Anak Anak Nakal 2
Anak Anak Nakal Karya Unknown Bagian 2
membelikan baju renang. Dad dan
aku pergi berenang setiap hari
Minggu pagi. Aku memohon dibelikan bikini. Dalam bayanganku, pasti keren sekali bila
aku bisa mengenakan atasan bikini
yang dipadu dengan celana pendek.
Aku yakin pasti keren. Tapi Mum
malah menertawakan aku. "Astaga, bikini! Jujur saja,
Mandy, dadamu lurus dan rata
seperti papan setrikaan!"
Mum membelikan baju renang anak-
anak yang membosankan. Untunglah dia tidak bisa memilih warna pink,
karena model yang diinginkannya
tidak ada yang berwarna pink.
Sebenarnya aku menginginkan baju
renang yang jingga terang, tapi
kata Mum warna itu terlalu
mencolok. Pilihannya jatuh pada
baju renang biru dengan pita putih
kecil konyol di bagian depan dengan
dua kancing berbentuk kepala
kelinci putih. "Kau kelihatan manis 154
sekali," puji Mum, berusaha keras
berlagak seakan acara jalan-jalan
kami ini benar-benar menyenangkan.
Mum bahkan tidak marah waktu aku
menunjukkan pulpenku yang rusak.
Kami pergi ke bagian yang menjual
alat-alat tulis. Mum membelikan
aku pulpen tinta berwarna pink
dengan pensil mekanik pink yang
serasi. Sebenarnya aku ingin langsung
pulang sehabis berbelanja, tapi
Mum ingin kami makan es krim dulu
di Soda Fountain. Jadi kami pun
pergi ke sana dan aku memilih es
krim Cherry Special. Kuisap
buah-buah cerinya dan kujilati
krimnya, lalu kuaduk-aduk es krim
di dalam mangkuk perak itu karena
entah mengapa rasanya kok tidak
mengena di lidahku. Tanya sudah menungguku waktu
akhirnya kami pulang. Dia
nangkring di pagar kayu kecil yang
mengelilingi rumah kami. Mum mendesah begitu aku melesat
mendahuluinya. 155
"Kurasa pagar itu tidak terlalu
kuat untuk diduduki, Tanya," seru
Mum. "Yeah, rasanya memang tidak
terlalu nyaman," kata Tanya,
berdiri dan menggosok-gosok bekas
merah di pahanya. "Hei, apa isi
tas-tas belanjaan itu" Kau
dibelikan barang-barang baru, ya,
Mandy" Beruntung benar kau!"
Oh, seandainya saja aku tadi
ingat membelikan oleh-oleh untuk
Tanya! Apalagi karena dia sudah
menghadiahkan ikat rambut hijau
padaku tempo hari. "Ini, kami membelikan hadiah
kecil untukmu, Tanya," kataku
cepat-cepat, menyambar pensil
mekanik dari dalam kantong
belanjaan dan menyodorkan benda itu
padanya. Alis Mum terangkat, tapi dia
diam saja. "Oh, wow! Hadiah untukku!
Pensil, oh hebat, aku belum pemah punya pensil mekanik keren seperti
ini. Terima kasih banyak," 156
seru Tanya, lalu menciumku. Dia
bahkan berjinjit dan mengecup pipi
Mum juga. "Baiklah-sekarang, coba lihat,
kau membeli apa saja, eh?" tanya
Tanya sambil merogoh tas-tas
belanja. "Oh, bagus sekali!" pujinya
sambil mengangkat tinggi kaus dan
celana pendekku. Mum tampak terkejut sekaligus
senang. "Apa maksudmu 'bagus sekali'?"
gerutuku pada Tanya. "Kau tidak
mau mengenakan baju seperti itu."
"Memang tidak, tapi ini pantas
sekali untukmu," ujar Tanya.
"Terima kasih!" kataku sambil
mendorongnya sedikit. "Lalu, kau membeli apa lagi?"
tanya Tanya, merogoh-rogoh ke
dalam tas. "Oh, pulpen, persis
seperti pensilku! Dan ini apa?"
"Baju renang." "Coba kita lihat. Oh, aku suka
kelinci-kelinci kecilnya."
Aku menyipitkan mata di 157
balik kacamata, masih belum yakin
Tanya berakting atau tidak.
"Kalau begitu kau bisa berenang,
Mandy?" "Oh ya, Mandy pergi berenang
bersama ayahnya setiap hari
Minggu," Mum menjelaskan sambil
melipat baju-baju yang baru dibeli,
memasukkannya kembali ke dalam tas.
" Ayo, Mandy, masuk. Kita harus
minum teh." "Apakah ayahmu yang mengajarimu
berenang, Mandy" Maukah dia
mengajariku" Aku boleh ikut
berenang hari Minggu nanti?"
"Oh, ya!" jawabku kegirangan.
"Kita lihat saja nanti."
Aku tahu apa arti perkataan
"kita lihat saja nanti" yang
diucapkan Mum. Itu berarti
penolakan secara halus. Tapi Dad sepertinya senang
dengan ide itu. "Ya, tentu saja
Tanya boleh ikut berenang bersama
kita," katanya. Aku langsung berseru kegirangan.
"Aku tidak yakin itu ide 158
yang bagus," seru Mum dari dapur.
"Si Tanya mulai membuntuti Mandy
ke mana-mana." "Dia tidak membuntuti. Justru
akulah yang membuntuti dia terus,"
bantahku berkeras. "Tenanglah, Mandy" ujar Mum,
masuk ke ruang depan dengan masih
mengenakan celemek. "Ya ampun,
beri kesempatan dulu pada Daddy
untuk berganti pakaian dan
beristirahat sebelum kau mulai
merongrongnya. Nanti saja kita
diskusikan rencana berenang ini."
"Tidak ada yang perlu
didiskusikan, Mum. Dad sudah
memperbolehkan," tukasku.
Dad tetap pada pendiriannya
meskipun Mum berusaha keras
membuatnya berubah pikiran.
"Aku tahu kau sepertinya sangat
menyukai Tanya-tapi sebenamya aku
sangat mengkhawatirkan dia. Aku
sudah bicara dengan Mrs Williams
dan dari dia aku tahu Tanya memiliki latar belakang yang sangat
menyedihkan." 159
Mum mulai berbisik-bisik dengan
Dad. Aku berusaha menguping.
Menunggu munculnya kata "maling".
Dad melihatku menggigit bibir.
"Ya, baiklah, kasihan Tanya
yang malang. Kedengarannya
hidupnya sangat berat," komentar
Dad. "Kalau benar begitu,
bukankah seharusnya kita justru
bersikap ekstra baik terhadapnya"
Menunjukkan padanya bagaimana
kehidupan keluarga normal yang
saling menyayangi" Aneh juga,
mengingat latar belakang keluarganya, bagaimana dia bisa
tumbuh menjadi anak yang ceria -dan
sangat sayang pada Mandy kita.
Kau terus berkata dia bisa memberi
pengaruh buruk pada Mandy. Apa
tidak pemah terpikir olehmu bahwa
Mandy justru bisa memberi pengaruh
yang baik pada Tanya?"
Kutinju udara dengan kepalan
tanganku. Dad benar-benar berhasil
membungkam protes Mum. Jadilah kami pergi berenang pada
hari Minggu, Dad, Tanya, 160
dan aku. Mulanya Tanya tidak
begitu bergairah menyambut ide itu.
Kami meneleponnya pagi-pagi
sekali, pukul 07_30, dan Mrs
Williams bilang dia masih tidur,
padahal sudah dua kali dibangunkan. Tanya muncul sepuluh menit
kemudian, putih pucat dan menguap,
rambut jingganya berdiri tegak.
Ini untuk pertama kalinya aku
melihat wajah Tanya polos tanpa
rias wajah. Mengejutkan, betapa
dia tampak sangat lain. Jauh lebih
muda. Lebih lembut. Dan lebih
rapuh. Sebelumnya Dad sempat kesal
menunggu Tanya yang tidak kunjung
datang, tapi sekarang dia
tersenyum. "Pagi, Tanya!" "Pagi! Rasanya seperti masih
tengah malam buta," katanya. Tapi
dia membalas senyum Dad. Kemudian
ia menjulurkan lidah padaku.
"Kenapa kau melihatku seperti itu,
heh?" Tangannya menggosok kelopak
matanya yang polos tanpa 161
riasan dan menyisir rambutnya
dengan jari-jari. "Aku kelihatan
aneh, ya?" "Menurutku kau justru tampak
manis," jawabku. Mulanya kusangka Tanya bakal
mengenakan bikini, tapi waktu kami
berganti baju, dia mengenakan baju
renang biru yang sudah tua, polos
dan biasa. Warnanya pun sudah
mulai pudar. "Aku tidak punya baju renang.
Ini kostum renang dari sekolah
putri Mrs Williams dulu. Jelek
sekali, kan" Lihat, ada lubang-
lubang kecilnya pula." Tanya
menusuk-nusuk lubang di baju
renangnya dengan jari telunjuk.
"Aku bisa ditangkap karena
dianggap melakukan perbuatan tidak
senonoh!" "Bajumu bagus," hiburku.
"Justru aku yang kelihatan idiot."
Kutarik pita dan kepala-kepala kelinci konyol yang menghiasi baju
renangku. "Kau terlihat manis kok," 162
puji Tanya. Nadanya terdengar
sendu. "Kau beruntung, ibumu
sangat memanjakanmu. Dia tidak
ikut berenang?" Kupandangi Tanya. Kami berdua
sama-sama membayangkan ibuku
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengenakan baju renang ketat. Kami
nyengir dengan perasaan bersalah4"Mungkin sebaiknya
tidak," ujar Tanya, menjawab
sendiri pertanyaannya. Kami menyimpan baju-baju kami di
lemari penyimpanan yang sama. Aku
senang melihat kaus dan celana
pendek baruku teronggok bersebelahan dengan kaus dan
legging milik Tanya. Aku juga
harus mencopot kacamataku. Aku
selalu merasa aneh bila tidak
mengenakan kacamata. Seluruh dunia
seolah berkabut dan menghilang di
kejauhan. Aku harus separo meraba-
raba untuk bisa mencapai kolam
renang. Yang terlihat olehku
hanyalah birunya air yang cemerlang
dan berkilauan. "Ayo, kubantu kau," kata 163
Tanya dan menggandeng tanganku
erat-erat. "Mana ayahmu" Oh, itu
dia di sana, berdiri di pinggir
kolam. Hei, Anda akan terjun ke
kolam?" Dia bergegas menarikku
menghampiri Dad, kaki kami yang
telanjang berlari menapaki ubin
yang lembap. "Taruhan, Anda pasti tidak bisa
terjun!" seru Tanya.
"Taruhan, aku pasti bisa," balas
Dad, persis seperti anak sekolah
menyambut tantangan. Kemudian dia
benar-benar terjun lalu berenang
menjauh, kedua lengannya membelah
air dengan mulus, kedua kakinya
yang runcing bergerak-gerak sampai
aku tidak bisa melihatnya lagi,
tertutup cipratan air yang berwarna
hijau muda. "Hei, ternyata ayahmu bisa!
Tua-tua keladi juga dia, ya?" seru
Tanya sambil tertawa. Dad berenang kembali menghampiri
kami sambil tertawa-tawa. Lalu dia
naik dan duduk di pinggir kolam,
kedua kakinya menendang air. 164
Butiran-butiran air berkilauan
menutupi badannya. Aku khawatir
Tanya bakal menertawakan perut
ayahku yang buncit dan menggelambir, serta bulu dadanya
yang lebat. Bulu dada yang
beruban. Namun Tanya sepertinya
menganggap Dad benar-benar ayah
super. "Hei, ajari aku terjun. Anda
hebat sekali! Dan aku ingin bisa
berenang dengan mulus seperti Anda
tadi. Aku hanya bisa berkecipak-
kecipak." Tanya mengoceh terus,
tapi dia tidak kunjung menceburkan
diri ke air. Dad sampai harus
memegangi tangannya dan membujuknya
menuruni tangga. Aku melompat ke
dalam air. Dan setelah Tanya
masuk ke kolam, dia tidak mau
mencelupkan badan dan membasahi
pundak. Dia malah berdiri sambil
mengigil, mendekap badannya dengan
kedua lengan, dan ketika Dad
berusaha menunjukkan bagaimana
caranya berenang dengan gaya katak,
Tanya tidak yakin dia bisa 165
melakukannya. Dia malah berdalih
mengidap infeksi telinga, jadi
mungkin ada baiknya bila dia tidak
membasahi rambut. Dad tidak memaksanya melakukan
apa-apa. Kami malah bermain
lompat-lompatan di dalam air, mula-
mula hanya Dad dan aku, tapi
kemudian kami memegang kedua tangan
Tanya dan dia ikut melompat-
lompat. MuIanya dia menjerit-
jerit dengan suara keras, tapi
kemudian dia mulai bisa menikmatinya dan tertawa berderai.
"Kita keluarga bahagja," seru
Tanya sernentara kami terus menari dan berputar-putar. Lalu dia
berdendang, "Kita keluar-ga ba-ha-
gia. Ada ayah Mandy, Mandy, dan
aku." Kami menyanyikan lagu Tanya
berulang-ulang sambil berputar di
air yang biru. "Seandainya saja
kita benar-benar satu keluarga yang
utuh," kataku. "Aku rela berbuat
apa saja, asal bisa punya kakak
perempuan seperti kau, 166
Tanya." "Yeah, kau juga sudah seperti
adikku sendiri," balas Tanya.
"Dan kita akan selalu bersama-
sama, tidak ada orang yang bisa
memisahkan kita, bukan?"
INDIGO 167
Suasana di sekolah masih tetap
tidak enak. Kim, Sarah, dan
Melanie langsung menutup hidung
setiap kali aku lewat. Beberapa
anak lain ikut-ikutan. Tapi Arthur tidak. Meski sikapnya
masih sedikit dingin. Aku berusaha
bersikap tidak peduli. Aku
berjalan dengan kepala ditegakkan,
pura-pura menjadi Miranda
Rainbow, sampai Kim menjulurkan
kaki dan menjegalku hingga aku
jatuh tunggang-langgang. Dia tidak melakukan apa-apa bila
ada guru di sekitar kami. Mrs
Edwards sedang giat-giatnya
menggalakkan Kampanye Anti
Penindasan. "Tunggu saja sampai liburan
tiba," kata Kim keras-keras pada
Melanie. "Kita kerjai dia habis-
habisan. Di rumahmu."
Ibuku masih menjalin kesepakatan
dengan ibu Melanie. Aku selalu
dititipkan di rumah mereka pada
pagi hari saat liburan, 168
sementara Mum bekerja. "Tapi sekarang aku tidak mau
dititipkan di rumah Melanie,"
tolakku ngotot. "Kenapa" Apa mereka mulai
mengganggumu lagi?" tanya Mum.
"Tidak. Well, tidak juga.
Hanya kadang-kadang mereka
melakukan hal yang aneh. Tapi
jangan melaporkannya lagi ke
sekolah, Mum! Kuabaikan saja
mereka, seperti anjuran Mum. Tapi
aku benar-benar tidak mau
dititipkan di rumah Melanie selama
liburan. Dia benci padaku. Dan
aku juga benci padanya."
Mum sangat khawatir. Dia ingin
aku mencoba berteman lagi dengan
Melanie. "Tapi Mandy tidak mau berteman
lagi dengan Melanie," bela Dad.
"Dan aku tidak menyalahkan dia.
Selama ini Melanie jahat sekali
padanya. " "Padahal mereka dulu akrab. Aku
tidak tahu harus berbuat apa lagi,"
keluh Mum bingung. "Aku 169
tidak bisa membawa Mandy ke
kantor. Dia juga belum cukup umur
untuk ditinggal di rumah sendirian.
Tapi dia sudah terlalu besar untuk
dijaga pengasuh anak! Jadi apa
yang akan kita lakukan?"
"Itu kan sudah jelas!" kata
Dad. "Maksudmu sebaiknya aku minta
izin dari kantor?" tanya Mum.
"Tidak! Bicaralah dengan Mrs
Williams. Aku yakin dia pasti
tidak keberatan mengawasi Mandy:
Dengan begitu, dia dan Tanya bisa
saling menemani." "Oh, ya! Yes! YES!" sorakku.
Mum menolak. Dia terus mengatakan tidak. Dia berusaha
mencari orang lain yang bisa
dimintai tolong menjagaku. Tapi
akhimya dia menyerah dan mengurus
semuanya dengan Mrs Williams.
"Oh, Mum, menyenangkan sekali!"
seruku sambil berjingkrak-jingkrak
mengelilingi ruangan. "Hei, hei, tenang, nanti pecah
barang-barang tersenggol 170
olehmu! Sekarang dengarkan baik-
baik, Mandy. Aku ingin kau
berkelakuan baik selama berada di
rumah Mrs Williams. Aku tidak
mau kau berbuat yang aneh-aneh
bersama Tanya. Ada banyak
peraturan yang harus kautaati,
mengerti?" "Mendengar berarti mematuhi,
Ibu yang Agung," jawabku separo
bercanda. Kami tidak menaati aturan-aturan
yang digariskan Mum. Mrs Williams sepertinya tidak begitu
peduli, pokoknya asal kami tidak
menyetel musik terlalu keras bila
bayi-bayi tidur siang. Dia juga
membiarkan saja kami berkeliaran di
kota bersama-sama, bahkan tidak
marah bila kami pulang terlambat.
"Beruntung benar kau, Tanya,"
kataku tanpa berpikir saat berjalan
beriringan bersama Tanya menuju
kota. "Mrs Williams tidak pemah
mengomelimu dan membuatmu menaati
aturan atau mengatur-atur seperti
ibuku." 171
"Well. Itu karena dia bukan
ibuku," kata Tanya. "Dia hanya
ibu asuh yang dibayar untuk
mengawasiku. Itu memang tugasnya.
Dan dia bahkan tidak menginginkan
aku, kebetulan saja aku dititipkan
di tempatnya karena tidak ada
tempat lain yang bisa menampungku.
Hubungan kami baik-baik saja, dia
bukan wanita tua yang cerewet, tapi
dia juga tidak terlalu memperhatikan aku. Kadang-kadang
dia bisa sangat tergila-gila pada
bayi-bayi itu. Entah mengapa,
padahal mereka kan nakal dan hanya
bisa bikin kotor. Tapi dia tidak
peduli padaku. Karena tidak
peduli, dia tidak pernah memarahiku. Ibumu memarahimu
karena dia sangat sayang padamu,
semua orang bisa melihatnya. Dia
menyayangimu dengan segenap hati."
Aku tidak tahu harus berkata
apa. "Dan ayahmu juga menganggap kau
segalanya baginya," kata Tanya,
kali ini nadanya terdengar 172
iri. "Bagaimana dengan ayahmu,
Tanya?" tanyaku. Aku baru sadar, tidak sekali pun
Tanya pernah bercerita tentang
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ayahnya. "Huh, dia!" ucap Tanya sambi!
mendengus. "Sudah bertahun-tahun
aku tidak pemah bertemu dia. Tidak
ingin juga sih." Tanya menarik lengannya yang
sedari tadi menggandeng lenganku
dan berjalan cepat-cepat, tumit
sepatunya berbunyi. Aku terpaksa
harus mempercepat langkah untuk
bisa menyusulnya. Tanya membuang
muka. Sepertinya dia berusaha
keras untuk tidak menangis.
"Maafkan aku, Tanya," ucapku
khawatir. "Untuk apa kau meminta maaf?"
tanyanya, suaranya terdengar galak.
"Well. Aku tidak bermaksud
membuatmu sedih. Dengan pertanyaanku tentang ayahmu tadi."
"Aku tidak sedih. Aku tidak
peduli padanya. Atau pada 173
ibuku, tidak lagi. Atau bahkan
pada adik-adik lelakiku, karena
mereka sekarang sudah diadopsi dan
keadaan mereka baik-baik saja. Aku
hanya memikirkan Carmel**"
"Mereka tidak mengizinkanmu
menemuinya?" "Kami pernah bertemu pada liburan Paskah kemarin, tapi
sikapnya malu-malu dan di sana ada
ibu angkatnya dan**" Tanya
menyedot ingus. "Dengar, tutup
mulutmu, Mandy; Aku tidak ingin
membicarakannya, oke?"
"Oke," sahutku.
"Jangan sedih begitu, goblok.
Ayo, kita ke kota dan bersenang-
senang," ajak Tanya.
Kami pergi ke toko Boots,
berlama-lama di konter yang menjual
berbagai jenis kosmetik. Pada
mulanya sangat mengasyikkan. Tanya
memakaikan sampel rias mata dan
lipstik ke wajahku dan kami saling
menyemprotkan tester parfum. Tapi
kemudian Tanya mulai berjalan
mengitari rak dan aku 174 melihat tangannya terulur dan
menyambar sesuatu dengan gerakan
secepat kilat. Dia mengenakan kaus
lengan panjang berkerudung yang
memiliki saku besar. Mudah saja
baginya menyembunyikan barang-
barang di dalamnya. Aku berjalan mengikutinya,
sekujur badanku gemetar. Sebaliknya Tanya, dia berjalan
berkeliling dengan kalem, seolah
tidak ada apa-apa. Benar-benar
ahli. Kami keluar dari toko dan dengan
cemas aku menantikan adanya tangan
yang hinggap di bahu Tanya,
menegurnya dengan galak. Tapi itu
tidak terjadi. Kami berjalan
terus, bola mata Tanya bersinar
cemerlang, cengiran lebar menghiasi
wajahnya. Sikapnya benar-benar
gembira sekarang. "Hei, Mandy, ayo. Kita ke
toilet sebentar. Rupamu seperti
badut dengan rias wajah coreng-
moreng begitu," kata Tanya.
Ditatapnya aku lekat-lekat. 175
"Kau kenapa, heh?" tanyanya.
Kerongkonganku kering sekali
sampai aku tidak bisa berbicara.
Aku hanya berdiri di sana, badanku
gemetaran. "Hei, kau mau lihat apa yang
kuambilkan untukmu?"
Dia membuka saku bajunya dan
menunjukkan padaku sekaleng hair
spray. "Sudah kubilang, kau membutuhkan
hair spray untuk menata rambutmu.
Bila kau menyisirnya ke atas.
Mengapa kau tidak pemah memakai
ikat rambut yang kuhadiahkan
untukmu, heh?" Aku hanya mengangkat bahu dan menggeleng. Karena tidak ingin
membuatnya sedih lagi, aku tidak
berani mengatakan apa-apa tentang
aksi mengutilnya barusan.
Tanya sekarang selalu beraksi
setiap kali kami berbelanja
bersama. Aku tetap tidak berani
menegumya secara terang-terangan,
tapi sebisa mungkin aku berusaha
keras kami tetap berada di 176
rumah Mrs Williams dan tidak
pergi ke mana-mana. "Sudahlah, Tanya. Berbelanja
membosankan. Kita di rumah saja,
mendengarkan musik, menggambar,
atau yang lain. Terserah kau.
Please," pintaku. Kadang-kadang taktikku berhasil. Saat-saat seperti itu merupakan
pagi yang paling membahagiakan
bagiku. Kami menyetel kaset milik
Tanya dan mendengarkan lagu-lagu
sampai aku hafal semua liriknya.
Tapi aku hanya komat-kamit tanpa
suara. Sementara Tanya menyanyi
dengan suara serak-serak basahnya
yang keren. Dia menari dan
menciptakan berbagai gerakan tari
sendiri. "Apa menurutmu aku bisa jadi
penyanyi rock terkenal suatu saat
nanti, Mandy?" Tanya bertanya
sambil terus menari. "Tentu saja bisa," jawabku.
Sekarang pun dandanannya sudah
seperti penyanyi rock, dengan
celana pendek mengilap dan 177
blus violet gemerlapan yang
fantastis. Dia mewarnai kelopak
matanya dengan perona mata warna
ungu, membaurkannya dengan sangat
manis hingga alis. Suatu kali
bahkan dia mengambil kotak spidolku
dan membuat desain desain tato di
lengan dan kakinya-gambar berbagai
jenis bunga yang aneh, kuda unicorn
yang berjingkrak, dan penyihir yang
membacakan mantra. Dia juga
membuat gambar gelang dari tinta
biru tua, mengitari pergelangan
tangannya yang kurus, dan meminta
bantuanku membuatkan gambar cincin
di setiap jari, berhiaskan batu
mirah merah, zambrud hijau, ametis
ungu, dan safir biru. "Buatkan tato untukku, Tanya,"
pintaku. "Ibumu bisa mengamuk," kata
Tanya, tapi dia membuat gambar tato kecil di bagian dalam
pergelangan tanganku. Ujung spidol
terasa menggelitik dan rasanya aneh
bila dia menekan pembuluh darahku.
Dibuatnya gambar hati merah 178
dengan jumbai-jumbai di sekelilingnya. Di dalam hati itu
terukir dua nama yang saling
menyilang, Tanya dan Mandy.
Rasanya aku mau pingsan saking
bangga dan bahagianya. Saat Mum datang menjemputku,
aku menempelkan plester untuk
menutupi tatoku, berlagak seolah
tanganku tergores. Setiap kali
sendirian, berulang kali aku
mengintip gambar hati di tanganku
itu. Aku berhasil mempertahankannya hingga menjelang
waktu tidur. Lalu Mum menyuruhku
mandi, sehingga plesternya copot
dan gambar hatinya terhapus. Esok
harinya aku membawa kotak spidolku ke rumah Mrs Williams dan
menuntut digambarkan jantung hati
lagi. Tanya juga senang menggambar, menggunakan pensil
mekaniknya yang baru. Kami
mengarang cerita hebat tentang dua
anak perempuan yang melakukan
perjalanan keliling dunia bersama.
Tanya menamai gadis 179
ciptaannya Love Tanyanita. Aku
membiarkan gadis ciptaanku
menggunakan nama Miranda Rainbow.
Mulanya aku sedikit khawatir
membagi teman khayalan yang begjtu
penting artinya bagjku dengan
Tanya, tapi Tanya tidak menganggapnya sebagai hal yang
konyol dan tidak meledekku sama
sekali. Ceritanya, Love dan Miranda
dulunya miskin, sehingga untuk pergi ke mana-mana mereka harus
nebeng naik lori dan tidur di
pinggir jalan dalam satu kantong
tidur. Tapi kemudian Love mulai
menyanyi dan albumnya meledak di
pasaran, hingga dia jadi kaya,
lebih kaya daripada Madonna. Dia
tetap bersahabat dengan Miranda.
Mereka tinggal di apartemen
penthouse-di lantai paling atas-
dengan perabotan serbaputih, karpet
putih, dan tempat tidur putih
berbentuk hati, serta kolam renang
besar di puncak gedung dengan ikan
lumba-lumba sungguhan 180
berenang di dalamnya. Sekarang,
bila Love dan Miranda hendak
bepergian, mereka menggunakan limusin putih panjang milik mereka
sendiri'''. Tanya pintar sekali mengembangkan ceritanya. Aku
sampai memohon-mohon padanya agar
menuliskannya untukku, supaya aku
bisa mengingatnya sampai kapan pun.
"Iduplah dwa gadis," Tanya
menulis, lamban sekali. Aku tidak berkomentar. Tapi
Tanya melihat ekspresi wajahku
yang terperangah melihat tulisannya
yang kacau-balau. "Yeah, well, aku memang tidak
pandai menulis," kata Tanya. "Aku
mengalami kesulitan belajar.
Karena aku kehilangan ibuku dan
lain sebagainya. Lagi pula, aku
menderita disleksia. Kau tahu apa
itu" Itu kelainan yang membuatmu
tidak bisa membaca dan menulis
dengan benar. Tapi itu bukan
berarti kau dungu." "Tentu saja tidak," aku 181
buru-buru menimpali. "Tidak mungkin aku dungu, karena
aku tahu semua kata, bahkan
sebagian kata itu panjang dan
susah. Aku cuma tidak bisa
menuliskannya dengan benar."
"Aku bisa mengajarimu!" aku
menawarkan diri. Tapi itu tidak berlangsung
mulus. Aku terlalu malu menunjukkan semua kesalahan Tanya.
Bila aku berani memberitahukannya,
wajah Tanya langsung merah padam.
"Hei, membosankan sekali!
Sekarang kan liburan. Siapa yang
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mau mengerjakan urusan-urusan
sekolah pada waktu liburan" Ayo,
kita jalan-jalan ke kota saja."
"Tidak! " "Oh, ayolah, Mandy, aku bosan
di rumah terus. " "Tidak ada waktu, sebentar lagi
ibuku datang menjemput."
"Jangan konyol. Ibumu baru akan
datang pukul setengah dua. Mengapa
kau tidak mau pergi berbelanja,
heh?" 182
"Kau tahu kenapa," jawabku putus
asa. "Kenapa ?" "Karena''' karena aku tidak suka
bila kau**" "Bila aku apa?"
"Kau tahu." "Tidak. Beritahu aku," desak
Tanya sambil menalikan sepatu
sandalnya. "Bila kau''' mengambil barang-
barang." Tanya berdiri dengan mengenakan
sepatu bertumit tinggi dan bertolak
pinggang. "Tapi aku kan selalu
mengambilkan hadiah-hadiah kecil untukmu juga," katanya.
"Ya, tapi''' sebenarnya aku
tidak ingin kau mengambilkan
barang-barang untukku. Aku sangat
ketakutan." "Dengar, kau tidak perlu takut.
Aku tahu apa yang kulakukan. Aku
tidak akan tertangkap, sungguh.
Aku tidak pernah tertangkap."
"Tapi. .. itu tidak 183
baik," kataku, hampir menangis.
"Apa?" tanya Tanya. "Oh,
sudahlah, jangan ngaco begitu."
"Itu sama saja dengan mencuri."
"Aku tahu itu sama saja dengan
mencuri. Tapi toko-toko itu tidak
bakal rugi. Mereka sudah menaikkan
harga sedemikian rupa untuk
mengantisipasi pengutilan. Lagi
pula, bagaimana lagi aku bisa
mendapatkan barang-barang yang
kubutuhkan, heh" Si tua Pat pelit
soal memberiku uang saku, padahal
dia dibayar banyak untuk mengurusku. Kau sih enak. Mau
jadi anak sok alim juga tidak apa-
apa karena semua kebutuhanmu
dicukupi kedua orangtuamu."
"Aku tahu. Maafkan aku. Jangan
marah padaku, Tanya. Baiklah.
Ayo kita pergi," kataku dengan air
mata menggenang. "Oh, sekarang aku sudah malas,"
tukas Tanya. "Kau mengacaukan
semuanya. Dulu aku juga sering
mengambilkan barang-barang untuk
Carmel dan dia selalu 184
menerimanya dengan senang hati.
Menurutnya aku benar-benar hebat.
Kami dulu sering bersenang-senang
bersama. Tapi kau sama sekali
tidak bisa diajak bersenang-senang,
Mandy White." Tanya menjatuhkan badan ke
tempat tidur dan menyembunyikan
wajahnya. "Oh, Tanya, jangan, kumohon,"
pintaku, menangis tersedu-sedu.
Tidak percaya aku betapa cepatnya situasi berubah menjadi
sangat tidak mengenakkan hanya
dalam tempo beberapa detik. Mau
rasanya kugigit lidahku sampai
putus. Sejurus kemudian Mrs Williams
mengetuk pintu dan melongokkan
kepala ke dalam kamar. "Temyata benar, kupikir tadi aku
mendengar suara orang menangis!
Ada apa, Mandy?" "Tidak ada apa-apa," jawabku.
Jawaban tolol, karena jelas Mrs
Williams melihatku menangis
sejadi-jadinya. 185
Pandangan Mrs Williams tertuju
ke tempat tidur. "Apakah Tanya uring-uringan?"
tanyanya. "Hei, Tanya?"
Tanya tidak bergerak. "Ya sudah," tukas Mrs
Williams. "Ikutlah ke bawah
bersamaku, Mandy; Kita akan minum
teh dan makan biskuit, oke?"
"Tapi bagaimana dengan Tanya?"
"Nanti juga dia akan turun dan
bergabung bersama kita kalau
perasaannya sudah enak," jawab Mrs
Williams. Aku yakin Mrs Williams keliru.
Aku menangis begitu keras sampai
tidak sanggup meneguk tehku. Simon
datang dan duduk di kakiku,
menengadah dan memandangiku dengan
sikap ingin tahu. Charlie juga
ikut-ikutan merangkak mendekat
sambil merengek rewel. Gusinya
sakit karena dia sedang tumbuh
gigi. Air liurnya berleleran di
dagu. Sementara itu, si bayi
Ricky mulai merengek-rengek di
kereta dorongnya yang 186
diletakkan di ruang depan.
"Ya ampun, hari ini kalian semua
sedang uring-uringan, ya?" kata
Mrs Williams. "Apa sebabnya kau
dan Tanya bertengkar, Mandy?" "Tidak ada apa-apa," ulangku
sambil membersihkan ingus.
"Yeah, tidak ada apa-apa,"
sambut suara yang sangat kukenal.
Tanya berjalan memasuki dapur
dengan tumit sepatu berpletak-
pletok. "Aku juga mau minum teh, Pat.
Dan ayo kita makan beberapa keping
biskuit cokelat, yeah?" Dia
membungkuk, menggelitik perut
Simon. "Kita ingin makan biskuit
cokelat, kan, sobat kecil?"
Simon tertawa dan juga minta
perhatian terpekik-pekik. Charlie
juga minta perhatian sehingga
Tanya mengangkatnya dan melempar-
lemparkannya di udara. Charlie
kegirangan, air liumya menetes-
netes. "Idih, kau mengileri aku,
pancuran kecil,"kata Tanya, 187
meletakkan bocah itu kembali ke
lantai dan menyeka wajahnya. Lalu
dia memandangi aku. "Hei, kau juga seperti pancuran!
Ada apa, Mandy?" "Oh, Tanya," isakku. "Maukah
kau berteman lagi denganku?"
"Kita kan selalu berteman, anak
tolol," sergah Tanya, lalu
menepuk-nepuk wajahku yang basah
dengan serbet. "Ini, seka
wajahmu." "Kita pergi berbelanja
sekarang," kataku. "Tidak, tidak usah," tolak
Tanya sambil menggigit biskuit
eokelatnya. "Mungkin besok."
Aku memutuskan aku tidak peduli
Tanya akan melakukan apa.
Pokoknya, biar bagaimanapun, dia
harus tetap menjadi temanku.
Bahkan bila itu berarti dia tetap
mengutil saat kami pergi bersama.
Walau begitu, tak urung aku
tetap ketakutan setengah mati waktu
kami berdua berangkat ke kota esok
paginya. Tanya 188
memperhatikan wajahku lekat-lekat.
"Kau baik-baik saja?"
"Ya!" aku buru-buru menjawab,
memaksa diri tersenyum. "Ayolah, katakan pada sobatmu
Tanya, hal apa yang meresahkan
pikiranmu," kata Tanya sambil
menggelitik bagian bawah daguku.
"Hentikan," kataku, tertawa
keras-keras. Aku ingin sekali menunjukkan
padanya aku juga bisa menjadi teman
yang menyenangkan. Tanya memang tidak bisa membaca
dengan baik, tapi dia bisa membaca suasana hatiku dengan sangat tepat.
"Tidak apa-apa, Mandy" ujarnya.
"Dengar, bila kau benar-benar
merasa terganggu, aku berjanji
tidak akan mengutil barang-barang
untukmu lagi, oke?" "Sungguh?" tanyaku, kepalaku
pusing saking leganya. "Tapi aku tidak bilang aku tidak
akan mengutil barang-barang untukku
lagi," Tanya menandaskan sambil
nyengir lebar. Dia 189
merangkul pundakku. "Kau masih mau
berteman denganku, yeah?"
"Kau sahabat yang paling baik di
seluruh dunia," ucapku sungguh-
sungguh. Kami pergi ke Flowerfields Shopping Centre dan mulanya
sangat senang bermain-main di sana.
Kami menonton robot tikus,
kelinci, dan tupai menari-nari di
antara pajangan bunga plastik.
Tanya mengambil segenggam koin
dari dasar kolam air mancur
harapan-tapi melemparkan kembali
semuanya. "Ayo, panjatkan keinginanmu
sebanyak-banyaknya, Mandy" kata
Tanya sambil menyebar uang-uang
logam itu dengan gerakan yang
sangat cepat, sampai air kolam
bercipratan. Aku berdoa semoga Tanya bisa
menjadi temanku selamanya.
Aku berdoa semoga Kim, Sarah,
dan Melanie berhenti menggangguku
bila liburan berakhir dan aku
kembali bersekolah. 190
Aku berharap bisa berubah
menjadi Miranda Rainbow. Aku berharap semua harapan bisa
menjadi kenyataan. "Apa harapanmu, Tanya?"
tanyaku. Tanya mengerutkan hidung. "Bila
aku memberitahukannya padamu,
harapan itu tidak akan terwujud."
Kami berkeliaran mengelilingi
Flowerfields. Berjam-jam lamanya
kami berkutat di toko HMV,
mendengarkan musik. Tanya meraba
sehelai kaus baru bergambar Kurt
dengan wajah kepingin. Aku menahan
napas. Tapi Tanya hanya mengelusnya.
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagus sekali, bukan?" tanyanya.
"Aku akan bertanya pada Pat
apakah dia mau membelikannya
untukku. Aku membutuhkan baju-baju
baru untuk musim panas."
"Aku punya uang tabungan,
Tanya. Aku bisa membelikannya
untukmu sebagai hadiah," kataku.
Kurogoh sakuku. "Tapi aku tidak
membawa semua uangku hari 191
ini, karena Mum tidak mengizinkan
aku membawa semuanya sekaligus.
Tapi jumlah yang kusimpan di rumah
hampir mencapai dua puluh pound."
"Simpan saja uangmu, Mandy,"
tolak Tanya, tapi tampaknya dia
terharu. Kami naik lift kaca ke lantai
paling atas. Tanya menggandeng
tanganku ketika kami membubung
tinggi bersama di dalam lift. Aku
merasa sangat bahagia, seperti
terbang di angkasa, tinggi di langit. Lalu kami sampai di lantai
teratas dan Tanya langsung
memandang berkeliling, mencari
toko-toko yang terbaik. "Hei, kelihatannya toko ini
keren," serunya sambil menarik
tanganku, mengajakku ke sana.
Toko itu bernama Indigo. Aku
belum pernah ke sana, tapi aku
pemah mendengar Melanie bercerita
tak henti-hentinya tentang toko
ini. Bagian depannya dicat biru
tua, dengan pintu berbilah-bilah
perak, seperti yang kerap 192
dijumpai di rumah-rumah minum pada
zaman koboi dulu. Bagian dalamnya juga dicat biru tua, dengan lampu-
lampu perak yang berputar. Kami
sendiri jadi berwarna biru tua aneh
dan itu membuat kami cekikikan.
Semua baju yang dijual di sana
dipajang di rak-rak perak dan
disinari lampu khusus. Sebagian
besar terbuat dari bahan denim,
baik itu celana jins, kaus, rok
mini, atau jaket. Juga ada
beberapa sweter rajutan wama biru
tua yang langsung membuat Tanya
tergila-gila. Ia mencoba satu lalu
berputar-putar, membelai bahannya
yang halus. "Atau aku bisa membelikan sweter
itu untukmu," kataku menawarkan.
Tanya mengerutkan alis dan
menunjukkan label harganya padaku.
"Wow! Well. Aku tidak mampu
membelinya," kataku.
"Tidak ada yang mampu
membelinya," kata Tanya sambil mematut-matut diri dalam cermin.
Pramuniaga berdiri di 193
seberang ruangan, memperhatikan
kami. Cowok keren berambut pirang
dan mengenakan baju Indigo.
Tanya membusungkan dada. "Jujur, coba kaulihat cowok di
sana itu, dia memperhatikan aku,"
bisik Tanya sambil nyengir kecil.
"Mungkin sebenarnya kau tidak
boleh mencoba sweter itu," kataku.
"Bagaimana kau bisa tahu bagus-
tidaknya sweter ini dipakai bila
tidak mencobanya lebih dulu?"
sergah Tanya sambil melepas sweter
itu dengan enggan. Tanya melipat sweter itu lambat-
lambat. Aku memperhatikannya
dengan jantung yang mulai berdebar
kencang. Tapi Tanya meletakkannya
kembali di rak bersama sweter-
sweter lain. Kami beralih ke lemari kaca yang
memajang berbagai perhiasan. Kami
membungkuk, mengagumi gelang-gelang
perak besar yang dipajang di sana,
juga berbagai cincin bertatahkan
batu pirus. Lemari itu terkunci,
jadi kami tidak bisa 194
mencobanya. "Apa perlu kupanggil cowok itu
ke sini untuk membukakan lemari?"
tanya Tanya. "Jangan!" "Dia masih saja memandangi aku."
Tanya membalas pandangan cowok
itu, ekspresi wajahnya tampak
konyol. "Kukira kau benci cowok," sergahku masam.
"Memang," ujar Tanya. "Tapi
aku tidak bisa menolak bila mereka
naksir aku, kan?" Tanya berjalan menghampiri rak
yang memajang topi-topi koboi, jadi
kami lebih dekat dengan cowok
pirang itu. Cowok tersebut
bersedekap, sambil berulang kali
menyentakkan kepala untuk
menepiskan rambutnya yang terjurai
menutupi mata. Benar juga, dia
terus memperhatikan Tanya.
Matanya biru. Biru tua. Indigo,
sama seperti warna toko ini. Dia
tipe cowok yang sering tampil di
sinetron. Tipe yang digilai 195
cewek-cewek. Bahkan mungkin
termasuk Tanya. "Tanya, ayo. Kita harus segera
pulang, sebentar lagi ibuku
pulang," ajakku ketus.
"Ah, kita masih punya banyak
waktu," bantah Tanya. "Ayo, aku
ingin mencoba sepatu-sepatu bot
koboi ini. Bagus sekali, bukan?"
Tanya membungkuk dan membuka
tali sepatu sandalnya yang lusuh.
Kakinya tidak begitu bersih.
Cepat-cepat dijejalkannya kaki itu
ke dalam sepatu bot putih berhias
batu-batuan. "Hebat, kan?" kata Tanya sambil
menggoyang-goyang kaki dengan sikap
kagum. Dia menengadah. "Oh, oh!"
serunya. Cowok pirang itu menghampiri
kami. Tanya mengedipkan mata dan
tersenyum saat cowok itu mendekat.
Tapi si cowok tidak membalas
senyumannya. "Bisa tolong ambilkan sepatu bot
pasangannya?" tanya Tanya sambil
bertolak pinggang. 196
"Tidak, tidak bisa. Dan tolong
lepas sepatu bot itu. Kalian sudah
terlalu lama mengacau di sini.
Sekarang saatnya kalian pergi,"
hardik cowok itu. Aku merasa wajahku memerah,
hampir saja aku mati saking
malunya. Wajah Tanya juga merah
padam saat dia berusaha melepas
sepatu bot itu dari kakinya. Dia
kehilangan keseimbangan dan nyaris
terjatuh. "Dengar, berhentilah bercanda,"
tegur cowok itu. "Kau tidak
seharusnya mencoba sepatu bot dengan kaki telanjang. Itu tidak
higienis." Dia mendengus begitu melihat
kaki Tanya yang kotor keluar dari
dalam sepatu bot. Tanya tidak
berkata apa-apa. Dia sama sekali
tidak melihat ke cowok itu. Dia
juga tidak melihat ke arahku.
Kedua tangannya yang menalikan
tali sepatu sandal tampak
gemetaran. Dia berbalik dan
berjalan keluar. Aku 197
bergegas menyusulnya. Aku melihat tangannya terulur ke
rak. Aku melihat sekelebat warna
biru tua. Dan detik berikutnya,
benda itu menghilang, tapi tiba-
tiba saja sweter yang dipakai Tanya tampak sedikit ketat di
bagian perut. Aku berusaha tetap melangkahkan
kakiku. Keluar dari toko.
Menyusuri lorong di lantai
pertokoan paling atas. Menuju
lift. Tapi kemudian kudengar seseorang
berteriak. Tanya menoleh.
Cowok itu mengejar kami. "Lari!" teriak Tanya. "Lari!"
UNGU 198
Kami lari. Lari sekencang-
kencangnya. Tidak sempat lagi
menunggu lift. Kami berlari dengan
langkah berdentam-dentam menyusuri
lantai pertokoan paling atas,
kemudian Tanya menghambur menuruni
eskalator. Sekuat tenaga aku
menyusul di belakangnya, menuruni
tangga berjalan, menabrak para
wanita yang marah, berzig-zag
menghindari mereka yang bergeming,
menubruk dan mendesak sampai
kepalaku membentur pinggiran
eskalator dan selama satu detik
yang sangat mencekam aku mengira
diriku bakal terjerembap dari
pinggir tangga dan melayang di
udara, terjun bebas hingga ke kolam
harapan di bawah sana. Aku menjerit dan Tanya menoleh.
Dia hampir mencapai bagian bawah
eskalator. Seharusnya dia terus
lari saja. Mungkin dengan begitu
dia bisa kabur. Tapi dia berhenti. Dan malah
berlari menaiki eskalator, 199
menghampiriku. "Tenanglah, aku memegangimu,"
katanya, jari-jarinya mencengkeram
pergelangan tanganku kuat-kuat.
Kepalaku jernih kembali, lampu-
lampu berhenti berputar. Aku
memandang berkeliling. Kulihat dua
satpam berseragam biru berdiri di
puncak eskalator. "Cepat! Aku tidak apa-apa,"
seruku, lalu mulai berlari menuruni
tangga, kami berdua, mendorong,
menyikut, menghindar, terus turun,
hingga tiba di bawah. Tapi kedua
satpam itu terus saja mengejar
kami. "Ayo, lari!" teriak Tanya.
Kami lari lagi, jantungku
memukul-mukul dadaku dan pinggangku
sakit, dan terasa seperti ada logam
dalam mulutku, tapi aku terus saja
berlari. Aku lari secepat Tanya,
yang berlari kalang kabut seperti
orang gila dengan langkah nyaring.
Pusat perbelanjaan saat itu padat
pengunjung dan meski itu berarti
kami harus selalu mendorong 200
untuk bisa maju, kerumunan
pengunjung membantu kami bersembunyi dari incaran petugas
keamanan. Kami hampir mencapai
pintu keluar, melewati bunga-bunga
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
plastik, meninggalkan kelinci-
kelinci dan tupai-tupai, semakin
dekat, semakin dekat, dan sebentar
lagi kami pasti bisa lolos.
Mendadak Tanya berhenti berlari. Jari-jarinya mencengkeram
tanganku. Kulihat dia memandang ke
satu titik dengan pandangan
nyalang. Kuikuti arah pandangnya,
dan kulihat apa yang dilihatnya.
Tampak beberapa satpam berjaga
tepat di pintu keluar, sibuk
berbicara di radio, menyebar ke
seantero pusat perbelanjaan.
Menunggu kami. "Cepat, masuk ke salah satu
toko," perintah Tanya sambil
melesat pergi. Tapi ternyata kami tidak cukup
cepat. Salah seorang satpam memergoki
kami, dan langsung bergerak 201
cepat. Kami berbalik dan kembali
berlari menuju bagian dalam pusat
perbelanjaan, tapi terlambat. Ada
tangan hinggap di pundakku. Lalu
dua tangan, memiting lenganku.
"Tunggu sebentar, gadis cilik,"
seru suara seseorang. "Lari, Tanya!" teriakku
padanya. Tapi satpam-satpam itu juga
berhasil menangkapnya, mengapitnya.
Tanya tertangkap, aku tertangkap,
dan semua orang memperhatikan kami
dan menuding-nuding. Aku mendengar
kata maling. Aku menggeleng,
meronta-ronta, dan berusaha keras
membuka mataku lebar-lebar, karena
aku benar-benar berharap ini
hanyalah mimpi buruk. Ini tidak mungkin terjadi.
"Sudahlah, berhentilah meronta-
ronta. Kau sudah tertangkap.
Jangan membuat situasi menjadi
lebih buruk bagi dirimu sendiri.
Kita kembali ke toko di lantai
atas sana, heh?" "Jangan bawa dia! Jangan 202
bawa anak kecil itu," pinta Tanya.
"Ini tidak ada hubungannya dengan
dia. Lagi pula, dia masih di bawah
umur. Lepaskan dia. Lepaskan dia,
bangsat! Kalian toh sudah
menangkap aku, apa itu belum
cukup?" Tapi kami berdua dibawa naik
kembali dengan menggunakan lift
kaca, dan aku tidak percaya lima
belas menit sebelumnya kami begitu
bahagia, membubung tinggi seperti
terbang. Dan sekarang aku digiring
satpam seperti penjahat. Belum
lagi menjadi tontonan banyak orang
yang memperhatikan aku, memperhatikan Tanya. Kami berjalan di sepanjang
lantai pertokoan paling atas.
Semakin banyak orang yang menonton
sambil berdecak-decak, berkomentar
bahwa sangatlah memalukan bagaimana liarnya anak-anak zaman sekarang,
dan mereka menyalahkan para ibu'''
saat itulah pikiranku melayang pada
Mum dan tangisku pun pecah.
"Sudahlah, tidak perlu 203
menangis. Jangan takut, kami tidak
akan menyakitimu," kata satpam itu
dengan sikap tidak enak. "Lepaskan saja dia, tolonglah.
Dia masih kecil," kata Tanya.
"Kalau begitu, kenapa kau
melibatkannya dalam aksi pengutilanmu, heh?" hardik satpam
tersebut. "Siapa bilang aku mengutil"
Coba buktikan! Kami hanya
berkeliling dan melihat-lihat. Itu
tidak melanggar hukum, kan?" balas
Tanya marah. "Lagi pula, berulang
kali kutegaskan padamu, gadis kecil
ini tidak melakukan apa-apa. Dia
bahkan tidak bersama aku. Biarkan
dia pulang menemui ibunya."
"Kalian baru bisa bertemu ibu-
ibu kalian setelah polisi datang ke
sini nanti," satpam itu berkata.
"Jadi aku akan bertemu ibuku,
ya?" sergah Tanya. "Well, itu
baru namanya kejutan."
Mereka menggiring kami kembali
ke Indigo. Cowok bermata biru itu
berdiri di sana dengan kedua 204
lengan terlipat di dada, menggeleng-geleng. "Yeah, mereka pelakunya. Anak-
anak tolol," dia berujar.
"Kau sendiri yang tolol, tukang
berlagak," teriak Tanya. "Kami
tidak melakukan apa-apa. Kami hanya melihat-lihat barang
daganganmu yang jelek itu, menjajal
sepatu bot dan lain sebagainya.
Tapi kami tidak mengambil apa-
apa." Saat kami digiring ke ruang
penyimpanan barang di bagian
belakang toko, Tanya terus
menegaskan dia tidak mengutil.
Seorang satpam wanita menemani
kami dan meminta kami menyerahkan
barang apa saja yang kami ambil.
"Kami tidak mengambil apa-apa,"
ulang Tanya. Aku hanya menangis dan Tanya
merangkul pundakku. Aku bisa
merasakan tubuhnya yang gemetaran,
dan itu membuatku menangis semakin
keras. "Dengar, anak-anak. 205
Jangan sampai aku harus menggeledahmu," satpam wanita itu
berkata. "Kau tidak boleh menyentuh kami!
Kau tidak berhak. Dan seperti
yang telah berulang kali kukatakan
padamu, aku tidak mengutil apa-apa.
Cowok yang di luar sana itu, yang
merasa dirinya ganteng, hanya ingin
membuat masalah dengan kami,"
Tanya bersikukuh. "Menurutnya, kau mengambil
sweter biru rajutan tangan," satpam
wanita itu berkata. "Kalau begitu dia bohong," kata
Tanya. Tapi satpam wanita itu mengulurkan tangan dan menepuk-
nepuk perut Tanya yang menggelembung. Isi di dalamnya
merosot. Sweter biru rajutan
tangan itu jatuh ke lantai.
"Siapa yang berbohong?" sindir satpam itu.
"Kau menjebakku dengan menaruh
sweter itu padaku," tuduh Tanya.
"Bukankah begitu, Mandy" 206
Dia sengaja menyodorkannya padaku
untuk menjebakku, kan?"
Para satpam yang berdiri di
pintu tertawa. "Tangguh dan cerdik juga gadis
cilik ini," kata salah seorang di
antara mereka. "Aku berani
bertaruh polisi nanti akan
mendapati ternyata dia punya banyak
catatan kriminal." "Polisi!" tangisku panik.
Menyeramkan benar waktu mereka
benar-benar datang, satu polisi
laki-laki dan satu lagi polisi
perempuan, berseragam warna gelap
dan bertopi polisi. "Hei, hei, Segarang itukah aku di matamu?" tanya polisi laki-laki
itu, tertawa. Dia memandangi aku
dan Tanya berganti-ganti. "Thelma
dan Louise kecil, eh?"
"Oh, ha ha. Ternyata dia
pelawak," sergah Tanya.
" Well, sedang kau anak badung,"
tukas polisi itu. Dia berjalan
menghampiriku. Aku mengkeret
ketakutan, tersedu sedan. 207
"Jadi siapa bunga ungu kecil yang
mengkeret ketakutan ini?"
"Sudahlah, kau membuatnya
takut," sela si polisi wanita
sambil melingkarkan tangan di
pundakku. "Jangan menangis lagi sekarang.
Siapa namamu, eh?" "Mandy," isakku.
"Dan berapa umurmu, Mandy?"
"Sepuluh." "Dia tidak ada hubungannya dengan persoalan ini. Dia cuma
anak kecil yang membuntuti aku ke
mana-mana," ujar Tanya ngotot.
"Lepaskan dia."
Polisi wanita itu menepuk-nepuk
punggungku dengan lembut. "Well,
kami memang jarang menahan penjahat
yang sekecil kau, Cilik."
Tanya membungkukkan badan,
berusaha membuat dirinya terlihat
sekecil mungkin. "Tidak bisakah
Anda melepaskan kami, please?"
pintanya sambil terisak-isak.
"Dia artis kecil yang sangat
lihai," sela si satpam 208
wanita. Tapi polisi wanita itu sepertinya membela kami. "Berhubung kedua gadis ini masih
sangat muda dan barang Anda yang
hilang sudah dikembalikan, apakah
Anda tetap ingin memperkarakan
masalah ini dan menuntut pelakunya,
Sir?" tanya polisi wanita tersebut
pada si cowok bermata biru.
Tanya dan aku menatapnya dengan
pandangan memohon. "Indigo memang memiliki
kebijakan yang sangat ketat dalam
hal ini. Pengutil yang tertangkap
basah harus selalu dituntut," papar
cowok itu sambil bersedekap.
"Separo pelaku pengutilan adalah
anak-anak kecil seperti mereka
berdua. Mereka ini tikus. Harus
diberi pelajaran supaya kapok."
"Kalau begitu, Sir, sebaiknya
Anda ikut kami ke kantor polisi
untuk memberi keterangan secara
rinci di sana," polisi itu berkata.
"Nah, Anda bilang Anda melihat
gadis yang lebih tua 209
mengambil sweter ini?"
"Itu sweter rajutan tangan.
Harganya sembilan puluh lima
pound," jawab cowok itu gusar.
"Wah, ternyata seleramu tinggi
juga ya, gadis muda," kata polisi
itu pada Tanya. Dia berpaling
pada si satpam wanita. "Dan Anda
menemukan sweter ini padanya waktu
Anda menangkapnya?" "Sweter itu dijejalkan di balik
kausnya sendiri. Saya bisa melihat
ujung lengannya menjuntai keluar,
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jadi saya tarik sekalian."
"Seharusnya dia menunggu sampai
kalian datang sebelum menggeledahku, bukan?" tanya
Tanya. "Sekarang kau tidak punya
bukti lagi yang bisa memberatkan
aku, kan?" "Kami punya buktinya," sela si
cowok bermata biru. "Di sini
dipasang kamera video. Kami punya
film yang sangat bagus tentang
kelakuanmu mencuri sweter kami."
Tanya melihat bahwa cowok itu
tidak main-main. Tapi dia 210
belum mau menyerah demi menyelamatkan aku. "Kalau begitu, filmmu yang
sangat berharga itu bakal
menunjukkan bocah kecil ini tidak
melakukan apa-apa," sergah Tanya
sambil menunjukku. "Dia berkeliaran bersamamu.
Kemudian ikut lari waktu kau lari," kata cowok itu.
"Itu bukan kejahatan, kan?"
sergah Tanya. "Dia bukan maling."
"Tapi aku khawatir kami memiliki
dasar yang cukup kuat untuk menduga
kau mencuri, gadis muda," polisi
itu berkata. "Jadi aku terpaksa
harus menahanmu." Aku mendengarkan polisi itu
memperingatkan Tanya, kata-katanya
begitu familier karena sering
kudengar di film-film seri tentang
polisi yang ditayangkan di televisi
-tapi aku masih saja tidak percaya
ini benar-benar terjadi. "Kita benar-benar ditahan!"
bisikku panik. "Kami tidak menahanmu, 211 Cilik," si polisi wanita
menenangkan. "Tapi sebaiknya kau
ikut dengan kami ke kantor polisi
bersama temanmu, dan ceritakan pada
kami secara jelas apa yang terjadi,
kemudian kami akan memanggil ibumu
untuk menjemput dan membawamu
pulang, oke?" "Tapi Anda akan menahan
Tanya?" "Aku khawatir begitu," jawabnya.
Sesudahnya kami harus berjalan
kembali melintasi pusat perbelanjaan, bersama si polisi
wanita yang menggandeng tanganku
dan si polisi pria yang menggiring
Tanya. Tanya berusaha memberontak
dan melepaskan diri dari pegangan
polisi, tapi polisi tersebut malah
memegang pundaknya kuat-kuat dan
menertawakannya. Tampak mobil patroli polisi
berwarna putih diparkir di bagian belakang pusat perbelanjaan. Makin
banyak orang yang menonton saat
Tanya dan aku dimasukkan ke kursi
belakang, si polisi wanita 212
duduk di antara kami. Aku terus
menangis. "Biarkan aku duduk di sebelah
Mandy," pinta Tanya.
"Maaf, Nak," tolak si polisi
wanita. "Tapi dia membutuhkan aku untuk
menggenggam tangannya," kata
Tanya. "Ya, aku tahu. Tapi kau juga
bisa memberikan sesuatu secara
sembunyi-sembunyi padanya, bukan ?"
"Lihat." Tanya menggoyang-
goyang tangannya yang kosong di
hadapan polisi wanita tersebut.
"Anda lihat" Kosong. Jadi
bolehkah aku paling tidak
menggenggam tangannya?" "Baiklah kalau begitu."
Maka, di dalam mobil yang
meluncur menuju kantor polisi,
Tanya menggenggam tanganku erat-
erat di atas pangkuan si polisi
wanita. Dan selama jari-jarinya
yang kecil kukuh dengan kuku-
kukunya yang habis digigiti itu
memegang erat tanganku, aku 213
merasa sedikit lebih berani.
"Seharusnya kau bisa lari dan
meninggalkan aku," kataku. "Tapi
kau malah berbalik. Supaya aku
tidak ketakutan ditinggal
sendirian." "Yeah. Goblok, kan, aku?" tanya
Tanya, lalu nyengir padaku.
Aku melihat Tanya memperhatikan kunci pintu belakang mobil. Polisi
wanita itu juga melihatnya.
"Itu kunci khusus, supaya anak-
anak tidak gampang membuka pintu,"
wanita itu menjelaskan. "Jadi
jangan coba-coba melompat keluar,
Sobat." "Kena lagi," tukas Tanya sambil
berdecak. Tanya bersikap santai, seolah
ini bukan masalah besar. Aku tahu
sebabnya. Dia berbuat begitu
supaya aku tenang. Yang bisa
kulakukan hanyalah mencengkeram
tangannya erat-erat sebagai
ungkapan terima kasih. Lalu kami sampai di kantor
polisi, dan kali ini bahkan 214
Tanya sekalipun tidak sanggup lagi
nyengir dan bersikap santai. Kami
digiring melintasi dan memasuki
pintu pengaman, lalu menyusuri
koridor yang gelap, ke dalam
ruangan besar. Di sana ada meja
dan bangku. "Ruang tahanan," kata Tanya
sambil memandang berkeliling.
"Sepertinya kau pemah masuk
ruang tahanan, ya?" tanya si polisi
wanita. Tanya menyunggingkan senyum
letih lalu dengan sikap berat
mengenyakkan diri ke bangku. Aku
duduk di sebelahnya, merapat
padanya. "Jangan duduk merapat begitu,
anak-anak," perintah seorang polisi
baru. "Nah, namaku Sersan
Stockton. Aku ingin kalian
memberitahukan nama dan alamat
kalian padaku, kemudian aku akan
menghubungi orangtua kalian."
"Apa kata ibumu nanti, Mandy?"
tanya Tanya. "Dia pasti bakal
membunuhmu." 215
"Bagaimana dengan ibumu
sendiri?" Sersan Stockton
bertanya galak. "Aku tidak punya ibu," jawab
Tanya. "Ayah juga tidak. Dia
dinyatakan tidak mampu menjadi
orangtua, begitu, kan, istilahnya"
Jadi kau ingin tahu siapa waliku,
yeah?" Sersan itu mengangguk. "Begitulah. Kedengarannya kau
bisa mengisi formulir ini lebih
cepat daripada aku, anak muda.
Jadi, siapa walimu?"
"Well, telepon saja Pat,
orangtua asuhku. Dia pasti bakal
ngamuk karena kami belum pulang
juga. Begini, Sersan Stockton.
Aku ingin menjelaskan sesuatu kepadamu." Tanya bangkit dari
tempat duduknya di bangku lalu
berjalan menghampiri Sersan
Stockton dan berdiri di samping
meja tulisnya. "Aku akan
menjelaskan semuanya dengan
sejujur-jujurnya." "Benar. Silakan saja, 216
kalau begitu," kata si sersan.
"Tidak, aku tidak main-main.
Aku serius. Si anak kecil di sana
itu-" "Kau bilang dia tidak ada
hubungan denganmu?" "Well, sebenarnya ada. Itu
sudah jelas. Tapi dia cuma anak
kecil tetangga depan rumah. Dia
dalam penjagaan ibu asuhku
sementara ibunya bekerja pada pagi
hari. Dia memang senang membuntuti
aku ke mana-mana. Kami juga sering
jalan bareng. Tapi aku berani
bersumpah, dia tidak pernah
mengutil apa-apa. Dia benar-benar
anak baik dan dia berasal dari
keluarga baik-baik. Dia juga belum
pernah terlibat masalah apa pun.
Dia ada di sini gara-gara aku.
Jadi, Anda akan melepaskan dia,
kan" Anda bahkan tidak akan
memberinya peringatan apa-apa?"
Sersan itu tersenyum pada
Tanya. "Tenanglah. Dia hanya
dibawa ke sini untuk diamankan.
Tapi begitu ibunya datang 217
nanti, dia boleh pulang."
"Tanya sendiri bagaimana?"
tanyaku. "Apa dia juga boleh
pulang?" "Pada akhirnya nanti," sersan
itu menjawab. "Apa artinya itu?" tanya Tanya.
Tapi sepertinya dia tahu. Dia
kembali ke bangku dan terduduk
lemas di sana. Dia memejamkan mata
rapat-rapat, seolah berusaha keras
menahan jatuhnya air mata. Kali
ini dia tidak berpura-pura.
Aku mendekat dan merangkulnya.
Kening si sersan berkerut sedikit,
tapi kali ini dibiarkannya saja
kami duduk berimpitan. Aku terus
merangkul Tanya sementara sersan
itu mengisi formulir penahanan.
Awalnya Tanya menjawab asal-
asalan, tapi karena dia tahu Mrs
Williams sebentar lagi datang, dia
pun berubah pikiran dan mengatakan
hal yang sebenarnya. "Dan sekarang, setelah tahu nama
dan tanggal lahirku, kau tinggal
memasukkannya ke komputer 218
dan mengetahui catatan kejahatanku
yang lumayan banyak, eh?" sindir
Tanya. "Itulah kecanggihan teknologi,"
sahut si sersan. "Pengadilan anak, aku datang,"
seru Tanya. "Apakah itu seperti penjara?"
bisikku, ketakutan. "Mereka tidak
akan mengurungmu, kan" Oh, Tanya,
aku tidak akan tahan bila mereka
membawamu pergi. Aku harus tetap
bertemu kau." "Yang benar saja, Mandy,"
sergah Tanya, aku bisa merasakan
pundaknya yang kurangkul mengejang.
"Sekarang ibumu pasti tidak akan
mengizinkanmu bergaul lagi denganku, tidak peduli apa pun yang
terjadi."
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mum sampai di kantor polisi
dengan wajah pias dan sekujur tubuh
gemetar. Dia datang bersama Mrs
Williams, lengkap dengan ketiga
bayinya yang semuanya merengek-
rengek rewel. Tanya menarik napas
dalam. Dia memandangi Mrs 219
Williams. Dia memandangi ibuku.
"Maaf," ucapnya. Permintaan
maafnya mendapat tanggapan yang
keliru. Aku tahu dia benar-benar
tulus meminta maaf, tapi kedengarannya seolah dia kurang
ajar dan menantang. "Sekarang sudah sedikit
terlambat untuk meminta maaf,"
tukas Mrs Williams. Mum tidak mengatakan apa-apa. Tapi aku melihat tatapan matanya
yang garang tertuju pada Tanya.
Aku tahu Tanya benar. Saat itulah tangisku kembali
meledak, karena aku benar-benar
sudah tidak tahan. Mum dan aku
dibawa ke ruangan lain dan seorang
inspektur datang untuk berbicara
pada kami. "Perbuatanmu benar-benar bodoh,
Mandy," inspektur itu berkata
dengan nada serius. "Kuharap kau
mau belajar dari pengalamanmu hari
ini. Jangan pernah lagi bergaul
dengan orang yang suka mengutil.
Cepat atau lambat, mereka 220
pasti akan tertangkap, dan bila itu terjadi, kau bisa ikut terlibat di
dalamnya." Lalu dia mulai berbicara pada
Mum --inspektur itu memperlakukan
Mum seolah Mum juga goblok.
"Saya berpendapat sungguh tidak
bijaksana membiarkan anak kecil
seperti Mandy bergaul dengan
remaja badung seperti Tanya," kata
inspektur itu. "Saran saya, Anda
harus mengawasi Mandy lebih ketat
lagi di masa yang akan datang, dan
mungkin menyaring temannya secara
lebih saksama." Mum menelan ludah dengan susah
payah, wajahnya merah padam. Dia
menangis dalam perjalanan pulang.
"Aku tidak percaya ini sungguh-
sungguh terjadi," keluhnya berulang
kali. Berkali-kali dia memandangiku sambil menggeleng,
lalu sejurus kemudian, tangisnya
kembali meledak. Sesampainya di rumah, Mum
langsung menelepon Dad. Tanpa
buang waktu lagi Dad 221
langsung pulang. Sepanjang siang
hingga sore kedua orangtuaku
memarahiku habis-habisan.
Mengulangi perkataan yang sama.
Mengungkapkan kesedihan dan
penyesalan mereka. Mengeluhkan
perasaan malu yang harus mereka
rasakan. Mengungkapkan keheranan
mereka bahwa aku tega mengelabui
mereka, pergi berbelanja bersama
Tanya. Mereka tidak bisa menerima
kelakuanku yang tidak memberitahu
mereka tentang kegemaran Tanya
mengutil. Lalu mereka berdua mulai
bertengkar, bukan cuma marah
padaku, tapi juga saling memarahi.
"Aku kan sudah bilang berkali-
kali bahwa aku tidak mau Mandy
bergaul dengan si Tanya," pekik
Mum. "Tapi kau tidak mau
mendengar kata-kataku. Kaukira kau
yang lebih tahu. Sekarang lihat
akibatnya!" "Baiklah, baiklah. Tidak ada
gunanya mengungkit-ungkit. Aku toh
tidak pernah bermimpi bakal 222
begini jadinya. Aku selalu mengira
Mandy punya cukup akal sehat untuk
mempertahankan apa yang menurutnya
benar. Kalau saja kau tidak
terlalu memanjakannya, dia pasti bisa lebih mandiri," balas Dad.
Aku menangis semakin keras dan
kedua orangtuaku berhenti
bertengkar. Mum menyeka wajahku
yang basah sementara Dad mengambilkan segelas air untukku.
Sesudah itu, keduanya sama-sama
memeluk dan menghiburku. "Kami amat sangat marah dan
kecewa -tapi kami juga sadar semua
itu bukan kesalahanmu, Sayang.
Jangan menangis begitu," bujuk
Mum. "Ayolah, Kepang Kecil, hapus
air matamu. Semua sudah berakhir
sekarang," tambah Dad.
"Tapi bagaimana dengan Tanya?"
seduku. "Sudah, jangan pikirkan Tanya
lagi!" sentak Mum. "Nanti kau pasti akan punya
teman lain, Mandy," hibur 223
Dad. "Tapi Tanya sahabatku! Aku
masih boleh berteman dengannya,
kan" Dia pasti sudah kapok
mengutil. Sebenarnya dia sudah
berjanji tidak akan melakukannya,
tapi itu dilakukannya karena sebal
pada cowok sombong yang menjaga di
toko Indigo itu. Tapi itu tidak
akan terjadi lagi. Dia juga tidak
mau aku terlibat dalam masalah.
Dia berusaha keras menyelamatkan
aku. Padahal sebenarnya dia bisa
saja kabur dan meninggalkan aku
sendirian, tapi itu tidak
dilakukannya, karena dia ingin
tetap menjagaku. Oh, kumohon,
kalian harus mengerti. Aku harus
bertemu dengannya." Berkali-kali aku menghambur ke
jendela, menunggu Tanya kembali. Menjelang senja, sebuah mobil
berhenti di depan rumah keluarga
Williams. Kulihat seorang wanita
muda di balik kemudi, Mrs
Williams bersama ketiga bayinya
dan Tanya. 224
Sekujur tubuhku lemas saking
leganya. Paling tidak mereka tak
mengurungnya. Tapi waktu kulihat
Tanya turun dari mobil, dia tampak
sangat menyedihkan. Langkah-
langkahnya gontai, tidak riang
seperti biasanya. Rambutnya
berdiri tegak, seperti habis
dikucek-kucek. "Aku harus mencari tahu apa yang
akan mereka lakukan terhadapnya,"
kataku. Tapi kedua orangtuaku tidak
mengizinkan. Mum pergi menemui
Mrs Williams. Mum sangat marah
padanya, karena dia merasa
seharusnya Mrs Williams tidak
membiarkan aku keluyuran ke kota
bersama Tanya. Aku menunggu Mum
kembali dengan sikap putus asa.
Lama juga Mum pergi. Dan ketika
dia kembali, wajahnya tampak aneh.
Sepertinya dia terkejut. "Ada apa, Mum" Apa yang akan
terjadi pada Tanya" Apakah dia
akan dibawa ke pengadilan?"
Mum mengangguk. 225
"Syukurlah kau tidak akan
dilibatkan dalam hal ini, Mandy." "Padahal kusangka mereka hanya
akan memberinya peringatan," kata
Dad. "Ternyata selama ini dia sudah
cukup sering mendapat peringatan.
Mereka akan menyidangkan kasus ini
dengan melihat riwayat kenakalannya
di masa lalu, tanpa mengabaikan
latar belakang hidupnya sebagai
bahan pertimbangan. Kemungkinan
besar persidangannya akan memakan
waktu berminggu-minggu."
"Jadi dia akan berada di rumah
sini selama beberapa minggu?"
tanyaku. Mum merangkul pundakku. "Tidak,
Sayang, Tanya tidak akan tinggal
di sini lagi," dia menjelaskan.
"Tanya akan dibawa ke panti
asuhan. Pat Williams merasa dia
tidak sanggup lagi mengurusnya.
Aku bisa memahaminya. Dia diminta
menjadi orangtua asuh bagi Tanya
dan sejak awal sudah menegaskan,
bila terjadi masalah, Tanya 226
harus pergi. Maksudku, dia sudah
cukup repot mengurus ketiga bayi
itu." "Jadi dia mencuci tangan begitu
saja dan tidak mau tahu lagi nasib
Tanya?" tanya Dad, kedengaran
shock berat. "Apa lagi yang bisa dilakukannya?" Mum balas bertanya.
"Seandainya aku yang mencuri
sweter itu, apa Mum juga akan
menelantarkan aku begitu saja?"
tanyaku. "Jangan konyol, Mandy."
"Tapi apakah Mum akan berbuat
begitu?" "Tidak, tentu saja tidak. Kau
tahu kami tidak mungkin menelantarkanmu begitu saja. Kami
sayang padamu dan akan tetap
menyayangimu, apa pun yang
kaulakukan," jawab Mum.
"Tapi tidak ada yang menyayangi
Tanya yang malang itu," kata Dad.
" Aku sayang padanya!" sergahku.
"Kapan dia harus pergi?"
"Well, sekarang juga," 227
jawab Mum. "Kedengarannya memang
agak''' tapi kurasa tidak ada
gunanya menunda-nunda dan
memperpanjang urusan. Pekerja
sosial yang menangani Tanya ada di
sana sekarang, membantunya
berkemas." "Jadi dia akan pergi sekarang?"
tanyaku. "Kalau begitu, aku harus
mengucapkan selamat berpisah
padanya." "Tidak, kau tidak boleh
mendekatinya lagi," larang Mum.
"Mungkin itu bukan ide yang
baik, Mandy," Dad menambahkan.
"Aku hanya ingin mengucapkan
selamat berpisah padanya," kataku.
"Harus. Kalian tidak bisa
menghalangiku." Di meja ruang tamu bertumpuk
berbagai barang kepunyaanku,
permainan puzzle, buku-buku, serta
wadah kaleng besar berisi spidol
warna-warni. Aku menyipitkan mata,
memandangi benda-benda itu dengan
putus asa, lalu menyambar wadah
spidolku. Tahu-tahu aku 228 berlari meninggalkan ruang tamu,
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terus ke ruang depan, dan keluar
dari pintu depan sebelum Mum dan
Dad sempat menyadari apa yang
terjadi. Dad berhasil menyusulku saat aku
menggedor pintu rumah Mrs
Williams. "Dengar, Mandy,
ayolah, pulanglah ke rumah," bujuk
Dad. Mrs Williams membuka pintu dan
memandangi kami. "Benarkah Tanya akan pergi dari
sini?" tanyaku. Mrs Williams mengangguk, terlihat seperti orang linglung.
"Ini yang terbaik," ujarnya,
meski tampaknya tidak begitu yakin.
"Bolehkah aku mengucapkan
selamat berpisah padanya?" aku
memohon. Mrs Williams memandangi Dad.
"Oh, baiklah," Dad mengalah.
"Pergilah, cepat. Aku akan
menunggu di sini." Aku langsung menghambur menaiki
tangga, masuk ke kamar tidur 229
Tanya. Kulihat si pekerja sosial
di sana, sibuk memasukkan baju-baju
Tanya ke tas plastik besar. Tanya
sendiri hanya duduk mematung di
tempat tidur, tidak membantu sama
sekali. "Hai, Mandy," sapa Tanya
datar. "Oh, Tanya!" seruku sambi!
menghambur ke arahnya. "Kau benar-
benar akan pergi?" Kedua tangan Tanya terkepal.
Wajahnya berkerut tegang.
"Yeah, aku harus pergi. Pat
mengusirku," jawab Tanya.
"Sudahlah, Tanya. Kau kan tahu
kau hanya sementara di sini," sela
si pekerja sosial. "Dan kami akan
berusaha keras mencarikan tempat
tinggal yang baru untukmu.
Sementara ini, kau bisa tinggal di
panti asuhan. Di sana cukup
menyenangkan." "Panti asuhan itu seperti
sampah," dengus Tanya. "Semuanya
begitu. Karena tempat itu memang
tempat pembuangan sampah. 230
Untuk anak-anak yang tidak
diinginkan siapa pun."
"Tapi aku menginginkanmu,
Tanya!" seruku. Tanya menyunggingkan senyum
sedih. "Hei, aku ingin mengucapkan
selamat berpisah pada temanku,"
katanya pada si pekerja sosial.
"Bagaimana jika kau memberi kami waktu dua menit untuk berbicara
berdua saja, eh?" Si pekerja sosial menegakkan
badan dan mendesah. "Baiklah.
Satu menit. Memang ada yang harus
kuselesaikan dulu dengan Mrs
Williams." Wanita itu keluar dari kamar.
Tanya dan aku duduk berdampingan
di tempat tidur. Mati-matian aku
berusaha memikirkan perkataan yang
tepat untuk diucapkan, tapi tidak
ada kata-kata yang keluar.
"Oh, Tanya," kataku, kemudian
aku memeluknya begitu kuat sampai
dia nyaris terlempar ke belakang.
Wadah spidol yang kubawa meluncur
dari tempat tidur dan 231 spidol-spidol aneka wama jatuh
berhamburan, berserakan di karpet.
"Hei, hati-hati!" seru Tanya.
"Coba lihat apa yang kaulakukan."
Tanya menepuk-nepuk punggungku
lalu melepaskan diri dari
pelukanku. "Ayo, kita punguti
spidol-spidolmu yang berserakan.
Kau tidak mau kehilangan sebatang
pun, kan" Lagi pula, untuk apa kau
membawanya ke sini" Seolah kita
punya waktu saja untuk mewarnai
gambar." Aku ikut berlutut, meraba-raba
di kolong tempat tidur, mencari
spidol-spidol yang menggelinding ke
sana. "Spidol-spidol ini untukmu,
Tanya," kataku. "Sebagai hadiah
perpisahan." "Apa" Semuanya?" tanya Tanya.
"Well, apa gunanya kalau hanya
satu-dua batang?" kataku sambil menusuk-nusuknya. "Ya. Semuanya."
"Apa kau yakin" Kau tidak boleh
memberikan semua spidolmu padaku.
Apa kata ibumu nanti?" 232
"Bukan ibuku yang berhak
memutuskan. Spidol-spidol ini
milikku, jadi terserah aku. Dan
aku ingin memberikan semuanya
padamu." "Oh, Mandy. Tidak pernah ada
yang memberiku hadiah sebagus ini,"
ujar Tanya terharu. Dia menggosok-gosok. Matanya terlihat
letih, dengan bayangan ungu
melingkar di bawahnya. Aku tidak
tahu apakah itu perona mata, atau
dia sedang sangat sedih. Tapi
Tanya berhasil juga menyunggingkan
senyum. "Ayo, kita cari terus.
Masih ada spidol hijau dan biru
yang hilang. Aku tidak ingin ada
warna yang hilang, semua harus
komplet dan lengkap, terima kasih
banyak!" Kami berhasil menemukan spidol
hijau dan biru, lalu memasukkannya
ke wadah. Tanya menggerakkan jari-
jarinya di atas spidol-spidol itu
hingga menimbulkan serangkaian nada
yang aneh. "Milikku," ucapnya. Lalu 233
dia memandang berkeliling.
Tangannya merogoh ke dalam tas
plastiknya yang separo penuh.
"Sebaiknya aku juga mencarikan
hadiah untukmu, eh?"
"Tidak, tidak usah. Sungguh.
Lagi pula, kau sudah memberiku
banyak hadiah. Ikat rambut beludru
dan-" "Aku ingin memberikan hadiah
yang istimewa untukmu. Karena
spidol warna-warni ini mungkin
merupakan milikmu yang paling
berharga." Tanya menuangkan isi
kantong plastik itu, mengosongkannya di karpet. Dia
mengacak-acak tumpukan bajunya dan
menyambar sesuatu dengan sikap
menang. Blus ungu manik-maniknya
yang gemerlapan. "Ini! !ni untukmu, Mandy."
"Tapi aku tidak bisa
menerimanya. Itu bajumu yang
paling istimewa." "Justru karena itu aku ingin kau
memilikinya. Kepunyaanku yang
terbaik, untuk temanku yang 234
paling baik," kata Tanya.
Kami berpelukan lagi untuk
terakhir kalinya. Kemudian kami harus saling
mengucapkan salam perpisahan.
PELANGI 235
Rasanya aku tidak percaya Tanya
benar-benar sudah pergi. Sering
sekali aku memikirkan berbagai hal
yang ingin kukatakan padanya -tapi
sejurus kemudian baru aku ingat dia
telah tidak ada. Setiap kali
mendengar bunyi langkah kaki di
jalan, aku langsung menghambur ke
depan jendela, meskipun aku tahu
tidak mungkin itu Tanya. Aku malas melakukan apa-apa.
Aku bahkan tidak bisa berpura-pura
jadi Miranda Rainbow. Aku hanya
bisa menjadi Mandy White, dan itu
sangat menyebalkan. Mum dan Dad berusaha keras
mengalihkan perhatianku. Tanpa
mengomel, Mum bahkan membelikan
aku sekotak besar spidol baru aneka
wama. "Baik sekali kau, mau
memberikan spidol-spidol milikmu
pada Tanya," puji Mum.
"Tapi kemarin Mum bahkan tidak
memperbolehkan aku mengucapkan
selamat berpisah padanya," tuduhku.
"Saat itu kan aku shock 236
sehabis menjemputmu dari kantor
polisi," kata Mum. "Mum memang tidak pernah suka
pada Tanya. Mum bahkan tidak
ingin aku menemuinya," sergahku
galak. "Jangan begitu, kau membuat hati
ibumu susah," Dad menengahi.
"Kami melarangmu bertemu dengannya
setelah masalah pengutilan ini.
Dan tidak benar bila kau mengatakan kami tidak suka padanya.
Dalam segala hal, dia dulu anak
yang manis, begitu lincah, dan pada
dasarnya sangat baik hati."
"Sekarang pun masih. Jangan
berbicara tentang dia seolah dia
sudah mati," potongku. "Pokoknya,
dia tetap sahabatku, walaupun dia
sudah pergi. Dan memang Mum tidak
mau kami berteman, kan?"
"Sudah, sudah," bujuk Mum.
"Baiklah, aku memang menganggap
berteman dengan Tanya bukan
tindakan yang bijaksana. Dan
kekhawatiranku terbukti benar.
Tapi tidak ada gunanya 237
memandangiku seperti itu, Mandy.
Aku tidak membenci Tanya secara pribadi. Hanya saja, dia tidak
sebaya denganmu dan tidak memiliki
latar belakang keluarga yang sama
dengan kita." "Melanie sebaya denganku,
memiliki latar belakang keluarga
yang sama, dan menurut Mum dia
cocok jadi temanku. Tapi ternyata
dia malah berkomplot dengan Kim
dan Sarah untuk menggangguku.
Mereka jahat. Sebaliknya, Tanya
selalu bersikap baik padaku."
Aku tidak sekadar mengatakannya.
Aku berteriak. Tapi kedua
orangtuaku hanya berpandangan,
seperti tidak tahu harus berbuat
apa. "Apa yang kauutarakan itu memang
benar, Mandy," ucap Dad sambil
mendesah. "Masalahnya tidak sesederhana
itu," kata Mum. "Tapi sekarang
aku berharap dulu lebih berusaha menerima Tanya."
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Gampang saja Mum bilang 238
begitu sekarang, karena Tanya
sudah tidak ada!" bentakku.
Sambil mengentakkan kaki aku
menghambur ke kamar dan membanting
pintu. Aku membaringkan diri di
tempat tidur selama beberapa saat
sambil menggenggam boneka Olivia
Orang Utan, berpura-pura bulu
badannya yang berwarna jingga
adalah rambut Tanya. Lalu aku
bangkit dan memakaikan blus ungu
Tanya ke badan Olivia. Blus itu
menjuntai hingga melewati telapak
kaki Olivia, menjadi gaun malam
yang indah. Kemudian aku sendiri mencoba
mengenakan blus itu. Kucopot
kacamataku dan kupandangi bayangan
diriku di cermin. Yang tampak
hanyalah segumpal kabut ungu
berpendar-pendar. Bisa saja aku
menganggap diriku tampak luar
biasa, Miranda Rainbow sungguhan.
Tapi kemudian aku mengenakan
kacamataku kembali dan pandanganku
menjadi jelas. Aku kembali menjadi
Mandy White, dan blus itu 239
sama sekali tidak terlihat memesona
di tubuhku. Blus ungu itu tampak
kedodoran di dadaku yang rata dan
membuat perutku yang bundar seperti
perut bayi itu terlihat jelas.
"Mandy?" Kudengar Mum
memanggilku dari luar, mengetuk-
ngetuk pintu kamarku. Aku buru-buru berusaha melepaskan blus itu, karena takut
ditertawakan Mum. Blusku tertahan
kacamata, tapi waktu aku berusaha
menyentakkannya, kacamataku
terlepas. Benda itu melayang dan
jatuh menimpa lemari berlaciku dan
langsung patah lagi menjadi dua.
"Oh!" "Ada apa, Mandy?" tanya Mum,
buru-buru masuk ke kamar.
"Kacamataku! Patah lagi."
"Well, kita lihat saja nanti
apakah Daddy bisa membetulkannya
kembali dengan lem Superglue
seperti tempo hari. Tapi menurutku
kami harus membelikan kacamata baru
untukmu musim panas ini," Mum
memberitahu. 240
"Kacamata anak gede yang benar-
benar keren?" tanyaku.
"Ya. Asalkan tidak terlalu
mahal, boleh saja." "Dan bolehkah aku memotong
rambutku, supaya tidak terlihat
konyol karena dikepang?"
"Mmm. Kalau itu, aku kurang
yakin," jawab Mum. "Tapi bila itu
memang benar-benar penting bagimu,
mungkin boleh saja." Mum terdiam
sejenak. "Tapi aku sangat yakin
akan satu hal, Mandy. Aku tidak
mau kau mengenakan blus ungu manik-
manik itu. Apalagi di luar rumah."
"Memang tidak pas," kataku.
"Tapi Tanya pantas sekali
mengenakan blus ini."
"Well," ujar Mum.
"Aku rindu sekali padanya,"
kataku. "Dia berjanji menulis
surat, tapi dia tidak suka menulis,
jadi kupikir dia pasti tidak akan
menulis surat." "Aku tahu kau rindu padanya,
Sayang. Dan aku mengerti. Tapi
percayalah, tak lama lagi 241
kau pasti punya kawan baru. Begini
saja, bagaimana kalau kau
menghubungi anak lelaki baik hati
yang meneleponmu setelah kau
mengalami kecelakaan waktu itu"
Arthur." "Tidak! Aku tidak bisa. Aku
pasti akan merasa tolol."
"Aku bisa menghubungi ibunya
bila kau mau." "Jangan, Mum! Aku tidak mau.
Aku tidak mau melakukan apa-apa,"
tolakku ngotot. Dad mengambil cuti dari kantor
dan berulang kali mengusulkan kami
pergi menonton film atau jalan-
jalan di taman. Beliau bahkan
mengajakku berkeliling dari satu
museum ke museum lain di London,
dan aku pura-pura menikmati acara
kami itu -walau sebenamya aku lebih
senang mendekam saja di tempat
tidur tanpa melakukan kegiatan apa-
apa. Mum meneliti seluruh isi
surat kabar setempat, mencari
kegiatan yang bisa dilakukan selama
liburan, dan akhirnya 242
berhasil membujukku ikut kegiatan
mengarang cerita di perpustakaan.
Pada hari Sabtu, Mum mengajakku berbelanja dan berkata
aku boleh membeli kacamata baru.
Aku mencoba ratusan pasang
kaeamata: yang bentuknya bulat
kecil seperti mata burung hantu,
yang lensanya besar dan berat,
serta kacamata pesta yang
berkilauan. Mum jatuh hati pada
kacamata berwarna baby pink dengan
hiasan kelinci-kelinci putih keeil
di kedua ujungnya. Tapi aku sudah
bertekad tidak mau lagi mengenakan
apa pun yang ada hiasan kelincinya.
Apalagi bila warnanya pink.
"Tapi wama pink sangat sesuai
untukmu, Mandy," kata Mum.
"Jangan pink lagi, Mum. Wama
lain saja. Merah. Jingga. Ungu."
Aku memicingkan mata, mengedarkan pandangan dari satu
kacamata ke kacamata lain yang
beraneka warna pelangi. Kemudian
mataku tertumbuk pada kacamata yang
sesuai keinginanku. 243
Ukurannya tidak terlalu kecil.
Tapi juga tidak terlalu besar.
Gagangnya bercorak garis-garis.
Garis-garis dalam aneka warna
pelangi. Merah, jingga, kuning,
hijau, biru, nila, ungu. "Oh, Mum! Aku paling suka yang
ini. Bolehkah aku membeli kacamata
berwarna pelangi ini?"
Karena tidak terlalu mahal, Mum
mengizinkannya. Lalu kami pergi
makan es krim di Maxwell's
sementara menunggu kacamataku
dipasangi lensa yang sesuai. Aku
memilih es krim stroberi spesial,
yang ditaburi cokelat beras warna-
wami. Mum juga makan es krim,
walau sebenarnya dia harus berdiet.
"Kalau saja dulu aku sempat mengajak Tanya ke sini," sesal
Mum. Kami menghabiskan es krim
stroberi special kami sambil
berdiam diri. Hari Senin, Mum memutuskan
masuk kerja siang hari supaya bisa
lebih dulu mengantar aku ke 244
perpustakaan untuk ikut kegiatan
mengarang cerita. Sebenarnya dia
ingin ikut masuk, tapi aku
melarang, karena aku tidak ingin
dikira anak manja oleh anak-anak
lain yang ikut kegiatan ini.
Tapi ternyata aku tidak perlu
khawatir. Hanya ada satu peserta
yang seumur denganku. Arthur!
Cowok itu sudah duduk di meja
yang terletak di bagian belakang perpustakaan bersama dua anak
lelaki lain. Tidak ada kursi
kosong di mejanya. Lagi pula, aku
tidak mau dia mengira aku terlalu
sok akrab. Sepertinya Arthur
tidak begitu gembira melihatku di
sana. Dia hanya menganggukkan
kepala dengan sikap gugup, wajahnya
bersemu merah. Aku tidak ingin membuatnya lebih
malu lagi di hadapan cowok-cowok
lain. Mungkin saja mereka
temannya. Aku tidak tahu akan duduk
bersama siapa. Jelas aku tidak
ingin berdesakan dengan 245
anak-anak kecil yang sibuk menggambar dengan krayon lilin yang
miring-miring. Ada dua anak perempuan yang
kira-kira berumur tujuh tahun,
duduk di meja lain. "Mungkin kau mau duduk bersama
Sarah dan Julie serta ikut
menggarap cerita Kelinci Woodland
bersama mereka?" petugas
perpustakaan menawarkan. "Tidak, terima kasih," tolakku.
"Aku tidak terlalu ingin membuat
cerita tentang kelinci. Aku akan
mengarang cerita sendiri."
Aku duduk sendirian di meja.
Wanita petugas perpustakaan
menawariku kertas, pensil, dan
krayon lilin, tapi aku membawa buku
gambar sendiri serta wadah kaleng
berisi spidol aneka warna. Arthur
memandangiku, jadi aku buru-buru
mulai menulis. Aku tidak ingin dia
mengira aku berusaha menarik
perhatiannya. Aku menulis cerita istimewa yang
dikarang Tanya dan aku 246
bersama-sama, cerita tentang Love
Tanyanita dan Miranda Rainbow
yang hidup bersama di apartemen.
Aku jadi merasa sangat kesepian
dan sedih. Berulang kali aku
seperti mendengar suara Tanya
berbicara, menuturkan cerita
karangannya. "Apa kau baik-baik saja,
Mandy?" tanya petugas perpustakaan
sambil membungkukkan badan di
atasku. "Ya, aku baik-baik saja,"
jawabku, merasa tolol. Kututupi
kertasku dengan lengan. Aku tidak
ingin petugas perpustakaan membaca
cerita pribadi kami. Wanita itu beralih ke meja anak-
anak lelaki di bagian belakang.
Selain Arthur, kedua anak lelaki
itu membuat cerita yang bersumber
dari permainan video game. Rupanya
mereka mulai merasa agak bosan,
jadi mulai main lempar-lemparan
penghapus, menimbulkan suara Zing,
Buk, Bum yang berisik. Petugas
perpustakaan itu mendesah 247
dan melewati mereka, menghampiri
Arthur. "Kau mengarang cerita apa hari
ini, Arthur?" tanyanya, tersenyum
penuh harap. Jelas Arthur sering
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ikut kegiatan mengarang cerita ini.
Cowok-cowok Zing-Buk-Bum memutar bola mata mereka dan bersuara seperti mau muntah.
"Bukan apa-apa. Hanya**
Tidak, sudahlah," gumam Arthur.
"'Ksatria yang Tidak Mau
Berperang'," petugas perpustakaan
membaca keras-keras. "Ksatria yang tidak mau
berperang!" seru si Zing.
"Banci sekali judulnya," imbuh
Buk. "Karangan cowok banci goblok,"
susul Zing. "Ksatria Arthur goblok, banci,
konyol," ejek Buk. "Kalian berdua, berhentilah
mengolok-olok," tegur si petugas.
"Jangan pedulikan mereka,
Arthur." Arthur diam saja. Dia 248
tidak melihat ke arah cowok-cowok
itu. Dia tidak melihat ke arah
petugas perpustakaan. Dia juga
tidak melihat kepadaku. Kupandangi Arthur lekat-lekat
dari balik kacamata pelangiku yang
baru. Lalu aku berdiri dan
berjalan menghampiri mejanya.
"Boleh aku melihat hasil
karanganmu, Arthur?" tanyaku.
"Dengar, aku berani bertaruh kedua
anak ini belum pernah satu kali pun
mendengar tentang King Arthur dan
para ksatria meja bundar. Soalnya
mereka masih berkutat di cerita-
cerita kacangan seperti Super
Mario dan Sonic." Zing dan Buk tergagap dan
tertawa terpekik-pekik. Ibu
perpustakaan mengerjapkan mata.
Wajah Arthur berubah merah padam.
Tapi dia mendorong bukunya ke
arahku. "Ini," katanya. Suaranya
terdengar parau. Tapi aku tahu
semua beres. Aku mengambil kursi dan 249
duduk di mejanya sebentar, tapi
Zing dan Buk tak henti-hentinya
membombardir kami dengan karet
penghapus dan mengguncang-guncang
kami setiap kali kami menulis, jadi
akhirnya Arthur dan aku pindah ke
meja kecilku. Aku memutuskan akan mengikuti
seluruh kegiatan mengarang cerita
ini hingga satu minggu penuh.
Arthur dan aku duduk bersama
setiap hari. Kami mulai menggarap
cerita baru bersama-sama, tentang
tukang sihir cantik dari abad
pertengahan bernama Mandiana the
Magic, bersama ahli sihir yang
sangat berkuasa bernama Dark Art. Kami bergiliran menulis ceritanya
dan melukis gambar di setiap, lalu
mewarnainya dengan spidol
pelangiku. Aku tahu Arthur senang aku
tahu-tahu muncul di perpustakaan.
Dia tidak banyak bicara karena
pemalu, sama seperti aku. Dia
tidak mau aku mengira dia memaksa
aku menjadi temannya. 250
Ibu Arthur datang menemui
Arthur setiap jam makan siang.
Sementara kami sibuk menulis, dia
duduk di ruang arsip, menekuni
arsip-arsip perpustakaan. Seperti
halnya Arthur, wajah ibunya juga
pucat dan poninya juga berantakan
seperti poni Arthur. Mereka
bahkan mengenakan sweter panjang
biru tua yang sama persis. Beliau
tipe ibu yang sangat berbeda dari
ibu-ibu lain yang pernah kukenal,
namun sangatlah menyenangkan
mengobrol dengannya. Beliau turut
menyumbangkan sejumlah ide gemilang
tentang mantra-mantra jahat, dan
tahu banyak tentang berbagai
tumbuhan dan ramuan beracun.
Ibuku langsung akrab dengan ibu
Arthur. Mereka kini berteman
baik. Kata ibu Arthur, beliau
sama sekali tidak keberatan aku
dititipkan di rumah mereka pada
pagi hari bila kegiatan mengarang
cerita sudah selesai. "Wah, itu bakal mengasyikkan,
ya, Mandy?" tanya Arthur, 251
wajahnya lagi-Iagi bersemu merah.
"Yeah. Asyik," sambutku.
Memang tidak seasyik bermain
bersama Tanya, tentu saja.
Mendekati pun tidak. Tapi Arthur
baik. Dia temanku. Namun ternyata minggu depannya
aku tidak perlu dititipkan di rumah
keluarga King. Aku langsung tahu pasti telah
terjadi sesuatu yang sangat buruk
begitu melihat Mum datang
menjemputku pada hari Jumat. Mata
Mum memerah dan wajahnya bengkak.
Perutku kontan mengejang.
"Mum, ada masalah apa?"
Mum berusaha keras bersikap
tegar di hadapan Mrs King dan
Arthur. "Tidak ada masalah apa-apa,
Sayang. Aku hanya sedikit shock,
itu saja." "Mum mendengar sesuatu yang
buruk menimpa Tanya?"
Mum menatapku seolah aku sudah
gila. "Tidak, tentu saja tidak. 252
Tidak, aku baru saja dipaksa
bergabung dengan kaum pengangguran." Cara Mum berbicara begitu aneh
hingga awalnya aku tidak memahami
maksudnya. Tapi kemudian, saat
Mrs King mulai berbicara dengan
sikap bersimpati tentang pengurangan pegawai, barulah aku
sadar. Mum kehilangan pekerjaan.
Sesampainya di rumah, jauh dari
keluarga King, wajah Mum bergerak-gerak dan dia mulai
menangis lagi. "Jangan menangis, Mum," hiburku
malu-malu. Mum malah menangis semakin keras, kedua matanya
terpejam erat-erat, mulutnya
terbuka. Belum pemah aku melihatnya menangis seheboh itu
sebelumnya. Itu membuat perasaanku
jadi tidak enak, malu, sekaligus
takut. Mum naik ke kamar tidurnya dan
aku berdiri mematung di tempatku
selama satu menit, kemudian
mengikutinya dengan 253
khawatir. Kulihat Mum sudah
melepas baju luarnya yang bagus dan
kini berbaring di tempat tidur
dengan hanya mengenakan baju dalam,
menangis sejadi-jadinya. "Mum?" panggilku, kemudian duduk
hati-hati di pinggir tempat tidur.
Kuulurkan tangan dan kutepuk-
tepuk bahu Mum yang lembut dan
terguncang-guncang. "Oh, Mandy," sedu Mum,
kemudian dia meraba-raba mencari
saputangan dan berusaha keras
menghentikan tangis. "Maafkan aku,
Sayang. Jangan khawatir begitu.
Ini bukan akhir dari segalanya.
Entah mengapa aku kok begitu
meributkan hal itu." Suara Mum
bergetar naik turun, dan sesekali
terlontar isakan yang tak dapat
ditahannya, seperti cegukan.
"Mum pasti bisa mendapat
pekerjaan lain," hiburku.
Mum menggeleng. "Aku tidak
begitu yakin, Mandy. Oh, astaga,
kejadiannya sangat tidak mengenakkan. Aku harus 254
menyingkirkan semua barangku dari
meja dan langsung keluar hari ini
juga. Aku tidak percaya ini benar-
benar terjadi. Semua orang
memandangiku seolah aku mengidap
penyakit mengerikan. Bosku bilang
aku dipecat karena tidak bisa
diandalkan. Dia berulang kali
menyinggung-nyinggung tentang
betapa seringnya aku tidak masuk
kerja, gara-gara gigiku sakit,
kemudian waktu aku harus menjagamu-" "Jadi Mum dipecat gara-gara
aku?" selaku. "Tidak, tidak! Tentu saja
tidak, Mandy. Lagipula, dia hanya
menggunakan hal itu sebagai alasan.
Dia mengakuinya secara tidak
langsung. Katanya, aku tidak bisa
mengimbangi keadaan kantor yang
sibuk dan modern. Cara berpikirku
selalu salah. Menurutnya, aku
terlalu ketinggalan zaman. Tapi sesungguhnya yang dia maksud adalah
aku terlalu tua." "Oh, Mum. Mum tidak 255
tua. Well. Tidak tua-tua amat
kok." "Tidak, aku memang sudah tua,"
bantah Mum. Dia membersihkan
ingus lalu duduk tegak. "Astaga,
wajahku sekarang pasti tidak
keruan. Aku memang sudah tua,
Mandy. Setiap kali aku melihat
ibu-ibu lain di sekolahmu, aku
tidak bisa mencegah timbulnya
pikiran dalam benakku bahwa aku
cukup tua untuk menjadi ibu
mereka." "Mum bukan ibu orang lain, Mum
ibuku seorang," kataku, lalu
memeluknya. Sepanjang musim panas itu, Mum
melamar pekerjaan ke mana-mana,
tapi selama beberapa saat yang
cukup lama, lamarannya selalu
ditolak. Beliau menjadi sangat
tertekan sehingga berat badannya
menyusut dan dia terlihat kurus,
karena Mum jadi tidak suka makan.
Meski sejak dulu aku selalu
berharap Mum tidak segembrot itu,
sekarang aku justru tidak 256
begitu yakin. Seakan ibu yang
selama ini kukenal perlahan-lahan
menyusut, seperti sabun yang
semakin lama semakin kecil bila
dipakai. Sekarang aku justru ingin
ibuku kembali gemuk dan sok
mengatur seperti dulu, karena
memang begitulah Mum yang sesungguhnya.
Namun akhimya semua beres
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kembali. Seminggu sebelum
liburanku berakhir dan aku harus
masuk sekolah lagi, Mum mendapat
pekerjaan. Awalnya Mum mengincar
pekerjaan administrasi di kantor
Maxwell's, tapi dia tidak bisa
menggunakan komputer mereka. Lalu
mereka menyarankan Mum melamar
menjadi tenaga penjual parowaktu
saja. Jadilah sekarang Mum
ditempatkan di bagian yang khusus
menjual berbagai jenis produk
wanita. Untuk merayakannya, Mum
mengajakku pesta es krim di
Maxwell's. "Departemen tempatku bekerja
nanti sangat menyenangkan. 257
Aku suka melihat wanita-wanita
yang akan menjadi rekan kerjaku
nanti. Gajinya memang tidak
seberapa, tapi aku bisa mendapat
diskon lumayan untuk membeli
barang-barang di sana, walaupun aku
hanya bekerja parowaktu," celoteh
Mum sambil menjilati es krim dari
bibirnya dan mengerok sampai habis
es krim yang masih tersisa dalam
gelas tingginya. "Sayang aku tidak
dapat diskon untuk beli es krim,
eh?" Mum bahagia lagi. Dalam hati
aku berharap aku juga bisa merasa
bahagia. Aku masih sangat
merindukan Tanya. Sekarang aku
punya Arthur, tapi dia tidak sama
dengan Tanya. Hari Senin nanti
kami akan kembali bersekolah dan
aku mulai bermimpi buruk tentang
Kim, Sarah, dan Melanie. Berkali-kali aku berusaha
meyakinkan diri sendiri bahwa
sekarang tahun ajaran baru, kelas
baru, permulaan baru. Namun tetap
saja aku merasa mual dan 258
berkeringat saat berjalan kaki ke
sekolah. Kim, Sarah, dan Melanie
sudah berada di dalam kelas, duduk
di belakang. Kim membisikkan
sesuatu dan tawa mereka berderai,
mata mereka tertuju padaku.
Mulai lagi. Aku tegak mematung,
tidak tahu harus duduk di mana.
Semua anak perempuan di kelasku
sudah punya teman. Tidak ada yang
mau berpasangan denganku.
Arthur duduk di meja paling
depan. Dia menepuk-nepuk meja di
sampingnya. "Hei, Mandy. Ayo, duduklah di sini," ajaknya.
Kupandangi dia. Tidak ada anak
perempuan yang pernah duduk semeja
dengan anak laki-laki. Pokoknya
tidak pernah, tidak di kelas kami.
"Aku tidak bisa duduk di
sebelahmu, Arthur," desisku. "Kau
kan cowok." "Kesimpulan yang brilian!" canda
Arthur sambil mengangkat alis.
"Memangnya kenapa?"
Aku memikirkan kata- 259
katanya. Ya benar, memangnya
kenapa" Maka akhirnya aku pun
duduk di sebelah Arthur. Kim,
Sarah, dan Melanie terkikik-kikik
dan mengejek. Sebagian anak cowok
bersiul-siul dan melontarkan
berbagai komentar tolol. "Edan," kecam Arthur.
"Edan," aku sependapat.
"Justru merekalah yang edan,"
balas Kim. "Dua anak dungu yang goblok.
Mereka akrab karena tidak punya
teman lain." Lalu Kim tak henti-hentinya
mengocehkan hal itu, tapi kata-
katanya tidak terlalu mengusikku.
Ibaratnya, hanya seperti tusukan
jarum kecil, bukan pukulan berat.
Aku tahu itu tidak benar. Aku
punya teman-teman lain kok. Aku
punya Tanya, sahabat yang terbaik
di seluruh dunia. Dan aku juga
punya Arthur. Kami tetap duduk berdampingan di
depan, dan guru kelas enam kami
yang baru, Miss Moseley, 260
sama sekali tidak keberatan dengan
hal itu. Kim, Sarah, dan Melanie duduk
bertiga dalam satu meja di
belakang, berimpit-impitan. Tapi
Miss Moseley tidak mengizinkan.
"Ayolah, kalian bertiga. Kalian
tidak akan bisa bekerja dengan
nyaman bila berdesak-desakan
seperti itu. Salah satu dari
kalian harus pindah ke meja lain."
Melanie dan Sarah memandangi
Kim dengan sikap memohon, keduanya
ingin tetap duduk semeja dengannya.
Kim duduk bersandar, tersenyum,
sambil membalas tatapan kedua
temannya bergantian. Kami semua
menjulurkan kepala, melihat ke
belakang, ingin tahu siapa yang bakal dipilihnya dan siapa yang
bakal dicampakkannya. "Kim?" panggil Miss Moseley.
Dia tahu nama anak itu. Semua
orang di sekolah ini tahu siapa
Kim. "Kuminta kau pindah dan
duduk di meja lain."
Kami semua memandangi 261
Miss Moseley, terperanjat. Dia
tidak mengerti. Atau mungkin
justru sangat mengerti. "Tidak mau, aku duduk di sini
saja," bantah Kim. "Melanie saja
yang pindah. Atau Sarah."
Melanie dan Sarah tampak bingung dan merana. "Aku ingin tetap duduk
bersamamu, Kim," kata Melanie.
"Tidak, aku yang tetap duduk di
sini. Aku kan sudah lebih lama
berteman denganmu," kata Sarah.
"Bukan Kim yang menentukan,"
sela Miss Moseley tegas. "Akulah
yang guru di sini dan akulah yang
berhak menentukan di mana murid-
muridku duduk. Kim. Kau pindah ke
meja lain." Dia terdiam sejenak.
"Sekarang juga!"
Kim langsung berdiri dan memindahkan barang-barangnya ke
meja lain. Kedua pipinya merah
padam. Dipandanginya Miss
Moseley dengan garang. Miss Moseley tersenyum. "Baiklah. Sekarang setelah 262
semua murid duduk di tempatnya
masing-masing, kita bisa memulai
pelajaran." Kami semua masih sedikit
terperangah. Miss Moseley masih
muda dengan rambut pirang lemas
yang halus dan dia sering
mengenakan sweter pastel lemas yang
halus pula. Melihat penampilannya,
kami mengira dia juga lembut dan
lemas. Ternyata dugaan kami
keliru. Dia sama kerasnya dengan
baja. Sepertinya aku bakal menikmati
hari-hariku di kelas enam bersama
Miss Moseley. Kami semua mendapat berbagai pelajaran baru.
Kami mempelajari sejarah Zaman
Victoria sepanjang semester
pertama dan kami semua wajib
memilih satu aspek khusus untuk
dipelajari bersama seorang teman.
Arthur dan aku memutuskan
menggarap proyek khusus tentang
sekelompok pelukis yang hidup pada
Zaman Victoria. Pelukis-pelukis
itu senang membuat lukisan 263
King Arthur dengan para ksatria
dan wanita malang yang memerlukan
pertolongan. Murid-murid lain
memilih mempelajari aspek-aspek
umum seperti Masa Kanak-Kanak
atau Pelayan atau Mode Busana
atau Jalur Kereta Api. Miss
Moseley sangat senang pada aspek
yang dipilih Arthur dan aku.
Menurutnya, proyek garapan kami
itu sangat orisinal dan menarik.
Kim bersuara seperti orang
muntah. Miss Moseley mengangkat
alis tapi merasa tidak perlu
menanggapinya. Sepertinya dia
tidak menganggap Kim penting.
Ada mata pelajaran yang sama
sekali baru di kelas enam. Dalam
jadwal, mata pelajaran itu diadakan
setiap Jumat siang. Namanya
Waktu Lingkaran. Kami tidak
begitu tahu apa isi pelajaran itu.
"Mungkin kita akan disuruh
membuat gambar lingkaran dengan
menggunakan jangka," duga Arthur
sambil mengeluarkan jangka dari
kotak pensil. 264
"Apa, untuk membuat corak"
Kalau itu, aku suka," kataku.
"Kemudian, kita bisa mewamainya."
Namun temyata tidak ada acara
menggambar lingkaran dalam Waktu
Lingkaran. Malah kami sendiri
yang membentuk lingkaran. Kami
diminta mendorong semua meja ke
pinggir kelas, lalu menyusun kursi
dalam bentuk lingkaran, dan semua
duduk di sana. "Waktu Lingkaran akan menjadi
waktu yang sangat istimewa bagi
kita. Di sini kita akan duduk
bersama sebagai sesama warga di
kelas ini dan membicarakan berbagai
topik yang berbeda setiap minggu,"
Miss Moseley menjelaskan.
"Oooh, dia akan menjelaskan pada
kita tentang seks," gurau Kim, dan
semua murid tertawa. Miss Moseley juga tertawa.
"Tidak hari ini, anak-anak.
Jadi jangan keburu senang dulu.
Dalam Waktu Lingkaran, kita akan
membicarakan isu-isu yang
bervariasi." 265
"Isu! Isu!" seru Kim lagi,
berpura-pura bersin. "Isu itu berarti sesuatu yang
kita pikirkan saat ini. Sesuatu
yang ingin kita bicarakan**"
"Seperti acara Neighbours?"
"Tidak, tidak persis begitu.
Tapi memang berbagai jenis isu
dibicarakan di acara Neighbours.
Begini. Hari ini, di Waktu
Lingkaran, aku bermaksud membicarakan masalah penindasan di
sekolah yang dilakukan murid yang
lebih kuat terhadap murid lain yang
lebih lemah." Mendadak suasana sunyi senyap.
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semua orang melihat pada Kim.
Pipi Kim kontan memerah. Murid-
murid juga memandangi Melanie dan
Sarah. Dan aku. Perutku mulai
terasa mual. Aku tidak ingin
membicarakan masalah itu. Dan bila
Kim, Sarah, dan Melanie ditegur,
jangan-jangan mereka mengira aku
mengadukan ulah mereka pada Miss
Moseley. Tapi Miss Moseley 266
tersenyum padaku, tersenyum pada
semua murid, tenang dan penuh
penguasaan diri, rambutnya yang
pirang tergerai di sekeliling
wajahnya bagaikan lingkaran emas.
Dia mengeluarkan sehelai surat
kabar dan membacakan berita tentang
anak laki-laki yang dipukuli tiga
murid lelaki lain di sekolahnya.
Miss Moseley menunjukkan foto
anak malang itu, wajahnya memar-
memar. Kami semua sependapat
kejadian itu sangat memilukan.
Lalu Miss Moseley membacakan
kepada kami kisah anak perempuan
yang selalu ditinju dan ditendang
teman-temannya sampai dia sangat
ketakutan dan tidak berani
bersekolah, hingga akhimya dia
nekat menggantung diri. Kami juga
mendiskusikan hal ini. Miss
Moseley meminta kami membayangkan
bagaimana kira-kira perasaan kedua
anak itu mendapatkan perlakuan yang
begitu buruk dan teman-temannya.
"Aku tidak mau membayangkan anak
perempuan itu gantung diri. 267
Bisa-bisa aku mimpi buruk nanti,"
kata Melanie. "Aku tahu kalian merasa tidak
nyaman memikirkannya. Tapi kalian
semua sudah semakin besar dan
semakin bijaksana, karena sekarang
kalian sudah duduk di kelas enam.
Kalian siap berdiskusi tentang
topik-topik dewasa yang sangat
menyakitkan. Nah sekarang, menurut
kalian, apa kira-kira tindakan yang
paling tepat yang bisa kita lakukan
pada murid-murid nakal yang suka
menindas ini?" "Sebaiknya mereka juga dipukuli
dan dihajar." "Sebaiknya mereka dikurung
saja." "Sebaiknya jangan ada yang
mengajak mereka bicara."
Semakin lama, usulan yang
terdengar semakin keras dan galak.
"Itu tidak selalu mungkin, atau
bahkan praktis untuk dilakukan,"
Miss Moseley menengahi. "Dan
menurutku, kita harus berusaha
mencari tahu mengapa anak- 268
anak itu menindas teman mereka.
Dengan begitu, kita mungkin bisa
menghentikannya sebelum perbuatan
itu berkembang menjadi kebiasaan.
Nah. Menurut kalian, mengapa
anak-anak itu gemar menindas orang
lain?" "Karena tubuh mereka besar dan
mereka ingin menyakiti orang lain."
"Karena mereka jahat."
"Karena mereka senang menakut-
nakuti orang." "Ya. Itu semua masuk akal.
Tapi cobalah kalian menyelaminya
lebih dalam lagi. Apakah mereka
itu anak-anak yang bahagia?" tanya
Miss Moseley. "Mereka bahagia bila bisa
menyakiti orang." "Ya, menurutku juga begitu.
Tapi coba kalian pikirkan baik-
baik. Coba bayangkan saat kalian
merasa sangat, sangat bahagia.
Katakanlah sekarang kalian
berulang tahun, lalu seluruh
anggota keluarga dan teman kalian
memberi ucapan selamat dan 269
hadiah-hadiah indah, dan kalian
merasa sangat, sangat bahagia.
Nah. Apakah kalian ingin menyakiti orang lain bila
situasinya seperti itu?"
Kami berpikir -lalu menggeleng.
"Tentu saja tidak. Kalian
justru ingin bersikap ramah pada
orang lain. Tapi coba bayangkan
bila kalian mengalami hari yang
sangat tidak menyenangkan, misalnya
saja kalian tertimpa masalah di
sekolah, teman karibmu meninggalkanmu dan bersahabat
dengan orang lain, lalu ayah dan
ibu marah padamu tapi memberi
hadiah untuk adikmu sementara kau
tidak mendapat apa-apa kecuali
omelan** Apakah dalam situasi seperti ini kau ingin bersikap
ramah pada orang lain" Atau kalian
malah merasa ingin menyakiti orang
lain?" "Ingin menyakiti!" jawab kami
serempak. "Tentu saja begitulah yang
kalian rasakan. Dan bila 270
pada saat itu adik kalian datang
dan memamerkan hadiah yang baru
didapatnya dari orangtua kalian,
kalian mungkin akan mendorongnya,
atau mengatainya tolol, bukan?"
Sebagian besar murid mengangguk
mengiyakan, tertawa. "Tapi itu bukan penindasan
seperti yang dimaksud dalam cerita
tadi. Maksudku, aku bisa saja
tidak suka pada adikku, tapi aku
tidak mungkin menendang kepalanya
atau membuatnya bunuh diri."
Murid-murid tertawa lagi, tapi
Miss Moseley memasang wajah
serius. "Begitulah tepatnya. Penindasan
tidak selalu sangat dramatis dan
mengerikan, dengan korbannya
mengalami cedera parah atau bahkan
meninggal. Kita semua bersyukur
tidak pernah ada kejadian seperti
itu di sekolah kita. Tapi aku
yakin kita semua pasti tahu kapan
pernah terjadi peristiwa di mana
beberapa orang diantara kita
mengganggu dan menindas 271
murid lain?" Sekarang tidak ada lagi yang tertawa. Perutku kembali terasa
kencang. "Satu orang diganggu, kemudian
itu berkembang menjadi kebiasaan.
Murid-murid yang lain ikut-ikutan.
Karena semua orang ingin berpihak
pada si pembuat onar supaya mereka
tidak ditindas juga."
"Salah mereka sendiri.
Terkadang, mereka sendiri yang
minta. Habis tolol sih," gerutu
seseorang. Bisa jadi itu Kim.
Namun rupanya pendengaran Miss
Moseley sangat tajam di balik
rambutnya yang lemas. "Tidak pemah ada orang yang
minta ditindas," sergahnya. " Tapi
kau benar, terkadang orang ditindas
karena mereka tolol. Meskipun itu
bukan istilah yang baik. Bukan
salah mereka bila mereka tidak
terlalu pintar. Dan itu tidak bisa
dijadikan alasan menindas orang
lain, hanya karena orang itu tidak
pintar." 272
"Dan adakalanya orang justru
ditindas karena mereka sangat
pintar," imbuh Arthur tiba-tiba.
"Katakanlah mereka juara kelas,
tapi anak-anak yang nakal itu iri
padanya karena mereka juga pintar
dan mereka ingin jadi juara kelas
juga." Miss Moseley mengangguk. "Pikiran yang sangat tajam,
Arthur," pujinya. Beberapa murid kini mulai
berbisik-bisik dan saling menyikut.
Kudengar nama Kim disebut
beberapa kali. Juga nama Mandy.
"Kita tidak akan menyebut nama,"
cegah Miss Moseley. "Ingat, ini
diskusi umum." Melanie dan Sarah gelisah
seperti cacing kepanasan. Pipi
Kim berwarna merah seperti buah
stroberi. "Bila ada anak yang ditindas,
kalian harus selalu memberitahukannya," lanjut Miss
Moseley, matanya berkeliling
memandangi para murid yang 273
duduk melingkar. "Beritahu ayah
dan ibu kalian. Beritahu guru
kalian. Beritahu guru yang lain
bila masalahnya tidak beres juga.
Orang yang ditindas membutuhkan
pertolongan. Begitu juga dengan
orang yang menindas, karena orang-
orang seperti itu sebenarnya orang
yang menyedihkan, memuakkan, dan
tolol. Seharusnya kita kasihan
pada mereka, meskipun mereka gemar
menyakiti dan mencelakakan kita.
Bahkan mengata-ngatai dan
melontarkan sindiran-sindiran
konyol bisa sangat menyakitkan
hati, bukan?" Lagi-lagi Miss
Moseley memandang berkeliling.
"Kalian mengerti maksudku.
Misalnya saja, mengernyit-
ngernyitkan muka dan meledek-ledek,
seperti yang sering dilakukan
monyet di kebun binatang. Mereka
yang suka menindas sama seperti
babon, monyet besar yang mukanya
aneh dan bokongnya merah menyala."
Semua murid tertawa mendengar
Miss Moseley menyebut kata 274
"bokong". "Coba saja kalian lihat, babon
yang badannya paling besar gemar menjerit-jerit dan menggigit babon-
babon lain yang kecil. Lalu babon-
babon besar yang lain menirukan
tingkahnya, menjerit-jerit dan
menggaruk-garuk badan mencari kutu.
Nah, kurasa tidak ada murid di
kelasku yang ingin bertingkah
seperti babon besar pembuat onar
yang bokongnya merah manyala,
bukan?" Semua murid menggeleng-bahkan
Melanie dan Sarah. Kim tertunduk. Sejak saat itu, Kim tidak
pernah menggangguku lagi. Dia
bahkan tidak pemah menungguku lagi
sepulang sekolah. Kalaupun ingin
mengganggu, dia harus melakukannya
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sendirian. Karena sekarang
Melanie dan Sarah tidak ingin
menjadi temannya lagi. Mereka
lebih suka berdua saja. Melanie bertanya apakah aku mau
berteman lagi dengannya. 275
Aku mengiyakan, tapi kubilang aku
tidak bisa menjadi sahabatnya.
Bagaimanapun, sekarang aku punya
Arthur. Kami tetap duduk berdampingan di sekolah dan bermain
bersama saat jam makan siang. Dan
kami selalu berjalan kaki bersama
ke halte bus sepulang sekolah. Mum
masih sering menjemputku, tapi
sekarang aku tidak merasa keberatan
karena tak ada lagi yang mengejekku
tentang hal itu. Aku masih terus berharap entah
bagaimana, suatu hari nanti, Tanya
akan berlari menyongsongku dari
ujung jalan, mengenakan celana
pendek dan sepatu bertumit tinggi
yang berpletak-pletok. Akhimya,
aku mendapat kabar juga darinya.
Hanya sehelai kartu pos, dan dia
tidak menuliskan alamatnya.
Hai, Mandy, Sudah kubilyang aku akan rnentulis srat. Penggandilan Anak
berakir baik. Aku cuman disuruh
mendapat pengawasan. Huibat, kan"
Dan kayaknya aku bakal 276
dapat ibu asuh baru, jadi kyadaanku
mulai membaik. Sampai ketemu lagi, syobat.
Salam manis Tanya XXX Sampai ketemu lagi. Aku harus
terus berharap suatu hari nanti aku
benar-benar akan bertemu lagi
dengannya. Bila dia tidak kembali
menemuiku, maka akulah yang harus
pergi mencarinya, setelah aku besar
nanti. Kami tetap bersahabat.
Kami harus bertemu lagi. Entah di
mana'''. Mr Quin Yang Misterius 1 Goosebumps - 6 Gara-gara Cermin Ajaib Suling Pusaka Kumala 7
membelikan baju renang. Dad dan
aku pergi berenang setiap hari
Minggu pagi. Aku memohon dibelikan bikini. Dalam bayanganku, pasti keren sekali bila
aku bisa mengenakan atasan bikini
yang dipadu dengan celana pendek.
Aku yakin pasti keren. Tapi Mum
malah menertawakan aku. "Astaga, bikini! Jujur saja,
Mandy, dadamu lurus dan rata
seperti papan setrikaan!"
Mum membelikan baju renang anak-
anak yang membosankan. Untunglah dia tidak bisa memilih warna pink,
karena model yang diinginkannya
tidak ada yang berwarna pink.
Sebenarnya aku menginginkan baju
renang yang jingga terang, tapi
kata Mum warna itu terlalu
mencolok. Pilihannya jatuh pada
baju renang biru dengan pita putih
kecil konyol di bagian depan dengan
dua kancing berbentuk kepala
kelinci putih. "Kau kelihatan manis 154
sekali," puji Mum, berusaha keras
berlagak seakan acara jalan-jalan
kami ini benar-benar menyenangkan.
Mum bahkan tidak marah waktu aku
menunjukkan pulpenku yang rusak.
Kami pergi ke bagian yang menjual
alat-alat tulis. Mum membelikan
aku pulpen tinta berwarna pink
dengan pensil mekanik pink yang
serasi. Sebenarnya aku ingin langsung
pulang sehabis berbelanja, tapi
Mum ingin kami makan es krim dulu
di Soda Fountain. Jadi kami pun
pergi ke sana dan aku memilih es
krim Cherry Special. Kuisap
buah-buah cerinya dan kujilati
krimnya, lalu kuaduk-aduk es krim
di dalam mangkuk perak itu karena
entah mengapa rasanya kok tidak
mengena di lidahku. Tanya sudah menungguku waktu
akhirnya kami pulang. Dia
nangkring di pagar kayu kecil yang
mengelilingi rumah kami. Mum mendesah begitu aku melesat
mendahuluinya. 155
"Kurasa pagar itu tidak terlalu
kuat untuk diduduki, Tanya," seru
Mum. "Yeah, rasanya memang tidak
terlalu nyaman," kata Tanya,
berdiri dan menggosok-gosok bekas
merah di pahanya. "Hei, apa isi
tas-tas belanjaan itu" Kau
dibelikan barang-barang baru, ya,
Mandy" Beruntung benar kau!"
Oh, seandainya saja aku tadi
ingat membelikan oleh-oleh untuk
Tanya! Apalagi karena dia sudah
menghadiahkan ikat rambut hijau
padaku tempo hari. "Ini, kami membelikan hadiah
kecil untukmu, Tanya," kataku
cepat-cepat, menyambar pensil
mekanik dari dalam kantong
belanjaan dan menyodorkan benda itu
padanya. Alis Mum terangkat, tapi dia
diam saja. "Oh, wow! Hadiah untukku!
Pensil, oh hebat, aku belum pemah punya pensil mekanik keren seperti
ini. Terima kasih banyak," 156
seru Tanya, lalu menciumku. Dia
bahkan berjinjit dan mengecup pipi
Mum juga. "Baiklah-sekarang, coba lihat,
kau membeli apa saja, eh?" tanya
Tanya sambil merogoh tas-tas
belanja. "Oh, bagus sekali!" pujinya
sambil mengangkat tinggi kaus dan
celana pendekku. Mum tampak terkejut sekaligus
senang. "Apa maksudmu 'bagus sekali'?"
gerutuku pada Tanya. "Kau tidak
mau mengenakan baju seperti itu."
"Memang tidak, tapi ini pantas
sekali untukmu," ujar Tanya.
"Terima kasih!" kataku sambil
mendorongnya sedikit. "Lalu, kau membeli apa lagi?"
tanya Tanya, merogoh-rogoh ke
dalam tas. "Oh, pulpen, persis
seperti pensilku! Dan ini apa?"
"Baju renang." "Coba kita lihat. Oh, aku suka
kelinci-kelinci kecilnya."
Aku menyipitkan mata di 157
balik kacamata, masih belum yakin
Tanya berakting atau tidak.
"Kalau begitu kau bisa berenang,
Mandy?" "Oh ya, Mandy pergi berenang
bersama ayahnya setiap hari
Minggu," Mum menjelaskan sambil
melipat baju-baju yang baru dibeli,
memasukkannya kembali ke dalam tas.
" Ayo, Mandy, masuk. Kita harus
minum teh." "Apakah ayahmu yang mengajarimu
berenang, Mandy" Maukah dia
mengajariku" Aku boleh ikut
berenang hari Minggu nanti?"
"Oh, ya!" jawabku kegirangan.
"Kita lihat saja nanti."
Aku tahu apa arti perkataan
"kita lihat saja nanti" yang
diucapkan Mum. Itu berarti
penolakan secara halus. Tapi Dad sepertinya senang
dengan ide itu. "Ya, tentu saja
Tanya boleh ikut berenang bersama
kita," katanya. Aku langsung berseru kegirangan.
"Aku tidak yakin itu ide 158
yang bagus," seru Mum dari dapur.
"Si Tanya mulai membuntuti Mandy
ke mana-mana." "Dia tidak membuntuti. Justru
akulah yang membuntuti dia terus,"
bantahku berkeras. "Tenanglah, Mandy" ujar Mum,
masuk ke ruang depan dengan masih
mengenakan celemek. "Ya ampun,
beri kesempatan dulu pada Daddy
untuk berganti pakaian dan
beristirahat sebelum kau mulai
merongrongnya. Nanti saja kita
diskusikan rencana berenang ini."
"Tidak ada yang perlu
didiskusikan, Mum. Dad sudah
memperbolehkan," tukasku.
Dad tetap pada pendiriannya
meskipun Mum berusaha keras
membuatnya berubah pikiran.
"Aku tahu kau sepertinya sangat
menyukai Tanya-tapi sebenamya aku
sangat mengkhawatirkan dia. Aku
sudah bicara dengan Mrs Williams
dan dari dia aku tahu Tanya memiliki latar belakang yang sangat
menyedihkan." 159
Mum mulai berbisik-bisik dengan
Dad. Aku berusaha menguping.
Menunggu munculnya kata "maling".
Dad melihatku menggigit bibir.
"Ya, baiklah, kasihan Tanya
yang malang. Kedengarannya
hidupnya sangat berat," komentar
Dad. "Kalau benar begitu,
bukankah seharusnya kita justru
bersikap ekstra baik terhadapnya"
Menunjukkan padanya bagaimana
kehidupan keluarga normal yang
saling menyayangi" Aneh juga,
mengingat latar belakang keluarganya, bagaimana dia bisa
tumbuh menjadi anak yang ceria -dan
sangat sayang pada Mandy kita.
Kau terus berkata dia bisa memberi
pengaruh buruk pada Mandy. Apa
tidak pemah terpikir olehmu bahwa
Mandy justru bisa memberi pengaruh
yang baik pada Tanya?"
Kutinju udara dengan kepalan
tanganku. Dad benar-benar berhasil
membungkam protes Mum. Jadilah kami pergi berenang pada
hari Minggu, Dad, Tanya, 160
dan aku. Mulanya Tanya tidak
begitu bergairah menyambut ide itu.
Kami meneleponnya pagi-pagi
sekali, pukul 07_30, dan Mrs
Williams bilang dia masih tidur,
padahal sudah dua kali dibangunkan. Tanya muncul sepuluh menit
kemudian, putih pucat dan menguap,
rambut jingganya berdiri tegak.
Ini untuk pertama kalinya aku
melihat wajah Tanya polos tanpa
rias wajah. Mengejutkan, betapa
dia tampak sangat lain. Jauh lebih
muda. Lebih lembut. Dan lebih
rapuh. Sebelumnya Dad sempat kesal
menunggu Tanya yang tidak kunjung
datang, tapi sekarang dia
tersenyum. "Pagi, Tanya!" "Pagi! Rasanya seperti masih
tengah malam buta," katanya. Tapi
dia membalas senyum Dad. Kemudian
ia menjulurkan lidah padaku.
"Kenapa kau melihatku seperti itu,
heh?" Tangannya menggosok kelopak
matanya yang polos tanpa 161
riasan dan menyisir rambutnya
dengan jari-jari. "Aku kelihatan
aneh, ya?" "Menurutku kau justru tampak
manis," jawabku. Mulanya kusangka Tanya bakal
mengenakan bikini, tapi waktu kami
berganti baju, dia mengenakan baju
renang biru yang sudah tua, polos
dan biasa. Warnanya pun sudah
mulai pudar. "Aku tidak punya baju renang.
Ini kostum renang dari sekolah
putri Mrs Williams dulu. Jelek
sekali, kan" Lihat, ada lubang-
lubang kecilnya pula." Tanya
menusuk-nusuk lubang di baju
renangnya dengan jari telunjuk.
"Aku bisa ditangkap karena
dianggap melakukan perbuatan tidak
senonoh!" "Bajumu bagus," hiburku.
"Justru aku yang kelihatan idiot."
Kutarik pita dan kepala-kepala kelinci konyol yang menghiasi baju
renangku. "Kau terlihat manis kok," 162
puji Tanya. Nadanya terdengar
sendu. "Kau beruntung, ibumu
sangat memanjakanmu. Dia tidak
ikut berenang?" Kupandangi Tanya. Kami berdua
sama-sama membayangkan ibuku
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengenakan baju renang ketat. Kami
nyengir dengan perasaan bersalah4"Mungkin sebaiknya
tidak," ujar Tanya, menjawab
sendiri pertanyaannya. Kami menyimpan baju-baju kami di
lemari penyimpanan yang sama. Aku
senang melihat kaus dan celana
pendek baruku teronggok bersebelahan dengan kaus dan
legging milik Tanya. Aku juga
harus mencopot kacamataku. Aku
selalu merasa aneh bila tidak
mengenakan kacamata. Seluruh dunia
seolah berkabut dan menghilang di
kejauhan. Aku harus separo meraba-
raba untuk bisa mencapai kolam
renang. Yang terlihat olehku
hanyalah birunya air yang cemerlang
dan berkilauan. "Ayo, kubantu kau," kata 163
Tanya dan menggandeng tanganku
erat-erat. "Mana ayahmu" Oh, itu
dia di sana, berdiri di pinggir
kolam. Hei, Anda akan terjun ke
kolam?" Dia bergegas menarikku
menghampiri Dad, kaki kami yang
telanjang berlari menapaki ubin
yang lembap. "Taruhan, Anda pasti tidak bisa
terjun!" seru Tanya.
"Taruhan, aku pasti bisa," balas
Dad, persis seperti anak sekolah
menyambut tantangan. Kemudian dia
benar-benar terjun lalu berenang
menjauh, kedua lengannya membelah
air dengan mulus, kedua kakinya
yang runcing bergerak-gerak sampai
aku tidak bisa melihatnya lagi,
tertutup cipratan air yang berwarna
hijau muda. "Hei, ternyata ayahmu bisa!
Tua-tua keladi juga dia, ya?" seru
Tanya sambil tertawa. Dad berenang kembali menghampiri
kami sambil tertawa-tawa. Lalu dia
naik dan duduk di pinggir kolam,
kedua kakinya menendang air. 164
Butiran-butiran air berkilauan
menutupi badannya. Aku khawatir
Tanya bakal menertawakan perut
ayahku yang buncit dan menggelambir, serta bulu dadanya
yang lebat. Bulu dada yang
beruban. Namun Tanya sepertinya
menganggap Dad benar-benar ayah
super. "Hei, ajari aku terjun. Anda
hebat sekali! Dan aku ingin bisa
berenang dengan mulus seperti Anda
tadi. Aku hanya bisa berkecipak-
kecipak." Tanya mengoceh terus,
tapi dia tidak kunjung menceburkan
diri ke air. Dad sampai harus
memegangi tangannya dan membujuknya
menuruni tangga. Aku melompat ke
dalam air. Dan setelah Tanya
masuk ke kolam, dia tidak mau
mencelupkan badan dan membasahi
pundak. Dia malah berdiri sambil
mengigil, mendekap badannya dengan
kedua lengan, dan ketika Dad
berusaha menunjukkan bagaimana
caranya berenang dengan gaya katak,
Tanya tidak yakin dia bisa 165
melakukannya. Dia malah berdalih
mengidap infeksi telinga, jadi
mungkin ada baiknya bila dia tidak
membasahi rambut. Dad tidak memaksanya melakukan
apa-apa. Kami malah bermain
lompat-lompatan di dalam air, mula-
mula hanya Dad dan aku, tapi
kemudian kami memegang kedua tangan
Tanya dan dia ikut melompat-
lompat. MuIanya dia menjerit-
jerit dengan suara keras, tapi
kemudian dia mulai bisa menikmatinya dan tertawa berderai.
"Kita keluarga bahagja," seru
Tanya sernentara kami terus menari dan berputar-putar. Lalu dia
berdendang, "Kita keluar-ga ba-ha-
gia. Ada ayah Mandy, Mandy, dan
aku." Kami menyanyikan lagu Tanya
berulang-ulang sambil berputar di
air yang biru. "Seandainya saja
kita benar-benar satu keluarga yang
utuh," kataku. "Aku rela berbuat
apa saja, asal bisa punya kakak
perempuan seperti kau, 166
Tanya." "Yeah, kau juga sudah seperti
adikku sendiri," balas Tanya.
"Dan kita akan selalu bersama-
sama, tidak ada orang yang bisa
memisahkan kita, bukan?"
INDIGO 167
Suasana di sekolah masih tetap
tidak enak. Kim, Sarah, dan
Melanie langsung menutup hidung
setiap kali aku lewat. Beberapa
anak lain ikut-ikutan. Tapi Arthur tidak. Meski sikapnya
masih sedikit dingin. Aku berusaha
bersikap tidak peduli. Aku
berjalan dengan kepala ditegakkan,
pura-pura menjadi Miranda
Rainbow, sampai Kim menjulurkan
kaki dan menjegalku hingga aku
jatuh tunggang-langgang. Dia tidak melakukan apa-apa bila
ada guru di sekitar kami. Mrs
Edwards sedang giat-giatnya
menggalakkan Kampanye Anti
Penindasan. "Tunggu saja sampai liburan
tiba," kata Kim keras-keras pada
Melanie. "Kita kerjai dia habis-
habisan. Di rumahmu."
Ibuku masih menjalin kesepakatan
dengan ibu Melanie. Aku selalu
dititipkan di rumah mereka pada
pagi hari saat liburan, 168
sementara Mum bekerja. "Tapi sekarang aku tidak mau
dititipkan di rumah Melanie,"
tolakku ngotot. "Kenapa" Apa mereka mulai
mengganggumu lagi?" tanya Mum.
"Tidak. Well, tidak juga.
Hanya kadang-kadang mereka
melakukan hal yang aneh. Tapi
jangan melaporkannya lagi ke
sekolah, Mum! Kuabaikan saja
mereka, seperti anjuran Mum. Tapi
aku benar-benar tidak mau
dititipkan di rumah Melanie selama
liburan. Dia benci padaku. Dan
aku juga benci padanya."
Mum sangat khawatir. Dia ingin
aku mencoba berteman lagi dengan
Melanie. "Tapi Mandy tidak mau berteman
lagi dengan Melanie," bela Dad.
"Dan aku tidak menyalahkan dia.
Selama ini Melanie jahat sekali
padanya. " "Padahal mereka dulu akrab. Aku
tidak tahu harus berbuat apa lagi,"
keluh Mum bingung. "Aku 169
tidak bisa membawa Mandy ke
kantor. Dia juga belum cukup umur
untuk ditinggal di rumah sendirian.
Tapi dia sudah terlalu besar untuk
dijaga pengasuh anak! Jadi apa
yang akan kita lakukan?"
"Itu kan sudah jelas!" kata
Dad. "Maksudmu sebaiknya aku minta
izin dari kantor?" tanya Mum.
"Tidak! Bicaralah dengan Mrs
Williams. Aku yakin dia pasti
tidak keberatan mengawasi Mandy:
Dengan begitu, dia dan Tanya bisa
saling menemani." "Oh, ya! Yes! YES!" sorakku.
Mum menolak. Dia terus mengatakan tidak. Dia berusaha
mencari orang lain yang bisa
dimintai tolong menjagaku. Tapi
akhimya dia menyerah dan mengurus
semuanya dengan Mrs Williams.
"Oh, Mum, menyenangkan sekali!"
seruku sambil berjingkrak-jingkrak
mengelilingi ruangan. "Hei, hei, tenang, nanti pecah
barang-barang tersenggol 170
olehmu! Sekarang dengarkan baik-
baik, Mandy. Aku ingin kau
berkelakuan baik selama berada di
rumah Mrs Williams. Aku tidak
mau kau berbuat yang aneh-aneh
bersama Tanya. Ada banyak
peraturan yang harus kautaati,
mengerti?" "Mendengar berarti mematuhi,
Ibu yang Agung," jawabku separo
bercanda. Kami tidak menaati aturan-aturan
yang digariskan Mum. Mrs Williams sepertinya tidak begitu
peduli, pokoknya asal kami tidak
menyetel musik terlalu keras bila
bayi-bayi tidur siang. Dia juga
membiarkan saja kami berkeliaran di
kota bersama-sama, bahkan tidak
marah bila kami pulang terlambat.
"Beruntung benar kau, Tanya,"
kataku tanpa berpikir saat berjalan
beriringan bersama Tanya menuju
kota. "Mrs Williams tidak pemah
mengomelimu dan membuatmu menaati
aturan atau mengatur-atur seperti
ibuku." 171
"Well. Itu karena dia bukan
ibuku," kata Tanya. "Dia hanya
ibu asuh yang dibayar untuk
mengawasiku. Itu memang tugasnya.
Dan dia bahkan tidak menginginkan
aku, kebetulan saja aku dititipkan
di tempatnya karena tidak ada
tempat lain yang bisa menampungku.
Hubungan kami baik-baik saja, dia
bukan wanita tua yang cerewet, tapi
dia juga tidak terlalu memperhatikan aku. Kadang-kadang
dia bisa sangat tergila-gila pada
bayi-bayi itu. Entah mengapa,
padahal mereka kan nakal dan hanya
bisa bikin kotor. Tapi dia tidak
peduli padaku. Karena tidak
peduli, dia tidak pernah memarahiku. Ibumu memarahimu
karena dia sangat sayang padamu,
semua orang bisa melihatnya. Dia
menyayangimu dengan segenap hati."
Aku tidak tahu harus berkata
apa. "Dan ayahmu juga menganggap kau
segalanya baginya," kata Tanya,
kali ini nadanya terdengar 172
iri. "Bagaimana dengan ayahmu,
Tanya?" tanyaku. Aku baru sadar, tidak sekali pun
Tanya pernah bercerita tentang
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ayahnya. "Huh, dia!" ucap Tanya sambi!
mendengus. "Sudah bertahun-tahun
aku tidak pemah bertemu dia. Tidak
ingin juga sih." Tanya menarik lengannya yang
sedari tadi menggandeng lenganku
dan berjalan cepat-cepat, tumit
sepatunya berbunyi. Aku terpaksa
harus mempercepat langkah untuk
bisa menyusulnya. Tanya membuang
muka. Sepertinya dia berusaha
keras untuk tidak menangis.
"Maafkan aku, Tanya," ucapku
khawatir. "Untuk apa kau meminta maaf?"
tanyanya, suaranya terdengar galak.
"Well. Aku tidak bermaksud
membuatmu sedih. Dengan pertanyaanku tentang ayahmu tadi."
"Aku tidak sedih. Aku tidak
peduli padanya. Atau pada 173
ibuku, tidak lagi. Atau bahkan
pada adik-adik lelakiku, karena
mereka sekarang sudah diadopsi dan
keadaan mereka baik-baik saja. Aku
hanya memikirkan Carmel**"
"Mereka tidak mengizinkanmu
menemuinya?" "Kami pernah bertemu pada liburan Paskah kemarin, tapi
sikapnya malu-malu dan di sana ada
ibu angkatnya dan**" Tanya
menyedot ingus. "Dengar, tutup
mulutmu, Mandy; Aku tidak ingin
membicarakannya, oke?"
"Oke," sahutku.
"Jangan sedih begitu, goblok.
Ayo, kita ke kota dan bersenang-
senang," ajak Tanya.
Kami pergi ke toko Boots,
berlama-lama di konter yang menjual
berbagai jenis kosmetik. Pada
mulanya sangat mengasyikkan. Tanya
memakaikan sampel rias mata dan
lipstik ke wajahku dan kami saling
menyemprotkan tester parfum. Tapi
kemudian Tanya mulai berjalan
mengitari rak dan aku 174 melihat tangannya terulur dan
menyambar sesuatu dengan gerakan
secepat kilat. Dia mengenakan kaus
lengan panjang berkerudung yang
memiliki saku besar. Mudah saja
baginya menyembunyikan barang-
barang di dalamnya. Aku berjalan mengikutinya,
sekujur badanku gemetar. Sebaliknya Tanya, dia berjalan
berkeliling dengan kalem, seolah
tidak ada apa-apa. Benar-benar
ahli. Kami keluar dari toko dan dengan
cemas aku menantikan adanya tangan
yang hinggap di bahu Tanya,
menegurnya dengan galak. Tapi itu
tidak terjadi. Kami berjalan
terus, bola mata Tanya bersinar
cemerlang, cengiran lebar menghiasi
wajahnya. Sikapnya benar-benar
gembira sekarang. "Hei, Mandy, ayo. Kita ke
toilet sebentar. Rupamu seperti
badut dengan rias wajah coreng-
moreng begitu," kata Tanya.
Ditatapnya aku lekat-lekat. 175
"Kau kenapa, heh?" tanyanya.
Kerongkonganku kering sekali
sampai aku tidak bisa berbicara.
Aku hanya berdiri di sana, badanku
gemetaran. "Hei, kau mau lihat apa yang
kuambilkan untukmu?"
Dia membuka saku bajunya dan
menunjukkan padaku sekaleng hair
spray. "Sudah kubilang, kau membutuhkan
hair spray untuk menata rambutmu.
Bila kau menyisirnya ke atas.
Mengapa kau tidak pemah memakai
ikat rambut yang kuhadiahkan
untukmu, heh?" Aku hanya mengangkat bahu dan menggeleng. Karena tidak ingin
membuatnya sedih lagi, aku tidak
berani mengatakan apa-apa tentang
aksi mengutilnya barusan.
Tanya sekarang selalu beraksi
setiap kali kami berbelanja
bersama. Aku tetap tidak berani
menegumya secara terang-terangan,
tapi sebisa mungkin aku berusaha
keras kami tetap berada di 176
rumah Mrs Williams dan tidak
pergi ke mana-mana. "Sudahlah, Tanya. Berbelanja
membosankan. Kita di rumah saja,
mendengarkan musik, menggambar,
atau yang lain. Terserah kau.
Please," pintaku. Kadang-kadang taktikku berhasil. Saat-saat seperti itu merupakan
pagi yang paling membahagiakan
bagiku. Kami menyetel kaset milik
Tanya dan mendengarkan lagu-lagu
sampai aku hafal semua liriknya.
Tapi aku hanya komat-kamit tanpa
suara. Sementara Tanya menyanyi
dengan suara serak-serak basahnya
yang keren. Dia menari dan
menciptakan berbagai gerakan tari
sendiri. "Apa menurutmu aku bisa jadi
penyanyi rock terkenal suatu saat
nanti, Mandy?" Tanya bertanya
sambil terus menari. "Tentu saja bisa," jawabku.
Sekarang pun dandanannya sudah
seperti penyanyi rock, dengan
celana pendek mengilap dan 177
blus violet gemerlapan yang
fantastis. Dia mewarnai kelopak
matanya dengan perona mata warna
ungu, membaurkannya dengan sangat
manis hingga alis. Suatu kali
bahkan dia mengambil kotak spidolku
dan membuat desain desain tato di
lengan dan kakinya-gambar berbagai
jenis bunga yang aneh, kuda unicorn
yang berjingkrak, dan penyihir yang
membacakan mantra. Dia juga
membuat gambar gelang dari tinta
biru tua, mengitari pergelangan
tangannya yang kurus, dan meminta
bantuanku membuatkan gambar cincin
di setiap jari, berhiaskan batu
mirah merah, zambrud hijau, ametis
ungu, dan safir biru. "Buatkan tato untukku, Tanya,"
pintaku. "Ibumu bisa mengamuk," kata
Tanya, tapi dia membuat gambar tato kecil di bagian dalam
pergelangan tanganku. Ujung spidol
terasa menggelitik dan rasanya aneh
bila dia menekan pembuluh darahku.
Dibuatnya gambar hati merah 178
dengan jumbai-jumbai di sekelilingnya. Di dalam hati itu
terukir dua nama yang saling
menyilang, Tanya dan Mandy.
Rasanya aku mau pingsan saking
bangga dan bahagianya. Saat Mum datang menjemputku,
aku menempelkan plester untuk
menutupi tatoku, berlagak seolah
tanganku tergores. Setiap kali
sendirian, berulang kali aku
mengintip gambar hati di tanganku
itu. Aku berhasil mempertahankannya hingga menjelang
waktu tidur. Lalu Mum menyuruhku
mandi, sehingga plesternya copot
dan gambar hatinya terhapus. Esok
harinya aku membawa kotak spidolku ke rumah Mrs Williams dan
menuntut digambarkan jantung hati
lagi. Tanya juga senang menggambar, menggunakan pensil
mekaniknya yang baru. Kami
mengarang cerita hebat tentang dua
anak perempuan yang melakukan
perjalanan keliling dunia bersama.
Tanya menamai gadis 179
ciptaannya Love Tanyanita. Aku
membiarkan gadis ciptaanku
menggunakan nama Miranda Rainbow.
Mulanya aku sedikit khawatir
membagi teman khayalan yang begjtu
penting artinya bagjku dengan
Tanya, tapi Tanya tidak menganggapnya sebagai hal yang
konyol dan tidak meledekku sama
sekali. Ceritanya, Love dan Miranda
dulunya miskin, sehingga untuk pergi ke mana-mana mereka harus
nebeng naik lori dan tidur di
pinggir jalan dalam satu kantong
tidur. Tapi kemudian Love mulai
menyanyi dan albumnya meledak di
pasaran, hingga dia jadi kaya,
lebih kaya daripada Madonna. Dia
tetap bersahabat dengan Miranda.
Mereka tinggal di apartemen
penthouse-di lantai paling atas-
dengan perabotan serbaputih, karpet
putih, dan tempat tidur putih
berbentuk hati, serta kolam renang
besar di puncak gedung dengan ikan
lumba-lumba sungguhan 180
berenang di dalamnya. Sekarang,
bila Love dan Miranda hendak
bepergian, mereka menggunakan limusin putih panjang milik mereka
sendiri'''. Tanya pintar sekali mengembangkan ceritanya. Aku
sampai memohon-mohon padanya agar
menuliskannya untukku, supaya aku
bisa mengingatnya sampai kapan pun.
"Iduplah dwa gadis," Tanya
menulis, lamban sekali. Aku tidak berkomentar. Tapi
Tanya melihat ekspresi wajahku
yang terperangah melihat tulisannya
yang kacau-balau. "Yeah, well, aku memang tidak
pandai menulis," kata Tanya. "Aku
mengalami kesulitan belajar.
Karena aku kehilangan ibuku dan
lain sebagainya. Lagi pula, aku
menderita disleksia. Kau tahu apa
itu" Itu kelainan yang membuatmu
tidak bisa membaca dan menulis
dengan benar. Tapi itu bukan
berarti kau dungu." "Tentu saja tidak," aku 181
buru-buru menimpali. "Tidak mungkin aku dungu, karena
aku tahu semua kata, bahkan
sebagian kata itu panjang dan
susah. Aku cuma tidak bisa
menuliskannya dengan benar."
"Aku bisa mengajarimu!" aku
menawarkan diri. Tapi itu tidak berlangsung
mulus. Aku terlalu malu menunjukkan semua kesalahan Tanya.
Bila aku berani memberitahukannya,
wajah Tanya langsung merah padam.
"Hei, membosankan sekali!
Sekarang kan liburan. Siapa yang
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mau mengerjakan urusan-urusan
sekolah pada waktu liburan" Ayo,
kita jalan-jalan ke kota saja."
"Tidak! " "Oh, ayolah, Mandy, aku bosan
di rumah terus. " "Tidak ada waktu, sebentar lagi
ibuku datang menjemput."
"Jangan konyol. Ibumu baru akan
datang pukul setengah dua. Mengapa
kau tidak mau pergi berbelanja,
heh?" 182
"Kau tahu kenapa," jawabku putus
asa. "Kenapa ?" "Karena''' karena aku tidak suka
bila kau**" "Bila aku apa?"
"Kau tahu." "Tidak. Beritahu aku," desak
Tanya sambil menalikan sepatu
sandalnya. "Bila kau''' mengambil barang-
barang." Tanya berdiri dengan mengenakan
sepatu bertumit tinggi dan bertolak
pinggang. "Tapi aku kan selalu
mengambilkan hadiah-hadiah kecil untukmu juga," katanya.
"Ya, tapi''' sebenarnya aku
tidak ingin kau mengambilkan
barang-barang untukku. Aku sangat
ketakutan." "Dengar, kau tidak perlu takut.
Aku tahu apa yang kulakukan. Aku
tidak akan tertangkap, sungguh.
Aku tidak pernah tertangkap."
"Tapi. .. itu tidak 183
baik," kataku, hampir menangis.
"Apa?" tanya Tanya. "Oh,
sudahlah, jangan ngaco begitu."
"Itu sama saja dengan mencuri."
"Aku tahu itu sama saja dengan
mencuri. Tapi toko-toko itu tidak
bakal rugi. Mereka sudah menaikkan
harga sedemikian rupa untuk
mengantisipasi pengutilan. Lagi
pula, bagaimana lagi aku bisa
mendapatkan barang-barang yang
kubutuhkan, heh" Si tua Pat pelit
soal memberiku uang saku, padahal
dia dibayar banyak untuk mengurusku. Kau sih enak. Mau
jadi anak sok alim juga tidak apa-
apa karena semua kebutuhanmu
dicukupi kedua orangtuamu."
"Aku tahu. Maafkan aku. Jangan
marah padaku, Tanya. Baiklah.
Ayo kita pergi," kataku dengan air
mata menggenang. "Oh, sekarang aku sudah malas,"
tukas Tanya. "Kau mengacaukan
semuanya. Dulu aku juga sering
mengambilkan barang-barang untuk
Carmel dan dia selalu 184
menerimanya dengan senang hati.
Menurutnya aku benar-benar hebat.
Kami dulu sering bersenang-senang
bersama. Tapi kau sama sekali
tidak bisa diajak bersenang-senang,
Mandy White." Tanya menjatuhkan badan ke
tempat tidur dan menyembunyikan
wajahnya. "Oh, Tanya, jangan, kumohon,"
pintaku, menangis tersedu-sedu.
Tidak percaya aku betapa cepatnya situasi berubah menjadi
sangat tidak mengenakkan hanya
dalam tempo beberapa detik. Mau
rasanya kugigit lidahku sampai
putus. Sejurus kemudian Mrs Williams
mengetuk pintu dan melongokkan
kepala ke dalam kamar. "Temyata benar, kupikir tadi aku
mendengar suara orang menangis!
Ada apa, Mandy?" "Tidak ada apa-apa," jawabku.
Jawaban tolol, karena jelas Mrs
Williams melihatku menangis
sejadi-jadinya. 185
Pandangan Mrs Williams tertuju
ke tempat tidur. "Apakah Tanya uring-uringan?"
tanyanya. "Hei, Tanya?"
Tanya tidak bergerak. "Ya sudah," tukas Mrs
Williams. "Ikutlah ke bawah
bersamaku, Mandy; Kita akan minum
teh dan makan biskuit, oke?"
"Tapi bagaimana dengan Tanya?"
"Nanti juga dia akan turun dan
bergabung bersama kita kalau
perasaannya sudah enak," jawab Mrs
Williams. Aku yakin Mrs Williams keliru.
Aku menangis begitu keras sampai
tidak sanggup meneguk tehku. Simon
datang dan duduk di kakiku,
menengadah dan memandangiku dengan
sikap ingin tahu. Charlie juga
ikut-ikutan merangkak mendekat
sambil merengek rewel. Gusinya
sakit karena dia sedang tumbuh
gigi. Air liurnya berleleran di
dagu. Sementara itu, si bayi
Ricky mulai merengek-rengek di
kereta dorongnya yang 186
diletakkan di ruang depan.
"Ya ampun, hari ini kalian semua
sedang uring-uringan, ya?" kata
Mrs Williams. "Apa sebabnya kau
dan Tanya bertengkar, Mandy?" "Tidak ada apa-apa," ulangku
sambil membersihkan ingus.
"Yeah, tidak ada apa-apa,"
sambut suara yang sangat kukenal.
Tanya berjalan memasuki dapur
dengan tumit sepatu berpletak-
pletok. "Aku juga mau minum teh, Pat.
Dan ayo kita makan beberapa keping
biskuit cokelat, yeah?" Dia
membungkuk, menggelitik perut
Simon. "Kita ingin makan biskuit
cokelat, kan, sobat kecil?"
Simon tertawa dan juga minta
perhatian terpekik-pekik. Charlie
juga minta perhatian sehingga
Tanya mengangkatnya dan melempar-
lemparkannya di udara. Charlie
kegirangan, air liumya menetes-
netes. "Idih, kau mengileri aku,
pancuran kecil,"kata Tanya, 187
meletakkan bocah itu kembali ke
lantai dan menyeka wajahnya. Lalu
dia memandangi aku. "Hei, kau juga seperti pancuran!
Ada apa, Mandy?" "Oh, Tanya," isakku. "Maukah
kau berteman lagi denganku?"
"Kita kan selalu berteman, anak
tolol," sergah Tanya, lalu
menepuk-nepuk wajahku yang basah
dengan serbet. "Ini, seka
wajahmu." "Kita pergi berbelanja
sekarang," kataku. "Tidak, tidak usah," tolak
Tanya sambil menggigit biskuit
eokelatnya. "Mungkin besok."
Aku memutuskan aku tidak peduli
Tanya akan melakukan apa.
Pokoknya, biar bagaimanapun, dia
harus tetap menjadi temanku.
Bahkan bila itu berarti dia tetap
mengutil saat kami pergi bersama.
Walau begitu, tak urung aku
tetap ketakutan setengah mati waktu
kami berdua berangkat ke kota esok
paginya. Tanya 188
memperhatikan wajahku lekat-lekat.
"Kau baik-baik saja?"
"Ya!" aku buru-buru menjawab,
memaksa diri tersenyum. "Ayolah, katakan pada sobatmu
Tanya, hal apa yang meresahkan
pikiranmu," kata Tanya sambil
menggelitik bagian bawah daguku.
"Hentikan," kataku, tertawa
keras-keras. Aku ingin sekali menunjukkan
padanya aku juga bisa menjadi teman
yang menyenangkan. Tanya memang tidak bisa membaca
dengan baik, tapi dia bisa membaca suasana hatiku dengan sangat tepat.
"Tidak apa-apa, Mandy" ujarnya.
"Dengar, bila kau benar-benar
merasa terganggu, aku berjanji
tidak akan mengutil barang-barang
untukmu lagi, oke?" "Sungguh?" tanyaku, kepalaku
pusing saking leganya. "Tapi aku tidak bilang aku tidak
akan mengutil barang-barang untukku
lagi," Tanya menandaskan sambil
nyengir lebar. Dia 189
merangkul pundakku. "Kau masih mau
berteman denganku, yeah?"
"Kau sahabat yang paling baik di
seluruh dunia," ucapku sungguh-
sungguh. Kami pergi ke Flowerfields Shopping Centre dan mulanya
sangat senang bermain-main di sana.
Kami menonton robot tikus,
kelinci, dan tupai menari-nari di
antara pajangan bunga plastik.
Tanya mengambil segenggam koin
dari dasar kolam air mancur
harapan-tapi melemparkan kembali
semuanya. "Ayo, panjatkan keinginanmu
sebanyak-banyaknya, Mandy" kata
Tanya sambil menyebar uang-uang
logam itu dengan gerakan yang
sangat cepat, sampai air kolam
bercipratan. Aku berdoa semoga Tanya bisa
menjadi temanku selamanya.
Aku berdoa semoga Kim, Sarah,
dan Melanie berhenti menggangguku
bila liburan berakhir dan aku
kembali bersekolah. 190
Aku berharap bisa berubah
menjadi Miranda Rainbow. Aku berharap semua harapan bisa
menjadi kenyataan. "Apa harapanmu, Tanya?"
tanyaku. Tanya mengerutkan hidung. "Bila
aku memberitahukannya padamu,
harapan itu tidak akan terwujud."
Kami berkeliaran mengelilingi
Flowerfields. Berjam-jam lamanya
kami berkutat di toko HMV,
mendengarkan musik. Tanya meraba
sehelai kaus baru bergambar Kurt
dengan wajah kepingin. Aku menahan
napas. Tapi Tanya hanya mengelusnya.
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Bagus sekali, bukan?" tanyanya.
"Aku akan bertanya pada Pat
apakah dia mau membelikannya
untukku. Aku membutuhkan baju-baju
baru untuk musim panas."
"Aku punya uang tabungan,
Tanya. Aku bisa membelikannya
untukmu sebagai hadiah," kataku.
Kurogoh sakuku. "Tapi aku tidak
membawa semua uangku hari 191
ini, karena Mum tidak mengizinkan
aku membawa semuanya sekaligus.
Tapi jumlah yang kusimpan di rumah
hampir mencapai dua puluh pound."
"Simpan saja uangmu, Mandy,"
tolak Tanya, tapi tampaknya dia
terharu. Kami naik lift kaca ke lantai
paling atas. Tanya menggandeng
tanganku ketika kami membubung
tinggi bersama di dalam lift. Aku
merasa sangat bahagia, seperti
terbang di angkasa, tinggi di langit. Lalu kami sampai di lantai
teratas dan Tanya langsung
memandang berkeliling, mencari
toko-toko yang terbaik. "Hei, kelihatannya toko ini
keren," serunya sambil menarik
tanganku, mengajakku ke sana.
Toko itu bernama Indigo. Aku
belum pernah ke sana, tapi aku
pemah mendengar Melanie bercerita
tak henti-hentinya tentang toko
ini. Bagian depannya dicat biru
tua, dengan pintu berbilah-bilah
perak, seperti yang kerap 192
dijumpai di rumah-rumah minum pada
zaman koboi dulu. Bagian dalamnya juga dicat biru tua, dengan lampu-
lampu perak yang berputar. Kami
sendiri jadi berwarna biru tua aneh
dan itu membuat kami cekikikan.
Semua baju yang dijual di sana
dipajang di rak-rak perak dan
disinari lampu khusus. Sebagian
besar terbuat dari bahan denim,
baik itu celana jins, kaus, rok
mini, atau jaket. Juga ada
beberapa sweter rajutan wama biru
tua yang langsung membuat Tanya
tergila-gila. Ia mencoba satu lalu
berputar-putar, membelai bahannya
yang halus. "Atau aku bisa membelikan sweter
itu untukmu," kataku menawarkan.
Tanya mengerutkan alis dan
menunjukkan label harganya padaku.
"Wow! Well. Aku tidak mampu
membelinya," kataku.
"Tidak ada yang mampu
membelinya," kata Tanya sambil mematut-matut diri dalam cermin.
Pramuniaga berdiri di 193
seberang ruangan, memperhatikan
kami. Cowok keren berambut pirang
dan mengenakan baju Indigo.
Tanya membusungkan dada. "Jujur, coba kaulihat cowok di
sana itu, dia memperhatikan aku,"
bisik Tanya sambil nyengir kecil.
"Mungkin sebenarnya kau tidak
boleh mencoba sweter itu," kataku.
"Bagaimana kau bisa tahu bagus-
tidaknya sweter ini dipakai bila
tidak mencobanya lebih dulu?"
sergah Tanya sambil melepas sweter
itu dengan enggan. Tanya melipat sweter itu lambat-
lambat. Aku memperhatikannya
dengan jantung yang mulai berdebar
kencang. Tapi Tanya meletakkannya
kembali di rak bersama sweter-
sweter lain. Kami beralih ke lemari kaca yang
memajang berbagai perhiasan. Kami
membungkuk, mengagumi gelang-gelang
perak besar yang dipajang di sana,
juga berbagai cincin bertatahkan
batu pirus. Lemari itu terkunci,
jadi kami tidak bisa 194
mencobanya. "Apa perlu kupanggil cowok itu
ke sini untuk membukakan lemari?"
tanya Tanya. "Jangan!" "Dia masih saja memandangi aku."
Tanya membalas pandangan cowok
itu, ekspresi wajahnya tampak
konyol. "Kukira kau benci cowok," sergahku masam.
"Memang," ujar Tanya. "Tapi
aku tidak bisa menolak bila mereka
naksir aku, kan?" Tanya berjalan menghampiri rak
yang memajang topi-topi koboi, jadi
kami lebih dekat dengan cowok
pirang itu. Cowok tersebut
bersedekap, sambil berulang kali
menyentakkan kepala untuk
menepiskan rambutnya yang terjurai
menutupi mata. Benar juga, dia
terus memperhatikan Tanya.
Matanya biru. Biru tua. Indigo,
sama seperti warna toko ini. Dia
tipe cowok yang sering tampil di
sinetron. Tipe yang digilai 195
cewek-cewek. Bahkan mungkin
termasuk Tanya. "Tanya, ayo. Kita harus segera
pulang, sebentar lagi ibuku
pulang," ajakku ketus.
"Ah, kita masih punya banyak
waktu," bantah Tanya. "Ayo, aku
ingin mencoba sepatu-sepatu bot
koboi ini. Bagus sekali, bukan?"
Tanya membungkuk dan membuka
tali sepatu sandalnya yang lusuh.
Kakinya tidak begitu bersih.
Cepat-cepat dijejalkannya kaki itu
ke dalam sepatu bot putih berhias
batu-batuan. "Hebat, kan?" kata Tanya sambil
menggoyang-goyang kaki dengan sikap
kagum. Dia menengadah. "Oh, oh!"
serunya. Cowok pirang itu menghampiri
kami. Tanya mengedipkan mata dan
tersenyum saat cowok itu mendekat.
Tapi si cowok tidak membalas
senyumannya. "Bisa tolong ambilkan sepatu bot
pasangannya?" tanya Tanya sambil
bertolak pinggang. 196
"Tidak, tidak bisa. Dan tolong
lepas sepatu bot itu. Kalian sudah
terlalu lama mengacau di sini.
Sekarang saatnya kalian pergi,"
hardik cowok itu. Aku merasa wajahku memerah,
hampir saja aku mati saking
malunya. Wajah Tanya juga merah
padam saat dia berusaha melepas
sepatu bot itu dari kakinya. Dia
kehilangan keseimbangan dan nyaris
terjatuh. "Dengar, berhentilah bercanda,"
tegur cowok itu. "Kau tidak
seharusnya mencoba sepatu bot dengan kaki telanjang. Itu tidak
higienis." Dia mendengus begitu melihat
kaki Tanya yang kotor keluar dari
dalam sepatu bot. Tanya tidak
berkata apa-apa. Dia sama sekali
tidak melihat ke cowok itu. Dia
juga tidak melihat ke arahku.
Kedua tangannya yang menalikan
tali sepatu sandal tampak
gemetaran. Dia berbalik dan
berjalan keluar. Aku 197
bergegas menyusulnya. Aku melihat tangannya terulur ke
rak. Aku melihat sekelebat warna
biru tua. Dan detik berikutnya,
benda itu menghilang, tapi tiba-
tiba saja sweter yang dipakai Tanya tampak sedikit ketat di
bagian perut. Aku berusaha tetap melangkahkan
kakiku. Keluar dari toko.
Menyusuri lorong di lantai
pertokoan paling atas. Menuju
lift. Tapi kemudian kudengar seseorang
berteriak. Tanya menoleh.
Cowok itu mengejar kami. "Lari!" teriak Tanya. "Lari!"
UNGU 198
Kami lari. Lari sekencang-
kencangnya. Tidak sempat lagi
menunggu lift. Kami berlari dengan
langkah berdentam-dentam menyusuri
lantai pertokoan paling atas,
kemudian Tanya menghambur menuruni
eskalator. Sekuat tenaga aku
menyusul di belakangnya, menuruni
tangga berjalan, menabrak para
wanita yang marah, berzig-zag
menghindari mereka yang bergeming,
menubruk dan mendesak sampai
kepalaku membentur pinggiran
eskalator dan selama satu detik
yang sangat mencekam aku mengira
diriku bakal terjerembap dari
pinggir tangga dan melayang di
udara, terjun bebas hingga ke kolam
harapan di bawah sana. Aku menjerit dan Tanya menoleh.
Dia hampir mencapai bagian bawah
eskalator. Seharusnya dia terus
lari saja. Mungkin dengan begitu
dia bisa kabur. Tapi dia berhenti. Dan malah
berlari menaiki eskalator, 199
menghampiriku. "Tenanglah, aku memegangimu,"
katanya, jari-jarinya mencengkeram
pergelangan tanganku kuat-kuat.
Kepalaku jernih kembali, lampu-
lampu berhenti berputar. Aku
memandang berkeliling. Kulihat dua
satpam berseragam biru berdiri di
puncak eskalator. "Cepat! Aku tidak apa-apa,"
seruku, lalu mulai berlari menuruni
tangga, kami berdua, mendorong,
menyikut, menghindar, terus turun,
hingga tiba di bawah. Tapi kedua
satpam itu terus saja mengejar
kami. "Ayo, lari!" teriak Tanya.
Kami lari lagi, jantungku
memukul-mukul dadaku dan pinggangku
sakit, dan terasa seperti ada logam
dalam mulutku, tapi aku terus saja
berlari. Aku lari secepat Tanya,
yang berlari kalang kabut seperti
orang gila dengan langkah nyaring.
Pusat perbelanjaan saat itu padat
pengunjung dan meski itu berarti
kami harus selalu mendorong 200
untuk bisa maju, kerumunan
pengunjung membantu kami bersembunyi dari incaran petugas
keamanan. Kami hampir mencapai
pintu keluar, melewati bunga-bunga
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
plastik, meninggalkan kelinci-
kelinci dan tupai-tupai, semakin
dekat, semakin dekat, dan sebentar
lagi kami pasti bisa lolos.
Mendadak Tanya berhenti berlari. Jari-jarinya mencengkeram
tanganku. Kulihat dia memandang ke
satu titik dengan pandangan
nyalang. Kuikuti arah pandangnya,
dan kulihat apa yang dilihatnya.
Tampak beberapa satpam berjaga
tepat di pintu keluar, sibuk
berbicara di radio, menyebar ke
seantero pusat perbelanjaan.
Menunggu kami. "Cepat, masuk ke salah satu
toko," perintah Tanya sambil
melesat pergi. Tapi ternyata kami tidak cukup
cepat. Salah seorang satpam memergoki
kami, dan langsung bergerak 201
cepat. Kami berbalik dan kembali
berlari menuju bagian dalam pusat
perbelanjaan, tapi terlambat. Ada
tangan hinggap di pundakku. Lalu
dua tangan, memiting lenganku.
"Tunggu sebentar, gadis cilik,"
seru suara seseorang. "Lari, Tanya!" teriakku
padanya. Tapi satpam-satpam itu juga
berhasil menangkapnya, mengapitnya.
Tanya tertangkap, aku tertangkap,
dan semua orang memperhatikan kami
dan menuding-nuding. Aku mendengar
kata maling. Aku menggeleng,
meronta-ronta, dan berusaha keras
membuka mataku lebar-lebar, karena
aku benar-benar berharap ini
hanyalah mimpi buruk. Ini tidak mungkin terjadi.
"Sudahlah, berhentilah meronta-
ronta. Kau sudah tertangkap.
Jangan membuat situasi menjadi
lebih buruk bagi dirimu sendiri.
Kita kembali ke toko di lantai
atas sana, heh?" "Jangan bawa dia! Jangan 202
bawa anak kecil itu," pinta Tanya.
"Ini tidak ada hubungannya dengan
dia. Lagi pula, dia masih di bawah
umur. Lepaskan dia. Lepaskan dia,
bangsat! Kalian toh sudah
menangkap aku, apa itu belum
cukup?" Tapi kami berdua dibawa naik
kembali dengan menggunakan lift
kaca, dan aku tidak percaya lima
belas menit sebelumnya kami begitu
bahagia, membubung tinggi seperti
terbang. Dan sekarang aku digiring
satpam seperti penjahat. Belum
lagi menjadi tontonan banyak orang
yang memperhatikan aku, memperhatikan Tanya. Kami berjalan di sepanjang
lantai pertokoan paling atas.
Semakin banyak orang yang menonton
sambil berdecak-decak, berkomentar
bahwa sangatlah memalukan bagaimana liarnya anak-anak zaman sekarang,
dan mereka menyalahkan para ibu'''
saat itulah pikiranku melayang pada
Mum dan tangisku pun pecah.
"Sudahlah, tidak perlu 203
menangis. Jangan takut, kami tidak
akan menyakitimu," kata satpam itu
dengan sikap tidak enak. "Lepaskan saja dia, tolonglah.
Dia masih kecil," kata Tanya.
"Kalau begitu, kenapa kau
melibatkannya dalam aksi pengutilanmu, heh?" hardik satpam
tersebut. "Siapa bilang aku mengutil"
Coba buktikan! Kami hanya
berkeliling dan melihat-lihat. Itu
tidak melanggar hukum, kan?" balas
Tanya marah. "Lagi pula, berulang
kali kutegaskan padamu, gadis kecil
ini tidak melakukan apa-apa. Dia
bahkan tidak bersama aku. Biarkan
dia pulang menemui ibunya."
"Kalian baru bisa bertemu ibu-
ibu kalian setelah polisi datang ke
sini nanti," satpam itu berkata.
"Jadi aku akan bertemu ibuku,
ya?" sergah Tanya. "Well, itu
baru namanya kejutan."
Mereka menggiring kami kembali
ke Indigo. Cowok bermata biru itu
berdiri di sana dengan kedua 204
lengan terlipat di dada, menggeleng-geleng. "Yeah, mereka pelakunya. Anak-
anak tolol," dia berujar.
"Kau sendiri yang tolol, tukang
berlagak," teriak Tanya. "Kami
tidak melakukan apa-apa. Kami hanya melihat-lihat barang
daganganmu yang jelek itu, menjajal
sepatu bot dan lain sebagainya.
Tapi kami tidak mengambil apa-
apa." Saat kami digiring ke ruang
penyimpanan barang di bagian
belakang toko, Tanya terus
menegaskan dia tidak mengutil.
Seorang satpam wanita menemani
kami dan meminta kami menyerahkan
barang apa saja yang kami ambil.
"Kami tidak mengambil apa-apa,"
ulang Tanya. Aku hanya menangis dan Tanya
merangkul pundakku. Aku bisa
merasakan tubuhnya yang gemetaran,
dan itu membuatku menangis semakin
keras. "Dengar, anak-anak. 205
Jangan sampai aku harus menggeledahmu," satpam wanita itu
berkata. "Kau tidak boleh menyentuh kami!
Kau tidak berhak. Dan seperti
yang telah berulang kali kukatakan
padamu, aku tidak mengutil apa-apa.
Cowok yang di luar sana itu, yang
merasa dirinya ganteng, hanya ingin
membuat masalah dengan kami,"
Tanya bersikukuh. "Menurutnya, kau mengambil
sweter biru rajutan tangan," satpam
wanita itu berkata. "Kalau begitu dia bohong," kata
Tanya. Tapi satpam wanita itu mengulurkan tangan dan menepuk-
nepuk perut Tanya yang menggelembung. Isi di dalamnya
merosot. Sweter biru rajutan
tangan itu jatuh ke lantai.
"Siapa yang berbohong?" sindir satpam itu.
"Kau menjebakku dengan menaruh
sweter itu padaku," tuduh Tanya.
"Bukankah begitu, Mandy" 206
Dia sengaja menyodorkannya padaku
untuk menjebakku, kan?"
Para satpam yang berdiri di
pintu tertawa. "Tangguh dan cerdik juga gadis
cilik ini," kata salah seorang di
antara mereka. "Aku berani
bertaruh polisi nanti akan
mendapati ternyata dia punya banyak
catatan kriminal." "Polisi!" tangisku panik.
Menyeramkan benar waktu mereka
benar-benar datang, satu polisi
laki-laki dan satu lagi polisi
perempuan, berseragam warna gelap
dan bertopi polisi. "Hei, hei, Segarang itukah aku di matamu?" tanya polisi laki-laki
itu, tertawa. Dia memandangi aku
dan Tanya berganti-ganti. "Thelma
dan Louise kecil, eh?"
"Oh, ha ha. Ternyata dia
pelawak," sergah Tanya.
" Well, sedang kau anak badung,"
tukas polisi itu. Dia berjalan
menghampiriku. Aku mengkeret
ketakutan, tersedu sedan. 207
"Jadi siapa bunga ungu kecil yang
mengkeret ketakutan ini?"
"Sudahlah, kau membuatnya
takut," sela si polisi wanita
sambil melingkarkan tangan di
pundakku. "Jangan menangis lagi sekarang.
Siapa namamu, eh?" "Mandy," isakku.
"Dan berapa umurmu, Mandy?"
"Sepuluh." "Dia tidak ada hubungannya dengan persoalan ini. Dia cuma
anak kecil yang membuntuti aku ke
mana-mana," ujar Tanya ngotot.
"Lepaskan dia."
Polisi wanita itu menepuk-nepuk
punggungku dengan lembut. "Well,
kami memang jarang menahan penjahat
yang sekecil kau, Cilik."
Tanya membungkukkan badan,
berusaha membuat dirinya terlihat
sekecil mungkin. "Tidak bisakah
Anda melepaskan kami, please?"
pintanya sambil terisak-isak.
"Dia artis kecil yang sangat
lihai," sela si satpam 208
wanita. Tapi polisi wanita itu sepertinya membela kami. "Berhubung kedua gadis ini masih
sangat muda dan barang Anda yang
hilang sudah dikembalikan, apakah
Anda tetap ingin memperkarakan
masalah ini dan menuntut pelakunya,
Sir?" tanya polisi wanita tersebut
pada si cowok bermata biru.
Tanya dan aku menatapnya dengan
pandangan memohon. "Indigo memang memiliki
kebijakan yang sangat ketat dalam
hal ini. Pengutil yang tertangkap
basah harus selalu dituntut," papar
cowok itu sambil bersedekap.
"Separo pelaku pengutilan adalah
anak-anak kecil seperti mereka
berdua. Mereka ini tikus. Harus
diberi pelajaran supaya kapok."
"Kalau begitu, Sir, sebaiknya
Anda ikut kami ke kantor polisi
untuk memberi keterangan secara
rinci di sana," polisi itu berkata.
"Nah, Anda bilang Anda melihat
gadis yang lebih tua 209
mengambil sweter ini?"
"Itu sweter rajutan tangan.
Harganya sembilan puluh lima
pound," jawab cowok itu gusar.
"Wah, ternyata seleramu tinggi
juga ya, gadis muda," kata polisi
itu pada Tanya. Dia berpaling
pada si satpam wanita. "Dan Anda
menemukan sweter ini padanya waktu
Anda menangkapnya?" "Sweter itu dijejalkan di balik
kausnya sendiri. Saya bisa melihat
ujung lengannya menjuntai keluar,
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
jadi saya tarik sekalian."
"Seharusnya dia menunggu sampai
kalian datang sebelum menggeledahku, bukan?" tanya
Tanya. "Sekarang kau tidak punya
bukti lagi yang bisa memberatkan
aku, kan?" "Kami punya buktinya," sela si
cowok bermata biru. "Di sini
dipasang kamera video. Kami punya
film yang sangat bagus tentang
kelakuanmu mencuri sweter kami."
Tanya melihat bahwa cowok itu
tidak main-main. Tapi dia 210
belum mau menyerah demi menyelamatkan aku. "Kalau begitu, filmmu yang
sangat berharga itu bakal
menunjukkan bocah kecil ini tidak
melakukan apa-apa," sergah Tanya
sambil menunjukku. "Dia berkeliaran bersamamu.
Kemudian ikut lari waktu kau lari," kata cowok itu.
"Itu bukan kejahatan, kan?"
sergah Tanya. "Dia bukan maling."
"Tapi aku khawatir kami memiliki
dasar yang cukup kuat untuk menduga
kau mencuri, gadis muda," polisi
itu berkata. "Jadi aku terpaksa
harus menahanmu." Aku mendengarkan polisi itu
memperingatkan Tanya, kata-katanya
begitu familier karena sering
kudengar di film-film seri tentang
polisi yang ditayangkan di televisi
-tapi aku masih saja tidak percaya
ini benar-benar terjadi. "Kita benar-benar ditahan!"
bisikku panik. "Kami tidak menahanmu, 211 Cilik," si polisi wanita
menenangkan. "Tapi sebaiknya kau
ikut dengan kami ke kantor polisi
bersama temanmu, dan ceritakan pada
kami secara jelas apa yang terjadi,
kemudian kami akan memanggil ibumu
untuk menjemput dan membawamu
pulang, oke?" "Tapi Anda akan menahan
Tanya?" "Aku khawatir begitu," jawabnya.
Sesudahnya kami harus berjalan
kembali melintasi pusat perbelanjaan, bersama si polisi
wanita yang menggandeng tanganku
dan si polisi pria yang menggiring
Tanya. Tanya berusaha memberontak
dan melepaskan diri dari pegangan
polisi, tapi polisi tersebut malah
memegang pundaknya kuat-kuat dan
menertawakannya. Tampak mobil patroli polisi
berwarna putih diparkir di bagian belakang pusat perbelanjaan. Makin
banyak orang yang menonton saat
Tanya dan aku dimasukkan ke kursi
belakang, si polisi wanita 212
duduk di antara kami. Aku terus
menangis. "Biarkan aku duduk di sebelah
Mandy," pinta Tanya.
"Maaf, Nak," tolak si polisi
wanita. "Tapi dia membutuhkan aku untuk
menggenggam tangannya," kata
Tanya. "Ya, aku tahu. Tapi kau juga
bisa memberikan sesuatu secara
sembunyi-sembunyi padanya, bukan ?"
"Lihat." Tanya menggoyang-
goyang tangannya yang kosong di
hadapan polisi wanita tersebut.
"Anda lihat" Kosong. Jadi
bolehkah aku paling tidak
menggenggam tangannya?" "Baiklah kalau begitu."
Maka, di dalam mobil yang
meluncur menuju kantor polisi,
Tanya menggenggam tanganku erat-
erat di atas pangkuan si polisi
wanita. Dan selama jari-jarinya
yang kecil kukuh dengan kuku-
kukunya yang habis digigiti itu
memegang erat tanganku, aku 213
merasa sedikit lebih berani.
"Seharusnya kau bisa lari dan
meninggalkan aku," kataku. "Tapi
kau malah berbalik. Supaya aku
tidak ketakutan ditinggal
sendirian." "Yeah. Goblok, kan, aku?" tanya
Tanya, lalu nyengir padaku.
Aku melihat Tanya memperhatikan kunci pintu belakang mobil. Polisi
wanita itu juga melihatnya.
"Itu kunci khusus, supaya anak-
anak tidak gampang membuka pintu,"
wanita itu menjelaskan. "Jadi
jangan coba-coba melompat keluar,
Sobat." "Kena lagi," tukas Tanya sambil
berdecak. Tanya bersikap santai, seolah
ini bukan masalah besar. Aku tahu
sebabnya. Dia berbuat begitu
supaya aku tenang. Yang bisa
kulakukan hanyalah mencengkeram
tangannya erat-erat sebagai
ungkapan terima kasih. Lalu kami sampai di kantor
polisi, dan kali ini bahkan 214
Tanya sekalipun tidak sanggup lagi
nyengir dan bersikap santai. Kami
digiring melintasi dan memasuki
pintu pengaman, lalu menyusuri
koridor yang gelap, ke dalam
ruangan besar. Di sana ada meja
dan bangku. "Ruang tahanan," kata Tanya
sambil memandang berkeliling.
"Sepertinya kau pemah masuk
ruang tahanan, ya?" tanya si polisi
wanita. Tanya menyunggingkan senyum
letih lalu dengan sikap berat
mengenyakkan diri ke bangku. Aku
duduk di sebelahnya, merapat
padanya. "Jangan duduk merapat begitu,
anak-anak," perintah seorang polisi
baru. "Nah, namaku Sersan
Stockton. Aku ingin kalian
memberitahukan nama dan alamat
kalian padaku, kemudian aku akan
menghubungi orangtua kalian."
"Apa kata ibumu nanti, Mandy?"
tanya Tanya. "Dia pasti bakal
membunuhmu." 215
"Bagaimana dengan ibumu
sendiri?" Sersan Stockton
bertanya galak. "Aku tidak punya ibu," jawab
Tanya. "Ayah juga tidak. Dia
dinyatakan tidak mampu menjadi
orangtua, begitu, kan, istilahnya"
Jadi kau ingin tahu siapa waliku,
yeah?" Sersan itu mengangguk. "Begitulah. Kedengarannya kau
bisa mengisi formulir ini lebih
cepat daripada aku, anak muda.
Jadi, siapa walimu?"
"Well, telepon saja Pat,
orangtua asuhku. Dia pasti bakal
ngamuk karena kami belum pulang
juga. Begini, Sersan Stockton.
Aku ingin menjelaskan sesuatu kepadamu." Tanya bangkit dari
tempat duduknya di bangku lalu
berjalan menghampiri Sersan
Stockton dan berdiri di samping
meja tulisnya. "Aku akan
menjelaskan semuanya dengan
sejujur-jujurnya." "Benar. Silakan saja, 216
kalau begitu," kata si sersan.
"Tidak, aku tidak main-main.
Aku serius. Si anak kecil di sana
itu-" "Kau bilang dia tidak ada
hubungan denganmu?" "Well, sebenarnya ada. Itu
sudah jelas. Tapi dia cuma anak
kecil tetangga depan rumah. Dia
dalam penjagaan ibu asuhku
sementara ibunya bekerja pada pagi
hari. Dia memang senang membuntuti
aku ke mana-mana. Kami juga sering
jalan bareng. Tapi aku berani
bersumpah, dia tidak pernah
mengutil apa-apa. Dia benar-benar
anak baik dan dia berasal dari
keluarga baik-baik. Dia juga belum
pernah terlibat masalah apa pun.
Dia ada di sini gara-gara aku.
Jadi, Anda akan melepaskan dia,
kan" Anda bahkan tidak akan
memberinya peringatan apa-apa?"
Sersan itu tersenyum pada
Tanya. "Tenanglah. Dia hanya
dibawa ke sini untuk diamankan.
Tapi begitu ibunya datang 217
nanti, dia boleh pulang."
"Tanya sendiri bagaimana?"
tanyaku. "Apa dia juga boleh
pulang?" "Pada akhirnya nanti," sersan
itu menjawab. "Apa artinya itu?" tanya Tanya.
Tapi sepertinya dia tahu. Dia
kembali ke bangku dan terduduk
lemas di sana. Dia memejamkan mata
rapat-rapat, seolah berusaha keras
menahan jatuhnya air mata. Kali
ini dia tidak berpura-pura.
Aku mendekat dan merangkulnya.
Kening si sersan berkerut sedikit,
tapi kali ini dibiarkannya saja
kami duduk berimpitan. Aku terus
merangkul Tanya sementara sersan
itu mengisi formulir penahanan.
Awalnya Tanya menjawab asal-
asalan, tapi karena dia tahu Mrs
Williams sebentar lagi datang, dia
pun berubah pikiran dan mengatakan
hal yang sebenarnya. "Dan sekarang, setelah tahu nama
dan tanggal lahirku, kau tinggal
memasukkannya ke komputer 218
dan mengetahui catatan kejahatanku
yang lumayan banyak, eh?" sindir
Tanya. "Itulah kecanggihan teknologi,"
sahut si sersan. "Pengadilan anak, aku datang,"
seru Tanya. "Apakah itu seperti penjara?"
bisikku, ketakutan. "Mereka tidak
akan mengurungmu, kan" Oh, Tanya,
aku tidak akan tahan bila mereka
membawamu pergi. Aku harus tetap
bertemu kau." "Yang benar saja, Mandy,"
sergah Tanya, aku bisa merasakan
pundaknya yang kurangkul mengejang.
"Sekarang ibumu pasti tidak akan
mengizinkanmu bergaul lagi denganku, tidak peduli apa pun yang
terjadi."
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Mum sampai di kantor polisi
dengan wajah pias dan sekujur tubuh
gemetar. Dia datang bersama Mrs
Williams, lengkap dengan ketiga
bayinya yang semuanya merengek-
rengek rewel. Tanya menarik napas
dalam. Dia memandangi Mrs 219
Williams. Dia memandangi ibuku.
"Maaf," ucapnya. Permintaan
maafnya mendapat tanggapan yang
keliru. Aku tahu dia benar-benar
tulus meminta maaf, tapi kedengarannya seolah dia kurang
ajar dan menantang. "Sekarang sudah sedikit
terlambat untuk meminta maaf,"
tukas Mrs Williams. Mum tidak mengatakan apa-apa. Tapi aku melihat tatapan matanya
yang garang tertuju pada Tanya.
Aku tahu Tanya benar. Saat itulah tangisku kembali
meledak, karena aku benar-benar
sudah tidak tahan. Mum dan aku
dibawa ke ruangan lain dan seorang
inspektur datang untuk berbicara
pada kami. "Perbuatanmu benar-benar bodoh,
Mandy," inspektur itu berkata
dengan nada serius. "Kuharap kau
mau belajar dari pengalamanmu hari
ini. Jangan pernah lagi bergaul
dengan orang yang suka mengutil.
Cepat atau lambat, mereka 220
pasti akan tertangkap, dan bila itu terjadi, kau bisa ikut terlibat di
dalamnya." Lalu dia mulai berbicara pada
Mum --inspektur itu memperlakukan
Mum seolah Mum juga goblok.
"Saya berpendapat sungguh tidak
bijaksana membiarkan anak kecil
seperti Mandy bergaul dengan
remaja badung seperti Tanya," kata
inspektur itu. "Saran saya, Anda
harus mengawasi Mandy lebih ketat
lagi di masa yang akan datang, dan
mungkin menyaring temannya secara
lebih saksama." Mum menelan ludah dengan susah
payah, wajahnya merah padam. Dia
menangis dalam perjalanan pulang.
"Aku tidak percaya ini sungguh-
sungguh terjadi," keluhnya berulang
kali. Berkali-kali dia memandangiku sambil menggeleng,
lalu sejurus kemudian, tangisnya
kembali meledak. Sesampainya di rumah, Mum
langsung menelepon Dad. Tanpa
buang waktu lagi Dad 221
langsung pulang. Sepanjang siang
hingga sore kedua orangtuaku
memarahiku habis-habisan.
Mengulangi perkataan yang sama.
Mengungkapkan kesedihan dan
penyesalan mereka. Mengeluhkan
perasaan malu yang harus mereka
rasakan. Mengungkapkan keheranan
mereka bahwa aku tega mengelabui
mereka, pergi berbelanja bersama
Tanya. Mereka tidak bisa menerima
kelakuanku yang tidak memberitahu
mereka tentang kegemaran Tanya
mengutil. Lalu mereka berdua mulai
bertengkar, bukan cuma marah
padaku, tapi juga saling memarahi.
"Aku kan sudah bilang berkali-
kali bahwa aku tidak mau Mandy
bergaul dengan si Tanya," pekik
Mum. "Tapi kau tidak mau
mendengar kata-kataku. Kaukira kau
yang lebih tahu. Sekarang lihat
akibatnya!" "Baiklah, baiklah. Tidak ada
gunanya mengungkit-ungkit. Aku toh
tidak pernah bermimpi bakal 222
begini jadinya. Aku selalu mengira
Mandy punya cukup akal sehat untuk
mempertahankan apa yang menurutnya
benar. Kalau saja kau tidak
terlalu memanjakannya, dia pasti bisa lebih mandiri," balas Dad.
Aku menangis semakin keras dan
kedua orangtuaku berhenti
bertengkar. Mum menyeka wajahku
yang basah sementara Dad mengambilkan segelas air untukku.
Sesudah itu, keduanya sama-sama
memeluk dan menghiburku. "Kami amat sangat marah dan
kecewa -tapi kami juga sadar semua
itu bukan kesalahanmu, Sayang.
Jangan menangis begitu," bujuk
Mum. "Ayolah, Kepang Kecil, hapus
air matamu. Semua sudah berakhir
sekarang," tambah Dad.
"Tapi bagaimana dengan Tanya?"
seduku. "Sudah, jangan pikirkan Tanya
lagi!" sentak Mum. "Nanti kau pasti akan punya
teman lain, Mandy," hibur 223
Dad. "Tapi Tanya sahabatku! Aku
masih boleh berteman dengannya,
kan" Dia pasti sudah kapok
mengutil. Sebenarnya dia sudah
berjanji tidak akan melakukannya,
tapi itu dilakukannya karena sebal
pada cowok sombong yang menjaga di
toko Indigo itu. Tapi itu tidak
akan terjadi lagi. Dia juga tidak
mau aku terlibat dalam masalah.
Dia berusaha keras menyelamatkan
aku. Padahal sebenarnya dia bisa
saja kabur dan meninggalkan aku
sendirian, tapi itu tidak
dilakukannya, karena dia ingin
tetap menjagaku. Oh, kumohon,
kalian harus mengerti. Aku harus
bertemu dengannya." Berkali-kali aku menghambur ke
jendela, menunggu Tanya kembali. Menjelang senja, sebuah mobil
berhenti di depan rumah keluarga
Williams. Kulihat seorang wanita
muda di balik kemudi, Mrs
Williams bersama ketiga bayinya
dan Tanya. 224
Sekujur tubuhku lemas saking
leganya. Paling tidak mereka tak
mengurungnya. Tapi waktu kulihat
Tanya turun dari mobil, dia tampak
sangat menyedihkan. Langkah-
langkahnya gontai, tidak riang
seperti biasanya. Rambutnya
berdiri tegak, seperti habis
dikucek-kucek. "Aku harus mencari tahu apa yang
akan mereka lakukan terhadapnya,"
kataku. Tapi kedua orangtuaku tidak
mengizinkan. Mum pergi menemui
Mrs Williams. Mum sangat marah
padanya, karena dia merasa
seharusnya Mrs Williams tidak
membiarkan aku keluyuran ke kota
bersama Tanya. Aku menunggu Mum
kembali dengan sikap putus asa.
Lama juga Mum pergi. Dan ketika
dia kembali, wajahnya tampak aneh.
Sepertinya dia terkejut. "Ada apa, Mum" Apa yang akan
terjadi pada Tanya" Apakah dia
akan dibawa ke pengadilan?"
Mum mengangguk. 225
"Syukurlah kau tidak akan
dilibatkan dalam hal ini, Mandy." "Padahal kusangka mereka hanya
akan memberinya peringatan," kata
Dad. "Ternyata selama ini dia sudah
cukup sering mendapat peringatan.
Mereka akan menyidangkan kasus ini
dengan melihat riwayat kenakalannya
di masa lalu, tanpa mengabaikan
latar belakang hidupnya sebagai
bahan pertimbangan. Kemungkinan
besar persidangannya akan memakan
waktu berminggu-minggu."
"Jadi dia akan berada di rumah
sini selama beberapa minggu?"
tanyaku. Mum merangkul pundakku. "Tidak,
Sayang, Tanya tidak akan tinggal
di sini lagi," dia menjelaskan.
"Tanya akan dibawa ke panti
asuhan. Pat Williams merasa dia
tidak sanggup lagi mengurusnya.
Aku bisa memahaminya. Dia diminta
menjadi orangtua asuh bagi Tanya
dan sejak awal sudah menegaskan,
bila terjadi masalah, Tanya 226
harus pergi. Maksudku, dia sudah
cukup repot mengurus ketiga bayi
itu." "Jadi dia mencuci tangan begitu
saja dan tidak mau tahu lagi nasib
Tanya?" tanya Dad, kedengaran
shock berat. "Apa lagi yang bisa dilakukannya?" Mum balas bertanya.
"Seandainya aku yang mencuri
sweter itu, apa Mum juga akan
menelantarkan aku begitu saja?"
tanyaku. "Jangan konyol, Mandy."
"Tapi apakah Mum akan berbuat
begitu?" "Tidak, tentu saja tidak. Kau
tahu kami tidak mungkin menelantarkanmu begitu saja. Kami
sayang padamu dan akan tetap
menyayangimu, apa pun yang
kaulakukan," jawab Mum.
"Tapi tidak ada yang menyayangi
Tanya yang malang itu," kata Dad.
" Aku sayang padanya!" sergahku.
"Kapan dia harus pergi?"
"Well, sekarang juga," 227
jawab Mum. "Kedengarannya memang
agak''' tapi kurasa tidak ada
gunanya menunda-nunda dan
memperpanjang urusan. Pekerja
sosial yang menangani Tanya ada di
sana sekarang, membantunya
berkemas." "Jadi dia akan pergi sekarang?"
tanyaku. "Kalau begitu, aku harus
mengucapkan selamat berpisah
padanya." "Tidak, kau tidak boleh
mendekatinya lagi," larang Mum.
"Mungkin itu bukan ide yang
baik, Mandy," Dad menambahkan.
"Aku hanya ingin mengucapkan
selamat berpisah padanya," kataku.
"Harus. Kalian tidak bisa
menghalangiku." Di meja ruang tamu bertumpuk
berbagai barang kepunyaanku,
permainan puzzle, buku-buku, serta
wadah kaleng besar berisi spidol
warna-warni. Aku menyipitkan mata,
memandangi benda-benda itu dengan
putus asa, lalu menyambar wadah
spidolku. Tahu-tahu aku 228 berlari meninggalkan ruang tamu,
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terus ke ruang depan, dan keluar
dari pintu depan sebelum Mum dan
Dad sempat menyadari apa yang
terjadi. Dad berhasil menyusulku saat aku
menggedor pintu rumah Mrs
Williams. "Dengar, Mandy,
ayolah, pulanglah ke rumah," bujuk
Dad. Mrs Williams membuka pintu dan
memandangi kami. "Benarkah Tanya akan pergi dari
sini?" tanyaku. Mrs Williams mengangguk, terlihat seperti orang linglung.
"Ini yang terbaik," ujarnya,
meski tampaknya tidak begitu yakin.
"Bolehkah aku mengucapkan
selamat berpisah padanya?" aku
memohon. Mrs Williams memandangi Dad.
"Oh, baiklah," Dad mengalah.
"Pergilah, cepat. Aku akan
menunggu di sini." Aku langsung menghambur menaiki
tangga, masuk ke kamar tidur 229
Tanya. Kulihat si pekerja sosial
di sana, sibuk memasukkan baju-baju
Tanya ke tas plastik besar. Tanya
sendiri hanya duduk mematung di
tempat tidur, tidak membantu sama
sekali. "Hai, Mandy," sapa Tanya
datar. "Oh, Tanya!" seruku sambi!
menghambur ke arahnya. "Kau benar-
benar akan pergi?" Kedua tangan Tanya terkepal.
Wajahnya berkerut tegang.
"Yeah, aku harus pergi. Pat
mengusirku," jawab Tanya.
"Sudahlah, Tanya. Kau kan tahu
kau hanya sementara di sini," sela
si pekerja sosial. "Dan kami akan
berusaha keras mencarikan tempat
tinggal yang baru untukmu.
Sementara ini, kau bisa tinggal di
panti asuhan. Di sana cukup
menyenangkan." "Panti asuhan itu seperti
sampah," dengus Tanya. "Semuanya
begitu. Karena tempat itu memang
tempat pembuangan sampah. 230
Untuk anak-anak yang tidak
diinginkan siapa pun."
"Tapi aku menginginkanmu,
Tanya!" seruku. Tanya menyunggingkan senyum
sedih. "Hei, aku ingin mengucapkan
selamat berpisah pada temanku,"
katanya pada si pekerja sosial.
"Bagaimana jika kau memberi kami waktu dua menit untuk berbicara
berdua saja, eh?" Si pekerja sosial menegakkan
badan dan mendesah. "Baiklah.
Satu menit. Memang ada yang harus
kuselesaikan dulu dengan Mrs
Williams." Wanita itu keluar dari kamar.
Tanya dan aku duduk berdampingan
di tempat tidur. Mati-matian aku
berusaha memikirkan perkataan yang
tepat untuk diucapkan, tapi tidak
ada kata-kata yang keluar.
"Oh, Tanya," kataku, kemudian
aku memeluknya begitu kuat sampai
dia nyaris terlempar ke belakang.
Wadah spidol yang kubawa meluncur
dari tempat tidur dan 231 spidol-spidol aneka wama jatuh
berhamburan, berserakan di karpet.
"Hei, hati-hati!" seru Tanya.
"Coba lihat apa yang kaulakukan."
Tanya menepuk-nepuk punggungku
lalu melepaskan diri dari
pelukanku. "Ayo, kita punguti
spidol-spidolmu yang berserakan.
Kau tidak mau kehilangan sebatang
pun, kan" Lagi pula, untuk apa kau
membawanya ke sini" Seolah kita
punya waktu saja untuk mewarnai
gambar." Aku ikut berlutut, meraba-raba
di kolong tempat tidur, mencari
spidol-spidol yang menggelinding ke
sana. "Spidol-spidol ini untukmu,
Tanya," kataku. "Sebagai hadiah
perpisahan." "Apa" Semuanya?" tanya Tanya.
"Well, apa gunanya kalau hanya
satu-dua batang?" kataku sambil menusuk-nusuknya. "Ya. Semuanya."
"Apa kau yakin" Kau tidak boleh
memberikan semua spidolmu padaku.
Apa kata ibumu nanti?" 232
"Bukan ibuku yang berhak
memutuskan. Spidol-spidol ini
milikku, jadi terserah aku. Dan
aku ingin memberikan semuanya
padamu." "Oh, Mandy. Tidak pernah ada
yang memberiku hadiah sebagus ini,"
ujar Tanya terharu. Dia menggosok-gosok. Matanya terlihat
letih, dengan bayangan ungu
melingkar di bawahnya. Aku tidak
tahu apakah itu perona mata, atau
dia sedang sangat sedih. Tapi
Tanya berhasil juga menyunggingkan
senyum. "Ayo, kita cari terus.
Masih ada spidol hijau dan biru
yang hilang. Aku tidak ingin ada
warna yang hilang, semua harus
komplet dan lengkap, terima kasih
banyak!" Kami berhasil menemukan spidol
hijau dan biru, lalu memasukkannya
ke wadah. Tanya menggerakkan jari-
jarinya di atas spidol-spidol itu
hingga menimbulkan serangkaian nada
yang aneh. "Milikku," ucapnya. Lalu 233
dia memandang berkeliling.
Tangannya merogoh ke dalam tas
plastiknya yang separo penuh.
"Sebaiknya aku juga mencarikan
hadiah untukmu, eh?"
"Tidak, tidak usah. Sungguh.
Lagi pula, kau sudah memberiku
banyak hadiah. Ikat rambut beludru
dan-" "Aku ingin memberikan hadiah
yang istimewa untukmu. Karena
spidol warna-warni ini mungkin
merupakan milikmu yang paling
berharga." Tanya menuangkan isi
kantong plastik itu, mengosongkannya di karpet. Dia
mengacak-acak tumpukan bajunya dan
menyambar sesuatu dengan sikap
menang. Blus ungu manik-maniknya
yang gemerlapan. "Ini! !ni untukmu, Mandy."
"Tapi aku tidak bisa
menerimanya. Itu bajumu yang
paling istimewa." "Justru karena itu aku ingin kau
memilikinya. Kepunyaanku yang
terbaik, untuk temanku yang 234
paling baik," kata Tanya.
Kami berpelukan lagi untuk
terakhir kalinya. Kemudian kami harus saling
mengucapkan salam perpisahan.
PELANGI 235
Rasanya aku tidak percaya Tanya
benar-benar sudah pergi. Sering
sekali aku memikirkan berbagai hal
yang ingin kukatakan padanya -tapi
sejurus kemudian baru aku ingat dia
telah tidak ada. Setiap kali
mendengar bunyi langkah kaki di
jalan, aku langsung menghambur ke
depan jendela, meskipun aku tahu
tidak mungkin itu Tanya. Aku malas melakukan apa-apa.
Aku bahkan tidak bisa berpura-pura
jadi Miranda Rainbow. Aku hanya
bisa menjadi Mandy White, dan itu
sangat menyebalkan. Mum dan Dad berusaha keras
mengalihkan perhatianku. Tanpa
mengomel, Mum bahkan membelikan
aku sekotak besar spidol baru aneka
wama. "Baik sekali kau, mau
memberikan spidol-spidol milikmu
pada Tanya," puji Mum.
"Tapi kemarin Mum bahkan tidak
memperbolehkan aku mengucapkan
selamat berpisah padanya," tuduhku.
"Saat itu kan aku shock 236
sehabis menjemputmu dari kantor
polisi," kata Mum. "Mum memang tidak pernah suka
pada Tanya. Mum bahkan tidak
ingin aku menemuinya," sergahku
galak. "Jangan begitu, kau membuat hati
ibumu susah," Dad menengahi.
"Kami melarangmu bertemu dengannya
setelah masalah pengutilan ini.
Dan tidak benar bila kau mengatakan kami tidak suka padanya.
Dalam segala hal, dia dulu anak
yang manis, begitu lincah, dan pada
dasarnya sangat baik hati."
"Sekarang pun masih. Jangan
berbicara tentang dia seolah dia
sudah mati," potongku. "Pokoknya,
dia tetap sahabatku, walaupun dia
sudah pergi. Dan memang Mum tidak
mau kami berteman, kan?"
"Sudah, sudah," bujuk Mum.
"Baiklah, aku memang menganggap
berteman dengan Tanya bukan
tindakan yang bijaksana. Dan
kekhawatiranku terbukti benar.
Tapi tidak ada gunanya 237
memandangiku seperti itu, Mandy.
Aku tidak membenci Tanya secara pribadi. Hanya saja, dia tidak
sebaya denganmu dan tidak memiliki
latar belakang keluarga yang sama
dengan kita." "Melanie sebaya denganku,
memiliki latar belakang keluarga
yang sama, dan menurut Mum dia
cocok jadi temanku. Tapi ternyata
dia malah berkomplot dengan Kim
dan Sarah untuk menggangguku.
Mereka jahat. Sebaliknya, Tanya
selalu bersikap baik padaku."
Aku tidak sekadar mengatakannya.
Aku berteriak. Tapi kedua
orangtuaku hanya berpandangan,
seperti tidak tahu harus berbuat
apa. "Apa yang kauutarakan itu memang
benar, Mandy," ucap Dad sambil
mendesah. "Masalahnya tidak sesederhana
itu," kata Mum. "Tapi sekarang
aku berharap dulu lebih berusaha menerima Tanya."
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Gampang saja Mum bilang 238
begitu sekarang, karena Tanya
sudah tidak ada!" bentakku.
Sambil mengentakkan kaki aku
menghambur ke kamar dan membanting
pintu. Aku membaringkan diri di
tempat tidur selama beberapa saat
sambil menggenggam boneka Olivia
Orang Utan, berpura-pura bulu
badannya yang berwarna jingga
adalah rambut Tanya. Lalu aku
bangkit dan memakaikan blus ungu
Tanya ke badan Olivia. Blus itu
menjuntai hingga melewati telapak
kaki Olivia, menjadi gaun malam
yang indah. Kemudian aku sendiri mencoba
mengenakan blus itu. Kucopot
kacamataku dan kupandangi bayangan
diriku di cermin. Yang tampak
hanyalah segumpal kabut ungu
berpendar-pendar. Bisa saja aku
menganggap diriku tampak luar
biasa, Miranda Rainbow sungguhan.
Tapi kemudian aku mengenakan
kacamataku kembali dan pandanganku
menjadi jelas. Aku kembali menjadi
Mandy White, dan blus itu 239
sama sekali tidak terlihat memesona
di tubuhku. Blus ungu itu tampak
kedodoran di dadaku yang rata dan
membuat perutku yang bundar seperti
perut bayi itu terlihat jelas.
"Mandy?" Kudengar Mum
memanggilku dari luar, mengetuk-
ngetuk pintu kamarku. Aku buru-buru berusaha melepaskan blus itu, karena takut
ditertawakan Mum. Blusku tertahan
kacamata, tapi waktu aku berusaha
menyentakkannya, kacamataku
terlepas. Benda itu melayang dan
jatuh menimpa lemari berlaciku dan
langsung patah lagi menjadi dua.
"Oh!" "Ada apa, Mandy?" tanya Mum,
buru-buru masuk ke kamar.
"Kacamataku! Patah lagi."
"Well, kita lihat saja nanti
apakah Daddy bisa membetulkannya
kembali dengan lem Superglue
seperti tempo hari. Tapi menurutku
kami harus membelikan kacamata baru
untukmu musim panas ini," Mum
memberitahu. 240
"Kacamata anak gede yang benar-
benar keren?" tanyaku.
"Ya. Asalkan tidak terlalu
mahal, boleh saja." "Dan bolehkah aku memotong
rambutku, supaya tidak terlihat
konyol karena dikepang?"
"Mmm. Kalau itu, aku kurang
yakin," jawab Mum. "Tapi bila itu
memang benar-benar penting bagimu,
mungkin boleh saja." Mum terdiam
sejenak. "Tapi aku sangat yakin
akan satu hal, Mandy. Aku tidak
mau kau mengenakan blus ungu manik-
manik itu. Apalagi di luar rumah."
"Memang tidak pas," kataku.
"Tapi Tanya pantas sekali
mengenakan blus ini."
"Well," ujar Mum.
"Aku rindu sekali padanya,"
kataku. "Dia berjanji menulis
surat, tapi dia tidak suka menulis,
jadi kupikir dia pasti tidak akan
menulis surat." "Aku tahu kau rindu padanya,
Sayang. Dan aku mengerti. Tapi
percayalah, tak lama lagi 241
kau pasti punya kawan baru. Begini
saja, bagaimana kalau kau
menghubungi anak lelaki baik hati
yang meneleponmu setelah kau
mengalami kecelakaan waktu itu"
Arthur." "Tidak! Aku tidak bisa. Aku
pasti akan merasa tolol."
"Aku bisa menghubungi ibunya
bila kau mau." "Jangan, Mum! Aku tidak mau.
Aku tidak mau melakukan apa-apa,"
tolakku ngotot. Dad mengambil cuti dari kantor
dan berulang kali mengusulkan kami
pergi menonton film atau jalan-
jalan di taman. Beliau bahkan
mengajakku berkeliling dari satu
museum ke museum lain di London,
dan aku pura-pura menikmati acara
kami itu -walau sebenamya aku lebih
senang mendekam saja di tempat
tidur tanpa melakukan kegiatan apa-
apa. Mum meneliti seluruh isi
surat kabar setempat, mencari
kegiatan yang bisa dilakukan selama
liburan, dan akhirnya 242
berhasil membujukku ikut kegiatan
mengarang cerita di perpustakaan.
Pada hari Sabtu, Mum mengajakku berbelanja dan berkata
aku boleh membeli kacamata baru.
Aku mencoba ratusan pasang
kaeamata: yang bentuknya bulat
kecil seperti mata burung hantu,
yang lensanya besar dan berat,
serta kacamata pesta yang
berkilauan. Mum jatuh hati pada
kacamata berwarna baby pink dengan
hiasan kelinci-kelinci putih keeil
di kedua ujungnya. Tapi aku sudah
bertekad tidak mau lagi mengenakan
apa pun yang ada hiasan kelincinya.
Apalagi bila warnanya pink.
"Tapi wama pink sangat sesuai
untukmu, Mandy," kata Mum.
"Jangan pink lagi, Mum. Wama
lain saja. Merah. Jingga. Ungu."
Aku memicingkan mata, mengedarkan pandangan dari satu
kacamata ke kacamata lain yang
beraneka warna pelangi. Kemudian
mataku tertumbuk pada kacamata yang
sesuai keinginanku. 243
Ukurannya tidak terlalu kecil.
Tapi juga tidak terlalu besar.
Gagangnya bercorak garis-garis.
Garis-garis dalam aneka warna
pelangi. Merah, jingga, kuning,
hijau, biru, nila, ungu. "Oh, Mum! Aku paling suka yang
ini. Bolehkah aku membeli kacamata
berwarna pelangi ini?"
Karena tidak terlalu mahal, Mum
mengizinkannya. Lalu kami pergi
makan es krim di Maxwell's
sementara menunggu kacamataku
dipasangi lensa yang sesuai. Aku
memilih es krim stroberi spesial,
yang ditaburi cokelat beras warna-
wami. Mum juga makan es krim,
walau sebenarnya dia harus berdiet.
"Kalau saja dulu aku sempat mengajak Tanya ke sini," sesal
Mum. Kami menghabiskan es krim
stroberi special kami sambil
berdiam diri. Hari Senin, Mum memutuskan
masuk kerja siang hari supaya bisa
lebih dulu mengantar aku ke 244
perpustakaan untuk ikut kegiatan
mengarang cerita. Sebenarnya dia
ingin ikut masuk, tapi aku
melarang, karena aku tidak ingin
dikira anak manja oleh anak-anak
lain yang ikut kegiatan ini.
Tapi ternyata aku tidak perlu
khawatir. Hanya ada satu peserta
yang seumur denganku. Arthur!
Cowok itu sudah duduk di meja
yang terletak di bagian belakang perpustakaan bersama dua anak
lelaki lain. Tidak ada kursi
kosong di mejanya. Lagi pula, aku
tidak mau dia mengira aku terlalu
sok akrab. Sepertinya Arthur
tidak begitu gembira melihatku di
sana. Dia hanya menganggukkan
kepala dengan sikap gugup, wajahnya
bersemu merah. Aku tidak ingin membuatnya lebih
malu lagi di hadapan cowok-cowok
lain. Mungkin saja mereka
temannya. Aku tidak tahu akan duduk
bersama siapa. Jelas aku tidak
ingin berdesakan dengan 245
anak-anak kecil yang sibuk menggambar dengan krayon lilin yang
miring-miring. Ada dua anak perempuan yang
kira-kira berumur tujuh tahun,
duduk di meja lain. "Mungkin kau mau duduk bersama
Sarah dan Julie serta ikut
menggarap cerita Kelinci Woodland
bersama mereka?" petugas
perpustakaan menawarkan. "Tidak, terima kasih," tolakku.
"Aku tidak terlalu ingin membuat
cerita tentang kelinci. Aku akan
mengarang cerita sendiri."
Aku duduk sendirian di meja.
Wanita petugas perpustakaan
menawariku kertas, pensil, dan
krayon lilin, tapi aku membawa buku
gambar sendiri serta wadah kaleng
berisi spidol aneka warna. Arthur
memandangiku, jadi aku buru-buru
mulai menulis. Aku tidak ingin dia
mengira aku berusaha menarik
perhatiannya. Aku menulis cerita istimewa yang
dikarang Tanya dan aku 246
bersama-sama, cerita tentang Love
Tanyanita dan Miranda Rainbow
yang hidup bersama di apartemen.
Aku jadi merasa sangat kesepian
dan sedih. Berulang kali aku
seperti mendengar suara Tanya
berbicara, menuturkan cerita
karangannya. "Apa kau baik-baik saja,
Mandy?" tanya petugas perpustakaan
sambil membungkukkan badan di
atasku. "Ya, aku baik-baik saja,"
jawabku, merasa tolol. Kututupi
kertasku dengan lengan. Aku tidak
ingin petugas perpustakaan membaca
cerita pribadi kami. Wanita itu beralih ke meja anak-
anak lelaki di bagian belakang.
Selain Arthur, kedua anak lelaki
itu membuat cerita yang bersumber
dari permainan video game. Rupanya
mereka mulai merasa agak bosan,
jadi mulai main lempar-lemparan
penghapus, menimbulkan suara Zing,
Buk, Bum yang berisik. Petugas
perpustakaan itu mendesah 247
dan melewati mereka, menghampiri
Arthur. "Kau mengarang cerita apa hari
ini, Arthur?" tanyanya, tersenyum
penuh harap. Jelas Arthur sering
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
ikut kegiatan mengarang cerita ini.
Cowok-cowok Zing-Buk-Bum memutar bola mata mereka dan bersuara seperti mau muntah.
"Bukan apa-apa. Hanya**
Tidak, sudahlah," gumam Arthur.
"'Ksatria yang Tidak Mau
Berperang'," petugas perpustakaan
membaca keras-keras. "Ksatria yang tidak mau
berperang!" seru si Zing.
"Banci sekali judulnya," imbuh
Buk. "Karangan cowok banci goblok,"
susul Zing. "Ksatria Arthur goblok, banci,
konyol," ejek Buk. "Kalian berdua, berhentilah
mengolok-olok," tegur si petugas.
"Jangan pedulikan mereka,
Arthur." Arthur diam saja. Dia 248
tidak melihat ke arah cowok-cowok
itu. Dia tidak melihat ke arah
petugas perpustakaan. Dia juga
tidak melihat kepadaku. Kupandangi Arthur lekat-lekat
dari balik kacamata pelangiku yang
baru. Lalu aku berdiri dan
berjalan menghampiri mejanya.
"Boleh aku melihat hasil
karanganmu, Arthur?" tanyaku.
"Dengar, aku berani bertaruh kedua
anak ini belum pernah satu kali pun
mendengar tentang King Arthur dan
para ksatria meja bundar. Soalnya
mereka masih berkutat di cerita-
cerita kacangan seperti Super
Mario dan Sonic." Zing dan Buk tergagap dan
tertawa terpekik-pekik. Ibu
perpustakaan mengerjapkan mata.
Wajah Arthur berubah merah padam.
Tapi dia mendorong bukunya ke
arahku. "Ini," katanya. Suaranya
terdengar parau. Tapi aku tahu
semua beres. Aku mengambil kursi dan 249
duduk di mejanya sebentar, tapi
Zing dan Buk tak henti-hentinya
membombardir kami dengan karet
penghapus dan mengguncang-guncang
kami setiap kali kami menulis, jadi
akhirnya Arthur dan aku pindah ke
meja kecilku. Aku memutuskan akan mengikuti
seluruh kegiatan mengarang cerita
ini hingga satu minggu penuh.
Arthur dan aku duduk bersama
setiap hari. Kami mulai menggarap
cerita baru bersama-sama, tentang
tukang sihir cantik dari abad
pertengahan bernama Mandiana the
Magic, bersama ahli sihir yang
sangat berkuasa bernama Dark Art. Kami bergiliran menulis ceritanya
dan melukis gambar di setiap, lalu
mewarnainya dengan spidol
pelangiku. Aku tahu Arthur senang aku
tahu-tahu muncul di perpustakaan.
Dia tidak banyak bicara karena
pemalu, sama seperti aku. Dia
tidak mau aku mengira dia memaksa
aku menjadi temannya. 250
Ibu Arthur datang menemui
Arthur setiap jam makan siang.
Sementara kami sibuk menulis, dia
duduk di ruang arsip, menekuni
arsip-arsip perpustakaan. Seperti
halnya Arthur, wajah ibunya juga
pucat dan poninya juga berantakan
seperti poni Arthur. Mereka
bahkan mengenakan sweter panjang
biru tua yang sama persis. Beliau
tipe ibu yang sangat berbeda dari
ibu-ibu lain yang pernah kukenal,
namun sangatlah menyenangkan
mengobrol dengannya. Beliau turut
menyumbangkan sejumlah ide gemilang
tentang mantra-mantra jahat, dan
tahu banyak tentang berbagai
tumbuhan dan ramuan beracun.
Ibuku langsung akrab dengan ibu
Arthur. Mereka kini berteman
baik. Kata ibu Arthur, beliau
sama sekali tidak keberatan aku
dititipkan di rumah mereka pada
pagi hari bila kegiatan mengarang
cerita sudah selesai. "Wah, itu bakal mengasyikkan,
ya, Mandy?" tanya Arthur, 251
wajahnya lagi-Iagi bersemu merah.
"Yeah. Asyik," sambutku.
Memang tidak seasyik bermain
bersama Tanya, tentu saja.
Mendekati pun tidak. Tapi Arthur
baik. Dia temanku. Namun ternyata minggu depannya
aku tidak perlu dititipkan di rumah
keluarga King. Aku langsung tahu pasti telah
terjadi sesuatu yang sangat buruk
begitu melihat Mum datang
menjemputku pada hari Jumat. Mata
Mum memerah dan wajahnya bengkak.
Perutku kontan mengejang.
"Mum, ada masalah apa?"
Mum berusaha keras bersikap
tegar di hadapan Mrs King dan
Arthur. "Tidak ada masalah apa-apa,
Sayang. Aku hanya sedikit shock,
itu saja." "Mum mendengar sesuatu yang
buruk menimpa Tanya?"
Mum menatapku seolah aku sudah
gila. "Tidak, tentu saja tidak. 252
Tidak, aku baru saja dipaksa
bergabung dengan kaum pengangguran." Cara Mum berbicara begitu aneh
hingga awalnya aku tidak memahami
maksudnya. Tapi kemudian, saat
Mrs King mulai berbicara dengan
sikap bersimpati tentang pengurangan pegawai, barulah aku
sadar. Mum kehilangan pekerjaan.
Sesampainya di rumah, jauh dari
keluarga King, wajah Mum bergerak-gerak dan dia mulai
menangis lagi. "Jangan menangis, Mum," hiburku
malu-malu. Mum malah menangis semakin keras, kedua matanya
terpejam erat-erat, mulutnya
terbuka. Belum pemah aku melihatnya menangis seheboh itu
sebelumnya. Itu membuat perasaanku
jadi tidak enak, malu, sekaligus
takut. Mum naik ke kamar tidurnya dan
aku berdiri mematung di tempatku
selama satu menit, kemudian
mengikutinya dengan 253
khawatir. Kulihat Mum sudah
melepas baju luarnya yang bagus dan
kini berbaring di tempat tidur
dengan hanya mengenakan baju dalam,
menangis sejadi-jadinya. "Mum?" panggilku, kemudian duduk
hati-hati di pinggir tempat tidur.
Kuulurkan tangan dan kutepuk-
tepuk bahu Mum yang lembut dan
terguncang-guncang. "Oh, Mandy," sedu Mum,
kemudian dia meraba-raba mencari
saputangan dan berusaha keras
menghentikan tangis. "Maafkan aku,
Sayang. Jangan khawatir begitu.
Ini bukan akhir dari segalanya.
Entah mengapa aku kok begitu
meributkan hal itu." Suara Mum
bergetar naik turun, dan sesekali
terlontar isakan yang tak dapat
ditahannya, seperti cegukan.
"Mum pasti bisa mendapat
pekerjaan lain," hiburku.
Mum menggeleng. "Aku tidak
begitu yakin, Mandy. Oh, astaga,
kejadiannya sangat tidak mengenakkan. Aku harus 254
menyingkirkan semua barangku dari
meja dan langsung keluar hari ini
juga. Aku tidak percaya ini benar-
benar terjadi. Semua orang
memandangiku seolah aku mengidap
penyakit mengerikan. Bosku bilang
aku dipecat karena tidak bisa
diandalkan. Dia berulang kali
menyinggung-nyinggung tentang
betapa seringnya aku tidak masuk
kerja, gara-gara gigiku sakit,
kemudian waktu aku harus menjagamu-" "Jadi Mum dipecat gara-gara
aku?" selaku. "Tidak, tidak! Tentu saja
tidak, Mandy. Lagipula, dia hanya
menggunakan hal itu sebagai alasan.
Dia mengakuinya secara tidak
langsung. Katanya, aku tidak bisa
mengimbangi keadaan kantor yang
sibuk dan modern. Cara berpikirku
selalu salah. Menurutnya, aku
terlalu ketinggalan zaman. Tapi sesungguhnya yang dia maksud adalah
aku terlalu tua." "Oh, Mum. Mum tidak 255
tua. Well. Tidak tua-tua amat
kok." "Tidak, aku memang sudah tua,"
bantah Mum. Dia membersihkan
ingus lalu duduk tegak. "Astaga,
wajahku sekarang pasti tidak
keruan. Aku memang sudah tua,
Mandy. Setiap kali aku melihat
ibu-ibu lain di sekolahmu, aku
tidak bisa mencegah timbulnya
pikiran dalam benakku bahwa aku
cukup tua untuk menjadi ibu
mereka." "Mum bukan ibu orang lain, Mum
ibuku seorang," kataku, lalu
memeluknya. Sepanjang musim panas itu, Mum
melamar pekerjaan ke mana-mana,
tapi selama beberapa saat yang
cukup lama, lamarannya selalu
ditolak. Beliau menjadi sangat
tertekan sehingga berat badannya
menyusut dan dia terlihat kurus,
karena Mum jadi tidak suka makan.
Meski sejak dulu aku selalu
berharap Mum tidak segembrot itu,
sekarang aku justru tidak 256
begitu yakin. Seakan ibu yang
selama ini kukenal perlahan-lahan
menyusut, seperti sabun yang
semakin lama semakin kecil bila
dipakai. Sekarang aku justru ingin
ibuku kembali gemuk dan sok
mengatur seperti dulu, karena
memang begitulah Mum yang sesungguhnya.
Namun akhimya semua beres
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kembali. Seminggu sebelum
liburanku berakhir dan aku harus
masuk sekolah lagi, Mum mendapat
pekerjaan. Awalnya Mum mengincar
pekerjaan administrasi di kantor
Maxwell's, tapi dia tidak bisa
menggunakan komputer mereka. Lalu
mereka menyarankan Mum melamar
menjadi tenaga penjual parowaktu
saja. Jadilah sekarang Mum
ditempatkan di bagian yang khusus
menjual berbagai jenis produk
wanita. Untuk merayakannya, Mum
mengajakku pesta es krim di
Maxwell's. "Departemen tempatku bekerja
nanti sangat menyenangkan. 257
Aku suka melihat wanita-wanita
yang akan menjadi rekan kerjaku
nanti. Gajinya memang tidak
seberapa, tapi aku bisa mendapat
diskon lumayan untuk membeli
barang-barang di sana, walaupun aku
hanya bekerja parowaktu," celoteh
Mum sambil menjilati es krim dari
bibirnya dan mengerok sampai habis
es krim yang masih tersisa dalam
gelas tingginya. "Sayang aku tidak
dapat diskon untuk beli es krim,
eh?" Mum bahagia lagi. Dalam hati
aku berharap aku juga bisa merasa
bahagia. Aku masih sangat
merindukan Tanya. Sekarang aku
punya Arthur, tapi dia tidak sama
dengan Tanya. Hari Senin nanti
kami akan kembali bersekolah dan
aku mulai bermimpi buruk tentang
Kim, Sarah, dan Melanie. Berkali-kali aku berusaha
meyakinkan diri sendiri bahwa
sekarang tahun ajaran baru, kelas
baru, permulaan baru. Namun tetap
saja aku merasa mual dan 258
berkeringat saat berjalan kaki ke
sekolah. Kim, Sarah, dan Melanie
sudah berada di dalam kelas, duduk
di belakang. Kim membisikkan
sesuatu dan tawa mereka berderai,
mata mereka tertuju padaku.
Mulai lagi. Aku tegak mematung,
tidak tahu harus duduk di mana.
Semua anak perempuan di kelasku
sudah punya teman. Tidak ada yang
mau berpasangan denganku.
Arthur duduk di meja paling
depan. Dia menepuk-nepuk meja di
sampingnya. "Hei, Mandy. Ayo, duduklah di sini," ajaknya.
Kupandangi dia. Tidak ada anak
perempuan yang pernah duduk semeja
dengan anak laki-laki. Pokoknya
tidak pernah, tidak di kelas kami.
"Aku tidak bisa duduk di
sebelahmu, Arthur," desisku. "Kau
kan cowok." "Kesimpulan yang brilian!" canda
Arthur sambil mengangkat alis.
"Memangnya kenapa?"
Aku memikirkan kata- 259
katanya. Ya benar, memangnya
kenapa" Maka akhirnya aku pun
duduk di sebelah Arthur. Kim,
Sarah, dan Melanie terkikik-kikik
dan mengejek. Sebagian anak cowok
bersiul-siul dan melontarkan
berbagai komentar tolol. "Edan," kecam Arthur.
"Edan," aku sependapat.
"Justru merekalah yang edan,"
balas Kim. "Dua anak dungu yang goblok.
Mereka akrab karena tidak punya
teman lain." Lalu Kim tak henti-hentinya
mengocehkan hal itu, tapi kata-
katanya tidak terlalu mengusikku.
Ibaratnya, hanya seperti tusukan
jarum kecil, bukan pukulan berat.
Aku tahu itu tidak benar. Aku
punya teman-teman lain kok. Aku
punya Tanya, sahabat yang terbaik
di seluruh dunia. Dan aku juga
punya Arthur. Kami tetap duduk berdampingan di
depan, dan guru kelas enam kami
yang baru, Miss Moseley, 260
sama sekali tidak keberatan dengan
hal itu. Kim, Sarah, dan Melanie duduk
bertiga dalam satu meja di
belakang, berimpit-impitan. Tapi
Miss Moseley tidak mengizinkan.
"Ayolah, kalian bertiga. Kalian
tidak akan bisa bekerja dengan
nyaman bila berdesak-desakan
seperti itu. Salah satu dari
kalian harus pindah ke meja lain."
Melanie dan Sarah memandangi
Kim dengan sikap memohon, keduanya
ingin tetap duduk semeja dengannya.
Kim duduk bersandar, tersenyum,
sambil membalas tatapan kedua
temannya bergantian. Kami semua
menjulurkan kepala, melihat ke
belakang, ingin tahu siapa yang bakal dipilihnya dan siapa yang
bakal dicampakkannya. "Kim?" panggil Miss Moseley.
Dia tahu nama anak itu. Semua
orang di sekolah ini tahu siapa
Kim. "Kuminta kau pindah dan
duduk di meja lain."
Kami semua memandangi 261
Miss Moseley, terperanjat. Dia
tidak mengerti. Atau mungkin
justru sangat mengerti. "Tidak mau, aku duduk di sini
saja," bantah Kim. "Melanie saja
yang pindah. Atau Sarah."
Melanie dan Sarah tampak bingung dan merana. "Aku ingin tetap duduk
bersamamu, Kim," kata Melanie.
"Tidak, aku yang tetap duduk di
sini. Aku kan sudah lebih lama
berteman denganmu," kata Sarah.
"Bukan Kim yang menentukan,"
sela Miss Moseley tegas. "Akulah
yang guru di sini dan akulah yang
berhak menentukan di mana murid-
muridku duduk. Kim. Kau pindah ke
meja lain." Dia terdiam sejenak.
"Sekarang juga!"
Kim langsung berdiri dan memindahkan barang-barangnya ke
meja lain. Kedua pipinya merah
padam. Dipandanginya Miss
Moseley dengan garang. Miss Moseley tersenyum. "Baiklah. Sekarang setelah 262
semua murid duduk di tempatnya
masing-masing, kita bisa memulai
pelajaran." Kami semua masih sedikit
terperangah. Miss Moseley masih
muda dengan rambut pirang lemas
yang halus dan dia sering
mengenakan sweter pastel lemas yang
halus pula. Melihat penampilannya,
kami mengira dia juga lembut dan
lemas. Ternyata dugaan kami
keliru. Dia sama kerasnya dengan
baja. Sepertinya aku bakal menikmati
hari-hariku di kelas enam bersama
Miss Moseley. Kami semua mendapat berbagai pelajaran baru.
Kami mempelajari sejarah Zaman
Victoria sepanjang semester
pertama dan kami semua wajib
memilih satu aspek khusus untuk
dipelajari bersama seorang teman.
Arthur dan aku memutuskan
menggarap proyek khusus tentang
sekelompok pelukis yang hidup pada
Zaman Victoria. Pelukis-pelukis
itu senang membuat lukisan 263
King Arthur dengan para ksatria
dan wanita malang yang memerlukan
pertolongan. Murid-murid lain
memilih mempelajari aspek-aspek
umum seperti Masa Kanak-Kanak
atau Pelayan atau Mode Busana
atau Jalur Kereta Api. Miss
Moseley sangat senang pada aspek
yang dipilih Arthur dan aku.
Menurutnya, proyek garapan kami
itu sangat orisinal dan menarik.
Kim bersuara seperti orang
muntah. Miss Moseley mengangkat
alis tapi merasa tidak perlu
menanggapinya. Sepertinya dia
tidak menganggap Kim penting.
Ada mata pelajaran yang sama
sekali baru di kelas enam. Dalam
jadwal, mata pelajaran itu diadakan
setiap Jumat siang. Namanya
Waktu Lingkaran. Kami tidak
begitu tahu apa isi pelajaran itu.
"Mungkin kita akan disuruh
membuat gambar lingkaran dengan
menggunakan jangka," duga Arthur
sambil mengeluarkan jangka dari
kotak pensil. 264
"Apa, untuk membuat corak"
Kalau itu, aku suka," kataku.
"Kemudian, kita bisa mewamainya."
Namun temyata tidak ada acara
menggambar lingkaran dalam Waktu
Lingkaran. Malah kami sendiri
yang membentuk lingkaran. Kami
diminta mendorong semua meja ke
pinggir kelas, lalu menyusun kursi
dalam bentuk lingkaran, dan semua
duduk di sana. "Waktu Lingkaran akan menjadi
waktu yang sangat istimewa bagi
kita. Di sini kita akan duduk
bersama sebagai sesama warga di
kelas ini dan membicarakan berbagai
topik yang berbeda setiap minggu,"
Miss Moseley menjelaskan.
"Oooh, dia akan menjelaskan pada
kita tentang seks," gurau Kim, dan
semua murid tertawa. Miss Moseley juga tertawa.
"Tidak hari ini, anak-anak.
Jadi jangan keburu senang dulu.
Dalam Waktu Lingkaran, kita akan
membicarakan isu-isu yang
bervariasi." 265
"Isu! Isu!" seru Kim lagi,
berpura-pura bersin. "Isu itu berarti sesuatu yang
kita pikirkan saat ini. Sesuatu
yang ingin kita bicarakan**"
"Seperti acara Neighbours?"
"Tidak, tidak persis begitu.
Tapi memang berbagai jenis isu
dibicarakan di acara Neighbours.
Begini. Hari ini, di Waktu
Lingkaran, aku bermaksud membicarakan masalah penindasan di
sekolah yang dilakukan murid yang
lebih kuat terhadap murid lain yang
lebih lemah." Mendadak suasana sunyi senyap.
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Semua orang melihat pada Kim.
Pipi Kim kontan memerah. Murid-
murid juga memandangi Melanie dan
Sarah. Dan aku. Perutku mulai
terasa mual. Aku tidak ingin
membicarakan masalah itu. Dan bila
Kim, Sarah, dan Melanie ditegur,
jangan-jangan mereka mengira aku
mengadukan ulah mereka pada Miss
Moseley. Tapi Miss Moseley 266
tersenyum padaku, tersenyum pada
semua murid, tenang dan penuh
penguasaan diri, rambutnya yang
pirang tergerai di sekeliling
wajahnya bagaikan lingkaran emas.
Dia mengeluarkan sehelai surat
kabar dan membacakan berita tentang
anak laki-laki yang dipukuli tiga
murid lelaki lain di sekolahnya.
Miss Moseley menunjukkan foto
anak malang itu, wajahnya memar-
memar. Kami semua sependapat
kejadian itu sangat memilukan.
Lalu Miss Moseley membacakan
kepada kami kisah anak perempuan
yang selalu ditinju dan ditendang
teman-temannya sampai dia sangat
ketakutan dan tidak berani
bersekolah, hingga akhimya dia
nekat menggantung diri. Kami juga
mendiskusikan hal ini. Miss
Moseley meminta kami membayangkan
bagaimana kira-kira perasaan kedua
anak itu mendapatkan perlakuan yang
begitu buruk dan teman-temannya.
"Aku tidak mau membayangkan anak
perempuan itu gantung diri. 267
Bisa-bisa aku mimpi buruk nanti,"
kata Melanie. "Aku tahu kalian merasa tidak
nyaman memikirkannya. Tapi kalian
semua sudah semakin besar dan
semakin bijaksana, karena sekarang
kalian sudah duduk di kelas enam.
Kalian siap berdiskusi tentang
topik-topik dewasa yang sangat
menyakitkan. Nah sekarang, menurut
kalian, apa kira-kira tindakan yang
paling tepat yang bisa kita lakukan
pada murid-murid nakal yang suka
menindas ini?" "Sebaiknya mereka juga dipukuli
dan dihajar." "Sebaiknya mereka dikurung
saja." "Sebaiknya jangan ada yang
mengajak mereka bicara."
Semakin lama, usulan yang
terdengar semakin keras dan galak.
"Itu tidak selalu mungkin, atau
bahkan praktis untuk dilakukan,"
Miss Moseley menengahi. "Dan
menurutku, kita harus berusaha
mencari tahu mengapa anak- 268
anak itu menindas teman mereka.
Dengan begitu, kita mungkin bisa
menghentikannya sebelum perbuatan
itu berkembang menjadi kebiasaan.
Nah. Menurut kalian, mengapa
anak-anak itu gemar menindas orang
lain?" "Karena tubuh mereka besar dan
mereka ingin menyakiti orang lain."
"Karena mereka jahat."
"Karena mereka senang menakut-
nakuti orang." "Ya. Itu semua masuk akal.
Tapi cobalah kalian menyelaminya
lebih dalam lagi. Apakah mereka
itu anak-anak yang bahagia?" tanya
Miss Moseley. "Mereka bahagia bila bisa
menyakiti orang." "Ya, menurutku juga begitu.
Tapi coba kalian pikirkan baik-
baik. Coba bayangkan saat kalian
merasa sangat, sangat bahagia.
Katakanlah sekarang kalian
berulang tahun, lalu seluruh
anggota keluarga dan teman kalian
memberi ucapan selamat dan 269
hadiah-hadiah indah, dan kalian
merasa sangat, sangat bahagia.
Nah. Apakah kalian ingin menyakiti orang lain bila
situasinya seperti itu?"
Kami berpikir -lalu menggeleng.
"Tentu saja tidak. Kalian
justru ingin bersikap ramah pada
orang lain. Tapi coba bayangkan
bila kalian mengalami hari yang
sangat tidak menyenangkan, misalnya
saja kalian tertimpa masalah di
sekolah, teman karibmu meninggalkanmu dan bersahabat
dengan orang lain, lalu ayah dan
ibu marah padamu tapi memberi
hadiah untuk adikmu sementara kau
tidak mendapat apa-apa kecuali
omelan** Apakah dalam situasi seperti ini kau ingin bersikap
ramah pada orang lain" Atau kalian
malah merasa ingin menyakiti orang
lain?" "Ingin menyakiti!" jawab kami
serempak. "Tentu saja begitulah yang
kalian rasakan. Dan bila 270
pada saat itu adik kalian datang
dan memamerkan hadiah yang baru
didapatnya dari orangtua kalian,
kalian mungkin akan mendorongnya,
atau mengatainya tolol, bukan?"
Sebagian besar murid mengangguk
mengiyakan, tertawa. "Tapi itu bukan penindasan
seperti yang dimaksud dalam cerita
tadi. Maksudku, aku bisa saja
tidak suka pada adikku, tapi aku
tidak mungkin menendang kepalanya
atau membuatnya bunuh diri."
Murid-murid tertawa lagi, tapi
Miss Moseley memasang wajah
serius. "Begitulah tepatnya. Penindasan
tidak selalu sangat dramatis dan
mengerikan, dengan korbannya
mengalami cedera parah atau bahkan
meninggal. Kita semua bersyukur
tidak pernah ada kejadian seperti
itu di sekolah kita. Tapi aku
yakin kita semua pasti tahu kapan
pernah terjadi peristiwa di mana
beberapa orang diantara kita
mengganggu dan menindas 271
murid lain?" Sekarang tidak ada lagi yang tertawa. Perutku kembali terasa
kencang. "Satu orang diganggu, kemudian
itu berkembang menjadi kebiasaan.
Murid-murid yang lain ikut-ikutan.
Karena semua orang ingin berpihak
pada si pembuat onar supaya mereka
tidak ditindas juga."
"Salah mereka sendiri.
Terkadang, mereka sendiri yang
minta. Habis tolol sih," gerutu
seseorang. Bisa jadi itu Kim.
Namun rupanya pendengaran Miss
Moseley sangat tajam di balik
rambutnya yang lemas. "Tidak pemah ada orang yang
minta ditindas," sergahnya. " Tapi
kau benar, terkadang orang ditindas
karena mereka tolol. Meskipun itu
bukan istilah yang baik. Bukan
salah mereka bila mereka tidak
terlalu pintar. Dan itu tidak bisa
dijadikan alasan menindas orang
lain, hanya karena orang itu tidak
pintar." 272
"Dan adakalanya orang justru
ditindas karena mereka sangat
pintar," imbuh Arthur tiba-tiba.
"Katakanlah mereka juara kelas,
tapi anak-anak yang nakal itu iri
padanya karena mereka juga pintar
dan mereka ingin jadi juara kelas
juga." Miss Moseley mengangguk. "Pikiran yang sangat tajam,
Arthur," pujinya. Beberapa murid kini mulai
berbisik-bisik dan saling menyikut.
Kudengar nama Kim disebut
beberapa kali. Juga nama Mandy.
"Kita tidak akan menyebut nama,"
cegah Miss Moseley. "Ingat, ini
diskusi umum." Melanie dan Sarah gelisah
seperti cacing kepanasan. Pipi
Kim berwarna merah seperti buah
stroberi. "Bila ada anak yang ditindas,
kalian harus selalu memberitahukannya," lanjut Miss
Moseley, matanya berkeliling
memandangi para murid yang 273
duduk melingkar. "Beritahu ayah
dan ibu kalian. Beritahu guru
kalian. Beritahu guru yang lain
bila masalahnya tidak beres juga.
Orang yang ditindas membutuhkan
pertolongan. Begitu juga dengan
orang yang menindas, karena orang-
orang seperti itu sebenarnya orang
yang menyedihkan, memuakkan, dan
tolol. Seharusnya kita kasihan
pada mereka, meskipun mereka gemar
menyakiti dan mencelakakan kita.
Bahkan mengata-ngatai dan
melontarkan sindiran-sindiran
konyol bisa sangat menyakitkan
hati, bukan?" Lagi-lagi Miss
Moseley memandang berkeliling.
"Kalian mengerti maksudku.
Misalnya saja, mengernyit-
ngernyitkan muka dan meledek-ledek,
seperti yang sering dilakukan
monyet di kebun binatang. Mereka
yang suka menindas sama seperti
babon, monyet besar yang mukanya
aneh dan bokongnya merah menyala."
Semua murid tertawa mendengar
Miss Moseley menyebut kata 274
"bokong". "Coba saja kalian lihat, babon
yang badannya paling besar gemar menjerit-jerit dan menggigit babon-
babon lain yang kecil. Lalu babon-
babon besar yang lain menirukan
tingkahnya, menjerit-jerit dan
menggaruk-garuk badan mencari kutu.
Nah, kurasa tidak ada murid di
kelasku yang ingin bertingkah
seperti babon besar pembuat onar
yang bokongnya merah manyala,
bukan?" Semua murid menggeleng-bahkan
Melanie dan Sarah. Kim tertunduk. Sejak saat itu, Kim tidak
pernah menggangguku lagi. Dia
bahkan tidak pemah menungguku lagi
sepulang sekolah. Kalaupun ingin
mengganggu, dia harus melakukannya
Anak Anak Nakal Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sendirian. Karena sekarang
Melanie dan Sarah tidak ingin
menjadi temannya lagi. Mereka
lebih suka berdua saja. Melanie bertanya apakah aku mau
berteman lagi dengannya. 275
Aku mengiyakan, tapi kubilang aku
tidak bisa menjadi sahabatnya.
Bagaimanapun, sekarang aku punya
Arthur. Kami tetap duduk berdampingan di sekolah dan bermain
bersama saat jam makan siang. Dan
kami selalu berjalan kaki bersama
ke halte bus sepulang sekolah. Mum
masih sering menjemputku, tapi
sekarang aku tidak merasa keberatan
karena tak ada lagi yang mengejekku
tentang hal itu. Aku masih terus berharap entah
bagaimana, suatu hari nanti, Tanya
akan berlari menyongsongku dari
ujung jalan, mengenakan celana
pendek dan sepatu bertumit tinggi
yang berpletak-pletok. Akhimya,
aku mendapat kabar juga darinya.
Hanya sehelai kartu pos, dan dia
tidak menuliskan alamatnya.
Hai, Mandy, Sudah kubilyang aku akan rnentulis srat. Penggandilan Anak
berakir baik. Aku cuman disuruh
mendapat pengawasan. Huibat, kan"
Dan kayaknya aku bakal 276
dapat ibu asuh baru, jadi kyadaanku
mulai membaik. Sampai ketemu lagi, syobat.
Salam manis Tanya XXX Sampai ketemu lagi. Aku harus
terus berharap suatu hari nanti aku
benar-benar akan bertemu lagi
dengannya. Bila dia tidak kembali
menemuiku, maka akulah yang harus
pergi mencarinya, setelah aku besar
nanti. Kami tetap bersahabat.
Kami harus bertemu lagi. Entah di
mana'''. Mr Quin Yang Misterius 1 Goosebumps - 6 Gara-gara Cermin Ajaib Suling Pusaka Kumala 7