Pencarian

Kongo 4

Kongo Karya Michael Crichton Bagian 4


juga telah memutuskan untuk "menghapus aib" berupa kanibalisme di dalam ne -
277 geri. Bulan Juni, pihak pemerintah mengerahkan lima ribu tentara bersenjata,
enam helikopter UH-2 buatan Amerika bersenjata roket, serta sepuluh kendaraan
pengangkut pasukan berlapis baja guna mematahkan pemberontakan Kigani. Panglima
yang membawahi pasukan tersebut, Jenderal Ngo Muguru, tahu persis apa yang
diharapkan darinya: Kinshasa ingin membasmi seluruh suku Kigani. Dan ia bertekad
untuk melaksanakan perintah itu dengan sebaik-baiknya.
Ledakan mortir dan roket terus terdengar di kejauhan. Mau tak mau mereka
membandingkan persenjataan modern itu dengan busur dan panah orang-orang Kigani
yang sempat mereka lihat. Ross menganggap pembantaian itu menyedihkan, tapi
Munro menyahut bahwa kejadian tersebut tak terelakkan.
"Tujuan kehidupan ini," katanya, "adalah bertahan hidup. Perhatikan binatang
mana pun di alam bebas mereka hanya berusaha bertahan hidup. Mereka tak peduli ?soal keyakinan atau falsafah. Jika perilaku seekor binatang menjauhkan-nya dari
kenyataan hidup yang dihadapinya, binatang itu akan punah. Orang-orang Kigani
tidak sadar bahwa zaman telah berubah dan kepercayaan mereka tak bisa
dipertahankan. Karena itu, mereka akan punah."
"Barangkali ada tujuan yang lebih tinggi daripada sekadar bertahan hidup," ujar
Ross. 278 "Tidak ada," balas Munro.
Mereka sempat melihat sejumlah rombongan Kigani, tapi hanya dari jarak beberapa
mil. Menjelang malam, setelah menyeberangi jembatan gantung yang berayun-ayun di
atas Ngarai Moruti, Munro mengumumkan bahwa mereka telah keluar dari wilayah
Kigani dan kini mereka aman, paling tidak untuk sementara.
279 PERKEMAHAN MORUTI Di sebuah lapangan terbuka di atas Moruti, "tempat angin lembut", Munro
menyerukan instruksi dalam bahasa Swahili, dan anak buah Kahega segera mulai
membongkar barang bawaan mereka. Karen Ross menatap arlojinya. "Kita sudah mau
berhenti?" "Ya," jawab Munro.
"Tapi sekarang baru pukul lima. Masih ada waktu dua jam sebelum gelap."
"Kita berhenti di sini," Munro menegaskan. Moruti terletak di ketinggian 450
meter; perjalanan selama dua jam lagi akan membawa mereka ke hutan tropis di
bawah. "Di sini lebih sejuk dan nyaman."
Ross menyahut bahwa ia tak peduli soal kenyamanan.
"Percayalah, Anda pasti akan berubah pikiran,"^ balas Munro.
Untuk menghemat waktu, Munro sedapat mungkin ingin menghindari hutan tropis.
Perjalanan me - 280 nembus hutan sangat berat dan melelahkan. Tak lama lagi mereka akan kenyang
menghadapi lum-pur, lintah, dan serangan demam.
Kahega memanggil Munro dalam bahasa Swahili. Munro menoleh ke arah Ross dan
berkata, "Dia ingin tahu, bagaimana caranya mendirikan tenda-tenda."
Kahega menatap bola dari bahan berwarna pe-rak di tangan kanannya; anak buahnya
pun tak kalah bingung. Sia-sia mereka membongkar barang bawaan untuk mencari
tiang-tiang tenda maupun pasak-pasak yang biasa digunakan.
Perkemahan ERTS dirancang oleh sebuah tim NASA di tahun 1977, berdasarkan
pengamatan bahwa perlengkapan ekspedisi alam liar pada dasarnya belum berubah
sejak abad kedelapan belas. "Sudah waktunya ada rancangan baru untuk
penjelajahan modern," demikian pendapat ERTS. Mereka lalu memesan perlengkapan
ekspedisi yang lebih ringan, lebih nyaman, serta lebih efisien, dan NASA
merancang ulang segala sesuatu, mulai dari pakaian dan sepatu sampai tenda dan
peralatan memasak, makanan dan menu, perlengkapan P3K, dan sistem-sistem
komunikasi untuk tim lapangan ERTS.
Tenda hasil rancang ulang tersebut merupakan contoh khas pendekatan NASA. Proses
peran-cangan tim NASA bertolak dari fakta bahwa sebagian besar berat tenda
berupa elemen-elemen penyokong. Selain itu, kemampuan insulasi tenda
281 lapis-tunggal juga rendah. Jika faktor insulasi pada tenda-tenda dapat
ditingkatkan, para anggota suatu ekspedisi tidak membutuhkan pakaian dan kantong
tidur tebal dan berat. Kebutuhan kalori harian pun akan berkurang, sehingga
lebih sedikit bahan makanan yang harus dibawa untuk jangka waktu yang sama.
Berhubung udara sangat efektif sebagai insulator, solusi terbaik adalah tenda
pneu-matik tanpa struktur penyokong. Tim NASA lalu merancang tenda dengan berat
enam ons. Ross menggunakan pompa injak yang berdesis-desis untuk mengembangkan tenda
pertama, yang terbuat dari bahan Mylar lapis-ganda berwarna pe-rak dengan
ketebalan 20-mil, menyerupai barak berbentuk setengah silinder. Para pengangkut
bertepuk tangan gembira; Munro hanya menggeleng-gelengkan kepala sambil menahan
senyum. Kemudian Kahega mengeluarkan sebuah unit perak seukuran kotak sepatu dan
bertanya, "Dan yang ini, Dokter" Apa ini?"
"Kita takkan memerlukannya nanti malam. Itu unit AC," jawab Ross.
"Ya, jangan tinggalkan rumah tanpa AC," Munro menanggapinya sambil bergurau.
Ross langsung mendelik. "Penelitian menunjukkan bahwa faktor tunggal yang paling
mempengaruhi efisiensi kerja adalah suhu, dengan gangguan tidur sebagai faktor
kedua," katanya. "Hmm, begitu?" Munro tertawa dan menoleh ke arah Elliot, tapi
282 Elliot sedang asyik mengamati suasana senja di hutan tropis. Amy menghampirinya
dan menarik lengan bajunya.
Perempuan dan orang bulu hidung ribut, ia memberi isyarat.
Sejak pertama Amy langsung menyukai Munro, begitu pula sebaliknya. Munro tak
pernah menepuk-nepuk kepalanya dan memperlakukannya sebagai anak kecil, seperti
orang-orang pada umumnya, melainkan bersikap seakan-akan menghadapi wa-nita.
Namun di pihak lain, ia sudah cukup sering berhadapan dengan gorila, sehingga
sedikit-banyak memahami perilaku binatang-binatang itu. Meskipun tidak menguasai
ASL, ia tahu Amy minta digelitik jika mengangkat lengan, dan ia akan menuruti
keinginannya selama beberapa saat, sementara Amy berguling-guling kesenangan di
tanah. Tapi Amy selalu merasa terganggu bila terjadi konflik, dan kini ia mengerutkan
kening. "Mereka hanya bicara," Elliot menenangkannya. Amy memberi isyarat, Amy
mau makan. "Sebentar lagi." Elliot membalik dan melihat Ross sedang memasang
peralatan pemancar. Ini akan menjadi upacara harian selama sisa ekspedisi, dan
selalu membuat Amy terpesona. Secara keseluruhan, berat peralatan yang sanggup
mengirim berita sejauh 15.000 kilometer melalui satelit hanya tiga kilogram,
sementara berat peralatan ECM electronic countermeasures mencapai satu ? ?setengah kilogram.
283 Pertama-tama Ross membuka antena parabola berwarna perak dengan diameter satu
setengah meter, yang dapat dilipat seperti payung. (Inilah bagian yang paling
disukai Amy; setiap hari ia bertanya pada Ross, kapan Ross akan "buka bunga
logam".) Kemudian Ross menghubungkan kotak pemancar dan menyambung baterai
krylon-cadmium. Setelah itu ia memasang modul-modul antipemblokiran, serta
terminal komputer mini yang dilengkapi keyboard mungil dan layar video berukuran
tiga inci. Komputer mini ini sangat canggih, dengan me-mori sebesar 189K dan sirkuit
berangkap; kotaknya dibuat kedap udara dan tahan bantingan; keyboard-nya pun
dioperasikan dengan prinsip im-pedansi, sehingga tak ada mekanisme yang bisa
macet, atau kemasukan air maupun debu.
Dan kekuatannya pun mencengangkan. Ross masih ingat semua "tes lapangan" yang
mereka lakukan di pelataran parkir ERTS dulu. Setiap peralatan baru dibanting-
banting, ditendang-ten-dang, dan dibiarkan terendam sepanjang malam dalam ember
berisi air lumpur. Segala sesuatu yang masih berfungsi pada keesokan hari
dinyatakan laik lapangan.
Kini, saat matahari terbenam di Moruti, ia memasukkan koordinat sandi untuk
mengunci transmisi ke Houston, memeriksa kekuatan sinyal, lalu menunggu enam
menit sampai transponder satelit siap beroperasi. Namun layar komputernya tetap
hanya memperlihatkan garis-garis kelabu, yang se -
284 sekali diselingi tampilan berwarna yang berlangsung sekilas saja. Itu berarti
seseorang memblokir saluran komunikasi mereka dengan sebuah "simfoni".
Dalam peristilahan di ERTS, tingkat pemblokiran elektronik paling rendah disebut
"tuba". Sama seperti anak tetangga yang sedang berlatih dengan tubanya, gangguan
ini sekadar menjengkelkan; bidang frekuensinya terbatas dan sering kali bersifat
acak, tapi pada umumnya mudah diterobos. Tingkat berikut adalah "kuartet gesek",
di mana sejumlah frekuensi diblokir secara teratur; kemudian ada "big band", di
mana gangguan elektronik meliputi bidang frekuensi yang lebih lebar; dan
akhirnya "simfoni", di mana nyaris seluruh bidang transmisr diblokir.
Ross kini menghadapi sebuah "simfoni". Upaya menerobosnya menuntut kerja sama
dengan Houston, padahal ia justru tak mampu mengadakan hubungan. Tapi ERTS
memiliki beberapa prosedur standar untuk mengatasi keadaan seperti itu. Ross
mencoba semuanya satu per satu, dan akhirnya berhasil dengan teknik yang
dinamakan interstitial coding. (Teknik ini memanfaatkan kenyataan bahwa musik
yang padat pun diselingi saat-saat he-ning yang berlangsung sekian persejuta
detik. Pihak yang mengalami pemblokiran dapat memantau sinyal gangguan,
mengidentifikasi pola kehening-an, dan melakukan transmisi sepenggal demi
sepenggal pada sela-sela tersebut.)
285 Ross bersyukur ketika melihat gambar berwarna-warni yang tampil pada Iayar
mungilnya sebuah peta yang menunjukkah posisi mereka di Kongo. Ia memasukkan ?data posisi mereka dan cursor di Iayar mulai berkedap-kedip. Kemudian muncul
kata-kata dalam shortline, bahasa singkatan yang khusus diciptakan untuk
aplikasi Iayar kecil. CK WKTU LOKL-PSISI: HRP KNFRMASI WKTU LOKL 18.04 H6/17/79.
Ross Ialu mengkonfirmasikan bahwa waktu setempat memang pu-kul 18.00 lewat
beberapa menit. Seketika garis-garis yang tumpang-tindih membentuk suatu pola
acak, sementara data Waktu Lokal-Posisi mereka dibandingkan dengan simulasi
komputer yang dija-lankan di Houston sebelum keberangkatan mereka.
Ross sudah siap menerima berita buruk. Menurut taksirannya, mereka tertinggal
sekitar tujuh puluh jam dari tolok waktu, dan berada sekitar dua puluh jam di
belakang pihak konsorsium.
Berdasarkan rencana semula, mereka seharusnya mendarat di lereng Mukenko pukul
14.00 tanggaJ 17 Juni, dan tiba di Zinj kurang-lebih 36 jam setelah itu, sekitar
tengah hari tanggal 19 Juni.
Tapi akibat serangan rudal, mereka terpaksa ter-jun 120 kilometer di sebelah
selatan daerah penerjunan yang direncanakan. Medan yang akan mereka lewati
sangat bervariasi, dan mereka dapat menghemat waktu dengan mengarungi sungai-su-
ngai, namun mereka tetap akan membutuhkan pa -
286 ling tidak tiga hari untuk menempuh jarak sejauh itu. .
Itu berarti mereka tak lagi bisa berharap tiba lebih dulu di lokasi daripada
pihak konsorsium. Jika semula mereka berpeluang tiba empat puluh jam lebih awal,
kini mereka masih beruntung jika keterlambatan mereka hanya 24 jam.
Di luar dugaan Ross, jawaban dari Houston ternyata: CEK WKTU-PSISI LAPNGN: -
09.04 H SLAMAT. Ternyata mereka hanya terlambat sembilan jam dibandingkan tolok
waktu hasil simulasi. "Apa artinya ini?" Munro bertanya sambil menatap Iayar.
Hanya ada satu penjelasan yang masuk akal. "Ada sesuatu yang menyebabkan pihak
konsorsium terhambat," ujar Ross -
Pada Iayar terbaca KONSRSIM EURO / NIPON MSLAH LEGL BNDRA GOMA ZAIR PSWT MREKA
TRNYTA RADIOAKTIF NASB BURK.
"Tampaknya Travis ikut sibuk di Houston," Ross berkomentar. Ia bisa membayangkan
besarnya biaya yang dikeluarkan ERTS untuk mengatur insiden di Bandara Goma itu.
"Ini berarti kita masih punya peluang, kalau kita bisa mengejar waktu sembilan
jam." "Pasti bisa," kata Munro.
Dalam cahaya matahari yang sedang terbenam, perkemahan Moruti tampak berkilau-
kilau bagai - 287 kan sejumlah permata sebuah antena parabola berwarna perak, serta lima tenda
?berwarna sama, semuanya memantulkan sinar matahari. Peter Elliot duduk bersama
Amy di puncak, memperhatikan hutan tropis yang membentang di bawah mereka.
Ketika malam tiba, kabut tipis mulai menggumpal di sana-sini. Ketika langit
semakin gelap dan uap air mengembun dalam udara yang kian dingin, hutan itu
mulai diselubungi kabut tebal dan kelam.
288 HARI 6 LIKO 18 Juni 1979 di-scan dan di-djvu-kan untuk dimhader (dimhad.co.cc) oleh
OBI Dilaraog meng-komersil-kan a tail kesialan menhnpa an da selamanya
HUTAN TROPIS Keesokan paginya mereka memasuki hutan tropis Kongo yang senantiasa suram dan
lembap. Munro menyadari perasaan-perasaan lama yang bangkit kembali dalam
dirinya perasaan tertekan dan terkungkung, ditambah keletihan yang luar biasa. ?Ketika bertugas sebagai tentara bayaran di Kongo pada tahun 1960-an, ia sedapat
mungkin menghindari hutan raya. Sebagian besar pertempuran berlangsung di
tempat-tempat terbuka di kota-kota kolonial Belgia, di tepi sungai-sungai, di
?pinggir jalan-jalan tanah merah. Tak seorang pun ingin bertempur di hutan; para
tentara bayaran membencinya, sedangkan orang-orang Simba yang percaya takhayul
menganggapnya daerah terlarang. Jika pasukan tentara bayaran bergerak maju, kaum
pemberontak sering melarikan diri ke hutan, na-mun tak pernah jauh-jauh, dan
pasukan Munro pun tak pernah melakukan pengejaran. Mereka hanya menunggu sampai
pihak musuh keluar lagi. Di tahun 1960-an pun hutan raya masih me -
291 nipakan terra incognita, sebuah tempat asing yang mampu menghalau teknologi
peperangan modern di luar perbatasannya. Dan itu tidak mengherankan, pikir
Munro. Hutan raya tidak memberikan tempat bagi manusia. Munro tidak gembira
karena harus kembali lagi.
Elliot, yang belum pernah mendatangi hutan tropis, merasa takjub. Hutan
belantara ternyata sangat berbeda dari bayangannya selama ini. Skala yang
ditemuinya betul-betul mencengangkan pohon-po-hon raksasa menjulang tinggi di
?atas kepalanya; batang-batang tampak selebar rumah; akar-akar besar berlapis
lumut meliuk-liuk di tanah. Saat berjalan di bawah pohon-pohon itu, ia serasa
berada di dalam katedral yang sangat gelap. Sinar matahari sepenuhnya terhalang
dedaunan, dan alat pengukur cahaya pada kameranya pun tidak dapat berfungsi.
Semula ia juga menduga hutan tropis lebih lebat dari apa yang dilihatnya
sekarang. Tapi nyatanya mereka dapat bergerak tanpa menemui hambatan berarti.
Rimba belantara malah berkesan tandus dan sunyi. Sesekali memang terdengar
kicauan bu-rung dan teriakan monyet, tapi selain itu semuanya hening. Dan
teramat monoton. Meskipun melihat warna hijau dalam segala corak pada dedaunan
dan tumbuhan rambat, Elliot hampir tak pernah menjumpai bunga atau kembang.
Anggrek-anggrek liar yang tumbuh di sana-sini pun tampak pucat dan redup.
292 Ia menyangka mereka harus berjalan di atas lapisan tanaman mati yang telah
membusuk, namun itu pun tidak benar. Tanah yang dipijaknya sering kali keras dan
udaranya berbau netral, meskipun luar biasa panas. Semuanya serba lembap ?dedaunan, tanah, batang-batang pohon, juga udara yang tak bergerak sedikit pun
karena terperangkap di bawah pepohonan.
Elliot pasti akan setuju dengan deskripsi yang diberikan Stanley satu abad
sebelumnya: "Dahan-dahan yang merentang lebar jauh di atas kepala kami tidak
membiarkan sinar matahari menerobos. Kami terus berjalan dalam suasana temaram.
Em-bun menetes tanpa henti. Pakaian kami basah ku-yup. Keringat membanjir dari
semua pori-pori, karena udara yang menyesakkan napas. Betapa menyeramkan Tanah
Asing yang kami hadapi kini!"
Pada awal ekspedisi, Elliot sudah tak sabar untuk segera memasuki hutan tropis
Afrika di garis khatulistiwa, namun kini ia sendiri heran betapa cepatnya ia
mulai merasa tertekan, dan betapa cepatnya ia ingin meninggalkannya lagi.
Padahal hutan tropis merupakan daerah asal sebagian besar bentuk kehidupan,
termasuk manusia. Rimba belantara bukan ekosistem tunggal yang seragam,
melainkan terdiri atas banyak ekosistem mikro yang tersusun secara vertikal
seperti kue lapis. Masing-masing ekosistem mikro merupakan habitat flora dan
fauna dengan keanekaragaman mencengangkan, tapi pada umumnya setiap spesies ha-
293 nya diwakili beberapa anggota. Jumlah spesies binatang yang menghuni hutan
tropis empat kali lebih besar daripada di hutan setara di daerah beriklim
sedang. Elliot membayangkan hutan tropis sebagai rahim besar yang panas dan
gelap, tempat spesies-spesies baru diberi kesempatan ber-kernbang dalam


Kongo Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lingkungan yang tak berubah, sampai mereka siap bermigrasi ke kawasan beriklim
sedang yang lebih keras. Demikianlah keadaan selama berjuta-juta tahun.
Perilaku Amy berubah seketika setelah memasuki tempat asalnya yang panas dan
lembap. Di kemudian hari Elliot berkomentar bahwa ia seharusnya dapat meramalkan
reaksi Amy, seandainya ia lebih sungguh-sungguh memperhatikannya.
Amy tidak lagi bergabung dengan rombongan ekspedisi.
Ia sering mendului mereka, lalu berhenti dan duduk sambil mengunyah tunas-tunas
tumbuhan dan rerumputan. Ia tidak mau dipaksa beranjak atau didesak-desak, dan
permintaan Elliot untuk tidak memisahkan diri dari rombongan pun tidak
digubrisnya. Ia makan pelan-pelan, dengan ekspresi santai pada wajahnya. Jika
ada berkas sinar matahari yang berhasil menerobos sampai ke da-sar, Amy akan
berbaring di tanah, bersendawa dan menggeram-geram puas.
"Ada apa dengan dia?" tanya Ross. Ia jengkel
294 karena perjalanan mereka terhambat oleh tingkah laku Amy.
"Dia jadi gorila lagi," jawab Elliot. "Gorila pemakan tumbuhan. Hampir sepanjang
hari mereka makan terus; mereka binatang besar dan membutuhkan banyak makan an."
Dalam sekejap Amy telah kembali memperlihatkan ciri-ciri tersebut.
"Hmm, apakah Anda tidak bisa memaksanya mengikuti kita?"
"Sudah saya coba," balas Elliot, "tapi dia tidak memedulikan saya." Dan ia juga
tahu sebabnya Amy akhirnya kembali ke dunia di mana Peter Elliot tidak
?penting, di mana ia bisa mengusahakan sendiri makanan dan perlindungan serta
semua hal lain yang diinginkannya.
"Masa sekolah sudah berakhir," Munro menyimpulkan situasi yang mereka hadapi.
Tapi ia punya pemecahannya. "Tinggalkan saja dia," ia berkata, lalu melanjutkan
perjalanan. Ia meraih lengan Elliot dan menariknya pergi. "Jangan tengok ke
belakang," ia berpesan. "Jangan perhatikan dia."
Selama beberapa menit mereka berjalan sambil membisu.
Elliot berkata, "Bagaimana kalau dia tidak menyusul kita?"
"Astaga, Profesor," ujar Munro, "saya pikir Anda mengerti soal gorila."
"Memang," sahut Elliot.
"Kalau begitu, Anda tentu tahu tidak ada gorila di daerah ini."
295 Elliot mengangguk. Sejauh ini ia belum menemukan sarang maupun jejak gorila.
"Tapi semua yang dibutuhkannya tersedia di sini."
"Tidak semuanya," Munro menyangkal. "Tanpa gorila lain tetap ada yang kurang."
Seperti semua primata yang lebih tinggi, gorila merupakan binatang sosial.
Mereka hidup dalam kelompok, dan merasa tidak nyaman maupun aman jika ? ?terpisah. Sebagian besar pakar primata bahkan menduga kebutuhan akan kontak
sosial dirasakan sama kuatnya dengan rasa lapar, haus, atau kelelahan.
"Kitalah kelompoknya," Munro menegaskan. "Dia takkan membiarkan kita pergi jauh-
jauh." Beberapa menit kemudian, Amy menerobos semak-semak sekitar lima puluh meter di
depan mereka. Ia memperhatikan rombongan ekspedisi dan mendelik ke arah Peter.
"Sini, Amy," kata Munro, "biar kugelitik kau." Amy langsung mendekat dan
berbaring dalam posisi telentang, dan Munro lalu menggelitiknya.
"Nah, Profesor" Mudah sekali, bukan?"
Sejak itu Amy tak pernah berkelana jauh-jauh.
Sementara Elliot memandang hutan tropis sebagai habitat asli binatang
piaraannya, Karen Ross melihatnya dari segi sumber daya bumi yang jumlahnya
?terbatas. Ia tak bisa dikelabui oleh vegetasi yang lebat dan rimbun, yang
diketahuinya me - 296 rupakan ekosistem yang luar biasa efisien di atas tanah gersang.
, Negara-negara berkembang di dunia tidak memahami hal ini; tanah di hutan
tropis yang telah dibuka menghasilkan panen mengecewakan. Meski demikian,
penebangan hutan tropis berlangsung dengan laju mencengangkan, yaitu lebih dari
dua puluh hektar per menit, siang dan malam. Hutan tropis telah 60 juta tahun
mengelilingi khatulistiwa bagaikan sabuk hijau tapi manusia hanya membutuhkan
?dua puluh tahun untuk meratakan semuanya.
Perusakan besar-besaran tersebut menimbulkan kecemasan yang tidak dirasakan oleh
Ross. Ia meragukan iklim globaj akan berubah, atau kadar oksigen di udara akan
berkurang. Ross tidak termasuk kelompok alarmis, dan ia tidak terkesan oleh
hasil-hasil perhitungan mereka. Satu-satunya alasan ia merasa gelisah adalah
karena pemahaman mengenai hutan tropis masih begitu terbatas. Laju penebangan
sebesar dua puluh hektar per menit berarti spesies-spesies tumbuhan dan binatang
punah dengan laju satu spesies per jam. Bentuk-ben-tuk kehidupan yang berkembang
selama jutaan tahun kini dimusnahkan dalam beberapa menit saja, dan tak seorang
pun mampu memperkirakan akibat-akibat laju penghancuran yang luar biasa ini.
Proses kepunahan spesies-spesies berlangsung lebih cepat dari yang disadari
orang, dan hanya 297 sebagian kecil tercantum dalam daftar spesies yang terancam punah.
Kenyataannya manusia menghancurkan ekosistem demi ekosistem tanpa peduli sedikit
pun, tan-pa menoleh ke belakang. Padahal sebagian besar ekosistem tersebut masih
diselubungi misteri dan belum benar-benar dipahami. Karen Ross mendadak sadar
bahwa ia berada di suatu dunia yang sama sekali berbeda dari dunia sumber daya
mineral yang bebas dieksploitasi. Inilah lingkungan tempat kehidupan tumbuhan
merajalela. Pantas saja orang-orang Mesir kuno menyebutnya Negeri Pohon-pohon.
Hutan tropis merupakan rumah kaca raksasa bagi kehidupan flora, lingkungan
tempat tetumbuhan raksasa jauh lebih unggul dan di-utamakan daripada hewan ? ?menyusui, termasuk manusia-manusia tak berarti yang kini menerobos kegelapannya
yang abadi. Para pengangkut Kikuyu pun langsung menunjukkan reaksi terhadap hutan. Mereka
mulai bercanda dan tertawa sekeras mungkin. Ross berkata pada Kahega, "Mereka
betul-betul riang gembira."
"Oh, bukan," balas Kahega. "Mereka memberi peringatan."
"Peringatan?" Kahega lalu menjelaskan bahwa anak buahnya sengaja ribut untuk mengusir banteng
dan macan kumbang. Dan juga tembo, ia menambahkan sambil menunjuk ke jalan
setapak. 298 "Ini lintasan temboT tanya Ross.
Kahega mengangguk. "Tembo tinggal di sekitar sini?"
Kahega tertawa. "Moga-moga tidak," ia menyahut. "Tembo. Gajah."
"Jadi, ini lintasan binatang liar. Apakah kita akan melihat gajah?"
"Mungkin ya, mungkin tidak," ujar Kahega. "Moga-moga tidak. Mereka besar sekali,
gajah itu." Nalarnya tak bisa dibantah. Ross kembali berkata, "Saya dengar mereka semua
bersaudara denganmu," sambil mengangguk ke barisan pengangkut.
"Ya, kami kakak-adik."
"Ah." "Tapi maksudnya kakak-adik, kami satu ibu?" "Ya, kalian satu ibu, kan?" "Tidak,"
balas Kahega. Ross heran. "Jadi, bukan kakak-adik benar?" "Ya, kakak-adik benar.
Tapi bukan satu ibu." "Kalau begitu, kenapa kalian kakak-adik?" "Karena kami
tinggal di desa yang sama." "Dengan ayah dan ibu kalian?" Kahega tampak kaget.
"Tidak" ia menjawab tegas. "Bukan desa yang sama." "Berarti desa lain?" "Tentu
saja kami Kikuyu." Ross terbengong-bengong. Kahega tertawa.
?Kahega menawarkan diri membawakan peralatan elektronik yang disandang Ross, tapi
Ross me - 299 nolak. Secara berkala ia berusaha menghubungi Houston, dan sekitar tengah hari
ia akhirnya bisa menerobos gangguan elektronik pihak lawan mungkin karena
? operator yang memblokir saluran komunikasi sedang istirahat makan siang. Cepat-
cepat ia memberikan laporan Waktu Lokal-Posisi.
Pada monitornya tertulis: CEK WKTU-PSISI LAPNGN - 10.03H.
Mereka kehilangan hampir satu jam sejak cek terakhir semalam. "Kita hams
bergerak lebih ce-pat," kata Ross kepada Munro.
"Kenapa Anda tidak berlari saja?" balas Munro. "Hitung-hitung sekaligus
berolahraga." Tapi kemudian ia merasa jawabannya terlalu ketus, dan ia
menambahkan, "Masih banyak yang bisa terjadi antara sini dan Virunga."
Di kejauhan terdengar bunyi gemuruh. Beberapa menit setelah itu mereka sudah
terjebak hujan deras. Hujannya begitu lebat, hingga terasa nyeri di kulit, dan
berlangsung selama satu jam sebelum berhenti mendadak. Mereka semua basah kuyup,
dan Ross pun tidak memprotes ketika Munro memberi aba-aba berhenti untuk makan.
Amy langsung masuk ke hutan untuk mencari makan sendiri. Para pengangkut
menyiapkan hi-dangan berupa nasi dengan daging bumbu kari. Munro, Ross, dan
Elliot menyalakan rokok untuk membakar lintah-lintah yang menempel pada kaki
masing-masing. Lintah-lintah itu sudah gemuk -
300 gemuk. "Saya tidak merasakan apa-apa tadi," ujar Ross.
"Hujan membuat mereka lebih giat," kata Munro. Tiba-tiba ia menengadah dan
menatap ke hutan. "Ada yang tidak beres?"
"Tidak, tidak ada apa-apa," balas Munro, lalu menjelaskan kenapa lintah hams
dilepaskan dengan cara dibakar; kalau dicabut begitu saja, sebagian kepala akan
tertinggal di dalam luka dan menimbulkan infeksi.
Kahega membawakan makanan, dan Munro berkata sambil merendahkan suara, "Anak
buahmu baik-baik saja?"
"Ya," jawab Kahega. "Mereka baik-baik saja. Mereka tidak akan takut."
"Takut apa?" tanya Elliot.
"Makanlah. Bersikap wajar saja," ujar Munro.
Dengan gelisah Elliot memandang berkeliling.
"Makan!" bisik Munro. "Jangan buat mereka tersinggung. Anda sebenarnya tidak
boleh tahu mereka ada di sini."
Selama beberapa menit mereka makan sambil membisu. Kemudian semak belukar di
dekat mereka bergoyang-goyang, dan seorang pygmy melangkah keluar. ?301
2 Laki-laki berkulit terang itu berperawakan kekar namun pendek, sekitar 135
sentimeter. Ia hanya mengenakan cawat, menyandang busur serta pa-nah. Dengan
tenang ia mengamati para anggota ekspedisi satu per satu, rupanya untuk mencari
pemimpinnya. Munro bangkit dan segera mengucapkan sesuatu yang bukan bahasa Swahili. Orang
pygmy itu menjawab. Munro lalu memberikan sebatang rokok yang digunakan untuk
membakar lintah, dan orang pygmy itu langsung menyimpannya ke dalam kantong
kulit yang tergantung dari tabung panahnya. Percakapan singkat menyusul.
Berulang kali orang pygmy itu menunjuk ke arah hutan.
"Katanya ada orang kulit putih mati di desa mereka," ujar Munro. Ia meraih
ranselnya, yang antara lain berisi kotak P3K. "Saya harus cepat-cepat ke sana."
"Kita tidak punya waktu," Ross memprotes.
Munro menatapnya sambil mengerutkan kening.
302 "Orang itu toh sudah mati."
"Dia belum betul-betul mati," balas Munro. "Dia belum mati-untuk-selama-
lamanya." Orang pygmy tadi mengangguk-angguk. Munro menjelaskan bahwa orang pygmy membagi
penyakit dalam beberapa tahap. Mula-mula seseorang panas, lalu demam, lalu
sakit, lalu mati, lalu betul-betul mati dan akhirnya mati-untuk-selama-lamanya.?Tiga orang pygmy lagi muncul dari semak belukar. Munro mengangguk. "Saya sudah
menduga dia tidak sendirian," ia berkata. "Orang-orang ini tak pernah bepergian
seorang diri. Yang lainnya mengawasi kita. Kalau kita melakukan gerakan
mencurigakan tadi, kita pasti sudah tewas dipanah. Anda lihat ujung-ujung panah
yang cokelat itu" Itu racun."
Tapi orang-orang pygmy tampaknya sudah tenang paling tidak, sampai Amy muncul
?menerobos semak-semak. Mereka berseru-seru dengan tegang dan langsung menarik
busur. Amy ketakutan dan berlari menghampiri Peter. Ia melompat dan bergandulan
di dadanya, hingga bajunya ber-lepotan lumpur.
Orang-orang pygmy sibuk membahas arti ke-munculan Amy. Beberapa pertanyaan
diajukan pada Munro. Akhirnya Elliot menurunkan Amy dan berpaling pada Munro.
"Apa yang Anda katakan pada mereka?"
"Mereka tanya apakah gorila itu milik Anda,
303 PARA PENARI DEWA dan saya jawab ya. Mereka tanya apakah gorila itu betina, dan saya jawab ya.
Mereka tanya apakah Anda punya ikatan dengan gorila itu; saya jawab tidak.
Mereka bilang itu bagus, Anda jangan terlalu terikat dengan gorila itu, sebab
itu akan membuat Anda susah." "Kenapa begitu?"
"Mereka bilang kalau gorila itu sudah dewasa, dia akan kabur ke hutan dan
membuat Anda sedih, atau membunuh Anda."
Ross tetap keberatan pergi ke desa pygmy di tepi Sungai Liko yang berjarak
beberapa kilometer. "Kita sudah melanggar tolok waktu," katanya, "dan semakin
lama kita semakin tertinggal."
Munro naik pitam, untuk pertama dan terakhir kali selama ekspedisi. "Dengar,
Dokter," ia meng-hardik, "kita bukan di pusat kota Houston, kita di tengah-
tengah Kongo, dan ini bukan tempat yang baik untuk mengalami cedera. Kita punya
obat-obatan. Orang itu mungkin membutuhkannya. Anda tak bisa meninggalkan dia
begitu saja. Tidak bisa."
"Kalau kita pergi ke desa itu," ujar Ross, "sisa hari ini akan terbuang percuma.
Kita bakal ketinggalan sembilan sampai sepuluh jam lagi. Sekarang ini kita masih
punya peluang. Tapi kalau ada penundaan lagi, kita tidak punya harapan sama
sekali." Salah satu orang pygmy mengatakan sesuatu
304 pada Munro. Munro mengangguk-angguk sambil melirik ke arah Ross. Kemudian ia
berpaling ke-pada yang lain.
"Dia bilang ada tulisan di kantong baju orang putih yang sakit itu. Dia akan
menggambarkannya untuk kita."
Ross menatap arlojinya dan menghela napas panjang.
Orang pygmy itu memungut ranting kayu dan menggoreskan huruf-huruf besar di
tanah becek. Ia menggambar dengan hati-hati dan mengerutkan ke-ning dengan penuh
konsentrasi ketika meniru sim-bol-simbol asing itu: E R T S.
"Ya Tuhan," bisik Ross.
Orang-orang pygmy ternyata tidak berjalan pelan-pelan ketika melintasi hutan;
mereka berlari dengan gesit, menyelinap di antara tumbuhan rambat dan dahan-
dahan, menghindari genangan air dan akar-akar yang malang melintang. Sesekali
mereka menoleh ke belakang dan menertawakan kesulitan yang dialami ketiga orang
kulit putih yang mengikuti mereka.
Elliot memang kewalahan. Ia merasa seakan setiap akar hendak menjegalnya, setiap
dahan mengincar kepalanya, dan setiap tumbuhan rambat berduri menanti-nanti
kesempatan merobek kulitnya. Napasnya tersengal-sengal ketika ia berusaha
mengejar orang-orang kecil yang berlari di depan. Ross mengalami masalah yang
sama, dan Munro 305 pun, meski cukup tangkas, mulai memperlihatkan tanda-tanda kelelahan.
Akhirnya mereka mencapai tepi sungai kecil dan lapangan terbuka yang bermandikan
sinar matahari. Orang-orang pygmy berhenti, lalu jongkok di atas batu-batu
besar, menghadap ke matahari. Orang-orang kulit putih langsung ambruk dan
menarik napas sambil megap-megap. Orang-orang pygmy rupanya menganggap ini lucu,
dan mereka tertawa geli. Orang-orang pygmy merupakan manusia pertama yang mendiami hutan tropis Kongo.
Bentuk tubuh mereka yang kecil, tingkah laku mereka yang khas, serta ketangkasan
yang mereka perlihatkan telah membuat mereka terkenal sejak berabad-abad lalu.
Lebih dari empat ribu tahun silam, seorang panglima Mesir kuno bernama Herkouf
memasuki hutan raya di sebelah barat Pegunungan Bulan. Di sana ia menemukan ras
manusia yang bernyanyi dan menari untuk memuja dewa mereka. Laporan Herkouf yang
menakjubkan mengandung banyak kebenaran, dan Herodotus serta kemudian Aris-
toteles pun berkeras bahwa kisah-kisah mengenai orang-orang kecil ini memang
benar, bukan khayalan belaka. Dalam perjalanan waktu, keberadaan para Penari
Dewa lalu diselubungi mitos.
Sampai abad ketujuh belas pun, orang-orang Eropa belum yakin apakah orang-orang
kecil berekor yang bisa terbang di antara pepohonan, sanggup membuat diri tidak
kelihatan, dan mampu 306 membunuh gajah memang benar-benar ada. Keraguan ini semakin besar karena rangka
tulang simpanse acap kali diduga sebagai rangka tulang orang pygmy. Colin
Turnbull mengemukakan bahwa banyak aspek dari mitos orang pygmy memang benar:
cawat yang terbuat dari kulit pohon yang ditumbuk sampai rata memang menyerupai
ekor; orang pygmy sanggup menyatu dengan hutan, sehingga nyaris tidak kelihatan;
dan sejak dulu mereka memang memburu dan membunuh gajah.
Orang-orang pygmy masih tertawa ketika mereka bangkit dan meneruskan perjalanan.
Orang-orang kulit putih berdiri sambil mendesah, lalu menyusul dengan langkah


Kongo Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

terseok-seok. Mereka berlari selama setengah jam, tanpa berhenti mau-pun
mengurangi kecepatan. Kemudian Elliot mencium asap dan mereka sampai di lapangan
terbuka, di tepi sungai yang merupakan desa orang-orang pygmy.
Elliot melihat sepuluh pondok bundar setinggi 120 sentimeter, disusun dalam
bentuk setengah lingkaran. Para penghuni desa sedang berada di luar. Kaum wanita
tengah membersihkan jamur dan biji-bijian yang mereka kumpulkan sepanjang hari,
atau memasak di atas api yang meretih-retih; anak-anak berlari-larian,
mengganggu kaum pria yang duduk-duduk sambil merokok di depan pon-dok-pondok.
Munro memberi isyarat berhenti, dan mereka menunggu di pinggir desa, sampai
mereka terlihat 307 oleh orang-orang pygmy. Kedatangan mereka menimbulkan kehebohan. Anak-anak
menunjuk-nun-juk sambil cekikikan; kaum pria minta tembakau pada Munro dan
Elliot; kaum wanita memegang-megang rambut Ross yang pirang sambil berdebat.
Seorang gadis cilik merangkak ke antara kaki Ross dan mengintip ke pipa
celananya. Munro menjelaskan bahwa para wanita ingin tahu apakah Ross mengecat
rambutnya. "Katakan pada mereka ini memang warna yang asli," ujar Ross tersipu-sipu.
Munro berbicara sejenak dengan para wanita. "Saya memberitahu mereka bahwa ini
warna ram-but ayah Anda," katanya kepada Ross. "Tapi saya tidak yakin mereka
percaya." Ia menyodorkan se-bungkus rokok kepada Elliot untuk dibagi-bagikan,
satu batang untuk masing-masing orang; pemberian itu disambut dengan senyum
lebar dan tawa cekikikan.
Seusai acara perkenalan, mereka diajak ke se-buah pondok baru di ujung desa,
tempat orang kulit putih yang mati berada. Mereka menemukan pria berusia tiga
puluhan yang kotor dan berjanggut sedang duduk bersila di ambang pintu, sambil
memandang ke luar. Setelah beberapa saat, Elliot menyadari bahwa orang itu
mengalami kata-toni ia sama sekali tidak bergerak.?"Oh, ya Tuhan," ujar Ross. "Ini Bob Driscoll."
"Anda kenal dia?" tanya Munro.
"Dia ahli geologi yang ikut ekspedisi Kongo
308 pertama." Ross membungkuk dan melambai-lam-baikan tangan di depan muka pria itu.
"Bobby, ini aku, Karen. Bobby, apa yang terjadi denganmu?"
Driscoll tidak memberi tanggapan, berkedip pun tidak. Ia tetap memandang lurus
ke depan. Salah satu orang pygmy mengatakan sesuatu kepada Munro. "Dia muncul empat hari
yang lalu," Munro menerjemahkan. "Dia mengamuk-amuk, dan mereka terpaksa
mengikatnya. Karena mereka pikir dia menderita blackwater fever, mereka
membuatkan pondok terpisah dan memberikan obat padanya, dan sejak itu dia jadi
tenang. Dia membiarkan mereka menyuapkan makanan, tapi tak pernah bicara. Mereka
pikir dia sempat ditangkap anak buah Jenderal Muguru dan disiksa, atau dia
agudu orang bisu." ?Ross mundur sambil membelalakkan mata.
"Kelihatannya tak ada yang bisa kita lakukan untuk dia," kata Munro. "Kondisinya
terlalu parah. Secara fisik dia sehat, tapi..." Ia. menggelengkan kepala.
"Saya akan memberitahukan lokasinya pada Houston," kata Ross. "Biar mereka bisa
mengirim bantuan dari Kinshasa."
Selama percakapan itu, Driscoll tak bergerak sedikit pun. Elliot maju untuk
menatap matanya, tapi ketika ia mendekat, Driscoll mengerutkan hi-dung. Seluruh
tubuhnya menegang dan ia melepaskan pekikan melengking "Ah-ah-ah-ah" seakan-? ?akan hendak menjerit.
309 Elliot terkejut dan langsung mundur, dan Driscoll segera tenang kembali. "Ada
apa dengan dia?" Salah satu orang pygmy berbisik pada Munro. "Dia bilang, bau Anda seperti
gorila," ujar Munro.
310 3 Dua jam kemudian, mereka kembali bergabung dengan Kahega dan yang lain. Salah
satu orang pygmy lalu mengantar mereka melintasi hutan belantara di sebelah
selatan Gabutu. Semuanya mu-rung, berdiam diri, dan terserang disentri.
Orang-orang pygmy Jberkeras mereka ikut makan malam bersama, dan Munro merasa
tak dapat menolak ajakan itu. Hidangan yang disajikan berupa kitsombe, kentang
liar yang menyerupai asparagus; bawang hutan yang disebut otsa; dan modoke, daun
ubi liar, serta beberapa jenis jamur. Selain itu masih ada sedikit daging kura-
kura yang liat dan beberapa belalang, ulat, cacing, kodok, dan keong.
Makanan ini sebenarnya dua kali lebih kaya protein dibandingkan daging sapi,
tapi memang kurang cocok untuk perut orang yang belum terbiasa. Berita-berita
yang terdengar saat mereka duduk mengelilingi api unggun pun tidak membesarkan
hati. 311 RAGORA Menurut orang-orang pygmy, pasukan Jenderal Muguru mendirikan pos perbekalan di
tebing Mak-ran, padahal Munro justru menuju ke sana. "Lebih baik kita jangan
bertemu mereka," ia berkata, lalu menjelaskan bahwa bahasa Swahili tidak
mengenal padanan untuk istilah "sikap ksatria", dan hal yang sama juga berlaku
untuk logat yang digunakan di Kongo, yaitu Lingala. "Di sini, aturan mainnya
adalah membunuh atau dibunuh. Jadi, sebaiknya kita menghindar saja."
Satu-satunya jalur alternatif akan membawa mereka ke barat, ke Sungai Ragora.
Munro mengamati peta, sementara Ross menatap layar komputer; kedua-duanya
mengerutkan kening. "Ada apa dengan Sungai Ragora?" tanya Elliot.
"Mungkin tidak ada apa-apa," jawab Munro. "Tergantung seberapa tinggi curah
hujan belakangan ini."
Ross melirik jam tangannya. "Kita sudah terlambat dua belas jam sekarang," ia
berkata. "Satu-satunya cara untuk mengejar ketertinggalan kita adalah dengan
melanjutkan perjalanan sepanjang malam lewat sungai."
"Memang itu rencana saya," ujar Munro.
Ross belum pernah rnendengar seorang pemandu membawa rombongannya melewati
daerah liar pada malam hari. "O ya" Kenapa?"
"Sebab," balas Munro, "rintangan-rintangan di sebelah hilir lebih mudah diatasi
pada malam hari." 312 "Rintangan apa?"
"Nanti saja kita bicarakan," kata Munro, "kalau kita sudah sampai di sana."
Satu setengah kilometer sebelum Sungai Ragora, mereka rnendengar suara air
berderu-deru. Amy langsung gelisah dan berulang-ulang memberi isyarat Air apa"
Elliot mencoba menenangkannya, namun ia tidak mau berusaha terlalu keras. Amy
mau tak mau harus menghadapi sungai itu, meskipun dicekam ketakutan.
Tapi ketika sampai di tepi sungai, mereka menyadari bahwa suara berderu-deru itu
berasal dari jeram-jeram di atas. Sungai berwarna cokelat lum-pur di hadapan
mereka mengalir tenang. "Kelihatannya tidak terlalu buruk," Elliot berkomentar.
"Ya," sahut Munro. "Kelihatannya begitu."
Tapi Munro paham betul mengenai sungai Kongo. Sungai keempat terbesar di dunia
itu (setelah Sungai Nil, Amazon, dan Yangtze) bersifat unik dalam banyak hal.
Sungai tersebut meliuk-liuk bagaikan ular raksasa dalam perjalanannya membelah
Afrika, dan dua kali melintasi khatulistiwa yang pertama ke arah utara, menuju ?Kisangani, kemudian ke arah selatan, di Mbandaka. Kenyataan ini demikian luar
biasa, sehingga sampai seratus tahun lalu pun para ahli geografi belum percaya
bahwa itu benar. Berhubung sungai Kongo mengalir di sebelah utara maupun selatan
khatulis-313 tiwa, selalu ada musim hujan di salah satu daerah yang dilaluinya. Sungai
tersebut tidak terpengaruh fluktuasi musiman yang mencirikan sungai-sungai
seperti Sungai Nil. Setiap detik sungai Kongo me-numpahkan 450.000 meter kubik
air ke Samudra Atlantik, lebih banyak dibandingkan sungai mana pun selain Sungai
Amazon. Tapi akibat alurnya yang berliku-liku, sungai Kongo juga termasuk salah satu
sungai besar yang paling menyulitkan pelayaran. Rintangan-rintangan serius
dimulai dengan jeram di Stanley Pool, sekitar 450 kilometer dari Samudra
Atlantik. Tiga ribu kilometer ke arah hulu, di Kisangani, tempat lebar sungai
itu masih satu setengah kilometer, Air Terjun Wagenia mengakhiri semua kegiatan
pelayaran. Orang yang menyusuri anak-anak sungai Kongo ke arah hulu akan menemui
hambatan-hambatan lebih berat lagi, sebab di atas Kisangani anak-anak sungai itu
mengalir kencang ke daerah hutan yang rendah dari sumber masing-masing sabana
?dataran tinggi di sebelah selatan, dan Pegunungan Ruwenzori berketinggian 4.800
meter di sebelah timur. Anak-anak sungai tersebut telah membentuk sejumlah ngarai, dan yang paling
menakutkan adalah Portes d'Enfer Gerbang Neraka di Kongolo. Di sini, Sungai
? ?Lualaba yang tenang melewati ngarai sedalam 750 meter dengan lebar 100 meter.
Sungai Ragora merupakan salah satu anak Sungai Lualaba, dan bergabung di dekat
Kisangani. 314 Suku-suku di sepanjang aliran sungai itu menamakannya baratawani, "jalan
menyesatkan", sebab perangai Sungai Ragora dapat berubah dalam wak-tu singkat.
Ciri utamanya adalah Ngarai Ragora, sebuah celah sedalam dua ratus meter yang di
beberapa tempat lebarnya tiga meter. Tergantung curah hujan, Ngarai Ragora bisa
memberikan pemandangan indah atau mimpi buruk mengerikan bagi setiap orang yang
melewatinya. Ketika mencapai Abutu, mereka masih 22,5 kilometer di sebelah hulu Ngarai
Ragora, dan kondisi sungai di tempat tersebut tidak memberi petunjuk sedikit pun
mengenai kondisi yang akan mereka jumpai nanti. Munro menyadari semuanya itu,
tapi ia merasa tak perlu menjelaskannya pada Elliot, apalagi mengingat Elliot
sedang sibuk menangani Amy.
Sebelum mereka mengawali perjalanan lewat sungai, Amy sempat memperhatikan anak
buah Kahega memompa dua perahu karet Zodiak, dan semakin lama ia semakin
gelisah. Ia menarik-narik lengan baju Elliot dan bertanya Balon apa"
"Itu perahu, Amy," jawab Elliot, meskipun ia mendapat kesan Amy sudah tahu dan
sengaja menggunakan kata lain. "Perahu" merupakan kata yang sangat sulit
dipelajari Amy; berhubung ia tidak suka air, ia juga tidak berminat pada apa pun
yang digunakan untuk berlayar.
Kenapa perahu" ia bertanya.
315 "Kita naik perahu sekarang," ujar Elliot.
Kedua perahu karet sedang didorong ke tepi air dan diisi perlengkapan oleh anak
buah Kahega. Kemudian mereka mengikat semuanya kencang-kencang.
Siapa naik perahu" tanya Amy.
"Kita semua," balas Elliot.
Amy kembali memperhatikan kesibukan di sekitarnya. Orang-orang tampak gelisah,
Munro menyeru-nyerukan perintah, anak buah Kahega bekerja terburu-buru. Seperti
sudah sering dibuktikan-nya, Amy sangat peka terhadap suasana hati orang-orang
di sekelilingnya. Elliot tak pernah lupa Bagaimana Amy berkata ada yang tidak
beres dengan Sarah Johnson, berhari-hari sebelum Sarah memberitahu staf Proyek
Amy bahwa ia berpisah dengan suaminya. Elliot yakin sekarang pun Amy sanggup
merasakan kecemasan mereka. Ke seberang air naik perahu" Amy bertanya.
"Bukan, Amy," Elliot menyahut. "Bukan ke seberang. Ikut sungai."
Tidak, Amy menyatakan sambil meluruskan punggung dan mengencangkan otot-otot
bahu. "Amy," ujar Elliot, "kita tidak bisa meninggal-kanmu di sini."
Amy punya pemecahan untuk masalah itu. Orang lain pergi. Peter tinggal Amy.
"Maaf, Amy," balas Elliot. "Aku harus ikut. Kau harus ikut."
Tidak, Amy memberi isyarat. Amy tidak pergi.
316 "Ya, Amy." Elliot mengambil ranselnya, mengeluarkan alat suntik dan sebotol
Thoralen. Sambil mengencangkan semua ototnya, Amy menempelkan tangannya yang terkepal ke
bawah dagu. "Jangan bicara sembarangan, Amy," Elliot mem-peringatkannya.
Ross mendekati mereka untuk menyerahkan ja-ket pelampung berwarna jingga kepada
Elliot dan Amy. "Ada apa?"
"Dia memaki saya," jawab Elliot. "Lebih baik biarkan kami berdua saja." Ross
menatap tubuh Amy yang tampak kaku, lalu cepat-cepat pergi.
Amy memberi isyarat untuk nama Peter, lalu kembali menempelkan kepalan tangannya
ke bawah dagu. Ini isyarat Ameslan yang dalam laporan-laporan ilmiah biasanya
diterjemahkan sebagai "kotor", tapi isyarat tersebut paling sering dipakai oleh
monyet-monyet yang perlu buang air. Para pakar primata tahu persis apa maksud
sesungguhnya. Amy sedang memaki, Peter tahi.
Hampir semua primata berkemampuan bahasa suka memaki, dan untuk itu mereka
menggunakan berbagai macam kata. Kadang-kadang makian tersebut seakan-akan
dipilih secara acak "kacang" atau "burung" atau "cucian". Tapi paling tidak, ?delapan primata di laboratorium yang berbeda-beda menggunakan isyarat tangan
terkepal sebagai ungkapan kekesalan. Satu-satunya alasan persama-an yang
mencengangkan ini tak pernah dicatat
317 adalah karena tak satu peneliti pun mau berusaha menjelaskannya. Sepertinya ini
membuktikan bahwa monyet, sama halnya dengan manusia, menganggap zat-zat yang
dikeluarkan dari tubuh sebagai istilah yang cocok untuk menghina atau menyatakan
kekesalan. Peter tahi, Amy mengulangi.
"Amy..." Elliot memperbesar dosis Thoralen yang sedang disedotnya ke dalam alat
suntik. Peter tahi perahu tahi orang-orang tahi.
"Sudah, Amy!" Elliot pun mengencangkan otot-ototnya dan meniru sikap gorila yang
sedang ma-rah; ini sering bisa menghentikan tingkah Amy, tapi kali ini tidak
berhasil. Peter tidak suka Amy. Kini ia merengut dan membuang muka.
"Jangan konyol," ujar Elliot. Ia menghampiri Amy dengan alat suntik siap di
tangan. "Peter suka Amy."
Amy mundur dan tidak membiarkan Elliot mendekat. Akhirnya Elliot terpaksa
menggunakan pistol CO2 dan menembakkan anak panah ke dada Amy. Ia sudah
bertahun-tahun mengenal Amy, dan dalam masa itu ia hanya tiga atau empat kali
terpaksa mengambil tindakan tersebut. Amy mencabut panah itu sambil memasang
tampang sedih. Peter tidak suka Amy.
"Maaf," ujar Elliot, kemudian cepat-cepat melangkah untuk menangkap Amy yang
memutar-mutar bola mata dan jatuh ke pelukannya.
318 Amy telentang di kaki Elliot, di perahu kedua. Di depan, Elliot melihat Munro
berdiri di perahu pertama, menunjukkan jalan ketika kedua perahu Zodiak itu
menyusuri sungai, tanpa suara.
Munro telah membagi dua ekspedisi mereka, dan masing-masing perahu kini berisi
enam penumpang. Munro naik perahu pertama; Elliot, Ross, dan Amy masuk perahu
kedua, di bawah komando Kahega. Dengan demikian, kata Munro, perahu kedua bisa
"belajar dari kesalahan kami".
Selama dua jam pertama di Sungai Ragora, tak ada yang membuat kesalahan. Elliot
merasa luar biasa tenteram ketika duduk di haluan perahu, memperhatikan hutan di
kedua sisi sungai berlalu dalam suasana hening. Pemandangannya indah, na-mun
udaranya panas sekali. Ross membiarkan tangannya membelah air di samping perahu,
sampai Kahega melarangnya.
"Di mana ada air, di situ ada mamba" ia berkata.
Kahega menunjuk ke tepi sungai yang berlumpur, tempat buaya-buaya sedang
berjemur tanpa memedulikan kehadiran kedua perahu. Sesekali salah satu reptil
raksasa itu menguap lebar, tapi selebihnya mereka tampak lamban dan tidak
tertarik. Elliot agak kecewa. Ketika masih kecil, ia sering menonton film-film tentang
hutan belantara, di mana buaya-buaya langsung meluncur ke air
319 jika ada perahu mendekat. "Kenapa mereka tidak mengganggu kita?" ia bertanya.
"Terlalu panas," jawab Kahega. "Mamba tidur kecuali kalau sejuk, dan makan pagi-
pagi atau malam, bukan sekarang. Kalau siang, orang Ki-kuyu bilang mamba masuk
tentara, satu-dua-tiga-empat." Ia tertawa.
Baru setelah mendapatkan penjelasan panjang-lebar Elliot mengerti bahwa buaya
mempunyai kebiasaan mengangkat badan secara berkala pada siang hari, dan gerakan
tersebut mengingatkan Kahega pada olahraga tentara.
"Kenapa Munro begitu khawatir?" Elliot bertanya. "Karena buaya-buaya itu?"
"Bukan," balas Kahega.
"Karena Ngarai Ragora?"
"Bukan," jawab Kahega.
"Kalau begitu apa?"
"Sesudah ngarai," ujar Kahega.
Kini Sungai Ragora membelok. Mereka melewati sebuah tikungan dan rnendengar
bunyi gemuruh yang semakin keras. Laju kedua perahu bertambah kencang. Kahega
berseru, "Pegangan baik-baik, Dokter!"
Kemudian mereka memasuki ngarai.


Kongo Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Elliot tidak ingat persis apa saja yang terjadi. Ia ingat air lumpur yang
bergolak dan berbuih putih dalam cahaya matahari; ia ingat bagaimana pe-rahunya
terempas-empas liar, dan perahu Munro di
320 depan tampak memberontak tak beraturan, namun anehnya tak sampai terbalik
, Mereka melaju begitu kencang, sehingga sukar memfokuskan perhatian pada
dinding ngarai yang licki, pada udara panas dan air lumpur yang di-ngin, yang
menerjang-nerjang mereka sampai semuanya basah kuyup; pada golakan air yang se-
olah-olah mendidih di sekeliling batu-batu hitam yang menonjol dari permukaan,
bagaikan kepala gundul orang-orang tenggelam.
Segala sesuatu terjadi begitu cepat.
Berkali-kali perahu Munro di depan menghilang dari pandangan, kadang-kadang
sampai bermenit-menit, tersembunyi di balik gelombang raksasa yang diam di
tempat. Gemuruh air memantul pada tebing-tebing, bergema; menjadi bagian yang
ter-pisahkan dari dunia mereka. Di dasar ngarai yang tak terjangkau cahaya
matahari, kedua perahu itu terseret arus menembus neraka, membentur-bentur
dinding karang, berputar-putar, sementara para penumpang mengumpat dan menghalau
tebing-tebing dengan dayung masing-masing.
Amy berbaring dalam posisi telentang, terikat ke sisi perahu. Elliot terus
dihantui ketakutan bahwa Amy akan tenggelam di tengah terjangan ombak. Keadaan
Ross sama saja; ia terus bergumam, "Ya Tuhan, ya Tuhan, ya Tuhan, ya Tuhan,"
sementara ombak-ombak tak henti-hentinya mempermainkan perahu mereka.
Dan bukan itu saja cobaan yang dihadirkan alam
321 untuk mereka. Kawanan nyamuk yang haus darah menyerupai awan hitam di dasar
ngarai yang bergolak dan mengamuk. Rasanya tidak masuk akal bahwa ada nyamuk di
Ngarai Ragora yang berderu-deru, tapi nyatanya demikian. Kedua perahu itu
terempas-empas, dan dalam kegelapan yang semakin pekat, para penumpang sibuk
mengeluarkan air dari perahu sambil menepuk-nepuk nyamuk.
Sekonyong-konyong alur sungai melebar lagi. Arus yang semula deras menjadi
pelan, dan dinding-dinding ngarai menjauh ke kiri-kanan. Suasana kembali tenang.
Elliot kehabisan tenaga. Ia duduk bersandar, setengah berbaring, membiarkan
sinar matahari yang sedang terbenam menerpa wajahnya, dan merasakan air mengalir
di bawah perahu mereka. "Kita selamat," ia berkata.
"Untuk sementara," balas Kahega. "Pepatah orang Kikuyu bilang, tak ada yang
selamat dari kehidupan. Jangan santai dulu, Dokter!"
Ross mendesah, "Entah kenapa, saya percaya dia benar." .
Mereka mengikuti arus selama satu jam lagi. Dinding-dinding karang di kedua sisi
sungai semakin mundur, sampai mereka akhirnya kembali berada di tengah hutan
tropis Afrika yang datar. Sepertinya Ngarai Ragora tak pernah ada. Sungai Ragora
kini mengalir perlahan, tampak keemasan dalam cahaya matahari sore.
322 Elliot membuka kemejanya yang basah kuyup dan mengenakan sweater, sebab udara
senja terasa dingin. Amy tidur mendengkur, diselimuti handuk agar tidak
kedinginan. Ross memeriksa peralatan pernancarnya, untuk memastikan semuanya
masih berfungsi dengan baik. Ketika ia selesai, matahari sudah terbenam dan
kegelapan mulai menyelu-. bungi alam. Kahega mengeluarkan sepucuk senapan dan
mengisinya dengan peluru-peluru ge-muk pendek berwarna kuning.
"Untuk apa itu?" tanya Elliot.
"Kiboko," jawab Kahega. "Saya tidak tahu kata dalam bahasa Inggris." Ia berseru,
"Mzeef Nini maana kiboko?"
Munro, yang duduk di perahu pertama, menoleh ke belakang. "Hipopotamus kuda ?nil."
"Hipo," kata Kahega.
"Apakah mereka berbahaya?" tanya Elliot. "Kalau malam, mudah-mudahan tidak,"
balas Kahega. "Tapi menurut saya, ya."
Abad kedua puluh ditandai oleh penelitian intensif terhadap binatang-binatang
liar, yang menjungkir-balikkan anggapan-anggapan yang telah bertahan lama. Kini
diketahui bahwa rusa yang lemah lem-but sesungguhnya hidup dalam masyarakat yang
kejam, sementara serigala yang umumnya dianggap keji justru sangat memperhatikan
keluarga dan keturunannya. Dan status singa Afrika raja segala' binatang turun
? ?menjadi pemakan bangkai yang
323 licik, sedangkan hiena yang hina memperoleh kedudukan lebih terhormat. (Selama
beberapa dasawarsa, para pengamat biasa menemukan kawanan singa melahap mangsa
pada dini hari, sementara gerombolan hiena menunggu kesempatan di pinggir. Tapi
setelah para ilmuwan mulai mengadakan penelitian malam, mereka memperoleh
penjelasan baru: sesungguhnya hiena-lah yang membunuh mangsa, namun kemudian
diusir oleh singa yang malas dan serakah sendiri. Ini diperkuat melalui
pengamatan bahwa singa sering kali bersikap tak terduga dan jahat, sementara
hiena memiliki struktur sosial yang jelas satu lagi prasangka manusia terhadap ?dunia binatang.)
Tapi kuda nil tetap merupakan binatang yang kurang dipahami. Kuda nil adalah
binatang kedua terbesar di Afrika setelah gajah, tapi karena ke-biasaannya
berendam dalam air dengan menyem-bulkan hanya mata dan hidung, kuda nil jadi
sulit dipelajari. Kuda nil hidup dalam kelompok dengan delapan sampai empat
belas anggota, terdiri atas satu pejantan dewasa, beberapa betina, serta
keturunan mereka. Meski berbadan gemuk dan berpenampilan menggelikan, kuda nil bertabiat kasar dan
galak. Kuda nil jantan dapat mencapai panjang 4,2 meter dan beratnya hampir lima
ribu kilogram, tapi jika sedang menyerang, ia sanggup berlari cukup kencang
untuk ukuran binatang sebesar itu. Keempat gigi taringnya yang pendek dan
berujung tumpul 324 sebenarnya amat tajam di bagian pinggir, dan ia menyerang dengan cara menyayat,
yaitu dengan menggerak-gerakkan mulutnya yang menganga bagaikan gua dari kiri ke
kanan, bukan dengan menggigit. Dan berbeda dengan binatang-binatang lain,
pertarungan antara dua kuda nil jantan sering berakhir dengan kematian akibat
luka sayat yang dalam. Binatang itu juga berbahaya bagi manusia. Di sungai-sungai yang dihuni kawanan
kuda nil, setengah dari kematian orang pribumi disebabkan oleh kuda nil, sisanya
oleh gajah dan kucing pe-mangsa. Kuda nil pemakan tumbuhan, dan pada malam hari
naik ke darat untuk merumput. Orang yang berhadapan dengan kuda nil yang sedang
berada di darat dan hendak kembali ke sungai biasanya tidak selamat.
Namun kuda nil berperan besar dalam ekologi sungai Afrika. Tinjanya, yang
dihasilkan dalam jumlah besar, merupakan pupuk bagi rerumputan sungai, dan
ilalang ini menjadi tempat tinggal ikan dan makhluk-makhluk lain. Tanpa kuda
nil, sungai-sungai di Afrika akan steril dan mati.
Selain ini, masih ada satu hal yang diketahui. Kuda nil termasuk binatang yang
tidak mentolerir ancaman terhadap wilayah kekuasaannya. Tanpa kecuali, kuda nil
jantan mempertahankan sungai-nya terhadap setiap pengganggu. Dan ini meliputi
kuda nil lain, buaya, dan perahu-perahu yang le-wat. Beserta orang-orang di
dalamnya. 325 HARI 7 MUKENKO 19 Juni 1979 di scan dan di-djvu kan unluk dimhader (dimhad.co.cc] oleh
OBI D ilarang meng-komersil-kan atau kcsialan mcnimpa anda selamanya
KIBOKO Munro mempunyai dua alasan untuk meneruskan perjalanan pada malam hari. Pertama,
ia berharap dapat mengejar waktu, sebab semua perkiraan komputer didasarkan atas
asumsi bahwa mereka akan berhenti setiap malam. Tapi melayari sungai di bawah
cahaya bulan tidak membutuhkan usaha tambahan. Sebagian besar anggota rombongan
bisa tidur, dan pada waktu fajar menyingsing, mereka telah menempuh jarak 75
sampai 90 kilometer, tanpa terasa.
Tapi yang lebih penting lagi, Munro berharap dapat menghindari kawanan kuda nil
di Sungai Ragora, yang dengan mudah bisa menghancurkan perahu-perahu karet
mereka. Pada siang hari, kawanan kuda nil biasa berendam di kubangan di pinggir
sungai, dan para pejantan pasti akan menyerang setiap perahu yang lewat. Pada
malam hari, saat binatang-binatang itu mencari makan di darat, rombongan bisa
mengelakkan konfrontasi dan lewat dengan a man.
329 Rencana Munro memang cerdik, namun terancam gagal karena alasan yang sama sekali
di luar dugaan mereka melaju terlalu kencang di sungai, sehingga terlalu cepat ?tiba di bagian yang dihuni kuda nil. Pukul sembilan mereka sudah sampai di
daerah itu; terlalu dini bagi kuda nil untuk mencari makan di darat. Binatang-
binatang itu akan menyerang dalam kegelapan.
?Sungai Ragora meliuk-liuk bagaikan ular. Dan di setiap tikungan terdapat kolam
dangkal yang oleh Kahega dikatakan sebagai air tenang yang menjadi tempat
tinggal kuda nil. Ia juga menunjuk rerumputan di kedua tepi sungai yang tampak
pendek, seolah-olah baru dipangkas.
"Sebentar lagi," ia berkata.
Mereka rnendengar suara mendengkur rendah "Haw-huh-huh-huh." Kedengarannya
seperti orang tua hendak membuang dahak. Munro langsung waspada. Arus sungai
membawa mereka melewati satu tikungan lagi. Kedua perahu terpisah sekitar
sepuluh meter. Munro siap dengan senapan di tangan.
Suara itu terdengar lagi, kali ini seperti kor, "How-huh-huh-huh."
Kahega mengukur kedalaman sungai. Dayung-nya masuk hanya semeter kurang sebelum
membentur dasar. "Dangkal," ia berkata sambil menggelengkan kepala.
"Gawatkah ini?" tanya Ross.
330 "Ya, saya kira ini gawat."
Mereka melewati tikungan berikut, dan di dekat tepi Elliot melihat setengah
lusin batu hitam menyembul dari permukaan air, berkilau-kilau dalam cahaya
bulan. Sekonyong-konyong salah satu "batu" terangkat, dan Elliot melihat makhluk
besar sekali muncul dari air dangkal. Serta-merta kuda nil itu menerjang perahu
Munro. Munro menembakkan suar magnesium. Dalam cahaya putih yang terang benderang,
Elliot melihat mulut raksasa dengan empat gigi taring tumpul. Sedetik kemudian
kuda nil itu telah terselubung awan gas berwarna kuning pucat. Gas itu terbawa
angin ke arah mereka, membuat mata mereka perih.
"Dia memakai gas air mata," ujar Ross.
Perahu Munro sudah lewat. Sambil mengaum kesakitan, kuda nil jantan itu menyelam
dan menghilang dari pandangan. Para penumpang perahu kedua berjaga-jaga sambil
mengedip-ngedipkan mata. Suar magnesium tadi mendesis dan menukik, menghasilkan
bayangan yang semakin lama semakin panjang.
"Barangkali dia jeri," kata Elliot. Suasana he-ning, permukaan sungai pun tampak
tenang Tiba-tiba haluan perahu terdorong ke atas, kuda nil itu meraung dan Ross
menjerit. Kahega terempas ke belakang. Senapannya meletus ke udara. Air
bercipratan ke segala arah. Elliot cepat-cepat berdiri untuk memeriksa keadaan
Amy. Ketika mengangkat kepala, ia menatap ke dalam mulut
331 raksasa yang menganga lebar dan merasakan embusan napas panas. Mulut itu
menghunjam sambil bergerak menyamping. Dua gigi taring merobek lambung perahu karet, dan seketika terdengar bu-nyi
mendesis. Mulut itu membuka lagi, tapi Kahega sudah bangkit dan menembakkan awan gas yang
menusuk-nusuk mata. Kuda nil itu segera mundur dan kembali menyelam. Gerakan
mendadak tersebut mengguncangkan perahu dan mendorongnya menjauh. Seluruh sisi
kanan perahu mengempis dengan cepat. Elliot mencoba menutupi lubang-lubang yang
menganga dengan kedua tangan, namun usahanya sia-sia. Dalam waktu tak lebih dari
satu menit, mereka akan tenggelam.
Kuda nil jantan di belakang mereka terus mengejar, membelah air bagaikan
speedboat sambil menggeram murka.
"Pegangan, pegangan!" Kahega berseru, lalu kembali melepaskan tembakan. Kuda nil
itu hilang di balik awan gas, dan perahu mereka melewati tikungan berikut.
Ketika awan gas menipis, binatang itu sudah lenyap. Suar magnesium jatuh ke air,
dan sungai kembali diselubungi kegelapan. Elliot mencengkeram Amy ketika perahu
mereka tenggelam, dan mereka berdiri di air berlumpur sedalam lutut.
Mereka berhasil menarik perahu Zodiak ke tepi sungai yang gelap. Munro menyusul
dengan perahu satunya. Ia mengamati kerusakan yang ter -
332 jadi, kemudian berkata bahwa mereka harus menggunakan perahu cadangan agar dapat
melanjutkan perjalanan. Ia lalu menyuruh mereka beristirahat dulu, dan semuanya
menjatuhkan diri di tepi air, berbaring sambil mengusir nyamuk.
Lamunan mereka dibuyarkan oleh raungan roket-roket darat-udara yang meledak di
langit. Setiap ledakan membuat tepi sungai bermandikan cahaya merah sebelum
kembali ditelan kegelapan.
"Pasukan Muguru," ujar Munro sambil meraih teropong.
"Apa sasaran mereka?" tanya Elliot, menatap langit yang hitam.
"Entahlah," jawab Munro.
Amy menggamit lengan Munro dan memberi isyarat, Burung datang. Tapi mereka tidak
rnendengar suara pesawat, hanya ledakan-ledakan roket.
Munro bertanya, "Mungkinkah dia rnendengar sesuatu?"
"Pendengarannya tajam sekali," balas Elliot.
Kemudian mereka rnendengar suara menderu-deru dari sebuah pesawat di kejauhan,
yang mendekat dari arah selatan. Ketika pesawat itu mulai tampak, mereka
melihatnya membelok-belok di te-ngah ledakan-ledakan berwarna kuning kemerahan
yang memantul pada badannya.
"Orang-orang malang itu mengejar waktu," ujar Munro sambil memandang melalui
teropong. "Itu pesawat kargo C-130 dengan tanda Jepang di
333 ekornya. Pesawat suplai untuk base camp pihak konsorsium kalau mereka bisa ?selamat."
Di depan mata mereka pesawat tersebut membelok ke kiri-kanan, menerobos di
antara bola-bola api yang dihasilkan oleh ledakan roket.
"Awaknya pasti gemetaran," kata Munro. "Mereka pasti tak menyangka bakal
disambut seperti ini."
Elliot merasa iba pada awak pesawat itu. Ia membayangkan bagaimana mereka
memandang ke luar jendela, sementara roket-roket meledak di sekeliling pesawat.
Mereka pasti berceloteh dalam bahasa Jepang dan menyesal datang ke tempat itu.
Sesaat setelah itu, pesawat tersebut melintas di atas kepala mereka dan segera
menghilang dari pandangan, dikejar oleh roket berekor merah membara. Elliot
rnendengar bunyi ledakan di kejauhan.
"Sepertinya mereka lolos," Munro berkata sambil bangkit. "Dan kita juga harus
meneruskan perjalanan." Dalam bahasa Swahili, ia menyuruh Kahega mempersiapkan
anak buahnya. 334 2 Elliot menggigil. Ia merapatkan mantelnya dan menunggu sampai badai hujan es
berhenti. Mereka meringkuk di bawah pohon-pohon cemara pada ketinggian 2.400
meter di lereng Gunung Mukenko. Saat itu pukul 10.00, dan suhu udara sekitar
20?C. Lima jam sebelumnya, mereka meninggalkan sungai dan menembus hutan tropis
yang lembap dan bersuhu 38?C.
Amy duduk di samping Elliot. Ia memperhatikan butir-butir es seukuran bola golf
menerobos dedaunan dan jatuh ke rumput. Ini pertama kali ia mengalami hujan es.
Ia memberi isyarat, Apa ini"
"Hujan es," jawab Elliot.
Peter suruh berhenti "Sayangnya aku tidak bisa, Amy."
Sejenak Amy mengamati hujan, kemudian kembali memberi isyarat, Amy mau pulang.
Sejak semalam Amy mengutarakan keinginannya untuk pulang. Walaupun tidak lagi di
bawah 335 MUKENKO pengaruh Thoralen, ia tetap murung dan menutup diri. Elliot menawarkan makanan
untuk menghi-burnya. Amy memberi isyarat bahwa ia minta susu. Ketika Elliot
menjawab bahwa mereka tidak membawa susu (dan ini sebenarnya sudah diketahui
Amy), Amy memberi isyarat bahwa ia minta pisang. Kahega lalu mengeluarkan satu
sisir pisang liar yang agak asam. Pada hari-hari sebelumnya, Amy melahap pisang-
pisang itu tanpa komentar, tapi kini ia membuang semuanya ke sungai dan menuntut
"pisang sungguhan".
Ketika Elliot memberitahunya bahwa mereka tidak punya pisang sungguhan, Amy
memberi isyarat, Amy mau pulang.
"Kita belum bisa pulang sekarang, Amy."
Amy gorila baik Peter bawa Amy pulang.
Sejak kecil, Amy mengenal Peter sebagai orang paling berkuasa, orang yang
memutuskan segala sesuatu dalam lingkup Proyek Amy. Elliot tak sanggup
menjelaskan bahwa kini orang lain yang memegang kendali, dan ia tidak bermaksud
menghukum Amy dengan menahannya di sini.
Sebenarnya mereka semua patah semangat. Se-mula mereka sudah tak sabar untuk


Kongo Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

melepaskan diri dari udara panas hutan tropis, tapi setelah mulai mendaki lereng
Mukenko, semangat mereka segera terkikis habis. "Ya ampun," Ross mengeluh.
"Semalam kuda nil, sekarang hujan es."
Hujan es mendadak berhenti, seakan-akan men -
336 dengar keluhan itu. "Oke," ujar Munro. "Kita jalan lagi."
Sampai tahun 1933, belum ada satu orang pun yang berhasil menaklukkan puncak
Mukenko. Tahun 1908 rombongan Jerman di bawah von Ranke dihantam badai dan
terpaksa turun kembali. Lima tahun setelah itu, sebuah tim Belgia berhasil
mencapai ketinggian 3.000 meter, namun tak dapat menemukan jalur ke puncak;
rombongan Jerman lainnya terpaksa menghentikan usaha mereka pada tahun 1919
karena dua pendakinya jatuh dan te-was, di atas ketinggian 3.600 meter. Meski
demikian, Mukenko digolongkan sebagai gunung yang relatif mudah oleh sebagian
besar pendaki, yang pada umumnya membutuhkan satu hari untuk sampai di puncak.
Setelah tahun 1943, sebuah jalur baru yang amat lamban namun tidak berbahaya
ditemukan di lereng tenggara, dan jalur inilah yang ditempuh oleh hampir semua
orang. Di atas 2.700 meter, hutan cemara berakhir dan mereka melintasi padang-padang
rumput yang diselubungi kabut dingin. Udara lebih tipis, Ross dan Elliot
berulang kali menuntut istirahat. Munro tidak memedulikan keluhan mereka. "Apa
yang Anda harapkan?" ia berkomentar dengan ketus. "Ini gunung. Gunung memang
tinggi." Ia bersikap keras, terutama terhadap Ross yang tampaknya paling cepat
letih. "Bagaimana dengan tolok waktu Anda?" ia kerap bertanya dengan nada
menantang. 337 "Kita bahkan belum sampai di bagian yang sulit. Perjalanannya baru mulai menarik
setelah 3.300 meter. Kalau Anda berhenti sekarang, kita takkan mencapai puncak
sebelum malam, dan itu berarti kita kehilangan satu hari penuh."
"Masa bodoh," Ross akhirnya berkata, lalu menjatuhkan diri ke tanah. Napasnya
tersengal-sengal. "Dasar perempuan," Munro mencibir, kemudian tersenyum ketika Ross mendelik ke
arahnya. Munro mengejek mereka, memarahi mereka, membesarkan hati mereka dan ?entah bagaimana berhasil membuat mereka maju terus.
Di atas ketinggian 3.000 meter, rumput digantikan oleh hamparan lumut. Di sana-
sini mereka menemui pohon-pohon lobelia berdaun tebal yang tiba-tiba saja muncul
dari balik kabut kelabu. An-tara 3.000 meter dan puncak gunung tidak ada tempat
berlindung, dan karena itulah Munro terus memacu mereka. Ia tak ingin terjebak
badai di lereng yang tandus.
Matahari muncul ketika mereka mencapai ketinggian 3.300 meter, dan mereka
berhenti guna memasang laser-penunjuk-arah kedua untuk sistem laser-fix ERTS.
Pada pagi hari, Ross telah memasang laser pertama beberapa kilometer di sebelah
selatan, dan ia menghabiskan setengah jam untuk itu.
Tapi laser kedua membutuhkan ketelitian lebih tinggi, karena harus dicocokkan
dengan yang pertama. Meski menghadapi pemblokiran elektronik,
338 peralatan pemancar harus berhubungan dengan Houston supaya laser mungil
itu ukurannya seperti penghapus pensil, dan dipasang di atas tripod mini yang
?terbuat dari baja dapat dibidikkan se-cara akurat. Kedua laser di lereng gunung
?diarah-kan agar berkas sinar keduanya bersilangan pada jarak beberapa kilometer,
di atas hutan. Dan jika perhitungan Ross tidak meleset, titik persilangan
tersebut berada tepat di atas Kota Hilang Zinj.
Elliot bertanya, apakah dengan tindakan mereka bukannya malah membantu pihak
konsorsium, biarpun tanpa sengaja, tapi Ross membantah. "Ha-nya pada malam
hari," ia berkata, "saat mereka tidak bergerak. Pada siang hari, mereka tidak
dapat memanfaatkan sinar laser kita itulah kelebihan sistem ini."?Tak lama kemudian mereka mulai mencium bau belerang yang terbawa angin dari
puncak, yang kini berada 450 meter di atas mereka. Di ketinggian ini tidak ada
tumbuhan sama sekali, ha-nya batu karang dan salju kekuningan karena belerang.
Langit cerah dan berwarna biru tua, dan mereka menikmati pemandangan bagian
selatan barisan Pegunungan Virunga kerucut Nyiragongo yang megah menjulang dari
?hutan Kongo yang hijau, dan di belakangnya Mukenko tampak terselubung kabut.
Tiga ratus meter terakhir merupakan bagian perjalanan paling berat, terutama
bagi Amy yang ter - 33$ paksa melintasi kerikil-kerikil vulkanik yang tajam dengan kaki telanjang. Pukul
17.00 mereka tiba di puncak, menatap danau lahar selebar dua belas kilometer di
dalam kawah gunung berapi. Elliot kecewa, karena semuanya hanya berupa bebatuan
hitam dan uap kelabu. "Tunggu sampai nanti malam," ujar Munro.
Malam itu mereka melihat lahar membara di celah-celah kerak yang retak-retak dan
gelap. Uap yang mendesis-desis kehilangan warnanya ketika naik ke udara. Di tepi
kawah, tenda-tenda mereka memantulkan cahaya merah yang terpancar dari lahar.
Gugus awan di sebelah barat tampak ke-perakan, sementara hutan Kongo membentang
ber-kilo-kilometer di bawahnya. Mereka melihat kedua sinar laser hijau
bersilangan di atas hutan yang gelap gulita. Jika semuanya berjalan lancar,
besok mereka sudah mencapai titik persilangan itu.
Ross menyalakan peralatan pemancar untuk mengirim laporan rutin ke Houston.
Setelah menunggu enam menit seperti biasa, ia langsung berhasil menghubungi
Houston, tanpa perlu menggunakan teknik-teknik khusus.
"Brengsek," Munro mengumpat.
"Apa artinya ini?" tanya Elliot.
"Artinya," ujar Munro lesu, "pihak konsorsium tidak lagi memblokir saluran
komunikasi kita." "Tapi bukankah itu malah bagus?"
"Tidak," sahut Ross. "Itu buruk. Rupanya mereka sudah sampai di lokasi, dan
sudah berhasil 340 menemukan intan-intan itu." Ia menggelengkan kepala dan menyetel layar video:
HUSTN KONFRMS KONSRSUM DI LOKSI ZINJ KEPASTIAN 1.000. JNGN AMBL RISKO LGI. TA
ADA HARPN. "Semuanya sudah berakhir," Ross bergumam. Elliot mendesah. "Kaki saya sakit,"
katanya. "Saya capek," ujar Munro. "Persetan dengan semuanya," Ross berkomentar.
Dalam keadaan lelah luar biasa, mereka beranjak tidur.
341 HARI 8 KANYAMAGUFA 20 Juni 1979 di scan dan di-djvu-kan untuk dimhader (dimhad.co.cc) oleh
OBI Dilarang meng-komersil-kan atau kesialan menimpa anda selamanya
1 Semuanya tidur sampai puas pada pagi tanggal 20 Juni. Mereka sarapan dengan
tenang, bahkan me-nyempatkan diri untuk memasak. Mereka bersantai di bawah sinar
matahari dan bermain-main dengan Amy yang menikmati perhatian tak terduga ini.
Baru pada pukul 10.00 mereka mulai menuruni lereng Mukenko ke arah hutan.
Berhubung lereng barat Mukenko tak dapat dilewati karena terlampau curam, mereka
turun se-jauh 750 meter di bagian dalam kawah gunung berapi yang berasap. Asari,
pengangkut yang paling kuat, terpaksa menggendong Amy, karena batu-batu yang
mereka lewati terlalu panas untuk kaki telanjang Amy.
Amy amat ketakutan, dan beranggapan orang-orang yang turun ke kawah sambil
berbaris satu-satu itu sudah tidak waras. Elliot cenderung sependapat dengannya.
Panasnya nyaris tak tertahankan, uap yang berbau tajam membuat mata berair dan
hidung serasa terbakar. Mereka rnendengar lahar
345 TURUN GUNUNG mereteh dan meletup-letup di balik kerak hitam pekat.
Kemudian mereka mencapai suatu formasi yang dinamakan Naragema Mata Iblis, ?lengkungan alamiah setinggi 45 meter dengan sisi begitu licin, sehingga tampak
seperti dipoles. Angin segar bertiup melalui lengkungan itu, dan di bawahnya
mereka melihat hutan yang hijau. Mereka berhenti untuk beristirahat sejenak, dan
Ross memeriksa sisi dalam yang licin. Mata Iblis merupakan bekas tabung lava
yang terbentuk dalam salah satu letusan sebelumnya. Bagian utamanya telah hancur
dalam letusan lain, dan yang tersisa hanya lengkungan tersebut.
"Orang pribumi menamakannya Mata Iblis," ujar Munro, "karena saat terjadi
letusan, lengkungan ini tampak membara bagaikan mata merah kalau dilihat dari
bawah." Dari Mata Iblis, mereka turun dengan cepat dan melintasi kawasan alpina, lalu
memasuki daerah bekas aliran lahar yang masih baru. Di sini mereka menemui
kawah-kawah hitam di lereng gunung, dengan kedalaman sampai 150, bahkan 180
sentimeter. Mula-mula Munro menyangka pasukan Zaire menggunakan lereng itu
sebagai tempat latihan menembak mortir. Tapi pengamatan yang lebih saksama
memperlihatkan pola garis hitam yang menyebar bagaikan sulur dari kawah-kawah
tersebut. Munro belum pernah melihat hal serupa; Ross langsung memasang antena,
menyambungkan 346 komputer, dan menghubungi Houston. Ia tampak bersemangat sekali.
Rombongan mereka beristirahat, sementara ia mengamati data yang tampak pada
layar. Munro berkata, "Apa yang Anda tanyakan pada mereka?"
"Tanggal letusan Mukenko yang terakhir, dan cuaca setempat. Letusannya terjadi
bulan Maret. Anda kenal orang bernama Seamans?"
"Ya," jawab Elliot. "Tom Seamans programmer komputer untuk Proyek Amy. Kenapa?"
"Ada pesan untuk Anda," sahut Ross sambil menunjuk layar.
Elliot menghampirinya dan membaca: SEMNS PESN UTK ELYT STNDBY.
"Apa pesannya?" tanya Elliot.
"Tekan tombol transmit," balas Ross.
Elliot menekan tombol itu, dan sebuah pesan baru muncul: TLH PLAJRI REKMN ASLI
HUSTN TMUAN P. "Saya tidak mengerti maksudnya," kata Elliot. Ross menjelaskan bahwa "P" berarti
pesan tersebut masih berlanjut, dan Elliot harus menekan tombol transmit lagi.
Elliot menekan-nekan tombol itu sebelum memperoleh pesan yang secara lengkap
berbunyi: TLH PLAJRI REKMN ASLI HUSTN TMUAN BRU TTG INFO SINYL AUDIO-ANLISS KOMPUTR RAMPNG
SPRTINYA BAHSA. 347 Elliot menyadari bahwa bahasa singkatan itu lebih mudah dipahami jika diucapkan
keras-keras, "Telah pelajari rekaman asli Houston, temuan baru tentang informasi
sinyal audio, analisis komputer rampung sepertinya bahasa." Ia mengerutkan ke-
ning. "Bahasa?"
Ross berkomentar, "Bukankah Anda minta dia mempelajari rekaman asli dari Kongo
yang ada di Houston?"
"Ya, tapi sekadar untuk identifikasi visual binatang yang kelihatan di layar.
Saya tak pernah menyinggung informasi audio." Elliot menggelengkan kepala. "Coba
saya bisa bicara dengan dia."
"Bisa saja," ujar Ross. "Kalau Anda tidak keberatan membangunkan dia." Ia
menekan tombol interlock, dan lima belas menit kemudian Elliot mengetik, Halo
Tom Apa Kabar" Pada layar terbaca HLO TOM APA KABR.
"Biasanya kami tidak membuang-buang wakttr-dengan basa-basi seperti itu," Ross
berkomentar. Layar video menampilkan MNGANTK DI MNA KAU.
Elliot mengetik, Virunga. VIRNGA.
"Travis bisa mengamuk kalau melihat transkrip ini," ujar Ross. "Anda tahu berapa
biaya transmisinya?" Tapi sebenarnya Ross tak perlu menggerutu; percakapan
antara Elliot dan Seamans se-gera beralih pada hal-hal tekriis:
DPT PESN INFO AUDIO TOLNG JELSKN.
348 TMUAN TA SNGJA-PROGRM PMBDAAN ANLISS KOMPUTR TKT KPSTIAN 99 REKMN INFO AUDIO
{BNYI NAPAS} TERDPT CIRI BAHASA.
JLASKN CIRI. UNSR BRULNG-POLA ACAK-HUBNGN STRKTRAL-KSIMPULN BAHASA LIS AN. DPT DITRJEMAKN"
BLM. KNPA" KOMPUTR KEKURANGN DATA DR REKMN AUDIO-BUTUH DATA TAMBAHN-MSIH BEKRJA-MOGA2 BSOK
ADA HASL. YAKN BAHASA GORILA" YA KALU GORILA. "Astaga," ujar Elliot. Ia menyudahi transmisi satelit, tapi pesan terakhir dari
Seamans tetap ter-pampang pada layar:
YA KALU GORILA. 349 2 Dua jam setelah menerima berita tak terduga itu, ekspedisi ERTS untuk pertama
kali menjumpai gorila liar.
Mereka kini telah kembali ke hutan tropis yang gelap dan langsung menuju lokasi,
mengikuti ber-kas sinar laser di atas. Sinar itu tidak terlihat dengan mata
telanjang, tapi Ross membawa alat pelacak optikal, sebuah fotosel kadmium yang
dilengkapi filter khusus. Secara berkala ia mengisi balon kecil dengan helium,
menggantungkan alat pelacak berikut kabel, lalu membiarkannya naik ke pohon-
pohon. Setelah melayang di udara, alat pelacak itu berputar sampai menemukan
salah satu berkas sinar laser, lalu mengirim koordinatnya melalui kabel ke
komputer di bawah. Mereka menyusuri berkas sinar tunggal yang intensitasnya
makin lama makin berkurang, dan menunggu sampai alat pelacak mengukur intensitas
dua kali lipat, yang menandakan titik persilangan kedua berkas sinar di atas
mereka. 350 Proses itu lamban dan mereka sudah mulai tak sabar ketika, menjelang tengah
hari, mereka menemukan tinja gorila yang berbentuk khas. Mereka juga melihat
sejumlah sarang terbuat dari daun di tanah dan di pohon-pohon.
Lima belas menit kemudian, mereka dikejutkan oleh suara gemuruh yang memekakkan
telinga. "Suara gorila," ujar Munro. "Gorila jantan yang hendak mengusir
seseorang." Amy memberi isyarat, Gorila bilang pergi.
"Kita harus jalan terus, Amy," Munro berkata.
Gorila tidak mau orang datang.
"Orang tidak jahat sama gorila," Elliot berusaha menenangkannya. Tapi Amy
menatapnya dengan pandangan kosong, lalu menggeleng-gelengkan kepala, seakan-
akan Elliot tidak memahami maksudnya.
Beberapa hari setelah itu, Elliot baru sadar bahwa ia memang keliru menafsirkan
maksud Amy. Maksud Amy bukan gorila-gorila itu takut di-celakakan oleh manusia.-
Ia hendak menjelaskan bahwa gorila-gorila itu takut manusialah yang akan celaka,
karena gorila. Mereka sedang melintasi lapangan terbuka di tengah hutan, ketika seekor gorila
jantan muncul dari balik semak belukar dan berdiri di atas kedua kaki belakang,
sambil melenguh keras-keras untuk menggertak mereka.
351 ORANG-ORANG BERBULU Elliot berada paling depan, sebab Munro pergi ke belakang untuk membantu salah
satu pengangkut dengan barang bawaannya. Ia melihat enam gorila duduk di tepi
lapangan, sosok-sosok gelap di depan kehijauan, semuanya memperhatikan orang-
orang yang mengusik ketenangan mereka. Beberapa betina memiringkan kepala sambil
merapatkan bibir untuk memperlihatkan ketidakse-nangan. Gorila jantan tadi
kembali melenguh. Ia berbadan besar dengan punggung berbulu pe-rak. Tinggi badannya lebih dari 180
sentimeter, dadanya yang bidang menunjukkan bahwa beratnya lebih dari dua ratus
kilogram. Ketika melihatnya, Elliot langsung paham kenapa para penjelajah Kongo
zaman dulu menganggap gorila sebagai "orang berbulu", sebab makhluk gagah itu
memang menyerupai manusia raksasa, baik dari segi bentuk maupun ukuran.
Ross, yang berada di belakang Elliot, berbisik, "Apa yang harus kita lakukan?"
"Tetap di belakang saya," Elliot berpesan, "dan jangan bergerak."
Gorila jantan itu kembali berjalan dengan keempat kaki, lalu mengeluarkan suara
ho-ho-ho yang bertambah keras sewaktu ia bangkit lagi sambil mencabut-cabut
rumput. Batang-batang rumput itu dilemparnya ke udara, kemudian ia mulai
memukul-mukul dada dengan telapak tangan.
"Oh, gawat," Ross bergumam.
Adegan itu berlangsung beberapa menit, kemu -
352 dian gorila itu kembali merangkak. Ia berlari menyamping, melintasi rumput
sambil memukul daun-daun dan bertingkah seribut mungkin untuk menakut-nakuti
para pengganggu. Akhirnya ia kembali mengeluarkan suara ho-ho-ho.
Gorila jantan itu menatap Elliot, seakan-akan menyangka Elliot akan kabur
terbirit-birit. Ketika melihat Elliot diam saja, ia langsung bangkit, memukul-
mukul dada, dan melenguh lebih keras lagi.
Kemudian ia menyerang. Sambil melolong ia menerjang ke arah Elliot. Elliot rnendengar Ross menahan
napas di belakangnya. Ia ingin berbalik dan melarikan diri, nalurinya pun
mendorongnya berbuat demikian, namun ia memaksakan diri tidak bergerak dan


Kongo Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

menundukkan kepala. Ketika menatap kakinya sambil mendengarkan gorila jantan itu menerobos semak-
semak, Elliot mendadak waswas bahwa segala pengetahuan teoretis yang
diperolehnya dari buku-buku ternyata keliru, bahwa segenap pengetahuan para
ilmuwan mengenai gorila tidak benar. Ia membayangkan binatang raksasa itu
berlari menghampiri calon korbannya, orang yang begitu bodoh hingga mempercayai
segala omong kosong ilmiah yang tercetak dalam buku-buku.
Suasana hening. Gorila itu (yang tentunya sudah berada di dekat Elliot) mengeluarkan bunyi
mendengus, dan Elliot melihat bayangan bjnatang tersebut di rumput di
353 hadapannya. Tapi ia tetap berdiri dengan kepala tertunduk, sampai bayangan itu
bergerak menjauh. Baru kemudian Elliot berani menoleh. Ia melihat gorila itu berjalan mundur ke
tepi lapangan, lalu berbalik dan menggaruk-garuk kepala dengan bingung, seakan-
akan heran gertakannya tidak berhasil mengusir para pengganggu. Sekali lagi
gorila itu memukul tanah, kemudian menghilang di te-ngah ilalang bersama
kelompoknya. Suasana di lapangan tetap sunyi, sampai Ross ambruk ke pelukan
Elliot. "Hmm," Munro bergumam sambil menghampiri mereka, "kelihatannya Anda memang paham
soal gorila." Munro menepuk-nepuk lengan Ross. "Tenang saja. Mereka takkan
menyerang, kecuali kalau Anda melarikan diri. Kalau Anda kabur, mereka akan
menggigit pantat Anda. Itulah cap untuk pengecut di kalangan penduduk kawasan
ini sebab itu berarti Anda lari."?Ross terisak perlahan, lutut Elliot pun gemetaran; ia langsung duduk di tanah.
Semuanya terjadi begitu cepat, sehingga baru beberapa saat kemudian ia sadar
bahwa perilaku gorila itu persis seperti digambarkan dalam buku-buku teks,
termasuk tidak mengeluarkan suara yang menyerupai bahasa dalam bentuk apa pun.
354 3 Satu jam kemudian, mereka menemukan bangkai pesawat kargo C-130. Pesawat
terbesar di dunia itu tampak berskala tepat ketika tergeletak di te-ngah hutan;
moncongnya yang besar remuk karena menabrak pohon-pohon yang tak kalah besar,
bagian ekornya yang berukuran raksasa patah dan menggantung ke bawah, sayapnya
yang panjang telah bengkok menaungi dasar hutan.
Melalui jendela kokpit yang pecah berantakan, mereka melihat mayat pilot yang
dikerubungi ribuan lalat hitam. Lalat-lalat itu berdengung-de-ngung dan
menabrak-nabrak kaca ketika mereka memandang ke dalam. Mereka menuju bagian ekor
dan berusaha mengintip melalui jendela-jendela di sisi pesawat, tapi dengan roda
pendaratan yang patah pun badan pesawat itu masih terlalu tinggi di atas tanah.
Kahega memanjat ke sebatang pohon tumbang, lalu melompat ke sayap pesawat, dan
mengintip ke dalam. "Tidak ada siapa-siapa," ia melaporkan.
355 EKSPEDISI KONSORSIUM "Perbekalan?" "Ya, banyak perbekalan. Ada tumpukan peti dan beberapa kontainer."
Munro meninggalkan yang lain. Ia melintas di bawah ekor yang hancur, untuk
memeriksa sisi seberang. Sayap kiri, yang terhalang dari pandangan mereka,
tampak gosong dan remuk. Mesin-mesinnya sudah tidak ada. Ini menjelaskan kenapa
pesawat itu jatuh rudal terakhir yang ditembakkan FZA ternyata menemui sasaran
?dan meledakkan sebagian besar sayap kiri. Meski demikian, bangkai pesawat itu
tetap misterius bagi Munro. Ada sesuatu yang membuatnya curiga. Pandangannya
menyusuri pesawat itu dari moncong sampai ekor, dari hidung yang remuk,
mengikuti deretan jendela, melewati sayap yang buntung, melewati pintu di bagian
belakang... "Wah, wah, wah," Munro bergumam pelan.
Ia bergegas kembali ke yang lain, yang sedang menduduki salah satu ban di bawah
sayap kanan. Ban itu demikian besar, sehingga Ross bisa duduk di atasnya dan
mengayun-ayunkan kaki tanpa menyentuh tanah.
"Tampaknya," Rpss berkata dengan rasa puas yang tak dapat disembunyikannya,
"perbekalan mereka tidak sampai ke alamat yang dituju."
"Ya," ujar Munro. "Padahal kita lihat pesawat ini dua malam lalu, berarti paling
tidak 36 jam sudah lewat sejak pesawat ini jatuh."
356 Munro menunggu sampai Ross menyadari im-plikasinya.
"Tiga puluh enam jam?"
"Ya. Tiga puluh enam jam."
"Dan mereka tidak datang untuk mengambij perbekalan mereka?"
"Berusaha pun tidak," Munro menandaskark "Perhatikan pintu-pintu kargo utama, di
depan dan di belakang semuanya masih tertutup rapat. Entah apa sebabnya mereka ?tidak datang ke sini."
Di suatu bagian hutan yang lebat, tanah di bawah kaki mereka berkersak-kersik
ketika diinjak. Mereka menyibakkan daun-daun palem dan melihat pecahan-pecahan
tulang berwarna putih berserakan bagaikan karpet.
"Kanyamagufa," ujar Munro. Tempat tulang-be-lulang. Ia langsung melirik ke arah
para pengangkut untuk mengetahui reaksi mereka, namun mereka hanya tampak
bingung, bukan takut. Mereka anggota suku Kikuyu dari Afrika Timur, dan mereka
tidak percaya takhayul seperti suku-suku yang berdiam di kawasan yang berbatasan
dengan hutan tropis. Amy mengangkat kakinya dari pecahan-pecahan tulang yang tajam. Ia memberi
isyarat, Tanah sakit. Elliot bertanya dalam bahasa isyarat, Tempat apa ini"
Kita datang tempat buruk.
Tempat buruk apa" .357 Amy tak bisa menjawab. "Ini tulang-belulang!" seru Ross yang sedang mengamati dasar hutan.
"Benar," ujar Munro cepat-cepat, "tapi bukan tulang manusia. Bukan begitu,
Elliot?" Elliot pun memandang ke bawah. Ia melihat sisa tulang-belulang dari sejumlah
spesies, meskipun tidak sanggup segera mengidentifikasi salah satunya.
"Elliot" Bukan tulang manusia?"
"Tampaknya bukan," Elliot sependapat. Hal pertama yang menarik perhatiannya
adalah bahwa sebagian besar tulang berasal dari binatang-binatang yang relatif
kecil burung, monyet, dan binatang pengerat. Namun ada juga yang sesungguhnya
?merupakan retakan dari binatang yang lebih besar, kendati sukar untuk memastikan
seberapa besar. Barangkali monyet-monyet besar hanya saja tak ada monyet besar
?di rimba belantara. Simpanse" Di bagian Kongo ini tak ada simpanse. Barangkali gorila. Ia melihat
pecahan tulang tengkorak dengan tulang alis menonjol. Ia memungutnya dan
mengamatinya dari berbagai arah.
Tak salah lagi, memang pecahan tengkorak gorila. Ia meraba-raba tulang tebal itu
dan melihat awal dari sagittal crest yang khas.
"Elliot?" Munro menyapanya dengan suara bernada tegang dan mendesak. "Bukan
tulang manusia?" "Pasti bukan tulang manusia," Elliot menyahut
358 sambil merenung. Apa yang sanggup meremukkan tengkorak gorila" Kejadiannya tentu
setelah gorila itu mati, ia berkata dalam hati. Gorila itu mati, dan bertahun-
tahun kemudian tulang-belulangnya remuk karena satu atau lain hal. Mustahil
kepalanya remuk waktu ia masih hidup.
"Bukan tulang manusia," Munro mengulangi sambil memandang ke bawah. "Banyak
tulang berserakan, tapi tak ada tulang manusia." Ia melirik ke arah Elliot
ketika berjalan melewatinya. Jangan katakan apa-apa. "Kahega dan anak buahnya
tahu Anda ahli dalam bidang ini," ujar Munro sambil menatap Elliot dengan tajam.
Apa yang ditemukan Munro" Ia sudah cukup sering berurusan dengan kematian,
sehingga mam-pu mengenali tulang-belulang manusia ketika melihatnya. Pandangan
Elliot beralih pada sebuah tulang melengkung. Sepintas lalu mirip tulang beli-
kat ayam kalkun, hanya saja jauh lebih besar dan lebar. Elliot membungkuk dan
memungutnya. Tulang itu ternyata pecahan lengkungan zigomat dari tengkorak
manusia. Tulang pipi, dari bawah mata.
Aa membolak-balik pecahan itu, lalu kembali menatap ke tanah dan memperhatikan
sulur-sulur tumbuhan rambat yang menyebar di atas tulang-belulang. Ia melihat
banyak tulang yang sangat rapuh, beberapa di antaranya begitu tipis, hingga
tembus cahaya tulang-belulang yang ia duga berasal dari binatang-binatang ?kecil.
Kini ia mulai ragu-ragu. 359 Sebuah pertanyaan dari masa kuliah pascasarjana muncul kembali dalam benaknya.
Apa nama ketujuh tulang yang mengelilingi mata manusia" Elliot berusaha
mengingat-ingat nama-nama itu. Zygoma, nasal, inferior orbital, sphenoid sudah
?empat ethmoid, lima harus ada satu dari bawah, dari arah mulut palatine,
? ? ?enam tinggal satu lagi ia tak bisa mengingat nama terakhir. Zygoma, nasal,
? ?inferior orbital, sphenoid, ethmoid, palatine... tulang-tulang rapuh, tembus
cahaya, kecil. Tulang-tulang manusia. "Syukurlah ini bukan tulang-belulang manusia," ujar Ross.
Elliot mengangguk, lalu melirik ke arah Amy. Amy memberi isyarat, Orang mati
sini. "Apa katanya?"
"Dia bilang udara di sini tidak bagus untuk orang."
"Ayo kita jalan lagi," Munro memutuskan.
Munro mengajak Elliot mendului yang lain. "Un-tung Anda cepat tanggap," ia
berkomentar. "Kita harus hati-hati dengan orang-orang Kikuyu. Jangan sampai
mereka panik. Apa kata monyet Anda tadi?"
"Amy bilang pernah ada orang mati di situ."
"Dia lebih peka dari yang lain," ujar Munro sambil mengangguk serius. "Tapi
mereka pun cu-riga."
Di belakang mereka, para anggota rombongan berbaris satu per satu. Semuanya
membisu. 360 "Apa yang terjadi di tempat itu?" tanya Elliot.
"Tulang-belulangnya banyak sekali," kata Munro. "Ada tulang macan tutul, kera
colobus, tikus hutan, manusia..."
"Dan gorila," Elliot menimpali.
"Ya," ujar Munro. "Saya juga melihatnya. Go-rila." Ia menggelengkan kepala. "Apa
yang sanggup membunuh gorila, Profesor?"
Elliot tak bisa menjawab.
_ Perkemahan rombongan konsorsium telah luluh lantak. Semua tenda ambruk dan
terkoyak-koyak, mayat-mayat yang bergelimpangan tampak hitam karena dikerubungi
lalat. Udara lembap bercampur dengan bau menyengat, sementara lalat-lalat
berdengung-dengung tanpa henti. Hanya Munro yang tidak berhenti di tepi
perkemahan. "Tak ada pilihan lain," ia berkata. "Kita harus tahu apa yang terjadi dengan
mereka." Ia melangkahi pagar pembatas yang roboh dan memasuki perkemahan.
Gerakan Munro memicu sistem pertahanan batas perkemahan, dan seketika terdengar
sinyal frekuensi tinggi yang nyaring sekali. Para anggota rombongan ERTS di luar
pagar pengamanan langsung menutup kedua telinga dengan tangan, dan Amy
mendengus-dengus dengan jengkel.
Bunyi jelek. Munro menoleh ke arah mereka. "Saya tidak terganggu di sini," ia berkata.
"Seharusnya Anda 361 masuk saja." Munro menghampiri salah satu ma-yat, lalu membalikkannya dengan
sebelah kaki. Kemudian ia membungkuk, mengusir kawanan la-lat, dan memeriksa
kepala mayat itu dengan saksama.
Ross melirik ke arah Elliot. Pria itu terbengong-bengong, lumpuh reaksi khas ?ilmuwan saat menghadapi bencana. Di sebelahnya, Amy menutupi telinga sambil
meringis. Namun Ross tidak lumpuh; ia menarik napas panjang dan melangkahi pagar
pengamanan. "Saya harus tahu, sistem pertahanan apa yang mereka pasang."
"Oke," sahut Elliot. Kepalanya terasa ringan, seolah-olah hendak jatuh pingsan.
Pemandangan serta bau menusuk yang menyambut mereka membuatnya pusing. Ia
melihat Ross melintasi perkemahan dan memungut sebuah kotak hitam dengan corong
aneh yang ditutup kisi-kisi. Wanita itu lalu menyusuri seutas kabel ke tengah
perkemahan. Tak lama kemudian sinyal frekuensi tinggi tadi berhenti; Ross telah
mematikan sinyal itu dari sumbernya.
Amy memberi isyarat, Lebih enak sekarang.
Dengan sebelah tangan, Ross membongkar peralatan elektronik di tengah
perkemahan, sementara tangannya yang satu lagi dipakainya untuk menutupi hidung,
guna menghalau bau menyengat.
"Dokter, saya mau periksa dulu apakah mereka punya senapan," Kahega berkata pada
Elliot, ke - 362 mudian ia pun melangkahi pagar pengamanan. Anak buahnya mengikutinya dengan
waswas. Kini tinggal Elliot bersama Amy di luar perkemahan. Amy mengamati segala sesuatu
tanpa menunjukkan reaksi; ia meraih tangan Elliot.
Elliot bertanya dengan bahasa isyarat, Amy apa yang terjadi di sini"?Amy menjawab, Makhluk datang.
Makhluk apa" Makhluk jahat datang makhluk datang jahat. Makhluk apa" Makhluk jahat.
Tampaknya percuma saja bertanya lebih lanjut. Elliot menyuruh Amy menunggu di
luar perkemahan, sementara ia menyusul yang lain. Ia berjalan di antara mayat-
mayat dan kawanan lalat yang beterbangan.
Ross bertanya, "Ada yang tahu siapa pemimpin ekspedisi mereka?"
Munro menyahut dari seberang perkemahan, "Menard."
"Menard dari Kinshasa?"
Munro mengangguk. "Yeah."
"Siapa Menard?" tanya Elliot.
"Reputasinya bagus, dia kenal kawasan Kongo." Ross berjalan di tengah barang-
barang yang berserakan. "Tapi rupanya dia masih kurang hebat." Tiba-tiba ia
berhenti. Elliot menghampirinya. Ross sedang menatap
363 mayat yang tergeletak dalam posisi tengkurap di hadapannya.
"Biarkan saja," katanya pada Elliot. "Ini Richter."
Elliot tidak mengerti bagaimana Ross bisa begitu yakin. Mayat itu tampak hitam
karena dikerubungi lalat. Elliot membungkuk.
"Jangan sentuh dia!"
"Oke," ujar Elliot.
"Kahega," Munro memanggil sambil mengangkat jerigen ukuran dua puluh liter yang
terbuat dari plastik berwarna hijau. "Ayo, kita selesaikan saja."
Dengan gesit Kahega dan anak buahnya menuangkan cairan di dalam jerigen ke
tenda-tenda dan mayat-mayat. Elliot mencium bau minyak tanah yang menyengat.
"Tenang saja," balas Munro. Ia berpaling kepada Elliot yang sedang memperhatikan
Amy. Amy tengah berisyarat pada dirinya sendiri, Orang jahat. Tidak percaya orang
makhluk jahat datang. "Kelihatannya dia tidak terpengaruh oleh ini," Munro berkomentar.
"Tidak juga," balas Elliot. "Saya rasa dia tahu apa yang terjadi di sini."
"Moga-moga dia mau memberitahu kita," kata Munro. "Sebab semua orang di sini
mati dengan cara sama. Tulang tengkorak mereka diremukkan."
Api yang melahap perkemahan konsorsium tampak
364 menari-nari, dan asap hitam mengepul-ngepul ketika rombongan ERTS melanjutkan
perjalanan menembus hutan. Ross termenung-menung. "Apa yang Anda temukan tadi?"
tanya Elliot. "Hasil pemeriksaan saya tidak menggembirakan," jawab Ross. "Mereka punya sistem
perta- hanan memadai, serupa dengan sistem kita. ADP animal defense perimeter.? ?Corong-corong yang saya temukan tadi adalah unit-unit deteksi oto-^ matis. Jika
ada sinyal tertangkap, unit-unit itu mengeluarkan sinyal frekuensi ultratinggi
yang sangat menyakitkan bagi sistem pendengaran. Untuk reptil memang tidak
mempan, tapi sangat efektif untuk menghalau binatang-binatang menyusui. Serigala
atau macan kumbang pasti langsung kabur kalau mendengarnya."
"Tapi di sini tidak berhasil," ujar Elliot.
"Ya," balas Ross. "Dan Amy pun tidak terlalu terganggu."
"Bagaimana pengaruhnya terhadap sistem pendengaran manusia?" tanya Elliot.
"Anda sudah merasakannya sendiri. Sekadar mengganggu saja." Ross melirik ke arah
Elliot. "Tapi selain kita, tidak ada manusia di daerah ini."
Munro bertanya, "Apakah kita bisa merakit sistem pertahanan yang lebih baik?"
"Hah, tentu saja," jawab Ross. "Saya akan menyiapkan pagar pengamanan paling
canggih tak ada yang dapat menerobosnya, kecuali badak dan
?365 gajah." Namun sepertinya ia sendiri tidak terlalu yakin.
Menjelang malam, mereka menemukan sisa-sisa perkemahan ERTS yang pertama.
Perkemahan itu hampir tidak kelihatan, karena sudah mulai diram-bati sulur-sulur
tumbuhan. Tak banyak yang tersisa beberapa robekan kain nilon berwarna jing-ga,


Kongo Karya Michael Crichton di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

?panci aluminium yang penyok, tripod yang patah, serta kamera video yang hancur.
Rangkaian-rangkaian elektroniknya berserakan di tanah. Mereka tidak menemukan
satu mayat pun, dan mereka segera melanjutkan perjalanan karena hari mulai
gelap. Amy gelisah sekali. Ia memberi isyarat, Jangan terus.
Peter Elliot tidak menggubrisnya. Tempat jahat tempat tua jangan terus. "Kita
jalan terus, Amy." Lima belas menit kemudian, mereka sampai di sebuah lapangan terbuka. Mereka
memandang ke atas dan melihat kerucut Mukenko menjulang ting-gi. Samar-samar dua
berkas sinar laser hijau tampak bersilangan di udara lembap. Dan tepat di bawah
titik persilangan terdapat bongkahan-bong-kahan batu besar tertutup lumut,
setengah tersembunyi di balik dedaunan: Kota Hilang Zinj.
Elliot menoleh untuk menatap Amy.
Amy telah lenyap. 366 4 WEIRD Elliot tercengang. Mula-mula ia menyangka Amy bermaksud menghukumnya, ingin membuatnya menyesal
karena telah menembakkan anak panah berisi Thoralen saat mereka berlayar di
sungai. Ia menjelaskan pada Munro dan Ross.bahwa Amy sanggup berbuat demikian,
dan mereka menghabiskan setengah jam berikut dengan berkeliling di hutan sambil
memanggil-manggilnya. Namun tak ada jawaban. Mereka dikelilingi kesunyian abadi
yang menguasai hutan tropis. Setengah jam itu mulur menjadi satu jam, lalu
hampir dua jam. Elliot dicekam panik. Karena Amy tetap tidak muncul, mereka terpaksa mempertimbangkan kemungkinan
lain. "Barangkali dia bergabung dengan kelompok gorila yang terakhir tadi," ujar
Munro. "Tidak mungkin," balas Elliot.
"Umurnya sudah tujuh tahun. Dia sudah hampir dewasa." Munro angkat bahu. "Dia
tetap gorila." 367 "Tidak mungkin," Elliot berteguh.
Namun dalam hati ia mengerti apa yang dimaksud Munro. Cepat atau lambat, orang-
orang yang membesarkan monyet akan mencapai suatu titik ketika mereka tak lagi
dapat mempertahankan hewan-hewan asuhan mereka. Setelah dewasa, binatang-
binatang itu jadi terlalu besar dan kuat, dan perilaku khas spesies mereka pun
akan semakin menonjol, sehingga tak lagi dapat dikendalikan. Mereka tak mungkin
lagi diberi popok dan diperlakukan seperti makhluk-makhluk lucu yang menyerupai
manusia. Gen-gen mereka menyimpan perbedaan-perbedaan yang pada giliran-nya tak
mungkin diabaikan lagi. "Gorila hidup dalam kelompok terbuka," Munro mengingatkan Elliot. "Mereka mau
menerima gorila lain, terutama gorila betina."
Elliot tetap berkeras. "Dia tak mungkin berbuat begitu. Tak mungkin."
Sejak bayi, Amy dibesarkan di lingkungan manusia. Ia jauh lebih akrab dengan
jalan-jalan bebas hambatan dan bioskop-bioskop drive-in di dunia Barat daripada
dengan rimba belantara. Setiap kali mobil Elliot melewati drive-in favorit Amy,
Amy serta-merta menepuk pundak Elliot untuk memberitahu Elliot bahwa ia telah
membuat kesalahan. Apa yang diketahuinya tentang rimba belantara" Ia sama
asingnya di tempat itu seperti Elliot. Dan bukan itu saja...
"Sebaiknya kita dirikan kemah dulu," ujar Ross
368 sambil menatap arlojinya. "Amy akan kembali kalau dia mau. Bagaimanapun," ?katanya, "bukan kita yang meninggalkan dia. Dia yang meninggalkan kita."
Mereka sebenarnya membawa sebotol sampanye Dom Perignon, namun tak seorang pun
berminat mengadakan perayaan. Elliot sedih karena kehilangan Amy; yang lain
terpukul oleh apa yang terlihat di perkemahan sebelumnya. Hari sudah mulai
gelap, dan mereka masih harus memasang sistem ERTS yang dinamakan WEIRD
(wilderness environment intruder response defense).
Teknologi WEIRD merupakan pengembangan dari pagar pengamanan yang sudah sejak
mula-mula digunakan dalam penjelajahan Kongo. Lebih dari satu abad silam,
Stanley pernah berkomentar, "Perkemahan belum lehgkap jika belum dikelilingi
pagar yang terbuat dari semak-semak atau batang-batang pohon." Dalam tahun-tahun
sesudah itu pun tak ada alasan untuk menyimpang dari pandangan tersebut. Tapi
teknologi pertahanan telah berubah, dan sistem WEIRD memanfaatkan semua penemuan
mutakhir. Kahega dan anak buahnya mengisi tenda-tenda Mylar dengan udara, lalu menyusun
semuanya ber-dekatan. Ross mengawasi pemasangan lampu-lampu inframerah pada
tripod-tripod, yang lalu ditempatkan pada posisi menghadap ke luar perkemahan.
Kemudian mereka mendirikan pagar pengaman -
369 an yang terbuat dari anyaman logam campuran yang ringan dan lebih menyerupai
kain daripada kawat. Pagar itu dipasang pada tiang-tiang yang mengelilingi
seluruh perkemahan dan, setelah dihubungkan ke transformator, mengalirkan
listrik bertegangan 10.000 volt. Untuk memperpanjang usia pemakaian baterai-
baterai, arus tersebut secara otomatis dihidup-matikan empat kali per menit,
sehingga menghasilkan bunyi dengung berdenyut-denyut.
Hidangan pada malam tanggal 21 Juni berupa saus udang Creole yang direhidrasi.
Proses rehidrasi ternyata tidak berjalan semestinya, dan udang-udang itu tetap
terasa seperti potongan-po-tongan kardus, namun tak seorang pun mengeluhkan
kegagalan teknologi abad kedua puluh tersebut ketika mereka memandang rimba
belantara yang semakin lama semakin gelap di sekeliling mereka.
Munro menentukan jadwal jaga. Masing-masing akan bertugas selama empat jam.
Munro berkata bahwa ia, Kahega, dan Elliot akan mengambil giliran pertama.
Dengan kacamata malam yang mereka kenakan, para penjaga menyerupai belalang-
belalang misterius yang memantau hutan di sekitar perkemahan. Kacamata khusus
itu memperkuat cahaya yang ada dan memproyeksikannya pada pemandangan yang ada,
sehingga semuanya tampak berpendar hijau. Elliot menganggapnya terlalu berat,
dan ia juga 370 mengalami kesulitan untuk menyesuaikan diri dengan pandangan elektronik. Setelah
beberapa menit, ia melepaskan kacamatanya dan tercengang karena hutan di
sekelilingnya ternyata gelap gulita. Cepat-cepat ia mengenakannya kembali.
Malam berlalu dengan tenang, tanpa kejadian apa pun.
371 HARI 9 ZINJ 21 Juni 1979 di-scan dan di-djvu kan untuk dimhader (dImhad.co.cc) oleh
OBI Dilaraug meng-komersil-kan atau kesialan men imp a anda selamanya
1 Langkah pertama mereka ke Kota Hilang Zinj tidak disertai misteri dan romantika
yang mewar-nai laporan-laporan abad kesembilan belas mengenai pencapaian-
pencapaian serupa. Para penjelajah abad kedua puluh mencucurkan keringat dan
Geger Para Iblis 2 Perawan Lembah Wilis Karya Kho Ping Hoo Tiga Dara Pendekar 29
^