Twilight 5
Twilight Karya Stephenie Meyer Bagian 5
"Tapi dia berhasil," aku mendorongnya, berpaling dari keindahan matanya yang tak
tertahankan. "Ya," gumamnya. "Dia melihat sesuatu di wajah Emmett yang membuatnya cukup kuat.
Dan sejak itu mereka selalu bersama-sama. Kadang-kadang mereka tinggal terpisah
dari kami, sebagai suami-istri. Semakin muda umur yang kami pilih sebagai
identitas kami, semakin lama kami bisa tinggal di mana pun. Forks kelihatannya
sempurna, jadi kami semua mendaftar di SMA." Ia tertawa. "Kurasa kita harus
menghadiri pernikahan mereka dalam beberapa tahun lagi."
"Alice dan Jasper?"
"Alice dan Jasper dua makhluk yang sangat langka. Mereka mengembangkan
kesadaran, begitu kami menyebutnya, tanpa bimbingan dari luar. Jasper berasal
dari keluarga... lain, jenis keluarga yang sangat berbeda. Dia tertekan, dan
akhirnya memilih mengembara sendirian. Alice menemukannya. Seperti aku, Alice
memiliki bakat khusus di atas dan melampaui rata-rata jenis kami."
"Sungguh?" selaku, terkesima. "Tapi katamu, kau satu-satunya yang bisa
mendengarkan pikiran orang lain."
"Memang benar. Alice mengetahui hal lain. Dia melihat hal-hal, hal-hal yang
mungkin terjadi, hal-hal yang akan datang. Tapi itu sangat subjektif. Masa depan
tidak terukir di atas batu. Segala sesuatu berubah."
Rahangnya mengeras ketika mengatakan itu, dan matanya tertuju padaku, lalu
berlalu begitu cepat sehingga aku tak yakin bahwa aku hanya mengkhayalkannya.
"Hal-hal apa yang dilihatnya?"
"Dia melihat Jasper dan tahu dia mencari dirinya bahkan sebelum Jasper sendiri
mengetahui hal itu. Dia melihat Carlisle dan keluarga kami, dan mereka datang
bersama-sama menemui kami. Alice paling sensitif terhadap makhluk bukan -
manusia. Dia selalu melihat, contohnya, ketika kelompok lain jenis kami
mendekat. Dan ancaman apa pun yang mungkin ditimbulkan."
"Apakah jenis kalian... ada banyak?" Aku terkejut. Berapa banyakkah dari mereka
yang bisa berjalan di antara manusia tanpa terdeteksi"
"Tidak, tidak banyak. Tapi kebanyakan tidak akan menetap di satu tempat. Hanya
yang seperti kami, yang telah berhenti memburu kalian manusia" - ia mengerling
licik padaku - "bisa hidup bersama manusia selama apa pun.
Kami hanya menemukan seperti kami, di desa kecil di Alaska. Kami hidup bersama
untuk waktu yang lama, tapi jumlah kami terlalu banyak sehingga manusia mulai
menyadari keberadaan kami. Jenis seperti kami yang hidup... secara berbeda
cenderung berkumpul bersama.
"Dan yang lain?"
"Kebanyakan berpindah-pindah. Dari waktu ke waktu kami hidup seperti itu.
Seperti yang lainnya, kebiasaan ini mulai membosankan. Kadang-kadang kami
bertemu yang lain, karena kebanyakan dari kami lebih menyukai daerah Utara."
"Kenapa begitu?"
Kami telah sampai di depan rumahku sekarang, dan ia mematikan truk. Suasana
sangat tenang dan gelap; tak ada bulan. Lampu teras mati, jadi aku tahu ayahku
belum pulang. "Kau memerhatikan sore tadi?" godanya. "Kaupikir aku bisa berjalan bebas di
jalanan di bawah sinar matahari tanpa menyebabkan kecelakaan lalu lintas" Ada
alasan mengapa kami memilih Semenanjung Olympic, salah satu tempat di dunia
dengan sinar matahari paling sedikit. Rasanya menyenangkan bisa keluar di siang
hari. Kau takkan percaya betapa membosankannya malam setelah delapan puluh tahun
yang aneh." "Jadi dari situkah asal-muasal legenda itu?"
"Barangkali." "Dan Alice berasal dari keluarga yang lain, seperti Jasper?"
"Tidak, dan itu adalah misteri. Alice tidak ingat kehidupan manusianya sama
sekali. Dan dia tidak tahu
siapa yang menciptakannya. Dia terbangun sendirian. Siapa pun yang
menciptakannya telah meninggalkannya, dan tak satu pun dari kami mengerti
kenapa, atau bagaimana orang itu bisa melakukannya. Seandainya Alice tidak
memiliki indra istimewa itu, seandainya dia tidak melihat Jasper dan Carlisle
dan tahu suatu hari nanti dia akan menjadi salah satu dari kami, dia barangkali
bisa berubah jahat."
Banyak sekali yang harus dipikirkan, banyak sekali yang masih ingin kutanyakan.
Tapi yang membuatku teramat malu, perutku keroncongan. Aku begitu terkesima
sehingga bahkan tidak sadar diriku kelaparan. Sekarang aku sadar bahwa aku
sangat kelaparan. "Maaf, aku membuatmu terlambat makan malam."
"Aku baik-baik saja, sungguh."
"Aku tak pernah menghabiskan begitu banyak waktu bersama seseorang yang perlu
makan. Aku lupa." "Aku ingin bersamamu." Lebih mudah mengatakannya dalam kegelapan, mengetahui
bagaimana suaraku bisa mengkhianatiku dan kecanduanku akan dirinya terdengar
sangat nyata. "Tidak bisakah aku masuk?" tanyanya.
"Kau mau?" Aku tak bisa membayangkannya, makhluk bagai dewa ini duduk di kursi
dapur ayahku yang jelek. "Ya, kalau tidak merepotkan." Aku mendengar pintunya menutup pelan, dan nyaris
saat itu juga ia telah berada di samping pintuku, membukakannya untukku.
"Sangat manusiawi," aku memujinya.
"Jelas kebiasaan itu muncul lagi."
Ia berjalan di sisiku dalam kegelapan malam, begitu diamnya sehingga aku harus
terus-menerus melirik ke arahnya untuk memastikan ia masih di sana. Dalam gelap ia tampak jauh lebih
normal. Masih pucat, ketampanannya masih bagai ilusi, tapi bukan lagi makhluk
kemilau di bawah sinar matahari seperti sore tadi.
Ia menggapai pintu di depanku dan membukakannya untukku. Aku berhenti di tengah-
tengah pintu. "Pintunya tak terkunci?"
"Bukan, aku menggunakan kunci di bawah daun pintu."
Aku melangkah masuk, menyalakan lampu teras, dan berbalik menghadapnya dengan
alis terangkat. Aku yakin tak pernah menggunakan kunci itu di hadapannya.
"Aku penasaran denganmu."
"Kau memata-mataiku?" Entah bagaimana aku tak bisa membuat suaraku terdengar
marah. Aku tersanjung. Ia kelihatan tidak menyesal. "Apa lagi yang bisa dilakukan pada malam hari?"
Untuk sementara aku mengabaikannya dan menyusuri lorong menuju dapur. Ia sudah
di sana, sama sekali tak perlu diarahkan. Ia duduk di kursi yang sama dengan
yang kubayangkan akan didudukinya. Ketampanannya membuat dapur bersinar-sinar.
Lama baru aku bisa berpaling.
Aku berkonsentrasi menyiapkan makan malamku, mengambil lasagna sisa semalam dari
dapur, menempatkan sebagian di piring, kemudian memanaskannya di microwave.
Piringnya berputar, menyebarkan aroma tomat dan oregano ke seluruh dapur. Aku
tetap menatap piring ketika bicara.
"Seberapa sering?" tanyaku kasual.
"Hmmm?" Ia terdengar seolah-olah aku telah menariknya keluar dari lamunannya.
Aku masih tidak berpaling. "Seberapa sering kau datang kemari?"
"Aku datang ke sini hampir setiap malam."
Aku berputar, terperangah. "Kenapa?"
"Kau menarik ketika sedang tidur." Nada suaranya datar. "Kau mengigau."
"Tidak!" sahutku menahan napas, wajahku memanas hingga ke garis rambut. Aku
meraih meja dapur untuk menjaga keseimbangan. Aku tahu aku suka mengigau ketika
tidur, tentu saja; ibuku selalu menggodaku soal ini. Meski begitu aku tidak
menyangka aku perlu mengkhawatirkannya di sini.
Ekspresinya langsung berubah kecewa. "Apa kau sangat marah padaku?"
"Tergantung!" Aku merasa dan terdengar seolah kehabisan napas.
Ia menanti. "Pada?" desaknya.
"Apa yang kaudengar!" erangku.
Saat itu juga, tanpa suara, ia sudah pindah ke sisiku, tangannya meraih tanganku
dengan hati-hati. "Jangan sedih!" ia memohon. Ia menurunkan wajahnya hingga sejajar dengan mataku,
kemudian menatapnya. Aku merasa malu. Aku mencoba memalingkan wajah.
"Kau merindukan ibumu," bisiknya. "Kau mengkhawatirkannya. Dan ketika hujan
turun, suaranya membuatmu gelisah. Kau juga sering mengigau tentang rumahmu,
tapi sekarang sudah jauh berkurang. Kau pernah mengatakan sekali, 'Terlalu
hijau"'" Ia tertawa lembut, berharap aku bisa melihatnya, dan tidak membuatku
tersinggung lagi. "Ada lagi?" desakku.
Ia tahu maksudku. "Kau memanggil namaku," ia mengakui.
Aku mendesah kalah. "Sering?"
"Seberapa sering yang kaumaksud dengan 'sering', tepatnya?"
"Oh tidak!" Kepalaku terkulai.
Ia menarikku lembut ke dadanya. Gerakannya sangat alami.
"Jangan malu," ia berbisik di telingaku. "Seandainya bisa bermimpi, aku pasti
akan memimpikanmu. Dan aku tidak merasa malu."
Kemudian kami mendengar suara ban mobil melintasi jalanan, melihat lampu
sorotnya menyinari jendela depan, terus ke lorong menuju ke kami. Tubuhku kaku
dalam pelukannya. "Haruskah ayahmu tahu aku di sini?" tanyanya.
"Aku tidak yakin... " Aku memikirkannya dengan cepat.
"Kalau begitu lain waktu saja... "
Dan aku pun sendirian. "Edward!" desisku tertahan.
Aku mendengar suara tawa yang samar, lalu lenyap. Terdengar suara Dad membuka
kunci pintu. "Bella?" panggilnya. Sebelumnya hal ini menggangguku, siapa lagi yang ada di
rumah kalau bukan aku" Tapi tiba-tiba saja ia tidak kelihatan kelewat
menyebalkan. "Di sini." Kuharap ia tidak mendengar nada histeris dalam suaraku. Aku mengambil
makan malamku dari microwave dan duduk di meja ketika ia masuk. Langkah kakinya
terdengar berisik setelah aku melewatkan seharian bersama Edward.
"Maukah kau mengambilkan lasagna untukku juga" Aku lelah sekali." Ia menginjak
bagian tumit sepatunya untuk melepaskannya, sambil berpegangan dengan sandaran
kursi yang tadi diduduki Edward.
Aku membawa makananku, mengunyahnya sambil mengambilkan makan malamnya. Aku
kepedasan. Kutuangkan dua gelas susu sementara memanaskan lasagna Charlie, dan
meminum susuku untuk menghilangkan pedas. Ketika aku meletakkan gelasku, susunya
bergetar. Aku baru menyadari tanganku gemetaran. Charlie duduk di kursi, dan
perbedaan antara dirinya dan orang yang duduk di sana sebelum dia, benar-benar
menggelikan. "Terima kasih." sahutnya ketika aku menghidangkan makanannya di meja.
"Bagaimana harimu?" tanyaku, buru-buru. Aku ingin sekali, pergi ke kamar.
"Bagus. Acara memancingnya biasa saja... kau" Apakah semua yang ingin
kaukerjakan akhirnya selesai?"
"Tidak juga-cuaca di luar terlalu bagus untuk dibiarkan begitu saja." Aku
menyuap lasagna-ku lagi. "Hari ini memang bagus," timpalnya. Betapa ironisnya, pikirku.
Begitu lasagna-ku habis, aku mengangkat gelasku dan menandaskan susu yang
tersisa. Charlie membuatku kaget karena ternyata ia memerhatikan. "Sedang terburu-buru?"
"Yeah, aku lelah. Aku mau tidur lebih cepat."
"Kau kelihatan agak tegang," ujarnya. Mengapa, oh, mengapa ia harus begitu
perhatian malam ini"
"Masa sih?" Hanya itu yang bisa kukatakan. Aku langsung mencuci piring dan
menempatkannya terbalik di pengering.
"Ini hari Sabtu," sahutnya menerawang.
Aku tak menjawab. "Tak ada rencana malam ini?" tanyanya tiba-tiba.
"Tidak, Dad, aku hanya mau tidur."
"Tak satu pun cowok di kota ini sesuai tipemu, ya?" Ia curiga, tapi berusaha
terdengar biasa saja. "Tidak, belum ada cowok yang menarik perhatianku." Aku berhati-hati agar tidak
terlalu menekankan kata cowok dalam usahaku bersikap jujur pada Charlie.
"Kupikir Mike Newton itu... katamu dia ramah."
"Dia hanya teman, Dad."
"Wol, lagi pula kau terlalu baik untuk mereka semua. Tunggu sampai kuliah nanti,
kalau mau mencari teman istimewa."
Impian setiap ayah adalah putri mereka akan meninggalkan rumah sebelum masalah
hormon bermunculan. "Sepertinya ide bagus," aku menimpali sambil menaiki tangga.
"Selamat malam, Sayang," ujarnya. Tak diragukan lagi ia akan memasang telinga
semalaman, menungguku mengendap-endap meninggalkan rumah.
"Sampai besok pagi, Dad." Sampai nanti malam ketika kau mengendap-endap ke
kamarku tengah malam nanti untuk memeriksaku.
Aku berusaha agar langkahku sepelan dan selelah mungkin ketika menaiki tangga
menuju kamar. Kututup pintunya cukup keras untuk didengarnya, kemudian berlari
dengan berjingkat menuju jendela. Aku membukanya dan melongok ke luar menembus
malam. Mataku mencari-cari dalam kegelapan, ke bayangan pepohonan yang tak dapat
ditembus. "Edward?" bisikku, merasa benar-benar tolol.
Suara tawa pelan menyambut dari belakangku. "Ya?"
Aku berbalik, salah satu tanganku melayang ke leher karena terkejut.
Ia berbaring, tersenyum lebar di tempat tidurku, tangannya menyilang di belakang
kepala, kakinya berayun-ayun di ujung tempat tidur, posisinya sangat santai.
"Oh!" aku mendesah, jatuh lemas ke lantai.
"Maafkan aku." Ia mengatupkan bibirnya erat-erat, berusaha menyembunyikan
perasaan gelinya. "Beri aku waktu sebentar untuk menenangkan jantungku."
Perlahan-lahan ia bangkit duduk, supaya tidak mengejutkanku lagi. Kemudian ia
mencondongkan tubuhnya ke depan dan menautkan lengannya yang panjang,
mengangkatku, memegang pangkal lenganku seolah aku anak kecil. Ia mendudukkanku
tempat tidur di sebelahnya.
"Kenapa kau tidak duduk saja denganku?" ia menyarankan, meletakkan tangannya
yang dingin di tanganku. "Bagaimana jantungmu?"
"Kau saja yang bilang - aku yakin kau mendengarnya lebih baik dariku."
Kurasakan tawanya yang pelan menggetarkan tempat tidur.
Sesaat kami duduk diam di sana, sama-sama mendengarkan detak jantungku melambat.
Aku berpikir tentang keberadaan Edward di kamarku sementara ayahku ada di rumah.
"Bolehkah aku meminta waktu sebentar untuk menjadi manusia"' pintaku.
"Tentu." Ia menggerakkan tangan menyuruhku melakukannya.
"Diam di situ," kataku, mencoba tampak galak.
"Ya, Ma'am." Dan ia berpura-pura seperti patung di ujung tempat tidurku.
Aku melompat, memungut piamaku dari lantai dan tas perlengkapan mandiku dari
meja. Aku membiarkan lampu tidak menyala, meluncur keluar, kemudian menutup
pintu. Aku bisa mendengar suara TV menggema hingga ke atas. Aku membanting pintu kamar
mandi keras-keras, supaya Charlie tidak naik mencariku.
Aku bermaksud buru-buru. Kugosok gigiku keras-keras, berusaha menyeluruh
sekaligus cepat, menyingkirkan sisa-sisa lasagna. Tapi air panas dari pancuran
tak bisa mengalir cepat. Siramannya melemaskan otot-otot punggungku,
menenangkan denyut nadiku. Aroma khas sampoku membuatku merasa aku mungkin saja
orang yang sama seperti tadi pagi. Aku mencoba tidak memikirkan Edward, yang
sedang duduk di kamarku, menunggu, karena kalau begitu aku harus mengulangi
proses menenangkan diri dari awal lagi. Akhirnya aku tak bisa menunda lagi.
Kumatikan keran air, handukan sekenanya, terburu-buru lagi. Kukenakan T-shirt
lusuhku dan celana joging abu-abuku. Terlambat untuk menyesal karena tidak
membawa piama sutra Victoria Secret yang diberikan ibuku pada ulang tahunku dua
tahun lalu, yang masih ada label harganya dan tersimpan di suatu tempat di
lemari pakaianku di rumah.
Kukeringkan rambutku lagi dengan handuk, kemudian menyisirnya cepat-cepat.
Kulempar handuknya ke keranjang, lalu melempar sikat dan pasta gigi ke tasku.
Kemudian aku meluncur turun supaya Charlie bisa melihatku mengenakan piama dan
habis mandi. "Selamat malam, Dad."
"Selamat malam, Bella." Ia tampak terkejut dengan kemunculanku. Barangkali itu
akan mencegahnya memeriksaku malam ini.
Aku menaiki anak tangga dua-dua, berusaha tetap tenang, dan meluncur ke kamar,
menutup pintu rapat-rapat.
Edward tak bergerak sedikit pun dari posisi semula, bagai ukiran Adonis yang
bertengger di selimutku yang lusuh. Aku tersenyum dan bibirnya bergerak-gerak,
Twilight Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
patungnya menjadi hidup. Matanya mengamatiku, rambutku yang basah. T-Shirt yang sudah berlubang-lubang.
Salah satu alisnya terangkat.
"Bagus." Aku nyengir. "Sungguh, pakaian itu tampak bagus padamu."
"Terima kasih." bisikku. Aku kembali ke sisinya, duduk menyilangkan kaki di
sebelahnya. Aku memandang garis-garis lantai kayu kamarku.
"Untuk apa kau mandi dan sebagainya itu?"
"Charlie pikir, aku bakal menyelinap keluar."
"Oh." Ia memikirkannya. "Kenapa?" Seolah-olah ia tidak dapat membaca pikiran
Charlie lebih jelas daripada yang kuduga.
"Sepertinya aku tampak agak terlalu bersemangat."
Ia mengangkat daguku, mengamati wajahku.
"Sebenarnya kau tampak hangat sekali."
Perlahan-lahan ia menundukkan wajahnya ke wajahku, meletakkan pipinya yang
dingin ke kulitku. Aku sama sekali tak bergerak.
"Mmmmmm...," desahnya.
Saat ia menyentuhku, sangat sulit untuk memikirkan pertanyaan yang masuk akal.
Saat konsentrasiku buyar, butuh beberapa menit bagiku untuk memulai.
"Sepertinya... sekarang lebih mudah bagimu berada di dekatku."
"Begitukah yang kaulihat?" gumamnya, hidungnya meluncur ke sudut rahangku. Aku
merasakan tangannya, lebih ringan dari sayap ngengat, menyibak rambut basahku ke
belakang sehingga bibirnya bisa menyentuh lekukan di bawah daun telingaku.
"Amat sangat lebih mudah," kataku mencoba mengembuskan napas.
"Hmm." "Jadi, aku bertanya-tanya..." aku memulai lagi, tapi jari-jarinya perlahan
menelusuri tulang selangkaku, dan aku kehilangan akal sehatku.
"Ya?" desahnya.
"Kenapa," suaraku bergetar, membuatku malu, "seperti itu menurutmu?"
Kurasakan getaran napasnya di leherku saat ia tertawa. "Tekad yang kuat
mengalahkan segala hambatan fisik."
Aku menarik diri; dan ia membeku - dan aku tak lagi mendengar suara napasnya.
Sesaat kami bertatapan dengan hati-hati, kemudian, bersamaan dengan rahangnya
yang mulai rileks, ekspresinya tampak bingung.
"Apa aku melakukan kesalahan?"
"Tidak - justru sebaliknya. Kau membuatku sinting," paparku.
Ia memikirkannya sebentar, dan ketika berbicara ia terdengar senang. "Benarkah?"
Senyum kemenangan perlahan menyinari wajahnya.
"Kau mau tepukan tangan?" tanyaku sinis.
Ia nyengir. "Aku hanya terkejut," ia menjelaskan. "Selama kurang - lebih seratus tahun
terakhir," suaranya menggoda, "aku tak pernah membayangkan sesuatu seperti ini.
Aku tak percaya akan pernah menemukan seseorang dengan siapa aku ingin
menghabiskan waktuku... bukan dalam artian seorang adik. Dan menemukan, meskipun
semuanya baru bagiku, bahwa aku bisa mengendalikan diriku saat... bersamamu...."
"Kau bisa melakukan apa saja," ujarku.
Ia mengangkat bahu, menerima pujianku, dan kami tertawa pelan.
"Tapi kenapa sekarang bisa begitu mudah?" desakku.
"Sore tadi... "
"Ini tidak mudah," desahnya. "Tapi sore tadi. aku masih... ragu. Maafkan aku
soal itu, benar-benar tak termaafkan bersikap seperti itu."
"Tidak tak termaafkan," sergahku.
"Terima kasih." Ia tersenyum. "Kau tahu," lanjutnya, sekarang menunduk, "aku
tidak yakin apakah aku cukup kuat... " Ia mengangkat satu tanganku dan
menempelkannya lembut ke wajahnya. "Selain kemungkinan aku dapat... menaklukkan"
- ia menghirup aroma pergelangan tanganku - "aku juga rapuh. Sampai aku
memutuskan diriku memang cukup kuat, bahwa sama sekali tak ada kemungkinan aku
akan... bahwa aku dapat... "
Aku tak pernah melihatnya kesulitan menemukan kata-kata. Begitu... manusiawi.
"Jadi sekarang tidak ada kemungkinan?"
"Tekad yang kuat mengalahkan segala hambatan fisik," ulangnya, tersenyum,
giginya tampak berkilau bahkan dalam kegelapan.
"Wow, itu tadi mudah," sahutku.
Ia mengedikkan kepala dan tertawa, sepelan bisikan, namun tetap bersemangat.
"Mudah bagimu!" ralatnya, menyentuh hidungku dengan ujung jarinya.
Lalu wajahnya tiba-tiba serius.
"Aku berusaha," bisiknya, suaranya sedih. "Kalau nanti segalanya jadi kelewat
berat, aku cukup yakin akan bisa pergi."
Aku menatapnya marah. Aku tidak suka membicarakan kepergian.
"Dan akan lebih sulit besok," lanjutnya. "Aku menyimpan aroma tubuhmu di
kepalaku seharian, dan aku jadi luar biasa kebal terhadapnya. Seandainya aku
jauh darimu selama apa pun aku harus mengulang semuanya lagi. Tapi aku tidak
benar-benar dari awal, kurasa."
"Kalau begitu jangan pergi," timpalku, tak mampu menyembunyikan hasrat dalam
suaraku. "Setuju," balasnya, wajahnya berubah menjadi senyuman lembut. "Kemarikan
borgolnya - aku adalah tawananmu." Tapi tangannya yang panjang membentuk borgol
di sekeliling pergelangan tanganku saat mengatakannya. Ia mengeluarkan tawa
merdunya yang pelan. Malam ini ia lebih banyak tertawa daripada seluruh waktu
yang kuhabiskan dengannya sebelumnya.
"Kau tampak lebih... ceria dari biasanya," kataku. "Aku belum pernah melihatmu
seperti ini sebelumnya."
"Bukankah seharusnya seperti ini?" Ia tersenyum. "Keindahan cinta pertama, dan
semuanya. Bukankah mengagumkan, perbedaan antara membaca sesuatu, melihatnya di
gambar, dan merasakannya sendiri?"
"Sangat berbeda," timpalku. "Lebih kuat daripada yang pernah kubayangkan."
"Contohnya" - kata-katanya lebih mengalir sekarang, aku sampai harus
berkonsentrasi untuk menangkap semuanya - "perasaan cemburu. Aku telah
membacanya ratusan kali, melihatnya dimainkan aktor dalam ribuan pertunjukan dan
film. Aku yakin telah memahaminya dengan jelas. Tapi toh itu mengejutkanku... "
Ia meringis. "Kau ingat waktu Mike mengajakmu pergi ke pesta dansa?"
Aku mengangguk, meski aku mengingat hari itu untuk alasan berbeda. "Hari itu kau
mulai berbicara lagi denganku."
"Aku terkejut karena kemarahan, nyaris murka, yang kurasakan - awalnya aku tak
menyadarinya. Aku bahkan lebih jengkel daripada sebelumnya karena tak bisa
mengetahui apa yang kaupikirkan, mengapa kau menolaknya. Apakah itu hanya
semata-mata demi persahabatanmu dengan Jessica" Apakah ada orang lain" Aku tahu
bagaimanapun juga aku tak punya hak untuk memedulikannya. Aku berusaha untuk
tidak peduli. Lalu semuanya mulai jelas," ia tergelak. Aku menatapnya jengkel
dalam gelap. "Aku menunggu, kelewat ingin mendengar apa yang akan kaukatakan pada mereka,
untuk mengamati ekspresimu. Aku tak bisa menyangkal perasaan lega yang kurasakan
saat menyaksikan wajahmu yang kesal. Tapi aku tak bisa yakin. Itu adalah malam
pertama aku datang ke sini. Sambil melihatmu tidur, aku bergumul semalaman
antara apa yang kutahu benar; bermoral, etis, dengan apa yang kuinginkan. Aku
tahu seandainya aku terus mengabaikanmu sebagaimana seharusnya, atau seandainya
aku pergi selama beberapa tahun, sampai kau pergi dari sini, suatu hari kelak
kau akan mengatakan ya kepada Mike, atau seseorang seperti dia. Dan pemikiran
itu membuatku marah."
"Kemudian," ia berbisik, "ketika kau tidur, kau menyebut namaku. Kau menyebutnya
begitu jelas, hingga awalnya kukira kau terbangun. Tapi kau bergulak-gulik
gelisah, dan menggumamkan namaku sekali lagi, lalu mendesah. Perasaan yang
menyelimutiku kemudian adalah perasaan takut, bahagia. Dan aku pun tahu, aku tak
bisa mengabaikanmu lebih lama lagi." ia terdiam sebentar, barangkali
mendengarkan jantungku yang tiba-tiba berdebar-debar.
"Tapi kecemburuan... adalah hal aneh. Jauh lebih kuat dari pada yang kukira. Dan
tidak masuk akal! Baru saja, ketika Charlie menanyakan soal si brengsek Mike
Newton itu... " Ia menggelengkan kepala keras-keras.
"Aku seharusnya tahu kau pasti menguping," gerutuku.
"Tentu saja." "Dan itu membuatmu cemburu, benarkah?"
"Semua ini baru bagiku; kau membangkitkan sisi manusia dalam diriku, dan
segalanya terasa lebih kuat karena ini baru."
"Yang benar saja," godaku, "itu tidak ada apa-apanya, mengingat aku harus
mendengar bahwa Rosalie - Rosalie, penjelmaan kecantikan yang murni, Rosalie -
sebenarnya tercipta untukmu. Emmett atau tanpa Emmett, bagaimana aku bisa
bersaing dengan kenyataan itu?"
"Tidak ada persaingan." Giginya berkilauan. Ia menarik tanganku ke punggungnya,
membawaku ke dadanya. Aku diam sebisa mungkin, bahkan bernapas dengan hati-hati.
"Aku tahu tidak ada persaingan," gumamku di kulitnya yang dingin. "Itulah
masalahnya." "Tentu saja Rosalie memang cantik dengan caranya sendiri, tapi bahkan seandainya
dia bukan seperti adik bagiku, bahkan seandainya Emmett tidak bersamanya, dia
takkan pernah memiliki sepersepuluh, tidak, seperseratus daya tarikmu
terhadapku." Ia serius sekarang, tulus. "Selama hampir sembilan puluh tahun aku
hidup bersama jenisku sendiri, dan jenis kalian... selama itu aku berpikir bahwa
aku sempurna di dalam diriku sendiri, sama sekali tak menyadari apa yang kucari.
Dan tidak menemukan apa pun, karena kau belum dilahirkan."
"Kedengarannya tidak adil," bisikku, wajahku masih rebah di dadanya,
mendengarkan irama napasnya. "Aku sama sekali tak perlu menunggu. Mengapa bagiku
semudah itu?" "Kau benar," timpalnya senang. "Aku harus membuatnya lebih sulit bagimu, sudah
pasti." Ia melepaskan salah tangannya. melepaskan pergelangan tanganku, hanya
untuk memindahkannya dengan pelan ke tangannya yang lain. Ia membelai lembut
rambut basahku, dan ujung kepala sampai ke pinggang. "Kau hanya perlu
membahayakan hidupmu sedap detik yang kauhabiskan bersamaku, dan tentu saja itu
tidak terlalu banyak. Kau hanya perlu berpaling dari alam, dari kemanusiaan...
seberapa besar harga yang harus kaubayar?"
"Sangat sedikit - aku tak merasa dirugikan untuk apa pun."
"Belum." Dan sekonyong-konyong suaranya dipenuhi kesedihan yang purba.
Aku berusaha menarik diri untuk memandang wajahnya, tapi tangannya mengunci
pergelangan tanganku sangat erat.
"Apa-" aku mulai bertanya, tapi tubuhnya menegang. Aku membeku, namun tiba-tiba
ia melepaskan tanganku, lalu menghilang. Aku nyaris jatuh terjerembab.
"Berbaringlah!" desisnya. Aku tak bisa mengatakan dari mana datangnya suara itu
dalam kegelapan. Aku berguling di bawah selimutku, meringkuk miring, seperti biasanya aku tidur.
Aku mendengar pintu terkuak saat Charlie mengintip ke dalam, memastikan aku
berada di tempat seharusnya. Napasku teratur, aku sengaja melebih-lebihkannya.
Satu menit yang panjang berlalu. Aku mendengarkan, tak yakin apakah aku
mendengar pintunya menutup lagi. Kemudian lengan Edward yang sejuk memelukku di
bawah selimut, bibirnya di telingaku.
"Kau aktris yang payah - bisa kubilang karier seperti itu tidak cocok untukmu."
"Sialan." gumamku. Jantungku berdebar kencang.
Ia menggumamkan lagu yang tidak kukenal; kedengarannya seperti lagu nina bobo.
Ia berhenti. "Haruskah aku meninabobokanmu hingga kau tidur?"
"Yang benar saja," aku tertawa. "Seolah-olah aku bisa tidur saja sementara kau
di sini!" "Kau melakukannya setiap saat," ia mengingatkanku.
"Tapi aku tidak tahu kau ada di sini," balasku dingin.
"Jadi kalau kau tidak ingin tidur...," ujarnya, mengabaikan kekesalanku. Napasku
tertahan. "Kalau aku tidak ingin tidur...?"
Ia tergelak. "Kalau begitu apa yang ingin kaulakukan?"
Mula-mula aku tak bisa menjawab.
"Aku tidak tahu," jawabku akhirnya.
"Katakan kalau kau sudah memutuskannya."
Aku bisa merasakan napasnya yang sejuk di leherku, merasakan hidungnya meluncur
sepanjang rahangku, menghirup napas.
"Kupikir kau sudah kebal?"
"Hanya karena aku menolak anggur, tidak berarti aku tak bisa menghargai
aromanya," bisiknya. "Aromamu seperti bunga, mirip lavender... atau freesia"
ujarnya. "Menggiurkan."
"Ya, ini hari libur ketika aku tidak membuat seseorang memberitahuku betapa
lezat aromaku." Ia tergelak, lalu mendesah.
"Aku telah memutuskan apa yang ingin kulakukan," aku memberitahunya. "Aku mau
mendengar lebih banyak tentangmu."
"Tanyakan apa saja."
Aku memilah pertanyaanku hingga yang paling penting. "Kenapa kau melakukannya?"
kataku. "Aku masih tidak mengerti bagaimana kau bisa begitu kuat menyangkal
dirimu... yang sebenarnya, tolong jangan salah mengerti, tentu saja aku senang
kau melakukannya. Aku hanya tidak mengerti kenapa kau mau melakukannya sejak
awal." Ia sempat ragu sebelum menjawab. "Itu pertanyaan bagus, dan kau bukan yang
pertama menanyakannya. Yang lainnya - mayoritas jenis kami yang cukup puas
dengan kelompok kami - mereka, juga, bertanya-tanya bagaimana cara kami hidup.
Tapi dengar, hanya karena kami telah... mendapatkan satu kemampuan... tak
berarti kami tidak bisa memilih untuk mengendalikannya - untuk menaklukkan
batasan takdir yang tak diinginkan oleh satu pun dari kami. Untuk berusaha
sebisa mungkin mempertahankan sisi kemanusiaan apa pun yang kami miliki."
Aku berbaring tak bergerak, terpukau dalam keheningan.
"Apakah kau tertidur?" ia berbisik setelah beberapa menit.
"Tidak." "Cuma itu yang membuatmu penasaran?"
Aku memutar bola mataku. "Tidak juga."
"Apa lagi yang ingin kauketahui?"
"Kenapa kau bisa membaca pikiran-kenapa hanya kau" Dan Alice melibat masa
depan... kenapa itu terjadi?"
Aku merasakannya mengangkat bahu dalam kegelapan. "Kami tidak benar-benar tahu.
Carlisle punya teori... dia yakin kami semua membawa karakteristik manusia kami
yang paling kuat ke kehidupan berikutnya, dan karakteristik itu menjadi lebih
kuat - seperti pikiran dan indra kami. Menurut dia, aku pasti telah menjadi
sangat peka terhadap pikiran orang-orang di sekitarku. Dan bahwa Alice memiliki
indra keenam, di mana pun dia berada."
"Apa yang dibawa Carlisle dan lainnya ke kehidupan mereka berikutnya":
"Carlisle membawa kebaikan hatinya. Esme membawa kemampuannya untuk mencintai
sepenuh hati. Emmett membawa kekuatannya, Rosalie... keteguhannya. Atau kau bisa
menyebutnya sifat keras kepala," ia tergelak. "Jasper sangat menarik. Dia cukup
memiliki karisma dalam kehidupan awalnya, mampu memengaruhi orang-orang di
sekitarnya untuk melihat lewat sudut pandangnya. Sekarang dia mampu memanipulasi
emosi orang-orang di sekelilingnya - menenangkan seruangan penuh orang yang
sedang marah, contohnya, atau di sisi lain membuat kerumunan orang yang letih
jadi bersemangat. Karunia yang sangat unik."
Aku membayangkan kemustahilan yang digambarkannya, mencoba memahaminya. Ia
menunggu dengan sabar sementara aku berpikir.
"Jadi, dari mana ini semua bermula" Maksudku, Carlisle mengubahmu, dan seseorang
pasti juga telah mengubahnya, dan seterusnya... "
"Well, dari mana asalmu" Evolusi" Penciptaan" Tidak mungkinkah kami berkembang
dengan cara yang sama seperti spesies lainnya, entah itu pemangsa atau
mangsanya" Atau kalau kau tidak percaya dunia ini mungkin saja terjadi dengan
sendirinya, yang mana aku sendiri sulit memercayainya, apakah begitu sulit untuk
memercayai bahwa kekuatan yang sama yang menciptakan angelfish juga hiu, bayi
anjing laut, dan paus pembunuh, juga bisa menciptakan kedua jenis kita?"
"Biar kuluruskan - aku bayi anjing lautnya, kan?"
"Benar." Ia tertawa, dan sesuatu menyentuh rambutku- bibirnya"
Aku ingin berbalik menghadapnya, untuk memastikan apakah benar bibirnya yang
menyentuh rambutku. Tapi aku harus bersikap tenang: aku tak ingin membuat ini
lebih sulit baginya daripada sekarang.
"Kau sudah siap tidur?" tanyanya, menyela keheningan singkat di antara kami.
"Atau kau punya pertanyaan lagi?"
"Hanya sejuta atau dua."
"Kita memiliki hari esok, dan hari berikutnya lagi, dan selanjutnya... " ia
mengingatkanku. Aku tersenyum bahagia mendengarnya.
"Kau yakin tidak akan menghilang besok pagi?" Aku menginginkan kepastian. "Lagi
pula, kau ini makhluk legenda."
"Aku takkan meninggalkanmu." Suaranya memancarkan kesungguhan.
"Kalau begitu, satu lagi malam ini... " Dan aku pun merona. Kegelapan sama
sekali tidak membantu-aku yakin ia bisa merasakan kehangatan kulitku yang tiba-
Twilight Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tiba. "Apa itu?" "Tidak, lupakan. Aku berubah pikiran."
"Bella, kau bisa bertanya apa pun padaku."
Aku tak menyahut, dan ia mengerang.
"Aku terus berpikir, akan lebih tidak membuat frustrasi bila tidak mendengar
pikiranmu. Tapi kenyataannya justru makin parah dan lebih parah lagi."
"Aku senang kau tak dapat membaca pikiranku. Sudah cukup buruk bahwa kau
menguping saat aku mengigau."
"Please?" Suaranya begitu membujuk, begitu mustahil untuk kutolak.
Aku menggeleng. "Kalau kau tidak bilang padaku, aku hanya tinggal menyimpulkan itu sesuatu yang
lebih buruk dari seharusnya," ancamnya licik. "Please?" lagi-lagi, suara bujuk
rayu itu. " Well," aku memulainya, senang ia tidak bisa melihat wajahku
"Ya?" "Katamu Rosalie dan Emmett akan segera menikah... Apakah... pernikahan itu...
sama seperti pernikahan manusia?"
Ia tertawa terbahak sekarang, menangkap maksudku. "Apakah itu arah
pembicaraanmu?" Aku gelisah, tak mampu menjawab.
"Ya, kurasa kurang-lebih sama," katanya. "Sudah kubilang kebanyakan hasrat
manusia ada dalam diri kami, hanya saja tersembunyi di balik hasrat yang lebih
kuat lagi." Aku hanya bisa menggumamkan "Oh."
"Apakah ada maksud di balik rasa penasaranmu?"
" Well, aku memang membayangkan... kau dan aku... suatu hari... "
Ia langsung berubah serius, aku bisa mengatakannya dari tubuhnya yang mendadak
kaku. Aku juga membeku, bereaksi dengan sendirinya.
"Aku tidak berpikir itu... itu... akan mungkin bagi kita."
"Karena itu akan sangat sulit bagimu, seandainya kita... sedekat itu?"
"Itu jelas masalah. Tapi bukan itu yang kupikirkan. Kau sangat lembut dan rapuh.
Aku harus memperhitungkan setiap tindakanku setiap kali kita bersama-sama,
supaya aku tak melukaimu. Aku bisa membunuhmu dengan sangat mudah, Bella, hanya
dengan tidak sengaja." Suaranya hanya tinggal gumaman. Ia menggerakkan telapak
tangannya yang dingin dan menaruhnya di pipiku. "Kalau aku terlalu gegabah...
seandainya satu detik saja aku tak cukup memerhatikan, aku bisa saja mengulurkan
tanganku, maksudnya ingin menyentuh wajahmu namun malah menghancurkan
tengkorakmu karena khilaf. Kau tak tahu
betapa sangat rapuhnya dirimu. Aku takkan sanggup kehilangan kendali apa pun
saat aku bersamamu."
Ia menungguku bereaksi, dan semakin waswas saat aku tetap diam. "Kau takut?"
tanyanya. Aku menunggu sebentar sebelum menjawab, sehingga ucapanku jujur. "Tidak, aku
baik-baik saja." Ia seperti berpikir selama sesaat. "Meski begitu, sekarang aku penasaran,"
katanya, suaranya kembali ringan. "Kau sudah pernah.." ia sengaja tidak
menyelesaikan ucapannya. "Tentu saja belum." Wajahku memerah. "Sudah kubilang aku belum pernah merasa
seperti ini terhadap orang lain, sedikit pun tidak."
"Aku tahu. Hanya saja aku tahu pikiran orang lain. Aku tahu cinta dan nafsu
tidak selalu sejalan."
"Bagiku ya. Paling tidak sekarang keduanya nyata bagiku," aku mendesah.
"Bagus. Setidaknya kita punya persamaan." Ia terdengar puas.
"Naluri manusiamu...," aku memulai. Ia menanti. "Well, apakah kau menganggapku
menarik dari segi itu, sama sekali?"
Ia tertawa dan dengan lembut mengusap-usap rambutku yang hampir kering.
"Aku mungkin bukan manusia, tapi aku laki-laki," ia meyakinkanku.
Aku menguap tanpa sengaja.
"Aku telah menjawab pertanyaanmu, sekarang kau harus tidur," ia bersikeras.
"Aku tak yakin apakah aku bisa."
"Kau mau aku pergi?"
"Tidak!" seruku terlalu lantang.
Ia tertawa, kemudian mulai menggumamkan senandung yang sama lagi, nina bobo yang
asing, suara malaikat, lembut di telingaku.
Lebih letih daripada yang kusadari, lelah karena tekanan mental dan emosi yang
tak pernah kurasakan sebelumnya, aku tertidur dalam pelukan tangannya yang
dingin. 15. KELUARGA CULLEN CAHAYA suram dari satu lagi hari mendung akhirnya membangunkanku. Aku berbaring,
lengan menutupi mata, mengantuk dan pusing. Sesuatu, sebuah mimpi yang coba
kuingat, mencoba menyusup masuk ke dalam kesadaranku. Aku mengerang dan
berguling ke sisi, berharap bisa tertidur lagi. Lalu bayangan hari kemarin
membanjiri kesadaranku. "Oh!" Aku bangun dan duduk begitu cepat hingga kepalaku pusing.
"Rambutmu terlihat seperti tumpukan jerami... tapi aku menyukainya." Suaranya
yang tenang terdengar dari kursi goyang di sudut kamar.
"Edward! Kau tidak pergi!" aku berseru gembira, dan tanpa berpikir langsung
menghambur ke pangkuannya. Begitu menyadari apa yang kulakukan, aku membeku,
terkejut karena semangatku yang menggebu. Aku menatapnya, khawatir tindakanku
telah melewati batas. Tapi ia tertawa. "Tentu saja," jawabnya kaget, tapi kelihatan senang melihat reaksiku. Tangannya
mengusap-usap punggungku.
Aku membaringkan kepalaku hati-hati di bahunya, menghirup aroma kulitnya.
"Aku yakin itu mimpi."
"Kau tidak sekreatif itu, lagi," dengusnya.
"Charlie!" Aku teringat, tanpa berpikir melompat menuju pintu.
"Dia pergi sejam yang lalu - setelah memasang kembali kabel akimu, kalau boleh
kutambahkan. Harus kuakui, aku kecewa. Benarkah hanya itu yang diperlukan untuk
menghentikanmu, seandainya kau bertekad pergi?"
Aku menimbang-nimbang dari tempatku berdiri, ingin sekali kembali padanya, tapi
khawatir napasku bau. "Kau tidak biasanya sebingung ini di pagi hari," ujarnya. Ia merentangkan
lengannya untuk menyambutku lagi. Undangan yang nyaris tak sanggup kutolak.
"Aku butuh waktu sebentar untuk menjadi manusia," aku mengakuinya.
"Kutunggu." Aku melompat ke kamar mandi, sama sekali tak memahami emosiku. Aku tak mengenali
diriku, di dalam maupun di luar. Wajah yang ada di cermin praktis asing -
matanya terlalu ceria, bintik-bintik merah menyebar di tulang pipiku. Setelah
menggosok gigi aku merapikan rambutku yang berantakan. Kupercikkan air dingin ke
wajahku, dan berusaha bernapas secara normal, tapi nyaris gagal. Setengah
berlari aku kembali ke kamar.
Rasanya seperti mukjizat bahwa ia masih di sana, lengannya masih menantiku. Ia
meraihku, dan jantungku berdebar tak keruan.
"Selamat datang lagi," gumamnya, membawaku ke dalam
Ia menggoyang-goyangkan tubuhku sebentar dalam keheningan, sampai aku menyadari
ia telah berganti pakaian, dan rambutnya sudah rapi.
"Kau pergi?" tuduhku, sambil menyentuh kerah kausnya yang masih baru.
"Aku tak bisa pergi mengenakan pakaian yang sama dengan ketika aku datang - apa
yang akan dipikirkan para tetangga?"
Aku mencibir. "Kau tidur sangat pulas semalam; aku tak melewatkan apa pun." Matanya berkilat-
kilat. "Kau mengigau lebih awal."
Aku menggeram. "Apa yang kaudengar?"
Mata keemasannya melembut. "Kaubilang kau mencintaiku."
"Kau sudah tahu itu," aku mengingatkannya, menyusupkan kepalaku.
"Tapi toh aku senang mendengarnya."
Kusembunyikan wajahku di bahunya.
"Aku mencintaimu," bisikku.
"Kau hidupku sekarang" jawabnya sederhana.
Tak ada lagi yang perlu dikatakan saat itu. Ia bergerak maju-mundur sementara
ruangan semakin terang. "Saatnya sarapan," akhirnya ia berkata, dengan kasual - untuk membuktikan, aku
yakin, bahwa ia mengingat semua kelemahan manusiaku.
Jadi aku mencekik tenggorokanku dengan kedua tangan dan mataku membelalak ke
arahnya. Ia terperanjat. "Bercanda!" aku nyengir. "Padahal katamu aku tidak bisa berakting!"
Ia mengerutkan dahi, jijik. "Tidak lucu."
"Itu sangat lucu, dan kau tahu itu." Tapi hati-hati aku mengamati mata emasnya,
memastikan ia memaafkanku. Dan tampaknya aku dimaafkan.
"Boleh kuulangi?" tanyaku. "Saatnya sarapan untuk manusia."
"Oh, baiklah." Ia mengusungku di bahunya yang kokoh, dengan lembut, namun dengan kecepatan yang
membuatku menahan napas. Aku memprotes saat ia dengan mudah membawaku menuruni
tangga, tapi ia mengabaikanku. Ia mendudukkanku di kursi.
Ruang dapur terang, ceria, seolah-olah menyerap suasana hatiku.
"Apa menu sarapannya?" tanyaku riang.
Pertanyaanku membuatnya berpikir sebentar. "Mm, aku tak yakin. Kau mau apa?"
Alis pualamnya berkerut. Aku tersenyum, melompat berdiri.
"Tidak apa-apa, aku bisa mengurus diriku sendiri dengan cukup baik. Perhatikan
caraku berburu." Aku mengambil mangkuk dan sekotak sereal. Bisa kurasakan tatapannya ketika aku
menuang susu dan mengambil sendok. Kuletakkan makananku di meja, lalu berhenti.
"Kau mau sesuatu?" tanyaku, tak ingin bersikap tidak sopan.
Ia memutar bola matanya. "Makan saja. Bella."
Aku duduk di meja makan, memerhatikannya sambil menyuap sereal. Ia memandangiku,
mempelajari setiap gerakanku. Itu membuatku tidak nyaman. Aku berdehem untuk
bicara, mengalihkan perhatiannya.
"Apa acara hari ini?" tanyaku.
"Hmmm... " Aku melihatnya berhati-hati memikirkan jawabannya. "Bagaimana
menurutmu kalau kita bertemu keluargaku?"
Aku menelan liurku. "Apa sekarang kau takut?" ia terdengar berharap.
"Ya," aku mengakui; bagaimana mungkin aku menyangkalnya - ia bisa melihatnya di
mataku. "Jangan khawatir." Ia mencibir. "Aku akan melindungimu."
"Aku tidak takut pada mereka" jelasku. "Aku khawatir mereka takkan...
menyukaiku. Tidakkah mereka akan, Well, terkejut kau membawa seseorang...
seperti aku... ke rumah menemui mereka" Tahukah mereka aku tahu tentang mereka?"
"Oh, mereka sudah mengetahui semuanya. Kau tahu, kemarin mereka bertaruh"- ia
tersenyum, tapi suaranya parau - "apakah aku membawamu kembali, meski aku tak
mengerti mengapa mereka mau bertaruh melawan Alice. Bagaimanapun kami sekeluarga
tak pernah menyimpan rahasia. Sebenarnya kami memang tidak mungkin berahasia,
terutama dengan kemampuanku membaca pikiran dan Alice melihat masa depan, dan
semuanya." "Dan Jasper membuat kalian semua nyaman untuk menumpahkan kegelisahan kalian,
jangan lupa itu." "Kau menyimak," ia tersenyum senang.
"Aku cukup dikenal akan hal ini kadang-kadang." Aku meringis, "jadi, apakah
Alice sudah melihat kedatanganku?"
Reaksinya aneh. "Kira-kira begitu," katanya jengah, berpaling sehingga aku tidak
melihat matanya. Aku menatapnya penasaran.
"Apakah itu enak?" tanyanya, tiba-tiba berbalik menghadapku dan menatap
sarapanku dengan pandangan menggoda. "Jujur, makananmu itu tidak terlalu
mengundang selera." "Well, sama sekali bukan beruang pemarah...," gumamku, mengabaikan tatapan
marahnya. Aku masih bertanya-tanya mengapa ia bereaksi seperti itu saat aku
menyebut soal Alice. Aku buru-buru menghabiskan serealku, sambil berspekulasi.
Ia berdiri di tengah dapur, mirip patung Adonis lagi, menerawang ke luar jendela
belakang. Kemudian tatapannya kembali padaku, dan ia memamerkan senyumnya yang menawan.
"Dan kurasa kau juga harus memperkenalkanku pada ayahmu."
"Dia sudah mengenalmu," aku mengingatkannya.
"Maksudku sebagai pacarmu."
Aku menatapnya curiga. "Kenapa?"
"Bukankah begitu kebiasaannya?" tanyanya polos.
"Aku tidak tahu," aku mengakui. Pengalaman berkencanku yang minim tidak cukup
bagiku untuk mengetahui kebiasaan itu. Bukan berarti aturan berkencan yang
normal berlaku di sini. "Itu tidak perlu, kau tahu. Aku tidak berharap kau...
maksudku, kau tak perlu berpura-pura demi aku."
Senyumnya penuh kesabaran. "Aku tidak berpura-pura."
Aku mengumpulkan sisa serealku ke ujung mangkuk, menggigit bibir.
"Kau akan memberitahu Charlie bahwa aku pacarmu atau tidak?" desaknya.
"Apakah kau boyfriend-ku?" Kutekan ketakutanku membayangkan Edward dan Charlie
dan kata "boyfriend- pacar" dalam ruangan yang sama pada waktu bersamaan.
"Kuakui itu pengertian bebas mengenai kata 'boy'"
"Aku mendapat kesan sebenarnya kau lebih dari itu." aku mengaku, memandangi
meja. " Well, aku tidak tahu apakah kita perlu memberitahunya semua detail mengerikan
itu." Ia meraih ke seberang meja, mengangkat daguku dengan jarinya yang dingin
dan lembut. "Tapi dia akan memerlukan penjelasan mengapa aku sering kemah. Aku
tak ingin Kepala Polisi Swan menetapkan larangan untukku."
"Benarkah?" aku sekonyong-konyong waswas. "Benarkah kau akan berada di sini?"
"Selama yang kauinginkan," ia meyakinkanku.
"Aku akan selalu menginginkanmu," aku mengingatkannya. "Selamanya."
Perlahan ia mengelilingi meja, setelah beberapa senti dariku ia menghentikan
langkah, mengulurkan tangan untuk menyentuhkan ujung jarinya ke pipiku.
Ekspresinya penuh makna. "Apa itu membuatmu sedih?" tanyaku.
Ia tak menyahut. Lama sekali ia menatap ke dalam mataku.
"Kau sudah selesai?" ia akhirnya bertanya.
Aku melompat berdiri. "Ya."
"Berpakaianlah - aku akan menunggu di sini."
Sulit memutuskan apa yang harus kukenakan. Aku ragu ada buku etika yang
menjelaskan bagaimana seharusnya berpakaian ketika kekasih vampirmu hendak
memperkenalkanmu kepada keluarga vampirnya. Lega rasanya bisa berpikir begitu.
Aku tahu aku sengaja tak mau memikirkannya.
Akhirnya aku mengenakan satu-satunya rok yang kumiliki - rok panjang, berwarna
khaki, masih kasual. Aku mengenakan blus biru tua yang pernah dipujinya. Lirikan
singkat di cermin memberitahu rambutku benar-benar berantakan, jadi aku
mengucirnya jadi ekor kuda.
"Oke." Aku melompat-lompat menuruni tangga. "Aku sudah pantas bepergian."
Ia menunggu di ujung tangga, lebih dekat dari yang kukira, dan aku langsung
menghambur ke arahnya. Ia memegangiku beberapa saat sebelum tiba-tiba menarikku
lebih dekat. "Kau salah lagi," gumamnya di telingaku. "Kau sangat tidak pantas - tak seorang
pun boleh terlihat begitu menggoda, itu tidak adil."
"Menggoda bagaimana?" tanyaku. "Aku bisa mengganti... "
Ia mendesah, menggeleng-gelengkan kepala. "Kau sangat konyol." Dengan lembut ia
menempelkan bibirnya yang sejuk di dahiku, dan ruangan pun berputar. Aroma
napasnya membuatku mustahil bisa berpikir.
"Haruskah aku menjelaskan bagaimana kau membuatku tergoda?" katanya. Jelas itu
pertanyaan retoris. Jemarinya perlahan menelusuri tulang belakangku, napasnya
semakin menderu di permukaan kulitku. Tanganku membeku di dadanya, dan aku
kembali melayang. Ia memiringkan kepala perlahan, dan menyentuhkan bibir
dinginnya ke bibirku untuk kedua kalinya, dengan sangat hati-hati membukanya.
Kemudian aku tak sadarkan diri.
"Bella?" suaranya terdengar kaget ketika ia menangkap dan memegangiku.
"Kau... membuatku... jatuh pingsan," aku meracau.
"Apa yang akan kulakukan denganmu!" ia menggerutu, putus asa. "Kemarin aku
menciummu, dan kau menyerangku! Hari ini kau pingsan di hadapanku!"
Aku tertawa lemah, membiarkan lengannya menahanku sementara kepalaku masih
berputar-putar. "Dan katamu aku bisa melakukan segalanya." ia mendesah.
"Itulah masalahnya" Aku masih pusing, "Kau terlalu pintar melakukannya. Amat
sangat terlalu pintar."
"Kau merasa sakit?" ia bertanya; ia pernah melihatku seperti ini sebelumnya.
"Tidak - pingsanku kali ini berbeda. Aku tak tahu apa yang terjadi." Aku
Twilight Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menggeleng menyesalinya. "Kurasa aku lupa bernapas."
"Aku tak bisa membawamu ke mana-mana dalam keadaan seperti ini."
"Aku baik-baik saja," aku bersikeras. "Lagi pula keluargamu toh bakal
menganggapku gila. jadi apa bedanya?"
Ia mengamati ekspresiku beberapa saat. "Aku sangat menyukai warna kulitmu,"
ujarnya tak disangka-sangka. Wajahku memerah senang dan berpaling.
"Begini, aku berusaha sangat keras untuk tidak memikirkan apa yang akan
kulakukan, jadi bisakah kita berangkat sekarang?" tanyaku.
"Dan kau khawatir, bukan karena kau akan pergi ke rumah yang isinya vampir
semua, tapi karena kaupikir vampir-vampir itu tak akan menerimamu, betul?"
"Betul," aku langsung menjawabnya, menyembunyikan keterkejutanku pada kata-
katanya yang terdengar wajar.
Ia menggeleng. "Kau sulit dipercaya."
Aku menyadari, saat ia mengemudikan trukku meninggalkan pusat kota, aku sama
sekali tak tahu di mana ia tinggal. Kami melewati jembatan di Sungai Calawah,
jalanan membentang ke utara, rumah-rumah yang kami lalui semakin jarang, dan
semakin besar. Kemudian kami meninggalkan rumah-rumah, dan memasuki hutan
berkabut. Aku mencoba memutuskan untuk bertanya atau tetap bersabar, ketika ia
tiba-tiba membelok ke jalanan tak beraspal. Jalanan itu tak bertanda, nyaris tak
tampak di antara tumbuh-tumbuhan pakis. Hutan menyelimuti kedua sisinya, hingga
jalanan di depan kami hanya kelihatan sejauh beberapa meter, meliuk-liuk seperti
ular di sekeliling pepohonan kuno.
Kemudian, setelah beberapa mil, hutan mulai menipis, dan tiba-tiba kami berada
di padang rumput kecil, atau sebenarnya halaman rumput sebuah rumah" Meski
begitu kemuraman hutan tidak memudar, karena ada enam pohon cedar tua yang menaungi
tempat itu dengan cabang-cabangnya yang lebar. Bayangan pepohonan itu menaungi
dinding rumah yang berdiri di antaranya, membuat serambi yang mengitari lantai
dasar tampak kuno. Aku tak tahu apa yang kuharapkan, tapi jelas bukan yang seperti ini. Rumah itu
tampak abadi, elegan, dan barangkali berusia ratusan tahun. Cat putih yang
membalutnya lembut dan nyaris pudar, berlantai tiga, berbentuk persegi dan
proporsional. Jendela-jendela dan pintu-pintunya entah merupakan struktur asli
atau hasil pemugaran yang sempurna. Trukku satu-satunya kendaraan yang tampak di
sana. Aku bisa mendengar suara aliran sungai di dekat kami, tersembunyi di
kegelapan hutan. "Wow." "Kau menyukainya?" Ia tersenyum.
"Bangunan ini memiliki pesona tersendiri."
Ia menarik ujung ekor kudaku dan tergelak.
"Siap?" ia bertanya sambil membukakan pintuku.
"Sama sekali tidak - ayo." Aku mencoba tertawa, tapi sepertinya tenggorokanku
tercekat. Aku merapikan rambut dengan gugup.
"Kau cantik." Ia menggenggam tanganku dengan luwes, tanpa ragu.
Kami berjalan menembus bayangan pepohonan menuju teras rumah. Aku tahu ia bisa
merasakan keteganganku; ibu jarinya membuat gerakan melingkar yang menenangkan
di punggung tanganku. Ia membukakan pintu untukku.
Bagian dalam rumah itu bahkan lebih mengejutkan lagi, lebih tak bisa diramalkan,
daripada bagian luarnya. Sangat terang, sangat terbuka, dan sangat luas. Dulunya
ruangan ini pasti kumpulan beberapa kamar, namun dinding-dindingnya disingkirkan
untuk menciptakan satu ruangan luas di lantai dasar. Di bagian belakang dinding
yang menghadap selatan telah digantikan seluruhnya dengan kaca, dan di balik
bayangan pohon cedar terbentang rerumputan luas hingga ke sungai. Tangga meliuk
yang lebar dan besar mendominasi sisi barat ruangan. Dinding-dindingnya, langit-
langitnya yang tinggi, lantainya yang terbuat dari kayu, dan karpet tebal,
semuanya merupakan gradasi warna putih.
Tampak menanti untuk menyambut kami, berdiri persis di kiri pintu, pada bagian
lantai yang lebih tinggi di sisi grand piano yang spektakuler, adalah orangtua
Edward. Aku pernah melihat dr. Cullen sebelumnya, tentu saja, tapi tetap saja aku tak
bisa menahan keterkejutanku melihat kemudaannya, kesempurnaannya yang luar
biasa. Kurasa perempuan yang berdiri di sisinya adalah Esme, satu-satunya
anggota keluarga Cullen yang belum pernah kulihat. Ia memiliki wajah yang pucat
dan indah seperti yang lainnya. Wajahnya berbentuk hati, rambutnya berombak dan
halus, berwarna cokelat karamel, mengingatkanku pada era film bisu. Tubuhnya
mungil langsing namun tidak terlalu kurus, lebih berisi dibanding yang lainnya.
Mereka mengenakan pakaian kasual berwarna terang yang serasi dengan warna
ruangan dalam rumah mereka. Mereka tersenyum menyambut kami, tapi tidak bergerak
mendekat. Kurasa mereka tak ingin membuatku takut.
"Carlisle, Esme," suara Edward memecah keheningan yang terjadi sebentar, "ini
Bella." "Selamat datang, Bella." Langkah Carlisle terukur, berhati-hati saat
mendekatiku. Ia mengulurkan tangannya dan aku melangkah maju untuk menjabatnya.
"Senang bisa bertemu Anda lagi, dr. Cullen."
"Tolong panggil saja Carlisle."
"Carlisle." Aku tersenyum padanya, kepercayaan diriku yang muncul tiba-tiba
mengejutkanku. Aku bisa merasakan Edward merasa lega di sampingku.
Esme tersenyum dan melangkah maju juga, menjabat tanganku. Genggamannya yang
kuat dan dingin persis yang kuperkirakan.
"Senang sekali bisa berkenalan denganmu," sahutnya tulus.
"Terima kasih. Aku juga senang bisa bertemu Anda." Memang itulah yang kurasakan.
Pertemuan itu bagaikan pertemuan dongeng - Putri Salju dalam wujud aslinya.
"Di mana Alice dan Jasper?" Edward bertanya, tapi mereka tidak menjawab,
berhubung keduanya muncul di puncak tangga yang lebar.
"Hei, Edward!" Alice memanggilnya bersemangat. Ia berlari menuruni tangga,
perpaduan rambut hitam dan kulit putih, sekonyong-konyong berhenti dengan anggun
di hadapanku. Carlisle dan Esme memelototinya, tapi aku menyukainya. Lagi pula,
itu sesuatu yang alami-baginya.
"Hai, Bella!" sapa Alice, dan ia melesat ke depan untuk mengecup pipiku. Bila
Carlisle dan Esme sebelumnya tampak berhati-hati, sekarang mereka tampak
terkesiap. Mataku juga memancarkan rasa terkejut, tapi aku juga sangat senang
bahwa sepertinya ia menerima keberadaanku sepenuhnya. Aku bingung melihat Edward
yang mendadak kaku di sebelahku. Aku memandang wajahnya, tapi ekspresinya tak
bisa ditebak. "Kau memang harum, aku belum pernah memerhatikan sebelumnya." ia berkomentar,
membuatku sangat malu. Tampaknya tak seorang pun tahu apa yang harus dikatakan, kemudian Jasper ada di
sana - tinggi bagai singa. Perasaan lega menyeruak dalam diriku, dan tiba-tiba
aku merasa nyaman terlepas di mana aku tengah berada. Edward menatap Jasper,
salah satu alisnya terangkat, dan aku teringat akan kemampuannya.
"Halo, Bella," sapa Jasper. Ia tetap menjaga jarak, tidak menawarkan untuk
berjabat tangan. Tapi mustahil untuk merasa gugup di dekatnya.
"Halo, Jasper." Aku tersenyum malu-malu padanya, dan pada yang lainnya juga.
"Senang bisa bertemu kalian semua - rumah kalian sangat indah." tambahku apa
adanya. "Terima kasih," sahut Esme. "Kami senang sekali kau datang." Ia berbicara penuh
perasaan, dan aku menyadari ia pasti menganggapku berani.
Aku juga menyadari bahwa Rosalie dan Emmett tak terlihat di mana pun di rumah
itu, dan aku ingat penyangkalan Edward yang terlalu polos ketika aku bertanya
padanya apakah keluarganya yang lain tidak menyukaiku.
Ekspresi Carlisle mengalihkanku dari pikiran ini; ia memandang Edward penuh
makna, ekspresinya mendalam. Dan sudut mata aku melihat Edward mengangguk
sekali. Aku mengalihkan pandangan, berusaha bersikap sopan. Mataku kembali menatap
instrumen indah di dekat pintu. Tiba-tiba aku teringat khayalan masa kecilku,
seandainya aku memenangkan lotre, aku akan membeli grand piano untuk ibuku. Ia
tidak terlalu pintar memainkan piano-ia hanya memainkan piano upright bekas kami
untuk dirinya sendiri - tapi aku suka melihatnya memainkan piano. Ia terlihat
bahagia, begitu tenggelam-bagiku ia kelihatan seperti sosok misterius yang baru,
seseorang di luar sosok "ibu" yang kukenal selama ini. Ia mengajariku cara
bermain piano, tentu saja, tapi seperti kebanyakan anak, aku terus mengeluh
hingga ia membiarkanku berhenti berlatih.
Esme memerhatikan keprihatinanku.
"Kau bisa main piano?" tanyanya, menunjuk piano dengan kepalanya.
Kugelengkan kepalaku. "Tidak sama sekali. Tapi piano itu indah sekali. Apakah
itu milik Anda?" "Tidak," ia tertawa. "Edward tidak memberitahumu dia pandai bermain musik?"
"Tidak." Dengan marah kutatap Edward yang memasang ekspresi tak berdosa. "Kurasa
aku seharusnya tahu."
Alis Esme yang lembut terangkat, bingung.
"Edward bisa melakukan segalanya, bukan begitu?" kataku menjelaskan.
Jasper tertawa sinis dan Esme menatap Edward tak setuju. "Kuharap kau tidak
pamer pada Bella - itu tidak sopan," bentaknya.
"Hanya sedikit," Edward tertawa lepas. Wajah Esme melembut mendengar suara itu,
dan sesaat mereka saling menatap - tatapan yang tak kumengerti - meskipun wajah
Esme tampak nyaris puas. "Sebenarnya, dia terlalu rendah hati." aku meralatnya.
"Kalau begitu, bermainlah untuknya," bujuk Esme.
"Kau baru saja bilang memamerkan diri tidak sopan," sergah Edward keberatan.
"Selalu ada pengecualian terhadap setiap peraturan," balas Esme.
"Aku ingin mendengarmu bermain piano," sahutku.
"Kalau begitu sudah diputuskan." Esme mendorong Edward menuju piano. Edward
menarikku bersamanya, mendudukkanku di kursi di sampingnya.
Lama sekali ia menatapku putus asa, sebelum beralih pada tuts-tuts pianonya.
Kemudian jari-jarinya dengan lincah menekan tuts-tuts gading itu. dan ruangan
itu pun dipenuhi irama yang begitu rumit, begitu kaya, mustahil hanya dimainkan
dengan sepasang tangan. Aku merasakan mulutku menganga terkesima karena
permainannya, dan mendengar tawa pelan di belakangku, menertawakan reaksiku.
Edward menatapku santai, musik masih melingkupi kami tanpa henti, dan ia
berkedip. "Kau menyukainya?"
"Kau menciptakannya?" Aku terperangah menyadarinya.
Ia mengangguk. "Kesukaan Esme."
Aku memejamkan mata sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Ada apa?" "Aku merasa amat sangat tidak berguna."
Irama musik memelan, berubah jadi lebih lembut, dan aku terkejut menemukan
melodi nina bobonya mengalun di antara sekumpulan not yang dimainkannya.
"Kau yang menginspirasi ini," katanya lembut. Musiknya berkembang menjadi
sesuatu yang teramat manis.
Aku tak sanggup berkata-kata.
"Mereka menyukaimu, kau tahu." katanya. "Terutama Esme."
Aku melirik ke belakang, tapi ruangan besar itu kosong sekarang.
"Mereka ke mana?"
"Kurasa mereka ingin memberi kita privasi."
Aku mendesah. "Mereka menyukaiku. Tapi Rosalie dan Emmett..." aku tidak
menyelesaikan kata-kataku, tak yakin bagaimana caranya mengekspresikan
keraguanku. Ia merengut. "Jangan khawatirkan Rosalie," karanya, matanya melebar dan
persuasif. "Dia akan datang."
Aku mencibir. "Emmett?"
"Well, dia pikir aku gila, dan dia benar, tapi dia tidak punya masalah denganmu.
Dia mencoba berempati dengan Rosalie."
"Apa yang membuat Rosalie tidak suka?" Aku tak yakin apakah ingin mengetahui
jawabannya. Ia menarik napas dalam-dalam. "Rosalie yang paling berjuang keras... menutupi
jati diri kami. Sulit baginya bila ada seseorang dari luar mengetahui
kebenarannya. Dan dia agak cemburu."
"Rosalie cemburu padaku?" tanyaku tak percaya. Aku berusaha membayangkan sebuah
kehidupan di mana di dalamnya ada seseorang semenawan Rosalie memiliki
alasan apa pun untuk merasa cemburu pada seseorang seperti aku.
"Kau manusia." Ia mengangkat bahu. "Dia berharap seandainya dia juga manusia."
"Oh," gumamku, masih terkejut. "Bahkan Jasper..."
"Ini benar-benar salahku," katanya. "Sudah kubilang, dia yang terakhir mencoba
cara hidup kami. Aku mengingatkannya untuk menjaga jarak."
Aku memikirkan alasannya melakukan hal itu, dan bergidik.
"Esme dan Carlisle...?" lanjutku cepat, untuk mencegahnya menyadari kengerianku.
"Senang melihatku bahagia. Sebenarnya. Esme tidak akan peduli seandainya kau
punya tiga mata dan kakimu berselaput. Selama ini dia mengkhawatirkan aku, takut
ada sesuatu yang hilang dari karakter utamaku, bahwa aku terlalu muda ketika
Carlisle mengubahku... Dia sangat senang. Setiap kali aku menyentuhmu, dia
nyaris tersedak oleh perasaan puas."
"Alice tampak sangat... bersemangat."
"Alice punya caranya sendiri dalam melihat hal-hal," katanya dengan bibir
terkatup rapat. "Dan kau takkan menjelaskannya, ya kan?"
Sesaat keheningan melintas di antara kami. Ia menyadari bahwa aku tahu ia
menyembunyikan sesuatu dariku. Aku tahu ia takkan mengatakan apa-apa. Tidak
sekarang. "Jadi, tadi Carlisle bilang apa padamu?"
Alisnya menyatu. "Aku tahu kau pasti memerhatikan."
Aku mengangkat bahu. "Tentu saja."
Ia memandangku lekat-lekat sebentar sebelum menjawab. "Dia ingin memberitahuku
beberapa hal - dia tidak tahu apakah aku mau memberitahumu."
"Apakah kau akan memberitahuku?"
"Aku harus, karena aku akan sedikit... kelewat protektif selama beberapa hari ke
depan - atau minggu - dan aku tak mau kau berpikir bahwa sebenarnya aku ini
seorang tiran." "Ada apa?" "Sebenarnya tidak ada apa-apa. Alice hanya melihat akan ada beberapa tamu.
Mereka tahu kami ada di sini, dan mereka penasaran."
"Tamu?" "Ya... well, mereka tidak seperti kami, tentu saja - maksudku dalam kebiasaan
berburu mereka. Barangkali mereka sama sekali tidak akan datang ke kota, tapi
jelas aku takkan melepaskanmu dari pengawasanku sampai mereka pergi."
Aku bergidik ngeri. "Akhirnya, respons yang masuk akal!" gumamnya. "Aku mulai berpikir kau sama
sekali tidak menyayangi dirimu."
Aku mengabaikan gurauannya, memalingkan wajah, mataku sekali lagi menjelajahi
ruangan yang luas itu. Ia mengikuti arah pandanganku. "Tidak seperti yang kauharapkan, ya kan?"
tanyanya, suaranya terdengar arogan.
"Tidak," aku mengakuinya.
"Tidak ada peti mati, tidak ada tumpukan kerangka di sudut; aku bahkan yakin
kami tidak memiliki sarang laba-laba... pasti semua ini sangat mengecewakanmu,"
lanjutnya mengejek. Aku mengabaikannya. "Begitu ringan... begitu terbuka."
Ia terdengar lebih serius saat menjawab. "Ini satu-satunya tempat di mana kami
tak perlu bersembunyi."
Lagu yang masih dimainkannya, laguku, tiba di bagian akhir, kord terakhir
berganti menjadi not yang lebih melankolis. Not terakhir mengalun sedih dalam
keheningan. "Terima kasih," gumamku. Aku tersadar air mata merebak di pelupuk mataku. Aku
menyekanya, malu. Ia menyentuh sudut mataku, menyeka titik air mata yang tersisa. Ia mengangkat
jarinya, mengamati tetes air itu lekat-lekat. Kemudian, begitu cepat hingga aku
tak yakin ia benar-benar melakukannya, ia meletakkan jarinya ke mulutnya untuk
merasakannya. Aku menatapnya bertanya-tanya, dan ia balas memandangku lama sekali sebelum
akhirnya tersenyum. "Apakah kau ingin melihat ruangan lainnya di rumah ini?"
"Tidak ada peti mati?" aku mengulanginya, kesinisan dalam suaraku tak sepenuhnya
menyamarkan perasaan waswas yang kurasakan.
Kami menaiki anak rangga yang besar-besar, tanganku menyusuri birai rangga yang
halus bagai satin. Ruangan panjang di lantai atas memiliki elemen kayu berwarna
kuning madu, sama seperti lantai keramiknya.
"Kamar Rosalie dan Emmett... ruang kerja Carlisle... kamar Alice... " Ia
menunjukkannya sambil menuntunku melewati pintu-pintu itu.
Ia bisa saja melanjutkan, tapi aku berhenti mendadak dan terperanjat di akhir
ruang besar itu, terkesiap memandang ornamen yang menggantung di dinding di aras
kepalaku. Edward tergelak, menertawai ekspresiku yang bingung. "Kau boleh
Twilight Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tertawa," katanya. "Bisa dibilang ironis."
Aku tidak tertawa. Tanganku terulur dengan sendirinya, satu jari menunjuk seolah
ingin menyentuh salib kayu besar itu, warna permukaannya yang gelap mengilat,
sangat kontras dengan warna dinding yang terang dan ringan. Aku tidak
menyentuhnya, meskipun penasaran apakah kayu yang sudah sangat tua itu terasa
sama lembutnya seperti kelihatannya.
"Pasti sudah sangat tua," aku menebaknya.
Ia mengangkat bahu. "Awal 1630-an, kurang-lebih."
Aku mengalihkan pandang dari salib itu kepada Edward.
"Mengapa kalian menyimpannya di sini?" aku bertanya-tanya.
"Nostalgia. Itu milik ayah Carlisle."
"Dia mengoleksi barang-barang antik?" aku menebak ragu-ragu.
"Tidak. Dia mengukirnya sendiri. Salib ini digantungkan di atas altar rumah
gereja tempatnya memberi pelayanan."
Aku tak yakin apakah wajahku dapat menutupi keterkejutanku, tapi aku kembali
memandang salib kuno dan sederhana itu, untuk berjaga-jaga. Aku langsung
menghitung dalam hari; salib itu berusia lebih dari 370 tahun. Keheningan
berlanjut saat aku berusaha menyimpulkan pikiranku mengenai tahun-tahun yang
begitu banyak. "Kau baik-baik saja?" Ia terdengar waswas.
"Berapa umur Carlisle?" tanyaku pelan, mengabaikan pertanyaannya, masih
memandangi salib. "Dia baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-362," jawab Edward. Aku kembali
menatapnya, berjuta-juta pertanyaan tersimpan di mataku.
Ia memerhatikanku dengan hati-hati ketika berbicara.
"Carlisle lahir di London, pada tahun 1640-an, menurutnya. Lagi pula bagi orang-
orang awam, saat itu perhitungan waktu belum terlalu tepat. Meski begitu, saat
itu tepat sebelum pemerintahan Cromwell."
Aku tetap menjaga ekspresiku, sadar ia mengamatiku saat aku menyimak. Lebih
mudah seandainya aku tidak mencoba memercayainya.
"Dia putra tunggal seorang pendeta Anglikan. Ibunya meninggal saat
melahirkannya. Ayahnya berpandangan sempit. Saat penganut Protestan mulai
berkuasa, dia begitu bersemangat membantai umat Katolik Roma dan agama lainnya.
Dia juga sangat percaya adanya roh jahat. Dia mengizinkan perburuan penyihir,
werewolf... dan vampir." Tubuhku semakin kaku mendengar kata itu. Aku yakin ia
memerhatikan, tapi ia melanjutkannya.
"Mereka membakar banyak orang tak berdosa - tentu saja makhluk-makhluk
sesungguhnya yang dicarinya tidak mudah ditangkap."
"Ketika sang pendeta semakin tua, dia menempatkan anak laki-lakinya yang patuh
sebagai pemimpin dalam pencarian. Awalnya kemampuan Carlisle mengecewakan; dia
tidak gesit menuduh; untuk menemukan roh-roh jahat di mana mereka tidak eksis.
Tapi dia tetap ngotot, dan lebih pintar dari ayahnya. Dia benar-benar menemukan
vampir sejati yang hidup tersembunyi di gorong-gorong kota, hanya keluar pada
malam hari untuk berburu. Pada masa itu, ketika monster bukan hanya mitos dan
legenda, begitulah cara mereka hidup."
"Orang-orang mengumpulkan garu dan obor mereka, tentu saja" - tawanya lebih
menyeramkan sekarang-"dan menunggu di tempat Carlisle telah melihat para monster
itu keluar ke jalanan. Akhirnya salah satu dari mereka muncul."
Suaranya sangat pelan; aku harus benar-benar berkonsentrasi untuk menangkap
kata-katanya. "Dia pasti makhluk kuno, dan lemah karena kelaparan. Carlisle mendengarnya
memanggil yang lain dalam bahasa Latin saat mencium keramaian. Dia berlari ke
jalanan dan Carlisle - dia berumur 23 tahun dan sangat tangkas - memimpin
pengejaran. Makhluk itu bisa dengan mudah mengalahkan mereka, tapi Carlisle
mengira makhluk itu terlalu lapar, jadi dia berbalik dan menyerang. Makhluk itu
menjatuhkan Carlisle lebih dulu, tapi yang lain ada di belakangnya, dan dia
berbalik untuk membela diri. Dia membunuh dua manusia, dan kabur dengan membawa
korban ketiganya, meninggalkan Carlisle berdarah-darah di jalanan."
Edward berhenti. Aku bisa merasakan ia mengedit sesuatu, menyembunyikan sesuatu
dariku. Carlisle tahu apa yang akan dilakukan ayahnya. Tubuh-tubuh akan dibakar-apa saja
yang terinfeksi oleh monster itu harus dibakar. Carlisle mengikuti instingnya
dan menyelamatkan nyawanya sendiri. Dia merangkak menjauh dari jalan sementara
kerumunan pemburu mengikuti makhluk jahat dan korbannya. Dia bersembunyi di
gudang bawah tanah, mengubur dirinya sendiri di antara
tomat-tomat yang membusuk. Benar-benar mukjizat dia dapat tetap diam, dan tak
ditemukan. "Akhirnya semua itu selesai, dan dia menyadari dirinya telah menjelma sebagai
apa." Aku tak yakin bagaimana ekspresiku, tapi tiba-tiba ia berhenti.
"Bagaimana perasaanmu?" tanyanya.
"Aku baik-baik saja," aku menenangkannya. Dan meskipun aku menggigit bibir
karena ragu, ia pasti telah melihat rasa penasaran yang membara di mataku.
Ia tersenyum. "Kuharap kau punya beberapa pertanyaan lagi untukku."
"Beberapa." Senyumnya melebar, memamerkan giginya yang sempurna. Ia mulai menyusuri ruang
besar itu, sambil menarikku bersamanya. "Kalau begitu, ayo," ajaknya. "Akan
kutunjukkan padamu."
16. CARLISLE IA menuntunku ke ruangan yang tadi disebutnya sebagai ruang kerja Carlisle. Ia
berhenti sebentar di depan pintu. "Masuklah," undang Carlisle.
Edward membuka pintu yang mengantar kami ke ruangan beratap tinggi dengan
jendela-jendela tinggi yang menghadap ke barat. Dinding-dindingnya bersekat,
kayunya berwarna lebih gelap-di mana saja terlihat. Kebanyakan ruas dinding
dipenuhi rak buku yang menjulang hingga di atas kepalaku dan menyimpan lebih
banyak buku daripada yang pernah kulihat selain di perpustakaan.
Carlisle duduk di belakang meja mahoni besar, di sebuah kursi kulit. Ia baru
saja menyelipkan pembatas buku pada halaman buku tebal yang dipegangnya. Ruangan
itu bagaikan ruang dekan yang ada dalam bayanganku - hanya saja Carlisle
terlihat terlalu muda untuk menempatinya.
"Apa yang bisa kulakukan untuk kalian?" ia bertanya dengan suara menyenangkan
seraya bangkit dari duduk.
"Aku ingin menunjukkan kepada Bella sebagian sejarah kita" kata Edward. "Well,
sejarahmu, sebenarnya."
"Kami tidak bermaksud mengganggu Anda," kataku meminta maaf.
"Tidak sama sekali. Dari mana kau akan mulai?"
"The Wagonnet," jawab Edward, meletakkan satu tangannya di bahuku, dan memutar
tubuhku untuk melihat kembali pintu yang baru kami lalui. Setiap kali ia
menyentuhku, bahkan dengan sentuhan paling ringan sekalipun, jantungku langsung
berdebar sangat cepat. Kehadiran Carlisle membuatnya lebih memalukan lagi.
Dinding yang kami hadapi sekarang berbeda dengan yang lainnya. Sebagai ganti rak
buku, dinding ini dipenuhi gambar berbingkai dalam segala ukuran, beberapa
dengan warna terang, yang lain hitam-putih membosankan. Aku berusaha mencari
benang merah yang menghubungkan gambar-gambar itu, tapi pengamatanku yang
terburu-buru tidak menghasilkan apa pun.
Edward menarikku ke ujung sisi kiri, memosisikanku di depan lukisan cat minyak
persegi kecil yang dibingkai kayu sederhana. Yang satu ini tidak terlalu
mencolok dibanding lukisan-lukisan yang lebih besar dan cerah; dilukis dengan
beragam gradasi warna sepia. menggambarkan kota yang sarat dengan atap yang amat
landai, dengan puncak menara tipis di atas beberapa menara yang terserak. Sungai
lebar mengaliri bagian muka, dilintasi jembatan penuh bangunan yang tampak
seperti katedral kecil. "London pada tahun 1650-an." kata Edward.
"London pada masa mudaku," Carlisle menambahkan beberapa meter di belakangku.
Aku tersentak; aku tidak mendengarnya mendekat. Edward meremas tanganku.
"Maukah kau menceritakannya?" pinta Edward.
Aku menoleh sedikit untuk melihat reaksi Carlisle.
Kami bertemu pandang dan ia tersenyum. "Aku mau," jawabnya. "Tapi sebenarnya aku
sudah agak terlambat. Rumah sakit menelepon pagi tadi - dr. Snow tidak masuk
karena sakit. Lagi pula, kau mengetahui ceritanya sebaik aku," tambahnya,
tersenyum pada Edward sekarang.
Sungguh perpaduan yang aneh - dokter kota yang sibuk dengan masalah sehari-hari,
terjebak dalam pembahasan mengenai masa mudanya pada abad ke-17 di London.
Aku juga waswas, mengetahui ia mengatakannya dengan lantang hanya demi
kepentinganku. Setelah tersenyum hangat ke arahku, Carlisle meninggalkan ruangan.
Lama sekali aku menatap gambar kecil kampung halaman Carlisle itu.
"Lalu apa yang terjadi?" akhirnya aku bertanya, mendongak menatap Edward, yang
sedang mengamatiku. "Ketika dia menyadari apa yang terjadi padanya?"
Edward kembali memandang lukisan-lukisan itu, dan aku memerhatikan untuk melihat
gambar mana yang menarik perhatiannya sekarang. Ternyata gambar pemandangan
berukuran lebih besar dalam warna-warna musim gugur yang muram - padang rumput
kosong dan berbayang di sebuah hutan, dengan puncak gunung di kejauhan.
"Ketika tahu dirinya telah menjelma menjadi apa," kata Edward pelan, "dia
melawannya. Dia berusaha menghancurkan dirinya sendiri. Tapi itu tidak mudah."
"Bagaimana?" Aku tak bermaksud mengatakannya keras-keras, tapi kata itu meluncur
begitu saja. "Dia melompat dari ketinggian yang amat sangat," Edward memberitahuku, suaranya
datar. "Dia berusaha menenggelamkan dirinya di lautan... tapi dia masih baru
untuk kehidupan barunya, dan sangat kuat. Sungguh mengagumkan bahwa dia mampu
menolak... memangsa... padahal dia masih begitu baru. Sejalan dengan waktu,
nalurinya bertumbuh makin kuat, mengambil alih segalanya. Tapi dia begitu jijik
pada dirinya sendiri hingga memiliki kekuatan untuk mencoba bunuh diri dengan
membiarkan dirinya kelaparan."
"Apakah itu mungkin?" suaraku terdengar samar.
"Tidak, hanya ada sangat sedikit cara untuk membunuh kami."
Mulutku membuka hendak bertanya, tapi ia menduluiku.
"Akhirnya dia sangat kelaparan, dan menjadi lemah. Dia pergi sejauh mungkin dari
manusia, sadar tekadnya mulai melemah. Berbulan-bulan dia berkeliaran pada malam
hari, mencari tempat paling sepi, membenci dirinya sendiri.
"Suatu malam sekawanan rusa melintas di tempat persembunyiannya. Dia begitu haus
hingga menyerang tanpa berpikir lagi. Kekuatannya pulih dan dia menyadari ada
cara lain untuk mengelakkan dirinya menjadi monster jahat yang selama ini
dikhawatirkannya. Pernahkah dia
memakan daging rusa pada kehidupan silamnya" Beberapa bulan kemudian filosofi
barunya pun tercipta. Dia dapat hidup tanpa menjadi makhluk jahat. Dia menemukan
jati dirinya lagi. Dia mulai menggunakan waktunya sebaik-baiknya. Dia pandai dan selalu ingin
belajar. Sekarang dia memiliki waktu tak terbatas. Dia belajar pada malam hari,
bekerja di siang hari. Dia berenang ke Prancis dan-"
"Dia berenang ke Prancis?"
"Orang-orang mengarungi Channell setiap saat. Bella," Edward mengingatkanku
dengan sabar. "Kurasa itu benar. Hanya saja kedengarannya lucu dalam konteks itu. Lanjutkan."
"Berenang sesuatu yang mudah bagi kami-"
"Segalanya mudah bagimu." kataku kagum.
Ia menunggu, wajahnya kesal.
"Aku takkan menyelamu lagi, janji."
Ia tergelak misterius, dan menyelesaikan kalimatnya. "Karena secara teknis, kami
tidak perlu bernapas."
"Kau-" "Tidak, tidak, kau sudah janji." Edward tertawa, dengan lembut meletakkan
jarinya yang dingin di bibirku. "Kau mau mendengar ceritanya atau tidak"
"Kau tak bisa menceritakan sesuatu seperti itu padaku, lalu berharap aku tak
mengatakan apa-apa," gumamku.
Ia mengangkat tangan, memindahkannya ke leherku. Jantungku bereaksi terhadap hal
itu, tapi aku berkeras. "Kau tak perlu bernapas?" desakku.
"Tidak, itu tidak perlu. Hanya masalah kebiasaan." Ia mengangkat bahu.
"Berapa lama kau tahan... tanpa bernapas?"
"Kurasa untuk waktu tak terbatas; entahlah. Lama-kelamaan rasanya agak tidak
nyaman untuk tidak memiliki indra penciuman."
"Agak tidak nyaman," ulangku.
Aku tidak memerhatikan ekspresiku sendiri, tapi sesuatu yang ditunjukkannya
membuat Edward semakin muram. Tangannya terkulai di sisinya dan ia berdiri diam
tak bergerak, matanya menatap lekat wajahku. Keheningan terus berlanjut.
Tubuhnya tak bergerak bagai baru.
"Ada apa?" aku berbisik, menyentuh wajahnya yang membeku.
Wajahnya melembut karena sentuhanku, dan ia mendesah "Aku terus menunggunya
terjadi." "Menunggu apa?"
"Aku tahu pada titik tertentu, sesuatu yang kukatakan padamu atau sesuatu yang
kaulihat akan sulit diterima. Kemudian kau akan menjauh dariku, lari sambil
menjerit-jerit." Ia setengah tersenyum, tapi tatapannya serius. "Aku takkan
menghentikanmu. Aku ingin ini terjadi sebab aku ingin kau aman. Meski begitu,
aku juga ingin bersamamu. Dua hasrat yang mustahil dipertemukan... " Ia tidak
menyelesaikan kalimatnya dan hanya memandang wajahku. Menunggu.
"Aku takkan lari ke mana-mana," aku berjanji padanya.
"Kita lihat saja," katanya, tersenyum lagi.
Aku merengut. "Jadi, lanjutkan - Carlisle berenang ke Prancis."
Ia berhenti, kembali lagi ke ceritanya. Dengan sendirinya matanya tertuju ke
gambar lain-yang paling berwarna-warni di antara yang lainnya, yang bingkainya
paling penuh ukiran, dan yang paling besar; lebarnya dua kali pintu di
sebelahnya. Kanvasnya sarat dengan sosok-sosok terang dalam jubah panjang,
berputar-putar mengelilingi pilar-pilar dan melewati balkon pualam. Aku tak bisa
mengatakan apakah gambar itu menggambarkan mitologi Yunani, ataukah karakter
yang melayang di atas awan dimaksudkan bersifat biblikal.
"Carlisle berenang ke Prancis, dan terus ke Eropa, ke universitas-universitas di
sana. Pada malam hari dia belajar musik, ilmu pengetahuan, kedokteran - dan
menemukan panggilan hidup dan penebusan dirinya lewat menyelamatkan nyawa
manusia." Ekspresinya penuh kekaguman, hormat. "Aku tak punya cukup kata-kata
untuk menggambarkan perjuangan Carlisle; dia menghabiskan dua abad untuk
menyempurnakan pengendalian dirinya dengan susah payah. Sekarang dia sudah kebal
dengan bau darah manusia, dan dia mampu melakukan pekerjaan yang dicintainya
tanpa tersiksa. Dia menemukan kedamaian yang luar biasa di sana, di rumah
sakit... " Lama sekali Edward menerawang. Tiba-tiba ia teringat tujuan awalnya.
Ia menepukkan tangannya ke lukisan besar di depan kami.
"Dia sedang belajar di Italia ketika menemukan yang lainnya di sana. Mereka jauh
lebih beradab dan berpendidikan daripada makhluk-makhluk penghuni gorong-gorong
di London." Ia menyentuh empat sosok yang terlukis di balkon paling tinggi, yang dengan
tenang memandang kekacauan di bawah mereka. Aku mengamati sosok-sosok itu dengan
saksama, lalu tersadar, seraya tertawa kaget, bahwa aku mengenali pria berambut
keemasan itu. "Solimena sangat terinspirasi oleh teman-teman Carlisle. Dia sering melukiskan
mereka sebagai dewa," Edward tertawa. "Aro, Marcus, Caius," katanya,
memperkenalkan tiga lainnya, dua berambut hitam, yang satu lagi berambut putih
bagai salju. "Penjaga malam di gedung seni."
"Apa yang terjadi pada mereka?" tanyaku lantang, ujung jariku hanya satu senti
dari figur-figur di kanvas itu.
"Mereka masih di sana." Ia mengangkat bahu. "Seperti selama entah siapa yang
tahu berapa ribu tahun ini. Carlisle tinggal hanya sebentar bersama mereka,
hanya beberapa dekade. Dia sangat mengagumi keberadaban mereka, kehalusan budi
bahasa mereka, tapi mereka tetap berusaha memulihkan ketidaksukaan Carlisle
terhadap makanan utamanya, begitulah mereka menyebutnya. Mereka mencoba
membujuknya, dan dia berusaha memengaruhi mereka, keduanya sama-sama tidak
berhasil. Karena itu Carlisle memutuskan untuk mencoba Dunia Baru. Dia berkhayal
menemukan yang lain seperti dirinya. Dia sangat kesepian, kau tahu.
"Dia tidak menemukan siapa-siapa untuk waktu yang lama. Tapi mengingat monster
telah menjelma menjadi makhluk dongeng, dia mendapati dirinya dapat berinteraksi
dengan manusia, seolah-olah dia salah satu dari mereka. Dia mulai menerapkan
metode pengobatan. Dan meskipun hasratnya untuk menjalin persahabatan tak
terelakkan lagi; dia tak dapat mempertaruhkan identitasnya.
"Ketika epidemi influenza merebak, dia bekerja bermalam-malam di sebuah rumah
sakit di Chicago. Bertahun-tahun dia telah mempertimbangkan sebuah gagasan dalam
benaknya, dan dia nyaris memutuskan untuk melakukannya-berhubung dia tak bisa
mendapatkan teman, dia akan menciptakannya. Dia tak sepenuhnya yakin bagaimana
terjadinya perubahan dalam dirinya, jadi dia merasa ragu. Dan dia benci
mengambil hidup seseorang seperti hidupnya telah diambil. Dalam pemikiran itulah
dia menemukanku. Tak ada harapan untukku; aku dibiarkan berbaring di bangsal
Twilight Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersama orang-orang sekarat. Dia telah merawat orangtuaku, dan tahu aku sebatang
kara. Dia memutuskan untuk mencobanya... "
Suara Edward, nyaris berbisik sekarang, memelan. Diam-diam matanya menerawang ke
jendela-jendela di sebelah barat. Aku bertanya-tanya apa yang mengisi pikirannya
sekarang, kenangan Carlisle ataukah ingatannya sendiri. Aku menunggu dalam diam.
Ketika ia kembali padaku, senyuman malaikat yang lembut menghiasi wajahnya.
"Dan sejak itu hidup kami sempurna," ia menyimpulkan.
"Apakah sejak itu kau selalu tinggal bersama Carlisle." tanyaku.
"Hampir selalu." Ia meletakkan tangannya di pinggangku dan menarikku bersamanya
sambil berjalan ke pintu. Aku menoleh memandang dinding yang dipenuhi gambar
itu, bertanya-tanya apakah aku akan pernah mendengarkan kisah yang lainnya.
Edward tidak mengatakan apa-apa lagi ketika kami berjalan menyusuri lorong, jadi
aku bertanya, "Hampir selalu?"
Ia mendesah, tampak enggan menjawabnya. "Well, aku memiliki jiwa pemberontak
khas remaja - sekitar sepuluh tahun setelah aku... dilahirkan... diciptakan,
terserah bagaimana kau menyebutnya. Aku tidak menyukai caranya berpantang, dan
aku marah padanya karena telah membatasi seleraku. Jadi aku pergi hidup seorang
diri selama beberapa waktu."
"Sungguh?" Aku terpancing, bukannya ketakutan, seperti yang seharusnya
kurasakan. Ia bisa merasakannya. Aku samar-samar menyadari kami sedang menuju rangkaian
anak tangga selanjutnya, tapi aku tidak terlalu memerhatikan sekelilingku.
"Itu tidak membuatmu takut?"
"Tidak." "Kenapa tidak?"
"Kurasa... kedengarannya masuk akal."
Ia tertawa, lebih keras daripada sebelumnya. Kami sekarang berada di anak tangga
teratas, di lorong berpanel lainnya.
"Sejak kelahiran baruku," gumamnya, "aku memiliki kemampuan mengetahui apa yang
dipikirkan orang-orang di sekitarku, baik manusia maupun bukan manusia. Itu
sebabnya perlu sepuluh tahun bagiku untuk menentang Carlisle - aku bisa
mengetahui ketulusannya yang sempurna, mengerti benar mengapa dia hidup seperti
itu. "Hanya butuh beberapa tahun sampai aku kembali pada Carlisle dan berkomitmen
pada visinya. Kupikir aku akan terbebas dari... depresi... yang menyertai hati
nurani. Karena aku mengetahui pikiran mangsaku, aku dapat mengabaikan yang tak
bersalah dan mengejar hanya yang jahat. Kalau aku mengikuti seorang pembunuh di
lorong gelap tempat dia membunuh seorang gadis muda - kalau aku menyelamatkan
gadis itu, maka tentunya aku tidak sejahat itu."
Aku gemetaran, membayangkan terlalu jelas apa yang digambarkannya-lorong pada
malam hari, gadis yang ketakutan, laki-laki di belakangnya. Dan Edward, Edward
yang sedang berburu, menyeramkan sekaligus mengagumkan bagai dewa muda, tak
terhentikan. Apakah gadis itu berterima kasih, ataukah lebih ketakutan daripada
sebelumnya" "Tapi sejalan dengan waktu, aku mulai melihat monster dalam diriku. Aku tak
dapat melarikan diri dari begitu banyak kehidupan manusia yang telah kuambil,
tak peduli apa pun alasannya. Dan aku pun kembali kepada Carlisle dan Esme.
Mereka menyambutku secara berlebihan. Lebih daripada yang layak kudapatkan."
Kami berhenti di depan pintu terakhir di lorong itu.
"Kamarku," ia memberitahuku, membuka dan menarikku masuk.
Kamarnya menghadap ke selatan, dengan jendela seluas dinding seperti ruangan
besar di bawah. Seluruh bagian belakang rumah ini pasti terbuat dari kaca.
Pemandangan di sini menyajikan Sungai Sol Duc yang meliuk-liuk melintasi hutan
rak terjamah hingga ke deretan Pegunungan Olympic. Pegunungan itu jauh lebih
dekat dari yang kuduga. Dinding sebelah barat sepenuhnya tertutup rak demi rak CD. Koleksi CD di
kamarnya jauh melebihi yang dimiliki toko musik. Di sudut ada satu set sound
system yang tampak canggih jenis yang tak akan kusentuh karena yakin bakal
merusaknya. Tidak ada tempat tidur, hanya sofa kulit hitam yang lebar dan
mengundang. Lantainya dilapisi karpet tebal berwarna keemasan, dan dindingnya
dilapisi bahan tebal yang bernuansa lebih gelap.
"Perlengkapan audio yang bagus?" aku mencoba menebak.
Ia tergelak dan mengangguk.
Ia mengambil remote dan menyalakan stereonya. Suaranya pelan, namun musik jazz
lembut itu terdengar seolah-olah dimainkan secara live di ruangan ini. Aku
melihat-lihat koleksi musiknya.
"Bagaimana kau menyusunnya?" aku bertanya.
Ia tidak mendengarkan. "Mmmm, berdasarkan tahun, lalu berdasarkan pilihan pribadi dalam rentang waktu
itu," katanya setengah melamun.
Aku berbalik, dan ia sedang memandangku dengan ekspresi aneh di matanya.
"Apa?" "Aku tahu aku akan merasa... lega. Setelah kau mengetahui semuanya, aku tak
perlu lagi menyimpan rahasia darimu. Tapi aku tak berharap merasakan lebih dari
itu. Ternyata aku menyukainya. Ini membuatku... bahagia." Ia mengangkat bahu,
tersenyum samar. "Aku senang," kataku, balas tersenyum. Aku khawatir ia menyesal telah mengatakan
semua ini padaku. Senang mengetahui bukan itu masalahnya.
Tapi kemudian, ketika tatapannya memilah-milah ekspresiku, senyumnya memudar dan
dahinya berkerut. "Kau masih menungguku berlari dan menjerit-jerit, kan?" aku menebak.
Bibirnya menyunggingkan senyum tipis, dan ia mengangguk.
"Aku benci menghancurkan harapanmu, tapi kau benar tidak semenakutkan yang
kaukira. Sebenarnya, aku sama tidak menganggapmu menakutkan," aku berbohong.
Ia berhenti, alisnya terangkat, jelas-jelas tidak percaya. Kemudian ia tersenyum
lebar dan licik. 'Kau seharusnya tidak mengatakan itu," ia tergelak. Ia
menggeram dengan suara pelan; bibirnya ditarik dan memamerkan giginya yang
sempurna. Sekonyong-konyong ia menggeser posisinya, setengah membungkuk, tegang
seperti singa yang siap menerjang.
Aku mundur darinya, menatapnya nanar.
"Kau tidak akan melakukannya."
Aku tidak melihatnya melompat ke arahku-terlalu cepat. Sekonyong-konyong aku
mendapati diriku melayang, kemudian kami mendarat di sofa yang menyentak keras
sampai ke dinding. Lengannya membentuk sangkar baja di sekeliling tubuhku-nyaris
menyentuhku. Tapi aku toh terengah-engah saat mencoba memperbaiki posisiku.
Ia tidak membiarkanku. Digulungnya tubuhku menyerupai bola ke dadanya,
dicengkeramnya diriku lebih erat daripada rantai besi. Aku menatapnya ngeri,
tapi sepertinya ia dapat mengendalikan diri dengan baik, rahangnya melemas
ketika ia tersenyum, matanya berkilat-kilat penuh canda.
"Apa katamu tadi?" ia berpura-pura menggeram.
"Kau monster yang sangat, sangat menakutkan," kataku kesinisanku sedikit melunak
karena terengah-engah. "Jauh lebih baik," ia menyetujuinya.
"Mmm." Aku berusaha bangkit. "Boleh aku bangun sekarang?"
Ia hanya tertawa. "Boleh kami masuk?" terdengar suara lembut dari lorong. Aku berjuang melepaskan
diri, tapi Edward hanya menggeser posisiku hingga aku duduk sopan di pangkuannya. Aku bisa melihat bahwa
itu Alice, dan Jasper berdiri di belakangnya, di pintu masuk. Pipiku merah
padam, tapi Edward tampak santai.
"Silakan." Edward masih menahan tawa.
Alice sepertinya tidak menemukan sesuatu yang aneh melihat kami berpelukan
seperti itu; ia berjalan-nyaris menari, gerakannya sangat anggun - ke tengah
ruangan, di sana ia duduk bersila dengan luwes di lantai. Sebaliknya Jasper
berhenti di pintu, ekspresinya agak terkejut. Ia menatap wajah Edward, dan aku
bertanya-tanya apakah ia sedang merasakan suasana dengan kepekaannya yang luar
biasa. "Kedengarannya kau akan memangsa Bella untuk makan siang, dan kami datang untuk
melihat apakah kau mau berbagi," ujar Alice.
Tubuhku langsung kaku, sampai aku menyadari Edward tersenyum - entah karena
komentar Alice atau reaksiku, aku tak dapat mengatakannya.
"Maaf, rasanya aku tak ingin berbagi," jawabnya, dengan seenaknya memelukku
lebih dekat. "Sebenarnya," kata Jasper, tersenyum sambil memasuki ruangan. "Alice bilang akan
ada badai besar malam ini, dan Emmett ingin bermain bisbol. Kau mau ikut?"
Ucapannya terdengar cukup biasa, tapi konteksnya membuatku bingung. Meskipun
kusimpulkan Alice lebih bisa diandalkan daripada ramalan cuaca.
Mata Edward berkilat-kilat, tapi ia ragu.
"Tentu saja kau harus mengajak Bella," seru Alice. Sepertinya aku melihat Jesper
melirik ke arahnya. "Apa kau ingin ikut?" Edward bertanya padaku, kelihatan senang, wajahnya
bersemangat. "Tentu." Aku tak mungkin mengecewakannya. "Mmm, kita akan ke mana?"
"Kami harus menunggu petir untuk bermain bisbol - kau akan tahu kenapa," ia
berjanji. "Apakah aku akan memerlukan payung?"
Mereka tertawa keras. "Perlukah?" Jasper bertanya pada Alice.
"Tidak." Alice terdengar yakin. "Badai akan menghantam kota. Akan cukup kering
di hutan." "Kalau begitu, bagus." Seperti biasa, semangat dalam suara Jasper menular. Aku
mendapati diriku bersemangat, bukannya ketakutan.
"Ayo kita lihat apakah Carlisle mau ikut." Alice melompat-lompat menuju pintu
dalam balutan pakaian yang akan membuat iri balerina mana pun.
"Seperti kau tidak tahu saja," goda Jasper, dan mereka langsung berlalu. Jasper
berhasil menutup pintu tanpa bersuara.
"Kita akan main apa?" tanyaku.
"Kau akan menonton," Edward meralat. "Kami yang akan bermain bisbol."
Aku memutar bola mataku. "Vampir suka bisbol?"
"Itu permainan bangsa Amerika di masa lampau." oloknya.
17. PERMAINAN GERIMIS baru saja mulai ketika Edward berbelok menuju jalanan rumahku. Hingga
saat itu aku sama sekali tidak ragu ia akan terus menemaniku sementara aku
menghabiskan waktu sebentar di dunia nyata.
Kemudian aku melihat mobil hitam, Ford usang, diparkir di pelataran parkir
Charlie - dan mendengar Edward menggumamkan sesuatu yang tidak jelas, suaranya
pelan dan parau. Berteduh dari hujan di teras depan yang beratap rendah, tampak Jacob Black
berdiri di belakang kursi roda ayahnya. Wajah Billy diam bagai patung ketika
Edward memarkir trukku. Jacob mengawasi, ekspresinya mematikan.
Suara Edward yang dalam terdengar marah. "Ini sudah kelewatan."
"Dia datang untuk memperingatkan Charlie?" aku menebak, lebih ketakutan daripada
marah. Edward hanya mengangguk, membalas tatapan Billy yang menembus hujan dengan mata
menyipit. Aku merasa lemas dan sekaligus lega bahwa Charlie belum pulang
"Biar aku yang mengurusnya," usulku. Tatapan tajam Edward membuatku waswas.
Aku terkejut karena ia menyetujuinya. "Barangkali itu yang terbaik. Meskipun
begitu, berhati-hatilah. Anak itu tidak tahu apa-apa."
Aku sedikit kesal karena dia menyebut Jacob anak, "Jacob tidak jauh lebih muda
daripadaku," aku mengingatkan.
Ia memandangku, kemarahannya langsung lenyap. "Oh, aku tahu," ia meyakinkanku
dengan senyuman. Aku mendesah dan meletakkan tanganku di pegangan pintu.
"Ajak mereka masuk," perintahnya, "jadi aku bisa pergi. Aku akan kembali sekitar
senja." "Kau mau membawa trukku?" aku menawarkan, sambil membayangkan bagaimana caranya
menjelaskan kepada Charlie di mana trukku berada.
Ia memutar bola matanya. "Aku bisa berjalan pulang lebih cepat daripada truk
ini." "Kau tidak perlu pergi," kataku sedih.
Ia tersenyum melihat ekspresiku yang muram. "Sebenarnya memang tidak perlu.
Setelah kau menyingkiRkan mereka" - ia melemparkan tatapan kelam ke arah Jacob
dan Billy - "kau masih harus mempersiapkan Charlie untuk bertemu pacar barumu."
Ia tersenyum lebar, memamerkan seluruh giginya.
Aku mengerang. "Terima kasih banyak."
Ia menyunggingkan senyumnya yang kusuka. "Aku akan segera kembali," ia berjanji.
Matanya kembali melirik teras, kemudian ia membungkuk, sekilas mengecup pangkal
tangku. Jantungku melompat tak keruan, dan aku memandang ke teras. Wajah Billy
tak lagi datar, dan ia mencengkeram sandaran tangan kursi rodanya.
"Segera," aku menekankan kara itu sambil membuka pintu dan berdiri di bawah
hujan. Aku bisa merasakan tatapannya di punggungku ketika aku setengah berlari menembus
gerimis menuju teras. "Hei, Billy. Hai, Jacob." Aku menyapa mereka seceria mungkin. "Charlie pergi
seharian-kuharap kalian belum terlalu lama menunggu."
"Belum lama," sahut Billy tenang. Matanya yang berwarna hitam memandangku tajam.
"Aku hanya mau mengantar ini" Ia menunjuk kantong cokelat di pangkuannya.
"Terima kasih," kataku, meskipun tak tahu apa isinya. "Masuklah sebentar dan
keringkan dirimu." Aku berpura-pura tidak menyadari tatapannya yang tajam saat membuka pintu, dan
menyuruh mereka berjalan mendahuluiku.
"Mari, biar kusimpankan untukmu," aku menawarkan diri, berbalik untuk menutup
pintu. Kubiarkan diriku memandang ke arah Edward sekali lagi. Ia sedang
menunggu, diam, matanya serius.
"Masukkan ke kulkas," Billy mengingatkan ketika menyerahkan bungkusan itu
padaku. "Isinya beberapa potong ikan goreng buatan Harry Clearwater - kesukaan
Charlie. Kulkas akan membuatnya lebih kering." Ia mengangkat bahu.
"Terima kasih," aku mengulanginya, namun kali ini bersungguh-sungguh. "Aku
kehabisan cara baru untuk mengolah ikan, dan dia bertekad membawa lebih banyak
ikan malam ini." "Memancing lagi?" Billy bertanya, matanya berbinar. "Di tempat memancing yang
biasa" Barangkali aku akan ke sana menemuinya."
"Bukan," aku cepat-cepat berbohong, wajahku menegang, "Dia ke tempat baru...
tapi aku tidak tahu di mana."
Ia menyadari perubahan ekspresiku, dan itu membuatnya berpikir.
"Jake," katanya, masih mengamatiku. "Mengapa kau tidak pergi mengambil gambar
Rebecca yang baru di mobil" Aku juga ingin memberikannya pada Charlie."
"Di mana?" Jacob bertanya, suaranya murung. Aku memandangnya, tapi ia menunduk
menatap lantai, alisnya bertaut.
"Rasanya aku melihatnya di bagasi," jawab Billy. "Kurasa kau perlu mencari-cari
di bagian bawah." Jacob kembali menembus hujan.
Billy dan aku berhadap-hadapan dalam hening. Setelah beberapa saat, keheningan
itu mulai terasa menjengahkan, jadi aku berbalik menuju dapur. Aku bisa
mendengar decit roda kursinya yang basah di atas lantai linoleum ketika
mengikutiku. Kumasukkan kantong itu ke rak teratas kulkas yang sudah penuh, dan berbalik
menghadapnya. Wajahnya yang keriput tak dapat ditebak.
"Charlie pulang larut." Suaraku nyaris kasar.
Ia mengangguk setuju, tapi tidak mengatakan apa-apa.
"Sekali lagi terima kasih untuk ikan gorengnya," ujarku memberi isyarat.
Ia terus mengangguk. Aku mendesah dan melipat tanganku di dada.
Ia sepertinya bisa merasakan bahwa aku sudah tak ingin basa-basi lagi. "Bella,"
katanya, kemudian ragu-ragu.
Aku menunggu. "Bella," katanya lagi. "Charlie salah satu sahabatku."
"Ya." Hati-hati ia mengucapkan setiap kata dengan suara bergemuruh. "Kuperhartikan kau
menghabiskan waktumu dengan salah satu anak keluarga Cullen."
"Ya," kembali aku menjawab dengan ketus.
Matanya menyipit. "Barangkali ini bukan urusanku, tapi menurutku itu bukan ide
yang bagus." "Kau benar," timpalku. "Itu memang bukan urusanmu."
Alisnya yang beruban terangkat mendengar nada suaraku. "Barangkali kau tidak
mengetahuinya, tapi keluarga Cullen punya reputasi tidak bagus di reservasi
kami." "Sebenarnya, aku mengetahuinya," ujarku tegas. Ia terkejut. "Tapi reputasi itu
tidak bisa dibenarkan, bukan begitu" Karena keluarga Cullen tak pernah
menginjakkan kaki di reservasi, ya kan?" Bisa kulihat ucapanku yang
Twilight Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengingatkannya pada kesepakatan yang mengikat dan melindungi sukunya telah
membuatnya bungkam. "Memang benar," ia menyetujuinya, matanya waspada. "Kau kelihatannya... cukup
tahu tentang keluarga Cullen. Lebih tahu daripada yang kuduga."
Aku menatapnya. "Bahkan mungkin lebih tahu daripadamu."
Ia mengerucutkan bibirnya yang tebal sambil memikirkannya. "Mungkin," ia
mengalah, tapi sorot matanya tajam. "Apakah Charlie sama tahunya seperti
dirimu?" Ia sudah menemukan kelemahan pertahananku.
"Charlie sangat menyukai keluarga Cullen," sahutku membentengi diri. Ia jelas
memahami bahwa aku berkelit. Ekspresinya tidak senang, tapi tidak terkejut.
"Itu bukan urusanku," katanya. "Tapi mungkin urusan Charlie."
"Meskipun lagi-lagi itu adalah urusanku, entah aku menganggap itu urusan Charlie
atau tidak, ya kan?"
Aku bertanya-tanya apakah ia bahkan mengerti pertanyaan yang membingungkan itu
selagi aku berusaha untuk tidak mengatakan apa pun yang mencurigakan. Tapi
sepertinya ia mengerti. Ia mempertimbangkannya sementara hujan mengguyur atap,
satu-satunya suara yang memecah keheningan.
"Ya," akhirnya ia menyerah. "Kurasa itu urusanmu juga."
Aku mendesah lega. "Terima kasih, Billy."
"Pikirkan saja apa yang kaulakukan, Bella," desaknya.
"Oke," aku buru-buru menimpali.
Wajahnya menekuk. "Maksudku, jangan lakukan apa yang sedang kaulakukan."
Aku menatap matanya, di dalamnya tak lain hanya rasa peduli terhadapku, dan tak
ada yang bisa kukatakan. Saat itu juga pintu depan terbanting keras, dan aku melompat mendengarnya.
"Gambar itu tak ada di mana pun di mobil." Keluhan Jacob mencapai kami sebelum
dirinya sendiri. Ketika ia berbelok di sudut, bagian pundak bajunya tampak basah
karena hujan dan air menetes-netes dari rambutnya.
"Hmm," Billy bergumam, tiba-tiba mengalihkan pandangannya dan memutar kursi
menghadap anaknya. "Kurasa aku meninggalkannya di rumah."
Jacob memutar-mutar bola matanya secara dramatis.
"Hebat." "Well, Bella, beritahu Charlie"-Billy berhenti sebelum melanjutkan kata-
katanya-"bahwa kami mampir, maksudku."
"Akan kusampaikan," gumamku.
Jacob terkejut. "Kita sudah mau pergi?"
"Charlie akan pulang larut." Billy menjelaskan sambil meluncur melewati Jacob.
"Oh," Jacob tampak kecewa. "Well, kurasa sampai ketemu nanti. Bella."
"Tentu," timpalku.
"Jaga dirimu," Billy mengingatkanku. Aku tak menyahut.
Jacob membantu ayahnya melewati pintu. Aku melambai sebentar, sambil melirik
trukku yang sekarang sudah kosong kemudian menutup pintu sebelum mereka berlalu.
Aku berdiri di lorong sebentar, mendengarkan suara mobil mereka menjauh
meninggalkan pekarangan. Aku diam di tempat, menunggu kejengkelan dan
kekhawatiranku lenyap. Setelah ketegangan itu sedikit memudar, aku pergi ke
lantai atas untuk mengganti pakaian.
Aku mencoba beberapa atasan berbeda, tak yakin apa yang menantiku malam ini.
Saat aku berkonsentrasi pada apa yang akan terjadi, yang baru saja lewat jadi
tidak penting. Sekarang setelah tak lagi di bawah pengaruh Jasper dan Edward,
aku mulai bersiap-siap untuk tidak merasa takut sebelumnya. Segera saja aku
menyerah memilih pakaian - kukenakan atasan flanel usang dan jins - lagi pula
aku toh bakal mengenakan jas hujan semalaman.
Telepon berbunyi dan aku lari menuruni tangga untuk mengangkatnya. Hanya ada
satu suara yang ingin kudengar; yang lainnya akan membuatku kecewa. Tapi aku
tahu kalau ia ingin berbicara denganku, barangkali ia langsung muncul saja di
kamarku. "Halo?" tanyaku, terengah-engah.
"Bella" Ini aku," kara Jessica.
"Oh, hei, Jess." Sejenak kukerahkan diriku untuk kembali ke dunia nyata. Rasanya
seperti berbulan-bulan bukannya berhari-hari sejak terakhir aku berbicara dengan
Jessica. "Bagaimana pesta dansanya?"
"Asyik banget!" sembur Jessica. Tak perlu dipancing lagi, ia langsung
menceritakan detail demi detail tentang malam sebelumnya. Aku menggumamkan mmm
dan ahh pada saat yang tepat, tapi tidak mudah untuk berkonsentrasi. Jessica,
Mike, pesta dansa, sekolah - semuanya terdengar sangat tidak sesuai dengan saat
ini. Mataku terus menatap jendela, mencoba mengukur cahaya di balik awan tebal
itu. "Kaudengar apa yang kukatakan, Bella?" tanya Jess jengkel.
"Maaf, apa?" "Kubilang, Mike menciumku! Kau percaya?"
"Itu bagus, Jess," kataku.
"Jadi, apa yang kaulakukan kemarin?" tantang Jessica, masih jengkel karena aku
kurang menyimak. Atau mungkin ia kecewa karena aku tidak menanyakan detailnya.
"Tidak ada, sungguh. Aku hanya berjalan-jalan di luar menikmati matahari."
Aku mendengar suara mobil Charlie di garasi.
"Apa kau pernah mendengar kabar lagi dari Edward Cullen?"
Pintu depan dibanting, dan aku bisa mendengar Charlie menimbulkan suara gedebak-
gedebuk di bawah tangga, meletakkan peralatannya.
"Mmm." Aku ragu, tak yakin apa lagi yang harus kuceritakan.
"Hai. Nak!" seru Charlie saat berjalan ke dapur. Aku melambai padanya.
Jess mendengar suara Charlie. "Oh. ayahmu ada. Tak apa - kita ngobrol besok.
Sampai ketemu di kelas Trigono."
"Sampai ketemu. Jess." Aku menutup telepon.
"Hei. Dad," kataku. Ia sedang menggosok-gosok tangannya di bak cuci piring.
"Mana ikannya?"
"Aku meletakkannya di freezer."
"Akan kuambil beberapa sebelum membeku - Billy mengantarkan beberapa ikan goreng
Harry Clearwater sore ini." Aku berusaha terdengar bersemangat.
"Oh ya?" Mata Charlie berbinar-binar. "Itu kesukaanku."
Charlie membersihkan diri sementara aku menyiapkan makan malam. Dalam waktu
singkat kami sudah duduk di meja, makan dalam diam. Charlie menikmati
makanannya. Dengan putus asa aku membayangkan bagaimana melaksanakan tugasku,
berjuang memikirkan cara untuk mengangkat masalah itu.
"Apa yang kaulakukan hari ini?" tanyanya, membuyarkan lamunanku.
"Well, sore ini aku di rumah saja..." Bukan sepanjang sore, sebenarnya. Aku
berusaha menjaga suaraku tetap ceria, tapi perutku seperti berlubang. "Dan pagi
ini aku bertamu ke rumah keluarga Cullen."
Charlie menjatuhkan garpunya.
"Rumah dr. Cullen?" ia bertanya, kaget.
Aku berpura-pura tidak memerhatikan reaksinya.
"Yeah." "Apa yang kaulakukan di sana?" Ia tidak mengambil garpunya lagi.
" Well, bisa dibilang aku punya kencan dengan Edward Cullen malam ini, dan dia
ingin memperkenalkan aku dengan orangtuanya... Dad?"
Kelihatannya Charlie mengalami penyempitan pembuluh darah.
"Dad, kau baik-baik saja?"
"Kau berkencan dengan Edward Cullen?" gelegar Charlie.
O-Oh. "Kupikir kau menyukai keluarga Cullen?"
"Dia terlalu tua untukmu," serunya marah.
"Kami sama-sama murid junior," aku meralatnya, meskipun ia lebih benar dari yang
diduganya. "Tunggu... " ia berhenti. "Edward itu yang mana, ya?"
"Edward adalah yang paling muda, yang rambutnya cokelat kemerahan." Yang tampan,
yang seperti dewa... "Oh, well, itu"-ia berusaha keras mengucapkan kata-katanya- "lebih baik, kurasa.
Aku tidak suka tampang yang bertubuh besar. Aku yakin dia anak laki-laki yang
baik dan semuanya, tapi dia kelihatan terlalu... dewasa untukmu. Apakah Edwin ini
pacarmu?" "Namanya Edward, Dad."
"Ya, tidak?" "Kurasa bisa dibilang begitu."
"Semalam katamu kau tidak tertarik dengan anak laki-laki mana pun di kota ini."
Tapi ia mengambil garpunya lagi, jadi aku tahu yang terburuk telah berlalu.
"Well, Edward tidak tinggal di kota, Dad."
Ia menatapku jengkel saat mengunyah.
"Lagi pula," lanjutku, "ini baru tahap awal, kau tahu. Jangan membuatku malu
dengan semua omongan soal pacar, oke"
"Kapan dia akan kemari?"
"Dia akan tiba sebentar lagi."
"Dia akan mengajakmu ke mana?"
Aku menggeram keras-keras. "Kuharap kausingkirkan kecurigaan berlebihan dari
pikiranmu sekarang. Kami akan bermain bisbol bersama keluarganya."
Wajahnya cemberut, kemudian akhirnya ia tergelak. "Kau bermain bisbol?"
"Well, barangkali kebanyakan aku menonton."
"Kau pasti benar-benar menyukai laki-laki ini," ia mengamatiku curiga.
Aku mendesah dan memutar bola mataku.
Aku mendengar deruman mobil diparkir di depan rumah. Aku melompat dan mulai
membersihkan piring bekas makanku.
"Tinggalkan saja piring-piring itu, aku bisa mencucinya malam ini. Kau sudah
terlalu memanjakanku."
Bel pintu berbunyi, dan Charlie berjalan terhuyung-huyung untuk membukanya. Aku
hanya beberapa jengkal di belakangnya.
Aku tidak menyadari betapa derasnya hujan di luar sana. Edward berdiri di bawah
bias lampu teras, tampak seperti model pria dalam iklan jas hujan.
"Ayo masuk, Edward."
Aku mendesah lega ketika Charlie menyebut namanya dengan benar.
"Terima kasih, Kepala Polisi Swan," sahut Edward dengan suara penuh hormat.
"Oh, panggil saja aku Charlie. Sini, kusimpankan jaketmu."
"Terima kasih, Sir."
"Silakan duduk, Edward." Aku meringis.
Edward duduk dengan luwes di kursi satu dudukan, memaksaku duduk di sofa, di
sebelah Charlie. Aku cepat-cepat melirik jengkel padanya. Ia mengedip di
belakang Charlie. "Jadi, kudengar kau mau mengajak putriku menonton pertandingan bisbol."
Faktanya, hanya di Washington-lah pertandingan olahraga luar ruangan tetap
berjalan tak peduli deras atau tidak.
"Ya, Sir, begitulah rencananya." Ia tidak tampak terkejut bahwa aku mengatakan
yang sebenarnya pada ayahku. Lagi pula, ia mungkin saja mendengarkan.
" Well, kurasa kau lebih punya kekuatan untuk itu."
Charlie tertawa, dan Edward ikut tertawa.
"Oke" Aku bangkit berdiri.
"Sudah cukup menertawakanku. Ayo kita pergi." Aku kembali menyusuri lorong dan
mengenakan jaket. Mereka mengikuti.
"Jangan pulang terlalu larut, Bell."
"Jangan khawatir, Charlie, aku akan mengantarnya pulang sebelum larut," Edward
berjanji. "Kaujaga putriku baik-baik, oke?"
Aku mengerang, tapi mereka mengabaikanku.
"Dia akan aman bersamaku, aku janji, Sir."
Charlie tak bisa meragukan ketulusan Edward, yang terdengar pada setiap kata-
katanya. Aku melangkah keluar sambil mengentakkan kaki. Mereka tertawa, dan Edward
mengikutiku. Aku berhenti tiba-tiba di teras. Di sana, di belakang trukku, tampak Jeep
berukuran sangat besar. Bannya lebih tinggi dari pinggangku. Di depan lampu
depan dan belakangnya ada bemper baja dan empat lampu sorot besar terkait di
rangka bemper yang besar. Atapnya merah mengilat.
Charlie bersiul pelan. "Kenakan sabuk pengamanmu," sahutnya tercekat. Edward mengikuti ke sisiku dan
membukakan pintu. Aku mengira-ngira jarak ke jok dan bersiap-siap melompat naik.
mendesah, kemudian mengangkatku dengan satu tangan. Kuharap Charlie tidak
memerhatikan. Ketika ia beralih ke jok pengemudi, dalam langkah manusia normal, aku berusaha
mengenakan sabuk pengamanku. Tapi terlalu banyak kaitan.
"Ini semua untuk apa?" tanyaku ketika ia membuka pintu.
"Itu perlengkapan keselamatan off-road."
"Oh-oh." Aku mencoba menemukan setiap kaitan yang tepat, tapi tidak mudah. Ia mendesah
lagi dan mencondongkan tubuh untuk membantuku. Aku senang hujannya sangat lebat
sehingga kurasa Charlie tidak terlalu jelas melihat kemari. Berarti ia tidak
bisa melihat tangan Edward yang menyentuh leherku, menyusuri tulang selangkaku.
Aku menyerah berusaha menolongnya dan berkonsentrasi agar tidak terengah-engah.
Edward memasukkan kunci kontak dan menyalakan mesin. Kami berlalu meninggalkan
rumah. "Ini... mmm... Jeep-mu besar sekali."
"Ini punya Emmett. Kurasa kau pasti tidak ingin berlari sepanjang jalan."
"Di mana kalian menyimpan benda ini?"
"Kami merenovasi salah satu bangunan lain di rumah kami dan menjadikannya
garasi." "Apa kau tidak akan mengenakan sabuk pengamanmu?"
Ia menatapku tak percaya.
Lalu aku tiba-tiba mengerti.
"Berlari sepanjang jalan" Itu berarti kita masih harus berlari separuh
perjalanan?" Suaraku naik beberapa oktaf.
Ia tersenyum tegang. "Kau tidak akan berlari."
"Aku bakal mual."
"Pejamkan saja matamu, kau akan baik-baik saja."
Kugigit bibirku, melawan rasa panik.
Ia mencondongkan tubuh mengecup keningku, kemudian mengerang. Aku menatapnya,
bingung. "Kau harum sekali ketika hujan," jelasnya.
"Dalam artian yang baik, atau buruk?" tanyaku hati-hati.
Ia mendesah. "Keduanya, selalu keduanya."
Aku tak tahu bagaimana dapat melihat jalan dalam kegelapan dan guyuran hujan,
tapi entah bagaimana ia menemukan jalan kecil yang tidak bisa dibilang jalan dan
lebih menyerupai jalan setapak pegunungan. Untuk waktu yang cukup lama kami tak
mungkin bercakap-cakap, karena aku melonjak-lonjak seperti mata bor. Meski
begitu Edward kelihatannya menikmati perjalanan, tersenyum lebar sepanjang
jalan. Kemudian kami tiba di ujung jalan; pepohonan membentuk dinding hijau pada ketiga
sisi Jeep. Hujan tinggal gerimis, setiap detik semakin pelan, dan langit tampak
lebih terang di balik awan.
"Maaf, Bella, kita harus jalan kaki dari sini."
"Kau tahu" Aku akan menunggu di sini saja."
"Apa yang terjadi dengan semua nyalimu" Kau sangat luar biasa pagi ini."
"Aku belum melupakan pengalaman terakhirku." Mungkinkah itu baru kemarin"
Ia mengitari bagian depan mobil, dan menuju sisiku dalam kelebatan. Ia mulai
melepaskan kaitan sabuk pengamanku.
"Biar aku yang melakukannya, kau terus saja," protesku.
"Hmmm...," ia berpikir sambil cepat-cepat menyelesaikannya. "Sepertinya aku
harus memanipulasi ingatanmu."
Sebelum aku bereaksi. ia menarikku dari Jeep dan membuatku berdiri di tanah.
Nyaris tak berembun sekarang ini; Alice benar.
"Memanipulasi ingatanku?" tanyaku gugup.
"Semacam itu." Ia memerhatikanku lekat-lekat, dengan hati-hati, tapi jauh di
dalam matanya ada rasa humor. Ia meletakkan kedua tangannya di Jeep di kedua
sisi kepalaku dan mencondongkan tubuh, memaksaku menempel ke pintu. Ia
mencondongkan rubuhnya semakin dekat, wajahnya hanya beberapa senti dariku. Aku
Iblis Sungai Telaga 28 Dewa Arak 32 Algojo-algojo Bukit Larangan Dendam Cinta Gila Pendekar 2
"Tapi dia berhasil," aku mendorongnya, berpaling dari keindahan matanya yang tak
tertahankan. "Ya," gumamnya. "Dia melihat sesuatu di wajah Emmett yang membuatnya cukup kuat.
Dan sejak itu mereka selalu bersama-sama. Kadang-kadang mereka tinggal terpisah
dari kami, sebagai suami-istri. Semakin muda umur yang kami pilih sebagai
identitas kami, semakin lama kami bisa tinggal di mana pun. Forks kelihatannya
sempurna, jadi kami semua mendaftar di SMA." Ia tertawa. "Kurasa kita harus
menghadiri pernikahan mereka dalam beberapa tahun lagi."
"Alice dan Jasper?"
"Alice dan Jasper dua makhluk yang sangat langka. Mereka mengembangkan
kesadaran, begitu kami menyebutnya, tanpa bimbingan dari luar. Jasper berasal
dari keluarga... lain, jenis keluarga yang sangat berbeda. Dia tertekan, dan
akhirnya memilih mengembara sendirian. Alice menemukannya. Seperti aku, Alice
memiliki bakat khusus di atas dan melampaui rata-rata jenis kami."
"Sungguh?" selaku, terkesima. "Tapi katamu, kau satu-satunya yang bisa
mendengarkan pikiran orang lain."
"Memang benar. Alice mengetahui hal lain. Dia melihat hal-hal, hal-hal yang
mungkin terjadi, hal-hal yang akan datang. Tapi itu sangat subjektif. Masa depan
tidak terukir di atas batu. Segala sesuatu berubah."
Rahangnya mengeras ketika mengatakan itu, dan matanya tertuju padaku, lalu
berlalu begitu cepat sehingga aku tak yakin bahwa aku hanya mengkhayalkannya.
"Hal-hal apa yang dilihatnya?"
"Dia melihat Jasper dan tahu dia mencari dirinya bahkan sebelum Jasper sendiri
mengetahui hal itu. Dia melihat Carlisle dan keluarga kami, dan mereka datang
bersama-sama menemui kami. Alice paling sensitif terhadap makhluk bukan -
manusia. Dia selalu melihat, contohnya, ketika kelompok lain jenis kami
mendekat. Dan ancaman apa pun yang mungkin ditimbulkan."
"Apakah jenis kalian... ada banyak?" Aku terkejut. Berapa banyakkah dari mereka
yang bisa berjalan di antara manusia tanpa terdeteksi"
"Tidak, tidak banyak. Tapi kebanyakan tidak akan menetap di satu tempat. Hanya
yang seperti kami, yang telah berhenti memburu kalian manusia" - ia mengerling
licik padaku - "bisa hidup bersama manusia selama apa pun.
Kami hanya menemukan seperti kami, di desa kecil di Alaska. Kami hidup bersama
untuk waktu yang lama, tapi jumlah kami terlalu banyak sehingga manusia mulai
menyadari keberadaan kami. Jenis seperti kami yang hidup... secara berbeda
cenderung berkumpul bersama.
"Dan yang lain?"
"Kebanyakan berpindah-pindah. Dari waktu ke waktu kami hidup seperti itu.
Seperti yang lainnya, kebiasaan ini mulai membosankan. Kadang-kadang kami
bertemu yang lain, karena kebanyakan dari kami lebih menyukai daerah Utara."
"Kenapa begitu?"
Kami telah sampai di depan rumahku sekarang, dan ia mematikan truk. Suasana
sangat tenang dan gelap; tak ada bulan. Lampu teras mati, jadi aku tahu ayahku
belum pulang. "Kau memerhatikan sore tadi?" godanya. "Kaupikir aku bisa berjalan bebas di
jalanan di bawah sinar matahari tanpa menyebabkan kecelakaan lalu lintas" Ada
alasan mengapa kami memilih Semenanjung Olympic, salah satu tempat di dunia
dengan sinar matahari paling sedikit. Rasanya menyenangkan bisa keluar di siang
hari. Kau takkan percaya betapa membosankannya malam setelah delapan puluh tahun
yang aneh." "Jadi dari situkah asal-muasal legenda itu?"
"Barangkali." "Dan Alice berasal dari keluarga yang lain, seperti Jasper?"
"Tidak, dan itu adalah misteri. Alice tidak ingat kehidupan manusianya sama
sekali. Dan dia tidak tahu
siapa yang menciptakannya. Dia terbangun sendirian. Siapa pun yang
menciptakannya telah meninggalkannya, dan tak satu pun dari kami mengerti
kenapa, atau bagaimana orang itu bisa melakukannya. Seandainya Alice tidak
memiliki indra istimewa itu, seandainya dia tidak melihat Jasper dan Carlisle
dan tahu suatu hari nanti dia akan menjadi salah satu dari kami, dia barangkali
bisa berubah jahat."
Banyak sekali yang harus dipikirkan, banyak sekali yang masih ingin kutanyakan.
Tapi yang membuatku teramat malu, perutku keroncongan. Aku begitu terkesima
sehingga bahkan tidak sadar diriku kelaparan. Sekarang aku sadar bahwa aku
sangat kelaparan. "Maaf, aku membuatmu terlambat makan malam."
"Aku baik-baik saja, sungguh."
"Aku tak pernah menghabiskan begitu banyak waktu bersama seseorang yang perlu
makan. Aku lupa." "Aku ingin bersamamu." Lebih mudah mengatakannya dalam kegelapan, mengetahui
bagaimana suaraku bisa mengkhianatiku dan kecanduanku akan dirinya terdengar
sangat nyata. "Tidak bisakah aku masuk?" tanyanya.
"Kau mau?" Aku tak bisa membayangkannya, makhluk bagai dewa ini duduk di kursi
dapur ayahku yang jelek. "Ya, kalau tidak merepotkan." Aku mendengar pintunya menutup pelan, dan nyaris
saat itu juga ia telah berada di samping pintuku, membukakannya untukku.
"Sangat manusiawi," aku memujinya.
"Jelas kebiasaan itu muncul lagi."
Ia berjalan di sisiku dalam kegelapan malam, begitu diamnya sehingga aku harus
terus-menerus melirik ke arahnya untuk memastikan ia masih di sana. Dalam gelap ia tampak jauh lebih
normal. Masih pucat, ketampanannya masih bagai ilusi, tapi bukan lagi makhluk
kemilau di bawah sinar matahari seperti sore tadi.
Ia menggapai pintu di depanku dan membukakannya untukku. Aku berhenti di tengah-
tengah pintu. "Pintunya tak terkunci?"
"Bukan, aku menggunakan kunci di bawah daun pintu."
Aku melangkah masuk, menyalakan lampu teras, dan berbalik menghadapnya dengan
alis terangkat. Aku yakin tak pernah menggunakan kunci itu di hadapannya.
"Aku penasaran denganmu."
"Kau memata-mataiku?" Entah bagaimana aku tak bisa membuat suaraku terdengar
marah. Aku tersanjung. Ia kelihatan tidak menyesal. "Apa lagi yang bisa dilakukan pada malam hari?"
Untuk sementara aku mengabaikannya dan menyusuri lorong menuju dapur. Ia sudah
di sana, sama sekali tak perlu diarahkan. Ia duduk di kursi yang sama dengan
yang kubayangkan akan didudukinya. Ketampanannya membuat dapur bersinar-sinar.
Lama baru aku bisa berpaling.
Aku berkonsentrasi menyiapkan makan malamku, mengambil lasagna sisa semalam dari
dapur, menempatkan sebagian di piring, kemudian memanaskannya di microwave.
Piringnya berputar, menyebarkan aroma tomat dan oregano ke seluruh dapur. Aku
tetap menatap piring ketika bicara.
"Seberapa sering?" tanyaku kasual.
"Hmmm?" Ia terdengar seolah-olah aku telah menariknya keluar dari lamunannya.
Aku masih tidak berpaling. "Seberapa sering kau datang kemari?"
"Aku datang ke sini hampir setiap malam."
Aku berputar, terperangah. "Kenapa?"
"Kau menarik ketika sedang tidur." Nada suaranya datar. "Kau mengigau."
"Tidak!" sahutku menahan napas, wajahku memanas hingga ke garis rambut. Aku
meraih meja dapur untuk menjaga keseimbangan. Aku tahu aku suka mengigau ketika
tidur, tentu saja; ibuku selalu menggodaku soal ini. Meski begitu aku tidak
menyangka aku perlu mengkhawatirkannya di sini.
Ekspresinya langsung berubah kecewa. "Apa kau sangat marah padaku?"
"Tergantung!" Aku merasa dan terdengar seolah kehabisan napas.
Ia menanti. "Pada?" desaknya.
"Apa yang kaudengar!" erangku.
Saat itu juga, tanpa suara, ia sudah pindah ke sisiku, tangannya meraih tanganku
dengan hati-hati. "Jangan sedih!" ia memohon. Ia menurunkan wajahnya hingga sejajar dengan mataku,
kemudian menatapnya. Aku merasa malu. Aku mencoba memalingkan wajah.
"Kau merindukan ibumu," bisiknya. "Kau mengkhawatirkannya. Dan ketika hujan
turun, suaranya membuatmu gelisah. Kau juga sering mengigau tentang rumahmu,
tapi sekarang sudah jauh berkurang. Kau pernah mengatakan sekali, 'Terlalu
hijau"'" Ia tertawa lembut, berharap aku bisa melihatnya, dan tidak membuatku
tersinggung lagi. "Ada lagi?" desakku.
Ia tahu maksudku. "Kau memanggil namaku," ia mengakui.
Aku mendesah kalah. "Sering?"
"Seberapa sering yang kaumaksud dengan 'sering', tepatnya?"
"Oh tidak!" Kepalaku terkulai.
Ia menarikku lembut ke dadanya. Gerakannya sangat alami.
"Jangan malu," ia berbisik di telingaku. "Seandainya bisa bermimpi, aku pasti
akan memimpikanmu. Dan aku tidak merasa malu."
Kemudian kami mendengar suara ban mobil melintasi jalanan, melihat lampu
sorotnya menyinari jendela depan, terus ke lorong menuju ke kami. Tubuhku kaku
dalam pelukannya. "Haruskah ayahmu tahu aku di sini?" tanyanya.
"Aku tidak yakin... " Aku memikirkannya dengan cepat.
"Kalau begitu lain waktu saja... "
Dan aku pun sendirian. "Edward!" desisku tertahan.
Aku mendengar suara tawa yang samar, lalu lenyap. Terdengar suara Dad membuka
kunci pintu. "Bella?" panggilnya. Sebelumnya hal ini menggangguku, siapa lagi yang ada di
rumah kalau bukan aku" Tapi tiba-tiba saja ia tidak kelihatan kelewat
menyebalkan. "Di sini." Kuharap ia tidak mendengar nada histeris dalam suaraku. Aku mengambil
makan malamku dari microwave dan duduk di meja ketika ia masuk. Langkah kakinya
terdengar berisik setelah aku melewatkan seharian bersama Edward.
"Maukah kau mengambilkan lasagna untukku juga" Aku lelah sekali." Ia menginjak
bagian tumit sepatunya untuk melepaskannya, sambil berpegangan dengan sandaran
kursi yang tadi diduduki Edward.
Aku membawa makananku, mengunyahnya sambil mengambilkan makan malamnya. Aku
kepedasan. Kutuangkan dua gelas susu sementara memanaskan lasagna Charlie, dan
meminum susuku untuk menghilangkan pedas. Ketika aku meletakkan gelasku, susunya
bergetar. Aku baru menyadari tanganku gemetaran. Charlie duduk di kursi, dan
perbedaan antara dirinya dan orang yang duduk di sana sebelum dia, benar-benar
menggelikan. "Terima kasih." sahutnya ketika aku menghidangkan makanannya di meja.
"Bagaimana harimu?" tanyaku, buru-buru. Aku ingin sekali, pergi ke kamar.
"Bagus. Acara memancingnya biasa saja... kau" Apakah semua yang ingin
kaukerjakan akhirnya selesai?"
"Tidak juga-cuaca di luar terlalu bagus untuk dibiarkan begitu saja." Aku
menyuap lasagna-ku lagi. "Hari ini memang bagus," timpalnya. Betapa ironisnya, pikirku.
Begitu lasagna-ku habis, aku mengangkat gelasku dan menandaskan susu yang
tersisa. Charlie membuatku kaget karena ternyata ia memerhatikan. "Sedang terburu-buru?"
"Yeah, aku lelah. Aku mau tidur lebih cepat."
"Kau kelihatan agak tegang," ujarnya. Mengapa, oh, mengapa ia harus begitu
perhatian malam ini"
"Masa sih?" Hanya itu yang bisa kukatakan. Aku langsung mencuci piring dan
menempatkannya terbalik di pengering.
"Ini hari Sabtu," sahutnya menerawang.
Aku tak menjawab. "Tak ada rencana malam ini?" tanyanya tiba-tiba.
"Tidak, Dad, aku hanya mau tidur."
"Tak satu pun cowok di kota ini sesuai tipemu, ya?" Ia curiga, tapi berusaha
terdengar biasa saja. "Tidak, belum ada cowok yang menarik perhatianku." Aku berhati-hati agar tidak
terlalu menekankan kata cowok dalam usahaku bersikap jujur pada Charlie.
"Kupikir Mike Newton itu... katamu dia ramah."
"Dia hanya teman, Dad."
"Wol, lagi pula kau terlalu baik untuk mereka semua. Tunggu sampai kuliah nanti,
kalau mau mencari teman istimewa."
Impian setiap ayah adalah putri mereka akan meninggalkan rumah sebelum masalah
hormon bermunculan. "Sepertinya ide bagus," aku menimpali sambil menaiki tangga.
"Selamat malam, Sayang," ujarnya. Tak diragukan lagi ia akan memasang telinga
semalaman, menungguku mengendap-endap meninggalkan rumah.
"Sampai besok pagi, Dad." Sampai nanti malam ketika kau mengendap-endap ke
kamarku tengah malam nanti untuk memeriksaku.
Aku berusaha agar langkahku sepelan dan selelah mungkin ketika menaiki tangga
menuju kamar. Kututup pintunya cukup keras untuk didengarnya, kemudian berlari
dengan berjingkat menuju jendela. Aku membukanya dan melongok ke luar menembus
malam. Mataku mencari-cari dalam kegelapan, ke bayangan pepohonan yang tak dapat
ditembus. "Edward?" bisikku, merasa benar-benar tolol.
Suara tawa pelan menyambut dari belakangku. "Ya?"
Aku berbalik, salah satu tanganku melayang ke leher karena terkejut.
Ia berbaring, tersenyum lebar di tempat tidurku, tangannya menyilang di belakang
kepala, kakinya berayun-ayun di ujung tempat tidur, posisinya sangat santai.
"Oh!" aku mendesah, jatuh lemas ke lantai.
"Maafkan aku." Ia mengatupkan bibirnya erat-erat, berusaha menyembunyikan
perasaan gelinya. "Beri aku waktu sebentar untuk menenangkan jantungku."
Perlahan-lahan ia bangkit duduk, supaya tidak mengejutkanku lagi. Kemudian ia
mencondongkan tubuhnya ke depan dan menautkan lengannya yang panjang,
mengangkatku, memegang pangkal lenganku seolah aku anak kecil. Ia mendudukkanku
tempat tidur di sebelahnya.
"Kenapa kau tidak duduk saja denganku?" ia menyarankan, meletakkan tangannya
yang dingin di tanganku. "Bagaimana jantungmu?"
"Kau saja yang bilang - aku yakin kau mendengarnya lebih baik dariku."
Kurasakan tawanya yang pelan menggetarkan tempat tidur.
Sesaat kami duduk diam di sana, sama-sama mendengarkan detak jantungku melambat.
Aku berpikir tentang keberadaan Edward di kamarku sementara ayahku ada di rumah.
"Bolehkah aku meminta waktu sebentar untuk menjadi manusia"' pintaku.
"Tentu." Ia menggerakkan tangan menyuruhku melakukannya.
"Diam di situ," kataku, mencoba tampak galak.
"Ya, Ma'am." Dan ia berpura-pura seperti patung di ujung tempat tidurku.
Aku melompat, memungut piamaku dari lantai dan tas perlengkapan mandiku dari
meja. Aku membiarkan lampu tidak menyala, meluncur keluar, kemudian menutup
pintu. Aku bisa mendengar suara TV menggema hingga ke atas. Aku membanting pintu kamar
mandi keras-keras, supaya Charlie tidak naik mencariku.
Aku bermaksud buru-buru. Kugosok gigiku keras-keras, berusaha menyeluruh
sekaligus cepat, menyingkirkan sisa-sisa lasagna. Tapi air panas dari pancuran
tak bisa mengalir cepat. Siramannya melemaskan otot-otot punggungku,
menenangkan denyut nadiku. Aroma khas sampoku membuatku merasa aku mungkin saja
orang yang sama seperti tadi pagi. Aku mencoba tidak memikirkan Edward, yang
sedang duduk di kamarku, menunggu, karena kalau begitu aku harus mengulangi
proses menenangkan diri dari awal lagi. Akhirnya aku tak bisa menunda lagi.
Kumatikan keran air, handukan sekenanya, terburu-buru lagi. Kukenakan T-shirt
lusuhku dan celana joging abu-abuku. Terlambat untuk menyesal karena tidak
membawa piama sutra Victoria Secret yang diberikan ibuku pada ulang tahunku dua
tahun lalu, yang masih ada label harganya dan tersimpan di suatu tempat di
lemari pakaianku di rumah.
Kukeringkan rambutku lagi dengan handuk, kemudian menyisirnya cepat-cepat.
Kulempar handuknya ke keranjang, lalu melempar sikat dan pasta gigi ke tasku.
Kemudian aku meluncur turun supaya Charlie bisa melihatku mengenakan piama dan
habis mandi. "Selamat malam, Dad."
"Selamat malam, Bella." Ia tampak terkejut dengan kemunculanku. Barangkali itu
akan mencegahnya memeriksaku malam ini.
Aku menaiki anak tangga dua-dua, berusaha tetap tenang, dan meluncur ke kamar,
menutup pintu rapat-rapat.
Edward tak bergerak sedikit pun dari posisi semula, bagai ukiran Adonis yang
bertengger di selimutku yang lusuh. Aku tersenyum dan bibirnya bergerak-gerak,
Twilight Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
patungnya menjadi hidup. Matanya mengamatiku, rambutku yang basah. T-Shirt yang sudah berlubang-lubang.
Salah satu alisnya terangkat.
"Bagus." Aku nyengir. "Sungguh, pakaian itu tampak bagus padamu."
"Terima kasih." bisikku. Aku kembali ke sisinya, duduk menyilangkan kaki di
sebelahnya. Aku memandang garis-garis lantai kayu kamarku.
"Untuk apa kau mandi dan sebagainya itu?"
"Charlie pikir, aku bakal menyelinap keluar."
"Oh." Ia memikirkannya. "Kenapa?" Seolah-olah ia tidak dapat membaca pikiran
Charlie lebih jelas daripada yang kuduga.
"Sepertinya aku tampak agak terlalu bersemangat."
Ia mengangkat daguku, mengamati wajahku.
"Sebenarnya kau tampak hangat sekali."
Perlahan-lahan ia menundukkan wajahnya ke wajahku, meletakkan pipinya yang
dingin ke kulitku. Aku sama sekali tak bergerak.
"Mmmmmm...," desahnya.
Saat ia menyentuhku, sangat sulit untuk memikirkan pertanyaan yang masuk akal.
Saat konsentrasiku buyar, butuh beberapa menit bagiku untuk memulai.
"Sepertinya... sekarang lebih mudah bagimu berada di dekatku."
"Begitukah yang kaulihat?" gumamnya, hidungnya meluncur ke sudut rahangku. Aku
merasakan tangannya, lebih ringan dari sayap ngengat, menyibak rambut basahku ke
belakang sehingga bibirnya bisa menyentuh lekukan di bawah daun telingaku.
"Amat sangat lebih mudah," kataku mencoba mengembuskan napas.
"Hmm." "Jadi, aku bertanya-tanya..." aku memulai lagi, tapi jari-jarinya perlahan
menelusuri tulang selangkaku, dan aku kehilangan akal sehatku.
"Ya?" desahnya.
"Kenapa," suaraku bergetar, membuatku malu, "seperti itu menurutmu?"
Kurasakan getaran napasnya di leherku saat ia tertawa. "Tekad yang kuat
mengalahkan segala hambatan fisik."
Aku menarik diri; dan ia membeku - dan aku tak lagi mendengar suara napasnya.
Sesaat kami bertatapan dengan hati-hati, kemudian, bersamaan dengan rahangnya
yang mulai rileks, ekspresinya tampak bingung.
"Apa aku melakukan kesalahan?"
"Tidak - justru sebaliknya. Kau membuatku sinting," paparku.
Ia memikirkannya sebentar, dan ketika berbicara ia terdengar senang. "Benarkah?"
Senyum kemenangan perlahan menyinari wajahnya.
"Kau mau tepukan tangan?" tanyaku sinis.
Ia nyengir. "Aku hanya terkejut," ia menjelaskan. "Selama kurang - lebih seratus tahun
terakhir," suaranya menggoda, "aku tak pernah membayangkan sesuatu seperti ini.
Aku tak percaya akan pernah menemukan seseorang dengan siapa aku ingin
menghabiskan waktuku... bukan dalam artian seorang adik. Dan menemukan, meskipun
semuanya baru bagiku, bahwa aku bisa mengendalikan diriku saat... bersamamu...."
"Kau bisa melakukan apa saja," ujarku.
Ia mengangkat bahu, menerima pujianku, dan kami tertawa pelan.
"Tapi kenapa sekarang bisa begitu mudah?" desakku.
"Sore tadi... "
"Ini tidak mudah," desahnya. "Tapi sore tadi. aku masih... ragu. Maafkan aku
soal itu, benar-benar tak termaafkan bersikap seperti itu."
"Tidak tak termaafkan," sergahku.
"Terima kasih." Ia tersenyum. "Kau tahu," lanjutnya, sekarang menunduk, "aku
tidak yakin apakah aku cukup kuat... " Ia mengangkat satu tanganku dan
menempelkannya lembut ke wajahnya. "Selain kemungkinan aku dapat... menaklukkan"
- ia menghirup aroma pergelangan tanganku - "aku juga rapuh. Sampai aku
memutuskan diriku memang cukup kuat, bahwa sama sekali tak ada kemungkinan aku
akan... bahwa aku dapat... "
Aku tak pernah melihatnya kesulitan menemukan kata-kata. Begitu... manusiawi.
"Jadi sekarang tidak ada kemungkinan?"
"Tekad yang kuat mengalahkan segala hambatan fisik," ulangnya, tersenyum,
giginya tampak berkilau bahkan dalam kegelapan.
"Wow, itu tadi mudah," sahutku.
Ia mengedikkan kepala dan tertawa, sepelan bisikan, namun tetap bersemangat.
"Mudah bagimu!" ralatnya, menyentuh hidungku dengan ujung jarinya.
Lalu wajahnya tiba-tiba serius.
"Aku berusaha," bisiknya, suaranya sedih. "Kalau nanti segalanya jadi kelewat
berat, aku cukup yakin akan bisa pergi."
Aku menatapnya marah. Aku tidak suka membicarakan kepergian.
"Dan akan lebih sulit besok," lanjutnya. "Aku menyimpan aroma tubuhmu di
kepalaku seharian, dan aku jadi luar biasa kebal terhadapnya. Seandainya aku
jauh darimu selama apa pun aku harus mengulang semuanya lagi. Tapi aku tidak
benar-benar dari awal, kurasa."
"Kalau begitu jangan pergi," timpalku, tak mampu menyembunyikan hasrat dalam
suaraku. "Setuju," balasnya, wajahnya berubah menjadi senyuman lembut. "Kemarikan
borgolnya - aku adalah tawananmu." Tapi tangannya yang panjang membentuk borgol
di sekeliling pergelangan tanganku saat mengatakannya. Ia mengeluarkan tawa
merdunya yang pelan. Malam ini ia lebih banyak tertawa daripada seluruh waktu
yang kuhabiskan dengannya sebelumnya.
"Kau tampak lebih... ceria dari biasanya," kataku. "Aku belum pernah melihatmu
seperti ini sebelumnya."
"Bukankah seharusnya seperti ini?" Ia tersenyum. "Keindahan cinta pertama, dan
semuanya. Bukankah mengagumkan, perbedaan antara membaca sesuatu, melihatnya di
gambar, dan merasakannya sendiri?"
"Sangat berbeda," timpalku. "Lebih kuat daripada yang pernah kubayangkan."
"Contohnya" - kata-katanya lebih mengalir sekarang, aku sampai harus
berkonsentrasi untuk menangkap semuanya - "perasaan cemburu. Aku telah
membacanya ratusan kali, melihatnya dimainkan aktor dalam ribuan pertunjukan dan
film. Aku yakin telah memahaminya dengan jelas. Tapi toh itu mengejutkanku... "
Ia meringis. "Kau ingat waktu Mike mengajakmu pergi ke pesta dansa?"
Aku mengangguk, meski aku mengingat hari itu untuk alasan berbeda. "Hari itu kau
mulai berbicara lagi denganku."
"Aku terkejut karena kemarahan, nyaris murka, yang kurasakan - awalnya aku tak
menyadarinya. Aku bahkan lebih jengkel daripada sebelumnya karena tak bisa
mengetahui apa yang kaupikirkan, mengapa kau menolaknya. Apakah itu hanya
semata-mata demi persahabatanmu dengan Jessica" Apakah ada orang lain" Aku tahu
bagaimanapun juga aku tak punya hak untuk memedulikannya. Aku berusaha untuk
tidak peduli. Lalu semuanya mulai jelas," ia tergelak. Aku menatapnya jengkel
dalam gelap. "Aku menunggu, kelewat ingin mendengar apa yang akan kaukatakan pada mereka,
untuk mengamati ekspresimu. Aku tak bisa menyangkal perasaan lega yang kurasakan
saat menyaksikan wajahmu yang kesal. Tapi aku tak bisa yakin. Itu adalah malam
pertama aku datang ke sini. Sambil melihatmu tidur, aku bergumul semalaman
antara apa yang kutahu benar; bermoral, etis, dengan apa yang kuinginkan. Aku
tahu seandainya aku terus mengabaikanmu sebagaimana seharusnya, atau seandainya
aku pergi selama beberapa tahun, sampai kau pergi dari sini, suatu hari kelak
kau akan mengatakan ya kepada Mike, atau seseorang seperti dia. Dan pemikiran
itu membuatku marah."
"Kemudian," ia berbisik, "ketika kau tidur, kau menyebut namaku. Kau menyebutnya
begitu jelas, hingga awalnya kukira kau terbangun. Tapi kau bergulak-gulik
gelisah, dan menggumamkan namaku sekali lagi, lalu mendesah. Perasaan yang
menyelimutiku kemudian adalah perasaan takut, bahagia. Dan aku pun tahu, aku tak
bisa mengabaikanmu lebih lama lagi." ia terdiam sebentar, barangkali
mendengarkan jantungku yang tiba-tiba berdebar-debar.
"Tapi kecemburuan... adalah hal aneh. Jauh lebih kuat dari pada yang kukira. Dan
tidak masuk akal! Baru saja, ketika Charlie menanyakan soal si brengsek Mike
Newton itu... " Ia menggelengkan kepala keras-keras.
"Aku seharusnya tahu kau pasti menguping," gerutuku.
"Tentu saja." "Dan itu membuatmu cemburu, benarkah?"
"Semua ini baru bagiku; kau membangkitkan sisi manusia dalam diriku, dan
segalanya terasa lebih kuat karena ini baru."
"Yang benar saja," godaku, "itu tidak ada apa-apanya, mengingat aku harus
mendengar bahwa Rosalie - Rosalie, penjelmaan kecantikan yang murni, Rosalie -
sebenarnya tercipta untukmu. Emmett atau tanpa Emmett, bagaimana aku bisa
bersaing dengan kenyataan itu?"
"Tidak ada persaingan." Giginya berkilauan. Ia menarik tanganku ke punggungnya,
membawaku ke dadanya. Aku diam sebisa mungkin, bahkan bernapas dengan hati-hati.
"Aku tahu tidak ada persaingan," gumamku di kulitnya yang dingin. "Itulah
masalahnya." "Tentu saja Rosalie memang cantik dengan caranya sendiri, tapi bahkan seandainya
dia bukan seperti adik bagiku, bahkan seandainya Emmett tidak bersamanya, dia
takkan pernah memiliki sepersepuluh, tidak, seperseratus daya tarikmu
terhadapku." Ia serius sekarang, tulus. "Selama hampir sembilan puluh tahun aku
hidup bersama jenisku sendiri, dan jenis kalian... selama itu aku berpikir bahwa
aku sempurna di dalam diriku sendiri, sama sekali tak menyadari apa yang kucari.
Dan tidak menemukan apa pun, karena kau belum dilahirkan."
"Kedengarannya tidak adil," bisikku, wajahku masih rebah di dadanya,
mendengarkan irama napasnya. "Aku sama sekali tak perlu menunggu. Mengapa bagiku
semudah itu?" "Kau benar," timpalnya senang. "Aku harus membuatnya lebih sulit bagimu, sudah
pasti." Ia melepaskan salah tangannya. melepaskan pergelangan tanganku, hanya
untuk memindahkannya dengan pelan ke tangannya yang lain. Ia membelai lembut
rambut basahku, dan ujung kepala sampai ke pinggang. "Kau hanya perlu
membahayakan hidupmu sedap detik yang kauhabiskan bersamaku, dan tentu saja itu
tidak terlalu banyak. Kau hanya perlu berpaling dari alam, dari kemanusiaan...
seberapa besar harga yang harus kaubayar?"
"Sangat sedikit - aku tak merasa dirugikan untuk apa pun."
"Belum." Dan sekonyong-konyong suaranya dipenuhi kesedihan yang purba.
Aku berusaha menarik diri untuk memandang wajahnya, tapi tangannya mengunci
pergelangan tanganku sangat erat.
"Apa-" aku mulai bertanya, tapi tubuhnya menegang. Aku membeku, namun tiba-tiba
ia melepaskan tanganku, lalu menghilang. Aku nyaris jatuh terjerembab.
"Berbaringlah!" desisnya. Aku tak bisa mengatakan dari mana datangnya suara itu
dalam kegelapan. Aku berguling di bawah selimutku, meringkuk miring, seperti biasanya aku tidur.
Aku mendengar pintu terkuak saat Charlie mengintip ke dalam, memastikan aku
berada di tempat seharusnya. Napasku teratur, aku sengaja melebih-lebihkannya.
Satu menit yang panjang berlalu. Aku mendengarkan, tak yakin apakah aku
mendengar pintunya menutup lagi. Kemudian lengan Edward yang sejuk memelukku di
bawah selimut, bibirnya di telingaku.
"Kau aktris yang payah - bisa kubilang karier seperti itu tidak cocok untukmu."
"Sialan." gumamku. Jantungku berdebar kencang.
Ia menggumamkan lagu yang tidak kukenal; kedengarannya seperti lagu nina bobo.
Ia berhenti. "Haruskah aku meninabobokanmu hingga kau tidur?"
"Yang benar saja," aku tertawa. "Seolah-olah aku bisa tidur saja sementara kau
di sini!" "Kau melakukannya setiap saat," ia mengingatkanku.
"Tapi aku tidak tahu kau ada di sini," balasku dingin.
"Jadi kalau kau tidak ingin tidur...," ujarnya, mengabaikan kekesalanku. Napasku
tertahan. "Kalau aku tidak ingin tidur...?"
Ia tergelak. "Kalau begitu apa yang ingin kaulakukan?"
Mula-mula aku tak bisa menjawab.
"Aku tidak tahu," jawabku akhirnya.
"Katakan kalau kau sudah memutuskannya."
Aku bisa merasakan napasnya yang sejuk di leherku, merasakan hidungnya meluncur
sepanjang rahangku, menghirup napas.
"Kupikir kau sudah kebal?"
"Hanya karena aku menolak anggur, tidak berarti aku tak bisa menghargai
aromanya," bisiknya. "Aromamu seperti bunga, mirip lavender... atau freesia"
ujarnya. "Menggiurkan."
"Ya, ini hari libur ketika aku tidak membuat seseorang memberitahuku betapa
lezat aromaku." Ia tergelak, lalu mendesah.
"Aku telah memutuskan apa yang ingin kulakukan," aku memberitahunya. "Aku mau
mendengar lebih banyak tentangmu."
"Tanyakan apa saja."
Aku memilah pertanyaanku hingga yang paling penting. "Kenapa kau melakukannya?"
kataku. "Aku masih tidak mengerti bagaimana kau bisa begitu kuat menyangkal
dirimu... yang sebenarnya, tolong jangan salah mengerti, tentu saja aku senang
kau melakukannya. Aku hanya tidak mengerti kenapa kau mau melakukannya sejak
awal." Ia sempat ragu sebelum menjawab. "Itu pertanyaan bagus, dan kau bukan yang
pertama menanyakannya. Yang lainnya - mayoritas jenis kami yang cukup puas
dengan kelompok kami - mereka, juga, bertanya-tanya bagaimana cara kami hidup.
Tapi dengar, hanya karena kami telah... mendapatkan satu kemampuan... tak
berarti kami tidak bisa memilih untuk mengendalikannya - untuk menaklukkan
batasan takdir yang tak diinginkan oleh satu pun dari kami. Untuk berusaha
sebisa mungkin mempertahankan sisi kemanusiaan apa pun yang kami miliki."
Aku berbaring tak bergerak, terpukau dalam keheningan.
"Apakah kau tertidur?" ia berbisik setelah beberapa menit.
"Tidak." "Cuma itu yang membuatmu penasaran?"
Aku memutar bola mataku. "Tidak juga."
"Apa lagi yang ingin kauketahui?"
"Kenapa kau bisa membaca pikiran-kenapa hanya kau" Dan Alice melibat masa
depan... kenapa itu terjadi?"
Aku merasakannya mengangkat bahu dalam kegelapan. "Kami tidak benar-benar tahu.
Carlisle punya teori... dia yakin kami semua membawa karakteristik manusia kami
yang paling kuat ke kehidupan berikutnya, dan karakteristik itu menjadi lebih
kuat - seperti pikiran dan indra kami. Menurut dia, aku pasti telah menjadi
sangat peka terhadap pikiran orang-orang di sekitarku. Dan bahwa Alice memiliki
indra keenam, di mana pun dia berada."
"Apa yang dibawa Carlisle dan lainnya ke kehidupan mereka berikutnya":
"Carlisle membawa kebaikan hatinya. Esme membawa kemampuannya untuk mencintai
sepenuh hati. Emmett membawa kekuatannya, Rosalie... keteguhannya. Atau kau bisa
menyebutnya sifat keras kepala," ia tergelak. "Jasper sangat menarik. Dia cukup
memiliki karisma dalam kehidupan awalnya, mampu memengaruhi orang-orang di
sekitarnya untuk melihat lewat sudut pandangnya. Sekarang dia mampu memanipulasi
emosi orang-orang di sekelilingnya - menenangkan seruangan penuh orang yang
sedang marah, contohnya, atau di sisi lain membuat kerumunan orang yang letih
jadi bersemangat. Karunia yang sangat unik."
Aku membayangkan kemustahilan yang digambarkannya, mencoba memahaminya. Ia
menunggu dengan sabar sementara aku berpikir.
"Jadi, dari mana ini semua bermula" Maksudku, Carlisle mengubahmu, dan seseorang
pasti juga telah mengubahnya, dan seterusnya... "
"Well, dari mana asalmu" Evolusi" Penciptaan" Tidak mungkinkah kami berkembang
dengan cara yang sama seperti spesies lainnya, entah itu pemangsa atau
mangsanya" Atau kalau kau tidak percaya dunia ini mungkin saja terjadi dengan
sendirinya, yang mana aku sendiri sulit memercayainya, apakah begitu sulit untuk
memercayai bahwa kekuatan yang sama yang menciptakan angelfish juga hiu, bayi
anjing laut, dan paus pembunuh, juga bisa menciptakan kedua jenis kita?"
"Biar kuluruskan - aku bayi anjing lautnya, kan?"
"Benar." Ia tertawa, dan sesuatu menyentuh rambutku- bibirnya"
Aku ingin berbalik menghadapnya, untuk memastikan apakah benar bibirnya yang
menyentuh rambutku. Tapi aku harus bersikap tenang: aku tak ingin membuat ini
lebih sulit baginya daripada sekarang.
"Kau sudah siap tidur?" tanyanya, menyela keheningan singkat di antara kami.
"Atau kau punya pertanyaan lagi?"
"Hanya sejuta atau dua."
"Kita memiliki hari esok, dan hari berikutnya lagi, dan selanjutnya... " ia
mengingatkanku. Aku tersenyum bahagia mendengarnya.
"Kau yakin tidak akan menghilang besok pagi?" Aku menginginkan kepastian. "Lagi
pula, kau ini makhluk legenda."
"Aku takkan meninggalkanmu." Suaranya memancarkan kesungguhan.
"Kalau begitu, satu lagi malam ini... " Dan aku pun merona. Kegelapan sama
sekali tidak membantu-aku yakin ia bisa merasakan kehangatan kulitku yang tiba-
Twilight Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tiba. "Apa itu?" "Tidak, lupakan. Aku berubah pikiran."
"Bella, kau bisa bertanya apa pun padaku."
Aku tak menyahut, dan ia mengerang.
"Aku terus berpikir, akan lebih tidak membuat frustrasi bila tidak mendengar
pikiranmu. Tapi kenyataannya justru makin parah dan lebih parah lagi."
"Aku senang kau tak dapat membaca pikiranku. Sudah cukup buruk bahwa kau
menguping saat aku mengigau."
"Please?" Suaranya begitu membujuk, begitu mustahil untuk kutolak.
Aku menggeleng. "Kalau kau tidak bilang padaku, aku hanya tinggal menyimpulkan itu sesuatu yang
lebih buruk dari seharusnya," ancamnya licik. "Please?" lagi-lagi, suara bujuk
rayu itu. " Well," aku memulainya, senang ia tidak bisa melihat wajahku
"Ya?" "Katamu Rosalie dan Emmett akan segera menikah... Apakah... pernikahan itu...
sama seperti pernikahan manusia?"
Ia tertawa terbahak sekarang, menangkap maksudku. "Apakah itu arah
pembicaraanmu?" Aku gelisah, tak mampu menjawab.
"Ya, kurasa kurang-lebih sama," katanya. "Sudah kubilang kebanyakan hasrat
manusia ada dalam diri kami, hanya saja tersembunyi di balik hasrat yang lebih
kuat lagi." Aku hanya bisa menggumamkan "Oh."
"Apakah ada maksud di balik rasa penasaranmu?"
" Well, aku memang membayangkan... kau dan aku... suatu hari... "
Ia langsung berubah serius, aku bisa mengatakannya dari tubuhnya yang mendadak
kaku. Aku juga membeku, bereaksi dengan sendirinya.
"Aku tidak berpikir itu... itu... akan mungkin bagi kita."
"Karena itu akan sangat sulit bagimu, seandainya kita... sedekat itu?"
"Itu jelas masalah. Tapi bukan itu yang kupikirkan. Kau sangat lembut dan rapuh.
Aku harus memperhitungkan setiap tindakanku setiap kali kita bersama-sama,
supaya aku tak melukaimu. Aku bisa membunuhmu dengan sangat mudah, Bella, hanya
dengan tidak sengaja." Suaranya hanya tinggal gumaman. Ia menggerakkan telapak
tangannya yang dingin dan menaruhnya di pipiku. "Kalau aku terlalu gegabah...
seandainya satu detik saja aku tak cukup memerhatikan, aku bisa saja mengulurkan
tanganku, maksudnya ingin menyentuh wajahmu namun malah menghancurkan
tengkorakmu karena khilaf. Kau tak tahu
betapa sangat rapuhnya dirimu. Aku takkan sanggup kehilangan kendali apa pun
saat aku bersamamu."
Ia menungguku bereaksi, dan semakin waswas saat aku tetap diam. "Kau takut?"
tanyanya. Aku menunggu sebentar sebelum menjawab, sehingga ucapanku jujur. "Tidak, aku
baik-baik saja." Ia seperti berpikir selama sesaat. "Meski begitu, sekarang aku penasaran,"
katanya, suaranya kembali ringan. "Kau sudah pernah.." ia sengaja tidak
menyelesaikan ucapannya. "Tentu saja belum." Wajahku memerah. "Sudah kubilang aku belum pernah merasa
seperti ini terhadap orang lain, sedikit pun tidak."
"Aku tahu. Hanya saja aku tahu pikiran orang lain. Aku tahu cinta dan nafsu
tidak selalu sejalan."
"Bagiku ya. Paling tidak sekarang keduanya nyata bagiku," aku mendesah.
"Bagus. Setidaknya kita punya persamaan." Ia terdengar puas.
"Naluri manusiamu...," aku memulai. Ia menanti. "Well, apakah kau menganggapku
menarik dari segi itu, sama sekali?"
Ia tertawa dan dengan lembut mengusap-usap rambutku yang hampir kering.
"Aku mungkin bukan manusia, tapi aku laki-laki," ia meyakinkanku.
Aku menguap tanpa sengaja.
"Aku telah menjawab pertanyaanmu, sekarang kau harus tidur," ia bersikeras.
"Aku tak yakin apakah aku bisa."
"Kau mau aku pergi?"
"Tidak!" seruku terlalu lantang.
Ia tertawa, kemudian mulai menggumamkan senandung yang sama lagi, nina bobo yang
asing, suara malaikat, lembut di telingaku.
Lebih letih daripada yang kusadari, lelah karena tekanan mental dan emosi yang
tak pernah kurasakan sebelumnya, aku tertidur dalam pelukan tangannya yang
dingin. 15. KELUARGA CULLEN CAHAYA suram dari satu lagi hari mendung akhirnya membangunkanku. Aku berbaring,
lengan menutupi mata, mengantuk dan pusing. Sesuatu, sebuah mimpi yang coba
kuingat, mencoba menyusup masuk ke dalam kesadaranku. Aku mengerang dan
berguling ke sisi, berharap bisa tertidur lagi. Lalu bayangan hari kemarin
membanjiri kesadaranku. "Oh!" Aku bangun dan duduk begitu cepat hingga kepalaku pusing.
"Rambutmu terlihat seperti tumpukan jerami... tapi aku menyukainya." Suaranya
yang tenang terdengar dari kursi goyang di sudut kamar.
"Edward! Kau tidak pergi!" aku berseru gembira, dan tanpa berpikir langsung
menghambur ke pangkuannya. Begitu menyadari apa yang kulakukan, aku membeku,
terkejut karena semangatku yang menggebu. Aku menatapnya, khawatir tindakanku
telah melewati batas. Tapi ia tertawa. "Tentu saja," jawabnya kaget, tapi kelihatan senang melihat reaksiku. Tangannya
mengusap-usap punggungku.
Aku membaringkan kepalaku hati-hati di bahunya, menghirup aroma kulitnya.
"Aku yakin itu mimpi."
"Kau tidak sekreatif itu, lagi," dengusnya.
"Charlie!" Aku teringat, tanpa berpikir melompat menuju pintu.
"Dia pergi sejam yang lalu - setelah memasang kembali kabel akimu, kalau boleh
kutambahkan. Harus kuakui, aku kecewa. Benarkah hanya itu yang diperlukan untuk
menghentikanmu, seandainya kau bertekad pergi?"
Aku menimbang-nimbang dari tempatku berdiri, ingin sekali kembali padanya, tapi
khawatir napasku bau. "Kau tidak biasanya sebingung ini di pagi hari," ujarnya. Ia merentangkan
lengannya untuk menyambutku lagi. Undangan yang nyaris tak sanggup kutolak.
"Aku butuh waktu sebentar untuk menjadi manusia," aku mengakuinya.
"Kutunggu." Aku melompat ke kamar mandi, sama sekali tak memahami emosiku. Aku tak mengenali
diriku, di dalam maupun di luar. Wajah yang ada di cermin praktis asing -
matanya terlalu ceria, bintik-bintik merah menyebar di tulang pipiku. Setelah
menggosok gigi aku merapikan rambutku yang berantakan. Kupercikkan air dingin ke
wajahku, dan berusaha bernapas secara normal, tapi nyaris gagal. Setengah
berlari aku kembali ke kamar.
Rasanya seperti mukjizat bahwa ia masih di sana, lengannya masih menantiku. Ia
meraihku, dan jantungku berdebar tak keruan.
"Selamat datang lagi," gumamnya, membawaku ke dalam
Ia menggoyang-goyangkan tubuhku sebentar dalam keheningan, sampai aku menyadari
ia telah berganti pakaian, dan rambutnya sudah rapi.
"Kau pergi?" tuduhku, sambil menyentuh kerah kausnya yang masih baru.
"Aku tak bisa pergi mengenakan pakaian yang sama dengan ketika aku datang - apa
yang akan dipikirkan para tetangga?"
Aku mencibir. "Kau tidur sangat pulas semalam; aku tak melewatkan apa pun." Matanya berkilat-
kilat. "Kau mengigau lebih awal."
Aku menggeram. "Apa yang kaudengar?"
Mata keemasannya melembut. "Kaubilang kau mencintaiku."
"Kau sudah tahu itu," aku mengingatkannya, menyusupkan kepalaku.
"Tapi toh aku senang mendengarnya."
Kusembunyikan wajahku di bahunya.
"Aku mencintaimu," bisikku.
"Kau hidupku sekarang" jawabnya sederhana.
Tak ada lagi yang perlu dikatakan saat itu. Ia bergerak maju-mundur sementara
ruangan semakin terang. "Saatnya sarapan," akhirnya ia berkata, dengan kasual - untuk membuktikan, aku
yakin, bahwa ia mengingat semua kelemahan manusiaku.
Jadi aku mencekik tenggorokanku dengan kedua tangan dan mataku membelalak ke
arahnya. Ia terperanjat. "Bercanda!" aku nyengir. "Padahal katamu aku tidak bisa berakting!"
Ia mengerutkan dahi, jijik. "Tidak lucu."
"Itu sangat lucu, dan kau tahu itu." Tapi hati-hati aku mengamati mata emasnya,
memastikan ia memaafkanku. Dan tampaknya aku dimaafkan.
"Boleh kuulangi?" tanyaku. "Saatnya sarapan untuk manusia."
"Oh, baiklah." Ia mengusungku di bahunya yang kokoh, dengan lembut, namun dengan kecepatan yang
membuatku menahan napas. Aku memprotes saat ia dengan mudah membawaku menuruni
tangga, tapi ia mengabaikanku. Ia mendudukkanku di kursi.
Ruang dapur terang, ceria, seolah-olah menyerap suasana hatiku.
"Apa menu sarapannya?" tanyaku riang.
Pertanyaanku membuatnya berpikir sebentar. "Mm, aku tak yakin. Kau mau apa?"
Alis pualamnya berkerut. Aku tersenyum, melompat berdiri.
"Tidak apa-apa, aku bisa mengurus diriku sendiri dengan cukup baik. Perhatikan
caraku berburu." Aku mengambil mangkuk dan sekotak sereal. Bisa kurasakan tatapannya ketika aku
menuang susu dan mengambil sendok. Kuletakkan makananku di meja, lalu berhenti.
"Kau mau sesuatu?" tanyaku, tak ingin bersikap tidak sopan.
Ia memutar bola matanya. "Makan saja. Bella."
Aku duduk di meja makan, memerhatikannya sambil menyuap sereal. Ia memandangiku,
mempelajari setiap gerakanku. Itu membuatku tidak nyaman. Aku berdehem untuk
bicara, mengalihkan perhatiannya.
"Apa acara hari ini?" tanyaku.
"Hmmm... " Aku melihatnya berhati-hati memikirkan jawabannya. "Bagaimana
menurutmu kalau kita bertemu keluargaku?"
Aku menelan liurku. "Apa sekarang kau takut?" ia terdengar berharap.
"Ya," aku mengakui; bagaimana mungkin aku menyangkalnya - ia bisa melihatnya di
mataku. "Jangan khawatir." Ia mencibir. "Aku akan melindungimu."
"Aku tidak takut pada mereka" jelasku. "Aku khawatir mereka takkan...
menyukaiku. Tidakkah mereka akan, Well, terkejut kau membawa seseorang...
seperti aku... ke rumah menemui mereka" Tahukah mereka aku tahu tentang mereka?"
"Oh, mereka sudah mengetahui semuanya. Kau tahu, kemarin mereka bertaruh"- ia
tersenyum, tapi suaranya parau - "apakah aku membawamu kembali, meski aku tak
mengerti mengapa mereka mau bertaruh melawan Alice. Bagaimanapun kami sekeluarga
tak pernah menyimpan rahasia. Sebenarnya kami memang tidak mungkin berahasia,
terutama dengan kemampuanku membaca pikiran dan Alice melihat masa depan, dan
semuanya." "Dan Jasper membuat kalian semua nyaman untuk menumpahkan kegelisahan kalian,
jangan lupa itu." "Kau menyimak," ia tersenyum senang.
"Aku cukup dikenal akan hal ini kadang-kadang." Aku meringis, "jadi, apakah
Alice sudah melihat kedatanganku?"
Reaksinya aneh. "Kira-kira begitu," katanya jengah, berpaling sehingga aku tidak
melihat matanya. Aku menatapnya penasaran.
"Apakah itu enak?" tanyanya, tiba-tiba berbalik menghadapku dan menatap
sarapanku dengan pandangan menggoda. "Jujur, makananmu itu tidak terlalu
mengundang selera." "Well, sama sekali bukan beruang pemarah...," gumamku, mengabaikan tatapan
marahnya. Aku masih bertanya-tanya mengapa ia bereaksi seperti itu saat aku
menyebut soal Alice. Aku buru-buru menghabiskan serealku, sambil berspekulasi.
Ia berdiri di tengah dapur, mirip patung Adonis lagi, menerawang ke luar jendela
belakang. Kemudian tatapannya kembali padaku, dan ia memamerkan senyumnya yang menawan.
"Dan kurasa kau juga harus memperkenalkanku pada ayahmu."
"Dia sudah mengenalmu," aku mengingatkannya.
"Maksudku sebagai pacarmu."
Aku menatapnya curiga. "Kenapa?"
"Bukankah begitu kebiasaannya?" tanyanya polos.
"Aku tidak tahu," aku mengakui. Pengalaman berkencanku yang minim tidak cukup
bagiku untuk mengetahui kebiasaan itu. Bukan berarti aturan berkencan yang
normal berlaku di sini. "Itu tidak perlu, kau tahu. Aku tidak berharap kau...
maksudku, kau tak perlu berpura-pura demi aku."
Senyumnya penuh kesabaran. "Aku tidak berpura-pura."
Aku mengumpulkan sisa serealku ke ujung mangkuk, menggigit bibir.
"Kau akan memberitahu Charlie bahwa aku pacarmu atau tidak?" desaknya.
"Apakah kau boyfriend-ku?" Kutekan ketakutanku membayangkan Edward dan Charlie
dan kata "boyfriend- pacar" dalam ruangan yang sama pada waktu bersamaan.
"Kuakui itu pengertian bebas mengenai kata 'boy'"
"Aku mendapat kesan sebenarnya kau lebih dari itu." aku mengaku, memandangi
meja. " Well, aku tidak tahu apakah kita perlu memberitahunya semua detail mengerikan
itu." Ia meraih ke seberang meja, mengangkat daguku dengan jarinya yang dingin
dan lembut. "Tapi dia akan memerlukan penjelasan mengapa aku sering kemah. Aku
tak ingin Kepala Polisi Swan menetapkan larangan untukku."
"Benarkah?" aku sekonyong-konyong waswas. "Benarkah kau akan berada di sini?"
"Selama yang kauinginkan," ia meyakinkanku.
"Aku akan selalu menginginkanmu," aku mengingatkannya. "Selamanya."
Perlahan ia mengelilingi meja, setelah beberapa senti dariku ia menghentikan
langkah, mengulurkan tangan untuk menyentuhkan ujung jarinya ke pipiku.
Ekspresinya penuh makna. "Apa itu membuatmu sedih?" tanyaku.
Ia tak menyahut. Lama sekali ia menatap ke dalam mataku.
"Kau sudah selesai?" ia akhirnya bertanya.
Aku melompat berdiri. "Ya."
"Berpakaianlah - aku akan menunggu di sini."
Sulit memutuskan apa yang harus kukenakan. Aku ragu ada buku etika yang
menjelaskan bagaimana seharusnya berpakaian ketika kekasih vampirmu hendak
memperkenalkanmu kepada keluarga vampirnya. Lega rasanya bisa berpikir begitu.
Aku tahu aku sengaja tak mau memikirkannya.
Akhirnya aku mengenakan satu-satunya rok yang kumiliki - rok panjang, berwarna
khaki, masih kasual. Aku mengenakan blus biru tua yang pernah dipujinya. Lirikan
singkat di cermin memberitahu rambutku benar-benar berantakan, jadi aku
mengucirnya jadi ekor kuda.
"Oke." Aku melompat-lompat menuruni tangga. "Aku sudah pantas bepergian."
Ia menunggu di ujung tangga, lebih dekat dari yang kukira, dan aku langsung
menghambur ke arahnya. Ia memegangiku beberapa saat sebelum tiba-tiba menarikku
lebih dekat. "Kau salah lagi," gumamnya di telingaku. "Kau sangat tidak pantas - tak seorang
pun boleh terlihat begitu menggoda, itu tidak adil."
"Menggoda bagaimana?" tanyaku. "Aku bisa mengganti... "
Ia mendesah, menggeleng-gelengkan kepala. "Kau sangat konyol." Dengan lembut ia
menempelkan bibirnya yang sejuk di dahiku, dan ruangan pun berputar. Aroma
napasnya membuatku mustahil bisa berpikir.
"Haruskah aku menjelaskan bagaimana kau membuatku tergoda?" katanya. Jelas itu
pertanyaan retoris. Jemarinya perlahan menelusuri tulang belakangku, napasnya
semakin menderu di permukaan kulitku. Tanganku membeku di dadanya, dan aku
kembali melayang. Ia memiringkan kepala perlahan, dan menyentuhkan bibir
dinginnya ke bibirku untuk kedua kalinya, dengan sangat hati-hati membukanya.
Kemudian aku tak sadarkan diri.
"Bella?" suaranya terdengar kaget ketika ia menangkap dan memegangiku.
"Kau... membuatku... jatuh pingsan," aku meracau.
"Apa yang akan kulakukan denganmu!" ia menggerutu, putus asa. "Kemarin aku
menciummu, dan kau menyerangku! Hari ini kau pingsan di hadapanku!"
Aku tertawa lemah, membiarkan lengannya menahanku sementara kepalaku masih
berputar-putar. "Dan katamu aku bisa melakukan segalanya." ia mendesah.
"Itulah masalahnya" Aku masih pusing, "Kau terlalu pintar melakukannya. Amat
sangat terlalu pintar."
"Kau merasa sakit?" ia bertanya; ia pernah melihatku seperti ini sebelumnya.
"Tidak - pingsanku kali ini berbeda. Aku tak tahu apa yang terjadi." Aku
Twilight Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menggeleng menyesalinya. "Kurasa aku lupa bernapas."
"Aku tak bisa membawamu ke mana-mana dalam keadaan seperti ini."
"Aku baik-baik saja," aku bersikeras. "Lagi pula keluargamu toh bakal
menganggapku gila. jadi apa bedanya?"
Ia mengamati ekspresiku beberapa saat. "Aku sangat menyukai warna kulitmu,"
ujarnya tak disangka-sangka. Wajahku memerah senang dan berpaling.
"Begini, aku berusaha sangat keras untuk tidak memikirkan apa yang akan
kulakukan, jadi bisakah kita berangkat sekarang?" tanyaku.
"Dan kau khawatir, bukan karena kau akan pergi ke rumah yang isinya vampir
semua, tapi karena kaupikir vampir-vampir itu tak akan menerimamu, betul?"
"Betul," aku langsung menjawabnya, menyembunyikan keterkejutanku pada kata-
katanya yang terdengar wajar.
Ia menggeleng. "Kau sulit dipercaya."
Aku menyadari, saat ia mengemudikan trukku meninggalkan pusat kota, aku sama
sekali tak tahu di mana ia tinggal. Kami melewati jembatan di Sungai Calawah,
jalanan membentang ke utara, rumah-rumah yang kami lalui semakin jarang, dan
semakin besar. Kemudian kami meninggalkan rumah-rumah, dan memasuki hutan
berkabut. Aku mencoba memutuskan untuk bertanya atau tetap bersabar, ketika ia
tiba-tiba membelok ke jalanan tak beraspal. Jalanan itu tak bertanda, nyaris tak
tampak di antara tumbuh-tumbuhan pakis. Hutan menyelimuti kedua sisinya, hingga
jalanan di depan kami hanya kelihatan sejauh beberapa meter, meliuk-liuk seperti
ular di sekeliling pepohonan kuno.
Kemudian, setelah beberapa mil, hutan mulai menipis, dan tiba-tiba kami berada
di padang rumput kecil, atau sebenarnya halaman rumput sebuah rumah" Meski
begitu kemuraman hutan tidak memudar, karena ada enam pohon cedar tua yang menaungi
tempat itu dengan cabang-cabangnya yang lebar. Bayangan pepohonan itu menaungi
dinding rumah yang berdiri di antaranya, membuat serambi yang mengitari lantai
dasar tampak kuno. Aku tak tahu apa yang kuharapkan, tapi jelas bukan yang seperti ini. Rumah itu
tampak abadi, elegan, dan barangkali berusia ratusan tahun. Cat putih yang
membalutnya lembut dan nyaris pudar, berlantai tiga, berbentuk persegi dan
proporsional. Jendela-jendela dan pintu-pintunya entah merupakan struktur asli
atau hasil pemugaran yang sempurna. Trukku satu-satunya kendaraan yang tampak di
sana. Aku bisa mendengar suara aliran sungai di dekat kami, tersembunyi di
kegelapan hutan. "Wow." "Kau menyukainya?" Ia tersenyum.
"Bangunan ini memiliki pesona tersendiri."
Ia menarik ujung ekor kudaku dan tergelak.
"Siap?" ia bertanya sambil membukakan pintuku.
"Sama sekali tidak - ayo." Aku mencoba tertawa, tapi sepertinya tenggorokanku
tercekat. Aku merapikan rambut dengan gugup.
"Kau cantik." Ia menggenggam tanganku dengan luwes, tanpa ragu.
Kami berjalan menembus bayangan pepohonan menuju teras rumah. Aku tahu ia bisa
merasakan keteganganku; ibu jarinya membuat gerakan melingkar yang menenangkan
di punggung tanganku. Ia membukakan pintu untukku.
Bagian dalam rumah itu bahkan lebih mengejutkan lagi, lebih tak bisa diramalkan,
daripada bagian luarnya. Sangat terang, sangat terbuka, dan sangat luas. Dulunya
ruangan ini pasti kumpulan beberapa kamar, namun dinding-dindingnya disingkirkan
untuk menciptakan satu ruangan luas di lantai dasar. Di bagian belakang dinding
yang menghadap selatan telah digantikan seluruhnya dengan kaca, dan di balik
bayangan pohon cedar terbentang rerumputan luas hingga ke sungai. Tangga meliuk
yang lebar dan besar mendominasi sisi barat ruangan. Dinding-dindingnya, langit-
langitnya yang tinggi, lantainya yang terbuat dari kayu, dan karpet tebal,
semuanya merupakan gradasi warna putih.
Tampak menanti untuk menyambut kami, berdiri persis di kiri pintu, pada bagian
lantai yang lebih tinggi di sisi grand piano yang spektakuler, adalah orangtua
Edward. Aku pernah melihat dr. Cullen sebelumnya, tentu saja, tapi tetap saja aku tak
bisa menahan keterkejutanku melihat kemudaannya, kesempurnaannya yang luar
biasa. Kurasa perempuan yang berdiri di sisinya adalah Esme, satu-satunya
anggota keluarga Cullen yang belum pernah kulihat. Ia memiliki wajah yang pucat
dan indah seperti yang lainnya. Wajahnya berbentuk hati, rambutnya berombak dan
halus, berwarna cokelat karamel, mengingatkanku pada era film bisu. Tubuhnya
mungil langsing namun tidak terlalu kurus, lebih berisi dibanding yang lainnya.
Mereka mengenakan pakaian kasual berwarna terang yang serasi dengan warna
ruangan dalam rumah mereka. Mereka tersenyum menyambut kami, tapi tidak bergerak
mendekat. Kurasa mereka tak ingin membuatku takut.
"Carlisle, Esme," suara Edward memecah keheningan yang terjadi sebentar, "ini
Bella." "Selamat datang, Bella." Langkah Carlisle terukur, berhati-hati saat
mendekatiku. Ia mengulurkan tangannya dan aku melangkah maju untuk menjabatnya.
"Senang bisa bertemu Anda lagi, dr. Cullen."
"Tolong panggil saja Carlisle."
"Carlisle." Aku tersenyum padanya, kepercayaan diriku yang muncul tiba-tiba
mengejutkanku. Aku bisa merasakan Edward merasa lega di sampingku.
Esme tersenyum dan melangkah maju juga, menjabat tanganku. Genggamannya yang
kuat dan dingin persis yang kuperkirakan.
"Senang sekali bisa berkenalan denganmu," sahutnya tulus.
"Terima kasih. Aku juga senang bisa bertemu Anda." Memang itulah yang kurasakan.
Pertemuan itu bagaikan pertemuan dongeng - Putri Salju dalam wujud aslinya.
"Di mana Alice dan Jasper?" Edward bertanya, tapi mereka tidak menjawab,
berhubung keduanya muncul di puncak tangga yang lebar.
"Hei, Edward!" Alice memanggilnya bersemangat. Ia berlari menuruni tangga,
perpaduan rambut hitam dan kulit putih, sekonyong-konyong berhenti dengan anggun
di hadapanku. Carlisle dan Esme memelototinya, tapi aku menyukainya. Lagi pula,
itu sesuatu yang alami-baginya.
"Hai, Bella!" sapa Alice, dan ia melesat ke depan untuk mengecup pipiku. Bila
Carlisle dan Esme sebelumnya tampak berhati-hati, sekarang mereka tampak
terkesiap. Mataku juga memancarkan rasa terkejut, tapi aku juga sangat senang
bahwa sepertinya ia menerima keberadaanku sepenuhnya. Aku bingung melihat Edward
yang mendadak kaku di sebelahku. Aku memandang wajahnya, tapi ekspresinya tak
bisa ditebak. "Kau memang harum, aku belum pernah memerhatikan sebelumnya." ia berkomentar,
membuatku sangat malu. Tampaknya tak seorang pun tahu apa yang harus dikatakan, kemudian Jasper ada di
sana - tinggi bagai singa. Perasaan lega menyeruak dalam diriku, dan tiba-tiba
aku merasa nyaman terlepas di mana aku tengah berada. Edward menatap Jasper,
salah satu alisnya terangkat, dan aku teringat akan kemampuannya.
"Halo, Bella," sapa Jasper. Ia tetap menjaga jarak, tidak menawarkan untuk
berjabat tangan. Tapi mustahil untuk merasa gugup di dekatnya.
"Halo, Jasper." Aku tersenyum malu-malu padanya, dan pada yang lainnya juga.
"Senang bisa bertemu kalian semua - rumah kalian sangat indah." tambahku apa
adanya. "Terima kasih," sahut Esme. "Kami senang sekali kau datang." Ia berbicara penuh
perasaan, dan aku menyadari ia pasti menganggapku berani.
Aku juga menyadari bahwa Rosalie dan Emmett tak terlihat di mana pun di rumah
itu, dan aku ingat penyangkalan Edward yang terlalu polos ketika aku bertanya
padanya apakah keluarganya yang lain tidak menyukaiku.
Ekspresi Carlisle mengalihkanku dari pikiran ini; ia memandang Edward penuh
makna, ekspresinya mendalam. Dan sudut mata aku melihat Edward mengangguk
sekali. Aku mengalihkan pandangan, berusaha bersikap sopan. Mataku kembali menatap
instrumen indah di dekat pintu. Tiba-tiba aku teringat khayalan masa kecilku,
seandainya aku memenangkan lotre, aku akan membeli grand piano untuk ibuku. Ia
tidak terlalu pintar memainkan piano-ia hanya memainkan piano upright bekas kami
untuk dirinya sendiri - tapi aku suka melihatnya memainkan piano. Ia terlihat
bahagia, begitu tenggelam-bagiku ia kelihatan seperti sosok misterius yang baru,
seseorang di luar sosok "ibu" yang kukenal selama ini. Ia mengajariku cara
bermain piano, tentu saja, tapi seperti kebanyakan anak, aku terus mengeluh
hingga ia membiarkanku berhenti berlatih.
Esme memerhatikan keprihatinanku.
"Kau bisa main piano?" tanyanya, menunjuk piano dengan kepalanya.
Kugelengkan kepalaku. "Tidak sama sekali. Tapi piano itu indah sekali. Apakah
itu milik Anda?" "Tidak," ia tertawa. "Edward tidak memberitahumu dia pandai bermain musik?"
"Tidak." Dengan marah kutatap Edward yang memasang ekspresi tak berdosa. "Kurasa
aku seharusnya tahu."
Alis Esme yang lembut terangkat, bingung.
"Edward bisa melakukan segalanya, bukan begitu?" kataku menjelaskan.
Jasper tertawa sinis dan Esme menatap Edward tak setuju. "Kuharap kau tidak
pamer pada Bella - itu tidak sopan," bentaknya.
"Hanya sedikit," Edward tertawa lepas. Wajah Esme melembut mendengar suara itu,
dan sesaat mereka saling menatap - tatapan yang tak kumengerti - meskipun wajah
Esme tampak nyaris puas. "Sebenarnya, dia terlalu rendah hati." aku meralatnya.
"Kalau begitu, bermainlah untuknya," bujuk Esme.
"Kau baru saja bilang memamerkan diri tidak sopan," sergah Edward keberatan.
"Selalu ada pengecualian terhadap setiap peraturan," balas Esme.
"Aku ingin mendengarmu bermain piano," sahutku.
"Kalau begitu sudah diputuskan." Esme mendorong Edward menuju piano. Edward
menarikku bersamanya, mendudukkanku di kursi di sampingnya.
Lama sekali ia menatapku putus asa, sebelum beralih pada tuts-tuts pianonya.
Kemudian jari-jarinya dengan lincah menekan tuts-tuts gading itu. dan ruangan
itu pun dipenuhi irama yang begitu rumit, begitu kaya, mustahil hanya dimainkan
dengan sepasang tangan. Aku merasakan mulutku menganga terkesima karena
permainannya, dan mendengar tawa pelan di belakangku, menertawakan reaksiku.
Edward menatapku santai, musik masih melingkupi kami tanpa henti, dan ia
berkedip. "Kau menyukainya?"
"Kau menciptakannya?" Aku terperangah menyadarinya.
Ia mengangguk. "Kesukaan Esme."
Aku memejamkan mata sambil menggeleng-gelengkan kepala.
"Ada apa?" "Aku merasa amat sangat tidak berguna."
Irama musik memelan, berubah jadi lebih lembut, dan aku terkejut menemukan
melodi nina bobonya mengalun di antara sekumpulan not yang dimainkannya.
"Kau yang menginspirasi ini," katanya lembut. Musiknya berkembang menjadi
sesuatu yang teramat manis.
Aku tak sanggup berkata-kata.
"Mereka menyukaimu, kau tahu." katanya. "Terutama Esme."
Aku melirik ke belakang, tapi ruangan besar itu kosong sekarang.
"Mereka ke mana?"
"Kurasa mereka ingin memberi kita privasi."
Aku mendesah. "Mereka menyukaiku. Tapi Rosalie dan Emmett..." aku tidak
menyelesaikan kata-kataku, tak yakin bagaimana caranya mengekspresikan
keraguanku. Ia merengut. "Jangan khawatirkan Rosalie," karanya, matanya melebar dan
persuasif. "Dia akan datang."
Aku mencibir. "Emmett?"
"Well, dia pikir aku gila, dan dia benar, tapi dia tidak punya masalah denganmu.
Dia mencoba berempati dengan Rosalie."
"Apa yang membuat Rosalie tidak suka?" Aku tak yakin apakah ingin mengetahui
jawabannya. Ia menarik napas dalam-dalam. "Rosalie yang paling berjuang keras... menutupi
jati diri kami. Sulit baginya bila ada seseorang dari luar mengetahui
kebenarannya. Dan dia agak cemburu."
"Rosalie cemburu padaku?" tanyaku tak percaya. Aku berusaha membayangkan sebuah
kehidupan di mana di dalamnya ada seseorang semenawan Rosalie memiliki
alasan apa pun untuk merasa cemburu pada seseorang seperti aku.
"Kau manusia." Ia mengangkat bahu. "Dia berharap seandainya dia juga manusia."
"Oh," gumamku, masih terkejut. "Bahkan Jasper..."
"Ini benar-benar salahku," katanya. "Sudah kubilang, dia yang terakhir mencoba
cara hidup kami. Aku mengingatkannya untuk menjaga jarak."
Aku memikirkan alasannya melakukan hal itu, dan bergidik.
"Esme dan Carlisle...?" lanjutku cepat, untuk mencegahnya menyadari kengerianku.
"Senang melihatku bahagia. Sebenarnya. Esme tidak akan peduli seandainya kau
punya tiga mata dan kakimu berselaput. Selama ini dia mengkhawatirkan aku, takut
ada sesuatu yang hilang dari karakter utamaku, bahwa aku terlalu muda ketika
Carlisle mengubahku... Dia sangat senang. Setiap kali aku menyentuhmu, dia
nyaris tersedak oleh perasaan puas."
"Alice tampak sangat... bersemangat."
"Alice punya caranya sendiri dalam melihat hal-hal," katanya dengan bibir
terkatup rapat. "Dan kau takkan menjelaskannya, ya kan?"
Sesaat keheningan melintas di antara kami. Ia menyadari bahwa aku tahu ia
menyembunyikan sesuatu dariku. Aku tahu ia takkan mengatakan apa-apa. Tidak
sekarang. "Jadi, tadi Carlisle bilang apa padamu?"
Alisnya menyatu. "Aku tahu kau pasti memerhatikan."
Aku mengangkat bahu. "Tentu saja."
Ia memandangku lekat-lekat sebentar sebelum menjawab. "Dia ingin memberitahuku
beberapa hal - dia tidak tahu apakah aku mau memberitahumu."
"Apakah kau akan memberitahuku?"
"Aku harus, karena aku akan sedikit... kelewat protektif selama beberapa hari ke
depan - atau minggu - dan aku tak mau kau berpikir bahwa sebenarnya aku ini
seorang tiran." "Ada apa?" "Sebenarnya tidak ada apa-apa. Alice hanya melihat akan ada beberapa tamu.
Mereka tahu kami ada di sini, dan mereka penasaran."
"Tamu?" "Ya... well, mereka tidak seperti kami, tentu saja - maksudku dalam kebiasaan
berburu mereka. Barangkali mereka sama sekali tidak akan datang ke kota, tapi
jelas aku takkan melepaskanmu dari pengawasanku sampai mereka pergi."
Aku bergidik ngeri. "Akhirnya, respons yang masuk akal!" gumamnya. "Aku mulai berpikir kau sama
sekali tidak menyayangi dirimu."
Aku mengabaikan gurauannya, memalingkan wajah, mataku sekali lagi menjelajahi
ruangan yang luas itu. Ia mengikuti arah pandanganku. "Tidak seperti yang kauharapkan, ya kan?"
tanyanya, suaranya terdengar arogan.
"Tidak," aku mengakuinya.
"Tidak ada peti mati, tidak ada tumpukan kerangka di sudut; aku bahkan yakin
kami tidak memiliki sarang laba-laba... pasti semua ini sangat mengecewakanmu,"
lanjutnya mengejek. Aku mengabaikannya. "Begitu ringan... begitu terbuka."
Ia terdengar lebih serius saat menjawab. "Ini satu-satunya tempat di mana kami
tak perlu bersembunyi."
Lagu yang masih dimainkannya, laguku, tiba di bagian akhir, kord terakhir
berganti menjadi not yang lebih melankolis. Not terakhir mengalun sedih dalam
keheningan. "Terima kasih," gumamku. Aku tersadar air mata merebak di pelupuk mataku. Aku
menyekanya, malu. Ia menyentuh sudut mataku, menyeka titik air mata yang tersisa. Ia mengangkat
jarinya, mengamati tetes air itu lekat-lekat. Kemudian, begitu cepat hingga aku
tak yakin ia benar-benar melakukannya, ia meletakkan jarinya ke mulutnya untuk
merasakannya. Aku menatapnya bertanya-tanya, dan ia balas memandangku lama sekali sebelum
akhirnya tersenyum. "Apakah kau ingin melihat ruangan lainnya di rumah ini?"
"Tidak ada peti mati?" aku mengulanginya, kesinisan dalam suaraku tak sepenuhnya
menyamarkan perasaan waswas yang kurasakan.
Kami menaiki anak rangga yang besar-besar, tanganku menyusuri birai rangga yang
halus bagai satin. Ruangan panjang di lantai atas memiliki elemen kayu berwarna
kuning madu, sama seperti lantai keramiknya.
"Kamar Rosalie dan Emmett... ruang kerja Carlisle... kamar Alice... " Ia
menunjukkannya sambil menuntunku melewati pintu-pintu itu.
Ia bisa saja melanjutkan, tapi aku berhenti mendadak dan terperanjat di akhir
ruang besar itu, terkesiap memandang ornamen yang menggantung di dinding di aras
kepalaku. Edward tergelak, menertawai ekspresiku yang bingung. "Kau boleh
Twilight Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tertawa," katanya. "Bisa dibilang ironis."
Aku tidak tertawa. Tanganku terulur dengan sendirinya, satu jari menunjuk seolah
ingin menyentuh salib kayu besar itu, warna permukaannya yang gelap mengilat,
sangat kontras dengan warna dinding yang terang dan ringan. Aku tidak
menyentuhnya, meskipun penasaran apakah kayu yang sudah sangat tua itu terasa
sama lembutnya seperti kelihatannya.
"Pasti sudah sangat tua," aku menebaknya.
Ia mengangkat bahu. "Awal 1630-an, kurang-lebih."
Aku mengalihkan pandang dari salib itu kepada Edward.
"Mengapa kalian menyimpannya di sini?" aku bertanya-tanya.
"Nostalgia. Itu milik ayah Carlisle."
"Dia mengoleksi barang-barang antik?" aku menebak ragu-ragu.
"Tidak. Dia mengukirnya sendiri. Salib ini digantungkan di atas altar rumah
gereja tempatnya memberi pelayanan."
Aku tak yakin apakah wajahku dapat menutupi keterkejutanku, tapi aku kembali
memandang salib kuno dan sederhana itu, untuk berjaga-jaga. Aku langsung
menghitung dalam hari; salib itu berusia lebih dari 370 tahun. Keheningan
berlanjut saat aku berusaha menyimpulkan pikiranku mengenai tahun-tahun yang
begitu banyak. "Kau baik-baik saja?" Ia terdengar waswas.
"Berapa umur Carlisle?" tanyaku pelan, mengabaikan pertanyaannya, masih
memandangi salib. "Dia baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-362," jawab Edward. Aku kembali
menatapnya, berjuta-juta pertanyaan tersimpan di mataku.
Ia memerhatikanku dengan hati-hati ketika berbicara.
"Carlisle lahir di London, pada tahun 1640-an, menurutnya. Lagi pula bagi orang-
orang awam, saat itu perhitungan waktu belum terlalu tepat. Meski begitu, saat
itu tepat sebelum pemerintahan Cromwell."
Aku tetap menjaga ekspresiku, sadar ia mengamatiku saat aku menyimak. Lebih
mudah seandainya aku tidak mencoba memercayainya.
"Dia putra tunggal seorang pendeta Anglikan. Ibunya meninggal saat
melahirkannya. Ayahnya berpandangan sempit. Saat penganut Protestan mulai
berkuasa, dia begitu bersemangat membantai umat Katolik Roma dan agama lainnya.
Dia juga sangat percaya adanya roh jahat. Dia mengizinkan perburuan penyihir,
werewolf... dan vampir." Tubuhku semakin kaku mendengar kata itu. Aku yakin ia
memerhatikan, tapi ia melanjutkannya.
"Mereka membakar banyak orang tak berdosa - tentu saja makhluk-makhluk
sesungguhnya yang dicarinya tidak mudah ditangkap."
"Ketika sang pendeta semakin tua, dia menempatkan anak laki-lakinya yang patuh
sebagai pemimpin dalam pencarian. Awalnya kemampuan Carlisle mengecewakan; dia
tidak gesit menuduh; untuk menemukan roh-roh jahat di mana mereka tidak eksis.
Tapi dia tetap ngotot, dan lebih pintar dari ayahnya. Dia benar-benar menemukan
vampir sejati yang hidup tersembunyi di gorong-gorong kota, hanya keluar pada
malam hari untuk berburu. Pada masa itu, ketika monster bukan hanya mitos dan
legenda, begitulah cara mereka hidup."
"Orang-orang mengumpulkan garu dan obor mereka, tentu saja" - tawanya lebih
menyeramkan sekarang-"dan menunggu di tempat Carlisle telah melihat para monster
itu keluar ke jalanan. Akhirnya salah satu dari mereka muncul."
Suaranya sangat pelan; aku harus benar-benar berkonsentrasi untuk menangkap
kata-katanya. "Dia pasti makhluk kuno, dan lemah karena kelaparan. Carlisle mendengarnya
memanggil yang lain dalam bahasa Latin saat mencium keramaian. Dia berlari ke
jalanan dan Carlisle - dia berumur 23 tahun dan sangat tangkas - memimpin
pengejaran. Makhluk itu bisa dengan mudah mengalahkan mereka, tapi Carlisle
mengira makhluk itu terlalu lapar, jadi dia berbalik dan menyerang. Makhluk itu
menjatuhkan Carlisle lebih dulu, tapi yang lain ada di belakangnya, dan dia
berbalik untuk membela diri. Dia membunuh dua manusia, dan kabur dengan membawa
korban ketiganya, meninggalkan Carlisle berdarah-darah di jalanan."
Edward berhenti. Aku bisa merasakan ia mengedit sesuatu, menyembunyikan sesuatu
dariku. Carlisle tahu apa yang akan dilakukan ayahnya. Tubuh-tubuh akan dibakar-apa saja
yang terinfeksi oleh monster itu harus dibakar. Carlisle mengikuti instingnya
dan menyelamatkan nyawanya sendiri. Dia merangkak menjauh dari jalan sementara
kerumunan pemburu mengikuti makhluk jahat dan korbannya. Dia bersembunyi di
gudang bawah tanah, mengubur dirinya sendiri di antara
tomat-tomat yang membusuk. Benar-benar mukjizat dia dapat tetap diam, dan tak
ditemukan. "Akhirnya semua itu selesai, dan dia menyadari dirinya telah menjelma sebagai
apa." Aku tak yakin bagaimana ekspresiku, tapi tiba-tiba ia berhenti.
"Bagaimana perasaanmu?" tanyanya.
"Aku baik-baik saja," aku menenangkannya. Dan meskipun aku menggigit bibir
karena ragu, ia pasti telah melihat rasa penasaran yang membara di mataku.
Ia tersenyum. "Kuharap kau punya beberapa pertanyaan lagi untukku."
"Beberapa." Senyumnya melebar, memamerkan giginya yang sempurna. Ia mulai menyusuri ruang
besar itu, sambil menarikku bersamanya. "Kalau begitu, ayo," ajaknya. "Akan
kutunjukkan padamu."
16. CARLISLE IA menuntunku ke ruangan yang tadi disebutnya sebagai ruang kerja Carlisle. Ia
berhenti sebentar di depan pintu. "Masuklah," undang Carlisle.
Edward membuka pintu yang mengantar kami ke ruangan beratap tinggi dengan
jendela-jendela tinggi yang menghadap ke barat. Dinding-dindingnya bersekat,
kayunya berwarna lebih gelap-di mana saja terlihat. Kebanyakan ruas dinding
dipenuhi rak buku yang menjulang hingga di atas kepalaku dan menyimpan lebih
banyak buku daripada yang pernah kulihat selain di perpustakaan.
Carlisle duduk di belakang meja mahoni besar, di sebuah kursi kulit. Ia baru
saja menyelipkan pembatas buku pada halaman buku tebal yang dipegangnya. Ruangan
itu bagaikan ruang dekan yang ada dalam bayanganku - hanya saja Carlisle
terlihat terlalu muda untuk menempatinya.
"Apa yang bisa kulakukan untuk kalian?" ia bertanya dengan suara menyenangkan
seraya bangkit dari duduk.
"Aku ingin menunjukkan kepada Bella sebagian sejarah kita" kata Edward. "Well,
sejarahmu, sebenarnya."
"Kami tidak bermaksud mengganggu Anda," kataku meminta maaf.
"Tidak sama sekali. Dari mana kau akan mulai?"
"The Wagonnet," jawab Edward, meletakkan satu tangannya di bahuku, dan memutar
tubuhku untuk melihat kembali pintu yang baru kami lalui. Setiap kali ia
menyentuhku, bahkan dengan sentuhan paling ringan sekalipun, jantungku langsung
berdebar sangat cepat. Kehadiran Carlisle membuatnya lebih memalukan lagi.
Dinding yang kami hadapi sekarang berbeda dengan yang lainnya. Sebagai ganti rak
buku, dinding ini dipenuhi gambar berbingkai dalam segala ukuran, beberapa
dengan warna terang, yang lain hitam-putih membosankan. Aku berusaha mencari
benang merah yang menghubungkan gambar-gambar itu, tapi pengamatanku yang
terburu-buru tidak menghasilkan apa pun.
Edward menarikku ke ujung sisi kiri, memosisikanku di depan lukisan cat minyak
persegi kecil yang dibingkai kayu sederhana. Yang satu ini tidak terlalu
mencolok dibanding lukisan-lukisan yang lebih besar dan cerah; dilukis dengan
beragam gradasi warna sepia. menggambarkan kota yang sarat dengan atap yang amat
landai, dengan puncak menara tipis di atas beberapa menara yang terserak. Sungai
lebar mengaliri bagian muka, dilintasi jembatan penuh bangunan yang tampak
seperti katedral kecil. "London pada tahun 1650-an." kata Edward.
"London pada masa mudaku," Carlisle menambahkan beberapa meter di belakangku.
Aku tersentak; aku tidak mendengarnya mendekat. Edward meremas tanganku.
"Maukah kau menceritakannya?" pinta Edward.
Aku menoleh sedikit untuk melihat reaksi Carlisle.
Kami bertemu pandang dan ia tersenyum. "Aku mau," jawabnya. "Tapi sebenarnya aku
sudah agak terlambat. Rumah sakit menelepon pagi tadi - dr. Snow tidak masuk
karena sakit. Lagi pula, kau mengetahui ceritanya sebaik aku," tambahnya,
tersenyum pada Edward sekarang.
Sungguh perpaduan yang aneh - dokter kota yang sibuk dengan masalah sehari-hari,
terjebak dalam pembahasan mengenai masa mudanya pada abad ke-17 di London.
Aku juga waswas, mengetahui ia mengatakannya dengan lantang hanya demi
kepentinganku. Setelah tersenyum hangat ke arahku, Carlisle meninggalkan ruangan.
Lama sekali aku menatap gambar kecil kampung halaman Carlisle itu.
"Lalu apa yang terjadi?" akhirnya aku bertanya, mendongak menatap Edward, yang
sedang mengamatiku. "Ketika dia menyadari apa yang terjadi padanya?"
Edward kembali memandang lukisan-lukisan itu, dan aku memerhatikan untuk melihat
gambar mana yang menarik perhatiannya sekarang. Ternyata gambar pemandangan
berukuran lebih besar dalam warna-warna musim gugur yang muram - padang rumput
kosong dan berbayang di sebuah hutan, dengan puncak gunung di kejauhan.
"Ketika tahu dirinya telah menjelma menjadi apa," kata Edward pelan, "dia
melawannya. Dia berusaha menghancurkan dirinya sendiri. Tapi itu tidak mudah."
"Bagaimana?" Aku tak bermaksud mengatakannya keras-keras, tapi kata itu meluncur
begitu saja. "Dia melompat dari ketinggian yang amat sangat," Edward memberitahuku, suaranya
datar. "Dia berusaha menenggelamkan dirinya di lautan... tapi dia masih baru
untuk kehidupan barunya, dan sangat kuat. Sungguh mengagumkan bahwa dia mampu
menolak... memangsa... padahal dia masih begitu baru. Sejalan dengan waktu,
nalurinya bertumbuh makin kuat, mengambil alih segalanya. Tapi dia begitu jijik
pada dirinya sendiri hingga memiliki kekuatan untuk mencoba bunuh diri dengan
membiarkan dirinya kelaparan."
"Apakah itu mungkin?" suaraku terdengar samar.
"Tidak, hanya ada sangat sedikit cara untuk membunuh kami."
Mulutku membuka hendak bertanya, tapi ia menduluiku.
"Akhirnya dia sangat kelaparan, dan menjadi lemah. Dia pergi sejauh mungkin dari
manusia, sadar tekadnya mulai melemah. Berbulan-bulan dia berkeliaran pada malam
hari, mencari tempat paling sepi, membenci dirinya sendiri.
"Suatu malam sekawanan rusa melintas di tempat persembunyiannya. Dia begitu haus
hingga menyerang tanpa berpikir lagi. Kekuatannya pulih dan dia menyadari ada
cara lain untuk mengelakkan dirinya menjadi monster jahat yang selama ini
dikhawatirkannya. Pernahkah dia
memakan daging rusa pada kehidupan silamnya" Beberapa bulan kemudian filosofi
barunya pun tercipta. Dia dapat hidup tanpa menjadi makhluk jahat. Dia menemukan
jati dirinya lagi. Dia mulai menggunakan waktunya sebaik-baiknya. Dia pandai dan selalu ingin
belajar. Sekarang dia memiliki waktu tak terbatas. Dia belajar pada malam hari,
bekerja di siang hari. Dia berenang ke Prancis dan-"
"Dia berenang ke Prancis?"
"Orang-orang mengarungi Channell setiap saat. Bella," Edward mengingatkanku
dengan sabar. "Kurasa itu benar. Hanya saja kedengarannya lucu dalam konteks itu. Lanjutkan."
"Berenang sesuatu yang mudah bagi kami-"
"Segalanya mudah bagimu." kataku kagum.
Ia menunggu, wajahnya kesal.
"Aku takkan menyelamu lagi, janji."
Ia tergelak misterius, dan menyelesaikan kalimatnya. "Karena secara teknis, kami
tidak perlu bernapas."
"Kau-" "Tidak, tidak, kau sudah janji." Edward tertawa, dengan lembut meletakkan
jarinya yang dingin di bibirku. "Kau mau mendengar ceritanya atau tidak"
"Kau tak bisa menceritakan sesuatu seperti itu padaku, lalu berharap aku tak
mengatakan apa-apa," gumamku.
Ia mengangkat tangan, memindahkannya ke leherku. Jantungku bereaksi terhadap hal
itu, tapi aku berkeras. "Kau tak perlu bernapas?" desakku.
"Tidak, itu tidak perlu. Hanya masalah kebiasaan." Ia mengangkat bahu.
"Berapa lama kau tahan... tanpa bernapas?"
"Kurasa untuk waktu tak terbatas; entahlah. Lama-kelamaan rasanya agak tidak
nyaman untuk tidak memiliki indra penciuman."
"Agak tidak nyaman," ulangku.
Aku tidak memerhatikan ekspresiku sendiri, tapi sesuatu yang ditunjukkannya
membuat Edward semakin muram. Tangannya terkulai di sisinya dan ia berdiri diam
tak bergerak, matanya menatap lekat wajahku. Keheningan terus berlanjut.
Tubuhnya tak bergerak bagai baru.
"Ada apa?" aku berbisik, menyentuh wajahnya yang membeku.
Wajahnya melembut karena sentuhanku, dan ia mendesah "Aku terus menunggunya
terjadi." "Menunggu apa?"
"Aku tahu pada titik tertentu, sesuatu yang kukatakan padamu atau sesuatu yang
kaulihat akan sulit diterima. Kemudian kau akan menjauh dariku, lari sambil
menjerit-jerit." Ia setengah tersenyum, tapi tatapannya serius. "Aku takkan
menghentikanmu. Aku ingin ini terjadi sebab aku ingin kau aman. Meski begitu,
aku juga ingin bersamamu. Dua hasrat yang mustahil dipertemukan... " Ia tidak
menyelesaikan kalimatnya dan hanya memandang wajahku. Menunggu.
"Aku takkan lari ke mana-mana," aku berjanji padanya.
"Kita lihat saja," katanya, tersenyum lagi.
Aku merengut. "Jadi, lanjutkan - Carlisle berenang ke Prancis."
Ia berhenti, kembali lagi ke ceritanya. Dengan sendirinya matanya tertuju ke
gambar lain-yang paling berwarna-warni di antara yang lainnya, yang bingkainya
paling penuh ukiran, dan yang paling besar; lebarnya dua kali pintu di
sebelahnya. Kanvasnya sarat dengan sosok-sosok terang dalam jubah panjang,
berputar-putar mengelilingi pilar-pilar dan melewati balkon pualam. Aku tak bisa
mengatakan apakah gambar itu menggambarkan mitologi Yunani, ataukah karakter
yang melayang di atas awan dimaksudkan bersifat biblikal.
"Carlisle berenang ke Prancis, dan terus ke Eropa, ke universitas-universitas di
sana. Pada malam hari dia belajar musik, ilmu pengetahuan, kedokteran - dan
menemukan panggilan hidup dan penebusan dirinya lewat menyelamatkan nyawa
manusia." Ekspresinya penuh kekaguman, hormat. "Aku tak punya cukup kata-kata
untuk menggambarkan perjuangan Carlisle; dia menghabiskan dua abad untuk
menyempurnakan pengendalian dirinya dengan susah payah. Sekarang dia sudah kebal
dengan bau darah manusia, dan dia mampu melakukan pekerjaan yang dicintainya
tanpa tersiksa. Dia menemukan kedamaian yang luar biasa di sana, di rumah
sakit... " Lama sekali Edward menerawang. Tiba-tiba ia teringat tujuan awalnya.
Ia menepukkan tangannya ke lukisan besar di depan kami.
"Dia sedang belajar di Italia ketika menemukan yang lainnya di sana. Mereka jauh
lebih beradab dan berpendidikan daripada makhluk-makhluk penghuni gorong-gorong
di London." Ia menyentuh empat sosok yang terlukis di balkon paling tinggi, yang dengan
tenang memandang kekacauan di bawah mereka. Aku mengamati sosok-sosok itu dengan
saksama, lalu tersadar, seraya tertawa kaget, bahwa aku mengenali pria berambut
keemasan itu. "Solimena sangat terinspirasi oleh teman-teman Carlisle. Dia sering melukiskan
mereka sebagai dewa," Edward tertawa. "Aro, Marcus, Caius," katanya,
memperkenalkan tiga lainnya, dua berambut hitam, yang satu lagi berambut putih
bagai salju. "Penjaga malam di gedung seni."
"Apa yang terjadi pada mereka?" tanyaku lantang, ujung jariku hanya satu senti
dari figur-figur di kanvas itu.
"Mereka masih di sana." Ia mengangkat bahu. "Seperti selama entah siapa yang
tahu berapa ribu tahun ini. Carlisle tinggal hanya sebentar bersama mereka,
hanya beberapa dekade. Dia sangat mengagumi keberadaban mereka, kehalusan budi
bahasa mereka, tapi mereka tetap berusaha memulihkan ketidaksukaan Carlisle
terhadap makanan utamanya, begitulah mereka menyebutnya. Mereka mencoba
membujuknya, dan dia berusaha memengaruhi mereka, keduanya sama-sama tidak
berhasil. Karena itu Carlisle memutuskan untuk mencoba Dunia Baru. Dia berkhayal
menemukan yang lain seperti dirinya. Dia sangat kesepian, kau tahu.
"Dia tidak menemukan siapa-siapa untuk waktu yang lama. Tapi mengingat monster
telah menjelma menjadi makhluk dongeng, dia mendapati dirinya dapat berinteraksi
dengan manusia, seolah-olah dia salah satu dari mereka. Dia mulai menerapkan
metode pengobatan. Dan meskipun hasratnya untuk menjalin persahabatan tak
terelakkan lagi; dia tak dapat mempertaruhkan identitasnya.
"Ketika epidemi influenza merebak, dia bekerja bermalam-malam di sebuah rumah
sakit di Chicago. Bertahun-tahun dia telah mempertimbangkan sebuah gagasan dalam
benaknya, dan dia nyaris memutuskan untuk melakukannya-berhubung dia tak bisa
mendapatkan teman, dia akan menciptakannya. Dia tak sepenuhnya yakin bagaimana
terjadinya perubahan dalam dirinya, jadi dia merasa ragu. Dan dia benci
mengambil hidup seseorang seperti hidupnya telah diambil. Dalam pemikiran itulah
dia menemukanku. Tak ada harapan untukku; aku dibiarkan berbaring di bangsal
Twilight Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bersama orang-orang sekarat. Dia telah merawat orangtuaku, dan tahu aku sebatang
kara. Dia memutuskan untuk mencobanya... "
Suara Edward, nyaris berbisik sekarang, memelan. Diam-diam matanya menerawang ke
jendela-jendela di sebelah barat. Aku bertanya-tanya apa yang mengisi pikirannya
sekarang, kenangan Carlisle ataukah ingatannya sendiri. Aku menunggu dalam diam.
Ketika ia kembali padaku, senyuman malaikat yang lembut menghiasi wajahnya.
"Dan sejak itu hidup kami sempurna," ia menyimpulkan.
"Apakah sejak itu kau selalu tinggal bersama Carlisle." tanyaku.
"Hampir selalu." Ia meletakkan tangannya di pinggangku dan menarikku bersamanya
sambil berjalan ke pintu. Aku menoleh memandang dinding yang dipenuhi gambar
itu, bertanya-tanya apakah aku akan pernah mendengarkan kisah yang lainnya.
Edward tidak mengatakan apa-apa lagi ketika kami berjalan menyusuri lorong, jadi
aku bertanya, "Hampir selalu?"
Ia mendesah, tampak enggan menjawabnya. "Well, aku memiliki jiwa pemberontak
khas remaja - sekitar sepuluh tahun setelah aku... dilahirkan... diciptakan,
terserah bagaimana kau menyebutnya. Aku tidak menyukai caranya berpantang, dan
aku marah padanya karena telah membatasi seleraku. Jadi aku pergi hidup seorang
diri selama beberapa waktu."
"Sungguh?" Aku terpancing, bukannya ketakutan, seperti yang seharusnya
kurasakan. Ia bisa merasakannya. Aku samar-samar menyadari kami sedang menuju rangkaian
anak tangga selanjutnya, tapi aku tidak terlalu memerhatikan sekelilingku.
"Itu tidak membuatmu takut?"
"Tidak." "Kenapa tidak?"
"Kurasa... kedengarannya masuk akal."
Ia tertawa, lebih keras daripada sebelumnya. Kami sekarang berada di anak tangga
teratas, di lorong berpanel lainnya.
"Sejak kelahiran baruku," gumamnya, "aku memiliki kemampuan mengetahui apa yang
dipikirkan orang-orang di sekitarku, baik manusia maupun bukan manusia. Itu
sebabnya perlu sepuluh tahun bagiku untuk menentang Carlisle - aku bisa
mengetahui ketulusannya yang sempurna, mengerti benar mengapa dia hidup seperti
itu. "Hanya butuh beberapa tahun sampai aku kembali pada Carlisle dan berkomitmen
pada visinya. Kupikir aku akan terbebas dari... depresi... yang menyertai hati
nurani. Karena aku mengetahui pikiran mangsaku, aku dapat mengabaikan yang tak
bersalah dan mengejar hanya yang jahat. Kalau aku mengikuti seorang pembunuh di
lorong gelap tempat dia membunuh seorang gadis muda - kalau aku menyelamatkan
gadis itu, maka tentunya aku tidak sejahat itu."
Aku gemetaran, membayangkan terlalu jelas apa yang digambarkannya-lorong pada
malam hari, gadis yang ketakutan, laki-laki di belakangnya. Dan Edward, Edward
yang sedang berburu, menyeramkan sekaligus mengagumkan bagai dewa muda, tak
terhentikan. Apakah gadis itu berterima kasih, ataukah lebih ketakutan daripada
sebelumnya" "Tapi sejalan dengan waktu, aku mulai melihat monster dalam diriku. Aku tak
dapat melarikan diri dari begitu banyak kehidupan manusia yang telah kuambil,
tak peduli apa pun alasannya. Dan aku pun kembali kepada Carlisle dan Esme.
Mereka menyambutku secara berlebihan. Lebih daripada yang layak kudapatkan."
Kami berhenti di depan pintu terakhir di lorong itu.
"Kamarku," ia memberitahuku, membuka dan menarikku masuk.
Kamarnya menghadap ke selatan, dengan jendela seluas dinding seperti ruangan
besar di bawah. Seluruh bagian belakang rumah ini pasti terbuat dari kaca.
Pemandangan di sini menyajikan Sungai Sol Duc yang meliuk-liuk melintasi hutan
rak terjamah hingga ke deretan Pegunungan Olympic. Pegunungan itu jauh lebih
dekat dari yang kuduga. Dinding sebelah barat sepenuhnya tertutup rak demi rak CD. Koleksi CD di
kamarnya jauh melebihi yang dimiliki toko musik. Di sudut ada satu set sound
system yang tampak canggih jenis yang tak akan kusentuh karena yakin bakal
merusaknya. Tidak ada tempat tidur, hanya sofa kulit hitam yang lebar dan
mengundang. Lantainya dilapisi karpet tebal berwarna keemasan, dan dindingnya
dilapisi bahan tebal yang bernuansa lebih gelap.
"Perlengkapan audio yang bagus?" aku mencoba menebak.
Ia tergelak dan mengangguk.
Ia mengambil remote dan menyalakan stereonya. Suaranya pelan, namun musik jazz
lembut itu terdengar seolah-olah dimainkan secara live di ruangan ini. Aku
melihat-lihat koleksi musiknya.
"Bagaimana kau menyusunnya?" aku bertanya.
Ia tidak mendengarkan. "Mmmm, berdasarkan tahun, lalu berdasarkan pilihan pribadi dalam rentang waktu
itu," katanya setengah melamun.
Aku berbalik, dan ia sedang memandangku dengan ekspresi aneh di matanya.
"Apa?" "Aku tahu aku akan merasa... lega. Setelah kau mengetahui semuanya, aku tak
perlu lagi menyimpan rahasia darimu. Tapi aku tak berharap merasakan lebih dari
itu. Ternyata aku menyukainya. Ini membuatku... bahagia." Ia mengangkat bahu,
tersenyum samar. "Aku senang," kataku, balas tersenyum. Aku khawatir ia menyesal telah mengatakan
semua ini padaku. Senang mengetahui bukan itu masalahnya.
Tapi kemudian, ketika tatapannya memilah-milah ekspresiku, senyumnya memudar dan
dahinya berkerut. "Kau masih menungguku berlari dan menjerit-jerit, kan?" aku menebak.
Bibirnya menyunggingkan senyum tipis, dan ia mengangguk.
"Aku benci menghancurkan harapanmu, tapi kau benar tidak semenakutkan yang
kaukira. Sebenarnya, aku sama tidak menganggapmu menakutkan," aku berbohong.
Ia berhenti, alisnya terangkat, jelas-jelas tidak percaya. Kemudian ia tersenyum
lebar dan licik. 'Kau seharusnya tidak mengatakan itu," ia tergelak. Ia
menggeram dengan suara pelan; bibirnya ditarik dan memamerkan giginya yang
sempurna. Sekonyong-konyong ia menggeser posisinya, setengah membungkuk, tegang
seperti singa yang siap menerjang.
Aku mundur darinya, menatapnya nanar.
"Kau tidak akan melakukannya."
Aku tidak melihatnya melompat ke arahku-terlalu cepat. Sekonyong-konyong aku
mendapati diriku melayang, kemudian kami mendarat di sofa yang menyentak keras
sampai ke dinding. Lengannya membentuk sangkar baja di sekeliling tubuhku-nyaris
menyentuhku. Tapi aku toh terengah-engah saat mencoba memperbaiki posisiku.
Ia tidak membiarkanku. Digulungnya tubuhku menyerupai bola ke dadanya,
dicengkeramnya diriku lebih erat daripada rantai besi. Aku menatapnya ngeri,
tapi sepertinya ia dapat mengendalikan diri dengan baik, rahangnya melemas
ketika ia tersenyum, matanya berkilat-kilat penuh canda.
"Apa katamu tadi?" ia berpura-pura menggeram.
"Kau monster yang sangat, sangat menakutkan," kataku kesinisanku sedikit melunak
karena terengah-engah. "Jauh lebih baik," ia menyetujuinya.
"Mmm." Aku berusaha bangkit. "Boleh aku bangun sekarang?"
Ia hanya tertawa. "Boleh kami masuk?" terdengar suara lembut dari lorong. Aku berjuang melepaskan
diri, tapi Edward hanya menggeser posisiku hingga aku duduk sopan di pangkuannya. Aku bisa melihat bahwa
itu Alice, dan Jasper berdiri di belakangnya, di pintu masuk. Pipiku merah
padam, tapi Edward tampak santai.
"Silakan." Edward masih menahan tawa.
Alice sepertinya tidak menemukan sesuatu yang aneh melihat kami berpelukan
seperti itu; ia berjalan-nyaris menari, gerakannya sangat anggun - ke tengah
ruangan, di sana ia duduk bersila dengan luwes di lantai. Sebaliknya Jasper
berhenti di pintu, ekspresinya agak terkejut. Ia menatap wajah Edward, dan aku
bertanya-tanya apakah ia sedang merasakan suasana dengan kepekaannya yang luar
biasa. "Kedengarannya kau akan memangsa Bella untuk makan siang, dan kami datang untuk
melihat apakah kau mau berbagi," ujar Alice.
Tubuhku langsung kaku, sampai aku menyadari Edward tersenyum - entah karena
komentar Alice atau reaksiku, aku tak dapat mengatakannya.
"Maaf, rasanya aku tak ingin berbagi," jawabnya, dengan seenaknya memelukku
lebih dekat. "Sebenarnya," kata Jasper, tersenyum sambil memasuki ruangan. "Alice bilang akan
ada badai besar malam ini, dan Emmett ingin bermain bisbol. Kau mau ikut?"
Ucapannya terdengar cukup biasa, tapi konteksnya membuatku bingung. Meskipun
kusimpulkan Alice lebih bisa diandalkan daripada ramalan cuaca.
Mata Edward berkilat-kilat, tapi ia ragu.
"Tentu saja kau harus mengajak Bella," seru Alice. Sepertinya aku melihat Jesper
melirik ke arahnya. "Apa kau ingin ikut?" Edward bertanya padaku, kelihatan senang, wajahnya
bersemangat. "Tentu." Aku tak mungkin mengecewakannya. "Mmm, kita akan ke mana?"
"Kami harus menunggu petir untuk bermain bisbol - kau akan tahu kenapa," ia
berjanji. "Apakah aku akan memerlukan payung?"
Mereka tertawa keras. "Perlukah?" Jasper bertanya pada Alice.
"Tidak." Alice terdengar yakin. "Badai akan menghantam kota. Akan cukup kering
di hutan." "Kalau begitu, bagus." Seperti biasa, semangat dalam suara Jasper menular. Aku
mendapati diriku bersemangat, bukannya ketakutan.
"Ayo kita lihat apakah Carlisle mau ikut." Alice melompat-lompat menuju pintu
dalam balutan pakaian yang akan membuat iri balerina mana pun.
"Seperti kau tidak tahu saja," goda Jasper, dan mereka langsung berlalu. Jasper
berhasil menutup pintu tanpa bersuara.
"Kita akan main apa?" tanyaku.
"Kau akan menonton," Edward meralat. "Kami yang akan bermain bisbol."
Aku memutar bola mataku. "Vampir suka bisbol?"
"Itu permainan bangsa Amerika di masa lampau." oloknya.
17. PERMAINAN GERIMIS baru saja mulai ketika Edward berbelok menuju jalanan rumahku. Hingga
saat itu aku sama sekali tidak ragu ia akan terus menemaniku sementara aku
menghabiskan waktu sebentar di dunia nyata.
Kemudian aku melihat mobil hitam, Ford usang, diparkir di pelataran parkir
Charlie - dan mendengar Edward menggumamkan sesuatu yang tidak jelas, suaranya
pelan dan parau. Berteduh dari hujan di teras depan yang beratap rendah, tampak Jacob Black
berdiri di belakang kursi roda ayahnya. Wajah Billy diam bagai patung ketika
Edward memarkir trukku. Jacob mengawasi, ekspresinya mematikan.
Suara Edward yang dalam terdengar marah. "Ini sudah kelewatan."
"Dia datang untuk memperingatkan Charlie?" aku menebak, lebih ketakutan daripada
marah. Edward hanya mengangguk, membalas tatapan Billy yang menembus hujan dengan mata
menyipit. Aku merasa lemas dan sekaligus lega bahwa Charlie belum pulang
"Biar aku yang mengurusnya," usulku. Tatapan tajam Edward membuatku waswas.
Aku terkejut karena ia menyetujuinya. "Barangkali itu yang terbaik. Meskipun
begitu, berhati-hatilah. Anak itu tidak tahu apa-apa."
Aku sedikit kesal karena dia menyebut Jacob anak, "Jacob tidak jauh lebih muda
daripadaku," aku mengingatkan.
Ia memandangku, kemarahannya langsung lenyap. "Oh, aku tahu," ia meyakinkanku
dengan senyuman. Aku mendesah dan meletakkan tanganku di pegangan pintu.
"Ajak mereka masuk," perintahnya, "jadi aku bisa pergi. Aku akan kembali sekitar
senja." "Kau mau membawa trukku?" aku menawarkan, sambil membayangkan bagaimana caranya
menjelaskan kepada Charlie di mana trukku berada.
Ia memutar bola matanya. "Aku bisa berjalan pulang lebih cepat daripada truk
ini." "Kau tidak perlu pergi," kataku sedih.
Ia tersenyum melihat ekspresiku yang muram. "Sebenarnya memang tidak perlu.
Setelah kau menyingkiRkan mereka" - ia melemparkan tatapan kelam ke arah Jacob
dan Billy - "kau masih harus mempersiapkan Charlie untuk bertemu pacar barumu."
Ia tersenyum lebar, memamerkan seluruh giginya.
Aku mengerang. "Terima kasih banyak."
Ia menyunggingkan senyumnya yang kusuka. "Aku akan segera kembali," ia berjanji.
Matanya kembali melirik teras, kemudian ia membungkuk, sekilas mengecup pangkal
tangku. Jantungku melompat tak keruan, dan aku memandang ke teras. Wajah Billy
tak lagi datar, dan ia mencengkeram sandaran tangan kursi rodanya.
"Segera," aku menekankan kara itu sambil membuka pintu dan berdiri di bawah
hujan. Aku bisa merasakan tatapannya di punggungku ketika aku setengah berlari menembus
gerimis menuju teras. "Hei, Billy. Hai, Jacob." Aku menyapa mereka seceria mungkin. "Charlie pergi
seharian-kuharap kalian belum terlalu lama menunggu."
"Belum lama," sahut Billy tenang. Matanya yang berwarna hitam memandangku tajam.
"Aku hanya mau mengantar ini" Ia menunjuk kantong cokelat di pangkuannya.
"Terima kasih," kataku, meskipun tak tahu apa isinya. "Masuklah sebentar dan
keringkan dirimu." Aku berpura-pura tidak menyadari tatapannya yang tajam saat membuka pintu, dan
menyuruh mereka berjalan mendahuluiku.
"Mari, biar kusimpankan untukmu," aku menawarkan diri, berbalik untuk menutup
pintu. Kubiarkan diriku memandang ke arah Edward sekali lagi. Ia sedang
menunggu, diam, matanya serius.
"Masukkan ke kulkas," Billy mengingatkan ketika menyerahkan bungkusan itu
padaku. "Isinya beberapa potong ikan goreng buatan Harry Clearwater - kesukaan
Charlie. Kulkas akan membuatnya lebih kering." Ia mengangkat bahu.
"Terima kasih," aku mengulanginya, namun kali ini bersungguh-sungguh. "Aku
kehabisan cara baru untuk mengolah ikan, dan dia bertekad membawa lebih banyak
ikan malam ini." "Memancing lagi?" Billy bertanya, matanya berbinar. "Di tempat memancing yang
biasa" Barangkali aku akan ke sana menemuinya."
"Bukan," aku cepat-cepat berbohong, wajahku menegang, "Dia ke tempat baru...
tapi aku tidak tahu di mana."
Ia menyadari perubahan ekspresiku, dan itu membuatnya berpikir.
"Jake," katanya, masih mengamatiku. "Mengapa kau tidak pergi mengambil gambar
Rebecca yang baru di mobil" Aku juga ingin memberikannya pada Charlie."
"Di mana?" Jacob bertanya, suaranya murung. Aku memandangnya, tapi ia menunduk
menatap lantai, alisnya bertaut.
"Rasanya aku melihatnya di bagasi," jawab Billy. "Kurasa kau perlu mencari-cari
di bagian bawah." Jacob kembali menembus hujan.
Billy dan aku berhadap-hadapan dalam hening. Setelah beberapa saat, keheningan
itu mulai terasa menjengahkan, jadi aku berbalik menuju dapur. Aku bisa
mendengar decit roda kursinya yang basah di atas lantai linoleum ketika
mengikutiku. Kumasukkan kantong itu ke rak teratas kulkas yang sudah penuh, dan berbalik
menghadapnya. Wajahnya yang keriput tak dapat ditebak.
"Charlie pulang larut." Suaraku nyaris kasar.
Ia mengangguk setuju, tapi tidak mengatakan apa-apa.
"Sekali lagi terima kasih untuk ikan gorengnya," ujarku memberi isyarat.
Ia terus mengangguk. Aku mendesah dan melipat tanganku di dada.
Ia sepertinya bisa merasakan bahwa aku sudah tak ingin basa-basi lagi. "Bella,"
katanya, kemudian ragu-ragu.
Aku menunggu. "Bella," katanya lagi. "Charlie salah satu sahabatku."
"Ya." Hati-hati ia mengucapkan setiap kata dengan suara bergemuruh. "Kuperhartikan kau
menghabiskan waktumu dengan salah satu anak keluarga Cullen."
"Ya," kembali aku menjawab dengan ketus.
Matanya menyipit. "Barangkali ini bukan urusanku, tapi menurutku itu bukan ide
yang bagus." "Kau benar," timpalku. "Itu memang bukan urusanmu."
Alisnya yang beruban terangkat mendengar nada suaraku. "Barangkali kau tidak
mengetahuinya, tapi keluarga Cullen punya reputasi tidak bagus di reservasi
kami." "Sebenarnya, aku mengetahuinya," ujarku tegas. Ia terkejut. "Tapi reputasi itu
tidak bisa dibenarkan, bukan begitu" Karena keluarga Cullen tak pernah
menginjakkan kaki di reservasi, ya kan?" Bisa kulihat ucapanku yang
Twilight Karya Stephenie Meyer di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengingatkannya pada kesepakatan yang mengikat dan melindungi sukunya telah
membuatnya bungkam. "Memang benar," ia menyetujuinya, matanya waspada. "Kau kelihatannya... cukup
tahu tentang keluarga Cullen. Lebih tahu daripada yang kuduga."
Aku menatapnya. "Bahkan mungkin lebih tahu daripadamu."
Ia mengerucutkan bibirnya yang tebal sambil memikirkannya. "Mungkin," ia
mengalah, tapi sorot matanya tajam. "Apakah Charlie sama tahunya seperti
dirimu?" Ia sudah menemukan kelemahan pertahananku.
"Charlie sangat menyukai keluarga Cullen," sahutku membentengi diri. Ia jelas
memahami bahwa aku berkelit. Ekspresinya tidak senang, tapi tidak terkejut.
"Itu bukan urusanku," katanya. "Tapi mungkin urusan Charlie."
"Meskipun lagi-lagi itu adalah urusanku, entah aku menganggap itu urusan Charlie
atau tidak, ya kan?"
Aku bertanya-tanya apakah ia bahkan mengerti pertanyaan yang membingungkan itu
selagi aku berusaha untuk tidak mengatakan apa pun yang mencurigakan. Tapi
sepertinya ia mengerti. Ia mempertimbangkannya sementara hujan mengguyur atap,
satu-satunya suara yang memecah keheningan.
"Ya," akhirnya ia menyerah. "Kurasa itu urusanmu juga."
Aku mendesah lega. "Terima kasih, Billy."
"Pikirkan saja apa yang kaulakukan, Bella," desaknya.
"Oke," aku buru-buru menimpali.
Wajahnya menekuk. "Maksudku, jangan lakukan apa yang sedang kaulakukan."
Aku menatap matanya, di dalamnya tak lain hanya rasa peduli terhadapku, dan tak
ada yang bisa kukatakan. Saat itu juga pintu depan terbanting keras, dan aku melompat mendengarnya.
"Gambar itu tak ada di mana pun di mobil." Keluhan Jacob mencapai kami sebelum
dirinya sendiri. Ketika ia berbelok di sudut, bagian pundak bajunya tampak basah
karena hujan dan air menetes-netes dari rambutnya.
"Hmm," Billy bergumam, tiba-tiba mengalihkan pandangannya dan memutar kursi
menghadap anaknya. "Kurasa aku meninggalkannya di rumah."
Jacob memutar-mutar bola matanya secara dramatis.
"Hebat." "Well, Bella, beritahu Charlie"-Billy berhenti sebelum melanjutkan kata-
katanya-"bahwa kami mampir, maksudku."
"Akan kusampaikan," gumamku.
Jacob terkejut. "Kita sudah mau pergi?"
"Charlie akan pulang larut." Billy menjelaskan sambil meluncur melewati Jacob.
"Oh," Jacob tampak kecewa. "Well, kurasa sampai ketemu nanti. Bella."
"Tentu," timpalku.
"Jaga dirimu," Billy mengingatkanku. Aku tak menyahut.
Jacob membantu ayahnya melewati pintu. Aku melambai sebentar, sambil melirik
trukku yang sekarang sudah kosong kemudian menutup pintu sebelum mereka berlalu.
Aku berdiri di lorong sebentar, mendengarkan suara mobil mereka menjauh
meninggalkan pekarangan. Aku diam di tempat, menunggu kejengkelan dan
kekhawatiranku lenyap. Setelah ketegangan itu sedikit memudar, aku pergi ke
lantai atas untuk mengganti pakaian.
Aku mencoba beberapa atasan berbeda, tak yakin apa yang menantiku malam ini.
Saat aku berkonsentrasi pada apa yang akan terjadi, yang baru saja lewat jadi
tidak penting. Sekarang setelah tak lagi di bawah pengaruh Jasper dan Edward,
aku mulai bersiap-siap untuk tidak merasa takut sebelumnya. Segera saja aku
menyerah memilih pakaian - kukenakan atasan flanel usang dan jins - lagi pula
aku toh bakal mengenakan jas hujan semalaman.
Telepon berbunyi dan aku lari menuruni tangga untuk mengangkatnya. Hanya ada
satu suara yang ingin kudengar; yang lainnya akan membuatku kecewa. Tapi aku
tahu kalau ia ingin berbicara denganku, barangkali ia langsung muncul saja di
kamarku. "Halo?" tanyaku, terengah-engah.
"Bella" Ini aku," kara Jessica.
"Oh, hei, Jess." Sejenak kukerahkan diriku untuk kembali ke dunia nyata. Rasanya
seperti berbulan-bulan bukannya berhari-hari sejak terakhir aku berbicara dengan
Jessica. "Bagaimana pesta dansanya?"
"Asyik banget!" sembur Jessica. Tak perlu dipancing lagi, ia langsung
menceritakan detail demi detail tentang malam sebelumnya. Aku menggumamkan mmm
dan ahh pada saat yang tepat, tapi tidak mudah untuk berkonsentrasi. Jessica,
Mike, pesta dansa, sekolah - semuanya terdengar sangat tidak sesuai dengan saat
ini. Mataku terus menatap jendela, mencoba mengukur cahaya di balik awan tebal
itu. "Kaudengar apa yang kukatakan, Bella?" tanya Jess jengkel.
"Maaf, apa?" "Kubilang, Mike menciumku! Kau percaya?"
"Itu bagus, Jess," kataku.
"Jadi, apa yang kaulakukan kemarin?" tantang Jessica, masih jengkel karena aku
kurang menyimak. Atau mungkin ia kecewa karena aku tidak menanyakan detailnya.
"Tidak ada, sungguh. Aku hanya berjalan-jalan di luar menikmati matahari."
Aku mendengar suara mobil Charlie di garasi.
"Apa kau pernah mendengar kabar lagi dari Edward Cullen?"
Pintu depan dibanting, dan aku bisa mendengar Charlie menimbulkan suara gedebak-
gedebuk di bawah tangga, meletakkan peralatannya.
"Mmm." Aku ragu, tak yakin apa lagi yang harus kuceritakan.
"Hai. Nak!" seru Charlie saat berjalan ke dapur. Aku melambai padanya.
Jess mendengar suara Charlie. "Oh. ayahmu ada. Tak apa - kita ngobrol besok.
Sampai ketemu di kelas Trigono."
"Sampai ketemu. Jess." Aku menutup telepon.
"Hei. Dad," kataku. Ia sedang menggosok-gosok tangannya di bak cuci piring.
"Mana ikannya?"
"Aku meletakkannya di freezer."
"Akan kuambil beberapa sebelum membeku - Billy mengantarkan beberapa ikan goreng
Harry Clearwater sore ini." Aku berusaha terdengar bersemangat.
"Oh ya?" Mata Charlie berbinar-binar. "Itu kesukaanku."
Charlie membersihkan diri sementara aku menyiapkan makan malam. Dalam waktu
singkat kami sudah duduk di meja, makan dalam diam. Charlie menikmati
makanannya. Dengan putus asa aku membayangkan bagaimana melaksanakan tugasku,
berjuang memikirkan cara untuk mengangkat masalah itu.
"Apa yang kaulakukan hari ini?" tanyanya, membuyarkan lamunanku.
"Well, sore ini aku di rumah saja..." Bukan sepanjang sore, sebenarnya. Aku
berusaha menjaga suaraku tetap ceria, tapi perutku seperti berlubang. "Dan pagi
ini aku bertamu ke rumah keluarga Cullen."
Charlie menjatuhkan garpunya.
"Rumah dr. Cullen?" ia bertanya, kaget.
Aku berpura-pura tidak memerhatikan reaksinya.
"Yeah." "Apa yang kaulakukan di sana?" Ia tidak mengambil garpunya lagi.
" Well, bisa dibilang aku punya kencan dengan Edward Cullen malam ini, dan dia
ingin memperkenalkan aku dengan orangtuanya... Dad?"
Kelihatannya Charlie mengalami penyempitan pembuluh darah.
"Dad, kau baik-baik saja?"
"Kau berkencan dengan Edward Cullen?" gelegar Charlie.
O-Oh. "Kupikir kau menyukai keluarga Cullen?"
"Dia terlalu tua untukmu," serunya marah.
"Kami sama-sama murid junior," aku meralatnya, meskipun ia lebih benar dari yang
diduganya. "Tunggu... " ia berhenti. "Edward itu yang mana, ya?"
"Edward adalah yang paling muda, yang rambutnya cokelat kemerahan." Yang tampan,
yang seperti dewa... "Oh, well, itu"-ia berusaha keras mengucapkan kata-katanya- "lebih baik, kurasa.
Aku tidak suka tampang yang bertubuh besar. Aku yakin dia anak laki-laki yang
baik dan semuanya, tapi dia kelihatan terlalu... dewasa untukmu. Apakah Edwin ini
pacarmu?" "Namanya Edward, Dad."
"Ya, tidak?" "Kurasa bisa dibilang begitu."
"Semalam katamu kau tidak tertarik dengan anak laki-laki mana pun di kota ini."
Tapi ia mengambil garpunya lagi, jadi aku tahu yang terburuk telah berlalu.
"Well, Edward tidak tinggal di kota, Dad."
Ia menatapku jengkel saat mengunyah.
"Lagi pula," lanjutku, "ini baru tahap awal, kau tahu. Jangan membuatku malu
dengan semua omongan soal pacar, oke"
"Kapan dia akan kemari?"
"Dia akan tiba sebentar lagi."
"Dia akan mengajakmu ke mana?"
Aku menggeram keras-keras. "Kuharap kausingkirkan kecurigaan berlebihan dari
pikiranmu sekarang. Kami akan bermain bisbol bersama keluarganya."
Wajahnya cemberut, kemudian akhirnya ia tergelak. "Kau bermain bisbol?"
"Well, barangkali kebanyakan aku menonton."
"Kau pasti benar-benar menyukai laki-laki ini," ia mengamatiku curiga.
Aku mendesah dan memutar bola mataku.
Aku mendengar deruman mobil diparkir di depan rumah. Aku melompat dan mulai
membersihkan piring bekas makanku.
"Tinggalkan saja piring-piring itu, aku bisa mencucinya malam ini. Kau sudah
terlalu memanjakanku."
Bel pintu berbunyi, dan Charlie berjalan terhuyung-huyung untuk membukanya. Aku
hanya beberapa jengkal di belakangnya.
Aku tidak menyadari betapa derasnya hujan di luar sana. Edward berdiri di bawah
bias lampu teras, tampak seperti model pria dalam iklan jas hujan.
"Ayo masuk, Edward."
Aku mendesah lega ketika Charlie menyebut namanya dengan benar.
"Terima kasih, Kepala Polisi Swan," sahut Edward dengan suara penuh hormat.
"Oh, panggil saja aku Charlie. Sini, kusimpankan jaketmu."
"Terima kasih, Sir."
"Silakan duduk, Edward." Aku meringis.
Edward duduk dengan luwes di kursi satu dudukan, memaksaku duduk di sofa, di
sebelah Charlie. Aku cepat-cepat melirik jengkel padanya. Ia mengedip di
belakang Charlie. "Jadi, kudengar kau mau mengajak putriku menonton pertandingan bisbol."
Faktanya, hanya di Washington-lah pertandingan olahraga luar ruangan tetap
berjalan tak peduli deras atau tidak.
"Ya, Sir, begitulah rencananya." Ia tidak tampak terkejut bahwa aku mengatakan
yang sebenarnya pada ayahku. Lagi pula, ia mungkin saja mendengarkan.
" Well, kurasa kau lebih punya kekuatan untuk itu."
Charlie tertawa, dan Edward ikut tertawa.
"Oke" Aku bangkit berdiri.
"Sudah cukup menertawakanku. Ayo kita pergi." Aku kembali menyusuri lorong dan
mengenakan jaket. Mereka mengikuti.
"Jangan pulang terlalu larut, Bell."
"Jangan khawatir, Charlie, aku akan mengantarnya pulang sebelum larut," Edward
berjanji. "Kaujaga putriku baik-baik, oke?"
Aku mengerang, tapi mereka mengabaikanku.
"Dia akan aman bersamaku, aku janji, Sir."
Charlie tak bisa meragukan ketulusan Edward, yang terdengar pada setiap kata-
katanya. Aku melangkah keluar sambil mengentakkan kaki. Mereka tertawa, dan Edward
mengikutiku. Aku berhenti tiba-tiba di teras. Di sana, di belakang trukku, tampak Jeep
berukuran sangat besar. Bannya lebih tinggi dari pinggangku. Di depan lampu
depan dan belakangnya ada bemper baja dan empat lampu sorot besar terkait di
rangka bemper yang besar. Atapnya merah mengilat.
Charlie bersiul pelan. "Kenakan sabuk pengamanmu," sahutnya tercekat. Edward mengikuti ke sisiku dan
membukakan pintu. Aku mengira-ngira jarak ke jok dan bersiap-siap melompat naik.
mendesah, kemudian mengangkatku dengan satu tangan. Kuharap Charlie tidak
memerhatikan. Ketika ia beralih ke jok pengemudi, dalam langkah manusia normal, aku berusaha
mengenakan sabuk pengamanku. Tapi terlalu banyak kaitan.
"Ini semua untuk apa?" tanyaku ketika ia membuka pintu.
"Itu perlengkapan keselamatan off-road."
"Oh-oh." Aku mencoba menemukan setiap kaitan yang tepat, tapi tidak mudah. Ia mendesah
lagi dan mencondongkan tubuh untuk membantuku. Aku senang hujannya sangat lebat
sehingga kurasa Charlie tidak terlalu jelas melihat kemari. Berarti ia tidak
bisa melihat tangan Edward yang menyentuh leherku, menyusuri tulang selangkaku.
Aku menyerah berusaha menolongnya dan berkonsentrasi agar tidak terengah-engah.
Edward memasukkan kunci kontak dan menyalakan mesin. Kami berlalu meninggalkan
rumah. "Ini... mmm... Jeep-mu besar sekali."
"Ini punya Emmett. Kurasa kau pasti tidak ingin berlari sepanjang jalan."
"Di mana kalian menyimpan benda ini?"
"Kami merenovasi salah satu bangunan lain di rumah kami dan menjadikannya
garasi." "Apa kau tidak akan mengenakan sabuk pengamanmu?"
Ia menatapku tak percaya.
Lalu aku tiba-tiba mengerti.
"Berlari sepanjang jalan" Itu berarti kita masih harus berlari separuh
perjalanan?" Suaraku naik beberapa oktaf.
Ia tersenyum tegang. "Kau tidak akan berlari."
"Aku bakal mual."
"Pejamkan saja matamu, kau akan baik-baik saja."
Kugigit bibirku, melawan rasa panik.
Ia mencondongkan tubuh mengecup keningku, kemudian mengerang. Aku menatapnya,
bingung. "Kau harum sekali ketika hujan," jelasnya.
"Dalam artian yang baik, atau buruk?" tanyaku hati-hati.
Ia mendesah. "Keduanya, selalu keduanya."
Aku tak tahu bagaimana dapat melihat jalan dalam kegelapan dan guyuran hujan,
tapi entah bagaimana ia menemukan jalan kecil yang tidak bisa dibilang jalan dan
lebih menyerupai jalan setapak pegunungan. Untuk waktu yang cukup lama kami tak
mungkin bercakap-cakap, karena aku melonjak-lonjak seperti mata bor. Meski
begitu Edward kelihatannya menikmati perjalanan, tersenyum lebar sepanjang
jalan. Kemudian kami tiba di ujung jalan; pepohonan membentuk dinding hijau pada ketiga
sisi Jeep. Hujan tinggal gerimis, setiap detik semakin pelan, dan langit tampak
lebih terang di balik awan.
"Maaf, Bella, kita harus jalan kaki dari sini."
"Kau tahu" Aku akan menunggu di sini saja."
"Apa yang terjadi dengan semua nyalimu" Kau sangat luar biasa pagi ini."
"Aku belum melupakan pengalaman terakhirku." Mungkinkah itu baru kemarin"
Ia mengitari bagian depan mobil, dan menuju sisiku dalam kelebatan. Ia mulai
melepaskan kaitan sabuk pengamanku.
"Biar aku yang melakukannya, kau terus saja," protesku.
"Hmmm...," ia berpikir sambil cepat-cepat menyelesaikannya. "Sepertinya aku
harus memanipulasi ingatanmu."
Sebelum aku bereaksi. ia menarikku dari Jeep dan membuatku berdiri di tanah.
Nyaris tak berembun sekarang ini; Alice benar.
"Memanipulasi ingatanku?" tanyaku gugup.
"Semacam itu." Ia memerhatikanku lekat-lekat, dengan hati-hati, tapi jauh di
dalam matanya ada rasa humor. Ia meletakkan kedua tangannya di Jeep di kedua
sisi kepalaku dan mencondongkan tubuh, memaksaku menempel ke pintu. Ia
mencondongkan rubuhnya semakin dekat, wajahnya hanya beberapa senti dariku. Aku
Iblis Sungai Telaga 28 Dewa Arak 32 Algojo-algojo Bukit Larangan Dendam Cinta Gila Pendekar 2