Jennings Si Iseng 4
Jennings Si Iseng Karya Anthony Buckeridge Bagian 4
dalamnya!" "Kelihatannya sangat beracun," kata Jennings kemudian, ketika labah-labah itu
tidak lagi melambaikan kakinya yang kedelapan dan mulai bergerak memeriksa
lingkungan. Beberapa kali dicobanya berjalan naik ke sisi gelas, tapi ternyata
tidak bisa. Akhirnya binatang itu pasrah.
"Mungkin dia ini yang namanya-apa itu"-oya, ta-ran-ta-ra," kata Jennings
menyebutkan kata itu dengan cara mengeja.
'Tarantula, maksudmu," kata Darbishire membetulkan. "Kalau benar, wah-binatang
itu berbahaya sekali! Aku pernah membaca cerita tentang labah-labah pemangsa
manusia. Dia ini kan bukan jenis itu?" katanya ketakutan, .tapi sekaligus juga
berharap. "Itu mungkin saja," balas Jennings. "Tapi dia kelihatannya segan berjalan
melewati bekas pasta gigi Bod."
Labah-labah itu nampaknya takkan bisa keluar karena ada tutup kotak pensil yang
ditaruh sebagai atap di atas gelas. Jennings memasukkan sepotong coklat ke
dalamnya, untuk dimakan binatang itu jika merasa lapar. Kemudian ia dan
Darbishire pergi ke bawah, menuju perpustakaan, mencari keterangan dalam
ensiklopedi. Tapi itu ternyata tidak mudah, karena dalam buku itu ada empat halaman dengan
tulisan rapat yang memaparkan corak tubuh dan kebiasaan berbagai jenis labah-
labah. Di antaranya ada beberapa yang cocok sekali wujudnya dengan penumpang
gelap yang membonceng dalam peti berisi pisang dari Jamaika itu. Darbishire
berkeras mengatakan bahwa peliharaannya kalau bukan tarantula yang beracun,
pastilah labah-labah pemangsa burung yang berasal dari Amerika Selatan.
"Pasti bukan," bantah Jennings. "Aku bertaruh satu juta pound."
"Aku bertaruh dua juta, dugaanku pasti benar. Ayo, berani?"
"Mana, kau kan tidak punya uang dua juta pound," kata Jennings meremehkan.
"Baiklah, kalau begitu aku bertaruh dua penny," kata Darbishire, kembali pada
kenyataan yang sebenarnya. "Pokoknya itu tarantula atau pemangsa burung, atau
labah-labah yang begitu langka sehingga sudah punah sekarang. Bagaimana jika
kita menulis surat saja ke Museum Inggris untuk memberi tahu bahwa kita punya
satwa yang sudah begitu punah, sampai tidak ada dalam ensiklopedi dan harap
mereka kirimkan ahli kemari untuk mengatakan dengan pasti binatang apa itu."
Darbishire berhenti untuk menarik napas setelah mengucapkan kalimat yang begitu
panjang. "Setuju," kata Jennings bersemangat. "Itu ide yang bagus sekali!"
Kedua anak itu sama-sama membisu sebentar. Mereka sama-sama membayangkan
kedatangan ahli dari museum itu. Dalam bayangan Darbishire, ahli itu seorang
profesor berkacamata tebal, dengan jenggot panjang berwarna putih dan jas
panjang model kuno. Profesor itu mengamat-amati si labah-labah dengan kaca
pembesar, sambil mengucapkan kata-kata kagum dan senang. Tenaga ahli yang ada
dalam bayangan Jennings bertubuh kurus tinggi dengan hidung yang mancung dan
bengkok seperti paruh garuda. Ia memakai seragam berkancing kuningan. Pada
bagian depan topi petnya yang berwarna hitam tertulis kata-kata "Museum Inggris"
dengan huruf-huruf yang terbuat dari benang perak.
Sebelum Darbishire sempat membuat surat, lonceng sudah berbunyi memanggil mereka
untuk belajar siang hari. Anak itu buru-buru masuk ke kelas, karena ingin
menyampaikan kabar hebat itu kepada anak-anak yang lain.
Seusai belajar dan kemudian berlatih sepakbola, beritanya menyebar secepat
kilat. Seluruh sekolah asyik membicarakannya. Anak-anak bergidik, ngeri
mendengar bahwa makhluk penyebar maut yang ditangkap oleh Darbishire itu kini
terkurung di dalam ruang tidur.
"He, kau sudah mendengar belum" Darbi berhasil menangkap labah-labah pemakan
orang. Gigitannya maut!"
"Ah, kuno, kuno! Aku sudah sejak tadi tahu. Darbi ingin melihat apakah dia mau
makan coklat." "Mana mungkin" Dia kan sudah mencari keterangan mengenainya dalam ensiklopedi.
Namanya dalam bahasa latin, tarantula, atau begitulah. Pokoknya, itulah
buktinya!" Anak-anak yang ada di dalam kelas berhenti menduga-duga ketika Darbishire masuk.
"Halo," kata ahli entomologi itu menyapa teman-temannya. "Ada yang mau menolong
aku?" "Ya, aku, aku," kata Atkinson.
"Begini. Aku sudah melakukan riset, dan menurut teoriku yang terbaru labah-
labahku itu pasti jenis pemakan burung. Jadi coba kau pergi ke Robinson dan
katakan padanya agar ayam-ayam jangan dikeluarkan sebelum orang dari Museum
Inggris datang." Saat itu masih ada waktu lima menit sebelum jam pelajaran sore dimulai.
Sementara Atkinson bergegas pergi untuk memberi tahu, Darbishire
melanjutkan ceramahnya. "Kata Robinson tadi, jika kau kena gigitan binatang itu lenganmu akan langsung
bengkak sehingga lengan jasmu harus dipotong jika hendak melepaskannya - jasmu,
maksudku, bukan lenganmu. T adi dengan sekali melihat saja dia sudah tahu.
Kejadian itu dialami salah seorang temannya, jadi kita tahu bahwa itu pasti
benar." Anak-anak yang lebih muda merasa agak seram mendengarnya. Tapi Darbishire,
dengan pengetahuannya yang begitu hebat, menenangkan mereka. Katanya, labah-
labah itu berada di tempat yang aman. Jadi mereka tidak usah takut.
Pada saat minum teh hari itu Jennings kembali tidak berselera makan. Padahal
hidangan yang disajikan sangat disukainya. Ketidakadilan yang menimpa dirinya
menyebabkan ia kehilangan selera. Dan itu membuat dirinya merasa bertambah
sedih. Minggu lalu dia tidak bisa ikut bertanding karena sakit. Dan sekarang,
setelah dia sehat kembali, Pak Wilkins merusak segala-galanya!
Jennings menyadari bahwa dia juga ikut bersalah. Ia juga tahu, karena hal itu
jelas sekali ditunjukkan oleh anak-anak yang lain, bahwa kesalahannya itu akan
lama melekat dalam ingatan teman-teman. Jennings lantas memutuskan untuk
mendatangi Pak Wilkins, untuk memohon agar guru itu mau mengubah keputusannya.
Ia akan mengatakan bahwa ia siap untuk dihukum, asal yang lain-lain
diperbolehkan melakukan pertandingan seperti sudah direncanakan semula.
Ketika waktu belajar sore sudah berakhir, Jennings pergi ke kamar Pak Wilkins.
Ia mengetuk pintu, tapi tidak terdengar suara menjawab. Jennings pergi lagi,
dengan niat akan datang kembali nanti. Untuk menghabiskan waktu, ia akan
mengamat-amati labah-labah Darbishire.
Tidak ada orang lain di ruang tidur ketika anak itu menyelinap masuk ke
dalamnya. labah-labah itu masih tetap berada dalam gelas tempat pengamatan.
Seperti Jennings juga, binatang itu nampaknya tidak berselera makan. Buktinya,
coklat yang diberikan sama sekali tidak disentuh!
Labah-labah itu memang bagus sekali. Tapi Jennings tidak sependapat dengan
Darbishire bahwa binatang itu sangat beracun atau begitu langka, sehingga perlu
dipanggil tenaga ahli dari Museum Inggris untuk memeriksa. Kan konyol mereka
nanti, jika binatang itu kemudian ternyata sama sekali tidak berbahaya!
Pak Carter! Pak Carter pasti tahu. Dia kan ahli macam-macam, meski tidak memakai
seragam dengan kancing mengkilat dari kuningan.
Jennings mengambil tempat sabunnya yang terletak di bak tempat cuci badan.
Dicucinya tempat itu, lalu diarahkannya kembali perhatian kepada si labah-labah.
Gelas tempat binatang itu dijungkirkannya dengan cepat ke tempat sabun. Labah-
labah terpental masuk ke situ, lalu Jennings buru-buru memasang tutup tempat
sabun itu kembali. Gelas kumur dibiarkannya terletak di tempat semula, sementara
Jennings sendiri bergegas ke kamar Pak Carter.
Ia menjumpai Pak Carter sedang duduk menghadap meja kerjanya.
"Masuk, Jennings," kata guru itu sambil menoleh ke arah anak itu. "Ada apa?"
Dengan berhati-hati sekali Jennings membuka tutup tempat sabunnya.
"Wah, bagus sekali," kata Pak Carter. "Di mana kau menjumpainya?"
"Dalam gelas kumur Temple, Pak," jawab Jennings.
"Ha?"" Pak Carter tercengang. Aneh, ada labah-labah dalam gelas kumur! .
"Sebelum itu dia ini berada dalam sebuah peti pisang, Pak," kata Jennings
menjelaskan lebih lanjut. "Kata Robinson lengan kita. akan bengkak kalau kena
gigitannya, dan Darbishire akan menulis ke Museum Inggris untuk meminta orang
mereka kemari, tapi menurut saya ini bukan binatang taran, jadi saya meminjamnya
untuk menanyakannya kepada Anda." .
Pak Carter mengamat-amati labah-labah itu. Jennings kaget setengah mati ketika
tahu-tahu Pak Carter mengambilnya lalu meletakkannya di atas telapak tangan.
"Aku terpaksa mengecewakan Darbishire," kata guru itu, "tapi dia ini sama sekali
tidak berbahaya. "Juga tidak beracun?"
"Sama sekali tidak!" Pak Carter menambahkan tangannya, sementara labah-labah itu
merentangkan kaki-kakinya lalu lari ke punggung tangan Pak Carter dan dari situ
hendak beralih ke lengan jas guru itu. Rupanya binatang itu sedang menikmati
kebebasannya. "Tidak, tidak boleh ke situ," kata Pak Carter sambil mengangkat labah-labah itu
dan ditaruhnya di atas meja. Si labah-labah berlari sebentar di situ, lalu
berdiri tanpa bergerak-gerak. Kelihatannya seperti sedang termenung.
"Dia kelihatannya memang menyeramkan," kata Pak Carter, "tapi sebetulnya tidak
berbahaya. Lain halnya kalau kalian lalat!"
Jennings memberanikan diri setelah melihat bahwa lengan jas Pak Carter tidak
perlu dirobek, karena lengannya tidak bengkak. Diambilnya labah-labah dari atas
meja lalu dimasukkannya kembali ke dalam tempat sabun. Saat itu terdengar bunyi
lonceng asrama. "Saya rasa sebaiknya dia saya kembalikan saja ke dalam gelas kumur, Pak," kata
Jennings. "Darbishire tidak tahu bahwa saya mengambilnya. Ia pasti gelisah
sekarang, karena mengira labah-labahnya lari."
Telepon berdering ketika Jennings sudah hendak melangkah ke luar. Pak Carter
meraih gagang pesawat itu dan mendekatkannya ke telinga.
"Halo, di sini Sekolah Linbury Court... Siapa"... Sekolah Bracebridge".. Ya,
betul." Jennings terkejut ketika mendengar nama Bracebridge disebut, karena merasa
bersalah. Tempat sabun terlepas dari pegangannya dan jatuh ke karpet. Tutupnya
terlepas. labah-labah yang terkurung di dalamnya cepat-cepat lari dan
bersembunyi di belakang sebuah rak buku. Dengan cepat Jennings memotong
jalannya, untuk mencegah binatang itu lari ke tempat lain. Ia berdiri menutupi
salah satu ujung sisi belakang rak itu. Setelah itu ia mengorek-ngorek di sela-
sela buku dengan sebatang pensil. Maksudnya untuk mengusir labah-labah itu dari
sana, sehingga lari ke tempat terbuka.
Ia bukan bermaksud ikut mendengarkan percakapan Pak Carter dengan orang yang
meneleponnya. Ia memang merasa tidak bisa pergi selama labah-labah belum
tertangkap lagi. Dan mau tidak mau terdengar juga olehnya kata-kata yang
diucapkan Pak Carter kepada orang yang menelepon itu.
"Bagaimana" Jadi Anda bisa juga datang besok?" kata Pak Carter. "Tapi tadi pagi
Pak Parkinson menelepon kemari, untuk membatalkan pertandingan itu. Katanya, ada
anak yang kena penyakit menular di situ."
Jennings menajamkan telinga. Dengan seketika urusan labah-labah sudah dilupakan,
karena perhatiannya kini terpusat pada berita yang tak terduga-duga itu. Ia
menunggu sementara Pak Carter mendengarkan penjelasan teman bicaranya yang
panjang lebar dan berbelit-belit.
Kemudian Pak Carter berbicara lagi. "O, begitu. Ya, saya rasa Anda benar. Masa
inkubasi penyakit itu memang hanya tiga minggu. Jadi jika timbulnya tanggal
empat belas, itu berarti anak-anak sudah boleh keluar lagi kemarin."
"Betul," sambung Pak Carter lagi, sesudah mendengarkan selama beberapa saat.
"Ketika Pak Parkinson mengatakan satu bulan, saya langsung saja percaya. Yah,
pokoknya untung saja begini perkembangannya, dan kami menunggu kedatangan Anda
beserta rombongan anak-anak Bracebridge besok, pukul setengah tiga, seperti
rencana semula.... Baik! Sampai besok." Pak Carter mengembalikan gagang telepon
ke tempatnya, lalu membalikkan tubuh. Saat itu barulah ia melihat Jennings yang
sedang berlutut dekat rak buku.
"Kenapa kau masih ada di sini?" tanya Pak Carter. "Kusangka sudah sejak tadi
keluar." Jennings menjelaskan kenapa ia masih ada di situ. Pak Carter lantas ikut
berlutut. Mereka bersama-sama berusaha memandang labah-labah agar mau keluar
dari persembunyiannya. Sementara itu Jennings sibuk dengan pikirannya sendiri. Jika Bracebridge
membatalkan pertandingan karena ada anak di sana yang kena penyakit menular,
maka itu berarti bahwa keributan di dalam kelas ternyata bukan merupakan
penyebab yang sebenarnya. Selain itu, jika Bracebridge menelepon tadi pagi pada
waktu istirahat di antara dua jam pelajaran, maka mestinya Pak Wilkins sudah
tahu bahwa pertandingan dibatalkan sebelum ia menjatuhkan hukumannya. Tapi kini
masalahnya menjadi rumit, karena tim dari Bracebridge ternyata jadi datang!
"Kau tidak banyak membantu," kata Pak Carter sambil bangkit dengan memegang
labah-labah yang sementara itu sudah berhasil ditangkap. Ia memasukkannya ke
dalam tempat sabun yang langsung ditutup. "Bilang saja nanti pada Darbishire
bahwa binatang ini sebaiknya dilepaskan saja lagi. Tapi di luar, jangan di dalam
gedung." "Maaf, Pak," kata Jennings. "Pak Wilkins mengatakan bahwa pertandingan
dibatalkan karena saya tidak membuka keran, dan anak-anak kemudian berisik, tapi
Anda tadi mengatakan kepada orang yang menelepon..."
"Pembicaraan telepon tadi itu merupakan percakapan pribadi antara aku dan
Sekolah Bracebridge, Jennings," kata Pak Carter dengan nada mengecam.
"Betul, Pak, tapi itu kan tidak bisa dilakukan Pak Wilkins, ya, Pak" Itu tidak
adil - dan bagaimana besok, jika mereka datang?"
"Sana, pergi tidur, Jennings," kata Pak Carter, "jangan bertanya terus! Jika Pak
Wilkins mengatakan kelasmu harus belajar besok siang sebagai hukuman, maka
katanya itu yang berlaku. Aku tidak mau ikut campur."
"Ya, Pak," kata Jennings lalu keluar.
Di serambi tangga ia berpapasan. dengan Pak Wilkins. Ia langsung mengucapkan
kata-kata yang sudah dipikirkan olehnya matang-matang sejak tadi.
"Pak," katanya, "saya perlu bicara sedikit pada Anda. Penting sekali, Pak."
Pak Wilkins nampak tidak senang.
"Pak, bagaimana jika saya saja yang tidak boleh keluar besok, dan jangan yang
lain-lainnya juga" Sungguh, Pak, yang tadi itu bukan salah mereka, dan sekarang
saya dimusuhi mereka."
"Aku tidak heran mendengarnya," kata Pak Wilkins. Ia tidak menyembunyikan
kepuasannya. "Dan selain itu, aku tidak berniat mengubah keputusanku. Jika aku
sudah mengatakan sesuatu, maka itu akan tetap begitu." Biar anak-anak ini tahu
siapa yang mereka hadapi, katanya dalam hati.
Jennings sebenarnya hendak mengatakan bahwa ada sesuatu yang aneh mengenai
pembatalan acara pertandingan, tapi ia langsung dipotong oleh Pak Wilkins.
"Kau sudah terlambat masuk ke ruang tidur, dan kau belum menukar sepatumu dengan
sepatu untuk di dalam rumah. Sana, cepat turun dan lakukan itu!"
Jennings turun ke lantai bawah, masih dengan membawa tempat sabun yang berisi
labah-labah. Sementara itu Pak Wilkins mampir ke kamar Pak Carter. Rekannya itu dilihatnya
tersenyum geli, walau Pak Carter berusaha menyembunyikannya.
"Ah, Pak Wilkins," katanya. "Baru saja ada telepon dari Bracebridge. Rupanya
Parkinson tadi keliru, ia menyangka masa karantina untuk penyakit biring peluh
satu bulan." "Lalu?" kata Pak Wilkins menanggapi dengan agak curiga.
"Itu tidak benar, karena ternyata hanya tiga minggu. Dan karena selama tiga
minggu belakangan tidak ada anak lain yang menunjukkan gejala-gejala terjangkit,
kita akan bisa bertanding melawan tim mereka besok, tanpa perlu takut tertular."
Pak Wilkins nampak kaget sekali mendengarnya. Ia bisa saja tetap berkeras,
melarang anak-anak kelas tiga keluar pada waktu pertandingan sedang berlangsung.
Tapi ia tidak sampai hati melakukannya. Namun badannya terasa panas-dingin
membayangkan senyuman menang anak-anak, pada saat kabar baru itu diumumkan.
"Apa yang harus kulakukan sekarang?" tanyanya pada Pak Wilkins. "Ketika aku tadi
pagi mengatakan bahwa aku membatalkan pertandingan itu, anak-anak kaget sekali.
Mereka tidak menyangka bahwa aku akan bisa bertindak sekeras itu. Mereka pasti
terpingkal-pingkal menertawakan, jika aku sekarang mundur."
"Aku kan sudah memperingatkan," kata Pak Carter. "Sekarang kurasa Anda harus
mencari alasan untuk membatalkan hukuman itu."
"Betul," kata Pak Wilkins. "Tapi bagaimana caranya" Aku perlu memikirkannya!"
Pak Wilkins berjalan sambil berpikir-pikir, menuju ke asrama anak-anak untuk
menjalankan tugasnya sebagai pengawas.
11. AWAS - ADA ANU! BEGITU lonceng asrama terdengar, Darbishire langsung bergegas mendului naik ke
atas. Ia diikuti oleh Temple. Venables, dan Atkinson. Dibukanya pintu Ruang
Empat lebar-lebar, lalu ia cepat-cepat menuju ke gelas kumur yang terletak di
atas rak. "Kita harus berhati-hati, jangan sampai dia kaget," katanya. "Sebabnya, ada
kemungkinan binatang itu gampang kaget, lalu.....
Darbishire sendiri yang ternyata kaget setengah mati. Ia tertegun, sementara air
Jennings Si Iseng Karya Anthony Buckeridge di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mukanya langsung berubah. Dari bangga, berubah menjadi kaget dan ngeri. Ia
menatap gelas yang kosong dengan mata terbelalak dan mulut ternganga.
"Astaga!" katanya. "Binatang itu-minggat!"
"Apa?" Teman-temannya langsung berkerumun mendekat. Begitu mereka melihat bahwa
gelas kumur itu benar-benar tidak ada lagi isinya, mereka lantas buru-buru
menjauh. "Rupanya tadi naik sampai ke atas lalu berhasil menyusup ke luar," kata
Darbishire dengan perasaan tegang. "Ya, betul! Lihatlah, tutup kotak pensil ini
tergeser sedikit. Awas! Jangan lupa, binatang itu sangat berbahaya. Gigitannya
mematikan!" Keempat anak yang ada dalam ruangan itu berdiri mengelompok dengan sikap kaku.
Mereka semua membisu. Mata mereka menggerayangi sisi atas rak. Tapi tidak nampak
ada labah-labah di situ. Meski merasa takut-takut, tapi akhirnya mereka memutuskan bahwa
usaha pencarian secara teliti mau tidak mau harus mereka lakukan. Hanya dengan
cara itu kesulitan harus dihadapi.
"Dia mestinya masih ada di dalam ruangan ini," kata Temple. Ia memandang
berkeliling dengan sikap gelisah. "Kalau kita cari, pasti nanti ketemu juga.
Tapi hati-hati, kalau ketemu jangan disentuh. Ingat, racunnya mematikan!"
"Tapi bagaimana jika dia tahu-tahu menyerang?" kata Atkinson takut-takut. "Kalau
begitu, apa yang harus kita lakukan?"
"Ah, sudahlah, kita mulai saja mencari," tukas Darbishire yang sementara itu
semakin bingung. Dengan hati-hati sekali diangkatnya sepotong sabun dan
memeriksa di bawahnya. Karena gugup, sikutnya menyenggol sebuah sikat gigi yang
terletak di bak tempat cuci muka. Sikat itu terjatuh ke lantai. Bunyinya tidak
keras, tapi itu menyebabkan anak-anak kaget dan dengan cepat menoleh ke arah
lantai. "Cuma sikat saja," kata Darbishire setelah melihat benda itu. Ia meneguk ludah
untuk melenyapkan kegugupan. "Kita harus terus mencari. Tapi hati-hati, jangan
sampai digigit!" "Betul," kata Venables menambahkan. "Nanti lenganmu bengkak sampai besar sekali,
sehingga jas harus dirobek."
"Kalau begitu kita buka saja dulu jas kita," kata Atkinson menyarankan.
"Apa gunanya, jika nanti yang ternyata digigit kaki kita," tukas Temple
membantah. "lebih baik jika kita memakai sepatu karet kita yang berlaras tinggi.
Karena siapa tahu, nanti pergelangan kaki kita yang disambar."
Menurut Darbishire, anak-anak di ruang tidur yang lain-lainnya juga perlu diberi
tahu, untuk berjaga-jaga kalau labah-labah itu berkeliaran ke mana-mana. Ia
tidak kepingin menjadi pembawa berita. Soalnya, dari pengalaman di ruang
tidurnya sendiri berita seperti itu tidak ditanggapi dengan perasaan senang.
Karenanya ia kemudian memutuskan untuk mengambil jalan tengah. Akan dipasangnya
pemberitahuan di depan pintu ruangan, sehingga anak-anak lain yang lewat di gang
bisa berjaga-jaga. Di dalam saku celananya ada sepotong kapur putih. Diambilnya
kapur itu, lalu ia berjingkat-jingkat ke luar. Ia berdiri di depan pintu Ruang
Empat, memikirkan kata-kata yang harus dituliskan sebagai pemberitahuan. Ia
mulai dengan menuliskan, "Awas-ada-", tapi karena tidak ada ensiklopedia di
situ, ia tidak tahu pasti bagaimana cara menuliskan kata "tarantula". Itu pun
kalau labah-labah itu memang benar dari jenis itu. Bagaimana kalau ternyata
jenis lain" Akhirnya ia memilih jalan yang paling gampang. Dituliskannya dengan huruf yang
besar-besar, "Awas-Ada Anu!"
Setelah itu ia masuk lagi ke dalam ruangan, di mana teman-temannya masih terus
mencari dengan takut-takut dan setengah hati. Soalnya, tidak ada yang berani
melakukan pencarian secara saksama di bawah atau di belakang benda-benda atau
perabot yang ada di situ. Mereka takut, jangan-jangan makhluk penyebar maut itu
bersembunyi di situ. "Nah, yang jelas dia tidak ada di dalam piamaku," kata Temple sambil mendesah
lega. "Kau sudah memeriksa di dalam sandalmu, Venables?"
"Sudah," kata Venables dengan ragu-ragu, "tapi aku tidak bisa sampai ke
ujungnya." "Masukkan saja tanganmu, lalu kauraba-raba," kata Atkinson menyarankan.
"Begitu ya, lalu tahu-tahu ujung jariku digigit. Terima kasih'" tukas Venables
sebal. Darbishire berlutut, lalu dengan posisi merangkak mengintip ke bawah ranjang-
ranjang. Tiba-tiba terdengar dia menjerit dengan suara tertahan. Anak-anak yang
lain kaget. Mereka berlompatan, seperti kijang yang terkejut mendengar bunyi
tembakan. "Kau digigit, Darbi" Kau luka?"
"Bagaimana, kupanggilkan Matron?"
Seisi ruangan itu langsung waspada. Atkinson bahkan sudah mengambil gunting
kukunya, siap untuk merobek lengan jas Darbishire, ketika anak itu mengatakan
bahwa yang ditemukannya itu ternyata hanya gumpalan debu saja.
"Tapi kelihatannya persis sekali," katanya menjelaskan kenapa ia tadi berteriak.
Kejadian itu menyebabkan anak-anak semakin ketakutan. Mereka ngeri membayangkan
musuh itu mungkin bersembunyi di dalam kantong tempat spons, di sela-sela
pakaian, atau di balik lipatan handuk.
"Kita mungkin bahkan terpaksa membongkar papan lantai ini nanti," kata Temple
dengan sikap putus asa. "Kita tidak bisa menukar pakaian, apalagi masuk ke
tempat tidur!" "Dan jika kita sudah berbaring di tempat tidur dan lampu kemudian dipadamkan,"
kata Atkinson menambah ketegangan, "jangan-jangan dia nanti menyerang kita dalam
gelap, lalu kita terbangun dalam keadaan menggembung seperti balon! Hii, bengkak
sebesar balon!" Anak itu bergidik, lalu cepat-cepat berdiri dari ranjang di mana
ia selama itu duduk. Mereka harus berbuat sesuatu. Semuanya merasa tidak aman jika berdiri dekat
ranjang masing-masing, karena takut kalau binatang seram yang mungkin
bersembunyi di situ tahu-tahu muncul dan langsung menggigit. Akhirnya Darbishire
menyarankan, sebaiknya kursi-kursi mereka yang ada di sisi tempat tidur masing-
masing ditaruh di tengah-tengah ruangan, lalu berdiri di atasnya. Dengan begitu
kaki mereka tidak ada di lantai, lagi pula, dari tempat yang tinggi itu mereka
akan bisa melihat jika musuh datang. Dengan langkah berjingkat-jingkat anak-anak
itu mengambil kursi masing-masing, menaruhnya di tengah-tengah ruangan dan
langsung naik dan berdiri di atasnya.
Setelah berdiri dengan perasaan tegang selama kira-kira semenit, Atkinson
mengajukan pertanyaan yang ada dalam pikiran mereka semua.
"Jadi kita harus berdiri begini terus sepanjang malam?"
"Aku akan mencari Pak Wilkie," kata Temple. "Malam ini ia yang bertugas
mengawasi. Jadi mestinya ia tahu bagaimana caranya menghadapi labah-labah
beracun." Ia turun dari kursinya, lalu cepat -cepat keluar. Tapi ia tidak berhasil dengan
segera menemukan Pak Wilkins. Itu agak aneh! Karena Pak Wilkins selama waktu
setengah jam sebelum anak-anak harus berada di tempat tidur masing-masing
biasanya sebentar-sebentar memasuki ruang-ruang tidur sambil mengatakan, "Ayo
cepat, dan cuci bersih-bersih lutut kalian itu." Tapi malam ini ia berada di
kamar duduk Matron. Di situ ia bisa menemukan ketenangan yang diperlukannya,
karena ada masalah yang harus dicari penyelesaiannya.
*** Jam sekolah berdentang delapan kali. Jennings yang berada di ruang tempat
menyimpan sepatu yang terletak di lantai bawah, tiba-tiba menyadari bahwa ia
membuang-buang waktu sepuluh menit untuk mengganti sepatu. Memang, sebagian
besar dari waktu itu dipergunakannya untuk memberi kesempatan pada si labah-
labah untuk melemaskan otot-otot kakinya. Selama itu ia asyik memperhatikan gaya
binatang itu berkeliaran di lantai. Tapi dentangan jam sekolah mengingatkannya
bahwa ia harus bergegas-gegas apabila ingin sudah berada di tempat tidur sebelum
lonceng tanda tidur berbunyi. Diangkatnya labah-labah yang saat itu sedang
beristirahat di ujung sepatu sepak bola dan dimasukkannya kembali ke dalam
tempat sabun. Aduh, dia harus bergegas!
Darbishire pasti sudah gelisah sekarang, karena tidak tahu apa yang terjadi
dengan makhluk langkanya. Pasti dia akan merasa kecil sekali nanti, jika diberi
tahu bahwa labah-labahnya itu ternyata sama sekali tidak berbahaya!
Jennings bergegas menaiki tangga dengan menggenggam tempat sabun. Ia sedikit pun
tidak mengetahui kecemasan yang melanda Darbishire dan juga teman-teman yang
lain. Sesampai di depan pintu Ruang Empat Jennings berhenti. Ia melihat kata-kata yang
tertulis di situ. "Awas-Ada Anu'" Anu" Apa itu, Anu" Ah, ini pasti keisengan
anak-anak lagi, katanya dalam hati. Atau, mereka sudah sinting! Ketika Jennings
membuka pintu dan melihat Darbishire, Atkinson, dan Venables berdiri di atas
kursi-kursi mereka seperti takut kalau ada banjir, ia lantas menjadi yakin bahwa
mereka benar-benar sudah sinting.
"Kenapa kalian berdiri di atas kursi?" katanya.
"labah-labah itu minggat," jawab Darbishire dengan gugup. "Cepat, ambil kursimu
dan taruh di sini, jika ingin aman."
"Ya, betul, jangan berdiri saja di situ," desak Atkinson. "Nanti kau diserang!"
Senyuman mulai melebar di wajah Jennings, ketika ia menyadari apa yang telah
terjadi. "Huh, kalian ini penakut semuanya," katanya, sambil meletakkan tempat sabun yang
dibawanya ke rak yang ada di atas tempat tidurnya. "Masa, menghadapi labah-labah
sekecil itu saja ngeri!" Ia tertawa sambil membuka jas dan sepatunya.
"Kau - kau kan tidak bermaksud hendak masuk ke tempat tidurmu?" kata Venables
dengan perasaan ngeri. "Ya, tentu saja, aku tidak takut," Jennings bernyanyi dengan gembira, untuk
membuktikan bahwa ia sungguh-sungguh tidak takut.
"Aduh, hati-hati," desah Atkinson. "Kau tahu tidak apa yang terjadi jika kau
digigit" Balon!" Dengan jarinya anak itu membuat gambar lingkaran besar di atas
kepalanya. Tapi Jennings hanya tertawa meremehkan. Ia terus saja membuka pakaiannya. Ia
tahu bahwa anak-anak yang lain memperhatikan segala gerak-geriknya dengan
perasaan kagum bercampur ngeri. Karenanya ia malah sengaja bekerja dengan lambat
dan santai, seperti orang yang tidak mempedulikan bahaya.
Jennings menikmati keadaan itu. Sebentar-sebenta ia melirik ke arah tempat
sabun. Semuanya aman di situ. labah-labah itu tidak muncul.
Akhirnya Darbishire membuka mulut.
"Hati-hati waktu membuka selimutmu nanti, Jen." Detik berikutnya ia menjerit,
"Awas!" Bahkan Jennings pun ikut meloncat karena kaget, meski ia sebenarnya tahu bahwa
tidak ada bahaya sama sekali. Atkinson dan Venables nyaris terjatuh dari kursi
masing-masing. Darbishire mengarahkan tudingannya ke bantal di ranjang Jennings.
"Itu," serunya dengan suara serak. "Lihat! Jejak kaki labah-labah beracun itu!"
Jennings memeriksa sarung bantalnya.
"Kau sinting!" katanya kemudian. "Ini kan remah-remah kue. Tadi malam aku
membawa kue kemari untuk kumakan di tempat tidur. Tapi kue itu berantakan dan
remah-remahnya jatuh ke atas bantal ini. Menjengkelkan!" Tiba-tiba matanya
berkilat-kilat bandel. "Tapi ini belum apa-apa, jika dibandingkan dengan gigitan
labah-labah yang berbahaya," sambungnya pura-pura ngeri.
Kemudian ia tertawa. "Kalian lucu deh kelihatannya, berdiri di atas kursi
seperti itu! Siapa sih yang takut, menghadapi labah-labah sekecil semut?"
"Sok jago, ah," kata Venables. Tapi ia tidak bisa menyembunyikan nada kekaguman
dalam suaranya. "Aku akan tetap di sini terus sampai Pak Wilkie datang."
"Astaga!" kata Jennings. Keasyikannya menertawakan teman-temannya langsung
lenyap. "Dia tahu tentang urusan ini?"
"Bod pergi memanggilnya," kata Atkinson.
Jennings berpikir sejenak. Ia sudah memutuskan untuk mengajukan permohonan
terakhir kepada Pak Wilkins. Ia hendak meminta pada guru itu agar bersedia
mempertimbangkan kembali keputusannya menghukum anak-anak kelas tiga. Jika Pak
Wilkins sampai tahu bahwa Jennings yang bertanggung jawab mengenai keributan ini
- wah! - bisa bertambah gawat lagi keadaannya!
"He, Darbi," katanya. "Yuk, kita keluar sebentar. Aku perlu bicara sebentar
denganmu. Kita berdua saja. "
"Aku tidak berani turun," kata Darbishire dengan nada ngeri.
"Tapi urusannya penting sekali," desak Jennings. "Lihatlah, tidak ada apa-apa
dari kursimu itu sampai ke pintu. Aku akan mengiringimu sampai di sana. Akan
kuhipnotis labah-labah itu jika ia meloncat dari tempat persembunyiannya untuk
menyerangmu." Darbishire turun dari kursinya dengan sikap takut-takut. Diikutinya Jennings ke
luar. "Ada apa?" tanyanya kemudian.
"Begini," bisik Jennings, "urusan labah-labah itu beres. Ia ada di dalam tempat
sabun yang tadi kuletakkan di rak sebelah atas ranjangku. Aku tadi mengambilnya
untuk kutunjukkan kepada Benedick. Ia mengatakan labah-labah itu tidak
berbahaya, kecuali jika kau lalat."
"Betul?" "Sungguh!" Darbishire merasa lega mendengarnya. Tapi ia juga agak kecewa, karena labah-
labah itu ternyata bukan makhluk langka.
"Untung saja suratku kepada Museum Inggris belum kuposkan," katanya. Kemudian ia
teringat pada suatu hal lain. Tidak enak hatinya membayangkan hal itu. Hampir
sama tidak enaknya seperti penderitaan yang baru saja berlalu.
"Apa kata teman-teman nanti jika mereka mengetahuinya" Mereka pasti tidak mau
lagi percaya padaku, jika aku dengan tenang masuk ke dalam dan mengatakan bahwa
binatang itu ternyata sama sekali tidak berbahaya. Mereka pasti menuduh bahwa
aku sebenarnya sudah sejak semula tahu. Pasti aku dihajar nanti, karena dikira
mempermainkan mereka."
"Kalau begitu lebih baik kau jangan mengatakan apa-apa," kata Jennings
menyarankan. "Tapi aku tidak bisa membiarkan mereka terus menyangka binatang itu berbahaya,
sehingga mereka terus berdiri sepanjang malam di atas kursi. Aduh, menyesal aku
sekarang karena menemukan binatang menyebalkan itu. Padahal aku sudah
membayangkan akan mendapat hadiah dari Museum. Uangnya nanti hendak kupakai
untuk membeli perlengkapan untuk membuat model pesawat terbang."
Jennings mengatakan, itu bukan satu-satunya kesulitan yang dihadapi. Jika ia
mengeluarkan labah-labah dari tempatnya dan mengatakan binatang itu tidak
berbahaya, ada kemungkinan Pak Wilkins nanti beranggapan bahwa ia sengaja
membawanya untuk menyebabkan keributan lagi di kalangan anak-anak. Dan kalau itu
terjadi, guru galak itu pasti takkan mau mengubah keputusannya.
"Dia pasti akan semakin marah jika sampai tahu bahwa aku ada urusannya dengan
soal ini," kata Jennings melanjutkan. "Padahal aku harus membuat perasaannya
senang, karena ada kemungkinan pertandingan jadi dilangsungkan besok."
"Kalau begitu apa yang sebaiknya kita lakukan?" tanya Darbishire.
"Paling baik jika bukan kita berdua yang menemukan binatang sialan itu," kata
Jennings. "Kau, karena itu akan mengakibatkan dirimu dihajar teman-teman. Dan
juga jangan aku, karena nanti Pak Wilkie mengira bahwa aku sengaja mengambilnya
untuk menyebabkan semuanya ketakutan."
Kedua anak itu akhirnya memutuskan, sebaiknya biar orang lain saja yang
menemukan labah-labah itu. Dengan demikian binatang itu nantinya bisa
disingkirkan, tanpa ada yang menduga bahwa dia sebenarnya sama sekali tidak
berbahaya. Mereka lantas masuk lagi ke ruang tidur. Darbishire langsung naik lagi ke atas
kursinya, agar teman-teman yang lain tidak merasa curiga.
Sesaat kemudian ia berseru, "Itu''', sambil menuding ke sudut ruangan.
Atkinson dan Venables langsung menatap ke arah yang dituding. Sementara
perhatian mereka terarah ke sana - cepat menghampiri ranjangnya dan membuka
tutup tempat sabun yang ada labah-labah di dalamnya.
"Wah, sorry deh," kata Darbishire, "aku keliru lagi. Rupanya yang kulihat itu
cuma kotoran di dinding."
Atkinson dan Venables kembali mencari-cari berkeliling ruangan dengan mata
mereka. Berulang kali pandangan mereka bergerak melewati rak yang ada di atas
tempat tidur Jennings. Tapi mereka tidak melihat labah-labah itu. Padahal nampak
jelas, sehingga Jennings dan Darbishire merasa sulit untuk mengalihkan pandangan
mereka. Dan binatang itu pun nampaknya berusaha keras untuk menarik perhatian,
karena ia berlari-lari bolak-balik di atas rak.
Jennings merasa gelisah. Kenapa kedua temannya itu belum melihatnya juga" Ia
ingin binatang itu sudah ditemukan sebelum Pak Wilkins datang. Dengan begitu
takkan ada dugaan bahwa ia ikut terlibat dalam urusan itu. Jadi ia akan bisa
bebas meminta pada Pak Wilkins agar bersedia mengubah keputusannya untuk
menghukum anak-anak kelas tiga.
*** Bunyi langkah gedebak-gedebuk di gang dekat tangga memberi tahu anak-anak bahwa
Pak Wilkins datang. Ketika Temple menemukannya di kamar duduk Matron perasaannya
memang sudah sebal. Apalagi setelah ia diberi tahu bahwa ia diminta datang untuk
menangkap seekor labah-labah yang berbahaya.
Jennings Si Iseng Karya Anthony Buckeridge di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tanpa mempedulikan tanda peringatan di sisi luar pintu, ia langsung saja masuk
ke dalam Ruang Empat. Temple mengikutinya dari belakang. Anak itu nampak lega
melihat teman-temannya yang ditinggalnya di situ ternyata masih sehat-sehat
saja. "Ada apa lagi sekarang?" bentak Pak Wilkins. "Kenapa kalian berdiri di atas
kursi" Ayo turun. Cepat!"
"Tapi dia berbahaya, Pak! Beracun," kata Venables membantah. "Kami tidak berani
turun. Kami tidak main-main, Pak!"
Nada suaranya menyebabkan Pak Wilkins menjadi ragu.
''Tunggu sebentar," katanya. ''Tadi Temple datang menjemputku dalam keadaan
seperti orang sinting. Dia mengoceh, katanya ada labah-labah di sini. Dari mana
kalian tahu bahwa binatang itu beracun?"
"Kami sudah membuktikannya, Pak," kata Temple. "Darbishire tadi sudah mencari
keterangan di dalam ensiklopedi. Dia itu dari jenis tarantula yang muncul dari
dalam peti pisang." Pak Wilkins tidak tahu apa-apa tentang labah-labah. Keterangan Temple itu
mungkin benar dan mungkin juga tidak, tapi sebaiknya ia tidak mengambil risiko.
"Baiklah," katanya sambil mengambil sebuah sikat rambut yang ada di dekatnya,
"sekarang kita akan mencari dengan saksama."
"Perlu saya ambilkan tongkat pemukul, Pak?" tanya Temple bersemangat. "Pakai
saja tongkat cricket saya! Nanti saya ambilkan dari..."
"Tidak, pakai punya saya saja, Pak," desak Venables. "Tongkat saya lebih besar."
"Kalau punya saya, pegangannya dilapisi karet, Pak," sela Atkinson. "Sayangnya
ketinggalan di rumah! Coba saya tahu akan ada kejadian ini, pasti saya tidak
lupa..." "Sudah, diam semuanya!" bentak Pak Wilkins.
Jennings merasa khawatir, jangan-jangan guru itu marah lagi nanti. Karenanya ia
memutuskan, lebih baik cepat-cepat saja berbicara tentang pertandingan besok.
"Maaf, Pak," katanya. "Saya ingin bicara sebentar tentang hukuman itu. Saya mau
tinggal di dalam selama pertandingan, asal teman-teman diperbolehkan menonton."
Kejengkelan Pak Wilkins memuncak.
"Aduh, Jennings! Tidakkah kau melihat bahwa aku ada urusan yang lebih penting
sekarang" Ini masalah yang gawat. Jika labah-labah itu memang beracun, ada
kemungkinan-yah, aku khawatir nanti ada yang digigit olehnya."
"Ya, Pak, tapi hukuman itu..."
"Sana, pergi. Berdirilah di atas kursi, seperti yang lain-lainnya itu."
Jennings menyerah. Ia mengambil kursi lalu berdiri di atasnya, di tengah-tengah
ruangan seperti yang lain-lainnya.
Pak Wilkins memandang berkeliling ruangan dengan sikap menantang. Sikat rambut
yang ada di tangan diacung-acungkannya, seperti menantang si labah-labah
berkelahi. "Mana dia?" katanya. "Aku tidak melihatnya." Ia bergerak mendekati ranjang
Jennings, lalu menyodok-nyodoknya dengan sikat. Ia berdiri tepat di bawah rak.
Sementara itu labah-labah yang ada di atasnya bergerak-gerak. Kelihatannya
seperti menandak-nandak, memperagakan tari perang labah-labah.
Jennings dan Darbishire memandang dengan gelisah. Kenapa tidak ada yang
mengalihkan perhatian mereka dari Pak Wilkins, dan memandang ke arah rak yang
ada di atas kepala guru itu"
Kemudian Temple melihatnya!
"Aduh!" serunya karena kaget dan ngeri.
Pak Wilkins berpaling ke arahnya.
"Ada apa?" katanya.
"Saya melihatnya sekarang, Pak," jawab Temple.
"O ya" Di mana dia" Akan kugebuk nanti!"
"Aduh, jangan bergerak, Pak," kata Temple dengan cemas. "Berkedip saja juga
jangan!" "Mana dia sih, Anak konyol?" tanya Pak Wilkins. Ia celingukan, memandang ke
berbagai arah. Tapi tidak ke atas rak.
Sementara anak-anak semuanya sudah melihat labah-labah itu.
"Jangan bergerak, Pak, " seru Atkinson. Ia menggenggam gunting kukunya erat-
erat, siap untuk merobek lengan jas jika itu nanti ternyata perlu dilakukan.
Pak Wilkins semakin bingung.
"Aku tidak melihatnya," katanya. "Di mana dia?"
"Dekat sekali di atas kepala Anda," kata Temple. Suaranya melengking tinggi.
"Sekarang semakin dekat-sudah sampai di tepi. Nah, nah, sekarang dia turun-aduh,
jangan bergerak, Pak. Dia ada di bahu Anda."
Pak Wilkins menggebuk bahunya dengan sikat sambil melirik ke arah situ. Saat itu
barulah ia melihat labah-labah itu, yang bertengger di bahu kanannya. Binatang
itu bergerak. menghampiri kerah bajunya!
Pak Wilkins sedikit pun tidak bergerak. Ia berdiri seperti terpaku di lantai.
Labah-labah itu juga berhenti berjalan. Tapi ketika Pak Wilkins menggerakkan
tangan kirinya sedikit, binatang itu mulai berjalan lagi. Begitu Pak Wilkins
berhenti, dia pun ikut berhenti. Guru itu merasa bahwa gerakan berikut pasti
berbahaya akibatnya. Labah-labah itu sudah dekat sekali ke lehernya!
Selama lima detik Pak Wilkins dan labah-labah itu sama-sama diam seperti sudah
berubah menjadi patung. Kemudian Pak Wilkins berbicara. Ia hanya berani
menggerakkan sudut bibirnya saja.
"Apa yang dilakukannya sekarang?" katanya, karena ia sendiri sudah tidak bisa
lagi melihat labah-labah itu.
"Dia kelihatannya sedang memperhatikan Anda, Pak," kata Temple.
"Jangan bergerak, Anak-anak," kata Pak Wilkins. "Aku akan memukulnya, biar
terpental!" "Nanti tangan Anda digigit, Pak," kata Atkinson mengingatkan.
Pak Wilkins tidak jadi memukul. Ia berpikir sebentar.
"Darbishire," katanya kemudian, "kau kan yang sudah mencari keterangan tentang
dia di dalam buku. Bagian sebelah mana yang menggigit - belakang atau depan?"
"Rasanya kedua-duanya, Pak," jawab Darbishire. "Lagi pula, saya tidak tahu mana
yang depan dan mana yang belakang."
Terdengar bunyi napas Temple tersentak. Labah-labah itu rupanya sudah bosan
menunggu. Ia mengambil ancang-ancang, mungkin hendak melakukan serangan. Situasi
sudah gawat sekali! Tiba-tiba Jennings turun dari kursinya. Ia menghampiri Pak Wilkins dengan tangan
terulur ke depan. "Tenang sajalah, Pak," katanya. "Jangan bergerak, biar saya ambil."
"Jangan sentuh dia! Awas, jangan kausentuh!" kata Pak Wilkins.
"Saya tahu bagaimana harus menghadapinya, Pak. Saya bisa menghipnotisnya.
Sungguh!" Jennings menatap labah-labah itu dengan tajam.
Binatang itu membalas tatapannya. Kemudian Jennings mendekatkan tangannya ke
kerah jas Pak Wilkins. Diambilnya labah-labah itu dengan hati-hati, lalu
dimasukkannya ke dalam sebuah gelas kumur.
Beberapa saat lamanya semua yang ada di situ hanya bisa melongo.
"Wah!" gumam mereka, setelah bisa berbicara lagi. "Wah, hebat!... Wow!... Kau
benar-benar berani, Jennings!"
Jennings hanya tersenyum saja, dengan sikap malu-malu.
Suasana tegang sudah lenyap. Semua mengembuskan napas lega. Atkinson
mengembalikan gunting kukunya ke tempat penyimpanannya. Ia agak kecewa, karena
tidak jadi beraksi. "Jennings tadi benar-benar berani, ya Pak?" kata Temple kepada Pak Wilkins.
"Mungkin dia bahkan menyelamatkan nyawa Anda."
"Ya, betul! Kau hebat, Jennings!" kata anak-anak yang lain menambahkan.
"Eh-ya. terima kasih banyak, Jennings! Aku berutang budi padamu," kata Pak
Wilkins. "Aku sendiri sebenarnya mampu dengan gampang membereskannya dengan cara
biasa, tapi binatang itu-eh-dia tadi berada pada posisi yang lebih
menguntungkan. Kau benar-benar berani. Terima kasih!"
"Ah, itu tidak perlu, Pak," jawab Jennings. "Saya tidak ingin Anda mengalami
bahaya. Dan, Pak - tentang hukuman itu, yang salah sebetulnya saya, dan saya
ingin bertanya apakah mungkin - barangkali -"
Jennings tidak melanjutkan kalimatnya. Ia berbuat seakan-akan hendak meminta
sesuatu kepada orang yang begitu besar utang budinya, sehingga orang itu tidak
mungkin bisa menolak permintaannya. Bagi Pak Wilkins sendiri, itulah kesempatan
untuk menyelesaikan masalah yang memusingkan kepalanya sedari tadi. Dengan cepat
kesempatan yang baik itu disambar olehnya.
"O ya, hukuman itu," katanya. "Nah, kalian tadi baru saja menjadi saksi dari
suatu-eh-suatu tindakan Jennings yang benar-benar pantas mendapat penghargaan."
"Setuju, setuju," kata Darbishire.
"Jadi sebagai pengakuan atas-eh"
"Perbuatan terpuji itu," kata Darbishire membantu.
"Diam, Darbishire. Sebagai pengakuan atas -eh-ini, aku membatalkan pembatalan
pertandingan kalian besok."
"Wah, asyik! Terima kasih, Pak!" Anak-anak melambai-lambaikan kantong spons
mereka di atas kepala, sebagai tanda gembira.
"Dan kalian boleh ikut menontonnya. Kalian tidak jadi dihukum, tidak mendapat
tambahan belajar siang itu."
"Hore!" Anak-anak dari Ruang Empat bersorak, sementara Pak. Wilkins tersenyum
puas. "Dan sekarang, coba kemarikan gelas kumur itu, Jennings," kata Pak Wilkins lagi.
"Akan kubawa binatang jelek ini ke bawah, lalu kubunuh. "
"Jangan, Pak! Kasihan," kata Darbishire.
'Tapi dia berbahaya!"
"Dia kan cuma..."
Jennings cepat-cepat menginjak kaki Darbishire, menyuruhnya diam.
"Aduh!" teriak Darbishire. "Jangan begitu dong, Jennings! Aku-eh, saya-maksud
saya, binatang itu hanya berbahaya jika kita tidak tahu bagaimana cara
memperlakukannya." Pak Wilkins tetap berkeras bahwa labah-labah itu harus dibunuh, agar jangan
membahayakan orang lain. Akhirnya Jennings mengusulkan agar binatang itu
diserahkan saja kepada Pak Carter, karena guru itu tahu caranya membunuh
serangga tanpa menyiksanya. Dia kan kegemarannya mengumpulkan kupu-kupu.
"Nanti kalau labah-labah itu sudah mati, akan kami awetkan," katanya menyambung.
"Diawetkan?" kata Pak Wilkins heran.
"Betul, Pak," jawab Jennings. "Seperti yang biasa dilakukan taksi-eh-taksi-apa
lagi namanya, orang seperti itu?"
"Entomolog," kata Darbishire.
"Ya, betul, itu dia! Aku tahu di mana kita nanti bisa mendapatkan jerami untuk
dimasukkan ke dalam badannya."
"Mana bisa dengan jerami," kata Darbishire.
"Kita perlu memakai serbuk gergaji atau bulu unggas. Mungkin kita juga perlu
mencari kancing untuk dijadikan mata, seperti yang biasa dipakai untuk kepala
rusa yang diawetkan."
"Hm," kata Pak Wilkins menggumam. "Pasti aneh kelihatannya, jika kalian sudah
selesai mengawetkannya. Sekarang cepat, masuk ke tempat tidur masing-masing.
Lampu sebenarnya sudah sepuluh menit yang lalu dipadamkan." Setelah itu ia
pergi, dengan membawa gelas yang berisi labah-labah.
Pak Carter menoleh ketika Pak Wilkins masuk ke kamarnya dengan gelas itu.
"Coba tolong matikan binatang jelek ini," kata Pak Wilkins kepadanya. "Nyaris
saja aku tadi digigitnya. Kalau tidak ada Jennings yang cepat-cepat bertindak,
pasti keadaanku sekarang sudah gawat."
Pak Carter tersenyum, lalu mengambil gelas yang disodorkan.
"Anda jangan tertawa," kata Pak Wilkins. "Labah-labah itu berbahaya, racunnya
mematikan. Awas, jangan pegang!" serunya, ketika melihat Pak Carter
menjungkirkan gelas kumur itu sehingga labah-labah jatuh ke telapak tangannya.
"Dia ini sama sekali tidak berbahaya," kata Pak Carter menenangkan. "Aku sudah
mengatakannya tadi kepada Jennings, ketika ia membawanya kemari."
Pak Wilkins melongo mendengarnya.
"Apa?" katanya. "Anda mengatakan-" Maksud Anda, sejak semula Jennings sudah tahu
bahwa binatang ini tidak berbahaya" Dan dia membiarkan aku... Jadi begitu
rupanya siasatnya." Pak Carter tidak mengerti.
"Tapi dia tadi-astaga, aku bahkan memuji keberaniannya, ketika ia mengambilnya
dari kerah jasku!" "Ia mengatakan bahwa labah-labah ini beracun?"
"Yah-tidak, ia tidak mengatakan begitu," kata Pak Wilkins mengakui, "tapi yang
lain-lain, semuanya mengira begitu, dan aku kemudian mengatakan bahwa besok
pertandingan boleh dilangsungkan karena perbuatannya itu."
Pak Carter mengangguk. "Jadi bagi Anda tadi ada alasan baik untuk
mengatakannya." "Ya, aku tahu, tapi..." Pak Wilkins menggerak-gerakkan tangannya, sementara ia
mencari-cari kata yang sesuai untuk memaparkan perasaannya. "Huh, anak bandel
itu tadi mestinya-Betul! Dia tidak boleh kubiarkan - Itu - itu - sialan! Itu
namanya mengelabui orang!"
Pak Carter menunggu sampai rekannya itu sudah tenang kembali. Kemudian ia
berkata, "Kalau aku menjadi Anda, aku takkan melanjutkan urusan ini, Wilkins.
Jennings tadi kebetulan ada di sini ketika berita dari Bracebridge itu datang
lewat telepon. Secara tidak sengaja ia ikut mendengar bahwa tindakan Anda tadi
pagi, yaitu membatalkan pertandingan, sebenarnya-yah, sebenarnya tidak bisa
dibilang jujur." "Wah!" Pak Wilkins langsung tidak marah-marah lagi. Ia merenung.
"Jadi, dengan mengingat segala-galanya yang sudah terjadi," sambung Pak Carter,
"kurasa sebaiknya urusan Anda dengan anak itu kita anggap selesai sampai di sini
saja, ya?" "Hm..." Pak Wilkins diam sesaat. "Ya, kurasa Anda benar, Carter," katanya
lambat-lambat. 12. JENNINGS BERJASA HARI Sabtu paginya Jennings tidak habis-habisnya merasa cemas. Begitu banyak
rintangan yang selama itu menyulitkan usahanya untuk bisa diterima dalam Tim
Kedua. Karenanya ia selalu merasa khawatir, jangan-jangan masih ada lagi
gangguan yang timbul. Tapi nampaknya kini tidak ada lagi yang merintangi cita-
citanya itu. Meski begitu ia harus tetap waspada.
Hari-hari lainnya, pada saat turun ke ruang makan untuk sarapan pagi, ia
biasanya melewati tiga anak tangga paling bawah dengan sekali loncatan saja.
Tapi hari itu ia menuruni tangga dengan langkah-langkah yang tenang dan hati-
hati. Ia bahkan berpegangan pada sandaran tangga, karena takut terpeleset. Kalau
itu terjadi, bisa-bisa terkilir pergelangan kakinya! Sesampai di meja makan,
ditelitinya wajah teman-teman yang sudah lebih dulu duduk di situ. Diamat-
amatinya, kalau ada yang mukanya menampakkan bintik-bintik merah. Kalau ada,
wah, gawat! Itu berarti kini giliran sekolahnya untuk menelepon Bracebridge
untuk membatalkan acara pertandingan. Tapi tampang teman-temannya nampak bersih
semuanya. Yah, sebersih yang mungkin bisa terjadi pada muka anak laki-laki!
Jennings menarik napas lega.
Pukul setengah tiga siang nampak dua buah taksi memasuki pekarangan sekolah.
Kesebelasan Bracebridge sudah tiba, ditemani Pak Parkinson.
"Maaf atas kekeliruan saya waktu itu," katanya dengan sikap malu-malu kepada Pak
Carter yang datang menyambut. "Saya benar-benar mengira bahwa waktu inkubasi
penyakit itu sebulan, bukan tiga minggu."
"Sudahlah, itu kan tidak apa-apa," kata Pak Carter. "Kita kan tidak merasa
terganggu karenanya, Wilkins?" Kalimat yang terakhir itu ditujukannya sambil
menoleh kepada rekannya itu.
"Bagaimana" Ah, itu, tidak, tidak! Sama sekali tidak," kata Wilkins buru-buru,
tanpa berani membalas pandangan Pak Carter.
Regu tuan rumah sudah lebih dulu berada lapangan. Mereka memakai kaus merah-
putih berkotak-kotak. Untuk menghormati acara yang sangat penting baginya itu,
Jennings bukan saja mencuci bagian depan lututnya, tapi juga yang sebelah
belakang. Sepatu sepak bolanya diberi tali baru, berwarna putih. Tali itu
dililitkannya mengelilingi sepatu dengan membentuk anyaman yang rumit, lalu
diikatnya pada bagian punggung sepatu. Ia mengikatkannya dua kali supaya aman,
lalu sekali lagi agar nanti bernasib mujur dalam pertandingan. Pemain termuda
dalam kesebelasan Sekolah Linbury Court sudah siap untuk bertanding!
Para pemain kesebelasan tamu muncul di lapangan setelah mereka selesai menukar
pakaian. Pak Carter tampil sebagai wasit. Ia meniup peluit, dan pertandingan
dimulai. Dengan segera nampak bahwa kedua kesebelasan itu sama kuat. Kedua-duanya masih
tegang pada mulanya, karena menyadari bahwa itu pertandingan yang penting.
Sebagai akibatnya, mutu permainan tidak bisa dibilang bagus. Anak-anak lebih
banyak membuang tenaga dengan sia-sia, bukannya bermain dengan cermat. Selama
sepuluh menit pertama kedua gawang dihujani tembakan-tembakan, di antaranya ada
yang dilakukan secara asal-asalan saja. Tapi pelan-pelan para pemain menjadi
tenang, dan hal itu meningkatkan mutu permainan mereka,
Kedua kesebelasan bermain dengan tenang, tanpa ribut-ribut. Yang berisik
penonton yang berdiri di pinggir lapangan.
"Lin-bury!" seru mereka berteriak-teriak. Suara mereka mengalun seperti
Jennings Si Iseng Karya Anthony Buckeridge di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gelombang dan terulur panjang, sampai akhirnya kehabisan napas. "Lin-bury! Ayo
gebrak, Linbury!" Pak Wilkins yang paling keras teriakannya. Seakan-akan dalam kerongkongannya ada
alat pengeras suara yang sengaja disetel kalau ada acara-acara seperti saat itu.
Ia mondar-mandir sambil berteriak-teriak terus. Para pemain di lapangan sampai
nyaris tidak bisa mendengar bunyi peluit wasit.
Pihak Bracebridge hanya memiliki seorang pendukung saja, yaitu Pak Parkinson.
Suaranya, jika dibandingkan dengan suara Pak Wilkins, kedengarannya seperti
bunyi angin yang bertiup dengan pelan. Dan suara Pak Wilkins, itu bunyi badai!
Ada orang lain yang juga mendukung kesebelasan tamu. Orang itu penjaga garis
dari pihak mereka. Dia itu sebenarnya harus bersikap netral. Tapi anaknya memang
payah! Ia selalu menunggu sampai suara para pendukung kesebelasan tuan rumah
sepi sejenak. Saat itu ia pasti menjerit dengan suaranya seperti tikus mendecit,
"Ayo maju, Bracebridge!"
Bola berpindah-pindah terus, dari gawang yang satu bergerak ke gawang seberang.
Kini para pemain depan Bracebridge menguasai bola. Mereka menggebrak dengan
bersemangat. Bola ditendang dengan keras dari sayap kiri, melayang agak datar ke
arah gawang Linbury. Parslow, penjaga gawang di situ, dengan cepat melompat
untuk menyambarnya. Tap! Bola masuk dalam pelukannya. Para pendukung Linbury
bersorak, bertepuk tangan, menepuk-nepuk punggung teman yang ada di sebelah
mereka. Pak Wilkins menyetel alat pengeras suara yang ada dalam tenggorokannya,
berteriak sekuat tenaga, "Tangkapan hebat! Begitu dong, jadi kiper!"
Bola ditendang jauh ke depan. Kini giliran barisan depan Linbury menyerang.
Temple, yang menempati posisi kiri luar, melesat maju sambil menggiring bola.
Sesaat kemudian ia juga melakukan tendangan melengkung yang melayang rendah, dan
giliran penjaga gawang Bracebridge untuk terbang menyongsong bola dan
mendekapnya. Bola ditendang lagi ke tengah lapangan.
Para penonton pendukung Linbury bertepuk tangan memuji kehebatan penjaga gawang
lawan. Tapi air muka mereka nampak kecewa.
Kepala Sekolah, yang duduk agak terpisah, memandang ke arah penonton, untuk
memastikan bahwa tidak ada di antara mereka yang tidak bertepuk tangan. Anak-
anak harus belajar menghargai kemampuan lawan.
Sampai saat turun minum, pertandingan berlangsung dengan sengit dan seimbang.
Kedua kesebelasan sama-sama belum berhasil mencetak gol. Jennings bermain dengan
bersungguh-sungguh. Tapi ia menyadari bahwa itu bukan permainannya yang terbaik.
Ia baru untuk pertama kalinya ikut bertanding. Selain itu ia juga pemain yang
termuda di lapangan. Kesadaran itu menyebabkan ia tidak bisa menghilangkan rasa
gugup. . Pada babak kedua, ia untuk pertama kalinya mendapat peluang yang baik untuk
mencetak gol. Saat itu Linbury sedang melakukan serangan. Dari sayap kiri, bola
dioperkan ke Jennings. Tidak ada pemain lawan yang menjaganya, sementara penjaga
gawang mereka berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Bola datang lurus ke
arahnya, yang berdiri tidak sampai tiga meter dari mulut gawang. Bahkan
Darbishire pun takkan mungkin meleset jika harus mencetak gol yang begitu
gampang. Jennings pasti berhasil, jika ia sudah cukup puas dengan mendorong bola
masuk ke dalam gawang. Tapi itu tidak terjadi! Melihat gawang lawan menganga tanpa penjagaan, timbul
keinginannya untuk menendang bola sekuat-kuatnya ke situ. Tendangan menggelegar!
Jennings mengayunkan kaki kanannya ke belakang, lalu digerakkan maju sekuat
tenaga dan tidak mengenai bola!
Johnson ada di belakangnya. Dengan tenang anak itu bergerak maju sambil
menghindari Jennings yang hampir jatuh. Dengan tenang pula dihentikannya gerak
bola dan ditendangnya dengan santai ke dalam gawang lawan.
Peluit berbunyi: satu-nol.
Para penonton di pinggir lapangan bersorak-sorak. Pak Wilkins berteriak keras-
keras, "Gol! Gol!" Suaranya begitu menggeledek, sampai Pak Parkinson yang
berdiri di dekatnya cepat-cepat pindah sambal mengusap-usap telinga.
Jennings kembali ke tengah lapangan. Ia merasa dirinya kecil sekali saat itu.
Meski senang bahwa kesebelasannya berhasil mencetak gol, tapi ia merasa jengkel
karena tidak berhasil memanfaatkan peluang yang begitu bagus. Untung ada Johnson
di belakangnya. Jennings berusaha memperbaiki kesalahannya tadi. Selama beberapa menit
selanjutnya ia bermain dengan baik.
"Aku sudah tidak gugup lagi sekarang," katanya pada diri sendiri. Tapi kemudian
ia melakukan kesalahan lagi, dan kali ini kesalahannya itu benar-benar
keterlaluan. Para pemain depan kesebelasan Bracebridge melakukan tekanan gencar, karena ingin
menyamakan kedudukan. Jennings mundur sampai daerah penalti kesebelasannya.
"Ayo, maju ke depan," kata Johnson. "Kau salah posisi di sini."
Tapi Jennings tidak peduli. Akan ditunjukkannya pada teman-teman bahwa betapa
hebatnya dia nanti menyelamatkan situasi yang sangat gawat. Takkan ada yang
mempersalahkannya nanti bahwa ia berada pada posisi yang tidak benar, apabila ia
berhasil mencegah lawan mencetak gol.
Ia sedang berdiri di samping penjaga gawang kesebelasannya ketika gelandang
tengah Bracebridge menendang bola ke arah gawang. Tendangan itu tidak keras.
Parslow pasti takkan mengalami kesulitan untuk menangkapnya lalu mengirimnya
kembali ke arah sayap. Penjaga gawang Linbury itu sudah bersiap-siap menangkap,
ketika tiba-tiba Jennings meloncat ke depannya. Maksudnya hendak menendang bola
itu menjauhi gawang. Tapi gerakannya kurang cepat. Tendangannya agak meleset, bola hanya menyentuh
sisi sepatunya sehingga arahnya berubah, melengkung ke arah sudut gawang dan-
masuk! Peluit berbunyi: satu-satu.
Para penonton mengerang. Dengan cepat Kepala Sekolah mendiamkan mereka dengan
tatapan matanya yang mengecam. Anak-anak memahami apa yang diharapkan dari
mereka: terdengar bunyi tepuk tangan pelan, diiringi suara mencicit penjaga
garis dari Bracebridge yang bersorak-sorak gembira.
"Kenapa kita harus bertepuk tangan jika kita sebenarnya kecewa, Pak?" tanya
Atkinson pada Pak Wilkins.
"Kita harus memberi penghargaan pada permainan lawan yang bagus," jawab Pak
Wilkins. "Tapi tadi itu mereka kan tidak bermain dengan bagus. Pemain mereka sebenarnya
bahkan tidak bermaksud memasukkan bola ke gawang kita, ya kan, Pak" Kan Jennings
yang menyebabkan bola masuk!"
"Ya, itu memang benar."
"Kalau begitu kenapa kita harus bertepuk tangan?"
"Karena... Ah, sudahlah, ikuti saja permainan," kata Pak Wilkins.
Belum pernah Jennings merasa sesedih saat itu. Tendangannya yang meleset
sehingga menyebabkan bola masuk ke gawang sendiri itu memang merupakan kesialan.
Tapi kesialan konyol yang takkan terjadi jika ia tadi tetap berada pada
posisinya. Coba ia tadi tidak ikut-ikutan menjaga di belakang!
Para penonton yang mendukung Linbury tidak ada yang mengatakan apa-apa. Mereka
diam saja. Tapi diamnya mereka itu malah menyebabkan Jennings semakin malu.
Dengan perasaan kikuk ia kembali ke posisinya, sementara permainan dilanjutkan.
Kini kedua tim bermain dengan gigih.
Waktu tinggal beberapa menit lagi. Hasil seri sampai saat itu mendorong masing-
masing tim untuk bermain seakan-akan mempertaruhkan nyawa.
Darbishire berdiri di luar garis pinggir dengan buku catatan di tangan. Ia sibuk
berpikir, apa yang harus ditulis selanjutnya. Sebagai reporter olahraga hasil
pengangkatan sendiri, ia sebenarnya ingin menulis yang bagus-bagus saja tentang
Jennings, sahabatnya. Tapi Darbishire merasa tidak enak menuliskan kata-kata
sanjungan kepada pemain yang jelas-jelas menyebabkan terjadinya bencana tadi.
Biarpun pemain itu sahabat karibnya!
Darbishire menghampiri Atkinson untuk meminta saran. Ditunjukkannya tulisan yang
sudah dibuatnya. Atkinson membacanya:
"Pada hari Sabtu terakhir dari semester ini penonton berjubel di pinggir
lapangan untuk menyaksikan berlangsungnya pergulatan sengit ketika tim kita
bertanding melawan Sekolah Bracebridge dalam suatu cabang olahraga semarak yang
sudah panjang tradisinya, atau dengan namanya yang populer, yaitu sepak bola.
Tim lawan memenangkan undian untuk memilih tempat. Mereka memilih membelakangi
arah angin, walau saat pertandingan berlangsung angin hanya bertiup pelan
sehingga tidak bisa dikatakan ada angin."
"Sampai di situ semuanya beres," kata Darbishire, reporter dadakan itu sambil
mendengarkan Atkinson membaca, "tapi pada alinea selanjutnya aku menyebut
Jennings sebagai pemain poros yang bernas. Ini, di sini, sesudah tulisanku yang
mengatakan bahwa bola seakan-akan lengket ke kakinya yang bergerak secepat
kilat." "Poros bernas-apa itu?"' tanya Atkinson.
"Aku sendiri juga tidak tahu pasti," jawab Darbishire, "tapi aku mendapatnya
dari surat kabar, jadi itu pasti cara yang bergaya untuk mengatakan bahwa dia
pemain bermutu. Tapi sekarang, dia malah mencetak gol ke gawang kita sendiri."
"Kalau begitu kenapa tidak kaucoret saja kata-kata bahwa bola seakan-akan
lengket di kakinya, lalu kautulis bahwa Jennings pantas disebut poros dan
sebagainya jika ia tidak melakukan kekonyolan yang tadi itu. Nah, Benedick sudah
melihat ke arlojinya. Pertandingan mestinya sebentar lagi selesai. "
"Ya, kurasa sebaiknya aku... He, apa yang terjadi?" Darbishire mengangkat
kepalanya mendengar suara para penonton bersorak-sorak.
Ternyata dalam menit terakhir permainan, Jennings berhasil menemukan gaya
permainannya yang sejati.
Ia memotong operan lawan, lalu lari membawa bola ke arah gawang lawan. Larinya
begitu cepat, sehingga kata-kata yang ditulis oleh Darbishire tentang kaki
temannya yang bergerak secepat kilat itu, memang bisa dibilang tidak berlebih-
lebihan. Ia berlari berkelok-kelok menerobos barisan depan kesebelasan lawan. Dengan
gerak tipu yang manis dilewatinya pemain-pemain gelandang lawan yang hendak
menghadang. Para pemain depan Linbury ikut lari maju mengiringinya. Tapi posisi
mereka tadi agak ke belakang, dan kini Jennings sudah sekitar lima belas meter
di depan rekan-rekannya. Dengan congkelan lincah dilewatkannya bola ke belakang
pemain back lawan. Kini hanya penjaga gawang Bracebridge saja yang masih ada di
depannya. Kiper itu nampak ragu sesaat, mulai bergerak maju untuk menyergap,
tapi dengan segera berubah pikiran dan mundur untuk berdiri menjaga di antara
kedua tiang gawang. Jennings terus maju membawa bola, dengan langkah-langkah mantap. Pada saat-saat
penutup, akhirnya datang juga kesempatan baginya. Jika dia kini menendang bola
dengan kencang dan terarah dengan baik, akan pupuslah kesalahannya yang membawa
bencana bagi timnya tadi.
Penonton di pinggir lapangan ribut bersorak-sorak. Tapi Jennings tidak
mendengarnya. Perhatiannya terpusat pada bola yang ada di kakinya, dan penjaga
gawang yang nampak gugup di hadapannya. Jennings menggerakkan kakinya ke
belakang, siap untuk melakukan tendangan menggeledek. Ia tidak mungkin gagal.
Tapi keyakinannya itu ternyata meleset!
Tinggi gawang sedikit di atas dua meter sedangkan lebarnya hampir enam setengah
meter. Dan penjaga gawang, tingginya satu meter empat puluh dan lebarnya sekitar
tiga puluh senti. Sayang, dengan perbandingan ukuran seperti itu - dengan gawang
yang menganga selebar mulut gua di depannya - tendangan Jennings ternyata menuju
ke sosok tubuh kecil yang bergerak-gerak dengan gugup di tengah-tengah gawang.
Jennings tidak mendengar suara ramai penonton yang mengerang karena kecewa. Ia
berdiri seperti terpaku di tempatnya. Ia merasa bahwa yang telah terjadi itu
tidak mungkin. Bola yang ditendangnya melesat ke arah penjaga gawang. Pemain
lawan itu tidak berhasil menangkap bola itu, karena ia terlalu gugup. Tapi
kehadirannya pada posisi yang tepat sudah mencukupi. Bola membentur lutut
kanannya, lalu melambung ke atas dan melampaui mistar gawang. Peluit berbunyi.
Sepak pojok, untuk Linbury.
Jennings masih terus bingung. Aduh, kenapa ia sampai bisa menyia-nyiakan peluang
yang begitu baik" Ia jengkel sekali pada dirinya sendiri. Kini pasti tidak ada
waktu lagi untuk memperbaiki kesalahan. Pak Carter sudah sebentar-sebentar
melihat ke arlojinya. Peluit tanda pertandingan berakhir pasti akan dibunyikan.
begitu sepak pojok sudah dilakukan. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan sekarang.
Jennings merasa bahwa ia sudah diberi kesempatan sebesar-besarnya untuk
memantapkan tempatnya dalam tim - tapi ia gagal!
Para penonton membisu dengan perasaan kecut, sementara Nuttall, pemain sayap
kanan Linbury, mengambil ancang-ancang untuk melakukan sepak pojok.
Darbishire meletakkan buku catatannya ke samping. Ia memandang ke arah sudut
lapangan, di mana tendangan terakhir dalam pertandingan itu akan dilakukan.
Ia merasa sedih sewaktu melihat air muka Jennings yang berada di depan gawang
lawan. Tiba-tiba Darbishire berteriak memecah kesunyian,
"Jangan putus asa, Jennings!"
Saat itu Nuttall sudah berlari untuk menendang bola. Jennings mendengar suara
Darbishire meneriakkan namanya. Ia menoleh sesaat, ke arah para penonton yang
berdiri di pinggir lapangan. Karenanya ia tidak sempat melihat bola yang
ditendang melambung dan kini menuju ke arahnya. Hanya sekilas saja, dan itu pun
di sudut mata, ia melihat ada sesuatu hampir membentur dirinya. Tanpa sempat
berpikir lagi ia langsung meloncat. Maksudnya hendak mengelak. Tapi karena ia
memang pemain bola, gerak loncatan itu bukan menjauhi bola, melainkan
menyongsong. Bola tepat mengenai kening, dan Jennings jatuh terjerembab.
Ia terkapar sesaat di tanah dengan mata terpejam. Kepalanya pusing. Karena itu
ia tidak melihat penjaga gawang Bracebridge memungut bola yang tergeletak dekat
jala di belakang gawang. Ia juga tidak mendengar Pak Carter meniup peluit
sebagai tanda bahwa terjadi gol, dan segera sesudah itu sekali lagi meniup
peluit panjang tanda pertandingan berakhir. Jennings tidak menyadari para
penonton yang ribut bersorak-sorak sambil menandak-nandak dengan gembira di
pinggir lapangan. Jennings baru sadar ketika para pemain Linbury yang selebihnya beramai-ramai
menjunjungnya sehingga berdiri, lalu menepuk-nepuk punggungnya.
"Hebat, Jennings," kata Nuttall sambil menggebuk punggung anak itu. "Gol yang
cantik!" Jennings mengejap-ngejapkan mata dengan heran, melihat wajah-wajah yang meringis
gembira di sekelilingnya. Kenapa teman-teman begitu senang kelihatannya"
"Baru sekali ini aku melihat sundulan kepala sebagus itu," kata Brown, seorang
rekan pemain yang lain. "Caramu tadi meloncat untuk menyongsong lalu, syuut!-
tepat ke pojok atas gawang! Benar-benar maut!"
"Mana keras lagi!" kata Johnson menimpali.
"Kau pasti menyundulnya dengan sekuat tenaga, sampai kau terjatuh setelah bola
membentur kepalamu!"
Jennings memerlukan waktu beberapa detik untuk bisa memahami arti kata-kata
mereka. Jadi mereka ternyata akhirnya berhasil menang juga, dan itu berkat gol
yang kata mereka merupakan hasil sundulannya pada detik terakhir permainan!
Yah, memang menyenangkan rasanya dinyatakan sebagai pahlawan penyelamat. Tapi
bagaimana jika mereka tahu bahwa gol gemilang tadi sebenarnya merupakan
kebetulan saja" Karena gerakannya yang hendak menghindari benturan tapi salah
arah" "Yah," kata Jennings dengan nada ragu, "terima kasih atas pujian kalian,
tapi..." Keinginannya menikmati kekaguman teman-teman terasa menggebu-gebu dalam
hatinya. Tapi Jennings merasa bahwa ia harus jujur. "Tadi itu cuma kebetulan
saja." Ucapannya itu ditanggapi protes teman-temannya.
"Ah, jangan suka merendah," kata mereka dengan nada bersahabat. "Kami tidak bisa
kaubohongi!" 'Tadi itu gol yang paling indah," kata Temple dengan kagum.
"Ah, omong kosong!" tukas Jennings.
"Yah, gol yang sangat indah, deh!"
"Jangan begitu," kata Jennings merendah.
"Pokoknya, itu tadi gol," kata Temple.
"Ya deh," kata Jennings. Jika teman-teman tetap tidak mau percaya bahwa gol itu
terjadi hanya karena kebetulan saja, apa boleh buat!
13. USUL PAK CARTER DARBISHIRE duduk di bangkunya, di dalam kelas. Ia sedang sibuk dengan pensil,
menghitami kotak-kotak pada penanggalan buatannya sendiri. Sambil bekerja, ia
bernyanyi-nyanyi: "Minggu depan, saat ini - di manakah aku nanti" - Pasti jauh dari Linbury."
Ia menjilat ujung pensilnya yang sudah tumpul, lalu kembali menekuni tugasnya.
Nampaknya jauh lebih tekun daripada apabila sedang belajar di kelas.
"Apa yang sedang kaulakukan itu, Darbi?" tanya Jennings. Ia berkeliaran dalam
kelas, seperti tidak tahu apa yang harus dilakukan. Maklumlah, itu hari terakhir
mereka berada di sekolah. Besok sudah liburan semester!
Darbishire berhenti menyanyi.
"Ini, penanggalan raksasaku tentang masih berapa hari lagi sampai akhir
semester," jawabnya.
Jennings datang menghampiri untuk melihat.
Jennings Si Iseng Karya Anthony Buckeridge di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hm, rumit juga kelihatannya," katanya mengomentari. Dipandangnya kertas yang
penuh dengan kotak-kotak dan angka-angka itu tanpa memahami maknanya.
"Memang, tapi lebih bagus daripada penanggalan yang biasa," kata Darbishire
dengan bangga. "Pada penanggalan biasa yang dibuat teman-teman, mereka hanya
menulis tinggal beberapa hari lagi sebelum akhir semester. Tapi pada
penanggalanku ini ada waktu makan, jam, jumlah pelajaran, dan macam-macam lagi.
Lihatlah! Aku memulainya dari minggu lalu, dan sekarang sebegini banyak lagi
yang masih harus dilewati."
Jennings mengamat-amati penanggalan raksasa buatan Darbishire itu.
Penanggalan Raksasa Berapa Lama Lagi Sampai Akhir Semester
Ciptaan C.E.J. Darbishire Jumlah Hari 76543210 Jumlah Jam Lihat halaman 2
Jumlah Pelajaran Matematika 543210
Beberapa kali lagi mengganti kaus kaki 210
"Kenapa jumlah jam ditaruh di halaman dua?" tanya Jennings.
"Mana ada tempat untuk menulis deretan waktu jam yang begitu banyak pada halaman
ini?" kata Darbishire sambil membalikkan penanggalannya ke halaman dua. Di situ
nampak bahwa jumlah jam yang masih tersisa mengisi tujuh bel as baris. Dimulai
dengan angka seratus enam puluh delapan. Yang nampak tersisa tinggal dua puluh
satu. Jadi masih dua puluh satu jam lagi, dan setelah itu sekolah libur!
"Repot juga mencoreti angka-angka jam ini," kata Darbishire menjelaskan. "Jika
harus mencoret satu jam yang sudah lewat, biasanya aku sedang melakukan
kesibukan lain. Tapi kalau pagi hari asyik rasanya, bisa dengan sekaligus
mencoret sepuluh angka."
Jennings merasa kagum. Penanggalan buatannya berupa gambar dinding dengan
sepuluh botol berwarna hijau yang tergantung di situ. Setiap hari dihapusnya
sebuah botol, lalu dibuatnya gambar pecahan kaca yang menumpuk makin lama makin
tinggi di kaki tembok Penanggalan yang dibuat Darbishire ternyata lebih lengkap.
Jennings berniat mengalahkannya. Semester depan ia mungkin akan membuat
penanggalan dengan menit-menit yang masih tersisa. Ia mengambil pensil lalu
mulai menghitung-hitung. Dan ia langsung membatalkan niatnya ketika berdasarkan
hasil hitungannya dalam satu minggu ada sekian puluh ribu menit. Wah, mana
mungkin ia bisa terus mencoreti setiap menit yang lewat. Bisa mati kaku
nantinya! Seisi sekolah tercengkam ketegangan yang selalu timbul pada hari-hari terakhir
menjelang liburan semester. Tempat penyimpanan makanan kecil sudah dikemas
beberapa hari sebelumnya. Bangku-bangku dibereskan dan dibereskan lagi saban
hari. Anak-anak melakukannya karena ingin menikmati perasaan bahwa sebentar lagi
mereka akan pulang ke rumah masing-masing. Barang-barang yang sama sekali tidak
ada gunanya ditemukan tersimpan di dalam lemari-lemari, lalu saling
dipertukarkan. Darbishire menyelesaikan pekerjaannya menghitami kotak-kotak waktu yang sudah
lewat pada penanggalan raksasanya.
"Apa lagi yang bisa kita lakukan sekarang?" katanya.
"Yuk, kita mengemasi isi tempat makanan kita," kata Jennings mengajak.
"Aku baru saja melakukannya," kata Darbishire.
"Biar!" jawab Jennings. "Ini kan kesempatan terakhir. Siang ini barang-barang
kita akan diangkut ke stasiun. Aku rasanya tidak bisa percaya, besok kita akan
pulang!" Jadwal pelajaran, pemberitahuan, peraturan-peraturan, segala kertas tentang hal-
hal itu sudah dilepas dari tempat pemasangannya. Rak-rak di perpustakaan sudah
penuh lagi dengan buku-buku, sementara rak-rak tempat sepatu nampak kosong
melompong. Guru-guru sibuk mondar-mandir di gang dengan mengepit map-map berisi
laporan dan daftar rencana perjalanan. Air muka mereka nampak gembira atau
gelisah, tergantung pada berapa banyak pekerjaan yang masih harus diselesaikan.
Robinson, tukang yang mengerjakan bermacam-macam tugas di sekolah itu, sedang
sibuk menurunkan koper-koper dari ruang-ruang tidur asrama. Ia menurunkannya
dengan tali lewat jendela, dibantu oleh tukang kebun. Kesibukan mereka berdua
ditonton oleh anak-anak. Dalam hati masing-masing anak ada keinginan melihat
tali yang dipakai itu tiba-tiba putus, sehingga koper yang sedang diturunkan
jatuh ke tanah dan berantakan isinya. Tapi tentu saja jangan koper mereka
sendiri yang jatuh itu! Setiap kali ada koper muncul di ambang jendela, anak-
anak yang menonton di bawah bersorak.
Akhirnya Jennings dan Darbishire yang ikut menonton, melihat koper-koper mereka
diturunkan dengan pelan-pelan. Ketika koper-koper itu sudah sampai di bawah
dengan selamat, mereka lantas pergi ke ruang penyimpanan tempat makanan kecil.
Mereka menemukan sebuah buku catatan di dasar kotak milik Darbishire. Sampulnya
kotor kena selai. Darbishire membalik-balik halaman buku itu.
"Fiixton Slick-Superdetektif," katanya sambil membaca dengan penuh minat. "Kita
hanya sempat menulis Bab Satu saja!"
"Tapi tidak ada jeleknya jika kita tunjukkan pada Pak Carter," kata Jennings.
"Kita katakan padanya, ini bagian pertama dari suatu serial. Bagian kedua kita
susulkan pada semester berikut. Mungkin."
"Baiklah," kata Darbishire. "Nanti kita tunjukkan sebelum kita pergi tidur.
Soalnya, siang ini kan ada pertandingan tenis meja, dan sesudah itu pertunjukan
film." *** Pak Carter selalu sibuk pada malam terakhir sebelum sekolah libur. Setelah minum
teh ia buru-buru kembali ke kamarnya dan langsung bekerja kembali. Karcis kereta
api. untuk anak-anak dan jadwal perjalanan sudah ditumpuk rapi, tinggal dibagi-
bagikan saat sarapan besok paginya. Kotak uang yang kosong menunjukkan bahwa
anak-anak sudah dengan baik sekali memanfaatkan uang mereka yang ditabungkan
padanya. . . Pak Carter mengambil sebuah map yang berisi setumpuk kertas laporan. Ia
bermaksud hendak menyelesaikan tugas itu, dan kemudian baru memulai pekerjaan
yang lebih merepotkan, yaitu menyunting naskah-naskah dari anak-anak untuk
dimuat dalam majalah sekolah.
Selama empat puluh menit ia menekuni laporan-laporan itu. Ia menarik napas lega
ketika melihat bahwa tinggal satu laporan saja yang masih harus dikerjakan.
Ketika membaca nama J.C.T. Jennings yang tertulis di situ, dalam hati ia
bersyukur. Untung itu yang paling akhir! Soalnya, ia tidak tahu bagaimana
laporan itu harus dirumuskan:
Di satu pihak, Jennings itu tekun, giat, jujur, sopan, dan periang. Ia selalu
bersemangat dalam menghadapi segala hal yang terjadi di sekelilingnya. Tapi,
ketika Pak Carter mengenang kembali berbagai peristiwa yang pernah terjadi
selama semester yang lalu, mau tidak mau ia harus mengatakan bahwa segala
kebajikan tadi terdapat pada seorang anak yang berulang kali menimbulkan
kegemparan di sekolah itu.
Pada kertas laporan tentang Jennings terlampir catatan dari Kepala Sekolah, di
mana tertulis bahwa Pak Jennings nampaknya masih sangsi apakah anaknya sudah
bisa menyesuaikan diri seperti seharusnya di sekolah itu. Kepala Sekolah
menambahkan dengan permintaan Pak Carter, agar dia menuliskan komentar yang
menanggapi kesangsian itu dalam laporannya.
Ia sedang berpikir-pikir tentang apa yang akan dituliskan, ketika didengarnya
suara berbisik-bisik di gang, di balik pintu kamarnya.
"Kau saja yang mengetuk, Darbi," bisik suara yang pertama.
"Tidak, kau saja," balas suara yang satu lagi sambil berbisik pula. "Ceritanya
sejauh ini kan aku yang menulis, dan aku tidak mau dikira terlalu kepingin
cerita ini dimuat." "Masuk sajalah," seru Pak Carter cepat-cepat, sebelum terdengar pintu digedor
keras-keras. Ia tahu itu pasti menyusul setelah suara berbisik-bisik itu. "Aku
sedang sibuk sekali." sambungnya.
"Kalau begitu cabut saja lagi, Pak?"
"Kalian mau apa?" kata Pak Carter, ketika mendengar istilah prokem itu.
"Eh, maaf, maksud saya, apakah lebih baik kami pergi saja lagi?" kata Jennings
membetulkan kalimatnya. .
"Tunggu sebentar di luar. Aku sedang menulis laporan."
"Anda sudah menulis tentang saya, Pak?" tanya Jennings. "Mudah-mudahan isinya
bagus. Apa yang Anda tuliskan tentang permainan bola saya?"
"Ya, Pak," kata Darbishire ikut berbicara. "Anda harus menuliskan komentar yang
bagus setelah kita menang Sabtu lalu berkat gol hasil sundulannya!"
"Menurut pendapatku, sebaiknya aku tidak menuliskan apa-apa tentang gol itu,"
kata Pak Carter. "Jadi Anda tahu bahwa itu terjadi karena kebetulan, Pak?"
"Ya, aku tahu," jawab Pak Carter. "Aku saat itu berdiri lebih dekat daripada
anak-anak yang menonton. Dan menurut pengalamanku, gol terbaik tidak pernah
tercetak sebagai hasil sundulan yang dilakukan dengan mata dipejamkan rapat-
rapat." Jennings semakin kikuk saja kelihatannya. . "Tapi saya sudah bilang pada mereka
bahwa itu cuma kebetulan saja, Pak! Tapi mereka tidak mau percaya - dan ini,
Pak, ini ada sesuatu untuk majalah kita, yang ingin kami tunjukkan kepada Anda,"
sambungnya, cepat-cepat mengalihkan pembicaraan.
"Tolong tunggu sebentar di luar sementara aku menyelesaikan laporan ini. Nanti
kita bicara." "Baik, Pak." Kedua anak itu keluar lagi sambil menutup pintu kamar.
Pak Carter merasa sulit memusatkan pikiran, karena ada Jennings dan Darbishire
di luar. Pintu kamarnya terbuat dari kayu yang tidak begitu tebal. Jadi suara
orang yang bercakap-cakap di luar bisa didengarnya, meski percakapan itu
dilakukan dengan berbisik-bisik. Ia berusaha menyimpulkan sifat-sifat Jennings
dengan beberapa kalimat ringkas dan terpilih, sesuai dengan permintaan Kepala
Sekolah. Tapi berulang kali ia memergoki dirinya semakin tertarik pada
percakapan di luar, di balik pintu kamarnya.
"Pasti akan asyik kita nanti," kata Jennings berbisik. "Jika kita diberi yang
dimasak, kita akan bisa berbuat seakan-akan gerbong kita merupakan kereta
restorasi! Dan kita akan merasa lapar sekali, karena kita belum sarapan jika
makanan itu kita kantongi untuk dimakan di kereta api."
"Tapi bagaimana jika dimasaknya tidak sampai keras?" bisik Darbishire menyatakan
keberatannya. "Enak saja mengatakan kita kantongi untuk kemudian berpesta di
kereta! Tapi kalau pecah dan mengotori kantong, kita pasti sudah setengah mati
kelaparan setiba di rumah."
"Jangan suka konyol, ah!" bisik Jennings menukas. "Kita kan saban Jumat selama
semester ini selalu mendapat telur waktu sarapan pagi! Dan kau pernah mengalami,
telur itu tidak dimasak sampai matang" Sampai keras sekali?"
"Tidak, tidak pernah," kata Darbishire.
"Nah! Itu dia buktinya," kata Jennings lagi. "Kau tahu kan, bagaimana mereka
bekerja di dapur. Sama saja halnya dengan kentang: mereka tidak pernah mau
repot-repot merebusnya sampai lama, sampai kentang itu benar-benar lunak."
Pak Carter kembali memusatkan perhatiannya pada pekerjaannya, menulis laporan
tentang Jennings. "Dia dengan sepenuh hati menerjunkan diri dalam segala
kegiatan luar sekolah, dan sangat berminat terhadap segala segi kehidupan di
sini," demikian tulis Pak Carter.
"Ssst, jangan keras-keras, nanti didengarnya," kata Jennings berbisik lagi. Pak
Carter bisa membayangkan bahwa anak itu mengatakannya sambil menuding ke arah
pintu. "Kita besok berdelapan, dan jika kita semua mengantongi telur rebus kita untuk
dimakan di kereta, kulitnya kemudian kita lemparkan ke arah jendela-jendela
kereta di belakang kita. Kalau ada teman yang menjenguk ke luar, pasti dia
kena!" Kata-kata itu disusul bunyi gedebak-gedebuk di luar. Kedua anak itu menandak-
nandak, asyik membayangkan apa yang akan mereka lakukan besok.
Pak Carter melanjutkan penulisannya: "Imajinasinya kuat dan selain itu ia juga
jelas memiliki kualitas kepemimpinan. Namun itu perlu dikendalikan dengan baik,
agar tersalur ke arah yang benar." Sambil menulis, Pak Carter mencatat dalam
hati bahwa besok pada saat sarapan pagi, ia harus menegaskan bahwa telur yang.
dihidangkan harus dimakan pada saat itu juga.
"Oke, jadi itu akan kita lakukan besok," terdengar suara Darbishire setelah
bunyi tandakan yang gedebak-gedebuk berakhir. "Pasti asyik sekali, nanti! Dan
masih ada lagi yang menurutku bisa kita lakukan..."
Pak Carter menyerah. Ia merasa tidak mampu meneruskan pekerjaannya. Dipanggilnya
kedua anak itu masuk. "Nah, ada urusan apa?" katanya.
Dengan malu-malu Darbishire menyodorkan hasil karya gemilangnya.
"Ini baru bagian pertama saja dari karangan yang cepat-cepat kami kerjakan untuk
dimuat di majalah kita, Pak," katanya.
Pak Carter membalik-balik halaman buku catatan yang disodorkan itu. Dibacanya
karangan yang berjudul "Flixton Slick -Superdetektif" itu, lalu mendesah. Ia
agak kecewa. Masa itu hasil dari jerih payahnya mengajar mereka mengarang selama
satu semester" Apa sebabnya mereka tidak bisa menuliskan sesuatu yang tidak
melibatkan situasi-situasi yang nyaris membawa malapetaka" Kenapa pada hampir
setiap halaman harus ada orang yang mati"
Pak Carter mendesah lagi.
"Sayang," katanya, "tapi karangan seperti ini tidak mungkin bisa kumuat dalam
majalah kita." Ia merasakan kecaman kedua anak itu, meski mereka tidak berbicara. Darbishire
menatapnya tanpa berkedip dari balik lensa kacamatanya, sementara Jennings
berdiri dengan bertumpu pada kaki kanan saja. Ia menggosok-gosokkan punggung
kaki kirinya ke betis kaki yang satunya lagi. Sikap mereka jelas sekali
menunjukkan bahwa mereka kini menyangsikan kemampuannya sebagai penemu bakat
sastra yang baik. Semuanya membisu selama beberapa saat. Akhirnya Pak Carter berbicara lagi.
"Kalian pernah berjumpa dengan detektif" Atau penjahat?"
"Tidak, Pak," jawab Jennings. Ia terdengar agak heran karenanya.
"Kalau begitu mana mungkin karangan kalian mengenai dunia mereka itu bisa
meyakinkan bagi orang yang membacanya. Jika kalian ingin menulis cerita untuk
majalah kita, pilihlah sesuatu yang benar-benar kalian kenal."
Jennings dan Darbishire berpandang-pandangan. Sikap mereka jelas menampakkan apa
yang ada dalam pikiran mereka tentang usul Pak Carter.
"Kalau begitu kami bisa menulis tentang apa, Pak?" tanya Jennings.
Pak Carter berpikir sebentar.
"Yah, coba kalian ingat-ingat, apa saja yang pernah terjadi sejak kalian ada di
sini. Coba kalian tulis kisah tentang pengalaman kalian selama semester pertama
bersekolah. di sini."
"Ah, .itu kan tidak lucu, Pak," bantah Jennings. "Apa sih, yang pernah terjadi
di sini" Tidak ada pembunuhan, tidak ada penjahat! Tidak pernah terjadi sesuatu
yang ramai. Segala-galanya begitu biasa-biasa saja di sini. Anak-anak juga
begitu, biasa-biasa saja. Kami takkan mungkin bisa menulis cerita yang
mengasyikkan, kalau harus bercerita tentang kehidupan di sekolah."
"Siapa bilang" Belum tentu," kata Pak Carter. "Coba kalian pikirkan saja dulu.
Judulnya bisa-eh-misalnya saja ya, 'Jennings-si Iseng'."
Jennings tersinggung. Pak Carter ini ada-ada saja, katanya dalam hati. Siapa
bilang dia suka iseng" Itu tidak benar! Dasar orang dewasa: seenaknya saja
mengajukan usul yang aneh-aneh. Coba kalau mereka sendiri yang disuruh membuat!
"Maaf, Pak," katanya kemudian dengan sopan sekali, "saya bukannya hendak
membantah-tapi jika menurut Anda itu ide yang bagus, kenapa tidak Anda sendiri
yang menuliskan karangan itu?"
"Boleh juga idemu itu," kata Carter tanpa disangka-sangka. "Ya, kenapa tidak?"
Jennings dan Darbishire pergi dengan perasaan kecewa. Setelah berada di gang
lagi, ketika mereka menyangka bahwa suara mereka takkan mungkin bisa didengar
oleh guru aneh itu, mereka lantas menyatakan pendapat mengenai kemampuannya
sebagai kritikus sastra. "Menurutku, dia itu sinting," kata Darbishire.
"Lebih payah lagi," kata Jennings. "Dia itu sama sekali tidak berotak! Aku
berani bertaruh sejuta, orang yang masih sehat akalnya takkan mungkin mau
menulis cerita tentang anak-anak seperti kita'"
Di balik pintu, Pak Carter tersenyum.
"Siapa bilang?" katanya bergumam. "Aku tidak yakin."
Selesai Pendekar Satu Jurus 5 Pendekar Kelana Sakti 4 Pemikat Nyi Sekar Dayang Kunti Jejak Di Balik Kabut 15
dalamnya!" "Kelihatannya sangat beracun," kata Jennings kemudian, ketika labah-labah itu
tidak lagi melambaikan kakinya yang kedelapan dan mulai bergerak memeriksa
lingkungan. Beberapa kali dicobanya berjalan naik ke sisi gelas, tapi ternyata
tidak bisa. Akhirnya binatang itu pasrah.
"Mungkin dia ini yang namanya-apa itu"-oya, ta-ran-ta-ra," kata Jennings
menyebutkan kata itu dengan cara mengeja.
'Tarantula, maksudmu," kata Darbishire membetulkan. "Kalau benar, wah-binatang
itu berbahaya sekali! Aku pernah membaca cerita tentang labah-labah pemangsa
manusia. Dia ini kan bukan jenis itu?" katanya ketakutan, .tapi sekaligus juga
berharap. "Itu mungkin saja," balas Jennings. "Tapi dia kelihatannya segan berjalan
melewati bekas pasta gigi Bod."
Labah-labah itu nampaknya takkan bisa keluar karena ada tutup kotak pensil yang
ditaruh sebagai atap di atas gelas. Jennings memasukkan sepotong coklat ke
dalamnya, untuk dimakan binatang itu jika merasa lapar. Kemudian ia dan
Darbishire pergi ke bawah, menuju perpustakaan, mencari keterangan dalam
ensiklopedi. Tapi itu ternyata tidak mudah, karena dalam buku itu ada empat halaman dengan
tulisan rapat yang memaparkan corak tubuh dan kebiasaan berbagai jenis labah-
labah. Di antaranya ada beberapa yang cocok sekali wujudnya dengan penumpang
gelap yang membonceng dalam peti berisi pisang dari Jamaika itu. Darbishire
berkeras mengatakan bahwa peliharaannya kalau bukan tarantula yang beracun,
pastilah labah-labah pemangsa burung yang berasal dari Amerika Selatan.
"Pasti bukan," bantah Jennings. "Aku bertaruh satu juta pound."
"Aku bertaruh dua juta, dugaanku pasti benar. Ayo, berani?"
"Mana, kau kan tidak punya uang dua juta pound," kata Jennings meremehkan.
"Baiklah, kalau begitu aku bertaruh dua penny," kata Darbishire, kembali pada
kenyataan yang sebenarnya. "Pokoknya itu tarantula atau pemangsa burung, atau
labah-labah yang begitu langka sehingga sudah punah sekarang. Bagaimana jika
kita menulis surat saja ke Museum Inggris untuk memberi tahu bahwa kita punya
satwa yang sudah begitu punah, sampai tidak ada dalam ensiklopedi dan harap
mereka kirimkan ahli kemari untuk mengatakan dengan pasti binatang apa itu."
Darbishire berhenti untuk menarik napas setelah mengucapkan kalimat yang begitu
panjang. "Setuju," kata Jennings bersemangat. "Itu ide yang bagus sekali!"
Kedua anak itu sama-sama membisu sebentar. Mereka sama-sama membayangkan
kedatangan ahli dari museum itu. Dalam bayangan Darbishire, ahli itu seorang
profesor berkacamata tebal, dengan jenggot panjang berwarna putih dan jas
panjang model kuno. Profesor itu mengamat-amati si labah-labah dengan kaca
pembesar, sambil mengucapkan kata-kata kagum dan senang. Tenaga ahli yang ada
dalam bayangan Jennings bertubuh kurus tinggi dengan hidung yang mancung dan
bengkok seperti paruh garuda. Ia memakai seragam berkancing kuningan. Pada
bagian depan topi petnya yang berwarna hitam tertulis kata-kata "Museum Inggris"
dengan huruf-huruf yang terbuat dari benang perak.
Sebelum Darbishire sempat membuat surat, lonceng sudah berbunyi memanggil mereka
untuk belajar siang hari. Anak itu buru-buru masuk ke kelas, karena ingin
menyampaikan kabar hebat itu kepada anak-anak yang lain.
Seusai belajar dan kemudian berlatih sepakbola, beritanya menyebar secepat
kilat. Seluruh sekolah asyik membicarakannya. Anak-anak bergidik, ngeri
mendengar bahwa makhluk penyebar maut yang ditangkap oleh Darbishire itu kini
terkurung di dalam ruang tidur.
"He, kau sudah mendengar belum" Darbi berhasil menangkap labah-labah pemakan
orang. Gigitannya maut!"
"Ah, kuno, kuno! Aku sudah sejak tadi tahu. Darbi ingin melihat apakah dia mau
makan coklat." "Mana mungkin" Dia kan sudah mencari keterangan mengenainya dalam ensiklopedi.
Namanya dalam bahasa latin, tarantula, atau begitulah. Pokoknya, itulah
buktinya!" Anak-anak yang ada di dalam kelas berhenti menduga-duga ketika Darbishire masuk.
"Halo," kata ahli entomologi itu menyapa teman-temannya. "Ada yang mau menolong
aku?" "Ya, aku, aku," kata Atkinson.
"Begini. Aku sudah melakukan riset, dan menurut teoriku yang terbaru labah-
labahku itu pasti jenis pemakan burung. Jadi coba kau pergi ke Robinson dan
katakan padanya agar ayam-ayam jangan dikeluarkan sebelum orang dari Museum
Inggris datang." Saat itu masih ada waktu lima menit sebelum jam pelajaran sore dimulai.
Sementara Atkinson bergegas pergi untuk memberi tahu, Darbishire
melanjutkan ceramahnya. "Kata Robinson tadi, jika kau kena gigitan binatang itu lenganmu akan langsung
bengkak sehingga lengan jasmu harus dipotong jika hendak melepaskannya - jasmu,
maksudku, bukan lenganmu. T adi dengan sekali melihat saja dia sudah tahu.
Kejadian itu dialami salah seorang temannya, jadi kita tahu bahwa itu pasti
benar." Anak-anak yang lebih muda merasa agak seram mendengarnya. Tapi Darbishire,
dengan pengetahuannya yang begitu hebat, menenangkan mereka. Katanya, labah-
labah itu berada di tempat yang aman. Jadi mereka tidak usah takut.
Pada saat minum teh hari itu Jennings kembali tidak berselera makan. Padahal
hidangan yang disajikan sangat disukainya. Ketidakadilan yang menimpa dirinya
menyebabkan ia kehilangan selera. Dan itu membuat dirinya merasa bertambah
sedih. Minggu lalu dia tidak bisa ikut bertanding karena sakit. Dan sekarang,
setelah dia sehat kembali, Pak Wilkins merusak segala-galanya!
Jennings menyadari bahwa dia juga ikut bersalah. Ia juga tahu, karena hal itu
jelas sekali ditunjukkan oleh anak-anak yang lain, bahwa kesalahannya itu akan
lama melekat dalam ingatan teman-teman. Jennings lantas memutuskan untuk
mendatangi Pak Wilkins, untuk memohon agar guru itu mau mengubah keputusannya.
Ia akan mengatakan bahwa ia siap untuk dihukum, asal yang lain-lain
diperbolehkan melakukan pertandingan seperti sudah direncanakan semula.
Ketika waktu belajar sore sudah berakhir, Jennings pergi ke kamar Pak Wilkins.
Ia mengetuk pintu, tapi tidak terdengar suara menjawab. Jennings pergi lagi,
dengan niat akan datang kembali nanti. Untuk menghabiskan waktu, ia akan
mengamat-amati labah-labah Darbishire.
Tidak ada orang lain di ruang tidur ketika anak itu menyelinap masuk ke
dalamnya. labah-labah itu masih tetap berada dalam gelas tempat pengamatan.
Seperti Jennings juga, binatang itu nampaknya tidak berselera makan. Buktinya,
coklat yang diberikan sama sekali tidak disentuh!
Labah-labah itu memang bagus sekali. Tapi Jennings tidak sependapat dengan
Darbishire bahwa binatang itu sangat beracun atau begitu langka, sehingga perlu
dipanggil tenaga ahli dari Museum Inggris untuk memeriksa. Kan konyol mereka
nanti, jika binatang itu kemudian ternyata sama sekali tidak berbahaya!
Pak Carter! Pak Carter pasti tahu. Dia kan ahli macam-macam, meski tidak memakai
seragam dengan kancing mengkilat dari kuningan.
Jennings mengambil tempat sabunnya yang terletak di bak tempat cuci badan.
Dicucinya tempat itu, lalu diarahkannya kembali perhatian kepada si labah-labah.
Gelas tempat binatang itu dijungkirkannya dengan cepat ke tempat sabun. Labah-
labah terpental masuk ke situ, lalu Jennings buru-buru memasang tutup tempat
sabun itu kembali. Gelas kumur dibiarkannya terletak di tempat semula, sementara
Jennings sendiri bergegas ke kamar Pak Carter.
Ia menjumpai Pak Carter sedang duduk menghadap meja kerjanya.
"Masuk, Jennings," kata guru itu sambil menoleh ke arah anak itu. "Ada apa?"
Dengan berhati-hati sekali Jennings membuka tutup tempat sabunnya.
"Wah, bagus sekali," kata Pak Carter. "Di mana kau menjumpainya?"
"Dalam gelas kumur Temple, Pak," jawab Jennings.
"Ha?"" Pak Carter tercengang. Aneh, ada labah-labah dalam gelas kumur! .
"Sebelum itu dia ini berada dalam sebuah peti pisang, Pak," kata Jennings
menjelaskan lebih lanjut. "Kata Robinson lengan kita. akan bengkak kalau kena
gigitannya, dan Darbishire akan menulis ke Museum Inggris untuk meminta orang
mereka kemari, tapi menurut saya ini bukan binatang taran, jadi saya meminjamnya
untuk menanyakannya kepada Anda." .
Pak Carter mengamat-amati labah-labah itu. Jennings kaget setengah mati ketika
tahu-tahu Pak Carter mengambilnya lalu meletakkannya di atas telapak tangan.
"Aku terpaksa mengecewakan Darbishire," kata guru itu, "tapi dia ini sama sekali
tidak berbahaya. "Juga tidak beracun?"
"Sama sekali tidak!" Pak Carter menambahkan tangannya, sementara labah-labah itu
merentangkan kaki-kakinya lalu lari ke punggung tangan Pak Carter dan dari situ
hendak beralih ke lengan jas guru itu. Rupanya binatang itu sedang menikmati
kebebasannya. "Tidak, tidak boleh ke situ," kata Pak Carter sambil mengangkat labah-labah itu
dan ditaruhnya di atas meja. Si labah-labah berlari sebentar di situ, lalu
berdiri tanpa bergerak-gerak. Kelihatannya seperti sedang termenung.
"Dia kelihatannya memang menyeramkan," kata Pak Carter, "tapi sebetulnya tidak
berbahaya. Lain halnya kalau kalian lalat!"
Jennings memberanikan diri setelah melihat bahwa lengan jas Pak Carter tidak
perlu dirobek, karena lengannya tidak bengkak. Diambilnya labah-labah dari atas
meja lalu dimasukkannya kembali ke dalam tempat sabun. Saat itu terdengar bunyi
lonceng asrama. "Saya rasa sebaiknya dia saya kembalikan saja ke dalam gelas kumur, Pak," kata
Jennings. "Darbishire tidak tahu bahwa saya mengambilnya. Ia pasti gelisah
sekarang, karena mengira labah-labahnya lari."
Telepon berdering ketika Jennings sudah hendak melangkah ke luar. Pak Carter
meraih gagang pesawat itu dan mendekatkannya ke telinga.
"Halo, di sini Sekolah Linbury Court... Siapa"... Sekolah Bracebridge".. Ya,
betul." Jennings terkejut ketika mendengar nama Bracebridge disebut, karena merasa
bersalah. Tempat sabun terlepas dari pegangannya dan jatuh ke karpet. Tutupnya
terlepas. labah-labah yang terkurung di dalamnya cepat-cepat lari dan
bersembunyi di belakang sebuah rak buku. Dengan cepat Jennings memotong
jalannya, untuk mencegah binatang itu lari ke tempat lain. Ia berdiri menutupi
salah satu ujung sisi belakang rak itu. Setelah itu ia mengorek-ngorek di sela-
sela buku dengan sebatang pensil. Maksudnya untuk mengusir labah-labah itu dari
sana, sehingga lari ke tempat terbuka.
Ia bukan bermaksud ikut mendengarkan percakapan Pak Carter dengan orang yang
meneleponnya. Ia memang merasa tidak bisa pergi selama labah-labah belum
tertangkap lagi. Dan mau tidak mau terdengar juga olehnya kata-kata yang
diucapkan Pak Carter kepada orang yang menelepon itu.
"Bagaimana" Jadi Anda bisa juga datang besok?" kata Pak Carter. "Tapi tadi pagi
Pak Parkinson menelepon kemari, untuk membatalkan pertandingan itu. Katanya, ada
anak yang kena penyakit menular di situ."
Jennings menajamkan telinga. Dengan seketika urusan labah-labah sudah dilupakan,
karena perhatiannya kini terpusat pada berita yang tak terduga-duga itu. Ia
menunggu sementara Pak Carter mendengarkan penjelasan teman bicaranya yang
panjang lebar dan berbelit-belit.
Kemudian Pak Carter berbicara lagi. "O, begitu. Ya, saya rasa Anda benar. Masa
inkubasi penyakit itu memang hanya tiga minggu. Jadi jika timbulnya tanggal
empat belas, itu berarti anak-anak sudah boleh keluar lagi kemarin."
"Betul," sambung Pak Carter lagi, sesudah mendengarkan selama beberapa saat.
"Ketika Pak Parkinson mengatakan satu bulan, saya langsung saja percaya. Yah,
pokoknya untung saja begini perkembangannya, dan kami menunggu kedatangan Anda
beserta rombongan anak-anak Bracebridge besok, pukul setengah tiga, seperti
rencana semula.... Baik! Sampai besok." Pak Carter mengembalikan gagang telepon
ke tempatnya, lalu membalikkan tubuh. Saat itu barulah ia melihat Jennings yang
sedang berlutut dekat rak buku.
"Kenapa kau masih ada di sini?" tanya Pak Carter. "Kusangka sudah sejak tadi
keluar." Jennings menjelaskan kenapa ia masih ada di situ. Pak Carter lantas ikut
berlutut. Mereka bersama-sama berusaha memandang labah-labah agar mau keluar
dari persembunyiannya. Sementara itu Jennings sibuk dengan pikirannya sendiri. Jika Bracebridge
membatalkan pertandingan karena ada anak di sana yang kena penyakit menular,
maka itu berarti bahwa keributan di dalam kelas ternyata bukan merupakan
penyebab yang sebenarnya. Selain itu, jika Bracebridge menelepon tadi pagi pada
waktu istirahat di antara dua jam pelajaran, maka mestinya Pak Wilkins sudah
tahu bahwa pertandingan dibatalkan sebelum ia menjatuhkan hukumannya. Tapi kini
masalahnya menjadi rumit, karena tim dari Bracebridge ternyata jadi datang!
"Kau tidak banyak membantu," kata Pak Carter sambil bangkit dengan memegang
labah-labah yang sementara itu sudah berhasil ditangkap. Ia memasukkannya ke
dalam tempat sabun yang langsung ditutup. "Bilang saja nanti pada Darbishire
bahwa binatang ini sebaiknya dilepaskan saja lagi. Tapi di luar, jangan di dalam
gedung." "Maaf, Pak," kata Jennings. "Pak Wilkins mengatakan bahwa pertandingan
dibatalkan karena saya tidak membuka keran, dan anak-anak kemudian berisik, tapi
Anda tadi mengatakan kepada orang yang menelepon..."
"Pembicaraan telepon tadi itu merupakan percakapan pribadi antara aku dan
Sekolah Bracebridge, Jennings," kata Pak Carter dengan nada mengecam.
"Betul, Pak, tapi itu kan tidak bisa dilakukan Pak Wilkins, ya, Pak" Itu tidak
adil - dan bagaimana besok, jika mereka datang?"
"Sana, pergi tidur, Jennings," kata Pak Carter, "jangan bertanya terus! Jika Pak
Wilkins mengatakan kelasmu harus belajar besok siang sebagai hukuman, maka
katanya itu yang berlaku. Aku tidak mau ikut campur."
"Ya, Pak," kata Jennings lalu keluar.
Di serambi tangga ia berpapasan. dengan Pak Wilkins. Ia langsung mengucapkan
kata-kata yang sudah dipikirkan olehnya matang-matang sejak tadi.
"Pak," katanya, "saya perlu bicara sedikit pada Anda. Penting sekali, Pak."
Pak Wilkins nampak tidak senang.
"Pak, bagaimana jika saya saja yang tidak boleh keluar besok, dan jangan yang
lain-lainnya juga" Sungguh, Pak, yang tadi itu bukan salah mereka, dan sekarang
saya dimusuhi mereka."
"Aku tidak heran mendengarnya," kata Pak Wilkins. Ia tidak menyembunyikan
kepuasannya. "Dan selain itu, aku tidak berniat mengubah keputusanku. Jika aku
sudah mengatakan sesuatu, maka itu akan tetap begitu." Biar anak-anak ini tahu
siapa yang mereka hadapi, katanya dalam hati.
Jennings sebenarnya hendak mengatakan bahwa ada sesuatu yang aneh mengenai
pembatalan acara pertandingan, tapi ia langsung dipotong oleh Pak Wilkins.
"Kau sudah terlambat masuk ke ruang tidur, dan kau belum menukar sepatumu dengan
sepatu untuk di dalam rumah. Sana, cepat turun dan lakukan itu!"
Jennings turun ke lantai bawah, masih dengan membawa tempat sabun yang berisi
labah-labah. Sementara itu Pak Wilkins mampir ke kamar Pak Carter. Rekannya itu dilihatnya
tersenyum geli, walau Pak Carter berusaha menyembunyikannya.
"Ah, Pak Wilkins," katanya. "Baru saja ada telepon dari Bracebridge. Rupanya
Parkinson tadi keliru, ia menyangka masa karantina untuk penyakit biring peluh
satu bulan." "Lalu?" kata Pak Wilkins menanggapi dengan agak curiga.
"Itu tidak benar, karena ternyata hanya tiga minggu. Dan karena selama tiga
minggu belakangan tidak ada anak lain yang menunjukkan gejala-gejala terjangkit,
kita akan bisa bertanding melawan tim mereka besok, tanpa perlu takut tertular."
Pak Wilkins nampak kaget sekali mendengarnya. Ia bisa saja tetap berkeras,
melarang anak-anak kelas tiga keluar pada waktu pertandingan sedang berlangsung.
Tapi ia tidak sampai hati melakukannya. Namun badannya terasa panas-dingin
membayangkan senyuman menang anak-anak, pada saat kabar baru itu diumumkan.
"Apa yang harus kulakukan sekarang?" tanyanya pada Pak Wilkins. "Ketika aku tadi
pagi mengatakan bahwa aku membatalkan pertandingan itu, anak-anak kaget sekali.
Mereka tidak menyangka bahwa aku akan bisa bertindak sekeras itu. Mereka pasti
terpingkal-pingkal menertawakan, jika aku sekarang mundur."
"Aku kan sudah memperingatkan," kata Pak Carter. "Sekarang kurasa Anda harus
mencari alasan untuk membatalkan hukuman itu."
"Betul," kata Pak Wilkins. "Tapi bagaimana caranya" Aku perlu memikirkannya!"
Pak Wilkins berjalan sambil berpikir-pikir, menuju ke asrama anak-anak untuk
menjalankan tugasnya sebagai pengawas.
11. AWAS - ADA ANU! BEGITU lonceng asrama terdengar, Darbishire langsung bergegas mendului naik ke
atas. Ia diikuti oleh Temple. Venables, dan Atkinson. Dibukanya pintu Ruang
Empat lebar-lebar, lalu ia cepat-cepat menuju ke gelas kumur yang terletak di
atas rak. "Kita harus berhati-hati, jangan sampai dia kaget," katanya. "Sebabnya, ada
kemungkinan binatang itu gampang kaget, lalu.....
Darbishire sendiri yang ternyata kaget setengah mati. Ia tertegun, sementara air
Jennings Si Iseng Karya Anthony Buckeridge di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mukanya langsung berubah. Dari bangga, berubah menjadi kaget dan ngeri. Ia
menatap gelas yang kosong dengan mata terbelalak dan mulut ternganga.
"Astaga!" katanya. "Binatang itu-minggat!"
"Apa?" Teman-temannya langsung berkerumun mendekat. Begitu mereka melihat bahwa
gelas kumur itu benar-benar tidak ada lagi isinya, mereka lantas buru-buru
menjauh. "Rupanya tadi naik sampai ke atas lalu berhasil menyusup ke luar," kata
Darbishire dengan perasaan tegang. "Ya, betul! Lihatlah, tutup kotak pensil ini
tergeser sedikit. Awas! Jangan lupa, binatang itu sangat berbahaya. Gigitannya
mematikan!" Keempat anak yang ada dalam ruangan itu berdiri mengelompok dengan sikap kaku.
Mereka semua membisu. Mata mereka menggerayangi sisi atas rak. Tapi tidak nampak
ada labah-labah di situ. Meski merasa takut-takut, tapi akhirnya mereka memutuskan bahwa
usaha pencarian secara teliti mau tidak mau harus mereka lakukan. Hanya dengan
cara itu kesulitan harus dihadapi.
"Dia mestinya masih ada di dalam ruangan ini," kata Temple. Ia memandang
berkeliling dengan sikap gelisah. "Kalau kita cari, pasti nanti ketemu juga.
Tapi hati-hati, kalau ketemu jangan disentuh. Ingat, racunnya mematikan!"
"Tapi bagaimana jika dia tahu-tahu menyerang?" kata Atkinson takut-takut. "Kalau
begitu, apa yang harus kita lakukan?"
"Ah, sudahlah, kita mulai saja mencari," tukas Darbishire yang sementara itu
semakin bingung. Dengan hati-hati sekali diangkatnya sepotong sabun dan
memeriksa di bawahnya. Karena gugup, sikutnya menyenggol sebuah sikat gigi yang
terletak di bak tempat cuci muka. Sikat itu terjatuh ke lantai. Bunyinya tidak
keras, tapi itu menyebabkan anak-anak kaget dan dengan cepat menoleh ke arah
lantai. "Cuma sikat saja," kata Darbishire setelah melihat benda itu. Ia meneguk ludah
untuk melenyapkan kegugupan. "Kita harus terus mencari. Tapi hati-hati, jangan
sampai digigit!" "Betul," kata Venables menambahkan. "Nanti lenganmu bengkak sampai besar sekali,
sehingga jas harus dirobek."
"Kalau begitu kita buka saja dulu jas kita," kata Atkinson menyarankan.
"Apa gunanya, jika nanti yang ternyata digigit kaki kita," tukas Temple
membantah. "lebih baik jika kita memakai sepatu karet kita yang berlaras tinggi.
Karena siapa tahu, nanti pergelangan kaki kita yang disambar."
Menurut Darbishire, anak-anak di ruang tidur yang lain-lainnya juga perlu diberi
tahu, untuk berjaga-jaga kalau labah-labah itu berkeliaran ke mana-mana. Ia
tidak kepingin menjadi pembawa berita. Soalnya, dari pengalaman di ruang
tidurnya sendiri berita seperti itu tidak ditanggapi dengan perasaan senang.
Karenanya ia kemudian memutuskan untuk mengambil jalan tengah. Akan dipasangnya
pemberitahuan di depan pintu ruangan, sehingga anak-anak lain yang lewat di gang
bisa berjaga-jaga. Di dalam saku celananya ada sepotong kapur putih. Diambilnya
kapur itu, lalu ia berjingkat-jingkat ke luar. Ia berdiri di depan pintu Ruang
Empat, memikirkan kata-kata yang harus dituliskan sebagai pemberitahuan. Ia
mulai dengan menuliskan, "Awas-ada-", tapi karena tidak ada ensiklopedia di
situ, ia tidak tahu pasti bagaimana cara menuliskan kata "tarantula". Itu pun
kalau labah-labah itu memang benar dari jenis itu. Bagaimana kalau ternyata
jenis lain" Akhirnya ia memilih jalan yang paling gampang. Dituliskannya dengan huruf yang
besar-besar, "Awas-Ada Anu!"
Setelah itu ia masuk lagi ke dalam ruangan, di mana teman-temannya masih terus
mencari dengan takut-takut dan setengah hati. Soalnya, tidak ada yang berani
melakukan pencarian secara saksama di bawah atau di belakang benda-benda atau
perabot yang ada di situ. Mereka takut, jangan-jangan makhluk penyebar maut itu
bersembunyi di situ. "Nah, yang jelas dia tidak ada di dalam piamaku," kata Temple sambil mendesah
lega. "Kau sudah memeriksa di dalam sandalmu, Venables?"
"Sudah," kata Venables dengan ragu-ragu, "tapi aku tidak bisa sampai ke
ujungnya." "Masukkan saja tanganmu, lalu kauraba-raba," kata Atkinson menyarankan.
"Begitu ya, lalu tahu-tahu ujung jariku digigit. Terima kasih'" tukas Venables
sebal. Darbishire berlutut, lalu dengan posisi merangkak mengintip ke bawah ranjang-
ranjang. Tiba-tiba terdengar dia menjerit dengan suara tertahan. Anak-anak yang
lain kaget. Mereka berlompatan, seperti kijang yang terkejut mendengar bunyi
tembakan. "Kau digigit, Darbi" Kau luka?"
"Bagaimana, kupanggilkan Matron?"
Seisi ruangan itu langsung waspada. Atkinson bahkan sudah mengambil gunting
kukunya, siap untuk merobek lengan jas Darbishire, ketika anak itu mengatakan
bahwa yang ditemukannya itu ternyata hanya gumpalan debu saja.
"Tapi kelihatannya persis sekali," katanya menjelaskan kenapa ia tadi berteriak.
Kejadian itu menyebabkan anak-anak semakin ketakutan. Mereka ngeri membayangkan
musuh itu mungkin bersembunyi di dalam kantong tempat spons, di sela-sela
pakaian, atau di balik lipatan handuk.
"Kita mungkin bahkan terpaksa membongkar papan lantai ini nanti," kata Temple
dengan sikap putus asa. "Kita tidak bisa menukar pakaian, apalagi masuk ke
tempat tidur!" "Dan jika kita sudah berbaring di tempat tidur dan lampu kemudian dipadamkan,"
kata Atkinson menambah ketegangan, "jangan-jangan dia nanti menyerang kita dalam
gelap, lalu kita terbangun dalam keadaan menggembung seperti balon! Hii, bengkak
sebesar balon!" Anak itu bergidik, lalu cepat-cepat berdiri dari ranjang di mana
ia selama itu duduk. Mereka harus berbuat sesuatu. Semuanya merasa tidak aman jika berdiri dekat
ranjang masing-masing, karena takut kalau binatang seram yang mungkin
bersembunyi di situ tahu-tahu muncul dan langsung menggigit. Akhirnya Darbishire
menyarankan, sebaiknya kursi-kursi mereka yang ada di sisi tempat tidur masing-
masing ditaruh di tengah-tengah ruangan, lalu berdiri di atasnya. Dengan begitu
kaki mereka tidak ada di lantai, lagi pula, dari tempat yang tinggi itu mereka
akan bisa melihat jika musuh datang. Dengan langkah berjingkat-jingkat anak-anak
itu mengambil kursi masing-masing, menaruhnya di tengah-tengah ruangan dan
langsung naik dan berdiri di atasnya.
Setelah berdiri dengan perasaan tegang selama kira-kira semenit, Atkinson
mengajukan pertanyaan yang ada dalam pikiran mereka semua.
"Jadi kita harus berdiri begini terus sepanjang malam?"
"Aku akan mencari Pak Wilkie," kata Temple. "Malam ini ia yang bertugas
mengawasi. Jadi mestinya ia tahu bagaimana caranya menghadapi labah-labah
beracun." Ia turun dari kursinya, lalu cepat -cepat keluar. Tapi ia tidak berhasil dengan
segera menemukan Pak Wilkins. Itu agak aneh! Karena Pak Wilkins selama waktu
setengah jam sebelum anak-anak harus berada di tempat tidur masing-masing
biasanya sebentar-sebentar memasuki ruang-ruang tidur sambil mengatakan, "Ayo
cepat, dan cuci bersih-bersih lutut kalian itu." Tapi malam ini ia berada di
kamar duduk Matron. Di situ ia bisa menemukan ketenangan yang diperlukannya,
karena ada masalah yang harus dicari penyelesaiannya.
*** Jam sekolah berdentang delapan kali. Jennings yang berada di ruang tempat
menyimpan sepatu yang terletak di lantai bawah, tiba-tiba menyadari bahwa ia
membuang-buang waktu sepuluh menit untuk mengganti sepatu. Memang, sebagian
besar dari waktu itu dipergunakannya untuk memberi kesempatan pada si labah-
labah untuk melemaskan otot-otot kakinya. Selama itu ia asyik memperhatikan gaya
binatang itu berkeliaran di lantai. Tapi dentangan jam sekolah mengingatkannya
bahwa ia harus bergegas-gegas apabila ingin sudah berada di tempat tidur sebelum
lonceng tanda tidur berbunyi. Diangkatnya labah-labah yang saat itu sedang
beristirahat di ujung sepatu sepak bola dan dimasukkannya kembali ke dalam
tempat sabun. Aduh, dia harus bergegas!
Darbishire pasti sudah gelisah sekarang, karena tidak tahu apa yang terjadi
dengan makhluk langkanya. Pasti dia akan merasa kecil sekali nanti, jika diberi
tahu bahwa labah-labahnya itu ternyata sama sekali tidak berbahaya!
Jennings bergegas menaiki tangga dengan menggenggam tempat sabun. Ia sedikit pun
tidak mengetahui kecemasan yang melanda Darbishire dan juga teman-teman yang
lain. Sesampai di depan pintu Ruang Empat Jennings berhenti. Ia melihat kata-kata yang
tertulis di situ. "Awas-Ada Anu'" Anu" Apa itu, Anu" Ah, ini pasti keisengan
anak-anak lagi, katanya dalam hati. Atau, mereka sudah sinting! Ketika Jennings
membuka pintu dan melihat Darbishire, Atkinson, dan Venables berdiri di atas
kursi-kursi mereka seperti takut kalau ada banjir, ia lantas menjadi yakin bahwa
mereka benar-benar sudah sinting.
"Kenapa kalian berdiri di atas kursi?" katanya.
"labah-labah itu minggat," jawab Darbishire dengan gugup. "Cepat, ambil kursimu
dan taruh di sini, jika ingin aman."
"Ya, betul, jangan berdiri saja di situ," desak Atkinson. "Nanti kau diserang!"
Senyuman mulai melebar di wajah Jennings, ketika ia menyadari apa yang telah
terjadi. "Huh, kalian ini penakut semuanya," katanya, sambil meletakkan tempat sabun yang
dibawanya ke rak yang ada di atas tempat tidurnya. "Masa, menghadapi labah-labah
sekecil itu saja ngeri!" Ia tertawa sambil membuka jas dan sepatunya.
"Kau - kau kan tidak bermaksud hendak masuk ke tempat tidurmu?" kata Venables
dengan perasaan ngeri. "Ya, tentu saja, aku tidak takut," Jennings bernyanyi dengan gembira, untuk
membuktikan bahwa ia sungguh-sungguh tidak takut.
"Aduh, hati-hati," desah Atkinson. "Kau tahu tidak apa yang terjadi jika kau
digigit" Balon!" Dengan jarinya anak itu membuat gambar lingkaran besar di atas
kepalanya. Tapi Jennings hanya tertawa meremehkan. Ia terus saja membuka pakaiannya. Ia
tahu bahwa anak-anak yang lain memperhatikan segala gerak-geriknya dengan
perasaan kagum bercampur ngeri. Karenanya ia malah sengaja bekerja dengan lambat
dan santai, seperti orang yang tidak mempedulikan bahaya.
Jennings menikmati keadaan itu. Sebentar-sebenta ia melirik ke arah tempat
sabun. Semuanya aman di situ. labah-labah itu tidak muncul.
Akhirnya Darbishire membuka mulut.
"Hati-hati waktu membuka selimutmu nanti, Jen." Detik berikutnya ia menjerit,
"Awas!" Bahkan Jennings pun ikut meloncat karena kaget, meski ia sebenarnya tahu bahwa
tidak ada bahaya sama sekali. Atkinson dan Venables nyaris terjatuh dari kursi
masing-masing. Darbishire mengarahkan tudingannya ke bantal di ranjang Jennings.
"Itu," serunya dengan suara serak. "Lihat! Jejak kaki labah-labah beracun itu!"
Jennings memeriksa sarung bantalnya.
"Kau sinting!" katanya kemudian. "Ini kan remah-remah kue. Tadi malam aku
membawa kue kemari untuk kumakan di tempat tidur. Tapi kue itu berantakan dan
remah-remahnya jatuh ke atas bantal ini. Menjengkelkan!" Tiba-tiba matanya
berkilat-kilat bandel. "Tapi ini belum apa-apa, jika dibandingkan dengan gigitan
labah-labah yang berbahaya," sambungnya pura-pura ngeri.
Kemudian ia tertawa. "Kalian lucu deh kelihatannya, berdiri di atas kursi
seperti itu! Siapa sih yang takut, menghadapi labah-labah sekecil semut?"
"Sok jago, ah," kata Venables. Tapi ia tidak bisa menyembunyikan nada kekaguman
dalam suaranya. "Aku akan tetap di sini terus sampai Pak Wilkie datang."
"Astaga!" kata Jennings. Keasyikannya menertawakan teman-temannya langsung
lenyap. "Dia tahu tentang urusan ini?"
"Bod pergi memanggilnya," kata Atkinson.
Jennings berpikir sejenak. Ia sudah memutuskan untuk mengajukan permohonan
terakhir kepada Pak Wilkins. Ia hendak meminta pada guru itu agar bersedia
mempertimbangkan kembali keputusannya menghukum anak-anak kelas tiga. Jika Pak
Wilkins sampai tahu bahwa Jennings yang bertanggung jawab mengenai keributan ini
- wah! - bisa bertambah gawat lagi keadaannya!
"He, Darbi," katanya. "Yuk, kita keluar sebentar. Aku perlu bicara sebentar
denganmu. Kita berdua saja. "
"Aku tidak berani turun," kata Darbishire dengan nada ngeri.
"Tapi urusannya penting sekali," desak Jennings. "Lihatlah, tidak ada apa-apa
dari kursimu itu sampai ke pintu. Aku akan mengiringimu sampai di sana. Akan
kuhipnotis labah-labah itu jika ia meloncat dari tempat persembunyiannya untuk
menyerangmu." Darbishire turun dari kursinya dengan sikap takut-takut. Diikutinya Jennings ke
luar. "Ada apa?" tanyanya kemudian.
"Begini," bisik Jennings, "urusan labah-labah itu beres. Ia ada di dalam tempat
sabun yang tadi kuletakkan di rak sebelah atas ranjangku. Aku tadi mengambilnya
untuk kutunjukkan kepada Benedick. Ia mengatakan labah-labah itu tidak
berbahaya, kecuali jika kau lalat."
"Betul?" "Sungguh!" Darbishire merasa lega mendengarnya. Tapi ia juga agak kecewa, karena labah-
labah itu ternyata bukan makhluk langka.
"Untung saja suratku kepada Museum Inggris belum kuposkan," katanya. Kemudian ia
teringat pada suatu hal lain. Tidak enak hatinya membayangkan hal itu. Hampir
sama tidak enaknya seperti penderitaan yang baru saja berlalu.
"Apa kata teman-teman nanti jika mereka mengetahuinya" Mereka pasti tidak mau
lagi percaya padaku, jika aku dengan tenang masuk ke dalam dan mengatakan bahwa
binatang itu ternyata sama sekali tidak berbahaya. Mereka pasti menuduh bahwa
aku sebenarnya sudah sejak semula tahu. Pasti aku dihajar nanti, karena dikira
mempermainkan mereka."
"Kalau begitu lebih baik kau jangan mengatakan apa-apa," kata Jennings
menyarankan. "Tapi aku tidak bisa membiarkan mereka terus menyangka binatang itu berbahaya,
sehingga mereka terus berdiri sepanjang malam di atas kursi. Aduh, menyesal aku
sekarang karena menemukan binatang menyebalkan itu. Padahal aku sudah
membayangkan akan mendapat hadiah dari Museum. Uangnya nanti hendak kupakai
untuk membeli perlengkapan untuk membuat model pesawat terbang."
Jennings mengatakan, itu bukan satu-satunya kesulitan yang dihadapi. Jika ia
mengeluarkan labah-labah dari tempatnya dan mengatakan binatang itu tidak
berbahaya, ada kemungkinan Pak Wilkins nanti beranggapan bahwa ia sengaja
membawanya untuk menyebabkan keributan lagi di kalangan anak-anak. Dan kalau itu
terjadi, guru galak itu pasti takkan mau mengubah keputusannya.
"Dia pasti akan semakin marah jika sampai tahu bahwa aku ada urusannya dengan
soal ini," kata Jennings melanjutkan. "Padahal aku harus membuat perasaannya
senang, karena ada kemungkinan pertandingan jadi dilangsungkan besok."
"Kalau begitu apa yang sebaiknya kita lakukan?" tanya Darbishire.
"Paling baik jika bukan kita berdua yang menemukan binatang sialan itu," kata
Jennings. "Kau, karena itu akan mengakibatkan dirimu dihajar teman-teman. Dan
juga jangan aku, karena nanti Pak Wilkie mengira bahwa aku sengaja mengambilnya
untuk menyebabkan semuanya ketakutan."
Kedua anak itu akhirnya memutuskan, sebaiknya biar orang lain saja yang
menemukan labah-labah itu. Dengan demikian binatang itu nantinya bisa
disingkirkan, tanpa ada yang menduga bahwa dia sebenarnya sama sekali tidak
berbahaya. Mereka lantas masuk lagi ke ruang tidur. Darbishire langsung naik lagi ke atas
kursinya, agar teman-teman yang lain tidak merasa curiga.
Sesaat kemudian ia berseru, "Itu''', sambil menuding ke sudut ruangan.
Atkinson dan Venables langsung menatap ke arah yang dituding. Sementara
perhatian mereka terarah ke sana - cepat menghampiri ranjangnya dan membuka
tutup tempat sabun yang ada labah-labah di dalamnya.
"Wah, sorry deh," kata Darbishire, "aku keliru lagi. Rupanya yang kulihat itu
cuma kotoran di dinding."
Atkinson dan Venables kembali mencari-cari berkeliling ruangan dengan mata
mereka. Berulang kali pandangan mereka bergerak melewati rak yang ada di atas
tempat tidur Jennings. Tapi mereka tidak melihat labah-labah itu. Padahal nampak
jelas, sehingga Jennings dan Darbishire merasa sulit untuk mengalihkan pandangan
mereka. Dan binatang itu pun nampaknya berusaha keras untuk menarik perhatian,
karena ia berlari-lari bolak-balik di atas rak.
Jennings merasa gelisah. Kenapa kedua temannya itu belum melihatnya juga" Ia
ingin binatang itu sudah ditemukan sebelum Pak Wilkins datang. Dengan begitu
takkan ada dugaan bahwa ia ikut terlibat dalam urusan itu. Jadi ia akan bisa
bebas meminta pada Pak Wilkins agar bersedia mengubah keputusannya untuk
menghukum anak-anak kelas tiga.
*** Bunyi langkah gedebak-gedebuk di gang dekat tangga memberi tahu anak-anak bahwa
Pak Wilkins datang. Ketika Temple menemukannya di kamar duduk Matron perasaannya
memang sudah sebal. Apalagi setelah ia diberi tahu bahwa ia diminta datang untuk
menangkap seekor labah-labah yang berbahaya.
Jennings Si Iseng Karya Anthony Buckeridge di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tanpa mempedulikan tanda peringatan di sisi luar pintu, ia langsung saja masuk
ke dalam Ruang Empat. Temple mengikutinya dari belakang. Anak itu nampak lega
melihat teman-temannya yang ditinggalnya di situ ternyata masih sehat-sehat
saja. "Ada apa lagi sekarang?" bentak Pak Wilkins. "Kenapa kalian berdiri di atas
kursi" Ayo turun. Cepat!"
"Tapi dia berbahaya, Pak! Beracun," kata Venables membantah. "Kami tidak berani
turun. Kami tidak main-main, Pak!"
Nada suaranya menyebabkan Pak Wilkins menjadi ragu.
''Tunggu sebentar," katanya. ''Tadi Temple datang menjemputku dalam keadaan
seperti orang sinting. Dia mengoceh, katanya ada labah-labah di sini. Dari mana
kalian tahu bahwa binatang itu beracun?"
"Kami sudah membuktikannya, Pak," kata Temple. "Darbishire tadi sudah mencari
keterangan di dalam ensiklopedi. Dia itu dari jenis tarantula yang muncul dari
dalam peti pisang." Pak Wilkins tidak tahu apa-apa tentang labah-labah. Keterangan Temple itu
mungkin benar dan mungkin juga tidak, tapi sebaiknya ia tidak mengambil risiko.
"Baiklah," katanya sambil mengambil sebuah sikat rambut yang ada di dekatnya,
"sekarang kita akan mencari dengan saksama."
"Perlu saya ambilkan tongkat pemukul, Pak?" tanya Temple bersemangat. "Pakai
saja tongkat cricket saya! Nanti saya ambilkan dari..."
"Tidak, pakai punya saya saja, Pak," desak Venables. "Tongkat saya lebih besar."
"Kalau punya saya, pegangannya dilapisi karet, Pak," sela Atkinson. "Sayangnya
ketinggalan di rumah! Coba saya tahu akan ada kejadian ini, pasti saya tidak
lupa..." "Sudah, diam semuanya!" bentak Pak Wilkins.
Jennings merasa khawatir, jangan-jangan guru itu marah lagi nanti. Karenanya ia
memutuskan, lebih baik cepat-cepat saja berbicara tentang pertandingan besok.
"Maaf, Pak," katanya. "Saya ingin bicara sebentar tentang hukuman itu. Saya mau
tinggal di dalam selama pertandingan, asal teman-teman diperbolehkan menonton."
Kejengkelan Pak Wilkins memuncak.
"Aduh, Jennings! Tidakkah kau melihat bahwa aku ada urusan yang lebih penting
sekarang" Ini masalah yang gawat. Jika labah-labah itu memang beracun, ada
kemungkinan-yah, aku khawatir nanti ada yang digigit olehnya."
"Ya, Pak, tapi hukuman itu..."
"Sana, pergi. Berdirilah di atas kursi, seperti yang lain-lainnya itu."
Jennings menyerah. Ia mengambil kursi lalu berdiri di atasnya, di tengah-tengah
ruangan seperti yang lain-lainnya.
Pak Wilkins memandang berkeliling ruangan dengan sikap menantang. Sikat rambut
yang ada di tangan diacung-acungkannya, seperti menantang si labah-labah
berkelahi. "Mana dia?" katanya. "Aku tidak melihatnya." Ia bergerak mendekati ranjang
Jennings, lalu menyodok-nyodoknya dengan sikat. Ia berdiri tepat di bawah rak.
Sementara itu labah-labah yang ada di atasnya bergerak-gerak. Kelihatannya
seperti menandak-nandak, memperagakan tari perang labah-labah.
Jennings dan Darbishire memandang dengan gelisah. Kenapa tidak ada yang
mengalihkan perhatian mereka dari Pak Wilkins, dan memandang ke arah rak yang
ada di atas kepala guru itu"
Kemudian Temple melihatnya!
"Aduh!" serunya karena kaget dan ngeri.
Pak Wilkins berpaling ke arahnya.
"Ada apa?" katanya.
"Saya melihatnya sekarang, Pak," jawab Temple.
"O ya" Di mana dia" Akan kugebuk nanti!"
"Aduh, jangan bergerak, Pak," kata Temple dengan cemas. "Berkedip saja juga
jangan!" "Mana dia sih, Anak konyol?" tanya Pak Wilkins. Ia celingukan, memandang ke
berbagai arah. Tapi tidak ke atas rak.
Sementara anak-anak semuanya sudah melihat labah-labah itu.
"Jangan bergerak, Pak, " seru Atkinson. Ia menggenggam gunting kukunya erat-
erat, siap untuk merobek lengan jas jika itu nanti ternyata perlu dilakukan.
Pak Wilkins semakin bingung.
"Aku tidak melihatnya," katanya. "Di mana dia?"
"Dekat sekali di atas kepala Anda," kata Temple. Suaranya melengking tinggi.
"Sekarang semakin dekat-sudah sampai di tepi. Nah, nah, sekarang dia turun-aduh,
jangan bergerak, Pak. Dia ada di bahu Anda."
Pak Wilkins menggebuk bahunya dengan sikat sambil melirik ke arah situ. Saat itu
barulah ia melihat labah-labah itu, yang bertengger di bahu kanannya. Binatang
itu bergerak. menghampiri kerah bajunya!
Pak Wilkins sedikit pun tidak bergerak. Ia berdiri seperti terpaku di lantai.
Labah-labah itu juga berhenti berjalan. Tapi ketika Pak Wilkins menggerakkan
tangan kirinya sedikit, binatang itu mulai berjalan lagi. Begitu Pak Wilkins
berhenti, dia pun ikut berhenti. Guru itu merasa bahwa gerakan berikut pasti
berbahaya akibatnya. Labah-labah itu sudah dekat sekali ke lehernya!
Selama lima detik Pak Wilkins dan labah-labah itu sama-sama diam seperti sudah
berubah menjadi patung. Kemudian Pak Wilkins berbicara. Ia hanya berani
menggerakkan sudut bibirnya saja.
"Apa yang dilakukannya sekarang?" katanya, karena ia sendiri sudah tidak bisa
lagi melihat labah-labah itu.
"Dia kelihatannya sedang memperhatikan Anda, Pak," kata Temple.
"Jangan bergerak, Anak-anak," kata Pak Wilkins. "Aku akan memukulnya, biar
terpental!" "Nanti tangan Anda digigit, Pak," kata Atkinson mengingatkan.
Pak Wilkins tidak jadi memukul. Ia berpikir sebentar.
"Darbishire," katanya kemudian, "kau kan yang sudah mencari keterangan tentang
dia di dalam buku. Bagian sebelah mana yang menggigit - belakang atau depan?"
"Rasanya kedua-duanya, Pak," jawab Darbishire. "Lagi pula, saya tidak tahu mana
yang depan dan mana yang belakang."
Terdengar bunyi napas Temple tersentak. Labah-labah itu rupanya sudah bosan
menunggu. Ia mengambil ancang-ancang, mungkin hendak melakukan serangan. Situasi
sudah gawat sekali! Tiba-tiba Jennings turun dari kursinya. Ia menghampiri Pak Wilkins dengan tangan
terulur ke depan. "Tenang sajalah, Pak," katanya. "Jangan bergerak, biar saya ambil."
"Jangan sentuh dia! Awas, jangan kausentuh!" kata Pak Wilkins.
"Saya tahu bagaimana harus menghadapinya, Pak. Saya bisa menghipnotisnya.
Sungguh!" Jennings menatap labah-labah itu dengan tajam.
Binatang itu membalas tatapannya. Kemudian Jennings mendekatkan tangannya ke
kerah jas Pak Wilkins. Diambilnya labah-labah itu dengan hati-hati, lalu
dimasukkannya ke dalam sebuah gelas kumur.
Beberapa saat lamanya semua yang ada di situ hanya bisa melongo.
"Wah!" gumam mereka, setelah bisa berbicara lagi. "Wah, hebat!... Wow!... Kau
benar-benar berani, Jennings!"
Jennings hanya tersenyum saja, dengan sikap malu-malu.
Suasana tegang sudah lenyap. Semua mengembuskan napas lega. Atkinson
mengembalikan gunting kukunya ke tempat penyimpanannya. Ia agak kecewa, karena
tidak jadi beraksi. "Jennings tadi benar-benar berani, ya Pak?" kata Temple kepada Pak Wilkins.
"Mungkin dia bahkan menyelamatkan nyawa Anda."
"Ya, betul! Kau hebat, Jennings!" kata anak-anak yang lain menambahkan.
"Eh-ya. terima kasih banyak, Jennings! Aku berutang budi padamu," kata Pak
Wilkins. "Aku sendiri sebenarnya mampu dengan gampang membereskannya dengan cara
biasa, tapi binatang itu-eh-dia tadi berada pada posisi yang lebih
menguntungkan. Kau benar-benar berani. Terima kasih!"
"Ah, itu tidak perlu, Pak," jawab Jennings. "Saya tidak ingin Anda mengalami
bahaya. Dan, Pak - tentang hukuman itu, yang salah sebetulnya saya, dan saya
ingin bertanya apakah mungkin - barangkali -"
Jennings tidak melanjutkan kalimatnya. Ia berbuat seakan-akan hendak meminta
sesuatu kepada orang yang begitu besar utang budinya, sehingga orang itu tidak
mungkin bisa menolak permintaannya. Bagi Pak Wilkins sendiri, itulah kesempatan
untuk menyelesaikan masalah yang memusingkan kepalanya sedari tadi. Dengan cepat
kesempatan yang baik itu disambar olehnya.
"O ya, hukuman itu," katanya. "Nah, kalian tadi baru saja menjadi saksi dari
suatu-eh-suatu tindakan Jennings yang benar-benar pantas mendapat penghargaan."
"Setuju, setuju," kata Darbishire.
"Jadi sebagai pengakuan atas-eh"
"Perbuatan terpuji itu," kata Darbishire membantu.
"Diam, Darbishire. Sebagai pengakuan atas -eh-ini, aku membatalkan pembatalan
pertandingan kalian besok."
"Wah, asyik! Terima kasih, Pak!" Anak-anak melambai-lambaikan kantong spons
mereka di atas kepala, sebagai tanda gembira.
"Dan kalian boleh ikut menontonnya. Kalian tidak jadi dihukum, tidak mendapat
tambahan belajar siang itu."
"Hore!" Anak-anak dari Ruang Empat bersorak, sementara Pak. Wilkins tersenyum
puas. "Dan sekarang, coba kemarikan gelas kumur itu, Jennings," kata Pak Wilkins lagi.
"Akan kubawa binatang jelek ini ke bawah, lalu kubunuh. "
"Jangan, Pak! Kasihan," kata Darbishire.
'Tapi dia berbahaya!"
"Dia kan cuma..."
Jennings cepat-cepat menginjak kaki Darbishire, menyuruhnya diam.
"Aduh!" teriak Darbishire. "Jangan begitu dong, Jennings! Aku-eh, saya-maksud
saya, binatang itu hanya berbahaya jika kita tidak tahu bagaimana cara
memperlakukannya." Pak Wilkins tetap berkeras bahwa labah-labah itu harus dibunuh, agar jangan
membahayakan orang lain. Akhirnya Jennings mengusulkan agar binatang itu
diserahkan saja kepada Pak Carter, karena guru itu tahu caranya membunuh
serangga tanpa menyiksanya. Dia kan kegemarannya mengumpulkan kupu-kupu.
"Nanti kalau labah-labah itu sudah mati, akan kami awetkan," katanya menyambung.
"Diawetkan?" kata Pak Wilkins heran.
"Betul, Pak," jawab Jennings. "Seperti yang biasa dilakukan taksi-eh-taksi-apa
lagi namanya, orang seperti itu?"
"Entomolog," kata Darbishire.
"Ya, betul, itu dia! Aku tahu di mana kita nanti bisa mendapatkan jerami untuk
dimasukkan ke dalam badannya."
"Mana bisa dengan jerami," kata Darbishire.
"Kita perlu memakai serbuk gergaji atau bulu unggas. Mungkin kita juga perlu
mencari kancing untuk dijadikan mata, seperti yang biasa dipakai untuk kepala
rusa yang diawetkan."
"Hm," kata Pak Wilkins menggumam. "Pasti aneh kelihatannya, jika kalian sudah
selesai mengawetkannya. Sekarang cepat, masuk ke tempat tidur masing-masing.
Lampu sebenarnya sudah sepuluh menit yang lalu dipadamkan." Setelah itu ia
pergi, dengan membawa gelas yang berisi labah-labah.
Pak Carter menoleh ketika Pak Wilkins masuk ke kamarnya dengan gelas itu.
"Coba tolong matikan binatang jelek ini," kata Pak Wilkins kepadanya. "Nyaris
saja aku tadi digigitnya. Kalau tidak ada Jennings yang cepat-cepat bertindak,
pasti keadaanku sekarang sudah gawat."
Pak Carter tersenyum, lalu mengambil gelas yang disodorkan.
"Anda jangan tertawa," kata Pak Wilkins. "Labah-labah itu berbahaya, racunnya
mematikan. Awas, jangan pegang!" serunya, ketika melihat Pak Carter
menjungkirkan gelas kumur itu sehingga labah-labah jatuh ke telapak tangannya.
"Dia ini sama sekali tidak berbahaya," kata Pak Carter menenangkan. "Aku sudah
mengatakannya tadi kepada Jennings, ketika ia membawanya kemari."
Pak Wilkins melongo mendengarnya.
"Apa?" katanya. "Anda mengatakan-" Maksud Anda, sejak semula Jennings sudah tahu
bahwa binatang ini tidak berbahaya" Dan dia membiarkan aku... Jadi begitu
rupanya siasatnya." Pak Carter tidak mengerti.
"Tapi dia tadi-astaga, aku bahkan memuji keberaniannya, ketika ia mengambilnya
dari kerah jasku!" "Ia mengatakan bahwa labah-labah ini beracun?"
"Yah-tidak, ia tidak mengatakan begitu," kata Pak Wilkins mengakui, "tapi yang
lain-lain, semuanya mengira begitu, dan aku kemudian mengatakan bahwa besok
pertandingan boleh dilangsungkan karena perbuatannya itu."
Pak Carter mengangguk. "Jadi bagi Anda tadi ada alasan baik untuk
mengatakannya." "Ya, aku tahu, tapi..." Pak Wilkins menggerak-gerakkan tangannya, sementara ia
mencari-cari kata yang sesuai untuk memaparkan perasaannya. "Huh, anak bandel
itu tadi mestinya-Betul! Dia tidak boleh kubiarkan - Itu - itu - sialan! Itu
namanya mengelabui orang!"
Pak Carter menunggu sampai rekannya itu sudah tenang kembali. Kemudian ia
berkata, "Kalau aku menjadi Anda, aku takkan melanjutkan urusan ini, Wilkins.
Jennings tadi kebetulan ada di sini ketika berita dari Bracebridge itu datang
lewat telepon. Secara tidak sengaja ia ikut mendengar bahwa tindakan Anda tadi
pagi, yaitu membatalkan pertandingan, sebenarnya-yah, sebenarnya tidak bisa
dibilang jujur." "Wah!" Pak Wilkins langsung tidak marah-marah lagi. Ia merenung.
"Jadi, dengan mengingat segala-galanya yang sudah terjadi," sambung Pak Carter,
"kurasa sebaiknya urusan Anda dengan anak itu kita anggap selesai sampai di sini
saja, ya?" "Hm..." Pak Wilkins diam sesaat. "Ya, kurasa Anda benar, Carter," katanya
lambat-lambat. 12. JENNINGS BERJASA HARI Sabtu paginya Jennings tidak habis-habisnya merasa cemas. Begitu banyak
rintangan yang selama itu menyulitkan usahanya untuk bisa diterima dalam Tim
Kedua. Karenanya ia selalu merasa khawatir, jangan-jangan masih ada lagi
gangguan yang timbul. Tapi nampaknya kini tidak ada lagi yang merintangi cita-
citanya itu. Meski begitu ia harus tetap waspada.
Hari-hari lainnya, pada saat turun ke ruang makan untuk sarapan pagi, ia
biasanya melewati tiga anak tangga paling bawah dengan sekali loncatan saja.
Tapi hari itu ia menuruni tangga dengan langkah-langkah yang tenang dan hati-
hati. Ia bahkan berpegangan pada sandaran tangga, karena takut terpeleset. Kalau
itu terjadi, bisa-bisa terkilir pergelangan kakinya! Sesampai di meja makan,
ditelitinya wajah teman-teman yang sudah lebih dulu duduk di situ. Diamat-
amatinya, kalau ada yang mukanya menampakkan bintik-bintik merah. Kalau ada,
wah, gawat! Itu berarti kini giliran sekolahnya untuk menelepon Bracebridge
untuk membatalkan acara pertandingan. Tapi tampang teman-temannya nampak bersih
semuanya. Yah, sebersih yang mungkin bisa terjadi pada muka anak laki-laki!
Jennings menarik napas lega.
Pukul setengah tiga siang nampak dua buah taksi memasuki pekarangan sekolah.
Kesebelasan Bracebridge sudah tiba, ditemani Pak Parkinson.
"Maaf atas kekeliruan saya waktu itu," katanya dengan sikap malu-malu kepada Pak
Carter yang datang menyambut. "Saya benar-benar mengira bahwa waktu inkubasi
penyakit itu sebulan, bukan tiga minggu."
"Sudahlah, itu kan tidak apa-apa," kata Pak Carter. "Kita kan tidak merasa
terganggu karenanya, Wilkins?" Kalimat yang terakhir itu ditujukannya sambil
menoleh kepada rekannya itu.
"Bagaimana" Ah, itu, tidak, tidak! Sama sekali tidak," kata Wilkins buru-buru,
tanpa berani membalas pandangan Pak Carter.
Regu tuan rumah sudah lebih dulu berada lapangan. Mereka memakai kaus merah-
putih berkotak-kotak. Untuk menghormati acara yang sangat penting baginya itu,
Jennings bukan saja mencuci bagian depan lututnya, tapi juga yang sebelah
belakang. Sepatu sepak bolanya diberi tali baru, berwarna putih. Tali itu
dililitkannya mengelilingi sepatu dengan membentuk anyaman yang rumit, lalu
diikatnya pada bagian punggung sepatu. Ia mengikatkannya dua kali supaya aman,
lalu sekali lagi agar nanti bernasib mujur dalam pertandingan. Pemain termuda
dalam kesebelasan Sekolah Linbury Court sudah siap untuk bertanding!
Para pemain kesebelasan tamu muncul di lapangan setelah mereka selesai menukar
pakaian. Pak Carter tampil sebagai wasit. Ia meniup peluit, dan pertandingan
dimulai. Dengan segera nampak bahwa kedua kesebelasan itu sama kuat. Kedua-duanya masih
tegang pada mulanya, karena menyadari bahwa itu pertandingan yang penting.
Sebagai akibatnya, mutu permainan tidak bisa dibilang bagus. Anak-anak lebih
banyak membuang tenaga dengan sia-sia, bukannya bermain dengan cermat. Selama
sepuluh menit pertama kedua gawang dihujani tembakan-tembakan, di antaranya ada
yang dilakukan secara asal-asalan saja. Tapi pelan-pelan para pemain menjadi
tenang, dan hal itu meningkatkan mutu permainan mereka,
Kedua kesebelasan bermain dengan tenang, tanpa ribut-ribut. Yang berisik
penonton yang berdiri di pinggir lapangan.
"Lin-bury!" seru mereka berteriak-teriak. Suara mereka mengalun seperti
Jennings Si Iseng Karya Anthony Buckeridge di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
gelombang dan terulur panjang, sampai akhirnya kehabisan napas. "Lin-bury! Ayo
gebrak, Linbury!" Pak Wilkins yang paling keras teriakannya. Seakan-akan dalam kerongkongannya ada
alat pengeras suara yang sengaja disetel kalau ada acara-acara seperti saat itu.
Ia mondar-mandir sambil berteriak-teriak terus. Para pemain di lapangan sampai
nyaris tidak bisa mendengar bunyi peluit wasit.
Pihak Bracebridge hanya memiliki seorang pendukung saja, yaitu Pak Parkinson.
Suaranya, jika dibandingkan dengan suara Pak Wilkins, kedengarannya seperti
bunyi angin yang bertiup dengan pelan. Dan suara Pak Wilkins, itu bunyi badai!
Ada orang lain yang juga mendukung kesebelasan tamu. Orang itu penjaga garis
dari pihak mereka. Dia itu sebenarnya harus bersikap netral. Tapi anaknya memang
payah! Ia selalu menunggu sampai suara para pendukung kesebelasan tuan rumah
sepi sejenak. Saat itu ia pasti menjerit dengan suaranya seperti tikus mendecit,
"Ayo maju, Bracebridge!"
Bola berpindah-pindah terus, dari gawang yang satu bergerak ke gawang seberang.
Kini para pemain depan Bracebridge menguasai bola. Mereka menggebrak dengan
bersemangat. Bola ditendang dengan keras dari sayap kiri, melayang agak datar ke
arah gawang Linbury. Parslow, penjaga gawang di situ, dengan cepat melompat
untuk menyambarnya. Tap! Bola masuk dalam pelukannya. Para pendukung Linbury
bersorak, bertepuk tangan, menepuk-nepuk punggung teman yang ada di sebelah
mereka. Pak Wilkins menyetel alat pengeras suara yang ada dalam tenggorokannya,
berteriak sekuat tenaga, "Tangkapan hebat! Begitu dong, jadi kiper!"
Bola ditendang jauh ke depan. Kini giliran barisan depan Linbury menyerang.
Temple, yang menempati posisi kiri luar, melesat maju sambil menggiring bola.
Sesaat kemudian ia juga melakukan tendangan melengkung yang melayang rendah, dan
giliran penjaga gawang Bracebridge untuk terbang menyongsong bola dan
mendekapnya. Bola ditendang lagi ke tengah lapangan.
Para penonton pendukung Linbury bertepuk tangan memuji kehebatan penjaga gawang
lawan. Tapi air muka mereka nampak kecewa.
Kepala Sekolah, yang duduk agak terpisah, memandang ke arah penonton, untuk
memastikan bahwa tidak ada di antara mereka yang tidak bertepuk tangan. Anak-
anak harus belajar menghargai kemampuan lawan.
Sampai saat turun minum, pertandingan berlangsung dengan sengit dan seimbang.
Kedua kesebelasan sama-sama belum berhasil mencetak gol. Jennings bermain dengan
bersungguh-sungguh. Tapi ia menyadari bahwa itu bukan permainannya yang terbaik.
Ia baru untuk pertama kalinya ikut bertanding. Selain itu ia juga pemain yang
termuda di lapangan. Kesadaran itu menyebabkan ia tidak bisa menghilangkan rasa
gugup. . Pada babak kedua, ia untuk pertama kalinya mendapat peluang yang baik untuk
mencetak gol. Saat itu Linbury sedang melakukan serangan. Dari sayap kiri, bola
dioperkan ke Jennings. Tidak ada pemain lawan yang menjaganya, sementara penjaga
gawang mereka berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Bola datang lurus ke
arahnya, yang berdiri tidak sampai tiga meter dari mulut gawang. Bahkan
Darbishire pun takkan mungkin meleset jika harus mencetak gol yang begitu
gampang. Jennings pasti berhasil, jika ia sudah cukup puas dengan mendorong bola
masuk ke dalam gawang. Tapi itu tidak terjadi! Melihat gawang lawan menganga tanpa penjagaan, timbul
keinginannya untuk menendang bola sekuat-kuatnya ke situ. Tendangan menggelegar!
Jennings mengayunkan kaki kanannya ke belakang, lalu digerakkan maju sekuat
tenaga dan tidak mengenai bola!
Johnson ada di belakangnya. Dengan tenang anak itu bergerak maju sambil
menghindari Jennings yang hampir jatuh. Dengan tenang pula dihentikannya gerak
bola dan ditendangnya dengan santai ke dalam gawang lawan.
Peluit berbunyi: satu-nol.
Para penonton di pinggir lapangan bersorak-sorak. Pak Wilkins berteriak keras-
keras, "Gol! Gol!" Suaranya begitu menggeledek, sampai Pak Parkinson yang
berdiri di dekatnya cepat-cepat pindah sambal mengusap-usap telinga.
Jennings kembali ke tengah lapangan. Ia merasa dirinya kecil sekali saat itu.
Meski senang bahwa kesebelasannya berhasil mencetak gol, tapi ia merasa jengkel
karena tidak berhasil memanfaatkan peluang yang begitu bagus. Untung ada Johnson
di belakangnya. Jennings berusaha memperbaiki kesalahannya tadi. Selama beberapa menit
selanjutnya ia bermain dengan baik.
"Aku sudah tidak gugup lagi sekarang," katanya pada diri sendiri. Tapi kemudian
ia melakukan kesalahan lagi, dan kali ini kesalahannya itu benar-benar
keterlaluan. Para pemain depan kesebelasan Bracebridge melakukan tekanan gencar, karena ingin
menyamakan kedudukan. Jennings mundur sampai daerah penalti kesebelasannya.
"Ayo, maju ke depan," kata Johnson. "Kau salah posisi di sini."
Tapi Jennings tidak peduli. Akan ditunjukkannya pada teman-teman bahwa betapa
hebatnya dia nanti menyelamatkan situasi yang sangat gawat. Takkan ada yang
mempersalahkannya nanti bahwa ia berada pada posisi yang tidak benar, apabila ia
berhasil mencegah lawan mencetak gol.
Ia sedang berdiri di samping penjaga gawang kesebelasannya ketika gelandang
tengah Bracebridge menendang bola ke arah gawang. Tendangan itu tidak keras.
Parslow pasti takkan mengalami kesulitan untuk menangkapnya lalu mengirimnya
kembali ke arah sayap. Penjaga gawang Linbury itu sudah bersiap-siap menangkap,
ketika tiba-tiba Jennings meloncat ke depannya. Maksudnya hendak menendang bola
itu menjauhi gawang. Tapi gerakannya kurang cepat. Tendangannya agak meleset, bola hanya menyentuh
sisi sepatunya sehingga arahnya berubah, melengkung ke arah sudut gawang dan-
masuk! Peluit berbunyi: satu-satu.
Para penonton mengerang. Dengan cepat Kepala Sekolah mendiamkan mereka dengan
tatapan matanya yang mengecam. Anak-anak memahami apa yang diharapkan dari
mereka: terdengar bunyi tepuk tangan pelan, diiringi suara mencicit penjaga
garis dari Bracebridge yang bersorak-sorak gembira.
"Kenapa kita harus bertepuk tangan jika kita sebenarnya kecewa, Pak?" tanya
Atkinson pada Pak Wilkins.
"Kita harus memberi penghargaan pada permainan lawan yang bagus," jawab Pak
Wilkins. "Tapi tadi itu mereka kan tidak bermain dengan bagus. Pemain mereka sebenarnya
bahkan tidak bermaksud memasukkan bola ke gawang kita, ya kan, Pak" Kan Jennings
yang menyebabkan bola masuk!"
"Ya, itu memang benar."
"Kalau begitu kenapa kita harus bertepuk tangan?"
"Karena... Ah, sudahlah, ikuti saja permainan," kata Pak Wilkins.
Belum pernah Jennings merasa sesedih saat itu. Tendangannya yang meleset
sehingga menyebabkan bola masuk ke gawang sendiri itu memang merupakan kesialan.
Tapi kesialan konyol yang takkan terjadi jika ia tadi tetap berada pada
posisinya. Coba ia tadi tidak ikut-ikutan menjaga di belakang!
Para penonton yang mendukung Linbury tidak ada yang mengatakan apa-apa. Mereka
diam saja. Tapi diamnya mereka itu malah menyebabkan Jennings semakin malu.
Dengan perasaan kikuk ia kembali ke posisinya, sementara permainan dilanjutkan.
Kini kedua tim bermain dengan gigih.
Waktu tinggal beberapa menit lagi. Hasil seri sampai saat itu mendorong masing-
masing tim untuk bermain seakan-akan mempertaruhkan nyawa.
Darbishire berdiri di luar garis pinggir dengan buku catatan di tangan. Ia sibuk
berpikir, apa yang harus ditulis selanjutnya. Sebagai reporter olahraga hasil
pengangkatan sendiri, ia sebenarnya ingin menulis yang bagus-bagus saja tentang
Jennings, sahabatnya. Tapi Darbishire merasa tidak enak menuliskan kata-kata
sanjungan kepada pemain yang jelas-jelas menyebabkan terjadinya bencana tadi.
Biarpun pemain itu sahabat karibnya!
Darbishire menghampiri Atkinson untuk meminta saran. Ditunjukkannya tulisan yang
sudah dibuatnya. Atkinson membacanya:
"Pada hari Sabtu terakhir dari semester ini penonton berjubel di pinggir
lapangan untuk menyaksikan berlangsungnya pergulatan sengit ketika tim kita
bertanding melawan Sekolah Bracebridge dalam suatu cabang olahraga semarak yang
sudah panjang tradisinya, atau dengan namanya yang populer, yaitu sepak bola.
Tim lawan memenangkan undian untuk memilih tempat. Mereka memilih membelakangi
arah angin, walau saat pertandingan berlangsung angin hanya bertiup pelan
sehingga tidak bisa dikatakan ada angin."
"Sampai di situ semuanya beres," kata Darbishire, reporter dadakan itu sambil
mendengarkan Atkinson membaca, "tapi pada alinea selanjutnya aku menyebut
Jennings sebagai pemain poros yang bernas. Ini, di sini, sesudah tulisanku yang
mengatakan bahwa bola seakan-akan lengket ke kakinya yang bergerak secepat
kilat." "Poros bernas-apa itu?"' tanya Atkinson.
"Aku sendiri juga tidak tahu pasti," jawab Darbishire, "tapi aku mendapatnya
dari surat kabar, jadi itu pasti cara yang bergaya untuk mengatakan bahwa dia
pemain bermutu. Tapi sekarang, dia malah mencetak gol ke gawang kita sendiri."
"Kalau begitu kenapa tidak kaucoret saja kata-kata bahwa bola seakan-akan
lengket di kakinya, lalu kautulis bahwa Jennings pantas disebut poros dan
sebagainya jika ia tidak melakukan kekonyolan yang tadi itu. Nah, Benedick sudah
melihat ke arlojinya. Pertandingan mestinya sebentar lagi selesai. "
"Ya, kurasa sebaiknya aku... He, apa yang terjadi?" Darbishire mengangkat
kepalanya mendengar suara para penonton bersorak-sorak.
Ternyata dalam menit terakhir permainan, Jennings berhasil menemukan gaya
permainannya yang sejati.
Ia memotong operan lawan, lalu lari membawa bola ke arah gawang lawan. Larinya
begitu cepat, sehingga kata-kata yang ditulis oleh Darbishire tentang kaki
temannya yang bergerak secepat kilat itu, memang bisa dibilang tidak berlebih-
lebihan. Ia berlari berkelok-kelok menerobos barisan depan kesebelasan lawan. Dengan
gerak tipu yang manis dilewatinya pemain-pemain gelandang lawan yang hendak
menghadang. Para pemain depan Linbury ikut lari maju mengiringinya. Tapi posisi
mereka tadi agak ke belakang, dan kini Jennings sudah sekitar lima belas meter
di depan rekan-rekannya. Dengan congkelan lincah dilewatkannya bola ke belakang
pemain back lawan. Kini hanya penjaga gawang Bracebridge saja yang masih ada di
depannya. Kiper itu nampak ragu sesaat, mulai bergerak maju untuk menyergap,
tapi dengan segera berubah pikiran dan mundur untuk berdiri menjaga di antara
kedua tiang gawang. Jennings terus maju membawa bola, dengan langkah-langkah mantap. Pada saat-saat
penutup, akhirnya datang juga kesempatan baginya. Jika dia kini menendang bola
dengan kencang dan terarah dengan baik, akan pupuslah kesalahannya yang membawa
bencana bagi timnya tadi.
Penonton di pinggir lapangan ribut bersorak-sorak. Tapi Jennings tidak
mendengarnya. Perhatiannya terpusat pada bola yang ada di kakinya, dan penjaga
gawang yang nampak gugup di hadapannya. Jennings menggerakkan kakinya ke
belakang, siap untuk melakukan tendangan menggeledek. Ia tidak mungkin gagal.
Tapi keyakinannya itu ternyata meleset!
Tinggi gawang sedikit di atas dua meter sedangkan lebarnya hampir enam setengah
meter. Dan penjaga gawang, tingginya satu meter empat puluh dan lebarnya sekitar
tiga puluh senti. Sayang, dengan perbandingan ukuran seperti itu - dengan gawang
yang menganga selebar mulut gua di depannya - tendangan Jennings ternyata menuju
ke sosok tubuh kecil yang bergerak-gerak dengan gugup di tengah-tengah gawang.
Jennings tidak mendengar suara ramai penonton yang mengerang karena kecewa. Ia
berdiri seperti terpaku di tempatnya. Ia merasa bahwa yang telah terjadi itu
tidak mungkin. Bola yang ditendangnya melesat ke arah penjaga gawang. Pemain
lawan itu tidak berhasil menangkap bola itu, karena ia terlalu gugup. Tapi
kehadirannya pada posisi yang tepat sudah mencukupi. Bola membentur lutut
kanannya, lalu melambung ke atas dan melampaui mistar gawang. Peluit berbunyi.
Sepak pojok, untuk Linbury.
Jennings masih terus bingung. Aduh, kenapa ia sampai bisa menyia-nyiakan peluang
yang begitu baik" Ia jengkel sekali pada dirinya sendiri. Kini pasti tidak ada
waktu lagi untuk memperbaiki kesalahan. Pak Carter sudah sebentar-sebentar
melihat ke arlojinya. Peluit tanda pertandingan berakhir pasti akan dibunyikan.
begitu sepak pojok sudah dilakukan. Tidak ada lagi yang bisa dilakukan sekarang.
Jennings merasa bahwa ia sudah diberi kesempatan sebesar-besarnya untuk
memantapkan tempatnya dalam tim - tapi ia gagal!
Para penonton membisu dengan perasaan kecut, sementara Nuttall, pemain sayap
kanan Linbury, mengambil ancang-ancang untuk melakukan sepak pojok.
Darbishire meletakkan buku catatannya ke samping. Ia memandang ke arah sudut
lapangan, di mana tendangan terakhir dalam pertandingan itu akan dilakukan.
Ia merasa sedih sewaktu melihat air muka Jennings yang berada di depan gawang
lawan. Tiba-tiba Darbishire berteriak memecah kesunyian,
"Jangan putus asa, Jennings!"
Saat itu Nuttall sudah berlari untuk menendang bola. Jennings mendengar suara
Darbishire meneriakkan namanya. Ia menoleh sesaat, ke arah para penonton yang
berdiri di pinggir lapangan. Karenanya ia tidak sempat melihat bola yang
ditendang melambung dan kini menuju ke arahnya. Hanya sekilas saja, dan itu pun
di sudut mata, ia melihat ada sesuatu hampir membentur dirinya. Tanpa sempat
berpikir lagi ia langsung meloncat. Maksudnya hendak mengelak. Tapi karena ia
memang pemain bola, gerak loncatan itu bukan menjauhi bola, melainkan
menyongsong. Bola tepat mengenai kening, dan Jennings jatuh terjerembab.
Ia terkapar sesaat di tanah dengan mata terpejam. Kepalanya pusing. Karena itu
ia tidak melihat penjaga gawang Bracebridge memungut bola yang tergeletak dekat
jala di belakang gawang. Ia juga tidak mendengar Pak Carter meniup peluit
sebagai tanda bahwa terjadi gol, dan segera sesudah itu sekali lagi meniup
peluit panjang tanda pertandingan berakhir. Jennings tidak menyadari para
penonton yang ribut bersorak-sorak sambil menandak-nandak dengan gembira di
pinggir lapangan. Jennings baru sadar ketika para pemain Linbury yang selebihnya beramai-ramai
menjunjungnya sehingga berdiri, lalu menepuk-nepuk punggungnya.
"Hebat, Jennings," kata Nuttall sambil menggebuk punggung anak itu. "Gol yang
cantik!" Jennings mengejap-ngejapkan mata dengan heran, melihat wajah-wajah yang meringis
gembira di sekelilingnya. Kenapa teman-teman begitu senang kelihatannya"
"Baru sekali ini aku melihat sundulan kepala sebagus itu," kata Brown, seorang
rekan pemain yang lain. "Caramu tadi meloncat untuk menyongsong lalu, syuut!-
tepat ke pojok atas gawang! Benar-benar maut!"
"Mana keras lagi!" kata Johnson menimpali.
"Kau pasti menyundulnya dengan sekuat tenaga, sampai kau terjatuh setelah bola
membentur kepalamu!"
Jennings memerlukan waktu beberapa detik untuk bisa memahami arti kata-kata
mereka. Jadi mereka ternyata akhirnya berhasil menang juga, dan itu berkat gol
yang kata mereka merupakan hasil sundulannya pada detik terakhir permainan!
Yah, memang menyenangkan rasanya dinyatakan sebagai pahlawan penyelamat. Tapi
bagaimana jika mereka tahu bahwa gol gemilang tadi sebenarnya merupakan
kebetulan saja" Karena gerakannya yang hendak menghindari benturan tapi salah
arah" "Yah," kata Jennings dengan nada ragu, "terima kasih atas pujian kalian,
tapi..." Keinginannya menikmati kekaguman teman-teman terasa menggebu-gebu dalam
hatinya. Tapi Jennings merasa bahwa ia harus jujur. "Tadi itu cuma kebetulan
saja." Ucapannya itu ditanggapi protes teman-temannya.
"Ah, jangan suka merendah," kata mereka dengan nada bersahabat. "Kami tidak bisa
kaubohongi!" 'Tadi itu gol yang paling indah," kata Temple dengan kagum.
"Ah, omong kosong!" tukas Jennings.
"Yah, gol yang sangat indah, deh!"
"Jangan begitu," kata Jennings merendah.
"Pokoknya, itu tadi gol," kata Temple.
"Ya deh," kata Jennings. Jika teman-teman tetap tidak mau percaya bahwa gol itu
terjadi hanya karena kebetulan saja, apa boleh buat!
13. USUL PAK CARTER DARBISHIRE duduk di bangkunya, di dalam kelas. Ia sedang sibuk dengan pensil,
menghitami kotak-kotak pada penanggalan buatannya sendiri. Sambil bekerja, ia
bernyanyi-nyanyi: "Minggu depan, saat ini - di manakah aku nanti" - Pasti jauh dari Linbury."
Ia menjilat ujung pensilnya yang sudah tumpul, lalu kembali menekuni tugasnya.
Nampaknya jauh lebih tekun daripada apabila sedang belajar di kelas.
"Apa yang sedang kaulakukan itu, Darbi?" tanya Jennings. Ia berkeliaran dalam
kelas, seperti tidak tahu apa yang harus dilakukan. Maklumlah, itu hari terakhir
mereka berada di sekolah. Besok sudah liburan semester!
Darbishire berhenti menyanyi.
"Ini, penanggalan raksasaku tentang masih berapa hari lagi sampai akhir
semester," jawabnya.
Jennings datang menghampiri untuk melihat.
Jennings Si Iseng Karya Anthony Buckeridge di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Hm, rumit juga kelihatannya," katanya mengomentari. Dipandangnya kertas yang
penuh dengan kotak-kotak dan angka-angka itu tanpa memahami maknanya.
"Memang, tapi lebih bagus daripada penanggalan yang biasa," kata Darbishire
dengan bangga. "Pada penanggalan biasa yang dibuat teman-teman, mereka hanya
menulis tinggal beberapa hari lagi sebelum akhir semester. Tapi pada
penanggalanku ini ada waktu makan, jam, jumlah pelajaran, dan macam-macam lagi.
Lihatlah! Aku memulainya dari minggu lalu, dan sekarang sebegini banyak lagi
yang masih harus dilewati."
Jennings mengamat-amati penanggalan raksasa buatan Darbishire itu.
Penanggalan Raksasa Berapa Lama Lagi Sampai Akhir Semester
Ciptaan C.E.J. Darbishire Jumlah Hari 76543210 Jumlah Jam Lihat halaman 2
Jumlah Pelajaran Matematika 543210
Beberapa kali lagi mengganti kaus kaki 210
"Kenapa jumlah jam ditaruh di halaman dua?" tanya Jennings.
"Mana ada tempat untuk menulis deretan waktu jam yang begitu banyak pada halaman
ini?" kata Darbishire sambil membalikkan penanggalannya ke halaman dua. Di situ
nampak bahwa jumlah jam yang masih tersisa mengisi tujuh bel as baris. Dimulai
dengan angka seratus enam puluh delapan. Yang nampak tersisa tinggal dua puluh
satu. Jadi masih dua puluh satu jam lagi, dan setelah itu sekolah libur!
"Repot juga mencoreti angka-angka jam ini," kata Darbishire menjelaskan. "Jika
harus mencoret satu jam yang sudah lewat, biasanya aku sedang melakukan
kesibukan lain. Tapi kalau pagi hari asyik rasanya, bisa dengan sekaligus
mencoret sepuluh angka."
Jennings merasa kagum. Penanggalan buatannya berupa gambar dinding dengan
sepuluh botol berwarna hijau yang tergantung di situ. Setiap hari dihapusnya
sebuah botol, lalu dibuatnya gambar pecahan kaca yang menumpuk makin lama makin
tinggi di kaki tembok Penanggalan yang dibuat Darbishire ternyata lebih lengkap.
Jennings berniat mengalahkannya. Semester depan ia mungkin akan membuat
penanggalan dengan menit-menit yang masih tersisa. Ia mengambil pensil lalu
mulai menghitung-hitung. Dan ia langsung membatalkan niatnya ketika berdasarkan
hasil hitungannya dalam satu minggu ada sekian puluh ribu menit. Wah, mana
mungkin ia bisa terus mencoreti setiap menit yang lewat. Bisa mati kaku
nantinya! Seisi sekolah tercengkam ketegangan yang selalu timbul pada hari-hari terakhir
menjelang liburan semester. Tempat penyimpanan makanan kecil sudah dikemas
beberapa hari sebelumnya. Bangku-bangku dibereskan dan dibereskan lagi saban
hari. Anak-anak melakukannya karena ingin menikmati perasaan bahwa sebentar lagi
mereka akan pulang ke rumah masing-masing. Barang-barang yang sama sekali tidak
ada gunanya ditemukan tersimpan di dalam lemari-lemari, lalu saling
dipertukarkan. Darbishire menyelesaikan pekerjaannya menghitami kotak-kotak waktu yang sudah
lewat pada penanggalan raksasanya.
"Apa lagi yang bisa kita lakukan sekarang?" katanya.
"Yuk, kita mengemasi isi tempat makanan kita," kata Jennings mengajak.
"Aku baru saja melakukannya," kata Darbishire.
"Biar!" jawab Jennings. "Ini kan kesempatan terakhir. Siang ini barang-barang
kita akan diangkut ke stasiun. Aku rasanya tidak bisa percaya, besok kita akan
pulang!" Jadwal pelajaran, pemberitahuan, peraturan-peraturan, segala kertas tentang hal-
hal itu sudah dilepas dari tempat pemasangannya. Rak-rak di perpustakaan sudah
penuh lagi dengan buku-buku, sementara rak-rak tempat sepatu nampak kosong
melompong. Guru-guru sibuk mondar-mandir di gang dengan mengepit map-map berisi
laporan dan daftar rencana perjalanan. Air muka mereka nampak gembira atau
gelisah, tergantung pada berapa banyak pekerjaan yang masih harus diselesaikan.
Robinson, tukang yang mengerjakan bermacam-macam tugas di sekolah itu, sedang
sibuk menurunkan koper-koper dari ruang-ruang tidur asrama. Ia menurunkannya
dengan tali lewat jendela, dibantu oleh tukang kebun. Kesibukan mereka berdua
ditonton oleh anak-anak. Dalam hati masing-masing anak ada keinginan melihat
tali yang dipakai itu tiba-tiba putus, sehingga koper yang sedang diturunkan
jatuh ke tanah dan berantakan isinya. Tapi tentu saja jangan koper mereka
sendiri yang jatuh itu! Setiap kali ada koper muncul di ambang jendela, anak-
anak yang menonton di bawah bersorak.
Akhirnya Jennings dan Darbishire yang ikut menonton, melihat koper-koper mereka
diturunkan dengan pelan-pelan. Ketika koper-koper itu sudah sampai di bawah
dengan selamat, mereka lantas pergi ke ruang penyimpanan tempat makanan kecil.
Mereka menemukan sebuah buku catatan di dasar kotak milik Darbishire. Sampulnya
kotor kena selai. Darbishire membalik-balik halaman buku itu.
"Fiixton Slick-Superdetektif," katanya sambil membaca dengan penuh minat. "Kita
hanya sempat menulis Bab Satu saja!"
"Tapi tidak ada jeleknya jika kita tunjukkan pada Pak Carter," kata Jennings.
"Kita katakan padanya, ini bagian pertama dari suatu serial. Bagian kedua kita
susulkan pada semester berikut. Mungkin."
"Baiklah," kata Darbishire. "Nanti kita tunjukkan sebelum kita pergi tidur.
Soalnya, siang ini kan ada pertandingan tenis meja, dan sesudah itu pertunjukan
film." *** Pak Carter selalu sibuk pada malam terakhir sebelum sekolah libur. Setelah minum
teh ia buru-buru kembali ke kamarnya dan langsung bekerja kembali. Karcis kereta
api. untuk anak-anak dan jadwal perjalanan sudah ditumpuk rapi, tinggal dibagi-
bagikan saat sarapan besok paginya. Kotak uang yang kosong menunjukkan bahwa
anak-anak sudah dengan baik sekali memanfaatkan uang mereka yang ditabungkan
padanya. . . Pak Carter mengambil sebuah map yang berisi setumpuk kertas laporan. Ia
bermaksud hendak menyelesaikan tugas itu, dan kemudian baru memulai pekerjaan
yang lebih merepotkan, yaitu menyunting naskah-naskah dari anak-anak untuk
dimuat dalam majalah sekolah.
Selama empat puluh menit ia menekuni laporan-laporan itu. Ia menarik napas lega
ketika melihat bahwa tinggal satu laporan saja yang masih harus dikerjakan.
Ketika membaca nama J.C.T. Jennings yang tertulis di situ, dalam hati ia
bersyukur. Untung itu yang paling akhir! Soalnya, ia tidak tahu bagaimana
laporan itu harus dirumuskan:
Di satu pihak, Jennings itu tekun, giat, jujur, sopan, dan periang. Ia selalu
bersemangat dalam menghadapi segala hal yang terjadi di sekelilingnya. Tapi,
ketika Pak Carter mengenang kembali berbagai peristiwa yang pernah terjadi
selama semester yang lalu, mau tidak mau ia harus mengatakan bahwa segala
kebajikan tadi terdapat pada seorang anak yang berulang kali menimbulkan
kegemparan di sekolah itu.
Pada kertas laporan tentang Jennings terlampir catatan dari Kepala Sekolah, di
mana tertulis bahwa Pak Jennings nampaknya masih sangsi apakah anaknya sudah
bisa menyesuaikan diri seperti seharusnya di sekolah itu. Kepala Sekolah
menambahkan dengan permintaan Pak Carter, agar dia menuliskan komentar yang
menanggapi kesangsian itu dalam laporannya.
Ia sedang berpikir-pikir tentang apa yang akan dituliskan, ketika didengarnya
suara berbisik-bisik di gang, di balik pintu kamarnya.
"Kau saja yang mengetuk, Darbi," bisik suara yang pertama.
"Tidak, kau saja," balas suara yang satu lagi sambil berbisik pula. "Ceritanya
sejauh ini kan aku yang menulis, dan aku tidak mau dikira terlalu kepingin
cerita ini dimuat." "Masuk sajalah," seru Pak Carter cepat-cepat, sebelum terdengar pintu digedor
keras-keras. Ia tahu itu pasti menyusul setelah suara berbisik-bisik itu. "Aku
sedang sibuk sekali." sambungnya.
"Kalau begitu cabut saja lagi, Pak?"
"Kalian mau apa?" kata Pak Carter, ketika mendengar istilah prokem itu.
"Eh, maaf, maksud saya, apakah lebih baik kami pergi saja lagi?" kata Jennings
membetulkan kalimatnya. .
"Tunggu sebentar di luar. Aku sedang menulis laporan."
"Anda sudah menulis tentang saya, Pak?" tanya Jennings. "Mudah-mudahan isinya
bagus. Apa yang Anda tuliskan tentang permainan bola saya?"
"Ya, Pak," kata Darbishire ikut berbicara. "Anda harus menuliskan komentar yang
bagus setelah kita menang Sabtu lalu berkat gol hasil sundulannya!"
"Menurut pendapatku, sebaiknya aku tidak menuliskan apa-apa tentang gol itu,"
kata Pak Carter. "Jadi Anda tahu bahwa itu terjadi karena kebetulan, Pak?"
"Ya, aku tahu," jawab Pak Carter. "Aku saat itu berdiri lebih dekat daripada
anak-anak yang menonton. Dan menurut pengalamanku, gol terbaik tidak pernah
tercetak sebagai hasil sundulan yang dilakukan dengan mata dipejamkan rapat-
rapat." Jennings semakin kikuk saja kelihatannya. . "Tapi saya sudah bilang pada mereka
bahwa itu cuma kebetulan saja, Pak! Tapi mereka tidak mau percaya - dan ini,
Pak, ini ada sesuatu untuk majalah kita, yang ingin kami tunjukkan kepada Anda,"
sambungnya, cepat-cepat mengalihkan pembicaraan.
"Tolong tunggu sebentar di luar sementara aku menyelesaikan laporan ini. Nanti
kita bicara." "Baik, Pak." Kedua anak itu keluar lagi sambil menutup pintu kamar.
Pak Carter merasa sulit memusatkan pikiran, karena ada Jennings dan Darbishire
di luar. Pintu kamarnya terbuat dari kayu yang tidak begitu tebal. Jadi suara
orang yang bercakap-cakap di luar bisa didengarnya, meski percakapan itu
dilakukan dengan berbisik-bisik. Ia berusaha menyimpulkan sifat-sifat Jennings
dengan beberapa kalimat ringkas dan terpilih, sesuai dengan permintaan Kepala
Sekolah. Tapi berulang kali ia memergoki dirinya semakin tertarik pada
percakapan di luar, di balik pintu kamarnya.
"Pasti akan asyik kita nanti," kata Jennings berbisik. "Jika kita diberi yang
dimasak, kita akan bisa berbuat seakan-akan gerbong kita merupakan kereta
restorasi! Dan kita akan merasa lapar sekali, karena kita belum sarapan jika
makanan itu kita kantongi untuk dimakan di kereta api."
"Tapi bagaimana jika dimasaknya tidak sampai keras?" bisik Darbishire menyatakan
keberatannya. "Enak saja mengatakan kita kantongi untuk kemudian berpesta di
kereta! Tapi kalau pecah dan mengotori kantong, kita pasti sudah setengah mati
kelaparan setiba di rumah."
"Jangan suka konyol, ah!" bisik Jennings menukas. "Kita kan saban Jumat selama
semester ini selalu mendapat telur waktu sarapan pagi! Dan kau pernah mengalami,
telur itu tidak dimasak sampai matang" Sampai keras sekali?"
"Tidak, tidak pernah," kata Darbishire.
"Nah! Itu dia buktinya," kata Jennings lagi. "Kau tahu kan, bagaimana mereka
bekerja di dapur. Sama saja halnya dengan kentang: mereka tidak pernah mau
repot-repot merebusnya sampai lama, sampai kentang itu benar-benar lunak."
Pak Carter kembali memusatkan perhatiannya pada pekerjaannya, menulis laporan
tentang Jennings. "Dia dengan sepenuh hati menerjunkan diri dalam segala
kegiatan luar sekolah, dan sangat berminat terhadap segala segi kehidupan di
sini," demikian tulis Pak Carter.
"Ssst, jangan keras-keras, nanti didengarnya," kata Jennings berbisik lagi. Pak
Carter bisa membayangkan bahwa anak itu mengatakannya sambil menuding ke arah
pintu. "Kita besok berdelapan, dan jika kita semua mengantongi telur rebus kita untuk
dimakan di kereta, kulitnya kemudian kita lemparkan ke arah jendela-jendela
kereta di belakang kita. Kalau ada teman yang menjenguk ke luar, pasti dia
kena!" Kata-kata itu disusul bunyi gedebak-gedebuk di luar. Kedua anak itu menandak-
nandak, asyik membayangkan apa yang akan mereka lakukan besok.
Pak Carter melanjutkan penulisannya: "Imajinasinya kuat dan selain itu ia juga
jelas memiliki kualitas kepemimpinan. Namun itu perlu dikendalikan dengan baik,
agar tersalur ke arah yang benar." Sambil menulis, Pak Carter mencatat dalam
hati bahwa besok pada saat sarapan pagi, ia harus menegaskan bahwa telur yang.
dihidangkan harus dimakan pada saat itu juga.
"Oke, jadi itu akan kita lakukan besok," terdengar suara Darbishire setelah
bunyi tandakan yang gedebak-gedebuk berakhir. "Pasti asyik sekali, nanti! Dan
masih ada lagi yang menurutku bisa kita lakukan..."
Pak Carter menyerah. Ia merasa tidak mampu meneruskan pekerjaannya. Dipanggilnya
kedua anak itu masuk. "Nah, ada urusan apa?" katanya.
Dengan malu-malu Darbishire menyodorkan hasil karya gemilangnya.
"Ini baru bagian pertama saja dari karangan yang cepat-cepat kami kerjakan untuk
dimuat di majalah kita, Pak," katanya.
Pak Carter membalik-balik halaman buku catatan yang disodorkan itu. Dibacanya
karangan yang berjudul "Flixton Slick -Superdetektif" itu, lalu mendesah. Ia
agak kecewa. Masa itu hasil dari jerih payahnya mengajar mereka mengarang selama
satu semester" Apa sebabnya mereka tidak bisa menuliskan sesuatu yang tidak
melibatkan situasi-situasi yang nyaris membawa malapetaka" Kenapa pada hampir
setiap halaman harus ada orang yang mati"
Pak Carter mendesah lagi.
"Sayang," katanya, "tapi karangan seperti ini tidak mungkin bisa kumuat dalam
majalah kita." Ia merasakan kecaman kedua anak itu, meski mereka tidak berbicara. Darbishire
menatapnya tanpa berkedip dari balik lensa kacamatanya, sementara Jennings
berdiri dengan bertumpu pada kaki kanan saja. Ia menggosok-gosokkan punggung
kaki kirinya ke betis kaki yang satunya lagi. Sikap mereka jelas sekali
menunjukkan bahwa mereka kini menyangsikan kemampuannya sebagai penemu bakat
sastra yang baik. Semuanya membisu selama beberapa saat. Akhirnya Pak Carter berbicara lagi.
"Kalian pernah berjumpa dengan detektif" Atau penjahat?"
"Tidak, Pak," jawab Jennings. Ia terdengar agak heran karenanya.
"Kalau begitu mana mungkin karangan kalian mengenai dunia mereka itu bisa
meyakinkan bagi orang yang membacanya. Jika kalian ingin menulis cerita untuk
majalah kita, pilihlah sesuatu yang benar-benar kalian kenal."
Jennings dan Darbishire berpandang-pandangan. Sikap mereka jelas menampakkan apa
yang ada dalam pikiran mereka tentang usul Pak Carter.
"Kalau begitu kami bisa menulis tentang apa, Pak?" tanya Jennings.
Pak Carter berpikir sebentar.
"Yah, coba kalian ingat-ingat, apa saja yang pernah terjadi sejak kalian ada di
sini. Coba kalian tulis kisah tentang pengalaman kalian selama semester pertama
bersekolah. di sini."
"Ah, .itu kan tidak lucu, Pak," bantah Jennings. "Apa sih, yang pernah terjadi
di sini" Tidak ada pembunuhan, tidak ada penjahat! Tidak pernah terjadi sesuatu
yang ramai. Segala-galanya begitu biasa-biasa saja di sini. Anak-anak juga
begitu, biasa-biasa saja. Kami takkan mungkin bisa menulis cerita yang
mengasyikkan, kalau harus bercerita tentang kehidupan di sekolah."
"Siapa bilang" Belum tentu," kata Pak Carter. "Coba kalian pikirkan saja dulu.
Judulnya bisa-eh-misalnya saja ya, 'Jennings-si Iseng'."
Jennings tersinggung. Pak Carter ini ada-ada saja, katanya dalam hati. Siapa
bilang dia suka iseng" Itu tidak benar! Dasar orang dewasa: seenaknya saja
mengajukan usul yang aneh-aneh. Coba kalau mereka sendiri yang disuruh membuat!
"Maaf, Pak," katanya kemudian dengan sopan sekali, "saya bukannya hendak
membantah-tapi jika menurut Anda itu ide yang bagus, kenapa tidak Anda sendiri
yang menuliskan karangan itu?"
"Boleh juga idemu itu," kata Carter tanpa disangka-sangka. "Ya, kenapa tidak?"
Jennings dan Darbishire pergi dengan perasaan kecewa. Setelah berada di gang
lagi, ketika mereka menyangka bahwa suara mereka takkan mungkin bisa didengar
oleh guru aneh itu, mereka lantas menyatakan pendapat mengenai kemampuannya
sebagai kritikus sastra. "Menurutku, dia itu sinting," kata Darbishire.
"Lebih payah lagi," kata Jennings. "Dia itu sama sekali tidak berotak! Aku
berani bertaruh sejuta, orang yang masih sehat akalnya takkan mungkin mau
menulis cerita tentang anak-anak seperti kita'"
Di balik pintu, Pak Carter tersenyum.
"Siapa bilang?" katanya bergumam. "Aku tidak yakin."
Selesai Pendekar Satu Jurus 5 Pendekar Kelana Sakti 4 Pemikat Nyi Sekar Dayang Kunti Jejak Di Balik Kabut 15