Putri Pembuat Kembang Api 1
Putri Si Pembuat Kembang Api The Firework Makers Daughter Karya Philip Pullman Bagian 1
BAB SATU SERIBU mil yang lalu, di negeri
sebelah timur hutan belantara dan
selatan pegunungan, hiduplah
pembuat kembang api bernama
Lalchand dan putrinya Lila.
Istri Lalchand meninggal ketika
Lila masih kecil. Anak itu
menyusahkan, selalu menangis dan
tidak mau makan, tapi Lalchand
membuat buaian untuknya di pojok
bengkel, sehingga Lila bisa
melihat percikan api menari-nari
serta mendengarkan desisan dan
letupan bubuk mesiu. Begitu sudah
tidak lagi di buaian, Lila
merangkak ke sana kemari mengelilingi bengkel sambil
tertawa-tawa saat api menyala dan
percikannya menari-nari. Jemari
kecilnya sering terbakar, tapi
Lalchand memercikinya dengan air
dan menciumnya agar sembuh, dan
tidak lama kemudian Lila pun
bermain lagi. Ketika Lila sudah cukup dewasa
untuk belajar, ayahnya mulai 2
mengajarinya seni membuat kembang
api. Lila memulai dengan Naga
Meletup kecil, enam kembang api di
seutas tali. Kemudian ia belajar
membuat Monyet Melompat, Bersin
Emas, dan Cahaya Java. Tidak
lama setelah itu ia sudah membuat
semua kembang api sederhana, dan
memikirkan yang lebih rumit.
Suatu hari ia berkata, "Ayah,
jika aku memasukkan bunga garam di
Cahaya Java, bukan bubuk awan,
apa yang akan terjadi?"
"Coba saja," kata ayahnya.
Maka Lila pun mencoba. Alih-
alih memancarkan pendar biru yang
stabil, kembang api itu melontarkan
percikan-percikan api kecil yang
bersemangat, masing-masing jungkir
balik sebelum lenyap. "Boleh juga, Lila," kata
lalchand. "Akan kausebut apa
kembang api ini?" "Mmm...Setan Jumpalitan," jawab Lila.
"Hebat! Buatlah selusin dan
kita akan memamerkannya di 3
Festival Tahun Baru."
Setan Jumpalitan sukses besar,
begitu pula Koin Kelap-Kelip
yang diciptakan Lila berikutnya.
Seiring waktu berjalan, ia belajar
semakin banyak tentang seni
ayahnya, sampai suatu hari ia
berkata, "Apakah aku sudah menjadi
pembuat kembang api sungguhan
sekarang?" "Belum, belum," kata ayahnya.
"Sama sekali belum. Ha! Kau
masih belum tahu seluruhnya. Apa
bahan-bahan untuk membuat bubuk
terbang?" "Aku tidak tahu."
"Dan di mana bisa kautemukan
serbuk guntur?" "Aku belum pernah dengar soal
serbuk guntur." "Berapa banyak minyak
kalajengking yang kaugunakan di
Air Mancur Krakatau?" "Sesendok teh?"
"Apa" Kau akan meledakkan
seluruh kota. Masih banyak yang
harus kaupelajari. Apakah kau 4
sungguh-sungguh ingin menjadi
pembuat kembang api, Lila?"
"Tentu saja! Hanya itu yang
kuinginkan!" "Kutakutkan begitu," kata
ayahnya. "Ini salahku sendiri.
Bagaimana aku ini" Seharusnya aku
mengirimmu ke saudariku di
Jembavati untuk dibesarkan sebagai
pnari. Setelah kupikir-pikir, ini
bukan tempat untuk anak perempuan.
Dan lihatlah dirimu! Rambutmu
berantakan, jemarimu gosong dan
bernoda bahan kimia, alismu
terbakar...Bagaimana aku bisa
mencarikanmu suami jika tampangmu
seperti ini?" Lila terperangah ngeri. "Suami?" "Yah, tentu saja! Kau kan tidak
bisa tinggal di sini selamanya."
Mereka saling menatap seperti orang asing. Rupanya mereka
memiliki pendapat berbeda, dan
keduanya terkejut menyadarinya.
Maka Lila tidak berkata apa-apa
lagi tentang menjadi pembuat 5
kembang api, dan Lalchand tidak
berkata apa-apa lagi tentang suami.
Tapi tetap saja mereka berdua
memikirkan hal-hal tersebut.
Raja negeri itu memiliki gajah
Putih. Sudah menjadi tradisi
bahwa jika Raja ingin menghukum
salah satu pegawai istananya, ia
akan mengirimkan Gajah Putih
seagai hadiah dan biaya untuk
mengurus hewan itu akan menghancurkan si pria malang;
karena Gajah Putih harus tidur
berselimut sutra putih (yang sangat
lebar), dan makan Turkish Delight
rasa mangga (berton-ton banyaknya),
juga gadingnya harus dibungkus daun
emas setiap pagi. Sesudah si
pegawai istana tidak lagi memiliki
uang, Gajah Putih akan dikembalikan kepada Raja, siap untuk korban berikutnya.
Ke mana pun Gajah Putih pergi,
pelayan pribadinya harus ikut
serta. Nama pelayan itu Chulak,
dan anak laki-lakinya itu seusia
Lila. Sebenarnya, mereka 6
berteman. Setiap sore Chulak membawa
Gajah Putih jalan-jalan, karena
si gajah tidak mau pergi diantar
orang lain, dan ada alasannya:
Chulak satu-satunya manusia,
selain Lila, yang tahu gajah itu
bisa bicara. Suatu hari Lila mengunjungi
Chulak dan Gajah Putih. Ia tiba
di Rumah Gajah tepat waktu untuk
mendengar Pawang Gajah marah-
marah. "Dasar anak brengsek!" ia
meraung. "Kau melakukannya lagi,
ya?" "Melakukan apa?" tanya Chulak
polos. "Lihat!" kata Pawang Gajah,
menunjuk dengan jari gemetar ke sisi tubuh Gajah Putih yang
seputih salju. Di sisi tubuhnya tertulis
puluhan slogan dengan arang:
BERSANTAPLAH DI LENTERA EMAS DUKUNG BANGKOK 7
WANDERERS RUMAH MAKAN TANDOORI STAR
OF INDIA Dan persis di bagian atas
punggung Gajah Putih, dengan
tulisan hitam besar-besar:
CHANG CINTA LOTUS BLOSSOM
PENUH XXX "Setiap hari gajah ini pulang
dengan grafiti di seluruh
tubuhnya!" teriak Pawang Gajah.
"Kenapa tidak kauhentikan orang-
orang yang melakukannya?"
"Aku tidak mengerti bagaimana
ini bisa terjadi, Master," sahut
Chulak. "Lalu lintas padat
sekali. aku harus mengawasi para
pengemudi rickshaw seperti elang.
Aku tidak bisa sekaligus mengawasi para penulis grafiti -- mereka
menulis cepat-cepat lalu kabur."
"Tapi menulis Chang Cinta
Lotus Blossom Penuh XXX pasti
butuh sepuluh menit karena perlu
tangga!" "Ya, bagiku juga misteri,
Master. Bolehkah aku 8
membersihkannya sekarang?"
"Semuanya! Ada tugas dalam dua
hari ke depan dan aku ingin hewan
ini bersih." Dan Pawang Gajah berderap
pergi, meninggalkan Chulak dan
Lila bersama si gajah. "Halo, Hamlet," sapa Lila.
"Halo, Lila," kata Gajah.
"Lihat bagaimana anak menyebalkan
ini merendahkanku! Aku jadi papan
reklame berjalan!" "Berhentilah mengomel," kata
chulak. "Dengar, kita sudah punya
delapan belas rupee -- dan sepuluh
anna daru Rumah Makan Tandoori
-- dan Chang memberiku satu rupee
untuk membiarkannya menulis itu di punggungmu. Tinggal sedikit lagi,
Hamlet!" "Sungguh memalukan!" kata
Hamlet, menggelengkan kepalanya
yang besar. "Maksudmu, kau menagih bayaran
dari orang-orang karena menulis di
tubuhnya?" tanya Lila.
"Tentu saja!" kata Chulak. 9
"Menulis namamu di tubuh Gajah
Putih akan memberimu keberuntungan. Jika uang kami
sudah cukup, kami akan melarikan
diri. Masalahnya, dia jatuh cinta
pada gajah betina di Kebun
Binatang. Coba kau lihat bagaimana dia merona tiap kali kami
lewat -- seperti satu ton es krim
stroberi!" "Namanya Frangipani," ujar
Hamlet murung. "Tapi dia bahkan
tidak mau melihatku. Dan sekarang
ada pekerjaan lagi -- ada lagi pria
malang untuk dibuat bangkrut. Oh,
aku benci Turkish Delight! Aku
tidak suka seprai sutra! Dan aku jijik pada daun-daun emas di
gadingku! Aku ingin jadi gajah
normal berwarna kelabu saja!"
"Tidak, kau tidak boleh begitu,"
omel Chulak. "Kita punya rencana,
Hamlet, ingat" Aku mengajarinya
menyanyi, Lila. Kami akan
mengubah namanya menjadi Luciano
Elephanti, dan dunia akan berada
dalam genggaman kami." 10
"Tapi kenapa kau tampak sedih,
Lila?" tanya Hamlet, ketika
Chulak mulai menggosok tubuhnya.
"Ayahku tidak mau memberitahuku
rahasia terakhir pembuatan kembang
api," jawab Lila. "Aku telah
mempelajari segala yang perlu
diketahui tentang bubuk terbang,
serbuk guntur, minyak kalajengking,
dan garam bayangan, tapi ada lagi
yang harus kuketahui, dan Ayah
tidak mau memberitahuku."
"Sulit juga," kata Chulak.
"Kau mau aku menanyakannya
untukmu?"
Putri Si Pembuat Kembang Api The Firework Makers Daughter Karya Philip Pullman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jika dia tidak mau memberitahuku, pasti dia juga tidak
mau memberitahumu," ujar Lila.
"Dia tidak akan menyadarinya,"
kata Chulak. "Serahkan saja
padaku." Maka petangnya, setelah Chulak
mengandangkan Hamlet untuk malam
itu, dia berkunjung ke bengkel sang
Pembuat Kembang Api. Bengkel
itu terletak di ujung gang kecil
berliku penuh bau-bauan 11
bergemeretak dan suara-suara tajam,
di antara kios udang goreng dan
kios pembuat batik. Dia menemukan
Lalchand di halaman dalam di bawah
langit berbintang hangat, sedang
mencampur cairan kntal merah
menyala. "Halo, Chulak," sapa Lalchand.
"Kudengar Gajah Putih akan
dipersembahkan kepda Lord Parakit
besok. Menurutmu berapa lama
uangnya bakal bertahan?"
"Seminggu, kurasa," jawab
Chulak. "Meski kau tidak pernah
tahu -- kami bisa saja melarikan diri sebelum itu terjadi. aku sudah
punya cukup uang untuk membawa kami
ke India. Aku ingin menjadi
pembuat kembang api jika tiba di
sana. Pekerjaan lumayan."
"Pekerjaan lumayan, enak saja!"
tukas Lalchand. "Pembuatan
kembang api adalah seni sakral!
Kau memerlukan bakat, dedikasi,
dan restu dewa-dewa untuk bisa
menjadi pembuat kembang api. Satu-
satunya dedikasimu adalah 12
bermalas-malasan, dasar anak tidak
berguna." "Kalau begitu, bagaimana caramu
menjadi pembuat kembang api?"
"Ayahku yang mengajariku.
Kemudian aku diuji untuk melihat
apakah aku memiliki Tiga Bekal."
"Oh, Tiga Bekal itu ya?" kata
Chulak, yang sama sekali tidak
tahu apakah Tiga Bekal itu.
Mungkin Lila tahu, pikirnya.
"Dan apakah kau memilikinya?"
"Tentu saja!" "Hanya itu" Kedengarannya gampang. Taruhan aku bisa lolos
ujian. Aku punya lebih dari Tiga
Bekal." "Pah!" tukas Lalchand. "Bukan
itu saja. Kemudian tiba pada
bagian pelajaran yang paling sulit
dan berbahaya. Setiap pembuat
kembang api --" dia memelankan
suara serta melihat sekeliling
untuk memastikan tidak ada orang
lain yang mendengarkan --" setiap
pembuat kembang api harus pergi ke
Gua Razvani, tempat tinggal 13
sang Angkara Api, di jantung
Gunung Merapi, dan mengambil
Sulfur Bangsawan. Itu bahan yang
diperlukan untuk membuat kembang
api terbaik. Tanpa bahan itu,
tidak ada seorang pun yang bisa
menjadi pembuat kembang api
sejati." "Ah," kata Chulak. "Sulfur
Bangsawan. Gunung Merapi. Itu
gunung berapi, kan?"
"Ya, anak menjengkelkan, dan aku
sudah memberitahumu lebih banyak daripada seharusnya. Ini rahasia,
kau mengerti?" "Tentu saja," kata Chulak,
tampangnya sungguh-sungguh. "Aku
bisa jaga rahasia." Dan Lalchand punya perasaan
tidak enak bahwa dia telah
dikibuli, tapi tidak bisa menebak
alasannya. BAB DUA PAGI berikutnya, ketika Lalchand berada di toko kertas
membeli tabung kardus, Lila pergi
ke Rumah Gajah mencari Chulak.
Ketika mendengar apa yang
dikatakan Lalchand kepada Chulak,
Lila mengamuk. "Gunung Merapi -- Razvani --
Sulfur Bangsawan -- dan dia tidak
mau memberitahuku! Oh, aku takkan
pernah memaafkannya!" "Reaksimu agak berlebihan," kata
Chulak yang sibuk mempersiapkan si
gajah untuk pekerjaan barunya.
"Dia hanya mengkhawatirkan dirimu.
Lagi pula, itu berbahaya. Aku
takkan mau pergi ke atas gunung
itu." "Huh!" tukas Lila. "Kurasa
boleh-boleh saja aku membuat
Bersin Emas dan cahaya Java --
mainan bayi. Tapi dia tidak
mengizinkan aku jadi pembuat
kembang api sejati. Dia ingin aku
jadi anak kecil selamanya. Yah,
aku takkan menjadi anak kecil 15
terus, Chulak. Aku sudah muak.
Aku akan pergi ke Gunung Merapi,
dan aku akan mengambil Sulfur
Bangsawan, kemudian membuka usaha
pembuat kembang api sendiri lalu
membuat ayahku bangkrut. Lihat
saja nanti." "Jangan! Tunggu! Kau harus
bicara padanya --" Tapi Lila tidak mau mendengarkan. Ia berlari pulang, mengemasi sedikit perbekalan untuk
makan dan selembar selimut serta
beberapa keping uang perunggu,
kemudian meninggalkan surat di meja
bengkel: Ayah sayang, Aku telah menyelesaikan masa
belajarku. Terima kasih atas
segala yang ayah ajarkan padaku.
Aku akan mencari Sulfur Bangsawan dari Razvani, sang
Angkara Api, dan aku mungkin
takkan bertemu ayah lagi.
Mantan putrimu, Lila Kemudian dia berpikir 16
untuk membawa sesuatu demi
menunjukkan kepiawaiannya kepada
Razvani, dan mengepak beberapa
naga Meletup yang bisa menyala
sendiri. Salah satu penemuan Lila
yang terakhir adalah bagaimana
membuat kembang api itu meletus:
kau hanya harus menarik talinya
alih-alih menyulutnya dengan api,
karena talinya direndam di cairan kristal api. Dia memasukkan tiga
untai ke tasnya, melihat ke
sekeliling bengkel sekali lagi,
lalu pergi. Ketika Lalchand kembali dan
menemukan surat Lila, dia
membacanya dengan ngeri. "Oh, Lila, Lila! Kau tidak
tahu apa yang kau lakukan!" dia
berseru, dan berlari ke gang.
"Kau lihat Lila?" dia bertanya
pada penjual udang goreng.
"Dia pergi ke arah sana.
Sekitar setengah jam yang lalu."
"Dia bawa buntalan di punggung,"
tambah si pembatik. "Tampaknya
ingin bepergian." 17
Lalchand segera bergegas menyusul Lila. Tapi dia sudah tua
dan jantungnya lemah, dia tidak
bisa lari cepat-cepat, dan jalan-
jalan penuh sesak: pengemudi
rickshaw berdesakan dengan gerobak-
gerobak yang ditarik kerbau,
karavan penjual sutra menyeruak ke
arah pasar, dan di Bulevar Besar, iring-iringan sedang lewat.
Kerumunan manusia begitu padat
sehingga Lalchand tidak bisa maju
lagi. Penyebab keramaian itu adalah
Gajah Putih yang sedang dibawa
menuju pemilik barunya, Chulak
membimbing Hamlet di depan iring-
iringan, dan di belakang mereka
berjalan para musisi yang memainkan
seruling bambu dan memukul-mukul
genderang kayu, serta para penari
yang bergoyang sambil menjentikkan
kuku jemari, juga sepasukan pelayan
yang membawa pita pengukur, siap
mengukur rumah baru Hamlet untuk
tirai-tirai sutra dan karpet-karpet
beludru yang harus dibeli 18
pemiliknya. Bendera mengepak-
ngepak dan umbul-umbul berkibar di
bawah cahaya matahari, si Gajah
Putih bersinar bagaikan gunung
bersalju. Lalchand mendesak maju menyeruak
kerumunan ke sisi Chulak.
"Apakah kau memberitahu Lila tentang Razvani dan Sulfur
Bangsawan?"tanya Lalchand
tersengal. "Tentu saja," jawab Chulak.
"Kau seharusnya mengatakan sendiri
semua itu padanya. Kenapa?"
"Karena Lila pergi, anak tolol!
Dia pergi sendirian ke Gunung
Merapi -- dan dia tidak tahu
rahasia selanjutnya!"
"Masih ada lagi?"
"Tentu saja!" tukas Lalchand,
berusaha menyamakan langkah. "Tak
ada yang bisa masuk ke Gua
Angkara Api tanpa perlindungan.
Lila butuh seguci air ajaib dari
Dewi Danau Zamrud -- jika tidak,
dia akan terbakar api! Oh,
Chulak, apa yang telah kau 19
lakukan?" Chulak menelan ludah. Mereka
hampir sampai di rumah pemilik baru
Gajah Putih, dan mereka harus
memperlambat jalan untuk mebiarkan
para penari, musisi, dan pembawa
bendera memasuki gerbang terlebih dahulu dan membentuk dua barisan
yang mengapit jalan Gajah Putih.
Kemudian Hamlet berbisik,
sehingga hanya Chulak yang bisa
mendengar. "Aku akan menemukan Lila!
Bantu aku kabur malam ini,
Chulak, dan kita akan pergi lalu
membawa Lila ke tempat air ajaib."
"Ide bagus," bisik Chulak,
berseri-seri. "Persis seperti yang
ingin kuusulkan." Dia menoleh ke
arah Lalchand dan berkata,"Dengar, aku punya
tawaran. Aku dan Hamlet akan
mencari Lila! Kami akan pergi
malam ini. Danau Zamrud -- Dewi
-- air ajaib -- Gunung Merapi!
Urusan remeh." Kemudian Chulak
berpaling ke arah pelayan. 20
"Lebarkan jalannya!" dia berseru.
"Kita harus membawanya mengitari
sudut runah -- ya ampun, gerbangnya
sempit sekali! Harus dirobohkan.
Dan apa ini" Kerikil" Kau ingin
Gajah Putih melangkah di atas kerikil" Ambil karpet, lekas!
Karpet merah! Ayo! Cepat!
Dia menepukkan kedua tangannya,
dan para pelayan membungkuk lalu
bergegas pergi. Di latar belakang,
Putri Si Pembuat Kembang Api The Firework Makers Daughter Karya Philip Pullman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
si pemilik baru tengah mencabuti
rambutnya sendiri karena kalut.
Chulak berbisik pada Lalchand
sekali lagi: "Jangan khawatir!
Kami akan kabur malam ini. yang
kami butuhkan hanya kain terpal.
"Kain terpal" Untuk apa?"
"Tak ada waktu untuk menjelaskan
sekarang. Bawa saja ke gerbang
malam ini." Dan Lalchand harus puas dengan
jawaban itu. Dia kembali ke
bengkelnya dengan hati gundah.
Sementara itu, Lila telah
berjalan melalui hutan belantara
menuju gunung berapi keramat. 21
Gunung Merapi terletak jauh di
sebelah utara, dan dia belum pernah
melihatnya sampai petang itu,
ketika dia melalui tikungan di
jalan setapak hutan dan tiba di tepi sungai.
Ukuran gunung raksasa itu
membuatnya terperangah. Letaknya
jauh di ujung dunia, tapi tetap
saja gunung itu menjulang mencapai
setengah langit, dengan lereng yang
gundul menanjak membentuk kerucut
sempurna sampai ke kawahnya yang
berpendar di puncak. Sekali-sekali
para makhluk halus yang tinggal di
sana menggerutu marah dan
melontarkan bebatuan mendidih ke
udara. Asap abadi yang membubung
dan melayang dari puncak gunung
untuk bergabung dengan awan.
Bagaimana aku bisa ke sana"
Lila merenung dan merasa semangatnya mengempis. Tapi dia
telah memutuskan melakukan
perjalanan ini, dan dia tidak bisa
kembali saat baru saja memulainya.
Dia memindahkan buntalan 22
dari satu bahu ke bahu lain dan
terus melangkah. Hutan tempat yang berisik.
Monyet berceloteh di pepohonan, burung Kakaktua memekik-mekik,
buaya mengatupkan rahang keras-
keras di sungai. Sering Lila
harus melangkah hati-hati melewati
ular yang tidur berjemur, dan
seklai dia mendengar raungan
harimau besar. Tidak ada orang
sama sekali kecuali beberapa
nelayan yang susah payah mengayuh
sampan dari seberang sungai.
Lila berhenti dan menyaksikan
para nelayan membawa sampan menuju
tepi sungai tempat dia berdiri.
Mereka bergerak lambat. Ada enam
atau tujuh nelayan, dan dayung-
dayung mereka bersinggungan.
Ketika Lila memerhatikan, dayung
salah satu nelayan meleset dari
air, segera berputar dan menghantam
kepala nelayan lain. Nelayan itu
menoleh dan menjotos nelayan
pertama, yang terjengkang dari
tempat duduknya sambil 23
memekik dan menjatuhkan dayung ke
air. Nelayan lain berusaha
menyambar dayung tersebut, tapi dia malah jatuh dari sampan. Sampan
itu sgera bergoyang-goyang hebat
sehingga nelayan yang lain berseru-
seru sambil berpegangan pada
sisinya. Lelaki yang terjatuh menggelepar-gelepar dan menyemburkan air ketika berusaha
naik kembali ke dalam sampan, dan
semua buaya yang sedang berjemur di
tepi sungai menengadah, tertarik.
Lila tersentak ngeri, tapi si
nelayan sama sekali tidak berdaya,
sehingga Lila tidak kuasa menahan
tawa; karena ketika lelaki di air
itu meraih sisi sampan, semua
lelaki di dalamnya mencondongkan
tubuh ke sana untuk membantunya,
dan sampan itu miring sekali sampai
mereka semua nyaris tercemplung
juga. Mereka segera sadar apa yang
terjadi dan melepaskan pegangan,
kemudian sampan itu kembali miring
ke sisi lain sehingga mereka 24
terjengkang. Buaya-buaya merayap di tepi sungai dan mulai berenang
menghampiri mereka. "Oh, tarik dia masuk, orang-
orang bodoh!" Lila berseru. "Dari
ujung perahu, jangan dari sisi!"
Salah satu nelayan mendengar
teriakannya, dan menghela lelaki di
air dari buritan dampai dia
terbaring di dasar sampan sambil
menggelepar dan megap-megap seperti
ikan. Sementara itu, sampan
terombang-ambing ke tepian, dan
Lila mengulurkan tangan agar
sampan tersebut tidak menghantam
tepi sungai. Begitu melihat Lila, para
nelayan saling menyikut. "Lihat," kata salah satunya.
"Ayolah," gumam salah seorang.
"Kau yang tanya."
"Tidak mau! Itu idemu! Kau
yang tanya." "Bukan aku, tapi Chang!"
"Yah, dia tidak bisa bilang apa-
apa, dia masih penuh air..." 25
Akhirnya salah satu dari mereka mendengus tidak sabar lalu berdiri,
membuat sampan bergoyang hebat.
Lelaki itu yang tergagah di dalam
sampan, dan tampak paling
mengesankan, karena dia mengenakan
bulu burung unta yang mengangguk-
angguk di serbannya, punya kumis
hitam besar, dan memakai sarung
kotak-kotak. "Nona!" katanya. "Apakah aku
benar jika menganggapmu ingin
menyeberang sungai?"
"Yah, memang benar," kata Lila
Lelaki itu mengetukkan jemarinya
dengan senang. "Dan apakah aku juga benar jika
menduga kau punya sedikit uang?"
"Sedikit, ya," sahut Lila.
"Bisakah kau membawaku
menyeberang" Aku akan bayar."
"Tak usah mencari lagi!" kata
lelaki itu bangga. "Taksi Sungai
Rambashi siap melayanimu! Selamat
datang!" Lila bingung mengapa lambung
taksi sungai bisa bertuliskan 26 Pembunuh Berdarah, atau mengapa
Rambashi membawa tidak kurang dari
tiga belati di sabuknya: satu
lurus, satu melengkung, dan satu
lagi meliuk-liuk. Namun tidak ada
cara lain untuk menyebrangi sungai,
dan Lila melangkah ke dalam
sampan, berusaha tidak menginjak
lelaki yang baru diselamatkan, yang
masih tergeletak basah kuyup di
dasar perahu. Nelayan-nelayan yang
lain sama sekali tidak emedulikan
lelaki itu, mereka malah meletakkan
kaki di atas tubuhnya seakan dia
segulung karpet. "Berlayarlah, anak buahku yang
tangguh!" seru Rambhasi.
Lila duduk di haluan, dan
mencengkeram sisi sampan erat-erat
saat Pembunuh Berdarah berguncang
menyambut arus sungai. Di
belakangnya dia bisa mendengar
suara benturan dayung ketika
kayunya bertabrakan, seruan
kesakitan ketika salah satu gagang
dayung menghantam punggung lelaki lain, dan erangan serta 27
sumpah serapah ketika si lelaki
yang nyaris tenggelam berusaha
duduk kembali; tapi Lila tidak
terlalu memerhatikan, karena banyak
yang bisa dilihatnya di air. Ada
capung dan burung kolibri,
sekeluarga itik bertamasya renang
sore hari, buaya-buaya berlatih
agar tampak seperti batang-batang
kayu, dan segala macam hal; tapi
saat ini dia sadar para pendayung
tidak bersuara lagi, dan perahu tak
lagu berguncang hebat seperti
ketika mereka mendayung. Bahkan,
sampan itu terapung-apung.
Para pendayung itu bukannya sama
sekali hening. Lila bisa mendengar
bisikan-bisikan: "Kau yang bilang padanya!"
"Tidak, aku tidak mau. Sekarang
giliranmu." "Harus! Kau bilang tadi mau!"
"Biar Chang yang melakukannya.
Sudah waktunya dia bekerja."
"Dia tidak cukup kejam. Kau saja!"
Lila menoleh. 28
"Oh, ya ampun," katanya, apa sih
yang kalian -- ?" Tapi dia tidak menyelesaikan
kalimatnya karena pmandangan yang
dilihatnya. Semua pendayung
meletakkan dayung, yang mencua ke
segala arah, dan setiap pendayung
mengikatkan saputangan menutupi
hidung dan mulut. Mereka semua
memegang belati. Rambashi malah
memegang dua. Mereka semua terlonjak sedikit
ketika Lila berbalik. Kemudian
mereka menatap Rambashi. "Ya!" seru lelaki itu. "Kau
tertipu! Ha, ha! Ini sama sekali
bukan taksi Sungai. Kami semua
perompak! Perompak terkejam
diseluruh sungai. Kami akan
menggorok lehermu secepat
melihatmu." "Dan minum darahmu," bisik
seseorang. "Oh ya, dan minum darahmu. Semuanya. Serahkan uangmu, ayo!"
Dia mengayunk-ayunkan belati
begitu keras sehingga sampan 29
bergoyang dan dia nyaris tercebur.
Lila hampir tertawa. "Serahkan!" kata Rambashi.
"Kau ditangkap. Uang atau nyawa!
Kuperingatkan, kami orang-orang
nekat!" BAB TIGA Rambashi dan para perompaknya
berhasil membawa Pembunuh
Berdarah ke tepi seberang, tapi
Lila harus menyambar dayung dari
air ketika salah satu dari mereka
menjatuhkannya, lalu berjanji akan
duduk manis dan tidak menggoyang
sampan. Ketika mereka menabrak tepian,
semua orang terjungkir. "Baiklah," kata Rambashi,
setelah bangkit. "Ikat sampan ke batang pohon
kokoh atau apa saja, dan bawa
tawanan ke darat." "Apakah kita akan memakannya?"
tanya salah seorang perompak.
"Karena aku lapar."
Putri Si Pembuat Kembang Api The Firework Makers Daughter Karya Philip Pullman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, sudah berhari-hari kita
belum makan,' gerutu perompak lain.
"Kau berjanji kita bakal menyantap makanan panas tiap malam."
"Cukup!" bentak Rambashi.
"Dasar gerombolan anjing
gelandangan. Bawa tawanan ke darat
dan berhenti mengeluh." 31
Lila tidak tahu apakah bisa
kebuar sekarang. Beberapa di
antara perompak itu memang tampak
cukup beringas untuk mengejarnya.
Meski sekarang, setelah melihat
lebih seksama, ia tahu belati mreka
terbuat dari kayu dilapisi kertas
perak, jadi mereka takkan bisa
terlalu menyakitinya. "Kuharap kau tidak berkeberatan
dengan transaksi kecil ini," kata
Rambashi, ketika mereka melangkah
di jalan setapak hutan. "Ini hanya bisnis."
"Kalau begitu, kau menculikku?"
tanya Lila. "Aku khawatir begitu. Kau harus
menyerahkan semua uangmu sebentar
lagi, kemudian kami akan mengikatmu
dan meminta tebusan."
"Kau pernah melakukan ini?" "Oh ya," katanya. "Sering."
"Apa yang terjadi jika kau tidak
mendapatkan uangnya?"
"Yah, kami..." "Kami memakanmu," timpal si
perompak yang kelaparan. 32
"Sst," kata Rambashi,
mengibaskan tangan sedikit.
"Kalian bukan kanibal," tukas
Lila. "Kami kelaparan," kata si
perompak "Apakah kalian sudah sejak dulu
jadi perompak?" "Tidak," kata rambashi.
"Tadinya aku peternak ayam, tapi
ayam-ayamku mati nelangsa. Maka
aku menjual bisnisku dan membeli
sampan...Oh, tidak! Sst! Stop!
Jangan bergerak!" Perompak-perompak yang berjalan
di belakang, masih menggerutu,
menabrak mereka yang berada di
depan, lalu berdiri di belakang
Rambashi, terpaku ketakutan.
Karena di jalan setapak di hadapan mereka tampak harimau.
Ekornya bergerak-gerak malas dari
satu sisi ke sisi lain, dan menatap
mereka dengan matanya yang berwarna
keemasan, kemudian membuka moncong
dan mngaum skeras-kerasnya sehingga
Lila merasa bumi bergetar. 33
Salah satu perompak yang tubuhnya
paling kecil mencengkeram tangan
Lila. Maka begitulah, mereka terpaku
dan si harimau mengambil ancang-
ancang menerkam, ketika Lila tiba-
tiba tringat pada Naga Meletup-
nya yang bisa menyala sendiri. Dia
melepaskan tangan dari cengkeraman
si perompak kecil, merogoh tas dan
mengeluarkan tiga untai kembang api
yang dibawanya. "Awas," katanya pda Rambashi,
dan setelah menarik tali salah satu
kmbang api, dia melemparkannya ke
arah si harimau. Seumur hidup, hewan besar itu
tidak pernah seterkejut ini. Mula-
mula satu, kemudian satu lagi, dan sekali lagi Naga Meletup meledak,
memancar, mendesis, dan melompat ke
arahnya, dan dia ketakutan. Sambil
mendengking, harimau itu berbalik
dan kabur. Para perompak bersorak. "Hebat sekali!" seru Rambashi.
"Selamat! Aku baru saja 34
hendak menikamnya sampai mati,
tentu saja, tapi tidak apa-apa."
(Lila bertanya-tanya bagaimana
rambashi akan melakukannya dengan
belati berlapis kertas perak, tapi
dia tidak berkata apa-apa.) "dan
tentu saja," lanjut Rambashi, "ini
mengubah segalanya. Kami tidak
bisa menjadikanmu tawanan sebab kau
telah mnyelamatkan nyawa kami.
Jadi kau akan menjadi tamu kami.
Tinggallah bersama kami malam ini.
Mau, kan?" "Kita tidak punya makanan," kata
seseorang. "Dia mau diberi makan
apa?" "Kita suruh Chang menangkap
ikan," kata Rambashi ceria, menggeleng begitu terdengar seruan
prites. "Tidak, tidak, ikan bagus
untukmu. Ayo, Chang! Jangan
berdiri saja di sana!"
"Aku tidak bisa," kata Chang.
"Lihat." Mereka menoleh ke tepi sungai.
Pembunuh Berdarah hanyut, talinya
mengambang terseret di 35
belakangnya. "Siapa yang tadi mengikatnya?"
tanya Rambashi. "Salah satu perompak menunduk
dan berusaha menggali lubang di
pasir menggunakan ujung jempol
kaki. "Hmm," kata Rambashi. "Kalian
perompak-perompak hebat ya"
Kuharap kalian malu. Tapi tidak
mengapa! Aku punya ide yang lebih
bagus. Nona!" katanya pada Lila,
sambil menggosok-gosokkan telapak
tangan. Matanya berkilat-kilat
cerah. "Bisakah kuajukan semacam
penawaran investasi kepadamu?"
"Yah," kata Lila. "Aku harus segera melanjutkan perjalanan."
"Tidak, sungguh, ini ide yang
jauh lebih bagus daripada
perompakan," lanjut Rambashi.
Mendadak saja aku terpikir, ketika
melihat sampan itu hanyut. (aku
tidak bisa marah pada orang-orang
itu, mereka sebetulnya mirip anak-
anak.) Ya, semua ide cemerlangku
datang mendadak. Dan yang 36
ini benar-benar hebat! Takkan
mungkin gagal!" "Apa berhubungan dengan
makanan?" tanya salah satu perompak
masam. "Anakku yang baik! Ide ini
dibangun dari makanan! Tunggu saja
sampai kau dengar -- halo! Nona!
Hanya sedikit uang -- investasi
paling aman yang akan pernah
kaulakukan--" Tapi Lila sudah melenggang
pergi. Saat melangkah di jalan
setapak, dia bisa mendengar suara
Rambashi di belakangnya. "Tidak, dengar, anak-anak -- aku tahu di mana kesalahan kita
terakhir kali. Mendadak saja aku
menyadarinya. Tapi ide ini akan
sangat sesuai dengan keahlian
kalian. Lihat, biar kugambarkan..." Lila ingin tau apa rencana
Rambashi selanjutnya, tapi dia
juga ingin segera melanjutkan
perjalanan. Gunung Merapi berasap
dan bergemuruh di kejauhan. 37
Dia merasa semangatnya meningkat
ketika melihat gunung itu lagi,
kekuatannya begitu besar serta
mendominasi, dan dia berpikir, Aku
dimiliki gunung itu, dan gunung itu
milikku! Maka dia terus melangkah, tak
ada apa-apa di benaknya selain
pikirannya barusan, dan semangatnya
membuat kedua kakinya melompat
gembira. Sementara itu, Chulak siap
menyelundupkan Hamlet keluar dari
rumah barunya. Pawang tidur cepat,
sambil mengerang-erang, tapi para budak masih terjaga, sehingga
Chulak harus mengalihkan perhatian
mereka. "Sekarang dengarkan," dia
berkata pada mereka di dapur.
"Kalian tentu tahu bahwa kalian
harus sebisa mungkin membuat Gajah
Putih senang, kalau tidak Raja
akan marah." Mereka semua mengangguk. "Yah, si Gajah agak gelisah.
Dia tidak prnah tidur 38
nyenyak pada malam pertama di
tempat baru, jadi kita harus
melakukan permainan Langkah Gajah
untuk membuatnya ceria. Kalian
harus bersembunyi sambil menutup
mata di taman, dan ketika kalian
merasa di Gajah datang, berbaliklah. Dia suka permainan
itu. Ayo, pergi dan tunggu di
taman. Aku akan memberitahunya
jika kalian sudah siap."
Para budak berlarian keluar dari
pintu bekakang, dan begitu mereka
bersembunyi di taman sambil menutup mata, Chulak membuka kunci pintu
depan dan membimbing hamlet menuju
gerbang. "Untung saja mereka menghamparkan karpet seperti yang
kuperintahkan," dia berbisik.
"Langkahmu di kerikil tidak
terdngar." "Bisakah kita lewat Kebun
Binatang?" bisik Hamlet.
"Tidak, tentu saja tidak bisa!
Jangan pedulikan Frangipani.
Lila-lah yang harus kita 39
pikirkan. Dan jangan mendengus-
dengus seperti itu..."
Mereka berjingkat-jingkat keluar
gerbang, dan mendapati Lalchand
menunggu di sana, membawa kain
terpal persis seperti yang diminta
Chulak. "Ini untuk apa?" bisik
Lalchand. "Untuk ini," kata Chulak, dan
menyuruh Hamlet berlutut agar dia
bisa menyampirkan kain terpal itu
di punggungnya. "Jadi dia takkan terlalu mencolok di kegelapan."
"Huh," kata Hamlet. "kain ini
panas, gatal, dan bau seperti
tenda. Tidak bisakah kau mencari
selimut yang nyaman?"
"Rupanya kau tidak menyadari
betapa besar tubuhmu," kata
Chulak. "Berhati-hatilah!" kata
lalchand. "Seharusnya aku ikut
bersama kalian -- perjalanannya
sama sekali tidak aman -- oh,
seharusnya aku memberitahu Lila
segalanya sejak awal! 40
Seharusnya aku memercayainya! Aku
memang orang tua yang bodoh!"
"Ya," kata Chulak. "Tapi,
tidak apa-apa. Kami akan menemukannya. Ayo, Hamlet!"
Dan mereka berangkat. Lalchand
berdiri mengawasi mereka selama
semenit, sampai mereka lenyap di
jalan yang gelap.
Putri Si Pembuat Kembang Api The Firework Makers Daughter Karya Philip Pullman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi ada yang memerhatikan
Lalchand. Salah satu budak yang ikut permainan Langkah Gajah
bersembunyi di balik smak-semak
dekat sana; dan begitu menyadari
apa yang dilihatnya, dia mulai
gemetar. Membantu Gajah Putih
melarikan diri merupakan kejahatan
berat. Akan ada hukuman mengerikan
-- dan mungkin orang yang menangkap
penjahatnya bakal diberi hadiah.
Maka ketika Lalchand mulai
berjalan pulang, budak itu
mengikutinya tanpa bersuara untuk
mencari tahu siapa Lalchand dan di
mana tempat tinggalnya. Chulak dan Hamlet 41
berjalan kaki sepanjang malam, dan
ketika fajar tiba, mereka tidur di
lembah kecil di bawah pepohonan
rindang. Mereka bangun setelah
lewat tengah hari dan, sementara
hamlet makan daun-daunan, Chulak
pergi ke desa terdekat untuk
menanyakan jalan menuju Danau
Zamrud. Dia kembali membawa
sepelukan penuh pisang dan kabar.
"Coba tebak, Hamlet. Kita beruntung! Malam ini malam Bulan
Purnama. Dewi Air keluar dari
danau dan mengabulkan permintaan
orang-orang. Nasib kita mujur
sekali, Nak! Habiskan daun-daunmu
dan kita segera bergerak."
mereka bukan satu-satunya yang
menuju Danau Zamrud. Jalan
setapak di hutan penuh dengan
keluarga-keluarga yang membawa
keranjang piknik, bahkan sepasukan
monyet pun menuju ke arah yang
sama. Persis sebelum matahari
tenggelam, Chulak dan Hamlet
melihat seorang lelaki muda sibuk
menempelkan pengumuman di 42
pohon-pohon di sisi jalan.
Chulak akan membaca salah
satunya ketika lelaki muda itu
melihatnya. "Hei! Aku kenal kau!" katanya.
"Dan dia..." "Kami kenal banyak orang," tugas
Chulak. "Apakah ini jalan yang
benar menuju Danau Zamrud?"
"Terus saja dari sini. Nah, bisakah aku...?"
Lelaki muda itu tampak malu-
malu. Chulak tahu apa yang diinginkannya. "Berlututlah, Hamlet," katanya.
"Pelanggan." Hamlet tidak bisa bicara apa-apa
karena ada anak muda itu di sana,
tapi dia memandang Chulak dengan
ttapan maut sambil berlutut.
Lelaki muda tersebut menorehkan
sesuatu di sisi tubuh Hamlet
menggunakan ranting dan lumpur,
lalu memberi Chulak sekeping koin.
"Terima kasih!" katanya. "Pasti
Bos senang kalau 43
kuberitahu!" Kemudian dia berlari pergi.
Chulak membaca tulisannya:
MAKANLAH DI RAMBASHI RESTORAN PANGGANG RIMBA "Rambashi?" tanya Chulak. "Aku
punya paman bernama Rambashi. Dia
tadinya peternak ayam."
Pengumuman-pengumuman di pohon juga tentang Restoran Rimba
Rambashi. Malam itu pembukannya,
dan makanan bisa dibeli dengan
setengah harga jika kau membawa
kupon dari salah satu pengumuman
tersebut. "Menyenangkan sekali jika bisa
bertemu Paman Rambashi lagi, kata
Chulak. "Ayo, sebentar lagi
gelap. Mereka bergegas. Tidak lama
kemudian mereka tiba di pantai
Danau Zamrud. Di bawah pepohonan
di tepi air berdiri beberapa rumah
panggung, yang diterangi api
panggangan dan lentera-lentera
berwarna. Ketika kegelapan tropis
menyelubungi langit kurang 44
dari lima menit kemudian, Chulak
dan Hamlet masuk ke desa.
Tentu saja gajah putih yang sisi
tubuhnya bertuliskan iklan
menimbulkan kegemparan. Tidak lama
kemudian Chulak serta Hamlet
diikuti segerombolan anak kecil
yang gembira dan beberapa orang dewasa yang tidak punya pekerjaan.
Bahkan sekelompok penari yang
sedang berganti pakaian untuk
upacara tidak bisa menahan diri.
Pemimpin penari harus berlari
mengejar mereka dengan mulut penuh
peniti untuk menyuruh mereka
kembali sambil marah-marah.
"Jalan mana menuju Restoran
Panggang Rimba Rambashi?" tanya
Chulak, dan seseorang menunjuk ke
sepanjang pantai ke arah bangunan
kayu yang berdiri di atas pasak-
pasak di air. Tampak teras yang
dihias bendera-bendera berwarna,
meja-meja bertaplak kotak-kotak,
dan lampu-lampu yang terbuat dari
botol anggur. Gumpalan asap
membubung dari dapur, 45
disertai suara mendesis dan
bergolak serta aroma daging dan
ikan panggang berbumbu rempah.
"Tepat pada waktunya, Hamlet!
Hebat, bukan" Dan itu Paman
Rambashi!" kata Chulak.
Rambashi, mengenakan celemek putih di atas sarung kotak-kotak,
mempersilakan beberapa pelanggan ke
teras ketika lantas melihat
Chulak. "Chulak! Anakku! Senang sekali
brjumpa denganmu! Dan -- dan
temanmu -- peliharaanmu -- papan
reklame yang mengagumkan ini!
Masuklah, Nak! Kupon" Oh, tidak
perlu khawatir. Makanan gratis
untuk semua orang, demi menghormati
perayaan Bulan Purnama! (Tentu
saja aku akan merugi, tapi kami
akan segera mendapatkan uang lagi.
publisitas yang bagus sekali.) Ya,
benar, ibu-ibu dan bapak-bapak!
Makan gratis malam ini!"
"Bagaimana dengan kami?" tanya
pelayan. "Kapan kami mendapat makan 46
malam?" "Pelanggan lbih dulu," omel
Rambashi. "Kau dan yang lain bisa makan
sepuasnya belakangan."
"Kukira Paman beternak ayam?" kata Chulak, lalu segera melahap
sepiring penuh udang goreng dan
nasi bumbu sate. "Ya, tapi aku harus merelakannya. Aku kasihan pada
ayam-ayam betina itu, Chulak.
Jadi untuk sementara kami membuka
usaha transportasi -- taksi sungai,
kau tahu, dengan pekerjaan
sampingan -- tapi kemudian datang
kesempatan dalam bisnis restoran --
tempat bakatku sebetulnya berada.
Chulak! -- Ya, Bu, ikan trout
danau panggang kami sangat istimewa
malam ini -- bolehkah kuusulkan
nasi saffron sebagai temannya" Dan
seguci anggur melati" Ya, semua
gratis! Tidak perlu bayar! Semua
ditanggung restoran..."
Restoran Panggang Rimba itu
benar-benar bisnis yang 47
menguntungkan -- atau bisa jadi
menguntungkan jika Rambashi
meminta bayaran. "Kuharap dia tahu apa yang
diperbuatnya, hamlet," kata Chulak, saat gajah itu diam-diam
mencabuti daun-daun pohon beringin
yang tumbuh melebar di atas teras.
"Menurutnya ini publisitas yang
bagus sehingga ketika dia mulai
menarik bayaran, para pelanggan
akan kembali. Aku tidak yakin.
Tapi makanannya memang lezat.
Agak brasap, tapi enak."
Juru masak Rambashi mengalami
masalah dengan pemangganggnya, yang
terus menerus harus disiram air
jika terlalu panas. Gumpalan asap
dan uap terus saja membubung, dan
para pelayan sibuk mondar-mandir
membawa piring pnuh makanan dan
piring kotor serta berguci-guci
anggur, menu dan kelapa berisi es
krim. Sementara itu, para tetua desa
mempersiapkan tepi danau untuk
upacara Bulan Purnama. 48
Chulak dan Hamlet, dengan perut
kekenyangan, berkeliaran untuk
menonton persiapan. Pasir disapu
dan diratakan, lentera-lentera digantung di pohon-pohon, dan
bunga-bunga beraneka warna
ditebarkan di air. Jalan setapak
dari kuil menuju danau dipenuhi
kerumunan manusia di kedua sisinya,
dan Chulak harus memanjat ke
punggung Hamlet agar bisa melihat.
Kemudian upacara dimulai.
Genderang besar ditabuh tiga kali,
dan orkes bermain: gong, xylophone,
genderang, simbal, dan seruling.
Barisan penari keluar dari kuil
dan berlenggak-lenggok di sepanjang
jalan menuju danau, kuku jemari
mereka melentik dan berkelip
seperti kunang-kunang dan rok emas
mereka gemerlap diterangi cahaya
lentera. Kepala desa menyalakan api dan
menyulut sebatang lilin wangi di
dalam perahu kertas yang mengapung
ke tengah danau. Dupanya membuat
udara menjadi harum dan 49
hangat. Tidak lama kemudian
perahu-perahu kertas lain hanyut
mengikutinya, kemudian seorang anak kecil menunjuk ke puncak pepohonan
di seberang danau dan berseru,"Bulan!"
Bulan purnama terbit. Dan saat
bulan naik ke langit, musik pun
semakin keras, Gong, xylophone,
dan simbal memanggil-manggil sang
dewi dari dalam danau. Kemudian sang dewi hadir, meski
tidak seorang pun melihatnya tiba;
seakan dia datang ketika semua
orang menoleh ke arah lain, dan
ketika menoleh kembali, mereka
melihatnya; meski sebetulnya tidak
seorang pun berpaling ke mana-mana.
Dia mengambang di permukaan air di
atas rakit dari teratai, wanita
cantik yang mengenakan jubah
berwarna bulan, mengenakan cincin-
cincin perak dan jimat, juga kalung
untaian melati. Satu demi satu penduduk desa
membungkuk padanya dan meminta
Putri Si Pembuat Kembang Api The Firework Makers Daughter Karya Philip Pullman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bantuannya: wanita yang satu 50
tentang anaknya yang sakit, seorang
lelaki meminta panen bagus, sepasang kekasih meminta restu
pernikahan. Sang dewi mencela
beberapa orang karena meminta
terlalu banyak, meski tidak pernah
menolak orang-orang yang sungguh-
sungguh butuh bantuan. Ketika
semua sudah selesai, dan sang dewi
hendak pergi, Chulak memberanikan
diri dan menggeleng, karena dia
agak pening melihat kecantikannya.
Chulak melangkah menuju tepi air
lalu berlutut. "Dewi!" katanya. "Tolong
dengarkan aku juga!"
Tapi sebelum sang dewi sempat
menjawab, beberapa tangan menyambar
Chulak dengan kasar dan menyeretnya pergi. "Apa yang kaulakukan, orang
asing?" "Seret dia! Mencemari danau
saja!" "Siapa dia" Siapa yang
memberinya izin?" Chulak memberontak. Dia 51
bisa melihat Hamlet mengangkat belalai dan menggerakkan kaki, dan
dia tahu gajah itu mulai marah.
"Tidak!" teriaknya. "Dengar!
Aku punya permintaan khusus!
Biarkan aku bertanya pada Dewi!"
Sang pendeta tinggi menunduk
menatapnya, mengerutkan kening.
Wajah lelaki itu suram dan galak.
"Berani sekali kau datang ke
tempat keramat ini!" katanya.
"Dewi danau tidak boleh diganggu
permintaanmu yang tidak berguna.
Bawa dia! Tidak! Sang dewi
takkan mendengarmu! Berterima
kasih sajalah kami tidak mencabut
nyawamu. Bawa dia ke perbatasan
desa, dan jika dia kembali, bunuh
saja!" BAB EMPAT MENGALAHKAN suara teriakan dan
pergumulan, terdengar suara seperti
terompet besar, dan semua orang
terdiam ketakutan. Chulak juga
takut, meski dia tahu suara apa
itu; karena jika Hamlet sampai
membunyikan terompet belalainya,
artinya dia sudah hampir tidak bisa
menahan kemarahan. Tapi sebelum ada yang bisa
bergerak, sang dewi sendiri angkat
bicara. Suaranya lembut dan
rendah, seperti gumaman ombak di
pantai pada malam hari. "Apa penyebab keributan ini"
Berhenti berkelahi sekarang juga.
Kau baik sekali karena berusaha
melindungiku dari rasa malu,
Pendeta Tinggi, tapi aku ingin
mendengar anak muda itu bicara, dan
melihat temannya si gajah. Marilah
ke air, kalian berdua."
Chulak menatap hamlet, dan
melihat hewan besar itu juga malu.
Hamlet melangkah di antara kerumunan, berhati-hati agar 53
tidak menginjak kaki siapa pun, dan
membungkuk di sebelah Chulak di
pasir. Slogan-slogan yang ditulis
di tubuhnya tampak begitu nyata
diterangi cahaya bulan. Sang Dewi
membacanya, lalu meminta Hamlet
berbalik dan menunjukkan sisi
sebelahnya. "Makanlah di Rambashi Restoran
Panggang'**'Chang cinta Lotus
Blossom'**" Kukira aku sudah menghapus yang
itu," kata Chulak. "Kurasa manis sekali," kata sang
dewi. "Tapi jangan kau lakukan
lagi. Temanmu terlalu bijak dan
mulia untuk ditulisi dan jika dia
bisa bicara, aku yakin kau
menyadarinya juga." Lalu sang dewi menatap Chulak
sedemikian rupa sehingga Chulak
tahu apa yang dimaksudkannya dan
merasa malu. "Meski demikian," Dewi
melanjutkan," aku bisa melihat kau takkan meminta sesuatu yang tidak
berguna. Katakanlah apa yang 54
kauinginkan." "Kami punya teman," kata Chulak
bersemangat, "dan dia ingin jadi
pembuat kembang api. Dia sudah
menyelesaikan masa belajarnya, tapi
ingin mengambil Sulfur Bangsawan
dari Razvani sang Angkara Api
supaya bisa menjadi pembuat kembang
api sejati. Maka dia pergi
sendirian ke Gunung Merapim hanya
saja dia tidak tahu dia harus
membawa seguci air ajaib untuk
perlindungan, dan kami datang untuk
meminta, memohon bantuan besar,
apakah Anda bisa memberi kami air
ajaib, kemudian kami akan
mengejarnya dan mencoba menyusulnya." Sang dewi mengangguk. "Temanmu
memiliki teman-teman yang baik,"
katanya. "Tapi Gunung Merapi
jauh sekali, dan perjalanannya
berbahaya. Kalian sebaiknya segra
berangkat. Dan berhati-hatilah!" Seakan memang sudah sejak awal
mengetahui apa permintaan mereka,
sang dewi menganggsurkan 55
buli-buli bertutup perak. Chulak
mengambilnya dan membungkuk lagi,
lalu orkes mulai bermain dan penari
mulai menari, dan ketika orang-
orang menoleh ke danau lagi, sang
dewi sudah pergi, meski tidak
seorang pun melihatnya menghilang.
Sebelum mereka berangkat,
Chulak memandikan Hamlet di
danau. Beberapa anak desa
membantu, tapi sebentar saja,
karena tidak lama kemudian ada
kejadian lain yang bisa mereka
tonton: asap tebal dan api
membubung dari Restoran Panggang
Rimba. "Ya ampun, ya ampun," kata
Chulak. "Tamatlah sudah rencana
terakhir Paman Rambashi, Hamlet.
Aku tahu juru masaknya kewalahan.
Kuharap dia baik-baik saja."
Pekikan kegirangan dan sorakan
terdengar dari kerumunan orang saat atap restoran roboh diiringi
percikan api. Berember-ember air
dibawa secara estafet dari danau,
dan Chulak bisa mendengar 56
Rambashi berkata, "Pertunjukan
hebat! Pemandangan menggemparkan!
Kalian tahu, anak-anak, itu
memberiku ide yang sangat
cemerlang. Yang harus kita lakukan
hanyalah-" "Kami bahkan belum makan!" seru
salah satu pelayan. "Waktunya pergi, Hamlet," kata
Chulak, dan mereka berangkat
menyusuri tepi danau menuju
pegunungan di kejauhan. Pada saat itu Lila telah tiba
di tepi hutan. Dia mendaki terus,
melangkah tanpa henti, lalu
pepohonan mulai menipis dan jalan
setapak menjadi jalur kecil saja,
kemudian lenyap sama sekali. Semua
suara hutan, ceklikan dan dengungan
serangga, pekikan burung dan
monyet, tetesan air dari dedaunan,
dengkungan katak-katak kecil, berada di belakangnya sekarang.
Ketika mendengar suara-suara itu,
Lila menikmati keberadaannya, tapi
sekarang tidak terdengar apa-apa
selain langkah kakinya di 57
jalan setapak dan sesekali gemuruh
dari gunung, yang terdengar jauh di
perut bumi sehingga dia merasakannya melalui kakinya
sejelas yang ditangkap telinganya.
Ketika malam turun dia tidur di
tanah berbatu di sebelah batu
karang besar dan membungkus tubuh
dengan satu-satunya selimut
miliknya. Cahaya bulan purnama
menerangi wajahnya serta membuatnya
terbangun terus, dan dia tidak bisa
merasa nyaman karena bebatuan di
tanah. Akhirnya dia duduk dengan
kesal. Tapi ia tidak bisa menceritakan
kekesalannya pada siapa pun. Dia
tidak pernah merasa begini
kesepian. "Aku ingin tahu**," dia mulai
berkata, tapi lalu menggeleng. Dia melakukan perjalanan ini bukan
untuk memikirkan apa yang terjadi
di rumah. Keadaan di rumahlah yang
membuatnya pergi. "Yah, kalau aku tidak bisa
tidur, lebih baik berjalan 58
lagi saja," katanya pada diri
sendiri. Dia melipat selimut, mengikat
lagi sarungnya, dan mengencangkan
sandal, kemudian kembali melangkah.
Daratan makin curam dan terus
makin curam. Tidak lama kemudian
dia tidak lagi bisa melihat puncak
Gunung Merapi, jadi dia tahu
pasti sedang mendaki lerengnya.
Sama sekali tidak ada tumbuhan di
sini, bahkan semak atau rumput
sekalipun: hanya tebing cadas
telanjang dan batu-batu longgar.
Dan tanah terasa hangat. "Aku sudah dekat," katanya pada
diri sendiri. "Tak jauh lagi
sekarang--" Tapi begitu berkata demikian,
dia menginjak sebongkah batu yang langsung menggelinding dan dia
terjatuh, lalu dua belas batu lagi
meluncur bersamanya. Semua udara seakan keluar dari
paru-parunya, dan tidak ada sisa
napas baginya untuk berteriak
ketika bebatuan jatuh 59
menimpanya. Batu-batu itu memantul menuruni
gunung hingga akhirnya berhenti
jauh di bawah. Lila berdiri
perlahan-lahan. "Aw," katanya. "Bodohnya. Aku
tidak melihat ke mana kupijakkan
kakiku. Aku harus lebih hati-
hati." Dia berdiri, mendapati sebelah
sandalnya terlepas dan jatuh ke
kaki gunung bersama batu-batu.
Tidak kelihatan di mana jatuhnya.
Dengan sangat hati-hati dia
menjejakkan sebelah kakinya yang
telanjang, dan mendapati tanah
terasa panas. Yah, tidak ada yang bisa dilakukannya; dan bukankah dia datang kemari mencari apa" Dan
bukankah dia sering terbakar saat
belajar jadi pembuat kembang api"
Lagi pula dia toh memang tidak
butuh kaki mulus.
Putri Si Pembuat Kembang Api The Firework Makers Daughter Karya Philip Pullman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia terus mendaki, semakin
tinggi dan terus semakin tinggi.
Tidak berapa lama kemudian 60
dia tiba di bagian tebing yang
batu-batunya longgar, terpeleset
dua langkah ke bawah setelah maju
tiga langkah. Kaki dan tungkainya
memar serta luka, kemudian
sandalnya yang sebelah lagi pun
terlepas; dan dia nyaris berteriak
frustasi, karena gua itu masih
belum tampak -- hanya tebing penuh
bebatuan kasar dan panas yang
berjatuhan dan menggelinding di
bawah kakinya. Kerongkongannya kering dan paru-
parunya kewalahan dalam udara panas
dan tipis. Dia jatuh berlutut dan
mencengkeram tanah dengan jemari
gemetar ketika bebatuan mulai
menggelinding ke bawah lagi. Dia melepaskan tas berisi sedikit
makanan dan selimut; barang-barang
itu tidak lagi berguna; satu-
satunya yang penting adalah terus
mendaki. Dia menyeret tubuh dengan
lutuh berdarah, naik dan terus
naik, sampai setiap ototnya sakit,
sampai tidak ada lagi udara dalam
paru-parunya, sampai dia 61
mengira akan mati; tapi dia tetap
mendaki. Kemudian sebongkah batu yang
lebih besar daripada yang lain
mulai bergerak ketika bebatuan
kecil di bawahnya merosot. Batu
itu bergeser dan menggelinding ke
arah Lila dan dia tidak memiliki
kekuatan untuk menghindar; tapi
pada detik terakhir batu itu
memantul ke atasnya dan menggelinding menuruni sisi gunung
dalam balutan gumpalan debu dan
kerikil. Di tempat batu tadi berada, ada
lubang besar setinggi rumah.
Cahaya bulan menyinari sedikit jalan masuknya, tapi lorong itu
masih jauh ke dalam, langsung
menuju pusat gunung. Semburan asap
berbau sulfur membubung keluar, dan
Lila tahu dia telah menemukan
sasarannya: itulah Gua sang
Angkara Api. BAB LIMA LILA mendorong tubuhnya bangkit
dengan tangan gemetar, dan
melangkah masuk. Lantainya panas
sekali dan udara nyaris tidak bisa
dipakai untuk bernapas. Dia terus
melangkah, masuk lebih jauh lagi ke
perut bumi, lebih dalam daripada
yang bisa dicapai cahaya bulan, dan
tidak mendengar apa-apa selain
keheningan, tidak melihat apa-apa
selain bebatuan gelap. Dinding batu yang kasar dan
tandus menjulang di kanan-kirinya;
dia merabanya dengan tangan yang
berdarah. Kemudian lorong melebar menuju gua besar. Lila tidak
pernah melihat sesuatu yang begitu
suram dan kosong dalam hidupnya,
dan dia mendengar jantungnya
mencelos, karena dia telah tiba
sejauh ini tapi tidak ada apa-apa
di sini. Lila terduduk di lantai. Dan seakan itu tanda, api kecil
menjilat keluar dari dinding batu
selama sedetik, kemudian 63
lenyap. Lalu sekali lagi, di tempat
lain. Dan lagi. Kemudian bumi berguncang serta
mengerang, dan disertai suara tajam
gesekan kasar, dinding batu
membelah terbuka, dan tiba-tiba gua
bermandikan cahaya. Lila duduk tegak, terperangah,
ketika bara merah dan lidah api
menjilat serta berderak di langit-
langit batu. Seketika gua itu
penuh dengan gerakan, saat seribu
setan api merangsek ke atas, melemparkan diri ke dinding batu
dan bertabrakan dengan seribu setan
api lain, ketika karpet lebar
berupa lahar yang menggelegak
menyebar ke seluruh penjuru, saat
dentuman dan benturan palu pada
besi berdentang seiring irama dansa
api yang membahana. Gua bawah tanah itu penuh cahaya
dan suara. Ribuan makhluk api
bergerak dan menyala-nyala,
mengayunkan palu, berlarian 64
ke sana kemari membawa percikan-
percikan api, dan berkerumun di
dinding batu sampai dinding itu
lumer lalu mengalir ke bawah
seperti lilin cair. Kemudian
makhluk-makhluk serakah itu
mencelupkan tangan merah mereka ke
sana lalu mengambil sulfur yang
menggelegak dan memasukkannya ke
mulut kecil mereka, kemudian
memakan tanpa henti sampai dinding
batu lain lumer dan menenggelamkan
mereka. Lalu di tengah cahaya, api, dan suara-suara berisik, muncullah
Razvani, sang Angkara Api yang
hebat, yang tubuhnya berupa
gumpalan api dan wajahnya berupa
topeng cahaya yang menyilaukan.
Ribuan setan api bertemperasan
ketika dia mendarat, bahkan lidah
api yang menjilat-jilat membungkuk
ke arahnya. Lila juga. Dengan suara seperti kebakaran
hutan, Razvani berbicara.
"Atas izin siapa kau masuk ke
gua?" 65
Lila menelan ludah dengan susah
payah. Sulit sekali bernapas,
karena rasanya seperti menarik api
ke dalam paru-paru, bukan hanya
udara. "Aku ingin menjadi pembuat
kembang api," Lila berhasil
berkata. Raznani tertawa keras sekali.
"Kau" Tidak mungkin! Dan apa
yang kau inginkan dariku?"
"Sulfur Bangsawan," jawab Lila
tersedak. Mendengar itu Razvani menepuk
sisi tubuhnya sendiri dan tertawa
semakin keras, lalu seruan mengejek
dan pekikan girang terdengar dari
semua setan api. "Sulfur Bangsawan" Kalian
dengar itu" Oh, hebat! Lucu
sekali! Nah, bicaralah, Nak:
apakah kau memiliki Tiga Bekal?"
Lila hanya bisa mengangkat bahu
dan menggeleng. Ia hampir tidak
bisa bicara. "Aku tidak tau apa itu,"
katanya. 66
"Jadi apa yang akan kautukar
dengan Sulfur Bangsawan?" tanya
Razvani bertanya menggelegar.
"Aku tidak tahu!"
"Kau takkan memberi apa pun
untuk ditukarkan?" Lila tidak bisa berkata apa-apa.
Dia menundukkan kepala. "Yah, kau sudah datang jauh-
jauh," kata sang Angkara Api,
dan tidak ada jalan kembali.
Mumpung sekarang sudah berada di sini, kau harus melangkah di api,
seperti para pembuat kembang api
lain. Kuduga kau membawa air ajaib
dari sepupuku Dewi Danau" Kau
tidak membawa apa-apa untukku, tapi
kurasa kau takkan lupa membawa
sesuatu untuk melindungi dirimu
sendiri. Sebaiknya kau minum
cepat-cepat!" "Aku tidak punya apa-apa!" ujar
Lila tersengal. "Aku tidak tahu
tentang air ajaib maupun Tiga
Bekal -- aku hanya ingin menjadi
pembuat kembang api! Dan aku akan
jadi pembuat kembang api yang 67
hebat, Razvani! Aku menciptakan
Naga Meletup yang bisa meledak
sendiri dan Koin Kelap-Kelip!
Aku sudah mempelajari semua yang
diajarkan ayahku! Hanya itu yang
kuinginkan -- menjadi pembuat
kembang api seperti ayahku!"
Tapi Razvani hanya tertawa.
"Tunjukkan hantu-hantu padanya!"
dia berseru, dan menepukkan
tangannya yang berkobar. Seketika timbul retakan
memanjang pada dinding batu, dan
dari celahnya keluarlah iring-
iringan hantu, masing-masing dijaga
setan api. Hantu-hantu itu sangat
pucat dan transparan sehingga Lila
nyaris tidak bisa melihat mereka,
tapi dia mendengar mereka melolong.
"Awas! Lihat aku! Aku datang
tanpa Tiga Bekal!" "Awas! Dengar peringatanku!
Aku tidak pernah berlatih seni
membuat kembang api dan aku belum
siap!" "Nona, pergilah! Aku sombong
dan keras kepala! Aku tidak 68
meminta air dari sang dewi, dan aku
terbakar api!" Sambil melolong dan menangis,
hantu-hantu itu melintasi sungai
api, dan lenyap melalui celah di
dinding seberang. "Itulah yang terjadi pada mereka
yang datang tanpa persiapan!" kata
Razvani. "Tapi sekarang kau harus
mneyerahkan dirimu seperti mereka. Melangkahlah ke apiku, Lila! Kau
datang untuk mengambil Sulfur
Bangsawan -- ambillah dari
tanganku!" Dan dia tertawa lebih keras,
lalu berputar-putar dalam gerakan
dansa cepat, mengentakkan kaki
dalam gerakan melingkar lebar dan
menyebabkan lingkaran api menjilat-
jilat di sekelilingnya. Di antara
kelebatan merah, kuning, dan
jingga, wajahnya tampak buram dan
berkelip-kelip, namun suaranya
bergema jelas di antara deru dan
gemeretak api: "Kau ingin menjadi pembuat
kembang api" Melangkahlah di 69
apiku! Ayahmu melakukannya, juga
semua seniman api. Kau datang
untuk ini! Mengapa menunggu?"
Lila ketakutan setengah mati.
Tapi dia tahu harus melakukannya;
lebih baik jadi hantu daripada
kembali dengan tangan kosong dan
gagal melakukan satu-satunya hal
yang diinginkannya. Dia maju satu langkah, kemudian
selangkah lagi, dan kakinya yang
malang terbakar serta melepuh
sehingga dia berteriak kesakitan.
Kemudian Lila melangkah lagi, dan
ketika tahu tidak bisa menahannya
lebih lama lagi, dia mendengar
suara keras di belakangnya, seperti
Putri Si Pembuat Kembang Api The Firework Makers Daughter Karya Philip Pullman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terompet nyaring. Dan di sela-sela
gemeretak api, terdengar suara
berteriak: "Lila! Airnya! Ambil, ambil!"
Dan tampak sosok kecil di
sampingnya, menyerahkan sesuatu ke
tangannya: buli-buli! Buli-buli
untuk minuman dengan tutup yang
segera dicabutnya, lalu ia
mengangkatnya ke bibir dan 70
meneguk isinya banyak-banyak.
Seketika rasa dingin menyegarkan
mengalir ke dalam tubuhnya dan
terus turun ke ujung-ujung jemari
kakinya. Rasa sakit lenyap dan
kekeringan di kerongkongan serta
paru-parunya terpuaskan dan
tersingkirkan. Di pintu masuk gua di belakangnya, dia bisa melihat
Chulak, menyingkir ke belakang dan
menutupi wajah dari panas; Lila
bisa melihat Hamlet mengipasi anak
lelaki itu dengan telinganya.
Tapi Lila berada di jantung
api, kembali menghadapi Razvani,
apinya kini tidak lagi berbahaya.
Api bermain-main seperti air
mancur cahaya; menjilati tungkai
dan lengannya serta menyembur di
wajahnya seperti burung-burung yang
menukik dan Lila merasa ringan
serta gembira, seakan dia sendiri
api, menari-nari dengan energi
murni dan kebahagiaan. "Jadi kau berhasil melakukannya!" Razvani berkata
padanya. "Selamat datang kea 71
pi, Lila." "Dan**Sulfur Bangsawan-nya?"
tanya Lila. "Ah, saat kau mencapai jantung
api, semua ilusimu lenyap.
Tidakkah ayahmu mengatakan itu?"
"Ilusi" Aku tidak mengerti!" "Sulfur Bangsawan itu tidak
nyata, Lila. Tidak ada hal
semacam itu!" "Lalu**bagaimana aku bisa
menjadi pembuat kembang api" Aku
mengira semua pembuat kembang api
butuh Sulfur Bangsawan untuk
menjadi seniman!" "Ilusi, Lila. Api membakar
semua ilusimu. Dunia sendiri
merupakan ilusi. Segala yang ada
berkelip seperti api selama sesaat,
kemudian lenyap. Satu-satunya yang
abadi adalah perubahan. Tidak ada
Sulfur Bangsawan. Ilusi**
Segala hal di luar api adalah
ilusi!" "Tapi Tiga Bekal itu -- aku
tidak mengerti! Apakah Tiga
Bekal itu, Razvani?" 72
"Apa pun itu, kau sudah
membawanya untukku," kata Razvani.
Dan itu hal terakhir yang
didengar Lila darinya, karena saat
mengucapkannya Razvani memudar,
dan danau api menggelap lalu menjadi batu merah, kemudian
menjadi batu biasa, dan pasukan
setan api berubah menjadi percikan
kecil samar-samar yang melayang
tidak tentu arah selama beberapa
detik, lalu tenggelam, kemudian
lenyap seketika. Gua itu kembali kosong. Lila memalingkan wajah dari
tempat api tadinya berada. Dia
pusing dan kecewa, tenang dan
penasaran, senang dan bingung;
sebenarnya dia tidak tahu apa yang
dirasakannya atau apa sebenarnya
dirinya, selama sesaat. Tapi
kemudian dia melihat Chulak dan
berlari ke arahnya. "Chulak, kau menyelamatkan
nyawaku! Dan kau terluka -- kau
terbakar -- biarkan aku membantumu!" 73
Chulak menggeleng dan menarik-
narik tangan Lila. "Jangan buang-buang waktu,"
katanya. "Kita harus bergegas. Ceritakan padanya sambil jalan, Hamlet!"
Mereka tersaruk-saruk keluar
dari gua menuju cahaya pucat fajar,
dan Hamlet berkata: "Maafkan aku, Lila. Aku
mendengar burung-burung berbicara
di kaki gunung, dan mereka berkata
'Lihat! Si Gajah Putih! Yang
kabur dari kota!' Aku bertanya
pada salah satu tentang apa yang
diketahuinya, dan burung itu
berkata 'Pembuat Kembang Api
membantumu melarikan diri. Ada
yang melihat dan memberitahu Raja,
akibatnya sekarang Lalchand
ditangkap, lalu akan dihukum
mati!' Kemudian burung itu
terbang untuk memberitahu burung-
burung lain. Lila, kita harus
kembali secepat mungkin. Jangan
buang-buang waktu untuk menyalahkan
siapa pun! Naik ke 74
punggungku dan berpeganganlah erat-
erat." Maka, dalam gelombang ketakutan
yang membuatnya melupakan Razvani dan Sulfur Bangsawan serta Tiga
Bekal, Lila memanjat punggung si
Gajah di sebelah Chulak, dan
berpegangan erat-erat saat Hamlet
mulai meluncur menuruni lereng
gunung diterangi cahaya fajar.
BAB ENAM BAGAIMANA mereka melakukannya,
Lila tidak pernah tahu -- mereka berhenti hanya agar Hamlet bisa
minum di sungai sementara Lila dan
Chulak mengambil beberapa buah
dari pohon yang dahan-dahannya
menjulur ke air -- namun setelah
berjam-jam berjalan dan tersaruk-
saruk serta setengah berlari dengan
kaki melepuh, mereka tiba di
pinggir kota. Matahari akan
terbenam. Tentu saja Hamlet menarik
perhatian begitu dia terlihat,
karena semua orang tahu si Gajah
Putih melarikan diri. Tidak lama
kemudian mereka sudah dikerubungi
kerumunan yang ingin tahu, semua
berusaha menyentuh Hamlet demi
keberuntungan, dan sebelum tiba di
dekat istana, mereka tidak lagi
bisa bergerak. Lila nyaris menangis ketakutan
dan tidak sabar. "Apakah mereka sudah membunuh
ayahku" Apakah Lalchand 76
masih hidup?" dia bertanya, tapi
tidak seorang pun tahu. "Minggir semua!" seru Chulak.
"Beri kami jalan! Minggir!"
Tapi mereka hanya bisa bergerak
maju sentimeter demi sentimeter.
Chulak bisa merasa Hamlet mulai
marah, dan dia takut takkan bisa
mengendalikannya. Dia mengelus-
elus belalai gajah itu dan
membuatnya tetap tenang. Kemudian mereka mendengar
teriakan dan suara pedang beradu di
depan mereka, lalu kerumunan segera
terkuak. Kabar telah sampai ke
Istana dan Raja mengirimkan
Pengawal Spesial dan Istimewa-
nya untuk mengawal Hamlet kembali
ke rumahnya yang megah. "Sudah waktunya!" kata Chulak
pada sang jenderal yang memimpin.
"Ayo, kami buru-buru. Bersihkan
jalanan dan minggirlah."
Maka ketiganya, dalam keadaan
terbakar, melepuh, dekil, serta
kelelahan, dikawal menuju Istana
oleh pengawal berseragam 77
indah, yang bersikap seakan merekalah yang menemukan Hamlet.
Jantung Lila yang malang berdegup
kencang seperti burung di dalam
jaring. "Beri hormat!" kata Jenderal
Spesial dan Istimewa. "Menyembahlah! Wajah menunduk!
Terutama wajahmu, bocah."
Mereka berlutut di kerikil
halaman dalam Istana dalam cahaya
obor yang menyala, dan Pengawal
Spesial dan Istimewa berbaris
memberi hormat ketika Raja datang.
Yang Mulia berdiri dan di
hadapan mereka. Lila bisa melihat
sandal emasnya, kemudian kegelisahan tidak bisa lagi
dibendungnya, maka dia berlutut
sambil menengadah dan berkata pilu,
"Saya mohon, Yang Mulia -- ayah
saya Lalchand -- Anda belum --
dia tidak -- apakah dia masih
hidup?" Raja menatap ke bawah dengan
galak. "Dia akan mati besok pagi,"
katanya. "Hanya ada satu 78 hukuman untuk apa yang telah
dilakukannya." "Oh, saya mohon! Tolong jangan
bunuh ayah saya! Ini kesalahan
saya, bukan kesalahannya sama
sekali! Saya kabur tanpa memberitahu dia dan --"
"Cukup," tukas Raja, dan dia
begitu tampak menakutkan sehingga
Lila segera berhenti bicara.
Kemudian Raja menatap Chulak.
"Siapa kau?" ia bertanya.
Chulak segera berdiri, tapi
sebelum dia bisa bicara, seorang
Pengawal Spesial dan Istimewa
memaksanya menunduk kembali.
"Saya Chulak, Yang Mulia,"
katanya. "Bolehkah saya
menengadah" Tidak mudah bicara
jika ada kaki di leher saya."
Raja mengangguk, dan si pengawal
mundur. Chulak berlutut di sebelah
Lila dan berkata: "Begini lebih baik. Anda tahu,
Yang Mulia, saya Pelayan Spesial dan Istimewa si Gajah, semacam itulah. Dia hewan 79
yang lembut, dan jika ditangani
dengan salah, akan ada persoalan
tanpa akhir. Dan begitu tahu dia
melarikan diri, saya segera
mengejarnya, Yang Mulia. Saya
berenang menyeberangi sungai,
mendaki pegunungan, menembus hutan
belantara, dan -- " Tiba-tiba seluruh napas Chulak
seakan dipaksa keluar dari paru-
parunya dan dia terkapar lagi di
tanah. Sesuatu yang lembut
mendorong punggungnya, dan dia tahu
itu belalai Hamlet. Hamlet belum
pernah memperlakukan dirinya
seperti itu, dan dia menggulingkan
tubuh dengan terejut untuk melihat
si Gajah memandanginya dengan
tatapan istimewa dan penuh arti,
kemudian Chulak tahu apa yang
harus dilakukannya. Dia bangkit kembali dan menghadap Raja.
Putri Si Pembuat Kembang Api The Firework Makers Daughter Karya Philip Pullman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Yang Mulia, si Gajah baru
saja mengajukan permintaan. Saya dan dia memiliki cara unik dalam
berkomunikasi, Anda tahu. 80
Dia minta bertemu empat mata
dengan Anda, Yang Mulia."
Bahkan sang Jenderal Spesial
dan Istimewa tidak bisa menahan
tawa memikirkan ada hewan yang
ingin bicara dengan Raja, tapi ia
segera mengubahnya menjadi batuk
ketika Raja memelototinya.
"Sendirian?" Raja bertanya pada
Chulak. "Ya, Yang Mulia."
"Si Gajah Putih hewan yang
sangat langka dan luar biasa," kata
Raja. "Demi dirinya, aku akan
mengabulkan permintaannya. Dan
jika ternyata kau mempermainkanku,
kau boleh yakin besok pagi sama
sekali tidak ada yang akan bisa
kautertawakan. Jenderal, bawa
kedua anak ini keluar dan
tinggalkan aku sendiri bersama si
Gajah." Para pengawal menyeret Lila dan
Chulak ke luar halaman dan menuju bangunan dapur, aroma daging
panggang dan rempah-rempah
mengingatkan bahwa mereka 81
berdua belum makan selama 24 jam.
"Jangan khawatir," kata Chulak.
"Hamlet akan menjelaskan
segalanya." "Apakah dia akan bicara pada
Raja, kalau begitu" Aku mengira
fakta bahwa dia bisa bicara
merupakan rahasia besar!"
"Ini keadaan tertentu yang
istimewa. Oh, nasi itu! Oh, saus
plum itu! Oh, wangi rempah-rempah
itu!" Bahkan rasa takut Lila tidak
menghalangi air liurnya menitik,
dia kelaparan sekali. Lalu mereka menunggu. Menit-
menit berlalu dan terus berlalu,
dan Lila yang malang sangat pegal
dan letih sehingga nyaris tertidur
sambil berdiri, meski tetap
khawatir. Tapi akhirnya ada
gerakan di pintu. "Tawanan!" salak sang Jenderal. "Ayo ikut aku!"
Dua baris pengawal berderap
tegap, Chulak dan Lila di tengah-
tengah mereka mengikuti 82
Jenderal kembali ke halaman
istana. Ketika mereka sudah membungkuk
hormat dengan benar, Raja berkata,
"Mula-mula, untukmu, Chulak, aku
menangguhkan hukuman. Telah
dikatakan padaku kau tidak pernah
berniat melukai si Gajah, tapi aku
tidak yakin kau orang yang terbaik
untuk mengurusnya. Kau dipecat."
Chulak menelan ludah, dan
menatap Hamlet. Kemudian Raja berpaling pada
Lila dan berkata, "Aku telah
merenungkan kasusmu baik-baik.
Sangat luar biasa, dan inilah
keputusanku. Aku takkan menghukum
mati Lalchand sang Pembuat
Kembang Api, tapi dengan satu
syarat. Minggu depan, seperti yang
diketahui seluruh kota, kita
merayakan Festival Tahun Baru, dan aku telah mengundang seniman-
seniman kembang api terbaik dari
seluruh penjuru dunia untuk
menyumbangkan pertunjukan.
"Sekarang begini 83
rencanaku: aku akan mengumumkan
kompetisi di malam terakhir
Festival. Setiap seniman yang
kuundang akan mempersembahkan
pertunjukan petasan, Lalchand
serta Lila akan ambil bagian juga.
Hadiahnya berupa piala emas akan
diberikan kepada seniman yang
pertunjukannya mendapat tepuk
tangan paling lama. Hanya itu yang
diketahui kompetitor lain.
"Tapi kau dan Lalchand akan
tahu hal lain. Jika pertunjukan
kalian menang, Lalchand akan
mendapat hadiah dan bebas; tapi
jika kalian kalah dalam kompetisi,
dia juga akan kehilangan nyawa.
"Itu keputusanku, dan tidak
boleh diganggu gugat. Kau punya
waktu seminggu untuk menyelamatkan
nyawa ayahmu, Lila." "Pengawal, bawa mereka keluar,
dan bebaskan Lalchand sang
Pembuat Kembang Api agar bisa
bersama putrinya." Lila hampir tidak punya waktu
untuk berpikir, tahu-tahu dia 84
sudah berada di pintu kecil samping
Istana, pelayan membawa obor
berkelap-kelip bagi Lila untuk
menunggu. Tapi Lila tidak harus
menunggu lama; dari balik pintu
terdengar suara rantai terjatuh ke
lantai, kemudian pintu terbuka dan
di sana berdiri Lalchand.
Tak ada di antara keduanya yang
mampu bicara, tapi mereka
berpelukan sangat erat sehingga
nyaris tidak bisa bernapas. Saat
sudah puas berpelukan, mereka sadar
soal perut yang keroncongan, dan
bergegas pulang. "Kita beli udang goreng di kios
sebelah, dan makan sambil bekerja,"
kata Lalchand. "Apakah mereka sudah memberitahu
Ayah tentang keputusan Raja?" tanya Lila.
"Ya, tapi aku tidak khawatir.
Kita harus bekerja sekeras yang
belum pernah kita lakukan, tapi
kita bisa melakukannya**"
Dan Lila melupakan Sulfur
Bangsawan serta Tiga 85
Bekal. Tidak ada waktu untuk
bertanya tentang masalah itu
sekarang. Dia bergegas menuju
bengkel membawa beberapa piring
nasi, udang, dan tumis sayuran,
lalu mereka makan tanpa merasakannya sambil bekerja.
"Ayah," kata Lila. "Aku puny
aide. Bagaimana jika**"
Dia mengambil sebatang arang
dari meja kerja dan menggambar
sketsa cepat-cepat. Mata Lalchand
bersinar. "Aha! Tapi mulailah perlahan-
lahan. Buat dengan seksama."
"Dan dalam perjalanan pulang
dari Gunung Merapi," kata Lila,
"ketika kami berhenti di sungai,
aku melihat tanaman rambat saling membelit, dan aku memikirkan cara
untuk menunda sumbunya terbakar.
Membuatnya terbakar pada taraf
berbeda." "Mustahil!" "Tidak mustahil. Lihat, akan
kutunjukkan**" Dan mereka pun bekerja. 86
BAB TUJUH PARA Pembuat Kembang Api yang diundang tiba keesokan
harinya, bersama seniman dan
pelakon terkenal lain: Perkumpulan
Opera Pencari Bakat dan Pembimbing dari China, Senor
Archibaldo Gomez dan Orkes
Mambo Filipino-nya, Komedian
Nasional Cowbell Norwegia, dan
banyak lagi. Mereka semua turun
dari kapal S4S. Indescribable
bersama koper-koper, peralatan, dan
kostum-kostum mereka, dan segera
mulai berlatih. Pembuat Kembang Api pertama
adalah Dr. Puffenflasch, dari Heidelberg. Dia menciptakan roket
multitahap yang meledak di
ketinggian enam ratus meter dalam
bentuk sosis Frankfurter raksasa,
sementara instrument besar yang
diciptakannya memainkan lagu The
Ride of Valkyries. Herr Puffenflasch menghabiskan banyak
waktu dan tenaga untuk mempersiapkan sesuatu 88
sespektakuler itu demi Festival
Tahun Baru, dan dia sendiri yang
mengawasi bongkar-muat peralatannya
yang besar-besar dengan sangat
hati-hati. Pembuat Kembang Api kedua yang
datang adalah Signor Scorcini
dari Napoli. Keluarganya membuat
kembang api selama bergenerasi-
generasi dan keahliannya adalah
suara. Untuk pertunjukkannya ini
dia menciptakan gambaran skala
besar pertempuran laut, dan Raja
Neptunus muncul dari dalam air
untuk menjaga pertarungan tetap
adil serta menyatakan perdamaian. Pembuat Kembang Api ketiga dan
terakhir adalah Kolonel Sam
Sparkington dari Chicago.
Pertunjukkannya berjudul Aksi
Kembang Api Terhebat Segalaksi;
dan biasanya menampilkan Kolonel
Sparkington sendiri, mengenakan
topi Stetson putih sambil
menunggang kuda. Kali ini,
gosipnya, dia menciptakan
pertunjukan yang 89
menghebohkan, melibatkan sesuatu
yang belum pernah ada dalam seni
kembang api. Dan sementara ketiga Pembuat
Kembang Api yang berkunjung itu
memasang peralatan pertunjukan,
Lalchand dan Lila mengerjakan
pertunjukan mereka. Waktu seakan
terbang. Mereka hampir tidak
pernah tidur, nyaris tidak pernah
mandi, hampir tidak pernah makan.
Mereka mencampur bergentong-
gentong Ular Emas, mereka memesan
satu setengah ton bunga garam,
mereka menciptakan sesuatu yang baru yang tidak bisa mereka
tentukan namanya sampai Lila
berkata: "Lumut**" dan menjentikkan
jemari. "Berbusa?" kata Lalchand.
"itu dia!" Lila menunjukkan kepada Lalchand metode sumbu tertundanya,
tapi tidak berhasil sampai
Lalchand mendapat ide untuk
menambahkan spirit mineral, 90
kemudian metode ini bekerja dengan
hebat. Metode tersebut bisa
menyalakan lima puluh atau seratus
kembang api sekaligus, yang
sebelumnya mustahil dilakukan.
Kemudian Lalchand menciptakan
penutup pertunjukan yang spektakuler, tapi hal itu
tergantung pada hal yang lebih
mustahil lagi: menyalakan sumbu di
Putri Si Pembuat Kembang Api The Firework Makers Daughter Karya Philip Pullman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bawah air. Lila memecahkan
persoalan tersebut karena teringat
pada nafta yang mudah terbakar,
lalu mereka mencobanya, dan berhasil.
Dan sebelum mereka menyadarinya,
hari Festival pun tiba. "Aku ingin tahu dimana Chulak
berada," kata Lila sambil
merenung, tapi benaknya lebih
memikirkan Lumut Berbusa.
"Kuharap Hamlet diperlakukan
dengan baik," timpal Lalchand,
tapi sebenarnya dia memikirkan
nafta yang mudah terbakar.
Dan tidak ada diantara keduanya
yang berkata apa-apa tentang 91
keputusan Raja, tapi mereka tidak
bisa menyingkirkan pikiran itu dari
benak mereka. Setelah tidur sebentar dan
sarapan yang terburu-buru, mereka
memuat gerobak si penjual udang
goring (dia meminjamkannya oada
mereka karena dia sedang libur) dan
mendorongnya melintasi jalan-jalan
menuju Royal Park, tempat
pertunjukan akan berlangsung. Si
penjual batik mengikuti dari
belakang sambil mendorong gerobak lain, dan di belakangnya berjalan
si pengukir kayu cendana dari ujung
jalan, membawa gerobak ketiga,
semua penuh berisi kembang api.
Tapi begitu mereka tiba di danau
buatan, Lila dan Lalchand
berhenti dengan cemas. Karena di sana sudah berdiri
Dr. Puffenflasch sambil mengawasi
tahap akhir pemasangan peralatan
sebesar lima belas ton, semua
terbungkus terpal yang rapi,
dikerubungi dua belas teknisi
kembang api bercelana terusan 92
putih, memegang clipboard dam
stetoskop. Dan di sebelah lelaki itu tampak
Signor Scorcini yang memanjat
model kapal layer yang bahkan lebih
panjang daripada Kapal Kerajaan,
penuh meriam dan suluh, sementara
kru Neapolitannya berdebat dan
mengibas-ngibaskan tangan dengan
logat Neapolitan sambil menurunkan
model Raja Neptunus yang menggangguk-angguk, berjanggut, dan luar biasa besar ke dalam air.
Dan di sebelahnya Kolonel
Sparkington melatih pertunjukannya. Terdapat roket
raksasa berwarna merah, putih dan
biru dengan sadel di bagian
belakang, dan di podium tinggi yang
melebihi pucuk-pucuk pohon terdapat
model bulan, dengan lusinan kawah
yang dimuati benda-benda menarik**
Segalanya tampak hebat. Lalchand dan Lila menatap
persiapan besar-besaran yang
dikerjakan seniman-seniman lain,
kemudian memandang tiga 93
gerobak kecil mereka, dan hati
mereka mencelos. "Tak apa-apa," kata Lalchand.
"Pertunjukan kita bagus, Sayang.
Pikirkan Lumut Berbusa! Mereka
tidak punya yang seperti itu."
"Atau sumbu bawah air," lanjut
Lila. "Lihat, mereka harus
menyalakan sumbu dewa laut itu
dengan cara manual. Kita mampu
melakukan yang lebih baik daripada itu Ayah!"
"Tentu saja kita bisa. Ayo
mulai bekerja**" Mereka membongkar bahan-bahan,
dan si penjual batik serta pengukir
kayu cendana membawa pulang gerobak
mereka, dengan janji bakal diberi
karcis gratis pertunjukan.
Hari berlalu dengan cepat.
Setiap Pembuat Kembang Api
sangat ingin tahu tentang
pertunjukan yang lain, dan sering
berkeliaran mendekat untuk melihat-
lihat, dengan alasan ingin meminjam
segenggam bubuk api merah atau
seutas sumbu yang terbakar 94
lambat. Mereka datang untuk
melihat persiapan Lalchand dan
Lila, dan mereka sangat sopan,
tapi jelas sekali mereka agak
meremehkan. Dan mereka semua sangat ingin
mengintip ke balik terpal milik
Dr. Puffenflasch, namun lelaki
itu menjaga terpalnya tetap terikat
erat. Tepat pukul 19_00 matahari
terbenam, dan sepuluh menit
kemudian cuaca sudah gelap. Orang-
orang mulai berdatangan, membawa
karpet untuk duduk dan keranjang
piknik, dan dari Istana di dekat
sana terdengar suara lonceng, gong,
dan simbal. Semua Pembuat
Kembang Api sibuk dalam kegelapan, memberikan sentuhan
terakhir pada pertunjukan mereka,
dan saling mengucapkan semoga
beruntung. Kemudian dentuman genderang
terdengar, dan gerbang Istana
terbuka lebar. Disinari seratus
obor berkelap-kelip, iring- 95
iringan besar bergerak menuju
panggung besar di tepi danau. Raja
diusung di tandu emas, dan para
penari kerajaan melenggak-lenggok
serta melangkah gemulai di kedua
sisinya. Di belakang mereka,
dihiasi kain emas dan perhiasan
berbagai warna, dengan gading dan
kuku-kuku kaki dicat merah menyala, Hamlet melangkah.
"Oh, lihat makhluk malang itu!"
kata Lila. "Dia tampak sedih
sekali. Aku yakin badannya
mengurus." "Dia rindu pada Chulak, aku
yakin," ujar Lalchand.
Hamlet berdiri murung di sebelah
panggung besar saat Raja mengumumkan kompetisi telah dibuka.
"Hadiah berupa piala emas dan
seribu koin emas akan diberikan
kepada sang juara!" Raja
mengumumkan. "Hanya tepuk tangan
kalian yang menentukan pemenangnya.
Kontestan pertama sekarang akan
memulai pertunjukan."
Para Pembuat Kembang 96
Api telah mengambil undian untuk
menentukan urutan pertunjukan. Dr.
Puffenflasch yang pertama. Tentu
saja para penonton tidak tahu apa
yang akan disuguhkan. Ketika roket
besarnya melesat ke langit malam,
dan ketika Bombardenorgelmitsparkenpumpe raksasanya mulai memainkan lagu
The Ride of the Valkyries,
melontarkan gumpalan-gumpalan besar
lahar tektonik, mereka semua
berseru penuh semangat. Kemudian
tiba puncak pertunjukan. Dari
kegelapan muncullah persembahan
berupa model santapan kesukaan
raja: udang galah raksasa berwarna
pink, mendesis dan memercik, yang
mulai berputar-putar makin cepat
dan terus makin cepat sampai
bentuknya memburai dalam hujan
percikan api berwarna salem
diiringi nada keras dari Bombardenorgelmitsparkenpumpe.
Tepuk tangannya luar biasa
meriah. "Itu tadi hebat," komentar 97
Lila khawatir. "Udang galah yang besar.
Sungguh**besar. Dan pink.
"Terlalu terang," kata
Lalchand. "Jangan khawatir. Tapi
warna pink-nya memang bagus. Harus
kutanyakan resepnya." Berikutnya adalah Signor
Scorcini bersama teknisi kembang
api Neapolitan-nya. Roket merah,
hijau, dan putih mendesing di
angkasa, kemudian meledak diiringi
dentuman keras yang menggema ke
seluruh kota, lantas kapal layarnya
berkobar dengan api berkelip serta
puntiran kincir api, dan sepasukan
budak di lambung kapal yang terbuat
dari lilin Romawi menggerakkan
dayung-dayung mereka dengan kaku
maju-mundur. Tiba-tiba gurita
raksasa muncul dari dalam air,
melambai-lambaikan tentakelnya yang
hijau dan menakutkan, lalu
menyerang kapal. Para pelaut
menembakkan segala jenis kembang
api Jumping Jack, Whizzer, dan
Pancuran Pijar ke arah 98
makhluk itu, kemudian menyiramnya
dengan Api Yunani dari gentong-
gentong yang diikat ke tiang kapal.
Suaranya tidak bisa dilukiskan.
Persis ketika tampaknya kapal itu
akan terguling, muncullah Raja Neptunus, mengibaskan trisulanya,
diserta tiga putri duyung. Musik
mengentak, dan putri-putri duyung
menyanyikan lagu Eropa gembira
berjudul Boom Bang-a-Bang.
Gurita mengibaskan tentakelnya
serentak, dan banyak lagi roket
meluncur seiring dengan musik.
Penonton sangat menyukainya.
Mereka bersorak-sorai gembira.
"Ya ampun," kata Lalchand.
"Itu tadi sungguh mengasyikkan.
Ya ampun, ya ampun."
"Tapi tidakkah ayah lihat
bagaimana mereka harus menyalakan
sumbu sang dewa laut?" kata Lila.
"Mereka harus menunggu sampai dia
sudah berada di atas air dan lelaki
kecil di perahu mengulurkan tangan
yang memegang sebatang korek api.
Tunggu saja sampai mereka 99
melihat sumbu bawah air kita!"
Setelah tepuk tangan mereda,
pertunjukan Kolonel Sparkington
dimulai. Mula-mula banyak sekali
kembang api berbentuk piring mendesis turun dari kegelapan dan
mendarat di rumput. Itu sendiri
mengundang tepuk tangan, karena
kembang api biasanya naik, bukan
turun. Kemudian bulan yang
tersohor melayang menampakkan diri,
jauh di atas pucuk pepohonan, dan
Kolonel Sparkington berderap di
punggung kuda putih yang terbuat
dari kitiran api kecil-kecil,
melambaikan topi Stetson ke arah
penonton, yang begitu gembira
sehingga bersorak-sorak. Lila bisa melihat petugas di
sebelah Raja menghitung detik-
detik yang berlangsung tiap kali
tepuk tangan membahana. Lila
menelan ludah. Kemudian tiba puncak pertunjukan
Kolonel Sparkington. Setelah
menginjak-injak kembang api piring
terbang dengan kaki-kaki 100
Putri Si Pembuat Kembang Api The Firework Makers Daughter Karya Philip Pullman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kuda kitiran apinya, sang Kolonel
yang gagah melompat mengendarai
roket merah, biru, dan putih.
Kepala suku Cherokee berderap di atas kuda Palomino dan menembakkan
anak panah membara ke ekor roket,
yang segera menyala dan melesat ke
atas melalui seutas tali menuju
bulan, membawa Kolonel Sparkington yang terus melambai-
lambaikan topi. Begitu roket mendarat, dua belas
kawah terbuka dan keluarlah
makhluk-makhluk bulan kecil
berwajah bundar, bermata besar, dan
bertelinga runcing. Penonton bersorak seperti
kesetanan. Makhluk-makhluk bulan
itu mengibaskan bendera seluruh
negara di dunia dan membungkuk pada
Raja, Kolonel Sparkington
menembakkan roket-roket kea rah
mereka, dan mereka memburai ke
segala arah, sambil menyanyikan
lagu Sparkington Selamanya. Kau
bisa mendengar suara tepuk tangan,
sorakan, siulan, dan entakan 101
kaki sampai berkilo-kilometer
jauhnya. Lila dan Lalchand saling menatap. Tidak perlu bicara. Tapi
kemudian mereka berpelukan sangat
erat, berlari menuju posisi, dan
begitu penonton kembali tenang,
pertunjukan mereka dimulai.
Hal pertama yang terjadi adalah
kelopak bunga-bunga teratai kecil
yang terbuat dari api putih tiba-
tiba terbuka di air, tanpa ada
tanda-tanda dari mana apinya
berasal. Penonton menjadi hening,
dan ketika bunga-bunga itu mulai
hanyut di danau yang gelap seperti
perahu-perahu kertas kecil,
penonton benar-benar terpaku diam.
Kemudian cahaya hijau indah
mulai berpendar di dalam air, dan
naik perlahan menjadi air mancur
api hijau. Tapi tidak tampak
seperti api -- kelihatannya seperti
air, dan air mancur itu memercik
dan menari seperti mata air
bergolak. Dan sementara air mancur 102
tersebut menari-nari di atas danau,
sesuatu yang tampak lain sama sekali terjadi di bawah pepohonan.
Karpet berupa lumut hidup seakan
menyebar sendiri melintasi rumput,
berjuta-juta titik cahaya kecil
berdempetan sehingga tampak
selembut beludru. Suara "Aaah"
terdengar dari penonton. Kemudian tiba pada bagian yang
paling sulit. Lila menciptakan
rangkaian kembang api seperti yang
dilihatnya di Gua sang Angkara
Api, tapi segalanya tergantung
pada sumbu-tunda yang bekerja
dengan baik -- dan tentu saja
mereka tidak punya waktu untuk
mengujinya dengan benar. Jika
beberapa kembang api menyala
sedetik terlalu cepat atau sedetik
terlambat, seluruh pertunjukan akan
sama sekali tidak ada artinya.
Tapi tidak ada waktu untuk
mengkhawatirkan itu sekarang.
Dengan cepat dan ahli Lila dan
Lalchand menyentuhkan api ke tiap
ujung sumbu utama, dan 103
menahan napas. Mula-mula terdengar serangkaian
ledakan terdam seperti dentuman
gendering yang terbekap. Segalanya
gelap. Kemudian cahaya merah
memancar ke bawah, meninggalkan
jejak berupa percikan merah
menggelantung di udara, seperti
celah yang membuka di langit malam.
Dentuman genderang yang sedih
menjadi semakin keras dan terus
semakin keras. Semua orang duduk
tida bergerak, menahan napas,
karena tidak kuasa menahan perasaan
bahwa akan ada yang terjadi.
Kemudian terjadilah. Dari dalam
celah merah di langit malam,
semburan warna-warna merah terang,
jingga, dan kuning lahar seakan
mengalir turun dan menyebar seperti
karpet api di Gua. Lila tidak
bisa menahan diri untuk melirik
sekilas ke arah Dr. Puffenflasch,
Signor Scorcini, dan Kolonel
Sparkington, dan melihat mereka
semua menyaksikan dengan mata
terbelalak lebar seperti 104 anak kecil.
Ketika karpet lahar itu telah
mengalir sampai nyaris ke tepi
danau, kecepatan dentuman genderang
bertambah, dan suara ledakan serta
letusan nyaring bagai membelah
langit di antara mereka. Dan tiba-
tiba, menari-nari seperti yang
dilakukannya di Gua, Razvani
sendiri seakan berada di sana,
berputar-putar dan mengentakkan
kaki sambil tertawa-tawa gembira
dalam permainan api abadi.
Baik Lila maupun Lalchand
melupakan segalanya, dan meraih
tangan masing-masing lalu ikut
berdansa. Belum pernah mereka
menciptakan pertunjukan sehebat
ini! Tidak peduli apa yang
terjadi, semua ini bukanlah kerja
sia-sia, segalanya berguna, demi
saat-saat membahagiakan seperti
ini! Mereka tertawa dan bersorak
bahagia. Namun tentu saja api mereka
bukanlah api Razvani, dan takkan bisa menyala selamanya. 105
Setan api raksasa berwarna merah
itu terbakar habis, dan lahar merah
terakhir mengalir perlahan menuju
danau, kemudian perahu-perahu
teratai putih kecil sekarang
bertebaran di permukaan danau
seperti bintang di langit, menyala
lalu terbakar seterang-terangnya
sebelum segalanya padam serentak.
Kemudian terjadi keheningan.
Keheningan itu meregang terus
sehingga Lila hampir tidak tahan,
dan dia mencengkeram tangan
Lalchand begitu erat sehingga
tulangnya nyaris bergemeretak.
Dan ketika Lila berpikir segalanya telah berakhir, Lalchand
takkan terselamatkan, segalanya
telah runtuh, terdengar teriakan
membahana dari Kolonel Sparkington. "Yiii-haaa!" teriaknya,
melambaikan topi. Dan -- "Bravissimo!" teriak Signor
Scorcini, bertepuk tangan di atas kepala. Dan --
"Hoch! Hoch! Hoch!" 106
raung Dr. Puffenflasch, menyambar
simbal dari Bombardenorgelmitsparkenpumpe-nya
agar bisa bertepuk tangan lebih
keras. Para penonton, tidak ingin tepuk
tangan mereka kalah dari para
Pembuat Kembang Api yang merupakan pendatang, ikut bersorak
dengan suara yang begitu meriah,
mengentakkan kaki, bertepuk tangan,
saling menepuk punggung, bersiul-
siul, dan berteriak-terak sehingga
438 burung merpati yang bersarang
di enam belas kilometer dari sana
terbangun dan berkata, "Kau dengar
itu?" Tentu saja petugas penghitung
waktu tepuk tangan harus menyerah.
Semua orang sudah tahu siapa
pemenangnya, dan Lalchand serta
Lila naik ke panggung kerajaan
tempat Raja menunggu untuk
memberikan hadiah. "Aku menepati janji," kata Raja
perlahan. "Lalchand, kau bebas. 107
Ambil hadiah ini, kalian berdua,
dan nikmati Festival!"
Nyaris tidak sadar apa yang
terjadi, Lila dan Lalchand
melangkah kembali menuju kegelapan,
ke tempat penyulutan kembang api di
bawah pepohonan. Lalchand mungkin
akan mengucapkan sesuatu, dan Lila
juga bakal bicara, tapi tiba-tiba
udara dipenuhi suara terompet
keras. "Itu Hamlet!" kata Lila.
"Lihat! Pasti ada penyebab dia
senang!" Sesaat kemudian mereka melihat
apa yang dilihat gajah itu, dan
Lila bertepuk tangan gembira.
Sosok kecil melangkah di rumput
depan panggung Kerajaan dan
membungkuk gemulai pada Raja. Itu
Chulak. "Yang Mulia!" katanya, dan
semua orang terdiam untuk mendengarkan apa yang akan
diucapkannya. "Demi menghormati
kebijakan besar Anda dan kemurahan
hati Anda pada seluruh 108
rakyat, dan untuk merayakan tahun-
tahun megah Anda berkuasa serta
harapan agar Anda memerintah
selama bertahun-tahun yang akan
datang, dan sebagai persembahan
kepada keberanian Anda yang luar
biasa dan kemuliaan Anda, dan demi
menghormati**" "Dia sudah mulai kurang ajar,"
kata Lalchand, saat Chulak terus
saja bicara. "Aku bisa melihat
Raja mulai mengetukkan kaki. Itu
pertanda buruk." "**Maka, Yang Mulia," Chulak
menyudahi, "saya merasa terhormat
untuk mempersembahkan kepada Anda
sekelompok musisi terbaik yang
pernah ada, yang akan menyanyikan
beberapa lagu indah terpilih, demi
kesenangan Anda. Yang Mulia,
para bangsawan, ladies and
gentlemen -- Rambashi's Melody Boys!"
"Tak mungkin!" seru Lila.
Tapi dia harus percaya, karena
tampak para mantan perompak
Rambashi, mengenakan jas 109
merah menyala yang keren dan sarung
kotak-kotak. Rambashi sendiri,
wajahnya yang lebar berseri-seri,
membungkuk dalam-dalam dan bersiap
memimpin anak buahnya -- tapi
sebelum dia memulai, terjadi
gangguan. Salah satu gadis penari yang
mengiringi prosesi kerajaan dari
IS-TANA tiba-tiba memekik dan
berseru, "Chang!"
Dan salah satu anggota Melody
Boys mengulurkan lengan dan
berseru, "Lotus Blossom!"
"Apa katanya?" tanya Lalchand.
"Tikus Baskom?"
Kedua sejoli itu berlari
Putri Si Pembuat Kembang Api The Firework Makers Daughter Karya Philip Pullman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghampiri satu sama lain dengan
lengan terjulur, tapi berhenti,
malu, saat mereka sadar semua orang
menonton. "Yah, ayolah," kata Raja.
"Lebih baik kalian teruskan saja."
Maka mereka berciuman malu-malu
dan semua orang bersorak.
"Dan sekarang aku minta
penjelasan," kata Raja. 110
"Saya tadinya pengrajin kayu,
Yang Mulia," kata Chang, "dan
ingin mengadu nasib dulu sebelum
meminta Lotus Blossom menjadi
istri saya. Jadi saya pergi
mencari uang, dan itulah yang saya
lakukan di sini, Yang Mulia."
"Yah, sebaiknya kau mulai
bernyanyi," kata Raja.
Maka Chang berlari kembali
untuk bergabung dengan anggota
Melody Boys, dan Rambashi
menghitung ketukan, lalu mereka
mulai menyanyikan lagu berjudul
Down by the Old Irrawaddy dengan
harmonis. "Mereka bagus juga ya?" kata
Lalchand. "Aku kagum!" kata Lila.
"Mereka telah berusaha keras mencari sesuatu yang paling tepat
untuk mereka lakukan! Siapa yang
mengira?" Lagu selesai dan Raja memimpin
tepuk tangan. Sementara Rambashi
mengumumkan lagu berikutnya, Lila
menghampiri Chulak, dan 111
mendapati anak laki-laki itu
mengelus-elus belalai Hamlet.
Gajah itu tampak gembira, tapi
tentu saja dia tidak bisa
mengucapkannya di tengah banyak
orang. "Kau sudah dengar?" Chulak
bertanya. "Hamlet akan menikah!
Oh, omong-omong, selamat ya. Kami
mendengar keributan yang mereka
timbulkan ketika kau menang. Dan
aku mendapat pekerjaanku kembali!"
Hamlet memeluk lembut kepala
Chulak dengan belalainya.
"Jadi Frangipani menerimamu?"
tanya Lila. "Selamat, Hamlet!
Aku senang sekali. Apa yang
membuatnya berubah pikiran?"
"Aku!" kata Chulak. "Aku menemuinya lalu menceritakan
perbuatan gagah Hamlet di Gunung
Merapi, dan Frangipani segera
terenyuh. Sebenarnya dia bilang
sudah lama mencintai Hamlet, tapi
tidak ingin mengucapkannya. Paman
Rambashi Tua sekarang hebat juga
ya?" 112
Penonton bertepuk tangan dan
bersorak ketika Rambashi mengumumkan lagu berikutnya.
Ketika Melody Boys menyanyikan
lagu Sisakan Mangga Terakhir
Untukku, Lila kembali menghampiri
Lalchand, yang asyik mengobrol
dengan ketiga Pembuat Kembang
Api yang lain. Mereka semua
berdiri sopan dan meminta Lila
bergabung. "Aku memberi selamat pada ayahmu
karena pertunjukannya yang
menakjubkan tadi," kata Kolonel
Sparkington. "Dan setengah pujian
untukmu, Miss. Trik perahu-perahu
bunga kecil yang padam pada waktu
bersamaan itu -- keren sekali. Bagaimana kau melakukannya?"
Maka Lila memberitahu mereka
tentang sumbu tunda, karena tidak
ada rahasia diantara seniman
sejati. Dan Dr. Puffenflasch
menceritakan seni membuat api pink-
nya, Signor Scorcini bercerita
tentang bagaimana dia membuat
tentakel-tentakel guritanya 113
bergerak-gerak. Mereka semua
berbincang-bincang selama berjam-
jam dan saling menyukai. Tengah malam, saat mereka sudah
sangat kelelahan dan ketika
Rambashi's Melody Boys telah
kehabisan lagu untuk dinyanyikan,
Lila dan Lalchand mendapati diri
mereka sendirian di taman besar, di
rumput di bawah bintang-bintang
yang hangat. Lalchand berdeham
lalu tampak malu. "Lila, sayangku," katanya, "aku
harus minta maaf padamu."
"Karena apa?" "Yah, kau tahu, aku seharusnya
memercayaimu. Aku membesarkanmu sebagai putri Pembuat Kembang
Api; seharusnya aku sudah siap
jika kau sendiri ingin menjadi
Pembuat Kembang Api. Lagi pula,
kau memiliki Tiga Bekal!"
"Oh ya! Tiga Bekal itu!
Razvani bertanya apakah aku
membawanya, dan aku tidah tahu --
tapi kemudian dia berkata aku pasti
membawanya. Dan karena 114
tergesa-gesa kembali ke kota lalu
mempersiapkan pertujukan kembang
api, dan mengkhawatirkan apakah
kita mampu menyelamatkan nyawa
Ayah, aku sama sekali melupakannya. Dan aku masih belum
tahu apakah Tiga Bekal itu."
"Nah, sayangku, apakah kau
melihat hantu-hantunya?" tanya
Lalchand. "Ya, aku lihat. Mereka tidak
membawa Bekal, dan mereka
gagal**Tapi apa sih Tiga Bekal
itu?" "Ketiganya adalah hal yang harus
dimiliki setiap Pembuat Kembang Api. Ketiganya sama penting, dan
dua diantaranya tidak berguna tanpa
yang ketiga. Yang pertama adalah
bakat, dan kau memilikinya,
sayangku. Yang kedua memiliki
banyak nama: keberanian, kegigihan,
kemauan keras**Itulah yang
membuatmu terus mendaki gunung
meski segalanya tampak sia-sia."
Lila terdiam beberapa saat,
kemudian berkata,"Apakah 115
yang ketiga?" "Hanya nasib baik," kata
Lalchand. "Itulah yang memberimu
teman-teman baik seperti Chulak
dan Hamlet, dan membawa mereka
kepadamu di saat yang tepat.
Itulah Tiga Bekal, dank au
mengambil ketiganya serta
mempersembahkannya pada Razvani
seperti yang seharusnya dilakukan
Pembuat Kembang Api. Dan dia
telah memberimu Sulfur Bangsawan
sebagai balasannya."
"Tapi dia tidak memberikannya!"
"Ya, dia memberikannya!" "Dia berkata itu hanya ilusi!"
"Menurut pandangan Razvani,
tidak diragukan lagi memang begitu.
Tapi manusia menyebutnya kebijakan. Kau hanya bisa
mendapatkannya setelah menderita
dan mengambil risiko -- dengan
melakukan perjalanan ke Gunung
Merapi. Untuk itulah perjalanan
tersebut dilakukan. Teman-teman
kita para Pembuat Kembang Api
tadi telah melakukan 116
perjalanan dengan cara yang sama,
begitu pula Rambashi. Jadi
mengertikah kau, kau tidak pulang
dengan tangan kosong, Lila" Kau
membawa Sulfur Bangsawan."
Lila memikirkan Hamlet dan
Frangipani yang sudah bertunangan
dengan bahagia. Dia memikirkan
Chulak yang kembali pada pekerjaannya, dan Chang serta
Lotus Blossom, yang kembali
bersama. Dia memikirkan Rambashi
dan Melody Boys-nya, mendengkur
bahagia di Hotel Intercontinental, memimpikan
kejayaan dalam bisnis pertunjukan
yang terbentang di hadapan mereka.
Dia memikirkan para Pembuat
Kembang Api yang lain dan
bagaimana mereka menyambutnya
seakan dia bagian mereka.
Tiba-tiba dia menyadari apa yang
telah dipelajarinya. Dia tiba-tiba
mengerti bahwa Dr. Puffenflasch
mencintai api pink-nya, Signor
Scorcini mencintai guritanya, dan
Kolonel Sparkington 117
mencintai makhluk-makhluk bulannya
yang lucu. Untuk membuat kembang
api yang baik, kau harus mencintainya, setiap percikan kecil
atau Naga Meletup. Itu saja!
Kau harus menambahkan cinta ke
dalam kembang apimu, selain
bakatmu. (Dan api pink Dr. Puffenflasch
memang sangat cantik. Jika mereka
mencampur sedikit api pink itu
dengan sedikit jus kilap, dan
sedikit bubuk bakar ganda yang kegunaannya belum mereka ketahui,
mereka mungkin bisa -- 7 Lila tertawa, lalu menoleh ke
arah Lalchand. "Sekarang, aku mengerti!"
katanya. Dan begitulah cara Lila menjadi
pembuat kembang api. TENTANG PHILIP PULLMAN 118
Philip Pulman lahir tahun 1946
di Norwich, Inggris. Masa
kecilnya dihabiskan di kapal, sebab
ayah kandung dan ayah tirinya
anggota Angkatan Udara Inggris
sehingga ibu dan saudara laki-
lakinya bisa dibilang selalu
mengikuti mereka ke berbagai
penjuru dunia dengan kapal.
Philip kuliah Sastra Inggris
di Universitas Oxford dan sempat lama menjadi guru sebelum menjadi
penulis sepenuhnya. Ia sekarang
salah satu pengarang terbaik di
dunia. Ia menulis banyak buku
untuk anak-anak dan memperoleh
banyak penghargaan untuk karya-
karyanya. Putri Pembuat Kembang Api
adalah pemenang Gold Medal
Smarties, Jam Pegas, pemenang
Silver Medal Smarties, dan
Northern Lights, buku pertama
triloginya, His Dark Materials,
mendapat Carnegie Medal dan salah
satu pemenang Guardian 119
Children's Fiction Prize.
Novelnya Teropong Cahaya merupakan satu-satunya buku anak-
anak yang pernah memenangkan
Whitbread Award. Trilogi His
Dark Materials telah dijadikan
drama oleh National Theatre dan
merupakan film yang akan beredar
Desember 2007 ini. Philip Pullman tinggal di
Oxford, sudah menikah, dan memiliki dua anak laki-laki.
Putri Si Pembuat Kembang Api The Firework Makers Daughter Karya Philip Pullman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapak Dewa Naga 1 Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik Kunanti Di Gerbang Pakuan 2
BAB SATU SERIBU mil yang lalu, di negeri
sebelah timur hutan belantara dan
selatan pegunungan, hiduplah
pembuat kembang api bernama
Lalchand dan putrinya Lila.
Istri Lalchand meninggal ketika
Lila masih kecil. Anak itu
menyusahkan, selalu menangis dan
tidak mau makan, tapi Lalchand
membuat buaian untuknya di pojok
bengkel, sehingga Lila bisa
melihat percikan api menari-nari
serta mendengarkan desisan dan
letupan bubuk mesiu. Begitu sudah
tidak lagi di buaian, Lila
merangkak ke sana kemari mengelilingi bengkel sambil
tertawa-tawa saat api menyala dan
percikannya menari-nari. Jemari
kecilnya sering terbakar, tapi
Lalchand memercikinya dengan air
dan menciumnya agar sembuh, dan
tidak lama kemudian Lila pun
bermain lagi. Ketika Lila sudah cukup dewasa
untuk belajar, ayahnya mulai 2
mengajarinya seni membuat kembang
api. Lila memulai dengan Naga
Meletup kecil, enam kembang api di
seutas tali. Kemudian ia belajar
membuat Monyet Melompat, Bersin
Emas, dan Cahaya Java. Tidak
lama setelah itu ia sudah membuat
semua kembang api sederhana, dan
memikirkan yang lebih rumit.
Suatu hari ia berkata, "Ayah,
jika aku memasukkan bunga garam di
Cahaya Java, bukan bubuk awan,
apa yang akan terjadi?"
"Coba saja," kata ayahnya.
Maka Lila pun mencoba. Alih-
alih memancarkan pendar biru yang
stabil, kembang api itu melontarkan
percikan-percikan api kecil yang
bersemangat, masing-masing jungkir
balik sebelum lenyap. "Boleh juga, Lila," kata
lalchand. "Akan kausebut apa
kembang api ini?" "Mmm...Setan Jumpalitan," jawab Lila.
"Hebat! Buatlah selusin dan
kita akan memamerkannya di 3
Festival Tahun Baru."
Setan Jumpalitan sukses besar,
begitu pula Koin Kelap-Kelip
yang diciptakan Lila berikutnya.
Seiring waktu berjalan, ia belajar
semakin banyak tentang seni
ayahnya, sampai suatu hari ia
berkata, "Apakah aku sudah menjadi
pembuat kembang api sungguhan
sekarang?" "Belum, belum," kata ayahnya.
"Sama sekali belum. Ha! Kau
masih belum tahu seluruhnya. Apa
bahan-bahan untuk membuat bubuk
terbang?" "Aku tidak tahu."
"Dan di mana bisa kautemukan
serbuk guntur?" "Aku belum pernah dengar soal
serbuk guntur." "Berapa banyak minyak
kalajengking yang kaugunakan di
Air Mancur Krakatau?" "Sesendok teh?"
"Apa" Kau akan meledakkan
seluruh kota. Masih banyak yang
harus kaupelajari. Apakah kau 4
sungguh-sungguh ingin menjadi
pembuat kembang api, Lila?"
"Tentu saja! Hanya itu yang
kuinginkan!" "Kutakutkan begitu," kata
ayahnya. "Ini salahku sendiri.
Bagaimana aku ini" Seharusnya aku
mengirimmu ke saudariku di
Jembavati untuk dibesarkan sebagai
pnari. Setelah kupikir-pikir, ini
bukan tempat untuk anak perempuan.
Dan lihatlah dirimu! Rambutmu
berantakan, jemarimu gosong dan
bernoda bahan kimia, alismu
terbakar...Bagaimana aku bisa
mencarikanmu suami jika tampangmu
seperti ini?" Lila terperangah ngeri. "Suami?" "Yah, tentu saja! Kau kan tidak
bisa tinggal di sini selamanya."
Mereka saling menatap seperti orang asing. Rupanya mereka
memiliki pendapat berbeda, dan
keduanya terkejut menyadarinya.
Maka Lila tidak berkata apa-apa
lagi tentang menjadi pembuat 5
kembang api, dan Lalchand tidak
berkata apa-apa lagi tentang suami.
Tapi tetap saja mereka berdua
memikirkan hal-hal tersebut.
Raja negeri itu memiliki gajah
Putih. Sudah menjadi tradisi
bahwa jika Raja ingin menghukum
salah satu pegawai istananya, ia
akan mengirimkan Gajah Putih
seagai hadiah dan biaya untuk
mengurus hewan itu akan menghancurkan si pria malang;
karena Gajah Putih harus tidur
berselimut sutra putih (yang sangat
lebar), dan makan Turkish Delight
rasa mangga (berton-ton banyaknya),
juga gadingnya harus dibungkus daun
emas setiap pagi. Sesudah si
pegawai istana tidak lagi memiliki
uang, Gajah Putih akan dikembalikan kepada Raja, siap untuk korban berikutnya.
Ke mana pun Gajah Putih pergi,
pelayan pribadinya harus ikut
serta. Nama pelayan itu Chulak,
dan anak laki-lakinya itu seusia
Lila. Sebenarnya, mereka 6
berteman. Setiap sore Chulak membawa
Gajah Putih jalan-jalan, karena
si gajah tidak mau pergi diantar
orang lain, dan ada alasannya:
Chulak satu-satunya manusia,
selain Lila, yang tahu gajah itu
bisa bicara. Suatu hari Lila mengunjungi
Chulak dan Gajah Putih. Ia tiba
di Rumah Gajah tepat waktu untuk
mendengar Pawang Gajah marah-
marah. "Dasar anak brengsek!" ia
meraung. "Kau melakukannya lagi,
ya?" "Melakukan apa?" tanya Chulak
polos. "Lihat!" kata Pawang Gajah,
menunjuk dengan jari gemetar ke sisi tubuh Gajah Putih yang
seputih salju. Di sisi tubuhnya tertulis
puluhan slogan dengan arang:
BERSANTAPLAH DI LENTERA EMAS DUKUNG BANGKOK 7
WANDERERS RUMAH MAKAN TANDOORI STAR
OF INDIA Dan persis di bagian atas
punggung Gajah Putih, dengan
tulisan hitam besar-besar:
CHANG CINTA LOTUS BLOSSOM
PENUH XXX "Setiap hari gajah ini pulang
dengan grafiti di seluruh
tubuhnya!" teriak Pawang Gajah.
"Kenapa tidak kauhentikan orang-
orang yang melakukannya?"
"Aku tidak mengerti bagaimana
ini bisa terjadi, Master," sahut
Chulak. "Lalu lintas padat
sekali. aku harus mengawasi para
pengemudi rickshaw seperti elang.
Aku tidak bisa sekaligus mengawasi para penulis grafiti -- mereka
menulis cepat-cepat lalu kabur."
"Tapi menulis Chang Cinta
Lotus Blossom Penuh XXX pasti
butuh sepuluh menit karena perlu
tangga!" "Ya, bagiku juga misteri,
Master. Bolehkah aku 8
membersihkannya sekarang?"
"Semuanya! Ada tugas dalam dua
hari ke depan dan aku ingin hewan
ini bersih." Dan Pawang Gajah berderap
pergi, meninggalkan Chulak dan
Lila bersama si gajah. "Halo, Hamlet," sapa Lila.
"Halo, Lila," kata Gajah.
"Lihat bagaimana anak menyebalkan
ini merendahkanku! Aku jadi papan
reklame berjalan!" "Berhentilah mengomel," kata
chulak. "Dengar, kita sudah punya
delapan belas rupee -- dan sepuluh
anna daru Rumah Makan Tandoori
-- dan Chang memberiku satu rupee
untuk membiarkannya menulis itu di punggungmu. Tinggal sedikit lagi,
Hamlet!" "Sungguh memalukan!" kata
Hamlet, menggelengkan kepalanya
yang besar. "Maksudmu, kau menagih bayaran
dari orang-orang karena menulis di
tubuhnya?" tanya Lila.
"Tentu saja!" kata Chulak. 9
"Menulis namamu di tubuh Gajah
Putih akan memberimu keberuntungan. Jika uang kami
sudah cukup, kami akan melarikan
diri. Masalahnya, dia jatuh cinta
pada gajah betina di Kebun
Binatang. Coba kau lihat bagaimana dia merona tiap kali kami
lewat -- seperti satu ton es krim
stroberi!" "Namanya Frangipani," ujar
Hamlet murung. "Tapi dia bahkan
tidak mau melihatku. Dan sekarang
ada pekerjaan lagi -- ada lagi pria
malang untuk dibuat bangkrut. Oh,
aku benci Turkish Delight! Aku
tidak suka seprai sutra! Dan aku jijik pada daun-daun emas di
gadingku! Aku ingin jadi gajah
normal berwarna kelabu saja!"
"Tidak, kau tidak boleh begitu,"
omel Chulak. "Kita punya rencana,
Hamlet, ingat" Aku mengajarinya
menyanyi, Lila. Kami akan
mengubah namanya menjadi Luciano
Elephanti, dan dunia akan berada
dalam genggaman kami." 10
"Tapi kenapa kau tampak sedih,
Lila?" tanya Hamlet, ketika
Chulak mulai menggosok tubuhnya.
"Ayahku tidak mau memberitahuku
rahasia terakhir pembuatan kembang
api," jawab Lila. "Aku telah
mempelajari segala yang perlu
diketahui tentang bubuk terbang,
serbuk guntur, minyak kalajengking,
dan garam bayangan, tapi ada lagi
yang harus kuketahui, dan Ayah
tidak mau memberitahuku."
"Sulit juga," kata Chulak.
"Kau mau aku menanyakannya
untukmu?"
Putri Si Pembuat Kembang Api The Firework Makers Daughter Karya Philip Pullman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Jika dia tidak mau memberitahuku, pasti dia juga tidak
mau memberitahumu," ujar Lila.
"Dia tidak akan menyadarinya,"
kata Chulak. "Serahkan saja
padaku." Maka petangnya, setelah Chulak
mengandangkan Hamlet untuk malam
itu, dia berkunjung ke bengkel sang
Pembuat Kembang Api. Bengkel
itu terletak di ujung gang kecil
berliku penuh bau-bauan 11
bergemeretak dan suara-suara tajam,
di antara kios udang goreng dan
kios pembuat batik. Dia menemukan
Lalchand di halaman dalam di bawah
langit berbintang hangat, sedang
mencampur cairan kntal merah
menyala. "Halo, Chulak," sapa Lalchand.
"Kudengar Gajah Putih akan
dipersembahkan kepda Lord Parakit
besok. Menurutmu berapa lama
uangnya bakal bertahan?"
"Seminggu, kurasa," jawab
Chulak. "Meski kau tidak pernah
tahu -- kami bisa saja melarikan diri sebelum itu terjadi. aku sudah
punya cukup uang untuk membawa kami
ke India. Aku ingin menjadi
pembuat kembang api jika tiba di
sana. Pekerjaan lumayan."
"Pekerjaan lumayan, enak saja!"
tukas Lalchand. "Pembuatan
kembang api adalah seni sakral!
Kau memerlukan bakat, dedikasi,
dan restu dewa-dewa untuk bisa
menjadi pembuat kembang api. Satu-
satunya dedikasimu adalah 12
bermalas-malasan, dasar anak tidak
berguna." "Kalau begitu, bagaimana caramu
menjadi pembuat kembang api?"
"Ayahku yang mengajariku.
Kemudian aku diuji untuk melihat
apakah aku memiliki Tiga Bekal."
"Oh, Tiga Bekal itu ya?" kata
Chulak, yang sama sekali tidak
tahu apakah Tiga Bekal itu.
Mungkin Lila tahu, pikirnya.
"Dan apakah kau memilikinya?"
"Tentu saja!" "Hanya itu" Kedengarannya gampang. Taruhan aku bisa lolos
ujian. Aku punya lebih dari Tiga
Bekal." "Pah!" tukas Lalchand. "Bukan
itu saja. Kemudian tiba pada
bagian pelajaran yang paling sulit
dan berbahaya. Setiap pembuat
kembang api --" dia memelankan
suara serta melihat sekeliling
untuk memastikan tidak ada orang
lain yang mendengarkan --" setiap
pembuat kembang api harus pergi ke
Gua Razvani, tempat tinggal 13
sang Angkara Api, di jantung
Gunung Merapi, dan mengambil
Sulfur Bangsawan. Itu bahan yang
diperlukan untuk membuat kembang
api terbaik. Tanpa bahan itu,
tidak ada seorang pun yang bisa
menjadi pembuat kembang api
sejati." "Ah," kata Chulak. "Sulfur
Bangsawan. Gunung Merapi. Itu
gunung berapi, kan?"
"Ya, anak menjengkelkan, dan aku
sudah memberitahumu lebih banyak daripada seharusnya. Ini rahasia,
kau mengerti?" "Tentu saja," kata Chulak,
tampangnya sungguh-sungguh. "Aku
bisa jaga rahasia." Dan Lalchand punya perasaan
tidak enak bahwa dia telah
dikibuli, tapi tidak bisa menebak
alasannya. BAB DUA PAGI berikutnya, ketika Lalchand berada di toko kertas
membeli tabung kardus, Lila pergi
ke Rumah Gajah mencari Chulak.
Ketika mendengar apa yang
dikatakan Lalchand kepada Chulak,
Lila mengamuk. "Gunung Merapi -- Razvani --
Sulfur Bangsawan -- dan dia tidak
mau memberitahuku! Oh, aku takkan
pernah memaafkannya!" "Reaksimu agak berlebihan," kata
Chulak yang sibuk mempersiapkan si
gajah untuk pekerjaan barunya.
"Dia hanya mengkhawatirkan dirimu.
Lagi pula, itu berbahaya. Aku
takkan mau pergi ke atas gunung
itu." "Huh!" tukas Lila. "Kurasa
boleh-boleh saja aku membuat
Bersin Emas dan cahaya Java --
mainan bayi. Tapi dia tidak
mengizinkan aku jadi pembuat
kembang api sejati. Dia ingin aku
jadi anak kecil selamanya. Yah,
aku takkan menjadi anak kecil 15
terus, Chulak. Aku sudah muak.
Aku akan pergi ke Gunung Merapi,
dan aku akan mengambil Sulfur
Bangsawan, kemudian membuka usaha
pembuat kembang api sendiri lalu
membuat ayahku bangkrut. Lihat
saja nanti." "Jangan! Tunggu! Kau harus
bicara padanya --" Tapi Lila tidak mau mendengarkan. Ia berlari pulang, mengemasi sedikit perbekalan untuk
makan dan selembar selimut serta
beberapa keping uang perunggu,
kemudian meninggalkan surat di meja
bengkel: Ayah sayang, Aku telah menyelesaikan masa
belajarku. Terima kasih atas
segala yang ayah ajarkan padaku.
Aku akan mencari Sulfur Bangsawan dari Razvani, sang
Angkara Api, dan aku mungkin
takkan bertemu ayah lagi.
Mantan putrimu, Lila Kemudian dia berpikir 16
untuk membawa sesuatu demi
menunjukkan kepiawaiannya kepada
Razvani, dan mengepak beberapa
naga Meletup yang bisa menyala
sendiri. Salah satu penemuan Lila
yang terakhir adalah bagaimana
membuat kembang api itu meletus:
kau hanya harus menarik talinya
alih-alih menyulutnya dengan api,
karena talinya direndam di cairan kristal api. Dia memasukkan tiga
untai ke tasnya, melihat ke
sekeliling bengkel sekali lagi,
lalu pergi. Ketika Lalchand kembali dan
menemukan surat Lila, dia
membacanya dengan ngeri. "Oh, Lila, Lila! Kau tidak
tahu apa yang kau lakukan!" dia
berseru, dan berlari ke gang.
"Kau lihat Lila?" dia bertanya
pada penjual udang goreng.
"Dia pergi ke arah sana.
Sekitar setengah jam yang lalu."
"Dia bawa buntalan di punggung,"
tambah si pembatik. "Tampaknya
ingin bepergian." 17
Lalchand segera bergegas menyusul Lila. Tapi dia sudah tua
dan jantungnya lemah, dia tidak
bisa lari cepat-cepat, dan jalan-
jalan penuh sesak: pengemudi
rickshaw berdesakan dengan gerobak-
gerobak yang ditarik kerbau,
karavan penjual sutra menyeruak ke
arah pasar, dan di Bulevar Besar, iring-iringan sedang lewat.
Kerumunan manusia begitu padat
sehingga Lalchand tidak bisa maju
lagi. Penyebab keramaian itu adalah
Gajah Putih yang sedang dibawa
menuju pemilik barunya, Chulak
membimbing Hamlet di depan iring-
iringan, dan di belakang mereka
berjalan para musisi yang memainkan
seruling bambu dan memukul-mukul
genderang kayu, serta para penari
yang bergoyang sambil menjentikkan
kuku jemari, juga sepasukan pelayan
yang membawa pita pengukur, siap
mengukur rumah baru Hamlet untuk
tirai-tirai sutra dan karpet-karpet
beludru yang harus dibeli 18
pemiliknya. Bendera mengepak-
ngepak dan umbul-umbul berkibar di
bawah cahaya matahari, si Gajah
Putih bersinar bagaikan gunung
bersalju. Lalchand mendesak maju menyeruak
kerumunan ke sisi Chulak.
"Apakah kau memberitahu Lila tentang Razvani dan Sulfur
Bangsawan?"tanya Lalchand
tersengal. "Tentu saja," jawab Chulak.
"Kau seharusnya mengatakan sendiri
semua itu padanya. Kenapa?"
"Karena Lila pergi, anak tolol!
Dia pergi sendirian ke Gunung
Merapi -- dan dia tidak tahu
rahasia selanjutnya!"
"Masih ada lagi?"
"Tentu saja!" tukas Lalchand,
berusaha menyamakan langkah. "Tak
ada yang bisa masuk ke Gua
Angkara Api tanpa perlindungan.
Lila butuh seguci air ajaib dari
Dewi Danau Zamrud -- jika tidak,
dia akan terbakar api! Oh,
Chulak, apa yang telah kau 19
lakukan?" Chulak menelan ludah. Mereka
hampir sampai di rumah pemilik baru
Gajah Putih, dan mereka harus
memperlambat jalan untuk mebiarkan
para penari, musisi, dan pembawa
bendera memasuki gerbang terlebih dahulu dan membentuk dua barisan
yang mengapit jalan Gajah Putih.
Kemudian Hamlet berbisik,
sehingga hanya Chulak yang bisa
mendengar. "Aku akan menemukan Lila!
Bantu aku kabur malam ini,
Chulak, dan kita akan pergi lalu
membawa Lila ke tempat air ajaib."
"Ide bagus," bisik Chulak,
berseri-seri. "Persis seperti yang
ingin kuusulkan." Dia menoleh ke
arah Lalchand dan berkata,"Dengar, aku punya
tawaran. Aku dan Hamlet akan
mencari Lila! Kami akan pergi
malam ini. Danau Zamrud -- Dewi
-- air ajaib -- Gunung Merapi!
Urusan remeh." Kemudian Chulak
berpaling ke arah pelayan. 20
"Lebarkan jalannya!" dia berseru.
"Kita harus membawanya mengitari
sudut runah -- ya ampun, gerbangnya
sempit sekali! Harus dirobohkan.
Dan apa ini" Kerikil" Kau ingin
Gajah Putih melangkah di atas kerikil" Ambil karpet, lekas!
Karpet merah! Ayo! Cepat!
Dia menepukkan kedua tangannya,
dan para pelayan membungkuk lalu
bergegas pergi. Di latar belakang,
Putri Si Pembuat Kembang Api The Firework Makers Daughter Karya Philip Pullman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
si pemilik baru tengah mencabuti
rambutnya sendiri karena kalut.
Chulak berbisik pada Lalchand
sekali lagi: "Jangan khawatir!
Kami akan kabur malam ini. yang
kami butuhkan hanya kain terpal.
"Kain terpal" Untuk apa?"
"Tak ada waktu untuk menjelaskan
sekarang. Bawa saja ke gerbang
malam ini." Dan Lalchand harus puas dengan
jawaban itu. Dia kembali ke
bengkelnya dengan hati gundah.
Sementara itu, Lila telah
berjalan melalui hutan belantara
menuju gunung berapi keramat. 21
Gunung Merapi terletak jauh di
sebelah utara, dan dia belum pernah
melihatnya sampai petang itu,
ketika dia melalui tikungan di
jalan setapak hutan dan tiba di tepi sungai.
Ukuran gunung raksasa itu
membuatnya terperangah. Letaknya
jauh di ujung dunia, tapi tetap
saja gunung itu menjulang mencapai
setengah langit, dengan lereng yang
gundul menanjak membentuk kerucut
sempurna sampai ke kawahnya yang
berpendar di puncak. Sekali-sekali
para makhluk halus yang tinggal di
sana menggerutu marah dan
melontarkan bebatuan mendidih ke
udara. Asap abadi yang membubung
dan melayang dari puncak gunung
untuk bergabung dengan awan.
Bagaimana aku bisa ke sana"
Lila merenung dan merasa semangatnya mengempis. Tapi dia
telah memutuskan melakukan
perjalanan ini, dan dia tidak bisa
kembali saat baru saja memulainya.
Dia memindahkan buntalan 22
dari satu bahu ke bahu lain dan
terus melangkah. Hutan tempat yang berisik.
Monyet berceloteh di pepohonan, burung Kakaktua memekik-mekik,
buaya mengatupkan rahang keras-
keras di sungai. Sering Lila
harus melangkah hati-hati melewati
ular yang tidur berjemur, dan
seklai dia mendengar raungan
harimau besar. Tidak ada orang
sama sekali kecuali beberapa
nelayan yang susah payah mengayuh
sampan dari seberang sungai.
Lila berhenti dan menyaksikan
para nelayan membawa sampan menuju
tepi sungai tempat dia berdiri.
Mereka bergerak lambat. Ada enam
atau tujuh nelayan, dan dayung-
dayung mereka bersinggungan.
Ketika Lila memerhatikan, dayung
salah satu nelayan meleset dari
air, segera berputar dan menghantam
kepala nelayan lain. Nelayan itu
menoleh dan menjotos nelayan
pertama, yang terjengkang dari
tempat duduknya sambil 23
memekik dan menjatuhkan dayung ke
air. Nelayan lain berusaha
menyambar dayung tersebut, tapi dia malah jatuh dari sampan. Sampan
itu sgera bergoyang-goyang hebat
sehingga nelayan yang lain berseru-
seru sambil berpegangan pada
sisinya. Lelaki yang terjatuh menggelepar-gelepar dan menyemburkan air ketika berusaha
naik kembali ke dalam sampan, dan
semua buaya yang sedang berjemur di
tepi sungai menengadah, tertarik.
Lila tersentak ngeri, tapi si
nelayan sama sekali tidak berdaya,
sehingga Lila tidak kuasa menahan
tawa; karena ketika lelaki di air
itu meraih sisi sampan, semua
lelaki di dalamnya mencondongkan
tubuh ke sana untuk membantunya,
dan sampan itu miring sekali sampai
mereka semua nyaris tercemplung
juga. Mereka segera sadar apa yang
terjadi dan melepaskan pegangan,
kemudian sampan itu kembali miring
ke sisi lain sehingga mereka 24
terjengkang. Buaya-buaya merayap di tepi sungai dan mulai berenang
menghampiri mereka. "Oh, tarik dia masuk, orang-
orang bodoh!" Lila berseru. "Dari
ujung perahu, jangan dari sisi!"
Salah satu nelayan mendengar
teriakannya, dan menghela lelaki di
air dari buritan dampai dia
terbaring di dasar sampan sambil
menggelepar dan megap-megap seperti
ikan. Sementara itu, sampan
terombang-ambing ke tepian, dan
Lila mengulurkan tangan agar
sampan tersebut tidak menghantam
tepi sungai. Begitu melihat Lila, para
nelayan saling menyikut. "Lihat," kata salah satunya.
"Ayolah," gumam salah seorang.
"Kau yang tanya."
"Tidak mau! Itu idemu! Kau
yang tanya." "Bukan aku, tapi Chang!"
"Yah, dia tidak bisa bilang apa-
apa, dia masih penuh air..." 25
Akhirnya salah satu dari mereka mendengus tidak sabar lalu berdiri,
membuat sampan bergoyang hebat.
Lelaki itu yang tergagah di dalam
sampan, dan tampak paling
mengesankan, karena dia mengenakan
bulu burung unta yang mengangguk-
angguk di serbannya, punya kumis
hitam besar, dan memakai sarung
kotak-kotak. "Nona!" katanya. "Apakah aku
benar jika menganggapmu ingin
menyeberang sungai?"
"Yah, memang benar," kata Lila
Lelaki itu mengetukkan jemarinya
dengan senang. "Dan apakah aku juga benar jika
menduga kau punya sedikit uang?"
"Sedikit, ya," sahut Lila.
"Bisakah kau membawaku
menyeberang" Aku akan bayar."
"Tak usah mencari lagi!" kata
lelaki itu bangga. "Taksi Sungai
Rambashi siap melayanimu! Selamat
datang!" Lila bingung mengapa lambung
taksi sungai bisa bertuliskan 26 Pembunuh Berdarah, atau mengapa
Rambashi membawa tidak kurang dari
tiga belati di sabuknya: satu
lurus, satu melengkung, dan satu
lagi meliuk-liuk. Namun tidak ada
cara lain untuk menyebrangi sungai,
dan Lila melangkah ke dalam
sampan, berusaha tidak menginjak
lelaki yang baru diselamatkan, yang
masih tergeletak basah kuyup di
dasar perahu. Nelayan-nelayan yang
lain sama sekali tidak emedulikan
lelaki itu, mereka malah meletakkan
kaki di atas tubuhnya seakan dia
segulung karpet. "Berlayarlah, anak buahku yang
tangguh!" seru Rambhasi.
Lila duduk di haluan, dan
mencengkeram sisi sampan erat-erat
saat Pembunuh Berdarah berguncang
menyambut arus sungai. Di
belakangnya dia bisa mendengar
suara benturan dayung ketika
kayunya bertabrakan, seruan
kesakitan ketika salah satu gagang
dayung menghantam punggung lelaki lain, dan erangan serta 27
sumpah serapah ketika si lelaki
yang nyaris tenggelam berusaha
duduk kembali; tapi Lila tidak
terlalu memerhatikan, karena banyak
yang bisa dilihatnya di air. Ada
capung dan burung kolibri,
sekeluarga itik bertamasya renang
sore hari, buaya-buaya berlatih
agar tampak seperti batang-batang
kayu, dan segala macam hal; tapi
saat ini dia sadar para pendayung
tidak bersuara lagi, dan perahu tak
lagu berguncang hebat seperti
ketika mereka mendayung. Bahkan,
sampan itu terapung-apung.
Para pendayung itu bukannya sama
sekali hening. Lila bisa mendengar
bisikan-bisikan: "Kau yang bilang padanya!"
"Tidak, aku tidak mau. Sekarang
giliranmu." "Harus! Kau bilang tadi mau!"
"Biar Chang yang melakukannya.
Sudah waktunya dia bekerja."
"Dia tidak cukup kejam. Kau saja!"
Lila menoleh. 28
"Oh, ya ampun," katanya, apa sih
yang kalian -- ?" Tapi dia tidak menyelesaikan
kalimatnya karena pmandangan yang
dilihatnya. Semua pendayung
meletakkan dayung, yang mencua ke
segala arah, dan setiap pendayung
mengikatkan saputangan menutupi
hidung dan mulut. Mereka semua
memegang belati. Rambashi malah
memegang dua. Mereka semua terlonjak sedikit
ketika Lila berbalik. Kemudian
mereka menatap Rambashi. "Ya!" seru lelaki itu. "Kau
tertipu! Ha, ha! Ini sama sekali
bukan taksi Sungai. Kami semua
perompak! Perompak terkejam
diseluruh sungai. Kami akan
menggorok lehermu secepat
melihatmu." "Dan minum darahmu," bisik
seseorang. "Oh ya, dan minum darahmu. Semuanya. Serahkan uangmu, ayo!"
Dia mengayunk-ayunkan belati
begitu keras sehingga sampan 29
bergoyang dan dia nyaris tercebur.
Lila hampir tertawa. "Serahkan!" kata Rambashi.
"Kau ditangkap. Uang atau nyawa!
Kuperingatkan, kami orang-orang
nekat!" BAB TIGA Rambashi dan para perompaknya
berhasil membawa Pembunuh
Berdarah ke tepi seberang, tapi
Lila harus menyambar dayung dari
air ketika salah satu dari mereka
menjatuhkannya, lalu berjanji akan
duduk manis dan tidak menggoyang
sampan. Ketika mereka menabrak tepian,
semua orang terjungkir. "Baiklah," kata Rambashi,
setelah bangkit. "Ikat sampan ke batang pohon
kokoh atau apa saja, dan bawa
tawanan ke darat." "Apakah kita akan memakannya?"
tanya salah seorang perompak.
"Karena aku lapar."
Putri Si Pembuat Kembang Api The Firework Makers Daughter Karya Philip Pullman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Ya, sudah berhari-hari kita
belum makan,' gerutu perompak lain.
"Kau berjanji kita bakal menyantap makanan panas tiap malam."
"Cukup!" bentak Rambashi.
"Dasar gerombolan anjing
gelandangan. Bawa tawanan ke darat
dan berhenti mengeluh." 31
Lila tidak tahu apakah bisa
kebuar sekarang. Beberapa di
antara perompak itu memang tampak
cukup beringas untuk mengejarnya.
Meski sekarang, setelah melihat
lebih seksama, ia tahu belati mreka
terbuat dari kayu dilapisi kertas
perak, jadi mereka takkan bisa
terlalu menyakitinya. "Kuharap kau tidak berkeberatan
dengan transaksi kecil ini," kata
Rambashi, ketika mereka melangkah
di jalan setapak hutan. "Ini hanya bisnis."
"Kalau begitu, kau menculikku?"
tanya Lila. "Aku khawatir begitu. Kau harus
menyerahkan semua uangmu sebentar
lagi, kemudian kami akan mengikatmu
dan meminta tebusan."
"Kau pernah melakukan ini?" "Oh ya," katanya. "Sering."
"Apa yang terjadi jika kau tidak
mendapatkan uangnya?"
"Yah, kami..." "Kami memakanmu," timpal si
perompak yang kelaparan. 32
"Sst," kata Rambashi,
mengibaskan tangan sedikit.
"Kalian bukan kanibal," tukas
Lila. "Kami kelaparan," kata si
perompak "Apakah kalian sudah sejak dulu
jadi perompak?" "Tidak," kata rambashi.
"Tadinya aku peternak ayam, tapi
ayam-ayamku mati nelangsa. Maka
aku menjual bisnisku dan membeli
sampan...Oh, tidak! Sst! Stop!
Jangan bergerak!" Perompak-perompak yang berjalan
di belakang, masih menggerutu,
menabrak mereka yang berada di
depan, lalu berdiri di belakang
Rambashi, terpaku ketakutan.
Karena di jalan setapak di hadapan mereka tampak harimau.
Ekornya bergerak-gerak malas dari
satu sisi ke sisi lain, dan menatap
mereka dengan matanya yang berwarna
keemasan, kemudian membuka moncong
dan mngaum skeras-kerasnya sehingga
Lila merasa bumi bergetar. 33
Salah satu perompak yang tubuhnya
paling kecil mencengkeram tangan
Lila. Maka begitulah, mereka terpaku
dan si harimau mengambil ancang-
ancang menerkam, ketika Lila tiba-
tiba tringat pada Naga Meletup-
nya yang bisa menyala sendiri. Dia
melepaskan tangan dari cengkeraman
si perompak kecil, merogoh tas dan
mengeluarkan tiga untai kembang api
yang dibawanya. "Awas," katanya pda Rambashi,
dan setelah menarik tali salah satu
kmbang api, dia melemparkannya ke
arah si harimau. Seumur hidup, hewan besar itu
tidak pernah seterkejut ini. Mula-
mula satu, kemudian satu lagi, dan sekali lagi Naga Meletup meledak,
memancar, mendesis, dan melompat ke
arahnya, dan dia ketakutan. Sambil
mendengking, harimau itu berbalik
dan kabur. Para perompak bersorak. "Hebat sekali!" seru Rambashi.
"Selamat! Aku baru saja 34
hendak menikamnya sampai mati,
tentu saja, tapi tidak apa-apa."
(Lila bertanya-tanya bagaimana
rambashi akan melakukannya dengan
belati berlapis kertas perak, tapi
dia tidak berkata apa-apa.) "dan
tentu saja," lanjut Rambashi, "ini
mengubah segalanya. Kami tidak
bisa menjadikanmu tawanan sebab kau
telah mnyelamatkan nyawa kami.
Jadi kau akan menjadi tamu kami.
Tinggallah bersama kami malam ini.
Mau, kan?" "Kita tidak punya makanan," kata
seseorang. "Dia mau diberi makan
apa?" "Kita suruh Chang menangkap
ikan," kata Rambashi ceria, menggeleng begitu terdengar seruan
prites. "Tidak, tidak, ikan bagus
untukmu. Ayo, Chang! Jangan
berdiri saja di sana!"
"Aku tidak bisa," kata Chang.
"Lihat." Mereka menoleh ke tepi sungai.
Pembunuh Berdarah hanyut, talinya
mengambang terseret di 35
belakangnya. "Siapa yang tadi mengikatnya?"
tanya Rambashi. "Salah satu perompak menunduk
dan berusaha menggali lubang di
pasir menggunakan ujung jempol
kaki. "Hmm," kata Rambashi. "Kalian
perompak-perompak hebat ya"
Kuharap kalian malu. Tapi tidak
mengapa! Aku punya ide yang lebih
bagus. Nona!" katanya pada Lila,
sambil menggosok-gosokkan telapak
tangan. Matanya berkilat-kilat
cerah. "Bisakah kuajukan semacam
penawaran investasi kepadamu?"
"Yah," kata Lila. "Aku harus segera melanjutkan perjalanan."
"Tidak, sungguh, ini ide yang
jauh lebih bagus daripada
perompakan," lanjut Rambashi.
Mendadak saja aku terpikir, ketika
melihat sampan itu hanyut. (aku
tidak bisa marah pada orang-orang
itu, mereka sebetulnya mirip anak-
anak.) Ya, semua ide cemerlangku
datang mendadak. Dan yang 36
ini benar-benar hebat! Takkan
mungkin gagal!" "Apa berhubungan dengan
makanan?" tanya salah satu perompak
masam. "Anakku yang baik! Ide ini
dibangun dari makanan! Tunggu saja
sampai kau dengar -- halo! Nona!
Hanya sedikit uang -- investasi
paling aman yang akan pernah
kaulakukan--" Tapi Lila sudah melenggang
pergi. Saat melangkah di jalan
setapak, dia bisa mendengar suara
Rambashi di belakangnya. "Tidak, dengar, anak-anak -- aku tahu di mana kesalahan kita
terakhir kali. Mendadak saja aku
menyadarinya. Tapi ide ini akan
sangat sesuai dengan keahlian
kalian. Lihat, biar kugambarkan..." Lila ingin tau apa rencana
Rambashi selanjutnya, tapi dia
juga ingin segera melanjutkan
perjalanan. Gunung Merapi berasap
dan bergemuruh di kejauhan. 37
Dia merasa semangatnya meningkat
ketika melihat gunung itu lagi,
kekuatannya begitu besar serta
mendominasi, dan dia berpikir, Aku
dimiliki gunung itu, dan gunung itu
milikku! Maka dia terus melangkah, tak
ada apa-apa di benaknya selain
pikirannya barusan, dan semangatnya
membuat kedua kakinya melompat
gembira. Sementara itu, Chulak siap
menyelundupkan Hamlet keluar dari
rumah barunya. Pawang tidur cepat,
sambil mengerang-erang, tapi para budak masih terjaga, sehingga
Chulak harus mengalihkan perhatian
mereka. "Sekarang dengarkan," dia
berkata pada mereka di dapur.
"Kalian tentu tahu bahwa kalian
harus sebisa mungkin membuat Gajah
Putih senang, kalau tidak Raja
akan marah." Mereka semua mengangguk. "Yah, si Gajah agak gelisah.
Dia tidak prnah tidur 38
nyenyak pada malam pertama di
tempat baru, jadi kita harus
melakukan permainan Langkah Gajah
untuk membuatnya ceria. Kalian
harus bersembunyi sambil menutup
mata di taman, dan ketika kalian
merasa di Gajah datang, berbaliklah. Dia suka permainan
itu. Ayo, pergi dan tunggu di
taman. Aku akan memberitahunya
jika kalian sudah siap."
Para budak berlarian keluar dari
pintu bekakang, dan begitu mereka
bersembunyi di taman sambil menutup mata, Chulak membuka kunci pintu
depan dan membimbing hamlet menuju
gerbang. "Untung saja mereka menghamparkan karpet seperti yang
kuperintahkan," dia berbisik.
"Langkahmu di kerikil tidak
terdngar." "Bisakah kita lewat Kebun
Binatang?" bisik Hamlet.
"Tidak, tentu saja tidak bisa!
Jangan pedulikan Frangipani.
Lila-lah yang harus kita 39
pikirkan. Dan jangan mendengus-
dengus seperti itu..."
Mereka berjingkat-jingkat keluar
gerbang, dan mendapati Lalchand
menunggu di sana, membawa kain
terpal persis seperti yang diminta
Chulak. "Ini untuk apa?" bisik
Lalchand. "Untuk ini," kata Chulak, dan
menyuruh Hamlet berlutut agar dia
bisa menyampirkan kain terpal itu
di punggungnya. "Jadi dia takkan terlalu mencolok di kegelapan."
"Huh," kata Hamlet. "kain ini
panas, gatal, dan bau seperti
tenda. Tidak bisakah kau mencari
selimut yang nyaman?"
"Rupanya kau tidak menyadari
betapa besar tubuhmu," kata
Chulak. "Berhati-hatilah!" kata
lalchand. "Seharusnya aku ikut
bersama kalian -- perjalanannya
sama sekali tidak aman -- oh,
seharusnya aku memberitahu Lila
segalanya sejak awal! 40
Seharusnya aku memercayainya! Aku
memang orang tua yang bodoh!"
"Ya," kata Chulak. "Tapi,
tidak apa-apa. Kami akan menemukannya. Ayo, Hamlet!"
Dan mereka berangkat. Lalchand
berdiri mengawasi mereka selama
semenit, sampai mereka lenyap di
jalan yang gelap.
Putri Si Pembuat Kembang Api The Firework Makers Daughter Karya Philip Pullman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapi ada yang memerhatikan
Lalchand. Salah satu budak yang ikut permainan Langkah Gajah
bersembunyi di balik smak-semak
dekat sana; dan begitu menyadari
apa yang dilihatnya, dia mulai
gemetar. Membantu Gajah Putih
melarikan diri merupakan kejahatan
berat. Akan ada hukuman mengerikan
-- dan mungkin orang yang menangkap
penjahatnya bakal diberi hadiah.
Maka ketika Lalchand mulai
berjalan pulang, budak itu
mengikutinya tanpa bersuara untuk
mencari tahu siapa Lalchand dan di
mana tempat tinggalnya. Chulak dan Hamlet 41
berjalan kaki sepanjang malam, dan
ketika fajar tiba, mereka tidur di
lembah kecil di bawah pepohonan
rindang. Mereka bangun setelah
lewat tengah hari dan, sementara
hamlet makan daun-daunan, Chulak
pergi ke desa terdekat untuk
menanyakan jalan menuju Danau
Zamrud. Dia kembali membawa
sepelukan penuh pisang dan kabar.
"Coba tebak, Hamlet. Kita beruntung! Malam ini malam Bulan
Purnama. Dewi Air keluar dari
danau dan mengabulkan permintaan
orang-orang. Nasib kita mujur
sekali, Nak! Habiskan daun-daunmu
dan kita segera bergerak."
mereka bukan satu-satunya yang
menuju Danau Zamrud. Jalan
setapak di hutan penuh dengan
keluarga-keluarga yang membawa
keranjang piknik, bahkan sepasukan
monyet pun menuju ke arah yang
sama. Persis sebelum matahari
tenggelam, Chulak dan Hamlet
melihat seorang lelaki muda sibuk
menempelkan pengumuman di 42
pohon-pohon di sisi jalan.
Chulak akan membaca salah
satunya ketika lelaki muda itu
melihatnya. "Hei! Aku kenal kau!" katanya.
"Dan dia..." "Kami kenal banyak orang," tugas
Chulak. "Apakah ini jalan yang
benar menuju Danau Zamrud?"
"Terus saja dari sini. Nah, bisakah aku...?"
Lelaki muda itu tampak malu-
malu. Chulak tahu apa yang diinginkannya. "Berlututlah, Hamlet," katanya.
"Pelanggan." Hamlet tidak bisa bicara apa-apa
karena ada anak muda itu di sana,
tapi dia memandang Chulak dengan
ttapan maut sambil berlutut.
Lelaki muda tersebut menorehkan
sesuatu di sisi tubuh Hamlet
menggunakan ranting dan lumpur,
lalu memberi Chulak sekeping koin.
"Terima kasih!" katanya. "Pasti
Bos senang kalau 43
kuberitahu!" Kemudian dia berlari pergi.
Chulak membaca tulisannya:
MAKANLAH DI RAMBASHI RESTORAN PANGGANG RIMBA "Rambashi?" tanya Chulak. "Aku
punya paman bernama Rambashi. Dia
tadinya peternak ayam."
Pengumuman-pengumuman di pohon juga tentang Restoran Rimba
Rambashi. Malam itu pembukannya,
dan makanan bisa dibeli dengan
setengah harga jika kau membawa
kupon dari salah satu pengumuman
tersebut. "Menyenangkan sekali jika bisa
bertemu Paman Rambashi lagi, kata
Chulak. "Ayo, sebentar lagi
gelap. Mereka bergegas. Tidak lama
kemudian mereka tiba di pantai
Danau Zamrud. Di bawah pepohonan
di tepi air berdiri beberapa rumah
panggung, yang diterangi api
panggangan dan lentera-lentera
berwarna. Ketika kegelapan tropis
menyelubungi langit kurang 44
dari lima menit kemudian, Chulak
dan Hamlet masuk ke desa.
Tentu saja gajah putih yang sisi
tubuhnya bertuliskan iklan
menimbulkan kegemparan. Tidak lama
kemudian Chulak serta Hamlet
diikuti segerombolan anak kecil
yang gembira dan beberapa orang dewasa yang tidak punya pekerjaan.
Bahkan sekelompok penari yang
sedang berganti pakaian untuk
upacara tidak bisa menahan diri.
Pemimpin penari harus berlari
mengejar mereka dengan mulut penuh
peniti untuk menyuruh mereka
kembali sambil marah-marah.
"Jalan mana menuju Restoran
Panggang Rimba Rambashi?" tanya
Chulak, dan seseorang menunjuk ke
sepanjang pantai ke arah bangunan
kayu yang berdiri di atas pasak-
pasak di air. Tampak teras yang
dihias bendera-bendera berwarna,
meja-meja bertaplak kotak-kotak,
dan lampu-lampu yang terbuat dari
botol anggur. Gumpalan asap
membubung dari dapur, 45
disertai suara mendesis dan
bergolak serta aroma daging dan
ikan panggang berbumbu rempah.
"Tepat pada waktunya, Hamlet!
Hebat, bukan" Dan itu Paman
Rambashi!" kata Chulak.
Rambashi, mengenakan celemek putih di atas sarung kotak-kotak,
mempersilakan beberapa pelanggan ke
teras ketika lantas melihat
Chulak. "Chulak! Anakku! Senang sekali
brjumpa denganmu! Dan -- dan
temanmu -- peliharaanmu -- papan
reklame yang mengagumkan ini!
Masuklah, Nak! Kupon" Oh, tidak
perlu khawatir. Makanan gratis
untuk semua orang, demi menghormati
perayaan Bulan Purnama! (Tentu
saja aku akan merugi, tapi kami
akan segera mendapatkan uang lagi.
publisitas yang bagus sekali.) Ya,
benar, ibu-ibu dan bapak-bapak!
Makan gratis malam ini!"
"Bagaimana dengan kami?" tanya
pelayan. "Kapan kami mendapat makan 46
malam?" "Pelanggan lbih dulu," omel
Rambashi. "Kau dan yang lain bisa makan
sepuasnya belakangan."
"Kukira Paman beternak ayam?" kata Chulak, lalu segera melahap
sepiring penuh udang goreng dan
nasi bumbu sate. "Ya, tapi aku harus merelakannya. Aku kasihan pada
ayam-ayam betina itu, Chulak.
Jadi untuk sementara kami membuka
usaha transportasi -- taksi sungai,
kau tahu, dengan pekerjaan
sampingan -- tapi kemudian datang
kesempatan dalam bisnis restoran --
tempat bakatku sebetulnya berada.
Chulak! -- Ya, Bu, ikan trout
danau panggang kami sangat istimewa
malam ini -- bolehkah kuusulkan
nasi saffron sebagai temannya" Dan
seguci anggur melati" Ya, semua
gratis! Tidak perlu bayar! Semua
ditanggung restoran..."
Restoran Panggang Rimba itu
benar-benar bisnis yang 47
menguntungkan -- atau bisa jadi
menguntungkan jika Rambashi
meminta bayaran. "Kuharap dia tahu apa yang
diperbuatnya, hamlet," kata Chulak, saat gajah itu diam-diam
mencabuti daun-daun pohon beringin
yang tumbuh melebar di atas teras.
"Menurutnya ini publisitas yang
bagus sehingga ketika dia mulai
menarik bayaran, para pelanggan
akan kembali. Aku tidak yakin.
Tapi makanannya memang lezat.
Agak brasap, tapi enak."
Juru masak Rambashi mengalami
masalah dengan pemangganggnya, yang
terus menerus harus disiram air
jika terlalu panas. Gumpalan asap
dan uap terus saja membubung, dan
para pelayan sibuk mondar-mandir
membawa piring pnuh makanan dan
piring kotor serta berguci-guci
anggur, menu dan kelapa berisi es
krim. Sementara itu, para tetua desa
mempersiapkan tepi danau untuk
upacara Bulan Purnama. 48
Chulak dan Hamlet, dengan perut
kekenyangan, berkeliaran untuk
menonton persiapan. Pasir disapu
dan diratakan, lentera-lentera digantung di pohon-pohon, dan
bunga-bunga beraneka warna
ditebarkan di air. Jalan setapak
dari kuil menuju danau dipenuhi
kerumunan manusia di kedua sisinya,
dan Chulak harus memanjat ke
punggung Hamlet agar bisa melihat.
Kemudian upacara dimulai.
Genderang besar ditabuh tiga kali,
dan orkes bermain: gong, xylophone,
genderang, simbal, dan seruling.
Barisan penari keluar dari kuil
dan berlenggak-lenggok di sepanjang
jalan menuju danau, kuku jemari
mereka melentik dan berkelip
seperti kunang-kunang dan rok emas
mereka gemerlap diterangi cahaya
lentera. Kepala desa menyalakan api dan
menyulut sebatang lilin wangi di
dalam perahu kertas yang mengapung
ke tengah danau. Dupanya membuat
udara menjadi harum dan 49
hangat. Tidak lama kemudian
perahu-perahu kertas lain hanyut
mengikutinya, kemudian seorang anak kecil menunjuk ke puncak pepohonan
di seberang danau dan berseru,"Bulan!"
Bulan purnama terbit. Dan saat
bulan naik ke langit, musik pun
semakin keras, Gong, xylophone,
dan simbal memanggil-manggil sang
dewi dari dalam danau. Kemudian sang dewi hadir, meski
tidak seorang pun melihatnya tiba;
seakan dia datang ketika semua
orang menoleh ke arah lain, dan
ketika menoleh kembali, mereka
melihatnya; meski sebetulnya tidak
seorang pun berpaling ke mana-mana.
Dia mengambang di permukaan air di
atas rakit dari teratai, wanita
cantik yang mengenakan jubah
berwarna bulan, mengenakan cincin-
cincin perak dan jimat, juga kalung
untaian melati. Satu demi satu penduduk desa
membungkuk padanya dan meminta
Putri Si Pembuat Kembang Api The Firework Makers Daughter Karya Philip Pullman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bantuannya: wanita yang satu 50
tentang anaknya yang sakit, seorang
lelaki meminta panen bagus, sepasang kekasih meminta restu
pernikahan. Sang dewi mencela
beberapa orang karena meminta
terlalu banyak, meski tidak pernah
menolak orang-orang yang sungguh-
sungguh butuh bantuan. Ketika
semua sudah selesai, dan sang dewi
hendak pergi, Chulak memberanikan
diri dan menggeleng, karena dia
agak pening melihat kecantikannya.
Chulak melangkah menuju tepi air
lalu berlutut. "Dewi!" katanya. "Tolong
dengarkan aku juga!"
Tapi sebelum sang dewi sempat
menjawab, beberapa tangan menyambar
Chulak dengan kasar dan menyeretnya pergi. "Apa yang kaulakukan, orang
asing?" "Seret dia! Mencemari danau
saja!" "Siapa dia" Siapa yang
memberinya izin?" Chulak memberontak. Dia 51
bisa melihat Hamlet mengangkat belalai dan menggerakkan kaki, dan
dia tahu gajah itu mulai marah.
"Tidak!" teriaknya. "Dengar!
Aku punya permintaan khusus!
Biarkan aku bertanya pada Dewi!"
Sang pendeta tinggi menunduk
menatapnya, mengerutkan kening.
Wajah lelaki itu suram dan galak.
"Berani sekali kau datang ke
tempat keramat ini!" katanya.
"Dewi danau tidak boleh diganggu
permintaanmu yang tidak berguna.
Bawa dia! Tidak! Sang dewi
takkan mendengarmu! Berterima
kasih sajalah kami tidak mencabut
nyawamu. Bawa dia ke perbatasan
desa, dan jika dia kembali, bunuh
saja!" BAB EMPAT MENGALAHKAN suara teriakan dan
pergumulan, terdengar suara seperti
terompet besar, dan semua orang
terdiam ketakutan. Chulak juga
takut, meski dia tahu suara apa
itu; karena jika Hamlet sampai
membunyikan terompet belalainya,
artinya dia sudah hampir tidak bisa
menahan kemarahan. Tapi sebelum ada yang bisa
bergerak, sang dewi sendiri angkat
bicara. Suaranya lembut dan
rendah, seperti gumaman ombak di
pantai pada malam hari. "Apa penyebab keributan ini"
Berhenti berkelahi sekarang juga.
Kau baik sekali karena berusaha
melindungiku dari rasa malu,
Pendeta Tinggi, tapi aku ingin
mendengar anak muda itu bicara, dan
melihat temannya si gajah. Marilah
ke air, kalian berdua."
Chulak menatap hamlet, dan
melihat hewan besar itu juga malu.
Hamlet melangkah di antara kerumunan, berhati-hati agar 53
tidak menginjak kaki siapa pun, dan
membungkuk di sebelah Chulak di
pasir. Slogan-slogan yang ditulis
di tubuhnya tampak begitu nyata
diterangi cahaya bulan. Sang Dewi
membacanya, lalu meminta Hamlet
berbalik dan menunjukkan sisi
sebelahnya. "Makanlah di Rambashi Restoran
Panggang'**'Chang cinta Lotus
Blossom'**" Kukira aku sudah menghapus yang
itu," kata Chulak. "Kurasa manis sekali," kata sang
dewi. "Tapi jangan kau lakukan
lagi. Temanmu terlalu bijak dan
mulia untuk ditulisi dan jika dia
bisa bicara, aku yakin kau
menyadarinya juga." Lalu sang dewi menatap Chulak
sedemikian rupa sehingga Chulak
tahu apa yang dimaksudkannya dan
merasa malu. "Meski demikian," Dewi
melanjutkan," aku bisa melihat kau takkan meminta sesuatu yang tidak
berguna. Katakanlah apa yang 54
kauinginkan." "Kami punya teman," kata Chulak
bersemangat, "dan dia ingin jadi
pembuat kembang api. Dia sudah
menyelesaikan masa belajarnya, tapi
ingin mengambil Sulfur Bangsawan
dari Razvani sang Angkara Api
supaya bisa menjadi pembuat kembang
api sejati. Maka dia pergi
sendirian ke Gunung Merapim hanya
saja dia tidak tahu dia harus
membawa seguci air ajaib untuk
perlindungan, dan kami datang untuk
meminta, memohon bantuan besar,
apakah Anda bisa memberi kami air
ajaib, kemudian kami akan
mengejarnya dan mencoba menyusulnya." Sang dewi mengangguk. "Temanmu
memiliki teman-teman yang baik,"
katanya. "Tapi Gunung Merapi
jauh sekali, dan perjalanannya
berbahaya. Kalian sebaiknya segra
berangkat. Dan berhati-hatilah!" Seakan memang sudah sejak awal
mengetahui apa permintaan mereka,
sang dewi menganggsurkan 55
buli-buli bertutup perak. Chulak
mengambilnya dan membungkuk lagi,
lalu orkes mulai bermain dan penari
mulai menari, dan ketika orang-
orang menoleh ke danau lagi, sang
dewi sudah pergi, meski tidak
seorang pun melihatnya menghilang.
Sebelum mereka berangkat,
Chulak memandikan Hamlet di
danau. Beberapa anak desa
membantu, tapi sebentar saja,
karena tidak lama kemudian ada
kejadian lain yang bisa mereka
tonton: asap tebal dan api
membubung dari Restoran Panggang
Rimba. "Ya ampun, ya ampun," kata
Chulak. "Tamatlah sudah rencana
terakhir Paman Rambashi, Hamlet.
Aku tahu juru masaknya kewalahan.
Kuharap dia baik-baik saja."
Pekikan kegirangan dan sorakan
terdengar dari kerumunan orang saat atap restoran roboh diiringi
percikan api. Berember-ember air
dibawa secara estafet dari danau,
dan Chulak bisa mendengar 56
Rambashi berkata, "Pertunjukan
hebat! Pemandangan menggemparkan!
Kalian tahu, anak-anak, itu
memberiku ide yang sangat
cemerlang. Yang harus kita lakukan
hanyalah-" "Kami bahkan belum makan!" seru
salah satu pelayan. "Waktunya pergi, Hamlet," kata
Chulak, dan mereka berangkat
menyusuri tepi danau menuju
pegunungan di kejauhan. Pada saat itu Lila telah tiba
di tepi hutan. Dia mendaki terus,
melangkah tanpa henti, lalu
pepohonan mulai menipis dan jalan
setapak menjadi jalur kecil saja,
kemudian lenyap sama sekali. Semua
suara hutan, ceklikan dan dengungan
serangga, pekikan burung dan
monyet, tetesan air dari dedaunan,
dengkungan katak-katak kecil, berada di belakangnya sekarang.
Ketika mendengar suara-suara itu,
Lila menikmati keberadaannya, tapi
sekarang tidak terdengar apa-apa
selain langkah kakinya di 57
jalan setapak dan sesekali gemuruh
dari gunung, yang terdengar jauh di
perut bumi sehingga dia merasakannya melalui kakinya
sejelas yang ditangkap telinganya.
Ketika malam turun dia tidur di
tanah berbatu di sebelah batu
karang besar dan membungkus tubuh
dengan satu-satunya selimut
miliknya. Cahaya bulan purnama
menerangi wajahnya serta membuatnya
terbangun terus, dan dia tidak bisa
merasa nyaman karena bebatuan di
tanah. Akhirnya dia duduk dengan
kesal. Tapi ia tidak bisa menceritakan
kekesalannya pada siapa pun. Dia
tidak pernah merasa begini
kesepian. "Aku ingin tahu**," dia mulai
berkata, tapi lalu menggeleng. Dia melakukan perjalanan ini bukan
untuk memikirkan apa yang terjadi
di rumah. Keadaan di rumahlah yang
membuatnya pergi. "Yah, kalau aku tidak bisa
tidur, lebih baik berjalan 58
lagi saja," katanya pada diri
sendiri. Dia melipat selimut, mengikat
lagi sarungnya, dan mengencangkan
sandal, kemudian kembali melangkah.
Daratan makin curam dan terus
makin curam. Tidak lama kemudian
dia tidak lagi bisa melihat puncak
Gunung Merapi, jadi dia tahu
pasti sedang mendaki lerengnya.
Sama sekali tidak ada tumbuhan di
sini, bahkan semak atau rumput
sekalipun: hanya tebing cadas
telanjang dan batu-batu longgar.
Dan tanah terasa hangat. "Aku sudah dekat," katanya pada
diri sendiri. "Tak jauh lagi
sekarang--" Tapi begitu berkata demikian,
dia menginjak sebongkah batu yang langsung menggelinding dan dia
terjatuh, lalu dua belas batu lagi
meluncur bersamanya. Semua udara seakan keluar dari
paru-parunya, dan tidak ada sisa
napas baginya untuk berteriak
ketika bebatuan jatuh 59
menimpanya. Batu-batu itu memantul menuruni
gunung hingga akhirnya berhenti
jauh di bawah. Lila berdiri
perlahan-lahan. "Aw," katanya. "Bodohnya. Aku
tidak melihat ke mana kupijakkan
kakiku. Aku harus lebih hati-
hati." Dia berdiri, mendapati sebelah
sandalnya terlepas dan jatuh ke
kaki gunung bersama batu-batu.
Tidak kelihatan di mana jatuhnya.
Dengan sangat hati-hati dia
menjejakkan sebelah kakinya yang
telanjang, dan mendapati tanah
terasa panas. Yah, tidak ada yang bisa dilakukannya; dan bukankah dia datang kemari mencari apa" Dan
bukankah dia sering terbakar saat
belajar jadi pembuat kembang api"
Lagi pula dia toh memang tidak
butuh kaki mulus.
Putri Si Pembuat Kembang Api The Firework Makers Daughter Karya Philip Pullman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Dia terus mendaki, semakin
tinggi dan terus semakin tinggi.
Tidak berapa lama kemudian 60
dia tiba di bagian tebing yang
batu-batunya longgar, terpeleset
dua langkah ke bawah setelah maju
tiga langkah. Kaki dan tungkainya
memar serta luka, kemudian
sandalnya yang sebelah lagi pun
terlepas; dan dia nyaris berteriak
frustasi, karena gua itu masih
belum tampak -- hanya tebing penuh
bebatuan kasar dan panas yang
berjatuhan dan menggelinding di
bawah kakinya. Kerongkongannya kering dan paru-
parunya kewalahan dalam udara panas
dan tipis. Dia jatuh berlutut dan
mencengkeram tanah dengan jemari
gemetar ketika bebatuan mulai
menggelinding ke bawah lagi. Dia melepaskan tas berisi sedikit
makanan dan selimut; barang-barang
itu tidak lagi berguna; satu-
satunya yang penting adalah terus
mendaki. Dia menyeret tubuh dengan
lutuh berdarah, naik dan terus
naik, sampai setiap ototnya sakit,
sampai tidak ada lagi udara dalam
paru-parunya, sampai dia 61
mengira akan mati; tapi dia tetap
mendaki. Kemudian sebongkah batu yang
lebih besar daripada yang lain
mulai bergerak ketika bebatuan
kecil di bawahnya merosot. Batu
itu bergeser dan menggelinding ke
arah Lila dan dia tidak memiliki
kekuatan untuk menghindar; tapi
pada detik terakhir batu itu
memantul ke atasnya dan menggelinding menuruni sisi gunung
dalam balutan gumpalan debu dan
kerikil. Di tempat batu tadi berada, ada
lubang besar setinggi rumah.
Cahaya bulan menyinari sedikit jalan masuknya, tapi lorong itu
masih jauh ke dalam, langsung
menuju pusat gunung. Semburan asap
berbau sulfur membubung keluar, dan
Lila tahu dia telah menemukan
sasarannya: itulah Gua sang
Angkara Api. BAB LIMA LILA mendorong tubuhnya bangkit
dengan tangan gemetar, dan
melangkah masuk. Lantainya panas
sekali dan udara nyaris tidak bisa
dipakai untuk bernapas. Dia terus
melangkah, masuk lebih jauh lagi ke
perut bumi, lebih dalam daripada
yang bisa dicapai cahaya bulan, dan
tidak mendengar apa-apa selain
keheningan, tidak melihat apa-apa
selain bebatuan gelap. Dinding batu yang kasar dan
tandus menjulang di kanan-kirinya;
dia merabanya dengan tangan yang
berdarah. Kemudian lorong melebar menuju gua besar. Lila tidak
pernah melihat sesuatu yang begitu
suram dan kosong dalam hidupnya,
dan dia mendengar jantungnya
mencelos, karena dia telah tiba
sejauh ini tapi tidak ada apa-apa
di sini. Lila terduduk di lantai. Dan seakan itu tanda, api kecil
menjilat keluar dari dinding batu
selama sedetik, kemudian 63
lenyap. Lalu sekali lagi, di tempat
lain. Dan lagi. Kemudian bumi berguncang serta
mengerang, dan disertai suara tajam
gesekan kasar, dinding batu
membelah terbuka, dan tiba-tiba gua
bermandikan cahaya. Lila duduk tegak, terperangah,
ketika bara merah dan lidah api
menjilat serta berderak di langit-
langit batu. Seketika gua itu
penuh dengan gerakan, saat seribu
setan api merangsek ke atas, melemparkan diri ke dinding batu
dan bertabrakan dengan seribu setan
api lain, ketika karpet lebar
berupa lahar yang menggelegak
menyebar ke seluruh penjuru, saat
dentuman dan benturan palu pada
besi berdentang seiring irama dansa
api yang membahana. Gua bawah tanah itu penuh cahaya
dan suara. Ribuan makhluk api
bergerak dan menyala-nyala,
mengayunkan palu, berlarian 64
ke sana kemari membawa percikan-
percikan api, dan berkerumun di
dinding batu sampai dinding itu
lumer lalu mengalir ke bawah
seperti lilin cair. Kemudian
makhluk-makhluk serakah itu
mencelupkan tangan merah mereka ke
sana lalu mengambil sulfur yang
menggelegak dan memasukkannya ke
mulut kecil mereka, kemudian
memakan tanpa henti sampai dinding
batu lain lumer dan menenggelamkan
mereka. Lalu di tengah cahaya, api, dan suara-suara berisik, muncullah
Razvani, sang Angkara Api yang
hebat, yang tubuhnya berupa
gumpalan api dan wajahnya berupa
topeng cahaya yang menyilaukan.
Ribuan setan api bertemperasan
ketika dia mendarat, bahkan lidah
api yang menjilat-jilat membungkuk
ke arahnya. Lila juga. Dengan suara seperti kebakaran
hutan, Razvani berbicara.
"Atas izin siapa kau masuk ke
gua?" 65
Lila menelan ludah dengan susah
payah. Sulit sekali bernapas,
karena rasanya seperti menarik api
ke dalam paru-paru, bukan hanya
udara. "Aku ingin menjadi pembuat
kembang api," Lila berhasil
berkata. Raznani tertawa keras sekali.
"Kau" Tidak mungkin! Dan apa
yang kau inginkan dariku?"
"Sulfur Bangsawan," jawab Lila
tersedak. Mendengar itu Razvani menepuk
sisi tubuhnya sendiri dan tertawa
semakin keras, lalu seruan mengejek
dan pekikan girang terdengar dari
semua setan api. "Sulfur Bangsawan" Kalian
dengar itu" Oh, hebat! Lucu
sekali! Nah, bicaralah, Nak:
apakah kau memiliki Tiga Bekal?"
Lila hanya bisa mengangkat bahu
dan menggeleng. Ia hampir tidak
bisa bicara. "Aku tidak tau apa itu,"
katanya. 66
"Jadi apa yang akan kautukar
dengan Sulfur Bangsawan?" tanya
Razvani bertanya menggelegar.
"Aku tidak tahu!"
"Kau takkan memberi apa pun
untuk ditukarkan?" Lila tidak bisa berkata apa-apa.
Dia menundukkan kepala. "Yah, kau sudah datang jauh-
jauh," kata sang Angkara Api,
dan tidak ada jalan kembali.
Mumpung sekarang sudah berada di sini, kau harus melangkah di api,
seperti para pembuat kembang api
lain. Kuduga kau membawa air ajaib
dari sepupuku Dewi Danau" Kau
tidak membawa apa-apa untukku, tapi
kurasa kau takkan lupa membawa
sesuatu untuk melindungi dirimu
sendiri. Sebaiknya kau minum
cepat-cepat!" "Aku tidak punya apa-apa!" ujar
Lila tersengal. "Aku tidak tahu
tentang air ajaib maupun Tiga
Bekal -- aku hanya ingin menjadi
pembuat kembang api! Dan aku akan
jadi pembuat kembang api yang 67
hebat, Razvani! Aku menciptakan
Naga Meletup yang bisa meledak
sendiri dan Koin Kelap-Kelip!
Aku sudah mempelajari semua yang
diajarkan ayahku! Hanya itu yang
kuinginkan -- menjadi pembuat
kembang api seperti ayahku!"
Tapi Razvani hanya tertawa.
"Tunjukkan hantu-hantu padanya!"
dia berseru, dan menepukkan
tangannya yang berkobar. Seketika timbul retakan
memanjang pada dinding batu, dan
dari celahnya keluarlah iring-
iringan hantu, masing-masing dijaga
setan api. Hantu-hantu itu sangat
pucat dan transparan sehingga Lila
nyaris tidak bisa melihat mereka,
tapi dia mendengar mereka melolong.
"Awas! Lihat aku! Aku datang
tanpa Tiga Bekal!" "Awas! Dengar peringatanku!
Aku tidak pernah berlatih seni
membuat kembang api dan aku belum
siap!" "Nona, pergilah! Aku sombong
dan keras kepala! Aku tidak 68
meminta air dari sang dewi, dan aku
terbakar api!" Sambil melolong dan menangis,
hantu-hantu itu melintasi sungai
api, dan lenyap melalui celah di
dinding seberang. "Itulah yang terjadi pada mereka
yang datang tanpa persiapan!" kata
Razvani. "Tapi sekarang kau harus
mneyerahkan dirimu seperti mereka. Melangkahlah ke apiku, Lila! Kau
datang untuk mengambil Sulfur
Bangsawan -- ambillah dari
tanganku!" Dan dia tertawa lebih keras,
lalu berputar-putar dalam gerakan
dansa cepat, mengentakkan kaki
dalam gerakan melingkar lebar dan
menyebabkan lingkaran api menjilat-
jilat di sekelilingnya. Di antara
kelebatan merah, kuning, dan
jingga, wajahnya tampak buram dan
berkelip-kelip, namun suaranya
bergema jelas di antara deru dan
gemeretak api: "Kau ingin menjadi pembuat
kembang api" Melangkahlah di 69
apiku! Ayahmu melakukannya, juga
semua seniman api. Kau datang
untuk ini! Mengapa menunggu?"
Lila ketakutan setengah mati.
Tapi dia tahu harus melakukannya;
lebih baik jadi hantu daripada
kembali dengan tangan kosong dan
gagal melakukan satu-satunya hal
yang diinginkannya. Dia maju satu langkah, kemudian
selangkah lagi, dan kakinya yang
malang terbakar serta melepuh
sehingga dia berteriak kesakitan.
Kemudian Lila melangkah lagi, dan
ketika tahu tidak bisa menahannya
lebih lama lagi, dia mendengar
suara keras di belakangnya, seperti
Putri Si Pembuat Kembang Api The Firework Makers Daughter Karya Philip Pullman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
terompet nyaring. Dan di sela-sela
gemeretak api, terdengar suara
berteriak: "Lila! Airnya! Ambil, ambil!"
Dan tampak sosok kecil di
sampingnya, menyerahkan sesuatu ke
tangannya: buli-buli! Buli-buli
untuk minuman dengan tutup yang
segera dicabutnya, lalu ia
mengangkatnya ke bibir dan 70
meneguk isinya banyak-banyak.
Seketika rasa dingin menyegarkan
mengalir ke dalam tubuhnya dan
terus turun ke ujung-ujung jemari
kakinya. Rasa sakit lenyap dan
kekeringan di kerongkongan serta
paru-parunya terpuaskan dan
tersingkirkan. Di pintu masuk gua di belakangnya, dia bisa melihat
Chulak, menyingkir ke belakang dan
menutupi wajah dari panas; Lila
bisa melihat Hamlet mengipasi anak
lelaki itu dengan telinganya.
Tapi Lila berada di jantung
api, kembali menghadapi Razvani,
apinya kini tidak lagi berbahaya.
Api bermain-main seperti air
mancur cahaya; menjilati tungkai
dan lengannya serta menyembur di
wajahnya seperti burung-burung yang
menukik dan Lila merasa ringan
serta gembira, seakan dia sendiri
api, menari-nari dengan energi
murni dan kebahagiaan. "Jadi kau berhasil melakukannya!" Razvani berkata
padanya. "Selamat datang kea 71
pi, Lila." "Dan**Sulfur Bangsawan-nya?"
tanya Lila. "Ah, saat kau mencapai jantung
api, semua ilusimu lenyap.
Tidakkah ayahmu mengatakan itu?"
"Ilusi" Aku tidak mengerti!" "Sulfur Bangsawan itu tidak
nyata, Lila. Tidak ada hal
semacam itu!" "Lalu**bagaimana aku bisa
menjadi pembuat kembang api" Aku
mengira semua pembuat kembang api
butuh Sulfur Bangsawan untuk
menjadi seniman!" "Ilusi, Lila. Api membakar
semua ilusimu. Dunia sendiri
merupakan ilusi. Segala yang ada
berkelip seperti api selama sesaat,
kemudian lenyap. Satu-satunya yang
abadi adalah perubahan. Tidak ada
Sulfur Bangsawan. Ilusi**
Segala hal di luar api adalah
ilusi!" "Tapi Tiga Bekal itu -- aku
tidak mengerti! Apakah Tiga
Bekal itu, Razvani?" 72
"Apa pun itu, kau sudah
membawanya untukku," kata Razvani.
Dan itu hal terakhir yang
didengar Lila darinya, karena saat
mengucapkannya Razvani memudar,
dan danau api menggelap lalu menjadi batu merah, kemudian
menjadi batu biasa, dan pasukan
setan api berubah menjadi percikan
kecil samar-samar yang melayang
tidak tentu arah selama beberapa
detik, lalu tenggelam, kemudian
lenyap seketika. Gua itu kembali kosong. Lila memalingkan wajah dari
tempat api tadinya berada. Dia
pusing dan kecewa, tenang dan
penasaran, senang dan bingung;
sebenarnya dia tidak tahu apa yang
dirasakannya atau apa sebenarnya
dirinya, selama sesaat. Tapi
kemudian dia melihat Chulak dan
berlari ke arahnya. "Chulak, kau menyelamatkan
nyawaku! Dan kau terluka -- kau
terbakar -- biarkan aku membantumu!" 73
Chulak menggeleng dan menarik-
narik tangan Lila. "Jangan buang-buang waktu,"
katanya. "Kita harus bergegas. Ceritakan padanya sambil jalan, Hamlet!"
Mereka tersaruk-saruk keluar
dari gua menuju cahaya pucat fajar,
dan Hamlet berkata: "Maafkan aku, Lila. Aku
mendengar burung-burung berbicara
di kaki gunung, dan mereka berkata
'Lihat! Si Gajah Putih! Yang
kabur dari kota!' Aku bertanya
pada salah satu tentang apa yang
diketahuinya, dan burung itu
berkata 'Pembuat Kembang Api
membantumu melarikan diri. Ada
yang melihat dan memberitahu Raja,
akibatnya sekarang Lalchand
ditangkap, lalu akan dihukum
mati!' Kemudian burung itu
terbang untuk memberitahu burung-
burung lain. Lila, kita harus
kembali secepat mungkin. Jangan
buang-buang waktu untuk menyalahkan
siapa pun! Naik ke 74
punggungku dan berpeganganlah erat-
erat." Maka, dalam gelombang ketakutan
yang membuatnya melupakan Razvani dan Sulfur Bangsawan serta Tiga
Bekal, Lila memanjat punggung si
Gajah di sebelah Chulak, dan
berpegangan erat-erat saat Hamlet
mulai meluncur menuruni lereng
gunung diterangi cahaya fajar.
BAB ENAM BAGAIMANA mereka melakukannya,
Lila tidak pernah tahu -- mereka berhenti hanya agar Hamlet bisa
minum di sungai sementara Lila dan
Chulak mengambil beberapa buah
dari pohon yang dahan-dahannya
menjulur ke air -- namun setelah
berjam-jam berjalan dan tersaruk-
saruk serta setengah berlari dengan
kaki melepuh, mereka tiba di
pinggir kota. Matahari akan
terbenam. Tentu saja Hamlet menarik
perhatian begitu dia terlihat,
karena semua orang tahu si Gajah
Putih melarikan diri. Tidak lama
kemudian mereka sudah dikerubungi
kerumunan yang ingin tahu, semua
berusaha menyentuh Hamlet demi
keberuntungan, dan sebelum tiba di
dekat istana, mereka tidak lagi
bisa bergerak. Lila nyaris menangis ketakutan
dan tidak sabar. "Apakah mereka sudah membunuh
ayahku" Apakah Lalchand 76
masih hidup?" dia bertanya, tapi
tidak seorang pun tahu. "Minggir semua!" seru Chulak.
"Beri kami jalan! Minggir!"
Tapi mereka hanya bisa bergerak
maju sentimeter demi sentimeter.
Chulak bisa merasa Hamlet mulai
marah, dan dia takut takkan bisa
mengendalikannya. Dia mengelus-
elus belalai gajah itu dan
membuatnya tetap tenang. Kemudian mereka mendengar
teriakan dan suara pedang beradu di
depan mereka, lalu kerumunan segera
terkuak. Kabar telah sampai ke
Istana dan Raja mengirimkan
Pengawal Spesial dan Istimewa-
nya untuk mengawal Hamlet kembali
ke rumahnya yang megah. "Sudah waktunya!" kata Chulak
pada sang jenderal yang memimpin.
"Ayo, kami buru-buru. Bersihkan
jalanan dan minggirlah."
Maka ketiganya, dalam keadaan
terbakar, melepuh, dekil, serta
kelelahan, dikawal menuju Istana
oleh pengawal berseragam 77
indah, yang bersikap seakan merekalah yang menemukan Hamlet.
Jantung Lila yang malang berdegup
kencang seperti burung di dalam
jaring. "Beri hormat!" kata Jenderal
Spesial dan Istimewa. "Menyembahlah! Wajah menunduk!
Terutama wajahmu, bocah."
Mereka berlutut di kerikil
halaman dalam Istana dalam cahaya
obor yang menyala, dan Pengawal
Spesial dan Istimewa berbaris
memberi hormat ketika Raja datang.
Yang Mulia berdiri dan di
hadapan mereka. Lila bisa melihat
sandal emasnya, kemudian kegelisahan tidak bisa lagi
dibendungnya, maka dia berlutut
sambil menengadah dan berkata pilu,
"Saya mohon, Yang Mulia -- ayah
saya Lalchand -- Anda belum --
dia tidak -- apakah dia masih
hidup?" Raja menatap ke bawah dengan
galak. "Dia akan mati besok pagi,"
katanya. "Hanya ada satu 78 hukuman untuk apa yang telah
dilakukannya." "Oh, saya mohon! Tolong jangan
bunuh ayah saya! Ini kesalahan
saya, bukan kesalahannya sama
sekali! Saya kabur tanpa memberitahu dia dan --"
"Cukup," tukas Raja, dan dia
begitu tampak menakutkan sehingga
Lila segera berhenti bicara.
Kemudian Raja menatap Chulak.
"Siapa kau?" ia bertanya.
Chulak segera berdiri, tapi
sebelum dia bisa bicara, seorang
Pengawal Spesial dan Istimewa
memaksanya menunduk kembali.
"Saya Chulak, Yang Mulia,"
katanya. "Bolehkah saya
menengadah" Tidak mudah bicara
jika ada kaki di leher saya."
Raja mengangguk, dan si pengawal
mundur. Chulak berlutut di sebelah
Lila dan berkata: "Begini lebih baik. Anda tahu,
Yang Mulia, saya Pelayan Spesial dan Istimewa si Gajah, semacam itulah. Dia hewan 79
yang lembut, dan jika ditangani
dengan salah, akan ada persoalan
tanpa akhir. Dan begitu tahu dia
melarikan diri, saya segera
mengejarnya, Yang Mulia. Saya
berenang menyeberangi sungai,
mendaki pegunungan, menembus hutan
belantara, dan -- " Tiba-tiba seluruh napas Chulak
seakan dipaksa keluar dari paru-
parunya dan dia terkapar lagi di
tanah. Sesuatu yang lembut
mendorong punggungnya, dan dia tahu
itu belalai Hamlet. Hamlet belum
pernah memperlakukan dirinya
seperti itu, dan dia menggulingkan
tubuh dengan terejut untuk melihat
si Gajah memandanginya dengan
tatapan istimewa dan penuh arti,
kemudian Chulak tahu apa yang
harus dilakukannya. Dia bangkit kembali dan menghadap Raja.
Putri Si Pembuat Kembang Api The Firework Makers Daughter Karya Philip Pullman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Yang Mulia, si Gajah baru
saja mengajukan permintaan. Saya dan dia memiliki cara unik dalam
berkomunikasi, Anda tahu. 80
Dia minta bertemu empat mata
dengan Anda, Yang Mulia."
Bahkan sang Jenderal Spesial
dan Istimewa tidak bisa menahan
tawa memikirkan ada hewan yang
ingin bicara dengan Raja, tapi ia
segera mengubahnya menjadi batuk
ketika Raja memelototinya.
"Sendirian?" Raja bertanya pada
Chulak. "Ya, Yang Mulia."
"Si Gajah Putih hewan yang
sangat langka dan luar biasa," kata
Raja. "Demi dirinya, aku akan
mengabulkan permintaannya. Dan
jika ternyata kau mempermainkanku,
kau boleh yakin besok pagi sama
sekali tidak ada yang akan bisa
kautertawakan. Jenderal, bawa
kedua anak ini keluar dan
tinggalkan aku sendiri bersama si
Gajah." Para pengawal menyeret Lila dan
Chulak ke luar halaman dan menuju bangunan dapur, aroma daging
panggang dan rempah-rempah
mengingatkan bahwa mereka 81
berdua belum makan selama 24 jam.
"Jangan khawatir," kata Chulak.
"Hamlet akan menjelaskan
segalanya." "Apakah dia akan bicara pada
Raja, kalau begitu" Aku mengira
fakta bahwa dia bisa bicara
merupakan rahasia besar!"
"Ini keadaan tertentu yang
istimewa. Oh, nasi itu! Oh, saus
plum itu! Oh, wangi rempah-rempah
itu!" Bahkan rasa takut Lila tidak
menghalangi air liurnya menitik,
dia kelaparan sekali. Lalu mereka menunggu. Menit-
menit berlalu dan terus berlalu,
dan Lila yang malang sangat pegal
dan letih sehingga nyaris tertidur
sambil berdiri, meski tetap
khawatir. Tapi akhirnya ada
gerakan di pintu. "Tawanan!" salak sang Jenderal. "Ayo ikut aku!"
Dua baris pengawal berderap
tegap, Chulak dan Lila di tengah-
tengah mereka mengikuti 82
Jenderal kembali ke halaman
istana. Ketika mereka sudah membungkuk
hormat dengan benar, Raja berkata,
"Mula-mula, untukmu, Chulak, aku
menangguhkan hukuman. Telah
dikatakan padaku kau tidak pernah
berniat melukai si Gajah, tapi aku
tidak yakin kau orang yang terbaik
untuk mengurusnya. Kau dipecat."
Chulak menelan ludah, dan
menatap Hamlet. Kemudian Raja berpaling pada
Lila dan berkata, "Aku telah
merenungkan kasusmu baik-baik.
Sangat luar biasa, dan inilah
keputusanku. Aku takkan menghukum
mati Lalchand sang Pembuat
Kembang Api, tapi dengan satu
syarat. Minggu depan, seperti yang
diketahui seluruh kota, kita
merayakan Festival Tahun Baru, dan aku telah mengundang seniman-
seniman kembang api terbaik dari
seluruh penjuru dunia untuk
menyumbangkan pertunjukan.
"Sekarang begini 83
rencanaku: aku akan mengumumkan
kompetisi di malam terakhir
Festival. Setiap seniman yang
kuundang akan mempersembahkan
pertunjukan petasan, Lalchand
serta Lila akan ambil bagian juga.
Hadiahnya berupa piala emas akan
diberikan kepada seniman yang
pertunjukannya mendapat tepuk
tangan paling lama. Hanya itu yang
diketahui kompetitor lain.
"Tapi kau dan Lalchand akan
tahu hal lain. Jika pertunjukan
kalian menang, Lalchand akan
mendapat hadiah dan bebas; tapi
jika kalian kalah dalam kompetisi,
dia juga akan kehilangan nyawa.
"Itu keputusanku, dan tidak
boleh diganggu gugat. Kau punya
waktu seminggu untuk menyelamatkan
nyawa ayahmu, Lila." "Pengawal, bawa mereka keluar,
dan bebaskan Lalchand sang
Pembuat Kembang Api agar bisa
bersama putrinya." Lila hampir tidak punya waktu
untuk berpikir, tahu-tahu dia 84
sudah berada di pintu kecil samping
Istana, pelayan membawa obor
berkelap-kelip bagi Lila untuk
menunggu. Tapi Lila tidak harus
menunggu lama; dari balik pintu
terdengar suara rantai terjatuh ke
lantai, kemudian pintu terbuka dan
di sana berdiri Lalchand.
Tak ada di antara keduanya yang
mampu bicara, tapi mereka
berpelukan sangat erat sehingga
nyaris tidak bisa bernapas. Saat
sudah puas berpelukan, mereka sadar
soal perut yang keroncongan, dan
bergegas pulang. "Kita beli udang goreng di kios
sebelah, dan makan sambil bekerja,"
kata Lalchand. "Apakah mereka sudah memberitahu
Ayah tentang keputusan Raja?" tanya Lila.
"Ya, tapi aku tidak khawatir.
Kita harus bekerja sekeras yang
belum pernah kita lakukan, tapi
kita bisa melakukannya**"
Dan Lila melupakan Sulfur
Bangsawan serta Tiga 85
Bekal. Tidak ada waktu untuk
bertanya tentang masalah itu
sekarang. Dia bergegas menuju
bengkel membawa beberapa piring
nasi, udang, dan tumis sayuran,
lalu mereka makan tanpa merasakannya sambil bekerja.
"Ayah," kata Lila. "Aku puny
aide. Bagaimana jika**"
Dia mengambil sebatang arang
dari meja kerja dan menggambar
sketsa cepat-cepat. Mata Lalchand
bersinar. "Aha! Tapi mulailah perlahan-
lahan. Buat dengan seksama."
"Dan dalam perjalanan pulang
dari Gunung Merapi," kata Lila,
"ketika kami berhenti di sungai,
aku melihat tanaman rambat saling membelit, dan aku memikirkan cara
untuk menunda sumbunya terbakar.
Membuatnya terbakar pada taraf
berbeda." "Mustahil!" "Tidak mustahil. Lihat, akan
kutunjukkan**" Dan mereka pun bekerja. 86
BAB TUJUH PARA Pembuat Kembang Api yang diundang tiba keesokan
harinya, bersama seniman dan
pelakon terkenal lain: Perkumpulan
Opera Pencari Bakat dan Pembimbing dari China, Senor
Archibaldo Gomez dan Orkes
Mambo Filipino-nya, Komedian
Nasional Cowbell Norwegia, dan
banyak lagi. Mereka semua turun
dari kapal S4S. Indescribable
bersama koper-koper, peralatan, dan
kostum-kostum mereka, dan segera
mulai berlatih. Pembuat Kembang Api pertama
adalah Dr. Puffenflasch, dari Heidelberg. Dia menciptakan roket
multitahap yang meledak di
ketinggian enam ratus meter dalam
bentuk sosis Frankfurter raksasa,
sementara instrument besar yang
diciptakannya memainkan lagu The
Ride of Valkyries. Herr Puffenflasch menghabiskan banyak
waktu dan tenaga untuk mempersiapkan sesuatu 88
sespektakuler itu demi Festival
Tahun Baru, dan dia sendiri yang
mengawasi bongkar-muat peralatannya
yang besar-besar dengan sangat
hati-hati. Pembuat Kembang Api kedua yang
datang adalah Signor Scorcini
dari Napoli. Keluarganya membuat
kembang api selama bergenerasi-
generasi dan keahliannya adalah
suara. Untuk pertunjukkannya ini
dia menciptakan gambaran skala
besar pertempuran laut, dan Raja
Neptunus muncul dari dalam air
untuk menjaga pertarungan tetap
adil serta menyatakan perdamaian. Pembuat Kembang Api ketiga dan
terakhir adalah Kolonel Sam
Sparkington dari Chicago.
Pertunjukkannya berjudul Aksi
Kembang Api Terhebat Segalaksi;
dan biasanya menampilkan Kolonel
Sparkington sendiri, mengenakan
topi Stetson putih sambil
menunggang kuda. Kali ini,
gosipnya, dia menciptakan
pertunjukan yang 89
menghebohkan, melibatkan sesuatu
yang belum pernah ada dalam seni
kembang api. Dan sementara ketiga Pembuat
Kembang Api yang berkunjung itu
memasang peralatan pertunjukan,
Lalchand dan Lila mengerjakan
pertunjukan mereka. Waktu seakan
terbang. Mereka hampir tidak
pernah tidur, nyaris tidak pernah
mandi, hampir tidak pernah makan.
Mereka mencampur bergentong-
gentong Ular Emas, mereka memesan
satu setengah ton bunga garam,
mereka menciptakan sesuatu yang baru yang tidak bisa mereka
tentukan namanya sampai Lila
berkata: "Lumut**" dan menjentikkan
jemari. "Berbusa?" kata Lalchand.
"itu dia!" Lila menunjukkan kepada Lalchand metode sumbu tertundanya,
tapi tidak berhasil sampai
Lalchand mendapat ide untuk
menambahkan spirit mineral, 90
kemudian metode ini bekerja dengan
hebat. Metode tersebut bisa
menyalakan lima puluh atau seratus
kembang api sekaligus, yang
sebelumnya mustahil dilakukan.
Kemudian Lalchand menciptakan
penutup pertunjukan yang spektakuler, tapi hal itu
tergantung pada hal yang lebih
mustahil lagi: menyalakan sumbu di
Putri Si Pembuat Kembang Api The Firework Makers Daughter Karya Philip Pullman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bawah air. Lila memecahkan
persoalan tersebut karena teringat
pada nafta yang mudah terbakar,
lalu mereka mencobanya, dan berhasil.
Dan sebelum mereka menyadarinya,
hari Festival pun tiba. "Aku ingin tahu dimana Chulak
berada," kata Lila sambil
merenung, tapi benaknya lebih
memikirkan Lumut Berbusa.
"Kuharap Hamlet diperlakukan
dengan baik," timpal Lalchand,
tapi sebenarnya dia memikirkan
nafta yang mudah terbakar.
Dan tidak ada diantara keduanya
yang berkata apa-apa tentang 91
keputusan Raja, tapi mereka tidak
bisa menyingkirkan pikiran itu dari
benak mereka. Setelah tidur sebentar dan
sarapan yang terburu-buru, mereka
memuat gerobak si penjual udang
goring (dia meminjamkannya oada
mereka karena dia sedang libur) dan
mendorongnya melintasi jalan-jalan
menuju Royal Park, tempat
pertunjukan akan berlangsung. Si
penjual batik mengikuti dari
belakang sambil mendorong gerobak lain, dan di belakangnya berjalan
si pengukir kayu cendana dari ujung
jalan, membawa gerobak ketiga,
semua penuh berisi kembang api.
Tapi begitu mereka tiba di danau
buatan, Lila dan Lalchand
berhenti dengan cemas. Karena di sana sudah berdiri
Dr. Puffenflasch sambil mengawasi
tahap akhir pemasangan peralatan
sebesar lima belas ton, semua
terbungkus terpal yang rapi,
dikerubungi dua belas teknisi
kembang api bercelana terusan 92
putih, memegang clipboard dam
stetoskop. Dan di sebelah lelaki itu tampak
Signor Scorcini yang memanjat
model kapal layer yang bahkan lebih
panjang daripada Kapal Kerajaan,
penuh meriam dan suluh, sementara
kru Neapolitannya berdebat dan
mengibas-ngibaskan tangan dengan
logat Neapolitan sambil menurunkan
model Raja Neptunus yang menggangguk-angguk, berjanggut, dan luar biasa besar ke dalam air.
Dan di sebelahnya Kolonel
Sparkington melatih pertunjukannya. Terdapat roket
raksasa berwarna merah, putih dan
biru dengan sadel di bagian
belakang, dan di podium tinggi yang
melebihi pucuk-pucuk pohon terdapat
model bulan, dengan lusinan kawah
yang dimuati benda-benda menarik**
Segalanya tampak hebat. Lalchand dan Lila menatap
persiapan besar-besaran yang
dikerjakan seniman-seniman lain,
kemudian memandang tiga 93
gerobak kecil mereka, dan hati
mereka mencelos. "Tak apa-apa," kata Lalchand.
"Pertunjukan kita bagus, Sayang.
Pikirkan Lumut Berbusa! Mereka
tidak punya yang seperti itu."
"Atau sumbu bawah air," lanjut
Lila. "Lihat, mereka harus
menyalakan sumbu dewa laut itu
dengan cara manual. Kita mampu
melakukan yang lebih baik daripada itu Ayah!"
"Tentu saja kita bisa. Ayo
mulai bekerja**" Mereka membongkar bahan-bahan,
dan si penjual batik serta pengukir
kayu cendana membawa pulang gerobak
mereka, dengan janji bakal diberi
karcis gratis pertunjukan.
Hari berlalu dengan cepat.
Setiap Pembuat Kembang Api
sangat ingin tahu tentang
pertunjukan yang lain, dan sering
berkeliaran mendekat untuk melihat-
lihat, dengan alasan ingin meminjam
segenggam bubuk api merah atau
seutas sumbu yang terbakar 94
lambat. Mereka datang untuk
melihat persiapan Lalchand dan
Lila, dan mereka sangat sopan,
tapi jelas sekali mereka agak
meremehkan. Dan mereka semua sangat ingin
mengintip ke balik terpal milik
Dr. Puffenflasch, namun lelaki
itu menjaga terpalnya tetap terikat
erat. Tepat pukul 19_00 matahari
terbenam, dan sepuluh menit
kemudian cuaca sudah gelap. Orang-
orang mulai berdatangan, membawa
karpet untuk duduk dan keranjang
piknik, dan dari Istana di dekat
sana terdengar suara lonceng, gong,
dan simbal. Semua Pembuat
Kembang Api sibuk dalam kegelapan, memberikan sentuhan
terakhir pada pertunjukan mereka,
dan saling mengucapkan semoga
beruntung. Kemudian dentuman genderang
terdengar, dan gerbang Istana
terbuka lebar. Disinari seratus
obor berkelap-kelip, iring- 95
iringan besar bergerak menuju
panggung besar di tepi danau. Raja
diusung di tandu emas, dan para
penari kerajaan melenggak-lenggok
serta melangkah gemulai di kedua
sisinya. Di belakang mereka,
dihiasi kain emas dan perhiasan
berbagai warna, dengan gading dan
kuku-kuku kaki dicat merah menyala, Hamlet melangkah.
"Oh, lihat makhluk malang itu!"
kata Lila. "Dia tampak sedih
sekali. Aku yakin badannya
mengurus." "Dia rindu pada Chulak, aku
yakin," ujar Lalchand.
Hamlet berdiri murung di sebelah
panggung besar saat Raja mengumumkan kompetisi telah dibuka.
"Hadiah berupa piala emas dan
seribu koin emas akan diberikan
kepada sang juara!" Raja
mengumumkan. "Hanya tepuk tangan
kalian yang menentukan pemenangnya.
Kontestan pertama sekarang akan
memulai pertunjukan."
Para Pembuat Kembang 96
Api telah mengambil undian untuk
menentukan urutan pertunjukan. Dr.
Puffenflasch yang pertama. Tentu
saja para penonton tidak tahu apa
yang akan disuguhkan. Ketika roket
besarnya melesat ke langit malam,
dan ketika Bombardenorgelmitsparkenpumpe raksasanya mulai memainkan lagu
The Ride of the Valkyries,
melontarkan gumpalan-gumpalan besar
lahar tektonik, mereka semua
berseru penuh semangat. Kemudian
tiba puncak pertunjukan. Dari
kegelapan muncullah persembahan
berupa model santapan kesukaan
raja: udang galah raksasa berwarna
pink, mendesis dan memercik, yang
mulai berputar-putar makin cepat
dan terus makin cepat sampai
bentuknya memburai dalam hujan
percikan api berwarna salem
diiringi nada keras dari Bombardenorgelmitsparkenpumpe.
Tepuk tangannya luar biasa
meriah. "Itu tadi hebat," komentar 97
Lila khawatir. "Udang galah yang besar.
Sungguh**besar. Dan pink.
"Terlalu terang," kata
Lalchand. "Jangan khawatir. Tapi
warna pink-nya memang bagus. Harus
kutanyakan resepnya." Berikutnya adalah Signor
Scorcini bersama teknisi kembang
api Neapolitan-nya. Roket merah,
hijau, dan putih mendesing di
angkasa, kemudian meledak diiringi
dentuman keras yang menggema ke
seluruh kota, lantas kapal layarnya
berkobar dengan api berkelip serta
puntiran kincir api, dan sepasukan
budak di lambung kapal yang terbuat
dari lilin Romawi menggerakkan
dayung-dayung mereka dengan kaku
maju-mundur. Tiba-tiba gurita
raksasa muncul dari dalam air,
melambai-lambaikan tentakelnya yang
hijau dan menakutkan, lalu
menyerang kapal. Para pelaut
menembakkan segala jenis kembang
api Jumping Jack, Whizzer, dan
Pancuran Pijar ke arah 98
makhluk itu, kemudian menyiramnya
dengan Api Yunani dari gentong-
gentong yang diikat ke tiang kapal.
Suaranya tidak bisa dilukiskan.
Persis ketika tampaknya kapal itu
akan terguling, muncullah Raja Neptunus, mengibaskan trisulanya,
diserta tiga putri duyung. Musik
mengentak, dan putri-putri duyung
menyanyikan lagu Eropa gembira
berjudul Boom Bang-a-Bang.
Gurita mengibaskan tentakelnya
serentak, dan banyak lagi roket
meluncur seiring dengan musik.
Penonton sangat menyukainya.
Mereka bersorak-sorai gembira.
"Ya ampun," kata Lalchand.
"Itu tadi sungguh mengasyikkan.
Ya ampun, ya ampun."
"Tapi tidakkah ayah lihat
bagaimana mereka harus menyalakan
sumbu sang dewa laut?" kata Lila.
"Mereka harus menunggu sampai dia
sudah berada di atas air dan lelaki
kecil di perahu mengulurkan tangan
yang memegang sebatang korek api.
Tunggu saja sampai mereka 99
melihat sumbu bawah air kita!"
Setelah tepuk tangan mereda,
pertunjukan Kolonel Sparkington
dimulai. Mula-mula banyak sekali
kembang api berbentuk piring mendesis turun dari kegelapan dan
mendarat di rumput. Itu sendiri
mengundang tepuk tangan, karena
kembang api biasanya naik, bukan
turun. Kemudian bulan yang
tersohor melayang menampakkan diri,
jauh di atas pucuk pepohonan, dan
Kolonel Sparkington berderap di
punggung kuda putih yang terbuat
dari kitiran api kecil-kecil,
melambaikan topi Stetson ke arah
penonton, yang begitu gembira
sehingga bersorak-sorak. Lila bisa melihat petugas di
sebelah Raja menghitung detik-
detik yang berlangsung tiap kali
tepuk tangan membahana. Lila
menelan ludah. Kemudian tiba puncak pertunjukan
Kolonel Sparkington. Setelah
menginjak-injak kembang api piring
terbang dengan kaki-kaki 100
Putri Si Pembuat Kembang Api The Firework Makers Daughter Karya Philip Pullman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
kuda kitiran apinya, sang Kolonel
yang gagah melompat mengendarai
roket merah, biru, dan putih.
Kepala suku Cherokee berderap di atas kuda Palomino dan menembakkan
anak panah membara ke ekor roket,
yang segera menyala dan melesat ke
atas melalui seutas tali menuju
bulan, membawa Kolonel Sparkington yang terus melambai-
lambaikan topi. Begitu roket mendarat, dua belas
kawah terbuka dan keluarlah
makhluk-makhluk bulan kecil
berwajah bundar, bermata besar, dan
bertelinga runcing. Penonton bersorak seperti
kesetanan. Makhluk-makhluk bulan
itu mengibaskan bendera seluruh
negara di dunia dan membungkuk pada
Raja, Kolonel Sparkington
menembakkan roket-roket kea rah
mereka, dan mereka memburai ke
segala arah, sambil menyanyikan
lagu Sparkington Selamanya. Kau
bisa mendengar suara tepuk tangan,
sorakan, siulan, dan entakan 101
kaki sampai berkilo-kilometer
jauhnya. Lila dan Lalchand saling menatap. Tidak perlu bicara. Tapi
kemudian mereka berpelukan sangat
erat, berlari menuju posisi, dan
begitu penonton kembali tenang,
pertunjukan mereka dimulai.
Hal pertama yang terjadi adalah
kelopak bunga-bunga teratai kecil
yang terbuat dari api putih tiba-
tiba terbuka di air, tanpa ada
tanda-tanda dari mana apinya
berasal. Penonton menjadi hening,
dan ketika bunga-bunga itu mulai
hanyut di danau yang gelap seperti
perahu-perahu kertas kecil,
penonton benar-benar terpaku diam.
Kemudian cahaya hijau indah
mulai berpendar di dalam air, dan
naik perlahan menjadi air mancur
api hijau. Tapi tidak tampak
seperti api -- kelihatannya seperti
air, dan air mancur itu memercik
dan menari seperti mata air
bergolak. Dan sementara air mancur 102
tersebut menari-nari di atas danau,
sesuatu yang tampak lain sama sekali terjadi di bawah pepohonan.
Karpet berupa lumut hidup seakan
menyebar sendiri melintasi rumput,
berjuta-juta titik cahaya kecil
berdempetan sehingga tampak
selembut beludru. Suara "Aaah"
terdengar dari penonton. Kemudian tiba pada bagian yang
paling sulit. Lila menciptakan
rangkaian kembang api seperti yang
dilihatnya di Gua sang Angkara
Api, tapi segalanya tergantung
pada sumbu-tunda yang bekerja
dengan baik -- dan tentu saja
mereka tidak punya waktu untuk
mengujinya dengan benar. Jika
beberapa kembang api menyala
sedetik terlalu cepat atau sedetik
terlambat, seluruh pertunjukan akan
sama sekali tidak ada artinya.
Tapi tidak ada waktu untuk
mengkhawatirkan itu sekarang.
Dengan cepat dan ahli Lila dan
Lalchand menyentuhkan api ke tiap
ujung sumbu utama, dan 103
menahan napas. Mula-mula terdengar serangkaian
ledakan terdam seperti dentuman
gendering yang terbekap. Segalanya
gelap. Kemudian cahaya merah
memancar ke bawah, meninggalkan
jejak berupa percikan merah
menggelantung di udara, seperti
celah yang membuka di langit malam.
Dentuman genderang yang sedih
menjadi semakin keras dan terus
semakin keras. Semua orang duduk
tida bergerak, menahan napas,
karena tidak kuasa menahan perasaan
bahwa akan ada yang terjadi.
Kemudian terjadilah. Dari dalam
celah merah di langit malam,
semburan warna-warna merah terang,
jingga, dan kuning lahar seakan
mengalir turun dan menyebar seperti
karpet api di Gua. Lila tidak
bisa menahan diri untuk melirik
sekilas ke arah Dr. Puffenflasch,
Signor Scorcini, dan Kolonel
Sparkington, dan melihat mereka
semua menyaksikan dengan mata
terbelalak lebar seperti 104 anak kecil.
Ketika karpet lahar itu telah
mengalir sampai nyaris ke tepi
danau, kecepatan dentuman genderang
bertambah, dan suara ledakan serta
letusan nyaring bagai membelah
langit di antara mereka. Dan tiba-
tiba, menari-nari seperti yang
dilakukannya di Gua, Razvani
sendiri seakan berada di sana,
berputar-putar dan mengentakkan
kaki sambil tertawa-tawa gembira
dalam permainan api abadi.
Baik Lila maupun Lalchand
melupakan segalanya, dan meraih
tangan masing-masing lalu ikut
berdansa. Belum pernah mereka
menciptakan pertunjukan sehebat
ini! Tidak peduli apa yang
terjadi, semua ini bukanlah kerja
sia-sia, segalanya berguna, demi
saat-saat membahagiakan seperti
ini! Mereka tertawa dan bersorak
bahagia. Namun tentu saja api mereka
bukanlah api Razvani, dan takkan bisa menyala selamanya. 105
Setan api raksasa berwarna merah
itu terbakar habis, dan lahar merah
terakhir mengalir perlahan menuju
danau, kemudian perahu-perahu
teratai putih kecil sekarang
bertebaran di permukaan danau
seperti bintang di langit, menyala
lalu terbakar seterang-terangnya
sebelum segalanya padam serentak.
Kemudian terjadi keheningan.
Keheningan itu meregang terus
sehingga Lila hampir tidak tahan,
dan dia mencengkeram tangan
Lalchand begitu erat sehingga
tulangnya nyaris bergemeretak.
Dan ketika Lila berpikir segalanya telah berakhir, Lalchand
takkan terselamatkan, segalanya
telah runtuh, terdengar teriakan
membahana dari Kolonel Sparkington. "Yiii-haaa!" teriaknya,
melambaikan topi. Dan -- "Bravissimo!" teriak Signor
Scorcini, bertepuk tangan di atas kepala. Dan --
"Hoch! Hoch! Hoch!" 106
raung Dr. Puffenflasch, menyambar
simbal dari Bombardenorgelmitsparkenpumpe-nya
agar bisa bertepuk tangan lebih
keras. Para penonton, tidak ingin tepuk
tangan mereka kalah dari para
Pembuat Kembang Api yang merupakan pendatang, ikut bersorak
dengan suara yang begitu meriah,
mengentakkan kaki, bertepuk tangan,
saling menepuk punggung, bersiul-
siul, dan berteriak-terak sehingga
438 burung merpati yang bersarang
di enam belas kilometer dari sana
terbangun dan berkata, "Kau dengar
itu?" Tentu saja petugas penghitung
waktu tepuk tangan harus menyerah.
Semua orang sudah tahu siapa
pemenangnya, dan Lalchand serta
Lila naik ke panggung kerajaan
tempat Raja menunggu untuk
memberikan hadiah. "Aku menepati janji," kata Raja
perlahan. "Lalchand, kau bebas. 107
Ambil hadiah ini, kalian berdua,
dan nikmati Festival!"
Nyaris tidak sadar apa yang
terjadi, Lila dan Lalchand
melangkah kembali menuju kegelapan,
ke tempat penyulutan kembang api di
bawah pepohonan. Lalchand mungkin
akan mengucapkan sesuatu, dan Lila
juga bakal bicara, tapi tiba-tiba
udara dipenuhi suara terompet
keras. "Itu Hamlet!" kata Lila.
"Lihat! Pasti ada penyebab dia
senang!" Sesaat kemudian mereka melihat
apa yang dilihat gajah itu, dan
Lila bertepuk tangan gembira.
Sosok kecil melangkah di rumput
depan panggung Kerajaan dan
membungkuk gemulai pada Raja. Itu
Chulak. "Yang Mulia!" katanya, dan
semua orang terdiam untuk mendengarkan apa yang akan
diucapkannya. "Demi menghormati
kebijakan besar Anda dan kemurahan
hati Anda pada seluruh 108
rakyat, dan untuk merayakan tahun-
tahun megah Anda berkuasa serta
harapan agar Anda memerintah
selama bertahun-tahun yang akan
datang, dan sebagai persembahan
kepada keberanian Anda yang luar
biasa dan kemuliaan Anda, dan demi
menghormati**" "Dia sudah mulai kurang ajar,"
kata Lalchand, saat Chulak terus
saja bicara. "Aku bisa melihat
Raja mulai mengetukkan kaki. Itu
pertanda buruk." "**Maka, Yang Mulia," Chulak
menyudahi, "saya merasa terhormat
untuk mempersembahkan kepada Anda
sekelompok musisi terbaik yang
pernah ada, yang akan menyanyikan
beberapa lagu indah terpilih, demi
kesenangan Anda. Yang Mulia,
para bangsawan, ladies and
gentlemen -- Rambashi's Melody Boys!"
"Tak mungkin!" seru Lila.
Tapi dia harus percaya, karena
tampak para mantan perompak
Rambashi, mengenakan jas 109
merah menyala yang keren dan sarung
kotak-kotak. Rambashi sendiri,
wajahnya yang lebar berseri-seri,
membungkuk dalam-dalam dan bersiap
memimpin anak buahnya -- tapi
sebelum dia memulai, terjadi
gangguan. Salah satu gadis penari yang
mengiringi prosesi kerajaan dari
IS-TANA tiba-tiba memekik dan
berseru, "Chang!"
Dan salah satu anggota Melody
Boys mengulurkan lengan dan
berseru, "Lotus Blossom!"
"Apa katanya?" tanya Lalchand.
"Tikus Baskom?"
Kedua sejoli itu berlari
Putri Si Pembuat Kembang Api The Firework Makers Daughter Karya Philip Pullman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
menghampiri satu sama lain dengan
lengan terjulur, tapi berhenti,
malu, saat mereka sadar semua orang
menonton. "Yah, ayolah," kata Raja.
"Lebih baik kalian teruskan saja."
Maka mereka berciuman malu-malu
dan semua orang bersorak.
"Dan sekarang aku minta
penjelasan," kata Raja. 110
"Saya tadinya pengrajin kayu,
Yang Mulia," kata Chang, "dan
ingin mengadu nasib dulu sebelum
meminta Lotus Blossom menjadi
istri saya. Jadi saya pergi
mencari uang, dan itulah yang saya
lakukan di sini, Yang Mulia."
"Yah, sebaiknya kau mulai
bernyanyi," kata Raja.
Maka Chang berlari kembali
untuk bergabung dengan anggota
Melody Boys, dan Rambashi
menghitung ketukan, lalu mereka
mulai menyanyikan lagu berjudul
Down by the Old Irrawaddy dengan
harmonis. "Mereka bagus juga ya?" kata
Lalchand. "Aku kagum!" kata Lila.
"Mereka telah berusaha keras mencari sesuatu yang paling tepat
untuk mereka lakukan! Siapa yang
mengira?" Lagu selesai dan Raja memimpin
tepuk tangan. Sementara Rambashi
mengumumkan lagu berikutnya, Lila
menghampiri Chulak, dan 111
mendapati anak laki-laki itu
mengelus-elus belalai Hamlet.
Gajah itu tampak gembira, tapi
tentu saja dia tidak bisa
mengucapkannya di tengah banyak
orang. "Kau sudah dengar?" Chulak
bertanya. "Hamlet akan menikah!
Oh, omong-omong, selamat ya. Kami
mendengar keributan yang mereka
timbulkan ketika kau menang. Dan
aku mendapat pekerjaanku kembali!"
Hamlet memeluk lembut kepala
Chulak dengan belalainya.
"Jadi Frangipani menerimamu?"
tanya Lila. "Selamat, Hamlet!
Aku senang sekali. Apa yang
membuatnya berubah pikiran?"
"Aku!" kata Chulak. "Aku menemuinya lalu menceritakan
perbuatan gagah Hamlet di Gunung
Merapi, dan Frangipani segera
terenyuh. Sebenarnya dia bilang
sudah lama mencintai Hamlet, tapi
tidak ingin mengucapkannya. Paman
Rambashi Tua sekarang hebat juga
ya?" 112
Penonton bertepuk tangan dan
bersorak ketika Rambashi mengumumkan lagu berikutnya.
Ketika Melody Boys menyanyikan
lagu Sisakan Mangga Terakhir
Untukku, Lila kembali menghampiri
Lalchand, yang asyik mengobrol
dengan ketiga Pembuat Kembang
Api yang lain. Mereka semua
berdiri sopan dan meminta Lila
bergabung. "Aku memberi selamat pada ayahmu
karena pertunjukannya yang
menakjubkan tadi," kata Kolonel
Sparkington. "Dan setengah pujian
untukmu, Miss. Trik perahu-perahu
bunga kecil yang padam pada waktu
bersamaan itu -- keren sekali. Bagaimana kau melakukannya?"
Maka Lila memberitahu mereka
tentang sumbu tunda, karena tidak
ada rahasia diantara seniman
sejati. Dan Dr. Puffenflasch
menceritakan seni membuat api pink-
nya, Signor Scorcini bercerita
tentang bagaimana dia membuat
tentakel-tentakel guritanya 113
bergerak-gerak. Mereka semua
berbincang-bincang selama berjam-
jam dan saling menyukai. Tengah malam, saat mereka sudah
sangat kelelahan dan ketika
Rambashi's Melody Boys telah
kehabisan lagu untuk dinyanyikan,
Lila dan Lalchand mendapati diri
mereka sendirian di taman besar, di
rumput di bawah bintang-bintang
yang hangat. Lalchand berdeham
lalu tampak malu. "Lila, sayangku," katanya, "aku
harus minta maaf padamu."
"Karena apa?" "Yah, kau tahu, aku seharusnya
memercayaimu. Aku membesarkanmu sebagai putri Pembuat Kembang
Api; seharusnya aku sudah siap
jika kau sendiri ingin menjadi
Pembuat Kembang Api. Lagi pula,
kau memiliki Tiga Bekal!"
"Oh ya! Tiga Bekal itu!
Razvani bertanya apakah aku
membawanya, dan aku tidah tahu --
tapi kemudian dia berkata aku pasti
membawanya. Dan karena 114
tergesa-gesa kembali ke kota lalu
mempersiapkan pertujukan kembang
api, dan mengkhawatirkan apakah
kita mampu menyelamatkan nyawa
Ayah, aku sama sekali melupakannya. Dan aku masih belum
tahu apakah Tiga Bekal itu."
"Nah, sayangku, apakah kau
melihat hantu-hantunya?" tanya
Lalchand. "Ya, aku lihat. Mereka tidak
membawa Bekal, dan mereka
gagal**Tapi apa sih Tiga Bekal
itu?" "Ketiganya adalah hal yang harus
dimiliki setiap Pembuat Kembang Api. Ketiganya sama penting, dan
dua diantaranya tidak berguna tanpa
yang ketiga. Yang pertama adalah
bakat, dan kau memilikinya,
sayangku. Yang kedua memiliki
banyak nama: keberanian, kegigihan,
kemauan keras**Itulah yang
membuatmu terus mendaki gunung
meski segalanya tampak sia-sia."
Lila terdiam beberapa saat,
kemudian berkata,"Apakah 115
yang ketiga?" "Hanya nasib baik," kata
Lalchand. "Itulah yang memberimu
teman-teman baik seperti Chulak
dan Hamlet, dan membawa mereka
kepadamu di saat yang tepat.
Itulah Tiga Bekal, dank au
mengambil ketiganya serta
mempersembahkannya pada Razvani
seperti yang seharusnya dilakukan
Pembuat Kembang Api. Dan dia
telah memberimu Sulfur Bangsawan
sebagai balasannya."
"Tapi dia tidak memberikannya!"
"Ya, dia memberikannya!" "Dia berkata itu hanya ilusi!"
"Menurut pandangan Razvani,
tidak diragukan lagi memang begitu.
Tapi manusia menyebutnya kebijakan. Kau hanya bisa
mendapatkannya setelah menderita
dan mengambil risiko -- dengan
melakukan perjalanan ke Gunung
Merapi. Untuk itulah perjalanan
tersebut dilakukan. Teman-teman
kita para Pembuat Kembang Api
tadi telah melakukan 116
perjalanan dengan cara yang sama,
begitu pula Rambashi. Jadi
mengertikah kau, kau tidak pulang
dengan tangan kosong, Lila" Kau
membawa Sulfur Bangsawan."
Lila memikirkan Hamlet dan
Frangipani yang sudah bertunangan
dengan bahagia. Dia memikirkan
Chulak yang kembali pada pekerjaannya, dan Chang serta
Lotus Blossom, yang kembali
bersama. Dia memikirkan Rambashi
dan Melody Boys-nya, mendengkur
bahagia di Hotel Intercontinental, memimpikan
kejayaan dalam bisnis pertunjukan
yang terbentang di hadapan mereka.
Dia memikirkan para Pembuat
Kembang Api yang lain dan
bagaimana mereka menyambutnya
seakan dia bagian mereka.
Tiba-tiba dia menyadari apa yang
telah dipelajarinya. Dia tiba-tiba
mengerti bahwa Dr. Puffenflasch
mencintai api pink-nya, Signor
Scorcini mencintai guritanya, dan
Kolonel Sparkington 117
mencintai makhluk-makhluk bulannya
yang lucu. Untuk membuat kembang
api yang baik, kau harus mencintainya, setiap percikan kecil
atau Naga Meletup. Itu saja!
Kau harus menambahkan cinta ke
dalam kembang apimu, selain
bakatmu. (Dan api pink Dr. Puffenflasch
memang sangat cantik. Jika mereka
mencampur sedikit api pink itu
dengan sedikit jus kilap, dan
sedikit bubuk bakar ganda yang kegunaannya belum mereka ketahui,
mereka mungkin bisa -- 7 Lila tertawa, lalu menoleh ke
arah Lalchand. "Sekarang, aku mengerti!"
katanya. Dan begitulah cara Lila menjadi
pembuat kembang api. TENTANG PHILIP PULLMAN 118
Philip Pulman lahir tahun 1946
di Norwich, Inggris. Masa
kecilnya dihabiskan di kapal, sebab
ayah kandung dan ayah tirinya
anggota Angkatan Udara Inggris
sehingga ibu dan saudara laki-
lakinya bisa dibilang selalu
mengikuti mereka ke berbagai
penjuru dunia dengan kapal.
Philip kuliah Sastra Inggris
di Universitas Oxford dan sempat lama menjadi guru sebelum menjadi
penulis sepenuhnya. Ia sekarang
salah satu pengarang terbaik di
dunia. Ia menulis banyak buku
untuk anak-anak dan memperoleh
banyak penghargaan untuk karya-
karyanya. Putri Pembuat Kembang Api
adalah pemenang Gold Medal
Smarties, Jam Pegas, pemenang
Silver Medal Smarties, dan
Northern Lights, buku pertama
triloginya, His Dark Materials,
mendapat Carnegie Medal dan salah
satu pemenang Guardian 119
Children's Fiction Prize.
Novelnya Teropong Cahaya merupakan satu-satunya buku anak-
anak yang pernah memenangkan
Whitbread Award. Trilogi His
Dark Materials telah dijadikan
drama oleh National Theatre dan
merupakan film yang akan beredar
Desember 2007 ini. Philip Pullman tinggal di
Oxford, sudah menikah, dan memiliki dua anak laki-laki.
Putri Si Pembuat Kembang Api The Firework Makers Daughter Karya Philip Pullman di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Tapak Dewa Naga 1 Tikam Samurai Karya Makmur Hendrik Kunanti Di Gerbang Pakuan 2