Pencarian

Frankenstein 3

Frankenstein Or The Modern Prometheus Karya Mary Shelley Bagian 3


Pohon pinus yang tumbuh di situ tidak sesubur yang tumbuh di bawah. Tapi pohon-pohon ini cukup teduh dan menambahkan suasana tenang pada pemandangan. Aku melihat ke lembah di bawahku. Kabut tebal kulihat naik dari sungai yang mengalir di tengahnya. Kabut naik bergulung-gulung dan menutupi gunung-gunung di seberang lembah. Gunung-gunung ini puncaknya tertutup awan. Sementara itu hujan lebat yang terus turun menambah kesan menyedihkan yang kudapat dari keadaan di sekitarku.
Aduh! Mengapa manusia harus selalu membuaL bahwa daya pikirnya jauh lebih tinggi daripada yang dimiliki binatang" Ini hanya menyebabkan manusia menjadi makhluk yang terlalu banyak menuntut kebutuhan hidup. Seandainya instink kita hanya terbatas pada rasa lapar, haus dan berahi, pasti kita hampir bebas dari segala-galanya. Tapi sekarang kita terpengaruh oleh setiap angin yang bertiup, perkataan yang kita dengar dan peristiwa yang kita lihat. Kita beristirahat; tapi mimpi mampu meracuni tidur yang lelap. Kita bangun; satu pikiran akan mengeruhkan perasaan.
Kita merasakan, membayangkan, mempertimbangkan; tertawa atau menangis. Kita peluk kesedihan, atau kita lemparkan kemalangan.
Semua sama saja: sebab baik kegembiraan maupun kesedihan. Akan bisa lenyap dengan mudah.
Hari kemarin takkan sama dengan hari esok. Semua akan selalu berubah-ubah!
Hampir tengah hari barulah aku sampai ke puncak pendakian. Untuk beberapa waktu lamanya aku duduk di atas karang yang menghadap ke lautan es. Kabut menyelimuti lautan es ini, terus ke gunung-gunung di sekitarnya.
Pada suatu ketika angin bertiup menyibakkan awan, dan aku turun ke padang salju. Permukaannya tidak rata, berombak-ombak seperti laut dilanda prahara. Padang salju ini menurun, dan di sana-sini ada celah karang yang sangat dalam. Padang salju ini luasnya hampir satu setengah kilometer, tapi aku menyeberanginya hampir dalam waktu dua jam. Gunung di seberang lembah melupakan batu karang tandus yang tegak lurus. Tepat di hadapanku tegak berdiri puncak Montan-vert, jauhnya sekitar dua kilometer. Di atasnya menjulang tinggi puncak Mont Blanc, tampak hebat dan agung. Aku berdiri di tubir karang, melihat ke pemandangan indah di sekelilingku
Gunung-gunung semua dikelilingi padang salju, dengan puncaknya yang menembus langit. Puncak esnya yang berkilat-kilat memantulkan sinar mata hari jauh di atas awan. Hatiku yang sebelumnyapenuh kesedihan, kini penuh terisi dengan sesuatu yang mirip kegembiraan. Aku berseru:
O, arwah-arwah berkeliaran, biarkanlah aku menikmati kebahagiaan yang tak seberapa ini. Atau ajaklah aku untuk menemanimu, meninggalkan kegembiraan dan penderitaan hidup.
Waktu aku mengucapkan kata-kata ini, tiba-tiba aku melihat sesosok tubuh manusia di kejauhan. Dia berjalan menuju ke arahku dengan kecepatan yang jauh melebihi kecepatan manusia biasa. Dia melompati celah-celah es dengan mudahnya, yang tadi kulalui dengan sangat hati-hati. Setelah dia semakin dekat, kulihat hahwa besar badannya juga jauh melebihi besar badan manusia biasa. Aku terperanjat. Mataku terasa tertutup kabut, dan aku merasa seperti mau pingsan. Tapi aku segera pulih kemhali oleh angin yang bertiup menyejukkan tubuhku. Kulihat yang sedang menghampiriku, ternyata makhluk hasil ciptaanku.
Betapa hebat, buruk dan menjijikkan makhluk ini!
Aku gemetar karena marah dan ngeri. Aku bermaksud menunggu kedatangannya, kemudian bertarung dengannya sampai salah Batu dari kami menemui ajal.
Dia pun datang. Air mukanya tampak memancarkan penderitaan yang sangat pahit, terpadu dengan sikap sombong dan sifat jahat. Rupanya^ yang sangat bumk hampir tidak tertahankan untuk dilihat oleh mata manusia. Semua menyebabkan rupa keseluruhannya sangat mengerikan!
Tapi aku hampir-hampir tidak melihat ini semua. Kemarahan dan kebencian mula-mula membuat aku tidak kuasa mengucapkan kata-kata. Setelah aku pulih kembali dari kebisuanku, kata-kata yang kutumpahkan kepadanya penuh kemarahan, ke bencian dan rasa jijik Iblis! seruku. Berani kau mendekatiku" Kau tidak takut dendamku akan memberi kekuatan kepada tanganku untuk menghancurkan kepalamu yang buruk" Pergi kau, binatang busuk! Atau kau boleh tinggal di sini supaya aku bisa menghancurleburkan tubuhmu menjadi debu! Oh! Kalau kau sudah musnah, aku akan menghidupkan kembali korban yang telah kaubunuh dengan cara yang sangat keji!
Aku sudah menduga akan mendapat sambutan semacam ini, kata iblis ini. Semua orang membenci apa saja yang pirnya rupa buruk. Tapi mengapa aku harus di benci, kalau keadaanku paling menyedihkan di antara semua makhluk hidup" Bahkan kau, penciptaku, membenci dan menistaku, ciptaanmu" Hubungan antara kita hanya bisa putus oleh kematian salah seorang di antara kita. Kau bermaksud membunuhku. Bagaimana kau sampai berani main-main dan mempertaruhkan nyawamu untuk melakukannya" Lakukan tugasmu terhadap dirimu dan manusia pada umum nya. Kalau kau mau menerima syarat yang akan kuajukan, aku tidak akan mengganggu kalian semua. Tapi kalau kau menolak, aku akan terus memberikan mangsa kepada elmaut, sampai dia puas dengan darah keluarga dan sahabatmu yang masih hidup.
Binatang menjijikkan! Iblis keparat! Siksaan neraka masih terlalu ringan untuk membalas keja-hatanmu. Setan terkutuk! Kau menyebut diriku penciptamu. Datanglah ke sini lebih dekat, supaya bisa kupadamkan kembali bunga api hidup yang telah kunyalakan dalam tubuhmu dengan tanpa dipikir. Kemarahanku sudah tidak ada batasnya lagi. Aku melompat menyerangnya, terdorong oleh semua nafsu yang menyebabkan orang ingin membinasakan orang lainnya.
Dengan mudah dia mengelakkan sergapanku dan berkata, Tenang dulu! Kuminta kau mau mendengarkan kata-kataku lebih dulu sebelum melampiaskan kemarahanmu. Apakah aku belum cukup menderita, sehingga kau mau menambah penderitaanku" Hidup ini memang merupakan kumpulan penderitaan, tapi sangat kusayangi dan aku akan mempertahankannya. Ingat, kau telah membuatku lebih kuat daripada dirimu sendiri. Aku lebih tinggi daripada kau, dan anggota badanku lebih kekar. Tapi aku tidak mau tergoda untuk memusuhimu. Aku makhluk ciptaanmu Aku mau bersikap lunak dan penurut kepada tuan dan rajaku, kalau kau pun bersikap yang sebaik itu kepadaku. Oh, Frankenstein, janganlah kau bertindak tidak adil kepada orang lain dan hanya menumpukan kesalahan kepada diriku seorang. Bahkan seharusnya keadilan, belas kasihan dan kasih sayangmu terutama kautujukan kepadaku. Ingatlah selalu bahwa aku ciptaanmu. Seharusnya akulah Adam mu. Tapi kau memperlakukanku seperti malaikat yang terkena kutukan, dan kau menu sahkan k u dari kesenangan tanpa suatu kesalahan. Di mana-mana aku melihat kebahagiaan, hanya aku sendiri yang tidak pernah mengalaminya. Dulu aku baik hati dan dermawan. Tapi kemudian kesedihan menjadikan diriku memiliki sifat-sifat iblis Bahagiakan diriku, dan aku akan kembali ke sifatku yang penuh kebajikan.
Pergi kau! Aku tidak mau mendengarkan kata-katamu. Tidak ada hubungan antara aku dengan kau. Kau musuhku. Pergi, atau mari kita bertarung mengadu tenaga sampai salah satu menemui ajal.
Aduh, bagaimana aku bisa menggerakkan hatimu" Apakah tidak ada kata-kata bujukan yang akan bisa membuang kebencianmu kepada ciptaanmu, yang memohon kebaikan dan belas kasihan darimu" Percayalah, Frankenstein, aku dermawan. Jiwaku memancarkan cahaya kasih dan peri kemanusiaan. Tapi bukankah aku seorang diri, sebatang kara di dunia" Kau, pencipraku, merasa jijik melihatku. Apa yang bisa kuharapkan dari sesamamu, yang tidak berhutang budi apa pun kepadaku" Mereka menampik dan membenciku. Aku terpaksa mengungsi ke pegunungan yang sunyi dan padang es yang tandus. Aku mengembara di sini sudah beberapa hari. Aku bukan hanya tidak takut kepada gua dan gunung es. Tapi di sinilah tempat tinggalku, tempat yang bisa kudiami tanpa ada yang menggangguku. Aku memuja langit yang kosong, sebab dia lebih baik hati kepadaku daripada manusia sesamamu. Kalau orang banyak tahu bahwa aku masih hidup, mereka akan berbuat yang sama dengan apa yang tadi akan kaulakukan. Mereka akan berusaha membina akank Anehkah kalau aku lalu membenci mereka yang merasa jijik kepadaku" Aku tidak akan mengasihani musuh-musuhku. Keadaanku menyedihkan, dan mereka juga akan merasakan kesedihan seperti yang kurasakan. Walaupun demikian kau memiliki kemampuan untuk meluluskan permintaanku. Kalau kau mau memenuhi keinginanku, maka bukan hanya keluargamu, melainkan ribuan manusia lainnya akan terbebas dari amukan angin puyuh kemarahanku yang akan menelan mereka semua. Berusahalah mengubah sikapmu kepadaku. Kasihanilah diriku, dan jangan kauteruskan membenciku. Dengarkanlah kisahku. Setelah kaudengar semua yang akan segera kuceritakan, kau boleh mengambil putusan tentang apa yang akan kaulakukan terhadap diriku. Tinggalkan aku atau kasihani aku, tapi dengarkan dulu ceritaku. Hukum yang dibuat oleh manusia memperbolehkan orang yang bersalah membela diri lebih dulu sebelum dijatuhi hukuman. Dengarkan ceritaku, Frankenstein. Kau menuduhku sebagai pembunuh, tapi kau sendiri dengan sadar bermaksud membinasakan ciptaanmu sendiri. Oh, terpujilah hukum manusia yang abadi! Walaupun demikian aku tidak minta kepadamu untuk mengampuniku. Dengarkan dulu ceritaku. Dan kemudian, kalau kau mau dan kalau kau bisa, binasakanlah hasil karyamu sendiri. Mengapa kau membangkitkan ingatanku atas kejadian yang membuatku menggigil kalau aku teringat kembali, bahwa aku pencipta yang bernasib malang" jawabku. Terkutuklah saat pertama kau melihat cahaya, hai kau iblis yang menjijikkan! Terkutuklah tanganku yang telah membuat dirimu! Kau telah mendatangkan kesedihan yang tak ter-perikan. Kau membuat diriku tanpa daya untuk mempertimbangkan apakah aku adil kepadamu atau tidak. Pergi dari sini! Bebaskan penglihatanku dari pemandangan yang menjijikkan. Baiklah aku akan membebaskanmu, pencip-taku, katanya. Dia berkata demikian sambil meletakkan tangannya yang menjijikkan pada mataku. Tangannya kukibaskan dengan sekuat tenaga.
Nah, aku sudah membebaskan matamu dari pemandangan yang menjijikkan bagimu. Tapi kau masih belum mau mendengarkan ceritaku dan memberiku belas kasihmu. Demi kebajikan yang pernah kumiliki, aku memohon kepadamu. Dengarkan kisahku. Ceritaku panjang dan sangat aneh, dan suhu udara di tempat ini tidak cocok bagimu. Mari kita pergi ke pondok di lereng gunung. Matahari masih tinggi di langit. Sebelum matahari turun dan bersembunyi di balik tebing salju dan menyinari dunia lain, kau sudah selesai mendengarkan ceritaku serta bisa mengambil keputusan. Semuanya terserah kepadamu, apakah aku akan meninggalkan masyarakat manusia selama-lamanya serta menuntut kehidupan yang tenang tenteram, atau menjadi sumber bencana sesamamu dan penyebab kehancuranmu yang akan segera kau-alami.
Sambil berkata begini dia menunjukkan jalan menyeberangi lapangan es. Aku berjalan mengikutinya. Dadaku terasa sesak dan aku tidak menjawab perkataannya. Tapi sambil berjalan aku menimbang-nimbang beberapa argumentasi yang dikemukakannya. Akhirnya aku mengambil keputusan, sekurang-kurangnya aku akan mendengarkan dulu cerita yang akan dikisahkannya.
Keputusanku sebagian terdorong oleh rasa ingin tahu, serta diperkuat oleh rasa belas kasihan. Sampai saat itu aku punya pendapat bahwa dialah pembunuh adikku. Aku ingin tahu dugaanku benar atau tidak dari cerita yang akan dipaparkannya.
Waktu itu juga untuk pertama kalinya aku menyadari tentang tugas pencipta kepada ciptaannya. Ya, lebih dulu aku harus memberinya kebahagiaan sebelum mengeluh tentang tindakan jahatnya.
Alasan-alasan inilah yang mendorongku untuk menyetujui permintaannya. Kami melintasi padang es, dan kemudian mendaki tebing karang di seberangnya. Udara terasa dingin dan hujan mulai turun lagi. Sesampai ke pondok kami terus masuk. Iblis ini kelihatan gembira, sedangkan aku merasakan hatiku sangat berat dan jiwaku tertekan. Tapi aku menyatakan setuju untuk mendengarkan ceritanya. Aku duduk di depan api yang dinyalakan oleh makluk yang menjijikkan ini. Kemudian mulailah ia bercerita.
Bab 11 DENGAN kesulitan yang amat sangat akhirnya aku teringat kepada hakekat kejadian diriku sendiri. Semua kejadian pada waktu itu terasa sangat membingungkan dan tidak jelas. Sekaligus secara tiba-tiba semua inderaku bisa merasakan. Pada saat yang bersamaan aku melihat, merasa, mendengar dan membaui. Kemudian lama sekali baru aku bisa belajar membedakan cara penggunaan berbagai indera yang kumiliki.
Aku masih ingat, sedikit demi sedikit aku bisa merasakan cahaya yang lebih kuat menekan syarafku. Maka aku lalu memejamkan mataku. Kemudian aku merasakan kegelapan menggangguku, tapi tidak kurasakan lagi setelah aku membuka mataku kembali dan cahaya terasa menyinari ku seperti tadi. Aku berjalan, dan aku yakin aku berjalan turun. Kemudian aku merasakan perubahan yang sangat besar pada inderaku. Sebelumnya aku merasa dikelilingi oleh sosok-sosok tubuh hitam yang kabur, tidak tertangkap oleh sentuhan dan penglihatanku. Tapi setelah itu kuketahui bahwa aku bisa berkeliaran dengan bebas. Tak ada satu pun halangan yang tidak bisa kulewati atau kuhindarkan.Cahaya terasa semakin kuat bagiku, dan udara panas semakin melelahkan. Aku lalu berhenti berjalan dan mencari tempat yang bisa memberiku keteduhan. Sekarang kuketahui bahwa waktu itu aku berteduh di hutan dekat Ingolstadt. Di situlah aku berbaring di tepi sebuah anak sungai, melepaskan lelah. Kemudian aku merasa tersiksa oleh rasa lapar dan haus. Perasaan ini mendorongku untuk bangkit dari sikap berbaring. Kumakan buahbuahan yang bergantungan di cabang-cabang pohon atau berserakan di tanah. Aku melepaskan dahagaku dengan minum air sungai. Lalu aku berbaring kembali, terserang oleh rasa kantuk.
Waktu aku terbangun, keadaan di sekelilingku gelap. Aku juga merasa kedinginan dan merasa agak takut. Secara instinktif aku sudah tahu bahwa aku sendirian. Sebelum aku meninggalkan apartemenmu, karena rasa dingin aku menutupi tubuhku dengan pakaian. Tapi pakaian yang kukenakan tidak cukup untuk melindungiku dari embun malam. Aku makhluk yang malang, tidak berdaya dan sangat menyedihkan. Aku menyadarinya, namun tidak bisa memahami apa pun. Tapi rasa sakit menyerangku dari segala penjuru, dan aku duduk menangis.
Tidak lama kemudian ada cahaya lembut memancar dari langit, dan aku merasa senang. Aku menengadah, dan kulihat bulatan kuning terbit dari antara pohonpohonan. Aku memandanginya dengan rasa takjub. Benda bulat yang memancarkan sinar lembut ini bergerak pelahan, tapi cukup untuk menerangi jalanku. Sekali lagi aku pergi mencari buah-buahan.
Aku masih kedinginan waktu kutemukan sehelai mantel besar di bawah sebatang pohon. Mantel ini kupakai, dan aku duduk di tanah. Tidak ada keinginan yang jelas dalam pikiranku. Semua terasa membingungkan. Aku merasakan cahaya, lapar dan dahaga serta kegelapan. Bermacam-macam suara tertangkap oleh telingaku, dan dan segala penjuru tercium berbagai bau-bauan. Satu-satunya benda yang dapat kukenali hanyalah bulan purnama, dan aku memusatkan pandanganku kepada bulan dengan rasa senang. Beberapa perubahan antara siang dan malam berlalu. Bulat an bulan sudah semakin berkurang setelah aku bisa membedakan inderaku antara satu dengan lainnya. Lama-lama aku bisa melihat dengan jelas anak sungai yang mencukupi kebutuhanku akan minuman, dan pohon-pohonan yang me-naungiku dengan daunnya yang rimbun.
Aku sangat gembira waktu pertama kali mengetahui bahwa suara merdu yang sering kudengar keluar dari tenggorokan binatang kecil bersayap, yang seringkali kulihat melintas di depan mataku. Aku juga mulai bisa mengenali dengan tepat bentuk benda-benda di sekitarku, serta benda bulat yang ber sinar terang di siang hari.
Kadang-kadang aku mencoba menirukan nyanyian burung yang merdu, tapi tidak berhasil. Pada kesempatan lain aku ingin melahirkan perasaan dengan caraku sendiri, tapi suara tanpa arti yang keluar dari mulutku menakutkanku. Aku lalu berdiam diri kembali.
Bulan sudah lenyap, tidak lagi menerangi malam yang getap. Kemudian bulan muncul kembali dalam bentuk sangat kecil, sementara aku masih tinggal dalam hutan. Waktu itu semua inderaku sudah tajam, dan setiap hari pikiranku selalu menerima gagasan baru. Mataku sudah biasa melihat cahaya, serta bisa melihat benda-benda sesuai dengan bentuk yang sebenarnya. Aku sudah bisa membedakan serangga dengan tanaman. Lambat laun aku juga bisa membedakan tanaman yang satu dengan lainnya. Aku sudah tahu bahwa burung gagak hanya bisa mengeluarkan suara yang memekakkan telinga, sedangkan suara burung murai dan kutilang sangat merdu dan menawan. Suatu hari, waktu aku merasakan siksaan hawa dingin, aku menemukan api yang ditinggalkan seorang pengembara. Aku sangat gembira setelah mengetahui bahwa api bisa menghangatkan badanku. Dalam kegembiraan aku memasukkan tanganku ke dalam bara menyala. Tapi tanganku cepat-cepat kutarik kembali sambil menjerit ke-sakitan. Aneh sekali, pikirku, bahwa satu benda bisa menimbulkan dua pengaruh yang berlawanan!
Aku menyelidiki bahan-bahan pembentuk api. Aku gembira sekali mengetahui bahwa api terbuat dari kayu. Aku segera mengumpulkan beberapa cabang kayu. Tapi kayu ini basah dan tidak mau menyala. Melihat ini aku sangat sedih, dan aku duduk diam-diam memperhatikan nyala api.
Kayu basah yang kuletakkan dekat api menjadi kering dan terbakar sendiri. Aku memikirkan hal i ini, dan setelah kuselidiki dengan bermacam-macam cabang kayu akhirnya kuketahui apa sebabnya. Aku lalu sibuk mengumpulkan cabang kayu banyak-banyak. Yang masih basah ku taruh dekat api supaya kering, agar aku tidak kekurangan persediaan kayu bakar.
Kalau malam tiba dan mengantarkan rasa kantuk kepadaku, aku merasa takut jangan-jangan apiku padam waktu aku tidur. Maka dengan hati-hati kutaruh kayu kering di atas api, serta di atasnya lagi daun-daunan dan kayu basah. Lalu kuhamparkan mantelku di tanah dan aku berbaring di atasnya. Saat berikutnya aku sudah terlelap tidur.
Pagi keesokan harinya aku terbangun. Yang mula-mula terpikirkan olehku ialah menjenguk apiku. Kubuka kayu basah yang menutupinya, dan angin lembut meniup bara pijar sehingga apinya menyala. Hal ini pun kuselidiki baik-baik Kubuat tongkat kayu untuk pengorek api, kalau nyalanya hampir padam. Malam berikutnya dengan sukacita kulihat bahwa kecuali rasa hangat, api juga memberikan penerangan. Juga kuketahui bahwa api berguna untuk meningkatkan rasa makananku. Kutemukan sisa makanan yang ditinggalkan si pengembara rupanya dipanggang di atas api. Rasanya jauh lebih enak daripada buah-buahan yang kupetik dari pohon. Aku lalu mencoba memasak makananku dengan cara ini, dengan memanggangnya di atas bara pijar. Buah-buahan ternyata rusak kalau dipanggang, tapi biji-bijian dan umbi makin enak rasanya. Lama-kelamaan makanan semakin jarang dan sukar dicari r Seringkali sepanjang hari aku mencari makanan, tapi sia-sia saja usahaku menemukan makanan yang cukup untuk mengenyahkan rasa lapar yang kurasakan. Aku lalu mengambil keputusan untuk meninggalkan tempat yang selama ini kudiami. Aku ingin mencari kediaman baru yang lebih makmur, tempat aku lebih mudah memenuhi kebutuhanku yang tidak seberapa.
Dalam perpindahan ini tidak berhenti-hentinya aku meratapi kehilangan apiku yang tak ternilai harganya. Padahal aku tidak tahu bagaimana cara membuat api. Selama beberapa jam aku memikirkan kesulitan ini. Tapi akhirnya aku menghentikan semua usaha untuk memperoleh api kembali. Tubuhku kubungkus rapat-rapat dengan mantel, kemudian aku berjalan menembus hutan ke arah matahari terbenam.
Aku berjalan selama tiga hari, dan akhirnya aku sampai ke sebuah padang terbuka. Malam sebelumnya salju telah turun, dan di seluas padang kelihatan putih. Pemandangan ini tidak menyeriangkan hatiku, dan kakiku sangat dingin oleh benda lembab yang menutupi tanah.
Waktu itu jam tujuh pagi, dan aku sangat mendambakan makanan dan tempat berteduh. Akhirnya aku melihat sebuah pondok kecil di atas tanah yang ketinggian. Rupanya yang kulihat sebuah pondok penggembala. Bagiku pondok merupakan barang yang baru kulihat untuk pertama kalinya. Kuamat-amati bangunan ini dengan penuh perhatian.
Karena pintu pondok terbuka, aku masuk ke dalamnya. Kulihat seorang lakilaki tua sedang duduk menghadapi api, sambil menyiapkan makan pagi. Dia menoleh waktu mendengar suara. Demi melihatku, dia memekik keras-keras. Dia lalu berlari melintasi padang secepat-cepatnya.
Aku heran juga melihat rupa orang ini, yang sangat berbeda dengan semua benda yang pernah kulihat sebelumnya. Lebih heran lagi aku karena dia lari demi melihatku. Tapi aku terpesona oleh rupa pondok yang kutemukan. Di situ salju dan hujan tidak dapat masuk. Tanah di bawahnya kering. Bagiku pondok ini merupakan kemewahan yang tak ada taranya, setelah sekian lamanya aku menderita di tengah udara terbuka. Dengan lahap kusantap habis makanan yang ditinggalkan si gembala. Makanannya terdiri atas roti, keju, susu dan anggur.
Tapi aku tidak menyukai anggur. Kemudian karena lelahnya aku berbaring di atas jerami dan terlelap tidur.
Aku terbangun dari tidurku di tengah hari. Tertarik oleh hangatnya sinar matahari, aku memutuskan untuk memulai perjalananku. Sisa makanan yang ditinggalkan si gembala kumasukkan ke dalam kantung. Kantung kujinjing, dan aku berjalan melintasi padang salju selama beberapa jam. Di waktu matahari terbenam aku sampai ke sebuah desa.
Alangkah hebatnya pemandangan yang kusaksikan! Aku sangat kagum melihat rumah-rumah dan bangunan gedung yang terdapat di situ. Kulihat kebunkebunnya penuh tanaman sayur-mayur. Susu dan keju yang kulihat diletakkan di muka jendela beberapa rumah sangat merangsang seleraku. Aku masuk ke salah satu rumah yang terbaik.
Tapi baru saja aku melangkahkan kaki ke dalam, terjadilah kekalutan. Anakanak memekik, dan seorang wanita jatuh pingsan. Seisi desa kalang-kabut. Beberapa orang lari, tapi beberapa orang lainnya menyerangku. Badanku luka-luka kena lemparan batu dan berbagai macam senjata yang dilemparkan orang kepadaku. Maka aku pun lari kembali ke padang terbuka. Dengan penuh rasa takut aku bersembunyi di sebuah kandang rendah. Kandang yang kutemukan kosong, dan sangat menyedihkan kalau keadaannya dibandingkan dengan rumah-rumah yang kulihat di desa. Tapi kandang ini berdekatan dengan sebuah rumah yang kelihatan rapih. Karena peristiwa yang baru kualami, aku tidak berani masuk ke rumah.
Kandang tempatku bersembunyi terbuat dari kayu, dan begitu rendah sehingga aku hampir-hampir tidak bisa duduk tegak di dalamnya. Lantainya pun tidak dilapisi kayu, tapi tanahnya kering. Angin juga masih bisa masuk melalui celahcelah dinding. Tapi bagaimanapun juga tempat itu kuanggap cukup memadai untuk berlindung dari salju dan hujan.
Maka di situlah aku bersembunyi. Aku berbaring dengan perasaan senang karena menemukan tempat berteduh. Walaupun tempatnya menyedihkan, tapi sudah memenuhi kebutuhan sebagai tempat berlindung dari keganasan musim dingin, dan lebih-lebih dari kebiadaban manusia.
Segera setelah pagi tiba, aku merayap ke luar dari kandangku. Aku ingin memeriksa rumah dekat kandang, dan untuk mengetahui apakah aku bisa tetap tinggal di tempat persembunyian yang baru kutemukan. Kandang itu didirikan berbelakangan dengan rumah. Di dekatnya ada kandang babi dan kolam yang airnya jernih. Satu bagian dinding ada yang terbuka, dan melalui lubang itulah aku masuk. Lubang di dinding lalu kututup dengan kayu dan batu, tapi kubuat sedemikian rupa sehingga mudah kubuka kembali kalau aku ingin keluarmasuk. Cahaya yang kubutuhkan masuk dari arah kandang babi, dan itu sudah cukup bagiku.
Setelah merapihkan tempat tinggalku serta mengatasinya dengan jerami, aku masuk ke dalam untuk bersembunyi. Di kejauhan aku melihat sosok tubuh manusia. Aku masih ingat benar dengan apa yang kualami kemarin, sehingga aku tidak ingin berurusan dengan mereka. Pagi itu aku sudah sarapan dengan sisa makanan yang kubawa serta minum air yang terdapat dekat kandang. Kini lantai kandang sudah lebih tinggi sehingga selalu kering. Kehangatan di dalam ruangan juga cukup, sebab dinding belakangnya berdekatan dengan cerobong asap.
Aku bermaksud tinggal di dalam kandang itu, sampai ada sesuatu yang memaksaku untuk pindah. Tempat tinggalku sekarang merupakan sorga kalau dibandingkan dengan tempat tinggalku dulu dalam hutan. Dulu atap yang melindungiku hanya cabang-cabang kayu yang masih bisa ditembus air hujan, dan lantaiku tanah lembab.
Dengan rasa senang aku memakan sara panku Kemudian aku beranjak mau membuka papan penutup, untuk mengambil air minum. Tiba-tiba kudengar suara langkah kaki orang, dan aku mengurungkan maksudku. Aku mengintip melalui celah-celah dinding.
Kulihat seorang wanita muda membawa ember di atas kepalanya, lewat di muka kandang. Gadis ini masih muda remaja dan gayanya lemah gemulai, tidak seperti para pelayan rumah yang kemudian sering kulihat. Tapi pakaian gadis ini sangat sederhana. Dia hanya mengenakan rok biru terbuat dari kain kasar, dengan sehelai jaket linen. Rambutnya yang pirang dijalin, tapi tanpa hiasan apa pun. Kelihatannya dia seorang yang Babar, tapi air mukanya memperlihatkan kesedihan.
Dia segera tidak kulihat lagi. Baru kira-kira seperempat jam kemudian dia muncul kembali. Kali ini ember drjinjingnya, dan sebagian berisi susu. Dia berjalan terus membawa beban yang tampaknya tidak begitu berat. Belum jauh dia berjalan, seorang pemuda menyongsongnya. Air muka pemuda ini menunjukkan kesedihan yang lebih dalam
Pemuda ini mengucapkan beberapa perkataan dengan nada sedih, kemudian mengambil ember dari tangan si gadis serta membawanya sendiri ke dalam rumah. Si gadis mengikut di belakangnya, dan sejurus kemudian mereka tidak kelihatan lagi.
Tidak antara lama si pemuda kulihat lagi. Kali ini dia membawa suatu perkakas dan berjalan menyeberangi lapangan terbuka di belakang rumah. Si gadis juga sibuk. Kadang-kadang dia bekerja di rumah, dan kadang-kadang di halaman.
Aku memeriksa tempat tinggalku lebih cermat. Ternyata di dinding belakang dulu ada jendela, tapi sudah ditutup dengan papan. Di situ ada sebuah celah yang sangat kecil, hanya cukup untuk mengintip sebelah mata. Melalui celah ini aku bisa melihat kamar di balik dinding. Kamarnya tidak begitu besar, bercat putih dan kelihatan bersih. Perabotannya hampir sama sekali tidak ada. Di sudut kamar, dekat perdiangan kecil, kulihat seorang laki-laki tua. Dia sedang duduk menyangga dagunya dengan kedua belah tangan, tampak sedih sekali. Si gadis sedang sibuk membereskan ruangan. Tapi kemudian dia mengambil suatu benda dari laci dan duduk di sisi si orang tua. Si orang tua menerima benda ini dari si gadis dan mulai memainkannya. Benda ini rupanya sebuah alat musik, yang mengeluarkan suara lebih merdu daripada nyanyian murai atau kutilang.
Yang .kulihat sungguh sangat indah, bahkan bagiku, makhluk malang yang tidak pernah melihat keindahan sebelumnya. Aku merasa menyukai laki-laki tua berambut perak yang mukanya ramah ini. Sedangkan sikap si gadis yang lemah lembut membangkitkan rasa cintaku.
Lagu yang dimainkan si tua dengan alat musiknya bernada sendu, sampai menerbitkan air mata si gadis. Tapi si tua tidak memperhatikannya, sampai kedengaran sedu-sedan si gadis. Mendengar ini barulah si tua mengucapkan beberapa patah kata. Si gadis meninggalkan pekerjaannya, dan berlutut di muka si tua.
Si tua mengangkat si gadis agar berdiri, sambil tersenyum penuh kasih sayang. Pada diriku terbit suatu perasaan aneh yang sama sekali masih baru. Yang kurasakan perpaduan antara rasa sedih dan rasa senang. Aku belum pemah mengalami perasaan semacam itu, baik karena lapar atau dingin, maupun karena hangat dan kenyang. Aku berhenti mengintip karena tidak tahan menyaksikan pemandangan yang mengharukan ini.
Beberapa saat setelah itu si pemuda kembali, membawa segulung kayu bakar di atas bahunya. Si gadis menyongsongnya di pintu. Dia membantu si pemuda mengangkat bebannya. Sebagian dari kayu bakar ini dibawanya masuk ke dalam rumah, dimasukkan ke dalam perapian.
Kemudian si gadis dengan si pemuda pergi ke sudut kamar yang lain. Si pemuda mengeluarkan sebuah roti besar dan sepotong keju. Si gadis kelihatan gembira. Dia lalu pergi ke kebun untuk mengambil umbi dan sayuran. Semua dimasukkan ke dalam kuali berisi air, serta dijerangkannya di atas api. Dia lalu meneruskan bekerja. Sementara itu si pemuda pergi ke kebun, terus sibuk menggali dan mencabuti umbi. Setelah kira-kira satu jam, si gadis menghampirinya dan mereka masuk rumah bersama-sama.
Si tua selama itu tetap tenang. Tapi setelah si pemuda datang rupanya dia lebih gembira, dan mereka duduk makan bersama-sama. Makanan pun segera habis. Sekali lagi si gadis sibuk membereskan kamar. Si tua berjalan-jalan di muka rumah di sinar matahari, selama beberapa menit. Dia berjalan sambil berpegangan pada lengan si pemuda.
Kurasa tidak ada lagi yang melebihi keindahan kontras antara kedua makhluk ini. Yang satu sudah tua, dengan rambut putih dan muka menyinarkan keramahan dan kasih sayang. Satunya masih muda, tampan dan bertubuh ramping. Bentuk wajahnya yang bagus sangat simetris, dengan mata dan air muka membayangkan kesedihan. Lalu si tua kembali ke rumah. Kini si pemuda membawa perkakas yang berbeda dengan yang dibawanya di waktu pagi, berjalan menyeberangi padang.
Malam pun segera tiba. Aku sangat heran melihat penghuni rumah bisa membuat cahaya dengan menyalakan semacam lilin. Aku pun gembira karena kini terbenamnya matahari tidak usah berarti berakhirnya kegembiraanku memperhatikan manusia tetanggaku .Di sore hari kulihat kedua anak muda ini melakukan pekerjaan yang tidak bisa kufahami. Dan si tua sekali lagi memainkan alat musik yang suaranya telah mempesonakanku di waktu pagi. Setelah si tua berhenti main musik, si pemuda mulai mengucapkan kata-kata yang nadanya datar. Kata-kata yang diucapkannya tidak mirip irama alat musik si tua, maupun nyanyian burung. Kemudian kuketahui bahwa si pemuda sedang membaca keras-keras. Tapi.waktu itu aku belum memahami ilmu mengucapkan perkataan atau membaca tulisan.
Setelah beberapa waktu lamanya berlangsung dalam keadaan demikian, keluarga ini memadamkan lampu. Mereka terus pergi ke tempat tidur masingmasing untuk beristirahat.
Bab 12 AKU berbaring di atas jerami, tapi tidak dapat tidur. Pikiranku penuh dengan semua peristiwa yang terjadi pada hari itu. Yang sangat mengesankan bagiku ialah sikap lemah lembut dari orang-orang ini. Aku ingin sekali menyertai mereka, tapi aku tidak berani berbuat begitu. Aku masih ingat benar bagaimana penderitaan yang harus kurasakan karena perlakuan orang desa yang biadab terhadap diriku.
Aku lalu memikirkan tindakan apa yang seharusnya kulakukan, dan memutuskan sebaiknya untuk waktu itu tetap saja tinggal di dalam kandang. Sementara aku akan terus bersembunyi diam-diam. Aku akan melihat dulu, sambil berusaha mencari alasan yang bisa mempengaruhi tindakan mereka. Keesokan harinya para penghuni rumah bangun sebelum matahari terbit. Si gadis membereskan ruangan dan menyiapkan makanan, dan si pemuda pergi setelah makan pagi.
Hari itu berlangsung dengan peristiwa yang sama seperti hari sebelumnya. Si pemuda selalu bekerja di luar rumah, dan si gadis melakukan berbagai pe kerjaan di dalam rumah. Adapun si tua, yang segera kuketahui bahwa dia buta, mengisi waktu-waktu nya yang terluang dengan main musik atau duduk termenung.
Kedua anak muda ini kelihatan sangat menyayangi si tua yang tidak berdaya. Mereka mela kukan apa saja baginya dengan sikap lemah lembut, dan si tua menghadiahi mereka dengan senyum manis.
Tapi mereka sama sekali tidak bahagia. Si pemuda dengan si gadis seringkali kulihat menangis Aku tidak tahu apa yang menyebabkan kesedihan mereka, tapi aku sangat terpengaruh melihatnya. Kalau makhluk yang sedemikian cantiknya saja bisa bersedih hati, maka tidak aneh lagi kalau aku, makhluk tidak sempurna yang sebatang kara, merasa susah dan merana.
Tapi mengapa mereka bersedih hati" Mereka memiliki rumah yang menyenangkan dengan setiap kemewahan, begitulah menurut pandanganku. Mereka punya api untuk menghangatkan tubuh di kala kedinginan, dan punya makanan lezat untuk mengusir rasa lapar. Mereka mengenakan pakaian yang sempurna. Lebih-lebih, mereka merasa senang karena hidup bersama-sama. Mereka bisa bercakap-cakap antara sesamanya, serta saling mengasihi. Apa arti air mata mereka" Benarkah air mata mereka merupakan tanda dari rasa sakit yang mereka derita" Mula-mula aku tidak dapat memecahkan persoalan ini. Tapi lama-lama dengan perhatian yang sungguh-sungguh aku bisa memahami banyak hal yang mula-mula merupakan teka-teki. Agak lama juga waktu berlalu, sebelum aku bisa menemukan salah satu sebab kesedihan keluarga yang peramah ini. Ternyata penyebabnya ialah kemiskinan, dan mereka sangat menderita karenanya. Makanan mereka hanya terdiri atas sayur-sayuran dari kebun mereka sendiri dan susu dari seekor sapi. Di musim dingin bahkan susu yang bisa didapat sedikit sekali, sebab pemiliknya juga hampir-hampir tidak bisa memberinya makanan.
Aku tahu mereka seringkali menderita kelaparan, terutama kedua anak muda. Beberapa kali kulihat makanan yang mereka dapat tidak seberapa. Makanan hanya diberikan kepada si tua, sementara mereka sendiri tidak makan apa-apa. Kebaikan hati mereka ini menggerakkan hatiku. Selama itu aku sudah biasa mencuri sebagian makanan mereka di waktu malam, untuk mempertahankan kelangsungan hidupku sendiri. Tapi segera kuketahui bahwa perbuatanku menimbulkan kesedihan kepada penghuni rumah ini. Aku lalu berhenti mencuri dan cukup memuaskan diriku dengan makan buah-buahan, biji-bijian dan umbi yang ku kumpulkan dari hutan yang tidak begitu jauh.
Aku juga menemukan cara untuk meringankan pekerjaan rnereka. Aku mengetahui bahwa di siang hari si pemuda menghabiskan sebagian besar waktunya untuk mencari kayu. Maka di waktu malam kuambil perkakasnya, yang segera kuketahui cara penggunaannya, dan kubawa pergi ke hutan. Kubawa pulang kayu banyak-banyak, supaya cukup dipakai selama beberapa hari.
Aku masih ingat dengan peristiwa yang terjadi waktu aku pertama kali melakukan hal ini. Waktu si gadis membuka pintu di pagi hari, dia sangat terkejut melihat tumpukan kayu di muka rumah. Dia menyerukan beberapa patah kata dengan suara keras. Kemudian si pemuda keluar, dan juga menyatakan keheranan. Aku senang sekali melihat si pemuda hari itu tidak perlu pergi ke hutan. Hari itu dia mengisi waktu dengan memperbaiki rumah dan merawat kebun.
Lambat laun aku juga memperoleh penemuan yang lebih besar manfaatnya. Aku mengetahui bahwa orang-orang ini punya cara untuk saling menyatakan perasaan dan pengalaman masing-masing dengan suara yang mengandung arti. Aku tabu bahwa kata-kata yang mereka ucapkan kadang-kadang menyebabkan timbulnya kesenangan atau kesedihan, senyuman atau kemurungan pada diri pendengarnya.
Ini dia ilmu yang sangat berguna! pikirku. Aku sangat ingin mempelajari dan memahaminya. Tapi usahaku selalu tertumbuk dengan berbagai kesulitan. Ucapan mereka sangat cepat. Kata-kata mereka seringkali tidak ada hubungannya dengan benda yang kelihatan, dan aku tidak bisa menemukan petunjuk untuk membongkar rahasia percakapan mereka.
Walaupun demikian, dengan hasrat yang sangat besar lama-lama aku bisa mengenali nama yang diberikan kepada beberapa buah benda yang sangat dikenal. Aku belajar mengucapkan dan memahami arti kata-kata seperti api susu, roti dan kayu.
Aku juga mempelajari nama para penghuni rumah sendiri. Kedua anak muda memiliki beberapa nama. Tapi si tua hanya punya satu nama, yaitu ayah. Si gadis dipanggil dengan nama adik atau Agatha. Sedangkan si pemuda Felix , kakak atau nak .
Aku tidak bisa melukiskan kegembiraanku waktu aku memahami setiap perkataan ini, serta dapat mengucapkannya. Aku juga bisa mengucapkan beberapa patah kata yang waktu itu belum kuketahui artinya, seperti baik . sayang , atau sedih.
Selama musim dingin itulah yang kulakukan Sikap lemah lembut dan kecantikan para penghuni rumah mengisi hatiku dengan rasa simpati. Kalau mereka bersedih hati, hatiku juga merasa tertekan. Kalau mereka bergembira, aku pun turut bersuka-cita.
Kecuali orang-orang ini, aku tidak banyak melihat manusia lainnya. Hanya satu dua kali kulihat ada orang lain masuk ke rumah mereka. Biasanya orang-orang ini sikap dan tutur katanya kasar, menambah penghargaanku kepada sahabatsahabatku ini.
Aku melihat si tua seringkali berusaha membesarkan hati kedua anaknya. Beberapa kali kulihat dia menyuruh mereka agar tidak bersedih hati. Dia berbicara kepada anaknya dengan nada gembira, dan dengan air muka yang memancarkan kasih sayang sehingga aku sendiri turut merasa senang melihatnya. Agatha mendengarkan kata-kata ayahnya dengan penuh rasa hormat. Air matanya seringkali tampak berlinang, dan dia berusaha menghapusnya. Biasanya metelah mendengarkan kata-kata hiburan dari ayahnya, muka dan kata-kata Agatha menjadi bertambah gembira. Tapi tidak demikian halnya dengan Felix. Di antara mereka dialah yang paling pemurung. Bahkan bagi pengamatanku yang belum begitu terlatih, tampaknya dialah yang paling besar menderita kesedihan. Walaupun demikian suaranya kedengaran lebih gembira daripada adiknya, terutama kalau sedang berbicara kepada ayahnya. Padahal mukanya selalu lebih muram.
Aku bisa menyebutkan banyak contoh yang menunjukkan kebaikan penghuni rumah ini, walaupun tampaknya seperti hal yang sangat sepele. Walaupun mereka menderita kemelaratan dan serba kekurangan, tapi Felix selalu memperlihatkan kasih sayang yang sangat besar kepada adiknya. Dengan sukacita dia membawakan untuk adiknya bunga putih yang pertama kali muncul dari tanah yang tertutup salju. Pagi-pagi sekali, sebelum adiknya bangun, Felix sudah membersihkan salju yang menutupi jalan setapak menuju tempat memerah susu. Dia juga selalu mendahului adiknya menimba air dari sumur atau mengambil kayu bakar dari gudang. Dan dia selalu merasa heran karena persediaan kayunya selalu dicukupi oleh tangan yang tidak kelihatan. Pada siang hari rupanya Felix bekerja di rumah seorang petani. Dia seringkali pergi dan baru kembali di sore hari, dan pulangnya tidak membawa kayu bakar. Pada kesempatan lain dia bekerja di kebun. Kalau tidak banyak yang harus dikerjakannya, dia membacakan sesuatu untuk ayahnya dan Agatha. Mula-mula aku sangat heran melihat dia membaca. Tapi lambat laun aku mengetahui bahwa dia banyak mengucapkan kata-kata yang sama dengan kalau dia berbicara biasa. Lalu aku menarik kesimpulan bahwa dia menyuarakan tanda-tanda di atas kertas yang difahaminya. Aku pun sangat ingin bisa memahami hal itu. Tapi bagaimana mungkin aku akan bisa, kalau kata-kata mereka saja belum bisa kufahami"
Tapi lama-lama aku mendapat banyak kemajuan juga untuk memahami katakata mereka, walaupun belum cukup untuk melakukan percakapan. Aku tahu bahwa untuk bisa bercakap-cakap aku harus berhubungan langsung dengan penghuni rumah ini. Tapi ini tidak dapat kulakukan sebelum aku menguasai bahasa mereka. Aku harus mencapai tingkat pengetahuan yang cukup, sehingga kalau aku memperlihatkan diri, mereka tidak akan mempedulikan rupaku yang buruk.
Aku sangat mengagumi bentuk tubuh para penghuni rumah yang sempurna, serta wajah mereka yang cantik. Tapi alangkah ngerinya aku waktu aku melihat bayanganku sendiri di permukaan kolam yang bening! Mula-mula aku terperanjat, tidak percaya bahwa yang kulihat benar-benar bayanganku sendiri. Lama-lama aku yakin bahwa aku makhluk buruk yang bayangannya kulihat di permukaan air. Bukan main sedih dan getirnya rasa hatiku! Aduh! Bahkan aku waktu itu belum menyadari apa akibat buruk yang akan ditimbulkan oleh rupaku yang sangat mengerikan.
Hari demi hari sinar matahari terasa semakin panas. Waktu siang hari makin panjang, dan salju lenyap. Kini kulihat jelas pohon yang gundul dan tanah yang hitam. Felix semakin sibuk bekerja, dan mereka tidak lagi terancam bahaya kelaparan. Ma kanan mereka tetap sederhana, tapi selalu kecukupan. Sekarang setiap hari mereka tidak pernah kekurangan makanan. Di kebun kini banyak tumbuh jenis tanaman baru, yang mereka gunakan sebagai tambahan lauk-pauk. Dengan bergantinya musim kemewahan hidup mereka semakin meningkat. Setiap hari si tua pergi berjalan-jalan, kalau tidak hujan. Dia masih berjalan sambil berpegangan lengan anaknya. Kini hujan seringkali turun, tapi angin yang bertiup dengan cepat mengeringkan tanah. Sekarang musim lebih menyenangkan daripada yang sudah lewat.
Cara hidupku dalam persembunyian masih tetap tidak berubah. Sepanjang pagi aku selalu memperhatikan gerak-gerik penghuni rumah. Kalau mereka pergi untuk melakukan berbagai pekerjaan, aku tidur. Waktu selebihnya juga kuisi dengan melihat apa yang dilakukan sahabat-sahabatku ini.
Kalau mereka sudah tidur dan malam cerah, aku pergi ke hutan. Aku mencari makananku sendiri dan mencari kayu bakar untuk para penghuni rumah. Seringkali pulangnya aku terus membersihkan salju yang menutupi jalan setapak. Aku melakukannya dengan meniru perbuatan Felix. Mereka selalu merasa sangat heran menemukan hasil kerja tangan yang tidak kelihatan. Melihat hasil kerjaku, satu atau dua kali pernah kudengar mereka menyebutkan perkataan roh baik, dan ajaib. Tapi aku tidak mengerti apa arti perkataan mereka.
Kini pikiranku menjadi semakin giat. Aku ingin tahu bagaimana perasaan orang-orang yang baik ini. Aku ingin tahu apa sebabnya Felix selalu berduka cita dan Agatha begitu bersedih hati. Aku mengira akan bisa memulihkan kebahagiaan kepada mereka. Memang aku tolol dengan berpendapat demikian, tapi kurasa mereka patut mendapatkan kebahagiaan mereka kembali. Setiap kali aku tidur atau sedang pergi, selalu terbayang olehku tubuh lemah si ayah yang buta, Agatha yang lemah lembut dan Felix yang tampan. Aku memandang mereka sebagai makhluk yang lebih mulia, yang akan bisa menolong masa depanku. Aku seringkali membayangkan saat di kala aku memperlihatkan diri kepada mereka, dan bagaimana sambutan mereka terhadap diriku. Aku membayangkan mula-mula mereka akan merasa jijik melihatku. Tapi dengan sikapku yang ramah dan kata-kataku yang menenangkan, akhirnya mereka akan menyayangiku.
Khayalan ini membesarkan hatiku, dan meningkatkan semangatku untuk mempelajari bahasa mereka. Organ-organ tubuhku serba kasar, tapi cukup lentur. Suaraku tidak bisa semerdu suara mereka, tapi aku bisa mengucapkan setiap perkataan yang sudah kumengerti dengan mudah. Aku mengharapkan kelak akan mendapat sambutan baik dari mereka, setelah tiba saatnya bagiku untuk memperlihatkan diri.
Hujan yang menyenangkan dan udara hangat musim semi mengubah sifat-sifat tanah. Manusia yang di waktu musim dingin rupanya bersembunyi di gua-gua, kini keluar semua untuk mengerjakan tanah dan bercocok-tanam. Dunia pada umumnya juga kini berubah. Burung berkicauan dengan suara yang lebih merdu, dan kuncup daun mulai bermunculan pada pohon-pohonan. Alam laksana menari, dan dunia penuh kegembiraan l
Kini dunia rasanya layak didiami dewa-dewa. Pa dahal sebelumnya dunia begitu kosong, tandus, lembab dan tidak menyenangkan. Aku bersukacita menyaksikan alam yang begitu mempesonakan. Masa-masa yang telah lalu sudah terhapus dari ingatanku. Masa kini penuh dengan ketenangan, dan masa depan penuh dengan harapan yang bersinar terang serta tanda-tanda datangnya kegembiraan.
Bab 13 AKU akan segera sampai ke bagian terpenting dari ceritaku. Aku akan menceritakan semua peristiwa yang begitu dalam meninggalkan kesan pada perasaanku. Karena peristiwa ini pulalah aku berubah dari sifatku yang dulu menjadi seperti sekarang ini.
Musim semi berjalan dengan cepat. Cuaca semakin cerah dan langit tidak berawan. Aku sangat heran melihat apa yang sebelumnya hanya merupakan padang salju dan muram, kini sangat indah dengan aneka warna bunga yang bermekaran dan tanaman hijau subur. Inderaku menjadi segar oleh seribu satu macam bau harum serta pemandangan alam yang permai.
Suatu hari, di kala seisi rumah beristirahat #ari pekerjaan mereka si tua bermain gitar dan anak-anaknya mendengarkan kulihat air muka Felix sangat sedih. Kemuraman wajahnya kini jauh melebihi yang pernah kulihat. Dia seringkali menghela nafas panjang.
Sekali ayahnya berhenti bermain musik. Dia menanyakan apa yang menyebabkan anaknya begitu sedih. Felix menjawab dengan suara bernada gembira, dan ayahnya memetik gitarnya kembali. Sesaat kemudian terdengar pintu diketuk.
Yang datang ternyata seorang wanita berkuda. Dia diantarkan oleh seorang desa. Wanita ini mengenakan pakaian berwarna hitam, dan wajahnya tertutup cadar hitam yang tebal. Agatha mengajukan pertanyaan. Wanita asing ini menjawab hanya dengan menyebutkan nama Felix. Suaranya terdengar begitu merdu, tapi tidak sama dengan suara salah satu penghuni rumah. Demi mendengar perkataan wanita ini, Felix cepat-cepat menghampirinya. Dan si wanita demi melihat Felix terus membuka cadarnya. Wanita ini kulihat memiliki wajah yang cantik tiada terkira, seperti bidadari. Rambutnya sehitam bulu gagak, dijalin dengan rapih. Matanya hitam dan lembut, walaupun pandangannya sangat tajam. Wajahnya putih dan pipinya berwarna merah jambu, cantik sekali.
Felix kelihatan sangat bersukacita waktu melihatnyaa. Kini semua tanda kesedihan lenyap dari wajahnya. Seketika air mukanya memancarkan kegembiraan yang tiada batas. Aku sampai merasa sangat heran bagaimana sampai bisa demikian. Mata Felix berseri-seri, dan pipinya memerah karena senangnya. Saat itu aku berpendapat bahwa rupa Felix secantik si wanita asing. Tapi si wanita tampaknya terpengaruh oleh perasaan yang berbeda. Dia menghapus air mata dari matanya yang indah seraya mengulurkan tangan kepada Felix. Felix mrnciumi tangan wanita ini dengan penuh gairah. Kudengar dia memanggilnya dengan sebutan gadis Arab-nya yang cantik. Rupanya si gadis tidak memahami kata-kata Felix, tapi dia tersenyum. Felix membantunya turun dari kuda. Disuruhnya si pengantar pergi, terus si gadis dipersilakan masuk ke rumah. Felix bercakap-cakap sebentar dengan ayahnya. Kemudian gadis asing ini berlutut di muka si tua serta mencium tangannya. Tapi ayah Felix mengangkat si gadis agar berdiri, lalu memeluk tubuhnya dengan penuh kasih sayang.
Si gadis asing rupanya memiliki bahasa sendiri. Aku segera mengerti bahwa bahasanya tidak di-fahami oleh penghuni rumah, dan demikian juga si gadis tidak memahami bahasa keluarga Felix. Mereka lalu berbicara dengan bahasa isyarat yang tidak kumengerti maksudnya. Walaupun demikian aku mengerti bahwa kedatangan gadis ini mendatangkan kegembiraan kepada seisi rumah. Kedatangannya telah mengusir kesedihan mereka, seperti matahari menghalaukan kabut pagi.
Terutama Felix-lah rupanya yang paling merasa bahagia. Dia menyambut si gadis Arab dengan senyuman dan sukacita. Agatha yang lemah lembut mencium tangan si gadis asing yang cantik. Dia menunjuk kepada kakaknya seraya membuat beberapa isyarat. Isyaratnya rupanya mengandung arti bahwa sebelum dia datang, Felix selalu bersedih hati.
Beberapa jam pun berlalu dengan wajah setiap orang memancarkan kegembiraan, aku tidak tahu apa sebabnya. Kemudian si gadis asing berkali-kali mengucapkan kata-kata yang sama. Aku pun segera mengerti bahwa dia ingin mempelajari bahasa yang digunakan penghuni rumah. Sebuah gagasan melintas dalam pikiranku, bahwa aktf pun akan bisa turut belajar.
Pada pelajaran pertama si gadis asing mempelajari kira-kira dua puluh macam perkataan. Kata-kata ini sebagian besar sudah kumengerti, tapi aku mendapat tambahan pengetahuan dengan kata-kata lainnya.
Setelah malam tiba, si gadis Arab dengan Agatha segera pergi tidur. Waktu mereka berpisah, Felix mencium tangan si gadis asing sambil berkata, Selamat malam, Safie yang manis .
Felix dengan ayannya bercakap-cakap sampai jauh malam. Dalam percakapan, mereka seringkali menyebut-nyebut nama si gadis Arab. Aku menarik kesimpulan bahwa bahan percakapan mereka tidak lain tamu mereka yang cantik. Aku sangat ingin memahami pembicaraan mereka. Tapi betapapun aku memeras otak, aku tetap tidak berhasil.
Keesokan harinya Felix pergi bekerja seperti biasa. Setelah pekerjaan Agatha selesai, si gadis Arab duduk di muka si tua. Diambilnya gitar dari tangan si tua, dan dia mulai memetiknya. Musik yang dimainkannya sangat merdu dan menawan sehingga seketika menerbitkan air mataku. Sambil memetik gitar dia menyanyi. Suaranya merdu mengalun, seindah nyanyian burung di tengah hutan.
Setelah dia selesai menyanyi, gitar diserahkan kepada Agatha. Mula-mula Agatha menolak, tapi akhirnya diterimanya juga. Dia memainkan sebuah lagu sederhana sambil menyanyi. Tapi suaranya tidak semerdu suara si gadis asing. Ayah Agatha terpesona mendengar lagu yang dimainkan si gadis Arab. Dia mengucapkan beberapa patah kata kepada Agatha yang terus disampaikan kepada Safie. Rupanya dia menyatakan bahwa musik yang dimainkannya memberikan kegembiraan yang sangat besar.
Hari-hari selanjutnya berlangsung dengan tenteram seperti sediakala. Tapi kini ada perubahan, yaitu kegembiraan telah menggantikan ke murungan pada air muka semua penghuni rumah. Safie selalu riang gembira. Dalam pengetahuan bahasa dia maju pesat, demikian juga aku sendiri. Maka dalam waktu dua bulan saja aku sudah bisa memahami sebagian besar kata-kata yang diucapkan para sahabatku.
Sementara itu tanah yang hitam sudah tertutup semua dengan tanaman hijau. Tepi sungai yang berumput di sana-sini diselang-seling dengan bunga aneka warna. Bunga-bunga ini indah dipandang mata dan harum baunya. Kelihatannya laksana taburan bintang dalam sinar bulan yang pucat.
Sinar matahari semakin panas, dan malam-malamnya selalu cerah dan hangat. Perjalananku di waktu malam sangat menyenangkan bagiku. Memang, jangka waktu antara matahari terbenam dengan matahari terbit merupakan satu-satunya waktu yang bisa kupakai untuk pergi ke luar. Aku tidak berani lagi keluar di siang hari, takut mendapat, perlakuan yang sama seperti yang kualami waktu pertama kali aku masuk ke desa.
Waktu-waktuku di siang hari kuisi dengan memusatkan perhatian kepada pelajaran bahasa, supaya aku bisa segera menguasainya. Aku bahkan berani menyombongkan diri bahwa kemajuanku lebih pesat daripada Safie. Dia hanya bisa memahami sedikit-sedikit dan berbicara dengan ucapan terputus-putus. Sedangkan aku bisa memahami dan mengucapkan hampir setiap kata yang diajarkan.
Sementara aku mendapat kemajuan pesat dalam belajar berbicara, aku juga mempelajari ilmu membaca huruf yang diajarkan kepada Safie. Pengetahuan ini membukakan di hadapanku dunia luas yang penuh keajaiban serta sangat menyenangkan.
Buku yang dipakai Felix untuk mengajar Safie adalah Ruins of Empires karangan Volney. Aku pasti takkan bisa memahami isi buku ini, kalau Felix tidak menerangkannya sambil membaca. Felix mengatakan bahwa dia memilih karya ini karena gaya bahasanya meniru para pujangga dari Timur. Melalui buku yang dibaca Felix, aku memperoleh pengetahuan tentang sejarah dan beberapa ke-rajaan yang sekarang masih berdiri. Pengetahuan ini memberikan gambaran kepadaku tentang adat istiadat, bentuk pemerintahan dan agama berbagai bangsa di dunia.
Aku juga bisa mendengar tentang sifat bangsa Asia yang berbeda dengan bangsa Yunani; tentang peperangan dan watak orang Romawi purba, serta kemerosotan akhlak mereka; runtuhnya imperium Romawi, kepahlawanan, bangkitnya agama Kristen, serta tentang raja-raja. Aku mendengar tentang penemuan benua Amerika. Aku bahkan turut menangis bersama Safie meratapi nasib malang penduduk aslinya.
Semua cerita yang ajaib ini mengilhamiku dengan perasaan aneh. Benarkah bahwa manusia begitu berkuasa, begitu berbudi, dan begitu perkasa, namun juga begitu jahat dan keji" Menurut pen-dapatku manusia pada satu saat sangat jahat, dan pada saat lainnya kelihatan agung dan luhur. Menjadi manusia yang agung dan berbudi rupanya merupakan kehormatan tertinggi yang bisa dicapai manusia. Sedangkan memiliki kejahatan dan kekejian rupanya merupakan derajat yang paling rendah, lebih hina daripada tikus buta atau cacing tanah. Untuk beberapa waktu lamanya aku tidak bisa membayangkan mengapa sampai ada manusia yang mau membunuh sesamanya, dan bahkan mengapa ada hukum dan pemerintahan. Tapi setelah kudengar penjelasan tentang kejahatan dan pertumpahan darah, aku tidak merasa heran lagi. Kini yang timbul pada diriku rasa muak dan jijik.
Sekarang setiap percakapan penghuni rumah membukakan keajaiban baru bagiku. Sambil mendengarkan pengajaran yang diberikan Felix kepada Safie, aku semakin memahami peraturan yang aneh-aneh dalam masyarakat manusia. Aku mendengar tentang cara-cara pembagian hak milik, tentang kekayaan dan kemiskinan, tentang derajat, keturunan dan darah bangsawan. Semua kata-kata ini mendorongku untuk berpaling melihat kepada diriku sendiri. Dari orang-orang ini kuketahui bahwa dalam masyarakat manusia kekayaan selalu dijunjung tinggi, dan keturunan orang berbangsa selalu bertalian dengan har" ta kekayaan. Seseorang bisa dihormati di tengah masyarakat kalau memiliki salah satu kelebihan ini. Tapi tanpa memiliki salah satu kelebihan ini, seorang akan menjadi gelandangan atau budak. Dia akan memeras tenaganya untuk keuntungan orang-orang yang punya derajat lebih tinggi. Tentu saja ada perkecualiannya, walaupun sangat jarang. Dan aku ini apa" Aku sama sekali tidak tahu tentang asal-usulku. Yang kuketahui hanya bahwa aku tidak punya uang, tidak punya kawan, serta tidak x punya hak milik macam apa pun. Di samping itu aku juga memiliki rupa yang buruk dan menjijikkan. Aku bahkan tidak memiliki sifat dan ha-kekat yang sama dengan manusia.
Aku lebih tangkas daripada mereka, dan bisa hidup dengan makanan yang jauh lebih sederhana. Aku lebih tahan panas dan dingin tanpa akibat buruk pada tubuhku. Ukuran tubuhku juga jauh melebihi mereka. Aku sudah melihat ke mana-mana, dan aku belum pernah melihat atau mendengar ada makhluk yang sejenis dengan diriku. Jadi benarkah aku makhluk mengerikan, sampah dunia, yang dihindari dan dibenci semua manusia"
Aku tidak bisa melukiskan penderitaan yang kurasakan demi aku menyadari hal ini. Aku mencoba mengesampingkan pikiran ini, tapi pengetahuan yang kudapat semakin memperbesar kesedihanku. Aduh, kalau saja aku tetap tinggal di hutan! Aku pasti akan lebih merasa senang kalau aku hanya bisa merasakan lapar, haus dan panas!
Sungguh aneh hakekat ilmu pengetahuan! Sekali masuk ke otak, ilmu pengetahuan akan terus berpegangan erat-erat seperti kancing-kancingan melekat pada batu. Kadang-kadang aku ingin sekali membuang semua pikiran dan perasaan. Tapi aku juga sudah mengetahui bahwa hanya ada satu cara untuk mengatasi kepedihan rasa duka, yaitu ke-matian. Tapi ini satu hal yang waktu itu belum ku-fahami apa artinya.
Aku mengagumi kebajikan dan kebaikan semua penghuni rumah, serta mencintai mereka karena tingkah laku mereka yang baik dan ramah. Tapi aku tidak bisa berhubungan langsung dengan mereka. Hubunganku dengan mereka hanya secara sepihak, yaitu kalau aku melakukan perbuatan tanpa sepengetahuan mereka. Tapi ini bukannya memuaskanku, bahkan semakin meningkatkan keinginanku menjadi salah satu di antara mereka.
Kata-kata Agatha yang lemah lembut dan senyum manis Safie yang mempesona bukan untukku. Bujukan lembut ayahnya dan cerita Felix yang disampaikan dengan riang gembira juga bukan untukku. Sungguh aku makhluk malang yang sangat menyedihkan!
Beberapa pelajaran lainnya bahkan meninggalkan kesan lebih dalam pada pikiranku. Aku mendengar tentang perbedaan jenis kelamin dan kelahiran serta pertumbuhan anak-anak. Aku mendengar bagaimana seorang ayah tersenyum manis kepada anaknya yang masih kecil dan kelucuan anaknya yang lebih besar; bagaimana kasih sayang seorang ibu kepada anaknya, bagaimana seorang anak mempelajari sesuatu, tentang kakak, adik dan berbagai hubungan kekeluargaan pada masyarakat manusia.
Tapi mana sahabat dan kerabatku" Aku tidak punya ayah yang menjagaku di masa kanak-kanak. Aku tidak punya ibu yang membelai dan menga-sihiku. Masa lampauku sama sekali gelap, tak ada suatu apa pun yang bisa kuingat. Seingatku, tahu-tahu aku sudah setinggi dan sebesar diriku sekarang. Aku bahkan belum pernah melihat makhluk yang mirip diriku, atau menyatakan ada hubungan dengan diriku. Aku ini makhluk apa" Pertanyaan ini selalu timbul dalam hatiku, dan aku hanya bisa menjawabnya dengan erangan. Aku akan segera menerangkan apa akibat perasaan ini. Tapi sebelumnya perkenankanlah aku menceritakan tentang para penghuni rumah. Riwayat mereka membangkitkan berbagai perasaan seperti marah, senang dan takjub. Tapi semuanya menambahkan rasa cintaku kepada mereka.Bahkan dengan penuh rasa hormat mereka kuanggap sebagai pelindungku.
Bab 14 BEBERAPA waktu berlalu sebelum aku mengetahui riwayat sahabat-sahabatku. Kisah tentang diri mereka sangat dalam meninggalkan kesan pada pikiranku. Banyak sekali peristiwa menarik dan sangat menakjubkan bagi diriku, karena ak sama sekali buta pengalaman.
Ayah Felix bernama De Lacey. Dia keturunan ke luarga baik-baik dari Perancis. Di sana dia hidup s lama beberapa tahun dalam kemewahan. Dia di hargai oleh orang yang derajatnya lebih tinggi, sert dicintai oleh sesamanya. Felix dididik untuk mengabdi kepada negerinya, dan Agatha termasuk kalangan wanita tingkat atas. Beberapa bulan sebelum aku datang, mereka tinggal di kota besar dan mewah bernama Paris. Mereka hidup dikelilingi banyak sahabat, serta bisa menikmati apa saja yang bisa dicapai dengan harta kekayaan. Kehancuran mereka diakibatkan oleh ayah Safie. Dia seorang saudagar bangsa Turki yang tinggal di Paris selama bertahun-tahun. Aku tidak tahu entah karena apa, kemudian dia dianggap bersalah oleh pemerintah. Dia ditangkap dan dipenjarakan, tepat waktu Safie datang dari Konstantinopel untuk me nyertainya. Dia diadili dan mendapat putusan hu kuman mati Ketakadilan hukuman yang dijatuhkan kepada nya sangat menyolok mata. Seluruh Paris marah. Mereka menuduh bahwa hukuman yang dijatuhkan kepadanya bukan karena kejahatan yang didakwakan, melainkan karena kekayaan yang dimilikinya serta agama yang dipeluknya.
Felix kebetulan hadir pada pengadilan ini. Dia merasa ngeri dan marah mendengar keputusan pengadilan. Kemarahannya hampir-hampir tidak bisa dibendung lagi. Waktu itu dia sampai bersumpah dalam hati untuk membebaskan si terhukum. Lalu dia segera mencari upaya untuk melaksanakan maksudnya.
Beberapa kali usahanya untuk masuk ke dalam penjara gagal. Kemudian dia menemukan jendela berterali besi yang tidak dijaga oleh pengawal. Melalui jendela ini sinar matahari masuk ke ruang tahanan. Di dalam, orang Turki yang malang ini menunggu pelaksanaan hukuman dengan tubuh di rantai. Di waktu malam Felix menghampiri jendela ini. Dia memberitahukan kepada si terhukum tentang maksud yang akan dilaksanakannya. Orang Turki ini takjub dan merasa gembira. Dia berusaha meningkatkan semangat penolongnya dengan janji akan memberikan hadiah dan harta kekayaan.
Felix menolak tawaran hadiah yang diajukan kepadanya. Tapi kemudian dia melihat.Safie yang kebetulan menjenguk ayahnya. Dengan isyarat, Safie menyatakan terima kasih kepada Felix atas usaha yang akan dilakukannya. Demi melihat Safie, maka Felix sadar bahwa si terhukum memang memiliki harta yang tak ternilai harganya. Harta ini akan merupakan imbalan yang memadai untuk jerih payahnya.
Orang Turki ini segera melihat kesan yang ditimbulkan anaknya terhadap Felix. Dia lalu berusaha lebih membesarkan lagi semangat Felix dengan janji akan mengawinkannya dengan Safie, setelah dia berhasil membawanya ke tempat yang aman. Felix merasa tidak layak menerima tawaran hadiah ini. Tapi dia pun mulai membayangkan kemungkinan untuk mendapatkan kebahagiaan hidup ini. Maka dibuatlah persiapan untuk menyelamatkan dan melarikan si saudagar. Semangat Felix bertambah karena surat-surat yang diterimanya dari gadis cantik anak saudagar ini. Safie bisa menyatakan perasaannya kepada Felix dengan bantuan pelayannya, seorang laki-laki tua yang mengerti bahasa Perancis. Safie mengucapkan terima kasih dengan sikap yang hangat sekali, atas usaha Felix untuk menyelamatkan ayahnya. Di samping itu dengan halus Safie juga mohon agar Felix mau memikirkan nasibnya.
Aku punya salinan surat-surat ini. Sebab selama aku tinggal dalam kandang, aku berhasil mendapatkan alat-alat untuk menulis. Surat-surat ini kulihat seringkali ada di tangan Felix atau Agatha. Sebelum aku pergi nanti, akan kuberikan suratnya kepadamu. Surat ini akan merupakan bukti kebenaran ceritaku. Baiklah akan kuteruskan ceritaku, sebab kulihat matahari sudah jauh condong ke barat.
Safie menceritakan bahwa ibunya seorang Arab beragama Kristen. Dia ditangkap dan dijadikan budak oleh bangsa Turki. Karena kecantikan wajahnya, maka dia dicintai oleh ayah Safie, yang terus mengawininya. Safie sangat menghormati ibunya. Ibunya lahir sebagai manusia merdeka, dan dia sangat sedih memikirkan ikatan yang membelenggunya. Dia menyuruh anaknya agar memeluk agama yang dianutnya. Safie juga disuruhnya menuntut pelajaran yang lebih tinggi serta memiliki kebebasan berpikir yang terlarang bagi kaum wanita pemeluk agama yang dianut ayahnya.
Ibu Safie meninggal dunia, tapi ajarannya sangat berkesan di hati Safie. Kini hatinya sakit sekali karena harus kembali ke kampung halamannya serta harus terkurung di dalam tembok harem. Dia hanya diperbolehkan menyenangkan dirinya dengan permainan yang kekanak-kanakan, yang tidak cocok dengan alam pikirannya. Padahal pikiran Safie sudah terisi dengan gagasan yang agung, serta keinginan melakukan kebajikan yang mulia. Dia bercita-cita ingin kawin dengan seorang pemuda Kristen, serta tinggal di negeri yang memperbolehkan wanita mendapatkan kedudukan yang sederajat dengan kaum pria dalam masyarakat.
Hari pelaksanaan hukuman mati bagi orang Turki ini sudah ditentukan. Tapi di malam sebelumnya dia sudah berhasil melarikan diri dari penjara.
Sebelum fajar merekah dia sudah jauh sekali meninggalkan Paris. Felix berhasil mengusahakan paspor atas nama ayahnya, adiknya dan dia sendiri. Dia sudah merundingkan rencana ini dengan keluarganya. Me reka juga membantu si terhukum melarikan diri. Para pelarian meninggalkan rumah Felix, menyamar sebagai ayah Felix dan Agatha. Mereka seakan-akan mau melancong ke luar negeri. Sedangkan ayah dan adik Felix sendiri bersembunyi di bagian kota Paris yang sunyi.
Felix mengantarkan para pelarian melintasi negeri Perancis ke Lyons, melintasi Mont Cenis dan terus ke Leghorn. Di sana saudagar ini menunggu kesempatan yang baik untuk melintasi perbatasan ke daerah kekuasaan Turki. Safie bermaksud menemani ayahnya sampai saat keberangkatannya. Sementara itu saudagar Turki ini sekali lagi mengucapkan janjinya untuk mengawinkan anaknya dengan Felix, sang pembebas. Felix juga turut menemani mereka, dengan harapan orang Turki ini akan memenuhi janjinya.
Selama itu Felix sangat senang bergaul dengan Safie. Kepadanya Safie menunjukkan kasih sayang yang sederhana, tapi sangat manis. Mereka bercakap-cakap dengan perantaraan seorang juru bicara, dan kadang-kadang dengan isyarat. Safie juga menyanyikan lagu negeri aslinya yang sangat merdu untuk Felix.
Orang Turki ini membiarkan pergaulan yang intim antara kedua anak muda yang sedang berkasih-kasihan ini. Dia bahkan membesarkan hati dan harapan mereka, tapi dalam hati dia mulai menyusun rencana yang sama sekali berlainan.
Dalam riatinya orang Turki ini merasa jijik dengan gagasan akan membiarkan anaknya kawin dengan orang Kristen. Tapi dia pun tidak berani terang-terangan. Dia takut akan menyakiti hati Felix kalau sikapnya kurang ramah sedikit saja.
Dia tahu bahwa dia masih di bawah kekuasaan penolongnya. Maka dia tidak berani mengkhianati Felix selama mereka masih berada di wilayah Italia. Ayah Safie memikirkan beribu cara agar dia bisa menipu Felix, dan dia bisa membawa anaknya kalau dia berangkat kelak. Rencananya ini ternyata makin mudah dilaksanakan dengan kedatangan berita dari Paris.
Pemerintah Perancis sangat marah karena orang hukumannya melarikan diri. Segera dilakukan penyelidikan untuk menemukan dan menghukum penolongnya. Perbuatan Felix segera terbongkar. Maka De Lacey dan Agatha ditangkap serta dimasukkan ke dalam penjara. Berita inilah yang sampai kepada Felix, dan menyadarkannya dari impian indah yang penuh kesenangan ini. Ayahnya yang sudah tua dan buta dengan adiknya dipenjarakan, sedangkan dia bebas merdeka dan bersenang-senang dengan kekasihnya! Pikiran ini sangat menyiksa hati Felix. Dia lalu cepat-cepat menyusun rencana bersama ayah Safie. Felix akan kembali ke Perancis. Kemudian kalau saudagar Turki ini mendapat kesempatan menyeberangi perbatasan sebelum Felix kembali ke Italia, Safie supaya menumpang tinggal di sebuah biara di Leghorn. Felix segera menyampaikan salam perpisahan kepada gadis Arab yang cantik ini, terus berangkat ke Paris. Dia bermaksud menyerahkan diri kepada yang berwajib, agar ayahnya dengan Agatha dibebaskan.
Tapi usaha Felix tidak berhasil. Mereka tetap ditahan selama lima bulan sebelum diadili. Kemudian pengadilan memutuskan menyita semua harta benda De Lacey, serta mereka dibuang dari negeri Perancis selama-lamanya. Dalam pembuangan mereka tinggal di rumah buruk di negeri Jerman. Di situlah aku menemukan mereka. Felix segera tahu bahwa orang Turki yang ditolongnya mati-matian ternyata seorang yang licik dan jahat. Dia sama sekali tidak menghargai pengorbanan Felix dengan keluarganya untuk menolongnya. Dia bahkan melakukan perbuatan yang sangat menghina dan menyinggung perasaan. Demi mendengar bahwa harta benda Felix disita, dan mereka sekeluarga mendapat hukuman pembuangan, dia meninggalkan Italia bersama anaknya. Dia mengirimkan uang yang jumlahnya tidak seberapa kepada Felix. Untuk membantu hidupnya di masa yang akan datang, katanya. Itulah peristiwa yang selama itu membuat hati Felix sangat sedih. Dan itulah pula sebabnya maka Felix-Iah yang paling bersedih hati di antara mereka semuaDia tahan hidup dalam kemelaratan. Karena kemelaratan mereka akibat kebajikannya sendiri yang sangat mulia, dia bahkan merasa bangga. Yang menyedihkan hatinya tidak lain sikap orang Turki yang tak tahu membalas budi, ditambah dengan kehilangan Safie yang sangat dicintainya. Kesedihan ini terasa sangat pedih dan tak terobati bagi Felix. Sekarang kedatangan Safie memberikan hidup baru kepada jiwanya.
Tatkala berita penyitaan harta dan pembuangan keluarga Felix sampai ke Leghorn, saudagar Turki ini melarang anaknya terus memikirkan kekasihnya. Sebaliknya dia bahkan memerintahkan agar Safie bersiap-siap mengikutinya pulang ke Turki.
Safie gadis yang baik hati dan dermawan, berkat pendidikan ibunya yang berdasarkan kasih sayang. Dia sangat marah mendengar perintah ayahnya. Dengan sekuat tenaga Safie berusaha membantah perintah ayahnya. Tapi dengan marah ayahnya meninggalkan dia, sambil mengulangi perintahnya dengan lebih tegas lagi.
Beberapa hari kemudian saudagar Turki ini masuk ke apartemen anaknya. Dengan tergesa-gesa dia menceritakan bahwa dia yakin tempat tinggalnya di Leghorn sudah diketahui, dan dia akan segera diserahkan kepada pemerintah Perancis. Dia sudah menyewa sebuah perahu yang akan membawanya ke Konstantinopel. Pelayaran ke sana hanya makan waktu beberapa jam. Dia bermaksud meninggalkan anaknya di bawah pengawasan seorang pelayan terpercaya. Safie disuruhnya menyusul kapan saja, membawa sebagian besar hartanya yang waktu itu belum sampai ke Leghorn.
Setelah sendirian, Safie mulai menyusun rencananya sendiri. Kesempatan itu akan digunakannya untuk mencapai tujuan yang lebih dikehendakinya. Dia tidak ingin tinggal di Turki. Baik agama yang dianutnya maupun perasaannya membuat Safie tidak sudi kembali ke negeri ayahnya.
Dari surat-surat ayahnya yang jatuh ke tangannya dia mendengar tentang pembuangan kekasihnya. Dia bahkan tahu nama tempat yang didiami keluarga Felix. Beberapa waktu lamanya dia bimbang, tapi akhirnya dia membulatkan tekadnya.
Dengan membawa perhiasan miliknya serta sejumlah uang, Safie berangkat meninggalkan Italia untuk pergi ke Jerman. Dia ditemani oleh pelayannya, seorang penduduk asli Leghorn yang mengerti bahasa Turki. Safie sampai dengan selamat ke sebuah kota yang jaraknya sekitar tiga puluh kilometer dari tempat tinggal keluarga De Lacey. Di situlah dia mendapat kemalangan, yaitu pelayannya jatuh sakit. Safie merawatnya dengan tekun dan cermat, tapi gadis pelayan yang malang ini tidak tertolong. Dia mati, dan Safie ditinggalkan sebatang kara.
Ya, Safie sebatang kara di negeri yang baik bahasa maupun adat-istiadatnya tidak difahami-nya. Untunglah dia mendapat pertolongan orang yang baik hati. Sebelum mati, pelayannya telah mengatakan nama tempat yang akan mereka tuju. Dan kemudian wanita pemilik rumah yang ditumpangi Safie mengusahakan agar Safie bisa sampai dengan selamat ke rumah kekasihnya.
Bab 15 DEMIKIANLAH riwayat penghuni rumah dekat kandang tempatku bersembunyi. Kisah ini sangat dalam berkesan di hatiku. Dengan mengambil segi pandangan kehidupan masyarakat, aku bisa mengagumi kebajikan mereka serta mencela perbuatan jahat manusia.
Waktu itu aku belum menyaksikan sendiri seperi i apa bentuknya perbuatan jahat. Sedangkan kebaikan dan kedermawanan sudah kulihat dengan mata kepalaku sendiri. Aku lalu punya keinginan menjadi pelaku dalam segala perbuatan yang terpuji. Tapi untuk menjelaskan kemajuan intelegensiku, aku tidak boleh melewatkan satu peristiwa yang terjadi pada awal bulan Agustus dalam tahun itu juga.
Suatu malam waktu aku sedang mencari kayu ^ dalam hutan seperti biasa serta mencari makanan untukku sendiri, aku menemukan sebuah tas kulit menggeletak di tanah. Tas berisi beberapa potong pakaian dan beberapa buah buku. Dengan sukacita kubawa tas yang kutemukan ke tempat tinggalku. Untunglah buku-buku yang kudapatkan ditulis dalam bahasa yang sudah kupelajari. Buku-buku ini ialah Paradise Lost, sejilid karya Plutarch Lives dan buku Sorrows of Werter. Aku sangat gembira memiliki harta yang tak ternilai harganya.Selanjutnya setiap hari aku belajar dan melatih pikiranku dengan buku-buku ini. Sementara itu sahabat-sahabatku tetap sibuk bekerja seperti sediakala.
Aku hampir-hampir tidak bisa menerangkan kepadamu pengaruh bacaan ini terhadap diriku. Buku ini memberikan kepadaku gambaran serta perasaan baru yang tak terbatas. Kadang-kadang aku menjadi merasa gembira dan puas, tapi lebih sering lagi membuatku sangat murung.
Buku Sorrows of Werter berisi cerita yang sederhana tapi memikat. Di samping itu di dalamnya penuh dengan pandangan dan ulasan terhadap hal yang sampai sekarang masih membingungkanku. Perangai lembut dan rasa kekeluargaan yang dilukiskan di dalam buku ini, dipadukan dengan perasaan yang halus, sesuai dengan pengamatanku atas diri penghuni rumah dan keinginan yang selalu hidup di dalam dadaku. Tapi kurasa Werter sendiri manusia yang lebih mulia daripada orang yang pernah kulihat atau kubayangkan. Wataknya tidak mengandung kepura-puraan, dari semua perbuatannya didorong oleh hati sanubari. Kecemasannya menghadapi maut dan pertimbangan untuk bunuh diri mengisi hatiku dengan rasa takjub. Aku tidak memahami benar-benar duduknya perkara, tapi aku cenderung untuk memihak pelaku utama cerita ini. Aku menangisi kematiannya, tanpa tahu persis arti keseluruhannya. Bagaimanapun juga, dengan membaca aku meningkatkan kepribadianku sendiri. Aku merasa bahwa diriku serupa, tapi anehnya tidak sama dengan manusia yang terdapat dalam bacaan maupun yang kulihat dan kudengar percakapannya. Aku merasa bersimpati dengan mereka serta memahami sebagian perasaan mereka. Walaupun demikian aku tidak dapat menetapkan pikiranku tentang diriku sendiri. Aku tidak tergantung kepada siapa pun, dan aku juga tidak berkerabat dengan siapa pun.
Seandainya aku mati, tak seorang pun yang akan meratapi kematianku. Rupaku mengerikan dan ukuran tubuhku serba besar. Apa arti semua ini" Siapakah aku" Aku ini apa sebenarnya" Dari mana asal-usulku" Ke mana tujuanku" Pertanyaan ini selalu mengganggu pikiranku, tapi aku tidak bisa menemukan jawabannya.
Buku Liues-nya Plutarch berisi riwayat para pendiri negara republik di jaman kuno. Buku ini pengaruhnya ataB diriku jauh berbeda dengan buku Sorrows of Werter. Dari imajinasi Werter aku mendapatkan kesedihan dan kemuraman, sedangkan Plutarch mengajarkan kepadaku untuk memiliki gagasan agung. Dia mengangkat diriku dari khayalanku yang serba buruk untuk mengagumi dan mencintai para pahlawan dari jaman yang sudah silam.
Buku yang kubaca berisi banyak hal yang jauh lebih tinggi daripada pengertian dan pengalamanku. Aku bingung memikirkan segala macam kera-jaan, negeri yang luas, sungai besar dan samudera yang tiada batasnya. Aku bahkan sama sekali tidak mengenal nama-nama kota dan bangsa yang tak terhitung banyaknya.
Rumah pelindungku merupakan satu-satunya sekolah tempat aku mempelajari hakekat manusia. Tapi buku ini memperluas pandanganku, serta memaparkan kepadaku berbagai tindakan yang jauh lebih hebat. Aku membaca tentang orang-orang yang terkemuka, yang memerintah atau membantai bangsanya sendiri.
Keinginanku untuk melakukan kebajikan bangkit, dan aku merasa jijik kepada kejahatan. Tapi alam pikiranku juga hanya terbatas kepada pengertian yang kudapat dari buku ini saja. Dan aku hanya bisa merasakan senang dan sedih seorang diri. Karena alam pikiran ini, maka aku lebih cenderung untuk menyukai para penyebar kedamaian seperti Solon, Numa dan Lycurgus, daripada Romulus dan Theseus.
Hidup para pelindungku yang penuh rasa kekeluargaan menyebabkan aku semakin teguh memegang pendirian ini. Mungkin kalau pertama kali aku mengenal kemanusiaan lewat seorang prajurit muda, misalnya, tentu akan lain halnya. Mungkin alam pikiranku akan lebih terpengaruh oleh rasa haus kemenangan dan haus darah yang di miliki prajurit muda ini. Tapi buku Paradise Lost membangkitkan pe rasaan yang jauh berlainan dan jauh lebih dalam. Aku membacanya seperti aku membaca buku lain yang jatuh ke tanganku, yaitu menganggapnya sebagai sejarah yang benar-benar terjadi. Isi buku ini membangkitkan rasa kagum dan takjub yang sangat besar pada diriku. Aku sangat tertarik membaca tentang peperangan Tuhan yang sangat berkuasa melawan makhluk-makhluk ciptaannya. Aku seringkali menyamakan beberapa keadaan dengan keadaan diriku sendiri. Sama seperti Adam, aku juga tidak punya hubungan dengan makhluk lainnya. Tapi dalam segala hal keadaan Adam jauh berbeda dengan keadaan diriku.
Adam diciptakan langsung oleh Tuhan sebagai makhluk yang sempurna. Dia berbahagia dan tidak kurang suatu apa, serta mendapat perlindungan khusus dari Penciptanya. Dia bisa bercakap-cakap dan memperoleh pengetahuan dari makhluk yang lebih tinggi derajatnya. Sedangkan aku memiliki rupa buruk, tidak berdaya dan sebatang kara. Aku seringkali berpikir bahwa hakekat diriku lebih mirip dengan keadaan Setan. Sebab, seperti Setan aku juga seringkali merasa iri hati melihat kebahagiaan penghuni rumah yang setiap hari kulihat. Ada hal lain yang memperkuat perasaanku. Waktu pertama kali aku sampai ke kandang, segera kuketahui bahwa dalam saku pakaian yang kubawa dari laboratorium ada segulung kertas. Mula-mula aku tidak memperhatikannya. Tapi setelah.aku bisa membaca, kertas-kertas ini kupelajari dengan tekun. Kertas itu ternyata catatanmu sendiri sejak empat bulan sebelum diriku selesai kauciptakan.
Sampai ke hal yang sekecil-kecilnya kau menerangkan dalam kertas ini kemajuan pekerjaanmu. Catatan ini juga disertai dengan catatan harian kehidupanmu sendiri. Kau pasti masih ingat dengan kertas ini. Ini dia. Semua diterangkan di dalamnya tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan asalusulku yang terkutuk. Segala hal menjijikkan yang kaulakukan untuk membentuk tubuhku kauterangkan dengan jelas. Kau memberikan penyanderaan sampai kepada hal yang paling kecil tentang diriku yang menjijikkan, lengkap dengan kata-kata yang melukiskan kengerianmu sendiri. Semua ini tak terhapuskan dari pikiranku. Aku sendiri merasa sangat ngeri demi membacanya. Terkutuklah saat aku menerima kehidupan! seruku dengan hati yang sangat pedih. Pencipta terkutuk! Mengapa kau menciptakan makhluk yang begini mengerikan sehingga kau sendiri membuang muka karena jijik" Tuhan, karena kasihnya menciptakan manusia yang cantik dan menarik, menurut citranya sendiri. Tapi bentuk tubuhku seburuk hatimu yang busuk, bahkan lebih mengerikan lagi. Setan sendiri masih punya teman, yaitu iblis sesamanya yang bisa mengagumi dan membesarkan hatinya. Tapi aku seorang diri dan siapa saja membenciku.
Inilah yang kupikirkan dalam saat penuh kesedihan dan seorang diri. Tapi kemudian kurenungkan kebajikan penghuni rumah, keramahan dan kebaikan hati mereka. Aku lalu menghibur diriku dengan harapan setelah aku berkenalan dengan mereka, dan mereka tahu bahwa aku mengagumi kebajikan mereka, mereka akan menaruh belas kasihan kepadaku serta tidak mempedulikan rupaku yang buruk.
Mungkinkah mereka akan mengusir orang, betapapun jelek rupanya, yang datang untuk memohon belas kasihan dan persahabatan dari mereka" Akhirnya aku mengambil keputusan untuk tidak berputus asa. Sebaliknya aku mulai memikirkan setiap cara yang baik untuk berhubungan langsung dengan mereka. Saat pertama aku ber-cakap-cakap dengan mereka akan menentukan nasibku selanjutnya.
Tapi aku menunda maksudku ini selama beberapa bulan lagi. Aku berbuat demikian, sebab aku juga mempertimbangkan bagaimana kalau usahaku gagal. Lagipula pengertianku banyak bertambah dengan bertambahnya pengalaman.
Aku ingin menunggu dulu selama beberapa bulan sampai kearifan ku banyak bertambah.
Sementara itu banyak perubahan terjadi di rumah yang didiami keluarga De Lacey. Kedatangan Safie mendatangkan kebahagiaan di kalangan mereka. Kulihat juga bahwa kemewahan hidup mereka banyak bertambah. Kini setiap hari kulihat Felix dan Agatha lebih sering bersenang-senang dan bercakapcakap. Pekerjaan mereka dilakukan oleh beberapa orang pelayan. Mereka tidak kaya, tapi hidup mereka penuh kepuasan dan bahagia. Perasaan mereka tenang dan tenteram. Sebaliknya perasaanku setiap hari semakin bergolak. Bertambahnya pengetahuan yang kudapat hanya semakin menyadarkan diriku bahwa aku makhluk buangan yang sangat menyedihkan. Aku punya ha rapan, itu benar. Tapi harapanku lenyap manakala aku melihat bayanganku sendiri pada permukaan air. Bayangan diriku yang tidak begitu jelas sudah cukup untuk menyadarkan diriku akan rupaku yang buruk.
Aku berusaha melenyapkan ketakutanku, dan menguatkan hatiku untuk menempuh ujian yang sudah kutunda selama beberapa bulan. Kadang-kadang aku membiarkan pikiranku mengembara di Taman Firdaus, mengkhayalkan makhluk yang cantik cantik menghibur kesedihanku. Senyuman mereka penuh bujukan dan penghiburan.
Tapi itu semua hanya mimpi. Tidak ada Eva yang akan menghiburku dari kesedihan, maupun memahami perasaanku. Aku seorang diri. Aku teringat akan permohonan Adam kepada Pencip-tanya. Tapi di mana penciptaku" Dia meninggalkanku, dan dalam kepedihan hati aku mengu-tukinya. Musim gugur pun tiba. Dengan rasa heran dan sedih aku melihat daun-daunan kering dan berjatuhan. Alam sekali lagi kelihatan tandus dan kosong seperti yang pertama kali kulihat dulu dalam sinar bulan purnama.
Tapi aku tidak mempedulikan cuaca yang semakin dingin. Kesehatan badanku sudah lebih baik, dan aku lebih tahan panas maupun dingin. Namun aku terutama sangat senang melihat bunga-bungaan, burung dan suasana gembira musim panas. Setelah itu semua meninggalkanku, aku lebih memusatkan perhatian kepada penghuni rumah.
Kebahagiaan mereka tidak berkurang dengan berlalunya musim panas. Mereka saling mencintai. Kegembiraan mereka yang tergantung kepada sesama mereka sendiri tidak terganggu oleh suasana di sekitar mereka.
Lebih sering aku melihat mereka, lebih besar pula keinginanku untuk meminta perlindungan dan kebaikan mereka. Aku ingin sekali dikenal dan dicintai makhluk yang ramah ini. Aku mendambakan saat wajah mereka yang cantik menghadap kepadaku dengan pandangan penuh kasih sayang. Aku tidak berani memikirkan mereka membuang muka dengan rasa jijik dan ngeri. Aku yakin mereka takkan mengusir pengemis yang berhenti di muka pintu rumah mereka. Memang benar, aku meminta yang lebih banyak daripada makanan sedikit dan tempat beristirahat: aku minta kebaikan hati dan simpati. Tapi aku tidak percaya bahwa diriku tidak layak mendapatkannya. Kemudian tibalah musim dingin. Satu putaran waktu yang penuh sudah terjadi sejak saat aku mulai hidup. Kini pikiranku hanya tertuju kepada rencanaku untuk memperkenalkan diri kepada penghuni rumah dan pelindungku. Aku menyusun dan memikirkan berbagai rencana. Tapi akhirnya aku menemukan satu rencana yang kuanggap paling baik. Aku bermaksud akan memasuki rumah mereka pada saat orang tua yang buta sendirian. Aku sudah cukup bijaksana untuk menyadari bahwa rupaku yang buruklah yang menyebabkan kengerian orang yang melihatku. Suaraku memang kasar, tapi tidak mengandung kengerian. Kupikir, sementara anak anaknya pergi aku akan bisa merebut hati De Lacey. Kemudian dialah yang akan menjadi perantaraku sehingga aku pun akan diterima oleh penghuni rumah yang masih muda. Suatu hari matahari bersinar menerangi daun daun merah yang berserakan di tanah, dan kecerahan cuaca mendatangkan kegembiraan. Walaupun hawa waktu itu cukup panas, tapi Safie, Agatha dan Felix pergi untuk berjalan-jalan agak jauh. Atas kehendaknya sendiri ayah Felix ditinggalkan seorang diri di rumah. Setelah anak-anaknya berangkat, dia mengambil gitarnya. Dimainkannya beberapa lagu sedih yang merdu. Lagunya terasa lebih sendu daripada yang pernah kudengar sebelumnya. Mula-mula air mukanya tampak penuh kegembiraan. Tapi makin lama kelihatan wajahnya makin penuh perasaan dan kesedihan. Akhirnya gitar diletakkan, dan dia duduk termenung. Jantungku terasa berdenyut lebih cepat. Inilah saat ujian yang telah lama ku tunggu-tunggu, yang akan menentukan apakah harapanku terlaksana atau terjadi seperti yang kutakutkan. Waktu itu para pelayan sedang pergi ke pasar di desa yang cukup jauh. Di sekeliling rumah sunyi senyap. Ini kesempatan yang tepat sekali, pikirku.
Namun waktu aku melangkah maju untuk melaksanakan rencanaku, aku merasa lemas dan ter-perenyak ke tanah. Aku bangkit berdiri kembali. Kukuatkan hatiku, dan kubuka papan penutup lubang kandang tempatku bersembunyi. Udara luar menyegarkanku. Dengan tekad bulat aku berjalan menghampiri pintu rumah.
Aku mengetuk pintu. Siapa itu" tanya si tua. Silakan masuk. Aku pun masuk.
Maafkan gangguan ini, kataku. Aku seorang pelancong yang perlu istirahat sebentar. Aku akan sangat berterima kasih kalau kau mengijinkanku tinggal dekat api selama beberapa menit saja.
Silakan masuk, kata De Lacey. Aku akan mencoba meringankan penderitaanmu sebisaku. Tapi sayang sekali anak-anakku tidak di rumah. Dan karena aku buta, aku khawatir sangat sulit bagiku untuk menyiapkan makanan bagimu.
Tidak usah repot-repot, Tuan rumahku yang baik hati. Aku membawa makanan sendiri. Yang kubutuhkan hanyalah istirahat untuk melepaskan lelah dan api untuk menghangatkan tubuhku.
Aku pun duduk, dan sejenak sunyi. Aku tahu bahwa setiap menit sangat berharga bagiku. Walaupun demikian aku belum tahu bagaimana aku harus membuka percakapan. Tapi kemudian si tua berbicara kepadaku. Mendengar bicaramu, kurasa kau sebangsa denganku. Apakah kau orang Perancis"
Bukan. Tapi aku dididik oleh keluarga Perancis, dan hanya bahasa itulah yang kumengerti. Sekarang aku ingin meminta perlindungan kepada sahabat yang kucintai, dan kuharapkan juga akan mencintaiku.
Apakah mereka orang Jerman"
Bukan, mereka orang Perancis. Tapi marilah kita mengganti bahan percakapan. Aku makhluk yang malang dan sebatang kara. Aku tidak punya kawan maupun kerabat di muka bumi ini. Orang-orang baik hati yang akan kumintai perlindungan ini tidak mengenalku. Aku sangat takut. Sebab, kalau usahaku gagal berarti aku terbuang dari^dunia ini selama-lamanya. Mangan khawatir. Tidak punya sahabat di dunia memang kemalangan yang besar. Tapi hati ma-1 nusia kalau tidak mementingkan diri sendiri selalu penuh rasa persahabatan dan belas kasihan. Percayalah kepada harapanmu. Kalau sahabat yang kaucari ini benar-benar baik hati, kau tidak perlu merasa khawatir.
Mereka baik hati. Mereka makhluk paling berbudi di seluas muka bumi ini. Tapi sayangnya mereka pasti akan curiga kepadaku. Aku bertujuan baik. Selama ini hidupku penuh kedamaian, tidak pernah mengganggu orang lain. Bahkan sedikit banyaknya aku juga telah berbuat baik. Tapi prasangka buruk menggelapkan pandangan mata mereka. Mereka bukannya melihat hati dan perasaan seorang sahabat yang baik seperti semestinya, tapi melihat rupa jasmaniah yang buruk dan menjijikkan.
Ini memang patut disayangkan. Tapi kalau kau memang benar-benar tidak bersalah, tidak dapatkah kau meyakinkan mereka"
Aku baru akan mulai berusaha. Dan karena itulah aku merasa takut yang luar biasa. Aku sangat mencintai sahabat-sahabat ini. Selama beberapa bulan, tanpa sepengetahuan mereka aku setiap hari berbuat baik kepada mereka. Tapi mereka yakin bahwa aku akan mencelakakan mereka. Itulah prasangka yang ingin sekali kulenyapkan dari pikiran mereka.
Di mana tempat tinggal sahabatmu" Tidak jauh dari sini.
Si tua diam beberapa saat dan kemudian meneruskan, Cobalah kauterangkan sejelas-jelasnya ceritamu. Mungkin nanti aku akan bisa menolongmu meyakinkan mereka. Aku buta dan tidak dapat menilai rupa lahiriahmu. Tapi ada sesuatu dalam suaramu yang meyakinkan diriku bahwa kau jujur. Aku melarat dan seorang buangan pula. Tapi aku akan merasa senang sekali kalau dengan suatu cara bisa menolong sesama manusia.
Sungguh luhur budimu! Aku sangat berterima kasih kepadamu, dan menerima tawaranmu yang mulia. Dengan kebaikanmu kau mengangkat diriku dari debu kehinaan. Aku yakin, dengan pertolonganmu aku takkan diusir dari masyarakat dan belas kasihan sesama manusia.
Tuhan tidak mengijinkan! Seandainya benar Kau seorang bajingan, kau pasti akan terdorong ke dalam perbuatan jahat, bukannya ke arah kebajikan. Aku sendiri juga orang yang sedang ditimpa kemalangan. Aku sekeluarga dijatuhi hukuman, padahal tidak bersalah. Tentu saja aku bisa memahami perasaanmu yang sedang dirundung kemalangan.
Bagaimana aku akan bisa membalas budimu, sa habatku yang baik" Dari bibirmu sendiri aku sudah mendengar kata-kata manis ditujukan kepadaku. Aku akan berhutang budi selama-lamanya. Rasa kemanusiaanmu meyakinkan diriku bahwa kau akan berhasil meyakinkan sahabat yang segera akan kutemui. Boleh aku mengetahui nama dan tempat tinggal sahabat ini" Aku diam sebentar. Inilah saat yang menentukan. Aku akan mendapat kebahagiaan, atau takkan mencapainya seumur hidup. Aku berusaha sekuat tenaga untuk menguatkan hatiku agar bisa menjawab pertanyaannya. Tapi usaha ini bahkan menghabiskan tenagaku yang masih tersisa.
Aku duduk terperenyak ke atas kursi serta menangis tersedu-sedu. Saat itu kudengar bunyi langkah kaki anak-anak De Lacey, para pelindung mudaku. Aku tidak boleh membuang-buang waktu lagi. Kutangkap tangan si tua. Sambil menangis aku berkata:
Inilah saatnya! Selamatkan dan lindungi aku! Kaulah sekeluarga sahabat yang kucari. Jangan kauusir aku pada saat yang menentukan ini!
Ya Tuhan! seru De Lacey. Kau siapa"
Saat itu pintu rumah terbuka. Felix, Safie dan Agatha masuk Siapa yang bisa melukiskan kengerian mereka demi melihatku" Agatha jatuh pingsan, dan Safie menghambur ke luar dari rumah. Felix menyerbu ke depan. Dengan sekuat tenaga di renggutkannya aku dari ayahnya, yang sedang ku-pegangi lututnya. Dalam kemarahan yang menyala-nyala Felix merobohkanku ke tanah serta memukul tubuhku sekeras-kerasnya dengan tongkat.
Sebenarnya aku mampu merobek-robek tubuhnya seperti singa mencabik-cabik kijang. Tapi waktu itu hatiku rasanya hancur luluh, dan aku tidak berbuat apaapa. Kulihat Felix mau memukulku lagi. Dengan rasa sakit dan sedih aku lari ke luar rumah. Dalam kekalutan mereka aku melarikan diri, dan tanpa mereka ketahui aku kembali masuk ke persembunyian.
Bab 16 TERKUTUK, sungguh pencipta yang terkutuk! Mengapa aku harus hidup" Mengapa pada saat itu api kehidupanku yang dibetikkan dalam tubuhku dengan tanpa belas kasihan tidak padam saja" Mengapa tidak kubunuh saja diriku yang malang ini" Aku tidak tahu. Saat itu keputusasaan belum begitu kuat mencengkam diriku.
Perasaanku lebih dikuasai kemarahan dan keinginan membalas dendam. Dengan mudah aku akan bisa menghancurkan rumah beserta isinya, serta memuaskan diriku dengan jeritan kesakitan mereka.
Setelah malam tiba, aku meninggalkan persembunyianku dan mengembara di tengah hutan. Sekarang aku sudah tidak takut ditemukan orang lagi. Aku melahirkan penderitaan hatiku dengan mengeluarkan raungan yang menakutkan.
Aku seperti binatang buas yang dilukai, mengamuk dan memusnahkan apa saja yang menghalangi jalanku. Dengan kecepatan lari seekor rusa aku melintasi hutan.
Oh! Sungguh sangat menyiksa malam yang kulewatkan Bintang bintang yang dingin tersenyum dan berkedip-kedip mengejekku. Pohon-pohonan yang gundul melambai-lambaikan cabangnya yang telanjang kepadaku. Kadang-kadang kudengar nyanyi an burung yang merdu memecahkan kesunyian alam semesta. Seluruh dunia kecuali aku sedang beristirahat dengan tenang atau sedang menikmati kesenangan. Aku laksana iblis yang membawa api neraka dalam tubuhku. Tak ada yang bersimpati kepadaku, dan aku ingin menghancurkan apa saja di sekitarku. Aku ingin mencabuti pohon-pohonan, meluluhlantakkan sekelilingku, kemudian duduk menikmati kerusakan akibat armikanku.
Tapi ini hanyalah perasaan yang tidak bisa tahan lama. Aku menjadi kelelahan karena terlalu banyak tenaga yang kukeluarkan. Aku terperenyak duduk di atas rumput lembab, tidak berdaya dan putus asa.
Tak ada satu pun manusia yang akan berbelas kasihan atau mau menolongku. Dan bisakah aku mengasihi musuhku" Tidak! Sejak saat itu aku bersumpah akan menyatakan perang abadi kepada bangsa manusia. Lebih dari segalagalanya, aku bersumpah akan membinasakan orang yang raen-ciptakan diriku untuk membiarkanku menderita kemalangan yang tak tertahankan ini. Matahari terbit. Aku mendengar suara beberapa orang, dan aku sadar bahwa aku takkan bisa kembali ke persembunyianku di siang hari. Aku lalu bersembunyi di tengah belukar yang rimbun. Aku ber-t maksud merenungkan persoalan yang sedang kuhadapi.
Smar matahari yang lembut dan udara segar pagi itu mengembalikan sedikit ketenteraman pikiranku. Tapi setelah kurenungkan apa yang terjadi di rumah De Lacey, aku berpikir bahwa aku terlalu tergesa-gesa mengambil kesimpulan. Aku telah melakukan tindakan yang tidak bijaksana. Cukup jelas bahwa kata-kataku menarik perhatian De Lacey. Tapi sungguh tolol aku telah menunjukkan rupaku yang mengerikan kepada anak-anaknya. Seharusnya aku menjalin hubungan yang lebih baik dulu dengan De Lacey, dan sedikit demi sedikit memperlihatkan diriku kepada anggota keluarga lainnya. Mereka harus dipersiapkan dulu sebelum bertemu langsung denganku.
Tapi aku merasa bahwa kesalahanku masih bisa diperbaiki. Setelah lama kupikirkan, aku bermaksud kembali ke rumah mereka. Aku akan mencari si De Lacey tua, dan sekali lagi akan berusaha merebut hatinya.
Pikiran ini menenangkan perasaanku, dan siangnya aku bisa tidur pulas. Tapi darahku yang masih menggejolak menyebabkan aku mendapat mimpi yang tidak keruan. Peristiwa yang sangat tidak menyenangkan kemarin selalu terbayang kembali di pelupuk mataku. Kedua perempuan berlarian dan Felix yang sangat marah merenggutkanku dari kaki ayahnya. Aku terbangun dengan badan terasa lelah, dan ternyata malam sudah tiba. Aku merayap ke luar dari persembunyian dan pergi mencari makanan.
Setelah menghilangkan rasa laparku, aku melangkahkan kaki di jalan setapak yang sangat kukenal menuju ke rumah De Lacey. Rumah dan sekitarnya sunyi. Aku masuk ke kandang tempatku bersembunyi seperti biasa. Aku duduk diamdiam, menunggu saat seluruh keluarga bangun tidur.
Pagi pun tiba dan waktu berjalan terus. Matahari sudah tinggi di langit, tapi penghuni rumah tidak ada yang muncul. Badanku menggigil, merasa cemas jangan-jangan telah terjadi bencana yang mengerikan. Ruangan dalam rumah gelap dan aku tidak mendengar suara gerakan apa pun. Aku tidak bisa melukiskan penderitaan karena ketegangan ini.
Kemudian dua orang desa lewat. Mereka berhenti sebentar dekat rumah sambil bercakap-cakap disertai gerakan tangan. Aku tidak memahami apa yang mereka katakan. Mereka menggunakan bahasa mereka, yang berbeda dengan bahasa peng huni rumah. Tapi tidak lama kemudian Felix muncul dengan seorang lakilaki lainnya.
Aku merasa heran, sebab tahu bahwa sejak pagi Felix tidak meninggalkan rumah. Aku ingin sekali . mengetahui dari pembicaraannya apa arti semua kejadian yang tidak biasa ini.
Kau tentu menyadari, kata teman Felix ke padanya, bahwa kau membuangbuang uang sewa selama tiga bulan dan kehilangan hasil kebun" Aku tidak ingin menarik keuntungan dengan cara tidak jujur. Kuminta kau mau mempertimbangkan dulu putusanmu selama beberapa hari. Sama sekali tidak perlu. jawab Felix. Kami tidak bisa lagi mendiami rumahmu. Jiwa ayahku ^.terancam, karena peristiwa mengerikan yang sudah kuceritakan kepadamu. Isteri dan adikku takkan pulih lagi dari rasa ketakutan. Kuminta kau jangan lagi membujukku untuk membuat pertimbangan. Ambillah kembali milikmu dan jangan kauhalangi aku pergi dari tempat ini. Felix mengucapkan kata-kata ini dengan tubuh menggigil. Dengan temannya dia masuk ke rumah. Mereka tinggal di dalam selama beberapa menit, kemudian mereka pergi. Sejak itu aku tidak pernah lagi melihat salah seorang keluarga De Lacey.
Hari itu aku tinggal dalam kandang dengan rasa putus asa. Para pelindungku telah pergi, dan terputuslah satu-satunya mata rantai yang meng-hubungkanku dengan dunia, Untuk pertama kalinya rasa ingin membalas dendam memenuhi hatiku, dan aku tidak berusaha menahannya. Pikiranku terseret oleh keinginan menvakiti dan membunuh.
Tapi kemudian aku teringat kembali kepada keluarga De Lacey. Si tua yang bersuara lembut, air muka Agatha yang penuh kasih sayang dan wajah si gadiB Arab yang cantik semua terbayang kembali olehku. Dendamku yang menyala-nyala lalu sirna dan air mataku meleleh.
Dan kemudian aku teringat pula bahwa mereka telah menampik dan meninggalkanku. Kemarahanku pun kembali. Aku merasa berang dan geram luar biasa. Karena aku tidak bisa menyakiti manusia, maka aku melampiaskan kemarahanku kepada benda mati. Tatkala malam tiba aku menaruh segala macam benda yang mudah terbakar di sekeliling rumah. Lalu semua tanaman di kebun kurusakbinasakan, dan aku menunggu dengan perasaan yang kusabarsabarkan sampai bulan tidak kelihatan lagi untuk memulai tindakan balas dendamku.
Waktu malam semakin larut, angin kencang ber-tiup dari arah hutan dan menghalaukan awan yang menutupi langit. Halilintar menyambar dengan suara yang sangat dahsyat, serta menghidupkan dalam diriku semacam kegilaan yang menghancurkan semua akal sehat dan perasaanku. Kunyalakan cabang kayu kering, dan dengan kemarahan menyala-nyala rumah kubakar. Kulemparkan kayu menyala ke atas jerami dan kayu kering yang kutumpukkan di sekeliling rumah. Angin meniup api, dan dalam sekejap mata rumah sudah berkobar-kobar. Sementara itu di ufuk barat bulan hampir terbenam. Tidak lama kemudian aku sudah merasa yakin bahwa rumah takkan tertolong lagi. Aku lalu pergi mengungsi dalam hutan.
Dan sekarang, dengan dunia luas terhampar di hadapanku, ke mana aku akan menujukan langkah kakiku" Aku ingin pergi jauh-jauh dari tempat yang mendatangkan kemalangan kepadaku. Tapi bagiku, makhluk yang dibenci dan menjijikkan, setiap negeri pasti sama saja mengerikannya.
Akhirnya ingatan akan dirimu melintas pada pikiranku. Aku tahu dari catatanmu bahwa kau ayahku, penciptaku. Kepada siapa lagi aku lebih layak memohon daripada kepada dia yang menghidupkanku" Di antara banyak pelajaran yang diberikan Felix kepada Safie, pelajaran ilmu bumi juga tidak terlewatkan. Dari pelajaran ini aku mengetahui beberapa negeri di muka bumi ini. Kau telah menyebutkan Jenewa sebagai kota tempat tinggalmu, dan aku bermaksud pergi ke tempat itu.
Tapi bagaimana aku harus menetapkan arah yang harus kuambil" Aku tahu bahwa aku harus berjalan ke arah barat daya untuk sampai ke tujuan, tapi satu satunya petunjuk yang kumiliki hanya matahari. Aku tidak tahu nama-nama kota yang harus kulalui, dan aku juga tidak bisa bertanya kepada seorang manusia pun. Walaupun demikian aku tidak putus asa.
Raden Banyak Sumba 2 Monk Sang Detektif Genius Karya Lee Goldberg Bara Naga 6
^