
kita akan mengalami kesulitan karenanya. Ayahku selalu mengatakan - "
"Ia memandang ke luar, lewat jendela. Jika kedua wanita gemuk itu tidak turun di
tengah jalan, ia takkan mungkin tahu bahwa kita berdua ada di sini. O ya, kau
tadi mau mengatakan apa?"
"Kataku, ayahku selalu mengatakan, 'Alangkah kusutnya jerat yang nanti teranyam,
apabila kita mulai membiasakan diri berbuat curang!'''
"Ah, jangan banyak ngomong!" tukas Jennings. "Kita sedang kerepotan begini, kau
malah sok berperibahasa lagi!"
"Sorry, Jen," kata Darbishire pelan, "itu kan ayahku yang - "
"Dengar sebentar," bisik Jennings, "jika kita terus duduk membungkuk begini
sampai Pak Carter nanti turun, kita pasti akan selamat."
"Ya, tapi kalau dia-"
"Karcis, karcis," kata kondektur bus.
Karena duduk membungkuk, tidak gampang bagi Jennings dan Darbishire untuk
mengambil uang dari saku mereka. Sementara itu kondektur menunggu dengan sikap
tidak sabar, sambil mengetuk-ngetukkan kaki ke lantai.
"Dua separuh harga, ke stasiun," kata Jennings berbisik dengan suara pelan
sekali. "Apa?" kata kondektur. "Keras sedikit bicaranya, aku tidak bisa mendengar!"
"Dua karcis separuh harga ke stasiun," kata Jennings mengulangi dengan suara
yang sama lirihnya seperti tadi. Ia tidak berani bicara lebih keras, karena
takut terdengar oleh Pak Carter.
"Kenapa begitu suaramu" Sakit tenggorokkan, ya?" tanya kondektur.
"Ya," bisik Jennings dengan suara serak.
"Dan teman di sebelahmu itu, dia juga tidak bisa bicara" Mau ke mana, Nak?"
Kondektur itu bertanya dengan suara keras mengguntur. Mungkin ia mengira bahwa
pertanyaan dengan suara yang sebegitu keras akan dijawab dengan suara yang keras
pula. Bibir Darbishire bergerak-gerak membentuk kata "stasiun", tapi suaranya tidak
kedengaran. Setelah tiga kali anak itu mengulangi jawabannya, akhirnya kondektur berhasil
memahami arti gerakan bibirnya.
"O, stasiun maksudmu!" katanya. "Kenapa tidak bilang dari tadi" Dua anak yang
sakit tenggorokkan mau ke stasiun, masing-masing dua puluh lima penny. Terima
kasih." Dilubanginya dua lembar karcis lalu disodorkannya kepada Jennings.
Setelah itu ia kembali ke belakang.
Bus berhenti beberapa kali. Para penumpang naik-turun, tapi Pak Carter tetap
berada di dalam kendaraan itu. Meski Jennings dan Darbishire sama-sama mendoakan
semoga guru itu lekas-lekas turun, tapi doa mereka tidak berhasil menyebabkan
Pak Carter bergerak meninggalkan tempat duduknya. Tiga kali terjadi, ada
penumpang yang baru naik melangkah maju menghampiri tempat duduk yang di depan,
karena mengira tidak ada orang di sini. Mereka terkejut ketika melihat di situ
ada dua anak duduk membungkuk, yang dengan gugup melambai-lambaikan tangan
menyuruh pergi. Setiap kali bus berhenti, dengan hati-hati sekali Jennings mengintip ke
belakang. Pak Carter pasti akan turun! Tapi ternyata tidak. Ketika bus sudah
masuk ke kota, Pak Carter masih saja tetap duduk di dekat pintu. Jennings dan
Darbishire semakin bingung. Betapa pincangnya pun mereka berjalan nanti sewaktu
turun, Pak Carter takkan mungkin bisa keliru. Habis, jaraknya ke pintu begitu
dekat! Bus berhenti lagi. "Stasiun! Stasiun!" seru kondektur. "Penumpang yang hendak turun di sini,
cepatlah sedikit!" "Bagaimana sekarang?" keluh Darbishire.
"Kita terpaksa ikut sedikit lebih jauh lagi," kata Jennings.
Kondektur yang masih ingat bahwa kedua anak yang "sakit tenggorokkan" di depan
itu tadi mengatakan hendak turun di stasiun, berseru lagi dengan maksud
membantu. Siapa tahu kan, bisa saja mereka tidak mendengar seruannya yang
pertama. "Stasiun! He, Anak-anak, kalian kan ingin ke stasiun. Hoi!" Kondektur
itu bersuit dengan keras, memberi tahu ke arah tempat duduk di depan yang
kelihatannya kosong. "Jangan pedulikan," bisik Jennings kepada Darbishire. "Pura-pura tidak dengar
saja." Tapi kondektur bus itu taat pada peraturan. Orang yang membeli karcis sampai ke
stasiun, harus turun di stasiun!
"Kalian ini selain bisu, juga tuli rupanya, ya?" katanya sambil datang mendekat.
"Kami-kami masih harus terus sedikit lagi," gumam Jennings dengan suara pelan.
"Oke," kata kondektur sambil membunyikan bel. "Mau turun di mana?"
"Saya-saya belum tahu. Mungkin sebentar lagi."
Kondektur menggaruk-garuk kepalanya. Peraturan Perusahaan tidak mengatakan apa-
apa tentang bagaimana ia harus bersikap kalau menghadapi penumpang yang duduk
meringkuk dan bicara berbisik-bisik serta mungkin sebentar lagi baru bisa tahu
mau turun di mana. "Sebaiknya kalian turun di rumah sakit saja," katanya memutuskan, "supaya kalian
bisa memeriksakan kerongkongan kalian yang sakit. Kalian harus membeli karcis
lagi, masing-masing sepuluh penny."
"Aduh," kata Darbishire, "kami tidak punya uang lagi."
"Wah, kalau begitu kalian harus turun sekarang juga," kata kondektur.
"Aduh, tidak bisa, Pak," bisik Darbishire bingung. "Anda tidak tahu masalahnya,
sih. Anda beri saja alamat Anda, nanti saya kirimkan pembayaran kami yang
kurang." "Aku sudah sering mendengar alasan itu," kata kondektur. Ia merasa bahwa anak-
anak itu hanya mau membonceng saja, tanpa membayar. "Ayo, bagaimana - mau beli
karcis lagi atau tidak?"
Darbishire sudah hampir menangis. Bahkan Jennings yang biasanya banyak akal,
ikut-ikutan bingung saat itu.
"Nanti dulu, tunggu sebentar," katanya dengan suara memohon.
"Aku tidak bisa menunggu sepanjang hari," tukas kondektur, "kalian boleh
memilih, mau..." "Barangkali saya bisa membantu?" tanya Pak Carter dengan sopan. Tahu-tahu saja
ia sudah ada di situ. Jennings dan Darbishire hanya bisa melongo, karena sangat terkejut.
Pak Carter tersenyum ramah kepada mereka.
"Anak-anak ini, Pak, kelakuan mereka agak aneh. Sakit, atau mungkin juga
sinting! Atau mungkin juga cuma ingin membonceng, naik bus tanpa bayar. Mereka
masih harus membayar tambahan sepuluh penny lagi."
Pak Carter menyodorkan uang yang diminta itu kepada kondektur.
"Tolong berhentikan bus, Pak," katanya. "Saya rasa perjalanan kami bertiga cukup
sampai di sini saja."
Mereka turun dari bus sambil sama-sama membisu. Jennings dan Darbishire berdiri
dengan lesu di trotoar, sementara bus melanjutkan perjalanan.
"Sekarang kita harus naik bus yang menuju ke arah berlawanan," kata Pak Carter.
"Untung kau sudah memakai kacamatamu kembali, Darbishire. Kau kelihatannya
seperti linglung tadi."
"Aduh, jadi Anda tadi melihat kami?" tanya Jennings kaget.
"Aku bukan sengaja mencari, tapi kalian yang kelihatan," kata Pak Carter. "Lain
kali kalau bersembunyi di balik semak pagar, ingat bahwa tidak ada gunanya
menunduk rendah-rendah jika pantat kalian menonjol ke atas."
"Akan ada kesulitan besar nantinya, Pak?" tanya Darbishire.
"Wah, tidak! Siapa sih, yang tidak pernah melakukan kesalahan" Dalam keadaan
seperti itu, sebaiknya kita mengambil hikmahnya."
"Tapi apakah kami tidak akan dikeluarkan, Pak?"
"Kenapa kau bertanya begitu" Kau takut, ya?" kata Pak Carter.
"Saya-terus-terang saja, saya malah senang, Pak," kata Darbishire berterus
terang. "Sudah kusangka bahwa itulah masalahnya," kata Pak Carter. "Kita semua selalu
mulai dengan perasaan rindu pada rumah. Itu salah satu hal yang harus bisa kita
atasi." Ia menjanjikan kepada Darbishire bahwa takkan ada kesulitan nantinya. Tapi
Jennings malah bertambah kecut perasaannya. Kembali ke sekolah, berarti ia harus
menghadapi hajaran yang diancamkan oleh Bod-eh, Temple. Pak Carter merasakan
kecemasan Jennings itu. "Nah, Jennings?" katanya. "Masih ada lagi masalah lain?"
"Ya, Pak," kata Jennings. "Jika saya kembali ke sekolah sekarang ini juga, saya
akan-anu-" "Ya?" "Saya tidak bisa mengatakannya, Pak. Karena itu berarti saya mengadu lagi, dan
kemarin malam Anda mengatakan kami tidak boleh melakukannya."
"Menurut saya, Jennings harus mengatakannya kepada Anda, Pak," kata Darbishire.
"Ayah saya mengatakan bahwa - "
"Tidak, tidak bisa," kata Jennings lagi, "dan Anda tidak bisa memaksa saya, Pak,
karena Anda mengatakan tidak mendengar orang yang mengadu."
Bagi guru kadang-kadang sulit menentukan batas yang tegas antara perbuatan
mengadu dan mengeluh karena alasan yang sudah sepantasnya. Karenanya Pak Carter
lantas menyarankan agar Jennings mencari jalannya sendiri untuk menyelesaikan
masalahnya. Jennings nampak ragu mengenai kemampuannya sendiri. Walau begitu ia
tetap tidak mau mengatakan apa yang dikhawatirkannya. Ia memutuskan untuk
kembali ke sekolah dan menghadapi masalah itu.
Pak Carter pergi ke halte untuk melihat kapan datangnya bus yang menuju ke arah
sekolah. "He, Darbishire," kata Jennings, ketika guru itu sudah agak jauh, "orangnya
lumayan juga, ya?" "Betul," kata Darbishire. "Padahal tadi kusangka ia akan marah-marah. Kita
untung, dia bukan Pak Wilkins."
"Untung, katamu" Bagaimana dengan aku, yang akan dihajar?"
"Kau takut?" tanya Darbishire.
"Yah, sedikit!" kata Jennings mengaku. "Kau pasti juga takut, kalau kau yang
diancam akan dihajar! Tapi biar begitu, aku tetap tidak mau menceritakan
urusanku ini kepada Pak Carter."
Di seberang jalan ada sebuah toko yang menjual beraneka macam makanan manis. Ada
sesuatu pada toko itu yang menarik perhatian Jennings. Kenapa kelihatannya
seperti sudah dikenal" Padahal baru sekali itu ia melihatnya. Di atas pintu toko
itu tertulis dengan huruf-huruf besar berwarna merah: S. Valenti & Son. Dan di
jendela ada reklame dengan tulisan bahwa toko itu satu-satunya yang memproduksi
permen istimewa, yaitu Brighton Rock.
Jennings ingat lagi. Pasti itulah toko yang didatangi Temple sewaktu ia membolos
dari sekolah semester yang lalu. Dalam otak Jennings timbul gagasan. Gagasan itu
terbayang selama beberapa detik dalam pikirannya, lalu terlontar dari mulutnya.
"He, Darbi," katanya bersemangat, "toko permen yang di seberang jalan itu - "
"Terima kasih, tetapi saat ini aku tidak kepingin makan permen," kata
Darbishire. 'Tapi itu toko yang didatangi Temple ketika ia membolos waktu itu."
"Lantas, kau mau bahwa aku gembira karenanya?"
"Tidak, tapi aku sendiri," balas Jennings. "Aku tahu bagaimana... Ah, sialan!
Kita tidak punya uang lagi. Pak Carter mau tidak ya, memberi sedikit uang
tabunganku?" Pak Carter kembali dengan berita bahwa bus baru satu jam lagi datang. Ia agak
heran ketika Jennings mengatakan ingin minta uang tabungannya lagi. Apalagi
mendengar alasannya, yaitu untuk membeli permen, tepatnya membeli permen
istimewa yaitu Brighton Rock. Di dalam kotak tempat penyimpanan makanan kecilnya
kan cukup banyak permen, katanya dengan nada bertanya kepada Jennings.
"Betul, Pak," kata Jennings serius, "tapi itu kan lain! Saya perlu membeli
Brighton Rock, dan di sisi kantong tempatnya harus ada tulisan 'Valenti's'."
Pak Carter menatap wajah kedua anak yang berada di depannya dengan pandangan
menyelidik. Air muka mereka jelas sekali menampakkan kegelisahan.
"Penting sekalikah arti permen istimewa kalian itu?" tanyanya.
"O ya, Pak. Penting sekali," kata Jennings. "Anda tadi kan mengatakan, saya
harus menyelesaikan sendiri masalah saya" Nah, itu hanya bisa saya. lakukan,
jika saya pulang dengan membawa permen Brighton Rock."
Pak Carter berpikir sebentar, menimbang-nimbang. Akhirnya ia memutuskan, tidak
akan bertanya lebih lanjut. Firasatnya mengatakan bahwa masalah ini akan bisa
lebih cepat selesai jika tidak ada orang lain campur tangan.
Ia mengeluarkan uang lima puluh penny dari dompetnya. Dengan begitu tabungan
Jennings sudah berkurang lagi dengan jumlah sebanyak itu.
"Wah, terima kasih, Pak! Terima kasih banyak!"
Jennings berjingkat-jingkat karena gembira, lalu melesat lari ke seberang jalan.
Kegairahannya saat itu menyebabkan ia lupa pada segala pelajaran tentang
peraturan lalu lintas yang pernah diperolehnya.
Darbishire memandangnya sambil bertanya-tanya dalam hati. Ia masih tetap belum
mengetahui, apa lagi rencana Jennings sekarang. Dipandangnya Pak Carter dengan
sikap sangsi. "Anda akan membawa kami kembali ke sekolah, Pak?" tanya Darbishire.
"Ya, begitulah niatku," kata Pak Carter.
"Apa boleh buat," katanya sambil mengeluh. "Mungkin nantinya ternyata lumayan
juga. Kata anak-anak, lima tahun pertama yang paling payah. "
Ketika Jennings sudah kembali dari toko Valenti's, Pak Carter mengajak kedua
anak itu ke sebuah restoran. Dikatakannya bahwa hari pasti sudah terlalu malam
apabila mereka nanti tiba kembali di sekolah, jadi harus langsung masuk ke
tempat tidur. Hidangan yang dipesan Pak Carter membangkitkan semangat mereka kembali. Dan juga
melonggarkan lidah. Mereka bercakap-cakap dengan asyik. Pak Carter juga berhasil
meyakinkan mereka bahwa kehidupan di sekolah tidaklah segawat yang mereka
bayangkan. *** "Venables! He, Pemalas, kau belum mencuci kakimu," kata Atkinson.
Lonceng asrama sudah berbunyi sepuluh menit yang lalu. Temple, Atkinson, dan
Venables melakukan berbagai persiapan seperti yang biasa dilakukan setiap malam
sebelum pergi tidur. Saat itu mereka sudah sampai pada tahap berkumur, yang
berarti terdengarnya bunyi berbagai kendaraan motor yang berganti persneling.
Mereka bertiga agak bingung ketika Jennings dan Darbishire tidak muncul di ruang
makan saat minum teh. Kedua anak baru itu tahu-tahu lenyap dengan begitu saja.
Seperti ditelan bumi! "Ke mana anak-anak baru itu, ya"'! kata Temple. "Aku tidak melihat mereka lagi
sejak selesai makan siang tadi."
"Mungkin mereka sakit," kata Venables menduga. "O ya, Bod, kau kan hendak
menghajar seorang dari mereka sebelum kita minum teh?"
"Aduh, benar juga katamu! Aku lupa sama sekali," kata Temple, juara tinju junior
itu. "Biarlah, biar besok saja aku melakukannya. Harap jangan kirim karangan
bunga. Di sini berbaring Jennings, semoga arwahnya beristirahat dengan tenang."
"Siapa yang bicara tentang aku?" tanya Jennings, yang saat itu memasuki ruang
tidur dengan gaya seakan dia pemilik tempat itu. Ia diikuti oleh Darbishire,
yang tersenyum-senyum. "He! Ke mana saja kalian dari tadi?" tanya Atkinson. "Lonceng asrama sudah sejak
tadi berbunyi." "Dan di mana kalian saat minum teh tadi?" kata Venables. "Wah, kalian rugi,
makanannya enak sekali. Aku sampai tambah tiga kali!"
Temple melihat air muka Jennings yang nampak puas.
"Aku tahu di mana mereka selama ini," katanya sambil mencibir. "Mereka
bersembunyi, karena takut kuhajar."
"Wah, tidak!" kata Jennings. "Kami sama sekali tidak ingat tentang urusan itu.
Ada soal lain yang lebih asyik. Kalian mau tahu tidak?" Ia berbicara dengan
suara yang sengaja dibuat agar terdengar sambil lalu. "Aku dan Darbishire tadi
membolos. Kami ke kota, naik bus."
Ucapannya itu disambut kesunyian. Kesunyian karena kaget. Temple yang paling
dulu pulih. "Kau-kau-kau membolos," katanya dengan suara kagum.
"Betul! Ya kan, Darbi?" Jennings berpaling, meminta penegasan dari temannya itu.
"Ya," kata yang ditanya. "Kami membolos dengan cara menyamar. Asyik deh!"
"Dan kalian juga tidak hadir waktu minum teh!" desah Atkinson kagum. "Wah, jika
tadi sampai ketahuan, bisa gawat urusannya!"
"Masa bodoh," kata Jennings dengan santai. "Begitulah aku! Dan Darbishire ini,
dia juga agak begitu sifatnya. "
"Ah. jangan begitu dong," kata Darbishire malu-malu.
"Ya, aku percaya," kata Venables. "Ternyata bukan Bod saja satu-satunya yang
berani. Kau hebat, Jen!"
Temple tidak senang mendengar kedudukannya sebagai jagoan digeser begitu saja.
"Jangan percaya omongan mereka," katanya. "Mereka cuma mengarang-ngarang saja.


Jennings Si Iseng Karya Anthony Buckeridge di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku berani bertaruh, mereka pasti tidak bisa membuktikan. Ayo, buktikan,"
ejeknya, "coba kalian buktikan, kalau bisa! Mana buktinya kalian membolos?"
Jennings menyodorkan kantong berisi permen Brighton Rock ke depan.
"Ini buktinya," katanya dengan santai. "Kau mau permen Brighton Rock, Bod" Aku
membelinya tadi, di Valenti's."
Temple kaget sekali, sampai tidak bisa mengatakan apa-apa. Jennings menyodorkan
kantong berisi permen istimewa itu kepada anak-anak yang lain.
"Sorry ya, Bod, aku menyontek gagasanmu," katanya, "tapi kami menyempurnakannya,
karena kami keluar dari sini dengan menyamar. Untung saja itu kami lakukan -" ia
berhenti sebentar, untuk menambah keasyikan bercerita - karena Pak Carter tahu-
tahu ikut naik bus di mana kami berada."
Ucapannya itu kembali disambut dengan kesunyian. Ketiga anak lama yang berada di
dalam kamar itu terheran-heran. Jennings ini benar-benar hebat rupanya!
"Apa?" kata Venables, ketika sudah agak pulih dari kekagetannya.
"Ya, sungguh," kata Jennings dengan gaya seakan-akan baginya itu urusan sepele
saja. "Tapi pokoknya beres, karena kami berdua tetap tenang."
"Membungkuk," kata Darbishire ikut berbicara.
"Apa katamu, Darbishire?"
"Kami membungkuk terus waktu itu."
"Dan sekarang kami sudah kembali lagi di sini," kata Jennings cepat-cepat. Ia
tidak ingin seluruh kisah pengalamannya siang tadi diketahui anak-anak lain.
"Ambillah permen satu lagi, Atki! Ini asli dari Valenti's. Lihat saja namanya,
di sisi kantong ini."
"Wah terima kasih, Jennings."
''Tolog tawarkan pada teman-teman yang lain, Darbishire," kata Jennings lagi.
"Ambil sajalah, Venables."
"Hui terima kasih, Jennings," kata Venables. Ia benar-benar terkesan mendengar
kehebatan anak baru itu. "He, Jen," sambungnya sambil mengunyah-ngunyah permen,
"kalau mau, kita sama-sama memakai bakku. Kau, dan juga Darbishire."
"Tidak, pakai saja punyaku, Jennings," kata Atkinson. Ia tidak mau ketinggalan,
menunjukkan kekagumannya kepada anak yang hebat itu. "Ayolah, kaupakai saja
punyaku dulu, bersama Darbishire. "
"Kalian baik hati," kata Darbishire. Wajahnya berseri-seri. "Kata ayahku, niat
yang bermurah hati-"
"Jangan begitu, Darbi," kata Jennings memotong. "Tidak, kurasa kami akan memakai
bak kepunyaan Bod saja."
Sisa-sisa kebanggaan Temple langsung ambruk.
"Yah, boleh saja. Baiklah, Jennings," katanya dengan perasaan bingung.
"Aku yang paling dulu, lalu Darbishire, dan setelah itu baru kau," kata Jennings
lagi. "Yah, baiklah kalau begitu, Jennings."
"Dan tidak ada lagi urusan tentang hajar-menghajar itu, ya, Bod!"
Temple buru-buru mengatakan bahwa itu cuma bercanda saja. Masa teman baru malah
dipukuli, katanya. Jennings mencuci badan dengan santai, lalu berpaling lagi pada Temple.
"O ya, Bod," katanya, "ngomong-ngomong, kau kan tidak keberatan jika aku
memanggilmu dengan nama itu, ya, Bod?"
"Ya, tentu saja, Jennings. Tidak, aku tidak marah," kata Temple, Ia harus
memaksa dirinya bersikap begitu, karena dalam hati ia marah sekali.
"Bagus! Aku rasanya agak capek setelah membolos ke kota tadi. Tolong ya, Bod,
bersihkan bak ini untuk Darbishire. Aku sudah selesai mencuci badan!"
Itu merupakan penghinaan yang sebenarnya sudah keterlaluan. Tapi Temple sudah
tidak berdaya lagi. "Ya, Jennings... Oke, Jennings," kata juara tinju junior yang mantan jagoan itu.
4. JENNINGS DATANG TERLAMBAT
KETIKA Pak Carter datang untuk menempelkan daftar tim sepak bola di papan
pengumuman, anak-anak yang berkerumun di situ minggir sedikit untuk memberi
jalan kepadanya. Menurut jadwal, latihan pertama dalam semester itu akan dimulai
segera setelah anak-anak menyelesaikan tugas sekolah mereka siang itu. Sebagian
besar dari anak-anak baru ditentukan akan bermain dalam tim B. Dari prestasi
mereka di situ akan ditentukan kedudukan mereka dalam pertandingan-pertandingan
selanjutnya. Para pemain yang nampak memiliki bakat akan dinaikkan kedudukannya
dan disertakan dalam tim A. Sementara mereka yang tidak bisa apa-apa digeser ke
bawah, bermain dalam kesebelasan asal tendang saja.
"Kau sudah sering main sepak bola, Jennings?" tanya Pak Carter.
"Bukan sering lagi, Pak," jawab Jennings. "Permainan saya bagus!"
"Tentang itu, kita lihat saja nanti," kata Pak Carter, sementara anak-anak lain
yang berkerumun ribut mengejek Jennings yang dianggap sok menonjolkan diri.
"Kalau kau bagaimana, Darbishire?"
Anak itu sama sekali tidak menyukai permainan bola, jenis mana pun juga.
Pengalamannya terbatas sekali, karena seumur hidup ia baru sekali ikut bermain
sepak bola. Hal yang paling diingat mengenainya adalah bahwa dalam permainan itu
bola terbang dengan cepat sekali. Sakit sekali rasanya apabila muka kena bola
sehingga menyebabkan kacamata terpental jatuh. Itu dialaminya pada saat-saat
awal permainan. Supaya aman, ia melepaskan kacamatanya. Hasilnya juga masih
melekat dalam ingatannya: sebentar-sebentar jatuh ditubruk serombongan pemain
lain yang lari kian kemari mengejar sesuatu benda yang bagi dia sendiri tidak
kelihatan. "Aku hendak mencoba kemampuan Jennings di posisi gelandang tengah," kata Pak
Carter lagi. "Kau ingin bermain pada posisi mana, Darbishire?"
Posisi" Apa yang dimaksudkan oleh Pak Carter dengan itu" Darbishire bingung.
Lapangan bermain di sekolah itu kan hanya ada satu!
"Saya ingin bermain di lapangan yang di belakang ruang senam itu, Pak," katanya.
"Letaknya di sisi jalan, jadi saya nanti bisa melihat nomor-nomor mobil yang
lewat, jika lewatnya cukup dekat."
"Maksudku," kata Pak Carter menjelaskan, "kau nanti ingin bermain pada posisi
mana" Pemain depan" Gelandang, atau di mana?" .
Sekarang barulah Darbishire merasa mengerti.
"Saya kepinginnya menjadi penjaga wicket saja, Pak," katanya. Ia sendiri sampai
kagum, tahu-tahunya dia tentang istilah-istilah olahraga.
Tapi aneh! Anak-anak yang lain malah tertawa keras-keras. Darbishire tidak tahu
bahwa wicket hanya ada pada permainan cricket. Permainan itu memang juga
mempergunakan bola, tapi bola dipukul dan bukan ditendang. Anak-anak yang
tertawa mendengarnya mengulangi istilah yang diucapkan oleh Darbishire, biar
didengar oleh teman-teman mereka yang berada di pinggir kerumunan. Tapi Pak
Carter tidak ikut tertawa, meski dalam hati ia juga merasa geli.
"Sebaiknya kita coba saja menempatkanmu di kiri luar," katanya.
Lonceng berbunyi, tanda dimulainya jam belajar. Sayang rasanya membuang-buang
waktu empat puluh menit berikut untuk mengerjakan soal-soal matematika. Tapi
kegembiraan membayangkan bahwa setelah itu akan ada permainan sepak bola,
memberikan kekuatan pada Jennings untuk menghadapi tugas yang dianggapnya
merupakan siksaan itu. Ia berlari-lari ke ruang kelasnya, dan di sana dengan
segera membuka buku-buku pelajaran matematika.
"He, ada yang mengambil buku soal matematikaku, ya?" kata Bromwich, seorang anak
yang duduk di barisan paling depan, berhadapan dengan meja guru. "Hari ini Pak
Wilkie yang mengawasi kita. Ia pasti meledak jika melihat buku soalku tidak
ada." "Pakai saja punyaku, Bromo," kata Jennings. "Aku bisa bersama-sama dengan
Darbishire." "Wah, terima kasih," kata Bromwieh, "Pak Wilkie pasti takkan melihat bahwa
kalian berdua memakai satu buku, karena kalian duduk di belakang. Tapi jika di
depan seperti aku ini, tidak bisa membonceng teman."
"Pesanan datang dengan pesawat jet," kata Jennings. ''Tangkap!''
Ia melayangkan bukunya terjal ke atas. Buku itu melesat ke arah barisan paling
depan. Tapi menara pengawas Bromwich terlambat bereaksi. Buku itu tidak berhasil
ditangkapnya dan mendarat tepat di atas botol tinta yang terletak di atas meja
guru. Sialnya, botol itu tidak tertutup.
Meja guru dekat letaknya dengan pintu kelas. Begitu masuk belok ke kiri, di
situlah letak meja itu. Dan di atas meja itulah botol tinta terguling. Tintanya
mengalir ke arah selatan dan utara, lalu memencar ke berbagai arah mata angin.
Pada bagian-bagian daun meja yang lebih rendah terbentuk danau-danau kecil, dan
alur-alur pada kayunya dengan cepat berisi tinta yang terus mengalir.
"Dasar kikuk," seru Bromwieh pada Jennings, "lihatlah, tinta tumpah ke mana-
mana. Buku latihanku juga kena! Wah, pasti sebentar lagi akan ada gempa, apabila
Pak Wilkie..." Ia tidak meneruskan kalimatnya, karena dengan tiba-tiba pintu kelas terbuka,
seperti ada yang menubruk dari luar. Tahu-tahu Pak Wilkins sudah ada di dalam
kelas. Pintu terayun dengan keras dan membentur sudut meja guru. Botol tinta
yang terguling menggelinding jatuh dan menimpa buku latihan Bromwich, persis di
tengah-tengahnya. Dengan cepat Pak Wilkins sudah melihat apa yang terjadi. Botol tinta yang
terguling, pintu kelas yang masih bergetar setelah membentur sudut meja. Ia
lantas menarik kesimpulan: cara masuknya dengan bergegaslah yang menyebabkan
terjadinya banjir tinta. "Astaga!" kata Pak Wilkins. Ia benar-benar kaget. "Itu karena perbuatanku, ya"
Wah, betul! Pasti aku yang menyebabkannya. Maaf, maaf. Cepat, tolong ambilkan
kertas pengisap tinta, dan bersihkan tinta yang tumpah ini. Ck... ck... ck....
Mencari Bende Mataram 10 Lembah Merpati Karya Chung Sin Tanah Semenanjung 1
^