Kekayaan Yang Menyesatkan 4
Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet Bagian 4
Ketika akhirnya ia bisa membuat Hugh sadar bahwa dirinya ingin dicium, ternyata
ciuman Hugh begitu menyenangkan, tidak seperti yang pernah dirasakan Maisie
sebelumnya. Padahal Hugh bukan pria berpengalaman, malah sebaliknya: naif dan
tidak yakin akan dirinya. Jadi, kenapa Maisie merasa senang dan menikmatinya"
Dan kenapa tiba-tiba ia menginginkan tangan Hugh meraba dadanya"
Ia tidak merasa tersiksa dengan pertanyaan ini, hanya ingin tahu. Ia sudah
senang bisa pulang bersama Hugh, di bawah gelapnya langit. Sesekali titik-titik
hujan jatuh membasahinya, tapi awan gelap itu belum menumpahkan hujan. Maisie
membayangkan alangkah nikmatnya jika Hugh mau secepatnya menciumnya lagi.
204 Mereka mencapai kawasan Kensington Grove, lalu berbelok ke kanan, menyusuri sisi
selatan taman, menuju pusat kota tempat pondokan Masie. Hugh berhenti sebentar
di depan sebuah rumah besar dengan dua lampu gas di depannya. Ia merangkul
pundak Maisie. "Ini rumah Bibi Augusta-ku," katanya. "Aku juga tinggal di situ."
Maisie merangkul pinggang Hugh sambil memandang rumah besar di depannya,
membayangkan rasanya tinggal di rumah seperti istana itu. Ia sukar membayangkan,
untuk apa kamar sebanyak itu. Bukankah cukup jika punya kamar untuk tidur, dapur
untuk memasak, dan mungkin satu kamar lain untuk tamu" Lalu apa lagi yang
dibutuhkan" Tak ada manfaatnya punya dapur dua dan dua ruang keluarga: orang
hanya bisa hadir di satu tempat pada satu waktu tertentu. Kenyataan ini
mengingatkannya pada jarak yang terbentang antara dirinya dengan Hugh terpisah
oleh lautan uang dan kemudahan hidup. Pikiran ini mengganggu benaknya. Mendadak
ia berkata, "Aku dilahirkan dalam gubuk berkamar satu."
"Di timur laut Inggris?"
"Tidak, di Rusia."
"O, ya" Nama Maisie Robinson tidak cocok untuk nama Rusia."
"Aku dilahirkan dengan nama Miriam Rabinowicz. Kami semua berganti nama ketika
tiba di Inggris." "Miriam," bisiknya lembut. "Aku senang nama itu." Ia menarik Maisie dan
menciumnya lembut. Maisie terlena oleh ciuman Hugh. Kali ini Hugh tidak ragu-
ragu lagi; ia tahu apa yang ia inginkan. Maisie membalas ciumannya dengan
antusias, seperti orang meminta segelas air sejuk di hari yang amat terik. Dan
ia berharap Hugh menyentuh dadanya lagi.
Ternyata harapannya terpenuhi. Sesaat kemudian ia merasakan salah satu tangan
Hugh mulai menjelajahi dadanya. Sesaat ia malu karena gairahnya begitu kentara,
tapi itu malah membuat Hugh makin bersemangat.
205 Tak lama kemudian ia juga ingin merasakan tubuh Hugh. Tangannya masuk ke dalam
jas Hugh dan mulai meraba punggungnya, merasakan kulit Hugh yang panas melalui
baju katun tipis yang dikenakan pemuda itu. Tingkahku seperti laki-laki saja,
pikir Maisie. Mungkinkah Hugh keberatan" Tapi ia sangat senang melakukan ini dan
tak bisa menghentikannya.
Lalu hujan mulai turun. Tidak secara bertahap, tapi sekaligus, bagai dituang dari langit. Kilat dan
geledek saling bersahutan dan air mengucur makin deras. Saat mereka berhenti
berciuman, wajah mereka sudah basah kuyup.
Hugh menggandeng tangan Maisie dan menariknya. "Mari kita berteduh sebentar di
dalam rumah." Mereka lari menyeberangi jalan. Hugh menuntunnya menuruni anak tangga, melewati
palang bertulisan PINTU MASUK PARA PEDAGANG, ke ruang bawah tanah. Tiba di depan
pintu, pakaian Maisie sudah basah kuyup semuanya. Hugh membuka pintu dengan
kunci sambil menempelkan jari ke bibir lalu menuntun Maisie masuk.
Mulanya Maisie agak ragu, ingin menanyakan apa yang ada dalam pikiran Hugh saat
ini, tapi kemudian ia melangkah maSuk.
Mereka berjingkat melalui ruang dapur yang besarnya tidak kalah dengan kapel,
menuju sebuah tangga sempit. Hugh berbisikkan di telinga Maisie, "Di atas ada
handuk kering. Kita masuk lewat tangga belakang."
Maisie mengikuti Hugh melewati tiga tangga panjang, lalu masuk ke sebuah pintu
dan muncul di sebuah ruangan. Hugh menunjuk ke sebuah kamar tidur dengan pintu
terbuka dan lampu menyala di dalamnya. Dengan pelan Hugh berkata, "Edward belum
pulang. Tidak ada orang lain yang tinggal di ruangan ini. Bibi dan Paman tidur
di kamar bawah dan para pembantu di lantai atas. Mari."
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Ia menuntun Maise ke kamar tidurnya, lalu menyalakan lampu gas. "Akan kuambilkan
handuk kering," katanya, lalu keluar dari kamar.
Maisie melepaskan topinya dan melihat ke sekeliling kamar. Ternyata kamar Hugh
kecil, dengan perabotan sederhana. Hanya ada sebuah tempat tidur kecil, lemari
rendah, lemari pakaian sederhana, dan meja kecil. Semula ia membayangkan akan
melihat sebuah kamar yang mewah, tapi ia segera ingat bahwa Hugh hanya kerabat
yang miskin, jadi sudah tentu kamarnya pun sederhana.
Ia melihat-lihat isi kamar dengan penuh minat. Ada sepasang sikat rambut perak
berinisial T.P. di gagangnya barang peninggalan almarhum ayahnya. Juga ada ?buku. Rupanya ia sedang membaca The Handbook of Good Commercial Practice. Di
meja" ada foto seorang wanita dengan anak kecil berusia sekitar enam tahun.
Maisie membuka laci meja di samping ranjang. Ada Alkitab dan sebuah buku lain di
bawahnya. Ia memindahkan Alkitab dan membaca judul buku di bawahnya: The Duchess
of Sodom. Tiba-tiba ia sadar sudah bertindak terlalu jauh, menyelidiki isi kamar
orang lain. Dengan perasaan bersalah ia cepat-cepat menutup laci meja.
Hugh kembali dengan membawa setumpuk handuk kering. Maisie mengambil satu. Masih
terasa hangatnya lipatan dari dalam laci pakaian. Dengan rasa nyaman ia
mengeringkan wajahnya. Beginilah rasanya menjadi orang kaya, pikirnya; handuk
hangat kapan saja ia membutuhkannya. Ia mulai mengeringkan kedua tangannya dan
bagian dada. "Siapa di potret itu?" tanyanya.
"Ibu dan adik perempuanku. Dia dilahirkan setelah ayahku meninggal."
"Siapa namanya?"
"Dorothy. Panggilannya Dotty. Aku sangat sayang padanya."
"Di mana mereka tinggal sekarang." "Di Folkestone, dekat laut."
Maisie bertanya-tanya apakah ia akan punya kesempatan bertemu mereka.
Hugh menarik kursi dari depan meja tulis kecil dan mempersilakan Maisie duduk.
Ia berlutut di depan gadis itu, mencopot sepatunya dan mengeringkan telapak
kakinya dengan handuk kering. Maisie memejamkan kedua matanya: usapan lembut
handuk kering di telapak kakinya memberikan rasa nyaman yang luar biasa.
Pakaiannya masih basah kuyup, dan ia mulai menggigil. Hugh melepaskan jas luar
dan sepatu botnya. Maisie tahu pakaiannya tidak bisa kering tanpa dilepaskan
lebih dahulu. Untung pakaian dalamnya cukup pan1 tas dipandang. Ia memang tidak
mengenakan knickers, karena hanya wanita kaya yang mampu membelinya. Ia hanya
memakai petticoat panjang dan chemise. Tiba-tiba ia berdiri, lalu membelakangi
Hugh dan berkata, "Maukah kau membantu melepaskan pakaianku?"
Ia merasakan jemari Hugh yang agak gemetar mencoba melepaskan kaitan gaunnya. Ia
sendiri agak gugup, tapi sekarang sudah terlambat untuk mundur. Setelah Hugh
selesai, Maisie mengucapkan terima kasih dan menanggalkan pakaiannya.
Ia lalu membalikkan tubuh.
Hugh menatap dengan ekspresi bercampur gairah. Ia berdiri terpaku seperti Ali
Baba ketika melihat harta karun di sarang penyamun. Sebenarnya Maisie hanya
ingin membuka gaunnya, mengeringkan tubuhnya yang basah dengan handuk, lalu
mengenakan kembali pakaiannya sesudah kering. Tapi sekarang ia menyadari bahwa
rencananya berubah. Dan ia merasa senang.
Maisie meletakkan kedua tangannya di pipi Hugh, menarik kepalanya ke bawah, dan
mulai menciumnya. Kali ini ia mencium dengan kedua bibir terbuka, berharap Hugh
juga melakukan hal yang sama. Semula Hugh
208 masih malu dan kaku. Maisie tahu Hugh belum pernah melakukan ciuman seperti itu.
Ia mengambil inisiatif dengan memainkan ujung lidahnya di kedua bibir Hugh. Ia
bisa merasakan Hugh mulai tergelitik, lalu memberikan respons. Napasnya makin
memburu. Sesaat kemudian Hugh menghentikan ciuman, menggapai bagian atas baju dalam
Maisie, mencoba melepasnya. Maisie juga sangat hanyut. Di dalam tubuhnya serasa
ada bola panas yang mendidih, meleleh, menyusup ke seluruh urat nadinya. Ia
ingin lebih dari itu, sekarang dan untuk seterusnya.
"Maisie," desah Hugh.
Ia memandang Hugh. "Aku ingin..." Maisie mendesah. "Aku juga."
Setelah kata-kata itu keluar, Maisie heran bagaimana ia bicara begitu. Tapi ia
tidak menyesal. Ia. memang menginginkan Hugh lebih dari siapa pun dan apa pun.
Hugh membelai rambut Maisie. "Aku belum pernah melakukan sebelumnya," katanya.
"Aku juga belum pernah."
Hugh memandangnya kaget. "Tapi kupikir kau..." Hugh berhenti.
Maisie nyaris marah, tapi bisa mengendalikan diri. Bukan salah Hugh jika ia
menganggap dirinya sudah sering melakukan hubungan intim. "Mari kita berbaring,"
ajak Maisie. Hugh mendesah senang, lalu berkata, "Kau yakin?"
"Yakinkah aku?" Ia nyaris tak percaya Hugh bertanya demikian. Selama ini belum
pernah ada pria yang menanyakan hal itu. Mereka tak peduli apa yang
dirasakannya. Ia meraih tangan Hugh dan mencium telapaknya. "Jika tadi aku masih
agak ragu, sekarang sudah tidak lagi."
Ia merebahkan diri di ranjang kecil Hugh. Kasurnya keras, tapi seprainya dan
besinya terasa dingin. Hugh menyusul di sebelahnya, lalu berkata, "Sekarang
apa?" 209 Mereka berdua tidak tahu apa yang harus dilakukan, tapi Maisie berbisik polos,
"Peluk aku." Hugh memeluknya. Terhalang pakaian dalam, Maisie tiba-tiba tak
sabar. Ia melepaskan sendiri sisa pakaiannya.
Hugh mencium wajahnya. Napasnya makin panas. Maisie tahu mestinya ia takut
hamil, tapi ia sudah lepas kendali. Ia tahu, apa yang ia inginkan selanjutnya.
Ia menempelkan kedua bibinya ke telinga Hugh dan berbisik, "Lakukanlah."
Hugh agak ragu sesaat. "Maisie," desahnya, "apakah ini mimpi?"
"Jika memang mimpi, sebaiknya jangan terbangun dulu." Tiba-tiba Hugh mulai
menggerang. Samar-samar, di luar suara erangan Hugh, ia mendengar suara pintu dibuka.
Ia begitu terbuai oleh perasaan dan dekapan Hugh, sehingga segera melupakan
suara pintu itu. Tiba-tiba sebuah suara parau dan keras memenuhi kamar, seperti sebutir batu yang
memecahkan kaca jendela. "Wah, wah, Hugh, apa yang sedang kaulakukan?"
Maisie mendadak tegang. Bertepatan dengan itu mendesah keras, lalu terkapar lemas.
Maisie ingin menangis rasanya.
Suara parau itu terdengar lagi, "Kalian anggap apa rumah ini, tempat pelacuran?"
Maisie berbisik, "Hugh... bangun."
Hugh berguling ke sisi tubuh Maisie. Segera Maisie melihat siapa pemilik suara
parau tadi. Edward sedang berdiri di pintu kamar dengan cerutu di bibirnya,
memandang tajam ke arah mereka. Cepat-cepat Hugh menyambar sehelai handuk lebar
dan menutupi tubuh Maisie. Maisie duduk tegak dan menarik hantuk itu ke
lehernya. Edward menyeringai jahat. "Hmm, kalau kau sudah selesai, sekarang giliranku."
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Hugh membalut tubuhnya dari batas pinggang ke bawah dengan .handuk. Sambil
menahan amarahnya ia berkata, "Kau sedang mabuk, Edward pergilah ke kamarmu ?sendiri, sebelum kau mengatakan sesuatu yang tak termaafkan."
Edward mengabaikan peringatan Hugh, malah mendekati ranjang. "Hmm... rupanya pacar
si Solly Greenbourne! Tapi aku tidak akan mengadu asal kau bersikap manis
padaku." Maisie tahu Edward bicara serius, dan tiba-tiba ia menggigil jijik. Ia pernah
mendengar ada pria yang baru bangkit nafsunya bila melihat wanita yang baru
bersama pria lain. "Kue berminyak", menurut istilah April. Dan ia tahu bahwa
Edward adalah tipe pria yang gemar "kue berminyak".
Hugh meledak, "Keluar dari sini, tolol!" bentaknya pada Edward.
"Ayolah," desak Edward. "Dia kan hanya pelacur murahan." Lalu dengan cepat ia
merenggut handuk pembalut tubuh Maisie.
Maisie melompat turun dari ranjang, mencoba menutupi dadanya dengan kedua
tangan. Tapi tidak diperlukan lagi. Hugh sudah melompat ke arah Edward dan
melontarkan pukulan keras ke hidungnya. Darah muncrat dan Edward berteriakan
kesakitan. Edward langsung menyerah, tapi Hugh belum puas. Ia melayangkan sebuah pukulan
lagi. Edward berteriak kesakitan campur ketakutan, menghambur ke arah pintu. Hugh
berlari mengejar, sambil menghantam bagian belakang kepala Edward. Edward mulai
berteriak kears, "Lepaskan aku, hentikan, kumohon...." Ia terjatuh di ambang
pintu. Maisie ikut lari keluar. Edward tertelungkup di lantai diduduki Hugh yang masih
terus menghajarnya. Maisie berseru, "Hugh, berhenti... cukup! Dia bisa mati!" Ia
berusaha meraih lengan Hugh, tapi percuma karena Hugh masih sangat marah dan
sukar dikendalikan. Sesaat kemudian, dari sudut matanya Maisie melihat bayangan seseorang datang
mendekat. Ia mendongak dan melihat bibi Hugh, Augusta, sudah berdiri di tangga
dalam pakaian tidur sutra hitam, melotot ke arahnya. Dalam cahaya lampu gas
sosoknya tampak seperti hantu.
Sorot mata Augusta tampak aneh. Mulanya Maisie tidak mengerti makna tatapan itu;
beberapa detik kemudian, ia baru menyadarinya dan ketakutan. . Sorot mata
Augusta membiaskan kemenangan.
[V] BEGITU melihat gadis yang telanjang itu, Augusta merasa sekaranglah saatnya
menyingkirkan Hugh untuk selamanya.
Dan ia kenal gadis itu. Si penunggang kuda yang pernah menghinanya di taman,
yang dijuluki Singa Betina. Pada waktu itu pun ia sudah menduga bahwa gadis
seperti ini akan menjerumuskan Hugh dalam kesulitan. Ada kesan pongah dan tidak
kenal takut dalam caranya menegakkan kepala serta sinar matanya. Bahkan
sekarang, dalam keadaan telanjang, ia masih bisa berdiri tegak, memandang
Augusta dengan dingin tanpa gentar sedikit pun. Padahal seharusnya ia merasa
malu. Augusta mengakui bahwa ia memiliki tubuh indah, kecil namun seksi, dengan
payudara menantang dan kaki bagus. Penampilannya begitu angkuh, hingga Augusta
merasa seperti tamu tak diundang. Tapi melalui dia, Hugh akan jatuh untuk
selamanya. Sebuah rencana mulai terbentuk di kepala Augusta,
212 tapi tiba-tiba ia menyaksikan putra tersayangnya roboh di lantai dengan wajah
berlumuran darah. Rasa kalutnya memuncak, persis seperti dua puluh tiga tahun yang lalu, ketika
putranya yang masih bayi nyaris mati. "Teddy!" ia berteriak histeris. "Apa yang
terjadi pada Teddy-ku?" Ia berlutut di samping tubuh putranya. "Bicara padaku,
Nak... bicaralah." Rasa takut yang amat sangat menyerangnya, seperti dulu, ketika
Teddy makin hari makin kurus dan dokter-dokter sudah menyerah.
Tiba-tiba Edward duduk dan mengerang kesakitan.
"Bicaralah!" pinta Augusta.
"Jangan panggil aku Teddy," kata Edward.
Rasa panik Augusta berkurang sedikit. Ternyata Teddy-nya masih sadar dan bisa
bicara. Hanya suaranya masih parau serta hidungnya tidak keruan bentuknya. "Apa
yang terjadi?" tanyanya.
"Aku menangkap basah Hugh dengan pelacur itur dan dia jadi berang," kata Edward
membela diri. Sambil mencoba menekan rasa marah dan takutnya, Augusta mengulurkan tangan,
membelai hidung putranya. Edward berteriak kesakitan, tapi tidak menepiskan
tangan ibunya. Ternyata tidak ada yang patah; pikir Augusta, mungkin hanya
bengkak. Tiba-tiba ia mendengar suara suaminya, "Ada apa ribut-ribut di sini?"
Augusta berdiri. "Hugh telah menyerang Edward," katanya.
"Apa dia baik-baik saja?"
"Ya, kukira begitu."
Joseph menatap Hugh, "Nah, Sir, apa maksudmu melakukan ini?"
"Si tolol itu yang meminta," kata Hugh tanpa gentar.
Bagus, Hugh, buat dirimu makin terjerumus, pikir Augusta. Apa pun yang
kaulakukan, jangan minta maaf. Aku ingin pamanmu makin marah padamu.
213 Kendati penasaran, perhatian Joseph terbagi antara Hugh dan tubuh polos Maisie.
Matanya tidak hanya sekali melirik gadis itu. Melihat tingkah suaminya, Augusta
mendadak merasa iri. Tapi ia bisa segera menguasai emosinya. Perasaannya kembali tenang. Tidak ada
masalah dengan keadaan Edward. Ia berpikir cepat, apa sebaiknya yang ia lakukan
untuk memanfaatkan situasi ini. Saat ini Hugh benar-benar tak berdaya: Augusta
Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bisa melakukan apa pun terhadapnya. Micky pernah memberi saran bahwa Hugh harus
dibungkam selamanya karena ia tahu terlalu banyak tentang kematian Peter
Middleton. Nah, sekaranglah saatnya untuk bertindak.
Pertama-tama, ia harus memisahkan Hugh dari gadis ini.
Beberapa pelayan sekarang ikut keluar menyaksikan apa yang terjadi pada majikan
muda mereka. Mereka kaget campur senang karena bisa ikut menikmati pemandangan
di depan kamar. Augusta melihat kepala pelayannya, Hastead, dalam pakaian tidur
sutra warna kuning bekas Joseph beberapa tahun yang lalu, dan Williams si kurir
dalam piyama bergaris-garis. "Hastead dan Williams, bantu Mr. Edward ke tempat
tidurnya?" Keduanya .segera lari mendekat dan membantu Teddy berdiri.
Lalu Augusta memberi perintah pada pengurus rumah tangganya, "Mrs. Merton,
tutupi orang itu dengan seprai atau apa saja, dan bawa dia ke kamarku untuk
berpakaian." Mrs. Merton melepaskan mantel tidurnya sendiri dan menyelimutkannya
ke bahu Maisie. Maisie merapatkan mantel itu, tapi tidak mau beranjak dari
tempatnya. Augusta memberi perintah lagi, "Hugh, pergilah ke rumah Dr. Humbold di Church
Street. Minta dia memeriksa kondisi hidung Edward yang malang."
"Saya tidak mau meninggalkan Maisie," jawab Hugh.
Augusta membentak jengkel, "Karena kau yang me-
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY nyebabkan ini semua, paling tidak kau yang harus memanggil dokter!"
Maisie berkata, "Tidak apa-apa, Hugh. Pergilah. Aku akan menunggumu di sini."
Hugh belum juga beranjak.
Mrs. Merton mengajak Maisie, "Lewat sini, silakan," sambil menunjuk ke anak
tangga belakang. "Oh, kukira kita akan pakai tangga utama," kata Maisie. Lalu ia berjalan dengan
kepala tegak dan pandangan ke depan, seperti seorang ratu, pergi ke ruang bawah.
Mrs. Merton mengikuti dari belakang.
Augusta memandang ke arah Hugh, "Hugh?"
Hugh diam saja, kelihatannya masih ragu untuk pergi. Augusta bisa merasakan ini.
Tapi, tak lama kemudian, Hugh berkata, "Baiklah, aku mau pakai sepatu dulu."
Rupanya ia tidak punya alasan yang tepat untuk menolak permintaan Augusta.
Augusta menjadi lega. Ia telah berhasil memisahkan Hugh dari wanita muda itu.
Sekarang, jika keberuntungan masih berada di pihaknya, ia akan berhasil
menentukan nasib Hugh selanjutnya.
Ia berbalik ke arah suaminya. "Mari kita bahas masalah ini di kamarmu."
Mereka pergi ke lantai bawah dan masuk ke kamar tidur Joseph. Begitu pintu kamar
tertutup, Joseph meraih tubuh istrinya dan mulai menciuminya. Augusta tahu
suaminya mengajaknya bercinta.
Ini tidak seperti biasanya. Mereka bercinta sekali atau dua kali seminggu, tapi
selalu atas inisiatif Augusta. Dialah yang akan pergi ke kamar suaminya dan naik
ke tempat tidurnya. Baginya, sudah kewajiban seorang istri untuk memuaskan
suaminya. Tapi ia senang menjadi pihak yang memegang kendali, jadi ia tidak
mengizinkan suaminya masuk ke kamarnya. Pada awal perkawinan mereka, Joseph
lebih sulit dikendalikan. Ia bersikeras mendatangi istrinya kapan saja. Untuk
beberapa lama. 215 Augusta mengalah, tapi lama-kelamaan ia bisa mengubah pola bercinta suaminya.
Lalu pernah *ada periode ketika Joseph ingin menerapkan gaya aneh-aneh, namun
Augusta dengan tegas menolak, dan akhirnya Joseph tidak lagi mengganggunya
dengan hal-hal semacam itu.
Tapi sekarang suaminya mengubah pola mereka. Augusta tahu alasannya. Suaminya
terangsang setelah melihat tubuh polos Maisie. Pikiran itu membuatnya mual, maka
ditolaknya ajakan suaminya.
Suaminya tampak kesal. Augusta ingin Joseph marah pada Hugh, bukan pada dirinya.
Jadi, ia mengelus tangannya, sambil berbisik mesra, "Nanti... sebentar lagi. Aku
akan datang ke kamarmu."
Suaminya mau mengerti. "Hugh punya sifat jelek," komentar Joseph. "Dia
mewarisinya dari ayahnya."
"Yang pasti, setelah peristiwa tadi, dia tidak bisa terus tinggal di rumah ini,"
sahut Augusta dengan nada tidak mau dibantah.
Joseph tidak menyangkal istrinya. "Ya, kau benar."
"Kau juga harus mengeluarkan dia dari bank," lanjut Augusta.
Joseph tampak tak senang, "Kuharap kau tidak ikut campur urusan bank."
"Joseph." protes Augusta, "dia telah menghinamu dengan membawa masuk seorang
gadis sembarangan." Ia memakai istilah halus untuk menyebut pelacur.
Joseph pergi ke meja tulisnya dan duduk. "Aku tahu apa yang telah dia lakukan.
Aku hanya minta kau memisahkan urusan rumah tangga dengan urusan bank."
Augusta memutuskan untuk mengalah sedikit. "Baiklah. Aku yakin kau tahu yang
terbaik." Hati suaminya selalu luluh jika istrinya mengalah secara tak terduga. "Ya,
kukira ada benarnya juga jika dia kupecat dari bank," katanya setelah merenung
se bentar. "Kurasa dia akan pulang ke rumah ibunya di Folkestone."
216 Kini giliran Augusta yang berpikir keras. Ia belum siap dengan strateginya jika
Hugh benar-benar dipecat dari bank. "Lalu, apa yang akan dia kerjakan?"
tanyanya. "Aku tidak tahu."
Augusta tiba-tiba sadar bahwa ia telah melakukan kesalahan fatal. Hugh bisa
lebih berbahaya jika menjadi penganggur, masih menyimpan dendam dann keluyuran
tak menentu. David Middleton memang belum menemuinya. Mungkin David belum
mendengar bahwa Hugh juga berada di kolam ketika adiknya, Peter Middleton,
terbunuh. Tapi cepat atau lambat, ia akan mendatangi Hugh. Augusta jadi
menyesal. Seharusnya ia berpikir sebelum membujuk suaminya untuk memecat Hugh.
Ia memaki dirinya sebagai orang tolol.
Bisakah ia mengubah pendirian suaminya"
Apa salahnya mencoba. "Mungkin kita terlalu keras pada Hugh," katanya.
Alis Joseph naik mendengar perubahan sikap istrinya yang mendadak penuh
perhatian akan nasib orang lain.
Augusta melanjutkan, "Begini, kau sering bilang Hugh punya bakat besar sebagai
bankir. Jadi, mungkin kurang bijak jika kita menyia-nyiakan bakat itu."
Joseph sekarang benar-benar jengkel. "Augusta, apu sebenarnya yang kauinginkan?"
Augusta duduk di kursi rendah di dekat meja tulis suaminya. Sengaja ia
membiarkan baju tidurnya tersingkap. Betisnya masih indah untuk wanita
seusianya. Melihat kemulusan kaki istrinya, Joseph melunak kembali.
Sementara perhatian Joseph teralihkan, Augusta memutar otak. Tiba-tiba ia
mendapat ide, "Bagaimana jika kita kirim dia ke luar negeri saja?"
"Eh?" Ya, makin lama memikirkan ide ini, makin senang hatinya.
Dengan dikirim ke luar negeri, Hugh akan dijauhkan dari David Middleton. tapi
masih berada dalam jang -
217 kauan tangan Augusta. "Mungkin ke Timur Jauh, atau Amerika Selatan," lanjutnya
dengan antusias. "Di mana saja. asalkan perilaku buruknya tidak langsung terasa
di rumah ini." Joseph langsung lupa dengan kejengkelannya. "Boleh juga gagasanmu. Memang ada
pembukaan cabang baru di Amerika Serikat. Manajer bank di kantor Boston
memerlukan asisten."
Amerika tempat yang tepat, pikir Augusta. Ia memuji pemikirannya sendiri yang
brilian. Tapi saat ini Joseph baru mengungkapkan niat, belum rencana pasti. Ia ingin
kepastian dan komitmen dari suaminya. "Sebaiknya Hugh cepat dikirim saja,"
katanya. "Aku tidak mau dia berada di dalam rumah ini sehari pun."
"Ya, dia bisa memesan tempat di kapal besok pagi," kata Joseph. "Apalagi dia
tidak punya alasan untuk tinggal di London. Sambil menunggu kapal berangkat, dia
bisa tinggal di Folkstone bersama ibunya... sekalian berpamitan."
Ya, dan dia tidak akan bertemu dengan David Middleton selama bertahun-tahun,
pikir Augusta puas. "Bagus. Sudah beres soal dia." Oh, ya. Masih ada satu soal
lagi. Ia ingat Maisie. Apakah Hugh sayang padanya" Kelihatannya tidak, tapi
siapa tahu, segalanya mungkin saja terjadi. Ia bisa menolak dipisahkan dengan
gadis itu. Hmm, benar-benar pelik, pikir Augusta khawatir. Hugh tak mungkin
membawa gadis itu ke Boston bersamanya, dan ia bisa saja menolak meninggalkan
London tanpanya. Augusta akan mencoba menghentikan percintaan kedua orang itu
sebelum berkembang lebih jauh, sekadar berjaga-jaga.
Ia berdiri dan melangkah ke pintu yang menghubungkan dengan kamar tidurnya.
Joseph kelihatan kecewa ditinggal istrinya. "Aku harus menyingkirkan gadis itu,"
kata Augusta. SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY "Ada yang bisa kubantu?"
Pertanyaan itu membuat Augusta heran. Bukan kebiasaan suaminya menawarkan
bantuan. Dia bukan ingin membantu, tapi ingin melihat lagi kemolekan gadis itu,
pikirnya getir. Ia menggelengkan kepala, "Aku akan cepat kembali. Tunggulah di
tempat tidur." "Baiklah," kata suaminya dengan enggan.
Augusta pergi ke kamarnya dan menutup pintu dengan rapat.
Maisie sudah berpakaian dan sedang mengenakan topinya. Mrs. Merton sedang
melipat sebuah gaun warna biru-hijau manyala dan memasukannya ke dalam tas
murahan. "Saya meminjami dia gaun saya karena miliknya masih basah," jelasnya.
Oh, jadi itu jawabannya, pikir Augusta dalam hati. Ia sudah menduga, tak mungkin
Hugh bisa sebodoh itu membawa seorang pelacur jalanan ke rumah bibinya. Rupanya
mereka terjebak dalam hujan, lalu Hugh membawanya ke dalam rumah untuk berteduh,
mengeringkan tubuhnya, dan terjadilah semua itu.
"Siapa namamu?" tanyanya pada si gadis. "Maisie Robinson. Aku tahu namamu."
Augusta merasa membenci Maisie Robinson. Ia sendiri tidak tahu sebabnya. Gadis
itu sebenarnya-tidak cukup berharga untuk dibenci. Mungkin karena penampilannya
ketika telanjang: begitu angkuh, menantang, dan bebas. "Kurasa kau menginginkan
uang," kata Augusta dengan nada menghina.
"Perempuan munafik," sambar Maisie. "Kau sendiri mau kawin dengan orang sejelek
suamimu karena dia sangat kaya... bukan karena cinta."
Memang itulah kenyataannya, dan ucapan itu membuat Augusta tersentak. Ia terlalu
menganggap enteng gadis ini. Ia telah salah memulai, jadi sekarang ia harus
mencari jalan keluar. Mulai sekarang ia harus
ekstra hati-hati menangani Maisie. Kesempatan ini tak boleh terbuang begitu
saja. Dengan susah payah ia berhasil mengendalikan emosinya. Katanya dengan nada
senetral mungkin, "Apa kau bersedia duduk dulu... sebentar saja?" Ia menunjuk ke
sebuah kursi. Maisie agak kaget, tapi setelah ragu sejenak, ia duduk.
Augusta duduk di hadapannya.
Gadis ini harus dibuat melepaskan Hugh. Ketika ditawari kompensasi, ia marah,
karena itu Augusta tidak mau mengulangi tawarannya. Ia merasa uang ternyata
bukan segalanya bagi gadis ini. Tapi ia juga bukan tipe yang bisa digertak atau
diancam. Augusta harus berusaha menyakinkan Maisie bahwa perpisahan adalah jalan keluar
terbaik bagi Hugh dan dirinya sendiri. Lebih baik lagi jika Maisie menganggap
berpisah dari Hugh adalah idenya sendiri. Dan itu hanya bisa dicapai jika
Augusta memakai taktik hendak mempersatukan Maisie dengan Hugh.
Augusta memulai taktiknya, "Kalau kau memang ingin menikah dengan Hugh, aku tak
bisa mencegah." Maisie tampak terkejut, dan diam-diam Augusta memberi selamat
pada dirinya sendiri. "Kenapa kau mengira aku mau kawin dengan Hugh?" tanya'Maisie.
Augusta hampir saja tergelak. Ia ingin berkata: Karena kau adalah perempuan mata
duitan. Tapi ia malah berkata, "Gadis mana yang tidak mau menikah dengan Hugh"
Dia tampan, ramah, dan lahir dari keluarga terhormat. Dia memang tidak punya
uang, tapi punya masa depan cerah."
Sambil menyipitkan kedua matanya, Maisie menjawab, "Kedengarannya seolah kau
ingin aku kawin dengan Hugh,"
Augusta memang ingin memberi kesan seperti itu, hanya saja ia harus ekstra hati-
hati. Maisie bisa cepat 220 curiga dan juga terlalu pintar untuk dikendalikan secara terang-terangan.
"Ayolah, Maisie... jangan terlalu munafik," katanya. "Terus terang, tak ada wanita
dari golonganku yang akan mengizinkan salah satu anggota keluarganya menikah
dengan wanita dari golongan jauh di bawahnya."
"Bisa saja, asalkan dia cukup membenci si anggota keluarganya itu." jawab Maisie
dengan ringan. Merasa mendapat angin, Augusta melanjutkan pancingannya. "Ya, tapi aku tidak
pernah membenci Hugh. Bagaimana kau bisa mendapat gagasan seperti itu?"
"Dia yang mengatakan padaku. Kau memperlakukan dia sebagai kerabat yang miskin
dan memerintahkan yang lain melakukan hal yang sama."
"Oh, betapa tidak tahu terima kasihnya manusia. Tapi kenapa kau juga menganggap
aku ingin menghancurkan kariernya?"
"Karena dia bisa mengalahkan anakmu yang tak ada gunanya, Edward."
Gelombang amarah menerkam Augusta. Sekali lagi Maisie telah mengungkapkan
kebenaran yang bisa memerahkan daun telinga Augusta. Memang, Edward tidak
sepintar Hugh, tapi dia anak penurut dan manis, sedangkan Hugh tak punya sopan
santun. "Kuminta kau tidak menyinggung-nyinggung nama anakku," kata Augusta
pelan. Maisie menyeringai. "Rupanya aku sudah menyentuh subjek yang peka." Tiba-tiba ia
kembali muram, "Jadi, itulah permainanmu. Kalau begitu, aku tidak mau ikut-
ikutan." "Apa maksudmu?" tanya Augusta.
Dengan berlinang air mata, Maisie menjawab, "Aku terlalu menyukai Hugh, dan
tidak akan mau menghancurkannya."
Augusta heran sekaligus senang mengetahui perasaan Maisie. Semuanya berjalan
lancar, kendati awalnya tadi
agak tersendat. "Apa yang akan kaulakukan sekarang?" tanya Augusta.
Maisie berusaha sekuat tenaga menahan tangisnya. "Aku tidak akan menemui dia
lagi. Kau bisa menghancurkannya, tapi aku tidak mau terlibat di dalamnya."
"Tapi dia bisa mencarimu."
"Aku akan menghilang. Dia tidak tahu di mana aku tinggal. Aku juga akan menjauhi
tempat-tempat yang mungkin didatanginya untuk mencariku."
Rencana bagus, pikir Augusta; toh hanya sebentar, karena Hugh sudah akan dikirim
ke Amerika selama bertahun-tahun, atau mungkin untuk selama-lamanya. Tapi sudah
tentu ia diam saja. Ia telah berhasil menuntun Maisie sesuai rencana briliannya,
dan sekarang gadis ini tidak perlu dipancing lagi.
Maisie menyeka air matanya dengan ujung lengan baju. "Sebaiknya aku pergi
sekarang, sebelum dia kembali bersama dokter." la berdiri. "Terima kasih telah
meminjamkan gaun Anda, Mrs. Merton."
Si pengurus rumah tangga membukakan pintu. "Akan kuantar kau keluar."
"Kali ini kita ambil anak tangga belakang saja," pinta Maisie. "Aku tidak mau..."
la tampak menahan gejolak hatinya, dan berkata setengah berbisik, "Aku tidak mau
bertemu Hugh lagi." Lalu ia melangkah keluar.
Mrs. Merton mengikuti dari belakang sambil menutup pintu kamar.
Augusta menghela napas panjang, la telah berhasil melakukan rencananya.
Menghambat karier Hugh, menetralisir peran Maisie Robinson, dan memperkecil
peluang David Middleton, semuanya dalam waktu satu malam. Mulanya Maisie tampak
sebagai pesaing yang berbahaya, tapi rupanya ia hanya seorang gadis yang terlalu
emosional. 222 Ia menikmati kemenangannya sebentar, lalu pergi ke kamar Edward.
Edward tersayang sedang duduk di pinggir ranjang, menikmati brendi dari gelas
besar berbentuk piala. Hidungnya bengkak dan di sekelilingnya masih ada bekas-
bekas darah kering. Ia tampak kusut dan muram, menyesali dirinya sendiri.
"Oh, anakku yang malang," bisik Augusta. Ia mengambil handuk dari tempat
gantungan pakaian, membasahi ujungnya, lalu duduk di pinggir ranjang dan menyeka
bekas darah di bibir atas Edward. Pemuda itu menyeringai kesakitan. "Oops,
maaf." kata ibunya. Edward tersenyum. "Tidak apa-apa, Bu," katanya. "Teruskan. Sangat mengurangi
rasa sakitku." Ketika Augusta masih membasuh luka Edward, Dokter Humbold masuk dengan diiringi
Hugh di belakangnya. Sang dokter menyapa dengan ceria, "Kamu baru saja
berkelahi, anak muda?"
Augusta tersinggung mendengarnya. "Tentu tidak," katanya ketus. "Dia diserang
oleh seseorang." Dokter Humbold agak terperangah. "Oh, begitu-begitu."
Tiba-tiba Hugh menyela, "Di mana Maisie?"
Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Augusta tidak mau membicarakan soal Maisie di depan dokternya. Ia berdiri dan
menggamit Hugh keluar kamar. "Dia sudah pergi."
"Bibi mengusirnya?" desak Hugh.
Augusta hampir saja membentak keponakannya agar bersikap sopan padanya, tapi
segera mengurungan niatnya karena nasib Hugh sudah seratus persen berada di
tangannya. Tak ada gunanya membuang-buang energi dengan amarah. Dengan nada
datar ia menjawab, "Kalau benar dia kuusir, apa kaukira dia tidak akan
menunggumu di jalan untuk mengadu" Tidak, dia pergi atas kehendaknya sendiri,
dan katanya besok dia akan menulis surat padamu."
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY "Tapi dia berjanji akan tetap di sini menunggu saya, sampai saya kembali dengan
dokter." "Dia berubah pikiran. Apa kau tidak pernah dengar gadis-gadis seusianya gampang
mengubah niat?" Hugh tampak bingung, tidak tahu apa yang mesti ia katakan lagi.
Augusta menambahkan, "Lagi pula, tentunya dia ingin cepat-cepat melepaskan diri
dari situasi memalukan malam ini... semua karena ulahmu."
Hugh bisa menerima penjelasan ini. "Saya rasa Bibi membuatnya merasa sangat
malu, sehingga dia tidak tahan."
"Cukup!" tukas Augusta dengan jengkel. "Aku tidak mau dengar lagi pendapatmu.
Pamanmu Jospeh akan menemuimu besok pagi, sebelum kau pergi ke bank. Sekarang,
selamat malam." Sesaat Hugh masih ingin mendebat lebih jauh, tapi tidak tahu apa lagi yang harus
ia katakan. "Baik, kalau begitu," gumamnya. Ia berbalik masuk ke kamarnya
sendiri. Augusta kembali ke kamar Edward. Dokter sudah menutup tasnya. "Tidak ada yang
serius," katanya. "Hidungnya akan terasa sakit selama beberapa hari, matanya
juga akan membiru besok, tapi dia masih muda, jadi akan cepat sembuh."
"Terima kasih, Dokter. Hastead akan mengantar Anda keluar."
"Selamat malam."
Augusta membungkuk dan mencium dahi Edward. "Selamat malam, Teddy sayang.
Tidurlah sekarang." "Baik, Ibu sayang. Selamat malam."
Ia masih punya satu tugas lagi malam ini.
Ia pergi ke lantai bawah dan masuk ke kamar Joseph. Ia berharap suaminya sudah
terlena karena terlalu lama menunggu kedatangannya, tapi Joseph masih duduk di
ranjang, membaca Pall Mall Gazette. Dengan segera
224 ia meletakkan bacaannya di samping ranjang dan membuka selimut untuk tubuh
istrinya. Di ranjang, ia segera memeluk Augusta. Augusta tiba-tiba sadar bahwa saat itu
sudah menjelang fajar; remang-remang sinar matahari mulai masuk ke dalam kamar.
Ia menutup matanya. Joseph mulai beraksi. Augusta merangkulkan kedua lengannya di leher suaminya,
sambil membayangkan dirinya pada usia enam belas tahun, sedang berbaring di tepi
sungai dengan gaun merah muda dan topi lebar, pasrah dalam pelukan Earl of
Strang; namun dalam bayangannya ia tidak hanya dipeluk dan dicium, tapi juga
dicumbu oleh idaman hatinya. Lalu gaunnya disingkapkan ke atas, dan mereka
bercinta dalam kehangatan matahari siang, sementara ujung jemari mereka tersapu
lidah-lidah nakal air sungai yang dingin menyegarkan.
Setelah selesai, ia berbaring sebentar di sisi suaminya sambil merenungkan
kemenangannya tadi malam.
"Benar-benar malam yang istimewa," gumam Joseph kelelahan.
"Ya," jawabnya. "Gadis liar itu."
"Mmmm," gumam Joseph. "Sangat memesona... ada kepongahan tersembunyi dan
berkemauan keras... pikirnya dia sama baiknya dengan orang lain... tubuhnya indah...
persis seperti milikmu ketika kau masih muda."
Augusta tersinggung. "Joseph!" protesnya. "Bagaimana kau bisa membandingkan aku
dengan dia?" Suaminya diam saja, ternyata sudah mendengkur pulas.
Dengan berang ia menyingkap selimut di atas tubuhnya, turun dari ranjang, dan
kembali ke kamarnya sendiri.
Hanya saja ia tak bisa tidur lagi.
[VI] TEMPAT tinggal Micky Miranda di daerah pinggiran Camberwell terdiri atas dua
kamar di sebuah rumah berteras, milik seorang janda dengan seorang putra yang
menanjak dewasa. Tak satu pun teman-temannya yang berasal dari kelas atas pernah
mampir ke rumah ini, bahkan Edward sendiri tidak tahu. Micky berhasil memainkan
perannya sebagai pemuda golongan elite, kendati keuangannya pas-pasan. Karena
itu, akomodasi yang berkelas masih jauh dari jangkauannya.
Pada jam sembilan setiap pagi, nyonya rumah akan membawakan kopi dan roti gulung
hangat untuk Micky dan ayahnya. Sambil sarapan, Micky menjelaskan pada ayahnya
bagaimana ia berhasil mempecundangi Tonio sehingga kalah main kartu sebesar
seratus pound. Ia tidak mengharapkan pujian dari ayahnya, hanya mengharap
anggukan setuju. Tapi ayahnya sama sekali tidak terkesan. Ia hanya meniup kopi
panasnya, lalu mence-rucupnya dengan suara keras, "Jadi, dia sudah pulang ke
Kordoba?" "Belum, tapi saya harap sesegera mungkin." "Jadi, baru mau. Sudah bersusah
payah, tapi kau hanya mengharap dia akan pulang."
Micky agak tersinggung. "Akan saya tentukan nasibnya hari ini," ujarnya dengan
nada protes. "Ketika aku seumurmu... "
"Ya, Papa akan menggorok lehernya, saya tahu. Tapi ini London, bukan Provinsi
Santamaria, dan kalau saya sembarangan menggorok leher orang, saya akan segera
berakhir di tiang gantungan."
"Ada kalanya kau harus berani melakukannya, karena tidak ada pilihan lagi."
"Tapi di sini lebih tepat kalau kita melakukannya secara halus, Papa. Coba
pikirkan soal Samuel Pilaster
226 dan penolakannya ikut dalam bisnis senjata. Bukankah dengan cara saya dia bisa
kita taklukkan?" Sebenarnya bukan Micky, tapi Augusta-lah yang paling berjasa.
Tapi sudah tentu Micky tidak memberitahukan ini pada ayahnya.
"Hmmm... entahlah," jawab ayahnya keras kepala. "Kapan aku bisa memperoleh
senjatanya?" Benar-benar masalah yang menjengkelkan. Si tua Seth masih hidup, masih menjabat
Mitra Senior Pilasters Bank. Sekarang bulan Agustus. Dalam bulan September,
salju akan mulai mencair di pegunungan Santamaria. Papa ingin pulang dengan ?seluruh senjatanya. Begitu Joseph menjadi Mitra Senior, Edward akan
menyelesaikan bisnis senjata ini. Tapi sampai sekarang si tua Seth masih hidup
dan bertahan dengan kedudukannya.
"Papa akan segera mendapatkan senjata itu," kata Micky. "Seth tidak akan
bertahan lama." "Bagus," komentar Papa dengan ekspresi seorang pemenang.
Micky memoles rotinya dengan mentega. Selalu saja begini. Ia tak pernah bisa
menyenangkan hati ayahnya, walau pun sudah berusaha keras.
Ia mulai kembali ke rencananya hari ini. Sekaranglah waktunya untuk membuat
kesulitan Tonio menjadi skandal. Ia tahu Tonio tidak akan mampu membayar
utangnya. Ia ingin Edward menagihnya di depan umum, lalu disusul dengan ribut-
ribut. Seandainya ini terjadi, Tonio akan kehilangan muka karena berita tentang
ia tak bisa membayar utangnya akan segera tersebar luas; ia akan malu, lalu mengundurkan diri
sebagai diplomat dan pulang ke Kordoba. Dengan demikian, David Middleton takkan
bisa mendekatinya. Micky ingin melakukan ini tanpa membuat Tonio menjadi musuhnya. Sebab ia punya
tujuan lain. Ia menginginkan pekerjaan Tonio. Tonio bisa menyulitkannya
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY kalau merasa ditipu, dengan menjelek-jelekkan Micky di depan Menteri. Micky
ingin Tonio melicinkan jalan baginya. Ini tidak mudah, karena sejak di sekolah
dulu Tonio sudah membencinya. Baru akhir-akhir ini Tonio kagum padanya. Micky
menjadi teman baik Tonio sekaligus menghancurkan hidupnya.?Ketika ia sedang memikirkan jalan keluar terbaik, terdengar ketukan di pintu dan
si pemilik rumah memberitahukan ada tamu bagi Micky. Lalu muncul Tonio.
Kebetulan sekali, pikir Micky. Sebenarnya ia sudah merencanakan akan menemui
Tonio setelah sarapan ini. Ia tidak perlu repot-repot sekarang.
"Silakan duduk, Tonio, minum kopi dulu," sambut Micky dengan riang. "Benar-benar
nasib buruk tadi malam! Tapi jangan dipikirkan, begitulah judi... ada menang, ada
kalah." Tonio membungkuk ke arah Papa, lalu duduk. Wajahnya kuyu, seakan ia tidak tidur
semalaman. "Aku sudah kalah di luar kemampuanku untuk membayarnya," katanya.
Papa mendengus jengkel. Ia tak sabar melihat orang yang mengasihani diri
sendiri, dan lebih dari itu ia benci pada keluarga Silva yang hidup bagai
parasit menjilat para petinggi pemerintah dan melakukan kolusi serta korupsi.
?Micky pura-pura simpati dan menjawab dengan sendu, "Aku ikut sedih mendengar
masalahmu." "Kau tahu apa artinya ini. Di negara ini, pria yang tidak bisa membayar utang
judinya dianggap sebagai penyakit sampar. Dan dia sudah pasti tidak pantas
menjadi diplomat. Aku harus mengundurkan diri dan pulang kembali ke rumah."
Itulah yang kuinginkan, pikir Micky, tapi ia tetap berpura-pura ikut sedih, "Ya,
aku bisa memahami masalahmu."
Tonio melanjutkan, "Kau tahu orang-orang itu kalau
?228 kau tidak membayar lunas dalam waktu sehari, kau akan dicurigai. Padahal untuk
membayar semua, aku butuh waktu bertahun-tahun. Karena itulah aku men-
datangimu." "Aku tidak paham maksudmu," jawab Micky pura-pura, kendati sebenarnya ia sudah
mengerti maksudnya. "Bersediakah kau meminjami aku uang untuk membayarnya?" tanya Tonio mengiba.
"Kau sama denganku, orang Kordoba. Tidak sama dengan orang-orang Inggris; kita
tidak menghukum orang karena satu kesalahan. Nanti akan kubayar lunas semuanya."
"Jika aku punya uang, pasti akan kupinjami," jawab Micky. "Kalau saja aku sekaya
itu untuk membantumu."
Tonio memandang Papa, yang balas menatapnya dengan dingin. Jawabnya pendek,
'Tidak." Tonio menunduk sedih. "Aku benar-benar bodoh, berjudi seperti itu," keluhnya
dengan nada kosong. "Sekarang aku tidak tahu apa yang mesti kulakukan. Jika
pulang ke Kordoba, aku pasti jadi orang hina dan tidak akan punya muka untuk
menghadapi keluargaku."
Micky pura-pura ikut memikirkan nasib Tonio, "Mungkin aku bisa menolongmu."
Tonio jadi bersemangat kembali, "Oh... apa saja, tolonglah aku."
"Edward sahabat karibku. Aku akan mencoba bicara dengannya atas namamu, mencoba
menjelaskan masalahmu, dan minta dia memberi waktu untukmu demi persahabatanku ?dengannya."
"Kau bersedia?" tanya Tonio penuh harap.
"Aku akan minta dia bersabar dan tidak memberitahu siapa pun. Tapi aku tak bisa
menjanjikan dia akan membantumu. Keluarga Pilasters memang kaya, tapi kalau soal
uang, mereka penuh perhitungan. Walaupun begitu, aku akan coba."
Tonio menggenggam tangan Micky dengan erat. "Aku
tidak akan melupakan ini, dan aku tidak tahu bagaimana bisa berterima kasih
padamu." "Jangan terlalu berharap."
"Aku tak bisa tidak mengharap. Aku benar-benar sudah putus asa, tapi sekarang
aku jadi punya alasan untuk hidup kembali." Tonio tampak malu, lalu menambahkan,
"Tadi pagi aku sudah berniat bunuh diri. Aku berjalan melintasi London Bridge
dan ingin terjun ke sungai."
Papa mengeluarkan geraman jengkel. Mungkin dia pikir memang sebaiknya Tonio
bunuh diri saja. Micky dengan cepat berkata, "Untung kau mengubah pikiranmu. Sekarang, sebaiknya
aku pergi ke Pilasters Bank dan bicara dengan Edward."
"Kapan aku bisa ketemu kau?"
"Kau bisa datang ke klub waktu makan siang nanti?"
"Tentu, tentu bisa kalau kaukehendaki begitu."
"Kalau begitu, temui aku di sana nanti."
"Baik." Tonio berdiri. "Aku pergi dulu... sebaiknya kauhabiskan makan pagimu.
Dan..." "Jangan berterima kasih padaku," sambar Micky sambil mengangkat tangan agar
Tonio diam dulu. "Itu bisa membawa sial. Sebaiknya tunggu saja sambil berharap."
"Ya, benar." Tonio membungkuk ke arah Papa. "Sampai jumpa, Senor Miranda." Ia
keluar. "Anak bodoh," gumam Papa.
"Benar-benar tolol," jawab Micky setuju.
Micky pergi ke kamar sebelah dan berdandan untuk pergi keluar. Ia memakai kemeja
putih dengan kerah tegak yang kaku, manset yang dikanji, celana cokelat
kekuningan, dasi satin hitam, dan jas panjang. Sepatunya mengilat, begitu juga
rambutnya. Ia selalu berpakaian elegan, tapi tetap konservatif. Ia tak pernah
mau memakai kerah model kemeja yang merupakan model baru, atau membawa-bawa
monocle seperti pesolek. Orang Inggris selalu menganggap orang asing punya bakat
230 untuk tampil norak, jadi Micky senantiasa menjaga penampilannya.
Setelah berpamitan pada Papa yang sudah mempunyai acara sendiri untuk hari ini,
Micky pergi menyeberangi jembatan, masuk ke kawasan pusat keuangan yang dikenal
dengan nama the City, karena daerah ini mengelilingi bekas kota kuno peninggalan
bangsa Romawi. Lalu lintas di sekitar Katedral St. Paul macet total. Kereta
kuda, kereta sewaan, gerobak minuman, gerobak dorong, dan kereta-kereta orang
kaya berebut mencari jalan di antara rombongan domba yang sedang digiring ke
arah pasar daging Smithfield.
Pilasters Bank merupakan bangunan baru yang besar, dengan pintu gerbang masuk
yang panjang dan disangga pilar-pilar tinggi meyakinkan. Sudah beberapa menit
lewat tengah hari ketika Micky masuk ke pintu ganda di aula bank. Kendati Edward
jarang masuk kantor sebelum jam sepuluh pagi, ia biasanya mau saja diajak makan
siang oleh Micky. Kapan saja, asalkan setelah lewat jam dua belas.
Micky mendekati opas kantor dan berkata, "Mohon memberitahu Mr. Edward Pilaster
bahwa Mr. Miranda datang untuk menemuinya."
"Baik, Tuan." Untuk kesekian kalinya, Micky merasa iri terhadap kekayaan keluarga Pilaster.
Setiap bagian dari bangunan bank itu mencerminkan kekayaan dan kekuasaan mereka.
Mulai dari lantai marmer, panel dinding yang mewah, suara dan bisik sopan para
pegawai, goresan pena di buku neraca, dan mungkin dari penampilan para petugas
bank yang tampak mekmur dan gagah. Secara umum mereka dipekerjakan bank untuk
mencatat, mendata, dan menghitung mengontrol uang keluarga Pilaster. Tidak satu
pun yang memelihara sapi, menambang nitrat, atau membangun rel kereta api:
pekerjaan seperti itu dilakukan oleh orang-orang lain di suatu tempat jauh di
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY luar Inggris. Keluarga Pilaster hanya mengawasi uang mereka berlipat setiap
waktu. Bagi Micky, cara bekerja seperti inilah yang paling ideal, setelah
perbudakan dihapuskan. Selain itu, ada suasana kepalsuan di sini. Segala sesuatu tampak serius dan
anggun, seperti di dalam gereja, istana, atau museum. Mereka sebenarnya tukang
riba uang, tapi bersikap seolah-olah menarik bunga adalah panggilan jiwa yang
mulia. Beberapa menit kemudian, Edward datang dengan mata masih kehitaman dan hidung
bengkak. Alis mata Micky terangkat heran. "Oh, sahabat karibku, apa yang terjadi
padamu?" "Aku baru saja berkelahi dengan Hugh."
"Soal apa?"' "Kuminta dia membawa keluar pelacur yang dibawanya ke rumah tadi malam, dan dia
jadi mata gelap." Micky menduga soal ini akan memberi peluang emas bagi Augusta untuk mencampakkan
Hugh dari rumah. "Lalu, bagaimana dengan Hugh?"
"Kau tidak akan melihat dia untuk waktu lama sekali. Dia sudah dikirim ke
Boston." Bagus sekali, Augusta, pikir Micky. Akan sangat menguntungkan jika Hugh dan
Tonio dapat disingkirkan dalam waktu yang sama. Ia berkata, "Kau layak
mendapatkan sebotol sampanye dan makan siang enak hari ini."
"Ya, gagasan bagus."
Mereka keluar dari bank dan berjalan kaki ke arah barat. Dalam suasana macet
seperti sekarang, dengan jalanan dipenuhi domba dan kereta yang tumpah ruah
mencari jalan, tidak ada gunanya naik kereta kuda. Mereka melewati pasar daging,
lalu rumah potong hewan yang baunya menyengat hidung; domba-domba itu
dilemparkan dari jalan ke tempat persinggahan akhir mereka di bawah tanah, lewat
sebuah pintu penghubung. Edward menutup hidungnya dengan sapu tangan sambil
232 bergumam, "Huh, sangat menjijikkan... bisa membuatmu anti makan daging domba
seumur hidup." Ah, pikir Micky, kalau hanya pemandangan seperti ini tidak akan
Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membuat Edward kehilangan nafsu makannya.
Setelah lewat dari kawasan the City, mereka memanggil taksi kereta kuda untuk
menuju Pall Mali. Begitu sudah di dalam kereta, Micky mulai mempersiapkan
jebakannya. "Aku benci orang yang suka menyebarkan tentang perangai buruk orang
lain." "Ya," jawab Edward tak acuh.
"Tapi jika ini menyangkut seorang teman, aku berkewajiban untuk berbuat
sesuatu." "Mmmm." Edward belum juga paham arah omongan Micky.
"Dan aku juga tidak mau kau menganggap aku diam karena si penyebar omong kosong
itu teman senegaraku."
Untuk sesaat tidak ada yang bicara, lalu Edward berkata, "Aku tidak tahu apa
maksud omonganmu." "Aku membicarakan Tonio Silva."
"Ah, dia. Aku yakin dia tidak mampu membayar utang judinya padaku."
"Omong kosong. Aku kenal keluarganya. Mereka sama kayanya dengan keluargamu."
Micky berani menceritakan kebohongan besar seperti ini karena orang London tidak
tahu ukuran kekayaan di Kordoba.
Edward agak heran. "Astaga. Kukira malah sebaliknya."
"Tidak, kau keliru. Dia bisa membayarnya dengan mudah. Yang kusayangkan adalah
omong besarnya." "Apa" Omong besar apa?"
Micky mendesah sedikit. "Aku khawatir dia tidak punya niat untuk membayarmu. Dan
dia telah menyebarkan omongan bahwa kau tidak akan berani menagih utang itu."
Wajah Edward memerah. "Oh, begitu! Aku tidak berani katanya" Kita lihat saja!"
233 "Aku sudah menasihati dia agar tidak meremehkannya. Kukatakan kau tidak akan
mentolerir hinaan seperti itu. Tapi dia mengabaikan^ nasihatku."
"Bajingan tengik! Baiklah, jika dia tidak sudi mendengar nasihat baikmu, berarti
dia memilih cara kekerasan."
"Benar-benar memalukan si Tonio itu." komentar Micky.
Edward diam dengan wajah membeku, memendam emosi.
Micky ikut diam. Duduknya jadi tidak tenang. Sementara taksi mereka maju dengan
sangat lamban di kawasan Strand. Tonio pasti sudah menanti di klub saat ini.
Edward sedang terbakar emosi. Saat yang tepat, jangan sampai gagal.
Akhirnya taksi mereka sampai juga di depan klub. Micky menunggu sampai Edward
selesai membayar taksi, lalu mengikutinya masuk ke dalam klub. Di ruang mantel,
di antara orang-orang yang sedang menggantung topi, mereka bertemu Tonio.
Micky tegang. Ia telah mengatur pertemuan ini, sekarang ia hanya bisa berharap
agar drama yang akan berlangsung sesuai dengan skenarionya.
Tonio menatap Edward dengan agak canggung dan memberanikan berkata, "Ah,
kebetulan... selamat siang, kalian berdua."
Micky melirik Edward. Wajah Edward jadi merah muda dan matanya melotot. "Apa
maumu, Silva?" Tonio menantap Edward dengan wajah takut. "Ada apa. Pilaster?"
Edward berteriak, "Soal utangmu yang seratus pound itu!"
Ruangan jadi hening. Beberapa orang menoleh dan dua pria yang hendak keluar jadi
berhenti untuk menonton. Mereka semua tahu, pria terhormat tidak akan
membicarakan utang orang lain di tempat umum, kecuali
234 keadaan sudah benar-benar kritis. Mereka juga tabu bahwa Edward Pilaster punya
kekayaan yang tidak akan habis seumur hidupnya, jadi jelas ia punya motif
tertentu dengan menagih utang Tonio di depan orang lain. Tonio jadi pucat pasi.
"Ya?" Edward dengan brutal berkata, "Kutunggu hari ini, utangmu harus lunas."
Benih tantangan telah ditebar. Semua orang tahu, soal utang Tonio Silva bukan
sekadar gurauan belaka. Sebagai pria terhormat, Tonio hanya punya satu pilihan.
Ia harus berkata, Pasti. Jika memang itu maumu, sekarang juga kubayar lunas.
Mari kita ke lantai atas, akan kutuliskan selembar cek untukmu atau kita keluar?sebentar ke bank, menyelesaikan ini" Jika Tonio tidak mengatakan itu, semua
orang akan tahu ia tidak mampu membayar utangnya, dan ia akan mendapat malu.
Micky mengawasi dengan berdebar-debar. Mulanya Tonio tampak panik. Sesaat Micky
khawatir Tonio jadi kalap. Lalu kepanikan itu berubah jadi amarah, dan ia
membuka mulutnya untuk memprotes, tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Ia malah
merentangkan tangan dengan sikap memohon, tapi hanya sejenak. Akhirnya wajahnya
berubah kuyu seperti anak kecil akan menangis. Tiba-tiba ia berbalik, lari
keluar dari ruangan. Kedua pria yang akan keluar menyingkir memberi jalan. Ia
lari terus melewati lobi, ke jalanan, tanpa mengambil topinya.
Micky nyaris berteriak gembira karena rencana liciknya berhasil dengan sempurna.
Para anggota klub yang menyaksikan adegan tadi saling berdeham untuk
menyembunyikan rasa kikuk mereka. Salah satu anggota yang lebih tua berkomentar,
"Kau terlalu keras padanya, Pilaster."
Micky dengan cepat menjawab, "Dia pantas menerima perlakuan begitu."
"Benar, benar sekali," kata pria itu.
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Edward berkata, "Aku ingin minum."
Micky berkata, "Tolong sekalian pesankan aku brendi. Aku akan mengejar Silva
dulu... takut dia bunuh diri." Lalu ia bergegas keluar.
Sekarang tiba bagian paling sulit dari rencananya. Ia harus meyakinkan Tonio,
pria yang baru saja ia hancurkan namanya*, bahwa hanya dialah teman sejatinya.
Ia melihat Tonio masih berlari ke arah St. James; tidak memperhatikan kiri-
kanan. Setelah berhasil menyusul. Micky berkata, "Silva, maaf, aku gagal
membantumu." Tonio berhenti. Di pipinya terlihat air mata. "Aku' sudah tamat," katanya.
"Semuanya sudah selesai."
"Pilaster tidak menghiraukan permintaanku," kata Micky. "Aku telah berusaha
semampuku...." "Aku tahu. Terima kasih atas bantuanmu."
"Jangan berterima kasih begitu. Aku telah gagal."
"Tapi paling tidak kau sudah berusaha. Kuharap ada yang bisa kulakukan untuk
membalas kebaikan budimu."
Micky agak ragu sebentar. Apakah aku punya cukup keberanian untuk meminta
pekerjaannya sekarang juga " Micky lalu mengeraskan hatinya dan berkata, "Memang
ada, tapi nanti saja kita bicara di lain kesempatan."
"Jangan, katakan sekarang juga."
"Aku jadi merasa tidak enak. Nanti saja... lain kesempatan."
"Aku tidak tahu apakah aku masih di London besok. Apa permintaanmu?"
"Begini..." Micky pura-pura malu. "Kukira Menteri Luar Negeri Kordoba akan segera
mencari pejabat lain untuk menggantimu."
"Ya, dia akan butuh seseorang secepatnya." Tiba-tiba wajah Tonio berubah. Ia
tahu maksud temannya. "Tentu... tentu kau cocok dengan tugas ini! Cocok sekali!"
"Seandainya saja kau mau merekomendasikan..."
"Oh, tentu... bahkan lebih dari itu. Akan kukatakan
236 padanya betapa banyak pertolongan yang telah kau-berikan padaku, terutama
usahamu untuk menolongku dari kekacauan ini. Aku yakin dia akan menunjukmu
secepatnya." "Kuharap kau tidak menyangka aku sedang memanfaatkan dirimu yang sedang dalam
kesulitan, Tonio. Aku... aku merasa seperti seekor tikus got."
"Oh, tidak sama sekali." Tonio menggenggam kedua tangan Micky. "Kau benar-benar
sahabat sejati." di-scan dan di-djvu kan untuk dimhader (dimhad.co.ee) oleh
II Dilarang meng-komersil-kan atau kesialan menimpa anda selamanya
BAB LIMA September in ADIK Hugh, Dorothy, membantu menata pakaian di dalam koper. Caranya menata salah
dan tidak rapi. Hugh akan menatanya lagi nanti, tapi untuk tidak mengecewakan
adiknya, ia berulang kali memujinya. "Ceritakan kembali soal Amerika," pinta
adiknya. "Amerika sangat jauh, sehingga matahari pagi butuh empat jam untuk tiba
di sana." "Kalau begitu, mereka tidur sepanjang pagi?" "Ya, dan waktu kita makan siang,
mereka baru makan pagi."
Adiknya tertawa geli. "Mereka malas, ya."
"Tidak juga. Kau tahu, pada waktu di sini sudah tengah malam, mereka masih
bekerja." "Kalau begitu, mereka semua tidur terlambat! Aku senang tidur larut malam. Aku
senang Amerika. Kenapa aku tidak boleh pergi denganmu?"
"Yah, kalau saja aku bisa mengajakmu, Dotty." Hugh agak sedih. Ia tidak akan
melihat adik kecilnya selama bertahun-tahun, dan Dotty pasti sudah besar kalau
ia kembali nanti. Anak itu akan mengerti soal perbedaan waktu antara Amerika
dengan Inggris. t Hujan bulan September membasahi jendela, dan deru
238 ombak yang memecah pantai terdengar sayup-sayup. Rumah ini terasa hangat oleh
perapian kecil di dalamnya dan permadani tua di lantai. Hugh memasukkan buku-
bukunya: Modern Business Methods, The Successful Commercial Clerk, The Wealth of
Nations, Robinson Crusoe. Rekan-rekan di bank mengatakan pengalaman adalah buku
terbaik di dunia. Hugh kurang setuju karena melalui buku, ia bisa lebih cepat
mempelajari cara operasi setiap departemen dalam Pilasters Bank. Selain itu, ia
juga cepat tahu praktek-praktek yang baik dan yang buruk dalam bisnis.
Ia pergi ke Amerika dalam waktu yang tidak tepat. Awal tahun 1870-an, Amerika
sedang mengalami krisis ekonomi. Beberapa bank besar telah memberi pinjaman
besar untuk pembelian saham-saham perusahaan kereta api yang bersifat
spekulatif, dan pada pertengahan 1873, ketika perusahan kereta api mengalami
kesukaran, bank-bank itu ikut terseret ke dalamnya.
Beberapa hari yang lalu. Jay Cooke & Co., agen pemerintah Amerika, dinyatakan
bangkrut dengan menyeret First National Bank of Washington; berita ini masuk ke
Inggris pada hari yang sama melalui telegram kabel transatlantik. Akibatnya lima
bank di New York berhenti beroperasi, termasuk di dalamnya sebuah bank utama,
Union Trust Company. Juga sebuah bank tua dan ternama, Mechanics' Banking
Association. Bursa Saham juga ikut menutup pintunya, Hugh tahu akibatnya akan
meluas. Banyak bisnis akan ikut bangkrut. Pengangguran akan merebak. Perdagangan
akan menderita, dan Pilasters Bank cabang Amerika akan makin berhati-hati dalam
memberikan kredit, jadi akan sukar bagi Hugh untuk membuat prestasi di sana
dalam keadaan seperti sekarang.
Sejauh ini, dampak krisis tersebut tidak sampai ke London. Tingkat suku bunga
bank naik satu point, menjadi empat persen setahun, dan sebuah bank kecil
239 yang berafiliasi dengan Amerika jatuh bangkrut. Tapi tidak ada kepanikan. Namun
seperti biasa, si tua Seth selalu mengatakan krisis di Amerika harus senantiasa
diwaspadai. Sekarang Seth sudah sangat lemah, tapi pikirannya masih cemerlang.
Ia sudah pindah ke rumah Augusta, dan melewatkan hari-harinya di tempat tidur.
Namun ia tetap tidak bersedia melepaskan jabatannya, sampai krisis perekonomian
ini lewat. Hugh mulai melipat pakaiannya yang lain. Dua setelan baru yang dibelikan oleh
bank; ia curiga ibunya telah membujuk kakeknya untuk bermurah hati. Seth sangat
kikir, seperti para anggota keluarga Pilaster lainnya, namun ia sayang pada ibu
Hugh. Selama ini ibu Hugh mengandalkan uang tunjangan kecil dari Seth untuk
hidupnya. Ibunya jugalah yang minta bank mengizinkan Hugh tinggal bersama keluarganya
selama beberapa minggu sebelum pergi ke Amerika.
Selama Hugh bekerja di London, ia jarang pulang ke Folkestone, karena harus
menghemat ongkos kereta api dari London ke rumah ibunya. Jadi, dalam bulan
Agustus Hugh melewatkan waktu bersama ibu dan adiknya di tepi pantai, sedangkan
Augusta dan keluarga berlibur di Skotlandia. Sekarang musim libur sudah usai dan
sudah tiba waktunya bagi Hugh untuk pergi ke Boston. Ia mesti berpamitan pada
ibunya. Ketika ia sedang memikirkan keluarganya, ibunya masuk ke kamar. Ia sudah delapan
tahun menjanda, tapi masih saja berkabung. Tampaknya ia tak ingin menikah lagi,
kendati bisa melakukannya dengan mudah. Wajahnya masih cantik, dengan mata biru
dan rambut pirang tebal. Hugh bisa merasakan bahwa ibunya sedih karena ia akan pergi lama. Tapi ia tak
pernah menyinggung tentang kesedihannya. Ia malah bersikap gembira karena
peluang putranya di negara yang masih asing dan baru sama sekali.
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY "Dorothy, sudah waktunya tidur," katanya. "Pakai baju tidurmu." Begitu Dotty
keluar dari kamar, ibunya mulai melipat ulang pakaian Hugh di dalam koper.
Sebenarnya Hugh ingin membicarakan soal Maisie, tapi ia malu. Augusta pasti
sudah menulis surat pada ibunya. Mungkin juga ibunya sudah mendengar dari
anggota keluarga lainnya, atau bertemu salah satu dari mereka ketika pergi
berbelanja ke London; cerita yang didengarnya mungkin jauh dari kebenaran.
Akhirnya Hugh berkata, "Ibu...."
"Ada apa, Sayang?"
"Bibi Augusta tidak selalu mengatakan yang benar."
"Ah, tidak perlu basa-basi begitu," jawab ibunya dengan senyuman getir. "Dia
selalu mengatakan hal-hal yang tidak benar tentang ayahmu... selama bertahun-
tahun." Hugh agak tertegun dengan keterusterangan ibunya. "Jadi, dia yang mengatakan
pada ayah Florence Stalworthy bahwa ayah seorang penjudi?"
"Ya, pasti dia."
"Kenapa dia bersikap begitu?"
Ibunya meletakkan baju yang sedang dilipatnya di dalam koper dan berpikir
sebentar. "Dulu Augusta sangat cantik. Dia dan keluarganya pergi ke gereja
Metodis di Kensington. Di gereja itulah kami mengenalnya. Dia anak tunggal,
keras kepala dan manja. Orangtuanya biasa-biasa saja: ayahnya mulai bekerja
sebagai asisten toko, lalu merintis usaha sendiri sampai punya tiga toko grosir
di daerah pinggiran barat London. Sejak kecil tampaknya Augusta bercita-cita
muluk dan juga dididik untuk berselera tinggi."
Ibunya berhenti sebentar, pergi ke jendela yang masih dibasahi air hujan,
menatap ke arah badai ombak di Selat Inggris, namun pikirannya dipenuhi kenangan
masa lalu. "Ketika dia berusia tujuh belas tahun, seorang putra bangsawan jatuh
cinta padanya. Earl of Strang
241 merupakan pemuda tampan, kaya, dan baik hati. Melihat hubungan putranya dengan
putri seorang pemilik toko grosir, orangtua Strang jadi panik. Tapi Augusta
sangat cantik dan bisa membawa diri sebagai seorang calon menantu bangsawan."
"Lalu, apakah mereka bertunangan?" tanya Hugh.
"Tidak secara formal. Tapi setiap orang menduga hubungan mereka akan berakhir di
pelaminan. Beberapa waktu kemudian, terjadi skandal. Ayah Augusta diadukan oleh
bekas karyawannya yang baru dipecat kepada Dewan Perniagaan. Tuduhannya adalah
menipu timbangan barang, bahkan sampai bobot daun teh yang dibeli gereja setiap
Selasa untuk kelompok studi Alkitab pun dia tipu. Ada kemungkinan dia akan masuk
penjara. Sudah tentu dia mati-matian membantah, dan karena tidak ada bukti,
akhirnya dia bebas. Hanya saja Strang tidak mau bertemu Augusta lagi."
"Augusta pasti patah hati."
"Tidak sama sekali, Kebalikannya, dia jadi sangat marah. Selama hidupnya dia
selalu bisa memperoleh semua keinginannya, hanya yang satu ini dia gagal. Dia
jadi lebih bernafsu lagi ingin memiliki Strang, tapi tak bisa."
"Dan dia mau menikah dengan Paman Joseph hanya untuk membalas dendam, seperti
kata orang-orang." "Menurut Ibu, dia menikah dengan pamanmu dalam keadaan sangat marah. Dia lebih
muda tujuh tahun, dan perbedaan usia itu cukup besar bagi gadis berusia tujuh
belas tahun seperti dia. Selain itu, pamanmu tentu kalah jauh dari segi
panampilan dan rupa. Hanya saja pamanmu jauh lebih kaya dibandingkan Strang.
Sebagai istri, Augusta berusaha menjadi yang terbaik bagi pamanmu, hanya saja
sebagai wanita, dia masih menyimpan dendam membara."
"Apa yang terjadi pada Strang?"
"Oh, dia menikah dengan seorang putri bangsawan
242 Prancis dan kudengar dia meninggal dalam kecelakaan berburu."
"Kasihan Augusta. Aku nyaris bersimpati padanya."
"Ya, hanya saja dia jadi sangat materialistis. Dia selalu ingin lebih: uang
lebih, posisi sosial lebih, pekerjaan yang lebih bagi suaminya. Alasannya dia
begitu ambisius bagi dirinya, suaminya, dan anaknya Edward adalah karena dia
ingin memperoleh semacam ganti rugi atas hilangnya peluangnya, menikah dengan
seorang bangsawan kaya. Dia menginginkan gelar, rumah warisan, hidup nyaman,
warisan berlimpah. Tapi sebenarnya bukan itu yang ditawarkan Strang, melainkan
cinta yang tulus. Dan itu tak dapat digantikan dengan apa pun."
Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Selama ini Hugh belum pernah berbicara seintim ini dengan ibunya. Sekaranglah
saatnya ia mau membuka diri. "Ibu," ia memulai. "Tentang Maisie... "
Ibunya tampak bingung. "Maisie?"
"Gadis... yang menjadi penyebab kepindahanku ke Boston. Maisie Robinson."
Wajah ibunya kembali tenang. "Oh, dia. Augusta tidak pernah menyebutkan
namanya." Hugh masih ragu, tapi lalu mengeraskan hati. "Dia... dia bukan gadis sembarangan,
Bu." Ibunya agak jengah; pria tidak pernah menyebut soal pelacur di depan ibu mereka.
"Oh, begitu," jawabnya singkat, sambil memalingkan wajahnya.
Hugh menambahkan. "Dia memang berasal dari kelas bawah. Dan orang Yahudi." Ia
melihat wajah ibunya kembali berubah, kaget, tapi tidak marah. "Sebenarnya dia
bukan wanita sembarangan. Dia bahkan..." Hugh kembali ragu meneruskan.
"Ya, kenapa?" tanya ibunya.
"Dia bahkan masih perawan."
Wajah ibunya memerah. "Maaf aku bicara begitu, Bu," kata Hugh. "Aku
243 hanya ingin memberi gambaran dari versiku, bukan hanya versi Augusta."
Ibunya bertanya dengan lembut, "Apakah kau senang padanya, Hugh?"
"Ya, kurang-lebih begitu," Ia lalu merasa air mata mulai membasahi kedua kelopak
matanya. "Aku tidak mengerti kenapa dia menghilang begitu saja. Aku tidak tahu
ke mana dia pergi. Aku sudah mencoba menanyakannya di istal kuda tempatnya
bekerja, juga di Argyll, tempat kami bertemu. Juga Solly Greenbourne yang
menyukainya, tapi tidak tahu ke mana ia menghilang. Tonio Silva kenal temannya,
April, tapi sayang Tonio sudah kembali ke Amerika Selatan, dan April ikut
lenyap." "Misterius sekali."
"Ya, kukira ini pasti ulah Augusta."
"Tidak kuragukan hal itu. Tak bisa kubayangkan bagaimana dia mengatur semua ini,
tapi mengingat ke-licikannya, semua pasti bisa dia kerjakan. Sekarang, yang
penting bagimu adalah melihat ke masa depan, Hugh. Boston adalah peluang bagimu.
Kau harus bekerja keras dan penuh waspada."
"Dia benar-benar wanita istimewa, Bu."
Hugh bisa melihat bahwa ibunya kurang percaya omongannya. "Ya, tapi kau akan
melupakan dia, Hugh."
"Mungkinkah?" Ibunya mencium dahinya. "Pasti bisa. Aku percaya itu."
[II] DI kamar loteng yang disewa Maisie bersama April hanya ada satu gambar: sebuah
poster sirkus yang SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY memperlihatkan Maisie dalam pakaian ketat sedang berdiri di punggung kuda putih
yang berlari. Di bagian bawah poster tertulis MAISIE YANG MENAKJUBKAN.
Sebenarnya gambar itu terlalu dilebih-lebihkan, karena kenyataannya sirkus itu
tidak punya kuda putih dan kaki Maisie tidak sepanjang poster. Tapi tetap saja
Maisie senang menyimpan gambar itu, karena hanya itu kenangan yang ia miliki.
Di kamar itu hanya ada sebuah ranjang sempit, wastafel, sebuah kursi, dan sebuah
bangku kaki tiga. Pakaian mereka digantung di beberapa paku di dinding.
Jendelanya tanpa tirai, sebagai gantinya adalah debu yang menebal. Mereka sudah
berupaya selalu membersihkan kamar, tapi sia-sia. Setiap saat jelaga perapian
jatuh bertebaran, tikus keluar-masuk dari lubang-lubang di lantai, sedangkan
debu dan serangga merayap masuk dari dinding bata dan celah-celah sempit kamar.
Hari ini hujan, dan air pun tak mau kalah menambah semarak isi kamar, menetes
dari tepi jendela dan atap yang bocor.
Maisie sudah berpakaian rapi. Hari ini hari suci Rosh Hashanah, saatnya buku
kehidupan dibuka. Maisie mencoba menduga-duga, apa dan bagaimana nasibnya pada
tahun yang akan datang. Ia sebenarnya tidak pernah berdoa, hanya berharap diberi
nasib baik pada hari suci ini.
April sedang membuat teh di dapur umum. Ketika kembali, dengan gembira ia
menunjukkan selembar koran, "Ada berita untukmu, Maisie, untukmu."
"Apa?" "Di iklan pribadi Lloyd's Weekly News. Coba dengar ini, 'Miss Maisie Robinson,
dulu dikenal sebagai Miriam Rabinowicz. Se'andainya Miss Robinson bersedia
mengontak kantor pengacara Goldman & Jay di Gray's Inn, baginya ada berita yang
menguntungkan.' Benar kan, ini pasti kau!"
Jantung Masie berdebar makin keras, tapi ia bisa menyembunyikannya. Dengan nada
dingin ia berkomentar, "Ini pasti Hugh. Aku tidak akan pergi ke sana."
April tampak kecewa. "Tapi itu bisa saja dipanggil untuk menerima warisan dari
sanak keluarga jauh."
"Huh, aku mungkin Ratu Mongolia, tapi aku tetap tidak mau pergi ke Gray's Inn."
Ia berhasil membuat suaranya terdengar acuh, tapi hatinya pedih. Setiap detik,
siang-malam, ia masih memikirkan Hugh, dan ini membuatnya sengsara. Sebenarnya
ia belum kenal betul siapa Hugh, tapi ia tak bisa melupakannya.
Namun ia bersikeras ingin melupakan Hugh. Ia tahu selama ini Hugh berusaha
mencarinya. Hampir setiap malam ia berada di Argyll, menemui Sammies si pemilik
istal kuda, juga tidak putus asa mencari di setiap pondokan murahan di seluruh
penjuru London. Kemudian pencarian itu berhenti. Mungkin ia sudah menyerah. Atau
sudah mengganti taktiknya, seperti memasang iklan panggilan itu. Maisie merasa
tak bisa selamanya bersembunyi, karena Hugh begitu ingin menemukannya dan ia
sendiri ingin bertemu pemuda itu. Tapi dia sudah memutuskan untuk tidak menemui
Hugh lagi. Ia begitu mencintai Hugh, hingga tak sampai hati meruntuhkan
kariernya. Ia mengenakan korsetnya. "Tolong bantu aku mengikatnya," katanya pada April.
April mulai menarik tali-temali korset. "Aku belum pernah masuk koran," katanya
iri. "Kau sudah dua kali, sekarang dan dulu, sebagai Si Singa Betina."
"Dan kau tahu apa akibatnya. Astaga, aku jadi makin gemuk."
April selesai mengikat korset, lalu membantunya mengenakan gaun. Mereka akan
pergi malam ini. April punya kekasih baru, seorang editor majalah setengah baya
yang punya istri dan enam anak di Clapham. Malam ini ia dan rekannya akan
membawa April dan Maisie berdansa di gedung musik.
246 Mereka merencanakan akan jalan-jalan di sepanjang Bond Street sambil melihat-
lihat etalase toko-toko. Tapi mereka tidak akan membeli apa-apa. Agar tidak
bertemu Hugh lagi, selama dua bulan ini Maisie tidak bekerja lagi pada Sammies,
padahal ia dinilai sangat berhasil dalam penjualan kuda. Selama beberapa bulan
ia bekerja, sudah lima kuda dan beberapa anak kuda terjual. Sekarang uang
simpanannya makin menipis. Hari ini mereka tetap mesti keluar rumah, meski cuaca
buruk. Terlalu pengap berdiam diri di kamar.
Gaun yang dipakai Maisie tampak terlalu kekecilan di bagian dada dan pinggang.
April memeriksa sebentar sambil berpikir, lalu bertanya, "Apakah payudaramu
tampak meradang akhir-akhir ini?"
"Ya, kedua-duanya aku tidak tahu kenapa."?"Maisie," tanya April khawatir, "kapan terakhir kamu menstruasi?"
"Aku tidak pernah-menghitung." Setelah berpikir sejenak, ia berkata dengan nada
takut, "Oh, tidak!" "Kapan?"
- "Kukira sekitar beberapa hari sebelum pacuan kuda di Goodwood. Menurutmu
apakah aku sekarang hamil?"
"Ya, pasti! Payudaramu meradang dan kau tidak menstruasi selama dua bulan," kata
April dengan kesal. "Aku heran kau bisa begitu bodoh. Siapa yang bertanggung
jawab?" , "Sudah tentu Hugh. Tapi kami hanya melakukan sekali. Bagaimana bisa hamil jika
hanya sekali?" "Kau selalu hamil jika sekali bercinta saja."
"Oh, Tuhan," keluh Maisie. Kepalanya serasa kena palu. Tubuhnya lemas. Lututnya
gemetar. Ia terduduk di pinggir ranjang dan mulai menangis. "Apa yang harus
kuperbuat sekarang?" tanyanya putus asa.
"Sebaiknya kita segera pergi ke pengacara yang memuat iklan ini."
*** 247 Tiba-tiba segalanya berubah.
Semula Maisie masih takut dan marah. Lalu ia menyadari bahwa sekarang ia harus
bertemu dengan Hugh, demi anak yang dikandungnya. Dan ketika ia menerima
kenyataan ini, ia tidak lagi takut, malah senang. Sebenarnya ia sangat rindu
pada Hugh. Semula ia yakin, tak perlu menemui Hugh lagi, tapi sekarang ia
mengalah, la wajib menghubungi Hugh, dan ini membuatnya berdebar campur lega.
Begitulah perasaannya ketika ia dan April menapaki tangga kantor di Gray's Inn.
Iklan itu bisa saja bukan dari Hugh, la tidak akan heran jika Hugh telah
menghentikan pencarian. Maisie sama sekali tidak memberi peluang, dan pria
tentunya takkan mau menunggu selamanya. Mungkin iklan itu dari kedua
orangtuanya, kalau mereka masih hidup. Mereka mungkin sudah punya uang untuk
mencarinya. Bagaimana jika memang mereka" Ada saat-saat ia merindukan kedua
orangtuanya, tapi ia takut mereka akan malu jika mengetahui cara hidupnya
sekarang. Mereka tiba di puncak anak tangga dan masuk ke sebuah kantor. Di bagian depan
kantor, seorang petugas muda melemparkan senyum ramahnya. Meski kedua gadis itu
basah kuyup dan lusuh, ia tetap mengeluarkan rayuannya. "Nona-nona, bagaimana
bisa dua bidadari jelita datang ke kantor Goldman and Jay" Apa yang bisa
kulakukan untuk membantu kalian berdua?"
April langsung menjawab, "Pertama, lepaskan jasmu... warnanya menyakitkan mata."
Maisie lebih tidak sabar lagi. "Namaku Maisie Robinson," katanya langsung ke
sasaran. "Aha! Iklan itu. Kebetulan sekali, pria pemasangnya sekarang sedang bicara
dengan Mr. Jay." Maisie serasa akan pingsan karena ragu campur takut. "Coba katakan," tanyanya
agak ragu. "Pria pemasang iklan itu... apakah Mr. Hugh Pilaster?"
248 Si petugas menjawab tanpa melihat wajah Maisie. "Astaga, bukan dia!"
Harapan Maisie kembali lenyap. Ia terduduk di ujung bangku kayu di dekat pintu
masuk, berusaha untuk tidak menangis. "Bukan dia."
"Ya, bukan dia," jawab si petugas. "Kebetulan aku kenal Hugh Pilaster. Dulu kami
satu sekolah di Folkestone. Dia sudah pergi ke Amerika."
Maisie sangat kaget. "Amerika?" tanyanya berbisik.
"Boston, Massachusetts. Naik kapal beberapa minggu yang lalu. Kau kenal dia,
ya?" Maisie tidak menghiraukan pertanyaan itu. Hatinya mengeras seperti batu, dingin
dan membeku. Sudah pergi ke Amerika. Dan ia mengandung anaknya. Ia terlalu
terkejut untuk menangis. Dengan agresif April bertanya, "Kalau begitu, siapa pemasang iklan itu?"
Si petugas tiba-tiba sadar bahwa ia kalah wibawa di depan dua gadis itu. Dengan
gugup ia berkata, "Sebaiknya kuminta si pemasang iklan mengenalkan dirinya pada
kalian berdua. Permisi sebentar." Ia menghilang ke pintu dalam.
Maisie menatap kosong judul-judul beberapa boks berkas perkara yang ditumpuk
rapi di depan dinding: Blenkinsop Estate, Regina lawan Para Penggiling Gandum
Wiltshire, Mrs. Stanley Evans (almarhumah). Perkara yang ditangani kantor
pengacara ini kebanyakan mencakup tragedi kehidupan: kebangkrutan, kematian,
perceraian, penuntutan perkara.
Ketika pintu dibuka kembali, seorang pria lain muncul. Penampilannya meyakinkan.
Usianya tidak beda jauh dengan Maisie. Wajahnya mirip wajah nabi-nabi di
Alkitab. Kedua matanya yang gelap tampak tajam di bawah alis tebal dan hitam.
Hidungnya besar, dengan cuping lubangnya melebar. Janggutnya juga lebat.
Tampangnya serasa tidak asing lagi bagi Maisie, dan untuk
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY sesaat ia jadi ingat wajah ayahnya, kendati ayahnya tidak seberingas laki-laki
itu. "Maisie?" tanyanya langsung. "Maisie Robinson?"
Pakaian yang dikenakannya agak aneh, seakan baru dibeli dari luar negeri, dan
aksennya kental aksen Amerika. "Ya, saya Maisie Robinson," jawab Maisie. "Siapa
kau?" "Apa kau tidak mengenali aku?"
Tiba-tiba Maisie ingat seorang anak laki kecil, kurus, telanjang kaki, dan
berpakaian compang-camping, dengan kumis tipis mulai membayang di atas bibirnya
serta sorot mata nekat. "Oh, tidak... Tuhan!" ia berseru. "Danny!" Untuk sesaat ia
lupa masalahnya sendiri dan ia lari ke pelukan pria itu. "Danny, kaukah ini?"
Danny memeluk adiknya begitu erat, sehingga Maisie merasa sakit. "Ya, ini aku."
"Siapa?" sela April. "Siapa dia?"
"Kakakku!" jawab Maisie. "Yang dulu lari ke Amerika! Dia sekarang kembali!"
Danny melepas pelukannya dan menatap adiknya lama. "Bagaimana kau bisa begitu
cantik?" tanyanya. "Kau dulu begitu kurus!"
Maisie menyentuh janggut Danny. "Aku tadi pasti lebih cepat mengenalimu jika
tidak ada janggut ini."
Tiba-tiba di belakang Danny terdengar suara dehaman kecil. Maisie melihat
seorang pria setengah tua berdiri di depan pintu dengan tatapan sedikit
mencemooh. "Rupanya kami telah berhasil menemukan yang dicari." katanya.
Danny berkata, "Mr. Jay, perkenankan aku memperkenalkan adikku, Miss Maisie
Robinson." "Senang bertemu Anda, Miss Robinson. Bolehkah saya memberikan saran?"
"Kenapa tidak?" jawab Danny.
"Di Theobalds Road ada kedai kopi, tidak jauh dari tempat ini. Di tempat itu
kalian bebas melepas rindu."
250 Mr. Jay jelas menunjukkan ia ingin mereka pergi dari kantornya, tapi Danny tidak
begitu peduli, la menanyakan dulu kesediaan adiknya dan April, "Bagaimana,
kalian ingin di mana" Di kedai kopi atau di sini saja?"
"Di sana saja," jawab Maisie.
Mr. Jay cepat-cepat menukas. "Dan mungkin Anda bersedia kembali ke sini nanti
untuk menyelesaikan rekening Anda, Mr. Robinson?"
"Aku tidak mungkin lupa itu. Mari kita pergi."
Mereka meninggalkan kantor dan turun ke lantai bawah. Banyak sekali yang ingin
ditanyakan Maisie, ia mengendalikan rasa ingin tahunya. Begitu mereka duduk di
dalam kedai kopi, ia langsung bertanya, "Apa saja yang kaulakukan selama tujuh
tahun terakhir ini?"
"Ikut membangun jaringan rel kereta api. Aku datang ke Amerika pada saat yang
tepat. Perang saudara baru saja selesai dan pembangunan rel kereta api besar-
besaran baru mulai. Mereka butuh pekerja, sampai-sampai mengimpor dari Eropa.
Bahkan anak usia empat belas yang kurus kecil seperti diriku juga laku kerja.
Jadi. aku mulai bekerja, pertama di St. Louis, membangun jalan kereta api di
atas jembatan Sungai Mississippi, lalu pindah ke Utah, ikut perusahaan Union
Pacific Railroad. Pada usia sembilan belas tahun, aku sudah tumbuh besar karena
biasa mengerjakan tugas orang dewasa. Aku ikut bergabung dalam serikat buruh,
dan tak lama kemudian memimpin pemogokan."
"Lalu kenapa kau kembali ke sini?"
"Pasar modal di Amerika ambruk. Perusahaan kereta api ikut kena getahnya. Juga
bank yang biasa membiayai mereka. Terjadi pengangguran besar-besaran. Ribuan
orang mencari pekerjaan. Jadi kuputuskan kembali ke Inggris, untuk memulai hidup
baru." "Apa yang akan kaulakukan di sini" Membangun rel kereta api?"
Ia menggelengkan kepala. "Tidak, aku punya gagasan
251 baru. Dua kali hidupku dilanda kesialan gara-gara ambruknya pasar modal.
Sekarang aku jadi yakin bahwa para bankir adalah manusia paling dungu di dunia.
Mereka tidak pernah belajar dari pengalaman, akibatnya mereka selalu melakukan
kesalahan yang sama, berulang kali. Dan siapa yang paling menderita" Para
pekerja. Tak seorang pun akan membantu kita, tak seorang pun yang bersedia.
Jadi, sesama pekerja harus saling membantu."
April memberi komentar, "Kau salah. Tidak ada orang yang mau membantu orang lain
di dunia ini. Kau harus selalu siap bagi dirimu sendiri."
April memang sering berkata begitu, batin Maisie, padahal kenyataannya ia
pemurah dan siap melakukan apa saja demi temannya.
Danny menjawab, "Aku akan mendirikan organisasi khusus bagi para pekerja. Setiap
minggu, masing-masing membayar iuran sebanyak enam penny. Jika mereka sedang
tidak punya pekerjaan, organisasi akan menanggung sebesar satu pound seminggu
selama dia mencari pekerjaan baru."
Maisie memandang kakaknya dengan kagum. Rencana yang ambisius tapi ia ingat ?kata-kata kakaknya ketika masih berusia empat belas tahun: Di pelabuhan ada
kapal yang akan berangkat ke Boston besok fajar. Aku akan memanjat naik ke
dalamnya dan bersembunyi di salah satu sekoci di atas dek. Ia tak pernah mundur
dari apa yang ia rencanakan, apalagi sekarang. Ia berkata pernah memimpin
pemogokan. Rupanya ia memang berbakat menjadi pemimpin.
"Tapi bagaimana kabar Papa dan Mama?" tanya Danny. "Kau pernah berhubungan
Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan mereka?" Maisie menggeleng dan mulai menangis. Tiba-tiba ia merasakan pedih karena
kehilangan keluarganya, rasa sakit yang selama bertahun-tahun ia coba campakkan
dari hatinya. 252 Danny merangkul bahu adiknya. "Aku akan coba menelusuri mereka."
"Kuharap kau bisa menemukan mereka." pinta Maisie. "Aku benar-benar kehilangan
mereka." Ia melihat tatapan April yang penuh keterkejutan. "Aku khawatir mereka
akan malu jika melihat diriku."
"Kenapa?" tanya Danny.
"Aku sedang hamil."
Wajah kakaknya memerah. "Dan belum menikah?" "Belum."
"Akan menikah segera?" "Tidak."
Danny marah. "Siapa bedebah itu?" Maisie tiba-tiba jadi marah. "Tak perlu marah
seperti itu!" "Akan kupatahkan lehernya."
"Tutup mulutmu, Danny! Tujuh tahun yang lalu kau meninggalkan aku. Sekarang
tiba-tiba kau muncul dan bersikap seakan aku ini milikmu." Danny terkesima, dan
Maisie jadi agak tenang. "Tak apalah. Dia akan mengawini aku kapan saja aku mau,
hanya aku tidak bersedia, jadi lupakan saja soal dia. Lagi pula dia sudah pergi
ke Amerika!" Danny ikut tenang. "Jika aku bukan kakakmu sendiri, aku pasti mau mengawinimu.
Kau begitu cantik! Tapi sudahlah. Akan kuberikan semua simpanan uangku padamu."
"Tidak, aku tidak memerlukannya." Maisie tahu ia terdengar pongah, tapi tak bisa
mencegahnya. "Aku tidak butuh uangmu, Danny. Pakai saja untuk mendirikan
organisasimu. Aku bisa menjaga diriku sendiri. Jika pada umur sebelas tahun aku
bisa, kenapa sekarang tidak?"
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY MICKY MIRANDA dan Papa melewatkan makan siang di sebuah restoran kecil di Soho,
menikmati kerang rebus makanan paling murah dalam daftar menu dan minum bir ? ?paling keras. Restoran ini terletak di dekat Perwakilan Kordoba di Portland
Place, tempat Micky sekarang bekerja selama sejam dua jam setiap hari, mensortir
surat-surat untuk duta besarnya. Hari ini ia sudah bebas tugas dan menemani Papa
makan siang. Mereka duduk berhadapan di bangku kayu yang keras. Lantai di situ
penuh debu dan langit-langitnya yang rendah sangat kotor. Sebenarnya Micky benci
makan di tempat seperti ini, tapi demi penghematan ia tak punya pilihan lain. Ia
makan di Klub Cowes hanya jika ditraktir Edward. Selain itu, mengajak Papa makan
di Klub Cowes akan mengundang malu. Siapa tahu Papa meludah seenaknya, atau
menyumpah serapah, dan bisa juga mencabut pistol.
Papa menyelesaikan sisa lauk terakhir di mangkuknya dengan potongan roti, lalu
menyingkirkan mangkuk di depannya. "Aku harus menjelaskan sesuatu padamu,"
katanya. Micky meletakkan sendoknya.
Papa berkata, "Aku butuh senapan-senapan itu untuk menyerang keluarga Delabarca.
Jika mereka sudah kuhancurkan, akan kukuasai tambang nitrat mereka. Keluarga
kita akan jadi kaya sekali."
Micky mengangguk pelan. Ia sudah pernah mendengar rencana ini, tapi tidak berani
mengatakannya. "Tambang nitrat hanya untuk sementara, langkah kita yang pertama," Papa
melanjutkan dengan mantap. "Jika sudah punya uang banyak, kita beli senapan
lebih banyak lagi. Selain itu, kerabat kita akan kuatur agar punya jabatan
penting di provinsi."
254 Micky agak tertarik, karena hal ini baru baginya.
"Sepupumu Jorge akan jadi kolonel di Angkatan Darat. Kakakmu Paulo akan jadi
kepala polisi di Provinsi Santa Maria."
Jadi, dia bisa secara legal melanjutkan hobinya menyiksa orang, pikir Micky.
"Lalu aku akan mengangkat dirku sendiri jadi gubernur provinsi."
Gubernur! Tak disangka Papa punya ambisi setinggi ini.
Tapi Papa belum selesai. "Jika sudah menguasai provinsi, kita akan melangkah
lebih jauh lagi seluruh negara.?Mulanya kita akan berpura-pura jadi pengikut setia Presiden Garcia. Kau akan
menjadi duta besarnya di London. Saudaramu akan jadi menteri kehakiman, mungkin.
Paman-pamanmu akan jadi jenderal. Saudara tirimu, Dominic, si pastor itu akan
jadi uskup Palma." Micky kaget. Ia tak pernah tahu kalau ia punya saudara tiri. Dan ia tak
menyangka ayahnya punya pandangan sejauh itu. Tapi ia diam saja, tidak mau
menyela cerita Papa. "Dan kelak, jika waktunya sudah tepat, kita akan menyingkirkan keluarga Garcia."
"Maksud Papa, menjatuhkan pemerintahan sekarang?" tanya Micky kaget. Kedua
matanya terbelalak. Ia terpesona oleh keberanian dan rasa percaya diri ayahnya.
"Ya. Dalam waktu dua puluh tahun lagi, anakku, kalau bukan aku pasti kau yang
akan menjadi presiden Kordoba."
Micky mencoba mencerna rencana ayahnya. Kordoba mempunyai landasan undang-undang
untuk menyelenggarakan pemilihan umum secara demokratis, tapi hal itu tak pernah
terselenggara. Presiden Garcia merebut kekuasaan sepuluh tahun yang lalu, ketika
ia menjadi panglima angkatan bersenjata, orang kepercayaan Presiden Lopez yang
memimpin pemberontakan melawan penjajah Spanyol. Pada waktu itu, ayah Micky juga
ikut berperang bersama koboi-koboinya.
Papa benar-benar membuat Micky terkejut dengan strateginya yang licik: pura-pura
menjadi pengikut setia penguasa yang sekarang, dan kelak, jika si penguasa
sedang lengah, Papa akan memberontak. Tapi apa peran Micky" Ia harus menjadi
duta besar Kordoba di London. Ia sudah berhasil menyingkirkan Tonio Silva secara
licik. Ia mesti melakukan hal yang sama pada Duta Besar.
Jika ayahnya berhasil jadi presiden, ia akan menjadi menteri luar negeri, dan
bisa keliling dunia sebagai wakil negaranya. Tapi bukankah tadi Papa mengatakan
bahwa Micky bisa saja jadi presiden" Bukan Paulo, bukan pamannya Rico, tapi
Micky. Apakah mungkin"
Kenapa tidak" Micky cerdik, kejam, dan punya relasi hebat di London: apa lagi
yang dibutuhkan" Bayangan bisa memimpin seluruh negara membuatnya sangat
bergairah. Bayangkan, setiap orang akan membungkuk hormat padanya, dan para
wanita tercantik di seluruh Kordoba akan berada dalam kekuasaannya, baik secara
sukarela atau paksaan. Dan ia juga-akan sangat kaya, setara dengan keluarga
Pilaster. '"Presiden" Hmmm... saya sangat senang mendengarnya." Tanpa sadar ia bergumam
penuh impian. Tiba-tiba Papa berdiri dan menampar pipi Micky.
Kendati sudah tua, Papa masih sangat kuat, apalagi telapak tangannya besar dan
kasar. Micky menjerit kesakitan, kaget. Ia berdiri sambil menyeka darah di
bibirnya. Restoran itu jadi senyap. Semua orang menanti apa yang akan terjadi.
"Duduk!" perintah ayahnya dengan tegas.
Dengan ragu dan enggan Micky duduk kembali di kursinya.
Papa mencondongkan tubuh dan menyambar leher
256 baju Micky. Dengan geram ia berkata, "Seluruh rencana hebat ini terancam gagal
karena kau tak bisa melaksanakan satu tugas kecil... tugas sederhana yang
dibebankan padamu!" Micky ketakutan dengan reaksi ayahnya yang tiba-tiba bengis. "Papa, Papa pasti
akan memperoleh senapan-senapan itu."
"Satu bulan lagi musim semi akan tiba di Kordoba. Tahun ini juga kita sudah
harus mengambil alih tambang Delabarca tahun depan sudah terlambat. Aku sudah ?pesan tempat di kapal yang akan menuju Panama. Kaptennya sudah kusogok untuk
menurunkan senapan-senapan itu di pantai Santamaria." Tiba-tiba Papa berdiri
sambil menyeret Micky. Wajahnya merah padam menahan marah. "Kapal itu akan
berlayar lima hari lagi," tekanan suaranya membuat nyali Micky terbang.
"Sekarang kau keluar dari tempat ini dan segera beli senapan itu!"
Kepala pelayan Augusta, Hastead, mengambil jas Micky yang basah dan
menggantungkannya di dinding dekat perapian. Micky tidak mengucap terima kasih.
Mereka sejak lama saling membenci. Hastead cemburu pada semua orang yang bisa
menarik perhatian Augusta, sedangkan Micky muak dengan sikap menjilat Hastead.
Selain itu, Micky tak pernah bisa menebak ke arah mana sebenarnya tatapan mata
Hastead. Ini membuatnya tidak tenang.
Micky masuk ke ruang duduk dan mendapati Augusta sedang duduk sendirian. Ia
tampak senang melihat kedatangan Micky. Ia meraih kedua tangan Micky dan
berkata, "Tanganmu dingin sekali."
"Saya tadi berjalan kaki melintasi taman."
"Oh, kasihan. Kau seharusnya naik kereta." Augusta tidak tahu Micky tak mampu
menyewa kereta kuda. Ditekankannya kedua tangan Micky -ke dadanya, seperti
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY isyarat mengundang, tapi ia pura-pura hanya ingin menghangatkan tangan Micky.
Augusta memang sering bersikap mengundang jika mereka hanya berdua, dan Micky
menikmatinya. Ia pun dengan sengaja menyentuh bahu Augusta, atau memandang
langsung ke kedua matanya dalam-dalam, dan mereka akan bicara perlahan-lahan
seperti sepasang kekasih. Tapi hari ini Micky sedang gundah, sehingga ia tidak
menyambut permainan Augusta. Dengan gugup ia bertanya, "Bagaimana kabar Old
Seth?" Ia berharap jawabannya buruk.
Augusta bisa merasakan suasana Micky. Dengan kecewa ia melepaskan kedua
tangannya. "Mendekatlah ke perapian," katanya. Ia mengambil tempat di sofa dan
menepuk-nepuk kursi di sampingnya, menyuruh Micky duduk. "Seth jauh lebih
sehat." Micky terenyak. Augusta melanjutkan. "Dia mungkin bisa bertahan beberapa tahun lagi." Nadanya
jengkel. Jelas ia tak sabar lagi menunggu suaminya naik menjadi Mitra Senior.
"Kau tahu dia sekarang tinggal di sini. Kau bisa menengoknya setelah minum teh
nanti." "Dia tentu akan pensiun secepatnya?" tanya Micky.
"Sayangnya belum ada tanda-tanda ke arah itu. Baru pagi tadi dia menolak saham
jalan kereta api Rusia." Augusta menepuk lutut Micky. "Sabar. Papamu pasti akan
memperoleh senapan-senapannya."
"Dia tak bisa menunggu lebih lama lagi," jawab Micky penuh cemas. "Lagi pula dia
akan pulang minggu depan."
"Oh, jadi itu sebabnya kau tampak tegang sejak tadi," komentar Augusta penuh
simpati. "Kasihan. Kuharap aku bisa membantumu."
"Anda tidak kenal ayah saya," jawab Micky putus asa. "Dia bisa bersandiwara
sebagai pria berbudaya, tapi sebenarnya dia liar. Tuhan tahu apa yang akan dia
perbuat jika saya gagal memenuhi tugasnya."
258 Dari ruang depan terdengar suara ramai. Dengan tergesa-gesa Augusta berkata,
"Ada yang perlu kuberitahukan kepadamu sebelum mereka datang ke sini. Akhirnya
aku bertemu juga dengan Mr. David Middleton."
Micky mengangguk. "Apa katanya?"
"Dia sopan, tapi terus terang. Katanya dia tetap tak percaya tentang kematian
adiknya di kolam itu. Dia tetap minta alamat Hugh dan tetap akan mencari di mana
Tonio Silva sekarang berada. Kukatakan mereka sekarang sudah berada di luar
negeri, jadi dia cuma buang-buang waktu mencari mereka."
"Kalau saja kita bisa memecahkan masalah Old Seth secepat masalah David ini,"
kata Micky. Pintu kamar terbuka.
Ternyata yang datang Edward dan adiknya, Clementine yang wajahnya serupa ibunya,
hanya minus daya sensualitasnya. Augusta menuangkan teh. Micky membicarakan
acara sore nanti dengan Edward. Di bulan September, suasana London kurang
semarak. Para bangsawan masih berlibur di luar London sampai bulan Desember.
Hanya para politisi yang masih ada. Untuk hiburan kelas menengah tentu masih
ada, hanya pesta-pesta megah yang menghilang. Edward sudah membeli dua tiket
teater untuk mereka berdua. Micky pura-pura sangat berminat, walau sebenarnya
pikirannya masih tersita soal Old Seth.
Hastead masuk membawa kue lapis mentega yang masih hangat. Edward makan beberapa
potong, tapi Micky sama sekali tidak bernafsu. Lalu masuk anggota keluarga yang
lain: Young William, saudara lelaki Joseph; Madeleine si buruk rupa, saudari
Joseph; suami Madeleine, Mayor Harstshorn yang berparut bekas luka di dahinya.
Topik sore ini: krisis keuangan di dunia, namun menurut Micky sama sekali tidak
ada nada khawatir dalam pembicaraan mereka. Semua ini berkat Old Seth yang telah
memprediksi jauh sebelumnya soal
krisis ini. Saham-saham dan obligasi pemerintah Inggris dan bisnis jaringan
kereta api dalam negeri tidak terlalu terpengaruh, tapi saham dan obligasi
pemerintah Mesir, Peru, atau Turki telah kehilangan nilainya sama sekali.
Lalu satu demi satu naik ke kamar Seth; lalu turun sambil berkomentar betapa
sehatnya ia. Lalu tiba giliran terakhir, Micky. Tepat jam setengah enam sore ia
naik ke kamar Seth. Seth memakai kamar bekas Hugh. Seorang perawat selalu siap menjaga di depan
pintu kamar untuk melayani kebutuhannya. Micky masuk dan menutup pintu.
Seth duduk bersandarkan bantal di ranjang, sedang membaca The Economist. Dengan
sopan Micky mengucapkan, "Selamat sore, Mr. Pilaster. Bagaimana kesehatan Anda?"
Seth meletakkan bacaannya dengan enggan. "Baik, terima kasih. Bagaimana kabar
ayahmu?" "Sudah tak sabar ingin pulang ke rumah." Micky memperhatikan betapa rapuhnya
keadaan orang tua ini. Kulit wajahnya tampak transparan, hidung betetnya lebih
tajam. Hanya sorot matanya yang masih terlihat cerdas. Kelihatannya ia masih
bisa bertahan memimpin banknya sampai bertahun-tahun yang akan datang.
Micky seakan mendengar suara bentakan ayahnya di telinga, Siapa yang menghalangi
rencana kita" Seth tampak renta dan tak berdaya, dan di dalam kamar hanya ada Micky. Perawat
berada di luar kamar. Micky tiba-tiba sadar bahwa ia harus menyingkirkan Seth.
Suara ayahnya kembali terdengar: Lakukan sekarang juga!
Micky tahu ia bisa membekap Seth dengan bantal sampai mati. Tidak ada bukti dan
saksi. Setiap orang akan menyangka ia mati karena usia tua.
Hati Micky tiba-tiba dipenuhi rasa muak, campur kebencian yang luar biasa.
260 "Kenapa kau?" tanya Seth tiba-tiba. "Kau tampak lebih sakit daripada aku?"
"Apakah posisi Anda cukup nyaman. Mr. Pilaster?" tanya Micky. "Biarkan saya
menata bantal Anda."
"Tidak perlu, semuanya sudah nyaman." jawab Seth, tapi Micky tetap saja meraih
bantal di belakang kepala Seth.
Micky memandang wajah Seth dan tampak agak ragu.
Dari mata Seth terpancar rasa takut yang luar biasa, bibirnya bergetar akan
memanggil seseorang. Sebelum ia sempat berteriak, Micky dengan cepat menutup wajahnya dengan bantal
besar di tangan dan mendorong kepalanya ke belakang.
Tapi lengan Seth masih bebas. Ia menyambar lengan Micky sekuat tenaga. Micky
terbelalak ngeri melihat tangan kurus itu mencengkeram lengan bajunya, namun
tidak muncur. Seth mencakar-cakar lengan Micky dengan putus asa, namun sia-sia.
Micky terlalu kuat baginya.
Akhirnya Seth mulai menendang dan meliuk, namun tetap tak bisa melepaskan diri
dari Micky. Ranjang Hugh ikut berderak. Micky panik, khawatir suara derak itu
terdengar oleh si perawat di depan kamar. Satu-satunya jalan adalah menindih
tubuh Seth. Sambil tetap membekap wajah Seth dengan bantal, ia naik ke atas
tubuh renta Seth yang bergerak-gerak putus asa. Ini mirip dengan adegan laki-
laki yang memaksa seorang wanita untuk tidur bersamanya, pikir Micky, dan ia
cuma berusaha menahan tawa histeris yang nyaris keluar tak tertahan. Seth masih
bergerak-gerak, namun gerakannya tertahan oleh berat badan Micky dan ranjang
Hugh tidak berderak lagi. Micky tetap bertahan.
Sesaat kemudian, Seth diam tak bergerak lagi. Micky menunggu sesaat, lalu dengan
hati-hati mengangkat bantalnya. Di depannya tampak wajah putih pucat Seth. Kedua
matanya tertutup rapat. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Micky sadar ia harus
segera memastikan apakah masih ada detak jantung. Dengan perlahan dan takut ia
menempelkan telinganya di dada tubuh tua di bawahnya,
Tiba-tiba kedua mata Seth terbuka membelalak, dan ia menarik napas berat dengan
susah payah. Micky hampir saja berteriak ketakutan. Tapi ia segera sadar dan bantal membekap
wajah Seth dengan bantal. Micky gemetar ketakutan dan lemas, rasanya ingin
muntah; tapi kali ini tidak ada perlawanan lagi dari Seth.
Micky tahu ia harus tetap membekap wajah Seth selama beberapa menit lagi, untuk
memastikan ia benar-benar mati. Tapi ia ingat bahwa si perawat bisa saja tiba-
tiba masuk, ingin tahu kenapa tidak ada suara dari dalam kamar. Micky harus
pura-pura bicara dengan Seth. Apa saja, asalkan terdengar suara dari dalam
kamar. Ia bingung, apa yang harus dikatakan pada orang yang sudah mati. Apa
saja, tolol, asalkan terdengar suara. Apa saja. "Saya baik-baik saja, Mr.
Pilaster." gumamnya putus asa. "Baik-baik saja. Dan bagaimana dengan Anda
sendiri" Ya, saya senang mendengar Anda sudah lebih baik." Oh, Tuhan, aku tak
sanggup lagi. "Tentu... tentu akan saya doakan semoga tetap sehat. Tentu... bagus...
bagus sekali...."
Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Micky tidak tahan lagi. Ia mengendurkan tekanan bantalnya. Dengan jijik ia
mengangkat tangannya dari bantal dan meraba dada kiri Seth. Kulit si tua tampak
putih dengan bulu-bulu halus. Masih terasa hangat di balik piamanya, hanya saja
kali ini tidak ada denyut kehidupan lagi. Apa kau benar-benar sudah mati kali
ini" pikir Micky cemas. Dan tiba-tiba ia seakan mendengar suara ayahnya kembali,
marah dan tak sabar. Ya, tolol! Dia sudah mati, sekarang cepat keluar dari kamar
ini! Tanpa memindahkan bantal dari wajah Seth, Micky beranjak turun dari tubuh
Seth dan berdiri. Rasa mualnya menyelimuti dirinya. Ia merasa lemas dan lunglai; digapainya tiang
ranjang untuk menopang SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY tubuhnya agar tidak jatuh. Aku telah membunuhnya! Membunuh si tua Pilaster!
Dari luar kamar terdengar langkah seseorang.
Micky menatap tubuh kaku di ranjang. Bantalnya masih berada di atas wajah Seth.
Ia menyambarnya secepatnya. Sekarang kedua mata Seth tampak membelalak. Melotot.
Pintu kamar terbuka. Augusta masuk. Ia berdiri sesaat di ambang pintu, memandangi ranjang yang awut-awutan, wajah
Seth yang kaku membelalak, tangan Micky yang masih memegang bantal. Seketika
wajah Augusta memucat. Micky hanya terpana diam, memandang pasrah ke arah Augusta.
Augusta juga diam menatap pemandangan di depannya, lalu ke wajah Micky, lalu
kembali lagi ke tubuh Seth.
Lalu dengan perlahan Augusta menutup pintu kamar.
Ia mengambil bantal dari tangan Micky, mengangkat kepala Seth, dan meletakkan
bantal itu di bawah kepalanya, lalu merapikan seprainya. The Economist yang
terjatuh di lantai ia raih, diletakkan di "tas dada Seth, lalu kedua tangan Seth
ditatanya di atas majalah. Sekarang Seth tampak seperti tertidur sewaktu
membaca. Kemudian ia mengatupkan kedua kelopak mata Seth.
Ia menghampiri Micky. "Kau gemetar," bisiknya. Diraihnya wajah pemuda itu dengan
kedua tangannya, lalu diciumnya bibirnya.
Sesaat Micky tidak memberikan reaksi apa pun. Ia masih terlalu gemetar untuk
merasakan apa-apa. Lalu dengan cepat ketakutannya berubah menjadi gairah.
Ditariknya tubuh Augusta, dipeluknya. Dadanya bisa merasakan payudara Agusta
yang menekan. Augusta kembali menciuminya dan Micky membalasnya. Selama beberapa
saat mereka lupa akan keadaan sekitar.
Augusta yang lebih dulu sadar. Dengan cepat ia melepaskan dekapannya. "Aku akan
kembali ke kamarku," bisiknya. "Kau secepatnya meninggalkan rumah ini."
"Augusta..." "Panggil aku Mrs. Pilaster!" "Baiklah..."
"Dan perbuatan kita tadi tak pernah terjadi," bisik Augusta dengan sengit. "Kau
paham itu" Tidak ada apa pun yang terjadi di kamar ini!"
"Baiklah," jawab Micky pelan.
Augusta merapikan gaunnya, menata rambutnya. Micky masih terpana oleh kekuatan
wanita itu. Augusta pergi meninggalkan kamar. Secara otomatis Micky mengekor di
belakangnya. Si perawat memandang mereka. Augusta meletakkan telunjuk di bibirnya sambil
berbisik, "Sst... dia baru saja tertidur nyenyak."
Micky sangat terkesima atas sikap Augusta yang begitu dingin dan tenang.
"Syukur," jawab si perawat." Tidur akan sangat baik bagi kesehatannya. Aku. akan
membiarkan dia istirahat sepuasnya."
Augusta mengangguk setuju. "Ya, aku juga begitu jika aku jadi kau. Percayalah,
dia sekarang benar-benar tenang beristirahat."
264 di-scan dan di-djvu kan untuk dimhader (dimhad.co.ee) oleh
O IB II Dilarang meng-komersil-kan atau kesialan menimpa anda selamanya
BAB SATU [U HUGH kembali ke London enam tahun kemudian. Selama masa itu, kekayaan keluarga
Pilaster sudah berlipat ganda dan sebagian karena jasa Hugh.?Prestasinya di Boston sangat luar biasa, melebihi yang ia bayangkan semula.
Setelah Amerika pulih dari perang saudara, perniagaan antara Eropa dan Amerika
berkembang pesat. Hugh memastikan Pilasters Bank benar-benar ikut aktif dalam
perkembangan ekonomi ini.
Setelah perang, pemerintah dan dunia bisnis selalu membutuhkan uang kontan dan
hanya pihak banklah yang bisa menyediakannya. Hugh menasihati mereka untuk
menerbitkan obligasi dan saham yang sehat. Dan Pilasters Bank yang menjadi
penyangga sekaligus penyedia dananya.
Selain itu, Hugh telah mengasah dirinya menjadi ahli dalam memanfaatkan pasar
saham perusahaan rel kereta api yang sedang mengalami kekalutan. Ia bisa
merekomendasikan perusahaan mana yang akan menguntungkan, dan mana yang tidak
akan berkembang ke puncak. Mulanya Paman Joseph agak cemas, karena masih
traumatis atas kebangkrutan pasal modal New York
pada tahun 1873, tapi Hugh yang telah mewarisi sikap hati-hati nenek moyang
Pilasternya dalam memutar uang, dikombinasi dengan intuisi yang tajam, hanya
menanam modal pada saham berkualitas prima. Terbukti semua perhitungannya selalu
tepat dan menguntungkan. Saat ini Pilasters Bank dikenal sebagai bank utama yang
mampu menyediakan modal bagi perkembangan industri di belahan Amerika Utara.
Gaji Hugh sendiri sudah meningkat menjadi seribu pound per tahun, dan ia tahu
nilai keahliannya sebenarnya jauh di atas jumlah itu.
Ketika kapalnya merapat di Liverpool, ia dijemput oleh kepala klerk cabang lokal
Pilasters Bank, orang yang selama ini sering berhubungan lewat telegram
dengannya. Mereka tidak pernah bertemu sebelumnya, jadi ketika masing-masing
memperkenalkan diri, klerk itu berkata, "Astaga, tidak saya sangka Anda masih
begitu muda. Sir!" Hugh merasa tersanjung, sebab di rambutnya mulai tumbuh
beberapa helai uban putih. Padahal usianya baru dua puluh enam tahun.
Ia lalu naik kereta api ke Folkestone, tidak berhenti dulu di London. Para mitra
di Pilasters Bank tentu kurang senang dengan tindakannya ini, tapi ia tak
peduli. Bukankah ia berhak bertemu dulu dengan ibu dan adiknya setelah berpisah
selama enam tahun" Ia berutang pada mereka, kendati hanya satu hari.
Ia melihat ibunya masih tetap cantik, meski pakaiannya masih serba hitam sebagai
kenangan atas almarhum ayahnya. Adiknya, Dotty, sekarang sudah berusia dua belas
tahun. Karena sudah lama tidak bertemu, ia masih malu-malu, sampai Hugh berhasil
mengingatkan betapa dulu ia berupaya keras melipat baju-bajunya ketika Hugh
pergi ke Amerika. Hugh memohon agar ibunya mau pindah ke rumah yang lebih besar. Hugh mengatakan
ia sekaxang sudah sanggup membayar sewanya. Ibunya menolak dengan halus sambil
mengatakan bahwa Hugh lebih memerlukan
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY uang untuk disimpan sebagai modal. Akhirnya Hugh hanya berhasil membujuk ibunya
untuk mengambil pelayan yang lebih muda untuk membantu pelayan setianya yang
sudah lanjut usia, Mrs. Builth.
Keesokan harinya ia pergi ke London dengan kereta api London, Chatham dan Dover.
Ia turun di Stasiun Holborn Viaduct. Di depan stasiun telah dibangun hotel baru
oleh investor yang memperhitungkan bahwa Holborn segera akan menjadi tempat
transit mereka yang akan bepergian ke Nice atau St. Petersburg. Hugh sendiri
tidak akan menanam modal di tempat ini, karena yang akan turun di stasiun ini
paling banyak adalah para pekerja di London yang kebetulan tinggal di pinggiran
kota. Pagi yang cerah ketika ia berjalan kaki menuju Pilasters Bank. Ia sudah lupa
aroma udara London yang basah, lebih jelek daripada udara Boston dan New York.
Setibanya di luar gedung, ia menatap sesaat kemegahan bangunan bank yang pongah
dan megah. Sebelum berangkat ke London, ia telah melaporkan maksud kedatangannya: menjenguk
ibu dan adiknya. Tapi maksud sebenarnya lebih dari itu.
Sebentar lagi ia akan menjatuhkan bom kejutan.
Di benaknya tersimpan sebuah usulan merger antara Pilasters Bank divisi Amerika
Utara dengan Bank Madler & Bell di New York. Hasil merger akan berupa bank
raksasa dengan nama Madler, Bell & Pilaster. Bank gabungan yang akan
menghasilkan laba sangat besar; karya puncaknya selama enam tahun bertugas di
Boston yang akan memberi jalan baginya untuk kembali ke London sebagai salah
satu pengambil keputusan-kepu-tusan penting, bukan sekadar tenaga operasional
biasa. Dan ini juga berarti akhir masa pembuangannya dari Inggris.
Dengan gugup ia merapikan dasinya, lalu masuk ke dalam gedung.
Lobi bank yang beberapa tahun lalu membuatnya
terkagum-kagum karena begitu mewah, sekarang tampak biasa-biasa saja. Ketika
menaiki tangga, ia bertemu Jonas Mulberry, mantan-supervisor-nya. Mulberry kaget
campur senang bisa bertemu Hugh. "Mr. Hugh!" sapanya sambil menyalam tangan Hugh
dengan erat. "Apakah Anda kembali secara tetap di sini?"
"Kuharap begitu. Bagaimana Mrs. Mulberry?"
"Baik, baik sekali... terima kasih."
"Sampaikan salamku. Dan bagaimana dengan ketiga anak itu?"
"Lima sekarang. Semuanya sehat, puji syukur pada Tuhan."
Tiba-tiba Hugh berpikir bahwa Mulberry, sebagai kepala klerk di Bank, mungkin
tahu jawaban pertanyaan yang selama ini mengganggu pikirannya. "Mulberry, apakah
Anda ada di sini ketika Mr. Joseph ditetapkan sebagai mitra bank?"
"Ya. waktu itu aku baru berpangkat junior. Sekitar dua puluh lima tahun yang
lalu... bulan Juni yang akan datang."
"Jadi. usia Mr. Joseph sekitar..."
"Dua puluh sembilan tahun."
"Terima kasih."
Hugh naik ke Ruang Para Mitra, mengetuk pintu, dan masuk. Di dalam hadir semua
mitra bank: Paman Joseph, duduk di belakang meja Mitra Senior, tampak makin tua
dan botak, mirip almarhum Seth; suami Bibi Madeleine, Mayor Hartshorn. Hidungnya
tampak makin merah, cocok dengan bekas luka di dahinya. Ia tampak asyik membaca
koran The Times di sebelah perapian; Paman Samuel, seperti biasa berpakaian
perlente dengan jas kelabu gelap berkancing ganda dan ikat pinggang kelabu
mutiara. Ia sedang asyik mempelajari sebuah kontrak. Juga ada mitra termuda.
Young William yang saat ini usianya sudah tiga puluh satu tahun. Ia sedang
menulis sesuatu di meja kerjanya.
270 Samuel yang pertama memberi salam pada Hugh. "Ah, anakku!" sapanya hangat,
berdiri dan menyalami dengan erat. "Betapa hebat penampilanmu!"
Hugh memberi salam pada semua yang hadir dan menerima segelas sherry. Ia
memandang potret-potret para Mitra Senior yang terpajang di dinding. "Enam tahun
yang lalu, di ruangan ini saya menjual obligasi pemerintah Rusia senilai seratus
ribu pound pada Lord Liversedge," kenangnya.
"Ya, memang," tukas Samuel.
"Komisi untuk bank sebesar lima persen, jumlahnya melebihi seluruh gaji yang
saya terima selama delapan tahun ini," ujarnya dengan tersenyum.
Joseph menukas ketus, "Kuharap kau tidak ke sini untuk minta kenaikan gaji. Kail
sudah menerima gaji paling tinggi dari seluruh pegawai bank ini."
"Ya, kecuali para mitra."
"Sewajarnya," sambar Joseph jengkel.
Hugh segera sadar bahwa ia salah langkah. Terlalu bersemangat, katanya pada diri
sendiri. Tenanglah. "Saya tidak datang untuk minta kenaikan gaji. Saya datang
membawa usulan bisnis kepada para mitra."
Samuel berkata, "Sebaiknya kau duduk dulu dan ceritakan pada kami semua."
Hugh meletakkan gelas sherry-nya yang masih penuh, lalu mulai berkonsentrasi. Ia
benar-benar ingin para mitra menyetujui usulannya. Sebuah rencana yang berupa
puncak pengakuan atas prestasinya dan akan memberikan keuntungan jauh lebih
besar dengan sekali pukul, daripada yang bisa dihasilkan sebagian besar mitra
dalam setahun. Kalau mereka setuju, mau tak mau mereka akan mengangkatnya
menjadi mitra pula. "Boston bukan lagi pusat keuangan Amerika Serikat," ia memulai presentasinya.
"New York-lah penggantinya. Karena itu, bank kita harus segera memindahkan
aktivitasnya di sana. Dan saya telah merintisnya jauh-jauh
271 hari sebelumnya. Selama enam tahun di Amerika, saya telah banyak melakukan kerja
sama dengan Madler & Bell di New York. Sidney Madler banyak membimbing saya di
sana. Jika kita pindah ke New York, berarti Pilasters Bank akan menjadi pesaing
Madler & Bell Bank."
"Tidak ada salahnya berkompetisi jika memang harus begitu.," tukas Mayor
Hartshorn tiba-tiba. Ia memang biasa menukas tanpa bobot.
"Mungkin. Tapi saya punya gagasan yang lebih baik. Kenapa tidak melakukan merger
saja dengan Madler & Bell untuk wilayah Amerika Utara?"
"Merger" Apa maksudmu?" tanya Hartshorn.
"Penggabungan usaha. Sebuah bank dengan nama Madler, Bell & Pilaster. Kantornya
ada di Boston dan New York."
"Bagaimana operasinya nanti?"
"Bank yang baru ini akan mengelola semua pembiayaan transaksi ekspor-impor yang
Tengkorak Maut 16 Lembah Merpati Karya Chung Sin Naga Pembunuh 10
Ketika akhirnya ia bisa membuat Hugh sadar bahwa dirinya ingin dicium, ternyata
ciuman Hugh begitu menyenangkan, tidak seperti yang pernah dirasakan Maisie
sebelumnya. Padahal Hugh bukan pria berpengalaman, malah sebaliknya: naif dan
tidak yakin akan dirinya. Jadi, kenapa Maisie merasa senang dan menikmatinya"
Dan kenapa tiba-tiba ia menginginkan tangan Hugh meraba dadanya"
Ia tidak merasa tersiksa dengan pertanyaan ini, hanya ingin tahu. Ia sudah
senang bisa pulang bersama Hugh, di bawah gelapnya langit. Sesekali titik-titik
hujan jatuh membasahinya, tapi awan gelap itu belum menumpahkan hujan. Maisie
membayangkan alangkah nikmatnya jika Hugh mau secepatnya menciumnya lagi.
204 Mereka mencapai kawasan Kensington Grove, lalu berbelok ke kanan, menyusuri sisi
selatan taman, menuju pusat kota tempat pondokan Masie. Hugh berhenti sebentar
di depan sebuah rumah besar dengan dua lampu gas di depannya. Ia merangkul
pundak Maisie. "Ini rumah Bibi Augusta-ku," katanya. "Aku juga tinggal di situ."
Maisie merangkul pinggang Hugh sambil memandang rumah besar di depannya,
membayangkan rasanya tinggal di rumah seperti istana itu. Ia sukar membayangkan,
untuk apa kamar sebanyak itu. Bukankah cukup jika punya kamar untuk tidur, dapur
untuk memasak, dan mungkin satu kamar lain untuk tamu" Lalu apa lagi yang
dibutuhkan" Tak ada manfaatnya punya dapur dua dan dua ruang keluarga: orang
hanya bisa hadir di satu tempat pada satu waktu tertentu. Kenyataan ini
mengingatkannya pada jarak yang terbentang antara dirinya dengan Hugh terpisah
oleh lautan uang dan kemudahan hidup. Pikiran ini mengganggu benaknya. Mendadak
ia berkata, "Aku dilahirkan dalam gubuk berkamar satu."
"Di timur laut Inggris?"
"Tidak, di Rusia."
"O, ya" Nama Maisie Robinson tidak cocok untuk nama Rusia."
"Aku dilahirkan dengan nama Miriam Rabinowicz. Kami semua berganti nama ketika
tiba di Inggris." "Miriam," bisiknya lembut. "Aku senang nama itu." Ia menarik Maisie dan
menciumnya lembut. Maisie terlena oleh ciuman Hugh. Kali ini Hugh tidak ragu-
ragu lagi; ia tahu apa yang ia inginkan. Maisie membalas ciumannya dengan
antusias, seperti orang meminta segelas air sejuk di hari yang amat terik. Dan
ia berharap Hugh menyentuh dadanya lagi.
Ternyata harapannya terpenuhi. Sesaat kemudian ia merasakan salah satu tangan
Hugh mulai menjelajahi dadanya. Sesaat ia malu karena gairahnya begitu kentara,
tapi itu malah membuat Hugh makin bersemangat.
205 Tak lama kemudian ia juga ingin merasakan tubuh Hugh. Tangannya masuk ke dalam
jas Hugh dan mulai meraba punggungnya, merasakan kulit Hugh yang panas melalui
baju katun tipis yang dikenakan pemuda itu. Tingkahku seperti laki-laki saja,
pikir Maisie. Mungkinkah Hugh keberatan" Tapi ia sangat senang melakukan ini dan
tak bisa menghentikannya.
Lalu hujan mulai turun. Tidak secara bertahap, tapi sekaligus, bagai dituang dari langit. Kilat dan
geledek saling bersahutan dan air mengucur makin deras. Saat mereka berhenti
berciuman, wajah mereka sudah basah kuyup.
Hugh menggandeng tangan Maisie dan menariknya. "Mari kita berteduh sebentar di
dalam rumah." Mereka lari menyeberangi jalan. Hugh menuntunnya menuruni anak tangga, melewati
palang bertulisan PINTU MASUK PARA PEDAGANG, ke ruang bawah tanah. Tiba di depan
pintu, pakaian Maisie sudah basah kuyup semuanya. Hugh membuka pintu dengan
kunci sambil menempelkan jari ke bibir lalu menuntun Maisie masuk.
Mulanya Maisie agak ragu, ingin menanyakan apa yang ada dalam pikiran Hugh saat
ini, tapi kemudian ia melangkah maSuk.
Mereka berjingkat melalui ruang dapur yang besarnya tidak kalah dengan kapel,
menuju sebuah tangga sempit. Hugh berbisikkan di telinga Maisie, "Di atas ada
handuk kering. Kita masuk lewat tangga belakang."
Maisie mengikuti Hugh melewati tiga tangga panjang, lalu masuk ke sebuah pintu
dan muncul di sebuah ruangan. Hugh menunjuk ke sebuah kamar tidur dengan pintu
terbuka dan lampu menyala di dalamnya. Dengan pelan Hugh berkata, "Edward belum
pulang. Tidak ada orang lain yang tinggal di ruangan ini. Bibi dan Paman tidur
di kamar bawah dan para pembantu di lantai atas. Mari."
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Ia menuntun Maise ke kamar tidurnya, lalu menyalakan lampu gas. "Akan kuambilkan
handuk kering," katanya, lalu keluar dari kamar.
Maisie melepaskan topinya dan melihat ke sekeliling kamar. Ternyata kamar Hugh
kecil, dengan perabotan sederhana. Hanya ada sebuah tempat tidur kecil, lemari
rendah, lemari pakaian sederhana, dan meja kecil. Semula ia membayangkan akan
melihat sebuah kamar yang mewah, tapi ia segera ingat bahwa Hugh hanya kerabat
yang miskin, jadi sudah tentu kamarnya pun sederhana.
Ia melihat-lihat isi kamar dengan penuh minat. Ada sepasang sikat rambut perak
berinisial T.P. di gagangnya barang peninggalan almarhum ayahnya. Juga ada ?buku. Rupanya ia sedang membaca The Handbook of Good Commercial Practice. Di
meja" ada foto seorang wanita dengan anak kecil berusia sekitar enam tahun.
Maisie membuka laci meja di samping ranjang. Ada Alkitab dan sebuah buku lain di
bawahnya. Ia memindahkan Alkitab dan membaca judul buku di bawahnya: The Duchess
of Sodom. Tiba-tiba ia sadar sudah bertindak terlalu jauh, menyelidiki isi kamar
orang lain. Dengan perasaan bersalah ia cepat-cepat menutup laci meja.
Hugh kembali dengan membawa setumpuk handuk kering. Maisie mengambil satu. Masih
terasa hangatnya lipatan dari dalam laci pakaian. Dengan rasa nyaman ia
mengeringkan wajahnya. Beginilah rasanya menjadi orang kaya, pikirnya; handuk
hangat kapan saja ia membutuhkannya. Ia mulai mengeringkan kedua tangannya dan
bagian dada. "Siapa di potret itu?" tanyanya.
"Ibu dan adik perempuanku. Dia dilahirkan setelah ayahku meninggal."
"Siapa namanya?"
"Dorothy. Panggilannya Dotty. Aku sangat sayang padanya."
"Di mana mereka tinggal sekarang." "Di Folkestone, dekat laut."
Maisie bertanya-tanya apakah ia akan punya kesempatan bertemu mereka.
Hugh menarik kursi dari depan meja tulis kecil dan mempersilakan Maisie duduk.
Ia berlutut di depan gadis itu, mencopot sepatunya dan mengeringkan telapak
kakinya dengan handuk kering. Maisie memejamkan kedua matanya: usapan lembut
handuk kering di telapak kakinya memberikan rasa nyaman yang luar biasa.
Pakaiannya masih basah kuyup, dan ia mulai menggigil. Hugh melepaskan jas luar
dan sepatu botnya. Maisie tahu pakaiannya tidak bisa kering tanpa dilepaskan
lebih dahulu. Untung pakaian dalamnya cukup pan1 tas dipandang. Ia memang tidak
mengenakan knickers, karena hanya wanita kaya yang mampu membelinya. Ia hanya
memakai petticoat panjang dan chemise. Tiba-tiba ia berdiri, lalu membelakangi
Hugh dan berkata, "Maukah kau membantu melepaskan pakaianku?"
Ia merasakan jemari Hugh yang agak gemetar mencoba melepaskan kaitan gaunnya. Ia
sendiri agak gugup, tapi sekarang sudah terlambat untuk mundur. Setelah Hugh
selesai, Maisie mengucapkan terima kasih dan menanggalkan pakaiannya.
Ia lalu membalikkan tubuh.
Hugh menatap dengan ekspresi bercampur gairah. Ia berdiri terpaku seperti Ali
Baba ketika melihat harta karun di sarang penyamun. Sebenarnya Maisie hanya
ingin membuka gaunnya, mengeringkan tubuhnya yang basah dengan handuk, lalu
mengenakan kembali pakaiannya sesudah kering. Tapi sekarang ia menyadari bahwa
rencananya berubah. Dan ia merasa senang.
Maisie meletakkan kedua tangannya di pipi Hugh, menarik kepalanya ke bawah, dan
mulai menciumnya. Kali ini ia mencium dengan kedua bibir terbuka, berharap Hugh
juga melakukan hal yang sama. Semula Hugh
208 masih malu dan kaku. Maisie tahu Hugh belum pernah melakukan ciuman seperti itu.
Ia mengambil inisiatif dengan memainkan ujung lidahnya di kedua bibir Hugh. Ia
bisa merasakan Hugh mulai tergelitik, lalu memberikan respons. Napasnya makin
memburu. Sesaat kemudian Hugh menghentikan ciuman, menggapai bagian atas baju dalam
Maisie, mencoba melepasnya. Maisie juga sangat hanyut. Di dalam tubuhnya serasa
ada bola panas yang mendidih, meleleh, menyusup ke seluruh urat nadinya. Ia
ingin lebih dari itu, sekarang dan untuk seterusnya.
"Maisie," desah Hugh.
Ia memandang Hugh. "Aku ingin..." Maisie mendesah. "Aku juga."
Setelah kata-kata itu keluar, Maisie heran bagaimana ia bicara begitu. Tapi ia
tidak menyesal. Ia. memang menginginkan Hugh lebih dari siapa pun dan apa pun.
Hugh membelai rambut Maisie. "Aku belum pernah melakukan sebelumnya," katanya.
"Aku juga belum pernah."
Hugh memandangnya kaget. "Tapi kupikir kau..." Hugh berhenti.
Maisie nyaris marah, tapi bisa mengendalikan diri. Bukan salah Hugh jika ia
menganggap dirinya sudah sering melakukan hubungan intim. "Mari kita berbaring,"
ajak Maisie. Hugh mendesah senang, lalu berkata, "Kau yakin?"
"Yakinkah aku?" Ia nyaris tak percaya Hugh bertanya demikian. Selama ini belum
pernah ada pria yang menanyakan hal itu. Mereka tak peduli apa yang
dirasakannya. Ia meraih tangan Hugh dan mencium telapaknya. "Jika tadi aku masih
agak ragu, sekarang sudah tidak lagi."
Ia merebahkan diri di ranjang kecil Hugh. Kasurnya keras, tapi seprainya dan
besinya terasa dingin. Hugh menyusul di sebelahnya, lalu berkata, "Sekarang
apa?" 209 Mereka berdua tidak tahu apa yang harus dilakukan, tapi Maisie berbisik polos,
"Peluk aku." Hugh memeluknya. Terhalang pakaian dalam, Maisie tiba-tiba tak
sabar. Ia melepaskan sendiri sisa pakaiannya.
Hugh mencium wajahnya. Napasnya makin panas. Maisie tahu mestinya ia takut
hamil, tapi ia sudah lepas kendali. Ia tahu, apa yang ia inginkan selanjutnya.
Ia menempelkan kedua bibinya ke telinga Hugh dan berbisik, "Lakukanlah."
Hugh agak ragu sesaat. "Maisie," desahnya, "apakah ini mimpi?"
"Jika memang mimpi, sebaiknya jangan terbangun dulu." Tiba-tiba Hugh mulai
menggerang. Samar-samar, di luar suara erangan Hugh, ia mendengar suara pintu dibuka.
Ia begitu terbuai oleh perasaan dan dekapan Hugh, sehingga segera melupakan
suara pintu itu. Tiba-tiba sebuah suara parau dan keras memenuhi kamar, seperti sebutir batu yang
memecahkan kaca jendela. "Wah, wah, Hugh, apa yang sedang kaulakukan?"
Maisie mendadak tegang. Bertepatan dengan itu mendesah keras, lalu terkapar lemas.
Maisie ingin menangis rasanya.
Suara parau itu terdengar lagi, "Kalian anggap apa rumah ini, tempat pelacuran?"
Maisie berbisik, "Hugh... bangun."
Hugh berguling ke sisi tubuh Maisie. Segera Maisie melihat siapa pemilik suara
parau tadi. Edward sedang berdiri di pintu kamar dengan cerutu di bibirnya,
memandang tajam ke arah mereka. Cepat-cepat Hugh menyambar sehelai handuk lebar
dan menutupi tubuh Maisie. Maisie duduk tegak dan menarik hantuk itu ke
lehernya. Edward menyeringai jahat. "Hmm, kalau kau sudah selesai, sekarang giliranku."
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Hugh membalut tubuhnya dari batas pinggang ke bawah dengan .handuk. Sambil
menahan amarahnya ia berkata, "Kau sedang mabuk, Edward pergilah ke kamarmu ?sendiri, sebelum kau mengatakan sesuatu yang tak termaafkan."
Edward mengabaikan peringatan Hugh, malah mendekati ranjang. "Hmm... rupanya pacar
si Solly Greenbourne! Tapi aku tidak akan mengadu asal kau bersikap manis
padaku." Maisie tahu Edward bicara serius, dan tiba-tiba ia menggigil jijik. Ia pernah
mendengar ada pria yang baru bangkit nafsunya bila melihat wanita yang baru
bersama pria lain. "Kue berminyak", menurut istilah April. Dan ia tahu bahwa
Edward adalah tipe pria yang gemar "kue berminyak".
Hugh meledak, "Keluar dari sini, tolol!" bentaknya pada Edward.
"Ayolah," desak Edward. "Dia kan hanya pelacur murahan." Lalu dengan cepat ia
merenggut handuk pembalut tubuh Maisie.
Maisie melompat turun dari ranjang, mencoba menutupi dadanya dengan kedua
tangan. Tapi tidak diperlukan lagi. Hugh sudah melompat ke arah Edward dan
melontarkan pukulan keras ke hidungnya. Darah muncrat dan Edward berteriakan
kesakitan. Edward langsung menyerah, tapi Hugh belum puas. Ia melayangkan sebuah pukulan
lagi. Edward berteriak kesakitan campur ketakutan, menghambur ke arah pintu. Hugh
berlari mengejar, sambil menghantam bagian belakang kepala Edward. Edward mulai
berteriak kears, "Lepaskan aku, hentikan, kumohon...." Ia terjatuh di ambang
pintu. Maisie ikut lari keluar. Edward tertelungkup di lantai diduduki Hugh yang masih
terus menghajarnya. Maisie berseru, "Hugh, berhenti... cukup! Dia bisa mati!" Ia
berusaha meraih lengan Hugh, tapi percuma karena Hugh masih sangat marah dan
sukar dikendalikan. Sesaat kemudian, dari sudut matanya Maisie melihat bayangan seseorang datang
mendekat. Ia mendongak dan melihat bibi Hugh, Augusta, sudah berdiri di tangga
dalam pakaian tidur sutra hitam, melotot ke arahnya. Dalam cahaya lampu gas
sosoknya tampak seperti hantu.
Sorot mata Augusta tampak aneh. Mulanya Maisie tidak mengerti makna tatapan itu;
beberapa detik kemudian, ia baru menyadarinya dan ketakutan. . Sorot mata
Augusta membiaskan kemenangan.
[V] BEGITU melihat gadis yang telanjang itu, Augusta merasa sekaranglah saatnya
menyingkirkan Hugh untuk selamanya.
Dan ia kenal gadis itu. Si penunggang kuda yang pernah menghinanya di taman,
yang dijuluki Singa Betina. Pada waktu itu pun ia sudah menduga bahwa gadis
seperti ini akan menjerumuskan Hugh dalam kesulitan. Ada kesan pongah dan tidak
kenal takut dalam caranya menegakkan kepala serta sinar matanya. Bahkan
sekarang, dalam keadaan telanjang, ia masih bisa berdiri tegak, memandang
Augusta dengan dingin tanpa gentar sedikit pun. Padahal seharusnya ia merasa
malu. Augusta mengakui bahwa ia memiliki tubuh indah, kecil namun seksi, dengan
payudara menantang dan kaki bagus. Penampilannya begitu angkuh, hingga Augusta
merasa seperti tamu tak diundang. Tapi melalui dia, Hugh akan jatuh untuk
selamanya. Sebuah rencana mulai terbentuk di kepala Augusta,
212 tapi tiba-tiba ia menyaksikan putra tersayangnya roboh di lantai dengan wajah
berlumuran darah. Rasa kalutnya memuncak, persis seperti dua puluh tiga tahun yang lalu, ketika
putranya yang masih bayi nyaris mati. "Teddy!" ia berteriak histeris. "Apa yang
terjadi pada Teddy-ku?" Ia berlutut di samping tubuh putranya. "Bicara padaku,
Nak... bicaralah." Rasa takut yang amat sangat menyerangnya, seperti dulu, ketika
Teddy makin hari makin kurus dan dokter-dokter sudah menyerah.
Tiba-tiba Edward duduk dan mengerang kesakitan.
"Bicaralah!" pinta Augusta.
"Jangan panggil aku Teddy," kata Edward.
Rasa panik Augusta berkurang sedikit. Ternyata Teddy-nya masih sadar dan bisa
bicara. Hanya suaranya masih parau serta hidungnya tidak keruan bentuknya. "Apa
yang terjadi?" tanyanya.
"Aku menangkap basah Hugh dengan pelacur itur dan dia jadi berang," kata Edward
membela diri. Sambil mencoba menekan rasa marah dan takutnya, Augusta mengulurkan tangan,
membelai hidung putranya. Edward berteriak kesakitan, tapi tidak menepiskan
tangan ibunya. Ternyata tidak ada yang patah; pikir Augusta, mungkin hanya
bengkak. Tiba-tiba ia mendengar suara suaminya, "Ada apa ribut-ribut di sini?"
Augusta berdiri. "Hugh telah menyerang Edward," katanya.
"Apa dia baik-baik saja?"
"Ya, kukira begitu."
Joseph menatap Hugh, "Nah, Sir, apa maksudmu melakukan ini?"
"Si tolol itu yang meminta," kata Hugh tanpa gentar.
Bagus, Hugh, buat dirimu makin terjerumus, pikir Augusta. Apa pun yang
kaulakukan, jangan minta maaf. Aku ingin pamanmu makin marah padamu.
213 Kendati penasaran, perhatian Joseph terbagi antara Hugh dan tubuh polos Maisie.
Matanya tidak hanya sekali melirik gadis itu. Melihat tingkah suaminya, Augusta
mendadak merasa iri. Tapi ia bisa segera menguasai emosinya. Perasaannya kembali tenang. Tidak ada
masalah dengan keadaan Edward. Ia berpikir cepat, apa sebaiknya yang ia lakukan
untuk memanfaatkan situasi ini. Saat ini Hugh benar-benar tak berdaya: Augusta
Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
bisa melakukan apa pun terhadapnya. Micky pernah memberi saran bahwa Hugh harus
dibungkam selamanya karena ia tahu terlalu banyak tentang kematian Peter
Middleton. Nah, sekaranglah saatnya untuk bertindak.
Pertama-tama, ia harus memisahkan Hugh dari gadis ini.
Beberapa pelayan sekarang ikut keluar menyaksikan apa yang terjadi pada majikan
muda mereka. Mereka kaget campur senang karena bisa ikut menikmati pemandangan
di depan kamar. Augusta melihat kepala pelayannya, Hastead, dalam pakaian tidur
sutra warna kuning bekas Joseph beberapa tahun yang lalu, dan Williams si kurir
dalam piyama bergaris-garis. "Hastead dan Williams, bantu Mr. Edward ke tempat
tidurnya?" Keduanya .segera lari mendekat dan membantu Teddy berdiri.
Lalu Augusta memberi perintah pada pengurus rumah tangganya, "Mrs. Merton,
tutupi orang itu dengan seprai atau apa saja, dan bawa dia ke kamarku untuk
berpakaian." Mrs. Merton melepaskan mantel tidurnya sendiri dan menyelimutkannya
ke bahu Maisie. Maisie merapatkan mantel itu, tapi tidak mau beranjak dari
tempatnya. Augusta memberi perintah lagi, "Hugh, pergilah ke rumah Dr. Humbold di Church
Street. Minta dia memeriksa kondisi hidung Edward yang malang."
"Saya tidak mau meninggalkan Maisie," jawab Hugh.
Augusta membentak jengkel, "Karena kau yang me-
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY nyebabkan ini semua, paling tidak kau yang harus memanggil dokter!"
Maisie berkata, "Tidak apa-apa, Hugh. Pergilah. Aku akan menunggumu di sini."
Hugh belum juga beranjak.
Mrs. Merton mengajak Maisie, "Lewat sini, silakan," sambil menunjuk ke anak
tangga belakang. "Oh, kukira kita akan pakai tangga utama," kata Maisie. Lalu ia berjalan dengan
kepala tegak dan pandangan ke depan, seperti seorang ratu, pergi ke ruang bawah.
Mrs. Merton mengikuti dari belakang.
Augusta memandang ke arah Hugh, "Hugh?"
Hugh diam saja, kelihatannya masih ragu untuk pergi. Augusta bisa merasakan ini.
Tapi, tak lama kemudian, Hugh berkata, "Baiklah, aku mau pakai sepatu dulu."
Rupanya ia tidak punya alasan yang tepat untuk menolak permintaan Augusta.
Augusta menjadi lega. Ia telah berhasil memisahkan Hugh dari wanita muda itu.
Sekarang, jika keberuntungan masih berada di pihaknya, ia akan berhasil
menentukan nasib Hugh selanjutnya.
Ia berbalik ke arah suaminya. "Mari kita bahas masalah ini di kamarmu."
Mereka pergi ke lantai bawah dan masuk ke kamar tidur Joseph. Begitu pintu kamar
tertutup, Joseph meraih tubuh istrinya dan mulai menciuminya. Augusta tahu
suaminya mengajaknya bercinta.
Ini tidak seperti biasanya. Mereka bercinta sekali atau dua kali seminggu, tapi
selalu atas inisiatif Augusta. Dialah yang akan pergi ke kamar suaminya dan naik
ke tempat tidurnya. Baginya, sudah kewajiban seorang istri untuk memuaskan
suaminya. Tapi ia senang menjadi pihak yang memegang kendali, jadi ia tidak
mengizinkan suaminya masuk ke kamarnya. Pada awal perkawinan mereka, Joseph
lebih sulit dikendalikan. Ia bersikeras mendatangi istrinya kapan saja. Untuk
beberapa lama. 215 Augusta mengalah, tapi lama-kelamaan ia bisa mengubah pola bercinta suaminya.
Lalu pernah *ada periode ketika Joseph ingin menerapkan gaya aneh-aneh, namun
Augusta dengan tegas menolak, dan akhirnya Joseph tidak lagi mengganggunya
dengan hal-hal semacam itu.
Tapi sekarang suaminya mengubah pola mereka. Augusta tahu alasannya. Suaminya
terangsang setelah melihat tubuh polos Maisie. Pikiran itu membuatnya mual, maka
ditolaknya ajakan suaminya.
Suaminya tampak kesal. Augusta ingin Joseph marah pada Hugh, bukan pada dirinya.
Jadi, ia mengelus tangannya, sambil berbisik mesra, "Nanti... sebentar lagi. Aku
akan datang ke kamarmu."
Suaminya mau mengerti. "Hugh punya sifat jelek," komentar Joseph. "Dia
mewarisinya dari ayahnya."
"Yang pasti, setelah peristiwa tadi, dia tidak bisa terus tinggal di rumah ini,"
sahut Augusta dengan nada tidak mau dibantah.
Joseph tidak menyangkal istrinya. "Ya, kau benar."
"Kau juga harus mengeluarkan dia dari bank," lanjut Augusta.
Joseph tampak tak senang, "Kuharap kau tidak ikut campur urusan bank."
"Joseph." protes Augusta, "dia telah menghinamu dengan membawa masuk seorang
gadis sembarangan." Ia memakai istilah halus untuk menyebut pelacur.
Joseph pergi ke meja tulisnya dan duduk. "Aku tahu apa yang telah dia lakukan.
Aku hanya minta kau memisahkan urusan rumah tangga dengan urusan bank."
Augusta memutuskan untuk mengalah sedikit. "Baiklah. Aku yakin kau tahu yang
terbaik." Hati suaminya selalu luluh jika istrinya mengalah secara tak terduga. "Ya,
kukira ada benarnya juga jika dia kupecat dari bank," katanya setelah merenung
se bentar. "Kurasa dia akan pulang ke rumah ibunya di Folkestone."
216 Kini giliran Augusta yang berpikir keras. Ia belum siap dengan strateginya jika
Hugh benar-benar dipecat dari bank. "Lalu, apa yang akan dia kerjakan?"
tanyanya. "Aku tidak tahu."
Augusta tiba-tiba sadar bahwa ia telah melakukan kesalahan fatal. Hugh bisa
lebih berbahaya jika menjadi penganggur, masih menyimpan dendam dann keluyuran
tak menentu. David Middleton memang belum menemuinya. Mungkin David belum
mendengar bahwa Hugh juga berada di kolam ketika adiknya, Peter Middleton,
terbunuh. Tapi cepat atau lambat, ia akan mendatangi Hugh. Augusta jadi
menyesal. Seharusnya ia berpikir sebelum membujuk suaminya untuk memecat Hugh.
Ia memaki dirinya sebagai orang tolol.
Bisakah ia mengubah pendirian suaminya"
Apa salahnya mencoba. "Mungkin kita terlalu keras pada Hugh," katanya.
Alis Joseph naik mendengar perubahan sikap istrinya yang mendadak penuh
perhatian akan nasib orang lain.
Augusta melanjutkan, "Begini, kau sering bilang Hugh punya bakat besar sebagai
bankir. Jadi, mungkin kurang bijak jika kita menyia-nyiakan bakat itu."
Joseph sekarang benar-benar jengkel. "Augusta, apu sebenarnya yang kauinginkan?"
Augusta duduk di kursi rendah di dekat meja tulis suaminya. Sengaja ia
membiarkan baju tidurnya tersingkap. Betisnya masih indah untuk wanita
seusianya. Melihat kemulusan kaki istrinya, Joseph melunak kembali.
Sementara perhatian Joseph teralihkan, Augusta memutar otak. Tiba-tiba ia
mendapat ide, "Bagaimana jika kita kirim dia ke luar negeri saja?"
"Eh?" Ya, makin lama memikirkan ide ini, makin senang hatinya.
Dengan dikirim ke luar negeri, Hugh akan dijauhkan dari David Middleton. tapi
masih berada dalam jang -
217 kauan tangan Augusta. "Mungkin ke Timur Jauh, atau Amerika Selatan," lanjutnya
dengan antusias. "Di mana saja. asalkan perilaku buruknya tidak langsung terasa
di rumah ini." Joseph langsung lupa dengan kejengkelannya. "Boleh juga gagasanmu. Memang ada
pembukaan cabang baru di Amerika Serikat. Manajer bank di kantor Boston
memerlukan asisten."
Amerika tempat yang tepat, pikir Augusta. Ia memuji pemikirannya sendiri yang
brilian. Tapi saat ini Joseph baru mengungkapkan niat, belum rencana pasti. Ia ingin
kepastian dan komitmen dari suaminya. "Sebaiknya Hugh cepat dikirim saja,"
katanya. "Aku tidak mau dia berada di dalam rumah ini sehari pun."
"Ya, dia bisa memesan tempat di kapal besok pagi," kata Joseph. "Apalagi dia
tidak punya alasan untuk tinggal di London. Sambil menunggu kapal berangkat, dia
bisa tinggal di Folkstone bersama ibunya... sekalian berpamitan."
Ya, dan dia tidak akan bertemu dengan David Middleton selama bertahun-tahun,
pikir Augusta puas. "Bagus. Sudah beres soal dia." Oh, ya. Masih ada satu soal
lagi. Ia ingat Maisie. Apakah Hugh sayang padanya" Kelihatannya tidak, tapi
siapa tahu, segalanya mungkin saja terjadi. Ia bisa menolak dipisahkan dengan
gadis itu. Hmm, benar-benar pelik, pikir Augusta khawatir. Hugh tak mungkin
membawa gadis itu ke Boston bersamanya, dan ia bisa saja menolak meninggalkan
London tanpanya. Augusta akan mencoba menghentikan percintaan kedua orang itu
sebelum berkembang lebih jauh, sekadar berjaga-jaga.
Ia berdiri dan melangkah ke pintu yang menghubungkan dengan kamar tidurnya.
Joseph kelihatan kecewa ditinggal istrinya. "Aku harus menyingkirkan gadis itu,"
kata Augusta. SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY "Ada yang bisa kubantu?"
Pertanyaan itu membuat Augusta heran. Bukan kebiasaan suaminya menawarkan
bantuan. Dia bukan ingin membantu, tapi ingin melihat lagi kemolekan gadis itu,
pikirnya getir. Ia menggelengkan kepala, "Aku akan cepat kembali. Tunggulah di
tempat tidur." "Baiklah," kata suaminya dengan enggan.
Augusta pergi ke kamarnya dan menutup pintu dengan rapat.
Maisie sudah berpakaian dan sedang mengenakan topinya. Mrs. Merton sedang
melipat sebuah gaun warna biru-hijau manyala dan memasukannya ke dalam tas
murahan. "Saya meminjami dia gaun saya karena miliknya masih basah," jelasnya.
Oh, jadi itu jawabannya, pikir Augusta dalam hati. Ia sudah menduga, tak mungkin
Hugh bisa sebodoh itu membawa seorang pelacur jalanan ke rumah bibinya. Rupanya
mereka terjebak dalam hujan, lalu Hugh membawanya ke dalam rumah untuk berteduh,
mengeringkan tubuhnya, dan terjadilah semua itu.
"Siapa namamu?" tanyanya pada si gadis. "Maisie Robinson. Aku tahu namamu."
Augusta merasa membenci Maisie Robinson. Ia sendiri tidak tahu sebabnya. Gadis
itu sebenarnya-tidak cukup berharga untuk dibenci. Mungkin karena penampilannya
ketika telanjang: begitu angkuh, menantang, dan bebas. "Kurasa kau menginginkan
uang," kata Augusta dengan nada menghina.
"Perempuan munafik," sambar Maisie. "Kau sendiri mau kawin dengan orang sejelek
suamimu karena dia sangat kaya... bukan karena cinta."
Memang itulah kenyataannya, dan ucapan itu membuat Augusta tersentak. Ia terlalu
menganggap enteng gadis ini. Ia telah salah memulai, jadi sekarang ia harus
mencari jalan keluar. Mulai sekarang ia harus
ekstra hati-hati menangani Maisie. Kesempatan ini tak boleh terbuang begitu
saja. Dengan susah payah ia berhasil mengendalikan emosinya. Katanya dengan nada
senetral mungkin, "Apa kau bersedia duduk dulu... sebentar saja?" Ia menunjuk ke
sebuah kursi. Maisie agak kaget, tapi setelah ragu sejenak, ia duduk.
Augusta duduk di hadapannya.
Gadis ini harus dibuat melepaskan Hugh. Ketika ditawari kompensasi, ia marah,
karena itu Augusta tidak mau mengulangi tawarannya. Ia merasa uang ternyata
bukan segalanya bagi gadis ini. Tapi ia juga bukan tipe yang bisa digertak atau
diancam. Augusta harus berusaha menyakinkan Maisie bahwa perpisahan adalah jalan keluar
terbaik bagi Hugh dan dirinya sendiri. Lebih baik lagi jika Maisie menganggap
berpisah dari Hugh adalah idenya sendiri. Dan itu hanya bisa dicapai jika
Augusta memakai taktik hendak mempersatukan Maisie dengan Hugh.
Augusta memulai taktiknya, "Kalau kau memang ingin menikah dengan Hugh, aku tak
bisa mencegah." Maisie tampak terkejut, dan diam-diam Augusta memberi selamat
pada dirinya sendiri. "Kenapa kau mengira aku mau kawin dengan Hugh?" tanya'Maisie.
Augusta hampir saja tergelak. Ia ingin berkata: Karena kau adalah perempuan mata
duitan. Tapi ia malah berkata, "Gadis mana yang tidak mau menikah dengan Hugh"
Dia tampan, ramah, dan lahir dari keluarga terhormat. Dia memang tidak punya
uang, tapi punya masa depan cerah."
Sambil menyipitkan kedua matanya, Maisie menjawab, "Kedengarannya seolah kau
ingin aku kawin dengan Hugh,"
Augusta memang ingin memberi kesan seperti itu, hanya saja ia harus ekstra hati-
hati. Maisie bisa cepat 220 curiga dan juga terlalu pintar untuk dikendalikan secara terang-terangan.
"Ayolah, Maisie... jangan terlalu munafik," katanya. "Terus terang, tak ada wanita
dari golonganku yang akan mengizinkan salah satu anggota keluarganya menikah
dengan wanita dari golongan jauh di bawahnya."
"Bisa saja, asalkan dia cukup membenci si anggota keluarganya itu." jawab Maisie
dengan ringan. Merasa mendapat angin, Augusta melanjutkan pancingannya. "Ya, tapi aku tidak
pernah membenci Hugh. Bagaimana kau bisa mendapat gagasan seperti itu?"
"Dia yang mengatakan padaku. Kau memperlakukan dia sebagai kerabat yang miskin
dan memerintahkan yang lain melakukan hal yang sama."
"Oh, betapa tidak tahu terima kasihnya manusia. Tapi kenapa kau juga menganggap
aku ingin menghancurkan kariernya?"
"Karena dia bisa mengalahkan anakmu yang tak ada gunanya, Edward."
Gelombang amarah menerkam Augusta. Sekali lagi Maisie telah mengungkapkan
kebenaran yang bisa memerahkan daun telinga Augusta. Memang, Edward tidak
sepintar Hugh, tapi dia anak penurut dan manis, sedangkan Hugh tak punya sopan
santun. "Kuminta kau tidak menyinggung-nyinggung nama anakku," kata Augusta
pelan. Maisie menyeringai. "Rupanya aku sudah menyentuh subjek yang peka." Tiba-tiba ia
kembali muram, "Jadi, itulah permainanmu. Kalau begitu, aku tidak mau ikut-
ikutan." "Apa maksudmu?" tanya Augusta.
Dengan berlinang air mata, Maisie menjawab, "Aku terlalu menyukai Hugh, dan
tidak akan mau menghancurkannya."
Augusta heran sekaligus senang mengetahui perasaan Maisie. Semuanya berjalan
lancar, kendati awalnya tadi
agak tersendat. "Apa yang akan kaulakukan sekarang?" tanya Augusta.
Maisie berusaha sekuat tenaga menahan tangisnya. "Aku tidak akan menemui dia
lagi. Kau bisa menghancurkannya, tapi aku tidak mau terlibat di dalamnya."
"Tapi dia bisa mencarimu."
"Aku akan menghilang. Dia tidak tahu di mana aku tinggal. Aku juga akan menjauhi
tempat-tempat yang mungkin didatanginya untuk mencariku."
Rencana bagus, pikir Augusta; toh hanya sebentar, karena Hugh sudah akan dikirim
ke Amerika selama bertahun-tahun, atau mungkin untuk selama-lamanya. Tapi sudah
tentu ia diam saja. Ia telah berhasil menuntun Maisie sesuai rencana briliannya,
dan sekarang gadis ini tidak perlu dipancing lagi.
Maisie menyeka air matanya dengan ujung lengan baju. "Sebaiknya aku pergi
sekarang, sebelum dia kembali bersama dokter." la berdiri. "Terima kasih telah
meminjamkan gaun Anda, Mrs. Merton."
Si pengurus rumah tangga membukakan pintu. "Akan kuantar kau keluar."
"Kali ini kita ambil anak tangga belakang saja," pinta Maisie. "Aku tidak mau..."
la tampak menahan gejolak hatinya, dan berkata setengah berbisik, "Aku tidak mau
bertemu Hugh lagi." Lalu ia melangkah keluar.
Mrs. Merton mengikuti dari belakang sambil menutup pintu kamar.
Augusta menghela napas panjang, la telah berhasil melakukan rencananya.
Menghambat karier Hugh, menetralisir peran Maisie Robinson, dan memperkecil
peluang David Middleton, semuanya dalam waktu satu malam. Mulanya Maisie tampak
sebagai pesaing yang berbahaya, tapi rupanya ia hanya seorang gadis yang terlalu
emosional. 222 Ia menikmati kemenangannya sebentar, lalu pergi ke kamar Edward.
Edward tersayang sedang duduk di pinggir ranjang, menikmati brendi dari gelas
besar berbentuk piala. Hidungnya bengkak dan di sekelilingnya masih ada bekas-
bekas darah kering. Ia tampak kusut dan muram, menyesali dirinya sendiri.
"Oh, anakku yang malang," bisik Augusta. Ia mengambil handuk dari tempat
gantungan pakaian, membasahi ujungnya, lalu duduk di pinggir ranjang dan menyeka
bekas darah di bibir atas Edward. Pemuda itu menyeringai kesakitan. "Oops,
maaf." kata ibunya. Edward tersenyum. "Tidak apa-apa, Bu," katanya. "Teruskan. Sangat mengurangi
rasa sakitku." Ketika Augusta masih membasuh luka Edward, Dokter Humbold masuk dengan diiringi
Hugh di belakangnya. Sang dokter menyapa dengan ceria, "Kamu baru saja
berkelahi, anak muda?"
Augusta tersinggung mendengarnya. "Tentu tidak," katanya ketus. "Dia diserang
oleh seseorang." Dokter Humbold agak terperangah. "Oh, begitu-begitu."
Tiba-tiba Hugh menyela, "Di mana Maisie?"
Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Augusta tidak mau membicarakan soal Maisie di depan dokternya. Ia berdiri dan
menggamit Hugh keluar kamar. "Dia sudah pergi."
"Bibi mengusirnya?" desak Hugh.
Augusta hampir saja membentak keponakannya agar bersikap sopan padanya, tapi
segera mengurungan niatnya karena nasib Hugh sudah seratus persen berada di
tangannya. Tak ada gunanya membuang-buang energi dengan amarah. Dengan nada
datar ia menjawab, "Kalau benar dia kuusir, apa kaukira dia tidak akan
menunggumu di jalan untuk mengadu" Tidak, dia pergi atas kehendaknya sendiri,
dan katanya besok dia akan menulis surat padamu."
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY "Tapi dia berjanji akan tetap di sini menunggu saya, sampai saya kembali dengan
dokter." "Dia berubah pikiran. Apa kau tidak pernah dengar gadis-gadis seusianya gampang
mengubah niat?" Hugh tampak bingung, tidak tahu apa yang mesti ia katakan lagi.
Augusta menambahkan, "Lagi pula, tentunya dia ingin cepat-cepat melepaskan diri
dari situasi memalukan malam ini... semua karena ulahmu."
Hugh bisa menerima penjelasan ini. "Saya rasa Bibi membuatnya merasa sangat
malu, sehingga dia tidak tahan."
"Cukup!" tukas Augusta dengan jengkel. "Aku tidak mau dengar lagi pendapatmu.
Pamanmu Jospeh akan menemuimu besok pagi, sebelum kau pergi ke bank. Sekarang,
selamat malam." Sesaat Hugh masih ingin mendebat lebih jauh, tapi tidak tahu apa lagi yang harus
ia katakan. "Baik, kalau begitu," gumamnya. Ia berbalik masuk ke kamarnya
sendiri. Augusta kembali ke kamar Edward. Dokter sudah menutup tasnya. "Tidak ada yang
serius," katanya. "Hidungnya akan terasa sakit selama beberapa hari, matanya
juga akan membiru besok, tapi dia masih muda, jadi akan cepat sembuh."
"Terima kasih, Dokter. Hastead akan mengantar Anda keluar."
"Selamat malam."
Augusta membungkuk dan mencium dahi Edward. "Selamat malam, Teddy sayang.
Tidurlah sekarang." "Baik, Ibu sayang. Selamat malam."
Ia masih punya satu tugas lagi malam ini.
Ia pergi ke lantai bawah dan masuk ke kamar Joseph. Ia berharap suaminya sudah
terlena karena terlalu lama menunggu kedatangannya, tapi Joseph masih duduk di
ranjang, membaca Pall Mall Gazette. Dengan segera
224 ia meletakkan bacaannya di samping ranjang dan membuka selimut untuk tubuh
istrinya. Di ranjang, ia segera memeluk Augusta. Augusta tiba-tiba sadar bahwa saat itu
sudah menjelang fajar; remang-remang sinar matahari mulai masuk ke dalam kamar.
Ia menutup matanya. Joseph mulai beraksi. Augusta merangkulkan kedua lengannya di leher suaminya,
sambil membayangkan dirinya pada usia enam belas tahun, sedang berbaring di tepi
sungai dengan gaun merah muda dan topi lebar, pasrah dalam pelukan Earl of
Strang; namun dalam bayangannya ia tidak hanya dipeluk dan dicium, tapi juga
dicumbu oleh idaman hatinya. Lalu gaunnya disingkapkan ke atas, dan mereka
bercinta dalam kehangatan matahari siang, sementara ujung jemari mereka tersapu
lidah-lidah nakal air sungai yang dingin menyegarkan.
Setelah selesai, ia berbaring sebentar di sisi suaminya sambil merenungkan
kemenangannya tadi malam.
"Benar-benar malam yang istimewa," gumam Joseph kelelahan.
"Ya," jawabnya. "Gadis liar itu."
"Mmmm," gumam Joseph. "Sangat memesona... ada kepongahan tersembunyi dan
berkemauan keras... pikirnya dia sama baiknya dengan orang lain... tubuhnya indah...
persis seperti milikmu ketika kau masih muda."
Augusta tersinggung. "Joseph!" protesnya. "Bagaimana kau bisa membandingkan aku
dengan dia?" Suaminya diam saja, ternyata sudah mendengkur pulas.
Dengan berang ia menyingkap selimut di atas tubuhnya, turun dari ranjang, dan
kembali ke kamarnya sendiri.
Hanya saja ia tak bisa tidur lagi.
[VI] TEMPAT tinggal Micky Miranda di daerah pinggiran Camberwell terdiri atas dua
kamar di sebuah rumah berteras, milik seorang janda dengan seorang putra yang
menanjak dewasa. Tak satu pun teman-temannya yang berasal dari kelas atas pernah
mampir ke rumah ini, bahkan Edward sendiri tidak tahu. Micky berhasil memainkan
perannya sebagai pemuda golongan elite, kendati keuangannya pas-pasan. Karena
itu, akomodasi yang berkelas masih jauh dari jangkauannya.
Pada jam sembilan setiap pagi, nyonya rumah akan membawakan kopi dan roti gulung
hangat untuk Micky dan ayahnya. Sambil sarapan, Micky menjelaskan pada ayahnya
bagaimana ia berhasil mempecundangi Tonio sehingga kalah main kartu sebesar
seratus pound. Ia tidak mengharapkan pujian dari ayahnya, hanya mengharap
anggukan setuju. Tapi ayahnya sama sekali tidak terkesan. Ia hanya meniup kopi
panasnya, lalu mence-rucupnya dengan suara keras, "Jadi, dia sudah pulang ke
Kordoba?" "Belum, tapi saya harap sesegera mungkin." "Jadi, baru mau. Sudah bersusah
payah, tapi kau hanya mengharap dia akan pulang."
Micky agak tersinggung. "Akan saya tentukan nasibnya hari ini," ujarnya dengan
nada protes. "Ketika aku seumurmu... "
"Ya, Papa akan menggorok lehernya, saya tahu. Tapi ini London, bukan Provinsi
Santamaria, dan kalau saya sembarangan menggorok leher orang, saya akan segera
berakhir di tiang gantungan."
"Ada kalanya kau harus berani melakukannya, karena tidak ada pilihan lagi."
"Tapi di sini lebih tepat kalau kita melakukannya secara halus, Papa. Coba
pikirkan soal Samuel Pilaster
226 dan penolakannya ikut dalam bisnis senjata. Bukankah dengan cara saya dia bisa
kita taklukkan?" Sebenarnya bukan Micky, tapi Augusta-lah yang paling berjasa.
Tapi sudah tentu Micky tidak memberitahukan ini pada ayahnya.
"Hmmm... entahlah," jawab ayahnya keras kepala. "Kapan aku bisa memperoleh
senjatanya?" Benar-benar masalah yang menjengkelkan. Si tua Seth masih hidup, masih menjabat
Mitra Senior Pilasters Bank. Sekarang bulan Agustus. Dalam bulan September,
salju akan mulai mencair di pegunungan Santamaria. Papa ingin pulang dengan ?seluruh senjatanya. Begitu Joseph menjadi Mitra Senior, Edward akan
menyelesaikan bisnis senjata ini. Tapi sampai sekarang si tua Seth masih hidup
dan bertahan dengan kedudukannya.
"Papa akan segera mendapatkan senjata itu," kata Micky. "Seth tidak akan
bertahan lama." "Bagus," komentar Papa dengan ekspresi seorang pemenang.
Micky memoles rotinya dengan mentega. Selalu saja begini. Ia tak pernah bisa
menyenangkan hati ayahnya, walau pun sudah berusaha keras.
Ia mulai kembali ke rencananya hari ini. Sekaranglah waktunya untuk membuat
kesulitan Tonio menjadi skandal. Ia tahu Tonio tidak akan mampu membayar
utangnya. Ia ingin Edward menagihnya di depan umum, lalu disusul dengan ribut-
ribut. Seandainya ini terjadi, Tonio akan kehilangan muka karena berita tentang
ia tak bisa membayar utangnya akan segera tersebar luas; ia akan malu, lalu mengundurkan diri
sebagai diplomat dan pulang ke Kordoba. Dengan demikian, David Middleton takkan
bisa mendekatinya. Micky ingin melakukan ini tanpa membuat Tonio menjadi musuhnya. Sebab ia punya
tujuan lain. Ia menginginkan pekerjaan Tonio. Tonio bisa menyulitkannya
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY kalau merasa ditipu, dengan menjelek-jelekkan Micky di depan Menteri. Micky
ingin Tonio melicinkan jalan baginya. Ini tidak mudah, karena sejak di sekolah
dulu Tonio sudah membencinya. Baru akhir-akhir ini Tonio kagum padanya. Micky
menjadi teman baik Tonio sekaligus menghancurkan hidupnya.?Ketika ia sedang memikirkan jalan keluar terbaik, terdengar ketukan di pintu dan
si pemilik rumah memberitahukan ada tamu bagi Micky. Lalu muncul Tonio.
Kebetulan sekali, pikir Micky. Sebenarnya ia sudah merencanakan akan menemui
Tonio setelah sarapan ini. Ia tidak perlu repot-repot sekarang.
"Silakan duduk, Tonio, minum kopi dulu," sambut Micky dengan riang. "Benar-benar
nasib buruk tadi malam! Tapi jangan dipikirkan, begitulah judi... ada menang, ada
kalah." Tonio membungkuk ke arah Papa, lalu duduk. Wajahnya kuyu, seakan ia tidak tidur
semalaman. "Aku sudah kalah di luar kemampuanku untuk membayarnya," katanya.
Papa mendengus jengkel. Ia tak sabar melihat orang yang mengasihani diri
sendiri, dan lebih dari itu ia benci pada keluarga Silva yang hidup bagai
parasit menjilat para petinggi pemerintah dan melakukan kolusi serta korupsi.
?Micky pura-pura simpati dan menjawab dengan sendu, "Aku ikut sedih mendengar
masalahmu." "Kau tahu apa artinya ini. Di negara ini, pria yang tidak bisa membayar utang
judinya dianggap sebagai penyakit sampar. Dan dia sudah pasti tidak pantas
menjadi diplomat. Aku harus mengundurkan diri dan pulang kembali ke rumah."
Itulah yang kuinginkan, pikir Micky, tapi ia tetap berpura-pura ikut sedih, "Ya,
aku bisa memahami masalahmu."
Tonio melanjutkan, "Kau tahu orang-orang itu kalau
?228 kau tidak membayar lunas dalam waktu sehari, kau akan dicurigai. Padahal untuk
membayar semua, aku butuh waktu bertahun-tahun. Karena itulah aku men-
datangimu." "Aku tidak paham maksudmu," jawab Micky pura-pura, kendati sebenarnya ia sudah
mengerti maksudnya. "Bersediakah kau meminjami aku uang untuk membayarnya?" tanya Tonio mengiba.
"Kau sama denganku, orang Kordoba. Tidak sama dengan orang-orang Inggris; kita
tidak menghukum orang karena satu kesalahan. Nanti akan kubayar lunas semuanya."
"Jika aku punya uang, pasti akan kupinjami," jawab Micky. "Kalau saja aku sekaya
itu untuk membantumu."
Tonio memandang Papa, yang balas menatapnya dengan dingin. Jawabnya pendek,
'Tidak." Tonio menunduk sedih. "Aku benar-benar bodoh, berjudi seperti itu," keluhnya
dengan nada kosong. "Sekarang aku tidak tahu apa yang mesti kulakukan. Jika
pulang ke Kordoba, aku pasti jadi orang hina dan tidak akan punya muka untuk
menghadapi keluargaku."
Micky pura-pura ikut memikirkan nasib Tonio, "Mungkin aku bisa menolongmu."
Tonio jadi bersemangat kembali, "Oh... apa saja, tolonglah aku."
"Edward sahabat karibku. Aku akan mencoba bicara dengannya atas namamu, mencoba
menjelaskan masalahmu, dan minta dia memberi waktu untukmu demi persahabatanku ?dengannya."
"Kau bersedia?" tanya Tonio penuh harap.
"Aku akan minta dia bersabar dan tidak memberitahu siapa pun. Tapi aku tak bisa
menjanjikan dia akan membantumu. Keluarga Pilasters memang kaya, tapi kalau soal
uang, mereka penuh perhitungan. Walaupun begitu, aku akan coba."
Tonio menggenggam tangan Micky dengan erat. "Aku
tidak akan melupakan ini, dan aku tidak tahu bagaimana bisa berterima kasih
padamu." "Jangan terlalu berharap."
"Aku tak bisa tidak mengharap. Aku benar-benar sudah putus asa, tapi sekarang
aku jadi punya alasan untuk hidup kembali." Tonio tampak malu, lalu menambahkan,
"Tadi pagi aku sudah berniat bunuh diri. Aku berjalan melintasi London Bridge
dan ingin terjun ke sungai."
Papa mengeluarkan geraman jengkel. Mungkin dia pikir memang sebaiknya Tonio
bunuh diri saja. Micky dengan cepat berkata, "Untung kau mengubah pikiranmu. Sekarang, sebaiknya
aku pergi ke Pilasters Bank dan bicara dengan Edward."
"Kapan aku bisa ketemu kau?"
"Kau bisa datang ke klub waktu makan siang nanti?"
"Tentu, tentu bisa kalau kaukehendaki begitu."
"Kalau begitu, temui aku di sana nanti."
"Baik." Tonio berdiri. "Aku pergi dulu... sebaiknya kauhabiskan makan pagimu.
Dan..." "Jangan berterima kasih padaku," sambar Micky sambil mengangkat tangan agar
Tonio diam dulu. "Itu bisa membawa sial. Sebaiknya tunggu saja sambil berharap."
"Ya, benar." Tonio membungkuk ke arah Papa. "Sampai jumpa, Senor Miranda." Ia
keluar. "Anak bodoh," gumam Papa.
"Benar-benar tolol," jawab Micky setuju.
Micky pergi ke kamar sebelah dan berdandan untuk pergi keluar. Ia memakai kemeja
putih dengan kerah tegak yang kaku, manset yang dikanji, celana cokelat
kekuningan, dasi satin hitam, dan jas panjang. Sepatunya mengilat, begitu juga
rambutnya. Ia selalu berpakaian elegan, tapi tetap konservatif. Ia tak pernah
mau memakai kerah model kemeja yang merupakan model baru, atau membawa-bawa
monocle seperti pesolek. Orang Inggris selalu menganggap orang asing punya bakat
230 untuk tampil norak, jadi Micky senantiasa menjaga penampilannya.
Setelah berpamitan pada Papa yang sudah mempunyai acara sendiri untuk hari ini,
Micky pergi menyeberangi jembatan, masuk ke kawasan pusat keuangan yang dikenal
dengan nama the City, karena daerah ini mengelilingi bekas kota kuno peninggalan
bangsa Romawi. Lalu lintas di sekitar Katedral St. Paul macet total. Kereta
kuda, kereta sewaan, gerobak minuman, gerobak dorong, dan kereta-kereta orang
kaya berebut mencari jalan di antara rombongan domba yang sedang digiring ke
arah pasar daging Smithfield.
Pilasters Bank merupakan bangunan baru yang besar, dengan pintu gerbang masuk
yang panjang dan disangga pilar-pilar tinggi meyakinkan. Sudah beberapa menit
lewat tengah hari ketika Micky masuk ke pintu ganda di aula bank. Kendati Edward
jarang masuk kantor sebelum jam sepuluh pagi, ia biasanya mau saja diajak makan
siang oleh Micky. Kapan saja, asalkan setelah lewat jam dua belas.
Micky mendekati opas kantor dan berkata, "Mohon memberitahu Mr. Edward Pilaster
bahwa Mr. Miranda datang untuk menemuinya."
"Baik, Tuan." Untuk kesekian kalinya, Micky merasa iri terhadap kekayaan keluarga Pilaster.
Setiap bagian dari bangunan bank itu mencerminkan kekayaan dan kekuasaan mereka.
Mulai dari lantai marmer, panel dinding yang mewah, suara dan bisik sopan para
pegawai, goresan pena di buku neraca, dan mungkin dari penampilan para petugas
bank yang tampak mekmur dan gagah. Secara umum mereka dipekerjakan bank untuk
mencatat, mendata, dan menghitung mengontrol uang keluarga Pilaster. Tidak satu
pun yang memelihara sapi, menambang nitrat, atau membangun rel kereta api:
pekerjaan seperti itu dilakukan oleh orang-orang lain di suatu tempat jauh di
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY luar Inggris. Keluarga Pilaster hanya mengawasi uang mereka berlipat setiap
waktu. Bagi Micky, cara bekerja seperti inilah yang paling ideal, setelah
perbudakan dihapuskan. Selain itu, ada suasana kepalsuan di sini. Segala sesuatu tampak serius dan
anggun, seperti di dalam gereja, istana, atau museum. Mereka sebenarnya tukang
riba uang, tapi bersikap seolah-olah menarik bunga adalah panggilan jiwa yang
mulia. Beberapa menit kemudian, Edward datang dengan mata masih kehitaman dan hidung
bengkak. Alis mata Micky terangkat heran. "Oh, sahabat karibku, apa yang terjadi
padamu?" "Aku baru saja berkelahi dengan Hugh."
"Soal apa?"' "Kuminta dia membawa keluar pelacur yang dibawanya ke rumah tadi malam, dan dia
jadi mata gelap." Micky menduga soal ini akan memberi peluang emas bagi Augusta untuk mencampakkan
Hugh dari rumah. "Lalu, bagaimana dengan Hugh?"
"Kau tidak akan melihat dia untuk waktu lama sekali. Dia sudah dikirim ke
Boston." Bagus sekali, Augusta, pikir Micky. Akan sangat menguntungkan jika Hugh dan
Tonio dapat disingkirkan dalam waktu yang sama. Ia berkata, "Kau layak
mendapatkan sebotol sampanye dan makan siang enak hari ini."
"Ya, gagasan bagus."
Mereka keluar dari bank dan berjalan kaki ke arah barat. Dalam suasana macet
seperti sekarang, dengan jalanan dipenuhi domba dan kereta yang tumpah ruah
mencari jalan, tidak ada gunanya naik kereta kuda. Mereka melewati pasar daging,
lalu rumah potong hewan yang baunya menyengat hidung; domba-domba itu
dilemparkan dari jalan ke tempat persinggahan akhir mereka di bawah tanah, lewat
sebuah pintu penghubung. Edward menutup hidungnya dengan sapu tangan sambil
232 bergumam, "Huh, sangat menjijikkan... bisa membuatmu anti makan daging domba
seumur hidup." Ah, pikir Micky, kalau hanya pemandangan seperti ini tidak akan
Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membuat Edward kehilangan nafsu makannya.
Setelah lewat dari kawasan the City, mereka memanggil taksi kereta kuda untuk
menuju Pall Mali. Begitu sudah di dalam kereta, Micky mulai mempersiapkan
jebakannya. "Aku benci orang yang suka menyebarkan tentang perangai buruk orang
lain." "Ya," jawab Edward tak acuh.
"Tapi jika ini menyangkut seorang teman, aku berkewajiban untuk berbuat
sesuatu." "Mmmm." Edward belum juga paham arah omongan Micky.
"Dan aku juga tidak mau kau menganggap aku diam karena si penyebar omong kosong
itu teman senegaraku."
Untuk sesaat tidak ada yang bicara, lalu Edward berkata, "Aku tidak tahu apa
maksud omonganmu." "Aku membicarakan Tonio Silva."
"Ah, dia. Aku yakin dia tidak mampu membayar utang judinya padaku."
"Omong kosong. Aku kenal keluarganya. Mereka sama kayanya dengan keluargamu."
Micky berani menceritakan kebohongan besar seperti ini karena orang London tidak
tahu ukuran kekayaan di Kordoba.
Edward agak heran. "Astaga. Kukira malah sebaliknya."
"Tidak, kau keliru. Dia bisa membayarnya dengan mudah. Yang kusayangkan adalah
omong besarnya." "Apa" Omong besar apa?"
Micky mendesah sedikit. "Aku khawatir dia tidak punya niat untuk membayarmu. Dan
dia telah menyebarkan omongan bahwa kau tidak akan berani menagih utang itu."
Wajah Edward memerah. "Oh, begitu! Aku tidak berani katanya" Kita lihat saja!"
233 "Aku sudah menasihati dia agar tidak meremehkannya. Kukatakan kau tidak akan
mentolerir hinaan seperti itu. Tapi dia mengabaikan^ nasihatku."
"Bajingan tengik! Baiklah, jika dia tidak sudi mendengar nasihat baikmu, berarti
dia memilih cara kekerasan."
"Benar-benar memalukan si Tonio itu." komentar Micky.
Edward diam dengan wajah membeku, memendam emosi.
Micky ikut diam. Duduknya jadi tidak tenang. Sementara taksi mereka maju dengan
sangat lamban di kawasan Strand. Tonio pasti sudah menanti di klub saat ini.
Edward sedang terbakar emosi. Saat yang tepat, jangan sampai gagal.
Akhirnya taksi mereka sampai juga di depan klub. Micky menunggu sampai Edward
selesai membayar taksi, lalu mengikutinya masuk ke dalam klub. Di ruang mantel,
di antara orang-orang yang sedang menggantung topi, mereka bertemu Tonio.
Micky tegang. Ia telah mengatur pertemuan ini, sekarang ia hanya bisa berharap
agar drama yang akan berlangsung sesuai dengan skenarionya.
Tonio menatap Edward dengan agak canggung dan memberanikan berkata, "Ah,
kebetulan... selamat siang, kalian berdua."
Micky melirik Edward. Wajah Edward jadi merah muda dan matanya melotot. "Apa
maumu, Silva?" Tonio menantap Edward dengan wajah takut. "Ada apa. Pilaster?"
Edward berteriak, "Soal utangmu yang seratus pound itu!"
Ruangan jadi hening. Beberapa orang menoleh dan dua pria yang hendak keluar jadi
berhenti untuk menonton. Mereka semua tahu, pria terhormat tidak akan
membicarakan utang orang lain di tempat umum, kecuali
234 keadaan sudah benar-benar kritis. Mereka juga tabu bahwa Edward Pilaster punya
kekayaan yang tidak akan habis seumur hidupnya, jadi jelas ia punya motif
tertentu dengan menagih utang Tonio di depan orang lain. Tonio jadi pucat pasi.
"Ya?" Edward dengan brutal berkata, "Kutunggu hari ini, utangmu harus lunas."
Benih tantangan telah ditebar. Semua orang tahu, soal utang Tonio Silva bukan
sekadar gurauan belaka. Sebagai pria terhormat, Tonio hanya punya satu pilihan.
Ia harus berkata, Pasti. Jika memang itu maumu, sekarang juga kubayar lunas.
Mari kita ke lantai atas, akan kutuliskan selembar cek untukmu atau kita keluar?sebentar ke bank, menyelesaikan ini" Jika Tonio tidak mengatakan itu, semua
orang akan tahu ia tidak mampu membayar utangnya, dan ia akan mendapat malu.
Micky mengawasi dengan berdebar-debar. Mulanya Tonio tampak panik. Sesaat Micky
khawatir Tonio jadi kalap. Lalu kepanikan itu berubah jadi amarah, dan ia
membuka mulutnya untuk memprotes, tapi tidak ada kata-kata yang keluar. Ia malah
merentangkan tangan dengan sikap memohon, tapi hanya sejenak. Akhirnya wajahnya
berubah kuyu seperti anak kecil akan menangis. Tiba-tiba ia berbalik, lari
keluar dari ruangan. Kedua pria yang akan keluar menyingkir memberi jalan. Ia
lari terus melewati lobi, ke jalanan, tanpa mengambil topinya.
Micky nyaris berteriak gembira karena rencana liciknya berhasil dengan sempurna.
Para anggota klub yang menyaksikan adegan tadi saling berdeham untuk
menyembunyikan rasa kikuk mereka. Salah satu anggota yang lebih tua berkomentar,
"Kau terlalu keras padanya, Pilaster."
Micky dengan cepat menjawab, "Dia pantas menerima perlakuan begitu."
"Benar, benar sekali," kata pria itu.
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY Edward berkata, "Aku ingin minum."
Micky berkata, "Tolong sekalian pesankan aku brendi. Aku akan mengejar Silva
dulu... takut dia bunuh diri." Lalu ia bergegas keluar.
Sekarang tiba bagian paling sulit dari rencananya. Ia harus meyakinkan Tonio,
pria yang baru saja ia hancurkan namanya*, bahwa hanya dialah teman sejatinya.
Ia melihat Tonio masih berlari ke arah St. James; tidak memperhatikan kiri-
kanan. Setelah berhasil menyusul. Micky berkata, "Silva, maaf, aku gagal
membantumu." Tonio berhenti. Di pipinya terlihat air mata. "Aku' sudah tamat," katanya.
"Semuanya sudah selesai."
"Pilaster tidak menghiraukan permintaanku," kata Micky. "Aku telah berusaha
semampuku...." "Aku tahu. Terima kasih atas bantuanmu."
"Jangan berterima kasih begitu. Aku telah gagal."
"Tapi paling tidak kau sudah berusaha. Kuharap ada yang bisa kulakukan untuk
membalas kebaikan budimu."
Micky agak ragu sebentar. Apakah aku punya cukup keberanian untuk meminta
pekerjaannya sekarang juga " Micky lalu mengeraskan hatinya dan berkata, "Memang
ada, tapi nanti saja kita bicara di lain kesempatan."
"Jangan, katakan sekarang juga."
"Aku jadi merasa tidak enak. Nanti saja... lain kesempatan."
"Aku tidak tahu apakah aku masih di London besok. Apa permintaanmu?"
"Begini..." Micky pura-pura malu. "Kukira Menteri Luar Negeri Kordoba akan segera
mencari pejabat lain untuk menggantimu."
"Ya, dia akan butuh seseorang secepatnya." Tiba-tiba wajah Tonio berubah. Ia
tahu maksud temannya. "Tentu... tentu kau cocok dengan tugas ini! Cocok sekali!"
"Seandainya saja kau mau merekomendasikan..."
"Oh, tentu... bahkan lebih dari itu. Akan kukatakan
236 padanya betapa banyak pertolongan yang telah kau-berikan padaku, terutama
usahamu untuk menolongku dari kekacauan ini. Aku yakin dia akan menunjukmu
secepatnya." "Kuharap kau tidak menyangka aku sedang memanfaatkan dirimu yang sedang dalam
kesulitan, Tonio. Aku... aku merasa seperti seekor tikus got."
"Oh, tidak sama sekali." Tonio menggenggam kedua tangan Micky. "Kau benar-benar
sahabat sejati." di-scan dan di-djvu kan untuk dimhader (dimhad.co.ee) oleh
II Dilarang meng-komersil-kan atau kesialan menimpa anda selamanya
BAB LIMA September in ADIK Hugh, Dorothy, membantu menata pakaian di dalam koper. Caranya menata salah
dan tidak rapi. Hugh akan menatanya lagi nanti, tapi untuk tidak mengecewakan
adiknya, ia berulang kali memujinya. "Ceritakan kembali soal Amerika," pinta
adiknya. "Amerika sangat jauh, sehingga matahari pagi butuh empat jam untuk tiba
di sana." "Kalau begitu, mereka tidur sepanjang pagi?" "Ya, dan waktu kita makan siang,
mereka baru makan pagi."
Adiknya tertawa geli. "Mereka malas, ya."
"Tidak juga. Kau tahu, pada waktu di sini sudah tengah malam, mereka masih
bekerja." "Kalau begitu, mereka semua tidur terlambat! Aku senang tidur larut malam. Aku
senang Amerika. Kenapa aku tidak boleh pergi denganmu?"
"Yah, kalau saja aku bisa mengajakmu, Dotty." Hugh agak sedih. Ia tidak akan
melihat adik kecilnya selama bertahun-tahun, dan Dotty pasti sudah besar kalau
ia kembali nanti. Anak itu akan mengerti soal perbedaan waktu antara Amerika
dengan Inggris. t Hujan bulan September membasahi jendela, dan deru
238 ombak yang memecah pantai terdengar sayup-sayup. Rumah ini terasa hangat oleh
perapian kecil di dalamnya dan permadani tua di lantai. Hugh memasukkan buku-
bukunya: Modern Business Methods, The Successful Commercial Clerk, The Wealth of
Nations, Robinson Crusoe. Rekan-rekan di bank mengatakan pengalaman adalah buku
terbaik di dunia. Hugh kurang setuju karena melalui buku, ia bisa lebih cepat
mempelajari cara operasi setiap departemen dalam Pilasters Bank. Selain itu, ia
juga cepat tahu praktek-praktek yang baik dan yang buruk dalam bisnis.
Ia pergi ke Amerika dalam waktu yang tidak tepat. Awal tahun 1870-an, Amerika
sedang mengalami krisis ekonomi. Beberapa bank besar telah memberi pinjaman
besar untuk pembelian saham-saham perusahaan kereta api yang bersifat
spekulatif, dan pada pertengahan 1873, ketika perusahan kereta api mengalami
kesukaran, bank-bank itu ikut terseret ke dalamnya.
Beberapa hari yang lalu. Jay Cooke & Co., agen pemerintah Amerika, dinyatakan
bangkrut dengan menyeret First National Bank of Washington; berita ini masuk ke
Inggris pada hari yang sama melalui telegram kabel transatlantik. Akibatnya lima
bank di New York berhenti beroperasi, termasuk di dalamnya sebuah bank utama,
Union Trust Company. Juga sebuah bank tua dan ternama, Mechanics' Banking
Association. Bursa Saham juga ikut menutup pintunya, Hugh tahu akibatnya akan
meluas. Banyak bisnis akan ikut bangkrut. Pengangguran akan merebak. Perdagangan
akan menderita, dan Pilasters Bank cabang Amerika akan makin berhati-hati dalam
memberikan kredit, jadi akan sukar bagi Hugh untuk membuat prestasi di sana
dalam keadaan seperti sekarang.
Sejauh ini, dampak krisis tersebut tidak sampai ke London. Tingkat suku bunga
bank naik satu point, menjadi empat persen setahun, dan sebuah bank kecil
239 yang berafiliasi dengan Amerika jatuh bangkrut. Tapi tidak ada kepanikan. Namun
seperti biasa, si tua Seth selalu mengatakan krisis di Amerika harus senantiasa
diwaspadai. Sekarang Seth sudah sangat lemah, tapi pikirannya masih cemerlang.
Ia sudah pindah ke rumah Augusta, dan melewatkan hari-harinya di tempat tidur.
Namun ia tetap tidak bersedia melepaskan jabatannya, sampai krisis perekonomian
ini lewat. Hugh mulai melipat pakaiannya yang lain. Dua setelan baru yang dibelikan oleh
bank; ia curiga ibunya telah membujuk kakeknya untuk bermurah hati. Seth sangat
kikir, seperti para anggota keluarga Pilaster lainnya, namun ia sayang pada ibu
Hugh. Selama ini ibu Hugh mengandalkan uang tunjangan kecil dari Seth untuk
hidupnya. Ibunya jugalah yang minta bank mengizinkan Hugh tinggal bersama keluarganya
selama beberapa minggu sebelum pergi ke Amerika.
Selama Hugh bekerja di London, ia jarang pulang ke Folkestone, karena harus
menghemat ongkos kereta api dari London ke rumah ibunya. Jadi, dalam bulan
Agustus Hugh melewatkan waktu bersama ibu dan adiknya di tepi pantai, sedangkan
Augusta dan keluarga berlibur di Skotlandia. Sekarang musim libur sudah usai dan
sudah tiba waktunya bagi Hugh untuk pergi ke Boston. Ia mesti berpamitan pada
ibunya. Ketika ia sedang memikirkan keluarganya, ibunya masuk ke kamar. Ia sudah delapan
tahun menjanda, tapi masih saja berkabung. Tampaknya ia tak ingin menikah lagi,
kendati bisa melakukannya dengan mudah. Wajahnya masih cantik, dengan mata biru
dan rambut pirang tebal. Hugh bisa merasakan bahwa ibunya sedih karena ia akan pergi lama. Tapi ia tak
pernah menyinggung tentang kesedihannya. Ia malah bersikap gembira karena
peluang putranya di negara yang masih asing dan baru sama sekali.
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY "Dorothy, sudah waktunya tidur," katanya. "Pakai baju tidurmu." Begitu Dotty
keluar dari kamar, ibunya mulai melipat ulang pakaian Hugh di dalam koper.
Sebenarnya Hugh ingin membicarakan soal Maisie, tapi ia malu. Augusta pasti
sudah menulis surat pada ibunya. Mungkin juga ibunya sudah mendengar dari
anggota keluarga lainnya, atau bertemu salah satu dari mereka ketika pergi
berbelanja ke London; cerita yang didengarnya mungkin jauh dari kebenaran.
Akhirnya Hugh berkata, "Ibu...."
"Ada apa, Sayang?"
"Bibi Augusta tidak selalu mengatakan yang benar."
"Ah, tidak perlu basa-basi begitu," jawab ibunya dengan senyuman getir. "Dia
selalu mengatakan hal-hal yang tidak benar tentang ayahmu... selama bertahun-
tahun." Hugh agak tertegun dengan keterusterangan ibunya. "Jadi, dia yang mengatakan
pada ayah Florence Stalworthy bahwa ayah seorang penjudi?"
"Ya, pasti dia."
"Kenapa dia bersikap begitu?"
Ibunya meletakkan baju yang sedang dilipatnya di dalam koper dan berpikir
sebentar. "Dulu Augusta sangat cantik. Dia dan keluarganya pergi ke gereja
Metodis di Kensington. Di gereja itulah kami mengenalnya. Dia anak tunggal,
keras kepala dan manja. Orangtuanya biasa-biasa saja: ayahnya mulai bekerja
sebagai asisten toko, lalu merintis usaha sendiri sampai punya tiga toko grosir
di daerah pinggiran barat London. Sejak kecil tampaknya Augusta bercita-cita
muluk dan juga dididik untuk berselera tinggi."
Ibunya berhenti sebentar, pergi ke jendela yang masih dibasahi air hujan,
menatap ke arah badai ombak di Selat Inggris, namun pikirannya dipenuhi kenangan
masa lalu. "Ketika dia berusia tujuh belas tahun, seorang putra bangsawan jatuh
cinta padanya. Earl of Strang
241 merupakan pemuda tampan, kaya, dan baik hati. Melihat hubungan putranya dengan
putri seorang pemilik toko grosir, orangtua Strang jadi panik. Tapi Augusta
sangat cantik dan bisa membawa diri sebagai seorang calon menantu bangsawan."
"Lalu, apakah mereka bertunangan?" tanya Hugh.
"Tidak secara formal. Tapi setiap orang menduga hubungan mereka akan berakhir di
pelaminan. Beberapa waktu kemudian, terjadi skandal. Ayah Augusta diadukan oleh
bekas karyawannya yang baru dipecat kepada Dewan Perniagaan. Tuduhannya adalah
menipu timbangan barang, bahkan sampai bobot daun teh yang dibeli gereja setiap
Selasa untuk kelompok studi Alkitab pun dia tipu. Ada kemungkinan dia akan masuk
penjara. Sudah tentu dia mati-matian membantah, dan karena tidak ada bukti,
akhirnya dia bebas. Hanya saja Strang tidak mau bertemu Augusta lagi."
"Augusta pasti patah hati."
"Tidak sama sekali, Kebalikannya, dia jadi sangat marah. Selama hidupnya dia
selalu bisa memperoleh semua keinginannya, hanya yang satu ini dia gagal. Dia
jadi lebih bernafsu lagi ingin memiliki Strang, tapi tak bisa."
"Dan dia mau menikah dengan Paman Joseph hanya untuk membalas dendam, seperti
kata orang-orang." "Menurut Ibu, dia menikah dengan pamanmu dalam keadaan sangat marah. Dia lebih
muda tujuh tahun, dan perbedaan usia itu cukup besar bagi gadis berusia tujuh
belas tahun seperti dia. Selain itu, pamanmu tentu kalah jauh dari segi
panampilan dan rupa. Hanya saja pamanmu jauh lebih kaya dibandingkan Strang.
Sebagai istri, Augusta berusaha menjadi yang terbaik bagi pamanmu, hanya saja
sebagai wanita, dia masih menyimpan dendam membara."
"Apa yang terjadi pada Strang?"
"Oh, dia menikah dengan seorang putri bangsawan
242 Prancis dan kudengar dia meninggal dalam kecelakaan berburu."
"Kasihan Augusta. Aku nyaris bersimpati padanya."
"Ya, hanya saja dia jadi sangat materialistis. Dia selalu ingin lebih: uang
lebih, posisi sosial lebih, pekerjaan yang lebih bagi suaminya. Alasannya dia
begitu ambisius bagi dirinya, suaminya, dan anaknya Edward adalah karena dia
ingin memperoleh semacam ganti rugi atas hilangnya peluangnya, menikah dengan
seorang bangsawan kaya. Dia menginginkan gelar, rumah warisan, hidup nyaman,
warisan berlimpah. Tapi sebenarnya bukan itu yang ditawarkan Strang, melainkan
cinta yang tulus. Dan itu tak dapat digantikan dengan apa pun."
Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Selama ini Hugh belum pernah berbicara seintim ini dengan ibunya. Sekaranglah
saatnya ia mau membuka diri. "Ibu," ia memulai. "Tentang Maisie... "
Ibunya tampak bingung. "Maisie?"
"Gadis... yang menjadi penyebab kepindahanku ke Boston. Maisie Robinson."
Wajah ibunya kembali tenang. "Oh, dia. Augusta tidak pernah menyebutkan
namanya." Hugh masih ragu, tapi lalu mengeraskan hati. "Dia... dia bukan gadis sembarangan,
Bu." Ibunya agak jengah; pria tidak pernah menyebut soal pelacur di depan ibu mereka.
"Oh, begitu," jawabnya singkat, sambil memalingkan wajahnya.
Hugh menambahkan. "Dia memang berasal dari kelas bawah. Dan orang Yahudi." Ia
melihat wajah ibunya kembali berubah, kaget, tapi tidak marah. "Sebenarnya dia
bukan wanita sembarangan. Dia bahkan..." Hugh kembali ragu meneruskan.
"Ya, kenapa?" tanya ibunya.
"Dia bahkan masih perawan."
Wajah ibunya memerah. "Maaf aku bicara begitu, Bu," kata Hugh. "Aku
243 hanya ingin memberi gambaran dari versiku, bukan hanya versi Augusta."
Ibunya bertanya dengan lembut, "Apakah kau senang padanya, Hugh?"
"Ya, kurang-lebih begitu," Ia lalu merasa air mata mulai membasahi kedua kelopak
matanya. "Aku tidak mengerti kenapa dia menghilang begitu saja. Aku tidak tahu
ke mana dia pergi. Aku sudah mencoba menanyakannya di istal kuda tempatnya
bekerja, juga di Argyll, tempat kami bertemu. Juga Solly Greenbourne yang
menyukainya, tapi tidak tahu ke mana ia menghilang. Tonio Silva kenal temannya,
April, tapi sayang Tonio sudah kembali ke Amerika Selatan, dan April ikut
lenyap." "Misterius sekali."
"Ya, kukira ini pasti ulah Augusta."
"Tidak kuragukan hal itu. Tak bisa kubayangkan bagaimana dia mengatur semua ini,
tapi mengingat ke-licikannya, semua pasti bisa dia kerjakan. Sekarang, yang
penting bagimu adalah melihat ke masa depan, Hugh. Boston adalah peluang bagimu.
Kau harus bekerja keras dan penuh waspada."
"Dia benar-benar wanita istimewa, Bu."
Hugh bisa melihat bahwa ibunya kurang percaya omongannya. "Ya, tapi kau akan
melupakan dia, Hugh."
"Mungkinkah?" Ibunya mencium dahinya. "Pasti bisa. Aku percaya itu."
[II] DI kamar loteng yang disewa Maisie bersama April hanya ada satu gambar: sebuah
poster sirkus yang SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY memperlihatkan Maisie dalam pakaian ketat sedang berdiri di punggung kuda putih
yang berlari. Di bagian bawah poster tertulis MAISIE YANG MENAKJUBKAN.
Sebenarnya gambar itu terlalu dilebih-lebihkan, karena kenyataannya sirkus itu
tidak punya kuda putih dan kaki Maisie tidak sepanjang poster. Tapi tetap saja
Maisie senang menyimpan gambar itu, karena hanya itu kenangan yang ia miliki.
Di kamar itu hanya ada sebuah ranjang sempit, wastafel, sebuah kursi, dan sebuah
bangku kaki tiga. Pakaian mereka digantung di beberapa paku di dinding.
Jendelanya tanpa tirai, sebagai gantinya adalah debu yang menebal. Mereka sudah
berupaya selalu membersihkan kamar, tapi sia-sia. Setiap saat jelaga perapian
jatuh bertebaran, tikus keluar-masuk dari lubang-lubang di lantai, sedangkan
debu dan serangga merayap masuk dari dinding bata dan celah-celah sempit kamar.
Hari ini hujan, dan air pun tak mau kalah menambah semarak isi kamar, menetes
dari tepi jendela dan atap yang bocor.
Maisie sudah berpakaian rapi. Hari ini hari suci Rosh Hashanah, saatnya buku
kehidupan dibuka. Maisie mencoba menduga-duga, apa dan bagaimana nasibnya pada
tahun yang akan datang. Ia sebenarnya tidak pernah berdoa, hanya berharap diberi
nasib baik pada hari suci ini.
April sedang membuat teh di dapur umum. Ketika kembali, dengan gembira ia
menunjukkan selembar koran, "Ada berita untukmu, Maisie, untukmu."
"Apa?" "Di iklan pribadi Lloyd's Weekly News. Coba dengar ini, 'Miss Maisie Robinson,
dulu dikenal sebagai Miriam Rabinowicz. Se'andainya Miss Robinson bersedia
mengontak kantor pengacara Goldman & Jay di Gray's Inn, baginya ada berita yang
menguntungkan.' Benar kan, ini pasti kau!"
Jantung Masie berdebar makin keras, tapi ia bisa menyembunyikannya. Dengan nada
dingin ia berkomentar, "Ini pasti Hugh. Aku tidak akan pergi ke sana."
April tampak kecewa. "Tapi itu bisa saja dipanggil untuk menerima warisan dari
sanak keluarga jauh."
"Huh, aku mungkin Ratu Mongolia, tapi aku tetap tidak mau pergi ke Gray's Inn."
Ia berhasil membuat suaranya terdengar acuh, tapi hatinya pedih. Setiap detik,
siang-malam, ia masih memikirkan Hugh, dan ini membuatnya sengsara. Sebenarnya
ia belum kenal betul siapa Hugh, tapi ia tak bisa melupakannya.
Namun ia bersikeras ingin melupakan Hugh. Ia tahu selama ini Hugh berusaha
mencarinya. Hampir setiap malam ia berada di Argyll, menemui Sammies si pemilik
istal kuda, juga tidak putus asa mencari di setiap pondokan murahan di seluruh
penjuru London. Kemudian pencarian itu berhenti. Mungkin ia sudah menyerah. Atau
sudah mengganti taktiknya, seperti memasang iklan panggilan itu. Maisie merasa
tak bisa selamanya bersembunyi, karena Hugh begitu ingin menemukannya dan ia
sendiri ingin bertemu pemuda itu. Tapi dia sudah memutuskan untuk tidak menemui
Hugh lagi. Ia begitu mencintai Hugh, hingga tak sampai hati meruntuhkan
kariernya. Ia mengenakan korsetnya. "Tolong bantu aku mengikatnya," katanya pada April.
April mulai menarik tali-temali korset. "Aku belum pernah masuk koran," katanya
iri. "Kau sudah dua kali, sekarang dan dulu, sebagai Si Singa Betina."
"Dan kau tahu apa akibatnya. Astaga, aku jadi makin gemuk."
April selesai mengikat korset, lalu membantunya mengenakan gaun. Mereka akan
pergi malam ini. April punya kekasih baru, seorang editor majalah setengah baya
yang punya istri dan enam anak di Clapham. Malam ini ia dan rekannya akan
membawa April dan Maisie berdansa di gedung musik.
246 Mereka merencanakan akan jalan-jalan di sepanjang Bond Street sambil melihat-
lihat etalase toko-toko. Tapi mereka tidak akan membeli apa-apa. Agar tidak
bertemu Hugh lagi, selama dua bulan ini Maisie tidak bekerja lagi pada Sammies,
padahal ia dinilai sangat berhasil dalam penjualan kuda. Selama beberapa bulan
ia bekerja, sudah lima kuda dan beberapa anak kuda terjual. Sekarang uang
simpanannya makin menipis. Hari ini mereka tetap mesti keluar rumah, meski cuaca
buruk. Terlalu pengap berdiam diri di kamar.
Gaun yang dipakai Maisie tampak terlalu kekecilan di bagian dada dan pinggang.
April memeriksa sebentar sambil berpikir, lalu bertanya, "Apakah payudaramu
tampak meradang akhir-akhir ini?"
"Ya, kedua-duanya aku tidak tahu kenapa."?"Maisie," tanya April khawatir, "kapan terakhir kamu menstruasi?"
"Aku tidak pernah-menghitung." Setelah berpikir sejenak, ia berkata dengan nada
takut, "Oh, tidak!" "Kapan?"
- "Kukira sekitar beberapa hari sebelum pacuan kuda di Goodwood. Menurutmu
apakah aku sekarang hamil?"
"Ya, pasti! Payudaramu meradang dan kau tidak menstruasi selama dua bulan," kata
April dengan kesal. "Aku heran kau bisa begitu bodoh. Siapa yang bertanggung
jawab?" , "Sudah tentu Hugh. Tapi kami hanya melakukan sekali. Bagaimana bisa hamil jika
hanya sekali?" "Kau selalu hamil jika sekali bercinta saja."
"Oh, Tuhan," keluh Maisie. Kepalanya serasa kena palu. Tubuhnya lemas. Lututnya
gemetar. Ia terduduk di pinggir ranjang dan mulai menangis. "Apa yang harus
kuperbuat sekarang?" tanyanya putus asa.
"Sebaiknya kita segera pergi ke pengacara yang memuat iklan ini."
*** 247 Tiba-tiba segalanya berubah.
Semula Maisie masih takut dan marah. Lalu ia menyadari bahwa sekarang ia harus
bertemu dengan Hugh, demi anak yang dikandungnya. Dan ketika ia menerima
kenyataan ini, ia tidak lagi takut, malah senang. Sebenarnya ia sangat rindu
pada Hugh. Semula ia yakin, tak perlu menemui Hugh lagi, tapi sekarang ia
mengalah, la wajib menghubungi Hugh, dan ini membuatnya berdebar campur lega.
Begitulah perasaannya ketika ia dan April menapaki tangga kantor di Gray's Inn.
Iklan itu bisa saja bukan dari Hugh, la tidak akan heran jika Hugh telah
menghentikan pencarian. Maisie sama sekali tidak memberi peluang, dan pria
tentunya takkan mau menunggu selamanya. Mungkin iklan itu dari kedua
orangtuanya, kalau mereka masih hidup. Mereka mungkin sudah punya uang untuk
mencarinya. Bagaimana jika memang mereka" Ada saat-saat ia merindukan kedua
orangtuanya, tapi ia takut mereka akan malu jika mengetahui cara hidupnya
sekarang. Mereka tiba di puncak anak tangga dan masuk ke sebuah kantor. Di bagian depan
kantor, seorang petugas muda melemparkan senyum ramahnya. Meski kedua gadis itu
basah kuyup dan lusuh, ia tetap mengeluarkan rayuannya. "Nona-nona, bagaimana
bisa dua bidadari jelita datang ke kantor Goldman and Jay" Apa yang bisa
kulakukan untuk membantu kalian berdua?"
April langsung menjawab, "Pertama, lepaskan jasmu... warnanya menyakitkan mata."
Maisie lebih tidak sabar lagi. "Namaku Maisie Robinson," katanya langsung ke
sasaran. "Aha! Iklan itu. Kebetulan sekali, pria pemasangnya sekarang sedang bicara
dengan Mr. Jay." Maisie serasa akan pingsan karena ragu campur takut. "Coba katakan," tanyanya
agak ragu. "Pria pemasang iklan itu... apakah Mr. Hugh Pilaster?"
248 Si petugas menjawab tanpa melihat wajah Maisie. "Astaga, bukan dia!"
Harapan Maisie kembali lenyap. Ia terduduk di ujung bangku kayu di dekat pintu
masuk, berusaha untuk tidak menangis. "Bukan dia."
"Ya, bukan dia," jawab si petugas. "Kebetulan aku kenal Hugh Pilaster. Dulu kami
satu sekolah di Folkestone. Dia sudah pergi ke Amerika."
Maisie sangat kaget. "Amerika?" tanyanya berbisik.
"Boston, Massachusetts. Naik kapal beberapa minggu yang lalu. Kau kenal dia,
ya?" Maisie tidak menghiraukan pertanyaan itu. Hatinya mengeras seperti batu, dingin
dan membeku. Sudah pergi ke Amerika. Dan ia mengandung anaknya. Ia terlalu
terkejut untuk menangis. Dengan agresif April bertanya, "Kalau begitu, siapa pemasang iklan itu?"
Si petugas tiba-tiba sadar bahwa ia kalah wibawa di depan dua gadis itu. Dengan
gugup ia berkata, "Sebaiknya kuminta si pemasang iklan mengenalkan dirinya pada
kalian berdua. Permisi sebentar." Ia menghilang ke pintu dalam.
Maisie menatap kosong judul-judul beberapa boks berkas perkara yang ditumpuk
rapi di depan dinding: Blenkinsop Estate, Regina lawan Para Penggiling Gandum
Wiltshire, Mrs. Stanley Evans (almarhumah). Perkara yang ditangani kantor
pengacara ini kebanyakan mencakup tragedi kehidupan: kebangkrutan, kematian,
perceraian, penuntutan perkara.
Ketika pintu dibuka kembali, seorang pria lain muncul. Penampilannya meyakinkan.
Usianya tidak beda jauh dengan Maisie. Wajahnya mirip wajah nabi-nabi di
Alkitab. Kedua matanya yang gelap tampak tajam di bawah alis tebal dan hitam.
Hidungnya besar, dengan cuping lubangnya melebar. Janggutnya juga lebat.
Tampangnya serasa tidak asing lagi bagi Maisie, dan untuk
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY sesaat ia jadi ingat wajah ayahnya, kendati ayahnya tidak seberingas laki-laki
itu. "Maisie?" tanyanya langsung. "Maisie Robinson?"
Pakaian yang dikenakannya agak aneh, seakan baru dibeli dari luar negeri, dan
aksennya kental aksen Amerika. "Ya, saya Maisie Robinson," jawab Maisie. "Siapa
kau?" "Apa kau tidak mengenali aku?"
Tiba-tiba Maisie ingat seorang anak laki kecil, kurus, telanjang kaki, dan
berpakaian compang-camping, dengan kumis tipis mulai membayang di atas bibirnya
serta sorot mata nekat. "Oh, tidak... Tuhan!" ia berseru. "Danny!" Untuk sesaat ia
lupa masalahnya sendiri dan ia lari ke pelukan pria itu. "Danny, kaukah ini?"
Danny memeluk adiknya begitu erat, sehingga Maisie merasa sakit. "Ya, ini aku."
"Siapa?" sela April. "Siapa dia?"
"Kakakku!" jawab Maisie. "Yang dulu lari ke Amerika! Dia sekarang kembali!"
Danny melepas pelukannya dan menatap adiknya lama. "Bagaimana kau bisa begitu
cantik?" tanyanya. "Kau dulu begitu kurus!"
Maisie menyentuh janggut Danny. "Aku tadi pasti lebih cepat mengenalimu jika
tidak ada janggut ini."
Tiba-tiba di belakang Danny terdengar suara dehaman kecil. Maisie melihat
seorang pria setengah tua berdiri di depan pintu dengan tatapan sedikit
mencemooh. "Rupanya kami telah berhasil menemukan yang dicari." katanya.
Danny berkata, "Mr. Jay, perkenankan aku memperkenalkan adikku, Miss Maisie
Robinson." "Senang bertemu Anda, Miss Robinson. Bolehkah saya memberikan saran?"
"Kenapa tidak?" jawab Danny.
"Di Theobalds Road ada kedai kopi, tidak jauh dari tempat ini. Di tempat itu
kalian bebas melepas rindu."
250 Mr. Jay jelas menunjukkan ia ingin mereka pergi dari kantornya, tapi Danny tidak
begitu peduli, la menanyakan dulu kesediaan adiknya dan April, "Bagaimana,
kalian ingin di mana" Di kedai kopi atau di sini saja?"
"Di sana saja," jawab Maisie.
Mr. Jay cepat-cepat menukas. "Dan mungkin Anda bersedia kembali ke sini nanti
untuk menyelesaikan rekening Anda, Mr. Robinson?"
"Aku tidak mungkin lupa itu. Mari kita pergi."
Mereka meninggalkan kantor dan turun ke lantai bawah. Banyak sekali yang ingin
ditanyakan Maisie, ia mengendalikan rasa ingin tahunya. Begitu mereka duduk di
dalam kedai kopi, ia langsung bertanya, "Apa saja yang kaulakukan selama tujuh
tahun terakhir ini?"
"Ikut membangun jaringan rel kereta api. Aku datang ke Amerika pada saat yang
tepat. Perang saudara baru saja selesai dan pembangunan rel kereta api besar-
besaran baru mulai. Mereka butuh pekerja, sampai-sampai mengimpor dari Eropa.
Bahkan anak usia empat belas yang kurus kecil seperti diriku juga laku kerja.
Jadi. aku mulai bekerja, pertama di St. Louis, membangun jalan kereta api di
atas jembatan Sungai Mississippi, lalu pindah ke Utah, ikut perusahaan Union
Pacific Railroad. Pada usia sembilan belas tahun, aku sudah tumbuh besar karena
biasa mengerjakan tugas orang dewasa. Aku ikut bergabung dalam serikat buruh,
dan tak lama kemudian memimpin pemogokan."
"Lalu kenapa kau kembali ke sini?"
"Pasar modal di Amerika ambruk. Perusahaan kereta api ikut kena getahnya. Juga
bank yang biasa membiayai mereka. Terjadi pengangguran besar-besaran. Ribuan
orang mencari pekerjaan. Jadi kuputuskan kembali ke Inggris, untuk memulai hidup
baru." "Apa yang akan kaulakukan di sini" Membangun rel kereta api?"
Ia menggelengkan kepala. "Tidak, aku punya gagasan
251 baru. Dua kali hidupku dilanda kesialan gara-gara ambruknya pasar modal.
Sekarang aku jadi yakin bahwa para bankir adalah manusia paling dungu di dunia.
Mereka tidak pernah belajar dari pengalaman, akibatnya mereka selalu melakukan
kesalahan yang sama, berulang kali. Dan siapa yang paling menderita" Para
pekerja. Tak seorang pun akan membantu kita, tak seorang pun yang bersedia.
Jadi, sesama pekerja harus saling membantu."
April memberi komentar, "Kau salah. Tidak ada orang yang mau membantu orang lain
di dunia ini. Kau harus selalu siap bagi dirimu sendiri."
April memang sering berkata begitu, batin Maisie, padahal kenyataannya ia
pemurah dan siap melakukan apa saja demi temannya.
Danny menjawab, "Aku akan mendirikan organisasi khusus bagi para pekerja. Setiap
minggu, masing-masing membayar iuran sebanyak enam penny. Jika mereka sedang
tidak punya pekerjaan, organisasi akan menanggung sebesar satu pound seminggu
selama dia mencari pekerjaan baru."
Maisie memandang kakaknya dengan kagum. Rencana yang ambisius tapi ia ingat ?kata-kata kakaknya ketika masih berusia empat belas tahun: Di pelabuhan ada
kapal yang akan berangkat ke Boston besok fajar. Aku akan memanjat naik ke
dalamnya dan bersembunyi di salah satu sekoci di atas dek. Ia tak pernah mundur
dari apa yang ia rencanakan, apalagi sekarang. Ia berkata pernah memimpin
pemogokan. Rupanya ia memang berbakat menjadi pemimpin.
"Tapi bagaimana kabar Papa dan Mama?" tanya Danny. "Kau pernah berhubungan
Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
dengan mereka?" Maisie menggeleng dan mulai menangis. Tiba-tiba ia merasakan pedih karena
kehilangan keluarganya, rasa sakit yang selama bertahun-tahun ia coba campakkan
dari hatinya. 252 Danny merangkul bahu adiknya. "Aku akan coba menelusuri mereka."
"Kuharap kau bisa menemukan mereka." pinta Maisie. "Aku benar-benar kehilangan
mereka." Ia melihat tatapan April yang penuh keterkejutan. "Aku khawatir mereka
akan malu jika melihat diriku."
"Kenapa?" tanya Danny.
"Aku sedang hamil."
Wajah kakaknya memerah. "Dan belum menikah?" "Belum."
"Akan menikah segera?" "Tidak."
Danny marah. "Siapa bedebah itu?" Maisie tiba-tiba jadi marah. "Tak perlu marah
seperti itu!" "Akan kupatahkan lehernya."
"Tutup mulutmu, Danny! Tujuh tahun yang lalu kau meninggalkan aku. Sekarang
tiba-tiba kau muncul dan bersikap seakan aku ini milikmu." Danny terkesima, dan
Maisie jadi agak tenang. "Tak apalah. Dia akan mengawini aku kapan saja aku mau,
hanya aku tidak bersedia, jadi lupakan saja soal dia. Lagi pula dia sudah pergi
ke Amerika!" Danny ikut tenang. "Jika aku bukan kakakmu sendiri, aku pasti mau mengawinimu.
Kau begitu cantik! Tapi sudahlah. Akan kuberikan semua simpanan uangku padamu."
"Tidak, aku tidak memerlukannya." Maisie tahu ia terdengar pongah, tapi tak bisa
mencegahnya. "Aku tidak butuh uangmu, Danny. Pakai saja untuk mendirikan
organisasimu. Aku bisa menjaga diriku sendiri. Jika pada umur sebelas tahun aku
bisa, kenapa sekarang tidak?"
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY MICKY MIRANDA dan Papa melewatkan makan siang di sebuah restoran kecil di Soho,
menikmati kerang rebus makanan paling murah dalam daftar menu dan minum bir ? ?paling keras. Restoran ini terletak di dekat Perwakilan Kordoba di Portland
Place, tempat Micky sekarang bekerja selama sejam dua jam setiap hari, mensortir
surat-surat untuk duta besarnya. Hari ini ia sudah bebas tugas dan menemani Papa
makan siang. Mereka duduk berhadapan di bangku kayu yang keras. Lantai di situ
penuh debu dan langit-langitnya yang rendah sangat kotor. Sebenarnya Micky benci
makan di tempat seperti ini, tapi demi penghematan ia tak punya pilihan lain. Ia
makan di Klub Cowes hanya jika ditraktir Edward. Selain itu, mengajak Papa makan
di Klub Cowes akan mengundang malu. Siapa tahu Papa meludah seenaknya, atau
menyumpah serapah, dan bisa juga mencabut pistol.
Papa menyelesaikan sisa lauk terakhir di mangkuknya dengan potongan roti, lalu
menyingkirkan mangkuk di depannya. "Aku harus menjelaskan sesuatu padamu,"
katanya. Micky meletakkan sendoknya.
Papa berkata, "Aku butuh senapan-senapan itu untuk menyerang keluarga Delabarca.
Jika mereka sudah kuhancurkan, akan kukuasai tambang nitrat mereka. Keluarga
kita akan jadi kaya sekali."
Micky mengangguk pelan. Ia sudah pernah mendengar rencana ini, tapi tidak berani
mengatakannya. "Tambang nitrat hanya untuk sementara, langkah kita yang pertama," Papa
melanjutkan dengan mantap. "Jika sudah punya uang banyak, kita beli senapan
lebih banyak lagi. Selain itu, kerabat kita akan kuatur agar punya jabatan
penting di provinsi."
254 Micky agak tertarik, karena hal ini baru baginya.
"Sepupumu Jorge akan jadi kolonel di Angkatan Darat. Kakakmu Paulo akan jadi
kepala polisi di Provinsi Santa Maria."
Jadi, dia bisa secara legal melanjutkan hobinya menyiksa orang, pikir Micky.
"Lalu aku akan mengangkat dirku sendiri jadi gubernur provinsi."
Gubernur! Tak disangka Papa punya ambisi setinggi ini.
Tapi Papa belum selesai. "Jika sudah menguasai provinsi, kita akan melangkah
lebih jauh lagi seluruh negara.?Mulanya kita akan berpura-pura jadi pengikut setia Presiden Garcia. Kau akan
menjadi duta besarnya di London. Saudaramu akan jadi menteri kehakiman, mungkin.
Paman-pamanmu akan jadi jenderal. Saudara tirimu, Dominic, si pastor itu akan
jadi uskup Palma." Micky kaget. Ia tak pernah tahu kalau ia punya saudara tiri. Dan ia tak
menyangka ayahnya punya pandangan sejauh itu. Tapi ia diam saja, tidak mau
menyela cerita Papa. "Dan kelak, jika waktunya sudah tepat, kita akan menyingkirkan keluarga Garcia."
"Maksud Papa, menjatuhkan pemerintahan sekarang?" tanya Micky kaget. Kedua
matanya terbelalak. Ia terpesona oleh keberanian dan rasa percaya diri ayahnya.
"Ya. Dalam waktu dua puluh tahun lagi, anakku, kalau bukan aku pasti kau yang
akan menjadi presiden Kordoba."
Micky mencoba mencerna rencana ayahnya. Kordoba mempunyai landasan undang-undang
untuk menyelenggarakan pemilihan umum secara demokratis, tapi hal itu tak pernah
terselenggara. Presiden Garcia merebut kekuasaan sepuluh tahun yang lalu, ketika
ia menjadi panglima angkatan bersenjata, orang kepercayaan Presiden Lopez yang
memimpin pemberontakan melawan penjajah Spanyol. Pada waktu itu, ayah Micky juga
ikut berperang bersama koboi-koboinya.
Papa benar-benar membuat Micky terkejut dengan strateginya yang licik: pura-pura
menjadi pengikut setia penguasa yang sekarang, dan kelak, jika si penguasa
sedang lengah, Papa akan memberontak. Tapi apa peran Micky" Ia harus menjadi
duta besar Kordoba di London. Ia sudah berhasil menyingkirkan Tonio Silva secara
licik. Ia mesti melakukan hal yang sama pada Duta Besar.
Jika ayahnya berhasil jadi presiden, ia akan menjadi menteri luar negeri, dan
bisa keliling dunia sebagai wakil negaranya. Tapi bukankah tadi Papa mengatakan
bahwa Micky bisa saja jadi presiden" Bukan Paulo, bukan pamannya Rico, tapi
Micky. Apakah mungkin"
Kenapa tidak" Micky cerdik, kejam, dan punya relasi hebat di London: apa lagi
yang dibutuhkan" Bayangan bisa memimpin seluruh negara membuatnya sangat
bergairah. Bayangkan, setiap orang akan membungkuk hormat padanya, dan para
wanita tercantik di seluruh Kordoba akan berada dalam kekuasaannya, baik secara
sukarela atau paksaan. Dan ia juga-akan sangat kaya, setara dengan keluarga
Pilaster. '"Presiden" Hmmm... saya sangat senang mendengarnya." Tanpa sadar ia bergumam
penuh impian. Tiba-tiba Papa berdiri dan menampar pipi Micky.
Kendati sudah tua, Papa masih sangat kuat, apalagi telapak tangannya besar dan
kasar. Micky menjerit kesakitan, kaget. Ia berdiri sambil menyeka darah di
bibirnya. Restoran itu jadi senyap. Semua orang menanti apa yang akan terjadi.
"Duduk!" perintah ayahnya dengan tegas.
Dengan ragu dan enggan Micky duduk kembali di kursinya.
Papa mencondongkan tubuh dan menyambar leher
256 baju Micky. Dengan geram ia berkata, "Seluruh rencana hebat ini terancam gagal
karena kau tak bisa melaksanakan satu tugas kecil... tugas sederhana yang
dibebankan padamu!" Micky ketakutan dengan reaksi ayahnya yang tiba-tiba bengis. "Papa, Papa pasti
akan memperoleh senapan-senapan itu."
"Satu bulan lagi musim semi akan tiba di Kordoba. Tahun ini juga kita sudah
harus mengambil alih tambang Delabarca tahun depan sudah terlambat. Aku sudah ?pesan tempat di kapal yang akan menuju Panama. Kaptennya sudah kusogok untuk
menurunkan senapan-senapan itu di pantai Santamaria." Tiba-tiba Papa berdiri
sambil menyeret Micky. Wajahnya merah padam menahan marah. "Kapal itu akan
berlayar lima hari lagi," tekanan suaranya membuat nyali Micky terbang.
"Sekarang kau keluar dari tempat ini dan segera beli senapan itu!"
Kepala pelayan Augusta, Hastead, mengambil jas Micky yang basah dan
menggantungkannya di dinding dekat perapian. Micky tidak mengucap terima kasih.
Mereka sejak lama saling membenci. Hastead cemburu pada semua orang yang bisa
menarik perhatian Augusta, sedangkan Micky muak dengan sikap menjilat Hastead.
Selain itu, Micky tak pernah bisa menebak ke arah mana sebenarnya tatapan mata
Hastead. Ini membuatnya tidak tenang.
Micky masuk ke ruang duduk dan mendapati Augusta sedang duduk sendirian. Ia
tampak senang melihat kedatangan Micky. Ia meraih kedua tangan Micky dan
berkata, "Tanganmu dingin sekali."
"Saya tadi berjalan kaki melintasi taman."
"Oh, kasihan. Kau seharusnya naik kereta." Augusta tidak tahu Micky tak mampu
menyewa kereta kuda. Ditekankannya kedua tangan Micky -ke dadanya, seperti
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY isyarat mengundang, tapi ia pura-pura hanya ingin menghangatkan tangan Micky.
Augusta memang sering bersikap mengundang jika mereka hanya berdua, dan Micky
menikmatinya. Ia pun dengan sengaja menyentuh bahu Augusta, atau memandang
langsung ke kedua matanya dalam-dalam, dan mereka akan bicara perlahan-lahan
seperti sepasang kekasih. Tapi hari ini Micky sedang gundah, sehingga ia tidak
menyambut permainan Augusta. Dengan gugup ia bertanya, "Bagaimana kabar Old
Seth?" Ia berharap jawabannya buruk.
Augusta bisa merasakan suasana Micky. Dengan kecewa ia melepaskan kedua
tangannya. "Mendekatlah ke perapian," katanya. Ia mengambil tempat di sofa dan
menepuk-nepuk kursi di sampingnya, menyuruh Micky duduk. "Seth jauh lebih
sehat." Micky terenyak. Augusta melanjutkan. "Dia mungkin bisa bertahan beberapa tahun lagi." Nadanya
jengkel. Jelas ia tak sabar lagi menunggu suaminya naik menjadi Mitra Senior.
"Kau tahu dia sekarang tinggal di sini. Kau bisa menengoknya setelah minum teh
nanti." "Dia tentu akan pensiun secepatnya?" tanya Micky.
"Sayangnya belum ada tanda-tanda ke arah itu. Baru pagi tadi dia menolak saham
jalan kereta api Rusia." Augusta menepuk lutut Micky. "Sabar. Papamu pasti akan
memperoleh senapan-senapannya."
"Dia tak bisa menunggu lebih lama lagi," jawab Micky penuh cemas. "Lagi pula dia
akan pulang minggu depan."
"Oh, jadi itu sebabnya kau tampak tegang sejak tadi," komentar Augusta penuh
simpati. "Kasihan. Kuharap aku bisa membantumu."
"Anda tidak kenal ayah saya," jawab Micky putus asa. "Dia bisa bersandiwara
sebagai pria berbudaya, tapi sebenarnya dia liar. Tuhan tahu apa yang akan dia
perbuat jika saya gagal memenuhi tugasnya."
258 Dari ruang depan terdengar suara ramai. Dengan tergesa-gesa Augusta berkata,
"Ada yang perlu kuberitahukan kepadamu sebelum mereka datang ke sini. Akhirnya
aku bertemu juga dengan Mr. David Middleton."
Micky mengangguk. "Apa katanya?"
"Dia sopan, tapi terus terang. Katanya dia tetap tak percaya tentang kematian
adiknya di kolam itu. Dia tetap minta alamat Hugh dan tetap akan mencari di mana
Tonio Silva sekarang berada. Kukatakan mereka sekarang sudah berada di luar
negeri, jadi dia cuma buang-buang waktu mencari mereka."
"Kalau saja kita bisa memecahkan masalah Old Seth secepat masalah David ini,"
kata Micky. Pintu kamar terbuka.
Ternyata yang datang Edward dan adiknya, Clementine yang wajahnya serupa ibunya,
hanya minus daya sensualitasnya. Augusta menuangkan teh. Micky membicarakan
acara sore nanti dengan Edward. Di bulan September, suasana London kurang
semarak. Para bangsawan masih berlibur di luar London sampai bulan Desember.
Hanya para politisi yang masih ada. Untuk hiburan kelas menengah tentu masih
ada, hanya pesta-pesta megah yang menghilang. Edward sudah membeli dua tiket
teater untuk mereka berdua. Micky pura-pura sangat berminat, walau sebenarnya
pikirannya masih tersita soal Old Seth.
Hastead masuk membawa kue lapis mentega yang masih hangat. Edward makan beberapa
potong, tapi Micky sama sekali tidak bernafsu. Lalu masuk anggota keluarga yang
lain: Young William, saudara lelaki Joseph; Madeleine si buruk rupa, saudari
Joseph; suami Madeleine, Mayor Harstshorn yang berparut bekas luka di dahinya.
Topik sore ini: krisis keuangan di dunia, namun menurut Micky sama sekali tidak
ada nada khawatir dalam pembicaraan mereka. Semua ini berkat Old Seth yang telah
memprediksi jauh sebelumnya soal
krisis ini. Saham-saham dan obligasi pemerintah Inggris dan bisnis jaringan
kereta api dalam negeri tidak terlalu terpengaruh, tapi saham dan obligasi
pemerintah Mesir, Peru, atau Turki telah kehilangan nilainya sama sekali.
Lalu satu demi satu naik ke kamar Seth; lalu turun sambil berkomentar betapa
sehatnya ia. Lalu tiba giliran terakhir, Micky. Tepat jam setengah enam sore ia
naik ke kamar Seth. Seth memakai kamar bekas Hugh. Seorang perawat selalu siap menjaga di depan
pintu kamar untuk melayani kebutuhannya. Micky masuk dan menutup pintu.
Seth duduk bersandarkan bantal di ranjang, sedang membaca The Economist. Dengan
sopan Micky mengucapkan, "Selamat sore, Mr. Pilaster. Bagaimana kesehatan Anda?"
Seth meletakkan bacaannya dengan enggan. "Baik, terima kasih. Bagaimana kabar
ayahmu?" "Sudah tak sabar ingin pulang ke rumah." Micky memperhatikan betapa rapuhnya
keadaan orang tua ini. Kulit wajahnya tampak transparan, hidung betetnya lebih
tajam. Hanya sorot matanya yang masih terlihat cerdas. Kelihatannya ia masih
bisa bertahan memimpin banknya sampai bertahun-tahun yang akan datang.
Micky seakan mendengar suara bentakan ayahnya di telinga, Siapa yang menghalangi
rencana kita" Seth tampak renta dan tak berdaya, dan di dalam kamar hanya ada Micky. Perawat
berada di luar kamar. Micky tiba-tiba sadar bahwa ia harus menyingkirkan Seth.
Suara ayahnya kembali terdengar: Lakukan sekarang juga!
Micky tahu ia bisa membekap Seth dengan bantal sampai mati. Tidak ada bukti dan
saksi. Setiap orang akan menyangka ia mati karena usia tua.
Hati Micky tiba-tiba dipenuhi rasa muak, campur kebencian yang luar biasa.
260 "Kenapa kau?" tanya Seth tiba-tiba. "Kau tampak lebih sakit daripada aku?"
"Apakah posisi Anda cukup nyaman. Mr. Pilaster?" tanya Micky. "Biarkan saya
menata bantal Anda."
"Tidak perlu, semuanya sudah nyaman." jawab Seth, tapi Micky tetap saja meraih
bantal di belakang kepala Seth.
Micky memandang wajah Seth dan tampak agak ragu.
Dari mata Seth terpancar rasa takut yang luar biasa, bibirnya bergetar akan
memanggil seseorang. Sebelum ia sempat berteriak, Micky dengan cepat menutup wajahnya dengan bantal
besar di tangan dan mendorong kepalanya ke belakang.
Tapi lengan Seth masih bebas. Ia menyambar lengan Micky sekuat tenaga. Micky
terbelalak ngeri melihat tangan kurus itu mencengkeram lengan bajunya, namun
tidak muncur. Seth mencakar-cakar lengan Micky dengan putus asa, namun sia-sia.
Micky terlalu kuat baginya.
Akhirnya Seth mulai menendang dan meliuk, namun tetap tak bisa melepaskan diri
dari Micky. Ranjang Hugh ikut berderak. Micky panik, khawatir suara derak itu
terdengar oleh si perawat di depan kamar. Satu-satunya jalan adalah menindih
tubuh Seth. Sambil tetap membekap wajah Seth dengan bantal, ia naik ke atas
tubuh renta Seth yang bergerak-gerak putus asa. Ini mirip dengan adegan laki-
laki yang memaksa seorang wanita untuk tidur bersamanya, pikir Micky, dan ia
cuma berusaha menahan tawa histeris yang nyaris keluar tak tertahan. Seth masih
bergerak-gerak, namun gerakannya tertahan oleh berat badan Micky dan ranjang
Hugh tidak berderak lagi. Micky tetap bertahan.
Sesaat kemudian, Seth diam tak bergerak lagi. Micky menunggu sesaat, lalu dengan
hati-hati mengangkat bantalnya. Di depannya tampak wajah putih pucat Seth. Kedua
matanya tertutup rapat. Tidak ada tanda-tanda kehidupan. Micky sadar ia harus
segera memastikan apakah masih ada detak jantung. Dengan perlahan dan takut ia
menempelkan telinganya di dada tubuh tua di bawahnya,
Tiba-tiba kedua mata Seth terbuka membelalak, dan ia menarik napas berat dengan
susah payah. Micky hampir saja berteriak ketakutan. Tapi ia segera sadar dan bantal membekap
wajah Seth dengan bantal. Micky gemetar ketakutan dan lemas, rasanya ingin
muntah; tapi kali ini tidak ada perlawanan lagi dari Seth.
Micky tahu ia harus tetap membekap wajah Seth selama beberapa menit lagi, untuk
memastikan ia benar-benar mati. Tapi ia ingat bahwa si perawat bisa saja tiba-
tiba masuk, ingin tahu kenapa tidak ada suara dari dalam kamar. Micky harus
pura-pura bicara dengan Seth. Apa saja, asalkan terdengar suara dari dalam
kamar. Ia bingung, apa yang harus dikatakan pada orang yang sudah mati. Apa
saja, tolol, asalkan terdengar suara. Apa saja. "Saya baik-baik saja, Mr.
Pilaster." gumamnya putus asa. "Baik-baik saja. Dan bagaimana dengan Anda
sendiri" Ya, saya senang mendengar Anda sudah lebih baik." Oh, Tuhan, aku tak
sanggup lagi. "Tentu... tentu akan saya doakan semoga tetap sehat. Tentu... bagus...
bagus sekali...."
Kekayaan Yang Menyesatkan Karya Ken Follet di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Micky tidak tahan lagi. Ia mengendurkan tekanan bantalnya. Dengan jijik ia
mengangkat tangannya dari bantal dan meraba dada kiri Seth. Kulit si tua tampak
putih dengan bulu-bulu halus. Masih terasa hangat di balik piamanya, hanya saja
kali ini tidak ada denyut kehidupan lagi. Apa kau benar-benar sudah mati kali
ini" pikir Micky cemas. Dan tiba-tiba ia seakan mendengar suara ayahnya kembali,
marah dan tak sabar. Ya, tolol! Dia sudah mati, sekarang cepat keluar dari kamar
ini! Tanpa memindahkan bantal dari wajah Seth, Micky beranjak turun dari tubuh
Seth dan berdiri. Rasa mualnya menyelimuti dirinya. Ia merasa lemas dan lunglai; digapainya tiang
ranjang untuk menopang SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY tubuhnya agar tidak jatuh. Aku telah membunuhnya! Membunuh si tua Pilaster!
Dari luar kamar terdengar langkah seseorang.
Micky menatap tubuh kaku di ranjang. Bantalnya masih berada di atas wajah Seth.
Ia menyambarnya secepatnya. Sekarang kedua mata Seth tampak membelalak. Melotot.
Pintu kamar terbuka. Augusta masuk. Ia berdiri sesaat di ambang pintu, memandangi ranjang yang awut-awutan, wajah
Seth yang kaku membelalak, tangan Micky yang masih memegang bantal. Seketika
wajah Augusta memucat. Micky hanya terpana diam, memandang pasrah ke arah Augusta.
Augusta juga diam menatap pemandangan di depannya, lalu ke wajah Micky, lalu
kembali lagi ke tubuh Seth.
Lalu dengan perlahan Augusta menutup pintu kamar.
Ia mengambil bantal dari tangan Micky, mengangkat kepala Seth, dan meletakkan
bantal itu di bawah kepalanya, lalu merapikan seprainya. The Economist yang
terjatuh di lantai ia raih, diletakkan di "tas dada Seth, lalu kedua tangan Seth
ditatanya di atas majalah. Sekarang Seth tampak seperti tertidur sewaktu
membaca. Kemudian ia mengatupkan kedua kelopak mata Seth.
Ia menghampiri Micky. "Kau gemetar," bisiknya. Diraihnya wajah pemuda itu dengan
kedua tangannya, lalu diciumnya bibirnya.
Sesaat Micky tidak memberikan reaksi apa pun. Ia masih terlalu gemetar untuk
merasakan apa-apa. Lalu dengan cepat ketakutannya berubah menjadi gairah.
Ditariknya tubuh Augusta, dipeluknya. Dadanya bisa merasakan payudara Agusta
yang menekan. Augusta kembali menciuminya dan Micky membalasnya. Selama beberapa
saat mereka lupa akan keadaan sekitar.
Augusta yang lebih dulu sadar. Dengan cepat ia melepaskan dekapannya. "Aku akan
kembali ke kamarku," bisiknya. "Kau secepatnya meninggalkan rumah ini."
"Augusta..." "Panggil aku Mrs. Pilaster!" "Baiklah..."
"Dan perbuatan kita tadi tak pernah terjadi," bisik Augusta dengan sengit. "Kau
paham itu" Tidak ada apa pun yang terjadi di kamar ini!"
"Baiklah," jawab Micky pelan.
Augusta merapikan gaunnya, menata rambutnya. Micky masih terpana oleh kekuatan
wanita itu. Augusta pergi meninggalkan kamar. Secara otomatis Micky mengekor di
belakangnya. Si perawat memandang mereka. Augusta meletakkan telunjuk di bibirnya sambil
berbisik, "Sst... dia baru saja tertidur nyenyak."
Micky sangat terkesima atas sikap Augusta yang begitu dingin dan tenang.
"Syukur," jawab si perawat." Tidur akan sangat baik bagi kesehatannya. Aku. akan
membiarkan dia istirahat sepuasnya."
Augusta mengangguk setuju. "Ya, aku juga begitu jika aku jadi kau. Percayalah,
dia sekarang benar-benar tenang beristirahat."
264 di-scan dan di-djvu kan untuk dimhader (dimhad.co.ee) oleh
O IB II Dilarang meng-komersil-kan atau kesialan menimpa anda selamanya
BAB SATU [U HUGH kembali ke London enam tahun kemudian. Selama masa itu, kekayaan keluarga
Pilaster sudah berlipat ganda dan sebagian karena jasa Hugh.?Prestasinya di Boston sangat luar biasa, melebihi yang ia bayangkan semula.
Setelah Amerika pulih dari perang saudara, perniagaan antara Eropa dan Amerika
berkembang pesat. Hugh memastikan Pilasters Bank benar-benar ikut aktif dalam
perkembangan ekonomi ini.
Setelah perang, pemerintah dan dunia bisnis selalu membutuhkan uang kontan dan
hanya pihak banklah yang bisa menyediakannya. Hugh menasihati mereka untuk
menerbitkan obligasi dan saham yang sehat. Dan Pilasters Bank yang menjadi
penyangga sekaligus penyedia dananya.
Selain itu, Hugh telah mengasah dirinya menjadi ahli dalam memanfaatkan pasar
saham perusahaan rel kereta api yang sedang mengalami kekalutan. Ia bisa
merekomendasikan perusahaan mana yang akan menguntungkan, dan mana yang tidak
akan berkembang ke puncak. Mulanya Paman Joseph agak cemas, karena masih
traumatis atas kebangkrutan pasal modal New York
pada tahun 1873, tapi Hugh yang telah mewarisi sikap hati-hati nenek moyang
Pilasternya dalam memutar uang, dikombinasi dengan intuisi yang tajam, hanya
menanam modal pada saham berkualitas prima. Terbukti semua perhitungannya selalu
tepat dan menguntungkan. Saat ini Pilasters Bank dikenal sebagai bank utama yang
mampu menyediakan modal bagi perkembangan industri di belahan Amerika Utara.
Gaji Hugh sendiri sudah meningkat menjadi seribu pound per tahun, dan ia tahu
nilai keahliannya sebenarnya jauh di atas jumlah itu.
Ketika kapalnya merapat di Liverpool, ia dijemput oleh kepala klerk cabang lokal
Pilasters Bank, orang yang selama ini sering berhubungan lewat telegram
dengannya. Mereka tidak pernah bertemu sebelumnya, jadi ketika masing-masing
memperkenalkan diri, klerk itu berkata, "Astaga, tidak saya sangka Anda masih
begitu muda. Sir!" Hugh merasa tersanjung, sebab di rambutnya mulai tumbuh
beberapa helai uban putih. Padahal usianya baru dua puluh enam tahun.
Ia lalu naik kereta api ke Folkestone, tidak berhenti dulu di London. Para mitra
di Pilasters Bank tentu kurang senang dengan tindakannya ini, tapi ia tak
peduli. Bukankah ia berhak bertemu dulu dengan ibu dan adiknya setelah berpisah
selama enam tahun" Ia berutang pada mereka, kendati hanya satu hari.
Ia melihat ibunya masih tetap cantik, meski pakaiannya masih serba hitam sebagai
kenangan atas almarhum ayahnya. Adiknya, Dotty, sekarang sudah berusia dua belas
tahun. Karena sudah lama tidak bertemu, ia masih malu-malu, sampai Hugh berhasil
mengingatkan betapa dulu ia berupaya keras melipat baju-bajunya ketika Hugh
pergi ke Amerika. Hugh memohon agar ibunya mau pindah ke rumah yang lebih besar. Hugh mengatakan
ia sekaxang sudah sanggup membayar sewanya. Ibunya menolak dengan halus sambil
mengatakan bahwa Hugh lebih memerlukan
SBOOK BY OBI PRC/TXT BY OTOY uang untuk disimpan sebagai modal. Akhirnya Hugh hanya berhasil membujuk ibunya
untuk mengambil pelayan yang lebih muda untuk membantu pelayan setianya yang
sudah lanjut usia, Mrs. Builth.
Keesokan harinya ia pergi ke London dengan kereta api London, Chatham dan Dover.
Ia turun di Stasiun Holborn Viaduct. Di depan stasiun telah dibangun hotel baru
oleh investor yang memperhitungkan bahwa Holborn segera akan menjadi tempat
transit mereka yang akan bepergian ke Nice atau St. Petersburg. Hugh sendiri
tidak akan menanam modal di tempat ini, karena yang akan turun di stasiun ini
paling banyak adalah para pekerja di London yang kebetulan tinggal di pinggiran
kota. Pagi yang cerah ketika ia berjalan kaki menuju Pilasters Bank. Ia sudah lupa
aroma udara London yang basah, lebih jelek daripada udara Boston dan New York.
Setibanya di luar gedung, ia menatap sesaat kemegahan bangunan bank yang pongah
dan megah. Sebelum berangkat ke London, ia telah melaporkan maksud kedatangannya: menjenguk
ibu dan adiknya. Tapi maksud sebenarnya lebih dari itu.
Sebentar lagi ia akan menjatuhkan bom kejutan.
Di benaknya tersimpan sebuah usulan merger antara Pilasters Bank divisi Amerika
Utara dengan Bank Madler & Bell di New York. Hasil merger akan berupa bank
raksasa dengan nama Madler, Bell & Pilaster. Bank gabungan yang akan
menghasilkan laba sangat besar; karya puncaknya selama enam tahun bertugas di
Boston yang akan memberi jalan baginya untuk kembali ke London sebagai salah
satu pengambil keputusan-kepu-tusan penting, bukan sekadar tenaga operasional
biasa. Dan ini juga berarti akhir masa pembuangannya dari Inggris.
Dengan gugup ia merapikan dasinya, lalu masuk ke dalam gedung.
Lobi bank yang beberapa tahun lalu membuatnya
terkagum-kagum karena begitu mewah, sekarang tampak biasa-biasa saja. Ketika
menaiki tangga, ia bertemu Jonas Mulberry, mantan-supervisor-nya. Mulberry kaget
campur senang bisa bertemu Hugh. "Mr. Hugh!" sapanya sambil menyalam tangan Hugh
dengan erat. "Apakah Anda kembali secara tetap di sini?"
"Kuharap begitu. Bagaimana Mrs. Mulberry?"
"Baik, baik sekali... terima kasih."
"Sampaikan salamku. Dan bagaimana dengan ketiga anak itu?"
"Lima sekarang. Semuanya sehat, puji syukur pada Tuhan."
Tiba-tiba Hugh berpikir bahwa Mulberry, sebagai kepala klerk di Bank, mungkin
tahu jawaban pertanyaan yang selama ini mengganggu pikirannya. "Mulberry, apakah
Anda ada di sini ketika Mr. Joseph ditetapkan sebagai mitra bank?"
"Ya. waktu itu aku baru berpangkat junior. Sekitar dua puluh lima tahun yang
lalu... bulan Juni yang akan datang."
"Jadi. usia Mr. Joseph sekitar..."
"Dua puluh sembilan tahun."
"Terima kasih."
Hugh naik ke Ruang Para Mitra, mengetuk pintu, dan masuk. Di dalam hadir semua
mitra bank: Paman Joseph, duduk di belakang meja Mitra Senior, tampak makin tua
dan botak, mirip almarhum Seth; suami Bibi Madeleine, Mayor Hartshorn. Hidungnya
tampak makin merah, cocok dengan bekas luka di dahinya. Ia tampak asyik membaca
koran The Times di sebelah perapian; Paman Samuel, seperti biasa berpakaian
perlente dengan jas kelabu gelap berkancing ganda dan ikat pinggang kelabu
mutiara. Ia sedang asyik mempelajari sebuah kontrak. Juga ada mitra termuda.
Young William yang saat ini usianya sudah tiga puluh satu tahun. Ia sedang
menulis sesuatu di meja kerjanya.
270 Samuel yang pertama memberi salam pada Hugh. "Ah, anakku!" sapanya hangat,
berdiri dan menyalami dengan erat. "Betapa hebat penampilanmu!"
Hugh memberi salam pada semua yang hadir dan menerima segelas sherry. Ia
memandang potret-potret para Mitra Senior yang terpajang di dinding. "Enam tahun
yang lalu, di ruangan ini saya menjual obligasi pemerintah Rusia senilai seratus
ribu pound pada Lord Liversedge," kenangnya.
"Ya, memang," tukas Samuel.
"Komisi untuk bank sebesar lima persen, jumlahnya melebihi seluruh gaji yang
saya terima selama delapan tahun ini," ujarnya dengan tersenyum.
Joseph menukas ketus, "Kuharap kau tidak ke sini untuk minta kenaikan gaji. Kail
sudah menerima gaji paling tinggi dari seluruh pegawai bank ini."
"Ya, kecuali para mitra."
"Sewajarnya," sambar Joseph jengkel.
Hugh segera sadar bahwa ia salah langkah. Terlalu bersemangat, katanya pada diri
sendiri. Tenanglah. "Saya tidak datang untuk minta kenaikan gaji. Saya datang
membawa usulan bisnis kepada para mitra."
Samuel berkata, "Sebaiknya kau duduk dulu dan ceritakan pada kami semua."
Hugh meletakkan gelas sherry-nya yang masih penuh, lalu mulai berkonsentrasi. Ia
benar-benar ingin para mitra menyetujui usulannya. Sebuah rencana yang berupa
puncak pengakuan atas prestasinya dan akan memberikan keuntungan jauh lebih
besar dengan sekali pukul, daripada yang bisa dihasilkan sebagian besar mitra
dalam setahun. Kalau mereka setuju, mau tak mau mereka akan mengangkatnya
menjadi mitra pula. "Boston bukan lagi pusat keuangan Amerika Serikat," ia memulai presentasinya.
"New York-lah penggantinya. Karena itu, bank kita harus segera memindahkan
aktivitasnya di sana. Dan saya telah merintisnya jauh-jauh
271 hari sebelumnya. Selama enam tahun di Amerika, saya telah banyak melakukan kerja
sama dengan Madler & Bell di New York. Sidney Madler banyak membimbing saya di
sana. Jika kita pindah ke New York, berarti Pilasters Bank akan menjadi pesaing
Madler & Bell Bank."
"Tidak ada salahnya berkompetisi jika memang harus begitu.," tukas Mayor
Hartshorn tiba-tiba. Ia memang biasa menukas tanpa bobot.
"Mungkin. Tapi saya punya gagasan yang lebih baik. Kenapa tidak melakukan merger
saja dengan Madler & Bell untuk wilayah Amerika Utara?"
"Merger" Apa maksudmu?" tanya Hartshorn.
"Penggabungan usaha. Sebuah bank dengan nama Madler, Bell & Pilaster. Kantornya
ada di Boston dan New York."
"Bagaimana operasinya nanti?"
"Bank yang baru ini akan mengelola semua pembiayaan transaksi ekspor-impor yang
Tengkorak Maut 16 Lembah Merpati Karya Chung Sin Naga Pembunuh 10