Pencarian

Konspirasi Langit 3

Konspirasi Langit Karya Unknown Bagian 3


"Sekarang iya," Wharton menjawab dengan muka masam. Ia memutar kunci, dan pintu itu berayun terbuka. Ia menekan sakelar di dinding dan beberapa lampu neon yang menggantung diatas pun menyala.
Museum itu kecil, tidak lebih luas daripada rata-rata ruang keluarga. Di situ terdapat map-map dan lukisan-lukisan di dinding serta kotak-kotak pameran yang ditutup dengan kaca tersusun di seputar dinding. Ruangan itu memiliki sebuah pemandangan gaya lama, seperti foto-foto yang pernah dilihat Finn dalam pameran di lembaga Smithsonian baru-baru ini. Kotak-kotak pameran itu memuat segala sesuatu mulai dari koleksi telur-telur burung yang tergeletak diatas alas berupa bola-bola katun warna kuning sampai sebuah stereoptikon kuno dengan beberapa slide film medali emas Olimpiade untuk olahraga lari-lompat-lempar dari tahun 1924 dan Medali Kehormatan Kongres milik seseorang dari zaman Peran Dunia II.
Pada ketinggian dinding diatas salah satu kotak pameran, terdapat sepasang senapan caplock Brown Bess dari Perang tahun 1812. Dan di dalam kotak pameran itu sendiri, terdapat sebuah koleksi kenangan Perang Sipil, termasuk pistol Colt angkatan laut tua. Di sebelah pistol itu, di barisan yang mengerikan, ada sepasang teropong berbalut kuningan dengan lensa depan yang hancur dan lensa mata terpelintir dan berantakan. Finn meringis. Hal itu memberikan makna baru, yaitu: "Jangan tembak sampai Anda melihat pubih mata mereka."
Jauh ke sebelah kanan, hampir tak dapat dilihat, ada sebuah lukisan kecil dari cat minyak bergambar seekor kera yang tampaknya dibuat secara amatiran. Lukisan itu kelihatan seakan-akan tak pernah dibersihkan selama bertahun-tahun. Dibawahnya ada sebuah kotak display dari kayu dan kaca. Sebagian kacanya, berbentuk segitiga, telah diambil secara kasar, jelasnya telah dipotong dengan intan pemotong kaca dan dilepaskan dengan segumpal dempul sehingga kotak itu berlubang. Potongan kaca segitiga itu masih tergeletak di salah satu sisi lubang itu, dan keseluruhan kotak pameran tertutup dengan debu sidik jari. Finn melihat ke dalam lubang, dan ia dapat melihat tempat pisau melengkung itu terletak pada kain beludru hijau yang menutupi bagian dasar kotak, meninggalkan bekas lebih gelap, pengaruh hantu pada senjata itu yang tak hilang. Sebuah kartu kecil bertulisan cetak yang berbunyi : MOORISH RITUAL DAGGER HADIAH DARI KOLONEL GEORGE GATTY.
"Siapa George Gatty itu?" tanya Finn.
"Menurut catatan yang ada, ia berada di sini pada tahun tiga puluhan. Melanjutkan belajar di West Point."
"Dimana ia dapat menemukan sebuah belati Spanyol," bisik Valentine.
"Barangkali di masa perang. Maroko Spanyol, Casablanca, daerah sekitar itu."
"Anda menguasai sejarah abad ke dua puluh," Valentine berkomentar.
"Di samping menjadi kepala sekolah, saya juga kepala departemen sejarah. Saya mengajar tingkat enam."
"Tingkat enam?" tanya Finn.
"Maksudnya kelas dua belas," kata Valentine.
"Ada lagi yang Anda ketahui tentang Gatty"
"Tidak. Hanya itu. Ia datang ke sini pada tahun tiga puluhan dan melanjutkan belajar ke West Point. Itulah semua keterangan tentang dia yang dapat saya berikan, juga kepada polisi."
"Anda tidak tahu dimana kami dapat menemuinya?"
"Menelusuri jejak siswa-siswa lama bukanlah tugas saya, Tuan Valentine. Itulah perlunya ada persatuan alumni."
"Dr. Valentine."
"Apa pun sebutan diri Anda." Wharton memutar tumitnya dan meninggalkan museum.
"Laki-laki lekas marah," Valentine menyimpulkan.
"Aku baru akan mengatakan begitu," komentar Finn. "Menurutmu, kita dapat menemkan jejak Kolonel Gatty?"
"Dengan nama semacam itu, aku kira tidak terlalu sulit."
Untuk terakhir kali, Valentine memandang lukisan kecil diatas kotak pameran dan kemudian mengikuti Wharton keluar dari museum kecil itu. Wharton sudah menunggu disamping pintu. Setelah Finn dan Valentine melangkah keluar dari ruangan itu, Wharton menutup pintu dan menguncinya.
"Adakah hal lain yang dapat saya bantu?" tanya si kepala sekolah.
"Tidak," kata Valentine sambil menggelengkan kepalanya. "Saya kira saya sudah cukup melihat."
Wharton memandang mereka dengan tajam. "Kalau bagitu, maka barangkali saya harus mengucapkan selamat tinggal."
"Terima kasih atas bantuan Anda." Valentine mengangguk.
"Tak masalah," jawab Wharton. Ia berbalik dan kembali menuju pintu masuk ruang penyimpanan jas. Begitu Finn dan Valentine menyusul, ia tak terlihat lagi, langkah kakinya bergema jauh ketika ia kembali menuju kantornya melalui koridor sekolah. Valentine dan Finn keluar melalui pintu yang lebih kecil hingga memasuki lapangan segi empat dan merasakan panasnya sinar matahari.
"Nah, dari semua itu, kesimpulan apa yang kau dapat?" kata Valentine ketika mereka kembali menuju seberang lapangan segi empat itu.
"Apakah ini teka-teki?" kata Finn.
"Kalau kau mau."
"Dari mana aku mesti mulai?"
"Dari permulaan, tentu saja."
"Kantornya berbau tembakau tetapi aku tak melihat ada satupun pipanya."
"Ya, aku juga menangkap hal itu."
"Uh, ia ingin memastikan kita tidak melihat-lihat sekolah ketika berjalan ke museum kecil itu, jadi barangkali ada seseorang yang tidak boleh kita lihat ... mungkin si perokok itu."
"Ada yang lain?"
"Aku kira ia berbohong tentang Crawley. Aku bertaruh jika kita selidiki, kita akan mengetahui bahwa Crawley pernah bersekolah di Grefriars."
"Teruskan." "Kukira ia juga berbohong tentang Kolonel Gatty. Aku bertaruh ia mengetahui lebih dari yang ia ceritakan."
"Mengapa kau mengira ia berbuat seperti itu?"
"Aku tak yakin. Aku kira ia melindunginya karena suatu alasan."
"Yang lain?" "Tidak ada, kecuali bahwa kau tampaknya tertarik sekali dengan lukisan kera di museum itu. Tampak seperti karya Picasso yang kumal dan tak berharga lagi."
"Lukisan itu karya Juan Gris."
"Si penganut aliran cubisme itu?" Gris, orang Spanyol seperti Picasso dan juga tetangganya di Paris, adalah salah seorang eksponen pertama dari aliran cubis bersama dengan George Braque. Finn telah mempelajarinya secara singkat pada tahun kedua kuliahnya. Jika Valentine benar, lukisan itu amat tinggi harganya.
"Kalau asli, itu adalah lukisan kanvas tanpa judul produksi tahun 1927. Lukisan itu seharusnya tidak disitu."
"Kenapa tidak?" tanya Finn. "Hadiah alumnus lainnya yang baik hati?"
"Meragukan," jawab Valentine. Lukisan itu dirampas oleh orang-orang Nazi pada tahun 1941 dari Galeri Wildenstein di Paris dan sejak itu tak pernah terlihat atau terdengar lagi."
"Bagaimana bisa ada disini?"
"Sekarang itu menjadi misteri, bukan?"
Mereka sampai dimobil sewaan itu. Mobil Taurus masih disitu. Mobil Jaguar sudah tidak ada. "Kita dapat menduga mobil Taurus itu milik Nona Mimble,"
"Aku kira Jaguar itu milik Wharton."
"Tadinya aku juga berpikir begitu, sampai kulihat foto dibelakang mejanya. Foto itu benar-benar menunjukkan sebuah rumah besar yang tersembunyi dibelakang gedung utama. Kediaman si kepala sekolah."
"Jadi, siapa pemilik mobil Jaguar itu?"
"Orang yang mengisap pipa rokok di kantor Wharton sebelum kita datang."
"Sial," gumam Finn. "Kita harus mendapatkan nomor plat mobil itu."
"Itu plat nomor veteran Perang Dunia II New York . ILGS269."
Entah bagaimana Finn tak kaget kalau Valentine bisa ingat nomor plat mobil itu. "Kolonel Gatty?"
"Mungkin. Cukup mudah untuk mengetahui." Ia melemparkan kunci mobil kepada Finn. "Kau yang mengemudi." Finn membuka pintu dan duduk di belakang kemudi. Valentine naik dan duduk di jok sebelah. Ia mengulurkan tangan ke bawah untuk mengambil kotak laptopnya dibawah tempat duduk dan menyambungkannya ke stopkontak korek api yang kosong. Ia menyalakan komputer itu, memasang modem-tanpa-kabel GPRS dan dengan mudah menyusup ke dalam database Departemen Kendaraan Bermotor New York. Finn mengemudikan mobil dengan kencang diatas jalan panjang dan kemudian berbelok memasuki jalan yang mengarah kembali ke jalan raya. Dalam beberapa menit Valentine sudah mendapatkan apa yang dicarinya.
"Inilah Gatty. Ia tinggal di dekat Museum of National History."
"Tak perlu waktu yang lama."
"Apa pun yang dapat dilakukan teroris Afghanistan, aku dapat melakukannya dengan lebih baik. "Valentine meringis. Ia menekan kunci di atas laptopnya dan menutupnya. Mereka meluncur kembali ke New York."
Next20 Malam telah tiba dan burung-burung elang malam sedang mengeluarkan kicau perkawinan mereka yang nyaring sembari menyambar-nyambar di langit ungu diatas sana. Alih-alih menjadi gelap, rumah pertanian dan gudang-gudang justru bermandikan cahaya dari setengah lusin lampu keamanan diatas tiang-tiang tinggi, yang dinyalakan dengan letupan generator portabel kecil entah dimana. Siapa gerangan yang mempunyai bahan bakar untuk menerangi rumah pertanian di saat-saat seperti ini, yang akan menjadi sasaran empuk bagi pesawat-pesawat terbang tentara Sekutu diatas sana, atau patroli-patroli yang lewat" Tetapi penerbangan-penerbangan Sekututak pernah sampai mendekati perbatasan Swiss, dan tak ada patroli sama sekali yang berkeliaran di daerah ini kecuali mereka. Daerah ini adalah zona mati, dimana perang yang terjadi adalah perang pribadi.
Mereka membuat sebuah barak musim dingin di dalam area berpohon dengan menggunakan bekas-bekas pagar batu yang telah usang, ditutupi dengan semak-semak sebagai atapnya. Salah satu dari hantu-hantu itu, Taggart, berbisik kepada Cornwall, yang sedang membuat catatan dengan menggunakan bloknot kecil dan senternya. Setiap orang lainnya mempunyai makanan kategori M-3 dan sayur rebus atau makanan kategori M-1 dan buncis, yang rasanya sama tak enaknya dengan penyajian yang kelihatannya dingin dan tak cukup matang dimasak. Bukan karena sersan itu sangat memperhatikan; setelah makan "kotoran" itu selama tiga tahun di seluruh Eropa, bagaimanapun ujung-ujung daya kecapnya menipis. Kotoran yang sudah masuk ke perutmu sama saja dengan makanan yang bagus, dan semuanya itu akan keluar menjadi barang yang sama. Seperti kata setiap seorang, ini adalah sebuah perang yang kotor.
Tak dinyana, Cornwall berbicara kepadanya.
"Sersan." "Siap, Pak." "Kita perlu sedikit lebih dekat dengan perkebunan."
"Kita, Pak?" "Kau dan satu regu. Seberapa banyak pun personel yang kau perlukan." Pertanyaan bodoh. Aku butuh seluruh tentara Amerika Serikat kalau bisa. Cahaya dari lampu-lampu Jerman berkedip-kedip menghalangi kacamata laki-laki itu sehingga ia tampak seperti tak punya mata sama sekali. Suaranya seperti seorang guru sejarah, seakan-akan ia tahu segalanya di dunia. Mendengung seperti lebah jantan. "Apa yang ingin Anda ketahui, Pak?"
"Selidikilah situasinya, Sersan. Berapa banyak tentaranya, senjatanya"seperti itulah."
"Baik." Mereka akan melaksanakan bagian tugas yang berat sementara Cornwall, McPhail dan Taggart akan kembali duduk di sini dan bicara tentang seni. Ya, Tuhan!
Sersan itu memilih Teitelbaum dan Reid karena keduanya dapat menutup mulut. Mereka meloncati pagar dan melewati pohon terakhir persis setelah bulan terbenam. Perjalanan itu memakan waktu hampir satu jam sampai mereka tiba di jalan kotor nan sempit yang berakhir di depan perkebunan. Jalan itu berada tepat di pinggir gemerlap cahaya yang berasal dari lampu-lampu tiang yang menimbulkan bayangan dan menutupi parit di tepi jalan sehingga para prajurit-jaga tak melihat mereka.
Sersan itu mengeluarkan teropongnya dan memutarnya pelan-pelan dari kiri ke kanan. Segala sesuatunya sama seperti keadaan sebelumnya, hanya lebih dekat. Ia dapat melihat kerusakan di dinding batu yang ditutupi semak dan di pos jaga. Ia juga dapat melihat beberapa pecahan kayu yang berserakan, yang pada mulanya adalah pintu masuk ke daerah itu. Di sebelah kiri ada seorang penjaga yang tampak sedang merasa tidak senang, mengenakan mantel hujan yang terbuat dari kain kanvas sekalipun hujan seudah berhenti beberapa jam yang lalu. Sersan itu dapat melihat cahaya api rokok bergerak melengkung dari tangan seseorang sampai mulutnya. Sasaran yang mudah ditembak, untuk membalas kematian Hayes, tetapi siapa yang peduli dengan Hayes" Jika penembak jitu masih berada di dalam menara biara, ia dapat menangkap senapannya dan menariknya keluar semudah hitungan satu-dua-tiga. Tidak, ini adalah penyelidikan, tidak lebih.
Sang sersan juga dapat memperkirakan bahwa meloncati dinding batu itu akan menimbulkan masalah. Terlalu tinggi dan dipenuhi semak. Mereka akan bergantungan seperti burung di dalam jaring. Menurut perkiraannya, mereka harus menerobos pintu depan jika ingin masuk secara bersamaan. Di lain pihak, jika ia mengatakan kemungkinan itu kepada Cornwall atau salah satu dari dua perwira gadungan lainnya, mereka berangkat akan melakukannya dan menyudahinya dengan kematian mereka semua. Seperti seseorang mengatakan kepadanya ketika berada di Perancis, mengetahui lebih banyak sama dengan memiliki lebih banyak. Sersa itu memerintahkan kepada Teitelbaum dan Reid untuk berhenti disitu, memberikan petunjuk tentang apa yang tak boleh dilakukan di malam hari, dan mengatakan kepada mereka bahwa ia akan kembali sebentar lagi. Kalau mereka merokok dan karenanya mereka ditembak oleh penembak jitu di reruntuhan biara, itu tanggung jawab mereka sendiri.
Sang sersan menyelinap kembali ke dalam pepohonan dan bergerak ke utara. Ia pernah melihat peta topografi besar kepunyaan Cornwall dan ia tahu ada kemungkinan salah satu monster Jerman itu datang ke jalan dan meledakkan mereka semua ke neraka dengan peluru kaliber 88 mm-nya, tetapi ia tidak melihat seorang pun dan ia tidak memikirkan kemungkinan itu. Pemandangan terburuk yang dia lihat adalah sebuah Panser I tua, yang sepertinya sudah digunakan sejak perang sipil di Spanyol, terbakar habis dan setengah bodinya terperosok di dalam parit di puncak bukit. Ia bersama dengan orang-orang OSS (Office of Strategic Services " Kantor Layanan Strategis, cikal-bakal CIA), dan sepanjang mereka tidak melakukan sesuatu yang bodoh ia akan baik-baik saja. Ia bukan pahlawan-itu sudah pasti. Sekarang ia hanya ingin menyelesaikan tugasnya dan kemudian kembali ke Canarsie.
Ia bergerak melewati pepohonan, matanya otomatis memindai tanah untuk menghindari umpan jebakan atau kawat tombol, telinganya yang sudah terlatih lama itu sangat waspada terhadap suara-suara disekitarnya, pikirannya sendiri otomatis menyatakan bahwa suara itu lebih menyerupai hewan daripada manusia, ia siap untuk bereaksi kapanpun terhadap pemandangan atau suara yang keluar dari perintah alamiah. Akhirnya ia tiba di parit saluran air berikutnya, yang menuju ke sebuah gorong-gorong yang menyusur dibawah jalan menuju tanah lapang di sisi yang lain. Jika disitu ada semacam mekanisme peringatan, ranjau atau tombol, maka ia tahu bencana itu akan terjadi di situ, tetapi disitu tak ada apa-apa. Plat-plat di truk-truk itu bertanda SS (Strategic Services), tetapi mereka bukan pasukan khusus. Pasukan khusus, bahkan tentara yang lugu pun tahu bahwa adalah salah membiarkan sisi kiri dan kanan mereka terbuka seperti ini. Ia memeriksa tanah dengan hati-hati; tidak ada puntung rokok, tidak ada korek api ataupun sisa-sisa makanan, tidak ada bau busuk air kencing yang akan memberikan jejak. Tak ada apa-apa. Ia tersenyum pada dirinya sendiri, dengan gembira ia meninggalkan yang lain di belakang. Sesuatu telah terjadi di sini, sesuatu selincah Cornwall dan dua rekannya yang dipanggil letnan.
Sersan itu berjongkok di dekat gorong-gorong, memandang ke arah tanah. Sampai sekarang ia sudah bersama gerombolan kecil itu selama enam bulan, ia dan yang lainnya diangkut dari kota Antwerp di Belgia persis setelah Belanda dibebaskan dan mereka dipekerjakan di bagian intelijen G2 atas perintah seseorang yang hanya Tuhan yang tahu siapa dia. Sejak itu mereka melakukan perjalanan menyeberangi Eropa, kebanyakan mereka berbicara kepada orang-orang tanpa membahas soal pertempuran sedikitpun. Dua minggu yang lalu mereka berada sekitar lima puluh mil dari Koblenz sambil menunggu kesiapan orang-orang Inggris. Tetapi Cornwall, seperti seekor anjing pemburu dengan penciuman tajam dihidungnya, mengetahui sesuatu sehingga mendesak mereka ke selatan dan timur. Barangkali, yang sedang ia cium adalah: satu unit SS gadungan dan enam truk Opel Bliz muncul di tengah Bavarian, entah dari mana.
Pada saat perang seperti ini, sebuah kendaraan boros bensin seperti Opel Blitz itu"yang mampu melaju sedikitnya tiga puluh mil per jam, atau bahkan lebih kalau kondisi jalannya cukup bagus"nilainya setara dengan emas seberat mobil itu. Truk-truk itu harus mempunyai sejenis tanda khusus dan dokumen-dokumen untuk dapat sampai di selatan, dan dari sana mereka dapat menuju ke Swiss, Italia dan Austria. Tentara Rusia menuju ke timur dan tentara Sekutu menuju ke barat, dan mereka dipencet seperti jerawat. Mereka yang sedang menuju Swiss menghadapi banyak rintangan, karena Italia sudah menyerah dan Austria tidak jauh di belakang. Itu berarti Danau Constance tidak lebih dari enam puluh mil lagi.
Sersan itu memeriksa gorong-gorong, bertanya-tanya seberapa sulit rasa penasarannya dapat membawanya ke dalam saluran itu. Katakan kiriman dalam enam truk Opel itu adalah barang yang benar-benar berharga, dan katakan bahwa Cornwall bermaksud mengambilnya. Tetapi pertanyaan yang sebenarnya adalah, apa yang hendak dilakukannya dengan barang-barang itu setelah diambil. Tugasnya adalah menemukan kembali barang itu kemudian mengembalikannya, melalui jalur yang tepat, kepada para pemiliknya, tetapi ia mulai berasa heran. Barangkali saat ini mereka meninggalkan perang, dan sedang bermain "siapa yang menemukan, ia jadi pemiliknya." Mungkin setiap orang bermain sendiri-sendiri. Mungkin inilah waktunya bagi bocah laki-laki dari Canarsie itu untuk memotong sendiri seiris besar kue itu. Mungkin.
Sersan itu menurunkan tangannya hingga menyentuh ujung kayu sarung sentaja api dipinggulnya. Tak sulit melumpuhkan tiga perwira gadungan yang sebenarnya bukan tentara sama sekali, yang punya pekerjaan enteng di Amerika Serikat, yang kemungkinan semuanya setia. Pekerjaan itu akan menjadi cukup mudah dilaksanakan, tetapi kemudian apa yang akan ia lakukan dengan keenam truk itu" Semua itulah yang dipikirkannya.
Ia berdiri. Fajar menyingsing agak cepat dan kabar melintasi pepohonan laksana sobekan-sobekan kain yang begitu banyak. Enam truk dan cukup dengan dengan perbatasan Swiss-sehari, mungkin dua hari. Itu perlu dipikirkan. Melalui udara yang setengah berkabut ia memandang tajam ke arah pintu masuk ke perkebunan yang jauh. Sejenak ia hampir yakin melihat sesosok manusia bergerak melewati pintu gerbang yang terbuka. Ia mengangkat teropongnya. Bukan penjaga. Seorang laki-laki berseragam. Seorang Jenderal, terlihat sampai garis merah pada sepatu berkudanya. Tetapi ia tampak terlalu muda"berwajah tajam, dagu lancip, usianya menjelang empat puluh tahun. Semacam penyamaran, barangkali. Ia berhenti di pinggir gerbang dan sosok kedua muncul. Seorang wanita dengan sweater dan selendang di kepala. Laki-laki yang berseragam itu menyalakan rokoknya. Keduanya menertawakan sesuatu. Seorang wanita muda; sekarang itu menarik. Istri atau putri petani, seseorang yang ikut berkuda" Enam truk Opel, seorang jenderal gadungan, dan seorang wanita. Apakah gerangan semuanya itu"
Next21 Tempat tinggal Gatty adalah sebuah rumah enam tingkat di West Seventy-second, rumah yang tampak seakan-akan dipindahkan dari tepi sebuah kanal di Amsterdam beberapa ratus tahun yang lalu. Disebelah kirinya ada sebuah batu cokelat, di sebelah kanannya terdapat sebuah gedung yang terdiri atas apartemen yang tidak begitu banyak jumlahnya. Pintu depannya berada di ruang bawah tanah sehingga mereka harus berjalan turun memasuki sebuah sumur kecil yang dikelilingi pagar besi tempa. Pengetuk pintunya amat besar; tangan hitam diatas engsel, memegang sesuatu yang tampak seperti peluru meriam. Di tengah-tengah peluru meriam itu ada sebuah mata yang tidak berkedip. Valentine mengetukkan pengetuk itu dua kali pada pintu dari kayu ek yang berat itu. Mereka dapat mendengar gema suara ketukan itu di dalam dan kemudian terdengar suara langkah-langkah kaki diatas batu.
"Menyeramkan," kata Finn.
Valentine tersenyum. "Uang semacam itulah yang biasanya dapat menghasilkan rumah seperti ini di West Side," jawabnya. Sebuah lampu menyala diatas kepala mereka. Ada selaan sebentar dan kemudian seorang laki-laki dengan kemeja hitam polos membukakan pintu. Laki-laki itu berusia tujuh puluhan dan rambut tipis di kepalanya berwarna putih perak. Matanya hitam sangat tajam dan mulutnya tipis. Sebuah bekas luka menarik bibir atasnya keatas, menampakkan satu gigi kuning. Dia dilahirkan ketika operasi bibir sumbing dan langit-langit mulut yang terbelah belum lazim digunakan.
"Kami ingin bicara dengan Kolonel, jika Anda tidak keberatan," kata Valentine. "Ini berhubungan dengan Akademi Greyfriars. Saya yakin beliau baru saja berkunjung ke sana."
"Tunggu," kata laki-laki itu. Suaranya agak sengau tetapi cukup jelas terdengar. Ia menutup pintu di depan mereka dan lampu dimatikan, meninggalkan kedua orang itu berdiri dalam kegelapan.
"Kepala pelayan rupanya," kata Finn. "Dia benar-benar menyeramkan."
"Bukan sekadar kepala pelayan," Valentine berkomentar. "Pengawal. Ia memakai sabuk senjata di bahu. Aku melihatnya ketika ia berbalik."
Si pelayan-pengawal itu kembali beberapa saat kemudian dan mempersilakan mereka masuk. Keduanya mengikutinya memasuki sebuah serambi berlantai batu tulis warna suram dengan gantungan-gantungan lilin model kuno di dindingnya, kemudian menaiki anak-anak tangga lebar yang dilapisi kayu ek menuju sebuah ruangan yang sangat besar di lantai utama. Ruangan itu berada di tingkat dua, sebuah paduan bagian tengah ruang gereja dan aula bangsawan. Plafonnya terbuat dari gips yang dihias dalam bentuk tumbuhan menjalar dan anggur yang bergerombol, dindingnya dilapisi kayu ek sepanjang tiga perempat dari ketinggiannya, lantainya dilapisi papan-papan yang lebar. Pada salah satu ujung ruangan itu terdapat tiga jendela melengkung, mengarah ke Seventy-second Street, sementara pada ujung lainnya terdapat lebih dari selusin jendela lebih kecil yan gberjajar dari lantai sampai plafon, menghadap ke sebuah kebun berbatas dinding yang tampak gelap kecuali dua atau tiga buah bohlam kecil yang dipasang di pojok-pojok dindingnya.
Ada puluhan lukisan yang terpampang di dinding-dinding ruangan itu, hampir semuanya karya para pelukis Belanda; persembahan arsitektrual DeWitte yang sangat cermat, interior domestik DeHooch, pemandangan laut karya Cuyp, dan kastil suram karya Hobbema. Satu-satunya yang bukan karya pelukis Belanda adalah sebuah lukisan karya Renoir, kepala seorang wanita muda, ditempatkan dalam posisi terhormat diatas perapian besar yang dilapisi ubin. Bendera bentara digantungkan di sekitar ruangan itu dari serambi lantai dua mengitari tiga disekitar ruangan itu dari serambi lantai dua mengitari tiga sisi ruangan itu, dan ada empat baju perang berwarna hitam-biru, masing-masing menempati setiap pojok ruangan. Sebagian besar lantainya dialasi karpet warna merah menyala dan diatasnya ada dua buah sofa besar dari kulit berumbai berwarna cokelat karamel, yang diletakkan secara berhadapan. Diantara kedua sofa itu, diatas selembar kulit zebra yang luas, terdapat meja kopi berbentuk persegi berbingkai kayu jati dan permukaannya terbuat dari kuningan tempa yang tebal berbentuk lempengan-lempengan persegi. Di sana-sini terdapat meja-meja ujung dan meja-meja samping yang di isi dengan foto-foto dalam bingkai-bingkai perak dan bermacam-macam benda kecil bersejarah, mulai dari kotak-kotak rokok berhiaskan emas sampai sedikitnya tiga koumnya dari perak yang terlihat oleh Finn.
"Aku lihat kalian senang dengan barang-barangku," terdengar suara dari suatu tempat diatas mereka. "Silakan menikmatinya." Finn menengok ke atas dan melihat wajah seorang pria amat gemuk sedang memandangi mereka dari serambi atas. Pria itu menghilang dan terdengar suara dengung perlahan. Sebentar kemudian pria itu muncul dari sebelah ruangan yang paling ujung. Ia tampak sangat formal dengan memakai setelan Saville Row yan gsudah ketinggalan zaman sedikitnya tiga puluhan tahun. Rambut di kepalanya hitam kelimis seperti baru saja dicelupkan ke dalam kaleng semir sepatu, gaya Ronald Reagan, dan mata birunya yang lebar itu tampak bersih dan pucat. Ia mempunyai bintik-bintik warna merah hati pada kedua tangannya yang keriput dan kasar, dan ketika berjalan ia berpegangan kuat pada tongkat tiga-kaki. Kaki kanannya kelihatan terhalang ketika ia bergerak dan bahu kirinya sedikit lebih tinggi daripada bahu kanannya. Meskipun rambutnya hitam ia kelihatan sudah mendekati usia delapan puluhan. Dengan menggunakan tangan kirinya, ia memberi isyarat dengan tongkat itu.
"Duduklah," ia berkata ramah, sambil menunjuk pada dipan kulit berwarna cokelat. Finn dan Valentine melakukan seperti yang dimintanya. Pria tua itu memilih sebuah kursi kayu dengan sandaran lurus dan tampak kukuh yang terletak pada sudut kanan kedua tamunya. Si pelayan-pengawal muncul dengan membawa satu set peralatan minum kopi dari perak yang tampak antik. Laki-laki itu meletakkan peralatan itu diatas meja lalu pergi. "Peninggalan Edward Winslow." kata pria itu. "Orang sering mengira peninggalan Paul Revere." Ia mengeluarkan sebuah pipa rokok yang terbuat dari akar tumbuhan yang kasar dari saku jasnya dan menyalakannya dengan sebuah korek api berwarna hitam, buatan zaman Perang Dunia II. Ia menutup korek api itu dengan gerakan praktis dan memadamkan asap rokok beraroma apel itu. Satu misteri terpecahkan, pikir Finn.
"Bagaimanapun, Winslow jauh lebih dahulu daripada Revere," komentar Valentine. "Dan menurutku lebih bagus, terutama yang ukurannya lebih kecil. Perak Revere seperti politiknya, sedikit sensational."
"Anda tahu banyak tentang perak?"
"Dan politik." Valentine terseyum. "Terutama yang sensasional itu."
"Siapa temanmu yang muda dan luar biasa cantik ini?"
"Namaku Finn Ryan, Kolonel. Kami ke sini berkaitan dengan koumnya yang Anda sumbangkan kepada Akedemi Greyfriars."
"Maksudmu, senjata yang ditusukkan memutar ke dalam tenggorokan Alex Crawley yang lamang itu?" Pria tua itu tertawa. "Kalaupun punya kesempatan, aku sungguh-sunggh ragu penyakit radang sendiku mengizinkanku melakukan perbuatan itu, belum lagi stroke yang kuderita sejak setahun lalu. Aku tak dapat melakukan apa yang biasanya dapat kulakukan."
"Anda kenal Crawley?" tanya Valentine.
"Aku mengenalnya dengan baik, cukup untuk membuatku tak menyukainya. Seperti yang dituduhkan orang, ia adalah orang yang hanya mahir dalam urusan hitung-menghitung. Tak punya perasaan terhadap seni yang digelutinya."
"Bagaimana Anda mengenalnya?" Finn bertanya. "Melalui museum atau melalui Greyfriars?" Pria tua itu memandangi Finn lama, hampir tampak ganas sehingga membuat kulit Finn merinding.
"Tidak keduanya. Dan itu bukan urusanmu sama sekali. Lihat sekelilingmu, Nona Ryan. Benar begitu namanu" Hidupku untuk seni. Aku membeli barang-barang itu dalam jumlah yang banyak. Kalau kau membeli barang seni dalam skala seperti yang kulakukan, kau pasti sering membeli koleksi-koleksi yang dilepas dari tempat-tempat seperti museum Parker-Hale. Mereka mempunyai sejumlah karya pelukis Belanda"aku adalah kolektor karya pelukis Belanda."
"Kecuali karya Renoir itu," Valentine berkomentar, sambil memberi isyarat ke arah lukisan diatas perapian.
"Ya, aku membeli lukisan itu menjelang berakhirnya perang."
"Oh." Valentine menggantung kalimatnya. Gatty adalah seorang kolektor"yang kasar, kalau dekorasi ruang tamunya itu tak masuk hitungan"dan para kolektor suka omong besar.
"Di Swiss, sebenarnya." Gatty menambahkan.
"Penempatan yang tak lazim."
"Tidak juga. Aku adalah tentara yang berhubungan dengan Allen Dulles di Berne."
"Sungguh?" "Ya. Barang-barang seperti mantel dan belati. Tetapi masih tak dapat bicara tentang kebanyakan barang itu."
"Dulles bertugas di pos pengintaian musuh dalam OSS. Bagaimana lukisan karya Renoir sampai di situ?" tanya Valentine.
Sang kolonel tampak terkejut bahwa Valentine mengetahui semua yang ia ketahui. Ia merasa heran, lalu tersenyum. "Ada banyak sekali benda seni yang dikual di Eropa. Sebelum, selama, dan sesudah perang. Aku hanya mengambil keuntungan dari keadaan yang disebut orang sebagai pasar yang cenderung menurun. Sumber itu benar-benar sah."
"Aku tidak mengatakan barang itu ilegal," Valentine menjawab singkat.
"Aku kadang-kadang masih membeli dari mereka."
"Siapa gerangan itu?"
"Hoffman Gallery," jawab Gatty. Finn membuat gerakan yang mengejutkan. Valentine menjatuhkan tangannya diatas lutut Finn begitu saja dan membiarkannya disitu. Finn tidak yakin mana yang lebih mengejutkan"sentuhan tangan Valentine atau nama galeri itu. Hoffman adalah nama yang sama seperti yang aku di file komputer tentang sumber gambar Michelangelo itu. Ini belum menjawab misteri itu, tetapi setidaknya pernyataan Gatty tadi adalah bagian lain dari teka-teki yang melengkapi sebuah permainan. Belati itu, Greyfriars, hubungan Gatty dengan Crawley, dan sekarang galeri seni di Swiss itu telah menghubungkan segalanya. Saling berkaitan, tetapi tidak menunjukkan arti yang sebenarnya.
"Tidakkah tampak sedikit aneh bahwa seorang pembunuh mesti bersusah-payah membobol sebuah sekolah di Connecticut demi senjata yang ia gunakan untuk membunuh orang di New York?"
"Sepanjang pengetahuan saya, peristiwa itu adalah suatu kebetulan. Perampokan di suatu tempat, belati itu muncul di tempat lain. Si pembunuh memang dapat dengan mudah membeli pisau itu dari tempat pegadaian disini; tak ada alasan untuk mengatakan bahwa mereka adalah satu dan orang yang sama."
"Saya kira kalau Anda sedang membela diri di pengadilan, pendapat itu akan dibenarkan."
"Tetapi aku bukan terdakwa, kan?" Gatty menjawab. "Dan tidak mungkin menjadi terdakwa."
"Tidak, aku kira bukan," jawab Valentine. Satu jarinya diketukkan perlahan pada lutut Finn. Valentine berdiri dan Finn mengikutinya. Pria tua itu tetap di tempat duduknya. Sang pengawal berambut putih muncul seakan-akan Gatty telah menekan semacam tombol tersembunyi.
"Bert, tunjukkan jalan keluar untuk kedua orang ini." Pria tua itu memberikan senyum dingin kepada keduanya dan pengawal itu mengantarkan mereka ke pintu depan.
"Apa semuanya itu mempunyai arti?" tanya Finn ketika mereka berjalan melewati blok menuju mobil sewaan. "Sebenarnya kau tak pernah bertanya kepadanya kecuali soal lukisan Renoir itu. Bagaiman kau tahu lukisan ada hubungannya dengan gambar Michelangelo?"
"Aku tak tahu," kata Valentine. "Namun, aku pernah melihatnya karya Renoir itu sebelumnya."
"Dimana?" "Di tempat yang sama seperti lukisan Juan Gris yang ada di sekolah"di Buletin Daftar Seni Murni Internasional. Karya Renoir itu menghilang bersama dengan lukisan pemandangan karya Pissaro pada tahun 1938. Lukisan itu dikirim dari Amsterdam ke Swiss. Menurut dugaan, kiriman itu tidak pernah sampai. Itulah dua buah karya seni yang dicuri dalam satu hari." Ia berhenti. "Dan itu terlalu banyak."
Next22 Loteng teratas Ex Libris sama penuhnya seperti lantai dibawahnya yang sedang penuh-penuhnya. Kembali dari rumah Gatty, Valentine memencet tombol lift yang besar itu dan mereka pun naik dalam keheningan. Finn melangkah keluar menuju ke sebuah ruangan dalam film Fellini. Sebuah ruangan yang amat besar dengan langit-langit yang tinggi yang mengarahkannya ke ruangan berikut. Ruang pertama berdinding batu bata yang dilapisi timah bercat warna merah Cina dengan meja indah yang permukaannya terbuat dari potongan marmer hitam Georgia yang amat besar. Dari sana mereka masuk ke koridor yang luar dimana terdapat patung-patung neon John Kulik pada dinding bercat hijau dan lantainya yang bertegel keramik hitam mengkilat dihiasi permadani Cina. Area yang ketiga, jelas sebuah ruang tamu, terdapat lebih banyak permadani Cina diatas lantainya dan lukisan kanvas telanjang dan biarawati beraliran surealis karya Sidney Goldman pada dinding yang agak jauh. Finn duduk di salah satu dari tiga sofa panjang di dalam ruang tamu dan melihat-lihat sekitar ruangan. Valentine menghilang disekitar sudut dan kembali beberapa menit kemudian dengan nampan yang berisi dua benda, setumpuk bagels dan dua botol bir.
"Blatz?" "Dari Wisconsin." Valentine tersenyum. "Aku sekolah di Madison dan menyukainya."
"Ayahku mengajar di UW," kata Finn, sambil meminum bir. Ia mengambil sedikit potongan roti dan mengunyahnya, menatap Valentine yang duduk di hadapannya.
"Benar." Valentine mengangguk. Ia meminum bir langsung dari botolnya dan tak menyentuh sandwich yang tergeletak diatas nampan didepannya. "Di sanalah aku bertemu dengannya."
"Bagaimana kau bertemu dengannya?"
"Dia profesor antropologiku."
"Kapan?" "Akhir tahun enam puluhan, awal tahun tujuh puluhlah."
"Ia pasti masih muda."
"Ya. Aku juga ... bahkan lebih muda." Ia tertawa.
Finn mengambil sepotong sandwich-nya dan meminum seteguk bir. Ia melihat-lihat furnitur dan karya seni di sekeliling ruangan itu, berpikir tentang sebuah rumah di real estate di New York yang lantai atasnya sedang duduki, berpikir tentang Valentine. Hal ini membuatnya lelah. Kepalanya mulai pusing. Teramat sangat pusing.
"Kau tidak membeli tempat ini dengan menjual buku-buku tua kan, Tuan Valentine."
"Michael saja, dan kedengarannya barusan itu seperti pernyataan pasif-agresif, Nona Ryan."
"Aku sama sekali bukan penggemar ilmu penyusutan toko murahan. Kau pasti melakukan hal lainnya selain menjual buku dan melakukan penelitian."
"Ya." "Kau semacam hantu, ya?"
"Hantu?" "Mata-mata." "Tidak, tidak juga."
"Dan ayahku, apa pekerjaannya?"
"Seorang profesor antropologi."
"Ketika ia wafat mereka mengirimkan jasadnya kembali ke Columbus untuk dimakamkan."
"Ya?" "Pemakaman dengan peti jenazah yang tertutup rapat. Aku tidak terlalu memikirkannya saat itu. Aku hanya marah karena aku tidak akan pernah melihat wajahnya lagi."
Valentine tidak berkata apa-apa.
"Tetapi kemudian, beberapa saat kemudian, aku mulai berpikir tentang semua tempat yang pernah ditinggali olehnya .. .selalu tidak stabil dari segi politis, selalu berbahaya ... kemudian aku merasa heran mengapa peti jenazahnya tertutup rapat jika ia memang benar-benar terkena serangan jantung."
Valentine mengangkat bahunya. "Ia meninggal di dalam hutan. Mungkin jasadnya tidak lagi utuh."
"Mungkin ia kehilangan kuku jari-jemarinya atau mungkin ia disiksa atau mungkin itu sama sekali bukan jasad ayahku yang berada di dalam peti jenazah tersebut."
"Kau mau bilang bahwa kau pikir ayahmu adalah seorang mata-mata?"
"Aku berasal dari Columbus, Ohio. Aku adalah seseorang yang sering disebut guru-guruku sebagai seorang pemikir linear. Garis lurus, kau tahu kan ... menyatukan potongan-potongan fakta seperti domino dan melihat kemana fakta-fakta tersebut membawamu. Dalam hal ini ibuku memberikan nomor teleponmu padaku, kau sama sekali bukan penjual buku kuno dan kau pernah menjadi murid ayahku ... mungkin bahwa labih dari sekedar seorang murid. Apa analisisku keliru" Kekasihku telah dibunuh, aku diserang, mantan bosku dihabisi dengan tusukan belati dan kau sama sekali tak merasa terganggu ... Michael."
"Gaya bicaramu persis seperti dia."
"Siapa ?" "Ayahmu. Ia terbiasa menghitung fakta dengan jarinya seperti itu." Ia tersenyum. Finn melihat ke bawah dan menyadari apa yang ia telah lakukan dengan tangannya. Wajahnya memerah, mengingat ayahnya di meja makan, menjelaskan sesuatu, dengan kedua tangannya yang saling bermain, dari satu jari ke jari lainnya. Ketika jarinya berhenti bergerak biasanya kuliahnya telah selesai.
Finn menutup matanya, tiba-tiba merasa lelah. Yang ia inginkan adalah sebuah tempat tidur dan merebahkan dirinya untuk satu bulan ke depan atau lebih. Berapa lama hal itu berlangsung, dua puluh empat, tiga puluh enam jam" Seperti itulah. Seperti kilatan petir. Seperti mengendarai mobil dalam satu detik dan menemukan dirimu terikat pada sebuah tiang telepon. Hidup tidak berlangsung dengan cara ini atau tidak semestinya seperti ini. Ia telah melakukan semuanya dengan baik, mendapat nilai-nilai yang bagus, menyikat giginya dari satu sisi ke sisi yang lainnya sama baiknya dengan dari atas ke bawah, bersikap baik kepada orang lain, mewarnai dalam garis, semuanya, jadi semestinya ... semua ... ini ... tidak ... terjadi.
Ia membuka matanya. "Aku tidak menginginkan omong kosong lagi, Michael. Aku tidak sedang bermain-main, dan aku tidak sedang bermain Holmes and Watson. Ini hidup ... atau mungkin kematianku yang sedang kita bicarakan. Pembunuhan. Aku ingin kebenaran. Dan aku ingin tahu sebenarnya siapa dirimu."
"Kau mungkin takkan menyukainya."
"Coba saja." "Apakah kau tahu sesuatu tentang kakekmu ... dan pihak ayahmu?"
"Apa hubungannya dengan semua ini?"
"Ada dan sangat erat."
"Ia adalah seseorang pengusaha. Ayahku tidak pernah membicarakannya. Yang pasti ia berasal dari Irlandia. "Ia mendesah. "Semua ini adalah sejarah kuno."
"Sejarah kuno adalah tentang siapa kita sebenarnya dan dari mana kita berasal. Kau tahu orang tua sering berkata "siapa yang melupakan sejarah ...?"
?"... ditakdirkan untuk mengulanginya.?"
"Banyak ornag yang tahu kutipan ini, tapi apakah kau tahu siapa yang mengatakannya?"
"Tidak." "Seorang filsuf Spanyol yang bernama George Santayana. Ia lahir di pertengahan abad kesembilan belas dan wafat pada tahun 1952. kakekmu sebenarnya pernah bertemu dengannya satu kali."
"Kau selalu mengambil jalan memutar untuk pulang ke rumah?"
"Kakekmu lahir di Irlandia tetapi namanya bukan Ryan. Namanya adalah Flynn, Pdraic Flynn ... sesuai dengan rupanya, karena Flynn dalam bahasa Galeic adalah O"Filionn, yang artinya rambut merah."
"Ya Tuham," Finn mengerang. "Maksudmu namaku sebenarnya Finn Flynn?"
"Ia menggantinya secara sah ketika ia meninggalkan Cork dengan sedikit tergesa-gesa. Ia terlibat Pemberontakan Timur pada tahun 1916 dan harus keluar dari kota. Ia datang ke Kanada dan tak punya usaha. Ia pun menjadi seorang distributor minuman keras. Ia menjadi kaya karena membawa minuman keras dengan perahu dayung menyeberangi Sungai Detroit dari Windsor."
"Semua ini sangat menarik, tetapi kemana arah pembicaraanmu?"
"Ketika ia sampai di tepi sungai Amerika ia bertemu dengan kakekku, Michaelangelo Valentini. Ia mangganti namanya juga. Ia menamakan dirinya Mickey Valentine tetapi orang-orang memanggilnya Mickey Hearts. Ia menjadi terkenal selama beberapa saat, seperti kakekmu. Patrick Ryan pensiun setelah ada pelarangan minumna keras dan pindah ke Ohio. Mickey Hearts tertembak pada perang antar geng pada tahun tujuh puluhan di New York. Setelah itu, Gotti dan teman-teman gilanya itu mengambil alih."
"Oke, jadi kita berdua sama-sama berlatar belakang keluarga kriminal ... jika ini benar-benar, aku mulai kagum tentang semua ini. Hanya saja, apa intinya?"
"Intinya, baik kakeku maupun kakekmu tidak ingin anaknya tumbuh menjadi seorang kriminal. Mereka melakukannya karena kemiskinan. Anak-anak mereka diberikan kebebasan dalam pendidikan. Kau tahu, mereka berdua pergi ke Yale. Selama perang berlangsung, ayahku bekerja untuk ketua kejaksaan agung militer dan ayahmu bekerja untuk OSS."
"Aku tidak mengetahui hal itu," kata Finn, "tetapi aku tidak melihat hubungan semua itu dengan pembunuhan Crawley atau pacarku, Pete."
"Aku mulai berpikir justru sangat berhubungan, walau tak secara langsung."
"Jadi, selesaikanlah ceritamu."
"Setelah perang ayahku mulai bekerja untuk CIA dan ayahmu mengajar antropologi"dengan kata lain, di hari-hari pertamanya, tahun lima puluhan dan awal tahun enam puluhan, ia banyak melakukan perjalanan, kebanyakan ke Asia Tenggara dan Amerika Tengah. Ia bahkan terlihat pas sekali sebagai seorang antropolog"memakai kacamata berbingkai dari tanduk, botak, jenggot merah, senyuman besar, jacket wol dengan tambalan di siku ... Ia bahkan merokok dengan pipa. Tak ada orang yang memerhatikan dirinya. Ia menulis esai tentang Hmong dan Montagnards di Vietnam dan Kamboja sebelum orang-orang dapat menemukan tempat tersebut di peta. Ia juga dapat meramal dengan tepat revolusi di Kuba dan menunjukkan bahwa Fidel Castro bisa menjadi masalah otensial beberapa tahun sebelum ia berkuasa."
"Kau mau bilang bahwa ayahku adalah seorang mata-mata."
"Tidak. Tidak secara resmi, tetapi ayahku mendaftarkannya sebagai pegawai lepas"salah satu yang terbaik dalam bisnis itu"dan ayahmu, pada gilirannya, merekrut aku. Ia adalah ahli informasi tentang manusia. Aku memperluasnya kepada sejarah dan ... bidang-bidang lainnya."
"Seperti kejahatan?"
"Aku ada hubungannya dengan itu. Saat itu kakekku masih hdiup. Ayahku telah memutuskan hubungannya beberapa tahun yang lalu, sama seperti ayahmu yang merenggangkan hubungannya dengan ayahnya, tetapi aku selalu ingin tahu tentang silsilahku, dan suka atau tidak, darah Mickey Hearts ada dalam darahku."
"Yang berarti pembunuhan dan pencurian karya seni."
"Pencurian karya seni memang telah menjadi sumber pendapatan terbesarku selama dua puluh tahun terakhir ini: mencarinya, menemukannya kembali, membuktikan keasliannya. Aku bekerja untuk pribadi, perusahaan-perusahaan asuransi, museum-museum. Siapa saja yang membutuhkanku."
"Termasuk memerantarai penjualan kepada pencuri."
"Kadang-kadang harus seperti itu, atau karya seni akan merugi."
"Ars Gratia Artis," Finn mencemooh. "Seni demi karya seni. Dan bayaran yang besar." Ia menggelengkan kepalanya lagi. "Kita masih belum sampai pada ayahku."
"Hanya sedikit lagi ... juga pada ibumu."
"Ibu" Ia hanya seorang wanita tua yang mungil."
"Ia mungkin mengejutkanmu. Ia juga terlibat dalam dengan semua itu sama seperti ayahm."
"Sedalam apa, tepatnya?"
"Ayahmu dibunuh bukan karena ia mencoba merusak kestabilan salah seorang diktator pot kaleng di republik pisang. Ia dibunuh karena menemukan bahwa sang diktator"seorang pria yang bernama Jose Montt"telah membunuh orang-orang desa satu truk penuh dan merusak situs-situs arkeologi di seluruh Guatemala Tengah. Orang yang sebenarnya melakukan pembunuhan itu adalah pemimpin salah satu pasukan-maut Montt, Le Mano Blanco, si Tangan Putih. Nama pemimpin pasukan itu adalah Julio Roberto Alpirez. Mereka menjalankan bisnis artefak-artefak rampasan senilai seratus juta dolar selama satu tahun. Ayahmu merintangi jalan mereka. Ia juga menyebarkannya sebagai skandal, sehingga memperparah keadaan."
"Apa yang terjadi dengan Alpirez?" tanya Finn, suaranya menjadi tegang, bahkan wajahnya terlihaat lebih pucat dari biasanya.
"Ia meninggal," kata Valentine.
"Bagaimana?" "Aku membunuhnya," kata Valentine, suaranya datar. "Ia memiliki sebuah apartemen di Guatemala City, Zona Empat di belakang gereja tua St. Agustin di Avenida Quattro Sur." Valentine menyesap minuman dari botol yang berada diatas meja di depannya. Ia menatap Finn tetapi Finn tahu ia sama sekali tak sedang melihat ke arahnya. "Aku pergi ke apartemennya dan mendapatinya sedang tertidur, sendiri, hilang kesadaran akibat kokain dan bir yang sudah tersimpan selama dua belas tahun. Kuikat kedua tangan dan kakinya lalu kubangunkan ia dengan sebatang rokok yang menyala. Aku bicara kepadanya selama beberapa menit, lalu kulilitkan sepotong kawat piano yang tipis di tenggorokannya dan menariknya dengan sangat erat hingga kepalanya terputus. Pencurian artefak berhenti setelah itu."
"Ayahmu adalah guruku, penasihatku, dan kawanku, dan aku berasal dari garis-panjang keturunan orang-orang yang memiliki keyakinan yang teguh akan kekuatan balas dendam." Valentine menghabiskan birnya dan berdiri. "Sudah malam. Aku ingin tidur. Kau harus mencoba juga untuk bisa tidur sebentar. Kamarmu ada di ujung ruangan itu." Valentine tersenyum singkat kepada Finn, berbalik dan meninggalkan ruangan itu.
Next23 Kediaman kardinal uskup agung New York adalah sebuah rumah besar nan cantik yang telah berusia seratus tahun di Madison Avenue 452, persis di belakang Katedral St. Patrick. Rumah besar itu dihubungkan dengan katedral melalui sebuah jalan terusan di bawah tanah. Lantai pertama rumah besar itu, secara umum seperti museum, terisi dengan mebel antik pada umumnya, dan biasanya digunakan untuk kesempatan memotret, pesta-pesta cocktail, dan berbagai acara pengumpulan dana orang-orang kelas atas. Lantai kedua berisi kantor-kantor dan kamar-kamar pribadi untuk para pegawai uskup agung yang terdiri atas seorang tukang masak, tiga pengurus rumah tangga, dua pendeta yang berperan sebagai sekretaris uskup agus, dan seorang monsinyur yang bertindak sebagai ketua perwakilan keuskupan agung. Dua "sekretaris" itu adalah ahli-ahli menembak yang sudah terlatih, dilengkapi dengan sejumlah senjata khusus dan pendidikan taktik pada Sekolah FBI di Quantico; mereka biasanya dipersenjatai ketika menyertai sang kardinal uskup agung pergi keluar dari rumah besar atau katedral itu.
Apartemen pribadi uskup agung yang berada di lantai ketiga dari rumah besar itu terdiri atas sebuah kamar tidur, kamar mandi, dapur kecil, kamar tamu, dan kamar kerja. Kamar tamunya hanya dilengkap dengan sebuah bangku, beberapa kursi, sebuah bar kecil tetapi lengkap persediannya, dan satu set televisi berwarna yang sangat besar. Di ruang kerja terdapat beberapa jendela-jendela berwarna yang besar-besar, sebuah plafon katedral, dan sebuah meja makan kuno yang panjang yang biasa digunakan oleh uskup agung sebagai meja tulis. Kamar tidur apartemen itu kecil, hanya dua belas kali empat belas kaki, terletak diantara ruang kerja dan ruang tamu. Di dalam kamar tidr itu terdapat tempat tidur ukuran paling besar, dan sebuah jendela, ditutup dengan kain gorden warna cokelat dan putih yang sama dengan warna bed cover-nya. Kaca di jendela yang ditutupi kain gorden itu adalah kaca tahan peluru dan dilapisi plastik untuk mencegah agar tidak berserakan jika terjadi serangan bom. Diatas tempat tidur pada dinding bagian kepala terdapat sebuah lukisan Yesus Kristus memasuki kota Yerusalem dengan menunggang keledai, warna lukisan itu agak kabur, dan pada dinding yang berhadapan terdapat sebuah salib emas besar buatan abad keempat belas yang pernah menjadi bagian dari altar Katedral Wroclaw. Pada bagian paling ujung kamar itu terdapat sebuah lemari dinding yang tinggi terbuat dari kayu ulin untuk menyimpan pakaian kegerejaan sang uskup agung, termasuk mantel setengah lingkaran, jubah luaran tanpa lengan, baju jubah, beberapa mantel kecil berwarna merah tua dan hitam, yang diberi pinggiran benang emas dan bulu musang, serta sebuah salib dada terbuat dari emas yang ditaburi zamrud yang amat ia sukai untuk acara misa malam di hari Jumat, satu-satunya hari dimana ia sendirilah yang memberikan sakramen.
Pria yang dikenal dengan berbagai sebutan seperti Bapa Ricardo Gentile, seorang pendeta dari Roma, Peter Ruffino dari Art Recovery Tactical Squad (Pasukan Taktis Penemuan Kembali Barang Seni), dan Laurence G. Mac Lean dari Keamanan Negara itu berjalan pelan-pelan melewai ruangan apartemen uskup agung di lantai ketiga. Langkah-langkah kakinya teredam oleh sepasang sepatu Nike murahan berwarna hitam. Ia bersembunyi di dalam gudang kecil di belakang kamar peranti kegerejaan sampai katedral itu tutup pada pukul sebelas. Kemudian sesuai denan petunjuk, ia mengarah ke ruang bawah tanah dan jalan terusan menuju ke rumah besar.
Bagi sebuah kota dan sebuah negara yang baru saja diserang dengan begitu hebat, mudahnya laki-laki itu mencapai apartemen pribadi Yang Mulia David Cardinal Bannerman benar-benar mengkhawatirkan. Rakyat Amerika masih belum berpengalaman dalam kejadian semacam ini, dan benar-benar tak tahu-menahu, masih belum dapat menerima bahwa mereka sedemikian dibenci oleh orang-orang yang benar-benar bermaksud merusak hanya karena alasan bahwa mereka adalah orang Amerika. Vatikan mengirimkan para pembunuh untuk melakukan pekerjaan setan atas nama Tuhan selama hampir seribu tahun atu lebih, dan bangsa-bangsa lain melakukan hal semacam itu dalam waktu yang jauh lebih lama.
Terjadi lebih banyak pembunuhan politik di Swiss pada abad kedua belas daripada yang pernah terjadi di Amerika Serikat. Satu-satunya negara yang tingkat pembunuhannya lebih sedikit adalah tetangga sebelah, Kanada. Negara es dan salju yang lunak dan terpencil itu pun pada waktunya terkena "serangan teroris" yang lebih nyata. Bapa Gentile tahu, penyebab terjadinya masalah itu kebanyakan karena orang tidak belajar dari sejarah. Orang Amerika lebih percaya bahwa semua bangsa lain berputar mengelilingi mereka seperti planet-planet mengelilingi matahari. Mungkin sejumlah ornag yang lebih kaya, orang-orang fanatik dan orang gila seperti Osama bin Laden, serta pesawat-pesawat penumpang besar yang dirontokkan seperti potongan-potongan dan kerikil-kerikil, semua itu pada akhirnya akan membuat mereka belajar.
Gentile sampai di pintu kamar tidur yang terbuka dan berhenti untuk mengencangkan penahan diatas moncong terbuka dari senjata Bareta Cougar kecil yang sudah jelek yang ia pegang di tangan kanannya. Ia melihat ke dalam kamar itu. Bannerman sedang tidur, mendengkur ringan, rambut tebalnya yang berwarna abu-abu berada di atas bantal. Ia tidur telentang persis di tengah-tengah di atas cover-bed seperti sesosok mayat, sepreinya tertarik ke atas hingga ke dagunya. Gentile dapat melihat kerah piyama sutranya. Mungkin dari Gammarelli, dekat sekali dari Pantheon. Ia berjalan ke kamar itu dan duduk di pinggir tempat tidur. Pelan-pelan ia menempelkan ujung penahan senjata itu pada batang hidung sang kardinal uskup agung yang bangsawan Irlandia itu.
"Bangun," katanya tenang.
Dengkuran Bannerman terhenti dan ia mengucapkan sesuatu yang tak jelas. Bapa Gentile mendorongkan ujung senjatanya lebih keras ke hidung Bannerman. Kelopak mata sang kardinal terbuka, biji matanya melebar, rasa sakit merambat di dahi pria itu.
"Apa-apan ini?"
"Bangun," kata Gentile. "Kita harus bicara. Rendahkan suaramu; percayalah padaku, kau tidak ingin pertemuan kita ini diganggu."
Mata Bannerman melirik dengan ekspresi lucu ketika pandangannya terpusat pada moncong penahan itu. Benda itu sekarang hanya berjarak empat inci dan hidungnya. Sebuah tembakan dalam jarak itu akan menghembuskan otaknya ke atas lukisan Yesus dan keledainya.
"Siapa kau?" tanya Bannerman. Ia adalah seorang laki-laki tua, usianya sudah memasuki tujuh puluhan, tetapi suaranya masih terdengar tegas dan kuat.
"Vincit qui si vincit," pendeta bersenjata itu menjawab. Penakluk sebenarnya adalah dia yang menaklukkan dirinya sendiri.
Kedua mata Bannerman terbelalak karena kalimat kutipan itu. Setiap orang yang berkedudukan seperti dirinya pasti tahu dan juga takut akan kata-kata itu. Dalam beberapa kata itu dan jawabannya, terletak benih-benih skandal yang besarnya tak terbayangkan. Bannerman langsung mengetahui siapa laki-laki itu, sebesar apa wewenang yang dimilikinya, dan dari siapa wewenang itu berasal. Sang kardinal juga mengetahui bahwa dalam memberikan jawaban yang benar. Yaitu kata-kata yang tak pernah diharapkannya terucap.
"Verbum vat sapient," ia berbisik. Satu kata cukup bagi seorang bijak.
"Adakah kau orang yang bijak, Yang Mulia?" tanya Bapa Gentile.
"Aku tahu untuk apa kau ke sini. Aku sudah membaca email dari ASV dan dari yang lain."
"Untuk apa aku ke sini, Yang Mulia, disamping untuk Archivo Secreto Vaticano itu?"
"Kau datang ke sini karena pembunuhan Alexander Crawley. Untuk menyelidiki kematiannya." Sang kardinal menaikkan tubuhnya menaikkan tubuhnya keatas bantal, memandang Gentile dalam keremangan cahaya yan gmasuk melalui jendela kamar itu.
"Hanya sebagian, Yang Mulia. Aku dibebani dengan tugas yang jauh lebih kompleks daripada itu. Crawley hanyalah ujung gunung es. Akan ada pembunuhan lagi, seperti kau ketahui. Pembunuhan lagi, yang lebih berbahaya bagi Gereja dan kedudukannya. Ini tak dapat dibiarkan terjadi."
"Apa yang harus kulakukan dalam hal ini?" tanya bannerman. "Ini bukanlah pekerjaanku. Semua ini terjadi lebih dari setengah abad yang lalu. Semua ini adalah ulah Spellamn"dia dan anak-anak paduan suaranya yang terkutuk itu. Dia teman Pacelli, bukan aku."
"Aku rasa kau adalah pewaris Uskup Agung Spellman. Pewarisan itu datang bersama mantel kecil yang kelihatan angkuh yang kau simpan di lemari dindingmu itu. Jemaahmu hampir sebanyak penduduk kota New York."
Bannerman bangun sepenuhnya, sadar bahwa laras senjata itu mengikuti gerakannya, sasarannya tak pernah jauh dari titik diantara kedua matanya. Dengan teliti ia memandangi laki-laki yang duduk disampingnya di atas tempat tidur. Awal sia setengah baya, sehat, wajahnya biasa-biasa saja, kerah jubah sucinya tak keruan. Ia bertanya-tanya apakah laki-laki itu benar-benar seorang pendeta, atau apakah para pelindung ASV membolehkan mata-mata mereka menyusup ke mana saja tanpa batas. Itu bukan persoalan. Yang jadi persoalan adalah bahwa sekarang laki-laki itu berada disini, di dalam kamar tidurnya dan membawa senjata.
"Apa yang kau inginkan?"
"Aku menginginkan informasi sebanyak mungkin tentang anak laki-laki itu."
"Yang ada sangat sedikit. Semua file yang berkaitan dengan anak itu sudah dimusnahkan ketika ia masuk ke Amerika. Itulah bagian yang pertama dari perjanjian pengambilan anak itu."
"Suatu perjanjian yang dibuat dengan para kriminal. Perjanjian itu dibuat atas dasar paksaan. Kau dan aku tahu bahwa perjanjian semcam itu tidak mempunyai kekuatan hukum. Sepengetahuanku, file-file itu tersimpan secara rahasia, yang jejaknya kau simpan selama bertahun-tahun.
"Semua ini sangat berbahaya."
"Tentu saja berbahaya. Jika pekerjaan itu semudah berjalan di taman, seperti kalian orang-orang Amerika menyebutnya, aku tak akan berada disini."
"Kalau keberadaan anak itu diketahui, maka akibatnya akan sangat besar. Gereja sudah mengalami banyak masalah dalam beberapa tahun belakangan. Persoalan-persoalan yang menyulitkan."
"Tentu saja. Jika semua korban yang merengek itu tutup mulut, maka tak akan ada persoalan, benar kan?" Pendeta bersenjata itu menggeleng-gelengkan kepalanya. "Pengabar Injil di televisi dapat mengutipkan bagimu, Yang Mulia, Pengkhotbah 11:1, "Lemparkanlah rotimu ke air, maka engkau akan mendapatnya kembali sepuluh kali lipat." Yang lupa diceritakan kepadamu oleh kebanyakan mereka adalah bahwa terbukanya kasus ini menyebabkan dan kemungkinan, baik dan buruk. Semuanya menyangkut kedua hal itu. Aku membutuhkan file-file tentang anak itu. Salain itu, aku juga membutuhkan sebanyak mungkin informasi yang dapat kau berikan tentang Yayasan Grange."
"Kedua hal itu tidak saling berhubungan."
"Pembunuhan Crawley justru menunjukkan sebaliknya." Satu hal yang dikatakan oleh majikan yang mengutusnya adalah bahwa sebuah organisasi dengan nama itu akan lebih sulit diteliti dan, bagaimanapun, termasuk juga kematian Crawley yang malang. Reaksi keras sang kardinal mengandung keterangan.
"Engkau sedang mempermainkan informasi yang hanya akan mengakibatkan sesuatu yang tidak baik. Ini kegilaan. Sebuah berita palsu tersebar dan aku akan dipermalukan di media."
"Untuk kepentingan kita semua, maka dalam misamu yang berikutnya mungkin kau harus berdoa agar aku tidak membuat langkah yang keliru. Nah, dimana aku dapat menemukan file-file tentang anak laki-laki itu?"
Sang kardinal melihat ke arah senjata itu dan kemudian ke wajah laki-laki yang membawanya. Berbohong bukanlah pilihan yang tepat. "File-file itu tersimpan dalam dokumen Komunitas Sant"Egidio di Gereja Joseph di Desa Greenwich."
Gentile mengangguk. Sant"Egidio adalah suatu gerakan masyarakat awam yang besar yang melakukan banyak kerja sama dengan panti asuhan anak yatim dan anak-anak terlantar. "Atas nama siapa?"
"Frederico Botte."
"Bagaimana caranya aku mendapatkan file-file itu?"


Konspirasi Langit Karya Unknown di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Kalau aku bertanya kepada mereka, maka pegawai kantor itu akan menjadi curiga terhadap kepentinganku. Apalagi file itu sudah sangat tua. File itu tidak akan dimasukkan ke komputer."
"Aku dapat mengatasi hal itu. Yayasan Grange?"
"Aku akan mencari tahu sedapat mungkin."
"Tanpa perantara, jangan melalui sekretaris. Aku hanya berurusan denganmu."
"Baiklah. Bagaimana caranya aku menghubungimu?"
"Aku yang menghubungimu." Ia merogoh saku lain dari jas hitamnya dan mengeluarkan sebuah pager satelit kecil Globalstar. Ia menjatuhkan pager itu diatas lemari kardinal yang berwarna merah tua. "Bawalah selalu benda ini setiap waktu. Benda ini bergetar. Hubungi nomor yang kau lihat di layar kecil. Nomornya akan berubah-ubah. Hubungi melalui pesawat telepon ini." Ia menjatuhkan alat kecil lainnya di samping pager itu"sebuah telepon selular yang amat kecil.
"Satu hal lagi," kata Gentile sambil berdiri.
"Ya." "Jangan coba-coba mengikutiku. Jangan coba-coba melacakku melalui peralatan elektronik. Dan jangan menghubungi polisi. Satu hal yang harus kau ketahui, aku bukan musuhmu. Kau juga harus tahu aku tidak ragu-ragu untuk mengorbankan nyawamu demi kebaikan bersama. Jangan bertindak bodoh, Yang Mulia. Tolong."
Setelah itu, Gentile menyelinap pergi, meninggalkan uskup agung New York yang gemetar ketakutan di tempat tidurnya. Di luar, di atas menara runcing neo-Gothic dari katedral itu, rembulan menyeruak.
Next24 Wanita itu pergi ke tempat tidur sang pria dan mendapatinya masih terjaga di kamar yang mulai gelap itu, kedua tangannya menumpu di belakang kepalanya, memandang ke langit-langit, barangkali sedang mengenang kembali kekerasan yang terjadi di masa lalu. Sang pria menoleh kepadanya kepadanya ketika wanita itu berdiri disamping tempat tidur. Bulan di balik punggung si wanita, dan ia kemudian membuka kancing bajunya, memandang ke arah sang pria.
"Kau tahu, seharusnya kau tidak melakukan ini."
"Aku tahu." Si wanita membuka bajunya. Ia tahu bahwa sang pria sedang memandanginya. Ia mencoba tak mengacuhkan apa yang sedang dipikirkan pria itu, mencoba tak memikirkan apa pun selain saat-saat itu. Sang pria tak lagi berucap sepatah kata pun.
Wanita itu melepas celana jeans-nya. Cahaya dari belakangnya mengubah rambutnya menjadi lingkaran cahaya acak-acakan yang menyala, menjuntai sampai ke lekuk pinggulnya dan otot kedua pahanya yang panjang dan kuat, dengan cahaya polos nan lembut. Ia menunggu dalam posisi itu selama beberapa saat, membiarkan sang pria melihatnya, berharap agar sang pria melihat segala yang tampak padanya, bersahaja dalam cahaya rembulan. Si wanita kemudian beranjak ke tempat tidur bersama sang pria.
Untuk kedua kali wanita itu bertanya-tanya tentang saat-saat abstrak itu dan putaran nasib yang dapat membalik kehidupan seseorang dalam celah-celah waktu dari hari ke hari. Dalam sekejap ia teringat akan Peter dan ajalnya itu, tangisan mengerikan itu. Anehnya, ia tiba-tiba terbayangkan akan meja rias ibunya dan foto perkawinan yang berbingkai perak di rumah Jalan Doderidge di Columbus.
Dalam foto itu ibu dan ayahnya berdiri bersama, berwajah muram, ayahnya memakai jas wol dan kacamata bergagang tempurung kura-kura, jauh lebih tinggi daripada ibunya-ibunya jauh lebih muda, bermata cerah dalam busana pengantin yang lengkap dan membawa setangkai bunga putih di tangannya, dilatarbelakangi dengan pohon-pohon tinggi dan kebun bunga mawar dari Taman Whestone, semuanya berwarna kuning pucat di atas foto tua hitam-putih. Sejenak wanita itu merasa sangat muda ketika ia menyentuh kulit pinggul Valentine yang kering dan hangat. Valentine mengulurkan dan meletakkan tangannya di atas telapak tangan si wanita yang perutnya tampak menegang. Finn menoleh ke arah Valentine dan laki-laki itu kemudian memeluk si wanita rapat-rapat seakan-akan ia miliknya sejak awal.
Tak ada hal lain yang dipersoalkan oleh si wanita walaupun ia tak tahu apakah ia melakukan hal itu demi sang pria dan kesedihannya, demi ayahnya, atau demi dirinya sendiri. Sama sekali tak ada apa-apa keculia saat ini, dan itu cukup bagi mereka berdua.
Next25 Letnan James Cornwall dari unit Monumen, Seni dan Arsip ALIU"divisi perampokan barang seni dari OSS"di Jerman bagian barat duduk diatas sebuah batu bersama sang sersan yang sedang mencoba menemukan cara masuk ke gudang pertanian yang tersembunyi di belakang rimbunan pepohonan. Ia tidak berhasil dengan baik. Kelompoknya kehabisan makanan. Ada puluhan patroli tentara Jerman yang sedang ditarik mundur ke daerah itu. Menurut sang sersan, mereka akan menjadi sasaran empuk jika salah satu tank Jerman memutuskan berlalu di jurusan mereka. Letnan Cornwall menyalakan sebatang rokok, menaikkan kacamatanya yang berbingkai logam ke dahinya, dan bertanya-tanya bagaimana seorang pria yang sudah dua tahun penuh kuliah di Universitas Sorbone, Paris dan telah meraih sarjana dengan predikat summa cum laude dari Universitas Yale, pada akhirnya cuma duduk diatas sebuah batu di Bavaria disamping seorang pria yang berbau keringat dan rokok serta membawa sebuah senapan Garand yang dililitkan di punggungnya. Ia juga seorang asisten kurator lukisan dan gambar di Museum Parker-Hale. Sekarang ini ia seharusnya tengah sarapan pagi di Hotel Brevoort serta menemani Rorimer dan Henry Taylor dari Met, bukan menembak di Bavaria.
"Jadi, apa pendapatmu, Sersan?"
"Aku tidak dibayar untuk memberikan pendapat, Pak."
"Jangan berlagak tolol."
"Ya, Pak." Sersan itu berhenti dan menyalakan sebatang rokok dari bungkus kumal yang disimpannya di lubang sepatu bot tempurnya dan melihat kabut subuh yang ada di atas lereng bukit dan merembes ke sela-sela pepohonan. "Kecuali penembak jitu, menurutku kita tidak sedang menghadapi pasukan tempur. Sesuatu yang lain, Pak."
"Seperti apa?" "Sejenis misi khusus. Enam buah truk"Opel, bukan Mercedes. Artinya kendaraan itu menggunakan bensin, bukan diesel, dan itu artinya mereka bermaksud bergerak cepat. Enam truk seperti itu tidak akan digunakan untuk mengangkut pasukan, dan mereka tidak akan menghambur-hamburkan bensin untuk penerangan seperti yang mereka lakukan kemarin malam. Kemungkinan orang-orang Jerman itu sedang mengangkut mesiu, tetapi biasanya mesiu ditaruh di mobil perwira. Perwira yang kulihat itu mengenakan seragam jenderal, tetapi usianya terlalu muda, tidak lebih dari tiga puluh lima tahun. Perwira itu menyamar sebagai jenderal."
"Kesimpulanmu?"
"Seperti kukatakan, suatu hal yang rahasia, barang panas. Mereka mengangkut sesuatu"barang rampasan, berkas-berkas, sesuatu yang berharga." Ia berhenti dan mendehem. "Dan kemudian disana ada seorang wanita."
"Wanita yang kau sebutkan itu?"
"Ya, Pak." "Barangkali sesosok hantu, impian khayali?" kata Cornwall dengan senyum kecil.
"Tidak, Pak. Wanita itu benar-benar nyata."
"Kau katakan sebelum ini bahwa boleh jadi wanita itu ada hubungannya dengan penghuni kebun itu. Bagaimana dengan hipotesis itu?"
"Aku tak tahu tentang hipotesis apa pun. Yang aku tahu ia memang benar-benar wanita. Jika ia istri petani atau siapalah, maka ia tidak akan berjalan-jalan bebas seperti itu di tengah malam."
"Apakah menurutmu wanita itu penting" Secara taktis?"
"Taktik bukanlah urusanku. Aku melihat seorang wanita. Aku pikir Anda semestinya tahu. Cuma itu."
"Baik," kata Cornwall. "Sekarang aku tahu."
"Jadi, apa yang hendak Anda lakukan?" tanya sang sersan. "Penembak jitu itu melihat kita datang. Mereka akan bergerak sebelum kita bertindak, mungkin mencoba untuk mengejutkan kita."
"Apa yang mesti kita lakukan?"
Sersan itu tersenyum, tahu bahwa Cornwall tidak sekadar meminta saran, tapi meminta rencana, karena ia tak mempunyai satu pun gagasan tentang apa yang mesti dilakukannya.
"Bergantung apakah Anda ingin truk-truk itu selamat atau tidak."
"Selamat lebih baik."
"Kalau begitu kita serang mereka lebih dulu, sebelum mereka dapat berbuat apa-apa. Desak mereka dengan kaliber lima puluh, keluarkan si penembak jitu itu dari menaranya dengan M9 Terhune dan terobos."
"Siang atau malam?"
Sersan itu menahan keinginan untuk mengatakan kepada Cornwall agar tidak seperti orang tolol. "Malam."
"Baik," kata sang letnan. "Beri aku kesempatan untuk memikirkannya."
Begitu lama padahal kau tidak memikirkan hal itu terlalu lama, pikir si sersan, tetapi ia menjaga mulutnya tetap tertutup dan sebagai gantinya ia justru memikirkan tentang wanita dan jenderal gadungan itu.
Laki-laki itu mengulurkan dan membiarkan jari telunjuknya yang kurus dan panjang bermain diatas foto yang kabur itu, yang tertempel dengan rapi dalam Kitab Besar di samping gambar perkebunan yang dibuat dengan cermat: Stabsfuhrer Gerhard Utikal dari Einsatzstab Rosenberg, yang terakhir dilihatnya diawal musim semi tahun 1945 di dekat Fussen dan Schloss Neuschwanstein di Pegunungan Bavaria. Didalam gambar itu Utikal berada pada usia awal tiga puluhan, memakai seragam seorang Wehrmacht Hauptman secara tidak sah, meredupkan seperempat bagian kelopak mata untuk menahan sinar matahari, dibelakangnya ada pepohonan dan sebuah kolam hias yang luas. Foto itu mungkin diambil di Versailles atau Taman Tuileries di Paries pada suatu waktu antara tahun 1941 dan 1943, tahun-tahun ia ditugaskan disana.
Laki-laki berambut abu-abu yang telanjang tersenyum samar-samar, terkenang pada rekannya itu, Gerhard Utikal adalah teman yang pertama meninggal dunia, sudah begitu lama. Menurut file-file yang ada, Utikal telah lenyap bagaikan asap, tetapi kemudian ia bertemu dengannya, tinggal di Uruguay, membagi waktunya untuk sebuah apartemen di Playa Ramirez di Montevideo dan sebuah peternakan amat besar di Argentina di pinggir agak jauh dari Sungai Platte. Waktu itu Eichmann ditangkap dan Si Penjagal dari Riga, Herberts Cukurs, dimusnahkn oleh pasukan maut Israel setelah menyombongkan diri kepada wartawan Jack Anderson bahwa ia "tak terkalahkan."
Utikal bukan tak terkalahkan, hanya lebih pandai. Alih-alih menyimpan satu setel seragam Nazi yang dilipat dengan rapi dilemarinya seperti yang dilakukan oleh orang Latvia, ia malah memilih bersembunyi dalam pandangan umum, memakai identitas salah seorang pelaut bayaran dari kapal perang yang sudah tenggelam, Graf Spee. Persembunyiannya itu berjalan selama hampir 25 tahun, tetapi tidak benar-benar cukup lama, atau tidak cukup bagus.
Laki-laki telanjang itu meletakkan ujung jarinya di atas wajah Utikal dalam foto itu. Yang pertama di antara banyak rekannya, dan lainnya akan menyusul. Utikal berteriak ketika pertama-tama paku seharga sepuluh sen ditusukkan pelan-pelan ke dalam mata kirinya. Ketika untuk kedua kalinya sepotong sembilu sepanjang tiga inci ditusukkan ke dalam mata kanannya, tubuhnya berputar-putar mengerikan diatas kursi, lalu tewas. Laki-laki telanjang itu menatap Kitab Besarnya.
"Mirabile Dictu," ia berbisik perlahan. Ajaib. "Kyrie eleison." Tuhan, ampuni jiwa-jiwa kami.
Next26 Dapur Valentine yang terletak di lantai atas Ex Libris merupakan pemujaan terhadap tahun lima puluhan yang Finn tak pernah ketahui. Lantainya bertegel linoleum biru dan putih, lemari piringnya kuning dengan pegangan krom dan interior putih, dan dua jendela kecil bergaya country, yang menyajikan pemandangan ke arah taman di atap yang ditumbuhi tomat, dihiasi dengan tirai bunga-bunga yang berwarna biru.
Kompornya berukuran empat puluh inci"keluaran Gaffers & Sattler"dan berwarna kuningan dengan empat tungku dengan termometer, pemanggang dengan pengukur waktu, dan tungku kelima. Kulkasnya bermerek Kelvinator, berwarna biru kehijau-hijauan, keluaran tahun 1956. Ada pula alat pembuat waffle keluaran Rival, yang terletak di atas meja Formika berwarna kuning yang berbintik-bintik, bersama dengan pemanggang roti krom berbentuk peluru dan kotak roti krom yang besar yang sebenarnya agak menghalangi pandangan ke arah sebuah microwavemicrowave yang sangat modern.
Ada pula satu set meja makan vinil dan krom yang berwarna kuning dan memiliki empat kursi yang terletak ditengah-tengah ruangan, dan di sudut terdapat juga meja makan pagi vinil yang berwarna biru langit yang terletak tepat dibawah salah satu jendela. Finn, yang mengenakan celana dalamnya dan salah satu kemeja kerut Seal Island milik Valentine, duduk di meja makan pagi, minum kopi yang dibuatnya dialat pembuat kopi besar yang memiliki saringan di dalamnya yang berwarna perak keluaran GE. Valentine, masih tanpa busana, kecuali celemek barbeque konyolnya, yang berkata, "Sedikit gula untuk sang koki bisa membuat masakannya manis," sedang membuat telur orak-arik diatas kompor. Finn meraih tempat lada dan garam keramik yang berbentuk anak kecil laki-laki dan perempuan yang mengenakan rok hijau, menari hula, memainkan ukulele. Menurut jam berbentuk kucing yang ekornya bergerak-gerak dan matanya melirik-lirik yang tergantung diatas tempat pencuci piring, saat itu baru jam delapan pagi. Sepertinya pada tahun lima puluhan, segalanya berwarna pastel dan imut-imut. Boleh dibilang, tak ada mesin pencuci piring yang terlihat"atau setidaknya, tidak ada yang dapat dilihatnya pada pandangan pertama.
Segalanya konyol dan berlebih-lebihan, namun ia tahu semua itu akurat mulai dari alas makan gembala sapi yang dilapisi plastik dan mug kopi koboi kuning yang bertuliskan "Mornin" Ma"am?""Selamat Pagi, Nyonya." Ia merasakan kenangan saat ia berada di tempat tidur pria itu malam tadi. Sambil duduk, ia merenggangkan tubuhnya, hawa dingin merasukinya mulai dari belakang lehernya hingga perutnya. Tak diragukan lagi, Valentine adalah seorang perfesionis dalam segala hal yang ia lakukan.
"Kau selalu memberikan kesenangan pada setiap wanita seperti ini?" Finn tersenyum lebar.
Valentine menoleh dan tersenyum, melihat Finn, ekspresi wajahnya membuatnya terlihat sepuluh tahun lebih muda.
"Tidak begitu banyak wanita yang kuberi kesenangan," jawabnya. Finn hampir mengatakan sesuatu tapi kemudian menahan diri. Ia yakin Valentine tidak seperti laki-laki lainnya yang ia kejar-kejar semasa SMA. Mereka semua tak menyadari bahwa mereka menarik, yang justru membuat mereka jauh lebih menarik lagi. Walau begitu, caranya memadu cinta sangat lembut, terlatih dan mahir. Bisakah orang mengetahui banyak hal tentang wanita tanpa mengenal banyak wanita" Ia akhirnya berhenti memikirkan hal itu sama sekali. Mereka bercinta selama berjam-jam dan semua itu rasanya indah sekali. Hanya itu yang ia butuh"atau ingin"ketahui saat ini. Mungkin ia bersekolah terlalu lama; ini adalah dunia yang sebenarnya. Dan ia tak ingin memikirkan hal itu terlalu dalam juga.
Valentine mengambil dua piring dari oven panasnya, meletakkan segumpalan orak-arik telur diatas keduanya kemudian kembali untuk roti panggang dan daging asapnya. Ia mengambil kedua piring itu dan meletakkan keduanya diatas tangan kanannya, kemudian mengambil saus dengan tangan kirinya. Ia membawa semua itu ditangannya dengan keahlian yang tak diragukan lag, menuju meja makan pagi dan duduk diatas kursi vinil birunya. Ia meletakkan kedua piring itu diatas alas makan, dan mereka pun mulai sarapan, mengobrol di antara gigitan-gigitan kecil dan tanpa sedikitpun terlihat tak nyaman akan situasi tersebut. Bagi Finn, seakan-akan mereka telah menjadi kekasih jauh sebelumnya, gambaran yang sebenarnya agak menakutkan.
"Apa maksud semua barang-barang retro ini?" tanya Finn.
"Retro adalah cara yang paling mudah untuk mendekorasi ruangan," jawab Valentine. "Pilih satu masa kejayaan, lalu pilih barang-barang yang tren pada masa itu. Menyenangkan. Kita bisa mencari barang-barang itu tanpa harus terlihat serius. Aku bisa sangat senang melihat edisi pertama bulku Betty Crocker"s Good and Easy Cook Book keluaran tahun 1954 sama dengan ketika aku menemukan sebuah karya Vermeer yang dicuri dar isebuah rumah pedesaan Irlandia."
"Aku pernah dengar tentang itu di kelas sejarah mahakarya Belanda," kata Finn, matanya agak terbuka lebar. "Wanita yang sedang Menulis Surat bersama Pembantunya. Mereka bahkan menulis sebuah buku tentang itu. Kau yang menulisnya?"
"Itulah kedua kalinya lukisan itu dicuri. Ada hubungannya dengan obat-obatan. Aku membantu melacaknya." Ia menggeleng kepalanya dan menyesap kopi dari mug koboinya. "Dahulu seorang pencuri karya seni adalah sesuatu yang kita lihat di film yang dibintangi oleh David Niven atau Cary Grant. Sekarang mereka biasanya memiliki jaringan yang lain"biasanya obat-obatan, kadang juga senjata."
"Aku tak paham," kata Finn. "Semua itu tak ada hubungannya."
"Tentu ada," jawab Valentine.
"Jelaskan padaku."
"Sebagian besar kegiatan kriminal berhubungan dengan sejumlah uang yang sangat banyak. Uang sulit disimpan dan sulit dihabiskan. Mencuri karya seni membantu memupus kedua kesulitan itu."
"Bagaimana caranya?"
"Mata uang. Sebagian besar karya seni, yang amat berharga, memiliki nilai yang sangat jelas. Lukisan atau gambar bisa dijual dengan harga X. Daripada berurusan dengan uang, pedagang obat-obatan dan senjata terutama yang terlibat dalam pasar teroris"berdagang seni pula. Mudah dibawa, mudah dipindah-pindahkan, dan biasanya di asuransikan. Aku dapat menyebutkan setengah lusin galeri di Eropa yang terkenal berhubungan dengan karya curian dan dua kali lipatnya di New York. Ini adalah sebuah bisnis besar."
Finn bergeser di kursi yang terletak di hadapan Valentine, mengangkat kakinya, berpikir. "Apa mereka yang sedang berurusan dengan kita sekarang?"
"Aku tidak yakin. Jika memang obat-obatan, canggih sekali, melebihi apa yang pernah kulihat sebelumnya. Pada pandangan pertama, aku bisa bilang bukan. Ini hal yang lain, dan telah berlangsung sekian lama."
"Apa alasanmu?"
"Crawley termasuk orang penting di jaringannya. Katamu, inisial Crawley ada di data historis kepemilikan karya Michelangelo itu?"
"Bukan, di daftar inventaris."
"Bagaimana dengan tanda terima Galeri Hoffman. Dikirim kemana" Ke Crawley atau orang lain?"
"Semua ada di komputer. Kurasa salah seorang pendiri Parker-Hale membelinya dari Galeri Hoffman pada tahun 1939. Sebelum masa Crawley."
"Tapi ia mendaftarkannya?"
"Ya. Sebagai karya Urbino, beberapa tahun yang lalu."
"Terlalu banyak ketaksengajaan dan sedikit jawaban," gumam Valentine. Ia menghabiskan telurnya dan mengunyah selapis daging asap. Finn mengisi gelas kopi lelaki itu dan gelas kopinya sendiri. Keheningan memenuhi dapur anakronistik yang menyenangkan itu. Dari jauh ia dapat mendengar suara lalu lintas pagi di Broadway, dan lebih dekat, bunyi kerekan dan dentuman truk sampah di belakang Lispenard.
"Oke, mari kita satukan apa yang kita miliki," kata Valentine. "Semua ini bermula ketika kau secara tak sengaja menemukan gambar Michelangelo itu dan Alex Crawley memergokimu."
"Kau mengatakannya seakan-akan aku mencuri sesuatu."
"Itu intinya," kata Valentine. "Kau tak melakukan satu kesalahan, jadi kenapa Crawley jadi begitu kesal" Yang perlu dilakukannya hanyalah mengatakan bahwa kau salah. Faktanya, ia baru memecatmu setelah kau memaksa bahwa itu adalah karya Michelangelo, kan?"
"Apa maksudmu?"
"Entah ia tak ingin kau atau orang lain tahu bahwa galeri itu memiliki gambar tersebut, atau gambar itu sebenarnya palsu. Sepertinya alasan pertama lebih mungkin daripada yang kedua, karena jelas hal itu ditutup-tutupi. Buktinya, di daftar inventaris ia menuliskannya sebagai karya orang lain. Pertanyaannya adalah, kenapa?" Valentine mengetuk-ngetukkan jari-jemarinya dengan cepat diatas permukaan meja Formika itu. "Aku ingin melihat dokumen yang asli. Pasti ada di suatu tempat, dan akan jauh lebih mudah melacaknya daripada file komputer ... lebih sulit dipalsukan."
"Ada di sebuah perusahaan yang bernama U.S. Docugraphic Service. Aku pernah melihat truk mereka di lapangan parker di belakang museum."
"Baiklah. Itu membuat segalanya lebih mudah," kata Valentine. Ia berpikir sejenak, mengambil kulit roti panggang dan dengan sebuah pisau melapisinya dengan E. Waldo Ward Rhubarb Conserve. Bahkan gerakan sesederhana itu membuat otot-otot di lengan dan bahunya keluar dan Finn ingat bagaimana rasanya berada dalam rengkuhan lengan itu semalam; ia sangat kuat dan gagah, tubuh yang keras yang dihasilkan dari olahraga yang dilakukannya tiga kali seminggu. Sama sekali bukan otot seorang pustakawan. Mereka sudah menjadi sepasang kekasih sekarang, namun Finn masih belum menceritakan segalanya kepadanya.
"Satu peni untuk pikiranmu barusan." Valentine mengembangkan senyum lebar yang agak liar, sedikit seperti predator, gigi-giginya yang putih bersinar, kedua matanya yang menampakkan kebrilianannya terfokus pada wanita di hadapannya.
"Enak saja," kata Finn sambil tertawa. "Jadi, apa yang akan kita lakukan sekarang" Melarikan diri ke pulau terpencil dan menunggu hingga akhirnya segalanya terlupakan?"
"Aku tahu dimana tempat itu." Valentine tersenyum. "Tapi sepertinya belum bisa dijadikan pilihan sekarang."
"Jadi, apa selanjutnya" Pembunuhan Crawley sedang diselidiki oleh polisi, juga pembunuhan Peter. Kita telah berhasil menghubungkan antara Gatty, Crawley, dan Akademi Greyfriars melalui pisau yang hilang itu. Juan Gris dan kepala sekolah yang menyeramkan itu ... Wharton"mungkin juga terlibat. Kita tahu Gatty terlibat pencurian karya seni, paling tidak sebagai seorang pembeli, karena ia memiliki Renoir itu. Tak satupun yang dapat disatukan."
"Tentu saja bisa. Kita hanya belum tahu bagaimana."
"Jadi, bagaimana cara kita mengetahuinya?"
"Aku ingin bicara dengan seorang penjual yang kukenal. Dan mungkin pergi ke Parker-Hale untuk mengajukan beberapa pertanyaan."
"Dengan alasan apa?"
"Aku akna katakan pada mereka bahwa aku adalah bapak baptismu dan bahwa kau hilang. Kekasihmu dibunuh dan tentu saja aku khawatir."
"Aku tak yakin aku senang jika kau mengaku sebagai bapak baptisku. Itu membuatku seperti berada dalam boks bayi yang baru saja dicuri." Finn tersenyum lebar.
Valentine tersenyum lebar juga. Ia mengeluarkan kakinya dari bawah meja dan membiarkan jari kakinya menyusuri betis kekasihnya. Finn merinding. Valentine menatap Finn dengan tatapan yang aneh.
"Apa itu barusan?"
"Seringaian Christopher Walken-ku yang terbaik."
"Bisa diulang?"
"Masih bisa dilihat terus, kok."
"Apa yang harus kulakukan ... setelah itu?"
"Nyalakan komputer dan cari tahu bagaimana semua itu bisa disatukan."
"Baiklah." "Kau sudah selesai?" Pandangannya mengarah ke piring Finn.
"Ya." Ia meninggalkan meja makan pagi dan mulai melepaskan kancing-kancing kemejanya. "Tuan Besar, bersiap-siaplah mempertahankan celemekmu."
Next27 Tanpa ditanya atau disuruh, sang sersan keluar sekitar satu jam setelah fajar menyingsing, meninggalkan yang lainnya kecuali Reid. Ia keturunan Indian Cherokee atau apalah, dan seperti bagian depan uang logam tua. Cukup hening untuk berdiri di depan sebuah toko cerutu dan ia dapat membidik apapun dengan MI-nya dengan jarak beberapa ratus yard.
"Ke mana kita pergi, Sersan?" Tanya Reid.
"Sama seperti sebelumnya. Mungkin ada yang terjaga dan berkeliaran. Kita menghitung musuh atau apalah."
"Baik, Sersan," dan begitu saja. Reid mengeluarkan MI-nya dan mengikutinya ke dalam hutan.
Kali ini sang sersan memperlihatkan lantai hutan. Sepertinya ada tiga jejak kaki, satu lurus ke depan, satu ke kiri dan satu ke kanan. Ketiganya berada di tengah-tengah hutan di bagian yang pepohonannya telah ditebang habis. Mungkin kelinci, atau lebih mirip dengan jejak kaki rusa. Ada pula cabang-cabang pohon yang daunnya telah dikunyah habis sekitar lima kaki tingginya, yang sangat tepat untuk seekor rusa, atau mungkin seekor rusa Amerika muda. Ia bertanya-tanya apakah ada seekor rusa Amerika di Eropa. Ia membuang pikiran itu dari kepalanya; membuang-buang waktu memikirkan hal lain selain yang di sini dan yang kini ada. Sersan itu menunjuk ke arah kiri dan Reid mengangguk. Sang sersan mengikuti jejak yang di kiri dengan diikuti lelaki satunya beberapa yard di belakang. Reid tidak bersuara.
Ketika mereka tiba di pinggiran hutan, sang sersan terbakar habis. Bagian bawahnya terbuka. Kita semestinya bisa melihat dengan jelas ke arah peternakan. Tank itu berada di atas bukit."
"Penembak jitu?" tanya Reid.
"Jika kita berada sedikit dibawah, tank itu akan berada di antara kita dan menara itu. Kalau ia sedang tidak mencari-cari kita, itu tidak apa-apa."
"Apa yang kau ingin aku lakukan?"
"Berjaga-jaga di belakangku."
"Baiklah." Mereka menunggu di dalam lindungan hutan, bergantian mengisap sebatang rokok sang sersan. Si penembak jitu mungkin tidak sedang mencari mereka, namun mata yang tajam tentunya dapat melihat asap yang berembus pada udara pagi yang tenang. Langit yang berawan tebal pun tak membantu. Tak boleh merokok, minum-minum, atau berulah ketika sedang berada di medan perang. Ia mengibaskan asap itu, menghancurkan puntung panas itu dengan sepatu botnya. Sama sekali tidak benar; kita harus dapat menikmati sedikit kesenangan sebelum kita dihabisi oleh sebutir peluru dan senapan Jerman yang tak terlihat entah dimana.
Sang sersan menyelinap diantara pepohonan dan menjatuhkan diri ke dalam selokan yang berada di sepanjang sisi jalan. Ia merangkak maju hingga akhirnya berada di bawah bayangan tank tua itu. Dari bagian bawah belakangnya, ia melihat kerusakan tank itu tak separah yang ia kira. Ia dapat melihat dengan jelas bagian belakang tank itu yang telah hangus dan menjadi bangkai, juga salah satu ban kanan belakang yang hangus, tapi hanya itu saja. Dilihat dari betapa jalan yang hangus, tapi hanya itu saja. Dilihat dari betapa jalan itu telah dirusakkan dibelakangnya, tank itu seperti telah dibombardir oleh musuh. Amerika, Inggris, Rusia, siapa yang tahu" Awalnya Panser I dirancang sebagai tank pelatihan. Tank itu memiliki pelapis baja berukuran 8mm dan hanya sepasang senapan mesin tanpa meriam. Baik bagi infanteri namun tak lebih dari sebuah kaleng jika diadu dengan tank yang lain, bahkan dengan M1 tua atau seseorang dengan sebuah bazoka. Bagusnya"jika kau orang Jerman"adalah kenyataan bahwa terdapat seribu tank jenis itu, dan hanya butuh dua orang kru: Sang pengendara beserta satu orang lagi sebagai panglima sekaligus pengamat dan pemegang senapan mesin.
Sang sersan meninggalkan Reid dibawah, di belakang ban kiri belakang. Ia memanjat bagian samping tank, menghindari penutup metal yang tajam dan penutup knalpot yang sudah seperti parutan keju, tajam. Ia maju ke arah pelindung penembak, menggunakan baut yang digunakan untuk menahan kabel kerekan yang sudah tinggal setengah, lalu meluncur di sepanjang selokan dan ke kursi penembak. Terdapat pedal kaki untuk mengayunkan pelindung dan masing-masing senapan kembar itu berada di putaran, bisa bergerak naik dan turun dengan sendirinya. Diantara kedua senapan terdapat teleskop metal yang panjang. Sang sersan mengintip melalui lubang, namun lensa jauh teleskop itu telah hancur semenjak"entah kapan"perang itu menghentikan tank tersebut.
Bagian dalam tank itu seperti biasa berwarna kuning kecokelatan dan sepertinya tak ada noda bekas darah, jadi mungkin para kru dapat melarikan diri tanpa terluka. Tank tersebut masih berada di sini, berarti jalan tersebut tidak terlalu sering digunakan, sehingga hampir dapat dipastikan bahwa truk yang berada di peternakan di bawah sana datang dari arah timur. Ini patut dipertimbangkan mengingat disanalah semestinya Hitler berada"Berchtesgaden atau entah apa namanya.
Ia mencoba membayangkan berhadap-hadapan dengan tentara Jerman, dan akhirnya tak sanggup membayangkannya. Selama empat tahun terakhir ini ketika ia memikirkan Hitler, akhirnya ia selalu membayangkan Charlie Chaplin. Kau tak dapat menganggap serius orang dengan kumis seperti itu, kan" Walau begitu, kau tentunya dapat menganggap sangat serius orang dengan helm sebesar itu, itu sudah pasti.
Sang sersan beranjak dari kursi penembak dan meluncur ke dasar tank. Semua pintu terbuka sehingga ia mengambil tempat di kursi pengemudi. Ia mengeluarkan sebuah teropong dua lensa dari tempatnya dan melihat ke arah peternakan. Ia langsung dapat melihat aktivitas yang cukup ramai di sana.
Beberapa pria berkemeja tangan panjang membersihkan penutup truk dan beberapa orang lainnya menjemur pakaian di tali gantungan sementara yang dimulai dari sisi jendela salah satu truk hingga bagian terbuka di sisi lain lapangan batu. Dua lelaki dengan pakaian sipil"pakaian tipis yang agak kusut; satu cokelat, satu biru"sedang mengisap rokok di samping salah satu bangunan kecil yang terpisah dari bangunan utama. Keduanya mengenakan kacamata.
Seorang wanita dalam gaun biru dan sepatu cokelat dengan tumit yang tebal berjalan dengan santai, mengobrol dan merokok. Wanita kedua, berseragam pasukan bantuan wanita Wehrmacht berwarna cokelat sedang duduk di pinggir penutup sumur, kepalanya menengadah ke arah matahari. Satu-satunya lelaki dalam seragam utuh adalah seorang tentara muda dengan seragam SS warna hitam.
Tentara dengan kemeja tangan panjang yang sedang membersihkan penutup truk tidak membawa senapan. Hanya tentara muda itu yang membawa senjata yang disampirkan di pinggangnya. Sang sersan mengalihkan perhatiannya pada menara. Bagian atas menara yang terbuka terlihat gelap dan kosong, tapi itu tak berarti apa-apa. Penembak jitu mahir berlindung di balik bayang-bayang.
Sang sersan menoleh dan berbicara pelan-pelan ke arah salah satu pintu belakang. "Kau lihat semua itu, Reid?"
"Ya," terdengar jawaban samar-samar dari luar truk.
"Bagaimana menurutmu?"
"Bukan tentara, bukan militer. Entah apa mereka itu," jawab suara yang tak jelas itu.
"Kira-kira saja."
"Sipil." "Bagaimana menurutmu wanita-wanitanya?"
"Ya wanita. Memangnya kenapa?"
"Apa salahnya mengajak wanita?"
"Bukan itu." "Kenapa?" "Sesuatu yang aneh sedang berlangsung."
"Apa ada yang bertanya padamu?"
"Jangan menyebalkan begitu." Sang sersan kemudian diam. Ia melihat lagi melalui pintu depan. "Arah timur?"
"Gunung-gunung, beberapa kastil."
"Barat?" "Danau Constance. Orang Jerman menyebutnya dengan cara yang lain. Swiss diujungnya."
"Selatan?" "Austria." "Kau tahu, siapa yang ada di sana sekarang?"
"Tentara Rusia, menurutku."
"Orang Jerman tak terlalu suka pada orang Rusia kan"
"Bagaimana aku tahu, Sersan" Kenapa kau tanyakan semua pertanyaan ini padaku" Aku hanya seorang berkulit merah yang berada di luar reservasi, ingat" "Uh. Bagaimana, Kemosabe," seperti itu."
"Hey, Reid, kenapa namamu bukan Beruang Lari, atau Selimut Bulan, atau apalah begitu?"
"Ayahku seorang mekanik di Kansas yang suka meniduri wanita Indian di saat ia mabuk, oke?" Ia hampir tertawa. "Di tempat asalmu kau mungkin mengenal istilah "Negro di onggokan kayu." Sedangkan di tempat asalku "Choctaw di ladang jagung.?"
"Kau tahu" Kau asyik, Reid." Sang sersan mengubah persneling. "Mereka tidak pergi ke utara, karena di sanalah peperangan terjadi, dan orang Rusia serta kita berada di Austria, jadi mereka pasti tidak pergi ke sana."
"Jadi mereka pergi ke Danau Constance."
"Ya. Bodensee atau apalah, orang Jerman menyebutnya. Aku tak yakin mereka punya kapal feri atau yang lainnya yang dapat menangani enam truk seperti itu."
"Mungkin." Reid tak berkata-kata sama sekali selama beberapa saat. Sang sersan mengarahkan lensanya ke lapangan itu lagi. Jika memang para penembak jitu itu ada diatas menara, ia adalah satu-satunya pertahanan mereka. Jika senapan mesin di tank itu masih memiliki amunisi ia mungkin bisa saja melakukan sapu bersih. Ia melihat cukup sabuk amunisi yang dapat membuat senapan itu bisa digunakan selama sepuluh atau lima belas menit. Satu-satunya masalah adalah, mesin harus menyala agar senapan itu bisa diarahkan.
"Sedang mempersiapkan sebuah rencana, Sersan" Sepertinya kau sedang mempersiapkan sebuah rencana."
"Aku memang sedang berusaha."
"Apa itu." "Aku tak yakin. Hei, Reid, ada berapa Jerman betulan yang kau lihat di bawah sana" Tentara maksudku."
"Mungkin sekitar selusin, para lelaki yang sedang membersihkan jendela."
"Mereka tak bersenjata. Tanda nama yang mereka pakai menunjukkan bahwa mereka Felgendarmarie. Tapi tentara mengenakan celana abu-a bu, sedangkan para lelaki itu mengenakan celana cokelat. Sepertinya mereka hanya mencomot seragam itu dari tempat mereka menemukannya. Aku jadi bertanya-tanya sendiri, berapa banyak pengendara truk yang ikut wajib militer yang mengenakan kacamata."
"Mungkin mereka tak punya pilihan lain."
"Dan mungkin mereka terburu-buru ingin mengeluarkan apa yang berada dalam truk itu dari sini."
"Menurutmu, apa yang terdapat dalam truk itu, Sersan?"
"Sesuatu yang berharga, Reid. Sesuatu yang dapat membuatmu melakukan tarian perang yang terbaik dan melancipkan rambut tommy-hawk-mu." Ia memfokuskan diri pada truk lagi, mencoba mengintip apa yang terdapat dalam truk-truk itu, namun gagal. Semua truk itu ditutup dengan sangat rapat, bahkan bagian belakangnya. Selama ia memerhatikan, beberapa pria mendorong mobil baik terbuka keluar dari salah satu bangunan kecil itu dan mulai mengisi bensinnya.
"Mereka siap bergerak," seru Reid.
"Ya. Kita harus segera memberi tahu Cornwall dan teman-temannya agar bersiap-siap, atau kita akan terlambat."
"Kita akan mengambil sesuatu dari dalam truk itu, Sersan?"
"Itu tak apa, kan" To the victor go to the spoils; pampasan perang bagi si pemenang, yak an" Dan nama tengahku adalah Victor."
"Lucu," kata Reid. "Nama tengahku juga."
"Mungkin kita bersaudara jauh."
"Terserah kau saja, wajah pucat."
"Berapa orang yang sudah kau hitung disana?"
"Selusin di truk, empat, bukan, lima di luar berkeliling."
"Plus si penembak jitu."
"Ya, dia juga. Tapi sebagian besar dari mereka tidak terlihat seperti tentara yang bisanya."
"Pasti ada beberapa di sana. Semalam di dekat gerbang, aku melihat seorang penjaga dengan sebuah 98k di belakangnya dan sebuah MP40 di depannya."
"Mungkinkah dia salah seorang dari pasukan bermotor?"
"Mungkin juga. Intinya, dia bersenjata."
"Mereka tak bersenjata sekarang."
"Cara mereka membersihkan mobil itu, seakan-akan mereka sedang bersiap-siap untuk memulai sesuatu."
"Mungkin sebaiknya kita kembali dan melaporkannya."
"Ya. Aku turun sekarang." Ia memanjat keluar tank dan turun melalui sisi tank itu. Ketika ia sedang mencoba turun, ia menginjak sepasang kaleng bensin tentara Jerman yang terikat ke rangka tank. Paling tidak setengah penuh. Mesin seperti itu biasanya mudah hancur berantakan, dan ia mulai merevisi prediksinya tentang berapa lama tank itu berada disana. Ia pun mulia merevisi taktiknya tentang menguasai peternakan. Ia dan Reid kembali ke dalam hutan.
"Kau tahu banyak tentang tank, Reid?"
"Tak terlalu banyak."
"Kau dapat mengoperasikan senapan mesinnya?" Ia menepuk punggung Reid.
"Aku bisa cari tahu caranya. Ada amunisinya?"
"Ada." "Diperlukan bensin untuk menghidupkannya, kan?"
"Mereka punya itu, tapi mungkin kau tak membutuhkannya. Senjatanya sudah langsung menghadap ke lapangan. Ada engkol untuk merendahkannya."
"Jadi, apa yang ada dalam pikiranmu?"
"Hancurkan menara dengan bazoka Terhune. Lalu serbu gerbang depan. Kau terus menembak dari sisi sementara kami menyalakan api."
"Sepertinya bisa berhasil."
"Kalau begitu, ayo katakan pada Cornwall dan kita bisa memulainya segera." Mereka bergerak maju lagi lebih ke dalam bayangan hutan yang gelap. "Kita mulai kehabisan waktu."
Next28 Galeri Newman terletak di Chelsea, di West 22nd Street, diantara 10th dan 11th Avenue. Galeri itu telah berpindah-pindah beberapa kali, dari Greenwich Village di tahun tiga puluhan, lalu ke Soho di tahun tujuh puluhan, kemudian ke Tribeca pada tahun delapan puluhan, dan ke Chelsea pada tahun sembilan puluhan hingga sekarang. Selama itu Newman tetap menjalankan doktrin perusahaan yang ditetapkan oleh pendiri galeri itu pada tahun 1889, yaitu: "Jangan membeli apa yang tak bisa dijual." Bagi pendirinya, Josef Neuwman dari Cologne, maksudnya adalah membeli kualitas, yang berarti berpegang pada bukti. Lebih dari seratus tahun Galeri Newman tak pernah terkalahkan dalam hal selera. Karena itu, mereka berhasil, tak terbawa arus gelombang seni yang sedang tren dan hanya muncul sesaat, perlahan-lahan selama bertahun-tahun mengembangkan diri, mengumpulkan stok mahakarya Belanda dan impresionis Prancis ketika semua itu diinginkan, mengucurkan semua itu kembali ke pasaran ketika mulai digemari lagi.
Galeri tersebut mempergunakan tempat yang sempit di lantai bawah dari sebuah bangunan bengkel yang sedang direnovasi dan dikelilingi oleh restoran Jepang dan sebuah toko peralatan dapur. Dinding galeri itu dicat putih, lantainya ditutupi papan kayu ek dan langit-langitnya baja hitam yang mampu menangkap pencahayaan dengan baik.
Hanya ada tiga lukisan yang dipajang: karya Franz Hals dengan ukuran satu yard peregi, karya Jacob van Ruisdael kira-kira sama besarnya terletak di dinding seberangnya, di bagian belakang galeri, pemandangan religius Petrus Christus dengan ukuran besar, yang sama besar dengan jika dua lukisan sebelumnya digabungkan paling sedikit 20 aau 30 juta dolar. Valentine juga tahu bahwa ketiga lukisan itu hanya seujung kuku jika dibandingkan dengan inventaris galeri sebenarnya yang disimpan di New Jersey.
Ketika Valentine melangkahkan kaki masuk melalui pintu galeri, Peter Newman keluar dari kantornya yang terletak di belakang. Newman, seperti biasanya, berpakaian hitam-hitam seperti hendak melayat. Ia berumur sekitar tujuh puluh tahunan, botak dan bongkok. Ia lebih pantas menjadi seorang pengurus pemakaman ketimbang seorang penjual karya seni, walaupun Valentine berpikir bahwa kedua profesi itu serupa: pengelola pemakaman mengurus jenazah, seorang penjual karya seni seperti Peter Newman juga mengurus karya seni yang mati. Kedua pekerjaan itu terbukti menguntungkan.
"Michael," seru Newman, tersenyum ketika Valentine akhirnya tiba dalam ruangan galeri. "Sudah lama sekali. Apa kabar?"
"Cukup baik," jawab Valentine. "Mengurus bisnis."
"Bisnis," seru pria tua itu dengan kesalnya. "Hah! Seni semestinya tetap menjadi seni, bukan bisnis. "Saya dapat keuntungan lima puluh juta dari Van Gogh," kata seorang pengusaha Jepang yang mungil itu. "Itu bukan apa-apa," "Saya dapat seratus juta dari karya Picasso di bagasi mobil saya.?" Newman mendengus. "Dan mereka bukan sedang menggandeng tangan Valentine dan mengajaknya ke kantor di belakang galeri. Ruangan kecil itu benar-benar sempit. Sebuah meja tulis tua dan mungkin antik berdiri tegak di salah satu sisi dinding, dan sisi dinding yang lain ditutupi sebuah lemari buku yang tingginya mulai dari lantai hingga langit-langit, dipadati buku-buku catatan perusahaan yang bisa saja dimulai sejak awal galeri itu dibangun. Didalamnya, Valetine tahu, terdapat data penjualan dan asal-muasal setiap lukisan yang pernah dijual di galeri itu, dan seakan-akan justru catatan penjualan itulah yang paling berharga di galeri itu"silahkan sepuluh ribu karya seni dan catatan seratus ribu transaksi yang meliputi Eropa dan Amerika Utara seperti layaknya jaringan yang tak tampak. Apa-apa yang tak termasuk dalam catatan itu mungkin terpatri dalam kepala Peter Newman, informasi yang diturunkan oleh ayah ke anaknya selama lebih dari seratus tahun.
Kembang Kecubung 1 Animorphs - 5 Serangan Nekat Dewa Tangan Api 3
^