Frankenstein 2
Frankenstein Or The Modern Prometheus Karya Mary Shelley Bagian 2
Setiap malam aku merasa terganggu oleh demam, serta urat syarafku menjadi terganggu sampai terasa sangat menyakitkan. Suara daun jatuh sudah cukup untuk membuatku terkejut, dan aku menghindari manusia sesamaku seakanakan aku bersalah melakukan suatu tindak kejahatan.
Kadang-kadang aku merasa ngeri memikirkan kondisi badanku yang sangat rusak. Kini hidupku semata-mata hanya terdorong oleh energi untuk mencapai tujuanku. Kerjaku akan segera berakhir, dan aku yakin kelak olahraga dan bersenang-senang akan berhasil mengusir penyakit yang mulai menjangkiti tubuhku. Aku berjanji kepada diriku sendiri akan segera melakukan kedua hal ini, setelah kerjaku selesai.
Bab 5 BARU pada suatu malam di bulan Nopember yang suram mulai kulihat bahwa jerih payahku akan mendapatkan hasil. Dengan kegelisahan yang hampir terasa sebagai penderitaan, aku mengumpulkan perkakas pembangkit hidup. Aku akan menghidupkan benda mati yang terbujur di muka kakiku.
Waktu itu sudah jam satu malam. Hujan yang sendu mendera daun jendela, dan lilinku sudah hampir habis terbakar. Dalam cahaya remang-remang lilin yang hampir padam, aku bisa melihat mata makhluk ini yang berwarna kuning suram mulai terbuka. Dia bernafas tersengal-sengal, dan anggota badannya bergerak berkejut-kejut dengan keras.
Bagaimana aku bisa melukiskan perasaanku me n ak skan semua ini" Sedangkan aku tidak bisa menggambarkan dengan tepat rupa makhluk yang kubuat dengan susah-payah. Anggota badannya kubuat selaras, dan mukanya juga kubuat secantik mungkin. Cantik! Ya Tuhan! Kulitnya yang kuning hampir-hampir tidak bisa menyembunyikan jaringan otot dan pembuluh darah di bawahnya. Rambutnya sehitam beledu, panjang dan lebat. Giginya seputih mutiara. Tapi semua keindahan ini menjadi semakin mengerikan karena kontras dengan matanya yang berkaca-kaca. Matanya ini hampir sewarna dengan lekuk mata tempat memasangkannya. Mukanya berkeriput, dan bibirnya yang lurus berwarna hitam.
Peristiwa dalam kehidupan yang berbeda-beda tidak sedemikian berubah-ubah seperti perasaan manusia. Aku telah bekerja keras hampir selama dua tahun, dengan tujuan utama membangkitkan hidup dalam tubuh yang tidak bernyawa. Untuk tujuan ini aku membanting tulang tanpa mengenal istirahat, serta mengabaikan kesehatanku sendiri. Aku menginginkannya dengan hasrat menyala-nyala. Tapi kini setelah selesai, keindahan impianku sudah lenyap sama sekali. Kini hatiku terisi dengan kengerian yang menyesakkan nafas serta rasa jijik.
Tidak tahan lagi melihat makhluk ciptaanku, aku menghambur ke luar ruangan dan terus masuk ke kamar tidurku. Dalam kamar aku lama sekali berjalan mondar-mandir, tidak bisa memaksa diriku untuk tidur. Akhirnya rasa kantuk pun tiba, dan aku menghempaskan tubuhku di atas tempat tidur dalam pakaian lengkap. Aku ingin sekali melupakan segala-galanya selama beberapa menit. Namun usahaku sia-sia. Aku memang bisa tidur, tapi aku diganggu oleh mimpi yang paling buruk. Dalam mimpi aku melihat Elizabeth, sehat dan cantik berseri-seri, sedang berjalan di Ingolstadt. Terkejut dan merasa gembira, aku memeluknya. Tapi waktu aku akan menciumnya, bibirnya menjadi pucat seperti bibir mayat. Mukanya berubah dan aku merasa seakan sedang memeluk ibuku yang sudah mati. Tubuhnya terbungkus dalam kain kafan, dan kulihat cacing kuburan merayap-rayap dalam lipatan kain.
Aku tersentak bangun dari mimpiku dengan rasa ngeri. Keringat dingin membasahi dahiku, gigiku gemeletuk, dan sekujur badanku gemetar. Dalam sinar bulan yang masuk melalui jendela, aku melihat makhluk ini makhluk buruk ciptaanku. Dia berdiri di mukaku, tangannya mengangkat tirai tempat tidur. Matanya kalau itu bisa disebut mata menatap diriku. Kemudian rahangnya terbuka, dan dia mengeluarkan suara yang tidak ada artinya. Sementara itu senyumannya menyebabkan pipinya berkerut-kerut. Mungkin dia mengucapkan sesuatu, tapi aku tidak mendengar. Dia mengulurkan tangan kepadaku, rupanya untuk menahanku. Tapi aku meloloskan diri dan lari menuruni tangga.
Aku melarikan diri ke halaman di muka rumah yang kudiami. Sepanjang malam aku berjalan mondar-mandir di situ dengan pikiran gelisah luar biasa. Aku selalu memasang telinga sebaik-baiknya, tidak melewatkan setiap Suara yang terdengar. Aku selalu waspada terhadap suara yang mungkin akan memberitahukan kedatangan mayat keranjingan setan yang telah kuhidupkan. Oh! Takkan ada manusia yang tidak ngeri melihat rupa makhluk ini. Mumi yang hidup kembali rupanya tidak mungkin lebih menyeramkan daripada makhluk yang telah kuciptakan ini. Sebelum pembuatannya selesai aku pernah mengamat amatinya. Waktu itu rupanya juga sudah buruk. Tapi setelah semua otot dan persendiannya bisa bergerak-gerak, bahkan Dante sekalipun takkan bisa mengkhayalkan makhluk semacam itu.
Malam itu kulewati dengan penderitaan yang tak ada taranya. Kadang-kadang urat nadiku berdenyut sedemikian cepat dan kerasnya, sehingga aku dapat merasakan getaran semua pembuluh darah lainnya. Pada saat lainnya aku hampir tersungkur ke tanah karena kelelahan dan kelemahan yang luar biasa. Berpadu dengan rasa ngeri ini, aku juga merasakan kekecewaan yang sangat pahit. Implan yang sedemikian lamanya mencekam diriku sehingga lupa makan dan istirahat, kini berbal i k menjadi neraka bagiku. Perubahan ini begitu cepat, dan kehancuran yang kurasakan begitu sempurna!
Akhirnya pagi yang basah dan sendu pun tiba. Dengan mata yang sakit karena kurang tidur, aku melihat ke arah gereja Ingulstadt. Kupandangi menaranya yang putih, dan jam di puncaknya menunjukkan waktu pukul enam pagi. Pelayan membuka pintu gerbang halaman, yang semalaman merupakan kurungan bagiku. Begitu pintu gerbang terbuka, aku langsung keluar ke jalan. Aku berjalan dengan langkah cepat, seakan-akan takut jangan-jangan makhluk yang mengerikan ini akan muncul setiap kalf aku melalui tikungan jalan. Aku tidak berani kembali ke apar temen yang kudiami. Aku hanya ingin berjalan terus dengan tergesa-gesa, walaupun hujan lebat yang turun dari langit hitam membuat tubuhku basah kuyup.
Aku terus berjalan seperti ini beberapa waktu lamanya. Dalam hati aku berharap wemoga tenaga jasmani yang kukeluarkan bisa meringankan beban yang memberati pikiranku. Aku menjelajahi jalan-jalan dalam kota Ingolstadt tanpa kesadaran yang pasti tentang di mana aku beTada, atau apa yang sedang kulakukan. Jantungku berdebar-debar karena takut, dan aku berjalan terus dengan langkah tetap serta tidak berani menoleh.
Akhirnya aku sampai ke muka sebuah penginapan yang biasanya merupakan tempat perhentian kereta. Di situ aku berhenti, tidak tahu apa sebabnya. Aku berdiri selama beberapa menit memperhatikan kereta yang sedang mendekatiku dari ujung jalan.
Waktu kereta semakin dekat, aku melihat bahwa kereta ini sebuah kereta Swiss. Kereta berhenti tepat dekat tempatku berdiri. Pintunya terbuka, dan kulihat Henry Clerval turun dari kereta.
Demi melihatku, Clerval terus menghambur ke arahku.
Sahabatku Frankenstein yang baik, serunya, alangkah gembiranya aku melihatmu! Ah, sungguh mujur sekali kau kebetulan ada di sini 9 tepat pada saat aku turun dari kereta!
Tak ada yang bisa menyamai kegembiraanku demi aku melihat Clerval. Kedatangannya mengingatkanku kembali kepada ayahku, Elizabeth, serta suasana di rumah yang merupakan kenangan ma n is bagiku. Aku menjabat tangannya, dan sesaat aku melupakan kengerian serta kemalanganku. Tiba-tiba, untuk pertama kalinya selama berbulan-bulan, aku merasa gembira dan tenteram. Aku mengucapkan selamat datang kepada sahabatku dengan sikap sangat ramah. Kemudian kami berjalan bersama menuju ke perguruan tinggi.
Beberapa waktu lamanya Clerval terus berbicara tentang persahabatan kami, serta kemujurannya di ijinkan pergi ke Ingolstadt.
Kau bisa membayangkan dengan mudah, katanya, betapa sulitnya membujuk ayahku agar merasa yakin bahwa semua ilmu yang ada di dunia T belum terkandung dalam seni tata buku yang mulia. Aku yakin bahwa setelah aku meninggalkannya, dia masih belum mau percaya Dia selalu menjawab permintaanku yang terus-menerus kuajukan dengan kata-kata seperti yang diucapkan oleh kepala sekolah Belanda dalam buku Pendeta dari Wakefield:fAku mendapat sepuluh ribu gulden setahun tanpa belajar bahasa Yunani, dan aku makan kenyang tanpa bahasa Yunani. Tapi akhirnya kasih sayangnya kepadaku mengalahkan kebenciannya kepada sekolah. Dia lalu mengijinkanku pergi untuk menuntut ilmu.
Aku gembira sekali melihatmu. Tapi ceritakan kepadaku bagaimana keadaan ayahku, adik-adikku dan Elizabeth waktu kautinggalkan.
Keadaan mereka baik-baik saja, dan mereka sangat bahagia. Mereka hanya merasa sedikit gelisah karena kau sangat jarang mengirim kabar. Memang aku sendiri ingin memberi nasihat kepadamu berkenaan dengan keadaan mereka. Tapi, Sahabatku Frankenstein yang baik, sambungnya, tapi kalimatnya terputus demi melihat langsung ke mukaku, aku tidak memperhatikan sebelumnya bahwa kau kelihatan begitu menyedihkan. Kau begitu kurus dan pucat. Kelihatannya seperti kau habis bergadang selama beberapa malam berturut-turut.
Dugaanmu benar. Akhir-akhir ini aku terlibat dengan satu pekerjaan yang tidak memungkinkanku mendapat istirahat cukup, seperti yang telah kausaksikan sendiri. Tapi kuharap, kuharap benar-benar, setelah pekerjaanku selesai akhirnya sekarang aku bebas.
Tubuhku menggigil. Aku tidak tahan memikirkannya, apalagi menceritakan apa yang telah terjadi semalam. Aku mempercepat langkahku, dan akhirnya kami sampai ke gedung perguruan tinggi tempatku menuntut pelajaran. Waktu itu aku berpikir bahwa makhluk yang kutinggalkan di apartemenku mungkin masih ada di sana. Pikiran ini membuatku gemetar. Ya, dia masih ada di sana, hidup dan berkeliaran ke mana mana. Aku sangat takut untuk melihat makhluk ini lagi. Tapi aku lebih merasa ngeri memikirkan jangan-jangan Clerval akan melihatnya.
Maka kusuruh Clerval menunggu selama beberapa menit di bawah tangga, sementara aku lari naik ke kamarku. Tanganku sudah memegang tombol pintu waktu aku sadar akan diriku sendiri. Sejenak aku mematung, dan tubuhku menggigil bermandi keringat dingin.
Pintu kubuka dengan keras, seperti anak-anak yang mengira akan melibat setan di balik pintu. Tapi tak ada suatu apa pun yang muncul. Dengan takut-takut aku melangkah masuk. Apartemenku kosong, demikian juga kamar tidurku tidak lagi didiami tamu yang menyeramkan ini. Aku hampir-hampir tidak percaya sebesar itu kemujuranku. Kini aku yakin bahwa musuhku benar-benar sudah pergi. Maka aku bertepuk tangan dengan gembira, terus lari turun menemui Clerval.
Kami naik tangga bersama-sama ke kamarku, dan pelayan segera mengantarkan hidangan makan pagi. Tapi aku masih belum bisa menenangkan diriku. Aku bukan hanya merasa gembira. Aku merasakan kulitku merinding karena terlalu perasa, serta jantungku berdebar-debar. Aku tidak bisa tetap tenang tinggal di satu tempat. Aku melompat berpindah-pindah dari kursi yang satu ke kursi lainnya, bertepuk tangan dan tertawa keras-keras.
Mula-mula Clerval mengira sikapku yang aneh karena kegembiraan bertemu dengan dia. Tapi kemudian dia melihat kepadaku dengan pandangan yang lebih cermat. Dilihatnya mataku memancarkan sorot keliaran seperti yang belum pernah dilihatnya. S,uara tertawaku yang keras tak terkendalikan membuatnya merasa heran dan takuti
Sahabatku Victor yang baik, serunya, demi Tuhan, ada apa" Jangan tertawa seperti itu. Kau kulihat menderita sakiti Apa yang menyebabkan semua ini" Jangan bertanya kepadaku, tangisku. Aku menutup mataku dengan kedua, hajah tangan, sebab aku merasa seperti makhluk yang menyeramkan ini masuk ke dalam kamar. Aduh, tolonglah aku! Tolonglah aku! Aku membayangkan makhluk buruk ini menangkapku. Aku berontak sekuat tenaga, dan akhirnya aku tersungkur ke lantai tidak sadarkan diri.
Sungguh kasihan sahabatku Clerval! Bagaimana gerangan perasaannya" Pertemuan yang sangat menggembirakannya dengan cara yang aneh sekali sudah berubah menjadi kepahitan. Tapi aku tidak bisa menyaksikan kesedihannya. Aku sendiri sedang tidak sadarkan diri, dan lama sekali belum juga aku siuman.
Inilah awal dari demam kegelisahan yang menjangkiti diriku, serta mengganggu kesehatanku selama beberapa bulan. Selama itu aku hanya dirawat oleh sahabatku Clerval. Di kemudian hari barulah aku tahu bahwa Clerval tidak memberitahukan keadaanku kepada ayah dan Elizabeth. Dia tahu benar bagaimana sedihnya mereka kalau tahu keadaanku. Ayah sudah tua, dan kondisi badannya kurang memungkinkan untuk menempuh perjalanan yang begitu jauh.
Clerval juga tahu bahwa aku takkan bisa mendapatkan perawat yang lebih baik dan lebih tekun merawatku daripada dirinya sendiri. Harapannya sangat teguh bahwa kesehatanku akan pulih kembali. Maka perbuatannya mencegah keluargaku mengetahui keadaanku dianggapnya tindakan yang sebaik-baiknya bagi mereka.
Tapi sakitku benar-benar sangat payah. Kalau bukan karena perawatan sahabatku ini, mungkin aku takkan bisa tertolong. Rupa makhluk yang telah kuhidupkan selalu terbayang di pelupuk mataku, dan mulutku tak berhentihentinya mengoceh tentang makhluk ini .Tentu saja kata-kataku membuat Clerval sangat heran. Mula-mula dia yakin bahwa ocehanku hanyalah igauan karena pikiran kacau. Tapi aku selalu menyebut-nyebut persoalan yang sama. Karenanya maka dia lalu menarik kesimpulan, bahwa kekacauan pikiranku memang disebabkan oleh peristiwa yang luar biasa dan mengerikan. Akhirnya aku sembuh juga. Tapi kepulihanku makan waktu yang lama sekali. Kadangkala keadaanku kembali memburuk dengan tiba-tiba, sehingga sahabatku merasa sangat cemas. Aku masih ingat dengan saat pertama aku bisa melihat suatu benda dengan perasaan gembira. Waktu itu aku melihat daundaun mati yang berguguran telah lenyap, dan tunas baru mulai bermunculan pada batang-batang pohon di muka jendela kamarku.
Waktu itu sudah musim semi kembali, dan keindahan alam sekitarku sangat berpengaruh terhadap kepulihan kesehatanku. Aku juga sudah bisa merasakan kegembiraan dan kasih sayang mulai hidup kembali dalam dadaku. Kesedihanku sudah musnah. Dan dalam jangka waktu yang singkat aku kembali menjadi orang yang periang. Sifat-sifatku kembali seperti dulu lagi, sebelum aku terserang oleh nafsu yang akibatnya sangat mengerikan. Sahabatku Clerval yang baik, kataku pada suatu hari, kau sungguh baik sekali kepadaku. Sepanjang musim dingin ini bukannya tekun belajar seperti tujuanmu, tapi kau bahkan tekun merawat diriku. Bagaimana aku akan bisa membalas budimu" Aku sangat menyesal telah banyak men e cewakanmu. Tapi aku tahu kau pasti akan memaafkanku.
Kau akan bisa membalas semua kebaikanku dengan cara berusaha pulih kembali secepat mungkin, serta tidak merusuhkan dirimu lagi. Dan kini kulihat hatimu sudah kembali gembira seperti sediakala. Aku boleh mengajukan pertanyaan tentang satu hal saja, bukan"
Aku gemetar. Satu hal saja! Apakah gerangan yang akan ditanyakannya" Mungkinkah dia akan menanyakan satu hal yang bahkan memikirkannya saja aku tidak berani"
Tenanglah, kata Clerval yang melihat perubahan warna pada wajahku. Aku tidak akan menyebutkannya kalau itu membuat pikiranmu kalut! Tapi ayah dan saudara sepupumu akan merasa berbahagia kalau mereka menerima surat dengan tulisan tanganmu sendiri. Mereka tidak tahu bahwa kau menderita sakit payah, dan mereka merasa gelisah karena kau lama sekali tidak mengirim kabar.
Hanya itu yang akan kau tanyakan, Henry ku yang baik" Bagaimana kau bisa menduga bahwa pikiranku yang pertama tidak tertuju kepada semua orang yang kucintai, dan patut menerima kasih sayangku"
Kalau memang demikian, Sahabatku, mungkin kau akan merasa gembira melihat surat ini. Surat ini sudah beberapa hari tergeletak di sini, menunggu untuk kaubaca. Aku yakin ini surat dari saudara sepupumu. Bab 6
Clerval lalu menyerahkan sepucuk surat kepadaku. Surat ternyata dari Elizabeth-ku:
Saudara sepupuku yang tercinta, Kau telah menderita sakit yang sangat payah. Bahkan surat dari sahabat kitaHenryyang baik masih belum cukup untuk meyakinkan diriku tentang keadaanmu. Kau belum boleh menulis belum boleh memegang pena. Tapi sepatab kata saja dari kau, Victor-ku sayang, sudah cukup untuk menenangkan kecemasan kami. Lama sekali aku mengharapkan setiap pos datang akan membawa sepatah kata yang kutunggu-tunggu darimu. Untunglah aku berhasil membujuk pamanku sehingga dia mengurungkan rencana perjalanan ke Ingolstadt.
Aku mencegahnya melakukan perjalanan jauh yang sangat melelahkan, dan mungkin penuh bahaya. Tapi aku juga seringkali merasa menyesal karena aku sendiri tidak bisa melakukannya! Aku membayangkan yang merawatmu pasti seorang tua mata duitan. Dia pasti takkan bisa menebak apa yang kauinginkan, dan tidak bisa merawatmu dengan tekun serta penuh kasih sayang seperti saudara sepupumu ini. Untunglah itu semua sekarang sudah lewat. Clerval dalam suratnya mengatakan bahwa kau sudah berangsur baik. Aku berharap dengan sangat kau segera menguatkan keterangannya dengan tulisan tanganmu sendiri.
Semoga kau lekas sembuh dan kembali kepada kami. Kau akan kembali ke rumah yang penuh kegembiraan dan kebahagiaan, serta para sahabat yang mencintaimu dengan setulus hati. Ayahmu sehat wal afiat. Dia selalu menyatakan ingin bertemu denganmu, hanya untuk meyakinkan bahwa kau tidak kurang suatu apa. Dan wajahnya yang ramah takkan tertutup lagi oleh mendung kekhawatiran.
Kau pasti akan gembira mendengar perkembangan adik kitaErnest!Sekarang dia sudah berumur enam belas tahun, penuh kegiatan dan semangat. Dia sangat ingin menjadi putera Swiss se jati, dan mendapat tugas di luar negeri. Tapi kami tidak bisa berpisah dengan dia, setidak-tidaknya sebelum kakaknya pulang ke tengah-tengah kami.
Pamanku tidak menyukai keinginannya menjadi tentara dan dikirim ke negeri yang jauh, tapi dia tidak memiliki bakat seperti yang kaupunyai. Dia menganggap belajar sebagai tugas yang sangat berat, sebagai belenggu yang sangat dibencinya. Waktu-waktunya dihabiskan di udara terbuka; mendaki bukit, atau mendayung di danau. Aku khawatir dia akan menjadi penganggurTkecuali kalau dia kami ijinkan memasuki pekerjaan yang telah dipilihnya.
Sejak kau pergi meninggalkan kami, keadaan di rumah tidak banyak mengalami perubahan kecuali pertumbuhan adik-adik kita yang tercinta. Danau yang biru dan gunung yang tertutup salju semua tidak berubah. Kurasa keadaan di rumah yang tenang dan hati kami yang tenteram tetap diatur oleh hukum yang tidak berubah pula Aku mengisi waktuku dengan melakukan tugas sehari-hari yang sangat menyenangkan. Aku merasa sudah mendapat imbalan lebih dari cukup dengan melihat wajah-wajah bahagia dan manis di sekelilingku. Sejak kau meninggalkan kami, di dalam rumah hanya terjadi satu peruhahan. Ingatkah kau bilamana JustineMoritz mulai masuk menjadi anggota keluarga kami" Mungkin kau tidak ingat. Baiklah aku akan menceritakan riwayatnya secara singkat.MadameMoritz, ibunya, adalah seorang janda dengan anak empat orang.Justineanaknya yang ketiga. Gadis ini menjadi kesayangan ayahnya. Tapi entah mengapa, dia di-benci oleh ibunya. Setelah M. Moritz meninggal dunia, gadis ini diperlakukan dengan cara yang sangat buruk oleh ibunya.
Bibiku melihat kenyataan ini. Maka setelahJustineberumur dua belas tahun, bibiku berhasil meminta kepada ibunyaagar Justinetinggal di rumah kita. Adat kebiasaan di negeri kita yang lebih bersifat kerakyatan menyebabkan penduduknya bersifat lebih bersahaja dan lebih berbahagia daripada di dalam beberapa kerajaan besar yang mengelilinginya. Di sini perbedaan kelas antara sesama warga negara tidak terlalu menyolok. Orang-orang yang kelasnya lebih rendah tidak terlalu miskin atau terlalu dibenci, dan sikap maupun akhlak mereka lebih baik. Seorang pelayan di Jenewa nasib atau derajatnya tidak seperti pelayan di Perancis atau di Inggris.
Setelah diterima dalam keluarga kita,Justinemulai mempelajari tugasnya sebagai seorang pelayan. Untunglah di negeri kita seorang pelayan tidak perlu mengorbankan harga dirinya sebagai manusia.
Kau pasti masih ingat, Justinepelayan yang paling kausukai. Aku masih ingat kau pernah berkata, kalau kau merasa sedih, dengan melihat kepadaJustinesaja sudah cukup untuk mengusir kesedihanmu. Sama saja dengan pandangan Ariosto terhadap kecantikanAngelica wajahnya memancarkan keterusterangan dan kebahagiaan. Bibiku juga sangat menyayanginya. Justine diberinya pendidikan yang lebih tinggi daripada yang pernah diterimanya. Budi baiknya ini segera mendapat balasan sepenuhnya.Justinemenjadi orang yang paling berterima kasih di seluruh dunia. Dia memang tidak pernah menyatakannya. Tapi hanya dengan melihat ke matanya saja orang akan tahu bahwa dia hampir-hampir memuja bibiku, yang menjadi pelindungnya. Justine punya sifat periang, dan dalam beberapa hal bersikap tidak pedulian. Walaupun demikian dia sangat memperhatikan setiap gerak dan isyarat bibiku. Dia menganggap bibiku sebagai contoh segala hal yang baik. Dia berusaha meniru sikap dan budi bahasa hibiku. Bahkan sampai sekarang gerak-geriknya mengingatkanku kepada bibiku.
Waktu bibiku yang tercinta meninggal dunia, semua orang tenggelam dalam kesedihan masing-masing. Tak ada seorang pun yang memperhatika.n Justine yang malang ini. Padahal selama bibiku menderita sakit, dialah yang merawatnya dengan penuh kasih sayang dan ketekunan yang tak ada bandingannya. Justine yang malang ini lalu jatuh sakit, tapi masih ada cobaan hidup yang lebih besar baginya.
Satu demi satu semua saudaraJustinemeninggal. Ibunya tidak punya anak lagi, kecualiJustineyang selama ini diabaikannya. Ketenteraman pikiran wanita ini merasa terganggu. Dia mulai ber pikir bahwa kematian anak-anak yang disayanginya merupakan hukuman dari Yang Mahakuasa. Janda ini beragama Katolik. Aku yakin pastur yang menerima pengakuan dosanya menguatkan apa yang terpikir olehnya. Maka beberapa bulan setelah kau berangkat keIngolstadt, Justinedipanggil pulang oleh ibunya yang sudah bertobat. KasihanJustine,sungguh malang nasibnya! Dia menangis waktu meninggalkan rumah kita. Dia sudah banyak berubah sejak kematian bibiku. Kesedihan sudah mengubah sifatnya yang periang menjadi pendiam dan pemurung. Kegembiraannya tidak pulih dengan kepindahannya ke rumah ibunya sendiri. Sedangkan ibunya, dalam penyesalannya dia memiliki pendirian yang berubahubah. Kadang-kadang dia memohon kepadaJustineagar mau memaafkan sikapnya yang buruk. Tapi lebih sering lagi dia menuduh,Justinesebagai penyebab kematian saudara-saudaranya.
Kerusuhan hati yang terus-menerus akhirnya menyebabkan kemunduran kesehatanMadameMoritz. Mula-mula hal ini semakin meningkatkan kekesalannya, tapi sekarang dia sudah menemukan kedamaian abadi. Dia meninggal pada awal musim dingin yang lalu, waktu cuaca mulai menjadi dingin.
Justine kembali ke rumah kita. Percayalah, aku juga sangat menyayanginya. Dia sangat pintar, lemah lembut dan cantik sekali. Seperti telah kukatakan tadi, gerak-gerik dan tutur katanya selalu mengingatkanku kepada bibiku yang tercinta.
Saudara sepupuku yang baik, aku juga harus menuliskan sepatah dua patah kata tentang si kecilWilliamyang manis. Ingin sekali aku sekarang kau bisa melihatnya. Untuk usianya, dia sudah sangat tinggi. Matanya yang biru selalu memancarkan senyum manis. Bulu matanya hitam dan rambutnya keriting. Kalau tersenyum selalu kelihatan sepasang lesung pipit pada pipinya yang kemerahan karena sehat. Dia sudah punya satu atau duaisterikecil. Tapi yang paling disayanginyaLouisaBirn gadis cilik cantik berumur lima tahun. Nah,Victorsayang, kurasa kau juga akan senang mendengar sedikit gunjingan tentang warga kota Jenewa yang baik.Miss Mansfieldyang cantik tidak lama lagi akan menikah dengan seorang pemuda Inggris bernamaJohn Melbourne.Kakaknya yang jelek, Manon, pada musim gugur yang lalu kawin dengan M. Duvillard, seorang bankir kaya. Teman sekolah
kesayanganmu,LouisManoir, telah tertimpa beberapa kemalangan sejak kepergian Clerval dari Jenewa. Tapi kini semangatnya sudah pulih kembali. Kabarnya dia akan segera kawin dengan seorang wanita Perancis yang sangat cantik,MadameTavernir. Dia seorang janda yang usianya jauh lebih tua daripada Manoir. Tapi dia sangat dikagumi dan disayangi semua orang. Aku telah menulis surat ini dengan perasaan yang lebih gembira, saudara sepupuku yang tercinta. Tapi kekhawatiranku kembali saat aku akan mengakhiri suratku ini. Tulislah surat kepada kami,Victortersayang! Satu baris saja bahkan sepatah kata saja sudah cukup untuk membesarkan hati kami.
Beribu teruna kasih kepada sahabat kitaHenryuntuk kebaikannya, kasih sayangnya kepada kita semua, serta surat-suratnya. Kami benar-benar merasa berterima kasih kepadanya. Selamat berpisah! Saudara sepupuku, baik-baik menjaga dirimu sendiri. Dan sekali lagi pesanku, tulislah surat kepada kami! Jenewa, 18Maret.17
Elizabeth Lavenza Elizabeth-ku sayang! kataku setelah membaca suratnya. Aku akan menulis surat kepadanya sekarang juga. Aku ingin segera membebaskan mereka dari kekhawatiran yang mereka rasakan.
Aku menulis surat, dan tenaga yang kukeluarkan sangat melelahkanku. Tapi kesehatanku sudah mulai pulih, dan aku terus memperoleh kemajuan dengan tetap. Dua minggu kemudian aku sudah bisa meninggalkan kamarku. Setelah aku sembuh benar-benar, salah satu tugasku yang pertama ialah memperkenalkan Clerval kepada beberapa guru besar di universitas Ingolstadt. Dalam melakukan tugas ini kurasakan luka lamaku akan kambuh lagi. Ya, sejak malam yang naas dulu, waktu pekerjaanku berakhir dan merupakan awal kemalangan ku, aku merasakan kebencian yang luar biasa kepada ilmu pengetahuan alam. Bahkan hanya mendengar namanya saja rasanya aku sudah tidak sudi.
Waktu kesehatanku sudah pulih kembali, hanya melihat alat kimia saja gangguan syarafku mulai terasa menyakitkan kembali. Clerval bisa memahami perasaanku, dan dia menyingkirkan semua perkakas kimia milikku supaya tidak kulihat lagi. Dia juga mengusahakan supaya aku pindah ke apartemen lain. Dia tahu bahwa aku tidak menyukai kamar yang dulu kugunakan sebagai laboratorium.
Tapi semua usaha Clerval ini tidak ada gunanya setelah aku mengunjungi para profesor. M. Waldman menyiksa hatiku dengan pujiannya yang keluar dari hati sanubari, atas kemajuan menakjubkan yang telah kucapai di bidang ilmu pengetahuan. Tapi dia segera mengetahui bahwa aku tidak menyukai bahan percakapan ini. Dia tidak mengetahui alasan sebenarnya, hanya mengira bahwa aku memiliki kerendahan hati. Lalu dia mengalihkan pembicaraan dari kemajuanku ke kemajuan ilmu pengetahuan sendiri. Rupanya dia bermaksud ingin memancingku agar mau memaparkan kemajuanku sendiri. Apa yang dapat kulakukan" Dia bermaksud me-nyenangkanku, tapi akibatnya bahkan menyiksaku. Aku merasa seakan dia dengan hati-hati meletakkan alatalat kimiaku satu per satu di mukaku. Kemudian alat-alat ini digunakannya untuk membunuhku secara perlahan-lahan, dengan penuh kekejaman. Aku menggeliat-geliat kesakitan di bawah kata-katanya, tapi tidak berani memperlihatkan rasa sakitku.
Clerval dengan cepat melihat penderitaanku. Dia lalu berusaha mengalihkan bahan percakapan, dengan dalih bahwa dia sama sekali tidak mampu mengikutinya. Lalu percakapan pun beralih ke soal-soal yang bersifat umum. Dengan setulus hati aku merasa berterima kasih kepada sahabatku, tapi aku tidak mengatakan apa-apa.
Kulihat dengan jelas M. Waldman keheranan, tapi dia tidak lagi berusaha memancing rahasiaku. Aku memang menyayanginya serta sangat menghormatinya. Walaupun demikian aku takkan mau menceritakan kepadanya peristiwa yang masih sering terbayang kembali olehku. Aku takut jangan-jangan dengan menceritakannya aku takkan bisa melupakannya lagi.
Sikap M. Krempe tidak selembut rekannya. Padahal kondisiku waktu itu masih sangat peka. Kata katanya yang kasar dan pernyataannya yang terus terang jauh lebih menyakitkan daripada pujian M. Waldman.
Ah, rupanya sahabat kita! serunya. M. Clerval, percayalah, dia telah mengalahkan kita semua. Ya, membelalaklah kalau kau mau. Tapi yang kukatakan sepenuhnya benar. Dia seorang anak muda yang hanya beberapa tahun berselang masih menaruh kepercayaan kepada Cornelius Agrippa seteguh orang mempercayai Injil. Tapi sekarang dia sudah menjadi orang paling terkemuka di perguruan tinggi. Kalau dia tidak segera ditarik ke bawah, kita semua tidak lama Lagi akan tersisih. Ya, ya, sambungnya, melihat penderitaan terpancar dari air mukaku, M. Frankenstein anak muda yang rendah hati, tapi punya bakat dan kemampuan luar biasa. Anak muda memang suka malu-malu, bukan begitu, M. Clerval" Aku sendiri waktu masih muda juga begitu. Tapi tidak lama kemudian sifat semacam itu segera hilang.
M. Krempe mulai memuji dirinya Bendiri. Aku merasa senang sekali karena pembicaraan beralih dari persoalan yang sangat mengganggu perasaanku. Berbeda dengan diriku, Clerval tidak menaruh perhatian kepada ilmu pengetahuan alam. Dia lebih tertarik kepada sastra, jadi sangat berbeda dengan kecenderungan ku Dia datang ke perguruan tinggi dengan cita-cita ingin menjadi sarjana dalam bahasa bahasa Timur. Setelah cita-citanya tercapai, dia akan melaksanakan rencananya di bidang yang sudah dipilihnya Karena dia tidak ingin mengejar karier yang penuh kebesaran, maka dia berpaling ke Timur untuk menyalurkan bakatnya.
Clerval tertarik kepada bahasa Persia, Arab dan Sansekerta. Aku sendiri dengan mudah terbujuk untuk mengambil jurusan yang sama. Aku tidak suka menganggur. Kini karena aku ingin melarikan diri dari pelajaran yang dulu kutuntut, aku merasa senang sekali menjadi teman sekelas sahabatku.
Dalam mempelajari karya-karya dari Timur, aku bukan hanya mendapat kesempatan belajar, melainkan aku juga merasa mendapat hiburan. Berbeda dengan Clerval, aku tidak sampai mempelajari logat bahasa-bahasa ini yang sangat rumit. Tujuanku mengambil jurusan jni tidak lain hanya untuk selingan yang menggembirakan.
Aku membaca hanya untuk memahami artinya belaka. Hasilnya kuanggap sudah cukup memadai sebagai imbalan jerih payahku. Kesedihan yang terdapat dalam karya mereka menyentuh perasaan, dan kegembiraan mereka membangkitkan kegembiraan pula pada diri pembacanya. Belum pernah aku membaca hasil karya penulis dari negeri lainnya yang sedalam itu pengaruhnya terhadap perasaan.
Kalau kau membaca tulisan mereka, hidup rasanya terdiri atas hangatnya matahari di taman bunga mawar, senyuman dan kerut dahi musuh yang jujur, serta api yang membakar hatimu sendiri. Sungguh sangat berbeda dengan puisi Yunani dan Romawi yang penuh kejantanan dan kepah lawanan! Musim panas pun berlalu, sementara kami berkecimpung dalam kegiatan ini. Kembaliku ke Jenewa sudah direncanakan, yaitu pada akhir musim gugur yang akan datang. Tapi karena beberapa peristiwa rencanaku tertunda. Kini musim dingin tiba dan salju mulai turun. Jalan menuju ke Jenewa tidak bisa dilalui, dan perjalanan pulangku terpaksa diundurkan lagi sampai musim semi. Aku sangat sedih karena rencanaku untuk pulang tertunda. Aku sudah sangat merindukan kampung halaman serta keluarga dan semua sahabat yang sangat kusayangi. Kembaliku tertunda begitu lama, sebab aku tidak ingin cepat-cepat meninggalkan Clervai. Aku tidak mau meninggalkan dTa di tempat asing, sebelum dia kenal dengan salah seorang penghuninya. Tapi kami melewatkan musim dingin dengan penuh kegembiraan. Kemudian di luar kebiasaan musim semi datangnya terlambat. Tapi setelah musim semi yang dinanti-nantikan ini tiba, keindahannya cukup memadai sebagai upah penantianku. Hari-hari pertama di buian Mei mulai kami lalui. Kini setiap hari aku menunggu surat yang akan menetapkan hari keberangkatanku. Suatu hari Clerval mengusulkan kepadaku untuk melakukan pengembaraan di daerah sekitar Ingolstadt dengan berjalan kaki. Maksudnya ialah supaya aku bisa menyampaikan ucapan selamat tinggal kepada negeri yang selama ini kudiami. Aku menyambut baik usulnya. Aku memang gemar berolahraga. Dan sejak dulu aku sangat senang menjelajahi daerah sekitar tempat tinggalku, ditemani oleh orang yang paling kusayangi.
Kami berkelana selama dua minggu. Kesehatan dan semangatku sudah lama pulih seperti sediakala. Kini tubuhku bertambah kuat oleh udara segar yang kuhirup, kejadian menyenangkan selama dalam perjalanan, serta kesenangan mengobrol dengan sahabatku.
Sebelumnya, penyelidikan yang kulakukan telah menyebabkan aku putus hubungan sama sekali dengan manusia lainnya. Juga karena lama mengurung diri, menyebabkan aku menjadi bersifat asosial. Kini Clerval membangkitkan kembali sifat-sifat asliku yang baik. Sekali lagi dia mengajarkan kepadaku untuk mencintai keindahan alam dan wajah kanak-kanak yang penuh kegembiraan.
Ah, Clerval, sungguh kau seorang sahabat sejati! Dengan setulus hati kau mengasihiku, serta berusaha membangkitkan kembali kegembiraan hatiku sampai sama periangnya dengan hatimu sendiri! Pengejaran tujuan yang hanya mementingkan diri sendiri telah membuat hatiku kaku dan mengerut. Tapi kemudian dengan kelembutan dan kasih sayang kau membuka kembali semua inderaku yang tertutup.
Aku pun kembali memiliki sifat-sifat seperti beberapa tahun yang lalu. Aku kembali mencintai dan dicintai semua orang, serta tidak diberati oleh kesedihan dan penderitaan. Kalau aku merasa berbahagia, keindahan alam rasanya punya kekuatan memberiku rasa gembira yang tak ada tandingannya. Langit cerah dan ladang yang hijau subur memberi hatiku kepuasan yang tak terperi. Musim semi waktu itu memang sangat indah. Di setiap taman dan pagar hidup bunga bermekaran, i dan kuncup bunga musim panas sudah mulai bermunculan. Aku tidak terganggu lagi oleh pikiran yang setahun sebelumnya menekanku, walaupun waktu itu aku berusaha keras untuk melepaskan diri. Henry turut merasa berbahagia melihat kegem-biraanku. Dengan hati tulus dia menyatakan turut senang karena kini perasaanku sudah tidak terganggu lagi. Dia berusaha terus menggembira-kanku, sambil dia juga melahirkan isi hatinya. Apa yang ada dalam pikirannya benar-benar menakjubkan. Percakapannya penuh khayalan. Seringkali dengan meniru para pujangga Persia dan Arab, dia menciptakan cerita yang hebat dan penuh keindahan. Pada kesempatan lainnya dia mengulangi sajak yang paling kusukai, atau memancing pen dapatku yang kemudian diperkuat dengan pendapatnya sendiri.
Kami kembali ke perguruan tinggi pada hari Minggu sore. Para petani sedang berpesta tari, dan semua yang kutemui kelihatan gembira dan bahagia. Hatiku pun penuh kegembiraan. Aku berjalan melompat-lompat dengan keriangan dan sukacita yang tiada taranya.
Bab 7 DI apartemen kutemukan sepucuksuratdari ayahku:
Anakku Victor yang kusayangi, Mungkin kau, tidak sabar menunggu surat yang memberitahukan kepastian tanggal keberangkatanmu untuk pulang kepada kami. Mula-mula aku bermaksud menulis beberapa barisBaja,menyebutkan saat kau harus pulang. Tapi itu akan merupakan satu kekejaman, dan aku tidak berani berbuat begitu. Betapa kau akan terkejut, Anakku, kalaukaumengharapkan pertemuan yang penuh kebahagiaan, tapi sebaliknya menemukan air mata dan kesedihan" Dan bagaimana aku akan bisa menceritakan kemalangan kita ini
kepadamu,Victor"Walaupun kau jauh dari kami, tapi kau tidak kebal terhadap kegembiraan dan kesedihan kami. Jadi bagaimana aku akan bisa menimpakan kesedihan kepada anakku yang sekian lamanya jauh dari kami" Aku ingin mempersiapkan dirimu untuk menerima berita sedih ini, tapi aku tahu hal itu mustahil. Bahkan sekarang pun matamu sudah menjelajahi halaman surat ini untuk mencari kata-kata yang berisi kabar mengerikan.
Williamsudah mati! Ya, anak yang begitu manis, yang senyumannya menggembirakan serta menghangatkan hatiku, anak yang begitu lembut, tapi begitu periang!Victor,adikmu mati dibunuh!
Aku tidak akan berusaha menghiburmu. Aku hanya akan menceritakan dengan singkat tentang peristiwa yang menyedihkan ini.
Hari Kamis yang lalu (7Mei), aku dengan kemenakanku dan kedua adikmu berjalan-jalan di Plain-palais. Sore itu hangat dan cerah, maka kami berjalanjalan lebih lama daripada biasanya. Setelah senjakala barulah terpikir oleh kami untuk pulang. Waktu itu baru kami ketahui bahwaWilliamdanErnestyang berjalan lebih dulu, tidak bisa kami temukan..
Kami lalu duduk di bangku, beristirahat sambil menunggu mereka kembali. KemudianErnestdatang dan menanyakan apakah kami melihat adiknya. Dia mengatakan bahwa mereka habis bermain bersama.Williamlari bersembunyi, tapi dia tidak bisa menemukannya. Dia menunggu adiknya lama sekali, tapi tidak juga muncul.
CeritaErnestmembuat kami khawatir. Kami lalu pergi mencarinya sampai malam tiba.Elizabethpunya gagasan bahwa mungkin dia sudah pulang ke rumah. Kami pun lalu pulang, tapi dia tidak ada di rumah. Kami kembali lagi dengan membawa suluh. Aku pasti tidak bisa tidur memikirkan anakku yang tersesat di udara malam yang berembun.Elizabethjuga merasa sangat tersiksa. Sekitar jam lima pagi aku menemukan anakku yang manis. Kemarin dia masih segar bugar dan sehat sentosa, tapi waktu kutemukan dia tergeletak di rumput dengan muka pucat dan tidak bergerak-gerak. Di lehernya ada bekas cekikan jari orang yang membunuhnya.
Dia diusung ke rumah. Kesedihan yang tampak pada air mukaku membukakan rahasia yang masih kusimpan kepadaElizabeth.Dia memaksa ingin melihat mayatWilliam.Mula-mula aku mencegahnya, tapi dia terus memaksa. Dia masuk ke kamar tempat mayat dibaringkan, dan dengan tergesa-gesa memeriksa leher mayat. Sejurus kemudian dia menjalin jari-jarinya dan berseru, Ya, Tuhan! Aku telah membunuh adik yang kusayangi! Elizabethjatuh pingsan, dan sulit sekali disadarkan. Setelah akhirnya dia siuman, dia terus menangis memilukan sekali. Dia menceritakan kepadaku bahwa kemarin soreWilliamminta agar dia diperbolehkan memakai kalungElizabethyang bandulnya berisi lukisan miniatur ibumu. Kalung ini sudah hilang. Pasti inilah yang menggoda si pembunuh untuk melakukan perbuatannya.
Waktu ini kami belum bisa menemukan jejak si pembunuh.Tapiusaha mencarinya terus dilakukan, sampai berhasil. Tapi itu takkan mengembalikan William-ku yang kucintai!
Pulanglah!,Victor-ku sayang. Hanya kau saja yang akan bisa menghibur kesedihanElizabeth.Dia terus-menerus menangis, dan secara tidak adil menuduh dirinya sendiri sebagai penyebab ke-matianWilliam.Kata-katanya sangat menusuk hatiku. Kami semua bersedih hati. Dan bukankah ini memperkuat alasanmu untuk pulang, Anakku, untuk menghibur kesedihan kami semua"
Aduh,Victor!Aku sekarang bersyukur kepada Tuhan karena ibumu sudah berpulang. Aku tidak bisa membayangkan seperti apa sedihnya kalau dia menyaksikan kematian kesayangannya yang terkecil, dengan cara yang begitu mengerikan!
Pulanglah,Victor.Janganlah kau menyimpan rasa dendam kepada si pembunuh. Pulanglah dengan perasaan damai dan penuh kasih sayang. Itu akan menyembuhkan luka hati kami. Sedangkan rasa dendam hanya akan membuat luka hati kami semakin parah.Masukilah rumah yang sedang dilanda suasana berkabung dengan rasa cinta dan kasih kepada semua orang yang mencintaimu. Janganlah kau kembali dengan hati penuh kebencian kepada musuhmu.
Jenewa, 12Mei17 Ayahmu yang bersedih hati, Alphonse Frankenstein.
Clerval memperhatikan air mukaku waktu aku membaca surat. Dia heran melihat air mukaku yang berubah sedih, padahal tadinya aku begitu gembira menerima surat dari rumah, kulemparkan surat ke atas meja, dan kututup mukaku dengan dua tangan.
Sahabatku Frankenstein yang baik, katanya waktu dia melihat aku menangis penuh kesedihan, apakah kau harus selalu dirundung kesedihan" Sahabatku, apa yang terjadi" .
Aku memberi isyarat agar dia mengambil surat. Aku sendiri lalu berjalan mondar-mandir dalam kamar dengan kerisauan yang luar biasa. Kulihat Clerval juga mengalirkan air mata setelah membaca surat, dan tahu apa yang membuatku sedih.
Aku tidak kuasa menghiburmu, Sahabatku, katanya, Bencana yang menimpamu tak tersembuhkan. Apa yang akan kaulakukan" Pulang ke Jenewa sekarang juga. Mari ikut aku memesan kuda, Henry. Selama kami berjalan bersama, Clerval berusaha mengucapkan beberapa patah kata untuk membesarkan hatiku. Tapi dia hanya bisa menyatakan turut belasungkawa.
Kasihan William! katanya. Anak yang begitu manis. Sekarang dia tidur dengan ibunya yang secantik bidadari! Kini semua yang pernah melihat kemanisannya sebagai kanak-kanak hanya bisa menangisi dia yang telah pergi untuk selamalamanya! Matinya dengan cara yang mengerikan sekali, merasakan cekikan pembunuh! Adakah pembunuh yang lebih kejam, yang tega membunuh anak yang begitu manis dan belum berdosa" Si kecil yang malang! Hanya ada satu hal yang bisa menghiburku. Semua sahabatnya bersedih dan menangis, tapi dia beristirahat dalam kedamaian. Rasa sakit sudah dilampauinya, dan dia takkan merasakan penderitaan lagi selama-lamanya.
Tubuhnya sudah tertutup tanah, dan dia tidak merasakan sakit lagi. Dia tidak perlu lagi dikasihani. Kini yang perlu dikasihani hanya orang-orang yang ditinggalkannya.
Clerval terus berbicara sementara kami berjalan bergegas-gegas sepanjang jalan. Kata-katanya membekas dalam pikiranku. Di kemudian hari aku selalu teringat kembali kepada semua yang dikatakannya, kalau aku kebetulan seorang diri. Kuda yang kupesan segera datang. Aku naik ke kereta, dan terus mengucapkan selamat tinggal kepada sahabatku.
Aku melakukan perjalanan dalam kesedihan. Mula-mula aku ingin lekas-lekas sampai. Aku ingin segera bisa menghibur keluargaku yang sedang menanggung duka. Tapi semakin dekat ke kampung halamanku, semakin ku perlambat perjalananku. Aku hampir-hampir tidak mampu menguasai perasaan yang memenuhi hatiku.
Aku melewati tempat-tempat yang sangat kukenal di masa kanak-kanakku, tapi tidak kulihat selama enam tahun. Betapa berubahnya segala-galanya dalam waktu yang begitu lama! Dan telah terjadi satu perubahan yang menyedihkan secara tiba-tiba. Mungkin telah terjadi ribuan perubahan, tapi karena terjadinya secara berangsur-angsur, maka tidak terlalu mengejutkan,
Rasa takut menguasai diriku. Aku tidak berani terus. Aku takut kepada ribuan bencana tanpa nama yang membuat tubuhku gemetar, walaupun aku tidak bisa mengatakan bencana apa yang membuat diriku takut.
Aku tinggal di Lausanne selama dua hari dengan hati tersiksa semacam itu. Aku pergi melihat danau. Airnya tenang. Keadaan di sekelilingnya tenteram. Gunung yang puncaknya diselimuti salju tetap tidak berubah. Sedikit demi sedikit pemandangan alam yang penuh ketenteraman memulihkan perasaanku. Lalu aku meneruskan perjalanan ke Jenewa.
Jalan yang kulalui menyusuri tepi danau, dan semakin sempit setelah makin dekat ke kampung halamanku. Kulihat lebih jelas lereng gunung Jura yang hitam, dan puncak Mont Blanc yang putih cemerlang. Aku menangis seperti anak kecil. Oh, gunung yang kucintai! Danauku yang indah! Bagaimana kau menyambut kedatangan kembal pengembaramu" Puncakmu begitu putih bersih berseri-seri. Langit dan permukaan danau begitu biru dan tenang. Apakah ini untuk meramalkan ketenangan, atau untuk mencemoohkan kese dihanku" Aku takut jangan-jangan aku membuatmu bosan dengan terus menceritakan keindahan alam di se kitarku. Tapi begitu lama aku berpisah dengan alam yang permai ini, tempatku dulu mengenyam kebahagiaan. Negeriku, negeriku yang tercinta! Siapa lagi kalau bukan penghuni negeri itu sendiri yang bisa melukiskan betapa perasaan hatiku demi melihat kembali sungainya, gunungnya, dan lebih dari segala-galanya, danaunya yang indah! Namun tatkala aku semakin dekat ke rumah, sekali lagi kesedihan dan ketakutan mencengkam hatiku. Dan malam pun tiba pula. Hatiku semakin terasa pedih karena aku tidak lagi bisa melihat gunung yang gelap. Alam sekitarku kini kelihatan suram dan menyeramkan, dan samar-samar aku mulai merasa bahwa aku ditakdirkan menjadi manusia yang paling menyedihkan.
Aduh! Ramalanku ternyata benar. Hanya satu hal saja yang meleset dari ramalanku, yaitu kesedihan yang kuramalkan ternyata tidak ada seper - seratusnya kesedihan yang ditakdirkan untuk kutanggung.
Malam sudah sangat gelap waktu aku sampai ke daerah di luar kota Jenewa. Pintu gerbang kota sudah ditutup. Maka aku terpaksa menginap di Secheron. Desa ini jaraknya dari kota sekitar tiga perempat kilometer. Langit cerah tidak berawan, dan aku tidak bisa tidur. Maka lalu kuputuskan untuk meninjau tempat terjadinya pembunuhan terhadap adikku William yang malang. Aku tidak bisa melewati kota, jadi untuk pergi ke Plainpalais aku harus menye berangi danau dengan perahu.
Dalam perjalanan yang tidak begitu jauh ini kulihat kilat memancar di puncak Mont Blanc, tam pak indah sekali. Ternyata tidak lama kemudian badai datang, mendekat dengan cepat. Setelah aku mendarat, aku terus naik ke bukit rendah untuk melihat datangnya badai.
Badai semakin mendekat. Langit tertutup awan, dan tidak antara lama hujan turun. Mula-mula hujan turun dengan tetes-tetes besar dan jarang. Tapi makin lama hujan makin lebat, dan sebentar saja sudah berubah menjadi hujan yang sangat deras.
Aku meninggalkan tempat dudukku dan terus berjalan. Padahal setiap menit badai semakin menghebat. Langit semakin gelap, dan halilintar sabungmenyabung di atas kepalaku. Guruh dan guntur menggema dari pegunungan Jura, Saleve, Alpen dan Savoy. Kilat yang berpancaran menyilaukan mata, menyinari permukaan danau dan membuatnya kelihatan seperti lautan api. Kemudian untuk sesaat segala-galanya diliputi kegelapan, sampai mata bisa membiasakan diri kembali dengan kegelapan setelah pancaran kilat yang terang. Badai semacam ini biasa terjadi di Switzerland, dan kini rupanya mengamuk di mana-mana.
Badai yang paling dahsyat kelihatannya menggantung tepat di sebelah utara kota, di atas bagian danau yang terletak di antara tanjung Belrive dan desa Copet. Bagian badai lainnya menerangi pegunungan Jura dengan pancaran kilat yang samar-samar. Lainnya lagi menggelapkan dan sesekali memperlihatkan gunung Mdle yang puncaknya runcing di sebelah timur danau. Aku memperhatikan badai yang begitu dahsyat namun indah, sambil berkeliaran dengan langkah ragu-ragu. Perang yang sedang berkecamuk di langit ini mengisi hatiku dengan rasa takjub. Aku menjalin jari-jariku serta berseru keraskeras:
William yang kusayangi! Inilah penghormatan untuk pemakamanmu, pujipujian untuk mengiringkan sukmamu!
Waktu aku mengucapkan kata-kata ini, dalam kegelapan kulihat sesosok tubuh menyelinap dari balik pohon di dekatku. Aku berdiri terpaku, membuka mata lebar-lebar dan melihat dengan cermat. Penglihatanku tidak mungkin salah lagi. Cahaya kilat yang kebetulan memancar menerangi osok tubuh ini, dan bentuknya kulihat dengan jelas. Ukuran tubuhnya begitu besar dan segalagalanya kelihatan lebih mengerikan daripada manusia biasa. Seketika aku bisa mengenali kembali makhluk ciptaanku, iblis busuk yang telah kuhidupkan. Apa gerangan yang sedang dilakukannya di sini" Mungkinkah dia yang telah membunuh adikku sendiri" Aku menggigit memikirkan kemungkinan ini. Begitu gagasan ini terlintas dalam pikiranku, seketika itu juga aku merasa yakin akan kebenarannya. Gigiku gemeletuk, dan aku terpaksa menyandarkan tubuhku yang lemas pada sebatang pohon.
Sosok tubuh yang kulihat dengan cepat melewatiku dan lenyap dalam gelap. Tak ada satu pun manusia yang tega membunuh anak yang begitu manis. Pasti dia pembunuhnya! Aku sudah tidak ragu-ragu lagi. Gagasanku saja sudah merupakan bukti yang kuat terhadap kebenarannya.
Aku berpikir mau mengejar iblis ini, tapi aku sadar bahwa usahaku akan sia-sia. Sebab pada pancaran kilat berikutnya kulihat dia sudah bergantung di tebing karang yang sangat terjal di lereng gu nung Saleve, yang merupakan tapal batas Plain-palais di sebelah selatan. Dia segera sampai ke puncaknya dan menghilang.
Aku tetap tidak bergerak-gerak. Guruh dan halilintar sudah mereda, tapi hujan masih terus turun. Segala-galanya diliputi kegelapan yang sangat pekat. Kini teringat kembali olehku semua peris tiwa yang ingin kulupakan: jerih payahku menyelesaikan ciptaanku, hidupnya benda yang kubuat dengan tanganku sendiri, serta kepergiannya yang tidak kuketahui.
Kini dua tahun sudah berlalu sejak makhluk ciptaanku kuhidupkan. Apakah ini kejahatannya yang pertama" Aduh! Aku telah melepaskan ke dunia makhluk jahat yang pemenuhan kepuasannya dengan cara menyebarkan kematian dan kesedihan. Bukankah dia yang membunuh adikku"
Tak seorang pun akan bisa membayangkan kesedihan yang kurasakan di malam itu. Kesedihanku masih ditambah pula dengan kesengsaraan berada di udara terbuka, basah kuyup dan kedinginan. Tapi siksaan jasmani karena cuaca ini hampir hampir tidak kurasakan. Otakku sibuk memikirkan perbuatan jahat dan kesedihan yang diakibatkannya.
Pikiranku tidak lepas dari makhluk ciptaanku yang kulepaskan di tengah kehidupan manusia. Makhluk ini punya hasrat dan kekuatan untuk menyebarkan kengerian, seperti apa yang telah dilakukannya. Rasanya hampir sama dengan kalau setan jadi-jadian dari diriku sendiri lepas dari kuburan, dan dipaksa memusnahkan semua orang yang kucintai.
Akhirnya fajar pun merekah, dan aku menujukan langkahku ke arah kota. Pintu gerbang kota sudah dibuka. Aku pun bergegas-gegas berjalan menuju ke rumah ayahku. Mula-mula aku berpikir mau menceritakan apa yang kuketahui tentang pembunuh adikku, supaya segera bisa dilakukan pengejaran. Tapi aku terkejut sendiri setelah teringat \ kepada cerita yang akan kupaparkan. Makhluk yang telah kuciptakan sendiri, telah kuhidupkan, bertemu dengan diriku sendiri di tengah malam di tebing karang lereng gunung yang terkenal tidak bisa didaki. Aku juga teringat kepada sakit gangguan syaraf yang kuderita pada waktu aku menyelesaikan ciptaanku. Ceritakan pasti akan dianggap igauan yang tidak bisa dipercayai kebenarannya.
Aku pun sadar, seandainya ada orang lain yang bercerita semacam itu kepadaku, tentu akan ku-anggap bahwa ceritanya hanya ocehan orang gila belaka. Lagi pula makhluk ini pasti akan bisa meloloskan diri dari pengejaran, seandainya ceritaku bisa dipercaya oleh keluargaku dan mereka melakukan pengejaran. Lalu apa perlunya melakukan pengejaran" Siapa yang akan bisa menangkap makhluk yang dengan mudah bisa merambat mendaki lereng Mont Saleve yang tegak lurus" Pikiran ini menyebabkan aku mengambil keputusan tegas untu tetap tutup mulut.
Sekitar jam lima pagi aku memasuki rumah ayahku. Para pelayan kularang membangunkan keluargaku yang masih tidur. Aku lalu masuk ke dalam perpustakaan, untuk menunggu mereka bangun pada waktu seperti biasanya. Waktu enam tahun telah berlalu, berlalu seperti mimpi, kecuali satu perubahan yang tidak bisa dihapuskan. Kini aku berdiri lagi di tempat yang sama dengan waktu aku memeluk ayahku sebelum berangkat ke Ingolstadt. Ayahku yang kucintai dan kuhormati! Dia masih tetap kumiliki.
Aku melayangkan pandangan ke lukisan ibuku yang tergantung di atas perdiangan. Lukisan ini sebuah benda bersejarah. Dulu ayah yang menyuruh orang untuk melukisnya. Di situ terlukis Caroline Beaufort dalam kesedihan dan putus asa, sedang berlutut menghadapi peti mati yang berisi mayat ayahnya. Pakaian yang dikenakannya lusuh dan pipinya pucat. Namun wajahnya yang cantik penuh keagungan, dan rupa keseluruhannya tidak seperti orang yang harus dikasihani.
Di bawah lukisan ini ada lukisan miniatur William. Begitu melihatnya, air mataku langsung mengalir tidak bisa dibendung lagi.
Sedang aku dalam keadaan demikian, Ernest masuk. Dia sudah mendengar kedatanganku, dan cepat-cepat mencariku untuk menyampaikan selamat datang. Air mukanya tampak sedih dan gembira melihatku.
Selamat datang, kakakku Victor yang tercinta, katanya. Ah! Kalau saja kau pulang tiga bulan yang lalu! Kau pasti akan mendapatkan diri kami penuh kebahagiaan dan sukacita. Sekarang kau datang untuk turut merasakan kesedihan yang tidak bisa diredakan. Tapi kuharap kedatanganmu akan bisa menggembirakan ayah, yang rupanya tenggelam di bawah kesedihannya. Dan bujukanmu akan menghentikan tuduhan dan siksaan Elizabeth yang sia-sia kepada dirinya sendiri. Kasihan sekali William. Dia kesayangan dan kebanggaan kita!
Adikku juga tidak bisa menahan air matanya. Penderitaan yang luar biasa menguasai diriku. Sebelumnya aku hanya membayangkan kesedihan karena kini rumah terasa kosong. Tapi ternyata ke-u sedihan yang kami rasakan masih jauh lebih besar lagi. Aku berusaha menenangkan Ernest. Kutanyakan bagaimana keadaan ayah dan Elizabeth.
Terutama Elizabeth, kata Ernest, yang paling membutuhkan hiburan. Dia menuduh dirinya sendiri yang menjadi penyebab kematian adikku. Itulah sebabnya maka dia merasa sangat sedih. Tapi sejak pembunuhnya tertangkap... Pembunuhnya tertangkap! Ya Tuhan! Bagaimana bisa" Siapa yang bisa mengejarnya" Itu mustahil. Sama saja dengan mencoba menangkap angin atau menahan aliran sungai dengan jerami. Aku juga melihatnya. Semalam dia masih bebas!
Aku tidak tahu apa yang kaumaksudkan, jawab adikku dengan nada keheranan. Tapi bagi kami penangkapannya bahkan semakin menambah kesedihan kami. Mula-mula tak ada seorang pun yang percaya. Bahkan sekarang pun Elizabeth tidak mau diyakinkan, tidak peduli dengan semua bukti yang ada. Sungguh, tak ada seorang pun yang percaya bahwa Justine Moritz bisa menjadi pembunuh. Mungkinkah gadis yang begitu penurut dan sayang kepada seluruh keluarga tiba-tiba bisa melakukan kejahatan yang begitu kejam dan mengerikan"
Justine Moritz! Ah, gadis yang sangat malang. Jadi dia yang dituduh" Tapi itu tuduhan yang keliru. Semua orang tahu. Tak ada seorang pun yang percaya. Sungguh begitu, Ernest" Mula-mula tak ada yang mau percaya. Tapi kemudian ada beberapa hal yang hampir memaksa kami untuk percaya. Sikap Justine sendiri juga begitu membingungkan. Ditambah dengan bukti yang nyata dan memberatkannya, aku khawatir sekarang sudah tidak ada harapan maupun keragu-raguan lagi. Tapi hari ini dia akan diajukan ke pengadilan, dan kau akan bisa mendengar semua.
Lalu Ernest bercerita. Katanya pada pagi hari waktu pembunuhan William diketahui, Justine jatuh sakit dan mengurung di kamar tidurnya selama beberapa hari. Waktu dia sakit ini seorang pelayan kebetulan memeriksa pakaian yang dikenakannya pada malam pembunuhan. Dia menemukan lukisan miniatur ibuku di dalam sakunya, yang dianggap sebagai benda yang diinginkan si pembunuh sehingga mendorongnya melakukan kejahatan. Pelayan ini lalu menunjukkan kalung dengan bandulnya ini kepadateman-temannya.Lalu tanpa mengatakan apa-apa kepada keluarga majikannya, mereka langsung mengadu kepada jaksa. Berdasarkan pengaduan mereka ini, lalu Justine ditahan. Waktu dihadapkan dengan barang bukti ini, Justine makin memperkuat kecurigaan dengan sikapnya yang sangat kalut.
Ini kisah yang aneh, tapi tidak menggoyahkan keyakinanku. Dengan penuh kesungguhan aku berkata, Kalian semua membuat kekeliruan. Aku tahu siapa pembunuhnya. Justine, Justine yangmalangini tidak berdosa. Saat itu ayahku masuk. Kulihat kesedihan sangat jelas terbayang pada air mukanya. Namun dia berusaha menyambutku dengan gembira. Setelah kami saling menyampaikan salam dengan penuh kesedihan, kami akan mengulangi lagi membicarakan kesedihan kami. Tapi Ernest menyela dengan berseru, Ya Tuhan, Papa! Victor mengatakan dia tahu siapa yang membunuh William. Kami juga tahu, sungguh menyedihkan sekali, jawab ayahku. Aku sungguh sedih mendapatkan orang yang selama ini sangat kuhargai ternyata hatinya sangat busuk dan tak tahu membalas budi.
Ayah, kau keliru! Justine tidak berdosa!
Kalau memang demikian, Tuhan pasti takkan mengijinkan dia menderita karena dituduh bersalah. Hari ini dia akan diadili. Aku benar-benar berharap dia akan dibebaskan.
Kata-kata ayah menenangkanku. Aku yakin benar bahwa Justine, demikian juga manusia lainnya, mustahil melakukan pembunuhan adikku. Aku tidak merasa khawatir akan ada bukti yang cukup kuat untuk menuntutnya. Ceritaku tidak bisa diumumkan kepada orang banyak. Kengeriannya yang luar biasa pasti akan dianggap kegilaan oleh semua orang. Adakah orang yang akan mau percaya, kecuali aku sendiri, penciptanya, bahwa ada makhluk buatan yang hidup, yang karena keteledoranku telah terlepas di tengah kehidupan manusia" Tidak lama kemudian Elizabeth datang. Waktu telah mengubah dirinya sejak terakhir kali aku melihatnya. Kini kecantikannya sudah melebihi kecantikan di masa kanak-kanaknya. Dia masih memiliki kepolosan dan keriangan, tapi kini air mukanya lebih dewasa dan memancarkan kecerdasan. Dia menyambut kedatanganku dengan sikap paling hangat dan penuh kasih Bayang. Ah, saudara sepupuku, katanya, kedatanganmu mengisi hatiku dengan harapan. Mungkin kau akan menemukan cara untuk membela Justine yang tidak bersalah. Aduh! Siapa yang akan selamat, kalau dia saja bisa dituntut sebagai pelaku kejahatan" Aku yakin bahwa dia tidak bersalah, sama percayanya seperti kepada diriku sendiri. Kini kemalangan kita berlipat ganda. Kita bukan hanya kehilangan adik yang kita cintai, tapi gadis ini pun, yang juga kucintai dengan setulus hati, akan direnggutkan oleh nasib yang lebih buruk. Kalau dia sampai dijatuhi hukuman, aku takkan bisa merasa senang lagi. Tapi dia takkan dihukum, aku yakin dia takkan dihukum. Dan aku akan merasa bahagia lagi, walaupun tetap kehilangan si kecil William.
Dia tidak berdosa, Elizabeth-ku, kataku. Dan itu akan bisa dibuktikan. Jangan takut! Bergembiralah, yakinlah bahwa dia akan dibebaskan. Kau sungguh baik dan dermawan! Semua orang yakin bahwa dia bersalah. Itu membuatku sangat sedih, sebab aku tahu itu mustahil. Dan melihat semua orang menuduhnya dengan penuh kedengkian membuatku putus asa dan tidak berdaya. Elizabethmenangis.
Kemenakanku yang tercinta, kata ayahku, keringkan air matamu. Kalau kau yakin dia tidak bersalah, percayalah kepada keadilan hukum. Aku juga akan mengambil tindakan untuk mencegah ketakadilan ditimpakan orang kepadanya.
Bab 8 KAMI menderita siksaan kesedihan sampai jam sebelas, saat sidang pengadilan dimulai. Ayah dengan seluruh keluarga datang sebagai saksi. Aku turut menyertai mereka ke pengadilan.
Selama berlangsungnya apa yang dinamakan pengadilan ini, aku merasa sedang disiksa hidup-hidup. Akan segera diputuskan, apakah rasa ingin tahuku yang tidak mengindahkan kaidah hukum akan mengakibatkan kematian dua orang manusia sesamaku. Yang sudah jatuh menjadi korban seorang anak yang masih polos, yang dibunuh dengan cara yang mengerikan sekali. Karena anak ini sama sekali belum mengenal dosa, maka pembunuhan atas dirinya terasa jauh lebih mengerikan. Justine juga seorang gadis yang penuh kebajikan, yang punya harapan akan mencapai kebahagiaan hidup. Dan kini dia akan dihukum mati, dikuburkan dengan penuh kehinaan. Semua ini akulah penyebabnya! Aku seribu kali lebih suka mengakui bahwa akulah yang melakukan kejahatan yang dituduhkan kepada Justine. Tapi aku tidak ada di tempat kejadian waktu peristiwanya terjadi. Pernyataanku pasti hanya akan dianggap igauan orang gila. Usahaku takkan berhasil membebaskan orang yang menderita karena perbuatankuJustine tampak tenang saja. Dia mengenakan pakaian berkabung. Wajahnya tetap kelihatan cantik, walaupun otaknya penuh pikiran yang sangat memberatkannya. Air mukanya memperlihatkan kepercayaan kepada dirinya sendiri yang bersih dari dosa, dan sedikit pun dia tidak merasa gentar. Orang banyak memandang Justine dengan rasa jijik. Ketenangannya bahkan membangkitkan kebencian orang banyak, yang mengira dia telah melakukan kejahatan yang begitu mengerikan. Justine kelihatan tenang, tapi jelas sekali bahwa jiwanya tertekan. Dulu kekalutannya ditafsirkan orang sebagai bukti bahwa dia bersalah. Maka kini dia menguatkan hatinya untuk memperlihatkan ketabahan.
Waktu baru masuk ke dalam ruang pengadilan, Justine meHhat berkeliling dan segera melihat di mana kami duduk. Setetes air mata tampak menyuramkan matanya waktu dia melihat kami. Tapi dia segera bisa menguasai perasaannya. Air mukanya yang memperlihatkan belas kasihan dan kasih sayang seakan pernyataan bahwa dia sama sekali tidak bersalah.
Pengadilan pun dimulai. Setelah jaksa membacakan tuduhannya, beberapa saksi dipanggil. Beberapa fakta aneh digabungkan dan memperkuat tuduhan kepada dirinya. Kenyataan yang d kemukakan para saksi cukup jneyakinkan semua orang yang tidak punya bukti bahwa Justine tidak bersalah seperti yang kumiliki.
Pada malam terjadinya pembunuhan, sepanjang malam Justine berada di luar rumah. Menjelang pagi dia dilihat oleh seorang perempuan yang akan berangkat ke pasar, di dekat tempat mayat korban kemudian ditemukan. Perempuan ini bertanya kepadanya, apa yang sedang dilakukannya di situ. Justine memperlihatkan air muka aneh, serta menjawab dengan perkataan yang tidak keruan dan tidak jelas.
Sekitar jam delapan Justine pulang ke rumah. Waktu ditanya dia semalaman di mana, dia menjawab bahwa dia mencari William. Dia lalu bertanya dengan sungguh-sungguh apakah sudah mendengar Sesuatu tentang William. Waktu mayat ditunjukkan kepadanya, Justine lalu menjadi histeris dan mengurung diri di dalam kamarnya selama beberapa hari.
Kemudian bandul kalung yang ditemukan pelayan dalam sakunya ditunjukkan. Elizabeth berkata dengan terbata-bata bahwa satu jam sebelum William hilang, dia sendiri yang memakaikan kalung di leher anak yang malang ini. Mendengar ini segera ruangan sidang riuh dengan suara kengerian dan kemarahan. Justine disuruh tampil ke depan untuk membela diri. Selama sidang berlangsung, air mukanya telah berubah. Air mukanya memperlihatkan dengan jelaB keheranan, kengerian dan kesedihan. Kadang-kadang dia berusaha dengan keras menahan air matanya. Tapi setelah dia mulai bicara, dia mengumpulkan segenap kekuatannya dan berkata dengan suara yang jelas terdengar. Tuhan tahu, katanya, bahwa aku sama sekali tidak bersalah. Tapi aku tahu bahwa sanggahanku ini takkan membebaskanku. Aku akan membela kebenaranku dengan penjelasan seadanya tentang kenyataan yang diajukan untuk menuduhku. Aku berharap semoga kelakuanku selama ini mendorong para yuri menafsirkan dengan baik hal-hal yang meragukan atau mencurigakan.
Kemudian Justine bercerita. Pada sore dan malam terjadinya pembunuhan, atas ijin yang diberikan Elizabeth dia pergi ke rumah bibinya. Bibinya tinggal di desa Chene, yang berjarak sekitar satu setengah kilometer dari Jenewa. Kirakira jam sembilan malam dia pulang. Di jalan dia bertemu dengan seorang lakilaki yang menanyakan kepadanya apakah dia melihat William yang telah hilang.
Mendengar ini dia merasa khawatir, dan terus mencari William sampai berjamjam. Waktu gerbang kota ditutup dia masih ada di luar. Dia terpaksa harus menunggu pagi tiba di dalam gudang penyimpanan rumput milik seorang petani. Dia tidak mau membangunkan yang punya rumah, sebab dia sudah kenal baik dan tidak mau merepotkan.
Hampir sepanjang malam dia tidak bisa memicingkan mata. Tapi menjelang pagi dia yakin telah terlelap sebentar, selama beberapa menit. Dia terkejut mendengar bunyi langkah kaki orang, dan dia terbangun. Waktu itu fajar sudah merekah. Dia segera meninggalkan tempatnya berteduh, agar bisa terus turut mencari adikku yang hilang.
Dia sama sekali tidak tahu bahwa dia melewati tempat yang tidak begitu jauh dari tempat mayat menggeletak. Kekalutannya waktu ditanya oleh perempuan yang akan berangkat ke pasar tidak mengherankan, sebab hampir semalaman dia tidak tidur dan dia masih mengkhawatirkan nasib William. Dia tidak menerangkan apa pun tentang kalung yang ditemukan dalam sakunya. Aku tahu, sambung Justine yang malang ini, bahwa hal yang satu ini sangat fatal memberatkan tuduhan terhadap diriku, tapi aku tidak mampu memberikan penjelasan. Aku sama sekali tidak tahu-menahu, dan aku tidak bisa mendugaduga kemungkinan yang menyebabkan benda itu sampai berada di sakuku. Di sinilah letak kelemahanku. Aku yakin bahwa di muka bumi ini aku tidak punya musuh satu pun. Aku yakin takkan ada orang yang ingin memfitnah diriku dengan cara begitu kejam. Apakah si pembunuh yang telah memasukkan kalung ke dalam sakuku" Aku tahu dia tidak punya kesempatan melakukannya. Seandainya dia bisa memasukkannya, untuk apa dia mencuri perhiasan itu kalau kemudian hanya akan membuangnya lagi"
Aku menyerahkan segala-galanya kepada keadilan para yuri, tapi aku tidak melihat adanya harapan sedikit pun. Aku memohon agar beberapa orang saksi ditanya tentang perangaiku. Kalau kesaksian mereka tidak bisa melenyapkan tuduhan terhadap diriku, aku tentu akan menerima hukuman. Tapi aku memohon pembebasan karena aku tidak bersalah.
Beberapa orang saksi dipanggil. Mereka orang-orang yang kenal dengan Justine sudah bertahun-tahun, dan semua menceritakan kebaikan perangai si tertuduh. Tapi mereka juga merasa takut dan benci kepada Justine karena mengira dia bersalah. Mereka menjadi takut-takut untuk bicara banyak-banyak.
Elizabeth tahu bahwa usaha terakhir ini, yaitu kesaksian tentang kelakuan Justine yang tak ada cacat celanya, takkan bisa menyelamatkannya dari tuduhan. Maka dia lalu minta ijin tampil ke muka sidang. Aku saudara sepupu anak yang terbunuh ini, kata Elizabeth, atau lebih merupakan seorang kakak baginya. Ini karena aku dididik, tinggal serumah dan dianggap anak oleh orang tuanya bahkan lama sebelum dia lahir. Maka mungkin akan dianggap kurang layak bagiku untuk tampil ke muka pada kesempatan ini. Tapi aku melihat sesamaku akan binasa karena kepengecutan orang-orang yang mengaku sebagai sahabatnya. Maka kuharap aku diperkenankan berbicara, mengatakan semua yang kuketahui tentang watak dan kelakuannya.
Aku kenal baik dengan tertuduh. Aku telah lama tinggal Berumah dengan dia. Pada kesempatan sebelumnya selama lima tahun, dan kesempatan lainnya selama hampir dua tahun. Selama itu menurut pen-dapatku dia manusia paling ramah dan baik hati kepada orang lain. Dia merawat Madame Frankenstein, bibiku, waktu dia menderita sakit untuk terakhir kalinya, dengan penuh ketekunan dan kasih sayang. Kemudian dia merawat ibunya sendiri yang sakit payah, dengan ketekunan yang mengagumkan bagi setiap orang yang menyaksikannya. Kemudian sekali lagi dia tinggal di rumah pamanku, dan di rumah ini dia disayangi oleh seluruh keluarga.
Hubungannya dengan anak yang sekarang sudah meninggal sangat baik, seperti seorang ibu menyayangi anaknya. Aku tidak ragu-ragu mengatakan ini, walaupun ada bukti untuk menuduhnya. Aku yakin sekali bahwa dia sama sekali tidak bersalah. Dia tidak mungkin tergoda untuk melakukan perbuatan semacam itu. Sedangkan tentang benda yang dijadikan barang bukti, kalau memang dia sungguh-sungguh menginginkannya, aku akan memberikan kepadanya dengan senang Hati. Sebesar itulah kepercayaan dan penghargaanku kepada-} nya.
Terdengar beberapa suara menyetujui per nyataan Elizabeth yang bersahaja namun cukup kuat. Tapi mendengar kedermawanan Elizabeth, orang banyak bangkit lagi kemarahannya kepada Justine. Mereka menyerangnya dengan tuduhan tidak tahu membalas budi dengan kata-kata yang sangat keji. Justine sendiri menangis waku Elizabeth berbicara, tapi tidak mengeluarkan jawaban. Selama pengadilan berlangsung penderitaan yang kurasakan tidak ada batasnya lagi. Aku yakin bahwa Justine tidak bersalah. Aku tahu benar. Sesaat pun aku tidak pernah meragukan siapa yang telah melakukan kejahatan. Apakah iblis yang telah membunuh adikku juga telah menjerumuskan gadis yang tidak berdosa ini ke arah kematian dan kenistaan"
Aku tidak kuat lagi menahankan suasana yang penuh kengerian ini. Waktu aku melihat muka para yuri dan mendengar suara mereka yang sudah menetapkan kesalahan Justine, aku men hambur ke luar dengan hati tersiksa. Siksaan yang dira sak an si .tertuduh belum menyamai siksaan yang kurasakan. Dia yakin bahwa dirinya tidak berdosa. Sedangkan aku, aku merasakan taring-taring penyesalan merobek-robek dadaku, dan aku tidak kuasa melepaskan diri. Semalaman aku terus-menerus disiksa oleh perasaanku sendiri. Paginya aku pergi ke pengadilan. Bibir dan kerongkonganku terasa sangat kering. Aku tidak berani mengajukan pertanyaan, tapi aku sudah dikenal. Petugas pengadilan sudah bisa menduga tujuan kunjunganku. Undian sudah ditarik, dan semua yuri menyalahkan tertuduh. Justine akan mendapat hukuman mati. Aku tidak bisa melukiskan perasaanku. Sebelumnya aku sudah pernah merasakan kengerian, dan aku masih bisa berusaha menyatakannya dengan kata-kata. Tapi kini tidak ada perkataan yang bisa menggambarkan rasa putus asa yang memedihkan hati, yang saat itu kuderita.
Orang yang kutemui menambahkan bahwa Justine sudah mengakui kesalahannya. Bukti itu, dia menjelaskan, hampir-hampir tidak diperlukan dalam perkara yang sudah begitu jelas. Sebenarnya tidak ada satu pun di antara para yuri yang mau menjatuhkan hukuman kepada seorang penjahat hanya berdasarkan atas bukti sangka belaka, betapapun jelasnya.
Ini kenyataan yang aneh dan tidak terduga-duga. Apa gerangan artinya" apakah penglihatanku salah" Apakah aku benar-benar sudah gila seperti yang akan dituduhkan seluruh dunia kepadaku kalau aku menerangkan obyek kecurigaanku" Aku segera pulang, dan dengan tidak sabar Elizabeth menanyakan hasilnya.
Saudara sepupuku, jawabku, keputusannya sudah ditetapkan seperti perkiraanmu. Para yuri berpendapat lebih baik sepuluh orang yang tidak berdosa menderita, daripada satu orang yang bersalah lolos. Tapi Justine sudah mengaku.
Ini merupakan pukulan keras bagi Elizabeth, yang selama ini yakin bahwa Justine tidak ber salah. Yaampun! katanya. Bagaimana aku akan bisa percaya lagi kepada kebaikan orang" Justine kucintai dan kuperlakukan seperti adikku sendiri. Bagaimana bisa dia selama ini mengecoh kita semua dengan senyumannya yang kelihatan polos" Matanya yang lembut seakan menunjukkan bahwa dia tidak bisa melakukan kekerasan atau kejahatan. Tapi dia telah melakukan pembunuhan.
Segera kami mendengar bahwa korban yang malang ini ingin bertemu dengan Elizabeth. Ayah menginginkan agar Elizabeth tidak pergi mene-i muinya, tapi dia juga menyerahkan kepada perasaan dan pertimbangan Elizabeth sendiri untuk mengambil keputusan.
Ya, kata Elizabeth, aku akan menemuinya, walaupun dia bersalah. Dan kau, Victor, kau harus menemaniku. Aku tidak bisa berangkat sendirian. (iagasan tentang kunjungan ini sangat menyiksa hatiku, tapi aku tidak bisa menolak. Kami masuk ke dalam sel tahanan yang remang-remang. Kulihat Justine sedang duduk di atas tumpukan jerami di ujung ruangan. Tangannya di-borgol, dan kepalanya diletakkan di atas lutut. Demi melihat kami masuk, dia terus bangkit berdiri. Setelah kami sendirian bersama dia, dia berlutut di muka Elizabeth dan menangis dengan getirnya. Elizabeth juga menangis.
Oh, Justine! kata Elizabeth. Mengapa kau merenggutkan satu-satunya hiburan yang masih kumiliki" Aku yakin bahwa kau tidak berdosa. Walaupun sebelumnya aku sangat sedih, tapi belum sesedih perasaanku seperti sekarang ini.
Apakah kau juga percaya bahwa aku sejahat itu" Apakah kau turut membantu musuh-musuhku yang akan membinasakanku, yang akan menghukumku sebagai seorang pembunuh" Suara Justine tercekik oleh sedu-sedannya. Berdirilah, Adikku, kata Elizabeth. Mengapa kau berlutut, kalau memang kau tidak bersalah" Aku bukan salah seorang musuhmu. Sebelumnya aku yakin bahwa kau tidak bersalah, walaupun ada barang bukti untuk menuduhmu. Tapi kemudian kudengar kau sendiri menyatakan bahwa kau bersalah. Kau mengatakan semua tuduhan kepadamu palsu. Yakinlah, Justine ku yang baik, sesaat pun keyakinanku bahwa kau tidak bersalah tidak pernah goyah, kalau kau sendiri tidak mengaku.
Aku memang sudah mengaku, tapi aku mengucapkan pengakuan bohong. Aku mengaku dengan harapan akan mendapat pengampunan. Tapi sekarang kebohongan yang sudah kuucapkan lebih memberatkan hatiku daripada dosaku yang lain. Semoga Tuhan mengampuniku! Sejak kesalahanku diputuskan, aku dipaksa disuruh mengaku. Aku diancam dan ditakut-takuti, sampai aku hampirhampir berpikir bahwa aku penjahat seperti yang dituduhkan kepadaku. Aku diancam tidak akan diakui sebagai umat dan akan dibakar dalam api neraka, kalau aku tetap keraa kepala. Tak ada seorang pun yang membelaku. Semua memandang diriku sebagai penjahat yang harus dihina dan di-nista. Apa yang dapat kulakukan" Pada saat-saat yang penuh penderitaan aku mengucapkan pengakuan bohong. Sekarang aku benar-benar sangat menderita. Justine berhenti berbicara, menangis, dan kemudian meneruskan, Aku merasa ngeri, Nona yang baik, jangan-jangan kau percaya kepada pernyataanku. Bibimu sangat menghargai diriku, dan kau end n sangat menyayangiku. Dan aku dianggap makhluk yang mampu melakukan kejahatan yang tidak sanggup dilakukan orang lain, hanya iblis saja yang bisa melakukannya. William yang kusayangi! Anak yang paling kukasihi! Aku akan segera bertemu lagi denganmu di surga, dan di sana kita akan berbahagia kembali. Hanya itu yang membuatku terhibur, walaupun aku akan menghadapi kematian yang penuh kenistaan.
Oh, Justine! Maafkan aku karena sesaat kehilangan kepercayaan kepadamu. Mengapa kau mengaku" Tapi jangan kau bersedih, Adikku sayang. Aku akan mengajukan pernyataan, aku akan membuktikan bahwa kau tidak bersalah. Aku akan meluluhkan hati musuhmu yang Bekeras batu dengan air mata dan permohonanku. Kau tidak akan mati! Kau, teman bermainku, sahabatku, adikku, akan binasa di tiang gantungan" Tidak! Tidak! Aku takkan tahan menahankan kemalangan yang sangat mengerikan ini.
Justine menggelengkan kepala dengan sedih. Aku tidak takut mati, katanya. Rasa takut semacam itu sudah tidak kurasakan lagi. Tuhan sudah membuang kelemahanku, serta memberiku kekuatan dan keberanian untuk menahankan penanggungan yang paling buruk. Aku akan meninggalkan dunia yang penuh kesedihan dan kepahitan. Kalau kau Belalu mengingat diriku sebagai orang yang dijatuhi hukuman secara tidak adil, aku sudah merasa tenang untuk menerima takdirku. Belajarlah dariku, Nona yang baik. Selalulah sabar menerima kehendak Tuhan!
Selama percakapan ini aku menyingkir ke sudut ruang tahanan. Di situ aku bisa menyembunyikan penderitaan luar biasa yang menguasai diriku. Korban yang malang ini besok pagi akan melalui batas hidup dan mati dengan cara paling mengerikan. Tapi dia tidak merasakan penderitaan yang begitu dalam dan pahit, seperti yang kurasakan.
Aku mengeretakkan gigi dengan geram, serta mengeluarkan suara erangan dari dalam hati sanubariku. Justine terperanjat. Setelah dia melihatku, dia datang menghampiriku dan berkata:
Tuan yang terhormat, kau baik sekali sudi mengunjungiku. Kau juga kuharap tidak percaya bahwa aku bersalah"
Aku tidak bisa menjawab. Tidak, Justine, kata Elizabeth. Dia bahkan lebih yakin daripada aku bahwa kau tidak bersalah. Bahkan setelah mendengar kau telah mengaku, dia masih tidak mau percaya.
Aku benar-benar sangat berterima kasih kepadanya. Pada saat terakhir ini aku merasa berv hutang budi kepada semua orang yang punya anggapan baik terhadap diriku. Sungguh manis rasanya kasih sayang orang lain yang ditujukan kepada orang yang malang seperti diriku! Perasaan ini melenyapkan separuh kesedihanku. Sekarang kau sudah tahu bahwa aku tidak bersalah, Nona yang baik, dan demikian pula saudara sepupumu. Sekarang kurasa aku akan bisa mati dalam kedamaian. Demikianlah Justine yang sedang menderita berusaha menghibur orang lain dan dirinya sendiri. Dia sudah menemukan ketenangan jiwa dalam sikap pasrah yang kini didapatnya. Tapi aku, pembunuh yang sebenarnya, akan selalu merasakan penderitaan yang tak ada habis-habisnya serta tanpa harapan bisa mendapat penghiburan.
Elizabeth juga menangis dan bersedih hati. Tapi kesedihannya kesedihan orang yang tidak berdosa. Kesedihannya bagaikan awan yang menutupi bulan purnama; sebentar menyembunyikannya, tapi tidak meninggalkan cacat pada kecemerlangannya.
Sedangkan aku, kesedihan dan putus asa menusuk sampai ke hati nuraniku. Aku membawa api neraka dalam diriku, yang tak terpadamkan oleh apa pun juga. Kami menemani Justine selama beberapa jam. Akhirnya hanya dengan susah payah Elizabeth bisa memaksa dirinya meninggalkan Bel tahanan. Aduh, tangis Elizabeth, ingin sekali aku turut mati bersamamu. Aku tidak tahan lagi hidup di dunia yang penuh kesedihan ini.
Justine berusaha memperlihatkan wajah gembira, sambil dengan susah payah menahan air mata kesedihannya. Dia memeluk Elizabeth seraya berkata dengan perasaan agak tertekan:
Selamat berpisah, Nona yang baik, Elizabeth sayang, satu-satunya sahabatku yang tercinta. Semoga Tuhan Yang Maha Pemurah memberkati dan selalu melindungimu. Semoga ini kemalangan terakhir yang kaurasakan! Semoga hidupmu bahagia, sehingga kau pun bisa membahagiakan orang lain pula. Keesokan harinya Justine dihukum mati. Permohonan Elizabeth yang memilukan hati tidak menggoyahkan para yuri dari keputusan yang telah diambil. Betapapun suci dan baik perangainya, Justine tetap dianggap pelaku tindak kejahatan.
Permohonanku yang bernafsu dan penuh kemarahan juga sia-siauntuk mengubah pendirian mereka. Jawaban mereka dingin, keras dan kasar serta dengan pertimbangan yang tanpa perasaan. Mendengar jawaban mereka, sumpah yang akan kuucapkan tidak jadi keluar dari mulutku. Sebenarnya aku sudah memutuskan lebih baik dianggap orang gila, daripada membiarkan korban perbuatanku dijatuhi hukuman mati. Tapi rupanya paling-paling aku hanya akan dianggap orang gila tanpa hasil apa-apa. Justine binasa di tiang gantungan sebagai seorang pembunuh!
Dari kesedihan yang kurasakan, aku ganti merenungkan kesedihan Elizabeth yang sangat dalam. Ini juga akibat perbuatanku! Demikian juga kesedihan yang diderita ayahku, serta suasana gembira yang sudah terhapus dari rumahku semua ini hasil kerja tanganku yang terkutuk!
Menangislah kau, hai orang yang bersedih hati, tapi ini bukan air matamu yang penghabisan! Kau masih akan mengeluarkan lagi ratapan pada pemakaman! Suara ratapan mu akan terus-menerus terdengar. Kehancuran takkan berhentihentinya, sampai liang kubur mengakhiri siksaanmu!
Demikianlah sukmaku menyuarakan ramalan, sementara hatiku dicabik-cabik rasa penyesalan, kengerian dan putus asa. Dengan pandangan hampa kutatap kuburan William dan Justine, orang-orang tercinta yang mengalami penderitaan sia-sia. Mereka korban-korban pertama perbuatanku yang tidak terpuji.
Bab 9 TIDAK ada lagi yang lebih menyakitkan bagi perasaan manusia daripada ketenangan tanpa kesibukan dan ketakpastian, setelah perasaan dibebani peristiwa yang menyedihkan. Demikian juga yang kurasakan sekarang. Jiwaku hampa dari harapan, dan bahkan dari rasa takut.
Justine telah mati, telah beristirahat dalam kedamaian, tapi aku masih hidup. Darah masih mengalir dengan lancar dalam tubuhku, tapi beban kepu-tusasaan dan penyesalan menekan hatiku serta tak tersingkirkan. Aku tidak bisa tidur lagi. Aku mengembara ke mana-mana seperti roh jahat. Sebab aku telah melakukan perbuatan jahat yang keke-jiannya di luar batas, namun rupanya jauh lebih banyak lagi yang masih akan terjadi.
Walaupun demikian sebenarnya hatiku penuh kebaikan dan cinta kebajikan. Sejak masih kecil aku sudah bercita-cita ingin berguna bagi sesama manusia. Tapi sekarang apa yang kuidam-idamkan sudah hancur-lebur. Aku tidak bisa menoleh ke belakang dengan rasa puas akan hasil yagg kuper-oleh serta mengharapkan hasil baru. Jauh dari itu. Bahkan sebaliknya, kini aku tercengkam oleh penyesalan dan rasa bersalah. Aku sudah merasakan siksaan neraka yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Perasaan ini merusakkan kesehatanku, yang rupanya belum pulih benar-benar sesudah terkena goncangan yang pertama. Aku menghindari wajah manusia. Semua suara kegembiraan dan kepuasan hati bagiku merupakan siksaan. Aku hanya bisa memperoleh penghiburan dengan kesendirian menyendiri di tempat sepi dan gelap, sesepi dan se gelap kematian sendiri.
Ayah sangat sedih melihat perubahan pada tingkah laku dan kebiasaanku. Dia berusaha membangkitkan keberanianku untuk mengenyahkan awan hitam yang menyelubungi diriku. Victor, kata ayahku, apakah kau mengira aku tidak turut bersedih hati" Tak ada orang yang bisa mencintai seorang anak lebih dari aku mencintai adikmu... air matanya mulai berlinang sementara dia berbicara. Tapi kita harus bisa menahan diri, jangan sampai kita memperlihatkan kesedihan yang di luar batas. Kau juga tidak boleh bersedih hati sedalam itu, sehingga kau tidak mengindahkan kesenangan hidup lagi. Kau bahkan sudah tidak mempedulikan kebutuhan sehari-hari, padahal tanpa itu semua kau tidak bisa masuk ke dalam pergaulan masyarakat.
Nasihat ini memang baik, tapi sama sekali tidak cocok bagiku. Seharusnya akulah yang lebih dulu menyembunyikan kesedihanku dan menghibur keluargaku. Tapi penyesalanku berpadu dengan kepahitan, kengerian, ketakutan dan beberapa perasaan lainnya. Sekarang aku hanya bisa menjawab nasihat ayahku dengan air muka putus asa, serta menyembunyikan diri dari pandangannya.
Tidak berapa lama kemudian kami pindah ke rumah kami di Belrive. Perubahan suasana ini sangat cocok bagi suasana hatiku. Tinggal di dalam tembok kota Jenewa bagiku sangat membosankan. Pintu gerbangnya sudah ditutup pada jam sepuluh malam, sehingga lewat dari jam ini aku tidak bisa menyepi dekat danau. Itulah yang menyebabkan aku tidak tahan tinggal dalam kota. Tapi sekarang aku sudah bebas.
Seringkali kalau seluruh keluarga sudah tidur, aku mengambil perahu dan selama berjam-jam berperahu di tengah danau. Kadang-kadang dengan layar terpasang aku mengikuti tiupan angin. Dan pada kesempatan lain aku berdayung ke tengah danau, kemudian membiarkan perahu terapung-apung sementara aku merenungkan kesedihanku.
Di tengah ketenangan aku seringkali berpikir bahwa akulah satu-satunya makhluk hidup yang sedang mengembara di tengah keindahan surgawi. Sesekali hanya kepakan sayap kelelawar atau suara katak saja yang memecahkan kesunyian. Di tengah ketenangan ini aku seringkali tergoda oleh keinginan menceburkan diri ke danau, supaya aku tenggelam dalam air dan penderitaanku lenyap untuk selama-lamanya.
Tapi ingatan kepada Elizabeth selalu bisa mencegahku menuruti godaan ini. Dia juga menderita, tapi menghadapi penderitaannya dengan tabah. Dia sangat kucintai, dan hidupnya dalam satu ikatan dengan hidupku. Aku juga memikirkan ayah dan adikku yang masih ada. Patutkah aku mengakhiri hidupku secara keji dan membiarkan mereka tanpa perlindungan terhadap ancaman iblis yang kulepaskan di tengah kehidupan mereka"
Pada saat-saat semacam itu aku lalu menangis dengan hati sangat pedih. Aku sangat mendambakan kembalinya ketenangan jiwaku, supaya aku bisa menghibur dan membahagiakan keluargaku. Tapi hal itu mustahil. Rasa sesal sudah mematikan setiap harapan. Aku sudah menjadi pencipta dan penyebab bencana. Kini setiap hari aku hidup dalam ketakutan, jangan-jangan makhluk yang telah kuciptakan akan melakukan perbuatan jahat lagi. Aku punya firasat samar-samar bahwa bencana masih belum berakhir, dan dia masih akan melakukan kejahatan yang lebih besar daripada sebelumnya. Aku masih belum lepas dari cengkeraman rasa takut, selama masih ada orang yang kucintai di alam fana ini.
Kebencian dan kejijikanku kepada iblis ini tidak bisa dibayangkan. Setiap kali teringat kepadanya aku selalu mengeretakkan gigi dengan mata menyala-nyala. Ingin sekali aku memusnahkan hidup yang telah kuberikan kepadanya. Kalau aku teringat kepada kekejian dan perbuatan jahatnya, kebencianku rasa mendidih. Nafsu ingin membalas dendam menggelegak dalam jiwaku. Aku bersedia naik ke puncak pegunungan Andes yang tertinggi, supaya aku bisa melemparkannya ke bawah. Aku ingin melihatnya lagi, supaya aku bisa meremukkan kepalanya untuk melampiaskan kebencianku dan menuntut bela atas kematian William dan Justine.
Rumah kami selalu diliputi mendung suasana berkabung. Kesehatan ayahku merosot dengan cepat karena kengerian peristiwa yang baru terjadi. Elizabeth selalu murung dan bersedih hati. Dia tidak lagi menjalankan tugasnya seharihari dengan penuh keriangan seperti sediakala. Dia menganggap kesenangan apa pun juga merupakan penghinaan kepada mereka yang sudah mati. Ya, Elizabeth beranggapan bahwa kesedihan dan air mata abadi merupakan penghargaan yang layak bagi mereka yang dibinasakan tanpa dosa. Elizabeth bukan lagi gadis periang seperti dulu, waktu kami berjalan-jalan di tepi danau dan membicarakan masa depan kami dengan gembira danpenuh semangat. Kesedihan sudah mulai singgah pada dirinya, dan pengaruhnya yang suram menghapuskan senyumannya yang paling manis.
Kalau kupikirkan, Victor, katanya, setelah kematian Justine Moritz yang menyedihkan, aku tidak bisa lagi melihat dunia beserta semua isinya seperti yang telah kulihat sebelumnya. Dulu aku mengenal kejahatan dan ketakadilan hanya dari ^ yang kubaca dalam buku, atau kudengar dari orang lain sebagai dongeng atau cerita khayal. Sekurang-kurangnya dulu semuanya terasa lebih jauh daripada kenyataan. Tapi sekarang setelah merasakan kesedihan, bagiku manusia kelihatan sebagai serigala yang ingin saling memakan sesamanya. Tapi tentu saja aku tidak jujur. Setiap orang percaya bahwa Justine bersalah. Dan kalau memang dia benar-benar melakukan tindak kejahatan yang menyebabkan dia sampai mengalami nasib de-^ mikian, berarti jelas dia makhluk yang paling hina di antara manusia lainnya. Hanya karena menginginkan perhiasan yang tidak seberapa, dia telah membunuh anak majikannya, anak yang diasuhnya sejak baru lahir dan kelihatan dicintainya seper i anak sendiri. Aku tidak pernah menyetujui pembunuhan kepada sesama manusia dengan alasan apa pun. Tapi tentu saja aku berpendapat bahwa manusia semacam itu tidak layak tetap berada di tengah masyarakat. Tapi Justine tidak bersalah! Aku tabu dan bisa merasakan bahwa dia tidak berdosa. Kau juga sependapat denganku, dan itu memperkuat pendapatku sendiri. Aduh" Victor, kalau kepalsuan bisa kelihatan begitu sama dengan kebenaran, siapa yang bisa yakin akan kebahagiaannya sendiri" Aku merasa seakan sedang berjalan di pinggir jurang, dan ribuan manusia sedang berusaha menjerumuskan diriku ke dalamnya. William dan Justine mati dibunuh, dan pembunuhnya lolos. Dia masih berkeliaran di muka bumi ini dengan bebas merdeka, mungkin bahkan dihormati sebagai orang terpandang. Tapi walau pun seandainya aku harus mati di tiang gantungan seperti Justine, aku tidak sudi bertukar tempat dengan iblis pembunuh ini.
Aku mendengarkan kata-kata Elizabeth dengan penderitaan yang tak terperi. Akulah pembunuh yang sebenarnya. Bukan karena perbuatan secara langsung, tapi karena akibat perbuatanku. Elizabeth melihat kesedihan pada air mukaku. Dengan kasih sayang dia memegang tanganku dan berkata:
Sahabatku tersayang, kau harus menenangkan dirimu. Peristiwa ini juga sangat berpengaruh terhadap dirimu. Hanya Tuhan saja mungkin yang tahu betapa dalam kesedihanku. Hatiku juga remuk seperti hatimu. Tapi wajahmu membayangkan putus asa, dan kadang-kadang keinginan membalas dendam yang membuatku menggigil. Victor sayang, buanglah jauh-jauh rasa dendammu. Ingatlah kepada semua sahabatmu, yang menggantungkan harapan kepadamu. Apakah kami sudah kehilangan kemampuan untuk memberikan kebahagiaan kepadamu" Ah! Selama kita masih saling mencinta, selama kita masih setia kepada satu sama lainnya, di negerimu yang tenteram dan indah permai ini kita masih akan bisa menuai berkat kedamaian. Apa yang akan menggangu ketenangan kita"
Dan tidak dapatkah kata-kata Elizabeth yang jauh lebih kuhargai daripada harta benda mengusir iblis yang bermukim dalam hatiku" Sementara dia berbicara aku semakin merapat kepadanya, seakan-akan aku merasa takut jangan-jangan iblis perusak merenggutkan diriku dari padanya saat itu juga.Tapi baik kelembutan persahabatan maupun keindahan dunia dan surga tidak bisa menebus sukmaku dari cengkeraman kesedihan. Bahkan rasa cinta sendiri tidak berdaya. Aku merasakan diriku tertutup mendung tebal yang tidak dapat ditembus oleh suatu apa pun. Diriku bagaikan rusa luka yang berjalan terseokseok menuju tempat persembunyian, untuk melihat anak panah yang menembus tubuhnya dan untuk menemui ajalnya.
Kadang-kadang aku bisa mengatasi kesedihan dan rasa putus asa yang menguasaiku. Tapi seringkali pula pusaran jiwaku mendorongku untuk mencari sarana yang bisa melepaskan diriku dari penderitaan yang tak tertahankan rasanya. Karena dorongan inilah maka aku meninggalkan rumahku. Aku pergi ke lembah pegunungan Alpen yang terdekat. Aku ingin melupakan kesedihanku di tengah alam yang serba hebat dan pemandangannya indah. Pengembaraanku kutu u k n ke arah lembah Chamounix. Sejak masih kanakkanak aku sudah sering pergi ke sana. Tapi aku tidak pemah mengunjunginya lagi sejak enam tahun yang terakhir ini. Kini aku sudah merupakan barang rongsokan. Sedangkan pegunungan dan alam yang masih liar ini tidak ada yang bisa mengubahnya.
Aku menempuh bagian pertama perjalananku dengan naik kuda. Selanjutnya aku menyewa seekor keledai. Di jalan yang berbatu-batu dan naik turun keledai lebih cocok karena lebih tahan. Cuaca sangat bagus. Kini dua bulan sudah berlalu sejak kematian Justine, peristiwa yang mengawali semua kesedihan yang menimpaku. Kini sudah sampai ke pertengahan bulan Agustus.
Beban yang memberati hatiku terasa makin ringan setelah makin dalam aku memasuki lembah Arve. Sisi-sisi gunung yang terjal mengelilingiku, dan terdengar aliran air sungai yang deras di antara batu-batu. Di sana-sini kelihatan air terjun dengan suaranya yang menggemuruh, seakan mengatakan bahwa masih ada kekuatan sangat besar seperti kekuatan Yang Mahakuasa. Aku lalu tidak merasa takut maupun gentar menghadapi apa saja yang tidak sekuat Sang Pencipta Alam Semesta.
Tapi setelah aku mendaki semakin tinggi baru kulihat bahwa lembah lebih hebat dan lebih menakjubkan. Di sisi-sisi tebing dan lereng gunung tampak runtuhanruntuhan kastil. Di sana-sini di lereng gunung Arve yang ditumbuhi pohon pinus tampak beberapa buah pondok di antara pepohonan. Semuanya membentuk pemandangan yang keindahannya sangat unik.
Walaupun demikian keindahan semua ini masih dikalahkan oleh pegunungan Alpen yang puncaknya menjulang tinggi di atasku. Puncak-puncaknya yang berbentuk limas dan kubah putih berkilat-kilat. Rasanya seakan pegunungan ini ada di alam lain, serta dihuni oleh makhluk lain pula.
Aku menyeberangi jembatan Pelissier. Di situlah jurang tempat sungai bermata air terbuka di hadapanku. Aku lalu mulai mendaki lereng gunung di sisi jurang ini. Tidak lama kemudian aku sudah memasuki lembah Chamounix. Lembah ini indah dan tenang, walaupun tidak seindah lembah Servox yang baru saja kulalui.
Pemandangan di semua arah dibatasi oleh pegunungan bersalju. Kini aku tidak lagi melihat runtuhan kastil maupun padang yang menghijau subur. Kulihat gleser yang sangat luas mengalir turun menuju ke jalan. Suaranya mengguruh, dan kulihat asap mengepul menandai tempat jatuhnya salju runtuh ini. Mont Blanc yang perkasa sudah kulihat menjulang tinggi di antara puncak-puncak lain yang bentuknya seperti menara. Kubahnya yang dahsyat tampak angker, tegak menghadapi lembah.Selama dalam perjalanan ini kenangan manis yang sudah lama dilupakan seringkali kembali kepadaku. Suatu tikungan jalan atau suatu obyek baru tiba-tiba kulihat dan kukenali kembali. Semua mengingatkanku kepada hari-hari yang sudah lama silam, yang berhubungan dengan kegembiraan di masa kanak-kanak.
Angin yang bertiup terasa membisikkan kata-kata hiburan yang menenangkan, dan Alam yang keibuan seakan membujukku agar aku tidak terus menangis. Kemudian lagi-lagi pengaruh yang baik ini kehilangan daya dan sekali lagi aku tercengkam kembali oleh kenangan yang menyedihkan.
Aku lalu memacu tungganganku. Dengan berbuat demikian aku berusaha melupakan dunia, ketakutanku, dan lebih dari segala-galanya, diriku sendiri. Pada kesempatan lain, kalau kesedihan begitu kuatnya menguasai batiku, aku turun dan melemparkan tubuhku sendiri ke atas rumput. Aku menelungkup dan menangis sejadi-jadinya, tidak tahan menahan beban kesedihan dan putus asa. Akhirnya aku sampai ke desa Chamounix. Kelelahan jasmani dan rohani serasa menghabiskan semua tenagaku. Beberapa waktu lamanya aku berdiri di muka jendela. Aku melihat kilat yang memancar di puncak Mont Banc dan mendengarkan desauan air sungai Arve yang dengan deras mengalir ke bawah. Semua suara yang kudengar terasa menghimbau inderaku yang sangat perasa. Setelah aku meletakkan kepalaku di atas bantal, rasa kantuk segera menyerangku. Aku terlelap tidur, dan dalam sekejap semuanya terlupakan olehku.
Bab 10 KEESOKAN harinya aku mengisi waktuku dengan mengembara di lembah. Aku berdiri dekat mata air sungai Arveiron, yang menggelegak ke luar dari tanah dan mengalir turun ke lembahDi depanku kulihat lereng gunung yang hampir tegak lurus, sangat terjal. Dinding salju kelihatan menggantung di atasku.
Satu dua batang pinus kulihat tersebar di sekitarku. Kesunyian di tengah alam yang serba hebat ini sesekali hanya dipecahkan oleh bunyi bongkahan es yang berguling-guling atau jatuh terhempas. Kadang-kadang dinding es atau lapisan salju runtuh, menimbulkan bunyi bergemuruh dan menggetarkan tanah yang kuinjak.
Pemandangan alam yang menakjubkan di sekelilingku memberikan pengaruh yang menenangkan atas diriku. Kesedihanku masih belum terhapus karenanya, tapi rasa kedamaian menenteramkan pikiranku. Sedikit demi sedikit bahkan suasana di sekitarku mulai mengalihkan pikiranku dari hal-hal yang membuatku murung selama sebulan yang terakhir ini.
Di waktu malam aku beristirahat untuk memulihkan tenagaku. Tidurku juga tenang, terpengaruh oleh ketenangan yang kusaksikan pada siang harinya. Semua seakan bersatu untuk meneriangkan pikiranku: puncak gunung bersalju yang putih bersih, menara es yang berkilat-kilat, pohon-pohon pinus, jurang batu karang yang tandus, serta burung elang yang membubung tinggi di antara awan berarak. Semua berkumpul untuk membujukku agar hatiku tenteram kembali. Tapi ke mana larinya semua ini waktu aku bangun tidur keesokan harinya" Semua yang menenangkan jiwaku lenyap bersama lenyapnya rasa kantuk. Kini pikiranku kembali digelapkan oleh awan kesedihan.
Hujan turun dengan lebatnya, dan kabut yang sangat tebal menyembunyikan puncak gunung dari penglihatanku. Aku tidak lagi bisa melihat wajah-wajah alam yang ramah, yang selama ini sudah menjadi sahabatku. Tapi aku akan berusaha menembus cadar kabut ini, serta mencari mereka yang kini bersembunyi di balik awan.
Apa artinya hujan dan badai bagiku" Aku menyiapkan keledaiku, dan aku bermaksud mendaki puncak Montanvert. Aku masih ingat kepada pengaruh yang diberikan oleh lapangan ea yang selalu bergerak ini kepada pikiranku, waktu pertama kali aku melihatnya. Waku itu pikiranku terisi oleh kepuasan yang tak ada taranya. Jiwaku seakan diberi sayap yang memungkinkannya bisa membubung tinggi ke dunia lain yang penuh cahaya dan sukacita. Pemandangan alam yang hebat bisa
Menenangkan perasaanku, serta membuatku bisa melupakan kesedihan yang baru kualami. Aku bermaksud pergi seorang diri tanpa penunjuk jalan. Aku sudah kenal baik dengan semua jalan dan lorong, dan kehadiran orang lain kuanggap hanya akan merusakkan ketenangan alam yang agung. Pendakian yang kujalani sangat curam. Tapi jalan setapak yang kulalui sudah dibuat berkelok-kelok, yang memudahkan pendakian sampai ke I puncak gunung. Di mana-mana tampak ribuan bekas runtuhan dinding es di musim dingin. Di beberapa tempat bekas ini ditandai oleh kayu-kayu roboh ke tanah. Beberapa batang kayu bahkan ada yang hancur sama sekali. Lainnya ada yang hanya condong menyandar pada batu karang atau pada batang pohon lainnya. Semakin tinggi aku mendaki, kulihat jalan setapak seringkali terpotong oleh alur bekas aliran salju atau rusak oleh batu yang selalu jatuh berguling-guling ke bawah. Di salah satu tempat bahkan ada jalan yang sangat berbahaya. Di situ suara keras sedikit saja akan cukup untuk menggetarkan udara sehingga menyebabkan bungkah-bungkah es runtuh menimpa orang yang berjalan di bawahnya.
Mereka Datang Ke Baghdad 1 Pendekar Bodoh 9 Sengketa Ahli Sihir Gadis Buronan 1
Setiap malam aku merasa terganggu oleh demam, serta urat syarafku menjadi terganggu sampai terasa sangat menyakitkan. Suara daun jatuh sudah cukup untuk membuatku terkejut, dan aku menghindari manusia sesamaku seakanakan aku bersalah melakukan suatu tindak kejahatan.
Kadang-kadang aku merasa ngeri memikirkan kondisi badanku yang sangat rusak. Kini hidupku semata-mata hanya terdorong oleh energi untuk mencapai tujuanku. Kerjaku akan segera berakhir, dan aku yakin kelak olahraga dan bersenang-senang akan berhasil mengusir penyakit yang mulai menjangkiti tubuhku. Aku berjanji kepada diriku sendiri akan segera melakukan kedua hal ini, setelah kerjaku selesai.
Bab 5 BARU pada suatu malam di bulan Nopember yang suram mulai kulihat bahwa jerih payahku akan mendapatkan hasil. Dengan kegelisahan yang hampir terasa sebagai penderitaan, aku mengumpulkan perkakas pembangkit hidup. Aku akan menghidupkan benda mati yang terbujur di muka kakiku.
Waktu itu sudah jam satu malam. Hujan yang sendu mendera daun jendela, dan lilinku sudah hampir habis terbakar. Dalam cahaya remang-remang lilin yang hampir padam, aku bisa melihat mata makhluk ini yang berwarna kuning suram mulai terbuka. Dia bernafas tersengal-sengal, dan anggota badannya bergerak berkejut-kejut dengan keras.
Bagaimana aku bisa melukiskan perasaanku me n ak skan semua ini" Sedangkan aku tidak bisa menggambarkan dengan tepat rupa makhluk yang kubuat dengan susah-payah. Anggota badannya kubuat selaras, dan mukanya juga kubuat secantik mungkin. Cantik! Ya Tuhan! Kulitnya yang kuning hampir-hampir tidak bisa menyembunyikan jaringan otot dan pembuluh darah di bawahnya. Rambutnya sehitam beledu, panjang dan lebat. Giginya seputih mutiara. Tapi semua keindahan ini menjadi semakin mengerikan karena kontras dengan matanya yang berkaca-kaca. Matanya ini hampir sewarna dengan lekuk mata tempat memasangkannya. Mukanya berkeriput, dan bibirnya yang lurus berwarna hitam.
Peristiwa dalam kehidupan yang berbeda-beda tidak sedemikian berubah-ubah seperti perasaan manusia. Aku telah bekerja keras hampir selama dua tahun, dengan tujuan utama membangkitkan hidup dalam tubuh yang tidak bernyawa. Untuk tujuan ini aku membanting tulang tanpa mengenal istirahat, serta mengabaikan kesehatanku sendiri. Aku menginginkannya dengan hasrat menyala-nyala. Tapi kini setelah selesai, keindahan impianku sudah lenyap sama sekali. Kini hatiku terisi dengan kengerian yang menyesakkan nafas serta rasa jijik.
Tidak tahan lagi melihat makhluk ciptaanku, aku menghambur ke luar ruangan dan terus masuk ke kamar tidurku. Dalam kamar aku lama sekali berjalan mondar-mandir, tidak bisa memaksa diriku untuk tidur. Akhirnya rasa kantuk pun tiba, dan aku menghempaskan tubuhku di atas tempat tidur dalam pakaian lengkap. Aku ingin sekali melupakan segala-galanya selama beberapa menit. Namun usahaku sia-sia. Aku memang bisa tidur, tapi aku diganggu oleh mimpi yang paling buruk. Dalam mimpi aku melihat Elizabeth, sehat dan cantik berseri-seri, sedang berjalan di Ingolstadt. Terkejut dan merasa gembira, aku memeluknya. Tapi waktu aku akan menciumnya, bibirnya menjadi pucat seperti bibir mayat. Mukanya berubah dan aku merasa seakan sedang memeluk ibuku yang sudah mati. Tubuhnya terbungkus dalam kain kafan, dan kulihat cacing kuburan merayap-rayap dalam lipatan kain.
Aku tersentak bangun dari mimpiku dengan rasa ngeri. Keringat dingin membasahi dahiku, gigiku gemeletuk, dan sekujur badanku gemetar. Dalam sinar bulan yang masuk melalui jendela, aku melihat makhluk ini makhluk buruk ciptaanku. Dia berdiri di mukaku, tangannya mengangkat tirai tempat tidur. Matanya kalau itu bisa disebut mata menatap diriku. Kemudian rahangnya terbuka, dan dia mengeluarkan suara yang tidak ada artinya. Sementara itu senyumannya menyebabkan pipinya berkerut-kerut. Mungkin dia mengucapkan sesuatu, tapi aku tidak mendengar. Dia mengulurkan tangan kepadaku, rupanya untuk menahanku. Tapi aku meloloskan diri dan lari menuruni tangga.
Aku melarikan diri ke halaman di muka rumah yang kudiami. Sepanjang malam aku berjalan mondar-mandir di situ dengan pikiran gelisah luar biasa. Aku selalu memasang telinga sebaik-baiknya, tidak melewatkan setiap Suara yang terdengar. Aku selalu waspada terhadap suara yang mungkin akan memberitahukan kedatangan mayat keranjingan setan yang telah kuhidupkan. Oh! Takkan ada manusia yang tidak ngeri melihat rupa makhluk ini. Mumi yang hidup kembali rupanya tidak mungkin lebih menyeramkan daripada makhluk yang telah kuciptakan ini. Sebelum pembuatannya selesai aku pernah mengamat amatinya. Waktu itu rupanya juga sudah buruk. Tapi setelah semua otot dan persendiannya bisa bergerak-gerak, bahkan Dante sekalipun takkan bisa mengkhayalkan makhluk semacam itu.
Malam itu kulewati dengan penderitaan yang tak ada taranya. Kadang-kadang urat nadiku berdenyut sedemikian cepat dan kerasnya, sehingga aku dapat merasakan getaran semua pembuluh darah lainnya. Pada saat lainnya aku hampir tersungkur ke tanah karena kelelahan dan kelemahan yang luar biasa. Berpadu dengan rasa ngeri ini, aku juga merasakan kekecewaan yang sangat pahit. Implan yang sedemikian lamanya mencekam diriku sehingga lupa makan dan istirahat, kini berbal i k menjadi neraka bagiku. Perubahan ini begitu cepat, dan kehancuran yang kurasakan begitu sempurna!
Akhirnya pagi yang basah dan sendu pun tiba. Dengan mata yang sakit karena kurang tidur, aku melihat ke arah gereja Ingulstadt. Kupandangi menaranya yang putih, dan jam di puncaknya menunjukkan waktu pukul enam pagi. Pelayan membuka pintu gerbang halaman, yang semalaman merupakan kurungan bagiku. Begitu pintu gerbang terbuka, aku langsung keluar ke jalan. Aku berjalan dengan langkah cepat, seakan-akan takut jangan-jangan makhluk yang mengerikan ini akan muncul setiap kalf aku melalui tikungan jalan. Aku tidak berani kembali ke apar temen yang kudiami. Aku hanya ingin berjalan terus dengan tergesa-gesa, walaupun hujan lebat yang turun dari langit hitam membuat tubuhku basah kuyup.
Aku terus berjalan seperti ini beberapa waktu lamanya. Dalam hati aku berharap wemoga tenaga jasmani yang kukeluarkan bisa meringankan beban yang memberati pikiranku. Aku menjelajahi jalan-jalan dalam kota Ingolstadt tanpa kesadaran yang pasti tentang di mana aku beTada, atau apa yang sedang kulakukan. Jantungku berdebar-debar karena takut, dan aku berjalan terus dengan langkah tetap serta tidak berani menoleh.
Akhirnya aku sampai ke muka sebuah penginapan yang biasanya merupakan tempat perhentian kereta. Di situ aku berhenti, tidak tahu apa sebabnya. Aku berdiri selama beberapa menit memperhatikan kereta yang sedang mendekatiku dari ujung jalan.
Waktu kereta semakin dekat, aku melihat bahwa kereta ini sebuah kereta Swiss. Kereta berhenti tepat dekat tempatku berdiri. Pintunya terbuka, dan kulihat Henry Clerval turun dari kereta.
Demi melihatku, Clerval terus menghambur ke arahku.
Sahabatku Frankenstein yang baik, serunya, alangkah gembiranya aku melihatmu! Ah, sungguh mujur sekali kau kebetulan ada di sini 9 tepat pada saat aku turun dari kereta!
Tak ada yang bisa menyamai kegembiraanku demi aku melihat Clerval. Kedatangannya mengingatkanku kembali kepada ayahku, Elizabeth, serta suasana di rumah yang merupakan kenangan ma n is bagiku. Aku menjabat tangannya, dan sesaat aku melupakan kengerian serta kemalanganku. Tiba-tiba, untuk pertama kalinya selama berbulan-bulan, aku merasa gembira dan tenteram. Aku mengucapkan selamat datang kepada sahabatku dengan sikap sangat ramah. Kemudian kami berjalan bersama menuju ke perguruan tinggi.
Beberapa waktu lamanya Clerval terus berbicara tentang persahabatan kami, serta kemujurannya di ijinkan pergi ke Ingolstadt.
Kau bisa membayangkan dengan mudah, katanya, betapa sulitnya membujuk ayahku agar merasa yakin bahwa semua ilmu yang ada di dunia T belum terkandung dalam seni tata buku yang mulia. Aku yakin bahwa setelah aku meninggalkannya, dia masih belum mau percaya Dia selalu menjawab permintaanku yang terus-menerus kuajukan dengan kata-kata seperti yang diucapkan oleh kepala sekolah Belanda dalam buku Pendeta dari Wakefield:fAku mendapat sepuluh ribu gulden setahun tanpa belajar bahasa Yunani, dan aku makan kenyang tanpa bahasa Yunani. Tapi akhirnya kasih sayangnya kepadaku mengalahkan kebenciannya kepada sekolah. Dia lalu mengijinkanku pergi untuk menuntut ilmu.
Aku gembira sekali melihatmu. Tapi ceritakan kepadaku bagaimana keadaan ayahku, adik-adikku dan Elizabeth waktu kautinggalkan.
Keadaan mereka baik-baik saja, dan mereka sangat bahagia. Mereka hanya merasa sedikit gelisah karena kau sangat jarang mengirim kabar. Memang aku sendiri ingin memberi nasihat kepadamu berkenaan dengan keadaan mereka. Tapi, Sahabatku Frankenstein yang baik, sambungnya, tapi kalimatnya terputus demi melihat langsung ke mukaku, aku tidak memperhatikan sebelumnya bahwa kau kelihatan begitu menyedihkan. Kau begitu kurus dan pucat. Kelihatannya seperti kau habis bergadang selama beberapa malam berturut-turut.
Dugaanmu benar. Akhir-akhir ini aku terlibat dengan satu pekerjaan yang tidak memungkinkanku mendapat istirahat cukup, seperti yang telah kausaksikan sendiri. Tapi kuharap, kuharap benar-benar, setelah pekerjaanku selesai akhirnya sekarang aku bebas.
Tubuhku menggigil. Aku tidak tahan memikirkannya, apalagi menceritakan apa yang telah terjadi semalam. Aku mempercepat langkahku, dan akhirnya kami sampai ke gedung perguruan tinggi tempatku menuntut pelajaran. Waktu itu aku berpikir bahwa makhluk yang kutinggalkan di apartemenku mungkin masih ada di sana. Pikiran ini membuatku gemetar. Ya, dia masih ada di sana, hidup dan berkeliaran ke mana mana. Aku sangat takut untuk melihat makhluk ini lagi. Tapi aku lebih merasa ngeri memikirkan jangan-jangan Clerval akan melihatnya.
Maka kusuruh Clerval menunggu selama beberapa menit di bawah tangga, sementara aku lari naik ke kamarku. Tanganku sudah memegang tombol pintu waktu aku sadar akan diriku sendiri. Sejenak aku mematung, dan tubuhku menggigil bermandi keringat dingin.
Pintu kubuka dengan keras, seperti anak-anak yang mengira akan melibat setan di balik pintu. Tapi tak ada suatu apa pun yang muncul. Dengan takut-takut aku melangkah masuk. Apartemenku kosong, demikian juga kamar tidurku tidak lagi didiami tamu yang menyeramkan ini. Aku hampir-hampir tidak percaya sebesar itu kemujuranku. Kini aku yakin bahwa musuhku benar-benar sudah pergi. Maka aku bertepuk tangan dengan gembira, terus lari turun menemui Clerval.
Kami naik tangga bersama-sama ke kamarku, dan pelayan segera mengantarkan hidangan makan pagi. Tapi aku masih belum bisa menenangkan diriku. Aku bukan hanya merasa gembira. Aku merasakan kulitku merinding karena terlalu perasa, serta jantungku berdebar-debar. Aku tidak bisa tetap tenang tinggal di satu tempat. Aku melompat berpindah-pindah dari kursi yang satu ke kursi lainnya, bertepuk tangan dan tertawa keras-keras.
Mula-mula Clerval mengira sikapku yang aneh karena kegembiraan bertemu dengan dia. Tapi kemudian dia melihat kepadaku dengan pandangan yang lebih cermat. Dilihatnya mataku memancarkan sorot keliaran seperti yang belum pernah dilihatnya. S,uara tertawaku yang keras tak terkendalikan membuatnya merasa heran dan takuti
Sahabatku Victor yang baik, serunya, demi Tuhan, ada apa" Jangan tertawa seperti itu. Kau kulihat menderita sakiti Apa yang menyebabkan semua ini" Jangan bertanya kepadaku, tangisku. Aku menutup mataku dengan kedua, hajah tangan, sebab aku merasa seperti makhluk yang menyeramkan ini masuk ke dalam kamar. Aduh, tolonglah aku! Tolonglah aku! Aku membayangkan makhluk buruk ini menangkapku. Aku berontak sekuat tenaga, dan akhirnya aku tersungkur ke lantai tidak sadarkan diri.
Sungguh kasihan sahabatku Clerval! Bagaimana gerangan perasaannya" Pertemuan yang sangat menggembirakannya dengan cara yang aneh sekali sudah berubah menjadi kepahitan. Tapi aku tidak bisa menyaksikan kesedihannya. Aku sendiri sedang tidak sadarkan diri, dan lama sekali belum juga aku siuman.
Inilah awal dari demam kegelisahan yang menjangkiti diriku, serta mengganggu kesehatanku selama beberapa bulan. Selama itu aku hanya dirawat oleh sahabatku Clerval. Di kemudian hari barulah aku tahu bahwa Clerval tidak memberitahukan keadaanku kepada ayah dan Elizabeth. Dia tahu benar bagaimana sedihnya mereka kalau tahu keadaanku. Ayah sudah tua, dan kondisi badannya kurang memungkinkan untuk menempuh perjalanan yang begitu jauh.
Clerval juga tahu bahwa aku takkan bisa mendapatkan perawat yang lebih baik dan lebih tekun merawatku daripada dirinya sendiri. Harapannya sangat teguh bahwa kesehatanku akan pulih kembali. Maka perbuatannya mencegah keluargaku mengetahui keadaanku dianggapnya tindakan yang sebaik-baiknya bagi mereka.
Tapi sakitku benar-benar sangat payah. Kalau bukan karena perawatan sahabatku ini, mungkin aku takkan bisa tertolong. Rupa makhluk yang telah kuhidupkan selalu terbayang di pelupuk mataku, dan mulutku tak berhentihentinya mengoceh tentang makhluk ini .Tentu saja kata-kataku membuat Clerval sangat heran. Mula-mula dia yakin bahwa ocehanku hanyalah igauan karena pikiran kacau. Tapi aku selalu menyebut-nyebut persoalan yang sama. Karenanya maka dia lalu menarik kesimpulan, bahwa kekacauan pikiranku memang disebabkan oleh peristiwa yang luar biasa dan mengerikan. Akhirnya aku sembuh juga. Tapi kepulihanku makan waktu yang lama sekali. Kadangkala keadaanku kembali memburuk dengan tiba-tiba, sehingga sahabatku merasa sangat cemas. Aku masih ingat dengan saat pertama aku bisa melihat suatu benda dengan perasaan gembira. Waktu itu aku melihat daundaun mati yang berguguran telah lenyap, dan tunas baru mulai bermunculan pada batang-batang pohon di muka jendela kamarku.
Waktu itu sudah musim semi kembali, dan keindahan alam sekitarku sangat berpengaruh terhadap kepulihan kesehatanku. Aku juga sudah bisa merasakan kegembiraan dan kasih sayang mulai hidup kembali dalam dadaku. Kesedihanku sudah musnah. Dan dalam jangka waktu yang singkat aku kembali menjadi orang yang periang. Sifat-sifatku kembali seperti dulu lagi, sebelum aku terserang oleh nafsu yang akibatnya sangat mengerikan. Sahabatku Clerval yang baik, kataku pada suatu hari, kau sungguh baik sekali kepadaku. Sepanjang musim dingin ini bukannya tekun belajar seperti tujuanmu, tapi kau bahkan tekun merawat diriku. Bagaimana aku akan bisa membalas budimu" Aku sangat menyesal telah banyak men e cewakanmu. Tapi aku tahu kau pasti akan memaafkanku.
Kau akan bisa membalas semua kebaikanku dengan cara berusaha pulih kembali secepat mungkin, serta tidak merusuhkan dirimu lagi. Dan kini kulihat hatimu sudah kembali gembira seperti sediakala. Aku boleh mengajukan pertanyaan tentang satu hal saja, bukan"
Aku gemetar. Satu hal saja! Apakah gerangan yang akan ditanyakannya" Mungkinkah dia akan menanyakan satu hal yang bahkan memikirkannya saja aku tidak berani"
Tenanglah, kata Clerval yang melihat perubahan warna pada wajahku. Aku tidak akan menyebutkannya kalau itu membuat pikiranmu kalut! Tapi ayah dan saudara sepupumu akan merasa berbahagia kalau mereka menerima surat dengan tulisan tanganmu sendiri. Mereka tidak tahu bahwa kau menderita sakit payah, dan mereka merasa gelisah karena kau lama sekali tidak mengirim kabar.
Hanya itu yang akan kau tanyakan, Henry ku yang baik" Bagaimana kau bisa menduga bahwa pikiranku yang pertama tidak tertuju kepada semua orang yang kucintai, dan patut menerima kasih sayangku"
Kalau memang demikian, Sahabatku, mungkin kau akan merasa gembira melihat surat ini. Surat ini sudah beberapa hari tergeletak di sini, menunggu untuk kaubaca. Aku yakin ini surat dari saudara sepupumu. Bab 6
Clerval lalu menyerahkan sepucuk surat kepadaku. Surat ternyata dari Elizabeth-ku:
Saudara sepupuku yang tercinta, Kau telah menderita sakit yang sangat payah. Bahkan surat dari sahabat kitaHenryyang baik masih belum cukup untuk meyakinkan diriku tentang keadaanmu. Kau belum boleh menulis belum boleh memegang pena. Tapi sepatab kata saja dari kau, Victor-ku sayang, sudah cukup untuk menenangkan kecemasan kami. Lama sekali aku mengharapkan setiap pos datang akan membawa sepatah kata yang kutunggu-tunggu darimu. Untunglah aku berhasil membujuk pamanku sehingga dia mengurungkan rencana perjalanan ke Ingolstadt.
Aku mencegahnya melakukan perjalanan jauh yang sangat melelahkan, dan mungkin penuh bahaya. Tapi aku juga seringkali merasa menyesal karena aku sendiri tidak bisa melakukannya! Aku membayangkan yang merawatmu pasti seorang tua mata duitan. Dia pasti takkan bisa menebak apa yang kauinginkan, dan tidak bisa merawatmu dengan tekun serta penuh kasih sayang seperti saudara sepupumu ini. Untunglah itu semua sekarang sudah lewat. Clerval dalam suratnya mengatakan bahwa kau sudah berangsur baik. Aku berharap dengan sangat kau segera menguatkan keterangannya dengan tulisan tanganmu sendiri.
Semoga kau lekas sembuh dan kembali kepada kami. Kau akan kembali ke rumah yang penuh kegembiraan dan kebahagiaan, serta para sahabat yang mencintaimu dengan setulus hati. Ayahmu sehat wal afiat. Dia selalu menyatakan ingin bertemu denganmu, hanya untuk meyakinkan bahwa kau tidak kurang suatu apa. Dan wajahnya yang ramah takkan tertutup lagi oleh mendung kekhawatiran.
Kau pasti akan gembira mendengar perkembangan adik kitaErnest!Sekarang dia sudah berumur enam belas tahun, penuh kegiatan dan semangat. Dia sangat ingin menjadi putera Swiss se jati, dan mendapat tugas di luar negeri. Tapi kami tidak bisa berpisah dengan dia, setidak-tidaknya sebelum kakaknya pulang ke tengah-tengah kami.
Pamanku tidak menyukai keinginannya menjadi tentara dan dikirim ke negeri yang jauh, tapi dia tidak memiliki bakat seperti yang kaupunyai. Dia menganggap belajar sebagai tugas yang sangat berat, sebagai belenggu yang sangat dibencinya. Waktu-waktunya dihabiskan di udara terbuka; mendaki bukit, atau mendayung di danau. Aku khawatir dia akan menjadi penganggurTkecuali kalau dia kami ijinkan memasuki pekerjaan yang telah dipilihnya.
Sejak kau pergi meninggalkan kami, keadaan di rumah tidak banyak mengalami perubahan kecuali pertumbuhan adik-adik kita yang tercinta. Danau yang biru dan gunung yang tertutup salju semua tidak berubah. Kurasa keadaan di rumah yang tenang dan hati kami yang tenteram tetap diatur oleh hukum yang tidak berubah pula Aku mengisi waktuku dengan melakukan tugas sehari-hari yang sangat menyenangkan. Aku merasa sudah mendapat imbalan lebih dari cukup dengan melihat wajah-wajah bahagia dan manis di sekelilingku. Sejak kau meninggalkan kami, di dalam rumah hanya terjadi satu peruhahan. Ingatkah kau bilamana JustineMoritz mulai masuk menjadi anggota keluarga kami" Mungkin kau tidak ingat. Baiklah aku akan menceritakan riwayatnya secara singkat.MadameMoritz, ibunya, adalah seorang janda dengan anak empat orang.Justineanaknya yang ketiga. Gadis ini menjadi kesayangan ayahnya. Tapi entah mengapa, dia di-benci oleh ibunya. Setelah M. Moritz meninggal dunia, gadis ini diperlakukan dengan cara yang sangat buruk oleh ibunya.
Bibiku melihat kenyataan ini. Maka setelahJustineberumur dua belas tahun, bibiku berhasil meminta kepada ibunyaagar Justinetinggal di rumah kita. Adat kebiasaan di negeri kita yang lebih bersifat kerakyatan menyebabkan penduduknya bersifat lebih bersahaja dan lebih berbahagia daripada di dalam beberapa kerajaan besar yang mengelilinginya. Di sini perbedaan kelas antara sesama warga negara tidak terlalu menyolok. Orang-orang yang kelasnya lebih rendah tidak terlalu miskin atau terlalu dibenci, dan sikap maupun akhlak mereka lebih baik. Seorang pelayan di Jenewa nasib atau derajatnya tidak seperti pelayan di Perancis atau di Inggris.
Setelah diterima dalam keluarga kita,Justinemulai mempelajari tugasnya sebagai seorang pelayan. Untunglah di negeri kita seorang pelayan tidak perlu mengorbankan harga dirinya sebagai manusia.
Kau pasti masih ingat, Justinepelayan yang paling kausukai. Aku masih ingat kau pernah berkata, kalau kau merasa sedih, dengan melihat kepadaJustinesaja sudah cukup untuk mengusir kesedihanmu. Sama saja dengan pandangan Ariosto terhadap kecantikanAngelica wajahnya memancarkan keterusterangan dan kebahagiaan. Bibiku juga sangat menyayanginya. Justine diberinya pendidikan yang lebih tinggi daripada yang pernah diterimanya. Budi baiknya ini segera mendapat balasan sepenuhnya.Justinemenjadi orang yang paling berterima kasih di seluruh dunia. Dia memang tidak pernah menyatakannya. Tapi hanya dengan melihat ke matanya saja orang akan tahu bahwa dia hampir-hampir memuja bibiku, yang menjadi pelindungnya. Justine punya sifat periang, dan dalam beberapa hal bersikap tidak pedulian. Walaupun demikian dia sangat memperhatikan setiap gerak dan isyarat bibiku. Dia menganggap bibiku sebagai contoh segala hal yang baik. Dia berusaha meniru sikap dan budi bahasa hibiku. Bahkan sampai sekarang gerak-geriknya mengingatkanku kepada bibiku.
Waktu bibiku yang tercinta meninggal dunia, semua orang tenggelam dalam kesedihan masing-masing. Tak ada seorang pun yang memperhatika.n Justine yang malang ini. Padahal selama bibiku menderita sakit, dialah yang merawatnya dengan penuh kasih sayang dan ketekunan yang tak ada bandingannya. Justine yang malang ini lalu jatuh sakit, tapi masih ada cobaan hidup yang lebih besar baginya.
Satu demi satu semua saudaraJustinemeninggal. Ibunya tidak punya anak lagi, kecualiJustineyang selama ini diabaikannya. Ketenteraman pikiran wanita ini merasa terganggu. Dia mulai ber pikir bahwa kematian anak-anak yang disayanginya merupakan hukuman dari Yang Mahakuasa. Janda ini beragama Katolik. Aku yakin pastur yang menerima pengakuan dosanya menguatkan apa yang terpikir olehnya. Maka beberapa bulan setelah kau berangkat keIngolstadt, Justinedipanggil pulang oleh ibunya yang sudah bertobat. KasihanJustine,sungguh malang nasibnya! Dia menangis waktu meninggalkan rumah kita. Dia sudah banyak berubah sejak kematian bibiku. Kesedihan sudah mengubah sifatnya yang periang menjadi pendiam dan pemurung. Kegembiraannya tidak pulih dengan kepindahannya ke rumah ibunya sendiri. Sedangkan ibunya, dalam penyesalannya dia memiliki pendirian yang berubahubah. Kadang-kadang dia memohon kepadaJustineagar mau memaafkan sikapnya yang buruk. Tapi lebih sering lagi dia menuduh,Justinesebagai penyebab kematian saudara-saudaranya.
Kerusuhan hati yang terus-menerus akhirnya menyebabkan kemunduran kesehatanMadameMoritz. Mula-mula hal ini semakin meningkatkan kekesalannya, tapi sekarang dia sudah menemukan kedamaian abadi. Dia meninggal pada awal musim dingin yang lalu, waktu cuaca mulai menjadi dingin.
Justine kembali ke rumah kita. Percayalah, aku juga sangat menyayanginya. Dia sangat pintar, lemah lembut dan cantik sekali. Seperti telah kukatakan tadi, gerak-gerik dan tutur katanya selalu mengingatkanku kepada bibiku yang tercinta.
Saudara sepupuku yang baik, aku juga harus menuliskan sepatah dua patah kata tentang si kecilWilliamyang manis. Ingin sekali aku sekarang kau bisa melihatnya. Untuk usianya, dia sudah sangat tinggi. Matanya yang biru selalu memancarkan senyum manis. Bulu matanya hitam dan rambutnya keriting. Kalau tersenyum selalu kelihatan sepasang lesung pipit pada pipinya yang kemerahan karena sehat. Dia sudah punya satu atau duaisterikecil. Tapi yang paling disayanginyaLouisaBirn gadis cilik cantik berumur lima tahun. Nah,Victorsayang, kurasa kau juga akan senang mendengar sedikit gunjingan tentang warga kota Jenewa yang baik.Miss Mansfieldyang cantik tidak lama lagi akan menikah dengan seorang pemuda Inggris bernamaJohn Melbourne.Kakaknya yang jelek, Manon, pada musim gugur yang lalu kawin dengan M. Duvillard, seorang bankir kaya. Teman sekolah
kesayanganmu,LouisManoir, telah tertimpa beberapa kemalangan sejak kepergian Clerval dari Jenewa. Tapi kini semangatnya sudah pulih kembali. Kabarnya dia akan segera kawin dengan seorang wanita Perancis yang sangat cantik,MadameTavernir. Dia seorang janda yang usianya jauh lebih tua daripada Manoir. Tapi dia sangat dikagumi dan disayangi semua orang. Aku telah menulis surat ini dengan perasaan yang lebih gembira, saudara sepupuku yang tercinta. Tapi kekhawatiranku kembali saat aku akan mengakhiri suratku ini. Tulislah surat kepada kami,Victortersayang! Satu baris saja bahkan sepatah kata saja sudah cukup untuk membesarkan hati kami.
Beribu teruna kasih kepada sahabat kitaHenryuntuk kebaikannya, kasih sayangnya kepada kita semua, serta surat-suratnya. Kami benar-benar merasa berterima kasih kepadanya. Selamat berpisah! Saudara sepupuku, baik-baik menjaga dirimu sendiri. Dan sekali lagi pesanku, tulislah surat kepada kami! Jenewa, 18Maret.17
Elizabeth Lavenza Elizabeth-ku sayang! kataku setelah membaca suratnya. Aku akan menulis surat kepadanya sekarang juga. Aku ingin segera membebaskan mereka dari kekhawatiran yang mereka rasakan.
Aku menulis surat, dan tenaga yang kukeluarkan sangat melelahkanku. Tapi kesehatanku sudah mulai pulih, dan aku terus memperoleh kemajuan dengan tetap. Dua minggu kemudian aku sudah bisa meninggalkan kamarku. Setelah aku sembuh benar-benar, salah satu tugasku yang pertama ialah memperkenalkan Clerval kepada beberapa guru besar di universitas Ingolstadt. Dalam melakukan tugas ini kurasakan luka lamaku akan kambuh lagi. Ya, sejak malam yang naas dulu, waktu pekerjaanku berakhir dan merupakan awal kemalangan ku, aku merasakan kebencian yang luar biasa kepada ilmu pengetahuan alam. Bahkan hanya mendengar namanya saja rasanya aku sudah tidak sudi.
Waktu kesehatanku sudah pulih kembali, hanya melihat alat kimia saja gangguan syarafku mulai terasa menyakitkan kembali. Clerval bisa memahami perasaanku, dan dia menyingkirkan semua perkakas kimia milikku supaya tidak kulihat lagi. Dia juga mengusahakan supaya aku pindah ke apartemen lain. Dia tahu bahwa aku tidak menyukai kamar yang dulu kugunakan sebagai laboratorium.
Tapi semua usaha Clerval ini tidak ada gunanya setelah aku mengunjungi para profesor. M. Waldman menyiksa hatiku dengan pujiannya yang keluar dari hati sanubari, atas kemajuan menakjubkan yang telah kucapai di bidang ilmu pengetahuan. Tapi dia segera mengetahui bahwa aku tidak menyukai bahan percakapan ini. Dia tidak mengetahui alasan sebenarnya, hanya mengira bahwa aku memiliki kerendahan hati. Lalu dia mengalihkan pembicaraan dari kemajuanku ke kemajuan ilmu pengetahuan sendiri. Rupanya dia bermaksud ingin memancingku agar mau memaparkan kemajuanku sendiri. Apa yang dapat kulakukan" Dia bermaksud me-nyenangkanku, tapi akibatnya bahkan menyiksaku. Aku merasa seakan dia dengan hati-hati meletakkan alatalat kimiaku satu per satu di mukaku. Kemudian alat-alat ini digunakannya untuk membunuhku secara perlahan-lahan, dengan penuh kekejaman. Aku menggeliat-geliat kesakitan di bawah kata-katanya, tapi tidak berani memperlihatkan rasa sakitku.
Clerval dengan cepat melihat penderitaanku. Dia lalu berusaha mengalihkan bahan percakapan, dengan dalih bahwa dia sama sekali tidak mampu mengikutinya. Lalu percakapan pun beralih ke soal-soal yang bersifat umum. Dengan setulus hati aku merasa berterima kasih kepada sahabatku, tapi aku tidak mengatakan apa-apa.
Kulihat dengan jelas M. Waldman keheranan, tapi dia tidak lagi berusaha memancing rahasiaku. Aku memang menyayanginya serta sangat menghormatinya. Walaupun demikian aku takkan mau menceritakan kepadanya peristiwa yang masih sering terbayang kembali olehku. Aku takut jangan-jangan dengan menceritakannya aku takkan bisa melupakannya lagi.
Sikap M. Krempe tidak selembut rekannya. Padahal kondisiku waktu itu masih sangat peka. Kata katanya yang kasar dan pernyataannya yang terus terang jauh lebih menyakitkan daripada pujian M. Waldman.
Ah, rupanya sahabat kita! serunya. M. Clerval, percayalah, dia telah mengalahkan kita semua. Ya, membelalaklah kalau kau mau. Tapi yang kukatakan sepenuhnya benar. Dia seorang anak muda yang hanya beberapa tahun berselang masih menaruh kepercayaan kepada Cornelius Agrippa seteguh orang mempercayai Injil. Tapi sekarang dia sudah menjadi orang paling terkemuka di perguruan tinggi. Kalau dia tidak segera ditarik ke bawah, kita semua tidak lama Lagi akan tersisih. Ya, ya, sambungnya, melihat penderitaan terpancar dari air mukaku, M. Frankenstein anak muda yang rendah hati, tapi punya bakat dan kemampuan luar biasa. Anak muda memang suka malu-malu, bukan begitu, M. Clerval" Aku sendiri waktu masih muda juga begitu. Tapi tidak lama kemudian sifat semacam itu segera hilang.
M. Krempe mulai memuji dirinya Bendiri. Aku merasa senang sekali karena pembicaraan beralih dari persoalan yang sangat mengganggu perasaanku. Berbeda dengan diriku, Clerval tidak menaruh perhatian kepada ilmu pengetahuan alam. Dia lebih tertarik kepada sastra, jadi sangat berbeda dengan kecenderungan ku Dia datang ke perguruan tinggi dengan cita-cita ingin menjadi sarjana dalam bahasa bahasa Timur. Setelah cita-citanya tercapai, dia akan melaksanakan rencananya di bidang yang sudah dipilihnya Karena dia tidak ingin mengejar karier yang penuh kebesaran, maka dia berpaling ke Timur untuk menyalurkan bakatnya.
Clerval tertarik kepada bahasa Persia, Arab dan Sansekerta. Aku sendiri dengan mudah terbujuk untuk mengambil jurusan yang sama. Aku tidak suka menganggur. Kini karena aku ingin melarikan diri dari pelajaran yang dulu kutuntut, aku merasa senang sekali menjadi teman sekelas sahabatku.
Dalam mempelajari karya-karya dari Timur, aku bukan hanya mendapat kesempatan belajar, melainkan aku juga merasa mendapat hiburan. Berbeda dengan Clerval, aku tidak sampai mempelajari logat bahasa-bahasa ini yang sangat rumit. Tujuanku mengambil jurusan jni tidak lain hanya untuk selingan yang menggembirakan.
Aku membaca hanya untuk memahami artinya belaka. Hasilnya kuanggap sudah cukup memadai sebagai imbalan jerih payahku. Kesedihan yang terdapat dalam karya mereka menyentuh perasaan, dan kegembiraan mereka membangkitkan kegembiraan pula pada diri pembacanya. Belum pernah aku membaca hasil karya penulis dari negeri lainnya yang sedalam itu pengaruhnya terhadap perasaan.
Kalau kau membaca tulisan mereka, hidup rasanya terdiri atas hangatnya matahari di taman bunga mawar, senyuman dan kerut dahi musuh yang jujur, serta api yang membakar hatimu sendiri. Sungguh sangat berbeda dengan puisi Yunani dan Romawi yang penuh kejantanan dan kepah lawanan! Musim panas pun berlalu, sementara kami berkecimpung dalam kegiatan ini. Kembaliku ke Jenewa sudah direncanakan, yaitu pada akhir musim gugur yang akan datang. Tapi karena beberapa peristiwa rencanaku tertunda. Kini musim dingin tiba dan salju mulai turun. Jalan menuju ke Jenewa tidak bisa dilalui, dan perjalanan pulangku terpaksa diundurkan lagi sampai musim semi. Aku sangat sedih karena rencanaku untuk pulang tertunda. Aku sudah sangat merindukan kampung halaman serta keluarga dan semua sahabat yang sangat kusayangi. Kembaliku tertunda begitu lama, sebab aku tidak ingin cepat-cepat meninggalkan Clervai. Aku tidak mau meninggalkan dTa di tempat asing, sebelum dia kenal dengan salah seorang penghuninya. Tapi kami melewatkan musim dingin dengan penuh kegembiraan. Kemudian di luar kebiasaan musim semi datangnya terlambat. Tapi setelah musim semi yang dinanti-nantikan ini tiba, keindahannya cukup memadai sebagai upah penantianku. Hari-hari pertama di buian Mei mulai kami lalui. Kini setiap hari aku menunggu surat yang akan menetapkan hari keberangkatanku. Suatu hari Clerval mengusulkan kepadaku untuk melakukan pengembaraan di daerah sekitar Ingolstadt dengan berjalan kaki. Maksudnya ialah supaya aku bisa menyampaikan ucapan selamat tinggal kepada negeri yang selama ini kudiami. Aku menyambut baik usulnya. Aku memang gemar berolahraga. Dan sejak dulu aku sangat senang menjelajahi daerah sekitar tempat tinggalku, ditemani oleh orang yang paling kusayangi.
Kami berkelana selama dua minggu. Kesehatan dan semangatku sudah lama pulih seperti sediakala. Kini tubuhku bertambah kuat oleh udara segar yang kuhirup, kejadian menyenangkan selama dalam perjalanan, serta kesenangan mengobrol dengan sahabatku.
Sebelumnya, penyelidikan yang kulakukan telah menyebabkan aku putus hubungan sama sekali dengan manusia lainnya. Juga karena lama mengurung diri, menyebabkan aku menjadi bersifat asosial. Kini Clerval membangkitkan kembali sifat-sifat asliku yang baik. Sekali lagi dia mengajarkan kepadaku untuk mencintai keindahan alam dan wajah kanak-kanak yang penuh kegembiraan.
Ah, Clerval, sungguh kau seorang sahabat sejati! Dengan setulus hati kau mengasihiku, serta berusaha membangkitkan kembali kegembiraan hatiku sampai sama periangnya dengan hatimu sendiri! Pengejaran tujuan yang hanya mementingkan diri sendiri telah membuat hatiku kaku dan mengerut. Tapi kemudian dengan kelembutan dan kasih sayang kau membuka kembali semua inderaku yang tertutup.
Aku pun kembali memiliki sifat-sifat seperti beberapa tahun yang lalu. Aku kembali mencintai dan dicintai semua orang, serta tidak diberati oleh kesedihan dan penderitaan. Kalau aku merasa berbahagia, keindahan alam rasanya punya kekuatan memberiku rasa gembira yang tak ada tandingannya. Langit cerah dan ladang yang hijau subur memberi hatiku kepuasan yang tak terperi. Musim semi waktu itu memang sangat indah. Di setiap taman dan pagar hidup bunga bermekaran, i dan kuncup bunga musim panas sudah mulai bermunculan. Aku tidak terganggu lagi oleh pikiran yang setahun sebelumnya menekanku, walaupun waktu itu aku berusaha keras untuk melepaskan diri. Henry turut merasa berbahagia melihat kegem-biraanku. Dengan hati tulus dia menyatakan turut senang karena kini perasaanku sudah tidak terganggu lagi. Dia berusaha terus menggembira-kanku, sambil dia juga melahirkan isi hatinya. Apa yang ada dalam pikirannya benar-benar menakjubkan. Percakapannya penuh khayalan. Seringkali dengan meniru para pujangga Persia dan Arab, dia menciptakan cerita yang hebat dan penuh keindahan. Pada kesempatan lainnya dia mengulangi sajak yang paling kusukai, atau memancing pen dapatku yang kemudian diperkuat dengan pendapatnya sendiri.
Kami kembali ke perguruan tinggi pada hari Minggu sore. Para petani sedang berpesta tari, dan semua yang kutemui kelihatan gembira dan bahagia. Hatiku pun penuh kegembiraan. Aku berjalan melompat-lompat dengan keriangan dan sukacita yang tiada taranya.
Bab 7 DI apartemen kutemukan sepucuksuratdari ayahku:
Anakku Victor yang kusayangi, Mungkin kau, tidak sabar menunggu surat yang memberitahukan kepastian tanggal keberangkatanmu untuk pulang kepada kami. Mula-mula aku bermaksud menulis beberapa barisBaja,menyebutkan saat kau harus pulang. Tapi itu akan merupakan satu kekejaman, dan aku tidak berani berbuat begitu. Betapa kau akan terkejut, Anakku, kalaukaumengharapkan pertemuan yang penuh kebahagiaan, tapi sebaliknya menemukan air mata dan kesedihan" Dan bagaimana aku akan bisa menceritakan kemalangan kita ini
kepadamu,Victor"Walaupun kau jauh dari kami, tapi kau tidak kebal terhadap kegembiraan dan kesedihan kami. Jadi bagaimana aku akan bisa menimpakan kesedihan kepada anakku yang sekian lamanya jauh dari kami" Aku ingin mempersiapkan dirimu untuk menerima berita sedih ini, tapi aku tahu hal itu mustahil. Bahkan sekarang pun matamu sudah menjelajahi halaman surat ini untuk mencari kata-kata yang berisi kabar mengerikan.
Williamsudah mati! Ya, anak yang begitu manis, yang senyumannya menggembirakan serta menghangatkan hatiku, anak yang begitu lembut, tapi begitu periang!Victor,adikmu mati dibunuh!
Aku tidak akan berusaha menghiburmu. Aku hanya akan menceritakan dengan singkat tentang peristiwa yang menyedihkan ini.
Hari Kamis yang lalu (7Mei), aku dengan kemenakanku dan kedua adikmu berjalan-jalan di Plain-palais. Sore itu hangat dan cerah, maka kami berjalanjalan lebih lama daripada biasanya. Setelah senjakala barulah terpikir oleh kami untuk pulang. Waktu itu baru kami ketahui bahwaWilliamdanErnestyang berjalan lebih dulu, tidak bisa kami temukan..
Kami lalu duduk di bangku, beristirahat sambil menunggu mereka kembali. KemudianErnestdatang dan menanyakan apakah kami melihat adiknya. Dia mengatakan bahwa mereka habis bermain bersama.Williamlari bersembunyi, tapi dia tidak bisa menemukannya. Dia menunggu adiknya lama sekali, tapi tidak juga muncul.
CeritaErnestmembuat kami khawatir. Kami lalu pergi mencarinya sampai malam tiba.Elizabethpunya gagasan bahwa mungkin dia sudah pulang ke rumah. Kami pun lalu pulang, tapi dia tidak ada di rumah. Kami kembali lagi dengan membawa suluh. Aku pasti tidak bisa tidur memikirkan anakku yang tersesat di udara malam yang berembun.Elizabethjuga merasa sangat tersiksa. Sekitar jam lima pagi aku menemukan anakku yang manis. Kemarin dia masih segar bugar dan sehat sentosa, tapi waktu kutemukan dia tergeletak di rumput dengan muka pucat dan tidak bergerak-gerak. Di lehernya ada bekas cekikan jari orang yang membunuhnya.
Dia diusung ke rumah. Kesedihan yang tampak pada air mukaku membukakan rahasia yang masih kusimpan kepadaElizabeth.Dia memaksa ingin melihat mayatWilliam.Mula-mula aku mencegahnya, tapi dia terus memaksa. Dia masuk ke kamar tempat mayat dibaringkan, dan dengan tergesa-gesa memeriksa leher mayat. Sejurus kemudian dia menjalin jari-jarinya dan berseru, Ya, Tuhan! Aku telah membunuh adik yang kusayangi! Elizabethjatuh pingsan, dan sulit sekali disadarkan. Setelah akhirnya dia siuman, dia terus menangis memilukan sekali. Dia menceritakan kepadaku bahwa kemarin soreWilliamminta agar dia diperbolehkan memakai kalungElizabethyang bandulnya berisi lukisan miniatur ibumu. Kalung ini sudah hilang. Pasti inilah yang menggoda si pembunuh untuk melakukan perbuatannya.
Waktu ini kami belum bisa menemukan jejak si pembunuh.Tapiusaha mencarinya terus dilakukan, sampai berhasil. Tapi itu takkan mengembalikan William-ku yang kucintai!
Pulanglah!,Victor-ku sayang. Hanya kau saja yang akan bisa menghibur kesedihanElizabeth.Dia terus-menerus menangis, dan secara tidak adil menuduh dirinya sendiri sebagai penyebab ke-matianWilliam.Kata-katanya sangat menusuk hatiku. Kami semua bersedih hati. Dan bukankah ini memperkuat alasanmu untuk pulang, Anakku, untuk menghibur kesedihan kami semua"
Aduh,Victor!Aku sekarang bersyukur kepada Tuhan karena ibumu sudah berpulang. Aku tidak bisa membayangkan seperti apa sedihnya kalau dia menyaksikan kematian kesayangannya yang terkecil, dengan cara yang begitu mengerikan!
Pulanglah,Victor.Janganlah kau menyimpan rasa dendam kepada si pembunuh. Pulanglah dengan perasaan damai dan penuh kasih sayang. Itu akan menyembuhkan luka hati kami. Sedangkan rasa dendam hanya akan membuat luka hati kami semakin parah.Masukilah rumah yang sedang dilanda suasana berkabung dengan rasa cinta dan kasih kepada semua orang yang mencintaimu. Janganlah kau kembali dengan hati penuh kebencian kepada musuhmu.
Jenewa, 12Mei17 Ayahmu yang bersedih hati, Alphonse Frankenstein.
Clerval memperhatikan air mukaku waktu aku membaca surat. Dia heran melihat air mukaku yang berubah sedih, padahal tadinya aku begitu gembira menerima surat dari rumah, kulemparkan surat ke atas meja, dan kututup mukaku dengan dua tangan.
Sahabatku Frankenstein yang baik, katanya waktu dia melihat aku menangis penuh kesedihan, apakah kau harus selalu dirundung kesedihan" Sahabatku, apa yang terjadi" .
Aku memberi isyarat agar dia mengambil surat. Aku sendiri lalu berjalan mondar-mandir dalam kamar dengan kerisauan yang luar biasa. Kulihat Clerval juga mengalirkan air mata setelah membaca surat, dan tahu apa yang membuatku sedih.
Aku tidak kuasa menghiburmu, Sahabatku, katanya, Bencana yang menimpamu tak tersembuhkan. Apa yang akan kaulakukan" Pulang ke Jenewa sekarang juga. Mari ikut aku memesan kuda, Henry. Selama kami berjalan bersama, Clerval berusaha mengucapkan beberapa patah kata untuk membesarkan hatiku. Tapi dia hanya bisa menyatakan turut belasungkawa.
Kasihan William! katanya. Anak yang begitu manis. Sekarang dia tidur dengan ibunya yang secantik bidadari! Kini semua yang pernah melihat kemanisannya sebagai kanak-kanak hanya bisa menangisi dia yang telah pergi untuk selamalamanya! Matinya dengan cara yang mengerikan sekali, merasakan cekikan pembunuh! Adakah pembunuh yang lebih kejam, yang tega membunuh anak yang begitu manis dan belum berdosa" Si kecil yang malang! Hanya ada satu hal yang bisa menghiburku. Semua sahabatnya bersedih dan menangis, tapi dia beristirahat dalam kedamaian. Rasa sakit sudah dilampauinya, dan dia takkan merasakan penderitaan lagi selama-lamanya.
Tubuhnya sudah tertutup tanah, dan dia tidak merasakan sakit lagi. Dia tidak perlu lagi dikasihani. Kini yang perlu dikasihani hanya orang-orang yang ditinggalkannya.
Clerval terus berbicara sementara kami berjalan bergegas-gegas sepanjang jalan. Kata-katanya membekas dalam pikiranku. Di kemudian hari aku selalu teringat kembali kepada semua yang dikatakannya, kalau aku kebetulan seorang diri. Kuda yang kupesan segera datang. Aku naik ke kereta, dan terus mengucapkan selamat tinggal kepada sahabatku.
Aku melakukan perjalanan dalam kesedihan. Mula-mula aku ingin lekas-lekas sampai. Aku ingin segera bisa menghibur keluargaku yang sedang menanggung duka. Tapi semakin dekat ke kampung halamanku, semakin ku perlambat perjalananku. Aku hampir-hampir tidak mampu menguasai perasaan yang memenuhi hatiku.
Aku melewati tempat-tempat yang sangat kukenal di masa kanak-kanakku, tapi tidak kulihat selama enam tahun. Betapa berubahnya segala-galanya dalam waktu yang begitu lama! Dan telah terjadi satu perubahan yang menyedihkan secara tiba-tiba. Mungkin telah terjadi ribuan perubahan, tapi karena terjadinya secara berangsur-angsur, maka tidak terlalu mengejutkan,
Rasa takut menguasai diriku. Aku tidak berani terus. Aku takut kepada ribuan bencana tanpa nama yang membuat tubuhku gemetar, walaupun aku tidak bisa mengatakan bencana apa yang membuat diriku takut.
Aku tinggal di Lausanne selama dua hari dengan hati tersiksa semacam itu. Aku pergi melihat danau. Airnya tenang. Keadaan di sekelilingnya tenteram. Gunung yang puncaknya diselimuti salju tetap tidak berubah. Sedikit demi sedikit pemandangan alam yang penuh ketenteraman memulihkan perasaanku. Lalu aku meneruskan perjalanan ke Jenewa.
Jalan yang kulalui menyusuri tepi danau, dan semakin sempit setelah makin dekat ke kampung halamanku. Kulihat lebih jelas lereng gunung Jura yang hitam, dan puncak Mont Blanc yang putih cemerlang. Aku menangis seperti anak kecil. Oh, gunung yang kucintai! Danauku yang indah! Bagaimana kau menyambut kedatangan kembal pengembaramu" Puncakmu begitu putih bersih berseri-seri. Langit dan permukaan danau begitu biru dan tenang. Apakah ini untuk meramalkan ketenangan, atau untuk mencemoohkan kese dihanku" Aku takut jangan-jangan aku membuatmu bosan dengan terus menceritakan keindahan alam di se kitarku. Tapi begitu lama aku berpisah dengan alam yang permai ini, tempatku dulu mengenyam kebahagiaan. Negeriku, negeriku yang tercinta! Siapa lagi kalau bukan penghuni negeri itu sendiri yang bisa melukiskan betapa perasaan hatiku demi melihat kembali sungainya, gunungnya, dan lebih dari segala-galanya, danaunya yang indah! Namun tatkala aku semakin dekat ke rumah, sekali lagi kesedihan dan ketakutan mencengkam hatiku. Dan malam pun tiba pula. Hatiku semakin terasa pedih karena aku tidak lagi bisa melihat gunung yang gelap. Alam sekitarku kini kelihatan suram dan menyeramkan, dan samar-samar aku mulai merasa bahwa aku ditakdirkan menjadi manusia yang paling menyedihkan.
Aduh! Ramalanku ternyata benar. Hanya satu hal saja yang meleset dari ramalanku, yaitu kesedihan yang kuramalkan ternyata tidak ada seper - seratusnya kesedihan yang ditakdirkan untuk kutanggung.
Malam sudah sangat gelap waktu aku sampai ke daerah di luar kota Jenewa. Pintu gerbang kota sudah ditutup. Maka aku terpaksa menginap di Secheron. Desa ini jaraknya dari kota sekitar tiga perempat kilometer. Langit cerah tidak berawan, dan aku tidak bisa tidur. Maka lalu kuputuskan untuk meninjau tempat terjadinya pembunuhan terhadap adikku William yang malang. Aku tidak bisa melewati kota, jadi untuk pergi ke Plainpalais aku harus menye berangi danau dengan perahu.
Dalam perjalanan yang tidak begitu jauh ini kulihat kilat memancar di puncak Mont Blanc, tam pak indah sekali. Ternyata tidak lama kemudian badai datang, mendekat dengan cepat. Setelah aku mendarat, aku terus naik ke bukit rendah untuk melihat datangnya badai.
Badai semakin mendekat. Langit tertutup awan, dan tidak antara lama hujan turun. Mula-mula hujan turun dengan tetes-tetes besar dan jarang. Tapi makin lama hujan makin lebat, dan sebentar saja sudah berubah menjadi hujan yang sangat deras.
Aku meninggalkan tempat dudukku dan terus berjalan. Padahal setiap menit badai semakin menghebat. Langit semakin gelap, dan halilintar sabungmenyabung di atas kepalaku. Guruh dan guntur menggema dari pegunungan Jura, Saleve, Alpen dan Savoy. Kilat yang berpancaran menyilaukan mata, menyinari permukaan danau dan membuatnya kelihatan seperti lautan api. Kemudian untuk sesaat segala-galanya diliputi kegelapan, sampai mata bisa membiasakan diri kembali dengan kegelapan setelah pancaran kilat yang terang. Badai semacam ini biasa terjadi di Switzerland, dan kini rupanya mengamuk di mana-mana.
Badai yang paling dahsyat kelihatannya menggantung tepat di sebelah utara kota, di atas bagian danau yang terletak di antara tanjung Belrive dan desa Copet. Bagian badai lainnya menerangi pegunungan Jura dengan pancaran kilat yang samar-samar. Lainnya lagi menggelapkan dan sesekali memperlihatkan gunung Mdle yang puncaknya runcing di sebelah timur danau. Aku memperhatikan badai yang begitu dahsyat namun indah, sambil berkeliaran dengan langkah ragu-ragu. Perang yang sedang berkecamuk di langit ini mengisi hatiku dengan rasa takjub. Aku menjalin jari-jariku serta berseru keraskeras:
William yang kusayangi! Inilah penghormatan untuk pemakamanmu, pujipujian untuk mengiringkan sukmamu!
Waktu aku mengucapkan kata-kata ini, dalam kegelapan kulihat sesosok tubuh menyelinap dari balik pohon di dekatku. Aku berdiri terpaku, membuka mata lebar-lebar dan melihat dengan cermat. Penglihatanku tidak mungkin salah lagi. Cahaya kilat yang kebetulan memancar menerangi osok tubuh ini, dan bentuknya kulihat dengan jelas. Ukuran tubuhnya begitu besar dan segalagalanya kelihatan lebih mengerikan daripada manusia biasa. Seketika aku bisa mengenali kembali makhluk ciptaanku, iblis busuk yang telah kuhidupkan. Apa gerangan yang sedang dilakukannya di sini" Mungkinkah dia yang telah membunuh adikku sendiri" Aku menggigit memikirkan kemungkinan ini. Begitu gagasan ini terlintas dalam pikiranku, seketika itu juga aku merasa yakin akan kebenarannya. Gigiku gemeletuk, dan aku terpaksa menyandarkan tubuhku yang lemas pada sebatang pohon.
Sosok tubuh yang kulihat dengan cepat melewatiku dan lenyap dalam gelap. Tak ada satu pun manusia yang tega membunuh anak yang begitu manis. Pasti dia pembunuhnya! Aku sudah tidak ragu-ragu lagi. Gagasanku saja sudah merupakan bukti yang kuat terhadap kebenarannya.
Aku berpikir mau mengejar iblis ini, tapi aku sadar bahwa usahaku akan sia-sia. Sebab pada pancaran kilat berikutnya kulihat dia sudah bergantung di tebing karang yang sangat terjal di lereng gu nung Saleve, yang merupakan tapal batas Plain-palais di sebelah selatan. Dia segera sampai ke puncaknya dan menghilang.
Aku tetap tidak bergerak-gerak. Guruh dan halilintar sudah mereda, tapi hujan masih terus turun. Segala-galanya diliputi kegelapan yang sangat pekat. Kini teringat kembali olehku semua peris tiwa yang ingin kulupakan: jerih payahku menyelesaikan ciptaanku, hidupnya benda yang kubuat dengan tanganku sendiri, serta kepergiannya yang tidak kuketahui.
Kini dua tahun sudah berlalu sejak makhluk ciptaanku kuhidupkan. Apakah ini kejahatannya yang pertama" Aduh! Aku telah melepaskan ke dunia makhluk jahat yang pemenuhan kepuasannya dengan cara menyebarkan kematian dan kesedihan. Bukankah dia yang membunuh adikku"
Tak seorang pun akan bisa membayangkan kesedihan yang kurasakan di malam itu. Kesedihanku masih ditambah pula dengan kesengsaraan berada di udara terbuka, basah kuyup dan kedinginan. Tapi siksaan jasmani karena cuaca ini hampir hampir tidak kurasakan. Otakku sibuk memikirkan perbuatan jahat dan kesedihan yang diakibatkannya.
Pikiranku tidak lepas dari makhluk ciptaanku yang kulepaskan di tengah kehidupan manusia. Makhluk ini punya hasrat dan kekuatan untuk menyebarkan kengerian, seperti apa yang telah dilakukannya. Rasanya hampir sama dengan kalau setan jadi-jadian dari diriku sendiri lepas dari kuburan, dan dipaksa memusnahkan semua orang yang kucintai.
Akhirnya fajar pun merekah, dan aku menujukan langkahku ke arah kota. Pintu gerbang kota sudah dibuka. Aku pun bergegas-gegas berjalan menuju ke rumah ayahku. Mula-mula aku berpikir mau menceritakan apa yang kuketahui tentang pembunuh adikku, supaya segera bisa dilakukan pengejaran. Tapi aku terkejut sendiri setelah teringat \ kepada cerita yang akan kupaparkan. Makhluk yang telah kuciptakan sendiri, telah kuhidupkan, bertemu dengan diriku sendiri di tengah malam di tebing karang lereng gunung yang terkenal tidak bisa didaki. Aku juga teringat kepada sakit gangguan syaraf yang kuderita pada waktu aku menyelesaikan ciptaanku. Ceritakan pasti akan dianggap igauan yang tidak bisa dipercayai kebenarannya.
Aku pun sadar, seandainya ada orang lain yang bercerita semacam itu kepadaku, tentu akan ku-anggap bahwa ceritanya hanya ocehan orang gila belaka. Lagi pula makhluk ini pasti akan bisa meloloskan diri dari pengejaran, seandainya ceritaku bisa dipercaya oleh keluargaku dan mereka melakukan pengejaran. Lalu apa perlunya melakukan pengejaran" Siapa yang akan bisa menangkap makhluk yang dengan mudah bisa merambat mendaki lereng Mont Saleve yang tegak lurus" Pikiran ini menyebabkan aku mengambil keputusan tegas untu tetap tutup mulut.
Sekitar jam lima pagi aku memasuki rumah ayahku. Para pelayan kularang membangunkan keluargaku yang masih tidur. Aku lalu masuk ke dalam perpustakaan, untuk menunggu mereka bangun pada waktu seperti biasanya. Waktu enam tahun telah berlalu, berlalu seperti mimpi, kecuali satu perubahan yang tidak bisa dihapuskan. Kini aku berdiri lagi di tempat yang sama dengan waktu aku memeluk ayahku sebelum berangkat ke Ingolstadt. Ayahku yang kucintai dan kuhormati! Dia masih tetap kumiliki.
Aku melayangkan pandangan ke lukisan ibuku yang tergantung di atas perdiangan. Lukisan ini sebuah benda bersejarah. Dulu ayah yang menyuruh orang untuk melukisnya. Di situ terlukis Caroline Beaufort dalam kesedihan dan putus asa, sedang berlutut menghadapi peti mati yang berisi mayat ayahnya. Pakaian yang dikenakannya lusuh dan pipinya pucat. Namun wajahnya yang cantik penuh keagungan, dan rupa keseluruhannya tidak seperti orang yang harus dikasihani.
Di bawah lukisan ini ada lukisan miniatur William. Begitu melihatnya, air mataku langsung mengalir tidak bisa dibendung lagi.
Sedang aku dalam keadaan demikian, Ernest masuk. Dia sudah mendengar kedatanganku, dan cepat-cepat mencariku untuk menyampaikan selamat datang. Air mukanya tampak sedih dan gembira melihatku.
Selamat datang, kakakku Victor yang tercinta, katanya. Ah! Kalau saja kau pulang tiga bulan yang lalu! Kau pasti akan mendapatkan diri kami penuh kebahagiaan dan sukacita. Sekarang kau datang untuk turut merasakan kesedihan yang tidak bisa diredakan. Tapi kuharap kedatanganmu akan bisa menggembirakan ayah, yang rupanya tenggelam di bawah kesedihannya. Dan bujukanmu akan menghentikan tuduhan dan siksaan Elizabeth yang sia-sia kepada dirinya sendiri. Kasihan sekali William. Dia kesayangan dan kebanggaan kita!
Adikku juga tidak bisa menahan air matanya. Penderitaan yang luar biasa menguasai diriku. Sebelumnya aku hanya membayangkan kesedihan karena kini rumah terasa kosong. Tapi ternyata ke-u sedihan yang kami rasakan masih jauh lebih besar lagi. Aku berusaha menenangkan Ernest. Kutanyakan bagaimana keadaan ayah dan Elizabeth.
Terutama Elizabeth, kata Ernest, yang paling membutuhkan hiburan. Dia menuduh dirinya sendiri yang menjadi penyebab kematian adikku. Itulah sebabnya maka dia merasa sangat sedih. Tapi sejak pembunuhnya tertangkap... Pembunuhnya tertangkap! Ya Tuhan! Bagaimana bisa" Siapa yang bisa mengejarnya" Itu mustahil. Sama saja dengan mencoba menangkap angin atau menahan aliran sungai dengan jerami. Aku juga melihatnya. Semalam dia masih bebas!
Aku tidak tahu apa yang kaumaksudkan, jawab adikku dengan nada keheranan. Tapi bagi kami penangkapannya bahkan semakin menambah kesedihan kami. Mula-mula tak ada seorang pun yang percaya. Bahkan sekarang pun Elizabeth tidak mau diyakinkan, tidak peduli dengan semua bukti yang ada. Sungguh, tak ada seorang pun yang percaya bahwa Justine Moritz bisa menjadi pembunuh. Mungkinkah gadis yang begitu penurut dan sayang kepada seluruh keluarga tiba-tiba bisa melakukan kejahatan yang begitu kejam dan mengerikan"
Justine Moritz! Ah, gadis yang sangat malang. Jadi dia yang dituduh" Tapi itu tuduhan yang keliru. Semua orang tahu. Tak ada seorang pun yang percaya. Sungguh begitu, Ernest" Mula-mula tak ada yang mau percaya. Tapi kemudian ada beberapa hal yang hampir memaksa kami untuk percaya. Sikap Justine sendiri juga begitu membingungkan. Ditambah dengan bukti yang nyata dan memberatkannya, aku khawatir sekarang sudah tidak ada harapan maupun keragu-raguan lagi. Tapi hari ini dia akan diajukan ke pengadilan, dan kau akan bisa mendengar semua.
Lalu Ernest bercerita. Katanya pada pagi hari waktu pembunuhan William diketahui, Justine jatuh sakit dan mengurung di kamar tidurnya selama beberapa hari. Waktu dia sakit ini seorang pelayan kebetulan memeriksa pakaian yang dikenakannya pada malam pembunuhan. Dia menemukan lukisan miniatur ibuku di dalam sakunya, yang dianggap sebagai benda yang diinginkan si pembunuh sehingga mendorongnya melakukan kejahatan. Pelayan ini lalu menunjukkan kalung dengan bandulnya ini kepadateman-temannya.Lalu tanpa mengatakan apa-apa kepada keluarga majikannya, mereka langsung mengadu kepada jaksa. Berdasarkan pengaduan mereka ini, lalu Justine ditahan. Waktu dihadapkan dengan barang bukti ini, Justine makin memperkuat kecurigaan dengan sikapnya yang sangat kalut.
Ini kisah yang aneh, tapi tidak menggoyahkan keyakinanku. Dengan penuh kesungguhan aku berkata, Kalian semua membuat kekeliruan. Aku tahu siapa pembunuhnya. Justine, Justine yangmalangini tidak berdosa. Saat itu ayahku masuk. Kulihat kesedihan sangat jelas terbayang pada air mukanya. Namun dia berusaha menyambutku dengan gembira. Setelah kami saling menyampaikan salam dengan penuh kesedihan, kami akan mengulangi lagi membicarakan kesedihan kami. Tapi Ernest menyela dengan berseru, Ya Tuhan, Papa! Victor mengatakan dia tahu siapa yang membunuh William. Kami juga tahu, sungguh menyedihkan sekali, jawab ayahku. Aku sungguh sedih mendapatkan orang yang selama ini sangat kuhargai ternyata hatinya sangat busuk dan tak tahu membalas budi.
Ayah, kau keliru! Justine tidak berdosa!
Kalau memang demikian, Tuhan pasti takkan mengijinkan dia menderita karena dituduh bersalah. Hari ini dia akan diadili. Aku benar-benar berharap dia akan dibebaskan.
Kata-kata ayah menenangkanku. Aku yakin benar bahwa Justine, demikian juga manusia lainnya, mustahil melakukan pembunuhan adikku. Aku tidak merasa khawatir akan ada bukti yang cukup kuat untuk menuntutnya. Ceritaku tidak bisa diumumkan kepada orang banyak. Kengeriannya yang luar biasa pasti akan dianggap kegilaan oleh semua orang. Adakah orang yang akan mau percaya, kecuali aku sendiri, penciptanya, bahwa ada makhluk buatan yang hidup, yang karena keteledoranku telah terlepas di tengah kehidupan manusia" Tidak lama kemudian Elizabeth datang. Waktu telah mengubah dirinya sejak terakhir kali aku melihatnya. Kini kecantikannya sudah melebihi kecantikan di masa kanak-kanaknya. Dia masih memiliki kepolosan dan keriangan, tapi kini air mukanya lebih dewasa dan memancarkan kecerdasan. Dia menyambut kedatanganku dengan sikap paling hangat dan penuh kasih Bayang. Ah, saudara sepupuku, katanya, kedatanganmu mengisi hatiku dengan harapan. Mungkin kau akan menemukan cara untuk membela Justine yang tidak bersalah. Aduh! Siapa yang akan selamat, kalau dia saja bisa dituntut sebagai pelaku kejahatan" Aku yakin bahwa dia tidak bersalah, sama percayanya seperti kepada diriku sendiri. Kini kemalangan kita berlipat ganda. Kita bukan hanya kehilangan adik yang kita cintai, tapi gadis ini pun, yang juga kucintai dengan setulus hati, akan direnggutkan oleh nasib yang lebih buruk. Kalau dia sampai dijatuhi hukuman, aku takkan bisa merasa senang lagi. Tapi dia takkan dihukum, aku yakin dia takkan dihukum. Dan aku akan merasa bahagia lagi, walaupun tetap kehilangan si kecil William.
Dia tidak berdosa, Elizabeth-ku, kataku. Dan itu akan bisa dibuktikan. Jangan takut! Bergembiralah, yakinlah bahwa dia akan dibebaskan. Kau sungguh baik dan dermawan! Semua orang yakin bahwa dia bersalah. Itu membuatku sangat sedih, sebab aku tahu itu mustahil. Dan melihat semua orang menuduhnya dengan penuh kedengkian membuatku putus asa dan tidak berdaya. Elizabethmenangis.
Kemenakanku yang tercinta, kata ayahku, keringkan air matamu. Kalau kau yakin dia tidak bersalah, percayalah kepada keadilan hukum. Aku juga akan mengambil tindakan untuk mencegah ketakadilan ditimpakan orang kepadanya.
Bab 8 KAMI menderita siksaan kesedihan sampai jam sebelas, saat sidang pengadilan dimulai. Ayah dengan seluruh keluarga datang sebagai saksi. Aku turut menyertai mereka ke pengadilan.
Selama berlangsungnya apa yang dinamakan pengadilan ini, aku merasa sedang disiksa hidup-hidup. Akan segera diputuskan, apakah rasa ingin tahuku yang tidak mengindahkan kaidah hukum akan mengakibatkan kematian dua orang manusia sesamaku. Yang sudah jatuh menjadi korban seorang anak yang masih polos, yang dibunuh dengan cara yang mengerikan sekali. Karena anak ini sama sekali belum mengenal dosa, maka pembunuhan atas dirinya terasa jauh lebih mengerikan. Justine juga seorang gadis yang penuh kebajikan, yang punya harapan akan mencapai kebahagiaan hidup. Dan kini dia akan dihukum mati, dikuburkan dengan penuh kehinaan. Semua ini akulah penyebabnya! Aku seribu kali lebih suka mengakui bahwa akulah yang melakukan kejahatan yang dituduhkan kepada Justine. Tapi aku tidak ada di tempat kejadian waktu peristiwanya terjadi. Pernyataanku pasti hanya akan dianggap igauan orang gila. Usahaku takkan berhasil membebaskan orang yang menderita karena perbuatankuJustine tampak tenang saja. Dia mengenakan pakaian berkabung. Wajahnya tetap kelihatan cantik, walaupun otaknya penuh pikiran yang sangat memberatkannya. Air mukanya memperlihatkan kepercayaan kepada dirinya sendiri yang bersih dari dosa, dan sedikit pun dia tidak merasa gentar. Orang banyak memandang Justine dengan rasa jijik. Ketenangannya bahkan membangkitkan kebencian orang banyak, yang mengira dia telah melakukan kejahatan yang begitu mengerikan. Justine kelihatan tenang, tapi jelas sekali bahwa jiwanya tertekan. Dulu kekalutannya ditafsirkan orang sebagai bukti bahwa dia bersalah. Maka kini dia menguatkan hatinya untuk memperlihatkan ketabahan.
Waktu baru masuk ke dalam ruang pengadilan, Justine meHhat berkeliling dan segera melihat di mana kami duduk. Setetes air mata tampak menyuramkan matanya waktu dia melihat kami. Tapi dia segera bisa menguasai perasaannya. Air mukanya yang memperlihatkan belas kasihan dan kasih sayang seakan pernyataan bahwa dia sama sekali tidak bersalah.
Pengadilan pun dimulai. Setelah jaksa membacakan tuduhannya, beberapa saksi dipanggil. Beberapa fakta aneh digabungkan dan memperkuat tuduhan kepada dirinya. Kenyataan yang d kemukakan para saksi cukup jneyakinkan semua orang yang tidak punya bukti bahwa Justine tidak bersalah seperti yang kumiliki.
Pada malam terjadinya pembunuhan, sepanjang malam Justine berada di luar rumah. Menjelang pagi dia dilihat oleh seorang perempuan yang akan berangkat ke pasar, di dekat tempat mayat korban kemudian ditemukan. Perempuan ini bertanya kepadanya, apa yang sedang dilakukannya di situ. Justine memperlihatkan air muka aneh, serta menjawab dengan perkataan yang tidak keruan dan tidak jelas.
Sekitar jam delapan Justine pulang ke rumah. Waktu ditanya dia semalaman di mana, dia menjawab bahwa dia mencari William. Dia lalu bertanya dengan sungguh-sungguh apakah sudah mendengar Sesuatu tentang William. Waktu mayat ditunjukkan kepadanya, Justine lalu menjadi histeris dan mengurung diri di dalam kamarnya selama beberapa hari.
Kemudian bandul kalung yang ditemukan pelayan dalam sakunya ditunjukkan. Elizabeth berkata dengan terbata-bata bahwa satu jam sebelum William hilang, dia sendiri yang memakaikan kalung di leher anak yang malang ini. Mendengar ini segera ruangan sidang riuh dengan suara kengerian dan kemarahan. Justine disuruh tampil ke depan untuk membela diri. Selama sidang berlangsung, air mukanya telah berubah. Air mukanya memperlihatkan dengan jelaB keheranan, kengerian dan kesedihan. Kadang-kadang dia berusaha dengan keras menahan air matanya. Tapi setelah dia mulai bicara, dia mengumpulkan segenap kekuatannya dan berkata dengan suara yang jelas terdengar. Tuhan tahu, katanya, bahwa aku sama sekali tidak bersalah. Tapi aku tahu bahwa sanggahanku ini takkan membebaskanku. Aku akan membela kebenaranku dengan penjelasan seadanya tentang kenyataan yang diajukan untuk menuduhku. Aku berharap semoga kelakuanku selama ini mendorong para yuri menafsirkan dengan baik hal-hal yang meragukan atau mencurigakan.
Kemudian Justine bercerita. Pada sore dan malam terjadinya pembunuhan, atas ijin yang diberikan Elizabeth dia pergi ke rumah bibinya. Bibinya tinggal di desa Chene, yang berjarak sekitar satu setengah kilometer dari Jenewa. Kirakira jam sembilan malam dia pulang. Di jalan dia bertemu dengan seorang lakilaki yang menanyakan kepadanya apakah dia melihat William yang telah hilang.
Mendengar ini dia merasa khawatir, dan terus mencari William sampai berjamjam. Waktu gerbang kota ditutup dia masih ada di luar. Dia terpaksa harus menunggu pagi tiba di dalam gudang penyimpanan rumput milik seorang petani. Dia tidak mau membangunkan yang punya rumah, sebab dia sudah kenal baik dan tidak mau merepotkan.
Hampir sepanjang malam dia tidak bisa memicingkan mata. Tapi menjelang pagi dia yakin telah terlelap sebentar, selama beberapa menit. Dia terkejut mendengar bunyi langkah kaki orang, dan dia terbangun. Waktu itu fajar sudah merekah. Dia segera meninggalkan tempatnya berteduh, agar bisa terus turut mencari adikku yang hilang.
Dia sama sekali tidak tahu bahwa dia melewati tempat yang tidak begitu jauh dari tempat mayat menggeletak. Kekalutannya waktu ditanya oleh perempuan yang akan berangkat ke pasar tidak mengherankan, sebab hampir semalaman dia tidak tidur dan dia masih mengkhawatirkan nasib William. Dia tidak menerangkan apa pun tentang kalung yang ditemukan dalam sakunya. Aku tahu, sambung Justine yang malang ini, bahwa hal yang satu ini sangat fatal memberatkan tuduhan terhadap diriku, tapi aku tidak mampu memberikan penjelasan. Aku sama sekali tidak tahu-menahu, dan aku tidak bisa mendugaduga kemungkinan yang menyebabkan benda itu sampai berada di sakuku. Di sinilah letak kelemahanku. Aku yakin bahwa di muka bumi ini aku tidak punya musuh satu pun. Aku yakin takkan ada orang yang ingin memfitnah diriku dengan cara begitu kejam. Apakah si pembunuh yang telah memasukkan kalung ke dalam sakuku" Aku tahu dia tidak punya kesempatan melakukannya. Seandainya dia bisa memasukkannya, untuk apa dia mencuri perhiasan itu kalau kemudian hanya akan membuangnya lagi"
Aku menyerahkan segala-galanya kepada keadilan para yuri, tapi aku tidak melihat adanya harapan sedikit pun. Aku memohon agar beberapa orang saksi ditanya tentang perangaiku. Kalau kesaksian mereka tidak bisa melenyapkan tuduhan terhadap diriku, aku tentu akan menerima hukuman. Tapi aku memohon pembebasan karena aku tidak bersalah.
Beberapa orang saksi dipanggil. Mereka orang-orang yang kenal dengan Justine sudah bertahun-tahun, dan semua menceritakan kebaikan perangai si tertuduh. Tapi mereka juga merasa takut dan benci kepada Justine karena mengira dia bersalah. Mereka menjadi takut-takut untuk bicara banyak-banyak.
Elizabeth tahu bahwa usaha terakhir ini, yaitu kesaksian tentang kelakuan Justine yang tak ada cacat celanya, takkan bisa menyelamatkannya dari tuduhan. Maka dia lalu minta ijin tampil ke muka sidang. Aku saudara sepupu anak yang terbunuh ini, kata Elizabeth, atau lebih merupakan seorang kakak baginya. Ini karena aku dididik, tinggal serumah dan dianggap anak oleh orang tuanya bahkan lama sebelum dia lahir. Maka mungkin akan dianggap kurang layak bagiku untuk tampil ke muka pada kesempatan ini. Tapi aku melihat sesamaku akan binasa karena kepengecutan orang-orang yang mengaku sebagai sahabatnya. Maka kuharap aku diperkenankan berbicara, mengatakan semua yang kuketahui tentang watak dan kelakuannya.
Aku kenal baik dengan tertuduh. Aku telah lama tinggal Berumah dengan dia. Pada kesempatan sebelumnya selama lima tahun, dan kesempatan lainnya selama hampir dua tahun. Selama itu menurut pen-dapatku dia manusia paling ramah dan baik hati kepada orang lain. Dia merawat Madame Frankenstein, bibiku, waktu dia menderita sakit untuk terakhir kalinya, dengan penuh ketekunan dan kasih sayang. Kemudian dia merawat ibunya sendiri yang sakit payah, dengan ketekunan yang mengagumkan bagi setiap orang yang menyaksikannya. Kemudian sekali lagi dia tinggal di rumah pamanku, dan di rumah ini dia disayangi oleh seluruh keluarga.
Hubungannya dengan anak yang sekarang sudah meninggal sangat baik, seperti seorang ibu menyayangi anaknya. Aku tidak ragu-ragu mengatakan ini, walaupun ada bukti untuk menuduhnya. Aku yakin sekali bahwa dia sama sekali tidak bersalah. Dia tidak mungkin tergoda untuk melakukan perbuatan semacam itu. Sedangkan tentang benda yang dijadikan barang bukti, kalau memang dia sungguh-sungguh menginginkannya, aku akan memberikan kepadanya dengan senang Hati. Sebesar itulah kepercayaan dan penghargaanku kepada-} nya.
Terdengar beberapa suara menyetujui per nyataan Elizabeth yang bersahaja namun cukup kuat. Tapi mendengar kedermawanan Elizabeth, orang banyak bangkit lagi kemarahannya kepada Justine. Mereka menyerangnya dengan tuduhan tidak tahu membalas budi dengan kata-kata yang sangat keji. Justine sendiri menangis waku Elizabeth berbicara, tapi tidak mengeluarkan jawaban. Selama pengadilan berlangsung penderitaan yang kurasakan tidak ada batasnya lagi. Aku yakin bahwa Justine tidak bersalah. Aku tahu benar. Sesaat pun aku tidak pernah meragukan siapa yang telah melakukan kejahatan. Apakah iblis yang telah membunuh adikku juga telah menjerumuskan gadis yang tidak berdosa ini ke arah kematian dan kenistaan"
Aku tidak kuat lagi menahankan suasana yang penuh kengerian ini. Waktu aku melihat muka para yuri dan mendengar suara mereka yang sudah menetapkan kesalahan Justine, aku men hambur ke luar dengan hati tersiksa. Siksaan yang dira sak an si .tertuduh belum menyamai siksaan yang kurasakan. Dia yakin bahwa dirinya tidak berdosa. Sedangkan aku, aku merasakan taring-taring penyesalan merobek-robek dadaku, dan aku tidak kuasa melepaskan diri. Semalaman aku terus-menerus disiksa oleh perasaanku sendiri. Paginya aku pergi ke pengadilan. Bibir dan kerongkonganku terasa sangat kering. Aku tidak berani mengajukan pertanyaan, tapi aku sudah dikenal. Petugas pengadilan sudah bisa menduga tujuan kunjunganku. Undian sudah ditarik, dan semua yuri menyalahkan tertuduh. Justine akan mendapat hukuman mati. Aku tidak bisa melukiskan perasaanku. Sebelumnya aku sudah pernah merasakan kengerian, dan aku masih bisa berusaha menyatakannya dengan kata-kata. Tapi kini tidak ada perkataan yang bisa menggambarkan rasa putus asa yang memedihkan hati, yang saat itu kuderita.
Orang yang kutemui menambahkan bahwa Justine sudah mengakui kesalahannya. Bukti itu, dia menjelaskan, hampir-hampir tidak diperlukan dalam perkara yang sudah begitu jelas. Sebenarnya tidak ada satu pun di antara para yuri yang mau menjatuhkan hukuman kepada seorang penjahat hanya berdasarkan atas bukti sangka belaka, betapapun jelasnya.
Ini kenyataan yang aneh dan tidak terduga-duga. Apa gerangan artinya" apakah penglihatanku salah" Apakah aku benar-benar sudah gila seperti yang akan dituduhkan seluruh dunia kepadaku kalau aku menerangkan obyek kecurigaanku" Aku segera pulang, dan dengan tidak sabar Elizabeth menanyakan hasilnya.
Saudara sepupuku, jawabku, keputusannya sudah ditetapkan seperti perkiraanmu. Para yuri berpendapat lebih baik sepuluh orang yang tidak berdosa menderita, daripada satu orang yang bersalah lolos. Tapi Justine sudah mengaku.
Ini merupakan pukulan keras bagi Elizabeth, yang selama ini yakin bahwa Justine tidak ber salah. Yaampun! katanya. Bagaimana aku akan bisa percaya lagi kepada kebaikan orang" Justine kucintai dan kuperlakukan seperti adikku sendiri. Bagaimana bisa dia selama ini mengecoh kita semua dengan senyumannya yang kelihatan polos" Matanya yang lembut seakan menunjukkan bahwa dia tidak bisa melakukan kekerasan atau kejahatan. Tapi dia telah melakukan pembunuhan.
Segera kami mendengar bahwa korban yang malang ini ingin bertemu dengan Elizabeth. Ayah menginginkan agar Elizabeth tidak pergi mene-i muinya, tapi dia juga menyerahkan kepada perasaan dan pertimbangan Elizabeth sendiri untuk mengambil keputusan.
Ya, kata Elizabeth, aku akan menemuinya, walaupun dia bersalah. Dan kau, Victor, kau harus menemaniku. Aku tidak bisa berangkat sendirian. (iagasan tentang kunjungan ini sangat menyiksa hatiku, tapi aku tidak bisa menolak. Kami masuk ke dalam sel tahanan yang remang-remang. Kulihat Justine sedang duduk di atas tumpukan jerami di ujung ruangan. Tangannya di-borgol, dan kepalanya diletakkan di atas lutut. Demi melihat kami masuk, dia terus bangkit berdiri. Setelah kami sendirian bersama dia, dia berlutut di muka Elizabeth dan menangis dengan getirnya. Elizabeth juga menangis.
Oh, Justine! kata Elizabeth. Mengapa kau merenggutkan satu-satunya hiburan yang masih kumiliki" Aku yakin bahwa kau tidak berdosa. Walaupun sebelumnya aku sangat sedih, tapi belum sesedih perasaanku seperti sekarang ini.
Apakah kau juga percaya bahwa aku sejahat itu" Apakah kau turut membantu musuh-musuhku yang akan membinasakanku, yang akan menghukumku sebagai seorang pembunuh" Suara Justine tercekik oleh sedu-sedannya. Berdirilah, Adikku, kata Elizabeth. Mengapa kau berlutut, kalau memang kau tidak bersalah" Aku bukan salah seorang musuhmu. Sebelumnya aku yakin bahwa kau tidak bersalah, walaupun ada barang bukti untuk menuduhmu. Tapi kemudian kudengar kau sendiri menyatakan bahwa kau bersalah. Kau mengatakan semua tuduhan kepadamu palsu. Yakinlah, Justine ku yang baik, sesaat pun keyakinanku bahwa kau tidak bersalah tidak pernah goyah, kalau kau sendiri tidak mengaku.
Aku memang sudah mengaku, tapi aku mengucapkan pengakuan bohong. Aku mengaku dengan harapan akan mendapat pengampunan. Tapi sekarang kebohongan yang sudah kuucapkan lebih memberatkan hatiku daripada dosaku yang lain. Semoga Tuhan mengampuniku! Sejak kesalahanku diputuskan, aku dipaksa disuruh mengaku. Aku diancam dan ditakut-takuti, sampai aku hampirhampir berpikir bahwa aku penjahat seperti yang dituduhkan kepadaku. Aku diancam tidak akan diakui sebagai umat dan akan dibakar dalam api neraka, kalau aku tetap keraa kepala. Tak ada seorang pun yang membelaku. Semua memandang diriku sebagai penjahat yang harus dihina dan di-nista. Apa yang dapat kulakukan" Pada saat-saat yang penuh penderitaan aku mengucapkan pengakuan bohong. Sekarang aku benar-benar sangat menderita. Justine berhenti berbicara, menangis, dan kemudian meneruskan, Aku merasa ngeri, Nona yang baik, jangan-jangan kau percaya kepada pernyataanku. Bibimu sangat menghargai diriku, dan kau end n sangat menyayangiku. Dan aku dianggap makhluk yang mampu melakukan kejahatan yang tidak sanggup dilakukan orang lain, hanya iblis saja yang bisa melakukannya. William yang kusayangi! Anak yang paling kukasihi! Aku akan segera bertemu lagi denganmu di surga, dan di sana kita akan berbahagia kembali. Hanya itu yang membuatku terhibur, walaupun aku akan menghadapi kematian yang penuh kenistaan.
Oh, Justine! Maafkan aku karena sesaat kehilangan kepercayaan kepadamu. Mengapa kau mengaku" Tapi jangan kau bersedih, Adikku sayang. Aku akan mengajukan pernyataan, aku akan membuktikan bahwa kau tidak bersalah. Aku akan meluluhkan hati musuhmu yang Bekeras batu dengan air mata dan permohonanku. Kau tidak akan mati! Kau, teman bermainku, sahabatku, adikku, akan binasa di tiang gantungan" Tidak! Tidak! Aku takkan tahan menahankan kemalangan yang sangat mengerikan ini.
Justine menggelengkan kepala dengan sedih. Aku tidak takut mati, katanya. Rasa takut semacam itu sudah tidak kurasakan lagi. Tuhan sudah membuang kelemahanku, serta memberiku kekuatan dan keberanian untuk menahankan penanggungan yang paling buruk. Aku akan meninggalkan dunia yang penuh kesedihan dan kepahitan. Kalau kau Belalu mengingat diriku sebagai orang yang dijatuhi hukuman secara tidak adil, aku sudah merasa tenang untuk menerima takdirku. Belajarlah dariku, Nona yang baik. Selalulah sabar menerima kehendak Tuhan!
Selama percakapan ini aku menyingkir ke sudut ruang tahanan. Di situ aku bisa menyembunyikan penderitaan luar biasa yang menguasai diriku. Korban yang malang ini besok pagi akan melalui batas hidup dan mati dengan cara paling mengerikan. Tapi dia tidak merasakan penderitaan yang begitu dalam dan pahit, seperti yang kurasakan.
Aku mengeretakkan gigi dengan geram, serta mengeluarkan suara erangan dari dalam hati sanubariku. Justine terperanjat. Setelah dia melihatku, dia datang menghampiriku dan berkata:
Tuan yang terhormat, kau baik sekali sudi mengunjungiku. Kau juga kuharap tidak percaya bahwa aku bersalah"
Aku tidak bisa menjawab. Tidak, Justine, kata Elizabeth. Dia bahkan lebih yakin daripada aku bahwa kau tidak bersalah. Bahkan setelah mendengar kau telah mengaku, dia masih tidak mau percaya.
Aku benar-benar sangat berterima kasih kepadanya. Pada saat terakhir ini aku merasa berv hutang budi kepada semua orang yang punya anggapan baik terhadap diriku. Sungguh manis rasanya kasih sayang orang lain yang ditujukan kepada orang yang malang seperti diriku! Perasaan ini melenyapkan separuh kesedihanku. Sekarang kau sudah tahu bahwa aku tidak bersalah, Nona yang baik, dan demikian pula saudara sepupumu. Sekarang kurasa aku akan bisa mati dalam kedamaian. Demikianlah Justine yang sedang menderita berusaha menghibur orang lain dan dirinya sendiri. Dia sudah menemukan ketenangan jiwa dalam sikap pasrah yang kini didapatnya. Tapi aku, pembunuh yang sebenarnya, akan selalu merasakan penderitaan yang tak ada habis-habisnya serta tanpa harapan bisa mendapat penghiburan.
Elizabeth juga menangis dan bersedih hati. Tapi kesedihannya kesedihan orang yang tidak berdosa. Kesedihannya bagaikan awan yang menutupi bulan purnama; sebentar menyembunyikannya, tapi tidak meninggalkan cacat pada kecemerlangannya.
Sedangkan aku, kesedihan dan putus asa menusuk sampai ke hati nuraniku. Aku membawa api neraka dalam diriku, yang tak terpadamkan oleh apa pun juga. Kami menemani Justine selama beberapa jam. Akhirnya hanya dengan susah payah Elizabeth bisa memaksa dirinya meninggalkan Bel tahanan. Aduh, tangis Elizabeth, ingin sekali aku turut mati bersamamu. Aku tidak tahan lagi hidup di dunia yang penuh kesedihan ini.
Justine berusaha memperlihatkan wajah gembira, sambil dengan susah payah menahan air mata kesedihannya. Dia memeluk Elizabeth seraya berkata dengan perasaan agak tertekan:
Selamat berpisah, Nona yang baik, Elizabeth sayang, satu-satunya sahabatku yang tercinta. Semoga Tuhan Yang Maha Pemurah memberkati dan selalu melindungimu. Semoga ini kemalangan terakhir yang kaurasakan! Semoga hidupmu bahagia, sehingga kau pun bisa membahagiakan orang lain pula. Keesokan harinya Justine dihukum mati. Permohonan Elizabeth yang memilukan hati tidak menggoyahkan para yuri dari keputusan yang telah diambil. Betapapun suci dan baik perangainya, Justine tetap dianggap pelaku tindak kejahatan.
Permohonanku yang bernafsu dan penuh kemarahan juga sia-siauntuk mengubah pendirian mereka. Jawaban mereka dingin, keras dan kasar serta dengan pertimbangan yang tanpa perasaan. Mendengar jawaban mereka, sumpah yang akan kuucapkan tidak jadi keluar dari mulutku. Sebenarnya aku sudah memutuskan lebih baik dianggap orang gila, daripada membiarkan korban perbuatanku dijatuhi hukuman mati. Tapi rupanya paling-paling aku hanya akan dianggap orang gila tanpa hasil apa-apa. Justine binasa di tiang gantungan sebagai seorang pembunuh!
Dari kesedihan yang kurasakan, aku ganti merenungkan kesedihan Elizabeth yang sangat dalam. Ini juga akibat perbuatanku! Demikian juga kesedihan yang diderita ayahku, serta suasana gembira yang sudah terhapus dari rumahku semua ini hasil kerja tanganku yang terkutuk!
Menangislah kau, hai orang yang bersedih hati, tapi ini bukan air matamu yang penghabisan! Kau masih akan mengeluarkan lagi ratapan pada pemakaman! Suara ratapan mu akan terus-menerus terdengar. Kehancuran takkan berhentihentinya, sampai liang kubur mengakhiri siksaanmu!
Demikianlah sukmaku menyuarakan ramalan, sementara hatiku dicabik-cabik rasa penyesalan, kengerian dan putus asa. Dengan pandangan hampa kutatap kuburan William dan Justine, orang-orang tercinta yang mengalami penderitaan sia-sia. Mereka korban-korban pertama perbuatanku yang tidak terpuji.
Bab 9 TIDAK ada lagi yang lebih menyakitkan bagi perasaan manusia daripada ketenangan tanpa kesibukan dan ketakpastian, setelah perasaan dibebani peristiwa yang menyedihkan. Demikian juga yang kurasakan sekarang. Jiwaku hampa dari harapan, dan bahkan dari rasa takut.
Justine telah mati, telah beristirahat dalam kedamaian, tapi aku masih hidup. Darah masih mengalir dengan lancar dalam tubuhku, tapi beban kepu-tusasaan dan penyesalan menekan hatiku serta tak tersingkirkan. Aku tidak bisa tidur lagi. Aku mengembara ke mana-mana seperti roh jahat. Sebab aku telah melakukan perbuatan jahat yang keke-jiannya di luar batas, namun rupanya jauh lebih banyak lagi yang masih akan terjadi.
Walaupun demikian sebenarnya hatiku penuh kebaikan dan cinta kebajikan. Sejak masih kecil aku sudah bercita-cita ingin berguna bagi sesama manusia. Tapi sekarang apa yang kuidam-idamkan sudah hancur-lebur. Aku tidak bisa menoleh ke belakang dengan rasa puas akan hasil yagg kuper-oleh serta mengharapkan hasil baru. Jauh dari itu. Bahkan sebaliknya, kini aku tercengkam oleh penyesalan dan rasa bersalah. Aku sudah merasakan siksaan neraka yang tidak bisa dilukiskan dengan kata-kata. Perasaan ini merusakkan kesehatanku, yang rupanya belum pulih benar-benar sesudah terkena goncangan yang pertama. Aku menghindari wajah manusia. Semua suara kegembiraan dan kepuasan hati bagiku merupakan siksaan. Aku hanya bisa memperoleh penghiburan dengan kesendirian menyendiri di tempat sepi dan gelap, sesepi dan se gelap kematian sendiri.
Ayah sangat sedih melihat perubahan pada tingkah laku dan kebiasaanku. Dia berusaha membangkitkan keberanianku untuk mengenyahkan awan hitam yang menyelubungi diriku. Victor, kata ayahku, apakah kau mengira aku tidak turut bersedih hati" Tak ada orang yang bisa mencintai seorang anak lebih dari aku mencintai adikmu... air matanya mulai berlinang sementara dia berbicara. Tapi kita harus bisa menahan diri, jangan sampai kita memperlihatkan kesedihan yang di luar batas. Kau juga tidak boleh bersedih hati sedalam itu, sehingga kau tidak mengindahkan kesenangan hidup lagi. Kau bahkan sudah tidak mempedulikan kebutuhan sehari-hari, padahal tanpa itu semua kau tidak bisa masuk ke dalam pergaulan masyarakat.
Nasihat ini memang baik, tapi sama sekali tidak cocok bagiku. Seharusnya akulah yang lebih dulu menyembunyikan kesedihanku dan menghibur keluargaku. Tapi penyesalanku berpadu dengan kepahitan, kengerian, ketakutan dan beberapa perasaan lainnya. Sekarang aku hanya bisa menjawab nasihat ayahku dengan air muka putus asa, serta menyembunyikan diri dari pandangannya.
Tidak berapa lama kemudian kami pindah ke rumah kami di Belrive. Perubahan suasana ini sangat cocok bagi suasana hatiku. Tinggal di dalam tembok kota Jenewa bagiku sangat membosankan. Pintu gerbangnya sudah ditutup pada jam sepuluh malam, sehingga lewat dari jam ini aku tidak bisa menyepi dekat danau. Itulah yang menyebabkan aku tidak tahan tinggal dalam kota. Tapi sekarang aku sudah bebas.
Seringkali kalau seluruh keluarga sudah tidur, aku mengambil perahu dan selama berjam-jam berperahu di tengah danau. Kadang-kadang dengan layar terpasang aku mengikuti tiupan angin. Dan pada kesempatan lain aku berdayung ke tengah danau, kemudian membiarkan perahu terapung-apung sementara aku merenungkan kesedihanku.
Di tengah ketenangan aku seringkali berpikir bahwa akulah satu-satunya makhluk hidup yang sedang mengembara di tengah keindahan surgawi. Sesekali hanya kepakan sayap kelelawar atau suara katak saja yang memecahkan kesunyian. Di tengah ketenangan ini aku seringkali tergoda oleh keinginan menceburkan diri ke danau, supaya aku tenggelam dalam air dan penderitaanku lenyap untuk selama-lamanya.
Tapi ingatan kepada Elizabeth selalu bisa mencegahku menuruti godaan ini. Dia juga menderita, tapi menghadapi penderitaannya dengan tabah. Dia sangat kucintai, dan hidupnya dalam satu ikatan dengan hidupku. Aku juga memikirkan ayah dan adikku yang masih ada. Patutkah aku mengakhiri hidupku secara keji dan membiarkan mereka tanpa perlindungan terhadap ancaman iblis yang kulepaskan di tengah kehidupan mereka"
Pada saat-saat semacam itu aku lalu menangis dengan hati sangat pedih. Aku sangat mendambakan kembalinya ketenangan jiwaku, supaya aku bisa menghibur dan membahagiakan keluargaku. Tapi hal itu mustahil. Rasa sesal sudah mematikan setiap harapan. Aku sudah menjadi pencipta dan penyebab bencana. Kini setiap hari aku hidup dalam ketakutan, jangan-jangan makhluk yang telah kuciptakan akan melakukan perbuatan jahat lagi. Aku punya firasat samar-samar bahwa bencana masih belum berakhir, dan dia masih akan melakukan kejahatan yang lebih besar daripada sebelumnya. Aku masih belum lepas dari cengkeraman rasa takut, selama masih ada orang yang kucintai di alam fana ini.
Kebencian dan kejijikanku kepada iblis ini tidak bisa dibayangkan. Setiap kali teringat kepadanya aku selalu mengeretakkan gigi dengan mata menyala-nyala. Ingin sekali aku memusnahkan hidup yang telah kuberikan kepadanya. Kalau aku teringat kepada kekejian dan perbuatan jahatnya, kebencianku rasa mendidih. Nafsu ingin membalas dendam menggelegak dalam jiwaku. Aku bersedia naik ke puncak pegunungan Andes yang tertinggi, supaya aku bisa melemparkannya ke bawah. Aku ingin melihatnya lagi, supaya aku bisa meremukkan kepalanya untuk melampiaskan kebencianku dan menuntut bela atas kematian William dan Justine.
Rumah kami selalu diliputi mendung suasana berkabung. Kesehatan ayahku merosot dengan cepat karena kengerian peristiwa yang baru terjadi. Elizabeth selalu murung dan bersedih hati. Dia tidak lagi menjalankan tugasnya seharihari dengan penuh keriangan seperti sediakala. Dia menganggap kesenangan apa pun juga merupakan penghinaan kepada mereka yang sudah mati. Ya, Elizabeth beranggapan bahwa kesedihan dan air mata abadi merupakan penghargaan yang layak bagi mereka yang dibinasakan tanpa dosa. Elizabeth bukan lagi gadis periang seperti dulu, waktu kami berjalan-jalan di tepi danau dan membicarakan masa depan kami dengan gembira danpenuh semangat. Kesedihan sudah mulai singgah pada dirinya, dan pengaruhnya yang suram menghapuskan senyumannya yang paling manis.
Kalau kupikirkan, Victor, katanya, setelah kematian Justine Moritz yang menyedihkan, aku tidak bisa lagi melihat dunia beserta semua isinya seperti yang telah kulihat sebelumnya. Dulu aku mengenal kejahatan dan ketakadilan hanya dari ^ yang kubaca dalam buku, atau kudengar dari orang lain sebagai dongeng atau cerita khayal. Sekurang-kurangnya dulu semuanya terasa lebih jauh daripada kenyataan. Tapi sekarang setelah merasakan kesedihan, bagiku manusia kelihatan sebagai serigala yang ingin saling memakan sesamanya. Tapi tentu saja aku tidak jujur. Setiap orang percaya bahwa Justine bersalah. Dan kalau memang dia benar-benar melakukan tindak kejahatan yang menyebabkan dia sampai mengalami nasib de-^ mikian, berarti jelas dia makhluk yang paling hina di antara manusia lainnya. Hanya karena menginginkan perhiasan yang tidak seberapa, dia telah membunuh anak majikannya, anak yang diasuhnya sejak baru lahir dan kelihatan dicintainya seper i anak sendiri. Aku tidak pernah menyetujui pembunuhan kepada sesama manusia dengan alasan apa pun. Tapi tentu saja aku berpendapat bahwa manusia semacam itu tidak layak tetap berada di tengah masyarakat. Tapi Justine tidak bersalah! Aku tabu dan bisa merasakan bahwa dia tidak berdosa. Kau juga sependapat denganku, dan itu memperkuat pendapatku sendiri. Aduh" Victor, kalau kepalsuan bisa kelihatan begitu sama dengan kebenaran, siapa yang bisa yakin akan kebahagiaannya sendiri" Aku merasa seakan sedang berjalan di pinggir jurang, dan ribuan manusia sedang berusaha menjerumuskan diriku ke dalamnya. William dan Justine mati dibunuh, dan pembunuhnya lolos. Dia masih berkeliaran di muka bumi ini dengan bebas merdeka, mungkin bahkan dihormati sebagai orang terpandang. Tapi walau pun seandainya aku harus mati di tiang gantungan seperti Justine, aku tidak sudi bertukar tempat dengan iblis pembunuh ini.
Aku mendengarkan kata-kata Elizabeth dengan penderitaan yang tak terperi. Akulah pembunuh yang sebenarnya. Bukan karena perbuatan secara langsung, tapi karena akibat perbuatanku. Elizabeth melihat kesedihan pada air mukaku. Dengan kasih sayang dia memegang tanganku dan berkata:
Sahabatku tersayang, kau harus menenangkan dirimu. Peristiwa ini juga sangat berpengaruh terhadap dirimu. Hanya Tuhan saja mungkin yang tahu betapa dalam kesedihanku. Hatiku juga remuk seperti hatimu. Tapi wajahmu membayangkan putus asa, dan kadang-kadang keinginan membalas dendam yang membuatku menggigil. Victor sayang, buanglah jauh-jauh rasa dendammu. Ingatlah kepada semua sahabatmu, yang menggantungkan harapan kepadamu. Apakah kami sudah kehilangan kemampuan untuk memberikan kebahagiaan kepadamu" Ah! Selama kita masih saling mencinta, selama kita masih setia kepada satu sama lainnya, di negerimu yang tenteram dan indah permai ini kita masih akan bisa menuai berkat kedamaian. Apa yang akan menggangu ketenangan kita"
Dan tidak dapatkah kata-kata Elizabeth yang jauh lebih kuhargai daripada harta benda mengusir iblis yang bermukim dalam hatiku" Sementara dia berbicara aku semakin merapat kepadanya, seakan-akan aku merasa takut jangan-jangan iblis perusak merenggutkan diriku dari padanya saat itu juga.Tapi baik kelembutan persahabatan maupun keindahan dunia dan surga tidak bisa menebus sukmaku dari cengkeraman kesedihan. Bahkan rasa cinta sendiri tidak berdaya. Aku merasakan diriku tertutup mendung tebal yang tidak dapat ditembus oleh suatu apa pun. Diriku bagaikan rusa luka yang berjalan terseokseok menuju tempat persembunyian, untuk melihat anak panah yang menembus tubuhnya dan untuk menemui ajalnya.
Kadang-kadang aku bisa mengatasi kesedihan dan rasa putus asa yang menguasaiku. Tapi seringkali pula pusaran jiwaku mendorongku untuk mencari sarana yang bisa melepaskan diriku dari penderitaan yang tak tertahankan rasanya. Karena dorongan inilah maka aku meninggalkan rumahku. Aku pergi ke lembah pegunungan Alpen yang terdekat. Aku ingin melupakan kesedihanku di tengah alam yang serba hebat dan pemandangannya indah. Pengembaraanku kutu u k n ke arah lembah Chamounix. Sejak masih kanakkanak aku sudah sering pergi ke sana. Tapi aku tidak pemah mengunjunginya lagi sejak enam tahun yang terakhir ini. Kini aku sudah merupakan barang rongsokan. Sedangkan pegunungan dan alam yang masih liar ini tidak ada yang bisa mengubahnya.
Aku menempuh bagian pertama perjalananku dengan naik kuda. Selanjutnya aku menyewa seekor keledai. Di jalan yang berbatu-batu dan naik turun keledai lebih cocok karena lebih tahan. Cuaca sangat bagus. Kini dua bulan sudah berlalu sejak kematian Justine, peristiwa yang mengawali semua kesedihan yang menimpaku. Kini sudah sampai ke pertengahan bulan Agustus.
Beban yang memberati hatiku terasa makin ringan setelah makin dalam aku memasuki lembah Arve. Sisi-sisi gunung yang terjal mengelilingiku, dan terdengar aliran air sungai yang deras di antara batu-batu. Di sana-sini kelihatan air terjun dengan suaranya yang menggemuruh, seakan mengatakan bahwa masih ada kekuatan sangat besar seperti kekuatan Yang Mahakuasa. Aku lalu tidak merasa takut maupun gentar menghadapi apa saja yang tidak sekuat Sang Pencipta Alam Semesta.
Tapi setelah aku mendaki semakin tinggi baru kulihat bahwa lembah lebih hebat dan lebih menakjubkan. Di sisi-sisi tebing dan lereng gunung tampak runtuhanruntuhan kastil. Di sana-sini di lereng gunung Arve yang ditumbuhi pohon pinus tampak beberapa buah pondok di antara pepohonan. Semuanya membentuk pemandangan yang keindahannya sangat unik.
Walaupun demikian keindahan semua ini masih dikalahkan oleh pegunungan Alpen yang puncaknya menjulang tinggi di atasku. Puncak-puncaknya yang berbentuk limas dan kubah putih berkilat-kilat. Rasanya seakan pegunungan ini ada di alam lain, serta dihuni oleh makhluk lain pula.
Aku menyeberangi jembatan Pelissier. Di situlah jurang tempat sungai bermata air terbuka di hadapanku. Aku lalu mulai mendaki lereng gunung di sisi jurang ini. Tidak lama kemudian aku sudah memasuki lembah Chamounix. Lembah ini indah dan tenang, walaupun tidak seindah lembah Servox yang baru saja kulalui.
Pemandangan di semua arah dibatasi oleh pegunungan bersalju. Kini aku tidak lagi melihat runtuhan kastil maupun padang yang menghijau subur. Kulihat gleser yang sangat luas mengalir turun menuju ke jalan. Suaranya mengguruh, dan kulihat asap mengepul menandai tempat jatuhnya salju runtuh ini. Mont Blanc yang perkasa sudah kulihat menjulang tinggi di antara puncak-puncak lain yang bentuknya seperti menara. Kubahnya yang dahsyat tampak angker, tegak menghadapi lembah.Selama dalam perjalanan ini kenangan manis yang sudah lama dilupakan seringkali kembali kepadaku. Suatu tikungan jalan atau suatu obyek baru tiba-tiba kulihat dan kukenali kembali. Semua mengingatkanku kepada hari-hari yang sudah lama silam, yang berhubungan dengan kegembiraan di masa kanak-kanak.
Angin yang bertiup terasa membisikkan kata-kata hiburan yang menenangkan, dan Alam yang keibuan seakan membujukku agar aku tidak terus menangis. Kemudian lagi-lagi pengaruh yang baik ini kehilangan daya dan sekali lagi aku tercengkam kembali oleh kenangan yang menyedihkan.
Aku lalu memacu tungganganku. Dengan berbuat demikian aku berusaha melupakan dunia, ketakutanku, dan lebih dari segala-galanya, diriku sendiri. Pada kesempatan lain, kalau kesedihan begitu kuatnya menguasai batiku, aku turun dan melemparkan tubuhku sendiri ke atas rumput. Aku menelungkup dan menangis sejadi-jadinya, tidak tahan menahan beban kesedihan dan putus asa. Akhirnya aku sampai ke desa Chamounix. Kelelahan jasmani dan rohani serasa menghabiskan semua tenagaku. Beberapa waktu lamanya aku berdiri di muka jendela. Aku melihat kilat yang memancar di puncak Mont Banc dan mendengarkan desauan air sungai Arve yang dengan deras mengalir ke bawah. Semua suara yang kudengar terasa menghimbau inderaku yang sangat perasa. Setelah aku meletakkan kepalaku di atas bantal, rasa kantuk segera menyerangku. Aku terlelap tidur, dan dalam sekejap semuanya terlupakan olehku.
Bab 10 KEESOKAN harinya aku mengisi waktuku dengan mengembara di lembah. Aku berdiri dekat mata air sungai Arveiron, yang menggelegak ke luar dari tanah dan mengalir turun ke lembahDi depanku kulihat lereng gunung yang hampir tegak lurus, sangat terjal. Dinding salju kelihatan menggantung di atasku.
Satu dua batang pinus kulihat tersebar di sekitarku. Kesunyian di tengah alam yang serba hebat ini sesekali hanya dipecahkan oleh bunyi bongkahan es yang berguling-guling atau jatuh terhempas. Kadang-kadang dinding es atau lapisan salju runtuh, menimbulkan bunyi bergemuruh dan menggetarkan tanah yang kuinjak.
Pemandangan alam yang menakjubkan di sekelilingku memberikan pengaruh yang menenangkan atas diriku. Kesedihanku masih belum terhapus karenanya, tapi rasa kedamaian menenteramkan pikiranku. Sedikit demi sedikit bahkan suasana di sekitarku mulai mengalihkan pikiranku dari hal-hal yang membuatku murung selama sebulan yang terakhir ini.
Di waktu malam aku beristirahat untuk memulihkan tenagaku. Tidurku juga tenang, terpengaruh oleh ketenangan yang kusaksikan pada siang harinya. Semua seakan bersatu untuk meneriangkan pikiranku: puncak gunung bersalju yang putih bersih, menara es yang berkilat-kilat, pohon-pohon pinus, jurang batu karang yang tandus, serta burung elang yang membubung tinggi di antara awan berarak. Semua berkumpul untuk membujukku agar hatiku tenteram kembali. Tapi ke mana larinya semua ini waktu aku bangun tidur keesokan harinya" Semua yang menenangkan jiwaku lenyap bersama lenyapnya rasa kantuk. Kini pikiranku kembali digelapkan oleh awan kesedihan.
Hujan turun dengan lebatnya, dan kabut yang sangat tebal menyembunyikan puncak gunung dari penglihatanku. Aku tidak lagi bisa melihat wajah-wajah alam yang ramah, yang selama ini sudah menjadi sahabatku. Tapi aku akan berusaha menembus cadar kabut ini, serta mencari mereka yang kini bersembunyi di balik awan.
Apa artinya hujan dan badai bagiku" Aku menyiapkan keledaiku, dan aku bermaksud mendaki puncak Montanvert. Aku masih ingat kepada pengaruh yang diberikan oleh lapangan ea yang selalu bergerak ini kepada pikiranku, waktu pertama kali aku melihatnya. Waku itu pikiranku terisi oleh kepuasan yang tak ada taranya. Jiwaku seakan diberi sayap yang memungkinkannya bisa membubung tinggi ke dunia lain yang penuh cahaya dan sukacita. Pemandangan alam yang hebat bisa
Menenangkan perasaanku, serta membuatku bisa melupakan kesedihan yang baru kualami. Aku bermaksud pergi seorang diri tanpa penunjuk jalan. Aku sudah kenal baik dengan semua jalan dan lorong, dan kehadiran orang lain kuanggap hanya akan merusakkan ketenangan alam yang agung. Pendakian yang kujalani sangat curam. Tapi jalan setapak yang kulalui sudah dibuat berkelok-kelok, yang memudahkan pendakian sampai ke I puncak gunung. Di mana-mana tampak ribuan bekas runtuhan dinding es di musim dingin. Di beberapa tempat bekas ini ditandai oleh kayu-kayu roboh ke tanah. Beberapa batang kayu bahkan ada yang hancur sama sekali. Lainnya ada yang hanya condong menyandar pada batu karang atau pada batang pohon lainnya. Semakin tinggi aku mendaki, kulihat jalan setapak seringkali terpotong oleh alur bekas aliran salju atau rusak oleh batu yang selalu jatuh berguling-guling ke bawah. Di salah satu tempat bahkan ada jalan yang sangat berbahaya. Di situ suara keras sedikit saja akan cukup untuk menggetarkan udara sehingga menyebabkan bungkah-bungkah es runtuh menimpa orang yang berjalan di bawahnya.
Mereka Datang Ke Baghdad 1 Pendekar Bodoh 9 Sengketa Ahli Sihir Gadis Buronan 1