Pencarian

Because Of Winn Dixie 2

Because Of Winn Dixie Karya Kate Dicamillo Bagian 2


"Lihatlah pohon ini", kata Gloria.
Aku mendongak. Tampaklah botol-botol tergantung dari hampir setiap dahan. Ada botol wiski, bir, anggur, semua diikat dengan benang, dan beberapa di antaranya bersenggolan dan menimbulkan suara yang lumayan menyeramkan. Aku dan Winn-Dixie berdiri memandangi pohon itu, dan bulu di puncak kepala Winn-Dixie berdiri sedikit dan ia menggeram jauh di dalam tenggorokannya.
Gloria Dump menudingkan tongkatnya ke pohon.
"Apa pendapatmu tentang pohon ini ?".
Kubilang, "Entahlah. Kenapa botol-botol itu digantung di sana ?".
"Untuk mengusir hantu", jawab Gloria.
"Hantu apa ?". "Hantu-hantu semua kesalahanku".
Kupandang semua botol di pohon. "Kau pernah melakukan kesalahan sebanyak itu ?".
"Mmmm-hmmm", sahut Gloria. "Lebih dari itu".
"Tapi kau kan orang paling baik yang pernah kukenal", aku menukasnya.
"Tidak berarti aku tak pernah melakukan kesalahan", ia membantah.
"Di sana ada botol-botol wiski", aku berkata. "Dan botol-botol bir".
"Nak", ujar Gloria Dump, "aku tahu. Aku yang menaruhnya di sana. Aku yang meminum isinya".
"Mamaku peminum", bisikku.
"Aku tahu", kata Gloria Dump.
"Sang pendeta bilang kadang-kadang ia tidak bisa berhenti minum".
"Mmmm-hmmm", kata Gloria lagi. "Ada orang yang memang begitu. Kita memulai dan kita tidak bisa berhenti".
"Apakah kau termasuk orang seperti itu ?"
"Ya, Ma"am. Benar. Tapi akhir-akhir ini minumanku tidak lebih dari kopi".
"Apakah wiski, bir, dan anggur, apakah semua minuman itu membuatmu melakukan kesalahan-kesalahan yang sekarang jadi hantu ?".
"Beberapa", Gloria Dump menjawab. "beberapa di antaranya akan tetap kulakukan, dengan atau tanpa alkohol. Sebelum aku belajar".
"Belajar apa ?"
"Belajar tentang apa yang paling penting"
"Apa itu ?", aku bertanya padanya.
"Tiap orang berbeda-beda", ia berkata. "Kau harus mencari tahu sendiri. Tapi sementara itu, kau harus ingat, kau tidak selalu bisa menilai orang dari hal-hal yang pernah mereka lakukan. Kau harus menilai orang dari apa yang mereka lakukan sekarang. Kau menilai Otis darimusik merdu yag dimainkannya dan betapa baiknya ia pada binatang, sebab itulah yang kau tahu tentang dirinya saat ini. Mengerti ?"
"Ya, Ma"am", kataku.
"Dan bocah-bocah Dewberry itu, jangan terlalu berprasangka pada mereka, oke ?".
"Baik", sahutku.
"Baiklah kalau begitu", ujar Gloria Dump, dan ia berbalik dan berjalan pergi. Winn-Dixie mendorongku dengan hidungnya yang basah dan mengibas-ngibaskan ekor. Ketika melihat aku tidak bergerak, ia berlari mengejar Gloria. Aku tetap berdiri di tempatku dan mengamati pohon itu. Aku ingin tahu apakah mamaku, di mana ia berada, memiliki pohon yang penuh botol juga ; dan aku ingin tahu apakah aku bagai hantu baginya, seperti ia kadang-kadang terasa seperti hantu bagiku.
Bab Lima Belas Pendingin Perpustakaan Herman W. Block Memorial tidak terlalu bagus, dan hanya ada satu kipas angin, dan begitu aku dan Winn-Dixie masuk k perpustakaan, ia memonopolinya. Winn-Dixie berbaring persis di depannya dan mengibas-ngibaskan ekor, membiarkan kipas angin itu meniup bulunya ke sana kemari. Beberapa helai bulunya cukup longgar sehingga terbang lepas dari tubuhnya seperti bulu-bulu bunga dandelion. Aku khawatir karena ia memonopoli kipas angin, dan aku juga khawatir kipasa ngin itu bisa membuatnya gundul ; namun Miss Franny bilang tidak usah mengkhawatirkan kedua hal itu, bahwa Winn-Dixie boleh memonopoli kipas angin kalau itu maunya dan seumur hidup ia belum pernah melihat anjing jadi botak gara-gara kipas angin.
Kadang, ketika Miss Franny bercerita, ia mengalami serangan. Serangannya lemah dan tidak lama. Tapi ia jadi melupakan apa yang sedang diucapkannya. Ia berhenti bicara begitu saja dan gemetaran seperti selembar daun kecil. Dan ketika itu terjadi, Winn-Dixie bangun dari depan kipas angin dan duduk persis di samping Miss Franny Block. Ia duduk tegap, melindunginya, dengan kedua telinga mencuat di kepala, seperti tentara. Dan setelah Miss Franny berhenti gemetaran dan mulai bicara lagi, Winn-Dixie menjilat tangannya dan berbaring kembali di depan kipas angin.
Setiap kali Miss Franny mengalami serangan, aku jadi teringat pada Winn-Dixie saat badai guntur. Banyak sekali badai guntur selama musim panas itu. Dan aku jadi pandai memegangi Winn-Dixie setiap ada badai. Kupeluk dia dan berbisik-bisik padanya, sambil mengayun-ayunkan badannya, tepat seperti ia berusaha menenangkan Miss Franny ketika mengalami serangan. Hanya saja aku punya alasan lain ketika memeluk Winn-Dixie. Aku memeluknya erat-erat supaya ia tidak kabur.
Semua ini membuatku teringat pada Gloria Dump. Aku ingin tahu siapa yang menenangkannya waktu ia mendengar botol-botol itu bersentuhan, hantu-hantu yang berceloteh tentang kesalahan-kesalahannya. Aku ingin menenangkan Gloria Dump. Dan kuputuskan cara terbaik melakukannya adalah dengan membacakannya buku, membacakan bukunya cukup keras untuk mengusir hantu-hantu.
Jadi aku bertanya pada Miss Franny. Kubilang, "Miss Franny, aku punya teman orang dewasa yang matanya sudah tidak terlalu bagus, dan aku ingin membacakan dia buku keras-keras. Kau punya usul ?".
"Usul ?", ulang Miss Franny. "Ya, Ma"am, aku punya usul. Tentu saja aku punya usul. Bagaimana kalau Gone With The Wind ?".
"Isinya tentang apa ?", aku bertanya padanya.
"Wah", Miss Franny menjawab, "kisah indah tentang Perang Saudara".
"Perang Saudara ?", aku berkata.
"Jangan bilang padaku kau tak pernah mendengar mengenai Perang Saudara". Miss Franny tampak seperti akan pingsan. Ia melambai-lambaikan kedua tangannya di depan wajah.
"Aku tahu tentang Perang saudara", kataku padanya. "Itu perang antar aSelatan dan Utara karena masalah perbudakan".
"Perbudakan, ya", sahut Miss Franny. "Juga karena hak-hak dan uang negara bagian. Perang yang mengerikan. Kakek buyutku bertempur dalam perang tersebut. Padahal waktu itu ia masih kecil".
"Kakek buyutmu ?"
"Ya, Ma"am, Littmus W. Block. Nah, itu baru namanya cerita".
Winn "Dixie menguap lebar sekali dan berbaring menyamping dengan suara berdebum, sambil mengembuskan napas. Aku berani bersumpah ia tahu frase itu, "Nah, itu baru cerita". dan ia tahu itu berarti kami tidak akan ke mana-mana dalam waktu dekat.
"Ayo, ceritakan padaku, Miss Franny", aku berkata. Dan aku duduk bersila di sebelah Winn-Dixie. Kudorong dia dan kucoba memaksanya berbagi kipas angin denganku. Namun ia pura-pura tidur. Dan ia tidak mau bergerak.
Aku sudah duduk rapi dan siapmendengarkan kisah yang seru ketika pintu berdeban terbuka dan si muka kusut Amanda Wilkinson masuk. Winn-Dixie duduk tegak dan memandanginya. Ia mencoba tersenyum pada gadis tersebut, tapi Amanda tidak membalasnya, jadi ia berbaring lagi.
"Aku mau membaca buku lain", Amanda berkata, seraya membanting buku yang akan dikembalikannya di meja kerja Miss Franny.
"Yah", sahut Miss Franny, "mungkin kau tidak keberatan menunggu. Aku sedang menceritakan pada India Opal tentang kakek buyutku. Kau, tentu saja, boleh ikut mendengarkan. Cuma sebentar kok".
Amanda mendesah sangat keras dengan gaya dramatis dan menatap ke belakangku. Ia pura-pura tidak tertarik, namun sebetulnya sebaliknya, aku bisa melihatnya.
"Ayo duduk di sini", Miss Franny mengajak.
"Aku berdiri saja, terima kasih", ujar Amanda.
"Terserah", Miss Franny mengangkat bahu. "Sampai di mana aku tadi " Oh, ya. Littmus. Littmus W. Block".
Bab Enam Belas "Littmus W. Block masih kecil ketika tembak-menembak di Fort Sumter berlangsung", Kata Miss Franny saat mulai bercerita.
"Fort Sumter ?", aku mengulangi.
"Tembak-menembak di Fort Sumter-lah yang mengawali perang ini", Amanda menimpali.
"Oke", kataku. Aku emngangkat bahu.
"Yah, Littmus berumur empat belas tahun waktu itu. Ia kuat dan bertubuh besar, namun ia masih muda. Ayahnya, Artley W. Block, sudah mendaftarakan diri sebagai prajurit, dan Littmus memberitahu mamanya ia tak sanggup berdiam diri dan membiarkan Selatan menang, jadi ia pun pergi bertempur". Miss Franny memandang ke sekeliling perpustakaan, lalu berbisik, "Lelaki dewasa dan yang masih bocah selalu ingin bertempur. Mereka selalu mencari alasan untuk pergi berperang. Menyedihkan sekali. Mereka memiliki pandangan bahwa perang itu asyik. Dan tidak ada pelajaran sejarah yang bisa meyakinkan mereka bahwa itu tidak benar".
"begitulah, Littmus W. Block pergi dan mendaftarkan diri. Ia berbohong tentang umurnya. Ya, Ma"am. Seperti yang kubilang tadi, ia anak yang bertubuh besar. Dan pihak militer menerimanya, dan Littmus pun pergi berperang, begitu saja. meninggalkan ibu dan tiga saudara perempuannya. Ia pergi untuk menjadi pahlawan. Namun ia segera mengetahui yang sebenarnya", Miss Franny memejamkan mata dan menggeleng.
"Kebenaran apa ?", aku bertanya padanya.
"Wah, bahwa perang itu neraka", jawab Miss Franny dengan mata terpejam. "Neraka jahanam".
"Jahanam kata makian", ujar Amanda. Aku mencuri pandang ke arahnya. Wajahnya lebih kusut daripada biasanya.
"Perang", kata Miss Franny dengan mata yang terus terpejam, "seharusnya merupakan kata makian juga". Ia menggeleng dan membuka mata. Ditunjuknya aku, lalu Amanda. "Kalian, tak seorang pun di antara kalian bisa membayangkannya".
"Ya, Ma"am !", Amanda dan aku brkata pada waktu yang persis sama. Kami berpandangan sangat singkat dan kembali menatap Miss Franny.
"Kalian tidak dapat membayangkannya. Littmus selalu kelaparan. Dan ia penuh dengan segala macam binatang pengisap : kutu dan lintah. Dan di musim dingin, ia begitu kedinginan sehingga mengira ia pasti mati beku. Dan pada musim panas, tak ada yang lebih buruk daripada perang saat musim panas. Bau sekali. Dan satu-satunya hal yang dapat membuat Littmus lupa bahwa ia lapar, gatal, panas, atau dingin adalah bahwa ia ditembaki. Dan ia lumayan sering ditembaki. Padahal ia hanya anak kecil".
"Apakah ia tewas ?", aku bertanya pada Miss Franny.
"Ya ampun", tukas Amanda. Ia membelalakkan mata.
"Nah, Opal", Miss Franny berkata, "aku takkan berdiri di ruangan ini dan menceritakan kisah ini kalau ia tewas. Aku takkan ada. Tidak ada, Ma"am. Ia harus tetap hidup. Tapi ia jadi berubah. Ya, Ma"am. Orang yang berubah. Ia berjalan kaki pulang ketika perang berakhir. Ia berjalan kaki dari Virginia sampai Georgia yang jauh. Ia tak punya kuda. Tidak ada yang punya kuda, kecuali para Yankee. Ia jalan kaki. Dan sesampainya di rumah, tidak ada rumah di sana".
"Di mana rumahnya ?", aku bertanya pada Miss Franny. Aku tak peduli kalau menurut Amanda pertanyaanku gobolk. Aku ingin tahu.
"Wah", Miss Franny berteriak begitu keras sehingga Winn-Dixie, Amanda Wilkinson, dan aku terlonjak kaget, "para Yankee membakarnya ! Ya, Ma"am. Membumihanguskannya".
"Bagaimana nasib saudara-saudara perempuannya ?", Amanda ingin tahu. Ia mengitari meja dan duduk di lantai. Ia mendongak memandang Miss Franny. "Apa yang terjadi pada mereka ?"
"Meninggal. Meninggal karena demam tifus".
"Oh, tidak", Amanda berkata dengan suara sangat pelan.
"Dan mamanya ?", aku berbisik.
"Meninggal juga".
"Dan ayahnya ?", Amanda menimpali. "Apa yang terjadi padanya ?".
"Ia tewas di medan pertempuran".
"Littmus yatim piatu ?", aku bertanya.
"Ya, Ma"am", jawab Miss Franny Block. "Littmus yatim piatu".
"Ceritanya sedih", aku berkata pada Miss Franny.
"Memang", sahut Amanda. Aku takjub ia bisa sependapat denganku.
"Aku belum selesai", kata Miss Franny.
Winn-Dixie mulai mendengkur, jadi kusodok dia dengan kakiku untuk berusaha menghentikannya. Aku ingin mendengar kelanjutan kisah ini. Penting bagiku untuk mendengar bagaimana Littmus bertahan setelah kehilangan semua yang disayanginya.
Bab Tujuh Belas "Yah, Littmus pulang dari perang", ujar Miss Franny seraya melanjutkan ceritanya, "dan mendapati dirinya sebatang kara. Ia duduk di tempat yang dulunya merupakan anak tangga depan rumahnya, dan ia menangis tersedu-sedu. Ia menangis seperti bayi. Ia merindukan mamanya, ayahnya, saudara-saydara perempuannya, dan ia meridukan bocah kecil yang dulu merupakan dirinya. Ketika ia akhirnya berhenti menangis, ia merasakan sensasi dangat ganjil. Ia merasa menginginkan sesuatu yang manis. Ia ingin makan sepotong permen. Sudah bertahun-tahun ia tidak makan permen. Dan tepat pada saat itulah ia mengambil keputusan. Ya, Ma"am. Littmus W. Block merasa dunia ini payah danisinya sudah cukup jelek, karena itu ia akan memusatkan perhatian untuk memberikan sesuatu yang manis padanya. Ia bangun dan muali berjalan. Ia berjalan kaki jauh-jauh ke Florida. Dan sepanjang waktu ia berjalan, ia menysun rencana".
"Menyusun rencana apa ?", aku bertanya.
"Wah, merencanakan pabrik permen".
"Apakah ia mendirikannya ?", tanyaku lagi.
"Tentu saja. Pabriknya masih ada di Fairville Road".
"Bangunan tua itu ?", kata Amanda. "Bangunan besar yang menyeramkan itu ?".
"Tidak menyeramkan kok", Miss Franny menukas. "Itu tempat lahirnya kekayaan keluarga. Di sanalah kekak buyutku membuat Littmus Lozenge, permen yang terkenal di seluruh dunia".
"Aku tidak pernah mendengarnya", ujar Amanda.
"Aku juga", kataku.
"Yah", Miss Franny berkata. "permennya sudah tidak diproduksi lagi. Dunia, tampaknya, kehilangan selera terhadap Littmus Lozenge. Tapi kebetulan aku masih punya beberapa". Dibukanya laci teratas meja kerjanya. Laci itu penuh permen. Ia membuka laci di bawahnya. Penuh permen juga. Seluruh laci meja kerja Miss Franny penuh permen.
"Kalian mau Littmus Lozenge ?", ia bertanya pada Amanda dan aku.
"Ya, terima kasih", jawab Amanda.
"Tentu", kataku. "Boleh Winn-Dixie dapat juga ?".
"Aku belum pernah kenal anjing yang suka permen keras", ujar Miss Franny, "tapi, ia boleh saja mencoba".
Miss Franny memberi Amanda sebutir Littmus Lozenge dan aku dua butir. Kubuka sebutir dan kusodorkan pada Winn-Dixie. Ia duduk tegak, mengendusnya, melambai-lambaikan ekor, dan mengambil permen dari antara jari-jariku dengan sangat lembut. Ia mencoba mengunyahnya, dan ketika tidak berhasil, ia menelan permennya bulat-bulat. Setelah itu ia mengibas-ngibaskan ekor dan kembali berbaring.
Kumakan Littmus Lozenge-ku pelan-pelan. Rasanya enak. Rasanya seperti root beer dan stroberi dan rasa lain yang tidak bisa diketahui namanya, sesuatu yang membuatku merasa sedih. Kupandang Amanda. Ia mengisap permennya dan berpikir keras.
"Kau suka ?", Miss Franny bertanya padaku.
"Ya, Ma"am", jawabku.
"Bagimana dengan kau, Amanda " Apakah kau suka Littmus Lozenge ?"
"Ya, Ma"am", katanya. "Tapi aku jadi teringat hal-hal yang membuatku sedih".
Aku bertanya-tanya dalam hati apa yang bisa membuat sedih dalam dunia Amanda Wilkinson. Ia bukan orang baru di kota ini. Ia punya mama dan ayah. Aku pernah melihatnya bersama mereka di gereja.
"Ada bahan rahasia di dalamnya", ujar Miss Franny.
"Aku tahu", kataku padanya. "Aku bisa merasakannya. Bahan apa ?".
"Kesengsaraan", jawab Miss Franny. "Tidak semua orang bisa merasakannya. Anak-anak, khususnya, kelihatannya sulit mengetahui rasa tersebut".
"Aku merasakannya", aku menukas.
"Aku juga", timpal Amanda.
"Yah, kalau begitu", Miss Franny berkata, "kalian berdua mungkin pernah merasakan kesedihan".
"Aku harsu pindah dari Watley dan meninggalkan semua temanku", aku memberitahunya. "Itu salah satu kesedihan yang kurasakan. Dan Dunlap dan Stevie Dewberry selalu menjailiku. Itu kesedihan lain. Dan yang terbesar, kesedihanku yang terbesar, adalah mamaku meninggalkan aku waktu aku masih kecil. Dan aku hampir tidak bisa mengingatnya ; aku terus berharap akan bisa bertemu dia dan menceritakan beberapa kisah padanya".
"Aku jadi rindu pada Carson", Amanda menimpali. Ia kedengaran seperti mau menangis. "Aku harus pergi". Ia berdiri dan nyaris berlari keluar dari Perpustakana Herman W. Block Memorial.
"Siapa Carson ?", aku bertanya pada Miss Franny.
Ia menggeleng. "Kesengsaraan", katanya. "Dunia ini penuh kesengsaraan".
"Tapi bagaimana kau memasukkannya ke permen ?", tanyaku padanya. "Bagaimana caramu memasukkan rasa itu ke sana ?"
"Itulah rahasianya", ia berkata. "Itulah sebabnya Littmus memperoleh banyak untung. Ia membuat permen yang terasa manis sekaligus sedih".
"Boleh aku minta satu lagi untuk temanku Gloria Dump " Dan satu lagi untuk kubawa ke Otis di Toko Binatang Gertrude " Dan satu lagi untuk sang pendeta " Dan satu untuk Sweetie Pie juga ?".
"Kau boleh mengambil sebanyak yang kau mau", kata Miss Franny.
Jadi kujejali saku-sakuku sampai penuh dengan Littmus Lozenge dan kuucapkan terima kasih pada Miss Franny atas ceritanya. Aku meminjam Gone With The Wind (yang sangat tebal) dan kusuruh Winn-Dixie bangun. Kami berdua pergi dan mendatangi rumah Gloria Dump. Aku bersepeda melewati rumah keluarga Dewberry. Dunlap dan Stevie sedang main bola di halaman dan aku bersiap-siap menjulurkan lidah pada mereka ; namun aku lalu teringat perkataan Miss Franny, tentang perang yang bagai neraka, dan aku memikirkan apa yang diucapkan Gloria Dump, tentang tidak boleh berpikiran jelek tentang mereka. Jadi aku melambai saja. mereka bengong menatapku ; tapi ketika aku hampir berlalu dari hadapan mereka, kulihat Dunlap mengangkat satu tangan dan balas melambai.
"Hei", ia berteriak. "Hei, Opal".
Aku makin bersemangat melambai dan teringat pada Amanda Wilkinson dan betapa asyiknya karena ia menyukai cerita yang bagus, seperti aku. Dan aku jadi bertanya-tanya lagi " siapa Carson "
Bab Delapan Belas Sesampainya kami di rumah Gloria Dump, kuberitahu dia aku punya dua kejutan untuknya dan bertanya mana yang diinginkannya duluan, yang kecil atau yang besar.
"Yang kecil", kata Gloria.
Kuserahkan Littmus Lozenge padanya dan ia menggerak-gerakkannya di tangannya, merasakannya.
"Permen ?", ia bertanya.
"Ya, Ma"am", aku memberitahunya, "Namanya Littmus Lozenge".
"Oh, Tuhan, ya. Aku ingat permen-permen ini. Ayahku dulu suka memakannya". Ia membuka bungkus Littmus Lozenge dan memasukkannya ke mulut, lalu mengangguk.
"Kau suka ?", aku bertanya padanya.
"Mmmm-hmmm". Ia menganguk perlahan. "Rasanya manis. Tapi ada juga rasa seolah orang-orang pergi".
"Maksudmu sedih ?", tanyaku. "Apakah menurutmu rasanya seperti kesengsaraan ?".
"Benar", ia menjawab. "Rasanya penuh kesengsaraan tapi manis. Nah, apa kejutan nomor dua ?".
"Buku", kataku.
"Buku ?". "He-eh", aku berkata. "Aku akan membacakannya keras-keras untukmu. Judulnya Gone With The Wind. Miss Franny bilang ini buku hebat. Tentang Perang Saudara. Kau tahu mengenai perang Saudara ?".
"Aku satu-dua kali pernah mendengarnya disebut-sebut", ujar Gloria, mengangguk-ngangguk dan mengisap Littmus Lozenge- nya.
"Kita kan butuh waktu lama untuk membaca buku ini", aku memberitahunya. "Tebalnya seribu tiga puluh tujuh halaman".
"Wuuuiiii", kata Gloria. Ia bersandar di kursi dan melipat tangan di atas perut. "Kalau begitu, sebaiknya kita mulai saja".
Jadi kubacakan bab pertama Gone With The Wind dengan suara keras pada Gloria Dump. Aku membacanya cukup keras untuk mengusir hantu-hantunya. Dan Gloria mendengarkan dengan cermat. Dan setelah aku selesai, ia bilang itu kejutan terasyik yang pernah diterimanya dan ia tak sabar untuk mendengar bab dua.
Malam itu aku memberi sang pendeta Littmus Lozenge-nya tepat sebelum ia menciumku menjelang tidur.
"Apa ini ?", ia bertanya.
"Permen yang diciptakan kakek buyut Miss Franny. Namanya Littmus Lozenge".
Sang pendeta membuka bungkusnya dan memasukkannya ke mulut, dan satu menit kemudian ia mulai menggosok-gosok hidung dan menganguk-ngangguk.
"Daddy menyukainya ?", aku bertanya.
"Rasanya tidak biasa" "
"Root beer ?", tanyaku.
"Yang lain ?". "Stroberi ?". "Itu juga. Tapi tetap ada yang lain. aneh ".
Aku bisa melihat sang pendeta makin lama makin menjauh. Ia menaikkan bahu dan menurunkan dagu, bersiap-siap menarik kepala ke balik tempurungnya.
"Rasanya hampir seperti melankolis sedikit", katanya.
"Melankolis " Apa itu".
"Sedih", sahut sang pendeta. Digosok-gosoknya hidungnya lagi. "Aku jadi teringat ibumu".
Winn-Dixie mengendus bungkus permen di tangan sang pendeta.
"Rasanya sedih", ia berkata, dan mendesah. "Pasti produk salah bikin".
"Bukan", kataku padanya. Aku dudk tegak di tempat tidur. "Memang begtiu rasanya. Littmus pulang dari perang dan seluruh keluarganya telah meninggal. Ayahnya tewas dalam pertempuran. Dan mamanya serta saudara-saudara perempuannya meninggal karena penyakit dan para Yankee membumihanguskan rumahnya. Dan Littmus sedih, sangat sedih, dan yang paling diinginkannya di dunia melebihi apa pun adalah sesuatu yang manis. Jadi ia mendirikan pabrik permen dan membuat Littmus Lozenge, dan ia memasukkan semua kesedihan yang dirasakannya ke dalam permen itu.
"Ya, ampun", ujar sang pendeta.
Winn-Dixie menarik bungkus permen dari tangan sang pendeta dan mulai mengunyahnya. "Berikan padaku", aku berkata pada Winn-Dixie. Tapi ia tidak mau menyerahkannya. Aku terpaksa merogoh ke dalam mulutnya dan menariknya keluar. "Kau tidak boleh makan bungkus permen", omelku.
Sang pendeta berdeham. Kukira ia akan mengatakan sesuatu yang penting, mungkin memberitahukan hal lain yang diingatnya mengenai mamaku ; namun ia ternyata hanya bilang, "Opal, aku bicara dengan Mirs. Dewberry kemarin dulu. Katanya Stevie bilang kau menjulukinya bayi gundul".
"Benar", aku menyahut. "Aku memang menjulukinyabegitu. Tapi ia selalu mengatai Gloria Dump penyihir, dan ia menyebut Otis cacat mental. Dan ia bahkan pernah bilang mamanya mengatakan aku seharusnya tidak menghabiskan seluruh waktuku bersama ibu-ibu tua. Begitu katanya".
"Menurutku sebaiknya kau minta maaf", sang pendeta berkata.
"Aku ?", tukasku.
"Ya", jawabnya. "Kau. Kukatakan pada Stevie kau minta maaf kalau ada ucapanmu yang menyinggung perasaannya. Aku yakin ia hanya ingin menjadi temanmu".
"Kurasa tidak", aku membantah. "Kurasa ia tidak mau menjadi temanku".
"Ada orang yang menggunakan cara yang aneh untuk memperoleh taman", ia berkata. "Kau harus minta maaf".
"Ya, Sir", kataku. Lalu aku teringat pada Carson. "Daddy", aku berkata, "Daddy tahu informasi tentang Amanda Wilkinson ?".
"Informasi seperti apa ?".
"Apakah Daddy tahu sesuatu mengenai dia dan seseorang bernama Carson ?".
"Carson adik laki-lakinya. Ia tenggelam tahun lalu".
"Ia meninggal ?".
"Ya", jawab sang pendeta. "Keluarganya masih sangat sedih".
"Berapa umurnya ?".
"Lima", kata sang pengdeta. "Ia baru berumur lima tahun".
"Daddy", kataku, "kok Daddy bisa tidak memberitahuku informasi seperti itu ?".
"Tragedi orang lain tidak boleh dijadikan bahan obrolan. Aku tidak punya alasan untuk memberitahumu".
"Aku cuma perlu tahu kok", aku berkata. "Sebab itu menjelaskan tentang diri Amanda. Pantas saja mukanya selalu kusut".
"Apa maksudmu ?", sang pendeta bertanya.
"Bukan apa-apa", jawabku.
"Selamat malam, India Opal", kata sang pendeta.
Ia membungkuk dan menciumku, dan aku mencium bau root beer, stroberi, dan kesedihan yang bercampur dalam napasnya. Ia menepuk kepala Winn-Dixie, bangun, dan mematikan lampu, kemudian menutup pintu.
Aku tidak langsung tidur. Aku berbaring saja dan memikirkan bagaiman ahidup Littmus Lozenge, bagimana rasa manis dan sedih bersatu dan betapa sulitnya memisahkan mereka. Membingungkan.
"Daddy !", aku berteriak.
Beberapa saat kemudian ia membuka pintu dan memandangku dengan alis terangkat.
"Apa kata yang Daddy ucapkan tadi " Kata yang artinya sedih ?".
"Melankolis", jawabnya.
"Melankolis", aku mengulangi. Aku suka bunyinya, seakan ada musik yang tersembunyi di suatu tempat di dalamnya.
"Selamat malam", ujar sang pendeta.
"selamat malam", balasku.
Aku turn dari tempat tidur dan membuka sebungkus Littmus Lozenge, lalu mengisapnya kuat-kuat sambil memikirkan mamaku yang meninggalkanku. Itu perasaan yang melankolis. Kemudian aku memikirkan Amanda dan Carson. Dan itu juga membuatku merasa melankolis. Amanda yang malang. Dan Carson yang malang. Ia seumur dengan Sweetie Pie. Namun Carson takkan pernah mengadakan pesta ulang tahun keenam.
| lanjut | kembali | atas | bawah | daftar isi | depan
Bab Sembilan Belas Pagi harinya, aku dan Winn-Dixie pergi untuk menyapu toko binatang, dan kubawa Littmus Lozenge untuk Otis.
"Sekarang hari Haloween ?", Otis bertanya waktu aku memberinya permen.
"Bukan", kataku. "Kenapa ?".
"Yah, kau memberiku permen".
"Cuma hadiah biasa", aku memberitahunya. "Untuk hari ini".
"Oh", kata Otis. Ia membuka bungkus Littmus Lozenge dan memasukkannya ke mulut. Dan semenit kemudian air mata mengalir di wajahnya.
"Terima kasih", katanya.
"Kau suka ?", aku bertanya.
Ia mengangguk. "Enak, tapi ada juga rasa seperti dipenjara".
"Gertrude", Gertrude berkaok. Ia mengambil bungkus Littmus Lozenge dengan paru, lalu menjatuhkannya dan memandang berkeliling. "Gertrude !", ia memekik lagi.
"Kau tidak boleh makan permen", aku memberitahunya. "Ini bukan buat burung". Lalu, secepat kilat, sebelum kehilangan keberanian, aku berkata, "Otis, kenapa kau dipenjara " Apakah kau pembunuh ?".
"Tidak, Ma"am", jawabnya.
"Apakah kau pencuri ?".
"Tidak, Ma"am", kata Otis lagi. Ia mengisap permen dan menunduk memandangi sepatu botnya yang berujung lancip.
"Kau tidak perlu memberitahuku", aku berkata. "Aku cuma penasaran".
"Aku bukan orang yang berbahaya", ujar Otis, "kalau itu yang kaukira. Aku kesepian. Namun aku tidak berbahaya".
"Oke", kataku. Dan aku pergi ke ruang belakang untuk mengambil sapu. Ketika aku keluar lagi, Otis masih berdiri di tempat aku meninggalkannya tadi, masih menunduk memandangi kakinya.
"Musik penyebabnya", ia berkata.
"Penyebab apa ?", tanyaku.
"Penyebab aku dijebloskan ke penjara. Gara-gara musik".
"Apa yang terjadi ?".
"Aku tidak mau berhenti main gitar. Dulu aku bermain di jalanan dan kadang-kadang orang memberiku uang. Aku melakukannya bukan karena uang. Aku melakukannya karena musiknya lebih baik kalau ada yang mendengarkannya. Begitulah, polisi datang, dan mereka menyuruhku berhenti. Kata mereka aku melanggar hukum, dan selama mereka berbicara padaku, aku terus memainkan musikku. Dan itu menyebabkan mereka marah sekali. Mereka mencoba memborgolku". Ia menghela napas. "Aku tidak suka. Aku takkan dapat memetik gitar kalau dipasangi borgol".
"Setelah itu apa yang terjadi ?", aku bertanya padanya.
"Kupukul mereka", ia berbisik.
"Kau memukul polisi ?".
"He-he. Salah satu di antara mereka. Kutinju dia. Lalu aku masuk penjara. Dan mereka mengurungku dan tidak mengijinkan aku memegang gitar. Dan ketika akhirnya mengeluarkan aku, mereka membuatku berjanji takkan pernah main gitar lagi di jalanan". Ia mendongak memandangku cepat sekali, lalu kembali menekuri sepatu botnya. "Dan aku mematuhinya. Aku hanya memainkannya di sini. Untuk para binatang. Gertrude, Gertrude yang manusia, ia memiliki toko ini, dan ia memberiku pekerjaan ini ketika ia membaca tentang diriku di surat kabar. Katanya tidak apa-apa kalau aku bermain musik untuk para binatang".
"Kau bermain musik untuk aku, Winn-Dixie, dan Sweetie Pie", kataku.
"Yeah", ia menyetujui. "Tapi kau kan tidak berada di jalanan".
"Terima kasih kau menceritakannya padaku, Otis", aku berkata.
"Tidak apa-apa", sahutnya. "Aku tidak keberatan kok".
Sweetie Pie masuk dan kuberi dia Littmus Lozenge. Ia langsung meludahkannya. Katanya rasanya tidak enak. Ia bilang rasanya seperti tidak punya anjing.
Hari itu aku menyapu lantai sangat pelan. Aku ingin menemani Otis. Aku tidak ingin ia kesepian. Kadang-kadang rasanya semua orang di dunia ini kesepian. Aku memikirkan mamaku. Memikirkan dia sama seperti lubang yang terus kausentuh dengan lidahmu setelah gigimu copot. Berkali-kali pikiranku terus menuju tempat yang kosong itu, tempat di mana aku merasa ia seharusnya berada.
Bab Dua Puluh Ketika aku bercerita pada Gloria Dump tentang Otis dan mengapa ia ditangkap, wanita itu tertawa begitu keras sampai ia harus memegangi gigi palsunya supaya tidak jatuh dari mulutnya.
"Wuuuiii", katanya ketika akhirnya berhenti tertawa. "Dia memang penjahat yang berbahaya".
"Ia orang yang kesepian", aku berkata padanya. "Ia hanya ingin bermain musik untuk seseorang".
Gloria mengusap mata dengan tepi gaunnya. "Aku tahu, Manis", ujarnya. "Tapi kadang hal-hal begitu menyedihkan sehingga terasa lucu".
"Kau mau tahu yang lain ?", aku bertanya, masih memikirkan hal-hal sedih. "Anak perempuan yang kuceritakan padamu duku itu, si muka kusut Amanda " Yah, adiknya tenggelam tahun lalu. Bocah laki-laki itu baru berumur lima tahun, seumur dengan Sweetie Pie Thomas".
Gloria berhenti tersenyum. Ia mengangguk. "Aku ingat pernah mendengar tentang hal tersebut", katanya. "Aku ingat pernah dengar mengenai anak laki-laki kecil yang tenggelam".
"Itulah sebabnya muka Amanda begitu kusut", aku berkata. "Ia merindukan adiknya".
"Jelas", Gloria menimpali.
"Apakah menurutmu semua orang merindukan seseorang " Seperti aku merindukan mamaku ?"
"Mmmm-hmmm", Gloria menggumam. Dipejamkannya matanya. "Aku percaya, kadang-kadang, seluruh dunia merana".
Aku tak tahan memikirkan hal "hal menyedihkan yang tidak bisa dihindarkan lagi, jadi aku berkata, "Kau mau mendengarkan lanjutan Gone With The Wind ?".
"Ya, mau", jawab Gloria. "Aku menunggunya seharian ini. Ayo kita lihat apa yang akan dilakukan Miss Scarlett sekarang".
Kubuka Gone With The Wind dan mulai membaca, namun aku selalu memikirkan Otis, cemas karena ia tidak diijinkan main gitar untuk orang-orang. Di dalam buku, Scarlett tak sabar ingin menghadiri pesta besar yang akan penuh musik dan makanan. Saat itulah aku mendapat ilham.
"Itu yang harus kita lakukan", kataku. Kututup buku dengan suara keras. Kepala Winn-Dixie mencuat dari kolong kursi Gloria. Ia memandang berkeliling dengan gelisah.
"Hah ?", kata Gloria Dump.
"Bikin pesta", aku memberitahunya. "Kita perlu mengadakan pesta dan mengundang Miss Franny Block, sang pendeta, dan Otis, dan Otis bisa memainkan gitarnya untuk semua orang. Sweetie Pie boleh datang juga. Ia senang mendengarkan musik Otis".
"Siapa "kita" ?", tanya Gloria.
?"Kita" kau dan aku. Kita dapat menyediakan makanan dan membuat pesta di halamanmu ini".
"Hmmm", Gloria Dump menggumam.
"Kita bisa membuat roti isi selai kacang dan memotongnya jadi segi tiga supaya kelihatan bagus".
"Ya, Tuhan", ujar Gloria Dump, "aku tidak tahu apakah seluruh dunia menyukai selai kacang seperti kau, aku, dan anjing ini".
"Oke kalau begitu", kataku, "kita bisa membuat roti isi salad telur. Orang dewasa menyukainya".


Because Of Winn Dixie Karya Kate Dicamillo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kau tahu cara membuat salad telur ?".
"Tidak, Ma"am", aku menjawab. "Aku tidak punya mama yang bisa mengajarkan hal-hal seperti itu padaku. Tapi aku yakin kau tahu. Aku berani bertaruh kau dapat mengajariku. Tolong ya ?".
"Mungkin", sahut Gloria Dump. Dipegangnya kepala Winn-Dixie. Ia tersenyum padaku. Aku tahu ia mengiyakan permintaanku.
"Terima kasih", aku berkata. Kudekati dia dan kupeluk. Erat-erat. Winn-Dixie mengibas-ngibaskan ekor dan berusaha menyusup di antara kami berdua. Ia tidak tahan kalau tidak dilibatkan dalam apa pun.
"Pestanya akan jadi pesta paling asyik sepanjang jaman", aku berkata pada Gloria.
"Tapi kau harus berjanji padaku", ujar Gloria.
"Baiklah", kataku.
"Kau harus mengundang bocah-bocah Dewberry".
"Dunlap dan Stevie ?".
"Hmmm-mmm, takkan ada pesta kalau kau tidak mengundang mereka".
"Harus, ya ?". "Ya", jawab Gloria Dump. "Kau berjanji padaku".
"Aku berjanji", kataku. Aku tidak menyukai idenya. Namun aku berjanji.
Aku langsung mulai mengundang orang-orang. Yang pertama kutanya adalah sang pendeta.
"Daddy", aku memanggil.
"Opal", balas sang pendeta.
"Daddy, aku, Winn-Dixie, dan Gloria Dump akan membuat pesta".
"Yah", sang pendeta berkata, "baguslah. Selamat bersenang-senang".
"Daddy", kataku lagi. "aku memberitahu Daddy karena Daddy diundang".
"Oh", ujar sang pendeta. Digosok-gosoknya hidungnya. "Begitu".
"Daddy bisa datang ?", aku bertanya padanya.
Ia mendesah. "Menurutku, mengapa tidak ?", katanya.
Miss Franny Block langsung menyukai ide itu. "Pesta !", ia berseru, dan bertepuk tangan.
"Ya, Ma"am", aku berkata. "Mirip pesta panggang di Twelve Oaks dalam Gone With The Wind. Hanya saja yang diundang tidak terlalu banyak, dan kami akan menghidangkan roti isi salad telur, bukan daging panggang".
"Kedengarannya asyik", Miss Franny menanggapi. Lalu ia menunjuk bagian belakang perpustakaan dan berbisik, "Mungkin sebaiknya kauajak Amanda juga".
"Ia mungkin tidak bakal mau datang", aku menukas. "Ia tidak terlalu menyukai aku".
"Ajak saja dulu, dengar apa jawabannya", Miss Franny berbisik.
Jadi aku melangkah ke bagian belakang perpustakaan dan meminta Amanda Wilkinson dengan suaraku yang paling sopan untuk datang ke pestaku. Ia memandang berkeliling dengan gelisah.
"Pesta ?", ia bertanya.
"Ya", jawabku. "Aku akan senang sekali kalau kau bisa datang".
Ia memandangiku dengan mulut ternganga. "Oke", katanya beberapa saat kemudian. "Maksudku, ya. Terima kasih. Dengan senang hati aku akan datang".
Dan seperti yang kujanjikan pada Gloria, aku mengundang bocah-bocah Dewberry.
"Aku tidak sudi datang ke pesta di rumah penyihir", kata Stevie.
Dunlap menyikut keras Stevie. "Kami akan datang", ia berkata.
"Tidak mau", Stevie menukas. "Penyihir itu bisa-bisa akan memasak kita dalam panci tuanya yang besar".
"Aku tidak peduli kalian datang atau tidak", aku memberitahu mereka. "Aku mengundang kalian hanya karena aku sudah berjanji melakukannya".
"Kami akan hadir", Dunlap mengulangi. Dan ia mengangguk padaku dan tersenyum
Sweetie Pie sangat bersemangat waktu aku mengundangnya.
"Apa temanya ?", ia bertanya.
"Yah, tidak ada", jawabku.
"Kau harus merencanakan temanya", ia berkata padaku. Dimasukannya buku jarinya ke dalam mulut, lalu ditariknya keluar lagi. "Bukan pesta namanya kalau tidak ada tema. Anjing ini akan ikut ?", tanyanya. Ia merangkul Winn-Dixie dan memeluknya begitu kuat sehingga mata anjingku itu nyaris copot.
"Ya", aku menjawab.
"Bagus", katanya. "Kau bisa membuat itu jadi temanya. Pestanya bisa bertema anjing".
"Akan kupikirkan", kataku padanya.
Orang terakhir yang kuundang adalah Otis. Kuberitahu dia segalanya tentang pesta itu dan bahwa ia diundang. Ia berkata, "Tidak, terima kasih".
"Kenapa ?", tanyaku.
"Aku tidak suka pesta", jawab Otis.
"Tolong", aku memohon. "Pestanya kurang lengkap kalau kau tidak datang. aku bersedia menyapu, beres-beres, dan bersih-bersih gratis selama seminggu penuh. Kalau kau datang ke pestaku, itulah yang akan kulakukan".
"Seminggu penuh gratis ?", Otis mengulangi, sambil mengangkat kepala untuk memandangku.
"Ya, Sir", aku berkata.
"Tapi aku tidak harus berbicara dengan orang-orang, kan ?"
"Tida, Sir", kataku. "Tidak harus. Tapi bawa gitarmu. Mungkin kau bisa main musik untuk kita".
"Mungkin", ujar Otis. Ia menunduk menatap sepatu botnya secepat kilat, berusaha menyembunyikan senyum.
"Terima kasih", aku berkata padanya. "Terima kasih kau memutus kan datang".
Bab Dua Puluh Satu Setelah aku berhasil meyakinkan Otis untuk datang, persiapan selanjutnya bagi pestaku terasa gampang dan mengasyikkan. Aku dan Gloria memutuskan mengadakan pestanya malam hari, ketika udara lebih sejuk. Dan siang hari sebelumnya, kami bekerja di dapur Gloria dan membut roti isi salad telur. Kami membaginya menjadi bentuk segi tiga, memotong kulitnya, dan menusukkan tusuk gigi dengan kepala berhias. Winn-Dixie duduk di dapur dan memandangi kami terus. Ia tanpa henti mengibas-ngibaskan ekor.
"Anjing itu pasti mengira kita membuat roti-roti isi ini buat dia", kata Gloria Dump.
Winn-Dixie memamerkan semua giginya pada Gloria.
"Ini bukan untukmu", kata wanita itu padanya.
Tapi ketika ia mengira aku tidak melihat, ia memberi Winn-Dixie sepotong roti isi salad telur, tanpa tusuk gigi.
Kami juga membuat punch-sari buah campur soda. Kami mencampur jus jeruk, jus anggur, dan soda dalam mangkuk besar. Gloria menyebutnya Dump Punch. Katanya ia terkenal di seluruh dunia karena minuman itu. Tapi aku tidak pernahmendengarnya sebelum ini.
Hal terakhir yang kami lakukan adalahmenghias halaman rumah. Kugantung pita-pita dan kertas crepe warna merah jambu, jingga, dan kuning di pepohonan supaya halaman tampak meriah. Kami juga mengisi kantong-kantong kertas dengan pasir dan menaruh lilin di situ, dan tepat sebelum waktunya memulai pesta, aku berkeliling dan menyalakan semua lilin. Halaman rumah Gloria Dump jadi seperti negeri peri.
"Mmm-hmmm", kata Gloria Dump, sambil memandang sekitarnya. "Orang yang matanya rabun sekalipun bisa melihat ini pemandangan indah".
Memang indah. Pemandangannya begitu indah sehingga hatiku terasa aneh, seakan membengkak dan penuh, dan aku berharap sepenuh hati aku tahu di mana mamaku supaya ia dapat datang ke pesta ini juga.
Miss Franny Block yang pertama datang. ia memakai gaun hijau cantik yang berkilau dan mengilap. Dan ia mengenakan sepatu berhak tinggi yang membuatnya berjalan terhuyung-huyung. Bahkan ketika berdiri diam pun, ia masih tampak terhuyung-huyung sedikit, seakan berdiri di dalam perahu. Ia membawa semangkuk besar permen Littmus Lozenge. "Aku membawa sedikit pencuci mulut", katanya, seraya menyerahkan mangkuk itu padaku.
"Terima kasih", aku berkata. Kutaruh mangkuk tersebut di samping roti-roti isi salad telur dan punch. Kemudian kuperkenalkan Miss Franny pada Gloria, dan mereka bersalaman dan bertukar sapa dengan sopan.
Lalu ibu Sweetie Pie datang mengantarkan Sweetie Pie. Sweetie Pie membawa banyak sekali gambar anjing yang diguntingnya dari majalah-majalah. "Ini untuk membantumu membuat tema pesta", ia berkata. "Kau bisa menggunakannya untuk dekorasi. Aku bawa selotip juga". Dan ia mulai berkeliling untuk menempelkan gambar-gambar anjing tersebut di pepohonan, kursi, dan meja.
"Sepanjang hari ini tidak ada yang dibicarakannya selain pesta ini", ibunya memberitahu kami. "Bisakah kau mengantarkannya pulang setelah pesta ini selesai ?".
akuberjanji akan emngantarkannya, lalu kuperkenalkan Sweetie Pie pada Miss Franny dan Gloria, dan tepat setelah itu sang pendeta muncul. Ia mengenakan jas dan dasi dan tampak sangat serius. Ia berjabatan tangan dengan Gloria Dump dan Miss Franny, lalu mengatakan betapa senang ia bertemu mereka berdua dan betapa ia selalu mendengar hal-hal yang positif mengenai mereka. Ia menepuk-nepuk kepala Sweetie Pie dan bilang gembira bertemu anak itu di luar gereja. Dan sepanjang waktu Winn-Dixie berdiri tepat di tengah orang-orang, melambai-lambaikan ekor begitu kuat sehingga aku yakin ia akan menumbangkan Miss Franny dari sepatu hak tingginya.
Amanda Wilkinson datang dan rambut pirangnya digulung. Ia tampak malu-malu dan tidak sejudes biasanya. Aku berdiri sangat dekat dengannya dan memperkenalkannya pada Gloria Dump. Aku terkejut menyadari betapa senangnya aku bertemu Amanda. Dan aku ingin memberitahunya aku mengerti mengenai kehilanagn orang, namun aku tidak bilang apa-apa. Aku hanya bersikap ekstraramah.
Kami berdiri dan saling tersenyum, bersikap agak gugup, ketika suara yang sangat melengking berkata, "Gertrude burung yang cantik".
Telinga Winn-Dixie langsung mencuat dikepalanga, dan ia menyalak sekali, lantas memandang berkeliling. Aku mencari-cari juga, namun tidak melihat Gertrude. Atau Otis.
"Aku akan segera kembali", kataku pada semua orang. Aku dan Winn-Dixie berlari mengitari rumah ke bagian depan. Dan tampaklah Otis, berdiri di trotoar. Ia menyandang gitar di punggung dan Gertrude bertengger di bahunya. Ia juga membawa stoples acar paling besar yang pernah kulihat seumur hidupku.
"Otis", aku memanggilnya, "ayo ke belakang, pestanya di sana".
"Oh", katanya. Namun ia tidak bergerak. Ia berdiri saja di sana, memegang stoples acarnya.
"Anjing", pekik Gertrude. Ia terbang dari bahu Otis dan mendarat dikepala Winn-Dixie.
"Tidak apa-apa, Otis", aku berkata padanya. "Cuma ada beberapa orang kok, tidak banyak".
"Oh", kata Otis lagi. Ia memandang ke sekitarnya seolah tersesat. Kemudian ia mengangkat stoples acar. "Aku membawa acar", katanya.
"Aku melihatnya", kataku. "Memang, itulah yang kita butuhkan. Acar pas sekali dengan roti isi salad telur". Aku berbicara padanya dengan sangat halus, lembut, dan pelan, seakan ia binatang liar yang kuinginkan makan dari tanganku.
Ia maju selangkah kecil. "Ayo", aku berbisik. Aku mulai berjalan dan Winn-Dixie mengikutiku. Dan ketika aku berbalik, aku melihat Otis mengikutiku juga.
Bab Dua Puluh Dua Otis terus mengikutiku sampai ke halaman belakang, tempat pesta diadakan. Sebelum ia sempat melarikan diri, kuperkenalkan ia pada sang pendeta.
"Daddy", aku berkata, "ini Otis. Ia yang mengelola Toko Binatang Gertrude. Ia yang pandai sekali main gitar".
"Apa kabar ?", sang pendeta menyapa. Ia mengulurkan tangan pada Otis. Dan Otis berdiri di sana dan memindah-mindahkan stoples besar berisi acar, berusaha membebaskan salah satu tangannya untuk disodorkan pada sang pendeta. Akhirnya ia membungkuk dan meletakkan stoples di tanah. Namun ketika ia melakukan itu, gitarnya tergelincir ke depan dan menghantam kepalanya, berbunyi dung pelan. Sweetie Pie tertawa dan menunjuknya seakan Otis sengaja berbuat begitu untuk membuatnya tertawa.
"Aduh", kata Otis. Ia berdiri tegak kembali dan melepaskan gitar lewat bahu, lantas menaruhnya di tanah di samping stoples acar. Setelah itu ia mengelap tangannya di celana dan mengulurkannya pada sang pendeta, yang menerimanya dan berkata, "Senang bersalaman denganmu".
"Terima kasih", jawab Otis. "Aku membawa acar".
"Aku melihatnya", sang pendeta menyahut.
Setelah sang pendeta dan Otis selesai bersalaman, aku memperkenalkan Otis pada Miss Franny Block dan Amanda.
Selanjutnya kuperkenalkan ia pada Gloria Dump. Gloria menjabat tangannya dan tersenyum padanya. Otis menatap matanya dan balas tersenyum. Ia tersenyum lebar.
"Aku membawakan acar untuk pesta Anda", kata Otis padanya.
"Dan aku senang sekali", sahutnya. "Pesta tidak lengkap kalau tanpa acar".
Otis menunduk memandang stoples besar berisi acar yang dibawanya. Wajahnya merah padam.
"Opal", Gloria memanggil, "kapan anak-anak lelaki itu datang ?".
"Aku tidak tahu", kataku. Aku mengangkat bahu. "Aku sudah memberitahu mereka pukul berapa kita mulai". Yang tidak kukatakan pada Gloria adalah mereka barangkali tidak akan datang, sebab mereka takut menghadiri pesta di rumah penyihir.
"Yah", ujar Gloria. "Kita punya roti isi salad telur. Kita punya Dump Punch. Kita punya gambar-gambar anjing. Kita punya Littmus Lozenge. Dan kita punya pendeta, yang bisa memberkati pesta ini untuk kita".
Gloria Dump menoleh pada sang pendeta.
Sang pendeta mengangguk pada Gloria dan berdeham, kemudian berkata, "Tuhan yang baik, terima kasih untuk malam-malam musim panas yang hangat, cahaya lilin, dan makanan yang lezat. Tapi terutama terima kasih untuk para sahabat. Kami berterima kasih untuk karunia-karunia rumit dan indah yang Kauberikan pada kami dalam diri kami masing-masing. Dan kami berteima kasih untuk tugas yang Kauserahkan pada kami, yaitu saling menyayangi sebaik mungkin, seperti Kau menyayangi kami. Kami berdoa dalam nama Kristus. Amin.
"Amin", kata Gloria Dump.
"Amin", aku berbisik.
"Gertrude", Gertrude berkaok.
"Kita mau makan sekarang ?", tanya Sweetie Pie.
"Ssst", kata Amanda.
Winn-Dixie bersin. Terdengar bunyi guntur di kejauhan. Mula-mula kukira itu suara perut Winn-Dixie yang keroncongan.
"Mestinya tidak hujan", Gloria Dump berkata. "Kata ramalan cuaca tidak akan hujan".
"Gaun ini dari sutra", ujar Miss Franny Block. "Tidak boleh kena air".
"Mungkin sebaiknya kita ke dalam saja", Amanda menimpali.
Sang pendeta memandang langit.
Dan tepat pada saat itu, hujan turun dengan deras.
"Selamatkan roti-rotinya", Gloria Dump berseru padaku. "Selamatkan punch-nya".
"Aku mengambil gambar-gambar anjingku", pekik Sweetie Pie. Ia berlarian ke sana kemari, menarik gambar "gambar itu dari pepohonan dan kursi-kursi. "Jangan khawatir", ia terus berteriak. "Sudah kukumpulkan".
Kusambar piring tempat roti-roti isi salad telur dan sang pendeta menyambar punch, lalu kami berlari ke dapur membawanya. Waktu berlari kembali ke luar, aku melihat Amanda memegangi Miss Franny Block dan menolongnya masuk rumah. Miss Franny begitu goyah dengan sepatu berhak tingginya sehingga hujan pasti akan bisa menumbangkannya kalau Amanda tidak memeganginya.
Kucengkeram lengan Gloria Dump.
"Aku tidak apa-apa", katanya. Namun ia memegang lenganku dan berpegangan kuat-kuat.
Aku memandang ke sekeliling kebun sebelum kami pergi. Semua kertas crepe hancur dan lilin-lilin padam, kemudian aku melihat Otis. Ia berdiri di sebelah stoples acarnya, menunduk memandang kakinya.
"Otis", aku berseru di tengah hujan, "kemari, kita masuk saja".
Sesampainya kami di dapur, Amanda dan Miss Franny sedang tertawa dan menggoyang-goyang tubuh seperti anjing kehujanan.
"Deras sekali hujannya", ujar Miss Franny. "Hebat ya ?".
"Betul "betul mendadak", sang pendeta menimbrung.
"Wuuuiii", kata Gloria.
"Anjing", Gertrude berkoak. Kupandang ia. Ia duduk di meja dapur. Guntur menggelegar dan berderak-derak.
"Oh, tidak", kataku. Kupandang sekeliling dapur.
"Jangan khawatir", Sweetie Pie berkata. "Sudah kuselamatkan gambar-gambar anjingnya. Ada di sini semua". Ia melambai-lambaikan kumpulan halaman majalahnya.
"Mana Winn-Dixie ?", aku memekik. "Aku melupakan dia. Aku tadi sibuk memikirkan pesta dan lupa tentang Winn-Dixie. Aku lupa melindunginya dari guntur".
"Sudahlah, Opal", ujar sang pendeta, "ia mungkin ada di halaman, bersembunyi di kolong kursi. Ayo, kita cari".
"Tunggu", kata Gloria Dump, "biar kuambilkan kalian senter dan payung".
Tapi aku tidak ingin menunggu. Aku langsung lari keluar ke halaman. Kucari di kolong semua kursi dan di dekat semua semak dan pepohonan. Kupanggil namanya keras-keras. Aku ingin menangis. Ini salahku. Seharusnya kupeluk dia. Aku lupa.
"Opal", kudengar sang pendeta memanggil.
Aku mengangkat kepala. Ia berdiri di teras bersama Gloria. Dan Dunlap dan Stevie Dewberry berdiri di sana juga.
"Tamu-tamumu datang", sang pendeta memberitahu.
"Aku tidak peduli", jeritku.
"Ayo ke sini", kata Gloria Dump, suaranya tegas dan serius. Ia menyorotkan senter ke arahku.
Aku berjalan ke teras dan ia menyerahkan senter itu padaku. "Sapa anak-anak lelaki ini", katanya. "Bilang pada mereka kau senang mereka datang dan kau akan segera kembali begitu menemukan anjingmu".
"Hei", kataku. "Terima kasih kalian datang. aku harus menemukan Winn-Dixie, setelah itu aku akan langsung kembali kemari".
Stevie menatapku dengan mulut ternganga lebar.
"Kau mau kubantu ?", Dunlap menawarkan.
Aku menggeleng. Kucoba menahan tangis.
"Sini, Nak", panggil Gloria Dump. Ia meraihku dan menarikku ke dekatnya, kemudian berbisik di telingaku, "Tidak mungkin kau bisa menahan sesuatu yang ingin pergi, kau mengerti " Kau hanya bisa menyayangi apa yang kaumiliki selama kau memilikinya".
Ia meremas tanganku. "Semoga berhasil", serunya, ketika aku dan sang pendeta melangkah turun dari teras dan berjalan di tengah hujan.
"Semoga berhasil", Miss Franny berseru dari dapur.
"Anjing itu tidak tersesat", kudengar Sweetie Pie berseru pada seseorang di dalam. "Anjing itu terlalu pintar untuk bisa tersesat".
Aku berbalik dan memandang, dan hal terakhir yang kulihat adalah cahaya lampu teras yang menyinari kepala botak Dunlap Dewberry. Aku jadi sedih, melihat ia berdiri di teras Gloria, kepalanya yang botak mengilap. Dunlap melihatku memandangnya, dan ia mengangkat tangan untuk melambai padaku. Aku tidak membalasnya.
Bab Dua Puluh Empat Aku dan sang pendeta mulai berjalan dan memanggil-manggil Winn-Dixie. Aku senang hujan lebat, sebab menangis jadi terasa mudah. Aku menangis tanpa henti, sambil terus memanggil Winn-Dixie.
"Winn-Dixie", pekikku.
"Winn-Dixie", sang pendeta berteriak. Kemudian ia bersiul keras dan panjang. Winn-Dixie tetap tidak muncul.
Kami berjalan menyusuri kota. Kami berjalan melewati rumah keluarga Dewberry. Perpustakaan Herman W. Block Memorial, rumah kuning Sweetie Pie, dan Toko Binatang gertrude. Kami berjalan menuju Taman Karavan Friendly Corners dan mencari di kolong karavan kami. Kami pergi ke Gereja Baptis Open Arms of Naomi. Kami melintas rel kereta api dan menyusuri jalan raya Highway 50. Mobil-mobil melesat melewati kami dan lampu belakang mereka menyala merah, bagai mata jahat yang memandangi kami.
"Daddy", aku memanggil. "Daddy, bagaimana kalau ia tertabrak ?".
"Opal", kata sang pendeta. "Kita tidak boleh mengkhawatirkan apa yang mungkin saja terjadi. Yang bisa kita lakukan hanyalah terus mencari".
Kami berjalan terus. Dan di dalam kepalaku aku mulai menulis daftar sepuluh hal yang kuketahui tantang Winn-Dixie, hal-hal yang dapat kutulis di poster besar dan kutempelkan di lingkungan sini, hal-hal yang akan membantu orang mencari anjingku itu.
Nomor satu adalah ia mengidap ketakuan patologis terhadap badai guntur.
Nomor dua adalah ia suka tersenyum, memamerkan semua giginya.
Nomor tiga adalah ia bisa berlari kencang.
Nomor empat adalah ia mendengkur.
Nomor lima adalah ia bisa menangkap tikus tanpa membuatnya remuk.
Nomor enam adalah ia senang bertemu orang-orang.
Nomor tujuh adalah ia menyukai selai kacang.
Nomor delapan adalah ia tidak tahan ditinggal sendirian.
Nomor sembilan adalah ia suka duduk di sofa dan tidur di ranjang.
Nomor sepuluh adalah ia tidak keberatan pergi ke gereja.
Aku terus mengulangi daftar itu dalam kepala. Kuhafal sama seperti aku menghafal daftar sepuluh hal tentang mamaku. Aku mengingatnya supaya kalau tidak menemukan Winn-Dixie, aku akan memiliki sebagian dirinya untuk pegangan. Namun pada saat yang sama aku memikirkan sesuatu yang tak pernah kupikirkan sebelumnya, dan itu adalah bahwa daftar hal-hal tidak bisa menggambarkan Winn-Dixie yang sebenarnya, seperti juga daftar sepuluh hal takkan pernah membuatku mengenal mamaku. Dan memikirkan hal itu menyebabkan aku menangis makin keras.
Aku dan sang pendeta lama mencari ; dan akhirnya ia bilang kami harus berhenti.
"Tapi, Daddy", kataku, "Winn-Dixie masih di luar sana, entah di mana. Kita tidak boleh meninggalkan dia".
"Opal", ujar sang pendeta, "kita sudah mencari ke mana-mana, dan kemampuan kita terbatas".
"Aku tak menyangka Daddy akan menyerah", aku berkata padanya.
"India Opal", kata sang pendeta, sambil menggosok-gosok hidung, "jangan membantah aku".
Aku berdiri dan menatapnya. Hujan sudah mereda sedikit. Sekarang bisa dibilang cuma rintik-rintik.
"Sudah waktunya kita kembali", sang pendeta memberitahu.
"Tidak", aku membantah. "Daddy pergi saja duluan, aku akan terus mencari".
"Opal", sang pendeta memanggil dengan suara sangat lembut. "Sudah waktunya kita menyerah".
"Daddy selalu menyerah", aku memekik. "Daddy selalu menarik kepala Daddy ke balik tempurung kura-kura tua konyol Daddy. Aku yakin Daddy bahkan tidak pergi mencari mamaku waktu ia pergi. Aku yakin Daddy juga membiarkannya kabur bagitu saja".
"Sayang", ujar sang pendeta. "Aku tidak bisa menghentikan dia. Aku sudah berusaha. Apakah menurutmu aku tidak ingin dia tinggal " Apakah menurutmu aku tidak merindukannya setiap hari ?", ia membentangkan tangan lebar-lebar, lalu menurunkannya. "Aku sudah berusaha", katanya. "Aku sudah berusaha". Kemudian ia melakukan sesuatu yang tak bisa kupercaya.
Ia mulai menangis. Sang pendeta menangis. Bahunya naik turun. Dan ia seperti mendengus-dengus. "Dan jangan kaukira hilangnya Winn-Dixie tidak membuat aku sangat sedih juga", ia berkata. "Aku menyayangi anjing itu. Aku juga menyayanginya".
"Daddy", kataku. Aku mendekat dan memeuk pinggangnya. Ia begitu tersedu-sedu sehingga tubuhnya berguncang. "Tidak apa-apa", aku memberitahunya. "Tenang saja. Sssh", aku berkata padanya seakan ia anak kecil yang ketakutan. "Semua akan beres".
Kami berdiri berpelukan dan berayun ke depan dan ke belakang, dan setelah beberapa lama sang pendeta berhenti berguncang dan aku masih memeluknya ; dan akhirnya aku punya keberanian untuk mengajukan pertanyaan yang sudah lama ingin kutanyakan.
"Apakah menurut Daddy mamaku akan kembali ?", bisikku.
"Tidak", jawab sang pendeta. "Tidak, kurasa tidak. Aku sudah berharap, berdoa, dan memimpikannya selama bertahun-tahun. Namun menurutku ia takkan pernah kembali".
"Gloria bilang kita tidak bisa menahan apa pun. Kita hanya bisa menyayangi apa yang kita miliki selama kita memilikinya".
"Ia benar", sang pendeta berkata. "Gloria Dump benar".
"Aku belum rela melepaskan Winn-Dixie", kataku. Aku melupakannya sebentar, gara-gara memikirkan mamaku.
"Kita akan terus mencari", sahut sang pendeta. "Kita berdua akan terus mencarinya. Tapi kau tahu tidak " Aku baru saja menyadari sesuatu, India Opal. Ketika aku bialng mamamu membawa semuanya ketika ia pergi, aku melupakan satu hal, satu hal sangat penting yang ditinggalkannya".
"Apa ?", tanyaku.
"Kau", ia menjawab. "Syukurlah mamamu maninggalkan kau padaku". Dan ia memelukku lebih erat.
"Aku juga senang ada Daddy", kataku padanya. Dan aku sungguh-sungguh. Kuraih tangannya, dan kami mulai melangkah kembali ke kota, sepanjang jalan memanggil-manggil dan bersiul-siul agar Winn-Dixie muncul.
Bab Dua Puluh Lima Kami mendengar suara musik bahkan sebelum kami sampai di rumah Gloria Dump. Kami mendengarnya hampir dari jarak satu blok. Musiknya berupa suara gitar, nyanyian, dan tepuk tangan.
"Ada apa, ya ?", ayahku bertanya.
Kami meyusuri trotoar di depan rumah Gloria dan berjalan ke belakang, melewati halamannya,dan masuk ke dapur, dan kami melihat Otis main gitar, dan Miss Franny dan Gloria duduk tersenyum dan bernyanyi.Gloria memangku Sweetie Pie. Amanda, Dunlap, dan Stevie duduk di lantai dapur, bertepuk tangan mengiringi dan tampak sangat senang. Bahkan Amanda tersenyum. Aku tak habis pikir mengapa mereka bisa begitu bahagia padahal Winn-Dixie hilang.
"Kami tidak menemukannya", aku berteriak pada mereka.
Musik berhenti dan Gloria Dump memandangku, lalu ia berkata, "Nak, kami tahu kalian tidak menemukannya. Kalian tidak menemukannya sebab ia sejak tadi ada di sini".
Ia mengambil tongkatnya dan menunjuk sesuatu di kolong kursi. "Ayokeluar dari sana", katanya.
Terdengar suara sesuatu bergerak dan mendesah.
"Ia tidur", katanya. "Ia cepek sekali".
Ia menggerak-gerakkan tongkat lagi. Dan Winn-Dixie bangun dari kolong kursinya dan menguap.
"Winn-Dixie !", seruku.
"Anjing", Gertrude berkaok.
Winn-Dixie mengibas-ngibaskan ekor dan memamerkan semua giginya padaku, kemudian bersin. Kuterobos semua orang. Aku bersimpuh di lantai dan memeluknya.
"Dari mana saja kau ?", aku bertanya padanya.
Ia menguap lagi. "Bagaimana kau menemukannya ?", tanyaku.
"Nah, ceritanya seru sekali", sahut Miss Franny. "Gloria, bagaimana kalau kau menceritakannya ?".
"Yah", kata Gloria Dump, "kami semua duduk diam menunggu kalian berdua. Dan setelah aku meyakinkan bocah-bocah Dewberry ini bahwa aku bukan tukang sihir menakutkan yang punya segala macam mantra dan ramuan-".
"Ia bukan tukang sihir", Stevie menimbrung. Ia menggelengkan kepalanya yang botak. Ia tampak agak kecewa.
"Ya", timpal Dunlap. "memang bukan. Kalau ya, ia pasti sudah menyihir kami jadi kodok sekarang". Ia nyengir.
"Aku juga bisa memberitahu kalian bahwa ia bukan penyihir. Tidak ada yang namanya penyihir", sahut Amanda. "Penyihir cuma mitos".
"Baiklah", kata Gloria. "Begini kejadiannya : kami selesai membahas urusan sihir-menyihir ini dan Franny berkata, bagaimana kalau kita mendengarkan musik sambil menunggu mereka kembali. Jadi Otis memetik gitarnya. Dan wuuuiii, tak ada lagu yang tidak diketahuinya. Dan kalaupun ia tidak mengetahuinya, ia bisa memainkannya dengan sangat cepat kalau kau menggumamkannya padanya. Ia berbakat".
Gloria berhenti dan tersenyum pada Otis, dan pemuda itu membalasnya. Ia tampak berseri-seri.
"Ceritakan apa yang terjadi", Sweetie Pie ikut bicara. "Ceritakan tentang anjingnya".
"Nah", kata Gloria. "Franny dan aku, kami mulai memikirkan semua lagu yang kami tahu sejak masi hmuda. Kami meminta Otis memainkannya dan kami mulai menyanyikannya, mengajarkan kata-katanya pada anak-anak ini".
"Lalu ada yang bersin", Sweetie Pie berteriak.
"Benar", sahut Gloria. "Ada yang bersin, dania bukan salah satu dari kami. Jadi kami memandang berkeliling, bertanya-tanya siapa yang bersin, mengira mungkin ada pencuri di dalam rumah. Kami memandang ke sana kemari dan tidak melihat apa-apa, jadi kami mulai bernyanyi lagi. Dan terdengar bunyi atchiii yang keras lagi. Kedengarannya berasal dari kamarku. Jadi kusuruh Otis ke sana. Kubilang, "Otis, masuklah ke sana dan lihat siapa yang bersin". Jadi Otis pun pergi. Dan kau tahu apa yang ditemukannya ?".
Aku menggeleng. "Winn-Dixie !", pekik Sweetie Pie.
"Anjingmu itu bersembunyi di kolong tempat tidurku, berjejalan di sana seolah dunia akan kiamat. Namun ia tersenyum konyol setiap kali ia mendengar Otis main gitar, tersenyum begitu lebar sampai bersin".
Ayahku tertawa. "Benar", kata Miss Franny.
"Itu yang sebenarnya", timpal Stevie.
Dunlap mengangguk dan tersenyum tepat padaku.
"Jadi", kata Gloria Dump, "Otis memainkan gitarnya khusus untuk anjing itu, dan, sedikit demi sedikit, Winn-Dixie merayap keluar dari kolong tempat tidur".
"Ia berlumuran debu", Amanda menambahkan.
"Ia kelihatan seperti hantu", timpal Dunlap.
"Yeah", kata Sweetie Pie, "persis hantu".
"Mmmm-hmmm", ujar Gloria. "Kelihatan persis seperti hantu. Nah, badai berhenti beberapa saat kemudian. Dan anjingmu duduk di kursiku. Dan tertidur. Dan di sanalah ia sejak itu, menunggu kau kembali dan menemukannya".
"Winn-Dixie", aku berkata. Kupeluk dia begitu erat sampai ia bersin. "Kami di luar sana bersiul-siul dan memanggil-manggilmu, padahal kau sejak tadi ada di sini. Terima kasih", kataku pada semua orang.
"Yah", ujar Gloria Dump. "Kami tidak melakukan apa-apa kok. Kami hanya duduk di sini, menunggu dan menyanyikan beberapa lagu. Kami semua jadi akrab. Nah. Punch-nya sudah jadi air biasa dan roti isi salad telurnya sudah hancur kena hujan. Kita harus mengunakan sendok kalau ingin makan salad telur. Tapi kita bisa makan acar. Dan Littmus Lozenge. Dan masih ada pesta".
Ayahku menarik kursi dapur dan duduk.
"Otis", katanya, "kau tahu lagu-lagu gereja ?".
"Beberapa", jawab Otis.
"Coba kaugumamkan", Miss Franny mengusulkan, sambil mengangguk, "ia pasti akan bisa memainkannya".
Jadi ayahku mulai menggumamkan sebuah lagu dan Otis memainkannya di gitar. Winn-Dixie melambai-lambaikan ekor dan berbaring lagi di kolong kursi Gloria. Aku memandang ke sekitar ruangan, menatap wajah orang-orang yang hadir. Kurasa hatiku membuncah penuh kebahagiaan.
"Sebentar lagi aku kembali", kataku.
Namun sekarang mereka semua bernyanyi dan tertawa-tawa, dan Winn-Dixie mendengkur, jadi tidak ada yang mendengarku.
Bab Dua Puluh Enam Di luar hujan telah berhenti dan awan-awan sudah pergi, langit begitu bersih sehingga rasanya aku bisa melihat semua bintang yang ada. Aku berjalan ke bagian belakang halaman Gloria Dump. Aku pergi ke sana dan menatap pohon kesalahannya. Botol-botol itu diam ; tidak ada angin semilir sekalipun, jadi mereka tergantung tanpa suara. Kupandang pohon tersebut, kemudian kupandang langit.
"Mama", kataku, seakan ia berdiri tepat di sampingku, "aku tahu sepuluh hal tentang dirimu, dan itu tidak cukup, sama sekali. Namun Daddy akan bercerita lebih banyak padaku ; aku tahu, karena sekarang ia tahu kau tidak akan kembali. Ia merindukan mama dan aku juga merindukan mama, tapi hatiku tidak lagi terasa kosong. Hatiku penuh sesak. Aku masih akan mengingat Mama, aku janji. Tapi barangkali tidak sesering musim panas ini
itulah yang kuucapkan malam itu di bawah pohon kesalahan Gloria Dump. Dan setelah selesai mengucapkannya, aku berdiri diam memandangi langit, menatap bintang-bintang dan planet-planet. Kemudian aku teringat pada pohonku sendiri, pohon yang kutanam dengan bantuan Gloria. Aku merangkak ke sana kemari, mencarinya. Dan ketika menemukannya, aku terkejut melihat pertumbuhannya. Pohon tersebut masih kecil, pohon itu masih lebih mirip semak daripada pohon. Namun dedaunan dan dahan-dahannya terasa sangat kuat, bagus, dan tepat. Aku masih bertumpu pada tangan dan lututku di sana waktu kudengar suara yang mengatakan, "Kau sedang berdoa ?".
Aku mendongak. Ternyata Dunlap.
"Tidak", jawabku. "Aku bukan sedang berdoa. Aku sedang berpikir".
Ia bersedekap dan memandangku. "Tentang apa ?", tanyanya.
"Segala macam hal yang berbeda", aku menjawab. "Aku minta maaf karena menyebut kau dan Stevie bayi botak".
"Tidak apa-apa", katanya. "Gloria menyuruhku keluar dan memanggilmu".
"Sudah kubilang ia bukan penyihir".
"Aku tahu", katanya. "Aku sudah lama tahu. Aku hanya menjailimu".
"Oh", kataku. Kupandang dia lekat-lekat. Sulit melihat dirinya dengan jelas di halaman yang gelap.
"Kau tidak mau berdiri ?", ia bertanya.
"Yeah", kataku.
Lalu ia membuatku terkejut. Ia melakukan sesuatu yang dalam seribu tahun sekalipun takkan kukira akan mau dilakukan bocah Dewberry. Iamengulurkan tangan untuk membantuku berdiri. Dan aku menerimanya. Kubiarkan ia menarikku berdiri.
"Ayo balapan ke rumah", Dunlap menantangku. Dan ia mulai berlari.


Because Of Winn Dixie Karya Kate Dicamillo di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Oke !", teriakku. "Tapi kuperingatkan kau ya, aku cepat".
Kami berlari, dan aku berhasil mengalahkannya. Kusentuh pojok rumah Gloria Dump sedetik sebelum dia.
"Kalian tidak boleh berlari dalam gelap", kata Amanda. Ia berdiri di teras, memandangi kami. "Kalian bisa tersandung".
"Ah, Amanda", ujar Dunlap, dan ia menggeleng.
"Ah, Amanda", kataku juga. Kemudian aku teringat Carson dan merasa tidak enak. Aku naik ke teras dan meraih tangannya, lalu kutarik dia. "Ayo", aku berkata, "kita masuk ke dalam".
"India Opal", Daddy memanggil waktu aku, Amanda, dan Dunlap berjalan masuk. "Kau datang untuk bernyanyi bersama kami ?".
"Ya, Sir", jawabku. "Tapi aku tidak tahu terlalu banyak lagu".
"Kami akan mengajarimu", katanya. Ia tersenyum lebar sekali padaku. Senang melihatnya.
"Betul", timpal Gloria Dump. "Kami akan mengajarimu". Sweetie Pie masih duduk di pangkuannya, namun matanya terpejam.
"Mau Littmus Lozenge ?", Miss Franny menawarkan, sambil menyodorkan mangkuk padaku.
"Terima kasih", jawabku. Kuambil sebutir Littmus Lozenge dan kubuka bungkusnya, lantas kumasukkan ke mulut.
"Kau mau acar ?", Otis bertanya, mengangkat stoples besar acarnya.
"Tidak, terima kasih", sahutku. "Jangan sekarang ".
Winn-Dixie keluar dari kolong kursi Gloria Dump. Ia duduk persis di sampingku dan bersandar padaku persis seperti aku bersandar pada ayahku. Amanda berdiri di sebelahku juga, dan waktu aku menatapnya, namurutku ia sama sekali tidak kelihatan bermuka kusut.
Dunlap membunyikan persendian jari-jarinya dan berkata, "Yah, kita jadi menyanyi atau tidak ?"
"Yeah", Stevie menimpali, "jadi atau tidak ?"
"Ayo kita nyanyi", kata Sweetie Pie, membuka mata dan duduk tegak. "Ayo kita nyanyi buat si anjing".
Otis tertawa dan memetik gitar. Rasa Littmus Lozenge merekah dalam mulutku bagai kuntum bunga, terasa manis dan sedih. Kemudian Otis, Gloria, Stevie, Miss Franny, Dunlap, Amanda, Sweetie Pie, dan ayahku mulai bernyanyi. Dan aku mendengarkan dengan cermat, supaya dapat mempelajarinya dengan benar.
Ghost Campus 11 Pendekar Rajawali Sakti 76 Iblis Penggali Kubur Dendam Asmara 7
^