Pencarian

Jennings Si Iseng 3

Jennings Si Iseng Karya Anthony Buckeridge Bagian 3


karena tidak ada pijakan."
Para kepala sekolah memang pantas dikagumi dalam situasi gawat. Tindakan, dengan
segera dan langsung, itulah kata-kata semboyan Pak Pemberton-Oakes. ia memegang
anak yang paling dekat padanya, dan memberi instruksi kepadanya dengan tegas dan
ringkas. Anak yang mendapat instruksi itu Jennings.
"Cepat," kata Kepala Sekolah. "Datangi Robinson dan bilang padanya agar datang
dengan membawa tangga panjat. Jelaskan bahwa Pak Wilkins tergantung-gantung
karena tersangkut pada sebuah dahan tanaman merambat."
Sementara Jennings bergegas mencari tukang yang biasa disuruh-suruh melakukan
berbagai tugas ringan di sekolah itu, Pak Pemberton-Oakes kembali menjulurkan
kepalanya ke luar untuk memastikan bahwa keadaan Pak Wilkins tidak sangat
berbahaya. "Anda tahu pasti, Anda tidak bisa membebaskan diri?" serunya ke bawah.
Suara dengusan kesal merupakan jawabannya. Itu berarti bahwa apabila Pak Wilkins
bisa membebaskan diri sendiri, itu pasti sudah sejak tadi dilakukannya, dan ia
tergantung-gantung begitu bukan karena kemauannya.
"Besok akan kusuruh Robinson memotong tanaman rambat ini," kata Kepala Sekolah,
setengah kepada dirinya sendiri.
"Apa kata Anda?" seru Pak Wilkins dari bawah.
"Saya mengatakan, besok Robinson akan saya suruh memotong tanaman ini."
"Besok?" seru Pak Wilkins. "Saya kan tidak bisa tergantung-gantung di sini
sepanjang malam!" Kemudian Kepala Sekolah dengan dibantu anak-anak berusaha menarik Pak Wilkins ke
atas. Mereka berusaha sekuat tenaga. Tapi percuma saja. Tanaman rambat begitu
rupa melilit jerat, sehingga ketika Pak Pemberton-Oakes dengan dibantu anak-anak
menarik kabel dari atas, jerat malah semakin erat tersangkut.
Tidak lama kemudian Jennings kembali dengan membawa kabar bahwa Robinson tidak
bisa menolong. Tangga panjat paling panjang yang ada di sekolah hanya sepuluh
meter ukurannya. Padahal Pak Wilkins tergantung kira-kira dua puluh meter dari
tanah. "Payah," kata Kepala Sekolah dengan kesal. "Mestinya kita di sini memiliki
tangga panjat yang lebih panjang. Lain kali kalau aku ke London lagi, aku pasti
akan membelinya." Pak Wilkins memanggil lagi dari bawah.
"Apa kata Anda itu?"
"Saya mengatakan, lain kali kalau saya ke London lagi saya akan membeli tangga,"
jawab Kepala Sekolah. "Aduh, saya kan tidak bisa terus tergantung-gantung di sini!" seru Pak Wilkins
mengeluh. "Situasi tidak bisa dibiarkan begini terus,". kata Kepala Sekolah. Pak Wilkins
tidak bisa dibiarkannya tergantung terus. Ah - ada akal!
"Akan kutelepon dinas pemadam kebakaran dengan segera," katanya. "Akan kuminta
mereka agar datang dengan tangga yang panjang."
Jennings langsung menyela.
"Itu sudah saya lakukan tadi, Pak," katanya.
"Kau sudah menelepon pemadam kebakaran?" kata Kepala Sekolah dengan heran.
"Betul, Pak. Soalnya begini: saya tadi mencoba memakai akal saya dan saya
kira..." "Terima kasih, Jennings. Kuucapkan selamat padamu. Tindakanmu itu sebetulnya
tidak lumrah, tapi mengingat keadaan Pak Wilkins aku cenderung sependapat bahwa
kita tidak bisa membuang-buang waktu."
Pak Pemberton-Oakes memandang Jennings dengan minat yang baru. Ternyata ia
keliru menilai anak itu! Berapa banyak anak lain, yang begitu mendengar bahwa
tangga panjat yang ada di tempat Robinson terlalu pendek, kemudian bisa mendapat
akal untuk mencari bantuan lewat telepon"
Jennings sendiri sebenarnya merasa perlu memberi penjelasan bahwa perbuatannya
menelepon itu disebabkan karena ketololannya, dan bahwa pemadam kebakaran takkan
datang. Tapi ia menikmati kekaguman Kepala Sekolah. Karenanya ia memutuskan
untuk tidak membetulkan dugaan yang keliru itu.
"Coba kuhitung sebentar," kata Pak Pemberton-Oakes sambil memandang arlojinya.
"Katakan saja kau menelepon tadi tiga, atau mungkin juga empat menit yang lalu.
Jarak dari stasiun pemadam kebakaran kemari sekitar delapan kilometer. Jadi
andaikan mereka langsung berangkat, mereka baru mungkin tiba di sini..." Ia
berhenti bicara, karena saat itu terdengar bunyi sirene di kejauhan.
Tidak sering Pak Martin Winthrop Barlow Pemberton-Oakes M.A., kepala sekolah,
menunjukkan keheranan. Tapi sekali ini matanya terbelalak karena kaget. Tidak
mungkin ia salah dengar, karena bunyi sirene semakin jelas kedengaran. Dengan
dua langkah saja ia sudah sampai di depan jendela. Ia masih sempat melihat
kendaraan satuan pemadam kebakaran muncul dengan cepat dari balik tikungan dan
memasuki pekarangan sekolah.
"Wah, aku-astaga-benar-benar luar biasa," katanya, lalu bergegas untuk memimpin
operasi penyelamatan dari bawah. Bukan main tangkasnya satuan ini, katanya dalam
hati, sambil bergegas menuruni tangga yang menurut katanya pada anak-anak tadi
tidak ada lagi karena sudah dimakan api. Satuan itu pasti langsung berangkat
begitu menerima telepon, dan ngebut kemari.
Kendaraan tangga ulur membelok dengan dua roda saja dan berhenti di luar pintu
utama bangunan. Terdengar bunyi rem mendecit-decit.
"Aku sama sekali tidak melihat kobaran api," kata Petugas Long alias Lofty.
"Mungkin capek menunggu kita, lalu mati sendiri."
Kepala Sekolah datang menghampiri bergegas-gegas. Kepala Petugas Archie Cuppling
meloncat turun dari kendaraan itu menyongsongnya.
"Tangga ulur sudah datang, di bawah pimpinan Kepala Petugas Cuppling, yaitu saya
sendiri," katanya. Ia sudah siap menerima dampratan. Karenanya ia tercengang melihat wajah Kepala
Sekolah yang menyambutnya dengan gembira.
"Hebat, hebat!" kata Kepala Sekolah. "Anda benar-benar sangat tangkas! Kami
memanggil Anda karena salah seorang guru kami berada dalam keadaan tergantung di
balik sudut ini." Ia mendului berjalan ke balik sudut gedung lalu menuding ke
atas, ke arah Pak Wilkins yang nampak seperti melayang-layang di sela tanaman
yang merambati dinding. "Cuma itu saja, Pak?" tanya Pak Cuppling.
"itu kan sudah cukup"!" balas Pak Pemberton-Oakes.
"Maksud saya, tidak ada kebakaran sama sekali?" kata Pak Achie Cuppling.
"Tidak, tidak, di sini sama sekali tidak ada kebakaran," Pak Cuppling belum mau
percaya. Pasti ia dipermainkan, katanya dalam hati. Tapi ternyata tidak! Dan
dengan cepat tangga ulur sudah ditempatkan pada posisinya.
"Mulai bekerja!" seru kepala petugas satuan pemadam kebakaran itu. Tangannya
yang terampil mengendalikan alat penggerak tangga, dan tangga itu langsung
bergerak. Kelihatannya seperti binatang raksasa zaman purba yang dibangunkan
dari tidurnya. Tonggak-tonggak penumpu yang kekar terulur ke bawah dan
terpancang ke tanah untuk menampung bobot tangga yang sementara itu mulai
terangkat. Seperti binatang besar yang mengangkat kepala dan menjulurkan
lehernya yang panjang. Petugas Long berdiri di landasan yang terdapat di ujung atas tangga. Ia ikut
terangkat ke atas sementara Pak Cuppling mempercepat gerak uluran tangga. Bunyi
mesin yang semula seperti geraman, berubah menjadi lengkingan.
Sementara itu seisi sekolah sudah berkumpul di lapangan bermain. Dengan napas
tertahan dan mata terbuka lebar, mereka memperhatikan tangga yang seperti leher
raksasa itu membentangi jarak antara tanah dan Pak Wilkins. Akhirnya ujungnya
sampai di samping Pak Wilkins dan berhenti di situ.
Ketika kakinya sudah berpijak di landasan ujung tangga, dengan sekejap saja Pak
Wilkins dibantu oleh Lofty, berhasil membebaskan diri dari jerat. Semenit
kemudian kedua orang itu sudah berada di bawah.
Anak-anak yang berkumpul ribut berbicara begitu aksi penyelamatan sudah berakhir
dengan baik. Pak Wilkins tidak berhasil menghindari anak-anak yang berkerumun
mengelilinginya. "Anda mujur, Pak! Bagaimana, enak di atas tadi, Pak?"
"Pak, Anda tadi memang sengaja macet di tengah jalan supaya kami bisa melihat
pemadam kebakaran beraksi, ya?"
"Pak Pak, Anda mau mengulanginya lagi, karena tadi kan tidak turun sampai ke
tanah!" "Mungkin tadi Anda tidak membengkokkan lutut dan juga tidak cukup kuat
mendorongkan kaki ke dinding."
'Tapi jika Anda menolaknya terlalu kuat, nanti Anda bisa berputar-putar, ya,
Pak?" "Sudah, sudah, diam!" kata Pak Wilkins. Ia berpaling ke arah Pak Cuppling, lalu
mengucapkan terima kasih atas penyelamatan dirinya.
"Anda tidak perlu berterima kasih," kata kepala petugas pemadam kebakaran itu.
"Saya cuma agak menyesal, bahwa Anda terpaksa begitu lama tergantung-gantung di
atas." Setelah aksi penyelamatan selesai, Pak Cuppling kini mempunyai waktu untuk
berpikir. Sejauh itu ia dan anak buahnya masih bernasib mujur. Karena tidak ada
kebakaran yang harus dipadamkan, maka tidak timbul persoalan mengenai selang air
yang lupa dibawa. Tapi keterlambatan selama tiga puluh lima menit untuk datang
di tempat kejadian, hal itu tidak bisa dengan mudah dilupakan. Pak Cuppling
memutuskan untuk menyelidiki sikap Kepala Sekolah mengenainya.
"Maaf, Pak," katanya dengan segan-segan. "Saya rasa Anda tentunya tidak bisa
mengabaikan waktu yang kami perlukan untuk datang di sini, ya?"
"Tentu saja tidak," jawab Pak Pemberton-Oakes, tetap dengan ramah.
"Maksud Anda, itu akan Anda laporkan ke tempat kami?"
"Itu sudah pasti."
Pak Cuppling langsung lesu. Pasti kemudian akan diadakan penyelidikan persoalan
itu secara resmi. Ia akan harus menulis laporan demi laporan, dan pasti ia akan
dituduh melaksanakan tugas dengan sembrono. Ia memaksa dirinya kembali
mendengarkan kata-kata Kepala Sekolah. Ia tercengang. Apa sih, yang dibicarakan
orang itu" "...dan saya pasti akan menulis surat kepada pimpinan Anda," kata Pak Pemberton-
Oakes. "Akan saya tulis di situ bahwa saya sangat terkesan melihat cepatnya Anda
tiba di sini. Anda tadi pasti langsung berangkat dan mengebut terus sampai di
sini." Pak Cuppling begitu kaget mendengarnya, sampai ia harus berpegangan ke tangga
agar tidak jatuh. "Begitu pula anak buah Anda yang gagah berani," sambung Kepala Sekolah sambil
melambaikan tangan ke arah Petugas Long dan Petugas Short. "Saya pasti akan
menyebutkan bahwa mereka melaksanakan penyelamatan tadi dengan bersemangat dan
penuh keyakinan." "Apa katanya?" tanya Pak Short berbisik.
"Kita tadi menyelamatkan orang itu dengan semangat dan keyakinan."
"Siapa bilang?" bantah Shorty. "Kita menyelamatkannya dengan tangga. Kalau
memakai semangat dan keyakinan saja, mana mungkin bisa!"
Kepala Petugas Cuppling merasa bahwa sudah waktunya mereka pergi, sebelum ada
pertanyaan yang diajukan. Ia tidak mengerti kenapa segala kejadian yang baginya
merupakan kesialan beruntun itu ternyata dianggap prestasi yang hebat. Tapi
biarlah, ia harus menerimanya sebagai kenyataan. Mendingan dipuji, kan, daripada
diomeli! Ketika kendaraan pemadam kebakaran sudah hendak berangkat, Jennings bertanya
kepada Kepala Sekolah apakah ia boleh mengajukan pertanyaan kepada kepala satuan
pemadam kebakaran" "Tentu saja boleh," kata Pak Pemberton-Oakes sambil tersenyum. "Apakah yang
hendak kautanyakan itu" Mungkin salah satu perlengkapan tangga ulur yang menarik
perhatianmu?" "Bukan, Pak," kata Jennings. "Saya ingin bertanya, apa sebabnya semua kaki para
petugas kebakaran itu nampaknya terdiri dari sebelah kiri semua. Tentu saja itu
menguntungkan dalam sepak bola jika kita ditempatkan pada posisi kiri luar. Tapi
bagaimana bisa melangkah dengan benar, apabila sedang latihan baris-berbaris?"
"Jangan suka iseng, Jennings," jawab Kepala Sekolah, sementara air muka kepala
petugas pemadam kebakaran menjadi merah. "Jika ada pertanyaan yang benar yang
ingin kautanyakan, misalnya saja tentang tali Davy..." Ia berpaling pada Pak
Cuppling. "Anda pasti tahu banyak tentang alat itu, ya?"
Kepala petugas pemadam kebakaran itu mengangguk. "Betul," katanya. "Itu
merupakan alat penyelamat yang bisa diandalkan. Dan berbicara tentang
penyelamatan, saya benar-benar mujur"
Sementara itu Pak Long memasukkan persneling, dan kendaraan pemadam kebakaran
itu melesat, laju menghilang di balik tikungan.
*** Anak-anak disuruh bubar. Masing-masing kemudian sibuk dengan berbagai hal.
Menurut istilah Kepala Sekolah, mereka melakukan kegiatan untuk mengasah
kemampuan kreatif mereka. Ada yang mengutak-utik radio transistor. Ada yang
memahat kayu balsa, membuat model kapal layar kuno Spanyol. Lain-lainnya
menggenggam pisau tumpul untuk mengiris-iris potongan kulit, menghasilkan
berbagai benda yang entah apa namanya.
Mereka masih asyik membicarakan aksi penyelamatan Pak Wilkins. Pokok persoalan
itu akan terus hangat selama berhari-hari. Tapi Darbishire bingung memikirkan
suatu masalah penting yang sangat mendesak. Ia pergi mencari Jennings karena
ingin minta sarannya. Temannya itu ditemukannya sedang meremas-remas segumpal tanah liat. Ia belum
tahu persis, benda apa yang akan dibuatnya. Mungkin tempat abu rokok untuk
ayahnya. Tapi bisa juga tempat menaruh telur, yang nantinya akan dihadiahkan
kepada salah seorang bibinya. Entahlah, ia akan melihat saja nanti, seperti apa
benda yang hendak dibuatnya dari tanah liat itu. Kalau mirip tempat abu rokok,
maka itulah yang dibuatnya. Tapi jika lebih mirip tempat telur, yah-itu pun
boleh juga! "Kenapa kau kelihatannya bingung, Darbi?" tanya Jennings ketika temannya itu
datang menghampiri. "Aku pusing memikirkan daftar kueku," jawab Darbishire. "Aku sudah menyusunnya
sejak awal kita bersekolah. Isinya nama semua yang kujanjikan akan kuberi
sebagian apabila kiriman dari nenekku datang."
Ia menyodorkan selembar kertas berukuran besar yang sudah renyuk ke depan hidung
Jennings untuk dilihat. Di sebelah atas kertas itu tertulis kata "DAFTAR KUE"
dengan huruf-huruf kapital. Di bawahnya tertera nama-:nama sekitar empat puluh
orang. Sebagian besar dari nama-nama itu sudah dicoret dan ditulis kembali,
paling sedikit dua atau tiga kali.
"Soalnya begini," katanya menjelaskan. "Jika ada orang ramah padaku, namanya
lantas kutuliskan di daftar ini. lalu jika sesudah itu ia tidak ramah, namanya
kucoret lagi." Hal itu kedengarannya cukup sederhana ketika Darbishire mendapat gagasannya.
Tapi kemudian ternyata timbul kesulitan-kesulitan yang tidak diduga semula
olehnya. Anak-anak yang namanya sudah tertera di daftar itu mengancam akan melakukan
pembalasan jika nama mereka dicoret dari situ. Dan anak-anak yang tidak
disertakan namanya juga mengancam apabila nama mereka tetap tidak dimasukkan
dalam daftar. "Jadi kaulihat sendiri bagaimana sulitnya masalah ini," kata Darbishire dengan
sedih. "Mulanya ide itu kuanggap bagus, tapi ternyata anak-anak yang menyebalkan
juga terpaksa kutuliskan di sini, supaya aman."
Jennings sependapat bahwa hal itu memang tidak menyenangkan. Tapi ia tetap saja
tidak mengerti, kenapa Darbishire menjadi begitu gelisah.
"Begini," kata anak itu menjelaskan, "kue kiriman nenekku datang tadi pagi, dan
aku bermaksud membawanya ke ruang makan untuk dihidangkan saat minum teh nanti
sore. Ikutlah sebentar untuk melihatnya. Nanti akan kaulihat sendiri
masalahnya." Jennings mengikuti Darbishire, menuju ruangan tempat menyimpan perbekalan
makanan kecil kiriman keluarga mereka masing-masing.
"Ini, lihatlah," kata Darbishire sambil membuka tutup kotak penyimpan makanan
kecilnya. "Kau mengerti sekarang, kan?"
Jennings mengerti. Di dalam kotak itu nampak sebuah kue biskuit kecil berbentuk
bundar. Kue itu kiriman nenek Darbishire, dan maksudnya mungkin untuk dimakan
oleh anak itu sendiri. Yang jelas, bukan untuk dibagi-bagikan kepada separuh
jumlah murid di sekolah itu. Ukuran garis tengahnya tidak sampai lima belas
senti, dan tebalnya sekitar dua sampai tiga senti.
"Mana mungkin ini dibagi dengan empat puluh orang anak?" kata Darbishire dengan
nada bingung. "Aku bukannya tidak berterima kasih pada Nenek, tapi mestinya ia
tahu bahwa anak-anak di sini banyak. Ya, kan?"
"Kenapa tidak kaucoret saja lagi beberapa nama di daftarmu itu?" kata Jennings
menyarankan. Darbishire mendesah. Anak-anak di sekolah itu kebanyakan lebih besar dari dia.
Mencoret-coret nama dengan seenaknya, itu berarti mencari-cari kesulitan!
"Kau bisa mencoret nama Perry, Alsop, Binns, dan juga Plackett," kata Jennings
lagi. "Mereka pasti takkan ribut, karena kau lebih besar dari mereka."


Jennings Si Iseng Karya Anthony Buckeridge di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ya, aku tahu," jawab Darbishir, "tapi nama mereka kutulis karena mereka
sahabatku, dan bukan karena mereka mengancam apabila mereka tidak kusertakan."
Darbishire benar-benar bimbang saat itu. Rasanya tidak adil mencoret nama teman-
teman hanya karena mereka takkan marah, sementara nama-nama yang lainnya
dibiarkan karena ia takut menghadapi akibatnya jika nama-nama itu dicoret.
"Tidak," katanya kemudian dengan mantap, "mereka berempat harus tetap ada, dan
empat nama lainnya kucoret." Ia memejamkan mata, lalu dengan asal saja
membubuhkan empat coretan di atas kertas daftar. Cara itu mula-mula gagal,
karena kata-kata yang dicoret ternyata merupakan nama Jennings, Daftar Kue,
Venables, dan tanggal daftar itu dibuat. Tapi akhirnya ia berhasil mengurangi
nama-nama yang tertera menjadi tiga lusin.
"Sekarang bagaimana?" katanya.
Jennings tahu akal. Ia dan Darbishire sudah mendapat pengajaran. geometri. Dan
ini kesempatan baik untuk menguji pengetahuan yang sudah diperoleh sejauh itu.
"Dalam sebuah lingkaran ada tiga ratus enam puluh derajat," katanya. Ia
mengetahuinya, karena pernah disuruh Pak Wilkins menuliskannya sebanyak dua
puluh lima kali. "Baiklah! Karena dalam daftarmu itu ada tiga puluh enam nama,
maka masing-masing anak akan mendapat bagian sebesar sepuluh derajat."
"Ya, betul," kata Darbishire. Ia kagum mendengar kehebatan Jennings menghitung.
Mereka bergegas ke kelas mereka, dan kembali dengan membawa busur derajat,
penggaris, dan jangka. Matematika ternyata ada juga gunanya dalam kehidupan
sehari-hari. Jadi tidak seperti anggapan mereka selama ini! Busur derajat mereka
letakkan di atas kue. Titik pusat busur itu mengimpit titik tengah kue itu.
lalu, dengan ujung jarum jangka, mereka membuat titik-titik sekeliling lingkaran
kue, masing-masing berukuran sepuluh derajat.
Ketika pengukuran sudah selesai dikerjakan, kedua anak itu melihat bahwa bagian
masing-masing sebesar sepuluh derajat ternyata kecil sekali. Perhitungan
berdasarkan ilmu ukur tadi, dalam kenyataannya mengecewakan! .
"Ah, biar kecil, semuanya mendapat bagian yang adil," kata Jennings ketika
lonceng tanda waktu minum teh berbunyi. "lebih baik kubawa saja alat-alat ukur
ini, jika nanti ada yang memprotes."
Darbishire membawa kuenya dengan bangga ke ruang makan, diikuti oleh Jennings
dengan alat-alat ukurnya.
"Sewaktu dihitung tadi kelihatannya sudah bagus," kata Darbishire ketika anak-
anak. sudah selesai menyikat hidangan pertama, tap sekarang bagian sebesar
masing-masing sepuluh derajat ini rasanya tidak benar." Ia menggenggam pisau
pemotong. Dirasakannya tatapan mata tiga puluh enam orang anak yang akan
mendapat bagian. Mereka memperhatikan dengan cermat, takut kalau bagian yang
didapat nanti lebih kecil dari yang lain-lainnya. "Kita tadi tidak
memperhitungkan tebal pisau ini, Jen! Dan juga bagian pinggir potongan yang
meremah." "Ini membuktikan kebenaran kataku selama ini," kata Jennings." Geometri dan
matematika hanya benar dalam perhitungan dalam buku pelajaran saja. Tapi begitu
kita pergunakan untuk melakukan sesuatu yang sesungguhnya, semua langsung
berantakan." "Ya, sama seperti kueku ini, kata Darbishire. "Lihatlah, Jen, nanti kalau
kupotong-potong seperti hasil perhitungan kita tadi, semuanya pasti hancur
menjadi remah-remah. Kurasa kue ini harus dipotong menjadi empat bagian yang
lumayan besar. Kalau tidak begitu, hasilnya menjadi tiga puluh enam tumpukan
remah." Ia memotong kue itu menjadi empat bagian, lalu mendesah karena
membayangkan tugas selanjutnya. Benar-benar pekerjaan yang mustahil! Ia
memerlukan alat yang sangat tipis dan tajam untuk membagi-bagi kue yang sudah
dipotong empat itu menjadi tiga puluh enam bagian yang lebih kecil. Jadi masing-
masing bagian masih harus dibagi sembilan lagi.
"Aku tahu akal," kata Jennings. "Kubawa saja kue ini ke Matron! Barangkali saja
ia bisa memotongnya menjadi bagian-bagian kecil seperti seharusnya."
Jennings dan anak-anak selebihnya yang bersekolah di situ tinggalnya di asrama
yang tempatnya di kompleks sekolah itu juga. Di asrama itu ada seorang wanita,
yang tugasnya mengurus berbagai hal yang tidak langsung mengenai urusan sekolah,
seperti mengurus makanan anak-anak, menyediakan seprai, sarung bantal, mengurus
kebersihan ruangan, merawat anak-anak yang sakit, dan sebagainya. Wanita itu
sebutannya Matron. Kalau di Indonesia sini, namanya Ibu Asrama.
Jennings mengambil piring berisi kue yang sudah dipotong menjadi empat bagian
itu lalu pergi ke meja di ujung ruangan. Matron ada di situ, sedang bercakap-
cakap dengan Pak Carter. Tapi sebelum Jennings sampai, pintu ruangan terbuka. Kepala Sekolah masuk dan
langsung menuju ke tempat Matron dan Pak Carter, lalu bercakap-cakap dengan
mereka. Jennings berdiri agak di pinggir. Ia berusaha menarik perhatian Matron. Tapi
tidak berhasil. Kemudian Pak Pemberton-Oakes, kepala sekolah, berpaling. ia
melihat Jennings berdiri sedikit di belakangnya. Ia juga melihat anak itu
memegang piring berisi empat potong kue yang lumayan ukurannya,
"Ah," kata Kepala Sekolah, "kue ini untukku" Wah, terima kasih!"
Jennings tidak berani mengatakan bahwa Kepala Sekolah salah sangka. Jadi ia
hanya bisa tersenyum kecut, sementara Pak Pemberton-Oakes dengan tenang
mengambil potongan kue yang mestinya merupakan hak sembilan orang anak.
"Kau baik hati," katanya sambil tersenyum. Ia sebenarnya tidak kepingin makan
kue. Tapi ia tidak mau menyinggung perasaan Jennings. Karenanya ia memaksa diri,
memasukkan kue ke dalam mulutnya.
"Kuenya enak ya, Matron?" katanya.
Matron tidak bisa memberi penilaian, karena tidak mencicip. Jadi Jennings
terpaksa menyodorkan piring kepada wanita itu yang mengambil sepotong. Setelah
itu piring disodorkan pula kepada Pak Carter, yang mengambil potongan ketiga.
Jennings melihat Darbishire yang memandang ke arahnya dengan sikap kaget dan
bingung. Jennings juga merasa bahwa urusan pembagian kue menjadi bertambah
kacau. Tapi ia bisa berbuat apa" Tiga puluh enam pasang mata hanya bisa
memandang dengan kecewa, sementara ketiga orang dewasa yang ada di situ dengan
memaksa diri mengunyah dan kemudian menelan kue itu.
Darbishire memandang dengan mata terbelalak. Kenapa Jennings melakukan hal itu"
Masih tersisa satu bagian kue di piring. Darbishire sudah takut saja, jangan-
jangan bagian itu nanti diberikan oleh Jennings kepada kucing peliharaan Matron.
Pak Pemberton-Oakes menelan kunyahannya yang terakhir.
"O ya, Jennings," katanya, "aku jadi teringat."
Ia meminta anak-anak diam. Anak-anak yang sebetulnya akan mendapat bagian kue,
memang sudah diam sejak tadi. Mereka masih kaget memandang kejadian yang
mengecewakan sehingga selera makan mereka lenyap. Anak-anak yang selebihnya
berhenti makan dan mengarahkan perhatian kepada Kepala Sekolah.
"Siang tadi," kata Pak Pemberton-Oakes, "latihan bahaya kebakaran kita
disemarakkan kejadian luar biasa yang tidak bisa diduga sebelumnya. Namun berkat
ketangkasan Jennings yang dengan segera menelepon pemadam kebakaran, Pak Wilkins
hanya sebentar saja berada dalam keadaan yang tidak menyenangkan baginya. Nah,
tindakan Jennings itu merupakan contoh yang sangat baik, bagaimana kita harus
menggunakan akal kita. Selamat, Jennings, atas ketangkasan dan kecerdasanmu.
Tapi itu tidak berarti," sambungnya buru-buru, "bahwa kalian boleh dengan
seenaknya saja menggunakan telepon tanpa izin. Tapi kejadian tadi merupakan
keadaan darurat, dan Jennings berhasil mengatasinya dengan cara yang
mengagumkan." Pak Pemberton-Oakes berhenti sebentar, mengenangkan kembali
pemandangan yang nampak di depan matanya di dalam Ruang Empat, sebelum kejadian
sial yang menimpa Pak Wilkins.
"Sebelumnya," kata Kepala Sekolah melanjutkan, "aku punya alasan untuk merasa
tidak puas dengan anak-anak dari Ruang Empat, dan sebagai hukuman mereka kusuruh
belajar satu jam lebih lama petang ini. Tapi kini aku memutuskan untuk
membatalkan hukuman itu, karena aku merasa bahwa prakarsa Jennings yang luar
biasa tadi itu pantas mendapat ganjaran. Anda sependapat dengan saya kan, Pak
Carter?" katanya sambil menoleh ke arah guru itu.
Dalam hati Pak Carter sebetulnya tidak setuju. Tapi di lain pihak, ia tidak
ingin merusak suasana. "Yah," katanya dengan hati-hati, "nampaknya ada satu segi lain dari soal itu
yang Anda lupakan...."
''Tidak, tidak, Pak Carter," kata Kepala Sekolah memotong, "janganlah kita
bersikap kerdil! Kita harus memberikan penghargaan, jika itu memang sudah
sepantasnya diberikan. Bukan itu saja," sambungnya dengan rasa bermurah hati
yang dengan tiba-tiba saja muncul, "kurasa sudah sepantasnya anak-anak semuanya
dibebaskan dari tugas belajar petang ini, sebagai tanda bahwa aku tidak segan-
segan menunjukkan penghargaan terhadap perbuatan yang pantas dipuji."
Tujuh puluh delapan orang anak bertepuk tangan dengan gembira. Jennings, yang
masih terus mendekap piring kue, menundukkan kepala dengan sikap rendah hati.
Baru keesokan harinya Pak Carter mendengar kenyataan yang sebenarnya mengenai
bencana yang terjadi dengan DAFT AR KUE" yang sudah disusun dengan susah payah
oleh Darbishire. Anak itu berhasil menyelamatkan potongan yang terakhir dan
memakannya sendiri. Tapi kemudian ia repot menjelaskan duduk perkaranya kepada
anak-anak yang sudah berharap-harap akan mendapat bagian.
Pak Carter merasa agak bersalah. Karenanya ia pergi ke kota dan membelikan kue
yang baru untuk Darbishire sebagai pengganti. Sekali ini ukuran garis tengah kue
itu lebih besar, yaitu tiga puluh senti. Dan tebalnya lebih dari sepuluh senti.
Darbishire berulang kali mengucapkan terima kasih kepada Pak Carter, lalu pergi
dengan gembira sambil mendekap kotak kue itu. Tapi dengan segera ia sudah muncul
lagi. "Maaf, Pak," katanya, "Anda punya selembar kertas besar yang bisa saya minta?"
"Kurasa ada. Bagaimana dengan kertas untuk ulangan ini?"
'Terima kasih banyak, Pak," kata Darbishire, lalu pergi lagi.
Kue pemberian Pak Carter itu dimasukkannya ke dalam kotak tempat makanan
kecilnya. Setelah itu ia pergi ke kelas dengan membawa kertas ulangan tadi, lalu
duduk dan langsung mulai menulis di atas kertas itu.
"DAFTAR KUE YANG BARU," tulisnya dengan huruf-huruf kapital.
"NAMA-NAMA YANG ADA DI BAWAH INI AKAN MENDAPAT MASING-MASING SEPOTONG TAPI JIKA
TIDAK RAMAH MEREKA TIDAK DIBAGI:
1. PAK CARTER 2. JENNINGS 3. VENABLES 4. lonceng tanda waktu minum teh berbunyi ketika Darbishire selesai menyusun
daftarnya. Saat itu Jennings muncul.
"He, Darbi," kata anak itu, "bagaimana, kau perlu bantuan memotong-motong kuemu
dan membagi-bagikannya?"
'Tidak usah!" kata Darbishire. Cukup sekali saja Jennings diberi kesempatan
membantu, karena hasilnya malah kacau!
8. KARYA SASTRA YANG GEMILANG
SAAT pertengahan semester merupakan saat kedatangan para orang tua murid ke
sekolah untuk menjenguk anak-anak mereka. Saat itu anak-anak tidak melakukan
kegiatan mereka sehari-hari di situ, seperti belajar di kelas, dan berganti
pakaian untuk main sepak bola. Saat itu mereka mendengar diri mereka disapa
dengan nama kecil, dan bukan nama keluarga. Selama satu akhir pekan mereka boleh
melupakan bahwa mereka ada di sekolah. Tapi itu bukan hal yang mudah dilupakan.
Waktu satu akhir pekan saja terlalu singkat untuk berubah dari murid sekolah
internat-itulah sebutan untuk sekolah yang sekaligus juga menyediakan asrama
tempat tinggal bagi murid-nya-menjadi anggota keluarga. Para orang tua murid
yang anaknya baru bersekolah di situ datang dengan perkiraan akan menjumpai anak
mereka yang masih sama dengan ketika masih tinggal di rumah. Mereka bingung
melihat anak mereka ternyata berubah. Ada juga yang merasa kecewa.
Pendeta Darbishire beserta istrinya datang dari Hertfordshire. Mereka berbekal
berbagai pertanyaan mengenai kemajuan anak mereka di sekolah. Mereka juga
berbekal pakaian dalam musim dingin untuk anak mereka itu.
Pak Jennings dan Bu Jennings datang dengan mobil dari Haywards Heath. Mereka
sangat ingin mengetahui segala hal tentang kehidupan baru anak mereka di sekolah
itu. Tapi mereka terpaksa kecewa. Memang banyak yang hendak diceritakan Jennings
kepada mereka. Tapi anak itu tidak mau membuang-buang waktu berbicara tentang
hal-hal yang membosankan seperti misalnya aljabar dan obat batuk. Segala
pertanyaan yang mereka ajukan kepadanya mengenai segi-segi kehidupan sekolah
yang mereka anggap lebih penting, dijawab secara sambil lalu saja oleh Jennings.
Dengan cepat ia mengalihkan pembicaraan. Kedua orang tuanya terpaksa
mendengarkan ceritanya yang panjang lebar tentang kenapa Venables pada suatu
hari muncul di ruang makan untuk sara pan pagi dengan memakai baju piamanya;
soalnya, karena kemejanya kecemplung ke dalam bak tempat cuci muka.
"Ya, pasti itu tidak menyenangkan bagi temanmu itu," kata Bu Jennings. "Tapi
yang ingin kami ketahui, senangkah kau di sini" Kau merasa senang, tinggal di
asrama sekolah?" "Ah, lumayan," jawab Jennings dengan singkat.
"Banyak teman barumu" Ramahkah mereka?"
"O ya, lumayan!"
"Bagaimana dengan selera makanmu" Kau cukup makan di sini?"
"O ya, lumayan. O ya, kasihan deh, Atkinson. Pergelangan kakinya bengkak, besar
sekali bengkaknya." Jennings merasa sudah waktunya untuk berbicara tentang hal-
hal lain yang lebih menarik.
"Bagaimana dengan pelajaranmu" Kau sudah ranking satu?" tanya ayahnya.
"Mana, belum! Selasa nanti bengkaknya itu akan disodet dengan pisau, karena
rupanya itu bisul! Kata Matron, bisul Atkinson itu yang..."
Kau suka belajar bahasa Prancis?"
"Ah, biasa-biasa saja. Bod memelihara seekor kodok, hebat sekali deh, kodoknya
itu! Punggungnya penuh dengan bintik-bintik berwarna kuning."
"Punggung temanmu itu?" tanya Bu Jennings.
"Bukan, kodoknya! Ibu ini macam-macam saja," kata Jennings sambil menggeleng-
geleng. Masa begitu saja tidak mengerti!"
"Pak Carter, ia memberimu uang tabunganmu setiap minggu?" tanya ayahnya.
"Ya....Ia menaruhnya di belakang lemari tempat sepatu. "
"Di belakang lemari tempat sepatu?" kata ayahnya mengulangi dengan heran. "Di
situ kan kurang aman!"
"Ah, tidak mungkin hilang," kata Jennings menjelaskan. "Ia menaruhnya dalam
kotak kardus, dan diberi lumut dan daun-daun segar."
"Uang tabunganmu ditaruh di situ?"
"Bukan, kodok itu. Bod disuruh membuangnya, karena ia membawanya ke aula. Kepala
Sekolah sampai sewot!" Jennings tertawa mengingat kejadian itu. lalu pikirannya
beralih dengan cepat ke persoalan lain.
"Lucu deh!" katanya. "Jika tertawa ia punya gigi emas."
Pak Jennings harus menebak sendiri, siapa yang mempunyai gigi emas itu: Kepala
Sekolah, anak yang bernama Bod, atau kodok. Begitu pula ke mana perginya gigi
emas itu apabila yang mempunyainya tidak sedang tertawa. Sementara itu Jennings
sudah menyambung lagi dengan cerita tentang Brown yang memasukkan remah-remah
kue yang sudah kering sampai penuh ke dalam sebuah botol tinta. Tapi tentang
dirinya sendiri tentang hal-hal yang ingin diketahui orang tuanya, Jennings
tidak banyak bercerita. Padahal untuk itulah mereka datang menjenguk. Segala
pertanyaan mengenai keadaan dirinya selalu dijawab secara singkat dengan, Ah,
lumayan," atau "Baik."
Mereka menikmati akhir minggu itu dengan berpesiar naik mobil, makan-makan d
hotel dan di restoran. Tapi ketika mereka kemudian pulang, ayah dan ibu Jennings
masih tetap belum tahu banyak tentang hal-hal yang mereka anggap penting untuk
diketahui mengenal kehidupan Jennings di sekolah.
*** Para orang tua murid sudah pulang lagi ke rumah masing-masing. Jennings dan
Darbishire sudah lebih bisa menyesuaikan diri dengan kehidupan asrama sekolah
mereka. Jennings bukan tergolong anak jenius. Tapi ia berusaha sebaik mungkin,
dan itu menyebabkan ia bisa menempati kedudukan tengah di antara teman-teman
sekelas. Bukan anak terpintar, tapi juga bukan anak yang paling jelek nilainya.
Darbishire sedikit lebih baik posisinya: pengetahuannya agak lebih baik daripada
Jennings. Tapi dibilang mantap juga tidak. Begitulah-melayang-layang seperti
pesawat terbang yang agak kerepotan berpegang pada arah yang benar. Dan itu
menyebabkan dia melontarkan ucapan-ucapan asal bunyi saja: Tapi ia
mengucapkannya dengan gaya yang begitu mantap, sehingga teman-teman yang tidak
tahu apa-apa langsung saja menerima bahwa pernyataannya itu pasti benar.
Kedua anak itu lebih rajin menekuni pelajaran yang diberikan Pak Carter, karena
mereka menyukainya. Mereka bekerja keras untuk pelajaran yang diberikan Kepala
Sekolah, karena ngeri didamprat.. Mereka juga bekerja keras dalam jam pelajaran.
yang diberikan Pak Wilkins, tapi hanya apabila sikap guru itu menunjukkan bahwa
sikap bermalas-malas mereka sudah hampir keterlaluan. Kecuali itu masih ada
guru-guru lainnya. Tapi mereka hanya sekali-sekali saja diajari para guru
lainnya itu, untuk beberapa mata pelajaran tertentu.
Jennings berusaha keras agar bisa ikut bermain dalam Kesebelasan Kedua. Ia
memiliki kemungkinan untuk ditempatkan sebagai salah seorang pemain sayap.
Setiap kali nama-nama pemain yang termasuk dalam kesebelasan dipasang di papan


Jennings Si Iseng Karya Anthony Buckeridge di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pengumuman sebelum ada pertandingan, ia pasti yang paling dulu datang menengok,
untuk melihat apakah namanya ikut dipasang. Tapi sejauh itu ia kemudian selalu
pergi lagi dengan wajah kecewa.
Darbishire ikut bermain dalam tim "D". Tim itu yang paling rendah posisinya,
karena terdiri dari anak-anak yang paling tidak bisa bermain sepak bola. Ia
bermain dengan sepatu yang talinya tidak saling terikat lagi. Tapi itu tidak
berarti mutu permainannya meningkat.
Suatu petang, sekitar empat minggu setelah pertengahan semester, Jennings
berbicara dengan Darbishire mengenai hal itu. Saat itu mereka sedang belajar
dalam kelas. . "Permainanmu benar-benar payah, Darbi," kata Jennings. "Anak seumurmu tidak
pantas bermain bersama Binns dan anak-anak ingusan yang selebihnya itu. Masa kau
tidak bisa berusaha agar permainanmu menjadi lebih baik" Kau tidak bisa
melakukan sesuatu mengenainya?"
"Yah, saat ini aku sedang membuat karangan, judulnya Petunjuk-Petunjuk Praktis
untuk Bermain Sepak Bola." jawab Darbishire dengan nada bangga. "Aku sudah
bertanya pada Pak Carter apakah tulisanku itu bisa dimuat dalam majalah sekolah
kita" Ia mengatakan akan mempertimbangkannya."
"Lalu menurutmu, siapa yang mau membacanya nanti, jika anak-anak tahu bahwa itu
karangan anak yang sama sekali tidak bisa melihat bola yang datang ke arahnya,
jadi apalagi menendangnya?"
"Memang itulah yang juga dikatakan oleh Pak Carter," kata Darbishire mengaku.
"Katanya lebih baik aku mengarang tentang hal yang lebih kuketahui untuk majalah
kita. Aku lantas berpikir, mendingan aku mengarang cerita detektif saja."
"Kau tahu apa tentang detektif?" tanya Jennings.
"Ah, siapa pun bisa mengarang cerita detektif," balas Darbishire. "Pokoknya,
kita ciptakan beberapa orang tokoh dan kita pikirkan ceritanya mau tentang apa.
Beres!" "Ya, memang," kata Jennings, terkesan mendengar bahwa urusan itu ternyata begitu
sederhana. "Kita bisa bersama-sama mengarang sebuah cerita detektif. Kau menulis
Bab Satu, lalu aku Bab Dua, dan seterusnya."
"Oke," kata Darbishire, "kita mulai saja sekarang."
Waktu belajar sudah lewat, dan masih ada waktu setengah jam sebelum anak-anak
bersiap-siap untuk tidur. Kedua anak itu pergi ke ruang penyimpanan tempat
makanan kecil dengan berbekal buku catatan dan semangat mereka yang menyala-
nyala untuk mengarang cerita.
Sesampai di sana mereka langsung mulai.
"Pertama-tama," kata Darbishire sambil menjilat ujung pensilnya, "kita harus mencari nama untuk
detektif kita." Kedua anak itu berpikir selama beberapa saat.
"Namanya harus benar-benar istimewa, lain dari yang lain," kata Jennings. .
"Setuju! Bagaimana kalau Nehemiah Bultitude?"
"Kenapa nama yang begitu?"
"Katamu tadi harus lain dan yang lain."
"Memang, tapi nama yang kau sebutkan itu tidak cocok untuk detektif," bantah
Jennings. "Kita harus mencari yang lebih asyik, seperti- - nah, aku tahu! Bagaimana kalau
Flixton Slick, Superdetektif?" . " . .
"Flixton Slick - Superdetektif," Darbishire mengucapkannya beberapa kali sambil
menggumam. "Hm, oke deh. Tapi agak repot juga mengucapkannya. Kalau terlalu
cepat, bisa menjadi 'Slickton Flix'." . .
Kedua anak itu memutuskan untuk tidak menyusun jalan ceritanya dulu, tapi
langsung saja mulai mengarang. Darbishire yang menuliskan Bab Satu. Pada akhir
bab itu tokoh detektifnya harus ditinggalkan menghadapi situasi yang gawat.
Situasi itu harus dicari pemecahannya oleh Jennings, dalam Bab Dua. Dengan
begitu karangan mereka akan mengasyikkan para pembaca dan juga kedua
pengarangnya sendiri, sampai bab terakhirnya yang paling menegangkan.
*** Hari setelah itu hari Jumat. Nama-nama para pemain yang akan ikut dalam
pertandingan melawan kesebelasan Sekolah Bretherton House keesokan harinya
dipasang pada papan pengumuman, ketika anak-anak beristirahat sebentar di antara
dua jam pelajaran. Jennings bergegas lari keluar dari kelasnya dan menerobos anak-anak yang
berkerumun di depan papan pengumuman. Ia sudah tidak lagi memperkirakan namanya
akan terpasang pada papan pengumuman, tapi siapa tahu-ya, namanya ada di situ!
Jennings merasa sulit percaya bahwa apa yang dilihatnya itu benar-benar ada.
Gelandang kanan! Hebat! Asyik!
"Minggir dong, Jennings," kata anak-anak yang berkerumun di situ. "Kau bukan
satu-satunya yang ingin melihat."
Tapi Jennings tidak mampu bergerak. Ia seperti tersihir melihat namanya tertulis
dengan mesin tik dan terpasang di papan pengumuman. Diketiknya dengan huruf-
huruf kapital lagi! Bukan main!
Beberapa menit kemudian barulah ia bisa meninggalkan tempat itu. Ia berjalan
seperti sedang bermimpi. Kemudian disadarinya bahwa Ia tadi begitu asyik melihat
namanya sendiri, sampai tidak melihat siapa pemain-pemain selebihnya. Jadi ia
terpaksa kembali lagi ke papan pengumuman. Dan di situ ia lagi-lagi mengagumi
namanya yang tertulis dengan huruf-huruf kapital. Tapi sekali itu ia juga
menyempatkan diri untuk membaca susunan pemain yang akan bertanding.
Seusai makan siang, ia menghabiskan waktu dua puluh menit untuk membersihkan
sepatu sepak bolanya. Lumpur yang melekat dikikisnya dengan pisau lipat. Ia
menggosokkan semir ke kulit sepatunya, termasuk pula bagian sol. Bukan itu saja,
celana dan sweaternya juga ikut terkena semir. Tapi siapa sih, yang mau peduli
tentang soal-soal sepele yang demikian dalam keadaan seperti yang dialaminya
saat itu" "Nah, selesai!" katanya, sambil mengacungkan hasil kerjanya dengan bangga.
"Bagaimana pendapatmu, Bod" Dengan sepatu sebersih begini, aku pasti akan bisa
bermain dengan gemilang besok."
"Kau sinting," kata Temple. "Nanti kan kotor lagi! Kita kan harus berlatih nanti
sore." "Aduh, betul juga," kata Jennings. "Aku sama sekali tidak ingat. Biarlah, nanti
malam akan kubersihkan lagi."
Tapi malam itu Jennings merasa agak kurang enak badan. Ia bermain dengan
semangat yang berapi-api pada saat latihan, dan sebagai akibatnya ia agak merasa
mual ketika latihan selesai.
Sikapnya sangat tenang sewaktu belajar siang. Dan waktu minum teh, ia sama sekah
tidak berselera makan. Hal itu merupakan kejadian yang luar biasa, karena
makanan yang dihidangkan saat itu sangat disukai oleh Jennings. Dan biasanya ia
minta tambah sampai tiga kali.
"Wow!" kata Venables. "Jennings sama sekali tidak makan! Ada apa, Jen" Kau
mengurangi makan agar tidak kekenyangan dalam pertandingan besok?"
"Bukan begitu," jawab Jennings sambil melirik hidangan yang ada di meja dengan
sikap enggan. "Aku cuma tidak berselera saja. Perutku mual rasanya. "
"Kalau begitu kenapa kau tidak pergi saja ke Matron?"
"Wah, itu berbahaya! Bisa-bisa aku nanti langsung disuruhnya masuk ke tempat
tidur. Bagaimana jika ia mengatakan aku tidak bisa ikut bermain" Besok aku pasti
sudah tidak apa-apa lagi."
Tapi keesokan paginya keadaan perut Jennings rasanya seperti saat ia sedang
berada dalam lift yang turun dengan kecepatan tinggi. Mual!
"Sebentar, kupanggilkan Matron!" kata Atkinson sambil melangkah ke luar.
Matron. datang bergegas-gegas sambil bernyanyi-nyanyi dengan riang. Wanita itu
memang periang. Tapi juga tegas. Ia berhenti di depan si pasien yang enggan
berobat itu. "Nah, ada apa lagi di sini?" katanya.
"Anu, Matron-saya merasa agak-hkkk!"
Sementara Jennings berbicara, Matron dengan cepat mengeluarkan termometer dari
tempatnya. Gayanya seperti pendekar silat yang menghunus pedang! Dengan cepat
pula termometer itu diselipkannya ke dalam mulut Jennings, sebelum anak itu
sempat menyelesaikan kalimatnya. Jennings masih hendak mengatakan sesuatu lagi,
tapi langsung dipotong oleh Matron.
"Diam! Jangan bicara kalau sedang ada termometer dalam mulut. Sekarang kalian
yang lainnya-" ia berpaling pada anak-anak selebihnya, yang berkerumun di
sekeliling tempat tidur Jennings seperti kawanan lalat mengerubungi tempat madu
- "cepat, keluar! Sebentar lagi lonceng sarapan pagi berbunyi:'
Matron berdendang-dendang dengan gembira selama semenit, lalu dikeluarkannya
termometer dari mulut Jennings. Mata Matron menyipit ketika melihat posisi
puncak air raksa pada alat pengukur suhu badan itu.
"Sebentar lagi kau pasti akan bisa bangun lagi," katanya dengan riang. "Tidak,
bukan sekarang ini juga," sambungnya ketika melihat Jennings hendak bangun.
Menurut perkiraannya anak itu mengalami gangguan pencernaan, lalu disuruhnya
berbaring di tempat tidur untuk beristirahat.
"Tapi saya pasti akan sudah sehat lagi untuk pertandingan nanti siang" Ya kan,
Matron?" tanya Jennings dengan cemas.
"Pertandingan nanti siang" Astaga, mana bisa! Tidak, itu sama sekali tidak
boleh!" 'Tapi Matron, ayolah, saya harus-"
"Mungkin kau nanti kuizinkan bangun. Kau boleh duduk di sofa di ruang dudukku.
Tapi main bola" Tidak boleh!"
Itu benar-benar bencana namanya! Tamatlah segala-galanya! Setelah berlatih
dengan bersungguh-sungguh selama sekian minggu sehingga akhirnya berhasil masuk
dalam tim, akhirnya pada hari pertandingan ia harus berbaring di tempat tidur.
Jennings sangat kecewa! Sesudah makan hidangan yang enteng siang itu. Ia diizinkan Matron datang ke
ruang duduknya. "Jangan sedih," kata Matron ketika ia masuk dengan riang ke Ruang Empat "Besok
kau pasti sudah sehat kembali."
"Tapi apa gunanya besok baru sehat" keluh Jennings. "Kalau besok, biar saja saya
sakit keras. Yang penting sekarang ini. Tempat saya pasti akan diisi oleh
Johnson. Itu pasti akan mereka lakukan."
"Untunglah, bagi Johnson," kata Matron. "Sudah, janganlah kau terus mengeluh.
Ambil saja hikmahnya! Aku sudah mengatakan kepada Darbishire, nanti setelah
pertandingan selesai ia boleh datang mengobrol denganmu di ruang dudukku. Itu
kan menyenangkan?" Bagi Jennings, mengobrol dengan Darbishire tidak bisa dibandingkan dengan
keasyikan ikut bermain dalam pertandingan. Siang itu ia merasa sedih sekali. Ia
bisa mendengar anak-anak ramai bersorak-sorak di lapangan sepak bola, tapi ia
tidak bisa melihat apa-apa. Jengkel sekali rasanya mendengar suara bersorak-
sorak, tapi tidak tahu apa arti kegembiraan itu.
Begitu Darbishire datang ketika pertandingan sudah berakhir, dengan segera
Jennings mencecarnya agar bercerita mengenainya.
Kita menang," kata Darbishire. "Satu nol, dan Johnson yang mencetak gol.
Permainannya luar biasa! Semua mengatakan bahwa dia hebat. Kemungkinannya ia
akan tetap dipasang dalam tim."
Anak itu terus saja bercerita, tanpa menyadari bahwa kata-katanya itu ibarat
garam yang digosok-gosokkan pada luka. Pedih rasanya!
"Untung bagi kesebelasan kita bahwa kau sakit, karena kalau tidak Johnson takkan
dipasang, dan tim kita tidak jadi menang."
Jennings tidak mungkin senang mendengar bahwa penderitaannya merupakan kemujuran
bagi kesebelasan mereka. Jadi ketika Darbishire kemudian dengan bangga
mengatakan bahwa ia membawa Bab Satu dari cerita Flixton Slick-Superdetektif
yang sudah diselesaikannya, Jennings menanggapinya dengan sebal. .
"Sini, kemarikan," katanya. "Kurasa takkan mungkin bagus, tapi biarlah kubaca
juga." Darbishire menyodorkan buku catatan yang berisi karangannya kepada Jennings,
lalu menunggu dengan senyuman seorang pengarang yang tahu bahwa sebentar lagi ia
akan mendengar kata-kata pujian.
Jennings mulai membaca. "Bab Satu." katanya. "Orang banyak berkerumun di pelabuhan udara untuk
menyaksikan Flixton Slick, Superdetektif, berangkat dengan sayap... Kenapa dia
harus berangkat dengan sayap?"
"Bukan begitu membacanya," kata Darbishire. "Setelah ,berangkat, mestinya ada
tanda titik. Orang banyak itu datang untuk menyaksikan dia berangkat. Titik."
"Ah, begitu maksudmu," kata Jennings, lalu meneruskan membaca. "Dengan sayap
kemilau kena sinar matahari pesawatnya lepas landas. Orang-orang yang berkerumun
bersorak-sorai ketika pesawat membumbung tinggi dan melambai-lambaikan
saputangan...." Jennings berhenti. "Ini konyol! Mana bisa pesawat terbang
melambaikan saputangan" Kenapa tidak kautulis pesawat mengepak-ngepakkan
sayapnya saja sekaligus!"
"Kau salah, konyol," kata sang pengarang. "Maksudku, orang-orang yang melambai-
lambaikan saputangan!"
"Kalau begitu kenapa bukan kautulis seperti itu?"
Jennings tidak berniat memuji hasil karangan Itu, setelah harus mendengarkan
Darbishire menyanjung-nyanjung Johnson.
"Ah, sudah, teruskan saja membaca," kata Darbishire. "Kau tahu persis apa yang
kumaksudkan." Jennings mendecak-decakkan lidah untuk menunjukkan bahwa ia tidak merasa puas
dengan hasil tulisan itu.
"Dengan segera Flixton Slick sudah tiba di kantor Scotland Yard...," Jennings
meneruskan bacaannya. "Ia diminta datang untuk melacak jejak seorang mata-mata
misterius yang bekerja bagi suatu negara asing. Mata-mata itu dikenal dengan
nama julukan Bayangan bisu."
"Kepala polisi memberi tahukan kepada Flixton Slick bahwa markas Bayangan Bisu
terdapat di sebuah gudang yang akan diceritakan nanti, lalu Flixton Slick dengan
dibantu tiga petugas polisi beragam...." Jennings berhenti lagi membaca, untuk
menanyakan apakah ada berbagai jenis polisi di Scotland Yard.
"Kau yang tidak bisa membaca dengan benar, kata Darbishire. "Dalam ceritaku
tidak ada disebut-sebut tentang beraneka ragam polisi."
"Lalu ini, apa ini?" tukas Jennings, Disodorkannya buku catatan itu kepada
Darbishire. "Wah, sorry, aku salah tulis rupanya! Maksudku, berseragam! Sini, biar aku saja
yang membacakan - karena kau kelihatannya tidak begitu lancar."
"Biar lancar pun, salah tetap saja salah," tukas Jennings.
Darbishire sebenarnya sudah kesal. Untuk terakhir kalinya ia berusaha tidak
mengacuhkan sikap Jennings yang menyebalkan itu.
"Nah, bagian ini asyik," katanya. "Dengar ya, akan kubacakan: Lalu Flixton Slick
dengan dibantu tiga petugas polisi berseragam pergi ke gudang itu. fa mendobrak
masuk. Bayangan Bisu bersembunyi di sebuah sudut. Ketika ia melihat Flixton
Slick, dengan cepat diacungkannya pistol. Dor! Dor! Dor! Terdengar bunyi
tembakan sebanyak tiga kali. Dua orang Polisi terkena dan langsung mati. Yang
ketiga mendesing, menembus topinya..."
"Nanti dulu," kata Jennings memotong. "Yang ketiga apa katamu" Sinting rupanya,
orang itu!" "Siapa" Bayangan Bisu" Betul, ia kenyataannya memang sinting...."
"Bukan, bukan dia! Polisi yang satu lagi itu. Jika dua rekannya mati kena
tembak, mestinya ia kan membuka topi untuk memberi penghormatan terakhir. Masa
malah mendesing dan menembus topinya sendiri! Selain itu mereka kan memakai
helm, bukan topi." ''Yang mendesing menembus topi bukan polisi itu, tolol." Wajah Darbishire merah
karena marah mendengar kata-kata Jennings yang mengejek karya hebatnya. "Peluru
ketiga yang mendesing, menembus topi yang dipakai Slixton Flick."
"Menyebut namanya dengan benar saja kau tidak bisa. Slixton Flick,
Dupersetektif," kata Jennings sambil mencibir.
Darbishire melemparkan buku catatannya ke arah Jennings, tapi meleset.
"Payah lemparanmu!" kata Jennings. "lewat dekatku saja tidak, apalagi mendesing
menembus topiku, jika aku memakai topi!"
"Kau sengaja bersikap jahat," teriak Darbishire. "Aku tidak mau lagi berkawan
denganmu. Kata ayahku... "
"Sana, jangan berkawan lagi dengan aku!" balas Jennings dengan suara yang sama
kerasnya. "Dan aku tidak peduli apa kata ayahmu. Kau kemari untuk menghiburku,
lalu kau mengatakan bagaimana hebatnya permainan Johnson tadi, dan untung saja
aku sakit, jadi tidak bisa ikut bermain."
"Tapi kau tidak perlu berlagak bodoh tentang Flixton Slick karena sebenarnya kau
tahu maksudku.... Biar, akan kucoret namamu dari Daftar Kue-ku yang baru. Biar
tahu rasa!" . Kedua anak itu saling berteriak mengata-ngatai.
Darbishire sudah hampir menangis, sementara Jennings marah tapi sekaligus juga
merasa tidak enak. Saat itu pintu kamar terbuka dengan cepat. Matron masuk bergegas-gegas, karena
kaget mendengar suara berteriak-teriak di dalam.
"He, he, he," katanya menenangkan. "Apa-apaan ini" T adi kalian masih begitu
asyik ketika kutinggalkan sebentar. Kini tahu-tahu sudah bertengkar! Seperti


Jennings Si Iseng Karya Anthony Buckeridge di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

anjing dengan kucing saja."
Jennings bertambah kesal mendengarnya.
"Sana, lebih baik kau pergi saja, Darbishire," kata Matron lagi. Anak itu keluar
sambil mengomel tidak mau berteman lagi dengan Jennings.
"Dan kau, Jennings, kurasa kau sudah bisa sekolah lagi setelah makan sore nanti.
Kelihatannya kau sudah cukup sehat."
"Baik, Matron."
Matron ikut keluar, meninggalkan Jennings seorang diri dengan kegetirannya. Anak
itu merasa kasihan pada dirinya sendiri. Darbi tadi benar-benar menyebalkan!
Untung ia cepat melihat bagaimana watak anak itu yang sebenarnya.
Bayangkan, mendatangi orang sakit yang keadaannya sedang payah, lalu mengobrak-
abrik perasaannya dengan cerita yang tidak-tidak. Bisa-bisa sakitnya bertambah
parah lagi karenanya. Dan yang lebih penting lagi - tidak, Jennings tidak
sanggup mengingat urusan pertandingan sepak bola itu.
Ketika Pak Carter mampir untuk menjenguknya, Jennings masih tetap berusaha tidak
berpikir tentang pertandingan tadi.
"Halo, Jennings," sapa Pak Carter. "Sayang kau tadi tidak bisa ikut.
Pertandingannya bagus sekali. Johnson bermain dengan baik."
"Ya. saya tahu, Pak. Saya sampai sebal mendengarnya. Pasti saya tidak ada
kesempatan lagi untuk ikut. sekarang."
"Siapa bilang" Tentu saja ada," kata Pak Carter. "Hari Sabtu minggu depan. Kita
akan bertanding melawan Sekolah Bracebridge."
"Tapi setelah ternyata bahwa Johnson begitu bagus permainannya, saya tentunya
tidak akan dipasang."
"Kau akan dipasang. Kau dan juga Johnson akan kupasang bersama-sama dalam
pertandingan berikut, dan salah seorang pemain lain di depan akan kutarik."
Seketika itu juga mendung yang menggelapi wajah Jennings tersingkir. Air mukanya
berseri-seri. "Wah, asyik, Pak," katanya. "Terima kasih banyak, Pak! Wow, saya tidak sabar
lagi menunggu hari Sabtu depan!"
Perasaannya gembira sewaktu berjalan menuruni tangga ke bawah. Dan anak yang
paling dulu dijumpainya ternyata Darbishire. Dengan wajah lesu dan sedih anak
itu berdiri di depan keranjang sampah di aula. Ia merobek-robek buku catatan
yang berisi karya sastranya yang gemilang. Setiap sobekan yang dicampakkan ke
dalam keranjang sampah, seakan-akan satu mata rantai lagi yang putus dari
jalinan persahabatan antara mereka berdua.
"Kasihan Darbi," kata Jennings dalam hati. Ia memandang temannya itu dengan
perasaan enteng yang timbul setelah ia mengetahui bahwa Pak Carter tidak
mengeluarkannya dari tim. Ia merasa bahwa ia tadi telah melakukan kesalahan
terhadap Darbishire. Segala kesebalannya terhadap anak itu lenyap dengan
seketika. "Hai, Darbi," sapanya dari ambang pintu aula.
Darbishire menoleh ke arahnya dengan pandangan sebal.
"Ah, kau rupanya," tukas anak itu. "Sana, pergi! Aku tidak mau lagi berurusan
denganmu." Ia merobek halaman karangannya yang terakhir menjadi enam belas
potongan yang kecil-kecil.
"Jangan begitu, Darbi," kata Jennings. "Aku menyesal mengata-ngatai karanganmu
tadi. Sebenarnya, menurutku ceritamu itu bagus sekali!"
Darbishire memandang dengan sikap curiga.
"Kau mengejek, ya," katanya.
"Tidak! .Sungguh, ceritamu itu sangat bagus. Tapi aku tadi merasa sebal, karena
tidak bisa ikut bertanding. Aku tadi masih sakit. Tapi sekarang sudah sehat
kembali. He, bagaimana jika cerita Flixton Slick kita karang sekali lagi. Biar
aku yang menulisnya, jika kau mau."
"Oke," kata Darbishire. Nampak jelas bahwa kemarahannya menghilang dengan cepat.
"Kau -Kau-" Ia merasa bangga terhadap Bab Satu hasil karangannya, dan ia masih
khawatir kalau-kalau Jennings sebenarnya mencari-cari kesempatan lagi untuk
menertawakannya. "Apa?" kata Jennings.
"Kau sungguh-sungguh menyukai Bab Satu tadi itu" Sejauh yang sudah kubaca,
paling tidak?" "Tentu saja! Yuk, kau yang mendiktekan dan aku yang menulis."
Kedua anak itu pergi ke ruang tempat penyimpanan makanan kecil dengan berbekal
buku catatan yang baru. Darbishire bangga sekali. Baru sekali itu ia punya
sekretaris. Ia mendehem-dehem sebentar, lalu mulai mendiktekan
"Orang banyak berkerumun di pelabuhan udara untuk menyaksikan FLixton Flick
berangkat. Titik." Kedua anak itu sudah bersahabat lagi.
9. GAGASAN PAK WILKINS HARI Senin Jennings menulis dalam buku hariannya, "Tinggal lima hari sebelum
pertandingan atau empat jika tidak ikut dihitung hari ini atau Sabtu pagi."
Hari Selasa ia menulis, "Tinggal empat hari atau tiga tanpa hari ini dan Sabtu."
Dan hari Jumat pagi, ketika tinggal satu hari lagi-atau tidak ada lagi yang
tersisa, menurut cara Jennings menghitung - ketidaksabaran Jenings mulai
mengganggu ketekunannya belajar.
Pak Wilkins tidak menyukai hari-hari Jumat. Ia harus mengajar kelas tiga selama
dua jam sebelum istirahat dan sekali lagi langsung sesudahnya. Ketika waktu
mengajar yang kedua sudah separuh jalan, Pak Wilkins mulai memancarkan getaran-
getaran yang menunjukkan bahwa sebentar lagi ada kemungkinan terjadi gempa.
Anak-anak kelas tiga memperhatikan tanda-tanda itu dengan penuh minat. Karena
itu berarti bahwa sisa waktu sekolah pagi itu akan bisa mengasyikkan. Tapi tentu
saja apabila yang menjadi sasaran gempa orang lain!
Pak Wilkins melangkah di antara bangku-bangku. Ia menatap bentuk-bentuk geometri
yang disalin anak-anak dari papan tulis. Ia mengamati bentuk-bentuk yang dibuat
itu dengan saksama. Sesampai di meja Jennings, Pak Wilkins berhenti. Air mukanya langsung mendung.
"Astaga," katanya, "menurutmu, apa sebutan untuk bentuk yang kaugambar ini?"
"Segitiga tanpa bangun, Pak," kata Jennings menjelaskan.
"Betul," tukas Pak Wilkins. "Segitiga sama sebangun tidak mungkin bisa kaubuat
dengan garis-garis yang bengkok-bengkok seperti itu."
"Pensil saya sih, Pak," kata Jennings membela diri. "Ujungnya tumpul!"
"Begitu pula halnya dengan jangkamu," kata Pak Wilkins mengecam, sambil
memperhatikan isi kotak alat-alat tulis Jennings. "Kau apakan jangkamu itu" Main
panah-panahan dengannya" Coba lihat penggaris dan busur derajat ini."
Alat-alat itu memang payah keadaannya. Penggarisnya melengkung dan bocel-bocel
pinggirnya. Mungkin bisa dipakai untuk memotong roti, tapi untuk membuat garis
sudah jelas tidak cocok lagi. Busur derajat yang terbuat dari plastik tercuil
sedikit, berbentuk segitiga. Cuilan itu sengaja dipotong Jennings, dijadikan
kaca jendela mainan mobilnya. Lalu ujung jangkanya sudah begitu sering
dimanfaatkan untuk melakukan berbagai hal yang memerlukan ujung yang runcing,
sehingga bentuknya bengkok seperti mata pancing.
"Bagaimana kau mengharapkan bisa menarik garis lurus dan sudut yang tepat dengan
peralatan brengsek seperti ini?" kata Pak Wilkins marah-marah. "Coba kaulihat
bentuk yang kaubuat ini. Maunya ini apa?"
"Dua garis sejajar dengan - eh, anu - memotongnya, Pak." .
"Betul, tapi coba lihat bentuknya. Lihat sudut ini. Sudut apa ini?"
Jennings memperhatikan hasil kerjanya dengan sikap sangsi.
"Yah, sulit juga mengatakannya, Pak, tapi saya pikir ini mestinya sudut bertolak
belakang. "Kaupikir!" bentak Pak Wilkins. "Kaupikir itu mestinya sudut bertolak belakang!
Jangan main pikir, ya! Kau jangan berpikir. Kau harus tau."
"Ya, Pak." "Dan jika yang kaubuat ini sudut bertolak belakang " kata Pak Wilkins
melanjutkan, mestinya bertolak belakang dengan sudut lain. Nah, sudut yang mana
itu?" Jennings menatap simpang-siur garis-garis tebal di depannya dengan bingung.
"Saya tidak tahu, Pak," katanya kemudian mengaku.
"Tidak tahu!" bentak Pak Wilkins lagi. "Ayo, pikir, Anak konyol, pikir! Menurut
pikiranmu, sudut yang mana itu?"
"Tadi Anda mengatakan saya tidak boleh berpikir, Pak."
Anak-anak sekelas terpingkal-pingkal. Mereka masih terus saja tertawa, meski
sebenarnya sudah tidak geli .lagi. Mereka memaksa diri tertawa karena suatu
lelucon, meski lelucon itu konyol, merupakan isyarat untuk tertawa. Dan makin
lama mereka tertawa, makin baik!
Tapi Pak Wilkins tidak ikut tertawa. Ia tahu bahwa anak-anak menertawakan
dirinya. Dan tidak ada orang yang senang ditertawakan.
"Diam!" bentaknya.
Suara tertawa lenyap dengan pelan-pelan, tapi kemudian disusul dengan berbagai
ucapan anak-anak. "Pak, Pak, Jennings tadi benar, Pak. Anda kan mengatakan padanya, ia tidak boleh
berpikir. Ya kan, Pak?"
"Jika Anda mula-mula mengatakan ia tidak boleh berpikir, lalu setelah itu Anda
menyuruhnya-" "Diam," bentak Pak Wilkins. "Semuanya duduk dengan rapi, dengan tangan terlipat
di depan." Anak-anak langsung diam mendengar suaranya yang menggelegar dan melihat tatapan
matanya yang menyala-nyala. Tapi kediaman mereka itu karena terpaksa, dan bukan
karena hormat. Mereka tidak lagi berbicara. Tapi mereka menemukan keasyikan
lain, yaitu pura-pura ketakutan menghadapi kemarahan Pak Wilkins. Mereka
bersembunyi di belakang buku yang diangkat menutupi muka, sambil menyeringai
pura-pura ngeri. Ada pula yang menarik kerah jas mereka ke atas menutupi
telinga, sambil memerosotkan tubuh sampai posisi duduk mereka sangat rendah di
bangku. "Anak yang masih bersuara akan..." Pak Wilkins mencari-cari hukuman yang cukup
berat, tapi tidak berhasil, "...yah, ia harus hati-hati!" Anak-anak tetap diam.
Tapi mereka tersenyum dan berpandang-pandangan dengan air muka yang lebih
menjengkelkan Pak Wilkins daripada kalau mereka berbicara.
Semuanya masih beres, katanya dalam hati. sampai gelak tertawa meledak. Kini
anak-anak tidak bisa dikendalikan lagi. Dan kemarahannya yang semakin memuncak,
malah dianggap semakin lucu oleh anak-anak. Betul, mereka memang diam, tapi jika
Pak Carter atau Kepala Sekolah yang saat itu berada di situ, maka diamnya anak-
anak lain sekali. Apakah yang harus dilakukannya sekarang" Ia harus menghukum
mereka dengan cara menahan mereka tetap di kelas, tapi anak-anak ini nampaknya
tidak menganggap itu hukuman. Tidak! Ia harus menemukan hukuman yang membuat
mereka benar-benar kaget. Sesuatu yang sangat keras, sehingga anak-anak sejak
itu takkan berani lagi mempermainkan dirinya.
Pak Wilkins masih terus berpikir mencari-cari hukuman yang cocok ketika lonceng
tanda istirahat berbunyi. Disuruhnya anak-anak keluar.
Jennings lari ke bawah, menuju papan pengumuman. Ya, hal yang hendak dilihatnya
ternyata sudah tertera di situ: Kesebelasan Kedua Bertanding Lawan Sekolah
Bracebridge-dan namanya tertera, pada posisi pemain depan.
Johnson tetap pada posisi gelandang kanan, seperti seharusnya karena dialah
bintang lapangan minggu sebelum itu. Tapi Bromwich dicopot dan Jennings dipasang
sebagai pemain kanan dalam. Jennings memperhatikan daftar susunan pemain dengan
asyik. Sampai dua kali ditelitinya tulisan namanya, kalau-kalau ada salah ketik.
Tapi semuanya beres. Ia lantas bergegas pergi, mencari Darbishire.
Temannya itu masih ada di dalam kelas. Ia duduk di bangkunya, menghadapi buku
latihan yang terbuka di depannya. Tapi ia sedang mengamat-amati sebuah brosur
berwarna meriah. Brosur itu diterbitkan sebuah perusahaan perkapalan, yang
dengan kalimat-kalimat muluk menjanjikan berbagai hal yang serba asyik pada
siapa pun juga yang memesan perjalanan ke Australia naik salah satu kapal milik
perusahaan itu. "He, Darbi!" seru Jennings. "Yuk, ke papan pengumuman. Susunan tim yang akan
bertanding sudah dipasang. Aku main sebagai kanan dalam."
"Bagus," kata Darbishire. Tapi ia terus saja menyimak isi brosur yang ada di
depannya. "Kau tidak ingin melihatnya?" tanya Jennings. Ia tidak mengerti, masa ada orang
yang tidak berminat untuk melihatnya sendiri.
"Untuk apa aku ke sana dan membaca hal yang sudah kauceritakan padaku," kata
Darbishire. "Begini pun aku sudah percaya."
"O, begitu maksudmu," kata Jennings. "Hebat ya, aku ikut bermain?"
"Ya," jawab Darbishire, sambil terus menekuni tulisan mengenai pelayaran
mengarungi samudra. "Aku main sebagai kanan dalam."
"Aku tahu, baru saja itu kauceritakan."
"Bromo dicopot, dan aku ditempatkan sebagai kanan dalam."
"Itu yang kelima puluh juta kalinya kau mengatakannya kepadaku dalam waktu dua
detik," kata Darbishire. "Kau main sebagai kanan dalam. Oke, sekarang aku tahu.
Jika ada yang bertanya padaku apakah aku tahu di posisi mana kau nanti bermain,
aku akan mengatakan, 'Ya, kanan dalam.' Kurasa takkan ada yang akan bertanya,
tapi kalau ada, aku akan langsung tahu jawabannya. 'Kanan dalam,' begitulah
kataku nanti." Ucapan Darbishire itu sebenarnya dimaksudkan sebagai sindiran. Tapi dasar
Jennings. Anak itu tidak merasa dirinya disindir.
"Betul, kanan dalam," katanya. "Jangan lupa, Jika ada yang bertanya, bilang saja
aku bermain sebagai kanan dalam."
"Kalau kau mau, nanti kutuliskan di papan tulis," kata Darbishire dengan ketus,
lalu kembali menekuni brosur tentang Australia.
"Kau sedang apa?" tanya Jennings.
"Aku belum membuat tugas untuk ilmu bumi, dan Pak Wilkie yang akan mengawasi
kita dalam pelajaran yang berikut."
"Wow, aku juga belum membuatnya," kata Jennings. "Tentang apa, sih?"
"Tentang gandum di Australia," jawab Darbishire. "Aku bukannya hendak
membiasakan diri bekerja pada saat istirahat. Kebiasaan seperti itu bisa
mengakibatkan gangguan saraf, gegar otak, dan sebagainya. Tapi kalau kulihat
bagaimana sikap Pak Wilkie waktu sebelum ini dia mengawasi kita, kurasa
sebaiknya kita menyelesaikan tugas yang diberikan."
Jennings menghampiri bangkunya dengan segan-segan, lalu mengeluarkan buku ilmu
buminya. "Di Australia itu ada apa saja?" tanyanya kepada Darbishire.
"Kelinci," jawab Darbishire. "Ada jutaan kelinci di sana. Binatang itu merupakan
hama, karena memakan habis gandum yang dengan susah payah ditanam para petani."
"Kurasa itu sudah cukup untuk awalnya," kata Jennings. "Sekarang jangan bicara
lagi, aku hendak membuat karanganku."
Darbishire kembali menekuni brosur pariwisata itu. Keningnya berkerut. Dalam
brosur itu keindahan Australia dipaparkan dengan kata-kata yang serba indah:
pemandangan matahari terbenam, iklim, kehebatan pemandangan alam semuanya
dilukiskan dengan warna-warna semarak. Pengarangnya memang bermaksud
membangkitkan selera pembaca untuk pergi berlibur ke sana.
Darbishire mulai pembuka dari menyalin kalimat-kalimat brosur itu ke buku
latihannya. "Pak Wilkie mestinya akan senang membacanya nanti," katanya dalam hati.
Tapi Pak Wilkins saat itu tidak menyadari niat baik Darbishire. Ia sedang
mondar-mandir di ruang duduknya. Ia harus berbuat sesuatu untuk menunjukkan
kepada anak-anak itu bahwa ia tidak boleh disepelekan. Tapi apa" Kemungkinan-
kemungkinan yang biasa sudah disingkirkannya karena dinilai takkan ada gunanya.
Dan dua puluh menit lagi ia akan harus sudah kembali berdiri di depan kelas itu.
Ia berhenti mondar-mandir, lalu pergi ke lantai atas untuk berembuk dengan Pak
Carter. Pintu kamar kerja Pak Carter bergetar keras diketuk oleh Pak Wilkins. Kertas-
kertas yang ada di atas meja tulis beterbangan tertiup angin yang mengembus
keras ketika pintu dibuka lebar-lebar.
"Aduh, Pak Wilkins," kata Pak Carter memprotes. "Haruskah Anda selalu masuk
kemari seperti kawanan gajah yang sedang panik?"
"Anda pasti akan agak panik apabila baru saja mengajar anak-anak kelas tiga
selama dua jam berturut-turut," jawab Pak Wilkins. "Sungguh, kelas itu
menyebabkan rambutku cepat beruban. Tidak bisa tenang; mengobrol; malas
melakukan tugas dengan baik; pokoknya mereka itu tidak bisa diam! Aku sedang
mencari-cari hukuman yang pantas, supaya mereka sadar bahwa mereka tidak bisa
seenaknya saja selama aku mengajar. Sungguh, jika aku sudah menemukan sesuatu
yang cukup berat, mereka pasti akan merasakannya."
Saat itu pesawat telepon yang ada di meja kerja Pak Carter berdering.
"Sebentar, ya," katanya kepada Pak Wilkins, lalu mengangkat gagang telepon.
"Halo! Betul, Sekolah Linbury Court.... Betul, di sini Carter.... Ah, Anda
rupanya, Parkinson, apa kabar".. Bagaimana, Anda membawa tim yang tangguh
besok?" Orang yang menelepon itu mengatakan bahwa ia sangat menyesal, tapi takkan ada
tim sepak bola yang datang.
*** Ternyata di Sekolah Bracebridge ada seorang anak terserang penyakit biring


Jennings Si Iseng Karya Anthony Buckeridge di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

peluh. Itu sejenis penyakit yang menyebabkan kulit berbintik-bintik merah, dan
gatal sekali rasanya. Sementara itu anak tadi sudah sembuh kembali. Tapi karena
penyakit itu mudah menular, seisi sekolah dikenakan larangan berhubungan dengan
orang luar sampai minggu depan. Pak Parkinson, salah seorang guru di sekolah
itu, minta maaf kepada Pak Carter karena lupa cepat-cepat memberi tahu. Tapi
begitulah persoalannya. Saat itu akhir semester sudah dekat. Jadi tidak ada
waktu lagi untuk menggeser pertandingan ke waktu yang lain, Dengan perkataan
lain, pertandingan terpaksa dibatalkan!
Ketika pembicaraan lewat telepon dengan rekan dari Sekolah Braeebridge sudah
selesai, Pak Carter menyampaikan kabar buruk itu kepada Pak Wilkins.
"Wah, sayang," kata Pak Wilkins. "Padahal aku sudah tidak sabar lagi, ingin
menonton pertandingan besok. Mestinya akan ramai! Anak-anak pasti kecewa
mendengarnya." Pak Wilkins pada dasarnya memang baik hati. Kejengkelannya
terhadap anak-anak karena kebandelan mereka, dengan segera lenyap setelah
mendengar berita yang pasti tidak menyenangkan mereka itu.
"Jennings pasti sedih," katanya melanjutkan. "Anak itu tangkas, dan biar masih
kecil juga sudah kelihatan bakatnya untuk menjadi pemain yang bermutu. Tapi,
jika pertandingan dibatalkan..." Ia tidak meneruskan, karena saat itu tiba-tiba
ada sesuatu yang timbul dalam pikirannya. Suatu gagasan yang terus berkembang
dan akhirnya menguasai dirinya.
"Ya, betul juga," gumam Pak Wilkins. "Kenapa tidak" Ini dia yang kutunggu-
tunggu." "Apa itu?" tanya Pak Carter.
"Sekarang aku punya senjata untuk menghadapi anak-anak kelas tiga! Jika mereka
masih saja bandel, akan kubatalkan pertandingan melawan Bracebridge besok."
Pak Carter mendesah, lalu bicara dengan nada sabar yang biasanya terdengar
apabila ia sedang menjelaskan seluk-beluk tata bahasa kepada anak-anak dari
kelas yang lebih rendah. ''Tapi pertandingan itu kan memang sudah dibatalkan," katanya. "Baru saja itu
saya katakan kepada Anda. Anak-anak Sekolah Braeebridge tidak boleh meninggalkan
sekolah, karena dikhawatirkan akan menulari orang lain."
"Ya, ya, ya," kata Pak Wilkins memotong dengan nada tidak sabar. "Itu sudah
kuketahui. Anda juga tahu. Tapi anak-anak belum mengetahuinya. Itulah senjata
yang kuperlukan. Nanti, begitu aku melihat ada gejala mereka akan berisik lagi,
aku akan bisa mengatakan, 'Baiklah! Kalian semua besok tidak boleh keluar, dan
takkan ada pertandingan.' Itulah yang akan kukatakan kepada mereka."
Pak Wilkins merasa asyik membayangkan gagasan itu. Jika anak-anak itu mengira
bahwa ia memiliki kekuasaan untuk membatalkan pertandingan, mereka pasti akan
memperlakukan dirinya dengan sikap yang lebih hormat. Dan jika mereka nanti
melihat bahwa ia benar-benar bisa melaksanakan ancaman berat itu, pasti takkan
ada lagi yang berani memberikan jawaban yang seenaknya saja pada waktu ia
mengajar. Pak Carter terkejut mendengarnya.
"Itu tidak bisa Anda lakukan!" protesnya. "Bahkan Kepala Sekolah kita pun pasti
akan berpikir dua kali dulu, sebelum membatalkan pertandingan sebagai hukuman!"
"Tapi kan bukan aku yang sebenarnya membatalkan itu. Pertandingan itu memang
sudah tidak jadi dilangsungkan. Aku cuma pura-pura saja."
Pak Wilkins tetap berkeras hendak menjalankan gagasannya. Dikatakannya bahwa itu
akan memudahkan penerapan disiplin dalam diri anak-anak. Dan selain itu
pertandingan kan memang sudah dibatalkan. Jadi apakah ia mengatakan hal itu
sebagai hukuman atau tidak, kan sama saja. Kenapa ia tidak memanfaatkan hal itu"
"Aku tetap saja tidak setuju," kata Pak Carter.
"Lagi pula, jika nanti ternyata mereka tidak merongrong Anda lagi, bagaimana"
Anda takkan punya alasan untuk menghukum mereka."
Pak Wilkins tertawa keras mendengar ucapan itu. Mana mungkin anak-anak itu tahu-
tahu bisa tenang" Ia masih terus tertawa beberapa menit kemudian ketika lonceng
berbunyi. "Nah," 'katanya dengan nada puas, "kini aku sudah siap berperang, dan aku akan
ke kelas tiga dengan niat mencari-cari keributan." .
"Aku tidak setuju," kata Pak Carter mengulangi, sementara Pak Wilkins bergegas
ke pintu dengan langkah bergegas.
Sambil cepat-cepat meletakkan tangan di atas kertas-kertas yang ada di atas
meja, Pak Carter mengatakan, "Jangan banting pin..."
Tapi pintu sudah dibanting keras-keras oleh Pak Wilkins yang melangkah ke luar.
*** Di ruang kelas tiga, anak-anak menemukan buku pelajaran mereka, siap untuk
memulai pelajaran selanjutnya.
"Pelajaran ilmu bumi dengan Pak Wilkie," kata Venables. "Ia pasti marah-marah
lagi. Karanganku jelek!"'
"Biar sajalah," kata Jennings. "Besok kita bertanding melawan Bracebridge, dan
aku bermain sebagai kanan dalam." Ia melatih beberapa gaya tendangan, sambil
berseru-seru mengiringi "Dukk!... Suiitt!... Boinggg!... Gol!..." Ia menyalami
tangannya sendiri, sambil membungkukkan badan ke kiri dan ke kanan.
Kemudian terdengar bunyi langkah-langkah berat datang di gang. Anak-anak tidak
perlu menempatkan penjaga untuk memberi tahu apabila Pak Wilkins datang.
"Keluarkan buku latihan ilmu bumi kalian," serunya ketika masih beberapa meter
dari pintu kelas. Suaranya bernada mantap. Tapi anak-anak tidak
memperhatikannya. Jennings mengacungkan tangan sewaktu Pak Wilkins hendak duduk di kursi guru.
"Haruskah kami menuliskan karangan kami dalam buku latihan, Pak?" kata Jennings.
"Maumu di mana kalau tidak di situ-di langit-langit, ya?"
"Bukan begitu, Pak. Maksud saya, apakah kita tidak hanya harus belajar tentang
Australia, dan bukan membuat karangan mengenainya."
Mata Pak Wilkins dipelototkan.
"Jadi kau belum membuat karangan rupanya, ya" Baiklah, jika kau memang mencari-
cari kesulitan... " "Bukan begitu, Pak! Saya sudah membuat karangan."
"Tadi kaukatakan, belum."
"Tidak, Pak. Saya tadi cuma ingin tahu saja."
"Jangan suka omong kosong," kata Pak Wilkins. "Masalahnya dengan kau ini,
Jennings, kau selalu setengah tidur. Perlu dibangunkan. Sana, sodorkan kepalamu
di bawah keran di kamar mandi. Barangkali itu akan bisa menyegarkan otakmu."
"Sekarang ini juga, Pak?" tanya Jennings.
"Ya, sekarang! Mungkin sesudah kau kembali, pikiranmu bisa menjadi agak cerah.
Sana, pergi!" Jennings pergi ke kamar mandi. Pak Wilkins memanggil Darbishire ke depan dengan
buku latihannya. Buku itu diserahkan kepada Pak Wilkins, yang langsung mulai
membaca dengan suara keras.
"Keadaan alam Australia yang indah dan semarak membentangkan sajian pemandangan
yang takkan mungkin bisa dilupakan dan akan tetap merupakan kenangan yang
seindah permata yang tidak ternilai harganya sepanjang masa. Begitu indah dan
harum dataran berbukit-bukit yang membentang jauh sampai ke ujung horison, di
mana kita yang memandang dengan diterangi sinar-sinar yang meredup dari matahari
yang sudah akan kembali ke peraduannya pasti terpesona menyaksikan..."
Pak Wilkins mendongak, memandang Darbishire. Tapi ia tidak nampak terpesona
menyaksikan anak yang berdiri di depannya itu. "Kau mau mengatakan, ini semuanya
hasil kerjamu sendiri?" katanya.
"Yah, tidak semuanya," kata Darbishire mengaku, "tapi saya cukup sibuk dan
banyak melakukan riset dan sebagainya, Pak."
"Lalu mana tulisan mengenai percocoktanaman gandum?"
"Ah, itu baru menyusul nanti," kata Darbishire menjelaskan. "Saya belum sempat
menulis mengenainya. Semua bagian awal itu gunanya untuk menimbulkan suasana
yang sesuai dengan hati orang yang membacanya, Pak."
"Aku memang merasa adanya suasana yang timbul, Darbishire," kata Pak Wilkins,
"tapi sama sekali bukan seperti yang kauharapkan."
Saat itu pintu kelas terbuka dan Jennings melangkah masuk. Kepergiannya ke kamar
mandi, tidak menampakkan bekas apa-apa pada dinnya, selam matanya yang bersinar-
sinar. Pak Wilkins menatapnya dengan sikap menyelidik. Kepala Jennings sedikit
pun tidak kelihatan basah. Ini merupakan pembangkangan secara terang-terangan,
kata guru itu dalam hati. Baiklah, ia pun sudah tahu tindakan apa yang harus
diambil. "Cepat sekali kau sudah kembali, Jennings," kata Pak Wilkins, memaksa dirinya
bersikap tetap tenang. "Coba kemari sebentar."
Jennings datang menghampiri.
"Kau tadi menyodorkan kepalamu di bawah keran, seperti yang kusuruh?"
"Sudah, Pak." "Kalau begitu coba kaujelaskan," kata Pak Wilkins dengan suara disabar-sabarkan
"apa sebabnya rambutmu masih kering?" '
"Anda tadi kan tidak menyuruh saya membuka keran, Pak."
Untuk kedua kalinya anak-anak sekelas itu terpingkal-pingkal. Mulanya mereka
tertawa karena benar-benar geli. Tapi sesudah itu mereka memaksa-maksa diri
untuk terus saja berbuat seakan-akan masih tertawa. Mereka berguling-guling di
bangku sambil menepuk-nepuk lutut dan paha. Kemudian mereka menepuk-nepuk paha
teman yang duduk di sebelah dan saling mendorong-pokoknya mereka melakukan
segala-galanya agar kelihatan masih terus merasa geli. Sambil memperdengarkan
suara tertawa mereka mengomentari dengan ramai.
"Wah, Jennings ini benar-benar hebat, Pak! Jawabannya jitu sekali!"
"Sekali ini Anda benar-benar kena batunya, Pak'"
"Ternyata ia tidak mengantuk seperti yang Anda sangka, ya, Pak?"
Pak Wilkins menunggu dengan tenang dan geram. Ia bisa menunggu, karena sebentar
lagi akan datang saatnya melancarkan balasan. Ketika akhirnya anak-anak sudah
diam, Pak Wilkins berbicara. Ia berbicara dengan ketenangan yang tidak lumrah,
untuk orang yang berwatak meledak-ledak seperti dia.
"Belum pernah seumur hidupku," katanya, "aku mendengar kelakuan kurang ajar
seperti itu tadi. Jika dengannya kau 'bermaksud hendak melucu, Jennings..."
"Tapi dia kan hanya menuruti perintah Anda saja, Pak," sela Venables.
"...dan karena kalian yang lain-lain kelihatannya suka pada lelucon murahan
seperti itu," sambung Pak Wilkins tanpa mengacuhkan kata-kata Venables, "kalian
semua harus ikut menanggung akibatnya. Seluruh kelas, besok siang harus tinggal
di dalam untuk belajar selama dua jam, sebagai hukuman!"
"Aduh, jangan begitu, Pak!" seru seluruh kelas.
Temple mengacungkan tangannya.
"Maaf, Pak, tapi Anda tidak bisa menahan kami di sini besok, karena kan ada
pertandingan," katanya. "Meski kami tidak semua ikut bertanding, tapi kami kan
harus menontonnya. Kepala Sekolah sendiri yang mengatakan begitu."
"Betul, Pak, kan ada pertandingan melawan Bracebridge, Pak," kata tiga anak
lain. Seisi kelas berpandang-pandangan sambil tersenyum puas. Tahu rasa Pak Wilkie
sekarang! Mereka menunggu dia menarik kembali ancamannya. Tapi Pak Wilkins hanya
menunggu anak-anak merasa sudah menang dulu, lalu barulah ancaman yang
sebenarnya dilontarkan. "Tidak akan ada pertandingan melawan Bracebridge besok," katanya dengan mantap.
"Kalian boleh menganggap pertandingan itu dibatalkan."
Wah, itu benar-benar gawat. Tidak bisa dipercaya! Apakah Pak Wilkins itu diberi
kekuasaan baru yang belum mereka ketahui"
"Tapi itu kan tidak bisa, Pak," kata anak-anak ramai memprotes. "Anda tidak bisa
melakukannya! Sungguh, Pak'"
"Kalian sudah mendengar apa yang kukatakan tadi," kata Pak Wilkins mengulangi
dengan bersungguh-sungguh. "Kalian sudah kuperingatkan, tapi tidak ada yang mau
peduli. Baiklah! Kalau begitu - tidak ada pertandingan!"
"Aduh, Pak," keluh anak-anak sekelas. Mereka merasa sebal, tapi mau tidak mau
kini terpaksa harus percaya.
Saat itu Darbishire membuka mulut. Maksudnya, hendak mendamaikan suasana.
"Maaf, Pak," katanya, "jika kami mulai saat ini tidak bandel lagi, maukah Anda
mengampuni kami?" "Aku tidak bisa ditawar-tawar lagi. Pertandingan itu batal, habis perkara!" kata
Pak Wilkins tegas. Ia memang sengaja tidak mengatakan bahwa ia yang
membatalkannya. Tapi jika kesan itu yang didapat anak-anak, ia berniat
mengatakan duduk perkara yang sebenarnya! .
Ketika anak-anak menyadari apa yang telah terjadi, dengan segera kejengkelan
mereka beralih dari Pak Wilkins ke anak yang merupakan penyebab kejadian itu.
Seketika itu juga Jennings sudah bukan pahlawan lagi di mata mereka. Ia berubah
menjadi perusak suasana. "Kau payah, Jennings!" seru mereka mengejek beramai-ramai.
"Konyol, Jennings!"
"Betul! Anak sialan! Kau tadi sengaja berbuat begitu! Kenapa tidak kaupatuhi
saja apa yang disuruh Pak Wilkins?" Venables, yang beberapa menit yang lalu
masih ikut tertawa ramai bersama anak-anak yang lain, kini bersikap kaget
terhadap lelucon yang begitu murahan.
''Tapi kau tadi juga ikut tertawa," kata Jennings membela diri.
"Tidak, menurutku perbuatanmu itu sama sekali tidak lucu," jawab Venables dengan
nada tersinggung. "Aku malah merasa sebal mendengarnya!"
"Aku juga!" kata Temple buru-buru. "Cuma Jennings saja yang bisa menyebabkan
pertandingan dibatalkan!"
Jennings masih berusaha membela diri. Tapi ia hanya seorang diri, menghadapi
lawan yang begitu banyak. Anak-anak memerlukan kambing hitam yang bisa
dipersalahkan, dan dialah yang paling cocok untuk itu!
Pak Wilkins diam saja sementara itu. Ia merasa sudah menang, jadi apa yang
terjadi selanjutnya bukan urusannya lagi. "Salah mereka sendiri," katanya dalam
hati, ketika hati kecilnya memprotes. Ia mengatakan, "Sekarang, barangkali kita
meneruskan pelajaran."
"Maaf, Pak," kata Jennings, "kejadian ini karena saya yang salah. Biar saya
sendirilah yang menjalani hukuman, sementara pertandingan tetap jadi
dilangsungkan. Boleh ya, Pak?"
"Tidak, Jennings."
"Tapi itu kan tidak adil bagi mereka, Pak," kata Jennings membantah dengan
perasaan sedih. "Izinkanlah pertandingan dilangsungkan, dan saya akan
menjalankan hukuman, walau itu artinya-" Jennings harus meneguk ludah dulu
sebelum sanggup meneruskan - "walau itu berarti saya tidak bisa ikut bermain.
Dan-dan saya akan ke kamar mandi lagi sekarang, untuk membasahi kepala saya,"
katanya menyambung. Pak Wilkins memandangnya dengan sikap sebal. Sesaat timbul penyesalan dalam
hatinya, ketika melihat bagaimana sedih dan bingungnya wajah anak bandel itu.
Tapi hanya sesaat saja. Pak Wilkins meneguhkan hati, lalu berbicara dengan gaya
berwibawa. "Aku tidak biasa keputusan yang sudah kuambil ditawar-tawar oleh anak kecil yang
bandel," katanya. "Darbishire! Sekarang kita lanjutkan membaca karanganmu."
Dengan perasaan riang Pak Wilkins mengambil kembali buku latihan Darbishire yang
selama itu tergeletak di atas meja guru. Ia mengalihkan perhatiannya lagi pada
keindahan alam Australia, sementara anak-anak duduk membisu dengan perasaan
sedih dan kecewa. 10. LABAH-LABAH BERACUN! BERITA itu tersebar dengan cepat. Saat makan siang, seluruh sekolah sudah
mengetahuinya. "Pak Wilkins membatalkan pertandingan besok, dan itu disebabkan karena perbuatan
Jennings!" Kabar itu disebarkan dari anak satu ke anak berikut, dengan ditambah-tambah
sehingga kenyataannya berputar balik.
"He, sudah dengar belum" Pak Wilkie membatalkan pertandingan melawan
Braeebridge." "Itu kan tidak bisa!"
''Tidak bisa, katamu" Ia sudah melakukannya, dan semuanya itu karena Jennings!
Anak itu menyuruh Pak Wilkins menyodorkan kepalanya ke bawah keran."
"Wow! Kalian dengar itu" Jennings menyodorkan kepala Pak Wilkie ke bawah keran!
Pantas saja Pak Wilkins marah!"
Saat makan siang anak-anak ribut membicarakan soal itu. Jennings dikata-katai,
sehingga hilang selera makannya. Ia sadar bahwa dialah yang paling bersalah
dalam pembatalan pertandingan yang diputuskan oleh Pak Wilkins. Tapi ia merasa
dirinya diperlakukan tidak adil, karena teman-teman yang tadinya paling keras
tertawa kini paling keras mempersalahkan dirinya.
Hanya Darbishire saja yang tetap setia. Sehabis makan siang anak itu dengan
diam-diam meninggalkan rapat yang diadakan anak-anak di ruang belajar bersama
untuk mengecam Jennings. Ia hendak mencari temannya itu. Ia menemukannya sedang
duduk termenung di belakang lemari-lemari tempat sepatu.
"Sudahlah, Jen," kata Darbishire. "Hal itu sudah terjadi, jadi mau apa lagi" Dan
kurasa itu bukan salahmu, karena jika anak-anak tidak tertawa seperti tadi, Pak
Wilkie takkan begitu marah. Ayahku selalu mengatakan..."
Tapi Jennings tidak ingin mendengar kata-kata bijaksana yang diucapkan Pendeta
Percival Darbishire. "Yuk, kita pergi saja," katanya memotong.


Jennings Si Iseng Karya Anthony Buckeridge di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ke mana?" "Ke mana saja, aku tidak peduli."
Mereka berjalan tanpa tujuan tertentu, melintasi aula di mana kertas daftar
susunan pemain untuk pertandingan hari Sabtu tergantung pada papan pengumuman.
Di kertas itu nampak kata "DIBATALKAN!" yang ditulis besar-besar dengan tinta
merah. Mereka menyeberangi lapangan, menikung ke pekarangan yang terdapat di belakang
dapur. Di situ tempat barang-barang belanjaan dan juga cucian diturunkan dari
kendaraan masing-masing perusahaan. Robinson, tukang yang bekerja di sekolah
itu, sedang membuka sebuah peti dengan menggunakan palu dan tang.
"Aku tahu, nanti saat minum teh kita akan makan apa," kata Jennings. "Aku berani
bertaruh sejuta pound."
"Taruhan sejuta pound, kau tidak tahu," balas Darbishire.
"Kita taruhan?"
"Oke!" Calon jutawan yang satu mengajak rekan calon jutawannya mendekati Robinson.
"Menurut aku, pasti pisang," kata Jennings. "Jangan lupa, kau mengatakan satu
juta jika aku benar."
Mereka memeriksa isi peti yang sedang dibuka. Isinya ternyata memang pisang.
"Baiklah," kata Darbishire. Ia pasrah terhadap nasibnya, kehilangan uang satu
juta. "Salahku sendiri! Ayahku selalu mengatakan, berjudi itu tidak baik"
Robinson sedang menarik paku-paku dengan tang, untuk melepaskan papan-papan dari
sisi peti. Di situ ada tulisan Produk Jamaika dengan huruf besar-besar.
"Berani taruhan satu juta lagi bahwa aku tidak tahu dari mana asalnya peti ini?"
tanya Jennings. Ia mencium kemungkinan akan bisa meraup harta lebih banyak lagi.
"Wah, tidak saja deh. Sudah cukup banyak kerugianku siang ini. Aku bangkrut!"
kata Darbishire. Mantan jutawan itu memperhatikan kesibukan kerja Robinson dengan penuh minat.
Akan diapakan olehnya kayu sebanyak itu" Mungkin dia nanti bisa minta kayu itu
sedikit untuk dibuat model kapal Santa Maria yang dulu dipakai Columbus ketika
mengarungi samudra Atlantik dan kemudian menemukan Benua Amerika. Ia dan
Jennings berniat membuatnya, untuk peragaan model-model sejarah pada akhir
semester nanti. Darbishire mendatangi tukang itu lalu berkata, "He, Robinson, bolehkah kami
minta kayu itu sedikit" Kami memerlukannya untuk..."
"Awas!" teriak tukang itu dengan tiba-tiba.
Kedua anak itu meloneat ke belakang sambit memandang dengan sikap waspada. Dari
sela papan-papan peti muncul seekor labah-labah. Binatang itu besar sekali.
Kelihatannya menyeramkan!
"Wow!" seru Jennings dengan asyik. "Ada penumpang gelap dalam peti itu rupanya!
Bagus, ya" Besarnya hampir seperti telapak tanganku. Yuk, kita tangkap lalu.....
"Jangan mendekat! Kemungkinannya binatang ini beracun," kata Robinson
memperingatkan. Ia mengambil sepotong kayu lalu memukulkannya ke arah labah-
labah. Tapi binatang itu melihat bahwa ia hendak dipukul. Dengan cepat sekali ia
menghindar - maklumlah, kakinya kan ada delapan! - dan bersembunyi di bawah
setandan pisang, menunggu sampai keadaan sudah aman lagi.
"Jangan dibunuh, Robinson," kata Jennings. "Mungkin itu binatang berharga! Anda
tahu kan, satwa langka."
"Bagusnya kuhajar saja supaya sekaligus punah," tukas Robinson. "Aku tidak suka
pada labah-labah. Jika kita kena gigitannya, bisa terjangkit penyakit anjing
gila!" "Itu mungkin saja, tapi bagaimana jika ternyata memang langka" Sebaiknya kita
tangkap saja, lalu kita tunjukkan kepada Pak Carter. Dia kan tahu segala-galanya
tentang serangga. Pak Carter itu ahli - ahli - taksimeter."
"Kau keliru, Jen," kata Darbishire membetulkan dengan gaya sok tahu. "Ahli
taksimeter hanya mengawetkannya saja. Benedick itu ahli-eh, entomologi. Yuk,
kita tangkap saja sekarang. Dan cup, labah-labah itu kepunyaanku!"
Robinson sebenarnya lebih setuju jika labah-labah itu dibunuh saja. Ia sudah
siap menggebuk dengan potongan kayu yang ada di tangannya. Tapi Jennings dan
Darbishire berhasil meyakinkannya bahwa tidak adil jika labah-labah itu dibunuh
sebelum Pak Carter sempat menyebutkan jenisnya.
Masalah selanjutnya adalah bagaimana melakukan penangkapan tanpa risiko digigit.
Akhirnya diputuskan untuk memasukkannya ke dalam kotak pensil Darbishire.
Jennings bertugas menggiring labah-labah itu ke dalam kotak. Dan begitu sudah
masuk, Darbishire harus cepat-cepat menutup kotak itu. Kedengarannya gampang,
tapi kenyataannya tidak begitu. Soalnya, kedua anak itu gugup sekali. Belum lagi
si labah-labah yang tidak mau diajak bekerja sama.
"Siap?" kata Jennings, ketika mereka mencoba untuk ketiga kalinya.
"Oke," jawab Darbishire.
"Hui, cepatnya binatang itu lari!" kata Jennings.
Hasil giringannya hanya menyebabkan binatang berkaki delapan itu lari ke arah
berlawanan. Tapi akhirnya terpojok juga. Dengan menggunakan penggaris, Jennings
mencongkel binatang itu masuk ke dalam kotak yang langsung ditutup oleh
Darbishire. Robinson memandang dengan sikap sangsi.
"Kemungkinannya nanti akan bisa keluar lagi," katanya. "Binatang itu kan suka
makan kayu! Pernah ada orang kena gigitan, lengannya langsung bengkak sampai
lengan bajunya harus dirobek ketika bajunya itu harus dibuka!"
"Wah, dan itu hanya karena kena gigitan labah-labah ?"
"Bukan, ini ular penyebabnya. Tapi semuanya kan sama saja, sama-sama binatang
dari negeri lain. Semuanya sangat berbahaya, bisa mematikan!"
Dengan membawa kotak yang tertutup rapat, kedua anak itu pergi ke kamar Pak
Carter. Tapi walau mereka sudah mengetuk berulang kali, tetap saja tidak
terdengar suara guru itu menjawab dari dalam. Apa boleh buat, urusan pengenalan
jenis labah-labah terpaksa diundurkan sampai lain kali.
Anak-anak dilarang masuk ke ruang tidur pada siang hari. Tapi saat itu tidak ada
siapa-siapa di situ. Karenanya mereka memutuskan untuk ke sana saja. Mereka
berjalan dengan menyelinap di dalam gang, lalu membuka pintu Ruang Empat.
Selanjutnya mereka harus memindahkan labah-labah dari kurungannya yang sempit ke
tempat yang lebih lega. Gelas kumur, misalnya. Menurut pendapat Jennings dan.
Darbishire tempat itu bahkan sangat bagus, karena dengan begitu mereka nanti
akan bisa mengamat-amatinya dengan lebih cermat. Dan kemungkinannya labah-labah
itu juga akan merasa senang, jika menyadari bahwa diteliti itu menyenangkan.
Timbul selisih pendapat sedikit ketika hendak ditentukan gelas kumur siapa yang
harus dipakai untuk keperluan itu. Menurut Darbishire mestinya gelas Jennings,
karena dialah yang 'paling' dulu melihat binatang itu.
Tapi Jennings membantah. Katanya, binatang itu kan milik Darbi, karena sudah
'dicup!' olehnya tadi. Dan jangan lupa, kewajiban utama penyayang binatang
adalah memberikan makan dan tempat kediaman bagi makhluk-makhluk peliharaannya!
Tapi Darbi takut, jangan-jangan kaki labah-labah itu meninggalkan jejak beracun
pada permukaan sebelah dalam dari gelasnya. Akhirnya ditemukan kata sepakat:
mereka akan memakai gelas kepunyaan Temple! Itu bukan karena mereka hendak
mencelakakan anak itu, melainkan karena pada gelas itu ada bekas-bekas pasta
gigi. Dan itu sudah pasti bisa mematikan kuman-kuman. Racun yang kemungkinan ada
pada jejak labah-labah pasti akan punah karenanya!
Dengan hati-hati sekali Jennings membuka sedikit tutup kotak pensil lalu
mengintip ke dalam, labah-labah itu duduk dengan sebal di tengah-tengah kotak,
dengan kaki-kaki terlipat ke dalam. Dari sikap tubuhnya yang merunduk nampak
bahwa binatang itu tidak bergembira.
"Kelihatannya agak cemas, ya?" bisik Darbishire, seakan-akan takut jika ia
berbicara dengan suara yang biasa, binatang itu akan mati ketakutan.
"Dia tidak bisa bernapas! Itulah sebabnya," kata Jennings menjelaskan, "atau
bisa juga kakinya kejang." Dengan cepat dibukanya tutup kotak, lalu
ditelungkupkannya gelas kumur yang sudah diambil sehingga mengurung si labah-
labah. Setelah itu kotak dan gelas dijungkirkan. Dasar kotak yang semula
merupakan lantai, seketika itu juga berubah menjadi langit-langit. Dengan lain
perkataan, labah-labah jatuh ke dalam gelas.
Binatang itu meluruskan kaki-kakinya. Dibentangkan lebar-lebar, sehingga
menyentuh tepi sisi dalam gelas. Sikapnya galak! Ia tegak dengan tujuh kaki,
sementara kakinya yang kedelapan dilambai-lambaikan dengan sikap mengancam.
"Wow, bagusnya!" seru Jennings kagum. "Kakinya tegap dan berbulu. He, lihatlah,
dia marah sekali. Ia menggerak-gerakkan mulutnya. Apakah kita tidak perlu
memberi dia makan?" "Pisang?" kata Darbishire.
"Bukan, goblok! labah-labah tidak hidup dari pisang. Mereka cuma hidup di
Kisah Para Pendekar Pulau Es 15 Tiga Dara Pendekar Siauw-lim Karya Kho Ping Hoo Pendekar Lembah Naga 9
^