Pencarian

Dewi Cantik Penyebar Maut 2

Pendekar Bayangan Sukma 4 Dewi Cantik Penyebar Maut Bagian 2


Dan serentak pula mereka mengeluarkan
jurus masing-masing.
Orang berpakaian putih-putih itu ter-
bahak. "Ha... ha... keluarkan semua jurus kalian. Dengan pukulan bayangan sukmaku
kalian akan hancur berantakan. Cepat maju dan perlihatkan serangan kalian!"
Seperti dikomando, mereka serentak
menyerang. Dengan tenaga dalam yang hebat. Dan serangan yang serempak. Membuat
orang berpakaian putih-putih agak kebingungan sejenak. Tapi kemudian dia
membentak. Tubuhnya mencelat ke atas dan hinggap agak jauh dari orang-orang yang
mengurungnya. Orang-orang itu berbalik dan kembali
menyerang. Kali ini serangan mereka dis-ambut dengan sinar merah yang melesat
dengan cepat. Dan orang-orang itu membuyar, masing-
masing berusaha menyelamatkan diri. Tetapi sinar merah itu terus melesat ke arah
Wrahatnala yang tengah terpaku memperhatikan pertempuran itu.
"Awaaaas!" Senomurka menjerit. Dan menerjang Bupati hingga bergulingan. Sinar
merah itu melesat dua senti di atas kepala Wrahatnala.
Wajah Bupati pias. Lawannya itu bu-
kanlah orang sembarangan. Dia yakin, Madewa Gumilang!
Lagi-lagi wajah Bupati pias, di arena
pertempuran tinggal seorang pembantu uta-
manya yang masih mampu bertahan. Sedangkan yang empat orang sudah menemui
ajalnya dengan tubuh hancur!
Dan yang seorang pun tak bertahan la-
ma, dia pun mati dengan tubuh hancur pu-la!
Orang berpakaian putih-putih itu me-
ludah di atas mayat-mayat itu. Dan berpaling kepada Wrahatnala menuding.
"Kuperingatkan kepadamu, Bupati! Kalau kau tetap tidak membantuku, baik, kubunuh
kau!" Tetapi Wrahatnala bukanlah orang yang
mudah digertak. Dengan berwibawa dia menyahut, "Sampai kapan pun aku tak akan
mau membantumu Madewa! Sayang, tokoh sakti dari golongan putih telah membuat
dosa yang tak berampun!"
"Aku tak suka dengan khotbahmu, Bupati!
Kau menginginkan kekerasan daripada
sukarela. Jangan salahkan aku kalau malam ini kucabut nyawamu!"
Orang itu bersiap. Senomurka cepat
bertindak. Berdiri di depan Wrahatnala.
Tangannya mengibas ke belakang, memberi tanda agar Bupati segera masuk ke dalam.
Tetapi Wrahatnala tidak beranjak dari
tempatnya. Biar bagaimana pun, dia tetap tak akan mundur. Walaupun ajal
menjemput-nya! Orang berpakaian putih-putih itu ter-
bahak melihat sikap Senomurka.
"Kau hanya mengantarkan nyawa kepadaku, Orang jelek! Kau lihat lima orang ka-
wanmu saja tak mampu menangkapku, apalagi hanya kau seorang!"
"Aku pun tak suka kau berkhotbah,"
sahut Senomurka tak kalah seramnya. "Kita buktikan!"
Sesudah berkata begitu dia melompat
ke depan. Baru saja dia hinggap di tanah, dirasakannya desiran angin yang kuat
menerjang ke arahnya, Dengan cepat dia me-runduk dan menangkis.
"Buk!"
Dua buah pukulan yang penuh tenaga
itu saling berhantam. Senomurka merasakan tangannya kesemutan. Tak urung orang
berpakaian putih-putih merasakan hal yang sama.
Dia bisa menduga, Senomurka tidak bi-
sa dianggap main-main. Tenaga dalamnya seimbang.
Begitu pula dengan Senomurka. Dia te-
tap tidak berani menganggap enteng Madewa Gumilang.
Orang berpakaian putih-putih itu me-
nyerang kembali. Kali ini dorongan angin yang agak besar siap menyambar. Dia
tidak berani menangkis, dia hanya berkelit sedikit. Dan secepat kilat kepalanya
me- nyambar. Sungguh hebat. Dalam posisi demikian,
orang berpakaian putih-putih itu berbalik dan menangkis pukulan Senomurka.
Kembali dua pukulan beradu. Kali ini
mereka tidak merasakan lagi. Langsung
saling menyerang dengan penuh nafsu ingin menjatuhkan.
Puluhan jurus telah berlangsung, te-
tapi belum ada tanda-tanda yang kalah.
Semuanya masih bertahan dengan sekuat tenaga.
Tiba-tiba Senomurka berguling. Dan
melemparkan senjata rahasianya yang berbentuk jarum-jarum berbisa.
Orang berpakaian putih-putih itu ter-
kejut sedang melancarkan serangannya. Dan serentak bersalto ke belakang. Tetapi
tak urung sebuah jarum berbisa itu mengenai bahunya. Orang itu mengaduh dan
terjatuh. Kesempatan itu tidak disia-siakan Se-
nomurka, dia menjerit dan menerjang. Tetapi orang berpakaian putih masih sempat
melepaskan pukulan jarak jauhnya, yang mengurungkan niat Senomurka.
Kali ini orang itu tak sia-sia mele-
paskan kesempatan. Selagi Senomurka sibuk menghindar. Dia melesat dan menghilang
di kegelapan malam.
Senomurka menggeram marah. Orang itu
sudah tidak nampak lagi wujudnya. Senomurka memeriksa tubuh-tubuh kawannya yang
sudah menjadi mayat.
Benar-benar terkena pukulan bayangan
sukma! Senomurka berpaling kepada Wrahatnala
yang masih berdiri tegak. Kali ini kelihatan jelas, kalau Wrahatnala tidak tahu
apa yang harus dilakukannya.
Senomurka menghampiri, menjura hor-
mat, "Maafkan saya, Tuanku. saya tak berhasil menangkap orang itu...."
Bupati tergagap. Dia menatap Senomur-
ka yang menunduk.
"Semua ini terjadi di luar kehendak kita, Senomurka. Dan mulai besok, umumkan
kesegala pelosok negeri, kalau Madewa Gumilang menjadi buronan orang istana! Dan
laksanakan semua itu, sebutkan berita ini sampai kepada Raja!"
Pengumuman ini besoknya pun terden-
gar, bertepatan dengan Madewa Gumilang, Ratih Ningrum dan putra mereka,
meninggalkan rumah berangkat menuju kediaman Abindamanyu.
Dan orang-orang kerajaan pun sudah
berkeliaran mencarinya. Kali ini delapan orang kerajaan berjumpa dengannya.
Namun tak dapat berbuat apa-apa karena Madewa telah merebut semua senjata
mereka. Setelah mendengar penuturan salah
seorang dari pengawal itu, Madewa manggut-manggut.
Mencoba menganalisa aksi pembunuhan
itu. Orang berpakaian putih-putih yang mengaku sebagai dirinya. Dan mempunyai
pukulan bayangan sukma. Tiba-tiba Madewa terlonjak.
Dia ingat dari salah satu penuturan
itu. Sinar merah!
Hhh, Madewa menggeram. Siapa lagi
orangnya yang memakai pukulan jarak jauh berwarna merah. Pasti anak buah Dewi
Cantik Penyebar Maut!
Lagi-lagi dirinya yang menjadi kamb-
ing hitam! Kenapa"
"Madewa!" bentak pengawal itu. "Cepat kau serahkan dirimu pada kerajaan!"
"Tidak, aku tidak akan menyerahkan diri pada kerajaan. Aku akan mencari
orang-orang yang membuat namaku cemar!
Dan katakan kepada raja, orang itu adalah anak buah Dewi Cantik Penyebar Maut.
Hanya mereka yang mempunyai pukulan jarak jauh berupa sinar merah! Bisa kalian
sampaikan salam ku itu sekarang juga!"
Madewa membebaskan totokannya pada
tubuh pengawal yang kaku. Dan melemparkan senjata yang dipegangnya.
Entah kenapa kali ini mereka menurut.
Rupanya nama Dewi Cantik Penyebar Maut membuat mereka gentar. Dengan terburu-
buru mereka mengambil senjatanya masing-masing dan berhamburan meninggalkan
tempat itu. Madewa merenung. Lagi-lagi Dewi Can-
tik Penyebar Maut. Dan Madewa ingin sekali cepat-cepat bertemu dengan orang itu.
Sayang dia tidak tahu di mana kediaman dewi sesat itu!
Ia berbalik hendak menemui anak dan
istrinya, Madewa terkejut. Istri dan
anaknya tidak ada di tempat tadi. Madewa melesat ke depan. Ke mana mereka pergi"
Hanya ada kudanya saja.
"Ratih! Pranata!" serunya kalang ka-but.
Tetapi tak ada sahutan. Hanya desir
angin yang menggesek dedaunan. Madewa mencari di segenap tempat itu, tetapi tak
ditemukannya orang-orang yang dicintainya.
Ia tertunduk. Entah apa yang telah
terjadi dengan istri dan anaknya.
Tahu-tahu pandangannya terbentur pada
benda hitam di tanah. Dia memungutnya.
Sebuah topeng hitam! Madewa mengenal topeng hitam itu. Merupakan senjata rahasia
dan sekaligus lambang dari perguruan Topeng Hitam.
Dan Madewa sadar, kalau anak istrinya
telah diculik oleh orang-orang topeng hitam!
Dia tidak akan membiarkan semua ini.
Lebih baik diurungkan saja niatnya ke rumah Abindamanyu. Dia harus segera
mencari anak istrinya.
Entah ada urusan apa anggota topeng
hitam menculik anak istrinya. Padahal Madewa yakin, dia tidak pernah punya
urusan dengan orang-orang perguruan topeng hitam.
Kembali satu persoalan muncul. Dan
persoalan yang amat pelik. Belum terselesaikan persoalan yang satu, muncul yang
lain. Mempertanggungjawabkan putri Nindia
pada Abindamanyu, belum dilaksanakan.
Mencari orang-orang Dewi Cantik Penyebar Maut. Membersihkan namanya yang mulai
cemar. Satu saja belum berhasil dia be-
reskan! Tetapi nyawa anak istrinya lebih ber-
harga dari semua itu! Biar, biar dia meninggalkan kewajiban itu semua.
Anak istrinya harus dicari sampai da-
pat! Jika anak istrinya terluka atau lecet
sekali pun, dia bersumpah, akan menghancurkan perguruan topeng hitam itu.
Madewa melompat ke kudanya. Mengge-
prak dan melarikannya dengan cepat.
Sementara itu, delapan pengawal kera-
jaan sekarang sudah tidak berlari. Mereka berjalan kaki dengan penuh kegeraman
dan penyesalan karena tidak berhasil menangkap Madewa Gumilang.
Ketika melewati sebuah hutan, bebera-
pa sinar merah berkelebat. Dan menghantam tubuh mereka hingga hangus.
Lalu berkelebat sesosok tubuh berpa-
kaian merah. "Hhh! Manusia-manusia tak berguna!
Bukannya dibunuh saja Madewa Gumilang!
Sampaikan pesannya itu di akhirat nanti!"
Lalu sosok tubuh berpakaian merah itu
menghilang. *** 6 Sebenarnya bagaimana mulanya Ratih
Ningrum dan Pranata Kumala bisa menghilang"
Baiknya kita ikuti dulu asal mulanya.
Ketika suaminya sedang bertempur den-
gan para pengawal kerajaan itu, Ratih Ningrum sudah ingin turun tangan membantu.
Dia geram mendengar suaminya dituduh membunuh para tokoh-tokoh utama istana.
Ingin dihabisi saja orang-orang itu!
Tetapi agaknya suaminya tidak ingin
membunuh mereka, dilihat dia hanya menghindari serangan-serangan itu tanpa
membalas. Ratih Ningrum jadi enggan memban-tu. Walaupun dia bosan menunggu.
Pranata Kumala sudah tidak sabar in-
gin segera melarikan kudanya. Dia meren-gek terus. Akhirnya Ratih Ningrum
menjalankan kudanya sekadar menghibur Pranata
Kumala sekalian menunggu suaminya selesai berurusan dengan orang-orang kerajaan.
Pranata gembira ketika kuda mulai me-
laju lagi. Dia tertawa-tawa. Begitu pula dengan Ratih Ningrum, yang menjalankan
kudanya dengan santai.
Tanpa menyadari kalau beberapa pasang
mata berpakaian hitam-hitam mengintai da-ri balik semak.
Dan berloncatan menghadang! Semuanya
memakai topeng hitam.
Ratih Ningrum tersentak. Seketika ia
menghentikan kudanya. Saking kerasnya ia menarik kendali, kuda sampai terangkat
dan meringkik hebat.
Sebagai wanita yang telah digembleng
mental dan fisiknya, Ratih Ningrum tenang menghadapi penghadangannya.
Dia bertanya, "Maaf, kenapa kalian menghadangku?"
Salah seorang menyahut, "Kami dari perguruan Topeng Hitam, menginginkan
nyawamu!" "Ada persoalan apa gerangan?" Ratih Ningrum masih bertanya dengan sikap tenang.
Sementara Pranata Kumala terdiam.
Heran dengan orang-orang yang berpakaian hitam-hitam itu. Mau apa sih mereka"
Mengganggu keasyikan nya naik kuda saja"
Hhh! Sebel! "Kami hanya menginginkan nyawamu!
Perguruan Topeng Hitam muak dengan ting-
kahmu!" suara itu semakin bengis dan angker. Penuh nafsu ingin membunuh.
"Sebentar, Saudara!" Masih tetap tenang sikap Ratih Ningrum. "Kupikir, selama
ini tingkah lakuku tidak pernah ber-tentangan dengan perguruan Topeng Hitam.
Lalu mendadak saja kalian menginginkan nyawaku! Apa itu tidak salah?"
"Salah atau tidak salah, kami akan menangkapmu!" Salah seorang mencabut
pedangnya-Dan dua orang yang lain berbuat yang sama. Mereka mengambil sikap
mengurung Ratih Ningrum.
Ratih Ningrum masih tenang duduk di
atas kudanya. Tetapi sikap orang-orang lama kelamaan membuatnya menjadi jengkel.
"Baik, kulayani-kemauan kalian! Asal ingat, jangan ganggu putraku! Kulihat dia
terluka, aku bersumpah demi langit dan bumi, akan menghancurkan kalian dan
perguruan Topeng Hitam!"
Sesudah berkata begitu, Ratih Ningrum
bersalto sambil mencabut sepasang pedang kembarnya dan berhadapan dengan
tiga orang dari perguruan Topeng Hitam itu.
Sikapnya masih tetap tenang. Dia be-
lum mulai serangannya. Menurut Ratih Ningrum, dia tidak punya salah. Lebih baik
menunggu orang-orang itu menyerang.
Dan dia tidak menunggu lama, karena
salah seorang dari mereka sudah menye-
rang. Dengan sepasang pedang pula.
Jurus-jurus pedang perguruan Topeng


Pendekar Bayangan Sukma 4 Dewi Cantik Penyebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hitam sudah tidak boleh disangsikan lagi kehebatannya. Jurus-jurus pedangnya
mematikan. Cepat dan dahsyat.
Tetapi Ratih Ningrum bukan sembarang
pendekar wanita. Dia digembleng oleh tiga gurunya yang sakti. Dengan sepasang
pedang kembar pemberian gurunya yang bernama Mukti, dia menghadapi serangan-
serangan itu. Keduanya lincah memakai jurus masing-
masing. Menjelang jurus ke-8, Ratih Ningrum
berhasil menjatuhkan sepasang pedang lawannya dan kesempatan itu digunakan untuk
terus menyerang.
Bersamaan dengan itu, dua orang yang
lain memapaki. Menyabet pedang Ratih Ningrum hingga menimbulkan pijar dan suara
yang nyaring. Selamatlah nyawa teman mereka yang satu itu. Kini Ratih Ningrum
dikeroyok dari dua jurusan. Empat buah pedang lawan berkilatan berkelebat di
timpa matahari.
Ratih Ningrum masih lincah menghin-
dar. Bahkan meningkatkan permainan pe-
dangnya. Ia memperpadukan dengan jurus pukulan tangan seribunya. Yang membuat
pedang di tangannya terlihat berjumlah seribu.
Tiba-tiba terdengar pekikan keras,
orang yang terjatuh tadi bangkit menye-
rang. Ratih Ningrum merasakan dorongan angin yang keras mendekatinya. Dia
berkelit dan menangkis. Lalu memberikan satu tusukan melalui pedangnya.
Tetapi orang itu sungguh lincah, dia
masih tetap bersalto menghindari tusukan itu.
Sekarang Ratih Ningrum yang kelimpun-
gan menghadapi serangan itu. Tiga orang mengeroyoknya dengan hebat.
Ratih Ningrum bertahan mati-matian,
dengan harapan suaminya sudah menyelesaikan persoalannya dengan pengawal-
pengawal kerajaan itu. Dan datang membantunya.
Tetapi sampai pedangnya terlepas sa-
tu, suaminya masih belum datang juga. Putus sudah harapannya untuk bertahan.
Ketika salah seorang dari orang itu berhasil mengirimkan pukulannya ke dada.
Dia merasakan dadanya seakan mau pe-
cah. Nafasnya terasa sesak dan matanya berkunang-kunang. Tahu-tahu dia mencium
bau wangi yang harum sekali.
Mendadak tubuhnya melemah. Terhuyung.
rupanya bau itu adalah uap bius, yang membuatnya kelimpungan.
Dan mendadak dia terjatuh.
Orang-orang itu tidak menyerang lagi.
Salah seorang memerintah, "Kau, cepat beresi bocah itu! Dan kau, bawa kuda itu
mendekati pertempuran Madewa Gumilang
dengan pengawal kerajaan! Dan jangan lu-
pa, lemparkan beberapa senjata rahasia perguruan Topeng Hitam seperti siasat ki-
ta! Cepat!" Dua orang yang diperintah itu berge-
rak dengan cepat. Seorang melompat dan menotok urat di punggung Pranata Kumala,
lalu menggendongnya.
Yang seorang lagi membawa kuda itu
dengan hati-hati. Mendekati Madewa Gumilang yang masih bertempur dengan orang-
orang kerajaan. Dan melemparkan beberapa buah senjata rahasia Perguruan Topeng
Hitam di sekitar kuda itu sendiri.
Sementara yang memerintah membereskan
Ratih Ningrum yang dalam keadaan pingsan.
Semua itu dilakukan dan terjadi begi-
tu cepat. Madewa tidak menyadari kalau istri dan anaknya sudah tidak berada lagi
di tempat. Setelah tugas mereka selesai, orang-
orang bertopeng hitam itu melesat meninggalkan tempat itu.
Dalam hati mereka tertawa, melihat
siasat yang mereka jalankan membawa hasil.
Semua siasat yang hebat. Ketua memang
telah memperhitungkan semuanya dengan ma-tang.
* * * Ada baiknya kita tengok dulu keadaan
Abindamanyu dan istrinya yang bernama Nadia.
Sejak penculikan Nindia lima setengah
tahun yang lalu, keadaan istrinya nampak mulai payah. Dan kerinduannya terhadap
putri tunggal mereka, semakin menggunung dirasakan oleh istrinya. Begitu pula
dengan Abindamanyu, yang setiap hari ker-
janya selalu termenung.
Istrinya lebih parah lagi, sejak tiga
bulan yang lalu dia jatuh sakit. Keadaannya semakin lama semakin payah. Setiap
malam yang diingat hanya putrinya itu.
Setiap malam pula dia memanggil-manggil nama Nindia.
Siang itu keadaan di rumah Abinda-
manyu seperti biasa dalam keadaan sunyi.
Tak ada riang tawa Nindia di rumah hartawan itu seperti biasa.
Lima setengah tahun yang lewat, Made-
wa pernah berjanji akan mencari dan menolong putrinya dari tangan Wirapati.
Tetapi sampai saat ini, dia belum juga datang membawa putrinya. Apakah pemuda
itu tidak berhasil menyelamatkan putrinya"
Habis sudah bahan untuk membujuk is-
trinya agar bersabar, tetapi keadaan bu-kannya menjadi lebih baik, malah
bertambah parah. Istrinya jatuh sakit. Dan dia sendiri pun merasakan dirinya
menjadi lebih tua.
Dan enggan berbuat apa-apa. Tiba-tiba
di depan rumah terdengar derap langkah kuda. Serentak Abindamanyu berlari ke
depan. Barangkali orang-orang yang diperintahkan untuk mencari putrinya membawa
hasil sekarang. Sudah hampir sepuluh kali dia memerintahkan orang-orang bayaran
maupun pengawal pribadinya mencari putrinya, tetapi semua berhasil nihil.
Bahkan mereka tidak membawa kabar se-
dikit pun tentang putrinya.
Dan kali ini, orang-orang itu pun
gagal mencari putrinya. Abindamanyu sudah bisa menebak dengan melihat wajah-
wajah mereka yang layu. Juga tak ada tanda-tanda putrinya berada bersama mereka.
Tetapi walaupun begitu, Abindamanyu
bertanya, "Bagaimana usaha kalian" Berha-silkah menemui putriku?"
Salah seorang dari mereka maju se-
langkah, dia bernama Panji. Ia menjura.
"Maafkan kami, Tuanku. Sedikit pun kami tidak mendengar kabar di mana putri
Nindia berada. Hampir seluruh pelosok negeri kami jelajahi, tetapi sedikit pun
kami tak mendengar di mana dia berada?"
Abindamanyu terdiam. Lagi-lagi jawa-
ban seperti itu yang didengarnya. Hampir setiap kali. Telinganya sudah hafal
dengan jawaban-jawaban seperti itu.
Dia hanya menghela nafas.
"Memang sulit menemukan di mana pu-
triku berada," gumamnya lesu. "Malah kuduga, dia sudah menemui ajalnya di tangan
Wirapati. Dan juga, pemuda yang bernama Madewa Gumilang itu, mampus pula di
tangan Wirapati."
Lagi dia terdiam. Yang lain pun ter-
diam. Hanya menundukkan kepala. Tak kuasa menatap tuannya yang nampak semakin
tua. Dan semakin murung. Suasana hening, Bu-rung pun seperti enggan bernyanyi.
Abindamanyu menghela nafas panjang.
Hanya satu yang dipersoalkannya sekarang.
Kesehatan istrinya yang nampaknya semakin memburuk.
Menurut tabib yang mengobatinya, dia
tidak bisa disembuhkan kecuali bertemu dengan putrinya. Dan mencari Nindia di
mana dia berada, adalah sulit sekali. Bagaimana mencari sebuah jarum di tumpukan
jerami! Tak ada jalan penyembuhan lain. Ini
yang dikuatirkan Abindamanyu. Lama kelamaan istrinya bisa menemui ajalnya gara-
gara rindu dengan putrinya. Dia harus bi-sa memecahkan masalah ini.
Malam harinya, ketika semuanya sudah
tidur, Abindamanyu memanggil beberapa
orang yang dipercayainya. Termasuk Panji.
Mereka berkumpul di ruang belakang Sikap Abindamanyu penuh rahasia. Membuat
semua yang hadir keheranan.
Tetapi mereka tidak berani bertanya
sebelum tuannya berbicara.
Setelah mereka berkumpul, barulah Ab-
indamanyu bicara.
"Mungkin kalian heran, mengapa aku mengumpulkan kalian di ruangan ini.
Yah... ini kulakukan demi satu tugas rahasia yang harus kalian rahasiakan.
Kalian adalah orang-orang yang mengenal putriku sejak kecil. Kalian sudah hafal
pu-la bagaimana raut wajahnya dan tingkah lakunya.
Untuk itu, aku ingin kalian menyetu-
jui atau memberi pendapat atas keputusan-ku untuk menyembuhkan istriku.
Dengarkan baik-baik. Kita semua tahu,
sudah hampir lima setengah tahun putriku tidak ada dirumah. Dan sudah kita cari
ke mana-mana, tetapi tetap tidak diketahui rimbanya. Untuk itu, kepada kalian
semua aku minta, agar merahasiakan semua yang hendak aku lakukan. Yah... kalian
kuminta membantu dalam melaksanakan hal ini...."
Seorang laki-laki tua yang berjanggut
panjang, memotong perkataan Abindamanyu,
"Ya, Tuanku. Sampai saat ini, hati saya masih bertanya-tanya. Kiranya tugas apa
yang hendak tuanku laksanakan dan berikan kepada kami?"
Abindamanyu menatap kakek yang berna-
ma Tindaruka itu.
"Sebenarnya aku ragu akan semua yang hendak kulakukan. Tetapi demi istriku,
aku harus berani mengambil tindakan."
"Tindakan apa ya, Tuanku?" Lagi Tindaruka bertanya.
Abindamanyu terdiam. Suasana mendadak
menjadi tegang. Entah kenapa raut wajah Abindamanyu pun menjadi tegang.
Perlahan-lahan Abindamanyu berkata,
"Aku akan mencari seorang gadis yang mirip dengan putriku, untuk dipalsukan dan
menemui istriku....",
Beberapa seruan kaget terdengar.
"Maksud tuanku, gadis itu menjadi putri Nindia?" tanya yang kakek yang bertu-buh
gemuk. Matanya melotot kaget.
Abindamanyu mengangguk lemah.
"Tak ada jalan Iain. Hanya itu satu-satunya cara yang bisa kulakukan, demi
kesehatan istriku."
Tindaruka menarik nafas panjang. "Apa tuanku sudah memperhitungkan baik buruk-
nya?" "Sudah, Tindaru. Aku sudah memperhitungkan sebaik-baiknya. Hanya kepada kalian
aku mengatakan semua ini, karena aku takut, jika gadis itu nanti tidak mencer-
minkan sikap Nindia, kalian akan ber-
tanya-tanya, siapa sebenarnya gadis itu"
Untuk itu kuminta kalian merahasiakannya.
"Bagaimana dengan suruhan yang lain?"
tanya Tindaruka pula.
"Penjaga atau pesuruh yang lain, ra-ta-rata masih baru. Mereka belum begitu
mengenal wajah dan tingkah laku Nindia.
Hanya kalian yang mengenalnya secara
baik." Tak ada yang bertanya lagi. Rupanya
tuan Abindamanyu memang telah memperhitungkan semuanya. Dan memang tak ada cara
lain untuk menyembuhkan istrinya. Hanya itu satu-satunya jalan, walaupun jika
terbongkar akan membawa akibat yang fatal bagi Nadia.
Tetapi segala sesuatunya harus dico-
ba. Dan Abindamanyu akan melaksanakan ke-putusannya itu.
Besoknya, dia memerintahkan kembali
beberapa orang untuk mencari putrinya.
Orang-orang itu adalah mereka yang semalam ikut dalam rapat rahasianya. Dan
sudah direncanakan, kalau dalam dua hari mendatang mereka harus segera kembali
dan membawa kabar tentang putrinya.
Semua berjalan dengan lancar. Dua ha-
ri kemudian pencari-pencari itu kembali.
Dan membawa kabar yang mengejutkan!
Putri Nindia telah diketahui jejak-
nya. Seisi rumah besar itu bersorak gembi-
ra. Putri mereka yang amat cantik akan kembali berkumpul. Kabar itu pun
terdengar di telinga Nadia yang sedang sakit.
Dia langsung bisa duduk di ranjang.
Menoleh pada embannya.
"Benarkah putriku ditemukan, Sukma?"
tanyanya dengan suara serak.
Emban yang bernama Sukma itu mengang-
guk. "Benar, Tuanku. Putri Nindia dalam waktu singkat ini akan segera kembali."
"Oh, putriku... akhirnya kita dapat berkumpul kembali," desah Nadia gembira.
Abindamanyu masuk ke kamar istrinya.
Ia menemukan istrinya dalam keadaan ter-duduk. Suatu yang jarang terjadi selama
dua bulan terakhir ini.
Hatinya terharu melihat wajah is-
trinya gembira. Matanya berkaca-kaca.
Dan dalam hati dia berbisik, "Maafkan aku istriku. Ini kulakukan demi kebaikan-
mu." Dia tidak kuasa menatap istrinya la-
ma-lama. Istrinya yang tengah gembira karena kabar bohong. Dan mungkin besok
atau lusa, kebohongan itu akan semakin leng-kap, dengan hadirnya Nindia palsu di
rumah ini. Abindamanyu kembali memerintahkan ke-
pada Panji, untuk menjemput putrinya. Dia sudah mengatakan, "Aku sudah mencari
seorang gadis yang mirip dengan putriku. Dia berbaju merah. Raut wajahnya mirip
dengan putriku. Dan gadis itu menunggu di tepi hutan yang jauh dari tempat ini."
Panji segera berangkat. Hutan yang
dikatakan tuannya itu sangat jauh dari tempat mereka tinggal. Tetapi Panji telah
bertekad, dia harus mencapai tempat itu secepat mungkin.
Sebelum matahari terbenam, dia sudah
menemukan hutan itu. Dan benar saja. Di dekat sebuah pohon besar, sudah menunggu
seorang gadis yang cantiknya luar biasa.
Kalau dilihat sekilas, gadis itu memang mirip dengan putri Nindia. Tetapi jelas,
kalau gadis itu lebih tinggi sedikit.
Panji hafal wajah dan tinggi Nindia.
Gadis itu tersenyum begitu dia turun
dari kudanya dan menghampiri. Senyumnya pun mirip dengan putri Nindia. Kulitnya
yang putih sangat kontras dengan pakaian-nya yang berwarna merah.
Panji menjura hormat.
"Maaf, kalau saya lancang bertanya, Nona. Nonakah yang akan menjalankan tugas
rahasia dari tuan Abindamanyu?"
Gadis itu tersenyum.
"Ya, Kakang."
Suaranya pun tak beda dengan Nindia!
"Kalau memang begitu kiranya, mari kita segera berangkat. Tuanku sudah lama
menunggu, Nona."
Gadis itu mengangguk. Panji melompat
ke punggung kudanya. Dan menuntun gadis itu untuk naik. Lalu kuda kembali menuju
rumah Abindamanyu.
Kedatangan putri Nindia sudah terden-
gar di seluruh desa. Abindamanyu mengadakan pesta besar-besaran untuk menyambut
putrinya. Istrinya pun sudah nampak lebih se-
hat. Dia sudah mampu berjalan walau kelihatan masih lemah.


Pendekar Bayangan Sukma 4 Dewi Cantik Penyebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Begitu Panji datang, mereka berhambu-
ran keluar. Ingin menyambut kedatangan putri yang mereka rindukan. Dan bertanya-
tanya, bagaimana keadaan dan wajah Nindia sekarang" Apakah masih cantik"
Dan mereka melihat wajah gadis.itu
masih tetap cantik seperti dulu. Langkahnya pun masih tetap gemulai. Dan
tingkahnya masih tetap sopan.
Masih mau bergaul dengan para pendu-
duk. Ketika datang dia menegur mereka sa-tu persatu.
Mereka berpesta selama sehari sema-
lam. Nadia tidak mau jauh dari putrinya.
Setiap saat dia memeluk putrinya yang
amat dirinduinya.
Dan gadis yang berperan sebagai Nin-
dia itu, amat mampu memainkan perannya.
Benar-benar tepat pilihan Abindamanyu.
Walau hatinya sedih karena sudah membo-hongi istrinya, Abindamanyu tetap gembira
karena istrinya sudah agak sembuh.
Dan tidak ada yang tahu. Semua tidak
ada yang tahu. Mereka menyangka pilihan tuannya terhadap gadis itu tepat.
Abindamanyu pun demikian. Dia menemukan gadis itu ketika sedang berjalan-jalan
seorang diri di tepi hutan sebelah sana.
Gadis itu bernama Surti dan tinggal
bersama ayahnya yang penebang kayu.
Abindamanyu tidak tahu kalau semua
itu adalah tipu belaka.
Surti bukan anak penebang kayu dan
tidak pernah mengenalkan ayahnya pada Abindamanyu.
Dia adalah gadis kejam berbaju merah.
Anak buah Dewi Penyebar Maut yang bernama Dahlia merah!
*** Lereng bukit yang indah dan permai.
Di sana-sini ditumbuhi pohon-pohon yang subur. Suasana di depan gunung itu
bagaikan sorga firdaus. Betapa indah dan ten-tramnya. Sungai yang mengalir dan
gemeri-cik suaranya, menambah kesyahduan tempat itu berada. Angin bertiup dengan
semilir. Membuat yang datang enggan untuk pulang.
Dan yang kembali berharap sebisa mungkin datang lagi atau kembali mengenang
tempat itu. Di tempat itulah Paksi Uludara sejak
puluhan tahun yang lalu mendirikan sebuah perguruan yang diberi nama Perguruan
Topeng Hitam. Sampai saat ini, belum pernah terden-
gar kabar, perguruan Topeng Hitam berurusan dengan dunia luar. Mereka hanya
turun jika memang keadaan dunia luar memerlukan
tenaga mereka. Mereka adalah orang-orang golongan putih yang berjuang demi
kebenaran dan keadilan.
Dan Paksi Uludara telah menetapkan
peraturan, barang siapa yang meninggalkan perguruan tanpa izin atau perintah,
tidak akan diperkenankan kembali untuk datang!
dan harap menyerahkan semua ilmu yang didapat dari perguruan dengan jalan
memotong buntung kedua lengannya sendiri!
Peraturan yang menyeramkan. Tetapi
tak seorang murid pun yang pernah melang-garnya. Mereka telah menemukan sebuah
tempat yang indah, mengapa harus ditinggalkan"
Hari ini Paksi Uludara sedang melihat
murid-muridnya berlatih. Dalam setiap la-tihan mereka semua mengenakan pakaian
hitam-hitam dan bertopeng hitam. Itu merupakan ciri dari perguruan .
Dan juga sepasang pedang tipis yang
merupakan kebanggaan perguruan Topeng Hitam. Jurus-jurus pedang yang sangat
berbahaya dan mematikan!
Paksi Uludara memang seorang jago pe-
dang yang tak terkalahkan dulunya. Tetapi sejak mendirikan perguruan itu, dia
tidak pernah lagi muncul di rimba persilatan.
Namun namanya tetap menjadi momok bagi siapa saja.
Tiba-tiba masuk seorang murid yang
menjaga di gerbang depan. Murid itu men-
jura hormat. "Hmm, ada apa, Murta?" tanya Paksi Uludara dengan sikap wibawa. Karena si-kapnya
itu murid-muridnya sangat menghor-matinya.
"Maafkan saya, Ketua. Di luar ada beberapa orang yang ingin bertemu dengan
Ketua." "Siapa mereka?" Paksi Uludara mengusap-usap janggut putihnya. Sementara
tangan kirinya berada di belakang.
"Mereka terdiri dari kakek tua yang mengaku bernama Datuk Sakti Berjubah Putih,
seorang pemuda yang tampan bernama Pendekar Kipas Sakti dan seorang wanita
setengah baya yang cantik bernama Dewi Maut.
Paksi Uludara mengenal nama-nama itu.
Tetapi tidak tahu apa yang menjadi urusan hingga mereka datang berkunjung. Walau
begitu Paksi Uludara menyuruh mereka masuk.
"Bawa mereka menemuiku di ruang khusus!" katakan seraya melangkah.
Ruang khusus itu adalah ruang di mana
Paksi Uludara dan murid-muridnya berkumpul. Hendak membicarakan masalah sesuatu
atau memperbincangkan masalah dunia luar.
Di ruang khusus itu juga terdapat senja-ta-senjata rahasia yang disembunyikan.
Itu dipakai untuk menjaga kalau-kalau ada serangan dari dunia luar. Paksi
Uludara duduk di singgasananya. Ia memakai baju
kebesarannya yang berupa jubah bergambar topeng hitam. Dan dia sendiri
mengenakan topeng hitam dan pedang mustikanya yang bernama Pedang Sakti Naga
Emas. Beberapa menit kemudian, orang-orang
itu datang menghadap. Paksi Uludara berdiri. Tertawa. Dalam tawanya itu
mengandung tenaga dalam yang lumayan.
Serentak para tamu itu menaikkan te-
naga dalamnya untuk menahan uji coba tersembunyi. Mereka menjura. Paksi Uludara
masih tertawa. "Ha.., ha... ha... sikap kalian terlalu kaku rupanya. Tidak perlu
menghormat segala. Silahkan, silahkan duduk.'"
Ketiga tamu itu duduk. Paksi Uludara
duduk kembali di singgasananya. La menatap tamunya satu persatu.
"Hmm, ada apa kiranya kalian tamu-tamuku yang terhormat datang" Sungguh suatu
penghormatan yang besar bagiku.
Orang-orang yang sudah melangit namanya datang menghadap. Silahkan terangkan
maksud kedatangan kalian...."
Datuk Sakti Berjubah Putih bangkit.
Lagi menjura. Lagi Paksi Uludara tertawa.
"Kedatangan kami kemari, sehubungan dengan adanya petaka yang disebarkan oleh
Dewi Cantik Penyebar Maut."
Paksi Uludara manggut-manggut. "Ya...
aku pernah mendengar kabar itu. Lalu?"
"Kami meralat kata-kata Ketua Paksi
Uludara. Nama kami tidak melangit, tidak melanglang buana, karena beberapa
minggu yang lalu, kami baru saja dikalahkan oleh anak buah Dewi Cantik Penyebar
Maut. Sebagai orang dari golongan putih,
kami bermaksud menghapus dan memusnahkan orang macam Dewi sesat itu. Tetapi
tenaga kami tidak mampu menghadapinya."
"Maafkan kami, Ketua Paksi Uludara.
Kami kemari, mengharapkan bantuan ketua untuk membunuh atau menangkap dewi sesat
itu...." Paksi Uludara terdiam. Ia meraba-raba
pedangnya. Lalu menatap Datuk Sakti Berjubah Putih.
"Aku pun ingin menentramkan kembali dunia persilatan ini. Aku pun ingin turun
tangan menghadapi orang-orang macam dewi sesat itu. Tetapi ada satu ganjalan
yang membuatku enggan melakukannya. Bahkan
membantu kalian."
Orang-orang itu terkejut. Datuk sakti
langsung angkat suara, "Mengapa demikian, ketua" Saya dengar, perguruan Topeng
Hitam selalu menggerakkan hati dan kemam-puannya untuk membantu memberantas
orang-orang sesama.
"Mungkin itu akan kulakukan, Datuk sakti. Tetapi bukan atas dasar membantu
kalian." Datuk Sakti merasakan nada suara Pak-
si Uludara agak berubah tajam dan meni-
kam. "Apakah ketua sudah melupakan persa-habatan kita?"
"Sampai kapan pun aku tidak pernah melupakannya. Juga dengan seorang saha-batmu
yang bergelar Dewa Tua Pengantuk.
Tetapi saat ini, aku menyatakan perang dengan Dewa Tua Pengantuk, dan sekaligus
dengan kalian!!"
"Ketua Paksi Uludara!" seru Datuk sakti kaget. "Ada apa sampai ketua berkata
demikian?"
"Dewa Tua Pengantuk telah membunuh seorang murid kesayanganku!"
"Tidak mungkin!" bantah Datuk sakti langsung.
"Semua sudah terbukti, Datuk! Aku masih tetap sahabat kalian, jika kalian mau
menyerahkan Dewa Tua Pengantuk kepadaku untuk kujatuhi hukuman!"
"Ketua... apa tidak salah ketua menu-duhnya?"
"Ada saksi yang melihat perbuatannya, Datuk!"
"Siapa saksinya?" kejar datuk sakti penasaran.
"Seorang dara berbaju merah!"
Semakin terkejut Datuk sakti. Juga
dengan Pendekar Kipas Sakti dan Dewi
Maut. Dara berbaju merah" Siapa lagi kalau bukan orang-orang Dewi Cantik
Penyebar Maut! Apakah bisa diterangkan pada Paksi
Uludara semua itu" Sedangkan saat ini
sang ketua sedang geramnya terhadap Dewa Tua Pengantuk!
Datuk Sakti menjura.
"Kalau memang ketua percaya bahwa yang melakukan pembunuhan itu Dewa Tua
Pengantuk, kami akan mencarinya dan menyerahkannya kepada ketua."
Walau kami yakin, bukan si dewa tua
itu yang membunuh murid perguruan Topeng Hitam. Dan kami berterima kasih kepada
ketua Paksi Uludara, yang akan mau turun tangan menghadapi Dewi Cantik Penyebar
Maut! Kami rasa, tidak ada yang perlu dibi-
carakan lagi! Kami mohon diri, Paksi Uludara!"
Dewi Maut dan Pendekar Kipas Sakti
bangkit. Lalu sama-sama menjura. Paksi Uludara hanya mengangguk. Tidak mengantar
tamu-tamunya itu keluar.
Hhhh, kalau saja aku tidak memandang
kalian sebagai sahabat, sudah kubunuh kalian, desisnya dalam hati. Sebagai
orang-orang yang dekat dengan Dewa Tua Pengantuk, mereka akan dihabisi saja.
Paksi Uludara bangkit. Hendak menco-
pot jubah kebesarannya. Tetapi tiba-tiba terdengar hiruk pikuk di luar. Bahkan
ada pekik dan jeritan kesakitan.
Paksi Uludara menggeram.
Rupanya tamu-tamunya itu memang hen-
dak berbuat onar. Mereka memancingnya untuk bertanding.
Paksi Uludara berkelebat ke depan. Di
halaman depan beberapa orang muridnya sedang bertempur melawan seorang pemuda
berpakaian biru-biru. Pemuda itu kelihatan sedang marah. Dan tangguh. Dengan
sekali pukul saja barisan murid-muridnya hancur berantakan.
Paksi Uludara bersalto. Dan kini ber-
hadapan dengan pemuda yang tak lain adalah Madewa Gumilang.
Karena yakin yang menculik anak is-
trinya adalah orang-orang perguruan Topeng Hitam, Madewa langsung mengamuk. Di-
hajarnya orang yang menghalanginya masuk.
Dia sangat marah sekali. Dua orang yang dikasihinya itu berani diganggu.
Madewa menggeram melihat Paksi Uluda-
ra. Ia melirik ke samping, Hhm, dia kenal orang-orang ini. Datuk Sakti Berjubah
Putih. Pendekar Kipas Sakti. Dan Roro Antika atau si Dewi Maut. Sedang apa
mereka kemari. Madewa kembali menatap Paksi Uludara
yang tengah mengira-ngira siapa gerangan pemuda ini"
Madewa membentak, "Di mana anak dan istriku kau sembunyikan"!"
Paksi Uludara heran. Anak istri" Sia-
pa" Yang mana".
"Apa maksudmu, Saudara?"
"Aku tidak mau berbasa-basi lagi!"
bentak Madewa. "Cepat keluarkan anak istriku, kalau tidak, lereng bukit beserta
isinya akan kuhancurkan!"
"Tenang, Saudara. Aku tidak mengerti sama sekali apa maksudmu. Katakan dengan
tenang dan jelas."
Madewa mendengus. Dia merasa diper-
mainkan. "Baik, istriku bernama Ratih Ningrum dan putraku bernama Pranata Kumala. Kedua
orang yang kukasihi itu telah diculik
oleh anak-anak dari Perguruan Topeng Hitam...."
"Kau menuduh tanpa bukti, Saudara. Di sini tidak ada orang yang kau sebutkan
tadi." "Aku punya bukti!" Madewa mengambil senjata rahasia topeng hitam dari angkin-
nya. Dan membuka telapak tangannya. "Ini!
Ini senjata khas kepunyaan perguruan ini!
Kutemukan tak jauh dari kuda istriku! Cepat katakan, di mana istri dan anakku!"
Paksi Uludara memperhatikan senjata
rahasia itu. Hmm, memang benar. Itu kepunyaan orang-orang topeng hitam. Tetapi
siapa yang telah melakukan aksi penculikan ini" Murid-muridnya tidak ada yang
keluar dari perguruan selain lima orang yang ditugaskan dalam mencari Dewa Tua
Pengantuk. Apakah ada di antara murid-muridnya
yang menyelinap ke luar dan melakukan ak-si penculikan itu" Tetapi tidak
mungkin, dia telah waspada terhadap kemungkinan itu.
Melihat Paksi Uludara terdiam, Madewa
menggeram. Ia maju selangkah. Serentak murid-murid Perguruan Topeng Hitam tengah
berlatih tadi mengurungnya.
"Hhh!" Madewa mendengus. Dan mengibaskan tangan kanannya.
Bagai ada badai yang besar, orang-
orang yang mengurung tadi berhamburan
terpelanting. Paksi Uludara terkejut melihat kehe-
batan tenaga kibasan orang itu. Siapa dia adanya"
"Saudara, semua yang kau katakan ta-di, aku membantahnya. Dan tidak terima
dengan tuduhan itu!"
"Baik! Dan aku telah bersumpah, jika orang-orang perguruan Topeng Hitam tidak
mengeluarkan istri dan anakku. Maka ku hancurkan perguruan ini rata dengan
tanah!" Sehabis berkata begitu, Madewa mele-
sat. Menyerang Paksi Uludara. Mendapat dorongan angin yang keras, Paksi Uludara
berkelit. Dan menangkis.
"Plak! Duk! Duk!"
Madewa benar-benar sudah kalap, Nya-
wa' istri dan anaknya lebih penting dari
nyawanya sendiri. Begitu habis ditangkis serangannya, dia melenting ke atas. Dan
mengirimkan pukulannya lagi.
Kali ini Paksi Uludara menghindar
dengan jalan berkelit. Dan entah bagaimana tahu-tahu tangannya sudah memegang
sebuah pedang. Pedang yang disambar dari salah seorang muridnya. Sedangkan
pedang mustikanya masih tergenggam di tangan kirinya.
"Paksi Uludara! Keluarkan semua ilmumu! Hari ini kita bersilang sengketa! Dan
aku tak akan mau bertindak setengah untuk menghancurkanmu!" bentak Madewa.
Dia melompat ke depan lagi. Dengan
jurus Ular Mematuk Katak dia menyerang.


Pendekar Bayangan Sukma 4 Dewi Cantik Penyebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Paksi Uludara berusaha berkelit dan memainkan pedangnya.
Pedang di tangan Paksi Uludara tak
ubahnya seperti kilat yang menyambar.
Bergulung-gulung dengan cepat. Dan membuat Madewa menghentikan serangannya.
Dia menghindari tusukan dan sabetan
pedang itu dengan jurus Ular Meloloskan Diri. Jurus warisan gurunya, Ki Rengser-
sari. Sampai dua puluh jurus, Paksi Uludara
belum mampu mendaratkan pedangnya di tubuh Madewa.
Pertempuran dua tokoh kelas utama me-
nimbulkan getaran yang hebat, suasana di halaman perguruan itu bagaikan ada dua
ekor naga yang bertarung.
Datuk Sakti Berjubah Putih tiba-tiba
memekik. Dan melompat ke arena. Dia berpikir, mungkin saja dengan bantuannya
Paksi Uludara bisa menarik lagi tuduhannya atas Dewa Tua Pengantuk.
Madewa berkelit ke samping menerima
serangan mendadak itu.
"Bagus! Rupanya kau pan berteman dengan orang sesat macam Paksi Uludara!"
"Karena aku tidak suka dengan orang sombong macam kau!" bentak Datuk sakti
sambil melontarkan pukulannya.
Madewa bersalto ke belakang. "Bagus majulah kalian semua!"
Dan dia melenting lagi ke depan. Kali
ini yang menjadi sasaran Datuk Sakti Berjubah Putih. Dengan gempuran hebat dia
bertekad menghabisi Datuk Sakti.
Paksi Uludara tak mau ketinggalan.
Dia pun menerjang. Pertarungan yang tak seimbang. Tetapi rupanya Madewa masih
mampu mempertahankan diri.
Suatu ketika pukulan Datuk Sakti men-
genai dadanya. Dia terhuyung. Saat itulah Pendekar Kipas Sakti bergerak dengan
cepat. Memburu Madewa yang masih terhuyung.
Mendadak terjadi keanehan. Bukannya
tubuh Madewa yang terpelanting, malah tubuh Pendekar tampan itu yang kembali ke
tempatnya. Bergulingan. Ia merasa menghantam sebuah tembok besar.
Pendekar tampan itu muntah darah!
Itulah salah satu kesaktian dari Ma-
dewa Gumilang, yang didapatnya secara tidak sengaja ketika dia menghisap rumput
sakti kelangkamaksa. Ilmu itu tidak bisa digunakan sembarangan. Hanya benar-
benar keluar jika orang yang memilikinya dalam keadaan tenang.
Saat terhuyung itu Madewa kehilangan
keseimbangan. Marahnya agak mereda, secara tak sengaja khasiat rumput sakti
kelangkamaksa keluar. Itulah sebabnya Pendekar tampan itu tertabrak ilmu dari
sari rumput kelangkamaksa.
Dewi maut memekik dan memburu pende-
kar Kipas Sakti. Ia memeriksa keadaan
pendekar itu dan memberinya sebuah pil.
Lalu dia sendiri terjun ke arah pertarungan.
Madewa yang sudah berdiri tegak lagi,
menatap lawannya satu per satu.
"Hhhh, tidak tahu malu beraninya keroyokan!" bentaknya marah.
"Untuk orang tak tahu adat macam kau, cara apa pun akan halal dilakukan!" bentak
Dewi Maut jengkel.
"Aku tidak akan melajukan semua ini jika istri dan anakku dikeluarkan!"
"Dasar orang edan! Sudah dibilang tidak ada disini, masih ngotot juga!" bentak
Dewi Maut lagi.
"Aku memang edan, sebelum anak istri-
ku keluar!"
"Kalau begitu, terimalah ajalmu!"
Dewi Maut bersiap. Ia mengerahkan te-
naga dalamnya di tangannya. Pukulan maut-nya siap merenggut nyawa Madewa. Begitu
pula dengan Paksi Uludara. Walaupun malu dibantu demikian tetapi dia mendiamkan
saja. Dia merasa ilmu yang dimiliki laki-laki itu tinggi sekali. Persetan dengan
tatapan murid-muridnya yang merasa heran.
Ketua mengeroyok laki-laki itu"
Benar kata Dewi Maut, untuk laki-laki
edan yang menuduh sembarangan saja, cara apa pun halal dilakukan.
Terdengar jeritan Dewi Maut ketika
melancarkan serangannya. Madewa sigap. Ia berkelit dengan cara berguling. ke
arah Paksi Uludara. Dengan masih berguling itu dia melancarkan kakinya yang
mengancam kemaluan Paksi Uludara.
Bukan ketua perguruan Topeng Hitam
jika tidak bisa menghindari serangan demikian. Buru-buru dia melompat dan ka-
kinya balas meluncur deras pada Madewa yang masih berguling.
Dorongan angin yang dipancarkan dari
kaki Paksi Uludara menyadarkan Madewa untuk menghindar. Tiba-tiba tubuhnya me-
lenting ke udara dan kembali kakinya mengancam. Kali ini Datuk Sakti Berjubah
Putih yang menjadi sasaran.
Cepat dia menangkis. Benturan dua
buah tenaga menimbulkan getaran yang hebat. Rupanya Madewa sudah menaikkan tenaga dalamnya.
Datuk sakti itu terguling, dadanya
terasa sesak. Bukan main, baru kali ini dia merasakan tenaga dalam yang begitu
hebatnya. Dewi Maut menyerang kembali dengan
pukulan jarak jauhnya. Madewa bersalto dan tangannya mengepal. Dari kedua tangan
itu berpijar asap putih, Pukulan bayangan sukma tengah dilancarkan oleh Madewa!
Paksi Uludara mengenali pukulan demi-
kian, dia menghentikan serangannya.
"Madewa Gumilang!" serunya kaget. Na-ma itu membuat orang-orang rimba persilatan
mengagungkan nya. Dan hanya satu
orang yang memiliki ilmu pukulan demi-
kian. Madewa tidak jadi melancarkan puku-
lannya. Ia menoleh kepada Paksi Uludara.
"Kau sudah tahu namaku?" desisnya mengejek. "Cepat keluarkan istri dan anakku,
kalau tidak ingin pukulanku mengantarkan kau ke pintu"
"Saudara Madewa, baru kali ini aku yang tua berhadapan dengan saudara yang
terkenal itu! Walau pun demikian, kami berani bersumpah, atas langit biru serta
isinya, kami tidak, menculik dan menyembunyikan istri dan anakmu!" seru Paksi
Uludara berwibawa.
"Aku tidak percaya sebelum melihat sendiri!"
"Silahkan... periksalah seluruh isi perguruan Topeng Hitam ini! Jika kau
menemukan istri dan anakmu, kami rela bunuh diri di hadapanmu!"
Madewa mendengus melecehkan. Walau
kaget dengan sumpah demikian. Tetapi dia mau melangkah. Dia kuatir Paksi Uludara
menipunya. "Tidak semudah itu, Paksi Uludara.
Kau ingin membiarkan aku masuk perangkapmu?"
"Tidak ada perangkap untuk, Saudara pendekar!"
"Apa taruhannya?"
Paksi Uludara terdiam sejenak. Lalu,
"Kau boleh bawa pedang mustika Sakti Naga Emas. Dengan pedang ini kau sanggup
men-dobrak perangkap rahasia jika memang
ada!" Sesudah berkata demikian, Paksi Ulu-
dara melempar pedang pusakanya. Madewa menangkap.
"Baik! Aku akan memeriksa seluruh isi ruangan ini!"
Lalu Madewa melangkah dengan tenang.
Pedang pusaka itu digenggamnya dengan
kuat. Beberapa orang murid hendak menyu-sul, tetapi dilarang oleh Paksi Uludara.
"Biarkan dia sendiri... biar dia ta-hu, kalau kita tidak menculik istri dan
anaknya. Pasti telah terjadi salah paham yang menyebabkannya marah demikian
besar. Madewa terus melangkah. Memasuki
ruang-an perguruan Topeng hitam itu dia meneliti setiap sudutnya. Di mana kira-
kira ada perangkap rahasia.
Tahu-tahu dia berbalik ke belakang.
Dan menghentakkan sebelah kakinya. Pintu ruangan yang berat itu, yang hanya bisa
digerakkan dengan tongkat penutup, perlahan-lahan menutup rapat.
Orang-orang di luar mendecak kagum.
Pameran tenaga dalam yang mendebarkan.
Madewa berbalik lagi. Dia duduk ber-
sila. Matanya dipejamkan. Dia berkonsentrasi sejenak. Kedua tangannya bersatu di
dada. Tiba-tiba tatapan matanya bisa menem-
bus seluruh ruangan itu. Tatapannya mene-rang walaupun matanya terpejam. Itulah
ilmu pandangan menembus sukma, yang mampu melihat jarak jauh dengan tegas
walaupun dihalangi gunung sekalipun.
Dengan ilmu pandangan sukmanya itu,
Madewa mencari di mana istri dan anaknya berada. Sampai ke dasar rumah pun dica-
rinya dengan tatapannya. Tetapi sedikit pun tak ada tanda-tanda di mana istrinya
berada. Seluruh ruangan sudah dijelajahi nya
oleh tatapannya. Juga ruangan-ruangan rahasia. Tapi tidak ada jejak sedikit pun
istri dan anaknya.
Kalau begitu, di mana mereka menyem-
bunyikan orang-orang yang dikasihinya
itu" Madewa menghentikan konsentrasi nya.
Matanya perlahan terbuka. Kali ini ma-
tanya berair. Bukan karena pengaruh ilmu pandangan menembus sukma, tetapi air
yang mengalir karena kesedihan. Sedih memikirkan bagaimana nasib Ratih Ningrum
dan Pranata Kumala.
Terbayang wajah istri dan anaknya
itu, yang sedang tersenyum. Apakah saat ini keduanya masih tetap tersenyum"
Madewa bangkit. Kembali dia menghen-
takan kakinya. Dan pintu gerbang itu terbuka perlahan-lahan. Orang-orang yang
menunggu di luar. hanya memperhatikannya saja Madewa yang melangkah dengan lesu
namun tegap. Paksi Uludara melangkah menghampiri.
"Bagaimana, Saudara?" Madewa mengangkat wajahnya. Lesu.
"Maafkan aku, Ketua Paksi Uludara.
Aku telah bertindak gegabah, menuduhmu sembarangan. Tetapi aku benar-benar gusar
tak rela istri dan anakku diculik. Sekali lagi maafkan aku, mungkin ada orang
yang ingin membuat kita salah paham dan saling bentrok, dengan mengambing
hitamkan perguruan Topeng Hitam.
Ku kembalikan pedang pusakamu ini,
juga senjata rahasia milik perguruan-
mu...." Madewa memberikan kembali pedang pu-
saka milik Paksi Uludara dan membuka telapak tangannya. Paksi Uludara mengambil
kedua benda itu.
Tiba-tiba Datuk Sakti Berjubah Putih
berseru, "Saudara Madewa?"
Madewa menoleh. Mendadak ia menjura.
"Maafkan aku, Datuk."
Datuk sakti itu mengibaskan tangan.
"Sudahlah. Kembali ke senjata rahasia ta-di. Kau menemukan senjata itu dekat
kuda istrimu?"
Madewa mengangguk.
Datuk sakti itu menggeleng-gelengkan
kepala. "Tepat dugaanku."
Madewa cepat bertanya, "Dugaan apa?"
"Yah... dugaan bahwa kita semua salah paham...." :
"Aku tak mengerti maksudmu...."
"Begini, Saudara pendekar," kata Datuk sakti. Lalu kepada Paksi Uludara,
"Maafkan aku, Ketua Paksi Uludara, karena lancang bicara di depanmu."
Paksi Uludara mengibaskan lengannya,
aku pun ingin mendengar apa yang kau katakan."
Datuk Sakti Berjubah Putih menatap
seluruh manusia yang berada di sana, ter-
masuk murid-murid perguruan Topeng Hitam.
Matahari sudah beranjak dari tempat-
nya di atas kepala. Senja mulai turun.
Angin bertiup sejuk.
Datuk sakti berkata, "Kita semua berada dalam keadaan salah paham. Mula-mula
Ketua Paksi Uludara sendiri yang salah paham, di mana dia menuduh Dewa Tua
Pengantuk yang membunuh salah seorang muridnya.
Saya berani berkata demikian, karena
merasa aneh terhadap gadis yang menjadi saksi itu. Anehnya dimana, gadis itu
berpakaian warna merah. Yang bisa saya duga, adalah anak buah Dewi Cantik
Penyebar Maut atau memang dia sendiri yang melakukan. Bisa ditebak, Dewi sesat itu ingin
mengadu domba sesama kita. Dan kemungkinan tentang anak dan istrimu, Saudara
pendekar, mungkin orang-orang Dewi sesat itu yang melakukannya. Dan mengambing
hitamkan orang-orang. perguruan Topeng Hitam dengan menebar senjata rahasia khas
perguruan itu. Mungkin dugaan itu bisa salah bisa pula tidak. Tetapi Saudara
pendekar sudah menyaksikannya sendiri, kalau di sini tidak ada istri dan anak,
Saudara...."
Semua terdiam mendengar penuturan
itu. Penuturan yang bisa saja terbukti.
Paksi Uludara diam-diam mempertimbangkan kata-kata itu.
Apa tidak mungkin, Datuk sakti itu
ingin mengambil keuntungan dengan datangnya Madewa Gumilang, agar sahabatnya
Dewa Tua Pengantuk terbebas dari tuduhan"
Tetapi agaknya benar juga. Mereka
Siap memeriksa saksi pembunuhan itu. Dan orang-orang Dewi Cantik Penyebar Maut
berpakaian merah!
Tidak mustahil memang dia yang menga-
dakan siasat adu domba ini. Demi kejayaan dan keinginannya menjadi orang nomor
satu dirimba persilatan.
Paksi Uludara memandang pada Madewa Gumilang, "Apa Pendapatmu tentang hal ini,
Saudara pendekar?"
"Aku tidak tahu. Yang kuinginkan, anak dan istriku kembali dengan selamat,"
kata Madewa seolah kebingungan. Tetapi dia langsung menambahkan dengan tegas,
"Aku bisa terima pendapat itu, aku pun tahu ciri anak buah Dewi Cantik Penyebar
Maut, mereka selalu berpakaian warna merah. Dan tak mustahil mereka yang
menculik anakku. Dan ingin mengadu domba sesama kita...."
"Lalu apa yang akan Anda lakukan?"
tanya Datuk sakti.
"Aku akan mencari orang-orang itu yang telah menteror keluargaku tanpa sebab,
juga mencoreng namaku di hadapan ra-ja!
Akan kubumi hanguskan mereka!" Madewa
menggeram. Giginya bergemerutuk dengan keras. Wajahnya memancarkan sinar
kemarahan. Dan tanpa sadar, kedua kakinya telah amblas semata kaki ke dalam
tanah! Bertanda betapa besarnya kemarahan
Madewa Gumilang!
Datuk sakti berkata lagi, "Saudara pendekar, ada baiknya kita bersatu menghadapi
mereka." "Terserah bagaimana, yang pasti aku akan menghancurkan mereka! Dan melindungi
raja dari keganasan mereka!"
"Baiklah, Saudara pendekar. Hari ini juga, kami bertiga akan menjaga di Kota
Raja. Dan kau mencari Dewi Cantik Penyebar Maut itu!" Datuk sakti berpaling pada
Paksi Uludara. "Bagaimana pula dengan Saudara ketua?"
"Karena aku punya urusan dengan
orang-orang Dewi sesat itu, aku ikut Saudara Madewa!" kata Paksi Uludara sambil
membuka topeng hitamnya. Seraut wajah tua yang berjanggut putih nampak.
Wajah yang nampak letih namun penuh


Pendekar Bayangan Sukma 4 Dewi Cantik Penyebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kegusaran. "Kalau begitu, baiklah. Kita segera berpisah!" kata Datuk sakti itu. Dia agak
gembira, karena persoalan salah paham itu berhasil dipecahkan.
Madewa menghampiri Pendekar Kipas
Sakti yang masih terluka. Ia berdiri di belakangnya.
"Sebentar, Saudara."
Lalu menempelkan kedua tangannya di
punggung pendekar tampan itu, untuk men-gusir uap beracun yang masih terdapat di
sekitar tubuhnya. Perlahan Pendekar Kipas Sakti merasakan dorongan tenaga yang
han-gat menembus kulitnya. Bahkan masuk ke dalam dagingnya!
Sekarang nafasnya sudah agak normal,
tidak sesesak tadi. Dia meminta maaf pada Madewa akan tindakannya yang ceroboh
ta-di. Lalu dia bersama dengan Datuk Sakti
dan Dewi Maut, segera pergi menuju Kota Raja, menjaga ketentraman di sana.
Sementara itu, Paksi Uludara tengah
memberikan wanti-wantinya kepada murid utamanya Jayalaksa, agar selama dia
pergi, memimpin perguruan dengan baik.
Lalu bersama Madewa Gumilang keduanya
beranjak meninggalkan lereng bukit yang indah. Paksi Uludara tidak memakai
pakaian kebesarannya dan topeng hitamnya, dia hanya membawa pedang pusakanya
saja. Malam mulai turun, menyelimuti lereng
bukit yang indah itu.
*** 9 Jauh dari lereng bukit itu, di dekat
hutan yang sangat lebat, terdapat sebuah gua. Tempat di sekitar itu sunyi dan di
gua itu merupakan tempat tinggal Dewi
Cantik Penyebar Maut alias Nindia dan anak buahnya.
Di sudut dari gua itu terlihat seo-
rang wanita lesu dalam keadaan terikat.
Kedua tangannya terikat di dua batang
bambu. Begitu pula dengan kakinya. Wajah wanita itu pucat. Tubuhnya lemah.
Rambutnya pun acak-acakan.
Tak jauh dari sana, seorang bocah la-
ki-laki tertidur dalam keadaan terikat pula. Bocah itu pulas sekali. Wajahnya
pun pucat. Tubuhnya pun lemah. Tetapi dia tidak merasakan hal itu karena
tertidur. Mereka adalah Ratih Ningrum dan Pra-
nata Kumala yang diculik oleh orang-orang Dewi Cantik Penyebar Maut yang
menyamar sebagai perguruan Topeng Hitam. Benar dugaan Datuk Sakti Berjubah
Putih, senjata rahasia topeng hitam itu hanya untuk mengalihkan penculikan orang-orang itu.
Dewi Cantik Penyebar Maut benar-benar
hebat, hampir saja orang-orang rimba persilatan saling bentrok karena salah
paham. Saat itu pun beberapa orang muridnya sedang mengacau di Kota Raja. Mereka
adalah Mawar merah, Puspa merah dan Pinus merah. Sedangkan Melati Merah
menemaninya di gua. Dan Dahlia merah tengah melaksanakan tugas rahasia untuk
Tuan Abinda- manyu! Wajah Ratih Ningrum terbuka, sayu.
Matanya kelihatan masih mengantuk. Dia terkejut mendapati dirinya dalam keadaan
terikat. Entah berapa hari dia pingsan akibat mencium bau harum yang ternyata
obat bius. Menurut Ratih Ningrum, dia berada di tempat orang-orang bertopeng
hitam itu. Dan orang-orang itu yang menawannya.
Hhh, orang-orang pengecut. Beraninya
keroyokan dan memakai obat bius!
Tiba-tiba kepalanya mendongak. Ma-
tanya menatap tak percaya sosok tubuh
yang tahu-tahu berdiri di hadapannya.
Seorang wanita cantik berpakaian merah.
Betapa cantiknya!
Wanita itu tersenyum. Senyumnya pun
manis dan mengandung sesuatu yang mengerikan. Ratih Ningrum merasakannya. Entah
kenapa dia agak bergidik melihatnya.
"Selamat datang di tempatku... Ratih Ningrum," kata wanita itu dengan senyum-nya
yang tetap dirasakan mengerikan oleh Ratih Ningrum.
Ratih Ningrum menantang tatapan wani-
ta itu. "Hhh! Rupanya orang yang mengeroyokku bukan dari perguruan Topeng Hitam!
Perguruan Topeng Hitam tidak menerima murid seorang wanita, juga tak ada guru
wanita!" Wanita cantik itu terbahak.
"Kau pintar juga rupanya, Ratih Ningrum. Terus terang, memang bukan orang-orang
Topeng Hitam yang menyerangmu...."
"Hhh! Kalau begitu, siapa kalian?"
bentak Ratih Ningrum, geram. Keletihannya kini sudah tidak nampak lagi.
Wanita itu terbahak lagi. Masih tetap
tenang menghadapi Ratih Ningrum yang tengah marah.
"Rupanya kau belum mengenal orang yang menyebarkan teror akhir-akhir ini.
Nah, dengar baik-baik, Ratih Ningrum.
Akulah yang diberi julukan.. Dewi Cantik Penyebar Maut!"
Sampai di situ wanita itu bicara, Ra-
tih Ningrum terbelalak. Mulutnya mengan-ga. Inikah wanita iblis itu" Kalau
dilihat sekilas, tak ada tanda-tanda jahat di wajahnya yang cantik itu. Tetapi
hatinya, pastilah sangat busuk!
"Jadi kaulah orang yang bergelar Dewi Cantik Penyebar Maut, tak kusangka sede-
mikian cantiknya kau. Dewi sesat... kau adalah seorang wanita yang berilmu
tinggi, bukankah kau lebih baik menjadi
orang-orang golongan putih daripada jadi golongan sesat" Kau telah menteror
beberapa buah desa bersama anak buahmu. Kau punya keinginan untuk menggulingkan
Raja! Sungguh busuk hatimu, Dewi!"
"Bangsat hina!" Dewi sesat itu menggeram dan menempeleng pipi Ratih Ningrum
hingga berdarah.
Kepala Ratih Ningrum langsung mene-
gak. Matanya memancarkan kegusaran yang tidak biasa.
"Kalau kau memang hebat, buka ikatanku! Kita bertanding!" geramnya marah.
"Aku ingin tahu, sampai di mana kehebatan orang yang bergelar menakutkan itu!!"
"Ratih Ningrum.... membunuhmu semudah dengan membalikkan tangan. Tanpa bergerak
pun aku mampu membunuhmu. Dan sebelum
ajalmu, aku ingin bercerita sedikit tentang siapa aku...."
"Bah! Aku muak denganmu!"
"Setan!" dewi sesat itu menempeleng kepala Ratih Ningrum kembali. "Kau den-
garkan saja, tak perlu banyak komentar!
Kau masih ingat, ketika seorang pemu-
da bernama Madewa Gumilang atau suamimu itu menyelamatkan seorang gadis bernama
Nindia dari tangan Wirapati" Kau tentu ingat. Sejak bertemu dengan suamimu,
gadis itu telah jatuh cinta padanya. Siang malam dia selalu terbayang wajah
Madewa. Sampai gadis itu diculik oleh Wirapa-
ti. Dan Madewa menemukannya bersama seorang pemuda bernama Adi Permana. Betapa
senangnya gadis itu bertemu dengan pujaan yang diimpikannya siang dan malam.
Tetapi malang tak dapat ditolak, un-
tung tak dapat diraih, rupanya pemuda
yang bernama Adi Permana itu adalah seorang wanita yang menyamar.
Dan wanita itu adalah kau, Ratih Nin-
grum! Yang ternyata kekasih Madewa sejak lama. Kau tahu Ratih, bagaimana
hancurnya perasaan gadis yang bernama Nindia itu.
Dia tidak bisa menolak semua kenyataan yang ada. Hatinya terluka. Semua angan
dan harapannya hancur gara-gara kau, Ratih!
Dengan membawa luka hati yang dalam,
gadis itu bersumpah, tidak akan membiarkan Madewa Gumilang hidup bersamamu. Kau
pun harus merasakan semua kepedihan dan luka yang dihadapinya.
Dan entah kebetulan entah tidak, seo-
rang kakek sakti memungutnya dan menggem-blengnya pelajaran silat di puncak
gunung Muria. Walaupun belum selesai, gadis itu sudah turun gunung, sudah tak
tahan memendam perasaan rindu dan dendamnya kepa-
da Madewa. Mulailah dia melakukan teror dan men-
cari anak buah, sampai dia dijuluki dengan sebutan Dewi Cantik Penyebar Maut!
Dan dewi cantik Itu, setiap saat selalu teringat kepada Madewa dan dendamnya
kepada istri Madewa, yang dirasakan sebagai saingan dalam merebut hati Madewa!
Keinginan membunuhnya semakin besar.
Hari ini semua itu akan terlaksana,
istri Madewa berada dalam cengkeraman gadis itu...."
"Kau?" potong Ratih Ningrum terkejut.
Tatapannya terbelalak.
"Yah... akulah gadis yang hatinya terluka itu. Nindia...."
Ratih Ningrum merasakan dadanya ber-
debar, ingatannya beralih pada kira-kira lima tahun yang silam. Di mana dia
menyamar sebagai Adi Permana bersama Madewa yang saat itu belum menjadi suaminya
menyelamatkan Nindia dari tangan Wirapati.
Dan gadis itu ternyata memendam cinta
yang amat dalam pada suaminya hingga tak mampu melupakannya. Setiap saat dia
selalu teringat pada pemuda itu. Dan di lain waktu dia ingin membunuhnya. Juga
istri pemuda itu!
Wajah Ratih Ningrum mendadak memucat.
Jadi Dewi sesat yang bergelar Dewi Cantik Penyebar Maut, adalah gadis yang sejak
lama dikenalnya! Nindia, putri Abinda-
manyu! Dan sekarang siap membunuhnya. Tetapi Ratih Ningrum menyembunyikan kekua-
tiran nya. Dalam keadaan terikat begini, Nindia mampu membunuhnya dengan sekali
pukul. "Jadi kau rupanya, gadis yang diselamatkan suamiku dulu," katanya dengan suara
yang be-wibawa. Tatapannya mengejek memperhatikan sekujur tubuh Nindia. "Hhh!
Sudah hebat rupanya kau, sampai berani membuat teror yang menakutkan! Dan
bergelar yang mengerikan!"
Nindia terkekeh. Tawanya mengerikan.
Setiap saat mampu mengundang maut. "Itulah aku, Ratih Ningrum...."
"Bah! Kau merupakan iblis betina yang kejam. Aku tidak mengerti dengan tingkah-
mu, Nindia! Untuk apa kau culik pemuda dan bayi-bayi?"
Nindia menghentikan tawanya. Suaranya
seram, "Kau tahu, para pemuda itu untuk kubunuh, agar tidak menjadi hidung
belang macam suamimu. Dan bayi-bayi itu, aku pun membunuhi mereka. Aku senang
melihat darah dan tangis mereka...."
Seketika Ratih Ningrum melirik pu-
tranya yang masih pulas tidur. Jelas tidak mungkin Nindia tidak melakukan hal
yang sama terhadap Pranata Kumala. Oh, tidak! Jika itu sampai dilakukannya, dia
bersumpah akan menghirup darah Nindia!
Tahu-tahu Nindia terkekeh lagi.
"He... he... sebentar lagi itu akan kulakukan pada putramu, Ratih. Kau boleh
sak-sikan, bagaimana tangis dan darah anakmu!
Tentu sangat sedap didengar telinga!"
"Tidak, kau tidak boleh melakukan itu pada anakku!" seru Ratih Ningrum antara
ketakutan dan marah. "Ingat Nindia, ke mana pun kau pergi akan kucari kalau kau
berani melakukannya!"
"He... he... suatu hal yang tak mungkin. Karena setelah anakmu kubunuh, ganti
kau yang kubunuh!"
"Kau"!" Ratih Ningrum membelalak gusar. Dan membentak, "Lepaskan ikatanku
lepaskan! Kita bertanding secara kesa-tria!"
"Untuk apa aku susah payah melepaskan ikatanmu" Toh aku mudah membunuhmu...."
"Pengecut! Ternyata gelar Dewi Cantik Penyebar Maut hanyalah seorang iblis yang
pengecut?"
"Bangsat!" Nindia melayangkan tangannya. Lagi Ratih Ningrum ditamparnya. Kali
ini pipi itu memerah sekali. Dan amat sakit dirasakan Ratih Ningrum. Tetapi itu
semakin membuatnya gusar. Matanya melotot marah.
"Kau benar-benar pengecut! Kau hanya berani menamparku dalam keadaan terikat!"
Mata Nindia memancarkan sorot yang
menakutkan. Ratih Ningrum tidak takut.
Dia balas menentang tatapan itu. Dia ber-
harap, Nindia melupakan persoalan pu-
tranya. Tahu-tahu Nindia berbalik dan mengi-
baskan tangannya kebelakang.
Siingg! Selarik sinar merah melesat dari ke-
lima jarinya. Dan menghantam dinding gua hingga menimbulkan suara ledakan. Dan
dinding itu hancur berantakan.
Diam-diam Ratih Ningrum ngeri meli-
hatnya. Tetapi dia tetap tenang sambil menahan debar kengeriannya.
Nindia berbalik lagi.
"Tak sulit membunuhmu!" desisnya angker.
Lalu meninggalkan tempat itu dengan
kekehnya yang menakutkan.
Ratih Ningrum menghela nafas panjang,
agak lega. Nindia sekarang bukanlah Nindia yang dulu. Nindia sekarang telah
tumbuh menjadi seorang wanita yang ganas dan kejam, dan telengas menurunkan
tangan. Cinta memang membuat orang jadi mabuk
kepayang dan kadang kelabakan. Semua tak ada yang bisa mengubah cinta itu
kecuali orang itu sendiri. Dan Nindia tidak bisa merubahnya.
Dia tetap memendam cinta itu pada Ma-
dewa yang kini menjadi suami Ratih Ningrum. Dan karena cinta dia membuat petaka
berdarah ini, yang selalu memakan nyawa manusia.
Kata orang, cinta mengalahkan segala-
galanya. Dan kini terbukti, cinta menghilangkan cinta wanita Nindia Wanita yang
lemah lembut dan selalu menangis, kini menjelma menjadi wanita yang menggegerkan
seisi rimba persilatan. Wanita yang menjadi momok bagi siapa saja!
Tak terkecuali diri dan suaminya!
Entah kapan semua itu akan berakhir.
Hanya yang Kuasa yang tahu. Tetapi Nindia semakin seenaknya menjalankan terornya
tanpa ada berani yang menentang.
Di mana orang-orang golongan putih"
Mengapa mereka hanya berdiam saja" Belum lagi kalau nanti muncul orang-orang
golongan hitam yang membantu Nindia. Semakin kacau tentu dirasakan!
Dan semakin sulit dibasminya! Ratih
Ningrum pun bertanya-tanya di mana suaminya berada sekarang. Mungkinkah dia ke
perguruan Topeng Hitam" Entah kenapa Ratih Ningrum yakin suaminya akan ke sana.
Pasti orang-orang yang menyergapnya waktu itu meninggalkan jejak. Dan
menginginkan terjadinya salah paham antara suaminya dan orang-orang Topeng
Hitam. Siasat adu domba yang memecahkan!
Atau juga saat ini suaminya sudah di-
hadapkan kepada Raja akibat tuduhan ingin memberontak.
Ratih Ningrum menjadi pusing sendiri.
la melirik putranya masih tertidur.
Betapa nyenyaknya Pranata tidur, dan tidak tahu kalau maut setiap saat akan
datang. * * * 10 Malam merambat dengan perlahan. Awan
gelap menyelimuti bumi. Bertanda sebentar lagi akan turun hujan. Angin besar
sekali, menderu-deru. Dan menusuk kulit. Suasana hening dan dingin. Mencekam.
Perasaan seperti itu pun dirasakan
oleh Bupati Wrahatnala. Dia merasa sulit untuk memejamkan matanya. Berkali-kali
dia mencoba tidur tetapi mata itu, tetap tak mau terpejam.
Dia merasakan sekujur tubuhnya berke-
ringat. Ada ketegangan yang merayap perlahan, entah apa.
Diliriknya istrinya yang bernama Se-


Pendekar Bayangan Sukma 4 Dewi Cantik Penyebar Maut di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kar Jingga yang tidur di sisinya. Wajah Sekar Jingga cantik. Dan selalu
tersenyum. Dalam tidurnya pun dia tersenyum.
Walaupun Wrahatnala seorang bupati, sampai saat ini dia tidak punya istri selain
Sekar Jingga. Juga tidak punya selir! Dia memiliki dua orang putra. Tetapi saat
ini keduanya tidak berada di antara
mereka. Keduanya tengah berguru pada tempat yang berlain. Yang pertama di pegu-
nungan Lawu. Sedangkan yang satunya, di dataran Pantai Selatan.
Dan lagi-lagi Wrahatnala merasakan
ketegangan itu. Tahu-tahu ia bangkit. Keluar dari kamarnya. Dua orang pengawal
yang menjaga di depan kamarnya berbalik dan salah seorang bertanya, "Ada apa
gerangan tuanku Bupati keluar dari pera-
duan?" "Aku tidak tahu perasaanku tidak enak saja," kata Bupati seraya duduk di dekat
jendela. Menatap dua pengawal yang menjaga didepan kamarnya.
"Kalau boleh kami tahu, apa gerangan yang menyusahkan Paduka?"
"Aku sendiri tidak tahu. Aku merasakan sesuatu yang mengerikan akan menimpa
kita. Surya, tolong kau panggil orang-orang pilihan istana. Aku ingin
berbincang-bincang dengan mereka."
Nah, sampai disini tentu anda masih penasaran. Silakan anda simak episode be-
rikut : "Keris Naga Merah"
SELESAI Istana Kumala Putih 5 Jejak Di Balik Kabut Karya S H Mintardja Bloon Cari Jodoh 28
^