Pencarian

Dewi Bermata Kelabu 1

Odisei Buku Keempat Bagian 1


ODISEI - BUKU KEEMPAT DEWI BERMATA KELABU Ditulis oleh MARY POPE OSBORNE Digambar oleh TROY HOWELL
Teks Copyright 2004 by Mary Pope Osborne Artwork Copyright 2004 by Troy " "Howell
Diterjemahkan dari The Gray-Eyed Goddes, karangan Mary Pope Osborne, terbitan
Hyperion, New York: 2004 Hak terjemahan Indonesia pada Serambi Dilarang mereproduksi atau memperbanyak
seluruh maupun sebagian dari buku ini dalam bentuk atau cara apa pun tanpa izin
tertulis dari penerbit Penerjemah: Santi Paramitta Penyunting: Ferry Halim Pewajah Isi: Siti
PT SERAMBI ILMU SEMESTA Anggota IKAPI Jln. Kemang Timur Raya No. 16, Jakarta
12730 www.serambi.co.id; info@serambi.co.id
Cetakan I: Oktober 2006 M ISBN: 979-1112-03-7
Dicetak oleh Percetakan PT. Ikrar Mandiriabadi, Jakarta Isi diluar tanggung
jawab percetakan Untuk Gail Hochman PENGANTAR Pada zaman dahulu kala, ada sebuah dunia misterius yang dikenal dengan nama
Gunung Olimpus. Dunia yang tersembunyi di belakang sekumpulan awan tebal ini tak
pernah tertiup angin ataupun terguyur hujan. Para penghuni Gunung Olimpus tidak
pernah menjadi tua ataupun mati. Mereka bukan manusia. Mereka adalah para dewa
dan dewi Yunani yang perkasa.
Para dewa dan dewi Olimpus memiliki pengaruh besar atas kehidupan umat manusia
di dunia. Pada suatu ketika, kemarahan para dewa dan dewi ini menyebabkan
seorang pria bernama Odiseus harus berkelana di lautan selama bertahun-tahun
hanya untuk menemukan jalan pulang.
Tiga ribu tahun yang lalu, untuk pertama kalinya, seorang penyair Yunani bernama
Homer menceritakan kisah perjalanan Odiseus. Sejak saat itu, para pendongeng
lain turut menceritakan kembali kisah perjalanan yang ajaib dan mengesankan
tersebut. Kisah perjalanan tersebut dikenal sebagai Odisei.
SATU ODISEUS DAN PENELOPE Odiseus, sang raja Ithaca, berjalan perlahan-lahan di sepanjang pantai pulau
yang berpohon rimbun. Ketika memandang laut yang bergejolak, ia merasa rindu
pada tanah kelahirannya nun jauh di sana. Ia sudah tidak melihat tanah kelahiran
maupun keluarganya selama hampir dua puluh tahun-sejak ia berlayar untuk
bertempur dalam Perang Troya. Ia meratapi nasibnya yang sial setelah perang
berakhir. Mungkin aku sekarang telah berada di Ithaca, ia merenung, andai saja orang-orang
Yunani tersebut tidak membuat Athena marah dan
menyebabkan kapal kami menyimpang arah ...
atau bila aku tidak membuat marah Poseidon, Dewa Lautan, karena telah membutakan
mata anaknya, Cyclops ... atau awak kapalku tidak membuat marah Dewa Angin
ataupun Dewa Matahari. Odiseus menarik napas panjang dengan perasaan sedih dan putus asa. Seluruh anak
buahnya telah tewas karena dihantam oleh kemarahan para dewa atas kesalahan
mereka yang menyedihkan. Ia sendiri diampuni. Kekuatan serta keberanian telah membantu
Odiseus bertahan dari kejamnya perang dan bahaya yang mengintai dalam perjalanan
pulang. Saat ini Odiseus merasa seolah-olah berada dalam mimpi buruk di mana ia tidak
dapat terjaga. Selama tujuh tahun yang panjang, Dewi Kalipso telah menyanderanya
di pulau ini. Setiap hari sang dewi dengan kata-kata semanis madu berusaha
membuat Odiseus melupakan masa lalunya. Ia menjanjikan apa saja pada pria itu
bila ia bersedia menikah dengannya. Ia mengabaikan protes Odiseus yang
mengatakan bahwa dia masih mencintai istrinya, Penelope, dan anak lelakinya,
Telemakus. Dan apa yang terjadi pada keluargaku
sekarang" Odiseus bertanya-tanya.
Ia teringat akan apa yang dikatakan arwah sang ibunda ketika dirinya menempuh
perjalanan ke Negeri Orang Mati. "Keluargamu
telah porak-poranda karena rasa sedih. Istrimu
masih menunggumu. Namun, ia melewatkan siang dan malam dengan menangis. Putramu
kuat dan pemberani. Meskipun masih muda, ia menjaga rumah, ladang, dan ternakmu. Ia juga
meratapi kepergianmu, seperti halnya ayahmu ..."
Ia mendengar kata-kata tersebut bertahun-tahun silam. Apakah ayahnya masih
hidup" Dan bagaimana nasib putranya" Telemakus masih bayi ketika Odiseus
meninggalkan Ithaca. Sekarang ia pasti telah tumbuh menjadi seorang
pemuda berusia dua puluhan.
Dan apakah Penelope masih setia" Atau ia telah membuang seluruh kenangan tentang
Odiseus dan kemudian menikah lagi"
Dengan diliputi perasaan putus asa untuk segera pulang ke Ithaca dan berkumpul
kembali dengan keluarganya, Odiseus menatap ke arah ombak yang berwarna segelap
anggur dan berharap ada kapal yang membawanya pulang.
Nun jauh dari Pulau Kalipso, istri Odiseus, Penelope, berdiri di dekat jendela
kamarnya sambil mendengarkan suara para pelamar yang gaduh dan kasar.
Wanita itu gemetar. Selama empat tahun terakhir, pria-pria itu telah datang dari
berbagai penjuru untuk melamar dirinya. Ia membenci mereka semua. Ia tahu mereka
tidak sungguh-sungguh menginginkan dirinya. Mereka mengincar sawah, ladang,
ternak, para pelayan, dan kekuasaan di seluruh pulau milik Odiseus.
Ketika para pelamar itu pertama kali tiba, Penelope telah menyiapkan rencana
cerdik untuk menyingkirkan mereka semua. Ia mengatakan pada mereka bahwa ia
tidak dapat menikah lagi sebelum selesai menenun kain kafan untuk dipakai ayah
Odiseus pada saat pria tua itu meninggal kelak. Setiap hari ia duduk di depan
alat tenun untuk membuat kain tersebut. Namun setiap malam, di bawah sinar obor
yang temaram, ia membuka kembali tenunan yang telah dibuatnya pada siang hari.
Selama tiga tahun, Penelope menjalankan muslihat ini, sambil berharap agar
suaminya segera kembali. Namun pada tahun keempat, salah seorang pelayannya
menceritakan tipuan itu pada para pelamar.
Pria-pria itu menjadi berang dan menuntut Penelope untuk segera memilih salah
seorang dari mereka untuk menjadi suaminya yang baru. Namun, Penelope tetap
menolak. Tak seorang pun dari para pria rakus dan kasar tersebut yang sebanding
dengan suaminya yang telah lama menghilang, Odiseus.
Meskipun tahun demi tahun telah berlalu, ia tetap dapat dengan jelas mengingat
paras suaminya: perawakan tegap, bahu bidang, rambut pirang, dan sepasang mata
bercahaya berkilauan. Ke mana pun matanya memandang, ia dapat merasakan
kehadiran Odiseus di kediaman mereka-contohnya saat ia melihat perkakas kayu
berhias emas, perak, dan gading serta ranjang khusus buatan Odiseus. Suaminya
membuat kamar tidur mereka di sekitar sebatang pohon zaitun. Ia memotong dahan-
dahan pohon itu dan menjadikan batang utamanya sebagai salah satu kaki ranjang.
Hanya mereka berdua yang mengetahui rahasia ini.
Penelope sangat berharap Odiseus segera kembali dan bertindak cepat serta tegas
terhadap para penjahat yang mencoba merampas kedudukannya. Tanpa keberadaan sang
suami, tak ada seorang pun yang dapat melindunginya.
Ayah Odiseus sudah terlalu tua dan lemah untuk membantu. Karena tenggelam dalam
kesedihan, orang tua tersebut berkelana di pulau. Dia tak pernah bersedia berada
di sekitar istana. Telemakus, putra Penelope, masih terlalu muda untuk membantu. Matanya yang
cemerlang dan rambutnya yang pirang mirip milik ayahnya. Namun, anak itu belum
mewarisi kecerdasan dan kekuatan sang ayah. Akhir-akhir ini, para pelamar
tersebut bersikap semakin kurang ajar terhadap Telemakus. Mereka juga menjadi
semakin marah dan bersikeras agar Penelope segera memilih salah seorang dari
mereka untuk menjadi suaminya.
Saat mendengar suara tawa dari halaman, Penelope merapatkan penutup jendela dan
kembali ke alat tenunnya dan mulai bekerja.
Dengan perasaan putus asa, ia berdoa agar suaminya segera kembali sebelum
terlambat. DUA PUTRA ODISEUS Telemakus membenci para pria yang hendak melamar ibunya, lebih dari kebencian
sang ibu terhadap pria-pria itu. Setiap hari mereka menyerbu tanah ayahnya.
Mereka membantai sapi, lembu bertanduk panjang, domba, dan babi milik Odiseus.
Mereka mencuri anggur dari kebun anggur dan memberi perintah kepada para
pelayannya. Setiap kali Telemakus mengusir mereka, mereka tertawa dan
mencemoohkannya. Pada saat ini, di tengah hari bolong, para pelamar sedang duduk terlentang di
halaman dan beristirahat di atas hamparan kulit sapi yang telah mereka sembelih.
Mereka bermain dadu dan minum anggur dari mangkuk-mangkuk besar.
Andai saja ayahku telah pulang, Telemakus
berpikir, ia tentu akan segera mengusir mereka dan kembali memimpin pulau ini.
Karena tenggelam dalam pikiran penuh amarah, Telemakus tidak memerhatikan bahwa
ada orang asing yang menunggu dengan sabar di ambang pintu rumah mereka. Orang
asing itu mengenakan sandal emas berkilauan dan
membawa sebilah tombak perunggu.
Ketika akhirnya melihat orang asing tersebut, Telemakus segera lompat dari
tempat duduk dan bergegas menyambut sang tamu. "Selamat siang, Tuan!" ia
berseru. "Maafkan saya telah membuat Anda menunggu di luar pintu gerbang!"
Orang asing itu tidak mengucapkan sepatah kata pun. Ia menatap ke arah Telemakus
dengan mata kelabunya yang tajam menusuk.
"Silakan masuk, silakan masuk!" kata Telemakus sambil mengajak orang itu masuk
ke halaman. "Segarkan diri Anda dengan minuman dan makanan. Kemudian
ceritakanlah dari mana Anda berasal dan apa yang Anda cari."
Telemakus segera memimpin orang asing itu melewati para pelamar dan masuk ke
ruang utama. Ia berusaha melindungi tamunya dari kekasaran dan kegaduhan orang-
orang itu. "Silakan duduk di sini", kata Telemakus. Ia menunjuk ke arah kursi tinggi
berukir yang dilapisi kain halus. "Letakkan saja kaki Anda pada bangku ini."
Telemakus lalu duduk di samping sang tamu. Para pelayan membawakan beberapa
nampan berisi daging dan roti. Mereka juga menuangkan anggur dan air segar ke
dalam cawan-cawan berwarna keemasan.
Tak lama kemudian, para pelamar Penelope mulai menyerbu masuk ke dalam. Mereka
datang untuk mendengarkan musik, menyanyi, dan berdansa. Telemakus sangat ingin
bertanya kepada sang tamu, namun ia menunggu sampai musik mulai dimainkan sehingga para
pelamar tak dapat mendengarkan percakapan mereka.
Begitu musik dan nyanyian dimulai, Telemakus mendekat ke arah tamu bermata
kelabu tersebut. "Katakanlah padaku, Tuan, siapakah Anda?" tanya si anak muda. "Dari mana Anda
berasal" Kapal macam apa yang telah membawa Anda kemari" Apakah sebelumnya Anda
pernah berkunjung ke rumah ini" Pernahkah Anda mengenal ayahku, Odiseus, sang
raja Ithaca" "Namaku Mentor," kata si orang asing. "Aku pemimpin Taphos. Ayahmu adalah
temanku, namun aku tidak pernah bertemu dengannya lagi sejak ia pergi untuk
bertempur dalam Perang Troya. Baru-baru ini aku mendapat kabar bahwa ia telah
kembali, jadi aku datang ke Ithaca untuk bertemu dengannya. Aku ingin menyambut
kepulangannya." Telemakus menundukkan kepalanya. "Dengan sangat menyesal, harus ku katakan bahwa
ayahku belum kembali. Dan kami belum mendengar kabar tentang dirinya. Aku
khawatir ia telah menemui ajalnya dan kami tidak akan pernah lagi bertemu
dengannya." "Mungkin para dewa hanya menahannya untuk sementara," kata Mentor. "Mungkin ia
menjadi tawanan di sebuah pulau entah di mana. Aku bukan peramal, namun dalam
hati kecilku aku mendengar para dewa berbisik
bahwa ayahmu belum meninggal. Ingatlah, ia orang yang kuat dan pemberani.
Meskipun dirantai, ia pasti mampu meloloskan diri dan menemukan jalan pulang."
Telemakus menghela napas panjang. Ia meragukan kebenaran kata-kata Mentor.
Selama bertahun-tahun, harapan akan kepulangan sang ayah telah berkali-kali
kandas. Suara-suara di ruangan itu semakin keras. Semua pelamar sedang bernyanyi,
berteriak-teriak, dan saling mencaci-maki.
Mentor menatap ke arah mereka. "Siapa orang-orang yang berlagak ini?" ia
bertanya kepada Telemakus. "Mengapa kau membiarkan mereka bertingkah laku
demikian kasar dan memuakkan seperti ini"
"Tuan, saat ayahku berada di sini, kerajaannya adalah tempat yang aman dan
tertib," jawab Telemakus. "Namun setelah beberapa tahun kepergiannya, orang-
orang dari pulau tetangga mulai menyerbu tempat tinggal kami. Sekarang mereka
menyembelih dan menyantap ternak ayahku. Mereka menghina ibuku dan memaksanya
memilih salah seorang dari mereka untuk dinikahi."
Mata Mentor berkilau penuh kemarahan. "Odiseus harus segera pulang," katanya
dengan suara rendah. "Aku telah menyaksikan kekuatan ayahmu. Kalau saja ia
berada di sini sekarang, ia pasti akan segera menghukum para penjahat ini."
"Ya, aku yakin ia akan melakukannya," kata Telemakus. "Itulah sebabnya aku
sangat mengharapkan kepulangannya. Mereka tidak mendengarkan apa pun yang aku
katakan. Aku bahkan yakin mereka akan segera berusaha membunuhku."
"Nak, kau harus mengumpulkan kekuatan dan keberanianmu," kata Mentor dengan
suara bergetar penuh kemarahan. "Kau harus mencari cara untuk menghadapi orang-
orang ini. Kumpulkan mereka besok dan segera usir mereka. Kemudian kumpulkan dua
puluh awak kapal yang cakap. Cari kapal yang terbaik dan berlayar secepatnya
untuk mencari ayahmu."
Telemakus terpesona oleh gaya bicara tamunya yang berapi-api. "Aku ... aku tak
tahu bagaimana cara mencarinya," kata Telemakus.
"Berlayarlah ke Pylos terlebih dahulu," kata Mentor. "Pergilah ke tempat tinggal
Nestor yang bijaksana. Ia adalah teman ayahmu dan seorang pejuang yang gagah
berani dalam Perang Troya. Tanyakan pada Nestor tentang Odiseus. Ia akan
mengatakan segala hal yang ia tahu, atau ia akan memberi tahu pada siapa kau
dapat bertanya." "Lalu apa yang harus ku lakukan selanjutnya?" tanya Telemakus.
"Bila kau mendengar bahwa Odiseus telah mati, segera kembali dan berkabung-lah
untuknya. Bantu ibumu untuk merencanakan pernikahannya. Bunuh semua pelamar yang
tidak bersedia pergi dari rumahmu."
Telemakus merasa ketakutan mendengar tantangan tersebut.
Seolah-olah dapat membaca pikiran Telemakus, Mentor mendekat dan menatap dalam-
dalam mata anak muda itu. "Buat dirimu terkenal, Telemakus," katanya. "Dengan
demikian, orang-orang akan memuji keberanian jiwamu. Kau seorang pria sekarang,
bukan anak-anak lagi."
Telemakus merasa tergerak oleh nasihat Mentor. "Tuan, Anda sungguh baik hati
bersedia bicara seperti ini padaku," katanya. "Aku merasa seolah-olah Anda
adalah ayahku. Aku akan lakukan apa yang Anda katakan."
Mentor berdiri dan bersiap-siap untuk pergi. "Sekarang aku harus kembali ke
kapal dan awak kapalku," katanya.
"Aku mohon, tinggallah lebih lama," pinta Telemakus. "Beristirahatlah dan
segarkan diri Anda. Aku bermaksud memberi Anda hadiah."
"Sudahlah, jangan menahanku," kata Mentor. "Aku akan menerima pemberianmu bila
aku singgah ke mari lagi. Namun sekarang aku harus pergi."
Setelah berkata demikian, orang asing bermata kelabu tersebut menghilang secepat
burung terbang. Telemakus merasa takjub. Ia sadar bahwa ia baru saja berhadapan dengan seorang
dewa. TIGA DEWI BERMATA KELABU Karena terdorong oleh kata-kata Mentor, Telemakus bertekad melempar para pelamar
keluar dari rumahnya untuk selama-lamanya.
Sekarang para pelamar sedang tidak terlalu gaduh. Si penyanyi sedang memainkan
harpa dan menyanyikan lagu tentang pasukan Yunani yang kembali dari Perang
Troya. Ia bernyanyi tentang kemarahan Dewi Athena dan bagaimana sang dewi telah
meminta dewa-dewa lain untuk menghukum para pejuang tersebut. Ia bernyanyi
tentang badai yang telah membuat kapal prajurit Yunani menyimpang dari jalur.
Ketika penyanyi itu melantunkan lagunya, Telemakus melihat ibunya menuruni anak
tangga kamar. Dua orang pelayan wanita yang setia berjalan di belakangnya.
Penelope berdiri dalam gelap dan mendengarkan. Meskipun wajah sang ibu tertutup
cadar, Telemakus dapat melihat bahwa ia menangis.
Sebelum lagu tersebut berakhir, ia mengangkat cadarnya. "Hai penyanyi,
nyanyikanlah lagu yang lain!" ia berkata. "Aku
tidak tahan mendengar ceritamu. Hatiku menjadi hancur."
Telemakus mendekati ibunya. Diilhami oleh percakapannya dengan Mentor, ia
berbicara dengan suara tenang dan mantap.


Odisei Buku Keempat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Biarkan ia menyanyi, Bu," katanya. "Bukan dia penyebab kesedihan kita. Hanya
Zeus yang dapat menimbulkan rasa sedih yang demikian besar pada umat manusia.
Kembalilah menenun. Jangan khawatirkan tempat kita. Mulai saat ini, aku akan
menjadi majikan di rumah ini."
Penelope terpana saat mendengar kata-kata Telemakus yang berani dan tegas itu.
"Sekarang kau tampak seperti putra Odiseus yang sejati," katanya.
Penelope kembali menangis. Gambaran yang jelas tentang sang suami membuatnya
semakin sedih. Ketika kedua pelayan membimbing Penelope untuk segera kembali ke atas, para
pelamar berteriak-teriak di belakangnya. Mereka mendesaknya untuk segera memilih
salah seorang dari mereka untuk menikah dengannya.
Telemakus berpaling ke arah mereka. "Dasar tak tahu malu!" ia berkata. "Kalian
boleh menikmati musik dan tarian malam ini. Namun, besok pagi aku akan mengusir
kalian dari tempat ini. Mulai saat itu kalian boleh mencuri dari orang lain-tapi
tidak dariku maupun ibuku."
Karena terpana oleh kata-kata Telemakus yang berani, para pelamar tak mampu
berbicara selama beberapa saat. Namun ketika pulih dari rasa kaget, mereka segera
menunjukkan bahwa mereka tidak merasa takut. Antinous, pemimpin dari para
pelamar itu tersenyum mengejek. "Kata-kata yang sungguh berani, Telemakus,"
katanya. Aku berdoa semoga para dewa tidak membiarkanmu menjadi penguasa di
pulau ini." Telemakus tidak gentar dan tetap mempertahankan pendiriannya. "Antinous, dengan
berkah dari para dewa, aku akan berkuasa atas semua yang telah diperjuangkan dan
dimenangkan oleh ayahku," katanya.
"Kalau demikian, biarkan para dewa yang menentukan raja yang berhak memerintah
Ithaca," kata salah seorang pelamar. "Tetapi, katakan pada kami tentang orang
asing yang baru saja ada di sini. Dari negara mana ia berasal" Dari keluarga
seperti apa ia berasal" Apakah ia membawa berita tentang ayahmu" Ia pergi dengan
tergesa-gesa sehingga kami tidak sempat berkenalan."
"Ia bernama Mentor, teman lama ayahku," jawab Telemakus. "Ia datang untuk
menanyakan tentang kepulangan ayahku-yang ia yakini tidak akan lama lagi."
Para pelamar tertawa terbahak-bahak dan menggeleng-gelengkan kepala. Kemudian
mereka kembali mendengarkan suara musik yang mendayu-dayu. Karena hanyut dalam
kesenangan semu, para pelamar tersebut kemudian tak lagi memedulikan putra
Odiseus. Telemakus meninggalkan aula utama dan pergi ke kamarnya. Pelayan lamanya,
Euriklea, menerangi jalan dengan dua buah obor yang menyala.
Euriklea menyayangi Telemakus seperti putranya sendiri. Wanita tua itu telah
merawat Telemakus sejak masih bayi. Ia menyiapkan tempat tidur dan menyingkirkan
pakaian Telemakus. Kemudian, ia meninggalkan Telemakus seorang diri.
Sambil berbaring di bawah sehelai selimut bulu domba yang lembut, ia menatap ke
dalam kegelapan. Kepalanya dipenuhi pertanyaan: Mungkinkah Mentor adalah Dewi
Athena yang menyamar"
Telemakus teringat cerita yang pernah didengarnya ketika masih kanak-kanak:
Sebelum prajurit Yunani membuat Athena marah, sang dewi lebih menyukai Odiseus
dibandingkan dengan manusia lainnya. Ia memerintahkan Odiseus untuk membuat kuda
Troya sehingga prajurit Yunani dapat menyerang kota Troya.
Apakah Athena akhirnya jatuh kasihan pada Odiseus yang dahulu pernah disukainya"
Apakah ia menyamar sebagai Mentor dan menyelamatkan istri serta putra Odiseus"
Selain itu, ujung tombak Mentor yang berlapis perunggu sangat mirip dengan
tombak sang dewi. Sandalnya yang berlapis emas berkilauan tampak seperti sandal
ajaib yang dapat membawanya ke angkasa.
Terlebih lagi, bukankah matanya yang berwana kelabu juga bersinar terang seperti
mata sang dewi" Untuk pertama kalinya setelah berbulan-bulan, Telemakus membiarkan secercah
harapan tumbuh dalam hatinya. Ia merasa yakin bahwa yang bersamanya tadi adalah
sang dewi bermata kelabu. Ia datang untuk membantunya menemukan ayahnya.
EMPAT BERLAYAR Keesokan paginya, Telemakus bangun pagi-pagi sekali. Di ujung fajar, ia segera
berganti pakaian dengan jubah kebesaran dan menyandang pedangnya.
Saat menatap ke dalam cermin, ia terpesona oleh penampilannya sendiri. Ia
terlihat setampan dan sekuat seorang dewa. Telemakus bertanya-tanya apakah
Athena telah mengubah penampilannya sehingga ia tampak cemerlang di depan orang
lain. Ia memerintahkan para pelayan untuk mengumpulkan seluruh pria yang ada di
Ithaca, termasuk para pelamar. Kemudian, dengan tombak di tangan dan dua ekor
anjing besar di sampingnya, ia pergi menghadapi kerumunan orang banyak itu.
Ketika Telemakus lewat, semua orang melihat perubahan pada penampilannya. Bahkan
penduduk yang tertua sekalipun memberi jalan padanya.
Telemakus duduk di kursi ayahnya dan memandang kerumunan orang-orang yang telah
datang untuk mendengarkan perkataannya. Saat
berdiri untuk berbicara, ia hampir tidak dapat menahan kemarahannya.
"Kalian semua memaksa ibuku untuk menikah di luar kehendaknya," ia berkata.
"Setiap hari kalian berkumpul di tempat ini. Kalian membantai ternak ayahku dan
meminum anggurnya. Ia tidak berada di sini untuk mempertahankan kerajaannya. Aku
mungkin tidak sekuat dia. Namun, aku tak dapat lagi menerima perlakuan demikian
dari kalian. Tempat tinggal ayahku telah menjadi porak-poranda."
Pada saat Telemakus berbicara, kepercayaan dirinya yang baru muncul sedikit demi
sedikit menghilang. "Aku-aku minta untuk mendengarkan hari nurani kalian dan
memikirkan kemarahan para dewa," katanya dengan suara gemetar. Kemudian, karena
dikuasai oleh perasaan, ia melemparkan tombaknya ke tanah dan mencucurkan air
mata. Dari raut wajah mereka, tampak bahwa sebagian dari para pelamar tersebut merasa
iba terhadap Telemakus. Pemimpin dari pelamar tersebut, Antinous, berdiri.
"Salahkan ibumu Telemakus. Jangan salahkan kami. Ia mengatakan bahwa ia tidak
dapat memilih seorang suami sebelum selesai menenun kain kafan untuk kakekmu.
Namun, setiap malam ia membongkar kembali tenunannya sehingga kain itu tidak
akan pernah selesai. Selama tiga tahun, ia telah membohongi kami dengan cara
ini. Kau harus memaksanya memilih salah seorang dari kami. Kami tidak akan pergi sampai
ia melakukan hal itu."
Telemakus menggelengkan kepalanya. "Aku tidak dapat melakukan apa yang kau
minta, Antinous," katanya. "Bila kau tetap mengincar rumah ini, aku akan meminta
bantuan Zeus, dan-dan kalian semua akan binasa."
Pada saat Telemakus bicara, sepasang elang muncul di langit sambil meluncur
mengikuti arus angin dan berputar-putar di atas halaman. Kemudian, burung-burung
itu mulai mengepakkan sayap dengan marah. Mereka menatap orang-orang di bawah
dengan tatapan yang mematikan. Kemudian, secara tiba-tiba mereka saling
berhadapan. Selama beberapa saat, kedua elang tersebut berkelahi dengan ganas
dan kemudian terbang ke angkasa.
Orang-orang bergumam dengan perasaan waswas. "Apa artinya ini" Apa yang hendak
Zeus katakan kepada kita?"
Seorang pria tua yang bijaksana berdiri. Ia bicara dengan suara gemetar. "Wahai
orang-orang Ithaca, aku melihat pertanda buruk dari elang-elang tersebut," ia
berkata. "Zeus mencoba mengatakan pada kita bahwa Odiseus tidak lama lagi akan
tiba. Bila orang-orang yang menginginkan istrinya tidak segera pergi secara suka
rela, maka ajal kita akan segera menjelang. Pergilah dari tempat ini sebelum
terlambat." Namun, para pelamar tersebut menolak untuk
mendengarkan peringatan tersebut.
"Pulanglah Pak Tua!" teriak salah seorang dari pelamar. "Burung-burung memang
selalu beterbangan seperti itu! Itu tidak berarti apa-apa! Kami akan tinggal di
sini selama kami suka! Odiseus sudah mati! Kami tidak takut pada anaknya yang
pandai berbicara!" Telemakus kembali menggelengkan kepala. "Para dewa telah mendengar kata-kataku,"
ia berkata. "Jadi, inilah yang akan aku minta dari kalian. Berikan aku sebuah
kapal beserta dua puluh awak kapal. Aku akan berlayar mencari ayahku. Bila aku
mendengar bahwa ia masih hidup, kita harus menunggu dengan sabar sampai ia
kembali. Bila aku mendengar bahwa ia telah meninggal, maka kita akan
menyelenggarakan pemakaman untuknya, dan ibuku akan memilih salah seorang dari
kalian untuk ia nikahi."
Namun, para pelamar tidak menyetujui rencana sederhana itu. Sebaliknya mereka
bahkan mengejek Telemakus. Mereka mengatakan bahwa ia tidak cukup kuat untuk
bertahan hidup dalam perjalanan itu.
Kemudian, mereka kembali ke dalam istana untuk berpesta dan minum-minum sambil
menunggu Penelope mengambil keputusan.
Dengan perasaan putus asa, Telemakus berjalan seorang diri ke arah laut. Ia
mencuci tangan di air yang berbuih dan berdoa kepada Dewi Athena untuk meminta
pertolongan. "Aku tahu kau telah datang kepadaku kemarin dan memerintahkanku berlayar untuk
mencari ayahku," ia berkata. "Sekarang, katakan apa yang harus ku lakukan! Para
pelamar ibuku telah merendahkanku! Dan sekarang aku khawatir tak seorang pun di
Ithaca yang akan membantu usaha pencarianku."
Dalam sekejap, Mentor telah berada di sisinya. Mata kelabunya bercahaya ketika
ia bicara dengan tegas. "Telemakus, pagi ini kau telah menunjukkan bahwa kau
memang memiliki keberanian dan kekuatan seperti ayahmu. Maka aku akan membantu
perjalananmu. Jangan pikirkan orang-orang jahat yang akan menghalangi jalanmu.
Percayalah padaku. Jika waktunya telah tiba, mereka akan menerima ganjaran
karena telah bersikap kasar dan kurang ajar. Pulanglah. Berkemaslah dan bawalah
anggur serta bekal untuk perjalananmu ke tempat Nestor di Pulau Pylos. Aku akan
mencari awak kapal untuk berlayar bersamamu. Aku juga akan mencari kapal yang
terbaik dan meluncurkannya ke laut."
Telemakus sangat berterima kasih kepada Mentor. Dengan tergesa-gesa, ia kembali
ke rumah. Ketika sampai di sana, ia melihat para pelamar sedang menyembelih
kambing dan babi di halaman.
Mereka mencibir ke arah Telemakus ketika ia lewat dan mencemoh. "Pembual!"
"Tukang pura-pura."
Telemakus tidak menghiraukan mereka dan segera menuju ke tempat penyimpanan di
mana Odiseus menyimpan emas, perunggu, dan seluruh pakaiannya yang terbaik,
termasuk minyak serta anggur. Siang dan malam, gudang penyimpanan itu diawasi
oleh pelayan tua Telemakus, Euriklea.
Telemakus meminta bantuan Euriklea. Ia menyuruh wanita itu untuk menuang anggur
ke dalam guci dan memasukkan gandum ke dalam kantong.
"Sembunyikan persediaan ini hingga malam tiba," katanya pada Euriklea. "Bila
hari telah gelap, aku akan mengambilnya dan membawanya ke kapal yang telah
menungguku. Aku akan berlayar ke Pylos untuk mencari kabar tentang ayahku.
Berjanjilah untuk tidak mengatakan kepada ibuku mengenai hal ini. Paling tidak
selama sepuluh hari. Bila ia mengetahui rencanaku, ia pasti akan mencoba
menghentikanku." Euriklea menangis dengan sedih. "Ku mohon, jangan pergi anakku! Orang-orang
jahat ini akan marah bila tahu bahwa kau telah pergi! Mereka akan mencari dan
membunuhmu!" "Tidak, aku akan selamat," Telemakus menenangkan wanita tua itu, "karena ini
adalah keinginan Dewi Athena. Ia akan membantuku."
Memang benar apa yang dikatakan oleh Telemakus. Bahkan ketika ia sedang
berbicara dengan Euriklea, dewi bermata kelabu tersebut
sedang berada di di kota. Dengan menyamar sebagai Telemakus, ia berhasil
menemukan dua puluh awak kapal yang cakap untuk berlayar bersamanya ke Pylos.
Ketika senja telah tiba dan jalan-jalan mulai gelap, Athena meluncurkan sebuah
kapal ke atas laut dan melengkapinya dengan berbagai peralatan untuk berlayar.
Kemudian, dengan menyamar sebagai Mentor, ia menemui para awak kapal saat mereka
tiba di pelabuhan. Mentor memberi tahu tugas setiap orang di kapal. Kemudian, ia segera pergi ke
rumah Odiseus dan membuat semua orang yang ada di sana terlelap, kecuali
Telemakus. Masih menyamar sebagai Mentor, Athena memanggil Telemakus ke aula utama. "Para
awak dan kapal ada di pelabuhan. Mari kita berangkat."
Telemakus segera mengikuti Mentor. Ketika tiba di pantai, ia menemukan dua puluh
awak kapal sedang menunggunya. Dengan tenang dan penuh rasa percaya diri, putra
Odiseus memberi mereka perintah: "Cepat pergi ke rumahku. Jangan sampai
membangunkan satu orang pun. Tak seorang pun mengetahui rencana kita. Bawa
segera perbekalan kita ke pantai."
Awak kapal Telemakus segera menjalankan perintahnya. Tak lama kemudian, mereka
telah siap membongkar sauh dan berlayar. Telemakus dan Mentor duduk di anjungan
kapal. Dari tatapan mata sang dewi yang terang dan
berwarna kelabu, angin barat mulai muncul dan bertiup. Angin tersebut membuat
permukaan laut beriak. "Tangkap talinya! Naikkan layar!" Telemakus memberi perintah.
Para awak kapal memasang tiang kapal dan menaikkan layar yang berwarna putih.
Angin bertiup kencang dan ombak berwarna gelap menggerakkan kapal itu ke
tujuannya. Para awak kapal menuangkan anggur untuk menghormati para dewa,
terutama Athena, putri Zeus yang perkasa.
Mereka sama sekali tidak tahu, Telemakus berpikir, bahwa sang dewi sendiri turut
berlayar bersama kita malam ini.
Edit by : zheraf.net http://www.zheraf.net LIMA PENCARIAN Dari hari masih gelap hingga fajar menjelang, kapal Telemakus berlayar dengan
cepat menuju ke pulau Pylos, tempat Raja Nestor berada.
Tepat ketika matahari bersinar di atas laut, kapal itu mencapai pelabuhan.
Sekelompok orang telah berkumpul di pantai. Mereka sedang mengadakan upacara
persembahan kepada Poseidon, Sang Dewa Laut.
Para awak kapal menurunkan layar. Mentor memerintahkan mereka untuk tetap
tinggal di kapal, sementara ia dan Telemakus pergi ke pantai untuk menemui Raja
Nestor. Ketika mereka berjalan bersama, Mentor menasihati si anak muda. "Jangan malu-
malu di depan sang raja," katanya. "Tanyakan padanya berita tentang ayahmu-
apakah ia telah meninggal" Bila iya, di mana ia dimakamkan" Mintalah padanya
untuk mengatakan yang sejujurnya karena ia adalah orang yang lebih bijaksana dan
berkuasa dibandingkan semua orang yang ada di pulau ini."
Telemakus merasa gentar saat hendak
menghadap Raja Nestor yang agung. Raja Nestor adalah seorang pejuang dan pelaut
yang tak kenal takut; penunggang kuda yang hebat, dan pembunuh raksasa. Dan yang
paling penting, ia terkenal karena kebijaksanaan serta penilaiannya.
"Jangan khawatir," kata Mentor. "Para dewa akan membantumu. Percayalah padaku
ketika aku mengatakan bahwa dewa-dewa selalu bersamamu sejak kau dilahirkan."
Mendengar kata-kata tersebut, Telemakus mencoba mengumpulkan keberaniannya. Saat
ia dan Mentor mendekati kerumunan orang di pantai tersebut, mereka melihat
Nestor duduk bersama ketujuh putranya, sementara yang lain mempersiapkan pesta
besar. Dua dari putra Nestor segera berlari menyambut kedua orang asing itu di pulau
mereka. Mereka mengundang kedua orang itu untuk duduk di atas hamparan kulit
domba yang lembut. Mereka menjamu tamu tersebut dengan daging yang dihidangkan
di atas piring perak dan anggur dalam cawan emas.
Ketika Mentor dan Telemakus telah selesai menghabiskan hidangan dan minuman
mereka, Nestor mendekati mereka. "Sudah sepantasnya bila aku bertanya kepada
para tamu setelah mereka puas menyantap hidangan dan meminum anggur," kata sang
raja. "Jadi, sekarang, setelah kalian ikut berpesta bersama kami, katakan
padaku: Siapakah gerangan
kalian" Dari mana kalian berlayar" Apakah kalian pedagang atau bajak laut?"
Mentor mengangguk ke arah Telemakus untuk memberinya dorongan supaya bicara.
"Kami datang dari Ithaca, pulau yang dahulu dikuasai oleh Odiseus yang
pemberani," jawab Telemakus. "Kami datang untuk mencari tahu tentang
keberadaannya. Kami ingin mengetahui nasib yang menimpanya pada saat ia berlayar
pulang seusai Perang Troya. Kami mohon, katakanlah apa yang Anda tahu tentang
dia. Jangan menghibur kami dengan cerita yang menyenangkan. Saya harus tahu yang
sebenarnya, karena saya adalah putranya."
Nestor tergagap karena keheranan. "Aku hampir tidak memercayai mataku sendiri,"
kata orang tua itu. "Namun, karena kau telah mengatakan kepadaku siapa dirimu,
aku sadar bahwa kau memang sangat menyerupai ayahmu, Odiseus. Aku akan
mengatakan semua yang ku ketahui tentang perjalanan dan petualangannya."
"Ketika kami berlayar dari Troya, Athena sangat marah pada beberapa orang Yunani
karena mereka telah menodai kuilnya di tengah pertempuran sengit. Atas
permintaan Athena, Zeus memorak-porandakan dan mencerai-be-raikan armada kami di
tengah lautan. Aku berhasil menemukan jalan pulang, namun aku tidak tahu tentang
nasib teman seperjuanganku itu. Aku hanya dapat mengatakan siapa yang selamat


Odisei Buku Keempat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dan siapa yang hilang. Aku tahu tentang
nasib mereka dari kabar yang beredar di istanaku. Maafkan aku, namun aku tidak
mendengar berita apa pun tentang ayahmu."
Telemakus menghela napas penuh rasa putus asa. Kemudian, ia bercerita pada teman
lama ayahnya tersebut tentang para pelamar yang menyerbu rumah serta mencuri
perbekalan ayahnya. Nestor terdiam sejenak. Ia tampak berpikir keras. Akhirnya, ia berbicara dengan
suara lembut namun mantap.
"Aku akan memberi tahu apa yang harus kau lakukan," ia berkata. "Pergilah ke
istana Raja Menelaus dan Ratu Helen yang jelita. Menelaus adalah orang terakhir
yang pulang dari Perang Troya. Ia telah berkelana ke berbagai daerah. Mintalah
padanya untuk mengatakan apa yang dia tahu. Ia tidak akan menipumu."
Telemakus mengucapkan terima kasih atas semua saran Nestor. Kemudian, Nestor
mengundang Telemakus dan Mentor untuk beristirahat semalam di istananya. "Putra
Odiseus yang perkasa beserta temannya tidak pantas beristirahat di kapal!"
katanya. Mentor berdiri. "Terima kasih, namun aku rasa aku harus segera kembali ke kapal
dan memeriksa para awak kapal. Telemakus akan tinggal dan tidur di rumahmu.
Tolong pinjami dia kuda tercepat dan kereta terbaik sehingga ia dapat pergi ke
istana Menelaus besok."
Setelah itu, Athena tiba-tiba lenyap- tidak
dalam bentuk Mentor, namun dalam bentuk seekor elang perkasa.
Semua orang yang melihat hal itu terpana dan tak mampu bicara. Nestor tergagap
dan segera meraih tangan Telemakus. "Temanku," katanya, "kau bepergian bersama
para dewa! Aku sepenuhnya yakin bahwa temanmu itu adalah sang dewi bermata
kelabu, putri Zeus!"
Nestor segera berdoa untuk Athena dan berjanji untuk memberi persembahan berupa
seekor sapi muda sebagai tanda hormat untuk sang dewi. Selanjutnya, orang tua
tersebut membimbing Telemakus ke sebuah ruangan yang megah di dalam istana, di
mana para pelayan telah menyiapkan tempat tidur yang nyaman.
Keesokan harinya, Telemakus bangun pagi-pagi sekali. Ia dimandikan dan diberi
minyak. Kemudian, dengan mengenakan tunik dan mantel yang indah, ia meninggalkan
istana sang raja untuk memulai perjalanannya.
Sekali lagi, semua orang yang melihat Telemakus terpesona, karena ia tampak
seperti seorang dewa. Nestor memerintahkan bawahannya untuk memasang kuda-kudanya yang tercepat ke
kereta yang terbaik. Ia juga menyuruh para pelayan untuk menyiapkan daging,
roti, dan anggur. Kemudian, ia memerintahkan putra bungsunya untuk menyertai
Telemakus ke istana Raja Menelaus.
Kedua anak muda itu naik ke atas kereta.
Putra Nestor mengambil tali kekang dan menghentakkannya. Kuda-kuda tersebut
meloncat dan berlari. Sepanjang hari kuda-kuda itu berlari secepat angin di atas dataran rendah.
Ketika matahari terbenam dan kegelapan mulai menutupi daerah tersebut, mereka
beristirahat. Pagi berikutnya, ketika fajar mulai merah merekah, kedua anak muda itu kembali
memasang kuda-kuda tersebut ke kereta. Mereka kembali berlari kencang melintasi
ladang gandum dan jagung.
Sekali lagi, kuda-kuda tersebut berlari sepanjang hari. Dan ketika malam tiba,
mereka sampai di istana yang terletak di lembah yang dalam, tempat tinggal Raja
Menelaus dan Ratu Helen yang cantik.
ENAM ORANG TUA DARI LAUTAN Kuda-kuda tersebut berhenti di pintu gerbang istana. Telemakus dan putra Nestor
dapat mendengar suara perayaan dari dalam istana.
Para pelayan menyambut kedua orang asing tersebut di gerbang. Kedua anak muda
itu disambut dan diperlakukan sebagaimana layaknya tamu terhormat. Telemakus
sadar bahwa ini adalah adat istiadat seluruh orang Yunani. Para pengembara
menerima perlakuan terbaik saat mereka menjadi tamu di rumah orang lain.
Beberapa pelayan membersihkan dan melumuri kedua anak muda tersebut dengan
wewangian. Mereka memberikan kedua anak muda itu jubah berwarna ungu yang sangat
indah. Lalu para pelayan tersebut membimbing kedua tamu itu ke aula utama.
Telemakus mengagumi apa yang ia lihat di sana. Kemegahan yang ada di tempat
tersebut melebihi keindahan matahari dan bulan.
Telemakus dan putra Nestor duduk di samping raja. Mereka disuguhi aneka makanan
dan diberi cawan emas penuh berisi anggur.
"Selamat datang," sambut Raja Menelaus. "Silakan menikmati makan malam kalian;
kemudian, ceritakan padaku siapa dan dari mana kalian datang."
Saat sedang menyantap makanan, Telemakus memerhatikan aula besar tersebut.
Ruangan tersebut berkilauan karena pantulan sinar berwarna perunggu, emas,
kuning kecokelatan, gading, dan perak.
"Istana ini seperti rumah Zeus," bisiknya pada teman seperjalanannya.
Raja Menelaus secara tak sengaja mendengar kata-kata Telemakus. "Ah, aku tak
dapat dibandingkan dengan dewa Gunung Olimpus," katanya. "Seusai Perang Troya,
aku berkelana ke berbagai negara dan mengumpulkan banyak harta benda. Namun, tak
satu pun dari benda-benda itu yang dapat menyembuhkan kesedihanku karena telah
kehilangan rekan-rekan seperjuangan yang telah terbunuh oleh prajurit Troya atau
yang meninggal dalam perjalanan pulang."
"Aku sangat berduka atas kejadian yang menimpa seorang sahabatku-lebih
dibandingkan yang lain. Aku dengar bahwa keluarga rekanku itu sangat menantikan
kepulangannya. Ibunya meninggal karena kesedihan yang dalam. Istri dan ayahnya
hampir gila karena berduka. Bahkan sang putra berkabung siang dan malam
untuknya, meskipun anak itu masih bayi ketika ayahnya
pergi berperang." Telemakus menutupi wajah untuk menyembunyikan air matanya. Sang raja dengan
sangat sempurna telah menggambarkan keadaan keluarganya.
Pada saat itu, Ratu Helen turun dari kamarnya yang penuh wewangian dan memasuki
aula. Sang ratu, dengan kecantikan bak seorang dewi, duduk di samping raja.
"Siapa gerangan orang-orang asing ini?" ia bertanya kepada suaminya. "Tidakkah
salah seorang dari mereka tampak sangat mirip Odiseus yang perkasa?"
Putra Nestor menganggukkan kepala. "Memang demikian halnya, ia adalah putra
Odiseus," katanya. "Ia merasa malu berada di hadapan Anda, Yang Mulia. Ayahku,
Nestor, telah mengirimku untuk menemaninya mencari berita tentang ayahnya. Tak
seorang pun di Ithaca yang bersedia membantunya memerangi ketidakadilan yang
sedang dia hadapi." Menelaus merasa sangat tergerak untuk mengetahui identitas tamunya yang masih
muda itu. "Ayahmu sangat dipuja," katanya pada Telemakus.
Kemudian sang raja, ratu, Telemakus, dan bahkan putra Nestor menangisi hilangnya
sang pejuang sejati, Odiseus.
"Ia adalah pejuang yang gagah berani," kata Helen.
"Ketika aku tertangkap di Troya, keberanian dan kecerdikan Odiseuslah yang telah
menyelamatkanku." "Ya," kata Menelaus. "Aku ingat dengan baik bagaimana ia dengan gagah berani
bersembunyi di dalam kuda kayu raksasa itu. Dengan dibantu gelapnya malam, ia
membuka pintu gerbang kota Troya, sehingga kami dapat menyerang kota itu."
Telemakus menganggukkan kepalanya. "Yang Mulia, ayahku memang orang yang gagah
berani," ia berkata dengan nada sedih, "namun segala keberanian dan
kecerdikannya tidak dapat menyelamatkannya dari nasib sial. Sekarang, mari kita
tidur. Semoga kita lebih tenang saat terlelap."
Ratu Helen memerintahkan para pelayan untuk menyiapkan tempat tidur bagi para
tamu di bagian atas istana. Dengan membawa obor, para pelayan menunjukkan jalan
kepada kedua anak muda tersebut. Mereka juga memberikan kedua anak muda itu
selimut dan baju tidur dari kulit domba yang halus. Karena letih menempuh
perjalanan yang panjang, Telemakus dan putra Nestor akhirnya jatuh tertidur.
Sebelum fajar menyingsing, Menelaus terbangun dan pergi ke kamar tidur
Telemakus. Ia membangunkan anak muda itu dan berbicara dengan suara pelan.
"Katakan padaku, apa yang sebenarnya membuatmu datang ke istanaku," katanya.
"Bagaimana aku dapat membantumu?"
Telemakus bercerita pada sang raja tentang
para pelamar tamak yang menduduki rumah ayahnya.
"Bila ayahmu tahu tentang hal ini," kata Menelaus, "ia tentu akan mencincang
mereka." "Apakah Anda pernah mendengar kabar tentang dia?" tanya Telemakus. "Dapatkah
Anda memberi tahu sesuatu tentang ayahku" Ku mohon, jangan menceritakan hal-hal
yang bagus-bagus saja."
"Aku akan mengatakan apa yang kuketahui," jawab sang raja. "Ada sebuah pulau di
dekat perairan Mesir, di mana para pengembara biasa berhenti untuk beristirahat
sebelum kembali berlayar. Kapalku merapat di sana setelah perang usai. Aku
tersesat dan tidak tahu apakah para rekan seperjuanganku telah pulang dengan
selamat. Suatu hari, ketika aku sedang berjalan seorang diri, seorang peri laut
mengatakan padaku untuk bicara dengan ayahnya, Si Orang Tua dari Lautan."
"Siapa itu?" tanya Telemakus.
"Ia adalah seorang dewa dari laut," kata Menelaus. "Ia adalah penggembala anjing
laut milik Poseidon. Pada saat-saat tertentu ia muncul ke permukaan laut untuk
menghitung ternaknya. Untuk menangkapnya, seseorang harus memegangnya dengan
sangat erat karena ia dapat berubah dalam berbagai bentuk. Ia dapat menjadi
makhluk apa pun yang bergerak di atas bumi ini. Ia bahkan dapat menjadi api atau
air. Namun, bila kau dapat
mencengkeramnya kuat-kuat, ia akan menjadi dirinya sendiri. Kemudian, kau dapat
bertanya tentang banyak hal padanya."
"Dan apakah Anda berhasil menangkap dewa laut yang aneh itu?" tanya Telemakus
dengan perasaan heran. "Ya, aku menunggu hingga ia muncul untuk menghitung anjing lautnya. Kemudian,
aku segera berlari mendekat dan menangkapnya," kata sang raja. "Ia segera
berubah menjadi seekor singa, lalu ular, kemudian menjadi seekor macan tutul,
kemudian babi hutan. Ia berubah menjadi air yang mengalir, selanjutnya menjadi
sebatang pohon. Namun, aku memegangnya erat-erat sehingga akhirnya ia kembali ke
wujud aslinya. Ketika aku menanyakan padanya jalan pulang. Ia memberiku nasihat
yang bagus." "Saat aku menanyakan nasib rekan-rekan seperjuanganku, ia mengatakan siapa saja
yang telah gugur. Ketika aku menangis dengan sedih, ia mengatakan bahwa ada
seorang pejuang yang gagah berani yang masih hidup. Ia mengatakan bahwa Odiseus
terperangkap di Pulau Kalipso. Dewi penguasa pulau itu menangkap dan menahannya
di sana." Telemakus merasa gembira mendengar bahwa ayahnya masih hidup.
Menelaus bercerita lebih lanjut tentang perjalanannya. Kemudian ia pergi.
Setelah ditinggal sendiri, Telemakus menjadi bersemangat. Perasaannya dipenuhi
kegembiraan. Apakah ayahku masih berada di Pulau Kalipso" ia bertanya-tanya. Apakah aku harus
mencarinya ke sana" Ataukah aku kembali ke rumah secepatnya dan memberi tahu
ibuku tentang berita gembira ini"
TUJUH PULAU KALIPSO Nun jauh di Pulau Kalipso, Odiseus duduk di sebuah batu besar dan menangis. Pada
saat seperti ini, seperti hari-hari lain selama tujuh tahun terakhir, ia sangat
merindukan rumahnya. Karena kedua tangannya menutupi wajah, Odiseus tak dapat melihat secercah sinar
terang menyambar ke arah air dan meluncur di atas ombak seperti seekor camar. Ia
tidak melihat Hermes, Dewa Pembawa Pesan, muncul di hadapannya.
Dengan membawa tombak emas dan mengenakan sandal emas bersayap, Hermes bergerak
dengan ringan di atas pulau. Ia melangkah melewati hutan suci Kalipso, di mana
para penghuni hutan seperti burung hantu, elang, dan camar saling bersahutan di
atas berbagai jenis pohon.
Hermes melintasi taman milik Kalipso yang berbau semerbak, melalui hamparan
bunga ungu dan berbagai tanaman obat. Akhirnya, ia sampai ke pintu masuk gua
milik sang dewi. Hermes menyingkirkan tanaman anggur yang menggantung dan melangkah masuk. Aroma
sari apel dan cendana tercium di udara.
Sang dewi yang berambut pirang sedang duduk dan bernyanyi di depan alat tenun di
dekat perapian. Saat mengangkat wajah, ia tersenyum ceria pada Hermes.
"Hermes, sungguh suatu kehormatan bagiku untuk menerima kunjunganmu!" katanya.
"Silakan duduk. Mari ku hidangkan makanan dan minuman."
Kalipso menjamu Hermes dengan makanan para dewa-ambrosia dan nektar merah.
Setelah bersantap, Hermes menceritakan tujuan kedatangannya.
"Hari ini di Olimpus, Dewi Athena mengumpulkan semua dewa," katanya. "Ia sangat
mencemaskan Odiseus, sang raja Ithaca. Pria itu telah pergi terlalu lama dari
tanah kelahiran dan keluarganya, demikian kata sang dewi, dan sekarang, musuh-
musuhnya berencana untuk membunuh putranya. Kalipso, Zeus telah mendengar kata-
kata putrinya dan memintamu untuk melepaskan tahananmu."
Sang dewi berdiri dengan marah, namun Hermes melanjutkan: "Zeus telah memutuskan
bahwa Odiseus harus pulang dengan segenap kekuatan sendiri. Tidak ada seorang
dewa pun yang diizinkan untuk membantu mempercepat kepulangannya. Ia harus
membuat rakit sendiri dan mengarungi samudra selama dua puluh hari menuju ke
Scheria. Dari sana, ia dapat berlayar ke Ithaca dan membalas segala perbuatan
jahat yang dilakukan kepada keluarganya."
"Para dewa di Olimpus marah padaku rupanya," kata Kalipso. "Mereka tidak mau
percaya bahwa seorang dewi bisa jatuh cinta pada manusia biasa! Tapi aku-lah
yang telah menyelamatkan nyawa Odiseus!"
Kalipso memandang dengan marah ke arah Hermes selama beberapa saat. Namun,
akhirnya dengan perasaan kalah, ia mengalihkan pandangannya. "Aku tahu aku tak
dapat melawan kekuatan dan kehendak Zeus," ia berkata. "Bila Zeus memang telah
memerintahkan demikian, maka Odiseus akan meninggalkan pulauku. Dengan maksud
baik aku akan memberinya nasihat tentang apa saja yang ia butuhkan untuk memulai
perjalanan pulang." Hermes membungkuk dan segera meninggalkan sang dewi yang sedang berduka itu.
Kalipso segera pergi mencari Odiseus. Ia menemukan pria itu sedang duduk dan
menangis di atas sebuah batu karang. Kalipso duduk di sampingnya dan berbicara
dengan lembut. "Kau tak perlu lagi tinggal di sini sambil merindukan rumahmu," katanya. "Aku
mengizinkanmu pulang," katanya. Pergi dan tebanglah beberapa pohon. Buatlah
sebuah rakit besar untuk membawamu menyeberangi lautan. Aku akan memberimu
anggur, roti, dan pakaian." Setelah bertahun-tahun ditahan, Odiseus tidak percaya pada kata-kata Kalipso.
"Kapal yang dibuat dengan sempurna pun tak akan dapat mengarungi ombak di lautan
ini dengan selamat," kata Odiseus. "Maukah kau bersumpah untuk tidak
mencelakaiku?" Sang dewi memegang tangan Odiseus. "Aku bersumpah demi langit, bumi, dan air di
alam baka bahwa aku tidak pernah bermaksud mencelakaimu, Odiseus." katanya.
Setelah mengucapkan sumpahnya, Kalipso berdiri dan segera berlalu. Odiseus
mengikuti sang dewi ke dalam gua. Kalipso memerintahkan para pelayan untuk
menyiapkan makanan. Para pelayan wanita menghidangkan ambrosia dan nektar merah-
makanan para dewa yang hidup kekal-untuk sang dewi. Kalipso sendiri memberi
Odiseus daging dan anggur, makanan para manusia.
"Odiseus, bila kau mau berjanji untuk tinggal di sini dan menikah denganku, maka
aku akan menjadikanmu makhluk abadi," kata Kalipso. "Kau akan hidup selamanya."
"Dewi yang cantik, mengapa aku harus hidup selama-lamanya bila itu berarti jauh
dari tanah kelahiranku, tanpa istri dan putraku?" ia bertanya.
"Aku tak dapat membayangkan bahwa istrimu lebih cantik dibandingkan diriku,"
kata Kalipso. "Oh dewi, jangan marah," jawab Odiseus.
"Apa yang kau katakan itu benar. Istriku adalah manusia biasa. Ia tidak secantik
dirimu. Namun selama tujuh tahun, aku tak sanggup memikirkan hal lain selain
pulang kembali ke rumah dan ke dalam pelukan istriku."
Kalipso masih berusaha menahan Odiseus di pulaunya. Ia mencoba memberi satu
alasan lagi agar pria itu bersedia tinggal bersamanya. "Bila kau berlayar
pulang, Odiseus, kau mungkin akan menemui banyak hambatan, karena para dewa
tidak akan membantumu," katanya. "Berulang kali mereka akan menguji kekuatan dan
ketahanan fisik-mu. "Jika para dewa memilih untuk menghancurkan rakitku, aku akan tetap mencoba
bertahan," kata Odiseus. "Setelah mengalami begitu banyak penderitaan, aku tentu
masih sanggup menahan satu cobaan lagi."
Kalipso menghela napas dan menganggukkan kepala. Ia tahu bahwa ia sudah tidak
memiliki pilihan lagi. Ia harus membiarkan Odiseus pergi.
Keesokan harinya, di waktu fajar, Kalipso mengenakan gaun perak berkilauan yang
sangat indah. Ia menutupi kepalanya dengan cadar. Kemudian, ia memberi Odiseus
sebilah kapak tajam dari perunggu dan membimbingnya ke sisi pulau yang jauh.
Di sana banyak tumbuh pohon-pohon yang tingginya mencapai langit.


Odisei Buku Keempat di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Tebanglah sebanyak yang kau butuhkan untuk membuat rakit," kata sang dewi.
Selama empat hari berikutnya, Odiseus menebang pohon-pohon dengan kapak perunggu
tersebut. Ia berhasil menebang dua puluh batang. Selanjutnya ia mulai membuat
rakit. Ia menghaluskan balok-balok yang telah dipotong dan menggabungkannya dengan
pasak kayu. Kemudian, ia membangun dek, membuat sebuah tiang, dan roda kemudi.
Kalipso memberinya kain linen untuk dijadikan layar. Ketika rakit tersebut
selesai, Odiseus menggunakan gelondongan kayu untuk menggulingkannya ke dalam
air. Pada hari kelima setelah kunjungan Hermes ke pulau Kalipso, Odiseus telah siap
berlayar. Kalipso memberinya pakaian bersih dan kantong kulit kambing berisi
anggur merah, air, serta daging. Ia memberi tahu Odiseus tentang gugusan bintang
yang harus diikuti. Sang dewi menyembunyikan kesedihannya ketika Odiseus naik ke atas rakit dan
bergerak menjauhinya menuju laut.
Hadiah terakhir yang diberikan Kalipso untuk Odiseus adalah angin hangat dan
lembut yang mendorong rakit Odiseus ke laut lepas.
DELAPAN PELAYARAN Sambil memegang kemudi erat-erat, Odiseus dengan cekatan mengemudikan rakitnya
di atas ombak. Ia tidak tidur sama sekali. Setiap malam, matanya terpaku pada
bintang-bintang yang telah disebutkan oleh Kalipso untuk dilihat- rasi bintang
Taurus dan Beruang. Hari demi hari dan malam demi malam, Odiseus berlayar di lautan lepas. Akhirnya,
pada hari kedelapan belas, ia melihat bayangan samar-samar sebuah gunung di
cakrawala. Pada saat Odiseus mengemudikan rakitnya menuju pantai, awan tebal kelabu
berkumpul di atas langit. Air laut mulai pasang. Angin kencang bertiup menderu-
deru di atas daratan dan lautan.
Apakah Poseidon telah menemukan rakitku" Odiseus berpikir dengan cemas. Apakah
ia hendak membalaskan dendamnya sekarang"
Selama bertahun-tahun, Poseidon, Sang Dewa Laut, sangat marah pada Odiseus
karena telah membutakan mata putranya, Cyclops. Sekarang tampaknya ia mencoba
untuk kembali menghancurkan Odiseus. Angin menderu-deru
dari arah utara, selatan, timur, dan barat. Siang hari yang terang benderang
berubah menjadi gelap gulita. Odiseus khawatir bahwa ia akan berakhir
menyedihkan. Tiba-tiba sebuah ombak raksasa menghantam rakit Odiseus. Odiseus tersapu dari
atas rakit dan tercebur ke dalam laut. Ia berjuang mati-matian untuk menaikkan
kepala ke atas air dan bernapas.
Saat kepalanya berhasil mencapai permukaan air, Odiseus melihat rakitnya
bergerak sangat cepat menjauhinya. Ia berenang dengan cepat ke arah rakit kayu
itu dan meraihnya. Setelah itu, ia menarik tubuhnya ke atas.
Kemudian, ketika angin mengombang-ambingkan rakit itu di atas air, Odiseus
melihat sebuah pemandangan yang menakjubkan. Seorang dewi laut mengapung
bagaikan camar di atas ombak.
Tanpa takut pada badai, dewi laut itu mengambang ke dekat rakit Odiseus dan
melompat naik. "Temanku," katanya. "Aku adalah Ino, Dewi Putih, yang memberi petunjuk pada para
pelaut yang tersesat di tengah badai. Aku tak tahu mengapa Poseidon marah
padamu. Namun, aku tahu satu hal. Walau berulang kali menyiksamu, ia tak akan
membunuhmu. Namun, kau harus meninggalkan rakit ini secepatnya dan berenang ke
pantai. Ambillah kerudungku karena kerudung ini telah dimantrai. Kau tak akan
mengalami hambatan apa pun selama kau memilikinya. Begitu mencapai daratan, kau
harus melemparkannya kembali ke laut."
Setelah berkata demikian, Dewi Putih melepaskan kerudung yang telah dimantrai
dan memberikannya pada Odiseus. Kemudian, ia menghilang ke dalam laut yang
ganas. Tepat pada saat itu, sebuah ombak besar menggulung rakit Odiseus dan
menghancurkannya hingga berkeping-keping. Sambil menggenggam kerudung Ino,
Odiseus menarik sebilah papan sisa rakit yang hancur dan menaikinya seperti
menunggang kuda. Kemudian, ia menyelam ke dalam laut.
Tiba-tiba, angin menjadi tenang- kecuali angin utara. Odiseus merasa bahwa
Athena sedang menahan semua angin, sehingga ia dapat berenang dengan cepat dan
selamat ke pantai terdekat. Selama dua hari dua malam, dengan bantuan angin
utara yang lembut, Odiseus berenang dan mengapung di laut yang tenang.
Pada hari ketiga, angin utara berhenti bertiup dan laut benar-benar tenang.
Odiseus melihat daratan di depannya. Dengan penuh kegembiraan, ia berenang ke
arah pantai berkarang. Namun dalam sekejap, angin dan ombak kembali muncul. Dengan suara yang keras,
air laut menghantamnya. Odiseus berjuang keras untuk tetap menahan kepalanya supaya berada di atas
permukaan air yang bergejolak dan berusaha mendekati pantai.
Ombak yang ganas memukul karang dengan kekuatan dashyat. Aku akan terhempas ke
karang bila aku mencoba berenang ke pantai sekarang pikir Odiseus dengan putus
asa. Namun sekali lagi, Odiseus merasakan kehadiran Athena. Sebuah ombak raksasa
mengangkat dan membawanya ke arah batu karang di pantai. Namun, sebelum Odiseus
sempat merangkak ke tempat yang aman, sebuah ombak besar lain menggulungnya
kembali ke laut dan menenggelamkannya.
Odiseus berenang dengan perasaan putus asa sambil mencoba melarikan diri dari
ombak yang memukul pantai. Akhirnya, ia berhasil mencapai sebuah teluk yang
tersembunyi. Ia melihat sebuah pantai tak berkarang. Sambil berenang ke tepian,
ia berdoa dan memohon pada para dewa untuk menyelamatkannya dari amarah
Poseidon. Tiba-tiba ombak menjadi tenang. Namun, ketika mencoba menyeret tubuhnya ke
tepian, Odiseus merasa sangat letih. Ia telah dikalahkan oleh badai. Badai telah
menguras segenap tenaganya. Ia berada dalam keadaan setengah sadar sekarang.
Sambil terengah-engah, ia menarik kerudung milik Ino dan melemparkannya kembali
ke laut. Kemudian dengan menggunakan sisa tenaganya, ia menyeret dirinya ke luar
dari air dan membaringkan diri di atas tumbuhan air.
Bila aku tetap berbaring di sini, aku akan mati kedinginan, pikirnya. Dan bila
aku pergi lebih jauh ke pantai dan pingsan di antara semak belukar, binatang
liar akan memangsaku. Namun, bahaya apa pun yang menghadangnya, Odiseus tahu
bahwa ia tetap harus bergerak maju. Dengan menggunakan tangan dan lutut yang
berlumuran darah, ia merangkak ke sebuah tempat perlindungan, yaitu di bawah
pohon zaitun, pohon keramat milik Athena.
Odiseus berbaring di atas tumpukan daun kering. Dengan menggunakan kedua tangan
yang berlumuran darah, ia menutupi tubuhnya dengan daun. Bagaikan seorang petani
yang menyebarkan abu ke atas bara, Odiseus mencoba mempertahankan sisa-sisa
kekuatannya. Dengan penuh belas kasih, sang dewi bermata kelabu menyelinap turun dari atas
langit dan muncul di sisinya. Ia menutup mata Odiseus yang lelah dan membuatnya
tertidur nyenyak untuk melupakan penderitaan dan kesedihannya.
PENUTUP Sementara di Ithaca, Penelope, istri Odiseus, membuka pintu kamarnya dan menyapa
temannya, Medon. "Aku baru saja mendengar kabar buruk," kata Medon. "Para pelamar, dengan
dipimpin Antinous, berencana membunuh putramu. Mereka menunggu di pulau Asteris.
Pada saat kapal putramu lewat, mereka akan membunuhnya."
Penelope jatuh pingsan ke lantai. Ketika sadar, ia menangis penuh kesedihan. "Di
mana putraku?" ia bertanya di antara isak tangis. "Tadinya ku pikir ia ada di
sekitar daerah sini."
"Aku hanya tahu bahwa ia berlayar beberapa hari yang lalu untuk mencari berita
tentang ayahnya," kata Medon. "Ia akan segera kembali ke rumah melalui jalan
yang dijaga oleh musuh-musuhnya."
Penelope tenggelam dalam kesedihan yang demikian besar sehingga ia tak dapat
bangkit dari lantai. Ketika ia menangis dan meratapi hilangnya sang suami dan
putra, para pelayan ikut menangis bersamanya.
Euriklea, pelayan tua Telemakus, mencoba menenangkannya. "Berdoalah pada Dewi
Athena!" katanya pada Penelope. "Mintalah bantuannya. Ia akan menyelamatkan
putramu!" Wanita tua itu mengusap air mata Penelope. Ia membantu Penelope mandi dan
berganti pakaian bersih. Ia juga membantu menyiapkan persembahan bagi sang dewi.
Penelope kemudian berdoa. "Wahai putri Zeus, dengarlah permohonanku. Aku mohon
agar kau menyelamatkan putraku dari segala bahaya."
Karena letih dan sedih, Penelope kembali ke kamar dan berbaring.
Dengan penuh kasih sayang dan iba, sang dewi bermata kelabu segera muncul. Ia
menutup mata Penelope yang lelah dan membuatnya terlelap sehingga wanita malang
itu dapat melupakan segala duka dan kesedihan.
TENTANG HOMER DAN ODISEI Pada zaman dahulu kala, orang Yunani Kuno percaya bahwa dunia dikuasai oleh para
dewa dan dewi yang sakti. Oleh orang Yunani, cerita tentang para dewa dan dewi
itu disebut mitos. Mungkin pada awalnya, mitos diceritakan untuk menjelaskan
berbagai kejadian alam - seperti cuaca, gunung berapi, dan susunan bintang-
bintang di langit. Mitos-mitos itu juga diceritakan ulang sebagai hiburan.
Mitos Yunani pertama kali ditulis oleh seorang penyair buta bernama Homer. Homer
hidup kurang lebih tiga ribu tahun yang lalu. Banyak orang percaya bahwa Homer
adalah pengarang dua puisi kepahlawanan terkenal, Illiad dan Odisei. Illiad
menceritakan tentang Perang Troya. Odisei menceritakan tentang kisah perjalanan
panjang dari Odiseus, raja Ithaca. Cerita tersebut banyak berhubungan dengan
petualangan Odiseus ketika ia berada dalam perjalanan pulang dari Perang Troya.
Dalam menceritakan kisahnya, Homer sepertinya mengabungkan khayalannya sendiri
dengan mitos-mitos Yunani yang secara lisan
telah diwariskan dari generasi ke generasi. Sebagian kecil sejarah juga terdapat
dalam kisah Homer karena terdapat bukti-bukti arkeologis yang menunjukkan bahwa
kisah Perang Troya ditulis berdasarkan perang yang pernah terjadi lima ratus
tahun sebelum Homer lahir.
Selama berabad-abad, kisah Odisei dari Homer telah memengaruhi ke-susasteraan
Barat. PARA DEWA DAN DEWI YUNANI KUNO
Dewa yang paling sakti di antara seluruh dewa dan dewi Yunani adalah Zeus, Sang
Dewa Petir. Dari puncak Gunung Olimpus yang berkabut, Zeus berkuasa atas semua
dewa dan manusia. Para dewa dan dewi lainnya adalah sanak keluarga Zeus.
Saudaranya, Poseidon adalah penguasa lautan, dan saudaranya yang lain, Hades
adalah penguasa alam baka. Anak-anak Zeus - antara lain - adalah Dewa Apolo,
Mars, Hermes, serta Dewi Afrodite, Athena, dan Artemis.
Para dewa dan dewi dari Gunung Olimpus tidak melulu tinggal di puncak gunung.
Mereka juga turun ke bumi untuk melibatkan diri dalam kehidupan sehari-hari umat
manusia - seperti Odiseus.
BEBERAPA DEWA DAN DEWI UTAMA
-Zeus Dewa Petir, raja seluruh dewa
-Poseidon Dewa Laut dan Sungai, saudara laki-laki Zeus
-Hades Dewa Alam Baka, saudara laki-laki Zeus
-Hera istri Zeus, ratu para dewa dan dewi
-Hestia Dewi Perapian, saudara perempuan Zeus
-Athena Dewi Kebijaksanaan, Dewi Perang, Seni dan Kerajinan Tangan; anak
perempuan Zeus -Demeter Dewi Pangan dan Panen, ibu dari Persefone
-Afrodite Dewi Asmara dan Kecantikan, anak perempuan Zeus
-Artemis Dewi Para Pemburu, anak perempuan Zeus
-Ares Dewa Perang, anak laki-laki Zeus
-Apolo Dewa Matahari, Dewa Musik danPuisi
-Hermes Dewa Pembawa Berita, anak laki-laki Zeus - ahli membuat tipuan
-Hefaestus Dewa Pembuat Senjata, anak laki-laki Hera
-Persefone istri Hades, ratu alam baka - anak perempuan Zeus
-Dionisus Dewa Anggur dan Kegilaan
CATATAN TENTANG ASAL-MUASAL CERITA
Kisah Odisei asli ditulis dalam bahasa Yunani Kuno. Sampai saat ini, cerita
Homer ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa hingga mencapai ribuan
kopi. Penulis telah mempelajari sejumlah terjemahan dalam bahasa Inggris,
termasuk yang ditulis oleh Alexander Pope, Samuel Butler, Andrew Lang, W.H.D.
Rouse, Edith Hamilton, Robert Fitzgerald, Allen Mandelbaum, dan Robert Fagels.
Odisei karangan Homer terdiri dari 24 buku. Jilid pertama dari seri ini diambil
dari buku kesembilan dan kesepuluh.
Cerita mengenai keikutsertaan Odiseus untuk berperang melawan Troya bersumber
dari seorang penulis yang hidup pada abad kedua setelah Masehi. Nama penulis itu
adalah Hyginus. Catatan tentang kuda Troya bersumber dari cerita karangan Virgil
yang berjudul Aeneid. Catatan dari Apolodorus tentang jatuhnya Troya menyebutkan
bahwa nama Athena terpahat di atas kuda kayu tersebut.
SANG PENGARANG Mary Pope Osborne adalah pengarang buku serial paling laris yang berjudul Magic
Tree House - Rumah Pohon Ajaib. Ia juga menulis sejumlah novel sejarah dan
menceritakan kembali mitos-mitos serta cerita rakyat yang sudah sangat dikenal,
termasuk di antaranya Kate and Beanstalk - Kate dan Pohon Kacang dan New York's
Bravest - Yang Terberani dari New York. Ia tinggal bersama suaminya di New York
dan Connecticut. Edit by : zheraf.net http://www.zheraf.net Bencana Di Kuto Gede 2 Pendekar Naga Putih 15 Pendekar Murtad Pendekar Penyebar Maut 26
^