Pencarian

Twilight 1

Twilight Karya Stephenie Meyer Bagian 1


TWILIGHT by Stephenie Meyer Copyrights 2005 by Stephenie Meyer
This edition published by arrangement with Little, Brown and Company. New York,
New York. USA All rights reserved. TWILIGHT Alih bahasa: Lily Devita Sari
Editor: Rosi L. Simamora GM 312 08.049 Hak cipta terjemahan Indonesia: PT Gramedia Pustaka Utama Jl. Palmerah Barat 33-
37, Jakarta 10270 Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, anggota IKAPI Jakarta, Maret 2008
Untuk kakakku, Emily, tanpa semangatnya, cerita ini mungkin masih belum terselesaikan.
Ucapan Terima Kasih Banyak terima kasih untuk: orangtuaku, Steve dan Candy, untuk dukungan dan cinta
sepanjang waktu, untuk membacakan buku-buku bagus padaku saat aku masih kecil,
dan untuk menggenggam tanganku melewati hal-hal yang membuatku gugup; suamiku,
Pancho, dan anak-anakku, Gabe, Seth, dan Eli, untuk sering berbagi dengan teman-
teman khayalanku; teman-temanku di Writers House, Genevieve Gagne-Hawes, untuk
kesempatan pertama yang kauberikan dan agenku Jodi Reamer, untuk menjadikan
impian yang paling mustahil menjadi kenyataan; editorku Megan Tingley, untuk
semua bantuannya dalam membuat Twiligbt lebih baik daripada ketika dimulai;
saudara laki-lakiku, Paul dan Jacob, untuk nasihat-nasihat yang andal dalam
menjawab semua pertanyaanku mengenai otomotif; dan keluarga online-ku. staf dan
para penulisku yang berbakat di fansofrealitytv.com, terutama Kimberly "Shazzer"
dan Collin "Mantenita" untuk dukungan, nasihat, dan inspirasi.
Twilight PROLOG AKU tak pernah terlalu memikirkan bagaimana aku akan mati - meskipun aku punya
cukup alasan beberapa bulan terakhir ini - tapi kalaupun memiliki alasan, aku
tak pernah membayangkan akan seperti ini.
Aku menatap ruangan panjang itu tanpa bernapas, ke dalam mata gelap sang
pemburu, dan ia balas menatapku senang.
Tentunya ini cara yang bagus untuk mati, menggantikan orang lain, orang yang
kucintai. Bahkan mulia. Mestinya itu berarti sesuatu.
Aku tahu jika aku tak pernah pergi ke Forks, aku takkan berhadapan dengan
kematian sekarang. Tapi seperti yang kutakutkan, aku tak menyesali keputusan
itu. Ketika hidup menawarkan mimpi yang jauh melebihi harapanmu, tidak masuk akal untuk
menyesalinya bila impian itu berakhir.
Sang pemburu tersenyum bersahabat saat ia melangkah untuk membunuhku.
1. PANDANGAN PERTAMA IBUKU mengantar ke bandara, jendela mobil yang kami tumpangi dibiarkan terbuka.
Suhu kota Phoenix 23? C langit cerah, biru tanpa awan. Aku mengenakan kaus
favoritku - tanpa lengan, berenda putih; aku mengenakannya sebagai lambang
perpisahan. Benda yang kubawa-bawa adalah sepotong parka.
Di Semenanjung Olympic di barat laut Washington, sebuah kota kecil bernama Forks
berdiri di bawah langit yang nyaris selalu tertutup awan. Di kota terpencil ini
hujan turun lebih sering dibandingkan tempat lainnya di Amerika Serikat. Dari
kota inilah, dan dari bayangannya yang kelam dan kental, ibuku melarikan diri
bersamaku ketika aku baru berusia beberapa bulan. Di kota inilah aku telah
dipaksa menghabiskan satu bulan setiap musim panas sampai aku berusia empat
belas tahun. Ketika itulah aku akhirnya mengambil keputusan tegas; dan sebagai
gantinya selama tiga musim panas terakhir ini, ayahku, Charlie, berlibur
bersamaku di California selama dua minggu.
Ke kota Forks-lah sekarang aku mengasingkan diri - keputusan yang kuambil dengan
ketakutan yang amat sangat. Aku benci Forks.
Aku mencintai Phoenix. Aku mencintai matahari dan panasnya yang menyengat. Aku
mencintai kotanya yang dahsyat dan megah.
"Bella," ibuku berkata - untuk terakhir kali dari ribuan kali ia mengatakannya-
sebelum aku naik pesawat. "Kau tidak perlu melakukan ini."
Ibuku mirip aku, kecuali rambut pendek dan garis usia di sekeliling bibir dan
matanya. Aku merasa sedikit panik saat menatap mata kekanak-kanakannya yang
lebar. Bagaimana aku bisa meninggalkan ibuku yang penuh kasih, labil, dan konyol
ini sendirian" Tentu saja sekarang ia bersama Phil, jadi ada yang membayar
tagihan-tagihannya, akan ada makanan di kulkas, mobilnya takkan kehabisan bahan
bakar, dan ada orang yang bisa diteleponnya bila ia tersesat, tapi tetap saja...
"Aku ingin pergi," aku berbohong. Aku tak pernah pandai berbohong tapi aku telah
mengatakan kebohongan ini begitu sering hingga sekarang nyaris terdengar
meyakinkan. "Sampaikan salamku buat Charlie."
"Akan kusampaikan."
"Sampai ketemu lagi," ibuku berkeras. "Kau bisa pulang kapan pun kau mau-aku
akan segera datang begitu kau membutuhkanku."
Tapi di matanya bisa kulihat pengorbanan di balik janji itu.
"Jangan khawatirkan aku," pintaku. "Semua akan baik-baik saja. Aku sayang
padamu, Mom." Ibuku memelukku erat-erat beberapa menit, kemudian aku naik ke pesawat, dan ia
pun pergi. Makan waktu empat jam untuk terbang dari Phoenix ke Seattle, satu jam lagi
menumpang pesawat kecil menuju Port Angeles, lalu satu jam perjalanan darat
menuju Forks. Perjalanan udara tidak mengusikku; tapi satu jam dalam mobil bersama Charlie-lah
yang agak kukhawatirkan. Secara keseluruhan Charlie lumayan baik. Perasaan senangnya sepertinya tulus,
ketika untuk pertama kali aku datang dan tinggal bersamanya entah selama berapa
lama. Ia sudah mendaftarkan aku ke SMA dan akan membantuku mendapatkan kendaraan
pribadi. Tapi tentu saja saat-saat bersama Charlie terasa canggung. Kami sama-sama bukan
tipe yang suka bicara, dan aku juga tak tahu harus bilang apa. Aku tahu ia agak
bingung karena keputusanku - sebab seperti ibuku, aku juga tidak menyembunyikan
ketidaksukaanku pada Forks.
Ketika aku mendarat di Port Angeles, hujan turun. Aku tidak melihatnya sebagai
pertanda - hanya sesuatu yang tak terelakkan. Lagi pula aku telah mengucapkan
selamat tinggal pada matahari.
Charlie menungguku di mobil patrolinya. Yang ini pun sudah kuduga. Charlie
adalah Kepala Polisi Swan bagi orang-orang baik di Forks. Tujuan utamaku di
balik membeli mobil, meskipun tabunganku kurang, adalah karena aku menolak
diantar berkeliling kota dengan mobil yang ada lampu merah-biru di atasnya. Tak
ada yang membuat laju mobil berkurang selain polisi.
Charlie memelukku canggung dengan satu lengan ketika aku menuruni pesawat.
"Senang bisa ketemu denganmu, Bells," katanya, tersenyum ketika spontan
menangkap dan menyeimbangkan tubuhku. "Kau tak banyak berubah. Bagaimana Renee?"
"Mom baik-baik saja. Aku juga senang ketemu kau, Dad." Aku tidak diizinkan
memanggilnya Charlie bila bertemu muka.
Aku hanya membawa beberapa tas. Kebanyakan pakaian Arizona-ku tidak cocok untuk
dipakai di Washington. Ibuku dan aku telah mengumpulkan apa saja yang kami
miliki untuk melengkapi pakaian musim dinginku, tapi tetap saja kelewat sedikit.
Barang bawaanku muat begitu saja di bagasi mobil patroli Dad.
"Aku menemukan mobil yang bagus buatmu, benar-benar murah," ujarnya ketika kami
sudah berada di mobil. "Mobil jenis apa?" Aku curiga dengan caranya mengatakan "mobil bagus buatmu",
seolah itu tidak sekadar "mobil bagus".
"Well, sebenarnya truk, sebuah Chevy."
"Di mana kau mendapatkannya?"
"Kauingat Billy Black di La Push?" La Push adalah reservasi Indian kecil di
pantai. "Tidak." "Dulu dia suka pergi memancing bersama kita di musim panas," Charlie
menambahkan. Pantas saja aku tidak ingat. Aku mahir menyingkirkan hal-hal tidak penting dan
menyakitkan dari ingatanku.
"Sekarang dia menggunakan kursi roda," Charlie melanjutkan ketika aku diam saja,
"jadi dia tak bisa mengemudi lagi dan menawarkan truknya padaku dengan harga
murah." "Keluaran tahun berapa?" Dari perubahan ekspresinya aku tahu ia berharap aku
tidak pernah melontarkan pertanyaan ini.
"Well, Billy sudah merawat mesinnya dengan baik - umurnya baru beberapa tahun
kok, sungguh." Kuharap Dad tidak menyepelekan aku dan berharap aku memercayai kata-katanya
dengan mudah. "Kapan dia membelinya?"
"Rasanya tahun 1984."
"Apa waktu dibeli masih baru?"
"Well, tidak. Kurasa mobil itu keluaran awal '60-an- atau setidaknya akhir '50-
an," Dad mengakui malu-malu.
"Ch-Dad, aku tidak tahu apa-apa tentang mobil. Aku tidak akan bisa
memperbaikinya kalau ada yang rusak, dan aku tidak sanggup membayar montir... "
"Sungguh, Bella, benda itu hebat. Model seperti itu tidak ada lagi sekarang."
Benda itu, pikirku... sebutan itu bisa dipakai - paling jelek sebagai nama
panggilan. "Seberapa murah yang Dad maksud?" Bagaimanapun aku tidak bisa berkompromi soal
yang satu ini. " Well, Sayang aku sebenarnya sudah membelikannya untukmu. Sebagai hadiah
selamat datang." Charlie melirikku dengan ekspresi penuh harap.
Wow. Gratis. "Kau tak perlu melakukannya, Dad. Aku berencana membeli sendiri mobilku."
"Aku tidak keberatan kok. Aku ingin kau senang di sini." Ia memandang lurus ke
jalan saat mengatakannya. Charlie merasa tak nyaman mengekspresikan emosinya.
Aku mewarisi hal itu darinya. Jadi aku memandang lurus ke depan ketika menjawab.
"Asyik, Dad. Trims. Aku sangat menghargainya." Tak perlu kutambahkan bahwa aku
tak mungkin bahagia di Forks. Dad tidak perlu ikut menderita bersamaku. Dan aku
tak pernah meminta truk gratis - atau mesin.
"Well. sama-sama kalau begitu," gumamnya, tersipu oleh ucapan terima kasihku.
Kami masih bicara tentang cuaca yang lembab, dan itulah sebagian besar topik
percakapan kami. Selebihnya kami memandang ke luar jendela dalam diam.
Tentu saja pemandangannya indah; aku tak bisa menyangkalnya. Semua hijau:
pepohonan dengan batang-batang tertutup lumut, kanopi di antara cabang-
cabangnya, tanahnya tertutup daun yang berguguran. Bahkan udaranya tersaring di
antara dedaunannya yang hijau.
Terlalu hijau - sebuah planet yang asing. Akhirnya kami tiba di rumah Charlie.
Ia masih tinggal di rumah kecil dengan dua kamar tidur, yang dibelinya bersama
ibuku pada awal pernikahan mereka. Hanya itu hari-hari pernikahan yang mereka
miliki - masa-masa awal. Di sana, terparkir di jalanan di depan rumah yang tak
pernah berubah, tampak truk baruku-Well, baru buatku. Truk itu berwarna merah
kusam, dengan bemper dan kap yang melekuk dan besar. Yang membuatku amat
terkejut, aku menyukainya. Aku tak tahu apakah benda itu bisa jalan, tapi bisa
kubayangkan diriku berada di dalamnya. Ditambah lagi, kendaraan itu jenis sangat
kokoh yang tidak bakal rusak - jenis yang bakal kautemukan di lokasi kecelakaan
dengan cat tak tergores dan dikelilingi serpihan mobil yang telah dihantamnya.
"Wow, Dad, aku suka! Trims!" Sekarang hari-hari menakutkan yang akan menjelang
takkan menakutkan lagi. Aku takkan dihadapkan pada pilihan berjalan dua mil ke
sekolah hujan-hujan ataukah menumpang mobil patroli polisi.
"Aku senang kau menyukainya," kata Charlie parau, sekali lagi merasa malu.
Cuma butuh sekali angkut untuk membawa barang-barangku ke atas. Aku mendapat
kamar tidur di sebelah barat yang menghadap ke halaman depan. Kamar itu sangat
familier, itu kamarku sejak aku dilahirkan. Lantai kayu, dinding biru cerah,
langit-langit lancip, tirai berenda kekuningan yang membingkai jendela-semua ini
bagian masa kecilku. Satu-satunya penambahan yang dibuat Charlie adalah
mengganti tempat tidur bayi menjadi tempat tidur sungguhan dan menambahkan meja
seiring pertumbuhanku. Di meja itu sekarang ada komputer bekas, dengan modem
tersambung pada kabel telepon yang menempel sepanjang lantai hingga colokan
telepon terdekat. Ini permintaan ibuku, supaya kami gampang berkomunikasi. Kursi
goyang dari masa bayiku masih ada di sudut.
Hanya ada satu kamar mandi kecil di lantai atas, dan aku harus memakainya dengan
Charlie. Aku berusaha tidak terlalu memikirkan keadaan itu.
Salah satu hal terbaik tentang Charlie adalah, ia tidak pernah membuntutiku. Ia
meninggalkanku sendirian untuk membongkar dan merapikan bawaanku, perilaku yang
tak mungkin kudapatkan dari ibuku. Rasanya menyenangkan bisa sendirian, tidak
harus tersenyum dan tampak gembira; lega bisa memandang murung ke luar jendela,
memandangi hujan lebat dan membiarkan kesedihanku mengalir. Aku tidak sedang
mood untuk menangis habis-habisan. Aku akan menyimpannya sampai saat tidur
nanti, ketika aku harus memikirkan esok pagi.
Total SMA Forks hanya memiliki sangat sedikit murid yaitu 357 - sekarang 358;
sementara murid SMP di tempat asalku dulu ada lebih dari tujuh ratus orang.
Semua murid di sini tumbuh bersama-sama kakek-nenek mereka menghabiskan masa
kecil bersama. Aku akan jadi anak perempuan baru dari kota besar, mengundang
penasaran, orang aneh. Barangkali takkan begitu jadinya bila aku berpenampilan seperti layaknya anak
perempuan dari Phoenix. Tapi secara fisik aku tak pernah cocok berada di mana
pun. Aku harus berkulit cokelat, sporty, pirang - pemain voli, atau pemandu
sorak mungkin - segala sesuatu yang cocok dengan kehidupan di lembah matahari.
Sebaliknya aku malah berkulit kekuningan, bahkan tanpa mata biru atau rambut
merah, meskipun sering terpapar sinar matahari. Tubuhku selalu langsing tapi
lembek, jelas bukan atlet; aku tak memiliki kemampuan koordinasi antara tangan
dan mata untuk berolahraga tanpa mempermalukan diri sendiri dan melukai diriku
serta siapa pun di dekatku.
Ketika aku selesai memasukkan pakaian ke lemari tua dari kayu cemara, aku
mengambil tas keperluan mandiku dan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri
setelah perjalanan sehari. Aku memandang wajahku di cermin sambil menyisir
rambutku yang lembab dan kusut. Barangkali tipuan cahaya, tapi aku terlihat
pucat, tidak sehat. Kulitku bisa saja cantik-bening nyaris transparan- tapi
semua itu tergantung warna. Di sini aku tidak memiliki warna.
Memandang pantulan wajah pucatku di cermin, aku terpaksa mengakui sedang
membohongi diri sendiri. Bukan secara fisik saja aku tak pernah cocok. Dan kalau
aku tak bisa menemukan tempat di sekolah berpopulasi tiga ratus orang kesempatan
apa yang kupunya di sini"
Hubunganku dengan orang-orang sebayaku tidak bagus. Barangkali sebenarnya
hubunganku dengan orang-orang tak pernah bagus, titik. Bahkan ibuku, orang
terdekat denganku dibandingkan siapa pun di dunia ini, tak pernah selaras
denganku, tak pernah benar-benar sepaham. Kadang-kadang aku membayangkan apakah
aku melihat hal yang sama seperti yang dilihat orang lain di dunia ini. Mungkin
ada masalah dengan otakku.
Tapi penyebabnya tidak penting. Yang penting adalah akibatnya. Dan esok baru
permulaannya. Tidurku gelisah malam itu, bahkan setelah aku selesai menangis. Hujan terus
menderu dan angin yang menyapu atap tak lenyap juga dari kesadaranku. Aku
menarik selimut tua itu menutupi kepala, kemudian menambahkan bantal-bantal.
Tapi lepas tengah malam barulah aku tertidur, ketika hujan akhirnya berubah jadi
gerimis. Paginya hanya kabut tebal yang bisa kulihat dari jendela kamarku, dan bisa
kurasakan klaustrofobia merayapi tubuhku. Di sini kau tak pernah bisa melihat
langit, seperti di kandang.
Sarapan bersama Charlie berlangsung hening. Ia mendoakan supaya aku berhasil di
sekolah. Aku berterima kasih padanya, meski tahu doanya sia-sia. Keberuntungan
selalu menjauhiku. Charlie berangkat duluan, menuju kantor polisi yang menjadi
istri dan keluarganya. Setelah ia pergi aku duduk di meja kayu ek persegi tua
itu, di salah satu dari tiga kursi yang tak serasi, mengamati dapur kecilnya,
dengan dinding panelnya yang gelap, rak-rak kuning terang serta lantai
linoleumnya yang putih. Tak ada yang berubah. Delapan belas tahun yang lalu
ibuku mengecat rak-rak itu dengan harapan bisa membawa sedikit kecerahan di
rumah. Di atas perapian bersebelahan dengan ruang keluarga yang mungil, tampak
berderet foto-foto. Yang pertama foto pernikahan Charlie dan ibuku di Las Vegas,
kemudian foto kami di rumah sakit setelah aku lahir yang diambil oleh seorang
perawat, diikuti rangkaian fotoku semasa sekolah hingga tahun lalu. Aku malu
melihatnya- aku harus mencari cara supaya Charlie mau memindahkannya ke tempat
lain. setidaknya selama aku tinggal di sini.


Twilight Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Rasanya mustahil berada di rumah ini, dan tidak menyadari bahwa Charlie belum
bisa melupakan ibuku. Itu membuatku tidak nyaman.
Aku tak mau terburu-buru ke sekolah, tapi aku tak bisa tinggal di rumah lebih
lama lagi. Aku mengenakan jaketku- yang rasanya seperti pakaian antiradiasi dan
menerobos hujan. Hujan masih gerimis, tapi tak sampai membuatku basah kuyup ketika meraih kunci
rumah yang selalu disembunyikan di bawah daun pintu, dan menguncinya. Suara
decitan sepatu bot anti airku yang baru membuatku takut. Aku merindukan bunyi
keretakan kerikil saat aku berjalan. Aku tak bisa berhenti dan mengagumi trukku
lagi seperti yang kuinginkan; aku sedang terburu-buru keluar dari kabut lembab
yang menyelubungi kepalaku dan hinggap di rambutku di balik tudung jaket.
Di dalam truk nyaman dan kering. Entah Billy atau Charlie pasti telah
membersihkannya, tapi dari jok berlapis kulit cokelat itu samar-samar masih
tercium bau tembakau, bensin, dan peppermint. Mesinnya langsung menyala, dan aku
lega dibuatnya, tapi derunya keras sekali. Yah, truk setua ini pasti memiliki
kekurangan. Radio antiknya masih berfungsi, nilai tambah yang tak terduga.
Menemukan letak sekolah tidaklah sulit, meskipun aku belum pernah ke sana.
Bangunan sekolah, seperti kebanyakan bangunan lainnya, letaknya tak jauh dari
jalan raya. Tidak langsung ketahuan itu sekolah sih; hanya papan namanya yang
menyatakan bangunan itu sebagai SMA Forks, yang membuatku berhenti. Bangunannya
seperti sekumpulan rumah serasi, dibangun dengan batu bata warna marun. Ada
banyak sekali pohon dan semak-semak sehingga awalnya aku tak bisa mengira-ngira
luasnya. Di mana aura institusinya" Aku membayangkan sambil bernostalgia. Di
mana pagar-pagar berantai dan pendeteksi logamnya"
Aku parkir di depan bangunan pertama yang memiliki papan tanda kecil di atas
pintu, bunyinya TATA USAHA. Tak ada yang parkir di sana, sehingga aku yakin itu
daerah parkir khusus. Tapi aku memutuskan akan bertanya di dalam, daripada
berputar-putar di bawah guyuran hujan seperti orang tolol. Dengan enggan aku
melangkah keluar dari trukku yang nyaman dan hangat, menyusuri jalan setapak
dari bebatuan kecil berpagar warna gelap. Sebelum membuka pintu aku menghirup
napas dalam-dalam. Di dalam keadaan cukup terang dan lebih hangat dari yang kuharap. Kantornya
kecil, ruang tunggunya dilengkapi kursi lipat berjok, karpet bersemburat Jingga,
pemberitahuan dan penghargaan bergantungan di dinding sebuah jam dinding besar
berdetak keras. Tanaman ada di mana-mana dalam pot plastik besar, seolah-olah
pepohonan yang tumbuh rimbun di luar masih belum cukup. Ruangan itu dibagi dua
oleh konter panjang berantakan karena keranjang-keranjang kawat penuh kertas.
Pamflet-pamflet warna terang direkatkan di depannya. Ada tiga meja di balik
konter, salah satunya dihuni wanita bertubuh besar berambut merah yang
mengenakan kacamata. Ia mengenakan T-shirt ungu, yang membuatku merasa pakaianku
berlebihan. Wanita berambut merah itu mendongak. "Bisa kubantu?"
"Aku Isabella Swan," kataku. Kulihat matanya berkilat terkejut. Tak diragukan
lagi, aku akan segera menjadi topik gosip. Putri mantan istri Kepala Polisi yang
bertingkah akhirnya pulang.
"Tentu saja," katanya. Ia mengaduk-aduk tumpukan dokumen di mejanya hingga
menemukan yang dicarinya. "Ini jadwal pelajaranmu, dan peta sekolah." Ia membawa
beberapa lembar ke meja konter dan memperlihatkannya padaku.
Kemudian ia menjelaskan kelas-kelas yang harus kuambil, menerangkan rute terbaik
menuju masing-masing kelas pada peta, dan menyerahkan lembaran kertas yang harus
ditandatangani masing-masing guru. Pada akhir jam pelajaran nanti aku harus
menyerahkannya kembali. Ia tersenyum dan berharap, seperti Charlie, aku senang
berada di sini di Forks. Aku balas tersenyum meyakinkan sebisaku.
Ketika aku keluar lagi menuju truk, murid-murid lain berdatangan. Aku mengemudi
mengelilingi sekolah, mengikuti barisan mobil-mobil lain. Aku senang mobil-mobil
lainnya juga sama tuanya seperti trukku, tak ada yang bagus. Di tempat asalku,
aku tinggal di permukiman kelas bawah di distrik Paradise Valley. Melihat
Mercedes baru atau Porsche di parkiran murid sudah biasa bagiku. Di sini, mobil
terbagus adalah Volvo yang bersih mengilap, dan jelas mencolok. Tetap saja aku
mematikan mesin begitu mendapatkan tempat parkir, sehingga suaranya yang keras
tidak menarik perhatian. Aku mempelajari petanya di dalam truk, berusaha mengingatnya; berharap aku tak
perlu berjalan sambil terus memeganginya seharian. Aku memasukkan semua ke tas,
dan menyandangkan talinya di bahu, dan menarik napas panjang. Aku bisa
melakukannya, aku setengah membohongi diriku. Tak ada yang bakal menggigitku.
Akhirnya aku mengembuskan napas dan melangkah keluar truk.
Kubiarkan wajahku tersamarkan tudung jaket ketika berjalan melintasi trotoar
yang dipenuhi remaja. Jaket hitam polosku tidak mencolok, aku menyadarinya
dengan perasaan lega. Begitu sampai di kafetaria, gedung tiga dengan mudah kutemukan. Angka "3" hitam
besar dicat di kotak persegi putih di pojok sebelah timur. Aku mendapati napasku
pelan-pelan berubah terengah-engah begitu mendekati pintunya. Aku berusaha
menahan napas ketika mengikuti dua orang yang mengenakan jas hujan uniseks
melewati pintu. Kelasnya kecil. Orang-orang di depanku berhenti tepat di muka pintu untuk
menggantungkan jas hujan mereka di tiang gantungan yang panjang. Aku mencontoh
mereka. Mereka dua orang gadis, yang satu berambut pirang yang lain juga
berkulit pucat, rambutnya cokelat muda. Setidaknya warna kulitku tidak bakal
mencolok di sini. Aku menyerahkan lembaran tadi pada seorang guru, laki-laki tinggi botak yang di
mejanya terdapat papan nama bertuliskan Mr. Mason. Ia melongo menatapku ketika
melihat namaku-bukan respons yang membangun - dan tentu saja wajahku memerah
seperti tomat. Tapi setidaknya ia menyuruhku duduk di meja kosong di belakang
tanpa memperkenalkanku pada teman-teman sekelas. Sulit bagi teman-teman baruku
untuk menatapku di belakang tapi entah bagaimana mereka bisa melakukannya. Aku
terus menunduk, memandangi daftar bacaan yang diberikan guruku. Bacaan dasar:
Bronte, Shakespeare, Chaucer, Faulkner. Aku sudah pernah membaca semuanya.
Menyenangkan... dan membosankan. Aku membayangkan apakah ibuku mau mengirimkan
folder esai-esai lamaku atau apakah menurut dia itu sama dengan menyontek. Aku
berdebat dengannya dalam benakku sementara guru terus bicara.
Ketika bel berbunyi, suaranya berupa gumaman sengau. Seorang cowok ceking dengan
kulit bermasalah dan rambut hitam licin bagai oli bersandar di lorong dan
berbicara padaku. "Kau Isabella Swan, kan?" Ia kelihatan seperti orang yang kelewat suka menolong,
tipe anggota klub catur. "Bella." aku meralatnya. Semua orang dalam jarak tiga kursi berbalik
menghadapku. "Habis ini kau masuk kelas apa?" tanyanya.
Aku harus memeriksa dulu di dalam tasku. "Mmm, Pemerintahan, dengan Jefferson,
di gedung enam." Aku tak bisa melihat ke mana pun tanpa beradu pandang dengan mata-mata
penasaran. "Aku akan ke gedung empat, aku bisa menunjukkannya padamu... " Jelas tipe
kelewat suka menolong. "Aku Eric," tambahnya.
Aku tersenyum hati-hati. "Terima kasih."
Kami mengambil jaket dan menerobos hujan, yang sudah reda. Aku berani bersumpah
beberapa orang di belakang kami berjalan cukup dekat supaya bisa menguping.
Kuharap aku tidak menjadi paranoid.
"Jadi, ini sangat berbeda dengan Phoenix heh?" tanyanya.
"Sangat". "Di sana tidak sering hujan, kan?"
"Tiga atau empat kali setahun."
"Wow, seperti apa rasanya?" Ia membayangkan.
"Cerah," ujarku.
"Kulitmu tidak terlalu cokelat."
"Ibuku setengah albino."
Ia mengamati wajahku dengan waswas, dan aku mendesah. Kelihatannya awan dan
selera humor tidak pernah selaras. Beberapa bulan saja di tempat ini, aku pasti
sudah lupa bagaimana caranya bersikap sinis.
Kami berjalan lagi mengitari kafetaria, ke gedung-gedung di sebelah selatan
dekat gimnasium. Eric mengantarku sampai ke pintu, meskipun papan tandanya
jelas. "Semoga berhasil," katanya ketika aku meraih gagang pintu. "Barangkali kita akan
bertemu di kelas lain." Ia terdengar berharap.
Aku tersenyum samar dan masuk.
Sisa pagi itu berlalu kurang-lebih sama. Guru Trigonometriku, Mr. Varner, yang
toh bakal kubenci juga karena mata pelajaran yang diajarkannya, adalah satu-
satunya yang menyuruhku berdiri di depan kelas dan memperkenalkan diri. Aku
tergagap, wajahku merah padam, dan tersandung sepatu botku sendiri ketika menuju
kursiku. Setelah dua pelajaran, aku mulai mengenali beberapa wajah di masing-masing
kelas. Selalu ada yang lebih berani dari yang lain, yang memperkenalkan diri dan
bertanya mengapa aku menyukai Forks. Aku mencoba berdiplomasi, tapi secara
keseluruhan aku hanya berbohong. Setidaknya aku tidak pernah membutuhkan peta.
Seorang gadis duduk di sebelahku baik di kelas Trigono dan bahasa Spanyol, dan
ia berjalan menemaniku menuju kafetaria saat makan siang. Tubuhnya mungil, lebih
pendek daripada aku yang 160 senti, tapi rambut gelapnya yang sangat ikal
berhasil menyamarkan perbedaan tinggi kami. Aku tak ingat namanya, jadi aku
tersenyum dan mengangguk ketika ia mengoceh tentang guru-guru dan pelajarannya.
Aku tak berusaha memerhatikannya.
Kami duduk di ujung meja yang dipenuhi beberapa temannya. Ia memperkenalkanku
pada mereka. Aku langsung lupa nama-nama mereka begitu ia mulai mengobrol dengan
mereka. Mereka tampak kagum dengan keberaniannya berbicara denganku. Cowok dari
kelas bahasa Inggris, Eric, melambai padaku dari seberang ruangan.
Di sanalah, duduk di ruang makan siang berusaha memulai pembicaraan dengan tujuh
orang asing yang penasaran, ketika aku pertama kali melihat mereka.
Mereka duduk di sudut kafetaria, sejauh mungkin dari tempat dudukku. Mereka
berlima. Mereka tidak bicara, juga tidak makan, meskipun di depan mereka masing-
masing ada satu nampan makanan yang tak tersentuh. Mereka tidak terpana
menatapku, tidak seperti kebanyakan murid lainnya, jadi rasanya aman memandangi
mereka tanpa takut bakal beradu pandang dengan sepasang mata yang kelewat
penasaran. Tapi bukan ini yang menarik perhatianku.
Mereka tidak terlihat seperti yang lain. Dari tiga cowok yang satu bertubuh
besar - berotot seperti atlet angkat besi profesional, rambutnya gelap ikal.
Yang lain lebih tinggi, lebih langsing tapi juga berotot dan rambutnya pirang
keemasan. Yang terakhir kurus dengan rambut berwarna perunggu yang berantakan.
Ia lebih kekanakan daripada yang dua lagi, yang kelihatannya sudah kuliah, atau
bahkan bisa jadi guru di sini dan bukannya murid.
Yang cewek-cewek kebalikannya. Yang jangkung tatapannya dingin. Tubuhnya indah,
seperti yang kalian lihat di sampul Sports Illustrated edisi pakaian renang,
sosok yang membuat setiap cewek di dekatnya tidak percaya diri hanya dengan
berada di ruangan yang sama. Rambutnya keemasan, tergerai lembut di punggung.
Gadis yang bertubuh pendek seperti peri. sangat kurus, perawakannya mungil.
Rambutnya hitam kelam, dipotong pendek dan lancip-lancip.
Namun toh mereka sama persis. Mereka pucat pasi, paling pucat dari semua murid
yang hidup di kota tanpa matahari ini. Lebih pucat daripada aku, si albino. Mata
mereka sangat gelap, begitu kontras dengan warna rambut mereka. Mereka juga
memiliki kantong mata - keunguan, memar seperti bayangan. Seolah-olah mereka
melewati malam panjang tanpa bisa tidur, atau baru saja hampir sembuh dari patah
hidung. Terlepas dari hidung mereka, semua garis tubuh mereka lurus, sempurna,
kaku. Tapi bukan semua itu yang membuatku tak bisa berpaling.
Aku memandangi mereka karena wajah mereka begitu berbeda, namun sangat mirip,
semuanya luar biasa, keindahan yang memancarkan kekejaman. Mereka wajah-wajah
yang tak pernah kauharapkan bakal kaulihat kecuali di halaman majalah fashion.
Atau dilukis seorang pelukis ahli sebagai wajah malaikat. Sulit memutuskan siapa
yang paling indah - mungkin cewek berambut pirang yang sempurna itu, atau si
cowok berambut perunggu. Mereka semua mengalihkan pandangan - dari satu sama lain, dari murid-murid lain,
dari segala sesuatu sejauh yang kulihat. Ketika aku memerhatikan, si cewek
mungil bangkit membawa nampan - kaleng sodanya belum dibuka, apelnya masih utuh
- dan berlalu sambil melompat cepat dan indah. Gerakan yang bisa dilakukan di
landas pacu. Aku terus mengawasinya, mengagumi langkah luwesnya yang bagai
penari, sampai ia menaruh nampannya di tempat nampan kotor dan melayang lewat
pintu belakang lebih cepat dari yang kupikir mungkin dilakukannya. Mataku
tertuju kembali ke yang lain, yang sama sekali tak beranjak.
"Siapa mereka?" aku bertanya pada cewek dari kelas bahasa Spanyol-ku, yang aku
lupa namanya. Ketika ia mendongak untuk melihat siapa yang kumaksud - meskipun dari nada
suaraku barangkali ia sudah tahu - tiba-tiba salah satu cowok dari kelompok itu
memandang ke arahnya, cowok yang bertubuh kurus dan berwajah kekanakan, mungkin
yang paling muda. Ia melihat ke cewek di sebelahku hanya beberapa detik, lalu
matanya yang gelap mengerjap ke arahku.
Ia berpaling dengan cepat, lebih cepat dari yang bisa kulakukan, meskipun karena
malu aku langsung menunduk saat itu juga. Sekilas tadi wajahnya sama sekali
tidak menunjukkan ketertarikan - seolah temanku telah menyebut namanya, dan ia
memandang sebagai reaksi spontan, telah memutuskan untuk tidak menjawab.
Gadis di sebelahku tertawa tersipu, menunduk memandangi meja seperti aku.
"Itu Edward dan Emmett Cullen, serta Rosalie dan Jasper Hale. Yang baru saja
pergi namanya Alice Cullen; mereka tinggal bersama dr. Cullen dan istrinya." Ia
mengatakannya dengan berbisik.
Aku melirik cowok tampan itu, yang sekarang sedang memandangi nampannya,
mencubit-cubit bagelnya dengan jari-jari panjangnya yang pucat. Mulutnya
bergerak sangat cepat, bibirnya yang sempurna nyaris tidak terbuka. Yang tiga
lagi masih membuang muka, namun aku merasa ia berbicara diam-diam pada mereka.
Nama-nama aneh yang tidak populer, pikirku. Nama-nama yang dimiliki generasi
kakek - nenek. Tapi barangkali di sini nama-nama itu populer - khas nama-nama
kota kecil" Aku akhirnya ingat cewek di sebelahku bernama Jessica, nama yang
sangat umum. Di kelas Sejarah di sekolah tempat asalku, ada dua cewek bernama
Jessica. "Mereka... sangat tampan dan cantik." Dengan susah payah aku menyatakan komentar
yang mencolok itu. "Benar!" Jessica setuju seraya terkekeh lagi. "Dan mereka selalu bersama-sama -
Emmett dan Rosalie, dan Jasper dan Alice, maksudku. Dan mereka tinggal bersama-
sama." Suaranya mewakili keterkejutan dan ketidaksetujuan kota kecil ini,
pikirku kritis. Tapi kalau mencoba jujur, harus kuakui bahkan di Phoenix pun hal
seperti itu akan menimbulkan gunjingan.
"Yang mana di antara mereka yang bermarga Cullen?" tanyaku. "Mereka tidak
kelihatan seperti satu keluarga..."
"Oh, memang tidak. Dr. Cullen masih sangat muda, kira-kira dua puluhan atau awal
tiga puluhan. Mereka semua anak adopsi. Yang bermarga Hale adalah sepasang
kembaran laki-laki dan perempuan - yang pirang - mereka anak angkat."
"Mereka kelihatannya agak terlalu tua untuk menjadi anak angkat."
"Sekarang memang. Jasper dan Rosalie umurnya delapan belas, tapi mereka sudah
hidup bersama-sama Mrs. Cullen sejak masih delapan tahun. Mrs. Cullen bibi
mereka atau seperti itulah."
"Mereka baik sekali - mau memelihara semua anak-anak itu, ketika mereka masih
kecil dan segalanya."
"Kurasa begitu," ujar Jessica enggan, dan aku mendapat kesan ia tidak menyukai
sang dokter dan istrinya untuk alasan tertentu. Dari caranya memandang anak-anak
adopsi itu, aku menduga alasannya adalah iri. "Kurasa Mrs. Cullen tidak bisa
punya anak," Jessica menambahkan, seolah-olah komentarnya mengurangi kebaikan
hati mereka. Sepanjang percakapan mataku mengerjap lagi dan lagi ke meja tempat keluarga aneh
itu duduk. Mereka terus memandang dinding dan tidak makan.
"Apa mereka sejak dulu tinggal di Forks?" tanyaku. Aku yakin pernah melihat
mereka di salah satu kunjungan musim panasku di sini.
"Tidak," kata Jessica, nadanya mengindikasikan bahwa itu seharusnya sudah jelas,
bahkan bagi pendatang baru seperti aku. "Mereka baru saja pindah ke sini dua
tahun yang lalu dari sekitar Alaska."
Aku merasakan sebersit rasa iba, sekaligus lega. Iba karena betapapun cantik dan
tampannya mereka, mereka adalah pendatang jelas tidak diterima. Dan lega karena
aku bukan satu-satunya pendatang baru di sini, dan sudah pasti bukan yang paling
menarik bila dilihat dari standar apa pun.
Saat aku mengamati mereka, yang paling muda, salah satu yang bermarga Cullen,
mendongak dan beradu pandang denganku, kali ini ekspresinya memancarkan rasa
penasaran yang nyata. Ketika aku pelan-pelan mengalihkan pandangan, tampak
olehku bahwa tatapannya mencerminkan semacam harapan yang tak terpuaskan.
"Cowok berambut cokelat kemerahan itu siapa?" tanyaku. Aku mengintip ke arahnya
lewat sudut mata, dan ia masih menatapku, tapi tidak melongo seperti murid-murid


Twilight Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lain seharian ini - ekspresinya sedikit gelisah. Aku kembali menunduk.
"Itu Edward. Dia tampan tentu saja, tapi jangan buang-buang waktu. Dia tidak
berkencan. Kelihatannya tak satu pun cewek di sini cukup cantik baginya."
Jessica mendengus, sikapnya jelas pahit. Aku membayangkan kapan Edward
menampiknya. Aku menggigit bibir untuk menyembunyikan senyumku. Lalu aku kembali memandang
Edward. Ia sudah memalingkan wajah, tapi rasanya pipinya seperti tertarik,
seolah-olah ia juga tersenyum.
Beberapa menit kemudian mereka berempat meninggalkan meja bersama-sama. Tak
diragukan lagi mereka sangat anggun - bahkan yang bertubuh besar dan berotot.
Aku kecewa menyaksikan kepergian mereka. Yang bernama Edward tidak menoleh ke
arahku lagi. Aku duduk di meja bersama Jessica dan teman-temannya lebih lama daripada kalau
aku duduk sendirian. Aku tak ingin terlambat tiba di kelas pada hari pertamaku
di sekolah. Salah satu kenalan baruku, yang dengan baik hati mau mengingatkan
lagi bahwa namanya Angela, juga mengambil kelas Biologi II bersamaku pada jam
berikutnya. Kami berjalan ke kelas bersama-sama tanpa bicara. Ia juga pemalu.
Ketika kami memasuki kelas, Angela duduk di meja lab yang bagian atasnya
berwarna hitam, persis yang dulu
sering kutempati. Ia sudah punya teman sebangku. Malah sebenarnya semua meja
telah terisi, kecuali satu yang masih kosong. Di sisi gang tengah, aku mengenali
Edward Cullen dari rambutnya yang tidak biasa, duduk di sebelah kursi yang
kosong. Saat aku menyusuri gang untuk memperkenalkan diri kepada guru dan memintanya
menandatangani kertasku, aku diam-diam memerhatikan Edward. Ketika aku
melewatinya, tiba-tiba duduknya jadi kaku. Ia menatapku lagi, mataku bertemu
pandang dengan sepasang mata dengan ekspresi paling aneh - tidak bersahabat,
gusar. Bergegas aku memalingkan wajah, terkejut, wajahku merah padam. Aku
tersandung buku dan nyaris terjerembab hingga tanganku meraih ujung meja. Cewek
yang duduk di situ terkekeh.
Saat itulah aku memerhatikan bahwa matanya berwarna hitam-hitam legam.
Mr. Banner menandatangani kertasku dan menyerahkan sebuah buku tanpa berbasa-
basi tentang perkenalan. Bisa kukatakan kami bakal cocok. Tentu saja dia tak
punya pilihan kecuali menyuruhku menempati kursi yang kosong di tengah kelas.
Aku terus menunduk ketika menempatkan diriku di sisinya, bingung oleh tatapan
antagonis yang dilemparkannya padaku.
Tanpa mengangkat wajah, kuatur bukuku di meja lalu duduk, tapi dari sudut mata
bisa kulihat posturnya berubah. Ia menjauh dariku, duduk di ujung kursi,
memalingkan wajah seolah-olah mencium aroma yang tidak enak. Diam-diam aku
mengendus rambutku. Aromanya seperti stroberi, aroma sampo kesukaanku.
Sepertinya baunya cukup enak. Kubiarkan rambutku tergerai di bahu kanan, sebagai
penghalang di antara kami, dan mencoba berkonsentrasi pada pelajaran.
Tapi sialnya pelajaran saat itu mengenai anatomi seluler, sesuatu yang sudah
pernah kupelajari. Meski begitu aku tetap mencatat dengan teliti, dan selalu
menunduk. Aku tak bisa menahan diri dan sesekali mengintip lewat celah rambutku ke cowok
aneh di sebelahku. Sepanjang pelajaran ia tak pernah duduk santai di ujung
kursinya, sejauh mungkin dariku. Aku bisa melihat tangannya yang mengepal
diletakkan di paha kiri, otot-ototnya menyembul di balik kulit pucatnya. Untuk
yang satu ini, ia juga tak pernah santai. Lengan panjang kaus putihnya digulung
sampai siku, dan mengejutkan karena lengannya kekar dan berotot di balik
kulitnya yang pucat. Ia tidak kelihatan sekurus itu ketika berdampingan dengan
kakaknya yang berperawakan gagah dan besar.
Pelajaran kali ini kelihatannya lebih lama daripada yang lain. Apa itu karena
sekolah sudah hampir usai, atau karena aku sedang menunggu kepalan tangannya
mengendur" Tangannya terus terkepal, ia duduk bergeming sampai-sampai ia seolah-
olah tidak bernapas. Apa yang salah dengannya" Apakah ini perilaku normalnya"
Aku mempertanyakan penilaian Jessica yang ketus saat makan siang tadi.
Barangkali cewek itu tidak sebenci yang kupikir.
Tak mungkin ada hubungannya denganku. Ia sama sekali tak mengenalku.
Sekali lagi aku mengintip, dan menyesalinya. Ia sedang menatapku, matanya yang
hitam penuh rasa jijik. Ketika aku mengalihkan pandang, menciut di kursiku,
tiba-tiba frase bila rupa bisa membunuh melintas di benakku.
Bel berbunyi keras, membuatku terperanjat. Edward Cullen bangkit dari duduk.
Dengan luwes ia berdiri - ia lebih tinggi daripada yang kukira-memunggungiku,
dan ia sudah keluar dari pintu sebelum yang lain beranjak dari kursi mereka.
Aku duduk membeku, menatapnya tak berkedip. Ia jahat sekali. Ini tidak adil.
Perlahan-lahan aku mulai membereskan barang-barangku, mencoba mengenyahkan
kemarahan yang menyelimutiku, sebab khawatir air mataku bakal menggenang. Untuk
beberapa alasan emosiku melekat erat dengan saluran air mataku. Kalau marah aku
biasanya menangis, kebiasaan memalukan.
"Apa kau Isabella Swan?" terdengar suara cowok bertanya.
Aku mengangkat kepala dan melihat seorang cowok bertampang imut dan tampan,
rambutnya yang pirang pucat di-gel membentuk spike yang teratur. Ia tersenyum
ramah. Ia jelas tidak menganggap bauku tidak enak.
"Bella," ralatku tersenyum.
"Aku Mike." "Hai. Mike." "Kau butuh bantuan mencari kelasmu selanjutnya?"
"Sebenarnya aku mau ke gimnasium. Kurasa aku bisa menemukannya."
"Itu juga kelasku berikutnya." Ia tampak senang meskipun itu bukan kebetulan
yang luar biasa di sekolah sekecil ini.
Kami berjalan bareng ke gimnasium; ia ternyata cowok yang senang mengobrol -
kebanyakan topik pembicaraan kami berasal darinya, memudahkan segalanya buatku.
Ia tinggal di California sampai umur sepuluh tahun, jadi ia tahu bagaimana
perasaanku tentang matahari. Dari pembicaraan kami, aku jadi tahu ia juga
sekelas denganku di bahasa Inggris. Ia orang paling ramah yang kutemui hari ini.
Tapi ketika kami memasuki gimnasium, ia bertanya, "Jadi, kau menusuk Edward
Cullen dengan pensil atau apa" Aku tak pernah melihatnya bersikap seperti itu."
Aku menciut Jadi, aku bukan satu-satunya yang memerhatikan hal ini. Dan rupanya
itu bukan perilaku Edward yang biasanya. Aku memutuskan untuk berpura-pura tidak
tahu. "Maksudmu cowok yang duduk di sebelahku di kelas Biologi?" tanyaku polos.
"Ya," katanya. "Dia kelihatan kesakitan atau apa."
"Aku tidak tahu," timpalku. "Aku tak pernah bicara dengannya."
"Dia aneh." Bukannya menuju kamar ganti, Mike malah terus bersamaku. "Kalau aku
cukup beruntung bisa duduk denganmu, aku bakal mengobrol denganmu."
Aku tersenyum padanya sebelum melangkah ke kamar ganti cewek. Ia cukup
bersahabat dan memesona. Tapi itu tak cukup mengobati sakit hatiku.
Guru senam kami. Pelatih Clapp, memberikan seragam buatku. Ia tidak menyuruhku
mengganti pakaian dengan seragamku untuk kelas hari ini. Di tempat asalku,
pelajaran olahraga hanya selama dua tahun. Di sini pelajaran olahraga wajib
selama empat tahun. Secara harfiah, Forks bagiku adalah neraka di bumi.
Berturut-turut aku menyaksikan empat pertandingan voli. Mengingat jumlah cedera
yang telah menimpaku - dan yang kutimbulkan - ketika bermain voli aku merasa
agak mual. Akhirnya bel terakhir berbunyi. Aku berjalan pelan ke kantor Tata Usaha untuk
mengembalikan kertas-kertas yang sudah ditandatangani. Hujan sudah reda, tapi
angin bertiup kencang dan lebih dingin. Aku memeluk diriku sendiri.
Ketika melangkah ke ruang Tata Usaha yang hangat, aku nyaris langsung berbalik
dan melarikan diri. Edward Cullen berdiri di meja di depanku. Aku mengenali rambut berwarna perunggu
yang berantakan itu. Sepertinya ia tidak memerhatikan kedatanganku. Aku berdiri
merapat ke dinding belakang menunggu petugas resepsionis selesai.
Edward sedang berdebat dengannya, nada suaranya rendah dan indah. Dengan cepat
aku menangkap inti perdebatan mereka. Ia sedang berusaha menukar pelajaran
Biologi dari jam keenam ke jam lain-jam mana saja.
Aku sama sekali tak percaya keinginannya memindahkan kelas Biologi-nya ada
hubungannya denganku. Pasti sesuatu yang lain, sesuatu yang terjadi sebelum aku
memasuki kelas itu. Raut wajahnya tadi pasti karena ia sedang jengkel semata.
Tak mungkin orang asing ini bisa tiba-tiba sangat tidak menyukaiku.
Pintunya terbuka lagi, dan angin dingin tiba-tiba berembus ke dalam ruangan,
meniup kertas-kertas di meja, meniup rambutku hingga menutupi wajah. Cewek yang
masuk langsung melangkah ke meja, meletakkan catatan di keranjang kawat, lalu
keluar lagi. Tapi punggung Edward Cullen menegang dan perlahan ia berbalik
menatapku - wajahnya luar biasa tampan - tatapannya menghunjam dan sarat
kebencian. Seketika aku merasakan ketakutan yang amat sangat, hingga bulu kuduk
di tanganku meremang. Tatapannya hanya sedetik, tapi membuatku membeku lebih
dari angin yang dingin. Ia berbalik lagi ke resepsionis.
"Kalau begitu lupakan saja," katanya terburu-buru dengan nada selembut beledu.
"Aku mengerti ini tidak mungkin. Terima kasih banyak atas bantuan Anda." Dan ia
berbalik tanpa memandangku lagi, lalu lenyap di balik pintu.
Aku berjalan pelan ke meja, wajahku pucat dan bukannya memerah. Kuserahkan
kertas yang sudah ditandatangani.
"Bagaimana hari pertamamu, Nak?" tanya resepsionis lembut.
"Baik," aku berbohong, suaraku lemah. Ia kelihatan tidak percaya.
Ketika tiba di lapangan parkir, hanya tinggal beberapa mobil di sana. Truk itu
rasanya seperti tempat perlindungan, nyaris mirip rumah yang kumiliki di lubang
hijau yang lembab ini. Aku duduk sebentar di dalamnya, hanya menerawang ke luar
kaca depan. Tapi ketika aku kedinginan dan membutuhkan kehangatan, kuselipkan
kuncinya dan mesin pun menyala. Aku pulang ke rumah Charlie sambil menahan air
mata sepanjang perjalanan ke sana.
2. BUKU YANG TERBUKA KEESOKAN harinya lebih baik... tapi juga lebih buruk.
Lebih baik karena hujan belum turun, meski langit sudah tebal oleh mendung. Itu
lebih mudah karena aku jadi tahu apa yang kuharapkan. Mike duduk bersamaku di
kelas bahasa Inggris, dan mengantarku ke kelasku berikut. Eric si anggota Klub
Catur memelototinya sepanjang waktu; membuatku tersanjung. Orang-orang tidak
memandangiku seperti kemarin. Aku duduk dalam kelompok besar saat makan siang
bersama Mike, Eric, Jessica, dan beberapa anak lainnya yang nama dan wajahnya
bisa kuingat sekarang. Aku mulai merasa seperti air yang mengalir tenang bukan
tenggelam. Lebih buruk karena aku lelah. Aku masih tak bisa tidur karena angin yang terus
bergema di sekeliling rumah. Lebih buruk karena Mr. Varner memanggilku di
pelajaran Trigono padahal aku tidak mengacungkan tangan dan jawabanku salah.
Menyedihkan karena aku harus main voli, dan sekalinya tidak terhantam bola, aku
malah melemparkannya ke teman sereguku. Dan lebih buruk karena Edward Cullen
sama sekali tak terlihat di sekolah.
Sepagian aku sangat mengkhawatirkan saat makan siang waswas terhadap tatapan
anehnya. Sebagian diriku ingin mengonfrontasinya dan menuntut ingin mengetahui
apa masalahnya. Ketika terbaring nyalang di ranjang aku bahkan membayangkan apa
yang bakal kukatakan. Tapi aku mengenal diriku terlalu baik, tak mungkin aku
punya nyali melakukannya. Aku membuat Singa Pengecut terlihat seperti sang
pemusnah. Tapi ketika aku berjalan ke kafetaria bersama Jessicat - mencoba menjaga mataku
agar tidak nanar mencari sosok Edward dan gagal total - aku melihat keempat
saudaranya duduk bareng di meja yang sama, tapi ia sendiri tak ada.
Mike menghadang dan mengajak kami ke mejanya. Jessica sepertinya senang dengan
perhatian Mike, dan teman-teman Jessica langsung bergabung dengan kami. Tapi
sementara aku berusaha mendengarkan obrolan santai mereka, aku merasa sangat
tidak nyaman, gelisah menantikan kedatangan Edward. Aku berharap ia akan
mengabaikan aku kalau muncul nanti, dan membuktikan kecurigaanku keliru.
Ia tidak datang, dan dengan berlalunya waktu, aku pun semakin tegang.
Aku menuju kelas Biologi dengan lebih percaya diri. Sampai waktu makan siang
berakhir tadi, Edward masih belum muncul juga. Mike, yang mirip Golden
Retriever, melangkah setia di sisiku menuju kelas. Sesampainya di pintu aku
menahan napas, tapi Edward Cullen juga tidak ada di sana. Aku mengembuskan napas
dan pergi ke kursi. Mike mengikuti sambil terus membicarakan rencana jalan-jalan
ke pantai. Ia tetap di mejaku sampai bel berbunyi. Lalu ia tersenyum sedih dan
beranjak duduk dengan cewek berkawat gigi yang rambutnya keriting dan jelek.
Sepertinya aku harus melakukan sesuatu tentang cowok itu, dan ini takkan mudah.
Di kota seperti ini, tempat orang-orang selalu ingin tahu apa yang terjadi atas
orang lain, diplomasi sangatlah penting. Aku tak pernah pandai berdiplomasi; aku
tak pernah berpengalaman menghadapi teman cowok yang kelewat ramah.
Aku lega karena bisa menempati meja itu sendirian, berhubung Edward tidak masuk.
Aku terus-menerus mengingatkan diriku, tapi aku tak bisa mengenyahkan kecurigaan
bahwa akulah alasan ketidakhadirannya. Betapa konyol dan narsis mengira diriku
bisa memengaruhi orang seperti itu. Tidak mungkin. Tapi toh aku tak bisa
berhenti mengkhawatirkan bahwa itu benar.
Ketika sekolah akhirnya usai, dan rona di pipiku akibat kecelakaan waktu main
voli tadi mulai memudar, aku buru-buru mengenakan kembali jins dan sweter biru
tentaraku. Aku bergegas meninggalkan kamar ganti cewek, senang karena untuk
sementara berhasil melepaskan diri dari temanku yang suka mengekor. Aku berjalan
cepat menuju parkiran. Tempat itu dipenuhi murid yang lalu-lalang. Aku
masuk ke truk dan mengaduk-aduk tas, memastikan semua ada di situ.
Semalam aku mengetahui Charlie tak bisa memasak kecuali membuat telur goreng dan
bacon. Jadi aku meminta diberi tugas memasak selama tinggal bersamanya. Charlie
dengan senang hari menyerahkan urusan itu kepadaku. Aku juga mendapati Charlie
tidak menyimpan makanan apa pun di rumah. Jadi aku membuat daftar belanjaan,
lalu mengambil uang dari stoples bertuliskan UANG MAKANAN yang disimpan di
lemari, dan sekarang akan menuju Thrifrway.
Aku menyalakan mesin truk yang menggelegar, mengabaikan kepala-kepala yang
menengok, dan mundur pelan menuju barisan mobil yang mengantre keluar dari
parkiran. Ketika aku menunggu, mencoba berpura-pura bahwa deru yang memekakkan
telinga ini berasal dari mobil orang lain, aku melihat Cullen bersaudara, dan si
kembar Hale masuk ke mobil mereka. Volvo baru yang mengilap. Tentu saja.
Sebelumnya aku tidak memerhatikan pakaian mereka - aku kelewat terpesona dengan
rupa mereka. Karena sekarang aku memerhatikan, jelas sekali mereka berpakaian
sangat bagus: simpel, namun bermerek. Dengan rupa mereka yang luar biasa keren,
gaya mereka, mereka bisa saja memakai lap tangan dan tetap kelihatan keren.
Rasanya berlebihan sekali memiliki keduanya: wajah rupawan dan uang. Tapi sejauh
yang kutahu, hidup memang lebih sering seperti itu. Dan sepertinya kenyataan itu
tak lantas membuat mereka diterima di sini.
Tidak, aku tak percaya sepenuhnya. Mereka memang suka menyendiri; tak bisa
kubayangkan tak ada yang tidak mau menyambut ketampanan dan kecantikan seperti
itu. Mereka memandang trukku yang berisik ketika aku melewati mereka, sama seperti
yang lain. Pandanganku tetap terarah ke muka dan aku merasa lega ketika akhirnya keluar dari lahan
sekolah. The Thriftway tak jauh dari sekolah, hanya beberapa blok ke selatan, selepas
jalan raya. Rasanya menyenangkan bisa berada di dalam supermarket; rasanya
normal. Di tempat asalku akulah yang berbelanja, dan aku menyukainya.
Supermarket itu cukup luas sehingga aku tak dapat mendengar tetesan air hujan di
atap yang mengingatkan keberadaanku sekarang.
Sesampai di rumah aku mengeluarkan semua barang belanjaan, lalu menyumpalkannya
di mana-mana. Kuharap Charlie tidak keberatan. Kubungkus kentang dengan
aluminium dan kumasukkan ke oven lalu memanggangnya, melapisi steik dengan saus
marinade, dan meletakkannya di atas sekarton telur di kulkas.
Selesai melakukannya, aku membawa tas sekolahku ke atas. Sebelum mengerjakan PR,
aku mengganti pakaian dengan yang kering mengikat rambutku yang lembab jadi
kucir kuda, dan memeriksa e-mail-ku untuk pertama kali. Aku mendapat tiga pesan.
"Bella," tulis ibuku...
Kirimi aku kabar begitu kau sampai. Ceritakan bagaimana penerbanganmu. Apakah
hujan" Aku sudah merindukanmu. Aku hampir selesai mengepak untuk ke Florida,
tapi aku tak bisa menemukan blus pinkku. Kau tahu di mana aku meletakkannya"
Phil kirim salam. Mom. Aku mendengus dan membaca pesan berikutnya. Pesan itu dikirim delapan jam
setelah pesan pertama. "Bella," tulisnya...
Kenapa kau belum kirim e-mail" Apa sih yang kautunggu" Mom.
Yang terakhir dikirim pagi ini.
Isabella, Kalau sampai jam setengah enam sore ini aku belum juga mendengar kabar darimu,
aku akan menelepon Charlie.
Aku melihat jam. Aku masih punya waktu satu jam, ibuku sangat terkenal suka
meledak-ledak. Mom, Tenang saja. Aku sedang menulis sekarang. Jangan konyol. Bella.
Aku mengirimnya dan memulai lagi.


Twilight Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Mom, Semua baik-baik saja. Tentu saja di sini hujan. Aku menunggu sampai punya cerita
yang bisa kubagikan. Sekolahku tidak jelek, hanya sedikit mengulang pelajaran.
Aku bertemu beberapa anak yang baik yang makan siang bersamaku.
Blus pinkmu ada di dry clean - kau harus mengambilnya hari Jumat.
Charlie membelikan aku truk, kau percaya" Aku menyukainya. Mobil tua, tapi
benar-benar "bandel", yang berarti bagus, kau tahu kan, buatku.
Aku juga rindu padamu. Aku akan menulis lagi nanti, tapi aku takkan mengecek e-
mail-ku setiap lima menit sekali. Tenang, tarik napas. Aku sayang Mom.
Bella. Kuputuskan untuk membaca Wuthering Heights - novel yang sedang kami pelajari di
kelas bahasa Inggris - demi kesenangan, dan itulah yang kulakukan ketika Charlie
pulang, bergegas turun mengeluarkan kentang dari oven serta memanggang steiknya.
"Bella?" panggil ayahku ketika mendengar aku menuruni tangga.
Memangnya ada orang lain" pikirku. "Hei, Dad, sudah pulang?"
"Ya." Ia menggantungkan sabuk senjatanya dan melepaskan botnya sementara aku
sibuk di dapur. Setahuku, ia tak pernah menembakkan senjatanya selama bertugas.
Tapi senjatanya itu selalu siaga. Waktu aku datang ke sini, ketika masih kanak-
kanak, Dad selalu mengosongkan pelurunya begitu ia masuk ke rumah. Kurasa
sekarang ia sudah menganggapku cukup dewasa sehingga tidak akan dengan sengaja
menembak diriku sendiri, dan tidak depresi sehingga mencoba bunuh diri.
"Kita makan malam apa?" tanya Dad hati-hati. Ibuku juru masak imajinatif, dan
percobaannya tak selalu aman untuk dimakan.
"Steik dan kentang" jawabku, dan Dad tampak lega.
Sepertinya ia merasa salah tingkah berada di dapur tanpa melakukan apa-apa; jadi
ia pergi ke ruang tamu dengan langkah diseret lalu menonton TV sementara aku
bekerja di dapur. Ini lebih nyaman buat kami berdua. Aku membuat salad sementara
steiknya sedang dipanggang kemudian menyiapkan meja makan.
Aku memanggil ayahku ketika makan malam sudah siap, dan ia mengendus nikmat
sambil menuju ruang makan.
"Aromanya lezat, Bell."
"Terima kasih."
Selama beberapa menit kami makan dalam diam. Namun diam yang nyaman. Tak satu
pun dari kami terusik keheningan itu. Dalam beberapa hal, kami sangat cocok
hidup bersama. "Jadi bagaimana sekolahmu" Apa kau sudah dapat teman baru?" Dad berkata setelah
mengulur waktu. " Well, aku mengambil beberapa kelas bersama cewek bernama Jessica. Saat makan
siang, aku duduk bersama teman-temannya. Lalu ada cowok, Mike, yang sangat
bersahabat. Semuanya kelihatan lumayan baik." Dengan satu pengecualian mencolok.
"Itu pasti Mike Newton. Anak baik-keluarganya baik. Ayahnya memiliki toko
perlengkapan olahraga di luar kota. Karena banyak backpaeker yang datang ke
sini, dia cukup berhasil."
"Apa kau mengenal keluarga Cullen?" tanyaku ragu-ragu.
"Keluarga dr. Cullen" Tentu. Dr. Cullen orang hebat."
"Mereka... anak-anaknya... agak berbeda. Sepertinya mereka tidak bisa
beradaptasi dengan baik di sekolah."
Charlie mengejutkanku karena ekspresinya tampak marah.
"Orang-orang di kota ini," gumamnya. "Dr. Cullen ahli bedah genius dan dia bisa
saja memilih bekerja di rumah sakit mana pun di dunia ini, dengan gaji sepuluh
kali lipat daripada yang didapatnya di sini," lanjutnya, suaranya makin keras.
"Kita beruntung memilikinya - beruntung istrinya mau tinggal di kota kecil. Dia
aset bagi komunitas kita, dan perilaku anak-anak mereka baik dan sopan. Aku
memang pernah ragu ketika mereka pertama pindah ke sini, dengan anak-anak remaja
adopsi itu. Kupikir mereka akan menimbulkan masalah. Tapi mereka sangat dewasa -
aku belum mendapat satu masalah pun dari mereka. Sesuatu yang belum pernah
dilakukan anak-anak yang orangtuanya telah tinggal di sini selama beberapa
generasi. Dan keluarga itu hidup seperti keluarga biasa - pergi kemping setiap
dua akhir pekan sekali... Tapi hanya karena mereka pendatang baru, lalu orang-
orang menggunjingkan mereka."
Itu ucapan terpanjang yang pernah kudengar dari Charlie. Ia pasti tidak menyukai
apa pun yang dikatakan orang-orang.
Aku mundur sedikit. "Bagiku mereka sepertinya cukup ramah. Hanya saja kulihat
mereka sepertinya menyendiri. Mereka sangat menarik," tambahku.
"Kau harus bertemu dr. Cullen," kata Charlie tertawa. "Untunglah pernikahannya
bahagia. Banyak perawat di rumah sakit sulit berkonsentrasi bila dia berada di
sekitar mereka." Kami kembali terdiam ketika selesai makan. Charlie membersihkan meja sementara
aku mencuci piring. Ia kembali menonton TV, dan setelah selesai mencuci piring -
di sini tidak ada mesin pencuci piring - dengan enggan aku naik untuk
mengerjakan PR matematikaku. Aku bisa merasakan sebuah tradisi ketika
mengerjakannya. Malam itu suasana tenang. Aku tertidur dengan cepat, kelelahan.
Sisa minggu itu berlangsung membosankan. Aku terbiasa dengan rutinitas kelasku.
Pada hari Jumat aku sudah bisa mengenali wajah, kalaupun bukan nama, hampir
semua murid di sekolah. Di gimnasium anak-anak di timku sudah paham untuk tidak
mengoper bola padaku dan tidak buru-buru melangkah di depanku kalau tim lain
mencoba memanfaatkan kelemahanku. Dengan senang hati aku menyingkir dari mereka.
Edward Cullen tidak kembali ke sekolah.
Setiap hari, dengan waswas aku memerhatikan sampai seluruh keluarga Cullen
memasuki kafetaria tanpanya. Setelah itu baru aku bisa santai dan ikut nimbrung
dalam pembicaraan makan siang. Sering kali obrolan kami adalah mengenai
perjalanan menuju La Push Ocean Park dua minggu mendatang yang diprakarsai Mike.
Aku diajak, dan telah setuju untuk ikut. Bukan karena ingin, tapi lebih karena
tidak enak menolaknya. Pantai seharusnya panas dan kering.
Hari Jumat dengan nyaman aku memasuki kelas Biologiku, tak lagi mengkhawatirkan
Edward. Yang kutahu, ia telah meninggalkan sekolah. Aku berusaha tidak
memikirkannya, tapi aku tak bisa benar-benar menekan kekhawatiran bahwa akulah
yang bertanggung jawab atas absennya Edward. Memang konyol sih.
Akhir pekan pertamaku di Forks berlalu tanpa insiden. Charlie, yang tidak
terbiasa menghabiskan waktu di rumah yang biasanya kosong memilih bekerja
sepanjang akhir pekan. Aku membersihkan rumah, mengerjakan PR, dan menulis e-
mail yang lebih ceria untuk ibuku. Hari Sabtu aku pergi ke perpustakaan, tapi
berhubung koleksinya sangat sedikit, aku tidak jadi membuat kartu anggota; aku
harus membuat jadwal untuk segera mengunjungi Olympia atau Seattle dan menemukan
toko buku yang bagus di sana. Iseng aku membayangkan seberapa jauh jarak tempuh
truk ini... dan bergidik memikirkannya.
Sepanjang akhir pekan hujan gerimis, tenang sehingga aku bisa tidur nyenyak.
Hari Senin orang-orang menyapaku di parkiran. Aku tidak tahu nama mereka masing-
masing tapi aku balas melambai dan tersenyum pada semuanya. Pagi ini cuaca lebih
dingin, tapi untungnya tidak hujan. Di kelas bahasa Inggris, seperti biasa Mike
duduk di sebelahku. Ada ulangan mendadak mengenai Wuthering Heights. Sejujurnya,
ulangan itu sangat mudah.
Secara keseluruhan aku merasa jauh lebih nyaman daripada yang kusangka bakal
kurasakan pada titik ini. Lebih nyaman dari yang pernah kuperkirakan.
Ketika kami berjalan keluar kelas, udara dipenuhi butiran putih yang berputar-
putar. Aku bisa mendengar orang-orang berteriak kesenangan. Angin menerpa pipi
dan hidungku. "Wow," kata Mike. "Salju."
Aku memandang butiran kapas kecil yang mulai menggunung di sepanjang jalan
setapak dan berputar-putar di wajahku.
"Uuuh." Salju. Hilang sudah hari baikku.
Mike tampak terkejut. "Tidakkah kau suka salju?"
"Tidak. Itu berarti terlalu dingin untuk hujan." Jelas. "Selain itu, kupikir
seharusnya salju turun dalam kepingan tahu kan, masing-masing bentuknya unik dan
sebagainya. Ini sih hanya kelihatan seperti ujung cotton bud"
"Kau pernah melihat salju tidak sih?" tanyanya heran.
"Tentu saja pernah." Aku terdiam. "Di TV."
Mike tertawa. Lalu bola salju besar dan lembut menghantam bagian belakang
kepalanya. Kami berbalik untuk melihat dari mana asalnya. Aku curiga itu
perbuatan Eric, yang berjalan menjauh memunggungi kami dan bukannya menuju
kelasnya. Sepertinya Mike memiliki dugaan yang sama. Ia membungkuk dan mulai
membentuk bola putih. "Kita ketemu lagi saat makan siang oke?" aku berkata sambil terus berjalan.
"Begitu orang-orang mulai melemparkan bola-bola basah itu, aku langsung masuk."
Mike hanya mengangguk, matanya tertuju pada sosok Eric yang semakin menjauh.
Sepagian itu semua orang membicarakan salju dengan perasaan senang; rupanya ini
salju pertama di tahun baru. Aku tidak mengatakan apa-apa. Tentu saja lebih
kering daripada hujan - sampai saljunya mencair di kaus kakimu.
Aku berjalan waspada menuju kafetaria bersama Jessica seusai kelas bahasa
Spanyol. Bola-bola salju melesat di mana-mana. Aku memegang binder di tanganku,
siap menggunakannya sebagai pelindung bila diperlukan. Jessica menganggapku
konyol, tapi sesuatu pada ekspresiku menahannya untuk tidak melemparkan bola
salju ke arahku. Mike menghampiri ketika kami sampai ke pintu. Ia tertawa, gumpalan es meleleh di
rambutnya. Ia dan Jessica bicara penuh semangat tentang perang salju ketika kami
antre membeli makanan. Di luar kebiasaan aku memandang sekilas ke meja di pojok.
Lalu aku berdiri mematung. Ada lima orang di meja itu. Jessica menarik lenganku.
"Halo" Bella" Kau mau apa?"
Aku menunduk; telingaku panas. Aku tak punya alasan untuk merasa malu, aku
mengingatkan diriku sendiri. Aku tidak melakukan sesuatu yang salah.
"Bella kenapa sih?" Mike bertanya pada Jessica.
"Tidak apa-apa," jawabku. "Hari ini aku minum soda saja." Aku berjalan pelan ke
ujung antrean. "Kau tidak lapar?" tanya Jessica.
"Sebenarnya, aku merasa sedikit tidak enak badan," kataku, mataku masih tertuju
ke lantai. Aku menunggu Mike dan Jessica mengambil makanan mereka, lalu mengikuti mereka ke
meja, mataku menatap ke bawah.
Aku menghirup sodaku pelan-pelan, perutku keroncongan. Dua kali Mike menanyakan
keadaanku, dengan kekhawatiran yang sebenarnya tidak perlu. Kukatakan aku baik-
baik saja, tapi dalam hati berpikir apakah sebaiknya aku bersandiwara saja dan
menyembunyikan diri di UKS selama satu jam ke depan.
Konyol. Aku seharusnya tak perlu melarikan diri.
Aku memutuskan untuk melirik sekali lagi ke meja tempat keluarga Cullen berada.
Kalau ia menatapku, aku akan bolos kelas Biologi, seperti pengecut.
Aku terus menunduk dan mengintip sekilas dari balik bulu mataku. Tak satu pun
dari mereka melihat ke arahku. Aku sedikit mengangkat kepala.
Mereka sedang tertawa. Edward, Jasper, dan Emmett, rambut mereka berlumur salju
yang meleleh. Alice dan Rosalie menjauhkan diri ketika Emmett mengibaskan
rambutnya yang basah ke arah mereka. Mereka menikmati hari bersalju, seperti
anak-anak lainnya-hanya saja mereka lebih mirip adegan film ketimbang kami.
Tapi terlepas dari tawa dan keceriaan itu, ada sesuatu yang berbeda, dan aku tak
dapat mengatakan dengan pasti apa itu. Aku mengamati Edward dengan sangat
saksama. Warna kulitnya sudah tidak terlalu pucat - barangkali memerah akibat perang-
perangan salju - lingkaran di bawah matanya juga sudah tidak terlalu kentara.
Tapi ada sesuatu. Aku memikirkannya lagi sambil memandangi mereka, berusaha
menemukan perubahan itu. "Kau sedang menatap apa, Bella?" Jessica membuyarkan lamunanku, matanya
mengikuti arah pandanganku.
Pada saat bersamaan mata Edward bersirobok dengan mataku.
Aku menunduk, kubiarkan rambutku terurai menutupi wajah. Meski begitu aku yakin,
saat sekilas mata kami beradu pandang itu, ia tidak terlihat kasar atau tak
bersahabat seperti terakhir kali aku bertemu dengannya. Ia hanya kelihatan
penasaran, seperti tidak puas.
"Edward Cullen menatapmu," Jessica berbisik di telingaku sambil cekikikan.
"Dia tidak kelihatan marah, ya kan?" Aku tak bisa menahan diri.
"Tidak," kata Jessica, terdengar bingung dengan pertanyaanku. "Apakah seharusnya
dia marah?" "Sepertinya dia tidak suka padaku," kataku jujur. Aku masih gelisah.
Kutelungkupkan kepalaku di tangan.
"Keluarga Cullen tidak menyukai siapa pun... Well, mereka memang tidak
memedulikan siapa-siapa. Tapi dia masih memandangimu."
"Sudah, jangan dilihat lagi," desisku.
Jessica mendengus, tapi ia toh mengalihkan pandangan. Kuangkat kepalaku sedikit
untuk memastikan, dan bermaksud mengancamnya kalau ia menolak.
Lalu Mike menyela kami - ia merencanakan perang salju di lapangan parkir seusai
jam sekolah dan ingin kami bergabung. Dengan penuh semangat Jessica
menyetujuinya. Dari caranya menatap Mike, aku ragu ia akan menolak apa pun yang
disarankan cowok itu. Aku diam saja. Aku harus bersembunyi di gimnasium sampai
lapangan parkir sepi. Selama sisa waktu makan siang dengan sangat hati-hati kuarahkan pandanganku ke
mejaku sendiri. Kuputuskan untuk melaksanakan ideku tadi. Berhubung ia tidak
kelihatan marah, aku akan ikut pelajaran Biologi. Perutku sedikit mulas ketika
membayangkan akan duduk bersebelahan lagi dengannya.
Aku benar-benar tak ingin berjalan ke kelas bareng Mike seperti biasa -
sepertinya ia sasaran empuk para pelempar bola salju - tapi ketika kami berjalan
menuju kelas, semua orang kecuali aku serempak mengeluh. Hujan turun, membuat
salju di sepanjang jalan setapak mencair. Aku menaikkan tudung jaket,
menyembunyikan perasaan senangku. Artinya aku bebas, bisa langsung pulang
setelah kelas Olahraga. Mike terus mencerocos, dan mengeluh sepanjang perjalanan menuju gedung empat.
Begitu tiba di kelas, aku lega karena mejaku masih kosong. Mr. Banner sedang
berjalan mengelilingi kelas, membagikan mikroskop dan sekotak slide untuk
masing-masing meja. Selama beberapa menit pelajaran belum juga dimulai, dan
ruangan langsung bergema dengan anak-anak yang mengobrol. Aku terus menjauhkan
pandangan dari pintu, iseng-iseng menggambari sampul buku catatanku.
Aku mendengar sangat jelas ketika kursi di sebelahku bergeser, tapi mataku tetap
terarah pada gambarku. "Halo," kudengar suara merdu dan tenang.
Aku mendongak, terkejut karena Edward-lah yang sedang berbicara padaku. Ia duduk
sejauh mungkin hingga ke ujung meja, tapi kursinya diarahkan padaku. Air menetes
dari rambutnya, berantakan - meski begitu ia terlihat seperti baru saja selesai
syuting iklan gel rambut. Wajahnya yang memesona tampak bersahabat, senyum tipis
mengembang di bibirnya yang sempurna. Tapi matanya tampak hati-hati.
"Namaku Edward Cullen," lanjutnya. "Aku tidak sempat memperkenalkan diri minggu
lalu. Kau pasti Bella Swan."
Saking bingungnya, kepalaku sampai pusing. Apakah aku selama ini berkhayal"
Sekarang ia sangat sopan. Aku harus bicara; ia menunggu. Tapi aku tak bisa
mengatakan apa pun yang wajar.
"B-bagaimana kau tahu namaku?" tanyaku terbata-bata.
Ia tertawa lembut, tawa yang menyenangkan.
"Oh, kurasa semua orang tahu namamu. Seluruh kota telah menanti-nantikan
kedatanganmu." Aku nyengir. Sudah kuduga jawabannya akan seperti ini.
"Tidak" bantahku bodoh. "Maksudku, kenapa kau memanggilku Bella?"
Ia tampak bingung. "Kau mau dipanggil Isabella?"
"Tidak, aku lebih suka Bella," kataku. "Tapi kupikir Charlie - maksudku ayahku -
pasti memanggilku Isabella di belakangku-pasti itulah yang diketahui orang-orang
di sini," aku mencoba menjelaskan, benar-benar merasa seperti orang bodoh.
"Oh." Ia tidak meneruskan. Aku memalingkan wajah malu-malu.
Untungnya Mr. Banner memulai pelajaran saat itu juga. Aku mencoba berkonsentrasi
mendengarkan saat ia menjelaskan tentang percobaan yang akan kami lakukan hari
ini. Slide di kotak tak dapat digunakan. Bersama partner masing-masing, kami
harus memisahkan slide akar bawang merah menjadi tahapan mitosis yang mereka
representasikan dan memberi label sesuai identitas mereka. Kami tidak
diperbolehkan membaca buku. Dalam dua puluh menit ia akan berkeliling untuk
melihat siapa yang melakukannya dengan benar.
"Mulai," perintahnya.
"Kau duluan, partner?" tanya Edward. Aku mengangkat kepala dan kulihat ia
tersenyum lebar begitu menawannya sampai-sampai aku hanya memandanginya seperti
orang idiot. "Atau aku bisa memulainya kalau kau mau." Senyum itu memudar; jelas ia mengira
aku tidak kompeten melakukannya.
"Tidak," kataku, wajahku merah padam. "Aku akan memulainya."
Aku memamerkan kemampuanku, hanya sedikit. Aku pernah melakukan percobaan ini,
dan tahu apa yang kucari. Seharusnya mudah. Aku menaruh slide pertama di bawah
mikroskop dan langsung menyesuaikan pembesarannya menjadi 40X. Kupelajari slide-


Twilight Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

nya sebentar. Aku yakin dengan pengamatanku. "Profase."
"Boleh aku melihatnya?" pintanya ketika aku mulai memindahkan slide-nya. Edward
mencoba menghentikannya dengan memegang tanganku. Jari-jarinya dingin bagai es,
seolah ia baru saja menggenggam tumpukan salju sebelum kelas dimulai. Tapi bukan
itu yang membuatku buru-buru menarik tangan. Ketika ia menyentuhku, jarinya
menyengatku bagai aliran listrik.
"Maaf," gumamnya pelan, langsung menarik tangannya. Bagaimanapun, ia tetap
meraih mikroskop. Meski masih kaget, aku memerhatikannya mengamati slide lebih
cepat daripada yang kulakukan tadi.
"Profase," ia setuju, dan menuliskannya dengan rapi
pada halaman pertama lembar kerja kami. Ia langsungmengganti slide pertama
dengan yang kedua, lalu melihatnya sepintas lalu.
"Anafase," gumamnya, sambil menulis.
Aku berusaha terdengar tak peduli. "Boleh kulihat?"
Ia tertawa mengejek, dan mendorong mikroskop ke arahku.
Aku mengamati lewat lubang mikroskop dengan penasaran, dan merasa kecewa karena
dugaanku salah. Sial, ia benar.
"Slide tiga?" Kuulurkan tanganku tanpa memandangnya.
Ia menyerahkannya padaku; sepertinya berhati-hati agar tidak menyentuhku lagi.
Aku berusaha mengenalinya secepat aku bisa.
"Interfase." Aku mengoper mikroskop sebelum ia memintanya. Ia mengintip
sebentar, lalu menuliskannya. Aku bisa saja menuliskannya ketika ia sedang
mengamati, tapi tulisannya yang jelas dan rapi membuatku minder. Aku tak ingin
merusak lembar kerja kami dengan tulisan cakar ayamku.
Kami selesai duluan. Aku bisa melihat Mike dan partnernya membandingkan dua
slide lagi dan lagi, dan kelompok lain membuka buku di bawah meja.
Aku tak punya pilihan lain kecuali memandangnya. Aku mendongak, dan ia sedang
menatapku, pandangan frustrasi dan misterius yang sama. Tiba-tiba aku menemukan
perbedaan yang tak terkatakan selama ini di wajahnya.
"Kau memakai lensa kontak, ya?" kataku tanpa berpikir.
Ia tampak bingung dengan pertanyaanku yang tak terduga itu. "Tidak."
"Oh," gumamku. "Kupikir ada yang berbeda dengan matamu."
Ia mengangkat bahu dan memalingkan wajah.
Sebenarnya aku yakin ada sesuatu yang berbeda. Aku ingat jelas warna hitam kelam
matanya ketika terakhir kali melihatnya-warna itu sangat kontras dengan kulit
pucat dan rambutnya yang cokelat kemerahan. Hari ini warna matanya benar-benar
berbeda: cokelat kekuningan yang aneh, lebih gelap dari mentega, tapi dengan
nuansa keemasan yang sama. Aku tidak mengerti kenapa bisa begitu, kecuali ia
berbohong tentang lensa kontaknya. Atau barangkali Forks membuatku sinting dalam
artian sebenarnya. Aku menunduk. Tangannya mengepal lagi.
Lalu Mr. Banner menghampiri meja kami, untuk melihat mengapa kami tak melakukan
apa-apa. Ia melihat dari balik bahu, menatap percobaan yang sudah selesai, lalu
melihat lebih serius untuk memeriksa jawaban kami.
"Jadi, Edward, tidakkah kaupikir Isabella perlu diberi kesempatan menggunakan
mikroskop?" tanya Mr. Banner.
"Bella," Edward meralat ucapan Mr. Banner. "Sebenarnya dia mengidentifikasi tiga
dari lima slide itu."
Sekarang Mr. Banner menatapku; ekspresinya skeptis.
"Apa kau pernah melakukan percobaan ini sebelumnya?" tanyanya.
Aku tersenyum malu-malu. "Tidak dengan akar bawang merah."
" Whitefish blastula?"
"Yeah." Mr. Banner mengangguk. "Apa kau masuk kelas khusus di Phoenix?"
"Ya." " Well" katanya setelah beberapa saat. "Kupikir kalian cocok menjadi partner."
Ia menggumamkan sesuatu lagi sambil berlalu. Setelah ia pergi, aku mulai
mencoret-coret buku catatanku.
"Sayang sekali turun salju, ya kan?" Edward bertanya. Aku punya perasaan ia
terpaksa bercakap-cakap denganku. Ketakutan kembali menyelimutiku. Seolah-olah
ia telah mendengar percakapanku dengan Jessica saat makan siang tadi dan
berusaha membuktikan aku salah.
"Tidak juga," jawabku jujur, dan bukannya berpura-pura normal seperti yang lain.
Aku masih berusaha menyingkirkan kecurigaan yang tolol ini, dan aku tak bisa
berkonsentrasi. "Kau tidak suka dingin." Itu bukan pertanyaan.
"Atau basah." "Forks pasti bukan tempat menyenangkan bagimu," ujarnya melamun.
"Kau tak tahu bagaimana rasanya." gumamku dingin.
Ia tampak terpesona oleh perkataanku, entah untuk alasan apa, aku tak bisa
membayangkannya. Wajahnya tampak sangat putus asa hingga aku berusaha untuk
tidak memandangnya melebihi batas kesopanan seharusnya.
"Lalu kenapa kau datang ke sini?"
Tak seorang pun menanyakan itu padaku - tidak blak-blakan seperti dirinya,
begitu menuntut jawaban. "Jawabannya- rumit."
"Rasanya aku bisa mengerti," desaknya.
Lama aku diam, lalu membuat kesalahan dengan beradu pandang dengannya. Mata
keemasannya yang gelap membuatku bingung dan aku menjawab tanpa berpikir.
"Ibuku menikah lagi," kataku.
"Itu tidak terdengar terlalu rumit," bantahnya, tapi tiba-tiba ia terlihat
bersimpati. "Kapan itu terjadi?"
"September lalu." Suaraku terdengar sedih, bahkan untukku sendiri.
"Dan kau tak menyukainya," Edward mencoba menebak, suaranya masih ramah.
"Tidak, Phil baik. Terlalu muda barangkali, tapi cukup baik."
"Kenapa kau tidak tinggal bersama mereka?"
Aku tak bisa mengerti ketertarikannya, tapi ia terus menatapku dengan pandangan
menusuk, seolah kisah hidupku yang membosankan entah mengapa sangat penting.
"Phil sering bepergian. Dia pemain bola." Aku setengah tersenyum.
"Apakah dia terkenal?" tanyanya, balas tersenyum.
"Barangkali tidak. Dia bukan pemain andal. Benar-benar liga kecil. Dia sering
berpindah-pindah." "Dan ibumu mengirimmu ke sini supaya dia bisa bepergian dengannya." Lagi-lagi ia
melontarkan dugaan, bukan pertanyaan.
Dahiku mengerut. "Tidak, dia tidak mengirimku ke sini. Aku sendiri yang mau."
Alisnya bertaut. "Aku tak mengerti," katanya, dan ia tampak bingung tanpa sebab
mendengar kenyataan ini. Aku menghela napas. Kenapa aku menjelaskan semua ini padanya" Ia terus menatapku
penasaran. "Mula-mula dia tinggal denganku, tapi dia merindukan Phil. Ini membuatnya tidak
bahagia... jadi kuputuskan sudah waktunya menghabiskan waktu yang lebih
berkualitas bersama Charlie." Suaraku terdengar muram ketika selesai bercerita.
"Tapi sekarang kau tidak bahagia," ujarnya.
"Terus?" tantangku.
"Itu tidak adil." Ia mengangkat bahu, namun tatapannya masih tajam.
Aku tertawa sinis. "Tidakkah ada yang pernah memberitahumu" Hidup tidak adil."
"Aku yakin pernah mendengarnya di suatu tempat sebelum ini," timpalnya datar.
"Ya sudah, itu saja," kataku, bertanya-tanya kenapa ia masih memandangiku
seperti itu. Tatapannya berubah menilai. "Kau pandai berpura-pura," katanya pelan. "Tapi aku
berani bertaruh kau lebih menderita daripada yang kau perlihatkan pada orang
lain." Aku nyengir, menahan keinginan untuk menjulurkan lidahku seperti anak lima
tahun, lalu memalingkan wajah.
"Apa aku salah?"
Aku mencoba mengabaikannya.
"Kurasa tidak." gumamnya puas.
"Kenapa ini penting buatmu?" tanyaku jengkel. Aku terus menghindari
pandangannya, mengawasi Mr. Banner yang sedang berkeliling.
"Pertanyaan yang sangat bagus," ujarnya, teramat pelan hingga kupikir ia sedang
berbicara pada dirinya sendiri. Bagaimanapun setelah hening sebentar aku
memutuskan itu satu-satunya jawaban yang bisa kudapat.
Aku menghela napas, memandang marah ke papan tulis.
"Apa aku mengganggumu?" tanya Edward. Ia terdengar senang.
Aku memandangnya tanpa berpikir... dan sekali lagi mengatakan yang sebenarnya.
"Tidak juga. Aku lebih kesal pada diriku sendiri. Ekspresiku sangat mudah
ditebak - ibuku selalu menyebutku buku yang terbuka." Wajahku merengut.
"Kebalikannya, aku malah sulit menebakmu." Terlepas dari semua yang kukatakan
dan diduganya, ia terdengar bersungguh-sungguh.
"Kalau begitu kau pasti sangat pintar membaca sifat orang," balasku.
"Biasanya." Ia tersenyum lebar, memamerkan sederet gigi putih yang sempurna.
Mr. Banner menyuruh murid-murid tenang, dan aku berbalik lega untuk
mendengarkan. Aku tak percaya telah menceritakan kehidupanku yang membosankan
pada cowok aneh namun tampan ini, yang mungkin membenciku atau tidak. Ia tampak
menikmati percakapan kami, tapi
sekarang bisa kulihat, dari sudut mataku, bahwa ia menjauh lagi dariku,
tangannya dengan tegang mencengkeram ujung meja.
Aku berusaha terlihat menyimak ketika Mr. Banner menjelaskan dengan menggunakan
transparasi OHP, tentang apa yang telah kulihat tanpa kesulitan lewat mikroskop.
Tapi aku tak bisa mengumpulkan pikiranku.
Ketika bel akhirnya berbunyi, Edward langsung meninggalkan kelas dengan gerakan
anggun seperti yang dilakukannya Senin lalu. Dan seperti Senin lalu, aku
memandangi kepergiannya dengan terkagum-kagum.
Mike dengan cepat melompat ke sisiku dan merapikan buku-bukuku. Aku
membayangkannya dengan ekor bergoyang-goyang.
"Itu buruk sekali," erangnya. "Semua isi slide itu mirip. Kau beruntung
berpasangan dengan Cullen."
"Gampang saja buatku," kataku, terkejut mendengar ucapannya. Aku langsung
menyesal. "Aku pernah melakukan percobaan ini, itu saja," lanjutku sebelum
perasaannya terluka. "Cullen tampak cukup ramah hari ini," ia berkomentar ketika kami mengenakan jas
hujan. Mike tidak tampak senang.
Aku berusaha terdengar kasual. "Aku bertanya-tanya apa yang terjadi padanya
Senin lalu." Aku tak sanggup menyimak celotehan Mike sepanjang perjalanan menuju gimnasium,
dan pelajaran Olahraga tidak terlalu menarik perhatianku. Mike satu tim denganku
hari ini. Ia mau berbaik hati menggantikan posisiku sekaligus menjalankan
posisinya, sehingga lamunanku hanya terusik ketika aku mendapat giliran
melakukan serve. Anggota timku dengan hati-hati menghindar setiap kali giliranku tiba.
Hujan hanya rintik-rintik ketika aku berjalan ke lapangan parkir, tapi aku
merasa lebih gembira setelah berada di trukku yang kering. Kunyalakan mesin
penghangat, sekali ini tak memedulikan suara mesin yang meraung-raung. Aku
membuka jaket, melepas tudungnya, dan menggeraikan rambut lembabku agar
mengering dalam perjalanan pulang.
Aku memandang sekelilingku memastikan tak ada siapa-siapa. Saat itulah aku
menangkap sosok pucat yang diam tak bergerak itu. Edward Cullen sedang bersandar
di pintu depan Volvo, yang jaraknya tiga mobil dariku, matanya menatapku lekat-
lekat. Aku langsung mengalihkan pandangan dan memundurkan truk, begitu terburu-
buru hingga nyaris menabrak sebuah Toyota Corolla berkarat. Toyota itu
beruntung, aku menginjak rem tepat pada waktunya. Trukku jenis penghancur. Aku
menarik napas panjang, masih melihat ke sisi lain mobil, dan berhati-hati mundur
lagi, kali ini lebih baik. Aku memandang lurus ke depan ketika melewati Volvo
itu, namun sekilas aku bersumpah melihatnya tertawa.
3. FENOMENA KETIKA paginya aku membuka mata, ada sesuatu yang berbeda.
Ada cahaya. Masih cahaya hijau kelabu khas hari mendung di hutan, tapi
bagaimanapun juga lebih cerah. Aku menyadari tak ada kabut menyelubungi
jendelaku. Aku melompat dari tempat tidur untuk melihat ke luar, lalu mengerang ngeri.
Lapisan salju yang sempurna menutupi halaman, melapisi atap trukku, dan membuat
jalanan jadi putih. Tapi bukan itu bagian terburuknya. Hujan yang turun kemarin telah membeku-melapisi pepohonan membentuk jarum dalam pola sangat
indah, dan menjadikan jalan setapak licin dan berbahaya. Aku sendiri sudah cukup
kerepotan agar tidak terpeleset saat jalanan kering; jadi mungkin lebih aman
kalau aku tidur lagi sekarang.
Charlie sudah berangkat sebelum aku turun. Dilihat dan berbagai sisi, hidup
bersama Charlie bagaikan hidup sendiri dan aku mendapati diriku sendiri
bersorak-sorai dan bukannya kesepian.
Aku sarapan semangkuk sereal dan jus jeruk. Aku merasa bersemangat untuk pergi
ke sekolah, dan ini membuatku takut. Aku tahu bukan lingkungan yang
menstimulasiku untuk belajar yang membuatku bersemangat, ataupun bertemu teman-
teman baruku. Kalau mau jujur, semangatku pergi ke sekolah lebih karena akan
bertemu Edward Cullen. Dan itu sangat, sangat bodoh.
Aku seharusnya menghindari cowok itu setelah omonganku yang tidak cerdas dan
memalukan kemarin. Dan aku curiga padanya; kenapa ia harus berbohong tentang
matanya" Aku masih takut dengan sifat permusuhan yang kadang-kadang terpancar
dalam dirinya, dan aku masih tak sanggup bicara setiap kali melihat wajahnya
yang sempurna. Aku sangat sadar kelompokku dan kelompoknya sama sekali tidak
cocok. Jadi tak seharusnya aku kepingin bertemu dengannya hari ini.
Butuh konsentrasi penuh untuk bisa sampai dengan selamat ke truk. Aku nyaris
kehilangan keseimbangan ketika akhirnya sampai di truk, tapi aku berhasil
berpegangan di kaca spion dan menyelamatkan diriku. Jelas hari ini bakal jadi
mimpi buruk Sambil mengemudi ke sekolah, kualihkan ketakutanku bakal terjatuh dan spekulasi
yang bukan-bukan tentang Edward Cullen, dengan memikirkan Mike dan Eric, dan
betapa berbedanya sikap cowok-cowok terhadapku di sini. Aku yakin aku tampak
sama persis seperti ketika di Phoenix - barangkali cowok-cowok di tempat asalku
telah menyaksikan aku perlahan-lahan melewati semua tahap kedewasaan yang
membuat canggung dan masih memandangku dengan cara itu. Mungkin karena aku masih
baru di sini, tempat sesuatu yang baru jarang-jarang ada. Mungkin kecanggunganku
dianggap menarik dan bukan menyedihkan, membuatku kelihatan seperti cewek yang
sedang kesusahan. Apa pun alasannya, sikap Mike yang seperti anak anjing dan
sikap Eric yang bersaing dengannya sangat mengganggu. Aku tak yakin apakah aku
tidak akan memilih diabaikan saja.
Trukku sepertinya tidak masalah dengan es yang melapisi jalanan. Meski begitu,
aku mengemudi sangat pelan, tak ingin tergelincir.
Ketika turun dari truk sesampainya di sekolah, aku tahu kenapa aku nyaris tidak
mendapat masalah. Aku melihat sesuatu berwarna perak, dan aku berjalan ke bagian
belakang truk - dengan hati-hati berpegangan pada sisi truk untuk menjaga
keseimbangan dan memeriksa banku. Ada rantai tipis saling berkaitan membentuk
intan di sekelilingnya. Charlie telah bangun entah sepagi apa untuk mengikatkan
rantai salju di trukku. Tenggorokanku tiba-tiba tercekat. Aku tak terbiasa
diurus, dan perhatian Charlie yang diam-diam ini mengejutkanku.
Aku sedang berdiri di pojok belakang truk, berjuang melawan gelombang emosi
mendadak yang ditimbulkan rantai salju itu, ketika mendengar suara aneh.
Itu suara lengkingan tinggi, yang segera berubah sangat keras hingga menyakitkan
telinga. Aku mendongak benar-benar terkejut.
Aku melihat beberapa hal bersamaan. Tidak ada yang bergerak lambat seperti di
film-film. Sebaliknya semburan adrenalin sepertinya membuat otakku bekerja lebih
cepat, dan dengan jelas aku menyerap detail beberapa hal secara serentak.
Edward Cullen berdiri empat mobil dariku, memandangku ngeri. Wajahnya tampak
mencolok di antara lautan wajah di sana, semua membeku dengan ekspresi terkejut
yang sama. Tapi yang lebih mengerikan adalah van biru gelap yang meluncur,
bannya terkunci dan mengerem hingga berdecit, berputar-putar tak terkendali di
lapangan parkir yang tertutup es. Mobil itu nyaris menabrak bagian belakang
trukku, dan aku berdiri di antara keduanya. Aku bahkan tak sempat memejamkan
mata. Persis sebelum aku mendengar bunyi tabrakan keras van di badan truk, sesuatu
menerjangku, keras, tapi bukan dari arah yang semula kuduga. Kepalaku membentur
aspal yang tertutup es, dan aku merasakan sesuatu yang padat dan dingin
menindihku ke tanah. Aku terbaring di trotoar di belakang mobil cokelat yang
terparkir di sebelah truk. Tapi aku tak sempat memerhatikan yang lainnya, karena
van itu masih meluncur mendekat. Mobil itu berputar-putar mengerikan di dekat
belakang truk, masih berputar dan meluncur, nyaris menabrakku lagi.
Suara mengumpat pelan membuatku sadar ada seseorang bersamaku, dan tak mungkin
aku tidak mengenali suara itu. Sepasang tangan putih yang panjang terulur
melindungiku, dan van itu bergetar hingga berhenti hanya sejengkal dari wajahku,
tangan-tangan besar itu untungnya pas dengan rongga badan van.


Twilight Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Lalu tangan-tangannya bergerak sangat cepat hingga tampak samar. Yang satu tiba-
tiba mencengkeram bagian bawah van, dan sesuatu menarikku, mengayun-ayunkan
kakiku seakan-akan aku boneka mainan, sampai kakiku menabrak ban mobil cokelat
itu. Suara gemuruh besi beradu memekakkan telinga, dan van itu berhenti, lalu
terdengar suara gelas pecah, berhamburan ke jalanan-tepat di tempat kakiku
berada satu detik sebelumnya.
Benar-benar hening untuk waktu yang lama sebelum terdengar jeritan. Dalam
kekacauan yang tiba-tiba, aku bisa mendengar lebih dari satu orang meneriakkan
namaku. Tapi lebih jelas lagi daripada semua teriakan itu, aku bisa mendengar
suara pelan dan waswas Edward Cullen di telingaku.
"Bella" Kau baik-baik saja?"
"Aku tidak apa-apa." Suaraku terdengar aneh. Aku mencoba duduk dan menyadari ia
memegangiku sangat erat di satu sisi tubuhnya.
"Hati-hati," ia mengingatkan ketika aku menggeser tubuhku. "Kurasa kepalamu
terbentur cukup keras."
Aku menyadari rasa sakit yang amat sangat di atas telinga kiriku.
"Aduh," kataku, terkejut.
"Itulah yang kupikirkan." Anehnya suara Edward terdengar seperti menahan tawa.
"Bagaimana bisa... " suaraku perlahan menghilang. Aku berusaha menjernihkan
pikiran, mengumpulkan kekuatan. "Bagaimana kau bisa sampai di sini secepat itu?"
"Aku berdiri di sebelahmu. Bella," katanya, nada suaranya kembali serius.
Aku mencoba duduk dan kali ini ia membiarkanku, melepaskan pegangannya di
pinggangku dan mundur sejauh mungkin di ruang yang sempit itu. Aku memandang
wajahnya yang waswas dan polos, dan sekali lagi aku merasa bingung karena
kekuatan matanya yang berwarna keemasan. Apa yang kutanyakan padanya tadi"
Lalu mereka menemukan kami, kerumunan orang dengan air mata membasahi wajah
mereka, saling berteriak, berteriak pada kami.
"Jangan bergerak," seseorang memerintah.
"Keluarkan Tyler dari bawah van!" terdengar teriakan lain. Banyak sekali
kesibukan di sekeliling kami. Aku mencoba bangkit, tapi tangan Edward yang
dingin menahan bahuku. "Sekarang jangan bergerak dulu."
"Tapi dingin," aku mengeluh. Aku terkejut ketika ia tertawa kecil. Ada kegetiran
dalam suaranya. "Kau ada di sebelah sana," tiba-tiba aku ingat, dan tawa kecilnya langsung
terhenti. "Kau ada di sebelah mobilmu."
Ekspresinya berubah kaku. "Tidak."
"Aku melihatmu." Sekeliling kami kacau. Aku bisa mendengar suara orang-orang
dewasa yang lebih keras mendekat. Tapi aku tetap bersikeras mendebatnya; aku
benar, dan ia akan mengakuinya.
"Bella, aku sedang berdiri bersamamu, dan aku menarikmu dari sana." Ia
menyalurkan kekuatan pandangannya padaku, seolah berusaha memberitahu sesuatu yang penting.
"Tidak." Rahangku mengeras.
Warna emas di matanya berkilat-kilat. "Kumohon, Bella."
"Kenapa?" desakku.
"Percayalah padaku," ia memohon, suaranya yang lembut menggodaku.
Aku bisa mendengar suara sirene sekarang. "Maukah kau berjanji menceritakan
semuanya nanti?" "Ya," tukasnya, tiba-tiba terdengar putus asa.
"Oke," aku mengulanginya dengan nada marah. Butuh enam petugas paramedis dan dua
guru - Mr. Varner dan Pelatih Clapp - untuk memindahkan van itu cukup jauh dari
kami sehingga tandunya bisa dibawa mendekat. Edward dengan kasar menolak, dan
aku berusaha melakukan yang sama, tapi Edward si pengkhianat memberitahu mereka
kepalaku terbentur dan mungkin mengalami gegar otak. Aku nyaris mati karena malu
ketika mereka memasang penyangga di leherku. Sepertinya seluruh sekolah ada di
sana, menyaksikan ketika mereka mengangkutku ke dalam ambulans. Edward naik di
depan. Menjengkelkan. Yang membuat segalanya lebih parah, Kepala Polisi Swan tiba sebelum mereka
membawaku pergi dengan selamat.
"Bella!" ia berteriak panik ketika menyadari aku ditandu.
"Aku baik-baik saja, Char-Dad," keluhku. "Aku tidak apa-apa."
Ia beralih ke petugas paramedis di dekatnya untuk menanyakan keadaanku. Aku
berusaha tidak mendengarkan karena kepalaku sudah penuh dengan berbagai
pertanyaan. Ketika mereka mengangkatku
menjauh dari mobil, aku melihat lekukan dalam di bemper mobil cokelat itu -
lekukan sangat dalam yang sesuai dengan kontur bahu Edward... seolah-olah ia
telah menahan mobil itu dengan tenaga yang bisa merusak bingkai baja itu...
Keluarganya tampak di kejauhan, ekspresi mereka beragam, mulai dari protes
sampai marah tapi tak ada sedikit pun kepedulian akan keselamatan saudara
mereka. Aku berusaha mencari solusi masuk akal yang bisa menjelaskan apa yang baru saja
kulihat - solusi yang menghilangkan asumsi bahwa aku gila.
Tentu saja polisi mengawal ambulans itu menuju rumah sakit wilayah. Aku merasa
konyol ketika mereka menurunkan aku. Yang membuatnya lebih buruk, Edward bisa
melewati pintu rumah sakit tanpa bantuan sama sekali. Aku menggertakkan gigiku.
Mereka membawaku ke UGD, ruangan panjang dengan barisan tempat tidur yang
dipisahkan oleh tirai berpola warna pastel. Seorang juru rawat meletakkan alat
pemeriksa tekanan darah di lenganku dan termometer di bawah lidah. Karena tak
ada yang bersedia menarik tirai agar aku mendapatkan privasi, kuputuskan aku tak
perlu lagi mengenakan penyangga leher bodoh itu. Ketika juru rawat pergi, aku
cepat-cepat melepaskan Velcro itu dan melemparnya ke kolong tempat tidur.
Lalu datang pasien lain, sebuah tandu diangkut ke tempat tidur di sebelahku. Aku
mengenali Tyler Crowley, temanku di kelas Pemerintahan, balutan perban bernoda
darah tampak erat membungkus kepalanya. Tyler kelihatan seratus kali lebih parah
daripada yang kurasakan. Ia menatapku waswas.
"Bella, maafkan aku!"
"Aku tidak apa-apa, Tyler - kau tampak buruk, apa kau baik-baik saja?" Ketika
kami bicara, para juru rawat mulai melepaskan perban di kepalanya,
memperlihatkan luka gores yang jumlahnya banyak di sekujur kening dan pipi
kirinya. Ia mengabaikanku. "Kupikir aku bakal membunuhmu! Aku mengemudi terlalu cepat,
dan mobilku selip... " Ia meringis ketika salah seorang juru rawat mengelap
wajahnya. "Jangan khawatirkan itu; kau tidak mengenaiku."
"Bagaimana kau bisa menyingkir secepat itu" Kau ada di sana, lalu kau
menghilang... " "Mmm... Edward menarikku."
Ia terlihat bingung. "Siapa?"
"Edward Cullen-dia berdiri di sebelahku." Aku tak pernah pandai berbohong; aku
sama sekali tidak terdengar meyakinkan.
"Cullen" Aku tidak melihatnya... wow, kurasa semuanya berlangsung cepat sekali.
Apa dia baik-baik saja?"
"Kurasa begitu. Dia ada di sini entah di mana, tapi mereka tidak mengangkutnya
dengan tandu." Aku tahu aku tidak sinting. Apa yang terjadi" Tak ada yang bisa menjelaskan apa
yang telah kusaksikan. Lalu mereka mendorongku pergi dengan kursi roda untuk merontgen kepalaku.
Kukatakan pada mereka aku baik-baik saja, dan aku benar. Aku bahkan tidak
mengalami gegar otak. Aku bertanya apa aku bisa pergi, tapi juru rawat bilang
aku harus bicara dulu dengan dokter. Jadi, aku terperangkap di UGD, menunggu,
terganggu dengan Tyler yang terus-menerus meminta maaf dan berjanji akan
melakukan apa saja untukku. Tak peduli berapa kali aku mencoba meyakinkannya
bahwa aku baik-baik saja, ia terus saja menyiksa dirinya sendiri. Akhirnya
kupejamkan mataku dan mengabaikannya. Ia terus menggumamkan penyesalan.
"Apa dia tidur?" aku mendengar suara yang merdu bertanya. Mataku langsung
terbuka. Edward berdiri di ujung tempat tidurku, nyengir. Aku memandangnya. Tidak mudah-
akan lebih wajar jika aku mengerling padanya.
"Hei, Edward, aku sangat menyesal-" Tyler memulai.
Edward mengangkat tangan untuk menghentikannya.
"Tidak ada darah, tidak seru," katanya, memamerkan giginya yang sempurna. Ia
beranjak dan duduk di ujung tempat tidur Tyler, namun menghadap ke arahku. Ia
nyengir lagi. "Jadi, apa kata mereka?" ia bertanya padaku.
"Aku baik-baik saja, tapi mereka tidak mengizinkanku pergi," aku mengeluh.
"Bagaimana kau bisa tidak ditandu seperti kami?"
"Itu cuma soal siapa yang kaukenal," jawabnya. "Tapi jangan khawatir, aku datang
untuk menyelamatkanmu."
Lalu seorang dokter menghampiri, dan mulutku menganga melihatnya. Ia masih muda,
pirang... dan lebih tampan daripada bintang film mana pun yang pernah kulihat.
Begitu ia pucat, tampak lelah, dengan lingkaran di bawah matanya. Dari apa yang
dideskripsikan Charlie, ini pasti ayah Edward.
"Jadi, Miss Swan," dr. Cullen berkata dengan suara sangat merdu, "bagaimana
perasaanmu?" "Aku baik-baik saja," kataku, mudah-mudahan untuk terakhir kali.
Ia berjalan ke papan pembaca foto rontgen di dinding di atas kepalaku, dan
menyalakannya. "Hasil rontgenmu bagus," katanya. "Apa kepalamu sakit" Kata Edward, kepalamu
terbentur cukup keras."
"Tidak apa-apa," aku mengulangi sambil menghela napas, lalu menatap Edward
geram. Jemari dokter yang dingin meraba ringan tulang tengkorakku. Ia memerhatikan
ketika aku meringis. "Sakit?" tanyanya.
"Tidak juga." Aku pernah mengalami yang lebih parah. Aku mendengar suara tawa,
dan melihat Edward tersenyum meremehkan. Mataku menyipit.
" Well, ayahmu ada di ruang tunggu - kau bisa pulang dengannya sekarang. Tapi
kembalilah kalau kau merasa pusing atau mengalami masalah sekecil apa pun dengan
penglihatanmu "Bisakah aku kembali ke sekolah?" tanyaku, membayangkan Charlie bakal kelewat
perhatian padaku. "Mungkin sebaiknya kau beristirahat hari ini."
Aku menatap Edward. "Apakah dia boleh pergi ke sekolah?"
"Harus ada yang menyebarkan kabar gembira bahwa kita selamat," kata Edward
pongah. "Sebenarnya," dr. Cullen meralat, "sepertinya seluruh penghuni sekolah ada di
ruang tunggu saat ini."
"Oh tidak," erangku, menutupi wajahku dengan tangan.
Alis dr. Cullen terangkat. "Kau mau tinggal di sini?"
"Tidak, tidak!" aku berkeras, menurunkan kakiku ke sisi tempat tidur dan
langsung melompat. Terlalu cepat-aku terpeleset, dan dr. Cullen menangkapku. Ia
tampak waswas. "Aku baik-baik saja," aku meyakinkannya lagi. Tak perlu memberitahunya bahwa
keseimbanganku tak ada hubungannya dengan kepalaku yang terbentur.
"Minum Tyfenol untuk mengurangi rasa sakitnya," ia memberiku saran sambil
memegangiku. "Sakitnya tidak separah itu kok," aku berkeras.
"Kedengarannya kau sangat beruntung" kata dr. Cullen, tersenyum sambil
menandatangani statusku dengan gerakan berlebihan.
"Aku beruntung karena Edward kebetulan ada di sebelahku," aku menekankan
ucapanku dengan menatap Edward lekat-lekat.
"Oh, Well, ya," ujar dr. Cullen, tiba-tiba menyibukkan diri dengan kertas di
depannya. Lalu ia berpaling memandang Tyler, dan menghampiri tempat tidur
sebelah. Intuisiku tepat, sang dokter sedang memikirkannya.
"Aku khawatir kau harus tinggal bersama kami lebih lama, ia berkata kepada
Tyler, dan mulai memeriksa luka-lukanya.
Begitu dokter memunggungiku. aku bergeser ke sisi Edward.
"Bisakah aku bicara denganmu sebentar?" aku berbisik. Ia mundur selangkah,
rahangnya sekonyong-konyong mengeras.
"Ayahmu sudah menunggumu," katanya sepelan mungkin
Aku memandang dr. Cullen dan Tyler.
"Aku ingin bicara berdua saja denganmu, kalau kau tidak keberatan," desakku.
Ia menatapku jengkel, lalu berbalik dan berjalan menyusuri ruang panjang itu.
Aku nyaris berlari agar bisa mengejarnya. Begitu kami berbelok di sudut menuju
lorong pendek, ia berbalik menghadapku.
"Kau mau apa sih?" tanyanya jengkel. Tatapannya dingin.
Sikapnya yang tak bersahabat mengintimidasiku. Kata-kataku mengalir tak seketus
yang kuinginkan. "Kau berutang penjelasan padaku," aku mengingatkannya.
"Aku menyelamatkan hidupmu - aku tidak berutang apa-apa padamu."
Aku tersentak mendengar amarah dalam suaranya. "Kau sudah janji."
"Bella, kepalamu terbentur, kau tak tahu apa yang kaubicarakan." Nada suaranya
tajam. Emosiku meluap-luap sekarang, kutatap dia tajam-tajam. "Tak ada yang salah
dengan kepalaku." Ia balas menantang, "Apa yang kau mau dariku, Bella?"
"Aku mau tahu yang sebenarnya," kataku. "Aku mau tahu kenapa aku berbohong
untukmu." "Apa menurutmu yang terjadi?" sergah Edward.
Lalu semua terlontar begitu saja.
"Yang kutahu kau tak ada di dekatku - Tyler juga tidak melihatmu, jadi jangan
bilang aku mengarang semuanya. Van itu mestinya sudah menghancurkan kita berdua
- tapi nyatanya tidak, dan tanganmu meninggalkan lekukan di badan mobil itu -
juga di mobil yang lain, dan kau sama sekali tak terluka - dan van itu
seharusnya menghancurkan kakiku, tapi kau menahannya... " Aku bisa mendengar
berapa itu terdengar sinting dan aku tak bisa melanjutkannya. Aku begitu marah
sehingga bisa merasakan air mata mulai menggenangi mataku; aku berusaha
menahannya dengan menggertakkan gigiku.
Ia menatapku tak percaya. Tapi wajahnya tegang tampak bersalah.
"Kaupikir aku mengangkat mobil van dari atas tubuhmu?" nada suaranya
mempertanyakan kewarasanku, tapi itu justru membuatku semakin curiga. Itu
seperti kalimat yang dibawakan dengan baik sekali oleh aktor berbakat.
Aku hanya mengangguk sekali, rahangku mengeras.
"Tak ada yang bakal memercayai itu, kau tahu." Suaranya terdengar mengejek
sekarang. "Aku takkan memberitahu siapa-siapa." Aku mengucapkan setiap kata dengan pelan,
hati-hati mengendalikan amarahku.
Wajahnya tampak kaget. "Lalu kenapa kau mempermasalahkannya?"
"Ini penting buatku," desakku. "Aku tak suka berbohong - jadi sebaiknya ada
alasan yang baik mengapa aku melakukannya."
"Tak bisakah kau berterima kasih saja dan melupakannya?"
"Terima kasih." Aku menunggu, marah dan berharap.
"Kau takkan menyerah, kan?"
"Tidak." "Kalau begitu... kuharap kau menikmati kekecewaanmu."
Kami saling menatap marah dalam hening. Akulah yang pertama bicara, mencoba
tetap fokus. Perhatianku nyaris teralihkan oleh wajahnya yang pucat dan menawan.
Rasanya seperti menatap malaikat penghancur.
"Kenapa kau bahkan peduli?" tanyaku dingin.
Ia berhenti, dan sesaat wajahnya yang indah tak disangka, sangka berubah rapuh.
"Aku tak tahu," bisiknya. Lalu ia berbalik dan menjauh.
Aku sangat marah, hingga butuh beberapa menit agar bisa bergerak. Setelah bisa
berjalan, aku melangkah pelan menuju pintu keluar di ujung lorong.
Ruang tunggu lebih tidak menyenangkan dari yang kukhawatirkan. Sepertinya semua
wajah yang kukenal di Forks ada di sana, menatapku. Charlie bergegas ke sisiku;
aku mengangkat tangan. "Aku tidak apa-apa," kuyakinkan dirinya dengan nada jengkel. Aku masih kesal,
tak ingin berbasa-basi. "Apa kata dokter?"
"Dr. Cullen memeriksaku, dan katanya aku baik-baik saja dan bisa pulang." Aku
menghela napas. Mike, Jessica, dan Eric ada di sana, mulai bergabung dengan
kami. "Ayo," pintaku.
Charlie meletakkan lengannya di punggungku, tidak benar-benar menyentuhku, lalu
membimbingku ke pintu keluar yang terbuat dan kaca. Aku melambai malu-malu ke
arah teman-temanku, berharap bisa menunjukkan bahwa mereka tak perlu khawatir
lagi. Rasanya sangat lega - itulah pertama kalinya aku merasakannya - berada di
mobil patroli. Sepanjang perjalanan kami berdiam diri. Aku begitu larut dalam pikiranku sampai-
sampai tidak menyadari keberadaan Charlie di dekatku. Aku yakin sikap defensif
Edward di lorong tadi merupakan jawaban atas hal-hal aneh yang kusaksikan, yang
masih tak bisa kupercaya.


Twilight Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ketika kami tiba di rumah, Charlie akhirnya bicara.
"Mm... kau harus menelepon Renee." Ia menunduk bersalah.
Aku terkejut. "Kau memberitahu Mom!"
"Maaf." Aku membanting pintu mobil patroli sedikit lebih keras daripada seharusnya
ketika keluar. Tentu saja ibuku histeris. Aku harus memberitahunya sedikitnya tiga puluh kali
bahwa aku baik-baik saja sebelum ia bisa tenang. Ia memohon supaya aku mau
pulang - melupakan kenyataan bahwa saat itu rumah kosong - tapi permohonan Mom
lebih mudah kutolak daripada yang kubayangkan. Aku asyik dengan misteri yang
disimpan Edward. Dan agak lebih terobsesi kepada Edward. Bodoh, bodoh, bodoh.
Aku tidak terlalu ingin meninggalkan Forks sebagaimana seharusnya, sebagaimana
yang seharusnya diinginkan orang normal dan waras.
Kuputuskan akan tidur lebih cepat malam ini. Charlie terus memerhatikanku dengan
waswas, dan itu membuatku kesal. Aku mengambil tiga Tyfenol di kamar mandi. Obat
ini lumayan membantu, dan begitu rasa sakitnya mereda, aku tertidur pulas.
Itu adalah malam pertama aku memimpikan Edward Cullen.
4. UNDANGAN DALAM mimpiku sangat gelap, dan cahaya samar-samar di sana sepertinya terpancar
dari kulit Edward. Aku tak bisa melihat wajahnya, hanya punggungnya ketika ia
menjauh dariku, meninggalkanku dalam kegelapan. Tak peduli betapa cepat aku
berlari, aku tak bisa mengejarnya; tak peduli betapa keras aku memanggil, ia tak
pernah berbalik. Karena ketakutan, aku terbangun di tengah malam dan tak bisa
tidur lagi untuk waktu yang sepertinya lama sekali. Setelah itu ia nyaris selalu
ada dalam mimpiku setiap malam, tapi selalu bayangan yang tak pernah bisa
kujangkau. Selama sebulan setelah kecelakaan itu segalanya terasa tidak nyaman,
menegangkan, dan pada awalnya memalukan.
Yang membuatku cemas, aku mendapati diriku menjadi pusat perhatian selama sisa
minggu itu. Tyler Crowley selalu mengikuti ke mana pun aku pergi, terobsesi
ingin memperbaiki segalanya, entah dengan cara apa. Aku mencoba meyakinkannya
bahwa yang kuinginkan melebihi segalanya adalah agar ia melupakan kejadian itu -
terutama karena aku baik-baik saja - tapi ia tetap berkeras. Ia mengikuti dan
duduk bersamaku di meja makan siang yang sekarang penuh orang. Mike dan Eric
bahkan tak kalah sebal padanya ketimbang yang mereka rasakan satu sama lain. Dan
aku jadi khawatir telah mengundang penggemar yang tidak kuinginkan.
Tak seorang pun sepertinya peduli tentang Edward, meskipun aku terus-menerus
menceritakan bahwa dialah sang pahlawan - bagaimana ia menarikku dan nyaris saja
ikut terlindas. Aku berusaha terdengar meyakinkan. Jessica, Mike, Eric, dan
orang-orang lain selalu berkomentar bahwa mereka bahkan tidak melihatnya sampai
van itu ditarik. Aku bertanya-tanya mengapa tak seorang pun melihatnya berdiri jauh dariku,
sebelum ia tiba-tiba, dengan tidak mungkinnya, menyelamatkan hidupku. Merasa
kecewa, aku menyadari alasan yang masuk akal - tak seorang pun menyadari
keberadaan Edward seperti aku. Tak seorang pun memerhatikannya seperti aku.
Betapa menyedihkan. Edward tak pernah dikelilingi orang-orang yang penasaran ingin mendengar cerita
itu dari sudut pandangnya. Orang-orang menghindarinya seperti biasa. Keluarga
Cullen dan Hale duduk di meja yang sama seperti biasa, tidak makan, hanya
mengobrol sendiri. Tak satu pun dari mereka, terutama Edward, memandang ke
arahku lagi. Ketika ia duduk di sebelahku di kelas, dan sejauh mungkin, sepertinya ia sama
sekali tak menyadari kehadiranku. Hanya kadang-kadang ketika tangannya tahu-tahu
mengepal - kulitnya meregang bahkan lebih putih dari tulangnya - aku berpikir ia
tidak secuek penampilannya.
Ia berharap tak pernah menarikku dari depan mobil Tyler - tak ada kesimpulan
lain yang bisa kutarik selain itu.
Aku sangat ingin bicara dengannya, dan aku sudah berusaha melakukannya sehari
setelah kecelakaan. Terakhir kali aku bertemu dengannya, di luar ruang UGD, kami
berdua begitu marah. Aku masih marah karena ia tak mau mengatakan yang
sebenarnya padaku, meskipun aku tidak akan memberitahu siapa pun. Tapi nyatanya
ia toh telah menyelamatkan nyawaku, entah bagaimana caranya. Dan dalam sekejap
kemarahanku berganti jadi rasa syukur yang mengagumkan.
Ia sudah duduk ketika aku sampai di kelas Biologi, tanpa melirik kanan-kiri. Aku
duduk, berharap ia akan berpaling ke arahku. Ia tidak menunjukkan tanda-tanda
bahwa ia menyadari aku ada di sana.
"Halo, Edward," sapaku ramah, mencoba terlihat sopan.
Ia menoleh sedikit tanpa memandang mataku, mengangguk sekali, lalu berpaling
lagi. Dan itulah kontak terakhirku dengannya, meskipun ia ada di sana, sejengkal
dariku, setiap hari. Kadang-kadang aku memerhatikannya, tak sanggup menahan
diriku - meskipun hanya dari jauh, di kafetaria atau parkiran. Kuperhatikan
matanya yang keemasan semakin hari semakin gelap. Tapi di kelas aku seolah tak
memedulikannya, seperti ia juga tak memedulikanku. Aku benar-benar merana. Dan
mimpi-mimpiku berlanjut. Meskipun aku berlagak tak peduli, emosi yang terpancar dalam e-mail-e-mail-ku
membuat Renee menyadari keadaanku yang tertekan. Ia menelepon beberapa kali,
mengkhawatirkan aku. Aku berusaha meyakinkannya, bahwa cuacalah yang membuatku
sedih. Setidaknya Mike senang melihat kebisuan antara aku dan pasangan lab-ku. Bisa
kulihat ia khawatir aksi penyelamatan Edward yang gagah berani bisa saja
membuatku terkesan, dan Mike lega menyadari yang terjadi justru kebalikannya. Ia
makin percaya diri, duduk di ujung mejaku sebelum pelajaran Biologi dimulai,
mengabaikan Edward, seperti ia mengabaikan kami semua.
Salju benar-benar lenyap setelah hari bersalju yang berbahaya itu. Mike kecewa
tak bisa main perang-perangan salju lagi, tapi senang perjalanan ke pantai akan
segera terwujud. Meski begitu hujan terus-menerus turun dan minggu demi minggu
pun berlalu. Jessica membuatku menyadari satu masalah lagi - ia menelepon hari Selasa pertama
bulan Maret untuk meminta izin mengajak Mike ke pesta dansa musim semi dua
minggu lagi. "Kau yakin tidak keberatan... kau tak ingin mengajaknya?" ia mendesak terus
ketika aku mengatakan sama sekali tidak keberatan.
"Tidak, Jess, aku tak akan pergi," aku meyakinkannya. Berdansa sudah jelas di
luar kemampuanku. "Bakal asyik banget lho." Usahanya membujukku benar-benar setengah hati. Aku
curiga Jessica lebih menikmati popularitasku yang tidak biasa dan bukannya
kehadiranku yang sesungguhnya.
"Bersenang-senanglah dengan Mike," aku mendukungnya.
Keesokan harinya aku terkejut Jessica tidak cerewet seperti biasa di kelas
Trigono dan Spanyol. Ia diam saja ketika berjalan di sebelahku menuju kelas, dan
aku takut menanyakan alasannya. Kalau Mike menolak ajakannya, pasti akulah orang
terakhir yang ingin diberitahunya.
Kekhawatiranku semakin menguat saat makan siang ketika Jessica duduk sejauh
mungkin dari Mike, berbincang sangat akrab dengan Eric. Mike juga diam, tidak
seperti biasa. Mike masih diam ketika mengantarku ke kelas, wajahnya yang suram pertanda buruk.
Tapi ia tidak mengungkit-ungkit masalah itu hingga aku duduk di kursi dan ia
bertengger d, mejaku. Seperti biasa, aku sadar Edward duduk cukup dekat hingga
aku bisa menyentuhnya, namun toh begitu jauh seolah ia hanyalah rekaan
imajinasiku. "Jadi," kata Mike, menatap lantai, "Jessica memintaku pergi dengannya ke pesta
dansa musim semi." "Bagus dong." Aku berusaha terdengar ceria dan bersemangat. "Kau akan bersenang-
senang dengan Jessica."
" Well... " ia berkata ragu sambil mengamati senyumku, jelas tidak menyukai
reaksiku. "Aku bilang padanya akan memikirkannya."
"Kenapa kaubilang begitu?" Kubiarkan kekecewaan memancar dari nada suaraku,
meskipun aku lega Mike tidak langsung bilang tidak.
Wajahnya memerah ketika menunduk lagi. Aku merasa iba.
"Aku bertanya-tanya kalau-kalau... Well, kalau kau berencana mengajakku."
Si Kaki Sakti Menggemparkan Dunia Persilatan 1 Raja Petir 14 Ajian Duribang Pendekar Pemanah Rajawali 37
^