Kutukan Lumba Lumba 2
Kutukan Lumba-lumba The Curse Of The Dolphin Karya Beth Swinnerton Bagian 2
"Halo anak-anak, kalian pulang lebih awal," kata ibu. "Bukankah pestanya baru selesai pukul lima nanti?"
"Tunggu sebentar, kurasa seharusnya aku menjemput kalian." Potong Ayah. "Lalu bagaimana kalian pulang?"
"Kami ... mmm ... mendapatkan tumpangan," jawab Leo sambil melirik Joe dengan ekspresi aneh.
"Bagaimana pestanya?" tanya ibu.
"Pada awalnya, sih, masih baik-baik saja," kata
Joe pelan. "Kami minum teh."
"Ya, di sana disajikan banyak sekali teh!" angguk Leo antusias. "Dan di sana juga ada jelly dan es krim. Hmmm ... jelly rasa stroberi kurasa; ada banyak macam es krim dan dia mempersilakan kami untuk memakan dan mencicipi setiap rasa yang berbeda bersama-sama! Aku mencoba mint chocolate chip dan raspberry ripple dan toffe crunch."
"Tidak mungkin!" protes Joe. "Tidak ada toffe crunch yang tersisa!"
"Ha ...! itu karena aku sempat mengambil sisa terakhir sebelum habis!"
"Tidak mungkin! Omong-omong, kau mencicipi rum dan anggur, nggak" Aku mencicipinya."
"Tidak ada rum dan anggur. Kau TIDAK DIPERBOLEHKAN memberi anak-anak rum dan anggur karena itu mengandung alkohol. Lagi pula itu, kan, melanggar hukum."
"Sepertinya begitu menyenangkan," potong ibu. "Lalu apa yang kalian lakukan di sana?"
"Oh ... kami lalu menonton video Postman Pat dan kami tidak suka Postman Pat.
"Ya, benar," angguk Joe setuju. "Tidak ada perkelahian di dalam Postman Pat. Kami hanya suka Arnold Snortsnigger."
"Aku harap kalian tidak mengatakan hal itu pada teman kalian dan mengecewakan semua orang di sana," kata ibu.
"Tidak. Kami bahkan tidak menontonnya," jawab Leo. "Ia mengatakan kami bisa mengambil teh lagi."
"Ia" Siapa" Induk kucing?" potong Ayah.
"Bukan." Joe menggelengkan kepalanya. "Mereka tidak mempunyai kucing. Ia adalah ibu James. Ia sangat baik. Ia berkata bahwa kami boleh makan kue sebanyak yang kami mau. Jadi, kami memakan kue ulang tahun itu."
"Tidak semuanya, kan?" tanya ibu sambil tertawa.
"Ya. Kami makan seluruhnya," jawab Joe.
Ibu berhenti tertawa. "Sungguh" Kalian benar-benar serakah. Kalian bisa sakit perut dan jika kalian sakit perut dan muntah karena kekenyangan, maka kalian pantas mendapatkannya."
Ada jeda lama sebelum Joe membuka mulutnya. "Kami memang sakit perut karena terlalu kenyang. Kami merasa mual dan ingin muntah. Kami berdua."
Ibu menghela napas. "Kalian pergi ke kamar mandi, kan?"
"Aku tidak bisa!" jerit Joe. "Kami pergi ke lantai atas dan menemukan kamar mandi di sana, tapi ada seorang anak laki-laki bertubuh besar seperti raksasa yang menghalangi kami masuk, dia tidak mengizinkan kami masuk ke kamar mandi! Ia mengancam kami, kalau kami nekat masuk ke kamar mandi maka ia akan membenamkan kepala kami ke toilet dan kami bisa mati tenggelam!"
Kurasa itu adalah Simon Miller. Jelas sekali.
"Jadi APAYANG KALIAN LAKUKAN?"tanyaAyah.
"Kami lalu pergi ke sebuah kamar dan kami tidak tahu bahwa itu adalah kamarnya," jawab Joe. "Perutku mual sekali dan tidak dapat kutahan lagi untuk segera muntah, maka .... Ehm ... tapi itu bukan salahku, itu karena anak laki-laki itu menghalangi kami masuk ke kamar mandi!"
"Ya. Yang kena komputer, cuma sedikit, kok." Leo membela diri. "Sebagian muntahan mengenai tempat tidur kok. Kau, kan, bisa mencuci tempat tidur. lya, kan?"
"Tidak heran jika Mrs. Miller memulangkan kalian!" teriak ibu marah. "Kalian harus meminta maaf pada Mrs. Miller!"
"Mrs. Miller tidak mengantarkan kami pulang."
"Lalu bagaimana kalian pulang?"
"Kami pikir ketika anak laki-laki itu melihat kamarnya ehm ... berantakan, maka mungkin ia akan
marah. Jadi kami rasa sebaiknya kami pergi."
"Kalian melarikan diri" Ini memalukan sekali!!!" kata Ayah marah. Suaranya meninggi.
"Kalian tidak perlu melaporkan kami ke polisi karena mereka sudah tahu," Joe meyakinkan Ayah.
"APA"!! POLISI juga terlibat"!!!"
"Kami mencoba mencari jalan pulang dan Joe menangis."
"Tidak! Aku tidak menangis. Itu karena perutku sakit dan mual. Ketika mual maka mataku selalu berair. Lagipula kau juga menangis!"
"Aku tidak menangis. Ketika kami berjalan, ada sebuah mobil polisi mendekat, sekalian saja kami minta tolong kepadanya. Polisi itu sungguh baik. Kemudian ia mengantar kami pulang."
"Lalu di mana polisi itu sekarang" Kenapa kalian tidak mengajaknya masuk?"
Joe dan Leo saling berpandangan.
"Mobilnya tidak terlalu bersih, sih," gumam Leo.
"Tunggu sebentar," kata Ibu curiga. "Joe bilang bahwa kalian berdua muntah dan dia muntah di kamar kakak James. Lalu kau muntah di mana Leo?"
Leo menatap langit-langit rumah.
"Oh ... TIDAK!!" jerit ibu. "Leo, kau muntah di mobil polisi itu, kan?"
Leo menghela napas panjang. "Paling tidak, aku tidak mengotori celanaku, kan," katanya memelas penuh harap.
"Baik, kalau begitu." Ibu segera berdiri. "Yah, kau harus segera menelepon Mrs. Miller. Ia pasti sangat bingung sekarang karena kalian pergi dengan tiba-tiba," kata Ibu pada Ayah. "Aku akan mencari ember dan disinfektan (cairan pembunuh kuman). Kalian berdua" " ia menatap galak pada Leo dan Joe " "pergi ke atas sekarang juga. Aku tidak mau melihat wajah kalian sepanjang sisa hari ini. Tak akan."
Seperti yang sudah kukatakan tadi, Sabtu sore yang damai dan tenang di rumahku hanya berlangsung sekitar sepuluh menit.
| lanjut | kembali | atas | bawah | daftar isi | depan
TUJUH Pada Senin pagi, aku mulai merasa khawatir tentang lumba-lumba itu, entah kenapa.
"Tenang saja. jangan panik," kata Olly. "Kita masih punya waktu tiga hari. Konsernya, kan, masih hari Rabu."
"Ya, aku tahu, tapi bagaimana dengan Mr. Roberts" sekarang, ia akan menyadari kalau lumba-lumba itu tidak berada di tempatnya."
"Yah ... mungkin saja, tapi ia hanya akan berpikir ia tidak menemukan lumba-lumba itu. Lagipula, jika semuanya tepat sesuai rencana, kita dapat memberikan lumba-lumba itu padanya malam ini."
"Menurut rencana?" tanyaku dengan perasaan tidak enak. "Rencana apa?"
"Tentu saja rencanaku," jawab Olly dengan sebuah seringai menghiasi wajahnya. "Percaya saja padaku! Aku sudah membawa uang dua pounds yang kita butuhkan untuk membeli lumba-lumba itu."
"Yah ... kuharap saja begitu.
"Jadi begini rencanaku: saat jam makan siang nanti, kita akan minta izin keluar sekolah sebentar dan pergi ke pusat kota, membeli lumba-lumba itu, kemudian setelah pulang sekolah kita akan mengembalikan benda itu ke rumah Mr. Roberts."
"Bagaimana caranya agar kita bisa mendapatkan izin keluar?"
"Seperti biasanya. Aku rasa kita tidak perlu mengganti alasannya, kan" Atau kau ingin mengganti alasan yang biasanya kita gunakan itu?"
"Tidak." Di kelas enam, kau diizinkan untuk pergi ke pusat kota pada saat pelajaran sekolah jika kau punya alasan-seperti membeli kado " dan kau diperbolehkan mengajak seorang teman. Terakhir kali kami melakukannya ketika Olly mempunyai ide yang cemerlang yaitu aku harus mengatakan kepada guruku bahwa aku harus membeli kado untuk ulangtahun kakekku. Masalahnya adalah, dua adikku yang bodoh itu mengatakan pada Attila bahwa kedua kakek kami telah meninggal sebelum kami lahir, jadi kami bahkan tidak pernah bertemu dengannya. Ketika aku kembali dari kota, aku harus menghadap ke kantor Lethal Ruler dan mendapatkan hukuman selama seminggu.
"Kau bisa melakukannya," kataku pada Olly dengan tegas. "Kau tidak punya saudara di sekolah yang akan melaporkan pada Attila apa yang kita lakukan."
Ketika Attila masuk ke kelas setelah rapat, ia tampaknya sedang gembira. Rupanya suasana hatinya sedang bagus. Pada hari Senin kami memiliki mata pelajaran memasak, sepertinya itulah yang membuat Attila gembira.
"Aku bermimpi," ia memulai, memerhatikan langit-langit kelas. "Bahwa suatu saat setiap anak di kelas ini akan mengingat bahan-bahan yang dibutuhkan dalam kelas masak. Adakah di antara kalian yang lupa pada bahan-bahan yang harus kalian siapkan minggu ini?"
Beberapa orang anak mengangkat tangannya. Beberapa orang yang lain bergumam seperti ini:
"Aku ingat aku menaruhnya di kaleng tapi kemudian aku lupa menaruh kaleng itu ke dalam tasku."
"Aku rasa bahan-bahanku ketinggalan di bus."
"Aku tahu pasti aku membawa bahan-bahan itu ketika aku sampai di sekolah."
"Anjing kami memakannya."
"Baiklah," kata Attila. "Itu hanya mimpi."
Ajaib sekali, aku ternyata membawa semua bahan itu, jadi yang kulakukan kemudian adalah memasak. Masalahnya adalah, aku tidak bisa memasak. Itu bukan karena aku tidak suka makanan-kenyataannya makan adalah hobi favoritku. Aku hanya tidak pernah memasak makanan yang bisa benar-benar dimakan. Ayah mengatakan bahwa kue cherry-ku mungkin akan terasa enak jika diberi meriam.
Pelajaran memasak hari itu adalah membuat kue buah. Attila memulai dengan menulis cara pembuatan di papan tulis. Nomor satu, aduk mentega dengan gula. Aku lupa bahwa aku harus memasukkan gula, jadi aku hanya berkutat mengaduk mentega.
Pelajaran memasak hari itu berjalan dengan cukup lancar. Hanya tiga anak yang menjatuhkan telur mereka dan hanya satu yang rambutnya berlepotan mentega. Jonathan bolak-balik mengambil lap pel sampai tiga kali sedangkan Emily dua kali.
"Tepung SR itu apa?" tanya Olly tiba-tiba. Olly sangat suka memasak " aku rasa bakatnya menurun dari ibunya " tapi ia punya masalah dengan resep. Ia tidak pernah secara tepat mengikuti resep yang ada.
"Nggak tahu," jawabku sambil mengangkat bahu. "Sir's Recipe" Slighty Rotten"
"Maaf, Sir. Apakah yang dimaksud dengan tepung SR"''
"Self raising (tepung yang mengandung baking powder), Oliver. Ada dua macam tepung yang dijual di pasaran " plain, untuk pastry (adonan dasar) dan self raising untuk kue kering berukuran kecil seperti ini. Jika menggunakan tepung jenis ini maka adonan bisa mengembang sendiri dalam oven. Jadi, kue-kue yang sudah matang akan terasa lembut dan tidak bantat."
"Oh ... begitu ya. Terima kasih, Sir."
Olly kemudian melihat ke kantong kemasan tepungnya dan membacanya dengan saksama. "Oh tidak! Tepungku ternyata plain (tepung yang tidak mengandung baking powder). Aku hanya bisa membuat adonan dasar saja kalau begitu!"
Jonathan memandang ke arah Olly. "Kau menyedihkan sekali Olly," katanya kasihan, tetapi nada mengejek. "Kau tinggal menambahi baking powder pada adonanmu itu. Lihat instruksi di papan tulis! SR ATAU plain dan baking powder."
Olly gembira sekali. "Bagus," ia kemudian mencari baking powderdi tasnya dan mengeluarkan sebuah kaleng. "Ini dia baking powder. Makanya sejak tadi aku bingung, untuk apa benda ini." Ia membuka tutup kaleng baking powder itu dan menuangkan seluruh isinya ke dalam mangkok berisi adonan.
"Apa yang sedang kau lakukan"!" tegur Jonathan. "Mengapa kau tuangkan semua" Cukup satu sendok makan saja!!"
"Bukan masalah itu!" kata Olly dengan ceria. "Maksudku, kau ingin kue ini mengembang sebesar mungkin, benar, kan" Semakin banyak baking powder-nya maka akan mengembang semakin besar dan sempurna. Lagipula, isi kaleng ini hanya setengah kok. Apakah kau menambahkan baking powder pada adonanmu Jack?"
"Tidak." jawabku. "Aku tidak menambahkannya. Tepung yang kupakai tepung maizena dan aku tidak tahu seperti apa tepung maizena itu. Jadi lebih baik aku tidak mengambil risiko."
"Benar," Olly mengangguk setuju. "Hei, aku sudah hampir selesai," tambahnya gembira sambil melihat ke papan tulis. "Tambahkan susu. Yup, setelah ini selesai! Ini dia!" ia membuka karton berisi susu dan menuangkan susu itu ke seluruh adonannya.
Attila sampai ke meja kami. Ia tersenyum lebar karena cetakan kue Jonathan, setiap cetakan diisi dengan adonan sempurna dan tidak ada yang tercecer sedikit pun.
"Bagus sekali, Jonathan! Bagus sekali! Kue-kuemu kelihatannya enak dimakan."
Attila tertawa keras karena leluconnya sendiri. Seperti yang telah kuperingatkan pada kalian tentang leluconnya ketika suasana hatinya sedang bagus. Kau sebaiknya memanfaatkan keadaan itu karena suasana hatinya bisa berubah dengan cepat.
"Matthew, apa yang sedang kau kerjakan"!" Matthew sedang mengetuk-ketukkan sendok dengan hati-hati pada telurnya.
"Saya sedang mencoba melakukan apa yang tertulis di papan tulis, Sir. Memakan telurnya."
"Di sana tertulis KOCOK telurnya, bukan makan telurnya. Dasar anak konyol."
"Oh," Matthew memukul kepalanya dan membelalakkan matanya. "Coba lihat, Anda menuliskan B dengan tidak jelas. Anda tidak menyambungkan lengkungannya sampai ke bawah, jadi saya pikir itu adalah nomor tiga belas (13), makan telurnya. Wah, untunglah saya tidak jadi makan telur mentah ini. Sebenarnya saya bahkan tidak suka telur REBUS!"
Attila menggeleng-gelengkan kepalanya dengan sedih. "Teruskan saja dengan adonanmu Matthew. Sekarang kau, Oliver. Ya Tuhan, apa yang kau perbuat"!"
Attila mundur ke belakang dan matanya terbelalak ketika ia menatap tak percaya ke arah adonan Olly. Adonan berwarna kuning pucat yang mengembang dengan dahsyat di dalam mangkok itu mengeluarkan suara seperti desisan dan mengeluarkan buih seperti otak alien dalam film fiksi ilmiah.
"Ya Tuhan! Apa yang KAU LAKUKAN Oliver?" tanya Attila. "Berapa jumlah susu yang kau tuangkan ke dalam adonanmu?"
"Saya tidak tahu, Sir. Mungkin sekitar satu pint (0,568 liter)," jawab Olly.
"Satu pint! Lihat ke papan tulis! Di sana sudah tertulis berapa banyak bahan yang harus kau gunakan!"
"Tidak seperti itu, Sir. Di sana tertulis empat tussups. Aku tidaktahu apa itu tussups " aku pikir itu adalah salah satu ukuran zaman dulu seperti inci dan yard."
"Di sana tertulis Tsps, Oliver. Satu sendok makan!"
"Oh ... Tidak masalah, Sir " semua akan baik-baik saja ketika dimasak."
"Aku meragukan itu Oliver," kata Attila pelan, menggeleng-gelengkan kepalanya melihat otak alien yang ada di mangkok Olly itu. "Waktu yang akan membuktikannya."
Ia kemudian memalingkan kepalanya padaku, "Ah, Jack. Apa yang sedang kau lakukan?"
"Saya sedang memasukkan anggur kering ke dalam adonan Sir, seperti yang tertulis di papan tulis."
"Ya Jack, tapi kau baru bisa memasukkan anggur kering SEBELUM kau memasukkan adonan ke dalam loyang. Ketika adonan itu masih ada di dalam loyang."
"Jika kau melakukannya secara normal, Sir," anggukku setuju. "Tapi masalahnya adalah aku tidak mempunyai anggur kering sementara adonanku masih ada di dalam mangkok. Kemudian Olly mengatakan kepadaku aku bisa minta anggur keringnya, tapi saya sudah memasukkan adonan ke dalam loyang jadi menurut saya lebih baik saya masukkan anggur keringnya sekarang."
"Dan mengapa kau membutuhkan jangka?"
"Ah, itu ... saya memakai jangka untuk memasukkan anggur kering itu. Anda harus memasukkan anggur itu tepat di tengah," " aku memperagakannya " "kemudian Anda menekannya ke dalam adonan dan sebarkan sedikit ke sekelilingnya dan anggurnya sudah tertanam sekarang. Cara itu berhasil kadang-kadang."
"Jika aku jadi kau Jack, aku akan berpikir ... berpikir lagi. Aku akan melupakan sejenak tentang anggur kering itu," Attila menarik napas panjang dan berjalan berkeliling menuju ke meja Daisy yang sedang menulis di buku matematikanya.
"David?" tanya Attila. Daisy tetap meneruskan menulis di buku matematikanya.
"Aku akan memanggilnya untuk Anda, Sir," ujarku. Aku memegang ujung pensil Daisy dan setelah beberapa saat, ia mendongakkan kepalanya dan menatap berkeliling ke ruangan seperti baru saja bangun dari mimpi. Matanya akhirnya tertambat pada Attila dan kau bisa melihatnya mencoba untuk mengingat di mana ia berada. Akhirnya ia berhasil!
"Ah, halo, Sir," katanya tersenyum.
Attila menghela napas panjang. "Saat ini kita sedang memasak, David."
"Oh bagus sekali, Sir," kata Daisy sopan. "Saya sedang mengerjakan matematika, Sir."
"Ya. Bolehkah aku melihatnya, David?" Attila mengambil buku matematika Daisy dan menatapnya. Daisy mengerjakan semua PR matematikanya. Ia pasti membawa semua pekerjaannya dari rumah. Sepertinya matematika yang dikerjakan Dasiy bukan seperti matematika yang kami kerjakan selama ini.
"Aku rasa Anda terbalik membacanya, Sir," kata Daisy.
"Oh " er " ya," Attila dengan cepat memutar arah buku itu, tetapi berdasarkan ekspresi wajahnya tampaknya sama saja, tidak banyak perbedaan. Ia tetap saja mengernyitkan keningnya.
"Bagus sekali, David. Teruskan!" katanya, puas dengan apa yang dikerjakan Daisy dan mundur dari meja Daisy ke sisi lain ruangan di mana sekantong tepung berada di atas rak buku.
"Tenang, Sir. Aku bisa menurunkannya dengan penghapus berkekuatan jetku!" kata Matthew antusias. "Sebenarnya ini penghapus karet."
"Jangan pernah coba menembaknya dengan itu," teriak Attila. "Jika kau mengenainya, kau akan menjatuhkan kantong tepung itu."
"Jangan takut, Sir," kata Olly meyakinkannya. Matthew tidak bisa memukul gajah dari jarak dua meter. Hey, tembakan jitu, Mat!"
"Anda lihat itu, bukan?" Matthew menunjuk dengan bangga ke arah kantong tepung yang sekarang mengalirkan tepungnya keluar dari lubang yang dibuat Matthew.
Attila menghela napas panjang. "Charlotte" Maukah kau mengambilkan kain pel?"
Sementara kami membawa kue-kue tersebut menuju dapur, aku merasakan kehadiran sesuatu yang besar dan tidak menyenangkan di belakangku. "Kau punya lubang di kebunmu, Harrison?" bisik Simon Miller mengancam.
"Er, " tidak " kenapa?"
"Kau sebaiknya mulai menggali. Aku akan menemui adik-adikmu saat istirahat nanti, dan kau akan membutuhkan sebuah tempat untuk mengubur mereka."
"Semua baik-baik saja, Simon?" tanya Attila tiba-tiba di belakang Simon Miller. Ia selalu waspada dan berjaga-jaga jika Simon Miller terlihat berbicara dengan seseorang.
"Ya, Sir," jawab Simon. "Saya baik-baik saja." Dan ia memberiku tatapan mengancam yang membuat perutku langsung terasa mual ketika ia terhuyung-huyung pergi.
"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Olly ketika Simon sudah jauh dari kami.
"Apa maksudmu?"
"Tentang adik-adikmu itu. Simon akan melumat mereka menjadi bubur!"
"Lalu apa yang harus kulakukan" Menjual tiket?"
"Oh, ayolah Jack. Paling tidak kau bisa memperingatkan mereka kemudian mereka bisa memastikan diri untuk selalu berada dekat dengan guru," tentu saja Olly berkata demikian, ia tidak punya saudara. Ia tampaknya berpikir kalau Leo dan Joe sangatlah lucu.
"Baiklah," kataku sambil menghela napas panjang.
Jadi setelah selesai meletakkan kue kami di dapur dan bel tanda istirahat berbunyi, kami segera mencari Leo dan Joe. Kami tidak melihat mereka di taman bermain, jadi kami mencari mereka di aula. Mungkin mereka sedang membeli snack. Tetapi tak ada tanda-tanda keberadaan mereka.
"Aku akan mengambil minum sebentar," kataku. "Aku tidak mau menyia-siakan seluruh jam istirahat."
Aku baru saja minum ketika Olly memanggilku dari jendela.
"Jack, itu mereka!" Leo dan Joe sedang duduk di bawah pohon di lapangan, jauh dari arena permainan. Berdasarkan bayangan yang terpantul di rumput, sesosok besar tubuh sedang berjalan mendekat ke arah mereka.
"Tampaknya kita terlambat," kata Olly. Dengan sedih ia mulai menggumamkan lagu pengiring kematian.
Kami melihat Simon berjalan semakin mendekat ke arah Leo dan Joe, tetapi alih-alih memukul mereka, ia malah berbicara pada mereka, mengulurkan dua kantong keripik dan berjalan dengan cepat. Wajahnya terlihat memerah.
"Apa yang mereka katakan pada Simon Miller?" desak Olly heran.
Aku mengangkat bahu. "Aku tidak tahu. Tapi aku akan mencari tahu tentang hal itu."
Di akhir pelajaran berikutnya, Olly dan aku memohon izin pada Attila untuk pergi ke kota saat istirahat makan maiam.
"Tunggu sebentar. Aku akan mengambil buku izin dulu," Attila menarik keluar buku izin dari tumpukan di atas meja.
"Sekarang apa lagi Oliver," katanya. "Jangan bilang kalau kali ini adalah ulang tahun ibumu iagi."
"Tidak, Sir. Ibu saya baru saja berulang tahun."
"Benar sekali." Attila menutup bukunya dengan keras. "Ulang tahun ibumu minggu lalu, ulang tahun ayahmu minggu sebelumnya dan pamanmu akhir buIan lalu. Ulang tahun Nenekmu di bulan Mei, bibimu di bulan April. Ya Tuhan, ibumu berulang tahun lagi di bulan Maret dan ada ulang tahun perkawinan! Keluargamu benar-benar menyukai perayaan, benar begitu, Oliver" Sepertinya ayahmu berulang tahun lagi di bulan Februari dan kakekmu berulang tahun seminggu setelahnya. Apakah tidak ada anggota keluargamu yang memiliki paling tidak dua kali ulang tahun yang belum kau sebut?"
"Ya, Sir. Hamster saya. "
"Hamster bukanlah sanak saudara, Oliver."
"Tapi hamster saya iya. Anda tahu, saya hanyalah seorang anak. Goldie sudah seperti saudara bagi saya."
"Pergi sana, Oliver. Dan kau juga, Jack."
"Ini sudah keterlaluan untuk rencana bagusmu," protesku. "SEKARANG apa yang akan kita lakukan?" "jangan khawatir, aku akan memikirkan sesuatu," jawab Olly. "Aku selalu menemukannya."
| lanjut | kembali | atas | bawah | daftar isi | depan
DELAPAN Olly dan aku masih merasa sedikit lapar setelah jam makan malam di sekolah, jadi kami pergi ke ruang makan untuk mengambil kue yang kami buat siang tadi.
Kue-kue itu disusun oleh koki di dapur sekolah kami di sebuah tempat seperti etalase toko roti dengan nama kami masing-masing tertempel di tempat kue. Kami harus menuliskan nama kami di selembar kertas kecil ketika kami meninggalkan kue-kue itu di dapur. Kemudian para koki di dapur memasukkan kue-kue itu ke dalam oven, setelah itu kertas yang sudah berisi nama tersebut ditempelkan tepat di tempat kue-kue itu. Pada kenyataannya, kami sebenarnya tidak terlalu memusingkan tentang hal itu karena sudah jelas sekali kue siapa milik siapa.
Kue buatan Jonathan benar-benar sempurna. Sama ukurannya, sama bentuknya. Aku tergoda mengambil salah satu kue-kue itu, tetapi kemudian aku teringat tentang kebiasaannya mengupil. Kau pasti tidak akan terlalu yakin apa isi kue itu setelah tahu kebiasaan Jonathan itu. Sebuah bayangan melintas " iyaaaks! Menjijikkan!
Kau bisa mengenali kue buatan Matthew karena ia membuat gambar wajah tersenyum di setiap kuenya dengan anggur kering. Dan kau juga bisa mengenali yang mana kue buatanku. Jangankan mengembang, kueku malah tidak karuan bentuknya. Seperti baru saja tergencet truk. Kue-kueku itu tampak seperti kelereng yang baru saja terlindas mobil, dan kuenya sendiri masih tampak pucat dan tidak matang, tetapi anggur kering yang ada di atas kue itu hitam terbakar.
Kue milik Olly juga dapat dikenali dengan mudah. Kuenya mengembang besar melebihi loyang dengan banyak sekali serpihan kue yang keras. Kue milik Olly berubah menjadi kue berukuran raksasa.
"Hei, wow! Kue buatanku ini benar-benar penemuan baru, benar, kan?" ujar Olly. "Aku akan menamainya 'The Jacobs Kue Super'," ia mencuil sedikit kuenya dan mengunyahnya dengan sangat antusias. "Hmm ... tidak terlalu buruk. Rasanya lumayan enak. Dan lebih memuaskan daripada kue-kue yang biasanya karena kau tinggal mencuil seberapa besar yang kau inginkan. Yah, jika kau tidak terlalu lapar kau tidak perlu makan semuanya dan jika kau kelaparan kau bisa menghabiskan kue itu!"
"Boleh aku mencicipinya?" tanyaku. "Aku kelaparan!"
"Makan milikmu sendiri!" jawab Olly.
"Kau bercanda, ya"! Kau sendiri melihat seperti apa bentuk kueku dan aku tidak bisa membayangkan rasanya seperti apa. Aku bahkan tidak bisa memberi makan burung dengan kueku itu atau aku akan dilaporkan ke RSPB."
"Baiklah," Olly mengulurkan kepadaku sepotong kecil " sangat kecil, mungkin seukuran molekul " kuenya.
"Terima kasih banyak! Tampaknya yang kuperlukan saat ini adalah mikroskop. Beri aku potongan besar!"
Dengan cepat aku mencuil potongan besar dari The Jacobs si kue super dan segera memasukkannya ke mulutku sebelum Olly bisa merebutnya kembali Pada saat yang bersamaan pintu terbuka, dan aku terpaku dengan kue itu ada di dalam mulutku. Lethal Ruler. Tidak!
"Boleh aku bertanya kepada kalian, anak-anak" Apa yang kalian lakukan di sini?" tanya.nya dingin.
Mulutku penuh dengan kue. Tampaknya tidak sopan jika kuteruskan mengunyah, aku sendiri tidak mampu berbicara dengan mulut penuh kue seperti ini. Jadi aku hanya berdiri saja diam di samping Olly.
"Kami baru saja mengambil kue-kue kami, Miss," jelasnya.
"Hmm ... jadi kalian bukan termasuk dalam kelompok anak-anak yang sekarang berkumpul di gerbang sekolah?"
"Tidak, Miss. Maksud saya, kami tidak bisa ... karena kami ada di sini."
"Bukankah kalian adalah murid Mr. Pringle yang begitu baik hati menyetujui usulan untuk membawa kelasnya jalan-jalan" Tampaknya ia mencari kalian." "Saya tidak mengerti, Miss."
"Apakah kalian Oliver Jacobs dan Jack Harrison dari kelas enam?"
"Ya, Miss." "Sekarang CEPAT pergi ke gerbang sekolah dan segera bergabung dengan teman-teman kalian!" Mulut Lethal Ruler mengerucut dan matanya tampak berkilat-kilat marah.
"Ya, Miss," jawab Olly pelan.
"Yuff, Muff," kataku dengan suara tak jelas, terhalang oleh kue di mulutku.
"Dan kau!" bentaknya padaku ketika kami beranjak pelan meninggalkannya. "Demi Tuhan, telan apa pun yang ada di dalam mulutmu itu. Kau tampak seperti tikus yang mengerikan!"
"Apa yang ia bicarakan, jalan-jalan?" tanyaku sambil terengah-engah ketika kami berjalan bergegas menuju gerbang sekolah.
"Aku ingat Attila pernah bicara mengenai hal itu minggu lalu," kata Olly. "Tampaknya kita akan ke kota. Bagus!"
Kami sampai ke gerbang ketika Attila baru saja mulai berbicara. Tujuan kunjungan ini " ia mengingatkan kami " adalah melihat arsitektur bergaya Victoria. Ia juga menambahkan bahwa kami akan melihat secara lebih cermat patung Jenderal Hamilton di alun-alun. Patung itu adalah patung seseorang yang seharusnya terkenal dalam menyeimbangkan antara menjinakkan kuda dan menunjuk ke arah pusat perbelanjaan dengan marah. Menurut Olly, jenderal itu marah karena mereka menutup toko milik jenderal itu, jadi ia tidak mampu membeli barang-barang yang dibutuhkannya. Lagipula, patung jenderal Hamilton adalah patung yang membosankan di seluruh dunia dan sebagian besar dari kami telah melihatnya ratusan kali.
Berbeda dengan kami, satu-satunya anak yang bersemangat mengenai acara jalan-jalan tersebut adalah Matthew.
"Sir! Apakah nanti kita punya waktu untuk pergi ke Footworld" Saya menemukan lubang di kaus kaki saya dan jempol saya yang besar kelihatan, ibu saya bilang," kata Matthew bersemangat.
"Matthew!" potongAttila. "Kaos kakimu mungkin sudah tua tapi aku ragu apakah kaos kakimu termasuk dalam gaya Victoria. Sepanjang yang kutahu, semakin sedikityang kutahu mengenai pakaian dalammu, lebih baik bagiku."
Kami menuju kota bersama-sama membentuk barisan panjang dengan Attila berada di depan dan Miss Crawshaw guru dari kelas satu, memimpin rombongan.
Olly dan aku berada tepat di belakang Attila, jadi kami harus mendengarkan pembicaraan Attila dan Matthew mengenai gaya Victoria.
"Maaf, Sir, apakah jenderal Hamilton berperang di Hasting?" tanya Matthew.
"Pikirkan sekali lagi Matthew," jawab Attila. "Peperangan Hasting terjadi sembilan ratus tahun yang lalu! Yang kita bicarakan sekarang ini jauh lebih modern dari itu."
"Maksud Anda Perang Teluk, Sir"!" tanya Matthew antusias.
Attila menghela napas panjang. "Perang Crimean, Matthew. Pernahkah kau mendengar tentang Florence Nightingale?"
"Ya, Sir! Maksud Anda perempuan gemuk itu, kan"
Olly dan aku tidak bisa berlama-lama di sini, terjebak bersama mereka dalam acara jalan-jalan yang membosankan. Kami masih mempunyai urusan lain yang lebih penting. Attila masih berkonsentrasi pada Matthew dan segala celotehnya, Miss Crawshaw berada di belakang, itu adalah kesempatan yang bagus sekali untuk meloloskan diri. Sempurna. Kami cepat-cepat berjalan menuju kantor pos tak jauh dari situ dan masuk ke dalamnya. Kami menunggu hingga rombongan buaya buas kelas kami lewat. Setelah Miss Crawshaw tidak tampak lagi dari pandangan, kami segera menuju ke Bill's Bargains, toko barang-barang bekas.
Di dalam toko terdapat banyak sekali barang bekas, bertumpuk-tumpuk. Hampir semuanya tidak dapatdigunakan lagi. Terlihatdi sana, tumpukan kardus berisi majalah-majalah tua yang terbit entah tahun kapan, jungkir balik dan berdesakan di atas tumpukan tirai dan bedcoverusang yang sudah pudar warnanya. Di dekatnya, di atas kursi yang sepertinya sudah tidak mampu berdiri lagi, terdapat tumpukan piring-piring rusak dan di sana, di antara meja lampu reyot dan jigsaw tua, berdirilah patung lumba-lumba itu lengkap dengan seringai tolol di wajahnya. Di bagian belakang toko terdapat pintu kecil seperti lubangyang berfungsi sebagai jalan masuk. Di belakang deretan gelas berdebu, duduk seorang laki-laki sambil membaca koran.
Itu pasti Bill," kata Olly. "Ayo kita dekati dia."
Olly mengeluarkan dua pounds dari saku bajunya. "Maaf, bisakah kami membeli lumba-lumba ini?" tanyanya ketika kami sampai di depan Bill.
"Ya" Oh, kalian ingin membeli patung ini?" ucapnya sambil meneguk tehnya perlahan-lahan. "Gampang. Bisa diatur. Kita lihat dulu berapa harganya. Ehm ... untuk kalian empat pounds saja."
"Empat pounds! Tidak mungkin! Yang benar saja!" kata Olly kaget. "Tapi di pasar murah kemarin, patung ini hanya dua pounds!"
"Aku mengerti sekarang. Kalian melihat patung ini di sana, kan?" Bill menggeleng-gelengkan kepalanya dengan sedih. "Pasar murah seperti itu selalu menipu. Mereka tidak pandai menetapkan harga yang sesuai untuk benda sebagus ini. Itu membutuhkan mata yang terlatih. Kalian tahu, kan?"
Aku mencuri pandang ke arah wajah Bill dengan penasaran tentang mata yang mana yang terlatih itu.
"Benda ini benar-benar sangat bagus. Terbuat dari perak murni. Mungkin benda ini berasal dari zaman Elizabeth pertama."
"Elizabeth pertama?" tanyaku dengan penuh keheranan. "Kupikir patung ini patung biasa saja dan baru saja dibuat."
"Tidak. Kau tidak akan bisa menemukan patung buatan tangan seperti ini di zaman sekarang," kata Bill mulai melancarkan rayuannya pada kami dengan sangat meyakinkan. "Patung ini adalah benda antik yang begitu indah. Itulah kenapa aku berani mematok harga tinggi untuk patung ini. Semakin tua suatu barang akan semakin berharga, benar, kan" Dan benda ini pastilah sangat berharga. Empat ratus tahun usianya. Ini merupakan patung seekor ikan, benar begitu" Dan ikan mengingatkan kalian akan apa?"
"Keripik?" kata Olly.
"Jelas bukan keripik. Laut tentu saja! Seingatku, ratu Elizabeth pertama sangat tertarik dengan laut. Kalian ingat Sir Walter Raleigh" Mungkin patung ini adalah miliknya!"
Tidak heran ia memberi harga patung itu empat pounds. Sekarang masalahnya adalah kami tidak mempunyai empat pounds itu.
"Ehm ... terima kasih," kata Olly sambil mengembalikan lumba-lumba itu ke tempatnya semula dengan ragu-ragu dan dengan terpaksa kami harus membuat keputusan yang tidak mengenakkan. Kami tidak jadi membeli lumba-lumba itu.
Kami berjalan dengan lesu dan kecewa menuju alun-alun. Ketika kami melewati toko peralatan berkemah, Olly menarik tanganku.
"Jack lihat, di etalase! Itu pisau serba guna seperti milikmu!"
"Ya, lalu?" "Lihat label harganya. Sepuluh pounds!"
Aku tetap tidak mengerti apa yang dimaksudkan Olly.
"Kita dapat menjualnya!"
"Tapi aku tidak mau menjual pisauku," protesku keberatan. "Pisau ini benar-benar pisau yang sangat bagus."
"Ya, aku tahu. Kau kan bisa membeli yang baru." "Bagaimana caranya?"
"Gampang. Pisau yang baru harganya sepuluh pounds kan" Dan tadi Bill bilang kalau barang yang sudah tua pasti harganya lebih mahal. jadi kupikir, jika kita menjual pisaumu, mungkin ia akan membelinya dengan harga dua belas pounds. Itu artinya kita dapat menggunakan dua pounds untuk membeli lumba-lumba itu dan kau masih mempunyai sepuluh pounds untuk membeli pisau yang baru."
"Ya, itu ide yang bagus sekali," kataku. "Satu-satunya masalah di sini adalah kita tidak punya cukup waktu untuk ke rumahku mengambil pisau dan kembali lagi ke sini. Itu paling tidak membutuhkan waktu satu setengah jam. Attila pasti akan mengetahui kalau kita menyelinap pergi."
"Ya sih," Olly menyetujui pendapatku dengan ragu. "Jika saja kau membawa sepedamu. SEPEDAMU!"
Olly berdiri terpaku di satu titik dan menuding dengan jarinya ke arah jalan menuju Supersavers Minimart.
Aku mengikuti arah jari Olly dan ternganga dengan penuh keheranan. Di sana, di depan toko, sepedaku bersandar. Sepedaku. Tidak salah lagi. Sepeda itu adalah sepeda bekas. Kemudian Ibu mengecatnya dengan warna ungu dengan beberapa bagian dicat merah dan emas. Tidak ada sepeda lain seperti itu di planet ini kecuali sepedaku.
"Lihat!" ujarku penuh keheranan. "Aku tidak percaya hal ini! Bagaimana bisa sepedaku ada di sini?"
"Pasti sepedamu dicuri!" kata Olly. "Di mana kau terakhir kali melihatnya?"
"Di halaman rumahku, tadi pagi." "Dikunci, nggak?"
"Tentu saja tidak. Sepedaku ada di halaman." "Apakah halamannya dikunci?"
"Sepertinya tidak. Bahkan kurasa memang tidak pernah dikunci."
"Nah, itu masalahnya. Seseorang pasti masuk ke halaman rumahmu dan mencuri sepedamu."
"Kurang ajar!" kataku marah. "Aku membutuhkan waktu lama untuk menabung untuk membeli sepeda itu dan aku hanya memilikinya selama beberapa minggu. "Apa yang sebaiknya kulakukan?"
"Tentu saja ambil kembali sepedamu!" kata Olly. Aku sedikit ragu-ragu. "Bukankah itu sama artinya dengan mencuri?"
"Jangan bodoh. Bagaimana bisa kau mencuri sesuatu yang menjadi milikmu" Di samping itu, bagaimana kau tahu si pencuri tidak membuang begitu saja hasil curiannya di sana" Mungkin saja si pencuri baru saja mengendarai " eh, bersepeda ria " dan ke mudian ia hanya membuang sepedamu begitu saja. Lihat, sepeda ini bahkan tidak dikunci."
"Kau benar," kataku tetapi aku masih merasa sedikit aneh ketika aku menuntun sepedaku. Aku merasa seperti pencuri. Aku setengah berharap seseorang menepuk bahuku.
Ketika kami sudah menjauh dari minimarket, aku mulai merasa lega dan perasaanku menjadi jauh lebih baik. Sungguh ini merupakan sebuah keberuntungan, berhasil mendapatkan sepedaku kembali.
"Sekarang kamu sudah mendapatkan sepedamu kembali. Kau bisa pulang mengambil pisau itu. Ayo cepat!"
Tadi kami membicarakan mengenai kemungkinan pulang ke rumah dengan bersepeda padahal aku tahu bahwa aku tidak membawa sepedaku. Namun, sekarang secara tiba-tiba aku menemukan sepedaku. Sepertinya ini tidak sesederhana yang kubayangkan.
"Bagaimana jika ibuku ada di rumah?" kataku. "Ia akan bertanya terus mengenai apa yang sedang kulakukan."
"Jangan sampai ia melihatmu."
"Ya ... tapi ... bagaimana jika Attila menyadari bahwa kita tidak ada dalam rombongan" Kita sudah pergi terlalu lama."
"Coba dengar, Jack. Setiap orang saat ini sedang ada di alun-alun. Kita bisa melihat-lihat keadaan dan situasi. Kita harus bisa menjelaskan kepada Attila jika ia mencari kita. Jika memang demikian, kita bisa masuk kembali ke dalam rombongan tanpa seorang pun menyadarinya dan jika tidak, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Oke?"
"Oke." Kami berjalan menuju sudutalun-alun dan mengamati keadaan. Aku tidak perku khawatir- kelas enam adalah kelas yang paling atas, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Daisy sedang berjalan di tengah jalan besar sambil berkonsentrasi penuh pada buku yang dibacanya. Kemacetan terjadi di belakangnya. Mobil-mobil berderet sampai alun-alun dan tidak bisa maju ke mana pun. Liam dan Rashid mengambil kesempatan ini. Mereka mencoba mencuci kaca depan mobil dengan kaos mereka.
Di tengah alun-alun, Lizzy Murray memanjat ke atas patung kuda jenderal Hamilton dan memasangkan kacamata di atas hidung patung jenderal Hamilton sementara teman-temannya berdiri di sekitarnya, menyorakinya. Sementara itu Matthew mendapat masalah. Ia tidak bisa mengeluarkan kepalanya dari jeruji pagar yang mengelilingi patung itu dan Attila sedang berusaha mengeluarkan kepala Matthew dari sana dibantu oleh Emily dan Charlotte.
Tiba-tiba Lizzy tergelincir pegangannya terlepas. Ia menjerit dan terjatuh, tetapi ia sempat meraih leher patung kuda itu. Maka jadilah Lizzy bergelantungan di leher patung kuda itu dengan kedua tangan dan kaki nya.
"Bertahanlah Lizzy!" perintah Attila.
"Jangan khawatir, aku dulu pernah tergabung dengan kelompok P3K. Aku ahlinya. Serahkan saja padaku!" tiba-tiba seorang perempuan dengan membawa anjing besar muncul di situ. "Bisakah salah satu di antara kalian menjaga anjingku?"
"Biar saya saja, Ma'am. Saya terbiasa menjaga binatang." Jonathan menawarkan bantuannya dengan gaya sok penting seperti biasanya, meraih tali leher anjing itu, tetapi perhatian anjing itu sudah tertarik ke arah penjual es krim dan segera berlari menuju ke arah penjual es krim itu. Jonathan berlari terengah-engah di belakangnya. Anjing itu melompat ke arah gerobak es krim dan menggulingkannya. Sementara itu Jonathan terduduk dengan rasberryripple di tangannya.
"Nero, tinggalkan es krim itu. PERGI DARI SITU!!!" perintah perempuan itu, mengabaikan Lizzy.
"Tahan sebentar Lizzy. Aku akan menolongmu!" teriak Attila meninggalkan Matthew yang masih berusaha mengeluarkan kepalanya dari jeruji pagar.
"Aku harus membersihkan celanaku dan keran air minumnya mati," keluh Jonathan.
"Seorang dari kalian harus membayar untuk hal ini!" ancam si penjual es krim.
"Kau ingin berkelahi tentang hal ini"!" tanya Simon Miller sambil mencengkeram kerah baju si penjual es krim.
"Nero, sini sayang! Jauh-jauh dari es krim itu!" teriak perempuan itu.
Kutukan Lumba-lumba The Curse Of The Dolphin Karya Beth Swinnerton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kerannya kenapa macet seperti ini " aaaarrrrggghhh!" teriak Jonathan tiba-tiba. Tutup keran itu terlempar dan air tiba-tiba menyembur ke udara sampai dua belas kaki tingginya dan membasahi seluruh alun-alun.
"Cepat Sir, Lizzy akan segera jatuh!" teriak temantemannya.
"Aku bagaimana" Telingaku semakin tergencet!" jerit Matthew.
"Aku tidak mau menjadi guru lagi!" kata Miss Crawshaw hampir menangis dan menghela napas panjang.
"Apakah saya perlu mengambilkan Anda tisu?" tanya Charlotte.
Olly dan aku saling berpandangan.
"Aku tunggu kau di depan toko Bill," kata Olly. "Aku tidak khawatir mengenai Attila." tambahnya.
"Aku rasa ia punya banyak hal untuk membuatnya tetap sibuk."
| lanjut | kembali | atas | bawah | daftar isi | depan
SEMBILAN Aku segera mengayuh sepedaku menyusuri High Street dengan sedikit ragu karena merasa enggan membolos dari acara jalan-jalan yang semakin menarik. Namun, setelah kupikir-pikir, jika aku bisa cepat mungkin aku bisa kembali lagi dalam sepuluh menit. Jadi, aku mengayuh sepedaku dengan sekuat tenaga. Dengan cepat aku mengayuh sepedaku menyusuri High Street kemudian belok kiri di perempatan. Tetapi, aku berbelok terlalu kencang, aku menekan rem dengan tiba-tiba, sepedaku menjadi tak terkontrol dan jatuh mengenai polisi yang sedang berjalan di trotoar.
"Whoops! Maaf!" kataku sambil menarik sepedaku.
"Kau pikir ini apa " Olimpiade balap sepeda?" Polisi itu berdiri dan memandang ke arahku. Ternyata dia adalah PC Johnson yang pernah menolong kami mendorong troli penuh barang bekas beberapa hari yang lalu. Ia ternyata mengenaliku.
"Kau salah satu dari anak pramuka waktu itu, kan" Dari pasar murah?"
"Pramuka?" tanyaku tidak mengerti. Kemudian aku teringat " Mrs.Roberts memanggil kami anak-anak pramuka; pasti anak-anak pramuka itu yang biasa membantunya. "Er ... ya," jawabku cepat.
"Lain kali pastikan kau memakai tanda yang menunjukkan bahwa kau sudah mahir mengendarai sepeda sebelum kau menabrak pejalan kaki lagi." PC Johnson menasihatiku dengan riang. Kemudian ekspresi wajahnya berubah. Ia membuka buku catatannya dan membaca sesuatu.
"Tunggu sebentar. Benar ini sepedamu?"
"Ya." PC Johnson menelengkan kepalanya.
"Aku tidak mengerti hal ini. Tadi ada yang melapor bahwa sepedanya dicuri dan ciri-ciri sepedanya mirip dengan sepedamu ini."
"Itu benar," anggukku setuju. "Sepeda ini tadinya memang dicuri."
"Apakah kau baru saja me.ngatakan kalau kau baru saja mencuri sepeda ini" Bukan hal seperti itu yang kuharapkan dari anak pramuka sepertimu."
"Bukan, bukan begitu!" kataku ketakutan. "Maksudku, memang aku mengambilnya tapi aku tidak mencurinya karena sepeda ini milikku."
"Mungkin sebaiknya kau ikut aku ke kantor polisi. Di sana kau bisa menjelaskannya panjang lebar," ujar PC Johnson. "Kau sebaiknya juga mengatakan kepadaku mengapa saat ini kau Tidak berada di sekolah padahal saat ini masih jam sekolah."
"Oh itu. Kami sedang mengikuti acara jalan-jalan. Kelas kami sebulan sekali mengadakan acara jalan-jalan seperti ini," jelasku.
"Acara yang sungguh menyenangkan, bukan" Berkeliling dengan sepeda curian," ujarnya.
"Sebenarnya saat ini aku tidak sedang mengikuti acara jalan-jalan itu. Aku minta izin pulang sebentar karena ada keperluan yang mendesak. Sangat penting," kataku mengakui.
"Oh begitu, ya. Jangan bilang kalau kau izin untuk menolong orang hari ini" Membantu nenek tua menyiram kebunnya?"
"Tidak," jawabku. Aku memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya. "Aku harus mengambil pisauku.
"PISAUmu" Mencuri tidak cukup untukmu" Sekarang kau akan merampok dengan senjata, ya?"
Aku hanya tertawa kecil, berharap ia hanya bercanda.
"Jangan tertawa! Ini bukan lagi masalah sepele!" PC Johnson membentakku. "Kau mencuri sepeda, mengendarai sepeda dengan ugal-ugalan tanpa memedulikan keselamatan orang lain, menyerang polisi dan bermaksud untuk membawa senjata berbahaya. Kau pasti membolos dari acara jalan-jalan itu. Aku telah mencatat semua kejahatan yang kau lakukan. Agaknya kau memang harus disatukan dengan penjahat-penjahat kecil lainnya. Kenapa kau harus melakukan hal itu" Kau ini kan, pramuka. Bersiap-siaplah! Mereka mungkin membutuhkanmu sekarang."
Ketika kami berjalan melalui High street menuju ke kantor polisi, aku mulai merasa semakin ketakutan dan khawatir. Catatan kejahatanku sepertinya sangat buruk, dan parahnya lagi aku berbohong bahwa aku ini adalah salah satu anggota pramuka. Bagaimana jika mereka tidak percaya bahwa ini adalah sepedaku" Bagaimana jika aku mendapat denda" Bagaimana jika nanti aku masuk penjara"
Di dalam kantor polisi, seorang perempuan sedang berdiri membelakangiku. Ia sedang berbicara dengan sersan yang ada di balik meja. Di punggungnya, di dalam gendongan, adikku menatapku.
"Ack ... ack!" teriaknya ketika ia melihatku. Perempuan itu menoleh ke belakang.
"Jack!" "Ibu!' "Jack, ibu minta maaf. Ibu meminjam sepedamu dan meletakkannya di depan Supersavers ketika ibu harus membeli pampers untuk Anna. Dan ibu lupa menguncinya. Ketika ibu keluar dari mini market, sepedamu hilang. Ibu baru saja melaporkannya kepada polisi."
"Aku tahu. Aku yang mencurinya."
"Kau!" ibu terlihat bingung. "Aku tidak mengerti. Kenapa kau tidak berada di sekolah?"
Telepon berdering dan sersan di belakang meja itu segera mengangkatnya. Ia mendengarkan selama beberapa saat dan matanya membe!alak.
"Es krim, benar yang Anda katakan itu" Anjing" Keran air" BERAPA orang yang ada di atas patung jenderal Hamilton" Kepalanya masuk di APA" Ya Tuhan! Ya segera. Secepatnya!" ia kemudian meletakkan gagang telepon.
"Sepertinya ada kekacauan di alun-alun," katanya pada PC Johnson. "Ambulans dan pemadam kebakaran sudah ada di sana, tapi mereka memerlukan polisi di sana. PC Wilkins akan menolongmu. Ajak dia " sebaiknya kau bawa mobil."
"Siap Sersan!" PC Johnson keluar sebentar kemudian masuk lagi bersama PC Wilkins.
"Oh ... apa kabar, PC Wilkins?" sapa ibu ketika melihat PC Wilkins. "Saya harap Anda memaafkan kejadian Sabtu itu. Saya sungguh sangat menyesal. Apakah mobilnya baik-baik saja?"
"Mobilnya baik-baik saja, Madam. Selama kami membiarkan jendela terbuka lebar dan tidak mengambil napas terlalu dalam," kata PC Wilkins.
"Apakah ada informasi mengenai kekacauan di alun-alun itu Sersan?" tanya PC Johnson.
"Banyak sekali anak-anak yang terlibat " sepertinya mereka sedang mengadakan pesta di sana."
"Apakah ini ada hubungannya denganmu?" tanya PC Johnson padaku.
"Kurasa mereka teman-temanku," jawabku.
"Kau rupanya memutuskan untuk melarikan diri dari segala kekacauan itu, ya?" ujarnya. "Jika mereka bisa memulai kekacauan tanpamu, hanya Tuhan yang tahu seperti apa wujudnya kekacauan itu jika kau bergabung. Kerusuhan besar menurutku." Dua polisi tersebut segera pergi meninggalkanku dengan ibu dan sersan itu.
Membutuhkan sedikit usaha untuk menjelaskan apa yang terjadi padaku, tetapi akhirnya aku berhasil meyakinkan sersan itu bahwa aku tidak mencuri sepeda.
"Masih ada masalah mengenai kau membolos dari sekolah," kata sersan itu padaku. Ia menoleh ke arah ibuku.
"Apakah Anda mengizinkan saya bicara padanya, Madam?"
"Tidak, terima kasih sersan. Saya bisa mengatasi hal sendiri. Ayo pulang, Jack."
Aku mengikuti ibu keluar dari kantor polisi. Aku tidak mendapat kesempatan untuk mengucapkan terima kasih selama perjalanan ke rumah.
| lanjut | kembali | atas | bawah | daftar isi | depan
SEPULUH Aku tidak bisa bertemu Olly Senin petang itu karena ibu tidak mengizinkanku keluar rumah. Aku tidak diperbolehkan pergi ke mana-mana. Hal itu sebagai hukuman atas perbuatanku tempo hari, tetapi pada hari Selasa sebelum aku berangkat ke sekolah, ibu memanggilku. Ia mengatakan bahwa aku boleh pergi bermain.
"Apa yang terjadi padamu kemarin" Aku menunggumu lama sekali di luar Bill's Bargains!" tanya Olly ketika kami bertemu di sekolah.
Aku menceritakan padanya tentang ibuku, sepeda itu dan catatan kriminalku.
"Wow!" ujarnya ketika aku sampai ke bagian kekacauan di alun-alun itu. "Pemadam kebakaran dan ambulans! Pasti luar biasa sekali kejadiannya!"
"Kau melihat sesuatu?"
"Tidak. Saat itu aku hampir menyerah menunggumu, kemudian aku kembali ke alun-alun. Tidak ada apa-apa di sana. Yang kulihat hanyalah sisa-sisa kekacauan. Tidak ada satu orang pun dari kelas kita yang terlihat di sana dan saat itu tepat bersamaan dengan waktu pulang sekolah, yah ... jadi aku pulang saja."
Aku menghela napas panjang. "Hal yang paling buruk dari kejadian kemarin adalah kita membuang-buang waktu percuma. Kita tetap belum bisa mendapatkan lumba-lumba itu, padahal konser sudah semakin dekat."
"Ya, sih. Kita hanya punya waktu hari ini setelah pulang sekolah. Segera setelah sekolah selesai, kita akan pulang, mengambil pisaumu, menjualnya, membeli lumba-lumba itu kemudian kita pergi ke rumah pemahat itu. Semua akan baik-baik saja."
"Aku akan berusaha percaya padamu," kataku muram. "Tapi aku tidak melihat alasan kenapa aku harus percaya."
Ternyata keadaan bertambah buruk ketika kami sampai ke sekolah. Saat bel berbunyi, bukan Attila yang masuk ke dalam kelas melainkan Lethal Ruler. Lethal Ruler membawa tumpukan kertas.
"Maaf, Miss, di mana...?" Kirsty membuka mulutnya bertanya.
"Diam semua!" bentak Lethal Ruler sambil memukulkan penggaris ke meja.
Kami langsung duduk tegak dan Baling memandang dengan tegang. Lethal Ruler membuka daftar hadir kelas dan membandingkannya dengan kertas yang ia pegang.
"Oliver Jacobs dan Jack Harrison! Berdiri!" perintahnya.
Olly dan aku segera berdiri.
"Saat ini aku memegang daftar hadir anak-anak yang mengikuti ... ehm ... acara jalan-jalan kemarin di alun-alun," ujarnya.
Oh tidak, matilah kami sekarang. Attila pasti menyadari bahwa kami membolos kemarin. Ini semua pasti berhubungan dengan kejadian kemarin. Aku tidak berani melihat ke arah Olly.
"Dua anak ini," Lethal Ruler melanjutkan kata-katanya sambii menatap ke seluruh kelas. "Mereka berdua adalah satu-satunya anak yang namanya tidak tercatat di daftar anak-anak yang membuat kekacauan kemarin di alun-alun. Aku hanya bisa mengatakan bahwa kedua anak ini masih punya akal sehat untuk tidak ikut mengacau dan menjauhi segala macam masalah."
Tiba-tiba Jonathan mengangkattangannya. "Saya tidak berbuat apa-apa, Miss ...," katanya.
"Diam," desis Lethal Ruler. "Tampaknya aku salah dalam menilai kalian berdua," ujarnya lagi padaku dan Olly. "Kalian boleh duduk."
Syukurlah ia mengatakan hal itu karena lututku sudah lemas dan sepertinya akan segera copot dan kupikir aku bisa langsung pingsan.
Saat itu Jonathan hanya duduk terpaku dan terengah-engah seperti pegulat sumo yang baru saja dikalahkan oleh lawannya.
"Itu hanya karena mereka tidak ... " ucapnya tanpa mengangkat tangannya meminta waktu bicara.
"Diam kataku," sekarang Lethal Ruler hanya berbisik ketika mengucapkan kata-kata itu. Dia benar-benar berkebalikan dengan Attila. Semakin marah Lethal Ruler semakin pelan ia berbicara. Ia melangkah mendekati Jonathan, dan berdiri di hadapannya. Badannya bergerak pelan seperti ular derik yang sedang menghipnotis mangsanya.
"Jonathan Snowton. Benar, bukan?" tanyanya.
Jonathan hanya menganggukkan kepalanya.
"Aku mengerti bahwa kau adalah murid yang pandai dan semua pekerjaanmu benar-benar sempurna. Itu benar-benar bagus ..."
Wajah Jonathan kembali menunjukkan senyuman yang biasa ia perlihatkan ketika mengejek seseorang. Tetapi keadaan itu tidak berlangsung lama.
"Meskipun demikian," Lethal Ruler berkata dengan dingin sambil melihat pada kertas yang dibawanya, "ada hal yang jauh lebih penting daripada sekadar nilai yang bagus. Seperti kelakuanmu kemarin."
"Tapi saya tidak..." kata Jonathan berusaha membela dirinya.
"Berdasarkan laporan yang kuterima, kau tidak hanya bertanggung jawab atas kerusakan gerobak es krim itu .... "
"Itu bukan kesalahan saya! Itu karena anjing itu. Itu ...." Jonathan memotong kata-kata Lethal Ruler.
"Tapi kau juga mengakibatkan seluruh alun-alun banjir." Lethal Ruler melanjutkan kata-katanya tanpa mengindahkan protes keberatan Jonathan.
"Itu juga bukan kesalahan saya! Saya hanya ...."
"Diam! Kau mungkin salah satu anak yang paling buruk kelakuannya yang pernah kutangani."
Lethal Ruler kembali ke depan kelas, sementara itu Jonathan terduduk lemas di kursinya dengan ekspresi seperti ikan tongkol yang kehabisan udara.
Kemudian Lethal Ruler mulai dengan segala macam kuliahnya. Nama baik sekolah, perbuatan tercela, tidak pernah ia temui semasa hidupnya, bla, bla, bla.
"Mr. Pringle libur hari ini," katanya. "Aku akan menuliskan pekerjaan dan tugas yang harus kalian kerjakan dan dikumpulkan sebelum istirahat makan siang. Aku akan pergi ke kelas sebelah, dan kuharapkan kalian semua diam tak bersuara mengerjakan tugas kalian. Sore ini setelah makan siang, kita akan belajar mengenai gaya Victorian. Selamat pagi!"
Aku menarik napas dalam, membaca tulisan di papan tulis dan mengeluarkan buku matematikaku. Pagi ini adalah pagi yang paling sepi yang pernah kurasakan selama aku di kelas enam.
Saat istirahat, aku menemukan Joe dan Leo sedang duduk di depan kantor Lethal Ruler.
"Kelas enam benar-benar berkelakuan buruk. Buruk sekali," kata Leo sambil menyeringai. "Kalian adalah kelas yang paling nakal di antara kelas-kelas yang lain di sekolah. Miss Lewis yang mengatakan tentang hal itu."
"Ya," kataku. "Kenapa kalian duduk di luar kantor Miss Robinson?"
"Kami tidak menemui Miss Robinson. Kami hanya duduk-duduk saja di sini," jawab Joe.
Tiba-tiba ada sesuatu yang cemerlang melintas di kepalaku.
"Apa yang kalian katakan pada Simon Miller kemarin?"
"Kami tidak bisa mengatakannya padamu. Kami tidak bisa mengatakan pada SEMUA ORANG apa yang kami lihat di atas tempat tidur Simon. Itu rahasia," kata Leo.
"Aku bisa mengatakan pada ayah dan ibu bahwa kalian membuat masalah lagi," kataku santai.
"Kami tidak membuat masalah!" tukas Joe. "Kami tidak menunggu Miss Robinson."
"Ia tidak bisa menyalahkan kami karena itu bukan kesalahan kami," ujar Leo. "Kami tidak bermaksud memotongnya. Kami tidak tahu kalau gunting itu sangat tajam."
"Lagi pula, akan tumbuh lagi, kok."
"Jika ibu tahu apa yang kalian lakukan setelah apa yang terjadi dengan polisi waktu itu, ia akan marah besar. Akan ada bencana alam dahsyat di rumah," ancamku. "Tapi jika kalian mengatakan padaku apa yang kalian lihat di atas tempat tidur Simon, aku tidak akan mengatakan pada ibu apa yang kalian perbuat hari ini."
"Baiklah," akhirnya Leo menyerah. "Aku akan membisikimu."
Jadi ia berbisik di telingaku. Dan apa yang dikatakannya itu adalah hal yang terbaik yang pernah kudengar selama minggu ini.
Setelah makan siang, kami mengerjakan tugas dari Lethal Ruler. Kali ini kami mempelajari mengenai gaya Victorian. Ia sedang menjelaskan panjang lebar mengenai gaya Victorian ketika pintu diketuk dari luar dan masuklah Loopy Lewis.
"Saya minta MAAF karena mengganggu pelajaran Anda, tapi saya harus menyampaikan berita PENTING," ujarnya. "Saya sungguh bersimpati atas apa yang terjadi pada Mr. Pringle. Oh, KASIHAN sekali beliau. Pasti anda kaget bahwa anak-anak kelas enam yang sudah besar ini melakukan perbuatan yang bodoh dan memalukan seperti itu, benar begitu, Miss Robinson?"
"Ya, tentu saja,"jawab Miss Robinson. "Anda mengatakan kalau Anda membawa berita penting?"
"Ya ampun. Ya! Mr. Roberts baru saja menelepon."
"Ah ya. Kita sedang menunggu piala itu dikirimkan ke sini pagi ini. Benar begitu?"
Aku menoleh ke arah Olly dengan pandangan ketakutan. Matilah jika ketahuan. Aku yakin Mr. Roberts menemukan beo dari plastis di dalam kotak.
"Ya. Saya sangat KHAWATIR ketika beliau tidak datang. Tapi ternyata, KASIHAN Mr. Roberts, ia tidak SEMPAT mengambil lumba-lumba itu karena sakit." Kata Loopy mendrarnatisir suasana. "Tapi sekarang ia sudah merasa lebih BAIK, jadi ia akan mengukir piala itu malam nanti dan ia akan membawa lumba-lumba itu besok pagi saat konser."
"Bagus sekali, Miss Lewis. Terima kasih karena telah memberitahu kami mengenai hal itu."
Saat Loopy keluar kelas, Olly menyeringai padaku dan mengacungkan jempoinya. Aku tidak percaya apa yang terjadi hari ini " sepertinya kami baru saja mendapatkan semacam keberuntungan. Pertama, kami tidak mengikuti acara jalan-jalan dengan cara membolos, kemudian aku berhasil mengetahui rahasia Simon Miller dan sekarang, ternyata kami masih mempunyai waktu untuk mendapatkan lumba-lumba itu dan keluar dari masalah ini. Aku sedang begitu sibuk dengan pikiranku sehingga tidak menyadari kalau sudah beberapa saat Lethal Ruler terdiam dan sedang menatap Daisy yang asyik membaca bukunya tanpa mengindahkan sekelilingnya.
"Anak itu!" katanya tiba-tiba. "Apa yang sedang kau lakukan?"
"Tidak apa-apa, Miss. Dia biasa seperti itu," ujarku meyakinkannya. "Dia Daisy " maksud saya David James, Miss."
Lethal Ruler belum lama menjadi kepala sekolah di sekolah kami, jadi ia belum tahu tentang Daisy.
"Aku yakin ia bisa bicara," katanya sambil mendekati Daisy.
"Jangan berteriak padanya, Miss," kataku memperingatkannya. "Dia tidak sadar (Tidak sadar di sini bukan pingsan, melainkan sebuah keadaan di mana ia hidup di dunianya sendiri dan tak mengacuhkan sekelilingnya.), Miss." Dan memang itu benar. Ketika kami pertama kali berada di kelas Attila, Daisy biasa tidak sadar seperti itu.
Lethal Ruler memandangku dengan keheranan. "Aku belum pernah mendengar omong kosong semacam itu dalam hidupku!"
"Daisy," aku berbisik di dekatnya. Ini darurat. Aku menutup bukunya tanpa bersuara dan melambaikan tanganku di depan wajahnya. Daisy mengangkat wajahnya.
Ia menatap Lethal Ruler dengan ekspresi aneh, sepertinya ia merasa pernah melihatnya entah di mana sebelumnya, tetapi ia tidak terlalu ingat di mana. Kemudian ekspresi di wajahnya mulai berubah menjadi lebih cerah.
"Halo, Miss!" katanya sambil tersenyum lebar. Mata Lethal Ruler menyipit.
"Bolehkah aku tahu apa yang sedang kau kerjakan?" tanyanya dingin.
"Saya sedang membaca," jawabnya sambil menunjukkan bukunya.
"Kami semua sedang mempelajari zaman Victoria!"
"Wah kebetulan sekali, Miss. Saya juga!" Daisy mengulurkan bukunya pada Lethal Ruler.
"Economics and Social History in Victorian Britain (Ekonomi dan Sejarah Sosial era Ratu Victoria.)" Lethal Ruler membaca judul buku yang sedang dibaca Daisy. "Oh ..." ini adalah pertama kalinya aku melihat Lethal Ruler terlihat begitu bingung dan shock.
"Apakah kau ingin mengikuti pelajaran hari ini?" tanyanya.
"Tidak, Miss," jawab Daisy jujur.
"Baiklah kalau begitu, kau bisa meninggalkan kelas dan menghabiskan sisa waktu pelajaran ini di luar."
"Wah, terima kasih, Miss!" kata Daisy. Ia mengambil bukunya dan segera keluar ruangan dengan gembira karena ia bisa membaca tanpa terganggu.
| lanjut | kembali | atas | bawah | daftar isi | depan
SEBELAS Ketika sekolah usai, kami melaksanakan rencana Olly dan bergegas kembali ke rumahku. Aku segera mengambil pisauku sementara itu Olly mengambil sepedanya kemudian kami bersepeda kembali ke kota dan menuju Bill's Bargains.
"Apa yang akan kita lakukan dengan sisa uangnya?" tanyanya.
"Aku akan membeli pisau yang baru seperti katamu kemarin," jawabku sambil mengingatkan dia mengenai kesepakatan kami kemarin.
"Hmm ..." katanya sambil berpikir. "Kita bisa membeli pisau yang baru. Atau ..." tambahnya dengan menyeringai. "Kita bisa langsung pergi ke toko kue."
"Toko kue?" ulangku.
"Coba bayangkan berapa banyak donat coklat yang bisa kita peroleh dengan uang sepuluh pounds?"
Di dalam Bill's Bargains, aku lega ketika melihat lumba-lumba itu masih ada di sana. Kami mengambil lumba-lumba itu dan membawanya ke bagian belakang toko tempat Bill sedang duduk menunggu pembeli di lubangnya, seperti biasanya.
"Sekarang kalian memutuskan untuk membelinya, ya?" tanyanya. "Kalian beruntung lumba-lumba itu masih ada di sana. Banyak sekali yang berminat dengan benda itu, kalian tahu. BANYAK sekali."
Aku ingin tahu mengapa ia mengatakan banyak sekali yang berminat pada lumba-lumba itu padahal toko ini sepi sekali sama seperti terakhir kali kami datang ke sini.
"Kami ingin membeli lumba-lumba ini tapi sebelum itu temanku ingin menjual sesuatu."
Aku menaruh pisauku itu di meja.
Bill mengambilnya dan mengamatinya dengan tidak yakin. "Aku akan memberi lima puluh pence," katanya.
"Lima puluh pence!" ulang Olly tidak percaya. "Benda ini seharga sepuluh pounds di toko!"
"Ya aku tahu, tapi benda ini tidak baru, kan?"
"Ya memang, tapi ketika kami hendak membeli lumba-lumba itu, Anda berkata semakin tua sebuah benda maka akan semakin berharga!"
Bill mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Nah rupanya kalian salah mengerti. Benda antik seperti lumba-lumba kalian itu " semakin tua usia benda itu maka akan semakin mahal " kemudian ada pula barang bekas " seperti pisau kalian itu " semakin tua usianya maka semakin berkurang nilainya karena sudah berupa barang bekas. Mungkin jika kalian menyimpannya hingga ratusan tahun, pisau itu bisa menjadi benda antik yang harganya tinggi."
Olly menghela napas, "Aku tidak mengerti."
Bill tersenyum, "Kau tidak hidup dalam dunia bisnis, Nak." Ia bersandar dan mengetuk hidungnya, "Mata yang terlatih."
Olly mencoba membujuk Bill untuk yang terakhir kalinya. "Tapi jika kau hanya membeli pisau ini seharga lima puluh pence, kami tidak mempunyai cukup uang untuk membeli lumba-lumba ini. Tak bisakah kami menukar pisau ini dengan lumba-lumba?"
"Aku katakan pada kalian sekali lagi. Aku ini laki-laki pemurah. Aku akan membeli pisau ini satu pounds. Itu penawaran terakhirku. Ambil atau tidak?"
"Baiklah kaiau begitu," kata Olly sambil mengulurkan pisau itu. Bill memberikan uang koin satu pounds.
Olly tidaklah terlalu gembira. Ia mengeluh saat kami berada di luar toko itu. "Aku rasa ia hanya bicara omong kosong. Aku berani bertaruh jika kita berusaha menjual lumba-lumba itu, ia akan berkata bahwa lumba-lumba itu tidak berharga sama sekali dan hanya merupakan barang bekas. Dan jika kita berniat membeli pisau itu, ia akan mengatakan bahwa pisau itu adalah barang antik yang sangat berharga!"
"Aku tidak mengerti kenapa kau menggerutu seperti itu. Itu pisauku! Dan aku tidak habis pikir kenapa kita harus menjualnya hanya untuk mendapatkan satu pounds!"
"Ada lebih dari satu pounds yang kita punya " hei, apa yang terjadi di sana?"
Di sisi lain jalan itu, dua orang gadis sedang berlari dari arah pojokan jalan sambil menjerit dan menangis. Beberapa saat berikutnya, sesosok besar mengikutinya dari belakang.
"Oh, itu hanya Simon. Menakuti orang seperti biasanya," kata Olly.
Tiba-tiba datang ide cemerlang di kepalaku. "Dulu kau bilang kalau Simon berutang lima pounds padamu?"
"Ya untuk game komputer yang ia rusakkan," kata Olly. "Ia berjanji ketika memaksaku meminjaminya. Ia berkata akan memberiku lima pounds jika ia merusakkannya. Tapi aku tidak pernah mendapatkannya. Aku tidak akan keberatan jika ia miskin, tapi ia memiliki banyak uang."
"Bagaimana kau tahu?"
"Kau tidak melihatnya saat istirahat, ya" Melambaikan uangnya dengan bangga dan mengatakan kepada semua orang bahwa ia adalah anak terkaya di sekolah."
"Baiklah kalau begitu. Ayo kita dekati dia dan minta uang itu darinya," ajakku.
"Kau mau cari mati, ya"! Aku sudah mencoba meminta uang itu padanya dan dia hampir saja mematahkan lenganku. Sebab itu aku tidak pernah lagi memintanya mengganti game komputerku."
"Kau tidak perlu melakukannya. Aku yang akan menagih uang itu darinya," kataku.
Aku segera berjalan ke arah High Street, Olly berjaIan di belakangku masih dengan pandangan ragu-ragu.
Kami melihat dua orang gadis itu berlari masuk ke sebuah toko di sisi alun-alun. Simon berdiri di luar toko menunggu mereka keluar.
Olly menarik mantelku. "Kau gila Jack. Ia tidak akan memberimu uang itu. Kau hanya akan berkelahi dengannya."
"Kurasa tidak. Kau lihat saja."
Aku berjalan melintasi alun-alun. Beberapa menit kemudian, aku kembali dengan uang lima pounds di tanganku. Aku menunjukkan uang itu pada Olly. Ia hanya menatapku tak percaya dan dengan mulut ternganga.
"Aku tidak percaya hal ini! Bagaimana kau melakukannya?"
"Kau ingat, kan, aku pernah mengatakan kepadamu tentang Leo dan Joe pergi ke ulang tahun James Party" "
Olly nyengir, "Ya. Joe malah muntah di atas tempat tidur Simon. Itulah kenapa Simon mengancam akan membunuh mereka."
"Benar. Dan alasan kenapa Simon tidakjadi membunuh mereka berdua adalah ketika mereka ada di kamar Simon, mereka melihat sesuatu." "Maksudmu " sesuatu yang buruk?"
"Sesuatu yang sangat buruk jika kau mencoba membayangkan bahwa kau setangguh dia."
"Jadi " sesuatu itu apa?"
"Aku akan mengatakan padamu tapi kau harus berjanji tidak mengatakannya pada orang lain." "Aku janji."
"Di atas tempat tidur Simon ada seekor kelinci besar berbulu merah muda."
"Di atas tempat tidur Simon" Kau pasti bercanda!"
"Itu benar." "Jadi tadi apa yang kau katakan padanya" Apakah kau mengancamnya bahwa rahasia itu akan menyebar ke seantero sekoiah?"
"Aku tidak perlu melakukan hal itu. Hal itu adalah hal yang sangat aneh. Aku hanya membayangkan Simon menggendong dan memeluk kelinci itu, dan dia menjadi tidak menakutkan lagi. Aku hanya meminta uang itu padanya seperti aku meminta pada orang-orang seumurnya dan dia memberikannya."
Olly melambaikan uang itu di udara sambil menyeringai. "Aku tidak pernah berpikir akan melihat ini. Ayo kita pergi ke Bill's Bargains!"
Kami segera mengendarai sepeda kembali ke Bill's Bargains dengan semangat tinggi, tapi ternyata semangat itu tidak bertahan lama. Pintu toko itu tertutup dan papas bertuliskan TUTUP tergantung di depan pintu.
"Tidak mungkin tutup!" Olly berteriak marah sambil mencoba mendorong pintu toko. "Ini baru jam lima sore!"
"Lihat papan itu," kataku. "Buka Senin sampai Jumat. Pukul sepuluh pagi sampai pukul setengah lima sore."
"Bagus!" ujar Olly kesal. "Kenapa dia harus tutup jam setengah lima" Dia bahkan tidak melakukan pekerjaan apa pun di daiam. Yang ia lakukan hanyalah duduk di sana, minum teh. Sungguh bekerja keras. Menurutku!"
Kami akhirnya mampir ke toko kue daiam perjalanan pulang ke rumah. Kami hendak membeli donat cokelat, tetapi ternyata mereka tidak mempunyai donat cokelat. Yang tersisa hanyalah dua potong wholemeal loaves dan sepotong soggy sausage roll.
| lanjut | kembali | atas | bawah | daftar isi | depan
DUA BELAS Pada hari Rabu pagi, Attila sudah kembali mengajar. Setelah ia mengabsen satu per satu anak yang ada di kelas, terdengar pintu kelas diketuk dan masuklah seorang anak kecil murid kelas satu.
"Mith Lewis bilang kalau Pak Guru dan murid kelas enam diminta ke aula sekarang juga untuk menonton gladi bersih konser."
"Ya, terima kasih. Tentu saja kami akan datang ke sana. Bisakah kau katakan kepada Miss Lewis, kami akan ke sana beberapa saat lagi?"
Anak itu mengangguk dan segera keluar. Kami segera turun ke aula. Di sana ternyata sudah penuh dengan seluruh penghuni sekolah. Kami menyanyikan sebuah lagu; tape-nya macet seperti biasa ketika anak-anak kelas empat sedang mementaskan sebuah tarian dengan iringan musik country, kami menyanyikan lagu lainnya; sekarang giliran kelas tiga mementaskan sebuah drama, yang semua orang tidak mengerti apa yang mereka mainkan karena separo anak kelas tiga lupa akan dialog yang harus diucapkan sedangkan sisanya mengucapkan dialog dengan sangat pelan sehingga tidak mungkin didengar. Kami menyanyikan lagu lainnya; dan tibalah saatnya untuk anak-anak kelas satu mendeklamasikan sebuah puisi mengenai musim panas.
Leo dan Joe sudah berlatih dan menghafal puisi itu selama hampir satu tahun. Paling tidak seperti itulah yang kulihat. Mereka berlatih membaca puisi itu di mana-mana " di dalam mobil, di kamar mandi, ketika aku sedang berusaha memusatkan konsentrasiku pada acara televisi yang kutonton, dan yang paling parah dari semuanya ini adalah mereka bahkan berlatih membaca puisi itu ketika bangun tidur. Aku tidur sekamar dengan mereka dan percaya padaku, mereka bangun pagi sekali. Aku menghela napas panjang ketika anak-anak kelas satu itu naik ke atas panggung dan menatap kami sambil memegang mawar mereka.
"Ayo, Anak-anak. Bacakan puisi kalian." Loopy menyemangati murid-muridnya dari depan panggung. "Puisi ini adalah puisi yang RIANG GEMBIRA. Semua tentang MUSIM PANAS. Mari tersenyum!" anak-anak kelas satu tersenyum sambil memamerkan gigi mereka seperti sekawanan anjing buas. Semuanya kecuali dua orang gadis di barisan depan yang menangis.
Lihat matahari musim panas yang berwarna
keemasan Bersinar di langit "Jika aku mendengar puisi ini sekali lagi," bisikku pada Olly, "Aku rasa aku akan menangis."
"Ayo ucapkan dengan lantang. Ayah dan ibu ingin MENDENGAR puisi kalian yang indah ini," kata Loopy meletakkan salah satu tangannya membentuk corong di belakang telinganya. "Ayo anak-anak, KERASKAN suara kalian!"
merasakan embun musim panasyang
menyejukkan seperti embusan napas bayi peri
"Siapa pun yang menulis puisi ini," desisku. "Pantas untuk mati dengan cara yang sangat menjijikkan."
"Aku bisa mendengar seseorang BERGUMAM di antara penonton!" kata Loopy lantang, membalikkan badannya. "Aku rasa kita harus mulai dari awal lagi."
Entah kenapa, aku bisa bertahan hingga puisi itu selesai dibacakan.
"Nah, perhatian sebentar. Di konser kita yang sebenarnya sore nanti, kami akan memberikan LUMBA-LUMBA SPESIAL. Tentu saja kita tidak tahu siapa yang akan mendapatkan piala itu sampai nanti sore. Karena ini adalah KEJUTAN BESAR! Jadi sekarang, kita semua kembali ke kelas masing-masing, dan menunggu sore tiba.
Kami baru saja masuk ke kelas ketiba tiba-tiba Matthew masuk dengan tergesa-gesa.
"Maaf saya terlambat, Sir!" lapornya tanpa diminta. "Saya harus pergi ke rumah sakit memeriksakan kepala saya."
"Aku tidak mengomentari hal itu, Matthew," kata Attila. Seluruh kelas memperlihatkan sebuah cengiran, tetapi Matthew meneruskan kata-katanya tanpa memerhatikan ulah teman-temannya itu.
"Ini karena kepala saya terjebak di jeruji pagar tempo hari. Anda, kan, tahu sendiri, Sir," jelasnya.
"Dokter memastikan bahwa tidak ada kerusakan di kepala saya. Syukurlah, Sir. Sekarang saya sudah tidak apa-apa. Saya baik-baik saja. Kepala saya sudah benar-benar normal."
"Syukurlah jika demikian, Matthew," kata Attila. "Ngomong-ngomong, kau ketinggalan acara gladi bersih untuk konser nanti sore."
"Tidak apa-apa, Sir, ujar Matthew. "Lagi pula saya, kan, tidak pernah menyanyi."
"Hmm ... kurasa kau harus menyanyi," tukas Attila. " Setiap orang harus menyanyi."
"Bukan saya, Sir," bantah Matthew. "Jujur saja, suara saya sangat jelek. Sungguh sangat buruk sehingga saya tidak diizinkan untuk menyanyi di rumah karena suara saya membuat stres kucing. Bahkan suatu kali, ketika saya punya ikan koki
Kata-kata Matthew terpotong oleh ketukan keras di pintu dan masuklah Loopy Lewis dengan terburuburu.
"Berita buruk, Mr. Pringle!" teriaknya panik "Mr. Roberts baru saja datang. Lumba-lumba itu hilang!"
"Hilang!" ulang Atila. "Aku tidak mengerti."
"Ketika Mr. Roberts datang untuk mengambil lumba-lumba itu tadi malam, benda itu sudah HILANG!
Dan yang tersisa hanyalah INI!" Loopy menunjukkan beo dari plastis itu.
"Ya Tuhan!" teriak Attila. "Apa ini?"
"Ini beo di atas kandang Brian."
"Brian?" tanya Attila bingung.
"TIKUS kami," jelas Loopy.
"Anda tidak mencurigai tikus Anda mencuri lumba-lumba itu, kan?"
"Mr. Pringle sekarang BUKAN SAATNYA untuk bercanda. Pria BAIK HATI yang memberikan lumba-lumba itu sebagai piala akan datang ke konser nanti sore sebagai tamu kehormatan. Bagaimana aku bisa mengatakan kepadanya bahwa lumba-lumba yang CANTI K itu telah H I LANG?"
"Hmm ..., menurutku situasinya aneh," kata Attila. "Jika Mr. Roberts tidak menemukan lumba-lumba itu, pasti lumba-lumba itu ada di suatu tempat di SEKOLAH," lanjut Loopy dengan bersemangat.
"Itulah mengapa, aku membutuhkan bantuan kelas enam. Kita harus MENCARINYA ke seluruh sekolah. Tidak boleh ada waktu yang terbuang dengan sia-sia."
"Maaf, Sir." "Jangan sekarang Matthew. Tidak bisakah kau lihat kita sedang dalam masalah?"
"Tapi, Sir "Diam, Matthew! Kita perlu membentuk tim pencarian."
"Anda tidak perlu, Sir," Matthew bersikeras. Ia mengambil sesuatu dari dalam tas sekolahnya dan mengeluarkan sebuah benda yang sudah tidak asing lagi. "Anda bisa menggunakan ini."
"Lumba-lumba itu!" jerit Loopy gembira, sangat gembira. "Jika saya bisa membawanya langsung kepada Mr. Roberts. mungkin ia bisa mengukirnya sebelum sore ini. Terima kasih sekali Matthew! Kau benar-benar menyelamatkan kami semua."
Ia segera berlari keluar mendekap lumba-lumba itu, sementara itu aku dan Olly saling memandang satu sama lain dengan pandangan bingung. Benar-benar bingung.
"Di mana sebenarnya kau menemukan lumba-lumba itu, Matthew?" tanya Attila curiga.
"Oh, saya tidak benar-benar menemukannya, Sir. Saya membelinya di toko barang-barang bekas di High Street dalam perjalanan pulang dari rumah sakit. Saya membelinya untuk ulang tahun nenek saya."
"Kau benar-benar baik hati bersedia menyumbangkannya ke sekolah. Tapi bagaimana dengan nenekmu?"
"Nenek saya memang sangat menyukai lumba-lumba, tapi setelah saya membelinya, saya menemukan benda lain yang mungkin lebih disukainya. Lihat!" Matthew ternyata masih menyimpan benda lain di dalam tasnya dan kemudian ia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya yang ternyata adalah pisau lipatku!
Kutukan Lumba-lumba The Curse Of The Dolphin Karya Beth Swinnerton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kenapa kau berpikir nenekmu menginginkan pisau lipat seperti itu?"
"Pisau lipat nenek saya hilang, Sir. Dia pikir pisau itu jatuh dari skuter."
"Apakah kau akan mengatakan kepada kami bahwa nenekmu mempunyai skuter?"
"Tentu saja tidak, Sir! Nenek saya hampir berusia tujuh puluh lima tahun! Saya rasa dia tidak ingin memiliki skuter." Matthew menggeleng-gelengkan kepalanya dengan sedih, baru saja mendengar ide yang paling gila yang pernah ia dengar. "Ia hanya meminjam skuter itu sementara motornya diperbaiki."
"Tentu saja aku tidak meragukan hal itu, Matthew. Seharusnya aku sudah menyadari. Keluargamu adalah sebuah contoh untuk kami semua," Attila berhenti sejenak dan menggosok-gosok hidungnya sambil berpikir. "Hanya satu pertanyaan yang mengganjal. Bagaimana bisa patung lumba-lumba itu ada di toko barang-barang bekas di High Street?"
Dan itu adalah pertanyaan yang tidak ada seorang pun yang tahu jawabannya kecuali kami berdua. Dan kami tidak akan menceritakannya.
Setelah makan malam, kelas enam diminta untuk membersihkan sampah yang berserakan di halaman bermain. Jadi, orangtua akan berpikir bahwa sekolah kami ini bersih. Loopy seoang mengawasi anak-anak kelas satu sambil sesekali melipat tangannya kemudian dilepas lagi, dengan tak sabar.
"Belum ada tanda-tanda Mr. Roberts akan datang?" tanyanya. "Orangtua murid akan datang SEBENTAR LAGI! Aku tidak mampu MENGHADAPINYA."
"Sudahlah tenang saja. Mr. Roberts akan datang." Attila menenangkannya. "Masih ada waktu setengah jam lagi."
Tak lama kemudian Mr. Roberts datang dengan van-nya. Ia datang tentu saja dengan membawa kotak kardus yang begitu terkenal itu.
Konser sore itu dibuka dengan pidato pembukaan dari Lethal Ruler dan acara selanjutnya adalah menyanyi, menari, menyanyi, drama, menyanyi dan pembacaan puisi lagi. Kemudian tibalah saatnya, saat terbesar Loopy. Ia segera naik ke panggung dan tersenyum pada hadirin. Senyumnya menurutku sangat menyebalkan.
"Seperti yang sudah Anda dengar sebelumnya, tahun ini kami mengerjakan BANYAK sekali proyek yang berkaitan dengan lingkungan. Setelah konser ini selesai, saya mengundang Anda semua untuk berjalan-jalan dan menjelajahi HUTAN! Seperti yng sudah Anda lihat, ruang kelas satu telah diubah menjadi HUTAN HUJAN dan semuanya dibuat dengan BAHAN BAHAN YANG MAMPU DIDAUR ULANG dan ramah lingkungan. Tapi sebelumnya, kita akan menyaksikan sebuah acara yang SANGAT spesial."
Sambil tersenyum lebar, Loopy membuka kotak dan mengeluarkan lumba-lumba itu seperti seorang pesulap mengeluarkan kelinci dari dalam topi. "Setiap tahun, kami akan memberikan piala ini kepada anak yangtelah melakukan sesuatu yang SPESIAL untuk menolong lingkungan. Piala ini dibuat oleh tamu kehormatan kami, Mr. Peter Hepplethwaite, saya persilakan naik ke pentas untuk MENGANUGERAHKAN piala ini."
Kami semua bertepuktangan sementara seorang pria tinggi dengan jenggot yang lebat dan memakai rompi berwarna merah muda naik ke atas panggung.
"SUNGGUH SANGAT MENYENANGKAN melihat anak-anak terlibat dalam proyek lingkungan," ucapnya dengan suara lantang.
"Banyak anak yang telah melakukan sesuatu yang MULIA di sekolah ini," lanj.ut Loopy. "Tapi saya memutuskan untuk menganugerahkan piala ini untuk dua orang anak yang telah melakukan proyek penyelamatan lingkungan DI SELA-SELAWAKTUNYA. Pertama, dua anak ini melakukan hal yang sungguh sangat mulia untuk proyek penyelamatan satwa liar dengan mengumpulkan barang-barang bekas untuk dijual di bazar amal.
Penyelamatan satwa liar" Kok rasanyatidak asing lagi" Tidak ada proyek penyelamatan satwa liar selain ... er ... cerita bohong kami, pikirku. Jika hal ini dilanjutkan maka tidak ada daratan kering yang tersisa.
"Dan akhirnya," lanjut Loopy. "Saya menemukan dua orang anak ini sedang mengumpulkan uang di alun-alun kota untuk PROYEK PENYELAMATAN PANDA RAKSASA!"
Lucu sekali. Aku tidak mengetahui anak lain dari sekolah kami yang melakukan proyek Penyelamatan Panda Raksasa.
"Jadi para hadirin sekalian. Dengan BANGGA saya menganugerahkan piala yang SANGAT INDAH ini kepada dua orang anak dari kelas enam " Jack Harrison dan Oliver Jacobs."
Olly menyikut rusukku sampai hampir copot. "Jack, itu kita," desisnya dan akhirnya kami maju ke depan melewati para ibu dan ayah yang bertepuk tangan meriah.
Mr. Hepplethwaite memberikan piala itu kepada kami berdua. Aku dapat melihat dengan jelas nama kami terukir di sana. Ia menjabat tangan kami erat dan antusias. Aku menatap ke arah hadirin. Di barisan depan, aku melihat ayah dan ibu Olly tersenyum bangga. Agak jauh di belakang, aku menemukan ibuku menatapku bahagia dan sedikit tidak percaya, sementara itu Anna melonjak-lonjak gembira dan melambaikan jari-jarinya di udara. Di deretan belakang, aku melihat Jonathan menatap kami dengan marah mungkin dia berpikir bahwa dia yang akan memenangkan piala itu, Matthew meringis " ia sangat gembira bahwa ia yang menyelamatkan sekolah dari rasa menanggung malu, Daisy terlihat bingung " ia tidak tahu apa yang sedang terjadi, dan Attila terpaku dengan penuh keheranan dan tidak percaya-apa yang dipikirkannya sebaiknya disensor saja.
Setibanya di rumahku, Olly dan aku bingung bagaimana membagi piala itu.
"Sebaiknya kita jangan memotongnya menjadi dua bagian," kata Olly sambil berpikir keras. "Mungkin kita bisa memilikinya selama enam bulan bergantian."
"Ide yang bagus. Aku setuju.
Aku mengambil lumba-lumba itu dari kotaknya dan tiba-tiba terbayang masalah dan penderitaan yang diakibatkan oleh benda ini " terguncang-guncang di dalam van, troli seberat hampir sepuluh ton, hampir mati kepanasan dan kehausan di balik kostum panda itu, dan hampir masuk penjara karena mencuri sepedaku sendiri, sampai aku harus menjual pisau lipatku demi uang satu pounds. Dan anehnya, entah kenapa aku merasa sayang pada benda ini. Lumba-lumba itu sepertinya sedang menatapku dengan menyeringai lebar.
"Sekarang giliranku lebih dulu memilikinya!" ujarku.
Kali ini Olly setuju. | lanjut | kembali | atas | bawah | daftar isi | depan
Pendekar Lembah Naga 14 Golok Halilintar Karya Khu Lung Sleep With Devil 2
"Halo anak-anak, kalian pulang lebih awal," kata ibu. "Bukankah pestanya baru selesai pukul lima nanti?"
"Tunggu sebentar, kurasa seharusnya aku menjemput kalian." Potong Ayah. "Lalu bagaimana kalian pulang?"
"Kami ... mmm ... mendapatkan tumpangan," jawab Leo sambil melirik Joe dengan ekspresi aneh.
"Bagaimana pestanya?" tanya ibu.
"Pada awalnya, sih, masih baik-baik saja," kata
Joe pelan. "Kami minum teh."
"Ya, di sana disajikan banyak sekali teh!" angguk Leo antusias. "Dan di sana juga ada jelly dan es krim. Hmmm ... jelly rasa stroberi kurasa; ada banyak macam es krim dan dia mempersilakan kami untuk memakan dan mencicipi setiap rasa yang berbeda bersama-sama! Aku mencoba mint chocolate chip dan raspberry ripple dan toffe crunch."
"Tidak mungkin!" protes Joe. "Tidak ada toffe crunch yang tersisa!"
"Ha ...! itu karena aku sempat mengambil sisa terakhir sebelum habis!"
"Tidak mungkin! Omong-omong, kau mencicipi rum dan anggur, nggak" Aku mencicipinya."
"Tidak ada rum dan anggur. Kau TIDAK DIPERBOLEHKAN memberi anak-anak rum dan anggur karena itu mengandung alkohol. Lagi pula itu, kan, melanggar hukum."
"Sepertinya begitu menyenangkan," potong ibu. "Lalu apa yang kalian lakukan di sana?"
"Oh ... kami lalu menonton video Postman Pat dan kami tidak suka Postman Pat.
"Ya, benar," angguk Joe setuju. "Tidak ada perkelahian di dalam Postman Pat. Kami hanya suka Arnold Snortsnigger."
"Aku harap kalian tidak mengatakan hal itu pada teman kalian dan mengecewakan semua orang di sana," kata ibu.
"Tidak. Kami bahkan tidak menontonnya," jawab Leo. "Ia mengatakan kami bisa mengambil teh lagi."
"Ia" Siapa" Induk kucing?" potong Ayah.
"Bukan." Joe menggelengkan kepalanya. "Mereka tidak mempunyai kucing. Ia adalah ibu James. Ia sangat baik. Ia berkata bahwa kami boleh makan kue sebanyak yang kami mau. Jadi, kami memakan kue ulang tahun itu."
"Tidak semuanya, kan?" tanya ibu sambil tertawa.
"Ya. Kami makan seluruhnya," jawab Joe.
Ibu berhenti tertawa. "Sungguh" Kalian benar-benar serakah. Kalian bisa sakit perut dan jika kalian sakit perut dan muntah karena kekenyangan, maka kalian pantas mendapatkannya."
Ada jeda lama sebelum Joe membuka mulutnya. "Kami memang sakit perut karena terlalu kenyang. Kami merasa mual dan ingin muntah. Kami berdua."
Ibu menghela napas. "Kalian pergi ke kamar mandi, kan?"
"Aku tidak bisa!" jerit Joe. "Kami pergi ke lantai atas dan menemukan kamar mandi di sana, tapi ada seorang anak laki-laki bertubuh besar seperti raksasa yang menghalangi kami masuk, dia tidak mengizinkan kami masuk ke kamar mandi! Ia mengancam kami, kalau kami nekat masuk ke kamar mandi maka ia akan membenamkan kepala kami ke toilet dan kami bisa mati tenggelam!"
Kurasa itu adalah Simon Miller. Jelas sekali.
"Jadi APAYANG KALIAN LAKUKAN?"tanyaAyah.
"Kami lalu pergi ke sebuah kamar dan kami tidak tahu bahwa itu adalah kamarnya," jawab Joe. "Perutku mual sekali dan tidak dapat kutahan lagi untuk segera muntah, maka .... Ehm ... tapi itu bukan salahku, itu karena anak laki-laki itu menghalangi kami masuk ke kamar mandi!"
"Ya. Yang kena komputer, cuma sedikit, kok." Leo membela diri. "Sebagian muntahan mengenai tempat tidur kok. Kau, kan, bisa mencuci tempat tidur. lya, kan?"
"Tidak heran jika Mrs. Miller memulangkan kalian!" teriak ibu marah. "Kalian harus meminta maaf pada Mrs. Miller!"
"Mrs. Miller tidak mengantarkan kami pulang."
"Lalu bagaimana kalian pulang?"
"Kami pikir ketika anak laki-laki itu melihat kamarnya ehm ... berantakan, maka mungkin ia akan
marah. Jadi kami rasa sebaiknya kami pergi."
"Kalian melarikan diri" Ini memalukan sekali!!!" kata Ayah marah. Suaranya meninggi.
"Kalian tidak perlu melaporkan kami ke polisi karena mereka sudah tahu," Joe meyakinkan Ayah.
"APA"!! POLISI juga terlibat"!!!"
"Kami mencoba mencari jalan pulang dan Joe menangis."
"Tidak! Aku tidak menangis. Itu karena perutku sakit dan mual. Ketika mual maka mataku selalu berair. Lagipula kau juga menangis!"
"Aku tidak menangis. Ketika kami berjalan, ada sebuah mobil polisi mendekat, sekalian saja kami minta tolong kepadanya. Polisi itu sungguh baik. Kemudian ia mengantar kami pulang."
"Lalu di mana polisi itu sekarang" Kenapa kalian tidak mengajaknya masuk?"
Joe dan Leo saling berpandangan.
"Mobilnya tidak terlalu bersih, sih," gumam Leo.
"Tunggu sebentar," kata Ibu curiga. "Joe bilang bahwa kalian berdua muntah dan dia muntah di kamar kakak James. Lalu kau muntah di mana Leo?"
Leo menatap langit-langit rumah.
"Oh ... TIDAK!!" jerit ibu. "Leo, kau muntah di mobil polisi itu, kan?"
Leo menghela napas panjang. "Paling tidak, aku tidak mengotori celanaku, kan," katanya memelas penuh harap.
"Baik, kalau begitu." Ibu segera berdiri. "Yah, kau harus segera menelepon Mrs. Miller. Ia pasti sangat bingung sekarang karena kalian pergi dengan tiba-tiba," kata Ibu pada Ayah. "Aku akan mencari ember dan disinfektan (cairan pembunuh kuman). Kalian berdua" " ia menatap galak pada Leo dan Joe " "pergi ke atas sekarang juga. Aku tidak mau melihat wajah kalian sepanjang sisa hari ini. Tak akan."
Seperti yang sudah kukatakan tadi, Sabtu sore yang damai dan tenang di rumahku hanya berlangsung sekitar sepuluh menit.
| lanjut | kembali | atas | bawah | daftar isi | depan
TUJUH Pada Senin pagi, aku mulai merasa khawatir tentang lumba-lumba itu, entah kenapa.
"Tenang saja. jangan panik," kata Olly. "Kita masih punya waktu tiga hari. Konsernya, kan, masih hari Rabu."
"Ya, aku tahu, tapi bagaimana dengan Mr. Roberts" sekarang, ia akan menyadari kalau lumba-lumba itu tidak berada di tempatnya."
"Yah ... mungkin saja, tapi ia hanya akan berpikir ia tidak menemukan lumba-lumba itu. Lagipula, jika semuanya tepat sesuai rencana, kita dapat memberikan lumba-lumba itu padanya malam ini."
"Menurut rencana?" tanyaku dengan perasaan tidak enak. "Rencana apa?"
"Tentu saja rencanaku," jawab Olly dengan sebuah seringai menghiasi wajahnya. "Percaya saja padaku! Aku sudah membawa uang dua pounds yang kita butuhkan untuk membeli lumba-lumba itu."
"Yah ... kuharap saja begitu.
"Jadi begini rencanaku: saat jam makan siang nanti, kita akan minta izin keluar sekolah sebentar dan pergi ke pusat kota, membeli lumba-lumba itu, kemudian setelah pulang sekolah kita akan mengembalikan benda itu ke rumah Mr. Roberts."
"Bagaimana caranya agar kita bisa mendapatkan izin keluar?"
"Seperti biasanya. Aku rasa kita tidak perlu mengganti alasannya, kan" Atau kau ingin mengganti alasan yang biasanya kita gunakan itu?"
"Tidak." Di kelas enam, kau diizinkan untuk pergi ke pusat kota pada saat pelajaran sekolah jika kau punya alasan-seperti membeli kado " dan kau diperbolehkan mengajak seorang teman. Terakhir kali kami melakukannya ketika Olly mempunyai ide yang cemerlang yaitu aku harus mengatakan kepada guruku bahwa aku harus membeli kado untuk ulangtahun kakekku. Masalahnya adalah, dua adikku yang bodoh itu mengatakan pada Attila bahwa kedua kakek kami telah meninggal sebelum kami lahir, jadi kami bahkan tidak pernah bertemu dengannya. Ketika aku kembali dari kota, aku harus menghadap ke kantor Lethal Ruler dan mendapatkan hukuman selama seminggu.
"Kau bisa melakukannya," kataku pada Olly dengan tegas. "Kau tidak punya saudara di sekolah yang akan melaporkan pada Attila apa yang kita lakukan."
Ketika Attila masuk ke kelas setelah rapat, ia tampaknya sedang gembira. Rupanya suasana hatinya sedang bagus. Pada hari Senin kami memiliki mata pelajaran memasak, sepertinya itulah yang membuat Attila gembira.
"Aku bermimpi," ia memulai, memerhatikan langit-langit kelas. "Bahwa suatu saat setiap anak di kelas ini akan mengingat bahan-bahan yang dibutuhkan dalam kelas masak. Adakah di antara kalian yang lupa pada bahan-bahan yang harus kalian siapkan minggu ini?"
Beberapa orang anak mengangkat tangannya. Beberapa orang yang lain bergumam seperti ini:
"Aku ingat aku menaruhnya di kaleng tapi kemudian aku lupa menaruh kaleng itu ke dalam tasku."
"Aku rasa bahan-bahanku ketinggalan di bus."
"Aku tahu pasti aku membawa bahan-bahan itu ketika aku sampai di sekolah."
"Anjing kami memakannya."
"Baiklah," kata Attila. "Itu hanya mimpi."
Ajaib sekali, aku ternyata membawa semua bahan itu, jadi yang kulakukan kemudian adalah memasak. Masalahnya adalah, aku tidak bisa memasak. Itu bukan karena aku tidak suka makanan-kenyataannya makan adalah hobi favoritku. Aku hanya tidak pernah memasak makanan yang bisa benar-benar dimakan. Ayah mengatakan bahwa kue cherry-ku mungkin akan terasa enak jika diberi meriam.
Pelajaran memasak hari itu adalah membuat kue buah. Attila memulai dengan menulis cara pembuatan di papan tulis. Nomor satu, aduk mentega dengan gula. Aku lupa bahwa aku harus memasukkan gula, jadi aku hanya berkutat mengaduk mentega.
Pelajaran memasak hari itu berjalan dengan cukup lancar. Hanya tiga anak yang menjatuhkan telur mereka dan hanya satu yang rambutnya berlepotan mentega. Jonathan bolak-balik mengambil lap pel sampai tiga kali sedangkan Emily dua kali.
"Tepung SR itu apa?" tanya Olly tiba-tiba. Olly sangat suka memasak " aku rasa bakatnya menurun dari ibunya " tapi ia punya masalah dengan resep. Ia tidak pernah secara tepat mengikuti resep yang ada.
"Nggak tahu," jawabku sambil mengangkat bahu. "Sir's Recipe" Slighty Rotten"
"Maaf, Sir. Apakah yang dimaksud dengan tepung SR"''
"Self raising (tepung yang mengandung baking powder), Oliver. Ada dua macam tepung yang dijual di pasaran " plain, untuk pastry (adonan dasar) dan self raising untuk kue kering berukuran kecil seperti ini. Jika menggunakan tepung jenis ini maka adonan bisa mengembang sendiri dalam oven. Jadi, kue-kue yang sudah matang akan terasa lembut dan tidak bantat."
"Oh ... begitu ya. Terima kasih, Sir."
Olly kemudian melihat ke kantong kemasan tepungnya dan membacanya dengan saksama. "Oh tidak! Tepungku ternyata plain (tepung yang tidak mengandung baking powder). Aku hanya bisa membuat adonan dasar saja kalau begitu!"
Jonathan memandang ke arah Olly. "Kau menyedihkan sekali Olly," katanya kasihan, tetapi nada mengejek. "Kau tinggal menambahi baking powder pada adonanmu itu. Lihat instruksi di papan tulis! SR ATAU plain dan baking powder."
Olly gembira sekali. "Bagus," ia kemudian mencari baking powderdi tasnya dan mengeluarkan sebuah kaleng. "Ini dia baking powder. Makanya sejak tadi aku bingung, untuk apa benda ini." Ia membuka tutup kaleng baking powder itu dan menuangkan seluruh isinya ke dalam mangkok berisi adonan.
"Apa yang sedang kau lakukan"!" tegur Jonathan. "Mengapa kau tuangkan semua" Cukup satu sendok makan saja!!"
"Bukan masalah itu!" kata Olly dengan ceria. "Maksudku, kau ingin kue ini mengembang sebesar mungkin, benar, kan" Semakin banyak baking powder-nya maka akan mengembang semakin besar dan sempurna. Lagipula, isi kaleng ini hanya setengah kok. Apakah kau menambahkan baking powder pada adonanmu Jack?"
"Tidak." jawabku. "Aku tidak menambahkannya. Tepung yang kupakai tepung maizena dan aku tidak tahu seperti apa tepung maizena itu. Jadi lebih baik aku tidak mengambil risiko."
"Benar," Olly mengangguk setuju. "Hei, aku sudah hampir selesai," tambahnya gembira sambil melihat ke papan tulis. "Tambahkan susu. Yup, setelah ini selesai! Ini dia!" ia membuka karton berisi susu dan menuangkan susu itu ke seluruh adonannya.
Attila sampai ke meja kami. Ia tersenyum lebar karena cetakan kue Jonathan, setiap cetakan diisi dengan adonan sempurna dan tidak ada yang tercecer sedikit pun.
"Bagus sekali, Jonathan! Bagus sekali! Kue-kuemu kelihatannya enak dimakan."
Attila tertawa keras karena leluconnya sendiri. Seperti yang telah kuperingatkan pada kalian tentang leluconnya ketika suasana hatinya sedang bagus. Kau sebaiknya memanfaatkan keadaan itu karena suasana hatinya bisa berubah dengan cepat.
"Matthew, apa yang sedang kau kerjakan"!" Matthew sedang mengetuk-ketukkan sendok dengan hati-hati pada telurnya.
"Saya sedang mencoba melakukan apa yang tertulis di papan tulis, Sir. Memakan telurnya."
"Di sana tertulis KOCOK telurnya, bukan makan telurnya. Dasar anak konyol."
"Oh," Matthew memukul kepalanya dan membelalakkan matanya. "Coba lihat, Anda menuliskan B dengan tidak jelas. Anda tidak menyambungkan lengkungannya sampai ke bawah, jadi saya pikir itu adalah nomor tiga belas (13), makan telurnya. Wah, untunglah saya tidak jadi makan telur mentah ini. Sebenarnya saya bahkan tidak suka telur REBUS!"
Attila menggeleng-gelengkan kepalanya dengan sedih. "Teruskan saja dengan adonanmu Matthew. Sekarang kau, Oliver. Ya Tuhan, apa yang kau perbuat"!"
Attila mundur ke belakang dan matanya terbelalak ketika ia menatap tak percaya ke arah adonan Olly. Adonan berwarna kuning pucat yang mengembang dengan dahsyat di dalam mangkok itu mengeluarkan suara seperti desisan dan mengeluarkan buih seperti otak alien dalam film fiksi ilmiah.
"Ya Tuhan! Apa yang KAU LAKUKAN Oliver?" tanya Attila. "Berapa jumlah susu yang kau tuangkan ke dalam adonanmu?"
"Saya tidak tahu, Sir. Mungkin sekitar satu pint (0,568 liter)," jawab Olly.
"Satu pint! Lihat ke papan tulis! Di sana sudah tertulis berapa banyak bahan yang harus kau gunakan!"
"Tidak seperti itu, Sir. Di sana tertulis empat tussups. Aku tidaktahu apa itu tussups " aku pikir itu adalah salah satu ukuran zaman dulu seperti inci dan yard."
"Di sana tertulis Tsps, Oliver. Satu sendok makan!"
"Oh ... Tidak masalah, Sir " semua akan baik-baik saja ketika dimasak."
"Aku meragukan itu Oliver," kata Attila pelan, menggeleng-gelengkan kepalanya melihat otak alien yang ada di mangkok Olly itu. "Waktu yang akan membuktikannya."
Ia kemudian memalingkan kepalanya padaku, "Ah, Jack. Apa yang sedang kau lakukan?"
"Saya sedang memasukkan anggur kering ke dalam adonan Sir, seperti yang tertulis di papan tulis."
"Ya Jack, tapi kau baru bisa memasukkan anggur kering SEBELUM kau memasukkan adonan ke dalam loyang. Ketika adonan itu masih ada di dalam loyang."
"Jika kau melakukannya secara normal, Sir," anggukku setuju. "Tapi masalahnya adalah aku tidak mempunyai anggur kering sementara adonanku masih ada di dalam mangkok. Kemudian Olly mengatakan kepadaku aku bisa minta anggur keringnya, tapi saya sudah memasukkan adonan ke dalam loyang jadi menurut saya lebih baik saya masukkan anggur keringnya sekarang."
"Dan mengapa kau membutuhkan jangka?"
"Ah, itu ... saya memakai jangka untuk memasukkan anggur kering itu. Anda harus memasukkan anggur itu tepat di tengah," " aku memperagakannya " "kemudian Anda menekannya ke dalam adonan dan sebarkan sedikit ke sekelilingnya dan anggurnya sudah tertanam sekarang. Cara itu berhasil kadang-kadang."
"Jika aku jadi kau Jack, aku akan berpikir ... berpikir lagi. Aku akan melupakan sejenak tentang anggur kering itu," Attila menarik napas panjang dan berjalan berkeliling menuju ke meja Daisy yang sedang menulis di buku matematikanya.
"David?" tanya Attila. Daisy tetap meneruskan menulis di buku matematikanya.
"Aku akan memanggilnya untuk Anda, Sir," ujarku. Aku memegang ujung pensil Daisy dan setelah beberapa saat, ia mendongakkan kepalanya dan menatap berkeliling ke ruangan seperti baru saja bangun dari mimpi. Matanya akhirnya tertambat pada Attila dan kau bisa melihatnya mencoba untuk mengingat di mana ia berada. Akhirnya ia berhasil!
"Ah, halo, Sir," katanya tersenyum.
Attila menghela napas panjang. "Saat ini kita sedang memasak, David."
"Oh bagus sekali, Sir," kata Daisy sopan. "Saya sedang mengerjakan matematika, Sir."
"Ya. Bolehkah aku melihatnya, David?" Attila mengambil buku matematika Daisy dan menatapnya. Daisy mengerjakan semua PR matematikanya. Ia pasti membawa semua pekerjaannya dari rumah. Sepertinya matematika yang dikerjakan Dasiy bukan seperti matematika yang kami kerjakan selama ini.
"Aku rasa Anda terbalik membacanya, Sir," kata Daisy.
"Oh " er " ya," Attila dengan cepat memutar arah buku itu, tetapi berdasarkan ekspresi wajahnya tampaknya sama saja, tidak banyak perbedaan. Ia tetap saja mengernyitkan keningnya.
"Bagus sekali, David. Teruskan!" katanya, puas dengan apa yang dikerjakan Daisy dan mundur dari meja Daisy ke sisi lain ruangan di mana sekantong tepung berada di atas rak buku.
"Tenang, Sir. Aku bisa menurunkannya dengan penghapus berkekuatan jetku!" kata Matthew antusias. "Sebenarnya ini penghapus karet."
"Jangan pernah coba menembaknya dengan itu," teriak Attila. "Jika kau mengenainya, kau akan menjatuhkan kantong tepung itu."
"Jangan takut, Sir," kata Olly meyakinkannya. Matthew tidak bisa memukul gajah dari jarak dua meter. Hey, tembakan jitu, Mat!"
"Anda lihat itu, bukan?" Matthew menunjuk dengan bangga ke arah kantong tepung yang sekarang mengalirkan tepungnya keluar dari lubang yang dibuat Matthew.
Attila menghela napas panjang. "Charlotte" Maukah kau mengambilkan kain pel?"
Sementara kami membawa kue-kue tersebut menuju dapur, aku merasakan kehadiran sesuatu yang besar dan tidak menyenangkan di belakangku. "Kau punya lubang di kebunmu, Harrison?" bisik Simon Miller mengancam.
"Er, " tidak " kenapa?"
"Kau sebaiknya mulai menggali. Aku akan menemui adik-adikmu saat istirahat nanti, dan kau akan membutuhkan sebuah tempat untuk mengubur mereka."
"Semua baik-baik saja, Simon?" tanya Attila tiba-tiba di belakang Simon Miller. Ia selalu waspada dan berjaga-jaga jika Simon Miller terlihat berbicara dengan seseorang.
"Ya, Sir," jawab Simon. "Saya baik-baik saja." Dan ia memberiku tatapan mengancam yang membuat perutku langsung terasa mual ketika ia terhuyung-huyung pergi.
"Apa yang akan kau lakukan?" tanya Olly ketika Simon sudah jauh dari kami.
"Apa maksudmu?"
"Tentang adik-adikmu itu. Simon akan melumat mereka menjadi bubur!"
"Lalu apa yang harus kulakukan" Menjual tiket?"
"Oh, ayolah Jack. Paling tidak kau bisa memperingatkan mereka kemudian mereka bisa memastikan diri untuk selalu berada dekat dengan guru," tentu saja Olly berkata demikian, ia tidak punya saudara. Ia tampaknya berpikir kalau Leo dan Joe sangatlah lucu.
"Baiklah," kataku sambil menghela napas panjang.
Jadi setelah selesai meletakkan kue kami di dapur dan bel tanda istirahat berbunyi, kami segera mencari Leo dan Joe. Kami tidak melihat mereka di taman bermain, jadi kami mencari mereka di aula. Mungkin mereka sedang membeli snack. Tetapi tak ada tanda-tanda keberadaan mereka.
"Aku akan mengambil minum sebentar," kataku. "Aku tidak mau menyia-siakan seluruh jam istirahat."
Aku baru saja minum ketika Olly memanggilku dari jendela.
"Jack, itu mereka!" Leo dan Joe sedang duduk di bawah pohon di lapangan, jauh dari arena permainan. Berdasarkan bayangan yang terpantul di rumput, sesosok besar tubuh sedang berjalan mendekat ke arah mereka.
"Tampaknya kita terlambat," kata Olly. Dengan sedih ia mulai menggumamkan lagu pengiring kematian.
Kami melihat Simon berjalan semakin mendekat ke arah Leo dan Joe, tetapi alih-alih memukul mereka, ia malah berbicara pada mereka, mengulurkan dua kantong keripik dan berjalan dengan cepat. Wajahnya terlihat memerah.
"Apa yang mereka katakan pada Simon Miller?" desak Olly heran.
Aku mengangkat bahu. "Aku tidak tahu. Tapi aku akan mencari tahu tentang hal itu."
Di akhir pelajaran berikutnya, Olly dan aku memohon izin pada Attila untuk pergi ke kota saat istirahat makan maiam.
"Tunggu sebentar. Aku akan mengambil buku izin dulu," Attila menarik keluar buku izin dari tumpukan di atas meja.
"Sekarang apa lagi Oliver," katanya. "Jangan bilang kalau kali ini adalah ulang tahun ibumu iagi."
"Tidak, Sir. Ibu saya baru saja berulang tahun."
"Benar sekali." Attila menutup bukunya dengan keras. "Ulang tahun ibumu minggu lalu, ulang tahun ayahmu minggu sebelumnya dan pamanmu akhir buIan lalu. Ulang tahun Nenekmu di bulan Mei, bibimu di bulan April. Ya Tuhan, ibumu berulang tahun lagi di bulan Maret dan ada ulang tahun perkawinan! Keluargamu benar-benar menyukai perayaan, benar begitu, Oliver" Sepertinya ayahmu berulang tahun lagi di bulan Februari dan kakekmu berulang tahun seminggu setelahnya. Apakah tidak ada anggota keluargamu yang memiliki paling tidak dua kali ulang tahun yang belum kau sebut?"
"Ya, Sir. Hamster saya. "
"Hamster bukanlah sanak saudara, Oliver."
"Tapi hamster saya iya. Anda tahu, saya hanyalah seorang anak. Goldie sudah seperti saudara bagi saya."
"Pergi sana, Oliver. Dan kau juga, Jack."
"Ini sudah keterlaluan untuk rencana bagusmu," protesku. "SEKARANG apa yang akan kita lakukan?" "jangan khawatir, aku akan memikirkan sesuatu," jawab Olly. "Aku selalu menemukannya."
| lanjut | kembali | atas | bawah | daftar isi | depan
DELAPAN Olly dan aku masih merasa sedikit lapar setelah jam makan malam di sekolah, jadi kami pergi ke ruang makan untuk mengambil kue yang kami buat siang tadi.
Kue-kue itu disusun oleh koki di dapur sekolah kami di sebuah tempat seperti etalase toko roti dengan nama kami masing-masing tertempel di tempat kue. Kami harus menuliskan nama kami di selembar kertas kecil ketika kami meninggalkan kue-kue itu di dapur. Kemudian para koki di dapur memasukkan kue-kue itu ke dalam oven, setelah itu kertas yang sudah berisi nama tersebut ditempelkan tepat di tempat kue-kue itu. Pada kenyataannya, kami sebenarnya tidak terlalu memusingkan tentang hal itu karena sudah jelas sekali kue siapa milik siapa.
Kue buatan Jonathan benar-benar sempurna. Sama ukurannya, sama bentuknya. Aku tergoda mengambil salah satu kue-kue itu, tetapi kemudian aku teringat tentang kebiasaannya mengupil. Kau pasti tidak akan terlalu yakin apa isi kue itu setelah tahu kebiasaan Jonathan itu. Sebuah bayangan melintas " iyaaaks! Menjijikkan!
Kau bisa mengenali kue buatan Matthew karena ia membuat gambar wajah tersenyum di setiap kuenya dengan anggur kering. Dan kau juga bisa mengenali yang mana kue buatanku. Jangankan mengembang, kueku malah tidak karuan bentuknya. Seperti baru saja tergencet truk. Kue-kueku itu tampak seperti kelereng yang baru saja terlindas mobil, dan kuenya sendiri masih tampak pucat dan tidak matang, tetapi anggur kering yang ada di atas kue itu hitam terbakar.
Kue milik Olly juga dapat dikenali dengan mudah. Kuenya mengembang besar melebihi loyang dengan banyak sekali serpihan kue yang keras. Kue milik Olly berubah menjadi kue berukuran raksasa.
"Hei, wow! Kue buatanku ini benar-benar penemuan baru, benar, kan?" ujar Olly. "Aku akan menamainya 'The Jacobs Kue Super'," ia mencuil sedikit kuenya dan mengunyahnya dengan sangat antusias. "Hmm ... tidak terlalu buruk. Rasanya lumayan enak. Dan lebih memuaskan daripada kue-kue yang biasanya karena kau tinggal mencuil seberapa besar yang kau inginkan. Yah, jika kau tidak terlalu lapar kau tidak perlu makan semuanya dan jika kau kelaparan kau bisa menghabiskan kue itu!"
"Boleh aku mencicipinya?" tanyaku. "Aku kelaparan!"
"Makan milikmu sendiri!" jawab Olly.
"Kau bercanda, ya"! Kau sendiri melihat seperti apa bentuk kueku dan aku tidak bisa membayangkan rasanya seperti apa. Aku bahkan tidak bisa memberi makan burung dengan kueku itu atau aku akan dilaporkan ke RSPB."
"Baiklah," Olly mengulurkan kepadaku sepotong kecil " sangat kecil, mungkin seukuran molekul " kuenya.
"Terima kasih banyak! Tampaknya yang kuperlukan saat ini adalah mikroskop. Beri aku potongan besar!"
Dengan cepat aku mencuil potongan besar dari The Jacobs si kue super dan segera memasukkannya ke mulutku sebelum Olly bisa merebutnya kembali Pada saat yang bersamaan pintu terbuka, dan aku terpaku dengan kue itu ada di dalam mulutku. Lethal Ruler. Tidak!
"Boleh aku bertanya kepada kalian, anak-anak" Apa yang kalian lakukan di sini?" tanya.nya dingin.
Mulutku penuh dengan kue. Tampaknya tidak sopan jika kuteruskan mengunyah, aku sendiri tidak mampu berbicara dengan mulut penuh kue seperti ini. Jadi aku hanya berdiri saja diam di samping Olly.
"Kami baru saja mengambil kue-kue kami, Miss," jelasnya.
"Hmm ... jadi kalian bukan termasuk dalam kelompok anak-anak yang sekarang berkumpul di gerbang sekolah?"
"Tidak, Miss. Maksud saya, kami tidak bisa ... karena kami ada di sini."
"Bukankah kalian adalah murid Mr. Pringle yang begitu baik hati menyetujui usulan untuk membawa kelasnya jalan-jalan" Tampaknya ia mencari kalian." "Saya tidak mengerti, Miss."
"Apakah kalian Oliver Jacobs dan Jack Harrison dari kelas enam?"
"Ya, Miss." "Sekarang CEPAT pergi ke gerbang sekolah dan segera bergabung dengan teman-teman kalian!" Mulut Lethal Ruler mengerucut dan matanya tampak berkilat-kilat marah.
"Ya, Miss," jawab Olly pelan.
"Yuff, Muff," kataku dengan suara tak jelas, terhalang oleh kue di mulutku.
"Dan kau!" bentaknya padaku ketika kami beranjak pelan meninggalkannya. "Demi Tuhan, telan apa pun yang ada di dalam mulutmu itu. Kau tampak seperti tikus yang mengerikan!"
"Apa yang ia bicarakan, jalan-jalan?" tanyaku sambil terengah-engah ketika kami berjalan bergegas menuju gerbang sekolah.
"Aku ingat Attila pernah bicara mengenai hal itu minggu lalu," kata Olly. "Tampaknya kita akan ke kota. Bagus!"
Kami sampai ke gerbang ketika Attila baru saja mulai berbicara. Tujuan kunjungan ini " ia mengingatkan kami " adalah melihat arsitektur bergaya Victoria. Ia juga menambahkan bahwa kami akan melihat secara lebih cermat patung Jenderal Hamilton di alun-alun. Patung itu adalah patung seseorang yang seharusnya terkenal dalam menyeimbangkan antara menjinakkan kuda dan menunjuk ke arah pusat perbelanjaan dengan marah. Menurut Olly, jenderal itu marah karena mereka menutup toko milik jenderal itu, jadi ia tidak mampu membeli barang-barang yang dibutuhkannya. Lagipula, patung jenderal Hamilton adalah patung yang membosankan di seluruh dunia dan sebagian besar dari kami telah melihatnya ratusan kali.
Berbeda dengan kami, satu-satunya anak yang bersemangat mengenai acara jalan-jalan tersebut adalah Matthew.
"Sir! Apakah nanti kita punya waktu untuk pergi ke Footworld" Saya menemukan lubang di kaus kaki saya dan jempol saya yang besar kelihatan, ibu saya bilang," kata Matthew bersemangat.
"Matthew!" potongAttila. "Kaos kakimu mungkin sudah tua tapi aku ragu apakah kaos kakimu termasuk dalam gaya Victoria. Sepanjang yang kutahu, semakin sedikityang kutahu mengenai pakaian dalammu, lebih baik bagiku."
Kami menuju kota bersama-sama membentuk barisan panjang dengan Attila berada di depan dan Miss Crawshaw guru dari kelas satu, memimpin rombongan.
Olly dan aku berada tepat di belakang Attila, jadi kami harus mendengarkan pembicaraan Attila dan Matthew mengenai gaya Victoria.
"Maaf, Sir, apakah jenderal Hamilton berperang di Hasting?" tanya Matthew.
"Pikirkan sekali lagi Matthew," jawab Attila. "Peperangan Hasting terjadi sembilan ratus tahun yang lalu! Yang kita bicarakan sekarang ini jauh lebih modern dari itu."
"Maksud Anda Perang Teluk, Sir"!" tanya Matthew antusias.
Attila menghela napas panjang. "Perang Crimean, Matthew. Pernahkah kau mendengar tentang Florence Nightingale?"
"Ya, Sir! Maksud Anda perempuan gemuk itu, kan"
Olly dan aku tidak bisa berlama-lama di sini, terjebak bersama mereka dalam acara jalan-jalan yang membosankan. Kami masih mempunyai urusan lain yang lebih penting. Attila masih berkonsentrasi pada Matthew dan segala celotehnya, Miss Crawshaw berada di belakang, itu adalah kesempatan yang bagus sekali untuk meloloskan diri. Sempurna. Kami cepat-cepat berjalan menuju kantor pos tak jauh dari situ dan masuk ke dalamnya. Kami menunggu hingga rombongan buaya buas kelas kami lewat. Setelah Miss Crawshaw tidak tampak lagi dari pandangan, kami segera menuju ke Bill's Bargains, toko barang-barang bekas.
Di dalam toko terdapat banyak sekali barang bekas, bertumpuk-tumpuk. Hampir semuanya tidak dapatdigunakan lagi. Terlihatdi sana, tumpukan kardus berisi majalah-majalah tua yang terbit entah tahun kapan, jungkir balik dan berdesakan di atas tumpukan tirai dan bedcoverusang yang sudah pudar warnanya. Di dekatnya, di atas kursi yang sepertinya sudah tidak mampu berdiri lagi, terdapat tumpukan piring-piring rusak dan di sana, di antara meja lampu reyot dan jigsaw tua, berdirilah patung lumba-lumba itu lengkap dengan seringai tolol di wajahnya. Di bagian belakang toko terdapat pintu kecil seperti lubangyang berfungsi sebagai jalan masuk. Di belakang deretan gelas berdebu, duduk seorang laki-laki sambil membaca koran.
Itu pasti Bill," kata Olly. "Ayo kita dekati dia."
Olly mengeluarkan dua pounds dari saku bajunya. "Maaf, bisakah kami membeli lumba-lumba ini?" tanyanya ketika kami sampai di depan Bill.
"Ya" Oh, kalian ingin membeli patung ini?" ucapnya sambil meneguk tehnya perlahan-lahan. "Gampang. Bisa diatur. Kita lihat dulu berapa harganya. Ehm ... untuk kalian empat pounds saja."
"Empat pounds! Tidak mungkin! Yang benar saja!" kata Olly kaget. "Tapi di pasar murah kemarin, patung ini hanya dua pounds!"
"Aku mengerti sekarang. Kalian melihat patung ini di sana, kan?" Bill menggeleng-gelengkan kepalanya dengan sedih. "Pasar murah seperti itu selalu menipu. Mereka tidak pandai menetapkan harga yang sesuai untuk benda sebagus ini. Itu membutuhkan mata yang terlatih. Kalian tahu, kan?"
Aku mencuri pandang ke arah wajah Bill dengan penasaran tentang mata yang mana yang terlatih itu.
"Benda ini benar-benar sangat bagus. Terbuat dari perak murni. Mungkin benda ini berasal dari zaman Elizabeth pertama."
"Elizabeth pertama?" tanyaku dengan penuh keheranan. "Kupikir patung ini patung biasa saja dan baru saja dibuat."
"Tidak. Kau tidak akan bisa menemukan patung buatan tangan seperti ini di zaman sekarang," kata Bill mulai melancarkan rayuannya pada kami dengan sangat meyakinkan. "Patung ini adalah benda antik yang begitu indah. Itulah kenapa aku berani mematok harga tinggi untuk patung ini. Semakin tua suatu barang akan semakin berharga, benar, kan" Dan benda ini pastilah sangat berharga. Empat ratus tahun usianya. Ini merupakan patung seekor ikan, benar begitu" Dan ikan mengingatkan kalian akan apa?"
"Keripik?" kata Olly.
"Jelas bukan keripik. Laut tentu saja! Seingatku, ratu Elizabeth pertama sangat tertarik dengan laut. Kalian ingat Sir Walter Raleigh" Mungkin patung ini adalah miliknya!"
Tidak heran ia memberi harga patung itu empat pounds. Sekarang masalahnya adalah kami tidak mempunyai empat pounds itu.
"Ehm ... terima kasih," kata Olly sambil mengembalikan lumba-lumba itu ke tempatnya semula dengan ragu-ragu dan dengan terpaksa kami harus membuat keputusan yang tidak mengenakkan. Kami tidak jadi membeli lumba-lumba itu.
Kami berjalan dengan lesu dan kecewa menuju alun-alun. Ketika kami melewati toko peralatan berkemah, Olly menarik tanganku.
"Jack lihat, di etalase! Itu pisau serba guna seperti milikmu!"
"Ya, lalu?" "Lihat label harganya. Sepuluh pounds!"
Aku tetap tidak mengerti apa yang dimaksudkan Olly.
"Kita dapat menjualnya!"
"Tapi aku tidak mau menjual pisauku," protesku keberatan. "Pisau ini benar-benar pisau yang sangat bagus."
"Ya, aku tahu. Kau kan bisa membeli yang baru." "Bagaimana caranya?"
"Gampang. Pisau yang baru harganya sepuluh pounds kan" Dan tadi Bill bilang kalau barang yang sudah tua pasti harganya lebih mahal. jadi kupikir, jika kita menjual pisaumu, mungkin ia akan membelinya dengan harga dua belas pounds. Itu artinya kita dapat menggunakan dua pounds untuk membeli lumba-lumba itu dan kau masih mempunyai sepuluh pounds untuk membeli pisau yang baru."
"Ya, itu ide yang bagus sekali," kataku. "Satu-satunya masalah di sini adalah kita tidak punya cukup waktu untuk ke rumahku mengambil pisau dan kembali lagi ke sini. Itu paling tidak membutuhkan waktu satu setengah jam. Attila pasti akan mengetahui kalau kita menyelinap pergi."
"Ya sih," Olly menyetujui pendapatku dengan ragu. "Jika saja kau membawa sepedamu. SEPEDAMU!"
Olly berdiri terpaku di satu titik dan menuding dengan jarinya ke arah jalan menuju Supersavers Minimart.
Aku mengikuti arah jari Olly dan ternganga dengan penuh keheranan. Di sana, di depan toko, sepedaku bersandar. Sepedaku. Tidak salah lagi. Sepeda itu adalah sepeda bekas. Kemudian Ibu mengecatnya dengan warna ungu dengan beberapa bagian dicat merah dan emas. Tidak ada sepeda lain seperti itu di planet ini kecuali sepedaku.
"Lihat!" ujarku penuh keheranan. "Aku tidak percaya hal ini! Bagaimana bisa sepedaku ada di sini?"
"Pasti sepedamu dicuri!" kata Olly. "Di mana kau terakhir kali melihatnya?"
"Di halaman rumahku, tadi pagi." "Dikunci, nggak?"
"Tentu saja tidak. Sepedaku ada di halaman." "Apakah halamannya dikunci?"
"Sepertinya tidak. Bahkan kurasa memang tidak pernah dikunci."
"Nah, itu masalahnya. Seseorang pasti masuk ke halaman rumahmu dan mencuri sepedamu."
"Kurang ajar!" kataku marah. "Aku membutuhkan waktu lama untuk menabung untuk membeli sepeda itu dan aku hanya memilikinya selama beberapa minggu. "Apa yang sebaiknya kulakukan?"
"Tentu saja ambil kembali sepedamu!" kata Olly. Aku sedikit ragu-ragu. "Bukankah itu sama artinya dengan mencuri?"
"Jangan bodoh. Bagaimana bisa kau mencuri sesuatu yang menjadi milikmu" Di samping itu, bagaimana kau tahu si pencuri tidak membuang begitu saja hasil curiannya di sana" Mungkin saja si pencuri baru saja mengendarai " eh, bersepeda ria " dan ke mudian ia hanya membuang sepedamu begitu saja. Lihat, sepeda ini bahkan tidak dikunci."
"Kau benar," kataku tetapi aku masih merasa sedikit aneh ketika aku menuntun sepedaku. Aku merasa seperti pencuri. Aku setengah berharap seseorang menepuk bahuku.
Ketika kami sudah menjauh dari minimarket, aku mulai merasa lega dan perasaanku menjadi jauh lebih baik. Sungguh ini merupakan sebuah keberuntungan, berhasil mendapatkan sepedaku kembali.
"Sekarang kamu sudah mendapatkan sepedamu kembali. Kau bisa pulang mengambil pisau itu. Ayo cepat!"
Tadi kami membicarakan mengenai kemungkinan pulang ke rumah dengan bersepeda padahal aku tahu bahwa aku tidak membawa sepedaku. Namun, sekarang secara tiba-tiba aku menemukan sepedaku. Sepertinya ini tidak sesederhana yang kubayangkan.
"Bagaimana jika ibuku ada di rumah?" kataku. "Ia akan bertanya terus mengenai apa yang sedang kulakukan."
"Jangan sampai ia melihatmu."
"Ya ... tapi ... bagaimana jika Attila menyadari bahwa kita tidak ada dalam rombongan" Kita sudah pergi terlalu lama."
"Coba dengar, Jack. Setiap orang saat ini sedang ada di alun-alun. Kita bisa melihat-lihat keadaan dan situasi. Kita harus bisa menjelaskan kepada Attila jika ia mencari kita. Jika memang demikian, kita bisa masuk kembali ke dalam rombongan tanpa seorang pun menyadarinya dan jika tidak, tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Oke?"
"Oke." Kami berjalan menuju sudutalun-alun dan mengamati keadaan. Aku tidak perku khawatir- kelas enam adalah kelas yang paling atas, jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
Daisy sedang berjalan di tengah jalan besar sambil berkonsentrasi penuh pada buku yang dibacanya. Kemacetan terjadi di belakangnya. Mobil-mobil berderet sampai alun-alun dan tidak bisa maju ke mana pun. Liam dan Rashid mengambil kesempatan ini. Mereka mencoba mencuci kaca depan mobil dengan kaos mereka.
Di tengah alun-alun, Lizzy Murray memanjat ke atas patung kuda jenderal Hamilton dan memasangkan kacamata di atas hidung patung jenderal Hamilton sementara teman-temannya berdiri di sekitarnya, menyorakinya. Sementara itu Matthew mendapat masalah. Ia tidak bisa mengeluarkan kepalanya dari jeruji pagar yang mengelilingi patung itu dan Attila sedang berusaha mengeluarkan kepala Matthew dari sana dibantu oleh Emily dan Charlotte.
Tiba-tiba Lizzy tergelincir pegangannya terlepas. Ia menjerit dan terjatuh, tetapi ia sempat meraih leher patung kuda itu. Maka jadilah Lizzy bergelantungan di leher patung kuda itu dengan kedua tangan dan kaki nya.
"Bertahanlah Lizzy!" perintah Attila.
"Jangan khawatir, aku dulu pernah tergabung dengan kelompok P3K. Aku ahlinya. Serahkan saja padaku!" tiba-tiba seorang perempuan dengan membawa anjing besar muncul di situ. "Bisakah salah satu di antara kalian menjaga anjingku?"
"Biar saya saja, Ma'am. Saya terbiasa menjaga binatang." Jonathan menawarkan bantuannya dengan gaya sok penting seperti biasanya, meraih tali leher anjing itu, tetapi perhatian anjing itu sudah tertarik ke arah penjual es krim dan segera berlari menuju ke arah penjual es krim itu. Jonathan berlari terengah-engah di belakangnya. Anjing itu melompat ke arah gerobak es krim dan menggulingkannya. Sementara itu Jonathan terduduk dengan rasberryripple di tangannya.
"Nero, tinggalkan es krim itu. PERGI DARI SITU!!!" perintah perempuan itu, mengabaikan Lizzy.
"Tahan sebentar Lizzy. Aku akan menolongmu!" teriak Attila meninggalkan Matthew yang masih berusaha mengeluarkan kepalanya dari jeruji pagar.
"Aku harus membersihkan celanaku dan keran air minumnya mati," keluh Jonathan.
"Seorang dari kalian harus membayar untuk hal ini!" ancam si penjual es krim.
"Kau ingin berkelahi tentang hal ini"!" tanya Simon Miller sambil mencengkeram kerah baju si penjual es krim.
"Nero, sini sayang! Jauh-jauh dari es krim itu!" teriak perempuan itu.
Kutukan Lumba-lumba The Curse Of The Dolphin Karya Beth Swinnerton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kerannya kenapa macet seperti ini " aaaarrrrggghhh!" teriak Jonathan tiba-tiba. Tutup keran itu terlempar dan air tiba-tiba menyembur ke udara sampai dua belas kaki tingginya dan membasahi seluruh alun-alun.
"Cepat Sir, Lizzy akan segera jatuh!" teriak temantemannya.
"Aku bagaimana" Telingaku semakin tergencet!" jerit Matthew.
"Aku tidak mau menjadi guru lagi!" kata Miss Crawshaw hampir menangis dan menghela napas panjang.
"Apakah saya perlu mengambilkan Anda tisu?" tanya Charlotte.
Olly dan aku saling berpandangan.
"Aku tunggu kau di depan toko Bill," kata Olly. "Aku tidak khawatir mengenai Attila." tambahnya.
"Aku rasa ia punya banyak hal untuk membuatnya tetap sibuk."
| lanjut | kembali | atas | bawah | daftar isi | depan
SEMBILAN Aku segera mengayuh sepedaku menyusuri High Street dengan sedikit ragu karena merasa enggan membolos dari acara jalan-jalan yang semakin menarik. Namun, setelah kupikir-pikir, jika aku bisa cepat mungkin aku bisa kembali lagi dalam sepuluh menit. Jadi, aku mengayuh sepedaku dengan sekuat tenaga. Dengan cepat aku mengayuh sepedaku menyusuri High Street kemudian belok kiri di perempatan. Tetapi, aku berbelok terlalu kencang, aku menekan rem dengan tiba-tiba, sepedaku menjadi tak terkontrol dan jatuh mengenai polisi yang sedang berjalan di trotoar.
"Whoops! Maaf!" kataku sambil menarik sepedaku.
"Kau pikir ini apa " Olimpiade balap sepeda?" Polisi itu berdiri dan memandang ke arahku. Ternyata dia adalah PC Johnson yang pernah menolong kami mendorong troli penuh barang bekas beberapa hari yang lalu. Ia ternyata mengenaliku.
"Kau salah satu dari anak pramuka waktu itu, kan" Dari pasar murah?"
"Pramuka?" tanyaku tidak mengerti. Kemudian aku teringat " Mrs.Roberts memanggil kami anak-anak pramuka; pasti anak-anak pramuka itu yang biasa membantunya. "Er ... ya," jawabku cepat.
"Lain kali pastikan kau memakai tanda yang menunjukkan bahwa kau sudah mahir mengendarai sepeda sebelum kau menabrak pejalan kaki lagi." PC Johnson menasihatiku dengan riang. Kemudian ekspresi wajahnya berubah. Ia membuka buku catatannya dan membaca sesuatu.
"Tunggu sebentar. Benar ini sepedamu?"
"Ya." PC Johnson menelengkan kepalanya.
"Aku tidak mengerti hal ini. Tadi ada yang melapor bahwa sepedanya dicuri dan ciri-ciri sepedanya mirip dengan sepedamu ini."
"Itu benar," anggukku setuju. "Sepeda ini tadinya memang dicuri."
"Apakah kau baru saja me.ngatakan kalau kau baru saja mencuri sepeda ini" Bukan hal seperti itu yang kuharapkan dari anak pramuka sepertimu."
"Bukan, bukan begitu!" kataku ketakutan. "Maksudku, memang aku mengambilnya tapi aku tidak mencurinya karena sepeda ini milikku."
"Mungkin sebaiknya kau ikut aku ke kantor polisi. Di sana kau bisa menjelaskannya panjang lebar," ujar PC Johnson. "Kau sebaiknya juga mengatakan kepadaku mengapa saat ini kau Tidak berada di sekolah padahal saat ini masih jam sekolah."
"Oh itu. Kami sedang mengikuti acara jalan-jalan. Kelas kami sebulan sekali mengadakan acara jalan-jalan seperti ini," jelasku.
"Acara yang sungguh menyenangkan, bukan" Berkeliling dengan sepeda curian," ujarnya.
"Sebenarnya saat ini aku tidak sedang mengikuti acara jalan-jalan itu. Aku minta izin pulang sebentar karena ada keperluan yang mendesak. Sangat penting," kataku mengakui.
"Oh begitu, ya. Jangan bilang kalau kau izin untuk menolong orang hari ini" Membantu nenek tua menyiram kebunnya?"
"Tidak," jawabku. Aku memutuskan untuk mengatakan yang sebenarnya. "Aku harus mengambil pisauku.
"PISAUmu" Mencuri tidak cukup untukmu" Sekarang kau akan merampok dengan senjata, ya?"
Aku hanya tertawa kecil, berharap ia hanya bercanda.
"Jangan tertawa! Ini bukan lagi masalah sepele!" PC Johnson membentakku. "Kau mencuri sepeda, mengendarai sepeda dengan ugal-ugalan tanpa memedulikan keselamatan orang lain, menyerang polisi dan bermaksud untuk membawa senjata berbahaya. Kau pasti membolos dari acara jalan-jalan itu. Aku telah mencatat semua kejahatan yang kau lakukan. Agaknya kau memang harus disatukan dengan penjahat-penjahat kecil lainnya. Kenapa kau harus melakukan hal itu" Kau ini kan, pramuka. Bersiap-siaplah! Mereka mungkin membutuhkanmu sekarang."
Ketika kami berjalan melalui High street menuju ke kantor polisi, aku mulai merasa semakin ketakutan dan khawatir. Catatan kejahatanku sepertinya sangat buruk, dan parahnya lagi aku berbohong bahwa aku ini adalah salah satu anggota pramuka. Bagaimana jika mereka tidak percaya bahwa ini adalah sepedaku" Bagaimana jika aku mendapat denda" Bagaimana jika nanti aku masuk penjara"
Di dalam kantor polisi, seorang perempuan sedang berdiri membelakangiku. Ia sedang berbicara dengan sersan yang ada di balik meja. Di punggungnya, di dalam gendongan, adikku menatapku.
"Ack ... ack!" teriaknya ketika ia melihatku. Perempuan itu menoleh ke belakang.
"Jack!" "Ibu!' "Jack, ibu minta maaf. Ibu meminjam sepedamu dan meletakkannya di depan Supersavers ketika ibu harus membeli pampers untuk Anna. Dan ibu lupa menguncinya. Ketika ibu keluar dari mini market, sepedamu hilang. Ibu baru saja melaporkannya kepada polisi."
"Aku tahu. Aku yang mencurinya."
"Kau!" ibu terlihat bingung. "Aku tidak mengerti. Kenapa kau tidak berada di sekolah?"
Telepon berdering dan sersan di belakang meja itu segera mengangkatnya. Ia mendengarkan selama beberapa saat dan matanya membe!alak.
"Es krim, benar yang Anda katakan itu" Anjing" Keran air" BERAPA orang yang ada di atas patung jenderal Hamilton" Kepalanya masuk di APA" Ya Tuhan! Ya segera. Secepatnya!" ia kemudian meletakkan gagang telepon.
"Sepertinya ada kekacauan di alun-alun," katanya pada PC Johnson. "Ambulans dan pemadam kebakaran sudah ada di sana, tapi mereka memerlukan polisi di sana. PC Wilkins akan menolongmu. Ajak dia " sebaiknya kau bawa mobil."
"Siap Sersan!" PC Johnson keluar sebentar kemudian masuk lagi bersama PC Wilkins.
"Oh ... apa kabar, PC Wilkins?" sapa ibu ketika melihat PC Wilkins. "Saya harap Anda memaafkan kejadian Sabtu itu. Saya sungguh sangat menyesal. Apakah mobilnya baik-baik saja?"
"Mobilnya baik-baik saja, Madam. Selama kami membiarkan jendela terbuka lebar dan tidak mengambil napas terlalu dalam," kata PC Wilkins.
"Apakah ada informasi mengenai kekacauan di alun-alun itu Sersan?" tanya PC Johnson.
"Banyak sekali anak-anak yang terlibat " sepertinya mereka sedang mengadakan pesta di sana."
"Apakah ini ada hubungannya denganmu?" tanya PC Johnson padaku.
"Kurasa mereka teman-temanku," jawabku.
"Kau rupanya memutuskan untuk melarikan diri dari segala kekacauan itu, ya?" ujarnya. "Jika mereka bisa memulai kekacauan tanpamu, hanya Tuhan yang tahu seperti apa wujudnya kekacauan itu jika kau bergabung. Kerusuhan besar menurutku." Dua polisi tersebut segera pergi meninggalkanku dengan ibu dan sersan itu.
Membutuhkan sedikit usaha untuk menjelaskan apa yang terjadi padaku, tetapi akhirnya aku berhasil meyakinkan sersan itu bahwa aku tidak mencuri sepeda.
"Masih ada masalah mengenai kau membolos dari sekolah," kata sersan itu padaku. Ia menoleh ke arah ibuku.
"Apakah Anda mengizinkan saya bicara padanya, Madam?"
"Tidak, terima kasih sersan. Saya bisa mengatasi hal sendiri. Ayo pulang, Jack."
Aku mengikuti ibu keluar dari kantor polisi. Aku tidak mendapat kesempatan untuk mengucapkan terima kasih selama perjalanan ke rumah.
| lanjut | kembali | atas | bawah | daftar isi | depan
SEPULUH Aku tidak bisa bertemu Olly Senin petang itu karena ibu tidak mengizinkanku keluar rumah. Aku tidak diperbolehkan pergi ke mana-mana. Hal itu sebagai hukuman atas perbuatanku tempo hari, tetapi pada hari Selasa sebelum aku berangkat ke sekolah, ibu memanggilku. Ia mengatakan bahwa aku boleh pergi bermain.
"Apa yang terjadi padamu kemarin" Aku menunggumu lama sekali di luar Bill's Bargains!" tanya Olly ketika kami bertemu di sekolah.
Aku menceritakan padanya tentang ibuku, sepeda itu dan catatan kriminalku.
"Wow!" ujarnya ketika aku sampai ke bagian kekacauan di alun-alun itu. "Pemadam kebakaran dan ambulans! Pasti luar biasa sekali kejadiannya!"
"Kau melihat sesuatu?"
"Tidak. Saat itu aku hampir menyerah menunggumu, kemudian aku kembali ke alun-alun. Tidak ada apa-apa di sana. Yang kulihat hanyalah sisa-sisa kekacauan. Tidak ada satu orang pun dari kelas kita yang terlihat di sana dan saat itu tepat bersamaan dengan waktu pulang sekolah, yah ... jadi aku pulang saja."
Aku menghela napas panjang. "Hal yang paling buruk dari kejadian kemarin adalah kita membuang-buang waktu percuma. Kita tetap belum bisa mendapatkan lumba-lumba itu, padahal konser sudah semakin dekat."
"Ya, sih. Kita hanya punya waktu hari ini setelah pulang sekolah. Segera setelah sekolah selesai, kita akan pulang, mengambil pisaumu, menjualnya, membeli lumba-lumba itu kemudian kita pergi ke rumah pemahat itu. Semua akan baik-baik saja."
"Aku akan berusaha percaya padamu," kataku muram. "Tapi aku tidak melihat alasan kenapa aku harus percaya."
Ternyata keadaan bertambah buruk ketika kami sampai ke sekolah. Saat bel berbunyi, bukan Attila yang masuk ke dalam kelas melainkan Lethal Ruler. Lethal Ruler membawa tumpukan kertas.
"Maaf, Miss, di mana...?" Kirsty membuka mulutnya bertanya.
"Diam semua!" bentak Lethal Ruler sambil memukulkan penggaris ke meja.
Kami langsung duduk tegak dan Baling memandang dengan tegang. Lethal Ruler membuka daftar hadir kelas dan membandingkannya dengan kertas yang ia pegang.
"Oliver Jacobs dan Jack Harrison! Berdiri!" perintahnya.
Olly dan aku segera berdiri.
"Saat ini aku memegang daftar hadir anak-anak yang mengikuti ... ehm ... acara jalan-jalan kemarin di alun-alun," ujarnya.
Oh tidak, matilah kami sekarang. Attila pasti menyadari bahwa kami membolos kemarin. Ini semua pasti berhubungan dengan kejadian kemarin. Aku tidak berani melihat ke arah Olly.
"Dua anak ini," Lethal Ruler melanjutkan kata-katanya sambii menatap ke seluruh kelas. "Mereka berdua adalah satu-satunya anak yang namanya tidak tercatat di daftar anak-anak yang membuat kekacauan kemarin di alun-alun. Aku hanya bisa mengatakan bahwa kedua anak ini masih punya akal sehat untuk tidak ikut mengacau dan menjauhi segala macam masalah."
Tiba-tiba Jonathan mengangkattangannya. "Saya tidak berbuat apa-apa, Miss ...," katanya.
"Diam," desis Lethal Ruler. "Tampaknya aku salah dalam menilai kalian berdua," ujarnya lagi padaku dan Olly. "Kalian boleh duduk."
Syukurlah ia mengatakan hal itu karena lututku sudah lemas dan sepertinya akan segera copot dan kupikir aku bisa langsung pingsan.
Saat itu Jonathan hanya duduk terpaku dan terengah-engah seperti pegulat sumo yang baru saja dikalahkan oleh lawannya.
"Itu hanya karena mereka tidak ... " ucapnya tanpa mengangkat tangannya meminta waktu bicara.
"Diam kataku," sekarang Lethal Ruler hanya berbisik ketika mengucapkan kata-kata itu. Dia benar-benar berkebalikan dengan Attila. Semakin marah Lethal Ruler semakin pelan ia berbicara. Ia melangkah mendekati Jonathan, dan berdiri di hadapannya. Badannya bergerak pelan seperti ular derik yang sedang menghipnotis mangsanya.
"Jonathan Snowton. Benar, bukan?" tanyanya.
Jonathan hanya menganggukkan kepalanya.
"Aku mengerti bahwa kau adalah murid yang pandai dan semua pekerjaanmu benar-benar sempurna. Itu benar-benar bagus ..."
Wajah Jonathan kembali menunjukkan senyuman yang biasa ia perlihatkan ketika mengejek seseorang. Tetapi keadaan itu tidak berlangsung lama.
"Meskipun demikian," Lethal Ruler berkata dengan dingin sambil melihat pada kertas yang dibawanya, "ada hal yang jauh lebih penting daripada sekadar nilai yang bagus. Seperti kelakuanmu kemarin."
"Tapi saya tidak..." kata Jonathan berusaha membela dirinya.
"Berdasarkan laporan yang kuterima, kau tidak hanya bertanggung jawab atas kerusakan gerobak es krim itu .... "
"Itu bukan kesalahan saya! Itu karena anjing itu. Itu ...." Jonathan memotong kata-kata Lethal Ruler.
"Tapi kau juga mengakibatkan seluruh alun-alun banjir." Lethal Ruler melanjutkan kata-katanya tanpa mengindahkan protes keberatan Jonathan.
"Itu juga bukan kesalahan saya! Saya hanya ...."
"Diam! Kau mungkin salah satu anak yang paling buruk kelakuannya yang pernah kutangani."
Lethal Ruler kembali ke depan kelas, sementara itu Jonathan terduduk lemas di kursinya dengan ekspresi seperti ikan tongkol yang kehabisan udara.
Kemudian Lethal Ruler mulai dengan segala macam kuliahnya. Nama baik sekolah, perbuatan tercela, tidak pernah ia temui semasa hidupnya, bla, bla, bla.
"Mr. Pringle libur hari ini," katanya. "Aku akan menuliskan pekerjaan dan tugas yang harus kalian kerjakan dan dikumpulkan sebelum istirahat makan siang. Aku akan pergi ke kelas sebelah, dan kuharapkan kalian semua diam tak bersuara mengerjakan tugas kalian. Sore ini setelah makan siang, kita akan belajar mengenai gaya Victorian. Selamat pagi!"
Aku menarik napas dalam, membaca tulisan di papan tulis dan mengeluarkan buku matematikaku. Pagi ini adalah pagi yang paling sepi yang pernah kurasakan selama aku di kelas enam.
Saat istirahat, aku menemukan Joe dan Leo sedang duduk di depan kantor Lethal Ruler.
"Kelas enam benar-benar berkelakuan buruk. Buruk sekali," kata Leo sambil menyeringai. "Kalian adalah kelas yang paling nakal di antara kelas-kelas yang lain di sekolah. Miss Lewis yang mengatakan tentang hal itu."
"Ya," kataku. "Kenapa kalian duduk di luar kantor Miss Robinson?"
"Kami tidak menemui Miss Robinson. Kami hanya duduk-duduk saja di sini," jawab Joe.
Tiba-tiba ada sesuatu yang cemerlang melintas di kepalaku.
"Apa yang kalian katakan pada Simon Miller kemarin?"
"Kami tidak bisa mengatakannya padamu. Kami tidak bisa mengatakan pada SEMUA ORANG apa yang kami lihat di atas tempat tidur Simon. Itu rahasia," kata Leo.
"Aku bisa mengatakan pada ayah dan ibu bahwa kalian membuat masalah lagi," kataku santai.
"Kami tidak membuat masalah!" tukas Joe. "Kami tidak menunggu Miss Robinson."
"Ia tidak bisa menyalahkan kami karena itu bukan kesalahan kami," ujar Leo. "Kami tidak bermaksud memotongnya. Kami tidak tahu kalau gunting itu sangat tajam."
"Lagi pula, akan tumbuh lagi, kok."
"Jika ibu tahu apa yang kalian lakukan setelah apa yang terjadi dengan polisi waktu itu, ia akan marah besar. Akan ada bencana alam dahsyat di rumah," ancamku. "Tapi jika kalian mengatakan padaku apa yang kalian lihat di atas tempat tidur Simon, aku tidak akan mengatakan pada ibu apa yang kalian perbuat hari ini."
"Baiklah," akhirnya Leo menyerah. "Aku akan membisikimu."
Jadi ia berbisik di telingaku. Dan apa yang dikatakannya itu adalah hal yang terbaik yang pernah kudengar selama minggu ini.
Setelah makan siang, kami mengerjakan tugas dari Lethal Ruler. Kali ini kami mempelajari mengenai gaya Victorian. Ia sedang menjelaskan panjang lebar mengenai gaya Victorian ketika pintu diketuk dari luar dan masuklah Loopy Lewis.
"Saya minta MAAF karena mengganggu pelajaran Anda, tapi saya harus menyampaikan berita PENTING," ujarnya. "Saya sungguh bersimpati atas apa yang terjadi pada Mr. Pringle. Oh, KASIHAN sekali beliau. Pasti anda kaget bahwa anak-anak kelas enam yang sudah besar ini melakukan perbuatan yang bodoh dan memalukan seperti itu, benar begitu, Miss Robinson?"
"Ya, tentu saja,"jawab Miss Robinson. "Anda mengatakan kalau Anda membawa berita penting?"
"Ya ampun. Ya! Mr. Roberts baru saja menelepon."
"Ah ya. Kita sedang menunggu piala itu dikirimkan ke sini pagi ini. Benar begitu?"
Aku menoleh ke arah Olly dengan pandangan ketakutan. Matilah jika ketahuan. Aku yakin Mr. Roberts menemukan beo dari plastis di dalam kotak.
"Ya. Saya sangat KHAWATIR ketika beliau tidak datang. Tapi ternyata, KASIHAN Mr. Roberts, ia tidak SEMPAT mengambil lumba-lumba itu karena sakit." Kata Loopy mendrarnatisir suasana. "Tapi sekarang ia sudah merasa lebih BAIK, jadi ia akan mengukir piala itu malam nanti dan ia akan membawa lumba-lumba itu besok pagi saat konser."
"Bagus sekali, Miss Lewis. Terima kasih karena telah memberitahu kami mengenai hal itu."
Saat Loopy keluar kelas, Olly menyeringai padaku dan mengacungkan jempoinya. Aku tidak percaya apa yang terjadi hari ini " sepertinya kami baru saja mendapatkan semacam keberuntungan. Pertama, kami tidak mengikuti acara jalan-jalan dengan cara membolos, kemudian aku berhasil mengetahui rahasia Simon Miller dan sekarang, ternyata kami masih mempunyai waktu untuk mendapatkan lumba-lumba itu dan keluar dari masalah ini. Aku sedang begitu sibuk dengan pikiranku sehingga tidak menyadari kalau sudah beberapa saat Lethal Ruler terdiam dan sedang menatap Daisy yang asyik membaca bukunya tanpa mengindahkan sekelilingnya.
"Anak itu!" katanya tiba-tiba. "Apa yang sedang kau lakukan?"
"Tidak apa-apa, Miss. Dia biasa seperti itu," ujarku meyakinkannya. "Dia Daisy " maksud saya David James, Miss."
Lethal Ruler belum lama menjadi kepala sekolah di sekolah kami, jadi ia belum tahu tentang Daisy.
"Aku yakin ia bisa bicara," katanya sambil mendekati Daisy.
"Jangan berteriak padanya, Miss," kataku memperingatkannya. "Dia tidak sadar (Tidak sadar di sini bukan pingsan, melainkan sebuah keadaan di mana ia hidup di dunianya sendiri dan tak mengacuhkan sekelilingnya.), Miss." Dan memang itu benar. Ketika kami pertama kali berada di kelas Attila, Daisy biasa tidak sadar seperti itu.
Lethal Ruler memandangku dengan keheranan. "Aku belum pernah mendengar omong kosong semacam itu dalam hidupku!"
"Daisy," aku berbisik di dekatnya. Ini darurat. Aku menutup bukunya tanpa bersuara dan melambaikan tanganku di depan wajahnya. Daisy mengangkat wajahnya.
Ia menatap Lethal Ruler dengan ekspresi aneh, sepertinya ia merasa pernah melihatnya entah di mana sebelumnya, tetapi ia tidak terlalu ingat di mana. Kemudian ekspresi di wajahnya mulai berubah menjadi lebih cerah.
"Halo, Miss!" katanya sambil tersenyum lebar. Mata Lethal Ruler menyipit.
"Bolehkah aku tahu apa yang sedang kau kerjakan?" tanyanya dingin.
"Saya sedang membaca," jawabnya sambil menunjukkan bukunya.
"Kami semua sedang mempelajari zaman Victoria!"
"Wah kebetulan sekali, Miss. Saya juga!" Daisy mengulurkan bukunya pada Lethal Ruler.
"Economics and Social History in Victorian Britain (Ekonomi dan Sejarah Sosial era Ratu Victoria.)" Lethal Ruler membaca judul buku yang sedang dibaca Daisy. "Oh ..." ini adalah pertama kalinya aku melihat Lethal Ruler terlihat begitu bingung dan shock.
"Apakah kau ingin mengikuti pelajaran hari ini?" tanyanya.
"Tidak, Miss," jawab Daisy jujur.
"Baiklah kalau begitu, kau bisa meninggalkan kelas dan menghabiskan sisa waktu pelajaran ini di luar."
"Wah, terima kasih, Miss!" kata Daisy. Ia mengambil bukunya dan segera keluar ruangan dengan gembira karena ia bisa membaca tanpa terganggu.
| lanjut | kembali | atas | bawah | daftar isi | depan
SEBELAS Ketika sekolah usai, kami melaksanakan rencana Olly dan bergegas kembali ke rumahku. Aku segera mengambil pisauku sementara itu Olly mengambil sepedanya kemudian kami bersepeda kembali ke kota dan menuju Bill's Bargains.
"Apa yang akan kita lakukan dengan sisa uangnya?" tanyanya.
"Aku akan membeli pisau yang baru seperti katamu kemarin," jawabku sambil mengingatkan dia mengenai kesepakatan kami kemarin.
"Hmm ..." katanya sambil berpikir. "Kita bisa membeli pisau yang baru. Atau ..." tambahnya dengan menyeringai. "Kita bisa langsung pergi ke toko kue."
"Toko kue?" ulangku.
"Coba bayangkan berapa banyak donat coklat yang bisa kita peroleh dengan uang sepuluh pounds?"
Di dalam Bill's Bargains, aku lega ketika melihat lumba-lumba itu masih ada di sana. Kami mengambil lumba-lumba itu dan membawanya ke bagian belakang toko tempat Bill sedang duduk menunggu pembeli di lubangnya, seperti biasanya.
"Sekarang kalian memutuskan untuk membelinya, ya?" tanyanya. "Kalian beruntung lumba-lumba itu masih ada di sana. Banyak sekali yang berminat dengan benda itu, kalian tahu. BANYAK sekali."
Aku ingin tahu mengapa ia mengatakan banyak sekali yang berminat pada lumba-lumba itu padahal toko ini sepi sekali sama seperti terakhir kali kami datang ke sini.
"Kami ingin membeli lumba-lumba ini tapi sebelum itu temanku ingin menjual sesuatu."
Aku menaruh pisauku itu di meja.
Bill mengambilnya dan mengamatinya dengan tidak yakin. "Aku akan memberi lima puluh pence," katanya.
"Lima puluh pence!" ulang Olly tidak percaya. "Benda ini seharga sepuluh pounds di toko!"
"Ya aku tahu, tapi benda ini tidak baru, kan?"
"Ya memang, tapi ketika kami hendak membeli lumba-lumba itu, Anda berkata semakin tua sebuah benda maka akan semakin berharga!"
Bill mengangguk-anggukkan kepalanya.
"Nah rupanya kalian salah mengerti. Benda antik seperti lumba-lumba kalian itu " semakin tua usia benda itu maka akan semakin mahal " kemudian ada pula barang bekas " seperti pisau kalian itu " semakin tua usianya maka semakin berkurang nilainya karena sudah berupa barang bekas. Mungkin jika kalian menyimpannya hingga ratusan tahun, pisau itu bisa menjadi benda antik yang harganya tinggi."
Olly menghela napas, "Aku tidak mengerti."
Bill tersenyum, "Kau tidak hidup dalam dunia bisnis, Nak." Ia bersandar dan mengetuk hidungnya, "Mata yang terlatih."
Olly mencoba membujuk Bill untuk yang terakhir kalinya. "Tapi jika kau hanya membeli pisau ini seharga lima puluh pence, kami tidak mempunyai cukup uang untuk membeli lumba-lumba ini. Tak bisakah kami menukar pisau ini dengan lumba-lumba?"
"Aku katakan pada kalian sekali lagi. Aku ini laki-laki pemurah. Aku akan membeli pisau ini satu pounds. Itu penawaran terakhirku. Ambil atau tidak?"
"Baiklah kaiau begitu," kata Olly sambil mengulurkan pisau itu. Bill memberikan uang koin satu pounds.
Olly tidaklah terlalu gembira. Ia mengeluh saat kami berada di luar toko itu. "Aku rasa ia hanya bicara omong kosong. Aku berani bertaruh jika kita berusaha menjual lumba-lumba itu, ia akan berkata bahwa lumba-lumba itu tidak berharga sama sekali dan hanya merupakan barang bekas. Dan jika kita berniat membeli pisau itu, ia akan mengatakan bahwa pisau itu adalah barang antik yang sangat berharga!"
"Aku tidak mengerti kenapa kau menggerutu seperti itu. Itu pisauku! Dan aku tidak habis pikir kenapa kita harus menjualnya hanya untuk mendapatkan satu pounds!"
"Ada lebih dari satu pounds yang kita punya " hei, apa yang terjadi di sana?"
Di sisi lain jalan itu, dua orang gadis sedang berlari dari arah pojokan jalan sambil menjerit dan menangis. Beberapa saat berikutnya, sesosok besar mengikutinya dari belakang.
"Oh, itu hanya Simon. Menakuti orang seperti biasanya," kata Olly.
Tiba-tiba datang ide cemerlang di kepalaku. "Dulu kau bilang kalau Simon berutang lima pounds padamu?"
"Ya untuk game komputer yang ia rusakkan," kata Olly. "Ia berjanji ketika memaksaku meminjaminya. Ia berkata akan memberiku lima pounds jika ia merusakkannya. Tapi aku tidak pernah mendapatkannya. Aku tidak akan keberatan jika ia miskin, tapi ia memiliki banyak uang."
"Bagaimana kau tahu?"
"Kau tidak melihatnya saat istirahat, ya" Melambaikan uangnya dengan bangga dan mengatakan kepada semua orang bahwa ia adalah anak terkaya di sekolah."
"Baiklah kalau begitu. Ayo kita dekati dia dan minta uang itu darinya," ajakku.
"Kau mau cari mati, ya"! Aku sudah mencoba meminta uang itu padanya dan dia hampir saja mematahkan lenganku. Sebab itu aku tidak pernah lagi memintanya mengganti game komputerku."
"Kau tidak perlu melakukannya. Aku yang akan menagih uang itu darinya," kataku.
Aku segera berjalan ke arah High Street, Olly berjaIan di belakangku masih dengan pandangan ragu-ragu.
Kami melihat dua orang gadis itu berlari masuk ke sebuah toko di sisi alun-alun. Simon berdiri di luar toko menunggu mereka keluar.
Olly menarik mantelku. "Kau gila Jack. Ia tidak akan memberimu uang itu. Kau hanya akan berkelahi dengannya."
"Kurasa tidak. Kau lihat saja."
Aku berjalan melintasi alun-alun. Beberapa menit kemudian, aku kembali dengan uang lima pounds di tanganku. Aku menunjukkan uang itu pada Olly. Ia hanya menatapku tak percaya dan dengan mulut ternganga.
"Aku tidak percaya hal ini! Bagaimana kau melakukannya?"
"Kau ingat, kan, aku pernah mengatakan kepadamu tentang Leo dan Joe pergi ke ulang tahun James Party" "
Olly nyengir, "Ya. Joe malah muntah di atas tempat tidur Simon. Itulah kenapa Simon mengancam akan membunuh mereka."
"Benar. Dan alasan kenapa Simon tidakjadi membunuh mereka berdua adalah ketika mereka ada di kamar Simon, mereka melihat sesuatu." "Maksudmu " sesuatu yang buruk?"
"Sesuatu yang sangat buruk jika kau mencoba membayangkan bahwa kau setangguh dia."
"Jadi " sesuatu itu apa?"
"Aku akan mengatakan padamu tapi kau harus berjanji tidak mengatakannya pada orang lain." "Aku janji."
"Di atas tempat tidur Simon ada seekor kelinci besar berbulu merah muda."
"Di atas tempat tidur Simon" Kau pasti bercanda!"
"Itu benar." "Jadi tadi apa yang kau katakan padanya" Apakah kau mengancamnya bahwa rahasia itu akan menyebar ke seantero sekoiah?"
"Aku tidak perlu melakukan hal itu. Hal itu adalah hal yang sangat aneh. Aku hanya membayangkan Simon menggendong dan memeluk kelinci itu, dan dia menjadi tidak menakutkan lagi. Aku hanya meminta uang itu padanya seperti aku meminta pada orang-orang seumurnya dan dia memberikannya."
Olly melambaikan uang itu di udara sambil menyeringai. "Aku tidak pernah berpikir akan melihat ini. Ayo kita pergi ke Bill's Bargains!"
Kami segera mengendarai sepeda kembali ke Bill's Bargains dengan semangat tinggi, tapi ternyata semangat itu tidak bertahan lama. Pintu toko itu tertutup dan papas bertuliskan TUTUP tergantung di depan pintu.
"Tidak mungkin tutup!" Olly berteriak marah sambil mencoba mendorong pintu toko. "Ini baru jam lima sore!"
"Lihat papan itu," kataku. "Buka Senin sampai Jumat. Pukul sepuluh pagi sampai pukul setengah lima sore."
"Bagus!" ujar Olly kesal. "Kenapa dia harus tutup jam setengah lima" Dia bahkan tidak melakukan pekerjaan apa pun di daiam. Yang ia lakukan hanyalah duduk di sana, minum teh. Sungguh bekerja keras. Menurutku!"
Kami akhirnya mampir ke toko kue daiam perjalanan pulang ke rumah. Kami hendak membeli donat cokelat, tetapi ternyata mereka tidak mempunyai donat cokelat. Yang tersisa hanyalah dua potong wholemeal loaves dan sepotong soggy sausage roll.
| lanjut | kembali | atas | bawah | daftar isi | depan
DUA BELAS Pada hari Rabu pagi, Attila sudah kembali mengajar. Setelah ia mengabsen satu per satu anak yang ada di kelas, terdengar pintu kelas diketuk dan masuklah seorang anak kecil murid kelas satu.
"Mith Lewis bilang kalau Pak Guru dan murid kelas enam diminta ke aula sekarang juga untuk menonton gladi bersih konser."
"Ya, terima kasih. Tentu saja kami akan datang ke sana. Bisakah kau katakan kepada Miss Lewis, kami akan ke sana beberapa saat lagi?"
Anak itu mengangguk dan segera keluar. Kami segera turun ke aula. Di sana ternyata sudah penuh dengan seluruh penghuni sekolah. Kami menyanyikan sebuah lagu; tape-nya macet seperti biasa ketika anak-anak kelas empat sedang mementaskan sebuah tarian dengan iringan musik country, kami menyanyikan lagu lainnya; sekarang giliran kelas tiga mementaskan sebuah drama, yang semua orang tidak mengerti apa yang mereka mainkan karena separo anak kelas tiga lupa akan dialog yang harus diucapkan sedangkan sisanya mengucapkan dialog dengan sangat pelan sehingga tidak mungkin didengar. Kami menyanyikan lagu lainnya; dan tibalah saatnya untuk anak-anak kelas satu mendeklamasikan sebuah puisi mengenai musim panas.
Leo dan Joe sudah berlatih dan menghafal puisi itu selama hampir satu tahun. Paling tidak seperti itulah yang kulihat. Mereka berlatih membaca puisi itu di mana-mana " di dalam mobil, di kamar mandi, ketika aku sedang berusaha memusatkan konsentrasiku pada acara televisi yang kutonton, dan yang paling parah dari semuanya ini adalah mereka bahkan berlatih membaca puisi itu ketika bangun tidur. Aku tidur sekamar dengan mereka dan percaya padaku, mereka bangun pagi sekali. Aku menghela napas panjang ketika anak-anak kelas satu itu naik ke atas panggung dan menatap kami sambil memegang mawar mereka.
"Ayo, Anak-anak. Bacakan puisi kalian." Loopy menyemangati murid-muridnya dari depan panggung. "Puisi ini adalah puisi yang RIANG GEMBIRA. Semua tentang MUSIM PANAS. Mari tersenyum!" anak-anak kelas satu tersenyum sambil memamerkan gigi mereka seperti sekawanan anjing buas. Semuanya kecuali dua orang gadis di barisan depan yang menangis.
Lihat matahari musim panas yang berwarna
keemasan Bersinar di langit "Jika aku mendengar puisi ini sekali lagi," bisikku pada Olly, "Aku rasa aku akan menangis."
"Ayo ucapkan dengan lantang. Ayah dan ibu ingin MENDENGAR puisi kalian yang indah ini," kata Loopy meletakkan salah satu tangannya membentuk corong di belakang telinganya. "Ayo anak-anak, KERASKAN suara kalian!"
merasakan embun musim panasyang
menyejukkan seperti embusan napas bayi peri
"Siapa pun yang menulis puisi ini," desisku. "Pantas untuk mati dengan cara yang sangat menjijikkan."
"Aku bisa mendengar seseorang BERGUMAM di antara penonton!" kata Loopy lantang, membalikkan badannya. "Aku rasa kita harus mulai dari awal lagi."
Entah kenapa, aku bisa bertahan hingga puisi itu selesai dibacakan.
"Nah, perhatian sebentar. Di konser kita yang sebenarnya sore nanti, kami akan memberikan LUMBA-LUMBA SPESIAL. Tentu saja kita tidak tahu siapa yang akan mendapatkan piala itu sampai nanti sore. Karena ini adalah KEJUTAN BESAR! Jadi sekarang, kita semua kembali ke kelas masing-masing, dan menunggu sore tiba.
Kami baru saja masuk ke kelas ketiba tiba-tiba Matthew masuk dengan tergesa-gesa.
"Maaf saya terlambat, Sir!" lapornya tanpa diminta. "Saya harus pergi ke rumah sakit memeriksakan kepala saya."
"Aku tidak mengomentari hal itu, Matthew," kata Attila. Seluruh kelas memperlihatkan sebuah cengiran, tetapi Matthew meneruskan kata-katanya tanpa memerhatikan ulah teman-temannya itu.
"Ini karena kepala saya terjebak di jeruji pagar tempo hari. Anda, kan, tahu sendiri, Sir," jelasnya.
"Dokter memastikan bahwa tidak ada kerusakan di kepala saya. Syukurlah, Sir. Sekarang saya sudah tidak apa-apa. Saya baik-baik saja. Kepala saya sudah benar-benar normal."
"Syukurlah jika demikian, Matthew," kata Attila. "Ngomong-ngomong, kau ketinggalan acara gladi bersih untuk konser nanti sore."
"Tidak apa-apa, Sir, ujar Matthew. "Lagi pula saya, kan, tidak pernah menyanyi."
"Hmm ... kurasa kau harus menyanyi," tukas Attila. " Setiap orang harus menyanyi."
"Bukan saya, Sir," bantah Matthew. "Jujur saja, suara saya sangat jelek. Sungguh sangat buruk sehingga saya tidak diizinkan untuk menyanyi di rumah karena suara saya membuat stres kucing. Bahkan suatu kali, ketika saya punya ikan koki
Kata-kata Matthew terpotong oleh ketukan keras di pintu dan masuklah Loopy Lewis dengan terburuburu.
"Berita buruk, Mr. Pringle!" teriaknya panik "Mr. Roberts baru saja datang. Lumba-lumba itu hilang!"
"Hilang!" ulang Atila. "Aku tidak mengerti."
"Ketika Mr. Roberts datang untuk mengambil lumba-lumba itu tadi malam, benda itu sudah HILANG!
Dan yang tersisa hanyalah INI!" Loopy menunjukkan beo dari plastis itu.
"Ya Tuhan!" teriak Attila. "Apa ini?"
"Ini beo di atas kandang Brian."
"Brian?" tanya Attila bingung.
"TIKUS kami," jelas Loopy.
"Anda tidak mencurigai tikus Anda mencuri lumba-lumba itu, kan?"
"Mr. Pringle sekarang BUKAN SAATNYA untuk bercanda. Pria BAIK HATI yang memberikan lumba-lumba itu sebagai piala akan datang ke konser nanti sore sebagai tamu kehormatan. Bagaimana aku bisa mengatakan kepadanya bahwa lumba-lumba yang CANTI K itu telah H I LANG?"
"Hmm ..., menurutku situasinya aneh," kata Attila. "Jika Mr. Roberts tidak menemukan lumba-lumba itu, pasti lumba-lumba itu ada di suatu tempat di SEKOLAH," lanjut Loopy dengan bersemangat.
"Itulah mengapa, aku membutuhkan bantuan kelas enam. Kita harus MENCARINYA ke seluruh sekolah. Tidak boleh ada waktu yang terbuang dengan sia-sia."
"Maaf, Sir." "Jangan sekarang Matthew. Tidak bisakah kau lihat kita sedang dalam masalah?"
"Tapi, Sir "Diam, Matthew! Kita perlu membentuk tim pencarian."
"Anda tidak perlu, Sir," Matthew bersikeras. Ia mengambil sesuatu dari dalam tas sekolahnya dan mengeluarkan sebuah benda yang sudah tidak asing lagi. "Anda bisa menggunakan ini."
"Lumba-lumba itu!" jerit Loopy gembira, sangat gembira. "Jika saya bisa membawanya langsung kepada Mr. Roberts. mungkin ia bisa mengukirnya sebelum sore ini. Terima kasih sekali Matthew! Kau benar-benar menyelamatkan kami semua."
Ia segera berlari keluar mendekap lumba-lumba itu, sementara itu aku dan Olly saling memandang satu sama lain dengan pandangan bingung. Benar-benar bingung.
"Di mana sebenarnya kau menemukan lumba-lumba itu, Matthew?" tanya Attila curiga.
"Oh, saya tidak benar-benar menemukannya, Sir. Saya membelinya di toko barang-barang bekas di High Street dalam perjalanan pulang dari rumah sakit. Saya membelinya untuk ulang tahun nenek saya."
"Kau benar-benar baik hati bersedia menyumbangkannya ke sekolah. Tapi bagaimana dengan nenekmu?"
"Nenek saya memang sangat menyukai lumba-lumba, tapi setelah saya membelinya, saya menemukan benda lain yang mungkin lebih disukainya. Lihat!" Matthew ternyata masih menyimpan benda lain di dalam tasnya dan kemudian ia mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya yang ternyata adalah pisau lipatku!
Kutukan Lumba-lumba The Curse Of The Dolphin Karya Beth Swinnerton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Kenapa kau berpikir nenekmu menginginkan pisau lipat seperti itu?"
"Pisau lipat nenek saya hilang, Sir. Dia pikir pisau itu jatuh dari skuter."
"Apakah kau akan mengatakan kepada kami bahwa nenekmu mempunyai skuter?"
"Tentu saja tidak, Sir! Nenek saya hampir berusia tujuh puluh lima tahun! Saya rasa dia tidak ingin memiliki skuter." Matthew menggeleng-gelengkan kepalanya dengan sedih, baru saja mendengar ide yang paling gila yang pernah ia dengar. "Ia hanya meminjam skuter itu sementara motornya diperbaiki."
"Tentu saja aku tidak meragukan hal itu, Matthew. Seharusnya aku sudah menyadari. Keluargamu adalah sebuah contoh untuk kami semua," Attila berhenti sejenak dan menggosok-gosok hidungnya sambil berpikir. "Hanya satu pertanyaan yang mengganjal. Bagaimana bisa patung lumba-lumba itu ada di toko barang-barang bekas di High Street?"
Dan itu adalah pertanyaan yang tidak ada seorang pun yang tahu jawabannya kecuali kami berdua. Dan kami tidak akan menceritakannya.
Setelah makan malam, kelas enam diminta untuk membersihkan sampah yang berserakan di halaman bermain. Jadi, orangtua akan berpikir bahwa sekolah kami ini bersih. Loopy seoang mengawasi anak-anak kelas satu sambil sesekali melipat tangannya kemudian dilepas lagi, dengan tak sabar.
"Belum ada tanda-tanda Mr. Roberts akan datang?" tanyanya. "Orangtua murid akan datang SEBENTAR LAGI! Aku tidak mampu MENGHADAPINYA."
"Sudahlah tenang saja. Mr. Roberts akan datang." Attila menenangkannya. "Masih ada waktu setengah jam lagi."
Tak lama kemudian Mr. Roberts datang dengan van-nya. Ia datang tentu saja dengan membawa kotak kardus yang begitu terkenal itu.
Konser sore itu dibuka dengan pidato pembukaan dari Lethal Ruler dan acara selanjutnya adalah menyanyi, menari, menyanyi, drama, menyanyi dan pembacaan puisi lagi. Kemudian tibalah saatnya, saat terbesar Loopy. Ia segera naik ke panggung dan tersenyum pada hadirin. Senyumnya menurutku sangat menyebalkan.
"Seperti yang sudah Anda dengar sebelumnya, tahun ini kami mengerjakan BANYAK sekali proyek yang berkaitan dengan lingkungan. Setelah konser ini selesai, saya mengundang Anda semua untuk berjalan-jalan dan menjelajahi HUTAN! Seperti yng sudah Anda lihat, ruang kelas satu telah diubah menjadi HUTAN HUJAN dan semuanya dibuat dengan BAHAN BAHAN YANG MAMPU DIDAUR ULANG dan ramah lingkungan. Tapi sebelumnya, kita akan menyaksikan sebuah acara yang SANGAT spesial."
Sambil tersenyum lebar, Loopy membuka kotak dan mengeluarkan lumba-lumba itu seperti seorang pesulap mengeluarkan kelinci dari dalam topi. "Setiap tahun, kami akan memberikan piala ini kepada anak yangtelah melakukan sesuatu yang SPESIAL untuk menolong lingkungan. Piala ini dibuat oleh tamu kehormatan kami, Mr. Peter Hepplethwaite, saya persilakan naik ke pentas untuk MENGANUGERAHKAN piala ini."
Kami semua bertepuktangan sementara seorang pria tinggi dengan jenggot yang lebat dan memakai rompi berwarna merah muda naik ke atas panggung.
"SUNGGUH SANGAT MENYENANGKAN melihat anak-anak terlibat dalam proyek lingkungan," ucapnya dengan suara lantang.
"Banyak anak yang telah melakukan sesuatu yang MULIA di sekolah ini," lanj.ut Loopy. "Tapi saya memutuskan untuk menganugerahkan piala ini untuk dua orang anak yang telah melakukan proyek penyelamatan lingkungan DI SELA-SELAWAKTUNYA. Pertama, dua anak ini melakukan hal yang sungguh sangat mulia untuk proyek penyelamatan satwa liar dengan mengumpulkan barang-barang bekas untuk dijual di bazar amal.
Penyelamatan satwa liar" Kok rasanyatidak asing lagi" Tidak ada proyek penyelamatan satwa liar selain ... er ... cerita bohong kami, pikirku. Jika hal ini dilanjutkan maka tidak ada daratan kering yang tersisa.
"Dan akhirnya," lanjut Loopy. "Saya menemukan dua orang anak ini sedang mengumpulkan uang di alun-alun kota untuk PROYEK PENYELAMATAN PANDA RAKSASA!"
Lucu sekali. Aku tidak mengetahui anak lain dari sekolah kami yang melakukan proyek Penyelamatan Panda Raksasa.
"Jadi para hadirin sekalian. Dengan BANGGA saya menganugerahkan piala yang SANGAT INDAH ini kepada dua orang anak dari kelas enam " Jack Harrison dan Oliver Jacobs."
Olly menyikut rusukku sampai hampir copot. "Jack, itu kita," desisnya dan akhirnya kami maju ke depan melewati para ibu dan ayah yang bertepuk tangan meriah.
Mr. Hepplethwaite memberikan piala itu kepada kami berdua. Aku dapat melihat dengan jelas nama kami terukir di sana. Ia menjabat tangan kami erat dan antusias. Aku menatap ke arah hadirin. Di barisan depan, aku melihat ayah dan ibu Olly tersenyum bangga. Agak jauh di belakang, aku menemukan ibuku menatapku bahagia dan sedikit tidak percaya, sementara itu Anna melonjak-lonjak gembira dan melambaikan jari-jarinya di udara. Di deretan belakang, aku melihat Jonathan menatap kami dengan marah mungkin dia berpikir bahwa dia yang akan memenangkan piala itu, Matthew meringis " ia sangat gembira bahwa ia yang menyelamatkan sekolah dari rasa menanggung malu, Daisy terlihat bingung " ia tidak tahu apa yang sedang terjadi, dan Attila terpaku dengan penuh keheranan dan tidak percaya-apa yang dipikirkannya sebaiknya disensor saja.
Setibanya di rumahku, Olly dan aku bingung bagaimana membagi piala itu.
"Sebaiknya kita jangan memotongnya menjadi dua bagian," kata Olly sambil berpikir keras. "Mungkin kita bisa memilikinya selama enam bulan bergantian."
"Ide yang bagus. Aku setuju.
Aku mengambil lumba-lumba itu dari kotaknya dan tiba-tiba terbayang masalah dan penderitaan yang diakibatkan oleh benda ini " terguncang-guncang di dalam van, troli seberat hampir sepuluh ton, hampir mati kepanasan dan kehausan di balik kostum panda itu, dan hampir masuk penjara karena mencuri sepedaku sendiri, sampai aku harus menjual pisau lipatku demi uang satu pounds. Dan anehnya, entah kenapa aku merasa sayang pada benda ini. Lumba-lumba itu sepertinya sedang menatapku dengan menyeringai lebar.
"Sekarang giliranku lebih dulu memilikinya!" ujarku.
Kali ini Olly setuju. | lanjut | kembali | atas | bawah | daftar isi | depan
Pendekar Lembah Naga 14 Golok Halilintar Karya Khu Lung Sleep With Devil 2