Kongo 3
Kongo Karya Michael Crichton Bagian 3
telah ditentukan. Biaya per unit ini sebaliknya mencerminkan besar-kecilnya
cadangan bahan galian, tingkat keterpencilan lokasi bersangkutan, ketersediaan
tenaga kerja setempat, kondisi politik, keharusan membangun lapangan terbang,
jalan, rumah sakit, sekolah, tambang, atau instalasi pengilangan.
Kontrak Biru tidak disertai UECL, dan itu berarti pihak pemberi kontrak sangat
membutuhkan intan biru dan tidak peduli soal biaya.
Kelompok diskusi kantin ERTS membutuhkan 48 jam untuk menelaah Kontrak Biru.
Ternyata intan Tipe lib berwarna biru akibat kontaminasi unsur boron dalam
jumlah sangat kecil, sehingga tidak memiliki nilai sebagai batu permata. Namun
kandungan boron juga mengubah karakteristik elektronik jenis intan tersebut,
sehingga bersifat semikonduktor dengan resistivitas sekitar 100 Ohm sentimeter.
Selain itu, intan Tipe lib juga memiliki sifat meneruskan cahaya.
Seseorang lalu menemukan artikel singkat dalam Electronic News tanggal 17
November 1978: "Proses McPhee Gagal". Artikel itu menjelaskan bahwa perusahaan
Silec, Inc., di Waltham, Massachusetts, telah menghentikan penggunaan teknik
McPhee untuk membuat intan berlapis boron secara artifisial. Teknik yang masih
dalam tahap uji coba itu .189 dinilai terlalu mahal dan tidak konsisten dalam menghasilkan "sifat
semikonduktor yang diinginkan". Artikel tersebut juga melaporkan bahwa
"perusahaan-perusahaan lain pun terlalu menyepe-lekan masalah-masalah yang
terkait dengan proses pelapisan boron; Hakamichi (Tokyo) menghentikan proses
Nagaura bulan September tahun ini." Dengan bekerja mundur, kantin ERTS lalu
berusaha merangkai semakin banyak bagian teka-teki yang menyelubungi Kontrak
Biru. Di tahun 1971, Intec, sebuah perusahaan mikroelektronik berkedudukan di Santa
Clara, menjadi pihak pertama yang meramalkan bahwa intan-intan bersifat
semikonduktor akan memegang peranan penting dalam generasi berikut komputer
superkonduktor pada dasawarsa 1980-an.
Generasi pertama komputer elektronik, ENIAC dan UNIVAC, yang dibuat secara
rahasia semasa perang tahun 1940-an, menggunakan tabung-tabung hampa udara. Usia
rata-rata tabung hampa udara sebenarnya dua puluh jam, tapi dengan ribuan tabung
yang panas membara di dalam satu mesin, beberapa komputer terpaksa dimatikan se-
tiap tujuh sampai dua belas menit. Akibat kendala tersebut, ukuran dan kemampuan
komputer-kom-puter generasi kedua, yang saat itu sedang dalam perencanaan,
menjadi terbatas. Tapi ternyata komputer-komputer generasi kedua tidak menggunakan tabung hampa
udara. Munculnya transistor lempengan bahan padat se - ?190
ukuran kuku ibu jari yang sanggup menjalankan semua fungsi tabung hampa
udara pada tahun 1947, mengantar dunia ke era piranti elektronik solid state
?yang lebih sedikit memakai listrik dan menghasilkan panas, serta lebih kecil dan
lebih andal dibandingkan tabung hampa udara yang digantikan. Selama dua puluh
tahun berikut, teknologi silikon dijadikan dasar untuk tiga generasi komputer
yang semakin kecil, andal, dan murah.
Namun pada dasawarsa 1970-an, para perancang komputer mulai menghadapi batasan-
batasan teknologi silikon. Meskipun sirkuit-sirkuit telah di-perkecil sampai ke
ukuran mikroskopik, kecepatan komputasi tetap tergantung pada panjang sirkuit.
Upaya untuk semakin memperkecil sirkuit-sirkuit, di mana jarak telah diukur
dalam sepersejuta inci, terbentur pada persoalan lama: panas. Sirkuit-sirkuit
yang lebih kecil lagi akan meleleh akibat panas yang dihasilkan. Yang dibutuhkan
adalah cara untuk meniadakan panas, sekaligus mengurangi tahanan listrik.
Sejak tahun 1950-an telah diketahui bahwa logam-logam tertentu bersifat
superkonduktor jika didinginkan sampai suhu sangat rendah, sehingga memungkinkan
arus elektron tanpa hambatan. Tahun 1977 IBM mengumumkan bahwa mereka sedang
mengembangkan komputer berkecepatan ultratinggi seukuran buah jeruk, yang
didinginkan dengan nitrogen cair. Jenis komputer ini menuntut
191 teknologi yang sama sekali baru, serta bahan-bahan konstruksi mutakhir untuk
suhu rendah. Intan-intan artifisial akan dimanfaatkan secara ekstensif.
Beberapa hari kemudian, kantin ERTS mengemukakan penjelasan alternatif. Menurut
teori baru ini, tahun 1970-an merupakan dasawarsa dengan tingkat pertumbuhan
komputer yang belum pernah terjadi sebelumnya. Meskipun pembuat-pembuat komputer
di tahun 1940-an meramalkan bahwa seluruh dunia dapat dilayani oleh empat
komputer saja di masa mendatang, para ahli mengantisipasi bahwa pada tahun 1990
akan terdapat satu miliar komputer sebagian besar berhubungan melalui jaringan
?komunikasi. Jaringan-jaringan seperti itu belum ada, dan secara teoretis mungkin
bahkan mustahil diwujudkan. (Suatu penelitian oleh Hanover Institut pada tahun
1975 menyimpulkan bahwa jumlah logam yang terdapat di kerak bumi tidak cukup
untuk membangun saluran-saluran transmisi komputer yang dibutuhkan.)
Menurut Harvey Rumbaugh, dunia pada tahun 1980-an akan ditandai oleh kekurangan
sistem transmisi data komputer. "Sama seperti kekurangan bahan bakar fosil
mengejutkan dunia industri pada tahun 1970-an, kekurangan transmisi data akan
mengejutkan dunia dalam sepuluh tahun berikut. Pada dasawarsa 1970-an,
masyarakat dunia mengalami pembatasan kebebasan gerak; pada dasawarsa 1980-an
mereka akan menghadapi pembatasan
192 akses terhadap informasi, dan kita hanya bisa menunggu untuk melihat mana yang
lebih menyulitkan." Sinar laser merupakan satu-satunya harapan untuk* menangani kebutuhan data yang
terus meningkat pesat, sebab sinar laser memiliki kapasitas transmisi data
20.000 kali lebih besar daripada kabel koaksial biasa yang terbuat dari logam.
Transmisi data dengan menggunakan sinar laser menuntut teknologi baru termasuk ?serat optik, dan intan artifisial bersifat semikonduktor, yang menurut Rumbaugh
akan "lebih berharga dibandingkan minyak bumi" dalam tahun-tahun mendatang.
Lebih jauh lagi, Rumbaugh memperkirakan dalam waktu sepuluh tahun penggunaan
listrik akan ditinggalkan. Komputer-komputer masa depan akan mengandalkan
sirkuit-sirkuit cahaya dan berhubungan dengan sistem-sistem transmisi data yang
memanfaatkan cahaya pula. Alasannya adalah kecepatan. "Cahaya," kata Rumbaugh,
"bergerak dengan kecepatan cahaya. Listrik tidak. Kita ber-ada dalam tahap akhir
teknologi mikroelektronik."
Meski demikian, teknologi mikroelektronik tidak" menampakkan tanda-tanda bahwa
puncak kejaya-annya telah terlewati. Tahun 1979, industri mikroelektronik
merupakan salah satu cabang industri utama di seluruh negara maju, dengan omzet
sebesar 80 miliar dolar per tahun di Amerika Serikat saja; enam dari dua puluh
perusahaan peringkat 193 teratas dalam daftar Fortune 500 bergerak dalam bidang mikroelektronik.
Perusahaan-perusahaan tersebut memiliki sejarah persaingan dan kemajuan luar
biasa, dalam kurun waktu kurang dari tiga puluh tahun terakhir.
Pada tahun 1958, satu chip silikon dapat menampung 10 komponen elektronik. Pada
tahun 1970, chip berukuran sama sanggup mewadahi 100 komponen peningkatan 10
?kali lipat dalam waktu sekitar satu dasawarsa.
Tapi pada tahun 1972, jumlah komponen yang dapat dipasang pada satu chip telah
mencapai 1.000 unit, dan pada tahun 1974, 10.000 unit. Diperkirakan pada tahun
1980, satu chip seukuran kuku ibu jari dapat menampung 1 juta unit, tapi dengan
menggunakan fotoproyeksi elektronik, sasaran ini telah tercapai pada tahun 1978.
Pada musim semi 1979, sasaran baru untuk tahun 1980 ditetapkan sebesar 10 juta
unit atau, lebih baik lagi, 1 miliar unit pada satu chip silikon. Namun tak
? ?seorang pun meragukan bahwa angka tersebut dapat dicapai pada bulan Juni atau
Juli 1979. Kemajuan seperti itu dalam suatu industri belum pernah terjadi sebelumnya. Ini
semakin jelas melalui perbandingan dengan teknologi-teknologi ma-nufaktur yang
lebih tua. Detroit cukup puas dengan menampilkan perubahan-perubahan desain
produk yang sepele setiap tiga tahun, tapi industri elektronik secara rutin
menuntut kemajuan dalam skala magnitude dalam kurun waktu sama. (Untuk
194 mengimbangi kemajuan industri elektronik, para produsen mobil di Detroit
seharusnya mengurangi pemakaian bahan bakar mobil-mobil mereka dari 12 kilometer
per galon di tahun 1970 menjadi 120.000.000 kilometer per galon di tahun 1979.
Ternyata Detroit hanya dapat mengurangi pemakaian BBM dari 12 menjadi 24
kilometer per galon antara tahun 1970 dan 1979, suatu petunjuk lagi bahwa
industri otomotif akan tergeser dari posisi sebagai pusat perekonomian Amerika
Serikat.) Dalam pasar dengan persaingan sedemikian ketat, semua pihak khawatir mengenai
kekuatan-kekuatan asing, terutama Jepang, yang sejak tahun 1973 telah mendirikan
Pusat"Kebudayaan Jepang di Santa Clara. Namun sesungguhnya pusat kebudayaan
tersebut hanyalah tameng untuk menutup-nutupi kegiatan mata-mata industri yang
dilakukan secara terang-terangan dan dengan dukungan dana besar.
Kontrak Biru hanya dapat dipahami dalam konteks industri yang mencapai kemajuan-
kemajuan besar setiap beberapa bulan sekali. Travis sempat berkomentar bahwa
Kontrak Biru merupakan "kejadian terbesar yang akan kita lihat dalam sepuluh
tahun berikut. Siapa pun yang menemukan intan-intan itu akan memiliki keunggulan
teknologi selama paling tidak lima tahun. Lima tahun. Kau tahu apa artinya itu?"
195 Ross tahu persis apa artinya. Dalam industri di mana suatu keunggulan akan
terkikis dalam hitungan bulan, para produsen dapat meraih keuntungan luar biasa
dengan memperkenalkan teknik atau peralatan baru beberapa minggu lebih dulu
daripada saingan-saingan mereka. Syntel di California adalah perusahaan pertama
yang mem-produksi chip dengan kapasitas memori sebesar 256K, sementara
perusahaan-perusahaan lain masih membuat chip 16K dan mengangan-angankan chip
64K. Keunggulan Syntel bertahan hanya 16 minggu, namun perusahaan tersebut
berhasil meraup keuntungan lebih dari 130 juta dolar.
"Dan kita bicara tentang lima tahun," ujar Travis. "Keunggulan itu bernilai
miliaran dolar, mungkin bahkan puluhan miliar dolar. Kalau kita bisa mendapatkan
intan-intan itu." Itulah alasan-alasan di balik tekanan luar biasa yang dirasakan Ross ketika
melanjutkan pekerjaannya dengan komputer. Pada usia 24, ia telah menjadi
pemimpin tim dalam suatu perlombaan hightech yang melibatkan setengah lusin
negara dari seluruh dunia, dan semuanya diam-diam mengerahkan sumber daya bisnis
dan industri untuk menjegal lawan.
Nilai yang dipertaruhkan membuat semua perlombaan biasa berkesan menggelikan.
Sebelum keberangkatan Ross, Travis sempat berpesan, "Jangan takut kalau
tekanannya membuatmu gila.
196 Kau memikul beban sebesar miliaran dolar Pokoknya, berusahalah sebaik mungkin."
Dan dengan berusaha sebaik mungkin, Ross berhasil mengurangi 3 jam dan 37 menit
lagi dari perkiraan waktu tempuh ekspedisi mereka. Meski demikian, mereka tetap
berada di belakang pihak konsorsium. Tidak terlalu jauh untuk mengejar la-wan,
terutama dengan adanya jalan-jalan pintas penuh risiko yang dapat ditempuh
berkat bantuan Munro, namun tetap di belakang dan ini bisa berarti bencana ?dalam perlombaan di mana hanya satu pihak akan keluar sebagai pemenang.
Kemudian ia menerima berita buruk itu.
Pada layar monitor tercetak PIGGYBACK-SLURP / SELURUH RENCANA BATAL.
"Brengsek," ujar Ross. Ia mendadak letih sekali. Sebab kalau memang telah
terjadi penyadapan data, peluang mereka untuk memenangkan perlombaan telah
lenyap, bahkan sebelum mereka men-jejakkan kaki di hutan tropis di tengah-tengah
Afrika. 197 2 Travis merasa seperti orang bodoh.
Ia menatap pesan dari Goddard Space Flight Center di Greenbelt, Maryland..
ERTS UNTUK APA KALIAN KIRIM DATA MUKENKO KAMI TIDAK PERLU TERIMA KASIH SILAKAN
AKHIRI PENGIRIMAN. Laporan itu tiba satu jam lalu dari GSFC/Maryland, tapi sebenarnya sudah
terlambat lebih dari lima jam.
"Brengsek!" Travis mengumpat sambil menatap teleks di tangannya.
Travis mulai mencium gelagat bahwa ada yang tidak beres ketika orang-orang
Jepang dan Jerman memutuskan negosiasi dengan Munro di Tangier. Mula-mula mereka
bersedia membayar berapa pun; sesaat kemudian mereka sepertinya sudah tak sa-bar
untuk segera pergi. Perubahan sikap secara mendadak itu mengisyaratkan bahwa
komputer pihak konsorsium telah memperoleh data baru.
198 Data baru dari mana"
Hanya ada satu penjelasan, dan kini Travis telah memperoleh konfirmasi dalam
bentuk teleks dari GSFC di Greenbelt.
ERTS UNTUK APA KALIAN KIRIM DATA MUKENKO
Jawabannya sederhana saja: ERTS tidak mengirim data apa pun. Paling tidak, bukan
secara sukarela. ERTS dan GSFC menjalin kerja sama dalam bentuk saling bertukar
data baru. Travis menandatangani kesepakatan tersebut pada tahun 1978, agar
dapat memperoleh citra-citra satelit Landsat dengan harga lebih rendah. Biaya
untuk xitra-citra satelit memang komponen biaya terbesar di perusahaannya.
Sebagai imbalan atas hak untuk mendapatkan data olahan ERTS, GSFC setuju untuk
menyediakan CCT satelit dengan potongan tiga puluh persen dari harga kotor.
Saat itu perjanjian tersebut tampak menguntungkan bagi kedua belah pihak, dan
kata-kata sandi yang akan digunakan pun ikut dicantumkan dalam naskah kerja
sama. Namun kini semua risiko potensial kembali terbayang-bayang di depan mata Travis.
Kekhawatirannya yang paling besar telah menjadi kenyataan. Mengadakan saluran
sejauh tiga ribu kilometer dari Houston ke Greenbelt berarti mengundang
piggyback data slurp penyedotan data oleh ter - ?199
PENYEDOTAN DATA minal pembonceng. Seseorang telah menyambungkan terminal komputer di suatu
tempat antara Texas dan Maryland kemungkinan besar pada jaringan telepon dan
? ?mulai menyedot data melalui terminal pembonceng itu. Inilah bentuk kegiatan
mata-mata industri yang paling ditakuti.
Terminal pembonceng disambungkan di antara dua terminal sah, dan digunakan untuk
memantau arus rransmisi ke kedua arah. Setelah beberapa waktu, operator terminal
tersebut memiliki pengetahuan memadai untuk mengadakan transmisi sendiri. Ia
menyamar sebagai GSFC jika berhubungan dengan Houston, dan sebagai Houston saat
mengontak GSFC. Kegiatan terminal pembonceng bisa terus berlangsung, sampai
salah satu atau kedua terminal sah menyadari data mereka disedot.
Pertanyaannya sekarang, seberapa banyak data yang disedot dalam 72 jam terakhir"
Travis telah mengadakan pemeriksaan alat-alat pemantau yang bekerja 24 jam
sehari, tapi hasilnya tidak menggembirakan. Sepertinya komputer ERTS bukan -
saja menyerahkan elemen-elemen mentah dalam database, melainkan juga catatan
transformasi data runtunan prosedur manipulasi data oleh ERTS selama empat
?minggu terakhir. Kalau itu benar, berarti terminal pembonceng konsorsium Euro-Jepang telah
mengetahui transformasi apa saja yang dilakukan ERTS dengan data Mukenko, dan
dengan demikian mereka pun mengetahui lokasi kota hilang itu setepat-tepatnya.
200 Tolok waktu terpaksa disesuaikan, dengan kerugian di pihak tim ERTS. Dan
proyeksi-proyeksi komputer yang telah diperbarui tidak menyisakan sebersit keraguan pun: dengan atau
tanpa Ross, peluang tim ERTS untuk mencapai lokasi sebelum orang-orang Jepang
dan Jerman hampir sama dengan nol.
Dari sudut pandang Travis, seluruh ekspedisi ERTS kini merupakan usaha sia-sia
dan hanya membuang-buang waktu. Tak ada harapan untuk berhasil. Satu-satunya
faktor yang tak dapat diperhitungkan adalah Amy, si gorila, dan naluri Travis
mengatakan gorila bernama Amy takkan berperan menentukan dalam pencarian
cadangan intan di kawasan timur laut Kongo.
Tak ada harapan sama sekali.
Haruskah ia memanggil kembali tim ERTS" Ia menatap komputer di meja kerjanya.
"Jalankan program waktu-biaya," ia berkata.
Layar monitor berkedap-kedip. WAKTU-BIAYA SIAP.
"Survei Lapangan Kongo," ujar Travis.
Layar monitor menampilkan angka-angka untuk Survei Lapangan Kongo: pengeluaran
per jam, biaya total saat ini, biaya yang masih akan ditagih, proyeksi biaya
untuk pembatalan pada titik-titik tertentu, penghapusan titik-titik percabangan.
Ekspedisi ERTS kini hampir tiba di Nairobi dan telah menghabiskan sekitar
189.000 dolar. 201 Jika ekspedisi tersebut dibatalkan, pengeluaran ERTS akan berjumlah 227.455
dolar. "Faktor BF," kata Travis.
Layar berubah, dan Travis melihat serangkaian hasil perhitungan peluang baru.
"Faktor BF" adalah bona fortuna, nasib baik faktor tak terduga yang terdapat ?pada semua ekspedisi, terutama ekspedisi-ekspedisi ke kawasan terpencil
berbahaya. SABAR SEJENAK, terbaca pada layar.
Travis menunggu. Ia tahu komputer membutuhkan beberapa detik untuk melakukan
perhitungan dengan memberi bobot pada faktor-faktor acak yang mungkin akan
mempengaruhi ekspedisi, yang masih berada lima hari atau lebih dari lokasi.
Kongo Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pager Travis berbunyi. Rogers, si ahli pengawasan elektronik, melaporkan, "Kami
berhasil melacak terminal pembonceng itu. Letaknya di Norman, Oklahoma, di
gedung kantor North Central Insurance Corporation of America. Lima puluh satu
persen saham NCIC dikuasai oleh perusahaan holding di Hawaii, Halekuli, Inc.,
yang sepenuhnya dimiliki pemodal-pemodal di Jepang. Bagaimana sekarang?"
"Aku minta kebakaran hebat," jawab Travis.
"Beres," ujar Rogers, lalu meletakkan gagang telepon.
Layar monitor memperlihatkan tulisan PERHITUNGAN FAKTOR BF SELESAI, serta sebuah
peluang: .449. Travis terkejut: angka itu berarti tim ERTS memiliki peluang yang
hampir sama 202 besar untuk mencapai lokasi sebelum pihak konsorsium. Travis tidak
mempertanyakan cara perhitungannya; angka .449 sudah memadai.
Ekspedisi ERTS ke Kongo akan dilanjutkan, paling tidak untuk sementara. Dan
Travis akan berusaha sekeras mungkin untuk menghambat ge-rak maju pihak
konsorsium. Saat itu juga satu-dua gagasan terlintas dalam benak Travis untuk
mencapai tujuan tersebut.
203 3 Pesawat jet itu sedang melintas ke selatan di atas Danau Rudolf di bagian utara
Kenya ketika Tom Seamans menghubungi Elliot.
Seamans telah merampungkan analisis komputernya untuk membedakan gorila dari
monyet-monyet lain, terutama simpanse. Dari Houston ia lalu memperoleh rekaman
video sepanjang tiga detik, bergambar buram, sepertinya memperlihatkan seekor
gorila yang sedang menghancurkan an-tena parabola sambil memandang ke kamera. ^
"Bagaimana?" tanya Elliot. Ia menatap layar monitor di hadaparinya. Datanya
segera muncul: PROGRAM PEMBEDAAN GORILA / SIMPANSE
DISTRIBUSI PENGELOMPOKAN FUNGSIONAL
SEBAGAI BERIKUT: GORILA: .9934 SIMPANSE: .1132
SUBJEK PADA REKAMAN VIDEO
{HOUSTON}: .3349 "Brengsek," Elliot mengumpat. Dengan angka -
204 angka seperti itu, studi tersebut tidak memberikan kesimpulan tuntas.
"Sori," Seamans berkata melalui telepon. "Sebagian masalahnya terletak pada
rekaman videonya sendiri. Kami terpaksa memperhitungkan derivasi komputer dari
gambar itu. Gambarnya sudah dibersihkan dan dipertajam; bagian-bagian penting
sudah hilang. Sebenarnya aku ingin bekerja dengan matriks digital yang asli.
Bisa kauusahakan?" Karen Ross mengangguk-angguk. "Tentu," balas Elliot.
"Kalau begitu, kucoba sekali lagi," ujar Seamans. "Tapi menurutku hasilnya
takkan berbeda jauh. Kau tahu sendiri, struktur wajah gorila amat bervariasi,
sama seperti manusia. Kalau kita menambah jumlah sampel, kita akan memperoleh
variasi lebih banyak dan interval populasi lebih besar. Kelihatannya tak ada
lagi yang bisa dilakukan. Kau takkan bisa membuktikan ini bukan gorila tapi ?menurutku bukan."
"Maksudnya?" tanya Elliot.
"Ini sesuatu yang baru," jawab Seamans. "Kalau memang gorila, dengan programku
seharusnya menghasilkan angka .89 atau .94. Pokoknya di antara itu. Tapi ini
angkanya .39. Binatang ini bukan gorila, Peter."
"Kalau begitu, apa?"
"Suatu bentuk transisi. Aku sempat menjalankan program lain untuk menentukan
perbedaannya. Kau tahu apa perbedaan paling utama" Wama
205 DATA TAMBAHAN kulit. Pada gambar hitam-putih pun binatang ini kurang gelap untuk gorila,
Peter. Percayalah, ini jenis binatang baru."
Elliot menoleh ke arah Ross. "Bagaimana pengaruhnya terhadap tolok waktu Anda?"
"Untuk sementara belum ada," jawab Ross. "Elemen-elemen Iain lebih menentukan,
dan data yang ini tidak bisa diperhitungkan."
Pilot di kokpit menyalakan interkom. "Sebentar lagi kita akan mendarat di
Nairobi," ia mengumumkan.
206 4 Tujuh setengah kilometer di luar kota Nairobi, makhluk-makhluk penghuni sabana
Afrika Timur masih bebas berkeliaran. Dan tidak sedikit warga Nairobi yang masih
mengingat masa ketika binatang-binatang tersebut dapat ditemui lebih dekat
lagi kijang, banteng, dan jerapah berlalu lalang di pekarangan-pekarangan, dan ?sesekali ada macan kumbang menyusup ke kamar tidur orang. Di za-man itu, kota
Nairobi masih menampilkan diri sebagai pos kolonial yang liar; di masa jayanya,
Nairobi merupakan tempat bersuasana seronok. "Sudah menikah atau tinggal di
Nairobi?" adalah pertanyaan yang lazim diajukan. Kaum prianya berperangai kasar
dan gemar minum-minum, kaum wanitanya cantik-cantik dan berpikiran bebas, dan
kehidupan sehari-hari sama tak terduganya seperti perburuan rubah yang malang
melintang melintasi daerah pedesaan setiap akhir pekan.
Tapi Nairobi modern bisa dibilang tidak mempunyai kemiripan apa pun dengan masa
kolonial 207 NAIROBI dulu. Hanya segelintir bangunan bergaya Victoria yang masih bertahan di kota
berpenduduk setengah juta jiwa, yang tak luput dari tanda-tanda kemajuan zaman
seperti kemacetan, lampu lalu lin-tas, gedung pencakar langit, pasar swalayan,
binatu layanan satu hari, restoran masakan Prancis, dan polusi udara.
Pesawat kargo ERTS mendarat dini hari tanggal 16 Juni di Nairobi International
Airport. Munro segera mencari kuli dan asisten untuk ekspedisi mereka. Semula
mereka bermaksud meninggalkan Nairobi dalam waktu dua jam sampai Travis
?menelepon dari Houston untuk memberitahukan bah-wa Peterson, salah satu ahli
geologi dari ekspedisi Kongo pertama, berhasil kembali ke Nairobi.
Ross menyambut berita itu dengan gembira. "Df mana dia sekarang?" tanyanya.
"Di kamar mayat," jawab Travis.
Elliot meringis ketika mendekat. Mayat yang tergeletak di meja stainless steel
itu pria pirang yang sebaya dengannya. Kedua lengan pria itu remuk, kulitnya
menggembung dan berwarna ungu tua. Elliot melirik ke arah Ross. Wanita itu
tampak tenang. Ia tidak berkedip maupun memalingkan wajah. Ahli patologi yang
menyertai mereka menginjak sebuah pedal untuk menyalakan mikrofon yang
tergantung dari langit-langit. "Tolong se-butkan nama Anda." "Karen Ellen Ross."
208 "Kebangsaan dan nomor paspor Anda?" "Amerika, F 1413649."
"Apakah Anda dapat mengidentifikasi pria di hadapan Anda, Miss Ross?"
"Ya," jawab Ross. "Itu James Robert Peterson."
"Apa hubungan Anda dengan almarhum James Robert Peterson?"
"Kami rekan kerja," ujar Ross. Sepertinya ia sedang memeriksa sebuah spesimen
geologi, mengamatinya tanpa emosi. Wajahnya tidak memperlihatkan reaksi apa pun.
Ahli patologi itu menghadap ke mikrofon. "Identitas dipastikan sebagai James
Robert Peterson, pria ras Kaukasia, usia 29 tahun, warga ne-gara Amerika." Ia
kembali berpaling pada Ross. "Kapan Anda terakhir melihat Mr. Peterson?"
"Bulan Mei tahun ini. Ketika itu dia hendak bertolak ke Kongo."
"Anda tidak melihatnya dalam bulan terakhir?"
"Tidak," ujar Ross. "Apa yang terjadi?"
Si ahli patologi menyentuh luka-luka memar berwarna ungu pada lengan Peterson.
Ujung jarinya meninggalkan bekas dalam, bagaikan bekas gigitan. "Ceritanya
sungguh aneh," ahli patologi itu berkata.
Pada hari sebelumnya, tanggal 15 Juni, Peterson diterbangkan ke bandara Nairobi
dengan pesawat kargo carteran. Ia berada dalam tahap akhir terminal shock, dan
meninggal beberapa jam kemudian. tanpa sempat sadar kembali. "Terus terang,
209 saya heran dia berhasil sampai di sini. Pesawat itu rupanya mengalami gangguan
mekanis, sehingga terpaksa mendarat di Garona, lapangan terbang perintis di
Zaire. Tahu-tahu orang ini muncul dari hutan dan ambruk di depan kaki mereka."
Si ahli patologi lalu mengungkapkan bahwa tulang kedua lengan Peterson remuk.
Luka-luka itu tidak baru, ia menjelaskan. Cedera tersebut berusia paling tidak
empat hari, mungkin lebih. "Dia pasti menderita sekali."
Elliot bertanya, "Apa yang dapat menyebabkan cedera seperti itu?"
Si ahli patologi ternyata belum pernah melihat luka-luka seperti yang dialami
Peterson. "Sepintas lalu kelihatannya seperti trauma mekanis, cedera akibat
benturan mobil atau truk. Kami sering menangani cedera seperti itu di sini. Tapi
korban tabrakan tak pernah mengalami remuk tulang pada kedua sisi tubuh, seperti
dalam kasus ini." "Berarti bukan trauma mekanis?" tanya Karen Ross.
"Penyebabnya belum bisa dipastikan. Ini kasus unik," si ahli patologi menjawab
ketus. "Kami juga menemukan darah diTbawah kuku korban, dan beberapa helai
rambut kelabu. Kami sedang melakukan pemeriksaan di lab sekarang."
Di seberang ruangan, ahli patologi lain yang duduk menghadapi mikroskop menoleh
ke arah mereka. "Rambutnya pasti bukan rambut manusia.
210 Irisan penampangnya tidak cocok. Ini bulu binatang, mirip manusia."
"Irisan penampang?" Karen Ross mengulangi.
"Indeks terbaik untuk menentukan asal-usul rambut," ahli patologi itu menyahut.
"Misalnya, irisan penampang bulu kemaluan manusia lebih lonjong dibandingkan
bulu tubuh lainnya, termasuk bulu wajah. Ciri-ciri ini cukup khas, bisa diterima
sebagai barang bukti di pengadilan. Tapi di lab ini, kami juga biasa menangani
bulu hewan, dan kami cukup ahli."
Sebuah alat analisis berukuran besar yang terbuat dari baja tahan karat
mengeluarkan bunyi berdenting. "Pemeriksaan darahnya sudah selesai," si ahli
patologi berkata. Mereka melihat dua pola garis-garis berwarna pastel pada sebuah layar video.
"Ini pola elektro-foresis," si ahli patologi menjelaskan. "Untuk menentukan
protein-protein serum. Yang sebelah kiri adalah darah manusia. Yang di sebelah
kanan ada-lah darah yang kami temukan di bawah kuku korban. Kelihatan jelas ini
bukan darah manusia."
"Bukan darah manusia?" ujar Ross sambil melirik ke arah Elliot.
"Contoh darah ini mirip darah manusia," si ahli patologi berkomentar sambil
mengamati pola yang tampak di layar. "Tapi bukan. Mungkin darah binatang piaraan
atau ternak darah babi, misalnya. Atau darah primata. Secara serologis, monyet ?dan
211 kera sangat dekat dengan manusia. Sebentar lagi analisis komputer sudah
selesai." Sesaat kemudian layar video menampilkan hasil analisis komputer: PENCOCOKAN
GLOBULIN SERUM ALPHA DAN BETA: DARAH GORILA.
Si ahli patologi berkata, "Inilah yang terdapat di bawah kuku korban. Darah
gorila." 212 5 "Dia takkan menyakiti Anda," Elliot berkata ke-pada mantri kesehatan yang tampak
waswas. Mereka berada di ruang penumpang pesawat kargo 747 itu. "Nah, lihat
saja, dia tersenyum kepada Anda."
Amy memang sedang memasang senyumnya yang paling menawan, berusaha tidak
memperlihatkan giginya. Tapi mantri dari klinik swasta di Nairobi itu tidak
memahami seluk-beluk tata kra-ma gorila. Tangannya gemetaran ketika meraih alat
suntik. Nairobi merupakan kesempatan terakhir bagi Amy untuk menjalani pemeriksaan
menyeluruh. Tubuhnya yang besar dan kuat tidak mencerminkan kesehatannya yang
rapuh; roman mukanya yang menyeramkan pun bertolak belakang dengan sifatnya yang
lembut. Di San Francisco, kesehatan Amy dipantau secara ketat oleh staf Proyek
Amy sampel urine diperiksa setiap dua hari, contoh tinja setiap minggu,
?pemeriksaan darah lengkap
213 PEMERIKSAAN dilakukan setiap bulan, dan tiga bulan sekali Amy mengunjungi dokter gigi untuk
menghilangkan lapisan hitam yang terkumpul di" giginya.
Amy sudah terbiasa menjalani pemeriksaan, na-mun itu tidak diketahui oleh si
mantri yang gemetar ketakutan. Ia menghampiri Amy sambil memegang alat sunfik
seperti senjata. "Anda yakin dia tidak menggigit?"
Amy, yang berusaha membantu, memberi isyarat Amy janji tidak gigit. Ia
menggerak-gerakkan tangannya dengan pelan, seperti biasa jika menghadapi orang
yang tidak menguasai bahasanya.
"Dia berjanji tidak menggigit Anda," ujar Elliot.
"Itu kata Anda," balas si mantri. Elliot tidak berusaha menjelaskan bahwa bukan
ia yang berjanji demikian, melainkan Amy.
Setelah selesai mengambil sampel, si mantri tampak lebih tenang. Ia membereskan
peralatannya dan berkata, "Dia benar-benar jelek."
"Anda membuatnya tersinggung," ujar Elliot.
Dan ternyata Amy sibuk memberi isyarat, Apa jelek" "Tidak apa-apa, Amy," Elliot
menenangkannya. "Dia cuma belum pernah melihat gorila."
"Bagaimana?" si mantri bertanya bingung.
"Anda membuatnya tersinggung. Sebaiknya Anda minta maaf."
Si mantri menutup kotak peralatan medis yang dibawanya. Ia menatap Elliot, lalu
Amy. "Minta maaf" Pada dial"
214 Elliot mengangguk. "Ya. Bagaimana perasaan Anda kalau Anda dibilang jelek?"
Elliot bersungguh-sungguh. Setelah bertahun-ta-hun menekuni bidangnya, ia telah
hafal prasangka manusia terhadap monyet: simpanse dianggap seperti bocah lucu,
orang utan dilihat sebagai orang tua yang bijak, dan gorila sebagai makhluk liar
berbahaya. Sesungguhnya semua prasangka itu ke-liru.
Masing-masing binatang itu bersifat unik, dan tidak dapat dikotak-kotakkan
begitu saja. Gorila, misalnya, lebih berperasaan halus dibandingkan simpanse.
Karena simpanse berwatak ekstrovert, simpanse yang marah jauh lebih berbahaya
dibandingkan gorila yang marah; di kebun binatang, Elliot acap kali tercengang
melihat kaum ibu membiarkan anak-anak mengamati simpanse dari jarak dekat, namun
segera menarik mereka jika mereka mendekati gorila. Para ibu itu rupanya tidak
tahu bahwa simpanse liar suka menculik dan memangsa anak manusia sesuatu yang ?tak pernah dilakukan gorila.
Elliot sudah berulang kali menjadi saksi prasangka manusia terhadap gorila, dan
ia menyadari pengaruhnya terhadap Amy. Amy mau tak mau hams menerima kenyataan
bahwa ia berbadan be-sar dan hitam, serta berwajah menyeramkan. Namun di balik
wajah yang oleh manusia dianggap jelek itu terdapat kesadaran diri yang cerdas
dan peka serta penuh simpati pada orang-orang di se-215
kitarnya. Amy sakit hati kalau orang berlari men-jauhinya, menjerit ketakutan,
atau memberi komentar melecehkan.
Si mantri mengerutkan kening. "Maksud Anda, monyet jantan ini mengerti bahasa
Inggris?" "Dia betina," Elliot meralat. Ini pun sudah acap kali dialaminya. Orang yang
takut pada Amy langsung berasumsi bahwa ia jantan. * Si mantri menggelengkan
kepala. "Saya tidak percaya."
"Amy, antar orang ini ke pintu."
Amy menuju pintu dan membukanya untuk si mantri, yang melangkah keluar sambil
membelalakkan mata. Amy menutup pintu lagi.
Orang bodoh, Amy memberi isyarat.
"Biar saja," kata Elliot. "Sini, Peter gelitik Amy." Dan selama lima belas menit
berikut ia menggelitik Amy yang berguling-guling di lantai sambil menikmati
perlakuan istimewa itu. Elliot tidak menyadari bahwa pintu di belakangnya
membuka. Ia tidak memperhatikan bayangan yang melintasi lantai, sampai
terlambat. Ketika ia menoleh, dilihatnya sebuah tabung gelap diayunkan ke ba-
wah. Kepalanya seakan meledak, diiringi cahaya putih menyilaukan, lalu semuanya
gelap gulita. 216 6 Ia siuman dan mendengar bunyi melengking tinggi.
"Jangan bergerak, Sir," sebuah suara berkata.
Elliot membuka mata dan menatap cahaya te-rang yang menyorot ke arahnya. Ia
masih tergeletak di dalam pesawat terbang; seseorang sedang membungkuk di
atasnya. "Lirik ke kanan... sekarang ke kiri... Anda bisa menggerakkan jari?"
Elliot menuruti instruksi-instruksi itu. Cahaya tadi berpindah, dan ia melihat
pria hitam dengan jas putih berjongkok di sampingnya. Pria itu menyentuh kepala
Elliot. Ketika ia menarik tangannya, ujung-ujung jarinya merah karena darah.
"Tak ada yang perlu dikhawatirkan," orang itu berkata. "Lukanya tidak serius."
Ia menoleh ke arah lain. "Kira-kira berapa lama dia tidak sadar?"
"Paling-paling beberapa menit," jawab Munro.
Bunyi melengking tadi terdengar lagi. Elliot melihat Ross mondar-mandir di ruang
penumpang, sambil menyandang sebuah kotak dan memegang
Kongo Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
217 DICULIK tongkat di depannya. Sekali lagi terdengar bunyi melengking. "ferengsek," Ross
mengumpat tertahan, lalu mencabut sesuatu dari balik penutup jendela. "Ini yang
kelima. Mereka benar-benar bekerja keras."
Munro menatap Elliot. "Bagaimana keadaan Anda?" ia bertanya.
"Sebaiknya dia diobservasi selama 24 jam," pria hitam di samping Elliot berkata.
"Sekadar berjaga-jaga."
"Dua puluh empat jam!" ujar Ross sambil terus berkeliling
Elliot bertanya, "Di mana Amy?"
"Mereka membawanya," sahut Munro. "Mereka kabur lewat pintu belakang, sebelum
ada yang sadar apa yang terjadi. Kami menemukan ini di sebelah Anda."
Munro menyerahkan botol obat berukuran kecil dengan tulisan Jepang. Sisi botol
itu tergores-gores; pada ujung yang satu ada tonjolan karet menyerupai piston
pada katup ban mobil, pada ujung yang satu lagi jarum suntik yang patah.
Elliot langsung duduk. "Pelan-pelan," si dokter mewanti-wanti.
"Saya tidak apa-apa," jawab Elliot, padahal kepalanya berdenyut-denyut. Ia
mengamati botol obat di tangannya. "Apakah ada bunga es pada botol ini waktu
Anda menemukannya?" Munro mengangguk. "Dingin sekali."
"CO2," ujar Elliot. Botol itu merupakan anak
218 panah dari pistol gas. Ia menggelengkan kepala. "Mereka mematahkan jarumnya." Ia
bisa membayangkan jerit kemarahan Amy yang telah terbiasa diperlakukan dengan
halus dan lembut. Ini mungkin salah satu kekurangan dalam penelitian Elliot; ia
tidak mempersiapkan Amy dengan baik untuk menghadapi dunia nyata. Ia mengendus-
endus botol itu dan mencium bau menyengat. "Lobaxin. Obat soporific yang bekerja
cepat, dalam lima belas detik. Cocok dengan mereka." Lobaxin jarang digunakan
pada binatang, karena menyebabkan kerusakan hati. Dan mereka mematahkan jarum
suntik yang masih menempel....
Elliot bangkit dan bersandar pada Munro, yang segera menopangnya. Si dokter
kembali memprotes. "Saya tidak apa-apa," Elliot menegaskan.
Di seberang ruangan terdengar bunyi melengking lagi, kali ini lebih keras dan
lama. Ross sedang menggerakkan tongkatnya melewati lemari obat, melewati botol-
botol berisi pil. Sepertinya ia salah tingkah karena bunyi itu; ia langsung mun-
dur dan menutup pintu lemari.
Kemudian ia melintasi ruang penumpang; kotak yang dibawa-bawanya kembali
mengeluarkan bunyi melengking. Ross melepaskan alat kecil berwarna hitam dari
bawah salah satu kursi. "Coba lihat ini. Mereka pasti -membawa satu orang khu-
sus untuk memasang alat-alat penyadap. Kita bu-tuh waktu berjam-jam untuk
membersihkan pesawat ini. Kita tidak bisa menunggu selama itu."
219 Ia langsung menghampiri konsol komputer dan mulai mengetik.
Elliot berkata, "Di mana mereka sekarang" Rombongan konsorsium, maksud saya?"
"Rombongan utama mereka bertolak enam jam lalu dari Bandara Kubala di luar
Nairobi," jawab Munro.
"Berarti mereka tidak membawa Amy."\ "Tentu saja tidak," Ross berkomentar dengan
nada jengkel. "Amy tidak bermanfaat bagi mereka."
"Mungkinkah mereka membunuhnya?" tanya Elliot.
"Mungkin saja," ujar Munro. "Oh, ya Tuhan...."
"Tapi saya meragukannya," Munro melanjutkan. "Mereka tidak menginginkan
publisitas, sedangkan Amy terkenal di kalangan tertentu dia sama terkenalnya ?seperti duta besar atau kepala negara. Dia gorila yang bisa bicara, dan jumlah
gorila seperti itu tidak banyak. Dia pernah tampil di TV, fotonya pernah dimuat
di koran-koran. Mereka lebih mungkin membunuh Anda daripada membunuh Amy."
"Yang pen ting mereka tidak menyakitinya," kata Elliot.
"Mereka takkan menyakitinya," Ross berkomentar dengan tegas. "Pihak konsorsium
tidak tertarik pada Amy. Mereka bahkan tidak tahu kenapa kita membawanya ke
sini. Mereka hanya ingin me -
220 ngacaukan tolok waktu kita tapi mereka takkan berhasil."
?Nada suaranya menyiratkan bahwa ia bermaksud meninggalkan Amy. Elliot tentu saja
keberatan. "Kita harus membebaskan dia," ia berkata. "Amy tanggung jawab saya.
Saya tidak bisa meninggalkannya di sini."
"Tujuh puluh dua menit," ujar Ross sambil menunjuk ke layar. "Kita punya waktu
satu jam dua belas menit sebelum kita melanggar tolok waktu." Ia berpaling pada
Munro. "Dan kita terpaksa beralih ke alternatif dua."
"Baik," kata Munro. "Saya akan menyuruh orang-orang mempersiapkan semuanya."
"Dengan pesawat baru," Ross menambahkan. "Yang ini tidak bisa dipakai, karena
sudah terkontaminasi." Ia menekan sejumlah tombol pada konsol komputer. "Setelah
ini kita langsung ke titik M," kata Ross. "Oke?"
"Setuju," balas Munro.
Elliot berkata, "Saya tidak akan meninggalkan Amy. Kalau dia tidak ikut, saya
juga tidak ikut..." Ia terdiam.
Pada layar muncul pesan: LUPAKAN GORILA LANJUTKAN KE CHECKPOINT BERIKUT SE-GERA
MONYET TIDAK PENTING UNTUK HASIL AKHIR VERIFIKASI KOMPUTER ULANGI LANJUTKAN
TANPA AMY. "Anda tidak boleh meninggalkan dia," kata Elliot. "Saya juga akan tinggal di
sini." 221 "Asal tahu saja," ujar Ross. "Dari awal saya sudah beranggapan ekspedisi ini
tidak membutuhkan Amy atau Anda. Dia sekadar saya manfaatkan untuk mengecoh ?pihak lawan. Waktu datang ke San Francisco, saya diikuti orang. Berkat Anda dan
Amy, saya bisa mengelabui mereka. Anda membuat pihak konsorsium kebingungan, dan
sekarang tugas Anda sudah selesai. Kami akan meninggalkan Anda dan Amy, kalau
memang perlu. Saya takkan ambil pusing."
222 ALAT PENYADAP "Persetan," Elliot mengumpat, "maksud Anda, saya dan Amy..."
"Ya," Ross membalas dengan dingin. "Anda dan Amy tidak diperlukan lagi." Namun
sambil bicara, ia meraih lengan Elliot dan menariknya keluar dari pesawat sambil
menempelkan jari telunjuk ke bibir.
Elliot menyadari bahwa Ross hendak berdamai dengan mengadakan pembicaraan empat
mata, tapi Elliot bertekad untuk mempertahankan posisinya. Amy memang tanggung
jawabnya. Persetan dengan segala intan dan intrik-intrik internasional. Setelah
keluar ke apron, ia mengulangi dengan tegas, "Saya takkan pergi tanpa Amy."
"Saya juga." Dengan langkah panjang Ross melintasi pelataran parkir pesawat, dan
menuju ke helikopter polisi yang sudah menunggu.
Elliot pun mempercepat langkahnya. "Apa?"
"Masa Anda belum mengerti juga?" tanya Ross. "Pesawat kita tidak bersih, penuh
alat penyadap. Pihak konsorsium bisa mendengar pembicaraan
223 kita. Ucapan saya tadi sekadar untuk mengelabui mereka."
"Tapi siapa yang membuntuti Anda di San Francisco?"
"Tidak ada yang membuntuti saya, tapi mereka akan menghabiskan waktu berjam-jam
untuk me-nyelidikinya."
"Jadi, Amy dan saya bukan sekadar siasat?"
"Sama sekali bukan," kata Ross. "Begini, kita tidak tahu apa yang terjadi dengan
tim Kongo sebelumnya, tapi apa pun yang dikatakan oleh Anda, Travis, atau semua
orang lain, saya yakin kejadian itu berhubungan dengan gorila. Dan saya percaya
Amy bisa membantu kita setelah kita sam-pai di sana."
"Sebagai duta?"
"Kita butuh informasi," ujar Ross. "Dan dia tahu lebih banyak tentang gorila
daripada kita." "Tapi apakah kita bisa menemukannya dalam waktu satu jam sepuluh menit?"
"Tenang saja,". Ross berkata sambil menatap arlojinya. "Urusan ini akan selesai
dalam dua pu-luh menit."
"Turun lagi! Turun lagi!"
Ross berseru-seru melalui headset sambil duduk di samping pilot helikopter
polisi. Heli itu mengelilingi menara Government House, lalu membelok dan
bergerak ke utara, ke arah Hotel Hilton.
"Maaf, Madam," si pilot berkata sopan, "tapi itu
224 tidak dibenarkan. Kita akan melanggar batas ketinggian minimum."
"Ini terlalu tinggi!" Ross berkeras. Ia menatap kotak di pangkuannya, yang
dilengkapi empat penunjuk arah digital, lalu menekan-nekan sejumlah switch.
Sementara itu, protes-protes keras dari menara pengawas bandara Nairobi
berderak-derak melalui radio.
"Sekarang ke timur, ke timur," Ross berkata. Helikopter yang ditumpanginya
langsung miring dan membelok ke timur, ke daerah pinggiran yang kumuh.
Elliot duduk di bangku belakang. Setiap kali helikopter membelok tajam, perut
Elliot serasa di-aduk-aduk. Kepalanya berdenyut-denyut, tapi ia sendiri yang
memaksa~ ikut. Ia satu-satunya orang yang sanggup menolong Amy, seandainya Amy
membutuhkan tindakan medis.
Ross berkata, "Saya menangkap sinyal," dan menunjuk ke arah timur laut.
Helikopter mereka melintas di atas gubuk-gubuk, bangkai-bangkai mobil, dan
jalan-jalan tanpa aspal. "Pelan-pelan sekarang, kurangi kecepatan."
Angka-angka pada kotak di pangkuannya berubah-ubah, sampai akhirnya serempak
menunjukkan angka nol. "Turun!" Ross berseru, dan helikopter itu mendarat di tengah-tengah tempat
pembuangan sampah yang luas.
Si pilot tidak beranjak dari tempat duduknya;
225 komentarnya pun tidak membesarkan hati. "Di mana ada sampah, di situ ada tikus."
"Saya tidak takut tikus," balas Ross. Ia langsung melompat turun sambil membawa
kotak tadi. "Di mana ada tikus, di situ ada kobra," si pilot menambahkan.
"Oh," ujar Ross.
Ia melintasi tempat pembuangan sampah bersama Elliot. Anginnya cukup kencang;
kertas-kertas dan plastik bekas beterbangan. Elliot merasa pening, bau-bauan
yang tercium membuatnya mual.
"Kita sudah dekat," Ross berkata sambil. menatap kotaknya. "Ini dia!"
Ia membungkuk dan mulai mengobrak-abrik sampah, menggali-gali sampai lengannya
terbenam ke sampah sampai sebatas siku.
Akhirnya ia berhasil menemukan sebuah kalung kalung yang diberikannya pada Amy?ketika mereka menaiki pesawat di San Francisco. Ia segera memeriksa lempengan
plastik dengan nama Amy yang terpasang pada kalung itu. Bagian belakangnya
ternyata tergores-gores. Baru sekarang Elliot memperhatikan bahwa lempengan
tersebut agak tebal. "Sial," ujar Ross. "Enam belas menit hilang sia-sia." Ia langsung kembali ke
helikopter. Elliot menyusulnya. "Tapi bagaimana kita bisa menemukan Amy kalau pemancar di
kalungnya sudah dibuang?"
"Orang selalu memasang lebih dari satu pemancar," jawab Ross. "Yang ini hanya
umpan. Saya 226 sudah memperkirakan mereka akan menemukannya." Ia menunjuk goresan-goresan di
bagian belakang. "Tapi mereka cerdik. Mereka mengubah frekuensinya."
"Jangan-jangan pemancar kedua juga sudah dibuang," ujar Elliot.
"Tidak mungkin," balas Ross. Helikopter mereka lepas landas lagi, angin yang
ditimbulkan oleh baling-balingnya membuat kertas-kertas dan plastik di bawah
beterbangan ke segala arah. Ross menempelkan mikrofonnya ke mulut dan berkata
pada si pilot, "Bawa saya ke tempat penimbunan besi tua paling besar di
Nairobi." Sembilan menit kemudian mereka menangkap si-nyal yang sangat lemah dari sebuah
tempat penimbunan bangkai mobil. Helikopter mereka mendarat di jalanan di luar
tempat itu, dan segera dikelilingi lusinan anak> kecil yang riuh. Ross dan
Elliot masuk ke tempat penimbunan, melewati tumpukan bangkai mobil dan truk.
"Anda yakin dia ada di sini?" tanya Elliot.
"Saya jamin itu. Mereka pasti menahan Amy di tengah-tengah tumpukan logam, itu
satu-satunya cara." "Kenapa begitu?"
"Karena logam meredam sinyal dari pemancar-nya." Ross berjalan di antara
bangkai-bangkai mobil. Sebentar-sebentar ia berhenti untuk menatap kotak
elektroniknya. 227 Kemudian Elliot mendengar bunyi mendengus.
Bunyi itu berasal dari dalam bus Mercedes tua yang telah dimakan karat. Elliot
membuka pintu bus yang nyaris copot dari engselnya, lalu melangkah masuk. Ia
menemukan Amy di bangku paling belakang, terikat pita perekat. Amy tampak grogi,
tapi memprotes keras ketika Elliot melepaskan pita perekat yang menempel pada
bulunya. Kemudian Elliot menemukan ujung jarum suntik yang patah di dada kiri Amy, dan
mencabutnya dengan tang. Amy memekik, lalu memeluk Elliot. Di kejauhan terdengar
sirene polisi meraung-raung.
"Tenang saja, Amy. Tenang saja," ujar Elliot, lalu memeriksanya dengan lebih
saksama. Kondisi Amy tampaknya baik-baik saja.
Dan akhirnya ia bertanya, "Mana pemancar yang satu lagi?"
Ross cengar-cengir. "Dia menelannya."
Kini, setelah Amy dalam keadaan aman, Elliot mulai naik darah. "Anda menyuruh
*dia menelannya" Menelan alat pemancar elektronik" Apa Anda tidak sadar bahwa
Amy sangat rapuh dan kesehatannya harus dijaga terus?"
"Jangan marah dulu," balas Ross. "Masih ingat pil vitamin yang saya berikan pada
Anda" Anda juga menelan satu." Ia menatap arlojinya. "Tiga puluh dua menit," ia
berkata. "Lumayan. Masih ada waktu empat puluh menit sebelum kita harus bertolak
dari Nairobi." 228 8 Munro duduk di dalam pesawat 747 sambil menekan tombol-tombol komputer. Ia
mengamati garis-garis yang saling menyilang pada peta-peta, memperhatikan tolok-
tolok waktu dan koordinat-koor-dinat yang muncul pada layar.
Komputernya sedang membandingkan semua rute yang mungkin ditempuh oleh ekspedisi
mereka, dan setiap rute selesai dianalisis dalam waktu sepuluh detik. Hasil
perhitungannya kemudian ditampilkan pada layar biaya, kesulitan logistik, ?masalah suplai, waktu tempuh total dari Houston, dari Posisi Sekarang (Nairobi),
tempat mereka kini berada.
Mencari-cari alternatif terbaik.
Zaman telah berubah, kata Munro dalam hati. Lima tahun lalu, ekspedisi-ekspedisi
masih didasarkan atas dugaan-dugaan dan nasib baik. Tapi kini semua ekspedisi
melakukan perencanaan realtime dengan bantuan komputer; mau tak mau Munro pun
harus mempelajari BASIC dan TW/
229 POSISI SEKARANG GESHUND serta berbagai bahasa interaktif lainnya. Tak ada lagi yang mengandalkan
naluri se-mata-mata. Zaman memang telah berubah.
Perubahan-perubahan itulah yang mendorong Munro bergabung dengan ekspedisi ERTS,
meski dengan demikian ia terpaksa bekerja sama dengan Karen Ross yang keras
kepala dan belum berpengalaman. Tapi ERTS memiliki database paling lengkap serta
program-program perencanaan yang paling canggih. Munro percaya bahwa untuk jang-
ka panjang, program-program tersebut akan merupakan faktor penentu antara sukses
dan kegagalan. Ia juga lebih menyukai tim kecil. Setelah pihak konsorsium sampai
di lapangan, rombongan mereka yang berjumlah tiga puluh orang akan terbukti
merepotkan. Tapi ia harus mencari jalur yang dapat ditempuh dalam waktu lebih singkat. Ia
menentukan berbagai lintasan, persimpangan, dan titik pertemuan. Lalu, dengan
mata terlatih, ia mulai mencoret alternatif demi alternatif. Ia mencoret jalan
setapak, menutup bandara, menghapus jalur truk, menghindari penyeberangan
sungai. Tolok waktu hasil perhitungan komputer terus dipersingkat, namun dari Posisi
Sekarang (Nairobi), hasilnya tetap terlalu lama. Pada alternatif terbaik, mereka
akan tiba 37 menit lebih dulu dari pihak konsorsium selisih yang tidak berarti.
?Munro mengerutkan kening dan menyalakan ce -
230 rutu. Barangkali kalau mereka menyeberang Sungai Liko di Mugana...
Munro menekan sejumlah tombol.
Ternyata sia-sia. Upaya menyeberangi Sungai Liko justru membuat mereka lebih
lambat. Munro mencoba jalur melalui Lembah Goroba, meskipun ia sadar jalur itu
terlalu berbahaya untuk ditempuh.
JALUR USULAN TERLALU BERBAHAYA.
"Ternyata kita sependapat," ujar Munro sambil mengepulkan asap cerutu. Namun
dalam hati ia mulai bertanya-tanya, adakah alternatif-alternatif lain,
alternatif-alternatif tidak lazim, yang luput dari perhatian mereka" Dan tiba-
Kongo Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tiba saja sebuah ide muncul dalam benaknya.
Yang lain pasti takkan suka, tapi siapa tahu berhasil.
Munro menampilkan daftar perlengkapan logistik pada layar komputer. Ya,
perlengkapan yang dibutuhkan ternyata tersedia. Kemudian ia memasukkan data
jalur bam, dan sambil tersenyum ia memperhatikan sebuah garis lums melintasi
benua Afrika, beberapa kilometer dari tempat tujuan mereka. Munro segera minta
perhitungan waktu tem-puh.
JALUR USULAN TIDAK DAPAT DITEREvlA.
Ia menekan tombol override dan memperoleh perhitungan yang dimintanya. Hasilnya
ternyata 231 persis seperti yang diduganya mereka dapat mengalahkan pihak konsorsium dengan ?selisih waktu empat puluh jam. Hampir dua hari! , Komputernya menampilkan
pernyataan semula: JALUR USULAN TIDAK DAPAT DITERIMA FAKTOR KETINGGIAN RISIKO TERHADAP PERSONIL
PELUANG SUKSES DI BAWAH BATAS MINIMUM
Kali ini Munro tidak sependapat. Ia percaya mereka memiliki peluang cukup besar
untuk berhasil, terutama jika cuaca mendukung. Faktor ketinggian takkan jadi
masalah; medan yang dilalui memang berat, namun dapat dilewati.
Malahan, semakin lama memikirkannya, Munro semakin yakin cara itu akan berhasil.
232 9 Boeing 747 kargo bermesin jet dan pesawat Fok-ker S-144 bermesin baling-baling
yang diparkir berdampingan itu tampak seperti induk dan anak. Dua pelataran
kargo bergerak naik-turun tanpa henti, orang-orang sibuk memindahkan peralatan
dari pesawat yang lebih besar ke pesawat yang lebih kecil. Ketika kembali ke
bandara, Ross memberi tahu Elliot bahwa mereka akan menggunakan pesawat yang
lebih kecil, karena 747 itu harus dibersihkan dari alat penyadap, dan juga
"terlalu besar" untuk kebutuhan mereka sekarang.
"Tapi pesawat jet pasti lebih cepat," ujar Elliot.
"Belum tentu," balas Ross, tanpa memerinci maksudnya.
Elliot sendiri tidak menuntut penjelasan lebih lanjut. Ia segera menuntun Amy
naik ke pesawat Fokker, lalu memeriksanya dengan teliti. Sepertinya seluruh
tubuh Amy memar-memar ia mengeluh semuanya terasa sakit saat Elliot menyen -
? 233 KEBERANGKATAN tuhnya tapi tak ada tulang yang patah, dan ia pun tidak tampak lesu.?Beberapa laki-laki hitam sedang mengangkut perlengkapan ke dalam pesawat sambil
tertawa-tawa dan saling menepuk punggung. Amy tertarik pada mereka, dan bertanya
Apa lucu" Tapi mereka tidak menggubrisnya dan tetap berkonsentrasi pada
pekerjaan mereka. Karena masih di bawah pengaruh obat bius, tak lama kemudian
Amy tertidur. Ross mengawasi kegiatan bongkar-muat, dan Elliot menuju ekor pesawat, tempat
Ross sedang berbincang-bincang dengan seorang laki-laki hitam yang riang
gembira. Ross memperkenalkannya sebagai Kahega.
"Ah," kata Kahega sambil bersalaman dengan Elliot. "Dr. Elliot. Dr. Ross dan Dr.
Elliot, dua dokter, bagus sekali."
Elliot tidak langsung menangkap maksudnya. "Apanya yang bagus sekali?"
Kahega tertawa berderai-derai. "Samarannyaf" ia berseru. "Lain sekali dengan
Kapten Munro dulu. Sekarang dua dokter misi kemanusiaan, ya" Bagus, bagus. Mana
?'obat-obatan' yang akan Dokter bawa?" Ia mengedipkan sebelah mata.
"Kami tidak bawa obat-obatan." Ross menghela napas.
"Oh, bagus sekali, Dokter. ISaya suka cara Dokter," ujar Kahega. "Dokter dari
Amerika, ya" Apa kita bawa M-16" Senapan bagus, M-16. Saya paling suka."
234 "Kahega pikir kita menyelundupkan senjata," Ross memberitahu Elliot. "Dia tak
mau percaya kita bukan pedagang senjata."
Kahega tertawa. "Dokter ikut Kapten Munro," ia berkomentar, seakan-akan itu
menjelaskan semuanya. Kemudian ia pergi untuk menemui para pekerja yang lain.
"Anda yakin kita tidak membawa senjata selun-dupan?" Elliot bertanya setelah
Kahega berlalu "Kita mencari sesuatu yang lebih berharga daripada senapan," ujar Ross. Ia
sedang menyusun kembali perlengkapan yang akan mereka bawa. Elliot menawarkan
bantuan, tapi Ross menggelengkan kepala. "Ini harus saya kerjakan sendiri.
Beratnya harus dikurangi sampai dua puluh kilo per orang."
"Dua puluh kilo" Untuk semuanya?"
"Itu batas maksimum yang diizinkan komputer. Munro menyewa Kahega dan tujuh
pengangkut lainnya. Semuanya anggota suku Kikuyu. Dengan kita bertiga, itu
berarti sebelas orang, ditambah Amy dia juga akan membawa dua puluh kilo. Jadi,
?beban keseluruhan yang bisa dibawa adalah 240 kilo." Ross kembali menimbang
paket-paket berisi bahan makanan.
Elliot agak khawatir setelah mendengar penjelasan itu. Rencana mereka kembali
berubah, dan sepertinya semakin berbahaya. Ia sempat mempertimbangkan untuk
mengundurkan diri, namun berubah pikiran ketika teringat makhluk berbulu ke -
235 Iabu yang menyerupai gorila, makhluk yang di-duga merupakan jenis binatang baru
yang belum dikenal. Elliot merasa pantas mengambil risiko untuk penemuan seperti
itu. Ia menatap para pengangkut yang tampak di luar jendela. "Mereka orang
Kikuyu?" "Ya," jawab Ross. "Mereka ulet, walaupun cerewet. Orang Kikuyu gemar mengobrol.
Oh ya, mereka semua kakak-beradik, jadi hati-hati kalau bicara. Moga-moga Munro
tidak perlu bercerita terlalu banyak."
"Pada orang-orang Kikuyu itu?"
"Bukan, pada NCNA."
"NCNA," Elliot mengulangi.
"Orang-orang Cina. Mereka sangat tertarik pada komputer dan teknologi
elektronik," ujar Ross. "Munro harus memberitahukan sesuatu pada mereka, sebagai
imbalan atas informasi yang mereka berikan padanya." Ross menunjuk ke jendela.
Elliot memandang ke luar dan melihat Munro sedang berdiri di bawah sayap pesawat
kargo, berbicara* dengan empat laki-laki Cina.
"Nih," kata Ross, "tolong simpan ini di pojok sana." Ia menunjuk tiga karton
styrofoam berukuran besar dengan tulisan AMERICAN SPORT DIVERS, LAKE ELSINORE,
CALIF. "Kita akan bekerja di bawah air?" Elliot bertanya sambil terheran-heran.
Tapi Ross tidak memperhatikannya. "Kalau saja saya bisa tahu apa yang
dikatakannya pada me - 236 reka," ia bergumam. Ternyata Ross tidak perlu khawatir, sebab Munro membayar
orang-orang Cina dengan sesuatu yang jauh lebih berharga bagi mereka
dibandingkan informasi mengenai peralatan elektronik.
Pesawat Fokker itu lepas landas pukul 14.24, tiga menit lebih cepat daripada
jadwal mereka yang baru. Dalam enam belas jam setelah pembebasan Amy, ekspedisi ERTS menempuh perjalanan
sejauh 840 kilometer melintasi perbatasan empat negara Kenya, Tanzania, ?Rwanda, dan Zaire. Mereka terbang dari Nairobi ke Hutan Barawanda, di tepi hutan
ray a Kongo. Masalah logistik yang menyertai perjalanan itu takkan dapat diatasi
tanpa bantuan pihak luar. Munro bercerita bahwa ia mempunyai "teman-teman di
tempat rendah", dan kali ini ia berpaling pada Dinas Rahasia Cina di Tanzania.
Sudah sejak awal tahun 1960-an orang-orang Cina hadir di Afrika. Saat itu
jaringan mata-mata mereka berusaha mempengaruhi jalannya perang saudara Kongo,
karena Cina mengharapkan akses terhadap cadangan uranium di negara tersebut.
Gerakan-gerakan di lapangan dikendalikan melalui Bank of China atau, lebih
sering, lewat New China News Agency. Munro sempat berurusan dengan sejumlah
"koresponden perang" NCNA ketika menyelundupkan senjata antara tahun 1963
237 dan 1968, dan ia terus memelihara kontak-kon-taknya.
Komitmen keuangan Cina terhadap Afrika Iu-mayan besar. Di akhir tahun 1960-an,
lebih dari setengah dana bantuan Cina, yang berjumlah dua miliar dolar, mengalir
ke negara-negara Afrika. Jumlah yang sama besarnya diberikan secara rahasia;
tahun 1973, Mao Tse-tung sempat mengeluh di depan umum tentang uang yang hilang
sia-sia dalam usaha menggulingkan pemerintahan Zaire di bawah kepemimpinan
Presiden Mobutu. Kehadiran Cina di Afrika sesungguhnya bertujuan untuk mengimbangi pengaruh
Rusia, tapi sejak Perang Dunia II hubungan Cina-Jepang tak bisa dikatakan mulus,
dan keinginan Munro untuk mengalahkan konsorsium Euro-Jepang pun disambut dengan
tangan terbuka. Untuk merayakan per-sekutuan itu, Munro membawa tiga kardus ber-
noda minyak dari Hong Kong.
Kedua pimpinan Dinas Rahasia Cina di Afrika, Li T'ao dan Liu Shu-wen, sama-sama
berasal dari Provinsi Hunan. Mereka kurang suka ditempatkan di Afrika, karena
masakan Afrika tidak cocok dengan lidah mereka. Dengan senang hati mereka
menerima pemberian Munro berupa sekotak jamur kuping, sekotak tauco pedas, dan
sekotak sambal ulek dengan bawang putih. Hadiah itu menciptakan suasana
mendukung untuk berbincang-bincang secara informal.
Orang-orang NCNA membantu Munro dengan
238 mengurus surat-surat, mencarikan peralatan yang sukar diperoleh, dan informasi.
Mereka memiliki peta-peta yang sangat akurat, serta informasi mendetail tentang
kondisi di sepanjang perbatasan timur laut Zaire sebab mereka turut membantu ?pasukan Tanzania yang menyerbu Uganda. Mereka juga memberitahu Munro bahwa
sungai-sungai di hutan sedang banjir, dan menyarankan ia membawa balon untuk
menyeberang. Tapi Munro tidak mengikuti nasihat mereka; sepertinya ia sudah
menyiapkan rencana untuk mencapai tempat tujuannya tanpa perlu menyeberangi
sungai mana pun. Namun caranya tetap merupakan tanda tanya bagi orang-orang Cina
itu. Pukul 22.00 tanggal 16 Juni, pesawat yang membawa rombongan ERTS mendarat di
Bandara Rawamagena, di dekat Kigali di Rwanda, untuk mengisi bahan bakar.
Petugas pengatur lalu lintas udara setempat menaiki pesawat Fokker itu dengan
membawa clipboard dan sejumlah formulir, dan menanyakan tujuan berikut mereka.
Munro menjawab Bandara Rawamagena, yang berarti mereka akan lepas landas, lalu
kembali tanpa singgah di tempat lain.
Elliot mengerutkan kening. "Tapi kita akan mendarat di suatu tempat di..."
"Ssst," Ross mendesis sambil menggelengkan kepala. "Biarkan saja."
Petugas itu tampak puas dengan jawaban
239 Munro; ia segera pergi setelah pilot pesawat Fok-ker menandatangani formulir-
formulir yang diso-dorkan padanya. Ross kemudian menjelaskan bahwa para petugas
pengatur lalu lintas udara di Rwanda sudah terbiasa menghadapi laporan rencana
penerbangan yang tidak lengkap. "Dia hanya ingin tahu kapan kita kembali ke
sini. Selebihnya bukan urusannya."
Pelayanan di Bandara Rawamagena ternyata lamban. Mereka harus menunggu dua jam
sebelum bahan bakar siap diisi, namun Ross yang biasanya serba tidak sabar,
menunggu dengan tenang. Munro pun tidur-tiduran tanpa menghiraukan penundaan
itu. "Bagaimana dengan tolok waktu kita?" tanya Elliot.
"Tak ada masalah," sahut Ross. "Kita toh baru bisa lepas landas tiga jam lagi.
Kita harus menunggu sampai hari terang di atas Mukenko."
"Lapangan terbang yang kita tuju ada di sana?" Elliot kembali bertanya.
"Istilah lapangan terbang terlalu gagah," Munro berkomentar. Ia menutup wajah
dengan topinya dan tidur lagi.
Elliot langsung curiga. Tapi Ross kemudian menjelaskan bahwa sebagian besar
lapangan terbang perintis di Afrika hanya berupa lintasan ta-nah di tengah
hutan. Para pilot tak bisa mendarat pada malam hari, karena landasan sering kali
terhalang binatang-binatang liar, perkemahan suku
240 pengembara, atau pesawat lain yang mendarat lebih dulu dan tidak bisa lepas
landas lagi. "Kita harus menunggu sampai terang," Ross menegaskan. "Karena
itulah kita menunggu di sini. Jangan khawatir, semuanya sudah diperhitungkan."
Elliot menerima penjelasan itu, lalu pergi untuk memeriksa keadaan Amy. Ross
menghela napas. "Bukankah dia perlu diberitahu?" ia bertanya pada Munro.
"Untuk apa?" Munro menyahut tanpa menggeser topinya.
"Barangkali akan ada masalah dengan Amy."
"Saya yang akan menangani Amy," ujar Munro.
"Ell|ot pasti kaget kalau mendengar rencana kita," kata Ross.
"Tentu saja dia akan kaget," jawab Munro. "Tapi tak ada gunanya membuat dia
kaget dari sekarang. Dan jangan lupa, dengan cara ini kita bisa menghemat waktu
banyak." "Paling tidak empat puluh jam. Memang berbahaya, tapi perhitungan waktu tempuh
jadi berubah total. Kita masih punya kesempatan untuk mengalahkan mereka."
"Nah, apa lagi yang perlu dipikirkan?" tanya Munro. "Sebaiknya Anda diam saja
dan beristirahat sekarang."
241 HARI 5 MORUTI 17 Juni 1979 di scan dan di djvu kan unluk
1 dlmhader (dimhad.co.cc) oleh
ZAIRE Dilarang meng-komersil-kan atau kesialan in en imp a anda selamanya
Lima jam setelah mereka bertolak dari Rawamagena, pemandangan mulai berubah.
Sesudah Goma, di dekat perbatasan Zaire, mereka mulai melintasi ujung timur
hutan raya Kongo. Elliot memandang ke luar jendela, terkagum-kagum.
Dalam cahaya pagiyang suram, ia melihat gumpalan-gumpalan kabut tipis
menyelubungi atap dedaunan. Sesekali ada sungai berlumpur yang me-liuk-liuk,
atau jalan tanah yang menyerupai garis merah. Tapi sebagian besar pemandangan
yang kelihatan di bawah berupa hutan lebat, membentang sejauh mata memandang.
Pemandangannya membosankan, tapi sekaligus membuat hati kecut. Siapa pun akan
merasa jeri jika menghadapi alam yang demikian luas dan monoton. Siapa pun akan
mengakui bahwa hutan raya itu membuat kota-kota terbesar di bumi serta semua
ciptaan umat manusia lainnya jadi tampak kecil dan tak berarti. Masing-masing
pohon memiliki batang berdiameter dua belas meter, yang
245 menjulang setinggi enam puluh meter; ruang yang ternaungi oleh dahan-dahannya
dapat menampung sebuah gereja katedral. Dan Elliot tahu bahwa hutan itu
membentang hampir tiga ribu kilometer, sampai ke tepi Samudra Atlantik di
pesisir barat Zaire. Sejak awal Elliot telah mengantisipasi reaksi Amy saat pertama melihat hutan,
habitatnya yang asli. Amy memandang ke luar jendela tanpa berkedip. Ia memberi
isyarat Ini hutan tanpa memperlihatkan emosi, seakan-akan" sedang memperhatikan
kartu-kartu berwarna atau benda-benda yang disebarkan di lantai karavannya di
San Francisco. Ia mengenali hutan dan memberi isyarat yang te-pat, tapi
sepertinya hutan itu tidak mempunyai arti khusus. baginya.
Elliot bertanya, "Amy suka hutan?"
Ini hutan, balas Amy. Hutan sini.
Elliot terus mendesak, menggali-gali konteks emosional yang ia yakin terdapat
dalam diri Amy. Amy suka hutan"
Hutan sini. Ini hutan. Tempat hutan sini Amy lihat hutan sini.
Elliot mencoba cara lain. "Amy tinggal hutan sini?"
Tidak. Tanpa ekspresi. "Amy tinggal mana?"
Amy tinggal rumah Amy. Yang dimaksudnya adalah karavan di San Francisco.
Amy mengendurkan sabuk pengaman dan me -
246 mandang ke luar sambil bertopang dagu. Ia memberi isyarat, Amy mau rokok.
Rupanya ia melihat Munro sedang mengepulkan asap cerutu.
"Nanti, Amy," ujar Elliot.
Pukul tujuh pagi, mereka terbang melintasi atap-atap seng di kompleks
pertambangan timah dan tantalum di Masisi. Munro, Kahega, dan para pengangkut
lain pergi ke bagian belakang pesawat. Mereka mengotak-atik perlengkapan
ekspedisi sambil bercakap-cakap dalam bahasa Swahili.
Amy, yang melihat mereka pergi, memberi isyarat, Mereka cemas.
"Cemas tentang apa, Amy?" Mereka cemas orang cemas mereka cemas masalah. Tak
lama kemudian Elliot menyusul ke ekor pesawat. Ia menemukan anak buah Munro
setengah tertimbun di bawah tumpukan jerami. Mereka sedang memasukkan peralatan
ke wadah-wadah kain katun berbentuk memanjang, menyerupai torpedo, lalu
mengganjal semuanya dengan jerami. "Apa itu?" Elliot bertanya sambil menunjuk
torpedo-torpedo kain tersebut.
"Kontainer Crosslin," jawab Munro. "Kuat sekali."
"Saya belum pernah melihat perlengkapan dipak seperti ini," ujar Elliot sambil
memperhatikan para pengangkut bekerja. "Tampaknya mereka berusaha keras
melindungi perlengkapan kita."
247 "Memang itu maksudnya," balas Munro singkat. Kemudian ia menuju kokpit untuk
berbicara dengan pilot mereka.
Kongo Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Amy memberi isyarat, Orang bulu hidung bo-hong Peter. Orang bulu hidung adalah
julukannya untuk Munro, tapi Elliot tidak menanggapi komentar itu. Ia berpaling
pada Kahega. "Berapa lama sampai kita mendarat?"
Kahega menoleh. "Mendarat?"
"Di Mukenko." Kahega berpikir sejenak. "Dua jam lagi," ia menyahut. Kemudian ia tertawa
cekikikan. Ia mengatakan sesuatu dalam bahasa Swahili, dan semua saudaranya ikut
tertawa. "Oh, Dokter," ujar Kahega sambil menepuk punggung Elliot. "Dokter ini memang
lucu." Pesawat mereka membelok. Kahega dan saudara-saudaranya memandang ke luar
jendela, dan Elliot mengikuti contoh mereka. Mula-mula hanya ada hutan lebat,
lalu ia melihat iring-iringan jip hijau yang sedang menyusuri jalan berlumpur,
jauh di bawah mereka. Sepintas lalu kelihatannya seperti konvoi kendaraan
militer. Ia mendengar kata "Muguru" diucapkan beberapa kali.
"Ada apa?" tanya Elliot. "Ini Muguru?"
Kahega menggelengkan kepala. "Bukan. Pilot brengsek, saya harus kasih tahu
Kapten Munro, pilot kita tersesat."
"Tersesat?" Elliot mengulangi. Kata itu membuatnya merinding.
248 Kahega tertawa. "Kapten Munro kasih unjuk arah nanti."
Pesawat mereka kini sedang terbang ke timur, menjauhi hutan raya dan mengarah ke
daerah dataran tinggi berbukit-bukit. Kakak-adik Kahega as-yik mengobrol dan
saling menepuk punggung. Sepertinya mereka bergembira ria.
Kemudian Ross muncul kembali. Ia berjalan dengan langkah panjang, roman mukanya
tegang. Ia membongkar sejumlah kardus dan mengeluarkan beberapa bola kertas
timah seukuran bola basket.
Kertas timah itu mengingatkan Elliot pada hiasan pohon Natal. "Untuk apa itu?"
ia bertanya. Sedetik kemudian ia mendengar ledakan pertama dan pesawat mereka terguncang
keras. Elliot berlari ke jendela dan melihat jalur uap putih yang membentuk garis
lurus, diakhiri awan asap hitam di sebelah kanan mereka. Pesawat Fok-ker itu
membelok tajam dan miring ke arah hutan. Elliot melihat jalur uap kedua muncul
dari tengah pepohonan di bawah.
Sebuah rudal, ia menyadari. Sebuah peluru kendali.
"Ross!" Munro berseru. "Siap!" balas Ross.
Percakapan singkat itu diikuti ledakan merah, dan pandangan Elliot melalui
jendela mendadak terhalang asap tebal. Pesawat mereka terguncang -
249 guncang oleh ledakan itu, tapi terus membelok. Elliot tercengang. Seseorang
sedang menembaki mereka dengan peluru kendali.
"Mereka pakai radar!" Munro berseru. "Bukan sistem optikal! Radar!"
Ross memungut dua bola kertas timah dan me-nuju ekor pesawat. Kahega membuka
pintu belakang, dan seketika angin kencang mulai menerpa.
"Ada apa ini?" tanya Elliot.
"Jangan khawatir," seru Ross. "Ini takkan me-ngacaukan jadwal kita." Kemudian
terdengar bunyi mendesis, diikuti ledakan ketiga. Ross membuka lapisan
pembungkus bola-bola yang dibawanya, lalu melemparkan keduanya ke luar pesawat.
Dengan mesin meraung-raung, pesawat Fokker itu membelok 12 kilometer ke selatan,
naik ke ketinggian 3.600 meter, lalu berputar-putar di atas hutan. Setiap kali
berputar, Elliot melihat potongan-potongan kertas timah mengapung di udara,
bagaikan awan logam berkilau-kilau. Dua roket lagi meledak di tengah awan itu.
Dari jauh pun kebisingan dan guncangan yang timbul terasa mengganggu bagi Amy;
ia berayun maju-mundur di kursinya sambil mendengus-dengus pelan.
"Itu chaff," Ross menjelaskan. Ia sudah duduk menghadapi konsol komputernya dan
menekan-nekan tombol. "Untuk mengecoh persenjataan yang menggunakan sistem
radar. Rudal-rudal yang ditembakkan akan menyangka kita ada di tengah awan itu."
250 Elliot serasa sedang bermimpi. Kejadian yang mereka alami tidak masuk akal.
"Tapi siapa yang menembaki kita?"
"Kemungkinan besar FZA," jawab Munro. "Forces Zairoises Armoises angkatan ?bersenjata Zaire."
"Pasukan Zaire" Kenapa?"
"Ini cuma kekeliruan," Ross berkata tanpa menoleh. Ia masih sibuk menekan-nekan
tombol. "Kekeliruan" Mereka menembaki kita dengan rudal darat-udara, dan Anda bilang ini
kekeliruan" Kenapa Anda tidak menghubungi mereka melalui radio untuk memberitahu
bahwa mereka keliru?"
"Tidak bisa," sahut Ross.
"Kenapa tidak?"
"Sebab," Munro angkat bicara, "kita tidak melaporkan rencana penerbangan sebelum
berangkat dari Rawamagena. Artjnya, secara teknis kita memang melanggar ruang
udara Zaire." "Ya Tuhan," ujar Elliot.
Ross diam saja. Ia terus mengotak-atik komputer untuk menghilangkan garis
gangguan yang tampak pada layar.
"Waktu saya memutuskan untuk bergabung dengan ekspedisi ini," kata Elliot dengan
nada me-ninggi, "saya tak menyangka pesawat yang saya tumpangi akan digempur
dengan peluru kendali."
"Saya juga begitu," balas Ross. "Kelihatannya kita senasib."
Sebelum Elliot sempat menyahut, Munro me -
251 rangkul pundaknya dan menariknya menjauh. "Tenang saja," ia berkata pada Elliot.
"Mereka memakai rudal buatan tahun enam puluhan yang sudah ketinggalan zaman.
Sebagian besar rudal-rudal itu meledak karena bahan bakar padat yang sudah
kedaluwarsa. Kita tidak terancam bahaya. Sebaiknya Anda temani Amy saja, dia
butuh bantuan Anda. Saya akan membantu Ross."
Ross berada di bawah tekanan luar biasa. Pesawat mereka terus berputar-putar dua
belas kilometer dari awan chaff, dan ia harus segera mengambil keputusan.
Padahal serangan yang mereka alami merupakan pukulan berat yang sama sekali tak
terduga. Sejak awal, konsorsium Euro-Jepang sudah berada di depan mereka, kira-kira
delapan belas jam dan dua puluh menit. Sebelum bertolak dari Nairobi, Munro dan
Ross berhasil menyusun rencana yang bukan saja menghapus keunggulan la-wan, tapi
juga memungkinkan tim ERTS mencapai lokasi empat puluh jam lebih cepat dari
pihak konsorsium. Rencana ini yang karena alasan-alasan tertentu tidak ?diberitahukan pada Elliot mengharuskan mereka melakukan terjun payung ke
?lereng selatan Gunung Mukenko yang tandus.
Menurut taksiran Munro, perjalanan dari Mukenko ke Kota Hilang dapat ditempuh
dalam 36 jam; Ross memperkirakan mereka akan terjun pukul 14.00. Tergantung
lapisan awan di atas 252 Mukenko 'serta lokasi penerjunan, mereka dapat mencapai kota itu tengah hari
tanggal 19 Juni. Rencana itu sangat berbahaya. Mereka akan menerjunkan orang-orang tak terlatih
ke daerah liar yang berjarak lebih dari tiga hari berjalan kaki dari kota
terdekat. Jika salah satu dari mereka mengalami cedera serius, kemungkinan besar
orang bersangkutan takkan selamat. Lalu masih ada tanda tanya mengenai
perlengkapan mereka: tahanan udara pada ketinggian 2.400-3.000 meter lebih
rendah, sehingga kontainer-kontainer Crosslin mungkin tidak dapat memberikan
perlindungan yang memadai.
Mula-mula Ross pun menganggap rencana Munro terlalu berbahaya, namun Munro
berhasil meyakinkannya bahwa^ rencana tersebut layak di-coba. Ia menjelaskan
bahwa parafoil mereka membuka secara otomatis karena dilengkapi altimeter; abu
gunung berapi di sekitar puncak Mukenko seempuk pasir pantai; kontainer-
kontainer Crosslin dapat diberi lapisan pelindung tambahan; dan ia bisa
menggendong Amy saat terjun.
Ross lalu menganalisis rencana Munro melalui komputer di Houston, dan hasilnya
ternyata meyakinkan. Peluang penerjunan mereka akan berhasil adalah .7980;
berarti kemungkinan salah satu dari mereka akan mengalami cedera parah adalah
satu banding lima. Namun, jika penerjunan itu berhasil, peluang ekspedisi mereka
akan sukses adalah .9943, sehingga hampir bisa dipastikan me-253
reka akan tiba lebih dulu di lokasi daripada pihak konsorsium.
Tak satu alternatif lain pun meraih nilai setinggi itu. Ross mengamati data yang
terkumpul dan berkata, "Kelihatannya kita akan terjun."
"Kelihatannya begitu," ujar Munro.
Penerjunan itu memecahkan beberapa masalah sekaligus, sebab laporan-laporan dari
Houston menunjukkan bahwa perkembangan terakhir semakin tidak menguntungkan.
Pemberontakan suku Kigani telah dikonfirmasikan; sikap suku pygmy dilaporkan
tidak menentu; angkatan bersenjata Zaire telah mengirim pasukan bersenjata berat
ke perbatasan timur untuk menundukkan suku Kigani, dan pasukan tempur Afrika
terkenal gemar menembak. Dengan terjun di atas Mukenko, mereka hendak melewati
semua ancaman tersebut. Tapi itu sebelum rudal-rudal pasukan Zaire mulai meledak di sekitar mereka.
Mereka masih ber-ada 120 kilometer di sebelah selatan lokasi penerjunan,
berputar-putar di atas wilayah kekuasaan suku Kigani, membuang-buang waktu dan
bahan bakar. Rencana mereka yang berani, yang disusun secara hati-hati dan telah
memperoleh konfirmasi komputer, mendadak mentah kembali.
Ross semakin repot karena tak bisa berunding dengan Houston. Komputernya tidak
berhasil mengadakan hubungan dengan satelit. Ia menghabiskan lima belas menit
dengan mengotak-atik komputer, menambah daya, dan berganti-ganti san -
254 di alat pengacak, sampai akhirnya ia menyadari bahwa transmisinya diblokir
secara elektronik. Untuk pertama kali sepanjang ingatannya, Karen Ross ingin menangis.
"Jangan panik," Munro berkata pelan-pelan, sambil mengangkat tangan Ross dari
keyboard. "Satu per satu saja. Tak ada gunanya Anda panik." Ross memang tampak
kalang kabut dan terus menekan-nekan tombol.
Munro menyadari bahwa baik Elliot maupun Ross semakin kehilangan pegangan. Ia
sudah pernah melihat kejadian serupa pada ekspedisi-ekspe-disi lain yang
melibatkan ilmuwan dan orang-orang berlatar belakang teknik. Para ilmuwan
terbiasa bekerja di laboratorium, tempat segala sesuatu dapat diatur dan
dipantau secara ketat. Cepat atau lambat mereka mulai percaya bahwa dunia luar
pun dapat dikendalikan seperti laboratorium. Kenyataan bahwa dunia luar
mengikuti aturan-aturannya sendiri dan tidak memedulikan mereka merupakan
pukulan psikis berat bagi orang-orang itu. Munro sudah bisa melihat tanda-
tandanya. "Tapi ini jelas-jelas bukan pesawat militer," ujar Ross. "Kenapa mereka tetap
menembaki kita?" Munro menatapnya tajam. Dalam perang saudara Kongo, pesawat-pesawat sipil secara
rutin ditembak jatuh oleh semua pihak yang bertikai. "Hal-hal seperti ini bisa
saja terjadi." "Dan soal gangguan transmisi" Bajingan-ba -
255 jingan itu tidak memiliki kemampuan memblokir saluran komunikasi canggih. Kita
diblokir antara pemancar dan transponder satelit. Untuk itu dibutuhkan satelit
lain, dan..." Ia terdiam dan mengerutkan kening.
"Anda tidak menyangka pihak konsorsium akan diam saja, bukan?" kata Munro.
"Masalahnya, apa-kah Anda bisa mengatasi gangguan ini" Apa yang akan Anda
lakukan?" "Tentu saja saya bisa mengatasinya," balas Ross. "Saya bisa menulis pesan sandi
dan meman-carkannya secara terpenggal-penggal, atau melakukan transmisi secara
optikal melalui gelombang inframerah tapi itu makan waktu, padahal kita butuh ?informasi sekarang. Rencana kita berantakan."
"Satu per satu," Munro mengulangi. Ia melihat roman muka Ross yang tegang, dan
ia tahu Ross tidak berpikir jernih. Ia juga tahu harus membiarkan Ross mengambil
keputusan sendiri; ia harus membuatnya tenang kembali.
Menurut Munro, ekspedisi ERTS sudah tamat mereka tak mungkin mengalahkan pihak
?konsorsium dan lebih dulu sampai di lokasi di Kongo. Tapi ia belum mau menyerah.
Sebagai pemimpin ekspedisi yang berpengalaman, ia tahu segala sesuatu bisa saja
terjadi. Karena itu ia berkata, "Kita masih bisa mengejar waktu yang hilang di
sini." "Mengejar waktu yang hilang" Bagaimana caranya?"
256 Munro mengucapkan hal pertama yang terlintas dalam benaknya, "Kita gunakan
perahu karet untuk menuju utara, lewat Sungai Ragora. Arusnya de-ras, persis
yang kita perlukan." -
"Sungai itu terlalu berbahaya."
"Kita lihat saja nanti," jawab Munro, meski sadar bahwa Ross benar. Sungai
Ragora memang terlalu berbahaya, terutama di bulan Juni, namun Munro sengaja
bersikap tenang dan penuh keyakinan. "Yang lain perlu diberitahu?" ia akhirnya
bertanya. "Ya," ujar Ross. Untuk kesekian kali terdengar ledakan roket di kejauhan. "Tak
ada gunanya ber-lama-lama di sini."
Dengan sigap Munro menuju bagian belakang pesawat dan berkata pada Kahega,
"Siapkan orang-orang."
"Oke, Bos," balas Kahega. Sebotol wiski di-edarkan, dan masing-masing minum satu
teguk panjang. Elliot bertanya, "Apa lagi ini?"
"Mereka sedang mempersiapkan diri," jawab Munro.
"Mempersiapkan diri" Mempersiapkan diri untuk apa?" Elliot mendesak.
Saat itu Ross muncul di belakang. Wajahnya tampak keras ketika ia mengumumkan,
"Setelah ini, kita akan berjalan kaki."
Elliot memandang ke luar jendela. "Mana lapangan terbangnya?"
257 "Tidak ada lapangan terbang," Ross menyahut. "Maksud Anda?"
"Maksud saya, tidak ada lapangan terbang."
"Lalu di mana pesawat kita akan mendarat?" Elliot kembali bertanya.
"Pesawat ini akan terus terbang," ujar Ross.
"Kalau begitu, bagaimana cara kita turun?" tanya Elliot, tapi saat mengucapkan
pertanyaan itu lututnya mendadak lemas, sebab ia telah mengetahui jawabannya.
"Jangan khawatir tentang Amy," Munro berkata riang, sambil mengencangkan tali
pengikat Amy yang melingkar pada dadanya. "Dia sudah saya beri suntikan
Thoralen, jadi dia akan tenang-tenang saja. Tak ada masalah. Saya akan me-
megangnya erat-erat."
"Menahannya erat-erat?" tanya Elliot.
"Dia terlalu kecil untuk tali pengikat ransel parasut," Munro menjelaskan. "Saya
terpaksa menggendongnya nanti." Amy mendengkur keras dan meneteskan air liur ke
pundak Munro, yang lalu menurunkannya ke lantai.
"Nah," kata Munro, "parafoil Anda akan membuka secara otomatis. Masing-masing
tangan Anda menggenggam seutas tali. Tarik tali kiri dan Anda akan membelok ke
kiri, tarik tali kanan dan Anda akan membelok ke kanan, dan..."
"Bagaimana dengan dia?" Elliot bertanya sambil menunjuk Amy.
258 "Saya yang akan menangani Amy. Perhatikan dulu sekarang. Kalau sampai ada
masalah, Anda punya payung cadangan di sini, di dada Anda." Ia menepuk buntalan
kain dengan kotak digital kecil berwarna hitam yang menunjukkan angka 4757.
"Altimeter ini sekaligus berfungsi sebagai pengukur kecepatan luncur, dan akan
membuka payung cadangan Anda secara otomatis jika Anda telah melewati ketinggian
1.080 meter dan masih meluncur dengan kecepatan melebihi setengah meter per
detik. Anda tak perlu khawatir: semuanya ser-ba otomatis."
Elliot bermandikan keringat dingin. "Bagaimana dengan pendaratannya?"
"Itu juga tak perlu dipikirkan." Munro nyengir lebar. "Anda akan mendarat dengan
sendirinya. Santai saja, jangan tegang, redam benturannya dengan kaki Anda. Ini
sama seperti melompat dari tembok setinggi tiga meter. Anda sudah sering
melakukannya." Elliot melihat pintu yang terbuka lebar di belakang Munro. Cahaya matahari yang
masuk terasa menyilaukan, dan mereka langsung diterpa angin kencang. Satu per
satu anak buah Kahega melompat ke luar. Elliot melirik ke arah Karen Ross yang
tampak pucat. Bibirnya gemetaran ketika ia berpegangan pada tepi pintu.
"Karen, Anda tentu tidak..."
Ross melompat, dan segera lenyap dalam sinar
259 matahari yang terang benderang. Munro berkata, "Giliran Anda sekarang."
"Saya belum pernah terjun payung," ujar Elliot.
"Malah kebetulan. Kalau begitu, Anda takkan takut."
"Saya bukan sekadar takut, saya..."
"Ah, itu soal mudah," Munro memotong, lalu mendorong Elliot ke luar.
Munro memperhatikan Elliot meluncur ke bawah, dan senyumnya langsung lenyap.
Sikap riang gembira yang semula diperlihatkannya semata-mata bertujuan untuk
membesarkan hati Elliot. Belakangan ia mengomentari kejadian tersebut, "Jika
seseorang harus melakukan hal berbahaya, ada baiknya kalau dia dalam keadaan
Kongo Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
marah .^Sebenarnya itu untuk perlindungannya sendiri. Lebih baik marah daripada
terkencing-kencing karena ngeri. Saya ingin Elliot tidak memikirkan apa pun
selain dendarrinya pada saya sampai saat mendarat." *
Munro memahami risiko yang mereka ambil.. Begitu melompat dari pesawat, mereka
juga meninggalkan dunia beradab dengan segala kemu-dahannya. Mereka akan
memasuki dunia yang berbeda, dunia yang lebih primitif dan berbahaya, yaitu alam
Kongo yang telah ada ratusan tahun sebelum mereka. "Itulah kenyataan yang akan
dihadapi," ujar Munro, "tapi saya merasa tak ada gunanya membuat yang lain
khawatir sebelum mereka melompat. Tugas saya adalah mengantar
260 orang-orang itu ke Kongo, bukan menakut-nakuti mereka. Untuk itu masih banyak
kesempatan lain." Elliot meluncur, dan ia ketakutan setengah mati
Perutnya seperti diaduk-aduk, dan ia merasakan pahitnya air empedu di Iidah;
angin berderu-deru di telinganya, mengacak-acak rambutnya; udara di-ngin
sekali dalam sekejap saja ia sudah menggigil. Hutan Barawana membentang di ?
bawahnya, mengikuti kontur tanah yang bergelombang. Tapi ia tak dapat menikmati
keindahan yang tampak di hadapannya, dan malah memejamkan mata karena meluncur
begitu kencang. Terlalu banyak waktu yang telah berlalu. Elliot yakin parafoil-nya. (apa pun
itu) takkan membuka. Nyawanya kini tergantung pada parasut yang terpasang di
dadanya. Ia langsung menggenggamnya erat-erat, sebuah buntalan kain di dekat
perutnya yang bergolak. Kemudian ia cepat-cepat menarik tangan. Ia tak ingin
menghalangi parasut saat membuka. Samar-samar ia teringat pernah ada orang yang
tewas karena melakukan kesalahan yang sama.
Angin terus berderu-deru; tubuhnya tetap meluncur dengan kecepatan mengerikan.
Ada apa dengan parasutnya" Ia merasakan angin menarik-narik kakinya, celananya,
kemejanya. Ada apa dengan parasutnya" Paling tidak tiga menit telah berlalu
sejak ia terjun dari pesawat. Ia tidak berani
261 membuka mata, takut melihat pepohonan, tempat hidupnya akan berakhir dalam
beberapa detik. Ia mau muntah.
Air empedu mengalir dari mulutnya, tapi berhubung ia meluncur dengan kepala di
bawah, cairan itu mengalir dari dagu ke tengkuk, lalu masuk ke kemejanya. Udara
dingin membeku. Tubuhnya menggigil tak terkendali.
Sekonyong-konyong ia tersentak ke posisi tegak.
Sepintas lalu ia menyangka telah menghantam tanah, tapi kemudian ia sadar bahwa
ia masih melayang-layang di udara, meskipun lebih pelan. Ia membuka mata dan
menatap langit biru. Ketika menengok ke bawah, ia kaget karena masih berada ribuan meter di atas
tanah. Rupanya ia baru meluncur selama beberapa detik saja.
Ia memandang ke atas, tapi tak bisa melihat pesawat mereka. Pandangannya
terhalang oleh sepotong kain raksasa dengan garis-garis merah, putih, dan biru:
parafoil-nya. Karena merasa lebih tenang jika memandang ke atas daripada ke
bawah, ia mengamati parafoil itu dengan saksama. Bagian depannya melengkung dan
mengembang; bagian belakangnya tampak tipis dan berkibar-kibar. Parafoil itu
mirip sayap pesawat, dengan tali-tali tersambung ke tubuhnya.
Ia menarik napas panjang dan menengok ke bawah. Ternyata ia masih jauh di atas
tanah. Tapi kini, setelah kecepatannya sudah berkurang ba -
262 nyak, perasaannya pun sudah jauh lebih tenang, bahkan bisa dibilang tenteram.
Kemudian ia sadar bahwa ia tidak meluncur turun; ia meluncur ke samping. Ia bisa
melihat parafoil-parafoil lain di bawahnya Kahega, anak buahnya, dan Ross. Ia ?berusaha menghitung jum-lah mereka sepertinya ada enam tapi ia sukar
? ?berkonsentrasi. Sepertinya ia terus bergerak menyamping dan semakin menjauhi
yang lain. Ia menarik tali-temali di tangan kirinya, dan seketika tubuhnya terbawa ke arah
itu. Hmm, lumayan, ia berkata dalam hati. Sekali lagi ia menarik tali-temali
sebelah kiri, kali ini lebih keras, tanpa menghiraukan bahwa kecepatannya pun
bertambah lagi. Ia berusaha menjaga posisi sedekat mungkin dengan parafoil-
parafoil yang turun di bawahnya. Ia mendengar angin berderu-deru di telinganya.
Ia menengok ke atas untuk mencari Munro, namun yang terlihat hanyalah garis-
garis parafoil-nya sendiri.
Ia kembali menengok ke bawah, dan terkejut karena tanah kini sudah jauh lebih
dekat. Sepertinya ia mendekati tanah dengan kecepatan yang membuat bulu roma
berdiri. Ia terheran-heran, kenapa sampai bisa menyangka ia melayang-layang
dengan pelan; ia merasa seperti terjun bebas. Parafoil pertama tampak mengempis
ketika Kahega menyentuh tanah, lalu yang kedua, dan yang ke-tiga.
Tak lama lagi Elliot pun akan mendarat. Ia
263 mulai mendekati puncak pepohonan, namun gerakan menyampingnya masih sangat
kencang. Ia menyadari bahwa tangan kirinya masih menarik tali-temali sebelah
kiri. Ia melepaskan tangannya dan gerakan lateralnya berakhir. Ia melayang maju.
Dua parafoil lagi mengempis. Elliot menengok ke bawah, melihat Kahega dan anak
buahnya sedang menggulung parafoil masing-masing. Mereka tampak baik-baik saja;
itu cukup melegakan. Elliot bergeser ke kanan, menuju sekelompok pohon yang tumbuh rapat. Ia menarik
tali-temali dan membelok ke kanan; seluruh tubuhnya ikut miring. Kecepatan
luncurnya kini sangat tinggi. Ia takkan dapat menghindari pohon-pohon itu.
Dahan-dahan pohon seakan-akan menjulur ke atas untuk menangkapnya.
Ia memejamkan mata, merasakan wajah dan tubuhnya tergores-gores ketika ia
menerobos atap dedaunan. Sebentar lagi ia akan membentur tanah dan berguling.
Kakinya tak sempat menginjak tanah.
Semuanya hening. Ia merasakan tubuhnya bergerak naik-turun dengan pelan. Ia
membuka mata dan menyadari bahwa ia terayun-ayun 120 senti di atas permukaan.
Parafoil-nya tersangkut di pohon.
Ia mengotak-atik gesper pengikat parafoil, lalu melompat ke tanah. Kahega dan
Ross segera menghampirinya untuk menanyakan keadaannya.
"Saya tidak apa-apa," jawab Elliot, dan ia memang merasa baik-baik saja. Belum
pernah ia me - 264 rasa lebih bergairah hidup dibandingkan sekarang. Sedetik kemudian ia mendadak
ambruk dan langsung muntah-muntah.
Kahega tertawa. "Selamat datang di Kongo," katanya.
Elliot menyeka dagu dan bertanya, "Mana Amy?"
Segera setelah itu Munro mendarat. Telinganya berdarah akibat ulah Amy, yang
menggigitnya karena ketakutan. Begitu dilepaskan, Amy segera mendatangi Elliot
untuk memeriksa keadaannya. Kemudian ia memberi isyarat, Amy tak suka terbang.
"Awas!" Kontainer Crosslin pertama menghantam tanah. Wadah berbentuk torpedo itu
langsung meledak bagaikan bom, menghamburkan perlengkapan dan jerami ke segala
arah. "Ini satu lagi!"
Elliot cepat-cepat berlindung. Bom kedua jatuh beberapa meter dari tempat ia
tiarap; ia dihujani paket-paket berisi makanan dan beras. Jauh di atas terdengar
bunyi mendengung pesawat Fokker yang masih berputar-putar. Elliot bangkit
kembali dan sempat melihat dua kontainer terakhir jatuh ke tanah, sementara anak
buah Kahega berlari tunggang-langgang untuk menyelamatkan diri. Ross berseru,
"Hati-hati, yang itu berisi laser!"
Elliot serasa terperangkap di tengah serangan bom, yang untung saja tidak
berlangsung lama. 265 Pesawat Fokker di atas mereka terbang menjauh, dan suasana menjadi hening.
Kahega bersama anak buahnya mulai mengumpulkan perlengkapan yang berserakan dan
mengubur semua parafoil, sementara Munro memberikan instruksi dalam bahasa
Swahili. Dua puluh menit kemudian mereka mulai menembus hutan sambil berbaris satu per
satu, mengawali perjalanan sejauh tiga ratus kilometer yang akan membawa mereka
ke bagian timur Kongo yang belum pernah dijelajahi; di sana imbalan yang luar
biasa telah menanti. Kalau mereka tidak terlambat tiba.
266 2 KIGANI Setelah pulih dari ketegangan akibat pengalaman yang baru saja dilaluinya,
Elliot mulai menikmati perjalanan menembus Hutan Barawana. Kawanan monyet
berceloteh di pepohonan, burung-burung berkicau di udara sejuk. Para pengangkut
Kikuyu berjalan di belakang sambil merokok dan bersenda gurau dalam bahasa yang asing. Elliot menyukai situasi yang tengah
dihadapinya terbebas dari peradaban yang konyol; terlibat dalam petualangan, di?mana hal-hal tak terduga bisa terjadi setiap saat, dan bahaya mengintai di mana-
mana. Segala sesuatu serba baru baginya. Ia asyik mendengarkan suara binatang-
binatang penghuni hutan di sekeliling mereka, memperhatikan permainan cahaya dan
bayangan-bayangan, merasakan tanah empuk di bawah kakinya, dan menatap ke arah
Karen Ross yang ternyata tampak cantik dan anggun.
Karen Ross tidak menoleh.
Sambil berjalan, ia memutar-mutar tombol pada salah satu kotak elektronik
berwarna hitam dan 267 berusaha mengirim sinyal. Kotak elektronik lainnya tergantung pada tali yang
disandangnya di bahu. Berhubung ia tidak menoleh, Elliot sempat mengamati bahwa
punggung baju Ross sudah mulai basah karena keringat dan rambutnya yang berwarna
pirang gelap pun melekat pada bagian belakang kepalanya. Celananya tampak
kerisut dan penuh noda tanah akibat pendaratan tadi. Wanita itu tetap tidak
menoleh. "Nikmatilah hutan ini," Munro menyarankan. "Ini terakhir kali kita berada di
tempat sejuk dan kering untuk waktu lama."
Elliot sependapat bahwa hutan itu cukup menyenangkan.
"Ya, sangat menyenangkan." Munro mengangguk dengan ekspresi janggal pada
wajahnya. Hutan Barawana bukan hutan perawan. Dari waktu ke waktu mereka melewati ladang-
ladang dan tanda-tanda lain peradaban, namun tak pernah berjumpa dengan manusia.
Ketika Elliot menyinggung hal itu, Munro hanya menggeleng-gelengkan kepala.
Semakin jauh mereka memasuki hutan, Munro pun semakin diam dan menutup diri,
meski tetap menaruh perhatian besar pada keadaan sekitar. Acap kali ia berhenti
dan mendengarkan kicauan burung, sebelum memberi isyarat untuk melanjutkan
perjalanan. Pada kesempatan seperti itu, Elliot akan menoleh ke belakang dan melihat para
pengangkut berjalan beriringan sambil membawa beban di atas
268 kepala. Ia jadi merasa senasib dengan Livingstone, Stanley, dan para penjelajah
lain yang mendatangi Afrika satu abad sebelumnya. Dan dalam hal ini, romantisme
Elliot memang beralasan. Kehidupan di Afrika Tengah hanya berubah sedikit sejak
Stanley menjelajahi Kongo di tahun 1870-an, dan sifat dasar ekspedisi-ekspedisi
ke kawasan itu pun tetap sama. Penjelajahan secara serius tetap dilakukan dengan
berjalan kaki; tenaga-tenaga pengangkut tetap dibutuhkan; biaya yang harus
dikeluarkan tetap mengecilkan hati begitu pula bahaya yang mengancam.
?Menjelang tengah hari kaki Elliot mulai lecet, dan ia sadar bahwa ia sangat
lelah. Rupanya para pengangkut pun merasa letih, sebab mereka tak lagi merokok
maupun bersenda gurau. Semuanya berjalan sambil membisu, sampai Elliot bertanya
pada Munro, apakah mereka akan berhenti untuk makan siang.
"Tidak," jawab Munro.
"Bagus," Karen Ross berkomentar sambil menatap arlojinya.
Beberapa menit setelah pukul satu, mereka mendengar suara helikopter. Munro dan
para pengangkut segera bereaksi. Mereka cepat-cepat bersembunyi di bawah pohon-
pohon besar dan menunggu sambil mendongakkan kepala. Sesaat setelah itu, dua
helikopter besar berwarna hijau melintas di
269 atas kepala; Elliot sempat membaca huruf-huruf berwarna putih: FZA.
Munro memicingkan mata ketika mengamati kedua heli yang terbang menjauh. Kedua-
duanya Huey buatan Amerika Serikat; ia tak sempat memperhatikan persenjataan
yang dibawa. "Pasukan Zaire," katanya. "Mereka mencari orang-orang Kigani."
Satu jam kemudian, mereka tiba di suatu lapangan terbuka yang digunakan sebagai
ladang ubi kayu. Di tengah-tengah ada pondok kayu, dengan cerobong mengeluarkan
asap pucat. Beberapa po-tong pakaian yang sedang dijemur tampak menge-pak-ngepak
karena tiupan angin lembut. Namun penghuni pondok itu tidak kelihatan.
Sebelumnya mereka selalu menghindar jika menemui rumah petani, tapi kali ini
Munro mengangkat tangan sebagai isyarat untuk berhenti. Para pengangkut
menurunkan bawaan masing-masing, lalu duduk di rumput. Tak sepatah kata pun
diucapkan. Suasana terasa tegang, meski Elliot tidak tahu sebabnya. Munro dan Kahega
berjongkok di tepi lapangan terbuka, mengawasi pondok serta ladang-ladang yang
mengelilinginya. Setelah dua puluh menit belum juga ada tanda-tanda kehidupan.
Ross, yang meringkuk di dekat Munro, mulai tidak sabar. "Saya tidak mengerti
kenapa kita..." Munro segera membungkamnya. Ia menunjuk
270 ke arah pondok dan menggerakkan bibir tanpa bersuara Kigani.?Ross membelalakkan mata. Munro melepaskan tangannya.
Semuanya memandang ke arah pondok. Tetap belum ada tanda-tanda kehidupan. Ross
membuat gerakan melingkar dengan tangannya, mengisyaratkan agar mereka
mengelilingi pondok itu dan melanjutkan perjalanan. Munro menggelengkan kepala
dan menunjuk ke bawah, menyuruh Ross "tetap duduk di tempat. Kemudian Munro
menatap Elliot dengan pandangan bertanya-tanya, sambil menunjuk ke arah Amy yang
sedang mencari makan di tengah rumput tinggi. Rupanya ia khawatir Amy akan
bersuara. Elliot lalu memberi isyarat pada Amy untuk tetap diam. Tapi sebenarnya
ia tak perlu repot-repot, sebab Amy pun merasakan suasana tegang itu dan
sesekali melirik dengan was-was ke arah pondok tersebut.
Selama beberapa menit berikut tetap tidak terjadi apa-apa. Mereka terus menunggu
sambil mendengarkan suara jangkrik dan memperhatikan je-muran yang berkepak-
kepak. Kemudian asap biru yang keluar dari cerobong berhenti.
Munro dan Kahega berpandangan. Kahega menyelinap ke tempat anak buahnya,
membongkar salah satu paket, dan mengeluarkan sepucuk senapan mesin. Dengan
sebelah tangan ia menutup kunci pengamannya, untuk meredam bunyi klik
271 yang terdengar saat kunci itu dibuka. Suasana su-nyi sekali. Kahega kembali ke
sisi Munro dan menyerahkan senapan mesin yang dibawanya. Munro memeriksa kunci
pengaman, lalu meletakkan senjata itu di tanah. Mereka menunggu beberapa menit
lagi. Elliot menoleh ke arah Ross, tapi wanita itu tidak membalas tatapannya.
Tiba-tiba terdengar suara berderak, dan pintu pondok terlihat membuka. Munro
segera meraih senapan. Tak seorang pun muncul. Semuanya menatap pintu yang terbuka, sambil menunggu
dengan tegang. Dan akhirnya orang-orang Kigani melangkah keluar.
Elliot menghitung dua belas laki-laki jangkung dan kekar, bersenjatakan busur
dan anak panah. Masing-masing menggenggam panga panjang. Kaki dan dada mereka
bergaris-garis putih, dan seluruh wajah mereka dicat putih, sehingga menyerupai
tengkorak menyeramkan. Hanya kepala orang-orang Kigani itu yang kelihatan ketika
mereka menerobos di antara batang-batang ubi yang tumbuh tinggi.
Setelah mereka pergi pun Munro tetap tidak beranjak dari tempatnya, mengawasi
pondok selama sepuluh menit lagi. Akhirnya ia berdiri dan menarik napas panjang.
Ketika ia angkat bicara, suaranya berkesan keras sekali. "Itu orang-orang
Kigani," katanya. "Sedang apa mereka tadi?" tanya Ross.
272 "Makan," jawab Munro. "Mereka membunuh keluarga yang tinggal di pondok itu dan
menyantap semuanya. Hampir semua petani telah mengungsi, karena suku Kigani
sedang berperang." Ia memberi isyarat agar Kahega menyiapkan anak buahnya untuk berangkat lagi, dan
mereka melanjutkan perjalanan dengan mengelilingi pondok petani itu. Elliot
bertanya-tanya, apa yang akan dilihatnya jika ia masuk. Munro tampak begitu
tenang waktu menjelaskan: Mereka membunuh keluarga itu... dan menyantap semuanya.
"Saya rasa," Ross berkata sambil menoleh ke belakang, "kita termasuk orang yang
beruntung. Kemungkinan besar kita termasuk orang terakhir yang sempat melihat
hal-hal seperti ini."
Munro menggelerrgkan kepala. "Saya kira tidak," ujarnya. "Kebiasaan lama tak
mudah di-hilangkan."
Selama berlangsungnya perang saudara Kongo di tahun 1960-an, dunia Barat
dikejutkan oleh laporan-laporan mengenai kanibalisme dan tindak kekejaman
lainnya. Tapi sesungguhnya kanibalisme sudah sejak dulu dipraktekkan secara
terbuka di Afrika bagian tengah.
Pada tahun 1897, Sidney Hinde menulis bahwa "hampir semua suku di Cekungan Kongo
pernah, atau masih, terlibat kanibalisme; dan di daerah-daerah tertentu, praktek
tersebut semakin berkembang." Hinde terkesan oleh sifat kanibalisme di
Kongo Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
273 Kongo yang tidak ditutup-tutupi. "Saya sering mendengar cerita dari para nakhoda
kapal uap bahwa orang-orang pribumi selalu menuntut budak sebagai bayaran untuk
kambing yang hendak di-beli. Orang-orang pribumi juga sering naik ke kapal
dengan membawa gading untuk membeli budak, dan mereka mengeluh bahwa daging
semakin sulit diperoleh di daerah mereka."
Di Kongo, kanibalisme tidak dikaitkan dengan upacara, kepercayaan, maupun
perang. Kanibalisme di kawasan tersebut sekadar persoalan selera. Pendeta Holman
Bentley, yang menghabiskan dua puluh tahun di kawasan itu, mengutip ucapan
seorang pribumi, "Orang kulit putih menganggap daging babi paling lezat, tapi
daging babi tidak bisa dibandingkan dengan daging orang." Bentley merasa orang-
orang pribumi tidak dapat memahami keberatan atas praktek itu. "Kalian makan
unggas dan kambing, dan kami makan orang; kenapa tidak" Apa bedanya?"
Sikap terus terang ini mengejutkan para saksi mata, dan menimbulkan kebiasaan-
kebiasaan mencengangkan. Pada tahun 1910, Herbert Ward menulis tentang pasar-
pasar tempat budak-budak di-jual "sepotong demi sepotong, sementara mereka masih
hidup. Kedengarannya tidak masuk akal, tapi para tawanan itu digiring dari satu
tempat ke tempat lain, agar para pembeli dapat memberi tanda pada bagian yang
hendak dipesan. Tanda-tanda itu biasanya berupa coretan tanah liat ber-274
warna, atau batang-batang rumput yang diikat dengan cara tertentu. Ketabahan
para korban, yang ikut menyaksikan tawar-menawar atas bagian-bagian tubuh
mereka, hanya bisa dibandingkan dengan sikap acuh tak acuh yang mereka
perlihatkan saat menghadapi kematian."
Laporan-laporan seperti itu tak dapat dianggap sebagai histeria zaman Victoria-
akhir belaka, sebab semua saksi mata mengemukakan bahwa orang-orang kanibal
bersikap ramah dan menyenangkan. Ward menulis bahwa "mereka (suku kanibal) bukan
orang jahat berhati busuk. Berlawanan dengan kesimpulan masyarakat Barat pada
umumnya, mereka justru termasuk ras manusia paling mulia." Bentley menggambarkan
mereka sebagai "orang-orang yang riang dan jantan, sangat ramah, dan
memperlihatkan persahabatan secara terbuka".
Di bawah pemerintahan kolonial Belgia, praktek kanibalisme menyurut tajam. Di
tahun 1950-an bahkan ditemukan sejumlah tempat pemakaman, namun tak seorang pun
percaya tradisi itu sudah benar-benar lenyap. Di tahun 1956, H.C. Engert
menulis, "Kanibalisme di Afrika belum mati. Saya pernah tinggal di desa suku
kanibal selama beberapa waktu, dan menemukan sejumlah tulang (manusia). Orang-
orang pribumi itu cukup ramah. Kanibalisme hanyalah kebiasaan yang sukar di-
hilangkan." Munro menganggap pemberontakan Kigani tahun
275 1979 sebagai pembangkangan politik. Mereka memberontak karena Pemerintah Zaire
menuntut mereka meninggalkan cara hidup sebagai pemburu dan beralih menjadi
petani, seakan-akan perubahan seperti itu dapat dilakukan dalam sekejap. Suku
Kigani merupakan masyarakat miskin dan terbe-lakang; pengetahuan mereka tentang
kebersihan sangat terbatas; kadar gizi dalam makanan mereka tidak memadai karena
kekurangan protein dan vitamin, dan mereka pun menjadi korban malaria, cacing
parasit, bilharzia, dan penyakit tidur. Satu dari empat bayi mati saat lahir,
dan hanya sedikit orang Kigani yang mencapai usia melebihi 25 tahun. Mereka
membutuhkan penjelasan mengenai kehidupan sulit yang mereka jalani, dan
penjelasan itu diberikan oleh Angawa, atau dukun. Orang Kigani percaya bahwa
sebagian besar kematian disebabkan oleh kekuatan gaib: korban bersangkutan
dikutuk oleh dukun, atau melanggar larangan, atau dibunuh oleh arwah yang
menaruh dendam. Perburuan pun memiliki aspek mistik: binatang-binatang buruan
sangat dipengaruhi oleh dunia gaib. Bagi orang Kigani, dunia gaib justru jauh
lebih nyata dibandingkan dunia sehari-hari yang mereka rasakan sebagai "mimpi di
siang bolong", dan mereka berupaya mengendalikan dunia gaib melalui mantra-
mantra dan ramuan-ramuan yang disiapkan oleh Angawa. Mereka juga menjalankan
berbagai ritual, seperti mengecat putih wajah dan tangan, untuk menambah
kesaktian 276 dalam pertempuran. Orang Kigani percaya tubuh lawan pun menyimpan kekuatan gaib,
sehingga mereka memakan musuh-musuh mereka untuk menangkal kutukan Angawa lain.
Kekuatan gaib di dalam tubuh musuh menjadi milik mereka, sehingga mereka dapat
menghalau kutukan dukun pihak musuh.
"Dan kenapa mereka kembali makan orang sekarang?" Elliot bertanya pada Munro.
"Mereka ingin mempertahankan hak mereka untuk berburu," jawab Munro. "Sedangkan
para bi-rokrat di Kinshasa menginginkan sebaliknya.'1
Menjelang sore, ekspedisi itu menaiki sebuah bukit kecil. Dari situ mereka dapat
melihat lembah-lem-bah di sebelah selatah. Di kejauhan tampak asap bergulung-
gulung dan kobaran api. Samar-samar terdengar ledakan roket udara-darat, dan
sejumlah helikopter berputar-putar di udara, bagaikan bu-rung bangkai di atas
mangsa. "Itu desa-desa Kigani," Munro berkata sambil menengok ke belakang. Ia
menggeleng-gelengkan kepala. "Mereka tak punya harapan, apalagi semua awak heli
dan seluruh pasukan di darat berasal dari suku Abawa, musuh bebuyutan suku
Kigani." Dunia abad kedua puluh tidak memberi tempat bagi keyakinan yang melibatkan
kanibalisme. Pemerintah Zaire di Kinshasa, yang berjarak tiga ribu kilometer,
Jago Dari Seberang 3 Dewi Ular 58 Manusia Meteor Pena Wasiat 22
telah ditentukan. Biaya per unit ini sebaliknya mencerminkan besar-kecilnya
cadangan bahan galian, tingkat keterpencilan lokasi bersangkutan, ketersediaan
tenaga kerja setempat, kondisi politik, keharusan membangun lapangan terbang,
jalan, rumah sakit, sekolah, tambang, atau instalasi pengilangan.
Kontrak Biru tidak disertai UECL, dan itu berarti pihak pemberi kontrak sangat
membutuhkan intan biru dan tidak peduli soal biaya.
Kelompok diskusi kantin ERTS membutuhkan 48 jam untuk menelaah Kontrak Biru.
Ternyata intan Tipe lib berwarna biru akibat kontaminasi unsur boron dalam
jumlah sangat kecil, sehingga tidak memiliki nilai sebagai batu permata. Namun
kandungan boron juga mengubah karakteristik elektronik jenis intan tersebut,
sehingga bersifat semikonduktor dengan resistivitas sekitar 100 Ohm sentimeter.
Selain itu, intan Tipe lib juga memiliki sifat meneruskan cahaya.
Seseorang lalu menemukan artikel singkat dalam Electronic News tanggal 17
November 1978: "Proses McPhee Gagal". Artikel itu menjelaskan bahwa perusahaan
Silec, Inc., di Waltham, Massachusetts, telah menghentikan penggunaan teknik
McPhee untuk membuat intan berlapis boron secara artifisial. Teknik yang masih
dalam tahap uji coba itu .189 dinilai terlalu mahal dan tidak konsisten dalam menghasilkan "sifat
semikonduktor yang diinginkan". Artikel tersebut juga melaporkan bahwa
"perusahaan-perusahaan lain pun terlalu menyepe-lekan masalah-masalah yang
terkait dengan proses pelapisan boron; Hakamichi (Tokyo) menghentikan proses
Nagaura bulan September tahun ini." Dengan bekerja mundur, kantin ERTS lalu
berusaha merangkai semakin banyak bagian teka-teki yang menyelubungi Kontrak
Biru. Di tahun 1971, Intec, sebuah perusahaan mikroelektronik berkedudukan di Santa
Clara, menjadi pihak pertama yang meramalkan bahwa intan-intan bersifat
semikonduktor akan memegang peranan penting dalam generasi berikut komputer
superkonduktor pada dasawarsa 1980-an.
Generasi pertama komputer elektronik, ENIAC dan UNIVAC, yang dibuat secara
rahasia semasa perang tahun 1940-an, menggunakan tabung-tabung hampa udara. Usia
rata-rata tabung hampa udara sebenarnya dua puluh jam, tapi dengan ribuan tabung
yang panas membara di dalam satu mesin, beberapa komputer terpaksa dimatikan se-
tiap tujuh sampai dua belas menit. Akibat kendala tersebut, ukuran dan kemampuan
komputer-kom-puter generasi kedua, yang saat itu sedang dalam perencanaan,
menjadi terbatas. Tapi ternyata komputer-komputer generasi kedua tidak menggunakan tabung hampa
udara. Munculnya transistor lempengan bahan padat se - ?190
ukuran kuku ibu jari yang sanggup menjalankan semua fungsi tabung hampa
udara pada tahun 1947, mengantar dunia ke era piranti elektronik solid state
?yang lebih sedikit memakai listrik dan menghasilkan panas, serta lebih kecil dan
lebih andal dibandingkan tabung hampa udara yang digantikan. Selama dua puluh
tahun berikut, teknologi silikon dijadikan dasar untuk tiga generasi komputer
yang semakin kecil, andal, dan murah.
Namun pada dasawarsa 1970-an, para perancang komputer mulai menghadapi batasan-
batasan teknologi silikon. Meskipun sirkuit-sirkuit telah di-perkecil sampai ke
ukuran mikroskopik, kecepatan komputasi tetap tergantung pada panjang sirkuit.
Upaya untuk semakin memperkecil sirkuit-sirkuit, di mana jarak telah diukur
dalam sepersejuta inci, terbentur pada persoalan lama: panas. Sirkuit-sirkuit
yang lebih kecil lagi akan meleleh akibat panas yang dihasilkan. Yang dibutuhkan
adalah cara untuk meniadakan panas, sekaligus mengurangi tahanan listrik.
Sejak tahun 1950-an telah diketahui bahwa logam-logam tertentu bersifat
superkonduktor jika didinginkan sampai suhu sangat rendah, sehingga memungkinkan
arus elektron tanpa hambatan. Tahun 1977 IBM mengumumkan bahwa mereka sedang
mengembangkan komputer berkecepatan ultratinggi seukuran buah jeruk, yang
didinginkan dengan nitrogen cair. Jenis komputer ini menuntut
191 teknologi yang sama sekali baru, serta bahan-bahan konstruksi mutakhir untuk
suhu rendah. Intan-intan artifisial akan dimanfaatkan secara ekstensif.
Beberapa hari kemudian, kantin ERTS mengemukakan penjelasan alternatif. Menurut
teori baru ini, tahun 1970-an merupakan dasawarsa dengan tingkat pertumbuhan
komputer yang belum pernah terjadi sebelumnya. Meskipun pembuat-pembuat komputer
di tahun 1940-an meramalkan bahwa seluruh dunia dapat dilayani oleh empat
komputer saja di masa mendatang, para ahli mengantisipasi bahwa pada tahun 1990
akan terdapat satu miliar komputer sebagian besar berhubungan melalui jaringan
?komunikasi. Jaringan-jaringan seperti itu belum ada, dan secara teoretis mungkin
bahkan mustahil diwujudkan. (Suatu penelitian oleh Hanover Institut pada tahun
1975 menyimpulkan bahwa jumlah logam yang terdapat di kerak bumi tidak cukup
untuk membangun saluran-saluran transmisi komputer yang dibutuhkan.)
Menurut Harvey Rumbaugh, dunia pada tahun 1980-an akan ditandai oleh kekurangan
sistem transmisi data komputer. "Sama seperti kekurangan bahan bakar fosil
mengejutkan dunia industri pada tahun 1970-an, kekurangan transmisi data akan
mengejutkan dunia dalam sepuluh tahun berikut. Pada dasawarsa 1970-an,
masyarakat dunia mengalami pembatasan kebebasan gerak; pada dasawarsa 1980-an
mereka akan menghadapi pembatasan
192 akses terhadap informasi, dan kita hanya bisa menunggu untuk melihat mana yang
lebih menyulitkan." Sinar laser merupakan satu-satunya harapan untuk* menangani kebutuhan data yang
terus meningkat pesat, sebab sinar laser memiliki kapasitas transmisi data
20.000 kali lebih besar daripada kabel koaksial biasa yang terbuat dari logam.
Transmisi data dengan menggunakan sinar laser menuntut teknologi baru termasuk ?serat optik, dan intan artifisial bersifat semikonduktor, yang menurut Rumbaugh
akan "lebih berharga dibandingkan minyak bumi" dalam tahun-tahun mendatang.
Lebih jauh lagi, Rumbaugh memperkirakan dalam waktu sepuluh tahun penggunaan
listrik akan ditinggalkan. Komputer-komputer masa depan akan mengandalkan
sirkuit-sirkuit cahaya dan berhubungan dengan sistem-sistem transmisi data yang
memanfaatkan cahaya pula. Alasannya adalah kecepatan. "Cahaya," kata Rumbaugh,
"bergerak dengan kecepatan cahaya. Listrik tidak. Kita ber-ada dalam tahap akhir
teknologi mikroelektronik."
Meski demikian, teknologi mikroelektronik tidak" menampakkan tanda-tanda bahwa
puncak kejaya-annya telah terlewati. Tahun 1979, industri mikroelektronik
merupakan salah satu cabang industri utama di seluruh negara maju, dengan omzet
sebesar 80 miliar dolar per tahun di Amerika Serikat saja; enam dari dua puluh
perusahaan peringkat 193 teratas dalam daftar Fortune 500 bergerak dalam bidang mikroelektronik.
Perusahaan-perusahaan tersebut memiliki sejarah persaingan dan kemajuan luar
biasa, dalam kurun waktu kurang dari tiga puluh tahun terakhir.
Pada tahun 1958, satu chip silikon dapat menampung 10 komponen elektronik. Pada
tahun 1970, chip berukuran sama sanggup mewadahi 100 komponen peningkatan 10
?kali lipat dalam waktu sekitar satu dasawarsa.
Tapi pada tahun 1972, jumlah komponen yang dapat dipasang pada satu chip telah
mencapai 1.000 unit, dan pada tahun 1974, 10.000 unit. Diperkirakan pada tahun
1980, satu chip seukuran kuku ibu jari dapat menampung 1 juta unit, tapi dengan
menggunakan fotoproyeksi elektronik, sasaran ini telah tercapai pada tahun 1978.
Pada musim semi 1979, sasaran baru untuk tahun 1980 ditetapkan sebesar 10 juta
unit atau, lebih baik lagi, 1 miliar unit pada satu chip silikon. Namun tak
? ?seorang pun meragukan bahwa angka tersebut dapat dicapai pada bulan Juni atau
Juli 1979. Kemajuan seperti itu dalam suatu industri belum pernah terjadi sebelumnya. Ini
semakin jelas melalui perbandingan dengan teknologi-teknologi ma-nufaktur yang
lebih tua. Detroit cukup puas dengan menampilkan perubahan-perubahan desain
produk yang sepele setiap tiga tahun, tapi industri elektronik secara rutin
menuntut kemajuan dalam skala magnitude dalam kurun waktu sama. (Untuk
194 mengimbangi kemajuan industri elektronik, para produsen mobil di Detroit
seharusnya mengurangi pemakaian bahan bakar mobil-mobil mereka dari 12 kilometer
per galon di tahun 1970 menjadi 120.000.000 kilometer per galon di tahun 1979.
Ternyata Detroit hanya dapat mengurangi pemakaian BBM dari 12 menjadi 24
kilometer per galon antara tahun 1970 dan 1979, suatu petunjuk lagi bahwa
industri otomotif akan tergeser dari posisi sebagai pusat perekonomian Amerika
Serikat.) Dalam pasar dengan persaingan sedemikian ketat, semua pihak khawatir mengenai
kekuatan-kekuatan asing, terutama Jepang, yang sejak tahun 1973 telah mendirikan
Pusat"Kebudayaan Jepang di Santa Clara. Namun sesungguhnya pusat kebudayaan
tersebut hanyalah tameng untuk menutup-nutupi kegiatan mata-mata industri yang
dilakukan secara terang-terangan dan dengan dukungan dana besar.
Kontrak Biru hanya dapat dipahami dalam konteks industri yang mencapai kemajuan-
kemajuan besar setiap beberapa bulan sekali. Travis sempat berkomentar bahwa
Kontrak Biru merupakan "kejadian terbesar yang akan kita lihat dalam sepuluh
tahun berikut. Siapa pun yang menemukan intan-intan itu akan memiliki keunggulan
teknologi selama paling tidak lima tahun. Lima tahun. Kau tahu apa artinya itu?"
195 Ross tahu persis apa artinya. Dalam industri di mana suatu keunggulan akan
terkikis dalam hitungan bulan, para produsen dapat meraih keuntungan luar biasa
dengan memperkenalkan teknik atau peralatan baru beberapa minggu lebih dulu
daripada saingan-saingan mereka. Syntel di California adalah perusahaan pertama
yang mem-produksi chip dengan kapasitas memori sebesar 256K, sementara
perusahaan-perusahaan lain masih membuat chip 16K dan mengangan-angankan chip
64K. Keunggulan Syntel bertahan hanya 16 minggu, namun perusahaan tersebut
berhasil meraup keuntungan lebih dari 130 juta dolar.
"Dan kita bicara tentang lima tahun," ujar Travis. "Keunggulan itu bernilai
miliaran dolar, mungkin bahkan puluhan miliar dolar. Kalau kita bisa mendapatkan
intan-intan itu." Itulah alasan-alasan di balik tekanan luar biasa yang dirasakan Ross ketika
melanjutkan pekerjaannya dengan komputer. Pada usia 24, ia telah menjadi
pemimpin tim dalam suatu perlombaan hightech yang melibatkan setengah lusin
negara dari seluruh dunia, dan semuanya diam-diam mengerahkan sumber daya bisnis
dan industri untuk menjegal lawan.
Nilai yang dipertaruhkan membuat semua perlombaan biasa berkesan menggelikan.
Sebelum keberangkatan Ross, Travis sempat berpesan, "Jangan takut kalau
tekanannya membuatmu gila.
196 Kau memikul beban sebesar miliaran dolar Pokoknya, berusahalah sebaik mungkin."
Dan dengan berusaha sebaik mungkin, Ross berhasil mengurangi 3 jam dan 37 menit
lagi dari perkiraan waktu tempuh ekspedisi mereka. Meski demikian, mereka tetap
berada di belakang pihak konsorsium. Tidak terlalu jauh untuk mengejar la-wan,
terutama dengan adanya jalan-jalan pintas penuh risiko yang dapat ditempuh
berkat bantuan Munro, namun tetap di belakang dan ini bisa berarti bencana ?dalam perlombaan di mana hanya satu pihak akan keluar sebagai pemenang.
Kemudian ia menerima berita buruk itu.
Pada layar monitor tercetak PIGGYBACK-SLURP / SELURUH RENCANA BATAL.
"Brengsek," ujar Ross. Ia mendadak letih sekali. Sebab kalau memang telah
terjadi penyadapan data, peluang mereka untuk memenangkan perlombaan telah
lenyap, bahkan sebelum mereka men-jejakkan kaki di hutan tropis di tengah-tengah
Afrika. 197 2 Travis merasa seperti orang bodoh.
Ia menatap pesan dari Goddard Space Flight Center di Greenbelt, Maryland..
ERTS UNTUK APA KALIAN KIRIM DATA MUKENKO KAMI TIDAK PERLU TERIMA KASIH SILAKAN
AKHIRI PENGIRIMAN. Laporan itu tiba satu jam lalu dari GSFC/Maryland, tapi sebenarnya sudah
terlambat lebih dari lima jam.
"Brengsek!" Travis mengumpat sambil menatap teleks di tangannya.
Travis mulai mencium gelagat bahwa ada yang tidak beres ketika orang-orang
Jepang dan Jerman memutuskan negosiasi dengan Munro di Tangier. Mula-mula mereka
bersedia membayar berapa pun; sesaat kemudian mereka sepertinya sudah tak sa-bar
untuk segera pergi. Perubahan sikap secara mendadak itu mengisyaratkan bahwa
komputer pihak konsorsium telah memperoleh data baru.
198 Data baru dari mana"
Hanya ada satu penjelasan, dan kini Travis telah memperoleh konfirmasi dalam
bentuk teleks dari GSFC di Greenbelt.
ERTS UNTUK APA KALIAN KIRIM DATA MUKENKO
Jawabannya sederhana saja: ERTS tidak mengirim data apa pun. Paling tidak, bukan
secara sukarela. ERTS dan GSFC menjalin kerja sama dalam bentuk saling bertukar
data baru. Travis menandatangani kesepakatan tersebut pada tahun 1978, agar
dapat memperoleh citra-citra satelit Landsat dengan harga lebih rendah. Biaya
untuk xitra-citra satelit memang komponen biaya terbesar di perusahaannya.
Sebagai imbalan atas hak untuk mendapatkan data olahan ERTS, GSFC setuju untuk
menyediakan CCT satelit dengan potongan tiga puluh persen dari harga kotor.
Saat itu perjanjian tersebut tampak menguntungkan bagi kedua belah pihak, dan
kata-kata sandi yang akan digunakan pun ikut dicantumkan dalam naskah kerja
sama. Namun kini semua risiko potensial kembali terbayang-bayang di depan mata Travis.
Kekhawatirannya yang paling besar telah menjadi kenyataan. Mengadakan saluran
sejauh tiga ribu kilometer dari Houston ke Greenbelt berarti mengundang
piggyback data slurp penyedotan data oleh ter - ?199
PENYEDOTAN DATA minal pembonceng. Seseorang telah menyambungkan terminal komputer di suatu
tempat antara Texas dan Maryland kemungkinan besar pada jaringan telepon dan
? ?mulai menyedot data melalui terminal pembonceng itu. Inilah bentuk kegiatan
mata-mata industri yang paling ditakuti.
Terminal pembonceng disambungkan di antara dua terminal sah, dan digunakan untuk
memantau arus rransmisi ke kedua arah. Setelah beberapa waktu, operator terminal
tersebut memiliki pengetahuan memadai untuk mengadakan transmisi sendiri. Ia
menyamar sebagai GSFC jika berhubungan dengan Houston, dan sebagai Houston saat
mengontak GSFC. Kegiatan terminal pembonceng bisa terus berlangsung, sampai
salah satu atau kedua terminal sah menyadari data mereka disedot.
Pertanyaannya sekarang, seberapa banyak data yang disedot dalam 72 jam terakhir"
Travis telah mengadakan pemeriksaan alat-alat pemantau yang bekerja 24 jam
sehari, tapi hasilnya tidak menggembirakan. Sepertinya komputer ERTS bukan -
saja menyerahkan elemen-elemen mentah dalam database, melainkan juga catatan
transformasi data runtunan prosedur manipulasi data oleh ERTS selama empat
?minggu terakhir. Kalau itu benar, berarti terminal pembonceng konsorsium Euro-Jepang telah
mengetahui transformasi apa saja yang dilakukan ERTS dengan data Mukenko, dan
dengan demikian mereka pun mengetahui lokasi kota hilang itu setepat-tepatnya.
200 Tolok waktu terpaksa disesuaikan, dengan kerugian di pihak tim ERTS. Dan
proyeksi-proyeksi komputer yang telah diperbarui tidak menyisakan sebersit keraguan pun: dengan atau
tanpa Ross, peluang tim ERTS untuk mencapai lokasi sebelum orang-orang Jepang
dan Jerman hampir sama dengan nol.
Dari sudut pandang Travis, seluruh ekspedisi ERTS kini merupakan usaha sia-sia
dan hanya membuang-buang waktu. Tak ada harapan untuk berhasil. Satu-satunya
faktor yang tak dapat diperhitungkan adalah Amy, si gorila, dan naluri Travis
mengatakan gorila bernama Amy takkan berperan menentukan dalam pencarian
cadangan intan di kawasan timur laut Kongo.
Tak ada harapan sama sekali.
Haruskah ia memanggil kembali tim ERTS" Ia menatap komputer di meja kerjanya.
"Jalankan program waktu-biaya," ia berkata.
Layar monitor berkedap-kedip. WAKTU-BIAYA SIAP.
"Survei Lapangan Kongo," ujar Travis.
Layar monitor menampilkan angka-angka untuk Survei Lapangan Kongo: pengeluaran
per jam, biaya total saat ini, biaya yang masih akan ditagih, proyeksi biaya
untuk pembatalan pada titik-titik tertentu, penghapusan titik-titik percabangan.
Ekspedisi ERTS kini hampir tiba di Nairobi dan telah menghabiskan sekitar
189.000 dolar. 201 Jika ekspedisi tersebut dibatalkan, pengeluaran ERTS akan berjumlah 227.455
dolar. "Faktor BF," kata Travis.
Layar berubah, dan Travis melihat serangkaian hasil perhitungan peluang baru.
"Faktor BF" adalah bona fortuna, nasib baik faktor tak terduga yang terdapat ?pada semua ekspedisi, terutama ekspedisi-ekspedisi ke kawasan terpencil
berbahaya. SABAR SEJENAK, terbaca pada layar.
Travis menunggu. Ia tahu komputer membutuhkan beberapa detik untuk melakukan
perhitungan dengan memberi bobot pada faktor-faktor acak yang mungkin akan
mempengaruhi ekspedisi, yang masih berada lima hari atau lebih dari lokasi.
Kongo Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Pager Travis berbunyi. Rogers, si ahli pengawasan elektronik, melaporkan, "Kami
berhasil melacak terminal pembonceng itu. Letaknya di Norman, Oklahoma, di
gedung kantor North Central Insurance Corporation of America. Lima puluh satu
persen saham NCIC dikuasai oleh perusahaan holding di Hawaii, Halekuli, Inc.,
yang sepenuhnya dimiliki pemodal-pemodal di Jepang. Bagaimana sekarang?"
"Aku minta kebakaran hebat," jawab Travis.
"Beres," ujar Rogers, lalu meletakkan gagang telepon.
Layar monitor memperlihatkan tulisan PERHITUNGAN FAKTOR BF SELESAI, serta sebuah
peluang: .449. Travis terkejut: angka itu berarti tim ERTS memiliki peluang yang
hampir sama 202 besar untuk mencapai lokasi sebelum pihak konsorsium. Travis tidak
mempertanyakan cara perhitungannya; angka .449 sudah memadai.
Ekspedisi ERTS ke Kongo akan dilanjutkan, paling tidak untuk sementara. Dan
Travis akan berusaha sekeras mungkin untuk menghambat ge-rak maju pihak
konsorsium. Saat itu juga satu-dua gagasan terlintas dalam benak Travis untuk
mencapai tujuan tersebut.
203 3 Pesawat jet itu sedang melintas ke selatan di atas Danau Rudolf di bagian utara
Kenya ketika Tom Seamans menghubungi Elliot.
Seamans telah merampungkan analisis komputernya untuk membedakan gorila dari
monyet-monyet lain, terutama simpanse. Dari Houston ia lalu memperoleh rekaman
video sepanjang tiga detik, bergambar buram, sepertinya memperlihatkan seekor
gorila yang sedang menghancurkan an-tena parabola sambil memandang ke kamera. ^
"Bagaimana?" tanya Elliot. Ia menatap layar monitor di hadaparinya. Datanya
segera muncul: PROGRAM PEMBEDAAN GORILA / SIMPANSE
DISTRIBUSI PENGELOMPOKAN FUNGSIONAL
SEBAGAI BERIKUT: GORILA: .9934 SIMPANSE: .1132
SUBJEK PADA REKAMAN VIDEO
{HOUSTON}: .3349 "Brengsek," Elliot mengumpat. Dengan angka -
204 angka seperti itu, studi tersebut tidak memberikan kesimpulan tuntas.
"Sori," Seamans berkata melalui telepon. "Sebagian masalahnya terletak pada
rekaman videonya sendiri. Kami terpaksa memperhitungkan derivasi komputer dari
gambar itu. Gambarnya sudah dibersihkan dan dipertajam; bagian-bagian penting
sudah hilang. Sebenarnya aku ingin bekerja dengan matriks digital yang asli.
Bisa kauusahakan?" Karen Ross mengangguk-angguk. "Tentu," balas Elliot.
"Kalau begitu, kucoba sekali lagi," ujar Seamans. "Tapi menurutku hasilnya
takkan berbeda jauh. Kau tahu sendiri, struktur wajah gorila amat bervariasi,
sama seperti manusia. Kalau kita menambah jumlah sampel, kita akan memperoleh
variasi lebih banyak dan interval populasi lebih besar. Kelihatannya tak ada
lagi yang bisa dilakukan. Kau takkan bisa membuktikan ini bukan gorila tapi ?menurutku bukan."
"Maksudnya?" tanya Elliot.
"Ini sesuatu yang baru," jawab Seamans. "Kalau memang gorila, dengan programku
seharusnya menghasilkan angka .89 atau .94. Pokoknya di antara itu. Tapi ini
angkanya .39. Binatang ini bukan gorila, Peter."
"Kalau begitu, apa?"
"Suatu bentuk transisi. Aku sempat menjalankan program lain untuk menentukan
perbedaannya. Kau tahu apa perbedaan paling utama" Wama
205 DATA TAMBAHAN kulit. Pada gambar hitam-putih pun binatang ini kurang gelap untuk gorila,
Peter. Percayalah, ini jenis binatang baru."
Elliot menoleh ke arah Ross. "Bagaimana pengaruhnya terhadap tolok waktu Anda?"
"Untuk sementara belum ada," jawab Ross. "Elemen-elemen Iain lebih menentukan,
dan data yang ini tidak bisa diperhitungkan."
Pilot di kokpit menyalakan interkom. "Sebentar lagi kita akan mendarat di
Nairobi," ia mengumumkan.
206 4 Tujuh setengah kilometer di luar kota Nairobi, makhluk-makhluk penghuni sabana
Afrika Timur masih bebas berkeliaran. Dan tidak sedikit warga Nairobi yang masih
mengingat masa ketika binatang-binatang tersebut dapat ditemui lebih dekat
lagi kijang, banteng, dan jerapah berlalu lalang di pekarangan-pekarangan, dan ?sesekali ada macan kumbang menyusup ke kamar tidur orang. Di za-man itu, kota
Nairobi masih menampilkan diri sebagai pos kolonial yang liar; di masa jayanya,
Nairobi merupakan tempat bersuasana seronok. "Sudah menikah atau tinggal di
Nairobi?" adalah pertanyaan yang lazim diajukan. Kaum prianya berperangai kasar
dan gemar minum-minum, kaum wanitanya cantik-cantik dan berpikiran bebas, dan
kehidupan sehari-hari sama tak terduganya seperti perburuan rubah yang malang
melintang melintasi daerah pedesaan setiap akhir pekan.
Tapi Nairobi modern bisa dibilang tidak mempunyai kemiripan apa pun dengan masa
kolonial 207 NAIROBI dulu. Hanya segelintir bangunan bergaya Victoria yang masih bertahan di kota
berpenduduk setengah juta jiwa, yang tak luput dari tanda-tanda kemajuan zaman
seperti kemacetan, lampu lalu lin-tas, gedung pencakar langit, pasar swalayan,
binatu layanan satu hari, restoran masakan Prancis, dan polusi udara.
Pesawat kargo ERTS mendarat dini hari tanggal 16 Juni di Nairobi International
Airport. Munro segera mencari kuli dan asisten untuk ekspedisi mereka. Semula
mereka bermaksud meninggalkan Nairobi dalam waktu dua jam sampai Travis
?menelepon dari Houston untuk memberitahukan bah-wa Peterson, salah satu ahli
geologi dari ekspedisi Kongo pertama, berhasil kembali ke Nairobi.
Ross menyambut berita itu dengan gembira. "Df mana dia sekarang?" tanyanya.
"Di kamar mayat," jawab Travis.
Elliot meringis ketika mendekat. Mayat yang tergeletak di meja stainless steel
itu pria pirang yang sebaya dengannya. Kedua lengan pria itu remuk, kulitnya
menggembung dan berwarna ungu tua. Elliot melirik ke arah Ross. Wanita itu
tampak tenang. Ia tidak berkedip maupun memalingkan wajah. Ahli patologi yang
menyertai mereka menginjak sebuah pedal untuk menyalakan mikrofon yang
tergantung dari langit-langit. "Tolong se-butkan nama Anda." "Karen Ellen Ross."
208 "Kebangsaan dan nomor paspor Anda?" "Amerika, F 1413649."
"Apakah Anda dapat mengidentifikasi pria di hadapan Anda, Miss Ross?"
"Ya," jawab Ross. "Itu James Robert Peterson."
"Apa hubungan Anda dengan almarhum James Robert Peterson?"
"Kami rekan kerja," ujar Ross. Sepertinya ia sedang memeriksa sebuah spesimen
geologi, mengamatinya tanpa emosi. Wajahnya tidak memperlihatkan reaksi apa pun.
Ahli patologi itu menghadap ke mikrofon. "Identitas dipastikan sebagai James
Robert Peterson, pria ras Kaukasia, usia 29 tahun, warga ne-gara Amerika." Ia
kembali berpaling pada Ross. "Kapan Anda terakhir melihat Mr. Peterson?"
"Bulan Mei tahun ini. Ketika itu dia hendak bertolak ke Kongo."
"Anda tidak melihatnya dalam bulan terakhir?"
"Tidak," ujar Ross. "Apa yang terjadi?"
Si ahli patologi menyentuh luka-luka memar berwarna ungu pada lengan Peterson.
Ujung jarinya meninggalkan bekas dalam, bagaikan bekas gigitan. "Ceritanya
sungguh aneh," ahli patologi itu berkata.
Pada hari sebelumnya, tanggal 15 Juni, Peterson diterbangkan ke bandara Nairobi
dengan pesawat kargo carteran. Ia berada dalam tahap akhir terminal shock, dan
meninggal beberapa jam kemudian. tanpa sempat sadar kembali. "Terus terang,
209 saya heran dia berhasil sampai di sini. Pesawat itu rupanya mengalami gangguan
mekanis, sehingga terpaksa mendarat di Garona, lapangan terbang perintis di
Zaire. Tahu-tahu orang ini muncul dari hutan dan ambruk di depan kaki mereka."
Si ahli patologi lalu mengungkapkan bahwa tulang kedua lengan Peterson remuk.
Luka-luka itu tidak baru, ia menjelaskan. Cedera tersebut berusia paling tidak
empat hari, mungkin lebih. "Dia pasti menderita sekali."
Elliot bertanya, "Apa yang dapat menyebabkan cedera seperti itu?"
Si ahli patologi ternyata belum pernah melihat luka-luka seperti yang dialami
Peterson. "Sepintas lalu kelihatannya seperti trauma mekanis, cedera akibat
benturan mobil atau truk. Kami sering menangani cedera seperti itu di sini. Tapi
korban tabrakan tak pernah mengalami remuk tulang pada kedua sisi tubuh, seperti
dalam kasus ini." "Berarti bukan trauma mekanis?" tanya Karen Ross.
"Penyebabnya belum bisa dipastikan. Ini kasus unik," si ahli patologi menjawab
ketus. "Kami juga menemukan darah diTbawah kuku korban, dan beberapa helai
rambut kelabu. Kami sedang melakukan pemeriksaan di lab sekarang."
Di seberang ruangan, ahli patologi lain yang duduk menghadapi mikroskop menoleh
ke arah mereka. "Rambutnya pasti bukan rambut manusia.
210 Irisan penampangnya tidak cocok. Ini bulu binatang, mirip manusia."
"Irisan penampang?" Karen Ross mengulangi.
"Indeks terbaik untuk menentukan asal-usul rambut," ahli patologi itu menyahut.
"Misalnya, irisan penampang bulu kemaluan manusia lebih lonjong dibandingkan
bulu tubuh lainnya, termasuk bulu wajah. Ciri-ciri ini cukup khas, bisa diterima
sebagai barang bukti di pengadilan. Tapi di lab ini, kami juga biasa menangani
bulu hewan, dan kami cukup ahli."
Sebuah alat analisis berukuran besar yang terbuat dari baja tahan karat
mengeluarkan bunyi berdenting. "Pemeriksaan darahnya sudah selesai," si ahli
patologi berkata. Mereka melihat dua pola garis-garis berwarna pastel pada sebuah layar video.
"Ini pola elektro-foresis," si ahli patologi menjelaskan. "Untuk menentukan
protein-protein serum. Yang sebelah kiri adalah darah manusia. Yang di sebelah
kanan ada-lah darah yang kami temukan di bawah kuku korban. Kelihatan jelas ini
bukan darah manusia."
"Bukan darah manusia?" ujar Ross sambil melirik ke arah Elliot.
"Contoh darah ini mirip darah manusia," si ahli patologi berkomentar sambil
mengamati pola yang tampak di layar. "Tapi bukan. Mungkin darah binatang piaraan
atau ternak darah babi, misalnya. Atau darah primata. Secara serologis, monyet ?dan
211 kera sangat dekat dengan manusia. Sebentar lagi analisis komputer sudah
selesai." Sesaat kemudian layar video menampilkan hasil analisis komputer: PENCOCOKAN
GLOBULIN SERUM ALPHA DAN BETA: DARAH GORILA.
Si ahli patologi berkata, "Inilah yang terdapat di bawah kuku korban. Darah
gorila." 212 5 "Dia takkan menyakiti Anda," Elliot berkata ke-pada mantri kesehatan yang tampak
waswas. Mereka berada di ruang penumpang pesawat kargo 747 itu. "Nah, lihat
saja, dia tersenyum kepada Anda."
Amy memang sedang memasang senyumnya yang paling menawan, berusaha tidak
memperlihatkan giginya. Tapi mantri dari klinik swasta di Nairobi itu tidak
memahami seluk-beluk tata kra-ma gorila. Tangannya gemetaran ketika meraih alat
suntik. Nairobi merupakan kesempatan terakhir bagi Amy untuk menjalani pemeriksaan
menyeluruh. Tubuhnya yang besar dan kuat tidak mencerminkan kesehatannya yang
rapuh; roman mukanya yang menyeramkan pun bertolak belakang dengan sifatnya yang
lembut. Di San Francisco, kesehatan Amy dipantau secara ketat oleh staf Proyek
Amy sampel urine diperiksa setiap dua hari, contoh tinja setiap minggu,
?pemeriksaan darah lengkap
213 PEMERIKSAAN dilakukan setiap bulan, dan tiga bulan sekali Amy mengunjungi dokter gigi untuk
menghilangkan lapisan hitam yang terkumpul di" giginya.
Amy sudah terbiasa menjalani pemeriksaan, na-mun itu tidak diketahui oleh si
mantri yang gemetar ketakutan. Ia menghampiri Amy sambil memegang alat sunfik
seperti senjata. "Anda yakin dia tidak menggigit?"
Amy, yang berusaha membantu, memberi isyarat Amy janji tidak gigit. Ia
menggerak-gerakkan tangannya dengan pelan, seperti biasa jika menghadapi orang
yang tidak menguasai bahasanya.
"Dia berjanji tidak menggigit Anda," ujar Elliot.
"Itu kata Anda," balas si mantri. Elliot tidak berusaha menjelaskan bahwa bukan
ia yang berjanji demikian, melainkan Amy.
Setelah selesai mengambil sampel, si mantri tampak lebih tenang. Ia membereskan
peralatannya dan berkata, "Dia benar-benar jelek."
"Anda membuatnya tersinggung," ujar Elliot.
Dan ternyata Amy sibuk memberi isyarat, Apa jelek" "Tidak apa-apa, Amy," Elliot
menenangkannya. "Dia cuma belum pernah melihat gorila."
"Bagaimana?" si mantri bertanya bingung.
"Anda membuatnya tersinggung. Sebaiknya Anda minta maaf."
Si mantri menutup kotak peralatan medis yang dibawanya. Ia menatap Elliot, lalu
Amy. "Minta maaf" Pada dial"
214 Elliot mengangguk. "Ya. Bagaimana perasaan Anda kalau Anda dibilang jelek?"
Elliot bersungguh-sungguh. Setelah bertahun-ta-hun menekuni bidangnya, ia telah
hafal prasangka manusia terhadap monyet: simpanse dianggap seperti bocah lucu,
orang utan dilihat sebagai orang tua yang bijak, dan gorila sebagai makhluk liar
berbahaya. Sesungguhnya semua prasangka itu ke-liru.
Masing-masing binatang itu bersifat unik, dan tidak dapat dikotak-kotakkan
begitu saja. Gorila, misalnya, lebih berperasaan halus dibandingkan simpanse.
Karena simpanse berwatak ekstrovert, simpanse yang marah jauh lebih berbahaya
dibandingkan gorila yang marah; di kebun binatang, Elliot acap kali tercengang
melihat kaum ibu membiarkan anak-anak mengamati simpanse dari jarak dekat, namun
segera menarik mereka jika mereka mendekati gorila. Para ibu itu rupanya tidak
tahu bahwa simpanse liar suka menculik dan memangsa anak manusia sesuatu yang ?tak pernah dilakukan gorila.
Elliot sudah berulang kali menjadi saksi prasangka manusia terhadap gorila, dan
ia menyadari pengaruhnya terhadap Amy. Amy mau tak mau hams menerima kenyataan
bahwa ia berbadan be-sar dan hitam, serta berwajah menyeramkan. Namun di balik
wajah yang oleh manusia dianggap jelek itu terdapat kesadaran diri yang cerdas
dan peka serta penuh simpati pada orang-orang di se-215
kitarnya. Amy sakit hati kalau orang berlari men-jauhinya, menjerit ketakutan,
atau memberi komentar melecehkan.
Si mantri mengerutkan kening. "Maksud Anda, monyet jantan ini mengerti bahasa
Inggris?" "Dia betina," Elliot meralat. Ini pun sudah acap kali dialaminya. Orang yang
takut pada Amy langsung berasumsi bahwa ia jantan. * Si mantri menggelengkan
kepala. "Saya tidak percaya."
"Amy, antar orang ini ke pintu."
Amy menuju pintu dan membukanya untuk si mantri, yang melangkah keluar sambil
membelalakkan mata. Amy menutup pintu lagi.
Orang bodoh, Amy memberi isyarat.
"Biar saja," kata Elliot. "Sini, Peter gelitik Amy." Dan selama lima belas menit
berikut ia menggelitik Amy yang berguling-guling di lantai sambil menikmati
perlakuan istimewa itu. Elliot tidak menyadari bahwa pintu di belakangnya
membuka. Ia tidak memperhatikan bayangan yang melintasi lantai, sampai
terlambat. Ketika ia menoleh, dilihatnya sebuah tabung gelap diayunkan ke ba-
wah. Kepalanya seakan meledak, diiringi cahaya putih menyilaukan, lalu semuanya
gelap gulita. 216 6 Ia siuman dan mendengar bunyi melengking tinggi.
"Jangan bergerak, Sir," sebuah suara berkata.
Elliot membuka mata dan menatap cahaya te-rang yang menyorot ke arahnya. Ia
masih tergeletak di dalam pesawat terbang; seseorang sedang membungkuk di
atasnya. "Lirik ke kanan... sekarang ke kiri... Anda bisa menggerakkan jari?"
Elliot menuruti instruksi-instruksi itu. Cahaya tadi berpindah, dan ia melihat
pria hitam dengan jas putih berjongkok di sampingnya. Pria itu menyentuh kepala
Elliot. Ketika ia menarik tangannya, ujung-ujung jarinya merah karena darah.
"Tak ada yang perlu dikhawatirkan," orang itu berkata. "Lukanya tidak serius."
Ia menoleh ke arah lain. "Kira-kira berapa lama dia tidak sadar?"
"Paling-paling beberapa menit," jawab Munro.
Bunyi melengking tadi terdengar lagi. Elliot melihat Ross mondar-mandir di ruang
penumpang, sambil menyandang sebuah kotak dan memegang
Kongo Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
217 DICULIK tongkat di depannya. Sekali lagi terdengar bunyi melengking. "ferengsek," Ross
mengumpat tertahan, lalu mencabut sesuatu dari balik penutup jendela. "Ini yang
kelima. Mereka benar-benar bekerja keras."
Munro menatap Elliot. "Bagaimana keadaan Anda?" ia bertanya.
"Sebaiknya dia diobservasi selama 24 jam," pria hitam di samping Elliot berkata.
"Sekadar berjaga-jaga."
"Dua puluh empat jam!" ujar Ross sambil terus berkeliling
Elliot bertanya, "Di mana Amy?"
"Mereka membawanya," sahut Munro. "Mereka kabur lewat pintu belakang, sebelum
ada yang sadar apa yang terjadi. Kami menemukan ini di sebelah Anda."
Munro menyerahkan botol obat berukuran kecil dengan tulisan Jepang. Sisi botol
itu tergores-gores; pada ujung yang satu ada tonjolan karet menyerupai piston
pada katup ban mobil, pada ujung yang satu lagi jarum suntik yang patah.
Elliot langsung duduk. "Pelan-pelan," si dokter mewanti-wanti.
"Saya tidak apa-apa," jawab Elliot, padahal kepalanya berdenyut-denyut. Ia
mengamati botol obat di tangannya. "Apakah ada bunga es pada botol ini waktu
Anda menemukannya?" Munro mengangguk. "Dingin sekali."
"CO2," ujar Elliot. Botol itu merupakan anak
218 panah dari pistol gas. Ia menggelengkan kepala. "Mereka mematahkan jarumnya." Ia
bisa membayangkan jerit kemarahan Amy yang telah terbiasa diperlakukan dengan
halus dan lembut. Ini mungkin salah satu kekurangan dalam penelitian Elliot; ia
tidak mempersiapkan Amy dengan baik untuk menghadapi dunia nyata. Ia mengendus-
endus botol itu dan mencium bau menyengat. "Lobaxin. Obat soporific yang bekerja
cepat, dalam lima belas detik. Cocok dengan mereka." Lobaxin jarang digunakan
pada binatang, karena menyebabkan kerusakan hati. Dan mereka mematahkan jarum
suntik yang masih menempel....
Elliot bangkit dan bersandar pada Munro, yang segera menopangnya. Si dokter
kembali memprotes. "Saya tidak apa-apa," Elliot menegaskan.
Di seberang ruangan terdengar bunyi melengking lagi, kali ini lebih keras dan
lama. Ross sedang menggerakkan tongkatnya melewati lemari obat, melewati botol-
botol berisi pil. Sepertinya ia salah tingkah karena bunyi itu; ia langsung mun-
dur dan menutup pintu lemari.
Kemudian ia melintasi ruang penumpang; kotak yang dibawa-bawanya kembali
mengeluarkan bunyi melengking. Ross melepaskan alat kecil berwarna hitam dari
bawah salah satu kursi. "Coba lihat ini. Mereka pasti -membawa satu orang khu-
sus untuk memasang alat-alat penyadap. Kita bu-tuh waktu berjam-jam untuk
membersihkan pesawat ini. Kita tidak bisa menunggu selama itu."
219 Ia langsung menghampiri konsol komputer dan mulai mengetik.
Elliot berkata, "Di mana mereka sekarang" Rombongan konsorsium, maksud saya?"
"Rombongan utama mereka bertolak enam jam lalu dari Bandara Kubala di luar
Nairobi," jawab Munro.
"Berarti mereka tidak membawa Amy."\ "Tentu saja tidak," Ross berkomentar dengan
nada jengkel. "Amy tidak bermanfaat bagi mereka."
"Mungkinkah mereka membunuhnya?" tanya Elliot.
"Mungkin saja," ujar Munro. "Oh, ya Tuhan...."
"Tapi saya meragukannya," Munro melanjutkan. "Mereka tidak menginginkan
publisitas, sedangkan Amy terkenal di kalangan tertentu dia sama terkenalnya ?seperti duta besar atau kepala negara. Dia gorila yang bisa bicara, dan jumlah
gorila seperti itu tidak banyak. Dia pernah tampil di TV, fotonya pernah dimuat
di koran-koran. Mereka lebih mungkin membunuh Anda daripada membunuh Amy."
"Yang pen ting mereka tidak menyakitinya," kata Elliot.
"Mereka takkan menyakitinya," Ross berkomentar dengan tegas. "Pihak konsorsium
tidak tertarik pada Amy. Mereka bahkan tidak tahu kenapa kita membawanya ke
sini. Mereka hanya ingin me -
220 ngacaukan tolok waktu kita tapi mereka takkan berhasil."
?Nada suaranya menyiratkan bahwa ia bermaksud meninggalkan Amy. Elliot tentu saja
keberatan. "Kita harus membebaskan dia," ia berkata. "Amy tanggung jawab saya.
Saya tidak bisa meninggalkannya di sini."
"Tujuh puluh dua menit," ujar Ross sambil menunjuk ke layar. "Kita punya waktu
satu jam dua belas menit sebelum kita melanggar tolok waktu." Ia berpaling pada
Munro. "Dan kita terpaksa beralih ke alternatif dua."
"Baik," kata Munro. "Saya akan menyuruh orang-orang mempersiapkan semuanya."
"Dengan pesawat baru," Ross menambahkan. "Yang ini tidak bisa dipakai, karena
sudah terkontaminasi." Ia menekan sejumlah tombol pada konsol komputer. "Setelah
ini kita langsung ke titik M," kata Ross. "Oke?"
"Setuju," balas Munro.
Elliot berkata, "Saya tidak akan meninggalkan Amy. Kalau dia tidak ikut, saya
juga tidak ikut..." Ia terdiam.
Pada layar muncul pesan: LUPAKAN GORILA LANJUTKAN KE CHECKPOINT BERIKUT SE-GERA
MONYET TIDAK PENTING UNTUK HASIL AKHIR VERIFIKASI KOMPUTER ULANGI LANJUTKAN
TANPA AMY. "Anda tidak boleh meninggalkan dia," kata Elliot. "Saya juga akan tinggal di
sini." 221 "Asal tahu saja," ujar Ross. "Dari awal saya sudah beranggapan ekspedisi ini
tidak membutuhkan Amy atau Anda. Dia sekadar saya manfaatkan untuk mengecoh ?pihak lawan. Waktu datang ke San Francisco, saya diikuti orang. Berkat Anda dan
Amy, saya bisa mengelabui mereka. Anda membuat pihak konsorsium kebingungan, dan
sekarang tugas Anda sudah selesai. Kami akan meninggalkan Anda dan Amy, kalau
memang perlu. Saya takkan ambil pusing."
222 ALAT PENYADAP "Persetan," Elliot mengumpat, "maksud Anda, saya dan Amy..."
"Ya," Ross membalas dengan dingin. "Anda dan Amy tidak diperlukan lagi." Namun
sambil bicara, ia meraih lengan Elliot dan menariknya keluar dari pesawat sambil
menempelkan jari telunjuk ke bibir.
Elliot menyadari bahwa Ross hendak berdamai dengan mengadakan pembicaraan empat
mata, tapi Elliot bertekad untuk mempertahankan posisinya. Amy memang tanggung
jawabnya. Persetan dengan segala intan dan intrik-intrik internasional. Setelah
keluar ke apron, ia mengulangi dengan tegas, "Saya takkan pergi tanpa Amy."
"Saya juga." Dengan langkah panjang Ross melintasi pelataran parkir pesawat, dan
menuju ke helikopter polisi yang sudah menunggu.
Elliot pun mempercepat langkahnya. "Apa?"
"Masa Anda belum mengerti juga?" tanya Ross. "Pesawat kita tidak bersih, penuh
alat penyadap. Pihak konsorsium bisa mendengar pembicaraan
223 kita. Ucapan saya tadi sekadar untuk mengelabui mereka."
"Tapi siapa yang membuntuti Anda di San Francisco?"
"Tidak ada yang membuntuti saya, tapi mereka akan menghabiskan waktu berjam-jam
untuk me-nyelidikinya."
"Jadi, Amy dan saya bukan sekadar siasat?"
"Sama sekali bukan," kata Ross. "Begini, kita tidak tahu apa yang terjadi dengan
tim Kongo sebelumnya, tapi apa pun yang dikatakan oleh Anda, Travis, atau semua
orang lain, saya yakin kejadian itu berhubungan dengan gorila. Dan saya percaya
Amy bisa membantu kita setelah kita sam-pai di sana."
"Sebagai duta?"
"Kita butuh informasi," ujar Ross. "Dan dia tahu lebih banyak tentang gorila
daripada kita." "Tapi apakah kita bisa menemukannya dalam waktu satu jam sepuluh menit?"
"Tenang saja,". Ross berkata sambil menatap arlojinya. "Urusan ini akan selesai
dalam dua pu-luh menit."
"Turun lagi! Turun lagi!"
Ross berseru-seru melalui headset sambil duduk di samping pilot helikopter
polisi. Heli itu mengelilingi menara Government House, lalu membelok dan
bergerak ke utara, ke arah Hotel Hilton.
"Maaf, Madam," si pilot berkata sopan, "tapi itu
224 tidak dibenarkan. Kita akan melanggar batas ketinggian minimum."
"Ini terlalu tinggi!" Ross berkeras. Ia menatap kotak di pangkuannya, yang
dilengkapi empat penunjuk arah digital, lalu menekan-nekan sejumlah switch.
Sementara itu, protes-protes keras dari menara pengawas bandara Nairobi
berderak-derak melalui radio.
"Sekarang ke timur, ke timur," Ross berkata. Helikopter yang ditumpanginya
langsung miring dan membelok ke timur, ke daerah pinggiran yang kumuh.
Elliot duduk di bangku belakang. Setiap kali helikopter membelok tajam, perut
Elliot serasa di-aduk-aduk. Kepalanya berdenyut-denyut, tapi ia sendiri yang
memaksa~ ikut. Ia satu-satunya orang yang sanggup menolong Amy, seandainya Amy
membutuhkan tindakan medis.
Ross berkata, "Saya menangkap sinyal," dan menunjuk ke arah timur laut.
Helikopter mereka melintas di atas gubuk-gubuk, bangkai-bangkai mobil, dan
jalan-jalan tanpa aspal. "Pelan-pelan sekarang, kurangi kecepatan."
Angka-angka pada kotak di pangkuannya berubah-ubah, sampai akhirnya serempak
menunjukkan angka nol. "Turun!" Ross berseru, dan helikopter itu mendarat di tengah-tengah tempat
pembuangan sampah yang luas.
Si pilot tidak beranjak dari tempat duduknya;
225 komentarnya pun tidak membesarkan hati. "Di mana ada sampah, di situ ada tikus."
"Saya tidak takut tikus," balas Ross. Ia langsung melompat turun sambil membawa
kotak tadi. "Di mana ada tikus, di situ ada kobra," si pilot menambahkan.
"Oh," ujar Ross.
Ia melintasi tempat pembuangan sampah bersama Elliot. Anginnya cukup kencang;
kertas-kertas dan plastik bekas beterbangan. Elliot merasa pening, bau-bauan
yang tercium membuatnya mual.
"Kita sudah dekat," Ross berkata sambil. menatap kotaknya. "Ini dia!"
Ia membungkuk dan mulai mengobrak-abrik sampah, menggali-gali sampai lengannya
terbenam ke sampah sampai sebatas siku.
Akhirnya ia berhasil menemukan sebuah kalung kalung yang diberikannya pada Amy?ketika mereka menaiki pesawat di San Francisco. Ia segera memeriksa lempengan
plastik dengan nama Amy yang terpasang pada kalung itu. Bagian belakangnya
ternyata tergores-gores. Baru sekarang Elliot memperhatikan bahwa lempengan
tersebut agak tebal. "Sial," ujar Ross. "Enam belas menit hilang sia-sia." Ia langsung kembali ke
helikopter. Elliot menyusulnya. "Tapi bagaimana kita bisa menemukan Amy kalau pemancar di
kalungnya sudah dibuang?"
"Orang selalu memasang lebih dari satu pemancar," jawab Ross. "Yang ini hanya
umpan. Saya 226 sudah memperkirakan mereka akan menemukannya." Ia menunjuk goresan-goresan di
bagian belakang. "Tapi mereka cerdik. Mereka mengubah frekuensinya."
"Jangan-jangan pemancar kedua juga sudah dibuang," ujar Elliot.
"Tidak mungkin," balas Ross. Helikopter mereka lepas landas lagi, angin yang
ditimbulkan oleh baling-balingnya membuat kertas-kertas dan plastik di bawah
beterbangan ke segala arah. Ross menempelkan mikrofonnya ke mulut dan berkata
pada si pilot, "Bawa saya ke tempat penimbunan besi tua paling besar di
Nairobi." Sembilan menit kemudian mereka menangkap si-nyal yang sangat lemah dari sebuah
tempat penimbunan bangkai mobil. Helikopter mereka mendarat di jalanan di luar
tempat itu, dan segera dikelilingi lusinan anak> kecil yang riuh. Ross dan
Elliot masuk ke tempat penimbunan, melewati tumpukan bangkai mobil dan truk.
"Anda yakin dia ada di sini?" tanya Elliot.
"Saya jamin itu. Mereka pasti menahan Amy di tengah-tengah tumpukan logam, itu
satu-satunya cara." "Kenapa begitu?"
"Karena logam meredam sinyal dari pemancar-nya." Ross berjalan di antara
bangkai-bangkai mobil. Sebentar-sebentar ia berhenti untuk menatap kotak
elektroniknya. 227 Kemudian Elliot mendengar bunyi mendengus.
Bunyi itu berasal dari dalam bus Mercedes tua yang telah dimakan karat. Elliot
membuka pintu bus yang nyaris copot dari engselnya, lalu melangkah masuk. Ia
menemukan Amy di bangku paling belakang, terikat pita perekat. Amy tampak grogi,
tapi memprotes keras ketika Elliot melepaskan pita perekat yang menempel pada
bulunya. Kemudian Elliot menemukan ujung jarum suntik yang patah di dada kiri Amy, dan
mencabutnya dengan tang. Amy memekik, lalu memeluk Elliot. Di kejauhan terdengar
sirene polisi meraung-raung.
"Tenang saja, Amy. Tenang saja," ujar Elliot, lalu memeriksanya dengan lebih
saksama. Kondisi Amy tampaknya baik-baik saja.
Dan akhirnya ia bertanya, "Mana pemancar yang satu lagi?"
Ross cengar-cengir. "Dia menelannya."
Kini, setelah Amy dalam keadaan aman, Elliot mulai naik darah. "Anda menyuruh
*dia menelannya" Menelan alat pemancar elektronik" Apa Anda tidak sadar bahwa
Amy sangat rapuh dan kesehatannya harus dijaga terus?"
"Jangan marah dulu," balas Ross. "Masih ingat pil vitamin yang saya berikan pada
Anda" Anda juga menelan satu." Ia menatap arlojinya. "Tiga puluh dua menit," ia
berkata. "Lumayan. Masih ada waktu empat puluh menit sebelum kita harus bertolak
dari Nairobi." 228 8 Munro duduk di dalam pesawat 747 sambil menekan tombol-tombol komputer. Ia
mengamati garis-garis yang saling menyilang pada peta-peta, memperhatikan tolok-
tolok waktu dan koordinat-koor-dinat yang muncul pada layar.
Komputernya sedang membandingkan semua rute yang mungkin ditempuh oleh ekspedisi
mereka, dan setiap rute selesai dianalisis dalam waktu sepuluh detik. Hasil
perhitungannya kemudian ditampilkan pada layar biaya, kesulitan logistik, ?masalah suplai, waktu tempuh total dari Houston, dari Posisi Sekarang (Nairobi),
tempat mereka kini berada.
Mencari-cari alternatif terbaik.
Zaman telah berubah, kata Munro dalam hati. Lima tahun lalu, ekspedisi-ekspedisi
masih didasarkan atas dugaan-dugaan dan nasib baik. Tapi kini semua ekspedisi
melakukan perencanaan realtime dengan bantuan komputer; mau tak mau Munro pun
harus mempelajari BASIC dan TW/
229 POSISI SEKARANG GESHUND serta berbagai bahasa interaktif lainnya. Tak ada lagi yang mengandalkan
naluri se-mata-mata. Zaman memang telah berubah.
Perubahan-perubahan itulah yang mendorong Munro bergabung dengan ekspedisi ERTS,
meski dengan demikian ia terpaksa bekerja sama dengan Karen Ross yang keras
kepala dan belum berpengalaman. Tapi ERTS memiliki database paling lengkap serta
program-program perencanaan yang paling canggih. Munro percaya bahwa untuk jang-
ka panjang, program-program tersebut akan merupakan faktor penentu antara sukses
dan kegagalan. Ia juga lebih menyukai tim kecil. Setelah pihak konsorsium sampai
di lapangan, rombongan mereka yang berjumlah tiga puluh orang akan terbukti
merepotkan. Tapi ia harus mencari jalur yang dapat ditempuh dalam waktu lebih singkat. Ia
menentukan berbagai lintasan, persimpangan, dan titik pertemuan. Lalu, dengan
mata terlatih, ia mulai mencoret alternatif demi alternatif. Ia mencoret jalan
setapak, menutup bandara, menghapus jalur truk, menghindari penyeberangan
sungai. Tolok waktu hasil perhitungan komputer terus dipersingkat, namun dari Posisi
Sekarang (Nairobi), hasilnya tetap terlalu lama. Pada alternatif terbaik, mereka
akan tiba 37 menit lebih dulu dari pihak konsorsium selisih yang tidak berarti.
?Munro mengerutkan kening dan menyalakan ce -
230 rutu. Barangkali kalau mereka menyeberang Sungai Liko di Mugana...
Munro menekan sejumlah tombol.
Ternyata sia-sia. Upaya menyeberangi Sungai Liko justru membuat mereka lebih
lambat. Munro mencoba jalur melalui Lembah Goroba, meskipun ia sadar jalur itu
terlalu berbahaya untuk ditempuh.
JALUR USULAN TERLALU BERBAHAYA.
"Ternyata kita sependapat," ujar Munro sambil mengepulkan asap cerutu. Namun
dalam hati ia mulai bertanya-tanya, adakah alternatif-alternatif lain,
alternatif-alternatif tidak lazim, yang luput dari perhatian mereka" Dan tiba-
Kongo Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
tiba saja sebuah ide muncul dalam benaknya.
Yang lain pasti takkan suka, tapi siapa tahu berhasil.
Munro menampilkan daftar perlengkapan logistik pada layar komputer. Ya,
perlengkapan yang dibutuhkan ternyata tersedia. Kemudian ia memasukkan data
jalur bam, dan sambil tersenyum ia memperhatikan sebuah garis lums melintasi
benua Afrika, beberapa kilometer dari tempat tujuan mereka. Munro segera minta
perhitungan waktu tem-puh.
JALUR USULAN TIDAK DAPAT DITEREvlA.
Ia menekan tombol override dan memperoleh perhitungan yang dimintanya. Hasilnya
ternyata 231 persis seperti yang diduganya mereka dapat mengalahkan pihak konsorsium dengan ?selisih waktu empat puluh jam. Hampir dua hari! , Komputernya menampilkan
pernyataan semula: JALUR USULAN TIDAK DAPAT DITERIMA FAKTOR KETINGGIAN RISIKO TERHADAP PERSONIL
PELUANG SUKSES DI BAWAH BATAS MINIMUM
Kali ini Munro tidak sependapat. Ia percaya mereka memiliki peluang cukup besar
untuk berhasil, terutama jika cuaca mendukung. Faktor ketinggian takkan jadi
masalah; medan yang dilalui memang berat, namun dapat dilewati.
Malahan, semakin lama memikirkannya, Munro semakin yakin cara itu akan berhasil.
232 9 Boeing 747 kargo bermesin jet dan pesawat Fok-ker S-144 bermesin baling-baling
yang diparkir berdampingan itu tampak seperti induk dan anak. Dua pelataran
kargo bergerak naik-turun tanpa henti, orang-orang sibuk memindahkan peralatan
dari pesawat yang lebih besar ke pesawat yang lebih kecil. Ketika kembali ke
bandara, Ross memberi tahu Elliot bahwa mereka akan menggunakan pesawat yang
lebih kecil, karena 747 itu harus dibersihkan dari alat penyadap, dan juga
"terlalu besar" untuk kebutuhan mereka sekarang.
"Tapi pesawat jet pasti lebih cepat," ujar Elliot.
"Belum tentu," balas Ross, tanpa memerinci maksudnya.
Elliot sendiri tidak menuntut penjelasan lebih lanjut. Ia segera menuntun Amy
naik ke pesawat Fokker, lalu memeriksanya dengan teliti. Sepertinya seluruh
tubuh Amy memar-memar ia mengeluh semuanya terasa sakit saat Elliot menyen -
? 233 KEBERANGKATAN tuhnya tapi tak ada tulang yang patah, dan ia pun tidak tampak lesu.?Beberapa laki-laki hitam sedang mengangkut perlengkapan ke dalam pesawat sambil
tertawa-tawa dan saling menepuk punggung. Amy tertarik pada mereka, dan bertanya
Apa lucu" Tapi mereka tidak menggubrisnya dan tetap berkonsentrasi pada
pekerjaan mereka. Karena masih di bawah pengaruh obat bius, tak lama kemudian
Amy tertidur. Ross mengawasi kegiatan bongkar-muat, dan Elliot menuju ekor pesawat, tempat
Ross sedang berbincang-bincang dengan seorang laki-laki hitam yang riang
gembira. Ross memperkenalkannya sebagai Kahega.
"Ah," kata Kahega sambil bersalaman dengan Elliot. "Dr. Elliot. Dr. Ross dan Dr.
Elliot, dua dokter, bagus sekali."
Elliot tidak langsung menangkap maksudnya. "Apanya yang bagus sekali?"
Kahega tertawa berderai-derai. "Samarannyaf" ia berseru. "Lain sekali dengan
Kapten Munro dulu. Sekarang dua dokter misi kemanusiaan, ya" Bagus, bagus. Mana
?'obat-obatan' yang akan Dokter bawa?" Ia mengedipkan sebelah mata.
"Kami tidak bawa obat-obatan." Ross menghela napas.
"Oh, bagus sekali, Dokter. ISaya suka cara Dokter," ujar Kahega. "Dokter dari
Amerika, ya" Apa kita bawa M-16" Senapan bagus, M-16. Saya paling suka."
234 "Kahega pikir kita menyelundupkan senjata," Ross memberitahu Elliot. "Dia tak
mau percaya kita bukan pedagang senjata."
Kahega tertawa. "Dokter ikut Kapten Munro," ia berkomentar, seakan-akan itu
menjelaskan semuanya. Kemudian ia pergi untuk menemui para pekerja yang lain.
"Anda yakin kita tidak membawa senjata selun-dupan?" Elliot bertanya setelah
Kahega berlalu "Kita mencari sesuatu yang lebih berharga daripada senapan," ujar Ross. Ia
sedang menyusun kembali perlengkapan yang akan mereka bawa. Elliot menawarkan
bantuan, tapi Ross menggelengkan kepala. "Ini harus saya kerjakan sendiri.
Beratnya harus dikurangi sampai dua puluh kilo per orang."
"Dua puluh kilo" Untuk semuanya?"
"Itu batas maksimum yang diizinkan komputer. Munro menyewa Kahega dan tujuh
pengangkut lainnya. Semuanya anggota suku Kikuyu. Dengan kita bertiga, itu
berarti sebelas orang, ditambah Amy dia juga akan membawa dua puluh kilo. Jadi,
?beban keseluruhan yang bisa dibawa adalah 240 kilo." Ross kembali menimbang
paket-paket berisi bahan makanan.
Elliot agak khawatir setelah mendengar penjelasan itu. Rencana mereka kembali
berubah, dan sepertinya semakin berbahaya. Ia sempat mempertimbangkan untuk
mengundurkan diri, namun berubah pikiran ketika teringat makhluk berbulu ke -
235 Iabu yang menyerupai gorila, makhluk yang di-duga merupakan jenis binatang baru
yang belum dikenal. Elliot merasa pantas mengambil risiko untuk penemuan seperti
itu. Ia menatap para pengangkut yang tampak di luar jendela. "Mereka orang
Kikuyu?" "Ya," jawab Ross. "Mereka ulet, walaupun cerewet. Orang Kikuyu gemar mengobrol.
Oh ya, mereka semua kakak-beradik, jadi hati-hati kalau bicara. Moga-moga Munro
tidak perlu bercerita terlalu banyak."
"Pada orang-orang Kikuyu itu?"
"Bukan, pada NCNA."
"NCNA," Elliot mengulangi.
"Orang-orang Cina. Mereka sangat tertarik pada komputer dan teknologi
elektronik," ujar Ross. "Munro harus memberitahukan sesuatu pada mereka, sebagai
imbalan atas informasi yang mereka berikan padanya." Ross menunjuk ke jendela.
Elliot memandang ke luar dan melihat Munro sedang berdiri di bawah sayap pesawat
kargo, berbicara* dengan empat laki-laki Cina.
"Nih," kata Ross, "tolong simpan ini di pojok sana." Ia menunjuk tiga karton
styrofoam berukuran besar dengan tulisan AMERICAN SPORT DIVERS, LAKE ELSINORE,
CALIF. "Kita akan bekerja di bawah air?" Elliot bertanya sambil terheran-heran.
Tapi Ross tidak memperhatikannya. "Kalau saja saya bisa tahu apa yang
dikatakannya pada me - 236 reka," ia bergumam. Ternyata Ross tidak perlu khawatir, sebab Munro membayar
orang-orang Cina dengan sesuatu yang jauh lebih berharga bagi mereka
dibandingkan informasi mengenai peralatan elektronik.
Pesawat Fokker itu lepas landas pukul 14.24, tiga menit lebih cepat daripada
jadwal mereka yang baru. Dalam enam belas jam setelah pembebasan Amy, ekspedisi ERTS menempuh perjalanan
sejauh 840 kilometer melintasi perbatasan empat negara Kenya, Tanzania, ?Rwanda, dan Zaire. Mereka terbang dari Nairobi ke Hutan Barawanda, di tepi hutan
ray a Kongo. Masalah logistik yang menyertai perjalanan itu takkan dapat diatasi
tanpa bantuan pihak luar. Munro bercerita bahwa ia mempunyai "teman-teman di
tempat rendah", dan kali ini ia berpaling pada Dinas Rahasia Cina di Tanzania.
Sudah sejak awal tahun 1960-an orang-orang Cina hadir di Afrika. Saat itu
jaringan mata-mata mereka berusaha mempengaruhi jalannya perang saudara Kongo,
karena Cina mengharapkan akses terhadap cadangan uranium di negara tersebut.
Gerakan-gerakan di lapangan dikendalikan melalui Bank of China atau, lebih
sering, lewat New China News Agency. Munro sempat berurusan dengan sejumlah
"koresponden perang" NCNA ketika menyelundupkan senjata antara tahun 1963
237 dan 1968, dan ia terus memelihara kontak-kon-taknya.
Komitmen keuangan Cina terhadap Afrika Iu-mayan besar. Di akhir tahun 1960-an,
lebih dari setengah dana bantuan Cina, yang berjumlah dua miliar dolar, mengalir
ke negara-negara Afrika. Jumlah yang sama besarnya diberikan secara rahasia;
tahun 1973, Mao Tse-tung sempat mengeluh di depan umum tentang uang yang hilang
sia-sia dalam usaha menggulingkan pemerintahan Zaire di bawah kepemimpinan
Presiden Mobutu. Kehadiran Cina di Afrika sesungguhnya bertujuan untuk mengimbangi pengaruh
Rusia, tapi sejak Perang Dunia II hubungan Cina-Jepang tak bisa dikatakan mulus,
dan keinginan Munro untuk mengalahkan konsorsium Euro-Jepang pun disambut dengan
tangan terbuka. Untuk merayakan per-sekutuan itu, Munro membawa tiga kardus ber-
noda minyak dari Hong Kong.
Kedua pimpinan Dinas Rahasia Cina di Afrika, Li T'ao dan Liu Shu-wen, sama-sama
berasal dari Provinsi Hunan. Mereka kurang suka ditempatkan di Afrika, karena
masakan Afrika tidak cocok dengan lidah mereka. Dengan senang hati mereka
menerima pemberian Munro berupa sekotak jamur kuping, sekotak tauco pedas, dan
sekotak sambal ulek dengan bawang putih. Hadiah itu menciptakan suasana
mendukung untuk berbincang-bincang secara informal.
Orang-orang NCNA membantu Munro dengan
238 mengurus surat-surat, mencarikan peralatan yang sukar diperoleh, dan informasi.
Mereka memiliki peta-peta yang sangat akurat, serta informasi mendetail tentang
kondisi di sepanjang perbatasan timur laut Zaire sebab mereka turut membantu ?pasukan Tanzania yang menyerbu Uganda. Mereka juga memberitahu Munro bahwa
sungai-sungai di hutan sedang banjir, dan menyarankan ia membawa balon untuk
menyeberang. Tapi Munro tidak mengikuti nasihat mereka; sepertinya ia sudah
menyiapkan rencana untuk mencapai tempat tujuannya tanpa perlu menyeberangi
sungai mana pun. Namun caranya tetap merupakan tanda tanya bagi orang-orang Cina
itu. Pukul 22.00 tanggal 16 Juni, pesawat yang membawa rombongan ERTS mendarat di
Bandara Rawamagena, di dekat Kigali di Rwanda, untuk mengisi bahan bakar.
Petugas pengatur lalu lintas udara setempat menaiki pesawat Fokker itu dengan
membawa clipboard dan sejumlah formulir, dan menanyakan tujuan berikut mereka.
Munro menjawab Bandara Rawamagena, yang berarti mereka akan lepas landas, lalu
kembali tanpa singgah di tempat lain.
Elliot mengerutkan kening. "Tapi kita akan mendarat di suatu tempat di..."
"Ssst," Ross mendesis sambil menggelengkan kepala. "Biarkan saja."
Petugas itu tampak puas dengan jawaban
239 Munro; ia segera pergi setelah pilot pesawat Fok-ker menandatangani formulir-
formulir yang diso-dorkan padanya. Ross kemudian menjelaskan bahwa para petugas
pengatur lalu lintas udara di Rwanda sudah terbiasa menghadapi laporan rencana
penerbangan yang tidak lengkap. "Dia hanya ingin tahu kapan kita kembali ke
sini. Selebihnya bukan urusannya."
Pelayanan di Bandara Rawamagena ternyata lamban. Mereka harus menunggu dua jam
sebelum bahan bakar siap diisi, namun Ross yang biasanya serba tidak sabar,
menunggu dengan tenang. Munro pun tidur-tiduran tanpa menghiraukan penundaan
itu. "Bagaimana dengan tolok waktu kita?" tanya Elliot.
"Tak ada masalah," sahut Ross. "Kita toh baru bisa lepas landas tiga jam lagi.
Kita harus menunggu sampai hari terang di atas Mukenko."
"Lapangan terbang yang kita tuju ada di sana?" Elliot kembali bertanya.
"Istilah lapangan terbang terlalu gagah," Munro berkomentar. Ia menutup wajah
dengan topinya dan tidur lagi.
Elliot langsung curiga. Tapi Ross kemudian menjelaskan bahwa sebagian besar
lapangan terbang perintis di Afrika hanya berupa lintasan ta-nah di tengah
hutan. Para pilot tak bisa mendarat pada malam hari, karena landasan sering kali
terhalang binatang-binatang liar, perkemahan suku
240 pengembara, atau pesawat lain yang mendarat lebih dulu dan tidak bisa lepas
landas lagi. "Kita harus menunggu sampai terang," Ross menegaskan. "Karena
itulah kita menunggu di sini. Jangan khawatir, semuanya sudah diperhitungkan."
Elliot menerima penjelasan itu, lalu pergi untuk memeriksa keadaan Amy. Ross
menghela napas. "Bukankah dia perlu diberitahu?" ia bertanya pada Munro.
"Untuk apa?" Munro menyahut tanpa menggeser topinya.
"Barangkali akan ada masalah dengan Amy."
"Saya yang akan menangani Amy," ujar Munro.
"Ell|ot pasti kaget kalau mendengar rencana kita," kata Ross.
"Tentu saja dia akan kaget," jawab Munro. "Tapi tak ada gunanya membuat dia
kaget dari sekarang. Dan jangan lupa, dengan cara ini kita bisa menghemat waktu
banyak." "Paling tidak empat puluh jam. Memang berbahaya, tapi perhitungan waktu tempuh
jadi berubah total. Kita masih punya kesempatan untuk mengalahkan mereka."
"Nah, apa lagi yang perlu dipikirkan?" tanya Munro. "Sebaiknya Anda diam saja
dan beristirahat sekarang."
241 HARI 5 MORUTI 17 Juni 1979 di scan dan di djvu kan unluk
1 dlmhader (dimhad.co.cc) oleh
ZAIRE Dilarang meng-komersil-kan atau kesialan in en imp a anda selamanya
Lima jam setelah mereka bertolak dari Rawamagena, pemandangan mulai berubah.
Sesudah Goma, di dekat perbatasan Zaire, mereka mulai melintasi ujung timur
hutan raya Kongo. Elliot memandang ke luar jendela, terkagum-kagum.
Dalam cahaya pagiyang suram, ia melihat gumpalan-gumpalan kabut tipis
menyelubungi atap dedaunan. Sesekali ada sungai berlumpur yang me-liuk-liuk,
atau jalan tanah yang menyerupai garis merah. Tapi sebagian besar pemandangan
yang kelihatan di bawah berupa hutan lebat, membentang sejauh mata memandang.
Pemandangannya membosankan, tapi sekaligus membuat hati kecut. Siapa pun akan
merasa jeri jika menghadapi alam yang demikian luas dan monoton. Siapa pun akan
mengakui bahwa hutan raya itu membuat kota-kota terbesar di bumi serta semua
ciptaan umat manusia lainnya jadi tampak kecil dan tak berarti. Masing-masing
pohon memiliki batang berdiameter dua belas meter, yang
245 menjulang setinggi enam puluh meter; ruang yang ternaungi oleh dahan-dahannya
dapat menampung sebuah gereja katedral. Dan Elliot tahu bahwa hutan itu
membentang hampir tiga ribu kilometer, sampai ke tepi Samudra Atlantik di
pesisir barat Zaire. Sejak awal Elliot telah mengantisipasi reaksi Amy saat pertama melihat hutan,
habitatnya yang asli. Amy memandang ke luar jendela tanpa berkedip. Ia memberi
isyarat Ini hutan tanpa memperlihatkan emosi, seakan-akan" sedang memperhatikan
kartu-kartu berwarna atau benda-benda yang disebarkan di lantai karavannya di
San Francisco. Ia mengenali hutan dan memberi isyarat yang te-pat, tapi
sepertinya hutan itu tidak mempunyai arti khusus. baginya.
Elliot bertanya, "Amy suka hutan?"
Ini hutan, balas Amy. Hutan sini.
Elliot terus mendesak, menggali-gali konteks emosional yang ia yakin terdapat
dalam diri Amy. Amy suka hutan"
Hutan sini. Ini hutan. Tempat hutan sini Amy lihat hutan sini.
Elliot mencoba cara lain. "Amy tinggal hutan sini?"
Tidak. Tanpa ekspresi. "Amy tinggal mana?"
Amy tinggal rumah Amy. Yang dimaksudnya adalah karavan di San Francisco.
Amy mengendurkan sabuk pengaman dan me -
246 mandang ke luar sambil bertopang dagu. Ia memberi isyarat, Amy mau rokok.
Rupanya ia melihat Munro sedang mengepulkan asap cerutu.
"Nanti, Amy," ujar Elliot.
Pukul tujuh pagi, mereka terbang melintasi atap-atap seng di kompleks
pertambangan timah dan tantalum di Masisi. Munro, Kahega, dan para pengangkut
lain pergi ke bagian belakang pesawat. Mereka mengotak-atik perlengkapan
ekspedisi sambil bercakap-cakap dalam bahasa Swahili.
Amy, yang melihat mereka pergi, memberi isyarat, Mereka cemas.
"Cemas tentang apa, Amy?" Mereka cemas orang cemas mereka cemas masalah. Tak
lama kemudian Elliot menyusul ke ekor pesawat. Ia menemukan anak buah Munro
setengah tertimbun di bawah tumpukan jerami. Mereka sedang memasukkan peralatan
ke wadah-wadah kain katun berbentuk memanjang, menyerupai torpedo, lalu
mengganjal semuanya dengan jerami. "Apa itu?" Elliot bertanya sambil menunjuk
torpedo-torpedo kain tersebut.
"Kontainer Crosslin," jawab Munro. "Kuat sekali."
"Saya belum pernah melihat perlengkapan dipak seperti ini," ujar Elliot sambil
memperhatikan para pengangkut bekerja. "Tampaknya mereka berusaha keras
melindungi perlengkapan kita."
247 "Memang itu maksudnya," balas Munro singkat. Kemudian ia menuju kokpit untuk
berbicara dengan pilot mereka.
Kongo Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Amy memberi isyarat, Orang bulu hidung bo-hong Peter. Orang bulu hidung adalah
julukannya untuk Munro, tapi Elliot tidak menanggapi komentar itu. Ia berpaling
pada Kahega. "Berapa lama sampai kita mendarat?"
Kahega menoleh. "Mendarat?"
"Di Mukenko." Kahega berpikir sejenak. "Dua jam lagi," ia menyahut. Kemudian ia tertawa
cekikikan. Ia mengatakan sesuatu dalam bahasa Swahili, dan semua saudaranya ikut
tertawa. "Oh, Dokter," ujar Kahega sambil menepuk punggung Elliot. "Dokter ini memang
lucu." Pesawat mereka membelok. Kahega dan saudara-saudaranya memandang ke luar
jendela, dan Elliot mengikuti contoh mereka. Mula-mula hanya ada hutan lebat,
lalu ia melihat iring-iringan jip hijau yang sedang menyusuri jalan berlumpur,
jauh di bawah mereka. Sepintas lalu kelihatannya seperti konvoi kendaraan
militer. Ia mendengar kata "Muguru" diucapkan beberapa kali.
"Ada apa?" tanya Elliot. "Ini Muguru?"
Kahega menggelengkan kepala. "Bukan. Pilot brengsek, saya harus kasih tahu
Kapten Munro, pilot kita tersesat."
"Tersesat?" Elliot mengulangi. Kata itu membuatnya merinding.
248 Kahega tertawa. "Kapten Munro kasih unjuk arah nanti."
Pesawat mereka kini sedang terbang ke timur, menjauhi hutan raya dan mengarah ke
daerah dataran tinggi berbukit-bukit. Kakak-adik Kahega as-yik mengobrol dan
saling menepuk punggung. Sepertinya mereka bergembira ria.
Kemudian Ross muncul kembali. Ia berjalan dengan langkah panjang, roman mukanya
tegang. Ia membongkar sejumlah kardus dan mengeluarkan beberapa bola kertas
timah seukuran bola basket.
Kertas timah itu mengingatkan Elliot pada hiasan pohon Natal. "Untuk apa itu?"
ia bertanya. Sedetik kemudian ia mendengar ledakan pertama dan pesawat mereka terguncang
keras. Elliot berlari ke jendela dan melihat jalur uap putih yang membentuk garis
lurus, diakhiri awan asap hitam di sebelah kanan mereka. Pesawat Fok-ker itu
membelok tajam dan miring ke arah hutan. Elliot melihat jalur uap kedua muncul
dari tengah pepohonan di bawah.
Sebuah rudal, ia menyadari. Sebuah peluru kendali.
"Ross!" Munro berseru. "Siap!" balas Ross.
Percakapan singkat itu diikuti ledakan merah, dan pandangan Elliot melalui
jendela mendadak terhalang asap tebal. Pesawat mereka terguncang -
249 guncang oleh ledakan itu, tapi terus membelok. Elliot tercengang. Seseorang
sedang menembaki mereka dengan peluru kendali.
"Mereka pakai radar!" Munro berseru. "Bukan sistem optikal! Radar!"
Ross memungut dua bola kertas timah dan me-nuju ekor pesawat. Kahega membuka
pintu belakang, dan seketika angin kencang mulai menerpa.
"Ada apa ini?" tanya Elliot.
"Jangan khawatir," seru Ross. "Ini takkan me-ngacaukan jadwal kita." Kemudian
terdengar bunyi mendesis, diikuti ledakan ketiga. Ross membuka lapisan
pembungkus bola-bola yang dibawanya, lalu melemparkan keduanya ke luar pesawat.
Dengan mesin meraung-raung, pesawat Fokker itu membelok 12 kilometer ke selatan,
naik ke ketinggian 3.600 meter, lalu berputar-putar di atas hutan. Setiap kali
berputar, Elliot melihat potongan-potongan kertas timah mengapung di udara,
bagaikan awan logam berkilau-kilau. Dua roket lagi meledak di tengah awan itu.
Dari jauh pun kebisingan dan guncangan yang timbul terasa mengganggu bagi Amy;
ia berayun maju-mundur di kursinya sambil mendengus-dengus pelan.
"Itu chaff," Ross menjelaskan. Ia sudah duduk menghadapi konsol komputernya dan
menekan-nekan tombol. "Untuk mengecoh persenjataan yang menggunakan sistem
radar. Rudal-rudal yang ditembakkan akan menyangka kita ada di tengah awan itu."
250 Elliot serasa sedang bermimpi. Kejadian yang mereka alami tidak masuk akal.
"Tapi siapa yang menembaki kita?"
"Kemungkinan besar FZA," jawab Munro. "Forces Zairoises Armoises angkatan ?bersenjata Zaire."
"Pasukan Zaire" Kenapa?"
"Ini cuma kekeliruan," Ross berkata tanpa menoleh. Ia masih sibuk menekan-nekan
tombol. "Kekeliruan" Mereka menembaki kita dengan rudal darat-udara, dan Anda bilang ini
kekeliruan" Kenapa Anda tidak menghubungi mereka melalui radio untuk memberitahu
bahwa mereka keliru?"
"Tidak bisa," sahut Ross.
"Kenapa tidak?"
"Sebab," Munro angkat bicara, "kita tidak melaporkan rencana penerbangan sebelum
berangkat dari Rawamagena. Artjnya, secara teknis kita memang melanggar ruang
udara Zaire." "Ya Tuhan," ujar Elliot.
Ross diam saja. Ia terus mengotak-atik komputer untuk menghilangkan garis
gangguan yang tampak pada layar.
"Waktu saya memutuskan untuk bergabung dengan ekspedisi ini," kata Elliot dengan
nada me-ninggi, "saya tak menyangka pesawat yang saya tumpangi akan digempur
dengan peluru kendali."
"Saya juga begitu," balas Ross. "Kelihatannya kita senasib."
Sebelum Elliot sempat menyahut, Munro me -
251 rangkul pundaknya dan menariknya menjauh. "Tenang saja," ia berkata pada Elliot.
"Mereka memakai rudal buatan tahun enam puluhan yang sudah ketinggalan zaman.
Sebagian besar rudal-rudal itu meledak karena bahan bakar padat yang sudah
kedaluwarsa. Kita tidak terancam bahaya. Sebaiknya Anda temani Amy saja, dia
butuh bantuan Anda. Saya akan membantu Ross."
Ross berada di bawah tekanan luar biasa. Pesawat mereka terus berputar-putar dua
belas kilometer dari awan chaff, dan ia harus segera mengambil keputusan.
Padahal serangan yang mereka alami merupakan pukulan berat yang sama sekali tak
terduga. Sejak awal, konsorsium Euro-Jepang sudah berada di depan mereka, kira-kira
delapan belas jam dan dua puluh menit. Sebelum bertolak dari Nairobi, Munro dan
Ross berhasil menyusun rencana yang bukan saja menghapus keunggulan la-wan, tapi
juga memungkinkan tim ERTS mencapai lokasi empat puluh jam lebih cepat dari
pihak konsorsium. Rencana ini yang karena alasan-alasan tertentu tidak ?diberitahukan pada Elliot mengharuskan mereka melakukan terjun payung ke
?lereng selatan Gunung Mukenko yang tandus.
Menurut taksiran Munro, perjalanan dari Mukenko ke Kota Hilang dapat ditempuh
dalam 36 jam; Ross memperkirakan mereka akan terjun pukul 14.00. Tergantung
lapisan awan di atas 252 Mukenko 'serta lokasi penerjunan, mereka dapat mencapai kota itu tengah hari
tanggal 19 Juni. Rencana itu sangat berbahaya. Mereka akan menerjunkan orang-orang tak terlatih
ke daerah liar yang berjarak lebih dari tiga hari berjalan kaki dari kota
terdekat. Jika salah satu dari mereka mengalami cedera serius, kemungkinan besar
orang bersangkutan takkan selamat. Lalu masih ada tanda tanya mengenai
perlengkapan mereka: tahanan udara pada ketinggian 2.400-3.000 meter lebih
rendah, sehingga kontainer-kontainer Crosslin mungkin tidak dapat memberikan
perlindungan yang memadai.
Mula-mula Ross pun menganggap rencana Munro terlalu berbahaya, namun Munro
berhasil meyakinkannya bahwa^ rencana tersebut layak di-coba. Ia menjelaskan
bahwa parafoil mereka membuka secara otomatis karena dilengkapi altimeter; abu
gunung berapi di sekitar puncak Mukenko seempuk pasir pantai; kontainer-
kontainer Crosslin dapat diberi lapisan pelindung tambahan; dan ia bisa
menggendong Amy saat terjun.
Ross lalu menganalisis rencana Munro melalui komputer di Houston, dan hasilnya
ternyata meyakinkan. Peluang penerjunan mereka akan berhasil adalah .7980;
berarti kemungkinan salah satu dari mereka akan mengalami cedera parah adalah
satu banding lima. Namun, jika penerjunan itu berhasil, peluang ekspedisi mereka
akan sukses adalah .9943, sehingga hampir bisa dipastikan me-253
reka akan tiba lebih dulu di lokasi daripada pihak konsorsium.
Tak satu alternatif lain pun meraih nilai setinggi itu. Ross mengamati data yang
terkumpul dan berkata, "Kelihatannya kita akan terjun."
"Kelihatannya begitu," ujar Munro.
Penerjunan itu memecahkan beberapa masalah sekaligus, sebab laporan-laporan dari
Houston menunjukkan bahwa perkembangan terakhir semakin tidak menguntungkan.
Pemberontakan suku Kigani telah dikonfirmasikan; sikap suku pygmy dilaporkan
tidak menentu; angkatan bersenjata Zaire telah mengirim pasukan bersenjata berat
ke perbatasan timur untuk menundukkan suku Kigani, dan pasukan tempur Afrika
terkenal gemar menembak. Dengan terjun di atas Mukenko, mereka hendak melewati
semua ancaman tersebut. Tapi itu sebelum rudal-rudal pasukan Zaire mulai meledak di sekitar mereka.
Mereka masih ber-ada 120 kilometer di sebelah selatan lokasi penerjunan,
berputar-putar di atas wilayah kekuasaan suku Kigani, membuang-buang waktu dan
bahan bakar. Rencana mereka yang berani, yang disusun secara hati-hati dan telah
memperoleh konfirmasi komputer, mendadak mentah kembali.
Ross semakin repot karena tak bisa berunding dengan Houston. Komputernya tidak
berhasil mengadakan hubungan dengan satelit. Ia menghabiskan lima belas menit
dengan mengotak-atik komputer, menambah daya, dan berganti-ganti san -
254 di alat pengacak, sampai akhirnya ia menyadari bahwa transmisinya diblokir
secara elektronik. Untuk pertama kali sepanjang ingatannya, Karen Ross ingin menangis.
"Jangan panik," Munro berkata pelan-pelan, sambil mengangkat tangan Ross dari
keyboard. "Satu per satu saja. Tak ada gunanya Anda panik." Ross memang tampak
kalang kabut dan terus menekan-nekan tombol.
Munro menyadari bahwa baik Elliot maupun Ross semakin kehilangan pegangan. Ia
sudah pernah melihat kejadian serupa pada ekspedisi-ekspe-disi lain yang
melibatkan ilmuwan dan orang-orang berlatar belakang teknik. Para ilmuwan
terbiasa bekerja di laboratorium, tempat segala sesuatu dapat diatur dan
dipantau secara ketat. Cepat atau lambat mereka mulai percaya bahwa dunia luar
pun dapat dikendalikan seperti laboratorium. Kenyataan bahwa dunia luar
mengikuti aturan-aturannya sendiri dan tidak memedulikan mereka merupakan
pukulan psikis berat bagi orang-orang itu. Munro sudah bisa melihat tanda-
tandanya. "Tapi ini jelas-jelas bukan pesawat militer," ujar Ross. "Kenapa mereka tetap
menembaki kita?" Munro menatapnya tajam. Dalam perang saudara Kongo, pesawat-pesawat sipil secara
rutin ditembak jatuh oleh semua pihak yang bertikai. "Hal-hal seperti ini bisa
saja terjadi." "Dan soal gangguan transmisi" Bajingan-ba -
255 jingan itu tidak memiliki kemampuan memblokir saluran komunikasi canggih. Kita
diblokir antara pemancar dan transponder satelit. Untuk itu dibutuhkan satelit
lain, dan..." Ia terdiam dan mengerutkan kening.
"Anda tidak menyangka pihak konsorsium akan diam saja, bukan?" kata Munro.
"Masalahnya, apa-kah Anda bisa mengatasi gangguan ini" Apa yang akan Anda
lakukan?" "Tentu saja saya bisa mengatasinya," balas Ross. "Saya bisa menulis pesan sandi
dan meman-carkannya secara terpenggal-penggal, atau melakukan transmisi secara
optikal melalui gelombang inframerah tapi itu makan waktu, padahal kita butuh ?informasi sekarang. Rencana kita berantakan."
"Satu per satu," Munro mengulangi. Ia melihat roman muka Ross yang tegang, dan
ia tahu Ross tidak berpikir jernih. Ia juga tahu harus membiarkan Ross mengambil
keputusan sendiri; ia harus membuatnya tenang kembali.
Menurut Munro, ekspedisi ERTS sudah tamat mereka tak mungkin mengalahkan pihak
?konsorsium dan lebih dulu sampai di lokasi di Kongo. Tapi ia belum mau menyerah.
Sebagai pemimpin ekspedisi yang berpengalaman, ia tahu segala sesuatu bisa saja
terjadi. Karena itu ia berkata, "Kita masih bisa mengejar waktu yang hilang di
sini." "Mengejar waktu yang hilang" Bagaimana caranya?"
256 Munro mengucapkan hal pertama yang terlintas dalam benaknya, "Kita gunakan
perahu karet untuk menuju utara, lewat Sungai Ragora. Arusnya de-ras, persis
yang kita perlukan." -
"Sungai itu terlalu berbahaya."
"Kita lihat saja nanti," jawab Munro, meski sadar bahwa Ross benar. Sungai
Ragora memang terlalu berbahaya, terutama di bulan Juni, namun Munro sengaja
bersikap tenang dan penuh keyakinan. "Yang lain perlu diberitahu?" ia akhirnya
bertanya. "Ya," ujar Ross. Untuk kesekian kali terdengar ledakan roket di kejauhan. "Tak
ada gunanya ber-lama-lama di sini."
Dengan sigap Munro menuju bagian belakang pesawat dan berkata pada Kahega,
"Siapkan orang-orang."
"Oke, Bos," balas Kahega. Sebotol wiski di-edarkan, dan masing-masing minum satu
teguk panjang. Elliot bertanya, "Apa lagi ini?"
"Mereka sedang mempersiapkan diri," jawab Munro.
"Mempersiapkan diri" Mempersiapkan diri untuk apa?" Elliot mendesak.
Saat itu Ross muncul di belakang. Wajahnya tampak keras ketika ia mengumumkan,
"Setelah ini, kita akan berjalan kaki."
Elliot memandang ke luar jendela. "Mana lapangan terbangnya?"
257 "Tidak ada lapangan terbang," Ross menyahut. "Maksud Anda?"
"Maksud saya, tidak ada lapangan terbang."
"Lalu di mana pesawat kita akan mendarat?" Elliot kembali bertanya.
"Pesawat ini akan terus terbang," ujar Ross.
"Kalau begitu, bagaimana cara kita turun?" tanya Elliot, tapi saat mengucapkan
pertanyaan itu lututnya mendadak lemas, sebab ia telah mengetahui jawabannya.
"Jangan khawatir tentang Amy," Munro berkata riang, sambil mengencangkan tali
pengikat Amy yang melingkar pada dadanya. "Dia sudah saya beri suntikan
Thoralen, jadi dia akan tenang-tenang saja. Tak ada masalah. Saya akan me-
megangnya erat-erat."
"Menahannya erat-erat?" tanya Elliot.
"Dia terlalu kecil untuk tali pengikat ransel parasut," Munro menjelaskan. "Saya
terpaksa menggendongnya nanti." Amy mendengkur keras dan meneteskan air liur ke
pundak Munro, yang lalu menurunkannya ke lantai.
"Nah," kata Munro, "parafoil Anda akan membuka secara otomatis. Masing-masing
tangan Anda menggenggam seutas tali. Tarik tali kiri dan Anda akan membelok ke
kiri, tarik tali kanan dan Anda akan membelok ke kanan, dan..."
"Bagaimana dengan dia?" Elliot bertanya sambil menunjuk Amy.
258 "Saya yang akan menangani Amy. Perhatikan dulu sekarang. Kalau sampai ada
masalah, Anda punya payung cadangan di sini, di dada Anda." Ia menepuk buntalan
kain dengan kotak digital kecil berwarna hitam yang menunjukkan angka 4757.
"Altimeter ini sekaligus berfungsi sebagai pengukur kecepatan luncur, dan akan
membuka payung cadangan Anda secara otomatis jika Anda telah melewati ketinggian
1.080 meter dan masih meluncur dengan kecepatan melebihi setengah meter per
detik. Anda tak perlu khawatir: semuanya ser-ba otomatis."
Elliot bermandikan keringat dingin. "Bagaimana dengan pendaratannya?"
"Itu juga tak perlu dipikirkan." Munro nyengir lebar. "Anda akan mendarat dengan
sendirinya. Santai saja, jangan tegang, redam benturannya dengan kaki Anda. Ini
sama seperti melompat dari tembok setinggi tiga meter. Anda sudah sering
melakukannya." Elliot melihat pintu yang terbuka lebar di belakang Munro. Cahaya matahari yang
masuk terasa menyilaukan, dan mereka langsung diterpa angin kencang. Satu per
satu anak buah Kahega melompat ke luar. Elliot melirik ke arah Karen Ross yang
tampak pucat. Bibirnya gemetaran ketika ia berpegangan pada tepi pintu.
"Karen, Anda tentu tidak..."
Ross melompat, dan segera lenyap dalam sinar
259 matahari yang terang benderang. Munro berkata, "Giliran Anda sekarang."
"Saya belum pernah terjun payung," ujar Elliot.
"Malah kebetulan. Kalau begitu, Anda takkan takut."
"Saya bukan sekadar takut, saya..."
"Ah, itu soal mudah," Munro memotong, lalu mendorong Elliot ke luar.
Munro memperhatikan Elliot meluncur ke bawah, dan senyumnya langsung lenyap.
Sikap riang gembira yang semula diperlihatkannya semata-mata bertujuan untuk
membesarkan hati Elliot. Belakangan ia mengomentari kejadian tersebut, "Jika
seseorang harus melakukan hal berbahaya, ada baiknya kalau dia dalam keadaan
Kongo Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
marah .^Sebenarnya itu untuk perlindungannya sendiri. Lebih baik marah daripada
terkencing-kencing karena ngeri. Saya ingin Elliot tidak memikirkan apa pun
selain dendarrinya pada saya sampai saat mendarat." *
Munro memahami risiko yang mereka ambil.. Begitu melompat dari pesawat, mereka
juga meninggalkan dunia beradab dengan segala kemu-dahannya. Mereka akan
memasuki dunia yang berbeda, dunia yang lebih primitif dan berbahaya, yaitu alam
Kongo yang telah ada ratusan tahun sebelum mereka. "Itulah kenyataan yang akan
dihadapi," ujar Munro, "tapi saya merasa tak ada gunanya membuat yang lain
khawatir sebelum mereka melompat. Tugas saya adalah mengantar
260 orang-orang itu ke Kongo, bukan menakut-nakuti mereka. Untuk itu masih banyak
kesempatan lain." Elliot meluncur, dan ia ketakutan setengah mati
Perutnya seperti diaduk-aduk, dan ia merasakan pahitnya air empedu di Iidah;
angin berderu-deru di telinganya, mengacak-acak rambutnya; udara di-ngin
sekali dalam sekejap saja ia sudah menggigil. Hutan Barawana membentang di ?
bawahnya, mengikuti kontur tanah yang bergelombang. Tapi ia tak dapat menikmati
keindahan yang tampak di hadapannya, dan malah memejamkan mata karena meluncur
begitu kencang. Terlalu banyak waktu yang telah berlalu. Elliot yakin parafoil-nya. (apa pun
itu) takkan membuka. Nyawanya kini tergantung pada parasut yang terpasang di
dadanya. Ia langsung menggenggamnya erat-erat, sebuah buntalan kain di dekat
perutnya yang bergolak. Kemudian ia cepat-cepat menarik tangan. Ia tak ingin
menghalangi parasut saat membuka. Samar-samar ia teringat pernah ada orang yang
tewas karena melakukan kesalahan yang sama.
Angin terus berderu-deru; tubuhnya tetap meluncur dengan kecepatan mengerikan.
Ada apa dengan parasutnya" Ia merasakan angin menarik-narik kakinya, celananya,
kemejanya. Ada apa dengan parasutnya" Paling tidak tiga menit telah berlalu
sejak ia terjun dari pesawat. Ia tidak berani
261 membuka mata, takut melihat pepohonan, tempat hidupnya akan berakhir dalam
beberapa detik. Ia mau muntah.
Air empedu mengalir dari mulutnya, tapi berhubung ia meluncur dengan kepala di
bawah, cairan itu mengalir dari dagu ke tengkuk, lalu masuk ke kemejanya. Udara
dingin membeku. Tubuhnya menggigil tak terkendali.
Sekonyong-konyong ia tersentak ke posisi tegak.
Sepintas lalu ia menyangka telah menghantam tanah, tapi kemudian ia sadar bahwa
ia masih melayang-layang di udara, meskipun lebih pelan. Ia membuka mata dan
menatap langit biru. Ketika menengok ke bawah, ia kaget karena masih berada ribuan meter di atas
tanah. Rupanya ia baru meluncur selama beberapa detik saja.
Ia memandang ke atas, tapi tak bisa melihat pesawat mereka. Pandangannya
terhalang oleh sepotong kain raksasa dengan garis-garis merah, putih, dan biru:
parafoil-nya. Karena merasa lebih tenang jika memandang ke atas daripada ke
bawah, ia mengamati parafoil itu dengan saksama. Bagian depannya melengkung dan
mengembang; bagian belakangnya tampak tipis dan berkibar-kibar. Parafoil itu
mirip sayap pesawat, dengan tali-tali tersambung ke tubuhnya.
Ia menarik napas panjang dan menengok ke bawah. Ternyata ia masih jauh di atas
tanah. Tapi kini, setelah kecepatannya sudah berkurang ba -
262 nyak, perasaannya pun sudah jauh lebih tenang, bahkan bisa dibilang tenteram.
Kemudian ia sadar bahwa ia tidak meluncur turun; ia meluncur ke samping. Ia bisa
melihat parafoil-parafoil lain di bawahnya Kahega, anak buahnya, dan Ross. Ia ?berusaha menghitung jum-lah mereka sepertinya ada enam tapi ia sukar
? ?berkonsentrasi. Sepertinya ia terus bergerak menyamping dan semakin menjauhi
yang lain. Ia menarik tali-temali di tangan kirinya, dan seketika tubuhnya terbawa ke arah
itu. Hmm, lumayan, ia berkata dalam hati. Sekali lagi ia menarik tali-temali
sebelah kiri, kali ini lebih keras, tanpa menghiraukan bahwa kecepatannya pun
bertambah lagi. Ia berusaha menjaga posisi sedekat mungkin dengan parafoil-
parafoil yang turun di bawahnya. Ia mendengar angin berderu-deru di telinganya.
Ia menengok ke atas untuk mencari Munro, namun yang terlihat hanyalah garis-
garis parafoil-nya sendiri.
Ia kembali menengok ke bawah, dan terkejut karena tanah kini sudah jauh lebih
dekat. Sepertinya ia mendekati tanah dengan kecepatan yang membuat bulu roma
berdiri. Ia terheran-heran, kenapa sampai bisa menyangka ia melayang-layang
dengan pelan; ia merasa seperti terjun bebas. Parafoil pertama tampak mengempis
ketika Kahega menyentuh tanah, lalu yang kedua, dan yang ke-tiga.
Tak lama lagi Elliot pun akan mendarat. Ia
263 mulai mendekati puncak pepohonan, namun gerakan menyampingnya masih sangat
kencang. Ia menyadari bahwa tangan kirinya masih menarik tali-temali sebelah
kiri. Ia melepaskan tangannya dan gerakan lateralnya berakhir. Ia melayang maju.
Dua parafoil lagi mengempis. Elliot menengok ke bawah, melihat Kahega dan anak
buahnya sedang menggulung parafoil masing-masing. Mereka tampak baik-baik saja;
itu cukup melegakan. Elliot bergeser ke kanan, menuju sekelompok pohon yang tumbuh rapat. Ia menarik
tali-temali dan membelok ke kanan; seluruh tubuhnya ikut miring. Kecepatan
luncurnya kini sangat tinggi. Ia takkan dapat menghindari pohon-pohon itu.
Dahan-dahan pohon seakan-akan menjulur ke atas untuk menangkapnya.
Ia memejamkan mata, merasakan wajah dan tubuhnya tergores-gores ketika ia
menerobos atap dedaunan. Sebentar lagi ia akan membentur tanah dan berguling.
Kakinya tak sempat menginjak tanah.
Semuanya hening. Ia merasakan tubuhnya bergerak naik-turun dengan pelan. Ia
membuka mata dan menyadari bahwa ia terayun-ayun 120 senti di atas permukaan.
Parafoil-nya tersangkut di pohon.
Ia mengotak-atik gesper pengikat parafoil, lalu melompat ke tanah. Kahega dan
Ross segera menghampirinya untuk menanyakan keadaannya.
"Saya tidak apa-apa," jawab Elliot, dan ia memang merasa baik-baik saja. Belum
pernah ia me - 264 rasa lebih bergairah hidup dibandingkan sekarang. Sedetik kemudian ia mendadak
ambruk dan langsung muntah-muntah.
Kahega tertawa. "Selamat datang di Kongo," katanya.
Elliot menyeka dagu dan bertanya, "Mana Amy?"
Segera setelah itu Munro mendarat. Telinganya berdarah akibat ulah Amy, yang
menggigitnya karena ketakutan. Begitu dilepaskan, Amy segera mendatangi Elliot
untuk memeriksa keadaannya. Kemudian ia memberi isyarat, Amy tak suka terbang.
"Awas!" Kontainer Crosslin pertama menghantam tanah. Wadah berbentuk torpedo itu
langsung meledak bagaikan bom, menghamburkan perlengkapan dan jerami ke segala
arah. "Ini satu lagi!"
Elliot cepat-cepat berlindung. Bom kedua jatuh beberapa meter dari tempat ia
tiarap; ia dihujani paket-paket berisi makanan dan beras. Jauh di atas terdengar
bunyi mendengung pesawat Fokker yang masih berputar-putar. Elliot bangkit
kembali dan sempat melihat dua kontainer terakhir jatuh ke tanah, sementara anak
buah Kahega berlari tunggang-langgang untuk menyelamatkan diri. Ross berseru,
"Hati-hati, yang itu berisi laser!"
Elliot serasa terperangkap di tengah serangan bom, yang untung saja tidak
berlangsung lama. 265 Pesawat Fokker di atas mereka terbang menjauh, dan suasana menjadi hening.
Kahega bersama anak buahnya mulai mengumpulkan perlengkapan yang berserakan dan
mengubur semua parafoil, sementara Munro memberikan instruksi dalam bahasa
Swahili. Dua puluh menit kemudian mereka mulai menembus hutan sambil berbaris satu per
satu, mengawali perjalanan sejauh tiga ratus kilometer yang akan membawa mereka
ke bagian timur Kongo yang belum pernah dijelajahi; di sana imbalan yang luar
biasa telah menanti. Kalau mereka tidak terlambat tiba.
266 2 KIGANI Setelah pulih dari ketegangan akibat pengalaman yang baru saja dilaluinya,
Elliot mulai menikmati perjalanan menembus Hutan Barawana. Kawanan monyet
berceloteh di pepohonan, burung-burung berkicau di udara sejuk. Para pengangkut
Kikuyu berjalan di belakang sambil merokok dan bersenda gurau dalam bahasa yang asing. Elliot menyukai situasi yang tengah
dihadapinya terbebas dari peradaban yang konyol; terlibat dalam petualangan, di?mana hal-hal tak terduga bisa terjadi setiap saat, dan bahaya mengintai di mana-
mana. Segala sesuatu serba baru baginya. Ia asyik mendengarkan suara binatang-
binatang penghuni hutan di sekeliling mereka, memperhatikan permainan cahaya dan
bayangan-bayangan, merasakan tanah empuk di bawah kakinya, dan menatap ke arah
Karen Ross yang ternyata tampak cantik dan anggun.
Karen Ross tidak menoleh.
Sambil berjalan, ia memutar-mutar tombol pada salah satu kotak elektronik
berwarna hitam dan 267 berusaha mengirim sinyal. Kotak elektronik lainnya tergantung pada tali yang
disandangnya di bahu. Berhubung ia tidak menoleh, Elliot sempat mengamati bahwa
punggung baju Ross sudah mulai basah karena keringat dan rambutnya yang berwarna
pirang gelap pun melekat pada bagian belakang kepalanya. Celananya tampak
kerisut dan penuh noda tanah akibat pendaratan tadi. Wanita itu tetap tidak
menoleh. "Nikmatilah hutan ini," Munro menyarankan. "Ini terakhir kali kita berada di
tempat sejuk dan kering untuk waktu lama."
Elliot sependapat bahwa hutan itu cukup menyenangkan.
"Ya, sangat menyenangkan." Munro mengangguk dengan ekspresi janggal pada
wajahnya. Hutan Barawana bukan hutan perawan. Dari waktu ke waktu mereka melewati ladang-
ladang dan tanda-tanda lain peradaban, namun tak pernah berjumpa dengan manusia.
Ketika Elliot menyinggung hal itu, Munro hanya menggeleng-gelengkan kepala.
Semakin jauh mereka memasuki hutan, Munro pun semakin diam dan menutup diri,
meski tetap menaruh perhatian besar pada keadaan sekitar. Acap kali ia berhenti
dan mendengarkan kicauan burung, sebelum memberi isyarat untuk melanjutkan
perjalanan. Pada kesempatan seperti itu, Elliot akan menoleh ke belakang dan melihat para
pengangkut berjalan beriringan sambil membawa beban di atas
268 kepala. Ia jadi merasa senasib dengan Livingstone, Stanley, dan para penjelajah
lain yang mendatangi Afrika satu abad sebelumnya. Dan dalam hal ini, romantisme
Elliot memang beralasan. Kehidupan di Afrika Tengah hanya berubah sedikit sejak
Stanley menjelajahi Kongo di tahun 1870-an, dan sifat dasar ekspedisi-ekspedisi
ke kawasan itu pun tetap sama. Penjelajahan secara serius tetap dilakukan dengan
berjalan kaki; tenaga-tenaga pengangkut tetap dibutuhkan; biaya yang harus
dikeluarkan tetap mengecilkan hati begitu pula bahaya yang mengancam.
?Menjelang tengah hari kaki Elliot mulai lecet, dan ia sadar bahwa ia sangat
lelah. Rupanya para pengangkut pun merasa letih, sebab mereka tak lagi merokok
maupun bersenda gurau. Semuanya berjalan sambil membisu, sampai Elliot bertanya
pada Munro, apakah mereka akan berhenti untuk makan siang.
"Tidak," jawab Munro.
"Bagus," Karen Ross berkomentar sambil menatap arlojinya.
Beberapa menit setelah pukul satu, mereka mendengar suara helikopter. Munro dan
para pengangkut segera bereaksi. Mereka cepat-cepat bersembunyi di bawah pohon-
pohon besar dan menunggu sambil mendongakkan kepala. Sesaat setelah itu, dua
helikopter besar berwarna hijau melintas di
269 atas kepala; Elliot sempat membaca huruf-huruf berwarna putih: FZA.
Munro memicingkan mata ketika mengamati kedua heli yang terbang menjauh. Kedua-
duanya Huey buatan Amerika Serikat; ia tak sempat memperhatikan persenjataan
yang dibawa. "Pasukan Zaire," katanya. "Mereka mencari orang-orang Kigani."
Satu jam kemudian, mereka tiba di suatu lapangan terbuka yang digunakan sebagai
ladang ubi kayu. Di tengah-tengah ada pondok kayu, dengan cerobong mengeluarkan
asap pucat. Beberapa po-tong pakaian yang sedang dijemur tampak menge-pak-ngepak
karena tiupan angin lembut. Namun penghuni pondok itu tidak kelihatan.
Sebelumnya mereka selalu menghindar jika menemui rumah petani, tapi kali ini
Munro mengangkat tangan sebagai isyarat untuk berhenti. Para pengangkut
menurunkan bawaan masing-masing, lalu duduk di rumput. Tak sepatah kata pun
diucapkan. Suasana terasa tegang, meski Elliot tidak tahu sebabnya. Munro dan Kahega
berjongkok di tepi lapangan terbuka, mengawasi pondok serta ladang-ladang yang
mengelilinginya. Setelah dua puluh menit belum juga ada tanda-tanda kehidupan.
Ross, yang meringkuk di dekat Munro, mulai tidak sabar. "Saya tidak mengerti
kenapa kita..." Munro segera membungkamnya. Ia menunjuk
270 ke arah pondok dan menggerakkan bibir tanpa bersuara Kigani.?Ross membelalakkan mata. Munro melepaskan tangannya.
Semuanya memandang ke arah pondok. Tetap belum ada tanda-tanda kehidupan. Ross
membuat gerakan melingkar dengan tangannya, mengisyaratkan agar mereka
mengelilingi pondok itu dan melanjutkan perjalanan. Munro menggelengkan kepala
dan menunjuk ke bawah, menyuruh Ross "tetap duduk di tempat. Kemudian Munro
menatap Elliot dengan pandangan bertanya-tanya, sambil menunjuk ke arah Amy yang
sedang mencari makan di tengah rumput tinggi. Rupanya ia khawatir Amy akan
bersuara. Elliot lalu memberi isyarat pada Amy untuk tetap diam. Tapi sebenarnya
ia tak perlu repot-repot, sebab Amy pun merasakan suasana tegang itu dan
sesekali melirik dengan was-was ke arah pondok tersebut.
Selama beberapa menit berikut tetap tidak terjadi apa-apa. Mereka terus menunggu
sambil mendengarkan suara jangkrik dan memperhatikan je-muran yang berkepak-
kepak. Kemudian asap biru yang keluar dari cerobong berhenti.
Munro dan Kahega berpandangan. Kahega menyelinap ke tempat anak buahnya,
membongkar salah satu paket, dan mengeluarkan sepucuk senapan mesin. Dengan
sebelah tangan ia menutup kunci pengamannya, untuk meredam bunyi klik
271 yang terdengar saat kunci itu dibuka. Suasana su-nyi sekali. Kahega kembali ke
sisi Munro dan menyerahkan senapan mesin yang dibawanya. Munro memeriksa kunci
pengaman, lalu meletakkan senjata itu di tanah. Mereka menunggu beberapa menit
lagi. Elliot menoleh ke arah Ross, tapi wanita itu tidak membalas tatapannya.
Tiba-tiba terdengar suara berderak, dan pintu pondok terlihat membuka. Munro
segera meraih senapan. Tak seorang pun muncul. Semuanya menatap pintu yang terbuka, sambil menunggu
dengan tegang. Dan akhirnya orang-orang Kigani melangkah keluar.
Elliot menghitung dua belas laki-laki jangkung dan kekar, bersenjatakan busur
dan anak panah. Masing-masing menggenggam panga panjang. Kaki dan dada mereka
bergaris-garis putih, dan seluruh wajah mereka dicat putih, sehingga menyerupai
tengkorak menyeramkan. Hanya kepala orang-orang Kigani itu yang kelihatan ketika
mereka menerobos di antara batang-batang ubi yang tumbuh tinggi.
Setelah mereka pergi pun Munro tetap tidak beranjak dari tempatnya, mengawasi
pondok selama sepuluh menit lagi. Akhirnya ia berdiri dan menarik napas panjang.
Ketika ia angkat bicara, suaranya berkesan keras sekali. "Itu orang-orang
Kigani," katanya. "Sedang apa mereka tadi?" tanya Ross.
272 "Makan," jawab Munro. "Mereka membunuh keluarga yang tinggal di pondok itu dan
menyantap semuanya. Hampir semua petani telah mengungsi, karena suku Kigani
sedang berperang." Ia memberi isyarat agar Kahega menyiapkan anak buahnya untuk berangkat lagi, dan
mereka melanjutkan perjalanan dengan mengelilingi pondok petani itu. Elliot
bertanya-tanya, apa yang akan dilihatnya jika ia masuk. Munro tampak begitu
tenang waktu menjelaskan: Mereka membunuh keluarga itu... dan menyantap semuanya.
"Saya rasa," Ross berkata sambil menoleh ke belakang, "kita termasuk orang yang
beruntung. Kemungkinan besar kita termasuk orang terakhir yang sempat melihat
hal-hal seperti ini."
Munro menggelerrgkan kepala. "Saya kira tidak," ujarnya. "Kebiasaan lama tak
mudah di-hilangkan."
Selama berlangsungnya perang saudara Kongo di tahun 1960-an, dunia Barat
dikejutkan oleh laporan-laporan mengenai kanibalisme dan tindak kekejaman
lainnya. Tapi sesungguhnya kanibalisme sudah sejak dulu dipraktekkan secara
terbuka di Afrika bagian tengah.
Pada tahun 1897, Sidney Hinde menulis bahwa "hampir semua suku di Cekungan Kongo
pernah, atau masih, terlibat kanibalisme; dan di daerah-daerah tertentu, praktek
tersebut semakin berkembang." Hinde terkesan oleh sifat kanibalisme di
Kongo Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
273 Kongo yang tidak ditutup-tutupi. "Saya sering mendengar cerita dari para nakhoda
kapal uap bahwa orang-orang pribumi selalu menuntut budak sebagai bayaran untuk
kambing yang hendak di-beli. Orang-orang pribumi juga sering naik ke kapal
dengan membawa gading untuk membeli budak, dan mereka mengeluh bahwa daging
semakin sulit diperoleh di daerah mereka."
Di Kongo, kanibalisme tidak dikaitkan dengan upacara, kepercayaan, maupun
perang. Kanibalisme di kawasan tersebut sekadar persoalan selera. Pendeta Holman
Bentley, yang menghabiskan dua puluh tahun di kawasan itu, mengutip ucapan
seorang pribumi, "Orang kulit putih menganggap daging babi paling lezat, tapi
daging babi tidak bisa dibandingkan dengan daging orang." Bentley merasa orang-
orang pribumi tidak dapat memahami keberatan atas praktek itu. "Kalian makan
unggas dan kambing, dan kami makan orang; kenapa tidak" Apa bedanya?"
Sikap terus terang ini mengejutkan para saksi mata, dan menimbulkan kebiasaan-
kebiasaan mencengangkan. Pada tahun 1910, Herbert Ward menulis tentang pasar-
pasar tempat budak-budak di-jual "sepotong demi sepotong, sementara mereka masih
hidup. Kedengarannya tidak masuk akal, tapi para tawanan itu digiring dari satu
tempat ke tempat lain, agar para pembeli dapat memberi tanda pada bagian yang
hendak dipesan. Tanda-tanda itu biasanya berupa coretan tanah liat ber-274
warna, atau batang-batang rumput yang diikat dengan cara tertentu. Ketabahan
para korban, yang ikut menyaksikan tawar-menawar atas bagian-bagian tubuh
mereka, hanya bisa dibandingkan dengan sikap acuh tak acuh yang mereka
perlihatkan saat menghadapi kematian."
Laporan-laporan seperti itu tak dapat dianggap sebagai histeria zaman Victoria-
akhir belaka, sebab semua saksi mata mengemukakan bahwa orang-orang kanibal
bersikap ramah dan menyenangkan. Ward menulis bahwa "mereka (suku kanibal) bukan
orang jahat berhati busuk. Berlawanan dengan kesimpulan masyarakat Barat pada
umumnya, mereka justru termasuk ras manusia paling mulia." Bentley menggambarkan
mereka sebagai "orang-orang yang riang dan jantan, sangat ramah, dan
memperlihatkan persahabatan secara terbuka".
Di bawah pemerintahan kolonial Belgia, praktek kanibalisme menyurut tajam. Di
tahun 1950-an bahkan ditemukan sejumlah tempat pemakaman, namun tak seorang pun
percaya tradisi itu sudah benar-benar lenyap. Di tahun 1956, H.C. Engert
menulis, "Kanibalisme di Afrika belum mati. Saya pernah tinggal di desa suku
kanibal selama beberapa waktu, dan menemukan sejumlah tulang (manusia). Orang-
orang pribumi itu cukup ramah. Kanibalisme hanyalah kebiasaan yang sukar di-
hilangkan." Munro menganggap pemberontakan Kigani tahun
275 1979 sebagai pembangkangan politik. Mereka memberontak karena Pemerintah Zaire
menuntut mereka meninggalkan cara hidup sebagai pemburu dan beralih menjadi
petani, seakan-akan perubahan seperti itu dapat dilakukan dalam sekejap. Suku
Kigani merupakan masyarakat miskin dan terbe-lakang; pengetahuan mereka tentang
kebersihan sangat terbatas; kadar gizi dalam makanan mereka tidak memadai karena
kekurangan protein dan vitamin, dan mereka pun menjadi korban malaria, cacing
parasit, bilharzia, dan penyakit tidur. Satu dari empat bayi mati saat lahir,
dan hanya sedikit orang Kigani yang mencapai usia melebihi 25 tahun. Mereka
membutuhkan penjelasan mengenai kehidupan sulit yang mereka jalani, dan
penjelasan itu diberikan oleh Angawa, atau dukun. Orang Kigani percaya bahwa
sebagian besar kematian disebabkan oleh kekuatan gaib: korban bersangkutan
dikutuk oleh dukun, atau melanggar larangan, atau dibunuh oleh arwah yang
menaruh dendam. Perburuan pun memiliki aspek mistik: binatang-binatang buruan
sangat dipengaruhi oleh dunia gaib. Bagi orang Kigani, dunia gaib justru jauh
lebih nyata dibandingkan dunia sehari-hari yang mereka rasakan sebagai "mimpi di
siang bolong", dan mereka berupaya mengendalikan dunia gaib melalui mantra-
mantra dan ramuan-ramuan yang disiapkan oleh Angawa. Mereka juga menjalankan
berbagai ritual, seperti mengecat putih wajah dan tangan, untuk menambah
kesaktian 276 dalam pertempuran. Orang Kigani percaya tubuh lawan pun menyimpan kekuatan gaib,
sehingga mereka memakan musuh-musuh mereka untuk menangkal kutukan Angawa lain.
Kekuatan gaib di dalam tubuh musuh menjadi milik mereka, sehingga mereka dapat
menghalau kutukan dukun pihak musuh.
"Dan kenapa mereka kembali makan orang sekarang?" Elliot bertanya pada Munro.
"Mereka ingin mempertahankan hak mereka untuk berburu," jawab Munro. "Sedangkan
para bi-rokrat di Kinshasa menginginkan sebaliknya.'1
Menjelang sore, ekspedisi itu menaiki sebuah bukit kecil. Dari situ mereka dapat
melihat lembah-lem-bah di sebelah selatah. Di kejauhan tampak asap bergulung-
gulung dan kobaran api. Samar-samar terdengar ledakan roket udara-darat, dan
sejumlah helikopter berputar-putar di udara, bagaikan bu-rung bangkai di atas
mangsa. "Itu desa-desa Kigani," Munro berkata sambil menengok ke belakang. Ia
menggeleng-gelengkan kepala. "Mereka tak punya harapan, apalagi semua awak heli
dan seluruh pasukan di darat berasal dari suku Abawa, musuh bebuyutan suku
Kigani." Dunia abad kedua puluh tidak memberi tempat bagi keyakinan yang melibatkan
kanibalisme. Pemerintah Zaire di Kinshasa, yang berjarak tiga ribu kilometer,
Jago Dari Seberang 3 Dewi Ular 58 Manusia Meteor Pena Wasiat 22