Pencarian

Monster Didanau Strawberry 1

Monster Di Danau Strawberry Klub Ilmuwan Edan The Mad Scientists Club Karya Bertrand R. Brinley Bagian 1


THE MAD SCIENTISTS CLUB by Bertrand R. Brinley KLUB ILMUWAN EDAN MONSTER DI DANAU STRAWBERRY
Alihbahasa: Hendarto Setiadi
Penerbit: PT Gramedia Cetakan pertama: Juli 1991
Kisah-kisah ini dipersembahkan pada semua anak lelaki, yang berangan-angan
tentang hal-hal yang ingin mereka lakukan, dan kepada agen saya, Carl Brandt;
tanpa bantuan dan dorongannya yang terus-menerus mungkin saya takkan pernah
menulis kisah-kisah ini. 1. Monster di Danau Strawberry
KETIKA Dinky Poore mengarang cerita mengenai monster di Danau Strawberry,
sebenarnya ia hanya mencari alasan untuk menjelaskan kenapa ia terlambat pulang.
Penuh semangat Dinky bercerita pada orang tuanya, bagaimana ia lari mengelilingi
danau untuk mengamati seekor makhluk aneh yang mirip ular naga.
"...tahu-tahu aku sudah terlalu jauh dari rumah untuk pulang tepat pada
waktunya." Ia mengakhiri penjelasannya.
Ayah dan ibu Dinky tampak kurang percaya. Tetapi kedua adik perempuannya lebih
mudah terpengaruh. Mereka langsung memberondongnya dengan seribu satu pertanyaan
mengenai makhluk aneh itu. Akibatnya, Dinky terpaksa semakin mengada-ada untuk
memuaskan rasa ingin tahu mereka. Itulah repotnya kalau kita sudah mulai
berbohong. Kita harus terus menambahkan 'bumbu penyedap' supaya orang lain mau
percaya. Dalam waktu singkat cerita itu telah menyebar ke seluruh kota, dan Dinky Poore
menjadi orang terkenal di Mammoth Falls. Harian Gazette, satu-satunya koran di
kota kami, bahkan memuat fotonya, lengkap dengan sketsa makhluk aneh yang
dilihat anak itu. Daya khayal Dinky memang hebat. Ia tidak pernah ragu-ragu
untuk mengungkapkan segala macam detil pada ilustrator (juru gambar) di koran
itu. Makhluk ciptaan Dinky nampak mengerikan sekali. Badannya mirip dinosaurus,
dengan punggung bersisik seperti ular naga.
Gambar di koran itulah yang menarik perhatian Henry Mulligan. Henry adalah wakil
ketua perkumpulan kami, Klub Ilmuwan Edan. Ia juga merangkap sebagai kepala
riset. Anaknya terkenal cerdas dan berotak encer. Baik Henry maupun rekan-rekan
yang lain sebenarnya tidak percaya bahwa Dinky benar-benar melihat seekor
monster. Tetapi kami semua tidak keberatan untuk meneruskan lelucon itu,
terutama setelah Henry mengemukakan bahwa kami bisa merakit monster seperti yang
digambarkan di koran. "Merakit monster?" tanya Freddy Muldoon sambil membelalakkan mata. Wajahnya yang
bulat nampak berseri-seri. Ia menyukai ide itu, tetapi belum bisa membayangkan
bagaimana Henry akan mewujudkan rencananya. Freddy menggaruk hidungnya yang
selalu terasa gatal, lalu kembali bertanya, "Maksudmu, monster yang bisa
berenang?" "Huh, macam-macam saja," Dinky mendengus.
"Lho, monster kan harus bisa berenang!" Freddy membela diri. "Eh, aku punya
usul, bagaimana kalau kita menamakannya Dino?" ia lalu menambahkan.
"Dino?" tanya Dinky sambil terheran-heran.
"Ya, Dino, singkatan dari dinosaurus," Freddy menjelaskan. "Rasanya tidak ada
nama yang lebih cocok."
"Namanya tidak perlu dipersoalkan," ujar Henry sambil menggosok-gosok dagu.
"Yang penting, monster itu harus bisa mengambang." Sambil mengerutkan kening, ia
menatap tumpukan kayu di pojok laboratorium. Henry selalu bersikap seperti itu
kalau sedang memikirkan proyek baru.
"Untuk itu kita memerlukan kain kanvas, sedikit kawat ayam, serta perahu
kepunyaan Jeff." Jeff Crocker adalah ketua perkumpulan kami. Ia diangkat sebagai ketua karena
ayahnya pemilik gudang jerami yang kami pakai sebagai markas. Tapi kecuali itu,
Jeff memang tidak kalah cerdas dari Henry. Cara berpikirnya bahkan sedikit lebih
ilmiah. Henry memang selalu mencetuskan gagasan-gagasan baru, tetapi Jeff-lah
yang memikirkan cara untuk mewujudkan rencana-rencana itu. Dan dia juga yang
mencari jalan keluar kalau kami berada dalam kesulitan.
Karena usul Henry untuk merakit monster cukup menarik, maka malam harinya kami
langsung mengadakan rapat resmi untuk membicarakan rencana itu. Acara pemungutan
suara hanya makan waktu lima menit, dan tentu saja kami semua setuju.
Tiga hari kemudian pekerjaan itu sudah hampir rampung. Monster kami, yang sesuai
usul Freddy diberi nama Dino, dirakit di sebuah pulau terpencil di tengah rawa-
rawa di ujung Danau Strawberry. Henry dan Jeff merancang rangka kayu menyerupai
kadal raksasa, yang kemudian dipasang di atas perahu milik Jeff.
Rangka itu kami lapisi dengan kawat ayam, lalu ditutupi dengan kain kanvas.
Dengan bantuan cat serta beberapa kaleng seng yang dipasang di sana-sini, kami
berhasil menciptakan monster yang menakutkan. Setiap orang yang melihatnya dari
jarak agak jauh pasti akan lari terbirit-birit.
Beberapa kali Jeff terpaksa memperingatkan Henry agar jangan terlalu berlebihan.
Namun ia tidak bisa mencegah Henry untuk melengkapi kepala Dino dengan sepasang
mata merah, yang sebenarnya hanya berupa dua buah senter yang dilapisi kertas
berwarna. Henry juga memasang saklar, agar kedua 'mata' itu bisa berkedap-kedip.
Setelah berlatih selama dua hari, kami merasa sanggup melakukan uji coba ke
tengah danau. Kepala Dino berada kira-kira satu seperempat meter di atas
permukaan danau. Kami tidak menemui kesulitan untuk mendayung sambil duduk tegak
di dalamnya. Sementara itu, orang-orang di kota kami masih terus membicarakan pengalaman
Dinky Poore. Sebagian percaya bahwa Dinky tidak mengada-ada, tetapi banyak juga
yang merasa sangsi. Kemudian seorang wartawan dari kota besar datang untuk
mewawancarai Dinky. Ketika orang-orang mengetahui hal itu, banyak di antara
mereka yang tiba-tiba teringat bahwa mereka pun pernah melihat sesuatu yang aneh
di tengah danau. Tak ada yang mau ketinggalan. Semua ingin ikut mengambil
bagian. Mereka sampai berlomba-lomba untuk memberikan informasi terbaru. Foto
Daphne Muldoon bahkan terpampang di halaman pertama pada koran hari Jumat.
Daphne sebenarnya tidak tahu apa-apa mengenai monster itu. Tetapi ia tinggal di
Mammoth Falls dan dikaruniai wajah yang cantik. Daphne adalah salah satu sepupu
Freddy Muldoon. Adik Daphne, Harmon Muldoon, pernah menjadi anggota perkumpulan
kami. Tapi kami terpaksa memecatnya karena kelakuannya tidak seperti ilmuwan,
dan karena ia membocorkan informasi rahasia.
Uji coba perdana dilakukan pada suatu malam Minggu. Kami sengaja memilih malam
Minggu, karena pada hari itu pondok-pondok peristirahatan di tepi danau selalu
penuh dengan pengunjung yang ingin melewatkan akhir pekan di alam segar. Kami
memutuskan untuk menunggu sampai hari mulai gelap, supaya orang-orang tidak bisa
melihat Dino dengan jelas. Kebetulan tempat perakitan monster kami dikelilingi
oleh pulau-pulau kecil yang penuh alang-alang. Dengan demikian kami bisa menuju
ke tengah danau, lalu cepat-cepat kembali ke tempat persembunyian.
Homer Snodgrass, seorang anggota perkumpulan kami, bersedia duduk di teras rumah
orang tuanya di tepi danau. Ia bertugas melaporkan bagaimana penampilan Dino
kalau dilihat dari darat. Jeff dan aku duduk di perahu sambil mendayung.
Mortimer Dalrymple, biang elektronik di perkumpulan kami, duduk di belakang
sambil memegang kemudi. Henry duduk di depan. Ia mengintip ke luar lewat lubang
hidung di kepala Dino. "Bagaimana keadaan di tepi danau?" tanya Jeff.
"Ramai sekali," jawab Henry. "Tapi sepertinya belum ada yang melihat kita.
Padahal keadaan di luar masih cukup terang!"
Keadaan di dalam badan monster kami justru kebalikannya, yaitu gelap gulita. Bau
kanvas dan cat masih tercium dengan jelas. Aku mulai ketawa cekikikan, tapi Jeff
segera menyuruh aku diam. Katanya, tawaku bisa merusak seluruh rencana. Tapi aku
rasa Jeff cuma takut, jangan-jangan dia pun ikut ketawa kalau aku tidak segera
berhenti ketawa. "Tenang saja, Jeff," suara Mortimer terdengar dari belakang. "Kita masih
setengah kilometer dari tepi danau. Orang-orang di sana takkan mendengar apa-
apa, kecuali kalau kita bersorak-sorai seperti orang gila"
Itulah Mortimer. Dia selalu berkepala dingin dalam menghadapi segala sesuatu.
Tiba-tiba Henry berdiri. Gara-gara gerakan mendadak itu, perahu kami hampir
terbalik. "Mereka melihat kita!" ia berseru dengan tegang. "Mereka melihat kita!"
"Hah" Dari mana kau tahu?" Jeff bertanya sambil berbisik.
"Ada sekelompok orang yang sedang berlari ke ujung dermaga. Mereka kelihatan
kalang-kabut. Nah, sekarang mereka menunjuk-nunjuk ke arah kita."
Henry benar. Sayup-sayup terdengar suara orang berteriak-teriak.
"Ayo, goyangkan perahu!" Mortimer memberi aba-aba. "Kita harus memberikan
pertunjukan menarik bagi mereka."
"Hei, pelan-pelan, dong!" Henry mengomel. "Kacamataku kecipratan air. Aku jadi
tidak bisa melihat apa-apa!"
Kami mendengar Henry mengumpat perlahan ketika Mortimer mulai mengibaskan ekor
Dino ke kiri dan ke kanan. Tiba-tiba terdengar suara "Byur!". Pada detik
berikutnya dayungku mengenai sesuatu yang berat dan empuk di dalam air. Lalu
'sesuatu' itu mencoba merebut dayung dari tanganku. Aku mulai ketakutan, dan
memanggil Jeff untuk membantu. Seluruh perahu terguncang dengan hebat.
"Jangan-jangan kita ketemu monster benaran," Mortimer menduga-duga.
"Jangan ngawur!" seru Jeff. "Mana Henry?"
Tepat pada saat itu kepala Henry muncul di sampingku. Tangan kanannya meraih
pinggiran perahu. "Brengsek!" katanya sambil menyemburkan air. "Kacamataku jatuh ke air."
Sambil menahan tawa kami membantu Henry naik ke perahu.
"Ambil alih tugas Henry di depan!" Jeff memerintah sambil mendorong bahuku.
"Kita harus kabur sebelum ada yang mengejar kita dengan perahu motor. Ngomong-
ngomong, Henry, kenapa sih kau terjun ke dalam air?"
Henry diam saja. Ia memang masih terbatuk-batuk karena kebanyakan menelan air
danau. Ketika kembali ke kota malam itu, kami mampir ke Martin's Ice Cream Parlor.
Homer sudah menunggu di sana. Kami duduk di meja pojok, lalu mendengarkan
laporan Homer sambil minum Coca Cola. Pertunjukan kami ternyata sukses besar.
Seluruh kota gempar. Semua orang membicarakan monster yang tiba-tiba menampakkan
diri. Tak ada lagi yang menyangsikan kebenaran cerita Dinky Poore.
"Orang-orang benar-benar panik waktu monster kita muncul di tengah danau," Homer
bercerita. "Salah seorang lalu menelepon polisi, dan lima menit setelah itu
beberapa mobil patroli datang. Para petugas langsung mengarahkan lampu sorot ke
tengah danau. Tapi kalian sudah kembali ke tempat persembunyian, sehingga mereka
tidak melihat apa-apa."
Selama beberapa hari berikut, kami masih beberapa kali lagi membawa Dino ke
tengah danau. Makin lama kami makin cekatan dalam mengendalikannya, sedangkan
para penduduk Mammoth Falls semakin penasaran. Pemimpin Redaksi Harian Gazette
bahkan menawarkan hadiah sebesar seratus dollar bagi siapa saja yang berhasil
memotret makhluk misterius itu.
Dengan cepat berita mengenai monster di Danau Strawberry menyebar. Orang-orang
dari daerah sekitar mulai berdatangan ke Mammoth Falls. Sewa pondok-pondok
peristirahatan di tepi danau langsung melonjak menjadi dua ratus dollar
seminggu, empat kali lipat dari harga biasa. Beberapa keluarga yang tinggal di
tepi danau sampai pindah ke hotel di pusat kota, supaya rumah mereka bisa
disewakan. Lama-kelamaan hotel-hotel dan restoran-restoran mulai kewalahan
menghadapi para pengunjung. Ayah Homer, yang memiliki toko kelontong, mengatakan
bahwa Mammoth Falls belum pernah seramai itu.
Beberapa hari kemudian kami mulai menyadari bahwa kami telah menjadi korban ulah
kami sendiri. Bisnis di Mammoth Falls begitu berkembang, sehingga kami tidak
tega untuk mengakhiri lelucon kami. Permainan terpaksa dilanjutkan, meskipun
kami sendiri sudah mulai lelah.
Tidak lama setelah itu, kami dihadapkan pada kesulitan baru. Suatu hari, seusai
makan siang, Homer Snodgrass berlari ke rumahku.
"Charlie, coba tebak apa yang terjadi!" ia berkata sambil terengah-engah.
"Mana kutahu!" aku membalas.
"Sebutkan kata sandi dulu," ujar Homer.
"Skinamaroo!" kataku.
"Informasi yang akan kauterima bersifat top secret," Homer berkata dengan
serius. "Kau harus bersumpah bahwa kau takkan menceritakannya pada siapa pun
yang bukan anggota perkumpulan kita!"
"Aku bersumpah!"
Homer lalu melaporkan bahwa Harmon Muldoon membawa dua pria ke toko kelontong
ayahnya. Kedua pria itu berasal dari luar kota. Menurut pengakuan mereka
sendiri, mereka datang untuk memburu monster yang menghuni Danau Strawberry. Dan
Harmon telah berjanji untuk membawa mereka ke suatu pulau kecil, di mana mereka
bisa mendirikan tenda. "Bayangkan," ujar Homer, "kedua pemburu itu bawa senapan berburu gajah untuk
menembak Dino! Tapi kebetulan ayahku tidak punya peluru untuk senapan seperti
itu. Karena itu mereka pergi ke Chicago untuk membeli amunisi. Tapi dua hari
lagi mereka akan kembali ke sini!"
Malam harinya kami langsung mengadakan rapat darurat di markas untuk
membicarakan perkembangan yang tidak menguntungkan itu. Semuanya sependapat
bahwa kami tidak bisa meneruskan permainan dengan risiko tertembak oleh senapan
berburu gajah. Tapi Homer mengemukakan bahwa kami juga tidak boleh mengecewakan
orang-orang yang mendapat keuntungan dari para turis. Dinky Poore mengusulkan
untuk menulis surat pada Bapak Presiden dan meminta bantuannya.
Sementara kami masih berdebat, Henry Mulligan mulai menggosok-gosok dagu sambil
melirik ke arah tumpukan kayu. Kami semua terdiam dan menunggu sampai Henry
angkat bicara. Setelah membisu selama beberapa saat, Henry mengarahkan pandangannya pada Jeff.
"Ayahmu punya mesin motor yang bisa dipasang pada perahu, bukan?" ia bertanya.
"Ya," kata Jeff sambil mengangguk. "Kami biasa memakainya untuk memancing di
bagian danau yang dangkal."
"Dan seingatku, motor itu tidak berisik."
"Sama sekali tidak. Ikan-ikan pun tidak terganggu oleh suaranya."
"Oke," ujar Henry. "Kalau saja Homer bisa meminjam beberapa peralatan dari
ayahnya, maka kita bisa merombak mesin perahu itu sehingga dapat dikendalikan
dari jauh. Setelah itu, kita tinggal cari tempat yang cocok di tepi danau,
barangkali salah satu bukit terjal di sebelah utara. Dari sana kita bebas
menjalankan monster kita."
"Dan para pemburu boleh menembak sesuka hati mereka," Mortimer berkomentar
dengan tenang, seperti biasanya.
"Bagus!" Dinky berseru penuh semangat. "Si Harmon pasti kebingungan nanti."
Dalam waktu satu minggu kami telah menyiapkan peralatan elektronik yang
diperlukan untuk mengendalikan mesin perahu milik ayah Jeff dari jauh. Kami bisa
menambah atau mengurangi kecepatannya, membelokkannya ke kiri atau ke kanan, dan
bahkan jalan mundur. Kali ini Jeff membiarkan Henry memasang pompa yang akan
menyemburkan air dari lubang hidung Dino. Jeff juga menyetujui ide Henry yang
lain. Freddy pandai menirukan berbagai macam suara. Karena itu, Henry memutuskan
untuk memasang pengeras suara yang dihubungkan dengan sebuah radio di dalam
perut Dino. Jika Freddy membuat suara aneh-aneh di depan corong mikrofon di pos
pengendalian, maka orang-orang akan menduga bahwa suara itu berasal dari monster
kami. Setelah beristirahat selama satu minggu, Dino mulai beraksi lagi. Pemunculannya
kembali mencatat sukses besar. Sayang Homer, Dinky, dan aku tidak sempat
menyaksikannya secara langsung, soalnya kami bertugas untuk meluncurkan Dino
dari tempat persembunyian. Setelah menghidupkan mesin, kami segera memanggil
Jeff lewat walkie-talkie. Ia mengatur kelanjutannya dari bukit berhutan, tempat
kami memasang segala peralatan. Henry dan Mortimer bertugas mengendalikan Dino.
Mereka membuat matanya berkedap-kedip, dan menyemburkan air lewat hidungnya.
Freddy duduk di depan mikrofon. Berulang kali ia memperdengarkan bunyi yang
merupakan gabungan antara suara gajah dan suara sapi. Dan setiap kali orang-
orang di tepi danau mendadak panik.
Dino kembali ke tempat persembunyiannya sebelum matahari benar-benar tenggelam.
Tapi kami sempat kalang-kabut ketika monster kami melewati salah satu pulau.
Empat atau lima tembakan diarahkan padanya, dan Jeff melaporkan bahwa ia melihat
peluru-peluru menerjang permukaan air. Namun Dino tetap meluncur seakan-akan
tidak terjadi apa-apa. Kedua pemburu yang dibawa oleh Harmon pasti terheran-
heran. Keesokan harinya semua koran memuat berita mengenai monster di Danau Strawberry.
Para saksi mata yang sempat melihatnya berani bersumpah bahwa monster itu sedang
marah. Alasan mereka, monster itu berenang lebih cepat dibandingkan sebelumnya
dan berkali-kali mengeluarkan suara mengerikan. Seorang ilmuwan di New York
menduga bahwa monster itu sedang mengalami musim kawin. Menurut ilmuwan itu ada
kemungkinan bahwa monster yang sempat terlihat bukan satu-satunya yang hidup di
Danau Strawberry. Tiga hari kemudian sekitar seratus lima puluh wartawan koran, majalah, radio,
serta televisi, berkumpul di Mammoth Falls. Beberapa wartawan TV berkemah di


Monster Di Danau Strawberry Klub Ilmuwan Edan The Mad Scientists Club Karya Bertrand R. Brinley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tepi danau, lengkap dengan kamera dan lampu sorot berkekuatan besar.
Selama beberapa hari berikut kami sengaja tidak menampilkan Dino. Kami
memanfaatkan waktunya untuk mengunjungi para wartawan, yang semakin lama semakin
penasaran, Di samping berhasil mengetahui rencana-rencana mereka, kami juga
mendapat tambahan uang saku dengan menjual minuman dingin dan mengerjakan
berbagai tugas. Setiap menjelang waktu makan, kami pergi ke Martin's Ice Cream
Parlor untuk membeli sejumlah hot dog seharga 15 sen, yang kemudian kami bawa ke
tepi danau untuk dijual dengan harga dua kali lipat. Freddy Muldoon berhasil
menjual sebuah teropong tua dengan harga lima dollar, padahal ia hanya membayar
satu dollar sembilanpuluh lima sen waktu membelinya. Dan Henry menukar krim
cukur milik ayahnya dengan beberapa rol film. Sementara itu Mrs. Poore, ibu
Dinky, sibuk membuat kue dan makanan kecil. Tapi keuntungannya tidak seberapa,
sebab sebagian besar disikat habis oleh Dinky dan Freddy. Mereka juga terlalu
banyak minum limun, sehingga Jeff akhirnya melarang mereka untuk menjaga stand
minuman kami. Dari hari ke hari jumlah wartawan di Mammoth Falls semakin membengkak. Beberapa
di antara mereka menyewa perahu motor, dan bergabung dengan kedua pemburu yang
berkemah di pulau. Ada juga yang berusaha mencapai ujung danau yang berawa-rawa
lewat darat. Karena itu, kami memutuskan untuk mencari tempat persembunyian baru
bagi Dino. Kami memilih sebuah gua yang tersembunyi di balik batu karang, kira-kira dua
kilometer sebelah timur daerah rawa-rawa. Kami baru berani memindahkan Dino
setelah larut malam. Ketika itu semua lampu sorot telah dipadamkan, dan orang-
orang sudah tidur pulas. Kami mengikat Dino ke sebuah perahu dayung, lalu
menariknya ke gua itu. Pagi berikutnya, sebelum matahari terbit, Dino muncul kembali, tapi hanya
sebentar saja. Orang-orang yang sudah bangun langsung terperanjat. Teriakan-
teriakan mereka membangunkan para wartawan yang menginap di pulau. Tetapi Dino
berada di tempat yang tak terduga oleh mereka. Pada waktu mereka berhamburan
masuk ke perahu motor mereka, monster kami sudah kembali ke gua.
Pemunculan ini cukup membingungkan para wartawan. Mereka mulai percaya bahwa
memang ada dua monster di Danau Strawberry. Tapi kami pun sadar bahwa sudah
waktunya untuk mengakhiri permainan kami. Begitu banyak orang yang menyelidiki
danau, begitu banyak ekspedisi ilmiah yang hendak meneliti 'keajaiban alam' ini,
sehingga cepat atau lambat pasti ada yang menemukan tempat persembunyian Dino.
Meskipun sebagian besar pengunjung sudah tidak berani naik perahu ke tengah
danau, masih saja ada beberapa wartawan yang secara teratur melakukan patroli,
bahkan ada yang khusus menyewa helikopter untuk itu.
Kami mengadakan rapat untuk membicarakan perkembangan terakhir itu. Dinky Poore
mengutip ucapan Abraham Lincoln (mantan Presiden Amerika Serikat) dengan
mengatakan bahwa kami tidak bisa menipu semua orang secara terus-menerus.
"Sebaiknya kita berhenti saja, mumpung rahasia kita belum terbongkar," ia
mengusulkan. "Kita malah bisa mendapatkan hadiah seratus dollar yang dijanjikan
oleh Pemimpin Redaksi Gazette!"
Tapi Henry membalas bahwa P.T. Barnum (pengusaha terkemuka di Amerika Serikat)
serta banyak politisi telah membuktikan bahwa ucapan Abraham Lincoln tidak
sepenuhnya benar. Homer Snodgrass cenderung untuk meneruskan permainan kami,
karena kedatangan para turis ternyata meningkatkan kesejahteraan penduduk
Mammoth Falls. Namun Mortimer, Jeff, dan aku merasa bahwa kami harus mengakui
perbuatan kami pada Mr. Scragg, Walikota Mammoth Falls. Mr. Scragg memang sudah
mulai cemas karena monster kami membuat Danau Strawberry menjadi tidak aman
untuk berenang dan berperahu. Kami juga khawatir bahwa Harmon Muldoon akan
mencium jejak kami, lalu melaporkan semuanya pada pers. Akhir-akhir ini kami
sering memergokinya berkeliaran di sekitar markas. Dia juga sering berusaha
membuntuti kami. Tak ada yang menyangkal bahwa Harmon berotak cerdas. Lama-
kelamaan dia pasti berhasil membongkar rahasia kami.
Freddy belum datang ketika kami mulai rapat. Tapi tiba-tiba saja ia muncul
sambil tersengal-sengal. "Gawat!" ia berseru. "Sepertinya Harmon sudah tahu perbuatan kita."
Kami langsung memberondong Freddy dengan pertanyaan-pertanyaan. Jeff terpaksa
menyuruh kami diam, supaya Freddy bisa bercerita dengan tenang. Ternyata Harmon
sejak pagi-pagi buta sudah mengutak-atik peralatan radionya. Secara kebetulan ia
menangkap sebuah bunyi aneh, yang kemudian dikenalinya sebagai suara monster
kami. Harmon langsung menyadari bahwa bunyi itu tidak mungkin dipancarkan lewat
radio, kecuali kalau monster itu duduk di depan mikrofon.
"Ya, ampun!" Mortimer berkata sambil menepuk dahi. "Seharusnya kita memang
mengganti frekuensi radio kita setelah Harmon keluar dari perkumpulan kita. Dia
tahu semua frekuensi yang kita gunakan selama ini."
Freddy menjelaskan bahwa Harmon telah mendatangi kantor Gazette, kemudian
melaporkan temuannya pada salah seorang wartawan. Rupanya dia mengharapkan
hadiah uang yang dijanjikan. Namun si wartawan tidak bersedia memuat berita itu
sebelum memperoleh bukti yang lebih kuat. Untuk itu dia akan mengadakan
penyelidikan lebih lanjut. Freddy memperoleh informasi itu dari ayahnya, yang
bekerja di percetakan. Kami tidak memerlukan waktu banyak untuk mengambil keputusan setelah mendengar
berita itu. Untung Mortimer sudah cukup akrab dengan salah satu wartawan yang
datang dari luar kota. Namanya Bud Stewart, dan dia bekerja untuk koran beroplag
besar: Cleveland Plain Dealer. Mortimer dan Jeff segera menemui wartawan itu.
Mereka menceritakan segala sesuatu, tapi baru setelah Mr. Stewart menyetujui
syarat-syarat yang mereka ajukan. Mr. Stewart akan membujuk kantornya untuk
membelikan sebuah oscilloscope (alat untuk menampilkan getaran pada sebuah
monitor) dan sebuah pemancar sepuluh channel bagi perkumpulan kami. Sebagai
gantinya, mereka memperoleh hak eksklusif atas foto-foto monster kami. Kemudian
kami mulai berunding dengan Mr. Stewart untuk menyusun rencana selanjutnya.
Pagi berikutnya kami mengajak wartawan itu ke gua di ujung danau, supaya ia bisa
memotret Dino. Tentu saja ia juga menginginkan foto Dino pada saat tengah
beraksi. Karena itu kami memutuskan untuk menjalankan Dino pada malam hari.
Kalau menunggu lebih lama lagi, maka Harmon punya kesempatan untuk mencari
lokasi pemancar kami. Sementara kami menyiapkan Dino, Mr. Stewart pergi ke
lapangan terbang untuk menyewa sebuah helikopter. Ia akan terbang di atas danau,
tepat sebelum matahari tenggelam. Kami harus langsung menjalankan Dino begitu
helikopternya kelihatan. Setengah jam sebelum waktunya, kami sudah siap di pos masing-masing. Kami harus
menunggu agak lama, tapi akhirnya Mr. Stewart muncul juga. Sambil tersenyum
lebar ia melambaikan tangan dari helikopter. Dino sudah siap berangkat, dan kami
segera menjalankannya. Beberapa dari kami terpaksa menunggu di gua, sehingga
tidak bisa melihat apa yang terjadi selanjutnya. Tapi dari teriakan-teriakan
yang terdengar, kami menarik kesimpulan bahwa penampilan Dino kembali mencatat
sukses besar. Baru belakangan kami mengetahui semua detil, termasuk foto-foto
yang diambil Mr. Stewart.
Para wartawan yang berkemah di pulau rupanya sudah bersiap-siap. Ketika Dino
muncul, mereka segera melompat ke dalam tiga perahu. Sambil membidikkan kamera,
mereka berhasil mendekati monster kami sampai setengah kilometer. Melihat
jaraknya semakin kecil, Jeff memutuskan untuk membawa Dino kembali ke gua. Tapi
Henry tidak berhasil membelokkannya, dan Dino malah menuju sebuah pulau besar di
seberang mulut gua. Pulau ini merupakan puncak sebuah bukit bawah air. Tingginya
mencapai beberapa puluh meter. Dino menghilang di balik bukit itu, dan Jeff
kehilangan kontak. Untuk beberapa saat Dino meluncur tak terkendali. Entah
kenapa monster kami tiba-tiba membalik, lalu menyambut para wartawan yang sedang
mengejarnya. Kami semua terperanjat ketika Dino malah menambah kecepatan.
Sementara itu rombongan wartawan di atas perahu sibuk memberi isyarat pada
rekan-rekan mereka di darat untuk menghidupkan lampu sorot. Ketika mereka
menyadari bahwa monster kami sedang menghampiri mereka sambil menyemburkan air
dan mengedipkan matanya yang merah, mereka langsung panik. Ketiga perahu mereka
segera berputar haluan dan meluncur cepat ke tepi danau yang aman. Tapi karena
terlalu keburu-buru, salah satunya nyaris bertabrakan dengan yang lain, dan
akhirnya terbalik. Serta-merta para penumpang serta seluruh peralatan di atas
perahu itu tercebur ke dalam air.
Henry dan Mortimer menyaksikan kejadian itu dengan mata terbelalak. Sambil
kalang-kabut mereka menekan segala macam tombol yang ada. Namun sia-sia, Dino
tetap tidak bisa dikendalikan.
Tiba-tiba Mortimer berseru, "Ini pasti ulah Harmon Muldoon. Dia pasti sedang
memancarkan sinyal dengan pemancarnya yang lebih kuat dari pemancar kita! Cepat,
Henry, ganti frekuensinya!"
Henry segera menekan tombol darurat yang mematikan mesin di perut monster kami.
Dino langsung kehilangan kecepatan. Kepalanya membungkuk sampai hampir menyentuh
permukaan air. Freddy bersorak kegirangan, tanpa menyadari bahwa ia duduk di
depan mikrofon. Suara yang mirip suara gajah mengamuk itu terdengar di segala
penjuru danau. Orang-orang di darat semakin panik.
"Sekarang pindah ke frekuensi cadangan!" Mortimer berseru, dan Henry pun
menurut. Sejak semula Mortimer memang bersikeras untuk menyiapkan pemancar
cadangan, sekadar untuk berjaga-jaga kalau ada kerusakan pada pemancar utama.
Karena Harmon Muldoon tidak tahu bahwa kami berganti frekuensi, maka dia tidak
bisa berbuat apa-apa lagi.
Dino menuju ke gua, persis seperti seekor sapi yang kembali ke kandangnya. Dan
tepat pada waktunya! Setengah menit kemudian lampu-lampu sorot di darat mulai
menyapu permukaan danau. Namun orang-orang hanya sempat melihat ekor monster
kami menghilang dalam kegelapan.
Dua jam setelah itu, kami menemui Mr. Stewart di Martin's Ice Cream Parlor untuk
membicarakan langkah-langkah selanjutnya. Penyiar yang sedang membacakan warta
berita di radio mengumumkan bahwa Mr. Scragg telah menghubungi Gubernur. Ia
hendak minta bantuan Angkatan Laut untuk membunuh monster, yang membuat Danau
Strawberry menjadi tidak aman. Para wartawan yang terjatuh dari perahu yang
terbalik telah diselamatkan oleh polisi, tetapi mereka marah sekali. Rupanya
mereka berhasil meyakinkan Mr. Scragg bahwa monster kami merupakan ancaman
terhadap keselamatan umum.
Malam harinya kami kembali ke gua dan membongkar seluruh peralatan kami,
termasuk perahu milik Jeff. Kami memasang Dino di atas sebuah rakit tua yang
terdampar di tepi danau. Kemudian kami menarik Dino ke tengah danau, sehingga
paginya semua orang bisa melihatnya. Sebelum kembali ke tepian, Henry dan
Mortimer masih memasang sebuah bom. Kemudian kami pulang ke rumah masing-masing.
Begitu matahari terbit, semua anggota perkumpulan kami sudah berada di pos
pengendalian. Kami melihat sejumlah orang yang sedang mengamati permukaan danau
melalui teropong-teropong mereka. Tapi tak seorang pun berani membawa perahu ke
tengah. Ketika matahari mulai mengintip lewat punggung bukit di sebelah timur
danau, Henry menekan sebuah tombol pada pemancar kami. Seketika Dino
mengeluarkan asap. Dan tiba-tiba seluruh badannya telah terselubung api. Asap
hitam membubung tinggi ke angkasa. Ketika kepulan asap menipis, tak ada yang
tersisa selain genangan oli dan beberapa potong kayu yang terbakar sampai
hangus. Tamatlah riwayat monster di Danau Strawberry.
Kami membereskan segala peralatan, lalu menuju markas. Dinky Poore, anggota
termuda dalam perkumpulan kami, mulai meneteskan air mata. Seluruh keramaian
mengenai monster di Danau Strawberry memang bersumber dari Dinky, dan mungkin ia
merasa seperti kehilangan seorang saudara dekat. Tapi Jeff mengatakan bahwa
Dinky boleh memberikan dua suara dalam rapat berikutnya, dan pada waktu kami
sampai di markas, Dinky sudah tidak menangis.
2. Misteri Telur Raksasa SEANDAINYA Harmon Muldoon mengintai markas kami pada suatu malam di bulan
Agustus yang lalu, maka dia akan melihat semua anggota perkumpulan kami duduk
mengelilingi meja sambil mengamati sebuah benda lonjong sebesar bola sepak. Tapi
mengingat perkembangan selanjutnya, belum tentu juga Harmon tidak mengintip.
Soalnya sampai sekarang pun kami masih ragu-ragu mengenai makhluk purba yang
dikabarkan berkeliaran di rawa-rawa sebelah utara Danau Strawberry.
"Henry, berapa umur benda ini menurutmu?" tanya Freddy Muldoon. Dengan mata
terbelalak ia menatap benda di hadapannya. Kedua sikunya disandarkan di atas
meja dan digunakan untuk menopang pipinya yang gemuk.
"Kurang lebih seratus limapuluh juta tahun," jawab Henry Mulligan.
Mata Freddy semakin lebar. "Ah, apa ada benda setua itu"!" ia berseru dengan
nada ragu. "Tentu saja ada," balas Henry dengan yakin.
"Lalu, apa yang akan kita lakukan dengan benda ini?" Dinky Poore bertanya. Ia
berusaha keras agar tidak menguap lebar-lebar.
"Itu masih perlu kupikirkan," jawab Henry sambil menggosok kacamata. "Aku sudah
punya ide, tapi ide itu masih harus disempurnakan. Tapi dalam beberapa hari ini
penelitian awalnya pasti sudah selesai."
"Kalau begitu aku pulang dulu, deh," ujar Dinky. "Aku sudah tak kuat menahan
kantuk." Langsung saja ia berdiri dari kursinya.
"Tunggu!" seru Freddy Muldoon. "Aku ikut!" Setiap kali Henry punya rencana, maka
kami harus siap-siap membanting tulang. Seperti tadi, misalnya. Sepanjang hari
dia menyuruh kami menggali fosil-fosil kuno di tambang tua di bukit-bukit
sebelah barat Danau Strawberry. Akibatnya kami semua merasa benar-benar lelah.
Dengan hati-hati kami mengangkat benda lonjong yang berada di atas meja, lalu
memasukkannya ke dalam peti yang setengah terisi serbuk gergaji. Sebelum menutup
peti, Henry sekali lagi mengusap permukaan benda itu.
"Sebaiknya kita menyimpannya di lemari besi," ia berkata.
Kemudian kami pulang ke rumah masing-masing. Pikiranku terus tertuju pada benda
yang menurut Henry merupakan sebutir telur dinosaurus. Pertanyaan Dinky Poore
tadi memang beralasan. Apa yang dapat kami lakukan dengan sebutir telur
dinosaurus, kecuali memandangnya" Namun sementara kami telah tertidur pulas,
Henry Mulligan masih sibuk bekerja. Pada saat itu tak seorang pun di antara kami
dapat membayangkan apa yang hendak ia kerjakan. Yang pasti, perbuatan Henry
mengakibatkan sejumlah kejadian yang sampai sekarang pun masih membingungkan
seluruh kota. "Hei, teman-teman! Semalam aku dapat ide bagus!" Dinky berseru ketika menyerbu
ke markas keesokan harinya. "Bagaimana kalau kita mendirikan tenda di pekarangan
rumah Homer, lalu memamerkan telur dinosaurus itu" Kita bisa memungut sepuluh
sen dari setiap orang yang berminat melihatnya."
"Ide hebat!" Freddy Muldoon berkomentar sambil mengunyah kuaci. "Kita bisa
mendapat ratusan ribu dollar dengan cara itu. Orang-orang pasti akan berebutan."
Tapi Homer Snodgrass menggelengkan kepala. "Aku punya usul yang lebih baik," ia
berkata pada Dinky. "Bagaimana kalau kita mendirikan tenda di pekarangan rumahmu
saja, lalu memungut dua puluh sen dari setiap pengunjung?"
"Ayahku pasti tidak mengizinkannya."
"Orangtua memang tidak bisa diajak kompromi," ujar Freddy sambil bertopang dagu.
"Mereka selalu menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan."
"Kalian semua salah kaprah," Henry menanggapi rencana kami. "Telur itu merupakan
keajaiban alam. Mungkin saja ini sebuah temuan penting. Kita tidak boleh mencari
keuntungan dengan telur. itu. Kita malah berkewajiban mengumumkan temuan kita
pada dunia ilmu pengetahuan. Semua orang berhak melihatnya."
"Hmm, pantas saja tidak ada ilmuwan yang kaya," Freddy Muldoon berkomentar.
Henry membuka lemari besi, lalu mengeluarkan peti berisi telur. Di siang hari,
penampilannya biasa-biasa saja, lain sekali dengan kesan yang kuperoleh semalam.
"Rasanya telur ini bertambah ringan," ujar Dinky sambil meletakkannya ke atas
meja. "Tentu saja," ujar Henry. "Semalam kita semua lelah karena terus bekerja
sepanjang hari. Tapi pagi ini ototmu sudah segar lagi."
"Hmm, mungkin juga," Dinky bergumam, lalu memijat-mijat otot lengannya. Dinky
selalu berbuat seperti itu, soalnya dialah yang paling kecil di perkumpulan
kami. Kalau dipikir-pikir, barangkali itu juga sebabnya Freddy sering menggosok-
gosok perut. Dinky selalu berharap agar otot-ototnya bertambah besar, sedangkan
Freddy menginginkan lingkar perutnya berkurang.
Kami membantu Henry mencuci dan mencetak foto telur dinosaurus yang kami ambil
semalam. Kemudian kami memasukkan foto-foto itu ke dalam paket berisi pecahan
kulit telur yang kami temukan di dekat telur yang masih utuh. Mortimer
Dalrymple, satu-satunya anggota perkumpulan kami yang bisa menggunakan mesin
ketik dengan lancar, mencatat ukuran serta berat telur itu. Catatan itu juga
dilampirkan. Henry lalu membawa paket tadi ke kantor pos untuk dikirim ke Museum
Purbakala di New York. Menurut Henry, pakar-pakar di museum itu tahu segala
sesuatu mengenai dinosaurus.
Ketika kembali dari kantor pos, Henry mengumumkan bahwa ia sudah tahu apa yang
harus dilakukan dengan telur itu.
"Kita harus menyumbangkannya ke Museum Purbakala," katanya. "Temuan kita ini
mungkin lebih penting dari yang kita duga. Tapi sebelumnya aku akan mengadakan
percobaan dulu." "Percobaan apa?" tanya Mortimer.
"Aku akan mencoba menetaskan telur ini!" ujar Henry dengan mantap.
Jeff Crocker segera berdiri. Ia menuju pintu, lalu membukanya agar udara segar
bisa masuk. "Henry, kadang-kadang aku tidak bisa membedakan kapan kau bercanda dan kapan kau
serius!" ia berkata sambil mengerutkan kening.


Monster Di Danau Strawberry Klub Ilmuwan Edan The Mad Scientists Club Karya Bertrand R. Brinley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Jadi kita akan melihat bayi dinosaurus?" Dinky Poore bertanya pada Henry.
"Tentu saja! Apa lagi yang mungkin keluar dari sebutir telur dinosaurus?" balas
Henry. "Tapi... telur ini kelihatannya sudah tidak terlalu segar," Homer berkomentar
sambil mengamati telur di hadapannya.
Jeff Crocker mengerutkan alis dan kembali duduk. "Henry, kemarin kaubilang telur
ini sudah berusia seratus limapuluh juta tahun!"
"Memang, tapi pasir di pantai Laut Salton pun penuh dengan telur udang yang
berumur lebih dari dua ribu tahun. Telur-telur itu bisa dibeli di mana-mana.
Kalau dimasukkan ke dalam air, maka dalam waktu dua puluh empat jam kau akan
melihat udang-udang kecil berenang ke sana kemari. Kalau telur udang masih bisa
menetas setelah waktu yang begitu lama, kenapa telur dinosaurus tidak bisa?"
"Ngomong-ngomong, apa sih makanan dinosaurus?" tanya Freddy Muldoon.
Kurang lebih satu jam kemudian kami sudah berada di padang belantara di sebelah
utara Danau Strawberry. Di sinilah kami pernah merakit monster yang
menggemparkan seluruh kota. Jarang sekali ada orang yang mendatangi daerah ini.
Bahkan masih banyak tempat yang belum pernah diinjak oleh kaki manusia. Aku rasa
kami termasuk orang yang paling mengenal daerah ini, tapi kami pun tidak berani
pergi ke tempat-tempat yang terpencil.
Beriring-iringan kami menyusuri jalan setapak yang mengelilingi kaki sebuah
bukit. Tiba-tiba batu-batu kecil mulai berjatuhan dari lereng bukit. Sayup-sayup
kami mendengar suara langkah di tengah semak-semak yang tumbuh subur. Jeff
langsung bergegas ke arah suara itu, tetapi ia tidak menemukan apa-apa.
"Mungkin seekor rubah," ia menduga-duga.
"Mungkin juga anggota STI yang sedang mengintai kegiatan kita," ujar Mortimer
Dalrymple dengan serius. "STI" Singkatan apa itu?" tanya Freddy.
"STI adalah singkatan dari Sindikat Telur Internasional," jawab Mortimer sambil
merendahkan suara. "Sindikat itu beranggotakan penjahat-penjahat berbahaya yang
mencuri telur-telur dinosaurus dari museum. Telur-telur itu lalu dijual pada
para kolektor yang berminat."
"Ah, jangan mengada-ada!" Jeff bergumam. "Kau terlalu banyak baca cerita
detektif murahan." "Aku cuma mau mengingatkan kalian. Di zaman ini kita tidak boleh gegabah," balas
Mortimer. "Agen-agen rahasia ada di mana-mana"
Henry membawa kami ke suatu daerah berpasir putih di tengah-tengah rawa. Hampir
seluruhnya ditumbuhi semak-belukar. Henry lalu menuju tempat terbuka di kaki
sebuah bukit kecil. Kami menggali lubang sedalam kurang lebih setengah meter,
lalu mengubur telur kami di sana. Kemudian kami meletakkan beberapa batu untuk
menandai tempat itu. "Berapa lama kita harus menunggu sampai telur itu menetas?" tanya Dinky.
"Entahlah," jawab Henry. "Itu justru salah satu hal yang akan kita ketahui lewat
percobaan ini. Kalau berhasil, maka kita telah memberikan sumbangan besar
terhadap paleontologi."
"Hus, jangan ngaco!" ujar Freddy Muldoon.
"Tapi bagaimana kalau kita harus menunggu satu tahun, atau lebih?" Dinky kembali
bertanya. "Kita memang harus bersabar," balas Henry.
Namun Dinky dan Freddy tidak sabar menunggu begitu lama. Keesokan harinya mereka
kembali ke daerah rawa-rawa untuk memeriksa perkembangan telur kami. Ketika
kembali ke kota, keduanya segera mencari anggota perkumpulan yang lain. Mereka
menemukan Jeff dan aku di rumah Henry. Kami sedang membantunya mencuci mobil.
"Henry! Henry! Telurnya hilang!" teriak Freddy begitu melihat kami.
"Betul, telur kita hilang secara misterius!" Dinky menambahkan.
"Oh, ya?" Henry menanggapinya dengan tenang.
"Dari mana kalian tahu?" tanya Jeff.
"Kami ke sana dan menggalinya, tapi telur itu tidak ada."
"Bagaimana kalian bisa menggali telur yang tidak ada?" tanya Henry sambil terus
melap kap mesin. "Ah, kau tahu apa maksudku," ujar Freddy. Dengan kesal ia menendang ban mobil.
"Aku yakin, telur kita dicuri oleh Harmon Muldoon," kata Dinky. "Pasti dia yang
bersembunyi di semak-semak waktu kita pergi ke daerah rawa-rawa kemarin."
"Mungkin ada baiknya kalau kita pergi ke sana," Jeff berkomentar sambil melirik
ke arah Henry. "Mungkin saja," balas Henry acuh tak acuh. "Tolong ambilkan sikat yang satu
lagi." "Ayo, apa lagi yang kautunggu?" Dinky mendesak. "Mobil tua ini bisa menunggu.
Telur kita jauh lebih penting."
"Besok pagi saja kita ke sana," kata Henry sambil menyemprotkan air ke kap
mesin. "Kalau telur itu memang sudah tidak ada di sana, maka kita tidak perlu
terburu-buru." "Besok pagi"!" Freddy berseru dengan heran. "Apakah kau tidak ingin tahu apa
yang telah terjadi di sana" Nanti malam kau pasti tidak bisa tidur karena
penasaran." "Kelihatannya justru kau yang penasaran," balas Henry.
"Ya sudah, terserah kau saja!" Freddy akhirnya mengalah.
Keesokan paginya kami segera pergi ke daerah rawa-rawa. Di lapangan pasir tidak
ada tanda-tanda yang mencurigakan. Semuanya tampak biasa-biasa saja. Batu-batu
petunjuk pun masih berada di tempat semula.
"Hei, rupanya ada lagi yang datang ke sini!" seru Dinky. "Kemarin Freddy dan aku
menggali lubang besar di sini. Tapi sekarang lubangnya sudah tertimbun pasir
lagi." "Kalau begitu kita periksa saja apakah telurnya ada atau tidak," Jeff
mengusulkan. Kami menarik beberapa garis lurus dari masing-masing batu petunjuk, lalu mulai
menggali di mana garis-garis itu bersilangan. Ternyata telur dinosaurus kami
masih ada! Langsung saja kami memelototi Dinky dan Freddy.
"Brengsek!" kata Jeff dengan kesal. "Kalian hendak mempermainkan kami, ya"
Seharusnya kalian berdua dilempar ke rawa saja."
Dinky kecil langsung kebingungan. "Sungguh, Jeff! Ada orang lain yang datang ke
sini sebelum Freddy dan aku. Kemarin telurnya tidak ada."
"Sumpah!" Freddy menambahkan sambil mengangkat tangan kanan.
"Barangkali kalian menggali di tempat yang salah. Kalian tidak terlalu ahli
dalam hal ini," Mortimer berkomentar dengan sinis.
"Oke, mungkin saja kami menggali di tempat yang salah. Tapi kalau begitu, kenapa
lubang yang kami gali sekarang sudah tertimbun lagi?" balas Dinky sambil
menendang pasir ke arah Mortimer. Suaranya serak, dan air mata mulai membasahi
pipinya. "Mana kutahu?" jawab Mortimer. "Barangkali kalian hanya bermimpi."
Sementara mereka bertengkar, aku melihat Henry mengeluarkan telur dinosaurus
kami dari lubang. Kemudian ia mengamatinya dengan kaca pembesar. Sambil
tersenyum simpul, Henry lalu mengembalikan telur itu ke tempat semula.
"Ada apa, Henry?" aku bertanya. "Apakah bayi dinosaurusnya sudah kelihatan?"
"Oh, tidak ada apa-apa, Charlie," ujar Henry seakan-akan baru sadar bahwa aku
memperhatikannya. "Tidak ada masalah." Cepat-cepat ia menutupi telur itu dengan
pasir. Tapi bagi Dinky dan Freddy, masalahnya tidak semudah itu. Sepanjang perjalanan
pulang Dinky terus menggerutu. Dan belakangan ia bercerita padaku bahwa ia dan
Freddy merasa yakin bahwa telur itu tidak ada di tempatnya kemarin.
"Dinky dan aku yakin bahwa ini ada sangkut-pautnya dengan Harmon, dan kami akan
menyelidiki rencana sepupuku itu," Freddy menjelaskan.
"Ya, aku dan Freddy akan membuktikan bahwa kami tidak mengada-ada," Dinky
menambahkan. Aku merasa kasihan pada mereka berdua. Karena itu aku bersedia membantu mereka
untuk mengawasi markas perkumpulan Harmon. Itu tidak terlalu sukar, sebab Harmon
dan gangnya selalu bertemu di bengkel tua di belakang rumah Stony Martin.
Bengkel itu menghadap ke Egan's Alley. Di seberang jalan kecil itu terdapat
gudang jerami milik keluarga Blaisdell. Tempat itu cocok sekali untuk mengintai
kegiatan Harmon dan anak buahnya. Kami bisa naik ke loteng gudang, lalu
mengintip lewat lubang angin.
Dulu Pak Blaisdell selalu marah-marah kalau ada yang bermain di gudang
jeraminya. Tapi sekarang ia sudah tua, dan sudah bosan mengejar-ngejar kami. Karena itu ia
akhirnya mengasuransikan gudang jeraminya, lalu membiarkan kami berbuat sesuka
hati. Malam itu kami melihat Stony keluar dari bengkel. Ia menoleh ke kiri dan kanan,
lalu membuang isi sebuah ember ke tong sampah. Kedengarannya seperti batu-batu.
Kemudian ia mengeruk bagian dalam embernya dengan sebuah obeng, dan membilasnya
dengan air. Setelah itu ia masuk lagi.
Dinky langsung curiga. Ia menunggu beberapa saat, lalu menuju bengkel di
seberang jalan. Dengan gesit ia memanjat tiang telepon untuk mengintip melalui
jendela di lantai dua. Freddy dan aku menahan napas sambil berharap-harap agar
tidak ada yang keluar dan memergoki Dinky.
Tiba-tiba kami melihatnya melompat ke atap bengkel, kemudian membaringkan diri.
Pada detik berikutnya Harmon muncul di jendela. Sambil mengerutkan kening, ia
memandang ke segala arah. Setelah yakin bahwa keadaannya aman-aman saja, ia lalu
menutup gorden. Freddy dan aku menarik napas panjang, tapi Dinky tetap saja
berbaring tanpa berani bergerak.
Tidak lama kemudian lampu di bengkel padam. Dengan jelas kami mendengar Harmon
dan Stony menuruni tangga. Mereka keluar dari pintu, menguncinya, lalu
menghilang di kegelapan malam.
Begitu mereka tidak kelihatan lagi, Dinky segera turun lewat tiang telepon.
Dengan tergesa-gesa ia menuju tempat persembunyian kami. Freddy dan aku pun
segera turun. "Ternyata memang Harmon yang mengambil telur kita!" Dinky berkata sambil
terengah-engah. "Aku melihatnya di atas meja,"
Cepat-cepat kami menyeberangi jalan sempit yang memisahkan bengkel di belakang
rumah Stony Martin dengan gudang jerami Pak Blaisdell. Dinky kembali memanjat ke
atas tiang telepon, dan melompat ke atap gudang. Sambil bergantungan pada talang
air, ia lalu menjejakkan kaki pada ambang jendela di lantai dua. Jendelanya
ternyata tidak terkunci. Tanpa kesulitan Dinky berhasil membukanya. Kemudian ia
menuruni tangga sambil meraba-raba mencari jalan, dan membuka pintu dari dalam.
Aku menyelinap masuk, sementara Freddy berjaga-jaga di balik salah satu tong
sampah. Cahaya senter Dinky mengenai sebuah meja yang merapat ke dinding. Telur kami
ternyata ada di tengah-tengahnya. Kami mencari sesuatu untuk membungkusnya, dan
akhirnya menemukan tumpukan karung di salah satu pojok ruangan. Aku langsung
mengambil beberapa karung. Tiba-tiba tanganku menyentuh benda keras. Aku
mengarahkan senterku pada benda itu, yang ternyata sebuah baskom.
"Apa itu, Charlie?" tanya Dinky sambil menunjuk isi baskom. "Kelihatannya kok
seperti bongkahan gips?"
"Rasanya aku tahu apa ini," kataku. "Dan aku juga bisa menebak apa yang telah
terjadi di sini." Kami mengambil telur kami, lalu meletakkannya ke dalam
bongkahan gips di dalam baskom. Ternyata pas sekali!
"Ini adalah cetakan yang terbuat dari gips," aku berbisik pada Dinky. "Apakah
kau punya pikiran yang sama denganku?"
"Yeah! Inilah yang Stony buang ke tempat sampah. Bongkahan-bongkahan gips!"
"Betul, tapi coba lihat gips di dalam baskom ini. Ini adalah cetakan yang dibuat
berdasarkan telur kita. Untuk apa mereka membuat cetakan seperti itu?"
"Untuk membuat telur yang persis sama dengan telur kita," ujar Dinky.
"Tepat sekali! Dan itulah yang tertanam di rawa-rawa sekarang, sebuah telur
palsu yang terbuat dari gips."
"Tapi untuk apa mereka berbuat seperti itu?" tanya Dinky.
"Supaya mereka bisa mengaku bahwa mereka, dan bukan kita yang menemukan telur
dinosaurus itu. Si Harmon memang licik sekali, tapi kali ini dia bakal kena
getahnya." "Apa yang akan kaulakukan?"
"Kita akan mengalahkan mereka dengan cara mereka sendiri," jawabku. "Kita akan
menukar telur dinosaurus yang asli dengan yang palsu, dan mereka takkan tahu
bedanya." Dengan hati-hati kami membungkus telur kami dengan beberapa karung, lalu
langsung keluar. Pintu gudang sengaja tidak kami kunci. Dinky dan aku
membutuhkan waktu hampir dua jam untuk menemukan tempat yang tepat di daerah
rawa-rawa, mengambil telur palsu, kemudian menggantinya dengan telur yang asli.
Setelah itu kami menghabiskan dua jam lagi untuk kembali ke Egan's Alley. Dengan
hati berdebar-debar kami menaiki tangga di bengkel. Tapi karena malam telah
larut, kami sebenarnya tidak perlu khawatir, asal jangan terlalu ribut.
Ketika sampai di atas, kami langsung meraba-raba mencari jalan menuju meja. Aku
mengulurkan tangan untuk menggapai pinggirannya, dan nyaris memekik kaget ketika
menyentuh sesuatu yang mirip tangan orang!
"Memang sudah waktunya kalian kembali ke sini," seseorang berkata dalam gelap.
"Kok lama benar, sih?"
Dinky langsung melompat ke arah tangga, lalu menyalakan senternya. Jantungku
sudah hampir copot, tapi mulai berdenyut lagi waktu aku menyadari bahwa sosok
yang duduk di ujung meja adalah Henry Mulligan.
Untuk sesaat aku hanya bisa diam sambil terheran-heran. Sedang apa Henry di
markas gerombolan Harmon Muldoon" Apakah dia bersekongkol dengan Harmon" Dan
dari mana dia tahu rencana Dinky dan aku"
"Busyet, Henry!" kata Dinky. "Kau hampir membuatku mati ketakutan."
"Sedang apa kau di sini?" aku bertanya setelah suaraku bisa berfungsi lagi.
"Itu tidak penting," balas Henry. "Ayo, kembalikan telur itu pada tempatnya.
Habis itu kita keluar dari sini."
"Henry, ini telur tiruan buatan Harmon!" Dinky mencoba menjelaskan. "Kami
menemukan telur yang asli di sini, lalu membawanya ke daerah rawa-rawa."
"Aku sudah tahu semuanya," Henry menanggapinya dengan tenang. "Kau dan Freddy
pasti ingin membuktikan bahwa dugaan kalian benar, bukan" Ayo cepat, letakkan
telur itu lalu keluar dari sini!"
Aku meletakkan telur itu ke tengah-tengah meja. Kemudian kami bertiga menyelinap
keluar. Paling tidak Dinky dan Freddy sudah membuktikan bahwa mereka benar. Dan
meskipun kami tidak tahu persis rencana Harmon, kami merasa bahwa kami tetap
satu langkah lebih maju. Satu-satunya hal yang belum jelas adalah kelakuan Henry
yang aneh. Dan selama beberapa hari berikut sikapnya malah semakin aneh lagi.
Henry menghabiskan waktu berjam-jam untuk mengutak-atik peralatan radio di
markas kami. Ia sama sekali tidak pernah menyinggung soal dinosaurus. Ia juga
tidak mengizinkan siapa pun untuk mendekati telur kami.
"Jangan khawatir," ia selalu berkata. "Telur itu baik-baik saja."
Suatu hari, kami akhirnya berhasil membujuk Henry untuk pergi memancing. Kami
mengambil sepeda masing-masing, lalu menuju sungai di daerah perbukitan.
Sepanjang siang Henry tidak menangkap satu ikan pun. Kalau dipikir-pikir, Henry
memang jarang sekali menangkap ikan. Kelihatannya orang-orang pintar tidak
berbakat memancing. Mungkin mereka keburu bosan dan kurang sabar menunggu.
Menjelang sore, Henry mengajak kami kembali ke kota. Ketika sampai di rumahnya,
seorang pria sedang menunggu di teras. Pria itu memperkenalkan diri sebagai
wartawan IPTEK dari salah satu koran di Chicago.
"Halo, saya Mr. Bowden dari Harian Globe-Democrat," ia berkata. "Saya ingin
mengajukan beberapa pertanyaan mengenai telur raksasa yang kalian temukan."
"Telur raksasa yang mana?" tanya Freddy Muldoon.
"Telur raksasa yang mungkin merupakan telur dinosaurus," jawab Mr. Bowden.
"Oh, telur itu!" kata Freddy. "Kalau mengenai itu, Anda harus menghubungi Henry
Mulligan. Dia yang bertanggung jawab atas telur itu."
"Terima kasih," balas Mr. Bowden dengan sopan. "Kedatangan saya memang untuk
menemui temanmu itu."
Jeff geleng-geleng kepala, menjewer telinga Freddy, lalu menariknya ke samping.
Kemudian Mr. Bowden menjelaskan bahwa Museum Purbakala di New York telah
mengadakan pengujian terhadap pecahan-pecahan kulit telur yang dikirimkan oleh
Henry. Para pakar di sana menarik kesimpulan bahwa kulit telur itu memang
berasal dari zaman prasejarah. Mereka menduga bahwa telur itu merupakan telur
brontosaurus (salah satu jenis dinosaurus). Mereka sangat tertarik, dan telah
mengutus seseorang untuk pergi ke Mammoth Falls untuk mengadakan pemeriksaan
lebih lanjut. Karena itulah Mr. Bowden datang ke sini. Wartawan-wartawan lain
akan tiba bersamaan dengan utusan dari Museum Purbakala.
"Siapa nama orang itu?" tanya Henry.
"Profesor Mudgeon, seorang paleontolog terkemuka," jawab Mr. Bowden. "Besok pagi
dia akan tiba di sini."
"Jadi, telur yang kami temukan benar-benar berasal dari zaman prasejarah?" tanya
Dinky sambil membelalakkan mata.
"Aku kan sudah bilang bahwa telur itu berusia sekitar seratus limapuluh juta
tahun," ujar Henry dengan ketus. Ia nampak agak tersinggung karena Dinky
meragukan keterangannya. Keesokan harinya kami semua pergi ke Balai Kota untuk menemui Profesor Mudgeon.


Monster Di Danau Strawberry Klub Ilmuwan Edan The Mad Scientists Club Karya Bertrand R. Brinley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ilmuwan terkenal itu mengadakan jumpa pers di sana. Alonzo Scragg, Walikota
Mammoth Falls, juga hadir. Setiap kali ada kejadian yang mungkin dimuat di
koran, Alonzo Scragg pasti tidak mau ketinggalan. Hari ini dia sedang
bergembira-ria. Sambil menepuk-nepuk kepala Henry, Alonzo Scragg
memperkenalkannya pada Profesor Mudgeon. Henry terus berusaha menghindar. Ia
paling benci kalau rambutnya berantakan. Menurutnya, seorang ilmuwan harus
selalu tampil serapi mungkin. Namun penampilan Profesor Mudgeon tidak sesuai
dengan bayangan Henry. Setelan jasnya agak kusut dan kerah bajunya agak kotor.
Kedua matanya nampak bersinar-sinar di balik kacamata tebal.
"Kami sangat bangga karena anak-anak muda ini," ujar Pak Walikota sambil kembali
menepuk-nepuk kepala Henry.
"Tentu saja," balas Profesor Mudgeon. "Temuan mereka mungkin sangat berarti bagi
ilmu pengetahuan." Ia punya kebiasaan untuk menghirup udara lewat celah-celah di
antara giginya setiap kali selesai membuat suatu pernyataan, kemudian tertawa
sambil tetap mengatupkan gigi.
Setelah semua orang dipersilakan duduk, Profesor Mudgeon memberikan penjelasan
singkat mengenai kedatangannya ke Mammoth Falls. Ia juga memberi ceramah singkat
mengenai fosil dinosaurus pada para wartawan. Ketika menjawab pertanyaan salah
seorang kuli tinta, ia menerangkan cara-cara yang digunakan para ilmuwan untuk
menentukan umur sebuah fosil atau tulang-belulang. Waktu menjelaskan cara yang
menggunakan uranium, wartawan Gazette, satu-satunya koran yang terbit di Mammoth
Falls, langsung berdiri. Penuh semangat ia bertanya apakah telur yang ditemukan
mengandung bahan radioaktif, dan apakah radiasinya berbahaya bagi masyarakat.
"Saya kira tidak!" jawab Profesor Mudgeon sambil ketawa dengan gayanya yang
khas. "Ya, ampun," Henry mendesah tertahan, "wartawan itu bikin malu saja."
"Kapan kami bisa melihat telur itu?" wartawan lain lalu bertanya.
"Well, itu tergantung pada anak-anak muda ini," ujar Pak Profesor sambil menatap
ke arah Henry. "Saya sendiri juga belum melihatnya. Saya bahkan tidak tahu di
mana telur itu berada"
"Kami menguburnya di tempat yang aman," Henry berkata dengan tenang.
"Menguburnya" Untuk apa?"
"Kami ingin tahu apakah telur itu masih bisa menetas!"
Ucapan Henry membuat semua orang terpingkal-pingkal. Profesor Mudgeon pun ikut
ketawa, kali ini sambil membuka mulut lebar-lebar. Ledakan tawa kedua segera
menyusul ketika wartawan Gazette bertanya apakah ada kemungkinan bahwa telur itu
memang masih bisa menetas.
"Oh, tentu saja tidak!" kata Profesor Mudgeon sambil geleng-geleng. Namun tiba-
tiba wajahnya kembali serius, dan ia mulai bersikap seperti seorang ilmuwan
lagi. "Di pihak lain," ia menambahkan, "saya juga tidak bisa memastikannya. Hal-
hal seperti itu ditentukan oleh Yang Mahakuasa"
Pak Walikota begitu riang, sehingga ia menawarkan jasa polisi dan pemadam
kebakaran untuk membawa semua orang ke tepi daerah rawa-rawa. Ia bahkan
meminjamkan sepasang sarung tangan kulit bekas dipakai dalam Perang Dunia I pada
Profesor Mudgeon. Sepanjang jalan ia terus mempromosikan Mammoth Falls sebagai
tempat penting bagi penelitian geologi.
"Hmm, menarik. Menarik sekali," Profesor Mudgeon menanggapinya dengan sopan.
Sejumlah orang yang tidak diundang membuntuti rombongan kami, termasuk Harmon
Muldoon dan beberapa anggota gerombolannya. Dinky Poore berlari mendahului kami
semua, agar dapat menunjukkan tempat telur kami disembunyikan. Ketika kami
sampai di kaki bukit di mana hamparan pasir menjorok ke rawa-rawa, ia tiba-tiba
muncul dari balik semak-semak sambil berseru, "Telurnya menetas! Dan bayi
dinosaurusnya lenyap!"
Semua orang nampak terperangah. Ternyata Dinky tidak mengada-ada. Ketika kami
mencapai lapangan kecil itu, kami hanya menemukan pecahan-pecahan kulit telur
tergeletak dalam lubang dangkal di pasir. Profesor Mudgeon berhenti di pinggir
lapangan, lalu meminta semua orang untuk mundur satu langkah. Dengan seksama ia
mengamati permukaan pasir, kemudian berjalan ke tepi air. Di sana terdapat
sejumlah jejak di pasir yang basah. Profesor Mudgeon menegakkan tubuh, dan
mengeluarkan kaca pembesar dari kantong jasnya. Setelah itu ia membungkuk lagi,
dan mulai memeriksa jejak-jejak itu dengan teliti.
Jejak itu memang seperti jejak seekor binatang tak dikenal. Bentuknya agak mirip
cakar ayam, tapi dengan jari yang lebih panjang. Jejak itu menyusuri tepi air,
lalu menghilang di antara semak-semak di mana pasirnya lebih kering.
Profesor Mudgeon menghabiskan beberapa menit untuk meneliti jejak itu. Kemudian
ia menuju lubang di pasir. Sambil berjongkok ia memungut dua pecahan kulit
telur. Akhirnya ia mendengus dan berdiri.
"Cerdik, cerdik sekali!" ia berkata. "Tapi semuanya hanya sebuah penipuan!"
"Hah?"?" Alonzo Scragg berseru kaget. Para wartawan langsung mulai berbisik-
bisik, lalu menghujani Profesor Mudgeon dengan berbagai pertanyaan. Di sela-sela
kegaduhan, aku mendengar Harmon Muldoon ketawa sinis. Untuk mendukung
pernyataannya, Pak Profesor memungut sepotong pecahan kulit telur, meremukkannya
sampai menjadi butir-butir halus, kemudian menjilatnya.
"Hmm, ini adalah gips yang biasa dipakai untuk membalut tulang yang patah,"
katanya sambil meludah. Wajah Pak Walikota menjadi merah-padam. Dengan geram ia memelototi Henry
Mulligan, aku, dan anggota perkumpulan yang lain. Kemudian ia kembali berpaling
pada Profesor Mudgeon. Ilmuwan itu kini sedang memeriksa jejak di pasir.
"Seseorang telah bersusah-payah untuk meniru jejak bayi brontosaurus," katanya.
"Dan usahanya cukup berhasil. Tapi ada satu hal yang luput dari perhatian orang
itu. Brontosaurus mempunyai ekor yang panjang dan berat, yang hampir tidak bisa
diangkat dari tanah. Tapi di sini tidak ada jejak ekor yang diseret di atas
pasir." Kemudian ia menoleh ke arah Alonzo Scragg. "Saya sungguh menyesal, Pak
Walikota. Tapi terus-terang saja, saya agak kecewa karena telah datang ke sini
hanya untuk menjadi korban penipuan."
"Saya pun sangat menyesal, Profesor Mudhen," ujar Alonzo Scragg dengan berapi-
api. "Hal-hal seperti inilah yang menyulitkan tugas saya sebagai Walikota
Mammoth Falls." "Mudgeon!" kata Pak Profesor.
"Maksud Anda?" "Mudgeon!" Ilmuwan itu mengulangi. "Nama saya Mudgeon, bukan Mudhen!"
"Oh, maafkan kekeliruan saya," Pak Walikota berkata cepat-cepat.
"Ah, tidak apa-apa. Saya sudah terbiasa," balas Profesor Mudgeon.
Beberapa wartawan mulai memotret jejak kaki serta pecahan kulit telur. Sejumlah
wartawan lain mencoba mengorek keterangan dari Henry, tapi Henry tidak bersedia.
"Saya belum siap membuat pernyataan," ia berkata pada mereka, lalu bergabung
dengan kami. "Kenapa jadi begini?" tanya Jeff. "Sebenarnya, itu telur kita atau bukan, sih?"
Tapi Henry hanya mengangkat bahu, kemudian malah menjauhi kami.
"Ini pasti gara-gara kalian," Jeff langsung memarahi Dinky, Freddy, dan aku.
"Yeah!" Mortimer mendukungnya. "Kalian pasti mengambil telur yang asli, lalu
membawanya ke markas Harmon. Gara-gara kalian, semuanya jadi kacau-balau!"
"Omong kosong!" balas Dinky karena tidak tahu apa lagi yang harus dikatakannya.
Kami menunggu perkembangan selanjutnya. Kami sama sekali tidak tahu kenapa
urusannya bisa jadi begini.
Sementara itu, Pak Walikota sibuk meminta maaf pada Profesor Mudgeon, tetapi
ilmuwan itu tidak memperhatikannya. Ia berdiri di tengah lapangan sambil
menggigit-gigit tangkai kacamatanya dan bergumam tak jelas.
"Yang saya tidak mengerti," ia akhirnya berkata, "adalah bahwa sahabat saya,
Profesor Hoffmeister dari Museum Purbakala, begitu yakin bahwa pecahan kulit
telur yang dikirimkan padanya memang berasal dari zaman prasejarah. Dia mungkin
keliru kalau hanya mengamati sebuah foto. Tapi pecahan-pecahan kulit telur itu
sudah diperiksa secara ilmiah. Saya tidak mengerti, sama sekali tidak mengerti."
"Barangkali telur itu memang tidak pernah ada," seorang wartawan mengemukakan
dugaannya. "Mungkin anak-anak ini hanya menemukan pecahan kulit telur, lalu
menciptakan sebuah telur utuh."
"Hmm, barangkali memang begitu," ujar Profesor Mudgeon. "Tapi kalau begitu,
mereka sangat cerdik dan teliti. Soalnya berat dan ukuran telur yang dikirim ke
Museum Nasional cocok sekali dengan perkiraan kami mengenai telur seekor
brontosaurus." "Maaf, Pak Profesor!" sebuah suara terdengar dari tengah-tengah kerumunan orang.
"Saya bisa menunjukkan di mana telur yang asli berada."
"Apa"!" Harmon Muldoon dan Stony Martin maju ke tengah lapangan. "Kami yang menemukan
telur itu," kata Harmon. "Kemudian saya membuat sebuah telur tiruan dan
menguburnya di tambang tua, sekadar untuk mengelabui yang lain. Siasat saya
ternyata berhasil. Mereka menghabiskan waktu dua minggu untuk menetaskan sebuah
bongkahan gips." "Kalau begitu, pasti kau juga yang membuat jejak bayi binatang purba itu!"
"Ya," jawab Harmon dengan bangga.
"Kau memang anak muda yang cerdik," Profesor Mudgeon memuji. "Sekarang tolong
perlihatkan telur yang asli."
"Telurnya ada di markas kami," kata Harmon. Langsung saja ia berbalik, lalu
mulai menyusuri jalan setapak ke arah kota.
"Dari dulu saya memang sudah melihat bakat terpendam dalam diri Harmon," Pak
Walikota mulai berkoar lagi. "Anaknya berotak cerdas. Dia patut mendapat
pujian." Sementara itu para anggota perkumpulan kami agak tertinggal di belakang
rombongan utama. Kami semua merasa lesu dan tak bergairah. Tiba-tiba aku
menyadari bahwa Henry tidak berada di antara kami. Aku menoleh ke belakang dan
melihatnya sedang mencari sesuatu di antara bongkahan-bongkahan gips di pasir.
Ia memungut sesuatu, kemudian memasukkannya ke dalam kantong celana. Ketika
bergabung lagi dengan kami, senyum misterius kembali tersungging di bibir Henry.
Keadaan di lantai dua di bengkel di belakang rumah Stony Martin cukup panas. Pak
Walikota nampak sibuk melap keringat yang membasahi keningnya. Ketika Profesor
Mudgeon melihat sebutir telur besar di atas meja, ia segera menghirup udara
dengan gayanya yang khas, lalu menghampirinya dengan tangan terjulur ke depan.
"Ah, itu dial" ia berseru dengan gembira. "Indah sekali!"
Para wartawan segera mengerumuninya, ketika ia membungkuk sambil memegang kaca
pembesar. Entah bagaimana, Henry berhasil menembus kerumunan itu, dan kini
berdiri di sebelah kanan Profesor Mudgeon.
"Cahaya di sini kurang baik, Pak Profesor," katanya. "Bagaimana kalau kita bawa
telur ini ke dekat jendela?"
"Ide yang bagus," jawab Profesor Mudgeon, "tapi kita harus berhati-hati sekali.
Telur ini mungkin merupakan fosil yang tak ternilai harganya bagi ilmu
pengetahuan." "Oh, tentu saja," ujar Henry sambil memutar-mutar telur itu perlahan-lahan.
"Tunggu dulu! Biar aku saja yang membawanya," kata Harmon Muldoon. Langsung saja
ia mencengkeram tangan Henry.
"Awas!" teriak Henry. Telur itu terlepas dari tangannya, jatuh ke lantai, lalu
pecah berantakan. "Aduh, maaf, Harmon!" kata Henry. "Biar aku yang
membereskannya." "Biarkan saja," balas Harmon sambil memandang pecahan telur yang tergeletak di
lantai. "Kelihatannya kau yang menang." Dengan kesal ia menginjak sepotong gips sampai
remuk. Tiba-tiba ia melihat sebuah benda mengkilap. Cepat-cepat Harmon
membungkuk dan memungutnya. "Hei, ini cincinku!" ia berkata. "Aku mencopotnya
waktu mengaduk..." "Mengaduk apa?" Henry bertanya dengan polos.
"Mengaduk... Ah, itu tidak penting," Harmon berusaha mengelak. Kemudian ia
menatap tajam ke arah Henry. "Lho! Ini kan telur yang kucetak untuk ditanam di
rawa"! Bagaimana telurnya bisa kembali ke sini?"
"Aku pun tidak tahu," Henry menanggapinya.
"Tapi telur di rawa..."
"...adalah telur tiruan!" Henry menyambung.
"Berarti selama ini kau selalu satu langkah lebih maju"!"
Profesor Mudgeon berdehem. "Maaf, tapi saya benar-benar tidak mengerti apa yang
sedang terjadi." "Bukan Anda saja, Pak Profesor!" Dinky menimpali. Dengan wajah merah ia
menghampiri Henry. "Apakah ini berarti bahwa kau membiarkan kami mondar-mandir
ke rawa-rawa untuk menukar telur tiruan dengan telur tiruan yang lain?"
"Aku tidak pernah menyuruh kalian menukar telur-telur itu," Henry membalas
dengan tenang. "Tingkahmu sama sekali tidak seperti ilmuwan, Henry!" Dinky menggerutu.
"Memang tidak," ujar Henry. "Tapi kapan lagi aku bisa menikmati lelucon seperti
ini?" "Yang pasti, kau berhasil mengelabui aku," Harmon mengakui. "Aku benar-benar
percaya bahwa kalian menemukan sebutir telur dinosaurus di tambang tua itu."
"Kami memang menemukan sebutir telur dinosaurus."
"Hah"!" Para wartawan langsung pasang telinga ketika mendengar ucapan itu. Penuh
semangat mereka memberondong Henry dengan berbagai pertanyaan. Tapi semuanya
dikalahkan oleh suara Alonzo Scragg.
"Kalau begitu mana telurnya?" Walikota Mammoth Falls itu berseru.
"Kami menyembunyikannya di daerah rawa-rawa," ujar Henry sambil menggosok-gosok
kacamatanya. "Ya, Tuhan! Jadi kita harus kembali ke sana?" Pak Walikota mendesah sambil
menatap sepatunya yang penuh lumpur.
"Tunggu sebentar! Ada satu hal yang ingin saya tanyakan," kata Mr. Bowden. "Para
pembaca koran saya pasti ingin tahu kenapa kalian mengubur telur itu, dan kenapa
kalian membawa kami berputar-putar dulu"
"Soal itu saya perlu minta maaf," Henry berkata. "Tapi tanpa menyebut nama, saya
sudah punya firasat bahwa seseorang akan mencoba menukar telur yang asli dengan
sebutir telur tiruan. Karena itu saya segera membuat cetakan dari gips, kemudian
mengubur telur yang asli. Saya terpaksa membawa Anda semua ke tempat telur
tiruan itu, sebab tanpa itu ceritanya tidak akan lengkap."
"Dan kedok si penipu takkan terbongkar," Alonzo Scragg menambahkan sambil
memelototi Harmon Muldoon.
"Saya rasa Pak Profesor pun sependapat bahwa seorang ilmuwan harus melindungi
setiap temuannya," Henry berkomentar.
Kali ini giliran Profesor Mudgeon menggosok-gosok kacamata. "Ya... ehm...
betul," ia tergagap-gagap. "Sayang sekali sejarah telah sering memberi contoh
mengenai usaha penipuan dalam ilmu pengetahuan alam, terutama dalam bidang
paleontologi." "Seperti kasus Manusia Piltdown, kasus penipuan fosil manusia purba yang terjadi
di Inggris?" tanya Mr. Bowden.
Kami menuruni tangga, lalu kembali menyusuri Egan's Alley. Pak Walikota kembali
berjalan di sebelah Profesor Mudgeon. "Harmon Muldoon memang selalu bikin onar,"
ia berbisik dengan gaya sok akrab.
"Menarik! Menarik sekali!" Profesor Mudgeon menanggapinya.
Henry membawa kami ke bagian rawa-rawa yang lain, tidak jauh dari tempat Jalan
White Fork membelok ke daerah perbukitan. Beberapa puluh meter dari jalan itu,
di kaki sebuah tebing terjal, ia berhenti di tengah-tengah lapangan pasir putih
lalu mulai menggali. Dalam waktu singkat ia telah mengeluarkan sebutir telur
raksasa. Dinky membawanya ke Profesor Mudgeon untuk diperiksa.
"Sekarang aku baru mengerti kenapa telur yang kubawa waktu itu terasa begitu
ringan," katanya. Profesor Mudgeon benar-benar bersemangat, dan Pak Walikota membusungkan dada
dengan bangga. "Fosil ini indah sekali," kata Pak Profesor.
"Menurut saya sih biasa-biasa saja," Pak Walikota berkomentar. "Tapi Andalah
ahlinya, Pak Profesor."
Sementara Profesor Mudgeon memeriksa telur kami, dan semua orang yang membawa
kamera sibuk memotretnya, aku memperhatikan Henry memungut sesuatu dari lubang
di pasir. "Apa itu?" aku segera bertanya. Benda itu nampak seperti alat pemancar mini yang
pernah kami rakit beberapa waktu lalu.
"Aku pasang jebakan di sini," Henry menjelaskan sambil menyodorkan benda di
tangannya. Benda itu ternyata sebuah alat pemancar yang telah dilengkapi dengan
detektor yang peka terhadap perubahan tekanan.
"Selama telur kita masih berada di atasnya, alat ini terus mengirimkan sinyal
yang bisa ditangkap di markas kita," kata Henry. "Tapi jika seseorang
memindahkan telurnya, maka sinyalnya pun terputus, dan aku tahu bahwa ada yang
tidak beres." "Oh, pantas kau tenang-tenang saja selama ini."
"Ya! Aku tahu bahwa telur yang asli berada di tempat yang aman. Setiap kali aku
merasa perlu menceknya, aku tinggal menghidupkan radio di markas."
Kemudian aku menatap tajam ke arahnya. "Henry," kataku, "apakah itu yang
kaukantongi waktu kita menggali telur tiruan tadi" Apakah karena itu kau tahu
bahwa kami berada di bengkel di belakang rumah Stony Martin?"


Monster Di Danau Strawberry Klub Ilmuwan Edan The Mad Scientists Club Karya Bertrand R. Brinley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oh, itu?" ujar Henry. "Kalau itu agak lain. Waktu mencetak telur tiruan, aku
memasukkan sebuah pemancar mini ke dalam adonan gips. Ke mana pun telur itu
berpindah, aku selalu bisa melacaknya dengan antene pengarah kita."
"Jadi kau melacak kami dari bengkel ke rawa-rawa, lalu menyelinap ke sana untuk
menakut-nakuti kami!"
"Bukan begitu! Aku hanya ingin memastikan bahwa kalian baik-baik saja."
Kemudian pikiran lain terlintas di kepalaku.
"Berarti dari semula kau sudah tahu bahwa Harmon menukar telur dan ke mana ia
membawanya?" "Betul." "Tapi kau membiarkan Dinky dan Freddy dijadikan bulan-bulanan karena menyangka
bahwa telur kita dicuri!"
"Dalam hal ini aku memang bersalah," Henry mengakui. "Tapi aku tidak ingin
mengacaukan rencanaku. Seandainya aku mengatakan bahwa telur kita dicuri, maka
kalian pasti langsung menyerbu ke markas Harmon."
Ketika Profesor Mudgeon selesai dengan pemeriksaannya, ia segera mengumumkan
bahwa telur kami benar-benar sebutir telur dinosaurus. Ia juga bertanya pada Pak
Walikota apakah pihak museum dan universitas dapat memperoleh izin Dewan Kota
untuk melakukan penelitian lebih lanjut. Menurut ilmuwan itu, tambang tua tempat
kami menemukan telur raksasa mungkin masih menyimpan fosil-fosil lain. Sebagai
orang yang tidak pernah menghalangi kemajuan ilmu pengetahuan, ataupun kemajuan
pariwisata, Alonzo Scragg segera berjanji bahwa kota kami akan memberikan segala
bantuan yang diperlukan. "Apa yang akan Anda lakukan dengan telur ini?" salah seorang wartawan bertanya
pada Profesor Mudgeon. Profesor Mudgeon menatap Pak Walikota, dan Pak Walikota berpaling pada Henry.
"Apa yang akan kaulakukan dengan telur ini?" ia bertanya.
"Biasanya temuan seperti ini diserahkan pada museum," kata Henry.
"Kecuali kalau telur itu keburu jatuh ke tangan Sindikat Telur Internasional,"
Mortimer Dalrymple bergumam.
"Saya yakin, Museum Purbakala akan sangat gembira jika mendapat sumbangan
seperti ini," Profesor Mudgeon mengusulkan secara halus.
"Saya kira memang begitu," Henry berkomentar sambil berpikir. "Tapi di pihak
lain, apakah Anda keberatan kalau kami berusaha menetaskan telurnya dulu" Pihak
Museum Purbakala pasti lebih gembira lagi kalau mereka memperoleh seekor
brontosaurus dalam keadaan hidup."
"Wah, saya seratus persen sependapat denganmu," ujar Profesor Mudgeon di tengah-
tengah tawa yang membahana. Sambil membungkuk penuh hormat, ia lalu menambahkan,
"Silakan lanjutkan percobaan Anda, Profesor Mulligan. Pihak Museum dan saya akan
sabar menunggu giliran kami."
"Silakan, Pak Profesor," kata Henry sambil berpaling ke arah jalan setapak yang
menuju tempat parkir mobil-mobil.
"Saya akan mengikuti langkah Anda," balas Profesor Mudgeon.
Sementara keduanya masih sibuk saling mempersilakan jalan di depan, Pak Walikota
mengambil kesempatan untuk memimpin rombongan kami. Wajahnya nampak berseri-
seri. Selama beberapa minggu berikut kami secara teratur memeriksa perkembangan telur
kami. Tak ada perubahan sama sekali, sampai pada suatu hari Dinky dan Freddy
tiba-tiba muncul di rumah Jeff.
"Telurnya menetas!" mereka melaporkan sambil terengah-engah. "Telurnya menetas!"
"Sumpah, Jeff! Biar aku kesambar petir kalau bohong," Freddy menambahkan.
Kami langsung mengambil sepeda masing-masing, lalu menuju tempat Henry mengubur
telur itu. "Tuh, lihat saja sendiri!" seru Dinky begitu kami berhenti di kaki tebing. Ia
menunjuk ke sebuah lubang dangkal. Telur kami nampak terpecah menjadi tiga
bagian. Di tepi air terdapat jejak kaki yang sudah pernah kami lihat sebelumnya.
Tapi kali ini ada sebuah garis panjang di pasir yang basah.
"Itu jejak ekornya! Itu jejak ekornya!" Freddy bersorak sambil melompat-lompat.
Kami mencari di antara semak-semak, lalu menyusuri tepi danau sejauh beberapa
ratus meter ke kiri dan kanan. Tetapi kami tidak menemukan apa-apa.
"Dia tidak mungkin masuk ke dalam air," kata Dinky. "Dinosaurus kan tidak bisa berenang."
"Betul," ujar Henry sambil mengangguk. "Mereka hanya masuk ke air yang dangkal
setelah tubuh mereka menjadi terlalu berat untuk berdiri tegak di darat. Tapi
karena terlalu berat, mereka sering terbenam dalam lumpur. Karena itulah tulang-
belulang dinosaurus sering ditemukan sebagai fosil."
Henry menghabiskan setengah jam untuk mengamati pecahan kulit telur serta jejak
di pasir yang basah. Kemudian ia terpaksa mengaku bahwa ia juga kehabisan akal.
"Aku tidak tahu apa yang harus kukatakan," Henry mengakui. "Aku cenderung
berpendapat bahwa kita berhasil menetaskan seekor dinosaurus. Sayang sekali kita
tidak bisa membuktikannya."
"Tapi... bagaimana kalau Harmon akhirnya berhasil mengalahkan kita?" tanya
Dinky. Kami hanya bisa saling bertatapan sambil membisu.
3. Rahasia Meriam Kuno KAMI semua merasa heran melihat Homer Snodgrass menghabiskan begitu banyak waktu
bersama Daphne Muldoon di perpustakaan. Kami memang tahu bahwa Homer naksir
gadis itu. Tapi apa yang bisa dilakukan di perpustakaan kecuali membaca buku"
Mereka hampir setiap malam berada di sana sampai perpustakaan tutup, dan selama
tiga minggu Homer tidak pernah menginjak markas kami.
Pada pertemuan berikutnya, Jeff Crocker, ketua perkumpulan kami, merasa perlu
untuk membicarakan hal itu.
"Teman-teman," ia berkata setelah membuka rapat, "kelakuan Homer tidak bisa
dibiarkan begitu saja. Kalau dia masih belum muncul juga pada pertemuan minggu
depan, maka kita terpaksa mengadakan penghitungan suara untuk menentukan apakah
keanggotaannya perlu dicabut atau tidak."
Untung saja penghitungan suara itu tidak pernah terlaksana. Aku sedang membaca
kesimpulan laporan pertemuan terakhir ketika Homer muncul di pintu.
"Aku ingin mengemukakan sesuatu yang harus kita bicarakan," ia berkata sambil
tersengal-sengal. Jeff, yang berdiri di balik podium berupa tumpukan peti bekas, segera
mengetukkan palu ketua, lalu menyuruh Homer duduk.
"Kita harus menyelesaikan urusan yang lain dulu, Homer," ia berkata dengan
tegas. "Kalau masih ada waktu setelah itu, maka kau akan mendapat kesempatan
pertama untuk bicara."
Homer tampak agak kesal. Ia duduk tanpa mengatakan apa-apa, kemudian menoleh ke
luar jendela seakan-akan tidak tertarik pada pembicaraan kami.
Kemudian kami mulai berdebat panjang-lebar mengenai bagaimana kami akan
mengumpulkan uang untuk mengadakan riset. Tapi kelihatan sekali bahwa tak ada
yang punya ide 'panas', sebab tak seorang pun mengeluarkan kepulan asap dari
telinganya. Akhirnya Homer tidak tahan lagi. Ia langsung berdiri dan berseru, "Aku tahu
bagaimana kita bisa memperoleh uang! Bukan cuma sedikit, tapi dalam jumlah
besar!" Jeff segera mengetokkan palunya dengan keras, lalu menghardik Homer. "Aku kan
sudah bilang, kau harus menunggu sampai urusan lain selesai!"
Homer duduk lagi, tapi dalam sekejap Jeff telah berubah pikiran.
"Baiklah," ia berkata pada Homer. "Coba jelaskan apa maksudmu."
"Aku tidak mengatakan apa-apa," ujar Homer. Dengan acuh tak acuh ia kembali
menoleh ke luar jendela. Rupanya ia tersinggung.
"Aku mengajukan mosi agar Homer Snodgrass menceritakan apa yang sedang
dipikirkannya," ujar Dinky Poore, anggota termuda dalam perkumpulan kami.
"Aku mendukung mosi itu," kata Freddy Muldoon, si gendut.
Setelah itu masih diperlukan berbagai upaya untuk membuat Homer berhenti
memandang ke luar jendela. Tapi ia baru mau bicara setelah Jeff minta maaf
karena telah menyuruhnya menunggu begitu lama.
"Begini," Homer mulai bercerita, "Daphne Muldoon harus membuat artikel untuk
koran sekolah, dan karena itu dia minta bantuanku."
Mortimer Dalrymple mulai ketawa cekikikan, dan Homer langsung memelototinya.
Jeff terpaksa mengetokkan palunya untuk menjaga ketenangan.
"Kau boleh ketawa sesuka hatimu," Homer melanjutkan sambil menahan kesal, "tapi
aku yakin, kami berhasil menemukan setumpuk uang."
"Di mana?" tanya Jeff.
"Di dalam meriam kuno di Memorial Point," jawab Homer.
Meriam yang dimaksudnya adalah meriam kuno yang merupakan peninggalan masa
Perang Saudara. Meriam itu berada di lereng selatan Brake Hill, kurang lebih
delapan kilometer di luar kota Mammoth Falls. Moncong meriamnya mengarah tepat
ke aliran Lemon Creek, sungai kecil di dasar lembah. Senjata itu ditempatkan di
sana untuk melindungi kota kami dari serangan dari arah selatan. Tapi sepanjang
pengetahuan kami, meriam itu tidak pernah melepaskan satu tembakan pun. Seusai
perang, tak ada yang memindahkannya. Soalnya meriam itu terlalu berat. Akhirnya
Dewan Kota menjadikannya sebagai monumen sejarah, lalu membuat taman di
sekitarnya. Taman yang diberi nama Memorial Point itu sering dimanfaatkan
sebagai tempat piknik oleh para penduduk Mammoth Falls.
Homer dan Daphne menghabiskan berhari-hari di perpustakaan untuk mempelajari
sejarah meriam tua itu. Tanpa mengenal lelah mereka meneliti edisi-edisi lama
Gazette, satu-satunya koran yang terbit di kota kami, dan akhirnya berhasil
mengetahui tempat pengecoran meriam itu, berapa kuda yang diperlukan untuk
membawanya ke atas bukit, berapa jarak tembaknya, dan berbagai keterangan
menarik lainnya. Setelah Perang Saudara, meriam itu tampaknya dilupakan orang. Daphne dan Homer
membaca ratusan edisi Gazette tanpa menemukan artikel yang menyinggung-nyinggung
senjata tua itu. Berita mengenai meriam itu baru muncul lagi di edisi bulan
Maret tahun 1910. Ketika itu Dewan Kota memutuskan untuk menyumbat moncong
meriam dengan beton, agar anak-anak tidak bisa masuk ke dalamnya. Keputusan ini
menimbulkan heboh besar, sebab anak seorang penduduk Mammoth Falls tiba-tiba
menghilang dan orang-orang menyangka anak itu berada di dalam meriam pada saat
mulutnya disumbat. Mereka hampir saja membongkar penyumbat yang baru dipasang,
ketika ada berita bahwa anak itu ditemukan di Stasiun Kereta Api Cairo,
Illinois. Rupanya ia tertidur di sebuah gerbong kereta api, lalu terbawa sampai
ke kota itu. Anehnya, anak itu bernama Alonzo Scragg, dan kini menjadi Walikota
Mammoth Falls. Minggu itu merupakan minggu yang sangat sibuk bagi para penduduk Mammoth Falls.
Terutama bagi keluarga Scragg. Tepat sebelum Alonzo kecil menghilang, seorang
laki-laki bertopeng merampok Bank Mammoth Falls, lalu membawa kabur uang 75.000
dollar. Laki-laki itu melarikan diri ke arah selatan dengan menunggang kuda, dan
tak pernah terlihat lagi.
Namun banyak orang merasa yakin bahwa mereka mengenali kuda yang ditungganginya.
Kuda itu berbulu coklat, dengan bercak putih pada keningnya. Di Mammoth Falls
dan daerah sekitarnya, hanya ada satu kuda seperti itu, yaitu kuda jantan milik
Elijah Scragg, kakek Alonzo.
Menurut artikel tua yang dibaca oleh Homer dan Daphne, Kakek Elijah segera
menjadi sasaran kecurigaan. Tapi ia bersumpah bahwa kudanya telah menghilang
selama dua hari. Ia juga menduga bahwa kuda itu sengaja dicuri untuk mengambing-
hitamkan dia. Pihak polisi segera mengadakan penyelidikan besar-besaran, lalu
membawa kasus itu ke pengadilan. Elijah menampilkan dua anak buahnya sebagai
saksi, tapi tak seorang pun bisa memastikan bahwa mereka tidak bersekongkol
dengannya. Pada waktu itu, Elijah Scragg sedang bersiap-siap untuk menghadapi pemilihan
anggota Dewan Kota untuk kesepuluh kalinya. Hakim akhirnya memutuskan bahwa
bukti-bukti yang ada tidak cukup kuat untuk membawa Elijah ke meja hijau. Tapi
kenyataan bahwa namanya disebut-sebut dalam kasus perampokan bank menghancurkan
harapan Elijah untuk dipilih kembali. Emory Sharpies, yang merupakan lawan
utamanya, menarik keuntungan dari kejadian itu dan akhirnya diangkat sebagai
pengganti Elijah. Keluarga Scragg dan keluarga Sharpies merupakan dua keluarga tertua di Mammoth
Falls, dan sejak dulu mereka selalu bersaing dalam segala hal. Tetapi setelah
kasus perampokan bank, persaingan mereka berkembang menjadi permusuhan.
Pertikaian mereka dalam bidang politik sampai sekarang masih terus berlangsung.
Setiap kali seorang anggota keluarga Scragg mencalonkan diri untuk suatu jabatan
tertentu, keluarga Sharpies segera mengajukan calon mereka sendiri.
Tahun ini pun begitu. Masa jabatan Alonzo Scragg sudah hampir berakhir, dan
Abner Sharples langsung mengumumkan bahwa ia akan mencalonkan diri. Abner masih
muda, tetapi dia salah seorang pengacara terkemuka di Mammoth Falls. Semua orang
merasa yakin bahwa ia punya kesempatan menang, asal mau bekerja keras.
Daphne dan Homer telah menyusun sebuah teori mengenai perampokan bank yang
terjadi puluhan tahun lalu. Teori itu didasarkan atas keterangan seorang saksi
mata, yang melaporkan bahwa ia melihat orang tak dikenal menunggangi kuda milik
Elijah Scragg ke arah Brake Hill. Penunggang kuda itu dipastikan tidak kabur
jauh-jauh, sebab ia tidak pernah terlihat di kota-kota tetangga Mammoth Falls.
Dan keesokan paginya kuda yang ditungganginya telah kembali ke rumah Elijah
Scragg. Ini berarti bahwa si perampok tinggal di sekitar Mammoth Falls. Kemungkinan
besar ia menyembunyikan uang hasil rampokannya untuk diambil lagi setelah
keadaan kembali aman. Daphne dan Homer menganggap bahwa meriam tua di Memorial
Point merupakan tempat yang cocok. Mereka semakin curiga setelah menemukan tiga
artikel di Gazette, yang menyesalkan para berandal yang terus berusaha
membongkar penyumbat meriam tua itu.
"Kenapa kau begitu yakin bahwa uangnya disembunyikan di sana?" tanya Jeff.
"Perasaanku mengatakan begitu," kata Homer. "Aku curiga, karena perampokan itu
terjadi tepat sebelum meriamnya disumbat beton."
"Maksudmu, si perampok menyembunyikan uang itu di dalam meriam, tapi kemudian
moncong meriamnya keburu disumbat sebelum ia bisa mengambil uangnya?"
"Kira-kira begitu," jawab Homer. Tapi nada suaranya sudah tidak begitu yakin
lagi. "Uang itu tidak pernah ditemukan. Kami sudah memastikan hal ini dengan
menanyakannya pada Mr. Willis, Direktur Bank Mammoth Falls. Pokoknya, Daphne
akan membeberkan hal ini di koran sekolah. Dan dia yakin, beritanya akan
menggegerkan seluruh kota."
"Beritanya pasti lebih menarik lagi kalau ada yang bisa membuktikan bahwa uang
itu memang ada di sana," Mortimer berkomentar.
"Kebayang deh," ujar Freddy. "Si perampok pasti sudah menganggap dirinya sebagai
orang yang kaya-raya. Tahu-tahu laras meriamnya sudah disumbat dengan beton!"
"Tapi paling tidak dia memilih tempat yang aman," kata Dinky. "Saking amannya,
dia sendiri tidak bisa mengambil uang itu."
"Semuanya harap tenang!" Jeff berseru sambil mengetukkan palunya. "Daripada
ribut tidak karuan, lebih baik kalian putar otak untuk menemukan cara bagaimana
kebenaran dugaan Homer bisa dibuktikan. Ayo, dong! Masa orang-orang jenius
seperti kalian tidak punya usul sama sekali?"
Begitu ia mengucapkan kata jenius, kami segera menoleh ke arah Henry Mulligan.
Henry sedang duduk di atas kursi kesayangannya sambil menyandarkan punggung pada
dinding. Pandangannya tertuju pada tumpukan kayu di pojok ruangan. Seketika
suasana di markas kami menjadi hening. Tak seorang pun berani ribut kalau Henry
sedang berpikir. Akhirnya Henry kembali duduk tegak. Perlahan-lahan ia mengamati sekelilingnya.
"Ada yang tahu jenis meriamnya?" ia bertanya.
"Menurut ayahku, meriam itu buatan Parrott," kata Freddy.
"Ah, bukan!" Dinky memotong. "Meriam itu termasuk jenis Rodman. Aku punya buku
di rumah, yang memuat segala macam keterangan mengenai Perang Saudara."
"Mana mungkin!" balas Freddy. "Ayahku pasti lebih tahu."
"Bentuk meriam Parrott lain sama sekali," ujar Dinky. "Percayalah, meriam di
Memorial Point adalah meriam Rodman!"
"Rasanya aku tahu cara untuk memastikan apa yang di dalam larasnya," kata Henry
dengan tenang. Langsung saja kami terdiam. Soalnya Henry kembali menatap
tumpukan kayu dan mengambil posisi berpikir lagi.
Tiba-tiba seseorang bersendawa. Tanpa pikir panjang semua mata tertuju pada
Freddy Muldoon. Soalnya dia merupakan juara sendawa di perkumpulan kami. Tapi
kali ini Freddy merasa tidak bersalah. Sambil mengerutkan kening ia menatap
kami. "Bukan aku, kok!" ia berkata. "Bunyi itu berasal dari luar."
Mortimer dan aku segera bergegas ke pintu. Ternyata Harmon Muldoon, sepupu
Freddy yang selalu mengintai kegiatan kami, berada di luar. Ia sedang berlari
menyusuri gang, lalu membelok ke Versey Street. Karena tak mungkin terkejar,
Mortimer dan aku kembali masuk.
"Brengsek," Mortimer mengomel, "si Harmon selalu memata-matai kita."
"Wah, gawat!" seru Dinky sambil membelalakkan mata. "Berarti dia mendengar semua
yang kita bicarakan."
"Dan itu berarti bahwa dia tahu tentang meriam tua itu serta uang yang ada di
dalamnya," Homer mendesah. "Ceritanya pasti akan menyebar ke mana-mana. Harmon
mana bisa jaga rahasia, apalagi rahasia orang lain"!"
"Kalau begini caranya, kita harus bergerak cepat," Mortimer mendesak. "Jangan
sampai Harmon mendahului kita."


Monster Di Danau Strawberry Klub Ilmuwan Edan The Mad Scientists Club Karya Bertrand R. Brinley di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Secara otomatis pandangan kami beralih ke Henry Mulligan, ia masih duduk
bersandar pada dinding sambil menggosok-gosok kacamatanya. Tidak lama kemudian
ia berdiri, lalu berkata, "Jeff, sebaiknya kita temui Profesor Hendricks."
Profesor Hendricks adalah dekan fakultas kedokteran universitas negeri di
Mammoth Falls. Dia juga salah satu teman dekat perkumpulan kami. Profesor
Hendricks-lah yang membantu Henry mencari tempat yang cocok untuk menetaskan
telur dinosaurus tahun lalu.
"Bagaimana sih kau ini, Henry?" tanya Jeff. "Profesor Hendricks kan seorang
dokter. Mana mungkin dia bisa membantu kita untuk mengetahui isi laras meriam
itu"!" "Sambil jalan saja kujelaskan," jawab Henry. "Apakah ibumu bisa mengantarkan
kita ke kampus universitas?"
"Aku akan menanyakannya," kata Jeff. "Lalu, apa tugas yang lainnya?"
"Aku harap kalian bisa berada di Memorial Point sekitar pukul delapan nanti
malam," ujar Henry pada Freddy, Mortimer, Dinky, dan aku. "Tapi jangan ramai-
ramai ke sana! Sebaiknya kalian berangkat sendiri-sendiri saja. Kalau ada yang
dibuntuti oleh Harmon Muldoon, jangan langsung pergi ke Memorial Point. Bawalah
dia berkeliling-keliling dulu, sampai dia kehilangan jejak. Mulai sekarang,
semakin sedikit dia tahu semakin baik untuk kita."
"Oke, Jenderal Mulligan!" kata Dinky sambil memberi hormat dengan gaya tentara.
Malam itu kami berkumpul di kaki Brake Hill. Semua datang sebelum waktunya,
kecuali Henry dan Jeff. "Kenapa sih kita harus datang ke sini malam-malam?" tanya Freddy Muldoon sambil
melirik ke sekeliling. "Terus-terang saja aku agak ngeri di sini."
"Sst! Jangan keras-keras," Mortimer berbisik. "Jangan sampai ada yang tahu bahwa
kita ada di sini, terutama Elmer Pridgin. Kita harus berhati-hati terhadap dia.
Elmer selalu berkeliaran di hutan sambil menenteng senapan berburu. Kata orang,
dia menembak apa saja yang kelihatan bergerak."
"Ah, aku tidak percaya!" balas Dinky dengan suara tertahan. "Elmer orang baik-
baik. Orang-orang saja yang tidak bisa memahami sifatnya."
"Elmer memang agak aneh, tapi dia bukan pembunuh berdarah dingin!" kata Freddy
sambil mendekatkan wajahnya yang bulat ke muka Mortimer.
"Oh, ya" Kalau begitu, kenapa dia tidak pernah datang ke kota" Dan apa yang dia
makan selama berkeliaran di hutan?" tanya Mortimer dengan sengit.
"Siapa bilang dia tidak pernah ke kota?" Freddy pun mulai agak sewot. "Dia
selalu muncul pada pertemuan tahunan untuk memilih anggota Dewan Kota, dan
sekalian pergi ke tukang cukur."
"Ya, Tuhan!" ujar Mortimer. "Berarti dia hanya belanja sekali setahun?"
"Elmer tidak perlu belanja," Dinky ikut bersuara. "Dia menanam sayur-mayur di
depan pondoknya. Dia menangkap kelinci liar dengan perangkap kawat, dan dia bisa
mengulitinya lebih cepat dibandingkan kau mengikat tali sepatu."
"Hebat benar," kata Mortimer sinis.
"Awas!" Homer tiba-tiba memperingatkan kami. "Ada yang datang!"
Kami langsung melompat ke balik semak-semak yang tumbuh di tepi jalan. Di
kejauhan terlihat dua sepeda yang sedang mendekat dari arah kota. Freddy, yang
agak lamban, paling belakangan bersembunyi. Ketika merebahkan diri, ia tanpa
sengaja bersendawa dengan keras.
"Halo" Kaukah itu, Freddy?" suara Jeff terdengar.
"Bukan! Itu pamanku," jawab Freddy.
"Sudahlah, jangan bercanda melulu," balas Jeff. "Masih banyak pekerjaan yang
harus kita selesaikan."
Henry dan Jeff meletakkan sepeda masing-masing di balik semak-semak. Kemudian
kami mulai mendaki bukit. Seperti biasanya, Henry membawa sejumlah peralatan
misterius. Dan seperti biasanya, kami yang harus menggotong peralatan itu ke
atas bukit. Setiap beberapa menit ia mewanti-wanti kami untuk berhati-hati,
sebab peralatan itu sangat peka terhadap guncangan.
"Ada yang melihat Harmon Muldoon?" Jeff bertanya.
"Kali ini dia tidak memperlihatkan batang hidungnya," ujar Dinky. "Barangkali
dia menganggap pekerjaan kita sia-sia saja."
"Jangan terlalu yakin," Henry menanggapinya. "Siapa tahu Harmon sudah menunggu
di meriam kuno itu. Ada baiknya kalau kita mengirim seorang pengintai, lalu
menempatkan beberapa penjaga. Bagaimana menurutmu, Jeff?"
Jeff ternyata setuju. Kami meletakkan barang-barang bawaan, kemudian menunggu
sampai Mortimer dan Homer selesai memeriksa daerah di sekitar Memorial Point.
Setelah beberapa menit mereka muncul kembali, melaporkan bahwa keadaannya aman,
dan kami pun melanjutkan perjalanan.
Kabut tipis membatasi pandangan. Bulan berulang-ulang muncul, lalu menghilang
lagi di balik awan. Suasana di sekitar meriam kuno jadi semakin seram. Bayangan
tugu peringatan berupa patung tentara pemerintah dan tentara pemberontak nampak
memanjang di permukaan tanah. Meriamnya sendiri mirip reptil prasejarah berperut
gendut, yang siap menerkam mangsa yang lewat di hadapannya. Dalam cahaya bulan
yang remang-remang, meriam itu kelihatan tiga kali lebih besar dibanding pada
siang hari. "Gila! Beratnya pasti berton-ton!" ujar Mortimer dengan kagum.
"Berat larasnya saja mencapai 25.000 kilo," Homer menjelaskan, "tapi masih ada
meriam yang dua kali lebih berat." Tanpa diduga, Homer telah menjadi ahli dalam
bidang ini. Jeff menugaskan Mortimer dan Dinky untuk berjaga di tempat-tempat di mana mereka
bisa mengawasi jalan raya dan jalan setapak yang menyusuri punggung Brake Hill.
Jika ada yang mendekat, mereka harus segera memberi isyarat dengan menirukan
suara burung hantu. Sementara Mortimer dan Dinky mencari tempat yang cocok, yang
lainnya mulai memasang peralatan yang dibawa Henry.
Henry memanjat ke bagian belakang meriam yang bentuknya menyerupai botol raksasa
selebar empat kaki. Ia meraba-raba permukaan logam sampai menemukan sebuah
lubang, mengeluarkan lampu senter, lalu mengintip ke dalam lubang itu. Cahaya
senter dihalangi dengan sebelah tangan, sehingga tidak menyebar ke segala arah.
"Sedang apa dia?" tanya Freddy. "Cahaya senternya tidak mungkin bisa menembus
logam setebal itu, bukan?"
"Dia sedang memeriksa lubang yang digunakan untuk memasukkan sumbu peledak,"
Suramnya Bayang Bayang 35 Roro Centil 09 Misteri Sepasang Pedang Siluman Istana Berdarah 3
^