Pencarian

Titik Muslihat 1

Titik Muslihat Deception Point Karya Dan Brown Bagian 1


DECEPTION POINT Dan Brown Buku ini adalah karya fiksi. Semua nama, karakter, tempat, dan peristiwa adalah
hasil imajinasi penulis dan bersifat khayalan. Setiap kesamaan dengan peristiwa,
tempat, atau tokoh nyata, yang masih hidup maupun yang sudah mati, adalah
kebetulan belaka. CATATAN PENGARANG Delta Force, National Reconnaissance Office, dan Space Frontier Foundation
adalah organisasi nyata. Semua teknologi yang digambarkan dalam novel ini
benarbenar ada. "Jika dapat dipastikan kebenarannya, penemuan ini pastiakan menjadi wawasan yang
paling mencengangkan tentangalam semesta kita dan akan menguak misteri yangbelum
dipahami oleh ilmu pengetahuan sebelumnya. Implikasinyabegitu jauh dan
mengagumkan. Walaupun menjanjikan jawaban bagi beberapa pertanyaan paling
klasikyang dimiliki umat manusia, penemuan ini juga masih menyisakan beberapa
pertanyaan lain yang lebih fundamental."
- Presiden Bill Clinton, dalam konferensi pers setelah penemuan yang dikenal
sebagai ALH84001 pada 7 Agustus 1996
Thanks to: Tiraikasih Hanaoki Otoy Dimhad BBSC And many other people for ebook source....
Special Thanks to: Pengarang buku ini yang telah menghasilkan karya yang hebat
<<<<<<<<<<<<<<>>>>>>>>>>>>>
eBook ini hanya untuk pelestarian buku dari kemusnahan dan arsip digital untuk
pendidikan serta membiasakan budaya membaca untuk generasi penerus...
DILARANG MENGKOMERSIALKAN EBOOK INI!!
Belilah buku aslinya di toko terdekat
>>AXRA<< (2012) P R O L O G KEMATIAN, DI tempat yang terpencil seperti ini, dapat terjadi dalam berbagai
cara yang tak terhitung jumlahnya. Sebagai seorang geologis, Charles Brophy
mampu hidup di daerah liar yang menawan ini selama bertahun-tahun, namun tidak
ada yang mampu mempersiapkan dirinya untuk menghadapi takdir yang kejam dan aneh
seperti yang sebentar lagi akan menimpanya.
Ketika keempat anjing husky-nya menarik kereta luncur salju yang berisi
peralatan peraba geologis menyeberangi tundra, tiba-tiba saja anjing-anjing
tersebut mem-perlambat lari mereka dan menatap langit.
"Ada apa, Anak-anak?" tanya Brophy sambil turun dari kereta luncurnya.
Di antara kumpulan awan badai, sebuah helikopter bermesin ganda muncul dan
menurunkan ketinggiannya. Pesawat itu kemudian menyusuri puncak gunung bersalju
di sekitarnya dengan ketangkasan layaknya pesawat militer.
Ini aneh, pikir Brophy. Dia tidak pernah melihat helikopter di kawasan utara
yang terpencil ini. Helikopter tersebut mendarat lima puluh yard darinya,
menerbangkan butiran salju yang tajam di sekitar situ. Anjing-anjing Brophy
mendengking-dengking dan tampak waspada.
Ketika pintu helikopter bergeser terbuka, dua orang lelaki turun. Mereka
mengenakan pakaian berwarna putih yang sangat tebal, masing-masing bersenjatakan
sepucuk senapan, dan bergerak ke arah Brophy dengan cepat.
"Dr. Brophy?" seru seorang di antaranya.
Ahli geologi itu tercengang. "Bagaimana kautahu namaku" Siapa kalian?"
"Silakan keluarkan radiomu."
"Maaf" Aku tidak mengerti."
"Lakukan sajalah."
Dengan kebingungan, Brophy mengeluarkan radionya dari dalam mantel bulunya.
"Kami ingin kau mengirimkan pesan darurat. Turunkan fre-kuensi radiomu menjadi
seratus kilohertz." Seratus kilohertz" Saat itu Brophy betul-betul merasa bingung. Tidak ada yang
dapat menerima gelombang serendah itu. "Me-mangnya telah terjadi kecelakaan?"
Lelaki kedua mengangkat senapannya dan mengarahkan nya ke kepala Brophy. "Tidak
ada waktu untuk menjelaskan. Kerjakan saja!"
Dengan gemetar, Brophy mengatur frekuensi transmisi radio-nya.
Lelaki pertama menyerahkan sebuah kartu catatan dengan bebe-rapa baris kalimat
terketik di atasnya. "Kirimkan pesan ini. Sekarang."
Brophy melihat kartu itu. "Aku tidak mengerti. Informasi ini tidak benar. Aku
tidak - " Lelaki itu menekankan senapannya dengan keras di pelipis ahli geologi tersebut.
Suara Brophy terdengar gemetar ketika mengirimkan pesan aneh itu. "
Bagus," kata lelaki pertama. "Sekarang masuk ke helikopter. Bawa anjing-anjingmu
juga." Di bawah todongan senapan, Brophy mengat ur anjinganjingnya yang enggan bergerak
itu dan juga kereta luncurnya, menaiki jalur landai menuju bagian kargo heli-
kopter. Begitu mereka sudah masuk, helikopter tersebut langsung mengudara dan
membelok ke arah barat. "Siapa kalian?" tanya Brophy. Berada di bawah todongan senjata untuk melakukan
sesuatu yang tidak dimengerti dan dipaksa menaiki helikopter asing menuju entah
ke mana membuat keringatnya mulai muncul di balik mantel bulunya. Dan apa arti
pesan tadi! Orang-orang itu tidak berkata apa-apa.
Ketika helikopter terbang semakin tinggi, angin mulai me-mukul-mukul melalui
pintu yang terbuka. Anjing-anjing husky Brophy, yang masih terpasang pada kereta
luncurnya, mulai mendengking-dengking lagi.
"Paling tidak, tutuplah pintu itu," pinta Brophy. "Kau tidak lihat kalau anjing-
anjingku ketakutan?"
Orang-orang itu tidak menjawab.
Ketika helikopter itu naik hingga ketinggian empat ribu kaki, pesawat tersebut
membelok tajam melewati serangkaian jurang es dan celah-celah curam. Tiba-tiba,
kedua lelaki asing itu berdiri. Tanpa banyak bicara, mereka mencengkeram kereta
luncur yang bermuatan berat itu dan mendorongnya keluar pintu helikopter yang
terbuka. Brophy menyaksikan dengan ketakutan ketika anjing -anjingnya yang
berusaha melawan dengan sia-sia itu tertarik kereta luncur yang berat. Dalam
sekejap hewan-hewan itu menghilang, terseret sambil melolong-lolong, melayang
keluar dari helikopter. Brophy langsung berdiri sambil berteriak ketika kemudian kedua lelaki itu juga
mencengkeramnya. Mereka menggiring nya ke dekat pintu. Dengan rasa takut yang
amat sangat, Brophy mengibaskan lengannya dan berusaha menepis tangan -tangan
kuat yang mendorongnya ke luar tanpa ampun.
Tapi tidak ada gunanya. Beberapa saat kemudian, Brophy sudah jatuh ke arah
jurang di bawahnya. 1 RESTORAN TOULOS, yang berdekatan dengan Capitol Hill, menjagokan menu yang
secara politis tidak benar: daging anak lembu yang lunak dan carpaccio kuda.
Walau demikian, restoran tersebut adalah tempat makan pagi yang strategis meski
ironis bagi para politisi tertentu yang saat ini sedang berkuasa di Washington.
Pagi ini restoran Toulos ramai - bunyi riuh dentingan sendok-garpu dan pisau dari
perak, mesin pembuat espresso, dan percakapan melalui ponsel.
Sang maitre d' sedang menyesap Bloody Mary paginya secara diam-diam ketika
seorang perempuan memasuki restoran. Sang maitre d' kemudian memandang perempuan
itu sambil melayangkan senyuman terlatihnya.
"Selamat pagi. Bisa saya bantu?"
Penampilan perempuan itu menarik. Dia berusia pertengah an tiga puluh tahun,
mengenakan celana panjang flanel berlipit berwarna kelabu, blus berwarna gading
rancangan Laura Ashley, dan sepatu gaya klasik dengan hak datar. Pembawaannya
tegak dengan dagu terangkat sedikit sehingga tidak mengesankan kesombongan,
hanya keteguhan pendirian. Rambutnya berwarna cokelat muda dan ditata dalam gaya
yang paling populer di Washington: gaya seorang "wanita penyiar" dengan
gelombang lembut dan indah di bagian bawah dan menyentuh bahunya ... cukup
panjang untuk dikatakan seksi, namun cukup pendek untuk mengingatkan bahwa
mungkin saja dia lebih pandai dibandingkan Anda.
"Aku agak terlambat," perempuan itu berkata dengan nada datar. "Aku ada janji
makan pagi bersama Senator Sexton."
Tiba-tiba sang maitre d' merasa tergelitik. Senator Sedgewick Sexton. Senator
itu adalah pelanggan restoran ini dan sekarang dia merupakan salah satu lelaki
yang paling terkenal di negeri ini. Minggu lalu, setelah mengalahkan secara
telak kedua belas calon presiden dari partai Republik pada Super Tuesday, (Hari
Selasa di awal bulan Maret dalam tahun pemilihan presiden, di mana hampir
seluruh negara bagian di AS mengadakan pemilihan awal calon presiden secara
serentak - penerjemah.) sang senator jelas dicalonkan partainya sebagai kandidat
Presiden Amerika Serikat. Banyak orang percaya bahwa sang senator memiliki
kesempatan besar untuk mere but Gedung Putih dari presiden saat ini dalam pemilu
di musim gugur yang akan datang. Akhir-akhir ini wajah Sexton muncul di setiap
majalah nasional, dan slogan-slogan kampanyenya tertempel di seluruh Amerika:
"Hentikan penghamburan uang. Mulailah perbaikan. "
"Senator Sexton sudah ada di tempat duduknya," ujar sang maitre d'.
"Dan nama Anda?"
"Rachel Sexton. Putrinya."
Bodohnya aku, pikir lelaki itu. Kemiripan mereka jelas terlihat. Perempuan itu
memiliki mata setajam mata sang senator dan pembawaan yang halus - aura ketabahan
yang terlatih dari seorang bangsawan. Jelas, wajah tampan sang senator merupakan
warisan turun -temurun, walau Rachel Sexton tam paknya menyan dang keunggulan
tersebut dengan keanggunan dan kerendahan hati yang seharusnya dicontoh ayahnya.
"Kami senang Anda berkunjung ke sini, Ms. Sexton." Ketika sang maitre d'
membimbing putri sang senator itu melintasi ruang makan, dia merasa malu dengan
lirikan para lelaki di ruangan tersebut yang mengikuti tamunya ... beberapa di
antaranya mengerling diam-diam, namun yang lainnya tampak lebih terang
-terangan. Hanya segelintir perempuan yang makan di Toulos dan lebih sedikit
lagi yang terlihat seperti Rachel Sexton, sehingga kunjungannya kali ini menarik
minat laki-laki yang makan di sana.
"Tubuh yang indah," bisik salah seorang tamu. "Sexton sudah punya istri baru?"
"Itu putrinya, bodoh," jawab yang lainnya.
Lelaki itu terkekeh. "Seperti tidak kenal Sexton saja. Dia mungkin akan
menidurinya juga." KETIKA RACHEL tiba di depan meja ayahnya, sang se nator sedang menggunakan
ponselnya dan berbicara dengan lantang tentang keberhasilannya baru-baru ini.
Dia menatap Rachel sekilas dan kemudian mengetuk jam tangan Cartiernya untuk
mengingatkan putrinya bahwa dia terlambat.
Aku juga rindu padamu, Ayah, kata Rachel, sinis. Sesungguhnya nama depan ayahnya
adalah Thomas, tetapi dia kemudian menggunakan nama tengahnya sejak lama. Rachel
menduga itu karena ayahnya menyukai nama depan dan nama belakang dengan huruf
awal yang sama seperti orang-orang terkenal itu. Senator Sedgewick Sexton,
begitulah namanya se karang. Lelaki itu berambut perak, seorang politisi yang
juga ber-"lidah perak" alias pintar bicara, dan diberkahi dengan wajah cerdik
layaknya pemeran dokter dalam opera sabun. Peran tersebut sepertinya cocok
mengingat bakatnya yang pandai menirukan karakter orang lain.
"Rachel!" Ayahnya kemudian mematikan ponselnya dan berdiri untuk mencium pipi
putrinya. "Hai, Ayah." Rachel tidak membalas ciuman ayahnya. "Kau tampak letih."
Yah, mulai lagi deh, katanya dalam hati. "Aku menerima pesanmu. Ada apa?"
"Memangnya aku tidak boleh mengajak putriku keluar untuk makan pagi?"
Rachel sudah tahu sejak lama, ayahnya jarang sekali minta ditemani olehnya
kecuali jika ada maksud tersembunyi.
Sexton menyesap kopinya. "Jadi, apa kabarmu?"
"Sibuk. Kulihat, kampanye Ayah berjalan baik sekali."
"Oh, jangan bicara soal pekerjaan." Sexton mencondongkan tubuhnya ke depan, dan
merendahkan suaranya. "Bagaimana dengan lelaki dari Departemen Luar Negeri yang
kukenalkan padamu itu?"
Rachel menarik napas dengan kesal. Sejak tadi dia sudah berusaha keras agar
tidak melirik jam tangannya. "Ayah, aku betul-betul tidak punya waktu untuk
meneleponnya. Dan kuharap Ayah akan berhenti berusaha untuk - "
"Kau harus menyempatkan diri untuk melakukan hal-hal penting, Rachel. Tanpa
cinta, semuanya akan tidak berarti."
Sejumlah kenangan terlintas dalam benak Rachel, tetapi dia memilih diam.
Sepertinya, berakting seperti orang besar tidak sulit bagi ayahnya. "Ayah, kau
bilang ingin bertemu denganku. Ayah bilang ada hal penting."
"Benar." Sexton menatap Rachel dengan lebih saksama. Rachel merasa sebagian
pertahanan dirinya meleleh di bawah tatapan tajam ayahnya, sehingga dia
mengutuki kekuatan lelaki itu dalam hati. Tatapan tajam adalah bakat sang
senator, bakat yang menurut Rachel mungkin akan membawa ayahnya ke Gedung Putih.
Pertama-tama ayahnya dapat membuat matanya dibanjiri air mata, sesaat kemudian
mat a tersebut akan menjadi jernih,seolah-olah pemiliknya membuka jendela jiwa
yang penuh ketulusan, sehingga membangkitkan kepercayaan pada semua orang. Semua
ini adalah tentang kepercayaan, begitu ayahnya selalu mengatakan. Walau sang
senator telah kehilangan kepercayaan putrinya bertahun tahun yang lalu, dengan
cepat dia dapat memperoleh kepercayaan negerinya.
"Aku punya sebuah tawaran untukmu," kata Senator Sexton.
"Biar aku tebak," sahut Rachel sambil berusaha membangun kembali ketenangannya.
"Seorang duda-cerai sedang mencari istri yang masih muda?"
"Jangan bercanda, Sayang. Kau sendiri sudah tidak semuda itu..
Rachel merasa hatinya menjadi ciut seperti yang sering dirasakannya setiap kali
bertemu dengan ayahnya. "Aku ingin memberimu sekoci penyelamat," kata sang senator.
"Aku tidak merasa sedang tenggelam."
"Kau memang tidak sedang tenggelam. Presiden yang sedang tenggelam. Kau harus
terjun meninggalkan kapal itu sebelum terlambat."
"Kita sudah pernah membicarakan ini, bukan?"
"Pikirkan masa depanmu, Rachel. Kau bisa bekerja untukku."
"Kuharap itu bukan alasan Ayah mengajakku makan pagi."
Kesan tenang di wajah sang senator berubah walau sedikit sekali. "Rachel,
memangnya kamu tidak tahu bahwa dengan bekerja pada Presiden, kau memberikan
citra buruk kepadaku" Dan kepada kampanyeku?"
Rachel mendesah. Dia dan ayahnya sudah pernah m embicarakan hal ini. "Ayah, aku
tidak bekerja pada Presiden. Aku bahkan belum pernah berjumpa dengannya. Aku
bekerja di Fairfax."
"Dalam politik, kesan sangat penting, Rachel. Kau terkesan bekerja untuk
Presiden." Rachel menghela napas dan berusaha untuk tetap tenang. "Aku sudah berjuang
terlalu keras untuk mendapatkan pekerjaan ini, Ayah. Aku tidak akan berhenti."
Mata sang senator menyipit. "Kautahu, kadang-kadang sifat keras kepalamu itu
betul-betul - " "Senator Sexton?" Seorang wartawan muncul di samping meja mereka.
Dengan cepat sikap sang senator melunak. Rachel mengerang dalam hati dan
mengambil sepotong croissant dari sebuah keranjang kecil di atas meja.
"Ralph Sneeden," kata wartawan itu. "Washington Post.
Boleh saya mengajukan beberapa pertanyaan?"
Sang senator tersenyum, lalu mengusap mulutnya dengan selembar serbet. "Dengan
senang hati, Ralph. Singkat saja, ya. Saya tidak mau kopi saya dingin."
Si wartawan hanya tertawa. "Tentu saja, Pak." Lalu dia mengeluarkan sebuah alat
perekam kecil dan menyalakannya. "Senator, iklan kampanye Anda di televisi
menuntut pengesahan hukum untuk memastikan persamaan upah kerja bagi
perempuan ... demikian juga pemotongan pajak bagi keluargakeluarga muda.
Dapatkah Anda memberikan pernyataan ten tang alasan tuntutan Anda itu?"
"Tentu. Saya hanya seorang pengagum fanatik perempuan yang ulet dan keluarga
yang kuat." Rachel benar-benar tersedak dengan croissant-nya.
"Lalu mengenai topik keluarga," lanjut wartaw an itu, "Anda berbicara banyak
tentang pendidikan. Anda mengusulkan pemotongan anggaran yang tinggi dan
kontroversial untuk dialokasikan sebagai tambahan bagi sekolah -sekolah negeri."
"Saya percaya bahwa anak-anak merupakan masa depan kita."
Rachel tidak dapat percaya ayahnya begitu noraknya sehingga harus mengutip syair
lagu-lagu pop. "Yang terakhir, Pak," kata si wartawan. "Menurut jajak pendapat, perolehan angka
Anda melonjak tinggi selama beberapa minggu terakhir ini. Presiden pasti merasa
khaw atir. Anda memiliki pendapat tentang keberhasilan Anda baru-baru ini?"
"Saya kira itu ada hubungannya dengan kepercayaan. Rakyat Amerika mulai melihat


Titik Muslihat Deception Point Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bahwa Presiden tidak dapat dipercaya untuk membuat keputusan yang kuat bagi
bangsa ini. Pengeluaran negara yang tidak terkendali membuat hutang menjadi
semakin bertumpuk setiap hari, dan rakyat Ame rika mulai sadar bahwa sudah
saatnya mereka berhenti me ngeluarkan uang dan memperbaiki keadaan."
Seperti mengakhiri retorika ayahnya, penyeranta di dalam tas Rachel berbunyi.
Biasanya, suara alat elektronik itu mengganggunya, namun kali ini suaranya
terdengar sangat merdu. Sang senator melotot marah ke arah Rachel karena merasa terganggu.
Rachel merogoh-rogoh tasnya untuk mencari penyerantanya, lalu menekan kode yang
terdiri atas lima digit untuk memastikan bahwa dialah yang memegang penyeranta
itu. Bunyi penyeranta itu berhenti, dan lampu LCD-nya mulai berkedip. Dalam lima
belas detik, dia akan menerima sebuah pesan dari jalur aman.
Sneeden tersenyum pada sang senator. "Putri Anda pasti orang yang sangat sibuk.
Senang melihat Anda berdua masih menyisipkan acara makan bersama dalam jadwal
Anda yang padat." "Seperti yang saya katakan tadi, keluarga selalu nomor satu."
Sneeden mengangguk, dan kemudian tatapannya mengeras. "Boleh saya bertanya, Pak.
Bagaimana Anda dan putri Anda mengatasi konflik kepentingan di antara Anda
berdua?" "Konflik?" Senator Sexton menegakkan kepalanya dengan wajah polos untuk
menunjukkan ekspresi kebingungan. "Mak-sudmu konflik apa?"
Rachel melirik ayahnya dan merasa jijik dengan sikap muna-fik seperti itu. Dia
tahu dengan pasti, ke mana arah semua ini. Wartawan sialan, pikir Rachel.
Setengah dari mereka merupakan orang-orang bayaran untuk kepentingan politik
tertentu. Pertanyaan-pertanyaan wartawan itu disebut para jurnalis sebagai
pertanyaan buah anggur - sebuah pertanyaan yang terlihat sulit tetapi sebenarnya
hanya merupakan skenario demi keuntungan sang senator sendiri - sebuah pukulan
lob lambat yang dapat dikembalikan ayahnya dengan smash ke bidang lawan untuk
menjernihkan beberapa hal tertentu.
"Begini, Pak ...." Si wartawan terbatuk, berpura-pura merasa tidak enak karena
pertanyaannya tadi. "Pertentangan karena putri Anda bekerja pada lawan politik
Anda." Tawa Senator Sexton meledak, dan dengan cepat mengaburkan pertanyaan itu.
"Ralph, pertama-tama, Presiden dan saya bukan lawan politik. Kami hanyalah dua
orang patriot yang memiliki dua gagasan berbeda tentang bagaimana membangun
negara yang kami cintai ini."
Si wartawan berseri-seri wajahnya. "Lalu yang kedua?" "Kedua, putri saya tidak
bekerja untuk Presiden. Rachel hanya bekerja pada komunitas inteiijen. Dia
mengunipulkan laporan-laporan inteiijen dan mengirimkannya ke Gedung Putih. Itu
bukan jabatan yang terlalu penting." Sang senator berhenti sejenak dan menatap
Rachel. "Aku juga tidak yakin kau sudah pernah bertemu dengan Presiden, ya kan,
Sayangku?" Rachel menatap ayahnya dengan mata melotot.
Penyeranta itu berbunyi lagi, sehingga tatapan Rachel berpindah pada pesan yang
muncul di layar LCD. - RPT DIRNRO STAT - Rachel mengartikan pesan itu dengan cepat, lalu mengerutkan keningnya. Pesan itu
tidak terduga, dan jelas merupakan kabar buruk. Tapi paling tidak dia memiliki
alasan untuk pergi sekarang.
"Bapak-bapak," katanya, "saya sangat menyesal, tetapi saya harus pergi. Saya
terlambat bekerja." "Ms. Sexton," ujar wartawan itu dengan cepat, "sebelum pergi, dapatkah Anda
memberikan komentar tentang kabar angin bahwa Anda diundang makan pagi ini untuk
membicarakan kemungkinan Anda meninggalkan kedudukan Anda sekarang demi kampanye
ayah Anda?" Rachel merasa seolah-olah seseorang telah menyiramkan kopi panas ke wajahnya.
Dia betul-betul tidak siap menerima per-tanyaan itu. Rachel menatap ayahnya dan
merasakan, dari seringai sang ayah, bahwa pertanyaan wartawan itu telah diatur.
Dia sangat ingin naik ke atas meja dan menusuk ayahnya dengan garpu.
Si wartawan menyodorkan perekamnya ke arah wajah Rachel. "Miss Sexton?"
Rachel menatap mata wartawan itu dengan tajam. "Ralph, atau siapa pun namamu,
dengar ini baik-baik: Aku tidak punya niat meninggalkan pekerjaanku untuk
bekerja pada Senator Sexton, dan jika kau memutar balik pernyataanku, kau akan
memerlukan pencungkil sepatu untuk mengeluarkan perekam ini dari anusmu."
Mata wartawan itu terbelalak. Dia lalu mematikan pere kamnya sambil diam-diam
tersenyum. "Terima kasih, Anda berdua." Kemudian dia menghilang.
Rachel segera menyesali luapan kegusarannya tadi. Dia rupa-nya telah mewarisi
sikap buruk ayahnya, dan mungkin karena itulah dia membenci ayahnya. Bagus,
Rachel. Sangat bagus. Ayahnya melotot ke arahnya dengan tatapan tidak setuju. "Kau betul-betul harus
belajar bersikap lebih baik."
Rachel mulai mengumpulkan barang-barangnya. "Pertemuan ini sudah selesai."
Tampaknya urusan sang senator dengan putrinya itu juga sudah selesai. Dia lalu
mengeluarkan ponselnya untuk menele pon seseorang. "Dah, Sayang. Mampirlah ke
kantorku seringsering. Dan menikahlah! Ingat, kau sudah 33 tahun sekarang."
"Tiga puluh empat," sergah Rachel. "Sekretaris Ayah saja ingat."
Senator Sexton berdecak dengan nada menyesal. "Tiga puluh empat. Hampir jadi
perawan tua. Kautahu, ketika aku berusia 34, aku sudah - "
"Menikahi Ibu dan berselingkuh dengan tetangga?" Katakata itu terucap lebih
keras dari yang dimaksudkan sehingga merusak ketenangan di restoran itu. Para
tamu yang duduk di dekat mereka menoleh ke arah ayah dan anak ini.
Senator Sexton memandangnya dengan dingin, sehingga Rachel merasa ada dua pedang
es kristal yang menancap di tubuhnya. "Berhati-hatilah kau, Nona."
Rachel beranjak menuju pintu. Tidak, berhati-hatilah kau, Senator.
2 TIGA ORANG lelaki duduk diam-diam di dalam tenda badai Therma Tech mereka. Di
luar, angin sedingin es menamparnampar tenda mereka, seakan berusaha mencabutnya
dari tanah tempatnya bertambat. Tidak seorang pun dari mereka yang peduli;
mereka semua pernah mengalami keadaan yang jauh lebih berbahaya dari saat ini.
Tenda mereka berwarna putih, didirikan pada cerukan yang dangkal, dan tidak
terlihat. Peralatan komunikasi, transportasi, dan persenjataan mereka semuanya
serba mutakhir. Nama kode pemimpin kelompok itu adalah Delta-One. Lelaki itu
berotot dan cekatan dengan sorot mata sesuram keadaan lingkungan tempatnya
ditugaskan kali ini. Jam tangan chronograph di pergelangan tangan Delta-One mengeluarkan suara bip
yang tajam. Suara itu berbunyi tepat bersamaan dengan bunyi yang dikeluarkan jam
tangan dua anggota lainnya dalam kelompok itu. Tiga puluh menit telah berlalu
lagi. Inilah waktunya. Lagi. Seperti gerak refleks, Delta-One meninggalkan kedua rekannya dan melangkah ke
luar tenda, memasuki kegelapan dan angin yang memukul-mukul.Dia menatap
cakrawala yang di-terangi sinar rembulan dengan teropong infra merah-nya.
Seperti biasa, dia memusatkan perhatiannya pada ba-ngunan itu. Bangunan tersebut
terletak seribu meter jauhnya - sebuah bangunan raksasa dan luar biasa yang
menjulang di atas dataran tandus. Dia dan kelompoknya telah mengamatinya selama
sepuluh hari, sejak bangunan itu berdiri. Delta-One yakin informasi dari dalam
sana akan mengubah dunia. Sudah banyak nyawa melayang untuk melindungi informasi
tersebut. Pada saat itu, segalanya tampak tenang di luar bangunan itu. Namun, pertanyaan
yang sesungguhnya adalah apa yang terjadi di dalam bangunan tersebut. Delta-One
kembali masuk ke dalam tenda dan berkata kepada kedua rekannya. "Waktunya
mendekat." Kedua lelaki itu mengangguk. Lelaki yang lebih jangkung, Delta-Two,
membuka sebuah komputer laptop, kemudian menya-lakannya. Sambil menempatkan
dirinya di depan layar, Delta-Two meletakkan tangannya di atas joystick mekanis
dan menyentak-kannya cepat. Seribu meter dari situ, tersembunyi jauh di dalam
gedung itu, sebuah robot pengintai seukuran seekor nyamuk menerima perintahnya
dan kemudian meloncat hidup.
3 RACHEL SEXTON masih merasa marah ketika mengemudikan Integra putihnya menuju
Leesburg Highway. Pepohonan maple yang masih gundul di kaki bukit Falls Church,
berdiri menjulang ke langit di bulan Maret dengan hawanya yang kering. Namun
pemandangan yang penuh kedamaian itu tidak dapat meredakan kemarahan Rachel.
Kemenangan ayah nya dalam jajak pendapat pasti membuat sang senator sedikit
bangga, dan sepertinya hal itu hanya menyulut kepongahan nya.
Kebohongan ayahnya membuat Rachel menjadi lebih sakit hati lagi, mengingat
lelaki itu kini merupakan satu-satunya keluarga yang tersisa baginya. Ibu Rachel
telah meninggal tiga tahun lalu, sebuah kehilangan yang sangat menghancurkan
diri-nya sehingga kesedihannya masih terasa di hatinya. Satu-satunya yang dapat
menenteramkan hatinya adalah, dia tahu bahwa kematian itu membebaskan ibunya
dari derita mendalam atas perkawinannya yang tidak bahagia dengan sang senator.
Dia sadar, pemikiran itu cukup ironis.
Penyeranta Rachel berbunyi lagi, mengembalikan perhatiannya pada jalan di
hadapannya. Pesan yang masuk sama dengan pesan sebelumnya.
- RPT DIRNRO STAT - Report to the director of NRO stat. Lapor ke direktur NRO segera. Rachel
menghela napas dengan tidak sabar. Ya, aku segera datang. Huh!
Dengan perasaan yang semakin tidak menentu, Rachel melaju menuju jalan keluar
tol yang biasa diambilnya, lalu membelokkan mobilnya memasuki jalan khusus,
kemudian berhenti di depan pos keamanan yang dijaga para petugas bersenjata.
Tempat ini beralamat di 14225 Leesburg Highway dan merupa-kan salah satu tempat
yang paling rahasia di Amerika.
Ketika penjaga memindai mobil Rachel untuk mencari penya-dap yang mungkin ada,
Rachel menatap bangunan raksasa yang tampak di kejauhan. Kompleks seluas satu
juta kaki persegi itu berdiri dengan megah di tengah -tengah hutan seluas 68
ekar, persis di luar Washington D.C., di Fairfax, Virginia. Bagian depan
bangunan itu terdiri atas dinding tebal dengan kaca satu arah yang memantulkan
cakram satelit tentara, antena-antena, dan peralatan keamanan yang terdapat di
sekelilingnya. Dua menit kemudian, Rach el memarkir mobilnya lalu menyeberangi halaman yang
terawat ke arah pintu masuk utama, di mana terletak sebuah batu granit dengan
tulisan: NATIONAL RECONNAISSANCE OFFICE (NRO) Dua orang anggota marinir bersenjata
berdiri di kedua sisi pintu putar tahan peluru dan menatap lurus ke depan ketika
Rachel berlalu di hadapan mereka. Rachel merasakan sensasi yang sama setiap kali
dia berjalan melewati pintu depan itu ... dia merasa seperti memasuki perut
raksasa yang sedang tidur.
Di dalam ruang lobi dengan langit-langit ber-bentuk kubah, Rachel merasakan gema
samar-samar dari bisik bisik di sekitarnya, seolah kata-kata itu berasal dari
kantor-kantor yang teletak di lantai atas. Di lobi itu terdapat sebuah mosaik
keramik besar yang bertuliskan moto NRO:
MEMASTIKAN SUPERIORITAS INFORMASI AS DI TINGKAT GLOBAL, SELAMA MASA DAMA1 DAN
PERANG. Dinding-dinding di sini dihiasi dengan foto-foto besar yang menggambarkan
peluncuran roket-roket, peresmian kapal-kapal selam, dan instalasi-instalasi
pesawat roket tempur - pencapaian -pencapaian luar biasa yang hanya dapat
dirayakan di dalam gedung ini.
Seperti biasanya, pada saat ini Rachel merasa masalahmasalah dari dunia luar
mulai memudar di belakangnya. Dia sekarang sedang memasuki dunia bayang-bayang.
Sebuah dunia di mana masalah-masalah bergemuruh masuk seperti kereta api barang,
sementara solusi-solusi disebarkan ke luar dalam bentuk bisikan yang hampir
tidak terdengar. Ketika Rachel tiba di tempat pemeriksaan terakhir, dia bertanya-tanya masalah
seperti apa yang telah menyebabkan penyerantanya berdering dua kali dalam tiga
puluh menit terakhir tadi.
"Selamat pagi, Ms. Sexton." Penjaga itu tersenyum ketika Rachel mendekati ambang
pintu dari baja. Rachel membalas senyuman itu ketika penjaga tersebut
mengulurkan korek dengan ujung dari kapas.
"Anda tahu peraturannya," kata penjaga itu.
Rachel mengambil korek yang masih tersegel itu, lalu membuka penutup plastiknya.
Kemudian, dia memasukkan bagian ujung yang berkapas itu ke dalam mulutnya
seperti memasukkan sebuah termometer. Dia meletakkannya di lidah nya selama dua
detik. Kemudian, sambil mencondongkan tubuhnya ke depan, dia membiarkan penjaga
tadi mengambil benda itu. Si penjaga memasukkan korek dengan ujung yang sudah
basah tadi ke dalam sebuah celah sempit di sebuah mesin yang berada di
belakangnya. Hanya membutuhkan waktu empat detik bagi mesin tersebut untuk
memastikan DNA dalam air liur itu cocok dengan DNA Rachel. Lalu sebuah monitor
menyala dan menam -pilkan foto Rachel bersama dengan izin masuknya.
Penjaga tadi mengedipkan matanya. "Tampaknya Anda masih tetap yang dulu."
Setelah itu, si penjaga menarik korek tadi dari mesin lalu menjatuhkannya ke
dalam sebuah lubang, dan korek itu pun langsung terbakar. "Semoga harimu menye
nang-kan," katanya memberikan salam. Lalu penjaga itu menekan sebuah tombol, dan
sebuah pintu besi berukuran besar pun terbuka di hadapan Rachel.
Ketika Rachel berjalan melewati koridor-koridor sibuk yang simpang-siur di
depannya, dia merasa heran sendiri. Bahkan setelah enam tahun bekerja di sini,
dia masih saja merasa takut dengan betapa luasnya bidang operasi badan ini.
Badan ini mencakup enam instalasi AS lainnya, mempekerjakan lebih dari sepuluh
ribu agen, dan biaya operasinya lebih dari sepuluh miliar dolar.
Dalam kerahasiaan yang sangat rapi, NRO membangun dan memelihara sebuah gedung
yang mengagumkan. Dalam gedung tersebut tersimpan peralatan teknologi mata-mata
yang canggih, seperti alat penyusupan elektronik untuk menyadap seluruh dunia;
satelit pengintai; penanaman chip penyiaran dalam per-alatan telekomunikasi yang
dilakukan secara diam-diam; bahkan terdapat sebuah jaringan pendeteksi-maritim
global yang dikenal sebagai Classic Wizard - sebuah jaringan rahasia dari 1.456
hydro-phone yang ditanam di dasar laut di seluruh dunia, dan mampu memantau
pergerakan kapal-kapal di mana pun di planet ini.
Teknologi NRO tidak hanya membantu AS memenangkan konflik-konflik milker, tetapi
juga memberikan data-data saat damai secara terus-menerus kepada badan-badan
seperti CIA, NSA, dan Departemen Pertahanan, membantu mereka menumpas terorisme,
menemukan perusakan lingkungan, dan memberi-kan data yang dibutuhkan para
pembuat kebijakan untuk mem-buat keputusan yang tepat mengenai berbagai macam
hal. Rachel bekerja di tempat ini sebagai seorang "gister", pegawai yang bertugas
membuat intisari, atau pengurangan data, dengan menganalisis laporan yang rumit
dan kemudian meringkasnya menjadi laporan sepanjang sat u halaman. Rachel merasa
dirinya berbakat. Mungkin karena sering membuat ringkasan omong kosong Ayah,
pikirnya. Sekarang Rachel menduduki posisi gister kepala dan bertugas sebagai penghubung
intelijen ke Gedung Putih. Dia bertanggung jawab untuk memilah-milah semua
laporan intelijen harian NRO, memutuskan laporan mana yang relevan dengan
Presiden, meringkas laporan-laporan tersebut menjadi satu halaman, kemu-dian
meneruskan materi yang sudah tersaring itu kepada Penasihat Presiden untuk
bidang Keamanan Nasional. Dalam istilah NRO, pekerjaan Rachel Sexton adalah
"merakit barang jadi dan melayani sang pelanggan."
Walau pekerjaan itu sulit dan menuntut jam kerja pan jang, kedudukan tersebut
merupakan sebuah kehormatan tersendiri bagi Rachel dan merupakan cara untuk
menegaskan keman diriannya dari ayahnya. Senat or Sexton sudah berkalikali
menawarkan diri untuk membiayai hidupnya jika dia mau meninggalkan pekerjaannya
itu, tetapi Rachel tidak ingin menjadi tawanan keuangan bagi seorang lelaki
seperti Sedgewick Sexton. Ibunya merupakan saksi baginya mengenai apa yang akan
terjadi ketika seorang lelaki seperti ayahnya memegang terlalu banyak kendali.
Sekali lagi bunyi penyeranta Rachel bergema di dalam lorong berdinding pualam
itu. Lagi" Dia bahkan tidak merasa perlu memeriksa pesan yang masuk. Sambil bertanya-
tanya apa yang sedang terjadi, Rachel memasuki lift, melewati lantai ruang
kerjanya sendiri, dan langsung menuju ke lantai teratas.
4 MENYEBUT DIREKTUR NRO sebagai lelaki sederhana saja sudah berlebihan. Direktur
NRO, William Pickering, adalah seorang lelaki bertubuh kecil, berkulit pucat,
berwajah biasa-biasa saja sehingga mudah untuk dilupakan, botak, dan mata
berwarna kecoklatan, yang walaupun sedang melihat rahasia-rahasia negara yang
paling dalam sekalipun tampak seperti sepasang kolam dangkal saja. Walau begitu,
siapa saja yang bekerja di bawah Pickering san gat menghormatinya.
Kepribadiannya yang tenang dan filosofi-filosofi sederhananya sangat mele-genda
di NRO. Ketekunan yang tenang dari lelaki itu, di-gabungkan dengan pakaiannya
yang hanya jas hitam sederhana, membuatnya mendapat julukan "the Quaker."
Sebagai seorang ahli strategi yang pandai dan contoh dari efisiensi, the Quaker
mengelola divisinya dengan kejernihan yang tidak ada banding-nya. Mantranya:
"Temukan kebenaran dan bertindaklah atas dasar tersebut."
Ketika Rachel tiba di kantor atasannya, sang direktur sedang berbicara di
telepon. Rachel selalu terkejut pada penampilan direkturnya: William Pickering


Titik Muslihat Deception Point Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sama sekali tidak terlihat seperti seseorang yang cukup berkuasa untuk
membangunkan Presiden pada jam berapa pun.
Pickering meletakkan teleponnya dan melambai ke arah Rachel untuk menyuruhnya
masuk. "Agen Sexton, duduklah." Suaranya terdengar serak namun jernih.
"Terima kasih, Pak." Rachel lalu duduk.
Walau kebanyakan orang merasa tidak nyaman berada di dekat William Pickering
yang senang bersikap blak-blakan, Rachel sejak dulu selalu menyukai bosnya ini.
Lelaki ini betulbetul merupakan kebalikan dari ayahnya ... secara fisik tidak
meng-agumkan, sama sekali tidak karismatik, melaksanakan kewajiban-nya dengan
semangat patriotisme yang tidak mementingkan diri sendiri, dan menghindari
sorotan media yang sangat dicintai ayah Rachel.
Pickering melepas kacamatanya dan menatapnya. "Agen Sexton, kira-kira setengah
jam lalu Presiden meneleponku. Dia menyebutmu secara langsung."
Rachel mengubah posisi duduknya. Pickering terkenal tak suka berbasa-basi.
Sungguh sebuah topik pembuka yang hebat, pikir Rachel. "Saya harap bukan karena
ada masalah dengan salah satu ringkasan saya."
"Justru sebaliknya. Presiden berkata, Gedung Putih terkesan dengan pekerjaanmu."
Rachel menarik napasnya dengan perlahan. "Jadi, apa yang diinginkan Presiden?"
"Bertemu denganmu. Pribadi. Segera."
Kecemasan Rachel meningkat. "Pertemuan pribadi" Mengenai apa?"
"Pertanyaan yang sangat bagus. Presiden tidak mau menga-takannya padaku."
Sekarang Rachel merasa bingung. Merahasiakan informasi dari Direktur NRO sama
seperti menyembunyikan rahasia Vatikan dari Sri Paus. Lelucon dalam komunit as
intelijen adalah seperti ini: jika William Pickering tidak tahu tentang sesuatu,
maka sesuatu itu tidak ada.
Pickering berdiri dan berjalan di depan jendelanya. "Presiden memintaku
menghubungimu segera dan mengirimmu untuk bertemu dengannya."
"Sekarang?" "Presiden sudah mengirim kendaraan ... sudah menunggu di luar."
Rachel mengerutkan ken ingnya. Permintaan Presiden membuatnya tidak mampu untuk
menolaknya, tetapi kesan prihatin di wajah Pickering itulah yang membuatnya
khawatir. "Anda pasti merasa keberatan."
"Tentu saja!" Pickering kembali memperlihatkan perasaannya dengan jelas. "Waktu
yang dipilih Presiden untuk bertemu denganmu tampak tidak cerdas karena sangat
mudah terlihat maksudnya. Kau adalah putri dari lelaki yang kini sedang
menantangnya dalam berbagai jajak pendapat, dan sekarang dia memintamu untuk
bertemu secara pribadi" Menurutku ini sangat tidak pantas. Tidak diragukan lagi,
ayahmu pasti akan menyetujuinya," katanya seperti menyindir.
Rachel tahu, Pickering benar - bukan karena Rachel peduli pada apa yang dipikirkan
ayahnya. "Anda tidak mencurigai niat Presiden memanggil saya?"
"Sumpahku adalah memberikan dukungan intelijen kepada pemerintahan Gedung Putih
yang sedang menjabat, bukan menilai sikap politik mereka."
Jawaban khas Pickering, kata Rachel dalam hati. William Pickering dengan tegas
memandang para politisi sebagai tokoh-tokoh pemimpin temporer yang melintas
dengan cepat di atas papan catur, sementara pemain -pemain yang sesungguhnya
ada-lah orang-orang seperti Pickerin g sendiri - orang berpengalaman yang telah
cukup lama malang melintang di dunianya sehingga mengerti permainan tersebut
dengan beberapa sudut pandang tertentu. Pickering sering mengatakan, dua kali
masa pemerin-tahan di Gedung Putih masih belum cukup untuk mengerti kerumitan
yang sesungguhnya dari situasi politik global.
"Mungkin ini permintaan yang tidak berbahaya," ujar Rachel sambil berharap
Presiden cukup terhormat untuk tidak melaku-kan semacam aksi kampanye rendahan.
"Mungkin juga dia hanya membutuhkan pengurangan pada beberapa data sensitif."
"Tanpa bermaksud menyepelekanmu, Agen Sexton, Ge dung Putih memiliki akses ke
banyak pegawai gister jika mereka mem-butuhkannya. Kalau ini merupakan pekerjaan
internal Gedung Putih, Presiden seharusnya tahu yang lebih baik daripada hanya
menghubungimu. Dan kalau bukan, Presiden seharusnya tahu cara yang lebih baik
daripada meminta seorang aset NRO dan menolak untuk mengatakan padaku apa yang
dikehendakinya." Pickering selalu menganggap para pegawainya sebagai aset, sebuah gaya bicara
yang sering dianggap tidak berperasaan bagi banyak orang.
"Ayahmu sedang memenangkan momen politis," kata Pickering. "Memenangkannya
dengan nyaris telak. Gedung Putih pasti sedang panik sekarang." Dia mendesah.
"Politik adalah bisnis keputusasaan. Ketika Presiden meminta pertemuan rahasia
dengan putri saingannya, kukira tidak hanya ringkasan laporan intelijen yang ada
di dalam pikirannya."
Rachel merasa agak cemas. Firasat Pickering biasanya ada benarnya juga sehingga
tidak pantas untuk diabaikan. "Dan Anda khawatir Gedung Putih merasa cukup putus
asa sehingga harus melibatkan saya ke dalam pergaulan politis?"
Pickering tidak segera menjawab. "Aku tahu, kau tidak menutup-nutupi perasaanmu
kepada ayahmu, dan aku agak ragu kalau staf kampanye Presiden tidak mengetahui
celah tersebut. Menurutku, mereka mungkin ingin menggunakanmu untuk melawan
ayahmu." "Jadi, di mana saya harus tanda tangan?" kata Rachel dengan nada setengah
bercanda. Pickering terlihat tidak terkesan. la memandang Rachel dengan tajam. "Satu kata
peringatan, Agen Sexton. Kalau kau merasa masalah pribadimu dengan ayahmu akan
memperkeruh penilaianmu ketika berurusan dengan Presiden, aku menyarankan agar
kau menolak permintaan Presiden untuk bertemu."
"Menolak?" Rachel tersenyum lemah. "Saya jelas tidak bisa menolak Presiden."
"Kau tidak bisa," kata sang direktur, "tetapi aku bisa."
Pickering sedikit bergumam ketika berbicara tadi sehingga mengingatkan Rachel
akan alasan lain mengapa dia dijuluki "the Quaker." Walaupun William Pickering
bertubuh kecil, dia dapat menimbulkan gempa bumi politis jika dikhianati.
"Sebenarnya kekhawatiranku di sini sederhana saja," Pickering berkata. "Aku
memiliki tanggung jawab untuk melindungi orang-orang yang bekerja untukku, dan
aku tidak menghargai adanya kesan tersamar sekalipun bahwa ada anak buahku yang
mungkin digunakan sebagai pion dalam permainan politik."
"Jadi apa saran Anda?"
Pickering menghela napas. "Saranku, kau boleh bertemu dengannya, tapi jangan
menjanjikan apa-apa. Begitu Presiden memberi tahu apa pun yang ada di
pikirannya, telepon aku. Kalau aku merasa Presiden sedang menjalankan permainan
politis denganmu, akan kutarik kau keluar dengan cepat sehingga dia sendiri
tidak menyadari apa yang sedang terjadi. Percayalah kepadaku."
"Terima kasih, Pak." Rachel merasakan adanya aura pelindung dari sang direktur
yang sering ia harapkan dari ayahnya sendiri. "Tadi Anda bilang Presiden sudah
mengirimkan mobil ke sini?"
"Sebetulnya tidak persis sebuah mobil." Pickering mengerutkan wajahnya dan
menunjuk ke luar jendela.
Dengan ragu, Rachel mendekat dan melemparkan pandangan ke arah yang ditunjukkan
jari tangan Pickering. Sebuah helikopter PaveHawk MH-60G dengan hidungnya yang mancung sedang diparkir
di halaman rumput. Dikenal sebagai salah satu helikopter tercepat yang pernah
dibuat, Pave-Hawk ini dihias dengan lambang Gedung Putih. Pilotnya sedang
berdiri di dekat pesawat tersebut sambil melihat jam tangannya.
Rachel menoleh ke arah Pickering dengan pandangan tidak percaya. "Gedung Putih
mengirimkan sebuah PaveHawk untuk mengantarkanku ke D.C. yang hanya berjarak
lima belas mil?" "Sepertinya Presiden berharap kau terpesona atau terintimidasi." Pickering
menatap Rachel lurus ke matanya. "Kusarankan jangan kedua-duanya."
Rachel mengangguk. la merasakan kedua-duanya.
EMPAT MENIT kemudian, Rachel Sexton meninggalkan NRO dan masuk ke dalam
helikopter yang sedang menunggunya itu. Bahkan sebelum ia selesai memasang sabuk
pengaman, helikopter tersebut sudah melayang naik, dan meliuk tajam menyeberangi
hutan Virginia. Rachel memandang bayangan pepohonan di bawahnya dan merasakan
jantungnya berdetak dengan cepat. Denyut jantungnya akan berdetak lebih cepat
lagi seandainya ia tahu bahwa helikopter ini tidak akan pernah mencapai Gedung
Putih. 5 ANGIN SEDINGIN es memukul-mukul kain tenda Therma Tech, tetapi Delta-One hampir
tidak menghiraukannya. Dia dan Delta-Three sedang memusatkan perhatian pada
rekan mereka yang sedang mengoperasikan joystick dengan ketangkasan seorang ahli
bedah. Layar monitor di depan mereka menayangkan transmisi video langsung dari
sebuah kamera mini yang dipasang pada sebuah microbot, robotmikro.
Alat pengintaian yang luar biasa, pikir Delta-One sambil masih terkagum -kagum
setiap kali mereka mengaktifkannya. Akhir-akhir ini di dalam dunia mikromekanis,
fakta tampaknya sudah lebih maju dan mengalahkan fiksi.
Micro Electro Mechanical System (MEMS) atau microbot merupakan peralatan terbaru
dalam sistem pengintaian berteknologi tinggi. "Teknologi terbang di dinding,"
begitu mereka menyebutnya.
Walaupun robot-robot mikro yang dikendalikan dari jarak jauh terdengar seperti
fiksi ilmiah, pada kenyataannya robot-robot itu sudah ada sejak tahun 1990-an.
Majalah Discovery sudah menurunkan berita utama pada Mei 1997 tentang microbot,
dan mengulas model "terbang" dan "berenang." Robot-robot model "berenang", yang
berbentuk kapal selam mini seukuran butiran garam, dapat disuntikkan ke dalam
aliran darah manusia dengan cara seperti dalam film Fantastic Voyage. Sekarang
robot-robot ini digunakan di berbagai fasilitas medis tingkat tinggi untuk
membantu para dokter menjelajahi arteri dengan meng -gunakan kendali jarak jauh,
mengamati langsung melalui video transmisi yang dimasukkan ke dalam urat nadi,
dan menemukan penyumbatan arteri tanpa mengangkat sebilah pisau bedah pun.
Berlawanan dengan yang diperkirakan semula, membuat sebuah microbot model
terbang ternyata lebih mudah. Teknologi aerodinamis untuk membuat mesin itu
terbang sudah ada sejak pesawat Kittyhawk diciptakan, sedangkan teknologi
lainnya hanya-lah masalah meminiaturkan ukurannya. Microbot terbang yang
pertama, yang dirancang NASA sebagai alat eksplorasi tanpa awak untuk misi masa
depan ke Mars, berukuran beberapa inci lebih panjang. Sekarang, kemajuan dalam
teknologi-nano, benda-benda penyerap energi yang ringan, dan mikromekanis telah
membuat microbot menjadi kenyataan.
Terobosan yang sesungguh nya berasal dari bidang baru yang bernama biomimics
atau ilmu yang meniru makhlukmakhluk di alam. Ternyata capung miniatur merupakan
prototipe yang paling ideal bagi microbot terbang yang tangkas dan efisien.
Model PH2 yang sekarang sedang diterbangkan Delta-Two hanya memiliki panjang
satu sentimeter, atau kira-kira seukuran seekor nyamuk, dan menggunakan sepasang
sayap yang terbuat dari bahan silikon berbentuk daun yang tembus pandang dan di-
pasangkan dengan engsel, sehingga robot ini memiliki mobilitas dan efisiensi
yang tiada bandingnya ketika bergerak di udara.
Mekanisme pengisian ulang bahan bakar pada microbot merupakan teknologi
terobosan lainnya. Prototipe microbot yang pertama dapat mengisi-ulang
baterainya hanya dengan melayang-layang tepat di bawah sumber cahaya yang
terang. Tetapi cara ini tidak cocok bagi pengintaian diam -diam atau dalam peng-
gunaan di tempat gelap. Namun, prototipe yang lebih baru dapat mengisi-ulang
energinya hanya dengan berhenti beberapa inci di dekat sebuah medan magnet. Di
lingkungan modern seperti saat ini, medan magnet terdapat di mana-mana, seperti
di stopkontak, monitor komputer, motor listrik, speaker audio, dan ponsel,
sehingga robot ini tidak akan pernah kekurangan tempat untuk mengisi-ulang
baterainya karena dapat dilakukan hampir di mana pun. Begitu sebuah microbot
telah berhasil dituntun ke suatu tempat, robot tersebut dapat menyiarkan audio
dan video dalam jangka waktu yang nyaris tak terbatas. Sekarang, microbot PH2
milik Delta Force telah melakukan transmisi selama lebih dari satu minggu tanpa
mengalami ken-dala apa pun yang berarti.
SEPERTI SEEKOR serangga yang melayang-layang di dalam sebuah gudang besar,
sebuah microbot terbang tanpa suara di tengah -tengah ruangan bangunan tersebut.
Dengan pandangan setajam burung ke arah ruangan di bawahnya, microbot itu
terbang mengelilingi ruangan tanpa menimbulkan suara dan tanpa disadari orang-
orang di bawahnya - beberapa orang teknisi, ilmuwan, dan para ahli dalam berbagai
bidang studi yang tidak terbatas. Ketika PH2 berkeliling, Delta-One melihat dua
raut wajah yang dikenalnya sedang berbincang bincang. Mereka dapat menjadi
sumber informasi. Lalu DeltaOne meminta Delta-Two untuk menurunkan capung mereka
dan mendengarkan percakapan kedua orang tersebut.
Delta-Two segera mengatur pengendali dengan menyalakan sensor suara pada robot,
mengarahkan amplifier parabolis robot, dan mengurangi ketinggiannya hingga
menjadi sepuiuh kaki di atas kepala kedua ilmuwan tersebut. Transmisinya tidak
jelas, namun masih dapat ditangkap.
"Aku masih tidak dapat memercayainya," salah satu dari ilmuwan itu berkata.
Kesan kegairahan dalam suaranya masih belum berkurang sejak kedatangannya ke
tempat itu 48 jam yang lalu.
Lelaki yang diajaknya bicara jelas memiliki antusiasme yang sama. "Selama
hidupmu ... pernahkah kau berpikir akan menyak-sikan hal seperti ini?"
"Tidak pernah," jawab ilmuwan itu sambil berseri-seri. "Ini semua seperti mimpi
yang mengagumkan." Delta-One sudah cukup mendengar. Jelas, semua yang ber-langsung di dalam sana
berjalan sesuai dengan yang diharap-kannya. Delta-Two mengendalikan microbot
tersebut menjauh dari percakapan itu dan menerbangkannya kembali ke tempat
persembunyiannya. Delta-Two memarkir robot mini itu di tempat yang tidak
terdeteksi, di dekat sebuah silinder generator listrik. Baterai PH2 mulai
mengisi-ulang untuk misi berikutnya.
6 RACHEL SEXTON sedang tenggelam dalam lamunannya menge-nai peristiwa aneh yang
terjadi pagi ini ketika PaveHawk yang ditumpanginya membelah langit. Dan setelah
helikopter itu membubung dan melintasi Chesapeake Bay, barulah ia menya-dari
bahwa mereka sedang menuju ke arah yang salah. Ke-bingungan yang awalnya ia
rasakan segera berubah menjadi was-was.
"Hey!" Rachel berseru pada si pilot. "Apa yang kau lakukan?" Suaranya hampir
tidak terdengar karena ditimpali suara rotor helikopter yang menderu-deru. "Kau
seharusnya membawaku ke Gedung Putih!"
Si pilot menggelengkan kepalanya. "Maaf, Bu. Presiden sedang tidak berada di
Gedung Putih pagi ini."
Rachel mencoba mengingat -ingat apakah Pickering tadi menyebut -nyebut Gedung
Putih secara khusus atau dia sendiri saja yang mengiranya demikian. "Jadi,
Presiden sedang ada di mana?"
"Anda akan bertemu dengannya di tempat lain."
Kurang ajar. "Di tempat lain di mana?" "Tidak jauh dari sini."
"Bukan itu yang kutanyakan." "Enam belas mil lagi."
Rachel mengumpat dalam hati. Lelaki ini seharusnya menjadi politisi saja. "Apa
kau pintar menghindari peluru sebaik kau menghindari pertanyaan?"
Pilot itu tidak menjawab.
HELIKOPTER ITU membutuhkan kurang dari enam menit untuk melintasi Chesapeake.
Ketika daratan sudah terlihat lagi, si pilot membelokkan pesawat nya ke arah
utara dan menelusuri sebuah semenanjung sempit. Di sana Rachel melihat
serangkaian landasan pacu dan gedung-gedung militer. Pilot itu menurunkan
helikopternya ke tempat tersebut, dan kemudian Rachel baru menyadari tempat apa
itu. Enam tem pat peluncuran dan menara roket yang sudah hangus sudah menjadi
petunjuk yang bagus, tetapi jika itu tidak cukup, atap salah satu gedung
tersebut dicat dengan huruf besar dan memberi petunjuk yang gamblang: WALLOPS
ISLAND. Pulau Wallops merupakan tempat peluncuran roket NASA yang paling tua. Hingga
kini pulau itu masih digunakan untuk meluncurkan satelit dan menguji pesawat-
pesawat percobaan. Pulau Wallops adalah basis NASA yang jauh dari perhatian
banyak orang. Presiden sedang berada di Pulau Wallops" Ini tidak masuk akal.
Pilot helikopter itu mengarahkan helikopternya menuju rangkaian tiga landasan
pacu yang membujur di sepanjang semenanjung sempit itu. Mereka tampaknya sedang
menuju ke ujung landasan pacu yang berada di tengah.
Si pilot mulai memperlambat terbangnya. "Anda akan bertemu dengan Presiden di
kantornya." Rachel menoleh, bertanya-tanya apakah lelaki itu sedang bergurau. "Presiden
Amerika Serikat memiliki kantor di Pulau Wallops?"
Tetapi tampang pilot itu terlihat sangat serius. "Presiden Amerika Serikat
memiliki kantor di mana pun dia suka, Bu."
Dengan ekspresi dingin, si pilot menunjuk ke arah ujung landasan pacu. Rachel
melihat sesuatu yang berkilauan di kejauhan, dan jantungnya hampir berhenti
berdetak. Walau dari jarak tiga ratus yard, dia masih dapat mengenali lambung
pesawat berwarna biru muda yang merupakan modifikasi dari Boeing 747 itu.
"Aku akan bertemu dengan Presiden di atas pesawat ...." "Betul, Bu. Itu rumahnya
ketika sedang jauh dari rumah."
Rachel menatap pesawat terbang raksasa itu. Nama milker yang tidak terlalu
sering terdengar bagi pesawat bergengsi ini adalah VC-25-A, walau seluruh dunia
mengenali pesawat tersebut sebagai Air Force One.
"Tampaknya pagi ini Anda akan diterima di pesawat Air Force One yang baru" ujar
si pilot sambil menunjuk ke arah angka yang tertera pada sirip belakang pesawat


Titik Muslihat Deception Point Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tersebut. Rachel mengangguk tanpa sadar. Hanya sedikit orang Amerika yang tahu bahwa
sebenarnya ada dua pesawat Air Force One yang digunakan. Ada dua pesawat yang
identik dan dibuat khusus dari model 747-200-Bs. Pesawat yang satu memiliki
nomor ekor 28000 dan yang satunya lagi 29000. Keduanya memiliki kecepatan
terbang 600 mph dan telah dimodifikasi agar mampu mengisi bahan bakar sambil
terbang, sehingga jelajah kedua pesawat tersebut menjadi tidak terbatas.
Ketika PaveHawk mendarat di landasan pacu di samping pesawat kepresidenan itu,
barulah Rachel mengerti mengapa Air Force One disebut sebagai "rumah portabel
yang menguntungkan" bagi panglima tertinggi negeri ini. Penam pilan pesawat itu
saja sudah membuat Rachel merasa terintimidasi.
Ketika Presiden terbang ke luar negeri untuk bertemu dengan berbagai kepala
negara, demi keamanan dia sering meminta agar pertemuan itu berlangsung di
landasan pacu tempat pesawat jet tersebut mendarat. Walau alasannya adalah demi
keamanan, tent u saja alasan lainnya adalah untuk mendapatkan keuntungan
negosiasi melalui penampilan pesawat itu sendiri yang intimidatif. Kunjungan ke
dalam Air Force One jauh lebih menakutkan daripada kunjungan ke Gedung Putih. Di
sana terdapat huruf -huruf setinggi enam kaki yang tertulis di badan pesawat dan
bertuliskan "UNITED STATES OF AMERICA." Seorang pe-rempuan anggota kabinet
Inggris pernah menuduh Presiden Nixon "memamerkan kemaluannya di hadapannya"
ketika sang presiden mengundangnya masuk ke dalam pesawat Air Force One.
Semenjak itu, para awak pesawat sambil bergurau menjuluki pesawat tersebut
dengan "BIG DICK."
"Ms. Sexton?" Seorang petugas Secret Service dengan setelan muncul di luar
helikopter dan membuka pintu untuk Rachel. "Presiden sedang menunggu Anda."
Rachel keluar dari helikopter dan menatap tangga curam yang menempel di tubuh
pesawat raksasa di depannya. Ini seperti memasuki phallus terbang saja. Dia
pernah dengar, "Ruang Oval" terbang ini memiliki luas lebih dari empat ribu kaki
persegi, termasuk empat kamar tidur pribadi yang terpisah, tempat tidur bagi 26
awak pesawat, dan dua buah dapur yang mampu menyediakan makanan bagi lima puluh
orang. Sambil menaiki tangga pesawat, Rachel merasa petugas Secret Service itu
mengikutinya di belakang, menyuruhnya agar cepat naik. Di atas, pintu kabin
terbuka dan terlihat seperti luka kecil yang menganga di sisi tubuh paus perak
yang besar sekali. Rachel menapaki jalan masuk yang gelap dan merasa kepercayaan
dirinya mulai surut. Tenang, Rachel. Ini hanya sebuah pesawat terbang.
Begitu sampai di atas pesawat, petugas Secret Service itu dengan sopan
menggandeng tangan Rachel dan membawanya memasuki sebuah koridor yang sempit
sekali. Mereka kemudian membelok ke kanan, berjalan sebentar, dan sampai di
sebuah kabin yang mewah dan luas. Rachel segera mengenalinya dari foto-foto yang
pernah dilihatnya. "Tunggu di sini," kata petugas itu, kemudian dia meng hilang.
Rachel berdiri sendirian di dalam kabin Air Force One yang terkenal itu dengan
dindingnya yang dilapisi kayu. Ruangan ini biasanya digunakan sebagai ruang
rapat, menjamu tamu-tamu terhormat, dan tampaknya juga untuk menakut-nakuti tamu
yang baru pertama kali masuk. Ruangan itu menggunakan seluruh lebar tubuh
pesawat. Permadani berwarna cokelat ter-hampar di bawahnya. Perabotannya sangat
indah. Terdapat kursi-kursi berlengan yang dilapisi kulit cordovan yang diatur
di sekitar meja rapat dari kayu maple berbentuk mata burung, lampu berdiri yang
terbuat dari campuran kuningan dan tembaga yang diletakkan di samping sebuah
sofa bergaya klasik, dan gelas-gelas dari kristal yang diukir dengan tangan dan
diatur di atas bar dari kayu mahoni.
Tampaknya, para desainer Boeing telah merancang kabin di bagian depan ini dengan
cermat untuk memberikan "perpaduan antara keteraturan dan ketenangan" bagi para
penumpangnya. Walau demikian, ketenangan adalah hal yang paling tidak dirasakan
Rachel saat ini. Satu-satunya hal yang dapat dipikirkannya adalah jumlah kepala
negara yang pernah duduk di ruangan ini dan membuat berbagai keputusan yang
mampu mengubah dunia. Segala yang ada di dalam ruangan itu mengesankan kekuasaan, dari aroma tembakau
yang samar-samar tercium hingga simbol kepresidenan yang terlihat di mana-mana.
Simbol yang berupa elang mencengkeram anak panah dan tangkai zaitun tersulam di
atas bantal-bantal kecil, ada juga yang diukirkan pada ember es, dan bahkan
dicapkan pada tatakan gelas dari gabus di atas meja bar. Rachel mengambil sebuah
tatakan dan mengamatinya.
"Sudah mulai mencuri kenang-kenangan?" sebuah suara yang berat bertanya di
belakangnya. Rachel terkejut, dan saat dia memutar tubuhnya, dia menjatuhkan tatakan gelas
itu ke atas lantai. Dengan gugup Rachel memungutnya. Ketika dia meraih tatakan
gelas tersebut, dia mendongak dan melihat Presiden Amerika Serikat sedang me-
natap ke bawah, ke arahnya yang sedang berlutut, sambil ter-senyum gembira.
"Aku bukan seorang bangsawan, Ms. Sexton. Tidak perlu berlutut seperti itu."
7 SENATOR SEDGEWICK Sexton sedang menikmati privasinya di dalam mobil limusin
Lincoln -nya yang panjang ketika mobil itu berkelok-kelok di antara lalu lintas
pagi di Washington untuk menuju ke kantornya. Di depannya, duduk Gabrielle Ashe,
asisten pribadinya yang berusia 24 tahun, dan sedang mem-bacakan jadwal
hariannya. Sexton hanya mendengarkannya sam-bil lalu.
Aku mencintai Washington, pikir Sexton sambil mengagumi bentuk tubuh sempurna
asistennya di balik sweater-nya. dari bahan cashmere. Kekuasaan adalah
perangsang berahi yang paling hebat dari semuanya ... dan kekuasaan sanggup
membawa sekumpulan perempuan seperti ini ke D. C.
Gabrielle adalah alumni salah satu universitas di New York yang masuk dalam
kelompok Ivy League (Sebuah asosiasi yang terdiri atas delapan universitas
ternama dan bergengsi di Amerika karena dikenal atas prestasi akademisnya yang
sangat baik - penerjemah.)
dengan mimpi dapat menjadi seorang senator juga kelak. Dia juga akan berhasil,
pikir Sexton. Gabrielle memiliki penampilan yang menawan dan sangat cerdas. Dan
yang paling penting, dia mengerti aturan permainan di dunia politik.
Gabrielle Ashe adalah perempuan berkulit hitam, namun warna kulitnya yang
kecoklatan itu lebih mendekati warna kayu manis yang gelap atau kayu mahoni. Ini
jenis warna kulit yang tidak terlalu "ekstrem", dan Sexton tahu kulit seperti
ini masih dapat diterima kaum kulit putih tanpa membuat mereka merasa rendah
diri apabila sedang bersamanya. Sexton menggambarkan Gabrielle kepada kawan-
kawannya sebagai perempuan berparas Halle Berry dengan otak dan ambisi seperti
Hillary Clinton. Namun demikian, Sexton kadang merasa bahkan penggambaran
seperti itu pun kurang memadai.
Gabrielle sudah menjadi aset berharga bagi kampanyenya sejak Sexton mengangkat
gadis itu menjadi asisten pribadi kam-panye tiga bulan yang lalu. Dan yang
paling hebat adalah, Gabrielle bekerja tanpa dibayar. Kompensasi yang dimintanya
untuk enam belas jam kerjanya per hari adalah mempelajari seluk-beluk politik
bersama seorang politisi kawakan pada saat itu.
Tentu saja, kata Sexton dalam hati dengan riang, aku juga membujuknya untuk
melakukan sesuatu yang sedikit lebih dari sekadar bekerja. Setelah mengangkat
Gabrielle, Sexton juga meng-undang perempuan itu ke "sesi orientasi" pada larut
malam di kantor pribadinya. Seperti yang diharapkan, asisten mudanya itu datang
dengan sangat gembira dan bersemangat untuk menye-nangkan hati si bos. Dengan
kesabaran yang telah dikuasainya selama puluhan tahun, Sexton menerapkan
kesaktiannya ... membangkitkan rasa percaya Gabrielle padanya, lalu dengan
berhati-hati melucuti hambatan di diri perempuan itu, mem -perlihatkan
pengendalian diri yang menggoda, hingga akhirnya merayu perempuan itu di kantor
pribadinya. Sexton yakin, hubungan intim mereka pada saat itu merupakan sebuah pengalaman
seksual yang paling memuaskan dalam hidup perempuan muda tersebut. Tetapi pada
siang harinya, Gabrielle dengan jelas menyesali perbuatan nya yang tidak bijak
itu. Karena merasa malu, Gabrielle mengajukan pengunduran diri. Namun Sexton
menolaknya. Gabrielle setuju untuk tetap bekerja padanya, tetapi dia menyatakan
tujuannya dengan sangat jelas. Sejak itu hubungan mereka betul-betul merupakan
hu-bungan pekerjaan saja.
Bibir sensual Gabrielle masih bergerak. "... tidak ingin kau menjadi lesu ketika
menghadiri debar di CNN siang ini. Kita masih tidak tahu siapa yang akan dikirim
Gedung Putih sebagai lawanmu. Kau mungkin mau mengikuti catatan yang kuketik
ini." Lalu Gabrielle menyerahkan sebuah map. Sexton menerima map itu, dan
menikmati aroma parfum Gabrielle yang bercampur dengan aroma kulit jok yang
empuk. "Kau tidak menyimakku," kata Gabrielle.
"Tentu saja aku menyimak." Sexton tersenyum. " Lupakan tentang debat CNN itu.
Skenario terburuk adalah, Gedung Putih menghinaku dengan mengirimkan pegawai
rendahannya. Skenario terbaik adalah, mereka mengirim seseorang yang pen-ting
dan aku akan melumatnya tanpa ampun."
Gabrielle mengerutkan keningnya. "Baik. Aku sudah memasukkan daftar topik yang
paling mungkin mengancammu ke dalam sini."
"Pasti prasangka-prasangka yang biasa."
"Dengan satu tambahan baru. Menurutku kau akan menghadapi pukulan berbahaya dari
kaum homoseksual karena ko-mentarmu tadi malam dalam acara Larry King."
Sexton hanya mengangkat bahunya seperti tidak peduli. "Ya. Perkawinan sesama
jenis kelamin." Gabrielle menatapnya dengan tatapan tidak setuju. "Kau betul-betul mengecamnya
dengan keras saat itu."
Perkawinan sesama jenis kelamin, pikir Sexton dengan jijik. Jika aku yang
menentukan, orang-orang homoseksual itu bahkan tidak akan memiliki hak untuk
memilih. "Baiklah, aku akan memperlunaknya."
"Bagus. Kau juga sudah memberikan tekanan yang berlebihan untuk beberapa topik
han gat akhir-akhir ini. Jangan terlalu pongah. Masyarakat bisa berubah pendapat
dalam sekejap. Kau sekarang sedang menang, dan kau menikmati momentum.
Kendalikan dengan baik. Tidak perlu memukul bola terlalu keras hingga keluar
lapangan hari ini. Usahakan saja agar tetap dapat terus bermain dengan cantik."
"Ada kabar dari Gedung Putih?"
Gabrielle tampak heran bercampur senang. "Mereka masih tetap diam. Resminya,
lawanmu sudah menjadi 'Invisible Man'."
Sexton hampir tidak dapat memercayai kemujurannya akhir-akhir ini. Selama
berbulan-bulan Presiden harus bekerja keras dalam kampanyenya. Lalu tiba-tiba,
satu minggu yang lalu, Presiden mengunci diri di Ruang Oval, dan tidak seorang
pun melihat atau mendengarnya lagi. Seolah Presiden tidak dapat menerima jumlah
pendukung Sexton yang semakin membengkak.
Gabrielle mengusap rambut hitamnya yang diluruskan itu. "Kudengar staf kampanye
Gedung Putih juga sama bingungnya dengan kita. Presiden tidak menjelaskan apa-
apa kenapa dia menghilang seperti itu, dan semua orang di sana marah."
"Ada teori?" tanya Sexton.
Gabrielle menatap Sexton melalui kacamata yang membuatnya tampak cerdas.
"Sepertinya, aku mendapatkan data yang menarik pagi ini dari seorang informanku
di Gedung Putih." Sexton mengenali tatapan Gabrielle itu. Gabrielle Ashe berhasil mendapatkan
informasi lagi dari orang dalam Gedung Putih. Sexton bertanya-tanya apakah
Gabrielle memberikan pela-yanan seks oral untuk para pembantu kampanye Presiden
agar mendapatkan beberapa rahasia kampanye" Tapi Sexton tidak peduli ... selama
informasi yang dibutuhkan itu terus ber-datangan.
"Ini kabar angin," kata asistennya sambil merendahkan suara-nya. "Semua perilaku
aneh Presiden ini dimulai minggu lalu setelah sebuah rapat kilat mendadak dengan
administrator NASA. Saat itu, Presiden keluar dari ruang rapat dengan wajah
tertegun. Dia segera membebaskan diri dari segala jadwalnya, dan sejak itu
Presiden tampak berhubungan dekat dengan NASA."
Sexton jelas senang mendengar berita itu. "Kaupikir mung-kin NASA mengirimkan
berita buruk lagi?" "Tampaknya itulah penjelasan logisnya," kata Gabrielle pe-nuh harap. "Ini pasti
masalah yang begitu penting sehingga membuat Presiden menunda segalanya."
Sexton menimbang -nimbang. Jelas, apa pun yang terjadi di NASA pasti merupakan
berita buruk. Jika tidak, pasti Presiden sudah melawanku dengan sengit. Akhir-
akhir ini, Sexton meng-kritik Presiden dengan keras tentang pendanaan NASA.
Serang-kaian misi yang gagal dan pendanaan yang luar biasa besar bagi lembaga
penelitian luar angkasa itu telah membuat NASA men-jadi sasaran empuk kecaman
Sexton. Dia menjuluki lembaga itu sebagai lambang ketidakefisiensian dan
pembelanjaan negara yang berlebihan, yang seharusnya bisa lebih bermanfaat untuk
anak-anak. Harus diakui, menyerang NASA, yang merupakan salah satu simbol
terbesar kebanggaan Amerika, bukanlah cara yang digunakan kebanyakan politisi
untuk memenangkan per-olehan suara. Namun Sexton memiliki sebuah senjata yang
hanya dimiliki segelintir politisi - Gabrielle Ashe, berikut instingnya yang tanpa
cela. Perempuan muda yang sangat cerdas ini telah menarik perhatian Sexton
beberapa bulan lalu ketika masih bekerja pada seorang koordinator di kantor
kampanye Sexton di Washington. Karena kampanye Sexton tidak berhasil dengan baik
pada jajak pendapat pertama dalam pemilihan awal di partainya dan isunya tentang
pemerintah yang boros tidak dihiraukan, Gabrielle Ashe menulis sebuah catatan
untuk Sexton. Perempuan muda itu menyarankan sebuah sudut kampanye baru yang radikal. Dia
mengatakan bahwa Sexton harus menyerang pendanaan NASA yang luar biasa,
dilanjutkan dengan serangan pada pengeluaran Gedung Putih yang dianggap sebagai
sebuah contoh penting dari pengeluaran Presiden Herney yang boros dan ceroboh.
"NASA mengeruk uang Amerika," tulis Gabrielle dengan menyertakan sebuah daftar
yang menggambarkan perhitungan keuangan, kegagalan, dan pengeluaran. "Para
pemilih tidak tahu akan hal itu. Kalau kita menggunakan isu ini, para penasihat
kampanye Presiden pasti akan ketakutan. Saya pikir Anda harus menjadikan NASA
sebagai isu politik."
Sexton mengerang dalam hati karena kenaifan Gabrielle. "Ya, dan ketika aku
menyerang NASA, aku juga akan menyerang kumandang lagu nasional di
pertandinganpertandingan baseball," sahutnya dengan tidak peduli.
Seminggu kemudian, Gabrielle masih terus mengirimkan informasi tentang NASA di
atas meja sang senator. Semakin sering Sexton membacanya, semakin dia sadar
bahwa Gabrielle Ashe muda itu benar. Bahkan dengan standar lembaga negara
lainnya pun, NASA merupakan sebuah lubang penghisap uang yang mengejutkan -
mahal, tidak efisien, dan pada tahun-tahun terakhir ini tidak mampu berbuat apa-
apa. Pada suatu sore, Sexton men ghadiri acara bincangbincang di radio tentang
pendidikan yang disiarkan secara langsung. Sang penyiar mendesak Sexton dengan
pertanyaan dari mana dia akan mendapatkan dana untuk mewujudkan janjinya dan
memperbaiki sekolah-sekolah umum. Ketika menjawab per-tanyaan itu, Sexton ingin
menguji teori Gabrielle tentang NASA dengan nada agak bergurau. "Uang untuk
pendidikan?" tanyanya. "Wah, mungkin saya akan memotongnya dari program angkasa
luar hingga separuhnya. Saya pikir, jika NASA dapat mem-belanjakan lima belas
miliar setahun untuk angkasa luar, seharus-nya kita dapat membelanjakan tujuh
setengah miliar untuk anak-anak di bumi."
Di sudut ruang siaran, para manajer kampanye Sexton terkesiap ketakutan karena
pernyataan sembrono itu. Bagaimana-pun, hasil kampanye mereka tidak cukup baik
sehingga tidak harus ditambah lagi dengan komentar ceroboh tentang NASA. Sesaat
kemudian, saluran telepon di stasiun radio itu mulai menyala. Manajer kampanye
Sexton merasa ngeri. Para pahlawan pendukung ruang angkasa pasti sedang
berkumpul untuk men-cecar mereka.
Kemudian sesuatu yang tidak terduga terjadi.
"Lima belas miliar setahun?" tanya penelepon pertama, suaranya terdengar
terkejut sekali. "Miliar" Maksud Anda, kelas matematika anak saya dijejali
terlalu banyak murid karena seko-lah tidak memiliki jumlah guru yang cukup, dan
NASA bisa menghabiskan lima belas miliar dolar setahun hanya untuk memotret debu
angkasa luar?" "Mm ... betul," jawab Sexton hati-hati.
"Sungguh tidak masuk akal! Apakah Presiden memiliki ke-wenangan untuk melakukan
sesuatu terhadap masalah itu?"
"Pasti," jawab Sexton dengan rasa percaya diri yang bertambah. "Seorang presiden
dapat menolak permintaan anggaran sebuah lembaga yang dianggapnya berlebihan."
"Jika begitu, saya akan memilih Anda, Senator Sexton. Lima belas miliar untuk
penelitian angkasa luar, sementara anak-anak kita tidak memiliki cukup guru. Itu
keterlaluan! Semoga berhasil, Pak. Saya harap kampanye Anda akan lancar."
Kemudian penelepon berikutnya tersambung. "Senator, saya baru saja membaca bahwa
Stasiun Ruang Angkasa Internasional NASA sudah mendapatkan anggaran yang sangat
berlebihan dan Presiden masih memikirkan untuk memberikan dana darurat kepada
NASA agar proyek mereka itu tetap dapat berjalan. Apakah benar begitu?"
Sexton seperti meloncat karena pertanyaan itu. "Betul!" Sexton lalu menjelaskan
bahwa stasiun angkasa luar itu pada awalnya merupakan proyek bersama dengan
biaya yang ditang-gung oleh dua belas negara. Tetapi setelah pembangunannya
dimulai, anggaran stasiun itu membengkak tak terkendali, dan banyak negara
mengundurkan diri karenanya. Walau demikian, Presiden tidak menghentikan proyek
tersebut, bahkan memutus-kan untuk menalangi pengeluaran yang semestinya


Titik Muslihat Deception Point Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ditanggung negara-negara yang mengundurkan diri itu. "Biaya untuk proyek Stasiun
Ruang Angkasa Internasional," Sexton mengutarakan, "telah meningkat dengan
sangat mengejutkan. Dari delapan miliar yang diajukan menjadi seratus miliar
dolar!" Penelepon itu terdengar marah sekali. "Kenapa Presiden tidak menghentikan saja
proyek itu!" Sexton sangat ingin mencium penelepon itu. "Pertanyaan yang sangat bagus.
Sayangnya, sepertiga dari perlengkapan untuk pembangunan stasiun ruang angkasa
itu telah mengorbit, dan Presiden sudah membelanjakan pajak Anda untuk mengirim
semua peralatan itu ke sana. Jadi, kalau Presiden menghenti-kannya, itu berarti
dia mengaku dirinya telah membuat kesalahan besar senilai miliaran dolar dengan
uang Anda." Telepon terus berdering. Untuk pertama kalinya, masyarakat Amerika seperti
terjaga dengan gagasan bahwa NASA hanyalah sebuah proyek pilihan dan bukan
proyek wajib nasional. Ketika siaran tersebut selesai, dengan pengecualian dari beberapa pendukung
sejati NASA yang berpendapat bahwa pen-carian manusia akan ilmu pengetahuan
tidak akan ada akhirnya, mayoritas penelepon mendukung pemikiran mengenai pem-
borosan di NASA. Wawancara Sexton telah berubah menjadi sebuah kampanye yang
sungguh ajaib. Ini adalah "topik hangat" baru, sebuah isu kontroversial yang
belum pernah tersentuh, dan dapat mengusik hati para pemilih.
Minggu-minggu berikutnya, Sexton mengalahkan dengan telak lawan-lawannya di
Partai Republik dalam lima pemilihan pendahuluan yang penting. Lalu dia
mengumumkan bahwa Gabrielle Ashe menjadi asisten pribadi kampanye yang baru,
juga memuji usaha perempuan muda itu karena telah mengajukan isu NASA kepada
para pemilih. Dalam sekejap, Sexton telah membuat perempuan muda berdarah
Afrika-Amerika ini menjadi seorang bintang politik yang sedang naik daun.
Bersamaan dengan itu, isu rasis dan gender dalam catatan pengum pulan suara
Sexton menghilang dalam sekejap.
Sekarang, ketika mereka duduk bersama di dalam limusin, Sexton tahu Gabrielle
sedang menunjukkan kehandalannya sekali lagi. Informasi baru dari Gabrielle
tentang pertemuan rahasia antara Administrator NASA dan Presiden minggu lalu
jelas memperlihatkan bahw a masalah NASA menjadi semakin gawat. Mungkin ada
negara lain lagi yang mengundurkan diri dari pendanaan pembangunan stasiun ruang
angkasa itu. Ketika limusin mereka melewati Washington Monument, Senator Sexton tidak dapat
menahan perasaan bahwa takdir telah memilihnya untuk memenangkan pemilu ini.
8 WALAU MENDUDUKI lembaga politis yang paling berkuasa di dunia, Presiden Zachary
Herney hanyalah seorang lelaki dengan tinggi rata-rata, bertubuh ramping, dan
memiliki bahu yang tidak terlalu lebar. Wajah Presiden Herney berbintikbintik.
Dia mengenakan kacamata bifokal, dan rambutnya berwarna hitam dan terlihat mulai
menipis. Walau memiliki fisik yang biasa-biasa saja, dia terlihat menonjol di
antara orang-orang yang mengenalnya. Kata orang, jika Anda bertemu dengan Zach
Herney satu kali saja, Anda pasti mau berjalan ke ujung dunia demi dirinya.
"Aku senang kaumau datang," kata Presiden Herney sambil mengulurkan tangannya
untuk menjabat tangan Rachel. Jabatan tangannya terasa hangat dan tulus.
Rachel berusaha berbicara dengan lebih lancar, tetapi tidak berhasil. "Ten ...
tu saja, Pak Presiden. Bertemu dengan Anda merupakan kehormatan bagi saya."
Presiden tersenyum hangat padanya, dan Rachel dapat me-rasakan secara langsung
keramahan Presiden Herney yang legen-daris ini. Lelaki ini memang memiliki sikap
ramah yang disukai para kartunis politik. Betapa pun anehnya para kartunis itu
menggambar wajah sang presiden, semua orang masih akan dapat melihat senyumannya
yang hangat dan ramah yang selalu mun cul tanpa dibuat-buat itu. Matanya
senantiasa memantulkan ketulusan dan harga diri.
"Jika kau mengikutiku," kata Presiden dengan suara riang, "akan kusiapkan
secangkir kopi untukmu."
"Terima kasih, Pak."
Presiden menekan int erkom dan meminta ajudannya membawakan kopi ke kantornya.
Ketika Rachel mengikuti Presiden berjalan di dalam pesawat itu, dia merasa heran
melihat sang presiden tampak begitu gembira dan tenang untuk ukuran seseorang
yang sedang kalah dalam jajak pendapat. Presiden juga berpakaian dengan sangat
santai - celana jeans, kemeja polo, dan sepatu hiking merek L.L. Bean.
Rachel berusaha membangun percakapan."Anda ... senang mendaki gunung, Pak
Presiden?" "Sama sekali tidak. Para penasihat kampanyeku memutuskan beginilah penampilan
baruku. Bagaimana pendapatmu?"
Rachel berharap Presiden tidak bersungguh-sungguh dengan ucapannya itu.
"Sangat ... mm ... gagah, Pak."
Raut wajah Herney tidak berubah. "Bagus. Kami pikir, ini akan membantu kami
meraih kembali suara dari perempuanperempuan yang mendukung ayahmu." Setelah
beberapa detik, Presiden tersenyum lebar. "Ms. Sexton, itu hanya gurauan. Kita
berdua pasti tahu, aku membutuhkan lebih dari sekadar celana jeans dan kemeja
polo untuk memenangkan pemilihan umum ini.
Keterbukaan dan kejenakaan Presiden dengan cepat meng-hapus ketegangan yang
dirasakan Rachel karena berada di tempat ini. Walaupun fisiknya biasa-biasa
saja, hal itu mampu ditutupi Herney dengan keunggulan diplomasinya. Diplomasi
adalah keahlian untuk berhubungan dengan orang lain, dan Zach Herney memiliki
bakat tersebut. Rachel mengikuti Presiden hingga ke bagian belakang pesa-wat. Semakin ke dalam
mereka melangkah, semakin tidak mirip pesawat interiornya. Dia dapat melihat
koridor yang meleng-kung, dinding berlapis wall-paper, bahkan sebuah ruangan
olah raga, lengkap dengan StairMaster dan mesin dayung. Anehnya, pesawat itu
begitu lengang. "Anda bepergian sendirian, Pak Presiden?"
Presiden menggelengkan kepalanya. "Sebenarnya aku baru saja mendarat."
Rachel terheran-heran. Mendarat dari mana" Ringkasan laporan intelijen yang
dibuatnya minggu ini tidak menyebut nyebut adanya rencana perjalanan Presiden.
Tampaknya Pre siden menggunakan Pulau Wallops untuk melakukan perjalanan diam-
diam. "Stafku meninggalkan pesawat ini tepat sebelum kau datang," kata Presiden. "Aku
sebentar lagi akan menuju ke Gedung Putih untuk bertemu kembali dengan mereka di
sana, tetapi aku ingin menemuimu di sini saja."
"Anda sedang berusaha mengintimidasi saya?" "Sebaliknya. Aku hanya berusaha
untuk menghormatimu, Ms. Sexton. Gedung Putih tidak tepat untuk pertemuan
pribadi, dan berita tentang pertemuan kita ini akan menempatkan dirimu pada
posisi yang canggung dengan ayahmu."
"Saya menghargai itu, Pak."
"Tampaknya kau mampu mempertahankan sikapmu yang tidak memihak itu dengan
anggun, dan aku tidak punya alasan untuk mengusik itu."
Sekilas Rachel teringat akan pertemuan makan pagi bersama ayahnya tadi dan
meragukan apakah sikapnya tadi pagi itu dapat dikategorikan sebagai "anggun".
Rachel tahu, Zach Herney hanya bersikap sopan kepadanya walau dia tidak harus
seperti itu. "Boleh aku memanggilmu Rachel?"
"Tentu saja." Boleh aku memanggilmu Zach"
"Ini kantorku," kata Presiden sambil mengantar Rachel melewati pintu dari kayu
maple yang dihiasi dengan ukiran.
Kantor di dalam pesawat Air Force One ini jelas lebih nyaman daripada yang ada
di Gedung Putih, walau perabotan nya masih tetap terlihat kaku. Meja kerjanya
dipenuhi dengan kertas-kertas, dan di belakangnya tergantung sebuah lukisan
klasik dari cat minyak yang indah yang menggambarkan sebuah kapal bertiang tiga
dengan layar terkembang yang sedang terombang-ambing dalam amukan badai. Lukisan
itu tampak mencerminkan masa kepresidenan Zach Herney saat ini dengan cukup
tepat. Presiden menunjuk ke salah satu dari tiga kursi dengan sandaran tinggi yang
diatur menghadap mejanya untuk memberi isyarat kepada tamunya. Rachel pun duduk.
Dia mengira Presiden akan duduk di balik meja kerjanya, tetapi ternyata Zach
menarik salah satu kursi tersebut dan duduk di sampingnya.
Sengaja menempatkan diri sejajar denganku, kata Rachel dalam hati. Presiden
memang pintar menyanjung orang lain.
"Baik, Rachel," kata Herney sambil mendesah letih ketika dia sudah duduk dengan
nyaman. "Aku bisa membayangkan, kau begitu bingung ketika duduk di sini
bersamaku, bukan?" Sikap jaga jarak yang dimiliki Rachel segera memudar ketika mendengar suara
Presiden yang terasa tulus. "Sebenarnya, Pak, saya bahkan tidak mampu berkata-
kata." Herney tertawa terbahak-bahak. "Hebat. Tidak setiap hari aku dapat membuat orang
NRO tidak mampu berkata-kata."
"Dan tidak setiap hari juga orang NRO diundang masuk ke dalam Air Force One oleh
seorang presiden yang memakai sepatu hiking."
Presiden tertawa lagi. Ketukan ringan di pintu kantor seperti mengatakan kalau kopi yang diminta
Presiden sudah datang. Salah seorang awak pesawat masuk dengan membawa poci yang
terbuat dari logam dengan uap yang mengepul-ngepul dan dua mug dari bahan yang
sama di atas sebuah nampan. Atas permintaan Presiden, perempuan itu meletakkan
nampannya di atas meja dan kemu-dian pergi.
"Krim dan gula?" tanya Presiden sambil berdiri untuk me-nuangkan kopi.
"Krim saja, terima kasih." Rachel menikmati aroma kopi yang kental itu. Presiden
Amerika Serikat melayaniku minum kopi secara pribadi"
Zach Herney menyerahkan sebuah mug yang berat untuk Rachel. "Ini buatan Paul
Revere," katanya. "Salah satu kemewahan kecil."
Rachel menyesap kopinya. Itu kopi terbaik yang pernah diminumnya. "Rachel," kata
Presiden sambil menuangkan kopi untuk mugnya sendiri dan duduk kembali. "Waktuku
terbatas di sini. Karena itu, mari kita langsung bicarakan urusan kita."
Presiden menjatuhkan sekotak gula batu ke dalam kopinya dan menatap Rachel. "Aku
membayangkan, B ill Pickering sudah memperingat -kanmu bahwa satu-satunya alasan
aku mengundangmu adalah untuk menggunakanmu demi kepentingan politikku, ya kan?"
"Memang persis itulah yang dikatakannya, Pak." Presiden terkekeh. "Dia memang
selalu sinis." "Jadi, dia salah?" "Kau bercanda?" Presiden masih tertawa. "Bill Pickering tidak
pernah salah. Dia selalu benar, seperti biasa."
9 GABRIELLE ASHE menatap dengan kosong ke luar jendela limusin Senator Sexton
ketika mobil tersebut bergerak di antara lalu lintas di pagi hari untuk menuju kantor Sexton. Dia ber-tanya-tanya bagaimana
dia bisa sampai di titik ini dalam ke-hidupannya. Menjadi asisten pribadi
Senator Sexton. Memang inilah yang diinginkannya, bukan"
Aku sedang duduk di dalam sebuah limusin bersama seorang calon Presiden Amerika
Serikat. Gabrielle menatap sang senator yang duduk di hadapannya di atas jok empuk mobil
yang mewah ini. Tampaknya dia juga sedang melamun. Gabrielle mengagumi wajah
tampan dan pa-kaian sang senator yang sempurna. Ini penampilan yang tepat untuk
seorang presiden. Gabrielle pertama kali melihat Sexton ketika dia masih duduk di bangku kuliah di
fakultas ilmu politik di Cornell University, tiga tahun yang lalu. Dia tidak
akan pernah melupakan bagaimana mata Sexton menatap para hadirin, seolah mata
itu mengirimkan pesan langsung padanya - percayalah padaku. Setelah pidato Sexton
berakhir, Gabrielle rela mengantri untuk bertemu dengannya.
"Gabrielle Ashe,"kata sang senator sambil membaca kartu nama yang terpasang di
dada Gabrielle. "Nama yang indah bagi seorang perempuan muda yang cantik." Mata
sang senator sangat meyakinkan.
"Terima kasih, Pak," sahut Gabrielle sambil merasakan ke-kuatan lelaki itu
ketika mereka berjabatan tangan. "Saya betul-betul terkesan oleh pidato Anda."
"Aku senang mendengarnya!" Sexton kemudian menyodorkan kartu namanya ke tangan
Gabrielle. "Aku selalu mencari orang-orang muda yang cerdas dan mengerti visiku.
Ketika kau sudah lulus, cari aku. Mungkin orang-orangku memiliki peker-jaan
untukmu." Gabrielle hendak membuka mulutnya untuk berterima kasih, tetapi sang senator
sudah berbicara dengan orang berikutnya. Walau demikian, selama bulan -bulan
berikutnya, Gabrielle selalu mengikuti perjalanan karier Sexton melalui
televisi. Dia menatap Sexton dengan penuh kekaguman ketika sang senator
berbicara bagaimana dia menentang pemborosan pemerintah, memelopori pemotongan
anggaran, merampingkan IRS agar dapat bekerja lebih efektif dalam mengumpulkan
pajak, mengurangi pegawai DEA, dan bahkan menghapus program-program pelayanan
ma-syarakat yang berlebihan. Kemudian, ketika istri senator itu tiba-tiba
meninggal dalam kecelakaan mobil, Gabrielle menyaksikan dengan perasaan kagum
bagaimana Sexton mengubah kejadian menyedihkan itu menjadi sesuatu yang positif.
Sexton bangkit dan berusaha mengatasi kesedihan pribadinya dan menyatakan kepada
semua orang bahwa dia akan mencalonkan diri sebagai presiden dan mempersembahkan
pengabdiannya itu untuk mengenang istrinya. Saat itu, Gabrielle langsung
memutuskan untuk terlibat secara dekat dalam kampanye Senator Sexton untuk
pemilihan presiden ini. Sekarang dia sudah berada di tempat terdekat dengan sang senator.
Gabrielle ingat malam yang dilewatkan bersama sang senator di kantornya yang
mewah itu. Dia merasa ngeri, dan berusaha mengusir bayangan memalukan itu dari
benaknya. Apa yang kupikirkan wak tu itu" Dia tahu, seharusnya dia dapat
menolak-nya, tetapi entah bagaimana, dia tidak sanggup. Sedgewick Sexton telah
lama menjadi idolanya ... dan dia berharap sang senator menginginkannya.
Limusin itu menerjang gundukan di jalan sehingga membuyarkan lamunan Gabrielle
dan mengembalikannya ke masa kini.
"Kau tidak apa-apa?" tanya Sexton sambil menatapnya. Gabrielle dengan cepat
tersenyum. "Aku tidak apa-apa."
"Kau tidak sedang memikirkan tindakan kasar itu lagi, bukan?"
Gabrielle hanya mengangkat bahunya. "Aku masih agak cemas. Ya, aku masih
memikirkannya." "Lupakanlah. Tindakan kasar itu justru merupakan hal ter-baik bagi kampanyeku."
Seperti yang dipelajari Gabrielle dengan susah payah, dalam dunia politik
tindakan kasar berarti membocorkan informasi bahwa saingan Anda menggunakan alat
pembesar penis atau berlangganan majalah Stud Muffin. Menggunakan informasi
tentang kelemahan lawan bukanlah taktik yang elegan, tetapi jika itu berhasil,
hasil yang diberikan juga sangat besar.
Namun, ketika hal tersebut menjadi senjata makan tuan .... Dan itulah yang
terjadi pada Gedung Putih. Kira-kira sebulan yang lalu, karena merasa tidak
tenang akibat hasil jajak pendapat yang buruk, staf kampanye Presiden memutuskan
untuk bertindak agresif dan menggunakan boc oran yang mereka anggap benar.
Berita itu adalah tentang hubungan gelap antara Senator Sexton dengan asisten
pribadinya, Gabrielle Ashe. Sayang-nya, mereka tidak memiliki bukti yang kuat.
Sementara itu, Senator Sexton, sebagai orang yang sangat percaya pada per-
nyataan "pertahanan yang paling baik adalah menyerang dengan kuat," menggunakan
momen itu untuk balas menyerang. Sexton mengadakan konferensi pers untuk
menyiarkan bahwa dia tidak bersalah. Sang senator tampil dengan kemarahan yang
luar biasa. Saya tidak percaya, katanya dengan mata memandang kamera untuk
memperlihatkan tatapan terluka, Presiden tega merendahkan kenangan mendiang
istri saya dengan kebohongan keji ini.
Penampilan Senator Sexton di televisi begitu meyakinkan sehingga bahkan
Gabrielle sendiri percaya bahwa mereka tidak pernah tidur bersama. Melihat
betapa mudahnya sang senator ber-dusta, Gabrielle baru sadar kalau orang ini
memang berbahaya. Akhir-akhir ini, walau Gabrielle sadar dia sedang mendukung calon terkuat dalam
kampanye pemilihan presiden kali ini, dia mulai bertanya-tanya apakah dia sedang
mendukung calon ter-baik. Terlibat secara langsung dengan Sexton telah membuka
matanya. Ini seperti seorang anak yang mengikuti 'tur belakang layar' di
Universal Studio lalu berkurang kekagumannya terhadap film karena ternyata
Hollywood tidaklah seajaib itu.
Walau Gabrielle tetap percaya pada pesan-pesan Sexton, dia mulai meragukan si
pembawa pesan. 10 "APA YANG ingin kubicarakan denganmu, Rachel," kata Presiden, "masuk klasifikasi
'UMBRA', gelap. Ini jauh melampaui izin keamananmu."
Rachel merasa dinding Air Force One seakan menyempit di sekitarnya. Presiden
menerbangkannya ke Pulau Wallops, mengundangnya masuk ke dalam pesawatnya,
menuangkan kopi untuknya, mengatakan secara terus terang bahwa niatnya me-
manggil Rachel ke sini adalah memanfaatkannya untuk melawan ayahnya, dan
sekarang berkata bahwa dia ingin memberikan informasi rahasia secara ilegal.
Walau Zach Herney tampak ramah dari luar, Rachel Sexton baru saja mengetahui
sesuatu yang penting tentang diri sang presiden. Lelaki itu cepat sekali
mengambil kendali. "Dua minggu yang lalu," kata Presiden sambil menatap Rachel. "NASA mengungkap
suatu penemuan." Kata-kata itu itu tidak langsung dapat dicerna Rachel dengan mudah. Sebuah


Titik Muslihat Deception Point Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penemuan NASA" Informasi intelijen terkini menyatakan, tidak ada hal baru yang
terjadi pada lembaga ruang angkasa itu. Tentu saja, hari-hari terakhir ini
"penemuan NASA" berarti mereka baru menyadari telah menganggarkan dana yang
terlalu kecil untuk beberapa proyek baru.
"Sebelum kita berbicara lebih jauh," kata Presiden melanjutkan, "aku ingin tahu
apakah kau sependapat dengan sikap sinis ayahmu tentang eksplorasi ruang
angkasa." Rachel tidak senang dengan komentar itu. "Saya sungguh berharap Anda tidak
mengundang saya ke sini hanya untuk meminta saya mengerem bombardir ayah saya
terhadap NASA." Presiden tertawa. "Tentu saja tidak. Aku sudah cukup lama bekerja sama dengan
Senat sehingga aku tahu dengan pasti tidak seorang pun dapat mengendalikan
Sedgewick Sexton." "Ayah saya seorang oportunis, Pak, seperti juga kebanyakan politisi yang
berhasil. Dan sayangnya NASA membuat dirinya menjadi sasaran empuk bagi ayah
saya." Rentetan kesalahan NASA yang terbaru sangat tidak dapat termaafkan
sehingga orang -orang tidak tahu harus tertawa atau menangis - satelit-satelit
yang keluar dari orbitnya, penjelajahan pesawat ruang angkasa yang tidak pernah
menghasilkan apa-apa, anggaran Stasiun Ruang Angkasa Internasional yang naik
sepuluh kali lipat, dan negara-negara lain yang mengun durkan diri dari
pendanaan proyek ini seperti tikus-tikus yang berusaha kabur meninggalkan kapal
yang tenggelam. Miliaran dolar hilang begitu saja, dan Senat or Sexton
menggunakan momen itu seperti sedang menunggangi ombak, ombak yang ditakdirkan
akan membawa-nya ke 1600 Pennsylvania Avenue - Gedung Putih.
"Harus aku akui," Presiden melanjutkan, "NASA akhirakhir ini menjadi 'bencana
berjalan. Setiap kali aku menoleh, orang-orang di Kongres masih saja memberiku
alasan lain untuk memotong anggaran mereka."
Rachel melihat kesempatan baik ini dan kemudian mempergunakannya. "Tapi, Pak,
kalau tidak salah minggu lalu Anda memberi mereka tambahan tiga juta dolar
sebagai dana darurat agar NASA dapat membayar utang-utang mereka?"
Presiden terkekeh. "Ayahmu pasti senang dengan informasi tersebut, bukan?"
"Sama senangnya dengan menekuk Anda dalam berbagai jajak pendapat."
"Ngomong-ngomong, kau menontonnya pada acara Nightline" Dia bilang, 'Zach Herney
adalah pecandu ruang angkasa, dan para wajib pajak harus mendanai kegemarannya
itu.'" "Tetapi Anda terus saja membiarkan ayah saya membuktikan bahwa dirinya benar."
Herney mengangguk. "Aku tidak akan menutup-nutupi kalau aku memang fans berat
NASA. Aku selalu begitu. Sejak kecil, aku sudah menyukai ruang angkasa - Sputnik,
John Glenn, Apollo 11 - dan aku tidak pernah merasa ragu untuk meng-ungkapkan
kekaguman dan kebanggaan nasionalku karena kita memiliki program ruang angkasa.
Menurutku, para lelaki dan perempuan yang bekerja di NASA merupakan pionir-
pionir sejarah modern. Mereka menguji ketidakmungkinan, menerima kegagalan, dan
kembali lagi ke meja gambar, sementara kita hanya dapat berdiam diri dan
mengkritik mereka." Rachel tetap diam. Dia merasakan bahwa di balik penam pilan Presiden yang tenang
tersimpan kemarahan atas retorika anti-NASA yang dilontarkan ayahnya secara
terus-menerus. Rachel bertanya-tanya apa sebenarnya yang telah ditemukan NASA.
Sepertinya Presiden betul-betul tidak mau tergesa-gesa untuk mengatakannya.
"Hari ini," kata Herney dengan suara yang terdengar bersemangat, "aku bermaksud
mengubah seluruh pendapatmu ten-tang NASA."
Rachel menatapnya dengan tatapan sangsi. "Tenang saja, Pak. Saya akan memilih
Anda. Yang harus Anda pikirkan adalah pendapat orang-orang lain di negeri ini."
"Aku pun bermaksud begitu." Dia menghirup kopinya dan tersenyum. "Dan karena
itulah aku ingin minta tolong padamu." Presiden berhenti sejenak, lalu
mencondongkan tubuhnya ke arah Rachel. "Dengan cara yang paling tidak biasa."
Sekarang Rachel dapat merasakan tatapan penuh selidik dari Zach Herney dalam
setiap gerakannya, seperti seorang pemburu yang sedang mencoba mengukur apakah
mangsanya akan lari atau melawannya. Sayangnya, Rachel tidak tahu mau lari ke
mana. "Aku kira, kautahu tentang proyek NASA yang bernama EOS?" tanya Presiden sambil
menuangkan kopi lagi ke dalam mug mereka berdua.
Rachel mengangguk. "Earth Observation System. Saya yakin ayah saya pernah
menyebutkan EOS satu atau dua kali."
Sindiran Rachel yang diperhalus itu membuat Presiden mengerutkan keningnya.
Sebenarnya ayah Rachel menyebutkan Earth Observation System setiap kali dia
memiliki kesempatan. Proyek NASA tersebut adalah salah satu proyek spekulasi
terbesar yang kontroversial. Proyek ini terdiri atas sekumpulan satelit yang
dirancang untuk melihat bumi dari ruang angkasa dan menganalisis lingkungan di
planet ini, seperti penipisan lapisan ozon, es di kutub yang menc air, pemanasan
global, dan penggundulan hutan tropis. Tujuannya adalah memberikan data makro
yang belum pernah ada selama ini kepada para ahli lingkungan hidup sehingga
mereka dapat membuat perencanaan yang lebih baik bagi masa depan bumi.
Sayangnya, proyek EOS gagal. Seperti juga beberapa proyek NASA akhir-akhir ini,
proyek itu dibangun dengan dana yang terlalu besar sejak program itu dimulai.
Dan Zach Herney adalah satu-satunya orang yang terkena getahnya. Sebelumnya, dia
menggunakan dukungan dari lobi lingkungan hidup agar Kong-res mengucurkan 1,4
miliar dolar bagi proyek EOS. Tetapi bukannya memberikan kontribusi yang
menjanjikan untuk per-kembangan ilmu pengetahuan tentang bumi secara global,
dengan cepat EOS malah berubah menjadi mimpi buruk - kegagalan peluncuran-
peluncuran satelit, tidak berfungsinya komputer, dan konferensi pers NASA yang
muram. Satu-satunya wajah yang tersenyum kemudian adalah wajah Senator Sexton
yang diam-diam selalu mengingatkan para pemilih tentang bagaimana Presiden telah
menghamburkan uang mereka untuk EOS dan bagaimana uang mereka telah menguap
dengan sia-sia. Presiden kembali menjatuhkan sekotak gula batu ke dalam mugnya. "Ini akan
terdengar sangat mengherankan. Penemuan NASA yang kukatakan tadi sebenarnya
adalah penemuan EOS."
Sekarang Rachel menjadi bingung. Jika EOS memberikan keberhasilan baru-baru ini,
NASA seharusnya mengumumkannya, bukan" Ayahnya sudah menyerang EOS dengan gencar
di berbagai media, dan badan luar angkasa itu seharusnya meng-gunakan
keberhasilan mereka ini untuk menangkis serangan Senator Sexton.
"Saya belum mendengar apa-apa tentang penemuan EOS," kata Rachel berkilah.
"Aku tahu. NASA lebih senang menyimpan kabar baik itu untuk sementara waktu."
Rachel meragukannya. "Dalam pengalaman saya, Pak, bagi NASA tidak ada kabar yang
betul-betul buruk." Menahan informasi bukanlah keahlian bagian hubungan
masyarakat NASA. Lelucon di NRO adalah, NASA bahkan mengadakan konferensi pers
setiap kali ada ilmuwan mereka yang buang angin.
Presiden mengerutkan keningnya. "Ah, ya. Aku lupa kalau sedang berbicara dengan
salah satu anak buah Pickering. Apakah dia masih mengeluh dan menggerutu karena
bibir NASA yang tidak dapat ditutup?"
"Keamanan adalah urusannya, Pak. Dan dia selalu bersungguh-sungguh ketika
menanganinya." "Dia memang seperti itu. Aku hanya sulit percaya bagaimana dua lembaga yang
memiliki begitu banyak persamaan ini terus-menerus menemukan sesuatu untuk
dipertengkarkan." Rachel sudah tahu sejak pertama kali bekerja di bawah William Pickering,
walaupun NASA dan NRO adalah dua lembaga yang terkait dengan ruang angkasa,
mereka memiliki filosofi yang sangat bertolak belakang. NRO adalah lembaga
pertahanan dan merahasiakan segala kegiatan mereka, sementara NASA adalah
lembaga akademis dan sangat bersemangat untuk mengumumkan semua terobosan mereka
kepada dunia. William Pickering sering tidak setuju dengan pengumuman tersebut
karena pertimbangan keamanan nasional. Beberapa teknologi NASA yang paling
canggih, seperti lensa beresolusi tinggi untuk teleskop satelit, sistem
komunikasi jarak jauh, dan peralatan pencitraan radio, malah muncul di gudang
senjata intelijen negara-negara musuh dan digunakan untuk balik memata-matai
Amerika. Bill Pickering sering menggerutu bahwa para ilmuwan NASA memang berotak
besar ... tetapi mulut mereka lebih besar lagi.
Tetapi masalah yang lebih penting di antara kedua lembaga itu adalah, NASA
menangani peluncuran satelit NRO. Jadi, kegagalan demi kegagalan NASA akhir-
akhir ini langsung ber-pengaruh pada NRO. Tidak ada kegagalan yang lebih
dramatis dibandingkan dengan peristiwa pada 12
Agustus 1998 ketika roket NASA/Air Force Titan 4 meledak hanya empat puluh detik
setelah diluncurkan dan menghancurkan muatannya - satelit NRO dengan kode Vortex
2 seharga 1,2 miliar dolar. Pickering tampaknya masih belum sudi melupakan
peristiwa itu. "Jadi, kenapa NASA tidak mau mengumumkan keberhasilan barunya ini?" tantang
Rachel. "Sekarang ini berita bagus pasti sangat berguna bagi orang-orang NASA."
"NASA tetap diam karena aku menyuruhnya begitu," jawab Presiden.
Rachel bertanya-tanya apakah pendengarannya tidak salah. Kalau telinganya masih
beres, itu berarti Presiden melakukan harakiri politis yang tidak dimengertinya.
Presiden melanjutkan, "Penemuan ini adalah ... yah, bisa kita sebut ... hasil
tak terduga yang sangat mengejutkan."
Rachel tiba-tiba merasa tidak nyaman. Di dunia intelijen, "hasil tak terduga
yang mengejutkan" jarang berarti berita baik. Dia sekarang bertanya-tanya apakah
rahasia EOS ini berhu-bungan dengan sistem satelit yang menemukan suatu bencana
lingkungan yang akan segera terjadi. "Ada masalah?"
"Tidak ada masalah sama sekali. Apa yang ditemukan EOS justru cukup
mengagumkan." Rachel langsung terdiam.
"Rachel, seandainya aku mengatakan padamu bahwa NASA baru saja menghasilkan
sebuah penemuan ilmiah yang begitu penting ... yang mampu menggemparkan
dunia ... sehingga membenarkan setiap dolar yang telah dikeluarkan rakyat
Amerika bagi ruang angkasa, apa pendapatmu?"
Rachel tidak dapat membayangkannya. Presiden berdiri. "Ayo kita jalan-jalan."
11 RACHEL MENGIKUTI Presiden Herney menuju tangga keluar yang bermandikan cahaya
matahari. Ketika mereka menuruni tangga, Rachel merasakan udara dingin bulan
Maret menjernih-kan pikirannya. Sayangnya, kejernihan itu hanya membuat peng
-akuan Presiden menjadi tampak lebih aneh dari sebelumnya.
NASA membuat sebuah penemuan ilmiah yang begitu pen-ting sehingga membenarkan
setiap dolar yang telah dikeluarkan rakyat Amerika bagi ruang angkasa"
Rachel hanya dapat membayangkan bahwa penemuan hebat itu terpusat pada satu hal:
kontak dengan kehidupan asing di luar bumi. Celakanya, Rachel cukup tahu tentang
mimpi NASA itu untuk menyimpulkan bahwa hal itu sama sekali tidak mungkin.
Sebagai seorang analis intelijen, Rachel terus-menerus men-jawab berbagai
pertanyaan teman -temannya tentang dugaan bahwa pemerintah menutup-nutupi kontak
dengan makhluk luar ang-kasa. Dia merasa bosan dengan berbagai teori yang
diyakini teman -temannya yang "berpendidikan" itu, seperti adanya pesa-wat luar
angkasa yang rusak dan disembunyikan pemerintah di bawah tanah, mayat-mayat
makhluk ruang angkasa yang dibeku-kan, bahkan manusia yang diculik dan dibedah
oleh makhluk-makhluk angkasa luar untuk diteliti oleh mereka.
Tentu saja, semua itu tidak masuk akal. Tidak ada makh luk ruang angkasa. Tidak
ada hal yang ditutup-tutupi.
Semua orang yang bekerja pada komunitas intelijen tahu, tanggapan mayoritas
orang tentang penampakan dan penculikan oleh makhluk luar angkasa hanyalah
produk khayalan yang terlalu liar atau ciptaan para penipu yang ingin mencari
keuntungan. Ketika foto asli UFO betul-betul ada, anehnya benda asing tersebut
muncul di dekat pangkalan udara militer Amerika Serikat yang sedang menguji
pesawat rahasia canggih. Ketika perusahaan produsen pesawat Lockheed mulai
melakukan peng-ujian udara sebuah pesawat jet yang disebut the Stealth Bomber,
penampakan UFO di sekitar Edwards Air Force Base meningkat menjadi lima belas
kali lipat. "Kau sepertinya tidak percaya," kata Presiden yang sedang mengamati kecurigaan
Rachel. Suara Presiden mengejutkan Rachel. Dia balas meman dang, tapi tidak yakin harus
menjawab apa. "Well...," katanya dengan nada ragu-ragu. "Kalau saya boleh
menyimpulkan, Pak, kita tidak sedang membicarakan pesawat luar angkasa atau
orang-orang hijau kerdil itu, kan?"
Presiden tampak agak geli. "Rachel, tadinya aku kira kau menganggap penemuan ini
lebih menarik dibandingkan flksi ilmiah murahan seperti itu."
Rachel merasa lega karena ternyata NASA tidak begitu putus asa sehingga harus
menjual cerita ten tang makhluk ruang angkasa kepada Presiden. Tetapi, komentar
Presiden itu justru membuat semuanya menjadi semakin misterius. "Well," kata
Rachel, "apa pun yang ditemukan NASA, saya harus mengatakan bahwa waktunya
sangat cocok." Herney berhenti sejenak di tengah anak tangga. "Cocok" Bagaimana bisa begitu?"
Bagaimana bisa begitu" Rachel berhenti dan menatap Herney. "Pak Presiden, NASA
akhir-akhir ini sedang berada dalam per-tempuran hidup dan mati untuk
membenarkan keberadaannya, dan Anda sedang diserang karena terusmenerus
membiayainya. Terobosan NASA yang besar sekarang ini pasti akan menjadi dewa
penolong bagi NASA dan sekaligus kampanye Anda. Para pengkritik Anda jelas akan
menganggap ini sebagai rekayasa semata."
"Jadi ... kau menyebutku seorang penipu atau bodoh?" Rachel merasa
tenggorokannya tercekat. "Saya tidak bermaksud tidak hormat, Pak. Saya hanya - "
"Tenang." Seulas senyuman tipis terkembang di bibir Herney. Dia mulai menuruni
tangga lagi. "Ketika Administrator NASA untuk pertama kalinya memberitahuku
tentang penemuan itu, aku menolaknya mentah-mentah karena kedengaran tidak masuk
akal. Aku bahkan menuduhnya mendalangi kepura-puraan politis terbesar dalam
sejarah." Rachel merasa tenggorokannya sudah tidak terlalu tercekat lagi.
Di anak tangga terbawah, Herney berhenti dan menatap Rachel. "Satu alasan
mengapa aku meminta NASA agar menyimpan penemuannya itu adalah untuk melindungi
mereka. Dampak penemuan ini jauh lebih besar daripada apa pun yang pernah
diumumkan mereka. Penemuan ini akan membuat keberhasilan orang mendarat di bulan
menjadi tidak ada artinya. Karena semua orang, termasuk aku sendiri, akan
mendapatkan begitu banyak keuntungan - dan kerugian - dari penemuan ini, kupikir
Pedang Pusaka Naga Putih 4 Pendekar Naga Putih 33 Bidadari Iblis Manusia Meteor 3
^