Pencarian

Titik Muslihat 2

Titik Muslihat Deception Point Karya Dan Brown Bagian 2


lebih baik kita berhati-hati dengan meminta orang lain agar memeriksa ulang data
NASA sebelum kita mengumumkannya secara resmi."
Rachel terpaku. "Anda pasti tidak bermaksud bahwa orang itu adalah saya kan,
Pak?" Presiden tertawa. "Tidak, ini bukan keahlianmu. Lagi pula, aku sudah memperoleh
bukti melalui saluran-saluran di luar pemerintahan."
Rachel menjadi bingung lagi. "Di luar pemerintahan, Pak" Maksudnya, Anda
menggunakan lembaga swasta" Untuk urusan yang begitu rahasia?"
Presiden mengangguk dengan yakin. "Aku membentuk se-buah tim konfirmasi
eksternal yang terdiri atas empat ilmuwan sipil dari luar NASA. Mereka memiliki
nama besar dan reputasi serius yang harus dijaga. Mereka menggunakan peralatan
mereka sendiri saat meneliti dan menarik kesimpulan mereka sendiri. Selama 48
jam terakhir, ilmuwan -ilmuwan sipil itu telah memasti-kan bahwa penemuan NASA
tersebut tidak dapat diragukan lagi."
Sekarang Rachel terkesan. Presiden berhasil melindun gi diri-nya dengan cara
yang begitu khas. Dengan merekrut tim hebat yang terdiri atas orang-orang yang
tak mudah percaya, orang-orang luar yang tidak akan mendapatkan keuntungan apa-
apa ketika harus membenarkan penemuan NASA itu, Herney dapat menangkis
kecurigaan orang-orang bahwa ini hanyalah usaha NASA yang sudah begitu putus asa
untuk mendapatkan dana, lalu membuat presiden yang pro-NASA itu terpilih
kembali, dan mematahkan serangan Senator Sexton.
"Malam ini, pukul delapan," lanjut Herney, "aku akan raengadakan konferensi pers
di Gedung Putih untuk mengungkapkan penemuan itu kepada dunia."
Rachel merasa frustrasi. Sesungguhnya Herney belum memberi tahu apa-apa padanya.
"Dan penemuan itu apa, tepatnya?"
Presiden tersenyum. "Hari ini kau akan tahu bahwa kesabaran adalah kebajikan
yang sesungguhnya. Penemuan itu harus kaulihat sendiri. Aku ingin kau mengerti
keadaan yang se-sungguhnya sebelum kita melanjutkan. Administrator NASA sedang
menunggumu untuk memberikan penjelasan. Dia akan memberi tahu semua yang harus
kautahu. Setelah itu kau dan aku akan membicarakan peranmu selanjutnya."
Rachel merasakan niat tersembunyi di dalam mata Presiden sehingga membuatnya
teringat pada firasat Pickering yang berkata bahwa Gedung Putih pasti sedang
menyembunyikan se-suatu. Seperti biasa, Pickering sepertinya benar.
Herney menunjuk ke arah hanggar pesawat di dekat mereka. "Ikuti aku," katanya
sambil berjalan ke arah hanggar itu.
Rachel mengikuti Presiden dengan bingung. Gedung di depan mereka tidak memiliki
jendela, dan pintu-pintunya yang besar untuk memasukkan pesawat terlihat
tertutup. Satusatunya jalan masuk tampaknya dari sebuah jalan kecil di samping
gedung dengan pintunya yang terbuka sedikit.
Presiden meng-antar Rachel hingga beberapa kaki di depan pintu itu dan kemudian
berhenti. "Hanya sampai di sini batasku," kata Presiden sambil menunjuk ke arah pintu.
"Masuklah ke dalam melalui pintu itu."
Rachel ragu-ragu. "Anda t idak masuk dengan saya?"
"Aku harus kembali ke Gedung Putih. Aku akan segera berbicara lagi denganmu.
Kaupunya ponsel?" "Tentu saja, Pak."
"Berikan padaku." Rachel mengeluarkan dan memberikan ponselnya kepada Presiden.
Dia mengira Presiden ingin memasukkan nomor pri-badi ke ponselnya. Tetapi,
Herney malah memasukkan ponsel Rachel ke dalam sakunya.
"Kau sekarang bebas," kata Presiden. "Segala tanggung jawab-mu di tempat kerja
telah diambil alih. Kau tidak akan berbicara dengan siapa pun hari ini tanpa
meminta izin dariku sendiri atau dari Administrator NASA. Kau mengerti?"
Rachel memandang lelaki di hadapannya dengan tatapan tidak percaya. Ampun!
Presiden baru saja mencuri ponselku" "Setelah Administrator NASA memberimu
pengarahan singkat tentang penemuan itu, dia akan menghubungkanmu dengan-ku
melalui saluran yang aman. Aku akan segera berbicara dengan -mu. Semoga
berhasil." Rachel menatap pintu hanggar dan merasa semakin cemas. Presiden
Herney meletakkan tangannya di atas bahu Rachel untuk meyakinkan perempuan itu
dan kemudian mengangguk ke arah pintu tersebut. "Tenanglah, Rachel. Kau tidak
akan menyesal karena mau membantuku dalam masalah ini." Tanpa berkata-kata lagi,
Presiden kemudian berbalik dan berjalan ke arah PaveHawk yang tadi membawa
Rachel ke pulau ini. Dia lalu masuk ke dalamnya, dan terbang. Presiden tidak
pernah menoleh ke belakang lagi.
12 RACHEL SEXTON berdiri sendirian di ambang pintu di sisi hanggar Wallops yang
sepi dan menatap ke dalam kegelapan di hadapannya. Dia merasa sedang berada di
batas dunia lain. Semilir angin dingin yang lembap mengalir keluar dari ruang
bagian dalam yang luas tersebut, seolah gedung itu bernapas.
"Halo?" Rachel berseru, suaranya terdengar agak bergetar.
Tidak ada jawaban. Dengan kekhawatiran yang semakin meningkat, dia melangkah melewati ambang pintu
itu. Sesaat dia tidak melihat apa-apa, tetapi perlahan-lahan matanya dapat
menyesuaikan diri dengan keremangan di sekitarnya.
"Ms. Sexton, ya?" tanya seorang lelaki, terdengar dari jarak beberapa yard dari
tempatnya berdiri. Rachel terlonjak dan segera berputar ke arah suara. "Ya, Pak."
Sesosok tubuh seorang lelaki yang tidak terlihat begitu jelas berjalan
mendekatinya. Ketika penglihatan Rachel sudah jelas, dia sadar dirinya berhadapan dengan
seorang pemuda dengan rahang persegi dan mengenakan seragam penerbang NASA.
Tubuhnya tegap dan berotot, sementara bagian dada seragamnya dipenuhi dengan
berbagai macam emblem. "Komandan Wayne Loosigian," katanya. "Maaf jika saya mengejutkan Anda, Bu. Di
sini memang gelap sekali. Saya belum sempat membuka pintu hanggar." Sebelum
Rachel sempat menjawab, lelaki itu menambahkan, "Saya merasa terhormat untuk
menjadi pilot Anda pagi ini."
"Pilot?" tanya Rachel sambil menatapnya. Aku baru saja memiliki seorang pilot.
"Aku ke sini untuk berjumpa dengan Administrator."
"Ya, Bu. Perintah yang saya terima adalah mengantar Anda untuk menemuinya
segera." Rachel membutuhkan beberapa saat untuk mencerna pernyataan itu. Ketika dia
akhirnya mengert i, dia merasa diperdaya. Tampaknya perjalanannya belum selesai.
"Di mana dia?" tanya Rachel dengan nada penuh kewaspadaan.
"Saya tidak memiliki informasi tentang hal itu," jawab si pilot. "Saya akan
menerima koordinat arahnya setelah kita berada di udara."
Rachel merasa lelaki itu mengatakan yang sebenarnya. Tam-paknya bukan hanya
dirinya dan Direktur Pickering yang dibuat bertanya-tanya pagi ini. Presiden
menangani masalah keamanan dengan sangat serius, dan Rachel merasa malu karena
betapa cepat dan mudahnya Presiden "menguasainya". Baru setengah jam di
lapangan, dan sekarang peralatan komunikasiku sudah dilucuti, sementara
direkturku tidak tahu di mana aku berada.
Sambil memandang punggung pilot NASA yang berjalan menjauhinya itu, Rachel
merasa rencan a untuk dirinya di pagi ini memang sudah dirancang dengan begitu
sempurna. Perjalanan ini akan membawanya pergi entah ke mana, tidak peduli
apakah dia menyukainya atau tidak. Satu-satunya pertanyaan adalah, ke mana
tujuan mereka. Si pilot berjalan ke arah dinding dan menekan sebuah tombol. Sisi lain hanggar
itu mulai bergeser dengan suara berisik, dan cahaya matahari menerobos dari luar
sehingga menampakkan sesuatu yang besar di tengah -tengah hanggar.
Mulut Rachel ternganga. Tuhan, tolong aku.
Di tengah-tengah hanggar terparkir sebuah jet tempur ber-warna hitam yang
terlihat begitu menyeramkan. Itu pesawat paling ramping yang pernah dilihat
Rachel. "Kau tidak becanda, kan?" tanya Rachel.
"Itu reaksi pertama yang biasa timbul, Bu. Tetapi F-14 Tomcat Split-tail ini
adalah pesawat yang sangat handal."
Ini sih rudal bersayap. Si pilot menuntun Rachel menuju pesawat itu. Dia menunjuk ke arah kokpit dengan
dua tempat duduk. "Anda duduk di belakang."
"Oh ya?" Rachel berusaha tersenyum. "Tadinya kukira kau akan membiarkan aku
mengemudi." SETELAH MENGENAKAN baju terbang tahan panas di luar pakaiannya sendiri, Rachel
kemudian memanjat masuk ke dalam kokpit. Dengan canggung, Rachel mengatur
pinggulnya di tempat duduk yang sempit itu.
"NASA pasti tidak punya pilot dengan pantat gemuk," kata Rachel.
Si pilot tersenyum ketika dia membantu Rachel mengenakan sabuk pengaman. Lalu
dia juga memasangkan helm ke kepala Rachel.
"Kita akan terbang sangat tinggi," kata si pilot. "Anda akan membutuhkan
oksigen." Dia lalu menarik topeng oksigen dari panel di sisi pesawat dan mulai
memasangkannya ke helm Rachel.
"Aku bisa sendiri," kata Rachel sambil mengulurkan tangan nya dan mengambil
alih. "Tentu saja, Bu."
Rachel mencoba-coba mengenakan masker yang dirancang dengan sangat pas itu,
sampai akhirnya dia dapat memasangnya dengan baik. Berada di balik masker
seperti itu membuatnya merasa tidak nyaman.
Sang komandan menatapnya lama, dan tampak agak geli. "Ada yang salah?" tanya
Rachel. "Sama sekali tidak, Bu." Dia terlihat berusaha menyembunyikan senyumannya.
"Kantong muntah berada di bawah tempat duduk Anda. Kebanyakan orang akan merasa
mual ketika pertama kali naik pesawat ini."
"Aku akan baik-baik saja," kata Rachel untuk meyakinkan si pilot. Suaranya
terdengar samar-samar di balik topeng masker-nya. "Aku tidak punya kecenderungan
untuk mudah muntah."
Pilot itu hanya mengangkat bahunya. "Banyak anggota Navy Seal juga berkata
seperti itu, tetapi ternyata saya sering mem-bersihkan muntahan mereka dari
kokpit saya." Rachel hanya dapat mengangguk.
"Ada pertanyaan sebelum kita terbang?"
Rachel ragu-ragu sejenak dan kemudian dia mengetukngetuk masker oksigen yang
menghalangi dagunya. "Ini justru menghambat pernapasanku. Bagaimana kau menge
nakan benda ini dalam penerbangan jangka panjang?"
Si pilot tersenyum dengan sabar. "Bu, kami biasanya tidak mengenakannya secara
terbalik seperti itu."
PESAWAT ITU bersiap di ujung landasan pacu. Dengan mesin yang menyala di
bawahnya, Rachel merasa seperti menjadi sebutir peluru di dalam sepucuk pistol
yang sedang menunggu seseorang untuk menarik pelatuknya. Ketika si pilot
mendorong tongkat pengendali pesawat ke depan, mesin ganda Lockheed 345 yang
dirancang untuk pesawat Tomcat itu mulai menderu-deru, dan seluruh dunia seolah
bergetar. Ketika rem dilepas, Rachel terhempas ke belakang kursinya. Jet itu
seolah merobek landasan pacu dan meninggalkannya dalam hitungan beberapa detik
saja. Di luar sana, dataran tertinggal di bawah dengan tingkat yang membuat
kepala pusing. Rachel memejamkan matanya ketika pesawat itu membubung ke langit. Dia bertanya-
tanya apa yang salah dengan dirinya pagi ini. Dia seharusnya berada di depan
mejanya dan menulis ringkasan. Tetapi sekarang dia malah berada di dalam sebuah
torpedo berkecepatan tinggi dan bernapas melalui masker oksigen.
Ketika pesawat Tomcat itu melewati ketinggian 45 ribu kaki, Rachel mulai merasa
mual. Dia memaksakan diri untuk memusatkan perhatian pada hal lain. Ketika dia
menatap ke bawah, ke arah samudra yang berada sembilan mil di bawah nya, tiba-
tiba dia merasa begitu jauh dari rumah.
Di depannya, si pilot sedang berbicara dengan seseorang melalui radio. Ketika
percakapan itu berakhir, si pilot meletakkan radionya, dan tiba-tiba membelokkan
Tomcat itu ke kiri dengan tajam. Pesawat itu menanjak hampir tegak lurus ke
atas. Dengan manuver seperti itu, Rachel merasa perutnya jungkir-balik. Akhir-
nya, pesawat itu kembali ke posisi mendatar.
Rachel mengerang. "Terima kasih atas atraksi akrobat nya, Bung."
"Maaf, Bu, tetapi saya baru saja menerima koordinat rahasia menuju tempat
pertemuan Anda dengan Administrator NASA."
"Biar aku tebak," kata Rachel. "Kita ke arah utara?" Si pilot tampak bingung.
"Bagaimana Anda tahu?"
Rachel mendesah. Dasar pilot yang biasa menggunakan peralatan canggih! "Sekarang
pukul sembilan pagi, Kawan, dan matahari berada di sebelah kanan kita. Itu
artinya kita sedang terbang ke utara."
Sunyi sesaat. "Ya, Bu. Kita terbang ke utara pagi ini." "Dan berapa jauh kita
akan terbang ke utara?"
Si pilot memeriksa koordinatnya. "Kira-kira tiga ribu mil."
Rachel terlonjak tegak di tempat duduknya. "Apa!" Dia berusaha membayangkan
jarak sejauh itu di peta, tapi dia tidak dapat membayangkan ke mana mereka pergi
dalam jarak sejauh itu ke utara. "Itu empat jam penerbangan!"
"Jika dengan kecepatan kita sekarang, Anda benar," jawab si pilot. "Mohon
berpegangan." Sebelum Rachel dapat menjawab, lelaki itu menarik masuk sayap-sayap pesawat F-14
ke posisi low-drag. Sekejap kemudian, Rachel kembali merasa dirinya terhempas ke
belakang kursinya ketika pesawat itu melesat ke depan dengan kecepatan begitu
tinggi. Dalam semenit, mereka sudah terbang dengan kecepatan hampir 1.500 mil
per jam. Sekarang Rachel merasa pusing. Ketika langit terbelah oleh pesawat yang menderu
dalam kecepatan seperti itu, dia merasa sangat mual. Samar-samar suara Presiden
menggema di telinganya. Tenanglah, Rachel. Kau tidak akan menyesal karena mau
membantuku dalam masalah ini.
Rachel mengerang, lalu meraih kantung muntahnya.
Jangan pernah memercayai seorang politisi.
13 WALAU SENATOR Sedgewick Sexton tidak menyukai taksi umum yang murah dan kotor,
tapi dia belajar bagaimana sesekali menikmati keadaan yang bersahaja seperti itu
dalam usahanya menuju kemenangan. Taksi Mayflower jelek yang baru saja
menurunkan Sexton di tempat parkir bawah tanah Hotel Purdue itu ternyata
memberikan sesuatu yang tidak dapat diberikan limusin kepadanya - anonimitas.
Dia merasa senang ketika tahu tempat parkir itu lengang. Dia hanya melihat
beberapa mobil berdebu yang terparkir di antara pilar-pilar semen. Saat berjalan
menyeberangi tempat parkir itu secara diagonal, Sexton melirik arlojinya.
11:15 pagi. Sempurna. Orang yang akan ditemuinya ini sangat sensitif dengan ketepatan waktu. Tetapi
sekali lagi Sexton mengingatkan dirinya, mengingat sekelompok orang yang
diwakili lelaki itu, dia bisa sensitif dengan berbagai hal sesuai keinginannya.
Sexton melihat sebuah minivan Ford Windstar putih diparkir di tempat yang sama
setiap kali mereka mengadakan pertemu-an - di sebelah timur garasi, di balik
sederetan tong sampah. Sexton sesungguhnya lebih senang bertemu dengan orang ini
di sebuah kamar hotel di atas tempat parkir itu, tetapi dia tentu saja memahami
betapa pentingnya kehatihatian. Teman -teman orang itu tidak akan berada di
posisi seperti sekarang jika mereka tidak berhati-hati.
Ketika Sexton berjalan mendekati van itu, dia merasakan ketegangan yang selalu
dialaminya setiap kali mengadakan per-temuan ini. Sambil memaksa dirinya agar
tetap tenang, Sexton masuk ke dalam mobil dan duduk di kursi penumpang sambil
melambaikan tangannya dengan ceria. Seorang pria berambut hitam duduk di kursi
pengemudi. Dia tidak terse nyum. Lelaki itu berusia hampir tujuh puluh tahun,
tetapi di balik kulitnya yang sudah keriput, terpancar ketangguhan yang sesuai
dengan posisinya sebagai pimpinan sekumpulan visioner gila dan para pengusaha
kejam ini. "Tutup pintunya," kata lelaki itu dengan kasar.
Sexton mematuhinya dan menerima kekasaran lelaki itu dengan lapang dada. Walau
bagaimana, lelaki ini mewakili orang-orang yang mengendalikan uang dalam jumlah
yang sangat besar. Uang itulah yang akhir-akhir ini telah banyak diberikan untuk
memastikan posisi Sedgewick Sexton sebagai kandidat orang paling berkuasa di
dunia. Sexton tahu, pertemuan-pertemuan ini bukanlah sekadar untuk membicarakan
strategi. Pertemuan -pertemuan ini lebih sebagai pengingat bulanan bagaimana
sang senator sudah terikat oleh para pemberi dananya. Orang-orang ini
mengharapkan imbalan yang bagus dari investasi yang sudah mereka tanamkan.
Sexton harus mengakui, "imbalan" itu adalah permintaan yang sangat berani, namun
hal tersebut akan berada dalam pengaruhnya begitu dia mengambil alih Ruang Oval
kelak. "Aku kira, dananya sudah ditransfer ke rekeningku, ya?" kata Sexton tanpa basa-
basi karena mengetahui lawan bicaranya itu senang untuk langsung ke pokok
permasalahan. "Betul. Dan seperti biasanya, kau akan menggunakan dana ini hanya untuk
kampanyemu. Kami senang melihat pergerakan perolehan angkamu dalam jajak
pendapat, dan tampaknya mana-jer kampanyemu sudah menggunakan uang kami dengan


Titik Muslihat Deception Point Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

efektif." "Kami menang dengan c epat."
"Seperti yang telah kukatakan di telepon tadi," orang tua itu melanjutkan, "aku
sudah membujuk enam orang lagi untuk bertemu denganmu malam ini."
"Bagus sekali." Sexton sudah mengosongkan jadwalnya untuk pertemuan itu.
Orang tua itu menyerahkan sebuah map kepada Sexton. "Di sini ada informasi
tentang mereka. Pelajari. Mereka ingin kau mengerti apa yang menjadi perhatian
mereka secara khusus. Mereka ingin tahu apakah kau bersimpati dengan hal
tersebut. Kusarankan kau menemui mereka di rumahmu."
"Rumahku" Tetapi aku biasa bertemu - "
"Senator, keenam orang ini mengelola perusahaan dengan sumber daya yang jauh
melebihi pemilik-pemilik perusahaan lain yang selama ini pernah kautemui. Mereka
kelas kakap, dan mereka orang-orang yang waspada. Mereka memiliki potensi untuk
untung lebih banyak, dan karena itu juga memiliki potensi rugi lebih banyak. Aku
sudah berusaha keras untuk membujuk mereka agar bertemu denganmu. Mereka
membutuh -kan perlakuan khusus. Sebuah sentuhan pribadi."
Sexton mengangguk dengan cepat. "Pasti. Aku dapat meng-atur pertemuan di
rumahku." "Tentu saja, mereka menginginkan privasi secara total." "Aku juga begitu."
"Semoga berhasil," kata lelaki tua itu. "Jika malam ini semuanya berjalan baik,
itu akan menjadi pertemuan terakhirmu. Keenam orang ini sudah cukup untuk
memberikan apa yang kauperlukan untuk mendorong kampanyemu hingga ke puncak."
Sexton senang mendengarnya. Dia memberi senyuman penuh keyakinan pada lelaki tua
itu. "Dengan nasib baik, Kawan-ku, saat pemilu tiba, kita semua akan meraih
kemenangan itu." "Kemenangan?" Lelaki itu memandang Sexton dengan tatap-an mencemooh dan
mencondongkan tubuhnya ke arah Sexton untuk memandang langsung ke mata sang
senator. "Menempat kanmu di Gedung Putih baru merupakan langkah pertama menuju
kemenangan, Senator. Kukira kau belum melupakan hal itu."
14 GEDUNG PUTIH merupakan salah satu gedung kediaman presiden terkecil di dunia
dengan panjang 170 kaki dan lebar 85 kaki, dan berdiri di atas lahan yang hanya
seluas 18 ekar. Rancangan arsitek James Hoban yang berupa bangunan batu
berbentuk kotak dengan atap yang menonjol dan pintu depan berpilar-pilar itu,
walaupun jelas tidak orisinal, terpilih sebagai pemenang sayembara karena para
juri memujinya sebagai rancangan yang "menarik, bergengsi, dan luwes."
Presiden Zach Herney jarang merasa nyaman tinggal di Gedung Putih walau sudah
tinggal di sana selama tiga setengah tabun. Ini karena dia selalu dikelilingi
oleh lampulampu kristal, barang-barang antik, dan pasukan marinir bersenjata.
Tapi aneh-nya, ketika dia berjalan menuju Sayap Barat pada hari ini, dia merasa
segar dan nyaman. Kakinya melangkah dengan ringan di atas permadani tebal di
bawah nya. Beberapa anggota staf Gedung Putih mendongak ketika presiden mereka mendekat.
Herney melambaikan tangannya dan menyapa mereka dengan memanggil nama mereka
satu per satu. Jawaban mereka, walau tetap sopan, terdengar pelan dan disertai
senyuman yang dipaksakan.
"Selamat pagi, Pak Presiden."
"Senang bertemu dengan Anda, Pak Presiden." "Selamat pagi, Pak."
Ketika Presiden melanjutkan perjalanan menuju ruang kantor-nya, dia merasakan
bisikan-bisikan di belakangnya. Ada rencana pemberontakan di dalam Gedung Putih.
Selama dua minggu terakhir ini, kekecewaan yang terasa di gedung beralamat 1600
Pennsylvania Avenue itu telah meningkat hingga ke titik di mana Herney mulai
merasa seperti Kapten Bligh yang memim-pin sebuah kapal perang di mana para
awaknya sedang mem -persiapkan pemberontakan.
Presiden tidak menyalahkan mereka. Para stafnya sudah bekerja keras tanpa kenal
lelah untuk mendukungnya dalam pemilu yang akan datang, dan sekarang tiba-tiba
Presiden terlihat seperti tidak mampu melakukan apa-apa.
Mereka akan segera mengerti, kata Herney kepada dirinya sendiri. Aku akan segera
menjadi pahlawan lagi. Dia merasa menyesal telah begitu lama menyimpan rahasia ini dari para stafnya,
tetapi kerahasiaan adalah hal yang sangat penting. Dan untuk urusan menyimpan
rahasia, Gedung Putih terkenal sebagai kapal yang paling mudah bocor di
Washington. Herney sampai di ruang tunggu di luar Ruang Oval dan melambaikan tangannya
dengan ramah kepada sekretarisnya. "Kau tampak cantik pagi ini, Dolores."
"Anda juga terlihat tampan, Pak," jawab perempuan itu sambil menatap pakaian
Presiden yang begitu santai dengan tatapan tidak setuju yang tidak
disembunyikannya. Herney merendahkan suaranya. "Aku ingin kau mengatur sebuah rapat untukku."
"Dengan siapa, Pak?" "Seluruh staf Gedung Putih."
Sekretaris itu menatapnya dengan tidak percaya. "Semua staf Gedung Putih, Pak"
154 orang?" "Tepat."
Dolores tampak kebingungan. "Baik. Boleh saya adakan di ... Briefing Room?"
Herney menggelengkan kepalanya. "Jangan. Sebaiknya diada-kan di kantorku saja."
Sekarang Dolores melotot. "Anda ingin bertemu dengan seluruh staf Anda di dalam
Ruang Oval?" "Tepat." "Semuanya sekaligus, Pak?"
"Mengapa tidak" Aturlah untuk pukul empat sore." Sekretaris itu mengangguk,
seolah sedang menyenangkan seorang pasien sakit jiwa. "Baiklah, Pak. Dan rapat
itu akan membicarakan ...?"
"Ada hal penting yang harus kusampaikan kepada rakyat Amerika malam ini. Dan aku
ingin staiku mendengarnya terlebih dahulu."
Tiba-tiba Dolores terlihat sedih, seolah-olah selama ini diam-diam dia sudah
mengkhawatirkan peristiwa ini. Dia kemudian merendahkan suaranya. "Pak, apakah
Anda akan menarik diri dari pertarungan ini?"
Herney tertawa terbahak-bahak. "Tentu saja tidak, Dolores! Aku malah sedang
menambah tenaga untuk bertempur!"
Dolores tampak ragu. Media-media memberitakan bahwa Presiden Herney akan
menyerah sebelum pemilu tiba.
Herney mengedipkan matanya untuk meyakinkan sekretarisnya. "Dolores, kau sudah
bekerja dengan sangat baik sebagai sekretarisku dalam tahun-tahun terakhir ini,
dan kau akan bekerja dengan baik sebagai sekretarisku lagi selama empat tahun
mendatang. Kita akan pertahankan Gedung Putih. Aku bersumpah."
Sang sekretaris tampak ingin memercayai kata-kata yang didengarnya itu.
"Baiklah, Pak. Saya akan memberi tahu semua staf. Pukul empat sore."
KETIKA ZACH Herney memasuki Ruang Oval, dia tidak dapat menahan senyumannya saat
membayangkan seluruh stafnya berdesakan di ruangan kecil ini.
Walau ruang kantor yang hebat ini sudah memiliki banyak nama julukan yang aneh-
aneh selama bertahun-tahun, seperti the Loo, Dick's Den, dan Clinton Bedroom,
nama julukan yang paling disukai Herney adalah "Lobster Trap." Baginya nama itu
paling tepat. Setiap kali seorang pendatang baru memasuki Ruang Oval, dia akan
langsung kebingungan sehingga sulit untuk menemukan jalan keluar apalagi
melarikan diri. Kesime-trisan ruangan tersebut, dinding -dindingnya yang
melengkung dengan lembut, dan pintu-pintu untuk masuk dan keluar yang tersamar,
membuat semua pengunjung merasa pusing, seolah-olah mata mereka ditutup dan
kemudian diputar di dalam ruangan tersebut. Bahkan se ring kali beberapa tamu
penting yang berkunjung ke ruangan ini berdiri, bersalaman dengan Presiden, dan
langsung berjalan ke pintu ruang penyimpanan. Bergantung bagaimana pertemuan
mereka tadi berlangsung, Herney akan menghentikan sang tamu tepat pada waktunya
atau memerhatikan dengan geli ketika sang tamu memper-malukan dirinya sendiri
karena salah membuka pintu.
Herney percaya, hal yang paling mendominasi Ruang Oval adalah gambar burung
elang Amerika yang menghiasi permadani di lantai ruangan tersebut. Cakar kiri
elang tersebut mencengkeram ranting zaitun dan cakar kanannya mencengkeram
seikat anak panah. Hanya sedikit orang luar yang tahu bahwa selama masa damai,
si elang menoleh ke kiri, ke arah ranting zaitun, tetapi dalam masa perang,
secara misterius si elang menoleh ke kanan, ke arah anak-anak panah. Bagaimana
hal itu terjadi sudah menjadi sumber spekulasi tersendiri di kalangan staf
Gedung Putih, karena hal itu hanya diketahui oleh presiden dan kepala pengurus
rumah tangga. Apa yang sebenarnya terjadi di balik kepala elang yang bisa
berganti arah dengan misterius itu sesungguhnya sederhana saja, dan Herney baru
mengetahui hal itu setelah dia menjadi presiden. Di ruang penyimpanan di lantai
bawah tanah tersimpan karpet Ruang Oval yang kedua, dan pengurus rumah tangga
hanya tinggal menggantinya saja secara diam diam.
Sekarang, ketika Herney menatap ke bawah ke arah si elang yang dengan damai
menoleh ke kiri, dia tersenyum. Dia berpikir, mungkin dia seharusnya mengganti
permadani itu sebagai peng-hormatan bagi sebuah perang kecil yang akan
digelarnya me-lawan Senator Sedgewick Sexton.
15 U.S. DELTA FORCE adalah satu-satunya satuan tempur yang dalam kegiatannya
mendapat jaminan kekebalan hukum yang lengkap dari lembaga kepresidenan.
Presidential Decision Directive 25 (PDD 25) memberikan "kebebasan dari segala
pertanggungjawaban hukum" kepada se-mua pasukan Delta Force, termasuk
pengecualian dari 1876 Posse Comiatus Act, sebuah undang-undang yang menghukum
siapa saja yang menggunakan kekuat an militer, penegakan hukum daerah, atau
operasi tersembunyi tanpa izin untuk kepentingan pribadi. Anggota Delta Force
meru-pakan pasukan terpilih dari Combat Applications Group (CAG), sebuah
organisasi rahasia dalam Special Operations Command yang berpangkalan di Fort
Bragg, North Carolina. Pasukan Delta Force adalah para pembunuh yang terlatih.
Mereka ahli dalam operasi-operasi SWAT, penyelamatan sandera, penyerangan
mendadak, dan penghancuran kekuatan lawan yang tersembunyi.
Karena misi-misi Delta Force biasanya menyangkut operasi yang sangat rahasia,
maka rantai komando tradisional yang multi lapisan sering tidak digunakan,
digantikan dengan sistem "monocaput" di mana hanya satu orang yang memiliki
kewenangan untuk mengendalikan unit yang dianggapnya tepat. Pengendali itu
cenderung berasal dari militer atau tokoh penting pemerin -tahan yang memiliki
kedudukan atau pengaruh yang cukup untuk menjalankan misi tersebut. Siapa pun
pengendali misi mereka, misi-misi Delta Force adalah misi rahasia tingkat
tinggi, dan begitu sebuah misi selesai, pasukan Delta Force tidak pernah
membicarakannya lagi, baik dengan sesamanya maupun dengan komandan mereka di
Special Operations Command.
Terbang. Bertempur. Lupakan.
Tetapi tim Delta yang saat ini ditempatkan di atas Delapan Puluh Dua Derajat
Lintang Utara ini tidak sedang terbang atau bertempur. Mereka hanya mengamati.
Delta-One harus mengakui, sejauh ini misi mereka kali ini adalah misi yang
paling tidak lazim. Tetapi dia sudah belajar sejak lama, dia tidak boleh
terkejut dengan apa yang harus dikerjakannya. Dalam lima tahun terakhir ini, dia
telah terlibat dalam berbagai penyelamatan sandera di Timur Tengah dan pelacakan
serta penumpasan kelompok-kelompok teroris kecil yang bekerja di dalam Amerika
Serikat. Bahkan dia juga sudah pernah terlibat dalam operasi menyingkirkan
beberapa orang yang dianggap membahayakan kepentingan Amerika di seluruh dunia.
Baru sebulan yang lalu tim Delta-nya menggunakan sebuah microbot yang
menyebabkan seorang raja obat bius yang kejam asal Amerika Latin terkena
serangan jantung. Dengan menggunakan microbot yang dilengkapi dengan jarum
titanium setipis rambut dan berisi zat am puh yang dapat menyempitkan pembuluh
darah, Delta-Two menerbangkan alat tersebut ke dalam rumah si penjahat melalui
jendela yang terbuka di lantai dua, menemukan kamar tidur si penjahat, dan
kemudian menusuk bahunya ketika dia sedang tidur. Lalu microbot itu kembali
terbang ke luar jendela dan "menghilang tanpa jejak" sebelum orang itu terbangun
dengan rasa sakit di dadanya. Tim Delta sudah terbang pulang ke rumah ketika
istri si penjahat me-nelepon paramedis.
Tidak ada pendobrakan dan penyerbuan. Korban dinyatakan meninggal dengan wajar.
Sungguh sebuah kematian yang indah.
Dalam misinya yang terbaru, sebuah microbot lainnya ditempatkan di dalam kantor
seorang senator ternama untuk memonitor rapat-rapat pribadi dan kemudian
memotret fotofoto hubungan seks yang tidak patut. Tim Delta dengan nada bercanda
menyebut misi itu sebagai "penyusupan ke garis bela-kang musuh."
Sekarang, setelah terperangkap dalam tugas pengintaian di dalam tenda selama
sepuluh hari terakhir, Delta-One ingin tugas ini segera berakhir.
Tetap bersembunyi. Pantau gedung itu, baik di bagian dalam dan luar.
Laporkan pada pengendalimu setiap kali ada perkembangan yang tidak terduga.
Delta-One sudah terlatih untuk tidak pernah melibatkan perasaannya ketika
berhubungan dengan tugasnya. Walau begitu, misi ini berhasil membuat jantungnya
berdebar-debar dengan keras ketika dia dan timnya menerima pengarahan untuk per-
tama kalinya. Pengarahan singkat itu tidak dilakukan dalam pertemuan langsung
seperti layaknya pengarahan pengarahan biasa. Setiap tahap dalam misi ini
dijelaskan melalui saluran elektronik yang aman. Delta-One tidak pernah bertemu
langsung dengan pengendali yang bertanggung jawab atas misi ini.
Delta-One sedang memasak makanan berprotein yang dikeringkan ketika jam
tangannya mengeluarkan suara "bip" ber-samaan dengan jam tangan teman -temannya
yang lain. Beberapa detik kemudian, alat komunikasi CrypTalk di sebelahnya ber-
kedip. Delta-One menghentikan apa yang sedang dikerjakannya dan mengangkat alat
komunikasi yang dapat digenggam itu. Kedua temannya menatapnya tanpa bersuara.
"Delta-One," katanya pada alat komunikasi itu Kedua kata itu langsung dikenali
oleh perangkat lunak pengenal suara di dalam alat tersebut. Kemudian, setiap
kata diubah menjadi kode-kode tersembunyi dan dikirim melalui satelit ke si
penelepon. Di tempat si penelepon, di peralatan yang serupa, kode-kode tadi
dibuka, diterjemahkan kembali ke dalam kata-kata dengan menggunakan kamus
elektronik, dan kemudian kata-kata tadi diucapkan oleh suara sintetis yang mirip
suara robot. Total jeda adalah delapan puluh mili detik.
"Pengendali di sini," kata seseorang yang mengawasi operasi itu. Suara robot
dari mesin CrypTalk terdengar menakutkan, tidak mirip manusia, dan tidak jelas
apakah itu suara perempuan atau suara laki-laki. "Bagaimana operasi kalian?"
"Semuanya berjalan seperti yang direncanakan," jawab Delta-One.
"Bagus sekali. Aku memiliki perkembangan terbaru. Informasi itu akan diumumkan
pada pukul delapan malam Waktu Bagian Timur."
Delta-One menatap jam tangan chronographnya.. Tinggal delapan jam lagi.
Pekerjaannya di sini akan segera berakhir. Itu kabar yang menyenangkan.
"Tetapi ada perkembangan baru," kata si pengendali. "Seorang pemain baru telah
memasuki arena." "Pemain baru apa?"
Delta-One mendengarkan penjelasan dari pengendali misinya. Pertaruhan yang
menarik. Seseorang di luar sana sedang berusaha mempertahankan sesuatu.
"Menurutmu, perempuan itu bisa dipercaya?"
"Dia harus diawasi dengan sangat saksama." "Dan jika ada masalah?"
Tidak terdengar adanya keraguan dari suara di saluran itu. "Itu wewenangmu."
16 RACHEL SEXTON sudah terbang ke arah utara selama lebih dari satu jam. Selain
pemandangan sekilas ketika mereka melewati Newfoundland, selama penerbangan itu
dia tidak melihat apa-apa kecuali air di bawah pesawat F-14 yang ditumpanginya.
Mengapa harus air" katanya dalam hati sambil meringis. Saat berusia tujuh tahun
Rachel pernah terperosok ke dalam air ketika sedang bermain ice-skating di
sebuah kolam. Ternyata lapisan es di permukaan kolam itu belum cukup padat. Dia
terperangkap di balik lapisan es dan yakin akan mati. Untunglah ibunya
menolongnya dengan menariknya keluar dari air. Sejak kejadian yang mengerikan
itu, Rachel harus berjuang melawan hydrophobia yang dirasakannya. Dia selalu
ketakutan dengan permukaan air yang luas, terutama air dingin. Hari ini, di mana
hanya Atlantik Utara yang dapat terlihat oleh pandangannya, ketakutan lama itu
kembali muncul. Ketika si pilot memeriksa posisinya dengan menghubungi Thule Air Force Base di
sebelah utara Greenland, barulah Rachel sadar sudah seberapa jauh mereka
terbang. Aku berada di atas Lingkar Kutub Utara" Kesadaran itu membuatnya
bertambah cemas. Ke mana mereka akan membawaku" Apa yang sudah ditemukan NASA"
Tidak lama setelah itu, warna biru laut yang terbentang luas di bawahnya berubah
menjadi hamparan yang diwarnai ribuan titik putih.
Gunung es. Rachel baru melihat gunung es itu satu kali dalam hidupnya, yaitu enam tahun
yang lalu. Ketika itu ibunya membujuknya untuk bergabung bersamanya dalam
pelayaran ke Alaska. Rachel sudah mengusulkan berbagai macam pilihan tempat
liburan lainnya di darat, namun ibunya bersikeras. "Rachel sayang," kata ibunya,
"dua pertiga dari planet ini tertutup air. Cepat atau lambat, kau harus belajar
menghadapinya." Mrs. Sexton berasal dari New England dan berkeinginan untuk
membesarkan anak perempuannya itu agar bermental kuat, sesuai dengan asal-
usulnya. Ternyata pelayaran itu merupakan liburan terakhir Rachel bersama ibunya.
Katherine Wentworth Sexton. Tiba-tiba Rachel merasa sangat kesepian. Seperti
deru angin di luar jendela pesawat nya, kenangan itu datang dan mengusik dirinya
seperti yang selalu terjadi setiap kali dia memikirkannya. Percakapan terakhir


Titik Muslihat Deception Point Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mereka berlangsung melalui telepon di pagi hari saat perayaan Thanksgiving.
"Maafkan aku, Bu," kata Rachel ketika dia menelepon rumah orang tuanya dari
bandara O'Hare yang tertimbun salju. "Aku tahu keluarga kita tidak pernah
merayakan hari Thanksgiving secara terpisah seperti ini. Tampaknya kali ini
adalah yang pertama bagi kita." Rachel tidak dapat terbang karena bandara
tertutup salju. Suara ibu Rachel terdengar kecewa sekali. "Aku sangat ingin bertemu denganmu."
"Aku juga begitu, Bu. Bayangkan aku sedang makan makanan bandara, sementara Ibu
dan Ayah berpesta kalkun."
Ada jeda sejenak dalam sambungan telepon tersebut. "Rachel, aku sebenarnya tidak
ingin mengatakannya padamu hingga kau sampai di sini. Ayahmu bilang dia terlalu
banyak pekerjaan sehingga tidak dapat pulang dalam perayaan tahun ini. Dia akan
menginap di suite-nya. di D.C. selama akhir pekan ini."
"Apa!" Keheranan Rachel segera berubah menjadi kemarahan. "Tetapi ini hari
Thanksgiving. Senat tidak ada kegiatan! Tidak lebih dari dua jam untuk sampai ke
rumah. Ayah seharusnya bersama Ibu!"
"Aku tahu. Ayahmu bilang, dia letih ... terlalu letih untuk mengemudi. Dia
memutuskan untuk melewatkan akhir pekannya dan berkutat dengan pekerjaannya yang
menumpuk." Pekerjaan" Rachel ragu-ragu. Dugaan yang lebih mungkin adalah, Senator Sexton
akan berkutat dengan perempuan lain. Ketidaksetiaan ayahnya, walau disembunyikan
dengan rapi, telah berlangsung selama bertahun-tahun.Mrs. Sexton bukanlah orang
bodoh, tetapi perselingkuhan suaminya selalu disertai dengan alibi yang
meyakinkan. Fakta bahwa suaminya bisa tidak setia sungguh melukai kehormatan
dirinya. Akhirnya, Mrs. Sexton tidak memiliki pilihan lain kecuali mengubur rasa
sakit hatinya dengan berpura-pura tidak melihat perbuatan suaminya. Walau Rachel
telah mengusulkan perceraian pada ibunya, namun Katherine Wentworth Sexton
adalah orang yang memegang kata-katanya. Hingga kematian memisahkan kita, begitu
dia memberi tahu Rachel. Ayahmu telah memberkati ku dengan kehadiranmu, seorang
putri yang cantik, dan untuk itu aku berterima kasih padanya. Dia akan
mempertanggungjawabkan perbuatannya itu kepada Tuhan suatu hari kelak.
Saat itu Rachel sedang berdiri di bandara. Kemarahannya mendidih. "Tetapi itu
berarti Ibu akan sendirian pada hari Thanksgiving ini!" Rachel tidak hanya
merasa marah, tetapi juga jijik. Tindakan sang senator meninggalkan keluarganya
pada hari Thanksgiving merupakan tindakan yang tercela, bahkan untuk ukuran
ayahnya yang bejat itu. "Yah ...," kata Mrs. Sexton. Suaranya terdengar kecewa walau dia berusaha untuk
menyembunyikannya. "Aku jelas tidak dapat membiarkan makanan ini terbuang sia-
sia. Aku akan meng-antarnya ke rumah Bibi Ann. Selama ini dia selalu mengundang
kita setiap hari Thanksgiving. Aku akan meneleponnya sekarang."
Rachel jadi merasa sedikit bersalah. "Baiklah. Aku akan pulang secepatnya. Aku
sayang padamu, Bu." "Hati-hati, Sayangku."
Saat itu pukul 10:30 malam ketika taksi yang ditumpangi Rachel menepi di pinggir
jalan di depan rumah keluarga Sexton yang mewah. Rachel langsung tahu ada yang
tidak beres. Tiga buah mobil polisi terparkir di jalan masuk menuju rumahnya.
Beberapa van media massa juga ada di sana. Semua lampu di rumah menyala. Rachel
berlari masuk, jantungnya berpacu.
Seorang petugas polisi Negara Bagian Virginia menemuinya di depan pintu.
Wajahnya muram. Polisi itu tidak perlu menga-takan apa-apa. Rachel sudah tahu,
ada yang mengalami kecelakaan.
"Route Twenty-five menjadi licin karena hujan yang sangat dingin," kata polisi
itu. "Ibumu tergelincir ke luar jalan dan masuk ke jurang. Aku turut berduka.
Dia tewas di tempat."
Tubuh Rachel menjadi mati rasa. Ayahnya segera pulang begitu dia mendengar
berita itu. Sekarang dia berada di ruang tamu, sedang mengadakan konferensi pers
kecil, dan dengan tenang mengumumkan kepada masyarakat bahwa istrinya telah
meninggal dunia dalam kecelakaan mobil ketika pulang dari perayaan Thanksgiving
bersama keluarga. Rachel berdiri di sisi rumah, terisak-isak selama konferensi itu berlangsung.
Ayahnya berkata kepada media dengan mata penuh air mara, "Andai saja aku berada
di rumah pada akhir minggu ini, ini pasti tidak akan terjadi."
Kau seharusnya sudah memikirkan hal itu bertahun-tahun yang lalu, seru Rachel
dalam hati. Kebencian terhadap ayahnya menjadi semakin dalam.
Sejak saat itu, Rachel memisahkan diri dari ayahnya dengan cara yang tidak
pernah dilakukan Mrs. Sexton. Sang senator sepertinya tidak menyadari hal itu.
Tiba-tiba saja dia menjadi sangat sibuk dan menggunakan kekayaan mendiang
istrinya untuk mulai mencari dukungan partainya sebagai kandidat pre-siden.
Bahwa suara yang didapat adalah sematamata karena rasa kasihan publik dengan
kematian istrinya tidaklah menjadi masalah baginya.
Dan tiga tahun kemudian, dengan kejamnya ayahnya secara tidak langsung membuat
hidup Rachel semakin kesepian. Ke-giatan ayahnya berkampanye untuk menduduki
Gedung Putih telah menunda mimpi Rachel untuk mendapat kan seorang lelalci dan
memulai hidup berkeluarga, entah sampai kapan. Menurut Rachel, lebih mudah
baginya untuk menarik diri dari kehidupan sosial daripada harus berurusan dengan
para lelaki Washington yang haus kekuasaan dan berharap dapat menikahi "putri
presi-den" saat si putri masih lajang.
DI LUAR pesawat F-14, sinar matahari mulai memudar. Saat itu adalah akhir musim
salju di Kutub Utara,. saat kegelapan terus-menerus menyelimuti. Rachel sadar
dia sedang menuju ke tempat di mana malam hari terus berlangsung.
Ketika menit-menit berlalu, matahari meredup dan terbenam ke balik garis
cakrawala. Rachel dan sang pilot masih terus terbang ke utara. Bulan tiga-
perempat dengan warnanya yang putih muncul di atas hamparan yang berisikan es
yang gemerlap seperti kristal. Jauh di bawahnya, ombak samudra berkilauan dan
gunung-gunung es tampak bagaikan permata yang dijahitkan pada rajutan manik-
manik berwarna gelap. Akhirnya, Rachel melihat garis berkabut di daratan. Tetapi itu bukanlah yang
diperkirakannya. Menjulang dari atas laut di hadapan pesawat yang ditumpanginya
terlihat serangkaian pegu-nungan dengan puncak yang bersalju.
"Pegunungan?" tanya Rachel dengan bingung. "Ada pegunungan di sebelah utara
Greenland?" "Tampaknya begitu," kata si pilot. Suaranya terdengar sama terkejutnya.
Ketika hidung F-14 mengarah ke bawah, Rachel merasakan sensasi tanpa bobot yang
menakutkan. Di antara denging di telinganya, dia dapat mendengar dentingan
elektronik berulang-ulang dari arah kokpit. Tampaknya si pilot sedang
berhubungan dengan semacam mercusuar penunjuk arah dan sedang meng ikuti
instruksi dari sana. Ketika mereka terbang pada ketinggian di bawah tiga ribu kaki, Rachel menatap
kawasan di bawah mereka yang diterangi sinar rembulan yang indah. Di kaki
pegunungan itu terham par dataran bersalju yang luas. Dataran itu membentang
dengan anggun kira-kira sepuluh mil ke arah laut dan dibatasi tebing curam dari
es padat yang menukik dengan curam ke samudra.
Saat itulah Rachel melihatnya. Sebuah pemandangan yang belum pernah dia lihat di
mana pun di muka bumi ini. Pada awalnya dia mengira sinar bulan pasti sedang
mempermain kan penglihatannya. Rachel menyipitkan matanya dan menatap ke arah
lapangan bersalju di bawahnya, tetapi dia masih tidak sanggup untuk memahami apa
yang sedang dilihatnya itu. Semakin pesawat itu merendah, semakin jelas gambaran
tersebut. Apa itu" Dataran di bawah mereka bergaris-garis ... seolah seseorang telah melukisi salju
di permukaan dataran tersebut dengan tiga garis dari cat perak. Garis-garis yang
berkilauan itu tergores sejajar ke arah tebing di sisi pantai. Ilusi penglihatan
tersebut akhirnya menjadi jelas ketika pesawat itu terbang serendah lima ratus
kaki. Ketiga garis perak itu adalah ceruk yang dalam dan panjang dengan lebar
masingmasing tiga puluh yard. Ceruk-ceruk itu terisi air yang membeku, membentuk
tiga saluran air berwarna keperakan yang terbentang sejajar membelah dataran
itu. Pinggiran berwarna putih di antara ceruk-ceruk itu adalah gundukan salju
yang membentuk tanggul. Ketika mereka menukik ke arah dataran itu, pesawat itu mulai terombang-ambing
naik-turun dalam gelombang angin yang kuat. Rachel mendengar roda pendaratan
keluar dengan suara keras, tetapi dia masih belum melihat landasan untuk
mendarat. Ketika si pilot berjuang untuk mengendalikan pesawatnya, Rachel
melongok ke luar dan melihat dua deret lampu yang berkedip-kedip dan mengapit
sisi paling luar dari cerukan es tersebut. Rachel menjadi ketakutan ketika dia
tahu apa yang akan dilakukan pilotnya.
"Kita akan mendarat di atas es?" tanya Rachel.
Si pilot tidak menjawab. Dia sedang memusatkan perhatiannya pada angin yang
bertiup keras. Rachel merasakan nyalinya ciut ketika pesawat itu turun dan
menukik ke arah saluran es di bawahnya. Tanggul dari salju yang menumpuk tinggi
itu berterbangan di kedua sisi pesawat, dan Rachel menahan napas-nya karena dia
tahu kesalahan perhitungan sekecil apa pun dalam pendaratan di saluran sempit
itu berarti kematian. Pesawat itu terayun-ayun semakin rendah di antara tanggul
es itu, dan turbulensi yang tadi muncul tiba-tiba menghilang. Karena ter-lindung
dari angin, pesawat itu dapat mendarat dengan sem-purna di atas landasan es.
Mesin jet di bagian belakang Tomcat masih meraung keras ketika pesawat itu
memperlambat lajunya. Rachel mengembuskan napas dengan lega. Jet tersebut masih
berjalan kira-kira seratus yard lagi dan berhenti pada garis yang dicat dengan
warna merah di atas es. Pemandangan di sebelah kanan hanyalah tembok es yang disinari rembulan. Itu
adalah tanggul salju yang dilihatnya di atas tadi. Pemandangan di sebelah kiri
juga serupa. Hanya melalui jendela di depan mereka Rachel dapat melihat
sesuatu ... sebuah hamparan es yang tidak berbatas. Dia merasa seperti mendarat
di planet yang tidak ditinggali satu makhluk hidup pun. Selain garis di atas es
itu, tidak ada lagi tanda-tanda kehidupan.
Kemudian Rachel mendengar sesuatu. Di kejauhan, bunyi mesin yang lain mendekat
dengan lengkingan yang lebih tinggi. Bunyi itu menjadi semakin keras ketika
mesin itu muncul di hadapannya. Mesin itu adalah sebuah traktor salju berukuran
besar yang bergerak di atas tanggul es dan menuju ke arah me-reka. Dengan
bentuknya yang tinggi dan kurus, traktor itu ter-lihat seperti serangga
futuristik yang menjulang tinggi dan ber-gerak ke arah mereka dengan kakinya
yang berputar-putar. Jauh di bagian atasnya terlihat kabin yang tertutup kaca
plexi dengan lampu-lampu benderang yang menyinari jalan di depannya.
Mesin itu bergetar lalu berhenti tepat di sisi F-14. Ketika pintu kabin dari
kaca plexi itu terbuka, seorang lelaki menuruni tangga dan mendarat di atas es.
Lelaki itu terbungkus jumpsuit berwarna putih dari kepala hingga ujung kakinya.
Pakaian itu terlihat menggembung sehingga terkesan orang itu baru saja dipompa
dari dalam. Rachel merasa lega karena planet aneh ini setidaknya ada penghuninya juga.
Lelaki itu memberi tanda kepada si pilot untuk membuka atap pesawat. Si pilot
mematuhinya. Ketika kokpit itu terbuka, embusan udara dingin yang menerpa tubuh Rachel
membuat dirinya membeku. Tutup atap sialan itu! "Ms. Sexton?" orang itu berseru padanya dengan aksen Amerika. "Atas nama NASA,
aku menyambutmu." Rachel menggigil. Terima kasih banyak.
"Silakan buka sabuk pengamanmu, tinggalkan helm di atas pesawat, dan turunlah
dengan menggunakan tangga di tubuh pesawat. Ada pertanyaan?" "Ya," seru Rachel.
"Di mana aku?" 17 MARJORIE TENCH, penasihat senior Presiden, terlihat seperti kerangka berjalan.
Tubuhnya yang setinggi enam kaki itu mirip menara konstruksi yang dilengkapi
dengan lengan dan kaki. Di atas tubuhnya yang kerempeng itu bertengger sebuah
wajah getir dengan kulit yang keriput dan mata tanpa emosi. Pada usia lima puluh
tahun, Marjorie Tench terlihat seperti berusia tujuh puluh tahun.
Di Washington, Tench dianggap sebagai dewi dalam kancah politik. Kabarnya dia
memiliki keahlian analitis yang hanya dimiliki ahli nujum. Pengalamannya selama
puluhan tahun memimpin Biro Intelijen dan Penelitian di Departemen Luar Negeri
telah mengasah pikirannya sehingga menjadi tajam dan kritis. Sayangnya, di
samping kecerdasan politisnya, dia juga memiliki karakter yang dingin seperti es
sehingga hanya segelintir orang yang mampu bertahan lebih dari beberapa menit
dengan -nya. Marjorie Tench memang memiliki otak super seperti kom-puter, namun
kehangatannya pun seperti komputer juga. Tetapi Presiden Zach tidak mengalami
kesulitan untuk menerima Marjorie apa adanya. Bisa dikatakan, intelektualitas
dan kerja keras perempuan tersebut merupakan penyebab utama Herney menjadi orang
nomor satu di negeri ini.
"Marjorie," kata Presiden sambil berdiri untuk menyam butnya di Ruang Oval. "Apa
yang dapat kubantu?" Dia tidak mempersilakan Marjorie duduk. Sopan santun biasa
tidak cocok bagi perempuan seperti Marjorie Tench. Kalau dia ingin duduk, dia
pasti akan duduk tanpa diminta.
"Aku tahu kau akan mengadakan pengarahan singkat pada pukul empat sore nanti."
Suara Marjorie terdengar serak akibat rokok yang biasa dihisapnya. "Bagus
sekali." Tench diam sesaat, dan Herney dapat merasakan otak perempuan itu kembali bekerja
dengan cepat. Presiden bersyukur untuk itu. Marjorie Tench adalah salah satu
dari sedikit staf pilihan Presiden yang sangat mengerti tentang penemuan NASA,
dan keahliannya di bidang politik membantu Presiden dalam menyusun strategi.
"Debat di CNN pukul satu siang hari ini," kata Tench sambil terbatuk. "Siapa
yang akan kita kirim untuk menghadapi Sexton?"
Herney tersenyum. "Seorang juru kampanye junior kita." Taktik politik untuk
membuat kecewa "sang pemburu" dengan tidak pernah mengirimkan umpan besar adalah
taktik klasik. "Aku punya gagasan yang lebih baik," kata Tench. Sorot matanya yang dingin
menatap Presiden. "Biarkan aku yang menghadapinya sendiri."
Zach Herney tersentak. "Kau?" Apa yang kaupikirkan" "Marjorie, kau tidak perlu
berurusan dengan media. Lagi pula, itu hanya siaran televisi kabel di siang
hari. Jika aku mengirim penasihat seniorku, apa kata orang" Kita akan tampak
panik." "Tepat sekali."
Herney mengamatinya. Skema apa pun yang dipikirkan Tench, dia tidak akan
mengizinkan perempuan itu muncul di CNN. Siapa pun yang pernah melihat Marjorie
Tench pasti tahu mengapa perempuan itu bekerja di balik layar. Tench adalah
wanita dengan wajah menakutkan, bukan orang yang pantas dikirim Presiden untuk
menyampaikan pesan Gedung Putih.
"Aku yang akan menangani debat CNN ini," kata Tench mengulangi pernyataannya.
Kali ini dia tidak minta izin.
"Marjorie," potong Presiden dengan cepat, "staf kampanye Sexton jelas akan
menganggap kemunculanmu ini sebagai bukti bahwa Gedung Putih sudah lari
ketakutan. Mengirim kan senjata besar yang kita punya akan membuat kita tampak
putus asa." Perempuan itu mengangguk tanpa mengeluarkan sepatah kata dan menyalakan
rokoknya. "Semakin putus asa kita terlihat, semakin baik."
Kemudian selama enam puluh detik berikutnya, Marjorie Tench menjelaskan mengapa
Presiden harus mengirim dirinya dan bukannya seorang staf kampanye rendahan
untuk menghadiri debat CNN. Ketika Tench selesai, Presiden hanya dapat menatap
perempuan itu dengan kagum.
Sekali lagi, Marjorie Tench membuktikan dirinya sebagai orang yang jenius dalam
politik. 18 MILNE ICE SHELF merupakan dataran es terapung yang terbesar di Kutub Utara.
Terletak di atas Delapan Puluh Dua Derajat Lintang Utara di pantai utara Pulau
Ellesmere di Arktika, Milne Ice Shelf memiliki lebar empat mil dengan ketebalan
lebih dari tiga ratus kaki.
Ketika Rachel memanjat ke kotak kaca Plexi di atas traktor itu, dia merasa
bersyukur menemukan mantel dan sarung tangan ekstra yang telah menunggunya di
atas jok, dan juga untuk angin hangat yang mengalir keluar dari lubang angin
traktor tersebut. Di luar, di landasan pacu es, mesin pesawat F-14 menderu-deru,
lalu pesawat itu mulai berjalan menjauh.
Rachel menatap dengan was-was. "Dia pergi?"
Tuan rumah barunya ikut masuk ke dalam traktor sambil mengangguk. "Hanya ilmuwan
dan anggota tim pendukung NASA yang berkepentingan saja yang boleh berada di
sini." Ketika F-14 akhirnya terbang ke langit tanpa matahari itu, Rachel tiba-tiba
merasa seperti terdampar.
"Kita akan menggunakan IceRover dari sini," kata lelaki itu. "Administrator NASA
sedang menunggu." Rachel menatap ke luar, ke jalan es berwarna keperakan di hadapan mereka, dan
berusaha membayangkan apa yang dikerja-kan Administrator NASA di sini.
"Berpeganganlah," seru lelaki NASA itu sambil mengatur beberapa tongkat
pengungkit. Dengan suara keras, mesin traktor itu berputar sembilan puluh
derajat di tempat, seperti tank militer. Sekarang mereka menghadap ke tanggul es


Titik Muslihat Deception Point Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

yang tinggi itu. Rachel melihat tanjakan yang terjal itu dan mulai merasa ketakutan. Dia tidak
mungkin kan bermaksud untuk -
"Rock and roll!" Pengemudi itu melepas rem, dan kendaraan tersebut langsung maju
ke arah sisi tanggul yang miring itu. Rachel berteriak tertahan dan berpegangan.
Ketika mere ka melaju di tanjakan itu, roda bergerigi traktor itu menghujam ke
dalam salju, dan kendaraan aneh itu mulai mendaki. Rachel yakin mereka akan
terjungkal ke belakang, tetapi ternyata kabin mereka tetap dalam posisi
horizontal saat mereka menggelinding menaiki lereng itu. Ketika kendaraan besar
itu naik ke atas puncak tanggul, si pengemudi menghentikan mesinnya dan menatap
penumpangnya yang pucat pasi dengan berseri-seri. "Coba laku-kan itu pada mobil
SUV! Kami meniru rancangan shock-system dari Mars Pathfinder dan menerapkannya
pada mesin ini! Kau lihat sendiri, kan, betapa hebatnya."
Rachel m engangguk lemah. "Hebat."
Dari atas puncak gundukan salju, Rachel melihat keluar, ke arah pemandangan yang
tidak masuk akal baginya. Satu lagi gundukan salju yang besar terlihat depan
mereka, dan setelah itu habis. Dari kejauhan terlihat salju yang mendat ar
membentuk sebuah lapangan luas berkilauan yang sangat landai. Hamparan es yang
diterangi cahaya bulan itu terentang hingga jauh, dan akhirnya menyempit dan
berkelok naik ke pegunungan.
"Itu Milne Glacier," kata pengemudi itu sambil menunjuk ke pegunungan. "Mulai
dari atas sana dan mengalir ke bawah hingga ke area luas yang kita injak
sekarang ini." Lalu si pengemudi menyalakan mesinnya lagi, dan Rachel berpegangan ketika
kendaraan itu menuruni jalur yang curam itu. Setelah sampai di bawah, mereka
menyeberangi cerukan es lagi dan menaiki gundukan berikutnya. Setelah mendaki
hingga ke puncak lalu dengan cepat meluncur ke bawah di sisi lainnya, mereka
akhirnya tiba di hamparan es itu dan mulai menyusurinya.
"Seberapa jauh?" tanya Rachel ketika dia tidak melihat hal lainnya kecuali es di
depan mereka. "Kira-kira dua mil ke depan."
Rachel merasa itu jauh. Angin di luar memukul-mukul tanpa ampun seakan ingin
mendorong mereka kembali ke laut.
"Itu angin katabatic" teriak si pengemudi. "Biasakanlah!" Dia lalu menjelaskan
bahwa kawasan ini memiliki angin laut yang kencang yang selalu bertiup yang
disebut katabatic, berasal dari bahasa Yunani yang artinya mengalir menuruni
bukit. Angin yang terus-menerus menderu itu tampaknya adalah hasil dari udara
yang sangat dingin yang "mengalir" ke bawah menuju permukaan es seperti sungai
yang bergolak menuruni bukit. "Ini adalah satu-satunya tempat di bumi," tambah
si pengemudi sambil tertawa, "di mana neraka pun membeku!"
Beberapa menit kemudian, Rachel mulai melihat sebuah bentuk yang kabur di
kejauhan di depan mereka, siluet sebuah kubah putih besar yang muncul dari
salju. Rachel menggosok matanya. Apa itu ...."
"Eskimo besar di atas sini, ya?" kata lelaki itu bergurau. Rachel mencoba
memahami bangunan apa itu. Bangunan itu terlihat seperti Houston Astrodome dalam
skala lebih kecil. "NASA mendirikannya sepuluh hari yang lalu," katanya lagi. "Dibuat dengan
plexipolysorbate multi-tahap yang dapat dipompa. Pompa bagian-bagiannya, susun
bagian-bagian itu satu sama lain, kemudian hubungkan semuanya di es dengan pasak
dan kabel. Dari luar terlihat seperti atap tenda besar yang tertutup, tetapi itu
sebenarnya sebuah prototipe NASA untuk tempat tinggal yang dapat dipindah
-pindahkan yang kami harap dapat diguna-kan di Mars suatu hari kelak. Kami
menyebutnya 'habisphere."
"Habisphere?" "Ya. Tahu kenapa" Karena itu bukan whole sphere, 'lingkungan menyeluruh,' tetapi
hanya habisphere, 'lingkungan terbatas.
Rachel tersenyum dan menatap gedung aneh yang sekarang tampak makin dekat di
atas dataran es itu. "Dan karena NASA belum pernah pergi ke Mars, kalian
memutuskan untuk berkemah secara besar-besaran di sini, begitu?"
Lelaki itu tertawa. "Sebenarnya aku lebih memilih Tahiti, tetapi nasib telah
menentukan lokasi ini."
Rachel menatap dengan perasaan tidak yakin pada bangunan itu. Bagian luarnya
yang keputih-putihan itu tam pak seperti hantu ketika disandingkan dengan langit
yang gelap. Ketika IceRover mendekati bangunan kubah itu, kendaraan itu berhenti
di depan sebuah pintu kecil di sisi bangunan tersebut yang sekarang terbuka.
Cahaya dari dalam menerangi salju di luar. Kemudian seseorang melangkah keluar.
Lelaki itu seperti raksasa gemuk yang mengenakan sweater hitam dari kulit domba
yang semakin memperbesar ukuran tubuhnya dan membuatnya tam -pak seperti
beruang. Dia bergerak mendekati IceRover.
Rachel tidak ragu siapa lelaki besar itu. Dia adalah Lawrence Ekstrom,
Administrator NASA. Si pengemudi tersenyum menenteramkan. "Jangan tertipu dengan ukuran tubuhnya
yang besar. Orangnya sangat ramah seperti kucing."
Lebih tepat seperti harimau, kata Rachel dalam hati yang mengetahui betul
reputasi Ekstrom yang selalu menerkam mereka yang mencoba-coba menghalangi
impiannya. Ketika Rachel menuruni IceRover, angin hampir saja menerbangkannya. Dia
merapatkan mantelnya dan bergerak ke arah kubah it u.
Administrator NASA menyambutnya di tengah jalan sam bil mengulurkan tangannya
yang bersarung tangan sangat besar. "Ms. Sexton, terima kasih mau datang."
Rachel mengangguk ragu-ragu dan berseru untuk mengalahkan deru angin. "Terus
terang, Pak, saya tidak yakin punya pilihan lain."
Seribu meter jauhnya dari tempat itu, Delta-One menatap melalui teropong infra
merah dan mengamati Adminstrator NASA mengajak Rachel masuk ke dalam kubah itu.
19 ADMINISTRATOR NASA Lawrence Ekstrom bertubuh besar, berkulit kemerah-merahan dan
kasar, seperti dewa Norwegia yang sedang marah. Rambut pirangnya yang tegak
dipangkas pendek gaya militer dengan alis yang berkerut di bawahnya, sementara
hidungnya yang bulat dihiasi urat-urat berwarna kemerahan. Pada saat itu,
matanya yang bersinar dingin terlihat sayu karena tidak tidur selama beberapa
malam. Sebagai mantan ahli strategi ruang angkasa dan penasihat operasi di
Pentagon sebelum menjabat di NASA, reputasi Ekstrom yang galak sebanding dengan
dedikasinya untuk mengerjakan misi yang di-tenmanya.
Ketika Rachel Sexton mengikuti Lawrence Ekstrom memasuki habisphere, perempuan
itu merasa sedang berjalan memasuki jalinan lorong-lorong tembus cahaya yang
mengerikan. Jaringan labirin itu tampak dihiasi lembaran plastik tembus cahaya
yang digantung pada untaian kabel-kabel kaku. Lantainya sebetulnya semu - hanya
berupa es beku yang ditutupi dengan karpet bergaris-garis dari karet agar tidak licin ketika
ditapaki. Mereka melewati ruang tamu utama dan kemudian beberapa tempat tidur
serta toilet kimia. Untungnya, udara di dalam habisphere itu hangat, walau bercampur dengan aroma
pengap yang biasa muncul ketika sekelompok orang berada di dalam lingkungan yang
sempit. Di suatu tempat terdengar sebuah generator berdengung. Tampaknya
generator itu merupakan sumber tenaga listrik untuk menyalakan bola-bola lampu
yang bergantungan di lorong itu.
"Ms. Sexton," Ekstrom bergumam sambil mengantar Rachel dengan langkah cepat ke
tujuan yang belum jelas. "Izinkan saya untuk berterus terang sejak awal." Nada
suaranya menyampaikan ketidaksenangannya akan kedatangan Rachel ke tempatnya.
"Anda ada di sini karena Presiden ingin Anda ada di sini. Zach Herney adalah
teman baik saya dan pendukung setia NASA. Saya menghormatinya. Saya berhutang
budi padanya. Dan saya memercayainya. Saya tidak mempertanyakan perintah
langsungnya, bahkan ketika saya tidak menyukai perintah itu. Supaya tidak ada
salah paham, ketahuilah bahwa saya tidak seantusias dia untuk melibatkan Anda
dalam hal ini." Rachel han ya dapat menatap sang administrator. Aku baru menempuh perjalanan
tiga ribu mil hanya untuk menerima keramahan seperti ini" Orang ini betul-betul
tidak hangat. "Dengan segala hormat," kata Rachel balas menyerang, "saya juga ke
sini atas perintah Presiden. Saya belum diberi tahu untuk apa saya di sini. Saya
melakukan perjalanan ini atas dasar prasangka baik."
"Baiklah," kata Ekstrom. "Kalau begitu saya akan berbicara terus terang."
"Anda sudah memulainya dengan sangat jelas."
Jawaban Rachel yang tangguh sepertinya mengagetkan sang administrator.
Langkahnya melambat sesaat. Matanya menjadi begitu terfokus ketika mengamati
Rachel. Kemudian, seperti ular yang melepas lilitannya, dia mendesah panjang dan
me-lanjutkan langkahnya. "Mengertilah," Ekstrom mulai lagi, "Anda ada di sini untuk proyek rahasia NASA,
walaupun saya kurang menyetujuinya. Bukan saja karena Anda mewakili NRO yang
direkturnya senang menghina orang-orang NASA sebagai anak-anak yang tidak dapat
menyimpan rahasia, tetapi juga karena Anda putri dari seorang lelaki yang
memiliki misi pribadi untuk menghancurkan lembaga saya. Seharusnya saat ini
adalah masa-masa kegemilangan NASA. Orang-orang saya telah menerima banyak
kritikan akhir-akhir ini dan mereka berhak atas masa kejayaan ini. Tetapi,
karena arus keraguan yang dipelopori dan dipimpin ayah-mu, NASA menjadi terlibat
dalam situasi politik di mana orang-orang saya yang telah bekerja keras itu
terpaksa berbagi sorotan publik dengan para ilmuwan sipil lain dan putri dari
seorang lelaki yang sedang berusaha menghancurkan kami."
Aku bukan ayahku. Rachel ingin meneriakkan itu, tetapi ini sama sekali bukan
waktunya untuk berdebat politik dengan pimpinan NASA. "Saya ke sini tidak untuk
mendapatkan sorotan itu, Pak."
Ekstrom melotot. "Anda mungkin akan tidak punya pilihan lain."
Komentar itu mengejutkan Rachel. Walau Presiden Herney belum mengatakan dengan
jelas bantuan apa pun yang bersifat "publik" yang ingin dimintanya dari Rachel,
namun William Pickering telah jelas mengatakan kecurigaannya tentang kemungkinan
Rachel akan menjadi pion politik. "Saya ingin tahu apa yang akan saya lakukan di
sini," tuntut Rachel.
"Anda dan saya ... kita berdua tidak tahu tentang hal itu." "Maaf?"
"Presiden hanya meminta saya untuk memberikan pengarahan lengkap tentang
penemuan kami begitu Anda tiba. Apa pun peran Anda yang diinginkan Presiden
dalam sirkus ini, itu urusan antara Anda dan Presiden."
"Kata Presiden, Earth Observation System telah berhasil menemukan sesuatu."
Ekstrom melirik ke arah Rachel. "Seberapa jauh pengetahuan Anda tentang proyek
EOS?" "EOS adalah konstelasi lima satelit NASA yang mengawasi bumi dalam berbagai
cara, seperti pemetaan samudra, analisa geologi bawah tanah, observasi pencairan
es, pencarian tempat persediaan bahan bakar fosil- - "
"Bagus," kata Ekstrom dengan nada yang terdengar tidak terkesan. "Jadi, kau
sudah tahu satelit terbaru EOS" Namanya PODS."
Rachel mengangguk. Polar Orbiting Density Scanner dirancang untuk mengukur
dampak pemanasan global. "Sejauh pemahaman saya, PODS mengukur ketebalan dan
kekerasan lapisan atas kutub es?"
"Efeknya memang begitu. PODS menggunakan teknologi rentang spektrum untuk
melakukan pemindaian kepadatan gabungan dari kawasan yang luas guna menemukan
anomali terkecil di dalam es, seperti titik-titik lumpur salju, pencairan di
bagian dalam, dan retakan besar, yang merupakan gejalagejala pemanasan global."
Rachel tidak asing lagi dengan pemindaian kepadatan gabungan. Teknologi ini
mirip gelombang ultrasonik bawah tanah. Sat elit NRO juga menggunakan teknologi
serupa untuk mencari varian kepadatan di bawah permukaan tanah di Eropa Timur
dan menemukan lokasi-lokasi pemakaman masal yang mera-berikan konfirmasi kepada
Presiden bahwa pemusnahan etnis memang telah terjadi.
"Dua minggu lalu," kata Ekstrom, "PODS melewati dataran es ini dan menemukan
anomali kepadatan yang jauh di luar dugaan kami. Dua ratus kaki di bawah
permukaan, tertanam dengan sempurna dalam sebuah lapisan es yang padat, POD
melihat sesuatu yang mirip bulatan yang tidak berbentuk, kira-kira berdiameter
sepuluh kaki." "Sebuah kantung air?" tanya Rachel.
"Bukan. Ini tidak cair. Anehnya, anomali ini lebih keras daripada es di
sekitarnya." Rachel berhenti sejenak. "Sebuah batu besar atau semacamnya"
Ekstrom mengangguk. "Intinya begitu."
Rachel menunggu kelanjutan penjelasan dari Ekstrom. Tetapi itu tidak pernah
terjadi. Jadi, aku di sini karena NASA menemukan sebuah batu besar di dalam es"
"Kami menjadi gembira setelah PODS menghitung kepadatan batu itu. Kam i langsung
menerbangkan sebuah regu ke sini untuk menganalisisnya. Ternyata, batu di dalam
es di bawah kita ini jauh lebih padat daripada jenis batu mana pun yang kami
temukan di Pulau Ellesmere. Bahkan sebenarnya lebih padat daripada jenis batu
apa pun yang kami temukan dalam radius empat ratus mil dari tempat ini."
Rachel menatap ke bawah ke arah es di bawah kakinya dan membayangkan bongkahan
batu besar di suatu tempat di bawah sana. "Anda ingin berkata bahwa batu itu
dipindahkan ke sini?"
Ekstrom terlihat agak geli. "Batu itu beratnya lebih dari delapan ton. Dan
tertanam sejauh dua ratus kaki di bawah es padat. Artinya, batu itu sudah ada di
sana dan tidak tersentuh selama lebih dari tiga ratus tahun."
Rachel merasa letih ketika mengikuti sang administrator memasuki mulut sebuah
lorong yang panjang dan sempit, apalagi ditambah dengan penjelasan bertubi-tubi
ini. Mereka kemudian melewati dua pekerja NASA bersenjata yang sedang berdiri
menjaga. Rachel menatap Ekstrom. "Saya pikir pasti ada penjelasan logis tentang
keberadaan batu itu di sini ... dan semua kerahasiaan ini."
"Kemungkinan yang paling pasti adalah, batu yang ditemukan PODS itu adalah
meteorit," kata Ekstrom tanpa emosi.
Rachel tiba-tiba berhenti di lorong itu dan menatap sang adminstrator. Sebuah
meteorit" Gelombang kekecewaan menerpa dirinya. Sebuah meteorit jelas merupakan
antiklimaks setelah Presiden mengatakannya sebagai sesuatu yang luar biasa.
Penemuan ini akan membenarkan semua pengeluaran NASA dan kesalahannya di masa
lalu" Apa yang dipikirkan Herney" Meteorit memang diakui sebagai batu terlangka
di bumi, tetapi NASA sudah sering menemukannya selama ini.
"Ini adalah meteorit terbesar yang pernah kami temukan," kata Ekstrom sambil
berdiri kaku di depan Rachel. "Kami percaya, batu itu adalah pecahan dari
meteorit' yang lebih besar yang tercatat pernah menghantam Samudra Arktika pada
tahun 1700-an. Perkiraan yang paling mendekati adalah, meteorit tersebut
terlempar sebagai pecahan dari meteorit utama yang menabrak lautan, mendarat di
Milne Glacier, dan perlahan-lahan terkubur oleh salju selama lebih dari tiga
ratus tahun." Rachel mengumpat. Penemuan ini tidak mengubah apa pun. Rachel merasa semakin
curiga bahwa dirinya sedang menyaksikan sebuah isu yang sengaja dibesar-besarkan
NASA dan Gedung Putih yang sedang putus asa - dua lembaga yang sedang berjuang
untuk mengangkat temuan yang berguna sampai ke tingkat yang dapat menunjukkan
kemenangan NASA yang menggempar-kan dunia.
"Kelihatannya Anda tidak terlalu terkesan," ujar Ekstrom. "Rasanya saya
mengharapkan sesuatu ... yang lain."
Mata Ekstrom menyipit. "Sebongkah meteorit berukuran sebesar itu sangat langka,
Ms. Sexton. Hanya ada sedikit saja yang bisa sebesar ini."
"Saya tahu - " "Tetapi bukan ukuran meteorit itu yang membuat kami gembira."
Rachel menatapnya dengan pandangan tidak mengerti. "Jika Anda membiarkan saya
menjelaskannya sampai selesai," kata Ekstrom, "Anda akan tahu bahwa meteorit ini
menunjukkan beberapa sifat yang agak mencengangkan yang belum pernah terlih at
pada meteorit lainnya. Baik yang besar maupun yang kecil." Ekstrom kemudian
menunjuk ke arah terusan di depan mereka. "Sekarang, jika Anda mau mengikuti
saya, saya akan memperkenalkan Anda dengan seseorang yang lebih cakap untuk
mendiskusikan temuan itu."
Rachel merasa bingung. "Seseorang yang lebih cakap daripada Administrator NASA?"
Mata khas Skandinavia milik Ekstrom menatap tajam ke dalam mata Rachel. "Yang
saya maksudkan dengan lebih cakap, Ms. Sexton, adalah ilmuwan sipil. Karena Anda
seorang analis data yang profesional, saya kira Anda akan lebih senang men-
dapatkan data dari sumber yang tidak bias."
Touche. Rachel memilih untuk mengalah.
Dia lalu mengikuti sang administrator memasuki lorong tersebut hingga akhirnya
mereka terhenti di depan sebuah tirai berwarna hitam yang berat. Rachel dapat
mendengar gumaman yang bergenia dari orang-orang yang bercakapcakap di balik
tirai itu, seolah orang-orang iru sedang berada dalam sebuah ruangan terbuka
yang besar sekali. Tanpa kata-kata, sang administrator meraih dan menyingkap tirai itu. Rachel
merasa begitu silau karena sinar yang tiba-tiba melingkupinya. Dengan ragu, dia
melangkah ke depan sambil menyipitkan matanya ke dalam ruangan yang berkilauan
itu. Ketika matanya sudah mampu menyesuaikan diri, dia menatap ke arah sebuah
ruangan besar di hadapan nya. Rachel terkesiap.
"My God!" bisiknya. Tempat apa ini"
20 FASILITAS PRODUKSI CNN yang berada di luar Washington D.C. merupakan satu dari
212 studio di seluruh dunia yang terhubung via satelit ke kantor pusat global


Titik Muslihat Deception Point Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Turner Broadcasting System di Atlanta.
Saat itu pukul 1:45 siang ketika limusin Senator Sedgewick masuk di tempat
parkir. Sexton merasa puas saat keluar dari mobil dan berjalan memasuki pintu
gedung itu. Di dalam gedung, Sexton dan Gabrielle disambut produser CNN berperut
buncit yang tersenyum amat ramah.
"Senator Sexton," sapa produser itu. "Selamat datang. Kabar baik. Kami baru saja
mengetahui siapa yang dikirim Gedung Putih sebagai lawan debat Anda." Produser
itu memberikan senyuman yang sarat makna. "Saya harap Anda mempersembahkan
kehandalan Anda dalam berdebat." Dia lalu menunjuk ke arah kaca ruang produksi
di dalam studio. Sexton melihat ke arah kaca itu dan hampir terjatuh. Sosok itu membalas tatapan
Sexton di balik kepulan asap rokoknya. Sexton melihat seraut wajah terburuk yang
pernah dilihatnya di dalam dunia politik.
"Marjorie Tench?" tanya Gabrielle dengan gusar. "Apa yang dia lakukan di sini?"
Sexton tidak tahu, tetapi apa pun alasannya, kehadiran Marjorie Tench di sini
merupakan kabar gembira. Ini tanda yang jelas bahwa Presiden sudah putus asa.
Alasan apa lagi yang membuatnya mengirimkan penasihat seniornya itu ke garis
depan" Presiden Zach Herney mengeluarkan senjata besarnya, dan Sexton menyambut
kesempatan itu. Semakin besar musuh, semakin keras juga mereka jatuh.
Sang senator tidak meragukan kalau Tench akan menjadi lawan tangguh. Tetapi
ketika Sexton melihat perempuan itu lagi, dia merasa yakin bahwa Presiden telah
membuat langkah yang sangat salah. Marjorie Tench berparas sangat mengerikan.
Dia sekarang sedang membenamkan diri di atas kursinya, sementara tangan kanannya
yang memegang rokok bergerak ke depan dan belakang dengan irama tertentu ke arah
bibirnya yang tipis seperti seekor belalang raksasa yang sedang makan.
Tuhan, kata Sexton dalam hati, wajah ini hanya cocok untuk siaran radio.
Sedgewick Sexton hanya beberapa kali melihat wajah getir penasihat senior Gedung
Putih ini di majalah, dan sekarang dia tidak percaya kalau dirinya sedang
menatap salah satu wajah yang paling berkuasa di Washington.
"Aku tidak suka ini," bisik Gabrielle.
Sexton hampir tidak mendengar Gabrielle. Semakin dia menganggap ini sebagai
sebuah kesempatan bagus, semakin dia menyukainya. Selain wajah Tench tidak cocok
untuk tampil di media, perempuan ini mempunyai reputasi mengenai satu isu kunci
yang lebih menguntungkan Sexton lagi: Marjorie Tench sangat lantang menyuarakan
bahwa peran kepemim pinan Amerika di masa mendatang hanya dapat dicapai melalui
superioritas di bidang teknologi. Tench adalah pendukung fanatik program-program
pengembangan dan penelitian teknologi tinggi pemerin -tah, dan yang paling
penting dia juga pendukung utama NASA. Banyak yang percaya bahwa tekanan Tench
di belakang layarlah yang membuat Presiden tetap begitu setia membela lembaga
ruang angkasa yang sedang terpuruk itu.
Sexton bertanya-tanya dalam hati apakah Presiden sekarang sedang menghukum Tench
atas semua saran buruk yang telah diberikannya untuk terus mendukung NASA.
Apakah dia sedang melemparkan penasihat seniornya itu ke tengahtengah kumpulan
serigala" GABRIELLE ASHE menatap melalui kaca ke arah Marjorie Tench dan merasa semakin
tidak tenang. Sang penasihat senior terkenal sangat pandai dan ahli dalam
memutarbalikkan kata-kata secara tak terduga. Kedua fakta itu menggelitik naluri
Gabrielle. Mengingat kesetiaan Marjorie Tench pada NASA, Presiden terlihat
seperti mengambil langkah yang tidak bijaksana dengan mengirim perempuan itu
untuk berhadapan dengan Senator Sexton. Tetapi Presiden jelas bukan orang bodoh.
Gabrielle memiliki firasat, wawancara ini akan berdampak buruk.
Gabrielle mulai merasa kalau sang senator sedang menatap lawannya dengan penuh
nafsu, dan itu membuat Gabrielle agak khawatir. Sexton biasanya menjadi tidak
terkendali ketika terlalu percaya diri. Isu NASA memang menjadi penarik suara
dalam jajak pendapat, tetapi Sexton telah mendorong isu itu sangat keras akhir-
akhir ini, pikir Gabrielle. Banyak kampanye berakhir berantakan karena
kandidatnya berusaha terlalu keras, padahal yang mereka butuhkan hanyalah
menyelesaikan babak itu dengan cantik.
Si produser tampak bersemangat karena akan ada pertandingan berdarah siang ini.
"Mari kami persiapkan Anda, Senator."
Ketika Sexton bergerak menuju studio, Gabrielle menarik lengan bajunya. "Aku
tahu apa yang kaupikirkan," bisiknya. "Tapi bijaksanalah. Jangan berlebihan."
"Berlebihan" Aku?" Sexton tersenyum.
"Ingat, perempuan ini sangat andal di bidangnya."
Sexton memberi Gabrielle senyuman meyakinkan. "Dan begitu pula aku."
21 RUANG UTAMA habisphere NASA yang besar itu mungkin merupakan pemandangan aneh
yang ada di planet ini. Namun, kenyataan bahwa ruangan itu berada di dataran es
Arktika semakin membuat Rachel Sexton sulit menerima keanehan itu.
Sambil menatap kubah bergaya futuristik yang tersusun oleh bidang-bidang
berbentuk segitiga putih yang saling mengunci itu, Rachel merasa seperti sedang
memasuki sebuah sanatorium kolosal. Dindingnya melengkung ke bawah hingga ke
lantai yang berupa lapisan es yang keras, di mana lampu halogen militet berdiri
seperti penjaga di sekeliling garis luarnya dan memancarkan sinar hingga ke
langit -langit, membuat ruangan itu terang benderang. Di atas lantai es, karpet
busa berwarna hitam berkelok-kelok dan terlihat seperti papan berjalan di
stasiun ilmiah portabel ini. Di antara peralatan-peralatan eletronik, tiga puluh
atau empat puluh pegawai NASA berpakaian putih sedang tekun bekerja, berunding
dengan gembira, dan berbicara dengan nada bersemangat. Rachel langsun g
mengenali semangat yang mengalir di ruang itu.
Itu adalah kegembiraan karena penemuan baru mereka. Ketika Rachel dan sang
administrator mengelilingi sisi luar kubah itu, dia melihat tatapan tidak senang
dari beberapa ilmuwan yang mengenalinya. Bisikan-bisikan mereka menggema dengan
jelas di dalam ruangan itu.
Bukankah itu putri Senator Sexton" Apa yang sedang DIA lakukan di sini"
Aku tidak percaya Pak Administrator mau berbicara dengan nya!
Rachel setengah menduga akan melihat boneka voodoo ayah-nya bergantungan di
mana-mana. Tetapi kebencian bukanlah satu-satunya perasaan yang menebar saat
itu. Rachel juga menangkap perasaan puas yang tersamar, seolah NASA tahu dengan
pasti siapa yang akan tertawa penuh kemenangan pada akhirnya.
Sang admin istrator membawa Rachel menuju ke serangkaian meja, tempat seorang
lelaki duduk sendirian di hadapan sebuah komputer. Orang itu mengenakan
turtleneck berwarna hitam, celana kurduroi lebar, dan sepatu bot berat, bukan
pakaian NASA yang tampak dikenakan semua orang lainnya. Lelaki itu sedang
membelakangi mereka. Sang administrator meminta Rachel untuk menunggu. Lalu dia pergi untuk berbicara
dengan orang asing itu. Beberapa saat kemudian, lelaki yang mengenakan
turtleneck itu mengangguk setuju dan mematikan komputernya. Sang administrator
kembali. "Mr. Tolland akan menemani Anda mulai dari sini," katanya. "Dia juga salah satu
dari orang-orang yang direkrut Presiden, jadi kalian berdua akan bisa akrab.
Saya akan bergabung dengan kalian sebentar lagi."
"Terima kasih."
"Saya kira Anda sudah pernah mendengar nama Michael Tolland?"
Rachel mengangkat bahunya. Otaknya masih terpana karena keadaan sekelilingnya
yang luar biasa ini. "Nama itu tidak mengingatkan saya pada siapa pun."
Lelaki berpakaian turtleneck itu tiba, lalu tersenyum. "Tidak mengingatkan pada
siapa pun?" Suaranya terdengar jernih dan ramah. "Itu kabar terbaik yang
kudengar sepanjang hari ini. Sepertinya aku tidak akan pernah mendapat
kesempatan untuk membuat kesan pertama lagi."
Ketika Rachel menatap pendatang baru itu, kakinya seperti membeku di tempat. Dia
segera mengenali wajah tampan itu. Semua orang di Amerika juga mengenalinya.
"Oh," kata Rachel, pipinya memerah ketika lelaki itu menjabat tangannya. "Anda
Michael Tolland yang itu."
Ketika Presiden berkata kepada Rachel bahwa dia telah me-rekrut ilmuwan sipil
terkenal untuk melakukan otentifikasi pada penemuan NASA, Rachel membayangkan
sekelompok kutu buku keriput yang membawa-bawa kalkulator monogram. Michael
Tolland adalah sebaliknya. Sebagai salah satu "ilmuwan terkenal" di Amerika masa
kini, Tolland membawakan acara dokumentasi mingguan televisi yang disebut
Amazing Seas. Pada acara itu, Tolland membawa penonton untuk berhadapan langsung
dengan fenomena samudra yang memesona, seperti gunung-gunung berapi di dasar
laut, cacing laut yang panjangnya sepuluh kaki, dan ombak pasang yang sangat
berbahaya. Media mengelu-elukan Tolland sebagai percampuran antara Jacques
Cousteau dan Carl Sagan. Mereka memuji pengetahuannya, semangatnya yang tidak
dibuat-buat, dan hasratnya akan petualangan sebagai formula yang telah
meroketkan Amazing Seas ke peringkat puncak. Tentu saja kritikus pada umumnya
mengakui bahwa wajah Tolland yang jantan dan tampan serta kharismanya yang tidak
ingin menonjolkan diri mungkin ikut mengundang simpati para penonton perempuan.
" Mr. Tolland ...," kata Rachel dengan agak tergagap. "Saya Rachel Sexton."
Tolland mengembangkan senyum nakal yang menyenangkan. "Hai Rachel. Panggil aku
Mike." Tidak seperti biasanya, Rachel merasa lidahnya kelu. Indra-nya terasa terlalu
penuh ... ada habisphere, meteorit, rahasia-rahasia, lalu, tanpa terduga,
pertemuan langsung dengan seorang bintang televisi. "Aku terkejut melihatmu di
sini," katanya sambil mencoba mengembalikan ketenangannya. "Ketika Presiden ber-
kata telah merekrut ilmuwan sipil untuk otentifikasi penemuan NASA, kukira
aku ...," dia raguragu.
"Akan bertemu dengan ilmuwan sesungguhnya?" sambung Tolland sambil tersenyum.
Pipi Rachel menjadi kemerahan karena sangat malu. "Bukan itu maksudku."
"Jangan khawatir," sahut Tolland. "Hanya itulah yang kudengar sejak aku tiba di
sini." Sang administrator mohon diri dan berjanji akan bergabung dengan mereka nanti.
Tolland sekarang berpaling pada Rachel dengan latapan ingin tahu. "Pak
Administrator bilang ayahmu adalah Senator Sexton, betul begitu?"
Rachel mengangguk. Sayangnya benar.
"Seorang mata-mata Sexton di garis belakang musuh?"
"Garis pertempuran tidak selalu ditarik di tempat yang kaukira."
Mereka terdiam dengan rasa kikuk.
"Jadi katakan padaku," kata Rachel dengan cepat, "apa yang dilakukan seorang
ahli kelautan terkenal di kutub bersama se-kelompok ilmuwan NASA?"
Tolland tertawa terkekeh. "Sebenarnya, ada seorang lelaki yang sangat mirip
Presiden dan dia minta tolong padaku. Aku sebetulnya ingin membuka mulutku untuk
berkata, 'Peduli setan,' tetapi entah bagaimana, yang terucap adalah, 'Ya,
Pak.'" Rachel tertawa untuk pertama kalinya sejak pagi tadi. "Selamat bergabung."
Walau kebanyakan selebritis kelihatan lebih pendek ketika bertemu langsung,
Rachel merasa Michael Tolland terlihat lebih tinggi. Mata cokelatnya bersinar-
sinar penuh semangat seperti yang terlihat di televisi, begitu pula dengan
suaranya yang terdengar rendah hati dan antusias. Masih tampak atletis dan
berpengalaman pada usia 45 tahun, Michael Tolland memiliki rambut hitam yang
berjatuhan di sekitar keningnya. Dagunya kekar dan sikapnya cuek yang
memancarkan rasa percaya diri yang tinggi. Ketika Rachel menjabat tangannya,
kulit lelaki itu yang kasar mengingatkan Rachel bahwa dia bukanlah bintang
televisi yang "lembek," melainkan seorang pelaut ulung dan peneliti yang sangat
aktif. "Sejujurnya," Tolland mengakui dengan nada terdengar malu-malu, "aku direkrut
lebih karena kemampuan humasku daripada pengetahuan ilmiahku. Presiden memintaku
untuk datang dan membuat dokumentasi untuknya."
"Sebuah dokumentasi" Tentang sebongkah meteorit"
Tetapi kau kan ahli kelautan."
"Itulah juga yang kukatakan padanya! Tapi dia bilang, dia tidak mengenal
seseorang yang ahli dalam mendokumentasikan meteorit. Menurutnya, ket
erlibatanku dapat memberikan keyakinan kuat pada penemuan itu. Tampaknya
Presiden berencana untuk menyiarkan film dokumentasi yang kubuat saat dia meng-
umumkan penemuan tersebut dalam konferensi pers besar malam ini.
Seorang juru bicara dari kalangan selebritis. Rachel merasa, manuver politik
yang hebat dari Zach Herney mulai beraksi. NASA sering dituduh mencekoki
pendapat umum, tetapi tidak untuk kali ini. Mereka sekarang merekrut seorang
pembicara yang ahli dalam bidang ilmiah dan wajah yang telah dikenal dan
dipercaya masyarakat Amerika untuk urusan ilmu pengetahuan.
Tolland menunjuk ke arah sudut di seberang kubah itu, ke arah sebuah tempat yang
sedang disiapkan untuk area pers. Di sana terdapat permadani biru di atas es,
kamera televisi, lampu-lampu media, dan sebuah meja panjang dengan beberapa buah
mikrofon di atasnya. Seseorang sedang menggantung sehelai bendera Amerika
berukuran besar sebagai latar belakangnya.
"Itu untuk nanti malam," jelas Tolland. "Administrator NASA dan beberapa ilmuwan
top akan terhubung langsung via satelit ke Gedung Putih sehingga mereka dapat
berpartisipasi dalam siaran Presiden pukul delapan malam nanti."
Tindakan yang tepat, pikir Rachel. Dia merasa senang karena tahu bahwa Zach
Herney tidak berencana untuk sama sekali mengabaikan NASA dalam pengumuman itu.
"Jadi," kata Rachel sambil mendesah, "apa ada orang yang dapat mengatakan padaku
apa istimewanya meteorit itu?"
Tolland menaikkan alisnya dan tersenyum misterius. "Sebenarnya, keistimewaan
meteorit tersebut harus dilihat, bukan dijelaskan." Lalu dia menggerakkan
tangannya dan mengajak Rachel mengikutinya ke arah area kerja di dekat mereka.
"Se orang lelaki yang ditempatkan di sana memiliki banyak sampel yang dapat
diperlihatkan padamu."
"Sampel" Kalian benar-benar memiliki sampel meteorit itu?"
"Tentu. Kami telah mengebor beberapa di antaranya. Bahkan, itu adalah sampel
pertama yang membuat NASA tahu bahwa itu adalah penemuan yang penting."
Karena tidak yakin dengan apa yang akan dilihatnya, Rachel mengikuti saja ketika
Tolland menuju area kerja tersebut. Area itu tampak sunyi. Secangkir kopi
terletak di atas meja yang dipenuhi oleh sampel batuan yang berserakan, jangka
lengkung, dan peralatan diagnostis lainnya. Kopi itu masih mengepulkan asap.
"Marlinson!" seru Tolland sambil melihat ke sekelilingnya. Tidak ada jawaban.
Dia mendesah kesal, lalu berpaling pada Rachel. "Mungkin dia tersesat ketika
mencari krim untuk kopinya. Ngomong-ngomong, aku pernah kuliah pascasarjana di
Princeton bersama orang ini dan dia sering tersesat di gedung asramanya sendiri.
Walau linglung begitu, dia adalah penerima National Medal of Science dalam
bidang astrofisika. Hebat bukan?"
Rachel tercengang. "Marlinson" Yang kaumaksud tidak mungkin Corky Marlinson yang
terkenal itu, bukan?"
Tolland tertawa. "Satu-satunya Marlinson."
Rachel terpaku. "Corky Marlinson ada di sini ?" Gagasan Marlinson tentang bidang
gravitasi merupakan legenda di antara para insinyur satelit NRO. "Marlinson
adalah ilmuwan sipil yang direkrut Presiden?"
"Ya. Nah, dia itu baru betul-betul ilmuwan."
Dia memang betul-betul ilmuwan, pikir Rachel. Corky Marlinson adalah orang yang
sangat pandai dan terhormat.
"Paradoks yang hebat tentang Corky: dia dapat menghitung jarak menuju Alpha
Centauri dalam milimeter tetapi tidak dapat mengikat dasinya sendiri," kata
Tolland sambil bergurau. "Aku mengenakan dasi tempel!" suara sengau dan ramah terdengar keras di dekat
mereka. "Efisiensi lebih penting daripada gaya, Mike. Bintang Hollywood
sepertimu tidak akan mengerti itu!"
Rachel dan Tolland menoleh ke arah seorang lelaki yang sekarang muncul dari
balik umpukan peralatan elektronik. Dia pendek dan gemuk, mirip anjing pug.
Matanya berkaca-kaca, sedangkan rambutnya yang sudah menipis disisir ke
belakang. Ketika lelaki itu melihat Tolland berdiri di samping Rachel, dia
menghentikan langkahnya. "Ya ampun, Mike! Kita sekarang sedang berada di Kutub Utara yang beku dan kau
masih saja berhasil menggaet perem-puan cantik. Mungkin aku seharusnya masuk
televisi saja!" Michael Tolland terlihat malu. "Ms. Sexton, maafkan Dr. Marlinson. Sikapnya yang
tidak sopan ini tidak sebanding dengan kelebihannya dalam biner acak, sebuah
pengetahuan yang sungguh tidak berguna tentang alam semesta kita," kata Tolland
setengah bergurau. Corky mendekat. "Sungguh sebuah kehormatan, Bu. Seperti-nya kita belum
berkenalan." "Rachel," sahutnya. "Rachel Sexton."
"Sexton?" Corky mengeluarkan pekikan lucu. "Kuharap tidak ada hubungannya dengan
senator bejat berpikiran picik itu!"
Tolland mengedipkan matanya. "Corky, Senator Sexton adalah ayah Rachel."
Corky berhenti tertawa. Tubuhnya mengerut. "Mike, tidak heran kalau aku tidak
pernah beruntung dengan perempuan," bisiknya malu-malu.
22 CORKY MARLINSON, sang pemenang penghargaan astrofisika, mengajak Rachel dan
Tolland ke tempat kerjanya, dan mulai menyingkirkan peralatan dan sampel


Titik Muslihat Deception Point Karya Dan Brown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bebatuan yang berserakan di sana. Lelaki itu bergerak dengan begitu cekatan.
"Baiklah," katanya sambil gemetar karena bersemangat, "Ms. Sexton, kau sebentar
lagi akan melihat pertunjukan perdana selama tiga puluh detik tentang meteorit
karya Corky Marlin-son. Tolland mengedipkan matanya, meminta Rachel untuk ber-sabar. "Sabarlah
dengannya. Orang ini betul-betul ingin menjadi aktor." "
Ya dan Mike ingin menjadi ilmuwan terhormat." Corky mencari-cari di dalam sebuah
kotak sepatu dan kemudian mengeluarkan tiga sampel batu berukuran kecil, lalu
menyusunnya berjajar di atas mejanya. "Ini adalah tiga jenis utama dari meteorit
di dunia." Rachel menatap ketiga sampel batu tersebut. Semuanya tam-pak seperti bulatan
yang aneh, kira-kira seukuran bola golf. Masing-masing dibelah dua untuk
memperlihatkan bagian dalamnya.
"Semua meteorit," kata Corky, "terdiri atas campuran nikel dan besi, silikat,
dan sulfida dalam tingkatan yang bervariasi.
Kami mengelompokkan mereka berdasarkan rasio logamsilikat yang dimilikinya."
Rachel sudah memiliki firasat, pertunjukan perdana Corky Marlinson tentang
meteorit itu akan berlangsung lebih dari tiga puluh detik.
"Sampel pertam a ini," kata Corky sambil menunjuk se buah batu berwarna hitam
pekat dan berkilat, "adalah meteorit berinti besi. Sangat berat. Meteorit ini
mendarat di Antartika beberapa tahun yang lalu."
Rachel mengamati meteorit itu. Betul-betul tampak seperti benda dari dunia lain -
sebongkah besi berat berwarna kelabu yang lapisan luarnya hangus dan kehitaman.
"Lapisan seperti arang di luarnya itu disebut kulit fiisi," kata Corky lagi.
"Itu hasil dari pemanasan yang luar biasa ketika meteor itu jatuh menembus
atmosfir kita. Semua meteorit memperlihatkan kulit yang hangus seperti itu."
Lalu Corky bergerak cepat ke sampel berikutnya. "Yang berikut ini kami sebut
meteorit batu-besi."
Rachel mengamati sampel tersebut, dan dia juga melihat lapisan yang hangus di
bagian luarnya. Sampel ini memiliki warna kehijauan dan bagian dalamnya tampak
seperti kolase potongan persegi berwarna-warni yang mirip kaleidoskop."
"Cantik," ujar Rachel.
"Yang benar saja! Batu ini sungguh menawan." Lalu Corky berbicara selama kurang
lebih satu menit tentang kandungan olivine (Mineral berwarna kehijauan yang
terdiri dari campuran silikat magnesium dan besi - Penyunting) yang tinggi yang
dimiliki batu ini sehingga meng hasilkan kilau kehijauan seperti itu. Kemudian
Corky meraih sampel ketiga, lalu memberikannya kepada Rachel.
Rachel memegang sampel meteorit terakhir itu di atas tela-pak tangannya. Yang
ketiga ini berwarna cokelat kelabu, serupa dengan batu granit. Terasa lebih
berat dibandingkan batu bumi, tetapi tidak terlalu jauh berbeda. Satu-satunya
indikasi bahwa batu itu berbeda dari batu biasa adalah kulit fusinya - permukaan
bagian luarnya yang hangus.
"Ini," kata Corky dengan nada penuh keyakinan, "disebut meteorit batuan. Ini
jenis meteorit yang paling biasa. Lebih dari sembilan puluh persen meteorit yang
ditemukan di bumi termasuk dalam kategori ini."
Rachel heran. Dia selalu membayangkan meteorit berbentuk seperti sampel pertama -
memiliki kandungan metal dan berpenampilan luar angkasa. Sementara, meteorit di
tangan nya itu seperti batu bumi biasa. Kecuali bagian luarnya yang hangus,
benda itu tampak seperti batu yang bisa saja terinjak olehnya di pantai.
Mata Corky membesar karena bersemangat. "Meteorit yang terkubur di dalam es di
Milne sini merupakan meteorit batuan. Sangat mirip dengan yang kaupegang itu.
Meteorit batuan tampak hampir mirip batuan bumi, sehingga sulit untuk di-kenali.
Biasanya berupa campuran silikat ringan, seperti feldspar, olivine, pyroxin.
Tidak ada yang terlalu istimewa."
Memang tidak terlalu istimewa, pikir Rachel sambil menyodorkan kembali sampel di
tangannya. "Yang ini tampak seperti batu yang ditinggalkan orang di perapian dan
hangus terbakar." Tawa Corky meledak. "Wah, perapian itu harus sangat hebat! Tungku yang paling
panas yang pernah dibuat manusia pun tidak mampu menghasilkan panas seperti yang
menghan tam meteorit saat memasuki atmosfir kita. Meteorit itu hancur!"
Tolland memberi senyuman empati kepada Rachel. "Inilah bagian yang seru."
"Bayangkan ini," kata Corky sambil mengambil meteorit yang sedang dipegang
Rachel. "Mari bayangkan kawan kecil kita ini dalam ukuran sebesar rumah." Dia
lalu memegang sampel itu di atas kepalanya. "Batu ini berada di luar angkasa ...
melayang-layang menyeberangi tata surya kita ... batu itu membeku karena
temperatur ruang angkasa yang bisa mencapai minus seratus derajat celsius."
Tolland tertawa sendiri. Tampaknya dia sudah pernah melihat Corky memeragakan
jatuhnya meteorit di Pulau Ellesmere sebelumnya.
Corky mulai menurunkan ketinggian sampel yang sedang dipegangnya itu. "Meteorit
kita ini sedang bergerak ke arah bumi ... dan ketika sudah menjadi sangat dekat,
gravitasi bumi menariknya ... membuatnya bergerak dengan begitu cepat ... begitu
cepat ...." Rachel melihat Corky mempercepat lintasan sampel itu sambil menirukan percepatan
gravitasi yang terjadi. "Sekarang meteorit itu bergerak semakin cepat," Corky berseru. "Lebih dari
sepuluh mil per detik. Itu berarti 36.000 mil per jam! Pada ketinggian 135 km di
atas permukaan bumi, meteor itu mulai mengalami pergesekan dengan atmosfir."
Corky mengguncang-guncang sampel itu dengan keras sambil menurun -kannya ke arah
lantai es di bawahnya. "Jatuh hingga di bawah ketinggian seratus kilometer ...
dia mulai menyala! Sekarang kepadatan atmosfir meningkat, dan gesekan menjadi
luar biasa! Udara di sekitar meteorit itu menjadi berpijar sehingga permukaannya
mencair karena panas." Corky mulai mengeluarkan efek suara terbakar dan
berdesis-desis. "Sekarang meteor itu meluncur turun melewati ketinggian delapan
puluh kilometer, dan bagian luarnya terpanggang hingga lebih dari 1.800 derajat
celsius!" Rachel menatap dengan tatapan tidak percaya bagaimana lelaki yang memenangkan
penghargaan astrofisika itu mengguncang-guncang meteor dengan lebih keras sambil
mulutnya mengeluarkan efek suara seperti anak-anak yang sedang meniru-kan
pesawat yang mau jatuh. "Enam puluh kilometer!" sekarang Corky berteriak. "Meteorit kita ini bersentuhan
dengan dinding atmosfir. Udara terlalu padat! Kepadatan itu memperlambat
kecepatannya hingga tiga ratus kali gravitasi!" Corky mengeluarkan suara
berdecit seperti rem dan memperlambat gerakan jatuhnya meteorit secara dramatis.
"Dengan segera meteorit ini menjadi dingin dan tidak menyala lagi. Kita telah
sampai pada fase di mana meteorit itu melambat dan padam! Permukaan meteorit itu
mengeras setelah lunak karena terbakar tadi dan menciptakan lapisan kulit fusi
yang gosong." Rachel mendengar Tolland mendesah lucu ketika Corky berlutut di atas lantai es
untuk memperlihatkan bagaimana nasib meteorit itu pada akhirnya - menabrak bumi.
"Sekarang," lanjut Corky, "meteorit kita yang besar sekali itu melintas sangat
cepat menerobos lapisan atmosfir kita yang lebih rendah ...." Sambil berlutut,
Corky mengarahkan meteorit itu ke lantai dengan kemiringan yang landai.
"Meteorit itu menuju ke Samudra Arktika ... dengan sudut miring ... jatuh ... ia
terlihat seperti hampir melewati samudra ... jatuh ... dan ...." Corky
menyentuhkan sampel itu ke lantai es. "BUM!"
Rachel terloncat. "Tabrakan itu membuat perubahan besar! Meteorit itu meledak. Pecahan-pecahannya
berterbangan, berloncatan, dan berputar melintasi samudra." Sekarang Corky
melanjutkan dengan gerakan lambat, menggulung sampel itu dan menjatuhkannya
berguling-guling melintasi samudra imajiner ke arah kaki Rachel. "Dan ada satu
bagian yang masih tetap berloncatan, bergulingan ke arah Pulau Ellesmere ...."
Corky membawa batu itu sampai ke ujung kaki Rachel. "Batu itu melewati samudra,
memantul naik ke daratan ...," Corky menggerakkannya hingga ke ujung sepatu
Rachel dan menggulingkannya melewati ujung sepatu tersebut sampai berhenti di
bagian atas kaki Rachel di dekat mata kakinya. "Dan akhirnya berhenti di Milne
Glacier. Di situ salju dan es dengan cepat menutupinya, melindunginya dari erosi
atmosfir." Corky berdiri sambil tersenyum.
Mulut Rachel terbuka. Dia tertawa karena terkesan. "Wah, Dr. Marlinson,
penjelasan itu sangat luar biasa ...." Rachel tidak dapat menyelesaikan
kalimatnya. "Jelas?" Corky berusaha membantu. Rachel tersenyum. "Sepertinya begitu."
Corky menyerahkan sampel itu kembali pada Rachel.
"Lihat bagian dalamnya."
Rachel mengamati bagian dalam batu itu sesaat, dan tidak melihat apa pun.
"Angkat ke arah cahaya," Tolland menyela. Suaranya hangat dan ramah. "Dan tatap
lebih dekat." Rachel membawa batu itu lebih dekat ke matanya dan mengarahkannya ke lampu-lampu
halogen yang bersinar benderang di atasnya. Sekarang dia melihatnya: tetesan-
tetesan kecil metalik berkilauan di dalam batu itu. Belasan tetes itu seperti
tetesan kecil merkuri yang tersebar di permukaan potongan meteorit tersebut
dengan jarak antara masingmasing tetesan kurang lebih hanya satu milimeter.
"Gelembung-gelembung kecil itu disebut 'chondrules'," kata Corky. "Dan gelembung
itu hanya terdapat pada meteorit."
Rachel menyipitkan matanya untuk memerhatikan tetesan-tetesan itu lebih saksama.
"Aku tidak pernah melihat yang seperti ini di batu yang berasal dari bumi."
"Dan tidak akan pernah!" seru Corky. "Chondrules merupakan struktur geologis
yang tidak kita temukan di bumi. Beberapa chondrules berusia sangat tua ...
mungkin terbuat dari materi-materi terawal di alam semesta ini. Beberapa
chondrules lainnya berusia jauh lebih muda, seperti yang sekarang berada di
meteorit di tanganmu itu. Chondrules di dalam meteorit itu kira-kira berusia 190
tahun." "190 tahun, kau sebut masih muda?"
"Tentu saja! Dalam pengertian kosmologis, waktu 190 tahun itu disebut kemarin.
Intinya di sini adalah sampel itu berisi chondrules sehingga menjadi bukti
meteorit yang meyakinkan."
"Baik," kata Rachel. "Chondrules bukti yang meyakinkan. Aku paham."
"Dan akhirnya," kata Corky sambil mengembuskan napasnya, "jika kulit fusi bagian
luar dan chondrules itu tidak dapat meyakinkanmu, kami, para ahli astronomi,
memiliki metode yang sangat mudah untuk memastikan bahwa batu in i adalah
meteorit." "Bagaimana caranya?"
Corky mengangkat bahunya dengan santai. "Kami hanya menggunakan sebuah mikroskop
polarisasi petrografis, sebuah spektrometer pijar sinar X, sebuah penganalisis
aktivasi neutron, atau sebuah spektometer plasma yang digabungkan dengan induksi
untuk mengukur rasio ferromagnetis."
Tolland mengerang."Sekarang dia mulai pamer. Apa yang dimaksud Corky adalah,
kami dapat membuktikan sebuah batu sebagai meteorit atau bukan hanya dengan
mengukur kandungan kimianya saja."
"Hey, Anak laut" Corky menyergah. "Biarkan ilmu pengetahuan dijelaskan oleh
ilmuwan yang sesungguhnya, ya?" Dia lalu segera kembali memandang Rachel. "Pada
batuan bumi, mineral nikel terbentuk dalam persentase tinggi ataupun rendah yang
ekstrem, tidak pernah setengah-setengah. Tetapi pada meteorit, kandungan nikel
jatuh pada kisaran tengah dari suatu rentang nilai. Karena itu, ketika kami
menganalisis sebuah sampel dan menemukan kandungan nikel yang mem perlihatkan
nilai di kisaran tengah, kami dapat memastikan dengan seyakin-yakinnya bahwa
sampel itu adalah meteorit.
Rachel merasa mulai jengkel. "Baiklah, Bapak-bapak, kulit fusi, chondrules,
kandungan nikel pada kisaran tengah, semuanya membuktikan bahwa batu itu berasal
dari luar angkasa. Aku paham." Dia lalu meletakkan kembali sampel itu di atas
meja Corky. "Tetapi mengapa aku ada di sini?"
Corky menghela napas panjang. "Kauingin melihat sampel meteorit yang ditemukan
NASA di dalam es di bawah kita?"
Sebelum aku mati di sini, ya.
Kali ini Corky merogoh saku di dadanya dan mengeluarkan sebuah batu berbentuk
cakram. Irisan batu itu berbentuk seperti sebuah CD audio, kira-kira tebalnya
setengah inci, dan dari komposisinya, tampak serupa dengan meteorit batuan yang
baru saja dilihat Rachel.
"Ini potongan dari sampel inti yang kami bor kemarin." Corky menyerahkan cakram
itu kepada Rachel. Penampilannya jelas tidak seperti pecahan batuan dari bumi. Seperti sampel yang
sudah dilihat Rachel sebelumnya, batu itu berwarna putih kejinggaan, dan berat.
Bagian tepinya hangus dan hitam, tampaknya merupakan bagian dari kulit luar
meteorit itu. "Aku melihat kulit fusinya," kata Rachel.
Corky mengangguk. "Ya. Sampel ini diambil dari bidang di dekat bagian luar
meteorit itu sehingga bagian kulitnya masih terbawa."
Rachel mengangkat cakram itu ke arah cahaya dan melihat gelembung -gelembung
metalik. "Dan aku melihat chondrules di dalamnya."
"Bagus," kata Corky. Suaranya tegang karena semangat nya yang menggebu-gebu.
"Dan setelah aku memeriksanya di bawah mikroskop polarisasi petrografik, aku
dapat mengatakan padamu bahwa kandungan nikelnya berada pada kisaran tengah ...
tidak seperti batuan bumi. Selamat, kau telah berhasil meyakinkan orang-orang
bahwa batu di tanganmu itu berasal dari luar angkasa."
Rachel mendongak dengan tatapan bingung. "Dr. Marlinson, ini sebongkah meteorit.
Batu ini memang berasal dari luar angkasa. Lalu apa lagi?"
Corky dan Tolland saling pandang dengan tatapan penuh arti. Tolland meletakkan
tangannya di atas bahu Rachel dan berbisik. "Balikkan batu itu."
Rachel membalik cakram itu sehingga dia dapat melihat sisi di baliknya. Dan
sesaat kemudian, otaknya mencerna apa yang dilihatnya.
Lalu kebenaran itu menghantamnya seolah-olah tubuhnya terhantam truk.
Tidak mungkin! Rachel terperangah. Tetapi ketika dia menatap batu itu, dia sadar
definisinya tentang istilah "tidak mungkin" baru saja berubah untuk selamanya.
Di batu itu menempel sebentuk benda yang bagi batuan bumi bisa dianggap biasa
saja, tapi kalau itu ditemukan pada sebuah meteorit, ini betul-betul aneh.
"Ini ...." Rachel tergagap. Dia nyaris tidak dapat berkatakata. "Ini ... seekor
serangga! Meteorit ini berisi fosil seekor serangga!"
Tolland dan Corky berseri-seri. "Selamat datang," kata Corky.
Luapan perasaan yang menguasai Rachel, membuatnya ter-pana hingga dia tidak
mampu berkata-kata. Tetapi bahkan ketika dalam keadaan seperti itu, dia dapat
Kiamat Di Pangandaran 1 Detektif Stop - Bandit-bandit Di Hotel Istana Iblis Pulau Hitam 1
^