Pencarian

Kunanti Di Gerbang Pakuan 2

Kunanti Di Gerbang Pakuan Karya Aa Merdeka Permana Bagian 2


menghalangimu, Raden?" tanya jagabaya santun tapi terkesan akrab.
"Betul, saya demikian sibuk akhir-akhir ini, Paman?" kata Banyak Angga mengulum
senyum ramah."Tolong panggilkan adikku, Paman?" lanjutnya lagi.
Jagabaya itu segera berlalu. Namun yang memanggil langsung Nyi Mas Banyak Inten adalah
seorang petugas wanita. Sang jagabaya hanyalah menunggu jauh di pekarangan asrama.
Dari kejauhan Pragola melihat seorang wanita melangkah pelan menyusuri jalan berbalay di
tengah hamparan rumput. Kepalanya yang terlindung tudung kain putih nampak menunduk
seperti tengah memperhatikan jalan yang tengah dilaluinya. Seluruh pakaian yang
dikenakannya putih-putih belaka, kecuali ada warna hitam di pinggang yang bertindak
sebagai angkin (sabuk kain).
Wanita itu melangkah pelan menuju paseban dikawal dua tiga langkah di belakang oleh
jagabaya yang tadi. "Kakanda?" sapa Nyi Mas Banyak Inten dengan tatapan lembut ke arah Banya Angga yang
tegak duduk bersila di atas hamparan tikar.
Pragola menatap kehadiran Nyi Mas Banyak Inten. Gadis ini usianya duapuluh lima tahun,
terpaut hampir delapan tahun di atas usia Pragola. Dia berupa wanita dewasa. Dan memang,
sorot matanya yang lembut nampak berwibawa. Wajahnya putih anggun dan keelokkannya
tiada terkira. Bila saja Nyi Mas Banyak Inten bersolek seperti umumnya gadis-gadis puri
istana, maka inilah pohaci (dewi kayangan) yang tercantik dari semua pohaci. Sayang wajah
anggun itu hadir tanpa senyum. Kendati tidak terlihat ada garis kesedihan, namun wajah
anggun itu seperti jauh dari binar bahagia. Atau memang begitukah kaum pendeta yang sudah
membebaskan diri dari kehidupan duniawi, mereka sudah tidak memiliki kesedihan atau pun
kebahagiaan" Bila begitu, Pragola amat menyayangkan. Padahal menurut hematnya, manusia
datang ke buana pancatengah (bumi) dengan dibekali dengan berbagai rasa di hatinya. Kalau
pun dia tak berkewajiban memiliki rasa duka, maka berilah hak berbahagia padanya. Maka
alangkah ganjilnya menurut pandangan Pragola seandainya ada orang yang tengah dibekali
berbagai perasaan namun tidak menggunakannya.
"Semoga engkau dalam keadaan sehat selamanya, Ayunda?" kata Banyak Angga.
"Saya tidak pernah kurang suatu apa pun di sini, Kakanda?" jawab Nyi Mas Banyak Inten
halus dan pelan. Wajahnya masih tetap menunduk. Namun manakala satu kali dia melirik ke
arah wajah Pragola selintas ada kesan rasa terkejut. Pragola tak tahu, mengapa ada sedikit
perubahan pada wajah gadis gadis molek itu ketika menatap wajahnya. Sebentar saja pemuda
itu balik menatap untuk kemudian segera menundukkan kepalanya. Pragola menduga,
barangkali gadis itu tiada senang melihat kehadiran dirinya. Bukankah kata jagabaya orang
asing dan kaum lelaki tidak diperbolehkan memasuki kompleks mandala"
"Dia adalah punggawa muda dari wilayah Kandagalante Sagaraherang. Kakanda baru
bertemu dengannya tapi serasa wajah pemuda ini sudah tidak asing bagi Kakanda," kata
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 28
Banyak Angga sambil melirik ke arah Pragola. Tidak ada komentar apa-apa dari Nyi Mas
Banyak Inten. Sedikit kerutan di dahinya telah hilang musnah dan mimik wajahnya kembali
kosong dari perasaan apa pun. Gadis itu pun seperti tak punya minat untuk menyapa atau
berkenalan dengan Pragola.
"Terimakasih bila engkau selama ini baik-baik saja, Dinda," kata Banyak Angga."Soalnya
dalam jangka waktu yang lama besar kemungkinan kita akan tiada bertemu," tuturnya lagi
sambil menatap adiknya. Nyi Mas Banyak Inten mengangkat wajah dan balik menatap.
"Dalam beberapa hari mendatang Kakanda akan mengemban tugas jauh. Kakanda akan
melakukan perjalanan ke wilayah timur. Selama kita tidak bertemu, Kakanda akan selalu
berdoa untuk kesehatan dan ketentramanmu. Namun sebaliknya, Kakanda pun mohon doamu
agar selama perjalanan Kakanda tiada kurang suatu apa pun," kata Banyak Angga.
"Melakukan perjalan ke wilayah timur?" gumam gadis itu masih menatap kakaknya.
"Betul Dinda?" "Di mana saja Kakanda berada, doaku selalu menyertaimu. Namun kalau boleh saya bertanya,
ada keperluan apakah Kakanda melakukan perjalanan ke wilayah timur?" tanya Nyi Mas
Banyak Inten penuh perhatian.
Sebelum menjawab, Banyak Angga menghela napas sejenak. Sepasang matanya menerawang
ke hamparan rumput hijau.
"Bukan untuk mengejar ilmu atau pun sekedar mencari pengalaman. Namun Kakanda
melakukan perjalanan ke timur adalah semata demi kepentingan negara," gumam Banyak
Angga dengan tatapan masih jauh menerawang ke depan.
"Semua orang berkata demi negara. Padahal apa yang Kakanda akal lakukan barangkali
penuh dengan bahaya," tutur Nyi Mas Banyak Inten setengah bergumam.
"Tidak melakukan apa-apa pun bahaya selalu mengancam, Adinda," potong Banyak Angga
sambil menjelaskan alasan rencana perjalanan ini.
"Negara amat membutuhkan orang-orang kuat dalam mempertahankan keberadaannya.
Banyak dari mereka bertebaran begitu saja. Ada yang belum sempat terhimpun, namun ada
juga yang tercerai-berai karena berbagai kemelut dan permasalahan. Tiada terhimpunnya
kekuatan ini hanya akan membahayakan keselamatan negara. Apalagi kalau diingat bahwa
kekuatan negara agama baru, naik yang ada di timur mau pun yang ada di barat semakin hari
semakin besar jua. Dinda mungkin masih bisa mengingatnya, betapa pada sepuluh tahun
silam ada limabelas orang perwira tangguh yang dilepas menuju wilayah timur, hingga kini
mereka tidak pernah kembali. Kita bahkan menganggap mereka hilang atau tewas.
Belakangan punggawa muda ini membawa khabar dari timur, bahwa para perwira kita masih
hidup tapi dalm keadaan terperangkap di Puncak Gunung Cakrabuana. Mereka tak bisa turun
gunung karena semua lubang untuk mencapai kaki gunung telah ditutup pasikan musuh.
Mereka harus kita tolong. Itulah sebabnya Kakanda akan melakukan penyelidikan ke sana,"
kata Banyak Angga. Nyi Mas Banyak Inten menatap tajam ke arah Pragola ketika kakaknya selesai membeberkan
permasalahan ini. Tatapan gadis itu demikian tajam menyorot dan menembus jantung pragola,
membuat pemuda itu terhenyak. Mengapa gadis itu demikian tajam menatap" Tidakkah dia
sanggup menerawang isi hatinya" Kalau benar begitu, tidakkah gadis itu telah mengetahui
kebohongan yang dia beritakan ini" Pragola segera menundukkan wajah. Dia tak sanggup
melawan tatapan tajam ini.
"Banyak yang harus Kakanda kerjakan di wilayah timur kelak. Selain akan menyelidiki
kebenaran berita ini, Kakanda pun akan berupaya mencari beberapa orang penting yang
sekiranya mau diajak membantu membela negara. Di wilayah timur, Kakanda akan mencari
Ksatria Ginggi. Atau bahkan kalau mungkin, Kakanda pun akan mencari Ki Darma," kata
Banyak Angga. Nyi Mas Banyak Inten tidak memberikan komentar atau pun menatap kakaknya. Yang dia
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 29
kerjakan hanyalah duduk terpekur dengan dada halus turun naik karena menghela napas.
"Kakanda memaklumi kalau Adinda memiliki perasaan tidak senang terhadap Ginggi. Tapi
apa pun yang terjadi, pemuda itu sebetulnya memiliki kepribadian tinggi. Dia adalah pemuda
yang baik. Dia cinta dan mau korban untuk Pajajaran tanpa secuil pun pamrih di hatinya.
Itulah sebabnya, Kakanda akan berusaha mencarinya walau tak punya keyakinan untuk
menemukannya. Pemuda itu hilang bagaikan tertelan bumi sesudah peristiwa besar pada
sepuluh tahun silam itu," kata Banyak Angga memangku tangan dengan alis berkerut.
Tak ada komentar dari Nyi Mas Banyak Inten. Pragola yang mendengarkan percakapan
mereka mempunyai kesimpulan bahwa pernah ada suatu masalah yang menyangkut antara
Nyi Mas Banyak Inten dengan Ksatria Ginggi. Masalah apakah ini, tentu Pragola pun ingin
sekali mengetahuinya. "Hari sudah mendekati senja. Lihatlah ribuan kelelawar yang datang dari arah Gunung Salak
telah terbang menuju kemari. Kakanda harus mohon diri sebab Adinda tentu memiliki
kesibukan khusus pada menjelang malam ini," kata Banyak Angga sambil bangun dari
duduknya. Pragola pun ikut mengangkat tubuhnya. Sementara Nyi Mas Banyak Inten masih
tetap duduk di hamparan tikar pandan.
"Mari Kakanda antar hingga ke halaman mandala, Adinda?" ajak Banyak Angga.
"Silakan Kakanda pulang, saya bisa berjalan sendiri," jawab Nyi Mas Banyak Inten pelan.
Sambil sedikit menghela napas, Banyak Angga mencoba meninggalkan paseban, diikuti oleh
Pragola di belakang. Beberapa tindak mereka melangkah, terdengar Nyi Mas Banyak Inten berkata
pelan,"Kakanda pasti bisa menemukan Ksatria Ginggi?"
Banyak Angga mendadak menghentikan langkahnya. Dia berpaling ke belakang menatap
adiknya yang juga sama tengah menatap adiknya yang juga sama tengah menatap dirinya.
"Kau maksudkan Ginggi masih hidup?"
Nyi Mas Banyak Inten mengangguk.
"Maksudmu"kau pernah bertemu pemuda itu?"
Banyak Angga menatap tajam dan tak sabar sebab Nyi Mas Banyak Inten belum juga
memberikan jawaban tambahan.
"Sejak sepuluh tahun yang lalu, sudah tiga kali dia datang ke sini?" kata Nyi Mas Banyak
Inten pelan. "Maksudmu, dia beberapa kali datang ke Pakuan?"
"Tidak pernah ke Pakuan, sebab kalian tidak pernah tahu akan kedatangannya. Tanpa
diketahui oleh seluruh penghini mandala, beberapa kali dia mencoba menemui saya. Setahun
sesudah peristiwa besar pada sepuluh tahun silam, dia menemui saya di sini. Selang dua tahun
kemudian dia datang lagi ke sini. Kedatangannya yang terakhir adalah pada tiga tahun
silam?" kata Nyi Mas Banyak Inten lagi.
"Kalau begitu benar, Ginggi masih ada. Dan perkiraan Kakanda juga benar, dia tak mungkin
melupakan Pakuan begitu saja," kata Banyak Angga."Hanya yang Kakanda herankan,
mengapa Ginggi hanya mau bertemu denganmu saja" Mengapa dia tak ingin menjumpai aku
atau Ayahanda?" tanya Banyak Angga heran sambil menatap wajah adiknya. Dan Pragola
melihat, betapa wajah Nyi Mas Banyak Inten bersemu merah serta menunduk dalam ketika
ditatap kakaknya. Melihat Nyi Mas Banyak Inten kian menunduk, Banyak Angga semakin
menatapnya dengan penuh selidik.
"Dinda, apakah memang Ginggi datang ke sini hanya karena Dinda semata?" tanya Banyak
Angga semakin menatap tajam.
Tidak ada jawaban, kecuali wajah putih bersih itu semakin tenggelam di dalam kerudung
putih. "Terimaksih kau mau bantu Kakanda perihal ini?" kat Banyak Angga pada akhirnya.
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 30
Dan tanpa bertanya lagi dengan berbagai pertanyaan, akhirnya Banyak Angga mohon diri dari
mandala. Pragola pun segera mengikutinya dari belakang. Namun sebelum jauh benar,
Pragola sempat berpaling ke belakang. Nampak Nyi Mas Banyak Inten masih duduk di atas
tikar sambil kepalanya tertunduk.
*** INI adalah malam pertama Pragola menginap di puri Yogascitra. Tujuan kelompoknya untuk
menyusup menjadi "orang Pakuan" berhasil sudah. Dan barangkali, kelompoknya pun akan
semakin bersyukur bila mendapatkan kenyataan bahwa dia sudah demikian "dekat" dengan
tokoh penting di Pakuan. Pangeran Yogascitra adalah tokoh maha penting. Pangeran tua ini
mungkin merupakan tokoh kuat yang berpengaruh di istana. Bukan saja karena jabatannya
sebagai penasihat Raja, tapi yang lebih penting dari itu, Pangeran Yogacitralah yang
nampaknya memiliki ambisi kuat agar keberadaan Pajajaran tetap dipertahankan.
Keinginanny ini, sepertinya telah melebihi kehendak Raja sendiri. Bila Sang Prabu
Nilakendra mencoba mempertahankan keberadaan negara dengan cita-cita "seadanya" saja,
adalah kebalikannya dari cita-cita pangeran tua itu. Pangeran Yogascitra bercita-cita
mengembalikan keberadaan Pajajaran dengan menghimpun kekuatan militer, sesuatu yang
tidak pernah dipikirkan oleh Sang Prabu.
Tindakan dan kebijaksanaan Pangeran Yogascitra amat membahayakan. Paling tidak, akan
menjadi penghalang besar bagi negara baru dalam mencoba melumpuhkan Pajajaran.
Kalau ingin melumpuhkan ular, maka tangkaplah kepalanya. Ternyata kepala ular di Pajajaran
bukan Sang Prabu sendiri, melainkan penasihatnya. Jadi Pragola harus berpikir, untuk
melumpuhkan Pajajaran, bukan mengarahkan perhatian pada Sang Prabu Nilakendra,
melainkan kepada penasihatnya ini. Sudahkah Pangeran Yudakara menyadari akan hal ini"
Belum habis Pragola berpikir, di atas wuwungan kamar di man dia bermalam, terdengar suara
keresekan halus. Itu bukan suara ranting pohon yang menjulur ke atas genteng sirap,
melainkan sesuatu yang bergerak, yang sedang melangkah. Langkah orangkah" Musuh atau
bukan, Pragola belum bisa menentukannya, sebab kendati pun yang berada di atas adalah
kawan, pasti mereka akan datang secara sembunyi.
Pragola hanya berjaga-jaga saja, yaitu memadamkan pelita minyak jarak dan mencoba
membuka daun jendela. Dengan memadamkan pelita dan membuka jendela, gerakan di luar
rumah akan terawasi. Urat-urat di tubuh pemuda itu nampak menegang ketika sebuah bayangan hitam dengan amat
cepat meloncat lewat lubang jendela. Pragola tidak sembrono untuk menyerang begitu saja
sebelum tahu apa maksud kedatangan bayangan hitam itu.
"Pragola, aku datang!" desis sebuah suara. Pragola hapal, itu adalah suara Pangeran
Yudakara. "Oh"selamat datang, Pangeran!" desis Pragola pula. Dia segera duduk bersila sambil tetap
membiarkan suasana kamar tetap gulita.
Pemuda itu mengerti untuk apa Pangeran Yudakara datang mala-malam. Tentu dia ingin
mendapatkan sesuatu keterangan darinya.
"Senja tadi saya diajak Raden Banyak Angga mengunjungi mandala?" tutur Pragola seudah
menyembah hormat. "Aku tahu, setiap saat pemuda itu mengunjungi adiknya di sana. Tapi adakah khabar yang
patut engkau khabarkan padaku?"
"Banyak Angga hanya ingin memberi tahu akan rencana kepergiannya ke wilayah timur. Ada
pengetahuan tambahan, Nyi Mas Banyak Inten mengatakana bahwa Ksatria Ginggi beberapa
kali pernah mengunjunginya. Ini hanya menandakan bahwa lelaki yang dikhabarkan sakti itu
masih hidup dan merupakan gangguan bagi gerakan kita. Apalagi Banyak Angga ke wilayah
timur bermaksud mencari orang itu," kata Pragola.
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 31
Pangeran Yudakara mengangguk-angguk. Kemudian diam sejenak seperti tengah berpikir
sesuatu. "Bagaimana perkara ajakan Banyak Angga agar saya ikut serta ke wilayah timur?" tanya
Pragola kemudian. "Sebetulnya itu di luar rencana kita. Tapi kau jalankan saja. Tapi kendati begitu, kita harus
berani memanfaatkan berbagai kesempatan yang ada yang sekiranya sesuai dengan tujuan
semula," kata Pangeran Yudakara.
Kemudian pangeran ini berdiri dan lalu-lalang di seputar ruangan.
"Tujuan kita datang ke Pakuan ini di samping mencari titik-titik kelemahan Pakuan, juga
mencoba menghalangi rencana penghimpunan kekuatan mereka. Engkau di sana kelak harus
bisa meyakinkan bahwa belasan perwira yang terkepung di Puncak Gunung Cakrabuana benar
bukan bualan semata. Ini perlu, supaya di hari kemudian ada pasukan yang menyusul ke sana.
Kau mengerti maksudku?"
"Saya mengerti, Pangeran?" kata Pragola."Tapi bagaimana halnya bila saya tidak berhasil
meyakinkan Banyak Angga?" tanyanya.
"Itu adalah suatu kegagalan. Namun kendati begitu, belum terlambat untuk memperbaikinya.
Kalau belakangan Banyak Angga mendapatkan kebohongan ini, bahkan mencurigaimu, maka
tindakanmu satu-satunya adalah melenyapkan pemuda itu," kata Pangeran Yudakara.
"Membunuhnya?" "Ya"!" Pragola terpana mendengarnya.
*** Kerling Kasih Layang Kingkin
Pagi-pagi benar Pragola sudah dijemput oleh seorang jagabaya. Petugas itu mengabarkan
bahwa Banyak Angga memanggilnya.
"Di mana beliau menunggu saya, Paman?" tanya Pragola yang nampak sudah mengenakan
pakaian baru, yaitu baju kampret warna nila, ikat kepala hitam dan celana sontog yang
warnanya sama dengan ikat kepalanya.
"Raden Banyak Angga memanggilmu dan menanti di paseban puri Yogascitra. Bahkan
Pangeran tua pun sudah berada di sana. Barangkali ada sesuatu hal penting yang harus
disampaikan kepadamu?" kata jagabaya sopan. Pragola hanya mengangguk-angguk sebagai
tanda mengerti. Padahal di dalam hatinya pemuda itu penuh tanda tanya.
Benar saja, sepagi ini kedua anak-beranak sudah duduk-duduk di paseban. Pangeran
Yogascitra duduk di atas kursi jati berukir. Dia menggunakan pakaian senting beludru warna
hitam yang dihiasi ornamen emas pada sisi-sisinya. Kepalanya diiket dengan iket sawit.
Celana panjang berpasmen hampir tertutupi oleh kain kebat batik jenis lereng dan udan liris.
Duduk bersila di hadapannya adalah Banyak Angga yang dengan anggunnya menggunakan
pakaian baju kurung kain halus warna biru tua. Dia pun memakai tutup kepala jenis iket sawit.
Celananya jenis komprang warna hitam. Pemuda itu begitu gembira ketika melihat Pragola
datang diiringkan jagabaya.
"Masuklah Pragola," ujarnya dengan senyum khas.
Pragola segera duduk bersila di samping Banyak Angga, namun agak sedikit ke belakang.
"Saya menghaturkan sembah, Pangeran?" kata Pragola menyembah hormat yang
dianggukkan oleh Pangeran Yogascitra dengan cukup ramah.
"Adakah sesuatu yang diperlukan sehingga sepagi ini saya perlu menghadap ke sini?" tanya
Pragola hati-hati. "Ah, tidak perlu benar," Banyak Angga yang menjawabnya."Lihatlah kabut pagi di Puncak
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 32
Gunung Salak, begitu indahny, bukan" Kalau tak ada kesibukan yang sangat, setiap pagi kami
duduk-duduk di sini menikmati udara pagi sambil mencicipi hidangan. Ayahanda setuju bila
engkau ikut mencicipi hidangan di sini?"
"Ah" Raden tidak perlu berlebihan kepada saya. Kedudukan saya begitu rendah bila
dibandingkan denfan keluarga di puri ini?" kata Pragola merendah.
"Lihatlah Ayahanda, begitu mirip dan begitu jauh bedanya?" kata Banyak Angga
membingungkan Pragola. Pemuda ini segera menatap Pangeran Yogascitra. Kebetulan
pangeran tua itu pun tengah menatapnya. Pragola bingung dan heran sebab Pangeran
Yogascitra menatapnya dengan penyh perhatian. Pragola memang tidak mengerti, mengapa
mereka menatapnya seperti itu.
"Kalau diperhatikan dengan seksama, memang ada kemiripan," gumam Pangeran Yogascitra
masih menatap Pragola.

Kunanti Di Gerbang Pakuan Karya Aa Merdeka Permana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Hanya bedanya sikap dan tindak-tanduk Pragola ini amat sopan dan terlalu hati-hati dalam
menghadapi siapa saja," tutur Banyak Angga yang juga sama memperhatikan Pragola,
membuat pemuda itu semakin bingung.
"Kalau tak kau ingatkan, aku tak bisa membanding-bandingkan seperti apa yang kau lakukan,
Angga?" gumam Pangeran Yogascitra.
Pragola menunduk. Hatinya bingung tapi juga was-was dan curiga.
Jangan-jangan rahasia dirinya telah terbongkar. Itulah sebabnya, kendati tindak-tanduk kedua
orang itu tidak menampakkan orang yang memendam rasa curiga terhadapnya, Pragola perlu
hati-hati. Urat-urat nadinya menegang keras, siap melakukan sesuatu.
"Maafkan kalau sikap kami membuatmu bingung, Pragola?" kata Banyak Angga tersenyum.
Pragola diam saja. "Engkau mirip seseorang yang aku kenal, anak muda. Entah mengapa, bila ditilik dengan
seksama wajahmu mirip Ginggi, ksatria bengal yang pada sepuluh tahun silam pernah
menggemparkan Pakuan, " kata pangeran Yogacitra.
Pragola terkejut dengan pernyataan mereka ini. Dia mirip Ksatria Ginggi" Mirip apanya"
"Lihatlah sepasang matanya yang bulat berbinar. Lihat pula dagunya yang runcing dan
hidungnya yang agak mancung. Kalau saja rambutnya berombak ikal, tak pelak lagi, dia
adalah Ginggi kedua," kata Raden Banyak Angga sambil menilik-nilik wajah Pragola.
Bergetar dada pemuda itu. Dirinya mirip Ksatria Ginggi" Yang benar saja. Lelaki itu adalah
musuh besarnya, sebab dialah yang mengakibatkan Ki Sudiraja, gurunya, tewas. Pragola
merasa, seumur hidup belum pernah bertemu dengan orang itu, tapi kalau dirinya harus
dipersamakan dengannya, jelas menolak. Hanya saja, kendati hatinya tak suka, Pragola tak
bisa memperlihatkan perasaannya ini. Itulah sebabnya dia hanya menunduk saja ketika kedua
orang anak-beranak itu terus berbincang-bincang. Baik Pangeran Yogascitra mau pun Raden
banyak Angga tengah menduga-duga, bagaimana rupa Ginggi sekarang, sebab yang tadi
dikatakan punya kemiripan dengan wajah Pragola adalah wajah Ginggi pada sepuluh tahun
silam. "Itulah sebabnya dalam perjalanan ke wilayah timur kelak, engkau harus berusaha
menemukan Ginggi," tutur Pangeran Yogascitra.
Mendengar ucapan ayahandanya ini, Raden Banyak Angga seperti diingatkan akan sesuatu
hal. "Ayahanda, ada sesuatu yang menarik pada adikku Banyak Inten dan rasa-rasanya erat
kaitannya dengan saudara Ginggi," kata Raden Banyak Angga kemudian. Nampak Pangeran
Yogascitra melirik dan agak mengerutkan dahinya.
"Apakah itu, anakku?"
"Adikku seperti tahu mengenai Saudara Ginggi!" jawab Raden Banyak Angga balik menatap
ayahandanya. Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 33
"Begitukah?" Pangeran Yogascitra masih mengerutkan dahinya.
Kemudian Raden Banyak Angga mengabarkan pertemuan kemarin sore dengan Nyi Mas
Banyak Inten. Ketika dia memberi tahu bahwa dalam melakukan perjalanan ke wilayah timur
nanti akan juga mencari Ginggi, Nyi Mas Banyak Inten mengatakan bahwa sebetulnya
pemuda itu telah beberapa kali mengunjungi mandala.
Maksudmu, pemuda itu telah beberapa kali mengunjungi Pakuan semenjak peristiwa besar
sepuluh tahun silam itu?" tanya Pangeran Yogascitra penuh perhatian.
"Tidak persis begitu, sebab Ginggi tak pernah memperlihatkan diri di Pakuan ini. Dia hanya
datang secara diam-diam untuk menemui adikku di kompleks mandala,"kata Banyak Angga
lagi. Untuk beberapa saat Pangeran Yogascitra diam mematung. Dahinya terus berkerut-kerut
sebagai tanda berpikir. "Dia datang ke Pakuan dengan diam-diam, tak mau ketemu siapa pun kecuali dengan putriku.
Kira-kira, kemungkinan apakah yang terjadi pada dirinya, Angga?" tanya Pangeran
Yogascitra setengah bergumam.
"Menurut Ayahanda sendiri bagaimana?" Banyak Angga balik bertanya.
"Tak ada dugaan lain, selain pemuda itu tertarik pada adikmu?" kata Pangeran Yogascitra.
"Saya sendiri pun menduga begitu," sambung Banyak Angga.
Hening sejenak. Sementara itu, sang surya telah muncul di balik pepohonan. Suara berbagai burung pun
terdengar berkicau-merdu. Kabut di Puncak Gunung Salak sedikit-sedikit sudah mulai
menipis sehingga gugusan-gugusan gunung itu nampak menghitam legam.
"Mari kita pergi ke mandala?" kata Pangeran Yogascitra tiba-tiba.
"Sepagi ini, Ayahanda" Semua pendeta pasti masih melantunkan doa-doa. Tak baik kita
mengganggu mereka," tutur Banyak Angga heran.
"Tidak mengapa. Kita tak akan mengganggu mereka," jawab Pangeran Yogascitra.
Pangeran tua itu segera berdiri diikuti Banyak Angga.
"Tidak mengapa, engkau pun boleh ikut serta, Pragola?" kata pangeran itu menatap Pragola.
"Kehadiran saya hanya akan mengganggu saja," tutur Pragola pelan, padahal di dalam hatinya
dia ingin sekali ikut ke mandala.
"Tidak akan mengganggu, bahkan sebaliknya berguna, sebab engkau kelak akan bersamasama
mencari Ginggi," tutur Banyak Angga. Pragola gembira dengan ajakan kedua orang itu,
sebab semakin banyak yang dia ketahui di sini, akan semakin baik bagi penyelidikannya.
Maka ketiga orang itu beriringan menuju kompleks mandala.
Seperti biasa, kaum laki-laki yang mengunjungi mandala atau asrama pendeta wanita ini,
hanya bisa diterima di paseban saja. Dan kendati dengan rasa heran karena sepagi ini sudah
ada yang berkunjung, seorang Jagabaya dengan hormatnya tetap melayani keinginan tamu.
Jagabaya memberitahu tetua mandala perihal kedatangan tamu penting ini.
Harus agak lama menunggu sebab sejak subuh hari sampai matahari memancar biasanya para
pendeta berkumpul di kuil untuk berdoa dan menerima ceramah berupa santapan rohani.
Namun begitu selesai kegiatan rutin, Nyi Mas Banyak Inten segera menuju ruangan paseban.
"Semoga kesehatan dan keselamatan bertumpah-ruah kepadamu, ayahanda " " kata Nyi Mas
Banyak Inten halus namun dengan nada datar saja.
"Duduklah anakku. Sudah lama aku tak bertemu engkau dan ingin sekali ayahanda bercakapcakap
denganmu ?" ujar Pangeran Yogascitra mempersilakan Nyi Mas Banyak Inten duduk
di hamparan tikar panda. "Tentu ada sesuatu yang amat penting yang menyebabkan ayahanda berkunjung ke sini sepagi
ini ?" tutur Nyi Mas Banyak Inten, duduk bersimpuh sambil membereskan kain kerudung
putihnya. "Engkau sudah benar-benar seperti pendeta sehingga bisa menebak tujuanku datang ke
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 34
sini?" ujar pangeran Yogascitra tersenyum kecil. Nyi Mas Banyak Inten hanya tetunduktunduk
saja. "Memang ada sesuatu yang ingin ayahanda rundingkan denganmu, anakku?" kata Pangeran
Yogascitra menatap tajam gadis berpakaian serba puih itu.
"Merundingkan sesuatu dengan saya" Tidak kelirukah itu ayahanda, sedangkan bagi seorang
pendeta tak ada sesuatu yang bernama masalah. Artinya, sesuatu rundingan yang melibatkan
saya sungguh tidak perlu," tutur Nyi Mas Banyak Inten, masih bernada halus namun isinya
sedikit menyengat. Pangeran Yogascitra hanya menanggapinya dengan senyum tipis.
"Benar sekali, perundingan hanya menandakan adanya satu masalah. Ayahanda juga tahu,
sudah tak ada permasalahan hidup yang mendera kaum pendeta. Namun bukan berarti pendeta
harus membutakan mata dan menulikan telinga terhadap keadaan sekililing. Pendeta yang ada
di Pakuan adalah warga Pajajaran dan mereka punya hak dan kewajiban dalam merawat negri
dan mempertahankan keberadaannya," kata Pangeran Yogacitra masih dengan senyum
tipisnya. Nyi Mas Banyak Inten hanya menunduk saja.
"Bahkan ayahanda datang ke sini bukan ingin bertemu dengan pendeta, namun dengan
anakku sendiri. Bukankah sampai saat ini engkau masih mengakuiku sebagai ayahandamu,
Nyi Mas?" kata Pangeran tua itu masih menatap Nyi Mas Banyak Inten dengan perasaan
kasih sayang. "Sepeninggal ibunda, kini hanya ayahanda orang tua saya seorang yang wajib saya hormati
dan taati," tutur Nyi Mas Banyak Inten, membuat Pangeran Yogascitra puas mendengarnya.
"Terimakasih bila begitu. Kebahagian yang paling sempurna bagi orangtua adalah adanya
rasa hormat dan taat dari seorang anaknya," sahut Pangeran Yogascitra gembira. Namun
sebaliknya, selintas Pragola bisa melihat perubahan wajah gadis itu kendati hanya sedikit.
Pemuda itu yang duduk di belakang Raden Banyak Angga menduga-duga bahwa gadis itu
merasa terperangkap oleh ucapannya sendiri.
"Ayahanda sebagai seorang ayah, ingin meminta sesuatu darimu sebagai seorang anak," tutur
Pangeran tua itu," Ini permintaan pribadi tapi bukan untuk kepentingan pribadi. Permintaan
ayahanda untuk kepentingan negara semata," lanjutnya.
Nyi Mas Banyak Inten sambil tetap tertunduk nampak mengulum senyum tipis.
"Yang datang ke sini adalah seorang ayah, namun yang meminta adaah seorang pejabat
negara, untuk kepentingan negara pula. Sedang saya yang duduk bersimpuh ini harus tetap
bertindak sebagai seorang anak. Tidak apa. kalau itu demi kebaikan kita semua, saya siap
menunggu perintah ayahanda?" tutur gadis itu masih dengan senyum tipisnya, namun
membuat wajah Pangeran Yogascitra sedikit memerah.
"Ayahanda sebetulnya merasa malu. Tapi apa boleh buat, yang Ayahanda pikirkan selalu saja
urusan negara. Jadi, kendati dengan hati yang berat karena malu, Ayahanda terpaksa
mengajukan permintaan ke padamu, anakku?" kata Pangeran Yogascitra pada akhirnya.
"Sampaikanlah segera, apa yang ingin Ayahanda sampaikan, agar segala permasalahan bisa
kita selesaikan dengan baik," pinta Nyi Mas Banyak Inten.
"Anakku, Ayahanda dengar khabar, bahwa pemuda Ginggi beberapa kali pernah berkunjung
ke mari, namun tanpa orang lain tahu. Ini hanya menandakan, bahwa pemuda itu punya
kepentingan khusus denganmu?" kata Pangeran Yogascitra.
Nyi Mas Banyak Inten nampak sedikit memerah pipinya. Dia terus menunduk.
"Engkau harus tahu anakku, bahwa pemuda itu sebenarnya amat diharapkan kehadirannya.
Pakuan membutuhkan orang pandai di saat kedudukannya sedang terjepit. Jadi kalau engkau
mau ikut membela negara, bujuklah dia agar sudi datang ke istana dan tidak sembunyisembunyi
seperti sekarang ini," kata pangeran tua itu.
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 35
"Saya belum mengerti, apa yang dimaksud Ayahanda?" tutur gadis itu setelah sekian lama
mematung. "Ya, undanglah dia agar mau tinggal di Pakuan,"
"Saya tidak bisa memaksakan kehendak kepada orang lain, Ayahanda. Apalagi Ginggi pernah
berkata kepada saya, benci kepada urusan kenegaraan. Kalau tidak karena saya, dia tidak mau
memasuki wilayah Pakuan?" kata gadis itu.
"Itulah kunci agar pemuda itu mau ke Pakuan, anakku,"
"Maksud Ayahnda?"
"Sebagai orang tua, Ayahanda mengerti apa yang ada di hati anak muda. Ginggi selalu
berusaha dengan diam-diam memasuki mandala karena cintanya ke padamu. Ayahanda yakin,
pemuda itu amat mengharapkanmu, jadi berilah dia kesempatan, anakku," kata Pangeran
Yogascitra. Nyi Mas Banyak Inten mengatupkan kelopak matanya. Dia terpaksa merangkapkan sepasang
tangannya dan bibirnya bergerak-gerak seperti mengucapkan sebuah doa.
"Semoga kita semua mendapatkan pengampunan Hyang atas segala kekeliruan yang kita
lakukan?" bisiknya. "Berupaya membela negara bukanlah sebuah kekeliruan, anakku," tutur Pangeran Yogascitra
dengan mimik khawatir. "Tapi Ayahanda harus ingat, saya adalah seorang pendeta yang sudah melepaskan kehidupan
duniawi. Pendeta telah melepaskan segala keterkaitan dengan urusan dunia. Itulah sebabnya
tadi saya katakan tidak bisa memaksakan kehendak," tutur gadis itu masih menunduk dan
sedikit mengatupkan matanya sehingga garis hitam lentik bulu mata semakin terlihat menebal.
Hening beberapa lama, sehingga suara kicauan burung di pagi cerah amat terdengar nyaring.
Banyak Angga duduk bersila tegak sambil sepasang tangan bersilang di dada. Nampak sekali
ada kerutan di dahi menyimak percakapan ayahnya dan adiknya ini. Sedangkan Pragola yang
bersila di belakangnya duduk tenang kendati hatinya amat tertarik dengan situasi di ruangan
paseban ini. "Ayahanda sadar bahwa kedudukanmu sekarang adalah pendeta. Pendeta muda yang tak
sempat banyak makan asam-garam kehidupan. Dan engkau pun adalah pendeta muda yang
kependetaannya karena perintah orang lain," tutur Pangeran Yogascitra hampir bergumam
dan matanya menerawang kejauhan.
"Saya mengakuinya ayahanda. Kependetaan saya karena perintah Sang Prabu Ratu Sakti.
Beliau adalah raja di raja. Semua orang wajib mentaati perintahnya. Mentaati perintahnya
Ratu adalah bagian dari pembelaan terhadap negara," kata Nyi Mas Banyak Inten masih tetap
menunduk. "Bagus sekali bila engkau menyadari hal ini, anakku," tutur Pangeran Yogascitra dengan
wajah cerah sehingga membuat bingung gadis itu.
"Untuk kepentingan negara pula, maka pada suatu saat engkau akan diperintah Ratu untuk
melepaskan kependetaannya lagi," kata Pangeran Yogascitra kemudian. Nyi Mas Banyak
Inten amat terkejut dengan pernyataan ayahandanya ini, sehingga dengan serta-merta gadis itu
mengangkat muka. "Sang Prabu Nilakendra adalah seorang agamawan yang baik. Setiap waktunya dihabiskan di
kuil. Saya tidak percaya bila beliau mau mempermainkan agama," tutur gadis itu.
"Siapa yang akan mempermainkan agama" Tidak ada seorang pun yang menyuruhmu keluar
dari agama karuhun (nenek moyang). Berhenti dari kependetaan bukanlah berarti keluar dari
anutan agama. Engkau akan diminta untuk melepaskan keagamaan hanya karena kepentingan
negara semata. Bukankah engkau pernah katakan bahwa agamawan juga punya kewajiban
membela negara?" tutur Pangeran Yogascitra.
Nyi Mas Banyak Inten tidak menimpali perkataan ayahandanya. Yang dia kerjakan hanyalah
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 36
bersedakap, merangkapkan kedua telapak tangannya. Dia tidak berkata apa-apa lagi. Namun
semua orang tahu, gadis itu memendam satu kedukaan.
Sampai tiba saatnya rombongan kecil itu meninggalkan kompleks mandala, gadis itu tidak
pernah berkata apa-apa kendati hanya satu dua patah kata.
"Adikku memang gadis malang?" gumam Banyak Angga di tengah jalan sesudah mereka
berpisah dengan Pangeran Yogascitra.
Pragola mendapatkan, betapa murung wajah pemuda itu. Apakah karena ini memikirkan nasib
adiknya ataukah lebih dari itu, Pragola tidak bisa menduga dengan tempat. Namun yang dia
perlu bersyukur, pemuda bangsawan itu nampaknya sudah begitu percaya kepadanya. Secara
politis ini amat menguntungkan sebab dalam hal-hal tertentu terasa membantu tugas-tugasnya
dalam upaya menyelidiki situasi Pakuan.
Sepanjang jalan menuju puri, tak habis-habisnya Banyak Angga mempercakapkan
kemalangan Nyi Mas Banyak Inten.
"Aku tahu, selama hampir sepuluh tahun ini adikku memendam duka yang sangat karena
urusan cinta," tutur pemuda itu. Dan tanpa diminta Pragola, Banyak Angga memaparkan
peristiwa tragis yang pernah dialami gadis itu sepuluh tahun silam.
Menurut penuturan pemuda itu, dulu Nyi Mas Banyak Inten dicintai dua lelaki. Yang satu
adalah Prabu Ratu Sakti penguasa Pakuan Pajajaran, satunya lagi adalah pemuda bangsawan
bernama Raden Suji Angkara. Dicintai oleh Raja sama dengan perintah yang harus ditaati.
Namun secara pribadi, rupanya gadis ini memilih Suji Angkara. Namun belakangan, banyak
orang mengetahi bahwa pemuda bangsawan itu bermoral bejat. Hanya di muka umum saja
pemuda itu menampilkan dirinya sebagai orang terhormat. Sedangkan di belakang itu, secara
sembunyi-sembunyi Suji Angkara melakukan hal-hal tidak terpuji, yaitu menyatroni kamarkamar
gadis untuk mengerayangi keperawanan mereka. Setiap gadis yang menolak,
mengalami nasib buruk karena dibunuhnya.
Adalah pemuda Ginggi yang pertama kali membongkar rahasia keburukan perilaku Suji
Angkara. Malah ketika Nyi Mas Banyak Inten dilarikan pemuda itu, Ginggilah yang
menggagalkannya. Dan secara tidak langsung, Ginggi pulalah yang membunuh pemuda bejat
itu. (baca episode "Senja jatuh di Pajajaran").
"Adikku seperti menderita kehancuran. Dia dicintai Raja tapi juga mencintai seorang pemuda
yang belakangan diketahui berperangai buruk?" gumam Banyak Angga sedih.
"Itulah sebabnya Nyi Mas memilih memasuki kehidupan mandala," kata Pragola tiba-tiba.
"Adikku gadis penurut. Apa yang diperintahkan orangtua selalu ditaatinya. Begitu pun
perintah yang diberikan Ratu.
Sang Ratu Sakti memerintahkan adikku supaya tinggal di mandala dan adikku menurut saja.
Padahal aku berpikir, ketika itu belum saatnya adikku memasuki kehidupan dimana orang
meninggalkan kehidupan duniawi. Waktu itu adikku baru berumur limabelas atau enambelas
tahun, tutur Banyak Angga.
"Jadi karena dulu memasuki kehidupan mandala oleh sebuah perintah, maka sekarang pun
orang boleh memerintahkan dia untuk keluar lagi dari sana," gumam Pragola.
Banyak Angga menoleh dan menatap sejenak. Kemudian berpaling lagi ke arah lain dan
terdengar mengeluh. "Kami malu harus melakukan hal seperti itu. Rasanya benar pendapat adikku, demi
kepemtingan akal-akalan (politik) agama dipermainkan. Dulu Ratu memerintahkan adikku
memasuki mandala demi harkat dan kehormatan Ratu. Sekarang ayahanda akan menggunakan
wewenang Ratu untuk mengeluarkan adikku dari mandala. Semua hanya akal-akalan untuk
kepentingan negara?" gumam Banyak Angga lagi. Pragola hanya mengangguk-angguk tanpa
dia sendiri pun mengerti apa makna dari anggukannya ini.
Sampai keduanya berpisah, tak ada lagi percakapan di antara mereka. Banyak Angga
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 37
mengatakan hanya mengatakan bahwa suatu saat Pragola harus siap ikut melakukan
perjalanan ke wilayah timur.
Banyak Angga pulang ke purinya, sedangkan Pragola kembali ke kesatriaan (asrama prajurit).
*** Malam itu Pragola tidak kemana-mana sebab ada surat rahasia yang dikirimkan Pangeran
Yudakara bahwa tengah malam Pangeran itu akan mengunjungi dirinya.
Namun manakala malam semakin larut, yang ditunggu tidak pernah ada. Pragola menjadi
gelisah. Adakah sesuatu yang menjadi penghalangnya"
Pangeran Yudakara ini memang tengah bermain api, pikir Pragola sambil tiduran di sebuah
dipan kayu. Betapa tidak, dia adalah kerabat Kandagalante Sunda Sembawa yang tewas dalam
upaya pemberontakan di Pakuan sepuluh tahun silam. Hanya karena tidak terbukti melakukan


Kunanti Di Gerbang Pakuan Karya Aa Merdeka Permana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

persekongkolan dengan Sunda Sembawa saja yang menyebabkan Pangeran Yudakara lolos
dari kecurigaan dari pihak Pakuan.
Menurut pengetahuan Pragola yang bisa didapatkan melalui Paman Manggala, pada peristiwa
sepuluh tahun silam Pangeran Yudakara memang tidak terlibat, bahkan sama sekali tidak tahu
menahu perihal rencana pemberontakan yang dilakukan Sunda Sebawa.
Dulu, untuk memperkuat wilayah timur dari rongrongan Demak dan Cirebon, pihak Pakuan
setuju untuk membangun kekuatan militer di wilayah Kandagalante Sunda Sembawa, yaitu
Saraherang. Sagaraherang terlalu dekat ke Sumedanglarang yang sudah dipengaruhi
kekuasaan Cirebon. Dengan dana yang amat besar yang disisihkan dari seba (pajak) tinggi
dari rakyat, kekuatan militer dibangun di Sagaraherang. Namun, apa yang yang diharap pihak
Pakuan, lain yang dikerjakan Sunda Sembawa. Sunda Sembawa memanfaatkan pembangunan
kekuatan militer di sana bahkan untuk keperluan dirinya sendiri dalam melawan Pakuan.
Sunda Sembawa ingin memanfaatkan situasi. Dia tahu, rakyat banyak yang membenci Sang
Prabu Ratu Sakti karena tindakan-tindakannya yang kejam terhadap rakyat. Sunda Sembawa,
Ratu Sakti tidak pantas menjadi penguasa Pakuan sebab yang lebih pantas adalah dirinya.
Baik Ratu Sakti mau pun Sunda Sembawa masih sama-sama keturunan Sang Prabu Ratu
Dewata (1535-1543). Menurutnya, adalah keliru bila Pakuan dipegang oleh Ratu Sakti (1543-
1551). Pangeran Yudakara selamat dari persekongkolan hanya karena Sunda Sembawa tidak percaya
kepadanya. Menurut Sunda Sembawa, Pangeran Yudakara yang beristrikan wanita
Sumedanglarang dianggap punya hubungan dengan Sumedanglarang dan dianggap pula ada
hubungan dengan Cirebon. Sedangkan Sunda Sembawa, kendati bertekad ingin meruntuhkan
Sang Prabu Ratu Sakti, bukan berarti ingin bergabung dengan Cirebon. Bahkan Sunda
Sembawa punya cita-cita, seandainya dirinya bisa menduduki istana, maka tujuan utamanya
adalah mengembalikan wilayah-wilayah Pajajaran yang sudah direbut Banten dan Cirebon.
*** Pemberontakan yang dilakukan Sunda Sembawa gagal total sebab ternyata Pakuan lebih kuat.
Masih banyak orang-orang pandai yang secara tak resmi bukan perwira atau pun petugas
istana, namun mau berjuang menjaga keselamatan Pakuan. Salah satu di antaranya adalah
Ginggi yang kini banyak disanjung dalam cerita pantun di seantero Pakuan dan wilayah
Pajajaran pada umumnya. Pangeran Yudakara beruntung tidak dicurigai pihak Pakuan karena selain tidak percaya Sunda
Sembawa, juga hubungan dengan Sumedanglarang seperti "lepas" hanya karena istrinya
meninggal dunia. Pihak Pakuan mendapatkan berita, bahwa Pangeran Yudakara tidak pernah lagi berhubungan
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 38
dengan Sumedanglarang sesudah istrinya tiada. Belakangan, dia dipercaya Pakuan untuk
menjadi penguasa Sagaraherang saja. Sebagai penguat kedudukan, wilayah Sagaraherang
yang dulu hanya dikuasai pejabat setingkat kandagalante (barangkali setingkat kewedanaan
kini), oleh Pakuan akan ditingkatkan kedudukannya sampai ke tingkat kabupatian, sebuah
tingkatan wilayah yang hampir sama dengan Sumedanglarang atau Kabupatian Banten yang
kini dikuasai Cirebon dan Demak.
Usaha perluasan status wilayah ini mungkin sedikit berlebihan, mengingat Sagaraherang
belumlah seramai Sumedanglarang, apalagi bila harus disamakan dengan Banten yang sedikit
demi sedikit telah merebak menjadi pusat perdagangan internasional yang dikelola
pemerintahan agama baru. Namun rupanya tindakan-tindakan Pakuan ini dilakukan dengan
berbagai pertimbangan. Pertama, Sagaraherang adalah wilayah rawan. Kedudukannya terlalu
dekat dengan pengaruh-pengaruh Cirebon. Untuk menjaga kekuasaan Cirebon terus merebak
ke wilayah barat, maka Sagaraherang perlu diperkuat. Pertimbangan yang kedua,
Sagaraherang letaknya sedikit agak di utara. Sedangkan wilayah utara adalah wilayah
perdagangan. Dulu milik Pajajaran, sekarang milik Cirebon. Jalur yang kini sudah dikuasai
orang lain ini hingga kini masih bermanfaat untuk orang-orang Pajajaran. Politik adalah
politik tapi dagang tetap dagang. Orang-orang Cirebon yang menguasai perdagangan di
wilayah pesisir utara, tetap saja butuh konsumen sebanyak-banyaknya, siapa pun adanya.
Mungkin saja pihak pihak penguasa Cirebon secara politis melarang orang-orangnya
melayani konsumen dari Pajajaran. Tapi pada kenyataannya, kaum pedagang di pesisir utara
tetap berhubungan dengan penduduk pedalaman.
Barangkali Pakuan akan memanfaatkan situasi seperti ini agar kelak di kemudian hari, yaitu
bila saatnya Pajajaran kuat kembali, jalur perdagangan ini bisa dikuasai lagi.
Pertimbangan ketiga mengapa Sagaraherang akan dipersiapkan kedudukannya setingkat
kabupatian, adalah semata untuk "membujuk" Pangeran Yudakara agar benar-benar menjadi
"orang Pajajaran". Penguasa Pakuan berprinsip, melumpuhkan harimau bukan melawannya
dengan kekerasan, melainkan dengan memberinya kasih-sayang. Ini sesuai dengan prinsip
yang dianut Sang Prabu Nilakendra yang tidak menyukai kekerasan, Raja ini tetap berprinsip
bahwa kekerasan hanya akan mendatangkan kekerasan, sebaliknya kehalusan budi akan pula
mendatangkan kehalusan budi.
Pangeran Yudakara adalah kerabat Sunda Sembawa, juga pernah dekat dengan pihak
Sumedanglarang. Tapi di lain pihak, Pakuan juga mendapatkan bahwa pangeran berusia
setengah baya ini punya pengaruh besar di Sagaraherang. Amatlah berbahaya orang
berpengaruh seperti dia menjadi musuh Pakuan. Walaupun hubungannya dengan Sunda
Sembawa tidak terlalu dekat, namun terbunuhnya kandagalante ini di Pakuan sedikit
banyaknya akan mempengaruhi perasaan Pangeran Yudakara. Bila pangeran setengah baya
ini tidak dibujuk dengan kekuasaan tinggi bisa-bisa melakukan pembalasan. Itulah sebabnya,
susai pemberontakan Sunda Sembawa, Pangeran Yudakara segera diangkat Pakuan sebagai
penggantinya. Tidak itu saja, kekuasaan pangeran ini bahkan ditingkatkan, tidak lagi sebatas
sebagai kandagalanteyang hanya membawahi beberapa orang cutak (camat) saja, melainkan
akan diangkat menjadi kepala wilayah sejenis kabupatian seperti versi Cirebon dalam
menyusun pemerintahan. Pangeran Yudakara akan diangkat semacam penguasa kabupatian timbul dari gagasannya
sendiri yang dilontarkan kepada penguasa Pakuan. Bahwa sebenarnya tidak pantas
Sagaraherang yang dimiliki Pakuan hanya berupa kandagalante sebab daerah rawan ini
menghadapai banyak tantangan di kiri kanannya. Menurut Pangeran Yudakara, Kerajaan
Sumedanglarang membawahi beberapa nagari (semacam kota), yaitu Sumedang, Ciasem,
Pamanukan, Indramayu, Sukapura dan Parakanmuncang. Sagaraherang hanyalah sebuah
wilayah kandagalante di sebuah nagari bernama Ciasem saja. Nagari Ciasem sebenarnya
sudah masuk pengaruh Cirebon. Jadi betapa bahayanya bila kedudukan Sagaraherang yang
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 39
masih dikuasai Pajajaran bila kekuatannya tidak ditingkatkan, padahal nagarinya saja sudah
masuk pengaruh Cirebon, begitu pun ibu nagarinya, Sumedanglarang.
Ke mana Pangeran Yudakara ini akan melakukan perluasan daerah, Pragola sendiri tidak
begitu mengerti. Sebab kalau benar Sagaraherang harus ditingkatkan kedudukannya, harus
ada perluasan daerah dan ini berarti mencari penyakit dengan Cirebon.
Pragola memang tidak mengerti akan jalan pikiran pangeran yang kini menjadi majikannya
itu. Bila disimak rencana-rencana kerja Pangeran Yudakara yang disampaikan kepada pihak
Pakuan, seolah-olah pangeran ini berpikir untuk kepentingan Pajajaran. Padahal Pragola
sendiri tahu, Pangeran Yudakara hari-hari belakangan ini berada di Pakuan adalah karena
bekerja untuk kepentingan Cirebon. Apa pula maksud sebenarnya dari rencana-rencana
Pangeran Yudakara ini"
Inilah yang Pragola anggap pangeran itu bermain api. Dia tengah mempermainkan
kepercayaan orang-orang Pakuan yang diberikan kepadanya. Dan kemudian kebijaksanaannya
dalam mengusulkan perluasan Sagaraherang juga diperkirakan akan menjadi teka-teki pihak
Cirebon bila hal ini tidak dirundingkan benar-benar di antara mereka.
Pragola semakin risau sesudah malam hampir menjelang dinihari yang di tunggu tidak juga
muncul. Pragola sudah kenal peringai majikannya, yaitu tak pernah ada janji janji yang dilanggar. Jadi
mestinya Pangeran Yudakara malam ini datang berkunjung padanya, kecuali ada gangguan.
Gangguan apakah itu" Kalau begitu, Pragola harus cepat tanggap terhadap keadaan. Bila
didesak oleh keadaan darurat, Pragola boleh berbuat inisiatif. Sekarang pun dia anggap ada
dalam suasana darurat. Jadi kendati pun Pangeran Yudakara melarang dia mengunjungi puri
di mana pangeran itu tinggal, Pragola akan mengunjunginya. Pemuda itu harus memeriksa
keselamatan majikannya. Itulah sebabnya, sesudah berpikir sejenak, Pragola segera mengganti pakaiannya. Kini dia
memakai pakaian serba hitam. Dia memakai baju kurung tangan panjang dan celana pangsi.
Ikat kepalanya terbuat dari kain lebar berwarna hitam pula.
Pragola keluar melalui lubang jendela secara diam-diam. Ada beberapa penjaga yang duduk
terkantuk-kantuk di gardu. Tapi hal ini tidak membuat kesukaran bagi dirinya. Jangankan
penjaga yang tengah mengantuk, sedangkan mereka yang berjaga-jaga penuh saja bisa
dilewati dengan mudah oleh ilmu yang dia miliki.
Pragola menyelinap di antara kuta (benteng) dan semak, atau bahkan juga bergayut dan
meloncat di atad dahan sawo dan nangka. Sesekali dia harus meloncat-loncat di atas
wuwungan dan atap sirap. Setibanya di kompleks puri di mana Pangeran Yudakara tinggal, Ginggi harus semakin hatihati
bergerak. Bukan karena penjagaan di sana amat ketat, namun dial lakukan hanya sebagai
persiapan saja dari berbagai kemungkinan yang tidak diharapkan.
Puri itu sunyi-senyap, seolah tak ada penghuni di sana. Namun ilmu hiliwir sumping yang dia
miliki mendapatkan kenyataan lain. Hiliwir sumping adalah ilmu yang biasa dimiliki oleh
tokoh-tokoh sakti Pajajaran. Ini adalah semacam ilmu untuk mendengarkan suara halus, kecil
atau pun jauh. Semakin tinggi ilmu yang dimiliki, semakin banyak gunanya, bahkan bisa
menyerap dan mendengarkan satu suara dari berbagai ragam suara yang dalam suatau waktu
terdengar bersamaan. Pragola belum sepandai itu dalam menyaring suara yang diinginkan. Tapi di sela-sela suara
binatang malam, dia pun ada mendengar suara percakapan manusia. Datangnya dari tempat
yang agak terpencil. Mungkin dari ruangan belakang, mungkin juga dari kompleks taman.
Dan karena tahu suara itu datangnya dari arah depan, maka dengan amat hati-hati, Pragola
mendekati tempat itu. Benar saja, suara tersebut datangnya dari taman puri yang terletak jauh di belakang dan
sedikit tersembunyi karena rimbunnya pepohonan serta tingginya benteng puri.
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 40
Dengan mata hati-hati Pragola meloncat ke atas wuwungan sebuah bangunan dan melihat ke
tengah taman di mana di sana terdapat sebuah bale-kambang. Bale-kambang adalah sebuah
bale peristirahatan yang berada di tengah kolam.
Dari jarak sekitar empat puluh depa (1 depa = 1,698 meter), Pragola sanggup menyaksikan,
bahwa di atas bale-bale itu ada dua orang duduk bersila saling berhadapan. Yang seorang
amat jelas, dialah Pangeran Yudakara. Namun seorang lagi Pragola tak tahu siapa dia.
Kendati sedang duduk bersila, namun laki-laki itu tentu bertubuh jangkung, sedikit tinggi
besar. Laki-laki itu berpakaian serba hitam, ikat kepalanya bahkan hampir-hampir menutupi
sepasang telinga dan sebagian pipinya. Kalau dia adalah seorang tamu, maka laki-laki itu
datang seperti tak ingin diketahui oleh orang lain.
Ada kumis tebal menghiasi bibirnya. Hidung laki-laki itu mancung tapi sedikit melengkung di
punggung hidungnya. Pragola tak bisa menaksir, berapa usia laki-laki asing itu. Namun
melihat betapa hati-hatinya Pangeran Yudakara berhadapan dengan laki-laki itu, hanya
menandakan bahwa orang lelaki itu bukan orang sembarangan. Mungkin dia seorang tokoh
penting. Tokoh penting dari Cirebonkah" Oh pasti bukan bila mendengar percakan mereka.
"Cirebon tidak boleh punya inisiatif melakukan penyerbuan kepada Pakuan," desis laki-laki
itu dengan nada datar tapi terasa pasti dan bernada perintah.
"Mengapa tidak boleh?" tanya Pangeran Yudakara.
"Karena hanya Bantenlah yang akan melakukan penyerbuan."
"Ya, mengapa hanya Banten yang boleh menyerang Pakuan?"
"Karena Bantenlah yang terkuat. Jadi hanya Bantenlah yang akan sanggup meruntuhkan
kekuasaan Pajajaran," sahut laki-laki itu.
"Banten pun masih di bawah Demak. Tentu sebelumnya kalian harus berunding dulu dengan
mereka," kata Pangeran Yudakara.
Terdengar laki-laki itu tertawa mengejek.
"Demak sudah berantakan, tidak ada apa-apanya lagi. Sebentar lagi Banten akan memisahkan
diri dari Demak dan berdiri sebagai negara merdeka," katanya lagi.
"Sombong!" dengus Pangeran Yudakara.
"Kesombongan yang dilakukan oleh orang kuat adalah wajar, tapi kesombongan yang
dilakukan oleh orang lemah adalah musibah.
Kalian orang Cirebon harus hati-hati, sejak dulu kekuatan Cirebon hanya mengandalkan
Demak semata. Cirebon sanggup merebut tujuh pelabuhan penting milik Pajajaran, termasuk
merebut Banten, hanya karena bantuan Demak semata. Sekarang karena terlalu seringnya
cekcok dalam perebutan kekuasaan, Demak sudah lemah, sehingga otomatis Cirebon pun tak
punya daya. Kalian hanya bisa besar bila mau kerjasama dengan Banten. Itulah sebabnya
hanya akan berupa musibah bila Cirebon bersombong diri hendak mencoba menundukkan
Pajajaran," tutur lelaki itu masih dengan nada angkuh.
Dari atas wuwungan Pragola melihat tubuh Pangeran Yudakara menegang tegak tak bergerak.
Sepasang telapak tangannya terkepal erat di atas pahanya.
Pragola menduga, tegangnya otot-otot Pangeran Yudakara karena akan melakukan suatu
gerakan. Benar saja, belum rampung Pragola berpikir, terlihat Pangeran Yudakara melakukan
gerakan cepat. Sepasang tangannya yang tadi berada di atas pahanya ditarik ke belakang
untuk dengan cepat didorong lagi ke depan dengan jari-jari terbuka lebar.
Pragola mengerti, ini adalah serangan pukulan dengan menggunakan tenaga dalam. Pemuda
ini belum pernah melihat Pangeran Yudakara bermain jurit. Paman Manggala yang
mengabarkan bahwa pangeran ini memiliki kepandaian tinggi. Seberapa jauh kepandaiannya,
Pragola sendiri tidak bisa mengira-ngira. Hanya saja ketika sepasang tangan itu didorong ke
depan, sepertinya ada angin deras bertiup. Ini terlihat dari ujung iket (ikat kepala) lelaki yang
diserangnya nampak bergoyang dan berkibar dengan cepatnya.
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 41
Melihat kenyataan ini, Pragola menduga, tenaga pukulan Pangeran Yudakara pasti besar dan
mantap. Pukulan itu dilayangkan secepat kilat dan mengarah dada lawan. Pragola terkejut, ini
serangan mematikan, apalagi hanya dilakukan dalam jarak yang kurang dari satu depa saja.
Laki-laki asing yang duduk bersila di depannya pasti bakal celaka sebab tak akan punya
kesempatan untuk berkelit.
"Pangeran Yudakara ternyata bisa bertindak kejam. Dalam satu gerakan saja ingin sekaligus
membunuh lawan?" pikirnya dalam hati.
Namun Pragola kecele kalau dia menduga lelaki asing itu akan hancur dadanya karena
serangan dahsyat itu. Jangankan terluka, kena saja tidak. Memang ajaib kalau serangan
mendadak itu bisa digagalkan. Lelaki asing itu tidak beranjak dari duduknya. Namun dengan
cepat dan emteng dia melempar tubuh ke belakang, seperti orang yang hendak tidur telentang
tapi dengan gerakan amat cepat. Lelaki itu telentang sejajar dengan pelupuh (lantai kayu)
sehingga luput dari serbuan pukulan mengarah dada.
Tahu serangannya gagal, Pangeran Yudakara mencoba menarik kembali sepasang tangannya
yang telanjur menyodok ke depan. Namun sebelum sempat melakukan hal itu, lelaki asing itu
segera melakukan sesuatu gerakan. Sambil tubuh masih telentang dia melakukan gerakan
sepasang kaki, menggunting dan mencapit kedua belah tangan Pangeran Yudakara.
Kembali Pragola terkejut. Ini adalah serangan balasan yang tak kalah kejamnya. Kalau
sepasang kaki lelaki asing itu "menggunting" dengan pengerahan tenaga penuh, sepasang
tangan Pangeran Yudakara akan patah terpotong-potong.
Rupanya pangeran itu pun menyadari akan bahaya ini. Maka sebelum lelaki asing itu
mencoba mengeluarkan tenaganya, Pangeran Yudakara segera menggerakkan kakinya. Yang
tadinya sudah bersila, diubahnya menjadi sodokan ke daerah berbahaya dari bagian tubuh
lawan. Si lelaki asing masih tak kehilangan akal. Sebelum serangan itu menohok telak, dia
segera menarik keras sepasang kakinya yang masih menjepit tangan Pangeran Yudakara.
Rupanya tarikan keras itu sengaja hendak melemparkan tubuh Pangeran Yudakara. Dan
usahanya ini berhasil sebab Pangeran Yudakara tak menduga sama sekali. Tubuh pangeran itu
terlontar keluar bale-bale melewati atas tubuh lelaki asing tersebut.
Pangeran Yudakara tidak kuasa menahan tubuhnya yang terlontar, padahal ke mana dia jatuh
adalah permukaan kolam yang airnya tentu dingin menusuk tulang.
Benar saja, tak lama kemudian terdengar suara cipratan air karena tertimpa tubuh pangeran
itu. Suara riakan air disusul oleh dengus dan tawa mengejek lelaki asing itu yang nampak
sudah berdiri bertolak pinggang di atas bale-kambang.
Lelaki itu segera meloncat dari tempat itu. Namun sebelumnya masih mengeluarkan
peringatan agar orang-orang Cirebon jangan sembrono melakukan tindakan bodoh.
"Kau katakan kepada Susuhunan Cirebon, bahwa mereka sudah tak punya kekuatan lagi,"
kata lelaki itu, meloncat ke atas benteng dan pergi dari tempat itu.
Tinggallah Pangeran Yudakara berdiri di atas kolam sebatas pusar. Tubuhnya nampak
menggigil. Mungkin karena kedinginan, tapi bisa juga marah karena merasa terhina.
Pragola tak mau menolong atau mendekati tempat itu. Dia tak ingin majikannya tahu akan
kehadirannya. Oleh sebab itulah sebelum kahadirannya diketahui, Pragola segera
mengundurkan diri dari tempat itu secara diam-diam. Pemuda itu harus segera kembali ke
kesatrian (asrama prajurit) takut kalau-kalau Pangeran Yudakara datang mengunjunginya
seperti pangeran itu janjikan kepadanya.
Sudah hampir subuh tapi ternyata Pangeran Yudakara belum juga muncul. Pragola berpikir,
pangeran itu gagal mengunjunginya karena peristiwa semalam. Mungkin dia lebih memilih
tinggal di puri untuk memendam kemarahannya, atau kekecewaannya oleh kejadian malam
tadi. Kecewa" Ya, betapa tidak. Dengan amat mudahnya Pangeran Yudakara dilumpuhkan lelaki
asing itu. Padahal menurut pengetahuannya, Pangeran Yudakara adalah perwira pandai.
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 42
Pangeran itu kini lebih memikirkan rasa kecewanya ketimbang ingat akan janjinya untuk
mengunjungi kamar Pragola.
Pragola sejenak terhenyak karena mengubah jalan pikirannya. Mungkin Pangeran Yudakara
bukan kecewa karena kekalahannya, melainkan oleh ucapan-ucapan lelaki asing itu yang
terdengar sombong dan pongah.
Orang itu berkata penuh ejekan bahwa Cirebon adalah negara lemah dan jangan sembrono
mengusik Pajajaran. Yang berhak dan mampu menyerbu Pakuan hanyalah Banten. Tentu saja
ini merupakan tamparan pedas kepada Pangeran Yudakara yang tengah menjalankan tugas
penyelidikan dari Cirebon dalam upaya melumpuhkan Pakuan.
Pragola agak mengeryitkan dahi ketika mengingat kembali ucapan lelaki asing itu. Orang itu
angkuh dan sengaja merendahkan Cirebon. Padahal seingatnya, antara Cirebon dan Banten


Kunanti Di Gerbang Pakuan Karya Aa Merdeka Permana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

tak pernah ada percekcokan. Keduanya sama-sama merupakan pusat kekuatan kehidupan
agama baru tapi juga keduanya sama-sama merupakan bekas wilayah kekuasaan Pajajaran.
Cirebon lebih dahulu melepaskan diri (1511), sedangkan Banten baru belakangan dibebaskan
Demak dan Cirebon dari kekuatan penguasa agama lama pada tahun 1525. Namun Pragola
juga mendengar khabar dari sana-sini bahwa semakin hari Banten semakin mencuat ke
permukaan. Ada kecenderungan dia lebih kuat ketimbang negara yang pertama kalinya
membebaskannya, yaitu Demak. Banten menjadi pusat perdagangan negara agama baru
sehingga sanggup melakukan pembangunan besar-besaran, sementara Demak malah
terjerumus ke dalam kancah perpecahan dan perebutan kekuasaan di antara sesamanya.
Harus diakui, kini hanya Bantenkah negara yang terkuat di antara mereka. Namun kendati
demikian, Pragola berpikir tak seharusnya orang Banten mencemoohkan Cirebon, sebab hal
ini hanya akan mengundang perpecahan sesama negara agama baru. Siapakah lelaki asing
yang datang malam-malam ke hadapan Pangeran Yudakara itu" Benarkah dia utusan Banten
dan sengaja meremehkan Cirebon" Benarkah Banten melarang Cirebon melakukan
penyerbuan ke Pakuan karena menyangsikan kekuatan Cirebon" Pragola tidak sanggup
menduga-duga. Yang pasti, bila ucapan orang Banten itu dilaporkan oleh Pangeran Yudakara
ke Cirebon, tentu akan mengundang perpecahan.
Sampai cuaca menjadi terang tanah, Pangeran Yudakara tidak pernah muncul mengunjungi
dirinya. Pragola pun akhirnya terlena dan tidur pulas sampai siang hari.
*** Baru pada esok malamnya Pangeran Yudakara mengunjungi kesatrian. Pangeran itu minta
laporan Pragola, sejauh mana dia melakukan penyelidikan di sekitar puri Yogascitra. Sertamerta
Pragola melaporkan apa yang dilihat dan dialaminya. Dia mengatakan bahwa
nampaknya Pangeran Yogascitra semakin bersemangat untuk mengumpulkan orang-orang
pandai dalam upaya memperkuat Pakuan. Dikatakannya, betapa Pangeran Yogascitra
berupaya keras hendak mencari Ksatria Ginggi.
"Ada khabar dari putrinya yang tinggal di mandala, bahwa beberapa kali lelaki bernama
Ginggi itu pernah mengunjunginya, sehingga menimbulkan penafsiran kepada Pangeran
Yogascitra bahwa lelaki itu mencintai putrinya," kata Pragola.
"Lanjutkan?" "Karena perkiaraan ini, Pangeran Yogascitra akhirnya menyuruh putrinya untuk menerima
cinta pemuda itu, dengan harapan bisa membujuk orang itu untuk mau tinggal di Pakuan,"
lanjut Pragola. Pangeran Yudakara hanya mengangguk dan mendengus.
Hening sejenak. Pangeran yang jadi majikan Pragola ini nampak merenung dan mengerutkan
dahi seolah-olah lagi berpikir keras.
"Kita butuh berhadapan dengan pemuda itu, tapi tidak di Pakuan ini?" gumamnya. Giliran
Pragola yang mengerutkan dahi tanda tak mengerti akan tujuan Pageran Yudakara.
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 43
"Orang itu berbahaya. Ingat peristiwa penyerbuan Sagaraherang pada sepuluh tahun silam
(1551). Kegagalan gerakan itu salah satu di antaranya karena hadangan pemuda bernama
Ginggi. Jadi kita perlu menghadapinya sebelum masuk Pakuan," kata Pangeran Yudakara.
"Bagaimana caranya, padahal kita tidak tahu di mana dia berada. Kita pun belum jumpa
dengan orang itu sehingga kita belum tahu wajahnya," kata Pragola.
"Besar kemungkinan kita bisa berjumpa, asalkan engkau selalu ikut ke mana orang-orang puri
Yogascitra pergi," tutur pangeran itu. Pragola mengetuk jidatnya sendiri karena
kebodohannya. Mengapa tidak bisa mencari lelaki bernama Ginggi, bukankah Pangeran
Yogascitra akan berupaya mencarinya" Dia bisa membonceng kepada usaha mereka.
"Saya mengerti rencanamu, Pangeran?" kata Pragola menyembah.
"Tugas kita adalah satu, mencoba mengganggu tujuan orang Pakuan dalam upaya memupuk
kembali kekuatan mereka. Jangan biarkan orang-orang pandai berkumpul di Pakuan. Usaha
kita adalah menghadang orang yang akan memperkuat Pakuan. Itulah sebabnya, tujuan awal
kita, yaitu membawa dan membujuk sepasukan perwira Pakuan ke wilayah timur dengan
dalih untuk menolong rekan-rekan mereka yang terjebak di Puncak Cakrabuana harus
berlangsung dengan lancar," kata Pangeran Yudakara.
"Sesudah kekuatan Pakuan lemah, apa yang akan dilakukan selanjutnya, Pangeran?" tanya
Pragola. "Banyak rencana besar bila Pakuan bisa kita kuasai?" gumam Pangeran Yudakara. Matanya
berbinar-binar dan sorotnya jauh ke depan.
Selanjutnya Pangeran Yudakara memberikan petunjuk agar Pragola semakin dekat dengan
orang-orang puri Yogascitra. Bahwa kemungkinan besar Pragola akan melakukan perjalanan
panjang ke wilayah timur bersama mereka, kendati sebelumnya tidak masuk dalam rencana,
kini harus dilaksanakan dengan baik. Baik bukan untuk kepentingan Pakuan, melainkan untuk
tugas-tugas dari misi yang diembankan.
"Engkau harus ikut mereka dan selesaikanlah tugasmu dengan baik," kata Pangeran
Yudakara. Pragola mengerti akan ucapan ini. Maksudnya tentu hanya satu, yaitu menghadang orangorang
yang diperlukan Pakuan untuk memasuki dan memperkuat dayo (ibukota) tersebut.
Tentu ada berbagai cara untuk mencegah mereka. Salah satu di antaranya dan merupakan
pilihan terakhir adalah membunuh mereka.
"Hati-hati, orang-orang yang diundang Pakuan adalah orang-orang digjaya. Tugas yang akan
engkau kerjakan ini tentu berat," tutur Pangeran Yudakara.
Sesudah memberikan beberapa petunjuk, seperti biasa Pangeran Yudakara pergi dari tempat
itu secara diam-diam. dia keluar lewat jendela dan meloncat ke atas wuwungan.
*** Namun ternyata rencana untuk melakukan perjalanan ke wilayah timur seperti apa yang
direncanakan Raden Banyak Angga tidak bisa dilaksanakan secara cepat. Pragola
mendapatkan kabar bahwa untuk melancarkan usaha itu menghadapi banyak hambatan.
Pangeran Yogascitra sebagai penasehat Raja, ternyata malah mendapat teguran dari Sang
Prabu Nilakendra. Entah siapa yang melaporkan, yang jelas Sang Prabu akhirnya
mengetahuinya bahwa telah berlangsung sebuah perundingan rahasia tanpa mengikutsertakan
dirinya. Namun pada prinsipnya, raja ini setuju bahwa pajajaran harus kuat.
"Tapi kekuatan negara hanya menitikberatkan pada kekuatan militer hanya melahirkan
pertumpahan darah belaka. Yang merasa kuat dalam militer, cenderung selalu melakukan
peperangan. Karena punya kekuatan militer, kadang-kadang kita selalu ikut campur kepada
urusan orang lain. Atau mungkin selalu punya ambisi untuk menundukan orang lain. Jangan
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 44
samakan saya dengan ayahanda Ratu Sakti atau pun dengan kakek buyut Sang Surawisesa.
Saya tidak berambisi untuk menaklukan orang lain, apalagi berupaya merebut mengaruh dan
kekuasaannya," tutur Sang Prabu Nilakendra.
"Namun Paduka, negara memperkuat militer bukan berarti kita harus punya ambisi dalam
melakukan peperangan. Militer pun bisa berguna dalam mempersatukan persatuan bangsa.
Bangsa yang merasa aman dan terlindungi akan memiliki ketentraman hidup. Pihak negara
lain pun akan merasa segan untuk mengganggu. Barangkali juga mereka akan merasa takut
karena kekuatan kita. Itulah sebabnya, saya selalu mengajukan usul-usul seperti itu," tutur
Pangeran Yogascitra. "Pembangunan kekuatan militer secara besar-besaran tentu memerlukan dana besar. Tegakah
kita mengganggu kesejahteraan rakyat dengan memungut pajak-pajak tinggi hanya untuk
menbangun kehidupan militer" Rakyat sudah cukup berat. Sesudah tujuh pelabuhan penting
milik kita dikuasai musuh, mata pencaharian rakyat hanya tertumpu kepada pertanian semata.
Kalau pun ada kehidupan perdagangan, hanya terbatas di antara mereka saja, tak seperti masa
puluhan tahun silam, dimana Pajajaran bisa melakukan perdagangan antarnegara. Ini
menyebabkan keuangan negara terbatas, begitu pun penghasila rkyat. Jadi, betapa kejamnya
kita, bila memaksakan kehendak memperkuat militer yang butuh dana tinggi sambil
menyengsarakan rakyat," tutur Raja.
Pertemuan antar Raja dan penasihat ini, di mata Pragola hanya menimbulkan kesan bahwa di
antara pejabat Pakuan sebenarnya sudah tak ada persatuan lagi. Perundingan rahasia di puri
Yogascitra yang belakangan diketahui Raja, hanya membuktikan bahwa sudah tak ada
kesatuan pendapat lagi di antara mereka. Barangkali masih banyak pejabat yang masa
pendiriannya dengan Pangeran Yogascitra. Tapi yang tak setuju dengan gagasan pangeran itu
pun ternyata ada. Dan kesimpulan dari semua ini, hanya menerangkan bahwa Pajajaran sudah kian melemah
juga. Inilah saatnya Pajajaran sudah kian melemah juga. Inilah saatnya pajajaran dihancurkan.
Inilah saatnya Dayo Pakuan diserang. Tapi siapakah yang harus menyerang, Cirebon ataukah
Banten" Berpikir sampai di sini, Pragola sendiri bingung. Apa yang diketahuinya malam itu, di mana
ada pertikaian kecil antara Pangeran Yudakara dan lelaki asing dari wilayah Banten tersebut,
hanya menandakan telah terjadi semacam persaingan di antara mereka dalam menentukan
siapa yang paling mampu menundukan Pajajaran. dan Pragola merasa khawatir, sebab malam
itu nampaknya Pangeran Yudakara amat terpukul. Bukan saja terpukul karena malam itu dia
dikalahkan lelaki asing tersebut, tapi juga terpukul karena kenyataan ini. Banten memang
lebih kuat dari Cirebon. Lantas bila benar begitu kenyataannya, mau apa Pangeran Yudakara"
Mengapa pula ada semacam persaingan di antara mereka padahal setahunya, antara Banten
dan Cirebon tak pernah ada pertikaian. Kalau memang begitu, pertikaian siapakah ini"
Ingatan Pragola kembali mengulang perjalanannya dari mulai awal hingga dia tiba di pusat
Kerajaan Pajajaran ini. Perjalanannya terlalu jauh. Padahal kalau dia pikir, sebetulnya urusannya sederhana saja,
yaitu ingin berupaya membalas dendam akan kematian ayah-bunda dan gurunya. Kedua orang
tuanya mati karena sakit-sakitan setelah kehilangan anak pertama karena peperangan.
Sebelum dia dilahirkan de dunia, orang tuanya punya anak tunggal, laki-laki usia tiga atau
empat tahun. Datanglah bencana peperangan.
Kacutakan Waringin diserbu prajurit Pajajaran karena menolak membayar seba (pajak
Tahunan). Cutak (setingkat camat) Wirajaya yaitu ayahanda Pragola, merasa punya alasan
untuk menolak permintaan seba dari Pakuan sebab Karatuan Talaga, di mana kacutakan itu
berada, sudah lama masuk wilayah Cirebon. Akan halnya para petugas muhara (penarik
pajak) dari Pakuan masih juga mencoba menarik pajak, karena Kacutakan Waringin letaknya
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 45
ada di perbatasan dan lebih dekat kepada wilayah Pajajaran ketimbang ke pusat kekuasaan
Cirebon atau pun ke Talaga. Di saat-saat keuangan Pakuan makin menipis, Sang Mangabatan
Ratu Sakti, penguasa Pakuan ketika itu mencoba mearik pajak kepada wilayah-wilayah yang
masih bisa diambil pajaknya. Banyaknya wilayah Pakuan berpaling ke Cirebon dan
meninggalkan kewajiban membayar pajak. Ini merupakan kerugian bagi Pakuan. Itulah
sebabnya, wilayah-wilayah yang berani mati bergabung dengan Cirebon, tapi yang
sebenarnya kedudukan mereka lebih dekat ke wilayah Pakuan ketimbang ke Cirebon, oleh
pihak Pakuan ditekan. Bagi yang membangkang tak ada pilihan lain kecuali digempur oleh
prajurit Pakuan. Itulah yang terjadi kepada Kacutakan Waringin. Waringin yang sebagian besar penduduknya
sudah berganti memeluk agama baru yang disebarkan oleh Cirebon, diserbu Prajurit Pakuan.
Banyak terjadi korban jiwa dalam pertempuran yang tak seimbang ini. dalam kancah
pertempuran ini, Cutak Wirajaya dan istrinya berhasil menyelamatkan diri, akan tetapi putra
tunggalnya yang masih bocah hilang entah ke mana. Banyak penduduk mengabarkan, anak itu
ada di tengah kancah pertempuran. Dia tengah bermain di saat prajurit Pajajaran datang
menyerbu. Dan ketika anak itu hendak pulang ke rumah, di tengah jalan terjebak
pertempuran. Semua orang menduga anak itu kemungkinan ikut tewas. Namun ketika
diadakan pemeriksaan di bekas reruntuk pertempuran, tidak diketemukan mayat bocah lakilaki.
Tapi mati atau pun tidak anak itu, yang jelas, kedua orang tuanya tidak berhasil
mendapakannya kembali. Bocah itu hilang tak terbekas dan telah membuat kesedihan yang
sangat. Semenjak saat itulah Cutak Wirajaya selalu sakit-sakitan, begitu pun istrinya. Ketika istrinya
mengandung anak kedua juga dalam keadaan sakit-sakitan, begitu pun di saat melahirkan
seorang bayi laki-laki yang kelak bernama Pragola. Sedangkan Cutak Wirajaya meninggal
satu tahun kemudian. "Ayahandamu meninggal karena jiwanya tertekan. Sebagai cutak dia tak sanggup
menyelamatkan rakyatnya. Belum pulih rasa penderitaannya karena serangan orang Pakuan,
sudah ditimpa kemalangan lagi karena kematian istri yang tercintanya," tutur Ki Guru
Sudireja lagi. Puluhan tahun sejak peristiwa itu, bocah yang hilang bernama Ginggi tak pernah
dipermasalahkan lagi, kecuali dendam yang berlarut-larut. Pragola misalnya, secara tidak
disadarinya telah memendam dendam berat kepada orang-orang Pajajaran. Kebenciannya
terhadap orang Pajajaran karena membuat penderitaan kepada keluarganya belumlah terobati.
Belakangan dendam bertambah besar ketika gurunya sendiri menjadi korban pertempuran
melawan prajurit Pakuan. Semakin membara api yang ada di dada pemuda itu. Dan api tak mungkin padam sebelum
dendam terbalaskan. Untunglah Paman Manggala telah mendekatkan Pragola kepada Pangeran Yudakara. Pemuda
itu seperti aliran air yang mendapatkan salurannya. Paman Manggala mengabarkan bahwa
untuk menuju sukses dalam melakukan perlawanan kepada orang-orang Pajajaran haruslah
bergabung dengan Pangeran Yudakara, sebab pangeran calon penguasa Kabupatian
Sagaraherang ini akan bekerja untuk kepentingan Cirebon dalam upaya untuk meruntuhkan
kerajaan agama lama bernama Pajajaran itu.
Tapi begitulah yang terjadi. Mengikuti rencana Pangeran Yudakara rasanya bertele-tele. Dia
tak boleh bertindak semaunya kecuali atas perintah dan sepengetahuan Pangeran Yudakara.
Lebih bertele-tele dari itu, Pangeran Yudakara ternyata punya rencana besar yang tidak
pernah terpikirkan kepentingannya, terutama untuk Pragola. Pemuda ini memang benci orangorang
Pajajaran tapi tak pernah terpikir untuk menghancurkan atau merebut negri itu. Rasanya
pekerjaan tersebut terlalu besar dan akan makan waktu lama. Yang ingin dia kerjakan
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 46
hanyalah mencari biang keladi kerusuhan, terutama yang menyangkut kampung halamannya.
Pragola pernah melakukan penyelidikan, peristiwa penyerbuan orang-orang Pajajaran pada
puluhan tahun silam ke Waringin berlangsung amat tidak terpimpin. Menurut berita yang
sampai, penyerbuan itu tidak dilengkapi perintah langsung dari Pakuan, melainkan hanya
kehendak dari penguasa yang diserahi tugas menarik pajak. Itulah sebabnya untuk bisa
mengumpulkan pajak, mereka main tekan dan main serbu kepada yang membangkang.
Bertolak dari keterangan ini, Pragola hanya akan mencari mereka yang terlibat saja, kalau hal
ini memang memungkinkan. Pragola juga tadinya hanya akan mencoba mencari siapa-siapa
saja perwira Pakuan yang melakukan pengeroyokan sehingga menewaskan Sudireja, gurunya.
Barangkali ksatria bernama Ginggi akan dimasukkan sebagai musuh yang harus dilawan,
mengingat orang ini ada kaitannya walau secara tidak langsung.
Sepuluh tahun silam Ki Sudireja ikut bergabung menyerang Pakuan. Namun usaha ini gagal
karena Pakuan banyak dikawal orang pandai. Salah satu di antaranya adalah Ksatria Ginggi.
Ki Sudireja melarikan diri namun terus dikejar hingga akhirnya terjebak ke tengah kepungan
para perwira Pakuan. Dalam pertempuran tidak seimbang. Ki Sudireja tewas. Pragola
mengelompokkan Ksatria Ginggi sebagai musuhnya, sebab secara tidak langsung lelaki itu
ikut menggagalkan perjuangan Ki Sudireja.
Namun, begitulah yang dipikirkan Pragola. Sebenarnya dia kurang tertarik untuk terjun ke
urusan akal-akalan (politik). Menurutnya, perjuangan Pangeran Yudakara adalah perjuangan
politik. Salah satu pihak ingin menguasai pihak lainnya. Dalam hal ini, Cirebon ingin
menguasai Pakuan. Peperangan yang diakibatkan oleh pertentangan politik selalu berakibat
fatal terhadap kelangsungan hidup rakyat. Hancurnya penduduk Kacutakan Waringin pada
puluhan tahun silam sebetulnya adalah korban dari permainan politik juga. Wilayah Waringin
diperebutkan oleh Cirebon dan Pakuan sehingga timbul pertempuran. Padahal bagi rakyat
yang tidak tahu apa-apa, ikut ke mana sebetulnya sama saja.
Permainan politik juga suka mengacaukan arti kebersamaan. Pragola mendapatkan contoh ini
dari hasil pertemuan antara Pangeran Yudakara dengan lelaki asing di puri Yudakara tempo
hari. Sudah jelas antara Cirebon dan Banten tak punya permasalahan. Namun dari percakapan
kedua orang itu, ternyata telah tercipta semacam persaingan dalam memperlihatkan citra dan
kualitas pribadi masing-masing. Bila melihat sepak-terjang Pangeran Yudakara yang mencoba
meneliti dan mencari kelemahan Pakuan, ada kecenderungan Cirebon berniat mengganggu
dan menyerang Pakuan. Namun nyatanya niat ini pun dipegang Banten. Bahkan dengan
pongahnya, lelaki yang diduga datang dari wilayah Banten itu mengatakan, hanya Bantenlah
yang sanggup menyerbu dan menduduki Pakuan dan bukannya Cirebon yang dikatakan sudah
lemah. Pragola gundah dengan jalan pikirannya ini. Akan dilanjutkankah pengabdiannya kepada
Pangeran Yudakara" Kalau dia melepaskan diri, bisakah dia bergerak sendiri" Pragola ingat
pula, dia bisa menyelundup ke Pakuan karena jasa Pangeran Yudakara juga. Kalau bergerak
sendiri, belum tentu bisa masuk ke Pakuan, terlebih-lebih untuk bisa memasuki puri
Yogascitra. Padahal dia menilai, penelusurannya dalam upaya mendekatkan diri kepada
musuh-musuhnya bisa dilakukan lewat pintu puri Yogascitra ini.
"Aku masih perlu bergabung dengan Pangeran Yudakara?" pikirnya kemudian.
Berpikir sampai di sini, akhirnya Pragola mengembalikan lagi rencana semula. Dia akan tetap
mengikuti apa perintah pangeran itu.
Entah kapan akan melakukan perjalanan kembali ke wilayah timur. Namun selama berada di
Pakuan ini, di samping bertindak atas komando Pangeran Yudakara, Pragola pun akan
bergerak berdasarkan naluri sendiri, naluri untuk mendapatkan musuh-musuhnya.
*** Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 47
Tidak terasa satu tahun telah berlalu. Selama itu tidak ada peristiwa penting yang ada
kaitannya dengan urusan penyerbuan ke Pakuan. Perwira Goparana dan Jayasasana tetap
berdiam di istana, bertindak sebagai pengawal Raja. Dalam satu tahun ini, hanya tiga kali
melakukan pertemuan rahasia secara bersama-sama, sedang biasanya, yang menemui Pragola
hanyalah Pangeran Yudakara.
Namun selama satu tahun berada di Pakuan, sebenarnya Pragola telah banyak mendapatkan
hal-hal penting yang perlu dicatatnya. Catatan ini telah melahirkan penilaian dan pandangan
terhadap keberadaan Pakuan pada kurun waktu belakangan ini. Benar seperti yang dikatakan
orang, bahwa penguasa Pakuan yang sekarang seperti kurang berambisi mengembalikan
Pajajaran ke zaman keemasan. Ada semacam frustasi yang melanda negri ini. Sebagian rakyat
seperti menderita kekecewaan berat melihat keadaan. Di setiap obrolan baik secara
tersembunyi mau pun terang-terangan, banyak orang mengatakan bahwa zaman keemasan
Pajajaran telah sirna. Kaum prepantun selalu melantunkan lagu duka. Bila pun mereka
bertutur perihal kebesaran, itu adalah kebesaran masa silam. Para orang tua banyak


Kunanti Di Gerbang Pakuan Karya Aa Merdeka Permana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

memaparkan kebesaran Sang Prabu Ratu Jaya Dewata atau Sri Baduga Maharaja (1482-1521)
karena keberhasilannya membangun Pakuan sehingga di bawah kepemimpinannya rakyat
sejahtera. Mereka membesar-besarkan keberadaan masa lalu mungkin karena rindu akan
zaman yang tak kembali, atau juga disodorkan sebagai cemoohan kepada keadaan masa kini.
Di anrata sesama pejabat terjadi saling salah-menyalahkan. Mereka lebih banyak
membicarakan mengenai kelemahan orang lain ketimbang berupaya mengubah keadaan.
Akibat dari kemelut di antara sesamanya, maka tujuan utama untuk mensejahterakan rakyat
tidak pernah berhasil. Para pandita hanya menghabiskan waktunya di kuil. Mereka berupaya
untuk tidak melakukan kesalahan dan kerjanya mensucikan diri di tempat terpencil tanpa
melirik kiri-kanan, tanpa ingin yahu apakah orang lain hidupnya benar atau tidak. Tak peduli
orang lain berlaku salah, yang penting dirinya benar. Itulah sebabnya, kendati mereka hafal isi
kitab Darma Siksa. Siksa Kandang Karesian, Pasuk Tapa, Mahapawitra, Siksa Guru, Dasa
Sila, Jagad Upadrawa dan berbagai ajaran moral lainnya, kesemuanya hanya untuk santapan
mereka saja. Orang lain, rakyat misalnya, terserah mereka mau apa, barangkali sikap ini
dilakukan karena di saat-saat gencarnya penyebaran agama baru, kebijaksanaan Raja sejak
turun-temurun tak pernah berubah. Mereka tidak melarang atau tidak memaksakan kehendak
kepada rakyat dalam menentukan kepercayaan.
Raja Pajajaran hanteu nyaram
somah milih agama anu eudeuk dipilih pi"eun salajuna hirup
anu dicaram soteh palah-pilih teu puguh pilih
mimiti milih agama ieu laju milih agama itu laju bosen " milih deui
( Raja Pajajaran tak melarang
rakyat memilih agama yang mesti dipilih untuk kelancaran hidup yang memang dilarang terlalu banyak memilih dan asal memilih
mula-mula meilih satu agama
kemudian memilih agama yang lain lagi
sesudah bosan"memilih yang baru lagi !)
Kaum pendeta membiarkan ke mana rakyat mau memilih. Yang setia kepada agama lama,
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 48
mereka mempertahankan kesetiaannya tanpa diperintah. Yang tertarik kepada agama baru
mereka pun pindah agama tanpa kesulitan. Namun karena kebebasan yang diberikan ini,
banyak rakyat akhirnya bimbang tidak ikut ke mana-mana. Jadilah mereka orang frustasi
sebab hidup tanpa pegangan. Hidup tak beraturan menyebabkan kesejahteraan pun tak terurus.
Ada orang yang pandai dan memanfaatkan kepandaiannya untuk diri sendiri sambil
merugikan orang lain. Tanpa pegangan hidup yang benar, mereka menjadi orang serakah. Tak
terkecuali kaum pedagang atau pun petani.
Wong huma darpa mamangan tan igar yan tan pepelakan
( Kaum petani menjadi serakah
tidak merasa senang bila tidak bertanam sesuatu )
Petani sudah mengubah sikap. Bila dulu mereka bertani hanya untuk bertahan sekadar tidak
lapar atau tidak perlu meminta kepada orang lain, kini malah berupaya memperkaya diri
sebesar-besarnya. Sikap serakah ini terjadi setelah mereka melihat banyak orang menderita
sengsara karena kebodohannya.
Ngajadikeun gaga sawah tikap ulah sangsara jaga rang nyieun kebon tihap malah ngundeur ka huma beet
ka huma laga sakalih hama na beunang urang laku sadu
cocobana tihap malah hasil
mulah tihap muksur pakarang ulah tihap nginjeum
simbut cawet malah kasaratan
hakan inim ulah kakurangan
anak-ewe pituturan sugan dipajar durpala siksa
( Membuta sawah ladang agar tidak sengsara membuat kebun agar tidak terpaksa
meminta ke ladang umum ternak agar tidak membeli
perkakas agar tidak meminjam
pakaian agar tidak cumpang-camping
makan-minum jangan kekurangan
anak-istri beri nasihat agar tidak dikatakan buta aturan )
Ini adalah ajaran moral bagian dari Siksa Kandang Karesian, filsafat orang Pajajaran yang
disusun pada zaman Sri Baduga maharaja ( 1462-1521 M).
Ajaran semacam ini hanya gencar dilakukan kaum pendeta di dalam kuil saja. Sedangkan
rakyat yang jauh dari kuil cenderung sudah tak menjabarkannya dalam kehidupan sehari-hari.
Perubahan sikap ini bukan terjadi karena orang berganti agama, melainkan karena sikap
frustasi melihat keadaan negara saja.
Ajaran agama lama hanya teguh dilantunkan di seputar istana saja. Ini terjadi karena sikap
Raja yang mencoba tetap bersetia kepada agama karuhun (nenek moyang). Raja bahkan
bertekad, kalau pun benar Pakuan diancam musuh, maka kehadiran mereka hanya akan
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 49
dilayani oleh kekuatan dan keyakinan akan agama karuhun. Selama berada di Pakuan, Pragola
menyimak, betapa berbagai mantera dan jampi-jampi menjadi santapan sehari-hari kaum
pendeta termasuk juga Raja. Mereka rupanya percaya, mantera punya kekuatan hebat dalam
menangkal marabahaya. Pragola memuji sikap Raja yang tetap mempertahankan agama lamanya. Sebab memang pada
hematnya, begitulah yang namanya keyakinan. Tidaklah mudah berganti agama, kecuali tanpa
keyakinan kepada agama sebelumnya. Pragola juga berpendapat, Raja yang baik adalah Raja
yang cinta kepada keyakinannya. Namun yang Pragola tak suka kepada penguasa Pakuan ini,
dia tidak mempertahankan keberadaannya secara seimbang. Adalah tidak seimbang bila
dalam memcoba mempertahankan negara, raja hanya bersunyi-sunyi di kuil bersama para
pendeta. Memimpin negara ada di dunia nyata dan hanya bisa dikerjakan dengan kerja
lahiriah, bukan seperti yang dilakukan Sang Prabu Nilakendra ini.
Namun tentu saja, ini adalah jalan pikiran Pragola secara pribadi saja. Sedangkan bila dia
berpikir untuk kepentingan politik, sikap-sikap yang tengah berlangsung di Pakuan sangatlah
menguntungkan misinya. Tentu Pangeran Yudakara gembira melihat keadaan di Pakuan ini.
Barangkali karena hal-hal inilah Pangeran Yudakara, Perwira Goparana atau pun Perwira
Jayasasana, tidak melakukan pergerakan secara berlebihan. Mungkin segalanya akan
dibiarkan berlangsung sejauh mana suasana terjadi. Bila keadaan seperti itu teru berlarut,
hanya punya arti Pakuan kian hari kian melemah. Dan ini semakin menguntungkan bagi
kelancaran misi. Barangkali penyerbuan ke Pakuan akan dilakukan sesudah keadaan di
Pakuan benar-benar parah karena keropos sendiri. Begitu yang diperkirakan Pragola.
Bahkan ketika rencana melakukan perjalanan ke wilayah timur semakin berlarut-larut kapan
akan dilakukan, Pragola tidak peduli. Berangkat atau tidak, tokh tujuannya sama, yaitu
melihat Pakuan menuju ke keruntuhan.
*** Rencana perjalanan ke wilayah timur beberapa kali ditangguhkan. Selain karena Raja kurang
setuju, juga Pakuan sendiri sibuk dengan kemelutnya. Ternyata kelemahan yang terjadi di
pusat pemerintahan ini menyebabkan terjadinya kekacauan yang dilakukan wilayah-wilayah
yang di bawah Pakuan. Semakin banyak wilayah yang ingin memisahkan diri dari Pakuan.
Mereka ingin berpaling dari Pakuan, bukan saja akaren tergoda untuk tergabung dengan
kekuatan agama baru, melainkan juga karena sebal terhadap sikap-sikap lemah Raja. Mereka
menganggap sudah tak ada manfaatnya lagi berada di bawah naungan Pakuan sebab segala
kepentingan dan kesejahteraan rakyat sudah tak terpenuhi, sedangkan di lain pihak Pakuan
tetap menarik seba kepada rakyat.
Sampai tahun kedua Pragola tinggal di Pakuan, orang-orang Pakuan sibuk memadamkan
berbagai pemberontakan kecil yang ada di beberapa wilayah. Lucunya, karena Pragola di
Pakuan bertindak sebagai "prajurit", maka beberapa kali dia pun ikut dikirim ke daerah
pertempuran sebagai anggota pasukan di bawah pimpinan Banyak Angga. Dia ikut
"berperang" sebab Pangeran Yudakara pun setuju dia "ikut". Hanya tentu saja setiap kali
Pragola terlibat dalam peperangan, dia tak pernah bertempur sungguh-sungguh. Dia tak punya
kepentingan untuk membunuh lawan, sebab pada hematnya, lawan yang dihadapi orang-orang
Pakuan sebetulnya merupakan "kawan" untuk dirinya.
Menyerbu dan memerangi daerah-daerah yang ingin memisahkan diri adalah sesuatu hal yang
tak disukai Sang Prabu Nilakendra. Kata Raja ini, memerangi negara-negara yang ada di
Pajajaran, selain menghamburkan dana, membuat kesengsaraan kepada rakyat, juga harus
memupuk rasa benci orang-orang yang ditaklukkan. Tapi bagaimana pula akalnya agar
wilayah-wilayah itu tetap bergabung dengan Pakuan sambil tak ada paksaan" Itulah
kesulitannya. Dan kebijaksanaan Raja ini dianggap oleh kalangan pejabat istana sebagai suatu
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 50
sikap-sikap lemah. Selama dua tahun lebih Pragola tinggal di Pakuan, nampak terjadinya
kekurangpuasan di antara pejabat. Mereka khawatir, sikap Raja seperti ini hanya akan
membuat negara lemah dan akhirnya menjadi bulan-bulanan lawan. Oleh sebab itulah pada
tahun ketika di mana Pragola berada di sana, para pejabat seolah bersatu dalam memiliki
tekad, yaitu mempertahankan Pakuan sambil tidak terlalu melibatkan kebijakan Raja.
Kembali para pejabat mengadakan pertemuan rahasia. Tujuannya lebih mengukuhkan tujuan
semula, yaitu berusaha menghimpun orang-orang pandai yang sebenarnya masih bertebaran di
seantero Pajajaran. Pada umumnya mereka mendesak agar secara diam-diam Pakuan mengirimkan sepasukan
perwira tangguh untuk membebaskan rekan-rekannya yang menurut "laporan" Pragola
convert txt : http://www.mardias.mywapblog.com
terjebak di Puncak Cakrabuana oleh pasukan Cirebon.
"Yang terjebak di sana adalah perwira-perwira tangguh. Selama mereka di sana, kita telah
banyak kehilangan, membuat negara dalam keadaan lemah. jadi, apa pun terjadi, kita harus
menolong mereka. Menolong karena negara harus bertanggung jawab, tapi juga karena negara
membutuhkan mereka," tutur para pejabat.
Pragola merasa bahwa sebentar lagi dia pasti akan diajak melakukan perjalanan ke wilayah
timur seperti apa yang sudah dijanjikan pada tiga tahun berselang.
*** Benar saja apa yang diperkirakan Pragola, bahwa pada akhirnya rencana melakukan
perjalanan ke wilayh timur akan dilaksanakan. Banyak Angga mengabarkan bahwa Pragola
haurs mempersiapkan sesuatu sebab minggu depan perjalanan panjang akan dimulai.
Pada tiga hari sebelum rencana keberangkatan dilakukan, Pangeran Yudakara
menghubunginya lagi. Pangeran ini mengingatkannya kembali apa yang menjadi tujuannya.
"Orang Pakuan mengajakmu karena butuh engkau sebagai pemandu di jalan. Namun
sebetulnya kitalah yang mendompleng pada mereka. Mereka sebenarnya tengah membantu
kita untuk mengumpulkan orang-orang yang harus kita lenyapkan," tutur Pangeran Yudakara.
"Pasukan yang akan membantumu telah kusiapkan di sana," lanjutnya lagi.
Pragola tidak banyk meminta petunjuk dan pengarahan, sebab rencana seperti ini sebenarnya
telah diketahui hampir tiga tahun yang lalu. Hanya saja pemuda ini mendapat kenyataan
bahwa Cirebon tetap dengan keputusannya yaitu hendak mengambil inisiatif melumpuhkan
Pakuan kendati Banten telah melarangnya.
Ingin sekali pragola bertanya perihal ini. Tapi pertemuan Pangeran Yudakara dengan orang
dari Banten pada tiga tahun berselang itu tentu amat dirahasiakan, sebab selama ini Pangeran
Yudakara tidak pernah membicarakannya, termasuk kepada Perwira Goparana dan
Jayasasana. Sampai jauh malam Pragola masih berpikir tentang ini. Kalau memang Cirebon relatif lemah
seperti apa kata orang Banten, mengapa pihak Cirebon seperti memaksakan kehendak untuk
tetpa menyerbu Pakuan" Tidakkah tindakan ini hanya akan merepotkannya saja" Berdasarkan
pengetahuan yang didapat Pragola, sejak kebangkitannya, Cirebon sebenarnya selalu
didukung Demak. Hanya karena bantuan Demak maka Cirebon bisa melepaskan diri dar
Pakuan. Begitu pun ketika Cirebon menyerang Banten untuk membebaskan wilayah itu dari
kekuasaan Pakuan, Demaklah yang memberinya kekuatan.
Tapi sekarang Demak telah begitu lemah karena didera berbagai pertentangan dan perebutan
kekuasaan, sehingga otomatis cirebon sudah tidak bisa mengandalkan kekuatan Demak dalam
urusan kemiliteran. Apakah Cirebon kini sudah memiliki keprcayaan diri untuk melakukan
rencana-rencana besar"
Pragola tak sanggup memikirkannya, sebab pada hematnya dia bukanlah sebagai seorang
negarawan. Hanya karena seringnya bertemu dengan kaum bangsawan saja pemuda ini tahu
situasi politik. Itu pun tidak mengetahuinya secara mendetail. Kata Paman Manggala pun,
politik itu sulit diduga. Apa yang ada dipermukaan belum tentu menggambarkan isi
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 51
keseluruhan. Bahwa Cirebon lemah, mungkin hanya perkiraan orang saja, sebab kalau benarbenar
negara itu tidak memiliki kepercayaan diri, tak nanti akan melakukan rencana dalam
upaya melumpuhkan Pakuan. Atau, benar-benarkan sebetulnya Cirebon lemah dan tak
sanggup melakukan apa yang menjadi rencananya" Mungkinkah rencana-rencana yang
dilakukan Pangeran Yudakara itu sebetulnya hanya gertak sambal belaka" Menggertak siapa"
Mungkin menggertak siapa saja yang punya anggapan bahwa Cirebon sudah lemah. Pragola
menggaruk-garuk kepalanya bila memikirkan hal ini. Dia tak tahu tujuan "tujuan Cirebon
yang sebenarnya. Atau katakanlah, dia tak tahu jelas yang menjadi perjuangan Pangeran
Yudakara. Namun yang pasti, ini telah menyeretnya kepada hal-hal yang membuat dirinya
ruewt. Sadar atua tidak, nyatanya tujuannya yang lebih bersifat pribadi telah tertumpuk oleh
tujuan yang lebih besar, yaitu permasalahan negara.
*** Pada esok harinya ketika Pragola mencongklang naik kuda di sebuah jalan berbalay,
berpapasan dengan sebuah rombongan. Rombongan itu terdiri dari sepuluh prajurit yang
berjalan mengawal sebuah jampana (tandu). Di atasnya duduk seorang wanita usia sekitar
tigapuluh tahun. Wanita itu nampak anggun dengan pakaiannya yang serba gemerlap.
Rambutnya hitam berombak, terjurai begitu saja di belakang punggungnya. Kain kebayanya
terbuat dari satin halus buatan negri Parasi dengan ornamen warna emas pada ujungujungnya.
Bila melihat rambutnya yang tergerai, Pragola hanya membayangkan seorang gadis
belia sebab di Pakuan itu hanya gadis-gadis belia dan perawan yang selalu membiarkan
rambutnya begitu saja diterpa hembusan angin. Namun pemuda itu mengakui, wanita ini
masih memiliki kecantikan yang amat memukau. Hidungnya kecil mancung, mulutnya
mungil merah merona dan bulu matanya lentik melengkung.
Pragola meminggirkan kudanya ketika rombongan itu lewat. Dia sadar harus memberi hormat
sebab wanita itu tentu bukan dari keluarga sembarangan. Mana mungkin wanita biasa duduk
dikawal di atas jampana kayu jati berukir indah" Tentu dia adalah wanita bangsawan yang
kedudukannya amat penting.
"Berhenti?" kata wanita itu menyuruh berhenti kepada keempat orang pengusung jampana.
Mereka berhenti tepat di mana Pragola meminggirkan kuda.
"Serasa aku pernah melihat wajahmu, anak muda?" tutur wanita itu melirik kepada Pragola.
Pemuda itu berdegup jantungnya sebab sorot wanita itu begitu tajam.
"Engkau tentu prajurit Pakuan. Tapi aku tak tahu engkau bertugas sebagai apa serta di bawah
perwira siapa?" tanya wanita anggun ini, menatap dan tersenyum manis.
"Dia adalah anak buah Raden Banyak Angga, Juragan," kata seorang pengawal. Menipis
sunggingan bibir wanita itu demi mendengar penjelasan ini. Prgola sendiri heran, mengapa
wanita jelita ini menghentikan senyumannya, padahal dia ingi sedikit berlama-lama
menikmati senyuman bak bunga merebak ini.
"Anak buah Banyak Angga?" desisi wanita itu masih menatap tajam Pragola. Merenung
sejenak, kemudian senyumnya kembali muncul membuat matahari di hati Pragola cerah
kembali. "Melihat tampangmu, serasa dunia kembali ke belasan tahun silam. Dulu pun Banyak Angga
punya pembantu. Dan engkau mengingatkanku pada pembantu lama Banyak Angga?" tutur
wanita itu masih senyum."Tapi sudahlah," ujarnya, "Itu masa lalu, sesuatu yang tak mungkin
terulang lagi," Wanita itu memberi tanda agar perjalannya segera dilanjutkan. Namun beberap atindak
kemudian dia sudah menyuruh orang-orangnya untuk berhenti kembali.
"Undanglah anak muda itu agar datang ke puriku?" ujar wanita itu.
"Hari ini, Juragan?" tanya pengawal.
"Hari ini?" Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 52
"Anak muda, siapa namamu?" tanya pengawal.
"Pragola?" "Engkau diundang ke puri Layang Kingkin. Juragan adalah pemiliknya. Dialah Nyi Mas
Layang Kingkin," kata pengawal.
Pragola hanya menatap wanita itu sebab dia tidak tahu siapa dia.
"Tundukan kepalamu, sebab Nyi Mas adalah ibu suri!" kata pengawal. Pragola baru terkejut.
Inikah bekas permesuri almarhum Prabu Ratu Sakti"
"Undanglah sore nanti. Tapi katakan padanya, tak perlu bicara pada Banyak Angga?" kata
Nyi Mas Layang Kingkin. Sesudah itu rombongan segera berlalu.
Tinggallah Pragola merenung seorang diri di atas punggung kuda. Pertemuan barusan
sungguh aneh tapi amat menarik perhatian. Aneh sekali, mengapa secara tiba-tiba wanita itu
ingin mengundang dirinya" Namun ini menimbulkan perhatian bagi dirinya. Pragol aingi
sekali mengetahui, apa maksud undangannya itu. Pemuda ini pun merasa penasaran untuk


Kunanti Di Gerbang Pakuan Karya Aa Merdeka Permana di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

datang memenuhi undangan wanita anggu itu karena baru kali inilah ada seorang wanita
menghubungi dirinya. Hingga usianya yang duapuluh ini, Pragola belum perna mengenal
wanita. Ini karena perhatiannya selama ini tersita oleh urusan-urusan yang jadi kemelut dalam
hidupnya. Pragola sudah sengsara sejak kecil. Boleh dikata dia tak pernah mengenal ayahbundanya
sebab orang tuanya meninggal di saat usianya masih kecil. Barangkali yang
bertindak sebagai orangtuanya dalah Ki Sudireja. Namun orang tua ini lebih bertindak sebagai
guru kedigjayaan ketimbang orangtua. Pendidikan yang diberikan Ki Sudireja bukan berupa
kasih-sayang, melainkan pengaruh-pengaruh kebencian terhadap orang lain. Walau pun Ki
Sudireja selalu memberi pesan agar seorang laki-laki harus bertindak ksatria, jujur dan
perwira, namun Ki Sudireja selalu mengajarkan untuk balas-dendam. Selama kecil tak ada
orang yang memanjakannya. Tidak pula oleh harta kekayaan. Kata orang, Cutak Wirajaya
cukup kaya dalam memimpin kecutakannya. Tapi ketika dia meninggal, hartanya habis
digunakan perjuangan melawan orang-orang Pakuan. Tidak ada kehidupan remaja pada
pemuda ini, sebab suasana perjuangan tidak pernah memberinya kesempatan. Bercakap-cakap
dengan wanita boleh dikata tak pernah terjadi. Selama hidupnya, Pragola hanya ikut kesnakemari
bersama Ki Sudireja yang melakukan pengembaraan sambil main sembunyi karena
selalu dikejar orang-orang Pakuan.
Itulah sebabnya, ketika datang undangan dari seorang wanita, Pragola begitu tertarik hatinya.
Karena rasa ketertarikan inilah dia akan mentaati anjuran wanita itu, yaitu datang memenuhi
undangan tanpa mengabarkan peristiwa ini kepada siapa pun termasuk Banyak Angga.
Sore hari seperti apa yang dijanjikan, Pragola pergi menuju puri Layang Kingkin. Kata orang,
puri besar dengan bangunan-bangunan megah itu dulunya bernama puri Bagus Seta sebab
pemiliknya adalah Bangsawan Bagus Seta. Pada peristiwa besar tigabelas tahun silam,
bangsawan ini diisukan terlibat persekongkolan pemberontak. Namun bangsawan ini lolos
dari pemeriksaan apalagi tindakan. Barangkali karena tidak terbukti, atau barangkali karena
segan. Bangsawan Bagus Seta adalah besan penguasa Pakuan ketika itu, yaitu Prabu Ratu Sakti.
Pengetahuan ini didapat Pragola hanya beberapa saat sebelum pemuda itu pergi. Karen aingin
tahu siapa dan apa latar belakang wanita itu, maka Pragola menyempatkan diri mengobrol
dengan seorang gulang-gulang yang ada di kesatrian. Tidak semua yang menyangkut wanita
itu diceritakan sebab gulang-gulang yang umurnya cukup tua itu pun tak begitu mengenal Nyi
Mas Layang Kingkin secara rinci.
"Tapi sebaiknya engkau tidak terlalu dekat-dekat sana," tutur gulang-gulang yang
diperkirakan berusia lima puluh tahun itu.
"Mengapa, Paman?""
"Entahlah, sejak peristiwa pemberontakan Kandagalante Sunda Sembawa tiga belas tahun
Kunanti di Gerbang Pakuan > A Merdeka Permana > published by buyankaba.com 53
silam, keluarga itu sedikit diasingkan kaum bangsawan lainnya. meNurut khabar yang aku
terima, dulu anata para pejabat istana dengna Kangjeng Prabu Ratu Sakti pernah terjadi
percekcokan karena urusan wanita yang kin mengaku sebagai ibu suri itu," kata gulanggulang
tua. "Paman maksudkan, wanita anggun itu bukan benar-benar ibu suri?" Pragola mengerutkan
dahinya. "Bukan. Nyi Mas Layang Kingkin sebetulnya hanyalah seorang selir terkasih. Walau pun
usianya paling muda di antara para selir, namun kekuasaannya melebihi yang lainnya, bahkan
hampir menyaingi permesuri sendiri. Apalagi setelah permesuri pun wafat mengikuti
Kangjeng Prabu, Nyi Mas Layang Kingkin semakin berkuasa juga. Dia hampir-hampir
bertindak sebagai ibu suri, serta pengaruhnya terhadap Sang Prabu Nilakendra hampir
merasuk kalau saja para pejabat yang lainnya tidak menghalanginya," tutur sang gulanggulang.
"Mengapa" Begitu burukkah perangai Nyi Mas Layang Kingkin, sehingga pejabat lainnya
perlu membatasinya?" tanya Pragola.
"Entahlah. Tapi begitulah adanya?" jawab gulang-gulang lagi.
"Paman, Nyi Mas Layang Kingkin belum tentu mempunyai keperluan khusus kepada saya.
Barangkali dia ingin mengenal siapa saya. Namun kendati begitu, harap Paman membantu
saya untuk tidak mengabarkan hal ini kepada siapa pun. Saya tak ingin majikan saya tahu,"
kata Pragola menatap gulang-gulang itu. Yang ditatap hanya melamun, sepertinya merasa
keberatan Pragola mengajukan permohonan ini.
"Saya bisa menduga, majikan saya akan tak senang bila mendengar saya memasuki puri
Layang Kingkin. Tapi saya hanyalah orang kecil bila dibandingkan dengan Nyi Mas layang
Kingkin. Saya di Pakuan ini hanyalah pengabdi, harus mentaati siapa pun, termasuk juga
kepada Nyi Mas Layang Kingkin," tutur Pragola. Gulang-gulang masih merenung, namun
pada akhirnya dia mengangguk juga.
"Baiklah. Tapi sekali lagi, hati-hatilah," tuturnya.
Dan Pragola jadi juga memasuki puri itu. Mulanya disambut oleh pengawal yang demikian
Si Cantik Berdarah Dingin 1 Pedang Siluman Darah 5 Hidung Belang Penghisap Darah Matahari Esok Pagi 19
^