Pencarian

Padang Bayang Kelabu 2

Padang Bayang Kelabu Karya Sidney Sheldon Bagian 2


Saat itu musim panas 1940, tahun sebelum Amerika ikut berperang. Catherine baru saja lulus dari Northwestern University, dan pergi dari Chicago ke Washington, DC, mencari pekerjaan.
Teman sekamarnya berkata, "Hey, aku dengar ada pekerjaan yang kau mungkin akan tertarik. Salah satu gadis di pesta itu bilang ia berhenti kerja untuk kembali ke Texas. Ia tadinya bekerja pada Bill Fraser. Bill mengurus public relation untuk State Department. Baru saja tadi malam kudengar itu, jadi kalau kau sekarang pergi ke sana, kau pasti akan bisa mendahului gadis-gadis lain yang menginginkan pekerjaan itu."
Catherine cepat-cepat ke sana, tapi bagian reception di kantor Fraser sudah penuh dengan puluhan pelamar untuk lowongan itu. Tak ada peluang buatku, pikir Catherine. Pintu masuk ke kantor yang di dalam terbuka dan William Fraser muncul. Ia seorang pria bertubuh jangkung, menarik, dengan rambut pirang keriting, ber-91
uban di bagian kening, mata biru cerah, dan rahang kuat yang agak menakutkan.
Ia berkata kepada resepsionis, "Saya perlu majalah Life. Terbitan tiga atau empat minggu yang lalu. Ada gambar Stalin di sampulnya."
"Saya akan memesannya, Mr Fraser," kata resepsionis itu.
"Sally, Senator Borah masih on the line. Saya akan membacakan untuknya sebuah paragraf dari terbitan itu. Kau punya waktu dua menit untuk memperolehnya buat saya." Ia lalu masuk lagi ke kantornya dan menutup pintu.
Para pelamar saling berpandangan dan mengangkat bahu.
Catherine berdiri di situ, berpikir keras. Lalu ia berbalik dan menerobos kerumunan keluar dari kantor itu. Ia sempat mendengar salah satu pelamar berkata, "Bagus. Gugur satu."
Tiga menit kemudian, Catherine kembali ke kantor itu dengan terbitan lama majalah Life bergambar Stalin di kulit mukanya. Diberikannya itu pada resepsionis. Lima menit kemudian Catherine sudah duduk di kantor William Fraser.
"Sally bilang kau yang membawa majalah Life itu."
"Benar, sir." "Saya kira kau bukan kebetulan saja punya terbitan tiga minggu lalu di dompetmu." "Tidak, sir"
92 "Bagaimana kau bisa memperolehnya begitu
cepat?" "Saya pergj ke barber shop di bawah. Barber shop dan tempat praktek dokter gigi selalu punya majalah-majalah lama yang ditaruh di sana-sini."
"Apa kau selalu pintar begitu dalam segala hal?"
"Tidak, sir." "Kita akan lihat nanti," kata William Fraser. Catherine diterima bekerja.
Catherine sangat senang bekerja pada Fraser. Ia seorang bujangan, kaya dan banyak bergaul, dan ia tampaknya kenal dengan semua orang di Washington. Majalah Time sampai-sampai menyebutnya: "Bujangan paling memenuhi syarat untuk tahun ini."
Enam bulan sejak Catherine mulai bekerja pada William Fraser, mereka saling jatuh cinta.
Di kamar tidur Fraser, Catherine mengatakan, "Aku harus mengatakan sesuatu padamu. Aku masih perawan."
Fraser menggelengkan kepala keheranan. "Sangat luar biasa. Bagaimana aku bisa terlibat dengan satu-satunya perawan di metropolitan Washington ini?"
Pada suatu hari William Fraser berkata kepada Catherine, "Mereka minta kantor kita mengawasi pembuatan film tentang penerimaan calon
93 Korps Udara Angkatan Darat yang shooting-nya dilakukan di Studio MGM Hollywood. Aku ingin kau yang menangani film itu selama aku berada di London."
"Aku" Bill, mengisi peluru Brownie saja aku tak bisa. Aku ini tahu apa tentang pembuatan film latihan kemiliteran?"
Fraser menyeringai. "Kira-kira sama banyaknya dengan orang-orang lain. Kau tak perlu kuatir. Ada sutradaranya. Namanya Allan Benjamin. Angkatan Darat bermaksud memakai ak-tor-aktor untuk film ini."
"Mengapa?" "Aku kira karena mereka berpendapat tentara sungguhan tidak akan bisa memerankan tentara dengan baik."
"Angkatan Darat selalu bersikap begitu."
Dan Catherine akhirnya terbang ke Hollywood untuk mengawasi pembuatan film itu.
Panggung pengambilan suara penuh dengan para pemain figuran, sebagian besar mengenakan seragam Angkatan Darat yang tidak pas.
"Maafkan saya," kata Catherine kepada seseorang yang lewat di depannya. "Mr Allan Benjamin ada?"
"Si kopral kecil?" Ia menunjuk. "Sebelah sana."
Catherine menoleh dan melihat seorang laki-laki berperawakan kecil dan lemah mengenakan seragam bertanda pangkat kopral. Ia sedang berteriak kepada seorang pria yang memakai
94 seragam jenderal lengkap dengan bintang-bin-tangnya.
"Persetan apa yang dikatakan direktur casting. Sudah terlalu banyak jenderal. Aku perlu tentara yang bukan perwira." Ia mengangkat kedua tangannya dengan putus asa. "Semua orang ingin jadi kepala suku, tak ada yang mau jadi Indian biasa."
"Maafkan saya," kata Catherine. "Saya Catherine Alexander."
"Syukurlah!" kata pria kecil itu. "Anda ambil alih ini. Saya tidak tahu apa yang saya lakukan di sini. Tadinya saya bekerja dengan gaji tiga ribu lima ratus dolar setahun di Dearborn mengedit majalah furniture, lalu saya didaftar masuk Korps Signal dan dikirim ke sini untuk menulis naskah film latihan militer. Saya tahu apa tentang produksi dan penyutradaraan" Saya serahkan semua kepada Anda." Ia membalikkan badan dan bergegas ke arah pintu keluar, meninggalkan Catherine berdiri di situ.
Seorang pria langsing dengan rambut beruban dan mengenakan sweater menghampirinya, senyum geli tersungging di wajahnya. "Perlu bantuan?"
"Saya perlu mukjizat," kata Catherine. "Saya harus menangani ini, dan saya tidak tahu apa yang harus dilakukan."
Pria itu menyeringai kepadanya. "Selamat datang di Hollywood. Saya Tom O"Brien, asisten sutradara."
95 "Apa sekiranya Anda bisa menyutradarai ini?"
Catherine melihat sudut bibirnya bergerak. "Saya akan mencoba. Saya telah membuat enam film dengan Willie Wyler. Situasinya tidak se-buruk seperti nampaknya. Yang diperlukan hanya sedikit organisasi. Script-nya sudah ditulis, dan setting-nya sudah siap."
Catherine melihat sekeliling panggung pengambilan suara itu. "Beberapa seragam kelihatannya sangat buruk. Coba kita lihat apa bisa di-perbaiki."
O"Brien mengangguk setuju. "Baiklah."
Catherine dan O"Brien menghampiri sekelompok figuran. Gemuruh percakapan di panggung yang mahaluas itu memekakkan telinga.
"Mohon tenang sedikit, anak-anak," O"Brien berteriak. "Ini Miss Alexander. Ia yang berkuasa di sini."
Catherine berkata, "Tolong berdiri berjajar, su-paya kami bisa melihat kalian dengan lebih baik."
O"Brien mengatur orang-orang itu dalam ja-jaran yang tak begitu teratur. Catherine mendengar tawa dan suara-suara di dekatnya dan menoleh dengan jengkel. Salah satu pria berseragam berdiri di pojok, tak peduli, berbicara dengan sejumlah gadis yang menyimak setiap kata yang diucapkannya dan tertawa cekikikan. Kelakuan pria ini menjengkelkan Catherine.
96 "Maafkan saya. Apa bisa Anda bergabung dengan kami?"
Pria itu menoleh dan bertanya, dengan malas, "Anda berbicara kepada saya?"
"Ya. Kita akan mulai bekerja."
Ia luar biasa tampan, berbadan tinggi dan kekar, rambutnya hitam kebiruan dan memiliki mata hitam yang garang. Seragamnya pas sekali. Di pundaknya ada tanda balok-balok yang menunjukkan pangkat kapten, dan di dadanya menempel pita-pita berwarna mencolok. Catherine menatap itu. "Medali-medali itu?"
"Apa cukup mengesankan, boss?" Suaranya dalam dan bernada riang tapi kurang ajar.
"Tanggalkan itu."
"Mengapa" Saya pikir film ini perlu diberi sedikit warna."
"Ada satu hal kecil yang Anda lupa. Amerika belum ikut perang. Jadi orang akan berpendapat bahwa medali-medali itu Anda peroleh dalam karnaval."
"Anda benar," ia mengakui dengan kemalu-maluan. "Saya tidak berpikir begitu tadinya. Akan saya copot sebagian."
"Copot semuanya" tukas Catherine.
Setelah shooting pagi selesai, ketika Catherine sedang makan siang di kantin, pria itu menghampiri mejanya. "Saya ingin bertanya bagaimana akting saya pagi ini. Apa cukup meyakinkan?"
97 Perangainya membuat Catherine marah. "Anda begitu senang memakai seragam itu dan mejeng di depan gadis-gadis itu, tapi pernahkah Anda. berpikir untuk mendaftar sebagai suka-relawan?"
Ia tampak terkejut. "Untuk ditembak" Itu cuma buat orang-orang goblok."
Catherine sudah siap untuk meledak. "Saya kira Anda sangat menyebalkan."
"Mengapa?" "Kalau Anda tidak tahu mengapa, saya tak akan pernah bisa menjelaskannya kepada Anda."
"Mengapa tidak Anda coba" Waktu kita makan malam nanti. Di tempat Anda. Anda bisa masak?"
"Anda tak perlu kembah ke set," tukas Catherine. Saya akan minta Mr O"Brien mengirimkan cek pembayaran Anda untuk pekerjaan pagi ini. Nama Anda siapa?"
"Douglas. Larry Douglas."
Pengalamannya dengan aktor muda yang ang-kuh ini menyakitkan hati Catherine, dan ia menetapkan hati untuk membuangnya dari pikirannya. Tapi entah mengapa, sulit baginya untuk melupakan pria itu.
Ketika Catherine kembali ke Washington, William Fraser berkata, "Aku rindu kau. Aku
98 banyak berpikir tentang dirimu. Cintakah kau kepadaku?"
"Sangat, Bill."
"Aku juga mencintaimu. Bagaimana kalau malam ini kita keluar dan merayakannya?"
Catherine tahu bahwa malam itu Bill akan melamarnya.
Mereka pergi ke Jefferson Club yang bergengsi. Di tengah santap malam itu, Larry Douglas masuk, masih mengenakan seragam Korps Udara Angkatan Darat dengan semua medalinya. Catherine memandang dengan tak percaya ketika lelaki itu menghampiri meja mereka dan me-nyalami bukan dia, tapi Fraser.
Bill Fraser bangkit. "Cathy, ini Kapten Lawrence Douglas. Larry, ini Miss Alexander"Catherine. Larry pernah di RAF. Ia pimpinan skuadron Amerika di sana. .Mereka minta dia untuk membentuk pangkalan pesawat tempur di Washington untuk mempersiapkan pilot-pilot kita menghadapi pertempuran."
Seperti sebuah film lama yang diputar kembali, Catherine ingat bagaimana ia telah memerintahkan pria itu mencopot pangkatnya dan medali-medalinya, dan bagaimana ia telah me-matuhinya dengan senang hati. Catherine telah bersikap sombong, sok ngatur"bahkan telah me-ngatai Larry pengecut! Rasanya ia ingin menghilang ke bawah meja.
99 Hari berikutnya, Larry Douglas menelepon Catherine di kantornya. Ia menolak menerima telepon itu. Ketika ia selesai bekerja laki-laki itu sudah berada di luar, menunggunya. Ia telah menanggalkan medali-medali dan pita-pitanya dan mengenakan balok-balok kepangkatan let-nan dua.
Ia tersenyum dan menghampiri Catherine. "Begini lebih baik?"
Catherine menatapnya. "Apakah" apakah ti-dak melanggar peraturan, memasang pangkat yang keliru?"
"Saya tidak tahu. Saya pikir Anda yang pu-nya kuasa untuk menentukan."
Catherine memandang matanya dalam-dalam dan tahu bahwa ia telah terpana. Ada semacam daya magnetis dalam diri pria ini yang tak bisa ditangkal.
"Apa yang Anda inginkan dari saya?"
"Semuanya. Saya menginginkan Anda."
Mereka lalu menuju apartemen Larry dan bercinta. Dan itu merupakan kesenangan tak terhingga yang tak pernah bisa dibayangkan Catherine, bersama mendaki puncak sehingga mengguncangkan kamar itu dan seluruh jagat raya"sampai kepada ledakan yang membuah-kan nikmat yang tiada tara, suatu perjalanan yang menggetarkan sukma, datang dan berangkat lagi, berakhir dan bermula kembali. Akhirnya ia terbaring di situ, terkuras dan kelu, memegang Larry erat-erat, tak ingin melepaskan-100
nya, tak ingin membiar kan perasaan itu pergi darinya.
Mereka menikah lima jam kemudian di Maryland.
Kini, duduk di pesawat, dalam perjalanan menuju London untuk memulai suatu kehidupan yang baru, Catherine berpikir: Dulu kita begitu bahagia. Di mana letak kesalahannya" Film-film romantis dan lagu-lagu cinta menipu kita semua untuk percava pada "happy ending" dan ksatria-ksatria berseragam mengilat cinta yang tak akan pernah berakhir. Kita sungguh-sungguh percaya bahwa James Stewart dan Donna Reed memang memiliki "A Wonderful Life" dan kita tahu bahwa Clark Gable dan Claudette Colbert akan hidup bersama selamanya setelah "It Happened One Night", dan kita mencucurkan air mata ketika Fredric March kembali kepada Myrna Loy untuk "The Best Years of Our Lives", dan kita yakin bahwa Joan Fontaine menemukan kebahagiaan di pelukah Laurence Olivier dalam "Rebecca". Padahal semua itu hanya dusta. Dusta semuanya. Dan lagu-lagu itu. I"ll Be Loving You, Always. Bagaimana orang mengukur "always?" Dengan alat pengukur waktu buat merebus telur" How Deep Is The Ocean" Apa yang ada di benak Irving Berlin ketika mengarang lagu itu" Satu kaki" Dua kaki" Dan" Forever and a Day. Aku mau pergi. Aku minta cerai. Some Enchanted Evening. Ayolah. Kita akan mendaki Gunung Tzou-merka" You and the Night and the Music. Ma-101
najer hotel menceritakan padaku tentang gua-gua di dekat sini" I Love You For Sentimental Reasons. Tak ada seorang pun yang akan pernah" sekarang ketika ia masih tidur. Be My Love. Dan kita mendengarkan lagu-lagu, dan kita menonton film dan benar-benar mengira bahwa hidup akan indah seperti itu. Aku begitu percaya kepada suamiku. Apakah aku akan pernah bisa mempercayai seseorang lagi" Apa yang telah kulakukan sehingga ia ingin membunuhku"
"Miss Alexander?"
Catherine mendongak, terperanjat, nanar. Pilot berdiri di depannya. "Kita telah mendarat. Selamat datang di London."
Sebuah limousine menunggu Catherine di bandara. Sopirnya mengatakan, "Saya akan mengurus barang-barang Anda, Miss Alexander. Na-ma saya Alfred. Anda bermaksud langsung me-nuju ke flat Anda?" Flatku. "Ya, benar."
Catherine duduk menyandar. Benar-benar luar biasa. Constantin Demiris telah mengatur pesawat pribadi untuknya, dan sebuah tempat tinggal. Ia itu bisa jadi orang yang paling pemurah di dunia, atau" Catherine benar-benar tak bisa menemukan alternatif lainnya itu. Ti-dak. Ia memang orang yang paling pemurah di dunia. Aku harus mencari jalan yang cocok untuk menunjukkan rasa terima kasihku.
102 Flat itu, yang terletak di Elizabeth Street" tak jauh dari Eaton Square, benar-benar sangat me-wah. Terdiri dari sebuah ruang depan yang lu-as, ruang tamu yang dilengkapi perabot-perabot indah, dengan lampu kristal, ruang perpustakaan berpanel, dapur yang penuh makanan, tiga kamar tidur yang didekorasi dengan bagus, dan kamar-kamar untuk pembantu.
Catherine disambut di pintu oleh seorang wa-nita berumur empat puluhan yang mengenakan gaun hitam. "Selamat sore, Miss Alexander. Saya Anna. Saya pengurus rumah Anda."
Tentu saja. Pengurus rumahku. Catherine mulai bisa menerima semua ini dengan enak. "Apa kabar?"
Sopir membawa masuk koper-koper Catherine dan meletakkannya di kamar udurnya. "Limousine siap untuk Anda pakai," katanya. "Katakan saja pada Anna kalau Anda sudah siap berangkat ke kantor, dan saya akan menjemput Anda."
Limousine itu siap untuk kupakai. Tentu. "Terima kasih."
Anna berkata, "Saya akan mengeluarkan barang-barang Anda. Kalau ada lagi yang Anda perlukan, beritahu saya."
"Rupanya tak ada lagi," kata Catherine dengan sejujurnya.
Catherine berkeliling flat itu sampai Anna selesai mengeluarkan barang-barangnya. Ia lalu
103 masuk ke kamar tidurnya dan melihat gaun-gaun baru yang bagus-bagus yang telah dibeli Demiris untuknya, dan berpikir: Semua ini bagaikan mimpi indah. Ada semacam perasaan ber-ada di dunia khayal. Empat puluh delapan jam yang lalu, ia masih menyirami rumpun-rumpun mawar di biara. Kini ia menikmati hidup bagaikan seorang duchess. Ia bertanya-tanya seperti apa nanti pekerjaannya. Aku akan bekerja keras. Aku tak mau mengecewakan dia. Ia telah begitu baik. Tiba-tiba ia merasa lelah. Ia membaringkan diri di tempat tidur yang empuk dan nyaman itu. Aku akan istirahat sebentar saja, pikirnya. Di-pejamkannya matanya.
Ia merasa sedang tenggelam, dan berteriak minta tolong. Dan Larry sedang berenang ke arahnya, dan ketika ia sampai ia mendorong Catherine ke bawah permukaan air. Dan ia sedang berada di gua, dan kelelawar-kelelawar menyerangnya, menarik rambutnya, menampari wajahnya dengan sayap-sayapnya yang dingin.. Catherine terbangun dengan terkejut dan duduk tegak di tempat tidurnya, gemetar.
Ia menarik napas dalam-dalam beberapa kali untuk menenangkan dirinya. Sudah cukup, pikirnya. Itu sudah lewat. Itu masa lalu. Ini masa kini. Tak ada yang akan menyakitimu. Tak ada. Tidak lagi.
Di luar kamar tidur Catherine, Anna, si pengurus rumah, telah mendengarkan teriakan-te-riakan itu. Ia menunggu sebentar, dan setelah
104 sepi ia berjalan ke ruang depan dan mengangkat telepon untuk melapor kepada Constantin Demiris.
Hellenic Trade Corporation terletak di Bond Street 217, dekat Piccadily, di sebuah bangunan pemerintahan kuno yang telah diubah menjadi kantor-kantor bertahun-tahun yang lalu. Exterior bangunan itu merupakan sebuah masterpiece arsitektur, gaya dan anggun.
Ketika Catherine tiba, para staf telah menunggu Ada setengah lusin orang berdiri di dekat pintu masuk untuk menyambutnya.
"Selamat datang, Miss Alexander. Saya Evelyn Kaye. Ini Carl" Tucker" Matthew" Jennie?"
Nama-nama dan wajah-wajah itu menjadi ka-bur.
"Apa kabar?" "Kantor Anda sudah siap. Saya akan mengantar Anda." "Terima kasih."
Ruang reception-nya didekorasi dengan selera tinggi, dengan sofa chesterfield yang besar, diapit dua kursi Chippendale dan permadani hiasan dinding. Mereka melewati sebuah lorong panjang yang lantainya ber-karpet dan melewati sebuah ruang konferensi yang berpanel kayu cemara, dengan kursi-kursi berjok kulit yang mengitari meja yang amat mengilat.
Catherine diantar masuk ke sebuah kantor
105 yang amat bagus, dengan furniture yang nya-man dan sebuah sofa berlapis kulit.
"Semuanya untuk Anda."
"Bagus sekali," ia bergumam.
Ada bunga-bunga segar di atas meja tulis.
"Dari Mr Demiris."
Ia begitu penuh perhatian.
Evelyn Kaye, wanita yang mengantarkannya ke ruang kantornya, adalah seorang wanita bertubuh gempal, setengah baya, dengan wajah yang ramah dan perangai yang menyenangkan. "Akan memakan waktu beberapa hari untuk membiasakan diri dengan tempat ini, tapi operasi kantor ini cukup sederhana. Kita merupakan salah satu urat nadi dari pusat kerajaan bisnis Demiris. Kita mengkoordinasikan laporan-laporan dari divisi-divisi luar negeri, lalu mengirimkannya ke markas besar di Athena. Saya manajer kantor ini. Anda akan menjadi asisten saya."
"Oh." Jadi aku adalah asisten manajer kantor. Catherine tidak tahu apa yang diharapkan darinya. Ia telah diorbitkan ke dalam sebuah dunia fantasi. Pesawat pribadi, limousine, sebuah flat indah dengan pembantu-pembantu"
"Wim Vandeen adalah jenius lokal kita untuk matematika. Ia menghitung semua laporan dan memasukkannya ke dalam bagan analisis keuangan induk. Otaknya bekerja lebih cepat daripada kebanyakan mesin hitung. Mari kita ke kantornya untuk menjumpainya."
106 Mereka berjalan menyusuri lorong tadi - me-nuju ke sebuah kantor yang terletak di ujung aula. Evelyn membuka pintunya tanpa mengetuk.
"Wim, ini asistenku yang baru."
Catherine melangkah masuk ke dalam kantor itu dan berdiri di situ, terpaku. Wim Vandeen nampak seperti baru berumur tiga puluh lebih sedikit, seorang laki-laki kurus dengan mulut berahang kendur, dan ekspresi wajah yang lesu dan kosong. Ia sedang menatap ke bawah ke kakinya sendiri.
"Wim. Wim! Ini Catherine Alexander."
Ia memandang sekilas. "Nama Catherine the First yang asli adalah Marta Skowronka ia du-lunya pembantu yang lahir tahun 1684 yang ditangkap oleh orang-orang Rusia ia menikah dengan Peter the First dan menjadi kaisar wanita Rusia dari tahun 1725 sampai 1727, Catherine yang Agung adalah putri seorang pangeran Jerman ia dilahirkan tahun 1729 dan ia menikah dengan Peter, yang menjadi Kaisar Peter the Third pada tahun 1762, dan ia meneruskan takhta Peter pada tahun yang sama setelah ia menyuruh Peter dibunuh. Di bawah pemerin-tahannya Polandia dibagi tiga dan terjadi pe-rang dua kali dengan Turki?" Informasi ini mengucur begitu saja bagaikan air mancur, dalam nada monoton.
Catherine menyimak, tertegun. "Itu" itu sa-ngat menarik," ia mencoba berkomentar.
107 Wim Vandeen memandang ke arah lain. Evelyn berkata, "Wim ini malu jika bertemu orang."
Malu" pikir Catherine. Orang ini aneh. Dan ia seorang jenius" Pekerjaan macam apa yang sedang menantinya di sini"
Di Athena, di perkantorannya di Jalan Aghiou Geronda, Constantin Demiris sedang mendengarkan laporan telepon dari Alfred di London.
"Saya mengantarkan Miss Alexander langsung dari bandara ke flat, Mr Demiris. Saya menanyakan kalau ia ingin saya mengantarkannya ke tempat lain seperti yang Anda minta, dan ia bilang tidak."
"Tak ada hubungan dengan pihak luar sama
sekali?" "Tidak, sir. Tidak ada, kecuali jika ia menelepon dari flatnya, sir."
Constantin Demiris tidak menguatirkan itu. Anna, pengurus rumah, akan melapor padanya. Ia meletakkan gagang telepon, merasa puas. Catherine tidak berbahaya baginya untuk sementara ini dan ia akan mengatur supaya dia terus diawasi. Gadis itu sendirian saja di dunia ini. Ia tidak mempunyai siapa-siapa untuk dihubungi kecuali penolongnya, Constantin Demiris. Aku harus membuat persiapan untuk pergi ke London segera, pikir Demiris dengan sukacita. Sangat se-gera.
108 Catherine Alexander mendapati pekerjaannya yang baru cukup menarik. Laporan-laporan harian masuk dari kerajaan bisnis Constantin Demiris yang mahaluas jangkauannya. Ada su-rat-surat muatan kapal dari sebuah pabrik baja di Indiana, laporan audit dari sebuah pabrik mobil di Italia, invoice dari perusahaan surat kabar di Australia, tambang emas, perusahaan asuransi. Catherine menyusun laporan-laporan itu dan mengatur supaya informasi itu dikirim langsung ke Wim Vandeen. Wim lalu melihat sepintas laporan-laporan itu satu kali, memasukkannya ke dalam komputer hebat yaitu otaknya itu, dan hampir-hampir seketika itu juga menghitung persentase laba atau rugi bagi perusahaan.
Catherine senang berkenalan dengan rekan-rekan barunya dan ia terpesona pada keindahan bangunan kuno di mana ia bekerja.
Satu saat ia menyebutkan hal itu pada Evelyn Kaye di depan Wim dan Wim lalu berkata, "Ini adalah kantor pabean pemerintah yang diran-cang oleh Sir Christopher Wren pada tahun tu-juh belas dua puluh satu. Setelah kebakaran besar London, Christopher Wren merancang ulang lima puluh bangunan gereja termasuk St Paul"s, St Michael"s, dan St Bride"s Ia merancang Pasar Bursa Kerajaan"Royal Exchange"dan Buckingham House Ia meninggal pada tahun tujuh belas dua puluh tiga dan dimakamkan di St Paul"s Gedung ini diubah menjadi gedung
109 perkantoran pada tahun sembilan belas tujuh, dan dalam Perang Dunia Kedua selama serangan Blitz, pemerintah menyatakan gedung ini sebagai tempat perlindungan resmi terhadap serangan udara."
Tempat perlindungan terhadap serangan udara itu adalah sebuah ruang besar tahan bom yang dihubungkan dengan basement oleh sebuah pintu besi yang berat. Catherine melihat ke dalam ruang yang diperkuat dengan kokoh itu, dan membayangkan para pria dan wanita dan anak-anak Inggris yang berani yang berlindung di sini selama masa pemboman yang menakutkan oleh Luftwaffe Hitler dulu.
Basement itu sendiri besar sekali, mencakup seluruh panjang gedung itu. Ruang itu menampung sebuah tungku besar untuk memanaskan gedung itu, dan diisi dengan peralatan listrik dan telepon. Tungku itu yang jadi masalah. Berkali-kali Catherine mengantarkan tukang repa-rasi ke basement untuk memeriksanya. Setiap tukang mengutak-atiknya, menyatakan sudah beres, dan pergi.
"Nampaknya begitu berbahaya," kata Catherine. "Apa ada kemungkinan tungku ini akan meledak?"
"Tenangkan hatimu, miss, tentu saja tidak. Anda lihat klep pengaman ini" Well, seandainya tungku itu menjadi terlalu panas, klep pengaman ini akan melepaskan semua kelebihan uap itu, dan semuanya beres. Tak ada masalah."
110 Setelah jam kerja berlalu, ada London. London" tempat yang indah dengan teater bagus, balet dan konser-konser musik. Ada juga toko-toko buku kuno seperti Hatchards, dan Foyles"dan puluhan museum, dan toko-toko kecil barang antik, dan restoran-restoran. Catherine mengunjungi toko-toko litografi di Cecil Court dan ber-belanja di Harrods, Fortnum & Mason, dan Marks & Spencer dan minum Sunday tea di Savoy Hotel.
Dari waktu ke waktu, ingatan-ingatan yang tak dikehendaki melintas di benaknya. Begitu banyak hal yang mengingatkannya kepada Larry. Sebuah suara" sebuah frasa" secercah bau cologne" sebuah lagu. Tidak. Masa lalu sudah selesai. Masa depanlah yang lebih venting. Dan setiap hari ia menjadi semakin kuat.
Catherine dan Evelyn Kaye menjadi teman baik dan terkadang keluar bersama. Suatu hari Ming-gu mereka mengunjungi pameran seni di alam terbuka di tepi Sungai Thames. Ada puluhan arris di sana, muda dan tua, menggelarkan lukisan-lukisan mereka, dan semuanya mempunyai satu persamaan: mereka adalah orang-orang gagal yang tidak mampu menggelarkan karya-karyanya di galeri. Lukisan-lukisannya sa-ngat payah. Catherine membeli satu hanya ka-rena simpati.
"Di mana akan kaupasang itu?" tanya Evelyn.
"Di ruang tungku," kata Catherine.
Ill Ketika mereka berjalan sepanjang jalan-jalan ko-ta London, mereka melewati seniman-seniman trotoar, orang-orang yang menggunakan kapur-kapur berwarna untuk melukis di atas ubin trotoar. Ada karya-karya yang mempesonakan. Para pejalan kaki berhenti untuk mengaguminya lalu melemparkan uang receh kepada para artis itu. Suatu sore saat Catherine pulang dari ma-kan siang, ia berhenti untuk menyaksikan seorang tua sedang melukis sebuah pemandangan indah dengan kapur. Ketika lukisan itu sedang diselesaikan, hujan mulai turun dan orang tua itu berdiri di situ menyaksikan karyanya terhapus. Ini sangat mirip masa laluku, pikir Catherine.
Evelyn membawa Catherine ke Shepherd Market. "Ini daerah yang menarik," Evelyn menjanjikan.
Memang sungguh semarak. Ada restoran berumur tiga ratus tahun bernama Tiddy Dols, kios majalah, pasar, salon kecantikan, bakery, toko-toko barang antik, rumah-rumah tinggal ber-tingkat dua atau tiga.
Papan-papan nama penghuni di kotak-kotak pos agak ganjil. Ada yang bertuliskan "Helen" dan di bawahnya "Pelajaran bahasa Prancis". Satu lagi berbunyi "Rosie" dan, di bawahnya, "Di sini bisa belajar bahasa Yunani".
"Apa ini daerah pendidikan?" tanya Catherine.
112 Evelyn tertawa keras. "Dari satu segi kukira, iya. Cuma saja jenis pendidikan yang diberikan gadis-gadis itu tak bisa diajarkan di sekolah-sekolah."
Evelyn tertawa lebih keras lagi ketika melihat Catherine kemalu-maluan.
Catherine melewatkan sebagian besar waktunya sendirian, tapi ia selalu menyibukkan diri supaya tidak merasa kesepian. Ia menerjuni hari-harinya seakan ingin menebus saat-saat berharga dalam hidupnya yang telah dicuri darinya. Ia tidak mau memikirkan masa lalu atau masa depan. Ia mengunjungi Istana Windsor, dan Canterbury dengan katedralnya yang indah, dan Hampton Court. Di akhir pekan, ia pergi ke daerah pedesaan dan menginap di penginapan-penginapan kecil kuno yang molek dan berolah-raga jalan kaki menyusuri jalan-jalan desa.
Aku hidup, pikirnya. Tak seorang pun dilahirkan bahagia. Setiap orang harus membentuk kebahagiaan-nya sendiri. Aku bisa bertahan hidup. Aku masih muda dan aku sehat dan aku akan mengalami hal-hal yang menyenangkan.
Pada hari Senin ia masuk kerja lagi. Kembali ke Evelyn dan gadis-gadis di kantor itu dan Wim Vandeen.
Wim Vandeen adalah sebuah misteri.
Catherine belum pernah bertemu dengan orang seperti dia. Ada dua puluh karyawan di kantor, dan tanpa repot-repot memakai kalku"
113 lator, Wim Vandeen ingat gaji setiap karyawan, nomor asuransi wajibnya dan potongan-potong-annya. Walaupun semua itu ada dalam file, ia menyimpan semua data perusahaan di kepalanya. Ia tahu cash flow bulanan setiap divisi dan bagaimana perbandingannya dengan bulan-bulan sebelumnya, sampai dengan lima tahun sebelumnya yaitu ketika ia mulai bekerja di perusahaan itu.
Wim Vandeen ingat semua yang pernah dilihatnya atau didengarnya atau dibacanya. Lingkup pengetahuannya tak terkira. Pertanyaan paling sederhana tentang masalah apa pun akan memicu serangkaian informasi, tapi ia seorang yang anti sosial.
Catherine berbincang tentang dia dengan Evelyn. "Aku sama sekali tidak bisa mengerti Wim."
Wim seorang eksentrik," kata Evelyn. "Kau harus bisa menerima dia seperti apa adanya. Dia cuma tertarik pada angka-angka. Kurasa ia tidak peduli pada orang."
"Apa ia punya teman?"
"Tidak." "Apa ia pernah pacaran" Maksudku"pergi dengan gadis-gadis?" "Tidak."
Catherine berpikir bahwa Wim ini pasti ter-kucil dan kesepian, dan ia merasa senasib dengan lelaki itu.
114 Pengetahuan Wim membuat Catherine kagum. Pada suatu pagi, Catherine sakit telinga.
Wim berkata dengan kasar, "Cuaca begird akan membuat itu makin sakit. Sebaiknya kau pergi ke dokter telinga."
"Terima kasih, Wim. Aku?"
"Bagian-bagian telinga adalah daun telinga, liang dengar, gendangan, rangkaian osikel" martil, landasan, dan sanggurdi"tingkap bun-dar, saluran setengah lingkaran, tingkap jorong, tuba Eustachius, saraf dengar, dan rumah si-put." Lalu ia pergi.
Pada suatu hari lain, Catherine dan Evelyn membawa Wim makan siang di Ram"s Head, sebuah pub lokal. Di ruang belakang, para pelanggan sedang bermain lempar dart"panah berbulu.
"Kau tidak tertarik pada sport, Wim?" tanya Catherine. "Pernah kau melihat pertandingan baseball?"
"Baseball" kata Wim. "Bola baseball kelilingnya sembilan seperempat inci. Dibuat dari serat, di-anyamkan melingkar pada sebuah inti karet yang keras dan dilapis dengan kulit* putih. Pe-mukulnya biasanya dibuat dari kayu ash, garis tengah yang terlebar tidak lebih dari dua tiga perempat inci, dan panjangnya tidak lebih dari empat puluh dua inci."
Ia tahu semua statistik itu, pikir Catherine, tapi pernahkah ia merasakan kesenangan saat memprak-tekkannya"
115 "Pernahkah kau main satu jenis sport" Bola basket, misalnya?"
"Bola basket dimainkan di lantai kayu atau beton. Bolanya mempunyai lapis luar bundar dari kulit yang kelilingnya tiga puluh satu inci, yang memuat balon karet berisi udara berte-kanan tiga belas pound. Beratnya dua puluh sampai dua puluh dua ounce. Permainan bola basket ditemukan oleh James Naismith pada tahun delapan belas sembilan puluh satu."
Itulah jawaban yang diterima Catherine.
Kadang-kadang Wim bisa menyebabkan ke-tidakenakan di depan umum. Pada suatu hari Minggu, Catherine dan Evelyn membawa Wim ke Maidenhead, di Sungai Thames. Mereka berhenti di Compleat Angler untuk makan siang. Pelayan " menghampiri meja mereka. "Hari ini kami punya kerang segar."
Catherine menoleh kepada Wim. "Kau suka kerang?"
Wim berkata, "Ada kerang panjang, quahog, atau kerang bundar, kerang pipih, kerang permukaan, kerang berkeping tunggal, dan kerang darah."
Pelayan itu membelalak menatapnya. "Apa Anda ingin memesannya, sir?"
"Saya tidak suka kerang," Wim menukas.
Catherine senang kepada rekan-rekan sekerja-nya, tapi ia punya kesan khusus terhadap Wim.
116 Ia cemerlang di luar kemampuan Catherine untuk mengerti, dan pada saat yang sama, ia nam-pak menarik diri dan kesepian.
Catherine berkata kepada Evelyn suatu hari, "Apa ada kemungkinan Wim pada suatu saat akan bisa hidup normal" Jatuh cinta dan menikah?"
Evelyn menarik napas. "Sudah kubilang. Ia tidak punya emosi. Ia tak akan pernah bisa dekat dengan siapa pun."
Tapi Catherine tidak percaya itu. Sekali-dua kali ia pernah menangkap secercah kegairah-an"kehangatan"tawa"dalam mata Wim, dan ia ingin menarik Wim ke luar, menolongnya. Ataukah ini hanya imajinasinya saja"
Pada suatu hari, para staf kantor mendapat undangan untuk menghadiri sebuah pesta amal yang diadakan di Savoy Hotel.
Catherine masuk ke kantor Wim. "Wim, kau bisa dansa?"
Ia menatap Catherine. "Satu setengah bar dari musik empat per empat membentuk satu unit irama dalam dansa foxtrot. Prianya memulai step dasarnya dengan kaki kiri dan melakukan dua step ke depan. Wanitanya memulai dengan kaki kanan dan melakukan dua step ke belakang. Kedua slow step itu diikuti oleh satu quick step ke arah samping kanan dari slow step itu. Untuk melakukan dip, pria melangkah ke depan dengan kaki kirinya dan membuat dip itu" slow"
117 lalu ia maju ke depan dengan kaki kanannya" slow. Lalu ia bergerak ke kiri dengan kaki kirinya"quick. Lalu menutupkan kaki kanannya ke kaki kirinya"quick."
Catherine berdiri di situ, tak tahu harus mengatakan apa. Wim ini tahu semua kata-katanya, tapi ia tidak tahu artinya.
Constantin Demiris menelepon. Malam sudah larut dan Catherine sudah bersiap-siap untuk tidur.
"Kuharap aku tidak mengganggu. Ini Costa."
"Tidak, tentu saja tidak." Ia senang mendengar suara Demiris. Ia sudah lama rindu berbicara dengan Demiris, minta nasihatnya. Ka-rena memang ia satu-satunya di dunia ini yang tahu tentang masa lalunya. Ia merasa seakan pria ini adalah teman lamanya.
"Aku berpikir tentang kau, Catherine. Aku kuatir kau barangkali mendapati London terlalu sepi buatmu. Bagaimanapun juga tak ada yang kaukenal di sana."
"Saya memang agak kesepian kadang-kadang," Catherine mengakui. "Tapi saya bisa menyesuaikan diri. Saya selalu ingat apa yang Anda katakan. Lupakan masa lalu, hiduplah untuk masa depan."
"Benar sekali. Bicara tentang masa depan, aku akan berada di London besok. Aku ingin meng-ajakmu makan malam."
"Saya akan senang sekali," kata Catherine de"
118 ngan hangat. Ia memang mengharapkan itu. Ia akan punya kesempatan untuk mengatakan pada Demiris betapa ia merasa berterima kasih padanya.
Ketika Constantin Demiris meletakkan gagang telepon, ia tersenyum sendiri. Perburuan sudah dimulai.
Mereka makan malam di Ritz. Ruangan makan itu sangat anggun dan makanannya sangat le-zat. Tapi perhatian Catherine terpusat pada laki-laki yang sedang duduk berhadapan dengannya, sehingga ia tidak memperhatikan yang la-in-lain. Begitu banyak yang ingin diceritakan Catherine kepadanya.
"Anda memiliki staf kantor yang hebat," kata Catherine. "Wim itu sangat mengagumkan. Be-lum pernah saya bertemu dengan orang yang bisa?"
Tapi Demiris tidak menyimak kata-katanya itu. Ia sedang mengamati gadis itu, memikirkan betapa cantiknya dia, dan betapa mudah ditak-lukkan. Tapi jangan tergesa-gesa, Demiris memutuskan. Tidak, aku akan memainkan game ini pe-lan-pelan dan menghirup anggur kemenangan. Kali ini kulakukan untukmu, Noelle, dan untuk kekasih-mu.
"Anda akan lama di London?" Catherine bertanya.
"Hanya sehari atau dua hari. Ada urusan yang harus kubereskan." Itu memang benar.
119 Tapi ia tahu bahwa sebenarnya itu bisa dita-ngani lewat telepon. Bukan/ia datang ke London untuk memulai upayanya menarik Catherine lebih dekat kepadanya, untuk membuat ga-dis itu bergantung kepadanya secara emosional. Ia mencondongkan badannya ke depan.
"Catherine, pernahkah kuceritakan padamu saat aku dulu bekerja di ladang-ladang minyak di Saudi Arabia?""
Demiris membawa Catherine makan malam lagi malam berikutnya.
"Evelyn mengatakan padaku betapa kau telah bekerja dengan amat baik di kantor. Aku akan menaikkan gajimu."
"Anda sudah terlalu pemurah selama ini," Catherine memprotes. "Saya?"
Demiris memandang matanya dalam-dalam. Kau tak tahu seberapa jauh aku bisa bersikap pemurah begitu."
Catherine merasa malu. Dia cuma bermaksud untuk berbuat baik, pikirnya. Aku tidak boleh membayangkan yang bukan-bukan.
Hari berikutnya, Demiris sudah siap untuk pu-lang. "Kau mau mengantarku ke bandara, Catherine?" "Ya."
Catherine mendapati laki-laki itu sangat menawan, hampir-hampir memukau. Demiris sa"
120 ngat menyenangkan dan brilian dan Catherine merasa tersanjung dengan atensinya.
Di bandara, Demiris mengecup pipi Catherine dengan lembut. "Aku senang kita bisa melewatkan waktu bersama, Catherine."


Padang Bayang Kelabu Karya Sidney Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Saya juga. Terima kasih, Costa."
Ia berdiri di situ menyaksikan pesawat Demiris take off. Ia benar-benar istimewa, pikir Catherine. Aku akan merindukan dia.
121 Bab 6 Semua orang terheran-heran melihat persahabatan yang nampak di antara Constantin Demiris dan saudara iparnya, Spyros Lambrou.
Spyros Lambrou hampir sama kaya dan ber-kuasanya dengan Demiris. Demiris memiliki armada kapal dagang terbesar di dunia; Spyros Lambrou memiliki kedua yang terbesar. Constantin Demiris mengendalikan mata rantai perusahaan surat kabar dan penerbangan, ladang-ladang minyak, pabrik-pabrik baja, dan tambang-tambang emas; Spyros Lambrou mempunyai perusahaan-perusahaan asuransi, bank-bank, real estate yang teramat luas, dan sebuah pabrik bahan-bahan kimia. Mereka tampak seperti pesaing-pesaing yang berteman; malahan lebih dari itu, bersahabat.
"Apakah tidak hebat," kata orang, "bahwa dua dari orang-orang yang paling berkuasa di dunia merupakan sahabat-sahabat baik?"
Pada kenyataannya, mereka adalah pesaing-pesaing yang tak pernah bisa didamaikan, yang saling membenci. Ketika Spyros Lambrou mem"
122 beli yacht berukuran 100 kaki, Constantin Demiris langsung memesan yacht berukuran 150 kaki yang mempunyai 4 mesin diesel GM, 13 kru, dua speedboat, dan kolam renang air tawar. - Ketika armada kapal Spyros Lambrou mencapai total dua belas tanker, dengan tonase 200.000, Constantin Demiris meningkatkan armadanya menjadi dua puluh tiga tanker, dengan tonase 650.000. Spyros Lambrou mempunyai sejumlah kuda balap, dan Demiris membeli sebuah stable yang lebih besar untuk menya-inginya, dan selalu menang.
Kedua laki-laki itu sering bertemu, sebab mereka sama-sama aktif dalam kepanitiaan badan-badan amal, duduk dalam dewan berbagai perusahaan, dan dari waktu ke waktu hadir dalam pertemuan-pertemuan keluarga.
Mereka berlawanan seratus delapan puluh derajat dalam temperamen. Constantin Demiris lahir dalam kemelaratan dan berjuang sampai ke puncak, sedangkan Spyros Lambrou lahir sebagai seorang bangsawan. Ia berperawakan langsing dan bergaya anggun, selalu berpakaian dengan sempurna, dan bertingkah laku menak dan sangat beraturan. Silsilah keturunannya bisa dilacak sampai ke Otto of Bavaria, yang pernah memerintah sebagai Raja Yunani. Di saat-saat awal pergolakan politik di Yunani, suatu mi-noritas kecil, yang memerintah secara oligarki, sempat menimbun kekayaan dari perdagangan, perkapalan dan tanah. Ayah Spyros Lambrou
123 adalah salah satu dari mereka ini, dan Spyros mewarisi kerajaan bisnisnya.
Selama bertahun-tahun, Spyros Lambrou dan Constantin Demiris melanjutkan pertunjukan persahabatan itu. Tapi masing-masing menetapkan niat bahwa, pada akhirnya, yang satu akan menghancurkan yang lainnya, Demiris karena nalurinya untuk mempertahankan diri, Lambrou karena perlakuan iparnya itu kepada Melina.
Spyros Lambrou adalah orang yang percaya takhayul. Ia menghayati nasib baiknya dalam kehidupan ini, dan ia berhati-hati jangan sampai bertentangan dengan para dewa. Dari waktu ke waktu ia berkonsultasi dengan para peramal untuk mencari pegangan. Ia cukup pintar untuk tahu kalau ia ditipu, tapi ada satu peramal yang menurutnya amat luar biasa. Peramal itulah yang telah meramalkan keguguran kandungan adiknya Melina dan apa yang akan terjadi atas pernikahannya, dan sejumlah kejadian lain yang telah terjadi. Ia tinggal di Athena.
Nama peramal ini Madame Piris.
Constantin Demiris membentuk suatu kebiasaan untuk tiba di kantornya di Jalan Aghiou Geronda tiap pagi jam enam tepat. Pada saat pesaing-pesaingnya baru mulai bekerja, Demiris sudah melakukan bisnis selama berjam-jam dengan agen-agennya di sejumlah negara.
Kantor pribadi Demiris sangat spektakuler. Pemandangannya amat megah, dengan jendela"
124 jendela besar yang seakan mempersembahkan kota Athena di kakinya. Lantainya dari granit hitam. Perabotnya dari baja dan kulit binatang. Di dinding terpasang koleksi lukisan Cubist, dengan karya-karya Leger, Braque, dan setengah lusin Picasso. Ada meja tulis yang teramat besar yang terbuat dari kaca dan baja dan sebuah kursi bak singgasana yang berlapis kulit binatang. Di meja tulisnya terdapat topeng mayat Alexander yang Agung di dalam kaca kristal. Tulisan di bawahnya berbunyi: Alexandre*. Pembela umat manusia.
Pagi ini, telepon pribadi Demiris berdering pada saat ia memasuki kantornya. Hanya ada setengah lusin orang yang bisa menghubunginya lewat nomor itu.
Demiris mengangkat telepon itu. "Kalimehra."
"Kalimehra." Suara di ujung yang satunya adalah suara sekretaris pribadi Spyros Lambrou, Nikos Veritos. Ia kedengaran tegang.
"Maafkan saya mengganggu. Anda, Mr Demiris. Anda minta saya menelepon kalau saya punya informasi yang Anda mungkin?"
"Ya. Apa itu?" "Mr Lambrou merencanakan untuk membeli sebuah perusahaan bernama Aurora International. Namanya terdaftar di Bursa Saham New York. Mr Lambrou punya teman di dewan di-reksinya yang memberitahu dia bahwa sebuah kontrak besar dari pemerintah akan diberikan kepada perusahaan itu untuk membuat pesa-125
wat-pesawat tempur. Ini, tentu saja, teramat rahasia. Sahamnya akan melonjak jika pengu-muman?"
"Saya tidak tertarik pada pasar saham," Demiris menukas. "Jangan mengganggu saya lagi kecuali kau punya sesuatu yang penting untuk saya ketahui."
"Maafkan saya, Mr Demiris. Tadinya saya kira?"
Tapi Demiris telah meletakkan telepon.
Pada jam delapan, ketika asisten Demiris, Giannis Tcharos, memasuki kantornya, Constantin Demiris mendongak dari meja tulisnya. "Ada perusahaan di Bursa Saham New York, Aurora International. Beritahu semua koran kita bahwa perusahaan itu sedang diselidiki yang berwajib karena suatu penipuan. Pakai sumber tak bernama, pokoknya berita itu harus tersebar. Aku mau berita itu terus dilancarkan sampai sahamnya turun. Lalu mulailah membeli sahamnya sampai aku memperoleh mayoritas." "Ya, sir. Itu saja?"
"Tidak. Setelah mayoritas tercapai, siarkan bahwa desas-desus tadi tidak benar. Oh, ya, kauatur supaya Bursa Saham New York diberi informasi bahwa Spyros Lambrou membeli sa-ham-saham perusahaan itu karena informasi orang dalam."
Giannis Tcharos berkata dengan halus, "Mr
126 Demiris, di Amerika, itu merupakan tindak pi-dana."
Constantin Demiris tersenyum. "Aku tahu."
Satu mil jauhnya dari situ, di Syntagma Square, Spyros Lambrou sedang bekerja di kantornya. Tempat kerjanya mencerminkan seleranya yang tinggi. Perabotnya terdiri dari perangkat antik yang jarang ada, campuran gaya Prancis dan Italia. Tiga sisi dindingnya dipenuhi lukisan-lukisan Impresionis Prancis. Sisi keempat dipakai untuk memuat karya-karya sejumlah seniman Belgia, dari Van Rysselberghe sampai De Smet. Papan nama di pintu kantor depan berbunyi: "Lambrou and Associates", tapi associates"rekan-rekan"itu tak pernah ada. Spyros Lambrou mewarisi perusahaan yang sukses dari ayahnya, dan sejak itu dari tahun ke tahun ia telah membangunnya menjadi sebuah konglo-merat dunia.
Spyros Lambrou seharusnya sudah bisa berbahagia. Ia kaya dan sukses, dan ia dianugerahi tubuh yang sangat sehat. Tapi tak mungkin baginya untuk benar-benar berbahagia selama Constantin Demiris masih hidup. Iparnya ini merupakan sesuatu yang haram baginya. Lambrou sangat membencinya. Baginya, Demiris adalah polymichanos, orang yang penuh dengan kejahatan, seorang bajingan yang tidak bermoral. Lambrou selalu membenci Demiris karena perlakuannya terhadap Melina, tapi persaingan
127 ganas di antara mereka memiliki hubungan se-bab-akibatnya sendiri.
Semuanya bermula sepuluh tahun sebelumnya, ketika Spypros Lambrou makan siang bersama adik perempuannya. Melina belum pernah melihatnya begitu menggebu-gebu.
"Melina, tahukah kau bahwa tiap-tiap hari dunia ini mengkonsumsi bahan bakar yang berasal dari fosil yang proses terjadinya memakan waktu seribu tahun?"
"Tidak, Spyros."
"Akan ada kebutuhan minyak dalam jumlah luar biasa di masa yang akan datang, dan tak akan ada cukup kapal tanker untuk menanganinya."
"Kau akan membangun itu?"
Ia mengangguk. "Tapi bukan tanker-tanker biasa. Aku akan membangun armada tanker berukuran besar yang pertama. Tanker-tanker itu besarnya akan dua kali lipat tanker-tanker vang ada sekarang ini." Nada suaranya amat bersemangat. "Aku telah menghitung-hitung selama berbulan-bulan. Coba dengarkan. Satu ga-lon minyak mentah yang diangkut dari Teluk Persia ke sebuah pelabuhan di pantai timur Amerika biaya angkutnya tujuh sen. Tapi jika tankernya sangat besar, ongkos angkutnya akan turun menjadi tiga sen per galon. Apa kau bisa mengerti apa artinya itu?"
"Spyros"dari mana bisa kauperoleh uang untuk membangun armada kapal seperti itu?"
128 Ia tersenyum. "Justru itu indahnya rencanaku ini. Sesen pun aku tak perlu." "Apa?"
Ia mencondongkan badannya ke depan. "Aku akan ke Amerika bulan depan untuk berbicara dengan kepala-kepala perusahaan minyak besar. Dengan tanker-tanker ini, aku bisa mengangkut minyak mereka dengan ongkos separo dari ongkos yang diminta oleh perusahaan-perusahaan tanker sekarang."
"Tapi" kau kan thk punya tanker-tanker besar."
Senyumnya berubah menjadi seringai. "Memang tidak, tapi jika aku bisa memperoleh kontrak carter jangka panjang dari perusahaan-perusahaan minyak itu, maka bank-bank akan mau meminjami aku uang yang kuperlukan untuk membangunnya. Bagaimana pendapatmu?"
"Menurut pendapatku kau seorang jenius. Itu rencana yang sungguh cemerlang."
Melina begitu bersemangat tentang gagasan kakaknya sehingga itu diceritakannya kepada Demiris saat makan malam.
Setelah ia selesai menjelaskan, Melina berkata, "Bukankah itu gagasan yang hebat?"
Constantin Demiris terdiam sebentar. "Kakakmu seorang pemimpi. Itu tak akan pernah berhasil."
Melina memandangnya dengan heran. "Mengapa tidak, Costa?"
129 "Karena itu gagasan yang kurang dipikir ma-sak-masak. Pertama, tak akan ada kebutuhan minyak yang sebegitu besar, jadi tanker-tanker irripiannya itu tak akan laku. Kedua, perusahaan-perusahaan minyak pasti tidak akan mau menyerahkan minyaknya yang berharga kepada armada bayangan yang ada pun tidak. Dan ke-tiga, bank-bank yang akan dihubunginya itu akan menertawai dia dan memintanya keluar dari kantor mereka."
Wajah Melina jadi muram karena kecewa. "Spyros tadi begitu bersemangat. Kau mau memperbincangkan ini dengan dia?"
Demiris menggelengkan kepala. "Biarkan dia dengan mimpinya itu, Melina. Malahan lebih baik lagi kalau ia tidak tahu tentang percakapan kita ini."
"Baiklah, Costa. Apa pun katamu."
Besoknya, pagi-pagi sekali Constantin Demiris sudah dalam perjalanan ke Amerika untuk berbicara tentang tanker-tanker besar itu. Ia tahu bahwa cadangan minyak dunia di luar Amerika dikuasai oleh tujuh perusahaan besar: Standard Oil Company of New Jersey, Standard Oil Company of California, Gulf Oil, the Texas Company, Socony-Vacuum, Royal Dutch-Shell dan Anglo-Iranian. Ia tahu bahwa kalau ia bisa menangkap satu saja di antaranya, maka yang lainnya pasti akan mengikuti.
130 Constantin Demiris pertama-tama mengunjungi kantor eksekutif Standard Oil of New Jersey. Ia membuat appointment dengan Owen Curtiss, wakil presiden yang keempat.
"Apa yang bisa saya bantu, Mr Demiris?"
"Saya punya konsep yang barangkali bisa sangat menguntungkan secara finansial bagi perusahaan Anda."
"Ya, Anda sudah menyebutkan itu di telepon." Curtiss melihat sekilas arlojinya. "Saya ada rapat beberapa menit lagi. Mohon Anda mengatakannya dengan singkat?"
"Saya akan sangat singkat. Anda harus membayar tujuh sen untuk mengangkut satu galon minyak mentah dari Teluk Persia ke pantai ti-mur Amerika."
"Benar." "Bagaimana pendapat Anda jika saya katakan bahwa saya bisa menjamin untuk mengangkut minyak Anda dengan tiga sen per galon?"
Curtiss tersenyum meremehkan. "Dan bagaimana tepatnya Anda membuat keajaiban seperti itu?"
Demiris berkata dengan santai, "Dengan cara membangun armada yang terdiri dari kapal-kapal tanker besar yang kapasitas angkutnya dua kali lipat kapasitas angkut tanker-tanker yang ada sekarang. Saya akan bisa mengangkut minyak Anda secep
at Anda memompanya keluar dari tanah."
Curtiss melihatnya dengan pandang menye"
131 lidik. Wajahnya nampak serius. "Di mana Anda bisa memperoleh armada tanker besar itu?"
"Saya akan membangunnya."
"Maaf. Kami tidak tertarik untuk melakukan
investasi di?" Demiris memotong bicaranya. "Sesen pun tak perlu Anda keluarkan. Yang saya minta dari Anda cuma kontrak jangka panjang untuk mengangkut minyak Anda dengan harga separo dari yang Anda bayar saat ini. Saya akan memperoleh dananya dari bank."
Keduanya terdiam, lama dan mencekam. Owen Curtiss berdehem. "Saya kira sebaiknya saya bawa Anda ke atas untuk menemui presiden kami."
Begitulah awal mulanya. Perusahaan-perusaha-an minyak lainnya sama bersemangatnya untuk membuat transaksi dengan Constantin Demiris dan tanker-tanker besarnya itu. Pada saat Spyros Lambrou tahu apa yang terjadi, ia sudah terlambat. Ia terbang ke Amerika dan berhasil membuat beberapa transaksi untuk tanker besar dengan perusahaan-perusahaan kecil, tapi Demiris telah meraup bagian pasar yang paling gemuk.
"Ia memang suamimu," Lambrou marah besar, "tapi aku bersumpah padamu, Melina, pada suatu hari aku akan menuntut balas atas apa yang telah diperbuatnya."
132 Melina sangat kecewa akan apa yang telah terjadi. Ia merasa telah mengkhianati kakaknya.
Tapi ketika ia menanyai suaminya, ia cuma mengangkat bahu. "Aku tidak mendatangi mereka, Melina. Merekalah yang datang kepadaku. Bagaimana aku bisa menolak mereka?"
Dan pembicaraan hanya berakhir di situ.
Tapi pertimbangan-pertimbangan bisnis tidaklah terlalu penting jika dibandingkan dengan perasaan Lambrou mengenai perlakuan Demiris terhadap Melina.
Ia mestinya bisa tidak ambil peduli atas ulah Demiris yang gemar main perempuan itu"sudah wajar kalau laki-laki ingin memperoleh kesenangan. Tapi sikap Demiris yang terang-te-rangan melakukannya di depan umum itulah yang dianggapnya sebagai penghinaan, bukan hanya terhadap Melina, tapi terhadap seluruh keluarga Lambrou. Affair Demiris dengan aktris itu, Noelle Page, adalah contoh yang paling bu-ruk. Itu telah membuat headline di seluruh dunia. Satu hari nanti, pikir Spyros Lambrou. Satu hari nanti"
Nikos Veritos, asisten Lambrou, memasuki kantor. Veritos sudah bekerja pada Lambrou selama lima belas tahun. Ia cukup mampu, tapi kurang kreatif, orang yang tanpa masa depan, kelabu dan tak berkarakter. Persaingan di antara kedua ipar ini memberikan kepada Veritos apa yang
133 dianggapnya sebagai kesempatan emas. Ia yakin bahwa akhirnya Constantin Demiris yang akan menang, dan dari waktu ke waktu ia memberikan informasi-informasi rahasia kepadanya, dengan mengharapkan imbalan yang layak.
Veritos menghampiri Lambrou. "Maafkan saya. Ada orang bernama Mr Anthony Rizzoli ingin bertemu dengan Anda."
Lambrou menarik napas. "Mari kita selesaikan," katanya. "Silakan dia masuk."
Anthony Rizzoli berumur empat puluh lima-an. Rambutnya hitam, hidungnya ramping dan sedikit bengkok, dan matanya coklat dan tertanam dalam di wajahnya. Ia bergerak dengan keluwesan seorang petinju yang terlatih. Ia mengenakan jas mahal berwarna beige"coklat ke-abu-abuan"kemeja sutera berwarna kuning, dan sepatu empuk dari kulit. Bicaranya lembut dan perangainya sopan, tapi terasa ada sesuatu yang jahat dalam dirinya.
"Apa kabar, Mr Lambrou?"
"Silakan duduk, Mr Rizzoli."
Rizzoli duduk. "Apa yang bisa saya lakukan untuk Anda?"
"Well, seperti yang telah saya jelaskan kepada Mr Veritos, saya bermaksud untuk mencarter salah satu kapal pengangkut Anda. Begini, saya punya pabrik di Marseilles dan saya ingin me-ngapalkan sejumlah mesin berat ke Amerika. Kalau Anda dan saya bisa cocok, saya bisa
134 memberi Anda banyak bisnis di masa mendatang."
Spyros Lambrou menyandar ke kursinya dan melihat dengan pandang menyelidik laki-laki yang berada di hadapannya itu. Menjijikkan. "Hanya itu yang akan Anda angkut, Mr Rizzoli?" ia bertanya.
Tony Rizzoli mengerutkan dahi, "Apa" Saya kurang mengerti."
"Saya kira Anda mengerti," kata Lambrou. "Kapal-kapal saya tidak bisa Anda sewa."
"Mengapa tidak" Apa maksud Anda sebenarnya?"
"Obat bius, Mr Rizzoli. Anda seorang peda-gang obat bius."
Kedua mata Rizzoli menyipit. "Anda gila! Anda terlalu percaya pada desas-desus."
Tapi tidak hanya desas-desus. Spyros Lambrou telah menyelidiki orang ini dengan hati-hati. Tony Rizzoli adalah salah satu penyelundup obat bius kelas kakap di Eropa. Ia seorang Mafia, anggota Organisasi, dan terbetik berita bahwa sumber-sumber transportasi Rizzoli mu-lai kering. Itulah sebabnya ia begitu tak sabar ingin membuat transaksi.
"Saya kuatir Anda terpaksa mencari ke tempat lain."
Tony Rizzoli duduk di situ, menatap Spyros, sinar matanya dingin. Akhirnya ia mengangguk. "Okay." Ia mengambil kartu nama dari sakunya dan melemparkannya ke atas meja. "Bila Anda
135 berubah pikiran, Anda bisa menghubungi saya di sini." Ia bangkit berdiri dan tak lama kemudian ia sudah pergi.
Spyros Lambrou memungut kartu nama itu. Tertulis di situ Anthony Rizzoli"Impor-Expor. Ada juga alamat hotelnya di Athena dan nomor telepon di bagian bawah kartu.
Nikos Veritos duduk di situ dengan mata lebar, mendengarkan percakapan itu. Ketika Tony Rizzoli keluar lewat pintu ia berkata, "Apa ia benar-benar?""
"Ya. Mr Rizzoli berdagang heroin. Kalau kita sekali saja memperbolehkan dia memakai salah satu kapal kita, pemerintah bisa mendepak seluruh armada kita keluar dari bisnis."
Tony Rizzoli berjalan ke luar dari kantor Lambrou dengan murka. Yunani celaka itu memperlakukan aku seperti petani jalananl Dan bagaimana ia bisa tahu tentang obat bius itu" Muatan kali ini sangat besar di luar kebiasaan, dengan street value paling sedikit sepuluh juta dolar. Tapi masalahnya yaitu bagaimana mengangkutnya ke New York. Detektif-delektif narkotik terkutuk itu tersebar di seluruh Athena. Aku harus menelepon Sicilia dan gu-dang. Tony Rizzoli belum pernah gagal dalam pengiriman, dan ia tidak mau yang ini sampai gagal. Ia selalu menganggap dirinya ditakdirkan untuk menang.
Ia dilahirkan di Hell"s Kitchen di New York. Secara geografis tempat itu terletak di tengah
136 Sisi Barat Manhattan, di antara 8th Avenue dan Sungai Hudson, dan perbatasan utara dan se-latannya adalah 23rd dan 59th Street. Tapi secara psikologis dan emosional, Hell"s Kitchen ini merupakan kota di dalam kota, sebuah enclave" negara yang seluruhnya dikelilingi oleh negara lain"yang bersenjata. Jalan-jalannya dikuasai oleh geng-geng. Ada geng the Gophers, the Parlor Mob, the Gorillas, dan the Rhodes. Kontrak-kontrak pembunuhan bisa dibeli dengan seratus dolar, penganiayaan sedikit lebih murah.
Para penghuni Hell"s Kitchen tinggal di perkampungan-perkampungan kumuh, yang penuh dengan kutu, tikus, dan kecoa. Tak ada bak mandi, dan para remaja memecahkan masalah ini dengan cara mereka sendiri; mereka mandi telanjang di dekat dermaga Sungai Hudson, di mana pipa-pipa saluran pembuangan dari jalan-jalan Kitchen menumpahkan segala macam lim-bah. Dermaga itu sendiri berbau busuk karena genangan yang penuh dengan kucing dan an-jing mati yang tubuhnya menggembung.
Pemandangan jalan raya menggelarkan suatu rangkaian kejadian yang tak pernah pu{ys. Deru mobil pemadam kebakaran bersahutan dengan bunyi sirene" perkelahian antargeng di salah satu atap rumah tinggal" iring-iringan perkawinan" orang bermain bola di trotoar" kuda lepas yang sedang dikejar" bunyi tembakan" Tempat bermain anak-anak hanyalah di jalan-jalan, di atap-atap rumah, tempat-tempat lo-137
wong dengan sampah yang berserakan dan"di musim panas"di perairan North River yang berbau busuk. Dan di atas semuanya itu, bau tajam yang menusuk dari kemiskinan. Begitulah lingkungan di mana Tony Rizzoli dibesarkan.
Kenangan pertama di benak Tony Rizolli adalah pada saat ia dipukul jatuh, dan uang sakunya dirampas. Saat itu ia berumur tujuh tahun. Anak-anak yang lebih tua dan lebih besar merupakan ancaman yang terus-menerus. Perjalanan dari rumah ke sekolah seperti rimba tak bertuan, dan sekolah itu sendiri juga merupakan ajang perkelahian. Ketika Rizzoli berumur lima belas tahun tubuhnya telah terbentuk kuat dan ia sudah cukup andal berkelahi. Ia suka berkelahi, dan karena ia pintar berkelahi, itu memberikan kepadanya semacam perasaan superiority. Ia dan kawan-kawannya sering menye-lenggarakan pertandingan tinju di Stillman"s Gym.
Dari waktu ke waktu, beberapa gangster terkenal datang untuk memonitor petarung-peta-rung yang dimilikinya. Frank Costello muncul sekali atau dua kali sebulan, bersama Joe Adonis dan Lucky Luciano. Mereka senang menonton pertandingan tinju yang dipertunjukkan olah kaum muda itu, dan sebagai rekreasi mereka mulai bertaruh untuk pertarungan-pertarung-an itu. Tony Rizzoli selalu menang, dan ia dengan cepat menjadi favorit para gangster itu.
138 Pada suatu hari ketika Rizzoli sedang berganti pakaian di ruang ganti, pemuda itu tak sengaja mendengar percakapan antara Frank Costello dan Lucky Luciano. "Anak itu tambang emas," kata Luciano. "Aku menang lima ribu dolar bertaruh untuk dia minggu yang lalu."
"Kau mau bertaruh lagi untuk pertandingan-nya dengan Lou Domenic?"
"Tentu. Aku memasang sepuluh taruhan besar."
"Pasar taruhannya berapa?" "Sepuluh-satu. Tapi kenapa tidak" Rizolli pasti menang."
Tony Rizzoli tidak begitu mengerti arti percakapan itu. Ia pergi ke kakaknya, Gino, dan menceritakan itu.
"Astaga!" seru kakaknya. "Orang-orang itu bertaruh besar untukmu."
"Tapi mengapa" Aku kan bukan profesional."
Gino berpikir sebentar. "Kau belum pernah kalah, bukan, Tony?"
"Belum." "Mungkin begini, tadinya mereka cuma bertaruh kecil-kecilan untuk iseng, lalu setelah mereka tahu kemampuanmu mereka mulai bertaruh sungguhan."
Pemuda itu mengangkat bahu. "Untukku sa-ma saja."
Gino memegang lengannya dan berkata dengan sungguh-sungguh, "Untukmu bisa banyak artinya. Untuk kita berdua. Dengar, kid?"
139 Pertarungan dengan Lou Domenic dilangsung-kan di Stillman"s Gym pada suatu Jumat sore dan semua tokoh-tokoh gangster ada di sana" Frank Costello, Joe Adonis, Albert Anastasia, Lucky Luciano, dan Meyer Lansky. Mereka senang melihat pemuda-pemuda itu bertarung, tapi yang lebih menyenangkan adalah bahwa mereka memperoleh suatu cara untuk menghasil-kan uang dari apa yang dilakukan pemuda-pemuda itu.
Lou Domenic berumur tujuh belas tahun, setahun lebih tua daripada Tony dan dua setengah kilogram lebih berat. Tapi dia bukan tandingan bagi kemampuan bertinju Tony dan na-luri pembunuhnya.
Pertarungan itu dijadwalkan lima ronde. Ron-de pertama dengan mudah dimenangkan oleh Tonv muda. Ronde kedua juga untuk dia. Lalu vang ketiga. Para gangster sudah mulai meng-hutung uangnya.
Anak itu akan tumbuh menjadi juara dunia," Lucky Luciano berkomentar. "Kau bertaruh be rapa untuk dia?"
"Sepuluh ribu," Frank Costello menjawab. "Aku hanya bisa dapat lima belas-satu. Anak itu sudah punya reputasi."
Dan tiba-tiba, sesuatu yang tak terduga terjadi. Di pertengahan ronde kelima, Lou Domenic meng-KO Tony Rizzoli dengan sebuah upper cut. Wasit mulai menghitung" pelan sekali,
sambil melihat dengan cemas ke arah para penonton yang melihat kejadian tersebut dengan wajah beku.
"Bangun, bajingan kecil," Joe Adonis berteriak. "Bangun dan bertarunglah!"
Hitungan berjalan terus, dan walaupun sudah diperlambat seperti itu, akhirnya sampai juga ke hitungan sepuluh. Tony Rizzoli masih terkapar di kanvas, diam membeku.
"Bajingan. Hanya gara-gara satu pukulan yang mujur!"
Para petaruh itu mulai membayar kekalahan-nya. Cukup besar jumlahnya. Tony Rizzoli diangkat ke salah satu kamar ganti oleh Gino. Tony memejamkan mata rapat-rapat, takut kalau mereka tahu ia masih sadar lalu melakukan sesuatu yang menakutkan terhadapnya.
Hanya setelah Tony tiba dengan aman di rumah barulah ia bisa mulai merasa tenang.
"Kita berhasil," kakaknya berseru dengan gembira. "Tahukah kau berapa banyak uang yang kita peroleh" Hampir seribu dolar."
"Aku tidak mengerti. Aku?"
"Aku meminjam uang dari rentenir mereka sendiri dan bertaruh untuk Domenic, dan aku mendapat lima belas lawan satu. Kita kaya."
"Apa mereka nanti tidak marah?" tanya Tony.
Gino tersenyum. "Mereka tidak akan pernah tahu."
Keesokan harinya ketika Tony Rizzoli pulang
141 140 dari sekolah ada sebuah limousine hitam panjang menunggu di pinggir trotoar. Lucky Luciano duduk di jok belakang. Ia melambaikan tangan memanggil pemuda itu da tang ke mobil. "Masuk."
Jantung Tony Rizzoli mulai berdebar. "Saya tidak bisa, Mr Luciano, saya sudah terlambat untuk?"
"Masuk." Tony Rizzoli masuk ke limousine itu. Lucky Luciano berkata kepada sopir. "Jalankan keliling blok ini."
Syukurlah ia tidak dibawa pergi ke suatu tempat!
Luciano menoleh ke arah pemuda itu. "Kau telah pura-pura kalah," katanya datar.
Rizzoli merah mukanya. "Tidak, sir. Saya?"
"Tak usah ngibul. Berapa yang kauperoleh dari pertarungan itu?"
"Sama sekali tidak ada, Mr Luciano. Saya?"
"Aku bertanya sekali"lagi. Berapa yang kauperoleh dengan pura-pura kalah itu?"
Pemuda itu ragu-ragu. "Seribu dollar."
Lucky Luciano tertawa. "Itu makanan ayam. Tapi saya kira buat seorang" berapa umurmu?"
"Hampir enam belas."
"Saya kira buat seorang anak berumur enam belas tahun, itu cukup bagus. Kau tahu kau telah menyebabkan aku dan teman-temanku kehilangan banyak uang."
"Saya minta maaf. Saya?"
142 "Lupakan itu. Kau anak yang cerdas. Kau punya masa depan." "Terima kasih."
"Aku tak akan bicara soal ini, Tony, atau kawan-kawanku itu akan mencincangmu. Tapi aku mau kau datang dan menemuiku Senin ini. Kau dan aku akan bekerja sama."
Seminggu setelah itu, Tony Rizzoli mulai bekerja pada Lucky Luciano. Rizzoli mulai bekerja sebagai tukang putar nomor, lalu menjadi pengawas. Ia cerdas dan gesit dan akhirnya ia berhasil menjadi "letnan" dalam organisasi Luciano.
Ketika Lucky Luciano ditangkap, dinyatakan bersalah, dan dikirim ke penjara, Tony Rizzoli tetap tinggal dalam organisasi Luciano.
The Families"Mafia"bergerak di bidang per-judian, rentenir gelap, pelacuran, dan bidang apa pun lainnya selama itu memberikan keun-tungan yang tidak sah. Perdagangan obat bius biasanya tidak diminati, tapi ada anggota yang mendesak untuk bergerak di bidang ini, dan the Families dengan enggan memberikan izin kepada mereka untuk melakukan perdagangan obat bius atas nama mereka sendiri.
Gagasan ini menjadi obsesi dalam benak Tony Rizzoli. Dari apa yang dilihatnya, orang-orang yang melakukan perdagangan obat bius ini semuanya kacau organisasinya. Mereka semua
143 merusakkan jalannya sendiri. Dengan perencanaan dan pengawasan ketat di balik itu" Ia menetapkan niatnya.
Tony Rizzoli bukan tipe orang yang melakukan apa-apa dengan sembarangan. Ia memulai dengan membaca apa saja yang bisa diperolehnya tentang heroin.
Heroin dengan cepat sedang menjadi raja narkotika. Mariyuana dan kokain memberikan perasaan "high", tapi heroin menciptakan suatu keadaan euphoria"rasa bahagia yang amat sangat"total, tanpa rasa sakit, tanpa masalah, tanpa ketakutan. Mereka yang telah diperbudak oleh heroin mau menjual apa saja miliknya, mencuri apa saja yang berada dalam jangkauan-v. a, melakukan kejahatan apa saja. Heroin menjadi agama baginya, satu-satunya alasan untuk melanjutkan hidup.
Turki merupakan salah satu negara penanam poppy dari mana heroin disarikan.
The Family mempunyai kontak-kontak di Turki, jadi Rizzoli menemui Pete Lucca, salah satu capo"kepala Mafia.
"Aku akan terjun ke bidang ini," kata Rizzoli. "Tapi apa pun yang kulakukan nanti adalah untuk the Family. Aku ingin kau tahu itu."
"Kau anak yang baik, Tony."
"Aku ingin pergi ke Turki untuk mengadakan peninjauan. Kau bisa mengaturnya?"
Orang tua itu ragu-ragu. "Aku akan mengi"
144 rim berita. Tapi mereka tidak sama dengan kita, Tony. Mereka tak bermoral. Mereka itu binatang. Kalau mereka tak percaya padamu, mereka akan membunuhmu."
"Aku akan berhati-hati."
"Sebaiknya begitu."
Dua minggu kemudian, Tony Rizzoli sudah berada dalam perjalanan menuju Turki.
Ia pergi ke Izmir, Afyon, dan Eskisehir, daerah-daerah di mana tumbuhan poppy itu ditanam, dan pada mulanya, ia disambut dengan rasa curiga yang sangat. Ia orang asing, dan orang-orang asing tidak disukai di situ.
"Kita akan melakukan bisnis besar bersama," kata Rizzoli. "Saya ingin melihat ladang-ladang poppy itu."
Orang yang diajak bicara mengangkat bahu. "Saya tidak tahu apa-apa tentang ladang poppy. Anda hanya membuang-buang waktu. Pulang-lah saja."
Tapi niat Rizzoli sudah bulat. Ia melakukan sejumlah pembicaraan telepon dan mengirimkan serangkaian telegram. Akhirnya, di Kilis, di perbatasan Turki-Suriah, ia diperbolehkan melihat opium itu saat dipanen di ladang milik Carella, salah satu pemilik tanah luas.
"Saya tidak mengerti." kata Tony. "Bagaimana kau bisa memperoleh heroin dari sekuntum bu-nga?"
Seorang sarjana berjubah putih menjelaskan itu kepadanya. "Ada sejumlah langkah, Mr Riz"
145 zoli. Heroin disintesakan dari opium, yang dibuat dengan cara mengolah morfin dengan asam asetat. Heroin disarikan dari salah satu jenis tumbuhan poppy yang bernama Papaver somniferum, bunga penyebab tidur. Opium memperoleh namanya dari kata Yunani opos yang artinya getah." "Begitu."
Di saat panen itu, Tony diundang untuk berkunjung ke perkebunan utama Carella. Setiap anggota keluarga Carella diperlengkapi dengan cizgi bicak, sebuah pisau mirip pisau bedah, untuk membuat irisan yang rapi ke dalam tumbuhan itu. Carella menjelaskan, "Poppy-poppy ini harus bisa dituai dalam waktu dua puluh empat jam atau seluruh panen akan musnah."
Ada sembilan anggota keluarga dan masing-masing bekerja seperti kesurupan untuk meng-usahakan panen bisa selesai tepat waktu. Udara dipenuhi uap yang membuat orang teler.
Rizzoli mulai merasa pusing. "Hati-hati," Carella memperingatkan. "Anda harus tetap terjaga. Kalau Anda terbaring di ladang, Anda tak akan pernah bangun lagi."
Semua jendela dan pintu bangunan perkebunan itu ditutup rapat-rapat selama dua puluh empat jam masa panen itu.
Setelah poppy-poppy itu dituai, Rizzoli menyaksikan adonan putih lengket itu diubah dari la"
146 rutan morfin menjadi heroin, di sebuah "labo-ratorium" di atas bukit.
"Jadi, begitu, ya?" Carella menggelengkan kepala. "Belum, ka-wan. Itu cuma permulaannya. Membuat heroin adalah bagian yang termudah. Yang sulit adalah mengirimkannya tanpa tertangkap."
Tony Rizzoli merasa gairah makin menguat dalam dirinya. Di sinilah keahliannya akan berperan. Sampai saat ini, bisnis itu dilakukan oleh orang-orang yang serampangan. Kini akan di-tunjukkannya kepada mereka bagaimana seorang profesional berkiprah.
"Bagaimana Anda kirim barang itu?"
"Ada banyak cara. Truk, bis, kereta api, mo-bil, keledai, unta?"
"Unta?" "Tadinya kami sering menyelundupkan heroin di dalam kaleng yang dimasukkan ke dalam perut unta dengan jalan ditelan"sampai para pemeriksa memakai metal detector. Lalu ka-^mi beralih ke kantong-kantong karet. Di akhir perjalanan kami bunuh unta-unta itu untuk mengeluarkan heroin itu. Masalahnya, kadang-kadang kantong-kantong itu pecah di dalam perut unta, dan binatang-binatang itu berjalan sempoyongan di perbatasan seperti orang ma-buk. Pemeriksa jadi tahu."
"Rute mana yang Anda tempuh?"
"Kadang-kadang heroin itu diangkut melalui Aleppo, Beirut dan Istambul, dan berlanjut ke
147 Marseilles. Kadang-kadang obat bius itu diangkut dari Istambul ke Yunani, lalu dilanjutkan ke Sicilia melalui Corsica dan Maroko dan menyeberang Atlantik."
"Terima kasih atas kerja sama Anda," kata Rizzoli. "Saya akan mengatur anak buah saya. Saya punya satu permintaan lagi."
"Ya?" "Saya ingin ikut dengan pengiriman berikutnya."
Lawan bicaranya terdiam lama. "Itu bisa berbahaya."
Saya siap menanggung risiko."
Sore hari berikutnya, Tony Rizzoli diperkenalkan kepada seorang laki-laki berperawakan besar dan bertampang bandit, dengan kumis lebat dan mentereng dengan postur tubuh seperti tank. "Ini Mustafa dari Afyon. Dalam bahasa Turki, afyon artinya opium. Mustafa adalah salah satu penyelundup kami yang paling andal."
"Harus benar-benar terampil," kata Mustafa dengan rendah hati. "Bahaya mengancam di mana-mana."
Tony Rizzoli menyeringai. "Tapi layak ditempuh karena imbalannya bagus, eh?"
Mustafa berkata dengan gaya terhormat, "Anda berbicara tentang uang. Bagi kami, opium ini lebih daripada panen uang. Ada sesuatu yang magis di dalamnya. Opium adalah suatu tanaman yang lebih dari sekadar bahan pangan
148 saja. Getah putih tumbuhan ini adalah zat ajaib pemberian Tuhan yang berfungsi sebagai obat alamiah jika digunakan dalam jumlah terbatas. Bisa langsung dimakan, atau dibubuhkan langsung ke kulit, dan zat itu akan menyembuhkan kebanyakan penyakit umum"sakit pe-rut, pilek, demam, rasa nyeri, rasa sakit, pegal. Tapi kita harus hati-hati. Kalau kita memakainya dalam jumlah besar, opium tak hanya akan menum-pulkan indera-indera, tapi juga akan menghi-langkan daya sex kita, dan di Turki, tak ada hal yang lebih mengenaskan daripada impotensi." "Tentu. Saya setuju."
Perjalanan dari Afyon dimulai tengah malam. Sekelompok petard, yang berjalan beriringan dalam satu baris menembus kegelapan malam, mengadakan rendezvous dengan Mustafa. Keledai-keledai itu dimuati opium, 350 kilo, lebih dari 700 pound, dililitkan di punggung tujuh keledai yang kuat. Aroma tajam manis dari opi" um, hampir seperti jerami basah, semerbak di sekitar orang-orang itu. Ada dua belas petani yang mengawal opium itu saat bertransaksi dengan Mustafa. Setiap petani menyandang sebuah senapan.
"Kita harus hati-hati sekarang ini," kata Mustafa kepada Rizzoli. "Kami punya Interpol dan banyak polisi mengincar kita. Dulu lebih baik keadaannya. Kami mengangkut opium lewat de-sa atau kota dalam sebuah peti mati yang dihias
149 dengan kain hitam. Sangat membesarkan hati melihat orang-orang dan polisi di jalan, mengangkat topi mereka dan memberi hormat saat peti mati berisi opium lewat."
Propinsi Afyon terletak di tengah daerah ba-rat yang ketiga Turki di kaki Pegunungan Sultan di sebuah dataran tinggi, terpencil dan prak-tis terisolasi dari kota-kota besar negara itu.
"Wilayah ini cocok untuk kerja kita," kata Mustafa. "Sulit untuk menemukan kita."
Keledai-keledai itu bergerak perlahan melewati gunung-gunung yang terpencil itu, dan di tengah malam, tiga hari kemudian, mereka tiba di perbatasan Turki-Suriah. Di sana mereka disambut oleh seorang wanita berpakaian hitam. Ia menuntun seekor kuda yang mengangkut sekarung tepung biasa, dan ada seutas tali rami yang diikatkan kendur pada sadel kuda. Tali itu tergantung di belakang mengikuti jejak kuda, tapi tak pernah menyentuh tanah. Tali itu panjang, sekitar dua ratus kaki. Satu ujungnya diikatkan pada kuda itu sedangkan ujung lainnya dipegang oleh Mustafa dan lima belas anak bu-ah sewaannya yang mengikutinya. Mereka berjalan dengan merundukkan badan, masing-ma-sing membungkuk dekat ke tanah, satu tangan memegang tali tadi, dan tangan lainnya memeluk sekarung opium. Setiap karung beratnya tiga puluh lima pound. Wanita itu dan kudanya berjalan melewati serangkaian booby trap"jebakan maut dengan lembing-lembing terhunus"de-150
ngan ranjau-ranjau untuk manusia, tapi ada satu jalan setapak yang sudah diketahui aman karena telah diuji coba dengan sekawanan dom-ba yang digiring lewat tempat itu sebelumnya. Apabila tali itu jatuh ke tanah, maka itu merupakan isyarat bagi Mustafa dan orang-orang-nya bahwa di depan ada polisi. Seandainya wanita itu ditahan untuk diperiksa, maka penyelundup-penyelundup itu bisa terus bergerak dengan aman melewati perbatasan.
Mereka menyeberangi Kilis, ujung perbatasan, yang dipasangi banyak ranjau. Setelah bisa melewati daerah yang diawasi oleh patroli polisi, para penyelundup maju ke zona tak bertuan yang tiga mil lebarnya, sampai mereka mencapai tempat rendezvous yeng sudah ditentukan, di mana mereka disambut oleh para penyelundup Suriah. Mereka lalu meletakkan karung-karung opium itu di tanah dan diberi sebotol raki yang diminum bergiliran. Rizzoli menyaksikan opium itu ditimbang, ditumpuk, diikat dan dimuatkan ke atas punggung-punggung keledai Suriah yang kotor-kotor. Pekerjaan selesai sudah.
Baiklah, pikir Rizolli. Sekarang kita harus lihat bagaimana anak-anak itu melakukannya di Thailand.
Tempat yang dikunjungi Rizzoli berikutnya adalah Bangkok. Setelah identitasnya diyakinkan ia diperbolehkan naik ke sebuah perahu pencari
151 ikan Thai yang mengangkut obat bius dalam bungkusan polyethylene yang dimasukkan dalam drum-drum minyak tanah kosong, dengan ge-lang-gelang yang dipasang di atasnya. Ketika perahu-perahu pengangkut itu sudah mendekati Hong Kong, mereka melemparkan drum-drum itu dalam satu barisan rapi di perairan dangkal sekitar Lima dan Kepulauan Ladrone, di mana dengan mudah perahu pencari ikan Hong Kong mengambilnya dengan menggunakan sebuah pengait.
"Bagus juga," kata Rizzoli. Tapi harus ada cara yang lebih baik lagi.
Para penanam menyebut heroin dengan istilah H" dan "horse", tapi bagi Tony Rizzoli, heroin berarti emas. Laba yang bisa dihasilkan benar-benar menakjubkan. Para petani yang menanam opium mentah dibayar tiga ratus lima puluh dolar setiap sepuluh kilonya, tapi pada saat opium itu sudah diproses dan dijual di jalan-jalan kota New York, nilainya sudah naik menjadi dua ratus lima puluh ribu dolar.
Begitu mudahnya, pikir Rizzoli. Carella benar. Masalahnya adalah bagaimana caranya supaya tidak tertangkap.


Padang Bayang Kelabu Karya Sidney Sheldon di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Itu dulu, sepuluh tahun yang lalu. Tapi sekarang sudah makin sulit lagi. Interpol, polisi internasional, belum lama ini menempatkan penyelundupan obat bius nomor satu dalam daftarnya. Kapal-kapal yang meninggalkan pelabuhan-pelabuhan pusat penyelundupan yang sedikit saja mencurigakan akan dihentikan dan diperiksa. Itulah sebabnya Rizzoli perlu menemui Spyros Lambrou. Armadanya bersih dari kecurigaan. Sangat kecil kemungkinannya polisi akan memeriksa salah satu kapal pengangkut-nya. Tapi bajingan itu telah menolaknya. Aku akan mencari jalan lain, pikir Tony Rizzoli. Tapi harus segera.
"Catherine"apa aku mengganggu?"
Tengah malam saat itu. "Tidak, Costa. Saya senang mendengar suara Anda."
"Apakah semuanya baik-baik saja?"
"Ya"berkat bantuan Anda. Saya benar-benar menyukai pekerjaan saya."
"Bagus. Aku akan datang ke London dalam beberapa minggu ini. Aku berharap bisa berjumpa denganmu." Hati-hati. Jangan terlalu terburu-buru. "Aku ingin berbincang-bincang tentang beberapa karyawan perusahaan."
"Baik." "Begitu saja dulu. Selamat malam." "Selamat malam."
Kali ini Catherine-lah yang menelepon Demiris. "Costa"saya tak tahu harus mengatakan apa. Bingkai foto itu sungguh bagus. Mestinya Anda jangan?"
"Itu cuma oleh-oleh kecil, Catherine. Evelyn menceritakan padaku betapa kau telah banyak
153 152 membantunya. Aku cuma ingin menyatakan penghargaanku."
Begitu mudah, pikir Demiris. Hadiah-hadiah kecil dan pujian-pujian.
Kemudian: Istriku dan aku sedang dalam proses perceraian.
Lalu sampai pada tingkat "Aku begitu kesepian."
Suatu percakapan mengambang tentang perkawinan dan undangan untuk berlayar dengan yacht-nya ke pulau pribadinya. Prosedur rutin ini belum pernah gagal. Yang satu ini akan menyenangkan dan sangat khusus, pikir Demiris, karena bagian penutupnya akan berbeda. Ia akan mati.
ia lalu menelepon Napoleon Chotas. Pengacara itu sangat gembira mendapat kabar dari Demiris. Sudah agak lama, Costa. Semuanya baik-baik saja?"
Ya, terima kasih. Aku perlu bantuan."
"Tentu." "Noelle Page memiliki vila kecil di Rafina. Aku ingin kau membelinya untukku, atas nama orang lain."
"Baik. Saya akan menyuruh salah satu pengacara di kantor saya untuk?"
"Aku ingin kau yang menanganinya sendiri."
Hening sebentar. "Baiklah. Saya akan menanganinya."
"Terima kasih."
154 Napoleon Chotas duduk di situ, menatap ke arah telepon. Vila itu dulu sarang asmara di mana Noelle Page dan Larry Douglas membuat affair mereka. Buat apa Constantin Demiris membelinya"
155 Bab 7 Gedung Pengadilan Arsakion di pusat kota Athena adalah sebuah bangunan besar dari batu berwarna kelabu yang menempati seluruh blok di University Street dan Strada. Dari seluruh ruang-ruang sidang yang jumlahnya tiga puluh itu, hanya tiga ruang yang dipakai untuk persidangan pidana: ruang 21, 30, dan 33.
Karena animo sangat besar atas persidangan pembunuhan terhadap terdakwa Anastasia Savalas, maka persidangan dilakukan di ruang 33. Ruang pengadilan itu lebarnya empat puluh kaki dan panjangnya tiga ratus kaki, dan kursi-kursinya dibagi menjadi tiga blok, dengan jarak enam kaki, dengan sembilan bangku panjang dari kayu pada setiap baris. Di bagian depan ruang pengadilan itu ada mimbar tinggi mem-belakangi pemisah dari kayu mahoni sepanjang enam kaki, dengan kursi-kursi bersandaran tinggi untuk tiga hakim ketuanya.
Di depan mimbar itu ada stand untuk saksi, sebuah panggung kecil yang dilengkapi dengan mimbar penyangga bacaan, dan menempel di
156 dinding jauh di seberang adalah box untuk para
juri, saat itu terisi oleh sepuluh anggota juri. Di depan box terdakwa terletak meja para pengacara.
Peradilan pembunuhan itu sendiri sudah cukup spektakuter, tapi piece de resistance-nya adalah bahwa pembelaannya dilakukan oleh Napoleon Chotas, salah satu pengacara pidana paling termasyhur di dunia. Chotas hanya menangani kasus-kasus pembunuhan, dan kisah suksesnya amat mengagumkan. Biaya memanfaatkan jasanya didesas-desus-kan telah mencapai jutaan dolar. Napoleon Chotas adalah seorang pria kurus dengan mata besar yang tampak sedih seperti mata anjing polisi, yang tertanam di wajah yang jauh dari halus. Cara berpakaiannya buruk, dan penampilan lahiriahnya sama sekali tidak menunjang suatu rasa percaya diri. Tapi dibalik perangai yang tampak selalu bingung itu tersembunyi otak yang cemerlang dan tajam.
Media massa berspekulasi dengan gencar mengenai mengapa Napoleon Chotas setuju membela wanita itu di pengadilan. Tak ada kemungkinan ia akan bisa memenangkan kasus itu. Perkiraan-perkiraan dilancarkan bahwa ini nanti akan merupakan kekalahan Chotas yang pertama kalinya.
Peter Demonides, sang,jaksa Penuntut, sudah pernah berhadapan dengan Chotas sebelumnya, dan"meski ia tak mau mengakuinya, bahkan
157 kepada dirinya sendiri"ia kagum akan kemampuan Chotas. Tapi kali ini Demonides merasa bahwa ia tak perlu kuatir. Jika ada contoh kasus pembunuhan yang sangat gamblang, maka kasus Anastasia Savalas ini adalah contohnya.
Fakta-faktanya amat jelas: Anastasia Savalas adalah seorang wanita cantik yang menikah dengan seorang laki-laki kaya bernama George Savalas, yang tiga puluh tahun lebih tua. Anastasia membuat affair dengan sopirnya yang masih muda, Josef Pappas, dan menurut para sak-si, suaminya telah mengancam akan menceraikan Anastasia dan membatalkan haknya atas warisan. Pada malam pembunuhan itu, wanita tersebut menyuruh pulang para pembantunya dan menyediakan makan malam untuk suaminya. George Savalas sedang sakit flu. Saat makan malam, ia batuk-batuk panjang yang sulit berhenti. Istrinya lalu membawakan botol obat batuknya untuknya. Savalas meneguk hanya satu kali lalu jatuh dan meninggal.
Kasus yang amat gamblang.
Ruang 33 sudah penuh dengan para penonton walau hari masih pagi sekali. Anastasia Savalas duduk di depan meja terdakwa mengenakan rok bawahan dan bius hitam-hitam yang ber-sahaja, tanpa perhiasan dan sedikit sekali make up. Kecantikannya benar-benar mempesona.
Jaksa Penuntut, Peter Demonides, sedang berbicara kepada para juri.
158 "Ladies and gentlemen. Kadang-kadang, dalam sebuah kasus pembunuhan, suatu peradilan memakan waktu tiga sampai empat bulan. Tapi saya kira Anda tak perlu kuatir bahwa Anda akan harus berada di sini begitu lama. Kalau nanti Anda mendengar fakta-fakta dari kasus ini, saya yakin bahwa Anda pasti akan setuju bahwa hanya ada satu kemungkinan putusan" yaitu pembunuhan tingkat pertama. Pengadilan Negeri ini akan membuktikan bahwa terdakwa telah dengan kemauan sendiri membunuh suaminya karena suaminya itu telah mengancam akan menceraikan dia ketika tahu bahwa ia sedang membuat affair dengan sopir keluarga. Kami akan membuktikan bahwa terdakwa mempunyai motif, kesempatan, dan cara untuk melaksanakan rencana pembunuhan berdarah di-ngin itu. Terima kasih." Ia kembali ke kursinya.
Hakim Ketua menoleh ke arah Chotas. "Apakah pembela sudah siap untuk membuat pernyataan pembuka?"
Napoleon Chotas bangkit dengan perlahan untuk berdiri. "Ya, Yang Mulia." Ia bergerak mendekati box tempat para juri itu duduk, dengan langkah yang ragu dan terseret-seret. Ia berdiri di situ dengan mata berkedip-kedip, dan ketika ia berbicara, seakan-akan itu ditujukan pada dirinya sendiri. "Saya sudah hidup untuk waktu yang lama, dan saya telah belajar bahwa tak ada laki-laki atau wanita yang bisa menyembunyikan watak aslinya yang jahat. Selalu
159 akan nampak. Seorang penyair pernah berkata bahwa mata adalah jendela batin. Saya percaya itu benar. Saya ingin Anda, ladies and gentlemen, memandang mata terdakwa dalam-dalam. Tak mungkin ada sesuatu dalam batinnya yang bisa membuatnya membunuh siapa pun." Napoleon Chotas masih berdiri di situ sebentar seakan ingin mengucapkan sesuatu yang lain, lalu me-nveret kakinya kembali ke kursinya.
Peter Demonides sekonyong-konyong merasakan suatu gejolak kemenangan dalam hatinya. Astaga! Itu pernyataan pembuka paling lemah yang pernah kudengar! Si tua "itu sudah mengaku kalah.
"Apakah Jaksa Penuntut sudah siap untuk memanggil saksi pertamanya?"
Ya, Yang Mulia. Saya memanggil Rosa Lykourgos."
Seorang wanita setengah baya, berperawakan pendek-gemuk, bangkit dari bangku penonton dan melangkah dengan mantap ke muka ruang pengadilan itu. Ia diambil sumpahnya.
"Mrs Lykourgos, apa pekerjaan Anda?"
"Saya pengurus rumah tangganya?" Suaranya tercekik, "Saya tadinya pengurus rumah tangga Mr Savalas."
"Mr George Savalas?"
"Ya, sir." "Bisakah Anda katakan kepada kami berapa lama Anda sudah bekerja pada Mr Savalas?" "Dua puluh lima tahun."
160 "Wah, itu cukup lama. Anda senang" kepada majikan Anda?"
"Ia orang yang amat sangat baik."
"Apakah Anda sudah bekerja pada Mr Savalas di masa perkawinannya yang pertama?"
"Ya, sir. Saya berada di pekuburan bersama dia ketika istrinya dimakamkan."
"Apakah cukup layak jika dikatakan bahwa mereka mempunyai hubungan yang baik?"
"Mereka teramat sangat saling mencintai."
Peter Demonides melihat ke arah Napoleon Chotas, menunggu kalau ada keberatan darinya terhadap pertanyaan yang sedang diajukannya itu. Tapi Chotas diam saja di kursinya, nampaknya sedang asyik berpikir tentang hal lain.
Peter Demonides melanjutkan, "Dan apakah Anda bekerja pada Mr Savalas dalam masa perkawinannya yang kedua, dengan Anastasia Savalas?"
"Oh, ya, sir. Itu pasti." Ia seakan menyem-burkan kata-kata itu.
"Bisa Anda katakan itu perkawinan yang bahagia?" Lagi-lagi ia mengerling ke arah Napoleon Chotas, tapi tak ada reaksi apa-apa.
"Bahagia" Tidak, sir. Mereka berkelahi seperti kucing dan anjing."
"Anda pernah menyaksikan pertengkaran itu?"
"Ya, bagaimana tidak. Anda bisa mendengarnya di seluruh pojok rumah"padahal rumah itu besar."
161 "Saya kira pertengkaran itu sifatnya verbal, bukan fisikal" Maksud saya, Mr Savalas tidak pernah memukul istrinya?"
"Oh, benar, fisikal. Tapi yang terjadi adalah kebalikannya, Nyonyalah yang memukul Tuan. Mr Savalas sudah mulai tua, dan orang yang malang itu menjadi makin lemah tubuhnya."
"Kau melihat sendiri waktu Mrs Savalas memukul suaminya?"
"Lebih dari satu kali." Saksi melihat ke arah Anastasia Savalas, dan ada nada kepuasan yang seram dalam suaranya.
"Mrs Lykourgos, di malam Mr Savalas meninggal, siapa-siapa saja dari staf rumah yang masuk kerja?"
"Tak seorang pun."
Peter Demonides membuat suaranya bernada heran. "Maksud Anda, di rumah yang kata Anda tadi besar, tak ada seorang staf pun" Apakah Mr Savalas tidak mempekerjakan seorang tukang masak, atau pembantu wanita" jongos?""
"Oh, ya, sir. Kami punya semua itu. Tapi madam meliburkan semua orang malam itu. Ia mengatakan ingin memasak sendiri makan malam untuk suaminya. Malam itu akan menjadi bulan madu kedua bagi mereka." Pernyataan terakhir ini diucapkan dengan bunyi dengus.
"Jadi Mrs Savalas menyingkirkan semua orang?"
Kali ini Hakim Ketualah yang melihat ke arah Napoleon Chotas, menunggunya menya"
162 takan keberatan. Tapi pengacara itu duduk saja, tepekur.
Hakim Ketua memandang ke arah Demonides. "Harap Jaksa tidak mengarahkan saksi."
"Saya minta maaf, Yang Mulia. Saya akan mengulangi pertanyaan itu dengan cara lain."
Demonides mendekati Mrs Lykourgos. "Apa yang hendak Anda sampaikan adalah bahwa pada malam di mana biasanya para staf ada di rumah, Mrs Savalas menyuruh semua orang pergi sehingga ia bisa sendirian dengan suaminya?"
"Ya, sir. Dan orang tua malang itu sedang sakit flu berat."
"Apa Mrs Savalas sering memasak makan malam untuk suaminya?"
Mrs Lykourgos mendengus. "Dia" Tidak, sir. Ia tak pernah melakukan apa pun di rumah."
Dan Napoleon Chotas duduk di sana, mendengarkan seakan ia hanya ( seorang penontori biasa.
"Terima kasih, Mrs Lykourgos. Anda sangat membantu."
Peter Demonides menoleh ke arah Chotas, mencoba menyembunyikan rasa puasnya. Kesaksian Mrs Lykourgos jelas mempengaruhi para juri. Mereka memandang terdakwa dengan rasa tidak senang. Mari kita linat sekarang bagaimana si tua itu akan menangani ini. "Giliran Anda menanyai saksi."
163 Napoleon Chotas menengadahkan kepalanya. "Apa" Oh, tak ada pertanyaan."
Hakim Ketua memandang kepadanya dengan heran. "Mr Chotas" Anda tidak ingin menanya-silang saksi ini?"
Napoleon Chotas berdiri. "Tidak, Yang Mulia. Kelihatannya ia wanita yang sangat jujur." Ia duduk kembali.
Peter Demonides tak bisa mempercayai nasib baiknya ini. My God, pikirnya, ia bahkan tidak melakukan verlawanan. Si tua itu sudah habis. Demonides sudah mulai menikmati kemenangan-nva.
Hakim Ketua memandang ke arah Jaksa Penuntut. "Anda boleh memanggil saksi selanjutnya."
"Pengadilan memanggil Josef Pappas."
Seorang pria muda berambut hitam, jangkung dan tampan, bangkit dari bangku penonton dan berjalan ke arah box saksi. Ia diambil sumpahnya.
Peter Demonides memulai. "Mr Pappas, harap jelaskan kepada pengadilan apa pekerjaan Anda?"
"Saya seorang sopir."
"Apakah saat ini Anda dipekerjakan?"
"Tidak." "Tapi belum lama ini Anda dipekerjakan. Ya-itu, Anda bekerja sampai meninggalnya George
Savalas." "Benar."
164 "Berapa lama Anda bekerja pada keluarga Savalas?"
"Setahun lebih sedikit."
"Apakah pekerjaannya menyenangkan?"
Josef Pappas melirik ke arah Chotas, menunggu dia untuk menyelamatkan posisinya. Tapi yang ada hanya keheningan.
"Apakah pekerjaannya menyenangkan, Mr Pappas?"
"Lumayan, saya rasa."
"Apakah gajinya cukup bagus?"
"Ya." "Jadi apa Anda tidak lebih layak mengatakan bahwa pekerjaan itu lebih dari sekadar lumayan" Maksud saya, bukankah pekerjaan itu di-kuti dengan "tambahannya?" Tidakkah Anda se-ring tidur dengan Mrs Savalas?"
Josef Pappas memandang ke arah Napoleon Chotas mengharapkan bantuan. Tapi tak ada bantuan apa-apa.
"Saya" Ya, sir. Saya kira iya."
Peter Demonides benar-benar memojokkan dengan ucapan yang menghina. "Anda kira iya" Anda di bawah sumpah. Hanya ada dua kemungkinan, Anda ada affair dengan dia atau tidak. Yang mana?"
Pappas menggeliat-geliat di kursinya. "Kami ada affair."
"Padahal Anda bekerja pada suaminya"dengan gaji tinggi, dan mendapatkan tempat bernaung di rumahnya?"
165 "Ya, sir." "Apa Anda tidak merasa sungkan, menerima uang dari dia setiap minggu sementara Anda ada affair dengan istrinya?"
"Itu bukan hanya sekadar affair."
Peter Demonides memasang umpan jebakan dengan hati-hati. "Bukan hanya sekadar affair" Apa yang Anda maksudkan dengan itu" Rasanya saya kurang mengerti."
"Maksud saya"saya dan Anastasia punya rencana untuk menikah."
Suara gumam keheranan bergemuruh di ruang pengadilan itu. Para juri menatap ke arah terdakwa.
"Apakah pernikahan itu gagasan Anda, atau Mrs Savalas?"
"Well, kami berdua menginginkannya."
"Siapa yang mengusulkan?"
"Saya kira dia yang mengusulkan." Ia memandang ke arah Anastasia. Perempuan itu memandang balik dengan tegar.
"Terus terang saja, Mr Pappas, saya bingung. Bagaimana Anda bisa berharap untuk menikah" Mrs Savalas itu sudah bersuami, bukan" Apakah Anda bermaksud untuk menunggu sampai suaminya itu meninggal karena usia tua" Atau mengalami semacam kecelakaan fatal" Apa sebenarnya yang ada dalam benak Anda?"
Pertanyaan-pertanyaan itu begitu menyerang sehingga sang Jaksa dan ketiga hakim itu melihat ke arah Napoleon Chotas, menunggu dia
166 melancarkan dengan gencar suatu keberatan. Tapi pembela itu sedang sibuk mencoret-coret, tidak menyimak. Anastasia Savalas juga mulai kelihatan kuatir.
Peter Demonides memanfaatkan peluang bagus ini. "Anda belum menjawab pertanyaan saya, Mr Pappas."
Josef Pappas bergerak-gerak bagai kepanasan di kursinya. "Saya tidak tahu pasti."
Suara Peter Demonides kedengaran seperti bunyi cambuk. "Kalau begitu saya beritahu, dengan pasti. Mrs Savalas merencanakan untuk membunuh suaminya untuk melicinkan jalan baginya. Ia tahu bahwa suaminya akan membatalkan haknya atas warisan, dan bahwa ia tak akan memperoleh apa-apa. Ia?"
"Keberatan!" Itu tidak datang dari Napoleon Chotas, tapi dari Hakim Ketua. "Anda meminta saksi untuk berspekulasi." Ia melihat ke arah Napoleon Chotas, heran karena pengacara itu diam saja. Orang tua itu duduk menyandar di bangku, matanya setengah terpejam.
"Maaf, Yang Mulia." Tapi ia tahu bahwa ia telah berhasil menyampaikan maksudnya. Peter Demonides melihat ke arah Chotas. "Giliran Anda."
Napoleon Chotas bangkit. "Terima kasih, Mr Demonides. Tak ada pertanyaan."
Ketiga hakim itu saling berpandangan, bingung. Salah satu bertanya, "Mr Chotas, Anda
167 tahu bahwa ini satu-satunya kesempatan bagi Anda untuk menanya-silang saksi ini?"
Napoleon Chotas mengedip-ngedipkan mata.
"Ya, Yang Mulia."
"Mengenai kesaksiannya itu, Anda tidak ingin
bertanya apa-apa kepadanya?"
Napoleon Chotas melambaikan tangannya ke atas dan berkata, mengambang, "Tidak, Yang Mulia."
Hakim itu menarik napas, "Baiklah. Jaksa boleh memanggil saksi berikut."
Saksi berikutnya adalah Mihalis Haritonides, seorang pria kekar berumur enam puluhan.
Setelah Haritonides diambil sumpahnya, Jaksa bertanya, "Bisa Anda jelaskan kepada sidang pekerjaan Anda?"
"Ya, sir. Saya mengurus hotel."
"Harap sebutkan nama hotelnya."
"The Argos." "Dan hotel ini terletak di mana?" "Di Corfu."
"Saya ingin bertanya, Mr Haritonides, apakah ada di antara yang hadir di sini yang pernah tinggal di hotel Anda."
Haritonides melihat berkeliling dan berkata,
"Ya, sir. Dia dan dia."
"Mohon dicatat bahwa saksi menunjuk Josef Pappas dan Anastasia Savalas." Ia melihat lagi kepada saksi. "Apakah mereka tinggal di hotel Anda lebih dari satu kali?"
168 "Oh, ya, sir. Paling sedikit enam kali mereka berada di sana."
"Dan mereka menginap di sana, bersama-sa-ma, di kamar yang sama?"
"Ya, sir. Mereka biasanya datang untuk berakhir pekan."
"Terima kasih, Mr Haritonides." Ia melihat kepada Napoleon Chotas. "Giliran Anda."
"Tak ada pertanyaan."
Hakim Ketua menoleh kepada dua hakim lainnya, dan mereka berbisik-bisik sebentar.
Hakim Ketua melihat kepada Napoleon Chotas. "Anda tak ada pertanyaan buat saksi ini, Mr Chotas?"
"Tidak, Yang Mulia. Saya percaya pada kesaksiannya. Hotelnya bagus. Saya sendiri pernah tinggal di sana."
Hakim Ketua lama menatap Napoleon Chotas. Lalu ia melihat ke arah Jaksa. "Pengadilan boleh memanggil saksi yang berikutnya."
"Pengadilan memanggil Dr. Vassilis Frangescos."
Seorang pria jangkung yang nampak seperti orang penting bangkit dan berjalan menuju ke box saksi. Ia diambil sumpahnya.
"Dr. Frangescos, sudi kiranya Anda menjelaskan kepada sidang bidang kedokteran yang mana yang Anda jalankan?"
"Saya seorang dokter umum."
"Apa itu setara dengan dokter keluarga?"
"Itu cara lain untuk mengatakannya, iya."
169 "Sudah berapa lama Anda praktek, Dokter?"
"Hampir tiga puluh tahun."
"Dan Anda punya izin praktek Negara, tentu
saja." "Tentu saja." "Dr. Frangescos, apakah George Savalas
pasien Anda?" "Ya, benar." "Berapa lamanya?"
"Sepuluh tahun lebih sedikit."
Dan Anda merawat Mr Savalas karena suatu penyakit tertentu?"
"Well, pertama kali saya melihatnya, ia datang karena ia menderita tekanan darah tinggi."
"Dan Anda merawatnya karena itu."
Ta." Tapi Anda bertemu lagi dengannya setelah
itu?" "Oh, ya. Dari waktu ke waktu ia datang"saat ia menderita bronchitis, atau sakit lever"tak ada yang terlalu gawat."
"Kapan kali terakhir Anda bertemu dengan
Mr Savalas?" "Desember tahun lalu."
"Itu tidak lama sebelum ia meninggal."
"Benar." "Apa ia datang ke tempat praktek Anda, Dokter?"
"Tidak. Saya pergi ke rumahnya."
"Apa Anda memang biasa melakukan kunjungan ke rumah?"
170 "Biasanya tidak."
"Tapi dalam hal ini Anda membuat penge-cualian." "Ya."
"Mengapa?" Dokter itu ragu-ragu. "Well, keadaannya kurang mengizinkan untuk datang ke tempat sa-ya."
"Bagaimana keadaannnya?"
"Ia luka-luka cukup parah, tulang iganya re-tak, dan ada gegar otak."
"Apa ia baru mengalami kecelakaan?"
Dr. Frangescos ragu-ragu. "Tidak. Ia mengatakan kepada saya bahwa ia baru saja dipukuli istrinya."
Terdengar jelas bunyi terkesiap di ruang pengadilan.
Hakim Ketua berkata dengan marah, "Mr Chotas, apakah Anda tidak mengajukan keberatan bahwa kesaksian yang didengar dari orang lain ini dimasukkan ke dalam catatan?"
Napoleon Chotas mendongak dan berkata pe-lan, "Oh, terima kasih, Yang Mulia. Ya, saya keberatan."
Tapi, tentu saja, kesaksian itu sudah telanjur menanamkan kesan. Para juri kini melihat kepada terdakwa dengan sikap tidak senang yang jelas nampak.
"Terima kasih, Dr. Frangescos. Tak ada pertanyaan lagi." Peter Demonides melihat ke arah
171 Chotas dan berkata dengan angkuh, "Giliran
Anda." "Tak ada pertanyaan."
Dendam Sejagad 18 Siluman Ular Putih 20 Murka Penghuni Kubur Antara Budi Dan Cinta 8
^