Pencarian

Lily Pencarian Cinta 2

Lily Pencarian Cinta Gadis Eropa Karya Camilla Gibb Bagian 2


bertanya-tanya apakah ini pertanda bahwa mereka harus berdiam di tempat ini.
Jawaban mereka datang ketika angin besar menyapu dari langit dan menciptakan
lembah subur di hadapan mereka, diairi sungai yang semanis sungai-sungai di
Makkah. Sebagian dari mereka memutuskan untuk tinggal dan membangun kota di
jantung lembah itu-dengan jalan-jalannya seperti labirin yang saling
berpotongan, beberapa sangat sempit sehingga orang harus mengangkat jerigen dari
sisi keledai agar hewan itu bisa lewat-sementara sebagian para dai meneruskan
perjalanan ke barat, menyebarkan berita tentang mukjizat suara Bilal Al-Habash
ke seluruh Afrika Utara. Para tetangga perempuan tiba-tiba berhamburan keluar rumah. Seorang lelaki
menunduk dan melangkahi ambang rumah kami, ruangan yang kuyakin belum pernah
dimasuki seorang lelaki pun. Nouria mengekornya.
Aku awalnya menyangka jika dokter itu adalah lelaki uzur, seorang kakek yang
dibungkus berlapis-lapis pakaian putih, bukan pemuda tinggi-tampan yang berkulit
gelap selembut mentega dan bergigi cerah, mengenakan jaket dan celana serasi.
Dr. Aziz Abdulnasser juga jelas tidak menyangka kehadiranku. Dia tertegun,
memicingkan mata dalam gelap, lalu menoleh kepada Nouria.
"Apakah si bidan setidaknya mensterilkan pisaunya?" tanyanya, tidak menutupi
amarahnya. Nouria menjawab dengan bisik lirih, matanya
menatap ke bawah. Dr. Aziz menoleh kepadaku. "Mungkin kamu bisa menceritakan apa yang terjadi,"
katanya dalam bahasa Inggris sempurna.
Namun, aku tak bisa menemukan kata-kata yang tepat dalam bahasa apa pun. Aku
hanya bisa mengatakan bahwa aku menduga Bortucan pingsan selagi operasi.
"Syok dan perdarahan, kukira." Dia mengangguk sambil menggigit bibir bawahnya.
Dia menimang Bortucan dengan satu tangan dan membuka perban dengan tangan
satunya. Aku memegangi lilin untuknya, sementara dia memeriksa anak itu, tetapi
hanya beberapa detik kemudian dia menegakkan punggung. "Kita harus membawanya ke
rumah sakit," katanya.
Nouria menarik lengan bajunya, "Tolong, kumohon. Beri tahu kami cara merawat dia
di sini, tapi tolong, jangan ke rumah sakit, apa pun selain itu."
"Mereka benci rumah sakit," kata si dokter kepadaku dalam bahasa Inggris.
"Mereka pikir, itu tempat yang dikunjungi orang jika sudah mau mati."
"Apakah benar seperti itu?" tanyaku.
"Seringnya begitu," jawabnya, "tetapi biasanya mereka datang kepada kami setelah
semuanya terlambat."
Tanpa menghiraukan Nouria, dia mengangkat anak kecil itu, meletakkannya di atas
bahu, membungkuk melewati pintu, dan berjalan lurus menuju pekarangan,
meninggalkan jejak samar wewangian kolonye di belakangnya.
"Ikutlah dengannya," Nouria memintaku. "Tolong."
Aku melangkah ke pekarangan. "Tunggu!" seruku kepada si dokter. "Aku ikut."
"Baiklah," katanya, "ambil sepatumu."
Aku ragu. Yang kumiliki hanyalah yang kukenakan di kaki, sandal jepit yang
dipakai semua orang di sini. Aku menatap kaus kakinya yang putih bersih dan
sepatu bertali yang baru disemir, dan tiba-tiba aku merasa malu.
as/. Darah R umah Sakit Ras Makonnen terletak persis di luar tembok, di gerbang masuk kota
suci dari arah barat yang dibatasi pohon kayu putih. Gedung berbatu bata kuning
itu tampak jauh lebih besar dan lebih mewah daripada apa pun yang terletak di
dalam tembok kota, membuat gentar semua orang, kecuali para pengemis yang
tersebar di tangga depan, memamerkan luka bakar tingkat-tiga dan melambai-
lambaikan tangan atau kaki palsu untuk menarik simpati-lebih disukai jika
diungkapkan dalam bentuk uang. Semakin jauh para pengemis itu merangkak menaiki
tangga, semakin besar kemungkinan tulang iga mereka disodok dengan laras senapan
penjaga, atau ditendang ke dasar tangga sehingga harus memulai lagi pendakian
yang menyengsarakan itu. Bukan hanya reputasi rumah sakit sebagai rumah mayat saja yang ditakuti oleh
orang Harari, tetapi juga lingkungannya. Tanah pertanian terletak di sebelah
utara, selatan, dan timur kota. Inilah
sebabnya warga kota dianggap lebih kaya menurut ukuran Etiopia: orang Harari
memiliki tanah dan mengendalikan niaga menguntungkan dengan memperdagangkan daun
berlilin yang memabukkan serta biji hijau segar yang tumbuh di tanah tersebut.
Mereka menyewakan tanah kepada petani, semuanya orang Oromo, yang membajak dan
merawat perkebunan dengan upah sepuluh persen dari hasil panen. Meskipun
sesekali ada ancaman dari hyena atau perampok, tanah ini milik mereka: petak-
petak yang tersusun rapi, diwariskan turun-temurun.
Namun, di sebelah barat terdapat kota baru, lingkungan yang sebagian besar
dihuni orang Amhara Kristen yang telah berevolusi sejak masa pencaplokan Harar
ke dalam kekaisaran Etiopia. Pada 1887, kota Muslim di jantung kerajaan yang
luas itu menjadi ibu kota wilayah dalam sebuah kekaisaran Kristen. Satu permata
dalam mahkota raja orang lain. Kediaman kerajaan berdiri di seberang jalan rumah
sakit, dihuni oleh duke dan duchess provinsi tersebut.
Orang Harari menganggap lingkungan ini tempat dosa dan maksiat, tempat
berlindungnya buda, si mata jahat, dan melarang anak-anak mereka memasuki
wilayah tersebut. Namun, orang harus melewati daerah ini untuk meninggalkan kota
menuju barat, seperti Dire Dawa, kota pasar yang berjarak sejam perjalanan, atau
ibu kota, Addis Ababa, tiga hari perjalanan melalui jalan berkelok. Orang Harari
menutup jendela minibus dan menutup hidung saat melewatinya, menyatakan mereka
dapat mencium bau rumah bordil dan bir.
Orang luar, itulah yang mereka cium: pencemaran, itulah yang mereka takuti.
Aku tak melihat dosa atau maksiat. Aku melihat jalan lebar dengan ketegasan
gedung-gedung dan aspalnya diselang-seling dengan batang pohon kayu putih yang
seperti beludru, serta sesekali ledakan warna dari bunga flamboyan. Aku melihat
orang melenggang bebas karena tidak terimpit di antara pagar tembok rumah. Aku
melihat warna putih mata mereka karena jalan di sini rata dan kering dan tidak
menuntut perhatian penuh mereka. Aku melihat punggung Dr. Aziz dan pipi tembam
Bortucan menempel di bahu si dokter, mata anak itu terpejam, air liur meleleh
dari sudut bibirnya. Aku melihat matahari terpantul pada sepatu Dr. Aziz.
Di dalam rumah sakit, orang-orang bersandar pada dinding lorong yang cat
hijaunya terkelupas, atau memegangi kepala sambil merosot di bangku kayu keras.
Lelaki dan perempuan berjaket putih berderap di lorong membawa alas tulis, tak
menggubris permohonan "Yaa docture! Yaa docture!" dari orang yang bersandar dan
merosot itu. "Assalamu 'alaikum," Dr. Aziz menyapa salah seorang rekannya; "Selamat pagi,"
sapanya kepada yang lain; "Ciao, ragazza," kepada yang ketiga; dan kepada yang
keempat, "Buku itu sudah selesai dibaca, belum, Mouna?"
"Apa yang kamu bawa itu?" tanya seorang pemuda yang lehernya berkalung
stetoskop, berhenti untuk membelai pipi Bortucan.
"Infibulasi gagal lagi," erang Dr. Aziz.
"Kamu ini pahlawan, Aziz," kata dokter lain sambil menepuk lengan Dr. Aziz.
Bahasa Inggrisnya sama bagusnya. Dia baru saja hendak melanjutkan berjalan
ketika melihatku. "Siapa ini?" tanyanya kepada rekannya.
Dr. Aziz tampak tak mampu menjawab.
Aku berkata sederhana: "Aku kakaknya."
"Masya Allah," kata lelaki itu, menikmati setiap suku kata. "Seorang farenji
berbahasa Harari! Baru kali ini kulihat seumur hidup! Demi Allah, di mana kamu
temukan dia?" "Selamat tinggal, Munir," kata Dr. Aziz tegas.
Aku merapatkan jilbabku, menundukkan kepala, dan terus menyusuri koridor,
menatap tumit sepatu Dr. Aziz, yang seolah-olah mendecit protes di setiap
langkahnya. Beberapa saat kemudian, aku mengamati sang dokter menusukkan jarum ke lengan
Bortucan. Jarum itu terpasang ke slang yang terjuntai dari dua kantong plastik
yang tergantung di sebuah kait di dinding.
"Kami berusaha memberi tahu mereka, kalau kalian harus menyunat," katanya sambil
meremas salah satu kantong itu, "irislah klitoris, tapi jangan potong. Dan
jangan lakukan infibulasi dalam keadaan apa pun."
Cairan menetes dari kedua kantong, mengalir melalui slang, dan menghilang ke
dalam lengan Bortucan. Kelopak matanya terpejam dan bergetar-getar. Dr. Aziz
membantu seorang perawat membuka perban, menyeka darah dengan spons dan
membersihkan luka, lalu dia menarik duri-duri itu. Aku tak tega melihat,
meskipun dia terlihat tangkas dan efisien bertindak, juga darah yang keluar
tidak begitu banyak dibandingkan yang sering kulihat setiap pagi. Dia menjahit
kembali luka itu dengan benang bedah, meninggalkan lubang yang jauh lebih besar
daripada ukuran korek api di ujung.
"Setidaknya, dengan cara ini, dia bisa buang air dan kembali haid dengan benar."
Dia menghela napas. "Kalau saja tidak segera dioperasi, pasti terjadi infeksi
parah." Aku mengamati tangan besarnya bekerja, sambil berpikir betapa berbedanya dia
dengan siapa pun yang pernah kutemui. Begitu lugas. Tak ada sikap canggung,
tidak ada metafora, tidak ada peribahasa atau kutipan, dan dia berasumsi bahwa
aku mengerti, meskipun dia menggunakan kata-kata yang belum pernah kudengar.
Kata dalam bahasa Inggris.
"Ini sangat ditentang," katanya. "Para ibu ingin melihat putri mereka menderita.
Mereka yakin bahwa anak perempuan harus membayar harga ini agar terjamin
mendapat ganjaran pernikahan. Mereka takut, kalau tidak begini, tak akan ada
lelaki yang mau menikahi putri mereka, dan anak itu akan membebani orangtua
mereka seumur hidup."
"Benarkah itu" Apakah kejadiannya memang begitu?"
"Aku rasa, ya," dia mengakui. "Anehnya, gagasan ini terutama dilestarikan oleh
para bidan. Begitu mereka membidani kelahiran anak perempuan, mereka mulai mendesak sang ibu,
dengan berkata, 'Oh, aku turut berduka atas beban anak perempuan ini, yang telah
ditimpakan kepadamu. Jangan khawatir, nanti aku kembali setelah dia sudah cukup
besar, untuk memastikan mereka tetap suci.' Ini sumber nafkah mereka," kata Dr.
Aziz, menepiskan gagasan itu dengan melambaikan tangan. "Mereka mendapatkan uang
cukup banyak dengan cara ini, dan absuma yang lebih radikal jauh lebih mahal
daripada sekadar pemotongan klitoris, jadi tentu saja mereka memiliki
kepentingan untuk melestarikan praktik ini."
"Tapi kata mereka, kita bukan Muslim sejati kalau tidak menjalani absuma,"
kataku ragu. "Ya, mereka mengatakan banyak hal, tapi ini adat, adat setempat, yang mereka
kaitkan dengan Islam untuk membenarkannya. Al-Quran tidak menyebutkan apa pun
yang menyiratkan bahwa hal ini wajib atau sunnah."
Mungkin dia benar: aku belum pernah mendengar hal seperti absuma terjadi di
Maroko. Aku sempat sedikit khawatir bahwa kegiatan ini mungkin disinggung di
suatu bagian Al-Quran yang tidak sempat dipelajari olehku dan Abdal Akbar secara
mendalam. Ada beberapa bagian tertentu yang dia lewati karena tidak nyaman-
urusan kewanitaan, misalnya.
Pertama kali aku haid, aku memberi tahu Abdal Akbar. Dia mengutusku ke seorang
perempuan Berber di desa yang mencuci pakaian kami. Sesampainya aku di sana,
perempuan itu langsung menge -
lantang rokku dengan jus limau dan menjemurnya. Dia memberiku secangkir teh
hijau dan merobek seprai katun menjadi larik-larik. Terakhir, dia menyuruhku
untuk mengembalikan kain bekas tersebut, yang akan direbusnya dalam panci khusus
supaya bulan depan sudah siap dipakai lagi.
Ketika aku pulang ke zawiyah dari rumah perempuan Berber itu, Abdal Akbar
menyuruhku mempelajari kembali surah keempat, An-Nisa', tetapi aku tak boleh
menyentuh Al-Quran sampai haidku berhenti dan aku suci. Pada saat itulah aku
memahami implikasinya. Absuma tidak disebut-sebut dalam Al-Quran sejauh pengetahuanku, meskipun mungkin
saja ini masalah perbedaan penafsiran atas beberapa kata. "Ini bukan cuma
masalah kata," kataku kepada Dr. Aziz, "tapi juga cara membacanya. Kadang
maknanya tidak sekadar harfiah. Kau bisa melihat ke baliknya dan menemukan
batin." "Batin?" "Makna tersembunyi. Makna mendalam."
"Aku tidak tahu soal ini," katanya sambil menatapku langsung.
"Mungkin ini filsafat sufi," kataku sambil menundukkan pandangan, rikuh.
"Kau seorang sufi?"
"Tidak mempraktikkan. Tapi aku terpengaruh oleh pemikirannya. Guruku, Abdal
Akbar, adalah ulama besar dalam tradisi ortodoks dan filosofi sufi. Dia
menunjukkan kepadaku bahwa jika kita menilik ke balik kata-kata, kita sering
bisa menerangi kebenaran yang tidak langsung kentara jika kata-kata itu sekadar dibaca."
"Aku mengagumi pengetahuanmu, tapi mungkin bisa dibilang aku ini lebih
berpikiran harfiah," kata Dr. Aziz. "Maaf, tapi aku ini ilmuwan. Aku melihat apa
yang ada di hadapanku."
"Tidak juga," aku terpikir sesuatu, "kamu juga melihat ke baliknya. Kamu
didatangi pasien yang memiliki gejala tertentu. Kamu dapat mendiagnosis
sumbernya, penyakit apa yang menjadi akarnya. Bagaimana kamu bisa tahu cara
mengobatinya?" Dia mengangguk-angguk perlahan sambil mengusap-usap dagu, sebelum membungkuk
untuk melepaskan rem pada roda tempat tidur Bortucan. Dia mengambil kantong yang
terkait di dinding lalu memintaku memegangnya, sementara dia mendorong tempat
tidur itu keluar kamar. Aku berjalan di samping tempat tidur itu sambil memegang tinggi-tinggi kedua
kantong tersebut, menyusuri lorong menuju bangsal anak, yang bergetar dengan
keriuhan doa lirih kaum perempuan di samping tempat tidur anak mereka. Aku
menatap punggung lebar si dokter, sementara dia membantuku untuk menggantungkan
kedua kantong itu di kait, dan berharap dia melanjutkan percakapan. Aku belum
pernah lagi berbincang seperti ini sejak aku dan Hussein berbaring di gurun
pasir dan merenungkan makna sejati jihad; sejak aku dan Abdal Akbar membahas
puasa mental yang bekerja berbarengan dengan puasa fisik.
Dia berbeda, lelaki ini, Dr. Aziz ini. Dia membuatku merasa lain: terusik,
terpikat, sedikit gugup. Warna pucat pasi wajah Bortucan sudah kembali menjadi cokelat. Dr. Aziz meraih
lengan bawah anak itu untuk merasakan denyut nadinya. Tiba-tiba kelopak mata
Bortucan menggelepar terbuka dan menampakkan keliaran bisu. Melihat kondisi anak
itu, aku pun membelai rambutnya dan mengucapkan beberapa kata doa.
"Kurasa dia akan sembuh," kata Dr. Aziz.
"Insya Allah," kataku, yang herannya, tidak ditanggapi olehnya. Aku menoleh
kepadanya dan bertanya, "Apa kamu Muslim, Dr. Aziz?"
"Ya, tentu saja," katanya. "Kamu menduga aku bukan Muslim?"
"Kamu tidak mengakui kekuatan agama untuk menyembuhkan?"
"Aku tidak mengabaikan iman dalam makna umum. Terutama peran sebuah keyakinan."
"Kamu berbeda dengan sebagian besar Muslim yang kukenal," kataku.
"Karena aku mencari obat dalam ilmu pengetahuan, bukan dalam Allah?" Dia lalu
membungkuk dan berbisik di telinga Bortucan. "Dia bilang aku berbeda, Bortucan.
Dapatkah kau bayangkan" Si Muslim berkulit putih dari Harar bilang aku berbeda!"
Aku tertawa mendengarnya.
"Aku tahu mereka menganggapku begitu," katanya. "Aku masih berusaha membuktikan
kepada mereka bahwa aku bernilai, meskipun aku berdarah campuran. Bahwa aku
sebenarnya seorang Harari, lahir dan dibesarkan sebagai Harari, meskipun
ayahku orang Sudan. Boleh kutambahkan, kedua orangtuaku sangat Muslim."
"Ayahku orang Inggris," aku memberi tahunya. "Bukan Muslim. Tapi aku dibesarkan
sebagai Muslim di Maroko."
"Yang kudengar juga begitu," katanya.
"Oh, ya" Apa persisnya yang kau dengar?"
"Mmm, apa saja, ya" Kudengar kau orang Inggris, orang Italia, orang Prancis.
Kudengar kamu misionaris Katolik yang diutus ke sini untuk menyusup dan
memurtadkan warga, bahkan bahwa kamu mata-mata yang diutus Haile Selassie untuk
melaporkan kepadanya cara pikir orang Harari yang picik. Tentu saja, itu cuma
gunjingan," dia berusaha menenangkanku. "Coba saja dengar sebutan-sebutan orang
untukku. Orang barbar kulit hitam, orang Afrika, budak, barbar, penyembah
berhala. Aku bahkan mendengar orang menyebut bahwa aku dikirim ke sekolah
kedokteran sebagai spesimen, bukan mahasiswa, tapi kemudian aku berhasil
meloloskan diri dari meja operasi, persis ketika mereka sedang menurunkan pisau
untuk membedahku." Ketika sorenya Dr. Aziz datang untuk memeriksa keadaan Bortucan, dia menunjuk
kantong merah yang tergantung di atas kepalanya. Darah adalah barang langka,
karena orang tak mau mendonorkan darah, dia memberi tahuku; mereka takut
kehilangan esensi jiwa mereka. Dokter dan perawat mendonorkan darah secara
rutin, dan rupanya praktik ini lumrah dilakukan di Barat. "Cara orang farenji
bersedekah, kukira," katanya sebelum
menanyakan apakah aku berkenan mendonorkan darah.
Tetapi, aku tak tahu apakah darahku akan bermanfaat. Campuran, dia menyebut


Lily Pencarian Cinta Gadis Eropa Karya Camilla Gibb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

darahnya sendiri. Berarti darahku apa"
Dia tertawa. "Kita semua memiliki golongan darah yang sama, Lilly. Bahkan orang
Sudan, bahkan farenji."
"Maaf," kataku, "tapi aku bukan ilmuwan."
"Aku minta maaf." Dia menundukkan kepala. "Golongan darah ada empat. Golongan
darahmu mungkin tidak cocok untuk Bortucan, tapi pasti cocok dengan pasien lain.
Bisa menyelamatkan nyawa orang lain."
Jika diungkapkan dengan cara itu, aku tak mungkin tidak menyanggupi. Terasa
seperti tantangan. Aku menawarkan lenganku sebagai sedekah.
"Tapi mungkin sebaiknya kamu tidak memberi tahu ibu anak ini," dia mengusulkan
sambil menyeka lenganku. "Dia mungkin berpikir aku berusaha mencuri jiwamu."
Tetapi, bagaimana aku bisa tahu bahwa kamu memang tidak berusaha melakukan itu"
Aku bertanya-tanya sementara dia mengambil darah. Dan kalau memang itu niatmu,
ke mana jiwaku akan kau bawa" Dan apakah bagian jiwaku akan diberikan kepada
orang lain dalam pertukaran ini"
"Nah," katanya sambil menempelkan plester di lenganku, "aku akan meminta petugas
membawakan makanan untuk kalian berdua, tetapi ini," katanya sambil mengeluarkan
paket kardus dari sakunya dan
membuka bungkusnya, memperlihatkan sepotong sarang lebah, "gosokkan saja di
bibirnya kalau dia tak mau makan."
Aku berbaring di samping Bortucan, yang kini tidur nyenyak dengan hidung
berciut, gelombang lendir mengembang dan menyusut di sudut bibirnya. "Anak kecil
malang," bisikku, lalu memejamkan mata.
Mimpi dalam bahasa Inggris. Mimpi pertama dalam bahasa Inggris setelah bertahun-
tahun. Di makam keramat Bilal Al-Habash, yang dirajai oleh sosok Syaikh Jami
yang menyeramkan itu, aku berdiri tercacak pada dinding, sementara sang syaikh
membacakan daftar dosaku dari gulungan raksasa. "Berteman dengan orang kafir!
Meragukan firman suci! Melakukan maksiat! Mendengarkan setan!"
Aku terbangun saat seorang perempuan melemparkan batu pertama. Aku harus
bertobat, aku harus bertobat, jantungku berdebar-debar panik. "Sesungguhnya
Allah mengampuni orang-orang yang bertobat," kataku lantang, sambil mengambil
sehelai rambut yang menempel di bibirku. Bibirku lengket. Manis madu.
c" JXfouria sudah mulai mendengarkan, bahkan membiarkan dirinya tersenyum ganjil.
Sementara Fathi dan Anwar mengaji Al-Quran semakin jauh, dengan kefasihan yang
tecermin dalam kecepatan dan ketepatan yang meningkat. Lambat laun, temperamen
ibu mereka mulai melunak. Setidaknya ini terlihat dari gerak-geriknya yang mulai
bisa berkompromi. Aku pun mulai menyayangi perempuan itu. Sulit tidak merasakan itu: dia
sebenarnya tidak keras hati, hanya telah menjalani hidup yang sulit, membesarkan
empat orang anak sendirian. Ketika dia menanyakan apakah aku juga akan mulai
mengajari kedua anak perempuannya, aku ragu. Bortucan pulih cukup cepat setelah
diopname, tetapi dia masih belum kunjung bicara. Namun, ada unsur pendidikan
mengaji yang tanpa kata. Bortucan dapat mendengarkan iramanya; ini tampak jelas
dari cara dia kadang berayun ke kanan-kiri saat aku dan kedua anak lelaki Nouria
mengaji. Jadi, lO Pendidikan Anak Perempuan pelajaran untuk kedua anak perempuan itu pun dimulai: dengan Bortucan di
pangkuanku, kami berdua berayun bersama-sama, sementara Rahile mengulang setiap
baris yang kubaca, dengan luapan rasa bangga seseorang yang, meskipun baru
mengenal air, dapat mengapung secara naluriah.
Ada yang luar biasa dalam diri Rahile. Dia memiliki suatu rasa percaya diri yang
sepertinya mustahil dimilikinya jika melihat kondisi hidupnya. Dia memberikan
pengaruh halus pada keluarga itu, yang dalam lingkungan lain mungkin dipandang
sebagai manipulasi. Dia mendapatkan absuma-nya persis pada waktu yang
diinginkannya, dan aku pernah melihat dia meminta baju baru dari Gishta melalui
sanjungan dan argumen yang logis-gadis ini punya aspirasi, bahkan pada usia lima
tahun. Rahile-lah yang menggandeng tanganku suatu Kamis malam dan mendesakku ikut
bersama mereka ke makam keramat.
"Tapi aku tak bisa, Rahile," tampikku. Dia menggenggam pergelangan tanganku
dengan kedua tangannya, menancapkan tumitnya ke tanah, dan menyentak. "Sang
syaikh tidak terlalu menyukaiku," kataku, tak tahu bagaimana lagi menjelaskan
hal itu kepadanya. "Rahu! Jangan ganggu Lilly," tegur Nouria.
Tetapi, Rahile tak mau ditolak. "Kalau kamu mencintai Allah, kamu tentu mau
ikut," katanya. Orang berduyun-duyun di jalan: kelompok-kelompok kecil menyatu, orang per orang
ditelan oleh awan gelap yang berarak melalui pasar dan
menuruni jalan terjal di seberangnya, di mana mulai terdengar tabuhan genderang
yang berdentum dengan irama jantung manusia, dan langkah pun bertambah cepat,
dan satu kumpulan besar manusia berjejalan melewati gapura hijau ke dalam pagar
yang mengelilingi makam keramat.
Aku berpakaian sangat tertutup untuk acara ini, tetapi tetap saja orang
berkomentar. Aku mendengar bisik-bisik: "Si farenji, si farenji."
"Bagaimana mereka melihatku dalam gelap begini?" tanyaku kepada Nouria.
"Kulitmu," katanya. "Warna putih bersinar."
Aku bertanya-tanya apakah aku sebaiknya berbalik, karena nanti sang syaikh pasti
melihatku, tetapi untungnya dia belum masuk. Ratusan orang sudah berjejalan di
pekarangan dan masih banyak lagi yang mengalir masuk. Lalu Hussein muncul,
berdiri di tempat sang syaikh nanti berdiri, anak didiknya, wakilnya, menjaga
kehangatan tempatnya. Aku menahan keinginan untuk melambaikan tangan, dan alih-
alih menunduk. Aku meninggalkan Nouria dan menyelusup ke bagian belakang
kerumunan, melewati gumam orang-orang tentang si farenji di tengah-tengah
mereka. Para penabuh genderang mengumumkan kedatangan sang syaikh dengan nada kresendo
yang dramatis, diikuti kesunyian mendadak saat mereka meredam selaput bergetar
itu dengan dada mereka. Saat sang syaikh masuk, aku tenggelam, tulang punggungku
mengerut, perutku hancur. Sekarang tak ada lagi yang mengomentari kehadiranku;
mereka punya urusan yang lebih penting. Mereka bertepuk tangan dan menyahuti
zikir yang diserukan sang syaikh, dan mereka mengoper qat kepadaku. Aku menerima
dengan sopan, memetik beberapa daun, menjejalkannya ke dalam pipi, lalu
mengunyahnya. Aku berusaha sebaik-baiknya, tetapi harus membiasakan diri dengan
rasanya. Daun qat terbaik pun terasa pahit, dan harus dikunyah berjam-jam.
Aku memindai kerumunan, mencari Dr. Aziz, meskipun tahu betapa kecil kemungkinan
menemukannya di situ. Kukira dia, yang lebih menyukai penalaran intelektual
daripada spiritual, tidak terlalu menyukai wali dan makam keramat.
Aku bertemu dengannya sebanyak dua kali sejak Bortucan meninggalkan rumah sakit.
Yang pertama, dia hanya perlu melihat sekilas ke balik perban untuk menyatakan
bahwa anak itu sembuh dengan baik. Yang kedua, aku memegangi lilin untuknya di
dalam ruangan yang gelap itu, sementara dia melepaskan jahitan Bortucan. Nouria
berdiri di pintu sambil meremas-remas tangannya. Dia tidak berani menentang si
dokter, tetapi dia menceritakan kekecewaannya kepadaku. "Liangnya terlalu
besar," keluhnya. "Dia punya liang seperti seorang sharmuta."
"Menurut Dr. Aziz, itu lebih baik, kemungkinan infeksi akan lebih kecil."
"Lilly!" kata Nouria keras. "Siapa yang tahu apa yang terbaik bagi anaknya"
Seorang ibu." Namun, di depan si dokter, dia tak berkata
apa-apa. "Basuh terus seluruh daerah ini dengan air dan sabun setiap hari, lalu oleskan
krim ini," kata si dokter. "Berdoa saja tidak cukup. Dan pakai hanya krim ini,
oke" Tidak boleh mentega, minyak tukang obat itu, ini saja, dan jangan terlalu
banyak." Dia berdiri, tetapi tubuhnya terlalu tinggi untuk ruangan itu. Dia membungkuk
untuk melewati pintu dan keluar menuju halaman. Dia tentu tahu bahwa dia baru
saja menghina kami berdua, menepiskan hal-hal yang kami yakini, terutama doa,
tetapi mau tak mau aku mengagumi keyakinannya, betapa hal itu tampaknya mewujud
dalam ketegapan tubuhnya saat dia berdiri di bawah matahari, kemeja putihnya
begitu menyilaukan dilatari kebecekan di sekelilingnya, dilatari kegelapan
wajahnya yang sehalus beludru.
Aku menyadari diriku menatapnya, dan merona. Rasanya seolah-olah sekawanan lebah
baru saja dimasukkan ke dalam perutku. Mungkin dia dapat mendengar dengungnya,
karena dia menoleh kepadaku, dan tanpa alasan apa pun, dia tersenyum. Meskipun
dia begitu percaya diri, senyum itu begitu rendah hati, dengan seulas duka di
tepinya: senyum yang dapat ditimang di tangan. Dia sedang memandangku, mencari
sesuatu, meskipun aku tak dapat membayangkan apa yang dikejarnya.
"Aku harus mengucapkan terima kasih," akhirnya dia berkata, membuyarkan sihir
aneh yang membuat kami saling menatap.
"Terima kasih" Buat apa?" tanyaku.
"Aku sudah memikirkan perkataanmu di rumah sakit. Bahwa kami sebagai dokter
dapat mendiagnosis penyakit pasien dari gejalanya. Kamu benar, ini mirip juga
dengan pencarian batin yang kamu jelaskan. Tapi sebenarnya kami tidak memiliki
kemampuan itu. Tidak di sini. Kami tidak memiliki sumber daya untuk menguji
semua hal yang dapat diuji, atau menganalisis hasilnya. Kamu sudah lihat
keadaannya-persediaan darah kami sangat sedikit-jadi akhirnya kami hanya
mengobati gejala, tak pernah penyebabnya. Kami lupa bahwa sebetulnya kami bisa
berbuat lebih." "Sayang sekali," kataku.
"Memang, tapi itulah kenyataannya. Tapi aku tetap berterima kasih, sudah
diingatkan tentang kemungkinan yang lebih mendalam, sekalipun kita terlalu
miskin sehingga tak bisa bertindak apa-apa."
Kehadirannya menyisa jauh lebih lama daripada kunjungannya, bagaikan aroma dupa
dalam ruang tertutup, sisanya mengkristal di langit-langit. Kehadirannya menyisa
dalam diriku saat aku bertanya-tanya tentang jarak antara segala keyakinannya
dan senyumnya yang agak bimbang. Malam itu aku menyuapi Bortucan dengan beberapa
potong injera yang kucelupkan ke dalam sup sembari memikirkan pernyataan si
dokter yang provokatif. Aku sendiri tak berselera makan barang segigit pun.
"Dia jauh lebih mendingan," komentar Nouria saat Bortucan meraih potongan injera
di tanganku. "Tapi obat farenji itu tak memiliki kekuatan apa-apa. Dia sembuh
karena kehendak Allah, bukan
karena kehendak dokter." Pagi sebelumnya, si dukun datang dan menuliskan ayat
untuk Bortucan di sabak. Dia mencuci sabak itu dan mengumpulkan air berkapur di
dalam cangkir, yang dituangkan Nouria ke mulut Bortucan sepanjang hari. Pada
malam hari, anak itu sudah berselera makan lagi.
Di makam keramat malam itu aku memindai ratusan wajah, tetapi tak satu pun
miliknya. Aku dapat membayangkan dia mengomentari kegiatan kami di sana: ini
kebudayaan, kebudayaan setempat, yang dikaitkan masyarakat dengan Islam. Ulama
ortodoks sering mengatakan hal seperti itu, menampik tradisi kami sebagai
berakar dalam takhayul, tetapi kalau kita melihat lebih dalam untuk makna
tersembunyi dalam kitab suci, kita akan menemukan para wali Allah tersembunyi di
sana. Namun, akhir-akhir ini, setiap kali aku mencoba merenungkan makna di balik
halaman, sosok Dr. Aziz muncul dalam benakku. Mata cokelatnya yang bening dalam
sinar matahari. Sudut bibirnya yang ragu. Lalu kawanan lebah itu terbangun,
melanda ke tenggorokan dan menari-nari di ujung lidah, menaruh serbuk sari di
gigi, sama sekali membuatku sulit untuk mengaji. Hingga saat itu tak ada satu
pun hal dalam hidupku-tidak duka, tidak penyakit, tidak hijrah-pernah mengganggu
ibadahku. Tetapi, memang, belum pernah juga ada orang yang mempertanyakan
ibadahku itu. j"\ku langsung mengajari Fathi dan Anwar begitu sarapan selesai, serta Rahile
dan Bortucan sebelum makan siang. Di antara kedua pelajaran ini, aku menjaga sup
di atas api kecil dan membantu Nouria yang kali itu sedang mencuci pakaian
berukuran besar, memelintir satu ujung, sementara dia memegang ujung satunya,
memeras semua air sebisa kami sebelum mengangkutnya ke tali jemuran untuk
menetes-netes sampai akhirnya kering.
Kecuali pada musim hujan. Selama dua bulan, udara dingin dan pakaian tak mau
kering, sebaliknya qat sedang melimpah dan murah, walaupun sedikit lembek,
sehingga orang-orang tidak mengeluh sebanyak biasanya karena sibuk mengunyah
daun tersebut. Selama itu pula kami tak melihat matahari, dan qat meringankan
rasa tak enak badan akibat suhu udara yang membeku dengan awan tebal, kelabu,
dan menjemukan, yang tidak bergerak dan hanya menurunkan sedikit hujan.
Sungguh malang, euforia yang semestinya kami rasakan pada pagi ketika matahari
muncul, tiba-tiba terenggut. Nouria terbangun dengan ruam lecet merah di dada dan lengannya.
"Alergi?" aku mengira-ngira. "Mungkin laba-laba."
Dia menggeleng dengan yakin. "Ada orang," katanya sambil menggoyang-goyangkan
jari, "yang mengutukku dengan mata jahat."
Sepanjang hari itu, ruam itu merayap ke lehernya, gatal, hingga garis rahangnya.
Dia mengurapi dirinya dengan susu masam dan abu dari perapian, sementara aku
memperkenalkan surah Al-Quran berikutnya kepada Rahile dan Bortucan.
Setelah lima hari gatal dan mencoba berbagai variasi penyembuhan, Nouria lantas
berkonsultasi dengan peramal, seorang perempuan ompong yang dagunya ditumbuhi
beberapa helai uban. Mereka duduk berdua di halaman, sementara si peramal minum
teh dan mengamati jeroan ayam yang terhampar di tanah di hadapannya.
"Itulah masalahmu," akhirnya dia mendesis di telinga Nouria. Dia menunjukku dari
seberang halaman. Aku melotot kepada perempuan itu. Aku bekerja keras agar layak mendapatkan
tempat di sini: aku mengajari anak-anak Nouria, membantunya dalam pekerjaan
rumah, memasak, berbelanja, pergi ke makam keramat setiap Kamis dan ke masjid
setiap Jumat, dan duduk untuk bercha bersamanya setiap Sabtu. Berani-beraninya
perempuan itu mencoba menggoyahkan keseimbangan yang telah kuperoleh dengan
susah payah. Perempuan tua itu memecahkan tiga butir telur
dan menggosokkan putih telurnya pada ruam Nouria. Untuk perlakuan istimewa ini,
Nouria harus memberinya imbalan berupa seekor ayam, ongkos yang sebenarnya tak
mampu dibayar Nouria. Keesokan harinya seorang tetangga Nouria membawa putri dan putranya yang tampak
kucel ke halaman rumah kami. "Maukah kamu mengajari anak-anakku mengaji?" dia
memohon. Aku sudah mengalami kemajuan besar dengan anak-anak Nouria, sebenarnya aku tak
terlalu ingin memulai lagi dari awal. "Mungkin setelah aku selesai mengajari
Rahile dan Bortucan," aku mencoba berkata dengan sopan, meskipun itu berarti
bertahun-tahun aku harus mengajari anak-anak itu, dan ibu mereka sebetulnya
tahu. Begitu perempuan itu menyeret kaki keluar halaman dengan kecewa, Nouria
tersungkur di tanah dan memegangi kakiku.
"Ada apa" Ada masalah apa?" tanyaku.
"Tolong, Lilly. Kumohon. Kamu harus mengajari anak-anaknya."
"Tapi kenapa ini penting sekali?"
"Perempuan lain cemburu," tangis Nouria. "Mereka akan mengutukku lagi."
Tiba-tiba aku memahami situasi ini. Anak-anak Nouria kuajari, anak mereka tidak.
Akulah penyebab ruam Nouria. Nouria harus berbagi kemujuran ini, memperbaiki
ketidakseimbangan, memperoleh kembali kesetaraan dengan saudari-saudarinya. Aku
harus mengajar anak-anak mereka.
Jadi demikianlah, satu per satu, keluarga miskin
di lingkungan itu mulai membawa putra dan putri mereka ke rumah Nouria pagi-pagi
untuk bergabung mengaji, yang tampaknya mulai membentuk sekolah lokal. Aku
mendudukkan anak-anak dalam tiga lingkaran di lantai, berdasarkan tingkat
pengetahuan mereka. Dua anak baru, yang pernah bersekolah dan dapat membaca,
bergabung dengan anak lelaki Nouria. Kelompok berempat itu sudah memiliki bekal
untuk melanjutkan mengaji dari Al-Quran yang dipakai bersama-sama, dan hingga
derajat tertentu mampu memimpin beberapa anak lain yang, meskipun tak bisa
membaca, sudah menghafal beberapa surah pertama. Rahile bergabung dengan
kelompok kedua tersebut, meskipun mereka sudah jauh di depan. Sementara itu,
Bortucan bergabung dengan kelompok termuda, dan juga termudah dalam beberapa
segi, karena mereka tak membawa apa-apa selain mulut dan hati yang terbuka.
Pada akhirnya, untuk kelompok anak termuda, aku mulai menggambar huruf yang
memberi bentuk bagi kata-kata, mengguratkannya di tanah jika kami tak punya
pilihan lain. Kami menetapkan kegiatan rutin yang memungkinkan ketiga kelompok
itu maju berbarengan. Beginilah cara belajar di madrasah semasa aku kecil di
Tamegroute: tidak hanya tiga kelompok, tetapi sepuluh, ayat berpantul-pantulan
di dinding dan menyapa kami dari setiap penjuru.
Dalam dua minggu, kelasku menjadi sebelas murid, tujuh di antaranya perempuan.
Selain empat anak Nouria, ada lima anak Oromo lain yang miskin dan dekil, dan
dua anak Harari, yang mandi dan
berpakaian jauh lebih bagus daripada teman sekelasnya. Selain kesebelas anak
yang datang teratur ini, sesekali pula datang dua anak Somali dari pedesaan yang
muncul jika ibu mereka hendak berjualan di pasar.


Lily Pencarian Cinta Gadis Eropa Karya Camilla Gibb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Ini bagus untuk Nouria: para orangtua sepakat untuk membayar ongkos sekadarnya-
orang Harari dalam bentuk uang, orang Oromo dalam bentuk barang-dan ini terjadi
pada waktu yang tepat. Suatu pagi kami kehilangan pakaian satu tali jemuran akibat seekor kambing
lapar, menyebabkan Nouria menjambak rambutnya sendiri, mengambil sejumput tanah,
lalu menggosokkannya ke matanya.
"Kalau aku dianggap pencinta setan, biarlah! Bunuh aku sekarang!" ratapnya.
Aku memikirkan jalan keluar. Dengan uang tunai dan uang yang diperoleh Nouria
dari menjual qat yang dicari para orangtua Oromo, kami berhasil menggantikan
pakaian itu dalam waktu sebulan, tak hanya meredakan kemarahan empat orang istri
seorang lelaki, tetapi juga menyisakan cukup bahan untuk dibuat pakaian baru
untuk kami sendiri. Pertama kali aku mencoba baju baruku, aku mengusap kain serupa sutra itu,
berpikir bahwa inilah penampilanku yang paling rapi sejak, bertahun-tahun lalu
ketika Muhammed Bruce membawaku ke Marakesh. Itu terjadi dua kali. Waktu itu,
kami berada delapan jam di dalam bus yang bau minyak goreng, bensin, dan asap
rokok. Benarkah dia datang sebulan sekali hanya untuk mengunjungiku" Mungkin
sebaiknya aku membujuknya agar
tidak perlu datang, aku ingat aku pernah berpikir begitu. Toh dia tampaknya
sangat bahagia di Marakesh. Dia memiliki flat di sebuah gedung Prancis tua di
bulevar di luar medina, yang dilengkapi petugas lift dan asbak marmer besar di
semua lorongnya. Di sana ada seorang bocah Arab memasak semua makanannya dan
mencuci kakinya dengan air hangat dan tidur seperti kucing di kaki tempat
tidurnya. Flat itu dipenuhi sangkar burung, dan pada malam hari Muhammed Bruce
membolehkan aku menutup jendela balkon dan membuka semua sangkar itu supaya
mereka dapat beterbangan di seluruh ruangan flat. Muhammad Bruce tampaknya tidak
peduli bahwa burung-burung membuang kotoran putih di sofa, sebaliknya si bocah
Arab itu yang harus mengejar-ngejar burung dari ruangan ke ruangan, membersihkan
kotoran mereka. Aku tahu dia menanti-nantikan akhir kunjunganku.
Muhammed Bruce lalu membawaku ke berbagai restoran tempat kami makan crepe. Kami
tidak berbelanja di suq, pasar tradisional, tetapi di toko berjendela kaca dan
bermerek Prancis, tempat dia membelikan aku baju pinafore dan sepatu, yang
sangat bagus, tetapi tetap saja tidak mampu mengalihkan kerinduanku pada
zawiyah. Usiaku dua belas tahun pada kunjungan berikutnya. Pada kesempatan itu kami juga
bersantap di restoran Prancis dan dia membelikanku baju baru. Si bocah Arab yang
dulu mengurus flat kini sudah diganti dengan anak lain, dan Muhammed Bruce
membawa kami berdua menaiki kincir bianglala, lalu
kami makan es krim, tetapi meskipun usiaku telah bertambah, aku tetap merindukan
zawiyah sepanjang waktu. Dia bisa melihat akan ketidakbahagiaanku. "Aku hanya ingin memastikan kamu
menyadari bahwa ada alternatif," katanya. "Untuk membantumu membuat keputusan
berdasarkan informasi lengkap."
Aku tidak menanyakan keputusan apa yang harus kubuat dengan informasi itu.
Aku sedang menikmati rasa sutra biru pada pahaku sambil berjalan-jalan di
halaman, mengatur murid-muridku, ketika pagar membuka. Dr. Aziz berdeham dan aku
langsung lupa semuanya soal siapa harus duduk di mana, dan siapa nama gadis
berkepang di hadapanku, dan "Kamu, kamu," kataku, "duduk di sana di samping
Rahile," berusaha menenangkan diri, ketika dia bertanya: "Apakah ada tempat
untuk satu murid lagi?"
Dia berdiri dengan telapak tangan besarnya di bahu seorang gadis berkulit hitam
di depannya. Putri sepupu ayahnya, katanya.
"Maukah kamu mengajarinya?" tanyanya, mengungkapkan pertanyaan itu dengan cara
lain, ketika aku gagal menjawab.
"Tapi dari mana kamu dengar tentang pelajaran kami?" aku tergagap.
"Aku tinggal di situ." Dia menunjuk. "Kamu tahu rumah di sebelah makam keramat
Syaikh Khalef" Di situlah aku tinggal, bersama ibuku."
Jantungku menukik ke perutku, serasa terapung dalam teh tadi pagi. Aku mendadak
pening gara-gara tersadar bahwa dia mungkin pernah melihatku dalam perjalanan ke
pasar atau ke masjid, menyaksikan seruan "Farenji!" sementara aku menyusuri
jalan rusak memakai sandal jepit, dengan rambut kotorku mengintip dari bawah
jilbab, mungkin menggumamkan kosakata baru.
"Ya, tentu saja aku mau mengajarinya," kataku, memulihkan diri. "Apakah dia
pernah bersekolah?" "Hanya ayat-ayat yang diajari ayahnya. Ayahnya tak bisa membaca, jadi dia hanya
mengajarkan apa yang dia ingat."
"Kami hanya mengaji," aku merasa harus menjelaskan, "tidak lebih. Tak ada
matematika atau sains seperti di madrasah."
"Tentu saja," katanya tanpa emosi. "Ini hanya permulaan."
Ini memang permulaan, tetapi bukan hanya. Mungkin kelak aku akan mendapat
kesempatan untuk menunjukkan sains dalam Al-Quran. Dan matematika dalam angka-
angkanya. Aku pernah mendengar, konon, tembok yang mengelilingi kota ini
panjangnya 6.666 lengan-persis jumlah ayat dalam Al-Quran. Dalam arsitektur
tempat ini terkandung ruh, selain sains. Mungkin ini berlaku untuk apa pun, jika
dilihat cukup dalam. Saat makan siang hari itu, ketika aku cukup yakin bahwa Dr. Aziz sedang jauh
dari sini, di rumah sakit di luar tembok kota, aku ke pasar untuk membeli
sekerucut garam. Aku melewati sepasang
pintu logam yang kulewati hampir setiap hari, kali ini menghitung langkah antara
rumahnya dan rumahku. Seratus dua. Begitu dekat. Dia tentu tertidur dengan
mendengarkan bunyi-bunyian yang sama, tiba-tiba aku menyadari. Pintu logam
diseret tertutup, bayi menangis, dan hyena menjerit-jerit saat mereka
berkeliaran di lingkungan, berburu sisa makanan. Dan andaikan dia mendengar
lebih saksama: Bortucan terisak, Nouria menghiburnya, mulut Fathi terbuka saat
menangkap lalat, dan aku berbaring terjaga dengan jantung berdebar-debar,
bertanya-tanya apakah napasnya kudengar di kejauhan.
Dalam Pendar Biru 12 R utri sepupu ayah Dr. Aziz ternyata sangat
pandai. Tak hanya dia menghafal tanpa perlu usaha, dia sering kali melontarkan
pertanyaan yang sangat tajam. Mengapa surah ini berakhir di sini" tanyanya.
Mengapa gaya bertutur dalam surah ini terasa sangat jauh" Aku tak bisa mengambil
risiko mengabaikan murid lainnya dengan beralih ke materi tafsir, jadi aku
mencoba memandunya kembali ke teks, mendorongnya membuka diri kepada teks itu,
mengimaninya. Kelak kamu akan mengerti, kataku kepadanya, kalau kamu berfokus
pada pengulangan dan penghafalan.
Tidak semua pertanyaannya dapat kujawab. Aku bukan filsuf sufi seperti Abdal
Akbar atau Syaikh Jami: aku tidak memiliki kearifan dan karunia yang mereka
miliki sebagai keturunan wali. Aku tak lebih dari seorang murid berbakti yang,
karena kebutuhan, terpaksa menjadi guru. Namun, aku menikmati peran baru ini.
Dan aku terpesona oleh murid baru ini, dengan rasa ingin tahunya yang
tajam dan kemiripannya yang samar dengan putra sepupu ayahnya.
"Kalau kamu ingin aku mencoba menjawab sebagian pertanyaanmu, kamu harus minta
izin ayahmu untuk tetap tinggal seusai pelajaran besok," kataku kepada Zemzem.
"Tapi jika pelajaran sedang berlangsung, berusahalah mencegah pikiranmu
mengganggu irama. Jangan berpikir, jalani saja."
Rahile tentu tak mau membiarkan aku menawarkan pelajaran privat kepada anak
baru. Dia mulai menyela pada akhir setiap ayat dengan pertanyaan yang sangat
tidak relevan dibanding pertanyaan Zemzem.
"Aku juga punya pertanyaan," katanya ketika Zemzem tinggal seusai pelajaran
keesokan harinya. "Kalau begitu, kalian harus bergiliran," kataku. "Jadi, bagaimana kalau kita
mulai dengan pertanyaan tentang wahyu yang diangkat Zemzem kemarin."
"Aku nggak mau mulai di situ," kata Rahile.
"Siapa guru di sini, Rahile?"
"Kamu." "Benar. Dan gurulah yang menentukan kita mulai dari mana."
Aku berbicara tentang wahyu, bagaimana ayat diturunkan kepada Nabi Muhammad
shallallahu 'alaihi wasallam, melalui Malaikat Jibril selama masa 23 tahun.
Inilah sebabnya sebagian ayat terasa berbeda dengan ayat lain.
"Kenapa 23 tahun?" tanya Rahile.
"Karena banyak bahan yang harus diturunkan Allah," kataku, semakin tak sabar
dengannya. Persis saat itu, seorang lelaki menarik pagar dan masuk ke halaman, dan Zemzem
melompat berdiri. "Zemzem!" katanya kasar. "Apa-apaan kau di
sini?" Ayahnya, aku menduga. Aku memperkenalkan diri, dan meminta maaf karena
menangguhkan waktu pulang Zemzem.
"Kau gurunya?" Matanya berkedip-kedip cepat sementara dia berdiri di depanku,
kakinya terbuka lebar, berkacak pinggang.
"Betul. Dan putrimu murid yang paling pintar," kataku dengan jujur, berharap
menyanjungnya. Rahile mendengus dan menendang tanah.
"Dia harus bekerja, dia tahu dia harus bekerja!" lelaki itu meledak. "Aku
menyetujui usul Aziz, Zemzem boleh belajar di sini setiap pagi, tapi sekarang
dia terlambat pulang. Siapa yang akan membersihkan rumah" Siapa yang akan ke
pasar" Siapa yang akan memasak" Apakah kami harus hidup jorok dan kelaparan?"
Bortucan, seperti yang selalu dilakukannya setiap kali dia mendengar lelaki
membentak, menangis. Aku merengkuhnya ke pahaku. "Aku minta maaf," kataku kepada
ayah Zemzem. "Dia punya beberapa pertanyaan yang terlalu maju untuk murid
lainnya, jadi aku menawarkan untuk menjawabnya setelah jam pulang."
"Jangan katakan itu padaku! Sungguh kutukan,
memiliki putri yang maju." Dia menarik lengan anak itu, membanting pagar, dan mendorong Zemzem di
depannya ke jalan. "Giliranku bagaimana?" Rahile merajuk, menarik-narik lengan bajuku.
"Sekolah sudah usai hari ini, Rahile."
"Nggak adil! Kamu memberi giliran ke anak hitam, tapi anak merah ini lebih
bagus," katanya sambil menunjuk dirinya sendiri.
Kasihan Dr. Aziz, pikirku. Dia tak akan pernah membuktikan kepada mereka bahwa
dia bernilai. Bahkan seorang anak hanya melihat warna kulit.
* Aku melangkah keluar pagar dan menyelinap pergi memakai sandal jepit. Aku sudah
membeli sepatu di pasar, tetapi aku berusaha menyembunyikan hal ini dari Nouria,
kalau-kalau dia menganggap diriku mulai sombong. Aku lalu mengeluarkan sepatu
dari ransel dan mengenakannya. Sepatu itu terasa canggung, tetapi aku berjalan
dengan tekad bulat, berhitung hingga seratus dua.
Sungguh aku segera menyesal telah bertindak terlalu berani seperti ini. Aku
mengintip ke dalam rumah ibu Dr. Aziz, mendapati lelaki itu tidak berseragam,
mengenakan galabaya putih longgar, sedang mencukur dagu dengan pisau cukur
lurus, matanya melebar dan kekanakan saat melihat bayangannya di cermin patah.
"Selamat pagi," katanya terkejut, menjatuhkan
pisau cukurnya ke dalam mangkuk di dekat kakinya.
"Maaf, mengganggu," kataku sambil mencengkeram tepi pintu logam.
"Tidak, tidak," katanya. "Ini kejutan yang menyenangkan. Masuklah. Ibuku akan
menyuguhkan teh." "Tak usah, terima kasih," kataku. "Hanya saja Zemzem tidak datang ke kelas
kemarin. Ini salahku-hari sebelumnya aku menahannya, lalu ayahnya marah. Aku
ingin tahu, apakah kamu bisa bicara dengan ayahnya. Aku tak akan menahan Zemzem
lagi, tapi dia sangat pintar dan sayang sekali kalau dia tidak melanjutkan."
"Oh, begitu." Dia mengangguk. "Zemzem anak tunggal, jadi ayahnya sulit sekali
memberinya waktu untuk bersekolah."
"Aku mengerti, tetapi mempelajari Al-Quran itu penting."
"Penting," ulangnya. "Memastikan kita punya cukup makanan untuk diberikan kepada
keluarga juga penting."
Tidak ada gunanya menjelaskan kepadanya. "Aku minta maaf sudah mengganggu. Insya
Allah, Zemzem akan kembali ke kelas," kataku sambil melangkah mundur ke jalan.
"Tunggu," katanya, lalu berjalan ke pintu. "Aku akan bicara dengan ayahnya. Tak
masalah. Sejak awal akulah yang bersikeras bahwa Zemzem harus bersekolah."
Dia, yang berbicara dalam bahasa Inggris yang hampir sempurna, terus melantur,
sedikit tergagap, mundur ke pembicaraan sebelumnya-tentang betapa sulitnya melihat hal-hal menarik
jika seseorang dihadapkan pada hidup yang pas-pasan-lalu mengajakku bercha di
rumah pamannya Sabtu nanti. Bercha sendiri adalah cara bersantai bagi semua
orang Harari dan Oromo di kota, sejak mereka remaja sampai mereka ompong dan
melumatkan daun qat dengan alu. Biasanya pada Sabtu sore perempuan tetangga
berkumpul di rumah Nouria. Namun jika itu tak terjadi, Nouria pun pergi ke
tempat lain, dan seringnya membawaku, untuk melakukan hal yang sama di rumah-
rumah tanah liat bercat putih milik perempuan yang lebih kaya, dengan lantai
merah dan balai-balai tanah liat merah, dan cenderamata Makkah yang berkilauan.
"Aku tak tahu," kataku. Aku kaget: lelaki dan perempuan tidak pernah duduk
bersama untuk bercha. "Biar kugambarkan petanya." Dr. Aziz membungkuk dan memungut ranting.
Aku tersenyum, sementara dia menggoreskan bentuk tembok di tanah, menghapuskan
beberapa bagian dengan telapak tangan, memperbaiki gambarnya, berusaha
menggambarkan bentuknya yang tak teratur itu dengan tepat. Dia mengusulkan jalan
yang menyusuri keliling tembok, tetapi di sebelah luarnya, dia lalu menghapuskan
semua jejak peta itu dari tanah.
"Aku membeli sepatu," kataku sambil tetap menunduk.
"Aku tahu," dia tertawa.
Pada hari Sabtu itu, para perempuan tetangga datang membawa qat dan hookah, dan
menghamparkan tikar di tanah, di depan rumah Nouria. Aku sedang berjongkok di
dapur, mengaduk daun kopi dalam susu panas bergaram. Biji kopi terlalu mahal dan
biasanya dikhususkan untuk ekspor, tetapi tak ada yang disia-siakan, baik sekam
maupun daunnya. Aku menatap pusaran susu panas itu, berpikir ini mustahil, kalau
ke pasar saja masih mungkin, tetapi aku tak bisa menjustifikasi pergi dari rumah
lebih lama daripada setengah jam.
Seorang gadis yang belum pernah kukenal melangkah melalui celah pagar. Dia
mengenakan legging garis-garis tanpa kaki, variasi modern dari celana yang
dikenakan generasi ibunya, di bawah rok pendek dari sutra ungu. Jilbab chiffon
longgar warna lavender mengapung di sekitar wajahnya yang rapuh. Dia sesegar
bunga dan usianya sepantar denganku.
"Sadia!" orang-orang menyapanya. "Apa kabar ibumu" Wah, kamu sudah besar. Cantik
sekali seperti ibumu. Kamu datang untuk bercha" Lilly, apakah qutti qahwah sudah
siap?" "Terima kasih, Bibi-bibi," kata Sadia sambil membungkuk sopan, "tapi hari ini
aku mau mengajak Lilly untuk bercha."
"Lilly?" tanya Nouria ingin tahu. Aku berdiri terpana di pintu dapur yang suram,
memegang sendok kayu. "Setiap gadis perlu teman perempuan, kan?" kata Sadia dengan ceria kepada yang
lain. "Aku dan Lilly mengobrol di pasar dan aku berkata begini: kenapa kamu tak
punya teman perempuan" Orang farenji pun harus punya teman perempuan. Jadi aku
berjanji dan aku pun ke sini!"
"Ya, ya, tentu," mereka semua sepakat. "Pergilah!" mereka berseru kepadaku.
Gumam setuju di segala penjuru. Gadis baik sekali. Dan dari keluarga yang sangat
baik. Mereka jelas terkejut bahwa aku berhasil punya teman yang begitu
terhormat. Nouria mengangguk. "Pergilah!"
Aku tersenyum kepada Nouria. Dia sedang memakai sepatuku.
Aku dan Sadia menyelinap keluar dari gerbang kota di kaki bukit dan berjalan
tanpa berbicara, berjalan ke kiri sepanjang setengah kilometer di sepanjang
jalan berdebu yang membentang menyusuri tembok kota. Hanya orang Oromo dan
Somali yang memakai jalan ini: kaum lelaki yang menuntun hewan dengan tali
tebal, kaum perempuan yang membungkuk diberati kayu bakar, anak-anak yang
membawa air dari sungai-dengan kata lain, orang-orang yang tak punya hari libur.
Kami menyelinap kembali masuk ke kota melalui gerbang berikut dari kelima
gerbang di tembok kota. Inilah rute yang digoreskan Aziz di tanah. Rupanya
kuncinya adalah mengelilingi kota tanpa terdeteksi. Rumah paman Aziz terletak
tepat di situ, langsung di sebelah kiri gerbang.
Kami memasuki pagar dan Sadia melambaikan tangan kepada seorang kakek yang duduk
bersila di ruangan utama, memegang Al-Quran. "Selamat sore, Paman."
"Selamat sore," gumamnya ompong. Lalu ada serangkaian pertanyaan tentang
kesehatan si kakek, yang semuanya dijawabnya, "Alhamdulillah."
Aku mengangguk sopan dan mengikuti Sadia menaiki tangga kayu ke balkon sempit.
Ini rumah Harari yang sangat tua, memiliki lantai atas yang secara tradisional
digunakan untuk menyimpan kayu bakar dan daun tembakau. Dari balkon terlihat
pemandangan memukau berupa tanah pertanian di satu arah, dan pemandangan kota
yang padat di arah lain. Kami lalu memasuki ruangan terakhir, tempat tersembunyi, gelap dan kecil, tanpa


Lily Pencarian Cinta Gadis Eropa Karya Camilla Gibb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

jendela. Aku merasakan kain guni di bawah kaki dan nyaris tak bisa membedakan
wajah, tetapi terlihat beberapa sosok orang, baik pemuda maupun pemudi,
berbaring dengan bertumpu pada bantal yang ada di sepanjang tembok. Menajamkan
mata, aku melihat di tengah ruangan ada tumpukan besar qat yang ditaruh di atas
selendang, dan di sebelahnya ada nampan berisi dua termos teh, satu kendi air
dingin, gelas plastik bergambar bunga aster, dan pot tanah liat yang ada di
mana-mana, untuk membakar dupa.
Dr. Aziz menyapaku dari lantai, menepuk bantal di sebelahnya, tetapi dia tidak
memperkenalkan aku kepada yang lain. Aku duduk di sebelahnya sementara dia
mengucapkan doa sambil membagi-bagikan qat, menyerahkan seikat tangkai segar
kepada setiap orang di ruangan dan menyisihkan sepersepuluh-jatah Nabi, katanya.
"Ini daun terbaik, termanis," katanya sambil memberiku beberapa tangkai pucat.
Setelah qat dibagikan, dia melemparkan dupa ke arang di anglo tanah liat dan
kami mengucap syukur kepada Allah. Sekarang acara kunyah secara resmi dapat
dimulai. Semua lelaki mengenakan sarung, yaitu pakaian santai, dan duduk dengan lengan
kiri ditumpangkan di atas lutut kiri, sementara mereka melucuti tangkai dengan
cepat dari atas ke bawah di antara jempol dan telunjuk. Pipi mereka menggembung
saat dijejali semakin banyak daun ke kedua sisi mulut. Mereka mengobrol dalam
campuran bahasa Harari dan Inggris. Aku menyangka ini tentunya demi aku,
meskipun tak ada yang mengajakku bicara langsung selain Dr. Aziz. Aku tidak
ingin mengubah bahasa di ruangan ini atau ruangan mana pun. Tak apa-apa, aku
ingin berkata kepada mereka, aku bahkan sekarang bermimpi dafam bahasa Harari.
Dan mimpi bahasa Harari tidak seperti mimpi bahasa Arab atau Inggris: seiaiu
melibatkan jauh iebih banyak orang.
Aku mendengarkan para pemuda membicarakan penyakit yang ditularkan melalui air
kotor dan suatu keputusan baru yang dibuat oleh dewan tetua tentang alkohol.
Mereka berbicara tentang pencemaran sungai dari sebuah pabrik di kota tetangga
Babile, dan juga harga elektronik di pasar gelap,
dan juga kelompok musik yang menggunakan keyboard elektronik. Obrolan mereka
asing bagiku. Andai mereka mengisahkan legenda para wali atau memperdebatkan
metode terbaik mengajarkan Al-Quran, aku bisa banyak berbicara. Jika mereka
membahas cara terbaik memilah gandum, cara mendiagnosis penyakit dengan mata
jahat, atau cara menghalau lalat, aku bisa ikut nimbrung.
Bahkan para pemudi sesekali melontarkan komentar, dan meskipun biasanya
disampaikan secara lirih kepada lelaki di sebelah mereka, mereka jelas punya
pendapat sendiri tentang apakah para tetua sebaiknya melarang penggunaan
keyboard elektronik, tentang selentingan perampokan di kaki gunung di dekat
situ, tentang air, tentang imam yang korup, tentang harga barang impor yang
melonjak. Alangkah aneh semua ini bagiku. Lelaki dan perempuan di ruangan yang sama,
berbicara bahasa Inggris. Lalu, ketika obrolan mereda, Dr. Aziz dengan gaya
dibuat-buat bangkit dan menyingkapkan benda suci di sudut ruangan. Televisi. Aku
baru tahu ada lingkungan yang mendapat listrik.
Titik putih kecil di tengah layar mengembang menjadi gambar, bukan gambar
pertandingan sepak bola seperti yang kuduga, tetapi gambar kaisar yang menyapa
para perwira Pengawal Kekaisaran. Dia lelaki mungil yang dibungkus setelan rapi,
dengan jubah kerajaan tersampir di bahunya. Kepalanya, yang berjanggut apik
warna garam-dan-merica, seolah-olah terpisah dari tubuhnya; wajah yang khas,
serupa patung, bertengger di posisi
lebih tinggi di antara para anak lelaki.
Istana tampak sergam di belakangnya, meskipun gambar hitam-putih kecil itu tidak
mencerminkan kemegahannya. Sewaktu dulu berdiri di depan gerbang itu, dengan
membawa surat Muhammed Bruce, aku merasa gentar oleh kerumunan manusia yang
memohon-mohon di sana, perempuan melolong sambil melambai-lambaikan surat kepada
baris penjaga yang bengis. Surat kami hanyalah satu di antara seribu, aku
menyadarinya sambil meremas kertas itu di tangan.
"Majulah," kata Hussein sambil mendorongku ke depan. Dia bersikeras bahwa aku
lebih berpeluang menarik perhatian penjaga, karena sang kaisar terkenal menyukai
orang asing, terutama orang Inggris. "Lagi pula, bahasa Inggrisku jelek."
"Tapi lihat aku," kataku, bosan mendengar dalihnya. "Aku memang mirip orang
asing, tapi aku kotor." Aku sudah berbulan-bulan mengenakan baju yang sama. Kami
sudah berusaha sebaik-baiknya di pemandian umum, tetapi bau unta yang khas itu
sudah merasuk jauh ke dalam kulit kami.
Di Etiopia, televisi agaknya nyaris dikhususkan untuk menyiarkan kegiatan sang
kaisar. Kami menonton konvoi mobil menyeruak di antara kerumunan orang. Tangan
ningrat membagi-bagikan uang lewat jendela Rolls-Royce dan orang mencium kap
mobil penuh rasa syukur. Kami menonton sang kaisar keluar dari mobil yang hendak
mengunjungi sebuah sekolah.
"Di sanalah kami kuliah kedokteran," Dr. Aziz
memberi tahuku sambil mengangguk ke layar. "Universitas Haile Selassie I. Aku,
Munir, dan Tawfiq dulu sekelas," katanya sambil menunjuk dua di antara para
pemuda di ruangan. "Dan dulu Tajuddin dan Amir"-dia menunjuk dua lagi-"satu dan
dua tahun di atas kami."
"Sekarang juga masih," Amir menggoda.
"Tidak selamanya, temanku!" Munir menimpali.
"Kami berharap kelak kami bisa melanjutkan kuliah, aku dan Munir," kata Dr.
Aziz. "Tapi untuk melanjutkan, kami harus ke Kairo. Dan untuk ke Kairo, kami
harus belajar dan lulus ujian masuk universitas. Masalahnya, untuk belajar, kami
perlu buku teks dari luar negeri, dan seringnya buku itu hilang dalam perjalanan
pos." "Di curi," kata Munir.
Aku lalu mengenali lelaki ini-dokter yang menghentikan kami di lorong rumah
sakit tempo hari. "Tidak dicuri," kata Dr. Aziz. "Buat apa orang mencuri buku berbahasa Inggris?"
"Tak tahu," kata Munir sambil mengangkat bahu. "Mungkin bagus dijadikan bantal,
atau untuk membuat api."
"Apakah ujiannya dalam bahasa Inggris?" tanyaku.
"Ya, semuanya bahasa Inggris-buku teks, obat, kurikulum-semuanya berasal dari
Barat. Bahkan beberapa dosen kami di universitas kedokteran itu orang farenji.
Dari London School of Hygiene and Tropical Medicine. Dan dari Johns Hopkins
University di Amerika. Itu juga sebabnya orang tak mau ke
rumah sakit, terutama orang tua. Mereka lebih suka praktik tradisional, hal-hal
yang mereka kenal. Mereka merasa terhina dengan usul alternatif, terutama
alternatif Barat." "Tapi yang tradisional manjur juga," kataku, "jimat dan rempah."
"Karena mereka ingin percaya bahwa obat itu manjur."
"Aku sudah lihat obat itu manjur."
"Kamu pernah dengar tentang pemulihan spontan" Pikiran manusia itu hebat." Dia
menunjuk televisi. "Dramanya akan dimulai."
Acara itu, seperti berita tentang kegiatan kaisar, disiarkan dalam bahasa
Amhara-bahasa nasional, bahasa pendidikan dan kenegaraan dan, karena dimiliki
oleh negara, bahasa televisi dan radio-bahasa yang hanya kukenal setengah lusin
kata. Dr. Aziz menerjemahkannya untukku dengan berbisik.
Kami menyaksikan sebaris orang berpakaian putih menari-nari, bahu mereka
bergerak cepat naik-turun, mata mereka mengenakan celak tebal, bunyi mendesis
keluar dari gigi mereka yang terkatup.
"Orang Amhara," kata Dr. Aziz.
"Kayak mereka saja yang bisa menari," gumam Munir.
Musik itu menusuk, dan ruangan kami perlahan menjadi hening. Qat menyebabkan
orang gembira ria, kemudian memasuki keadaan mirqana, suasana perenungan sunyi.
Ketika itu aku hanya menyadari sosok Dr. Aziz. Aku dapat mendengar dia menarik
dan membuang napas, sementara dia duduk bersila di sampingku, dalam pendar biru
di ruangan yang gelap-gulita. Memang napas dialah yang kudengar malam-malam;
sekarang aku tahu pasti. ^jemzem tak hanya kembali belajar, tetapi juga membawa secarik kertas yang
dilipat menjadi persegi kecil. Di dalamnya kutemukan kalung perak dan surat dari
Dr. Aziz. Tampaknya masalah sesungguhnya adalah gengsi ayah Zemzem. Dia tidak ingin
terlihat menerima sedekah-terutama sedekah dari farenji-tetapi sebenarnya dia
ingin putrinya belajar. Ini salahku, mudah-mudahan kamu mau memaafkanku. Aku
lupa memberi tahu bahwa kamu seorang farenji, karena waktu itu kurasa tidak
relevan. Jadi, ketika dia datang mencari Zemzem hari itu, dia kaget saat bertemu
denganmu. Dia menawarkan kalung ini, milik mendiang istrinya, sebagai pembayaran
pelajaran Zemzem. Dia menitipkan salam untukmu, demikian pula aku.
Belakangan, aku melambaikan kalung itu di depan mata Nouria.
"Mungkin kita bisa makan siang daging besok setelah shalat Jumat," katanya
dengan berseri-seri. "Dengan nasi," tambahku.
"Dan bawang bombai goreng."
Rasa sayang Nouria kepadaku melonjak. Dia menjual kalung perak itu kepada Abai
Taoduda, si bidan, dan dengan uang itu tersimpan aman di antara belahan dadanya,
kami berjalan ke pasar Kamis pagi, lengan saling berkait, melewati pengemis yang
memohon "sedekah" dan "kasihan," kambing yang mengembik, lelaki yang tawar-
menawar dengan penjual qat-"Kalau kulitmu sekeras qat ini, berarti Allah tak
mengasihi suamimu"-pedagang yang menyikut dan mengunggulkan dagangannya-"Nyonya,
nyonya, lihat sini, ini sutra Indian tulen," "Mangga ini jauh lebih manis"-dan
seruan "Farenji! Farenji!" yang dibalas Nouria dengan desis, untuk membelaku.
Kami tak hanya membeli daging sapi, nasi, dan bawang bombai, tetapi juga
mentimun, tomat, cabai, telur, gula, dan semua bumbu yang kami perlukan untuk
membuat bumbu berbere. Kami berbagi makan siang mewah kami dengan Gishta dan
beberapa perempuan tetangga. Rahile menuangkan air di atas tangan setiap
perempuan secara bergiliran, sebelum kami mengucap bismillah dan mulai
mengganyang makanan. "Lezat sekali, Nouria."
"Ya, tapi bagaimana kamu bisa beli daging ini?" "Dan bukan kambing, tapi sapi!"
"Ada acara khusus?"
"Kalian boleh berterima kasih kepada Lilly," kata Nouria.
"Ah, jadi si farenji rupanya memang punya uang," kata si tetangga yang sinis.
"Dia bekerja untuk mendapatkannya," Nouria menjelaskan.
Aku bahkan berimprovisasi membuat puding yang sering dibuat ibuku semasa
kecilku. Di sini kami tak pernah makan puding, selain kurma dan ubi, yang sangat
melimpah jika sedang musim, sehingga pedagang membagi-bagikannya gratis.
Aku menawarkan sendok kepada semua orang, yang kupinjam dari Gishta, dan
meletakkan mangkuk di tengah-tengah lingkaran. "Makanlah!" ajakku, sementara
mereka menatap mangkuk itu.
"Apa ini?" bisik seorang.
"Makanan farenji," sahut tetangganya.
"Enak, kok!" seruku. "Namanya custard."
"Custard," kata Gishta, mencoba-coba kata itu. "Oke." Dia menghirup napas
sebelum dengan hati-hati menusuk kulit kue itu dengan sendok.
"Sini," kataku, sambil mengambil sendok itu dari tangannya dan menyendok cukup
banyak. Gishta membuka mulut dan kami semua menatap dan menunggu. Dia menelan. "Aku tak
tahu," katanya sambil menggeleng.
Seorang perempuan memajukan tubuh. "Seperti apa rasanya?"
Gishta meringis. "Coba saja sendiri," katanya.
Perempuan ini mengambil sesendok kecil, memandang ke langit, dan menarik sedikit
kulit dari mulutnya, memegangnya di antara jari untuk diperiksa. "Apa ini?" katanya sambil
meleletkan lidah. "Kulitnya. Seperti kulit di susu."
"Ini semacam susu farenji?"
"Ini dibuat dari susu, telur, dan gula."
"Konyol sekali telur dipakai untuk ini," gumamnya kepada teman-temannya.
Sore setelahnya, sesudah aku dan Bortucan menjilati mangkuk sampai bersih, aku
membantu Nouria dan Gishta meletakkan cabai untuk dijemur hingga kering,
mengubah seluruh halaman menjadi karpet merah cerah. Setelah tiga hari, barulah
cabai itu terpanggang dengan benar. "Kalau lembab, cabainya bisa membusuk dan
berbere-nya akan basi dalam dua minggu," Gishta menjelaskan, sambil menepuk-
nepukkan tangan. Nanti Nouria menjual campuran pedas ini di pasar Amhara di luar tembok kota.
Kami sendiri tidak memakannya, tetapi orang Amhara tak bisa menikmati makanan
apa pun tanpa berbere. Menjual kepada orang Amhara adalah kompromi, tetapi
dengan keadaan Nouria yang miskin, dia sudah biasa berkompromi seperti ini. Kami
membelanjakan sejumlah uang untuk menghasilkan uang lagi.
Sementara kami menunggu cabai kering, kami menyiapkan sisa bumbu, memanggang
biji kepulaga, kelabat, dan ketumbar yang bergemeretak, kuncup cengkeh dan lada,
pimento, kulit kayu manis, pala dan parutan akar jahe secara berurutan di atas
api. Pekerjaan ini panas, berulang-ulang, dan membosankan, dan sementara Nouria
dan Gishta bernyanyi untuk mengusir rasa bosan, aku memikirkan Dr. Aziz. "Temanmu, Aziz," demikian
dia menandatangani surat yang dibawa Zemzem. Temanku, Aziz, pikirku, sambil
menekan kantong untuk memeriksa apakah kata-kata darinya masih ada di situ.
"Lilly!" bentak Nouria.
"Mmm?" aku menoleh kepadanya.
"Katanya kamu mau bantu!"
"Mau, kok." "Kalau begitu, giling, gadis malas," seru Gishta sambil mendorong lumpang dan
alu kepadaku. "Rempah ini tak akan hancur sendiri!"
14 jTenerimaan Gishta akan diriku terjadi berangsur-angsur: sulit digapai, tetapi
kuat. Meskipun dia istri favorit Syaikh Jami, sebagai seorang Oromo dia juga
pernah berada di luar. Dan justru karena itulah penolakannya terhadapku jauh
lebih besar daripada penolakan kebanyakan perempuan lain. Jika kau sudah lama
memperjuangkan sesuatu dengan keras, "diterima" dapat berarti membenci orang
yang tidak diterima. Gishta mengawali hidup sebagai pembantu di rumah tangga Harari, seperti sebagian
besar gadis Oromo di sekitar kota. Berbeda dengan situasi umum, majikannya
memperlakukannya dengan baik. Sebagai janda kesepian yang putra tunggalnya
berangkat haji ke Makkah beberapa tahun sebelumnya, putranya itu lalu menikah
dengan perempuan Saudi dan memulai bisnis di sana, sang majikan menyayangi sang
pembantu Oromo ciliknya seperti anaknya sendiri. Dia menghadiahi Gishta sekotak
kurma dan benang emas yang dikirim dari Makkah oleh putra yang dibencinya. Dan
dia menyekolahkan Mode Terbaru Gishta setengah hari sampai usianya enam belas tahun. Bahkan nama Gishta
sebenarnya pemberian darinya, berasal dari bahasa Harari yang berarti 'buah
nona'. Gishta tumbuh dengan mendambakan dirinya diterima sebagai warga kota. Tetapi
tidak seperti sebagian besar orang Oromo, dia diberi akses, tak hanya melalui
pendidikan, tetapi juga karena ditinggali warisan kecil oleh majikannya. Gishta
meniru bahasa, perilaku, pakaian, dan adat Harari dan menjalani profesi Harari
kuno, yakni menjual qat di pasar.
Begitu kau melangkah masuk, sejarah pun ditulis ulang untuk menyertaimu. Fiksi
berkembang, kisah yang menganyamkanmu ke dalam kain sosial, memberimu akar dan
identitas lokal. Kau diasimilasi, dan dengan menghapus perbedaanmu dan
menjadikanmu anggota mereka, komunitas dapat menjaga keyakinan bahwa ia utuh dan
murni. Setelah dua atau tiga generasi, tak ada yang ingat bahwa kisah itu fiksi.
Kisah itu telah menjadi fakta. Dan dengan cara inilah sejarah dibuat.
Untuk menjaga jarak denganku, Gishta tak pernah mau memercayai kemajuan
Bortucan. "Pokoknya mustahil!" katanya kepada Nouria, diucapkan dengan sengaja
dan penuh tekanan agar terdengar olehku. Bortucan, yang masih susah menggumamkan
kata "ibu", sekarang mampu membacakan surah Al-Fatihah, surah pertama dalam Al-
Quran. Ini sebenarnya kata pertama Bortucan, seolah-olah dia percaya diri untuk
mengutarakan firman Allah, tetapi tidak untuk kata-katanya sendiri.
"Berkat Lilly," kata Nouria. "Aku sudah sering bilang, entah bagaimana, dia tahu
cara mengajari Bortucan. Dan juga anak-anak lain."
"Beri tahu aku," Gishta biasa berkata, "bagaimana seorang farenji bisa mengenal
Al-Quran sebaik ini?"
Setiap kali dia bertanya, aku menceritakan kisah yang sama tentang dibesarkannya
aku di zawiyah Maroko. "Sebenarnya seorang kerabat jauh suamimu yang
mengajariku," kataku. "Abdal Akbar. Dia juga guru Hussein."
"Ya, ya, kamu dan kisah terkenalmu," katanya menepiskan. Tetapi suatu hari, hari
setelah bercha rahasia yang kedua, dia sungguh-sungguh menyimak. Sepertinya
Gishta baru mulai memercayaiku setelah aku mulai menyimpan rahasia.
*

Lily Pencarian Cinta Gadis Eropa Karya Camilla Gibb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Pada minggu setelah bercha pertama bersama Aziz, aku menjalani setiap hari
dengan berharap bahwa aku diundang lagi bergabung dengannya dan teman-temannya.
Aku menelan kekecewaan ketika hari Sabtu tiba tanpa tanda apa pun. Setelah makan
siang, perempuan tetangga berkumpul untuk memotong daging di rumah sebelah.
Semua keluarga menyumbang untuk membeli sapi yang telah disembelih dengan ritual
Islam tadi pagi. Potongan besar-besar kini teronggok di karung goni di halaman
Ikhista Aini. Nouria sedang menunjukkan teknik yang benar kepadaku, menjepit
pisau besar di antara kakinya. Dia menyingsingkan lengan baju dan menggerakkan sepotong
besar daging naik-turun pada pisau itu.
Aku baru saja bersiap-siap membantunya ketika Sadia tiba, menyapa semua orang
dengan menanyakan kesehatan, kesejahteraan, dan kebahagiaan mereka.
"Tinggallah," mereka mendesak, "setidaknya sampai kami memotong tulang iga ini-
kamu harus membawa pulang sedikit untuk ibumu."
Sadia memprotes, tetapi mereka mendesak. Mereka mendesak, tetapi Sadia
memprotes. Lalu, para perempuan mendesak ketiga kali, yang berarti Sadia
sekarang harus menunggu, sementara Ikhista Aini mengiris sebagian tulang iga dan
membungkusnya dalam goni.
"Kalian terlalu baik." Sadia membungkuk. "Ja-zakallahu khairan." Semoga Allah
membalas perbuatan baikmu.
Sadia tidak berkata apa-apa kepadaku. Dia tidak berusaha menyembunyikan rasa
tidak sukanya kepadaku. Kami berjalan mengitari tembok dalam diam; dia beberapa
meter di depanku dengan hidung terangkat angkuh, aku sedikit mual karena gugup.
Ketika kami tiba di rumah paman Aziz, ruangan itu telah dipenuhi percakapan.
Aziz dan Munir sedang mempertanyakan keabsahan sebuah organisasi Palestina
pimpinan Arafat, tidak memercayai justifikasi tokoh tersebut untuk beberapa
serangan terhadap Israel baru-baru ini. Pendapat Tawfiq
bertolak belakang. "Selamat datang," kata Aziz sambil menepuk bantal di sampingnya. Dia menyerahkan
qat ke tanganku, dan Tawfiq melanjutkan, menusuk-nusuk udara dengan jari untuk
menegaskan pendapatnya, yang tidak kupahami. Aku mengunyah daun pahit itu,
sementara percakapan beralih ke pembicaraan seputar apakah Abebe Bikila, orang
Afrika pertama yang memenangi medali emas di Olimpiade, sudah terlalu tua untuk
berpartisipasi dalam Olimpiade di Munich bulan Maret mendatang.
Aku mungkin tak tahu banyak tentang urusan sekuler, tetapi di mana perhatian
mereka pada agama" aku bertanya-tanya. Bukankah agama yang menjadi sumber
situasi Palestina yang tadi mereka bahas"
"Ini masalah imperialisme dan ekonomi," kata Munir, menjawab pertanyaan yang
kurumuskan begitu lama sehingga mereka sudah jauh membahas topik lain.
Jawabannya hanya membuatku merasa bingung dan ragu. Pertanyaanku tak hanya
dilontarkan pada waktu yang salah; tetapi juga tampaknya tidak cocok, setidaknya
bagi para pemuda ini. Aku pandai belajar bahasa-mengapa bahasa mereka tampak
begitu asing" Ketika kelegaan mirqana turun ke ruangan, Aziz bersandar dan bergabung denganku
dalam hening. Aku merasakan kehadirannya di sampingku seperti orang merasakan
panas siang hari terpancar dari bebatuan.
"Sampai ketemu Sabtu depan," katanya pada
akhir sore itu, dan tiba-tiba seminggu ke depan terasa sangat panjang.
"Jadi, cerita yang itu benar, ya?" tanya Gishta keesokan harinya, sambil
mengangkat sebelah alis. Aku menggigit lidah keras-keras. "Memangnya ada cerita apa lagi, Gishta?"
tanyaku dengan ketenangan yang telah kuperhitungkan.
Aku tahu dia tak akan menyebutkan kasak-kusuk itu-bahwa aku mata-mata, agen
anti-Muslim, sharmuta yang datang ke sini untuk menyesatkan putra-putra mereka.
Selama setahun aku di sini, aku masih belum menunjukkan bukti yang mendukung
tuduhan-tuduhan ini. Kaum perempuan di lingkunganku telah menerima kehadiranku
perlahan-lahan. Mereka yang mengenalku dalam kegiatan sehari-hari, mereka yang
anak-anaknya kini menuturkan firman suci. Mereka bahkan memakai sebutan lain
untukku sebagai guru-sebagai Binti Abdal, putri Abdal.
"Panggil aku Gish," kata sepupu Nouria beberapa hari setelah bercha kedua.
"Aku membuatkan ini untukmu," katanya minggu berikutnya, menunjukkan celana yang
tampak mahal, yang biasa dipakai perempuan Harari berduit di bawah rok panjang,
sutra bergaris dengan manset bersulam warna-warni.
Aku memberi tahunya bahwa aku akan perlu waktu lama untuk mengumpulkan cukup
uang guna membayarnya. Dia mendengus dan mendesakku
agar segera mencobanya. Mansetnya ketat karena desainnya memang begitu, begitu
ketat sehingga aku harus meminyaki kaki sebelum bisa memulai.
"Sekarang tak akan ada lagi orang yang menimpakan mata jahat padamu karena
cemburu melihat kulitmu!" pekik Gishta setelah aku mengenakan celana itu,
mengangguk-angguk heboh tanda merestui.
Jadi, celana itu bukan sekadar pernyataan busana. Aku telah ditegur secara
halus; penyesuaian dengan masyarakat setempat didorong melalui hadiah. Melalui
sanjungan. Dan gunjingan. Setelah aku mengenakan celana ini, sisa desas-desus
tampaknya mereda. Sekarang pakaianku lengkap. Demikianlah awal pembelajaran
jenis lain, yakni menjadi gadis Harari-dengan Gish, yang menunjuk dirinya
sendiri sebagai pemanduku.
Aku tak pernah terlalu memikirkan penampilan sampai aku bertemu dengan Sadia dan
teman-temannya. Di zawiyah Maroko, ritual kami lebih berkaitan dengan
kebersihan, daripada penampilan itu sendiri. Setelah aku kehilangan ibuku,
kubiarkan saja rambutku panjang, karena dia sudah tak berada di sampingku lagi,
yang biasanya memangkas rambutku dengan gunting tumpulnya. Kukuku tumbuh dan
patah sendiri. Dan pakaianku" Dulu, aku harus bergantung pada sedekah orang
lain, dan sekarang aku mengenakan pakaian yang dijahitkan untukku dan Nouria.
Sejak dulu pakaian kami hanya memenuhi tujuan fungsional, bahkan sepatu pun
tidak perlu. Baru kali ini saja. Sampai timbul rasa cemas yang kian besar bahwa
Aziz, yang begitu rapi dan necis dalam kemeja putih yang disetrika, pasti
menganggap aku ini orang gipsi. Sampai beberapa hari Sabtu belakangan ini,
mendengarkan Sadia dan teman-temannya, Warda dan Titune, dua gadis lain yang
sering menghadiri bercha, saling mengagumi kuku dan menyebut ini-itu; helwa
(manis) dan fashinn gidir (pakaian modis).
Mungkin Sadia sedikit-banyak tidak menyukaiku karena ketakpedulianku pada
penampilanku. Mereka membandingkan lengan bawah mereka dan sepakat bahwa sudah
waktunya lengan itu dibului dengan madu, dan mereka lebih menyukai sesuatu yang
bernama Roxy, daripada inai, untuk mewarnai rambut. Roxy ini berasal dari butik
fashinn gidir di Makkah, dibawa oleh kerabat yang pulang haji. Benda itu
mewarnai rambut mereka menjadi Jingga yang mengerikan. Kadang mereka bahkan
mewarnai alis agar serasi.
Aku terbayang Ka'bah saat memikirkan Makkah, bukan toko baju. Aku tidak seperti
Sadia dan teman-temannya. Mungkin kemampuanku yang terbaik adalah shalat,
mengaji, mengajar. Ada beberapa perempuan lain di kota yang menjadikan agama
sebagai profesi mereka: guru di madrasah, sufi, ulama atau murid para wali,
tetapi masalahnya, mereka semua sudah tua.
Aku kaget sekali sewaktu Sadia memberi tahuku bahwa dia bahkan tidak berpuasa
pada bulan Ramadhan; dia bahkan tampak bangga akan kenyataan itu. Dan ketika
topik pernikahan muncul pada Sabtu, dia mengangkat bahu, "Belum." Dia mengangguk
genit ke arah Munir. "Sembilan belas, bahkan dua puluh, itulah waktu terbaik
untuk menikah," katanya. "Tidak empat belas tahun seperti ibuku ..."
"Atau tiga belas seperti ibuku," Warda menceletuk.
"Setelah lulus SM A," kata Titune.
Mereka sepakat, unsur terpenting adalah cinta. Cinta dulu, baru menikah, menukar
urutan dari generasi-generasi sebelumnya.
Gishta mengoleskan krim inai yang kental pada rambutku, mewarnai pirang kelabu
menjadi merah tua. Dia menyisir rambutku dengan minyak, menempelkannya ke
kepala, dan menyampirkan selendang chiffon hijau limau dengan longgar di
kepalaku. Dia memepat kukuku dan mewarnainya juga dengan inai. Nouria
mendidihkan madu di dapur. Lalu, dia dan Gishta mengoleskannya panas-panas di
lengan dan kakiku. Mereka mencabut setiap helai bulu dari tangan dan kakiku
dengan tarikan tangkas yang menyakitkan. Itu membuat kulitku kesemutan, gatal,
dan berwarna merah muda cerah, yang menyebabkan mereka tertawa terpingkal-
pingkal. Pada sore lain, Gishta mengajak seorang perempuan yang membawa sekantong kulit
penuh jarum aneka ukuran ke rumah Nouria. Perempuan ini menindik dan membuat tato,
baik untuk tujuan penyembuhan ataupun hiasan. Dia mengaku dapat menyembuhkan
infeksi hidung dengan membuat dua titik biru di antara alis; infeksi ginjal
dengan membuat tato lingkaran di punggung bawah.
Kejutan menjalari tulang punggungku setiap kali jarum itu menembus daun
telingaku. Perempuan itu diam-diam memasukkan anting emas ke dalam lubang tindik
di telingaku, bahkan sebelum aku sempat pulih. Lalu, yang jauh lebih
menyakitkan, dia melakukan hal sama pada tulang rawan di bagian atas telingaku,
yang tertembus dengan suara khas.
Dia menarik jarum ketiga, sebuah batu kecil, dan sebotol tinta hitam.
"Buat apa itu?"
Ketiga wanita itu menarik bibir mereka dari gigi untuk memamerkan gusi yang
hitam kebiruan. Aku meringis. "Tak mau."
"Kamu tidak merasa ini cantik?" tanya Gishta dengan cemberut yang dilebih-
lebihkan. "Di gusimu, iya," aku mencoba berdiplomasi. "Aku cuma merasa itu tidak cocok
untukku." Nouria berdecak-decak. "Tapi ini membuat gigimu tampak putih."
Dulu, dulu sekali, aku memakai pasta gigi. Aku tahu ada alternatif lain yang
tidak menyakitkan. Sewaktu aku menanyakan hal ini kepada Sadia, dia menepisnya dengan melambaikan
tangan. "Menghitamkan gusi mungkin dianggap fashinn gidir sampai dua puluh tahun
yang lalu. Para ibu masih
menganggap itu cantik, tapi sekarang itu cuma fashinn qadim, gaya kuno." Lalu
dia menelengkan kepala dan berkomentar bahwa rambutku tampak cantik sekali.
* Dengan semakin majunya pelajaranku, Gishta memberi tahuku sudah waktunya aku
membuat pakaian khusus dari sutra merah jambu dan ungu untuk dikenakan ke acara
pernikahan, dipadankan dengan kerudung merah bersulam benang emas. Pakaian adat
Harari. Pakaian itu berwarna mencolok dan tentu saja mahal, dibuat dari sutra
yang diimpor dari India, dijahit oleh penjahit setempat, dan dibordir oleh
penjahit lain. Aku tak mungkin bisa membelinya, tetapi Gishta dengan murah hati
menutup biayanya. Untungnya, pakaian itu bisa di-balik, sehingga aku bisa
menampilkan warna hitam, kalau-kalau aku perlu menghadiri acara pemakaman. Tidak
peduli bahwa aku belum pernah diundang ke kedua jenis acara itu.
"Setahun lagi kamu akan bosan dengan acara pernikahan," Gishta menenangkanku.
"Kamu akan berkata: aku tak mampu lagi makan jeroan dan sosis. Insya Allah, kamu
akan gemuk!" Aku juga harus melatih beberapa keterampilan, terutama keterampilan rumah
tangga: menyiapkan makanan istimewa, menjalankan ritual, menyempurnakan teknik.
Di rumah salah seorang tetangga Nouria yang lebih kaya, Gishta menjejalkan
jerami berwarna ke tanganku. Dinding belakang ruangan
itu dihiasi beberapa keranjang, masing-masing memiliki nama dan tujuan yang
spesifik-beberapa besar dan datar, didesain untuk menyimpan injera; yang lain
berupa paket rapi dan bertutup untuk menyimpan perhiasan, kerudung, atau dupa.
Semuanya karya anyaman yang rapat, dibuat dengan jerami berwarna, dilapisi kulit
dan dihiasi cangkang keong dari Laut Merah yang jauh.
"Setelah kecantikan dan akhlak seorang gadis, keterampilan inilah yang
membuatnya menarik untuk diperistri," kata Nouria sambil terkikih.
Gishta tertawa. "Ya, gadis jelek pun bisa menjadi cantik jika cukup pintar
membuat keranjang!" "Apa maksudmu, aku jelek, Gish?" tanyaku, mengangkat alis.
"Tidak, tidak, Lilly, kamu lumayan. Maksudku, untuk ukuran farenji kurus yang
bergusi merah jambu."
"Jangan khawatir," kata Nouria, "kamu pasti akan menarik perhatian lelaki baik,
setelah kami mengajarimu ini!"
Aku merona. Mau tak mau aku bertanya-tanya, apakah Aziz mencari gadis yang bisa
menganyam keranjang dan menyulam sarung bantal; apakah dia mencari orang yang
bisa membuat sup labu dan tahu cara memotong daging sapi dengan pisau yang
dijepit di kaki dan tidak menyia-nyiakan sepotong pun, bahkan membersihkan usus
sapi itu dengan abu supaya dapat dibuat sosis. Apakah dia memang sedang mencari
.... Agaknya politiklah yang paling dia pikirkan.
Sementara para gadis semakin menyertakan aku dalam obrolan mereka pada bercha
Sabtu, aku tetap memasang sebelah telinga untuk mendengarkan obrolan lelaki.
Percakapan mereka seringnya panas-debat sengit tentang perang di Eritrea dan
lebih sengit lagi tentang korupsi di Arab Saudi-dan tidak menyisakan banyak
peluang bagiku untuk menyela sebanyak yang aku ingin. Saat aku menyela, mereka
cenderung mengabaikan jika aku mengangkat sisi spiritual perdebatan.
"Sekalipun orang Saudi memandang haji terutama sebagai usaha menghasilkan uang,
ini tidak relevan bagi seorang haji dalam makna spiritual," aku berargumen. "Dia
harus memenuhi kewajibannya dengan menunaikan rukun Islam ini, baik dia diperas
sepanjang perjalanan maupun tidak. Bukan uang yang penting."
"Nah, kamu tak akan melihatku naik haji," kata Munir.
Aku terhenyak ke bantal, kaget. Aziz bersandar di sampingku, lengannya
bersentuhan dengan lenganku, dan kulitku bersinar merah.
"Aku memahami pendapatmu tentang korupsi," kataku perlahan. "Tapi aku merasa
kamu hanya merugikan diri sendiri kalau kamu memilih tidak menunaikan kewajiban
agama, hanya karena kamu berpikir orang lain memerasmu. Kamu akhirnya
menghapuskan peluangmu sendiri untuk meraih sesuatu yang mungkin adalah hakmu-
pahala di surga." "Aku mengagumi keyakinanmu," kata Aziz. "Barangkali kami sama-sama peduli pada
kehidupan di sini seperti pada kehidupan nanti." Dia meraih tanganku dan
meremasnya. Dia tetap memegang tanganku dan mulai menggambar-gambar lingkaran
dengan jempolnya. Aku tak tahu mana yang lebih mengejutkanku, perkataan Munir
atau perbuatan Aziz sekarang, tetapi sementara aku bisa mendebat komentar Munir,
aku tak dapat menyangkal rasa dari sentuhan Aziz. Terlalu menggoda. Aku menatap
lurus ke depan tanpa bernapas. Ruangan itu sunyi-senyap, dan aku melirik ke
sekeliling untuk memeriksa apakah ada yang menyadari bahwa Aziz menggenggam
tanganku. Aku tiba-tiba merasa lambat dan berat. Lumpur mengisi mulutku. Munir
dan Sadia juga berpegangan tangan. Juga Warda dan Tawfiq, serta Tajuddin dan
Titune. Betapa haramnya semua ini. Dan betapa naif aku selama ini.
Bagian Ketiga London, Inggris 1986-1987
15 H ujan lebih sering turun sepanjang musim dingin di sini daripada dua puluh
tahun di Etiopia. Betapa cepatnya kebaruan itu luntur. Sudah berbulan-bulan
langit buang air. "Rakus," Amina menyebut Inggris. Tanah Inggris yang hijau dan
rakus. Musim panas 1986 tidak hanya membawa hujan, tetapi juga arus pengungsi yang
deras dan tak habis-habisnya. Orang berkemah di depan pintu kantor kami, gemetar
akibat dingin yang belum pernah mereka kenal, menunggu kedatangan kami setiap
Sabtu pagi. Orang Islam mencium tangan kami dan menghiasi pembicaraannya dengan
kata-kata religius, menanyakan waktu karena mereka tak punya jam dan bersujud di
karpet akrilik cokelat untuk shalat. Orang Kristen mencium pipi kami dan
membungkuk sedalam-dalamnya untuk berterima kasih. Orang Oromo yang berhasil
menolak semua dai dan misionaris bersyukur kepada Waqaa, Tuhan tradisional
mereka. Aku dan Amina bersyukur kepada Tuhan dengan
Pertemuan dengan Jin cara Harari. Sebulan sekali kami membakar kristal dupa di atas arang di pot
bunga di kebun dapurnya. Kami mengangkat telapak tangan ke langit Inggris dan
memanjatkan doa khusus untuk menghormati Bilal Al-Habash, yang dibawa asap itu
ke langit. Bulan ini Amina tak ingin menemaniku ke luar rumah, dengan alasan terlalu basah.
Meskipun dia berkeyakinan bahwa anak-anaknya harus tahu asal usul mereka, dia
tampaknya semakin tidak berminat memelihara ritual masa lalu. Ini lebih dari
sekadar cuaca: dia terkesan oleh perkataan para imam di masjid dan para guru di
madrasah Ahmed yang mengajarkan apa yang mereka sebut versi Islam yang resmi,
yang ortodoks, satu-satunya. Dalam versi ini, wali disebut tuhan palsu, dan
menghormati mereka berarti melakukan dosa syirik: mempersekutukan, memuliakan,
menyembah sesuatu selain Allah.
Selama dua bulan berturut-turut, aku berjalan keluar ke kebun tanpa dia. Sitta
berdiri di pintu terbuka, mengamati seperti biasa. "Kamu mau lempar dupa?"
tanyaku sambil mengulurkan tangan.
Dia segera melemparkan segenggam kristal berdebu ke udara. Dupa itu bertaburan
seperti makanan ayam di tanah.
"Mendekatlah," aku berisyarat, dan dia menuruni tangga terkelupas dalam sepatu


Lily Pencarian Cinta Gadis Eropa Karya Camilla Gibb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bot karet karet besar berwarna kuning milik Ahmed. Dia merapatkan diri ke
sampingku di bawah payung, satu tangan di antara kakiku, memegang paha dalamku.
Aku mengeluarkan lagi kantong kertas dari saku jas
hujan, menaburkan dupa ke dalam tangan Sitta satu lagi dan menyuruhnya
menjatuhkannya kali ini, menaburkannya perlahan di atas arang yang memadam,
melakukannya dengan niat, sebagaimana diajarkan Abdal Akbar kepadaku.
Sitta tertawa dan melompat mundur, sementara asap membubung.
"Bismillahirrahmanirrahim," aku mulai melantun, sebelum menyebutkan nama sang
wali dan memintanya melindungi bangsa Harar dan keturunannya. "Kamu tahu siapa
Bilal?" tanyaku kepada Sitta.
Dia menggeleng, meskipun aku sudah mengulang cerita itu ribuan kali. Dua bulan
lagi Sitta mulai ikut kelas Sabtu di madrasah seperti kakaknya, dan aku cemas
bahwa saat itu dia juga akan meninggalkanku di kebun dapur demi pendidikan yang
lebih ortodoks, di mana satu-satunya sejarah adalah sejarah bangsa Arab dan
tradisi seperti ini menjadi bid'ah.
"Kamu masih ingat ceritaku bahwa tak ada orang yang percaya kepada Nabi Muhammad
ketika dia mulai menyebarkan firman Allah?" tanyaku. "Nah, Bilal adalah orang
Etiopia miskin, yang dijual sebagai budak ke sebuah keluarga Arab. Dia tak
memiliki kekuasaan, ataupun pengaruh, tetapi ketika dia mendengar orang yang
mengaku sebagai nabi itu berbicara, dia begitu yakin akan kemurnian pesan itu,
sehingga dia mau mempertaruhkan nyawanya dengan berdiri tegak dan menyuruh
mereka menyimak. Dia meyakini bahwa perkataan Nabi adalah seperti yang
diklaimnya-firman Allah. "Tentu saja, pemilik Bilal menghukumnya dengan keras, tapi ketika Nabi
mengetahui ini, dia mengutus salah seorang sahabatnya untuk membayar berapa pun
harga yang diperlukan untuk memerdekakan budak malang itu. Nabi memberinya
hadiah atas keberanian dan pengabdiannya, dan Bilal pun menjadi salah seorang
sahabat Nabi yang paling dipercaya. Dia terus bekerja dengan setia meskipun
mendapat perlawanan, menyusuri jalan-jalan Makkah dan memanggil kaum Mukmin
untuk menegakkan shalat."
"Sang muazin," kata Sitta.
"Benar sekali," aku tersenyum. Alhamdulillah. Akhirnya melekat juga. "Muazin
pertama Islam." Amina memintaku menjaga anak-anak. Dia tidak memberi tahuku ke mana dia pergi.
Aku takut suatu hari Amina akan dipukuli oleh para pemabuk yang berdiri di luar
stasiun kereta api bawah tanah. Gerombolan tak punya pekerjaan itu luntang-
lantung di sana hanya untuk mengganggu orang, memakai celana jins ketat, sepatu
bot, dan rompi kulit, dengan lengan terbuka di musim dingin, memamerkan tato
yang menua, berseru, "Oi! Nig nog!"
Amina mengenakan kerudung yang lebih tebal dan gelap, dan meskipun dia berkata
dia merasa lebih terlindung, aku takut justru itu lebih menarik perhatian. Dia
mencium anak-anaknya selamat malam, meninggalkan bekas lipstik di kening mereka
dan jejak parfum Chanel No. S.
Kemudian, aku dan Ahmed bekerja di papan tulis, berusaha menggambar negara-
negara Eropa Barat tanpa bantuan atlas.
Aku dapat menggambar Afrika Utara dan Timur tanpa peta. Aku dapat menunjukkan
kepadanya jalur karavan Tuareg melintasi Gurun Sahara, rute yang kuikuti, jalan
para peziarah, dan menggambar garis putus-putus untuk pasir yang berpindah-
pindah dan perbatasan negara yang diperdebatkan, tetapi soal Eropa Barat, kuakui
ingatanku sudah samar. "Apakah ibumu memberi tahumu ke mana dia pergi?" aku mencoba menekan rasa
tegangku. "Cuma bertamu." Ahmed menimpa gambar pensil Kepulauan Inggris dengan spidol
hitam. Kami berhasil sampai sejauh ini berkat peta di buku telepon, tetapi di
luar itu, kami kesulitan.
Sementara itu Sitta berkonsentrasi keras, menggigit bibir bawah sambil
menambahkan beberapa baris angka. Pensil itu tampak besar dan berbahaya seperti
pisau roti, dipegang oleh tangannya yang mungil. Wajah gadis kecil itu mungil,
seperti muka boneka, dihiasi ikal-ikal longgar, dan dia sedang mengenakan piama
berbulu merah jambu, siap tidur.
"Selesai!" dia mengumumkan penuh kemenangan.
"Anak baik. Mungkin kamu bisa membantuku dan Ahmed menyelesaikan Eropa," aku
bergurau. Dia cemberut. "Tapi sekarang waktunya cerita."
Ahmed menatap papan tulis tanpa daya.
"Begini saja. Besok kita mampir dulu ke toko Mr. Jahangir sebelum kamu masuk
sekolah. Dia pasti bisa membantu kita. Seperti yang selalu dia katakan, dia
orang yang sangat berpendidikan. Oke" Nah, gosok gigi kalian berdua, lalu
cerita." Cerita malam ini adalah cerita yang sama setiap malam saat kami merangkak masuk
ke tempat tidur bersama-sama: cerita tentang Hussein, sang sufi yang dilumpuhkan
oleh kegagalan spiritual, dan Lilly, gadis yatim-piatu yang menyulut kembali api
dalam hati Hussein yang sakit.
"Lilly?" kudengar Amina berbisik.
Sitta meringkuk di sebelahku, kepalanya menyusup di bawah lenganku, meneteskan
air liur di kemejaku, dan Ahmed menempel di tepi tempat tidur yang sempit. Amina
mengguncang pahaku perlahan, membangunkanku.
"Ada masalah?" tanyaku.
"Tidak." Dia berdiri di kaki tempat tidur, meraba-raba seprai.
"Ada apa, Amina?"
Dia menempelkan jari ke bibir, berisyarat agar aku melepaskan diri dari anak-
anak dan mengikutinya ke dapur.
Dia menjerang ceret dan membebaskan dirinya dari kerudung, jaket, dan kardigan.
Angin berderak di kaca jendela yang tipis. Aku membukanya sedikit
dan menyalakan rokok. "Kamu ke mana saja?" tanyaku. "Cuma shir shir," katanya-bertamu. "Oh," kataku.
Dia mengangkat bahu. "Aku cuma pergi menemui orang, tapi tak ada hasilnya. Buat
apa aku menceritakan sesuatu yang bukan apa-apa?"
Aku memang terkenal suka membesar-besarkan sesuatu. Sekitar setahun yang lalu
kami mendapat tamu, seorang lelaki Oromo, yang didorong istrinya menemui kami,
karena dia putus asa mencari saudaranya. Lelaki itu dan saudaranya dulu
dipenjarakan bersama-sama di barak di Etiopia barat daya, di mana penjaganya pun
kelaparan. Sehari sekali, penjaga dan tahanan yang beruntung diberi semangkuk
sup yang dibuat dari kulit bawang bombai. Orang yang kurang beruntung terpaksa
makan sol karet sepatu dan tanah dari halaman penjara, setelah petak rumput
habis semua. Tetapi, mereka yang tidak sekarat karena kelaparan, sekarang malah sekarat
karena menderita penyakit yang mewabah ke seluruh penjara. "Akhirnya, mereka
mendatangkan dokter yang membawa pil, untuk menyelamatkan kami," kata lelaki
Oromo itu kepada kami. "Dia mungkin hanya membawa seratus pil dan kami berjumlah
enam ratus lebih. Jadi para penjaga berkata kepadanya, lupakan orang yang
kelaparan dan pilih beberapa yang, meskipun sakit, masih bisa berdiri.
"Si dokter meletakkan pil itu di lidahku, dan sungguh, alhamdulillah, pil itu
menyelamatkan nyawaku. Bedri, saudaraku, juga beruntung. Kami yang menelan obat
pun sembuh, dan agar kami tidak tertular penyakit itu lagi, si dokter meyakinkan
penjaga, bahwa kami harus dipindahkan ke penjara lain.
"Mata kami ditutup dan kami dilempar seperti kentang ke bagian belakang truk.
Dan ada serangan mendadak pada hari kedua, dan tiba-tiba kami terhuyung-huyung
ke dalam malam dan terjadi tembak-tembakan di sekitar kami, dan aku tiarap ke
tanah dan merangkak sejauh mungkin. Sewaktu aku berhenti kelelahan, aku
mendengar napas di dekatku dalam gelap dan aku takut sekali, aku berusaha tidak
bersuara. Tapi aku mendengar napas di kanan dan di kiri dan di belakangku. Ada
orang-orang sepertiku yang merangkak dan tak ada yang mau berbicara karena malam
sangat gelap dan kami tidak tahu apakah kami dikelilingi musuh atau teman.
Akhirnya, ada seorang yang mengambil risiko dan berbicara. Ternyata saudaraku
Bedri, alhamdulillah. Dia memberi tahu kami bahwa si dokter Harari memberi
tahunya bahwa jarak ke perbatasan Kenya hanya dua puluh kilometer ke selatan.
Dan ketika matahari terbit pagi harinya" Alhamdulillah, kami tahu arah mana yang
harus dituju." "Dokter itu orang Harari?" tanyaku. Aku tak bisa menahan diri.
"Ya. Yang menyelamatkan nyawaku. Nyawa banyak orang."
"Kamu masih ingat namanya?"
"Aku tak tahu," kata lelaki itu. "Aku hanya ingat bahwa dia tidak mirip orang
Harari karena dia sangat hitam. Yang pasti, saudaraku ..."
Aku yakin dokter itu pasti dia: jumlah dokter Harari tidak banyak, aku kenal
semuanya, dan Aziz jelas yang paling hitam. Tetapi, bagaimana gerangan cara
mencari seseorang, kalau yang diketahui hanyalah bahwa dia berada di suatu
tempat di dekat perbatasan Kenya sekitar empat tahun yang lalu" Yang bisa
kulakukan hanyalah berdoa. Dan menunggu. Dan menjadi sedikit gila. Aku demam dan
bermimpi buruk dan ketika aku tersadar seminggu kemudian, aku menemukan bahwa
semua pintu lemari di dapurku telah direnggut lepas dari engselnya.
"Apa menurutmu aku akan jadi gila?" tanyaku kepada Amina, saat aku berdiri
terhenyak melihat kehancuran itu. Tanganku tercakar dan memar, tetapi aku hanya
ingat samar-samar, pernah merasa frustrasi karena tak berhasil mencari teh di
semua lemari itu. "Mungkin kamu baru bertemu dengan jin," katanya bersimpati.
Zar, jin terburuk, dapat merasuki pikiran dan tubuh manusia. Aku pernah
melihatnya beberapa kali di Etiopia. Selalu menimpa perempuan. Perempuan yang
sudah mencapai batas. "Aku menelepon tempat kerjamu," kata Amina sambil menyapu serpih kayu dari
lantai. "Kamu tidak ..."
"Aku terpaksa, Lilly!"
"Kamu bilang apa kepada mereka?"
"Cuma bilang bahwa kamu perlu menangani urusan keluarga," katanya. "Aku
berbicara kepada seorang lelaki yang sangat baik, namanya Dr. Gupta."
"Sial," erangku.
"Dia kedengarannya baik sekali."
Salah seorang dokter yang sering bertugas di bangsalku. Jangkung, tampan, namun
angkuh. Seluruhnya aku absen lima giliran kerja, dan harus menebusnya dengan menjalani
sidang percobaan dengan dewan tiga dokter, termasuk Dr. Gupta, yang membuatku
sangat malu. Mereka menanyaiku tentang depresi dan penggunaan obat, dan aku berkata, agak
marah, bahwa ini benar-benar tak berkaitan dengan kesehatan mentalku. Kemarin
aku menangani urusan keluarga, dan jika kita berasal dari keluarga pengungsi,
urusannya kadang tak terduga.
"Keluarga pengungsi?" tanya si kepala staf, seolah-olah geli.
"Ya." "Itu pasti rumit."
Aku mengangguk dan membuang muka.
"Dan apa menurutmu ini akan terus mengganggu pekerjaanmu?"
"Tidak," kataku tegas. "Urusan ini sudah beres. Sudah selesai."
Aku tak akan dikejutkan seperti itu lagi. Aziz berada di suatu tempat di Etiopia
Selatan, di dekat perbatasan Kenya. Aku sudah siap sekarang:
tinggal masalah waktu. Hal terbaik yang dapat kita lakukan adalah berusaha mengirim pesan ke perkemahan
UNHCR utama di luar Nairobi, tempat Amina dan suaminya pernah berdiam. Aku
meninggalkan nama, nomor telepon, dan alamat di badan amal Kristen yang
membagikan pakaian bekas kepada pengungsi di perkemahan, mencap para lelaki
Afrika kerempeng dengan slogan seperti "Ayo Berjoget", "Daya Tarik Seks-
Berikanlah dengan Murah Hati", "Selamatkan Ikan Paus".
Tak ada yang pernah menghubungiku dari badan amal maupun perkemahan.
Aku menuangkan teh Amina. "Jadi sesuatu yang ternyata bukan apa-apa itu ..."
"Lilly! Kenapa kamu memperlakukan dirimu seperti ini" Ini bukan apa-apa,
percayalah." "Tolong," kataku sambil cemberut seperti anak
kecil. Amina menghela napas. "Aku baru mendengar soal dokter ini, namanya Dr. Berhanu,
Berhanu Wondemariam, dan katanya dia sangat-sangat terkenal, dia pernah menjadi
kepala jurusan kedokteran di Addis ..."
"Aha. Jadi kamu menduga mungkin dia pernah di sana sewaktu Aziz kuliah."
"Kupikir tak ada salahnya mencoba bertanya. Kudengar dari seorang perempuan di
kantorku bahwa dia ada di sini, bahwa dia datang untuk menghadiri konferensi dan
menyatakan suaka, dan bahwa dia tinggal bersama teman-temannya di
Camden Town. Perempuan itu mengaturkan janji untukku, untuk bertemu dengannya."
"Kamu tahu aku pasti mau menemanimu," kataku.
"Justru karena itu aku tak memberi tahumu, Lilly. Yah, pokoknya. Dr. Berhanu ini
tidak sehat. Dia pernah mengalami trauma, itu tampak jelas di matanya. Akan
perlu waktu lama sampai dia siap berbicara tentang masa lalu."
Aku lebih suka waktu Amina dulu selalu menyalahkan segala sesuatu pada jin atau
mata jahat. Sekarang dia kuliah psikologi di sekolah malam seminggu sekali.
Organisasi pengungsi tempat dia bekerja yang membiayainya. Efeknya mulai
terlihat. "Aku tanya dia, 'apa kamu masih ingat mahasiswa yang bernama Aziz Abdulnasser"'"
Amina melanjutkan. "Tapi dokter itu hanya menggeleng dan minta maaf. Temannya
berkata, 'Dengar, Mrs. Amina, aku dan Dr. Berhanu sudah mengajar ratusan
mahasiswa selama bertahun-tahun. Maaf sekali, tapi kami tak mungkin ingat nama
setiap orang, kan"'"
"Yah, memang tak bisa," aku sepakat.
Amina mengaku bahwa itu terlalu memaksa, tetapi dia mengatakan bahwa kantor kami
akan terbantu jika dia dapat membuat daftar mahasiswa yang diingatnya. Kukira
dia berharap akan ada nama teman-teman Aziz yang mungkin kami kenali.
"Kamu baik sekali," kataku sambil meremas tangannya, berterima kasih.
Tentu saja, teman Dr. Berhanu berkata mereka tak mungkin melakukan itu. Akan
terlalu menyakitkan. "Tapi kadang aku curiga pada orang-orang seperti itu," kata
Amina sambil menggoyang-goyangkan jari. "Kadang orang yang tidak ingat itu
menolak permintaan ini karena mereka pernah berbuat jahat. Dalam psikologi ini
disebut penyangkalan, denial."
Tetapi, kami semua bersalah di mata orang lain. Kalau kau orang Amhara, kau
bersalah karena mendukung kediktatoran yang brutal; kalau kau orang Oromo, kau
bersalah karena menentang revolusi; kalau kau orang Harari, kau bersalah karena
menimbun kekayaan dan mengeksploitasi petani. Kalau kau pengungsi, kau bersalah
akan kejahatan terburuk: meninggalkan tanah airmu dan menelantarkan orang-orang
yang kau cintai. Dalam setiap kasus, ini masalah persepsi: dalam kasus terakhir,
persepsi-diri, tudingan terburuk di antara semua.
Amina curiga pada dokter ini karena namanya Amhara. Dalam pengasingan, perang di
antara kami tidaklah terhapus.
"Nah, lupakan ini, oke?" kata Amina.
"Baiklah," kataku. "Ini bukan apa-apa."
Kebiasaan Pahit -A-ku berusaha beristirahat sejenak di kantin, sementara seorang pemuda berusia
delapan belas tahun berbaring sekarat di lantai atas, akibat terjun bebas dari
balkon lantai dua belas, terpengaruh oleh narkoba. Aku baru saja menaikkan dosis
morfinnya: dia akan mati sejam lagi. Aku sudah cukup kebal, karena sudah
berkali-kali melakukannya selama hampir sepuluh tahun, tetapi kadang-kadang,
ketika kematian itu diakibatkan oleh sesuatu yang tidak perlu dan tidak
bermakna, seperti perkelahian atau pemukulan atau cedera kepala pada orang yang
tak mau memakai helm, aku harus menekan keinginan untuk menghakimi. Saat kau
tinggal di tengah orang-orang yang telah menanggung penyiksaan yang tak
terbayangkan, yang telah mengorbankan segala sesuatu demi memberi kehidupan yang
lebih baik bagi anak-anaknya, kau tak lagi bersimpati kepada orang-orang yang
membuang-buang semua itu gara-gara ego.
Memang sudah tugasku, membantu orang yang sekarat agar mampu melanjutkan
perjalanannya; ini manusiawi dan meringankan penderitaannya mereka, aku
mengingatkan diri sendiri, sambil menyendok tapioka ke mulut dengan lesu.
Seseorang meluncurkan nampan warna Jingga ke dalam pandanganku, sementara aku
menatap kosong ke meja. Tangan cokelat, kuku pendek dan rapi, beberapa bulu
hitam liar di ruas jari. "Halo, Lilly," kata sebuah suara berat.
Aku mendongak. "Dr. Gupta."
"Rabindranath. Robin." Dia tersenyum. Giginya putih sekali. Mencurigakan.
"Rabindranath," ulangku. Aku lebih suka merajuk dalam hening.
"Nama Hindu," katanya, "Bengali." Kulihat dia mengeluarkan saus Tabasco dari
sakunya dan menutupi kentang lumatnya dengan bintik-bintik polka merah. "Kalau
namamu?" "Inggris, kukira."
"Lilly, tapi Abdal tidak."
"Memang," aku mengakui.
"Dan aksenmu tidak terlalu Inggris."


Lily Pencarian Cinta Gadis Eropa Karya Camilla Gibb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku tertawa, tak menduga. "Tidak, aksenku kacau-balau." Orang biasanya tidak
selancang itu menyebutkannya.
"Lebih mirip koktail buah," katanya. Aku mengangkat bahu, berharap ini akan
mengakhiri percakapan. Dokter biasanya duduk bersama dokter lain, sebagaimana
perawat duduk bersama perawat, dan karyawan duduk bersama karyawan.
Dokter co-asisten bahkan tidak duduk bersama dokter atau dokter bedah, dan
perawat, mereka yang terburuk-perawat senior, perawat jaga, dan spesialis
perawat sengaja duduk terpisah dari kami, yang cuma perawat staf, bodoh atau
tidak ambisius atau malas atau tidak kompeten atau apa pun yang pastinya membuat
kami terus di pos rendahan ini.
"Aku tertarik sewaktu kamu bilang kamu berasal dari keluarga pengungsi," kata
Dr. Gupta, sambil meletakkan pisaunya.
"Benarkah?" Kejadian itu sudah bertahun-tahun yang lalu. Aku menatapnya ingin
tahu. Aku belum pernah memerhatikan, tetapi salah satu matanya sedikit sayu,
seolah-olah hanya setengah dirinya yang terjaga. Aku bertanya-tanya apakah dia
pernah digoda gara-gara hal itu semasa masih sekolah.
"Aku tidak yakin apa maksud kata-katamu itu, tetapi yang pasti itu menyentuh
hatiku," katanya. "Maksudku, anggota keluargaku yang tinggal di sini sangat
sedikit. Kami terpencar ke mana-mana. Orangtuaku di Kalkuta, keluarga di Delhi,
sebagian di Manchester, sepupu di Birmingham, Melbourne, Vancouver."
Sama sekali tidak mirip, aku ingin berkata kepadanya. Keluargamu pergi karena
pilihan mereka. Kamu tahu di mana lokasi setiap orang. Kamu bisa mengangkat
telepon. Aku mohon diri, mendorong kursiku ke belakang, berkata bahwa aku harus kembali
bertugas. Ramadhan dimulai tengah malam. Sitta mengenakan kerudung katun warna putih dan
Ahmed memain-mainkan kupluk rajutnya, sementara kami naik bus ke Brixton. Aku
lebih berwarna-warni dengan berani, mengenakan kerudung cerah seperti yang
dipakai perempuan Harari dan selendang emas yang disampirkan di atas pakaian
warna merah anggur. Bus dijejali orang dari rumah susun yang menyapa kami,
membelai pipi anak-anak dengan lembut, menanyakan Amina. Dia harus kuliah
psikologi malam ini, tetapi dia akan ikut makan malam di rumah.
Sebagian besar dari kami tidak pergi ke masjid sesering yang semestinya. Di
Harar, kami lebih sering mengunjungi makam keramat daripada masjid karena di
sanalah kami merasa paling dekat dengan Allah. Guru Al-Quran Ahmed bersikeras
agar orangtua mengajak anak-anak ke masjid paling sedikit seminggu sekali.
Kebiasaan baik harus ditanamkan sebelum akil balig. Dengan saling bantu, aku dan
Amina tampaknya berhasil melakukannya sekitar sebulan sekali.
Malam ini sang imam berbicara tentang kesulitan berpuasa di dunia makanan siap
saji dua puluh empat jam, tentang kewaspadaan yang diperlukan untuk melawan
godaan teh dan kopi dan mesin makanan yang dipenuhi cokelat Mars, tentang
memiliki disiplin untuk menolak makan siang di kantin sekolah, sementara semua
anak lain makan. "Kalau ada teman sekolah, yang bertanya kenapa kamu tidak
makan, kamu harus menggunakan kesempatan ini untuk mendidik mereka tentang
Islam," katanya. "Dan jika ada yang menggodamu atau mengganggumu, jangan bereaksi dengan marah.
Gunakan puasa sebagai perisaimu."
Dalam perjalanan pulang, kami singgah untuk membeli ikan dan kentang goreng.
Anak-anak membuka bungkus makanan di pangkuan mereka, di depan televisi. Mereka
belum berpuasa untuk tahun ini, tetapi aku dan Amina berpuasa. Ikan dan kentang
goreng adalah makanan mewah untuk kami semua. Hal tersulit bagiku adalah
berhenti merokok. Ini hal ter-Inggris pada diriku, kegemaran pada rokok Silk
Cut. "Oh, aku keroncongan," erang Amina saat akhirnya dia pulang, menjatuhkan buku
teksnya di meja dapur. Dia menarik pintu oven hingga terbuka, bahkan tanpa
menanggalkan jaket dan membaca koran. Di antara mengunyah makanan, dia
menanyakan hariku. Aku menceritakan percakapanku dengan Dr. Gupta, Rabindranath, Robin, yang masih
mengusikku. Memang dia juga berasal dari tempat lain, tetapi dia berasal dari
keluarga kaya dan kuliah kedokteran di Cambridge. Dia punya kerabat di Inggris,
pasti pulang ke India untuk mengunjungi teman dan keluarga dua tahun sekali dan
berlangganan tarif khusus yang memungkinkan dia menelepon orang-orang di Mumbai
berjam-jam setiap akhir pekan. Tidak mirip sama sekali.
Amina berdecak dan menyeka minyak dari bibirnya dengan punggung tangan. "Kadang
kamu terdengar getir sekali."
"Oh, ya?" "Kamu tidak memerhatikan perkataanmu sendiri" Dia hanya berusaha mencari
kesamaan denganmu. Dia bukan berusaha bersaing, atau apa ya, apa pun yang kamu
pikirkan ..." "Mengecilkan arti pengalamanku."
"Lilly, aku yakin niatnya bukan itu. Dia tidak tahu, kan, pengalamanmu seperti
apa" Dan lagi pula, kenapa dia repot-repot" Kedengarannya dia sedang mencoba
menjalin pertemanan. Dan ada baiknya kamu punya teman."
"Kamu kedengaran seperti orangtua."
"Aku memang orangtua."
"Bukan orangtuaku."
"Ya ampun, Lilly." Dia memutar mata.
"Yah, aku tak memintamu menjadi orangtuaku," kataku.
Dia berdiri sambil menepiskan garam dari telapak tangannya. "Kamu harus mencabut
belati dari hatimu!" serunya, lengkap dengan gerakan dramatis. "Tingkahmu
seolah-olah hidup sudah berakhir. Kamu masih ingat, dulu kamu pernah tanya,
apakah menurutku kamu sedang menjadi gila" Kamu tidak gila, tapi kamu kehilangan
sesuatu. Kamu kehilangan harapan. Sejak lelaki itu memberi tahu kita tentang si
dokter yang menyelamatkan nyawanya, kamu sudah tak pernah berharap lagi. Kamu
tak pernah bermimpi tentang masa depan lagi."
Dia memasukkan kertas berminyak itu ke tempat sampah.
Dia meninggalkan aku duduk di meja dapur,
cukup lama agar aku memahami inti pendapatnya. Beberapa jam lagi bulan Ramadhan
akan dimulai. Ramadhan mengajari kami kesabaran dan pengekangan, dan itulah
waktunya kami melancarkan jihad melawan kebiasaan penghancur yang kami miliki.
Merokok adalah kebiasaan burukku yang paling ringan.
Idul Fitri J^ayangan Aziz terpancar dalam pelangi ku-ning-ungu pada sisa minyak, saat aku
melunakkan beberapa mangkuk dorro wat-sup ayam-dalam air panas. Aku bertanya-
tanya apakah dia berpuasa bulan Ramadhan ini. Kuharap dia punya pilihan itu.
Ada orang yang tidak menelan air liur sepanjang bulan: disiplin yang jauh lebih
besar daripa-daku. Lalu, ada orang yang berdalih agar tidak berpuasa, lebih dari
yang lain, seperti beberapa perempuan yang kami kenal, yang mengklaim mendapat
haid dua kali dalam tiga puluh hari. Sebagian besar dari kami berada di suatu
tempat di tengah-tengah, batal puasa satu atau dua kali, yang dapat dibayar
dengan berpuasa di luar bulan Ramadhan. Namun, apa pun kesuksesan ataupun
kegagalan pribadi kami, Idul Fitri adalah perayaan terbesar setiap tahun.
Amina pulang dari toko membawa ketumbar, dan aku dengan enggan mencabut sumbat
di wastafel dapur. Aziz seolah menjadi lingkaran dan
spiral yang menuruni saluran buang.
Pada malam hari, pawai warna mendekat dari kiri dan kanan. Perempuan mengalir di
lorong beton, meninggalkan gema memekakkan di belakangnya; pekik melengking
anak-anak yang bergembira memantul tanpa ampun di dinding. Dalam perjalanan,
mereka menanggung umpatan dari para tetangga berkulit putih yang tidak
bersimpati, yang melongokkan kepala keluar lorong dan meminta mereka jangan
ribut. Awan parfum melayang melalui pintu flat Amina. Sebagian besar tamu adalah orang
Oromo, tetapi kami juga mengundang Mr. dan Mrs. Jahangir dan beberapa tetangga,
orang Eritrea, Kenya, dan Sudan. Kedua perempuan Harari yang tinggal di lantai
bawah datang dengan gaya Harari sejati, mengenakan sutra terbagus, berkilauan
dari gigi hingga pergelangan kaki. Bahkan di sini, dalam pengasingan, mereka
tampak kaya. Mrs. Jahangir tiba dengan timbunan kecil kue samosa yang ditumpuk di atas
piring, dibawa di atas kari okra dan kacang polong. Kaum perempuan Oromo
menjunjung injera-yang kini bisa dibeli di toko koran dalam tumpukan enam injera
basah-di tampah di atas kepala, membawa berpiring-piring makanan manis dan
bermangkuk-mangkuk berondong jagung di tangan dan mengajak banyak anak di
belakang mereka. Kaum lelaki pergi merayakan Idul Fitri dengan gaya yang lebih tenang. Saudara-
saudara Oromo mengumpulkan iuran untuk membeli qat dari
pedagang Yaman di Brixton, yang pada bulan-bulan ini memasang harga seikat kecil
daun hijau kering itu lebih mahal daripada harga sapi di Etiopia.
Sementara kaum lelaki teler, kami melewatkan malam dengan menyanyi. Seorang
perempuan Harari mengiringi nyanyian dengan gendang, sementara kami melantunkan
zikir, yang dikenal semua Muslim di ruangan itu. Kami bergiliran menyanyikan
lagu tradisional masing-masing, dan saat itu anak-anak mulai bosan dan menarik-
narik rok ibunya sampai diizinkan keluar bermain kucing-kucingan di lorong,
daripada mendengarkan kisah hikmah dan lagu kebanggaan suku, yang sayangnya
tidak terlalu mereka minati.
Akhirnya kami makan. Keesokan paginya, serak karena menyanyi semalaman dan masih kembung karena makan
semalaman, aku dan Amina menyeret tubuh ke kantor asosiasi komunitas. Karena
kami adalah Muslim, tentu hal ini membuat kami sangat menyesal: perasaan yang
berasal dari kesadaran bahwa, meskipun setelah sepanjang bulan merenung dan
mengekang diri, tak ada perubahan berarti dalam sikap kami, tak ada perubahan
besar dalam diri kami ataupun dunia di sekitar kami.
Aku mengisap rokok kesepuluh pagi ini, mengisap dengan semangat setelah sebulan
menahan diri, sambil menyusun surat ke Amnesty. Aku melakukan ini secara rutin,
kali ini karena mendengar
kabar bahwa pemerintah diktator di Etiopia memaksa merelokasi warga sipilnya
lagi, mengambil ratusan ribu warga dari utara yang dilanda kelaparan dan
menempatkan mereka di desa-desa yang dikendalikan pemerintah di sebelah selatan.
Menurut mereka, inilah satu-satunya jalan keluar, karena daerah utara berada di
ambang kehancuran lingkungan hidup, tetapi kami tahu relokasi ini tidak
bersangkut-paut dengan pemberantasan kelaparan. Kami melihat ini sudah terjadi
dua kali selama tiga tahun terakhir. Ini tindakan agresif untuk melawan
pemberontakan, yang dirancang untuk memencarkan konsentrasi etnis, yang didorong
oleh rasa takut pemerintah diktator akan front pemberontak di utara, gerilyawan
yang tak mau mati, betapapun pemerintah Mengistu berusaha membasmi mereka
melalui wabah kelaparan lain yang mereka rekayasa sendiri. Kelaparan yang, pada
gilirannya, memungkinkan Mengistu menggemukkan pasukannya dan memperkaya
pejabatnya dengan bantuan makanan yang dikirim oleh berbagai negara dan badan
amal Bob Geldof, mengompori pemerintah diktator untuk mencapai tingkat kengerian
yang lebih tinggi lagi. Amina yang mengenakan sepatu kulit tua milikku duduk di kursi kantor warna
Jingga yang berdecit-decit, dengan setumpuk amplop di pangkuannya, memindai nama
pada daftar di meja di depannya. Sementara itu, Sitta mencelupkan jarinya ke
dalam gula yang mengintai di dasar cangkir kopiku dan menyenandungkan lagu tema
serial televisi Blue Peter.
Amina tiba-tiba berdiri, menyebabkan menara amplop jatuh ke lantai. Sitta
cekikikan melihat amplop yang tumpah, tetapi mendadak berhenti, karena melihat
raut muka ibunya. Amina seperti foto kepedihan: benar-benar tak bergerak.
Aku mendekatinya, seolah-olah berjalan dalam air. "Ada apa, Amina?" tanyaku
perlahan, tanganku di bahunya.
Dia mengguncangkan daftar di tangannya. "Yusuf," dia akhirnya berhasil berujar,
meledak isaknya. Dia bersandar kepadaku. Aku merangkul lehernya, menarik keningnya ke bahuku. Air
matanya meleleh ke dadaku. "Alhamdulillah," aku berhasil berbisik di telinganya.
"Alhamdulillah," dia tersedak. Dia menggenggam tanganku dan menariknya ke
jantungnya. "Bisakah kau rasakan?" tanyanya.
Bisa. Bahkan hampir terdengar.
"Suatu hari nanti kau akan merasakan ini," dia menawarkan.
Kami berdua tahu, betapa kecil kemungkinan itu terjadi. Sekarang sudah dua belas
tahun. Tetapi, ada pelajaran dalam peristiwa ini. Aku telah berhenti berharap.
Amina memang benar. Belati. Dia telah berusaha terus berharap demi kami berdua,
dan untuk itu, dia telah mendapat ganjarannya.
I Tangan-Kaki Khayalan Sit*a belum pernah secerewet ini-kebera-daan seorang ayah yang belum pernah
dikenalnya tampaknya telah menganugerahinya dengan bahasa: pertanyaan dan
gagasan. Sebaliknya, Ahmed menjadi sedikit pendiam; barangkali merindukan ibunya
selama beberapa minggu ini saat Amina berada di Roma bersama Yusuf. Ahmed tak
bosan-bosannya membaca buku komik, mendengus dari sofa cokelat yang melendut
saat aku bertanya apakah dia sudah siap untuk acara minum teh. "Makaroni?"
tanyaku. "Ya, makaroni keju," jawab Sitta untuk mereka berdua, sambil bertepuk tangan
yang mengiringi setiap suku kata.
Aku menjerang ceret air. Sitta melekat ke pahaku di dapur mungil itu, berceloteh
seperti boneka yang bisa berbicara, tali di punggungnya ditarik berulang-ulang.
Maling Budiman Berpedang Perak 3 Pedang Siluman Darah 20 Penguasa Bukit Karang Bolong Kisah Para Naga Di Pusaran Badai 9
^