Pencarian

Jejak Di Balik Kabut 15

Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja Bagian 15


Namun yang kemudian bertanya adalah Paksi, "Tetapi
kenapa tiba-tiba Ki Marta sudah berada di tempat ini?"
"Aku sudah lama berada disini. Aku mendengarkan segala
pembicaraan kalian dengan Ki Sampar Angin."
"Apakah yang menuntun Ki Marta Brewok sampai ke
tempat ini?" Ki Marta Brewok menarik nafas panjang. Namun kemudian
iapun berkata, "Antara lain adalah Ki Sampar Angin itu. Ketika aku melihatnya, maka tiba-tiba saja timbul keinginanku untuk
mengikutinya. Aku tahu, bahwa kehadiran orang itu sangat
berbahaya bagi orang lain. Apalagi di daerah ini. Daerah
perburuan cincin bermata tiga itu. Karena itu, aku langsung
menduga bahwa Ki Sampar Angin juga sedang berburu cincin
itu." "Ki Marta Brewok mengikutinya?"
Ki Marta Brewok nampak ragu. Tetapi kemudian iapun
mengangguk, "Ya. Akupun mengikutinya."
Wijang mengangguk-angguk. Namun terasa bahwa ada
sesuatu yang disembunyikan. Paksipun merasakan hal itu
pula. Karena itu, iapun kemudian bertanya, "Apakah ada hal lain yang membawa Ki Marta Brewok sampai ke tempat ini?"
Ki Marta Brewok terdiam sesaat. Namun kemudian iapun
menjawab agak tersendat, "Tidak. Tidak ada hal lain yang
membawaku kemari. Mungkin juga ada unsur kebetulan saja."
Paksilah yang kemudian bertanya, "Apakah Ki Marta
Brewok melihat apa yang terjadi di belakang rumpun bambu
siang tadi?" Ki Marta Brewok tersenyum. Katanya, "Ketika kau bunuh
orang yang telah membunuh Derpa?"
Paksi menarik nafas panjang. Agaknya Ki Marta Brewok
menyaksikan pula apa yang telah terjadi itu. Bahkan Ki Marta
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Brewok pun mengetahui bahwa salah seorang yang terbunuh
itu bernama Derpa. "Ia tentu mendengar pembicaraan kami," berkata Paksi di dalam hatinya.
Namun Wijanglah yang kemudian bertanya, "Ki Marta,
apakah Ki Sampar Angin juga berada di belakang rumpun
bambu itu ketika terjadi pertempuran?"
"Ya," Ki Marta Brewok mengangguk.
Tetapi kedua anak muda itu tidak bertanya lebih banyak
lagi. Ketika terasa angin semilir, maka tubuh merekapun
menjadi semakin segar. Tetapi mereka masih mempunyai pekerjaan yang harus
mereka selesaikan sebelum fajar. Mengubur ketiga orang yang
telah terbunuh. Ketika matahari kemudian terbit, maka ketiga orang itupun
sudah berbenah diri. Mereka sudah siap meninggalkan tempat
itu untuk melanjutkan perjalanan ke selatan.
Meskipun udara pagi segar telah menyegarkan ketiga orang
yang sedang menyusuri jalan panjang itu, namun mereka
masih nampak letih. Pertempuran yang terjadi semalam,
benar-benar telah menguras tenaga mereka. Bahkan kadang-
kadang masih terasa sentuhan-sentuhan rasa sakit di dada
mereka. Benturan ilmu yang keras serta pengerahan segenap
kemampuan, benar-benar telah membuat mereka letih.
Di sepanjang perjalanan, Paksi masih saja berbicara
tentang Derpa dan kawannya serta orang yang telah
membunuhnya. Paksi masih saja bertanya-tanya, apakah
benar ayahnya menghendaki agar Paksi tidak pulang, kecuali
membawa cincin yang harus dicarinya.
"Tentu tidak, Paksi," berkata Ki Marta Brewok, "bahkan mungkin benar dugaan Ki Sampar Angin, bahwa orang itu
adalah alat permainan Harya Wisaka. Meskipun kau belum
mengenalnya, tetapi orang itu tentu agaknya sudah
mengenalmu. Tetapi mungkin juga justru Derpalah yang
memberitahukan kepadanya, bahwa kaulah Paksi yang
dicarinya." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tetapi aku sama sekali tidak bersangkut paut dengan
Harya Wisaka, Ki Marta."
"Tetapi Harya Wisaka atau orang-orangnya mengetahui
bahwa kau juga sedang mencari cincin itu."
"Ki Marta," berkata Wijang kemudian, "menurut Ki Sampar Angin, ia adalah saudara tua seperguruan Ki Wira Bangga."
"Ya. Aku juga mendengarnya. Tetapi pada saat seperti ini
serta keadaan yang rumit, kita tidak dapat memegang setiap
pengakuan seseorang. Bukankah kalian juga pernah mengaku
sebagai pengikut Harya Wisaka atau mengaku sebagai orang
Goa Lampin atau pengikut siapapun yang kau sebut saja
namanya tanpa ada orangnya."
Wijang dan Paksi terkejut. Dengan serta-merta Wijang
bertanya, "Apakah Ki Marta Brewok melihat bagaimana kami
mengaku sebagai pengikut Harya Wisaka atau mengaku orang
dari Goa Lampin atau pengakuan-pengakuan yang lain?"
"Mungkin. Maksudku mungkin kalian juga pernah mengaku-
aku sehingga orang lainpun dapat juga mengaku dan
menyebut pemimpin dari perguruan-perguruan yang
memang sedang berburu itu."
Tetapi Wijang dan Paksi memandang Ki Marta Brewok
dengan sorot mata yang aneh. Bahkan Paksipun berhenti
melangkah, sehingga Wijang dan Marta Brewokpun berhenti
pula. "Kenapa?" bertanya Ki Marta Brewok.
Paksi menarik nafas. Namun kemudian sambil menggeleng
iapun melangkah pula. Sementara itu matahari menjadi semakin tinggi. Sinarnya
terasa mulai menggatalkan kulit. Namun masih terdengar di
pepohonan burung-burung liar berkicau dengan riangnya.
Burung-burung itu kemudian berterbangan dari satu pohon ke
pohon yang lain. Jika sekelompok burung terbang menjauh,
maka kelompok yang lainpun berdatangan. Lagu yang mereka
perdengarkanpun menjadi berbeda dengan kelompok
sebelumnya. Tetapi nadanya tetap gembira mensukuri
kebebasan mereka. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kalian sekarang akan pergi ke mana?" bertanya Ki Marta Brewok.
"Bukankah kami tidak pernah mempunyai tujuan yang
pasti," sahut Wijang.
"Ya, aku tahu. Tetapi kali ini kalian berjalan kemana?"
"Kami ingin pergi ke Alas Mentaok. Sekedar melihat-lihat, apakah isi hutan itu."
Ki Marta Brewok mengangguk-angguk. Namun kemudian
sambil menunjuk hutan yang tidak terlalu jauh dari jalan itu, Ki Marta Brewok itupun berkata, "Alas Mentaok adalah hutan
yang lebat dan luas. Jauh lebih besar dan lebih gawat dari
hutan yang nampak itu. Meskipun hutan itu termasuk hutan
yang lebat, tetapi Alas Mentaok adalah hutan yang paling
gawat." "Jadi tanah itukah yang diberikan ayahanda kepada Paman
Pemanahan." "Ya." "Kenapa jauh berbeda dengan Pati yang sudah menjadi
semakin ramai." Ki Marta Brewok menggelengkan kepalanya. Katanya,
"Entahlah. Seharusnya aku bertanya kepada
Pangeran. Barangkali Pangeran pernah mendengar
perbincangan mengenai hal itu."
"Jika aku mendengarnya, Ki Marta, tentu tidak terperinci."
Ki Marta Brewok mengangguk-angguk. Namun kemudian
katanya, "Aku mengerti, Pangeran. Tetapi mungkin pandangan jauh ke depan Kangjeng Sultan sajalah yang tidak dapat kita
tangkap sekarang." Wijang tidak menjawab. Dilayangkannya pandangan
matanya menyusuri bibir hutan yang membujur panjang tidak
terlalu jauh dari jalan yang dilaluinya. Sementara itu kotak-
kotak sawahpun membentang luas pula. Seperti biasanya,
padang perdu telah menjadi batas antara tanah persawahan
dan hutan belukar itu. Meskipun demikian, para petani tidak pernah takut
menggarap sawah mereka. Jarang sekali terjadi binatang buas
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
keluar dari hutan untuk mencari mangsa. Di dalam hutan itu
seakan-akan telah disediakan makanan yang cukup bagi
binatang-binatang buas itu.
Tetapi memang pernah terjadi seekor harimau yang sudah
tua, yang tidak lagi mampu mengejar kijang yang berlari
seperti angin, muncul di padukuhan untuk mencuri seekor
kambing. Namun ketuaannya itu pulalah yang telah membuatnya
tidak mampu melarikan diri dari kemarahan penduduk
padukuhan itu. Ketika harimau itu terjebak oleh seekor kambing yang
sengaja diumpankan di sudut padukuhan, maka orang-orang
padukuhan yang memang sudah mengintainya, beramai-ramai
menyerang harimau itu, sehingga akhirnya harimau tua itupun
terbunuh. Beberapa saat kemudian, merekapun telah memasuki
sebuah padukuhan yang dikelilingi oleh tanah persawahan
yang luas dan subur. Padukuhan itupun nampaknya juga
merupakan padukuhan yang subur. Pohon buah-buahan yang
tumbuh di padukuhan itu dapat berbuah lebat. Pohon nangka
yang buahnya menempel bukan saja di dahan-dahannya,
tetapi juga di batangnya dari atas sampai menyentuh tanah.
Pohon nyiur yang buahnya bergayutan di antara pelepahnya.
Sementara itu, tanaman-tanaman yang lain pun nampak hijau
segar pula. Ketela pohon, empon-empon dan beberapa jenis
sayuran. Bahkan ada yang menanam jagung dan ketela
rambat. Batang sirih yang merambat di pohon kelor daunnya
nampak sangat rimbun. Sulurnya dan pupusnya yang
berwarna hijau muda menjalar mencari pegangan.
Tetapi ketiga orang yang berjalan di padukuhan itu menjadi
heran. Padukuhan yang subur itu nampak sepi. Pintu-pintu
rumah tertutup rapat. Sedangkan pintu-pintu regol meskipun
ada yang terbuka, tetapi sebagian besar juga tertutup atau
hanya sedikit saja terbuka.
"Ada apa di padukuhan ini?" bertanya Wijang.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Padukuhan ini nampak begitu sepi. Tidak ada anak-anak
bermain di halaman. Tidak ada perempuan yang sedang
menidurkan anaknya di serambi. Tidak pula ada laki-laki yang
memanggul cangkul pergi ke sawah atau perempuan yang
menggendong bakul dari pasar."
Ki Marta Brewok mengangguk-angguk. Namun iapun
berdesis, "Tetapi terasa ada berpasang-pasang mata
mengamati kita sekarang ini."
"Dari balik pintu rumah?"
"Ya," jawab Ki Marta Brewok.
"Apa yang menarik?" bertanya Paksi.
"Maksudku, kelengangan ini menarik untuk diketahui apa
sebabnya." "Ya. Tetapi agaknya sulit untuk mendapatkan keterangan
tentang padukuhan ini karena tidak orang yang berada di luar
rumahnya," gumam Paksi.
"Marilah, kita melihat banjar padukuhan ini," berkata Ki Marta Brewok.
"Dimana letak banjar padukuhan?"
"Biasanya di pinggir jalan induk seperti ini. Tetapi jika tidak ada banjar di pinggir jalan ini, kita akan mengelilingi
padukuhan. Kita tentu akan menemukan banjar padukuhan ini
atau bahkan rumah Ki Bekel tanpa bertanya kepada siapapun
juga." Wijang dan Paksi hanya mengangguk-angguk saja.
Sementara itu, kaki merekapun melangkah terus menyusuri
jalan padukuhan. Namun seperti yang mereka duga, maka merekapun
sampai di sebuah regol bangunan yang mereka duga sebagai
banjar padukuhan. "Marilah, kita akan masuk ke dalam. Tentu ada petugas
penunggu banjar ini," ajak Ki Marta Brewok.
Ketiganyapun kemudian telah memasuki regol halaman
yang diduganya sebagai banjar itu. Sejenak mereka bertiga
mengamati pendapa yang cukup luas, tetapi nampak sejuk.
Sepasang pohon sawo kecik tumbuh di halaman. Sedangkan
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
beberapa batang pohon mlinjo tumbuh di dekat dinding
samping halaman. Buahnya yang sudah memerah bergayutan
di dahan-dahannya. "Nampaknya banjar ini sepi," desis Paksi.
"Halamannya nampak bersih. Tentu ada orang
yang menyapunya pagi tadi. Mereka tentu penunggu banjar
ini." "Apakah Ki Marta Brewok yakin bahwa bangunan ini banjar
padukuhan," bertanya Paksi.
"Ya. Jika bukan banjar, lalu apa" Bukankah bangunan ini
bukan tempat tinggal?"
Paksi mengangguk-angguk. "Marilah, kita cari penunggu banjar ini. Mungkin ia berada di belakang."
"Atau sudah tidak ada di banjar ini. Demikian ia selesai
membersihkan halaman, orang itupun segera pergi
meninggalkan banjar ini."
Ki Marta Brewok tidak menyahut. Namun iapun kemudian
melangkah ke halaman samping.
Bangunan itu memang sepi. Tetapi Ki Marta Brewok tidak
segera mengajak kedua orang anak muda itu pergi. Ki Marta
Brewok bahkan telah pergi ke bagian belakang banjar itu.
Wijang dan Paksi mengikutinya saja di belakangnya.
Sebuah bangunan kecil terdapat di belakang banjar itu. Ki
Marta Brewok yakin, bahwa bangunan itu adalah tempat
tinggal penunggu banjar itu.
Karena itu, maka Ki Marta Brewokpun telah mengetuk pintu
rumah kecil di belakang banjar itu.
Beberapa kali Ki Marta Brewok mengetuk pintu itu. Tetapi
tak ada seorangpun menyahut.
Namun Ki Marta Brewok itupun kemudian berbisik kepada
Wijang dan Paksi, "Ada orang di dalam."
Wijang dan Paksipun mengangguk-angguk. Dengan
mempertajam pendengaran mereka, maka mereka pun juga
mengetahui bahwa di dalam rumah itu bersembunyi tidak
hanya seorang. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ki Sanak," berkata Ki Marta Brewok, "kami ingin minta pertolongan. Apakah Ki Sanak tidak bersedia menolong kami.
Kami hanya akan minta sedikit minyak kelapa untuk
mencairkan obat." Nampaknya suara Ki Marta Brewok yang meyakinkan
mampu mengetuk hati penghuni rumah kecil itu. Karena itu,
maka sejenak kemudian terdengar desir langkah kaki menuju
ke pintu. Namun kemudian pintu itu terbuka, maka seorang yang


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

rambutnya sudah ubanan telah terduduk dengan tubuh
gemetar. Suaranyapun gemetar pula, "Ampun, Ki Sanak. Aku
mohon ampun. Aku hanya orang tua yang tidak tahu apa-
apa." Ki Marta Brewok terkejut melihat sikap orang itu. Namun
Wijang segera bergeser maju. Meskipun demikian ia sempat
berbisik di telinga Ki Marta Brewok, "Orang itu takut melihat wajah Ki Marta Brewok."
Ki Marta Brewok itu tertawa dalam hati. Tetapi ia tidak
ingin menyinggung perasaan orang tua yang ketakutan itu,
bahkan mungkin akan membuatnya semakin takut.
"Kek," berkata Wijang, "kami hanya ingin minta minyak kelapa sedikit saja."
Orang tua itu mengangkat wajahnya. Orang yang
berjambang, berkumis dan berjanggut lebat itu sudah
bergeser surut. Yang berdiri di hadapannya adalah anak muda
yang berwajah bening. Sambil memandangi ketiga orang yang berdiri di depan
rumahnya itu berganti-ganti, orang tua itu bertanya, "Minyak kelapa, maksud Ki Sanak?"
"Ya. Minyak kelapa," jawab Wijang.
"O," orang itu masih nampak bimbang. Namun kemudian
iapun bangkit berdiri sambil berkata, "Aku akan
mengambilkannya, anak muda. Tetapi bukankah kalian tidak
akan menghukum kami."
"Kenapa kami akan menghukummu, Kek?"
Orang tua itu termangu-mangu. Namun kemudian katanya,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Silahkan duduk di serambi belakang banjar itu, anak
muda. Aku akan mengambil minyak itu sebentar di dapur."
Beberapa saat Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi
menunggu. Mereka sempat melihat sebatang pohon kayu
manis di halaman samping. Paksi yang mengambil kulit
batangnya sedikit, mencium bau yang sedap sekali.
Hampir di luar sadarnya, Paksi berkata, "Di rumahku juga
ada pohon kayu manis."
Adalah mengejutkan sekali ketika di luar sadarnya Ki Marta
Brewok itu menyahut, "Umurnya sudah tua sekali, Paksi."
Paksi memandang wajah Ki Marta Brewok dengan kerut
kening. Sementara itu agaknya Ki Marta Brewok juga terkejut
mendengar kata-katanya sendiri.
Bahkan pertanyaan Paksi kemudian membuatnya gelisah
meskipun Ki Marta Brewok berhasil menyembunyikannya,
"Apakah Ki Marta Brewok tahu, bahwa pohon kayu manis di
halaman rumahku itu umurnya sudah tua sekali?"
"Tentu tidak," jawab Ki Marta Brewok dengan serta-merta.
"Yang aku maksud umurnya sudah tua sekali adalah pohon
kayu manis itu." "Kayu manis ini?" bertanya Paksi.
"Ya." Tetapi Ki Marta Brewok itu memang menjadi gelisah.
"Nampaknya pohon ini masih terlalu muda, Ki Marta,"
berkata Paksi kemudian. Ki Marta Brewok tiba-tiba saja tertawa pendek. Katanya,
"Aku masih memikirkan padukuhan ini. Karena itu agaknya
aku menjawab seenaknya saja."
Paksi tidak sempat bertanya lebih lanjut. Orang tua
penunggu banjar itupun keluar sambil membawa minyak
kelapa di dalam sebuah mangkuk kecil.
"Inilah minyak kelapa itu, anak muda," berkata orang tua itu.
"Terima kasih, Kek," jawab Wijang sambil menerima
minyak itu. "Tetapi aku persilahkan kalian duduk di serambi. Tolong
kere bambu itu ditutup kembali."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Terima kasih, Kek. Biarlah aku duduk di emperan itu saja."
"Jangan, anak muda. Masuklah ke serambi."
"Kenapa, Kek?" bertanya Wijang.
Orang tua itu tidak menjawab. Setelah menutup pintu
rumahnya sendiri, iapun melangkah ke serambi sambil
memberi isyarat kepada ketiga orang pendatang itu untuk
mengikutinya. Sejenak kemudian, mereka berempat telah berada di
serambi belakang banjar padukuhan itu. Serambi yang
tertutup oleh kere bambu yang berjuntai sampai ke lantai.
"Siapakah kalian bertiga, Ki Sanak?" bertanya orang tua itu.
Orang tua itu mengangguk kecil. Tetapi setiap kali
dipandanginya wajah Ki Marta Brewok, wajah itu agaknya
membuat berdebar-debar. Di luar sadarnya, Paksipun ikut memandang wajah Ki Marta
Brewok itu. Wajah yang sebagian tetutup oleh jambang, kumis
dan janggut yang tebal. Paksi mengerutkan dahinya. Ada yang berbeda pada wajah
Ki Marta Brewok itu dengan wajah yang dikenalinya dengan
sebelumnya. Tetapi perbedaan itu tidak terlalu nampak.
Meskipun demikian, Paksi yakin, Bahwa Ki Marta Brewok itu
adalah Ki Marta Brewok gurunya yang telah menempa dengan
berbagai macam laku untuk menguasai ilmunya yang tinggi.
Meskipun ternyata masih belum mampu mengimbangi Ki
Sampar Angin. Namun dalam pada itu, Wijanglah yang menyahut, "Jangan
takut. Meskipun wajah Paman agak seram, tetapi ia orang
baik. Paman hanya belum sempat mencukur berewoknya."
-ooo00dw00ooo- Jilid 14 ORANG tua itu mengangguk-angguk meskipun masih
nampak ragu. Ki Marta Brewoklah yang kemudian bertanya,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Ki Sanak, aku justru ingin bertanya, apa yang telah terjadi di padukuhan ini" Padukuhan ini adalah padukuhan yang
nampak subur. Nampaknya kehidupan penghuni padukuhan
ini cukup baik dilihat dari ujud lahiriahnya. Rumah-rumahnya
cukup pantas. Halaman yang cukup luas dan pohon buah-buahan yang
berbuah lebat. Sawah pun nampaknya terhampar luas dan
tidak akan pernah kekurangan air di segala musim."
Orang tua itu mengangguk-angguk kecil. Katanya,
"Lingkungan ini memang subur, Ki Sanak."
"Lalu, apakah yang telah terjadi disini" Padukuhan ini menjadi sepi seperti kuburan."
"Untunglah kalian tidak lewat padukuhan ini kemarin."
"Apa yang terjadi kemarin?"
"Kemarin di padukuhan ini terjadi keributan.
Bahkan pertempuran yang menimbulkan kematian."
"Siapakah yang telah bertempur disini" Apakah antara
penghuni padukuhan ini dengan sekelompok orang yang ingin
berbuat jahat" Atau antara kelompok-kelompok yang datang
dari luar padukuhan ini?"
Orang tua itu termangu-mangu sejenak. Sekali lagi ia
mengamati ketiga orang yang duduk di serambi banjar itu.
Katanya, "Tetapi bukankah kalian bukan bagian dari orang-
orang yang kemarin menimbulkan keributan disini?"
"Tentu tidak. Apakah ada di antara kami yang mirip dengan orang-orang yang bertempur kemarin disini?"
Orang tua itu menarik nafas panjang.
"Entahlah, bagaimana mulanya. Tetapi dua kelompok orang
bertemu dan bertengkar di ujung padukuhan. Kemudian
mereka bertempur dengan sengitnya, sehingga salah satu
kelompok melarikan diri dengan meninggalkan dua orang
korban terbunuh. Sementara itu, kelompok yang menang
justru telah berbuat semena-mena terhadap orang-orang di
padukuhan ini. Mereka menggeledah setiap rumah untuk
mencari seorang anak muda yang katanya melarikan diri dari
istana Pajang." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Apakah mereka menyebut nama anak muda itu?" bertanya Paksi.
Wijang menarik nafas panjang. Ia tahu, bahwa Paksi
sengaja menanyakannya, meskipun tanpa bertanya pun ia
sudah tahu siapakah yang dimaksud.
Orang tua itu memandang Paksi sekilas. Namun kemudian
orang tua itu merenung sejenak. Katanya kemudian, "Ya.
Orang itu menyebut sebuah nama. Pangeran Benawa."
Paksi mengangguk-angguk. Namun ketika ia berpaling
memandang wajah Wijang, hampir saja Paksi tertawa. Wajah
itu nampak muram dan gelap. Sementara Ki Marta
menggeleng lemah. Wijanglah yang kemudian bertanya, "Apakah Pangeran
Benawa itu dapat diketemukan?"
"Tentu tidak," berkata orang tua itu. "Kami sama sekali tidak mengenal anak muda yang bernama Pangeran Benawa.
Sepengetahuan kami, pangeran adalah sebutan bagi anak
seorang raja. Mungkin Raja Pajang atau Raja Demak atau raja
yang manapun." "Ya," Ki Marta Brewok menyahut, "pangeran memang anak seorang raja."
"Lalu, apa yang mereka lakukan setelah mereka
tidak menemukan Pangeran Benawa disini?" bertanya Paksi.
"Mereka mencoba memaksa kami untuk menunjukkan
dimana Pangeran Benawa bersembunyi. Mereka sudah
mendapat keterangan bahwa sehari sebelumnya Pangeran
Benawa sedang menuju kemari," jawab orang tua itu.
"Tetapi bukankah jalan bercabang-cabang sehingga
mungkin saja Pangeran Benawa itu mengambil jalan
simpang?" desis Wijang.
"Ya. Kamipun sudah mengatakannya. Tetapi orang-orang
itu justru marah. Mereka memukuli para penghuni padukuhan
ini. Sebelum pergi mereka sempat mengancam untuk
menghukum kami jika ternyata Pangeran Benawa itu
bersembunyi disini."
"Bagaimana sikap para bebahu padukuhan ini?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Tulang punggung Ki Bekel hampir saja mereka patahkan
karena Ki Bekel mencoba melindungi rakyatnya."
"Bagaimana dengan bebahu kademangan?"
"Semalam kami telah mengirimkan orang untuk melaporkan
kepada Ki Demang. Tetapi sampai siang ini kami belum
mendapat keterangan. Tetapi entahlah jika orang itu sudah
langsung menemui Ki Bekel di rumahnya."
Ki Marta Brewokpun kemudian berkata, "Jika demikian,
kami tidak akan terlalu lama disini, Ki Sanak. Kami tidak ingin menjadi sebab, Ki Sanak dan orang-orang padukuhan
mengalami kesulitan karena kehadiran kami. Jika orang-orang
yang mencari Pangeran Benawa itu melihat kehadiran kami,
mungkin mereka akan berbuat sesuatu yang semakin
menyulitkan penghuni padukuhan ini."
"Tetapi bukankah kalian bukan termasuk orang-orang dari
gerombolan yang saling bertengkar itu?"
"Tentu tidak, Kek," jawab Paksi, "Kami hanya kebetulan saja lewat."
"Jika demikian, hati-hatilah, Ki Sanak," pesan orang tua itu.
"Baik, Kek. Kami akan berhati-hati," jawab Wijang. Namun iapun masih juga bertanya, "Tetapi apakah jalan ini akan
sampai ke Alas Mentaok?"
"Apakah kalian akan pergi ke Alas Mentaok?" orang tua itu ganti bertanya.
"Kami hanya ingin tahu saja," jawab Wijang.
Ki Marta Brewok menggamit anak muda itu. Sementara itu,
orang tua itupun menjawab, "Jalan ini memang akan sampai
ke Alas Mentaok. Tetapi hutan itu adalah hutan yang sangat
garang. Orang yang masuk ke dalamnya, tidak akan pernah
keluar lagi." "Jika demikian, kami tidak akan masuk ke dalamnya, Kek.
Kami akan berada di luarnya saja."
"Untuk apa sebenarnya kalian ingin melihat hutan itu?"
"Tidak ada apa-apa, Kek. Kami hanya pernah mendengar
namanya. Kami hanya ingin tahu, apakah hutan itu
sebenarnya ada." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Orang tua itu mengangguk-angguk. Katanya kemudian,
"Sebaiknya kalian urungkan saja niat kalian melihat-lihat hutan itu. Ular sebesar lidipun akan dapat membunuh kalian.
Kumbang mutiara yang beracun itupun sangat berbahaya.
Apalagi jika kalian terperosok ke dalam sarang semut salaka.
Dalam waktu singkat, hanya tulang-tulang kalian sajalah yang
akan tinggal." "Mengerikan sekali, Kek."
"Belum lagi disebut jenis-jenis binatang buas. Segala jenis harimau terdapat di hutan itu. Yang paling mengerikan adalah
kelompok-kelompok anjing hutan yang ganas dan licik. Burung
pemakan bangkai dan yang tidak kalah berbahayanya adalah
pusaran-pusaran lumpur dan pasir, yang dapat menghisap
tubuh seseorang hingga sampai ke perut bumi."
Meskipun Wijang dan Paksi bukan penakut, tetapi tengkuk
merekapun meremang. Ki Marta Brewok hanya menarik nafas panjang. Tetapi ia
tidak mengatakan apa-apa.
Wijang dan Paksipun kemudian telah minta diri kepada
orang tua itu. Demikian pula Ki Marta Brewok yang membawa
mangkuk kecil berisi minyak kelapa itu. Katanya, "Kami akan menampung minyak ini dengan daun pisang saja, Ki Sanak."
"Aku punya bumbung bambu kecil yang dapat kalian
bawa," desis orang tua itu.
"Jika demikian, terima kasih, Ki Sanak," jawab Ki Marta Brewok.
Ketika orang tua itu meninggalkan mereka untuk
mengambil bumbung kecil yang dikatakannya, Ki Marta
Brewok berdesis, "Kenapa kau bertanya tentang Alas
Mentaok?" "Kenapa?" bertanya Wijang.
"Apakah kau sengaja meninggalkan jejak arah
perjalananmu?" Wijang mengerutkan dahinya. Namun kemudian iapun
tertawa. Katanya, "Tanpa meninggalkan jejak, ternyata orang-
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
orang yang mencari Pangeran Benawa itu dapat menemukan
jejaknya." "Tetapi jejak itu tentu masih kabur. Kau memperjelas jejak yang kabur itu."
"Maaf, Ki Marta," desis Wijang, "aku tidak menyadarinya."
"Sudahlah. Mudah-mudahan orang tua itu tidak akan
pernah bercerita tentang kehadiran kita, maksudku dua orang
anak muda di padukuhan ini kepada siapapun juga."
Wijang mengangguk-angguk. Namun pembicaraan
merekapun terhenti karena orang tua yang mengambil
bumbung itu datang sambil membawa bumbung kecil yang
sudah berisi minyak kelapa. Namun katanya kemudian,
"Tuangkan minyak kelapa di mangkuk kecil itu juga ke dalam bumbung kecil ini. Barangkali kalian akan membutuhkannya
lagi di perjalanan."
"Terima kasih, Ki Sanak," berkata Ki Marta Brewok.
Sementara orang tua itupun telah menyerahkan bumbung
kecil itu beserta sumbatnya.
Ki Marta Brewoklah yang menerima bumbung kecil itu.
Kemudian menuangkan minyak kelapa yang berada di
mangkuk kecil. Sambil mengembalikan mangkuk kecil itu, Ki
Marta Brewokpun berkata sekali lagi, "Terima kasih, Ki Sanak."
Namun sebelum ketiga orang itu minta diri, mereka
dikejutkan oleh derap kaki kuda yang dengan cepat mendekat.
Bahkan tiba-tiba saja berderap memasuki halaman banjar itu.


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketiga orang itu memang menjadi tegang. Orang tua
penunggu banjar itupun menjadi ketakutan pula.
Namun ketika orang tua itu mendengar namanya dipanggil,
maka iapun menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Ki
Demang. Agaknya bersama Ki Jagabaya."
Orang tua itupun segera menghambur keluar langsung
pergi ke halaman depan banjar itu.
Sebenarnyalah yang datang adalah Ki Demang, Ki Jagabaya
dan dua orang pengiringnya. Merekapun kemudian
berloncatan turun dari kuda mereka.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Di serambi belakang banjar itu, Ki Marta Brewok, Wijang
dan Paksi termangu-mangu sejenak. Dengan nada tinggi Paksi
bertanya, "Apakah yang kita lakukan?"
Ki Marta Brewoklah yang menyahut, "Kita menunggu saja
disini. Apa saja yang akan dilakukan oleh Ki Demang."
Wijang dan Paksipun mengangguk-angguk.
Dengan demikian, maka mereka bertigapun telah duduk
menunggu di serambi belakang banjar padukuhan itu.
Sementara itu, Ki Demang, Ki Jagabaya dan dua orang
pengiringnya naik dan duduk di pendapa. Orang tua penunggu
banjar itupun kemudian bercerita apa yang telah terjadi di
padukuhan itu kemarin. "Baru semalam aku mendapat laporan," berkata Ki
Demang. "Kenapa ketika peristiwa itu terjadi, tidak seorang pun yang memberi laporan kepadaku?"
"Semua orang sedang dicengkam ketakutan," jawab
penunggu banjar itu. "Bagaimana dengan Ki Bekel?" bertanya Ki Demang.
"Ki Bekel sedang sakit. Punggungnya hampir dipatahkan
oleh orang-orang yang garang itu."
"Apakah Ki Bekel dapat datang kemari?"
"Aku tidak tahu, Ki Demang," jawab penunggu banjar itu.
"Apakah Ki Bekel dipanggil kemari" Biarlah aku pergi ke
rumahnya." "Tidak usah kau sendiri yang pergi," berkata Ki Demang yang kemudian memerintahkan salah seorang pengiringnya
untuk memanggil Ki Bekel. Katanya kemudian, "Tetapi jika ia tidak mungkin untuk datang kemari, biarlah nanti aku datang
ke rumahnya." Dalam pada itu, ternyata orang tua penunggu banjar itu
tidak mengatakan bahwa ada tiga orang yang berada di
serambi belakang banjar itu, sehingga dengan demikian ketiga
orang itu tidak diminta untuk menghadap.
Sambil menunggu kedatangan Ki Bekel, penunggu banjar
itu menceriterakan apa yang sudah terjadi di padukuhan itu
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sebagaimana yang diceriterakannya kepada ketiga orang yang
sedang berada di serambi belakang banjar itu.
Beberapa saat kemudian ternyata Ki Bekel telah datang ke
banjar. Meskipun punggungnya masih sakit, tetapi ia
memaksa diri untuk memenuhi panggilan Ki Demang yang
sudah berada di banjar. Di serambi belakang, Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi
berusaha untuk mempertajam pendengaran mereka, sehingga
mereka dapat mengikuti pembicaraan di pendapa banjar itu.
"Ceriterakan, Ki Bekel. Apa yang telah terjadi. Tadi kakek penunggu banjar ini juga sudah berceritera. Tetapi Ki Bekel
tentu akan dapat berceritera lebih lengkap."
Ki Bekelpun mulai berceritera. Sebagian besar dari
ceriteranya memang tidak berbeda dengan ceritera penunggu
banjar itu. Tetapi ketiga orang di serambi belakang itu kemudian
mendengar Ki Demang bertanya, "Apakah Ki Bekel dapat
menduga, siapakah yang telah datang ke padukuhan ini"
Mungkin Ki Bekel mengenal ciri-cirinya atau mungkin ada di
antara mereka yang menyebut nama gerombolan mereka atau
apapun yang dapat dipergunakan untuk mengenali mereka?"
"Sulit, Ki Demang," jawab Ki Bekel. "Tetapi ada di antara mereka yang mengenakan pakaian sebagaimana pakaian
prajurit Pajang meskipun tidak lengkap."
"Mungkin mereka telah merampasnya atau mereka berhasil
membunuh satu dua orang prajurit, kemudian
mempergunakan pakaian prajurit yang terbunuh itu," jawab Ki Demang.
Tetapi di belakang Wijang berdesis, "Tentu para pengikut
Paman Harya Wisaka."
Ki Marta Brewok dan Paksi mengangguk-angguk. Agaknya
Wijang yakin, orang yang datang di padukuhan itu adalah
para pengikut Harya Wisaka.
Pembicaraan selanjutnya tidak begitu penting lagi bagi
ketiga orang yang berada di serambi itu. Ki Bekel ternyata
tidak dapat menyebut ciri-ciri dari kelompok yang lain.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Beberapa saat kemudian, maka terdengar Ki Demang
itupun berkata, "Baiklah. Aku minta Ki Bekel menyiapkan
semua laki-laki yang masih mampu mempergunakan senjata.
Jika sejak sebelumnya kita sudah bersiap, maka akibatnya
tentu akan berbeda. Kita tidak akan memberikan kesempatan
kepada orang-orang itu untuk memasuki rumah demi rumah.
Menakut-nakuti semua orang."
"Tetapi apakah kami mampu untuk melawan mereka?"
"Aku tentu tidak akan mencuci tangan. Aku akan ikut
campur. Setiap padukuhan akan menyiapkan kelompok-
kelompok anak muda yang dapat bergerak cepat dari
padukuhan yang satu ke padukuhan yang lain. Kalian harus
menyiapkan alat-alat untuk memberikan isyarat. Apapun yang
terjadi, kita tidak akan membiarkan kampung halaman kita
menjadi lingkungan perburuan tanpa memberikan perlawanan.
Bukankah kita mempunyai harga diri?"
"Baik. Baik," berkata Ki Bekel. "Sejak hari ini, kami akan mempersiapkan diri."
"Nanti malam, setiap padukuhan akan mengirimkan lima
sampai sepuluh orang untuk ikut berjaga-jaga disini. Tetapi
tidak mustahil bahwa padukuhan yang lain pun akan
mengalami keadaan yang sama seperti padukuhan ini."
"Baik, Ki Demang."
"Nah, sekarang aku akan mengelilingi padukuhan-
padukuhan. Malam nanti aku akan berada di banjar ini.
Mudah-mudahan mereka tidak kembali. Tetapi jika mereka
kembali, kita akan bersikap lain dari sikap kita kemarin."
"Terima kasih, Ki Demang," jawab Ki Bekel. "Aku akan mempersiapkan diri sebaik-baiknya."
"Bagaimana keadaan Ki Bekel sendiri?"
"Aku berharap bahwa aku segera menjadi baik. Aku sudah
mendapat obat yang mujarab."
Demikianlah, sejenak kemudian Ki Demang dan
pengiringnya itupun telah meninggalkan banjar padukuhan itu.
Ki Bekel yang agaknya masih belum pulih benar itupun telah
kembali pula. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sejenak kemudian, orang tua penunggu banjar itu telah
berada di serambi belakang menemui ketiga orang yang
berada di serambi itu. "Mereka sudah pulang," berkata penunggu banjar itu.
Ki Marta Brewok, Paksi dan Wijangpun kemudian telah
minta diri. "Kami akan meneruskan perjalanan, Kek," berkata Wijang.
"Berhati-hatilah, Ngger. Jika kalian bertemu dengan orangorang yang garang itu, kalian akan diperlakukan semena-
mena. Orang-orang itu agaknya memang tidak berjantung."
"Baiklah, Ki Sanak," berkata Ki Marta Brewok, "mudah-mudahan kami tidak bertemu dengan mereka."
Demikianlah, maka ketiga orang itupun segera
meninggalkan banjar padukuhan itu. Sebenarnya ada niat
Wijang dan Paksi untuk berada di padukuhan itu barang satu
dua malam. Mereka ingin bersama-sama dengan para
penghuni padukuhan itu untuk melawan para pengikut Harya
Wisaka. Tetapi Ki Marta Brewokpun berkata, "Mungkin kita dapat
mengusir orang-orang itu. Tetapi jika ada yang sempat
mengenali Pangeran, padukuhan ini akan menjadi semakin
parah. Pada kesempatan lain, akan datang kekuatan yang
tidak terlawan. Apalagi setelah kita meninggalkan padukuhan
ini, sementara orang-orang yang datang itu menganggap
bahwa Pangeran memang bersembunyi disini."
Wijang mengangguk-angguk. Dengan nada dalam iapun
berkata, "Apakah benar aku telah banyak menimbulkan
malapetaka bagi banyak orang yang sebenarnya tidak tahu
apa-apa?" Ki Marta Brewok tidak menyahut. Tetapi ia sempat
memperhatikan Wijang yang berjalan sambil menundukkan
kepalanya. Ketika mereka bertiga beristirahat di pinggir sebuah sungai
dan duduk di atas sebongkah batu yang besar, yang
nampaknya pernah ditumpahkan dari mulut Gunung Merapi,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wijang itupun berkata, "Aku harus memperhatikan peristiwa-peristiwa itu. Aku tidak boleh menutup mata, bahwa banyak
peristiwa yang tidak dikehendaki telah terjadi."
"Tentu hal itu tidak Pangeran kehendaki. Tetapi
sebenarnyalah bahwa hal itu telah terjadi. Orang-orang yang
tamak itu tidak menghiraukan sama sekali akibat dari
perbuatan mereka." Wijang mengangguk-angguk. Katanya, "Apa yang dilakukan
oleh orang-orang tamak itu akibatnya sama seperti yang aku
lakukan." "Maksud Pangeran?"
"Yang aku lakukan dan yang mereka lakukan sama-sama
menimbulkan banyak korban."
"Tetapi niat Pangeran jauh berbeda dari niat orang-orang
yang tamak itu." "Ki Marta Brewok, bukankah Ki Marta Brewok pernah
mengatakan, bahwa niat yang baik tidak selalu mendatangkan
hasil yang baik?" Ki Marta Brewok menarik nafas dalam-dalam, sementara itu
Paksipun berkata, "Sudahlah. Jangan risaukan."
"Bagaimana mungkin aku tidak merisaukannya," sahut
Wijang. "Setiap kali kita bertemu dengan keributan yang
memungut korban karena kepergianku dari istana. Apakah
alasan mereka mencari cincin atau mencari aku, pada
dasarnya sama saja."
"Jadi, apakah yang terpikir oleh Pangeran sekarang?"
Wijang menarik nafas dalam-dalam. Sementara Ki Marta
Brewok itupun berkata, "Bukankah kepergian Pangeran antara lain sengaja menyingkirkan cincin itu" Khususnya karena
Pangeran tahu bahwa Harya Wisaka menginginkannya"
Kecuali itu, Pangeran pun ingin melihat kehidupan yang
sebenarnya dari rakyat Pajang. Namun yang akhirnya tidak
dapat Pangeran lakukan, karena Pangeran sibuk melayani
orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu."
"Ya, Ki Marta," jawab Wijang.
"Jadi apa rencana Pangeran?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku akan pulang."
"Pulang ke istana?" bertanya Paksi.
"Ya. Sementara itu aku akan menitipkan cincin ini
kepadamu." Paksi terkejut. Dengan serta-merta iapun menjawab,
"Wijang, kau tahu bahwa ayahku menginginkan cincin itu. Jika aku membawanya, maka jika ayahku mengetahuinya, maka
cincin itu tentu akan dimintanya. Dan aku sama sekali tidak
akan dapat mempertahankannya."
"Berikan saja cincin itu kepada ayahmu. Cincin itu tidak
akan hilang." "Maksudmu" Kau biarkan aku memberikan cincin itu
kepada ayah. Kemudian kau akan mengambilnya sebagaimana
pernah kau lakukan?"
"Tentu tidak, Paksi. Tetapi bukankah kau dapat pulang jika kau membawa cincin itu" Jika kau pulang tanpa membawa
cincin itu?" "Yang akan pulang itu kau, Wijang. Bukan aku."
Wijang menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Aku ingin
mengajak kau pulang. Ibumu sangat merindukanmu.
Sementara itu, ayahmu akan menerimamu jika kau membawa
cincin itu." "Tetapi cincin itu adalah cincin yang sangat tinggi nilainya.
Apa arti lingkup keluargaku dibanding dengan nilai cincin itu
sendiri." "Aku tidak akan kehilangan cincin itu, Paksi. Sehari
kemudian, aku akan datang sebagai Pangeran Benawa. Aku
akan membawa pertanda dari ayahanda. Dengan demikian,
maka ayahandalah yang mengambil cincin itu, karena aku
melakukan atas namanya. Tentu dengan ucapan terima kasih
dan barangkali ayahanda akan memberikan imbalan atas jasa
ayahmu yang telah berhasil menemukan cincin itu. Mungkin
pangkat, derajat atau semat."
"Tetapi persoalannya tidak akan berakhir sampai disitu. Di istana masih ada Harya Wisaka," jawab Paksi.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Aku sadari itu. Pergolakan mungkin masih akan terjadi.
Tetapi akhirnya aku berpendapat, bahwa gejolak yang terjadi
karena cincin itu harus dipersempit ruang lingkupnya. Mungkin
akan terjadi benturan-benturan di dalam. Tetapi tidak harus
mengorbankan orang-orang padukuhan yang tidak tahu-
menahu persoalannya. Biarlah aku dan barangkali Kakangmas
Sutawijaya harus menghadapi Paman Harya Wisaka, karena
aku yakin, bahwa Kakangmas Sutawijaya akan membantuku
menghadapi Paman Harya Wisaka."
Paksi termangu-mangu sejenak. Ia merenungi ajakan
Wijang untuk pulang ke Pajang. Wijang akan memberikan
cincin itu kepadanya. "Satu tanggung jawab yang sangat besar. Jika cincin itu
tidak sampai ke tangan ayahnya atau dalam waktu yang
pendek sebelum Pangeran Benawa datang atas nama
Kangjeng Sultan Pajang, ada orang yang merampasnya, maka
persoalannya akan berkembang semakin rumit."
Namun Ki Marta Brewok itulah yang kemudian berkata,
"Sebaiknya kau renungkan gagasan itu, Paksi."
"Tetapi ayahku tentu akan bertanya-tanya, kenapa
Pangeran dengan serta-merta mengetahui bahwa cincin itu
ada di tangan ayahku."
Wijang tersenyum. Katanya, "Mudah sekali. Aku dapat
mengatakan bahwa para peramal istana telah
memberitahukan kepada ayahanda, bahwa cincin itu sudah
berada di Pajang. Di tangan ayahmu."
Paksi menarik nafas dalam-dalam. Jawaban yang memang
tidak akan dapat dipersoalkan lagi. Sementara itu Ki Marta
Brewok yang kemudian tersenyum berkata, "Satu gagasan
yang lengkap, Paksi."
"Tetapi jika semalam sebelum Pangeran Benawa datang
rumah kami dirampok orang, katakanlah Harya Wisaka dengan
beberapa orang berilmu tinggi?" bertanya Paksi.
"Pukul kentongan. Seluruh Pajang akan terbangun," jawab Ki Marta Brewok. "Pangeran Benawa juga akan terbangun.


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Jika cincin itu disembunyikan di tempat yang rapat, maka
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sebelum orang-orang itu dapat menemukan cincin yang
mereka cari, Pangeran Benawa dan orang-orang yang
dipercayanya, sudah akan berada di rumahmu untuk
membantu ayahmu melindungi cincin itu."
"Ya," sahut Wijang. "Tetapi dalam keadaan seperti itu, cincin itu akan langsung dibawa oleh Pangeran Benawa atas
nama Kangjeng Sultan."
Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Aku akan
memikirkannya. Nanti malam aku akan memberikan jawaban."
"Kenapa menunggu nanti malam?"
Paksi termangu-mangu sejenak. Namun kemudian katanya
"Apakah kita tidak jadi melihat-lihat keadaan Alas Mentaok?"
"Kalian sudah dapat menggambarkan ujud dari hutan yang
sangat lebat itu, meskipun yang dikatakan oleh orang tua
penunggu banjar itu memang agak berlebihan. Aku yang
pernah berada di dalam hutan itu beberapa hari, masih juga
sempat keluar dalam keadaan hidup. Meskipun demikian, Alas
Mentaok memang hutan yang sangat berbahaya."
Terasa angin berhembus semakin keras. Awan putih
selembar-selembar terbang ke utara, tertimbun di ujung
Gunung Merapi. Paksi menarik nafas dalam-dalam. Pendapat Ki Marta
Brewok memberikan tekanan pada perasaannya. Ia
terlalu percaya kepada orang itu. Orang yang telah
memberikan landasan ilmu kanuragan yang tinggi. Bahkan
lebih dari itu. Dalam keadaan yang rumit, setiap kali Ki Marta Brewok itu selalu hadir.
Namun dalam pada itu, Ki Marta Brewok itupun berkata,
"Baiklah. Paksi masih akan merenungkan ajakan Pangeran.
Marilah kita meneruskan perjalanan. Kapan saja Paksi
mengambil keputusan, kita akan dapat menentukan sikap."
Wijang mengangguk kecil. Katanya, "Baiklah. Marilah kita
berjalan. Kita masih akan pergi ke arah selatan. Sampai atau
tidak sampai Alas Mentaok."
Mereka bertigapun kemudian telah bangkit. Bertiga mereka
melangkah ke arah selatan.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Tetapi baru beberapa langkah mereka berjalan, Paksi
kemudian berkata, "Baiklah, Wijang. Aku pulang."
Merekapun berhenti melangkah. Sambil tersenyum
Wijangpun menepuk bahu Paksi sambil berdesis, "Bagus,
Paksi. Kita akan bersama-sama pulang. Kau akan membawa
cincin itu dan memberikannya kepada ayahmu. Kau akan
diterima sebagai anak laki-laki yang baik, yang berbakti
kepada orang tua dan bahkan kau akan dapat menjunjung
derajat ayahmu, karena dengan mempersembahkan cincin itu
kembali ke istana, ayahmu akan mendapat anugerah."
Paksi termangu-mangu sejenak, hampir di luar sadarnya ia
berdesis, "Tetapi aku tidak tahu pasti, apakah ayah seorang yang setia kepada Pajang. Apakah ayah tidak menjadi salah
seorang yang berada di bawah pengaruh Harya Wisaka."
"Kau akan mengawasinya, Paksi."
"Jika Harya Wisaka datang dengan kekerasan, maka aku
dapat memukul kentongan, sehingga seluruh Pajang akan
mendengar karena suara kentongan itu akan segera
bersambut dan menjalar kemana-mana. Tetapi kalau Harya
Wisaka atau kepercayaannya datang dengan diam-diam?"
"Sebaiknya jangan beri kesempatan hal itu terjadi," berkata Ki Marta Brewok. "Sebaiknya kalian berdua sepakat tentang waktu, agar jarak waktu akan kedatangan Paksi dan kehadiran
Pangeran Benawa di rumah Paksi atas nama Kangjeng Sultan
tidak terlalu panjang. Dengan demikian, tidak ada kesempatan
bagi Harya Wisaka mengambil cincin itu."
"Baiklah. Kita dapat bersepakat untuk mengatur waktu itu."
Demikianlah Wijang dan Paksi itupun telah bersepakat
untuk menempuh perjalanan pulang. Mereka telah mengatur,
kapan Wijang memasuki istananya dan kapan Paksi akan
sampai ke rumahnya. Paksi harus memberikan kesempatan
kepada Wijang untuk menemui ayahandanya dan mohon
pertanda bahwa Pangeran Benawa atas nama Kangjeng Sultan
datang ke rumah Paksi untuk mengambil cincin yang dibawa
oleh Paksi. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun perjalanan pulang itu harus mereka tempuh dengan
berhati-hati. Di sepanjang jalan pulang itu masih mungkin
terjadi sesuatu yang tidak mereka inginkan.
Tetapi kedua orang anak muda itu menjadi semakin tenang
ketika Ki Marta Brewok itupun berkata, "Aku akan menyertai kalian sampai ke Pajang."
"Tetapi bukankah aku tidak perlu berada di alun-alun
Pajang dua kali sebulan" Saat bulan purnama dan di tanggal
pertama untuk menunggu Ki Marta Brewok?"
Ki Marta Brewok itu mengerutkan keningnya. Namun
kemudian iapun tertawa. Wijang memandang keduanya berganti-ganti. Tetapi ia
tidak tahu apa yang sedang ditertawakan oleh Ki Marta
Brewok. Bahkan Paksipun kemudian ikut tertawa pula.
"Apa yang kalian tertawakan?" bertanya Wijang.
Paksi menahan tertawa. Namun kemudian ia berceritera
bahwa Ki Marta Brewok pernah mengancamnya untuk
meminjamkan cincin itu. Ki Marta Brewok akan menemui Paksi
di alun-alun Pajang dan menunggunya di saat purnama atau
pada tanggal pertama. Ternyata Wijangpun telah tertawa pula.
Di perjalanan kembali ke Pajang, Ki Marta Brewok telah
berpesan agar mereka menghindari persoalan-persoalan yang
dapat terjadi di jalan. "Kecuali yang memang tidak dapat kita hindari."
Kedua anak muda itu mengangguk-angguk. Meskipun
demikian, mereka sadar, bahwa mereka berada di lingkungan
yang berbahaya. Di daerah yang seakan-akan ditebari oleh
orang-orang yang dapat mengancam keselamatan mereka.
Ketika mereka lapar, maka mereka telah memilih kedai
yang kecil dan sempit, yang hanya disinggahi oleh orang-
orang di sekitarnya, karena kedai itu sama sekali tidak
menarik bagi orang-orang yang lewat dalam perjalanan jauh.
Mereka bertiga berharap bahwa di kedai yang kecil itu
mereka tidak akan menemui persoalan-persoalan yang dapat
menghambat perjalanan mereka.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sebenarnyalah yang berada di dalam kedai itu agaknya
orang-orang di sekitar tempat itu saja. Ada di antara mereka
yang duduk tanpa baju dengan keringat yang membasahi
seluruh tubuhnya. Di samping nampak sebuah kapak
pembelah kayu yang tersandar di dinding. Nampaknya orang
itu baru saja membelah kayu di sebelah kedai itu. Di
tangannya terdapat sepincuk nasi megana.
Di sisi lain, duduk dua orang yang sudah separo baya. Di
hadapannya dihidangkan di paga bambu yang rendah, wedang
sere dan beberapa macam makanan. Jadah, jenang alot, wajik
dan tasikan. Beberapa kerat ketela rebus dengan tempe
bacem dan lombok rawit. Kedua orang itu nampak asyik berbincang. Mereka tidak
menghiraukan orang-orang lain yang berada di kedai itu.
Sekali-sekali terdengar keduanya tertawa.
Wijang, Paksi dan Ki Marta Brewok telah mengambil tempat
di sudut. Di sebelah orang yang sedang makan sepincuk nasi
megana. Tetapi orang itu tidak menghiraukan kehadiran ketiga
orang itu. Nampaknya ia sedang menikmati kangkung,
lembayung dan kacang panjang rebus dengan bumbu
megana. Ketika pemilik kedai itu datang mendekat, maka Wijangpun
memesan tiga pincuk nasi megana pula.
Ketika orang yang tidak berbaju itu mendengar, maka ia
pun mengangkat wajahnya. Dipandanginya Ki Marta Brewok,
Wijang dan Paksi sambil tersenyum. Katanya, "Kalian juga
senang nasi megana seperti ini?"
"Ya, Ki Sanak," Ki Marta Brewoklah yang menjawab.
"Murah, kenyang dan awet."
Ki Marta Brewok tertawa. Wijang dan Paksipun tertawa
pula. Tetapi Wijanglah yang bertanya, "Apa yang awet, Ki
Sanak?" "Awet kenyang. Lembayung dan kangkung membuat kita
tidak cepat lapar meskipun kita bekerja keras."
"Ya. Aku sependapat." Wijang mengangguk-angguk.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sejenak kemudian pemilik warung itupun telah
menghidangkan tiga pincuk nasi megana. Tetapi di dalamnya
terdapat masing-masing sebutir telur.
"Ha, kalian orang kaya, ya?"
"Tidak. Kenapa?"
"Kalian memakai lauk masing-masing sebutir telur."
"Kami tidak memesan. Tetapi pemilik kedai itulah yang
memberinya." Orang yang tidak berbaju itu memandang pemilik kedai
yang sudah kembali ke tempatnya. Katanya, "Kebiasaannya
memang begitu. Tanpa bertanya, maka ditaruhnya lauk yang
mahal-mahal. Disini harga telur tiga keping. Padahal dimana-
mana hanya dua keping."
"O. Apaboleh buat. Jika belum terlanjur, aku tidak mau
diberi telur yang tiga keping harganya," desis Paksi.
"Aku tidak berani mengambil sebutir telur. Nanti anak-
anakku tidak makan. Hanya jika ayam kami bertelur lebih
banyak, kami sering makan telur. Dua butir telur untuk orang
serumah." "Apakah ayammu jarang bertelur?"
"Setiap hari ada ayamku bertelur. Tetapi telur itu harus
dijual untuk membeli kebutuhan-kebutuhan lain. Aku punyai
tujuh orang anak yang masih kecil-kecil."
"Bukankah Ki Sanak mempunyai sebidang sawah?"
"Sawahku sudah digadaikan oleh ayahku untuk lima tahun.
Jadi aku harus menunggu dua tahun lagi untuk dapat
menggarap sawahku sendiri. Sekarang aku menggarap sawah
orang lain, sambil bekerja menjadi blandong kayu. Istriku jual ayung-ayung. He, disini juga ada ayung-ayung buatan istriku
itu. Kau tidak mencicipi" Setiap pagi aku bawa se-irig ayung-
ayung. Banyak orang suka ayung-ayung buatan istriku."
"O. Aku adalah penggemar ayung-ayung," sahut Wijang.
Blandong kayu itulah yang berteriak kepada pemilik kedai,
"He, mana ayung-ayungmu?"
"Habis. He, apakah kau masih belum puas makan ayung-
ayung di rumah?" Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bukan aku. Tetapi ketiga orang tamumu ini."
"Sayang ayung-ayungnya sudah habis."
"Nah," blandong itu berkata dengan bangga, "bukankah ayung-ayung buatan istriku itu sangat laris."
"Ya. Sayang sekali," desis Wijang. "Tetapi lain kali aku akan singgah dan membeli ayung-ayungmu."
Blandong itu tertawa. Katanya, "Tetapi jika kalian memang ingin mencicipinya, silahkan mampir. Rumahku tidak jauh.
Mungkin masih ada beberapa bungkus ayung-ayung ada di
rumah." "Terima kasih, Ki Sanak," jawab Ki Marta Brewok. "Lain kali aku akan singgah."
Orang itu terdiam. Dihabiskannya nasi megana di
pincuknya. Kemudian diteguknya minumannya sehingga
mangkuknya hampir menjadi kosong.
Sambil bangkit berdiri, iapun menggeliat. Katanya, "Perutku sudah kenyang. Silahkan, Ki Sanak. Jika kau ingin ayung-ayung, singgahlah di rumahku."
"Terima kasih, Ki Sanak," jawab Ki Marta Brewok.
Orang itupun kemudian melangkah mendekati pemilik
warung. Diambilnya dua keping uang dan diserahkannya
kepada pemilik kedai itu.
Tetapi sebelum orang itu keluar dari kedai itu, maka
terdengar keributan di jalan yang membujur di depan kedai
itu. Orang itu termangu-mangu sejenak. Diurungkannya
langkahnya, sehingga ia kembali duduk di tempatnya semula.
Tetapi nampak wajahnya yang menjadi tegang.
Ternyata bukan hanya orang itu saja yang menjadi tegang.
Tetapi yang lainpun menjadi ketakutan. Bahkan seorang yang
duduk di sudut menjadi gemetar.
"Orang-orang itu kembali lagi," desis tukang blandong yang tidak berbaju itu.
"Siapa?" "Kami tidak tahu, siapakah mereka itu."
"Apa yang mereka cari?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Mereka mencari anak muda yang bernama Pangeran
Benawa." Wijang menarik nafas panjang. Namun Paksilah
yang bertanya, "Apakah mereka berhasil?"
"Dua hari yang lalu tidak."
"Jadi mereka sudah datang kemari dua hari yang lalu?"
"Ya." Wijang tidak bertanya lagi. Keributan itu menjadi semakin
dekat. Ketika Paksi berdiri dan melangkah ke pintu, pemilik
kedai itu berkata, "Jangan keluar. Jangan berbuat sesuatu yang dapat menarik perhatian mereka."
Paksi mengurungkan niatnya. Ia justru melihat dua orang
petani yang berlari-lari meloncati parit. Mereka melemparkan
cangkul mereka di pinggir jalan.
Sebenarnyalah, sejenak kemudian, empat orang berjalan di
depan kedai itu. Seorang perempuan yang berpapasan dengan
mereka menjadi gemetar. Sementara itu seorang di antara
keempat orang membentaknya, "Kau mau kemana, he?"
Perempuan itu menjawab terbata-bata, "Tidak kemana-
mana." Orang itu memperhatikan orang yang sudah separo baya
sambil berkata. "Awas. Jangan berbuat macam-macam."
Perempuan itu tidak menjawab. Tetapi kakinya bagaikan
menjadi seberat timah. Keempat orang itupun kemudian telah berdiri di depan
kedai itu. Seorang di antaranya melangkah ke pintu kedai.
Sambil berpegangan uger-uger pintu kedai itu, ia memandang
ke dalamnya. Ia melihat beberapa orang yang sedang berada
di dalam kedai. Mereka melihat orang yang tidak berbaju itu.
Orang yang ketakutan di sudut dan tiga orang yang sedang
memegangi pincuk nasi megana.
Orang itu sama sekali tidak menduga bahwa seorang
pangeran duduk di dalam kedai sambil memegang sepincuk
nasi megana. Karena itu, maka orang itupun kemudian
berkata lantang, "Aku minta kalian tidak berbuat sesuatu yang dapat mengacaukan tugas-tugasku disini. Kali ini buruanku
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tidak boleh lepas. Aku sudah mendapat keterangan bahwa
kemarin ia sudah berada disini."
Tidak seorang pun yang menyahut. Sementara orang
itupun berkata selanjutnya, "Jika sekali ini buruanku itu terlepas lagi, maka aku akan membawa sepuluh orang di
antara penghuni padukuhan ini. Mereka tidak akan pernah
kembali." Semua orang yang berada di kedai itu masih saja


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terbungkam. Bahkan merekapun menundukkan kepala. Tidak
seorang pun yang berani mengangkat wajahnya, apalagi
memandang orang yang berdiri di pintu itu.
"Kalian harus membantu kami. Kalian harus
memberitahukan kepada kami, dimana anak muda yang aku
cari itu bersembunyi."
Orang-orang yang ada di dalam kedai itu termasuk pemilik
kedai itu masih tetap berdiam diri.
"Baiklah. Kami akan pergi. Kami akan mencari anak muda
yang sejak kemarin sudah ada disini." Sejenak orang itu memandang berkeliling. Karena orang-orang yang berada
di dalam kedai masih berdiam diri sambil menunduk, maka
orang itupun tidak berbuat apa-apa.
Sambil beringsut mundur orang itu berkata, "Ingat, siapa
yang menggagalkan usaha kami, akan kami hancurkan. Tetapi
sebaliknya, siapa yang membantu kami, akan kami beri hadiah
yang sangat besar." Tidak seorang pun yang menyahut. Semua orang yang ada
di dalam kedai itu masih tetap menundukkan kepalanya.
Wijang lebih senang menatap telur yang tinggal sepotong di
dalam pincuknya daripada memandang orang yang berdiri di
pintu itu. Dalam pada itu, orang yang berdiri di pintu itu juga melihat
dua orang anak muda berada di kedai itu. Tetapi dua anak
muda dengan pakaian kusut, memegangi pincuk nasi megana
di sebuah kedai kecil, sehingga dua orang anak muda itu tidak
menarik perhatiannya. Yang ada di dalam kedai itu sama
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sekali tidak menggiring perhatian orang yang berdiri di pintu
itu kepada seorang pangeran.
Demikianlah, maka sejenak kemudian orang-orang itupun
telah meninggalkan kedai itu. Mereka meneruskan langkah
mereka sambil menakut-nakuti orang-orang yang lewat di
sepanjang jalan. Wijang menarik nafas dalam-dalam. Ternyata ia sudah
luput dari perhatian orang itu. Wijang sama sekali tidak
menjadi ketakutan. Tetapi ia masih memikirkan orang-orang
padukuhan yang akan dapat menjadi sasaran kemarahan dan
dendam jika ia berbuat sesuatu terhadap orang-orang yang
mencari Pangeran Benawa itu. Sementara itu, Ki Marta
Brewokpun telah berpesan agar Wijang dan Paksi menghindari
persoalan-persoalan yang dapat timbul dan menghambat
perjalanan pulang mereka.
"Marilah, kita selesaikan nasi megana ini. Kita sebaiknya segera meninggalkan tempat ini," desis Ki Marta Brewok.
Wijang mengangguk-angguk. Sementara itu Paksipun telah
menyelesaikan nasi megananya meskipun agak tertahan di
lehernya, sehingga Paksi harus meneguk minumannya sampai
hampir habis. Wijang tersenyum. Katanya, "Pincuknya jangan ikut ditelan, Paksi."
"Telurnya," desis Paksi.
Ki Marta Brewokpun tertawa.
Namun sebelum mereka membayar dan meninggalkan
kedai itu, mereka melihat seorang anak muda yang berjalan
dengan wajah tengadah dan berhenti di depan kedai itu.
Seorang laki-laki bersenjata golok mengiringinya di
belakangnya. Sambil memandang pemilik kedai yang duduk di belakang
paga rendah tempat ia menggelar dagangannya, anak muda
itu menyapa, "He, Kang. Kemana istrimu" Kaukah yang
sekarang berjualan nasi disini?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pemilik kedai itu terkejut. Dipandanginya anak muda itu
dengan seksama. Namun kemudian iapun berdesis, "Wicitra.
Kapan kau pulang?" "Kemarin. Aku sekarang sudah berubah. Kenapa kau masih
tetap saja menjadi penjual nasi" Bahkan tanpa istrimu?"
"Istriku sedang pulang untuk mengambil bumbu megana.
He, kau memang berubah. Dimana kau selama ini?"
Anak muda itu mengangkat wajahnya. Katanya, "Aku tidak
mau hidup di tempat yang pengap seperti ini. Aku harus
berubah. Dan aku berhasil."
"Jadi, apa yang kau lakukan disini sekarang?"
"Aku akan menjual warisanku untuk menambah modal
kerjaku. Aku seorang saudagar yang berhasil."
"Maksudmu, tanah dan rumah yang ditinggali kedua orang
tuamu itu?" "Ya." "Tetapi bukankah kedua orang tuamu masih hidup?"
"Tanah dan rumah itu akhirnya akan jatuh ke tanganku
juga. Apa bedanya sekarang dengan setelah ayah dan ibuku
meninggal?" "Lalu, dimana ayah dan ibumu harus tinggal?"
"Ia dapat tinggal bersama Paman. Bukankah umur mereka
sudah tidak akan terlalu panjang lagi?"
"Citra." Wicitra tertawa. Katanya, "Jangan dibelenggu oleh
kecengengan. Kematian seseorang adalah alami. Semua orang
akan mati. Juga ayah dan ibu."
Wijang dan Paksi mendengar pembicaraan itu. Tiba-tiba
Paksi menggamit Wijang sambil berdesis, "Apakah anak itu
sudah gila?" "Sst," potong Wijang, "biar saja ia berkicau sesuka hati."
"Tetapi telingaku terasa panas."
Wijang tertawa tertahan. Katanya, "Jangan membiasakan
diri cepat tersinggung."
Ki Marta Brewok tersenyum. Katanya, "Satu pengenalan
yang menarik. Jadi ada juga anak yang bersikap demikian
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terhadap orang tuanya. Tetapi kita belum tahu, apakah orang
tuanya itu orang tuanya sendiri, orang tua angkat atau
sekedar mengaku orang tua."
"Tetapi warisan itu?"
"Sst," Wijang berdesis.
Ternyata anak muda itu melangkah ke pintu kedai. Seperti
orang yang sedang mencari Pangeran Benawa, anak muda
yang bernama Wicitra itu berdiri berpegangan uger-uger
pintu. Dipandanginya orang-orang yang berada di dalam kedai
itu. Dengan nada tinggi Wicitra itu berkata, "Kedaimu masih
juga kedai kerdil dan kotor. Orang-orang yang makan di dalam
kedaimu juga orang-orang yang tidak berbaju dan berpakaian
kusut." "Kau tidak ingat lagi kepada Kang Setra Blandong?"
"Tentu ingat. Ia masih juga blandong seperti dahulu. Ia
masih juga makan di kedaimu tanpa baju."
Orang yang disebut Setra Blandong itu hanya memandangi
Wicitra saja tanpa mengatakan sesuatu.
Wicitra tertawa melihat tukang blandong yang duduk
termangu-mangu, yang sebenarnya sudah akan meninggalkan
kedai itu, tetapi tertahan karena kehadiran empat orang yang
mencari Pangeran Benawa itu. Jika ia kemudian tidak segera
pergi sepeninggal keempat orang, ia memang menunggu agar
orang itu menjadi semakin jauh. Tetapi sebelum ia beranjak
pergi, Wicitra itu telah datang ke kedai itu.
Sementara itu pemilik kedai itupun kemudian bertanya,
"Jadi kau datang kemarin, Wicitra?"
"Ya." "Wicitra, ada yang perlu kau ketahui."
"Apa?" "Di padukuhan ini sekarang berkeliaran beberapa orang
yang sedang mencari seorang anak muda. Mereka baru saja
datang ke kedai ini. Mereka mengatakan bahwa anak muda
yang mereka cari kemarin sudah datang ke padukuhan ini."
"Siapakah yang mereka cari?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Pangeran Benawa."
"Pangeran Benawa" Apakah Pangeran Benawa ada di
padukuhan kita?" "Yang aku cemaskan, bahwa kaulah yang dikira Pangeran
Benawa itu. Karena kau juga datang ke padukuhan ini
kemarin." "O. Bukankah aku pantas jika aku dikira seorang pangeran"
Ujudku memang ujud seorang pangeran."
"Tetapi dengan demikian kau terancam bahaya."
"Bahaya apa?" "Orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu adalah
orang-orang yang garang. Yang tadi singgah di kedai ini
adalah empat orang bersenjata yang kasar dan berwajah
seram." "Lalu menurut pendapatmu, apa yang harus aku lakukan?"
"Sebaiknya kau tinggalkan padukuhan ini untuk satu dua
hari. Jika mereka benar-benar menyangka bahwa kau adalah
Pangeran Benawa, maka kau tentu akan mereka bawa."
"Apakah sia-sia aku berguru beberapa tahun. Pengawalku
itupun seorang gegedug yang tidak terkalahkan. Apalagi
hanya empat orang. Sembilan orang pun akan dapat aku
binasakan dalam waktu sekejap."
"Tetapi nampaknya keempat orang itu juga orang-orang
berilmu. Mereka sudah datang beberapa hari yang lalu.
Mereka kasar dan nampaknya berbahaya."
"Kau menakut-nakuti aku?"
"Tidak. Tetapi orang-orang itu berbahaya bagimu. Agaknya
orang-orang itu sulit diajak bicara. Apakah tidak ada
seorangpun yang memberitahukan kepadamu" Ayah dan
ibumu?" "Aku tidak memerlukan pemberitahuan itu, Kang. Lupakan
saja. Aku justru akan menampakkan diri untuk mengetahui,
apakah aku benar-benar mirip dengan seorang pangeran."
"Tetapi.... " Ternyata tukang blandong yang lebih banyak berdiam diri
itu akhirnya berbicara juga, "Sudahlah. Wicitra sudah dewasa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ia dapat membuat pertimbangan-pertimbangan yang mapan.
Manakah yang baik dilakukan dan mana yang tidak."
Pemilik kedai itu memang terdiam. Namun Wicitra itulah
yang melangkah mendekati blandong yang tidak memakai
baju itu. Pengawalnyapun telah melangkah ke pintu pula
sambil memegangi hulu goloknya yang berada di dalam
sarungnya dan tergantung di lambung.
"Ternyata kau cukup bijaksana Setra. Terima kasih atas
kebijaksanaanmu itu. Tetapi sayang, aku sama sekali tidak
memerlukannya. Kau pun tidak membuat pertimbangan
dengan ikhlas. Bahkan dalam nada suaramu, tersirat
perasaanmu yang jengkel terhadap sikapku. He, apakah kau
ingin membuat gara-gara."
"Sama sekali tidak," jawab Setra Blandong. "Aku hanya ingin pemilik kedai ini diam."
Wicitra tertawa. Katanya, "Apakah bajumu masih saja
selembar sehingga kau tidak pernah mengenakannya kecuali
jika kau pergi jagong bayen?"
Setra memandang orang yang berdiri di pintu. Seorang
yang bertubuh tinggi dan besar. Bersenjata golok. Wajahnya
seram sedangkan matanya yang tajam seperti mata burung
hantu itu memandanginya. Setra menarik nafas dalam-dalam. Ia hanya seorang
blandong kayu. Mungkin ia memiliki tenaga yang besar. Tetapi
sejak kecil Setra tidak pernah berkelahi. Karena itu, Setra
sama sekali tidak menjawab.
Ketika Wicitra meraba pundak Setra, maka iapun berkata,
"Keringatmu masih saja belum kering Setra. Tetapi
mungkin minuman panasmu itulah yang membuat kau
berkeringat." Setra Blandong masih tetap diam saja.
Wicitrapun tertawa pula. Katanya, "Hati-hatilah, Setra. Jika kau menebang pohon, kau harus tahu kemana arah pohon itu
tumbang, agar pohon itu tidak menimpa kepalamu."
Setra Blandong itu masih saja berdiam diri.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wicitra itulah yang kemudian melangkah ke pintu. Ketika
pengawalnya bergeser, Wicitra itupun melangkah keluar
sambil berkata lantang kepada pemilik kedai itu, "Aku akan mencari orang-orang yang telah menakut-nakuti penghuni
padukuhan ini. Aku akan mengaku Pangeran Benawa."
Sejenak kemudian, maka Wicitra dan pengawalnya itupun
meninggalkan kedai itu. Tetapi ia masih bertanya kepada
pemilik kedai itu, "Kemana mereka pergi, Kang?"
Pemilik kedai itu termangu-mangu sejenak. Keempat orang
itu menyusuri jalan di depan kedai itu ke timur. Namun pemilik kedai itu berkata, "Mereka pergi ke barat."
Wicitra tertawa. Tetapi bersama pengawalnya ia pergi ke
timur. "Kau yang bodoh," berkata Setra Blandong. "Anak itu datang dari arah barat."
Pemilik kedai itu mengerutkan dahinya. Namun iapun
tersenyum pula. Setra Blandong itulah yang kemudian bangkit berdiri dan
berjalan keluar. Katanya, "Sejak tadi aku sudah akan pergi.
Aku menyesal bertemu dengan anak yang sombong itu."
"Aku mencemaskannya," berkata pemilik kedai itu.
"Kau tidak bersalah. Kau sudah mencoba untuk
memperingatkannya. Tetapi ia keras kepala. Aku bahkan
menjadi jengkel karena kesombongannya. Tetapi pengawalnya
itu membuat hatiku berkerut. Terus terang aku takut."
Pemilik kedai itu mengangguk-angguk. Katanya, "Jangan
berkecil hati. Itu wajar-wajar saja. Kita bukan orang yang
terbiasa berkelahi. Meskipun kau membawa kapak, tetapi
pohon yang kau tebang selalu saja pasrah."
Setra Blandong itu mengerutkan dahinya. Namun kemudian
iapun tersenyum. Kecut sekali. Tetapi Setra Blandong itu
masih juga berkata kepada Ki Marta Brewok dan kedua orang
anak muda yang menyertainya, "Jika kau perlu ayung-ayung, ambil di rumahku."
Ki Marta Brewok tertawa sambil menjawab, "Terima kasih,
Ki Setra." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Sepeninggal Setra Blandong, maka Ki Marta Brewok,
Wijang dan Paksipun telah minta diri pula. Setelah membayar
harga makan dan minum mereka, maka merekapun
meninggalkan kedai itu pula.
Namun demikian mereka keluar dari kedai itu, Ki Marta
Brewokpun berkata, "Nasib anak itu agaknya akan menjadi
kurang baik." "Anak itu terlalu sombong," desis Paksi.
"Apakah kita sebaiknya memperingatkannya. Orang itu
masih nampak dari sini. Kita dapat menyusulnya dan
memberitahukan bahaya yang dapat mengancamnya. Mungkin
jika orang lain yang memberinya peringatan, anak itu akan


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mau mendengarkannya," sahut Wijang.
Ki Marta Brewok menarik nafas panjang. Katanya, "Belum
tentu. Agaknya anak itu terlalu sombong. Kau dengar apa
yang dikatakannya tentang kedua orang tuanya?"
Paksi mengangguk-angguk. Katanya, "Anak itu memang
sangat menjengkelkan."
"Tetapi biarlah kita mencobanya. Mungkin kita dapat
meyakinkannya." Ketiganyapun mempercepat langkah mereka. Namun anak
muda yang bernama Wicitra itu telah hilang di tikungan.
"Kitapun akan berbelok pula," berkata Ki Marta Brewok.
"Tetapi persoalan ini adalah persoalan terakhir yang akan dapat menghambat perjalanan kita. Selanjutnya kita akan
langsung menempuh perjalanan pulang."
"Ya. Kita tidak menghiraukan lagi, apapun yang terjadi di sekitar diri kita," berkata Paksi.
Tetapi Wijang justru tertawa. Katanya, "Benar begitu?"
Paksi mengerutkan dahinya. Ki Marta Brewoklah yang
kemudian tertawa pula. Paksi yang memberengut itupun berkata, "Jadi akulah yang
telah menghambat perjalanan pulang?"
"Tidak. Bukankah aku tidak berkata begitu?" sahut Wijang.
Paksi tidak berbicara lagi. Tetapi ia berjalan lebih cepat.
Tongkatnya menghentak-hentak tanah yang dilewatinya.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun langkahnya tiba-tiba terhenti. Mereka mendengar
suara keributan kecil terjadi di belakang tikungan.
Dengan hati-hati ketiganya mendekat sambil melekat di
dinding. Dari tempat mereka berhenti, ketiganya mendengar
suara seorang laki-laki, "Sebaiknya kau tinggalkan padukuhan ini untuk satu dua hari."
"Tidak, kau dengar."
"Jika kau bukan anakku, aku tidak akan mempedulikanmu,
Wicitra." "O, jadi kau usir agar aku tidak sempat menuntut warisan
itu lagi." "Ambil, ambil semuanya yang akan kau ambil, Wicitra.
Tetapi banyak orang dan bahkan Ki Bekel menasehatkan agar
kau meninggalkan padukuhan ini. Orang-orang itu adalah
orang-orang yang tidak mengenal kasihan. Mereka tentu
menyangka bahwa kaulah yang mereka cari."
"Pangeran Benawa?"
"Ya." "Aku memang akan mengaku sebagai Pangeran Benawa.
Bukankah tampangku pantas untuk disebut sebagai seorang
pangeran." "Tetapi kau akan ditangkap."
"Siapa yang dapat menangkap aku, biarlah dilakukannya.
Aku tidak takut. Kau ajari anakmu menjadi pengecut?"
"Tidak. Tentu tidak. Tetapi aku dan ibumu mohon."
"Cukup. Sebaiknya ayah menyiapkan segala sesuatunya
yang akan ayah wariskan kepadaku. Besok kita menghadap Ki
Bekel. Kemudian aku akan menjual semuanya untuk
menambah modalku. Jika perdaganganku menjadi besar, aku
akan menjadi saudagar yang paling kaya di Pajang."
"Sudah aku katakan. Ambil yang akan kau ambil."
"Jangan mencari alasan untuk menunda-nunda lagi."
"Wicitra." "Cukup," bentak Wicitra. "Biar aku menentukan sikapku sendiri. Aku sudah dewasa. Aku sudah tahu, manakah yang
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
baik dan mana yang tidak baik. Mana yang berbahaya dan
mana yang tidak berbahaya."
"Wicitra..., Wicitra."
"Diam, diam kau. Jangan ikuti aku."
Suara mereka tidak terdengar lagi. Langkah Wicitra
semakin jauh. Sedangkan desah ayahnya masih terdengar dari
balik dinding di tikungan.
Ki Marta Brewoklah yang kemudian berbisik, "Marilah kita
dekati orang tua Wicitra itu."
"Bukan aku yang membuat persoalan," desis Paksi.
Wijang tertawa tertahan. Katanya, "Tetapi persoalan ini
masih terkait dengan persoalan terakhir yang akan melibat
kita." Ki Marta Brewokpun kemudian memberi isyarat kepada
kedua orang anak muda itu untuk mengikutinya.
Demikian ketiganya muncul di tikungan, ayah Wicitra itu
terkejut bukan buatan. Hampir saja ia meloncat berlari untuk
mengejar anaknya. Tetapi kakinya serasa menjadi seberat
timah. Ki Marta Brewoklah yang kemudian berkata dengan kata-
kata yang sareh, "Jangan takut, Ki Sanak. Aku tidak berniat buruk."
Dengan wajah yang tegang, ayah Wicitra itu memandang
Ki Marta Brewok dan kedua anak muda yang menyertainya itu
berganti-ganti. "Siapakah kalian" Apakah kalian akan mencari Pangeran
Benawa" Disini tidak ada Pangeran Benawa. Yang kalian
sangka Pangeran Benawa itu adalah anakku. Namanya
Wicitra. Ia sama sekali tidak tahu-menahu tentang Pangeran
Benawa." "Ki Sanak, kami tidak sedang mencari Pangeran Benawa.
Kami sama sekali tidak mengenalnya, bahkan baru sekarang
kami mendengar namanya."
"Jadi, apa yang kalian cari disini?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kami tidak mencari apa-apa disini, Ki Sanak," jawab Ki Marta Brewok. "Kami hanya lewat. Di tikungan ini kami
mendengar suara ribut-ribut, sehingga kami berbelok kemari."
Orang itu menarik nafas dalam-dalam. Katanya, "Jadi kalian tidak mencari Pangeran Benawa?"
"Tidak, Ki Sanak."
"Tetapi banyak orang yang mengatakan bahwa sekelompok
orang sedang mencari Pangeran Benawa disini. Pangeran
Benawa yang kemarin sudah datang di padukuhan ini.
Sedangkan anak muda yang kemarin datang di padukuhan ini
adalah anakku. Aku cemas, bahwa anakku itulah yang
disangka Pangeran Benawa."
"Apakah anakmu mirip dengan Pangeran Benawa?"
bertanya Wijang. "Aku tidak tahu. Aku belum pernah melihat Pangeran
Benawa. Yang jelas mirip adalah kemudaannya. Menurut kata
orang, Pangeran Benawa itu masih muda. Anakku juga masih
muda." "Tetapi aku dengar, Ki Sanak justru bertengkar tadi."
"Itu tadi anakku. Aku mencoba untuk membujuknya agar ia
bersedia meninggalkan padukuhan ini barang satu dua hari
sampai orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu
pergi." "Apakah orang-orang yang mencari Pangeran Benawa itu mirip kami?"
"Yang kami dengar adalah empat orang. Mungkin saja yang
seorang baru mempunyai keperluan lain."
"Tetapi orang itu bukan kami," jawab Ki Marta Brewok yang selanjutnya berkata, "Bagaimana tanggapan anakmu?"
"Anak itu menolak. Ia justru ingin mengaku sebagai
Pangeran Benawa itu sendiri."
"Apakah anakmu tidak takut kepada orang-orang yang
sedang mencari Pangeran Benawa itu" Mereka tentu orang-
orang yang berilmu tinggi, karena mereka tahu bahwa
Pangeran Benawa itupun berilmu tinggi."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Seharusnya anakku menyadari akan hal itu. Tetapi
anakkupun merasa memiliki ilmu. Ia baru saja selesai berguru.
Sementara itu seorang pengawalnya juga berilmu tinggi."
"Siapakah pengawalnya itu?"
"Aku tidak tahu, tetapi ia adalah orang yang diupah oleh
anakku. Ia seorang upahan yang setia."
"Seharusnya anakmu mendengar nasehatmu."
"Apakah kalian bersedia menolong aku?" bertanya ayah Wicitra itu.
"Maksud Ki Sanak?" bertanya Ki Marta Brewok. "Tolong, beri tahu anakku. Kau dapat menakut-nakutinya atau dengan
cara apapun juga." "Kemana anakmu sekarang?"
"Mungkin ia pulang dan menunggu orang-orang yang
mencari Pangeran Benawa itu di rumah. Atau justru anak itu
juga sedang mencari keempat orang yang mencari Pangeran
Benawa itu." "Aku tidak berkeberatan menemui anakmu dan mencoba
mencairkan hatinya yang keras itu."
"Terima kasih, Ki Sanak. Marilah, aku mohon Ki Sanak
bersedia singgah di rumahku."
Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksipun kemudian telah
mengikuti ayah Wicitra itu. Mereka akan menemui Wicitra dan
mencoba untuk menyelamatkannya dari tangan orang-orang
yang mencari Pangeran Benawa itu.
Demikianlah, sejenak kemudian, ketiga orang
itupun dipersilahkan untuk duduk di pringgitan. Namun
ternyata bahwa Wicitra masih belum pulang.
"Anak itu membuat jantungku kuncup," berkata ayah
Wicitra. "Ia adalah anakku satu-satunya. Meskipun ia telah
menyakiti hatiku dengan permintaannya yang sebenarnya
tidak masuk akal, tetapi bagaimanapun juga ia adalah
anakku." "Apa yang diminta oleh anak itu?" bertanya Ki Marta
Brewok. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Rumah dan tanahnya. Sawah dan pategalan yang ada.
Anakku akan menjualnya untuk menambah modal usahanya
yang nampaknya menjadi semakin maju."
"Lalu, Ki Sanak akan tinggal dimana?"
"Itu tidak menjadi soal. Aku dan istriku dapat tinggal
dimana-mana. Bukankah aku hanya berdua" Aku dapat tinggal
di rumah adikku atau di rumah kakak perempuanku atau
dimana saja. Bahkan sebuah kandang kerbaupun cukup untuk
kami tempati berdua."
Ki Marta Brewok menarik nafas panjang. Sementara Wijang
dan Paksi yang juga masih muda itu tersentuh hatinya.
Mereka melihat betapa besar kasih orang tua kepada anaknya,
meskipun anaknya telah melakukan pemerasan yang tidak
masuk akal. Namun pembicaraan merekapun terputus. Sejenak
kemudian mereka melihat Wicitra memasuki halaman
rumahnya bersama seorang pengawalnya yang menakutkan
itu. Wicitra itu berhenti di tangga pendapa rumahnya. Dengan
tegang ia memandang ketiga orang yang duduk di pringgitan
bersama ayahnya. Namun kemudian dengan lantang iapun
berkata, "Apakah kau orang-orang yang sedang mencari
Pangeran Benawa di padukuhan ini?"
"Bukan Wicitra," ayahnyalah yang menyahut. "Marilah.
Duduklah. Mereka ingin berbicara kepadamu."
"Siapakah mereka?" bertanya Wicitra. Namun setelah
memperhatikan ketiga orang itu dengan seksama Wicitra
itupun berkata, "Bukankah mereka orang-orang yang tadi ada di kedai itu?"
"Ya, Ki Sanak," jawab Ki Marta Brewok.
"Untuk apa kalian datang kemari" Kalian akan memeras
keluarga kami dan mengancam untuk memberitahukan
kehadiranku di padukuhan ini?"
"Jangan berprasangka buruk, Wicitra. Duduklah. Mereka
akan berbicara kepadamu. Sebentar saja."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wicitra memandang Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi
berganti-ganti. Namun tanpa naik ke pendapa Wicitra itu
berkata, "Apa yang akan kau katakan?"
"Duduklah, Wicitra," minta ayahnya.
Tetapi jawab Wicitra, "Aku tidak tuli. Katakan."
Ki Marta Brewok termangu-mangu sejenak. Namun
kemudian iapun berkata, "Wicitra. Aku hanya ingin
memperingatkanmu. Orang-orang yang mencari Pangeran
Benawa itu adalah orang-orang yang berilmu. Karena itu,
seperti yang dikatakan oleh ayahmu, oleh pemilik kedai itu,
maka sebaiknya kau tinggalkan padukuhan ini barang dua tiga
hari." "Persetan dengan penghinaanmu itu. Kalau aku tadi tidak
mengingat pemilik kedai itu kawanku bermain, aku sudah
menyumbat mulutnya dengan daun pisang. Ia menganggap
aku pengecut yang harus bersembunyi. Sekarang kau datang
juga untuk menghina aku. Aku peringatkan kau sekali lagi.
Jangan membuat aku marah."
"Wicitra," berkata Ki Marta Brewok kemudian, "aku minta maaf, bahwa mungkin kata-kataku menyinggung perasaanmu.
Tetapi orang-orang itu benar-benar berbahaya bagimu."
"Cukup," teriak Wicitra. "Sekarang kalian pergi. Aku akan mencari orang-orang itu dan mengatakan kepada mereka
bahwa akulah Pangeran Benawa itu."
"Aku mohon, kau mau mempertimbangkannya, Wicitra."
"Diam, atau aku harus membungkam mulutmu. Pergi.
Cepat pergi atau aku akan mengusir kalian."
Ki Marta Brewok menarik nafas panjang. Kepada ayah
Wicitra, Ki Marta Brewok itu berkata, "Maaf, Ki Sanak. Aku sudah mencoba. Tetapi anakmu tidak mau
mendengarkannya." "Pergi, cepat. Dengar. Orang-orang yang mencari Pangeran
Benawa itu sebentar lagi tentu akan datang kemari. Aku sudah
berpesan kepada banyak orang, bahwa akulah Pangeran
Benawa dan tinggal di rumah ini selama aku berada di
padukuhan ini." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Bagaimana mungkin hal itu kau lakukan, Wicitra," sahut ayahnya. "Orang-orang padukuhan ini mengenalmu sejak kau
kanak-kanak. Mereka tahu bahwa kau sama sekali bukan
pangeran." "Aku tidak peduli. Tetapi itu lebih baik bagi mereka. Orangorang yang mencari Pangeran Benawa itu menakut-nakuti
rakyat padukuhan ini. Mereka akan dapat merusak padukuhan
ini jika mereka tidak menemukan Pangeran Benawa. Karena
itu, aku sudah berpesan kepada mereka, agar mereka
menyurukkan orang-orang itu ke tanganku. Aku akan
membinasakan mereka."
"Tetapi mereka orang-orang berilmu," sahut ayahnya.
"Aku tidak takut," Wicitra itu berteriak. "Aku akan menunggu mereka disini."
Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksipun kemudian beringsut
dan turun dari pendapa. Sementara itu Wicitra masih
berteriak, "Cepat, sebelum aku mendorong kalian dengan
ujung pedang." Ki Marta Brewok, Paksi dan Wijangpun segera
meninggalkan halaman rumah itu. Namun rasa-rasanya
mereka tidak dapat meninggalkan keluarga yang malang itu
begitu saja. Menurut dugaan Ki Marta Brewok, Wijang dan
Paksi, maka Wicitra dan pengawalnya itu tidak akan mungkin
dapat mengalahkan keempat orang yang sedang mencari
Pangeran Benawa itu. Keempat orang itupun tentu berbekal
pengertian, bahwa Pangeran Benawa adalah seorang yang
berilmu sangat tinggi. Karena itu, maka demikian mereka keluar dari regol rumah


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Wicitra, merekapun segera meloncat ke halaman seberang
dan bersembunyi di belakang dinding. Agaknya pemilik rumah
itu sudah lama menutup pintu rumahnya.
Dalam pada itu, seperti yang dikatakan oleh Wicitra, maka
ia telah berpesan kepada banyak orang yang ditemuinya, agar
mereka sengaja memberitahukan kepada orang-orang yang
mencari Pangeran Benawa bahwa Pangeran Benawa ada di
rumah itu. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Akulah yang mereka cari," berkata Wicitra. "Orang-orang di Pajang menyebutku Pangeran Benawa. Mereka iri akan
keberhasilanku, sehingga mereka mencari aku."
Orang-orang padukuhan itu tidak banyak yang tahu arti
dari sebuah sebutan. Ada di antara mereka yang percaya saja,
bahwa Wicitra telah berganti nama dengan Pangeran Benawa.
Untuk beberapa lama Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi
menunggu. Mereka pun yakin, bahwa keempat orang yang
mencari Pangeran Benawa itu akan datang ke rumah Wicitra.
"Ternyata ada juga segi baiknya pada Wicitra," desis Paksi.
"Apa?" bertanya Wijang.
"Ia tahu bahwa jika orang-orang yang mencari Pangeran
Benawa itu tidak menemukannya, maka ia akan
menumpahkan kemarahannya kepada penghuni padukuhan
ini." "Tetapi bukan itu yang penting baginya. Wicitra yang baru saja menyelesaikan laku di sebuah perguruan, ingin mencoba
kemampuannya di samping kesombongannya karena ia sudah
berhasil menjadi orang yang berkecukupan dalam umurnya
yang masih muda itu."
"Ya. Keberhasilannya itu telah membuatnya menjadi sangat
sombong dan bahkan lupa diri. Kasihan kedua orang tuanya
yang sangat mencintainya. Ia adalah anak satu-satunya yang
diharapkan dapat menyambung alur keluarganya. Jika ia
dihancurkan oleh orang-orang yang mencari Pangeran
Benawa, maka terputuslah alur keluarga itu."
"Tetapi Pangeran Benawa tidak akan dibunuh. Ia harus
ditangkap hidup-hidup," desis Paksi.
"Tetapi jika akhirnya diketahui bahwa ia bukan Pangeran
Benawa, ia bukan saja dibunuh. Tetapi ia akan mengalami
perlakuan yang sangat pahit sebelum maut benar-benar
merenggutnya," sahut Ki Marta Brewok.
Paksi mengangguk-angguk. Bahkan Paksi menjadi ngeri
membayangkan apa yang akan dialami Wicitra itu jika
akhirnya diketahui bahwa ia bukan Pangeran Benawa.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Dalam pada itu, Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi itu
sudah menunggu beberapa lama. Bahkan Paksi mulai merasa
mengantuk karena silirnya angin yang berhembus menerpa
wajahnya. Katanya, "Aku justru mengantuk. Perutku kenyang, sementara hembusan angin terasa lembut."
"Jika kau tertidur, kau akan ditinggal disini," desis Wijang.
Paksi tertawa. Katanya, "Kenapa kau tidak ikut tidur saja"
Jika kau tidak dapat tidur, jangan menjadi iri."
Wijang mengerutkan dahinya. Namun kemudian katanya,
"Kau kira aku tidak mengantuk" Tetapi siapa yang tertidur, akan ditinggal."
"Jika Ki Marta Brewok yang tertidur?"
"Kita akan ikut tidur," jawab Wijang. Ki Marta Brewokpun tertawa.
Dalam pada itu, merekapun segera terdiam ketika mereka
mendengar keributan kecil di jalan sebelah. Mereka
mendengar seseorang membentak, "Dimana rumah itu?"
Terdengar jawaban dengan suara bergetar. Agaknya orang
yang menjawab itu berada dalam keadaan ketakutan.
Katanya, "Itu, itu, Ki Sanak. Itu rumahnya."
"Rumah Pangeran Benawa?"
"Maksudku, Pangeran Benawa ada disitu."
"Mari ikut aku. Jika kau berbohong, maka kepalamu akan
terpisah dari tubuhmu."
"Tetapi aku tidak tahu apa-apa."
"Persetan. Kaulah yang telah membawa aku kemari."
Tidak terdengar jawaban. Ki Marta Brewok, Wijang dan Paksi pun telah
memperhatikan perkembangan keadaan itu dengan seksama.
Sejenak kemudian, mereka mendengar geramang orang-orang
itu memasuki regol halaman rumah Wicitra.
Dengan hati-hati Ki Marta Brewokpun mulai mengintip dari
atas dinding halaman yang dibayangi oleh dedaunan perdu
yang rimbun. "Mereka sudah masuk," desis Ki Marta Brewok.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Wijang dan Paksipun kemudian telah berdiri pula dan
melihat pintu regol halaman rumah Wicitra yang terbuka.
Bertiga mereka berusaha untuk dapat melihat apa yang
terjadi di halaman rumah seberang jalan. Meskipun tidak
dalam keseluruhan, namun mereka dapat mengetahui serba
sedikit apa yang terjadi disana.
Ternyata Wicitra sudah berdiri di tangga pendapa
rumahnya sambil bertolak pinggang. Dengan lantang Wicitra
itu bertanya, "Kalian inikah yang mencari Pangeran Benawa di padukuhan ini?"
Keempat orang yang garang itu tiba-tiba menjadi termangu
sejenak. Anak muda yang berdiri di tangga pendapa itu sama
sekali tidak menunjukkan kecemasan.
"Kenapa kalian terdiam" Apakah kalian tuli dan bisu?"
Seorang di antara keempat orang itu melangkah maju
sambil berdesis, "Siapakah kau?"
"Aku adalah orang yang kalian cari."
Orang-orang itu saling berpandangan. Seorang di antara
mereka berkata, "Kami memang belum pernah bertemu
dengan orang yang bernama Pangeran Benawa. Tetapi ciri-ciri
Pangeran Benawa sama sekali tidak sama dengan ciri-ciri yang
ada padamu, anak muda."
"Persetan dengan ciri-ciri," bentak Wicitra. "Apa yang sebenarnya kau kehendaki dengan Pangeran Benawa?"
"Kami mendapat perintah untuk menangkap Pangeran
Benawa hidup-hidup. Nah, jika kau memang Pangeran
Benawa, menyerahlah. Pimpinan kami yang akan
mengenalimu nanti. Jika kau memang Pangeran Benawa,
maka persoalannya kemudian adalah persoalanmu dengan
pimpinanku. Tetapi jika kau bukan Pangeran Benawa, maka
kau akan berurusan dengan aku, karena aku akan menjadi
sangat malu, bahwa aku telah menangkap orang yang keliru."
Wicitra tertawa. Katanya, "Kalian memang orang-orang
yang dungu. Seharusnya kalian tahu, bahwa aku memiliki ilmu
yang tidak ada batasnya. Apakah kalian bermimpi untuk dapat
mengalahkan Pangeran Benawa?"
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Kami tahu bahwa Pangeran Benawa mempunyai ilmu yang
sangat tinggi. Tetapi sebagaimana kau lihat, bahwa kami
datang berempat. Seberapapun tinggi ilmu Pangeran Benawa,
maka kau tidak akan dapat melawan kami."
"Aku juga tidak sendiri," desis Wicitra. "Seorang pengawalku akan ikut bersamaku membantai kalian berempat.
Jangan menyesal kalian berempat akan berkubur disini."
Keempat orang itu mulai tersinggung. Seorang di antaranya
berkata tidak kalah lantangnya, "Menyerahlah. Jika kami harus mempergunakan kekerasan, mungkin kami akan melukai
kulitmu. Apalagi jika kemudian ternyata kau bukan Pangeran
Benawa, maka nasibmu akan menjadi sangat buruk. Tetapi
jika kau menyerah, maka kau akan mendapat keringanan."
"Cukup," teriak Wicitra. "Sekarang kau mau apa" Lakukan apa yang ingin kau lakukan."
Keempat orang itu tiba-tiba saja sudah melangkah
mengambil jarak yang satu dengan yang lain. Yang tertua di
antara merekapun berkata, "Kami harus menangkap Pangeran
Benawa hidup-hidup. Tetapi jika karena perlawanannya
Pangeran Benawa mati, aku harus membawa tubuhnya
menghadap pemimpin kami."
"Persetan," geram Wicitra. "Bersiaplah. Siapakah yang akan mati lebih dahulu."
Wicitra kemudian melangkah turun dari tangga pendapa.
Anak muda itu nampaknya memang tidak mengenal takut
sama sekali. Meskipun empat orang yang datang kepadanya
itu nampak garang, tetapi dengan wajah tengadah Wicitra siap
menghadapi mereka. Sementara itu, seorang pengawalnya
yang tidak kalah garangnya telah bergeser pula justru
mendekati Wicitra yang sudah berdiri di halaman.
Ayah Wicitra berdiri dengan tubuh gemetar. Ia menjadi
bingung. Rasa-rasanya ia ingin meloncat dan memberitahukan
bahwa Wicitra bukan Pangeran Benawa. Tetapi dengan
demikian juga akan dapat berakibat buruk. Justru karena anak
muda itu bukan Pangeran Benawa, maka ia akan diperlakukan
dengan semena-mena. Apalagi setelah Wicitra mengaku
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
sebagai Pangeran Benawa. Bahkan mungkin Wicitra itu akan
dibantai dengan cara yang sangat keji.
Tetapi jika ia masih dianggap sebagai Pangeran Benawa,
maka masih ada kemungkinan untuk tetap hidup, meskipun
pada saatnya ia diketahui bukan Pangeran Benawa, maka
segala-galanya akan berakhir.
Ayah Wicitra itu menjadi sangat bingung.
Dalam keadaan yang demikian, ibu Wicitrapun telah
membuka pintu pringgitan dan menjenguk apa yang telah
terjadi di halaman rumahnya. Ketika ia melihat anaknya dan
seorang pengawalnya berhadapan dengan empat orang yang
garang, maka iapun berlari ke arah suaminya. Sambil
mengguncang lengan suaminya, ibu Wicitra itupun berkata,
"Kakang. Lakukan sesuatu untuk menyelamatkan anakmu,
Kakang." "Aku sudah berusaha, Nyi. Tadi, tiga orang sudah berusaha membantu menyadarkan Wicitra. Tetapi anak itu tidak mau
mendengarkannya. Orang-orang itu bahkan telah diusirnya
dengan kasar, sehingga aku sudah kehilangan akal."
Dalam pada itu, pertempuran di halaman itupun sudah
dimulai. Wicitra harus berhadapan dengan dua orang yang
garang itu, sementara pengawalnyapun harus menghadapi
dua orang yang lain. Pertempuran itupun dengan cepat menjadi sengit. Wicitra
yang merasa memiliki ilmu yang tinggi, segera melibat kedua
orang lawannya. Namun Wicitra itu terkejut. Ternyata kedua lawannya itu
tidak semudah yang dibayangkannya untuk dapat
ditundukkan. Pada benturan-benturan awal, Wicitra sudah
merasakan, betapa tangannya yang menggenggam
pedangnya menjadi pedih. Kedua orang lawannya itu ternyata
memiliki kekuatan yang sangat besar, serta kecepatan gerak
yang tinggi. Untuk beberapa saat lamanya, Wicitra mampu bertahan.
Namun kemudian tekanan lawannya itu terasa menjadi
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
semakin berat sehingga Wicitra setiap kali harus berloncatan
surut. "Iblis manakah yang telah merasuk ke dalam tubuh
mereka," geram Wicitra di dalam hatinya.
Karena itu, maka Wicitra harus mengerahkan segenap
kekuatan dan kemampuannya untuk mempertahankan dirinya.
Sementara itu, pengawalnya juga mengalami kesulitan
melawan dua orang lawan yang tidak kalah garangnya.
Goloknya yang besar sekali-sekali telah membentur senjata
lawannya. Pedang-pedang yang besar dan panjang.
Dalam waktu yang terhitung singkat, pengawal Wicitra itu
sudah harus berloncatan surut untuk mengambil jarak dan
memperbaiki keadaannya, sehingga akhirnya Wicitra itu telah
berdiri terpisah beberapa langkah dari pengawalnya.
Gambaran Wicitra tentang lawan-lawannya memang jauh
berbeda. Wicitra mengira bahwa mereka tidak lebih dari
perampok-perampok yang hanya dapat berteriak-teriak dan
menggertak. Namun ternyata mereka benar-benar memiliki ilmu yang
tinggi. Apalagi Wicitra harus menghadapi dua orang lawan
sekaligus. Namun Wicitra masih beruntung, bahwa lawannya
berusaha untuk tidak membunuhnya. Kedua lawannya masih
berusaha untuk dapat menundukkan Wicitra tanpa
melukainya. Karena itu, maka kedua orang lawan Wicitra itu
dengan sengaja telah berusaha memancing Wicitra agar
mengerahkan tenaganya, sehingga pada suatu saat ia akan
menjadi tidak berdaya lagi.
Tetapi pengawal Wicitra itu mengalami nasib yang buruk.
Ia sama sekali tidak diperlukan oleh keempat orang yang
sedang memburu Pangeran Benawa itu. Karena itu, maka
kedua orang lawannyapun sama sekali tidak menahan diri.
Demikian mereka bertempur, maka serangan-serangan kedua
lawan pengawal Wicitra itu datang beruntun sehingga
pengawal yang nampak garang itu segera terdesak.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bahkan pertahanannyapun mulai ditembus oleh serangan-
serangan lawannya. Ia berteriak marah ketika lengannya
tergores pedang lawannya. Tetapi kemudian justru pundaknya
telah terkoyak. Ketika kemudian lambungnya menganga,
maka iapun menjadi semakin lemah. Darah yang mengalir dari
tubuhnya semakin lama semakin menjadi deras, sehingga
tenaganyapun menjadi cepat menyusut.
Kedua lawannya sama sekali tidak membuat pertimbangan-
pertimbangan lagi. Serangan-serangan mereka justru semakin
menentukan. Pengawal Wicitra itu kemudian berteriak nyaring ketika
ujung pedang lawannya menghunjam ke dadanya.
Sejenak kemudian, maka pengawal Wicitra itupun
terhuyung-huyung. Ketika ujung pedang itu dicabut, maka
iapun jatuh tertelungkup.
Pengawal Wicitra itu tidak sempat menggeliat. Nafasnyapun
telah putus pula, sementara tubuhnya terbaring diam di tanah.
Wicitra terkejut. Ia terlalu yakin akan kemampuan
pengawalnya, sehingga kematiannya benar-benar telah
mengguncang jantungnya. Sementara itu, kedua orang lawannya semakin
menekannya. Apalagi ketika kedua orang yang telah
membunuh pengawalnya itu telah ikut mengepungnya pula.
"Kau tidak mempunyai kesempatan lagi," berkata salah seorang dari orang-orang yang mengepungnya itu. "Jika kau menyerah, kau masih mempunyai kesempatan hidup. Tetapi
jika kau melawan, mungkin senjata kami akan menggores
kulitmu atau bahwa akan menghunjam ke dadamu."
Wicitra menjadi bingung. Empat orang telah
mengepungnya di tengah-tengah halaman rumahnya. Ia
benar-benar menjadi kehilangan akal. Jika ia berterus terang bahwa sebenarnya ia bukan Pangeran Benawa, maka ia tentu
akan dibunuh juga. Wicitra menyesali kesombongannya. Ia tidak mengira
bahwa dunia kanuragan yang mulai diterjuninya adalah dunia
yang sangat buas dan liar.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Kedua orang tuanya menjadi sangat bingung. Ibunya


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menangis tertahan-tahan, sementara ayahnya mencoba untuk
menenangkannya. Tetapi hati ayahnya itu sendiri sama sekali
tidak menjadi tenang. Dalam keadaan yang sangat gawat itu, Wicitra benar-benar
telah kehilangan akal. Ketika empat ujung pedang teracu ke
tubuhnya, maka tiba-tiba saja ia melemparkan senjatanya.
Sambil berjongkok Wicitra itupun merengek seperti kanak-
kanak, "Ampun. Aku mohon ampun."
Keempat orang itu saling berpandangan sejenak. Namun
kemudian salah seorang di antara mereka berkata, "Katakan yang sebenarnya, apakah kau Pangeran Benawa?"
"Tidak. Bukan, aku bukan Pangeran Benawa."
"Anak iblis kau. Kau sudah mencoba membohongi aku.
Bukan karena kebenaran Pangeran Benawa itu yang sangat
menyakitkan, tetapi kau sudah mencoba mempermainkan aku.
Menganggap bahwa aku dan kawan-kawanku tidak lebih dari
pencuri ayam yang dapat dipermainkan. Kau terlalu sombong
dan terlalu merendahkan kami."
"Bukan maksudku. Aku tidak bermaksud apa-apa."
"Kenapa kau mengaku Pangeran Benawa" Bukankah itu
berarti bahwa kau telah menantang kami?"
"Tidak. Aku mohon ampun."
Dalam pada itu, ibu Wicitra itupun telah berlari
menghambur ke halaman. Dengan serta-merta iapun memeluk
anaknya sambil menangis. Katanya, "Aku mohon ampun bagi
anakku. Ia anakku satu-satunya. Ia memang manja. Tetapi ia
anak yang baik." "Persetan dengan anakmu yang hanya satu," seorang di antara
keempat orang itu justru berteriak. "Kaukah yang
menyuruh anakmu mengaku Pangeran Benawa" Kau ingin
punya anak seperti Pangeran Benawa" Atau kau bangga
anakmu disangka Pangeran Benawa?"
"Tidak, aku sama sekali tidak menyuruhnya."
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Namun tiba-tiba ayah Wicitra itulah yang menjawab,
"Akulah yang menyuruhnya mengaku Pangeran Benawa.
Alangkah senangnya punya anak yang dikagumi. Yang ditakuti
tetapi juga dicari banyak orang. Karena itu, jika hal itu kau
anggap salah, akulah yang bersalah. Jika kesalahan itu harus
dihukum, hukumlah aku. Kau dapat membunuhku. Tetapi
jangan anakku. Ia tidak tahu apa-apa. Ia anak baik. Ia sama
sekali tidak sombong sebagaimana kalian duga."
"Kau ayah yang gila. Kau surukkan anakmu ke dalam maut.
Kau dorong anakmu sehingga terjerumus ke dalam jurang
yang penuh dengan batu-batu karang yang runcing."
"Aku memang bersalah. Karena itu, yang sepantasnya
dihukum mati adalah aku. Bukan anakku."
"Aku tidak peduli. Tetapi jika yang kau katakan itu benar, kau dan anakmu harus mati. Kalian berdua sudah menghina
kami." "Ki Sanak," teriak ibu Wicitra yang masih memeluk
anaknya, "jika harus ada dua orang yang dihukum mati,
biarlah suamiku dan aku sajalah yang mati, jangan anakku."
"Cukup," teriak orang yang tertua di antara keempat orang itu.
"Kalian tidak dapat memerintah aku. Biarlah terserah
kepadaku, apa yang akan aku lakukan. Jika kalian membuat
marah aku dan kawan-kawanku, maka kalian akan mengalami
nasib yang paling buruk. Siapapun yang akan aku hukum,
maka anak muda yang mengaku Pangeran Benawa itu akan
mati." "Jangan, jangan," teriak ibu Wicitra.
Wicitra sendiri menangis. Ia menjadi sangat ketakutan.
Kegarangannya tiba-tiba telah larut hanyut bersama arus air
matanya. Katanya tersendat-sendat, "Aku mohon ampun. Aku
mohon ampun. Aku mohon hidup."
"Pengecut licik. Melihat kesombonganmu, tidak pantas kau
merengek seperti ini. Ayo bangkit. Lebih baik kau mati dengan
senjata di tanganmu daripada mati aku jerat kakimu dan aku
gantungkan tubuhmu di dahan pohon nangka itu. Ayo cepat.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Ambil pedangmu. Kita akan bertempur seorang melawan
seorang." "Tidak, aku tidak berani. Aku mohon ampun."
"Cepat." Adalah di luar dugaan, bahwa tiba-tiba saja ayah Wicitra itu
melangkah dengan tenang ke depan. Dipungutnya pedang
Wicitra. Kemudian ia berdiri tegak dengan pedang di tangan
sambil berkata lantang, "Aku yang akan melawanmu. Aku
tidak takut mati. Tetapi aku mohon anakku hidup."
"Tutup mulut, laki-laki gila. Sudah aku katakan, siapapun yang akan mati, tetapi anak ini harus mati. Kau dengar" Tidak
ada gunanya kau melindungi anakmu. Tetapi berkumpullah
kalian bertiga disini, berbaringlah. Aku akan menusuk dadamu
seorang demi seorang."
Suasana menjadi sangat tegang. Sementara itu, orang-
orang yang mencari Pangeran Benawa itu berteriak lantang,
"Cepat. Kalian harus berbaring semua atau mati perlahan-
lahan?" Ketegangan telah mencengkam jantung ayah, ibu dan
Wicitra sendiri yang masih saja merengek. Tetapi justru
karena itu, orang tertua di antara keempat orang itu menjadi
sangat marah. Tiba-tiba saja kakinya menyambar mulut anak
itu dengan kerasnya. "Diam kau monyet kecil. Atau aku akan mengulitimu hidup-
hidup?" Mulut Wicitrapun menjadi berdarah. Tetapi ia tidak dapat
diam. Ia tetap menangis merengek-rengek.
Namun pada keadaan yang demikian, tiba-tiba tiga orang
telah memasuki regol halaman rumah itu. Dengan lantang
yang tertua di antara mereka, Ki Marta Brewok berteriak
nyaring, "Ha, akhirnya kita dapat menemukan Pangeran
Benawa disini." Keempat orang yang sudah siap membunuh itu terkejut.
Mereka serentak berpaling.
"Kami datang untuk menjemput Pangeran Benawa,"
berkata Ki Marta Brewok. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Keempat orang itu termangu-mangu sejenak. Seorang di
antara merekapun kemudian bertanya, "Yang mana yang kau
maksud dengan Pangeran Benawa."
"Yang mana" Apakah kalian belum pernah mengenal
Pangeran Benawa?" "Belum," jawab yang lain.
"Anak muda itu adalah Pangeran Benawa," jawab Ki Marta Brewok sambil menunjuk Wicitra.
"Ia bukan Pangeran Benawa. Ia tidak lebih dari seorang
pembohong yang sombong, tetapi sekaligus pengecut yang
cengeng." Ki Marta Brewok tertawa. Katanya, "Demikian sempurnanya
ia mengelabuhi kalian, sehingga kalian percaya bahwa ia
bukan Pangeran Benawa. Demikian pandainya ia
menyamarkan dirinya."
"Tidak. Ia bukan Pangeran Benawa. Kami sudah siap
membantainya bersama ayah dan ibunya, yang berusaha
melindunginya." Ki Marta Brewok tertawa berkepanjangan. Katanya,
"Cobalah kau berani benar-benar membunuhnya. Maka kalian
akan menjadi adeg pengamun-amun."
Orang itu termangu-mangu sejenak. Sementara Ki Marta
Brewok berkata, "Nah, serahkan saja Pangeran Benawa
kepadaku. Aku akan mengantarkannya kembali ke istana."
Orang tertua di antara keempat orang itu memandang
Wicitra yang ketakutan sejenak. Kemudian memandang ayah
dan ibunya. Ketika kemudian ia memandang Ki Marta Brewok,
maka iapun kemudian berkata, "Kau jangan menambah
kemarahan kami, Ki Sanak. Siapakah kalian dan apakah
sebenarnya kepentingan kalian?"
"Serahkan Pangeran Benawa kepadaku."
"Tidak ada Pangeran Benawa disini," jawab orang itu.
"Jangan menipu aku. Aku sudah mengenal Pangeran
Benawa dengan baik. Anak muda itu adalah Pangeran
Benawa." Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
"Persetan," geram orang itu. "Apakah ia Pangeran Benawa atau bukan, tetapi aku tidak akan menyerahkannya. Kami
sudah bersepakat untuk membunuhnya. Membunuh kedua
orang tua ini pula. Mereka telah menghinakan kami dengan
mengaku sebagai Pangeran Benawa."
"Jika orang itu menurut pendapatmu memang bukan
Pangeran Benawa, serahkan saja kepadaku. Aku akan
menukarnya dengan apa yang kau kehendaki."
Keempat orang itu benar-benar menjadi bimbang. Namun
ketika ia melihat mulut Wicitra berdarah, maka merekapun
yakin bahwa orang itu bukan Pangeran Benawa. Namun
demikian mereka memang tidak berniat menyerahkan anak
muda itu karena mereka sudah berniat membunuhnya saja.
Sementara itu, Ki Marta Brewokpun berkata, "Ki Sanak. Jika tidak kau serahkan Pangeran Benawa itu, maka kita akan
saling berbenturan. Dan itu sangat tidak menguntungkanmu,
karena kami bekerja untuk Harya Wisaka."
"Setan kau. Kami juga bekerja untuk Harya Wisaka," teriak orang tertua di antara keempat orang itu.
"Ada bedanya, Ki Sanak. Kalian hanya orang-orang upahan.
Tetapi kami adalah keluarga Harya Wisaka itu sendiri."
"Kau jangan mengigau. Kami adalah para petugas dari
Harya Wisaka. Kami mendapat kuasa untuk membawa
Pangeran Benawa menghadap langsung Harya Wisaka itu."
"Jadi, kenapa Pangeran Benawa itu akan kau bunuh?"
"Persetan." Ki Marta Brewok itu tertawa. Katanya, "Ternyata kau tidak mengenal Harya Wisaka dengan baik. Karena itu, maka biarlah
aku memberitahukan kepada kalian, bahwa kalian sudah tidak
diperlukan lagi. Demikian Pangeran Benawa dapat kami
ketemukan, maka orang-orang upahan memang harus
dimusnahkan semuanya. Hanya jika kalian dengan sukarela
mengikuti kami dan menyerahkan diri kepada Harya Wisaka,
maka kami tidak akan membunuhmu."
"Gila. Ternyata kalian tidak kalah sombongnya dengan anak muda ini. Karena itu, bersiaplah. Kalianlah yang akan mati
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
lebih dahulu. Kami bertiga akan melawan kalian bertiga,
seorang di antara kami akan menjaga anak muda yang gila
ini." Ki Marta Brewok menarik nafas dalam-dalam. Katanya,
"Kenapa kita harus mempergunakan kekerasan?"
"Kalian adalah iblis-iblis yang harus dibinasakan."
Ki Marta Brewok segera memberi isyarat kepada Paksi dan
Wijang untuk berpencar. Katanya, "Jika kalian melawan, aku tidak mempunyai pilihan lain."
Tiga orang di antara keempat orang itupun telah bergerak.
Yang tertua telah menunjuk seorang di antara mereka untuk
menunggui Wicitra, "Jangan kau bunuh. Tunggu. Aku sendiri ingin membunuhnya dengan caraku."
Orang itu mengangguk. Sementara ketiga orang
kawannyapun telah mempersiapkan diri menghadapi Ki Marta
Brewok, Wijang dan Paksi.
Demikian Paksipun segera memutar tongkatnya, sementara
senjata lawannya sudah mulai teracu pula.
"Gila," geram lawan Paksi. "Kau kira tongkat semacam itu akan dapat kau pergunakan sebagai senjata?"
"Jangan menilai tongkatku," sahut Paksi. "Sudah seribu kali aku mempergunakannya. Aku mengenal tongkatku ini seperti
aku mengenali tangan dan kakiku sendiri. Karena itu, aku tahu
seberapa jauh kemampuannya."
Lawan Paksi itu menggeram. Dengan garangnya ia
memutar senjatanya. Kemudian senjata itu terjulur lurus
menggapai ke arah dada. Paksi sengaja meloncat mundur. Ia belum membenturkan
tongkatnya pada senjata lawannya itu.
Orang-orang itupun kemudian bertempur tanpa mengekang
diri. Seperti saat mereka bertempur melawan pengawal
Wicitra, maka mereka berusaha untuk secepatnya
menyelesaikannya. Menurut penilaian mereka, anak-anak
muda itu ilmunya tentu tidak akan menyamai orang yang
bertubuh kekar dan berwajah garang, yang menjadi pengawal
orang yang mengaku Pangeran Benawa itu.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Karena itu, maka lawan Paksipun itu berharap bahwa dalam
waktu dekat ia dapat menyelesaikannya.
Tetapi ketika senjata mereka mulai berbenturan, maka
orang itupun segera menyadari, bahwa anak muda yang
bersenjata tongkat itu memiliki ilmu yang cukup. Bahkan
lawan Paksi itu menduga, bahwa anak muda itu memiliki
kemampuan lebih tinggi dari anak muda yang mengaku
Pangeran Benawa itu. Ketika orang itu menghentakkan kemampuannya, maka
Paksi memang agak terkejut dan berloncatan surut. Lawannya
yang garang itu dengan kasar telah membentak, "Jangan
menyesali diri. Kau akan mati dengan penuh penyesalan."
Orang itupun benar-benar telah melibat Paksi dengan tanpa
dikekang sama sekali. Paksipun meyakini, bahwa orang-orang itu memang orang-
orang yang tidak berjantung. Pembunuh-pembunuh upahan
yang dapat menghunjamkan pedangnya di tubuh lawannya
dengan tanpa berkedip sama sekali. Paksipun meyakini bahwa
orang itu benar-benar ingin membunuhnya sebagaimana
mereka telah membunuh pengawal Wicitra itu.
Namun dengan demikian, maka Paksipun telah
mendapatkan satu ketetapan, bahwa orang yang demikian itu
tidak akan mungkin dapat berubah. Jika ia tetap hidup, maka
orang itu tentu menimbulkan lagi kematian-kematian di hari-
hari mendatang. "Pembunuhan-pembunuhan semacam itu harus
dihentikan," berkata Paksi di dalam hatinya.
Sementara itu Wijangpun sudah mengambil keputusan
pula. Orang yang bertempur melawannya itu juga benar-benar
akan membunuhnya. Iapun yakin, bahwa tanpa pertolongan,
Wicitra dan keluarganya itu tentu benar-benar akan
dibunuhnya. Karena itu, maka Wijangpun tidak mempunyai
pilihan lain. Lawannya itupun harus dihentikannya untuk
selama-lamanya. Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Karena itu, baik Wijang maupun Paksi tidak lagi merasa
ragu-ragu. Mereka harus bertempur dengan segenap
kemampuannya untuk membunuh lawannya.
Tetapi orang-orang itupun benar-benar mempunyai bekal
yang cukup untuk melakukan pekerjaan mereka. Mereka
memiliki kemampuan yang tinggi, yang dapat mereka jual.
Dengan modal kemampuan itu, mereka menjadi pembunuh
upahan. Upah yang besar untuk pekerjaan yang ringan bagi
mereka. Tetapi saat itu, mereka ternyata membentur seorang yang
berilmu tinggi. Baik lawan Paksi maupun lawan Wijang, tidak


Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

segera mampu mengatasi lawannya. Bahkan dalam benturan-
benturan yang terjadi kemudian, mereka harus mengakui
kenyataan, bahwa anak-anak muda itu berilmu tinggi.
Ki Marta Brewokpun telah bertempur pula melawan orang
tertua di antara keempat orang itu. Dengan tangkasnya Ki
Marta Brewok menekan lawannya yang bersenjata pedang.
Meskipun orang tertua itu juga seorang yang berilmu tinggi,
tetapi berhadapan dengan Ki Marta Brewok, orang itu dengan
cepat merasakan tekanan yang sangat berat.
Sementara itu Ki Marta Brewokpun menilai keempat orang
itu adalah orang-orang yang berbahaya. Ternyata usaha Harya
Wisaka untuk mencari Pangeran Benawa tidak tanggung-
tanggung. Harya Wisaka telah bekerja bersama para prajurit
dan petugas sandi yang dapat dipengaruhinya, perguruan-
perguruan dan orang-orang berilmu tinggi serta orang-orang
upahan yang juga berilmu tinggi. Orang-orang upahan yang
kepalanya hanya dibayangi oleh upah yang besar tanpa
berusaha mengerti apa yang sebenarnya terjadi. Mereka tidak
pernah menilai arti kebenaran dari tugas-tugas yang mereka
lakukan. Meskipun mereka tahu seseorang tidak bersalah
sama sekali, tetapi jika ada orang lain yang mengupahnya
untuk membunuh orang itu, maka pembunuhan itu
dilakukannya juga. Pertempuran di halaman itu semakin lama menjadi semakin
sengit. Lawan Ki Marta Brewok semakin lama semakin
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
terdesak karenanya. Ia tidak dapat mengingkari kenyataan,
bahwa kemampuan orang yang wajahnya ditumbuhi jambang,
kumis dan janggut yang lebat itu memiliki kemampuan yang
sangat tinggi. Ketika terdengar orang itu bersiut nyaring, maka Ki Marta
Brewokpun menjadi semakin berhati-hati. Ia tidak mengerti
arti isyarat itu. Namun Ki Marta Brewok memang menduga,
bahwa akan segera terjadi perubahan di arena pertempuran.
Sebenarnyalah seorang yang mengawasi Wicitra yang
sudah kehilangan kejantanannya itu beringsut sambil
mengancam Wicitra, "Jangan pergi kemanapun juga. Jika kau meninggalkan halaman ini, maka aku akan memotong kedua
tangan dan kakimu serta lidahmu. Kemudian kau akan kami
tinggalkan begitu saja."
Wicitra benar-benar menjadi ketakutan. Ibunya hampir
pingsan membayangkan kemungkinan yang sangat buruk itu,
sementara ayahnya masih saja berdiri termangu-mangu.
Namun ayah Wicitra itu sempat menyaksikan pertempuran
Petualangan Manusia Harimau 2 Pendekar Gila Karya Cao Re Bing Senopati Pamungkas 24
^