Pencarian

Twilight 6

Twilight Karya Stephenie Meyer Bagian 6


tak bisa melepaskan diri.
"Nah." desahnya, aromanya saja telah mengganggu proses berpikirku, "apa tepatnya
yang kaukhawatirkan?"
" Well, mm, menabrak pohon-" aku menelan ludah "- dan sekarat. Kemudian mual."
Ia menahan senyum. Kemudian ia menunduk dan dengan lembut menyapukan bibir
dinginnya di lekukan leherku.
"Kau masih khawatir sekarang?" gumamnya di atas kulitku.
"Ya." Aku berusaha berkonsentrasi. "Tentang menabrak pepohonan dan menjadi
mual." Menggunakan hidungnya, ia menyusuri leherku hingga ke ujung dagu. Napasnya yang
dingin menggelitik kulitku.
"Sekarang?" Bibirnya berbisik di rahangku.
"Pepohonan," aku terengah. "Mual."
Ia mengangkat wajah untuk mengecup kelopak mataku. "Bella, kau tidak berpikir
aku akan menabrak pohon, kan?"
"Tidak, tapi aku mungkin." Tak ada kepercayaan diri dalam suaraku. Ia mengendus
kemenangan yang mudah. Perlahan-lahan ia mencium menuruni pipiku, berhenti tepat di sudut mulutku.
"Akankah kubiarkan pohon melukaimu?" Bibirnya nyaris menyapu bibir bawahku yang
gemetaran. "Tidak," desahku. Aku tahu pertahananku nyaris hancur, tapi tak ada yang bisa
kulakukan. "Kaulihat," katanya, bibirnya bergerak di bibirku. "Tak ada perlu dikhawatirkan,
ya kan?" "Tidak," aku mendesah, menyerah.
Kemudian dengan dua tangan ia meraih wajahku nyaris dengan kasar, dan menciumku
sepenuh hati, bibirnya yang tak mau berkompromi melumat bibirku.
Sungguh tak ada alasan untuk perilakuku. Jelas aku mestinya tahu lebih baik saat
ini. Namun toh aku tak bisa menahan diri untuk tidak bereaksi seperti kali
pertama. Bukannya tetap diam dengan aman, lenganku malah terangkat dan memeluk
erat lehernya, dan sekonyong-konyong aku pun melebur dengan tubuhnya yang kaku.
Aku mendesah dan mengangkat bibirku.
Ia tergagap mundur, dengan mudah melepaskan cengkeramanku.
"Sialan, Bella!" ujarnya, terengah-engah. "Kau akan menjadi alasan kematianku,
aku bersumpah." Aku berjongkok, mengaitkan tanganku di lutut agar tidak jatuh ke tanah.
"Kau tidak bisa mati," gumamku, berusaha mengatur napas.
"Aku mungkin memercayai itu sebelum aku bertemu denganmu. Sekarang, ayo kita
keluar dari sini sebelum aku melakukan sesuatu yang sangat bodoh," geramnya.
Ia mengangkatku ke punggungnya seperti sebelumnya, dan bisa kulihat ia berusaha
keras untuk memperlakukanku selembut sebelumnya. Aku mengunci kedua kakiku di
pinggangnya, dan melingkarkan tanganku erat-erat di lehernya.
"Jangan lupa untuk memejamkan mata," ia mengingatkan dengan nada kasar.
Aku cepat-cepat membenamkan wajahku di bahunya, di bawah lenganku sendiri, dan
memejamkan mata. Dan aku nyaris tak bisa merasakan bahwa kami sedang bergerak. Aku bisa
merasakannya meluncur di bawahku, tapi ia bisa saja sedang berjalan di jalan
setapak, gerakannya terlalu halus. Aku tergoda untuk mengintip, hanya untuk
melihat apakah ia benar-benar terbang menembus hutan seperti sebelumnya, tapi
aku menahannya. Tidak sebanding dengan rasa pusing yang menyiksa itu. Aku
menghibur diriku sendiri dengan mendengarkan irama napasnya yang teratur.
Aku tidak begitu yakin apakah kami sudah berhenti hingga tangannya meraih ke
belakang dan menyentuh rambutku.
"Sudah sampai. Bella."
Aku memberanikan diri membuka mata, dan cukup yakin, kami sudah berhenti. Dengan
kaku kulepaskan cengkeramanku dan rubuhnya dan merosot ke tanah, mendarat di
punggungku. "Oh!" dengusku ketika terempas ke tanah yang basah.
Ia menatapku tak percaya, jelas-jelas tak yakin apakah ia masih terlalu marah
padaku untuk menganggapku lucu. Tapi ekspresiku yang kebingungan membuatnya
santai, dan ia pun tertawa terbahak-bahak.
Aku bangkit berdiri, mengabaikannya sambil membersihkan lumpur dan bagian
belakang jaketku. Itu hanya membuatnya tertawa lebih keras. Merasa jengkel, aku
mulai melangkah ke dalam hutan.
Aku merasakan lengannya memeluk pinggangku.
"Kau mau ke mana, Bella?"
"Nonton pertandingan bisbol. Kau kelihatannya tidak tertarik lagi bermain, tapi
aku yakin yang lain akan bersenang-senang tanpa dirimu."
"Kau berjalan ke arah yang salah."
Aku berbalik tanpa melihat ke arahnya, dan berjalan menghentak ke arah
sebaliknya. Ia menangkapku lagi.
"Jangan marah, aku tak dapat menahan diri. Kau seharusnya melihat wajahmu
sendiri." Ia tergelak sebelum bisa menahannya.
"Oh, jadi hanya kau yang berhak marah?" tanyaku, alisku terangkat.
"Aku tidak marah padamu."
"Bella, kau akan menjadi alasan kematianku"'" aku mengingatkannya dengan nada
sinis. "Itu hanya pernyataan sesungguhnya."
Aku berusaha menjauhkan diri darinya lagi, tapi ia menangkapku dengan cepat.
"Kau marah," aku berkeras.
"Ya." "Tapi kau baru bilang-"
"Aku tidak marah padamu. Tidak bisakah kau melihatnya, Bella?" Tiba-tiba ia
tegang, seluruh selera humornya lenyap. "Tidakkah kau mengerti?"
"Mengerti apa?" tuntutku, bingung dengan perubahan suasana hatinya yang tiba-
tiba, begitu juga kata-katanya.
"Aku takkan pernah marah padamu-bagaimana mungkin bisa" Kau begitu berani,
percaya... hangat." "Lalu kenapa?" bisikku, mengingat suasana hatinya yang kelam yang menjauhkannya
dariku, yang selalu kuinterpretasikan sebagai perasaan frustrasi yang rasional-
frustrasi akan kelemahanku, kelambananku, dan reaksi manusiaku yang tak
terkendali... Hati-hati ia meletakkan tangannya di kedua sisi wajahku. "Aku membangkitkan
kemarahanku sendiri," katanya lembut. "Karena selalu membahayakan dirimu.
Eksistensiku sendiri membahayakanmu. Kadang-kadang aku benar-benar benci diriku
sendiri. Aku harus lebih kuat, aku harus bisa -"
Kuletakkan tanganku di atas mulutnya. "Jangan."
Ia meraih tanganku, memindahkannya dari bibirnya namun meletakkannya di
wajahnya. "Aku mencintaimu," karanya. "Itu alasan menyedihkan untuk apa yang kulakukan,
tapi itu masih benar."
Itulah pertama kalinya ia menyatakan cintanya padaku - dalam begitu banyak kata-
kata. Ia mungkin tidak menyadarinya tapi aku tentu saja menyadarinya.
"Sekarang kumohon bersikaplah yang baik," ia melanjutkan, dan membungkuk untuk
menyapukan bibirnya dengan lembut di bibirku.
Aku diam tak bergerak. Lalu mendesah. "Kau berjanji pada Kepala Polisi Swan akan
mengantarku pulang tidak sampai larut, ingat" Sebaiknya kita pergi sekarang."
"Ya, Ma'am." Ia tersenyum sedih dan melepaskanku, kecuali satu tanganku. Ia membimbingku
menaiki ketinggian beberapa meter, menembus semak-semak yang basah dan padat,
mengitari pohon cemara beracun yang besar sekali, dan kami pun sampai, di ujung
lapangan terbuka yang luas di pangkuan puncak Pegunungan Olympic. Luasnya dua
kali stadion bisbol. Aku bisa melihat yang lain semua ada di sana; Esme, Emmett, dan Rosalie yang
duduk di atas pecahan batu yang menonjol adalah yang terdekat dengan kami,
mungkin jauhnya seratus meter. Lebih jauh lagi aku bisa melihat Jasper dan
Alice, setidaknya jaraknya seperempat mil, kelihatannya sedang melempar-lempar
sesuatu, tapi aku tak melihat bolanya. Kelihatannya Carlisle sedang menandai
base, tapi benarkah base-base itu terpisah sejauh itu"
Ketika kami sampai, Esme, Emmett, dan Rosalie bangkit berdiri. Esme menghampiri
kami. Emmett mengikuti setelah menatap punggung Rosalie. Rosalie telah bangkit
dengan gemulai dan melangkah ke lapangan tanpa melirik ke arah kami. Perutku
langsung mual, gelisah. "Kaukah yang kami dengar tadi, Edward?" Esme bertanya sambil mendekati kami.
"Kedengarannya seperti beruang tersedak," Emmett membenarkan.
Aku tersenyum ragu-ragu kepada Esme. "Itu memang dia."
"Bella tahu-tahu melakukan sesuatu yang lucu," Edward menjelaskan, cepat-cepat
membalasku. Alice telah meninggalkan posisinya dan sedang berlari, atau menari ke arah kami.
Ia meluncur cepat dan berhenti dengan luwes di dekat kami. "Sudah waktunya," ia
mengumumkan. Begitu ia berbicara, gemuruh petir yang menggelegar mengguncang hutan, kemudian
pecah di barat kota. "Menyeramkan, bukan?" kata Emmett dengan nada akrab, sambil mengedip padaku.
"Ayo." Alice meraih tangan Emmett dan mereka berlari ke lapangan yang luas.
Alice berlari bagai rusa. Emmett juga nyaris seanggun dan secepat Alice-meski
begitu ia takkan pernah bisa dibandingkan dengan rusa.
"Kau siap bermain?" Edward bertanya, tatapannya bersemangat, berkilat-kilat.
Aku mencoba terdengar bersemangat. "Ayo. tim!"
Ia mengejek dan setelah mengacak-acak rambutku, mengejar kedua saudaranya.
Larinya lebih agresif, Ia lebih mirip cheetah daripada rusa, dan dengan cepat ia
mendahului mereka. Keanggunan dan kekuatan itu memesonaku.
"Mau ikut turun?" Esme bertanya dengan suaranya lembut dan merdu, dan aku
menyadari telah melongo menatap Edward. Dengan cepat kubenahi ekspresiku dan
mengangguk. Esme tetap menjaga jarak beberapa meter di antara kami, dan aku
bertanya-tanya apakah ia masih berhati-hati agar tidak membuatku takut. Ia
menyamakan langkah kami tanpa terlihat tidak sabar.
"Anda tidak bermain bersama mereka?" tanyaku malu-malu.
"Tidak, aku lebih suka jadi wasit - aku suka menjaga mereka tetap jujur," ia
menjelaskan. "Kalau begitu, apakah mereka suka bermain curang?"
"Oh ya - kau harus dengar argumentasi mereka! Sebenarnya, kuharap kau tak perlu
mendengarnya, kau akan berpikir mereka dibesarkan sekawanan serigala."
"Anda terdengar seperti ibuku," aku tertawa, terkejut.
Ia juga tertawa. " Well, aku memang menganggap mereka anak-anakku dalam banyak
hal. Aku tak pernah bisa menghilangkan naluri keibuanku - apakah Edward bilang
bahwa aku kehilangan seorang anak?"
"Tidak," gumamku, terkejut, berusaha memahami masa kehidupan mana yang sedang
diingatnya. "Ya, bayi pertamaku dan satu-satunya. Dia meninggal hanya beberapa hari setelah
dilahirkan, makhluk kecil yang malang, ia mendesah. "Itu menghancurkan hatiku -
itu sebabnya aku melompat dari tebing, kau tahu," tambahnya terus terang.
"Edward hanya bilang Anda j-jatuh," ujarku terbata-bata.
"Selalu sang pria sejati." Ia tersenyum. "Edward putra baruku yang pertama. Aku
selalu menganggapnya begitu, meskipun dia lebih tua dariku, setidaknya dalam
satu cara." Ia tersenyum hangat padaku. "Itu sebabnya aku senang dia
menemukanmu. Sayang." Ungkapan sayang itu terdengar sangat alami meluncur dari
bibirnya. "Dia sudah terlalu lama menjadi laki-laki aneh, aku sedih melihatnya
sendirian." "Kalau begitu, Anda tidak keberatan?" aku bertanya, kembali ragu-ragu. "Bahwa
aku... sangat tidak tepat untuknya?"
"Tidak." Ia tampak bersimpati. "Kaulah yang diinginkannya. Entah bagaimana,
pasti akan ada jalan keluarnya," katanya, meskipun dahinya berkerut waswas.
Gelegar petir terdengar lagi.
Esme menghentikan langkah; rupanya kami telah sampai di ujung lapangan.
Kelihatannya mereka telah membentuk tim. Edward berada jauh di sisi kiri
lapangan, Carlisle berdiri di antara base pertama dan kedua, dan Alice memegang
bola, berdiri di titik yang pasti merupakan posisi pitcber.
Emmett mengayunkan tongkat alumunium; suaranya berdesis nyaris tak terdengar di
udara. Aku menunggunya menghampiri home base, tapi saat ia mengambil posisi, aku
baru menyadari bahwa ia sudah di sana - lebih jauh dari posisi pitcber yang
kupikir mungkin. Jasper berdiri beberapa meter di belakangnya, sebagai anggota
tim lawan. Tentu saja tak satu pun dari mereka memakai sarung tangan.
"Baik," seru Esme lantang, dan aku tahu bahkan Edward pun akan mendengarnya,
sejauh apa pun posisinya. "Ke posisi masing-masing."
Alice berdiri tegak, seolah-olah tak bergerak. Gayanya tampak licik daripada
mengancam. Ia memegang bola dengan kedua tangannya setinggi pinggang, dan
kemudian, bagai serangan kobra, tangan kanannya mengayun dan bola menghantam
tangan Jasper. "Apakah itu strike?" aku berbisik kepada Esme.
"Kalau mereka tidak memukulnya, baru disebut strike," ia memberitahuku.
Jasper melempar bolanya kembali pada Alice. Alice tersenyum sebentar. Kemudian
tangannya mengayun lagi. Kali ini entah bagaimana tongkat pemukulnya berhasil memukul bola yang tak
tampak itu tepat pada waktunya. Bunyi pukulan itu menggetarkan, menggelegar;
menggema hingga ke pegunungan - aku langsung mengerti mengapa mereka memerlukan
badai petir. Bola itu meluncur bagai meteor di atas lapangan, melayang menembus hutan yang
mengelilingi. "Home run" aku bergumam.
"Tunggu," Esme mengingatkan, mendengarkan dengan saksama, satu tangan terangkat.
Emmett tampak seperti kelebatan dari satu base ke base berikut, Carlisle
membayanginya. Aku tersadar Edward menghilang.
"Laut," Esme berteriak lantang. Aku menatap tak percaya ketika Edward melompat
keluar dari tepi pepohonan, tangannya yang terangkat menggenggam bola, senyumnya
yang lebar nyata bahkan olehku.
"Emmett memukul paling keras," jelas Esme, "tapi Edward berlari paling cepat."
Inning berlanjut di depan mataku yang keheranan. Mustahil mengikuti kecepatan
bola yang melayang dan kecepatan mereka berlari mengelilingi lapangan.
Aku mempelajari alasan lain mengapa mereka menunggu badai petir untuk bermain
ketika Jasper, berusaha menghindar tangkapan sempurna Edward, memukul bola mati
ke arah Carlisle. Carlisle lari mengejar bola dan kemudian mengejar Jasper ke
base pertama. Ketika mereka bertabrakan, suaranya bagai tabrakan dua batu besar.
Aku melompat karena waswas, tapi entah bagaimana mereka sama sekali tak terluka.
"Safe" seru Esme dengan suaranya yang tenang.
Tim Emmett memimpin dengan skor satu - Rosalie melayang mengelilingi base demi
base setelah Emmett berhasil memukul bola jauh-jauh-ketika Edward menangkap bola
ketiga. Ia berlari cepat ke sisiku, wajahnya memancarkan rasa senang.
"Bagaimana menurutmu?" tanyanya.
"Yang jelas, aku takkan pernah bisa duduk sepanjang pertandingan Major League
Baseball kuno yang membosankan lagi."
"Dan kedengarannya kau sering melakukannya sebelumnya." Ia tertawa.
"Aku agak kecewa," godaku.
"Kenapa?" tanyanya, bingung.
"Well, akan menyenangkan kalau aku bisa menemukan satu saja hal yang kaulakukan
tak lebih baik daripada siapa pun di planet ini."
Ia menyunggingkan senyumnya yang istimewa, membuatku kehabisan napas.
"Giliranku," katanya, menuju base.
Ia bermain pintar, menjaga bola tetap rendah, jauh dan jangkauan Rosalie yang
tangannya selalu siap di pinggir lapangan, melampaui dua base bagai kilat
sebelum Emmett berhasil mengembalikan bolanya dalam permainan. Carlisle membuat
sekali pukulan sangat jauh keluar lapangan- dengan suara dentuman yang
menyakitkan telingaku - sehingga ia dan Edward berhasil menyelesaikan putaran.
Alice ber-high five dengan mereka.
Skor terus berubah ketika pertandingan berlanjut, dan mereka saling menertawakan
layaknya pemain bisbol normal saat mereka bergantian memimpin. Kadang-kadang
Esme menyuruh mereka tenang. Petir terus bergemuruh, tapi kami tetap kering
seperti yang diperkirakan Alice.
Sekarang giliran Carlisle memukul dan Edward menangkap. Tiba-tiba Alice
terkesiap. Mataku tertuju pada Edward, seperti biasa, dan aku melihat kepalanya
tersentak untuk memandang Alice. Mata mereka bertemu dan dalam sekejap sesuatu
terjadi di antara mereka. Edward sudah berada di sisiku sebelum yang lainnya
dapat bertanya kepada Alice apa yang terjadi.
"Alice?" suara Esme tegang.
"Aku tidak melihat - aku tak bisa mengatakannya," bisiknya.
Semua sudah berkumpul. "Ada apa, Alice?" Carlisle bertanya dengan suara tenang berwibawa.
"Mereka melesat jauh lebih cepat daripada yang kukira. Bisa kulihat penglihatanku sebelumnya keliru," gumamnya.
Jasper mendekati Alice, posturnya protektif. "Apa yang berubah?" tanyanya.


Twilight Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mereka mendengar kita bermain, dan itu membuat mereka berbelok," katanya
menyesal, seolah-olah ia merasa bertanggung jawab atas apa pun yang membuatnya
ketakutan. Tujuh pasang mata yang gesit memandang wajahku, kemudian berpaling.
"Seberapa cepat?" Carlisle bertanya, berbalik menghadap Edward.
Ketegangan menyelimuti wajahnya.
"Kurang dari lima menit. Mereka berlari - mereka ingin bermain." Wajah Edward
geram. "Kau bisa melakukannya?" Carlisle bertanya padanya, matanya kembali berkilat-
kilat memandangku. "Tidak, tidak sambil menggendong-" Ia terdiam. "Lagi ia hal terakhir yang kita
butuhkan adalah mereka mencium aromanya dan mulai berburu."
"Berapa banyak?" tanya Emmett pada Alice.
"Tiga," jawab Alice singkat.
"Tiga!" sahut Emmett meremehkan. "Biarkan mereka datang." Otot lengannya yang
kekar tampak tegang. Selama sesaat yang tampaknya lebih lama daripada yang sesungguhnya, Carlisle
berpikir. Hanya Emmett yang tampak tenang; yang lain menatap wajah Carlisle
dengan tatapan gelisah. "Mari kita lanjutkan saja permainan ini," akhirnya Carlisle memutuskan. Suaranya
tenang dan datar. "Alice bilang mereka hanya penasaran."
Semua ini diucapkan dalam curahan kata-kata yang hanya berlangsung beberapa
detik. Aku mendengarkan dengan saksama dan menangkap sebagian besar maksudnya,
meskipun aku tak bisa mendengar apa yang sekarang Esme tanyakan pada Edward
dengan getaran bibirnya yang tak bersuara. Aku hanya melihat Edward menggeleng
samar dan wajah Esme tampak lega.
"Kau yang menangkap, Esme," katanya. "Cukup untukku." Dan ia pun berdiri di
depanku. Yang lain kembali ke lapangan, dengan waswas menyapu hutan yang gelap dengan
mata mereka yang tajam. Alice dan Esme tampak memfokuskan pandangan ke sekitar
tempatku berdiri. "Uraikan rambutmu." Edward berkata dengan nada suara rendah dan datar.
Aku mematuhinya, melepaskan ikat rambutku dan mengibaskan rambutku hingga
tergerai. Aku mengatakan apa yang tampak di depan mataku. "Yang lain berdatangan
sekarang." "Ya, kumohon diamlah, jangan bersuara, jangan bergerak dari sisiku." ia
menyembunyikan dengan baik ketegangan dalam suaranya, tapi aku toh dapat
menangkapnya. Ia menarik rambut panjangku ke depan, menutupi wajah.
"Itu takkan membantu," kata Alice lembut. "Aku dapat mencium baunya dari
seberang lapangan." "Aku tahu." Sekelumit perasaan putus asa mewarnai nada suaranya.
Carlisle berdiri di base, dan yang lain ikut bermain dengan setengah hati.
"Apa yang Esme tanyakan padamu?" bisikku.
Ia ragu-ragu sesaat sebelum menjawab. "Apakah mereka haus?" gumamnya enggan.
Detik demi detik berlalu; sekarang permainan berlanjut tanpa semangat. Tak
seorang pun berani memukul lebih keras dari pukulan asal-asalan, dan Emmett,
Rosalie, dan Jasper berdiri di tengah lapangan. Ketika sesekali terlepas dari
ketakutan yang membuat buntu pikiranku, aku menyadari mata Rosalie tertuju
padaku. Tatapannya tanpa ekspresi, tapi sesuatu dari bentuk mulutnya membuatku
berpikir ia marah. Edward sama sekali tidak memerhatikan permainan, mata dan pikirannya menerawang
ke hutan. "Maafkan aku, Bella," gumamnya marah. "Sungguh bodoh dan tak bertanggung jawab
telah mengeksposmu seperti ini. Aku sungguh meminta maaf."
Aku mendengar napasnya berhenti, matanya menatap hampa sisi kanan lapangan. Ia
setengah melangkah, memosisikan diri di antara aku dan apa yang bakal datang.
Carlisle, Emmett, dan yang lain berpaling ke arah sama, mendengarkan suara
langkah yang kelewat samar bagi telingaku.
18. PERBURUAN MEREKA muncul satu per satu dari tepi hutan, terpisah-pisah sejauh dua belas
meter. Laki-laki yang pertama muncul langsung mundur, membiarkan laki-laki yang
lain berdiri di depan, menempatkan dirinya di dekat laki-laki tinggi berambut
gelap yang sikapnya jelas menunjukkan dialah pemimpin mereka. Yang ketiga
wanita; dari jarak ini aku hanya bisa melihat bahwa rambutnya bernuansa
kemerahan yang mengagumkan.
Mereka bergerak saling mendekat sebelum dengan hati-hati menghampiri keluarga
Edward, memperlihatkan rasa hormat alami sekelompok predator ketika bertemu
jenisnya sendiri dalam kelompok yang lebih besar dan asing.
Ketika mereka mendekat, bisa kulihat betapa berbedanya mereka dengan keluarga
Cullen. Langkah mereka pelan, anggun, langkah yang secara konstan nyaris berubah
siap menerkam. Mereka berpakaian ala backpacker umumnya: jins dan atasan kasual
berkancing yang terbuat dari bahan tebal dan tahan lama. Namun pakaian mereka
tampak usang karena sering dipakai dan mereka bertelanjang kaki. Kedua laki-laki
itu berambut cepak, rambut si wanita yang berwarna jingga terang dipenuhi
dedaunan dan serpih-serpihan hutan.
Mata mereka yang tajam dengan hati-hati mengamati postur Carlisle yang elegan
dan sempurna. Ia berdiri diapit Emmett dan Jasper. Para pendatang itu melangkah
hati-hati menghampiri mereka, dan tanpa komunikasi yang kentara, mereka masing-
masing menyesuaikan diri dan bersikap lebih santai serta berwibawa.
Laki-laki yang berdiri di depan jelas yang paling tampan, kulitnya bernuansa
hijau di balik warna pucat yang sama, rambutnya hitam mengilap. Postur tubuhnya
sedang, ototnya kekar tentu saja, tapi kalah jauh dari Emmett. Ia tersenyum
ramah, memamerkan gigi putihnya.
Si perempuan lebih liar, dengan resah ia bergantian menatap para laki-laki di
depannya serta yang berdiri di sekitarku, rambutnya yang berantakan berkibaran
dalam angin yang bertiup pelan. Posturnya sangat anggun. Laki-laki kedua berdiri
diam di belakang mereka, tubuhnya lebih ramping daripada si pemimpin, rambutnya
yang cokelat muda serta bagian-bagian lainnya biasa-biasa saja.
Matanya, meskipun diam, entah mengapa tampak paling waspada.
Mata mereka juga berbeda. Bukan warna emas atau hitam seperti yang kuharapkan,
tapi warna burgundy gelap yang keji dan mengancam.
Sambil masih tersenyum, laki-laki berambut gelap melangkah maju ke arah
Carlisle. "Kami kira kami mendengar permainan." katanya santai dengan sedikit logat
Prancis. "Aku Laurent, ini Victoria dan James." Ia menunjuk vampir-vampir di
sebelahnya. "Aku Carlisle. Ini keluargaku, Emmett dan Jasper, Rosalie, Esme dan Alice.
Edward dan Bella." Ia sengaja tidak menunjuk kami satu per satu. Aku terkejut
ketika ia menyebut namaku.
"Ada ruang untuk beberapa pemain lagi?" tanya Laurent ramah.
Carlisle membalas dengan sama ramahnya. "Sebenarnya, kami baru saja selesai.
Tapi lain kali kami jelas tertarik mengajak kalian bermain. Apakah kalian
berencana tinggal lama di daerah ini?"
"Kami sedang menuju utara, tapi kami penasaran ingin melihat siapa yang ada di
sekitar sini. Sudah lama kami belum berjumpa siapa-siapa."
"Tidak, wilayah ini biasanya kosong kecuali kami dan terkadang beberapa
pengunjung seperti kalian."
Suasana tegang perlahan berganti menjadi pembicaraan santai; kurasa Jasper
menggunakan bakatnya yang tidak biasa untuk mengendalikan situasi.
"Jangkauan berburu kalian mencakup mana saja?" Laurent bertanya dengan sikap
santai. Carlisle mengabaikan maksud di balik pertanyaan itu. "Di sini, di Olympic Range,
di sekitar Coast Ranges untuk waktu tertentu. Kami mempunyai tempat tinggal
permanen di dekat sini. Ada lagi yang menetap permanen seperti kami di dekat
Denali." Laurent mengetuk-ngetukkan kakinya perlahan. "Permanen" Bagaimana kalian
mengaturnya?" Ada rasa penasaran yang murni dalam suaranya.
"Kenapa kalian tidak ikut ke rumah kami dan kita bisa mengobrol dengan nyaman?"
undang Carlisle. "Ceritanya agak panjang."
James dan Victoria bertukar pandang kaget mendengar kata 'rumah', tapi Laurent
lebih pandai mengendalikan ekspresinya.
"Kedengarannya sangat menarik dan bersahabat." Senyumnya ramah. "Kami telah
berburu sepanjang perjalanan dari Ontario, dan sudah lama belum sempat
membersihkan diri" Ia mengagumi penampilan Carlisle yang beradab.
"Kumohon jangan tersinggung tapi kami akan menghargai bila kalian tidak berburu
di sekitar daerah ini. Kalian mengerti, kami harus menjaga agar eksistensi kami
tetap terjaga," Carlisle menjelaskan.
"Tentu saja." Laurent mengangguk. "Kami tentu tidak akan melanggar teritori
kalian. Lagi pula, kami baru saja bersantap di luar Seattle." Ia tertawa. Rasa
ngeri menjalar di tulang punggungku.
"Akan kami tunjukkan jalannya kalau kalian ingin lari bersama kami - Emmett dan
Alice, kalian bisa pergi bersama Edward dan Bella ke Jeep," Carlisle menambahkan
dengan tenang. Tiga hal tampaknya terjadi secara bersamaan ketika Carlisle bicara. Rambutku
berantakan ditiup angin, tubuh Edward menegang dan laki-laki kedua, James, tiba-
tiba memutar kepalanya, mengamatiku, hidungnya mengendus-endus.
Tubuh mereka langsung menegang ketika James maju selangkah dan siap menerkam.
Edward memperlihatkan giginya, balas siap menerkam, menggeram penuh ancaman.
Sama sekali bukan geraman main-main yang kudengar tadi pagi; melainkan hal
paling mengerikan yang pernah kudengar. Rasa ngeri pun menjalar dari ujung
rambut hingga ke ujung kakiku.
"Apa ini?" Laurent blak-blakan menunjukkan rasa terkejutnya. Baik Edward maupun
James tidak mengubah pose agresif mereka. James bergerak sedikit ke samping, dan
sebagai jawabannya Edward bergeser.
"Dia bersama kami." Jawaban Carlisie yang tegas diarahkan langsung kepada James.
Laurent sepertinya tidak mencium aroma tubuhku setajam James, tapi sekarang
tampaknya ia sudah menyadarinya.
"Kalian membawa snack?" tanyanya, ekspresinya keheranan saat ia melangkah enggan
ke depan. Edward menggeram bahkan lebih menakutkan lagi, bengis, bibirnya terangkat tinggi
memamerkan giginya yang berkilauan. Laurent melangkah mundur.
"Kubilang dia bersama kami," Carlisle mengulangi kata-katanya dengan tegas.
"Tapi dia manusia," protes Laurent. Ucapannya sama sekali tidak bernada agresif,
semata-mata hanya terkejut.
"Ya." Emmett jelas-jelas membela Carlisle, matanya tertuju kepada James.
Perlahan James menegakkan
tubuhnya, tapi tatapannya tak pernah lepas dariku, cuping hidungnya masih
mengembang. Edward tetap tegang bagai singa di hadapanku
Ketika Laurent bicara, nada suaranya lembut - mencoba menenangkan permusuhan
yang tiba-tiba muncul. "Kelihatannya banyak yang harus kita pelajari tentang
satu sama lain." "Tentu." Suara Carlisle masih tenang.
"Tapi kami ingin menerima undanganmu." Matanya bergantian menatap Carlisle dan
aku. "Dan, tentu saja, kami takkan melukai perempuan manusia ini. Seperti
kataku, kami takkan berburu dalam wilayah buruanmu."
James memandang tak percaya dan kesal kepada Laurent. Sekali lagi ia bertukar
pandang sekilas dengan Victoria, yang matanya masih menatap gelisah dari satu
wajah ke wajah lain. Sesaat Carlisle mempelajari ekspresi wajah Laurent yang gamblang sebelum
berbicara. "Akan kami tunjukkan jalannya. Jasper, Rosalie, Esme?" panggilnya.
Mereka mendekat, menghalangiku dari pandangan saat mereka berkumpul. Serta-merta
Alice sudah berada di sisiku, dan Emmett mundur perlahan, tatapannya terkunci
pada James saat ia berjalan membelakangi kami.
"Ayo, Bella." Suara Edward pelan dan lemah.
Selama itu aku berdiri kaku tak bergerak di tempat yang sama, begitu
ketakutannya hingga sama sekali tak bergerak. Edward sampai harus meraih sikuku
dan menyentakku hingga aku tersadar. Alice dan Emmett berada dekat di belakang
kami, menyembunyikan diriku. Aku berjalan tersandung-sandung di sebelah Edward,
masih terkejut karena ngeri. Aku tak bisa mendengar apakah yang lain sudah pergi
atau belum. Ketidaksabaran Edward begitu kentara ketika kami bergerak dengan
kecepatan manusia menuju tepi hutan.
Sesampainya di bawah naungan pepohonan, Edward mengayunkanku ke punggungnya
tanpa menghentikan langkah. Aku berpegangan erat-erat saat ia bergerak, yang
lain tak jauh darinya. Aku terus menundukkan kepala, tapi mataku yang membelalak
ketakutan tak mau terpejam. Bagai hantu mereka melesat menembus hutan yang kini
kelam. Perasaan senang yang biasanya menyelimuti Edward ketika ia berlari kini
lenyap seluruhnya, digantikan amarah yang merasuki dan membuatnya bergerak lebih
cepat. Bahkan denganku di punggungnya, yang lain tak bisa menduluinya.
Kami tiba di Jeep dalam waktu teramat singkat, dan Edward nyaris tidak
memperlambat gerakannya ketika menaruhku di jok belakang.
"Pasangkan sabuk pengamannya," ia memerintahkan Emmet, yang menyelinap masuk
sebelahku. Alice telah berada di jok depan, dan Edward menyalakan mesin. Kemudian mesinnya
menderu dan kami bergerak mundur, berputar menghadap jalanan yang berliku.
Edward menggeramkan sesuatu yang terlalu cepat untuk kumengerti, tapi
kedengarannya jelas seperti serangkaian makian.
Perjalanan yang berguncang-guncang itu jauh lebih buruk saat ini, dan kegelapan
hanya membuatnya semakin mengerikan. Emmett dan Alice memandang saksama ke luar
jendela. Kami tiba di jalan utama, dan meskipun laju kami bertambah cepat, aku bisa
melihat jauh lebih baik ke mana
tujuan kami. Dan kami menuju selatan, menjauh dari Forks.
"Kita mau ke mana?" aku bertanya.
Tak ada yang menjawab. Bahkan tak seorang pun melihat ke arahku.
"Sialan, Edward! Ke mana kau membawaku?"
"Kami harus membawamu pergi dari sini - jauh sekali - sekarang." Ia tidak
menoleh ke belakang, matanya terpaku ke jalan. Spidometer menunjukkan kecepatan
seratus lima mil per jam.
"Kembali! Kau harus membawaku pulang!" aku berteriak. Aku memberontak, berusaha
melepaskan kaitan tolol sabuk pengaman ini.
"Emmett," kata Edward dingin.
Dan Emmet mengamankan tanganku dalam genggamannya yang kuat.
"Edward! Tidak, kau tidak boleh melakukan ini."
"Aku harus, Bella, sekarang kumohon diamlah."
"Tidak akan! Kau harus membawaku pulang - Charlie akan menelepon FBI! Mereka
akan mengejar keluargamu- Carlisle dan Esme! Mereka terpaksa harus pergi,
bersembunyi selamanya!"
"Tenanglah, Bella." Suaranya dingin. "Kami sudah pernah mengalami itu
sebelumnya." "Tidak demi aku, tidak akan! Kau tidak akan menghancurkan segalanya demi aku!"
Aku memberontak habis-habisan, dan sama sekali sia-sia.
Alice berbicara untuk pertama kali. "Menepilah, Edward."
Edward menatapnya marah, kemudian menambah kecepatan.
"Edward, mari kita bicarakan masalah ini."
"Kau tidak mengerti" ia mengerang frustrasi. Aku belum pernah mendengar suaranya
selantang ini; begitu memekakkan di dalam Jeep yang sempit. Jarum spidometer
nyaris mendekati angka 115. "Dia pemburu, Alice, tidakkah kau melihatnya" Dia
pemburu!" Aku merasakan Emmett menegang di sebelahku, dan aku mempertanyakan reaksinya
terhadap kata itu. Kata itu memiliki arti lebih bagi mereka bertiga daripada
bagiku; aku ingin memahaminya, tapi tak ada celah bagiku untuk bertanya.
"Menepilah, Edward." Nada suara Alice tenang, namun terselip wibawa di dalamnya
yang belum pernah kudengar sebelumnya.
Jarum spidometer bergerak melewati 120.
"Lakukan, Edward."
"Dengar, Alice. Aku melihat pikirannya. Berburu adalah hasratnya, obsesinya-dan
dia menginginkan Bella, Alice - Bella, secara spesifik. Dia memulai perburuannya
malam ini." "Dia tidak tahu ke mana-"
Edward menginterupsi. "Pikirmu berapa lama waktu yang diperlukannya untuk
menemukan baunya di kota" Rencananya sudah matang bahkan sebelum Laurent
bicara." Aku terkesiap, menyadari ke mana aroma tubuhku akan membawanya. "Charlie! Kau
tak bisa meninggalkannya di sana! Kau tak boleh meninggalkannya!" Aku meronta-
ronta di balik ikatan sabuk.
"Dia benar," kata Alice.
Jeep sedikit melambat. "Mari kita pertimbangkan pilihan kita sejenak," bujuk Alice.
Jeep kembali melambat, lebih drastis, dan tiba-tiba kami berhenti sambil


Twilight Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berdecit di bahu jalan tol. Aku terdorong ke depan, lalu terempas lagi ke jok.
"Tidak ada pilihan," desis Edward.
"Aku tidak akan meninggalkan Charlie!" teriakku.
Ia benar-benar mengabaikanku.
"Kita harus membawanya kembali," Emmett akhirnya bicara.
"Tidak," sahut Edward mantap.
"Dia bukan tandingan kita, Edward. Dia takkan bisa menyentuhnya."
"Dia akan menunggu."
Emmett tersenyum. "Aku juga bisa menunggu."
"Kau tidak mengerti. Sekali memutuskan untuk berburu, dia tak tergoyahkan. Kita
harus membunuhnya." Emmett kelihatannya setuju-setuju saja dengan ide itu. "Itu sebuah pilihan."
"Dan yang perempuan. Dia bersamanya. Bila nantinya berubah menjadi perseteruan
si pemimpin akan turun tangan juga."
"Jumlah kita cukup banyak."
"Itu pilihan lain," kata Alice pelan.
Edward berbalik padanya, murka, suaranya menggeram. "Tidak - ada - pilihan -
lain!" Emmett dan aku memandangnya terkejut, tapi Alice kelihatan biasa-biasa saja.
Keheningan berlangsung panjang sementara Edward dan Alice saling menatap.
Aku memecahkannya. "Tidakkah kalian ingin mendengar rencanaku?"
"Tidak," geram Edward. Alice memelototinya, akhirnya terpancing juga.
"Dengar," aku memohon. "Bawa aku kembali."
"Tidak," potong Edward.
Aku memandang marah dan melanjutkan. "Bawa aku kembali, aku akan bilang pada
ayahku bahwa aku ingin pulang ke Phoenix. Kukemasi barang-barangku. Kita tunggu
sampai si pemburu memerhatikan, baru kita lari. Dia akan mengikuti kita dan
tidak mengganggu Charlie. Charlie takkan melaporkan keluargamu pada FBI. Lalu
kau bisa membawaku ke mana pun kau mau."
Mereka menatapku, terkesiap.
"Bukan ide yang buruk, sungguh." Keterkejutan Emmett jelas penghinaan.
"Bisa saja berhasil - dan kita tak bisa membiarkan ayahnya begitu saja tanpa
pelindungan. Kalian tahu itu." kata Alice
Semua menatap Edward. "Terlalu berbahaya - aku tak menginginkannya berada dalam radius mil dari
Bella." Emmett tampak sangat percaya diri. "Edward, dia takkan bisa mengalahkan kita."
Alice berpikir sebentar. "Aku tidak melihatnya menyerang. Dia akan mencoba
menunggu kita meninggalkannya sendirian."
"Takkan perlu waktu lama baginya untuk menyadari itu takkan terjadi."
"Aku memerintahkanmu untuk membawaku pulang." Aku berusaha terdengar tegas.
Edward menekan jemarinya di pelipis dan memejamkan mata.
"Kumohon," kataku, suaraku jauh lebih pelan. Ia tidak mendongak. Ketika bicara,
suaranya terdengar terluka.
"Kau akan pergi malam ini, tak peduli apakah si pemburu melihat atau tidak.
Katakan pada Charlie, kau tak tahan lagi berada di Forks. Ceritakan apa saja
agar dia percaya. Kemasi apa pun yang bisa kauambil, kemudian masuk ke trukmu.
Aku tak peduli apa yang dikatakannya padamu. Kau punya waktu lima belas menit.
Kaudengar aku" Lima belas menit setelah kau keluar dari pintu."
Jeep menderu menyala, dan ia memutarnya, bannya ber-decit-decit. Jarum
spidometer mulai bergerak sesuai kecepatan.
"Emmett?" aku bertanya, menatap lurus tanganku. "Oh, maaf." Ia melepaskannya.
Beberapa menit berlangsung dalam keheningan, kecuali bunyi deru mesin. Lalu
Edward berbicara lagi. "Inilah yang akan kita lakukan. Sesampainya di rumah Bella, kalau si pemburu
tidak ada di sana, aku akan mengantarnya sampai ke pintu. Kemudian dia punya
waktu lima belas menit." Ia menatapku geram dan kaca spion. "Emmert kau berjaga di
luar rumah. Alice, kauambil truk Bella. Aku akan berada di dalam selama dia di
sana. Setelah dia keluar, kalian boleh bawa Jeep-nya pulang dan beritahu
Carlisle." "Tidak akan," Emmett menyela. "Aku ikut kau."
"Pikirkan lagi, Emmett. Aku tak tahu berapa lama aku akan pergi."
"Sampai kami tahu sejauh mana ini bakal berlangsung, aku ikut kau."
Edward mendesah. "Kalau si pemburu ada di sana," ia melanjutkan perkataannya
dengan muram, "kita tidak akan berhenti."
"Kita akan sampai di sana sebelum dia," kata Alice yakin.
Edward sepertinya setuju. Apa pun masalahnya dengan Alice, sekarang ia tak
meragukannya lagi. "Apa yang akan kita lakukan dengan Jeep-nya?" Alice bertanya.
Suaranya terdengar pahit. "Kau akan membawanya pulang."
"Tidak, aku tidak mau," kata Alice tenang.
Rangkaian makian yang tak terdengar itu mulai lagi.
"Kita semua takkan muat di trukku," aku berbisik.
Sepertinya Edward tidak mendengarku.
"Kurasa kau harus membiarkanku pergi sendiri," aku berkata dengan suara yang
bahkan lebih pelan. Ia mendengarnya. "Bella, kumohon lakukan saja dengan caraku, sekali ini saja," katanya,
menggertakkan giginya. "Dengar, Charlie bukan orang bodoh," protesku. "Kalau besok kau tidak tampak di
kota, dia bakal curiga."
"Truk tak ada hubungannya. Kami akan memastikan dia aman. dan itulah yang
terpenting." "Lalu bagaimana dengan si pemburu ini" Dia melihat bagaimana sikapmu malam ini.
Dia akan berpikir kau bersamaku di mana pun kau berada."
Emmett melihat ke arahku, terlihat terkejut lagi. "Edward, dengarkan dia,"
desaknya. "Kupikir dia benar."
"Ya, dia memang benar," Alice menimpali.
"Aku tak bisa melakukannya." Suara Edward dingin.
"Emmett juga harus tinggal," aku melanjutkan. "Dia jelas menaruh perhatian pada
Emmert." "Apa?" Emmert berbalik padaku.
"Kau akan menjadi lawan yang sebanding baginya kalau kau tinggal," timpal Alice.
Edward menatap Alice tak percaya. "Menurutmu, aku harus membiarkan Bella pergi
sendirian?" "Tentu saja tidak," sahut Alice. "Jasper dan aku akan membawanya."
"Aku tak bisa melakukannya," Edward mengulangi kata-katanya, tapi kali ini
terselip nada menyerah di baliknya. Akal sehatnya mulai bekerja.
Aku mencoba membujuk. "Tetaplah di sini selama seminggu-" aku melihat
ekspresinya lewat kaca spion dan meralat kata-kataku "-beberapa hari. Biarkan
Charlie melihat kau tidak menculikku, dan buat perburuan si James ini
berantakan. Pastikan dia benar-benar kehilangan jejakku. Lalu datanglah dan
temui aku. Tentu saja ambil rute memutar, kemudian Jasper dan Alice bisa
pulang." Aku bisa melihat Edward mempertimbangkan ideku. "Menemuimu di mana?"
"Phoenix." Tentu saja.
"Tidak. Dia akan mendengar bahwa itulah tempat yang akan kautuju," katanya tidak
sabar. "Dan kau akan membuatnya kelihatan seperti jebakan tentunya. Dia akan tahu kita
sengaja membiarkannya mendengar pembicaraan kita. Dia takkan pernah percaya aku
sebenarnya akan pergi ke tempat yang kukatakan."
"Dia licik," Emmett tergelak.
"Dan kalau itu tidak berhasil?"
"Beberapa juta orang tinggal di Phoenix," aku memberitahunya.
"Tidak terlalu sulit mendapatkan buku telepon."
"Aku takkan pulang."
"Oh?" tanyanya, nada suaranya berbahaya.
"Aku cukup dewasa untuk punya tempat tinggal sendiri."
"Edward, kami akan menemaninya," Alice mengingatkan.
"Apa yang akan kalian lakukan di Phoenix"' ia bertanya pada Alice.
"Tetap di dalam ruangan."
"Aku sepertinya menyukainya." Emmett sedang memikirkan tentang menghabisi James,
tak diragukan lagi. "Diam, Emmett."
"Dengar, kalau kita mencoba membunuhnya sementara Bella masih di sini,
kemungkinan besar akan ada yang terluka - dia akan terluka, atau kau karena
mencoba melindunginya. Nah, kalau kita menyerang saat dia sendirian... " ia
tidak menyelesaikan kalimatnya, senyumnya mengembang perlahan. Aku benar.
Sekarang Jeep melaju pelan saat kami memasuki kota. Meskipun ucapanku terdengar
berani, bisa kurasakan bulu kudukku meremang. Aku memikirkan Charlie, sendirian
di rumah, dan mencoba untuk berani.
"Bella." Suara Edward terdengar sangat lembut. Alice dan Emmert memandang ke
luar jendela. "Kalau kau membiarkan sesuatu terjadi padamu-apa pun - aku akan
menuntut tanggung jawab darimu. Kau mengerti?"
"Ya," sahutku, menelan ludah.
Ia berpaling kepada Alice. "Apakah Jasper bisa menanganinya?"
"Percayalah padanya, Edward. Dia telah bekerja dengan sangat, sangat baik, dalam
segala hal." "Bisakah kau menanganinya?" ia bertanya.
Dan si kecil Alice yang anggun menarik bibirnya lalu meringis mengerikan sambil
menggeram parau. Aku langsung meringkuk ketakutan.
Edward tersenyum padanya. "Tapi simpan opinimu untuk dirimu sendiri," gumamnya
tiba-tiba. 19. PERPISAHAN CHARLIE menungguku. Semua lampu di rumah menyala. Pikiranku kosong ketika aku
mencoba memikirkan cara agar ia mau membiarkanku pergi. Ini tidak bakal
menyenangkan. Perlahan Edward menepikan Jeep, memarkirnya tepat di belakang trukku. Mereka
bertiga sangat waspada, duduk tegak di kursi mereka, mendengarkan setiap suara
di hutan, mengamati setiap bayangan, menghirup setiap aroma, mencari sesuatu
yang tidak pada tempatnya. Mesin dimatikan, dan aku duduk tidak bergerak ketika
mereka terus mendengarkan.
"Dia tidak di sini," kata Edward tegang. "Ayo."
Emmett meraih ke sisiku untuk membantuku melepaskan sabuk pengaman. "Jangan
khawatir. Bella," katanya pelan namun ceria, "kami akan membereskan semuanya di
sini dalam waktu singkat."
Aku merasakan mataku berkaca-kaca saat memandang Emmet. Aku nyaris tak
mengenalnya, namun bagaimanapun juga, tidak mengetahui kapan aku bisa bertemu
lagi dengannya setelah malam ini, membuatku sedih. Aku tahu ini hanyalah rasa
perpisahan yang harus kutahankan selama satu jam ke depan, dan pikiran itu
membuat air mataku mulai turun.
"Alice, Emmert." Suara Edward memerintah. Mereka menyelinap tanpa suara menembus
kegelapan, langsung menghilang. Edward membukakan pintuku dan memegang tanganku,
kemudian menarikku ke dalam pelukannya yang melindungi. Ia mengantarku dengan
cepat ke rumah, matanya selalu menjelajahi kegelapan malam.
"Lima belas menit," ia mengingatkan dengan berbisik.
"Aku bisa melakukannya," isakku. Air mata memberiku inspirasi.
Aku berhenti di teras dan menggenggam wajahnya dengan kedua tanganku. Aku
menatap matanya lekat-lekat.
"Aku mencintaimu," kataku, suaraku pelan dan dalam. "Aku akan selalu
mencintaimu, tak peduli apa yang terjadi sekarang."
"Takkan terjadi apa-apa padamu, Bella," katanya, sama tajamnya.
"Jalankan saja rencananya, oke" Jaga Charlie untukku. Dia takkan terlalu
menyukaiku lagi setelah ini, dan aku ingin punya kesempatan untuk meminta maaf
nantinya." "Masuklah, Bella. Kita harus bergegas." Suaranya mendesak.
"Satu lagi," aku berbisik penuh hasrat. "Jangan dengarkan kata-kataku malam
ini." Ia mencondongkan tubuhnya, jadi yang perlu kulakukan hanya berjingkat
untuk mencium bibirnya yang beku dan terkejut sekuat mungkin. Kemudian aku
berbalik dan menendang pintu hingga terbuka.
"Pergilah, Edward!" aku berteriak padanya, berlari masuk dan membanting pintu
hingga tertutup di hadapan wajahnya yang masih terkejut.
"Bella?" Charlie sedang bersantai di ruang tamu, dan sekarang ia bangkit
berdiri. "Jangan ganggu aku!" aku berteriak padanya, air mataku mengalir deras sekarang.
Aku berlari menaiki tangga menuju kamar, membanting pintu dan menguncinya. Aku
berlari ke tempat tidur, mengempaskan diri di lantai untuk mengambil tasku. Aku
langsung mengulurkan tangan ke bawah kasur dan pengambil kaus kaki usang
tempatku menyimpan uangku.
Charlie menggedor-gedor pintu kamar.
"Bella, kau baik-baik saja" Apa yang terjadi?" Suaranya waswas.
"Aku mau pulang," aku berteriak, memberi tekanan pada kata yang tepat.
"Apakah dia melukaimu?" suaranya hampir marah.
"Tidak!" jeritku. Aku berbalik ke lemari pakaian, dan Edward sudah ada di sana,
tanpa suara meraup asal-asalan pakaianku, lalu melemparkannya padaku.
"Apakah dia mencampakkanmu?" Charlie benar-benar bingung.
"Tidak!" aku berteriak, agak terengah-engah saat menjejalkan semuanya ke dalam
tas. Edward melempar beberapa helai pakaian lagi padaku. Sekarang tasnya sudah
lumayan penuh. "Apa yang terjadi, Bella?" seru Charlie dari balik pintu sambil menggedor-gedor
lagi. "Aku mencampakkannya!" aku balas berteriak, sambil menarik resleting tasku.
Tangan Edward yang sedang tidak melakukan apa-apa mendorong tanganku dan menutup
ritsleting itu dengan mulus. Dengan hati-hati ia menaruh talinya di bahuku.
"Aku akan menunggu di truk - pergi!" ia berbisik, dan mendorong ke pintu. Ia
menghilang lewat jendela.
Aku membuka pintu dan menghambur melewati Charlie berjuang keras membawa tasku
yang berat menuruni tangga.
"Apa yang terjadi?" ia berteriak. Ia berada tepat di belakang ku. "Kupikir kau
menyukainya." Ia menangkap sikuku ketika kami sampai di dapur. Meskipun ia masih bingung
cengkeramannya kuat. Ia memutar rubuhku menghadapnya, dan aku bisa melihat ekspresi di wajahnya,
bahwa ia tidak berniat membiarkanku pergi. Aku hanya bisa memikirkan satu cara
untuk melepaskan diri, dan ini akan sangat melukai hatinya hingga aku membenci
diriku sendiri bahkan ketika memikirkannya. Tapi aku tak punya waktu, dan aku
harus memikirkan keselamatannya.
Aku menatap geram pada ayahku, air mata kembali menggenangi mataku memikirkan
apa yang akan segera kulakukan.
"Aku memang menyukainya - itulah masalahnya. Aku tak bisa melakukan ini lagi!
Aku tak bisa tinggal di sini lebih lama lagi! Aku tak mau terjebak di kota tolol
dan membosankan ini seperti Mom! Aku tidak akan membuat kesalahan bodoh yang
sama seperti yang dilakukan Mom. Aku benci - aku tak bisa tinggal di sini lebih
lama lagi!" Ia melepaskan lenganku seolah-olah aku telah menyetrumnya. Aku berpaling dari
wajahnya yang terkejut dan terluka, lalu bergegas ke pintu.
"Bella, kau tak bisa pergi sekarang. Sudah malam," bisiknya di belakangku.
Aku tidak menoleh. "Aku akan tidur di truk bila mengantuk."
"Tunggu satu minggu lagi," ia memohon, masih terkejut setengah mati. "Renee akan
kembali pada saat itu."
Ini benar-benar membuatku kesal. "Apa?"
Charlie melanjutkan dengan bersemangat, hampir meracau lega ketika melihat
keraguanku. "Dia menelepon ketika kau sedang keluar. Kehidupannya di Florida
tidak berjalan baik, dan kalau Phil tidak mendapatkan kontrak hingga akhir
pekan, mereka akan kembali ke Arizona. Asisten pelatih Side-winders bilang
mungkin mereka masih punya posisi sementara untuknya."
Aku menggeleng, berusaha mengumpulkan pikiranku yang sekarang berantakan. Setiap
detik yang berlalu akan semakin membahayakan nyawa Charlie.
"Aku punya kunci," gumamku, memutar kenop pintu. Ia berdiri terlalu dekat, satu
tangannya terulur ke arahku, wajahnya syok. Aku tak bisa membuang waktu dan
berdebat dengannya lagi. Aku harus membuatnya lebih sakit lagi.
"Biarkan aku pergi, Charlie." Aku mengulangi kata-kata terakhir ibuku ketika ia
melewati pintu yang sama ini bertahun-tahun yang lalu. Aku mengucapkannya
semarah mungkin, lalu membuka pintu, dan mengempaskannya. "Semuanya kacau, oke"
Aku sungguh, sungguh membenci Forks!"
Ucapanku yang jahat berhasil - Charlie bergeming di ambang pintu, terpana,
sementara aku berlari menembus malam. Aku amat sangat ketakutan berada di
pekarangan yang kosong. Aku berlari seperti kerasukan menuju trukku,
membayangkan bayangan gelap di belakangku. Kulempar tasku ke jok dan menarik
pintunya hingga terbuka. Kuncinya sudah menggantung di lubang starter.


Twilight Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Besok aku akan menelepon!" aku berteriak, berharap melebihi apa pun bahwa aku
bisa menjelaskan semua ini padanya saat itu, namun sadar aku takkan pernah
sanggup. Kunyalakan mesin truk dan melesat meninggalkan halaman rumah.
Edward meraih tanganku. "Menepi," katanya begitu rumahku, dan Charlie, telah lenyap di belakang kami.
"Aku bisa mengemudi," kataku di balik air mata yang mengalir ke pipi.
Tahu-tahu tangannya yang panjang mencengkeram pinggangku, dan kakinya mendorong
kakiku hingga lepas dari pedal gas. Ia menarikku ke pangkuannya, melepaskan
tanganku dari kemudi, dan tiba-tiba saja ia sudah berpindah ke jok pengemudi.
Trukku tidak oleng sedikit pun.
"Kau takkan bisa menemukan rumahnya," ia menjelaskan.
Tiba-tiba lampu-lampu menyorot terang di belakang kami. Aku memandang lewat kaca
belakang, mataku membelalak ketakutan.
"Itu cuma Alice," ia menenangkanku. Ia memegang tanganku lagi.
Benakku dipenuhi sosok Charlie yang berdiri di ambang pintu. "Si pemburu?"
"Dia mendengar akhir sandiwaramu," kata Edward geram.
"Charlie?" tanyaku ngeri.
"Si pemburu mengikuti kita. Sekarang dia berlari di belakang kita."
Tubuhku langsung membeku. "Bisakah kita meninggalkannya?"
"Tidak." Tapi Edward mempercepat laju truk sambil berbicara. Mesin truk
menggeram. Rencanaku tiba-tiba tidak terasa brilian lagi.
Aku menoleh ke belakang menatap lampu mobil Alice ketika truk bergetar dan
bayangan gelap meluncur di luar jendela.
Darahku bergejolak sesaat sebelum Edward membekap mulutku.
"Itu Emmett! Ia melepaskan tangannya dari mulutku, dan memeluk
pinggangku. "Semuanya baik-baik saja, Bella," ia berjanji. "Kau akan aman."
Kami melesat melewati kota yang sepi, menuju jalan tol utara.
"Aku tak tahu kau masih begitu bosan dengan kehidupan kota kecil," katanya
berbasa-basi, dan aku tahu ia berusaha mengalihkan perhatianku. "Sepertinya kau
menyesuaikan diri dengan cukup baik-terutama akhir-akhir ini. Barangkali aku
hanya menyanjung diriku sendiri karena telah membuat hidupmu jauh lebih
menarik." "Aku benar-benar bukan anak yang baik," aku mengaku, mengabaikan usahanya
mengalihkan perhatianku, sambil menunduk memandangi lutut. "Itu tadi hal yang
sama yang diucapkan ibuku saat dia meninggalkan Dad. Bisa dibilang itu sangat
kejam dan tidak adil."
"Jangan khawatir. Dia akan memaafkanmu." Ia tersenyum sedikit, meskipun matanya
tidak. Aku menatapnya putus asa, dan ia melihat kepanikan di mataku.
"Bella, semuanya akan baik-baik saja."
"Tapi tidak akan baik-baik saja saat aku tidak bersamamu," bisikku.
"Kita akan bersama-sama lagi dalam beberapa hari," kitanya seraya mempererat
pelukannya. "Jangan lupa, ini idemu."
"Ini ide terbaik - tentu saja ini ideku."
Senyumnya pucat dan langsung lenyap.
"Kenapa ini terjadi?" tanyaku, suaraku melengking "Kenapa aku?"
Ia menatap marah ke jalanan di depan kami. "Ini salahku aku bodoh sekali
mengeksposmu seperti itu." Kemarahan dalam suaranya ditujukan pada dirinya
sendiri. "Bukan itu maksudku," aku berkeras. "Aku ada di sana, memangnya kenapa"
Kehadiranku tidak mengganggu dua yang lain. Kenapa si James ini memutuskan ingin
membunuhku. Ada orang di mana-mana, kenapa aku?" Ia ragu-ragu, berpikir sebelum
menjawab. "Aku mendengarkan pikirannya malam ini," ia memulai dengan suara pelan. "Aku tak
yakin ada yang bisa kulakukan untuk menghindari ini, begitu dia melihatmu.
Sebagian adalah salahmu." Suaranya masam. "Seandainya aromamu tidak begitu
menggiurkan, dia mungkin saja tidak terusik. Tapi ketika aku membelamu..., Well,
itu membuat segalanya tambah parah. Dia tidak terbiasa dikecewakan, tak peduli
betapa tidak pentingnya objek itu. Dia menganggap dirinya pemburu, bukan yang
lain. Eksistensinya hanya melulu mengenai berburu, dan baginya tantangan adalah
satu-satunya hal yang penting. Tiba-tiba kita mempersembahkan tantangan yang
indah di hadapannya-satu klan besar yang terdiri atas pejuang tangguh semua
bersatu melindungi satu elemen yang lemah. Kau takkan percaya betapa gembiranya
dia sekarang. Ini permainan favoritnya, dan kita baru saja menjadikannya
permainan paling menarik baginya." Suaranya penuh kejijikan. Ia berhenti
sebentar. "Tapi seandainya aku tidak membelamu, dia bisa saja membunuhmu saat itu juga,"
katanya sangat putus asa.
"Kupikir... aromaku tidak sama bagi yang lain... tidak seperti bagimu," kataku
ragu-ragu. "Memang tidak. Tapi bukan berarti kau bukan godaan bagi mereka. Seandainya kau
telah menarik perhatian si pemburu - atau salah satu dari mereka - dengan cara
yang sama seperti terhadapku, pertarungan akan terjadi saat itu juga."
Aku bergidik ngeri. "Kurasa aku tak punya pilihan lain kecuali membunuhnya sekarang," gumamnya.
"Carlisle takkan menyukainya."
"Aku bisa mendengar suara ban melintasi jembatan, meskipun aku tak bisa melihat
sungainya di kegelapan. Aku tahu kami semakin dekat. Aku harus bertanya
sekarang. "Bagaimana kau membunuh vampir?"
Ia melirikku dengan tatapan yang tak bisa kutebak dan suaranya mendadak parau.
"Satu-satunya yang bisa memastikan kematiannya adalah dengan menghancurkannya
berkeping-keping lalu membakarnya."
"Dua vampir lainnya, apakah mereka akan ikut bertarung dengannya?"
"Yang perempuan ya. Aku tak yakin dengan Laurent. Mereka tidak punya ikatan kuat
- dia bersama mereka hanya demi kemudahan. James mempermalukannya ketika berada
di padang rumput... "
"Tapi James dan wanita itu - mereka akan mencoba membunuhmu?" tanyaku, suaraku
gemetar. "Bella, jangan berani-berani membuang waktumu untuk mengkhawatirkan aku. Satu-
satunya yang harus kaupikirkan adalah menjaga dirimu sendiri tetap aman dan - kumohon, kumohon -
usahakanlah jangan ceroboh."
"Apakah dia masih mengikuti?"
"Ya. Meskipun begitu dia takkan menyerang rumah kami. Tidak malam ini."
Edward membelok ke jalanan yang tak terlihat. Alice mengikuti di belakang.
Kami langsung menuju rumah. Lampu-lampu di dalam menyala terang, tapi nyaris tak
dapat menguraikan kegelapan hutan yang rapat. Emmett telah membukakan pintuku
sebelum truk berhenti; ia menarikku dari jok, meletakkanku bagai bola rugby di
dadanya yang bidang, dan membawaku berlari melewati pintu.
Kami menghambur ke ruangan putih yang luas Edward dan Alice berada di sisi kami.
Semua ada di sana; mereka bangkit berdiri begini mendengar kami mendekat.
Laurent berdiri di tengah mereka. Aku bisa mendengar geraman pelan Emmet saat ia
mendudukkanku di sisi Edward.
"Dia mengikuti kami," ungkap Edward, menatap galak pada Laurent.
Wajah Laurent tampak muram. "Aku sudah mengkhawatirkan hal itu."
Alice bergerak anggun ke sisi Jasper dan berbisik di telinganya; bibirnya
bergetar cepat mengucapkan sesuatu yang tak terdengar. Mereka menaiki tangga
bersama-sama. Rosalie mengamati mereka, kemudian bergerak cepat ke sisi Emmett.
Matanya yang indah penuh cinta dan-ketika beralih enggan menatapku-tampak marah.
"Apa yang akan dilakukannya?" Carlisle bertanya kepada Laurent dengan nada
waswas. "Maafkan aku," jawabnya. "Aku khawatir, ketika anak laki-lakimu tadi membelanya,
itu justru memicunya. "Bisakah kau menghentikannya?"
Laurent menggeleng. "Tak ada yang bisa menghentikan James begitu dia sudah
mulai." "Kami akan menghentikannya," Emmett berjanji. Tak ada keraguan di balik maksud
perkataannya. "Kau takkan bisa menaklukkannya. Aku tak pernah melihat kekuatan seperti yang
dimilikinya selama tiga ratus tahun kehidupanku. Dia sangat mematikan. Itu
sebabnya aku bergabung dalam kelompoknya."
Kelompoknya tentu saja, pikirku. Pertunjukan soal siapa sang pemimpin di
lapangan tadi hanya pura-pura.
Laurent menggeleng. Ia melirikku, bingung, kemudian kembali menatap Carlisle.
"Kau yakin ini layak?"
Geraman marah Edward menggema di seluruh ruangan; Laurent langsung ciut.
Carlisle menatap Laurent dingin. "Aku khawatir kau harus menentukan pilihan."
Laurent mengerti. Ia menimbang-nimbang sebentar. Ia menatap satu per satu setiap
wajah di sana, dan akhirnya menyapu seluruh ruangan yang terang itu.
"Aku tertarik pada kehidupan yang kauciptakan di sini. Tapi aku takkan terlibat
dalam urusan ini. Aku sama sekali tidak membenci kalian, tapi aku tidak akan
menentang James. Kurasa aku akan menuju utara - menemui klan yang ada di
Denali." Ia ragu-ragu. "Jangan remehkan James. Dia memiliki pemikiran yang
brilian dan indra yang tak ada tandingannya. Dia sama nyamannya berada dalam
dunia manusia seperti kalian, dan dia tidak akan mendatangi kalian dengan
terang-terangan... Aku minta maaf atas apa yang terjadi di sini. Aku sungguh
menyesal." Ia membungkuk, tapi aku melihatnya melirik bingung lagi ke arahku.
"Pergilah dalam damai," ujar Carlisle dengan nada formal.
Laurent kembali memandang sekelilingnya untuk waktu yang lama, kemudian bergegas
keluar. Keheningan hanya bertahan sebentar.
"Seberapa dekat?" Carlisle menatap Edward.
Esme sudah bergerak; tangannya menekan tombol tak kasat mara di dinding, dan
dengan suara menderu, daun jendela baja besar mulai menutupi dinding kaca. Aku
memandang terkesima. "Sekitar tiga mil dari sungai; dia sedang memutar untuk menemui si wanita."
"Apa rencananya?"
"Kita akan mengalihkan perhatiannya, kemudian Jasper dan Alice akan membawanya
ke selatan." "Lalu?" Nada suara Edward terdengar mematikan. "Begitu Bella aman dari bahaya, kita akan
memburu James." "Kurasa tak ada pilihan lain," Carlisle menimpali, wajahnya kelam.
Edward berbalik menghadap Rosalie.
"Bawa Bella ke atas dan tukarlah pakaian kalian," perintah Edward. Rosalie balas
menatapnya dengan tatapan marah dan tak percaya.
"Kenapa aku harus melakukannya?" desisnya. "Memangnya dia siapaku" Dia hanya
membawa sial - bahaya yang kaupilih untuk kita semua."
Aku tersentak mendengar kebengisan dalam suaranya.
"Rose...," gumam Emmett, sambil meletakkan satu tangan di bahunya. Rosalie
menepisnya. Tapi aku mengamati Edward dengan hati-hati, teringat temperamennya yang meledak-
ledak, mengkhawatirkan reaksinya.
Ia membuatku terkejut. Ia berpaling dari Rosalie seolah-olah ia tak pernah
mengatakan apa-apa, seolah ia tidak ada.
"Esme?" tanyanya tenang.
"Tentu saja," gumam Esme.
Tak sampai sedetik Esme sudah berada di sisiku, mengayunkan tubuhku dengan mudah
kemudian menggendongku, dan melompati anak tangga sebelum aku menyadarinya.
"Apa yang kita lakukan?" tanyaku terengah-engah saat ia menurunkanku di ruangan
yang gelap entah di mana di lantai dua.
"Berusaha mengaburkan aromamu. Tidak akan bertahan lama, tapi mungkin bisa
membantumu melarikan diri." Aku bisa mendengar suara pakaiannya berjatuhan di
lantai. "Kurasa pakaian Anda takkan muat..." aku ragu, tapi tangan-tangannya langsung
melepaskan T-shirt-ku. Aku bergegas melepaskan jinsku. Ia memberi sesuatu
padaku, rasanya seperti kaus. Aku berjuang memasukkan tanganku ke lubang yang
tepat. Begitu aku selesai, ia menyerahkan celana panjangnya. Aku mengenakannya,
tapi tak bisa mengeluarkan kakiku; terlalu panjang. Dengan mahir ia menggulung
ujung lipatannya beberapa kali hingga aku bisa berdiri. Entah bagaimana ia sudah
mengenakan pakaianku. Ia menarikku kembali ke tangga, ke tempat Alice berdiri
sambil membawa tas kulit kecil. Mereka masing-masing memegang sikuku dan
setengah mengangkatku ketika melayang menuruni tangga.
Sepertinya segala sesuatu di bawah telah beres saat kami pergi tadi. Edward dan
Emmett sudah siap berangkat, Emmett menyampirkan ransel yang kelihatan berat di
bahunya. Carlisle menyerahkan sesuatu yang kecil kepada Esme. Ia berbalik dan
menyerahkan benda yang sama kepada Alice - Ponsel mungil berwarna perak.
"Esme dan Rosalie akan membawa trukmu, Bella." ia memberitahu saat melewatiku.
Aku mengangguk, melirik cemas ke arah Rosalie. Ia sedang menatap geram ke arah
Carlisle. "Alice. Jasper - kalian bawa Mercedes-nya. Warna gelapnya akan berguna bagi
kalian ketika berada di Selatan."
Mereka juga mengangguk. "Kami naik Jeep."
Aku terkejut mengetahui Carlisle berniat pergi bersama Edward. Tiba-tiba aku
menyadari, dengan ngeri, bahwa mereka akan ikut meramaikan perburuan.
"Alice," Carlisle bertanya, "apakah mereka akan memakan umpannya?"
Semua memerhatikan Alice ketika ia memejamkan mata dan bergeming.
Akhirnya matanya membuka. "James akan memburumu. Si wanita akan mengikuti truk.
Kita seharusnya bisa pergi setelah itu." Suaranya yakin.
"Ayo kita pergi." Carlisle berjalan menuju dapur. Tapi Edward serta-merta telah
berdiri di sisiku. Ia menangkapku dalam genggamannya yang kuat, memelukku erat-
erat. Ia sepertinya tidak menyadari keluarganya memerhatikan saat ia meraih
wajahku dan mendekatkannya ke wajahnya, mengangkat tubuhku dari lantai. Dalam
waktu sekejap bibirnya yang dingin dan keras mencium bibirku. Kemudian semuanya
selesai. Ia menurunkanku kembali ke lantai, masih memegangi wajahku, matanya
yang indah membara menatapku.
Sorot matanya berubah hampa, mematikan, ketika ia berpaling dariku.
Dan mereka pun pergi. Kami berdiri di sana, yang lain memalingkan pandangan dariku saat air mata mulai
menetes tanpa suara di wajahku.
Keheningan terus berlanjut, kemudian ponsel Esme bergetar. Ia langsung
mendengarkan. "Sekarang" katanya. Rosalie berjalan sambil mengentakkan kaki menuju pintu depan
tanpa melihat lagi ke arahku, tapi Esme menyentuh pipiku ketika melewatiku.
"Jaga dirimu." Bisikannya menggema di belakang mereka saat mereka menyelinap
keluar. Aku mendengar suara trukku menderu, lalu lenyap.
Jasper dan Alice menunggu. Ponsel Alice sepertinya sudah menempel di telinganya
sebelum sempat bergetar. "Edward bilang si wanita membuntuti Esme. Aku akan ambil mobil." Ia lenyap ke
dalam kegelapan seperti ketika Edward pergi.
Jasper dan aku berpandang-pandangan. Ia berdiri agak jauh di pintu masuk...
berhati-hati. "Kau salah, kau tahu itu," katanya pelan.
"Apa?" aku terkesiap.
"Aku bisa merasakan apa yang kaurasakan sekarang - dan kau memang layak."
"Tidak," gumamku. "Kalau terjadi sesuatu pada mereka, pengorbanan mereka bakal
sia-sia." "Kau keliru," ia mengulanginya, tersenyum ramah padaku.
Aku tak mendengar apa-apa, tapi kemudian Alice melangkah melalui pintu depan dan
menghampiriku dengan tangan terentang.
"Bolehkah?" tanyanya.
"Kau yang pertama meminta izin." Aku tersenyum pahit. Tangannya yang ramping
mengangkatku semudah yang dilakukan Emmett, memelukku dengan sikap melindungi,
kemudian kami terbang melewati pintu, meninggalkan cahaya terang di belakang
kami. 20. KETIDAKSABARAN KETIKA terbangun, aku bingung. Pikiranku kabur, masih antara tak sadar dan mimpi
buruk. Butuh waktu lebih lama dari seharusnya untuk menyadari di mana aku
berada. Ruangan ini terlalu biasa untuk berada di mana pun, kecuali di hotel. Lampu
tidur yang disekrupkan ke meja memastikan dugaanku tepat, begitu juga tirai
panjang yang terbuat dan bahan yang sama dengan penutup tempat tidurnya, serta dindingnya
yang bercorak umum. Aku berusaha mengingat-ingat bagaimana aku sampai di sini, tapi awalnya tidak


Twilight Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

berhasil. Aku ingat mobil hitam yang mengilat, kaca jendelanya lebih gelap daripada kaca
limusin. Suara mesinnya nyaris tak terdengar, meskipun kami melaju melebihi dua
kali batas kecepatan yang diizinkan di jalan tol.
Dan aku ingat Alice duduk bersamaku di jok belakang yang terbuat dari kulit
berwarna gelap. Entah bagaimana sepanjang malam yang panjang kepalaku bersandar
di lehernya yang bagai granit. Kedekatan ini sepertinya tidak mengganggunya sama
sekali dan anehnya kulitnya yang dingin dan keras membuatku merasa nyaman.
Bagian depan kaus katunnya yang tipis terasa dingin, lembab karena air mataku
yang mengalir deras hingga mataku bengkak dan memerah, dan air mataku habis
terkuras. Kantuk meninggalkanku, mataku yang perih membuka dengan susah payah meskipun
malam akhirnya berakhir dan fajar pecah di puncak yang rendah entah di bagian
mana California. Cahaya kelabu memancar di langit tak berawan, menyengat mataku.
Tapi aku tak bisa memejamkannya; ketika aku melakukannya, bayangan-bayangan yang
berkelebat tampak kelewat nyata, bagaikan slide yang tertanam di balik pelupuk
mataku, tak tertahankan. Ekspresi sedih Charlie - geraman brutal Edward yang
memamerkan deretan giginya - tatapan marah Rosalie - tatapan menggebu-gebu si
pemburu- tatapan Edward yang mematikan setelah ia terakhir kali menciumku... Aku
tak tahan melihat semua itu. Jadi aku melawan kelelahanku dan matahari pun
semakin tinggi. Aku masih terjaga ketika kami melintasi gunung yang rendah, dan matahari berada
di belakang sekarang, sinarnya memantulkan bubungan atap keramik Valley of the
Sun. Aku tak memiliki cukup emosi untuk merasa terkejut menyadari kami telah
melakukan perjalanan tiga hari hanya dalam sehari. Aku menatap hampa lahan luas
yang membentang di hadapanku. Phoenix - pohon-pohon palem, semak belukarnya
garis-garis tak beraturan di persimpangan jalan bebas hambatan, bentangan luas
lapangan golf yang hijau, dan bercak turgouise kolam-kolam renang, semua kabur
di balik kabut asap tipis dan dikelilingi bukit berbatu pendek yang tak cukup
besar untuk disebut pegunungan.
Bayangan pepohonan palem menaungi jalan bebas hambatan - jelas, lebih tajam dari
yang kuingat. lebih pucat dari seharusnya. Tak ada yang bisa bersembunyi di
balik bayangan ini. Jalan bebas hambatan yang terbuka dan terang tampak cukup
aman. Tapi aku tidak merasa lega sedikit pun, tak ada perasaan seperti pulang ke
rumah. "Jalan mana yang menuju ke bandara, Bella?" tanya Jasper. Aku terkejut, meskipun
suaranya cukup lembut dan tenang. Itu adalah suara pertama, selain deruman mesin
mobil, yang memecah keheningan malam yang panjang.
"Ikuti terus rute I-sepuluh," jawabku otomatis. "Kita akan melewatinya."
Pikiranku bekerja lebih lambat akibat kurang tidur.
"Apakah kita akan terbang ke suatu tempat?" aku bertanya pada Alice.
"Tidak, tapi lebih baik berada di dekat bandara, hanya untuk berjaga-jaga."
Aku ingat memulai putaran di sekitar Sky Harbor International... tapi tidak
ingat telah mengakhirinya. Kurasa pasti saat itulah aku tertidur.
Meskipun sekarang aku telah melupakan ingatanku, samar-samar aku ingat telah
meninggalkan mobil- matahari baru saja terbenam - lenganku di bahu Alice dan
lengannya melingkar kuat di pinggangku, membawaku bersamanya saat aku
tersandung-sandung menembus kegelapan yang kering dan hangat.
Aku tak ingat ruangan ini.
Aku memandang jam digital di meja sisi tempat tidur. Angka yang berwarna merah
menunjukkan pukul tiga, tapi tidak ada indikasi apakah ini malam atau siang. Tak
sedikit pun cahaya menembus tirai yang tebal, tapi ruangan benderang karena
cahaya lampu. Aku bangkit dengan tubuh kaku dan berjalan tertatih-tatih ke jendela. menyingkap
tirainya. Di luar gelap. Kalau begitu sekarang pukul tiga dini hari. Kamarku menghadap
bagian jalan bebas hambatan yang terbengkalai dan areal parkir jangka panjang
bandara yang baru. Rasanya sedikit nyaman bisa mengenali waktu dan tempat.
Aku memandang diriku sendiri. Aku masih mengenakan pakaian Esme yang kebesaran.
Aku mengedarkan pandang senang menemukan tas pakaianku di atas lemari pakaian
yang pendek. Aku baru saja akan mencari pakaian baru ketika ketukan pelan di pintu membuatku
kaget. "Boleh aku masuk?" tanya Alice.
Aku menghela napas panjang. "Tentu."
Ia melangkah masuk dan memandangiku hati-hati. "Sepertinya kau butuh tidur lebih
lama," katanya. Aku hanya menggeleng. Ia bergerak tanpa suara ke jendela dan menutup tirai rapat-rapat sebelum
berbalik lagi padaku. "Kita harus tinggal di kamar," ia memberitahuku.
"Oke." Suaraku serak, parau.
"Haus?" ia bertanya.
Aku mengangkat bahu. "Aku baik-baik saja. Kau bagaimana?"
"Tak ada yang tak bisa diatasi." Ia tersenyum. "Aku memesan makanan untukmu, ada
di ruang depan. Edward mengingatkanku bahwa kau harus makan lebih sering
daripada kami." Aku langsung lebih waspada. "Dia menelepon?"
"Tidak," katanya, dan melihatku kecewa. "Dia mengatakannya sebelum kita pergi."
Hati-hati ia meraih tanganku dan membimbingku melewati pintu menuju ruang tamu
suite yang kami tempati. Aku bisa mendengar suara pelan yang datangnya dari arah
TV. Jesper duduk diam di meja di sudut, menonton berita tanpa gairah sedikit
pun. Aku duduk di lantai di sebelah meja tamu. Di atasnya sudah tersedia makanan
dalam nampan. Aku mulai makan tanpa menyadari apa yang kumakan.
Alice bertengger di lengan sofa dan menatap hampa ke TV seperti yang dilakukan
Jasper. Aku makan dengan pelan, mengamati Alice dan sesekali melirik Jasper. Aku mulai
menyadari bahwa mereka terlalu diam. Mereka tak pernah berpaling dari layar,
meskipun sekarang sedang jeda iklan. Aku mendorong nampannya, perutku langsung
mulas. Alice menatapku. "Ada apa, Alice?" aku bertanya.
"Tidak ada apa-apa." Matanya lebar, jujur... dan aku tidak memercayainya.
"Apa yang kita lakukan sekarang?"
"Kita tunggu sampai Carlisle menelepon."
"Dan apakah seharusnya dia sudah menelepon sekarang?" Aku tahu pertanyaanku
nyaris benar. Tatapan Alice beralih dariku ke telepon di atas tas kulit kemudian
kembali menatapku lagi. "Apa artinya?" suaraku bergetar, dan aku berusaha mengendalikannya. "Kalau dia
belum menelepon?" "Itu artinya mereka tak ada yang perlu mereka beritahukan pada kita." Tapi
suaranya kelewat datar, dan semakin sulit rasanya untuk bernapas.
Jasper tiba-tiba sudah berada di sebelah Alice, lebih dekat denganku daripada
biasanya. "Bella," kata Jasper dengan suara menenangkan yang menuakan. "Kau tidak perlu
mengkhawatirkan apa-apa. Kau benar-benar aman di sini."
"Aku tahu itu."
"Lalu kenapa kau ketakutan?" tanyanya, bingung. Ia mungkin merasakan perubahan
emosiku, tapi ia tak bisa menebak maksud di balik itu semua.
"Kaudengar apa yang dikatakan Laurent." Suaraku hanya bisikan, tapi aku yakin
mereka bisa mendengarnya. "Katanya James sangat berbahaya. Bagaimana kalau
sesuatu berjalan tidak semestinya, dan mereka terpisah" Kalau sesuatu terjadi
pada salah satu dari mereka, Carlisle, Emmett, Edward..." Aku menelan liurku.
"Kalau si wanita liar itu melukai Esme..." Suaraku meninggi, kecemasan mulai
mewarnainya. "Bagaimana aku bisa terus hidup sementara semua itu adalah salahku"
Tak satu pun dari kalian seharusnya membahayakan hidup kalian demi aku-"
"Bella, Bella, hentikan," Jasper menyelaku, kata-katanya mengalir begitu cepat
hingga sulit untuk dimengerti. "Kau mengkhawatirkan hal yang salah, Bella.
Percayalah padaku untuk yang satu ini - tak satu pun dari kami berada dalam
bahaya. Kau hanya terlalu tegang itu saja; jangan ditambah lagi dengan
kekhawatiran yang tidak penting ini. Dengarkan aku!" perintahnya, karena aku
telah memalingkan wajah. "Keluarga kami kuat. Ketakutan kami satu-satunya adalah
kehilangan dirimu." "Tapi kenapa kalian harus merasa seperti itu-"
Alice menyela kali ini, menyentuh pipiku dengan jemarinya yang dingin. "Hampir
satu abad lamanya Edward seorang diri. Sekarang dia telah menemukanmu. Kau tak
bisa melihat perubahan yang kami lihat, kami telah bersama dengannya untuk waktu
yang lama. Kau pikir kami tega melihat ke dalam matanya selama ratusan tahun
yang akan datang bila dia kehilangan dirimu?"
Rasa bersalahku perlahan surut saat aku memandang matanya yang gelap. Tapi
meskipun ketenangan menyelimutiku, aku tahu aku tak bisa memercayai perasaanku
selama Jasper ada di sana.
Hari itu berlangsung sangat lama.
Kami tetap di kamar. Alice menelepon front office dan meminta mereka tidak
membereskan kamar kami untuk
saat ini. Jendela tetap tertutup, televisi menyala, meski tak seorang pun
menonton. Secara teratur mereka mengantar makanan untukku. Telepon perak di atas
tas Alice sepertinya tumbuh semakin besar sejalan dengan berlalunya waktu.
Para pengasuhku menghadapi ketegangan lebih baik dariku. Saat aku mondar-mandir
dengan gelisah, mereka hanya bertambah kaku, dua patung yang matanya tanpa
kentara mengikuti gerakku. Aku menyibukkan diri dengan menghafal ruangan
tempatku berada; pola sofa yang bergaris-garis, cokelat, peach, krem, emas
kusam, cokelat lagi. Kadang-kadang aku memandangi cetakan bermotif yang abstrak,
secara acak mencari bentuk-bentuk di sana, seperti saat aku mencari bentuk di
awan ketika masih kecil. Aku menemukan tangan biru, wanita menyisir rambutnya,
dan kucing yang meregangkan tubuhnya. Tapi ketika lingkaran merah pucat itu
membentuk mata yang menatap, aku memalingkan wajah.
Ketika petang berganti malam, aku naik ke tempat tidur, hanya untuk mencari
sesuatu yang bisa kulakukan. Aku berharap dengan berada sendirian dalam
kegelapan, aku bisa menyerah pada rasa takut luar biasa yang menanti di ujung
kesadaranku, tak mampu melepaskan diri dari pengawasan Jesper yang tajam.
Tapi Alice mengikutiku dengan sikap santai, seolah-olah ia kebetulan juga bosan
berada di ruang depan. Aku mulai bertanya-tanya instruksi seperti apakah
tepatnya yang diberikan Edward padanya. Aku berbaring di tempat tidur, dan ia
duduk dengan kaki terlipat di sebelahku. Awalnya aku mengabaikannya, tiba-tiba
merasa cukup lelah untuk tertidur. Tapi setelah beberapa menit, perasaan panik
yang tadi lenyap karena berada di dekat Jasper, kini mulai unjuk
gigi. Dengan cepat aku melupakan ide untuk tidur, lalu meringkuk sambil memeluk
kakiku. "Alice?" aku bertanya.
"Ya?" Aku menjaga suaraku tetap tenang. "Menurutmu apa yang sedang mereka lakukan?"
"Carlisle ingin membimbing si pemburu sejauh mungkin ke utara, menunggunya
mendekat, kemudian berbalik dan menjebaknya. Esme dan Rosalie seharusnya menuju
barat sejauh si wanita tetap mengikuti mereka. Kalau wanita itu berbalik, mereka
akan kembali ke Forks dan mengawasi ayahmu. Jadi, aku membayangkan segalanya
berjalan baik bila mereka tidak bisa menelepon. Itu artinya si pemburu berada
cukup dekat sehingga mereka tidak ingin dia menguping pembicaraan di telepon."
"Dan Esme?" "Kurasa dia pasti sudah kembali di Forks. Dia takkan menelepon bila ada
kemungkinan si wanita bisa mendengar. Aku menduga mereka semua hanya ingin
sangat berhati-hati."
"Menurutmu mereka benar-benar aman?"
"Bella, berapa kali kami harus memberitahumu bahwa kami sama sekali tidak
terancam bahaya?" "Meski begitu, maukah kau mengatakan yang sejujurnya?"
"Ya. Aku akan selalu mengatakan yang sejujurnya padamu." Suaranya tulus.
Aku berpikir sejenak, dan memutuskan ia bersungguh-sungguh dengan ucapannya.
"Kalau begitu ceritakan padaku... bagaimana kau menjadi vampir?"
Pertanyaanku membuatnya kaget. Ia diam. Aku berbalik untuk memandangnya, dan
ekspresinya tampak ragu. "Edward tidak ingin aku memberitahumu," katanya tegas, tapi aku merasa ia tak
sependapat. "Itu tidak adil. Kurasa aku punya hak untuk mengetahuinya."
"Aku tahu." Aku menatapnya, menunggu.
Ia mendesah. "Dia bakal sangat marah."
"Itu bukan urusannya. Ini antara kau dan aku. Alice, sebagai teman, aku memohon
padamu." Dan sekarang kami memang teman, entah bagaimana - seperti yang sudah
diduganya selama ini. Ia menatapku dengan matanya yang indah dan bijaksana... mempertimbangkan.
"Aku akan menceritakan cara kerjanya," akhirnya ia berkata, "tapi aku sendiri
tidak ingat, dan aku tak pernah melakukannya atau melihatnya dilakukan, jadi
camkan dalam pikiranmu bahwa aku hanya bisa menceritakan teorinya."
Aku menunggu. "Sebagai predator, kami punya banyak sekali senjata dalam gudang senjata fisik
kami - sangat, sangat banyak dari yang sebenarnya diperlukan. Kekuatan,
kecepatan, pengindraan yang tajam, belum lagi kami yang seperti Edward, Jasper,
dan aku, yang mempunyai indra tambahan. Kemudian bagai kantong semar, secara
fisik kami menarik bagi mangsa kami."
Aku diam tak bergerak, mengingat betapa jelas Edward menggambarkan konsep yang
sama padaku ketika berada di padang rumput.
Senyumnya yang lebar tampak jahat. "Kami juga punya senjata ekstra lain. Kami
juga berbisa," katanya, giginya berkilauan. "Bisa kami tidak mematikan - hanya
melumpuhkan. Daya kerjanya lambat, menyebar ke seluruh aliran darah, sehingga
begitu tergigit, mangsa kami sangat kesakitan sehingga tak bisa melarikan diri.
Kelewat berlebihan, seperti kataku tadi. Bila kami sedekat itu, si mangsa tak
bisa melarikan diri. Tentu saja, selalu ada pengecualian. Carlisle, misalnya."
"Jadi... kalau racunnya menyebar...," gumamku.
"Perlu beberapa hari agar perubahannya sempurna, tergantung berapa banyak bisa
yang ada dalam aliran darah, seberapa dekat bisa itu memasuki jantung. Selama
jantungnya tetap berdetak, bisa itu menyebar, menyembuhkan, mengubah tubuh saat
melewatinya. Akhirnya jantungnya berhenti, dan perubahannya pun selesai. Tapi
selama waktu itu, setiap menit, si korban akan mengharapkan kematian."
Aku gemetar mendengarnya.
"Itu tidak menyenangkan, kau tahu."
"Edward bilang itu sangat sulit dilakukan... aku tidak begitu mengerti," kataku.
"Di satu sisi kami juga seperti hiu. Begitu kami merasakan darah, atau bahkan
menciumnya saja, akan sangat sulit menahan diri untuk memangsa. Terkadang
mustahil. Jadi kau tahu, dengan benar-benar menggigit seseorang, mencecap
darahnya, itu akan memancing kegilaan. Sulit untuk kedua pihak - yang satu
godaan darahnya, yang lain rasa sakit yang luar biasa."
"Menurutmu, mengapa kau tidak mengingatnya?"
"Aku tidak tahu. Bagi orang-orang lain, rasa sakit akibat transformasi adalah
ingatan terkuat yang mereka miliki dari masa kehidupan mereka sebagai manusia."
Suaranya terdengar muram.
Kami berbaring tak bersuara, diselimuti pikiran masing-masing.
Detik demi detik berlalu dan aku nyaris melupakan kehadirannya, aku begitu larut
dalam pikiranku. Kemudian tanpa peringatan apa pun, Alice melompat dari tempat tidur dan mendarat
mulus di kakinya. Kepalaku tersentak saat aku menatapnya, terkejut.
"Ada yang berubah." Suaranya mendesak, dan ia tidak sedang berbicara padaku
lagi. Ia sampai ke pintu bersamaan dengan Jasper. Jelas ia telah mendengarkan
pembicaraan kami dan seruan Alice yang tiba-tiba. Jasper meletakkan tangannya di
bahu Alice dan membimbingnya kembali ke tempat tidur, mendudukkannya di ujung
tempat tidur. "Apa yang kaulihat?" tanyanya hati-hati, menatap ke dalam mata Alice. Mata Alice
terpusat pada sesuatu yang sangat jauh. Aku duduk di dekatnya, mencondongkan
tubuh untuk menangkap suaranya yang pelan dan cepat sekali.
"Aku melihat sebuah ruangan. Panjang, ada cermin di mana-mana. Lantainya dari
kayu. Dia di ruangan itu, dan dia menunggu. Ada emas... garis emas di seberang
cermin-cermin itu." "Di mana kamar itu?"
"Aku tidak tahu. Ada yang hilang - keputusan yang lain belum dibuat."
"Berapa lama lagi?"
"Segera. Dia akan berada di ruangan cermin hari ini, atau barangkali besok.
Tergantung. Dia menunggu sesuatu. Dan sekarang dia berada dalam kegelapan."
Suara Jesper tenang, teratur, saat ia menanyainya dengan cara terlatih. "Apa
yang dilakukannya?"

Twilight Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Dia menonton televisi... tidak, dia menyalakan VCR, di kegelapan, di tempat
lain." "Bisakah kau melihat di mana dia berada?"
"Tidak, terlalu gelap."
"Dan ruangan cermin itu, apa lagi yang ada di sana?"
"Hanya cermin, dan emas itu. Itu garis, mengelilingi ruangan. Dan ada meja hitam
dengan stereo besar, juga sebuah televisi. Dia menyentuh VCR itu, tapi dia tidak
menonton seperti yang dilakukannya di ruangan gelap. Ini adalah ruangan
tempatnya menunggu." Pandangan Alice menerawang, kemudian terpusat di wajah
Jasper. "Tak ada yang lainnya?"
Alice menggeleng. Mereka berpandangan, tak bergerak.
"Apa maksudnya?" aku bertanya.
Sesaat tak satu pun dari mereka menyahut, kemudian Jasper menatapku.
"Itu artinya si pemburu mengubah rencananya. Dia telah membuat keputusan yang
akan membimbingnya ke ruangan cermin, dan ruangan gelap."
"Tapi kita tidak tahu di mana ruangan itu."
"Tidak." "Tapi kita tahu dia takkan berada di pegunungan di utara Washington, diburu. Dia
akan kabur dari mereka." Suara Alice terdengar putus asa.
"Haruskah kira menelepon?" tanyaku. Mereka bertukar pandangan serius, ragu-ragu.
Telepon berbunyi. Alice sudah menyeberangi kamar sebelum aku sempat mendongak.
Ia menekan sebuah tombol dan mendekatkan telepon itu di telinganya, tapi ia
tidak bicara lebih dulu. "Carlisle," desahnya. Ia tidak tampak terkejut atau lega, seperti yang
kurasakan. "Ya," katanya, menatapku. Ia mendengarkan untuk waktu yang lama.
"Aku baru saja melihatnya." Ia menggambarkan lagi apa yang dilihatnya. "Apa pun
yang membuatnya naik ke pesawat itu... itu membimbingnya ke ruangan-ruangan
itu." Alice terdiam. "Ya," ia berbicara di telepon, kemudian ia berbicara
padaku. "Bella?"
Ia menyodorkan teleponnya. Aku berlari menghampirinya.
"Halo?" desahku.
"Bella," kata Edward.
"Oh, Edward! Aku sangat khawatir."
"Bella," ia mendesah frustrasi, "sudah kubilang jangan mengkhawatirkan hal lain
kecuali dirimu sendiri." Tak kusangka rasanya senyaman ini mendengar suaranya.
Kurasakan kabut keputusasaan menipis dan lenyap saat ia bicara.
"Kau di mana?" "Kami berada di luar Vancouver. Bella, maafkan aku - kami kehilangan jejaknya.
Dia kelihatannya curiga - dia berhati-hati, menjaga jarak sejauh mungkin
sehingga aku tak bisa mendengar apa yang dipikirkannya. Tapi dia sudah pergi
sekarang - sepertinya naik pesawat. Kami kira dia kembali ke Forks untuk memulai
lagi dari awal." Aku bisa mendengar Alice menggantikan Jasper di belakangku,
kata-katanya yang cepat terdengar samar bagai gumaman.
"Aku tahu. Alice melihat dia berhasil kabur."
"Meski begitu kau tak perlu khawatir. Dia takkan menemukan apa pun yang akan
membawanya padamu. Kau hanya perlu tetap di sana dan menunggu sampai kami
menemukannya lagi." "Aku akan baik-baik saja. Apakah Esme bersama Charlie?"
"Ya - si wanita ada di kota. Dia pergi ke rumah Charlie, tapi Charlie sedang di
tempat kerja. Dia tidak mendekati Charlie, jadi jangan khawatir. Dia aman dalam
pengawasan Rosalie dan Esme."
"Apa yang dilakukan wanita itu?"
"Barangkali sedang mencoba mengikuti jejak. Dia mengelilingi kota sepanjang
malam. Rosalie mengikutinya hingga ke bandara, semua jalanan di kota, sekolah...
dia mencari-cari, Bella, tapi tak ada yang bisa ditemukannya."
"Kau yakin Charlie aman?"
"Ya, Esme takkan membiarkannya luput dari pengawasan. Dan sebentar lagi kami
akan tiba di sana. Kalau si pemburu berada dekat-dekat Forks, kami akan
menghabisinya." "Aku merindukanmu," bisikku.
"Aku tahu. Bella. Percayalah padaku, aku tahu. Rasanya seolah-olah kau telah
membawa separuh diriku bersamamu."
"Kalau begitu datang dan ambillah," aku menantangnya.
"Segera, begitu aku bisa. Aku akan membuatmu aman dulu." Suaranya tegang.
"Aku mencintaimu," aku mengingatkannya.
"Bisakah kau memercayainya, terlepas dan semua yang telah kaualami karena aku,
bahwa aku juga mencintaimu?"
"Ya, sebenarnya aku percaya."
"Aku akan segera datang padamu."
"Aku akan menunggu."
Setelah percakapan selesai, kabut depresi pun menyelimuti ku lagi.
Aku berbalik untuk mengembalikan telepon itu kepada Alice dan mendapati ia dan
Jasper membungkuk di atas meja Alice sedang membuat sketsa pada sehelai memo
hotel. Aku bersandar di sofa, mengintip dari balik bahunya.
Ia sedang menggambar sebuah ruangan: panjang persegi dengan bagian lebih sempit
berbentuk segi empat di bagian belakang. Potongan-potongan kayu yang membentuk
lantai membentang sepanjang ruangan. Di bawah dinding terdapat garis-garis yang
menandakan batasan cermin. Sepanjang dinding setinggi pinggang tampak garis
panjang. Garis yang disebut Alice berwarna emas.
"Itu studio balet," kataku, tiba-tiba mengenali bentuknya yang tidak asing.
Mereka memandangku, terkejut.
"Kau tahu ruangan ini?" suara Jasper terdengar tenang tapi di baliknya ada
sesuatu yang tak bisa kuduga. Alice menunduk menatap gambarnya, tangannya
menyapu kertas itu sekarang, menggambar tangga darurat di dinding belakang
stereo dan TV di meja rendah di sudut kanan depan.
"Kelihatannya seperti tempat yang biasa kukunjungi untuk belajar menari - ketika
usiaku delapan atau sembilan tahun. Bentuknya tak berubah." Kusentuh kertas itu
pada bagian yang menonjol kemudian menyempit di bagian belakang ruangan. "Di
sana letak kamar mandinya - pintunya bisa menembus ke lantai dansa lainnya. Tapi
stereonya tadinya di sini"-aku menunjuk sudut kiri- "sudah lama, dan tidak ada
TV. Ada jendela di ruang tunggu-kau akan melihat ruangan itu, dari sudut pandang
ini kalau kau melihatnya dari jendela itu."
Alice dan Jasper menatapku.
"Kau yakin ini ruangan yang sama?" Jasper bertanya, masih tenang.
"Tidak, sama sekali tidak - kurasa kebanyakan studio tari kelihatan sama -
cermin-cerminnya, palangnya." Jari-jariku menelusuri palang balet yang terpasang
di depan cermin. "Bentuknya saja yang kelihatannya tidak asing." Aku menyentuh
pintunya, terpasang pada tempat yang sama persis seperti yang kuingat.
"Apa kau punya alasan apa pun untuk pergi ke sana sekarang?" Alice bertanya,
membuyarkan lamunanku. "Tidak, sudah hampir sepuluh tahun aku tak pernah ke sana. Aku penari yang payah
- mereka selalu menjadikanku cadangan pada acara resital," aku mengakui.
"Jadi tak mungkin itu ada hubungannya denganmu?" tanya Alice sungguh-sungguh.
"Tidak, kurasa pemiliknya bahkan bukan orang yang sama. Aku yakin itu hanya
studio tari lainnya, entah di mana."
"Di mana letak studio yang biasa kaudatangi?" Jasper bertanya dengan nada
kasual. "Di sekitar sudut rumah ibuku. Aku biasa berjalan kaki ke sana sepulang
sekolah... " kataku, suaraku menghilang. Aku melihat mereka bertukar pandang.
"Kalau begitu di sini, di Phoenix?" Suara Jasper masih santai.
"Ya," bisikku. "58th Street dan Cacrus."
Kami duduk terdiam, memandangi gambar Alice.
"Alice, apakah telepon itu aman?"
"Ya," ia meyakinkanku. "Nomornya hanya akan terdeteksi ke Washington."
"Kalau begitu aku bisa menggunakannya untuk menelepon ibuku."
"Kupikir dia di Florida."
"Memang - tapi dia akan segera pulang, dan dia tak bisa kembali ke rumah itu
sementara... " Suaraku gemetar. Aku sedang memikirkan sesuatu yang dikatakan
Edward, tentang wanita berambut merah yang mendatangi rumah Charlie, sekolah, di
mana catatan tentang diriku berada.
"Bagaimana kau akan menghubunginya?"
"Mereka tidak punya nomor tetap kecuali di rumah - dia seharusnya memeriksa
mesin penjawabnya secara teratur."
"Jasper?" tanya Alice.
Ia mempertimbangkannya. "Kurasa itu tidak mungkin berbahaya - pastikan kau tidak
menyebutkan di mana kau berada, tentu saja."
Dengan bersemangat aku meraih telepon genggam Alice dan memutar nomor yang sudah
tidak asing lagi. Terdengar nada sambung sebanyak empat kali, kemudian aku
mendengar suara ibuku yang mendesah memberitahukan untuk meninggalkan pesan.
"Mom," kataku setelah bunyi bip, "ini aku. Dengar, aku mau kau melakukan
sesuatu. Ini penting. Begitu kau menerima pesan ini, hubungi aku di nomor ini."
Alice sudah di sisiku, menuliskan nomornya untukku di bagian bawah gambar. Aku
membacanya perlahan, dua kali. "Kumohon jangan pergi ke mana-mana sampai kau
berbicara denganku. Jangan khawatir, aku baik-baik saja, tapi aku harus bicara
denganmu secepatnya, tak peduli kapan pun kau menerima pesan mi, oke" Aku
mencintaimu, Mom. Bye." Aku memejamkan mata dan berdoa sepenuh hati agar tak ada
perubahan rencana tiba-tiba yang membawanya pulang sebelum ia mendengar pesanku.
Aku duduk di sofa, mengunyah buah-buahan yang tersisa di piring, pengantisipasi
malam yang panjang. Aku berpikir untuk menelepon Charlie, tapi tak yakin apakah
ia sudah pulang atau belum. Aku berkonsentrasi menonton berita, mencari berita
tentang Florida, atau tentang pelatihan musim semi - aksi demo atau badai topan
atau serangan teroris-apa pun yang mungkin membuat mereka pulang lebih awal.
Keabadian pasti melahirkan kesabaran yang tiada habisnya. Baik Jasper maupun
Alice tidak merasa perlu melakukan sesuatu sama sekali. Selama beberapa waktu
Alice membuat sketsa samar ruangan gelap itu berdasarkan penglihatannya,
sebanyak yang dapat dilihatnya dengan mengandalkan cahaya yang berasal dari TV.
Tapi ketika selesai ia hanya duduk, menatap dinding-dinding kosong tanpa
berkedip. Jasper juga kelihatan tidak terdorong untuk mondar-mandir atau
mengintip dari balik tirai, atau menghambur ke pintu sambil berteriak-teriak,
seperti yang kurasakan. Aku pasti tertidur di sofa, menantikan telepon berbunyi lagi. Sentuhan tangan
Alice yang dingin membangunkanku sebentar saat ia menggendongku ke tempat tidur,
tapi aku kembali pulas sebelum kepalaku menyentuh bantal.
21. TELEPON AKU bisa merasakan hari lagi-lagi masih terlalu dini ketika aku terbangun. Aku
tahu siang dan malamku perlahan-lahan terbalik. Aku berbaring di tempat tidur
dan mendengarkan suara Alice dan Jasper yang pelan dari ruangan lain. Kenyataan
bahwa suara mereka cukup keras untuk bisa kudengar sangatlah aneh. Aku berguling
hingga kakiku menyentuh lantai, lalu tertatih-tatih menuju ruang tamu.
Jam di TV menunjukkan baru lewat pukul dua pagi. Alice dan Jasper duduk di sofa,
Alice membuat sketsa sementara Jasper mengintip dari bahunya. Mereka tidak
mendongak ketika aku masuk, terlalu asyik memerhatikan gambar yang dibuat Alice.
Aku berjinjit ke sisi Jasper untuk mengintip.
"Apakah dia melihat sesuatu yang baru?" aku bertanya pelan pada Jasper.
"Ya. Sesuatu membawa James kembali ke ruangan ber-VCR, hanya saja kali ini
keadaannya terang." Aku melihat Alice menggambar ruang persegi dengan balok-balok berwarna gelap
pada langit-langitnya yang rendah. Dinding-dindingnya berpanel kayu, agak
terlalu gelap, ketinggalan zaman. Lantainya diselimuti karpet berpola warna
gelap. Di dinding sebelah selatan ada jendela besar. Di ambang terbuka di
dinding sebelah barat ada ruang tamu. Satu sisi ambang itu terbuat dari batu-
perapian dari batu cokelat yang terbuka ke dua ruangan itu. TV dan VCR ditaruh
di aras lemari pajang kayu yang kelewat kecil di sudut barat daya ruangan. Sofa
panjang kuno terletak di depan TV, meja ramu yang bundar berdiri di depannya.
"Teleponnya di sebelah sana," bisikku, sambil menunjuk. Dua pasang mara yang
abadi menatapku. "Itu rumah ibuku."
Alice telah bangkit dari sofa, telepon di tangan, menekan nomor. Aku menatap
gambar ruang keluarga rumah ibuku yang amat tepat itu. Tidak seperti biasa
Jasper mendekatiku. Dengan lembut ia menyentuh bahuku, dan kontak fisik itu
sepertinya dilakukan untuk membuat kemampuannya menenangkan lebih kuat lagi.
Kepanikanku tetap samar, tidak fokus.
Bibir Alice bergetar akibat kecepatan ucapannya, suara dengung pelan itu
mustahil ditangkap. Aku tak bisa berkonsentrasi.
"Bella," kata Alice. Aku menatapnya hampa.
"Bella, Edward akan datang menjemputmu. Dia, Emmett, dan Carlisle akan membawamu
ke suatu tempat, menyembunyikanmu untuk sementara waktu."
"Edward akan datang?" Kata-kata itu bagaikan pelampung penyelamat, menjaga
kepalaku tetap terapung. "Ya, dia akan naik penerbangan pertama dari Seattle. Kita akan menemuinya di
bandara, dan kau akan pergi bersamanya."
"Tapi ibuku... dia ke sini untuk mengincar ibuku, Alice!" Terlepas dari
kemampuan Jasper, kepanikan terdengar jelas dalam suaraku.
"Jasper dan aku akan tinggal sampai ibumu aman."
"Aku tak bisa menang, Alice. Kau tak bisa menjaga semua orang yang kukenal
selamanya. Tidakkah kau mengerti apa yang dilakukannya" Dia sama sekali tidak
memburuku. Dia akan menemukan seseorang dia akan melukai orang yang kucintai...
Alice. aku tak bisa-"
"Kami akan menangkapnya, Bella," ia meyakinkanku.
"Dan bagaimana kalau kau terluka, Alice" Kaupikir aku bisa menerimanya" Kaupikir
hanya keluarga manusiaku yang bisa digunakannya untuk menyakitiku?"
Alice menatap Jasper penuh arti. Kabut tebal kelelahan menyapuku, dan mataku
terpejam tanpa bisa kukendalikan. Pikiranku mencoba melawan kabut itu, menyadari
apa yang sedang terjadi. Aku memaksa membuka mataku dan berdiri, menjauhkan diri
dari tangan Jasper. "Aku tak ingin tidur lagi," bentakku.
Aku berjalan ke kamar dan menutup pintu, sebenarnya membantingnya, supaya bisa
mengeluarkan semua perasaanku tanpa ada yang melihat. Kali ini Alice tidak
mengikutiku. Selama tiga setengah jam aku menatap dinding meringkuk, bergoyang-
goyang. Pikiranku berputar-putar, mencoba mencari cara untuk keluar dari mimpi
buruk ini. Tak ada jalan keluar, tak ada kompromi. Aku hanya bisa melihat satu-
satunya akhir yang menghadang masa depanku. Satu-satunya pertanyaan adalah,
berapa banyak lagi orang yang harus terluka sebelum aku mencapainya.
Satu-satunya penghiburan, satu-satunya harapan yang tersisa adalah aku akan
segera bertemu Edward. Barangkah, kalau bisa melihat wajahnya lagi, aku juga
bisa melihat pemecahan masalah yang tak terlihat olehku sekarang.
Ketika telepon berbunyi aku kembali ke ruang depan, merasa sedikit malu dengan
sikapku. Kuharap aku tak menyinggung perasaan mereka, bahwa mereka tahu betapa
aku bersyukur atas pengorbanan yang mereka lakukan untukku.
Alice berbicara sangat cepat seperti biasa, tapi yang menarik perhatianku
adalah, untuk pertama kalinya Jasper tak ada di ruangan itu. Aku melihat jam-
pukul 05.30. "Mereka baru saja lepas landas," Alice memberitahu. "Mereka akan mendarat pukul
09.45." Hanya beberapa jam lagi sebelum Edward tiba di sini.
"Di mana Jasper?"
"Dia pergi untuk check out"
"Kalian tidak menginap di sini?"
"Tidak, kami akan pindah ke tempat yang lebih dekat dengan rumah ibumu."
Perutku melilit mendengar kata-katanya.
Tapi telepon berbunyi lagi, mengalihkan perhatianku. Alice tampak terkejut, tapi
aku telah melangkah maju, menggapai telepon sambil berharap-harap cemas.
"Halo?" sapa Alice. "Tidak, dia ada di sini." Ia menyodorkan teleponnya padaku.
Ibumu, katanya tanpa suara.
"Halo?" "Bella" Bella?" Itu suara ibuku, dalam nada familier yang telah kudengar ribuan
kali pada masa kecilku, setiap kali aku berjalan terlalu dekat dengan tepian
trotoar atau menghilang dari pandangannya ketika berada di keramaian. Suaranya
panik. Aku mendesah. Aku telah menduganya, meskipun aku telah berusaha sebisa mungkin
agar pesanku tidak mengagetkan tanpa mencurangi urgensinya.
"Tenang, Mom." kataku dengan suaraku yang paling menenangkan, seraya berjalan
pelan menjauhi Alice. Aku tak yakin apakah aku bisa berbohong dengan meyakinkan
sementara matanya mengawasiku. "Semua baik-baik saja, oke" Beri aku waktu satu
menit dan aku akan menjelaskan semuanya, aku janji."
Aku diam, terkejut karena ia belum menyela kata-kataku.
"Mom?" "Berhati-hatilah, jangan katakan apa-apa sebelum aku menyuruhmu." Suara yang
kudengar sekarang terdengar sama asing dan mengejutkannya. Itu suara tenor laki-


Twilight Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

laki, suara yang amat menyenangkan dan umum-jenis suara yang menjadi narator
pada iklan mobil mewah. Ia berbicara sangat cepat.
"Nah, aku tak perlu melukai ibumu, jadi tolong lakukan seperti yang
kuperintahkan, maka dia akan baik-baik saja." Ia berhenti sebentar sementara aku
mendengarkan dalam keheningan mencekam. "Bagus sekali," ia memujiku. "Sekarang
ulangi kata-kataku, dan cobalah mengatakannya
sewajar mungkin. Tolong katakan. Tidak, Mom, tetaplah di tempatmu.'"
"Tidak, Mom, tetaplah di tempatmu." Suaraku tak lebih dari bisikan.
"Bisa kulihat ini bakalan sulit." Suara itu terdengar senang masih ringan dan
ramah. "Kenapa kau tidak pergi ke ruangan lain sekarang sehingga wajahmu tidak
mengacaukan segalanya" Tak ada alasan ibumu untuk menderita. Sambil berjalan,
tolong katakan, 'Mom, tolong dengarkan aku.' Katakan sekarang."
"Mom, tolong dengarkan aku," aku memohon. Aku berjalan sangat pelan ke kamar
tidur, merasakan tatapan waswas Alice di belakangku. Aku menutup pintu, berusaha
berpikir jernih dalam ketakutan yang mencengkeram benakku.
"Nah bagus, kau sendirian" Jawab saja ya atau tidak." "Ya."
"Tapi mereka masih bisa mendengarmu. Aku yakin itu."
"Ya." "Baik, kalau begitu," suara menyenangkan itu melanjutkan, "katakan,'Mom,
percayalah padaku.'"
"Mom, percayalah padaku."
"Ini berjalan lebih baik dari yang kuperkirakan. Aku sedang bersiap-siap
menunggu, tapi ibumu tiba lebih awal. Lebih mudah begini, ya kan" Tidak terlalu
menegangkan, kau jadi tidak terlalu khawatir."
Aku menunggu. "Sekarang aku mau kau mendengarkan dengan sangat saksama. Aku ingin kau
meninggalkan teman-temanmu; menurutmu, kau bisa melakukannya" Jawab ya atau
tidak." "Tidak." "Aku menyesal mendengarnya. Aku berharap kau bisa lebih kreatif lagi dari itu.
Menurutmu, apakah kau bisa melarikan diri dari mereka bila nyawa ibumu
bergantung pada hal itu" Jawab ya atau tidak."
Entah bagaimana, harus ada cara. Aku ingat kami akan pergi ke bandara. Sky
Harbor International Airport: penuh sesak, sangat memusingkan...
"Ya." "Itu lebih baik. Aku yakin takkan mudah, tapi seandainya aku mendapat sedikit
saja petunjuk bahwa kau bersama seseorang, well, itu akan sangat buruk bagi
ibumu." Suara ramah itu mengancam. "Saat ini kau pasti sudah mengetahui cukup
banyak tentang kami hingga menyadari betapa aku bisa tahu jika kau mencoba
mengajak seseorang bersamamu. Dan betapa singkatnya waktu yang kubutuhkan untuk
membereskan ibumu bila diperlukan. Kau mengerti" Jawab ya atau tidak."
"Ya." Suaraku parau.
"Bagus sekali. Bella. Sekarang inilah yang harus kaulakukan Aku ingin kau pergi
ke rumah ibumu. Di sebelah telepon ada sebuah nomor. Teleponlah, dan aku akan
memberitahumu ke mana kau harus pergi selanjutnya." Aku sudah tahu ke mana aku
akan pergi, dan di mana ini akan berakhir. Tapi aku akan mengikuti setiap
perintahnya dengan tepat. "Bisakah kau melakukannya" Jawab ya atau tidak."
"Ya." "Sebelum siang kumohon. Bella. Waktuku tidak banyak," katanya sopan.
"Di mana Phil?" aku langsung bertanya.
"Ah, hati-hati. Bella. Kumohon, tunggu sampai aku menyuruhmu bicara.'
Aku menunggu. "Ini penting nah, jangan buat teman-temanmu curiga ketika kau kembali pada
mereka. Bilang ibumu menelepon dan kau sudah membujuknya agar tidak pulang ke
rumah untuk sementara waktu. Sekarang ulangi kata-kataku, 'Terima kasih, Mom.'
Katakan sekarang." "Terima kasih, Mom." Air mataku menetes. Aku mencoba menahannya.
"Katakan, 'Aku mencintaimu, Mom, sampai ketemu.' Katakan sekarang."
"Aku mencintaimu, Mom." Suaraku terdengar dalam. "Sampai ketemu," aku berjanji.
"Selamat tinggal Bella. Aku menanti-nantikan bertemu denganmu lagi." Ia menutup
telepon. Aku menempelkan telepon di telingaku. Sendi-sendiku kaku karena rasa takut yang
amat sangat - aku tak dapat meregang jemariku untuk melepaskan telepon itu.
Aku tahu aku harus berfikir, tapi kepalaku dipenuhi suara panik ibuku. Detik
demi detik berlalu saat aku berjuang mengendalikan diri.
Perlahan, amat perlahan, pikiranku mulai menembus dinding sakit. Menyusun
rencana. Karena sekarang aku hanya punya satu pilihan: pergi ke ruang cermin dan
mati. Aku tak memiliki jaminan, tak ada yang bisa kuberikan agar ibuku tetap
hidup. Aku hanya bisa berharap James
akan merasa puas karena memenangkan permainan, bahwa mengalahkan Edward cukup
baginya. Keputusasaan mencengkeramku; tak ada cara untuk bernegosiasi, tak ada
yang bisa kutawarkan atau kupertahankan yang bisa memengaruhinya. Tapi aku masih
tidak punya pilihan. Aku harus mencoba.
Aku mengesampingkan ketakutanku sebisa mungkin. Keputusanku sudah bulat. Tak ada
gunanya membuang-buang waktu meratapi hasil akhirnya. Aku harus berpikir dengan
baik, karena Alice dan Jasper menungguku, dan menghindari mereka adalah sangat
penting sekaligus sangat mustahil.
Tiba-tiba aku bersyukur Jasper sedang keluar. Seandainya ia berada di sini dan
merasakan kesedihanku selama lima menit terakhir ini, bagaimana aku bisa
mencegah mereka agar tidak curiga" Aku kembali menelan ketakutan dan
kekhawatiranku, mencoba mengenyahkannya. Aku tidak boleh takut sekarang. Aku tak
tahu kapan Jasper akan kembali.
Aku berkonsentrasi pada rencana melarikan diri. Aku harus berharap pengenalanku
akan kondisi bandara bakal membantuku. Entah bagaimana, aku harus bisa
menjauhkan Alice... Aku tahu Alice berada di ruangan lain menungguku, penasaran. Tapi aku harus
membereskan satu hal lagi sendirian sebelum Jasper kembali.
Aku harus menerima kenyataan bahwa aku takkan bertemu Edward lagi, takkan ada
pertemuan terakhir sebelum aku ke ruangan cermin. Aku akan menyakitinya, dan aku
tak bisa mengucapkan selamat tinggal. Kubiarkan gelombang penyiksaan menyapu
diriku sebentar. Kemudian aku mengesampingkannya juga, dan pergi menemui Alice.
Satu-satunya ekspresi yang bisa kuperlihatkan adalah muram. Aku melihatnya
waswas, dan aku tidak menunggunya bertanya. Aku hanya punya satu skenario dan
sekarang aku takkan bisa berimprovisasi.
"Ibuku khawatir, dia ingin pulang. Tapi tenang saja, aku berhasil meyakinkannya
untuk tetap di sana." Suaraku lemas.
"Kami akan memastikan dia baik-baik saja. Bella, jangan khawatir."
Aku berpaling; aku tak bisa membiarkannya melihat wajahku.
Mataku tertuju pada lembaran kosong memo hotel di meja. Perlahan-lahan aku
menghampirinya, sebuah rencana mulai tersusun di benakku. Di sana juga ada
amplop. Bagus. "Alice," kataku pelan, tanpa berbalik, menjaga suaraku tetap tenang. "Kalau aku
menulis surat untuk ibuku, maukah kau memberikannya padanya" Maksudku,
meninggalkan suratnya di rumahnya?"
"Tentu saja. Bella." Suaranya terdengar hati-hati. Ia bisa melihat
kegelisahanku. Aku harus lebih bisa menguasai emosiku.
Aku masuk lagi ke kamar, dan berlutut di sebelah meja kecil di sisi tempat tidur
untuk menulis surat. "Edward," tulisku. Tanganku gemetaran, tulisanku nyaris tak terbaca.
Aku mencintaimu. Aku sangat menyesal. Ia menyandera ibuku, dan aku harus
berusaha. Aku tahu ini mungkin tak berhasil. Ku teramat menyesal.
Jangan marah pada Alice dan Jasper. Kalau aku bisa kabur dari pengawasan mereka,
itu namanya mukjizat. Sampaikan rasa terima kasihku pada mereka. Terutama pada
Alice, kumohon. Dan kumohon dengan sangat jangan mengejarnya. Kurasa, itulah yang ia inginkan.
Aku takkan tahan bila ada yang harus menderita karena aku, apalagi kau. Kumohon,
hanya ini yang bisa kuminta darimu saat ini. Demi aku.
Aku mencintaimu. Maafkan aku.
Bella. Kulipat surat itu dengan hati-hati, dan memasukkannya ke amplop. Akhirnya Edward
toh akan menemukannya juga. Aku hanya berharap ia mengerti, dan mau mendengarku
sekali ini saja. Kemudian dengan hati-hati kututup hatiku.
22. PETAK UMPET BUTUH waktu jauh lebih sedikit dari yang kuduga - semua ketakutan, keputusasaan,
kehancuran hatiku. Detik demi detik berlalu lebih lambat daripada biasanya.
Jasper belum kembali ketika aku akhirnya menghampiri Alice. Aku takut berada
satu ruangan dengannya, takut ia akan menebaknya... tapi juga takut bersembunyi
darinya untuk alasan yang sama.
Seharusnya aku tahu aku takkan mungkin sanggup terkejut, pikiranku begitu
tersiksa dan labil, tapi aku toh terkejut juga saat melihat Alice membungkuk di
meja, mencengkeram tepi-nya dengan kedua tangan.
"Alice?" Ia tidak bereaksi ketika aku memanggil namanya, tapi kepalanya perlahan bergerak
dari satu sisi ke sisi lain, dan aku melihat wajahnya. Tatapannya hampa,
terpana... Pikiranku melayang pada ibuku. Apakah aku sudah terlambat"
Aku bergegas ke sisinya, otomatis menyentuh tangannya.
"Alice!" seru Jasper, muncul tepat di belakang Alice, kedua tangannya memeluk
tangan Alice, melepaskan cengkeramannya dari meja. Di seberang ruangan, pintu
menutup dengan bunyi klik pelan.
"Ada apa?" desak Jasper
Alice memalingkan wajah dariku dan membenamkannya dada Jasper. "Bella," katanya.
"Aku di sini," balasku.
Kepalanya menoleh, matanya terpaku padaku, ekspresinya masih hampa, aneh. Aku
langsung tersadar ia tidak berbicara padaku, ia menjawab pertanyaan Jasper.
"Apa yang kaulihat"' kataku-suaraku yang datar dan tak peduli tidak mencerminkan
pertanyaan. Jasper menatapku tajam. Aku menjaga ekspresiku tetap hampa dan menunggu. Mata
Jasper bingung saat dengan cepat bergantian menatap wajahku dan Alice, merasakan
kepanikan... karena sekarang aku bisa menebak apa yang dilihat Alice.
Aku merasakan ketenangan meliputi sekelilingku. Aku menyambutnya, menggunakannya
untuk mengendalikan emosiku.
Alice sendiri juga berhasil mengontrol dirinya.
"Tidak ada apa-apa, sungguh," akhirnya ia menjawab, suaranya luar biasa tenang
dan meyakinkan. "Hanya ruangan yang sama seperti sebelumnya."
Alice akhirnya memandangku, ekspresinya lembut dan tenang- "Kau mau sarapan?"
"Tidak, aku makan di bandara saja." Aku juga terdengar sangat tenang. Aku pergi
ke kamar mandi untuk membersihkan diri. Hampir seolah meminjam indra istimewa
Jasper, aku bisa merasakan keinginan Alice -meskipun tersembunyi dengan baik -
agar aku meninggalkan kamar dan ia bisa berdua saja dengan Jasper. Supaya ia
bisa memberitahu Jasper bahwa mereka melakukan sesuatu yang keliru, bahwa mereka
bakal gagal... Aku bersiap-siap seperti robot, berkonsentrasi pada setiap hal kecil. Rambutku
dibiarkan tergerai, berayun menutupi wajah. Suasana damai yang diciptakan Jasper
memengaruhi dan membantuku berpikir jernih. Membantuku menyusun rencana. Aku
merogoh-rogoh tasku hingga menemukan kaus kakiku yang berisi uang. Aku
mengosongkannya dan memasukkan uangnya ke saku.
Ingin sekali rasanya segera tiba di bandara, dan aku merasa lega ketika kami
berangkat pukul tujuh. Kali ini aku duduk sendirian di belakang. Alice
menyandarkan tubuh di pintu, wajahnya menghadap Jasper, tapi dari balik kacamata
hitamnya ia melirikku setiap beberapa detik.
"Alice?" tanyaku cuek. Ia menjawab hati-hati, "Ya?"
"Bagaimana cara kerjanya" Hal-hal yang kaulihat itu?" Aku menatap ke luar
jendela, suaraku terdengar bosan. "Kata Edward yang kaulihat tidak berarti
final... bahwa hal-hal berubah?" Menyebut namanya lebih sulit dari yang kukira.
Pasti itulah yang membuat Jasper waspada dan mengerahkan gelombang ketenangan
baru di mobil yang kami tumpangi.
"Ya, hal-hal bisa berubah... " gumam Alice-mudah-mudahan, pikirku. "Beberapa hal
lebih pasti dari yang lain... seperti cuaca. Manusia lebih sulit. Aku hanya
melihat hal yang mereka lakukan ketika mereka sedang melakukannya. Begitu mereka
berubah pikiran - membuat keputusan baru, tak peduli betapa kecil - seluruh masa
depan pun berubah." Aku mengangguk penuh perhatian. "Jadi kau tak bisa melihat James di Phoenix
sampai dia memutuskan datang ke sini."
"Ya," ia menimpali, kembali waspada.
Dan ia tidak melihatku di ruangan cermin itu bersama James aku membuat keputusan
untuk menemuinya di sana. Aku berusaha tidak memikirkan apa lagi yang mungkin
dilihatnya. Aku tak ingin kepanikanku membuat Jasper semakin curiga. Mereka akan
mengawasiku lebih ketat lagi sekarang, terutama setelah penglihatan Alice.
Rencanaku nyaris tak mungkin terlaksana.
Kami tiba di bandara. Keberuntungan berpihak padaku, atau barangkali kebetulan
saja. Pesawat Edward mendarat di terminal empat, terminal paling besar tempat
mendaratnya semua penerbangan - jadi fakta itu bukan sesuatu yang aneh. Tapi toh
itulah terminal yang kubutuhkan: yang terbesar, yang paling memusingkan. Dan ada
pintu di lantai tiga yang bisa jadi satu-satunya kesempatan.
Kami parkir di lantai empat, di garasi berukuran raksasa. Aku menunjukkan jalan,
berhubung pengetahuanku tentang bandara ini lebih baik daripada mereka. Kami
menggunakan lift untuk turun ke lantai tiga tempat para
penumpang turun. Lama sekali Alice dan Jasper memandangi papan jadwal
penerbangan. Aku bisa mendengar mereka mendiskusikan pro dan konrra tentang New
York, Atlanta, Chicago. Tempat-tempat yang tak pernah kulihat. Dan takkan pernah
kulihat. Aku menunggu kesempatan, tidak sabar, tak mampu menghentikan jari kakiku
mengetuk-ngetuk. Kami duduk di barisan kursi panjang di dekat pendeteksi logam,
Jasper dan Alice pura-pura memerhatikan orang-orang yang lalu-lalang, tapi
Pedang Jitu Sakti 2 Pendekar Panji Sakti Karya Khu Lung Asmara Darah Tua Gila 1
^