Pencarian

Sirens Dan Monster Laut 1

Odisei Buku Ketiga Bagian 1


ODISEI - BUKU KETIGA SIRENS DAN MONSTER LAUT Ditulis oleh MARY POPE OSBORNE Digambar oleh TROY HOWELL
Teks Copyright 2004 by Mary Pope Osborne Artwork Copyright 2004 by Troy " "Howell
Diterjemahkan dari Sirens and Sea Monster, karangan Mary Pope Osborne, terbitan
Hyperion, New York: 2004 Hak terjemahan Indonesia pada Serambi Dilarang mereproduksi atau memperbanyak
seluruh maupun sebagian dari buku ini dalam bentuk atau cara apa pun tanpa izin
tertulis dari penerbit Penerjemah: Santi Paramitta Penyunting: Ferry Halim Pewajah Isi: Siti
PT SERAMBI ILMU SEMESTA Anggota IKAPI Jln. Kemang Timur Raya No. 16, Jakarta
12730 www.serambi.co.id; info@serambi.co.id
Cetakan I: Oktober 2006 M ISBN: 979-1112-02-9
Dicetak oleh Percetakan PT. Ikrar Mandiriabadi, Jakarta Isi diluar tanggung
jawab percetakan Untuk Ken Whelan PENGANTAR Pada zaman dahulu kala, ada sebuah dunia misterius yang dikenal dengan nama
Gunung Olimpus. Dunia yang tersembunyi di belakang sekumpulan awan tebal ini tak
pernah tertiup angin ataupun terguyur hujan. Para penghuni Gunung Olimpus tidak
pernah menjadi tua ataupun mati. Mereka bukan manusia. Mereka adalah para dewa
dan dewi Yunani yang perkasa.
Para dewa dan dewi Olimpus memiliki pengaruh besar atas kehidupan umat manusia
di dunia. Pada suatu ketika, kemarahan para dewa dan dewi ini menyebabkan
seorang pria bernama Odiseus harus berkelana di lautan selama bertahun-tahun
hanya untuk menemukan jalan pulang.
Tiga ribu tahun yang lalu, untuk pertama kalinya, seorang penyair Yunani bernama
Homer menceritakan kisah perjalanan Odiseus. Sejak saat itu, para pendongeng
lain turut menceritakan kembali kisah perjalanan yang ajaib dan mengesankan
tersebut. Kisah perjalanan tersebut dikenal sebagai Odisei.
SATU NEGERI ORANG HIDUP Ribuan hantu yang meratap bergerak mendekati Odiseus. Ratapan mereka bergema
dalam kabut. Odiseus dan anak buahnya mulai berlari. Mereka lari untuk
menyelamatkan diri, lepas dari orang-orang mati itu....
"Ada daratan di depan!" seru salah seorang anak buah Odiseus.
Kemudian, Odiseus terbangun dari mimpi buruknya. Ia tertidur di geladak kapal.
Ia bermimpi tentang kunjungannya ke Negeri Orang Mati yang dikuasai oleh Hades
dan Persefone. Sekarang, ia dapat melihat pulau milik Circe, sang penyihir, di
kejauhan. Aku akan katakan pada Circe apa yang telah kulihat dan kudengar di Negeri Orang
Mati, pikirnya. Aku yakin ia akan membantuku pulang ke Ithaca.
Selama dua belas tahun yang panjang, Odiseus sangat memimpikan untuk dapat
pulang ke Pulau Ithaca di Yunani dan bersatu kembali dengan istri dan anaknya
yang tercinta. Ia dan anak buahnya telah bertempur dalam Perang Troya. Mereka
telah bertarung melawan Cyclops,
si monster bermata satu. Mereka berhasil menyelamatkan diri dari raksasa pemakan
manusia dan kehilangan seluruh armada, kecuali kapal hitam yang sedang
dinaikinya. Odiseus juga berhasil menaklukkan Penyihir Circe yang cerdik. Ia
beserta anak buahnya berhasil pergi dan pulang dari Negeri Orang Mati dengan
selamat. Sebelumnya, tidak ada satu manusia pun yang dapat kembali hidup-hidup
dari tempat itu. Saat berlayar kembali menuju pulau milik Circe yang diterangi sinar matahari,
para orang Yunani bersorak gembira. Pulau itu tertutup oleh hutan yang indah
menghijau dan dikelilingi pantai yang berbatu.
Burung-burung sedang berkicau di atas pepohonan ketika mereka berlabuh. Saat
matahari terbenam, mereka semua berjalan terseret-seret menuju pantai. Kelelahan
yang luar biasa menyerang. Setiap orang roboh ke atas pasir dan terlalu lelah
untuk bicara. Sambil berbaring di pantai, Odiseus menatap bulan dan bintang-bintang. Ia
berusaha tidak mengingat Negeri Orang Mati. Ia merasakan tiupan angin lembut dan
mendengar suara ombak yang menyapu pantai. Dunia orang hidup memang tempat yang
luar biasa. Saat cahaya fajar berwarna kemerahan menyebar ke seluruh penjuru pulau, Odiseus
membuka matanya. Ia melihat Circe muncul dari istananya. Ia mengenakan gaun indah berwarna
pelangi. Di tengah-tengah udara pagi yang segar, para pelayan mengikuti di
belakang sambil membawa nampan penuh berisi daging, roti, dan anggur.
Odiseus segera melompat berdiri dan membangunkan anak buahnya. Kemudian dengan
tergesa-gesa, ia menyapa wanita itu. Meskipun dulu pernah mencoba mencelakainya
dan anak buahnya, sekarang penyihir itu telah menjadi teman dan pelindung
mereka. "Salam!" Odiseus berseru.
"Selamat datang, teman-temanku yang gagah berani!" kata Circe sambil tersenyum.
"Kalian telah melakukan hal yang belum pernah dilakukan oleh manusia lain-pergi
ke Negeri Orang Mati dan berhasil kembali dengan selamat. Bila kalian mati
nanti, orang lain akan mengatakan bahwa kalian telah mati dua kali."
"Ya, dan kami sangat berterima kasih pada para dewa karena kami berhasil kembali
ke pulau ini dengan selamat," kata Odiseus. "Sekarang, kami harap kau mau
membantu kami menemukan jalan pulang ke Ithaca."
"Aku pasti akan membantu," kata Circe. "Tapi sekarang kalian harus beristirahat
karena telah menempuh perjalanan yang berat dan panjang. Minum dan berpestalah
untuk merayakan kepulangan kalian. Lalu, esok hari ketika fajar menyingsing,
kalian akan berlayar pulang ke
Ithaca." Orang-orang Yunani itu bersorak. Mereka kelaparan dan kehausan. Mereka juga
sangat gembira karena bisa melewatkan satu hari ditemani Circe beserta pelayan-
pelayannya yang cantik. Sepanjang pagi dan siang, Odiseus beserta anak buahnya berpesta dan minum
anggur. Ketika akhirnya matahari terbenam dan kegelapan menyelimuti pulau,
mereka berbaring di dalam kapal dan segera jatuh tertidur.
Odiseus sendiri tidak bisa tidur. Circe menggandeng tangannya dan mengajaknya ke
hutan yang diterangi sinar bulan. Mereka duduk bersama di bawah bayangan pohon
ek yang menjulang. "Ceritakan tentang perjalananmu, Odiseus," kata Circe. "Apa yang kau lihat di
Negeri Orang Mati" Apa yang telah kau pelajari di sana?"
Odiseus bercerita pada Circe tentang perjalanannya ke negeri kelabu milik Hades
dan Persefone, para penguasa orang mati. Ia bercerita tentang arwah-arwah yang
ditemuinya, yang meminta darah agar dapat hidup kembali.
"Ibuku berada di antara mereka," katanya dengan perasaan sedih. "Ia meninggal
karena terlalu sedih saat menunggu kepulanganku ke Ithaca. Ia mengatakan bahwa
ayah, istri, dan anakku masih menantikan kepulanganku."
"Aku juga bicara dengan temanku Achilles yang terbunuh dalam Perang Troya. Aku
bicara dengan Sang Raja Agung Agamemnon. Aku melihat Herkules, Sisifus, dan Tantalus.
Akhirnya, aku bicara dengan sang peramal buta, Tiresias."
"Dan apa yang ia katakan padamu?" tanya Circe.
"Ia memberiku berbagai peringatan dan nasihat bijak," kata Odiseus. "Begini
katanya, 'Dalam perjalanan pulang, kau akan melewati pulau milik Dewa Matahari.
Di pulau tersebut ada banyak domba dan sapi yang bagus. Jangan biarkan anak
buahmu menyentuh satu pun dari makhluk itu. Mereka sangat dipuja oleh sang dewa.
Siapa pun yang mencoba menyembelih mereka akan mendapat musibah. Kau sendiri
mungkin akan selamat. Namun kalau memang demikian adanya, kau akan menjadi
hancur. Kau akan menemui masalah besar di rumah.'"
Circe mendesah. "Ya, itu memang kata-kata yang bijaksana," ujarnya. "Tapi
sebelum mencapai pulau milik Dewa Matahari, kau harus menghadapi bahaya-bahaya
lain terlebih dahulu. Dengarkan aku baik-baik, Odiseus, karena aku akan
memberitahukan berbagai hal yang mengerikan. Namun, kalau kau menuruti kata-
kataku, kau dan anak buahmu akan berhasil menemukan jalan pulang."
DUA PERINGATAN CIRCE Odiseus, apakah kau sanggup mendengar apa yang akan kukatakan?" tanya Circe.
"Apakah kau siap untuk mengetahui hal mengerikan yang telah menunggu dalam
perjalananmu?" Odiseus mengangguk. Hal apa lagi yang lebih mengerikan dari Cyclops, atau
raksasa pemakan manusia-atau bahkan mantera dari Circe sendiri yang telah
mengubah anak buahnya menjadi babi"
Circe memulai ceritanya. "Segera setelah kau meninggalkan pulauku, kau akan
mencapai pulau milik Sirens. Sirens adalah para wanita cantik. Dari tengah
padang berbunga, mereka akan bernyanyi untuk setiap pelaut yang melewati pantai
mereka." Odiseus hampir saja tertawa. "Apa yang dapat dilakukan wanita-wanita itu padaku
dan anak buahku?" "Setiap pelaut yang mendengar nyanyian Sirens akan lupa pada tanah kelahiran,
istri, dan anak-anaknya," kata Circe. "Nyanyian Sirens akan memikatnya sehingga
mati tenggelam." Odiseus tersenyum dan menggeleng. Ia tidak
percaya sebuah nyanyian bisa memiliki kekuatan yang demikian hebat.
"Dengarkanlah peringatanku, Odiseus!" kata Circe. "Pantai tempat tinggal Sirens
dipenuhi tulang para pelaut yang menjadi gila karena nyanyian mereka. Kau harus
menyuruh awak kapalmu menyumpal telinga mereka dengan lilin dari sarang lebah,
sehingga tak seorang pun dapat mendengarnya. Kalau tidak, kalian semua akan
musnah!" "Aku akan memerintahkan mereka untuk melakukan itu," Odiseus setuju. "Tapi aku
sendiri akan mendengarnya. Aku tidak percaya tekadku untuk pulang dapat
dikalahkan oleh sebuah nyanyian."
"Kalau begitu, hanya kau sendiri yang boleh mendengar nyanyian Sirens," kata
Circe. "Tapi anak buahmu harus mengikat tangan dan kakimu ke tiang kapal
terlebih dahulu. Kalau tidak, kau pasti akan terjun ke laut. Katakan pada awak
kapalmu untuk tidak membuka ikatanmu meskipun kau memohon untuk dilepaskan. Kau
mau bersumpah untuk melakukannya?"
Odiseus mengangguk. "Setelah berlayar melewati Sirens, kau akan melihat dua jalur," kata Circe.
"Satu jalur akan membawamu ke arah Batu Bergerak. Batu Bergerak adalah dua batu
raksasa yang saling menghantam dengan keras. Tak ada satu makhluk hidup pun-
bahkan burung merpati yang sedang terbang ke tempat Zeus-yang dapat melewatinya tanpa dihancurkan
terlebih dahulu." "Ombak berbuih di sekitar Batu Bergerak penuh dengan bangkai kapal dan mayat
para pelaut. Hanya Jason beserta awaknya yang berhasil selamat, tapi itu pun
karena Dewi Hera sangat mencintainya dan membantunya agar selamat."
"Aku khawatir kami tidak bisa bergantung pada perlindungan para dewa," kata
Odiseus. "Katakan padaku Circe, jalur yang satu lagi itu apa?"
"Jalur yang satu lagi akan membawamu menuju dua tebing curam," kata Circe.
"Tebing yang satu tidak terlalu tinggi. Di sana, di bawah pohon ara raksasa,
hidup seekor monster pusaran air yang mematikan, Charybdis. Kapal apa pun yang
berlayar mendekatinya akan terhisap ke dasar laut yang gelap. Bahkan Poseidon
sendiri tak dapat menyelamatkan para pelaut dari monster pusaran air itu."
"Dan bagaimana dengan tebing yang satu lagi?" tanya Odiseus. "Bahaya apa yang
menanti di sana?" "Tinggi di atas sisi tebing kedua terdapat sebuah gua yang gelap," kata Circe.
"Di dalam gua itu berdiam monster Scylla. Ia mendengking seperti seekor anjing
kecil. Namun, sesungguhnya ia adalah binatang buas. Bahkan para dewa dan dewi
sekali pun tak bisa melihatnya tanpa merasa mual."
"Mengapa ia begitu mengerikan?" tanya Odiseus.
"Scylla adalah monster yang memiliki enam kepala besar nan seram," kata Circe.
"Keenam mulutnya penuh gigi setajam pisau. Dalam sekejap, monster ini dapat
menelan enam manusia. Sepanjang hari, Scylla duduk di dalam guanya sambil
memandang dengan rakus ke arah laut dengan kedua belas matanya. Setiap kali ada
kapal yang berlayar lewat, ia menyerang pelaut yang ada di geladak kapal. Dalam
waktu singkat, ia merobek-robek tubuh korbannya yang malang menjadi berkeping-
keping." Odiseus menatap sang penyihir. "Kalau begitu, semua pilihan yang kau berikan
padaku tidak masuk akal," katanya. "Kalau kami tidak mati tenggelam karena
monster pusaran air, maka kami pasti akan mati ditelan binatang buas berkepala
enam." "Pilihannya adalah," kata Circe, "bila kau berlayar mendekati monster pusaran
air, kalian semua akan mati. Tapi bila kau berlayar mendekati Scylla, kau hanya
kehilangan enam orang."
Odiseus menutup matanya. Ia telah menyaksikan puluhan anak buahnya mengalami
kematian yang mengerikan. Beberapa di antara mereka dimakan Cyclops yang kejam.
Yang lainnya ditombak hidup-hidup oleh raksasa pemakan manusia. Bagaimana
mungkin ia sanggup melihat anak buahnya dibantai kembali"
"Aku menyarankanmu untuk mengambil jalur yang melewati monster Scylla," kata
Circe. "Jangan mencoba melawannya. Kau memang akan kehilangan enam orang. Namun,
bila kau sanggup berlayar cukup cepat melalui monster itu, kau akan kehilangan
hanya enam orang. Yang lain akan memiliki kesempatan untuk tetap hidup."
Odiseus terdiam sejenak. Ia hampir tidak sanggup untuk mendengarkan nasihat
Circe selanjutnya. "Bagaimana aku- yang mengetahui semua hal ini-sanggup
membiarkan anak buahku mati dengan cara yang mengenaskan?" ia bertanya.
"Bagaimana aku dapat memilih enam orang untuk dikorbankan?"
"Bukan kau yang memilih siapa di antara mereka yang akan mati," kata Circe.
"Monster itu yang akan membuat pilihan itu untukmu. Bahkan ia mungkin akan
memilihmu." Odiseus menggeleng. "Tidak. Aku akan membunuhnya sebelum ia menyentuh satu pun
dari kami," katanya.
"Jangan terlalu sombong, Odiseus!" kata Circe. "Kau hanya manusia biasa. Tak ada
manusia biasa-bahkan dirimu sekali pun-yang dapat mengalahkan Scylla. Sementara
kau sibuk mengayunkan pedang, ia sudah menelan enam orang lagi."
"Kau harus mendayung kapalmu dengan
kecepatan penuh! Dan berdoalah untuk memohon bantuan pada ibu Scylla. Hanya ia
yang dapat mencegah putrinya yang buas itu untuk tidak menelan lebih banyak
orang." Sebelum Odiseus sempat mengajukan protes, Circe meneruskan peringatannya.
"Bila kau dapat meloloskan diri dari monster itu, maka sudah tiba waktumu untuk
menuruti peringatan Tiresias," kata Circe. "Kau akan segera mendekati pulau
milik Helios, Dewa Matahari. Di sana, kau akan melihat tujuh kelompok sapi dan
tujuh kelompok domba. "Ada lima puluh lima hewan dalam tiap kelompok. Mereka dijaga oleh dua peri
hutan berambut pirang. Mereka adalah putri Helios. Domba dan sapi itu tak pernah
beranak. Mereka juga tak bisa mati. Tapi bila salah seorang anak buahmu
menyentuhnya, maka semua awak kapalmu akan musnah. Kau sendiri mungkin dapat
meloloskan diri, tetapi kau akan mengalami hal-hal yang menyedihkan dan
mengerikan saat kembali ke pulaumu. Istri dan anakmu juga akan menderita."
Odiseus berdiri. Bayangan bahwa keluarganya mungkin terancam bahaya semakin
menguatkan keinginannya untuk segera pulang. "Terima kasih atas pertolonganmu,"
katanya pada Circe. "Aku berjanji akan menuruti peringatanmu."
"Bagus," kata wanita itu. "Aku telah mengatakan hal-hal yang perlu kau ketahui.
Jalan yang akan kau tempuh memang sangat
berbahaya. Namun, bila kau melakukan apa yang kukatakan, kau akan menemukan
jalan pulang. Sekarang, pergilah karena fajar hampir tiba."
Odiseus melihat ke sekitar hutan. Sinar berwarna merah muda keemasan yang lembut
menembus masuk melalui sela-sela pohon. Angin yang bertiup sepoi-sepoi membuat
dedaunan bergerak dan menari. Burung-burung mulai terdengar bernyanyi.
Ketika Odiseus berbalik ke arah sang penyihir, ternyata wanita itu telah
menghilang. "Circe!" ia berteriak.
Penyihir itu tak menjawab. Ia telah menyelinap pergi ke arah sinar fajar yang
berwarna kemerahan. TIGA NYANYIAN SIRENS Odiseus sangat bersemangat untuk segera berlayar. Pada saat ia tergesa-gesa
kembali ke pantai, kata-kata Circe kembali terngiang-ngiang di telinganya. Jalan
yang akan kautempuh memang sangat berbahaya. Namun, bila kau
melakukan apa yang kukatakan, kau akan menemukan jalan pulang.


Odisei Buku Ketiga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Odiseus naik ke kapal dan memerintahkan anak buahnya untuk bertolak secepatnya.
Para awak segera terjaga dan berjalan terhuyung-huyung menuju tempat dayung.
Saat Odiseus hendak menaikkan jangkar, beberapa pelayan Circe muncul di pantai.
Mereka membawa makanan dan anggur untuk perjalanan mereka.
Orang-orang Yunani itu dengan gembira segera menaikkan pemberian itu ke kapal.
Mereka mengucapkan selamat tinggal pada para pelayan dan bertolak dari pantai.
Pada saat kapal itu menjauh dari pantai, Odiseus dengan sedih menatap pulau
milik si penyihir misterius. Selama dua belas bulan, Circe telah mengendalikan
nasibnya. Ia telah mengubah anak buahnya menjadi babi dan kemudian mengembalikan mereka menjadi
manusia lagi. Ia telah menyuruhnya pergi ke Negeri Orang Mati. Ia telah
memberinya berbagai ramalan dan peringatan tentang perjalanan pulang yang penuh
bahaya. Bahkan saat ini, ia dapat merasakan kehadiran penyihir itu ketika angin lembut
meniup kapalnya di atas ombak.
Pada waktu kapalnya berlayar menuju laut lepas, Odiseus kembali teringat pada
peringatan Circe dan pada bahaya yang akan segera dihadapi oleh anak buahnya.
Tidak adil, pikirnya. Aku tahu bahaya yang sedang mengintai, sementara anak
buahku tidak tahu apa-apa. Ia berdiri dan meminta seluruh awak kapal untuk mendengarkan penjelasannya.
"Teman-teman!" katanya. "Circe telah bicara banyak denganku mengenai perjalanan
kita. Sekarang, kalian juga harus mendengar peringatannya. Kita akan segera
memasuki pulau kediaman Sirens. Sirens adalah wanita-wanita cantik yang beryanyi
di tengah padang bunga di dekat laut."
Anak buah Odiseus tertawa. Mereka tidak takut pada penyanyi-penyanyi cantik.
"Dengar," kata Odiseus. "Circe telah memperingatkanku bahwa siapa pun yang
mendengar nyanyian Sirens akan menceburkan diri ke laut dan mati tenggelam.
Kalian harus menutup telinga sehingga tidak mendengar nyanyian yang memikat itu.
Hanya aku sendiri yang boleh mendengarnya. Itu pun kalau kalian telah mengikat
tangan dan kakiku pada tiang kapal, sehingga aku tak dapat lari. Bila aku
memohon pada kalian untuk melepaskan ikatanku, kalian malah harus mengencangkan-
nya." Saat ia sedang bicara, angin mendorong layar sehingga menambah laju kapal.
Kemudian, angin tiba-tiba berhenti bertiup. Air laut menjadi tenang dan suasana
menjadi mencekam. Para awak kapal saling memandang dengan perasaan takut.
"Ke mana perginya angin?" salah seorang berbisik.
"Bahkan laut pun tak beriak," seru yang lain. "Apa yang telah terjadi dengan
angin?" "Kita pasti telah mendekati pulau yang dihuni Sirens," kata Odiseus. "Cepat!"
Turunkan layar dan simpan! Kalian harus diam. Cepat."
Orang-orang itu segera menuruti perintahnya. Mereka menurunkan layar dan
menyimpannya di palka. Kemudian, mereka mengambil dayung dan mendayung pelan-
pelan tanpa suara di air yang tenang nan mencekam.
Pada saat anak buahnya sibuk mendayung, Odiseus mengambil lilin yang berasal
dari sarang lebah. Ia menjemur lilin itu di bawah sinar
matahari hingga menjadi lunak. Kemudian ia memotongnya menjadi beberapa bagian
kecil serta membentuk lilin itu dengan jari dan membagi-bagikannya pada anak
buahnya. "Pakai ini supaya kalian tidak mendengar nyanyian Sirens," katanya. "Setelah
itu, ikatlah aku ke tiang kapal."
Para awak segera menyumpal telinga mereka dengan lilin. Kemudian mereka
mengambil gulungan tali panjang dan mengikat Odiseus ke tiang kapal. Mereka
mengikat simpul-simpulnya sangat kencang sehingga tak ada seorang pun dapat
melepaskannya. Kemudian, mereka segera kembali mendayung.
Pada saat kapal hitam itu mendekati pantai, Odiseus mulai mendengar nyanyian
yang mengalun di antara kabut. Suara nyanyian itu lebih merdu dari yang ia
bayangkan-tinggi, lembut, dan berirama. Kata-kata Sirens terbawa angin yang
bertiup lembut: Dengarkan, wahai Odiseus yang pemberani, Dengarkan kami!
Tak seorang pun dapat melewati pulau kami
tanpa tinggal sejenak Untuk mendengarkan lagu kami
Siapa pun yang mendengar Akan menjadi orang yang lebih bijak,
Siapa pun yang mendengar Akan menemukan rahasia para dewa.
Kapal itu berlayar semakin dekat ke pantai. Di
antara kabut di atas air yang tenang, Odiseus melihat dua wanita cantik di
tengah padang berbunga. Dengan perasaan takjub, ia melihat kedua wanita itu memiliki sayap seperti
burung. Bulu mereka menerawang di bawah cahaya matahari pagi.
Ia merasakan dorongan yang kuat untuk bergabung dengan kedua makhluk cantik itu.
Ia ingin melewatkan sisa hidupnya bersama mereka.
Ketika kapal semakin dekat, ia melihat tumpukan tulang berwarna putih di sekitar
kedua wanita itu. Ia melihat kulit manusia yang mulai membusuk. Ia tahu bahwa ia
sedang memandang sisa jasad para pelaut yang telah tersihir oleh Sirens.
Namun, pemandangan yang mengerikan itu tidak mampu mencegah Odiseus untuk terjun
ke laut dan berenang mendekati pulau.
Saat Sirens berulang kali menyanyikan lagu mereka yang lembut, Odiseus hampir
menjadi gila. Ia meronta-ronta untuk melepaskan diri dari ikatannya.
Anak buahnya mendayung semakin cepat. Dua di antara mereka mengikatnya dengan
lebih banyak tali. Mereka mendayung semakin cepat di atas air yang tenang.
Sementara mereka mendayung, lagu Sirens terdengar semakin menjauh.
Odiseus berusaha mendengar nyanyian indah
yang semakin menghilang itu. Hatinya menjadi sedih ketika nyanyian tersebut
semakin terdengar sayup-sayup hingga akhirnya benar-benar menghilang dan suasana
menjadi tenang kembali. Tiba-tiba angin bertiup. Air laut kembali beriak dan bergulung. Burung-burung
camar menukik dan memekik.
Rasa Odiseus berubah menjadi gembira. Ia mulai tertawa. Ia selamat! Anak buahnya
selamat! Nyanyian Sirens sudah berlalu dan mereka semua selamat.
Edit by : zheraf.net http://www.zheraf.net EMPAT MONSTER PUSARAN AIR Ketika melihat Odiseus tertawa, anak buahnya segera mencabut lilin dari telinga
mereka. "Buka ikatan talinya!" perintah Odiseus. "Bebaskan aku!"
Setelah anak buahnya melepaskan ikatan tali, Odiseus mengucapkan terima kasih
pada mereka. "Aku sungguh-sungguh berterima kasih pada kalian semua," katanya. "Aku telah
mendengar nyanyian Sirens dan selamat."
Mereka kemudian meminta Odiseus untuk menggambarkan nyanyian indah itu. Namun
sebelum sempat bicara, ia mendengar suara menggelegak keras di kejauhan.
Setiap orang memandang ke arah datangnya suara. Laut tiba-tiba menjadi gelap dan
mengerikan. Ombak besar mulai mengguncang-guncang kapal.
Suara menggelegak itu bertambah keras hingga berubah menjadi auman yang
memekakkan telinga. Ombak membumbung tinggi dan menghantam lambung kapal dengan
kekuatan dashyat. Hanya Odiseus yang paham apa yang tengah terjadi. Kapal beserta segala isinya
sedang tersedot ke dalam pusaran air Charybdis.
"Dayung! Dayung dan selamatkan nyawa kalian!" kata Odiseus.
Namun, para awak justru berteriak ketakutan dan menjatuhkan dayung. Kapal mereka
mulai berputar-putar. Odiseus tahu bahwa untuk dapat selamat dari pusaran air, ia harus segera
mengarahkan kapal ke arah gua tempat tinggal monster Scylla. Namun, ia tidak
sanggup mengatakan pada anak buahnya tentang makhluk mengerikan yang sedang
menunggu mereka. Sebaliknya, Odiseus bergerak ke-sana ke mari di geladak kapal untuk menyemangati
setiap orang agar tidak menyerah pada rasa takut.
"Kita telah mengalami berbagai cobaan berat," katanya pada mereka. "Namun, kita
berhasil lolos dari Cyclops. Kita mampu bertahan dari pengaruh mantera Circe.
Kita telah pergi ke Negeri Orang Mati dan kembali dengan selamat. Sekarang,
ambil dayung kalian! Dayung secepat mungkin! Apa pun yang ada di depan, kita
harus menghadapinya dengan penuh keberanian."
Hati Odiseus terasa berat saat ia sedang bicara pada anak buahnya. Hanya ia
sendiri yang tahu bahwa paling sedikit enam orang dari mereka akan segera mati
secara mengenaskan karena diterkam monster Scylla.
Karena tak tahu apa yang akan menimpa
mereka dan tergerak oleh kata-kata sang pemimpin, orang-orang Yunani itu segera
mengambil dayung mereka kembali dan mulai mendayung melawan air yang deras.
Pada saat para juru mudi sedang menjaga agar kapal tetap stabil, suara raungan
pusaran air menjadi semakin keras tak tertahankan. Ombak ganas mulai menghantam
kapal. Saat itu juga, Odiseus melihat tebing tinggi yang curam di depannya. Tebing itu
tampak seperti menembus langit- puncaknya hilang tertutup awan. Tak seorang pun
mampu mendaki puncaknya karena sisi tebing curam itu selicin marmer.
Di dekat puncak tebing, ada sebuah gua yang gelap. Tempat kediaman Scylla,
monster berkepala enam, pikir Odiseus dengan perasaan ngeri.
Sekali lagi, Odiseus memilih untuk tidak mengatakan pada anak buahnya tentang
monster yang sedang menunggu di sarangnya. Bila mereka tahu, mereka pasti akan
kehilangan keberanian dan berhenti mendayung-dan semua orang akan musnah
tersedot pusaran air Charybdis.
Lebih baik enam orang mati dibandingkan
semuanya, pikir Odiseus dengan perasaan pahit.
Jadi sekali lagi, ia menyemangati anak buahnya untuk mengumpulkan keberanian.
"Lakukan apa yang kukatakan-percaya pada Zeus-dayung dengan segenap kekuatan
kalian! Arahkan kapal ke tebing tinggi yang menjulang ke atas awan itu."
Odiseus mencoba untuk bicara dengan tenang. Namun, ia sebenarnya merasa marah
karena enam orang rekannya akan segera mati. Kemarahannya bertambah besar
sehingga ia mengambil keputusan yang tergesa-gesa dan ceroboh: ia akan menentang
nasihat Circe. Ia akan membunuh Scylla sebelum monster itu menelan seorang pun
dari mereka. Ia mengencangkan baju zirahnya dan mengambil dua tombak panjang. Sambil
mencengkeram kedua tombak itu erat-erat, ia menatap tebing kelabu yang bertambah
dekat. Kabut menutupi sebagian mulut gua Scylla. Gua itu sangat tinggi sehingga pejuang
paling hebat sekali pun tak akan mampu memanah atau melempar tombak ke sana.
Odiseus harus menunggu hingga monster itu muncul.
Ketika anak buahnya sedang mendayung sekuat tenaga di atas laut yang gelap,
Odiseus mendengar suara seperti dengkingan anak anjing. Ia menantikan kemunculan
Scylla yang memiliki enam leher panjang dan kepala seram dengan gigi-gigi yang
berkilauan. Ia berdiri di bagian depan geladak kapal hitamnya dan bersiap-siap untuk
membunuh Scylla. LIMA SCYLLA Pada saat para orang Yunani bergerak mendekati sarang Scylla, Odiseus menatap
dengan marah ke arah gua yang tertutup kabut itu.
Namun, tiba-tiba ia melupakan Scylla karena perhatiannya beralih ke air laut
yang bergemuruh. Tepat di haluan kapal, monster pusaran air, Charybdis, tengah
menghisap ribuan ton air laut yang berwarna hitam dan memuntahkannya kembali.
Curahan air dari mulut monster itu menghujani kapal. Air laut di sekitar kapal
berbuih dan bergolak seperti air yang mendidih di dalam ketel raksasa.
Odiseus dapat melihat bagian tengah pusaran air itu-sebuah lubang dalam berisi
lumpur hitam. Bila kapalnya menikung sedikit saja ke arah air yang berputar itu,
maka mereka semua pasti akan terhisap ke dalam kegelapan di bagian tengah
pusaran. Ia menjatuhkan tombaknya. "Pertahankan arah kapal!" ia berteriak ke arah anak
buahnya. "Dayung sekuat tenaga menuju tebing tinggi itu!"
Anak buah Odiseus berteriak ketakutan. Pada saat itulah, Scylla menjulurkan
kepalanya yang seram ke luar dari gua.
Dalam sekejap, leher monster berkepala enam yang panjang itu menukik ke arah
laut di bawah. Ia menerkam enam prajurit Odiseus yang paling hebat dengan
mulutnya. Pada saat ia mengangkat orang-orang Yunani tak berdaya itu ke udara,
mereka menggeliat kesakitan seperti ikan yang tertangkap oleh nelayan raksasa.
Odiseus melihat tangan-tangan dan kaki-kaki yang berlumuran darah bergelantungan
dari mulut Scylla. Ia mendengar keenam anak buahnya berteriak memanggil namanya
dan memohon pertolongan. Monster seram itu mengunyah semua korban tepat di depan matanya. Hal itu benar-
benar merupakan pemandangan paling menyeramkan yang pernah dilihatnya seumur
hidup. Odiseus kemudian sadar bahwa Circe memang benar. Ia sungguh tolol kalau berpikir
akan dapat membunuh monster itu. Satu-satunya cara untuk menyelamatkan anak
buahnya adalah dengan mendayung kapal secepat mungkin.
"Dayung! Dayung!" teriaknya. "Kalau mau selamat, dayunglah sekuat tenaga!"
Orang-orang itu segera mendayung dengan kalut untuk menjauhi tebing tinggi itu.
Sambil terus disemangati oleh Odiseus, mereka melaju pergi hingga akhirnya
terbebas dari ancaman kedua monster laut, Scylla dan Charybdis.
ENAM PULAU DEWA MATAHARI Odiseus berdiri di dekat kemudi kapal. Ia menatap ke air laut yang bergejolak di
belakangnya dan terpaku ketakutan saat teringat pada pembantaian kejam yang
dialami anak buahnya. Jeritan mereka masih terngiang-ngiang di telinganya. Tubuh
mereka yang bergelantungan dan berlumuran darah telah terekam dalam ingatannya
untuk selama-lamanya. Namun saat ini, ia sadar bahwa anak buahnya yang tersisa membutuhkannya. Karena
mereka semua gemetar ketakutan, ia memutuskan untuk menyingkirkan amarahnya dan
kembali memegang tampuk pimpinan.
"Terus dayung!" katanya sambil menengadahkan kepala ke arah angin yang bertiup.
"Jangan menengok ke belakang! Jangan pikirkan apa yang telah kalian lihat, atau
kita tidak akan pernah menemukan jalan pulang!"
Karena terlalu kaget untuk berbicara, orang-orang Yunani itu kembali mengangkat
dayung dan-bagaikan anak kecil yang taat-mulai mendayung.
Kapal hitam tersebut melaju cepat di atas air laut yang gelap. Tak lama
kemudian, mereka melihat sebuah pulau yang bermandikan cahaya matahari di
kejauhan. Mereka mendengar lenguhan sapi dan embikan domba.
Anak buah Odiseus sangat girang saat mendengar suara-suara itu. Setelah
mengalami berbagai siksaan berat, mereka membutuhkan istirahat, tempat untuk
berteduh, dan makanan. "Kita akan segera menyantap daging sapi dan domba!" seru mereka.
Odiseus tidak merasa gembira. Ia tahu bahwa mereka telah mendekati pulau milik
Dewa Matahari. Ia ingat peringatan keras si peramal Tiresias dan nasihat Circe.
"Tolong turuti kata-kataku," katanya pada mereka. "Aku tahu kalian sangat
mendambakan makanan dan istirahat. Namun, ingatlah. Pulau di depan adalah milik
Helios, Dewa Matahari. Kita tidak dapat mencari perbekalan di sana. Aku telah
diperingatkan oleh Tiresias dan Circe. Mereka mengatakan padaku bahwa Dewa
Matahari sangat memuja semua sapi dan dombanya. Bila salah seorang dari kalian
berani menyentuhnya, maka kalian semua akan mati."
Saat mendengar kata-kata tersebut, orang-orang Yunani itu nyaris pingsan karena
letih dan kesal. "Kalau begitu, biarkan kami mati di sana saja," kata salah seorang dari mereka,
"karena kami pasti akan mati di tengah laut bila tidak segera
mendapatkan makanan dan tempat istirahat."
"Dengarkan aku," kata Odiseus, "bila kita berhenti sekarang, semua cobaan yang
kita hadapi-segala kemenangan dan kekalahan yang kita alami-akan menjadi sia-
sia. Kita harus pergi dari pulau ini. Kita harus tetap mendayung."
Anak buahnya mencoba untuk protes lagi. Ketika ia tetap tidak menghiraukan
permohonan mereka, Erilokus-orang kedua terpenting di kapal-berteriak dengan
marah padanya. "Odiseus, kau terlalu kuat untuk ukuran kami!" katanya. "Kau seolah terbuat dari
besi; sedangkan kami tidak! Kami hanya manusia biasa. Orang orang ini
membutuhkan istirahat setelah bekerja keras dan mereka butuh waktu untuk
berkabung atas kematian teman-teman mereka. Mereka tak dapat mendayung di malam
hari. Oleh karena itu, mari beristirahat di pulau ini. Kita akan memasak makanan
kita sendiri dan tidur di atas pasir. Kita akan berlayar kembali saat fajar
menyingsing tanpa sedikit pun mengusik sapi dan domba milik Dewa Matahari yang


Odisei Buku Ketiga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sangat berharga itu."
Semua bersorak saat mendengar rencana yang diusulkan oleh Erilokus, tapi Odiseus
semakin dipenuhi rasa takut dan ngeri. Meskipun rencana itu terdengar sangat
masuk akal, ia merasa seolah-olah ada dewa yang berusaha menjebaknya. Meskipun
demikian, ia tahu tak ada cara lain untuk meyakinkan anak buahnya agar tetap
mendayung. "Kalian telah memaksaku untuk mengikuti kemauan kalian," katanya. "Aku tak
mungkin sanggup melawan kalian semua. Namun, bila kita melakukan apa yang
diminta Erilokus, kalian harus bersumpah-kalian harus berjanji untuk tidak
menyentuh sapi dan domba milik Dewa Matahari, walau hanya seekor. Kalian harus
puas dengan hanya menyantap makanan yang diberikan oleh Circe."
Para anak buah bersumpah untuk menuruti perintah Odiseus. Mereka segera membuang
sauh di sebuah teluk yang terlindung di sekitar pulau milik Helios.
Di sekitar pantai, mereka menemukan mata air. Kemudian mereka mendirikan kemah
dan menyiapkan makanan pemberian Circe yang terdiri dari daging, roti, dan
anggur. Setelah memuaskan rasa lapar dan dahaga, mereka kembali teringat pada peristiwa
buruk yang baru saja mereka alami dan menangisi kematian enam rekan seperjuangan
mereka yang ditelan hidup-hidup oleh monster Scylla. Korban-korban Scylla adalah
pejuang Odiseus yang terbaik dan yang paling pemberani.
Orang-orang Yunani itu juga menangisi teman-teman seperjalanan mereka yang telah
dibantai oleh para monster dan raksasa. Mereka berduka meratapi kehilangan yang
mereka alami hingga larut malam, sampai akhirnya mereka jatuh tertidur.
TUJUH BADAI Pada saat malam menjadi sangat gelap, tepat sebelum fajar menjelang, Zeus
mengirim badai dashyat ke pulau milik Dewa Matahari. Angin kencang mengguncang
pepohonan. Air hujan deras yang sangat dingin bagaikan ditumpahkan dari langit.
Orang-orang Yunani berkumpul di dalam sebuah gua besar di dekat pantai. Mereka
berkerumun sambil mendengarkan suara deru angin dan badai. Pagi-pagi sekali,
ketika angin dan hujan masih terus mengamuk, Odiseus memerintahkan anak buahnya
untuk menarik kapal mereka ke atas pantai dan mendorongnya masuk ke dalam gua.
Setelah kapal mereka aman di dalam gua, Odiseus mengumpulkan awak kapal di
sekitarnya. "Teman-teman, kita tak dapat meninggalkan pulau pagi ini," katanya
pada mereka. "Jadi, aku memerintahkan kalian sekali lagi: jangan menyentuh
domba-domba ataupun sapi-sapi milik Helios, Dewa Matahari. Ia dapat melihat dan
mendengar semua yang terjadi di sini. Ia akan segera tahu bila kalian mencoba
menyantap hartanya yang paling berharga. Apa pun yang kita butuhkan ada di dalam
kapal. Begitu badai reda, kita akan segera berlayar."
Semua pejuang Yunani itu berjanji untuk menaati perintah Odiseus. Namun, hari
demi hari, badai dan angin yang ganas dari selatan dan timur terus menghantam
pulau milik Dewa Matahari. Hari berganti menjadi minggu, dan badai masih saja
tak kunjung reda. Badai tak berhenti cukup lama untuk memungkinkan para orang
Yunani itu berlayar. Selama lebih dari satu bulan, Odiseus dan anak buahnya masih terdampar di pulau
itu. Mula-mula mereka hanya memakan bekal yang diberikan oleh Circe. Namun
ketika persediaan mereka sudah habis, para orang Yunani itu terpaksa berkeliaran
di pantai yang sedang diterjang badai. Mereka menombak ikan, burung, dan makhluk
apa pun yang bisa dimakan.
Karena badai terus berkecamuk, Odiseus dan anak buahnya tak dapat mencari
makanan yang memadai. Tiap hari jumlah makanan yang mereka santap semakin
sedikit. Setiap hari mereka menjadi semakin lemah. Perasaan lapar menggerogoti
perut mereka dan perasaan putus asa mulai menguasai jiwa mereka.
Odiseus menjadi semakin cemas kalau-kalau anak buahnya tidak dapat mengendalikan
diri. Ia khawatir perasaan lapar akhirnya akan membuat mereka menyembelih sapi
dan domba milik Dewa Matahari. Dan ia tahu bahwa dewa itu dapat
membinasakan mereka semua.
Pagi-pagi sekali, ketika yang lain masih tertidur nyenyak, ia menyelinap ke luar
gua. Ia berlari menembus badai dan berteduh di bawah bebatuan yang menonjol di
dekat pantai. Ia berlutut di tanah. Ia menengadahkan tangan untuk memanggil para dewa dan dewi
Gunung Olimpus. Ia memohon supaya mereka mengasihani anak buahnya: "Berilah kami
kekuatan untuk mengatasi perasaan lapar dan putus asa kami," ia berdoa.
"Berikanlah kami cuaca yang bagus supaya kami dapat segera berlayar. Bantulah
kami mematuhi nasihat Tiresias untuk mengatasi segala godaan... "
Pada saat sedang berdoa, perasaan kantuk yang hebat menguasainya. Ia memejamkan
mata. Kepalanya tertunduk dan ia tertidur nyenyak tanpa bermimpi sama sekali.
DELAPAN HUKUMAN PARA DEWA Odiseus terloncat bangun. Saat melihat sinar matahari pagi, ia sadar bahwa
dirinya telah terlelap selama beberapa jam. Dengan perasaan cemas, ia melompat
bangun dan mulai berlari kembali ke anak buahnya.
Saat mendekati gua, hatinya menjadi ciut. Bau daging bakar memenuhi udara.
Ia dikuasai oleh perasaan marah dan takut. Ia segera berlari ke arah gua dan
mencengkeram orang pertama yang ia temui. "Apa yang telah kalian lakukan?" ia
bertanya. "Apakah kalian telah mengabaikan perintahku dan melawan para dewa?"
"Kami mengikuti anjuran Erilokus!" orang itu berkata. "Ia mengatakan bahwa
kelaparan adalah penyebab kematian yang paling mengerikan! Ia mengusulkan untuk
menyembelih sapi milik Dewa Matahari! Ia bilang kita dapat menenangkan Helios
dengan membangun sebuah kuil besar untuk menghormatinya setelah kita tiba di
Ithaca." Odiseus hampir menangis karena putus asa. "Kami sangat kelaparan hingga tak bisa
menguasai diri," kata orang itu lagi. "Kami memotong seekor sapi dan
membakarnya." Odiseus berteriak penuh kepedihan. Ia berlutut dan berteriak pada para dewa.
"Zeus dan para dewa yang abadi, mengapa kalian membiarkan aku jatuh tertidur"
Aku tadi memohon pada kalian untuk memberi kami kekuatan dan keberanian!
Sekarang mereka telah melawan perintahku dan membunuh sapi milik Helios! Aku
mohon. Kasihanilah kami! Kasihanilah kami semua!"
Namun, ia tahu bahwa doanya sia-sia belaka. Kemarahan Helios pasti jauh lebih
hebat dibandingkan permohonan seorang manusia biasa. Ia bisa membayangkan Dewa
Matahari mengancam untuk tidak akan pernah menyinari bumi lagi kecuali bila para
dewa membantunya membalas dendam.
Ia berdiri dan melihat ke sekeliling gua. Pemandangan yang dilihatnya sungguh
mengerikan dan sangat tidak wajar. Kulit sapi yang disembelih bertebaran di
mana-mana. Di atas panggangan, daging yang dibakar mengeluarkan suara lenguhan
bagai sapi yang masih hidup.
Semua anak buah Odiseus ketakutan. Ketika ia menatap wajah mereka yang takut,
perasaan marahnya menjadi hilang. Sudah terlambat untuk merasa marah sekarang.
Sapi milik Helios telah mati dan orang-orang yang telah membantainya pasti juga
akan segera mati. Odiseus tahu bahwa tak ada satu hal pun yang dapat meredakan kemarahan Dewa
Matahari. Enam hari berikutnya, ketika angin masih tetap bertiup kencang di luar gua, para
awak menyantap daging sapi milik Dewa Matahari.
Akhirnya, pada hari ketujuh, badai tiba-tiba reda.
Atas perintah Odiseus, mereka mengeluarkan kapal dari tempat perlindungan dan
mendorongnya ke air. Angin barat yang lembut mengembangkan layar kapal dan
sekali lagi mereka menuju pantai Ithaca.
Selama beberapa saat, tampaknya kemarahan Dewa Matahari telah terlupakan. Namun
begitu kapal hitam itu mencapai laut lepas, ketakutan Odiseus yang paling besar
menjadi kenyataan. Helios telah berhasil membujuk para dewa untuk memusuhi
mereka. Secara bersama-sama, para dewa menuntut balas.
Mula-mula, Zeus yang perkasa mengirim awan badai yang gelap gulita ke atas
langit sehingga laut menjadi hitam. Siang seolah-olah berubah menjadi malam.
Kemudian Poseidon, Dewa Penguasa Lautan, mengirim ombak besar untuk menghantam
sisi-sisi kapal. Lalu, Aeolus, Dewa Angin, mengirim angin yang menderu-deru dan bertiup ganas
sehingga mematahkan tiang layar kapal. Tiang itu-
beserta tali layar-jatuh menimpa juru mudi dan menghancurkan tulang
tengkoraknya. Zeus mengguncang langit dengan petir dan secara bertubi-tubi melemparkan lidah
petir yang berkobar. Kilat tersebut menghantam lambung kapal dan membuatnya
berputar-putar di atas air. Seluruh awak kapal Odiseus terlempar dari geladak ke
dalam air laut yang gelap dan bergejolak.
Tanpa daya, Odiseus melihat anak buahnya terombang-ambing di antara ombak
seperti burung-burung laut. Ia menyaksikan satu demi satu dari mereka tenggelam
ke dasar laut. Akhirnya, semua awak kapalnya lenyap ditelan ombak. Dan Odiseus benar-benar
tinggal seorang diri. SEMBILAN ODISEUS SEORANG DIRI Odiseus tinggal di atas kapal yang terombang-ambing hingga akhirnya ombak
menghancurkan kapal itu. Kemudian pada saat sisa kapal menjadi hancur berkeping-
keping, ia mengikat tiang layar untuk membuat rakit.
Selama berjam-jam, ia terapung-apung di atas rakit sementara angin masih terus
berkecamuk. Kegelapan segera menyelimuti lautan. Pada saat laut menjadi semakin tenang, ia
mulai khawatir kalau-kalau rakitnya akan hanyut kembali ke tempat Scylla dan
monster pusaran air, Charybdis. Sepanjang malam, ia berdoa pada para dewa supaya
diselamatkan dari monster-monster itu.
Namun ketika fajar menyingsing, ia melihat tebing tempat tinggal Scylla yang
menjulang tinggi dan ia dapat mendengar suara gemuruh yang dahsyat dari
Charybdis. Ia dapat merasakan air laut yang gelap dan hitam dari pusaran air
Charybdis mulai menarik rakitnya.
Doa Odiseus ternyata sia-sia. Rakitnya mulai terhisap ke dalam mulut pusaran
Charybdis yang gelap dan berputar cepat. Badannya akan
segera bergabung dengan para pelaut lain yang telah tenggelam dalam pusaran air
yang mengerikan itu. Namun ketika ia hampir terhisap ke dalam mulut monster itu, sebuah ombak besar
menyapu Odiseus" dari rakitnya. Ombak itu membawanya menjauh dari pusaran air-
menuju pantai tempat Scylla tinggal.
Ia melompat dari dalam air dan meraih batang pohon ara yang besar. Ia
bergelantungan pada pohon itu seperti seekor kelelawar. Ia berpegangan sekuat
tenaga sambil menunggu si monster pusaran air memuntahkan rakitnya ke luar.
Akhirnya, rakit itu terlontar ke luar dari kedalaman yang gelap dan berputar-
putar di atas ombak. Setelah rakit itu berada dalam jangkauan, Odiseus
melepaskan pegangannya pada pohon dan terjun ke air.
Ia meraih sisi rakit dan mengangkat badannya ke atas. Kemudian, ia mulai
mendayung sekuat tenaga dengan kedua tangannya. Ia terus mendayung untuk
menjauhi monster pusaran air dan menjauhi tebing tempat tinggal Scylla. Ia
mendayung terus hingga mencapai jarak yang aman dari kedua monster laut yang
mengerikan itu. Selama sembilan hari sembilan malam, Odiseus terkatung-katung di atas rakitnya.
Ia tidak memiliki persediaan makanan maupun minuman. Ia tidak tahu rakit itu akan
membawanya ke mana -atau bagaimana ia dapat kembali ke rumah.
Pada saat terapung-apung di laut lepas, ia meratapi kematian seluruh rekannya.
Ia sedih karena takut tak akan bertemu dengan keluarganya lagi.
Akhirnya, pada hari kesepuluh, ombak menghempaskan Odiseus beserta rakitnya ke
sebuah pantai di pulau yang misterius.
SEPULUH KALIPSO Odiseus terbaring di pantai berpasir. Rasa letih menghunjam hingga ke tulang
sumsumnya dan ia merasa amat putus asa. Ia hampir tidak tidur selama sepuluh
hari. Walaupun sekarang berada dalam keadaan selamat di pantai, ia merasa
tersiksa setiap kali mengingat tubuh anak buahnya yang tergantung tak berdaya di
mulut Scylla yang kejam. Berulang kali ia melihat rekan-rekannya dimangsa
monster atau ditelan ombak, timbul tenggelam seperti burung di lautan, lalu
menghilang satu demi satu. Semua teman dan prajurit-orang-orang yang
menyertainya selama dua belas tahun-telah mati sekarang. Ia telah kehilangan
mereka semua. Hanya pesan terakhir Tiresias, sang peramal buta, yang tampaknya akan menjadi
kenyataan: "Kau sendiri mungkin akan selamat. Namun kalau
memang demikian adanya, kau akan menjadi hancur. Kau akan menemui masalah besar
di rumah." Odiseus tak sanggup membayangkan bahwa Penelope, istrinya dan Telemakus,
putranya mungkin tengah menderita di Ithaca. Ia benar-benar ingin melindungi mereka.
Walaupun merasa putus asa, ia masih memilki keinginan kuat untuk pulang.
Meski hampir buta karena rasa lelah dan sedih yang luar biasa, Odiseus bangkit
berdiri dan mulai berjalan untuk mencari pertolongan.
Tak lama kemudian, ia menemukan empat buah sungai kecil. Sungai-sungai itu-
dengan air yang bergejolak-membelah lapangan rumput yang subur menghijau dan
penuh dengan bunga violet, peterseli, dan seledri liar.
Tepat di seberang sungai-sungai itu ada sebuah bukit batu besar. Di antara batu-
batu bukit itu terdapat sebuah gua. Sulur anggur yang panjang merambat di mulut
gua itu. Berenceng-renceng anggur matang bergelantungan dari sulur tersebut.
Berbagai pohon indah tumbuh di sepanjang jalan yang mengarah ke gua itu-pohon-
pohon berdaun rindang dengan aroma yang harum. Burung hantu, elang, dan gagak
laut bersarang di pohon-pohon itu.
Odiseus mencium bau harum yang lembut dari pohon cedar dan kayu cendana yang
terbakar. Bagaikan orang sedang tersesat dalam mimpi, Odiseus berjalan perlahan dan
terhuyung-huyung ke arah pintu masuk gua. Saat mengintip ke dalam, ia melihat
api besar sedang menyala di perapian.
Di samping perapian itu, seorang wanita cantik jelita sedang duduk di depan alat
tenun. Ia tampak seperti seorang dewi yang bersinar terang. Ia menenun sambil
bernyanyi dengan suara merdu.
Setelah nyanyiannya usai, sang dewi berpaling ke arah Odiseus dan tersenyum.
"Halo, Odiseus," sapanya. "Aku Kalipso, putri Adas. Hermes mengatakan padaku
bahwa kau mungkin akan datang berkunjung."
Odiseus terkejut ketika tahu bahwa sang dewi mengenal namanya. Namun, ia terlalu
lelah, bahkan untuk bicara sekalipun.
Lama sekali Kalipso menatap Odiseus. Lalu, ia kembali berbicara dengan suara
yang tenang dan merdu. "Aku tahu apa yang telah terjadi padamu," katanya. "Anak
buahmu telah menyembelih sapi milik Dewa Matahari. Karena marah, Helios
mengancam untuk tidak menyinari para dewa dan umat manusia untuk selama-lamanya.
Zeus dan dewa lain terpaksa membalaskan dendamnya padamu. Zeus menghancurkan
kapalmu dengan halilintar dan petir serta menenggelamkan prajurit-prajuritmu ke
dalam laut. Mereka tenggelam tepat di depan matamu."
Odiseus mengangguk. "Kau pasti lelah, Odiseus," kata Kalipso dengan ramah. "Masuklah.
Beristirahatlah di sini, di rumahku."
Tanpa mengucap sepatah kata pun, Odiseus
melangkah masuk ke gua milik sang dewi yang jelita.
Ia terhuyung-huyung di depan perapian dan berbaring di dekatnya. Setelah
melewati perjalanan yang mengerikan, ia memang menjadi hancur. Jiwa raganya
terasa sakit tak terperikan.
Ketika Odiseus menatap nyala api di perapian, sang dewi kembali bernyanyi.
Odiseus teringat pada nyanyian Sirens. Namun, nyanyian Kalipso tidak membuatnya
gila atau membuatnya ingin terjun ke laut.
Sebaliknya, saat Odiseus mendengarkan nyanyian itu, sakit dan ngeri yang ia
rasakan perlahan-lahan mulai menghilang. Untuk pertama kalinya setelah
berminggu-minggu, ia merasa damai dan tenang.
Odiseus memejamkan matanya. Dan dalam kehangatan gua Kalipso, ia akhirnya jatuh
tertidur. TENTANG HOMER DAN ODISEI Pada zaman dahulu kala, orang Yunani Kuno percaya bahwa dunia dikuasai oleh para
dewa dan dewi yang sakti. Oleh orang Yunani, cerita tentang para dewa dan dewi
itu disebut mitos. Mungkin pada awalnya, mitos diceritakan untuk menjelaskan
berbagai kejadian alam - seperti cuaca, gunung berapi, dan susunan bintang-
bintang di langit. Mitos-mitos itu juga diceritakan ulang sebagai hiburan.
Mitos Yunani pertama kali ditulis oleh seorang penyair buta bernama Homer. Homer
hidup kurang lebih tiga ribu tahun yang lalu. Banyak orang percaya bahwa Homer
adalah pengarang dua puisi kepahlawanan terkenal, Illiad dan Odisei. Illiad
menceritakan tentang Perang Troya. Odisei menceritakan tentang kisah perjalanan
panjang dari Odiseus, raja Ithaca. Cerita tersebut banyak berhubungan dengan
petualangan Odiseus ketika ia berada dalam perjalanan pulang dari Perang Troya.


Odisei Buku Ketiga di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dalam menceritakan kisahnya, Homer sepertinya mengabungkan khayalannya sendiri
dengan mitos-mitos Yunani yang secara lisan
telah diwariskan dari generasi ke generasi. Sebagian kecil sejarah juga terdapat
dalam kisah Homer karena terdapat bukti-bukti arkeologis yang menunjukkan bahwa
kisah Perang Troya ditulis berdasarkan perang yang pernah terjadi lima ratus
tahun sebelum Homer lahir.
Selama berabad-abad, kisah Odisei dari Homer telah memengaruhi ke-susasteraan
Barat. PARA DEWA DAN DEWI YUNANI KUNO
Dewa yang paling sakti di antara seluruh dewa dan dewi Yunani adalah Zeus, Sang
Dewa Petir. Dari puncak Gunung Olimpus yang berkabut, Zeus berkuasa atas semua
dewa dan manusia. Para dewa dan dewi lainnya adalah sanak keluarga Zeus.
Saudaranya, Poseidon adalah penguasa lautan, dan saudaranya yang lain, Hades
adalah penguasa alam baka. Anak-anak Zeus - antara lain - adalah Dewa Apolo,
Mars, Hermes, serta Dewi Afrodite, Athena, dan Artemis.
Para dewa dan dewi dari Gunung Olimpus tidak melulu tinggal di puncak gunung.
Mereka juga turun ke bumi untuk melibatkan diri dalam kehidupan sehari-hari umat
manusia - seperti Odiseus.
BEBERAPA DEWA DAN DEWI UTAMA
-Zeus Dewa Petir, raja seluruh dewa
-Poseidon Dewa Laut dan Sungai, saudara laki-laki Zeus
-Hades Dewa Alam Baka, saudara laki-laki Zeus
-Hera istri Zeus, ratu para dewa dan dewi
-Hestia Dewi Perapian, saudara perempuan Zeus
-Athena Dewi Kebijaksanaan, Dewi Perang, Seni dan Kerajinan Tangan; anak
perempuan Zeus -Demeter Dewi Pangan dan Panen, ibu dari Persefone
-Afrodite Dewi Asmara dan Kecantikan, anak perempuan Zeus
-Artemis Dewi Para Pemburu, anak perempuan Zeus
-Ares Dewa Perang, anak laki-laki Zeus
-Apolo Dewa Matahari, Dewa Musik danPuisi
-Hermes Dewa Pembawa Berita, anak laki-laki Zeus - ahli membuat tipuan
-Hefaestus Dewa Pembuat Senjata, anak laki-laki Hera
-Persefone istri Hades, ratu alam baka - anak perempuan Zeus
-Dionisus Dewa Anggur dan Kegilaan
CATATAN TENTANG ASAL-MUASAL CERITA
Kisah Odisei asli ditulis dalam bahasa Yunani Kuno. Sampai saat ini, cerita
Homer ini telah diterjemahkan ke dalam berbagai bahasa hingga mencapai ribuan
kopi. Penulis telah mempelajari sejumlah terjemahan dalam bahasa Inggris,
termasuk yang ditulis oleh Alexander Pope, Samuel Butler, Andrew Lang, W.H.D.
Rouse, Edith Hamilton, Robert Fitzgerald, Allen Mandelbaum, dan Robert Fagels.
Odisei karangan Homer terdiri dari 24 buku. Jilid pertama dari seri ini diambil
dari buku kesembilan dan kesepuluh.
Cerita mengenai keikutsertaan Odiseus untuk berperang melawan Troya bersumber
dari seorang penulis yang hidup pada abad kedua setelah Masehi. Nama penulis itu
adalah Hyginus. Catatan tentang kuda Troya bersumber dari cerita karangan Virgil
yang berjudul Aeneid. Catatan dari Apolodorus tentang jatuhnya Troya menyebutkan
bahwa nama Athena terpahat di atas kuda kayu tersebut.
SANG PENGARANG Mary Pope Osborne adalah pengarang buku serial paling laris yang berjudul Magic
Tree House - Rumah Pohon Ajaib. Ia juga menulis sejumlah novel sejarah dan
menceritakan kembali mitos-mitos serta cerita rakyat yang sudah sangat dikenal,
termasuk di antaranya Kate and Beanstalk - Kate dan Pohon Kacang dan New York's
Bravest - Yang Terberani dari New York. Ia tinggal bersama suaminya di New York
dan Connecticut. Edit by : zheraf.net http://www.zheraf.net Pendekar Pemanah Rajawali 21 Bunga Pedang Embun Hujan Kanglam Kiam Hoa Ie Lioe Kanglam Karya Khu Lung Arus Balik 2
^