Pencarian

Sekali Lagi Sipaling Badung 3

Sekali Lagi Si Paling Badung The Naughtiest Girl Again Karya Enid Blyton Bagian 3


depan." "Benar?" sesaat wajah Robert terlihat sangat kecewa. Ia telah begitu berharap
dirinya akan terpilih kembali. Sebab dulu dia yang dipilih, dan akhirnya
Elizabeth menggantikannya, walaupun akhirnya pertandingan tak jadi diadakan
karena turun hujan lebat. Yah, tak apalah.
"Aku tak boleh merasa iri," katanya dalam hari. "Toh masih banyak kesempatan
untuk bisa dipilih." Dan ia berseru pada Elizabeth, "Selamat, Elizabeth!
Alangkah senangnya bila aku bisa melihatmu memasukkan bola ke gawang lawan!"
Ia berlari meninggalkan anak-anak perempuan itu. Elizabeth berpaling pada Joan,
"Sungguh baik bukan Robert?"
Joan menatap wajah Elizabeth. "Kauperhatikan wajahnya waktu ia kuberitahu bahwa
kau yang terpilih?" "Tidak, kenapa?" tanya Elizabeth heran.
"Ia terlihat sangat kecewa," kata Joan mengeluarkan tongkat lacrosse-nya.
"Mungkin sekali ia berharap akan terpilih kali ini, sebab dulu ia dihalangi oleh
keputusan Rapat." "Oh," hanya itu yang keluar dari mulut Elizabeth. Ia juga mengeluarkan tongkat
lacrosse-nya, dan ketiga anak itu pergi ke lapangan. Tak lama mereka telah
sibuk, saling melempar, saling menangkap bola. Kemudian Kathleen menjadi penjaga
gawang, sementara kedua rekannya berusaha memasukkan bola.
Tetapi kini Elizabeth tak begitu menikmati latihannya. Ia berpikir tentang
Robert. Sabtu lalu, dengan tuduhannya ia berhasil mencegah Robert bermain di
pertandingan. Makin dipikirkannya terasa makin tak adil bahwa kini dialah yang
bermain dan bukannya Robert. "Walaupun akhirnya aku tak jadi main karena hujan,"
demikian pikirnya sambil menangkap bola dan melontarkannya pada Joan.
"Tapi kalau tidak hujan, maka mestinya aku akan sudah main satu kali. Jadinya
kalau Sabtu ini aku main lagi, itu berarti aku main dua Sabtu berturut-turut,
sementara Robert sama sekali belum main sekali pun. Padahal sesungguhnya dialah
yang terpilih minggu lalu. Rasanya tak enak hatiku. Biarlah kutanyakan hal ini
pada Nora." Sehabis makan, Elizabeth menemui Nora. Sebagai Pengawas, maka Nora selalu siap
untuk mendengar kesulitan anak-anak di bawah pengawasannya. Sebaliknya mereka
yang diawasi selalu dengan senang hati minta nasihat seorang Pengawas bila
memang diperlukan. "Nora, bagaimana menurutmu kalau aku minta agar Robert bermain dalam
pertandingan hari Sabtu ini, dan bukannya aku?" tanya Elizabeth. "Kau tahu,
Sabtu kemarin ia tak jadi main karena aku telah menuduhnya berbuat salah. Dan
aku tahu ia sangat kecewa sekali. Bagaimana kalau aku minta pada Eileen agar
mengganti namaku dengan nama Robert?"
"Ya, kukira itu sungguh adil, Elizabeth," kata Nora segera. "Bagus sekali
keputusanmu ini. Aku sangat senang kau berpikir sampai ke situ. Ada satu hal
yang sangat kukagumi pada dirimu, kau selalu berusaha untuk bertindak sangat
adil." "Aku akan mencari Eileen sekarang juga," kata Elizabeth, dan berlari
meninggalkan Nora, takut kalau pikirannya berubah lagi. Hal ini memang tidak
enak bagi Elizabeth, tapi akan merupakan kejutan manis bagi Robert!
19. Minggu yang Damai Eileen sedang berada di ruang senam. Ia memang sangat pandai dalam berbagai
cabang olahraga. Ia sedang bersenam saat Elizabeth datang dan minta bicara
dengannya. "Ada apa, Elizabeth?" tanyanya.
"Eileen, bagaimana kalau Robert saja yang bermain hari Sabtu ini," kata
Elizabeth. "Alasannya begini. Ternyata bukan dia yang mempermainkan aku dan
Jenny seperti yang kutuduhkan padanya dahulu di Rapat Besar. Jadi kukira cukup
adil bila kali ini aku memberinya kesempatan untuk main dalam per-tandingan
nanti. Sebab Sabtu lalu ia tidak jadi main karena aku."
"Boleh saja," kata Eileen yang kemudian mengeluarkan sebuah buku catatan dan
menuliskan sesuatu di dalamnya. "Akan kuatur itu. Seperti katamu, memang inilah
yang paling adil bagi Robert. Sayang sekali kau tak jadi main, Elizabeth, tetapi
yakinlah bahwa kau telah bertindak dengan tepat."
Elizabeth mencari Robert. Tetapi tidak ditemukannya. Dan sebelum ia bisa
bercerita sendiri pada Robert, Eileen telah memasang pengumuman baru,
menggantikan pengumuman sebelumnya.
"Robert Jones akan ikut bermain dalam pertandingan melawan Sekolah Uphill Sabtu
ini", demikian bunyi pengumuman baru itu.
Robert membaca pengumuman tersebut sewaktu akan pergi makan. Ia sangat heran.
Bukankah tadi anak-anak berkata bahwa yang terpilih adalah Elizabeth" Dengan
kening berkerut dibacanya pengumuman tadi berulang-ulang. Dan pada waktu itulah
Kenneth datang, ikut membaca. Ia pun heran.
"Halo," kata Kenneth. "Mengapa pengumuman ini diubah" Semula isinya Elizabeth
yang terpilih untuk bermain melawan Uphill. Aku ingat betul itu!"
"Ya. menurutku isinya memang begitu," kata Robert masih bingung. "Mengapa
diubah" Memang berita yang menyenangkan bagiku, apalagi aku sangat kecewa tadi
pagi." "Aku berani bertaruh Elizabeth akan merasa kecewa kini," kata Kenneth, dan
mereka pun masuk ke ruang makan.
Robert tak ingin membicarakan pengumuman itu dengan Elizabeth di hadapan orang
banyak, dan tampaknya Elizabeth juga tak ingin membicarakannya.
Nora-lah yang kemudian bercerita tentang apa yang telah terjadi pada Robert.
"Apakah kau telah melihat pengumuman?" tanya Nora. "Ternyata akhirnya kau juga
yang bermain di pertandingan nanti."
"Ya, tetapi kenapa?" tanya Robert. "Kenapa Elizabeth tidak dipasang?"
"Itu atas permintaan Elizabeth sendiri. Ia minta agar kau saja yang dipasang,"
kata Nora. "Katanya dengan begitu barulah adil. Dan aku setuju dengan
pendapatnya." "Sungguh adil memang," pipi Robert jadi merah. "Tetapi seharusnya tak perlu
dilakukannya. Aku tahu bahwa ia sangat ingin bermain mewakili sekolah kita."
Robert segera mencari Elizabeth.
Didapatinya Elizabeth berada di kebun, sedang menanam umbi berbagai macam bunga
bersama John. "Hai, Elizabeth," sapa Robert. "Terima kasih atas kebesaran hatimu yang
memungkinkan aku dipasang di tim sekolah. Tetapi aku lebih senang bila kau saja
yang bermain Sabtu ini. Kalau kau tak keberatan."
"Tak apa," kata Elizabeth. "Aku telah mengambil keputusan. Kurasa itu suatu cara
terbaik untuk menebus kesalahan yang kubuat padamu. Aku akan merasa sangat malu
bila tak memberikan kesempatan itu padamu."
"Tetapi aku tak peduli apakah kau menebus kesalahanmu atau tidak," kata Robert.
"Ya, tapi aku keberatan kalau tak memberimu ganti rugi atas kesalahanku dulu
itu," kata Elizabeth. "Aku merasa lega setelah aku berbuat ini. Benar-benar tak
punya beban pikiran lagi."
"Baiklah," kata Robert. "Terima kasih banyak. Aku hanya berharap kau bisa datang
untuk menontonku, Elizabeth."
"Aku harap kau bisa mencetak gol banyak sekali," kata Elizabeth, kembali
meneruskan pekerjaannya. Berat juga. Umbi bunga krokus yang mereka pesan telah
tiba. Bidang-bidang rumput harus diangkat sebelum umbi-umbi itu boleh ditanam.
Kemudian ada juga umbi-umbi dafodil dan tulip. Namun yang ini agak mudah cara
penanamannya. "Begitu banyak pekerjaan, dan begitu sedikit waktu untuk mengerjakannya," keluh
Elizabeth. "Aku ingin lebih sering berkuda - aku ingin berkebun sepanjang hari -
aku ingin lebih sering bermain musik - aku ingin lebih sering bersama kelinci-
kelinciku- dan aku ingin lebih sering berolahraga. Oh, John, kadang-kadang ingin
rasanya aku seperti kau-hanya mempunyai satu kegemaran, jadi tidak sebingung aku
yang mempunyai sepuluh kegemaran."
"Tetapi kau toh lebih banyak merasakan kegembiraannya daripada aku," kata John
bersungguh-sungguh. "Pak Johns sering berkata padaku bahwa mestinya aku punya
perhatian lain daripada berkebun melulu. Kata beliau dengan hanya mempunyai
kegemaran berkebun, maka aku akan membosankan bila diajak bicara."
"Oh, aku tak berpendapat kau membosankan," kata Elizabeth. "Kau sungguh menarik
bila mulai berbicara tentang berkebun."
"Itu hanya karena kau juga suka berkebun dan mengerti tentang berkebun," kata
John. "Tetapi kalau yang kuajak bicara tak suka berkebun, pasti ia akan mengira
aku tolol. Tolong pikirkan hal lain kecuali berkebun untukku, Elizabeth."
"Bagaimana kalau berkuda?" tanya Elizabeth. "Aku tak pernah melihatmu menunggang
kuda, John. Mintalah pada Robert untuk mengajakmu menunggang Kapten. Robert akan
senang bisa membantumu, dan kau akan senang memperoleh pengalaman baru."
Hari-hari terus berlalu. Hari Jumat riba. Waktu untuk mengadakan Rapat Besar.
Anak-anak memasuki ruangan tanpa bersikap sungguh-sungguh seperti minggu lalu,
sebab kali ini takkan ada perkara berat yang akan dibicarakan. Anak-anak selalu
senang menghadiri Rapat Besar, sebab mereka senang bisa memerintah diri sendiri,
membuat berbagai peraturan dan menjaga agar peraturan dipatuhi.
Uang-uang tambahan dimasukkan ke dalam kotak. Dengan bangga Kenneth memasukan
uang satu pound, kiriman salah seorang pamannya.
Peter memasukkan lima shilling. Kemudian uang saku dibagikan.
John Terry minta uang untuk pembelian umbi krokus. Uang tersebut diberikan.
Kemudian ia juga minta uang tambahan untuk membeli garpu tanah yang lebih kecil
dari yang biasa digunakannya.
"Peter akan membantuku menggali tanah," kata John. "Dan garpu tanah kami terlalu
besar untuknya. Selama ini kita tak punya alat kebun yang sesuai untuk anak
kecil." Permintaan itu pun dikabulkan. Richard minta uang tambahan untuk membeli
piringan hitam rekaman permainan biola seorang ahli musik terkenal. Ia ingin
memainkan lagu yang sama, dan Pak Lewis berkata ia bisa belajar banyak dari
piringan hitam itu. William langsung mengabulkan permintaan tersebut. Seluruh
sekolah merasa sangat bangga punya seseorang seperti Richard yang juga mampu
memainkan alat musik piano dan biola. Dan Richard pun kembali duduk, dengan
perasaan lega. "Ada laporan atau keluhan?" tanya William.
Leonard bangkit. Sedikit segan ia berkata, "Keluhanku ini sedikit konyol,
memang. Tentang Fred. Ia mendengkur terlalu keras di malam hari. Aku jadi tak
bisa tidur. Dan kalian kan tahu, aku harus bangun pagi-pagi sekali untuk memerah
susu. Bila malamnya aku tak bisa tidur, maka sulit bagiku untuk bangun pagi.
Kami semua sudah membicarakan hal ini dengan Fred. Tetapi Fred tak bisa
menghilangkan dengkurnya itu."
Fred bangkit. "Aku sedang pilek," katanya. "Kukira dengkurku itu akan lenyap
bila aku sudah sembuh nanti. Mungkin aku boleh tidur di Sanatorium sampai Ibu
Asrama menyatakan aku sudah tak mendengkur lagi?"
"Ya, kupikir itu jalan keluar yang tepat," William tersenyum. "Terus terang saja
ini keluhan yang paling lucu yang pernah kudengar. Tetapi memang Leonard harus
bisa tidur nyenyak. Kalau tidak, kita semua takkan bisa memperoleh susu waktu
sarapan." Semua tertawa. William mengetuk meja, minta agar semua diam.
"Sebelum kita membubarkan rapat ini," katanya, "Elizabeth ingin mengatakan
sesuatu. Berdirilah, Elizabeth. "
Elizabeth berdiri, mukanya terasa panas. Ia telah memikirkan baik-baik apa yang
akan dikatakannya, maka ia bisa berbicara dengan lancar, tanpa tertegun ataupun
berhenti. "Aku ingin menyampaikan tentang tuduhanku pada Robert minggu lalu," katanya.
"Aku menuduhnya mempermainkan aku dan Jenny dengan berbagai muslihat jahat. Dan
kalian semua percaya pada tuduhanku itu, sehingga memutuskan untuk menghukum
Robert dengan jalan melarangnya ikut bertanding. Ternyata tuduhanku itu tidak
benar. Yang melakukan perbuatan keji itu sama sekali bukan Robert, yang
melakukannya anak lain."
"Siapa" Katakan!" seru beberapa orang anak, ada yang bernada gusar.
William mengetuk meja dengan palunya, dan semua terdiam.
"Tunggu dulu, Elizabeth," katanya. "Aku ingin menyatakan sesuatu. Rita dan aku,
sebagai Hakim, telah memutuskan bahwa pada saat ini sungguh tidak bijaksana
untuk mengumumkan nama anak yang bersalah itu. Kalian mestinya setuju bahwa ada
kalanya tidak bijaksana untuk mengumumkan sesuatu pada orang banyak. Dan perkara
ini adalah salah satu perkara seperti itu. Kuharap kalian mengerti dan puas,
sebab ini kami lakukan demi kebaikan kita bersama juga."
"Kami mengerti," kata beberapa orang anak. William dan Rita memang disenangi dan
dikagumi. Semua anak percaya bahwa apa yang dilakukan keduanya pastilah
bijaksana. Kathleen yang malang mau tak mau gemetar kakinya. Sesaat ia mengira bahwa
seluruh sekolah telah mengetahui bahwa dialah yang berbuat begitu keji. Ia tak
berani mengangkat muka. Mau rasanya lenyap begitu saja dari antara murid-murid
yang lain. Jenny dan Joan yang duduk mengapitnya merasakan betapa Kathleen
gemetar. Keduanya segera merapat untuk menenangkan anak malang itu. Untung
sekali kedua Hakim tidak membicarakan perkara itu secara berkepanjangan.
Elizabeth masih juga berdiri. Pembicaraannya belum habis. Ia menunggu sampai
anak-anak tenang, lalu berkata lagi, "Tak banyak lagi yang ingin kukatakan. Aku
hanya ingin meminta maaf sedalam-dalamnya pada kalian akan apa yang kukatakan
minggu lalu. Aku berjanji bahwa kelak aku akan selalu berhati-hati, dan baru
setelah yakin benar aku akan menuduh seseorang. Robert sungguh penuh pengertian
tentang kesalahanku ini."
Elizabeth duduk. William sudah mengangkat palu untuk membubarkan Rapat waktu
Robert berdiri. Mukanya berseri, matanya bersinar-sinar. Sungguh sangat berbeda
dengan Robert yang minggu lalu diadili oleh Rapat!
"Bolehkah aku berkata sesuatu, William?" tanyanya. "Begini, Elizabeth telah
mengundurkan diri dari anggota tim lacrosse untuk memberiku kesempatan terpilih
menjadi anggota tim. Itu dilakukannya untuk menebus kesalahannya karena minggu
lalu ia merasa telah menuduhku secara keliru. Aku berpikir tindakannya itu
sungguh sangat baik, dan aku ingin agar seluruh sekolah mengetahuinya."
"Hidup Elizabeth!" seseorang berseru. Semua anak merasa bahwa tindakan Elizabeth
sungguh tepat dan adil. Elizabeth sendiri merasakan perasaan hangat ini, dan ia
sungguh-sungguh berbahagia.
Rapat Besar bubar. Anak-anak keluar untuk melakukan apa saja sesuai kegemaran
mereka, dalam waktu setengah jam, sebelum makan malam.
Joan menulis surat untuk ibunya. Jenny menyetel gramofon, lalu menggoyang-
goyangkan badannya dengan kocak di tengah ruangan, membuat yang ada di situ
tertawa ter-gelak-gelak. Elizabeth berlatih musik di salah satu ruang latihan
musik. Robert membaca buku tentang kuda.
Kathleen sibuk dengan alat menjahitnya. Ia telah menghabiskan seluruh uang
sakunya untuk membeli dua tempat saputangan untuk disulam. Dan kini ia mulai
menyulam tempat sapu tangan tersebut. Bila selesai nanti, sebuah akan
diberikannya pada Elizabeth, yang lain untuk Jenny. Rita bilang bahwa sungguh
mungkin menebus kesalahan seseorang dengan berbuat kebaikan. Dan kini Kathleen
berharap bisa berbuat kebaikan, membuatkan tempat saputangan bagi teman-temannya
itu. "Kami belajar banyak sekali, di samping pelajaran sekolah, di Sekolah Whyteleafe
ini," batin Kathleen sementara ia menjahit. Dan Kathleen memang benar!
20. Pertandingan Lacrosse
Hari sabtu tiba, cuaca cerah. Rumput-rumput berkilau oleh tetesan embun. Tetapi
semua lenyap ketika matahari muncul, dan semua orang setuju bahwa hari itu hari
yang sangat sempurna bagi pertandingan lacrosse.
Elizabeth berusaha keras untuk ikut merasa gembira karena hari itu begitu cerah.
Sungguh beruntung Robert. Dan sungguh kecewa dia. Rasanya tak adil. Sabtu yang
lalu ia punya kesempatan untuk main, tetapi hari hujan. Sabtu ini bukan
kesempatannya, tapi hari begitu cerah.
"Yah, salahmu sendiri, Elizabeth," katanya dalam hati. "Kalau kau tak melakukan
keputusan konyol itu, kau yang bertanding hari ini."
Didekatinya Robert waktu dilihatnya anak itu. "Senang sekali melihat hari ini
begitu cerah untukmu, Robert," katanya. Robert melihat padanya dan tahu
bagaimana perasaan hatinya.
"Alangkah senangnya bila kau juga main," kata Robert. "Tetapi tak apalah. Masih
ada kesempatan lain bagimu "
Hari cerah terus. Mereka yang akan bertanding tampak begitu gembira, tapi juga
khawatir. Nora yang juga ikut main mengatakan bahwa tim Uphill belum pernah
dikalahkan oleh Whyteleafe.
"Kalau saja kali ini kita bisa mengungguli mereka, sekali ini saja!" kata Nora.
"Tetapi kudengar tim mereka malah makin kuat. Kata Eileen tim itu belum pernah
kalah semester ini. Mereka sungguh luar biasa. Mudah-mudahan setidaknya kita
bisa mencetak satu gol."
"Oh, Nora, kita harus lebih banyak lagi mencetak gol," kata Peter. Peter anak
yang kuat, langsing namun berotot. Peter bisa berlari cepat, dan ia penangkap
bola yang baik. "Kita harus berusaha semaksimal mungkin!"
"Ya, kita harus berusaha keras!" kata Robert.
Pagi itu terasa berjalan lambat. Waktu makan siang tiba. Anggota tim tak bisa
makan dengan santai, sebab mereka terlalu tegang. Elizabeth mengalami perasaan


Sekali Lagi Si Paling Badung The Naughtiest Girl Again Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seperti itu Sabtu yang lalu. Oh, betapa senangnya kalau kali ini ia pun ikut! Ia
sangat kecewa. Tetapi ia juga bangga sebab bisa mengalahkan kepentingan dirinya
sendiri, demi keadilan, dengan memberikan tempatnya pada Robert.
Sinar matahari masuk lewat jendela. Hari ini tetap cerah! Hari yang sangat
menyenangkan untuk bertanding. Sesak kerongkongan Elizabeth. Memang membanggakan
bisa bersikap sangat adil-tapi kebanggaan itu tidak mengurangi kekecewaan di
hatinya. Joan melihat wajahnya dan meremas tangannya.
"Jangan bersedih, Elizabeth," kata Joan. Elizabeth mencoba untuk bersikap riang.
Kemudian dilihatnya sesuatu terjadi di meja di dekat mereka. Beberapa anak
datang mendekat dan ribut berbicara. Ada apa"
"Peter! Ia sakit!" kata Joan. "Lihat. Betapa pucatnya dia. Mungkin ia akan
muntah. Oh, aku ingat, waktu sarapan tadi ia juga tampak tak begitu sehat."
Peter bergegas keluar ruangan, dibantu oleh Harry. Mukanya pucat. Pak Johns ikut
bergegas keluar. Pak Warlow melihat arlojinya. Ia berharap Peter segera sehat
kembali, sebab dua puluh menit lagi bus yang menjemput tim lacrosse akan datang.
Lima menit kemudian Pak Johns masuk, dan mengatakan sesuatu pada Pak Warlow. Pak
Warlow tampak sangat kecewa.
"Kenapa Peter?" tanya John yang kebetulan berada satu meja dengan Pak Warlow.
"Sakit perut," kata Pak Johns. "Memang sering kambuh. Dan kali ini agak berat.
Ibu Asrama meyuruhnya tidur di Sanatorium."
"Astaga!" seru John. "Jadi dia tidak bisa main?"
"Tidak," kata Pak Warlow. "Sungguh sial. Peter salah seorang pemain terbaik
kita. Kita harus mencari penggantinya."
Berita itu segera tersebar ke seluruh ruang makan. Semua merasa kecewa, sebab
Peter memang pemain yang baik. Tetapi kemudian, dari mulut ke mulut terdengar
satu nama. Elizabeth. "Biar digantikan Elizabeth saja!"
"Bagaimana kalau diganti Elizabeth?"
"Tidak bisakah Elizabeth dipasang" Ia menyerahkan tempatnya pada Robert."
"Ya," Pak Warlow melihat buku catatannya. "Sesungguhnya aku merencanakan untuk
memasang anak lain, tetapi karena Elizabeth pantas diberi kesempatan, baiklah,
Elizabeth akan menggantikan Peter."
Jantung Elizabeth bagaikan melonjak karena kegirangan. Ia tak percaya pada
berita yang begitu bagus itu. Wajahnya jadi merah seketika, matanya bersinar-
sinar. Ia menyesal bahwa Peter tak bisa main, tetapi Peter telah ikut main dalam
sekitar dua belas pertandingan. Dan kini dia, Elizabeth Allen, akan ikut main!
"Hidup Elizabeth!" beberapa sahabatnya bersorak, ikut bergembira karena
Elizabeth tampak senang. Semua tahu bahwa Elizabeth secara sukarela telah
memberikan tempatnya pada Robert, dan kini semua merasa ikut gembira karena
perbuatan tak mementingkan diri sendiri itu kini mendapat balasan yang setimpal.
Elizabeth beberapa saat tak bisa berkata-kata karena gembiranya. Joan menepuk
punggungnya, Jenny hanya meringis.
"Selalu ada saja yang terjadi padamu, Elizabeth," kata Jenny. "Kau pantas
menerima keberuntungan ini!"
"Elizabeth! Selamat, ya!" teriak Robert dari pojok meja sana. "Kita akan bermain
bersama-sama dalam pertandingan pertama kita! Bagus sekali!"
Elizabeth tak bisa makan lagi. Disingkirkannya piring pudingnya. "Kalau aku
makan juga, maka aku akan sakit seperti Peter," katanya.
"Kalau begitu jangan kaumakan," kata Nora. "Kalau kau juga sakit takkan ada lagi
yang menggantikanmu!"
Elizabeth bergegas ke kamarnya untuk berganti pakaian olahraga. Ia menyempatkan
diri menjenguk Peter di Sanatorium dengan membawakannya sebuah buku. "Sayang
sekali, Peter," katanya. "Mudah-mudahan kau segera sembuh. Nanti akan
kuceritakan jalannya pertandingan padamu."
"Mainlah sebaik mungkin," kata Peter yang masih pucat. "Cetaklah gol sebanyak
mungkin! Selamat bertanding!"
Elizabeth berlari lagi, berkumpul dengan teman-temannya. Hatinya bagai bernyanyi terus. Begitu gembira dia! Semua orang tertawa padanya, semua orang senang
bahwa akhirnya ia bisa ikut. Digandengnya tangan Robert.
"Duduklah di dekatku nanti, di bus," kata Elizabeth. "Hanya kita berdualah yang
belum pernah bertanding. Oh, aku sungguh senang, Robert, tetapi sedikit gugup
juga." "Kau gugup?" Robert tertawa. "Aku tak percaya. Masa anak galak seperti kamu bisa
gugup!" Tetapi Elizabeth memang gugup. Ia khawatir akan mengecewakan teman-temannya. Ia
harus berusaha bermain sebaik mungkin! Oh, apa jadinya nanti kalau ia bermain
buruk. Kalau ia tak bisa menangkap bola, wah, sungguh ngeri!
"Untung tak ada yang datang menonton dari Whyteleafe," pikir Elizabeth mencoba
menghibur hatinya. "Kalau aku bermain buruk takkan ada yang melihat."
Dipandangnya Robert yang duduk di sampingnya. Anak itu tampak tabah, gagah, dan
kuat. Sama sekali tidak gugup. Senang rasanya bila bermain dengan anak setabah
itu. "Tak tahu aku bagaimana dulu aku bisa membencinya," pikir Elizabeth. "Agaknya
bila kita membenci seseorang maka yang kita lihat adalah yang terburuk saja dari
orang itu, sebab memang itulah yang kita cari. Sebaliknya bila kita menyukai
seseorang maka orang tersebut akan tersenyum pada kita dan hanya menampakkan
yang terbaik saja pada kita. Aku harus mencoba memberi kesempatan pada siapa
saja. Akan kucoba untuk menyukai siapa saja agar siapa pun akan menunjukkan yang
terbaik dari dirinya padaku."
Bus segera tiba di Sekolah Uphill, yang seperti namanya terletak di puncak
sebuah bukit terjal. Lebih besar dari Sekolah Whyteleafe, mereka memiliki murid
lebih banyak sehingga memiliki banyak pilihan untuk anggota tim lacrosse-nya.
Tim Whyteleafe melihat tim tuan rumah, dan mereka merasa bahwa tuan rumah benar-
benar kuat. Kedua tim sudah berada di lapangan. Saling berhadapan. Peluit berbunyi, dan
pertandingan pun mulai. Terbukti tim Uphill memang kuat, tapi tim Whyteleafe
memiliki beberapa orang pelari cepat. Mereka kehilangan Peter-pelari tercepat
Whyteleafe - tapi baik Robert maupun Elizabeth seperti mempunyai sayap di kaki
mereka, berlari begitu cepat. Tak pernah mereka berlari secepat itu sebelumnya.
Kedua anak itu merasa mendapat kehormatan untuk bisa bermain dalam pertandingan
besar itu, karenanya mereka bermain sebaik mungkin. Rasa gugup Elizabeth segera
hilang setelah pertandingan mulai. Ia lupa pada dirinya, yang dipikirkannya
hanyalah pertandingan yang sedang dihadapinya.
Sering Robert dan Elizabeth saling melempar bola. Mereka telah berlatih beberapa
minggu sehingga sanggup melakukannya dengan cepat dan tepat. Tak sekali pun bola
mereka jatuh. Setiap lemparan dapat ditangkap dengan tepat.
"Bagus, Robert! Bagus, Elizabeth!" seru Pak Warlow dari pinggir lapangan. Ia
ikut mengantarkan tim Whyteleafe dalam perlawatan ini. "Cepat! Cepat! Tembak,
Elizabeth!" Elizabeth melihat gawang tak jauh di depannya. Dilemparkannya bola dengan sekuat
tenaga. Bola lurus langsung menuju gawang. Tetapi penjaga gawang lawan sangat
gesit. Bola ditampar terpental ke luar.
"Percobaan bagus, Elizabeth!" seru Pak Warlow.
Tim Uphill membawa bola. Cepat sekali menuju gawang Whyteleafe, bola dilemparkan
dari pemain ke pemain lain sementara mereka berlari cepat. Kemudian bola
diterima kapten mereka. Sebuah tembakan hebat... gol! Eileen, penjaga gawang
Whyteleafe, sia-sia saja menangkap bola yang datang begitu cepat itu.
"Satu-kosong untuk Uphill!" seru wasit. Peluit berbunyi lagi. Permainan mulai
lagi. Baik Robert ataupun Elizabeth bertekad untuk menjaga bola sebaik-baiknya,
jangan sampai terebut oleh lawan.
Elizabeth membawa bola di tongkat lacrosse-nya. Ia berlari cepat ke depan. Ia
sedang akan melontarkannya pada Robert yang selalu berada di dekatnya, saat
tiba-tiba seorang pemain lawan menyerbunya. Elizabeth tersandung dan jatuh.
Sekejap ia telah berdiri lagi tetapi bola telah dirampas lawan. Seorang gadis
Uphill membawa bola. Kencang sekali larinya. Dilemparkannya pada kawannya yang
juga lari ke arah gawang.
"Tembak! Tembak!" seru penonton dari Uphill. Bola melesat ke gawang Eileen. Dan
masuk. "Dua-nol untuk Uphill!" kata wasit, dan kemudian ia meniup peluit. Waktu
istirahat. Para pemain berhamburan untuk berkumpul mengerumuni pelatih masing-
masing, sambil makan dengan rakus potongan jeruk yang disediakan, rasanya manis-
masam, menyegarkan! "Kalian harus berusaha lebih keras!" kata Pak Warlow, menasihati timnya.
"Robert, kau harus selalu berada dekat Elizabeth. Elizabeth, cepat lontarkan
bola pada Robert bila kau diserang. Kalian berdua berlari bagaikan angin hari
ini. Langsung tembak ke arah gawang kapan saja ada kesempatan. Nora, kau harus
lebih sering memberi umpan pada Elizabeth. Mungkin ia cukup cepat untuk
mengalahkan anak Uphill yang bertugas membayanginya."
Penuh perhatian anak-anak Whyteleafe mendengarkan. Mereka agak kecewa, sudah
kalah dua-nol! Peluit berbunyi. Pertandingan mulai lagi. Nora mendapat bola, lalu segera
melontarkannya pada Elizabeth, mengikuti petunjuk pelatih tadi. Robert berada di
dekat Elizabeth. Dengan tepat ditangkapnya lontaran dari Elizabeth, yang
langsung berlari ke depan. Robert kembali melontarkan bola ke arah Elizabeth.
Elizabeth menangkapnya dan terus berlari ke arah gawang lawan.
Dilontarkannya bola dengan sekuat tenaga, kiper lawan mengulurkan tongkat
lacrosse-nya, bola membentur tongkat jaring tadi, mental dan... masuk!
"Kedudukan sekarang dua-satu!" seru wasit, "dua-satu masih untuk kemenangan
Uphill!" Elizabeth begitu gembira, la tak bisa diam. Lari ke sana kemari walaupun bola
tak di dekatnya. Nora mendapat bola. Dikirimkannya ke Robert. Robert menerima
bola tersebut, membawa lari, melemparkannya kembali ke Nora. Nora lari ke arah
gawang. Melontarkan bola dan masuk! Hampir tak bisa dipercaya! Sebuah gol manis
lagi! "Dua gol untuk Whyteleafe!" seru wasit. "Dua-dua dan waktu tinggal sepuluh menit
lagi!" Anak-anak Sekolah Uphill yang menonton di tepi lapangan bersorak-sorak ramai,
"Ayo, Uphill, serang! Serang! Ayo!"
Didorong oleh sorak-sorai ini tim Uphill lebih menggebu-gebu lagi menyerbu.
Mereka membawa bola. Mereka menyerbu ke arah gawang. Mereka menembak! Tetapi
Eileen dengan cekatan menangkap bola tersebut melemparkannya kembali ke tengah
lapangan. Selamat! Dua-dua. Dan waktu tinggal tiga menit. Ayo, Uphill! Ayo, Whyteleafe! Tinggal
tiga menit! 21. Akhir Pertandingan "Tinggal tiga menit, Robert!" seru Elizabeth terengah-engah. "Kita harus
berusaha lebih keras. Jangan sampai mereka mencetak gol lagi!"
Bola cepat melesat dari satu pemain ke pemain lainnya. Elizabeth lari untuk
menyergap seorang pemain lawan yang larinya sangat cepat. Dibenturkannya
tongkatnya pada tongkat lawan itu. Bola meloncat ke udara. Elizabeth mencoba
menangkapnya, tetapi bola jatuh ke tanah. Disambarnya dengan jaring tongkatnya,
dan dibawanya lari dengan cepat.
Tetapi seorang anggota regu lawan menyergapnya. Walaupun Elizabeth mencoba
menghindar, tak ada gunanya. Ia terjatuh, bola lepas. Anak Uphill langsung
menyambarnya dan melesat ke arah gawang Whyteleafe. Dilemparkan ke anak Uphill
lainnya. Dikirimkan kembali ke seorang kawan mereka dekat gawang.
Dan anak itu langsung menembak ke arah gawang! Deras sekali laju bola. Tampaknya
pasti masuk. Tetapi Eileen langsung membuang diri, meluncur tepat untuk
menangkap bola tersebut. Eileen terjatuh keras, namun gawangnya selamat. Dan
bola dilempar ke arah seorang anak Whyteleafe. Anak tersebut segera lari ke arah
gawang lawan. "Lemparkan! Lemparkan!" teriak Elizabeth, meloncat ke sana kemari. "Awas! Lawan
di belakangmu! Lemparkan!"
Anak Whyteleafe itu melepaskan bolanya tepat pada saat ia diserang lawan. Bola
langsung menuju Elizabeth. Ia menangkapnya dan lari secepat angin diikuti oleh
seorang anak Uphill yang terus membayanginya.
Elizabeth melontarkan bola pada Robert. Robert diserang lawan. Robert
melemparkan bola ke Elizabeth yang telah berlari maju. Gawang sudah dekat.
Apakah ia harus menembak langsung" Mungkin akan masuk. Dan ia akan memenangkan
Whyteleafe! Tetapi Robert telah berlari maju, dan kini lebih dekat dengan gawang! Ia harus
melemparkannya pada Robert! Dan tanpa ragu-ragu Elizabeth melakukannya.
Robert menangkap bola dengan cermat. Langsung menembak ke arah gawang. Penjaga
gawang berusaha menangkap bola itu. Tetapi bola melewati tongkat jaringnya, dan
bersarang di sudut gawang! Gol untuk Whyteleafe!
Dan hampir bersamaan terdengar peluit berbunyi. Pertandingan selesai!
"Tiga gol untuk Whyteleafe!" seru wasit. "Tiga-dua! Untuk kemenangan
Whyteleafe!" Kemudian semua penonton pendukung Uphill juga bersorak ramai menyambut
kemenangan lawan mereka. Sebuah pertandingan yang cukup menarik. Semua pemain
telah bermain sebaik-baiknya.
"Oh, hampir saja terlambat, Robert," kata Elizabeth terengah-engah kehabisan
napas. "Tepat sekali tembakanmu tadi!"
"Tapi tak mungkin itu kulakukan kalau kau tidak begitu tepat melemparkannya
padaku," Robert juga kehabisan napas, harus bertopang pada tongkat lacrosse-nya.
Mukanya merah padam. Badannya basah oleh keringat. "Gila, Elizabeth! Kita
menang! Coba pikirkan itu! Kita belum pernah mengalahkan Uphill. Oh, aku senang
sekali kau juga mencetak satu gol!"
Kedua tim meninggalkan lapangan. Mandi. Sungguh segar terasa air dingin, sebab
semuanya begitu kepanasan. Kemudian semua berjabat tangan. Kapten tim Uphill
menepuk punggung Eileen, kapten tim Whyteleafe.
"Bagus sekali pertandingan tadi," katanya. "Ini pertama kali kami kalah dalam
semester ini. Selamat, ya!"
Mereka dijamu acara minum teh. Elizabeth tak begitu banyak makan siang tadi.
Kini ia melahap apa saja yang terhidang. Roti tawar dengan mentega dan selai,
macam-macam kue, dan sepotong kue cokelat yang sangat besar. Semua makan dengan
lahap. Semua piring besar berisi roti-mentega dan kue kismis dengan cepat licin
tandas. "Aku ingin sekali segera pulang ke Whyteleafe," kata Robert kepada Elizabeth,
"untuk segera menceritakan berita baik ini. Oh, betapa senangnya, akhirnya kau
bisa ikut main. Aku bisa main saja senangku sudah tak keruan. Apalagi ternyata
kerja sama kita cukup bagus. Mudah-mudahan kita masih bisa bermain bersama untuk
banyak pertandingan lagi."
"Kau mencetak gol kemenangan itu begitu bagus," kata Elizabeth dengan riang.
"Oh, aku lelah sekali. Tetapi juga senang sekali! Rasanya aku tak bisa berdiri
lagi. Kakiku begitu berat!"
Mereka memang kecapekan, tetapi mereka masih bisa sibuk bercakap-cakap, tertawa,
dan bercanda sambil duduk di ruang tunggu, menunggu kedatangan bus mereka. Oh,
betapa senangnya bisa pulang membawa kemenangan!
Semua naik ke bus dan melambaikan tangan pada anak-anak Uphill yang juga
bersorak-sorai meriah sampai bus keluar dari sekolah itu. Tak berapa lama
kemudian anak-anak telah duduk kelelahan di dalam bus. Muka mereka masih merah
padam dan kaki mereka masih pegal-pegal karena terlalu banyak berlari. Hampir
tak ada yang berbicara lagi.
Tetapi begitu mendekati Sekolah Whyteleafe, mereka duduk tegak, tak sabar untuk
segera melihat sekolah mereka, tak sabar untuk melihat teman-teman mereka yang
sudah pasti menunggu. Selama setengah jam Joan dan Jenny serta Kathleen memang telah menunggu-nunggu.
Dan begitu terdengar suara bus datang, mereka bersorak berlari ke pintu gerbang,
diikuti oleh puluhan anak lainnya. Memang sudah menjadi kebiasaan Sekolah
Whyteleafe untuk menyambut dengan meriah kedatangan tim yang baru bertanding di
tempat lawan. Tim lacrosse itu juga bersorak-sorai liar saat bus mereka masuk.
"Kita menang! Menang! Tiga-dua! Tiga-dua!"
"Kita menang! Hebat sekali pertandingan tadi!"
"Inilah pertama kalinya Uphill kalah!"
"Tiga-dua! Tiga-dua!"
Bagaikan gila anak-anak Whyteleafe bersorak-sorak. Mereka menghambur mengerumuni
bus, membantu anggota tim yang sudah hampir tak kuat lagi melangkah.
"Hidup Whyteleafe! Hidup Whyteleafe!" semua anak berteriak-teriak. "Ayo cepat,
ceritakan pada kami!"
Tim lacrosse diarak menuju ruang senam. Para pimpinan sekolah ikut datang untuk
mendengarkan peristiwa yang menggembirakan itu. Pak Warlow berpidato beberapa
saat bahwa betapa semua anggota tim telah bermain sangat baik. Kemudian John
bertanya. "Siapa yang mencetak gol?"
"Elizabeth, Nora-dan Robert!" kata Pak Warlow. "Gol-gol yang indah. Gol Robert
sungguh mendebarkan hati, sebab beberapa detik saja terlambat maka waktu akan
habis." "Hidup Nora! Hidup Elizabeth! Hidup Robert!" gemuruh anak-anak berteriak. Ketiga
anak itu berseri-seri bangga. Elizabeth hampir tak bisa menahan tangisnya.


Sekali Lagi Si Paling Badung The Naughtiest Girl Again Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Betapa tidak bangga, pada pertandingan pertamanya ia telah menyumbangkan satu
gol! Hampir tak bisa dipercaya.
Nora telah sering bertanding, maka ia hanya tersenyum-senyum saja. Tetapi bagi
Robert dan Elizabeth tentu saja sambutan meriah itu sungguh luar biasa.
Elizabeth menggandeng tangan Robert dan berkata, "Aku gembira kita bisa bermain
bersama! Dan betapa senangnya aku bisa menyumbangkan sesuatu untuk Whyteleafe,
walaupun hanya berbentuk sebuah gol. Waktu pertama kali ke sini, aku sangat
membenci sekolah ini. Tetapi kini aku menyukainya. Tunggulah sampai kau di sini
satu-dua semester. Kau akan menyukainya juga."
"Aku bahkan sudah menyukainya sekarang," kata Robert. "Dan aku bertekad untuk
menyumbangkan tidak hanya gol-gol dalam pertandingan, tetapi lebih dari itu!"
Malam itu dihidangkan makanan khusus bagi anggota tim. Sosis panas muncul di
meja makan mereka. Masing-masing anggota tim memperoleh dua buah sosis. Betapa
lezatnya! Lebih dari itu, semua anak yang kebetulan mempunyai permen
membagikannya pada anggota tim, hingga pada saat lonceng untuk tidur berbunyi,
perut Robert dan Elizabeth sudah penuh sesak.
Kathleen merasa gembira seperti yang lain juga. Mukanya berseri-seri sewaktu
membawa sekaleng permen untuk Elizabeth. Elizabeth memandangnya keheranan.
"Wah, kau sungguh berbeda," katanya. "Matamu selalu tersenyum, rambutmu
berkilau. Kau berjalan seolah menari, dan bintik-bintik di wajahmu telah
lenyap!" Kathleen tertawa. Ia telah menepati janjinya pada dirinya sendiri, tak makan
permen sebutir pun. Ia tak lagi mementingkan dirinya sendiri, selalu ikut
bergaul dan bercanda dengan yang lain. Kini ia berjalan dengan kepala diangkat,
dan senyumnya siap terpancar. Kini ia merasa heran mengingat betapa dulu ia bisa
melakukan hal-hal yang bersifat nakal.
Ia telah mengembalikan buku Elizabeth yang dahulu disembunyikannya, setelah
membersihkannya dengan hati-hati. Dengan pipi merah ia mengembalikan buku-buku
tersebut. Hampir saja Elizabeth meluap amarahnya bila mengingat betapa ia harus
menderita karena ulah Kathleen. Tetapi ia cepat menguasai diri dan mengucapkan
terima kasih. Kathleen dengan tekun dan rajin mengerjakan tempat saputangannya dengan sulaman
halus. Ia membuat dua buah. Masing-masing bertuliskan kata SAPUTANGAN. Sebuah
kata yang cukup panjang untuk disulamkan. Yang sebuah diberinya gambar bunga-
bunga biru kecil, untuk Elizabeth. Yang sebuah lagi mawar merah, untuk Jenny.
Tepat pada saat Kathleen menyelesaikan sulamannya, Jenny datang dan melihatnya
bekerja di ruang bermain itu.
"Wah, alangkah senangnya kalau aku juga ikut bertanding," Jenny mulai berkata,
dan menjatuhkan dirinya pada sebuah kursi. "Apa saja mau kulakukan asal diberi
hadiah sosis panas untuk makan malam. Hai, Kath, apa yang sedang kaukerjakan"
Coba lihat." Jenny membungkuk memperhatikan pekerjaan Kathleen. "Waduh," katanya. "Betapa
halusnya sulamanmu! Dan betapa indahnya bunga-bunga mawar ini. Alangkah
senangnya kalau aku bisa menyulam seindah ini. Aku ingin memiliki tempat
saputangan." "Kau bisa memilikinya," kata Kathleen. "Ini memang untukmu. Dan yang ini untuk
Elizabeth." "Wah! Tetapi untuk apa?" Jenny sangat heran.
"Sekadar untuk menghilangkan rasa kesalmu karena aku dulu telah
mempermainkanmu," Kathleen tersenyum. "Nah, ini punyamu, Jenny, gunakan sebagai
tempat saputanganmu. Aku gembira bisa memberikannya padamu."
Jenny tampak sangat berterima kasih. Diterimanya pemberian Kathleen tadi. "Oh,
kau ternyata sungguh baik hati!" katanya. "Terima kasih banyak! Oh, itu
Elizabeth. Hai, Elizabeth! Lihat, kaudapat hadiah bagus nih!"
Segera keduanya asyik mengagumi pemberian indah tersebut. Anak-anak lain yang
datang kemudian juga memuji-muji keindahannya. Kathleen merasa sangat bangga
mendengar kata-kata mereka.
"Rasanya lebih menyenangkan mengerjakan sesuatu untuk kesenangan mereka daripada
untuk mencelakakan mereka," batin Kathleen. "Tetapi rasanya aku tak akan pernah
cukup berani untuk mengakui kesalahanku di hadapan seluruh sekolah. Kini aku
lebih baik hati, lebih manis pula. Tetapi aku tetap penakut."
22. Elizabeth Mendapat Kesulitan Lagi
Waktu-waktu berlalu dalam suasana bahagia. Dengan tak adanya pertentangan antara
Kathleen dan yang lain, serta antara Robert dan Elizabeth, keadaan jadi lebih
menyenangkan. Elizabeth belajar dengan rajin, dan dengan mudah berada di puncak urutan peraih
angka terbaik di kelasnya. Robert kadang-kadang nomor dua, kadang-kadang nomor
tiga. Tetapi ini sudah membuat Bu Ranger girang, sebab sesungguhnya Robert
bukanlah anak pandai, jadi keberhasilannya menandakan bahwa anak itu benar-benar
bekerja keras. Kathleen juga belajar sebaik-baiknya, dan tak pernah membantah
secara keterlaluan seperti dulu. Khususnva pada mata pelajaran bahasa Prancis ia
memperoleh kemajuan pesat, sampai Mam'zelle suatu hari menyatakan
kegembiraannya. "Anak di kelas ini yang mencapai kemajuan pesat adalah Kathleen," kata
Mam'zelle. "Ah, dulu kukira dia bodoh sekali. Dulu aku sering marah padanya.
Tetapi kini karangan bahasa Prancisnya terbaik. Dan ia mengucapkan huruf 'r'
dalam bahasa Prancis tepat seperti yang semestinya. Tidak seperti kau R-R-R-
Robert! Kau takkan pernah mengucapkan huruf 'r' secara tepat!"
Robert tersenyum. Kathleen tersipu-sipu, tetapi merasa sangat senang. Ia belum
pernah dipuji dalam kelas. Ia jadi heran juga mengapa dahulu ia selalu
memperoleh nilai buruk. "Kekuatan otakku agaknya makin baik juga." pikirnya. "Dan aku kini menyukai
pelajaranku. Dulu aku bosan sekali pada pelajaran. Mungkin aku bisa terhindar
dari kedudukan juru kunci. Wah, pasti hebat! Ibu akan sangat senang bila
peringkatku setidaknya mendekati peringkat atas."
Ia memang khusus belajar lebih rajin pada pelajaran Mam'zelle. Ini suatu
perubahan besar bagi Kathleen. Dulu setelah Mam'zelle memarahinya, ia langsung
tak suka pada bahasa Prancis, termasuk gurunya, dan sembarangan saja belajar.
Tapi kini segalanya berubah. Misalnya saja, Kathleen kini tampak lebih sehat. Ia
sering berkuda, berjalan-jalan, dan bahkan menawarkan diri untuk membantu John,
Elizabeth, dan Peter di kebun sekolah.
"Astaga," kata John. "Tak pernah kusangka kau punya pikiran untuk membantu kami.
Apakah kau mengerti tentang berkebun?"
"Tak banyak," jawab Kathleen secara jujur.
Tiga minggu sebelumnya mungkin ia akan berdusta dan membual serta mengatakan
bahwa ia tahu banyak tentang berkebun. "Tetapi, John, pasti aku bisa membantu
sedikit-sedikit, bukan?"
"Ya, dorong gerobak isi sampah itu ke tempat sampah, tuangkan di sana dan ambil
sampah berikutnya," kata John. "Pekerjaan itu terlalu berat bagi Peter."
Peter sangat ingin membantu John. Dan John senang anak kecil itu menaruh
perhatian pada pekerjaan di kebun sekolah. Peter sering bercerita pada John
bahwa Robert membawanya berkuda. John lama-lama tertarik juga untuk mencoba.
"Aku harus mencobanya sekali-sekali," kata John. "Walaupun dulu aku tak punya
minat sama sekali. Memang waktu pertama kali masuk Whyteleafe ini aku sering
berkuda, namun kemudian aku lebih tertarik berkebun, dan jadi lupa segala-
galanya. Tetapi besok aku akan mencobanya, Peter."
Peter berbicara tentang hal itu pada Robert. Dan Robert setuju. Ia mengatur
sehingga keesokan harinya John, Peter, Elizabeth, Kathleen, dan dia sendiri bisa
berkuda bersama- menjelajahi padang rumput, perbukitan, di bawah cahaya pucat
matahari musim dingin. Ternyata John sangat menyukainya!
"Aku akan ikut lagi lain waktu," kata John melompat turun dari pelananya.
"Sungguh menyenangkan! Astaga, Kathleen, pipimu merah sekali! Padahal dulu kau
begitu pucat.. Ngomong-ngomong, bisakah kau membantuku di kebun akhir minggu
ini?" "Ya, tentu," kata Kathleen gembira. Senang sekali dimintai bantuan oleh
seseorang. Ia kini merasa betapa indahnya mempunyai sahabat. Bila kita membantu
seorang sahabat, maka sahabat kita itu pasti akan membalas membantu kita suatu
hari. Dengan begitu akan lebih menyenangkan bila kita punya sahabat banyak.
"Benar juga kata William dan Rita," pikir Kathleen. "Dulu aku iri pada Jenny,
dan kukatakan dia sangat beruntung punya sahabat begitu banyak. Dan kukatakan
hanya karena aku tak punya nasib baik sajalah maka aku tak punya sahabat. Tetapi
kini karena aku bersikap manis, banyak peristiwa manis terjadi padaku. Tepat
sekali kata Rita. Diri kita sendirilah yang menentukan nasib kita. Aku selalu
mengeluh, menggerutu tentang apa saja, menyalahkan nasibku bila aku tak
memperoleh apa yang kuinginkan. Tetapi begitu aku mengubah pribadiku, semuanya
berubah! Sayang sekali tidak semua orang mengetahui hal itu."
Elizabeth tekun sekali belajar musik, Pak Lewis sangat gembira atas kemajuannya.
Ia dan Richard sekali lagi berlatih berduet. Anak laki-laki besar itu senang
sekali berduet dengan gadis kecil yang lincah jarinya itu. Elizabeth juga suka
pada Richard karena ia seorang pemusik luar biasa.
"Bolehkah kita bermain duet dalam pertunjukan musik akhir semester nanti"
Seperti dulu?" tanya Elizabeth. "Aku ingin sekali, Pak Lewis" Apakah kami akan
cukup baik?" "Oh, ya," kata Pak Lewis. "Di samping itu Richard juga akan memainkan biolanya.
Pernahkah kau mendengarkan dia memainkan lagu seperti yang ada pada piringan
hitam, Elizabeth?" "Belum, belum pernah," kata Elizabeth. "Coba mainkan untukku, Richard."
Richard segera mengambil biolanya. Kemudian anak laki-laki besar yang tampaknya
selalu melamun itu, memainkan sebuah lagu yang amat indah untuk gurunya dan
untuk Elizabeth. Mereka berdua terpesona mendengarkannya.
"Oh, indah sekali," desah Elizabeth sewaktu lagu tersebut selesai. "Ingin sekali
aku bisa memainkannya seindah itu. Bisakah aku belajar biola, Pak Lewis?"
"Anakku sayang, hari-harimu sudah terlalu sibuk," kata Pak Lewis, tertawa.
"Tidak, lebih baik kau belajar piano saja."
"Tetapi Richard bisa belajar dua-duanya, piano dan juga biola," kata Elizabeth.
"Iya, tetapi selain kedua kegiatan itu, ia tak mempunyai kegiatan lainnya," kata
Pak Lewis. "Tak ada yang menyuruhnya mengerjakan sesuatu yang lain, jadinya ya
lebih baik ia mengisi waktunya dengan kedua hal tadi. Tak akan ada orang yang
menyuruh Richard menyiangi kebun, naik kuda lebih dari satu kali, memelihara
tikus putih, dan sebagainya. Hanya satu pikirannya, musik."
"Akan kubuat agar ia memikirkan hal lain," kata Elizabeth. "Ayolah ikut berlatih
lacrosse besok, Richard. Kau belum merasakan betapa senangnya bermain begitu
bagus sehingga terpilih untuk bermain dalam sebuah pertandingan penting."
Tetapi Richard menolak ajakan itu. Memang pernah juga ia bermain dalam suatu
permainan olahraga, tetapi permainannya buruk sekali. Bahkan si kepala batu
Elizabeth tak sanggup membuat Richard meninggalkan musiknya. Elizabeth tak
meneruskan usahanya. Dalam hati ia bangga terpilih bermain duet bersama anak
luar biasa itu. "Suatu hari Richard akan menjadi seorang pemusik dan pengarang lagu yang
terkenal," kata Elizabeth pada Jenny dan Joan. "Dan aku akan dengan bangga bisa
menyatakan bahwa aku pernah bermain duet dengannya."
Di pertunjukan akhir semester, akan dipentaskan juga sebuah drama. Anak-anak di
kelas Elizabeth mendapat tugas untuk menulis skenario juga. Lama sekali mereka
memikirkan ceritanya. Dan ketika garis besar cerita sudah mereka sepakati,
mereka sampai pada pekerjaan berat yaitu menuangkan cerita tadi ke dalam naskah
drama atau skenario. Ternyata Jenny dan Kathleen sangat pandai menulis naskah drama. Jenny pandai
membuat dialog, Kathleen penuh khayalan untuk menciptakan berbagai suasana.
Sebelum minggu itu lewat, kedua anak tersebut sudah menyusun naskah dramanya,
dibantu oleh kritik positif dan negatif dari teman-teman mereka.
Lucu juga melihat kedua anak yang tadinya bermusuhan kini bekerja sama begitu
rukun. "Sungguh aneh melihat Jenny dan Kathleen, persis seperti aku dan Robert," batin
Elizabeth. "Betapa tololnya kami bertengkar. Aku berjanji akan selalu
menghindari pertentangan."
Sungguh sayang mengucapkan hal itu. Sebab pada hari berikutnya terjadilah
pertentangan antara Elizabeth dan John.
Mereka berdua telah membuat tumpukan sampah yang kini telah menggunung. John
berkata ia akan menyulutnya bila kebetulan ada waktu luang. Tetapi ketika ia
mencari John untuk membakar sampah itu, ternyata John tak ada!
"Ah, sialan," kata gadis kecil itu dalam hati. "Padahal aku ingin melihat api
unggun itu. Yah, kalau dalam beberapa menit ini John tidak muncul, akan
kunyalakan sendiri api unggun ini. John pasti tak keberatan."
Seharusnya Elizabeth tahu bahwa John pasti merasa keberatan. Walaupun ia telah
mempercayai Elizabeth untuk berbagai hal, untuk pembakaran sampah ia selalu
mengerjakannya sendiri. Elizabeth mengambil sekotak korek api. Dinyalakannya selembar kertas, lalu
disesapkannya di antara tumpukan sampah. Api berkobar. Dan jadilah api unggun
menyala dengan hebat! Besar sekali kobaran apinya. Asap biru menjulur ke atas
dan meliuk-liuk mencapai gudang tua di dekat situ.
Elizabeth meloncat-loncat dengan gembira. Ini bagus sekali! Rugi John tak segera
datang. Kemudian tiba-tiba ia melihat sesuatu. Angin meniup kobaran api unggun ke arah
gudang! "Astaga! Mudah-mudahan saja gudang itu tidak terbakar!" seru Elizabeth terkejut.
"Ya ampun! Benar-benar terbakar! Oh! John! John! Cepat! Di mana kau?"
John berlari mendatangi. Ia sedang berada di sudut lain kebun itu, dan cepat-
cepat datang waktu dilihatnya kobaran api dari kejauhan. Ketika dilihatnya
jilatan api telah hampir mencapai gudang, ia juga sangat terkejut.
"Elizabeth! Ambil pipa air!" teriaknya. Kedua anak itu berlarian mengambil pipa
air, membuka gulungannya dan memasangnya di keran. John membuka keran, dan
mengarahkan pipa air ke api unggun. Tak berapa lama api unggun tersebut padam,
meninggalkan asap hitam mengepul.
"Untuk apa kaunyalakan api unggun itu?" hardik John marah kepada Elizabeth.
"Sungguh tolol kau! Apakah kau tidak tahu bahwa aku yang memimpin di kebun ini"
Semuanya harus dilakukan dengan perintahku! Kalau terlambat tadi, gudang itu
sudah terbakar!" "Jangan bicara begitu .padaku!" teriak Elizabeth marah. "Kau kan bilang kalau
kau yang akan membakar tumpukan sampah itu. Dan kalau kaulakukan toh kejadiannya
akan sama saja!" "Aku tidak setolol kau! Aku takkan mungkin membakar tumpukan sampah itu begitu
saja di situ, dan pada saat angin bertiup ke arah gudang seperti ini! Aku akan
membakarnya setelah angin berganti arah! Bukan hari ini! Kau tak ada urusan
untuk membakarnya, mengerti"! Padahal semestinya tumpukan sampah itu akan jadi
api unggun yang indah. Kau telah merusaknya! Kau hanya membuat repot saja. Aku
tak mau kau membantu di kebun lagi!"
"Oh!" air mata menggenang di mata Elizabeth. "Kau anak kejam! Kau mengusirku
setelah begitu banyak yang kulakukan, setelah begitu lama aku membantumu!"
"Kau tidak melakukan semua itu untukku!" tukas John. "Semuanya untuk keperluan
sekolah. Pergilah, Elizabeth, aku tak ingin berbicara denganmu lagi."
"Baiklah! Aku juga tak sudi kemari lagi!" seru Elizabeth sambil berlari pergi
dengan marah. Tetapi setengah jam kemudian dalam hati Elizabeth berkata, "Kau kan telah
berjanji takkan bertengkar lagi dengan siapa pun. Padahal memang hak John untuk
marah padamu. Karena kalau api itu tidak segera dipadamkan, maka bisa membakar"
gudang, menghabiskan semua alat-alat di dalamnya. Kau juga telah merusak api
unggun indah yang telah ia rencanakan!"
Dan di dalam hati John, juga terdengar sebuah suara berkata, "Elizabeth tak
bermaksud buruk. Ia hanya kurang berpikir. Bukannya jahat. Ia pasti juga sangat
kecewa karena api unggun itu tidak jadi. Dan kau tahu, ia telah banyak membantu
di kebun ini. Bagaimana kalau ia benar-benar tidak mau datang lagi ke kebun ini"
Rasanya takkan begitu menyenangkan!"
"Akan kucari dia," akhirnya John memutuskan. Dan pada saat yang sama Elizabeth
juga berpikir, "Akan kutemui John."
Maka mereka berdua bertemu di tikungan jalan di kebun sekolah. Keduanya tampak
malu-malu. Dan bersamaan mereka mengulurkan tangan.
"Maaf, aku telah bersikap kasar padamu," kata John.
"Aku juga. Aku sangat menyesal," kata Elizabeth.
"Oh, John, padahal baru kemarin aku berjanji dalam hati untuk tidak bertengkar
dengan siapa pun. Dan ternyata aku telah bertengkar denganmu!"
"Kau akan selalu begitu," John tertawa. "Tetapi tak apa bila kau juga cepat-
cepat menyesali tindakanmu. Sekarang, yuk kita menggali tanah, biar hati kita
tenang kembali." Mereka berdua kembali ke kebun, bersahabat. Persahabatan memang takkan putus
hanya oleh sebuah pertengkaran, bukan"
23. Kejutan bagi Joan Dua bulan dari semester Natal telah lewat. Rapat Besar telah diadakan tujuh
kali. Dan yang kedelapan akan diadakan Jumat ini. Dalam Rapat nanti itu akan
dipilih seorang Pengawas baru, sebab salah seorang Pengawas lama, George,
terpaksa harus tinggal di Sanatorium selama satu-dua minggu karena flu.


Sekali Lagi Si Paling Badung The Naughtiest Girl Again Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Bagaimana cara memilih Pengawas baru?" tanya Robert. "Belum ada Pengawas baru
yang dipilih sejak aku ada di sini. Semula kukira masa jabatan Pengawas satu
bulan. Tetapi sudah dua bulan kita memiliki Pengawas yang sama."
"Ya, sebab Pengawas yang ada cukup bagus sehingga kita tidak menginginkan mereka
diganti," kata Joan. "Kalau kita menghendaki, setiap bulan kita bisa memilih
Pengawas baru. Tetapi tak ada gunanya memilih Pengawas baru bila kita puas
dengan Pengawas yang lama. Kukira pada saat ini semua Pengawas kita sangat
bagus." "Benar," kata Elizabeth. "Tadinya kukira jadi Pengawas sungguh tidak enak, harus
menaati semua peraturan dan menjaga agar anak lain menaati juga peraturan itu.
Tetapi kini aku berubah pendapat. Kurasa pasti menyenangkan bila kita dipercayai
oleh begitu banyak anak, dan menjadi tempat meminta tolong dan nasihat."
"Memang orang yang akan menjadi cukup berarti di dunia ini adalah mereka yang
bisa dipercayai orang lain serta bisa dimintai pertolongan," kata Jenny. "Dan
kita mendapat pendidikan untuk itu di Whyteleafe ini. Suatu hari kelak aku ingin
sekali menjadi seorang Pengawas. Tetapi seperti kau, Elizabeth, rasanya
keinginan tersebut takkan mungkin terkabul."
"Tetapi belum ada yang menjawab pertanyaanku," kata Robert.
"Apa pertanyaanmu tadi?" tanya Elizabeth.
"Aku bertanya bagaimana Pengawas dipilih," kata Robert. "Mereka dipilih oleh
kita, oleh Juri, oleh Hakim, atau oleh siapa?"
"Mula-mula seluruh sekolah yang memilih," kata John. "Tiap anak menulis di atas
kertas nama anak yang mereka anggap baik untuk menjadi Pengawas, lalu ditutup
rapat, dan diserahkan pada Juri."
"Lalu bagaimana?" tanya Robert.
"Lalu Dewan Juri memilih tiga nama yang mendapat suara terbanyak," kata John.
"Kemudian setiap anggota Dewan Juri itu memilih satu nama yang terbaik menurut
mereka masing-masing. Hasil pemilihan mereka diserahkan pada Hakim-William dan
Rita. Kedua Hakim itu lalu memilih satu nama dari hasil pilihan Dewan Juri, dan
terpilihlah seorang Pengawas baru."
"Begitu," kata Robert. "Tampaknya memang adil, semua memperoleh kesempatan untuk
menyatakan pendapat. Itulah salah satu yang kusukai di Whyteleafe ini. Semua
diberi kesempatan berbicara."
"Aku tak bisa berpikir siapa yang akan kupilih," kata Jenny. "Sulit sekali
menentukan." "Aku juga," Joan merenung. "Sungguh suatu kehormatan untuk dipilih, jadi kita
harus berpikir baik-baik, yang kita pilih haruslah orang yang memang pantas
mendapat kehormatan itu."
"Bolehkah aku berjalan bersamamu dalam perjalanan pengamatan alam nanti?"
Kathleen bertanya pada Joan. "Elizabeth tidak bisa ikut, ia harus berlatih musik
dengan Richard." "Boleh," kata Joan. "Tetapi jangan datang terlambat, sebab aku yang harus
memimpin nanti. Jadi kalau kau ingin berjalan bersamaku, kau harus datang tepat
pada waktunya." Kathleen datang tepat pada waktunya. Kedua anak itu berangkat dengan membawa
buku catatan mereka, diikuti anak-anak lain yang juga berjalan berdua-dua.
Mereka diharuskan mencari bunga ivy, jenis tanaman sulur-suluran, santapan
terakhir serangga-serangga musim itu. Mereka harus mencatat dan menggambar
serangga-serangga yang mereka dapati pada bunga tersebut.
Sungguh menyenangkan berjalan-jalan berdua di sepanjang jalan setapak dan
melintasi padang. Matahari musim dingin yang pucat bercahaya lembut, langit pun
berwarna biru muda. Semua pohon sudah tak berdaun lagi, kecuali pohon pinus dan
pohon fir yang ujung daun-daunnya berkilauan karena tetesan embun beku.
Kathleen menggumamkan sebuah lagu sambil matanya mencari bunga ivy. Joan
memandang heran padanya. "Aneh juga perubahan yang terjadi pada seseorang," kata Joan. "Semester yang
lalu aku menyaksikan betapa Elizabeth yang badung dan nakal berubah menjadi baik
dan manis. Aku dan Robert yang semula pemalu dan selalu merasa kesepian berubah
menjadi senang bergaul. Dan kini kau juga berubah!"
"Ya, aku tahu," kata Kathleen. "Tetapi ada satu hal dariku yang tak bisa
berubah, Joan. Aku tetap seorang penakut."
"Apa maksudmu?" tanya Joan heran. "Apakah kau takut pada sapi, misalnya?"
"Tidak, tentu saja tidak," jawab Kathleen. "Aku takut akan pikiran orang lain.
Itu lebih mengerikan daripada sapi! Tak seorang pun kecuali kau, Jenny, Nora,
dan Elizabeth yang tahu perbuatan jahatku. Oh, ya, juga William dan Rita tentu.
Dan aku tahu pasti, misalkan saja yang berbuat itu kau, atau Jenny, atau
Elizabeth, pastilah kalian dengan berani mengakuinya di hadapan seisi sekolah
waktu Rapat Besar. Tetapi aku tak berani berbuat seperti itu,"
"Tetapi mengapa tidak?" tanya Joan. "Kau tahu bahwa seluruh murid akan sangat
memuji keberanianmu mengaku. Dan ini akan mengurangi rasa marah mereka pada
perbuatan jahatmu. Lain halnya kalau, entah karena apa, tersebar berita bahwa
kaulah yang berbuat keji dan tidak mau mengaku. Semua akan tambah membencimu.
Bahkan kau sendiri akan merasa benci pada dirimu. Itu semua hanya tergantung
pada caramu mengambil keputusan. Semua orang memiliki keberanian yang sama.
Hanya ada yang tidak bisa memutuskan kapan menggunakan keberanian tersebut."
"Benarkah begitu?" tanya Kathleen. "Maksudku, apakah aku juga punya keberanian"
Apakah aku bisa menggunakannya bila aku menghendakinya" Aku tidak harus menjadi
penakut?" "Kau sungguh tolol," kata Joan menggandeng tangan Kathleen. "Sungguh! Tak
seorang pun harus menjadi penakut. Setiap orang bisa menggunakan keberanian
mereka pada saat mereka memutuskan untuk menjadi berani. Cobalah di Rapat nanti.
Kau akan mengerti apa yang kumaksud."
Saat itu mereka menemukan sekelompok bunga ivy yang sedang berkembang, dan
percakapan mereka pun terputus. Mereka sibuk menulis dan menggambar. Namun
Kathleen sesungguhnya masih memikirkan kata-kata Joan. Sungguh bagus sekali
kalau kata-kata itu benar Kalau memang semua orang punya keberanian tersembunyi,
tak perlu ada penakut di dunia ini! Mereka tinggal menentukan saja kapan harus
menggunakan keberanian itu.
"Akan kucoba apakah aku bisa menggunakan keberanianku di Rapat berikutnya," kata
Kathleen dalam hati, walaupun makin dipikir ia makin takut. "Sungguh mengecilkan
hati melihat anak-anak lain dengan mudah berdiri dan memberikan pengakuan
mereka, sementara aku membuka mulut saja tak berani."
Sore itu sewaktu Rapat akan dimulai, Kathleen duduk dengan kaki gemetar, mencoba
mengumpulkan keberaniannya. Ia tak berkata apa-apa pada sahabatnya. Dan Rapat
pun mulai. Uang dikumpulkan, dibagikan, lalu diberikan tambahan pada mereka yang
membutuhkan-ada yang ditolak, ada yang diterima. Kemudian sampailah pada acara
keluhan dan laporan. Hanya ada satu laporan dan satu keluhan. Semuanya ditanggapi dengan cepat.
Kemudian sebelum melanjutkan acara dengan pemilihan Pengawas baru, William minta
waktu untuk bicara. "Ada pengumuman sedikit," katanya. "Dengan ini diumumkan bahwa Fred telah
kembali ke kamar tidurnya, dan kini ia tak lagi mendengkur."
Semua tertawa dan beberapa anak malah bertepuk tangan. Fred ikut tertawa.
Kemudian William minta agar hadirin tenang.
"Aku juga ingin mengumumkan bahwa berdasarkan pengamatan banyak orang, maka
dengan bangga dan gembira kami menyatakan sangat puas akan perkembangan yang
terjadi pada diri Robert. Dari semua Pengawas, Rita dan aku menerima laporan-
laporan yang sangat memuaskan. Dari pengurus kuda didapat keterangan bahwa ia
hampir tak bisa bekerja lagi tanpa Robert."
Robert berseri-seri kegirangan. Dan semua hadirin juga merasa senang bahwa
bantuan mereka untuk memperbaiki pribadi Robert telah berhasil dengan baik.
Dan saat itulah Kathleen mendapatkan keberaniannya. Tahu-tahu ia sudah berdiri,
kakinya tak lagi gemetar dan suaranya mantap. Ia memandang para Hakim dan Dewan
Juri lurus ke depan. "Aku ingin mengatakan sesuatu yang mestinya sudah kukatakan sejak dulu," kata
Kathleen. "Aku ingin menyatakan bahwa akulah sesungguhnya yang melakukan
perbuatan-perbuatan yang dituduhkan pada Robert. Sebelum ini aku terlalu takut
untuk mengakui perbuatanku itu."
Hening seketika. Semua orang terpesona. Mereka yang belum tahu merasa terkejut
akan kenyataan itu. Mereka yang sudah tahu terkejut melihat keberanian Kathleen.
Apa yang menyebabkan anak itu mengaku"
Kemudian Rita berbicara, "Lalu apa yang membuatmu berani mengaku kali ini?"
"Sesuatu yang dikatakan Joan padaku," kata Kathleen. "Ia berkata bahwa tak ada
perlunya bagi seseorang untuk merasa takut. Menurutnya semua orang punya
keberanian, yang jadi soal adalah bagaimana kita bisa menggali keberanian itu
dan menggunakannya. Aku telah menggali keberanianku, dan menggunakannya. Joan
memang benar. Kini aku tak merasa takut lagi."
"Terima kasih, Kathleen," kata Rita.
Kathleen duduk. Kepalanya terasa ringan. Seakan beban berat telah diambil dari
pundaknya. Ia telah mendapatkan keberaniannya dan tak akan melepaskannya lagi.
"Kita takkan membicarakan lagi apa yang baru saja diakui oleh Kathleen," kata
Rita. "Kami sangat gembira bahwa akhirnya ia punya keberanian untuk mengaku.
Tentu saja aku dan William sudah mengetahuinya, dan kami berharap suatu hari ia
akan cukup berani mengaku pada kalian semua. Kini ia sudah mengakui
perbuatannya, dan kami semua sangat senang."
"Kini kita akan melanjutkan acara dengan pemilihan Pengawas baru," kata William.
"Eileen, tolong bagikan kertas-kertas suara."
Kertas yang dipotong kecil-kecil itu dibagikan. Setiap anak menuliskan nama anak
yang dipilihnya, nama seseorang yang mereka anggap cukup baik untuk dijadikan
Pengawas. Kertas-kertas tadi kemudian dikumpulkan oleh Juri, dibuka, dan
dihitung. Tiga nama yang memiliki suara terbanyak disisihkan. Dan anggota Dewan
Juri memilih dari ketiga anak ini, siapa yang dianggap terbaik. Juri-juri ini
juga menulis di kertas, yang secara tertutup diberikan pada kedua Hakim.
William dan Rita membuka kedua belas kertas itu dan membaca pilihan Dewan Juri.
Mereka berunding dengan suara perlahan, sementara hadirin menunggu dengan
perasaan tegang, sunyi senyap, menunggu siapa yang akan terpilih.
Kemudian William mengetuk meja. Kesunyian makin terasa. "Tampaknya tak terlalu
sulit untuk menjatuhkan pilihan kali ini," kata William. "Tampaknya hampir semua
di antara kalian telah memilih nama yang sama. Nama ini muncul di hampir semua
kertas suara. Joan Townsend!"
Riuh rendah sorak-sorai dan tepuk tangan.
Muka Joan merah padam bagaikan kepiting rebus. Ia sama sekali tak menduga akan
terpilih! Agaknya seluruh isi sekolah telah mendengar betapa bijaksananya Joan
dari apa yang dikatakan oleh Kathleen. Kini Joan memperoleh pahalanya. Ia jadi
Pengawas! "Kami memperoleh laporan yang sangat baik tentang dirimu dari para Pengawas,"
kata Rita. "Kami tahu bahwa kau bisa dipercaya, kau baik hati, dan cukup
bijaksana bila mengingat umurmu. Kami yakin kau akan berusaha sebaik mungkin
untuk sekolah kita. Majulah dan duduklah di meja Pengawas, Joan. Kami dengan
gembira menerimamu di meja Juri."
Joan pergi ke meja Juri, bangga dan bahagia. Elizabeth bertepuk tangan sekeras-
kerasnya. Ia begitu bangga dan gembira karena Joan memperoleh kehormatan itu.
"Joan pantas menerimanya," batin Elizabeth. "Sangat pantas! Ya Tuhan, senang
sekali kalau aku bisa jadi Pengawas. Tetapi kurasa aku sama sekali tak punya
bakat untuk itu. Sama sekali tidak."
24. Pengalaman yang Mengerikan
Bulan Desember tiba. Sekolah Whyteleafe sibuk mempersiapkan berbagai pertunjukan
untuk akhir semester nanti. Cuaca sering buruk, sehingga banyak kegiatan di luar
gedung terpaksa dibatalkan.
"Bahkan untuk berkebun juga tak baik," gerutu John, kemudian melihat ke luar
jendela. "Tanah begitu lembek sehingga malah tak bisa digali."
"Bisa sih bisa tapi kau akan basah kuyup," kata Joan. "Seharusnya kaucari
kesibukan lain. Tapi mestinya kau akan sibuk menekuni buku-buku berkebunmu."
Joan bangga sekali menjadi Pengawas. Dilakukannya semua tugasnya dengan sepenuh
hati dan penuh kebanggaan. Diperhatikannya betul-betul bahwa anak-anak di bawah
pengawasannya tak ada yang melanggar peraturan. Dan bila mereka datang padanya
minta bantuan atau pertolongan, maka ia berusaha keras untuk bisa membantu,
paling tidak dengan nasihat. Ia juga harus bertindak selalu bijaksana dan sabar,
dan ini tak begitu sulit baginya, karena pada dasarnya ia memang anak yang
bijaksana dan baik hati. Elizabeth merasa sangat gembira Joan menjadi Pengawas. Ia sama sekali tidak
merasa iri, walaupun ia punya keinginan juga menjadi Pengawas. Lagi pula Joan
telah berada lebih lama darinya. Ia harus menunggu gilirannya dengan sabar-
walaupun sabar bukan termasuk salah satu sifat Elizabeth.
Elizabeth dengan tekun berlatih musik, dan melatih duetnya dengan Richard
berkali-kali. Ia ingin menunjukkan bahwa ia bisa bermain sangat bagus di bidang
musik. Pak Lewis sering sekali memujinya.
"Elizabeth, kau berlatih terlalu rajin. Permainanmu sungguh luar biasa baiknya
semester ini." Elizabeth merasa bangga. Asyik! Akan ditunjukkannya pada semua orang betapa
pandainya dia bermain musik. Kalau ayah-ibunya hadir, pasti mereka akan heran
dan bangga melihat dia memainkan duet yang begitu sulit dengan seorang anak
sebesar Richard. "Kau tampaknya jadi terlalu sombong akan permainanmu, Elizabeth," kata Richard
suatu sore. Richard kalau bicara memang selalu ceplas-ceplos, tidak pernah
dipikir sebelumnya, kadang-kadang memang menyakitkan hati. "Sayang sekali. Aku
menyukai permainanmu. Tetapi aku tak suka bila kau jadi sombong karenanya,"
"Jangan bicara begitu, Richard," kata Elizabeth, meluap amarahnya tetapi
ditahannya. "Bukankah aku tidak berkata padamu bahwa kau juga sombong?"
"Tidak. Sebab aku memang tidak sombong," jawab Richard. "Aku tahu benar aku
punya bakat musik. Aku tahu benar itu anugerah Tuhan, sesuatu yang membuatku
bersyukur. Dan aku akan selalu menggunakan bakatku itu sebaik mungkin. Tetapi
aku takkan pernah menyombongkannya."
Elizabeth merasa tersinggung. Terutama karena ia tahu bahwa kata-kata Richard
ada benarnya. Ia memang sedikit besar kepala karena terlalu sering dipuji!
"Tetapi mengapa aku tak boleh membanggakan kepandaianku," pikir Elizabeth. "Aku
tidak memiliki bakat hebat seperti Richard. Kepandaianku karena hasil jerih
payahku, sudah selayaknya aku patut berbangga, bukan?"
Karenanya Elizabeth tetap saja merencanakan untuk memamerkan kepandaiannya pada
pertunjukan akhir semester. Ia akan membuat semua orang kagum akan kepandaiannya
memainkan piano. Tetapi memang, siapa sombong akan terdorong, siapa angkuh akan
jatuh, dan siapa takabur akan hancur. Elizabeth juga akan tahu itu dengan cara
yang cukup mengerikan. Elizabeth, Robert, John, dan Kathleen telah merencanakan untuk pergi berkuda di
suatu sore, sebelum waktu latihan olahraga. Peter mendadak muncul dan minta pada
Robert agar ia juga diperbolehkan ikut.
"Tidak bisa, Peter," kata Robert. "Kuda yang biasa kau tunggangi pincang, dan
kau belum begitu bisa menguasai yang lain. Tunggu saja sampai kudamu sembuh."
"Oh, biarkan aku naik kuda yang lain," pinta Peter. "Kau kan tahu, aku sudah
cukup bisa berkuda."
"Biarlah dia ikut, Robert," kata Elizabeth. "Ia bisa naik Tinker."
"Tetapi Tinker hari ini agak aneh," kata Robert. Baiklah, kita lihat saja nanti.
Kalau keadaan Tinker membaik jam dua nanti, kau boleh ikut."
Sudah pukul dua. Robert ternyata tak tampak di kandang. Yang lain sudah
berkumpul. Elizabeth memasang pelana pada kuda-kuda yang akan mereka tunggangi.
Dan Robert belum juga muncul.
"Sialan," keluh Elizabeth. "Ini sudah jam dua lebih sepuluh menit. Ke mana sih
si Robert" Kita membuang-buang waktu saja."
Peter cepat berlari untuk mencari Robert. Tetapi beberapa menit kemudian ia
telah kembali dan berkata bahwa ia tak bisa menemukan Robert.
"Yah, kalau kita ingin berkuda, sebaiknya cepat berangkat," kata Elizabeth.
"Bisa habis waktu kita nanti," Ia memanggil pengurus kuda.
"Hai, Tucker! Bolehkah aku memasang pelana si Tinker?" katanya. "Apakah Tinker
sudah baik?" "Dia tampaknya agak gelisah. Nona," sahut Tucker. "Cobalah lihat sendiri."
Elizabeth pergi ke kandang Tinker. Kuda kecil itu segera menciumi tangannya.
Elizabeth menggaruk-garuk hidung Tinker dan berpikir, "Tampaknya kuda ini baik-
baik saja." Dan ia berkata pada Peter, "Kurasa kuda ini sudah baik, Peter.
Baiklah kupasangkan pelanamu. Aku yakin Robert akan berkata bahwa kau boleh
menungganginya." Cepat-cepat Elizabeth memasangkan pelana pada Tinker, dan Peter langsung
melompat ke punggung kuda itu. Keempat anak itu tak lama kemudian sudah berkuda
di padang rumput. Rambut anak-anak perempuan melambai-lambai ditiup angin.
"Kita tak punya banyak waktu!" seru Elizabeth. "Tinggal dua puluh menit! Setelah
sampai di Bukit Windy, kembali lagi saja!".
Mereka berderap di jalan yang menuju ke bukit tersebut. Dan sesuatu terjadi!
Ketika mereka menikung, dari arah depan ternyata sebuah mesin penggilas muncul,
menderu-deru dan menderam-deram. Tinker melonjak ketakutan. Peter mencengkeram
kendalinya.

Sekali Lagi Si Paling Badung The Naughtiest Girl Again Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Cepat Elizabeth memajukan kudanya, mencoba menyambar kendali Tinker. Tetapi
Tinker mengibaskan kepala, meringkik keras dan melesat memasuki sebuah gerbang
yang terbuka ke arah sebuah padang.
Dan Tinker melarikan diri! Ketiga anak yang tertinggal itu sesaat ternganga
ketakutan, kasihan sekali Peter! Dibawa lari Tinker, berpegangan erat-erat
ketakutan, sementara kudanya bagaikan gila berlari menyeberangi padang berbatu
menuju Bukit Windy. "Akan kukejar dia!" teriak Elizabeth. Dibelokkannya kudanya, berpacu cepat
memasuki padang. Ia berteriak pada kudanya, ia menepuk punggung kuda itu. Dan
sang kuda mengerti ia harus mengejar Tinker yang lari tak terkendali itu.
Menyeberangi padang berbatu itu Elizabeth mengejar terus, sementara John dan
Kathleen terpaku ketakutan. Di kejauhan Tinker juga terus berpacu, membawa Peter
di punggungnya. Kuda Elizabeth jauh lebih besar dan lebih cepat daripada Tinker. Dan ia pun
sangat senang berlari cepat. Kakinya mendepak keras membuat kerikil beterbangan.
Dan Elizabeth terus saja membujuk agar ia berlari lebih cepat lagi! Untunglah ia
cukup pandai berkuda dan ia sangat mempercayai kudanya. Mereka berpacu terus,
dan makin lama makin dekat dengan Tinker.
Saat itu Tinker sudah mulai terengah-engah, sebab mulai menanjak lereng Bukit
Windy yang terjal. Kini ia mulai menderap lambat, sementara Peter berusaha keras
menghentikannya. Tetapi Tinker masih ketakutan.
Elizabeth terus berpacu dan akhirnya menyusul Tinker. Tetapi Tinker jadi
ketakutan lagi melihat kedatangannya. Ia menjulurkan leher dan mulai berlari
cepat kembali. Untung Elizabeth berhasil menyambar cepat kendalinya. Dan saat Tinker merasakan
tangan kecil tapi kuat menahan kendalinya, ia mulai tenang. Elizabeth
membujuknya terus. Elizabeth tahu cara berbicara dengan kuda. Tinker hanya
sekali mencoba membebaskan diri, kemudian dengan patuh ia memperlambat
langkahnya, gemetar sekujur badannya.
Peter juga gemetar. Ia segera turun. Elizabeth melompat turun dari kuda dan
cepat memegang kepala Tinker. Dalam beberapa menit saja ia telah membuat tenang
kuda itu. Tetapi ia belum berani menungganginya.
"Peter, naikilah kudaku dan pergilah ke anak-anak yang lain," kata Elizabeth.
"Aku akan menuntun Tinker pulang. Katakan pada pengurus kuda, apa yang terjadi.
Dan katakan pada Pak Warlow aku tak bisa datang tepat pada waktunya untuk
latihan. Cepat berangkatlah!"
Peter naik kuda Elizabeth segera pergi menemui yang lain. Rasa takutnya segera
hilang dan ia mulai membual pada John dan Kathleen tentang pengalamannya di atas
kuda yang melarikan diri tadi. Ketiga anak tersebut langsung pulang,
menyampaikan pesan-pesan Elizabeth-sementara Elizabeth harus berjalan menuntun
Tinker, menempuh jarak yang lumayan jauhnya!
Tak lama Elizabeth sudah merasa letih dan kesal. Kejadian tadi mengakibatkan
suatu kecelakaan yang mengerikan. Mungkin saja Peter jatuh dan luka parah.
Mengapa ia memperbolehkan Peter menaiki Tinker sebelum dapat persetujuan dari
Robert" Tapi Robert juga salah, mengapa ia tidak datang pada waktu yang sudah
ditentukan" Tangan kirinya terasa sakit. Tadi ia telah menggunakan tangan itu untuk
menyambar tali kendali Tinker. Dan agaknya karena tarikan Tinker maka terjadi
salah urat pada tangan kirinya itu. Kini dimasukkannya tangan itu ke dalam
mantelnya, berharap semoga kehangatan bisa membuatnya lebih baik. Sungguh
sengsara ia berjalan menyeberangi padang dan menyusuri jalan sambil menuntun
kuda yang mendengus-dengus dan terengah-engah karena kelelahan.
Pengurus Kuda tampak gusar waktu ia datang. Robert juga lari keluar dan langsung
memarahinya. "Elizabeth, sudah kudengar semuanya!" kata Robert.
"Sungguh tolol kau memperbolehkan Peter naik Tinker. Aku terpaksa terlambat
datang karena harus mengerjakan sesuatu untuk Pak Johns. Mestinya kau menunggu
sampai aku datang! Kalau saja kau menungguku, peristiwa ini takkan mungkin
terjadi, sebab pasti aku takkan mengizinkan Tinker ditunggangi. Kau ini selalu
saja tak pernah berpikir kalau bertindak!"
Elizabeth begitu letih, tangannya begitu sakit. Tak terasa air matanya mengalir.
"Bagus sekali, kau jadi bayi sekarang, ya!" Robert berkata mengejek. "Kaukira
kalau kau menangis aku akan kasihan" Lalu aku takkan memarahimu" Dasar anak
perempuan! Untung saja Peter dan Tinker tidak apa-apa."
"Oh, Robert, jangan terlalu keras memarahiku," Elizabeth tersedu-sedu. "Tanganku
sakit sekali, dan aku memang sangat menyesal telah memperbolehkan Peter naik
Tinker." "Coba kulihat tanganmu," kata Robert agak lebih lembut. Ternyata pergelangan
tangan Elizabeth bengkak "Cepat pergi ke Ibu Asrama. Tampaknya cukup gawat
tanganmu ini. Jangan terlalu bersedih, nasi sudah jadi bubur! Lain kali
berpikirlah dua kali sebelum mengambil keputusan."
"Bukan karena itu aku menangis," kata Elizabeth kesal, dan mengusap air matanya.
"Aku menangisi kuda yang begitu binal itu, dan tanganku yang begini sakit!"
Elizabeth bergegas ke tempat Ibu Asrama. Kasihan benar. Selalu ada saja yang
terjadi pada Elizabeth. 25. Elizabeth Sangat Mengesalkan
Elizabeth mengetuk pintu Sanatorium. Ibu Asrama sedang berada di dalam, merawat
dua orang anak yang sedang sakit. Ibu Asrama keluar mendengar ketukan Elizabeth.
"Ada apa?" tanya Ibu Asrama. "Kau tak boleh masuk."
"Aku tahu," kata Elizabeth. "Tanganku terkilir. Mungkin Ibu bisa mengobatinya."
Ibu Asrama memeriksa pergelangan yang bengkak itu. "Wah, pasti sakit sekali
rasanya," katanya. "Bagaimana terjadinya tadi?"
Elizabeth menceritakan apa yang terjadi. Ibu Asrama merendam kain perban dalam
air dingin dan membebatkannya erat-erat di pergelangan yang sakit itu.
"Apakah bisa cepat sembuh?" tanya Elizabeth. "Untung bukan tangan kananku."
"Agak lama juga kukira," kata Ibu Asrama. "Jangan digerak-gerakkan, ya. Begini,
akan kubuatkan penggantung tangan dari saputangan tua ini, dan kubelitkan ke
lehermu. Nah, kurasa ini cukup membantumu."
Sudah lewat waktu minum teh. Ibu Asrama mengajak Elizabeth ke kamarnya, dan ia
diberi beberapa potong roti bakar. Elizabeth sangat lelah dan pucat. Rasanya ia
tak ingin makan apa pun, tetapi tergiur juga ia oleh roti bakar berlapis mentega
itu. Tak lama ia telah memakannya sambil minum cokelat yang juga dihidangkan
oleh Ibu Asrama. Ketika kemudian ia kembali ke kamarnya, teman-temannya telah menunggunya di
ruang bermain. Joan segera berlari menjemputnya, bertanya khawatir, "Elizabeth"
Apakah kau luka" Parah?"
"Tidak. Hanya sakit sekali rasanya kini," kata Elizabeth. "Tetapi lumayan juga
karena Ibu Asrama telah membebatnya. Seperti biasa ini memang salahku sendiri.
Aku tak sabar menunggu Robert. Lalu kupasang pelana pada Tinker untuk Peter. Dan
ternyata Tinker melarikan diri!"
"Kasihan sekali kau," kata Jenny.
Robert tak berkata apa-apa. Ia duduk membaca buku. Wajahnya tampak masih marah.
Terdengar ketukan di pintu ruang bermain itu. Dan Peter kecil muncul. "Apakah
Elizabeth di sini?" tanyanya, kemudian ia melihat Elizabeth. "Oh, Elizabeth
bagaimana pergelangan tanganmu" Aku sungguh menyesal. Kurasa kau takkan dapat
main piano." Elizabeth belum pernah memikirkan hal itu. Ia ternganga terkejut oleh kata-kata
Peter itu. "Ya ampun! Benar juga!" katanya. "Aku lupa itu. Oh, padahal aku ingin sekali
berlatih lebih keras lagi minggu ini. Dan kini aku hanya punya satu tangan!"
Semua anak merasa kasihan pada Elizabeth.
Robert mengangkat kepala dan berkata tenang, "Sayang sekali, Elizabeth. Kuharap
tanganmu sudah sembuh nanti pada saat pertunjukan akhir semester"
Elizabeth gusar sekali. Tak terasa air matanya mulai menetes lagi, dan cepat-
cepat ia berdiri. Ia tak ingin anak lain tahu ia sedang menangis. Ia keluar, dan
pergi ke salah satu kamar latihan musik. Sendiri ia duduk di kursi piano,
menopangkan kepalanya ke standar buku musik Ia sangat marah pada dirinya,
berbuat suatu ketololan yang seperti biasa membuahkan suatu kesulitan baginya
sendiri. Richard masuk menggumamkan sebuah lagu. Ia tak melihat Elizabeth, sampai
kemudian ia menyalakan lampu. Heran ia melihat Elizabeth sendirian di kegelapan
itu. "Ada apa?" tanya Richard. "Mengapa kau menangis?"
"Sebab apa yang kaukatakan terjadi," kata Elizabeth dengan sedih. "Kau
mengatakan bahwa aku jadi sombong akan permainan pianoku. Dan kau berkata pula
yang angkuh akan jatuh. Kau benar. Aku telah melakukan sesuatu yang tolol. Dan
pergelangan tanganku kini sakit. Aku takkan bisa main piano bersamamu. Aku
takkan bisa memainkan duet denganmu di akhir semester nanti."
"Oh, sayang sekali," kata Richard kecewa. "Jadi aku akan terpaksa bermain dengan
Harry. Padahal ia jauh sekali darimu, Elizabeth, dalam hal kepandaian bermain
piano. Sungguh sial!"
"Mestinya kau jangan berkata Yang angkuh mesti jatuh," tangis Elizabeth. "Aku
merasa seolah-olah kaulah yang membuat semua ini terjadi."
"Oh, sungguh tolol!" kata Richard. "Benar-benar kekanak-kanakan pikiran itu,
Elizabeth. Betapapun, bergembiralah. Mungkin keadaan ini takkan seburuk yang
kauduga. Sudahlah, sekarang akan kumainkan sebuah lagu untukmu. Turunlah dari
kursimu." Elizabeth turun dari kursi piano, dan duduk di kursi di sudut ruangan. Marah dan
lelah. Ia tak senang pada Peter dengan kudanya yang melarikan diri. Ia tak
senang pada Richard. Ia tak senang pada Robert. Ia tak senang pada dirinya
sendiri. Ia marah. Kesal. Lelah. Tak ingin merasa senang pada siapa pun dan apa
pun. Tetapi musik Richard membuat segalanya berbeda. Sedikit demi sedikit kerut
di kening gadis kecil itu menghilang. Ia menyandarkan diri, merasakan betapa
nada-nada lembut piano mengisi kesunyian dalam ruangan itu. Richard tahu benar
bahwa musik akan bisa menyejukkan hati Elizabeth.
Sebelum lagu Richard habis, Elizabeth menyelinap ke luar, kembali ke ruang
bermain. Mungkin pergelangan tangannya akan membaik besok. Mungkin ia terlalu
khawatir untuk suatu persoalan kecil. Teman-temannya berpaling waktu ia masuk.
"Elizabeth, mari bantu aku menyelesaikan puzzle ini," ajak Kathleen. "Entah yang
mana yang bisa masuk tempat ini."
Semua bersikap baik padanya. Elizabeth bersyukur. Tetapi ia lebih gembira lagi
waktu lonceng tidur berbunyi, sebab kakinya terasa kaku, dan pergelangan
tangannya sakit. Ibu Asrama memeriksanya sekali lagi, mengganti bebatnya dan
menaruhnya di gantungan tangan.
"Lebih baik kau memakai gantungan tangan itu dulu," kata Ibu Asrama, "agar tak
banyak bergerak dan tak terlalu terasa sakit."
Elizabeth berharap mudah-mudahan sakitnya sembuh bila ia bangun keesokan
harinya. Tetapi ternyata tidak, tangannya masih bengkak dan memar, walaupun tak
begitu terasa sakit. Ia takkan mungkin main piano! Sungguh sial.
Kemudian Elizabeth baru sadar betapa sulitnya mengerjakan hal-hal sepele dengan
satu tangan. Ia tak bisa mengikatkan pita rambutnya, la tak bisa menalikan tali
sepatunya. Ia tak bisa mandi dengan baik. Ia tak bisa mengancingkan baju. Ia
bahkan tak bisa membersihkan hidung dengan leluasa.
Teman-temannya semua membantu apa yang mereka bisa lakukan. Tetapi Elizabeth
begitu kesal hingga sulit untuk dibantu. Ia tak mau berdiri tenang. Ia
menggeleng-gelengkan kepala waktu Joan mencoba merapikan rambutnya. Ia
mengentakkan kaki waktu Kathleen mencoba mengancingkan bajunya, sehingga
kancing-kancing itu banyak yang salah lubang karena Elizabeth tak bisa diam.
"Ya ampun!" seru Joan. "Kau kembali jadi gadis badung sekali lagi! Kau betul-
betul menyebalkan bagi semua orang!"
"Kau pasti juga begitu bila mengalami kejadian seperti ini," kata Elizabeth
marah. "Kalau saja yang sakit tangan kananku, maka aku pasti boleh tidak
mengikuti semua ulangan akhir semester. Tetapi karena tangan kiriku yang sakit,
maka aku harus tetap mengikuti semua ulangan, sementara aku terpaksa tak bisa
mengikuti semua kegiatan yang paling kusukai - olahraga, naik kuda, musik, oh...
betul-betul sial aku ini!"
Beberapa hari kemudian Ibu Asrama berkata bahwa Elizabeth sudah boleh
menggunakan tangannya lagi. Tetapi malang bagi Elizabeth, tangan kirinya itu
kini serasa tak punya kekuatan, hingga ia tak berani sering-sering
menggunakannya. Dokter juga berkata ia tak boleh memaksa tangan kiri itu,
segalanya harus dilakukan secara bertahap. Ia harus bersabar.
Itulah salah satu hal yang paling tak bisa dilakukan Elizabeth. Bersabar! Ia
sedang gusar, dan itu tak disembunyikannya. Ia cepat tersinggung. Semua anak
segera tahu hal itu. Ia marah pada Richard karena kini Richard berlatih duet
dengan Harry. Dan ternyata ia juga tak bisa ikut bermain drama, sebab ia
berperan sebagai seorang prajurit yang harus melakukan beberapa gerakan dengan
senjata - yang tak bisa dilakukannya dengan pergelangan tangannya yang lemah
itu. Habis kesabaran Elizabeth.
Teman-temannya sangat khawatir akan perkembangannya. Juga sangat kecewa. Mereka
membicarakannya terus. "Makin lama ia makin menyebalkan," kata Jenny. "Makin pemarah. Tak seorang pun
bisa melakukan sesuatu untuknya. Ada-ada saja alasan baginya untuk murka. Ia tak
bisa tidak menaruh kasihan pada dirinya yang telah kehilangan begitu banyak
kegiatan yang digemarinya. Sungguh sayang ia tak bisa ikut berolahraga, padahal
ia sangat menyukai semua cabang olahraga."
"Mari kita pikirkan sesuatu yang bisa dilakukannya," kata Joan. "Misalnya
saja ... mungkin ia bisa menghibur George yang masih harus berbaring di
Sanatorium, membacakan buku untuknya misalnya. Banyak sekali yang bisa
dikerjakan. Elizabeth pandai merancang dan melukis, mungkin ia bisa membantu
dengan membuat beberapa buku acara untuk pertunjukan drama kita. Ia toh bisa
menulis dan melukis dengan tangan kanan. Kita juga memerlukan mahkota-mahkota
emas, Robert berjanji akan membuatnya, dan Elizabeth mungkin bisa membantu
mengecatnya dengan cat emas."
Semua setuju bahwa bila Elizabeth diberi tugas-tugas, mungkin sekali ia akan
melupakan kemarahannya. Maka satu per satu mereka datang ke Elizabeth untuk
minta dibantu ini-itu. Elizabeth anak cerdas. Ia segera mencium maksud teman-temannya itu. Mula-mula ia
cenderung untuk langsung menolak permintaan mereka - untuk apa ia melakukan
sesuatu untuk kesenangan orang lain, padahal dirinya sendiri tak bisa merasa
senang" Joan melihat air muka masam Elizabeth, lalu segera menuntunnya keluar.
"Mari ikut aku jalan-jalan," kata Joan. "Dan kita bisa omong-omong. Aku kini
seorang Pengawas, Elizabeth, dan aku punya hak untuk menasihatimu dan
menolongmu." Mereka berjalan-jalan di taman. "Aku tahu apa yang akan kaukatakan," kata
Elizabeth. "Kau akan berkata bahwa tingkahku buruk sekali. Aku takkan bisa jadi
Pengawas seperti kau, aku takkan bisa melupakan kepentingan diriku sendiri, aku
takkan bisa tidak turun tangan bila ada sesuatu yang kuanggap tak beres."
"Elizabeth, kau sungguh tolol," kata Joan dengan sabar. "Kau tak tahu apa yang
bisa kaulakukan sebelum kau mencobanya. Semester ini tinggal dua minggu lagi.
Jangan membuat waktu yang singkat itu tak menyenangkan bagimu. Kami semua
menyukaimu, mengagumimu. Janganlah hal kecil seperti sakit pergelangan tanganmu
itu membuat perasaan kami padamu berubah, membuat kami tak senang padamu, tak
kagum padamu. Kau sesungguhnya memang sangat mengesalkan. Kau membuat segalanya
sulit bagi sahabat-sahabatmu."
Elizabeth menendang sebuah batu di jalan. Mengapa ia membuat teman-temannya
kesal padanya, pikirnya, padahal sakit tangannya adalah karena kesalahannya
sendiri. Sungguh ia tak bisa berpikir secara dewasa! Akhirnya Elizabeth memegang
lengan Joan. "Baiklah, Pengawas!" katanya. "Akan kubantu kau sejauh aku mampu. Aku akan
membuat buku acara. Aku akan membacakan buku untuk George, aku akan mengecat
mahkota emas itu. Kalau tinggal dua minggu saja aku tak bisa bersikap baik,
sungguh keterlaluan, bukan?"
"Sesungguhnya karena kami tahu bahwa kau mempunyai pribadi yang kuat, maka kami
tak rela tiba-tiba kau berkepribadian lemah," kata Joan. "Baiklah, lakukanlah
apa saja yang kaurasa baik."
Sekali Elizabeth membuat keputusan, maka keputusan itu pasti dilakukannya.
Seperti juga ia bisa tak sabaran, maka ia pun bisa bersabar hati. Seperti juga
ia bisa jadi pemurung, ia pun bisa bersikap ceria. Dan perubahan ini berlangsung
seketika! Ia langsung membuat rencana buku acara. Ia bisa memegang kertas dengan tangan
kiri, hingga dengan mudah ia bisa menggambar dengan tangan kanan. Tak lama ia
sudah menyelesaikan enam buah buku acara. Indah dan menarik, dan dikagumi teman-
teman sekelasnya. Elizabeth sangat gembira.
"Kini aku akan menjadi anak baik dan aku akan mengunjungi George. Akan kubacakan
sebuah buku untuknya," katanya sambil tersenyum riang pada siapa saja. Begitu ia
keluar ruangan, semua tertawa.
"Ia memang bukan main badungnya, tetapi kita menyukainya," kata Jenny. Dan semua
anak setuju pada pendapat itu.
26. Kejutan Manis Minggu terakhir semester. Ulangan dilakukan setiap hari. Semua bekerja keras


Sekali Lagi Si Paling Badung The Naughtiest Girl Again Karya Enid Blyton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

untuk meraih nilai-nilai terbaik. Terutama Elizabeth, Robert, dan Kathleen.
Mereka belajar lebih keras dari anak-anak lain! Elizabeth ingin berada di urutan
teratas di kelasnya. Begitu juga Robert. Sedangkan Kathleen ingin mendapat angka
tertinggi paling tidak di salah satu mata pelajaran, dan bisa berada pada posisi
mendekati urutan teratas. "Alangkah senang bila bisa kukatakan pada Ibu bahwa
aku mencapai angka tertinggi di salah satu pelajaran," pikir Kathleen. "Dulu aku
selalu dekat dengan kedudukan juru kunci, dan Ibu tak pernah marah padaku. Akan
merupakan kejutan yang manis baginya bila ternyata aku meraih angka tertinggi di
salah satu mata pelajaran!"
Pergelangan tangan Elizabeth sudah jauh lebih baik. Tetapi ia masih tak boleh
menggunakannya untuk main piano, atau berkuda, atau berolahraga, atau menggali
tanah di kebun, atau bersenam. Sungguh sial nasibnya.
Di pertunjukan akhir nanti ia ikut paduan suara. Hanya itu. la tidak main drama,
dan tidak main duet dengan Richard-Harry yang menggantikan tempatnya.
Ia mencoba bersikap ceria. Ia berusaha agar tak ada yang tahu bahwa sesungguhnya
kadang-kadang ia merasa sangat sedih. Ia telah mencoba bangkit dari kesedihannya
dan berusaha keras untuk membantu yang lain, dengan cara apa pun. Ia telah
mengecat mahkota-mahkota untuk pertunjukan drama. Ia telah membuat lukisan
pemandangan untuk latar belakang drama tersebut. Dan semua mengatakan lukisan
pemandangannya sungguh indah.
Ia telah membuat dua belas buku acara terbaik yang pernah dibuat di sekolah itu.
Bu Belle akan menerima salah satu buku acara itu. Begitu juga Bu Best dan Pak
Johns. Elizabeth sungguh bangga karenanya.
Ia telah membacakan buku bagi George. Menemaninya memainkan berbagai permainan
tiap hari, sampai George boleh meninggalkan Sanatorium. Sementara itu berbagai
pekerjaan kecil Ibu Asrama dikerjakannya pula. Ia tak bisa membantu John di
kebun seperti biasanya, tetapi ia bisa membantu menulis daftar benih bunga yang
akan ditanamnya musim semi nanti. Ia pun dengan penuh perhatian mendengarkan
cerita John tentang apa yang sedang dikerjakannya di kebun bersama Peter.
"Elizabeth sungguh luar biasa," kata Joan suatu hari kepada teman-temannya. "Ia
bisa jadi anak paling badung di sekolah kita, ia bisa juga jadi anak terbaik!"
Elizabeth ikut menonton pertandingan hockey, atau lacrosse. Ia bersorak-sorai
gembira walaupun dalam hati ia merasa sedih karena tak bisa ikut main. Sungguh
tidak menyenangkan untuk tidak bisa melakukan apa saja yang disenanginya.
"Satu hal yang paling kusukai pada dirimu, Elizabeth," kata Richard, "adalah
kemampuanmu untuk menanggung kesedihan dengan hati riang."
Rasanya dua minggu terakhir semester ini Elizabeth memberikan kesan tersendiri
bagi semua murid Whyteleafe. Waktu yang dua minggu itu membuat nama Elizabeth.
membubung tinggi di mata mereka. Apa pun yang dilakukannya di masa lampau,
terhapus oleh apa yang dilakukannya saat itu. Semua anak mengaguminya. Semua
tahu betapa pemarahnya dia dulu, tak sabaran dan bandel! Mereka tahu pasti,
sangat berat untuk mengubah pribadi seperti itu menjadi seorang yang selalu
ceria, sabar, dan siap membantu anak lain. Semua bangga pada Elizabeth.
Akhirnya hari terakhir tiba. Pertunjukan akhir semester yang dinanti-nantikan
itu pun tibalah. Sore yang sangat semarak. Semua orangtua murid yang tak
berhalangan, datang untuk menyaksikannya. Ayah-ibu Elizabeth, Tuan dan Nyonya
Allen, juga hadir. Mereka tinggal di sebuah hotel di dekat Whyteleafe, agar
keesokan harinya bisa membawa Elizabeth pulang. Elizabeth gembira sekali dengan
kedatangan ayah-ibunya. Dipeluknya keduanya erat-erat. Keduanya merasa sedih
bahwa pergelangan tangan yang sakit membuat Elizabeth tak jadi bermain di
panggung. Tetapi keduanya sangat mengagumi buku acara yang khusus dibuat oleh
Elizabeth. "Ini kubuat untuk Ayah dan Ibu," kata Elizabeth bangga. "Bagus, bukan" Ketiga
pimpinan sekolah juga memiliki buku acara buatanku. Dan, Ibu, pada pementasan
drama nanti harap Ibu perhatikan mahkota-mahkota emasnya. Semuanya aku yang
mengecat. Begitu juga pepohonan di panggung."
Pertunjukannya sukses. Dramanya lucu, hadirin tertawa terpingkal-pingkal. Jenny
dan Kathleen sangat bangga karena merekalah yang menulis skenarionya. Richard
memainkan biolanya dengan sangat indah memesona, kemudian ia berduet dengan
Harry pada piano, nomor yang sesungguhnya akan dimainkan oleh Elizabeth.
Elizabeth merasa sedih mendengarkan duet tersebut, tetapi ia berhasil memaksa
diri untuk tersenyum dan bertepuk tangan paling keras saat duet itu berakhir.
Dari sudut matanya Elizabeth melihat bahwa Jenny, Joan, Robert, dan Kathleen
memperhatikannya. Ia tahu bahwa keempat sahabatnya itu pasti bangga padanya,
sebab ia masih mampu tersenyum dan bertepuk tangan, walaupun mereka tahu dalam
hati ia sangat kecewa. Di akhir pertunjukan hasil ulangan umum terakhir diumumkan. Elizabeth
mendengarkan dengan dada berdebar keras. Begitu juga Robert dan Kathleen. Jenny
tidak begitu peduli, asal dekat dengan kedudukan puncak ia sudah akan merasa
senang. Kathleen lebih tegang sebab tahu ia telah berusaha keras. Paling tidak
jangan sampai ia masih berada dekat dengan juru kunci.
Akhirnya Bu Belle sampai pada laporan untuk kelas Elizabeth. "Bu Ranger berkata
bahwa kelas ini telah membuat kemajuan pesat. Semuanya berusaha keras," katanya.
"Beberapa orang murid memperoleh kemajuan luar biasa. Di tempat pertama
Elizabeth Allen dan..."
Tetapi kata-kata Bu Belle terputus oleh sorak-sorai gemuruh. Semuanya tampaknya
sangat gembira bahwa Elizabeth mencapai kedudukan puncak di kelasnya. Robert
juga bertepuk tangan kuat-kuat. Ia berharap ia bisa mencapai kedudukan nomor
dua. Tadinya ia memang mengincar kedudukan pertama, tetapi, yah, nomor dua pun
boleh. Bu Belle mengangkat tangan minta agar anak-anak diam. "Tunggu sebentar,"
katanya. "Biarkan aku menyelesaikan kalimatku. Di tempat pertama: Elizabeth
Allen dan Robert Jones! Keduanya mencapai nilai yang sama, maka keduanya
menduduki tempat pertama!"
Robert duduk tegak. Wajahnya berseri oleh rasa terkejut dan gembira. Jadi ia dan
Elizabeth menduduki tempat teratas bersama-sama! Ini jauh lebih menyenangkan
daripada berada sendirian di puncak teratas. Elizabeth yang duduk di belakangnya
langsung menepuk punggungnya keras-keras.
"Robert," kata Elizabeth dengan wajah bersinar gembira. "Alangkah senangnya! Aku
lebih suka berada di puncak teratas bersamamu daripada sendirian! Sungguh!"
Robert mengangguk dan tersenyum. Ia tak bisa berbicara karena begitu gembira. Ia
tidak sepandai Elizabeth, jadi keberhasilannya mencapai puncak teratas adalah
semata-mata hasil kerja kerasnya! Betapa bangganya ayah dan ibunya, tampak dari
tempat dia duduk. Bu Belle terus membaca daftarnya. Jenny keempat. Joan kelima. Dan kedua anak itu
sangat gembira. Kathleen keenam, jauh dari kedudukan juru kunci. Dan ia
memperoleh nilai terbaik di mata pelajaran sejarah! Pipinya memerah saat Bu
Belle membacakan hal itu. Ia dekat kedudukan puncak, dan mendapat nilai
tertinggi dalam sejarah! Kathleen berpaling ke arah tempat duduk para tamu.
Dilihatnya wajah ibunya. Sekali lihat saja Kathleen merasa ibunya sama bangganya
dengan ibu-ibu lain! "Aku tak tahu apa yang dilakukan oleh Whyteleafe pada Kathleen-ku," pikir ibu
Kathleen. "Ia tampak berbeda. Tadinya ia begitu biasa wajahnya. Kini tampak
cantik bila tersenyum. Dan betapa bahagia dan riangnya ia berkumpul dengan
teman-temannya!" Suatu sore yang indah. Dan malam harinya Rapat Besar terakhir diadakan. William
baru mengumumkan bahwa akan ada suatu kejutan nanti setelah segala kegiatan
tetap selesai dilaksanakan.
Kotak uang dikosongkan, isinya dituang di meja dan dibagi rata untuk semua
murid. Ini selalu dilakukan setiap akhir semester. Anak-anak gembira
menerimanya, sebab ini berarti mereka akan memulai masa liburan mereka dengan
sejumlah uang di saku. Kemudian William berkata, "Dengan sangat menyesal aku mengumumkan bahwa kita
akan kehilangan Kenneth dalam semester mendatang. Ayah-ibu Kenneth akan pergi ke
luar negeri dan ia akan ikut mereka. Maka kita takkan bertemu dengannya lagi
sampai ia kembali. Dan itu mungkin memakan waktu enam bulan."
Keadaan hening. Semua mendengarkan dengan penuh perhatian. "Di sini aku merasa
terpanggil untuk berkata, bahwa kami sangat berterima kasih pada Kenneth. Ia
telah melakukan tugasnya sebagai Pengawas dengan sangat baik dan bijaksana
selama beberapa semester. Ia telah melakukan banyak sekali tindakan yang
menggambarkan kebaikan hatinya, tindakan yang sering tidak pernah kita ketahui
dan hanya dinikmati oleh mereka yang dibantunya. Kami akan sangat kehilangan
dia, dan kami akan sangat gembira bila ia kelak kembali ke tengah-tengah kita,"
"Terima kasih," sambut Kenneth dengan muka merah. Ia seorang anak yang pendiam
dan pemalu, tetapi sangat disukai oleh semua anak. Seluruh sekolah memang merasa
kehilangan atas Kepergiannya.
"Karena Kenneth takkan berada di antara kita semester mendatang, maka kita harus
memilih seorang Pengawas baru untuk menggantikannya," kata William kemudian.
"Kalau kalian kehendaki, tentu saja George bisa kembali menjadi Pengawas,
menggantikan Kenneth. Tetapi kalian boleh juga memilih orang lain, yang kalian
anggap patut menjadi Pengawas. Nora, bagikan kertas suara."
Nora berdiri, membagikan secarik kecil kertas kepada setiap murid yang ada di
situ. Anak-anak itu agak lama termenung, berpikir. Agak sulit juga tiba-tiba
harus memilih, tanpa lebih dahulu mereka membicarakannya. Elizabeth menggigit-
gigit pensilnya. Ia menulis nama siapa" Akhirnya ia memutuskan untuk memilih
nama John Terry - walaupun dalam hati ia merasa bahwa John bukanlah pilihan yang
tepat untuk dijadikan Pengawas dengan hanya satu hal yang sangat diketahui oleh
John. yaitu berkebun. Tetapi tak apa kalau anak itu diberi kesempatan. Maka
akhirnya Elizabeth menulis di kertasnya: John Terry.
Segera juga yang lain selesai menulis. Kertas-kertas dikumpulkan oleh Dewan
Juri, dibuka dan dihitung. Setelah diketahui nama tiga calon dengan suara
terbanyak, para Juri menuliskan pilihan mereka, dan menyerahkannya pada kedua
Hakim. William dan Rita membaca kertas-kertas pilihan para Juri, membicarakannya dengan
perlahan. Kemudian William mengetuk meja.
"Tiga buah nama telah memperoleh suara terbanyak," kata William. "John Terry,
Robert Jones, yang terutama dipilih oleh anak-anak kecil dan kau mesti bangga
untuk itu, Robert, dan Elizabeth Allen!"
Terlompat Elizabeth dari tempat duduknya. Tak pernah terpikir olehnya bahwa ada
yang memilih namanya. Tak pernah terpikir olehnya ada anak yang menganggap dia
cukup bijaksana untuk jadi Pengawas! Suatu kejutan besar!
"Dalam semester ini, kita telah mendengar banyak tentang Elizabeth Allen," kata
William selanjutnya. "Ada yang baik, ada yang buruk. Tetapi baik Rita maupun aku
telah memperhatikan betapa baiknya Elizabeth menanggung beban kekecewaan akhir-
akhir ini. Ia melupakan kekecewaannya, melupakan kepentingan dirinya dan giat
membantu anak lain, membantu kelasnya. Maka tak heran bila cukup banyak yang
memilih dia," "Kami tahu bahwa kekecewaannya itu datang padanya karena ulahnya sendiri," Rita
melanjutkan kata-kata Robert (mungkin yang tepat William-editor). "Tetapi kita
tak boleh lupa bahwa ia sampai mengorbankan pergelangan tangannya karena mencoba
menghentikan kuda Peter. Itu suatu tindakan yang sangat berani. Elizabeth, kau
memang campuran berbagai sifat. Kau bisa berbuat konyol, tapi kau juga bisa
berlaku bijaksana. Kau bisa tak sabaran, tapi kau juga bisa bersabar. Kau bisa
bertindak keji, tapi kau juga bisa baik hati. Di atas semua itu kita tahu bahwa
kau selalu berusaha untuk berlaku adil, bijaksana, dan setia."
Rita berhenti sejenak. Elizabeth menunggu, dadanya berdebar keras. Apakah Rita
akan mengatakan bahwa ia harus mencoba lagi, berusaha lagi, dan baru semester
yang akan datang bisa jadi Pengawas kalau ia berusaha lebih baik"
Tidak. Rita ternyata tidak mengatakan begitu. Ia tersenyum pada Elizabeth dan
berkata lagi, "Elizabeth, baik aku maupun William telah sangat mengenalmu
sekarang. Dan kami yakin bila kami mengangkatmu menjadi Pengawas, kau tidak akan
mengecewakan kami. Kau akan memperlakukan anak lain lebih daripada kau
memperlakukan dirimu sendiri. Karenanya kami merasa cukup aman untuk memanggilmu
maju, dan duduk di meja para Pengawas, serta minta padamu untuk berusaha menjadi
yang terbaik dalam semester yang akan datang,"
Dengan pipi serasa terbakar dan mata bersinar-sinar Elizabeth maju ke meja Juri.
Belum pernah ia begitu bangga dan bahagia. Oh, sekarang ia tak peduli lagi ia
tak bisa main di pertunjukan sekolah. Ia tak peduli tak bisa main di berbagai
pertandingan dan permainan olahraga. Nasib sialnya ternyata telah berubah
menjadi nasib yang luar biasa baiknya. Ia telah diangkat menjadi Pengawas! Ya,
benar-benar Pengawas! Ia mengambil tempat di samping Joan yang langsung menjabat tangannya dan
berbisik gembira, "Oh, Elizabeth, aku senang sekali!"
Dan di sinilah kita meninggalkan Elizabeth. Duduk di meja Pengawas, melamunkan
berbagai rencana hebat yang akan dilaksanakannya semester berikutnya. Ia jadi
Pengawas! Benarkah itu" Anak paling badung itu kini jadi Pengawas"
"Walaupun aku jadi Pengawas, mungkin sekali aku masih akan melakukan berbagai
tindakan konyol," pikir Elizabeth. "Tetapi tak apa. Aku telah mendapat
kesempatan ini. Dan akan kutunjukkan pada semua orang bahwa aku mampu berbuat
sesuatu dalam semester nanti!"
Saya harap Elizabeth akan mampu membuktikan kemampuannya!
-END- Djvu: kiageng80 Edit & Convert: inzomnia
http://inzomnia.wapka.mobi
Re edited: Farid ZE Blog Pecinta Buku - PP Assalam Cepu
Dewi Cantik Penyebar Maut 2 Pendekar Naga Putih 26 Rahasia Pedang Naga Langit Perjalanan Ke Masa Depan 1
^