Anak Anak Nakal 1
Anak Anak Nakal Karya Unknown Bagian 1
MERAH 1
Mereka pasti mau menggangguku.
Aku langsung melihat mereka
begitu berbelok di sudut jalan.
Mereka berdiri tidak jauh dariku,
menunggu di dekat halte bus.
Melanie, Sarah, dan Kim. Kim
yang paling sangar. Aku tidak tahu harus berbuat
apa. Aku maju satu langkah, sepatu
sandalku menempel di trotoar.
Mereka saling menyikut. ltu
berarti mereka melihatku.
Aku tidak bisa melihat sejauh
itu, meski mengenakan kacamata
sekalipun, tapi aku yakin Kim
pasti nyengir lebar. Aku berdiri terpaku. Menoleh ke
belakang. Mungkin aku bisa lari
kembali ke sekolah" Tapi aku sudah
lama sekali di sana, sengaja tidak
mau pulang dulu. Mungkin gerbang
tempat bermain sudah dikunci" Tapi
mungkin masih ada guru yang belum
pulang" Aku dapat berlagak sakit
perut atau apa sajalah, kemudian
mungkin bisa menumpang 2
mobilnya pulang" "Coba lihat si Mandy! Dia mau
kabur kembali ke sekolah. Dasar
anak ingusan!" teriak Kim.
Sepertinya Kim punya kacamata
ajaib yang bisa langsung melihat
isi kepalaku. Tentu saja sesungguhnya dia tidak pakai
kacamata. Mana ada sih cewek
seperti Kim yang pakai kacamata
atau mengenakan kawat gigi. Mereka
juga tidak pernah gembrot. Model
rambutnya pun tidak pemah
ketinggalan zaman. Dan mereka juga
tidak pemah pakai baju bayi yang konyol.
Kalau aku berbalik dan kabur,
mereka pasti mengejarku. Maka aku
terus berjalan, walaupun kedua
kakiku goyah. Sekarang aku hampir
mencapai mereka, sehingga bisa
melihat cukup jelas. Memang benar,
Kim nyengir lebar. Mereka semua
nyengir lebar. Aku memeras otak, tidak tahu
harus berbuat apa. Daddy mengajariku untuk 3
balas mengejek. Tetapi, mana bisa
mengejek cewek sehebat Kim. Tidak
ada yang bisa dijadikan bahan
ledekan pada dirinya. Mum bilang, abaikan saja mereka,
pasti lama-lama mereka bosan
sendiri mengganggumu. Tapi mereka tidak bosan-bosan
juga. Jarak kami semakin dekat.
Sepatu sandalku masih terasa
lengket di aspal. Sekujur badanku
juga lengket. Gaunku melekat di
punggung. Dahiku basah di balik
poni. Tapi aku berusaha keras tetap
terlihat tenang. Berusaha melihat
ke belakang pundak mereka. Kulihat
Arthur King duduk menunggu bus di
halte. Kupandangi saja dia. Dia
asyik membaca buku. Dia memang
selalu membaca buku. Aku juga suka membaca. Sayang
Arthur King itu cowok. Agak aneh
pula. Padahal kalau tidak, kami
pasti bisa berteman baik.
Sekarang aku tidak punya 4
teman dekat. Dulu aku berteman
akrab dengan Melanie, tapi
kemudian dia berteman dengan
Sarah. Lalu Kim memutuskan
menjadikan mereka anggota gengnya.
Padahal dulu Melanie selalu
bilang dia benci pada Kim. Tapi
sekarang dia malah bersahabat
dengannya. Bila Kim ingin
berteman denganmu, kau tidak bisa
berbuat apa-apa. Kau tidak bakal
bisa menolak. Habis, dia sangar
sekali sih. Dia sekarang berdiri tepat di
depanku. Aku tidak bisa lagi
berlagak melihat ke balik
pundaknya. Mau tidak mau, aku
terpaksa menatapnya. Memandangi
mata hitamnya yang bersinar-sinar,
rambut hitamnya yang mengilap,
mulut besarnya yang nyengir lebar,
memamerkan gigi-giginya yang putih.
Bila memejamkan mata sekalipun,
aku tetap bisa melihatnya. Seakan
dia menyusup masuk ke kacamataku,
langsung ke dalam kepalaku.
Nyengir terus. 5
"Wah, dia menutup mata. Yuk,
kita tabrak saja dia," usul Kim.
Aku cepat-cepat membuka mataku
kembali. "Dasar gila," komentar Sarah.
"Dia pasti lagi main pura-pura,"
Melanie berkata. Tawa mereka berderai. Aku paling sebal kalau Melanie
membeberkan permainan-permainan
yang dulu sering kami mainkan
bersama. Mataku mulai terasa
panas. Kukerjapkan mataku kuat-
kuat. Pokoknya, jangan sampai aku
menangis, apa pun yang terjadi.
Abaikan saja mereka, abaikan,
abaikan''' "Mau nyuekin kita, ya!" teriak
Kim dengan nada menang. "Mumsie
sayang menyuruhmu mengabaikan
cewek-cewek jail seperti kita, ya?"
Tidak ada gunanya lagi berusaha
mengabaikan dia. Lagi pula, aku
tidak bisa. Dia sekarang berdiri
tepat di depanku, menghadangku,
diapit Melanie dan Sarah. Aku
terperangkap. 6
Aku menelan ludah dengan susah
payah. Kim terus saja nyengir
bandel. "Omong-omong, Mumsie-mu mana?"
tanya Kim. "Tidak biasanya Mumsie membiarkan si kecil Mandy
pulang sendirian. Kita yang akan
menjaganya, begitu kan, Mel,
Sarah?" Mereka memang gemar sekali
sikut-menyikut, berbisik-bisik, dan
cekikikan setiap kali ibuku lewat.
Apalagi bila Mum lewat bersamaku,
mereka jadi semakin getol sikut-
menyikut, berbisik-bisik, dan
cekikikan mengejek. Pemah Mum
menggandeng tanganku dan, sebelum
aku sempat menepiskannya, mereka
semua melihatnya. Kontan saja itu
jadi bahan ledekan selama
berminggu-minggu. Kim mengarang
cerita tentang anak balita yang
dikekang dan didudukkan di kereta
dorong, yang ke mana-mana tidak
pernah lupa membawa dot. Dan
boneka konyol untuk anak tolol.
Sekarang ini, lagi-lagi 7
mereka saling sikut, berbisik-
bisik, cekikikan. Aku diam saja,
tidak menjawab pertanyaan Kim
tadi. Aku berusaha mengelak, tapi
dia mengikuti setiap gerak
langkahku, menghadangku terus.
Dekat sekali. Badannya lebih
besar daripada aku. "Hei, aku bicara padamu! Kau
tuli ya" Apa aku perlu berteriak?"
pekik Kim. Dia membungkukkan
badan, begitu dekat sampai rambut
hitamnya yang halus menyapu pipiku.
"MUMSIE MANA?" teriaknya keras,
tepat di telingaku. Aku bisa merasakan suaranya
meraung di rongga kepalaku, melesat
memasuki setiap sel dalam otakku.
Dengan panik aku memandang
berkeliling. Arthur King menengadahkan muka dari balik buku,
memandangiku. Aku malu bila dia tahu aku
sedang dikerjai. Maka aku pun
dengan susah payah berusaha
berlagak seolah tidak terjadi apa-
apa. 8
"Ibuku ke dokter gigi," kataku,
bersikap seakan Kim dan aku
mengobrol biasa. Melanie dan Sarah langsung
tertawa terbahak-bahak. Sementara
Kim tetap nyengir. "Oooh, ke dokter gigi ya?"
ujarnya. Dia juga berbicara
seperti mengobrol biasa. "Mmm, ya,
memang, ibumu memang harus sering
ke dokter gigi, ya, Mandy?" Dia
terdiam sebentar, menunggu.
Aku tidak tahu apakah harus
mengatakan sesuatu atau tidak. Jadi aku juga ikut-ikutan diam.
"Ibumu memang mesti rajin ke
dokter gigi," lanjut Kim. "Dia
kan sudah keriput, ubanan, dan
uzur, jadi kurasa semua gigi
aslinya pasti sudah tanggal. Dia
mau pasang gigi palsu, kan,
Mandy?" Sambil mengatakan hal itu, dia
menyunggingkan senyum manis sekali,
memamerkan sederetan gigi yang
sempuma. Aku merasa seperti
digigitnya. Gigitan kecil- 9
kecil yang kejam, lagi dan lagi,
berkali-kali. "Jangan mengejek ibuku," kataku.
Sebenamya aku ingin kata-kataku
tadi terdengar bernada mengancam,
tapi yang keluar justru seperti
memohon-mohon. Bagaimanapun
nadanya, tidak ada bedanya. Mana
ada yang bisa membungkam mulut Kim
bila dia sudah mulai berkoar-koar.
Apalagi aku. "Ibumu kelihatan lebih tua
daripada nenekku," kata Kim.
"Tidak, dia malah tampak lebih tua
daripada nenek buyutku. Berapa
umumya waktu dia melahirkanmu,
Mandy" Enam puluh" Tujuh puluh"
Seratus?" "Dasar goblok," sergahku.
"Ibuku tidak setua itu."
"Kalau begitu, berapa umurnya?"
"Itu bukan urusanmu," tukasku.
"Umumya lima puluh lima," sela
Melanie. "Ayahnya bahkan lebih
tua lagi, enam puluh dua."
Aku merasa wajahku memerah. Aku
memang pemah memberitahu 10
Melanie waktu kami masih bersahabat, dan dia sudah berjanji
untuk tidak mengatakannya pada
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
siapa-siapa. "Ya ampun, itu sih sudah peyot!"
seru Sarah. "Ibuku baru berumur
tiga puluh satu." Detik berikutnya, mereka semua
mulai berlagak menirukan wanita
tua, mengecap-ngecapkan bibir dan
berjalan terhuyung-huyung dengan
kaki terbuka lebar. "Hentikan!" teriakku, lensa
kacamataku mulai beruap. Tapi aku
masih bisa melihat Arthur King.
Anak itu kembali menekuni bukunya,
tapi wajahnya juga merah padam.
"Oooh, anak manja kesayangan
Mumsie mau menangis," ejek Kim.
Dia berhenti membadut dan
merangkul pundak Melanie. "Nah,
kalau Daddy-nya seperti apa" Apa
dia berkacamata tebal dan tua
renta?" "Ayahnya berjanggut dan memakai
celemek,"jawab Melanie, dan dia
terlihat girang sekali waktu 11
Kim memeluknya sambil tertawa
terbahak-bahak. "Pakai celemek! Maksudmu,
seperti ibu-ibu, begitu" Ya ampun,
ayah Mandy pakai celemek!" teriak
Kim, dan mereka semua tertawa
begitu keras sampai terbungkuk-
bungkuk. "Celemek bukan cuma untuk ibu-
ibu," belaku tergagap-gagap, panik.
"Lagi pula, celemeknya celemek laki-laki, seperti yang biasa
dipakai para nelayan. Daddy
mengenakannya bila sedang melukis."
"Daddy!" Mereka semakin riuh
tertawa dan terpekik-pekik.
Wajahku panas seperti terbakar.
Entah mengapa aku tadi terpeleset
menyebut "Daddy". Selama ini aku
berusaha keras memanggil ayah dan
ibuku dengan sebutan "Mum" dan
"Dad" seperti anak-anak lain. Aku
juga merasa celemek yang biasa
dipakai ayahku itu konyol. Dan aku
berharap ibuku tidak memiliki
rambut beruban, tubuh gembrot yang
membuat gaun katunnya tampak 12
kesempitan, dan kaki bengkak yang
dijejalkan ke dalam sepatu sandal
bertali. Aku juga berharap ibuku
masih muda, keren, dan cantik
seperti ibu-ibu lain. Seandainya
saja ayahku juga masih muda dan
gagah, kuat mengangkat dan memutar-
mutar aku di udara seperti ayah-
ayah lain. Saking seringnya berharap
begitu, terkadang di waktu malam,
saat berbaring di tempat tidur, aku
sering membayangkan aku ini
sebenamya anak angkat, dan suatu
hari nanti, ayah dan ibu kandungku
akan datang dan membawaku pergi.
Mereka masih muda dan keren, dan
dandanan mereka canggih. Dan
mereka mengizinkan aku mengenakan
baju-baju model terkini, memutar
kaset keras-keras, dan makan di
McDonald's. Mereka pasti juga
mengizinkan aku jalan-jalan
sendirian, tidur larut malam, dan
tidak pernah marah. Saking
asyiknya mengkhayal, aku bisa
kelelahan dan jatuh tertidur- 13
dalam khayalanku, aku memanggil
mereka dengan nama kecil, yaitu
Kate dan Nick, pokoknya nama yang
keren dan terkini --dan dalam
tidurku, aku sering bermimpi
tentang mereka. Tapi, hampir
selalu, saat mimpiku sedang seru-
serunya, misalnya saja Kate,
Nick, dan aku hendak pergi ke
Disneyland atau mampir ke Hard
Rock Cafe, tahu-tahu ayah dan
ibuku yang asli muncul entah dari
mana. Biasanya mereka terlihat
lebih tua dan lebih cemas daripada
biasanya, dan mereka memanggil- manggil namaku dengan panik. Aku
pura-pura tidak mendengar dan kabur
bersama Kate dan Nick, tapi
kemudian aku menoleh dan melihat
mereka merosot lemas, menangis
tersedu-sedu. Sehabis bermimpi seperti itu,
biasanya pada pagi harinya aku akan
merasa sangat bersalah sehingga
langsung melompat dari tempat tidur
begitu beker berbunyi dan pergi ke
bawah, membuatkan teh untuk 14
ayah ibuku. Dan sementara mereka
asyik menghirup teh hangat sambil
terkantuk-kantuk, aku menyusup ke
tengah mereka dan mereka memujiku
sebagai anak perempuan kecil yang
baik. Padahal sekarang aku sudah
besar. Dan aku juga bukan anak
yang baik, tidak selalu. Aku bisa
menjadi sangat nakal. "Ya, well, baiklah, aku harus
memanggil mereka Mummy dan Daddy
karena mereka menyuruhku. Tapi
sebenarnya mereka bukan orangtua
kandungku," kudengar seseorang
berkata. Sepertinya mulutku
mengatakan hal itu sebelum aku
sempat menghentikannya. Bukan cuma
aku yang kaget, mereka juga
terkejut, bahkan Kim juga.
Mereka memandangiku. Arthur
King, yang berada di halte di
belakang mereka, juga ikut melihat.
"Apa maksudmu?" tanya Kim
sambil berkacak pinggang. Kausnya
tertarik, menempel rapat di
perutnya yang rata. Dia anak
paling kurus di kelas kami, 15
juga salah satu yang paling
jangkung. Katanya, saat menginjak
usia enam belas nanti, dia akan
jadi model. Melanie dan Sarah
juga bilang begitu, padahal mereka
sarna sekali tidak bisa dibilang
cantik. Aku tidak tahu mau jadi apa
kalau besar nanti. Aku hanya ingin
berhenti menjadi diriku. Aku ingin
tumbuh menjadi orang yang sarna
sekali berbeda, pokoknya bukan
Mandy White. "Mereka bukan ayah dan ibu
kandungku, dan nama asliku
sesungguhnya juga bukan Mandy
White," kataku. "Sebenarnya ini
rahasia. Aku diadopsi waktu masih
bayi. Aku pernah bertemu ibu
kandungku, dan dia hebat sekali:
dia model, bertubuh bagus, sering
muncul di koran-koran. Kalau
kusebutkan namanya, kalian pasti
tahu siapa dia, hanya sayang aku
tidak boleh memberitahukannya. Dia
melahirkan aku waktu masih muda
sekali, dan karena 16
kelahiranku bisa menghambat
kariernya, akhirnya dia menyerahkan
aku untuk diadopsi. Tapi dia
menyesali keputusannya itu,
sehingga selalu berusaha menghubungiku. Ayah dan ibu
angkatku sebenarnya tidak senang
bila dia menghubungiku, tapi mereka
tidak bisa berbuat apa-apa. Ibu
kandungku selalu mengirimiku
hadiah-hadiah indah, isinya baju-
baju dan sepatu-sepatu yang keren
dan oke, tapi ibu angkatku
melarangku memakainya dan menyimpan
semuanya di dalam peti yang
terkunci rapat, memaksaku
mengenakan baju-baju bayi ini'''"
Semakin lama semakin mudah, dan
kebohongan itu meluncur begitu saja
dengan mulus dari dalam mulutku,
seperti benang sutra, yang langsung
kupintal begitu keluar, merajutnya
hingga sedetail mungkin. Mereka
semua mendengarkan, memercayai
kata-kataku. Mulut Sarah tenganga
lebar, bahkan Kim pun tampak
terkesan. 17
Tapi aku lupa di situ ada
Melanie. Kepalanya tiba-tiba
tersentak. "Pembohong!" teriaknya. "Itu
tidak benar, semuanya tidak benar.
Aku kan pemah ke rumahmu, aku tahu
siapa ayah-ibumu, mereka benar-
benar ayah dan ibu kandungmu. Di
rumahmu tidak ada peti, dan-"
"Peti-peti itu disimpan di loteng, tahu. Aku tidak bohong,
sumpah," aku menandaskan.
"Ehm, seharusnya kau tidak
bersumpah," tukas Melanie.
"Karena aku tahu semua itu bohong.
Waktu ibumu datang menjemputmu di
rumahku, dia minum kopi bersama
ibuku, dan dia bercerita panjang-
lebar tentang kau, serta bagaimana
dia menjalani perawatan kesuburan
yang menjijikkan itu selama
bertahun-tahun sampai mereka putus
harapan bisa punya anak. Dia
bilang mereka pernah meneoba
mengadopsi anak, tapi mereka sudah
terlalu tua. Kemudian, tiba-tiba
saja ibumu hamil kau. 18
'Mukjizat kecil kami.' Begitu
katanya. Aku tahu dari ibuku.
Jadi kau pembohong!"
"Pembohong!" Kim menimpali,
namun entah mengapa, dia tetap tampak terkesan. Matanya berkilat
dan aku hampir berani berharap dia
berhenti mengejekku sekarang, bahwa
dia akan membiarkan aku pergi.
Aku tidak tahu aku bergerak atau
tidak, beringsut-ingsut pergi.
Tapi temyata itu sudah cukup untuk
membuat Kim bereaksi. "Oh, tidak, kau belum boleh
pergi, Mandy si mukjizat kecil
pembohong," bentak Kim.
"Pembohong," seru Melanie,
kepalanya mengangguk-angguk.
"Pembohong, pembohong, bokongnya
bolong," dendang Sarah.
Ketiganya terkikik-kikik mendengar kata bokong. "Yeah, hari ini bokongmu
berwarna apa, Mandy?" tanya Kim,
tiba-tiba saja tangannya menyambar
rokku dan mengangkatnya. "Jangan, jangan," pintaku 19
panik sambil memegang rokku erat-
erat. Tapi Kim sudah sempat melihat.
"Oh, manis amat," ledeknya.
"Putih, dengan gambar kelinci --
kelinci kecil lucu! Supaya sama
dengan gambar kelinci mungil lucu
yang dirajut Mumsie di jaketmu."
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia menjentik gambar kelinci-
kelinci di jaketku dengan jari-
jarinya yang panjang dan keras.
"Kasihan Mumsie, tak bosan-
bosannya merajut untuk Mandy si
Anak Mukjizat yang nakal-
sementara anak kesayangannya itu
berkoar-koar ke sana kemari,
mengatakan dia anak angkat!
Kasihan, Mumsie pasti sangaaaaat
sedih kalau dia tahu."
Aku merasa seperti ditonjok.
"Bagaimana dia bisa tahu?"
tanyaku dengan suara parau.
"Well, gampang saja. Kami akan
bertanya padanya. Besok, waktu dia
datang menjemputmu. 'Berapa umur
Mandy waktu Anda mengadopsi dia,
Mrs White"' aku akan 20
bertanya. Dan ibumu akan menjawab,
'Oh, Mandy itu anak kandungku,
Sayang.' Lalu aku akan berkata,
'Tapi bukan begitu yang dikatakan
Mandy. Dia bersumpah dia anak
angkat,'" kata Kim, matanya
berkilat keji. Melanie dan Sarah cekikikan,
meski nadanya tidak yakin, karena
tidak tahu Kim bercanda atau
tidak. Tapi aku yakin dia serius.
Aku bahkan bisa membayangkan dia
melakukannya. Aku terbayang wajah
sedih Mummy. Aku tidak tahan.
"Kau jahat, jahat, jahat!" teriakku, lalu menampar wajah Kim
kuat-kuat. Kim jauh lebih tinggi daripada
aku, tapi lenganku tahu-tahu saja
terjulur dan telapak tanganku
menghantam wajahnya. Pipinya yang
kena tampar langsung berubah merah
padam, meski pipi sebelahnya putih.
Matanya menggelap. "Begitu ya," ujamya, lalu maju
selangkah. Mampuslah aku. Kudorong 21
Sarah yang menghalangi jalanku,
lalu menghambur melewati Melanie.
Aku berlari secepatnya ke arah
jalan, menghindari Kim, karena aku
tahu Kim pasti bakal membunuhku. Sekilas kulihat bayangan merah
berkelebat cepat, disusul decit
suara rem diinjak. Aku sempat
melihat bus itu. Aku menjerit.
Dan terjatuh. JINGGA 22
"Mandy! Oh, astaga! Dia mati!"
Kubuka mataku. "Tidak, aku tidak mati," kataku
dengan suara gemetar. Arthur King membungkuk tepat di
atasku, kacamatanya miring, begitu
juga mulutnya, ternganga lebar
karena kaget. Semakin banyak orang
berkerumun mengelilingiku. Seorang
wanita berlutut di sampingku.
Mereka semua tampak samar-samar,
seperti kabut. Kukerjapkan mataku
beberapa kali, tapi tetap saja
mereka tampak kabur. Susah payah aku berusaha duduk.
"Jangan, Sayang, kau harus
berbaring diam-diam sampai ambulans
datang," cegah wanita yang berlutut
di. sampingku. "Sekarang sopir bus
sedang menelepon ke rumah sakit,
minta ambulans datang."
Ambulans! Apakah aku luka
parah" Kugerakkan kaki dan
tanganku. Sepertinya semuanya
normal saja. Kuraba kepalaku,
mencari kalau-kalau ada 23
benjolan. Kepalaku sakit waktu aku
mengangkatnya, dan rasa sakit itu
menghunjam hingga ke siku.
"Tenanglah, Sayang. Sekarang,
beritahukan nama dan alamatmu
supaya kami bisa memberitahu
ibumu," wanita itu berkata.
"Namanya Mandy White. Dia
teman sekelasku di sekolah," sela
Arthur King. "Kau salah satu di antara anak-
anak nakal yang tadi mengejamya,
ya?" tuduh wanita itu marah. "Aku
melihatnya! Tadi aku duduk di
kursi paling depan di dalam bus,
dan kulihat anak-anak itu
mengejarnya ke jalan. Dia bisa
mati tertabrak." "Kupikir dia malah sudah mati,"
sela Arthur sambil bergidik ngeri.
"Seharusnya aku tadi menghentikan
mereka." "Ini bukan gara-gara kau,"
kataku. Aku menengadah, memandangi
wanita itu. "Bukan dia yang
mengejarku." "Anak lelaki ini tidak 24
mengejarnya. Yang mengejarnya tadi
anak-anak perempuan," kata orang
lain. Semua menoleh. Tapi Kim, Melanie, dan Sarah sudah kabur.
"Tega-teganya mereka
menyiksanya. Padahal dia masih
kecil! Berapa umurmu, Sayang,
delapan?" "Umurku sepuluh tahun," jawabku.
"Jalan sebelas, bulan depan."
"Rumahmu di mana, Mandy?" tanya
wanita tadi. "Woodside Road nomor lima puluh
enam. Tapi, please, aku tidak apa-
apa, jadi Anda tidak perlu
memberitahu ibuku. Dia akan sangat
cemas nanti. Lagi pula, dia tidak
ada di rumah, sedang ke dokter
gigi," kataku sambi! berusaha duduk
kembali. Aku masih saja belum bisa
melihat dengan jelas. Lalu tiba-
tiba aku menyadari sebabnya.
"Kacamataku! " "Kacamatamu ada padaku, Mandy;
Tapi kacamatamu patah jadi 25
dua," kata Arthur. "Apa sebaiknya
kumasukkan saja ke saku bajumu?"
"Bagaimana keadaan si gadis
cilik?" tanya sopir bus yang
sekonyong-konyong datang,
menyingkirkan Arthur King ke
samping dan membungkuk di
sebelahku. "Aku tidak apa-apa," jawabku gemetar, sambil memikirkan
kacamataku yang patah. "Sebentar lagi ambulans datang.
Kelihatannya kau baik-baik saja,
tapi kau harus tetap diperiksa
secara menyeluruh. Mereka akan
membawamu ke rumah sakit dan
seseorang akan mengabari ibumu."
"Biar aku saja yang memberitahu
ibunya,"kata si wanita sambil
mengangguk-angguk. "Jangan," pintaku, tangisku
pecah lagi. "Sudahlah, cup cup. Kau pasti
kaget sekali." "Aku pun merasa begitu," kata si
sopir bus4"Tiba-tiba saja anak-
anak itu menghambur ke tengah 26 jalan, gadis kecil ini, kemudian
teman-temannya, dan aku tidak bisa
melakukan apa-apa. Untunglah saat
itu aku sudah memperlambat laju bus
karena sampai halte. Dia hanya
tersenggol sedikit. Kurasa dia
hanya pingsan, bukan kehilangan
kesadaran karena terbentur."
"Kusangka dia malah sudah
meninggal. Soalnya, dia langsung
ambruk dan tidak bergerak-gerak
lagi," kata Arthur, jari-jarinya
yang kurus terulur, melewati si
wanita yang berlutut di sampingku
dan si sopir bus, meraih tanganku.
"Jangan menangis, Mandy; Kau
tidak kenapa-kenapa, kan?"
tanyanya. Aku tidak bisa berhenti menangis, sehingga tidak dapat
mengatakan apa-apa, dan tanganku
mulai terasa sangat sakit hingga aku tidak bisa meremas jari-
jarinya. Waktu ambulans datang,
para petugas yang datang menyikutnya ke samping dan
membawaku pergi, walaupun 27
yang kuinginkan hanyalah berlari
pulang. Aku berusaha berhenti
bertingkah seperti anak kecil,
menangis-nangis seperti itu.
Apalagi aku tidak membawa
saputangan dan ingusku berleleran
ke mana-mana. Untunglah petugas
ambulans yang wanita berbaik hati
memberiku tisu, dan dia merangkul
pundakku dan menghiburku,
menyuruhku tenang. Dia bahkan
berkotek-kotek, menirukan suara
induk ayam, supaya aku tertawa. Kemudian kami sampai di rumah
sakit dan aku mulai merasa takut
lagi, karena aku belum pernah masuk
rumah sakit. Tapi dari apa yang
kulihat di televisi, sepertinya di
rumah sakit selalu saja ada banyak
orang yang berteriak -teriak dan
pasien yang berlumuran darah, juga
meja-meja tempat mereka membedah
tubuhmu dan isi perutmu yang
seperti jeli itu berkilat-kilat
ditimpa cahaya larnpu. Tapi ternyata, keadaan di rumah
sakit sama sekali tidak 28
seperti yang kubayangkan. Di sana
hanya ada ruang tunggu serta
beberapa orang yang duduk-duduk di
kursi. Aku dimasukkan ke bilik kecil dan seorang perawat datang,
berbicara padaku dan menemaniku,
karena aku sendirian. Lalu datang
dokter, memeriksa dan menyorotkan
senter ke mataku. Kemudian aku
dibawa ke ruang rontgen dan itu
tidak terasa sakit meski aku harus
menahan kepalaku tetap diam.
Petugas rontgen memberitahu aku
cara kerja mesin sinar-X Dan aku
mengajukan beberapa pertanyaan, dan
petugas itu memujiku sebagai anak
yang pintar. Lalu aku kembali ke
bilik kecil tadi, menunggu hasil
rontgenku jadi. Tiba-tiba saja aku
mendengar suara Mum memanggil-
manggil namaku. Sejurus kemudian
dia menghambur masuk ke bilik,
wajahnya kelabu pucat, kedua
pipinya menggelembung sehabis
disuntik di tempat dokter gigi. "Oh, Mandy!" serunya, lalu
langsung meraihku ke dalarn 29
pelukan. Tolol memang, tapi tangisku
kontan pecah lagi, dan Mum
mengayun-ayun badanku seolah aku
masih bayi.
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kubenamkan wajahku ke dada Mum
yang empuk dan kuhirup aroma
tubuhnya yang khas, campuran bau
roti panggang dan bedak tabur. Aku
merasa sangat bersalah karena tadi
mengatakan pada Kim bahwa Mum
bukan ibu kandungku. Tangisku
menjadi-jadi. "Tenanglah, Manis. Aku akan
memanggilkan perawat. Kau harus
diberi obat penghilang rasa sakit.
Kau tidak pernah menangis-nangis
seperti ini, karena selama ini kau
gadis yang pemberani."
"Tidak, jangan pergi, aku tidak
butuh perawat. Tidak terlalu sakit
kok, sungguh. Oh, Mum, kacamataku
patah. Aku benar-benar minta
maaf." Mum sama sekali tidak mempersoalkan kacamataku, walaupun
harganya mahal. "Kita pasti 30
bisa membetulkannya nanti dengan
lem Superglue," kata Mum.
"Seandainya saja kita bisa semudah
itu memperbaiki lenganmu! Aku
yakin lenganmu patah."
Tapi ternyata tidak. Tanganku
hanya terkilir, jadi mereka
membalut dan membuatkan gendongan
untuk tanganku. "Nah. Selesai sudah," kata
perawat sambil melipat ujung-ujung
gendongan dengan rapi. "Jangan melompat- lagi ke bawah bus ya,
Mandy kecil." Aku tersenyum sopan tapi Mum
tampak marah. "Dia tidak melompat, dia
didorong," tukas Mum.
Perawat itu tidak begitu memedulikan ocehan Mum. Dia tetap
pada kesibukannya menggulung
perban-perban. Dia hanya tersenyum, seolah Mum cuma
bercanda. "Tidak lucu," tukas Mum. "Ini
masalah yang serius. Dia bisa
meninggal!" 31
"Mum!" desisku. Kedengarannya
Mum benar-benar marah. Belum
pemah aku mendengamya bicara
sekasar itu pada orang lain.
Mum merangkul pundakku untuk membantuku, tapi lengannya sendiri
gemetar. "Ayo, Mandy" ajaknya, lalu
membawaku keluar dari bilik, dan
kami pun bergegas menyusuri
koridor. Saking cepatnya kami
berjalan, sol sepatu kami sampai
berdecit-decit di lantai yang licin
mengilap. Persis di depan rumah sakit ada
halte bus, tapi Mum lebih memilih
naik taksi. Seingatku, aku baru
dua kali naik taksi sebelum ini.
Kalau saja tidak sedang sangat
khawatir, aku pasti bisa menikmati
perjalanan ini, duduk bersandar di
jok yang empuk, berlagak jadi orang
kaya. "Gadis cilik itu habis
berkelahi, ya?" tanya sopir taksi.
"Anak-anak! Waktu dua anak kami
masih seumur anak Anda, kami 32
bolak-balik membawa mereka ke rumah
sakit. Mereka selalu saja membuat
orangtua kewalahan, ya?"
"Dan waktu sampai di rumah
sakit, aku mendapati anak
perempuanku sendirian, tidak
didampingi siapa-siapa," sergah
Mum sengit. "Sebelumnya ada perawat yang
menemaniku, Mum. Aku tidak
keberatan kok, ditinggal sendirian," kataku. "Mereka bahkan tidak merasa
perlu merawat anakku di rumah sakit
selama satu malam saja, untuk
berjaga-jaga siapa tahu dia
mengalami gegar otak," Mum
mengomel. "Tapi dokter sudah memeriksa dan
menyenter mataku," aku berkata.
"Well, pokoknya begitu sampai di
rumah nanti, aku akan langsung
menelepon Dr Mansfield. Kita
lihat saja nanti bagaimana
pendapatnya," kata Mum.
Sesampainya di rumah, Mum
langsung menyuruhku tiduran 33
meski aku berkali-kali mengatakan
aku tidak apa-apa. Aku memang
harus dibantu membuka baju, karena
dengan sebelah tangan digendong-
apalagi tangan kanan-aku jadi susah
melakukan apa-apa karena tidak
biasa menggunakan tangan kiri.
Mum membuatkan hidangan minum
teh khusus untuk kumakan di tempat
tidur. Semuanya ditata di nampan
hitam terbaik milik Mum, dengan hiasan bunga-bunga poppy merah
jingga. Makananku juga banyak wama
jingganya: bagian dalam telur
rebusku berwama jingga, jeruk
satsuma jingga, juga serabut-
serabut jingga kecil di bolu wortel
buatan Mum, serta segelas jus
jeruk jingga juga. Kukeluarkan Olivia, boneka
orang utanku, dari bawah bantal.
Aku gemar mengoleksi boneka
monyet. Sekarang semuanya
berjumlah dua puluh dua. Beberapa
ada yang sudah sangat tua dan
merupakan koleksi Mum waktu dia
masih kecil. Aku juga punya 34
boneka gorilla yang hampir sebesar
badanku, hadiah Natal dari Daddy.
Aku suka semua bonekaku, tapi
Olivialah favoritku. Besarnya hanya setanganku, badannya sangat
lembut dan bulunya sangat banyak,
berwama jingga terang. Kuletakkan dia di sampingku dan
kusuapi dia sedikit makananku yang
serbajingga. Selesai makan,
kuayun-ayun dia di gendongan
tanganku. "Hati-hati lenganmu!" tegur
Mum. "Gendongan itu dibuat supaya
kau bisa mengistirahatkan lenganmu
di sana. Jangan diguncang-guncang
seperti itu." Lalu Mum duduk di
pinggir tempat tidur, wajahnya
terlihat sangat serius. "Nah,
Sayang, aku ingin kau menceritakan
secara lengkap apa yang terjadi."
Jantungku kontan berdebar keras
di balik gaun tidurku. Kucengkeram
Olivia erat-erat dengan tanganku
yang tidak sakit. Kupandangi
piring-piring kosong di nampan
bergambar bunga-bunga poppy. 35
"Mum kan sudah tahu bagaimana
kejadiannya. Aku lari ke jalan.
Dan ada bus. Maafkan aku, aku
tahu seharusnya aku melihat ke kiri
dan ke kanan dulu sebelum
menyeberang. Aku tidak akan pemah
mengulanginya lagi, sumpah. Mum
jangan marah padaku."
"Aku tidak marah padamu, Mandy"
ujar Mum. "Sekarang, jelaskan
padaku mengapa kau lari ke jalan."
Tapi detik itu juga, bel pintu
berbunyi, memecah konsentrasi kami.
Ternyata yang datang Dr Mansfield, yang baru selesai
praktik malam. Mula-mula sikapnya
ramah sekali, mengagumi Olivia dan
monyet-monyetku yang lain, lalu ia
memuji balutan lengan serta
gendonganku. Katanya, Mum pintar
sekali, bisa membalut dan membuat gendongan sebagus dan serapi itu.
"Yang membuatnya perawat di
rumah sakit," kataku, dan
perkataanku itu membuat Dr
Mansfield kesal bukan main pada
Mum. Katanya, sebenarnya 36
dia tidak perlu lagi memeriksa aku
bila aku sudah diperiksa dan
mendapat perawatan di rumah sakit.
Perutku langsung mulas waktu
mendengar mereka berdua berdebat.
Aku menyusup semakin dalam ke
balik selimut, sambil berharap
dalam hati seandainya saja aku bisa
menyusup ke kolong tempat tidur dan
main gua-guaan dengan monyet-
monyetku. Aku tidak mau keluar
lagi dari balik selimut, bahkan
setelah Dr Mansfield pulang,
karena aku tahu Mum pasti akan mulai bertanya lagi, padahal aku
tidak tahu harus menjawab apa.
Jadi aku pun pura-pura mengantuk
dan bilang mau tidur sebentar.
Mum biasanya senang kalau aku
tidur sebentar, tapi sekarang dia
malah meraba-raba dahiku dan
bertanya apakah kepalaku sakit.
Aku tahu orang yang gegar otak
biasanya merasa mengantuk. Aku
jadi takut kalau-kalau aku memang
gegar otak, karena rasanya kok
kepalaku sakit. Aku jadi 37
takut, begitu pula Mum, meskipun
dia berulang kali berusaha
menghiburku dengan mengatakan aku
baik-baik saja, jadi tidak perlu
khawatir. Sejurus kemudian kami mendengar
suara mobil berhenti di depan
rumah. Itu Dad, baru kembali dari
London. Dia berlari-lari menaiki
tangga begitu mendengar nada suara
Mum yang penuh kecemasan. Aku
jadi pangling melihat Dad bila dia
mengenakan jas kantornya yang
bergaris-garis. Soalnya, biasanya
begitu sampai di rumah, Dad pasti
langsung mandi dan mengganti jasnya
dengan celemek nelayan dan celana
gombrang tua kesukaannya. Ekspresi
wajahnya juga berubah, menjadi
riang gembira. Tapi sekarang, Dad
sampai lupa ganti baju. Dia duduk
di tempat tidur sementara Mum
menceritakan semua yang terjadi.
Mula-mula nada suara Mum tenang,
tapi tak lama kemudian, nada
suaranya berubah, semakin lama
semakin tinggi. Dan ketika 38
sampai pada bagian dia kembali dari
tempat praktik dokter gigi dan
mendapati seorang wanita duduk di
teras rumah, memberitahukan bahwa
aku mengalami kecelakaan, tangisnya
kontan meledak. "Jangan menangis, Mum!" seruku,
ikut-ikutan menangis. "Aku minta
maaf karena telah menyusahkan Mum.
Tapi sekarang aku baik-baik saja
kok. Sakit kepalaku juga pasti
hanya sakit kepala biasa dan
pergelangan tanganku tidak sakit
lagi, jadi tolong, jangan
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menangis." Dad merangkul pundak kami berdua
hingga tangis kami sama-sama
mereda. Lalu Mum pergi untuk
membuatkan kami teh, sambil masih
terisak-isak. Dad memelukku lagi.
"Pokoknya, kau selamat dan
sehat-sehat saja, Sayang. Kau
tidak usah mengkhawatirkan Mum.
Dia cuma sedikit kaget. Pertama,
karena giginya baru saja dicabut,
lalu dia mendapat kabar bahwa kau
tersenggol bus! Kasihan 39
Mum. Kasihan Mandy:"
Dad memegang tangan Olivia dan
mengusapkan telapak tangannya yang
lembut itu ke mataku. Aku sudah
tertawa tergelak-gelak waktu Mum
kembali ke kamar dengan membawa
nampan berisi cangkir-cangkir teh. Tapi berikutnya Mum mulai
bercerita tentang apa yang
dikatakan wanita tadi, bahwa aku
tadi dikejar-kejar tiga anak
perempuan. Sikap duduk Dad
langsung berubah. Dia sekarang
duduk tegak dan sikapnya serius.
Aku langsung tahu sekarang tidak
ada lagi ketawa-ketawa. "Siapa anak-anak perempuan yang
mengejarmu, Mandy?" tanya Dad.
"Tiga anak itu lagi, kan?"
sambung Mum. "Melanie dan si anak
bertubuh jangkung yang jahat itu,
serta anak perempuan kecil yang
berambut keriting. Aku tidak
mengerti bagaimana Melanie bisa
sejahat itu sekarang, padahal dulu
sepertinya dia manis sekali. Aku
juga kenal baik ibunya. Biar 40
kutelepon dia dan-" "Tidak! Tidak, jangan!"
cegahku. "Tentu saja kita harus
membereskan masalah ini," tukas
Mum. "Ibu mereka harus diberitahu
tentang kenakalan anak-anak mereka.
Seharusnya dari dulu kubereskan
masalah ini, sejak mereka pertama
kali mengganggumu. Dan bukan itu
saja, kita juga harus melaporkan
masalah ini ke sekolah dan
memberitahu gurumu-"
"Tidak! Jangan!" teriakku putus
asa. "Sudah, sudah, tenanglah,
Mandy. Hei, tehmu sampai tumpah
semua. Mengapa kau sepanik itu"
Benarkah anak-anak perempuan ini
mengancammu" Apa mereka menyuruhmu
menyimpan rahasia" Kau benar-benar
takut pada mereka?" tanya Dad. "Tentu saja dia takut, gadis
kecilku yang malang. Saking
takutnya, dia sampai lari ke jalan
besar. Ya ampun, ngeri benar aku
membayangkan hal yang mungkin 41
terjadi! Dia bisa terlindas bus
dan-" Air mata Mum merebak lagi.
"Mandy, kau harus menceritakan
pada kami apa yang sebenarnya
dilakukan anak-anak perempuan itu
padamu," bujuk Dad. "Mereka tidak melakukan apa-apa
kok!" bantahku kalang kabut. "Aku
tidak mau Mum dan Dad membesar-
besarkan masalah ini. Dan aku juga
tidak mau Mum mengadu ke ibu-ibu
mereka atau melapor ke sekolah, karena nanti-"
"Karena nanti apa, Sayang?"
sela Dad. "Karena nanti mereka benci
padaku," rengekku. "Jangan tolol, Mandy, bagaimana
mungkin ada yang bisa benci
padamu?" bujuk Mum. "Kau anak
yang baik. Semua guru senang
padamu. Kurasa anak-anak perempuan
itu iri padamu, karena kau selalu
juara dalam setiap pelajaran, dan
juga karena kau jelas sangat
disayang dan diperhatikan
orangtuamu. Aku tahu kok, 42
bagaimana cemasnya ibu Melanie
kalau-kalau perceraiannya
mengganggu perkembangan jiwa
anaknya. Tapi, tetap saja itu
bukan alasan untuk mengganggu anak
lain, apalagi sampai membuatmu
ketakutan setengah mati hingga
kabur ke jalan raya."
"Bukan Melanie yang menggangguku, tapi Kim-" isakku.
"Ah. Kim itu yang mana?" tanya
Dad. "Yang jangkung-yang tampangnya
kelihatan jauh lebih tua daripada
umurnya. Sejak dulu aku sudah
mengira dia jahat. Aku pernah
mendengarnya bicara yang bukan-
bukan di belakang punggungku,"
tukas Mum. "Apa lagi yang
diocehkannya padamu siang tadi,
Mandy?" "Aku-aku tidak ingat."
"Begini, Sayang, penting sekali
bagimu untuk mencoba mengingat-
ingat," bujuk Dad. "Kita harus
membahas tuntas masalah ini hingga
ke akar permasalahannya, 43
meskipun rasanya tidak menyenangkan. Dia memang suka
menakut-nakutimu, bukan, anak yang
bemama Kim ini" Apa dia pemah
memukulmu?" "Tidak!" "Kau yakin tidak pemah, Mandy"
Dia jauh lebih besar daripadamu.
Dan waktu dia mengejarmu tadi, apa
kau yakin dia tidak mendorongmu?"
Mum dan Dad duduk mengapitku,
membuatku merasa terjebak. Aku
tidak bisa ke mana-mana, dan tidak
bisa menghindar dari serbuan
pertanyaan mereka yang bertubi-
tubi. "Aku tahu kau merasa tidak
nyaman, Sayang, tapi kami harus
tahu," kata Dad. "Mengapa kau
lari dari mereka?" "Sudah kubilang, aku tidak
ingat!" teriakku. "Mandy?" Mereka berdua
menatapku dengan pandangan sangat
serius sekaligus sangat sedih.
"Ayolah, Mandy, tidak ada
rahasia di keluarga kita," 44
bujuk Mum. "Kau bisa menceritakan apa saja
pada kami," imbuh Dad.
Tapi aku tidak bisa menceritakan
soal yang satu ini. "Aku benar-benar tidak ingat
lagi," ujarku berkeras.
"Memikirkannya saja membuat
kepalaku sakit. Tolong, bolehkah
aku tidur saja" Please?"
Akhimya mereka menyerah. Aku
berbaring di tempat tidurku setelah
kedua orangtuaku berjingkat-jingkat turun. Padahal hari masih sore.
Waktu tidurku belum lagi tiba.
Aku bahkan belum sedikit pun
merasa mengantuk. Pikiranku terus
tertuju ke Kim, Sarah, dan
Melanie. Dalam hatiku aku
berharap aku bukan Mandy White.
Aku pun mulai mengkhayal. Oke,
sekarang aku bukanlah Mandy White
yang membosankan, ingusan, dan sok
alim itu lagi. Sekarang aku
menjadi''' Miranda Rainbow. Aku
keren. Hidupku penuh wama.
Wajahku dirias aneka warna 45
dan dandananku canggih. Baju-
bajuku superkeren dan seksi.
Kupingku ditindik dan hidungku
dipasangi anting. Aku tidak punya
ibu. Tidak punya ayah. Aku tinggal sendirian di apartemen
modern yang oke. Kadang-kadang
beberapa temanku datang menginap di
apartemenku. Aku punya banyak
teman dan mereka semua memohon
diperbolehkan menjadi sahabatku.
Aku tertidur dengan bayangan
Miranda Rainbow memenuhi isi
kepalaku, tapi kemudian Mum
membangunkan aku untuk memakaikan
selimut, dan sesudahnya, aku tidak
bisa tidur lagi. Mana bisa aku
berhenti menjadi Mandy White di
tengah malam buta seperti ini.
Jadilah aku membolak-balik badan
di tempat tidur dengan gelisah,
sementara jam di bawah terus
berdentang seperempat jam sekali,
cemas memikirkan sekolah besok.
Memikirkan Melanie dan Sarah.
Dan Kim'''. Pagi-pagi sekali Mum 46
membawakan sarapan untukku di
nampan bergambar bunga-bunga poppy.
Dirabanya dahiku dan dipandanginya
wajahku lekat-lekat. "Kelihatannya kau masih sangat
pucat dan di bawah matamu ada
lingkaran hitam. Menurutku ada
baiknya bila hari ini kau istirahat
saja di tempat tidur, untuk
amannya," kata Mum. Sekali ini aku bersyukur punya
ibu yang begitu pencemas dan suka
membesar-besarkan masalah. Jadi
aku tidak perlu menghadapi Kim,
Melanie, dan Sarah hari ini. Aku
bisa tinggal di rumah. Aman dan
tenteram. Mum menelepon ke kantor dan
berpura-pura sakit. "Itu bukan kebohongan, Mandy"
kata Mum dengan sikap tidak enak.
"Gigiku memang masih sakit."
"Tapi Mum kan tetap bisa ke
kantor. Aku tidak apa-apa kok di
rumah sendirian," kataku.
"Aku lebih senang di rumah saja
menemanimu, Sayang," kata 47
Mum. Mum memang tidak begitu menyukai
pekerjaannya. Dia bekerja sebagai
sekretaris direktur di sebuah
perusahaan, tapi direktur
perusahaannya baru saja diganti dan
penggantinya sekarang masih muda.
Mum tidak begitu suka padanya.
Selain dia, masih ada seorang
sekretaris lain yang bekerja pada siang hingga sore hari, tapi Mum
tidak terlalu suka padanya. Dia
juga masih muda. Mum mulai bercerita padaku
tentang mereka dan itu membuatku
bosan, meski aku berusaha
mengangguk-anggukkan kepala
menanggapi ceritanya. Tak lama
kemudian Mum berusaha keras
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bermain denganku, tapi itu sedikit
membosankan. Aku senang waktu dia
turun untuk mulai memasak makan
siang. Aku mencoba mewarnai dengan
spidol-spidolku tapi pergelangan
tanganku sakit sekali sehingga
tidak bisa digerakkan dengan benar.
Saking kesalnya, aku sampai 48
menjungkirbalikkan kaleng tempat menyimpan spidol-spidolku, dan
isinya berhamburan ke mana-mana.
Spidol-spidol dalam aneka warna
pelangi berserakan di karpet. Aku
turun dari tempat tidur, dan sambil
menahan kesal, mulai memunguti
spidol-spidol tersebut satu demi
satu. Beberapa ada yang menggelinding hingga ke bawah
jendela. Aku menghampiri jendela
dan melongok ke luar, meski tidak
benar-benar memusatkan pandangan
pada pemandangan di luar melalui
kacamataku yang sudah direkatkan
menjadi satu. Kulihat ada yang
mendorong kereta bayi di taman di
seberang jalan. Di taman itu memang selalu ada
bayi-bayi. Mrs Williams orangtua
asuh. Tapi yang mendorong kereta
bayi kali ini jelas bukan Mrs Williams. Mrs Williams kan
bertubuh besar dan selalu
mengenakan baju-baju Indian kuno.
Sementara yang ini bertubuh kecil
dan mengejutkan. Mulanya 49
kupikir dia sudah dewasa. Dia
mengenakan celana pendek yang
pendek sekali, atasan pendek yang
membuat pusarnya kelihatan, dan
sepatu sandal bertumit tinggi yang
berbunyi pletak-pletok bila dia
berjalan. Tapi waktu menyipitkan
mata supaya bisa melihat lebih
jelas, barulah kusadari dia temyata
bukan orang dewasa, meskipun
wajahnya mengenakan riasan.
Rambutnya dipangkas pendek dan
jabrik di puncak kepala, wamanya
jingga terang, persis wama bulu
badan Olivia si Orang Utan.
Gadis itu menengadah dan melihatku memandanginya dari balik
jendela. Dia menjulingkan mata dan
menjulurkan lidah, lalu melambaikan
tangan padaku. Seolah kami sudah
kenal. KUNING 50
Saat waktu minum teh tiba, ada
telepon untukku. "Dari cowok!" kata Mum tanpa
suara sambil mengulurkan gagang
telepon padaku. Dengan ngeri kupandangi telepon, seolah benda itu binatang buas.
Kudengar di dalamnya ada suara-
suara yang mengatakan sesuatu.
Hati-hati kutempelkan gagang
telepon ke telinga. "''' ternyata mereka tidak lama
merawatmu di rumah sakit, ya,
Mandy" Apakah ada tulangmu yang
patah" Kau ingat tidak waktu aku
mengalami patah kaki setahun lalu
dan kakiku digips" Semua orang
membubuhkan tanda tangan dan pesan
di sana, bahkan ada yang menulis
puisi segala. Kau ingat puisinya
yang kasar?" Temyata telepon dari Arthur
King. Aku tidak takut padanya.
"Pergelangan tanganku terkilir,
tapi tidak patah, jadi tidak
digips, hanya diberi 51
gendongan. Kau tidak bisa
menulisinya karena gendonganku
terbuat dari kain." "Oh, begitu. Ya sudah.
Maksudku, aku senang sekali kau
tidak apa-apa." "Mmmm." "Yakin kau baik-baik saja" Kau
tidak gegar otak, kan" Sepertinya
kau agak pendiam." "Habis, dari tadi kau ngomong
terus," tukasku. Arthur King mengumandangkan
tawanya yang mirip salakan anjing,
yaaa-yaaa-yaaa, tapi tetap saja dia
terdengar cemas. "Mandy?" "Ya?" "Mmm. Mandy?" ulangnya, tiba-
tiba saja dia tidak bisa berbicara.
"Apa?" "Aku merasa tidak enak
memikirkan sikapku kemarin. Aku hanya berdiam diri di sana, padahal
mereka mengataimu segala macam."
" Well, mereka kan tidak
mengataimu." 52
"Memang tidak, tapi seharusnya
aku menyelamatkanmu."
"Kau apa?" semburku, mendengus
sambil tertawa. Arthur King itu lebih kecil
daripada aku, dan dia selalu
menjadi anak yang terakhir dipilih
untuk menjadi anggota tim dalam
pertandingan-pertandingan apa pun.
"Aku tidak bersikap jantan,"
tambah Arthur. "Kau apa?" ulangku.
"Mandy, jangan terus-menerus
mengucapkan kalimat yang tidak sopan itu," desis Mum, menegurku
dari belakang. "Siapa anak ini?"
"Arthur teman sekelasku di
sekolah," jawabku. "Aku tahu aku teman sekelasmu di
sekolah," sahut Arthur. "Mandy,
kurasa kau benar-benar gegar otak."
"Tehmu sebentar lagi dingin,
Mandy," sela Mum. "Ayolah,
Sayang, tutup teleponnya. Bilang
bye bye." "Sudah dulu ya, Arthur,"
kataku. "Tapi tadi kau 53
bilang apa" Jangkung atau
bagaimana?" "Apa itu?" "Tadi kau bilang kau tidak
bersikap jangkung atau bagaimana.
Kemarin." "Jantan! Seperti ksatria.
Seperti ksatria yang namanya
kupakai, King Arthur. Aku tidak
menyelamatkan gadis yang dalam
kesusahan, bukan" Aku hanya
berdiri di sana, dan aku memang
gemetaran. Ketakutan. Wajahku
pucat pasi. Kuning pucat.
Begitulah aku kemarin."
"Tidak apa-apa, Arthur.
Sungguh. Lagi pula, aku juga sama
pengecutnya denganmu."
"Ya, tapi tidak masalah kalau
kau pengecut, karena kau kan
perempuan." "Dengar, sekarang kan bukan
zaman ksatria lagi. Anak-anak
perempuan zaman sekarang harus bisa
menyelamatkan diri mereka sendiri.
Harus bisa memecahkan persoalan
mereka sendiri." 54
"Tapi mereka bertiga, sementara
kau sendirian. Aku benar-benar
pengecut yang memalukan. Maafkan
aku. Aku benar-benar minta maaf,
Mandy:" "Tidak apa-apa, Arthur," ucapku
sopan. "Aku harus minum teh
sekarang. Sudah dulu ya."
Aku senang Arthur menelepon.
Sebelum ini, tidak ada cowok yang
pernah meneleponku. Rasanya cukup
menyenangkan. Aku merasa enak.
Namun esok paginya, aku berkeras
mengatakan aku benar-benar tidak
enak badan. "Aku merasa tidak sehat, Mum,"
keluhku. "Dan pergelangan tanganku
nyeri" "Oh, Sayang." Mum memandangiku
dengan cemas. Dad sudah berangkat
kerja. Jadi dia tidak bisa
mendiskusikan hal ini dengan siapa
pun. "Tolong, boleh aku tinggal di
rumah saja?" Mum meraba dahiku dan
memandangiku dengan saksama.
"Menurutku badanmu tidak 55
panas. Tapi kau memang masih
terlihat pucat. Dan kurasa tidak
ada gunanya kau pergi ke sekolah
bila tidak bisa menulis. Baiklah
kalau begitu. Lagi pula, sekarang
toh sudah hari Jumat. Tapi hari
Senin nanti, kau benar-benar harus
sekolah, Mandy." Hari Senin rasanya masih lama
sekali. Jadi, untuk saat ini, aku
bisa berusaha melupakan sekolah.
Kuminta Mum masuk kantor saja.
Aku berjanji padanya tidak akan
nakal meski ditinggal sendirian di
rumah. Aku bahkan berjanji tidak akan turun dari tempat tidur,
supaya Mum tahu aku benar-benar
aman. Tapi Mum tidak menggubris
permintaanku. Lagi-lagi dia
menelepon kantornya, minta izin
tidak masuk. "Nakal ya, kita?" ujar Mum.
"Bagaimana kalau kita bikin kue
saja" Memberi kejutan untuk ayahmu
bila dia pulang kantor nanti. Aku
akan membuat lapisan gulanya-rasa
cokelat atau kopi" Kau yang 56
memilih, Sayang. Dan juga bolu
hias" Lalu bagaimana kalau kita
buat kue orang-orangan jahe?"
Aku tidak bisa membantu mengayak
tepung atau mengaduk adonan-tapi
dengan tangan kiriku, aku berhasil
juga menjilati adonan dari dalam
mangkuk. Setelah bolu dan biskuit masuk
oven, memenuhi seluruh penjuru
rumah dengan wangi semerbak yang
menerbitkan air liur, aku
meninggalkan Mum yang sibuk
mencuci piring dan naik ke kamarku
di lantai atas untuk mengambil
buku. Aku memandang ke arah rumah
Mrs Williams. Lagi-Iagi kulihat
kereta bayi di taman dan aku bisa
melihat ada bayi berbaring di
dalamnya, kedua kakinya melambai-
lambai di udara. Tapi tidak tampak
tanda-tanda si anak perempuan
berambut jingga. Sepanjang pagi itu, beberapa
kali aku kembali ke kamarku.
Pernah suatu kali si bayi
menangis, tapi Mrs Williams 57
yang keluar menengoknya. Dia tidak
mendorong kereta itu mengelilingi
taman, dia hanya mendorongnya masuk
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ke rumah. Tapi kemudian, tepat
sebelum waktu makan siang, aku
melihatnya! Anak perempuan itu.
Dia berjalan menyusuri jalan
menuju rumah dengan menenteng dua
tas belanja. Dia mengenakan sepatu
sandalnya yang bertumit tinggi,
jadi cukup sukar baginya mempertahankan keseimbangan. Hari
ini dia mengenakan legging ketat
yang dipadu kaus oblong bergambar
wajah seorang lelaki. Kupikir itu
pasti foto penyanyi rock.
Gadis itu mengenakan Walkman
dan asyik mengangguk-anggukkan
kepala mengikuti irama musik yang
berdentam-dentam di telinganya.
Meski mengenakan sepatu bertumit
tinggi dan menenteng tas belanjaan
yang cukup berat, dia masih bisa
menari-nari lincah. Aku tersenyum-
dan tiba-tiba dia mendongak dan
melihatku. Aku ngumpet di balik 58
gorden dengan jantung berdebar-
debar. Kudengar pintu pagar rumah
Mrs Williams berderit terbuka,
disusul suara pletak-pletok-pletak-
pletok. Aku mengintip dari balik
gorden. Anak perempuan itu masih
menengadah, melihat ke kamarku.
Waktu melihatku muncul dari balik
gorden, dia melambaikan tangannya
lagi. Aku balas melambai, meski aku berusaha melambai dengan
tanganku yang dibungkus gendongan
duluan, lalu menggantinya dengan
tanganku yang sehat, merasa tolol
dan kikuk. Bibir anak perempuan
itu bergerak-gerak, seperti
mengatakan sesuatu. Mulanya kukira
dia bernyanyi mengikuti alunan
musik di Walkmannya, tapi dia
menatap lurus ke arahku. Aku menyipitkan mata di balik
lensa kacamataku, berusaha membaca
gerak bibirnya. Percuma saja. Aku
menggeleng-gelengkan kepala tidak
berdaya. Gadis itu meletakkan
kedua tas belanjanya di jalan
setapak dan membuat gerakan 59
membuka dan mendorong dengan
tangannya. Aku sempat tidak
memahami maksudnya, tapi sejurus
kemudian aku mengerti. Dia ingin
aku membuka jendela. Tapi aku
tidak bisa membukanya karena jendelaku dipasangi kunci khusus.
Jadi, lagi-lagi aku hanya bisa
menggeleng. Gadis itu mendesah dengan sikap
putus asa, alisnya diangkat tinggi,
lalu ia mengambil kedua tas
belanjanya dan mendorong pintu
dengan menggunakan siku. Tubuhnya
kurus sekali hingga aku terkejut
dia tidak kesakitan. Hampir sepanjang siang kuhabiskan dengan duduk melamun di
pinggir jendela, berharap anak
perempuan itu keluar lagi.
"Jangan melamun terus, Mandy,"
tegur Mum. "Aku sudah membuatkan
teh untukmu-dan mari kita coba
seiris bolu manis, oke" Ayolah,
bergembiralah sedikit."
Mum meraih kedua kepanganku dan
mengangkatnya tinggi-tinggi 60
ke udara. Itu berarti aku harus
tersenyum. "Mum, bolehkah aku memotong
rambutku?" "Oh, Sayang, jangan tolol.
Rambutmu bagus sekali."
"Tidak, rambutku jelek. Aku
bosan memanjangkan rambut. Dan aku
tidak mau dikepang lagi. Sekarang
ini tidak ada lagi anak perempuan
yang rambutnya dikepang. Kepangan
membuatmu terlihat tolol. Tidak
bisakah aku memotong pendek
rambutku-sehingga jabrik di puncak
kepala?" "Seperti sarang burung!" tukas
Mum sambil mengunyah bolu.
"Mum, apakah Mrs Williams
punya anak perempuan" Anak
kandung, maksudku, bukan bayi-bayi
asuhannya." Kujilati lapisan gula
di atas boluku. "Jangan makan seperti itu, Sayang. Ya, kurasa dia punya anak
perempuan yang sudah dewasa.
Sekarang dia tinggal di Kanada."
"Tapi gadis yang kulihat 61
tadi belum dewasa." "Gadis yang mana?"
"Gadis yang tinggal di rumah
keluarga Williams. Aku melihatnya
kemarin. Dan hari ini. Dia
membantu menjaga salah seorang bayi
dan pergi berbelanja."
"Kalau begitu mungkin cucunya.
Kira-kira seumur denganmu?"
"Lebih tua." "Bagaimanapun, akan lebih
menyenangkan bila kau punya ternan.
Karena sekarang Melanie sudah
berubah jadi anak yang nakal
sekali." Tubuhku menggigil, ingin benar
rasanya aku memisahkan dunia sekolah yang mengerikan itu dari
duniaku di rumah. "Begini saja, Mandy! Bagaimana
kalau kau mengantarkan sebagian
kue-kue ini kepada Mrs Williams"
Jumlahnya toh terlalu banyak untuk
kita. Dengan begitu, kau bisa
sekaligus berkenalan dengan gadis
tersebut." "Tidak, Mum! Aku tidak 62
mau," tolakku, tiba-tiba saja
merasa sangat malu. "Jangan konyol begitu," tukas
Mum sambil menata kue-kue
buatannya dalam salah satu kotak
Tupperware miliknya. "Nah, sudah!
Sekarang pergilah!" Aku ingin sekali berkenalan
dengan gadis itu, tapi rasanya aku
tidak punya keberanian untuk pergi ke rumah tetangga dan mengetuk
pintunya. Tadi dia memang
tersenyum dan melambaikan tangan
padaku, tapi dia tadi juga sempat
mengernyit sebal. Menurutku, kalau
dia mau, sepertinya dia bisa
bersikap galak. Bahkan lebih galak
daripada Kim. "Aneh benar kau ini," kata Mum
dengan nada sayang. "Bagaimana
kalau kutemani kau ke sana?"
"Aku tidak mau pergi sama
sekali," kataku ngotot, dan
memasang sikap tidak mempan
dibujuk. Akhirnya Mum sendirilah yang
pergi mengunjungi rumah Mrs 63
Williams. Aku menunggu di dapur,
menyibukkan diri dengan membuat
gambar-gambar dari remah-remah
bolu. Lama juga Mum pergi. Dalam
hati aku berharap memiliki
keberanian pergi ke sana sendiri.
Kalau Miranda Rainbow, pasti ia
akan langsung pergi tanpa banyak
cincong lagi. Mengapa sih aku
harus selalu jadi pengecut"
Pengecut, lembek, penakut. Itulah
julukan yang mereka berikan padaku
di sekolah. Selain itu masih ada
lagi julukan Bayi. Dan Polly si
Ekor Babi. Lalu Mata Empat.
Dan Cewek Sombong. Kim selalu
menciptakan julukan dan permainan
baru yang aneh-aneh. Apa yang akan dilakukannya
padaku hari Senin nanti"
Kumasukkan sepotong bolu manis
lagi ke mulut meski perutku mulai
terasa mual. Lalu aku mendengar
bunyi pintu depan dibuka. Mum
sudah pulang, wajahnya kemerah-
merahan. "Wah, wah, agak canggung 64
juga suasananya tadi," kata Mum.
"Mandy! Dasar anak tolol, kenapa
kau tidak menceritakan padaku
bagaimana penampilan si Tanya."
Tanya! Nama yang eksotis dan
sangat tidak biasa. Sama bagusnya
dengan nama Miranda. Tidak, lebih
bagus, malah. Nama yang benar-
benar cocok untuknya. "Tanya," kuucapkan nama itu
dengan nada mengkhayal. "Tahukah kau, dia memanggil Mrs
Williams 'Pat' saja-dia bahkan
tidak merasa perlu menyebutnya
Aunty Pat. Walaupun, memang,
mereka tidak memiliki hubungan
keluarga," cerita Mum. "Dia juga anak asuh. Karena ada masalah di
tempat penampungannya sebelum ini,
dia dipindahkan ke sini. Karena
katanya dia pintar mengurus anak,
maka Mrs Williams bersedia
menampungnya selama beberapa
minggu. Menurut Mrs Williams,
meskipun bermasalah, ternyata anak
itu cukup banyak membantu. Tapi,
ya ampun, coba kau lihat 65
bagaimana penampilannya!"
"Menurutku dia cantik," ujarku.
"Oh, Mandy," tukas Mum, lalu
dia tertawa padaku. "Walaupun
begitu, sepertinya dia sangat suka
padamu karena bertanya-tanya terus tentang kau. Dan dia ingin
mengajakmu main ke sana, tapi
kubilang kau masih kurang sehat
setelah mengalami kecelakaan parah,
jadi kau harus banyak istirahat."
" Mum!" "Tapi tadi kan kau sendiri yang
bilang tidak mau ke sana. Kau
ngotot tidak mau!" "Memang, tapi-bila dia memang
menginginkan aku ke sana**"
"Well, aku lebih suka kau tidak
main ke sana. Anak seperti itu!
Kalian berdua tidak memiliki
persamaan apa-apa. Lagi pula, dia
jauh lebih tua daripada kau.
Kusangka paling tidak umumya enam
belas tahun, tapi temyata dia baru
berumur empat belas tahun, percaya
tidak" Coba saja kaulihat sepatu
bertumit tinggi yang 66
dipakainya ! Mudah-mudahan saja
Mrs Williams menyadari kesulitan
yang bakal dihadapinya karena
mengasuh anak itu." Mum berdecak-
decak. Kuremas hingga hancur sisa bolu
di tanganku, dalam hati berharap
tadi aku yang pergi ke rumah
keluarga Williams. Tanya pasti
menganggapku bayi cengeng, setelah
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendengar perkataan Mum mengenai
diriku tadi. Yah, aku memang bayi
cengeng. Mana mau Tanya berteman
dengan anak aneh seperti aku.
Tapi, tidak sampai satu jam
kemudian, aku mendengar bunyi pintu
diketuk. Ketukannya berirama, tok-
terotok-tok-tok- tok. "Kira-kira siapa yang datang
itu, ya?" tanya Mum keheranan
sambil berdiri dari kursinya.
Tapi aku sudah tahu! "Halo!" sapa Tanya begitu Mum membukakan pintu. Dia menjilat
bibir seperti menjilat remah-remah
kue. "Terima kasih untuk kiriman
kuenya, enak sekali." 67
Diulurkannya piring yang sudah
kosong. "Kau belum menghabiskan
semuanya, kan?" tanya Mum,
terkejut. "Tentu saja sudah," jawab
Tanya. " Well, Simon dan
Charlie hanya menjilat lapisan
gula di kue bagian mereka.
Sementara si bayi belum bisa makan
kue karena belum punya gigi, dan si
tua Pat yang malang tak bisa
memakan kuenya karena harus
berdiet. Jadi, akulah yang
beruntung, bukan?" Dia menepuk-
nepuk perutnya yang datar sambil
mengedipkan mata. Matanya tidak
lagi tertuju pada Mum, tapi
padaku. "Kau Mandy, kan?" tanyanya.
Aku mengangguk. "Kalau begitu, ayo kita
ngobrol," ajaknya, dan tanpa
permisi lagi langsung melangkah
masuk ke rumah, lengkap dengan
sepatu tumit tingginya, dan dengan
sigap melewati pinggul Mum 68
yang besar. "Well, menurutku sekarang Mandy
harus istirahat," sergah Mum
dengan nada sok memerintah.
"Mungkin lain kali." Setiap kali
Mum memperdengarkan nada suara
seperti itu, perutku kontan melilit
dan aku langsung menurut, melakukan
apa saja yang diperintahkannya.
Tanya hanya tertawa. Bukan tawa
yang kurang ajar. Tawanya riang
dan ceria, membuat orang yang
mendengarnya ingin tersenyum.
Bahkan Mum sekalipun. "Tapi dia sudah beristirahat,
bukan begitu, Mandy" Kau ingin
aku datang dan bermain bersamamu,
kan?" Tanya berbicara padaku seolah
aku jauh lebih muda darinya, seakan
dia berbicara pada salah satu anak
balita asuhan Mrs Williams. Tapi
aku tidak peduli. Aku mengangguk, masih tidak
sanggup bicara. Saat itu Tanya berdiri di ruang
depan, persis di sebelahku. 69
Dia mengujurkan tangan dan
menyentuh lenganku. Kuku-kuku
jarinya dicat dengan wama ungu
meskipun kuku jarinya digigiti
sampai habis hingga ujung-ujung
jarinya membengkak. Namun entah
bagaimana, tetap saja itu terlihat
asyik di mataku. "Kita ke kamar tidurmu yuk,"
ajak Tanya sambil mendorongku
pelan. Dengan patuh aku mulai berjalan
menaiki tangga, diikuti Tanya yang
berjalan sambil mengetuk-ngetukkan
jari ke pegangan tangga. Mum
bengong di ruang depan yang
pintunya masih terbuka lebar
meskipun jelas Tanya belum berniat
pulang. "Well, kalau begitu sebentar
saja," Mum mengizinkan dengan
enggan. Mum masih diam dengan sikap
gelisah. Aku takut dia ikut ke
atas. Aku sengaja tidak mau
menoleh padanya, dan begitu Tanya
dan aku sampai di kamarku, 70
aku langsung menutup pintunya.
"Wow!" seru Tanya sambil
memandang berkeliling. Aku mengerjapkan mata. Kedengarannya Tanya sangat
menyukai kamarku. Padahal sebelum
ini Melanie selalu menganggap
kamarku jelek. "Ya ampun, semuanya serba pink,
cantik, dan manis khas kamar
cewek," ujar Tanya sambil
menendang sepatu sandalnya hingga
terlepas lalu langsung melompat ke
permadani buluku yang berwarna
putih. Dia menggerak-gerakkan jari
kakinya. "Sejak dulu aku ingin
sekali punya permadani yang seperti
ini. Bagaimana kau bisa membuatnya
tetap sebersih ini, ha" Oh, dan
aku suka sekali tempat tidurmu!"
Tanya berlari dan melompat ke atas
kasur, memantul-mantul dengan
gembira di atas penutup tempat
tidur berumbai-rumbai wama pink,
lalu membaringkan diri di atasnya.
Rambutnya tampak cemerlang di atas
bantalku yang berjumbai- 71
jumbai. "Mmm, baunya juga bersih
sekali," pujinya sambil meraih
bantal itu dan mengendus-endusnya
dengan sikap kagum. Olivia, yang
sedari tadi bertengger di bantalku,
langsung terjatuh. "Halo" Ini siapa, ya?"
Aku menelan ludah dengan susah
payah. "Aku mengoleksi boneka monyet," kataku serak sambil melambaikan
tangan ke rak yang penuh monyet
koleksiku. Semuanya diletakkan
dengan rapi, kedua tangan terlipat,
dan ekor bergelung menjuntai dari
rak. Semua koleksiku dipajang di
sana, kecuali Gertrude si Gorila,
yang tidak punya ekor dan badannya
sangat besar sehingga tidak muat
diletakkan di rak. Gertrude duduk
di sebelah rak, kedua lengannya
terjulur ke depan, seolah hendak
menyatakan betapa sayangnya dia
padaku. Tanya menjatuhkan diri dari
ranjang, langsung kepelukan
Gertrude yang berbulu lebat, 72
mendudukinya seperti kursi.
"Gorila jantan ini menggelitikiku," kata Tanya.
Aku memutuskan untuk tidak
repot-repot menjelaskan pada Tanya
bahwa Gertrude sebenamya betina.
Aku sudah cukup pusing melihat
Tanya melesat kian kemari
mengelilingi kamarku. Dengan sikap
malu-malu aku duduk di pinggir
tempat tidur, seolah akulah yang
tamu di sini, bukan dia. Tanya masih memegangi Olivia.
"Aku paling suka boneka yang
ini," katanya. "Aku juga paling suka padanya,"
sambutku gembira. "Namanya
Olivia." Detik berikutnya wajahku
memerah, takut Tanya menganggapku
tolol karena memberi nama boneka-
boneka monyetku. "Halo, Olivia. Wah, keren
betul namamu ya?" sapa Tanya. Dia
mengangguk-anggukkan kepala
Olivia. "Oooh ya, itu memang
benar," ucapnya, pura-pura menjadi
Olivia. Suara Olivia tidak 73
seperti itu, tapi itu bukan
masalah. "Warna bulunya sama dengan warna
rambutku!" seru Tanya, lalu
mengernyitkan muka, berlagak
seperti monyet. "Kau menyukai wama
ini, eh, Mandy?" "Menurutku itu wama yang
cantik." "Tentu saja, ini bukan warna
rambutku yang asli. Sebenamya
warna aslinya kelabu. Tapi itu
warna yang membosankan, kan?"
"Oh, ya." "Kupikir, mungkin kapan-kapan
aku akan mencoba warna hitam.
Sesekali bergaya Gothic seperti
tukang sihir. Bagaimana menurutmu?" Aku tidak tahu harus menjawab
apa. Aku masih takjub dia meminta
pendapatku. Sampai sekarang aku
belum percaya dia sungguh-sungguh
berada di kamarku, mengobrol
denganku. "Atau aku bisa mengecat rambutku
dengan warna pirang, seperti 74
rambutmu," lanjut Tanya lagi.
"Rambutmu bagus."
"Benarkah?" tanyaku terkejut.
"Rambut adik perempuanku juga
panjang. Sama seperti rambutmu.
Kau mirip dia. Waktu pertama kali
melihatmu, aku bahkan mengira kau
itu dia. Sinting, kan?"
Aku tersenyum gugup. "Dulu aku selalu menyisir rambut
Carmel setiap hari. Aku pintar
menata rambut panjang. Aku bisa saja menatakan rambutmu, kalau kau
mau." "Memangnya kau mau?"
"Tentu," jawab Tanya.
Tanya mendudukkan aku di depan
meja rias dan mengurai jalinan
kepang-kepangku. Dia menyikat
rambutku dengan hati-hati, tidak
menyentak-nyentak seperti Mum.
"Halus sekali, kan, caraku
menyikat rambut?" tanya Tanya.
"Itu karena Carmel menjerit-jerit
bila aku menyikat rambutnya yang
kusut kuat-kuat. Dan dia tidak mau
diam bila disisiri. Kau jauh 75
lebih beradab daripada Carmel"
"Apa Carmel juga tinggal di rumah Mrs Williams?" tanyaku.
Tanya terdiam. Wajahnya berkerut-kerut. Aku ketakutan.
Sejurus kemudian dia meneruskan
kesibukannya menyikat rambutku,
tapi tidak menjawab pertanyaanku
tadi. Aku tidak berani bertanya
lagi. Tanya menaikkan rambutku ke atas
dan memilinnya dengan jari-jari
tangan, lalu dengan cekatan
menyimpulkannya menjadi sanggul
kecil di puncak kepala. Dia
mengencangkan sanggul itu dengan
karet gelang yang diambilnya dari
kepanganku tadi.
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Suka tidak?" tanyanya.
"Oh, wow!" seruku kagum.
"Dan kita bisa memperhalus
bagian depan ini," kata Tanya
sambil menjuntaikan sedikit anak
rambut di dahi dan membuat ikalan-
ikalan kecil di telinga. "Yeah?"
"Yeah!" seruku, berusaha
mengucapkannya persis seperti 76
Tanya. Aku terlihat sangat berbeda.
Dewasa. Hampir persis seperti
bayanganku tentang Miranda
Rainbow. "Punya hair spray?" tanya
Tanya. Aku menggeleng. "Kau membutuhkan hair spray,
supaya tatanan rambutmu tidak
berubah. Dan kau bisa memakai
berbagai jenis jepit dan ikat
rambut bila ingin menata rambutmu
dengan gaya seperti ini. Carmel
dulu punya banyak sekali hiasan
rambut." Tanya terdiam sejenak. "Aku
juga sering menata rambut adik-adik
lelakiku, memangkasnya sebulan
sekali dan sebagainya. Pokoknya,
aku membuat mereka selalu terlihat
rapi. Aku punya dua adik lelaki,
Sean dan Matty. Dan Carmelku.
Aku mengurus mereka seperti ibu.
Itulah sebabnya mereka mencoba
menempatkan aku di rumah Pat.
Soalnya aku pandai mengurus 77
anak kecil. Tapi sebenarnya aku
berharap yang ada di rumahnya anak-
anak perempuan. Huh! Tapi yang
ada di tempat Pat hanyalah si
kecil Simon dan si nakal Charlie,
serta si bayi Ricky. Mereka semua
gemar berteriak-teriak, membuat
berantakan dan kotor, serta berbuat
yang tidak tidak. Aku sebal pada
cowok-cowok kecil. Juga cowok-
cowok besar. Tiga minggu yang lalu
aku putus dengan pacarku. Dan
tahukah kau, itu yang terbaik,
karena dia babi." Tanya bukan hanya mengatai cowok
itu babi, tapi dia juga memaki.
Aku merasa pipiku memerah dan
kuharap dia tidak memperhatikannya.
Aku juga lega sekali karena tadi
sempat menutup pintu kamar, jadi
Mum tidak bisa mendengar.
"Yeah, semua cowok cuma bikin
kesal saja," ujar Tanya. "Itulah
sebabnya mengapa aku memilih
berteman dengan gadis kecil saja."
Dia tersenyum manis padaku.
Kubalas senyumnya, meski 78
dengan gelisah. "Sebenarnya aku bukan gadis
kecil lagi," protesku. "Umurku
sudah sepuluh tahun."
Tanya mengerjapkan mata tidak
pereaya. "Ah, yang benar" Kukira
kau baru berumur delapan tahun.
Habis, badanmu mungil sekali sih!"
Pipiku semakin merah. "Tapi aku juga mungil kok. Bila
tanpa sepatu bertumit tinggi," kata
Tanya. Dia melihatku memandangi
sepatunya dengan tatapan kagum.
"Kau boleh mencobanya kalau mau."
''Benar boleh?" Kutendang
sandal kamarku hingga terlepas dan
kumasukkan kakiku di sela tali-tali
sepatu yang terbuat dari bahan
suede. Kelihatannya keren.
Tiba-tiba saja pintu kamar
terbuka dan, saking kagetnya,
sebelah sepatu terlepas dari
kakiku. "Mandy! Hati-hati, nanti
pergelangan kakimu terkilir," tegur
Mum yang masuk ke kamar sambil
menating nampan. Keningnya 79
berkerut. "Tidak sopan mencoba
sepatu orang lain," dia
memperingatkan. Kulepas sepatu sandal yang
sebelah lagi sambil mendesah kesal.
"Kauapakan rambutmu?" tanya
Mum. "Tanya yang menatanya.
Menurutku, kelihatannya bagus
sekali," kataku. "Hm," ucap Mum sambil
meletakkan nampan di meja samping
tempat tidur. Dia berpaling pada
Tanya. "Kupikir kau mungkin mau
minum dan makan sedikit camilan. Sebelum kau pulang," imbuhnya.
"Meski mungkin perutmu masih
kenyang setelah makan begitu banyak
kue tadi." "Ooh, tidak. Aku selalu
kelaparan-meskipun aku tetap saja
kurus kering," kata Tanya. "Itu
Coca-Cola, ya?" "Bukan, ini Ribena," jawab
Mum. "Dan sedikit kue laki-laki
jahe. Buatan sendiri."
"Orang-orangan jahe," 80
Tanya mengoreksi. "Di tempat
penampunganku dulu, kami juga
pernah membuat kue seperti ini, dan
rasanya tidak tepat bila kita
menyebutnya kue laki-laki jahe,
karena wanita kan juga mengenakan
celana panjang." Diambilnya sepotong kue orang-orangan jahe dan
diamatinya dengan saksama. "Ayo
kita buat kue yang satu ini jadi
kue perempuan, eh, Mandy?"
Digigitinya ujung-ujung kaki kue
orang-orangan itu dengan gigi-
giginya yang kecil dan tajam.
"Nah, sudah! Sekarang dia
mengenakan legging" Tanya tertawa,
begitu juga aku. Aku ikut-ikutan
mengambil sepotong kue orang-
orangan, meski sesungguhnya aku
tidak begitu lapar saking senangnya
punya teman baru. Kugigiti kaki
kue orang-orangan tersebut.
"Nih, punyaku sekarang juga
perempuan!" seruku, remah-remah kue
berhamburan dari mulutku.
"Jangan bicara dengan mulut
penuh, Mandy," tegur Mum 81 lagi. Dia berjalan menghampiri
tempat tidurku, membenahi penutup
tempat tidur dan bantalnya.
Sepertinya Mum berniat duduk di
sana. "Mum boleh pergi sekarang," aku
buru-buru mencegah. Mum tampak kaget sekaligus sakit
hati, tapi dia tidak berkata apa-
apa. Mum pergi. Jantungku mulai
berdebar-debar, takut aku menyakiti
hatinya, tapi aku tidak bisa
berlama-lama mengkhawatirkan hal
itu. Tidak sekarang. Karena ada
Tanya di sini. Tanya menghirup Ribena-nya.
"Lipstik baru, eh, Mandy?" ujamya
sambil mengecap-ngecapkan bibirnya
yang kini berwarna ungu. "Wah, jadi
serasi dengan wama kukuku."
Lalu Tanya memakan kue jahenya
dan pura-pura menyuapi Olivia dan
Gertrude, bercanda dan melucu
seolah aku masih bayi. Tapi itu
bukan masalah. Tidak ada lagi
masalah yang berarti di dunia 82
ini karena sekarang aku berteman
dengan Tanya. Dia pura-pura menyuapi foto
cowok yang tercetak di kausnya.
"ini, Kurt, makanlah sedikit,"
katanya. "Siapa?" "Memangnya kau tidak tahu siapa
Kurt?" Tanya memutar bola matanya
dan mendesah. Dengan takzim
diusap-usapnya rambut si cowok yang
acak -acakan. "Dia penyanyi rock
yang paling hebat, dan aku cinta
berat padanya." "Katamu tadi semua cowok cuma
bikin kesal?" tanyaku berani.
Tanya menyenggolku pelan.
"Sekarang kau tidak malu-malu
lagi ya" Dan omong-omong, Nona Sok Pintar, dia ini bukan cowok."
"Well, kalau begitu laki-laki."
"Laki-laki juga bukan. Dia
sudah jadi malaikat, karena dia
sudah mati. Atau sudah jadi
setan." "Dia sudah mati?" tanyaku
terkejut, karena kelihatannya 83
laki-laki itu masih muda.
"Mati bunuh diri," jawab Tanya.
Dia bangkit dari pelukan Gertrude
dan berjalan mengelilingi kamar,
membuka laci-laci lemari mainanku.
Aku sama sekali tidak keberatan
dia mengobrak-abrik barang-barang
pribadiku. Sesaat kemudian dia
mengeluarkan wadah kaleng besar
berisi spidol wama-warni. "Wow! Spidol-spidol ini masih
bisa digunakan?" "Ya." "Kalau begitu, ayo kita
menggambar, eh" Aku suka sekali
mewarnai." Aku mengambil beberapa lembar
kertas gambar. Kukeluarkan
tanganku dari gendongan dan
kukibas-kibaskan jari-jariku. Ya,
sepertinya aku bisa menggambar.
Pergelangan tanganku sakit, tapi
aku tidak peduli. Biasanya aku
menggambar di meja, tapi Tanya
menelungkup di karpet dan mengalasi
kertas gambamya dengan salah satu
bukuku. Aku menirunya. 84
"Ibuku juga mati bunuh diri,"
cerita Tanya. Dia mengatakannya
dengan nada yang biasa-biasa saja sehingga aku sempat meragukan
pendengaranku sendiri. Kupandangi
dia. Tanya tahu aku sangat
terguncang mendengamya. "Dia gantung diri," kata Tanya,
mengira aku tidak mengerti apa
artinya bunuh diri. "Sangat ''' mengerikan" gumamku.
"Well, ibuku memang rada
sinting," kata Tanya. "Tidak apa-
apa, kejadiannya sudah lama sekali.
Waktu itu aku masih kecil.
Walaupun begitu, aku masih bisa
mengingat rupanya. Bagaimana kalau
aku menggambar ibuku saja?"
Tanya menggambar wanita cantik
bergaun ungu panjang, lengkap
dengan sepasang sayap berwarna
ungu, dengan bulu-bulu hijau dan
biru seperti rumbai-rumbai.
Aku tidak tahu harus menggambar
apa. Yang jelas aku tidak ingin
menggambar ibuku.
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Gambar aku," pinta 85
Tanya. Jadilah aku menggambamya,
sehati-hati dan secermat mungkin,
berusaha keras membuat wajah yang
cantik. Kubuat rambutnya yang
berwarna jingga, juga senyumnya yang
lebar, serta kuku-kukunya yang
dicat ungu. Aku juga menggambar
setiap tali di sepatu sandalnya.
Aku bahkan tidak lupa membuat
gambar Kurt di kausnya. "Bagus," puji Tanya. "Oke,
sekarang aku akan menggambarmu."
Dia membuat gambar gadis kecil
yang lucu dan tembam, dengan rambut
panjang lebat berwarna kuning. Aku
tidak yakin harus merasa senang atau tidak. Tanya melihatku ragu-
ragu, jadi dia membuat gambar
sepatu sandal bertumit tinggi yang
istimewa untukku. Lalu dia membuat
gambar rumput berwarna hijau di
bawah gambarku. Tumit sepatuku
tidak menyentuh rumput, jadi aku
terlihat seperti menari-nari
gembira. Berikutnya, dia membuat
gambar langit biru di bagian 86
atas kertas, lalu di bawahnya,
tepat di atas kepalaku, dia
menggambar matahari kuning dengan
sinar matahari di sekelilingnya.
Kemudian dia menuliskan judul di
bagian atas kertas. Tulisannya
sedikit miring dan aku tahu ada
ejaan yang salah, tapi itu sama
sekali bukan masalah. TEMENKU MANDY. Itulah yang
ditulisnya. Dan aku merasa sangat
bahagia, seakan ada matahari
sungguhan bersinar tepat di atas
kepalaku dan aku menari-nari di
bawah sinarnya yang hangat.
HIJAU 87
Mau tidak mau, aku harus berangkat ke sekolah pada hari
Senin. Mum mengantarkan aku. Dia mengenakan setelan jas biru tuanya
yang terbaik, meski setelan itu
sekarang terlalu kecil untuknya.
Setelan itu bercorak garis-garis
kecil. Di dahi Mum juga terlihat
garis-garis kecil melintang. Mum
mengerutkan kening seperti itu
hanya bila sangat marah. "Oh, Mum, kumohon, berjanjilah
padaku Mum tidak akan mengatakan
apa-apa," pintaku. Hampir saja aku pingsan waktu
kami berbelok di sudut jalan dan
bertemu Melanie serta ibunya.
Wajah Melanie kontan merah padam
begitu melihatku. Dia terlihat
seperti mau menangis. Ibu Melanie langsung mengobrol
dengan ibuku tentang cuaca, rencana
liburan, dan topik-topik obrolan
khas orang dewasa lainnya. Melanie
dan aku berjalan tersaruk-saruk di
belakang mereka, berusaha 88
keras tidak saling memandang. Lalu
aku mendengar Melanie menarik
napas pelan. "Kusangka kau meninggal,"
bisiknya. Aku hanya mengedipkan mata.
"Waktu kau tidak masuk sekolah
keesokan harinya. Apalagi Arthur
bilang kau dibawa ke rumah sakit
dengan menggunakan ambulans. Tapi
kau tidak apa-apa sekarang?"
"Hanya pergelangan tanganku yang
terkilir." Kuulurkan lenganku,
meski tidak ada yang bisa
kutunjukkan. Aku tidak membutuhkan
gendongan lagi. "Oh, Mandy:" Melanie menghela
napas dalam, mengacak-acak poninya yang ikal. "Asal tahu saja, Kim
pun sempat panik." Aku terkikik-kikik gugup.
"Mandy'''" Melanie bersusah
payah mencari katakata yang tepat.
"Well, aku senang kau baik-baik
saja." Aku mengangguk, tahu bahwa
sebenamya banyak sekali yang 89
ingin dikatakan Melanie padaku
tapi tidak bisa. Aku merasa
seperti diembus tiupan napas yang
sangat besar, membuat tubuhku
terasa ringan dan melayang. Aku
baik-baik saja. Melanie gembira
aku baik-baik saja. Sepertinya
segala sesuatu akan beres kembali
sekarang. Namun saat kami hampir sampai di
sekolah, Melanie menjauh dariku
dan berdiam diri. Sadarlah aku
bahwa itu pasti dilakukannya untuk
berjaga-jaga seandainya Kim
melihat kami. Dan kemudian, di
gerbang sekolah, Mum tiba-tiba
berhenti berbicara dengan ibu
Melanie dan berpaling pada
Melanie, memandanginya lekat-
lekat. "Sayang sekarang kau tidak
berteman lagi dengan Mandy," kata
Mum. Wajah Melanie kembali memerah.
Ibu Melanie juga tampak malu.
"Ya, aku tidak mengerti mengapa
mereka berselisih paham. 90
Yah, namanya juga anak-anak," kata ibu Melanie dengan sikap tidak
enak. "Yang terjadi di antara mereka
lebih daripada sekadar perselisihan
kecil," bantah Mum. "Aku tidak
terlalu menyalahkan anakmu
Melanie. Biang keladinya anak
perempuan itu. Kim."
"Ya, aku tidak mengerti mengapa
Melanie bisa begitu akrab
dengannya. Aku juga tidak habis
pikir mengapa mereka semua tidak
bisa berteman saja. Tapi kupikir
mereka pasti bisa menyelesaikan
masalah ini sendiri," ujar ibu
Melanie. "Aku akan memastikan masalah ini
dibereskan," tegas Mum, lalu
bergegas memasuki gerbang sekolah
dan melintasi arena bermain.
Aku langsung mengejarnya.
"Mum! Mum mau ke mana" Mum mau
melakukan apa?" "Aku akan bicara sebentar dengan
Mrs Edwards," jawab Mum.
Rasanya aku mau pingsan 91
mendengamya. Mrs Edwards kepala
sekolah. "Mum, Mum tidak boleh
melaporkan masalah ini pada Mrs
Edwards," cegahku, suaraku
melengking saking kagetnya.
"Mereka semua pasti akan
membenciku dan mengira aku tukang
ngadu." "Jangan konyol, Sayang," tukas
Mum. "Kau sama sekali tidak perlu
terlibat. Sekarang masuklah ke
kelasmu sana dan lupakan semua
masalah ini. Aku hanya ingin
memberitahu Mrs Edwards masalah
yang terjadi di sekolahnya."
"Tapi Mum tidak mengerti, Mum
tidak bisa**" aku meratap-ratap.
Tentu saja Mum bisa. Tidak
mungkin aku dapat menghentikannya. Tersaruk-saruk aku masuk ke
kelas Mrs Stanley. Kim ada di
sana, berdiri di depan. Sepertinya
dia tumbuh semakin tinggi.
Sementara aku sepertinya semakin
menyusut. Melanie mengoceh ribut
di telinganya sambil 92
menunjuk-nunjuk aku. Sarah juga
ada di sana, mendengarkan sambil
menggigit bibir. Sempat kudengar
dia menyebut nama Mandy. Juga
menyebut-nyebut kata Mum.
"Begitu ya," ujar Kim, 1;alu
berkacak pinggang dan berbalik
menghadapiku. Tapi detik itu juga Mrs Stanley menghambur masuk ke kelas
sambil menjinjing keranjang yang
penuh bunga mawar, lalu mulai bercerita dengan riang gembira
tentang pengalamannya berakhir
pekan di daerah pedesaan. Lalu
Mrs Stanley menugasi aku mengisi
vas-vas dengan air untuk bunga-
bunga tersebut. Sambil melaksanakan tugas, dalam hati aku
berharap bisa seharian penuh
mengurung diri di ruang mantel,
mengisikan air ke dalam vas-vas
yang jumlahnya cukup banyak untuk
menampung satu ladang bunga. Tapi
aku harus kembali ke kelas untuk
menata bunga-bunga itu ke dalam
vas-vas ini, lalu diabsen, 93
dan menyiapkan buku-buku untuk
mengikuti mata pelajaran matematika. Selama melakukan itu
semua, mataku selalu melirik
jendela untuk melihat apakah Mum
sudah selesai menghadap Mrs
Edwards atau belum. Pelajaran telah berlangsung
separo jalan waktu akhirnya aku
melihat Mum berjalan menyeberangi
arena bermain, tampak kepanasan dan
tidak nyaman dalam balutan setelan
jasnya yang ketat. Roknya
terangkat ke atas, sehingga
lututnya yang gemuk kelihatan
jelas. Roknya yang terlalu ketat
membuat gaya berjalannya terlihat
megal-megol. Kulihat Kim menggoyang-goyang pundak, menirukan
gaya Mum berjalan. Seseorang
tertawa. Aku membungkuk rendah di atas
buku matematikaku dan berpura-pura
mengerjakan soal, padahal berbagai
angka yang tertera di bukuku
terlihat goyah dan kedua tanganku
basah, merusak hasil hitungan 94
yang kubuat. Aku berharap semua berakhir
sekarang. Tapi ternyata belum.
Ternyata ini baru permulaan.
Tiba-tiba saja salah seorang
pengawas Mrs Edwards datang ke
kelas kami. "Permisi, Mrs Stanley, tapi
Mrs Edwards memanggil Kim
Matthews, Melanie Holder, dan
Sarah Newman untuk datang
menghadap ke kantomya sekarang
juga." Pengawas itu menyampaikan
hal tersebut dengan suara keras,
supaya semua orang bisa mendengar.
Semua kepala berpaling ke arah
Kim, Melanie, dan Sarah. Sarah
mulai menggigiti bibirnya dengan
ganas sampai mulutnya miring.
Melanie terlihat seperti es krim,
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
putih pucat dan basah. Hanya Kim
yang tetap terlihat tenang, meski
kedua pipinya tampak sedikit lebih
memerah daripada biasanya. Dan
matanya tampak lebih cemerlang.
Ditatapnya aku. Aku memahami arti 95
tatapannya. Dia benar-benar akan menghajarku
sekarang. Aku membungkuk semakin dalam di
atas buku matematika, mencengkeram
apa saja yang bisa kucengkeram.
Aku berdiam diri dalam posisi itu
selama beberapa waktu, lama setelah
mereka meninggalkan kelas. Mendadak aku merasa ada tangan
di bahuku. Aku terlonjak kaget.
"Ada apa, Mandy?" tanya Mrs
Stanley. Aku menggelengkan kepalaku kuat-
kuat, berusaha berpura-pura semua
beres. "Mengapa kau duduk membungkuk
seperti itu, Sayang" Kau sakit
perut?" Aku mengangguk. Mrs Stanley membungkuk semakin
dekat. "Kau perlu pergi ke
belakang?" Lagi-lagi aku mengangguk.
"Well, mengapa tidak bilang dari
tadi, anak bodoh?" tegur Mrs
Stanley. "Astaga. Kau kan 96
bukan bayi lagi, Mandy. Cepat,
pergi sana." Aku cepat-cepat kabur dan
mengurung diri di dalam toilet yang
lembap, menangis, sambil dalam hati
berharap aku benar-benar masih
bayi. Bayi kecil yang tidak
berdaya, yang tidak perlu pergi ke
sekolah. Salah satu bayi Mrs
Williams yang diletakkan di kereta
dorong. Dan dengan begitu, aku
masih bisa bermain-main dengan
Tanya. Entah berapa lama aku duduk di
dalam bilik toilet. Kubaca semua
coretan bernada kasar yang
terpampang di dinding toilet,
sebagian bahkan jauh, jauh lebih
kasar daripada sajak apa pun yang
pernah ditulis di plester gips
Arthur. Sejurus kemudian kudengar
seseorang masuk ke toilet, berseru-
seru memanggil namaku. "Mandy White, kau ada di dalam
sini?" Aku meringkuk di balik pintu,
berharap orang itu pergi. 97
"Apakah kau ada di dalam sana,
Mandy" Karena kata Mrs Stanley,
kalau kau kurang sehat, sebaiknya
kau pergi saja ke kantor. Tapi
seandainya tidak, kau tetap harus
ke sana, karena Mrs Edwards
memanggilmu." Tidak ada gunanya bersembunyi di
sini. Aku kan tidak mungkin
berdiam diri di balik dinding
selamanya. Kalau aku diam saja,
sebentar lagi pengawas itu pasti
akan melompat dan melongok dari
bagian atas bilik. "Tunggu sebentar," gumamku, lalu
menyiram toilet. Aku keluar dan mencuci tangan.
Si pengawas menatapku dengan
pandangan ingin tahu. "Apa yang kaulakukan di dalam sana?"
Aku hanya menggeleng, tidak
menjawab. "Kau sakit?" "Tidak." Meskipun saat itu aku
mulai merasa sakit. Kupandangi
bayangan diriku yang 98
terpantul di cermin yang penuh
bercak. Wajahku pias kehijauan
aneh. Hanya sedikit lebih pucat
daripada kardigan hijau botol yang
dirajutkan Mum untukku, walau
semua murid lain di sekolah ini
mengenakan jaket trendi yang dibeli
di toko. "Kalau begitu, cepat pergi
sana." Aku berjalan mengikuti pengawas keluar dari toilet dan menyusuri
koridor-koridor sekolah. Hidungku
mencium bau hidangan makan siang
yang sedang dimasak di kantin dan
rasa mualku semakin menjadi. Kim,
Sarah, dan Melanie menunggu di
luar kantor Mrs Edwards. Aku
khawatir aku nanti muntah di sepatu
sandal Clarks-ku. Sarah dan Melanie terlihat
seperti mau muntah juga. Melanie
bahkan menangis. Tapi Kim tidak.
Tanpa berani melihat, aku
terbirit-birit melewati mereka.
Kuketuk pintu ruang kerja Mrs
Edwards lalu terhuyung- 99
huyung masuk. Aku belum pernah
masuk ke kantornya. Hanya murid
yang sangat nakal, bermuka tebal,
atau pembuat onar yang pemah
dipanggil menghadap Kepala
Sekolah. "Ah! Dari mana saja kau,
Mandy" Hampir saja kami mengirim
regu pencari untuk mencarimu," kata
Mrs Edwards. Meski sudah bertahun-tahun
bersekolah di sini, aku jarang
berbicara dengan Mrs Edwards.
Paling-paling aku hanya berjabat
tangan dengannya saat menerima
penghargaan di Hari Pemberian
Penghargaan tempo hari, juga dulu
waktu aku selesai membacakan
sesuatu di hadapan Dewan Sekolah,
beliau tersenyum padaku dan memberi
pujian, "Bagus sekali." Itu saja.
"Saya ada di'''" Aku tidak
ingin menyebut kata "toilet" di
hadapannya, jadi aku tidak
meneruskan kata-kataku, hanya
berdiri mematung di sana.
"Duduklah, kalau begitu, 100
Mandy. Nah. Kudengar belakangan
ini kau mengalami saat-saat yang
tidak menyenangkan, ya, di
sekolah?" Aku duduk dan menunduk, memandangi pangkuanku. "Saya'''"
Aku juga tidak tahu harus
mengatakan apa. "Prestasi belajarmu sangat
memuaskan, dan sepanjang pengamatan
kami, sepertinya kau cukup gembira
dan riang di sekolah," kata Mrs
Edwards ringkas. "Oh, ya," ujarku, mati-matian
berusaha mengiyakan perkataan Mrs
Edwards. "Tapi, beberapa waktu belakangan
ini, kau diganggu beberapa
temanmu?" Aku membungkuk semakin dalam. "Teman-teman perempuan di
kelasmu?" desak Mrs Edwards.
Kepalaku kini nyaris menyentuh
kedua tanganku yang terlipat rapi
di pangkuan. "Mandy! Duduklah yang tegak.
Nah, kau tidak perlu 101
terlihat secemas itu. Kami akan
segera membereskan masalah ini.
Kalau saja sejak awal kau mau
mengadukan ulah mereka pada gurumu,
akan lebih mudah bagi kami membasmi
praktik penindasan seperti ini
selagi belum berkembang terlalu
jauh. Nah, bagaimana kalau
sekarang kau menceritakan semuanya
padaku?" Mrs Edwards menunggu.
Aku juga menunggu. Mrs Edwards
melepas kacamata dan menggosok-
gosok bekas kacamata berwarna ungu
yang menghiasi bagian atas
hidungnya. Beliau mencoba
bersabar. "Dengar, Mandy, kau tidak perlu
takut. Kau bisa menceritakan
semuanya padaku. Aku sudah tahu
semuanya, tapi aku hanya ingin
mendengarnya dari bibirmu." Dia
terdiam. Mendesah. Memakai
kembali kacamatanya dan memandangiku. "Yang mengganggumu
Kim, Sarah, dan Melanie, bukan?"
tanyanya. "Jadi apa tepatnya yang
mereka katakan padamu, mmm?" 102
Aku tidak sanggup berbicara.
Kubuka mulutku, tapi tidak ada
kata-kata yang keluar. Aku tidak
mampu mengumpulkan semua kekalutan
dan kekhawatiran yang kurasakan
selama berminggu-minggu ditindas
Kim, Sarah, dan Melanie dan
menyimpulkannya dalam kalimat-
kalimat pendek. Apalagi karena aku
tahu Kim, Sarah, dan Melanie
menunggu tepat di luar pintu
kantor. "Kata ibumu, mereka sering
mengganggu dan menggertakmu,
benar?" desak Mrs Edwards. "Dan
hari Rabu lalu mereka mengejarmu
hingga jalan besar dan kau
tersenggol bus yang lewat hingga
cedera" Benarkah itu, Mandy"
Karena bila benar, ini persoalan
yang sangat, sangat serius dan
harus segera dituntaskan. Benarkah
mereka mengejarmu, Mandy"
Benarkah?" "Well. Semacam itulah,"
gumamku, masih dengan kepala
tertunduk. 103
"Aha!" seru Mrs Edwards.
"Jadi apa yang mereka katakan
padamu waktu itu?" "Saya-saya tidak ingat,"
jawabku, menggeleng-geleng untuk
menghentikan gema kata-kata itu
bergaung di telingaku. "Well, kalau begitu apa saja
yang biasanya mereka katakan
padamu?" tuntut Mrs Edwards.
"Saya lupa," jawabku.
Mrs Edwards mendesah. Dia
berdiri. Tiba-tiba saja dia
berjalan ke pintu, langkah-langkah
kakinya gesit meski tumit sepatunya
pendek dan gemuk, lalu membuka
pintu. Kim terlonjak kaget dan
mundur menjauhi pintu, sama sekali
tidak mengira pintu mendadak
dibuka. "Rupanya sedari tadi kau
menguping ya, Kim!" tegur Mrs
Edwards. "Well, bagaimana kalau
kalian bertiga masuk dan bergabung
bersama kami" Mungkin kita bisa
menyelesaikan masalah ini dengan
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membicarakannya bersama- 104
sama." Ketiganya pun masuk, berdesakan
di ruangan kantor. Aku duduk
mengkeret di kursiku. Mrs Edwards
menutup pintu dan duduk di pinggir
meja, memandangi Kim dengan kening
berkerut. Kim lebih tinggi
daripada Mrs Edwards. Kepalanya
ditegakkan tinggi-tinggi, sebelah
tangan bertengger di pinggul, dan
dia berlagak seolah tidak peduli.
Melanie dan Sarah berdiri dengan
sikap lemas dan kuyu, sangat
ketakutan. "Seperti yang jelas sudah kalian
dengar sendiri tadi, Mandy ini luar biasa loyal terhadap kalian
bertiga. Dia menolak mengadukan
perbuatan kalian padaku," kata Mrs
Edwards. Mereka semua memandangiku.
Melanie mengerjapkan mata dengan
sikap berterima kasih. Sarah
menyedot ingus. "Tapi jelas sekali bagiku kalian
bertiga selama ini bersikap tidak
baik terhadap Mandy, dan 105
semua ini harus dihentikan, kalian
dengar" Aku paling tidak suka
penindasan. Aku tidak akan
mentolerir hal semacam itu di
sekolah yang kupimpin. Jadi
sekarang, Kim, Melanie, Sarah,
aku mau kalian bertiga meminta maaf
pada Mandy, dan berjanji tidak
akan mengatainya atau mengejarnya lagi."
Mereka menelan ludah. Melanie
membuka mulut, hendak meminta maaf.
Tapi telanjur disela Kim.
"Saya rasa, justru Mandy-Iah
yang seharusnya meminta maaf pada
kami," katanya sambil menyentakkan
kepala. Bahkan Mrs Edwards pun terperangah mendengar kata-katanya.
"Sebenarnya itu kesalahan Mandy
sendiri," lanjut Kim lancar.
"Gara-gara dialah maka peristiwa
itu terjadi. Dia mengatakan pada
kami bahwa ibunya model-"
Bibir Mrs Edwards bergerak-
gerak seperti menahan tawa. Jelas
dia sedang membayangkan Mum 106
dalam setelan jasnya yang terlalu
sesak. "Jangan konyol, Kim," tegur Mrs Edwards cepat. "Jangan
membuat keadaan menjadi bertambah
parah dengan kebohongan-kebohongan
tololmu." "Saya tidak berbohong, Mrs
Edwards," bantah Kim. "Kau
memang bilang begitu, kan, Mandy?"
Aku menunduk semakin dalam. Aku
tahu wajahku pasti merah padam.
"Mandy?" panggil Mrs Edwards,
suaranya bergetar. "Justru Mandy-lah yang
berbohong, Mrs Edwards," Sarah
menimpali. "Kemudian kami bilang padanya
bahwa kami tahu dia berbohong, maka
dia pun marah lalu meneriaki kami
dan memukul saya," tambah Kim.
"Sudahlah, Kim, kau tidak
mungkin mengharapkan aku memercayai
ceritamu," tukas Mrs Edwards.
"Mana mungkin Mandy berani
memukulmu. Badannya saja jauh
lebih kecil daripada 107
badanmu." "Tapi dia benar-benar memukul
saya. Keras sekali."
"Itu memang benar, Mrs
Edwards. Dia meninju muka Kim,"
Sarah membenarkan. "Ya, itu benar," sambut
Melanie, tak mau kalah. "Dia
memang memukul Kim."
"Setelah itu dia melarikan diri
tanpa melihat ke kiri dan ke kanan,
jadilah dia tertabrak bus," sambung
Kim. "Jadi semua itu gara-gara
ulah Mandy sendiri, Mrs Edwards." Mrs Edwards berdiri, berjalan
mendekat, dan berdiri persis di
sebelahku. Dia melingkarkan
lengannya di punggung kursi dan
menundukkan kepala ke arahku
sehingga aku bisa merasakan embusan
napasnya yang beraroma peppermint
segar itu menggelitik pipiku.
"Kau tidak memukul Kim, bukan,
Mandy?" tanyanya lembut.
Kupejamkan mataku rapat-rapat.
"Ya, saya memang 108
memukulnya," jawabku, lalu tangisku
meledak. Kim memasang wajah penuh kemenangan. Mrs Edwards menatapku
dengan pandangan seolah aku telah
mengecewakannya. "Aku masih tidak percaya kau
benar-benar melakukan hal itu,
Mandy," katanya. Tapi dia lalu
memandangi Kim dan yang lain-lain
dengan kening berkerut. "Bagaimanapun, aku tahu kalian
bertiga akhir-akhir ini berkomplot
menindas Mandy. Itu harus
dihentikan. Kalian tidak boleh
lagi mengatainya atau mengatakan hal-hal yang keji padanya, kalian
mengerti?" "Oh ya, Mrs Edwards, kami
mengerti," jawab Kim. "Kami tidak
akan mengatakan apa-apa pada
Mandy." Ada maksud tersembunyi di balik
janji Kim barusan. Dan dia benar-
benar menepati janjinya. Dia tidak
mengatakan apa-apa padaku. Begitu
juga Sarah. Atau Melanie. 109
Kim menggiring kedua temannya
pergi dan saat jam makan siang
tiba, mereka sudah menyempurnakan
aksi mereka. Ketiganya gentayangan
di dekatku, tapi tidak berbicara
sepatah kata pun. Mereka memandangiku, saling menyikut, memasang wajah sinis''' tapi tidak
berkata apa-apa. Aku mencoba berpura-pura aku ini
Miranda Rainbow, yang tak peduli
pada mereka. Upayaku tidak
seberapa berhasil, apalagi karena
mereka terus di belakangku.
Arthur King menghampiriku,
matanya berkedut-kedut di balik
kacamatanya. Dia memegang buku
besar kuno dan mengulurkannya
padaku seolah buku itu jimat.
"Ini buku yang kuceritakan
padamu waktu itu, Mandy," katanya,
bicaranya sedikit gugup. "Kau mau
melihatnya?" Kim tertawa sinis. Sarah dan
Melanie terkikik-kikik. "Ayo ikut. Di sana tenang,"
kata Arthur, membawaku 110
menjauhi mereka bertiga. Buku itu berjudul King Arthur
dan ParaKsatria MejaBundar.
Dengan penuh rasa syukur aku
membolak-balik buku itu, meski
tanganku bergetar. Kim, Sarah, dan Melanie mengikuti. "Hei, pergi sana," bentak
Arthur, berusaha memperdengarkan
nada mengancam. "Kami kan juga berhak bermain di
arena bermain ini, sama seperti
kalian," kata Kim. "Kami toh
tidak melakukan apa-apa. Dan kami
tidak mengatakan apa-apa padanya."
Dia menyentakkan dagunya ke
arahku, menutup mulut rapat-rapat
untuk menunjukkan mulutnya
terkunci. Sarah dan Melanie ikut-
ikutan. Saat itu Mrs Stanley bertugas
mengawasi arena bermain. Beliau
berjalan ke arah kami. Dia melihat Kim, Sarah, dan Melanie. Tapi
kurasa di matanya ketiga anak itu
tersenyum padaku. 111
"Ayo pergi, kita tinggalkan saja
anak-anak edan ini," gerutu Arthur
sambil menarikku ke pinggir arena,
tepat di depan toilet cowok. Anak-
anak perempuan tidak ada yang pergi
ke sana. Kami bersandar di dinding dan
melihat-lihat buku Arthur. Kim,
Sarah, dan Melanie tidak berani
mendekat, mungkin karena Mrs
Stanley mondar-mandir melintasi
arena bermain, memastikan semuanya
baik-baik saja. Berulang kali Arthur berusaha
menunjukkan bagian-bagian cerita
yang disukainya dan membacakan
beberapa paragraf untukku. Aku
sendiri sebenamya tidak begitu suka
buku cerita yang seperti itu. Raja
dan para ksatrianya berbicara
dengan gaya bahasa kuno, dan aku
berkali-kali mencampuradukkan
semuanya, tapi itu tidak begitu
penting. Aku suka gambar-
gambarnya, terutama gambar para
putri yang rambutnya panjang
tergerai dan mengenakan gaun 112
panjang melambai. Hampir mirip
gambar Tanya mengenai ibunya.
Ibuku datang menjemputku sepulang sekolah. Dia ingin tahu
apa yang dikatakan Mrs Edwards
padaku, apa yang beliau lakukan,
serta bagaimana beliau menghadapi
Kim, Melanie, dan Sarah. "Ssst, Mum," sergahku,
ketakutan, karena saat itu kami
masih berada di gerbang sekolah dan
semua orang bisa mendengar kata-
katanya. Kim, Melanie, dan Sarah tidak
jauh di belakang kami. Mereka
bertiga menutup mulut rapat-rapat.
Lelucon terbaru mereka. "Mrs Edwards sudah menegur
Kim?" tanya Mum. "Mmm. Kumohon, Mum. Jangan
bicarakan masalah itu sekarang,"
desisku. Mum menoleh ke balik pundaknya.
"Itu dia, kan" Gadis jangkung
berponi hitam. Well, sepertinya
dia tidak kelihatan menyesal," kata
Mum. "Mungkin ada baiknya 113
aku bicara sebentar dengan nona
muda itu." "Mum, jangan! Kumohon, jangan,
jangan, jangan," pintaku mengiba-
iba. "Mrs Edwards sudah
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membereskan semuanya dan mereka
berjanji tidak akan mengatakan apa-
apa lagi." "Apa kau yakin, Mandy?" tanya
Mum. "Kelihatannya kau masih
sangat tertekan, Sayang."
"Aku sama sekali tidak merasa
tertekan," bantahku, berusaha
tersenyum dan bersikap ceria.
Kemudian aku melihat Tanya di
ujung jalan, mendorong keteta bayi.
Tanya mengenakan celana pendek
yang sangat pendek serta kaus ngatung yang menampakkan pusamya.
Sepatu bertumit tingginya berbunyi
pletak-pletok setiap kali dia
melangkah. "Tanya!" "Hei, Mandy!" Aku berlari menghampirinya. Dia
mengangkat tangan, mengajak "tos",
dan aku langsung menirunya. 114
"Bagaimana sekolahmu, eh?"
tanyanya. Aku mengernyitkan muka sebagai
jawaban. "Aku mengerti," ujar Tanya.
"Enak, kan, jadi aku" Aku tidak
perlu bersekolah karena sebentar
lagi libur musim panas. Tapi
sebelumnya aku juga jarang pergi ke
sekolah. Aku tidak betah. Guru-
guru tolol itu. Juga sapi-sapi
goblok yang gemar mengataimu."
"Mereka mengataimu?" tanyaku,
terperangah. "Yeah, tapi aku balas mengatai
mereka lebih keji lagi," jawab
Tanya sambil nyengir. "Kenapa,
ada yang senang mengganggumu,
Mandy?" "Oooh," jawabku samar-samar.
Kim, Sarah, dan Melanie sudah
melewati Mum, yang berjalan
terengah-engah di belakang sana.
Ketiganya memandangi Tanya dan
aku. Melanie bahkan sampai
ternganga lebar. Tanya melihatku melirik 115
mereka. Detik itu juga dia
langsung bisa menyimpulkan.
Diabaikannya Sarah dan Melanie. Mereka cuma anak
ingusan, jauh lebih kecil daripada dia. Pandangannya tertuju pada
Kim. "Apa lihat-lihat?" hardiknya.
Meski tidak sejangkung Kim, walau
sudah mengenakan sepatu bertumit
tinggi sekalipun, Tanya lebih tua
daripada Kim dan jauh, jauh lebih
sangar. "Tidak apa-apa," gumam Kim.
"Bagus. Well, minggat sana,
pulang ke rumah kalian, gadis-gadis
kecil. Jangan ganggu aku dan
sobatku Mandy, heh?"
Ketiganya cepat-cepat menyingkir. Bahkan Kim pun
terbirit-birit pergi. Coba lihat
ekspresi wajah mereka! Aku dan
sobatku Mandy. Aku sobat Tanya.
Aku yakin muka mereka semua pasti
hijau karena iri. "Aku akan membawa Tuanku Raja
ini jalan-jalan di taman," 116
kata Tanya. "Kau mau ikut?"
Aku ingin sekali pergi, tapi
saat itu Mum berhasil menyusul
kami dan dia tidak mau kami pergi
ke sana sendirian. "Tidak, nanti kalian diganggu
lelaki-lelaki iseng yang berkeliaran di taman," dalih Mum.
"Tidak pantas gadis-gadis muda
bermain sendirian di sana."
"Aku akan menjaga Mandy Anda,
jangan khawatir," janji Tanya.
"Terima kasih, Sayang, tapi
menurutku tidak usah saja. Mandy
sebaiknya pulang bersamaku untuk
minum teh," tolak Mum.
"Oh, Mum, kumohon, aku harus
ikut ke taman," rengekku.
"Kami bisa makan es krim bila
dia haus," kata Tanya sambil
mengguncang-guncang uang uang logam
dalam sakunya yang keeil. "Mrs
Williams memberiku sedikit uang
jajan. Oh, ayolah, Mrs White,
izinkan Mandy pergi."
"Tidak, Sayang. Mungkin lain
kali," tolak Mum sambil 117
menggandeng tanganku. Kutarik tanganku dari genggamannya. "Aku mau hari ini, Mum. Tidak
adil. Mengapa, sih, Mum selalu
saja memperlakukan aku seperti anak
kecil?" aku memprotes.
Mum mengerjapkan mata, tampaknya
dia sakit hati. Namun sepertinya
hatinya mulai melunak. Mendadak aku mendapat ilham.
"Kata Mrs Edwards, ada baiknya
bila aku mencoba sedikit lebih mandiri," kataku. "Menurut beliau,
aku terlalu muda untuk usiaku.
Itulah sebabnya mengapa anak-anak
lain selalu saja menggangguku."
"Jangan konyol, Mandy," tukas
Mum, namun nadanya terdengar tidak
seberapa yakin. Mungkin Mrs Edwards benar-
benar mengatakan hal semacam itu!
"Setengah jam lagi kami
kembali," Tanya berjanji.
Mum mendesah. "Baiklah,
baiklah. Bila kau benar-benar
ingin pergi ke taman, 118
Mandy, kita akan pergi ke sana
bersama Tanya." Aku menarik napas dalam-dalam.
"Tidak. Mum tidak perlu ikut.
Di sana bahkan tidak ada jalan
besar. Dan kami akan menjauhi
lelaki iseng. Anak-anak lain juga pergi ke taman sendirian. Tidak
ada yang dikawal ibunya."
Tidak percaya rasanya aku bisa
benar-benar mengatakan hal itu.
Rupanya mulutku diambil alih
Miranda Rainbow. Dan perkataanku
tadi membuahkan hasil! Mum
mengjzinkan aku pergi ke taman
bersama Tanya, meski tampaknya dia
tetap keberatan. Aku tahu
sepanjang malam nanti Mum pasti
akan cemberut dan merajuk, namun
sekali ini aku tidak peduli.
Tanya dan aku berlari melintasi
rerumputan, bersama si bayi Ricky
yang melonjak-lonjak kegirangan di
keretanya. Tanya menyanyikan lagu-
lagu lama Nirvana dan aku berusaha
menirukannya. Ricky juga tidak mau
kalah, berceloteh ribut, 119
tapi kemudian dia tersedak dan
muntah. "Hiii. Si bayi Ricky sedikit
mual rupanya,"kata Tanya.
Tanya membersihkan bekas muntahan si bayi dengan kertas tisu
sambil mengernyitkan hidung, lalu
membasuh tangannya di kolam air
mancur. "Waktu aku kecil dulu, Dad
sering mengajakku ke sini,"
ceritaku. "Kadang-kadang dia
menggulung pipa celana panjangnya
dan mencelupkan kakinya ke kolam
bersamaku." "Kedengarannya ayahmu baik,"
kata Tanya. "Mmm. Tapi ibuku agak'''" Aku
mengernyitkan muka, tidak
melanjutkan perkataanku. Aku takut Tanya akan mengejek
sikap ibuku yang terlalu protektif.
"Itu karena dia sayang padamu,"
kata Tanya, membuatku terkejut
dengan kata-katanya. "Aku dulu
juga sering bersikap seperti itu
terhadap Carmel." 120
"Kau kangen padanya?"
"Yeah," jawab Tanya sambil
bersedekap dan membungkukkan badan
sedikit. Tapi sejurus kemudian dia
menegakkan badan lagi. "Tapi
sekarang aku punya kau, kan, Mandy
kecil?" "Aku bukan Mandy kecil,"
protesku. Tanya tertawa dan menarik
kepangan rambutku. "Kau kelihatan seperti anak enam
tahun dengan rambut dikepang
begini." "Jangan ledek aku. Bukan
salahku bila aku dikepang begini.
Aku sudah memohon-mohon pada Mum
agar menyanggulnya seperti yang
kaulakukan waktu itu, tapi dia tidak mengizinkan."
"Kalau begitu, kau harus belajar
menyisir rambut sendiri," kata
Tanya. Kami berjalan lambat-lambat
menyusuri taman, meninabobokan
Ricky sampai bayi itu terkantuk-
kantuk. Dengan hati-hati 121
Tanya menghentikan kereta
dorongnya di bawah pohon rindang.
"Tapi kita bisa berjemur
sebentar, eh, Mandy?"
Tanya menendang sepatu sandalnya
hingga terlepas, lalu membaringkan
diri di rerumputan, menyibakkan
kausnya lebih ke atas. "Aku harus mencokelatkan
perutku," katanya. "Kalau aku, kulitku tidak pernah
bisa cokelat, paling-paling hanya
berubah menjadi pink,"kataku sambil
membaringkan diri di sebelahnya4"Aku benci warna pink.
Itu warna yang paling tidak
kusukai di seluruh dunia."
" Well, kalau begitu kita hanya
akan berjemur selama dua menit.
Jangan sampai kulitmu terbakar
matahari." Kulitku gosong pun aku tidak
peduli. Yang kuinginkan hanyalah
berbaring di sisi Tanya, di
kehangatan cahaya matahari,
selamanya. Kupandangi dedaunan
hijau di atas kepala kami. 122
Daun-daun itu bergemeresik pelan,
seolah membisikkan rahasia.
"Oh, Tanya, aku senang sekali
punya teman seperti kau," kataku.
"Ah, manis benar kau," sahut
Tanya. Dia bangkit dan duduk.
"Hei, kulitmu sudah berubah warna
menjadi pink. Sebaiknya kita
mendinginkanmu dulu. Ayo kita beli
es krim." Kami mendatangi kios kecil yang
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terletak di gerbang taman. Tanya
membeli dua es krim cone untuk kami
berdua. Ricky berteriak iri, ingin
dibagi juga, jadi Tanya mencolek
sedikit es krim, lalu menyodorkannya pada Ricky untuk
dijilati. Bocah itu sangat
menyukai permainan tersebut dan
merengek minta tambah. "Jangan, anak rakus. Nanti kau
muntah lagi," tolak Tanya. "Ayo,
Mandy. Sebaiknya kita pulang
sekarang. Jangan sampai ibumu
panik karena kau tidak pulang-
pulang." Kami berjalan beriringan 123
dengan hati gembira, bersama-sama
mendorong kereta bayi. Tumit
sepatu Tanya berpletak-pletok,
sementara sol sepatu Clarks-ku
berdecit-decit. Bayangan dirinya
ringan dan melonjak-lonjak, dengan
rambut jabrik yang keren sekali.
Sementara bayangan diriku lebih
kecil, berjalan berat, dengan
rambut dikepang. "Hei, tolong jaga Ricky
sebentar sementara aku membelikan
koran untuk Pat," pinta Tanya
sesampainya kami di depan toko
kecil di sudut jalan. Aku berdiri di luar, menggoyang
perlahan kereta Ricky dengan hati
gembira karena diberi kepercayaan
menjaga bayi. Aku mengintip ke
dalam toko, melihat Tanya. Karena
cahaya matahari bersinar terik,
bagian dalam toko tampak gelap dan
berbayang-bayang. Tapi aku tetap
bisa melihatnya. Kulihat dia
merogoh saku celana, mengambil uang
untuk membayar koran Evening
Standard yang dibelinya. 124
Dia menyerahkan uang itu,
mengambil koran, lalu berjalan
menuju pintu. Kemudian tangannya terulur,
secepat kilat. Dia menyambar
sesuatu dari rak sambil tetap
melenggang keluar dari toko.
"Hei, Mandy. Aku punya hadiah
untukmu," kata Tanya sambil
mengulurkan tangan. Di tangannya terdapat ikat
rambut berkerut-kerut dari bahan
beludru berwarna hijau. BIRU 125
Sesampainya di rumah, Tanya
menyikat rambutku dan memasangkan
ikat rambut beludru hijau itu di
kepalaku. "Ikat rambut seperti ini namanya
scrunchie,"Tanya menjelaskan.
"Nah, sudah! Keren, kan?"
"Yeah. Keren. Terima kasih
banyak, Tanya,"ucapku. "Aku suka
sekali pada scrunchie-ku."
Perutku terasa melilit. Baik
benar Tanya, memberiku hadiah ikat
rambut. Dia memang sahabat yang
paling baik di dunia. Tapi ikat
rambut ini dicurinya. Well, tapi aku tidak tahu pasti.
Kelihatannya dia menyambarnya
begitu saja dari rak. Tapi aku
memang tidak bisa melihat dengan
jelas. Bisa saja sebenarnya dia
sudah membayarnya dengan uang yang
diambilnya dari dalam saku.
Aku bisa saja bertanya padanya.
Tapi aku tidak berani. Rasanya
sangat tidak pantas. "Terima kasih hadiahnya 126
ya, Tanya. Omong-omong, hadiah
ini kaubeli atau kaucuri?"
Dan bila benar dia mencurinya,
lalu apa" Aku tahu mencuri bukan perbuatan
yang terpuji. Apalagi bila yang
menjadi korban adalah orang-orang
baik seperti Mr dan Mrs Patel,
yang tidak mendapat keuntungan
terlalu banyak dad toko kecil
mereka di pojok jalan. Meskipun
yang dicurinya hanya ikat rambut.
Ikat rambut kerut-kerut kecil dari
beludru yang harganya tidak lebih
dad satu-dua pound saja. Nilainya
memang tidak seberapa. Tanya tidak mencurinya untuk
dirinya sendiri. Dia mencurinya
untukku, karena aku temannya. Lagi
pula, dia tidak punya uang lebih.
Dia tidak mendapat uang saku yang cukup setiap hari Sabtu seperti
aku. Dia hampir tidak punya apa-
apa. Jadi tidak apa-apa, kan, bila
dia mencuri" Kepalaku pusing memikirkan
fakta-fakta yang 127
bertentangan itu. Ikat rambut
baruku mengikat kuat rambutku,
menarik anak-anak rambut di
tengkukku. Setiap kali aku
memalingkan kepala, ekor kudaku
bergoyang dan menimbulkan rasa
sakit, hingga aku tidak bisa
melupakannya. Aku hampir merasa lega waktu
Mum melepas ikat rambutku dan
mengepang rambutku lagi seperti
biasanya setelah Tanya pulang.
"Aku tahu kau pasti mengira dirimu keren sekali dengan dandanan
rambut seperti ini," kata Mum,
mendengus. "Tapi menurutku gaya
itu tidak cocok untukmu."
"Menurutku dia jadi terlihat
sangat dewasa," kata Dad, berusaha
menghibur begitu melihatku kecewa
mendengar ucapan Mum. Kening Mum berkerut. "Justru
itu masalahnya. Mandy kan masih
kecil. Tatanan rambut seperti itu
terlalu canggih untuknya. Dan
sedikit umum, asal tahu saja."
"Walaupun begitu, baik 128
hati benar Tanya, memberikan
hiasan rambut itu pada Mandy" kata
Dad. "Mmm," ucap Mum. "Apakah dia khusus membelikannya untukmu,
Mandy?" "Ya," gumamku. Aku pura-pura
menguap. "Aku ngantuk sekali. Aku
mau tidur saja sekarang."
Padahal sebenarnya aku ingin
menyingkir dari Mum dan Dad.
Tapi aku tidak bisa tidur. Aku
hanya berbaring di tempat tidur
dengan mata nyalang, mempermainkan
ikat rambut di tanganku. Aku tidak
tahu apakah ikat rambut semacam ini
bisa dibeli di sembarang tempat,
atau khusus hanya di toko kecil di
pojok jalan. Bagaimana kalau ikat
rambut ini benda yang sangat
istimewa-dan Mrs Patel sadar ada
salah satu ikat rambutnya yang
hilang" Bagaimana kalau dia tadi
melihat Tanya mengambilnya"
Bagaimana bila dia melihatku
memakai ikat rambut beludru hijau
ini" Apa itu berarti aku 129
juga pencuri, karena aku tahu ini
barang curian" Ketika akhirnya aku benar-benar
tertidur, pikiran-pikiranku itu
menjelma menjadi mimpi. Mrs Patel
menghadangku di jalan dan
meneriakiku maling. Mr Patel
keluar dari toko dan ikut
memanggilku maling. Semua orang di
jalan memandangiku. Semua orang
yang kukenal dari sekolah ada di
sana. Mrs Stanley dan Mrs
Edwards menggeleng-geleng dan
terlihat sangat galak. Kim,
Sarah, dan Melanie berdiri
berjajar dan berseru "Maling,
maling, maling", gigi mereka
berkilat-kilat. Mum dan Dad juga
ada di sana, menyerukan kata yang
sama, tapi sambil meneteskan air mata. Aku juga menangis**
Aku terbangun, sekujur badanku
basah bersimbah keringat, di
telingaku masih terngiang-ngiang
kata "maling". Hari sudah larut
malam dan kegelapan membuat suasana
semakin terasa mencekam. 130
Aku turun dari tempat tidur dan
menyurukkan ikat rambut itu jauh-
jauh ke laci yang berisi pakaian
dalam. Lalu aku membaringkan
diriku lagi ke kasur dan berusaha
keras mengalihkan pikiran dengan
bermain pura-pura. Aku Miranda
Rainbow dan dia tidak pemah
terbangun dalam keadaan gelisah di tengah malam buta seperti ini; dia
selalu tidur pulas di seprainya
yang berwarna pelangi, setiap hari
warnanya berganti-ganti, dan
setelah bangun dia akan berendam di
jacuzzi, lalu mengenakan baju'''
aku mengkhayalkan berbagai jenis
baju, seolah aku boneka kertas,
sampai akhirnya aku kembali
terlelap. Dalam mimpiku, aku tetap menjadi
Miranda Rainbow dan aku masih
mencoba berbagai jenis baju, karena
sekarang aku menjadi model terkenal
yang sering mondar-mandir di
catwalk. Kilatan lampu-lampu
kamera mengiringi langkahku, ke
mana pun aku pergi, dan 131
segalanya terasa begitu indah,
sampai aku harus mengenakan gaun
baru ketat dari beludru berwarna
hijau, bersama ikat rambutnya yang
serasi, scrunchie besar yang nyaris
menyerupai topi. Semua orang
melihatku memakainya, dan tiba-tiba
saja mereka berdiri dan mulai
berteriak-teriak "Maling!" Aku
berusaha keras melepaskannya dari
kepalaku, tapi ikat rambut tersebut
melingkar begitu kuat di kepala.
Saking kuatnya, aku hampir tidak
bisa benapas. Ikat rambut itu
menutupi mata, menutupi lubang
hidung, dan membekap mulutku hingga
menjerit pun aku tidak mampu'''.
Aku terjaga, menangis dan megap-
megap, sepraiku basah kuyup oleh
keringat. Tadi aku pasti berteriak-teriak, karena Mum berlari memasuki kamarku. "Ada
apa, Sayang?" "Aku-aku bermimpi buruk,"
jawabku sambil mengusap wajahku
dengan seprai. "Hei, jangan begitu! 132
Akan kuambilkan saputangan
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
untukmu, anak malang," kata Mum
sambil mendekapku erat-erat.
"Mimpi buruk tentang apa, eh?"
"Aku tidak ingat lagi," dustaku
sambil merangkul Mum. "Pokoknya
sangat mengerikan." "Sudah, tenanglah. Mummy di
sini," bujuk Mum sambil mengayun-
ayun badanku. Mum menyelimutiku bersama
Olivia Orang Utan, dan menjanjikan aku pasti akan tidur
pulas dan tidak bermimpi buruk
lagi. Aku berusaha memercayai kata- katanya. Tapi ternyata tidak bisa.
Aku masih terjaga saat beker Dad
berbunyi di pagi hari. Saat sarapan, aku merasa sangat
letih dan kepalaku pusing.
"Kau dan mimpi burukmu," kata
Mum. "Kasihan Mandy:"
Ditariknya kepanganku dengan sikap
sayang. "Mana tatanan rambut barumu yang
trendi itu?" tanya Dad. 133
Mum mengerutkan kening padanya.
"Kurasa Mandy sekarang sudah
sadar. Gaya rambut seperti itu
tidak cocok untuknya." Mum
bersedekap. "Aku tidak begitu
senang dia berteman dengan Tanya,
kau tahu. Sekarang Tanya mulai
sering menemuinya. Padahal dia
terlalu tua untuk Mandy. Dia
membawa pengaruh yang buruk bagi
Mandy." "Apa maksud Mum?" tanyaku
dengan suara parau. "Well, sekarang terkadang kau
mulai bersikap kurang ajar, Mandy.
Belum lagi jalan-jalan ke taman
sepulang sekolah kemarin Aku tidak
suka kau pergi ke taman bersama
Tanya. Sekarang ini, di mana-mana
tidak aman." "Menurutku Tanya mampu menjaga
dirinya sendiri-sekaligus menjaga
Mandy kita," Dad menengahi.
"Aku tetap tidak suka mereka
bergaul terlalu rapat. Aku tidak
keberatan bila Tanya datang ke
sini, sehingga aku bisa 134
mengawasi mereka, tapi aku tidak
mau mereka keluyuran dan berbuat
onar di luar sana," sergah Mum.
"Itu agak berisiko, bila mengingat
latar belakang Tanya. Akal
sehatku menyuruhku melarang Mandy
bertemu Tanya." Tubuhku kontan mengejang.
"Jangan!" "Oh, sudahlah," bujuk Dad.
"Anak-anak ini berteman baik. Aku
senang melihat Mandy gembira.
Apalagi saat ini dia sangat
membutuhkan teman, setelah
peristiwa penggertakan yang
dialaminya di sekolah."
Perkataan Dad itu berhasil
mengalihkan perhatian Mum.
"Mereka sudah berhenti
mengganggumu, Mandy?" tanya Mum.
"Kim tidak pernah mengataimu
lagi?" "Dia diam saja sekarang,"
jawabku. "Well, menjauhlah dari mereka,"
Mum berpesan. Sedapat mungkin aku 135
berusaha menuruti anjurannya. Pagi
itu mereka tidak lagi gentayangan
di sekelilingku dan berbisik-bisik.
Sepertinya Tanya berhasil membuat
mereka kapok. Hebat Tanya, menghardik mereka
seperti itu. Dia benar-benar
sahabat sejati. Dan dia mengambil
ikat rambut hijau itu karena ingin
memberiku hadiah istimewa. Tolol
benar aku, terlalu membesar-
besarkan hal tersebut. Mengapa sih
aku harus jadi bayi ingusan yang
sok alim terus" Aku duduk bersama Arthur King
saat makan siang, dan sesudahnya
dia mencoba mengajariku main catur.
Membosankan benar permainan itu.
Aku ingin membiarkan pikiranku
berkelana bebas supaya bisa
memikirkan Tanya yang akan
menemuiku sepulang sekolah nanti,
dan bagaimana kami berdua akan
bersahabat karib untuk selamanya.
"Jangan, lihat, kalau kau
meletakkan ratumu di sana, aku bisa
memakannya dengan 136
ksatriaku," Arthur menjelaskan.
Aku tetap tidak tahu apa asyiknya main catur. Ratunya tidak
memiliki rambut panjang tergerai
dan gaun yang melambai, ksatrianya
juga tidak mengenakan baju zirah
mengilap dan topi besi berhias
bulu-bulu. Mereka hanyalah pion-
pion plastik tanpa kepribadian sama sekali.
"Suka tidak main catur, Mandy?"
tanya Arthur sambil menata kembali
pion-pion catur. "Tidak, tidak terlalu," jawabku.
"Mungkin kau akan semakin
menyukainya bila sudah mahir
bermain nanti," kata Arthur.
"Harapanku, kita bisa main setiap
jam makan siang." "Mmm," gumamku tidak jelas.
"Dan bila kau bersamaku, Kim,
Sarah, dan Melanie tidak berani
dekat-dekat," tambah Arthur.
"Apa?" "Kupikir aku berhasil membuat
mereka kapok, sehingga tidak berani
mendekatimu lagi," Arthur 137
menjelaskan. "Mereka tidak berani
mengganggumu kalau ada aku yang menjagamu."
"Oh, Arthur!" seruku, saking
kagetnya sampai lupa bersikap
sopan. Arthur cowok terpandai di
kelas kami, tapi sekaligus juga
yang terlugu. "Itu tidak ada hubungannya
denganmu. Itu karena temanku,
Tanya." Arthur tampak tersinggung. "Kok
bisa itu karena temanmu, Tanya"
Dia kan tidak ada di sini. Meski
terkadang rasanya begitu."
"Apa maksudmu?"
"Well, kau selalu saja mengoceh
tanpa henti tentang dia. Temanku
Tanya bilang begini. Temanku
Tanya bilang begitu. Terus-
menerus. Padahal dia tidak pemah
mengatakan apa-apa yang kedengarannya menarik. Omongannya
melulu soal rias wajah, pakaian,
ramalan bintang, dan omong kosong
kayak begitu." "Jadi menurutmu temanku 138
Tanya suka omong kosong?" bentakku
tersinggung. "Mana aku tahu. Aku kan tidak
pernah mengobrol dengannya. Tapi
sekarang bicaramu pun tidak keruan,
bila kau mengoceh terus tentang
dia." "Well, kalau begitu, kau boleh
permainan catur konyolmu ini
sendirian," hardikku, lalu
membenturkan kotak caturnya keras-
keras ke lantai hingga pion-pion
yang masih tersisa berhamburan dan
berjatuhan di petak-petak permainan
yang berwarna hitam-putih.
Dengan marah aku menghambur
pergi, meski dalam hati tahu
tindakanku keliru. Aku sempat
berkeliaran sebentar di arena bermain, kemudian masuk ke toilet
cewek. Kesalahan besar. Kim,
Sarah, dan Melanie ada di sana,
berdiri di depan cermin, menyisir
rambut dan bereksperimen dengan
berbagai gaya. Kim menyisir poni
hitamnya ke belakang, memperlihatkan dahinya yang 139
sangat putih. Pandangan matanya
tertumbuk padaku di dalam cermin
dan dia langsung berhenti menyisir,
tangannya membeku di udara.
Perlahan-lahan poninya jatuh
kembali ke dahi, sehelai demi
sehelai, hingga semuanya terurai
kembali di tempat semula.
Seharusnya saat itu aku langsung
kabur saja. Tapi aku berusaha
menunjukkan bahwa aku tidak takut. Maka aku pun langsung menghambur
melewati mereka, masuk ke salah
satu bilik toilet, dan membanting
pintunya keras-keras. Lalu aku
duduk di toilet, jantungku berdebar
kencang. "Itu dia anak yang tidak kita
ajak bicara," kata Kim.
"Mengucapkan namanya saja kita
tidak mau, kan?" "Benar. Buat apa, namanya kan
nama tolol," sambut Sarah.
"Well, setolol orangnya,"
Melanie nimbrung sambil tertawa
cekikikan. "Dan, dia tukang ngadu
Mengadukan yang tidak-tidak 140
pada ibunya, dan ibunya melapor ke
ibuku sehingga aku dimarahi. Ibuku
selalu berusaha membuatku berteman
lagi dengannya." "Ih, untuk apa berteman
dengannya," dengus Sarah.
"Tapi cewek itu sekarang punya
teman baru," kata Kim, nadanya
sehalus sutra. "Teman yang
menganggap dirinya hebat. Well,
memang hebat, bila yang namanya
hebat berarti Genit Lusuh."
Sumbat mulutku kontan terbuka.
"Jangan berani-berani menyebut
temanku Tanya genit!" teriakku
dari dalam bilik toilet. Tawa mereka meledak. "Kau lihat tidak wama rambut si
Genit Lusuh" Jingga terang.
Kelihatannya seolah di atas
kepalanya ada segundukan ikan
maskoki mati,"kata Kim lagi.
Tawa mereka menjadi-jadi.
"Dan sepatu bertumit tinggi yang
dipakainya! Pletak-pletok, pletak-
pletok." Aku mendengar mereka 141
bertiga mondar-mandir, menirukan
gaya jalan Tanya secara berlebihan. "Aneh juga ya, mami Cewek itu
mengizinkan dia bergaul dengan si
Genit Lusuh," Melanie menimpali.
"Well, mereka kan sama-sama
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah jadi mami. Si Genit Lusuh
membawa bayi dalam kereta
dorongnya," ujar Kim.
"Bicaramu ngawur!" teriakku,
membuka pintu bilik dan menghambur
ke luar untuk menghadapi mereka.
"Bayi itu bukan anak Tanya. Dia
hanya membantu menjaganya. Dan dia
tidak genit. Dia bahkan tidak mau
pacaran. Dia tidak suka pada
mereka. Jadi tutup mulut kalian." Aku berusaha berbicara dengan nada
garang, tapi suaraku terlalu
melengking dan mataku penuh air
mata. Beberapa tetes tumpah dari
kelopak mata dan menetes di pipiku.
Mereka semua melihatnya. "Dengar tidak, ada gas yang
mendengung?" tanya Kim, berlagak
tidak mendengar omonganku. 142
"Apa, kutu kecil yang barusan
keluar dari toilet itu?" sambut
Sarah. "Kutu kecil kotor-dia bahkan
tidak menyiram toiletnya," tambah
Melanie. Meski sebenarnya aku tidak buang
air sama sekali, tapi mereka semua
mengernyitkan muka, dan Kim
menjepit cuping hidungnya.
Aku pun kabur dari sana. Menangis. Mereka semakin keras
tertawa. Seharian itu di sekolah tangisku
beberapa kali hendak meledak.
Dengan putus asa aku melirik
Arthur, tapi cowok itu tidak mau
memandang ke arahku. Lalu aku
menulis di secarik kertas:
Dear Arthur, Maafkan aku. Aku benar-benar
babi goblok. Mandy N4B: mudah-mudahan tidak ada
pion caturmu yang hilang.
Kulipat kertas itu dan kutuliskan nama Arthur 143
King di bagian atas. Aku berusaha
mencondongkan badan jauh-jauh
melewati Melanie, berniat memberikan kertas itu pada anak
yang duduk di sebelah Melanie agar
diberikan pada Arthur. Tapi
Melanie lebih gesit. Disambarnya
kertas itu dari tanganku,
dibukanya, dan dibacanya. Lalu
diberikannya pada Kim dan Sarah.
Mereka semua nyengir lebar. Kim
mengerutkan hidung dan mendengus-
dengus mirip babi, jari telunjuknya
menuding ke arahku. Melanie dan
Sarah ikut-ikutan. Kutundukkan kepalaku di atas
buku latihan bahasa Inggris.
Kutekan penaku kuat-kuat sampai
mata penanya patah. Terpaksa aku
menulis dengan tinta yang bocor ke
mana-mana. Setetes besar air mata
jatuh ke bukuku, melunturkan tinta.
Disusul setetes air mata lagi, dan
lagi, sampai seluruh bukuku penuh
air mata, seperti kolam. Aku merasa seolah tenggelam di lautan
biru yang dalam. Kim, 144
Sarah, dan Melanie terus saja
mendengus-dengus dan cekikikan.
"Siapa yang mendengus-dengus
tolol itu?" tanya Mrs Stanley
tidak sabar. Dia mengedarkan pandangan ke
seluruh penjuru kelas. Aku duduk
meringkuk, takut beliau melihat
mataku yang basah. Hidungku
berair, jadi aku terpaksa
membersihkannya. "Itu suara Mandy, Mrs Stanley
membersihkan ingus," jawab Kim.
Melanie dan Sarah tertawa.
Beberapa murid lain ikut-ikutan.
"Jangan konyol," tegur Mrs
Stanley menghela napas. "Ada baiknya bila kalian kutenangkan
sedikit. "Ayo, keluarkan buku
ulangan kalian. Kita akan
mengadakan ulangan mengeja."
Semua murid mengerang. Sebagian
besar di antara mereka memandangiku
dengan tatapan tajam, seolah
menuduh gara-gara aku kami ulangan.
Mrs Stanley menyebutkan kata
demi kata yang harus kami 145
eja. Semua tampak salah di mataku,
tak peduli bagaimanapun caraku
menuliskannya. Seusai ulangan,
kami harus menukar kertas-kertas
ulangan kami dengan tetangga
sebelah meja untuk dinilai.
Melanie. Kami harus tetap bekerja
sama meskipun dia bukan temanku
lagi dan menjadi musuh nomor dua
paling jahat. Mrs Stanley
bukanlah tipe guru yang bakal
mengizinkanmu bertukar tempat duduk
dengan murid lain. Jadi aku terpaksa memberikan
kertas ulanganku pada Melanie dan,
mau tidak mau, dia pun harus
memberikan kertas ulangannya
padaku. Dia memegang pinggiran
kertas ulanganku dengan ujung jari
seakan kertasku jorok dan penuh
kuman, lalu cepat-cepat melemparkannya ke atas meja. Kim
dan Sarah tercekikik dengan sikap
memuji. Dari dua puluh soal, aku hanya
benar dua belas. Melanie melingkari semua kesalahanku 146
dengan pulpen merah dan membuat
tanda silang raksasa. Itu hasil
ulangan terburuk yang pemah
kudapat. Melanie benar empat
belas4Kim benar delapan belas.
Nilainya yang tertinggi. Dia
bahkan mengalahkan Arthur.
Kami harus menyebutkan nilai
masing-masing pada Mrs Stanley.
Beliau tampak kaget waktu
mendengar aku menggumamkan nilaiku.
Kupikir Mrs Stanley bakal
sedikit marah padaku, tapi beliau
tidak berkata apa-apa. Setelah
lonceng berbunyi, dia memanggilku
ke mejanya. "Ada yang tidak beres, Mandy?"
tanyanya. Aku menggeleng sambil menunduk
memandangi lantai. "Mengapa hasil ulangan mengejamu
buruk sekali, hmm" Melanie tidak
salah memeriksanya, bukan?"
Aku mengangguk. "Apakah Kim, Sarah, dan Melanie masih sering mengataimu,
Mandy?" 147
"Tidak, Mrs Stanley," jawabku.
Well, mereka memang tidak mengatai
aku. Tapi membicarakan aku. Namun
karena mereka tidak menyebutkan
namaku, aku jadi tidak bisa
membuktikan akulah yang mereka
jadikan bahan pembicaraan. Kim
memang benar-benar cerdik.
Mrs Stanley sepertinya tidak
seratus persen percaya padaku, tapi
dia hanya mendesah dan mengizinkan
aku pulang. Mum menunggu di luar, dan mulai
terlihat khawatir. Tapi tidak ada
tanda-tanda Tanya di sana.
"Ah, akhirnya kau datang juga Mandy! Mengapa terlambat sekali,
Sayang" Teman-temanmu yang lain
sudah lima menit yang lalu keluar.
Kau tidak disetrap, kan?"
"Tidak, hanya saja''' Mrs
Stanley bilang''' oh, sudahlah,
itu tidak penting. Mum, mana
Tanya?" "Mrs Stanley bilang apa"
Jangan pikirkan Tanya dulu."
"Hanya tentang mengeja. 148
Ulangan mengeja yang sangat sangat
membosankan. Bukankah Tanya mau
menemuiku lagi sepulang sekolah"
Dia bilang begitu kemarin malam."
"Tapi kau kan sangat pandai
mengeja! Kau selalu mempelajari
setiap kata baru dengan sempuma.
Dengar, kupikir ada baiknya bila kita pergi ke kota dan berbelanja
sedikit. Kemarin aku pergi ke
Maxwell's dan melihat gaun-gaun
pink indah dari kain genggang
dengan celemek di bagian depan."
"Huek!" "Jangan begitu, Mandy! Aku
tidak suka mendengarmu bicara kasar
seperti itu." "Tapi aku tidak bisa pergi
berbelanja, Mum, aku sudah
berjanji dengan Tanya hendak
bermain bersama." "Ya, dan aku sudah bilang pada
Tanya bahwa kita berdua akan pergi
berbelanja." "Oooh! Tapi aku jauh lebih suka
bertemu Tanya," tukasku.
Kepala Mum tersentak, 149
seolah aku baru saja menampar
wajahnya. Perutku mulas. Benar-
benar tidak adil. Siapa saja pasti
lebih senang bermain dengan
temannya daripada membuntuti ibunya
keluar-masuk toko. "Ya sudah, kalau kau benar-benar
tidak mau, kurasa aku tidak bisa
memaksamu," kata Mum dengan sikap
terguncang. "Tapi kau memang
membutuhkan beberapa gaun musim
panas baru. Lagi pula, sudah lama
sekali kita tidak pemah jalan-jalan
sepulang sekolah. Tadinya kupikir
kita akan makan es krim bersama di
Soda Fountain**" "Mengapa Mum tidak mengajak
Tanya sekalian?" tanyaku.
Mum menghela napas dalam, cuping
hidungnya bergerak ke dalam.
"Menurutku itu bukan ide yang
baik, Mandy" kata Mum. "Kau
sudah cukup sering bergaul dengan
Tanya belakangan ini. Ampun,
sekarang dia setiap hari datang,
dan kalian berdua mengurung diri di
dalam kamar. Daddy dan aku 150
hampir tidak pemah bertemu
denganmu." "Itu tidak benar! Lagi pula-"
"Dengar, aku tidak mau berdebat,
Mandy. Jadi pergi belanja dan
bersenang-senang -atau tidak?"
Kami pun pergi berbelanja. Tapi
rasanya sama sekali tidak
menyenangkan. Benci betul aku
melihat gaun-gaun pink yang dijual
di Maxwell's. Lagi pula, ukuran
yang pas untukku adalah ukuran yang
diperuntukkan bagi anak umur
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
delapan tahun. Aku jadi terlihat
seperti anak umur delapan tahun.
Tidak, bahkan lebih muda lagi.
"Tapi kau kelihatan manis
sekali, Sayang," puji Mum sambil
berlutut di kamar pas, menarik-
narik kerah gaun dan menalikan pita
mungil di punggung. "Kita juga
bisa membeli pita pink dan putih
yang serasi untuk kepangan
rambutmu." "Huek!" "Mandy! Sudah berapa kali
kubilang, jangan kasar 151
begitu!" "Well, tapi ide itu memang
menjijikkan, Mum. Pokoknya aku
tidak mau rambutku di kepang lagi,
kepangan itu jelek. Bahkan Dad
pun bilang begitu. Dan aku
terlihat konyol dengan gaun bayi
tolol ini." "Menurutku justru kaulah yang
bertingkah seperti bayi tolol,"
tukas Mum. "Well, baiklah. Kau
tidak harus memakai gaun pink.
Gaun mana yang kausukai"
Bagaimana kalau yang kerahnya
berhiaskan sulaman buah-buah ceri
itu" Kita coba yang itu?"
"Aku tidak mau membeli gaun.
Sekarang tidak ada lagi anak
perempuan yang mengenakan gaun."
"Begitu ya," ucap Mum. Itu
berarti dia tidak memahami
maksudku. "Jadi sekarang semua
anak berkeliaran dengan hanya
memakai rompi dan celana tanggung,
begitu?" "Tidak. Anak-anak perempuan
mengenakan''' celana 152
pendek." Mum mendengus. "Kalau kau
mengira aku akan membiarkanmu
berkeliaran dengan mengenakan
celana pendek seperti yang dipakai
Tanya, maka perkiraanmu itu
keliru." "Yang kumaksud bukan hanya
Tanya," tukasku. "Semua anak
perempuan di kelasku mengenakan
celana pendek, celana jins, dan
legging." "Memang, tapi kau tidak cocok
dengan gaya berpakaian seperti
itu," Mum berdalih. "Tapi aku ingin mengenakan gaya
seperti itu. Aku ingin terlihat
seperti yang lain. Itulah sebabnya
mengapa mereka terus menggangguku,
karena aku berbeda," rengekku.
Alasan yang kuajukan membuat
keyakinan Mum sedikit goyah. Aku
pun terus merengek. Akhimya Mum
mengalah dan membelikan celana
pendek dan sehelai kaus untukku. Celana pendek panjang. Warnanya
pink. Tapi paling tidak, 153
itu tetap celana pendek. Mum juga
Leukimia Kemping 2 Jaka Sembung 9 Membabat Kiyai Murtad Tembang Tantangan 3
MERAH 1
Mereka pasti mau menggangguku.
Aku langsung melihat mereka
begitu berbelok di sudut jalan.
Mereka berdiri tidak jauh dariku,
menunggu di dekat halte bus.
Melanie, Sarah, dan Kim. Kim
yang paling sangar. Aku tidak tahu harus berbuat
apa. Aku maju satu langkah, sepatu
sandalku menempel di trotoar.
Mereka saling menyikut. ltu
berarti mereka melihatku.
Aku tidak bisa melihat sejauh
itu, meski mengenakan kacamata
sekalipun, tapi aku yakin Kim
pasti nyengir lebar. Aku berdiri terpaku. Menoleh ke
belakang. Mungkin aku bisa lari
kembali ke sekolah" Tapi aku sudah
lama sekali di sana, sengaja tidak
mau pulang dulu. Mungkin gerbang
tempat bermain sudah dikunci" Tapi
mungkin masih ada guru yang belum
pulang" Aku dapat berlagak sakit
perut atau apa sajalah, kemudian
mungkin bisa menumpang 2
mobilnya pulang" "Coba lihat si Mandy! Dia mau
kabur kembali ke sekolah. Dasar
anak ingusan!" teriak Kim.
Sepertinya Kim punya kacamata
ajaib yang bisa langsung melihat
isi kepalaku. Tentu saja sesungguhnya dia tidak pakai
kacamata. Mana ada sih cewek
seperti Kim yang pakai kacamata
atau mengenakan kawat gigi. Mereka
juga tidak pernah gembrot. Model
rambutnya pun tidak pemah
ketinggalan zaman. Dan mereka juga
tidak pemah pakai baju bayi yang konyol.
Kalau aku berbalik dan kabur,
mereka pasti mengejarku. Maka aku
terus berjalan, walaupun kedua
kakiku goyah. Sekarang aku hampir
mencapai mereka, sehingga bisa
melihat cukup jelas. Memang benar,
Kim nyengir lebar. Mereka semua
nyengir lebar. Aku memeras otak, tidak tahu
harus berbuat apa. Daddy mengajariku untuk 3
balas mengejek. Tetapi, mana bisa
mengejek cewek sehebat Kim. Tidak
ada yang bisa dijadikan bahan
ledekan pada dirinya. Mum bilang, abaikan saja mereka,
pasti lama-lama mereka bosan
sendiri mengganggumu. Tapi mereka tidak bosan-bosan
juga. Jarak kami semakin dekat.
Sepatu sandalku masih terasa
lengket di aspal. Sekujur badanku
juga lengket. Gaunku melekat di
punggung. Dahiku basah di balik
poni. Tapi aku berusaha keras tetap
terlihat tenang. Berusaha melihat
ke belakang pundak mereka. Kulihat
Arthur King duduk menunggu bus di
halte. Kupandangi saja dia. Dia
asyik membaca buku. Dia memang
selalu membaca buku. Aku juga suka membaca. Sayang
Arthur King itu cowok. Agak aneh
pula. Padahal kalau tidak, kami
pasti bisa berteman baik.
Sekarang aku tidak punya 4
teman dekat. Dulu aku berteman
akrab dengan Melanie, tapi
kemudian dia berteman dengan
Sarah. Lalu Kim memutuskan
menjadikan mereka anggota gengnya.
Padahal dulu Melanie selalu
bilang dia benci pada Kim. Tapi
sekarang dia malah bersahabat
dengannya. Bila Kim ingin
berteman denganmu, kau tidak bisa
berbuat apa-apa. Kau tidak bakal
bisa menolak. Habis, dia sangar
sekali sih. Dia sekarang berdiri tepat di
depanku. Aku tidak bisa lagi
berlagak melihat ke balik
pundaknya. Mau tidak mau, aku
terpaksa menatapnya. Memandangi
mata hitamnya yang bersinar-sinar,
rambut hitamnya yang mengilap,
mulut besarnya yang nyengir lebar,
memamerkan gigi-giginya yang putih.
Bila memejamkan mata sekalipun,
aku tetap bisa melihatnya. Seakan
dia menyusup masuk ke kacamataku,
langsung ke dalam kepalaku.
Nyengir terus. 5
"Wah, dia menutup mata. Yuk,
kita tabrak saja dia," usul Kim.
Aku cepat-cepat membuka mataku
kembali. "Dasar gila," komentar Sarah.
"Dia pasti lagi main pura-pura,"
Melanie berkata. Tawa mereka berderai. Aku paling sebal kalau Melanie
membeberkan permainan-permainan
yang dulu sering kami mainkan
bersama. Mataku mulai terasa
panas. Kukerjapkan mataku kuat-
kuat. Pokoknya, jangan sampai aku
menangis, apa pun yang terjadi.
Abaikan saja mereka, abaikan,
abaikan''' "Mau nyuekin kita, ya!" teriak
Kim dengan nada menang. "Mumsie
sayang menyuruhmu mengabaikan
cewek-cewek jail seperti kita, ya?"
Tidak ada gunanya lagi berusaha
mengabaikan dia. Lagi pula, aku
tidak bisa. Dia sekarang berdiri
tepat di depanku, menghadangku,
diapit Melanie dan Sarah. Aku
terperangkap. 6
Aku menelan ludah dengan susah
payah. Kim terus saja nyengir
bandel. "Omong-omong, Mumsie-mu mana?"
tanya Kim. "Tidak biasanya Mumsie membiarkan si kecil Mandy
pulang sendirian. Kita yang akan
menjaganya, begitu kan, Mel,
Sarah?" Mereka memang gemar sekali
sikut-menyikut, berbisik-bisik, dan
cekikikan setiap kali ibuku lewat.
Apalagi bila Mum lewat bersamaku,
mereka jadi semakin getol sikut-
menyikut, berbisik-bisik, dan
cekikikan mengejek. Pemah Mum
menggandeng tanganku dan, sebelum
aku sempat menepiskannya, mereka
semua melihatnya. Kontan saja itu
jadi bahan ledekan selama
berminggu-minggu. Kim mengarang
cerita tentang anak balita yang
dikekang dan didudukkan di kereta
dorong, yang ke mana-mana tidak
pernah lupa membawa dot. Dan
boneka konyol untuk anak tolol.
Sekarang ini, lagi-lagi 7
mereka saling sikut, berbisik-
bisik, cekikikan. Aku diam saja,
tidak menjawab pertanyaan Kim
tadi. Aku berusaha mengelak, tapi
dia mengikuti setiap gerak
langkahku, menghadangku terus.
Dekat sekali. Badannya lebih
besar daripada aku. "Hei, aku bicara padamu! Kau
tuli ya" Apa aku perlu berteriak?"
pekik Kim. Dia membungkukkan
badan, begitu dekat sampai rambut
hitamnya yang halus menyapu pipiku.
"MUMSIE MANA?" teriaknya keras,
tepat di telingaku. Aku bisa merasakan suaranya
meraung di rongga kepalaku, melesat
memasuki setiap sel dalam otakku.
Dengan panik aku memandang
berkeliling. Arthur King menengadahkan muka dari balik buku,
memandangiku. Aku malu bila dia tahu aku
sedang dikerjai. Maka aku pun
dengan susah payah berusaha
berlagak seolah tidak terjadi apa-
apa. 8
"Ibuku ke dokter gigi," kataku,
bersikap seakan Kim dan aku
mengobrol biasa. Melanie dan Sarah langsung
tertawa terbahak-bahak. Sementara
Kim tetap nyengir. "Oooh, ke dokter gigi ya?"
ujarnya. Dia juga berbicara
seperti mengobrol biasa. "Mmm, ya,
memang, ibumu memang harus sering
ke dokter gigi, ya, Mandy?" Dia
terdiam sebentar, menunggu.
Aku tidak tahu apakah harus
mengatakan sesuatu atau tidak. Jadi aku juga ikut-ikutan diam.
"Ibumu memang mesti rajin ke
dokter gigi," lanjut Kim. "Dia
kan sudah keriput, ubanan, dan
uzur, jadi kurasa semua gigi
aslinya pasti sudah tanggal. Dia
mau pasang gigi palsu, kan,
Mandy?" Sambil mengatakan hal itu, dia
menyunggingkan senyum manis sekali,
memamerkan sederetan gigi yang
sempuma. Aku merasa seperti
digigitnya. Gigitan kecil- 9
kecil yang kejam, lagi dan lagi,
berkali-kali. "Jangan mengejek ibuku," kataku.
Sebenamya aku ingin kata-kataku
tadi terdengar bernada mengancam,
tapi yang keluar justru seperti
memohon-mohon. Bagaimanapun
nadanya, tidak ada bedanya. Mana
ada yang bisa membungkam mulut Kim
bila dia sudah mulai berkoar-koar.
Apalagi aku. "Ibumu kelihatan lebih tua
daripada nenekku," kata Kim.
"Tidak, dia malah tampak lebih tua
daripada nenek buyutku. Berapa
umumya waktu dia melahirkanmu,
Mandy" Enam puluh" Tujuh puluh"
Seratus?" "Dasar goblok," sergahku.
"Ibuku tidak setua itu."
"Kalau begitu, berapa umurnya?"
"Itu bukan urusanmu," tukasku.
"Umumya lima puluh lima," sela
Melanie. "Ayahnya bahkan lebih
tua lagi, enam puluh dua."
Aku merasa wajahku memerah. Aku
memang pemah memberitahu 10
Melanie waktu kami masih bersahabat, dan dia sudah berjanji
untuk tidak mengatakannya pada
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
siapa-siapa. "Ya ampun, itu sih sudah peyot!"
seru Sarah. "Ibuku baru berumur
tiga puluh satu." Detik berikutnya, mereka semua
mulai berlagak menirukan wanita
tua, mengecap-ngecapkan bibir dan
berjalan terhuyung-huyung dengan
kaki terbuka lebar. "Hentikan!" teriakku, lensa
kacamataku mulai beruap. Tapi aku
masih bisa melihat Arthur King.
Anak itu kembali menekuni bukunya,
tapi wajahnya juga merah padam.
"Oooh, anak manja kesayangan
Mumsie mau menangis," ejek Kim.
Dia berhenti membadut dan
merangkul pundak Melanie. "Nah,
kalau Daddy-nya seperti apa" Apa
dia berkacamata tebal dan tua
renta?" "Ayahnya berjanggut dan memakai
celemek,"jawab Melanie, dan dia
terlihat girang sekali waktu 11
Kim memeluknya sambil tertawa
terbahak-bahak. "Pakai celemek! Maksudmu,
seperti ibu-ibu, begitu" Ya ampun,
ayah Mandy pakai celemek!" teriak
Kim, dan mereka semua tertawa
begitu keras sampai terbungkuk-
bungkuk. "Celemek bukan cuma untuk ibu-
ibu," belaku tergagap-gagap, panik.
"Lagi pula, celemeknya celemek laki-laki, seperti yang biasa
dipakai para nelayan. Daddy
mengenakannya bila sedang melukis."
"Daddy!" Mereka semakin riuh
tertawa dan terpekik-pekik.
Wajahku panas seperti terbakar.
Entah mengapa aku tadi terpeleset
menyebut "Daddy". Selama ini aku
berusaha keras memanggil ayah dan
ibuku dengan sebutan "Mum" dan
"Dad" seperti anak-anak lain. Aku
juga merasa celemek yang biasa
dipakai ayahku itu konyol. Dan aku
berharap ibuku tidak memiliki
rambut beruban, tubuh gembrot yang
membuat gaun katunnya tampak 12
kesempitan, dan kaki bengkak yang
dijejalkan ke dalam sepatu sandal
bertali. Aku juga berharap ibuku
masih muda, keren, dan cantik
seperti ibu-ibu lain. Seandainya
saja ayahku juga masih muda dan
gagah, kuat mengangkat dan memutar-
mutar aku di udara seperti ayah-
ayah lain. Saking seringnya berharap
begitu, terkadang di waktu malam,
saat berbaring di tempat tidur, aku
sering membayangkan aku ini
sebenamya anak angkat, dan suatu
hari nanti, ayah dan ibu kandungku
akan datang dan membawaku pergi.
Mereka masih muda dan keren, dan
dandanan mereka canggih. Dan
mereka mengizinkan aku mengenakan
baju-baju model terkini, memutar
kaset keras-keras, dan makan di
McDonald's. Mereka pasti juga
mengizinkan aku jalan-jalan
sendirian, tidur larut malam, dan
tidak pernah marah. Saking
asyiknya mengkhayal, aku bisa
kelelahan dan jatuh tertidur- 13
dalam khayalanku, aku memanggil
mereka dengan nama kecil, yaitu
Kate dan Nick, pokoknya nama yang
keren dan terkini --dan dalam
tidurku, aku sering bermimpi
tentang mereka. Tapi, hampir
selalu, saat mimpiku sedang seru-
serunya, misalnya saja Kate,
Nick, dan aku hendak pergi ke
Disneyland atau mampir ke Hard
Rock Cafe, tahu-tahu ayah dan
ibuku yang asli muncul entah dari
mana. Biasanya mereka terlihat
lebih tua dan lebih cemas daripada
biasanya, dan mereka memanggil- manggil namaku dengan panik. Aku
pura-pura tidak mendengar dan kabur
bersama Kate dan Nick, tapi
kemudian aku menoleh dan melihat
mereka merosot lemas, menangis
tersedu-sedu. Sehabis bermimpi seperti itu,
biasanya pada pagi harinya aku akan
merasa sangat bersalah sehingga
langsung melompat dari tempat tidur
begitu beker berbunyi dan pergi ke
bawah, membuatkan teh untuk 14
ayah ibuku. Dan sementara mereka
asyik menghirup teh hangat sambil
terkantuk-kantuk, aku menyusup ke
tengah mereka dan mereka memujiku
sebagai anak perempuan kecil yang
baik. Padahal sekarang aku sudah
besar. Dan aku juga bukan anak
yang baik, tidak selalu. Aku bisa
menjadi sangat nakal. "Ya, well, baiklah, aku harus
memanggil mereka Mummy dan Daddy
karena mereka menyuruhku. Tapi
sebenarnya mereka bukan orangtua
kandungku," kudengar seseorang
berkata. Sepertinya mulutku
mengatakan hal itu sebelum aku
sempat menghentikannya. Bukan cuma
aku yang kaget, mereka juga
terkejut, bahkan Kim juga.
Mereka memandangiku. Arthur
King, yang berada di halte di
belakang mereka, juga ikut melihat.
"Apa maksudmu?" tanya Kim
sambil berkacak pinggang. Kausnya
tertarik, menempel rapat di
perutnya yang rata. Dia anak
paling kurus di kelas kami, 15
juga salah satu yang paling
jangkung. Katanya, saat menginjak
usia enam belas nanti, dia akan
jadi model. Melanie dan Sarah
juga bilang begitu, padahal mereka
sarna sekali tidak bisa dibilang
cantik. Aku tidak tahu mau jadi apa
kalau besar nanti. Aku hanya ingin
berhenti menjadi diriku. Aku ingin
tumbuh menjadi orang yang sarna
sekali berbeda, pokoknya bukan
Mandy White. "Mereka bukan ayah dan ibu
kandungku, dan nama asliku
sesungguhnya juga bukan Mandy
White," kataku. "Sebenarnya ini
rahasia. Aku diadopsi waktu masih
bayi. Aku pernah bertemu ibu
kandungku, dan dia hebat sekali:
dia model, bertubuh bagus, sering
muncul di koran-koran. Kalau
kusebutkan namanya, kalian pasti
tahu siapa dia, hanya sayang aku
tidak boleh memberitahukannya. Dia
melahirkan aku waktu masih muda
sekali, dan karena 16
kelahiranku bisa menghambat
kariernya, akhirnya dia menyerahkan
aku untuk diadopsi. Tapi dia
menyesali keputusannya itu,
sehingga selalu berusaha menghubungiku. Ayah dan ibu
angkatku sebenarnya tidak senang
bila dia menghubungiku, tapi mereka
tidak bisa berbuat apa-apa. Ibu
kandungku selalu mengirimiku
hadiah-hadiah indah, isinya baju-
baju dan sepatu-sepatu yang keren
dan oke, tapi ibu angkatku
melarangku memakainya dan menyimpan
semuanya di dalam peti yang
terkunci rapat, memaksaku
mengenakan baju-baju bayi ini'''"
Semakin lama semakin mudah, dan
kebohongan itu meluncur begitu saja
dengan mulus dari dalam mulutku,
seperti benang sutra, yang langsung
kupintal begitu keluar, merajutnya
hingga sedetail mungkin. Mereka
semua mendengarkan, memercayai
kata-kataku. Mulut Sarah tenganga
lebar, bahkan Kim pun tampak
terkesan. 17
Tapi aku lupa di situ ada
Melanie. Kepalanya tiba-tiba
tersentak. "Pembohong!" teriaknya. "Itu
tidak benar, semuanya tidak benar.
Aku kan pemah ke rumahmu, aku tahu
siapa ayah-ibumu, mereka benar-
benar ayah dan ibu kandungmu. Di
rumahmu tidak ada peti, dan-"
"Peti-peti itu disimpan di loteng, tahu. Aku tidak bohong,
sumpah," aku menandaskan.
"Ehm, seharusnya kau tidak
bersumpah," tukas Melanie.
"Karena aku tahu semua itu bohong.
Waktu ibumu datang menjemputmu di
rumahku, dia minum kopi bersama
ibuku, dan dia bercerita panjang-
lebar tentang kau, serta bagaimana
dia menjalani perawatan kesuburan
yang menjijikkan itu selama
bertahun-tahun sampai mereka putus
harapan bisa punya anak. Dia
bilang mereka pernah meneoba
mengadopsi anak, tapi mereka sudah
terlalu tua. Kemudian, tiba-tiba
saja ibumu hamil kau. 18
'Mukjizat kecil kami.' Begitu
katanya. Aku tahu dari ibuku.
Jadi kau pembohong!"
"Pembohong!" Kim menimpali,
namun entah mengapa, dia tetap tampak terkesan. Matanya berkilat
dan aku hampir berani berharap dia
berhenti mengejekku sekarang, bahwa
dia akan membiarkan aku pergi.
Aku tidak tahu aku bergerak atau
tidak, beringsut-ingsut pergi.
Tapi temyata itu sudah cukup untuk
membuat Kim bereaksi. "Oh, tidak, kau belum boleh
pergi, Mandy si mukjizat kecil
pembohong," bentak Kim.
"Pembohong," seru Melanie,
kepalanya mengangguk-angguk.
"Pembohong, pembohong, bokongnya
bolong," dendang Sarah.
Ketiganya terkikik-kikik mendengar kata bokong. "Yeah, hari ini bokongmu
berwarna apa, Mandy?" tanya Kim,
tiba-tiba saja tangannya menyambar
rokku dan mengangkatnya. "Jangan, jangan," pintaku 19
panik sambil memegang rokku erat-
erat. Tapi Kim sudah sempat melihat.
"Oh, manis amat," ledeknya.
"Putih, dengan gambar kelinci --
kelinci kecil lucu! Supaya sama
dengan gambar kelinci mungil lucu
yang dirajut Mumsie di jaketmu."
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia menjentik gambar kelinci-
kelinci di jaketku dengan jari-
jarinya yang panjang dan keras.
"Kasihan Mumsie, tak bosan-
bosannya merajut untuk Mandy si
Anak Mukjizat yang nakal-
sementara anak kesayangannya itu
berkoar-koar ke sana kemari,
mengatakan dia anak angkat!
Kasihan, Mumsie pasti sangaaaaat
sedih kalau dia tahu."
Aku merasa seperti ditonjok.
"Bagaimana dia bisa tahu?"
tanyaku dengan suara parau.
"Well, gampang saja. Kami akan
bertanya padanya. Besok, waktu dia
datang menjemputmu. 'Berapa umur
Mandy waktu Anda mengadopsi dia,
Mrs White"' aku akan 20
bertanya. Dan ibumu akan menjawab,
'Oh, Mandy itu anak kandungku,
Sayang.' Lalu aku akan berkata,
'Tapi bukan begitu yang dikatakan
Mandy. Dia bersumpah dia anak
angkat,'" kata Kim, matanya
berkilat keji. Melanie dan Sarah cekikikan,
meski nadanya tidak yakin, karena
tidak tahu Kim bercanda atau
tidak. Tapi aku yakin dia serius.
Aku bahkan bisa membayangkan dia
melakukannya. Aku terbayang wajah
sedih Mummy. Aku tidak tahan.
"Kau jahat, jahat, jahat!" teriakku, lalu menampar wajah Kim
kuat-kuat. Kim jauh lebih tinggi daripada
aku, tapi lenganku tahu-tahu saja
terjulur dan telapak tanganku
menghantam wajahnya. Pipinya yang
kena tampar langsung berubah merah
padam, meski pipi sebelahnya putih.
Matanya menggelap. "Begitu ya," ujamya, lalu maju
selangkah. Mampuslah aku. Kudorong 21
Sarah yang menghalangi jalanku,
lalu menghambur melewati Melanie.
Aku berlari secepatnya ke arah
jalan, menghindari Kim, karena aku
tahu Kim pasti bakal membunuhku. Sekilas kulihat bayangan merah
berkelebat cepat, disusul decit
suara rem diinjak. Aku sempat
melihat bus itu. Aku menjerit.
Dan terjatuh. JINGGA 22
"Mandy! Oh, astaga! Dia mati!"
Kubuka mataku. "Tidak, aku tidak mati," kataku
dengan suara gemetar. Arthur King membungkuk tepat di
atasku, kacamatanya miring, begitu
juga mulutnya, ternganga lebar
karena kaget. Semakin banyak orang
berkerumun mengelilingiku. Seorang
wanita berlutut di sampingku.
Mereka semua tampak samar-samar,
seperti kabut. Kukerjapkan mataku
beberapa kali, tapi tetap saja
mereka tampak kabur. Susah payah aku berusaha duduk.
"Jangan, Sayang, kau harus
berbaring diam-diam sampai ambulans
datang," cegah wanita yang berlutut
di. sampingku. "Sekarang sopir bus
sedang menelepon ke rumah sakit,
minta ambulans datang."
Ambulans! Apakah aku luka
parah" Kugerakkan kaki dan
tanganku. Sepertinya semuanya
normal saja. Kuraba kepalaku,
mencari kalau-kalau ada 23
benjolan. Kepalaku sakit waktu aku
mengangkatnya, dan rasa sakit itu
menghunjam hingga ke siku.
"Tenanglah, Sayang. Sekarang,
beritahukan nama dan alamatmu
supaya kami bisa memberitahu
ibumu," wanita itu berkata.
"Namanya Mandy White. Dia
teman sekelasku di sekolah," sela
Arthur King. "Kau salah satu di antara anak-
anak nakal yang tadi mengejamya,
ya?" tuduh wanita itu marah. "Aku
melihatnya! Tadi aku duduk di
kursi paling depan di dalam bus,
dan kulihat anak-anak itu
mengejarnya ke jalan. Dia bisa
mati tertabrak." "Kupikir dia malah sudah mati,"
sela Arthur sambil bergidik ngeri.
"Seharusnya aku tadi menghentikan
mereka." "Ini bukan gara-gara kau,"
kataku. Aku menengadah, memandangi
wanita itu. "Bukan dia yang
mengejarku." "Anak lelaki ini tidak 24
mengejarnya. Yang mengejarnya tadi
anak-anak perempuan," kata orang
lain. Semua menoleh. Tapi Kim, Melanie, dan Sarah sudah kabur.
"Tega-teganya mereka
menyiksanya. Padahal dia masih
kecil! Berapa umurmu, Sayang,
delapan?" "Umurku sepuluh tahun," jawabku.
"Jalan sebelas, bulan depan."
"Rumahmu di mana, Mandy?" tanya
wanita tadi. "Woodside Road nomor lima puluh
enam. Tapi, please, aku tidak apa-
apa, jadi Anda tidak perlu
memberitahu ibuku. Dia akan sangat
cemas nanti. Lagi pula, dia tidak
ada di rumah, sedang ke dokter
gigi," kataku sambi! berusaha duduk
kembali. Aku masih saja belum bisa
melihat dengan jelas. Lalu tiba-
tiba aku menyadari sebabnya.
"Kacamataku! " "Kacamatamu ada padaku, Mandy;
Tapi kacamatamu patah jadi 25
dua," kata Arthur. "Apa sebaiknya
kumasukkan saja ke saku bajumu?"
"Bagaimana keadaan si gadis
cilik?" tanya sopir bus yang
sekonyong-konyong datang,
menyingkirkan Arthur King ke
samping dan membungkuk di
sebelahku. "Aku tidak apa-apa," jawabku gemetar, sambil memikirkan
kacamataku yang patah. "Sebentar lagi ambulans datang.
Kelihatannya kau baik-baik saja,
tapi kau harus tetap diperiksa
secara menyeluruh. Mereka akan
membawamu ke rumah sakit dan
seseorang akan mengabari ibumu."
"Biar aku saja yang memberitahu
ibunya,"kata si wanita sambil
mengangguk-angguk. "Jangan," pintaku, tangisku
pecah lagi. "Sudahlah, cup cup. Kau pasti
kaget sekali." "Aku pun merasa begitu," kata si
sopir bus4"Tiba-tiba saja anak-
anak itu menghambur ke tengah 26 jalan, gadis kecil ini, kemudian
teman-temannya, dan aku tidak bisa
melakukan apa-apa. Untunglah saat
itu aku sudah memperlambat laju bus
karena sampai halte. Dia hanya
tersenggol sedikit. Kurasa dia
hanya pingsan, bukan kehilangan
kesadaran karena terbentur."
"Kusangka dia malah sudah
meninggal. Soalnya, dia langsung
ambruk dan tidak bergerak-gerak
lagi," kata Arthur, jari-jarinya
yang kurus terulur, melewati si
wanita yang berlutut di sampingku
dan si sopir bus, meraih tanganku.
"Jangan menangis, Mandy; Kau
tidak kenapa-kenapa, kan?"
tanyanya. Aku tidak bisa berhenti menangis, sehingga tidak dapat
mengatakan apa-apa, dan tanganku
mulai terasa sangat sakit hingga aku tidak bisa meremas jari-
jarinya. Waktu ambulans datang,
para petugas yang datang menyikutnya ke samping dan
membawaku pergi, walaupun 27
yang kuinginkan hanyalah berlari
pulang. Aku berusaha berhenti
bertingkah seperti anak kecil,
menangis-nangis seperti itu.
Apalagi aku tidak membawa
saputangan dan ingusku berleleran
ke mana-mana. Untunglah petugas
ambulans yang wanita berbaik hati
memberiku tisu, dan dia merangkul
pundakku dan menghiburku,
menyuruhku tenang. Dia bahkan
berkotek-kotek, menirukan suara
induk ayam, supaya aku tertawa. Kemudian kami sampai di rumah
sakit dan aku mulai merasa takut
lagi, karena aku belum pernah masuk
rumah sakit. Tapi dari apa yang
kulihat di televisi, sepertinya di
rumah sakit selalu saja ada banyak
orang yang berteriak -teriak dan
pasien yang berlumuran darah, juga
meja-meja tempat mereka membedah
tubuhmu dan isi perutmu yang
seperti jeli itu berkilat-kilat
ditimpa cahaya larnpu. Tapi ternyata, keadaan di rumah
sakit sama sekali tidak 28
seperti yang kubayangkan. Di sana
hanya ada ruang tunggu serta
beberapa orang yang duduk-duduk di
kursi. Aku dimasukkan ke bilik kecil dan seorang perawat datang,
berbicara padaku dan menemaniku,
karena aku sendirian. Lalu datang
dokter, memeriksa dan menyorotkan
senter ke mataku. Kemudian aku
dibawa ke ruang rontgen dan itu
tidak terasa sakit meski aku harus
menahan kepalaku tetap diam.
Petugas rontgen memberitahu aku
cara kerja mesin sinar-X Dan aku
mengajukan beberapa pertanyaan, dan
petugas itu memujiku sebagai anak
yang pintar. Lalu aku kembali ke
bilik kecil tadi, menunggu hasil
rontgenku jadi. Tiba-tiba saja aku
mendengar suara Mum memanggil-
manggil namaku. Sejurus kemudian
dia menghambur masuk ke bilik,
wajahnya kelabu pucat, kedua
pipinya menggelembung sehabis
disuntik di tempat dokter gigi. "Oh, Mandy!" serunya, lalu
langsung meraihku ke dalarn 29
pelukan. Tolol memang, tapi tangisku
kontan pecah lagi, dan Mum
mengayun-ayun badanku seolah aku
masih bayi.
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kubenamkan wajahku ke dada Mum
yang empuk dan kuhirup aroma
tubuhnya yang khas, campuran bau
roti panggang dan bedak tabur. Aku
merasa sangat bersalah karena tadi
mengatakan pada Kim bahwa Mum
bukan ibu kandungku. Tangisku
menjadi-jadi. "Tenanglah, Manis. Aku akan
memanggilkan perawat. Kau harus
diberi obat penghilang rasa sakit.
Kau tidak pernah menangis-nangis
seperti ini, karena selama ini kau
gadis yang pemberani."
"Tidak, jangan pergi, aku tidak
butuh perawat. Tidak terlalu sakit
kok, sungguh. Oh, Mum, kacamataku
patah. Aku benar-benar minta
maaf." Mum sama sekali tidak mempersoalkan kacamataku, walaupun
harganya mahal. "Kita pasti 30
bisa membetulkannya nanti dengan
lem Superglue," kata Mum.
"Seandainya saja kita bisa semudah
itu memperbaiki lenganmu! Aku
yakin lenganmu patah."
Tapi ternyata tidak. Tanganku
hanya terkilir, jadi mereka
membalut dan membuatkan gendongan
untuk tanganku. "Nah. Selesai sudah," kata
perawat sambil melipat ujung-ujung
gendongan dengan rapi. "Jangan melompat- lagi ke bawah bus ya,
Mandy kecil." Aku tersenyum sopan tapi Mum
tampak marah. "Dia tidak melompat, dia
didorong," tukas Mum.
Perawat itu tidak begitu memedulikan ocehan Mum. Dia tetap
pada kesibukannya menggulung
perban-perban. Dia hanya tersenyum, seolah Mum cuma
bercanda. "Tidak lucu," tukas Mum. "Ini
masalah yang serius. Dia bisa
meninggal!" 31
"Mum!" desisku. Kedengarannya
Mum benar-benar marah. Belum
pemah aku mendengamya bicara
sekasar itu pada orang lain.
Mum merangkul pundakku untuk membantuku, tapi lengannya sendiri
gemetar. "Ayo, Mandy" ajaknya, lalu
membawaku keluar dari bilik, dan
kami pun bergegas menyusuri
koridor. Saking cepatnya kami
berjalan, sol sepatu kami sampai
berdecit-decit di lantai yang licin
mengilap. Persis di depan rumah sakit ada
halte bus, tapi Mum lebih memilih
naik taksi. Seingatku, aku baru
dua kali naik taksi sebelum ini.
Kalau saja tidak sedang sangat
khawatir, aku pasti bisa menikmati
perjalanan ini, duduk bersandar di
jok yang empuk, berlagak jadi orang
kaya. "Gadis cilik itu habis
berkelahi, ya?" tanya sopir taksi.
"Anak-anak! Waktu dua anak kami
masih seumur anak Anda, kami 32
bolak-balik membawa mereka ke rumah
sakit. Mereka selalu saja membuat
orangtua kewalahan, ya?"
"Dan waktu sampai di rumah
sakit, aku mendapati anak
perempuanku sendirian, tidak
didampingi siapa-siapa," sergah
Mum sengit. "Sebelumnya ada perawat yang
menemaniku, Mum. Aku tidak
keberatan kok, ditinggal sendirian," kataku. "Mereka bahkan tidak merasa
perlu merawat anakku di rumah sakit
selama satu malam saja, untuk
berjaga-jaga siapa tahu dia
mengalami gegar otak," Mum
mengomel. "Tapi dokter sudah memeriksa dan
menyenter mataku," aku berkata.
"Well, pokoknya begitu sampai di
rumah nanti, aku akan langsung
menelepon Dr Mansfield. Kita
lihat saja nanti bagaimana
pendapatnya," kata Mum.
Sesampainya di rumah, Mum
langsung menyuruhku tiduran 33
meski aku berkali-kali mengatakan
aku tidak apa-apa. Aku memang
harus dibantu membuka baju, karena
dengan sebelah tangan digendong-
apalagi tangan kanan-aku jadi susah
melakukan apa-apa karena tidak
biasa menggunakan tangan kiri.
Mum membuatkan hidangan minum
teh khusus untuk kumakan di tempat
tidur. Semuanya ditata di nampan
hitam terbaik milik Mum, dengan hiasan bunga-bunga poppy merah
jingga. Makananku juga banyak wama
jingganya: bagian dalam telur
rebusku berwama jingga, jeruk
satsuma jingga, juga serabut-
serabut jingga kecil di bolu wortel
buatan Mum, serta segelas jus
jeruk jingga juga. Kukeluarkan Olivia, boneka
orang utanku, dari bawah bantal.
Aku gemar mengoleksi boneka
monyet. Sekarang semuanya
berjumlah dua puluh dua. Beberapa
ada yang sudah sangat tua dan
merupakan koleksi Mum waktu dia
masih kecil. Aku juga punya 34
boneka gorilla yang hampir sebesar
badanku, hadiah Natal dari Daddy.
Aku suka semua bonekaku, tapi
Olivialah favoritku. Besarnya hanya setanganku, badannya sangat
lembut dan bulunya sangat banyak,
berwama jingga terang. Kuletakkan dia di sampingku dan
kusuapi dia sedikit makananku yang
serbajingga. Selesai makan,
kuayun-ayun dia di gendongan
tanganku. "Hati-hati lenganmu!" tegur
Mum. "Gendongan itu dibuat supaya
kau bisa mengistirahatkan lenganmu
di sana. Jangan diguncang-guncang
seperti itu." Lalu Mum duduk di
pinggir tempat tidur, wajahnya
terlihat sangat serius. "Nah,
Sayang, aku ingin kau menceritakan
secara lengkap apa yang terjadi."
Jantungku kontan berdebar keras
di balik gaun tidurku. Kucengkeram
Olivia erat-erat dengan tanganku
yang tidak sakit. Kupandangi
piring-piring kosong di nampan
bergambar bunga-bunga poppy. 35
"Mum kan sudah tahu bagaimana
kejadiannya. Aku lari ke jalan.
Dan ada bus. Maafkan aku, aku
tahu seharusnya aku melihat ke kiri
dan ke kanan dulu sebelum
menyeberang. Aku tidak akan pemah
mengulanginya lagi, sumpah. Mum
jangan marah padaku."
"Aku tidak marah padamu, Mandy"
ujar Mum. "Sekarang, jelaskan
padaku mengapa kau lari ke jalan."
Tapi detik itu juga, bel pintu
berbunyi, memecah konsentrasi kami.
Ternyata yang datang Dr Mansfield, yang baru selesai
praktik malam. Mula-mula sikapnya
ramah sekali, mengagumi Olivia dan
monyet-monyetku yang lain, lalu ia
memuji balutan lengan serta
gendonganku. Katanya, Mum pintar
sekali, bisa membalut dan membuat gendongan sebagus dan serapi itu.
"Yang membuatnya perawat di
rumah sakit," kataku, dan
perkataanku itu membuat Dr
Mansfield kesal bukan main pada
Mum. Katanya, sebenarnya 36
dia tidak perlu lagi memeriksa aku
bila aku sudah diperiksa dan
mendapat perawatan di rumah sakit.
Perutku langsung mulas waktu
mendengar mereka berdua berdebat.
Aku menyusup semakin dalam ke
balik selimut, sambil berharap
dalam hati seandainya saja aku bisa
menyusup ke kolong tempat tidur dan
main gua-guaan dengan monyet-
monyetku. Aku tidak mau keluar
lagi dari balik selimut, bahkan
setelah Dr Mansfield pulang,
karena aku tahu Mum pasti akan mulai bertanya lagi, padahal aku
tidak tahu harus menjawab apa.
Jadi aku pun pura-pura mengantuk
dan bilang mau tidur sebentar.
Mum biasanya senang kalau aku
tidur sebentar, tapi sekarang dia
malah meraba-raba dahiku dan
bertanya apakah kepalaku sakit.
Aku tahu orang yang gegar otak
biasanya merasa mengantuk. Aku
jadi takut kalau-kalau aku memang
gegar otak, karena rasanya kok
kepalaku sakit. Aku jadi 37
takut, begitu pula Mum, meskipun
dia berulang kali berusaha
menghiburku dengan mengatakan aku
baik-baik saja, jadi tidak perlu
khawatir. Sejurus kemudian kami mendengar
suara mobil berhenti di depan
rumah. Itu Dad, baru kembali dari
London. Dia berlari-lari menaiki
tangga begitu mendengar nada suara
Mum yang penuh kecemasan. Aku
jadi pangling melihat Dad bila dia
mengenakan jas kantornya yang
bergaris-garis. Soalnya, biasanya
begitu sampai di rumah, Dad pasti
langsung mandi dan mengganti jasnya
dengan celemek nelayan dan celana
gombrang tua kesukaannya. Ekspresi
wajahnya juga berubah, menjadi
riang gembira. Tapi sekarang, Dad
sampai lupa ganti baju. Dia duduk
di tempat tidur sementara Mum
menceritakan semua yang terjadi.
Mula-mula nada suara Mum tenang,
tapi tak lama kemudian, nada
suaranya berubah, semakin lama
semakin tinggi. Dan ketika 38
sampai pada bagian dia kembali dari
tempat praktik dokter gigi dan
mendapati seorang wanita duduk di
teras rumah, memberitahukan bahwa
aku mengalami kecelakaan, tangisnya
kontan meledak. "Jangan menangis, Mum!" seruku,
ikut-ikutan menangis. "Aku minta
maaf karena telah menyusahkan Mum.
Tapi sekarang aku baik-baik saja
kok. Sakit kepalaku juga pasti
hanya sakit kepala biasa dan
pergelangan tanganku tidak sakit
lagi, jadi tolong, jangan
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menangis." Dad merangkul pundak kami berdua
hingga tangis kami sama-sama
mereda. Lalu Mum pergi untuk
membuatkan kami teh, sambil masih
terisak-isak. Dad memelukku lagi.
"Pokoknya, kau selamat dan
sehat-sehat saja, Sayang. Kau
tidak usah mengkhawatirkan Mum.
Dia cuma sedikit kaget. Pertama,
karena giginya baru saja dicabut,
lalu dia mendapat kabar bahwa kau
tersenggol bus! Kasihan 39
Mum. Kasihan Mandy:"
Dad memegang tangan Olivia dan
mengusapkan telapak tangannya yang
lembut itu ke mataku. Aku sudah
tertawa tergelak-gelak waktu Mum
kembali ke kamar dengan membawa
nampan berisi cangkir-cangkir teh. Tapi berikutnya Mum mulai
bercerita tentang apa yang
dikatakan wanita tadi, bahwa aku
tadi dikejar-kejar tiga anak
perempuan. Sikap duduk Dad
langsung berubah. Dia sekarang
duduk tegak dan sikapnya serius.
Aku langsung tahu sekarang tidak
ada lagi ketawa-ketawa. "Siapa anak-anak perempuan yang
mengejarmu, Mandy?" tanya Dad.
"Tiga anak itu lagi, kan?"
sambung Mum. "Melanie dan si anak
bertubuh jangkung yang jahat itu,
serta anak perempuan kecil yang
berambut keriting. Aku tidak
mengerti bagaimana Melanie bisa
sejahat itu sekarang, padahal dulu
sepertinya dia manis sekali. Aku
juga kenal baik ibunya. Biar 40
kutelepon dia dan-" "Tidak! Tidak, jangan!"
cegahku. "Tentu saja kita harus
membereskan masalah ini," tukas
Mum. "Ibu mereka harus diberitahu
tentang kenakalan anak-anak mereka.
Seharusnya dari dulu kubereskan
masalah ini, sejak mereka pertama
kali mengganggumu. Dan bukan itu
saja, kita juga harus melaporkan
masalah ini ke sekolah dan
memberitahu gurumu-"
"Tidak! Jangan!" teriakku putus
asa. "Sudah, sudah, tenanglah,
Mandy. Hei, tehmu sampai tumpah
semua. Mengapa kau sepanik itu"
Benarkah anak-anak perempuan ini
mengancammu" Apa mereka menyuruhmu
menyimpan rahasia" Kau benar-benar
takut pada mereka?" tanya Dad. "Tentu saja dia takut, gadis
kecilku yang malang. Saking
takutnya, dia sampai lari ke jalan
besar. Ya ampun, ngeri benar aku
membayangkan hal yang mungkin 41
terjadi! Dia bisa terlindas bus
dan-" Air mata Mum merebak lagi.
"Mandy, kau harus menceritakan
pada kami apa yang sebenarnya
dilakukan anak-anak perempuan itu
padamu," bujuk Dad. "Mereka tidak melakukan apa-apa
kok!" bantahku kalang kabut. "Aku
tidak mau Mum dan Dad membesar-
besarkan masalah ini. Dan aku juga
tidak mau Mum mengadu ke ibu-ibu
mereka atau melapor ke sekolah, karena nanti-"
"Karena nanti apa, Sayang?"
sela Dad. "Karena nanti mereka benci
padaku," rengekku. "Jangan tolol, Mandy, bagaimana
mungkin ada yang bisa benci
padamu?" bujuk Mum. "Kau anak
yang baik. Semua guru senang
padamu. Kurasa anak-anak perempuan
itu iri padamu, karena kau selalu
juara dalam setiap pelajaran, dan
juga karena kau jelas sangat
disayang dan diperhatikan
orangtuamu. Aku tahu kok, 42
bagaimana cemasnya ibu Melanie
kalau-kalau perceraiannya
mengganggu perkembangan jiwa
anaknya. Tapi, tetap saja itu
bukan alasan untuk mengganggu anak
lain, apalagi sampai membuatmu
ketakutan setengah mati hingga
kabur ke jalan raya."
"Bukan Melanie yang menggangguku, tapi Kim-" isakku.
"Ah. Kim itu yang mana?" tanya
Dad. "Yang jangkung-yang tampangnya
kelihatan jauh lebih tua daripada
umurnya. Sejak dulu aku sudah
mengira dia jahat. Aku pernah
mendengarnya bicara yang bukan-
bukan di belakang punggungku,"
tukas Mum. "Apa lagi yang
diocehkannya padamu siang tadi,
Mandy?" "Aku-aku tidak ingat."
"Begini, Sayang, penting sekali
bagimu untuk mencoba mengingat-
ingat," bujuk Dad. "Kita harus
membahas tuntas masalah ini hingga
ke akar permasalahannya, 43
meskipun rasanya tidak menyenangkan. Dia memang suka
menakut-nakutimu, bukan, anak yang
bemama Kim ini" Apa dia pemah
memukulmu?" "Tidak!" "Kau yakin tidak pemah, Mandy"
Dia jauh lebih besar daripadamu.
Dan waktu dia mengejarmu tadi, apa
kau yakin dia tidak mendorongmu?"
Mum dan Dad duduk mengapitku,
membuatku merasa terjebak. Aku
tidak bisa ke mana-mana, dan tidak
bisa menghindar dari serbuan
pertanyaan mereka yang bertubi-
tubi. "Aku tahu kau merasa tidak
nyaman, Sayang, tapi kami harus
tahu," kata Dad. "Mengapa kau
lari dari mereka?" "Sudah kubilang, aku tidak
ingat!" teriakku. "Mandy?" Mereka berdua
menatapku dengan pandangan sangat
serius sekaligus sangat sedih.
"Ayolah, Mandy, tidak ada
rahasia di keluarga kita," 44
bujuk Mum. "Kau bisa menceritakan apa saja
pada kami," imbuh Dad.
Tapi aku tidak bisa menceritakan
soal yang satu ini. "Aku benar-benar tidak ingat
lagi," ujarku berkeras.
"Memikirkannya saja membuat
kepalaku sakit. Tolong, bolehkah
aku tidur saja" Please?"
Akhimya mereka menyerah. Aku
berbaring di tempat tidurku setelah
kedua orangtuaku berjingkat-jingkat turun. Padahal hari masih sore.
Waktu tidurku belum lagi tiba.
Aku bahkan belum sedikit pun
merasa mengantuk. Pikiranku terus
tertuju ke Kim, Sarah, dan
Melanie. Dalam hatiku aku
berharap aku bukan Mandy White.
Aku pun mulai mengkhayal. Oke,
sekarang aku bukanlah Mandy White
yang membosankan, ingusan, dan sok
alim itu lagi. Sekarang aku
menjadi''' Miranda Rainbow. Aku
keren. Hidupku penuh wama.
Wajahku dirias aneka warna 45
dan dandananku canggih. Baju-
bajuku superkeren dan seksi.
Kupingku ditindik dan hidungku
dipasangi anting. Aku tidak punya
ibu. Tidak punya ayah. Aku tinggal sendirian di apartemen
modern yang oke. Kadang-kadang
beberapa temanku datang menginap di
apartemenku. Aku punya banyak
teman dan mereka semua memohon
diperbolehkan menjadi sahabatku.
Aku tertidur dengan bayangan
Miranda Rainbow memenuhi isi
kepalaku, tapi kemudian Mum
membangunkan aku untuk memakaikan
selimut, dan sesudahnya, aku tidak
bisa tidur lagi. Mana bisa aku
berhenti menjadi Mandy White di
tengah malam buta seperti ini.
Jadilah aku membolak-balik badan
di tempat tidur dengan gelisah,
sementara jam di bawah terus
berdentang seperempat jam sekali,
cemas memikirkan sekolah besok.
Memikirkan Melanie dan Sarah.
Dan Kim'''. Pagi-pagi sekali Mum 46
membawakan sarapan untukku di
nampan bergambar bunga-bunga poppy.
Dirabanya dahiku dan dipandanginya
wajahku lekat-lekat. "Kelihatannya kau masih sangat
pucat dan di bawah matamu ada
lingkaran hitam. Menurutku ada
baiknya bila hari ini kau istirahat
saja di tempat tidur, untuk
amannya," kata Mum. Sekali ini aku bersyukur punya
ibu yang begitu pencemas dan suka
membesar-besarkan masalah. Jadi
aku tidak perlu menghadapi Kim,
Melanie, dan Sarah hari ini. Aku
bisa tinggal di rumah. Aman dan
tenteram. Mum menelepon ke kantor dan
berpura-pura sakit. "Itu bukan kebohongan, Mandy"
kata Mum dengan sikap tidak enak.
"Gigiku memang masih sakit."
"Tapi Mum kan tetap bisa ke
kantor. Aku tidak apa-apa kok di
rumah sendirian," kataku.
"Aku lebih senang di rumah saja
menemanimu, Sayang," kata 47
Mum. Mum memang tidak begitu menyukai
pekerjaannya. Dia bekerja sebagai
sekretaris direktur di sebuah
perusahaan, tapi direktur
perusahaannya baru saja diganti dan
penggantinya sekarang masih muda.
Mum tidak begitu suka padanya.
Selain dia, masih ada seorang
sekretaris lain yang bekerja pada siang hingga sore hari, tapi Mum
tidak terlalu suka padanya. Dia
juga masih muda. Mum mulai bercerita padaku
tentang mereka dan itu membuatku
bosan, meski aku berusaha
mengangguk-anggukkan kepala
menanggapi ceritanya. Tak lama
kemudian Mum berusaha keras
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bermain denganku, tapi itu sedikit
membosankan. Aku senang waktu dia
turun untuk mulai memasak makan
siang. Aku mencoba mewarnai dengan
spidol-spidolku tapi pergelangan
tanganku sakit sekali sehingga
tidak bisa digerakkan dengan benar.
Saking kesalnya, aku sampai 48
menjungkirbalikkan kaleng tempat menyimpan spidol-spidolku, dan
isinya berhamburan ke mana-mana.
Spidol-spidol dalam aneka warna
pelangi berserakan di karpet. Aku
turun dari tempat tidur, dan sambil
menahan kesal, mulai memunguti
spidol-spidol tersebut satu demi
satu. Beberapa ada yang menggelinding hingga ke bawah
jendela. Aku menghampiri jendela
dan melongok ke luar, meski tidak
benar-benar memusatkan pandangan
pada pemandangan di luar melalui
kacamataku yang sudah direkatkan
menjadi satu. Kulihat ada yang
mendorong kereta bayi di taman di
seberang jalan. Di taman itu memang selalu ada
bayi-bayi. Mrs Williams orangtua
asuh. Tapi yang mendorong kereta
bayi kali ini jelas bukan Mrs Williams. Mrs Williams kan
bertubuh besar dan selalu
mengenakan baju-baju Indian kuno.
Sementara yang ini bertubuh kecil
dan mengejutkan. Mulanya 49
kupikir dia sudah dewasa. Dia
mengenakan celana pendek yang
pendek sekali, atasan pendek yang
membuat pusarnya kelihatan, dan
sepatu sandal bertumit tinggi yang
berbunyi pletak-pletok bila dia
berjalan. Tapi waktu menyipitkan
mata supaya bisa melihat lebih
jelas, barulah kusadari dia temyata
bukan orang dewasa, meskipun
wajahnya mengenakan riasan.
Rambutnya dipangkas pendek dan
jabrik di puncak kepala, wamanya
jingga terang, persis wama bulu
badan Olivia si Orang Utan.
Gadis itu menengadah dan melihatku memandanginya dari balik
jendela. Dia menjulingkan mata dan
menjulurkan lidah, lalu melambaikan
tangan padaku. Seolah kami sudah
kenal. KUNING 50
Saat waktu minum teh tiba, ada
telepon untukku. "Dari cowok!" kata Mum tanpa
suara sambil mengulurkan gagang
telepon padaku. Dengan ngeri kupandangi telepon, seolah benda itu binatang buas.
Kudengar di dalamnya ada suara-
suara yang mengatakan sesuatu.
Hati-hati kutempelkan gagang
telepon ke telinga. "''' ternyata mereka tidak lama
merawatmu di rumah sakit, ya,
Mandy" Apakah ada tulangmu yang
patah" Kau ingat tidak waktu aku
mengalami patah kaki setahun lalu
dan kakiku digips" Semua orang
membubuhkan tanda tangan dan pesan
di sana, bahkan ada yang menulis
puisi segala. Kau ingat puisinya
yang kasar?" Temyata telepon dari Arthur
King. Aku tidak takut padanya.
"Pergelangan tanganku terkilir,
tapi tidak patah, jadi tidak
digips, hanya diberi 51
gendongan. Kau tidak bisa
menulisinya karena gendonganku
terbuat dari kain." "Oh, begitu. Ya sudah.
Maksudku, aku senang sekali kau
tidak apa-apa." "Mmmm." "Yakin kau baik-baik saja" Kau
tidak gegar otak, kan" Sepertinya
kau agak pendiam." "Habis, dari tadi kau ngomong
terus," tukasku. Arthur King mengumandangkan
tawanya yang mirip salakan anjing,
yaaa-yaaa-yaaa, tapi tetap saja dia
terdengar cemas. "Mandy?" "Ya?" "Mmm. Mandy?" ulangnya, tiba-
tiba saja dia tidak bisa berbicara.
"Apa?" "Aku merasa tidak enak
memikirkan sikapku kemarin. Aku hanya berdiam diri di sana, padahal
mereka mengataimu segala macam."
" Well, mereka kan tidak
mengataimu." 52
"Memang tidak, tapi seharusnya
aku menyelamatkanmu."
"Kau apa?" semburku, mendengus
sambil tertawa. Arthur King itu lebih kecil
daripada aku, dan dia selalu
menjadi anak yang terakhir dipilih
untuk menjadi anggota tim dalam
pertandingan-pertandingan apa pun.
"Aku tidak bersikap jantan,"
tambah Arthur. "Kau apa?" ulangku.
"Mandy, jangan terus-menerus
mengucapkan kalimat yang tidak sopan itu," desis Mum, menegurku
dari belakang. "Siapa anak ini?"
"Arthur teman sekelasku di
sekolah," jawabku. "Aku tahu aku teman sekelasmu di
sekolah," sahut Arthur. "Mandy,
kurasa kau benar-benar gegar otak."
"Tehmu sebentar lagi dingin,
Mandy," sela Mum. "Ayolah,
Sayang, tutup teleponnya. Bilang
bye bye." "Sudah dulu ya, Arthur,"
kataku. "Tapi tadi kau 53
bilang apa" Jangkung atau
bagaimana?" "Apa itu?" "Tadi kau bilang kau tidak
bersikap jangkung atau bagaimana.
Kemarin." "Jantan! Seperti ksatria.
Seperti ksatria yang namanya
kupakai, King Arthur. Aku tidak
menyelamatkan gadis yang dalam
kesusahan, bukan" Aku hanya
berdiri di sana, dan aku memang
gemetaran. Ketakutan. Wajahku
pucat pasi. Kuning pucat.
Begitulah aku kemarin."
"Tidak apa-apa, Arthur.
Sungguh. Lagi pula, aku juga sama
pengecutnya denganmu."
"Ya, tapi tidak masalah kalau
kau pengecut, karena kau kan
perempuan." "Dengar, sekarang kan bukan
zaman ksatria lagi. Anak-anak
perempuan zaman sekarang harus bisa
menyelamatkan diri mereka sendiri.
Harus bisa memecahkan persoalan
mereka sendiri." 54
"Tapi mereka bertiga, sementara
kau sendirian. Aku benar-benar
pengecut yang memalukan. Maafkan
aku. Aku benar-benar minta maaf,
Mandy:" "Tidak apa-apa, Arthur," ucapku
sopan. "Aku harus minum teh
sekarang. Sudah dulu ya."
Aku senang Arthur menelepon.
Sebelum ini, tidak ada cowok yang
pernah meneleponku. Rasanya cukup
menyenangkan. Aku merasa enak.
Namun esok paginya, aku berkeras
mengatakan aku benar-benar tidak
enak badan. "Aku merasa tidak sehat, Mum,"
keluhku. "Dan pergelangan tanganku
nyeri" "Oh, Sayang." Mum memandangiku
dengan cemas. Dad sudah berangkat
kerja. Jadi dia tidak bisa
mendiskusikan hal ini dengan siapa
pun. "Tolong, boleh aku tinggal di
rumah saja?" Mum meraba dahiku dan
memandangiku dengan saksama.
"Menurutku badanmu tidak 55
panas. Tapi kau memang masih
terlihat pucat. Dan kurasa tidak
ada gunanya kau pergi ke sekolah
bila tidak bisa menulis. Baiklah
kalau begitu. Lagi pula, sekarang
toh sudah hari Jumat. Tapi hari
Senin nanti, kau benar-benar harus
sekolah, Mandy." Hari Senin rasanya masih lama
sekali. Jadi, untuk saat ini, aku
bisa berusaha melupakan sekolah.
Kuminta Mum masuk kantor saja.
Aku berjanji padanya tidak akan
nakal meski ditinggal sendirian di
rumah. Aku bahkan berjanji tidak akan turun dari tempat tidur,
supaya Mum tahu aku benar-benar
aman. Tapi Mum tidak menggubris
permintaanku. Lagi-lagi dia
menelepon kantornya, minta izin
tidak masuk. "Nakal ya, kita?" ujar Mum.
"Bagaimana kalau kita bikin kue
saja" Memberi kejutan untuk ayahmu
bila dia pulang kantor nanti. Aku
akan membuat lapisan gulanya-rasa
cokelat atau kopi" Kau yang 56
memilih, Sayang. Dan juga bolu
hias" Lalu bagaimana kalau kita
buat kue orang-orangan jahe?"
Aku tidak bisa membantu mengayak
tepung atau mengaduk adonan-tapi
dengan tangan kiriku, aku berhasil
juga menjilati adonan dari dalam
mangkuk. Setelah bolu dan biskuit masuk
oven, memenuhi seluruh penjuru
rumah dengan wangi semerbak yang
menerbitkan air liur, aku
meninggalkan Mum yang sibuk
mencuci piring dan naik ke kamarku
di lantai atas untuk mengambil
buku. Aku memandang ke arah rumah
Mrs Williams. Lagi-Iagi kulihat
kereta bayi di taman dan aku bisa
melihat ada bayi berbaring di
dalamnya, kedua kakinya melambai-
lambai di udara. Tapi tidak tampak
tanda-tanda si anak perempuan
berambut jingga. Sepanjang pagi itu, beberapa
kali aku kembali ke kamarku.
Pernah suatu kali si bayi
menangis, tapi Mrs Williams 57
yang keluar menengoknya. Dia tidak
mendorong kereta itu mengelilingi
taman, dia hanya mendorongnya masuk
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ke rumah. Tapi kemudian, tepat
sebelum waktu makan siang, aku
melihatnya! Anak perempuan itu.
Dia berjalan menyusuri jalan
menuju rumah dengan menenteng dua
tas belanja. Dia mengenakan sepatu
sandalnya yang bertumit tinggi,
jadi cukup sukar baginya mempertahankan keseimbangan. Hari
ini dia mengenakan legging ketat
yang dipadu kaus oblong bergambar
wajah seorang lelaki. Kupikir itu
pasti foto penyanyi rock.
Gadis itu mengenakan Walkman
dan asyik mengangguk-anggukkan
kepala mengikuti irama musik yang
berdentam-dentam di telinganya.
Meski mengenakan sepatu bertumit
tinggi dan menenteng tas belanjaan
yang cukup berat, dia masih bisa
menari-nari lincah. Aku tersenyum-
dan tiba-tiba dia mendongak dan
melihatku. Aku ngumpet di balik 58
gorden dengan jantung berdebar-
debar. Kudengar pintu pagar rumah
Mrs Williams berderit terbuka,
disusul suara pletak-pletok-pletak-
pletok. Aku mengintip dari balik
gorden. Anak perempuan itu masih
menengadah, melihat ke kamarku.
Waktu melihatku muncul dari balik
gorden, dia melambaikan tangannya
lagi. Aku balas melambai, meski aku berusaha melambai dengan
tanganku yang dibungkus gendongan
duluan, lalu menggantinya dengan
tanganku yang sehat, merasa tolol
dan kikuk. Bibir anak perempuan
itu bergerak-gerak, seperti
mengatakan sesuatu. Mulanya kukira
dia bernyanyi mengikuti alunan
musik di Walkmannya, tapi dia
menatap lurus ke arahku. Aku menyipitkan mata di balik
lensa kacamataku, berusaha membaca
gerak bibirnya. Percuma saja. Aku
menggeleng-gelengkan kepala tidak
berdaya. Gadis itu meletakkan
kedua tas belanjanya di jalan
setapak dan membuat gerakan 59
membuka dan mendorong dengan
tangannya. Aku sempat tidak
memahami maksudnya, tapi sejurus
kemudian aku mengerti. Dia ingin
aku membuka jendela. Tapi aku
tidak bisa membukanya karena jendelaku dipasangi kunci khusus.
Jadi, lagi-lagi aku hanya bisa
menggeleng. Gadis itu mendesah dengan sikap
putus asa, alisnya diangkat tinggi,
lalu ia mengambil kedua tas
belanjanya dan mendorong pintu
dengan menggunakan siku. Tubuhnya
kurus sekali hingga aku terkejut
dia tidak kesakitan. Hampir sepanjang siang kuhabiskan dengan duduk melamun di
pinggir jendela, berharap anak
perempuan itu keluar lagi.
"Jangan melamun terus, Mandy,"
tegur Mum. "Aku sudah membuatkan
teh untukmu-dan mari kita coba
seiris bolu manis, oke" Ayolah,
bergembiralah sedikit."
Mum meraih kedua kepanganku dan
mengangkatnya tinggi-tinggi 60
ke udara. Itu berarti aku harus
tersenyum. "Mum, bolehkah aku memotong
rambutku?" "Oh, Sayang, jangan tolol.
Rambutmu bagus sekali."
"Tidak, rambutku jelek. Aku
bosan memanjangkan rambut. Dan aku
tidak mau dikepang lagi. Sekarang
ini tidak ada lagi anak perempuan
yang rambutnya dikepang. Kepangan
membuatmu terlihat tolol. Tidak
bisakah aku memotong pendek
rambutku-sehingga jabrik di puncak
kepala?" "Seperti sarang burung!" tukas
Mum sambil mengunyah bolu.
"Mum, apakah Mrs Williams
punya anak perempuan" Anak
kandung, maksudku, bukan bayi-bayi
asuhannya." Kujilati lapisan gula
di atas boluku. "Jangan makan seperti itu, Sayang. Ya, kurasa dia punya anak
perempuan yang sudah dewasa.
Sekarang dia tinggal di Kanada."
"Tapi gadis yang kulihat 61
tadi belum dewasa." "Gadis yang mana?"
"Gadis yang tinggal di rumah
keluarga Williams. Aku melihatnya
kemarin. Dan hari ini. Dia
membantu menjaga salah seorang bayi
dan pergi berbelanja."
"Kalau begitu mungkin cucunya.
Kira-kira seumur denganmu?"
"Lebih tua." "Bagaimanapun, akan lebih
menyenangkan bila kau punya ternan.
Karena sekarang Melanie sudah
berubah jadi anak yang nakal
sekali." Tubuhku menggigil, ingin benar
rasanya aku memisahkan dunia sekolah yang mengerikan itu dari
duniaku di rumah. "Begini saja, Mandy! Bagaimana
kalau kau mengantarkan sebagian
kue-kue ini kepada Mrs Williams"
Jumlahnya toh terlalu banyak untuk
kita. Dengan begitu, kau bisa
sekaligus berkenalan dengan gadis
tersebut." "Tidak, Mum! Aku tidak 62
mau," tolakku, tiba-tiba saja
merasa sangat malu. "Jangan konyol begitu," tukas
Mum sambil menata kue-kue
buatannya dalam salah satu kotak
Tupperware miliknya. "Nah, sudah!
Sekarang pergilah!" Aku ingin sekali berkenalan
dengan gadis itu, tapi rasanya aku
tidak punya keberanian untuk pergi ke rumah tetangga dan mengetuk
pintunya. Tadi dia memang
tersenyum dan melambaikan tangan
padaku, tapi dia tadi juga sempat
mengernyit sebal. Menurutku, kalau
dia mau, sepertinya dia bisa
bersikap galak. Bahkan lebih galak
daripada Kim. "Aneh benar kau ini," kata Mum
dengan nada sayang. "Bagaimana
kalau kutemani kau ke sana?"
"Aku tidak mau pergi sama
sekali," kataku ngotot, dan
memasang sikap tidak mempan
dibujuk. Akhirnya Mum sendirilah yang
pergi mengunjungi rumah Mrs 63
Williams. Aku menunggu di dapur,
menyibukkan diri dengan membuat
gambar-gambar dari remah-remah
bolu. Lama juga Mum pergi. Dalam
hati aku berharap memiliki
keberanian pergi ke sana sendiri.
Kalau Miranda Rainbow, pasti ia
akan langsung pergi tanpa banyak
cincong lagi. Mengapa sih aku
harus selalu jadi pengecut"
Pengecut, lembek, penakut. Itulah
julukan yang mereka berikan padaku
di sekolah. Selain itu masih ada
lagi julukan Bayi. Dan Polly si
Ekor Babi. Lalu Mata Empat.
Dan Cewek Sombong. Kim selalu
menciptakan julukan dan permainan
baru yang aneh-aneh. Apa yang akan dilakukannya
padaku hari Senin nanti"
Kumasukkan sepotong bolu manis
lagi ke mulut meski perutku mulai
terasa mual. Lalu aku mendengar
bunyi pintu depan dibuka. Mum
sudah pulang, wajahnya kemerah-
merahan. "Wah, wah, agak canggung 64
juga suasananya tadi," kata Mum.
"Mandy! Dasar anak tolol, kenapa
kau tidak menceritakan padaku
bagaimana penampilan si Tanya."
Tanya! Nama yang eksotis dan
sangat tidak biasa. Sama bagusnya
dengan nama Miranda. Tidak, lebih
bagus, malah. Nama yang benar-
benar cocok untuknya. "Tanya," kuucapkan nama itu
dengan nada mengkhayal. "Tahukah kau, dia memanggil Mrs
Williams 'Pat' saja-dia bahkan
tidak merasa perlu menyebutnya
Aunty Pat. Walaupun, memang,
mereka tidak memiliki hubungan
keluarga," cerita Mum. "Dia juga anak asuh. Karena ada masalah di
tempat penampungannya sebelum ini,
dia dipindahkan ke sini. Karena
katanya dia pintar mengurus anak,
maka Mrs Williams bersedia
menampungnya selama beberapa
minggu. Menurut Mrs Williams,
meskipun bermasalah, ternyata anak
itu cukup banyak membantu. Tapi,
ya ampun, coba kau lihat 65
bagaimana penampilannya!"
"Menurutku dia cantik," ujarku.
"Oh, Mandy," tukas Mum, lalu
dia tertawa padaku. "Walaupun
begitu, sepertinya dia sangat suka
padamu karena bertanya-tanya terus tentang kau. Dan dia ingin
mengajakmu main ke sana, tapi
kubilang kau masih kurang sehat
setelah mengalami kecelakaan parah,
jadi kau harus banyak istirahat."
" Mum!" "Tapi tadi kan kau sendiri yang
bilang tidak mau ke sana. Kau
ngotot tidak mau!" "Memang, tapi-bila dia memang
menginginkan aku ke sana**"
"Well, aku lebih suka kau tidak
main ke sana. Anak seperti itu!
Kalian berdua tidak memiliki
persamaan apa-apa. Lagi pula, dia
jauh lebih tua daripada kau.
Kusangka paling tidak umumya enam
belas tahun, tapi temyata dia baru
berumur empat belas tahun, percaya
tidak" Coba saja kaulihat sepatu
bertumit tinggi yang 66
dipakainya ! Mudah-mudahan saja
Mrs Williams menyadari kesulitan
yang bakal dihadapinya karena
mengasuh anak itu." Mum berdecak-
decak. Kuremas hingga hancur sisa bolu
di tanganku, dalam hati berharap
tadi aku yang pergi ke rumah
keluarga Williams. Tanya pasti
menganggapku bayi cengeng, setelah
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mendengar perkataan Mum mengenai
diriku tadi. Yah, aku memang bayi
cengeng. Mana mau Tanya berteman
dengan anak aneh seperti aku.
Tapi, tidak sampai satu jam
kemudian, aku mendengar bunyi pintu
diketuk. Ketukannya berirama, tok-
terotok-tok-tok- tok. "Kira-kira siapa yang datang
itu, ya?" tanya Mum keheranan
sambil berdiri dari kursinya.
Tapi aku sudah tahu! "Halo!" sapa Tanya begitu Mum membukakan pintu. Dia menjilat
bibir seperti menjilat remah-remah
kue. "Terima kasih untuk kiriman
kuenya, enak sekali." 67
Diulurkannya piring yang sudah
kosong. "Kau belum menghabiskan
semuanya, kan?" tanya Mum,
terkejut. "Tentu saja sudah," jawab
Tanya. " Well, Simon dan
Charlie hanya menjilat lapisan
gula di kue bagian mereka.
Sementara si bayi belum bisa makan
kue karena belum punya gigi, dan si
tua Pat yang malang tak bisa
memakan kuenya karena harus
berdiet. Jadi, akulah yang
beruntung, bukan?" Dia menepuk-
nepuk perutnya yang datar sambil
mengedipkan mata. Matanya tidak
lagi tertuju pada Mum, tapi
padaku. "Kau Mandy, kan?" tanyanya.
Aku mengangguk. "Kalau begitu, ayo kita
ngobrol," ajaknya, dan tanpa
permisi lagi langsung melangkah
masuk ke rumah, lengkap dengan
sepatu tumit tingginya, dan dengan
sigap melewati pinggul Mum 68
yang besar. "Well, menurutku sekarang Mandy
harus istirahat," sergah Mum
dengan nada sok memerintah.
"Mungkin lain kali." Setiap kali
Mum memperdengarkan nada suara
seperti itu, perutku kontan melilit
dan aku langsung menurut, melakukan
apa saja yang diperintahkannya.
Tanya hanya tertawa. Bukan tawa
yang kurang ajar. Tawanya riang
dan ceria, membuat orang yang
mendengarnya ingin tersenyum.
Bahkan Mum sekalipun. "Tapi dia sudah beristirahat,
bukan begitu, Mandy" Kau ingin
aku datang dan bermain bersamamu,
kan?" Tanya berbicara padaku seolah
aku jauh lebih muda darinya, seakan
dia berbicara pada salah satu anak
balita asuhan Mrs Williams. Tapi
aku tidak peduli. Aku mengangguk, masih tidak
sanggup bicara. Saat itu Tanya berdiri di ruang
depan, persis di sebelahku. 69
Dia mengujurkan tangan dan
menyentuh lenganku. Kuku-kuku
jarinya dicat dengan wama ungu
meskipun kuku jarinya digigiti
sampai habis hingga ujung-ujung
jarinya membengkak. Namun entah
bagaimana, tetap saja itu terlihat
asyik di mataku. "Kita ke kamar tidurmu yuk,"
ajak Tanya sambil mendorongku
pelan. Dengan patuh aku mulai berjalan
menaiki tangga, diikuti Tanya yang
berjalan sambil mengetuk-ngetukkan
jari ke pegangan tangga. Mum
bengong di ruang depan yang
pintunya masih terbuka lebar
meskipun jelas Tanya belum berniat
pulang. "Well, kalau begitu sebentar
saja," Mum mengizinkan dengan
enggan. Mum masih diam dengan sikap
gelisah. Aku takut dia ikut ke
atas. Aku sengaja tidak mau
menoleh padanya, dan begitu Tanya
dan aku sampai di kamarku, 70
aku langsung menutup pintunya.
"Wow!" seru Tanya sambil
memandang berkeliling. Aku mengerjapkan mata. Kedengarannya Tanya sangat
menyukai kamarku. Padahal sebelum
ini Melanie selalu menganggap
kamarku jelek. "Ya ampun, semuanya serba pink,
cantik, dan manis khas kamar
cewek," ujar Tanya sambil
menendang sepatu sandalnya hingga
terlepas lalu langsung melompat ke
permadani buluku yang berwarna
putih. Dia menggerak-gerakkan jari
kakinya. "Sejak dulu aku ingin
sekali punya permadani yang seperti
ini. Bagaimana kau bisa membuatnya
tetap sebersih ini, ha" Oh, dan
aku suka sekali tempat tidurmu!"
Tanya berlari dan melompat ke atas
kasur, memantul-mantul dengan
gembira di atas penutup tempat
tidur berumbai-rumbai wama pink,
lalu membaringkan diri di atasnya.
Rambutnya tampak cemerlang di atas
bantalku yang berjumbai- 71
jumbai. "Mmm, baunya juga bersih
sekali," pujinya sambil meraih
bantal itu dan mengendus-endusnya
dengan sikap kagum. Olivia, yang
sedari tadi bertengger di bantalku,
langsung terjatuh. "Halo" Ini siapa, ya?"
Aku menelan ludah dengan susah
payah. "Aku mengoleksi boneka monyet," kataku serak sambil melambaikan
tangan ke rak yang penuh monyet
koleksiku. Semuanya diletakkan
dengan rapi, kedua tangan terlipat,
dan ekor bergelung menjuntai dari
rak. Semua koleksiku dipajang di
sana, kecuali Gertrude si Gorila,
yang tidak punya ekor dan badannya
sangat besar sehingga tidak muat
diletakkan di rak. Gertrude duduk
di sebelah rak, kedua lengannya
terjulur ke depan, seolah hendak
menyatakan betapa sayangnya dia
padaku. Tanya menjatuhkan diri dari
ranjang, langsung kepelukan
Gertrude yang berbulu lebat, 72
mendudukinya seperti kursi.
"Gorila jantan ini menggelitikiku," kata Tanya.
Aku memutuskan untuk tidak
repot-repot menjelaskan pada Tanya
bahwa Gertrude sebenamya betina.
Aku sudah cukup pusing melihat
Tanya melesat kian kemari
mengelilingi kamarku. Dengan sikap
malu-malu aku duduk di pinggir
tempat tidur, seolah akulah yang
tamu di sini, bukan dia. Tanya masih memegangi Olivia.
"Aku paling suka boneka yang
ini," katanya. "Aku juga paling suka padanya,"
sambutku gembira. "Namanya
Olivia." Detik berikutnya wajahku
memerah, takut Tanya menganggapku
tolol karena memberi nama boneka-
boneka monyetku. "Halo, Olivia. Wah, keren
betul namamu ya?" sapa Tanya. Dia
mengangguk-anggukkan kepala
Olivia. "Oooh ya, itu memang
benar," ucapnya, pura-pura menjadi
Olivia. Suara Olivia tidak 73
seperti itu, tapi itu bukan
masalah. "Warna bulunya sama dengan warna
rambutku!" seru Tanya, lalu
mengernyitkan muka, berlagak
seperti monyet. "Kau menyukai wama
ini, eh, Mandy?" "Menurutku itu wama yang
cantik." "Tentu saja, ini bukan warna
rambutku yang asli. Sebenamya
warna aslinya kelabu. Tapi itu
warna yang membosankan, kan?"
"Oh, ya." "Kupikir, mungkin kapan-kapan
aku akan mencoba warna hitam.
Sesekali bergaya Gothic seperti
tukang sihir. Bagaimana menurutmu?" Aku tidak tahu harus menjawab
apa. Aku masih takjub dia meminta
pendapatku. Sampai sekarang aku
belum percaya dia sungguh-sungguh
berada di kamarku, mengobrol
denganku. "Atau aku bisa mengecat rambutku
dengan warna pirang, seperti 74
rambutmu," lanjut Tanya lagi.
"Rambutmu bagus."
"Benarkah?" tanyaku terkejut.
"Rambut adik perempuanku juga
panjang. Sama seperti rambutmu.
Kau mirip dia. Waktu pertama kali
melihatmu, aku bahkan mengira kau
itu dia. Sinting, kan?"
Aku tersenyum gugup. "Dulu aku selalu menyisir rambut
Carmel setiap hari. Aku pintar
menata rambut panjang. Aku bisa saja menatakan rambutmu, kalau kau
mau." "Memangnya kau mau?"
"Tentu," jawab Tanya.
Tanya mendudukkan aku di depan
meja rias dan mengurai jalinan
kepang-kepangku. Dia menyikat
rambutku dengan hati-hati, tidak
menyentak-nyentak seperti Mum.
"Halus sekali, kan, caraku
menyikat rambut?" tanya Tanya.
"Itu karena Carmel menjerit-jerit
bila aku menyikat rambutnya yang
kusut kuat-kuat. Dan dia tidak mau
diam bila disisiri. Kau jauh 75
lebih beradab daripada Carmel"
"Apa Carmel juga tinggal di rumah Mrs Williams?" tanyaku.
Tanya terdiam. Wajahnya berkerut-kerut. Aku ketakutan.
Sejurus kemudian dia meneruskan
kesibukannya menyikat rambutku,
tapi tidak menjawab pertanyaanku
tadi. Aku tidak berani bertanya
lagi. Tanya menaikkan rambutku ke atas
dan memilinnya dengan jari-jari
tangan, lalu dengan cekatan
menyimpulkannya menjadi sanggul
kecil di puncak kepala. Dia
mengencangkan sanggul itu dengan
karet gelang yang diambilnya dari
kepanganku tadi.
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Suka tidak?" tanyanya.
"Oh, wow!" seruku kagum.
"Dan kita bisa memperhalus
bagian depan ini," kata Tanya
sambil menjuntaikan sedikit anak
rambut di dahi dan membuat ikalan-
ikalan kecil di telinga. "Yeah?"
"Yeah!" seruku, berusaha
mengucapkannya persis seperti 76
Tanya. Aku terlihat sangat berbeda.
Dewasa. Hampir persis seperti
bayanganku tentang Miranda
Rainbow. "Punya hair spray?" tanya
Tanya. Aku menggeleng. "Kau membutuhkan hair spray,
supaya tatanan rambutmu tidak
berubah. Dan kau bisa memakai
berbagai jenis jepit dan ikat
rambut bila ingin menata rambutmu
dengan gaya seperti ini. Carmel
dulu punya banyak sekali hiasan
rambut." Tanya terdiam sejenak. "Aku
juga sering menata rambut adik-adik
lelakiku, memangkasnya sebulan
sekali dan sebagainya. Pokoknya,
aku membuat mereka selalu terlihat
rapi. Aku punya dua adik lelaki,
Sean dan Matty. Dan Carmelku.
Aku mengurus mereka seperti ibu.
Itulah sebabnya mereka mencoba
menempatkan aku di rumah Pat.
Soalnya aku pandai mengurus 77
anak kecil. Tapi sebenarnya aku
berharap yang ada di rumahnya anak-
anak perempuan. Huh! Tapi yang
ada di tempat Pat hanyalah si
kecil Simon dan si nakal Charlie,
serta si bayi Ricky. Mereka semua
gemar berteriak-teriak, membuat
berantakan dan kotor, serta berbuat
yang tidak tidak. Aku sebal pada
cowok-cowok kecil. Juga cowok-
cowok besar. Tiga minggu yang lalu
aku putus dengan pacarku. Dan
tahukah kau, itu yang terbaik,
karena dia babi." Tanya bukan hanya mengatai cowok
itu babi, tapi dia juga memaki.
Aku merasa pipiku memerah dan
kuharap dia tidak memperhatikannya.
Aku juga lega sekali karena tadi
sempat menutup pintu kamar, jadi
Mum tidak bisa mendengar.
"Yeah, semua cowok cuma bikin
kesal saja," ujar Tanya. "Itulah
sebabnya mengapa aku memilih
berteman dengan gadis kecil saja."
Dia tersenyum manis padaku.
Kubalas senyumnya, meski 78
dengan gelisah. "Sebenarnya aku bukan gadis
kecil lagi," protesku. "Umurku
sudah sepuluh tahun."
Tanya mengerjapkan mata tidak
pereaya. "Ah, yang benar" Kukira
kau baru berumur delapan tahun.
Habis, badanmu mungil sekali sih!"
Pipiku semakin merah. "Tapi aku juga mungil kok. Bila
tanpa sepatu bertumit tinggi," kata
Tanya. Dia melihatku memandangi
sepatunya dengan tatapan kagum.
"Kau boleh mencobanya kalau mau."
''Benar boleh?" Kutendang
sandal kamarku hingga terlepas dan
kumasukkan kakiku di sela tali-tali
sepatu yang terbuat dari bahan
suede. Kelihatannya keren.
Tiba-tiba saja pintu kamar
terbuka dan, saking kagetnya,
sebelah sepatu terlepas dari
kakiku. "Mandy! Hati-hati, nanti
pergelangan kakimu terkilir," tegur
Mum yang masuk ke kamar sambil
menating nampan. Keningnya 79
berkerut. "Tidak sopan mencoba
sepatu orang lain," dia
memperingatkan. Kulepas sepatu sandal yang
sebelah lagi sambil mendesah kesal.
"Kauapakan rambutmu?" tanya
Mum. "Tanya yang menatanya.
Menurutku, kelihatannya bagus
sekali," kataku. "Hm," ucap Mum sambil
meletakkan nampan di meja samping
tempat tidur. Dia berpaling pada
Tanya. "Kupikir kau mungkin mau
minum dan makan sedikit camilan. Sebelum kau pulang," imbuhnya.
"Meski mungkin perutmu masih
kenyang setelah makan begitu banyak
kue tadi." "Ooh, tidak. Aku selalu
kelaparan-meskipun aku tetap saja
kurus kering," kata Tanya. "Itu
Coca-Cola, ya?" "Bukan, ini Ribena," jawab
Mum. "Dan sedikit kue laki-laki
jahe. Buatan sendiri."
"Orang-orangan jahe," 80
Tanya mengoreksi. "Di tempat
penampunganku dulu, kami juga
pernah membuat kue seperti ini, dan
rasanya tidak tepat bila kita
menyebutnya kue laki-laki jahe,
karena wanita kan juga mengenakan
celana panjang." Diambilnya sepotong kue orang-orangan jahe dan
diamatinya dengan saksama. "Ayo
kita buat kue yang satu ini jadi
kue perempuan, eh, Mandy?"
Digigitinya ujung-ujung kaki kue
orang-orangan itu dengan gigi-
giginya yang kecil dan tajam.
"Nah, sudah! Sekarang dia
mengenakan legging" Tanya tertawa,
begitu juga aku. Aku ikut-ikutan
mengambil sepotong kue orang-
orangan, meski sesungguhnya aku
tidak begitu lapar saking senangnya
punya teman baru. Kugigiti kaki
kue orang-orangan tersebut.
"Nih, punyaku sekarang juga
perempuan!" seruku, remah-remah kue
berhamburan dari mulutku.
"Jangan bicara dengan mulut
penuh, Mandy," tegur Mum 81 lagi. Dia berjalan menghampiri
tempat tidurku, membenahi penutup
tempat tidur dan bantalnya.
Sepertinya Mum berniat duduk di
sana. "Mum boleh pergi sekarang," aku
buru-buru mencegah. Mum tampak kaget sekaligus sakit
hati, tapi dia tidak berkata apa-
apa. Mum pergi. Jantungku mulai
berdebar-debar, takut aku menyakiti
hatinya, tapi aku tidak bisa
berlama-lama mengkhawatirkan hal
itu. Tidak sekarang. Karena ada
Tanya di sini. Tanya menghirup Ribena-nya.
"Lipstik baru, eh, Mandy?" ujamya
sambil mengecap-ngecapkan bibirnya
yang kini berwarna ungu. "Wah, jadi
serasi dengan wama kukuku."
Lalu Tanya memakan kue jahenya
dan pura-pura menyuapi Olivia dan
Gertrude, bercanda dan melucu
seolah aku masih bayi. Tapi itu
bukan masalah. Tidak ada lagi
masalah yang berarti di dunia 82
ini karena sekarang aku berteman
dengan Tanya. Dia pura-pura menyuapi foto
cowok yang tercetak di kausnya.
"ini, Kurt, makanlah sedikit,"
katanya. "Siapa?" "Memangnya kau tidak tahu siapa
Kurt?" Tanya memutar bola matanya
dan mendesah. Dengan takzim
diusap-usapnya rambut si cowok yang
acak -acakan. "Dia penyanyi rock
yang paling hebat, dan aku cinta
berat padanya." "Katamu tadi semua cowok cuma
bikin kesal?" tanyaku berani.
Tanya menyenggolku pelan.
"Sekarang kau tidak malu-malu
lagi ya" Dan omong-omong, Nona Sok Pintar, dia ini bukan cowok."
"Well, kalau begitu laki-laki."
"Laki-laki juga bukan. Dia
sudah jadi malaikat, karena dia
sudah mati. Atau sudah jadi
setan." "Dia sudah mati?" tanyaku
terkejut, karena kelihatannya 83
laki-laki itu masih muda.
"Mati bunuh diri," jawab Tanya.
Dia bangkit dari pelukan Gertrude
dan berjalan mengelilingi kamar,
membuka laci-laci lemari mainanku.
Aku sama sekali tidak keberatan
dia mengobrak-abrik barang-barang
pribadiku. Sesaat kemudian dia
mengeluarkan wadah kaleng besar
berisi spidol wama-warni. "Wow! Spidol-spidol ini masih
bisa digunakan?" "Ya." "Kalau begitu, ayo kita
menggambar, eh" Aku suka sekali
mewarnai." Aku mengambil beberapa lembar
kertas gambar. Kukeluarkan
tanganku dari gendongan dan
kukibas-kibaskan jari-jariku. Ya,
sepertinya aku bisa menggambar.
Pergelangan tanganku sakit, tapi
aku tidak peduli. Biasanya aku
menggambar di meja, tapi Tanya
menelungkup di karpet dan mengalasi
kertas gambamya dengan salah satu
bukuku. Aku menirunya. 84
"Ibuku juga mati bunuh diri,"
cerita Tanya. Dia mengatakannya
dengan nada yang biasa-biasa saja sehingga aku sempat meragukan
pendengaranku sendiri. Kupandangi
dia. Tanya tahu aku sangat
terguncang mendengamya. "Dia gantung diri," kata Tanya,
mengira aku tidak mengerti apa
artinya bunuh diri. "Sangat ''' mengerikan" gumamku.
"Well, ibuku memang rada
sinting," kata Tanya. "Tidak apa-
apa, kejadiannya sudah lama sekali.
Waktu itu aku masih kecil.
Walaupun begitu, aku masih bisa
mengingat rupanya. Bagaimana kalau
aku menggambar ibuku saja?"
Tanya menggambar wanita cantik
bergaun ungu panjang, lengkap
dengan sepasang sayap berwarna
ungu, dengan bulu-bulu hijau dan
biru seperti rumbai-rumbai.
Aku tidak tahu harus menggambar
apa. Yang jelas aku tidak ingin
menggambar ibuku.
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Gambar aku," pinta 85
Tanya. Jadilah aku menggambamya,
sehati-hati dan secermat mungkin,
berusaha keras membuat wajah yang
cantik. Kubuat rambutnya yang
berwarna jingga, juga senyumnya yang
lebar, serta kuku-kukunya yang
dicat ungu. Aku juga menggambar
setiap tali di sepatu sandalnya.
Aku bahkan tidak lupa membuat
gambar Kurt di kausnya. "Bagus," puji Tanya. "Oke,
sekarang aku akan menggambarmu."
Dia membuat gambar gadis kecil
yang lucu dan tembam, dengan rambut
panjang lebat berwarna kuning. Aku
tidak yakin harus merasa senang atau tidak. Tanya melihatku ragu-
ragu, jadi dia membuat gambar
sepatu sandal bertumit tinggi yang
istimewa untukku. Lalu dia membuat
gambar rumput berwarna hijau di
bawah gambarku. Tumit sepatuku
tidak menyentuh rumput, jadi aku
terlihat seperti menari-nari
gembira. Berikutnya, dia membuat
gambar langit biru di bagian 86
atas kertas, lalu di bawahnya,
tepat di atas kepalaku, dia
menggambar matahari kuning dengan
sinar matahari di sekelilingnya.
Kemudian dia menuliskan judul di
bagian atas kertas. Tulisannya
sedikit miring dan aku tahu ada
ejaan yang salah, tapi itu sama
sekali bukan masalah. TEMENKU MANDY. Itulah yang
ditulisnya. Dan aku merasa sangat
bahagia, seakan ada matahari
sungguhan bersinar tepat di atas
kepalaku dan aku menari-nari di
bawah sinarnya yang hangat.
HIJAU 87
Mau tidak mau, aku harus berangkat ke sekolah pada hari
Senin. Mum mengantarkan aku. Dia mengenakan setelan jas biru tuanya
yang terbaik, meski setelan itu
sekarang terlalu kecil untuknya.
Setelan itu bercorak garis-garis
kecil. Di dahi Mum juga terlihat
garis-garis kecil melintang. Mum
mengerutkan kening seperti itu
hanya bila sangat marah. "Oh, Mum, kumohon, berjanjilah
padaku Mum tidak akan mengatakan
apa-apa," pintaku. Hampir saja aku pingsan waktu
kami berbelok di sudut jalan dan
bertemu Melanie serta ibunya.
Wajah Melanie kontan merah padam
begitu melihatku. Dia terlihat
seperti mau menangis. Ibu Melanie langsung mengobrol
dengan ibuku tentang cuaca, rencana
liburan, dan topik-topik obrolan
khas orang dewasa lainnya. Melanie
dan aku berjalan tersaruk-saruk di
belakang mereka, berusaha 88
keras tidak saling memandang. Lalu
aku mendengar Melanie menarik
napas pelan. "Kusangka kau meninggal,"
bisiknya. Aku hanya mengedipkan mata.
"Waktu kau tidak masuk sekolah
keesokan harinya. Apalagi Arthur
bilang kau dibawa ke rumah sakit
dengan menggunakan ambulans. Tapi
kau tidak apa-apa sekarang?"
"Hanya pergelangan tanganku yang
terkilir." Kuulurkan lenganku,
meski tidak ada yang bisa
kutunjukkan. Aku tidak membutuhkan
gendongan lagi. "Oh, Mandy:" Melanie menghela
napas dalam, mengacak-acak poninya yang ikal. "Asal tahu saja, Kim
pun sempat panik." Aku terkikik-kikik gugup.
"Mandy'''" Melanie bersusah
payah mencari katakata yang tepat.
"Well, aku senang kau baik-baik
saja." Aku mengangguk, tahu bahwa
sebenamya banyak sekali yang 89
ingin dikatakan Melanie padaku
tapi tidak bisa. Aku merasa
seperti diembus tiupan napas yang
sangat besar, membuat tubuhku
terasa ringan dan melayang. Aku
baik-baik saja. Melanie gembira
aku baik-baik saja. Sepertinya
segala sesuatu akan beres kembali
sekarang. Namun saat kami hampir sampai di
sekolah, Melanie menjauh dariku
dan berdiam diri. Sadarlah aku
bahwa itu pasti dilakukannya untuk
berjaga-jaga seandainya Kim
melihat kami. Dan kemudian, di
gerbang sekolah, Mum tiba-tiba
berhenti berbicara dengan ibu
Melanie dan berpaling pada
Melanie, memandanginya lekat-
lekat. "Sayang sekarang kau tidak
berteman lagi dengan Mandy," kata
Mum. Wajah Melanie kembali memerah.
Ibu Melanie juga tampak malu.
"Ya, aku tidak mengerti mengapa
mereka berselisih paham. 90
Yah, namanya juga anak-anak," kata ibu Melanie dengan sikap tidak
enak. "Yang terjadi di antara mereka
lebih daripada sekadar perselisihan
kecil," bantah Mum. "Aku tidak
terlalu menyalahkan anakmu
Melanie. Biang keladinya anak
perempuan itu. Kim."
"Ya, aku tidak mengerti mengapa
Melanie bisa begitu akrab
dengannya. Aku juga tidak habis
pikir mengapa mereka semua tidak
bisa berteman saja. Tapi kupikir
mereka pasti bisa menyelesaikan
masalah ini sendiri," ujar ibu
Melanie. "Aku akan memastikan masalah ini
dibereskan," tegas Mum, lalu
bergegas memasuki gerbang sekolah
dan melintasi arena bermain.
Aku langsung mengejarnya.
"Mum! Mum mau ke mana" Mum mau
melakukan apa?" "Aku akan bicara sebentar dengan
Mrs Edwards," jawab Mum.
Rasanya aku mau pingsan 91
mendengamya. Mrs Edwards kepala
sekolah. "Mum, Mum tidak boleh
melaporkan masalah ini pada Mrs
Edwards," cegahku, suaraku
melengking saking kagetnya.
"Mereka semua pasti akan
membenciku dan mengira aku tukang
ngadu." "Jangan konyol, Sayang," tukas
Mum. "Kau sama sekali tidak perlu
terlibat. Sekarang masuklah ke
kelasmu sana dan lupakan semua
masalah ini. Aku hanya ingin
memberitahu Mrs Edwards masalah
yang terjadi di sekolahnya."
"Tapi Mum tidak mengerti, Mum
tidak bisa**" aku meratap-ratap.
Tentu saja Mum bisa. Tidak
mungkin aku dapat menghentikannya. Tersaruk-saruk aku masuk ke
kelas Mrs Stanley. Kim ada di
sana, berdiri di depan. Sepertinya
dia tumbuh semakin tinggi.
Sementara aku sepertinya semakin
menyusut. Melanie mengoceh ribut
di telinganya sambil 92
menunjuk-nunjuk aku. Sarah juga
ada di sana, mendengarkan sambil
menggigit bibir. Sempat kudengar
dia menyebut nama Mandy. Juga
menyebut-nyebut kata Mum.
"Begitu ya," ujar Kim, 1;alu
berkacak pinggang dan berbalik
menghadapiku. Tapi detik itu juga Mrs Stanley menghambur masuk ke kelas
sambil menjinjing keranjang yang
penuh bunga mawar, lalu mulai bercerita dengan riang gembira
tentang pengalamannya berakhir
pekan di daerah pedesaan. Lalu
Mrs Stanley menugasi aku mengisi
vas-vas dengan air untuk bunga-
bunga tersebut. Sambil melaksanakan tugas, dalam hati aku
berharap bisa seharian penuh
mengurung diri di ruang mantel,
mengisikan air ke dalam vas-vas
yang jumlahnya cukup banyak untuk
menampung satu ladang bunga. Tapi
aku harus kembali ke kelas untuk
menata bunga-bunga itu ke dalam
vas-vas ini, lalu diabsen, 93
dan menyiapkan buku-buku untuk
mengikuti mata pelajaran matematika. Selama melakukan itu
semua, mataku selalu melirik
jendela untuk melihat apakah Mum
sudah selesai menghadap Mrs
Edwards atau belum. Pelajaran telah berlangsung
separo jalan waktu akhirnya aku
melihat Mum berjalan menyeberangi
arena bermain, tampak kepanasan dan
tidak nyaman dalam balutan setelan
jasnya yang ketat. Roknya
terangkat ke atas, sehingga
lututnya yang gemuk kelihatan
jelas. Roknya yang terlalu ketat
membuat gaya berjalannya terlihat
megal-megol. Kulihat Kim menggoyang-goyang pundak, menirukan
gaya Mum berjalan. Seseorang
tertawa. Aku membungkuk rendah di atas
buku matematikaku dan berpura-pura
mengerjakan soal, padahal berbagai
angka yang tertera di bukuku
terlihat goyah dan kedua tanganku
basah, merusak hasil hitungan 94
yang kubuat. Aku berharap semua berakhir
sekarang. Tapi ternyata belum.
Ternyata ini baru permulaan.
Tiba-tiba saja salah seorang
pengawas Mrs Edwards datang ke
kelas kami. "Permisi, Mrs Stanley, tapi
Mrs Edwards memanggil Kim
Matthews, Melanie Holder, dan
Sarah Newman untuk datang
menghadap ke kantomya sekarang
juga." Pengawas itu menyampaikan
hal tersebut dengan suara keras,
supaya semua orang bisa mendengar.
Semua kepala berpaling ke arah
Kim, Melanie, dan Sarah. Sarah
mulai menggigiti bibirnya dengan
ganas sampai mulutnya miring.
Melanie terlihat seperti es krim,
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
putih pucat dan basah. Hanya Kim
yang tetap terlihat tenang, meski
kedua pipinya tampak sedikit lebih
memerah daripada biasanya. Dan
matanya tampak lebih cemerlang.
Ditatapnya aku. Aku memahami arti 95
tatapannya. Dia benar-benar akan menghajarku
sekarang. Aku membungkuk semakin dalam di
atas buku matematika, mencengkeram
apa saja yang bisa kucengkeram.
Aku berdiam diri dalam posisi itu
selama beberapa waktu, lama setelah
mereka meninggalkan kelas. Mendadak aku merasa ada tangan
di bahuku. Aku terlonjak kaget.
"Ada apa, Mandy?" tanya Mrs
Stanley. Aku menggelengkan kepalaku kuat-
kuat, berusaha berpura-pura semua
beres. "Mengapa kau duduk membungkuk
seperti itu, Sayang" Kau sakit
perut?" Aku mengangguk. Mrs Stanley membungkuk semakin
dekat. "Kau perlu pergi ke
belakang?" Lagi-lagi aku mengangguk.
"Well, mengapa tidak bilang dari
tadi, anak bodoh?" tegur Mrs
Stanley. "Astaga. Kau kan 96
bukan bayi lagi, Mandy. Cepat,
pergi sana." Aku cepat-cepat kabur dan
mengurung diri di dalam toilet yang
lembap, menangis, sambil dalam hati
berharap aku benar-benar masih
bayi. Bayi kecil yang tidak
berdaya, yang tidak perlu pergi ke
sekolah. Salah satu bayi Mrs
Williams yang diletakkan di kereta
dorong. Dan dengan begitu, aku
masih bisa bermain-main dengan
Tanya. Entah berapa lama aku duduk di
dalam bilik toilet. Kubaca semua
coretan bernada kasar yang
terpampang di dinding toilet,
sebagian bahkan jauh, jauh lebih
kasar daripada sajak apa pun yang
pernah ditulis di plester gips
Arthur. Sejurus kemudian kudengar
seseorang masuk ke toilet, berseru-
seru memanggil namaku. "Mandy White, kau ada di dalam
sini?" Aku meringkuk di balik pintu,
berharap orang itu pergi. 97
"Apakah kau ada di dalam sana,
Mandy" Karena kata Mrs Stanley,
kalau kau kurang sehat, sebaiknya
kau pergi saja ke kantor. Tapi
seandainya tidak, kau tetap harus
ke sana, karena Mrs Edwards
memanggilmu." Tidak ada gunanya bersembunyi di
sini. Aku kan tidak mungkin
berdiam diri di balik dinding
selamanya. Kalau aku diam saja,
sebentar lagi pengawas itu pasti
akan melompat dan melongok dari
bagian atas bilik. "Tunggu sebentar," gumamku, lalu
menyiram toilet. Aku keluar dan mencuci tangan.
Si pengawas menatapku dengan
pandangan ingin tahu. "Apa yang kaulakukan di dalam sana?"
Aku hanya menggeleng, tidak
menjawab. "Kau sakit?" "Tidak." Meskipun saat itu aku
mulai merasa sakit. Kupandangi
bayangan diriku yang 98
terpantul di cermin yang penuh
bercak. Wajahku pias kehijauan
aneh. Hanya sedikit lebih pucat
daripada kardigan hijau botol yang
dirajutkan Mum untukku, walau
semua murid lain di sekolah ini
mengenakan jaket trendi yang dibeli
di toko. "Kalau begitu, cepat pergi
sana." Aku berjalan mengikuti pengawas keluar dari toilet dan menyusuri
koridor-koridor sekolah. Hidungku
mencium bau hidangan makan siang
yang sedang dimasak di kantin dan
rasa mualku semakin menjadi. Kim,
Sarah, dan Melanie menunggu di
luar kantor Mrs Edwards. Aku
khawatir aku nanti muntah di sepatu
sandal Clarks-ku. Sarah dan Melanie terlihat
seperti mau muntah juga. Melanie
bahkan menangis. Tapi Kim tidak.
Tanpa berani melihat, aku
terbirit-birit melewati mereka.
Kuketuk pintu ruang kerja Mrs
Edwards lalu terhuyung- 99
huyung masuk. Aku belum pernah
masuk ke kantornya. Hanya murid
yang sangat nakal, bermuka tebal,
atau pembuat onar yang pemah
dipanggil menghadap Kepala
Sekolah. "Ah! Dari mana saja kau,
Mandy" Hampir saja kami mengirim
regu pencari untuk mencarimu," kata
Mrs Edwards. Meski sudah bertahun-tahun
bersekolah di sini, aku jarang
berbicara dengan Mrs Edwards.
Paling-paling aku hanya berjabat
tangan dengannya saat menerima
penghargaan di Hari Pemberian
Penghargaan tempo hari, juga dulu
waktu aku selesai membacakan
sesuatu di hadapan Dewan Sekolah,
beliau tersenyum padaku dan memberi
pujian, "Bagus sekali." Itu saja.
"Saya ada di'''" Aku tidak
ingin menyebut kata "toilet" di
hadapannya, jadi aku tidak
meneruskan kata-kataku, hanya
berdiri mematung di sana.
"Duduklah, kalau begitu, 100
Mandy. Nah. Kudengar belakangan
ini kau mengalami saat-saat yang
tidak menyenangkan, ya, di
sekolah?" Aku duduk dan menunduk, memandangi pangkuanku. "Saya'''"
Aku juga tidak tahu harus
mengatakan apa. "Prestasi belajarmu sangat
memuaskan, dan sepanjang pengamatan
kami, sepertinya kau cukup gembira
dan riang di sekolah," kata Mrs
Edwards ringkas. "Oh, ya," ujarku, mati-matian
berusaha mengiyakan perkataan Mrs
Edwards. "Tapi, beberapa waktu belakangan
ini, kau diganggu beberapa
temanmu?" Aku membungkuk semakin dalam. "Teman-teman perempuan di
kelasmu?" desak Mrs Edwards.
Kepalaku kini nyaris menyentuh
kedua tanganku yang terlipat rapi
di pangkuan. "Mandy! Duduklah yang tegak.
Nah, kau tidak perlu 101
terlihat secemas itu. Kami akan
segera membereskan masalah ini.
Kalau saja sejak awal kau mau
mengadukan ulah mereka pada gurumu,
akan lebih mudah bagi kami membasmi
praktik penindasan seperti ini
selagi belum berkembang terlalu
jauh. Nah, bagaimana kalau
sekarang kau menceritakan semuanya
padaku?" Mrs Edwards menunggu.
Aku juga menunggu. Mrs Edwards
melepas kacamata dan menggosok-
gosok bekas kacamata berwarna ungu
yang menghiasi bagian atas
hidungnya. Beliau mencoba
bersabar. "Dengar, Mandy, kau tidak perlu
takut. Kau bisa menceritakan
semuanya padaku. Aku sudah tahu
semuanya, tapi aku hanya ingin
mendengarnya dari bibirmu." Dia
terdiam. Mendesah. Memakai
kembali kacamatanya dan memandangiku. "Yang mengganggumu
Kim, Sarah, dan Melanie, bukan?"
tanyanya. "Jadi apa tepatnya yang
mereka katakan padamu, mmm?" 102
Aku tidak sanggup berbicara.
Kubuka mulutku, tapi tidak ada
kata-kata yang keluar. Aku tidak
mampu mengumpulkan semua kekalutan
dan kekhawatiran yang kurasakan
selama berminggu-minggu ditindas
Kim, Sarah, dan Melanie dan
menyimpulkannya dalam kalimat-
kalimat pendek. Apalagi karena aku
tahu Kim, Sarah, dan Melanie
menunggu tepat di luar pintu
kantor. "Kata ibumu, mereka sering
mengganggu dan menggertakmu,
benar?" desak Mrs Edwards. "Dan
hari Rabu lalu mereka mengejarmu
hingga jalan besar dan kau
tersenggol bus yang lewat hingga
cedera" Benarkah itu, Mandy"
Karena bila benar, ini persoalan
yang sangat, sangat serius dan
harus segera dituntaskan. Benarkah
mereka mengejarmu, Mandy"
Benarkah?" "Well. Semacam itulah,"
gumamku, masih dengan kepala
tertunduk. 103
"Aha!" seru Mrs Edwards.
"Jadi apa yang mereka katakan
padamu waktu itu?" "Saya-saya tidak ingat,"
jawabku, menggeleng-geleng untuk
menghentikan gema kata-kata itu
bergaung di telingaku. "Well, kalau begitu apa saja
yang biasanya mereka katakan
padamu?" tuntut Mrs Edwards.
"Saya lupa," jawabku.
Mrs Edwards mendesah. Dia
berdiri. Tiba-tiba saja dia
berjalan ke pintu, langkah-langkah
kakinya gesit meski tumit sepatunya
pendek dan gemuk, lalu membuka
pintu. Kim terlonjak kaget dan
mundur menjauhi pintu, sama sekali
tidak mengira pintu mendadak
dibuka. "Rupanya sedari tadi kau
menguping ya, Kim!" tegur Mrs
Edwards. "Well, bagaimana kalau
kalian bertiga masuk dan bergabung
bersama kami" Mungkin kita bisa
menyelesaikan masalah ini dengan
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membicarakannya bersama- 104
sama." Ketiganya pun masuk, berdesakan
di ruangan kantor. Aku duduk
mengkeret di kursiku. Mrs Edwards
menutup pintu dan duduk di pinggir
meja, memandangi Kim dengan kening
berkerut. Kim lebih tinggi
daripada Mrs Edwards. Kepalanya
ditegakkan tinggi-tinggi, sebelah
tangan bertengger di pinggul, dan
dia berlagak seolah tidak peduli.
Melanie dan Sarah berdiri dengan
sikap lemas dan kuyu, sangat
ketakutan. "Seperti yang jelas sudah kalian
dengar sendiri tadi, Mandy ini luar biasa loyal terhadap kalian
bertiga. Dia menolak mengadukan
perbuatan kalian padaku," kata Mrs
Edwards. Mereka semua memandangiku.
Melanie mengerjapkan mata dengan
sikap berterima kasih. Sarah
menyedot ingus. "Tapi jelas sekali bagiku kalian
bertiga selama ini bersikap tidak
baik terhadap Mandy, dan 105
semua ini harus dihentikan, kalian
dengar" Aku paling tidak suka
penindasan. Aku tidak akan
mentolerir hal semacam itu di
sekolah yang kupimpin. Jadi
sekarang, Kim, Melanie, Sarah,
aku mau kalian bertiga meminta maaf
pada Mandy, dan berjanji tidak
akan mengatainya atau mengejarnya lagi."
Mereka menelan ludah. Melanie
membuka mulut, hendak meminta maaf.
Tapi telanjur disela Kim.
"Saya rasa, justru Mandy-Iah
yang seharusnya meminta maaf pada
kami," katanya sambil menyentakkan
kepala. Bahkan Mrs Edwards pun terperangah mendengar kata-katanya.
"Sebenarnya itu kesalahan Mandy
sendiri," lanjut Kim lancar.
"Gara-gara dialah maka peristiwa
itu terjadi. Dia mengatakan pada
kami bahwa ibunya model-"
Bibir Mrs Edwards bergerak-
gerak seperti menahan tawa. Jelas
dia sedang membayangkan Mum 106
dalam setelan jasnya yang terlalu
sesak. "Jangan konyol, Kim," tegur Mrs Edwards cepat. "Jangan
membuat keadaan menjadi bertambah
parah dengan kebohongan-kebohongan
tololmu." "Saya tidak berbohong, Mrs
Edwards," bantah Kim. "Kau
memang bilang begitu, kan, Mandy?"
Aku menunduk semakin dalam. Aku
tahu wajahku pasti merah padam.
"Mandy?" panggil Mrs Edwards,
suaranya bergetar. "Justru Mandy-lah yang
berbohong, Mrs Edwards," Sarah
menimpali. "Kemudian kami bilang padanya
bahwa kami tahu dia berbohong, maka
dia pun marah lalu meneriaki kami
dan memukul saya," tambah Kim.
"Sudahlah, Kim, kau tidak
mungkin mengharapkan aku memercayai
ceritamu," tukas Mrs Edwards.
"Mana mungkin Mandy berani
memukulmu. Badannya saja jauh
lebih kecil daripada 107
badanmu." "Tapi dia benar-benar memukul
saya. Keras sekali."
"Itu memang benar, Mrs
Edwards. Dia meninju muka Kim,"
Sarah membenarkan. "Ya, itu benar," sambut
Melanie, tak mau kalah. "Dia
memang memukul Kim."
"Setelah itu dia melarikan diri
tanpa melihat ke kiri dan ke kanan,
jadilah dia tertabrak bus," sambung
Kim. "Jadi semua itu gara-gara
ulah Mandy sendiri, Mrs Edwards." Mrs Edwards berdiri, berjalan
mendekat, dan berdiri persis di
sebelahku. Dia melingkarkan
lengannya di punggung kursi dan
menundukkan kepala ke arahku
sehingga aku bisa merasakan embusan
napasnya yang beraroma peppermint
segar itu menggelitik pipiku.
"Kau tidak memukul Kim, bukan,
Mandy?" tanyanya lembut.
Kupejamkan mataku rapat-rapat.
"Ya, saya memang 108
memukulnya," jawabku, lalu tangisku
meledak. Kim memasang wajah penuh kemenangan. Mrs Edwards menatapku
dengan pandangan seolah aku telah
mengecewakannya. "Aku masih tidak percaya kau
benar-benar melakukan hal itu,
Mandy," katanya. Tapi dia lalu
memandangi Kim dan yang lain-lain
dengan kening berkerut. "Bagaimanapun, aku tahu kalian
bertiga akhir-akhir ini berkomplot
menindas Mandy. Itu harus
dihentikan. Kalian tidak boleh
lagi mengatainya atau mengatakan hal-hal yang keji padanya, kalian
mengerti?" "Oh ya, Mrs Edwards, kami
mengerti," jawab Kim. "Kami tidak
akan mengatakan apa-apa pada
Mandy." Ada maksud tersembunyi di balik
janji Kim barusan. Dan dia benar-
benar menepati janjinya. Dia tidak
mengatakan apa-apa padaku. Begitu
juga Sarah. Atau Melanie. 109
Kim menggiring kedua temannya
pergi dan saat jam makan siang
tiba, mereka sudah menyempurnakan
aksi mereka. Ketiganya gentayangan
di dekatku, tapi tidak berbicara
sepatah kata pun. Mereka memandangiku, saling menyikut, memasang wajah sinis''' tapi tidak
berkata apa-apa. Aku mencoba berpura-pura aku ini
Miranda Rainbow, yang tak peduli
pada mereka. Upayaku tidak
seberapa berhasil, apalagi karena
mereka terus di belakangku.
Arthur King menghampiriku,
matanya berkedut-kedut di balik
kacamatanya. Dia memegang buku
besar kuno dan mengulurkannya
padaku seolah buku itu jimat.
"Ini buku yang kuceritakan
padamu waktu itu, Mandy," katanya,
bicaranya sedikit gugup. "Kau mau
melihatnya?" Kim tertawa sinis. Sarah dan
Melanie terkikik-kikik. "Ayo ikut. Di sana tenang,"
kata Arthur, membawaku 110
menjauhi mereka bertiga. Buku itu berjudul King Arthur
dan ParaKsatria MejaBundar.
Dengan penuh rasa syukur aku
membolak-balik buku itu, meski
tanganku bergetar. Kim, Sarah, dan Melanie mengikuti. "Hei, pergi sana," bentak
Arthur, berusaha memperdengarkan
nada mengancam. "Kami kan juga berhak bermain di
arena bermain ini, sama seperti
kalian," kata Kim. "Kami toh
tidak melakukan apa-apa. Dan kami
tidak mengatakan apa-apa padanya."
Dia menyentakkan dagunya ke
arahku, menutup mulut rapat-rapat
untuk menunjukkan mulutnya
terkunci. Sarah dan Melanie ikut-
ikutan. Saat itu Mrs Stanley bertugas
mengawasi arena bermain. Beliau
berjalan ke arah kami. Dia melihat Kim, Sarah, dan Melanie. Tapi
kurasa di matanya ketiga anak itu
tersenyum padaku. 111
"Ayo pergi, kita tinggalkan saja
anak-anak edan ini," gerutu Arthur
sambil menarikku ke pinggir arena,
tepat di depan toilet cowok. Anak-
anak perempuan tidak ada yang pergi
ke sana. Kami bersandar di dinding dan
melihat-lihat buku Arthur. Kim,
Sarah, dan Melanie tidak berani
mendekat, mungkin karena Mrs
Stanley mondar-mandir melintasi
arena bermain, memastikan semuanya
baik-baik saja. Berulang kali Arthur berusaha
menunjukkan bagian-bagian cerita
yang disukainya dan membacakan
beberapa paragraf untukku. Aku
sendiri sebenamya tidak begitu suka
buku cerita yang seperti itu. Raja
dan para ksatrianya berbicara
dengan gaya bahasa kuno, dan aku
berkali-kali mencampuradukkan
semuanya, tapi itu tidak begitu
penting. Aku suka gambar-
gambarnya, terutama gambar para
putri yang rambutnya panjang
tergerai dan mengenakan gaun 112
panjang melambai. Hampir mirip
gambar Tanya mengenai ibunya.
Ibuku datang menjemputku sepulang sekolah. Dia ingin tahu
apa yang dikatakan Mrs Edwards
padaku, apa yang beliau lakukan,
serta bagaimana beliau menghadapi
Kim, Melanie, dan Sarah. "Ssst, Mum," sergahku,
ketakutan, karena saat itu kami
masih berada di gerbang sekolah dan
semua orang bisa mendengar kata-
katanya. Kim, Melanie, dan Sarah tidak
jauh di belakang kami. Mereka
bertiga menutup mulut rapat-rapat.
Lelucon terbaru mereka. "Mrs Edwards sudah menegur
Kim?" tanya Mum. "Mmm. Kumohon, Mum. Jangan
bicarakan masalah itu sekarang,"
desisku. Mum menoleh ke balik pundaknya.
"Itu dia, kan" Gadis jangkung
berponi hitam. Well, sepertinya
dia tidak kelihatan menyesal," kata
Mum. "Mungkin ada baiknya 113
aku bicara sebentar dengan nona
muda itu." "Mum, jangan! Kumohon, jangan,
jangan, jangan," pintaku mengiba-
iba. "Mrs Edwards sudah
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membereskan semuanya dan mereka
berjanji tidak akan mengatakan apa-
apa lagi." "Apa kau yakin, Mandy?" tanya
Mum. "Kelihatannya kau masih
sangat tertekan, Sayang."
"Aku sama sekali tidak merasa
tertekan," bantahku, berusaha
tersenyum dan bersikap ceria.
Kemudian aku melihat Tanya di
ujung jalan, mendorong keteta bayi.
Tanya mengenakan celana pendek
yang sangat pendek serta kaus ngatung yang menampakkan pusamya.
Sepatu bertumit tingginya berbunyi
pletak-pletok setiap kali dia
melangkah. "Tanya!" "Hei, Mandy!" Aku berlari menghampirinya. Dia
mengangkat tangan, mengajak "tos",
dan aku langsung menirunya. 114
"Bagaimana sekolahmu, eh?"
tanyanya. Aku mengernyitkan muka sebagai
jawaban. "Aku mengerti," ujar Tanya.
"Enak, kan, jadi aku" Aku tidak
perlu bersekolah karena sebentar
lagi libur musim panas. Tapi
sebelumnya aku juga jarang pergi ke
sekolah. Aku tidak betah. Guru-
guru tolol itu. Juga sapi-sapi
goblok yang gemar mengataimu."
"Mereka mengataimu?" tanyaku,
terperangah. "Yeah, tapi aku balas mengatai
mereka lebih keji lagi," jawab
Tanya sambil nyengir. "Kenapa,
ada yang senang mengganggumu,
Mandy?" "Oooh," jawabku samar-samar.
Kim, Sarah, dan Melanie sudah
melewati Mum, yang berjalan
terengah-engah di belakang sana.
Ketiganya memandangi Tanya dan
aku. Melanie bahkan sampai
ternganga lebar. Tanya melihatku melirik 115
mereka. Detik itu juga dia
langsung bisa menyimpulkan.
Diabaikannya Sarah dan Melanie. Mereka cuma anak
ingusan, jauh lebih kecil daripada dia. Pandangannya tertuju pada
Kim. "Apa lihat-lihat?" hardiknya.
Meski tidak sejangkung Kim, walau
sudah mengenakan sepatu bertumit
tinggi sekalipun, Tanya lebih tua
daripada Kim dan jauh, jauh lebih
sangar. "Tidak apa-apa," gumam Kim.
"Bagus. Well, minggat sana,
pulang ke rumah kalian, gadis-gadis
kecil. Jangan ganggu aku dan
sobatku Mandy, heh?"
Ketiganya cepat-cepat menyingkir. Bahkan Kim pun
terbirit-birit pergi. Coba lihat
ekspresi wajah mereka! Aku dan
sobatku Mandy. Aku sobat Tanya.
Aku yakin muka mereka semua pasti
hijau karena iri. "Aku akan membawa Tuanku Raja
ini jalan-jalan di taman," 116
kata Tanya. "Kau mau ikut?"
Aku ingin sekali pergi, tapi
saat itu Mum berhasil menyusul
kami dan dia tidak mau kami pergi
ke sana sendirian. "Tidak, nanti kalian diganggu
lelaki-lelaki iseng yang berkeliaran di taman," dalih Mum.
"Tidak pantas gadis-gadis muda
bermain sendirian di sana."
"Aku akan menjaga Mandy Anda,
jangan khawatir," janji Tanya.
"Terima kasih, Sayang, tapi
menurutku tidak usah saja. Mandy
sebaiknya pulang bersamaku untuk
minum teh," tolak Mum.
"Oh, Mum, kumohon, aku harus
ikut ke taman," rengekku.
"Kami bisa makan es krim bila
dia haus," kata Tanya sambil
mengguncang-guncang uang uang logam
dalam sakunya yang keeil. "Mrs
Williams memberiku sedikit uang
jajan. Oh, ayolah, Mrs White,
izinkan Mandy pergi."
"Tidak, Sayang. Mungkin lain
kali," tolak Mum sambil 117
menggandeng tanganku. Kutarik tanganku dari genggamannya. "Aku mau hari ini, Mum. Tidak
adil. Mengapa, sih, Mum selalu
saja memperlakukan aku seperti anak
kecil?" aku memprotes.
Mum mengerjapkan mata, tampaknya
dia sakit hati. Namun sepertinya
hatinya mulai melunak. Mendadak aku mendapat ilham.
"Kata Mrs Edwards, ada baiknya
bila aku mencoba sedikit lebih mandiri," kataku. "Menurut beliau,
aku terlalu muda untuk usiaku.
Itulah sebabnya mengapa anak-anak
lain selalu saja menggangguku."
"Jangan konyol, Mandy," tukas
Mum, namun nadanya terdengar tidak
seberapa yakin. Mungkin Mrs Edwards benar-
benar mengatakan hal semacam itu!
"Setengah jam lagi kami
kembali," Tanya berjanji.
Mum mendesah. "Baiklah,
baiklah. Bila kau benar-benar
ingin pergi ke taman, 118
Mandy, kita akan pergi ke sana
bersama Tanya." Aku menarik napas dalam-dalam.
"Tidak. Mum tidak perlu ikut.
Di sana bahkan tidak ada jalan
besar. Dan kami akan menjauhi
lelaki iseng. Anak-anak lain juga pergi ke taman sendirian. Tidak
ada yang dikawal ibunya."
Tidak percaya rasanya aku bisa
benar-benar mengatakan hal itu.
Rupanya mulutku diambil alih
Miranda Rainbow. Dan perkataanku
tadi membuahkan hasil! Mum
mengjzinkan aku pergi ke taman
bersama Tanya, meski tampaknya dia
tetap keberatan. Aku tahu
sepanjang malam nanti Mum pasti
akan cemberut dan merajuk, namun
sekali ini aku tidak peduli.
Tanya dan aku berlari melintasi
rerumputan, bersama si bayi Ricky
yang melonjak-lonjak kegirangan di
keretanya. Tanya menyanyikan lagu-
lagu lama Nirvana dan aku berusaha
menirukannya. Ricky juga tidak mau
kalah, berceloteh ribut, 119
tapi kemudian dia tersedak dan
muntah. "Hiii. Si bayi Ricky sedikit
mual rupanya,"kata Tanya.
Tanya membersihkan bekas muntahan si bayi dengan kertas tisu
sambil mengernyitkan hidung, lalu
membasuh tangannya di kolam air
mancur. "Waktu aku kecil dulu, Dad
sering mengajakku ke sini,"
ceritaku. "Kadang-kadang dia
menggulung pipa celana panjangnya
dan mencelupkan kakinya ke kolam
bersamaku." "Kedengarannya ayahmu baik,"
kata Tanya. "Mmm. Tapi ibuku agak'''" Aku
mengernyitkan muka, tidak
melanjutkan perkataanku. Aku takut Tanya akan mengejek
sikap ibuku yang terlalu protektif.
"Itu karena dia sayang padamu,"
kata Tanya, membuatku terkejut
dengan kata-katanya. "Aku dulu
juga sering bersikap seperti itu
terhadap Carmel." 120
"Kau kangen padanya?"
"Yeah," jawab Tanya sambil
bersedekap dan membungkukkan badan
sedikit. Tapi sejurus kemudian dia
menegakkan badan lagi. "Tapi
sekarang aku punya kau, kan, Mandy
kecil?" "Aku bukan Mandy kecil,"
protesku. Tanya tertawa dan menarik
kepangan rambutku. "Kau kelihatan seperti anak enam
tahun dengan rambut dikepang
begini." "Jangan ledek aku. Bukan
salahku bila aku dikepang begini.
Aku sudah memohon-mohon pada Mum
agar menyanggulnya seperti yang
kaulakukan waktu itu, tapi dia tidak mengizinkan."
"Kalau begitu, kau harus belajar
menyisir rambut sendiri," kata
Tanya. Kami berjalan lambat-lambat
menyusuri taman, meninabobokan
Ricky sampai bayi itu terkantuk-
kantuk. Dengan hati-hati 121
Tanya menghentikan kereta
dorongnya di bawah pohon rindang.
"Tapi kita bisa berjemur
sebentar, eh, Mandy?"
Tanya menendang sepatu sandalnya
hingga terlepas, lalu membaringkan
diri di rerumputan, menyibakkan
kausnya lebih ke atas. "Aku harus mencokelatkan
perutku," katanya. "Kalau aku, kulitku tidak pernah
bisa cokelat, paling-paling hanya
berubah menjadi pink,"kataku sambil
membaringkan diri di sebelahnya4"Aku benci warna pink.
Itu warna yang paling tidak
kusukai di seluruh dunia."
" Well, kalau begitu kita hanya
akan berjemur selama dua menit.
Jangan sampai kulitmu terbakar
matahari." Kulitku gosong pun aku tidak
peduli. Yang kuinginkan hanyalah
berbaring di sisi Tanya, di
kehangatan cahaya matahari,
selamanya. Kupandangi dedaunan
hijau di atas kepala kami. 122
Daun-daun itu bergemeresik pelan,
seolah membisikkan rahasia.
"Oh, Tanya, aku senang sekali
punya teman seperti kau," kataku.
"Ah, manis benar kau," sahut
Tanya. Dia bangkit dan duduk.
"Hei, kulitmu sudah berubah warna
menjadi pink. Sebaiknya kita
mendinginkanmu dulu. Ayo kita beli
es krim." Kami mendatangi kios kecil yang
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terletak di gerbang taman. Tanya
membeli dua es krim cone untuk kami
berdua. Ricky berteriak iri, ingin
dibagi juga, jadi Tanya mencolek
sedikit es krim, lalu menyodorkannya pada Ricky untuk
dijilati. Bocah itu sangat
menyukai permainan tersebut dan
merengek minta tambah. "Jangan, anak rakus. Nanti kau
muntah lagi," tolak Tanya. "Ayo,
Mandy. Sebaiknya kita pulang
sekarang. Jangan sampai ibumu
panik karena kau tidak pulang-
pulang." Kami berjalan beriringan 123
dengan hati gembira, bersama-sama
mendorong kereta bayi. Tumit
sepatu Tanya berpletak-pletok,
sementara sol sepatu Clarks-ku
berdecit-decit. Bayangan dirinya
ringan dan melonjak-lonjak, dengan
rambut jabrik yang keren sekali.
Sementara bayangan diriku lebih
kecil, berjalan berat, dengan
rambut dikepang. "Hei, tolong jaga Ricky
sebentar sementara aku membelikan
koran untuk Pat," pinta Tanya
sesampainya kami di depan toko
kecil di sudut jalan. Aku berdiri di luar, menggoyang
perlahan kereta Ricky dengan hati
gembira karena diberi kepercayaan
menjaga bayi. Aku mengintip ke
dalam toko, melihat Tanya. Karena
cahaya matahari bersinar terik,
bagian dalam toko tampak gelap dan
berbayang-bayang. Tapi aku tetap
bisa melihatnya. Kulihat dia
merogoh saku celana, mengambil uang
untuk membayar koran Evening
Standard yang dibelinya. 124
Dia menyerahkan uang itu,
mengambil koran, lalu berjalan
menuju pintu. Kemudian tangannya terulur,
secepat kilat. Dia menyambar
sesuatu dari rak sambil tetap
melenggang keluar dari toko.
"Hei, Mandy. Aku punya hadiah
untukmu," kata Tanya sambil
mengulurkan tangan. Di tangannya terdapat ikat
rambut berkerut-kerut dari bahan
beludru berwarna hijau. BIRU 125
Sesampainya di rumah, Tanya
menyikat rambutku dan memasangkan
ikat rambut beludru hijau itu di
kepalaku. "Ikat rambut seperti ini namanya
scrunchie,"Tanya menjelaskan.
"Nah, sudah! Keren, kan?"
"Yeah. Keren. Terima kasih
banyak, Tanya,"ucapku. "Aku suka
sekali pada scrunchie-ku."
Perutku terasa melilit. Baik
benar Tanya, memberiku hadiah ikat
rambut. Dia memang sahabat yang
paling baik di dunia. Tapi ikat
rambut ini dicurinya. Well, tapi aku tidak tahu pasti.
Kelihatannya dia menyambarnya
begitu saja dari rak. Tapi aku
memang tidak bisa melihat dengan
jelas. Bisa saja sebenarnya dia
sudah membayarnya dengan uang yang
diambilnya dari dalam saku.
Aku bisa saja bertanya padanya.
Tapi aku tidak berani. Rasanya
sangat tidak pantas. "Terima kasih hadiahnya 126
ya, Tanya. Omong-omong, hadiah
ini kaubeli atau kaucuri?"
Dan bila benar dia mencurinya,
lalu apa" Aku tahu mencuri bukan perbuatan
yang terpuji. Apalagi bila yang
menjadi korban adalah orang-orang
baik seperti Mr dan Mrs Patel,
yang tidak mendapat keuntungan
terlalu banyak dad toko kecil
mereka di pojok jalan. Meskipun
yang dicurinya hanya ikat rambut.
Ikat rambut kerut-kerut kecil dari
beludru yang harganya tidak lebih
dad satu-dua pound saja. Nilainya
memang tidak seberapa. Tanya tidak mencurinya untuk
dirinya sendiri. Dia mencurinya
untukku, karena aku temannya. Lagi
pula, dia tidak punya uang lebih.
Dia tidak mendapat uang saku yang cukup setiap hari Sabtu seperti
aku. Dia hampir tidak punya apa-
apa. Jadi tidak apa-apa, kan, bila
dia mencuri" Kepalaku pusing memikirkan
fakta-fakta yang 127
bertentangan itu. Ikat rambut
baruku mengikat kuat rambutku,
menarik anak-anak rambut di
tengkukku. Setiap kali aku
memalingkan kepala, ekor kudaku
bergoyang dan menimbulkan rasa
sakit, hingga aku tidak bisa
melupakannya. Aku hampir merasa lega waktu
Mum melepas ikat rambutku dan
mengepang rambutku lagi seperti
biasanya setelah Tanya pulang.
"Aku tahu kau pasti mengira dirimu keren sekali dengan dandanan
rambut seperti ini," kata Mum,
mendengus. "Tapi menurutku gaya
itu tidak cocok untukmu."
"Menurutku dia jadi terlihat
sangat dewasa," kata Dad, berusaha
menghibur begitu melihatku kecewa
mendengar ucapan Mum. Kening Mum berkerut. "Justru
itu masalahnya. Mandy kan masih
kecil. Tatanan rambut seperti itu
terlalu canggih untuknya. Dan
sedikit umum, asal tahu saja."
"Walaupun begitu, baik 128
hati benar Tanya, memberikan
hiasan rambut itu pada Mandy" kata
Dad. "Mmm," ucap Mum. "Apakah dia khusus membelikannya untukmu,
Mandy?" "Ya," gumamku. Aku pura-pura
menguap. "Aku ngantuk sekali. Aku
mau tidur saja sekarang."
Padahal sebenarnya aku ingin
menyingkir dari Mum dan Dad.
Tapi aku tidak bisa tidur. Aku
hanya berbaring di tempat tidur
dengan mata nyalang, mempermainkan
ikat rambut di tanganku. Aku tidak
tahu apakah ikat rambut semacam ini
bisa dibeli di sembarang tempat,
atau khusus hanya di toko kecil di
pojok jalan. Bagaimana kalau ikat
rambut ini benda yang sangat
istimewa-dan Mrs Patel sadar ada
salah satu ikat rambutnya yang
hilang" Bagaimana kalau dia tadi
melihat Tanya mengambilnya"
Bagaimana bila dia melihatku
memakai ikat rambut beludru hijau
ini" Apa itu berarti aku 129
juga pencuri, karena aku tahu ini
barang curian" Ketika akhirnya aku benar-benar
tertidur, pikiran-pikiranku itu
menjelma menjadi mimpi. Mrs Patel
menghadangku di jalan dan
meneriakiku maling. Mr Patel
keluar dari toko dan ikut
memanggilku maling. Semua orang di
jalan memandangiku. Semua orang
yang kukenal dari sekolah ada di
sana. Mrs Stanley dan Mrs
Edwards menggeleng-geleng dan
terlihat sangat galak. Kim,
Sarah, dan Melanie berdiri
berjajar dan berseru "Maling,
maling, maling", gigi mereka
berkilat-kilat. Mum dan Dad juga
ada di sana, menyerukan kata yang
sama, tapi sambil meneteskan air mata. Aku juga menangis**
Aku terbangun, sekujur badanku
basah bersimbah keringat, di
telingaku masih terngiang-ngiang
kata "maling". Hari sudah larut
malam dan kegelapan membuat suasana
semakin terasa mencekam. 130
Aku turun dari tempat tidur dan
menyurukkan ikat rambut itu jauh-
jauh ke laci yang berisi pakaian
dalam. Lalu aku membaringkan
diriku lagi ke kasur dan berusaha
keras mengalihkan pikiran dengan
bermain pura-pura. Aku Miranda
Rainbow dan dia tidak pemah
terbangun dalam keadaan gelisah di tengah malam buta seperti ini; dia
selalu tidur pulas di seprainya
yang berwarna pelangi, setiap hari
warnanya berganti-ganti, dan
setelah bangun dia akan berendam di
jacuzzi, lalu mengenakan baju'''
aku mengkhayalkan berbagai jenis
baju, seolah aku boneka kertas,
sampai akhirnya aku kembali
terlelap. Dalam mimpiku, aku tetap menjadi
Miranda Rainbow dan aku masih
mencoba berbagai jenis baju, karena
sekarang aku menjadi model terkenal
yang sering mondar-mandir di
catwalk. Kilatan lampu-lampu
kamera mengiringi langkahku, ke
mana pun aku pergi, dan 131
segalanya terasa begitu indah,
sampai aku harus mengenakan gaun
baru ketat dari beludru berwarna
hijau, bersama ikat rambutnya yang
serasi, scrunchie besar yang nyaris
menyerupai topi. Semua orang
melihatku memakainya, dan tiba-tiba
saja mereka berdiri dan mulai
berteriak-teriak "Maling!" Aku
berusaha keras melepaskannya dari
kepalaku, tapi ikat rambut tersebut
melingkar begitu kuat di kepala.
Saking kuatnya, aku hampir tidak
bisa benapas. Ikat rambut itu
menutupi mata, menutupi lubang
hidung, dan membekap mulutku hingga
menjerit pun aku tidak mampu'''.
Aku terjaga, menangis dan megap-
megap, sepraiku basah kuyup oleh
keringat. Tadi aku pasti berteriak-teriak, karena Mum berlari memasuki kamarku. "Ada
apa, Sayang?" "Aku-aku bermimpi buruk,"
jawabku sambil mengusap wajahku
dengan seprai. "Hei, jangan begitu! 132
Akan kuambilkan saputangan
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
untukmu, anak malang," kata Mum
sambil mendekapku erat-erat.
"Mimpi buruk tentang apa, eh?"
"Aku tidak ingat lagi," dustaku
sambil merangkul Mum. "Pokoknya
sangat mengerikan." "Sudah, tenanglah. Mummy di
sini," bujuk Mum sambil mengayun-
ayun badanku. Mum menyelimutiku bersama
Olivia Orang Utan, dan menjanjikan aku pasti akan tidur
pulas dan tidak bermimpi buruk
lagi. Aku berusaha memercayai kata- katanya. Tapi ternyata tidak bisa.
Aku masih terjaga saat beker Dad
berbunyi di pagi hari. Saat sarapan, aku merasa sangat
letih dan kepalaku pusing.
"Kau dan mimpi burukmu," kata
Mum. "Kasihan Mandy:"
Ditariknya kepanganku dengan sikap
sayang. "Mana tatanan rambut barumu yang
trendi itu?" tanya Dad. 133
Mum mengerutkan kening padanya.
"Kurasa Mandy sekarang sudah
sadar. Gaya rambut seperti itu
tidak cocok untuknya." Mum
bersedekap. "Aku tidak begitu
senang dia berteman dengan Tanya,
kau tahu. Sekarang Tanya mulai
sering menemuinya. Padahal dia
terlalu tua untuk Mandy. Dia
membawa pengaruh yang buruk bagi
Mandy." "Apa maksud Mum?" tanyaku
dengan suara parau. "Well, sekarang terkadang kau
mulai bersikap kurang ajar, Mandy.
Belum lagi jalan-jalan ke taman
sepulang sekolah kemarin Aku tidak
suka kau pergi ke taman bersama
Tanya. Sekarang ini, di mana-mana
tidak aman." "Menurutku Tanya mampu menjaga
dirinya sendiri-sekaligus menjaga
Mandy kita," Dad menengahi.
"Aku tetap tidak suka mereka
bergaul terlalu rapat. Aku tidak
keberatan bila Tanya datang ke
sini, sehingga aku bisa 134
mengawasi mereka, tapi aku tidak
mau mereka keluyuran dan berbuat
onar di luar sana," sergah Mum.
"Itu agak berisiko, bila mengingat
latar belakang Tanya. Akal
sehatku menyuruhku melarang Mandy
bertemu Tanya." Tubuhku kontan mengejang.
"Jangan!" "Oh, sudahlah," bujuk Dad.
"Anak-anak ini berteman baik. Aku
senang melihat Mandy gembira.
Apalagi saat ini dia sangat
membutuhkan teman, setelah
peristiwa penggertakan yang
dialaminya di sekolah."
Perkataan Dad itu berhasil
mengalihkan perhatian Mum.
"Mereka sudah berhenti
mengganggumu, Mandy?" tanya Mum.
"Kim tidak pernah mengataimu
lagi?" "Dia diam saja sekarang,"
jawabku. "Well, menjauhlah dari mereka,"
Mum berpesan. Sedapat mungkin aku 135
berusaha menuruti anjurannya. Pagi
itu mereka tidak lagi gentayangan
di sekelilingku dan berbisik-bisik.
Sepertinya Tanya berhasil membuat
mereka kapok. Hebat Tanya, menghardik mereka
seperti itu. Dia benar-benar
sahabat sejati. Dan dia mengambil
ikat rambut hijau itu karena ingin
memberiku hadiah istimewa. Tolol
benar aku, terlalu membesar-
besarkan hal tersebut. Mengapa sih
aku harus jadi bayi ingusan yang
sok alim terus" Aku duduk bersama Arthur King
saat makan siang, dan sesudahnya
dia mencoba mengajariku main catur.
Membosankan benar permainan itu.
Aku ingin membiarkan pikiranku
berkelana bebas supaya bisa
memikirkan Tanya yang akan
menemuiku sepulang sekolah nanti,
dan bagaimana kami berdua akan
bersahabat karib untuk selamanya.
"Jangan, lihat, kalau kau
meletakkan ratumu di sana, aku bisa
memakannya dengan 136
ksatriaku," Arthur menjelaskan.
Aku tetap tidak tahu apa asyiknya main catur. Ratunya tidak
memiliki rambut panjang tergerai
dan gaun yang melambai, ksatrianya
juga tidak mengenakan baju zirah
mengilap dan topi besi berhias
bulu-bulu. Mereka hanyalah pion-
pion plastik tanpa kepribadian sama sekali.
"Suka tidak main catur, Mandy?"
tanya Arthur sambil menata kembali
pion-pion catur. "Tidak, tidak terlalu," jawabku.
"Mungkin kau akan semakin
menyukainya bila sudah mahir
bermain nanti," kata Arthur.
"Harapanku, kita bisa main setiap
jam makan siang." "Mmm," gumamku tidak jelas.
"Dan bila kau bersamaku, Kim,
Sarah, dan Melanie tidak berani
dekat-dekat," tambah Arthur.
"Apa?" "Kupikir aku berhasil membuat
mereka kapok, sehingga tidak berani
mendekatimu lagi," Arthur 137
menjelaskan. "Mereka tidak berani
mengganggumu kalau ada aku yang menjagamu."
"Oh, Arthur!" seruku, saking
kagetnya sampai lupa bersikap
sopan. Arthur cowok terpandai di
kelas kami, tapi sekaligus juga
yang terlugu. "Itu tidak ada hubungannya
denganmu. Itu karena temanku,
Tanya." Arthur tampak tersinggung. "Kok
bisa itu karena temanmu, Tanya"
Dia kan tidak ada di sini. Meski
terkadang rasanya begitu."
"Apa maksudmu?"
"Well, kau selalu saja mengoceh
tanpa henti tentang dia. Temanku
Tanya bilang begini. Temanku
Tanya bilang begitu. Terus-
menerus. Padahal dia tidak pemah
mengatakan apa-apa yang kedengarannya menarik. Omongannya
melulu soal rias wajah, pakaian,
ramalan bintang, dan omong kosong
kayak begitu." "Jadi menurutmu temanku 138
Tanya suka omong kosong?" bentakku
tersinggung. "Mana aku tahu. Aku kan tidak
pernah mengobrol dengannya. Tapi
sekarang bicaramu pun tidak keruan,
bila kau mengoceh terus tentang
dia." "Well, kalau begitu, kau boleh
permainan catur konyolmu ini
sendirian," hardikku, lalu
membenturkan kotak caturnya keras-
keras ke lantai hingga pion-pion
yang masih tersisa berhamburan dan
berjatuhan di petak-petak permainan
yang berwarna hitam-putih.
Dengan marah aku menghambur
pergi, meski dalam hati tahu
tindakanku keliru. Aku sempat
berkeliaran sebentar di arena bermain, kemudian masuk ke toilet
cewek. Kesalahan besar. Kim,
Sarah, dan Melanie ada di sana,
berdiri di depan cermin, menyisir
rambut dan bereksperimen dengan
berbagai gaya. Kim menyisir poni
hitamnya ke belakang, memperlihatkan dahinya yang 139
sangat putih. Pandangan matanya
tertumbuk padaku di dalam cermin
dan dia langsung berhenti menyisir,
tangannya membeku di udara.
Perlahan-lahan poninya jatuh
kembali ke dahi, sehelai demi
sehelai, hingga semuanya terurai
kembali di tempat semula.
Seharusnya saat itu aku langsung
kabur saja. Tapi aku berusaha
menunjukkan bahwa aku tidak takut. Maka aku pun langsung menghambur
melewati mereka, masuk ke salah
satu bilik toilet, dan membanting
pintunya keras-keras. Lalu aku
duduk di toilet, jantungku berdebar
kencang. "Itu dia anak yang tidak kita
ajak bicara," kata Kim.
"Mengucapkan namanya saja kita
tidak mau, kan?" "Benar. Buat apa, namanya kan
nama tolol," sambut Sarah.
"Well, setolol orangnya,"
Melanie nimbrung sambil tertawa
cekikikan. "Dan, dia tukang ngadu
Mengadukan yang tidak-tidak 140
pada ibunya, dan ibunya melapor ke
ibuku sehingga aku dimarahi. Ibuku
selalu berusaha membuatku berteman
lagi dengannya." "Ih, untuk apa berteman
dengannya," dengus Sarah.
"Tapi cewek itu sekarang punya
teman baru," kata Kim, nadanya
sehalus sutra. "Teman yang
menganggap dirinya hebat. Well,
memang hebat, bila yang namanya
hebat berarti Genit Lusuh."
Sumbat mulutku kontan terbuka.
"Jangan berani-berani menyebut
temanku Tanya genit!" teriakku
dari dalam bilik toilet. Tawa mereka meledak. "Kau lihat tidak wama rambut si
Genit Lusuh" Jingga terang.
Kelihatannya seolah di atas
kepalanya ada segundukan ikan
maskoki mati,"kata Kim lagi.
Tawa mereka menjadi-jadi.
"Dan sepatu bertumit tinggi yang
dipakainya! Pletak-pletok, pletak-
pletok." Aku mendengar mereka 141
bertiga mondar-mandir, menirukan
gaya jalan Tanya secara berlebihan. "Aneh juga ya, mami Cewek itu
mengizinkan dia bergaul dengan si
Genit Lusuh," Melanie menimpali.
"Well, mereka kan sama-sama
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sudah jadi mami. Si Genit Lusuh
membawa bayi dalam kereta
dorongnya," ujar Kim.
"Bicaramu ngawur!" teriakku,
membuka pintu bilik dan menghambur
ke luar untuk menghadapi mereka.
"Bayi itu bukan anak Tanya. Dia
hanya membantu menjaganya. Dan dia
tidak genit. Dia bahkan tidak mau
pacaran. Dia tidak suka pada
mereka. Jadi tutup mulut kalian." Aku berusaha berbicara dengan nada
garang, tapi suaraku terlalu
melengking dan mataku penuh air
mata. Beberapa tetes tumpah dari
kelopak mata dan menetes di pipiku.
Mereka semua melihatnya. "Dengar tidak, ada gas yang
mendengung?" tanya Kim, berlagak
tidak mendengar omonganku. 142
"Apa, kutu kecil yang barusan
keluar dari toilet itu?" sambut
Sarah. "Kutu kecil kotor-dia bahkan
tidak menyiram toiletnya," tambah
Melanie. Meski sebenarnya aku tidak buang
air sama sekali, tapi mereka semua
mengernyitkan muka, dan Kim
menjepit cuping hidungnya.
Aku pun kabur dari sana. Menangis. Mereka semakin keras
tertawa. Seharian itu di sekolah tangisku
beberapa kali hendak meledak.
Dengan putus asa aku melirik
Arthur, tapi cowok itu tidak mau
memandang ke arahku. Lalu aku
menulis di secarik kertas:
Dear Arthur, Maafkan aku. Aku benar-benar
babi goblok. Mandy N4B: mudah-mudahan tidak ada
pion caturmu yang hilang.
Kulipat kertas itu dan kutuliskan nama Arthur 143
King di bagian atas. Aku berusaha
mencondongkan badan jauh-jauh
melewati Melanie, berniat memberikan kertas itu pada anak
yang duduk di sebelah Melanie agar
diberikan pada Arthur. Tapi
Melanie lebih gesit. Disambarnya
kertas itu dari tanganku,
dibukanya, dan dibacanya. Lalu
diberikannya pada Kim dan Sarah.
Mereka semua nyengir lebar. Kim
mengerutkan hidung dan mendengus-
dengus mirip babi, jari telunjuknya
menuding ke arahku. Melanie dan
Sarah ikut-ikutan. Kutundukkan kepalaku di atas
buku latihan bahasa Inggris.
Kutekan penaku kuat-kuat sampai
mata penanya patah. Terpaksa aku
menulis dengan tinta yang bocor ke
mana-mana. Setetes besar air mata
jatuh ke bukuku, melunturkan tinta.
Disusul setetes air mata lagi, dan
lagi, sampai seluruh bukuku penuh
air mata, seperti kolam. Aku merasa seolah tenggelam di lautan
biru yang dalam. Kim, 144
Sarah, dan Melanie terus saja
mendengus-dengus dan cekikikan.
"Siapa yang mendengus-dengus
tolol itu?" tanya Mrs Stanley
tidak sabar. Dia mengedarkan pandangan ke
seluruh penjuru kelas. Aku duduk
meringkuk, takut beliau melihat
mataku yang basah. Hidungku
berair, jadi aku terpaksa
membersihkannya. "Itu suara Mandy, Mrs Stanley
membersihkan ingus," jawab Kim.
Melanie dan Sarah tertawa.
Beberapa murid lain ikut-ikutan.
"Jangan konyol," tegur Mrs
Stanley menghela napas. "Ada baiknya bila kalian kutenangkan
sedikit. "Ayo, keluarkan buku
ulangan kalian. Kita akan
mengadakan ulangan mengeja."
Semua murid mengerang. Sebagian
besar di antara mereka memandangiku
dengan tatapan tajam, seolah
menuduh gara-gara aku kami ulangan.
Mrs Stanley menyebutkan kata
demi kata yang harus kami 145
eja. Semua tampak salah di mataku,
tak peduli bagaimanapun caraku
menuliskannya. Seusai ulangan,
kami harus menukar kertas-kertas
ulangan kami dengan tetangga
sebelah meja untuk dinilai.
Melanie. Kami harus tetap bekerja
sama meskipun dia bukan temanku
lagi dan menjadi musuh nomor dua
paling jahat. Mrs Stanley
bukanlah tipe guru yang bakal
mengizinkanmu bertukar tempat duduk
dengan murid lain. Jadi aku terpaksa memberikan
kertas ulanganku pada Melanie dan,
mau tidak mau, dia pun harus
memberikan kertas ulangannya
padaku. Dia memegang pinggiran
kertas ulanganku dengan ujung jari
seakan kertasku jorok dan penuh
kuman, lalu cepat-cepat melemparkannya ke atas meja. Kim
dan Sarah tercekikik dengan sikap
memuji. Dari dua puluh soal, aku hanya
benar dua belas. Melanie melingkari semua kesalahanku 146
dengan pulpen merah dan membuat
tanda silang raksasa. Itu hasil
ulangan terburuk yang pemah
kudapat. Melanie benar empat
belas4Kim benar delapan belas.
Nilainya yang tertinggi. Dia
bahkan mengalahkan Arthur.
Kami harus menyebutkan nilai
masing-masing pada Mrs Stanley.
Beliau tampak kaget waktu
mendengar aku menggumamkan nilaiku.
Kupikir Mrs Stanley bakal
sedikit marah padaku, tapi beliau
tidak berkata apa-apa. Setelah
lonceng berbunyi, dia memanggilku
ke mejanya. "Ada yang tidak beres, Mandy?"
tanyanya. Aku menggeleng sambil menunduk
memandangi lantai. "Mengapa hasil ulangan mengejamu
buruk sekali, hmm" Melanie tidak
salah memeriksanya, bukan?"
Aku mengangguk. "Apakah Kim, Sarah, dan Melanie masih sering mengataimu,
Mandy?" 147
"Tidak, Mrs Stanley," jawabku.
Well, mereka memang tidak mengatai
aku. Tapi membicarakan aku. Namun
karena mereka tidak menyebutkan
namaku, aku jadi tidak bisa
membuktikan akulah yang mereka
jadikan bahan pembicaraan. Kim
memang benar-benar cerdik.
Mrs Stanley sepertinya tidak
seratus persen percaya padaku, tapi
dia hanya mendesah dan mengizinkan
aku pulang. Mum menunggu di luar, dan mulai
terlihat khawatir. Tapi tidak ada
tanda-tanda Tanya di sana.
"Ah, akhirnya kau datang juga Mandy! Mengapa terlambat sekali,
Sayang" Teman-temanmu yang lain
sudah lima menit yang lalu keluar.
Kau tidak disetrap, kan?"
"Tidak, hanya saja''' Mrs
Stanley bilang''' oh, sudahlah,
itu tidak penting. Mum, mana
Tanya?" "Mrs Stanley bilang apa"
Jangan pikirkan Tanya dulu."
"Hanya tentang mengeja. 148
Ulangan mengeja yang sangat sangat
membosankan. Bukankah Tanya mau
menemuiku lagi sepulang sekolah"
Dia bilang begitu kemarin malam."
"Tapi kau kan sangat pandai
mengeja! Kau selalu mempelajari
setiap kata baru dengan sempuma.
Dengar, kupikir ada baiknya bila kita pergi ke kota dan berbelanja
sedikit. Kemarin aku pergi ke
Maxwell's dan melihat gaun-gaun
pink indah dari kain genggang
dengan celemek di bagian depan."
"Huek!" "Jangan begitu, Mandy! Aku
tidak suka mendengarmu bicara kasar
seperti itu." "Tapi aku tidak bisa pergi
berbelanja, Mum, aku sudah
berjanji dengan Tanya hendak
bermain bersama." "Ya, dan aku sudah bilang pada
Tanya bahwa kita berdua akan pergi
berbelanja." "Oooh! Tapi aku jauh lebih suka
bertemu Tanya," tukasku.
Kepala Mum tersentak, 149
seolah aku baru saja menampar
wajahnya. Perutku mulas. Benar-
benar tidak adil. Siapa saja pasti
lebih senang bermain dengan
temannya daripada membuntuti ibunya
keluar-masuk toko. "Ya sudah, kalau kau benar-benar
tidak mau, kurasa aku tidak bisa
memaksamu," kata Mum dengan sikap
terguncang. "Tapi kau memang
membutuhkan beberapa gaun musim
panas baru. Lagi pula, sudah lama
sekali kita tidak pemah jalan-jalan
sepulang sekolah. Tadinya kupikir
kita akan makan es krim bersama di
Soda Fountain**" "Mengapa Mum tidak mengajak
Tanya sekalian?" tanyaku.
Mum menghela napas dalam, cuping
hidungnya bergerak ke dalam.
"Menurutku itu bukan ide yang
baik, Mandy" kata Mum. "Kau
sudah cukup sering bergaul dengan
Tanya belakangan ini. Ampun,
sekarang dia setiap hari datang,
dan kalian berdua mengurung diri di
dalam kamar. Daddy dan aku 150
hampir tidak pemah bertemu
denganmu." "Itu tidak benar! Lagi pula-"
"Dengar, aku tidak mau berdebat,
Mandy. Jadi pergi belanja dan
bersenang-senang -atau tidak?"
Kami pun pergi berbelanja. Tapi
rasanya sama sekali tidak
menyenangkan. Benci betul aku
melihat gaun-gaun pink yang dijual
di Maxwell's. Lagi pula, ukuran
yang pas untukku adalah ukuran yang
diperuntukkan bagi anak umur
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
delapan tahun. Aku jadi terlihat
seperti anak umur delapan tahun.
Tidak, bahkan lebih muda lagi.
"Tapi kau kelihatan manis
sekali, Sayang," puji Mum sambil
berlutut di kamar pas, menarik-
narik kerah gaun dan menalikan pita
mungil di punggung. "Kita juga
bisa membeli pita pink dan putih
yang serasi untuk kepangan
rambutmu." "Huek!" "Mandy! Sudah berapa kali
kubilang, jangan kasar 151
begitu!" "Well, tapi ide itu memang
menjijikkan, Mum. Pokoknya aku
tidak mau rambutku di kepang lagi,
kepangan itu jelek. Bahkan Dad
pun bilang begitu. Dan aku
terlihat konyol dengan gaun bayi
tolol ini." "Menurutku justru kaulah yang
bertingkah seperti bayi tolol,"
tukas Mum. "Well, baiklah. Kau
tidak harus memakai gaun pink.
Gaun mana yang kausukai"
Bagaimana kalau yang kerahnya
berhiaskan sulaman buah-buah ceri
itu" Kita coba yang itu?"
"Aku tidak mau membeli gaun.
Sekarang tidak ada lagi anak
perempuan yang mengenakan gaun."
"Begitu ya," ucap Mum. Itu
berarti dia tidak memahami
maksudku. "Jadi sekarang semua
anak berkeliaran dengan hanya
memakai rompi dan celana tanggung,
begitu?" "Tidak. Anak-anak perempuan
mengenakan''' celana 152
pendek." Mum mendengus. "Kalau kau
mengira aku akan membiarkanmu
berkeliaran dengan mengenakan
celana pendek seperti yang dipakai
Tanya, maka perkiraanmu itu
keliru." "Yang kumaksud bukan hanya
Tanya," tukasku. "Semua anak
perempuan di kelasku mengenakan
celana pendek, celana jins, dan
legging." "Memang, tapi kau tidak cocok
dengan gaya berpakaian seperti
itu," Mum berdalih. "Tapi aku ingin mengenakan gaya
seperti itu. Aku ingin terlihat
seperti yang lain. Itulah sebabnya
mengapa mereka terus menggangguku,
karena aku berbeda," rengekku.
Alasan yang kuajukan membuat
keyakinan Mum sedikit goyah. Aku
pun terus merengek. Akhimya Mum
mengalah dan membelikan celana
pendek dan sehelai kaus untukku. Celana pendek panjang. Warnanya
pink. Tapi paling tidak, 153
itu tetap celana pendek. Mum juga
Leukimia Kemping 2 Jaka Sembung 9 Membabat Kiyai Murtad Tembang Tantangan 3