Lily Pencarian Cinta 1
Lily Pencarian Cinta Gadis Eropa Karya Camilla Gibb Bagian 1
Gadis kecil kulit putih itu bernama Lilly. Kedua orang tuanya tewas secara
misterius. hungga dia dijadikan anak angkat oleh seorang sufi Maroko. Dua budaya
yang amat berbeda membuat dia harus berjuang mengenal hidup.
CUKUP lama Lilly merasa hampa dan terhantui. sampai dia menemukan sosok kakak
dalam diri Hussein. Hussein-lah yang menemaninya hijrah ke Harar Etiopia, sebuah
kota suci bertembok tempat bermukimnya para wali. Di sanalah Lilly belajar Islam
dan menjadi guru mengaji Al Quran.
Namun. tibalah tahun 1984. ketika selengah juta orang mati kelaparan dan
selengah juta lagi meninggalkan Ethiopia. Berpisah dengan Hussein dan anak-anak
didiknya adalah hal tersulit bagi Lilly, terutama dengan Dr. Aziz Abdulnasser.
seorang dokter Idealis yang mulai mengisi hatinya. Lantas bagaimanakah kehidupan
Lilly saat dia mengungsi ke London" Akankah dia menemukan kembali kebahagiaan
yang sempat singgah kepadanya"
Canggih, ambisius, dan novel yang memberikan pengaruh mendalam' -Giller Prize
Jury "Lilly amat mengagumkan dan menglnsiptrasl berbagai kalangan. Novel yang
melukiskan kondisi Etiopia dengan amat ta(am; penuh cinia, toleransi, ketabahan,
dan optimisme. Ethiopian Observer?an international bestseller
Camilla Gibb Penerima City of Toronto Book Award 2000 dan CBC Canadian Literary Award lor
Short Fiction 2001 Pencarian Cinta Gadis Etiopia Berdarah Eropa
'Karakter utama yang memesona ... Sungguh dalam, memikat, dan penuh kekuatan."
Trillium Prize Jury ?"Kisah yang menusuk perasaan ... menimbulkan rasa empati -The Miami Herald
Trillium Book Award Winning 2006 and Oilier Prize Winning 2005
"Tapi aku tak mau berada di tengah-tengah orang gila," komentar Alice.
"Oh, itu tak bisa kamu cegah," kata si Kucing: 11 kita semua di sini gila. Aku
gila. Kamu gila." "Dari mana kamu tahu aku gila?" kata Alice.
"Pasti," kata si Kucing, " kalau tidak, kamu tentu tidak datang ke sini."
Alice'fO s Adventures in Wonderland, Lewis Carroll
?Qanita membukakan jendela jendela bagi Anda untuk menjelajahi cakrawala baru.
?Menemukan makna dari pengalaman hidup dan kisah kisah yang kaya inspirasi.
?Qanita LillY Pencarian Cinta Seorang Gadis Eropa di Etiopia
CMILIA GIBB Untuk Abdi, Biscutti, Agitu, dan the ge waldach cucu-cucu Harar
Pujian untuk Lilly 1 "Karakter utama yang memesona .... Sungguh dalam, memikat, dan penuh kekuatan."
-Trillium Prize Jury "Canggih, ambisius, dan novel yang memberikan pengaruh mendalam -Giller Prize
Jury " ... Kisah yang menusuk perasaan ... menimbulkan rasa empati -The Miami Herald
"Sungguh memikat ... Pencarian jiwa sunyi Lilly menjadikan novel Gibb sebuah karya
indah yang memesona hingga halaman terakhir." -Minneapolis Star Tribune
"Penuh dengan ironi. Novel ini menemukan keindahan di tengah sebuah kehancuran
tragedi manusia ... Dikonstruksi dengan kerumitan dan sensitivitas -Canadian
Literature "Lilly amat mengagumkan dan menginspirasi berbagai kalangan. Novel yang
melukiskan kondisi Etiopia dengan amat tajam; penuh cinta, toleransi, ketabahan,
dan optimisme." -Ethiopian Observer
" ... dikenang karena penggambaran geografis, tema, dan sejarah ... melukiskan
sebuah perbedaan antara budaya lokal dan dunia modern." -The Birmingham Post
"Novel ini akan membawa kita jauh berada di sebuah tempat yang mungkin tak
terduga, dari waktu ke waktu, membuat kita rindu ingin kembali." -San Francisco
Chronicle "Lilly ... merefleksikan sebuah penderitaan, peralihan budaya, problem kesukuan,
politik negara beserta masalah pengungsian di seluruh belahan dunia." -Kirkus
Review "Ditulis secara serius, prosa-prosanya sungguh memikat .... Novel ini dengan
cerdas berhasil mengungkapkan 'bahasa keagamaan dan keterasingan1 -Publishers
Weekly "Karya memukau yang provokatif...." -Booklist
"Lilly menjadi karya universal indah ... mengisahkan pengampunan, kehilangan dan
keinginan untuk kembali ke rumah sejati." -Scotland on Sunday
"Daya tarik luar biasa dari kisah Lilly tentang keterasingan dan kesedihan
serasa membuat para pembaca tak ingin melepaskan satu halaman pun." -Red
Magazine "Kisah menggairahkan dan humanis, bercerita tentang seseorang yang tercerabut
dari tanah kelahirannya, kemiskinan, dan perang ... karya indahnya sangat
diperhitungkan." -Glasgow Evening Times
"Novel ini diperkirakan akan mampu membuat kejutan dalam penganugerahan Orange
dan Man Booker." -The Bookseller (UK)
"Novel tentang Afrika ini disajikan dengan amat cermat, Gibb dengan
kelembutannya berhasil menyuguhkan kompleksitas masyarakat Etiopia." -Time
Magazine "Luar biasa." -Canadian Press
"Cara penulisan Gibb sungguh mengalir, tajam ...
kaya imajinasi, penuh detail, dan menarik perhatian
ii -Literary Review Canada " ... karya mutakhir Gibb menuturkan sebuah tragedi, cinta, dan harapan ... Gibb
menunjukkan kepada kita bahwa masih ada cinta di tengah ketidakpastian -Edmonton
Journal 11 ... sebuah novel penuh makna hidup yang tajam dalam observasi ... luar biasa dan
sungguh kaya." -National Post
"(Gibb) mengombinasikan keharuan dan ketangguhan." -Now Magazine
"Mengagumkan -Ottawa Citizen
"Novel kaya makna yang disusun dengan cermat -Xtra Magazine
Tentang Penulis Camilla Gibb lahir di London, Inggris, dan tumbuh di Toronto. Dia memiliki gelar
Ph.D. dalam bidang antropologi sosial dari Oxford University, dan melakukan
kerja lapangan di Etiopia untuk memperoleh gelar tersebut. Kedua novelnya
sebelum ini, Mouthing the Words, pemenang City of Toronto Book Award tahun 2000,
dan The Petty Details of So-and-so's Life, telah diterbitkan di 18 negara,
menerima resensi pujian dari seluruh dunia. Dia merupakan salah seorang dari 21
penulis dalam "Orange Futures List"-sebuah daftar penulis muda yang patut
diperhitungkan, disusun oleh juri Orange Prize yang bergengsi. Kini dia menjadi
Writer in Residence di University of Toronto. Kunjungilah situs web Camilla Gibb
di www.camillagibb.ca.[] Sang surya melintas Jingga dari timur Arabia, melewati Laut Merah, menyeberangi
gugus gu nung berapi dan gurun pasir, lalu melintasi perbukitan hitam ke tanah
bersemak qat dan kopi di lembah subur yang mengelilingi kota kami yang
bertembok. Malam pergi mengekor kawanan hyena: mereka mendengar kedatangan
matahari sebagai denging menusuk yang tertangkap hanya oleh telinga mereka, dan
bunyi itu menghalau mereka, dengan bibir penuh darah dan rasa panik, pulang ke
gua. Dalam gelap mereka telah berpesta-pora di jalan-jalan rusak di kota: melahap
anjing lumpuh di gang, juga menjilati cangkang telur dan jeroan yang berserakan
di tanah. Warga kota sebenarnya tak punya makanan berlebih untuk dibuang-buang,
tetapi mereka pun tak boleh lalai memberi makan hyena. Jika membiarkan hyena
kelaparan, orang akan kehilangan peran mereka sebagai manusia di bumi liar ini,
dan mempertegang pertalian kencang yang mengikat makhluk-makhluk Tuhan.
Seratus tahun yang lalu, ketika gerbang kota masih ditutup pada malam hari-
kuncinya tersimpan aman di bawah kepala sang emir gila yang lelap-hyena adalah satu-satunya hewan
luar yang diperbolehkan masuk setelah hari gelap. Mereka merangkak melalui pintu
gorong-gorong menembus tembok tanah liat kota. Namun, gerbang kini sepenuhnya
terbuka lebar dan ini telah berlangsung selama puluhan tahun, sebuah simbol
serangan sejarah terhadap pos terdepan Muslim, kota para wali dan ulama yang
didirikan oleh bangsa Arab penyebar Islam ke Abisinia pada abad kesembilan,
bekas ibu kota sebuah emirat yang pernah menguasai wilayah ratusan kilometer.
Namun, meskipun menggugah rasa ngeri, jika ada hyena mati, orang berharap hyena
itu mati di depan pintunya. Dengan mencabuti alisnya dan membuatnya menjadi
gelang, orang merasa yakin terlindung dari buda, mata jahat. Memang terpaksa
menanggung ketidaknyamanan harus melangkahi bangkai seram yang terpanggang
seharian oleh matahari Afrika, tetapi orang boleh yakin bahwa keesokan paginya,
berkat hyena yang tak segan bersikap kanibal, jalan akan kembali bersih
dijilati. Pada awal setiap hari, jerit sengsara anak-anak liar ini semakin sayup dengan
kian riuhnya burung yang cekcok di pepohonan delima dan limau di taman-taman
kota. Lalu terdengar azan: memanggil penduduk kota yang lelap dengan curahan
pujian kepada Allah Yang Mahakuasa. Ada sembilan puluh sembilan muazin di dalam
tembok kota kecil ini-sembilan puluh sembilan muazin untuk sembilan puluh
sembilan masjid. Diperlukan titik permulaan
azan bagi seratus kurang satu muazin hingga menciptakan bunyi unik dan serentak
yang didengar sebagai keilahian di Harar.
Bagian Kesatu London, Inggris 1981-1985
fada suatu malam yang basah di Inggris semasa kepemimpinan Thatcher, sebuah
mukjizat dilahirkan ke jalan penuh lubang di belakang sebuah gedung tua yang
dulu dikenal sebagai Rumah Sakit Lambeth. Empat perempuan, yang berdiri diapit
oleh tong sampah penyok, menengadah ke langit Inggris yang rendah dan bersyukur
kepada Allah atas tanda rahmat-Nya. Dua perempuan menjerit, seorang anak lelaki,
yang pemalu dan lelah, membenamkan wajah di leher ibunya, dan seorang bayi
dengan tahi lalat berbentuk-benua tersengal-sengal. Tangisnya pecah dan terkesan
tanpa malu-malu, dan dengan tangisan itu, seolah dia mengatakan bahwa kami semua
telah tiba di Inggris. Sebelum ini, tak ada dari kami yang cukup berani untuk
berlaku begitu lancang. Aku salah seorang di antara empat perempuan itu. Aku menjalani pelatihan di
gedung terkutuk ini, tempat yang seperti mimpi buruk gotik, bekas
1 Jaringan Bekas Luka rumah-kerja di tempat orang miskin terkurung dan dipilah-pilah-lelaki dari
perempuan, yang tua dan jompo dari yang bertubuh sehat, yang bertubuh sehat dan
baik dari yang bertubuh sehat dan jahat-setiap orang dipaksa memecahkan batu
sesuai target harian untuk mendapatkan upah. Di sebelah gedung kami, terdapat
sebuah rumah sakit tua, yang dulu memiliki Daftar Orang Gila sendiri, termasuk
seorang perempuan bernama Hannah Chaplin, yang tinggal di sana bersama putranya
Charlie yang berusia tujuh tahun, didiagnosis mengidap psikosis akut akibat
penyakit raja singa, sekitar delapan puluh tahun yang lalu.
Namun, aku bukan bagian sejarah ini, meskipun aku pernah masuk ke dalam gedung
ini. Di tempat-tempat yang pernah kudiami, orang tua dan orang jompo dan orang
gila tidak dipisahkan dari kami. Mereka bagian dari kami. Aku bukan bagian
sejarah ini, tetapi semasa kecil aku pernah juga menonton film bioskop Charlie
Chaplin di Tangier yang ruangannya penuh dengan asap rokok. Aku duduk bersila di
antara orangtuaku di bangku kayu dengan permadani bermotif kulit kacang di bawah
kaki, sementara penonton tertawa menggelegar, dipersatukan oleh ungkapan bahasa
tubuh tanpa ucapan kata. Luar biasa bahwa humor bisa dilahirkan di tempat ini. Gedung ini kini dianggap
tidak layak pakai, sudah dijadwalkan untuk dihancurkan, dan aku kini bekerja di
South Western, sebuah rumah sakit yang terutama melayani kaum miskin dari rumah
susun bermasalah di daerah sekitarnya: orang sakit jiwa, pencandu narkoba,
pengangguran berkulit putih, pemohon suaka dan pengungsi dan imigran Karibia-
Afrika dan Asia, yang gelombang terakhirnya membanjir dari daerah-daerah
tercabik Afrika Timur, terutama Eritrea dan Sudan.
Sebagian besar orang yang berhak ini menghindari rumah sakit, karena mereka
terkesima atau bisa jadi malah takut pada petugas dan lembaga negara-petugas
bea, polisi, pegawai negeri sipil, pengacara, pekerja sosial, dan dokter-yang
memiliki raut yang tak terbaca dan formulir yang tak terbaca pula. Aku tahu ini,
karena orang-orang ini tetanggaku. Aku bertemu dengan mereka di lift, di tempat
cuci pakaian, di lorong beton temaram gedung-gedung tinggi di Cotton Gardens
Estate. Aku sudah tinggal di flat-dewan satu-kamar di lantai empat belas di
salah satu gedung ini sejak musim gugur 1974-kompensasi bagi cara kedatanganku.
Wajah kulit putihku dan seragam putihku membuatku tampak seperti pemegang
wewenang di dunia baru ini, tetapi pengalamanku, seperti yang segera diketahui
oleh tetanggaku, berakar di dunia lama. Aku muslimah berkulit putih yang tumbuh
di Afrika, yang kini bekerja di Layanan Kesehatan Nasional. Aku berada di
tengah-tengah, di antara apa yang mereka kenal dan apa yang mereka takuti, di
antara masa lalu dan masa depan, yang tidak benar-benar masa kini. Aku dapat
menerjemahkan formulir untuk mereka sebelum berlutut dan
bersujud di lantai yang sama. Linoleum, beton, karpet pabrik. Lima kali sehari,
di mana pun kami berada, sebesar apa keraguan kami akan diri kami dan dunia di
sekeliling kami. Dulu aku bukan muslimah, tetapi begitu aku dibimbing memasuki kekhusyukan shalat
dan misteri Al-Quran, sesuatu yang bergolak dalam diriku menjadi tenang.
Aku adalah putri dua orang pemberontak penyendiri yang bertemu di Trinity
College Dublin pada tahun 'SO-an: dua orang aneh yang ditarik oleh magnet
kekecewaan yang sama, ke dalam pelukan yang tak terlerai. Alice dan Philip
begitu yakin bahwa gabungan cinta, bahasa, dan kecerdasan yang mereka miliki
telah cukup untuk mengarungi dunia, sehingga mereka mengambil cuti dari kuliah
dan kewajiban-cuti yang berlanjut selama sisa hidup mereka-berangkat dengan
berjalan kaki, bersama diriku yang hanya sebutir telur dalam perut ibuku.
Pengelana, begitu ayahku menyebut kami, meskipun pengembaraan kami tak memiliki
pola musiman. Aku dilahirkan di Yugoslavia, disusui di Ukraina, disapih di
Corsica, dilepaskan dari popok di Sisilia, dan sudah bisa berjalan saat kami
sampai di Al-Gharb. Saat baru saja aku merasa nyaman berbahasa Prancis, kami
pindah ke Spanyol. Ketika aku mulai memiliki sahabat baru, dunia kembali
dipenuhi orang asing. Hingga Afrika, hidup adalah serangkaian percakapan yang
terpenggal, hubungan yang terputus begitu dimulai.
Ada pola umum dalam pidato keberangkatan. "Kalau kita menancapkan akar, akar itu
akan mulai tumbuh. Kau mengerti maksudku?" ayahku biasa berkata, sambil menyikut
tulang igaku. "Tapi kenapa itu jelek?" aku ingat diriku bertanya seraya kami bergoyang dan
berayun menuju Lagi-Lagi Tujuan yang Tak Dipahami.
"Itu hanya membuat perjalanan di antara dua tempat terlalu menyakitkan. Yang
paling penting itu perjalanannya. Sebaiknya kita tidak merusak perjalanan dengan
merindukan apa yang kita tinggalkan dan mencemaskan apa yang kita tuju" adalah
jawaban standar ayahku. Bagi mereka, perjalanan itu berakhir di Afrika, sementara bagiku, perjalanan
baru saja dimulai. Setelah beberapa bulan di Tangier, tempat aku bermain-main di
jalanan medina sementara mereka berbaring-baring telanjang dalam udara panas tak
tertahankan di kamar kami di sebuah hotel bobrok, kami bergerak ke selatan, ke
tempat keramat sufi Bilal Al-Habash di tepi Gurun Sahara di Maroko. Tempat itu
diusulkan teman-teman mereka di Tangier: sang wali dikenal dapat memberkati
perempuan hamil dan kandungannya. Ibuku keguguran tahun sebelumnya, dan kali ini
dia mau mencoba apa pun, salep atau ramuan atau pemberkatan apa pun yang mungkin
bisa menjamin bahwa kandungannya kali ini sehat hingga dilahirkan.
Murid wali tersebut, Abdal Akbar, mulanya menerima kami dengan sedikit ragu,
tetapi melunak setelah meletakkan tangannya di perut ibuku.
Terlambat: bayi itu tak bergerak. Ibuku berpaling, semakin tenggelam dalam
kekecewaan, dan aku selalu merasa bahwa, entah bagaimana, dia menya-lahkanku,
seolah-olah aku telah merampas kemampuannya melahirkan lagi. Beberapa minggu
kemudian, orangtuaku memberi tahuku bahwa mereka ada urusan yang perlu
dibereskan di Tangier, dan mereka meminta tolong Abdal Akbar untuk mengasuhku
akhir pekan itu. Hanya tiga hari.
Aku sudah terbiasa diasuh orang asing, dan Abdal Akbar tampaknya bersemangat
memanfaatkan ketidakhadiran orangtuaku sebagai kesempatan untuk memperkenalkan
Al-Quran kepadaku. Aku sudah menunjukkan keingintahuanku pada buku besarnya yang
berwarna hijau-emas itu dan para sufi berjubah wol yang bergumam dan berayun di
halaman sekitar zawiyah. Sejak dulu aku iri pada anak-anak sekolah, jadi aku
menyambut baik pelajaran dari Abdal Akbar. Ayahku pernah membelikan buku tulis
untukku di Tangier, dan beberapa halamannya sudah kuisi dengan kata-kata Arab
Lily Pencarian Cinta Gadis Eropa Karya Camilla Gibb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang kupelajari di jalanan medina. Aku membuka halaman baru untuk kata-kata dari
Al-Quran. Tiga hari menjadi tiga minggu, kecemasanku sedikit terlipur oleh pengulangan
kata-kata baru, sebelum tibanya seorang teman orangtuaku dari Tangier. Muhammed
Bruce Mahmoud adalah mualaf Inggris yang berbadan besar, berjanggut putih dan
bermata hijau-ganggang, yang telah berpuluh-puluh tahun tinggal di Afrika Utara.
Kami sering melewatkan malam bersamanya di kafe kaki lima yang
terang-benderang ataupun bar yang temaram.
Dia tidak menghaluskan kata-kata seperti yang biasa dilakukan orang kepada anak
delapan tahun, meskipun dia tetap merasa bertanggung jawab sebagai penyampai
berita. Orangtuaku tewas di sebuah gang di kota. Dia tidak menyebutkan bagaimana
atau mengapa. Dia dan Abdal Akbar berunding dan memutuskan bahwa pilihan terbaik
adalah aku tetap tinggal di zawiyah daripada kembali ke kota. Aku tak punya
rumah tempat pulang-tak ada kerabat yang kutahu, tak ada orang Inggris yang
kukenal. Abdal Akbar akan menjadi guruku, pembimbingku, ayahku dalam makna
spiritual maupun duniawi. Muhammed Bruce akan menjadi orangtua waliku,
mengunjungiku secara berkala dan menanggung biaya hidupku. Kemudian aku cukup
lama merasa hampa dan terhantui, sementara mereka bekerja keras bersama-sama
untuk mengisi kehampaan dan menggantikan rasa ngeri itu dengan kasih dan Islam.
Maka, bagiku, kedua hal itu sejak awal adalah satu.
Iman telah menemaniku dalam menempuh waktu, geografi, dan pergolakan. Dari
Maroko, ke Etiopia, ke Inggris. Iman yang kini mengikatku dengan para tetangga
Muslimku, di negara yang dianggap orangtuaku-meskipun disebut sebagai tempat
yang gelap dan menekan; ketika matahari tak pernah bersinar, dan bangsa Inggris
(bangsa ayahku) membenci bangsa Irlandia (bangsa ibuku)-sebagai kampung halaman.
Di negara ini yang mereka sebut sebagai kampung halaman, aku menjadi perawat dan
mulai, cukup awal dalam karierku, membawa pulang pekerjaanku ke rumah susun,
untuk memberikan suntikan tetanus, mengobati kutu rambut, menjahit luka,
membagikan pereda rasa sakit, dan menasihati para istri di sofa ruang dudukku
pada jam kosongku. Aku memeluk anak-anak tetanggaku, mendengarkan kisah mereka,
merenung dalam kebisuan mereka, dan, dalam kasus-kasus yang paling serius,
mendesak mereka datang ke rumah sakit, menemani mereka ke sana: lelaki yang
retak tulang dan turun berok, perempuan yang kehilangan banyak darah akibat
aborsi yang gagal, bahkan seorang bocah malang yang kehilangan ujung penisnya
saat orangtuanya bertengkar apakah dia semestinya disunat atau tidak.
Sejujurnya, aku tidak memiliki izin untuk melakukan sebagian hal-hal yang
kulakukan, tetapi kebutuhan itu ada, baik bagi mereka maupun bagiku. Mengobati
tetanggaku serasa memulihkan kemanusiaanku setelah hari-hari steril yang
kulewatkan dengan berkeliling menyuntikkan morfin kepada orang-orang yang
kesakitan, hari-hari ketika "merawat" terasa seperti eufemisme bagi eutanasia.
Aku jelas tidak memiliki izin untuk membidani kelahiran, tetapi ketika aku
berlari hujan-hujanan menuruni jalan-jalan Februari yang gelap, mengikuti kedua
perempuan Eritrea dari gedungku, yang datang menjemputku pada malam mujur pada
1981 itu, bayi Amina sudah akan lahir.
Dua penjemputku itu lantas menunjuk seorang
perempuan Etiopia, yang berjongkok di bawah naungan gorong-gorong. Sudah
terlambat kalau dia mau dipindahkan. Aku mengarahkan dagunya ke cahaya. Wajahnya
tertekuk kesakitan: pembuluh darah di matanya pecah, bibir bawahnya, yang
bergetar dengan doa, berdekik akibat gigitan, dan keringat menuruni pipinya.
Namun, meskipun tubuhnya tegang, dia tidak bersuara lebih keras daripada hujan
yang mengetuk lembut pada gorong-gorong di atas kepala kami. Seorang anak lelaki
yang terbeliak berdiri di samping perempuan itu, tangannya tenggelam dalam
rambut ibunya. Salah seorang perempuan Eritrea melepaskan jilbab yang dikenakannya, mengusap
kening berkerut perempuan malang itu dengan satu sudut, lalu menggunakan
jilbabnya untuk memayungi perempuan yang berjongkok di trotoar ini. Perempuan
Eritrea satunya bergerak untuk memijat perut perempuan itu, tetapi aku segera
menahannya dengan tangan.
"Dia tak memerlukan bantuan," bisikku.
Dan memang tidak. Aku meletakkan tangan di bawah rok lebar perempuan itu,
sementara dia menggigit selendang untuk meredam jeritan. Punggungnya melengkung
akibat lonjakan rasa nyeri, dan seonggok bayi perempuan berambut hitam pun
meluncur keluar. "Alhamdulillah!" kedua perempuan Eritrea itu berseru.
Tiga kilogram, tebakku, seraya mengangkat anak itu di depan wajah ibunya.
Sepuluh jari tangan dan sepuluh jari kaki dan satu tahi lalat besar di pipinya.
Aku memotong tali ari-ari dengan pisau cukur yang kubawa bersama handuk dan
sebotol alkohol gosok. Aku sempat khawatir bahwa aku harus menggunakan pisau itu
untuk hal lain. Andai perempuan itu pernah mengalami infibulasi, penjahitan
labia mayor untuk menutupi vagina, bayi itu mungkin terancam bahaya, bahkan
mungkin saja sudah kehabisan napas saat kami memindahkannya ke ruang operasi.
Jika demikian, aku tentu harus menyayat jaringan bekas luka di situ untuk
membuka saluran kelahiran, dengan risiko mencederai si bayi, dengan risiko
perempuan itu mengalami perdarahan atau syok. Namun, kami beruntung; dia hanya
pernah disunat kecil: klitoris dan labia minor.
Amina menggendong bayi itu dan menyentuh pipinya dengan takjub. "Masya Allah,"
tangisnya, air matanya kini mengikuti jalur keringatnya. "Afrika!" serunya,
mengikuti garis tepi tahi lalat itu dengan jarinya.
Bentuk tahi lalat itu memang mirip dengan benua tersebut. Kami sepakat
menyebutnya mukjizat, meskipun sejujurnya, tahi lalat itu memiliki ekor, yang
membuatnya lebih mirip dengan Amerika Selatan. Tetapi, memang demikianlah
mukjizat: persepsilah yang menjadikannya mukjizat, bukan fakta.
nendang l^jitta melewatkan beberapa minggu pertama hidupnya di kamar tidurku. Menurut
adat, ibu dan bayi harus beristirahat untuk ulma-masa pingit setelah persalinan-
si bayi melahap susu, si ibu melahap madu, keduanya tersembunyi dari panas dan
lalat dan mata jahat. Di sini tidak terlalu panas dan tidak terlalu banyak
lalat, tetapi Amina tetap menjalani ulma karena mata jahat ada di mana-mana.
Bahkan di Inggris. Kami menyampirkan kelambu dari langit-langit untuk menutupi tempat tidurku, yang
akan digunakan ibu dan bayi itu selama empat puluh hari. Kedua perempuan Eritrea
memenuhi permintaan Amina dan mengubur plasenta bayi itu di dasar pohon di taman
terdekat. Aku bertanya-tanya berapa banyak plasenta yang dikubur di Kennington
Park; berapa banyak neo-Nazi mabuk yang tertidur di bawah pohon-pohon di sana,
dan apakah mereka mendapat mimpi yang mengubah hidup saat mereka tidur.
Kami menjejerkan bantal di sepanjang dinding ruang dudukku untuk menyambut para
tetangga perempuan yang datang menjenguk Amina dan bayinya. Selama berminggu-
minggu, flat itu dibanjiri aroma pisang matang, bawang putih, dan dupa yang
membara di atas kertas aluminium yang dipegang di atas api kompor gas di
dapurku. Seluruh ruangan berdengung dengan lagu spontan, doa berkala, dan
obrolan tak putus di antara kaum perempuan yang mengambil alih peran sebagai
teman dan kerabat Amina. Masih belum banyak orang Etiopia lain di London-
setidaknya, hampir tak ada yang tinggal di rumah susun ini-tetapi dengan bantuan
perempuan Eritrea dan Sudan, dan teman-teman Muslim lainnya seperti Mrs.
Jahangir dari ujung lorong, kami berhasil menjadikan masa ini terasa seperti
ulma sungguhan. Amina meninggalkan perkemahan pengungsi di Kenya dan pindah ke kamar penginapan
di Brixton yang begitu penuh sesak sehingga perempuan di sana harus tidur
bergiliran. Suaminya, sejauh pengetahuannya, dipenjarakan di suatu tempat di
Etiopia Selatan. Aku menawarinya semacam jembatan, tetapi kehadirannya di
flatku, tubuh dan jiwanya yang bersujud dan shalat di sampingku, memberiku jalan
untuk kembali ke kehidupan yang telah kutinggalkan. Untuk pertama kalinya
setelah bertahun-tahun, aku merasa seperti bagian dari sesuatu. Untuk pertama
kalinya setelah bertahun-tahun, aku merasa bahagia.
Aku menjalani tujuh tahun yang berat di sini
sebelum kedatangan Amina, yang pada masa itu aku bahkan tak berani mengambil
risiko mengirim surat. Siapa pun yang menerima surat itu bisa didakwa, jika
tidak atas hubungannya denganku secara khusus, maka atas keterkaitannya dengan
Barat secara umum. Aku merasa bersalah untuk hal yang khusus itu dan menanggung
beban-bersama untuk hal yang umum itu. Aku sering bertanya kepada semua orang,
berharap beban itu terangkat. Setiap kali aku memperkenalkan diri kepada
tetangga baru atau pasien yang kuduga orang Etiopia, aku melihat wajah mereka
melunak, rasa tidak percaya digantikan rasa ragu ketika mereka mendengarkan si
perempuan kulit putih yang berbahasa Semit dan beraksen aneh ini mengungkapkan
keping-keping sejarah Etiopia. Aku mengundang mereka minum kopi, mencekoki
mereka dengan kafeina sebelum bertanya: Apakah kamu pernah kenal dengan seorang
dokter" Di perkemahan pengungsi" Dr. Aziz Abdulnasser dari Harar"
Pada hari kedelapan ulma, ketika aku menggendong bayi Amina yang mengenakan
pakaian pantas pakai sumbangan tetangga perempuan, mau tak mau aku bertanya-
tanya. Tak ada sepatah kabar pun selama tujuh tahun, tak ada satu tanda pun,
namun aku tetap berhasil melestarikan khayalan tentang masa depan kami bersama.
Tetapi, realitas mukjizat akan seorang bayi bermata belo dan berkulit warna
karamel ini merengkuhku. Inilah masa depan, hidup dan menendang-nendang dalam
gendonganku. Pada hari sebelum perayaan penamaan, tetangga Bangladesh kami, Mr. Jahangir,
pergi mencari daging kambing. Tradisi mengharuskan kunjungan ke tempat keramat
pada hari kedelapan ulma dan mengorbankan kambing saat pulang. Di sini kami
terpaksa berimprovisasi, seperti dalam banyak hal lain. Mr. Jahangir mendorong
koper beroda istrinya ke Brixton Market dan bertengkar dengan para perempuan
Jamaika yang tak mau membeberkan sumber mereka. Lalu, demikian dia bercerita,
mereka menuntut "uang yang serakah" untuk sisa daging yang biasanya mereka
bungkus dalam roti bekal mereka.
"Tapi aku bukan orang tolol!" kata Mr. Jahangir yang berdiri di ambang pintu
flatku, menggelengkan kepala, tangannya menggenggam pegangan koper bermotif
kotak-kotak itu. Aku menunggu akhir cerita, di mana si lelaki Bangladesh yang baik selalu menang.
Demikianlah semua cerita yang dikisahkan oleh kaum lelaki imigran: pertempuran
yang diakhiri kemenangan, karena dalam konteks hidup yang lebih besar, mereka
merasa tak berdaya (dan perasaan itu beralasan).
"Bolak-balik, bolak-balik, aku bermain dengan mereka," kata Mr. J, sambil
menggambar-gambar lingkaran di udara, "lalu persis ketika mereka menyangka telah
mengalahkanku, aku mengeluarkan kartu truf!" serunya, seluruh tubuhnya ibarat
tanda seru saat dia berjinjit dan berhenti berbicara agar dramatis.
"Apa kartu truf itu, Mr. Jahangir?" tanyaku.
Dia lalu menyusut, memasang postur tersipu-sipu. "Yah, aku berkata: 'Oh, ibu-ibu
yang baik, mungkin tadi aku memberi kesan yang salah. Daging ini bukan untuk
kumakan sendiri, tidak, ini untuk teman-teman Etiopiaku yang baik, bangsa cantik
yang mencintai Kaisar Haile Selassie yang agung."
'"Jah Rastafari!' seru mereka, seakan-akan tuhan mereka baru saja memasuki
ruangam. 'Diber-katilah dia yang datang atas nama Jah-ambil, ambil daging ini
untuk teman-temanmu, saudaraku.'"
"Kamu mengerti" Dari uang banyak yang serakah, menjadi ambil, ambil. Mengenal
sejarah memang bermanfaat. Untungnya aku orang berpendidikan!"
Keesokan paginya Mrs. Jahangir membantuku membuat sup. Kami berdiri
berdampingan, menggoreng bawang putih dan bawang bombai dalam mentega ghee, dan
memperdebatkan bumbu masak.
"Tapi ini sup wat, Mrs. J, bukan kari," aku bersikeras sambil mengganti biji
moster di tangannya dengan biji kelabat. "Tidak lebih baik, atau lebih buruk,
berbeda saja. Tolong."
"Ya, ya, oke," akhirnya dia menyerah sambil melambaikan serbet kepadaku. "Biar
kubuatkan wat-mu yang bau itu."
Aku mencium pipinya. Aku mendengar gemeretak biji moster begitu aku berbalik.
i Rasta, atau gerakan Rastafari adalah agama asli Jamaika yang mengakui Haile
Selassie, kaisar Etiopia, sebagai penjelmaan Tuhan, bagian dari Trinitas, Mesias
yang dijanjikan Alkitab. Amina duduk di tempat tidur di balik kelambu, mengucapkan terima kasih kepada
setiap perempuan yang berbaris masuk ke kamar, atas kedatangan mereka. Dia
berbincang dengan sopan, mengomentari kemujurannya, berbasa-basi dalam bahasa
Arab dan Inggris, bahasa agama dan bahasa pengasingan yang dikuasai semua
perempuan itu. Namun, meskipun tersenyum, dia berjarak. Aku bertanya-tanya
bagaimana perasaannya: selain putranya, Ahmed, dia baru delapan hari mengenal
kami. Setelah semua orang datang dan berjejalan di kamar tidurku yang kecil, aku
menanyakan nama bayi itu kepada Amina. Dia menoleh kepada putranya, yang,
meskipun baru berusia empat tahun, sekarang adalah kepala keluarga (demikian
para perempuan Eritrea menggoda anak itu, dan hanya setengah bergurau).
"Obboleetii," bisik anak itu malu-malu.
"Sister?" tanyaku, tak yakin aku mendengarnya dengan tepat. Adik perempuan"
"Sitta?" dia mengulang, dengan nada persis, melontarkan kata Inggris pertamanya
dalam bentuk pertanyaan. Semua orang terbahak dan bertepuk tangan, dan Ahmed
membenamkan wajahnya di pangkuan ibunya.
* Setelah hari penamaan, sikap formal Amina mulai melonggar. Sepulang kerja setiap
hari, aku membuatkan teh dan duduk di ujung tempat tidur, sementara Amina
menyusui Sitta dan Ahmed menatap lekat-lekat, matanya serupa jendela yang
terbuka lebar, melahap semuanya-sinar matahari, cuaca yang kejam, burung-burung-
sementara kami mengobrol.
Bahasa Inggris Amina lancar; dia bercerita bahwa dulu dia mengajarkannya kepada
pekerja Palang Merah di Etiopia. Dia berbicara dengan nada datar tentang keadaan
yang memaksanya hengkang. Suaminya dikaitkan dengan Front Pembebasan Oromo,
gerakan bawah tanah yang dianggap pemerintahan diktator sebagai penentang
revolusi. Semua bangsa Oromo di kampus pertanian tempat dia mengajar
dipenjarakan di rumah masing-masing. Satu demi satu mereka dibawa untuk
diinterogasi; satu demi satu mereka menghilang.
"Hanya tersisa dua perasaan di Etiopia sekarang: takut dan paranoia," kata
Amina, membicarakan kengerian yang telah melanda negara itu sejak Haile Selassie
digulingkan pada 1974. Surat kabar melaporkan bahwa sang kaisar mangkat akibat
kanker prostat tahun berikutnya, meskipun tak ada yang percaya bahwa dia benar-
benar meninggal secara alamiah. Ada desas-desus bahwa dia dibekap dengan bantal
penuh eter pada waktu operasi yang sebenarnya sukses. Kami merasa kami tak akan
pernah tahu kejadian sebenarnya.
Amina memberiku cerita tangan-pertama tentang kekerasan yang hanya kulihat
sekilas sejak Mengistu berkuasa. "Orang-orang diseret dari rumah dan ditembaki
di jalan di depan keluarga mereka.
Atau dibariskan di alun-alun kota-ya, bahkan di Harar-dan dalam waktu yang lebih
pendek daripada ucapan doa, tanah diliputi warna merah." Qey Shibir, itu sebutan
mereka, tanpa penghalusan atau penyesalan-Teror Merah.
Dan mereka yang sekadar dikirim ke penjara" Aku pernah melihat laporan dari
organisasi Amnesty dan Human Rights Watch: saat itu hampir satu dari lima belas
orang Etiopia sudah dipenjarakan, dan penjara terkenal sebagai rumah penyiksaan
tempat lelaki digantung dari buah zakarnya dan perempuan diperkosa dan disodomi
dengan tongkat panas membara demi mengorek "pengakuan".
Aku tak pernah lagi melihat foto dia. Aku tak tahan membayangkan apa yang
mungkin terjadi. Pada hari keempat puluh, kami membuat bubur sorgum kental dan menggendong Sitta
ke luar, lalu menghujaninya dengan kelopak mawar di bawah langit Inggris yang
muram. Inilah akhir ulma, dan dua minggu lagi Amina akan memiliki flat dua-kamar
sendiri di gedung ini. Bangsa Etiopia tiba-tiba melompat ke depan antrean
perumahan. Inilah awal dasawarsa pengungsi Etiopia.
Pada malam sebelum dia pindah, aku menggeledah laci-laci di dapurku, berusaha
mencari satu setel pisau yang serasi untuknya. Amina duduk di meja dapur dan
menuangkan teh untuk kami, masing-masing secangkir. Dia berbicara di belakang
punggungku, bertanya mengapa aku begitu baik
kepadanya beberapa minggu ini.
Aku tertarik pada Amina karena kesamaan di antara kami. Tak hanya dia berasal
dari Harar, tetapi usia kami sama-saat itu kami 27 tahun, digabung menjadi 54
tahun kehidupan yang terbentang di kanvas Afrika, satu tepinya tersemat
selamanya pada tembok Kota Etiopia yang mengelilingi hidup kami, satu tepi lagi
mengepak-ngepak lepas di atas permadani warna-warni London. Satu sisi melekat
selamanya, meskipun hanya dalam khayalan kami.
Aku perlahan-lahan menarik kursi lain dan duduk di hadapannya. Aku mengambil
cangkir teh dengan kedua tangan, meletakkan siku di meja, dan menghela napas.
"Karena kamu mengingatkanku pada orang-orang ... orang-orang yang kucintai,"
akhirnya aku berkata. "Dan tak seorang pun dari mereka ada di sini."
Dia memajukan tubuh dan mengusap air mata dari pipiku dengan jempolnya. Lalu
dia, yang belum pernah menangis sejak hari putrinya lahir, mengambil persediaan
tisu dan menyerahkannya kepadaku.
"Mungkin mereka akan datang," katanya sambil tersenyum lembut.
S'**3 duduk di pangkuanku, sibuk memutar-mutar jepit kertas di telingaku
Lily Pencarian Cinta Gadis Eropa Karya Camilla Gibb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sementara aku mengisi amplop. Meskipun dia menjerit tanpa malu-malu saat lahir,
kini, di usia empat tahun, dia sangat pemalu. Mungkin dia akan meninggalkan
sifat ini-Ahmed sudah tidak pemalu lagi-tetapi mungkin kami sendiri yang salah
karena terlalu melibatkannya. Setiap Sabtu pagi dia duduk di sini bersama kami
di kantor asosiasi komunitas, menyaksikan suasana tempat ini yang berubah-ubah
dengan liar. Membuka surat atau menjawab telepon ibarat lotre, mungkin sama-sama
menimbulkan kebahagiaan atau memicu amarah.
Aku sering bertanya-tanya apakah adil memaparkan semua ini kepadanya, tetapi
Amina bersikeras: anak-anaknya harus tahu sejarah mereka, bahkan bagian sejarah
yang menyakitkan. "Dia boleh bermain dengan boneka dan lilin malam," kata Amina,
"asalkan dia tahu asal usulnya."
Asal usul anak itu sedang mengalami salah satu masa terkelam dalam sejarahnya,
dan itu tertera pada wajah semua orang dalam arus deras warga yang memasuki pintu kantor ini,
mencari kabar keluarga mereka dan meminta bantuan dalam hal perumahan,
pendaftaran suaka, pekerjaan, bahasa Inggris.
Sulit mengetahui seberapa banyak yang dipahami Sitta. Yang tak mungkin dia
ketahui adalah bahwa dulu Etiopia tidak seperti ini, bahwa pernah ada masa yang
lebih bahagia. Sementara Sitta duduk di pangkuanku, kakaknya berada di madrasah, mempelajari
Al-Quran bersama-sama anak Iran dan Pakistan di ruang belakang gereja yang
berhias adegan dari Alkitab.
Amina berdiri di belakangku, dengan ceria mengguncang biji kopi dalam piring
kaleng di atas pembakar bunsen yang bertengger di atas lemari arsip. Tadi pagi
kami mendapat telepon dari seseorang kenalan Amina di perkemahan pengungsi di
Kenya. Lelaki itu ingat pada putra Amina dan menanyakannya. Meskipun berita dari
lelaki itu tidak semuanya baik, tetap saja itu berita, dan di tempat yang langka
informasi, ini saja kadang menimbulkan kebahagiaan.
"Apa menurutmu Ahmed masih ingat pada perkemahan?" tanyaku kepadanya.
"Aku tak tahu," jawabnya. "Kurasa dia punya kesan. Tapi belum bisa
mengungkapkannya dalam bentuk kata-kata. Dalam pertanyaan."
Amina menyalakan dupa dan melambaikannya di satu tangan sambil menyanyikan lagu
dengan lirik singkat tapi ampuh. Biji kopi itu berasap dan berde -
guk, berubah dari hijau menjadi cokelat, mengubah ruangan pengap tanpa jendela
ini, di lantai dasar sebuah rumah di daerah kumuh London, menjadi dunia yang
lebih mudah dipahami. Dunia akrab di mana aroma kopi mempererat kaum perempuan,
panggilan aroma ke seluruh lingkungan, memikat perempuan keluar dari rumah untuk
berkumpul, mengobrol, memecahkan misteri dan kesengsaraan dalam alam semesta,
atau setidaknya dalam kehidupan rumah tangga mereka.
* Aku dan Amina mulai membicarakan organisasi ini pada 1982; kami merasa bahwa
kantor ini semakin dibutuhkan di London, di mana orang dapat bertukar nama,
dengan harapan menemukan anggota keluarga. Namun, meskipun kami sering
membicarakannya, kami tidak bertindak. Kami berdalih, itu karena kami terlalu
sibuk: kehidupan sehari-hari menjerat dengan berbagai tuntutannya. Kami saling
menawarkan sedikit kelegaan dalam hal ini: setiap hari Minggu kami memasak
bersama, membuat roti injera untuk persediaan seminggu, dan menyiapkan serta
membekukan beberapa wadah wat. Aku sering mengasuh Sitta, dan aku selalu ada
untuk membantu mengerjakan PR, sementara Amina singgah di pasar untuk membeli
sayur segar dalam perjalanan pulang kerja dan sangat menyukai kegiatan
menyetrika (yang tak kupahami), kegemaran yang kudukung dengan cara mampir dalam
kemeja kusut. "Berikan itu padaku, Lilly," katanya sambil berdecak, menarik-narik lengan
bajuku. "Sungguh, kamu ini memalukan."
Aku pun membuka kancing bajuku dan dia berdecak lagi. "Aku tahu," kataku sambil
memutar mata, "terlalu kurus."
Dia selalu menggodaku tentang hal ini. "Terlalu banyak merokok," tegurnya. "Dan
tidak cukup makan!" Dia menepuk perutnya sendiri dengan riang. Tubuhku ibarat
bisikan, sementara tubuhnya teriakan.
"Suamiku senang sekali pada ..." dia ragu, mencari-cari kata, "duba ini!"
"Labu," aku mengingatkannya.
"Ya, labuku!" Dia tertawa, dan menularkannya.
Aku dan Amina tinggal di flat yang terpisah, tetapi kami berbagi tanggung jawab
rumah tangga, termasuk anak-anak, saling menggoda, kadang bertengkar, dan
memperbandingkan penampilan kami yang sama sekali tidak mirip. Kami seperti
istri madu seorang lelaki saja, meskipun tak punya suami yang sama.
Kesamaan di antara kami berakar di masa lalu. Aku tumbuh di Maroko, di zawiyah
wali besar Etiopia, Bilal Al-Habash, sementara Amina tumbuh di luar tembok kota
kuno, tempat sang wali dilahirkan dan menjadi pelindungnya. Kami berdua sampai
di Harar: aku melalui ziarah pada usia enam belas tahun, Amina melalui asimilasi
pada usia yang sama. Bagi kami berdua, Harar menjadi rumah kami, tempat kami
akil balig, jatuh cinta, tempat yang terpaksa kami tinggalkan.
Semakin banyak yang kami ungkapkan selama beberapa tahun ini, semakin mudah pula
kami menganyam benang-benang putus itu. Kami memahami kehidupan kami dengan
membangunnya kembali sebagai kisah-kisah linear, yang membawa kami dari masa
kecil di Afrika ke jalanan London. Kehidupanku dimulai di Maroko, di bawah
bimbingan Abdal Akbar. Dia menunjukkan jalan Islam kepadaku, melalui Al-Quran
dan para wali dan penempuh jalan mistik yang senantiasa berkumpul di sekitarnya.
Meskipun dia dan Muhammed Bruce sepakat bahwa pendidikanku akan lebih ortodoks,
Abdal Akbar berharap bahwa suatu hari ajaran ini akan membimbingku ke dalam
dunia tasawuf yang lebih esoteris. Di antara para sufi yang tinggal di zawiyah,
aku menemukan sosok kakak dalam diri Hussein. Hussein-lah yang menemaniku hijrah
ke Harar, meskipun sesampainya di sana, perbedaan di antara kami menjadi tampak
jelas, perbedaan yang akhirnya akan menuntunku, sendirian, ke London.
Perjalanan Amina tak kurang luar biasanya. Dia anak bungsu seorang buruh tani
bangsa Oromo yang bekerja di perkebunan hijau di luar kota, dan satu-satunya
anggota keluarganya yang bersekolah. Ketika semua kakak lelakinya dipenjarakan
karena menyelundupkan senjata ke Sudan, ibunya mengambil uang yang gagal
ditemukan polisi, menjahitkan uang itu ke dalam kelim pakaian Amina, dan
mengirimkannya untuk tinggal bersama sepupu di kota. Amina pun terdidik dalam
cara-cara kota, meniru bahasa dan budaya bangsa Harari sebagaimana dilakukan banyak orang Oromo
lain, ingin menjadi orang Harari, karena menjadi Harari berarti menjadi
berbudaya dan kaya. Dia menemukan sosok yang sepemikiran dalam diri Yusuf,
menikah dengannya dan melahirkan anak lelaki, sebelum mereka bertiga terpaksa
kabur ke Kenya. Aku dan Amina tidak saling kenal di Harar, meskipun kami sama-sama berjuang
sebagai orang luar untuk meraih tempat di sana, dan sama-sama merasakan euforia
rasa damai saat memperoleh tempat itu, meskipun hanya sekilas. Kami sekarang
saling kenal, sebagai pengungsi setelah revolusi, kembali menjalani ritual,
melestarikan tradisi kampung halaman di flat kami.
Namun, ada beberapa utas benang yang menggantung lepas, keluar dari tempatnya.
Inilah kisah-kisah cinta. Hal terbaik yang bisa kami lakukan adalah menyimpulkan
benang ini di ujung, supaya tidak terurai lebih jauh. Sejujurnya, kurasa inilah
sebabnya kami menunda-nunda mendirikan organisasi ini. Bukan karena kami terlalu
sibuk, melainkan karena dalam beberapa hal, kami takut akan konsekuensi dari
kegiatan kami. Namun, lalu tibalah tahun 1984, tahun ketika setengah juta orang mati kelaparan
dan setengah juta lagi meninggalkan negara itu. Selama berminggu-minggu, Amina
dan beberapa orang Etiopia lain yang sudah tinggal di gedung saat itu berjejalan
setiap malam di flatku, dengan rasa ngeri menyaksikan pawai mayat hidup yang
sudah hampir hancur jadi debu merangkak di layar televisi. Kami muak pada diri kami sendiri karena
terpikat oleh tontonan pawai kematian ini. Kami benar-benar terpukau oleh
gerakan ini, yang semuanya menuju surga, karena neraka sudah tak ada lagi,
neraka sudah datang ke bumi.
Kami mendirikan asosiasi komunitas tahun itu, mengantisipasi arus masuk
pengungsi. Kami tahu akan ada ribuan-puluhan menjadi ratusan-orang yang
berpindah tempat, keluarga yang tercerai-berai. Mereka yang tidak mati tentu
tercerabut di Etiopia atau melewatkan waktu bertahun-tahun di perkemahan
pengungsi di Somalia, Djibouti, Kenya, dan Sudan. Namun, bukan orang-orang ini
yang akan sampai ke Roma atau London. Yang kemari adalah orang kota, orang
berpendidikan, orang yang memiliki sarana untuk membayar penyelundup, agar bisa
sampai ke sini. Segelintir saja, kebanyakan lelaki, kebanyakan sendirian. Orang-
orang seperti Amina. Dari Dire Dawa ke Nairobi di belakang truk, dari Nairobi ke
London dengan pesawat terbang.
Kantor serupa telah didirikan di Roma setahun sebelumnya. Italia adalah titik
masuk ke Eropa bagi sebagian besar orang Etiopia. Mereka datang naik perahu atau
pesawat terbang; mereka datang secara ilegal atau membawa surat sebagai
pengungsi status-Konvensi yang diincar-incar. Bagaimanapun caranya mereka
datang, mereka tiba dengan emosi campur-aduk: penuh harap, patah semangat, lega,
kekurangan, dan takut. Dan bersalah. Rasa bersalah yang terus-menerus berbuih di
perut; magma di inti bumi. Setiap bulan kantor di Roma mengirimi kami daftar pendatang baru, dengan harapan
kami dapat mencocokkan mereka dengan keluarganya di London. Misi kami adalah
mempertemukan kembali keluarga. Kecocokan jarang terjadi karena komunitas kami
masih relatif kecil di sini, tetapi satu reuni antara kakak-beradik menjalarkan
api harapan dalam diri orang lain. Aku dan Amina memainkan peran kecil dalam
membangun kembali jika bukan keluarga, setidaknya semangat, dan setelah meninjau
setiap daftar, kami membuat salinannya untuk arsip kami dan meneruskan daftar
aslinya ke Amerika Utara, di mana akhirnya semakin banyak kecocokan yang
ditemukan. Pekerjaan kami tidak sealtruistis seperti yang terdengar. Kami masing-masing
mencari seseorang. Suami Amina, Yusuf. Temanku, Aziz. (Betapa lemahnya kata itu,
teman. Di Harari, dia adalah ku-day, "hatiku", dia bagaikan rrata, segumpal
daging yang terselip di antara gigiku, tetapi bahasa Inggris tak memungkinkan
kata seperti itu.) Setiap bulan kami berusaha tidak kelihatan berharap, tetapi kami berharap.
Setiap bulan kami berusaha tidak kelihatan kecewa, tetapi kami kecewa.
Sejujurnya, mempertemukan orang seperti yang kami lakukan ini terasa manis-
getir. Dan dengan berlalunya waktu, manis itu semakin getir. Membuat kami
tenggelam. Nama semakin tak bisa dibedakan, tak mungkin dipahami. Seperti sosok
dia: cara dia muncul di kaca jendela tua yang
bergelembung di pub, dalam kabut pagi yang enggan, bayangannya tak berbentuk dan
hanya sekilas. Harapan Amina-lah yang menjagaku tetap tegak, membuat segalanya tertahankan
manakala nama-nama itu tergelincir bagai air di sela-sela jariku. Dia
menempatkan ember di tanganku dan bersama-sama kami mulai lagi, mengambil nama
satu per satu. Kami membandingkan nama dari Roma dengan daftar nama anggota
keluarga yang kian tebal, dari semua orang yang melewati pintu kantor kecil kami
di London. Dalam setiap kasus, kami memulai dengan menggambar pohon keluarga. Ini perlu
karena orang Etiopia tidak memiliki nama keluarga-nama belakang mereka adalah
nama depan ayahnya. Amina Mergessa adalah putri Mergessa Largassom. Sitta adalah
Sitta Yusuf, sebagaimana Ahmed adalah Ahmed Yusuf, sebagaimana Hussein dan aku
mengambil nama Abdal. Kegiatan memetakan hubungan keluarga ini memiliki dampak yang dahsyat. Kami
menawarkan kopi dan kursi di seberang meja kami kepada setiap tamu baru.
Mengeluarkan lembar-lembar kertas A4 baru dan meletakkannya horizontal. Memulai
pertanyaan: tanggal lahir (hampir selalu perkiraan), tempat asal, latar suku.
Lalu mengorek nama dengan susah payah. Pertama-tama suami, istri, dan anak, lalu
dirunut ke belakang-kakak, adik, orangtua, kakek, nenek-dan ke samping-saudara
kakek-nenek, paman dan bibi, sepupu. Tanda tanya di samping nama orang yang
diyakini menghilang juga,
dan huruf kecil m yang tipis di samping nama orang yang telah meninggal.
Setelah selesai, kami memutar kertas itu. Sebagian besar dari mereka terdiam.
Mereka melihat nama mereka sendiri di tengah-tengah jaring yang rumit ini, dan
mereka tak lagi merasa terlalu sendirian atau tercerabut. Mereka memiliki
keluarga dan tempat sendiri, ini buktinya. Kami memberi mereka salinan untuk
dibawa. Untuk dilipat dan diselipkan di Al-Quran atau Alkitab, diletakkan di
bawah kasur di kamar yang dipenuhi kasur seragam di rumah singgah sementara,
direkatkan di cermin flat satu ruangan, atau ditempelkan di bagian dalam pintu
lemari dapur di flat mereka yang pertama.
Amina mendorongku menggambar keluargaku sendiri dengan cara ini, tetapi sekali
aku mencoba, kegiatan itu ternyata mengecilkan hati: peta itu mirip ladang yang
diseraki puing-puing. Di sisi kiri halaman aku meletakkan Abdal Akbar sebagai
ayah bagiku dan Hussein. Di sebelahnya, Muhammed Bruce Mahmoud. Aku menggambar
garis putus-putus melintasi kertas, seolah-olah menandai langkah kaki dari barat
ke timur melintasi Sahara. Di sisi kanan aku menuliskan "Nouria"-nama perempuan
Oromo miskin yang menampungku di Harar. Aku menghubungkan diriku dengannya pada
halaman itu sebagai kakak, begitu pula dengan sepupunya Gishta. Aku menuliskan
nama anak-anak Nouria di bawah namanya, sangat berharga bagiku, anak-anak yang
kusayangi dan kuajari. Namun, bagaimana dengan lelaki yang kucintai
itu" Aku tak mampu memikirkan cara untuk mencerminkan hubungan ini di atas
kertas. Aku membiarkan Aziz menggantung di tengah halaman, seolah-olah dia awan
tunggal yang mengambang di suatu tempat di atas gurun.
"Tunggu!" seru Amina sambil memungut pensil, begitu kulemparkan.
Aku mengamati, sementara dia menambahkan namanya sendiri di suatu tempat di
tengah halaman yang kosong.
"Madumu," katanya, "dan anak-anak madumu." Dia menambahkan nama Sitta dan Ahmed.
"Tapi tak setetes pun darah mengaitkan diriku dengan siapa pun," kataku.
Amina menghela napas. "Kadang-kadang kamu ini melelahkan. Lilly, sungguh. Oke,
jadi petamu bukan peta hubungan darah. Tapi tak bisakah kamu lihat" Ini peta
cinta." Aku dan Amina menyalin nama dari setiap pohon keluarga baru ke dalam map,
disusun menurut abjad nama depan. Mungkin suatu hari nanti kami akan punya
komputer, tetapi sekarang ini sumber daya kami terbatas; sebagian besar kegiatan
kami dilakukan dengan tangan dan kami mensyukuri hal-hal yang kami miliki.
Kantor ini, misalnya. Ini gudang makanan tua, lengkap dengan rak berlapis kertas
dari tahun 1920-an dan tumpukan ransum kaleng tersembunyi semasa perang. Di luar
pintu kayu yang reyot dan dipalang, Amina menanam bawang
bombai dan bawang putih di taman kecil yang dibuatnya di antara batu-batu bata
yang hampir runtuh. Gedung ini milik Mr. Jahangir, yang sangat sukses mengoperasikan toko sayur di
bagian depan gedung, sehingga dia mampu membeli seluruh gedung itu. Dia dan
istrinya pindah dari rumah susun ke flat lantai satu di gedung ini. Mereka
menawari kami ruangan ini di bagian belakang gedung, di belakang toko sayur,
tanpa syarat. Ini sebagian karena, kata Mr. Jahangir (dan hanya setengah
bergurau), berkat krisis di Etiopia-lah dia menjadi orang kaya.
Ketika Mrs. Jahangir pertama kali memperkenalkan Amina kepada toko sayur
suaminya, dia mengisi tangan Amina dengan bawang putih, jahe, dan cabai, serta
meletakkan kelabat di lidahnya. Amina, yang lidahnya telah ditumpulkan oleh
pasta dan kentang, gembira merasakan sensasi dalam mulutnya, tetapi ketika Mr. J
menawarinya sebutir mangga, wajah Amina membeku seolah-olah seluruh hidupnya
terkilas di depan matanya. Sambil menghirup aroma kulit mangga itu, dia
menangis. Setiap orang Etiopia yang datang ke perumahan ini telah menjalani ritual ini
dengan variasi tertentu. Pada umumnya penghuni jalan ini bersikap baik kepada kami. Mr. J menjual daging
halal, dan dua pintu dari situ adalah Salon Rambut Mecca, dengan ruangan
tertutup khusus di bagian belakang, tempat perempuan berjilbab dapat melepaskan
kerudung tanpa malu. Relawan menawarkan kelas Al-Quran di bagian belakang gereja
setiap hari Sabtu, dan meskipun Masjid Brixton, yang menarik kami untuk shalat
Jumat, hanya berjarak naik bus satu kali, Jasa Rujukan Pengungsi yang terletak
di ujung jalan menawarkan tempat shalat sehari-hari di lingkungan itu, dan
mengosongkan ruang resepsinya setiap senja untuk menerima lutut, kening, telapak
tangan, dan doa lelaki dan perempuan segala warna kulit.
Di sinilah kami meneguhkan kembali tempat kami di dunia. Tempat kami di mata
Allah. Suara shalat berjamaah-nada ketulusan, irama yang setegar dan sepenting
degup jantung-menyentuh hatiku dengan arahnya dan membuatku meyakini bahwa jarak
dapat ditempuh. Inilah satu-satunya hal yang menawariku harapan bahwa, saat
perbatasan dan peperangan dan revolusi memecah-belah dan mencerai-beraikan kami,
ada hal yang satu dan benar yang mempersatukan kami. Ia menjinakkan tanah
Inggris ini. Ada ruangan-ruangan lain yang diubah dengan cara seperti itu, perasaan yang
dibenarkan arahnya, di mana-mana di bumi. Aku tahu dari pengalamanku sendiri,
bahwa orang bisa memetakan ulang sebuah kota seperti ini, mengarahkan diri di
geografi yang aneh ini, menebarkan jejak remah roti di antara tempat-tempat
Lily Pencarian Cinta Gadis Eropa Karya Camilla Gibb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penanda yang menonjol-masjid, restoran, pasar, dan toko sayur-dan meredakan
kekuatan asing di ruang-ruang di antaranya. Kita bisa menemukan jalan. Kita
meraba-raba bahasa, menjelajahi kereta bawah tanah, mencukupkan
uang santunan yang ala kadarnya, menyesuaikan bahan makanan yang asing menjadi
hidangan yang akrab, dan menemukan orang-orang dari kampung halaman di antrean
kantor pemerintah, yang segera menyuntik semangat kita dengan kemungkinan yang
baru dan menghancurkan kita dengan kenangan tentang semua orang yang kita
tinggalkan. Sepuluh tahun yang lalu, orang Etiopia tak memiliki kata "diaspora", ataupun
emigrasi. Hanya ada kata ziarah, perjalanan dengan niat pulang yang tersirat-ke
Makkah atau makam keramat para wali Etiopia yang dicintai-tetapi gagasan
meninggalkan negeri sendiri, kecuali bagi segelintir orang berpendidikan yang
mengejar gelar lebih tinggi di luar negeri, tidak terjangkau pikiran. Suatu
pengkhianatan, bahkan. Amina adalah jangkar dalam komunitas kecil yang berkembang ini. Sementara orang
lain meratapi kerinduan mereka pada injera, Amina mulai membuat roti khas
Etiopia tersebut dengan jawawut alih-alih gandum teff. Kaum perempuan berterima
kasih atas resep darinya, meskipun injera tersebut tak memiliki kepahitannya
yang khas. Tetapi, akhirnya rasa tidaklah sepenting kreativitas. Amina menemukan
pedagang Yaman di Brixton yang menyelundupkan qat dari Djibouti dua kali
seminggu. Kaum lelaki riang-gembira. Roti dan stimulan. Makanan pokok kehidupan.
Amina bukanlah hantu di ranah ini; dia berbeda karena dia menancapkan akar. Dia
mulai dengan mencuci piring di dapur sebuah restoran Punjab,
yang dilakukannya sambil kursus malam bahasa Inggris tingkat lanjut untuk orang
asing di Brixton College. Tak lama kemudian dia juga mulai kursus sekretaris.
Sekarang dia bekerja Senin sampai Jumat di bagian bantuan hukum di Layanan
Rujukan Pengungsi, di samping kaum perempuan Inggris yang berniat baik dan
bernama mantap seperti Marion dan Patricia.
Sementara pengungsi lain memimpikan gunung, hyena, dan sungai, Amina membawa
Sitta dan Ahmed ke kebun binatang di Taman Regent dan memperkenalkan mereka
kepada kadal dan jerapah. Dia membuat perahu kertas dari halaman tabloid untuk
diapungkan Ahmed di Sungai Thames di dekat kaki Jembatan Lambeth. Inggris lama
tampak sergam di seberang sungai. Menara Big Ben dan Gedung Parlemen tentu
menjatuhkan bayangan pada perahu kertas kecilnya andai perahu itu menyeberangi
sungai, tetapi perahu kertas tak bisa mengarungi jarak sejauh itu, dan kami
merasa terasingkan sekaligus bersyukur oleh pemisahan itu.
Kami kenal banyak orang Etiopia di London yang bahkan tidak mengisi flat mereka
dengan perabotan. Harta benda yang mereka peroleh teronggok dalam kotak-kotak
kardus, siap diangkut. Menara kotak kardus yang berisi televisi, oven pemanggang
roti, microwave, pemanas listrik bergoyang-goyang di sebelah kiri pintu, siap
diposkan setiap saat. Mereka tidak berkomitmen pada apa pun. Mereka terapung di
dalam mitos pulang. Ketika biji kopi sudah hampir hitam, Amina menuangkannya dari piring ke lumpang.
Dia yang membawa lumpang itu. Tiba di Heathrow tanpa membawa apa pun selain
Ahmed, dompet pria, dan lumpang itu, Sitta masih dalam kandungan. Dia membuka
bola kertas berlilin yang dikeluarkannya dari saku roknya, dan
mengguncangkannya, mengeluarkan dua polong kepulaga ke tangannya. Dia
menggosokkan kepulaga itu dengan cepat di antara telapak tangannya, menambahkan
abu sutranya dan biji cokelatnya ke dalam campuran, lalu menyerahkan lumpang itu
kepadaku. Sitta meletakkan tangannya di atas tanganku, seolah-olah ingin membantu. Putaran
pergelangan tangan untuk mengulek itu mendatangkan sengatan yang jauh tapi
akrab. Indra yang tiba-tiba dilanda rasa, dan desakan purba untuk mengikuti.
Segala beban terangkat. Sakit kepala tumpul akibat mimpi buruk tentang tubuh-
tubuh yang direnggut dari rumah dan diseret di jalan; tubuh-tubuh yang
dipenjarakan dalam ngeri dan dibiarkan tidur dalam tinja mereka sendiri; tubuh-
tubuh yang dilucuti dari kuku, ekspresi, dan tekad; tubuh-tubuh yang diperkosa
oleh senapan, dicabik dan dirusak dan dipatahkan.
Segala beban terangkat dengan putaran pergelangan tangan. Segalanya menjadi
hidup. Bagian Kedua # Harar, Etiopia 1970-1972 IVlalarn November 1969 itu hening, udara kental dengan aroma buah yang terlalu
matang dan asap kayu, ketika aku dan Hussein turun di alun-alun utama Harar.
Kami keluar dari mobil Mercedes yang kami tumpangi dari ibu kota dan mengendap-
endap pergi. Kemewahan selama tiga hari menempuh jarak berkilo-kilo naik-turun
pegunungan bersemak di bagian belakang mobil bersopir, lengkap dengan asbak yang
penuh cokelat berbungkus kertas emas, telah mencoreng kedatangan kami.
Perjalanan mewah itu tak hanya terasa bertentangan dengan semangat ziarah,
tetapi juga sama sekali tidak mencerminkan sisa perjalanan kami, pengembaraan
berat menempuh daratan, berbulan-bulan yang dilewatkan dengan lecet dan haus dan
bertahan hidup hanya dengan roti berpasir yang dipanggang pemandu Tuareg kami di
dalam pasir. Kami akan bertobat, kata kami kepada diri sendiri, sembari berdiri dalam
bayangan becek masjid dan menengadah kepada bintang-bintang. Tak lama lagi, kami
akan bersujud dalam shalat, di hadapan
makam wali terkasih kami.
Terdengar geretak genderang di tempat agak dekat, dan Hussein mencengkeram
lenganku. Aku menyikutnya agar maju, mengikutinya menuruni bukit melalui jalan-
jalan sempit dan gelap yang diseraki cabikan sayur dan kotoran hewan. Kucing-
kucing berpesta dengan bangkai yang tersebar, sementara kami memegangi tembok di
kedua sisi untuk menjaga keseimbangan. Di hadapan, kami melihat gapura hijau
yang membingkai jalan masuk kompleks yang mengelilingi makam keramat itu.
Melalui gapura itu, gerakan ratusan orang tampak berkilauan laksana sinar
matahari di puncak ombak.
Aku sudah terbiasa dengan gerakan kaum sufi yang seragam, lambat, sunyi di
zawiyah di Maroko, tetapi di sini ibadah jauh lebih semarak: orang Harari kota,
kaum lelaki dalam galabaya putih yang dikelantang dan kupluk rajutan putih,
sedangkan istri, putri, dan saudari mereka gemerlap dalam jilbab cerah dan
selendang bermanik-manik; orang pedesaan, kaum petani Oromo yang bekerja di
ladang Harari, berkulit lebih gelap dan mengenakan warna yang lebih kusam
daripada orang Harari, dan kaum gembala, orang Somali berotot dan istri mereka
yang memakai wewangian mentega dan mengenakan kerudung panjang yang tembus
cahaya. Tuan tanah, buruh tani, dan pengembara. Kekayaan yang mencolok,
pengabdian yang membanting tulang, dan kemiskinan yang berpindah-pindah-
perbedaan duniawi semuanya terhapus di hadirat Allah.
Di depan makam keramat itu, yang berupa bangunan putih kecil berkubah yang
bersandar pada tembok kota, beberapa lelaki yang membentuk setengah lingkaran
menabuh genderang berkulit kencang dengan tongkat berat, melontarkan keringat
dari tubuh mereka dengan setiap pukulan. Keturunan dan murid sang wali, Syaikh
Jami Abdullah Rahman, berdiri di tengah-tengah mereka, serban putihnya adalah
satu-satunya yang terlihat dari jarak sejauh ini, tetapi suaranya yang lantang
terdengar mengatasi kerumunan. Dia sedang memimpin orang ramai dalam serangkaian
zikir, sebagian kukenali sebagai bahasa Arab, sebagian dilantunkan dalam bahasa
asing. Kaum perempuan mengetukkan balok kayu jauh di atas kepala sembari mengulang-
ulang zikir. Tangkai qat dioper dari tangan ke tangan, daunnya digelontor dengan
air yang diminum dari labu yang dikerok. Mulut menjadi hijau, ludah mengering di
bibir, keringat beterbangan saat orang melompat-lompat. Mereka terlalu larut,
sama sekali tak memerhatikan aku atau Hussein. Kami berayun ke kanan-kiri
bersama kerumunan, dan tangkai daun hijau dioper ke tangan kami. Kami tidak
mengenal qat di Maroko, dan daun itu terasa liat dan pahit ketika pertama
dicicipi; aku meludahkannya ke tanah di kakiku.
Qat mendukung ibadah, memungkinkan orang mempertahankan energi selama berjam-jam
dan membawa mereka ke titik ekstase, dan mereka mulai mendesis melalui gigi dan
mata berputar jauh ke belakang sehingga anak matanya menghilang dan mereka berputar-putar dalam
lingkaran buta. Jika kehilangan keseimbangan, mereka didorong berdiri kembali
dengan lembut oleh kerumunan.
"Seperti darwis yang berputar!" Hussein tampak kagum.
Suatu saat, pada dini hari, suara sang syaikh tiba-tiba menguap dan gerakan
orang mulai melambat, hingga kaki mereka terasa berat, diam, dan mereka menghela
napas dalam-dalam dan mulai bergerak pulang. Aku menoleh kepada Hussein dan
memohon kepadanya. Bicaralah kepada syaikh. Sudah waktunya.
Kami datang ke Harar untuk menghormati Waliyullah Bilal Al-Habash serta meminta
berkah dan perlindungannya, karena di kota inilah dibangun makam keramat pertama
dalam serangkaian tempat keramat yang menghormatinya, yang teruntai bak mutiara
kalung di sepanjang pasir Afrika Utara. Zawiyah di Maroko tempat kami tinggal
dan belajar dengan Abdal Akbar terletak di sebelah barat. Abdal Akbar pernah
melakukan ziarah ini, dan seperti semua muridnya, aku dan Hussein dibesarkan
untuk meyakini bahwa perjalanan ini adalah tugas kami, dan hasrat kami.
"Kalian akan berangkat saat Allah menghendaki," Abdal Akbar sering berkata
kepada kami. Tetapi, pertama-tama Hussein harus pulih sepenuhnya dulu. Aku tak pernah tahu
persis apa penyakitnya, hanya dia pernah beberapa lama tinggal di gua di gurun pasir dan
pulang sebagai lelaki yang remuk. Ketika pertama kali datang ke zawiyah, aku
memerhatikan dia karena dia duduk terpisah dari sufi yang lain. Dia bersembunyi
di balik jubah wol sambil menggenggam tasbih dan tak bergerak hingga berhari-
hari. Namun, suatu hari, ketika aku dan Abdal Akbar sedang belajar pagi-pagi, sesuatu
mendorong Hussein mengangkat kepala. Air mukanya benar-benar kosong. Giginya
hitam, bagian putih matanya kuning, dan rambutnya segumpal helai hitam yang
berminyak. Dia tampak begitu tua bagiku, meskipun usianya mungkin baru awal dua
puluhan. Begitu tua dan begitu sedih.
Sejak hari itu, Hussein mencoba bergerak dengan lemah. Ketika aku dan Abdal
Akbar mencapai surat kedua puluh Al-Quran beberapa bulan kemudian, Hussein sudah
berhasil mendorong dirinya berdiri tegak di atas kaki kurus yang gemetar. Dia
serupa laba-laba putih, tangan dan kaki mencuat dari karung wol cokelat. Dia
berdiri menatap kakinya yang kotor, wajahnya tertekuk karena berusaha keras
mempertimbangkan apa yang harus dia lakukan berikutnya. Aku cemas dia akan roboh
dan bertanya kepada Abdal Akbar, apakah sebaiknya aku membantu. "Cobalah," Abdal
Akbar mendorongku. Aku kaget juga saat Hussein membiarkan aku mengambil tangannya yang kerempeng
dan lunglai itu dan meletakkannya di bahuku. Dia lalu
mengangkat kakinya perlahan-lahan, tetapi tak bisa meletakkannya lagi. Aku
mengusulkan dia mencoba melangkah mundur, sebagaimana yang sering dilakukan
ibuku setiap kali dia kehilangan sesuatu. Kunci, pemantik rokok, aku.
Hussein menengadah ke langit dan mempertimbangkan ini, menghela napas yang dalam
dan panjang melalui lubang hidungnya. Dia menyandarkan bobot kerempengnya pada
bahuku dan mengangkat kakinya lagi. "Teguhkan aku," katanya lemah.
Lalu, seekor anjing menggonggong di kejauhan, dan kaki Hussein turun dan
menyentuh tanah di belakangnya. Abdal Akbar berdengap. Begitu pula Hussein.
"Subhanallah," katanya. Mahasuci Allah. "Memang lebih mudah kalau aku tak bisa
melihat di mana kakiku akan mendarat."
"Kamu harus lebih berkonsentrasi kalau kamu tak punya mata," aku mengingatkan.
"Ya. Penglihatan memang membuyarkan konsentrasi," Hussein sepakat, dan dengan
itu, dia memejamkan mata.
Bagi Hussein, ini masalah berjalan mundur ke tempat dia kehilangan arah; bagiku
ini masalah bergerak maju dari kehilangan orangtuaku. Kukira kami bertemu di
suatu tempat di tengah-tengah. Saling menggandeng tangan dan melangkah maju,
memasuki hidup penuh doa dan belajar dan persahabatan.
Pelajaran Al-Quran-ku bersama Abdal Akbar dilengkapi dengan kunjungan bulanan
dari Muhammed Bruce Mahmoud. Dia membawakan beberapa
buku dari perpustakaan yang dipretelinya perlahan-lahan selama beberapa tahun.
Dia agak aneh dan jelas sangat sombong, tetapi aku menyayanginya. "Untuk
peneguhan imanmu, mademoiselle," katanya sambil membungkuk dengan dramatis dan
mempersembahkan tumpukan buku baru untukku.
Muhammed Bruce menceritakan kisah-kisah tentang kampung halaman Bilal Al-Habash
kepadaku, dan dia membual bahwa dia memiliki sobat kental di sana. Dia terutama
bangga akan pertemanannya dengan seorang lelaki bernama Sir Richard Burton. Dia
mengklaim bahwa penjelajah Inggris yang tersohor itu, yang merupakan orang Eropa
pertama yang mengunjungi Kota Harar, adalah paman buyutnya. Muhammed Bruce juga
mengenal kaisar Etiopia, Haile Selassie, Raja di Antara Raja, sang Singa
Penakluk dari Suku Yehuda. Dia bercerita bahwa mereka pernah bermain polo
bersama. Kehidupan kami baik dan bermakna di tempat yang kecil dan damai itu, di alam
swadaya yang memiliki generatornya sendiri. Namun, setelah tujuh tahun ibadah-
mengukur bobot setiap kata, mengunyah bagian-bagian yang keras, merasakannya
larut di dalam mulutku saat aku berdiri, saat aku rukuk, saat aku sujud-
keterpencilan gelembung kami pun pecah.
Pada akhir 1960-an, raja baru berkuasa. Dia merasa berbagai zawiyah dan tarekat
sudah terlalu kuat; mereka adalah rintangan bagi pemerintahannya, setelah
Prancis melepaskan tali kekang. Pasukan raja segera mendobrak pintu zawiyah-
zawiyah di kota tetangga Tamegroute, menyebabkan saudara-saudara di sana
melarikan diri. Sebagian terdampar di pintu kami, meminta perlindungan dari
Abdal Akbar. Dia khawatir bahwa zawiyah kami akan menjadi sasaran berikut, karena kami
menerima dana dari tarekat di Tamegroute dan menampung kaum miskin setempat.
Kami sangat bergantung pada mereka, sebagaimana mereka bergantung pada tarekat
yang lebih besar di utara, yang pemimpinnya, sayangnya, pernah berusaha membunuh
raja. Syaikh terkasih kami mengusulkan bahwa mungkin sudah waktunya Hussein dan
aku berangkat ke Harar. Lalu, usul ini menjadi desakan. Tiba-tiba kapan menjadi
seka= rang, hijrah maupun haji: pelarian selain ziarah. Dia akan menyusul dengan
sufi lainnya, dia berjanji, jika situasi mengharuskan itu.
Jadi, pada Februari 1969, dengan membawa Al-Quran dan surat pengantar dari
Muhammed Bruce kepada kaisar Etiopia (tertanda: "abdimu, hambamu"), haji dan
hijrah kami dimulai. Abdal Akbar menguras peti uang untuk mengirim kami
menyeberangi Sahara untuk mencari perlindungan di Etiopia, sebagaimana sang Nabi
mengirim keluarga dan pengikutnya ke tempat yang disebut Abisinia tiga belas
abad yang lalu. Usiaku enam belas tahun waktu itu.
Kisah ini terasa mulia dan penuh pengorbanan, tanpa menghapuskan kenyataan bahwa
kami melewatkan seminggu lebih hidup mewah di istana kaisar
di Addis Ababa, berkat surat pengantar dari teman dan orangtua waliku, Muhammed
Bruce Mahmoud. Dari situ, atas desakan kaisar, kami diantar ke Harar oleh
seorang penjaga istana. Dan Hussein memang menghapus bagian itu, karena bagi
seorang sufi yang berniat mengisi dirinya dengan makanan iman, memanjakan diri
seperti itu adalah dosa. Hussein kembali dari percakapannya dengan Syaikh Jami dan menemukanku duduk di
lipatan kulit kayu sebuah pohon raksasa. Dia berseri-seri dengan kegirangan yang
langka, dan tersenyum malu-malu, mengisyaratkan agar aku mengikutinya melewati
pintu kayu berukir yang tinggi pada gedung pertama dalam deretan tiga gedung
bercat putih yang persis sama.
Di dalam, sekelompok teman dan kerabat syaikh yang lelah dan berkeringat
terkapar di seluruh balai-balai tanah merah, di ruangan luas yang berdinding
warna pirus berkilap dan dihiasi keranjang dan mangkuk kayu dan piring timah
dari Cina dan peribahasa Arab berhuruf emas yang digantung berbingkai. Fatima,
istri pertama syaikh, tampak pendiam tapi sopan, menawari kami duduk di pojok.
Kami bersandar pada bantal berbungkus sutra dan merapat di balik selimut, dan
aku segera tertidur dengan mendengar gemericik obrolan kaum perempuan dan nada
bas yang berat dari dengkuran kaum lelaki.
Matahari baru saja terbit ketika sosok jangkung Syaikh Jami hampir mengisi
lubang pintu. Kepalaku tersentak dari balai-balai ketika gemuruh suaranya
menghantam keriuhan yang teredam. Pemandangan yang mengerikan: dia besar dan
jelek. Mata birunya berenang dalam gelembung kuning yang menonjol, giginya yang
ternoda tembakau menggantung dari mulutnya seperti stalaktit, rambut merahnya
terurai dari serban ke bahu, dan janggutnya begitu tajam, pasti mampu mengiris
roti. Begitu melihatku, Syaikh Jami berseru marah: "Yee min khowraja" Farenji?" kata
hinaan dalam bahasa yang tak kumengerti.
Hussein melompat maju, bersujud di kaki syaikh itu, memeluk pergelangan kakinya
dan memohon pengertiannya.
"Ya, tentu saja!" seru syaikh, beralih ke bahasa Arab. "Kamu, boleh, tapi mau
apa dia ke sini" Orang Eropa! Di rumahku!"
Dengan hati-hati, aku menaikkan tangan dan berusaha mengenakan kembali kerudung
yang terlepas ke bahu saat aku tidur.
"Abdal Akbar mengutus kami berdua," kata Hussein.
Busung dada Syaikh Jami mereda saat nama itu disebut. "Saudaraku," katanya.
(Atau tepatnya, sebagaimana kami ketahui kemudian, saudara dari satu kakek
buyut, dengan selisih beberapa generasi.)
Lily Pencarian Cinta Gadis Eropa Karya Camilla Gibb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hussein melanjutkan: "Dia amanat seorang teman yang dulu pernah mengunjungi yang
mulia, seorang lelaki bernama Muhammed Bruce Mahmoud ii
"Berhenti!" syaikh raksasa itu mengaum, "lelaki
itu farenji terakhir yang kutemui! Penipu!" serunya, dan meludah ke lantai di
dekat lutut Hussein. Aku bertanya-tanya, apa gerangan yang pernah dilakukan Muhammed Bruce sehingga
menimbulkan reaksi seperti itu. Dia mengklaim mencintai Harar dan warganya.
Namun, meskipun dia biasanya pemalu, Hussein mengajukan sebuah peribahasa sufi,
seolah-olah meminta syaikh memaafkan Muhammed Bruce. Atau aku. "Pencerahan harus
datang sedikit demi sedikit, atau akan membutakan," katanya.
Syaikh Jami mengerucutkan bibir seolah-olah sedang mengisap limau. Perlahan-
lahan dia melebarkan tangannya, mengajak Hussein berdiri dan ikut sarapan
bersamanya, hidangan besar daging dan nasi bertabur bawang goreng yang baru saja
diletakkan Fatima di salah satu balai-balai.
Gishta, istri termuda syaikh yang berlesung pipi, memegang mangkuk di satu
tangan dan menuangkan air perlahan dari kendi di atas tangan suaminya dengan
tangannya yang lain. Syaikh menggosok-gosokkan tangan dengan kuat dan
menggumamkan sesuatu kepadanya. Istrinya mengangguk dan berpindah ke samping
Hussein, dan menuangkan air ke tangannya juga. Dia menyerahkan mangkuk itu ke
seorang gadis muda di sisinya, lalu meraih lenganku, meskipun bukan untuk
membasuhnya. "Kita mau ke mana?" aku tergagap dalam bahasa Arab, sementara dia menarikku
berdiri. Dia menuntunku ke pintu tanpa berbicara.
"Tapi kenapa?" aku memohon. "Hanya kesalahpahaman kecil, Lilly," kata Hussein
lirih, seolah-olah ada yang bisa pecah. "Segalanya akan beres, insya Allah."
Gishta menuntunku melewati ambang pintu. Aku mencengkeram dinding luar rumah
Fatima. Aku dan Hussein menempuh perjalanan jauh ini bersama-sama, melewati
negeri-negeri yang memusuhi, mencari perlindungan. Dia telah bertahun-tahun
menjadi bayanganku, saudaraku, berutang budi padaku atas kepulihannya. Aku tak
bisa memintanya untuk tidak tinggal; ini sesuatu yang diinginkannya sejak dulu.
Air mata mengalir di wajahku, tetapi Gishta hanya mendorongku maju dengan buku
jari yang menekan pinggang belakangku.
^.ku ingin menghilang, bercampur ke dalam bau busuk di udara, meleleh ke dalam
tembok tinggi-putih kompleks itu yang mengapit di kedua sisi, menjadi yang
mengamati, bukan yang diamati. Hidupku kini berada di tangan seorang perempuan
yang menuntunku ke kiri dan kanan dan kanan dan kiri melalui jalan simpang siur,
sampai-sampai aku yakin kami telah berputar-putar ke tempat semula.
Hari masih pagi, tetapi kegiatan kota sudah masuk gigi dua. Kami melewati para
nenek ompong dan para kakek bungkuk dan para sufi tak berekspresi yang memegangi
tepi selimut wol mereka, para lelaki rapi yang berjanggut pendek dan berkupluk
rajutan, dan kelompok gadis remaja berjilbab yang cekikikan, dan anak-anak
beringus yang berlari mendekatiku dan menyentuhku sambil berseru "Farenji!
Farenji!" dan ibu-ibu gemuk dengan wajah berminyak yang berdiri di pintu sambil
menggendong bayi di pinggul dan berseru kepada Gishta, yang menawarkan jawaban
yang tak kupahami tetapi membuat semua orang tertawa, kecuali aku. Aku meraba-raba jimat pemberian Abdal
Akbar, yang terikat di benang yang kukalungkan di leher. Kantong kulit kecil
yang berisi ayat Al-Quran untuk menghalau jin jahat.
Keramaian itu mereda begitu aku dan Gishta menyeberangi jalan utama dan menuruni
bukit di seberangnya. Kami memasuki bagian kota yang tidak terlalu padat,
lingkungan kumuh yang pagar-pagar temboknya bobrok dan diwarnai debu. Gubuk
darurat yang terbuat dari lembar seng dan sisa kayu telah didirikan di antara
tembok-tembok rusak. Jalan berbau pesing, dan ada orang-orang yang tunadaksa,
yang bahkan tak mau repot mengomentari kehadiranku.
Kami menyelip ke jalan sempit, di sana seorang anak perempuan beringus duduk
sendirian di tanah, memakan tanah. "Bortucan!" Gishta membentak anak itu sambil
menariknya berdiri. "Nouria!" panggilnya sambil menarik salah satu lembar seng
bergelombang yang membentuk pagar di ujung jalan.
Seorang perempuan berkulit hitam muncul dari dapur gelap, wajahnya bernoda
lemak, pakaiannya dijahit tidak rapi dengan benang tebal. Dia berdiri dengan
gaya defensif, meremas-remas tangan. Anak kecil tadi menggelendot ke balik
lututnya. Gishta menunjukku; Nouria menggeleng. Gishta menggeleng; Nouria menunjukku.
Gishta menyambar tangan perempuan itu dan kemudian mengguncang dan membentaknya,
gulungan lemak di sekitar perutnya bergetar, emas dalam mulutnya berkilau,
sampai Nouria menunduk dan mendesah kesal.
Tiba-tiba aku menyadari bahwa Gishta menganggapku sebagai sumber penghasilan
untuk perempuan ini, sepupunya, mengharapkan aku membayar sewa, dan membayar
mahal. Di kemudian hari aku menemukan bahwa desas-desus tentang farenji yang
datang ke Harar naik Mercedes telah menyebar secepat pasukan belalang mengoyak
ladang. Desas-desus yang tampaknya tidak menyebutkan bahwa Hussein juga tiba
dengan cara yang sama. Tetapi dia seorang Arab, lelaki, dan sufi, sementara aku
sebuah misteri dan ancaman.
Kepada induk-semangku yang baru, aku menyerahkan sebagian uang pemberian Abdal
Akbar untuk kami sebagai ongkos perjalanan. Nouria menggulung uang kertas itu
jadi satu dan menyelipkan gulungan itu di antara belahan dada. Dia tidak
terlihat senang. Rumah Nouria berbeda sekali dengan kompleks sang syaikh yang berisi rumah-rumah
bercat putih yang ditata mengelilingi pekarangan penuh pohon. Tempat tinggalnya
tak lebih dari tanah beberapa meter persegi yang berisi rumah bertembok tanah
dan beratap rumput. Di sebelah kiri pintu terdapat sebelah sepatu lars, mewadahi
sebatang tumbuhan yang tampak lusuh. Dapurnya, yang berdinding tanah dan sisa
logam, sempit seperti lemari dan hitam oleh jelaga, doyong di satu sudut. Seekor
kucing menjilati lalat di luka terbuka, seekor kambing ceking mengembik di
pojok, dan udara berbau susu masam dan minyak yang tampaknya
ditinggal gosong di api dapur. Balon asap abu-abu melayang keluar pintu dapur
untuk menyapa kami, dan Nouria mengangkat tangannya dan mengutukku, sebelum
merunduk ke dalam asap. Dua anak lelaki yang kutebak adalah putra Nouria, berusia sekitar tujuh dan
delapan tahun, menatapku melalui celah pagar sepanjang peristiwa ini, dan kini
mereka mendorong adik perempuan satu lagi ke pekarangan, untuk melihatku lebih
dekat. Dia memiliki mata belo dan sarang rambut ikal yang gimbal, seperti si
pemakan tanah. Keempat anak itu kusam akibat lapisan debu dan bopeng-bopeng di
siku dan lutut. "Siapa namamu?" tanyaku kepada anak perempuan itu dalam bahasa Arab.
"Bah!" pekiknya, dan menghilang kembali ke balik pagar untuk merengket di dalam
bayangan kakak-kakaknya. Mereka mendorongnya lagi melalui pagar.
Kali ini aku menunjuk adik perempuannya, yang tak menghiraukanku sambil menusuk-
nusuk gundukan tanah dengan ranting. "Bortucane?" tanyaku.
"Bortucan," anak perempuan yang lebih tua itu membetulkan.
"Dan kamu?" aku menunjuk.
"Rahile." Dengan ragu dia menunjukku.
"Lilly," jawabku.
Ini menyebabkan kedua bocah lelaki di balik pagar tertawa terpingkal-pingkal,
dan mereka mulai menampar-nampar seng, yang menyebabkan ibu mereka membentak
dari dapur. Ancamannya membungkam mereka, tetapi mereka terus menatap melalui
pagar. Aku memejamkan mata dan mengaji dalam hati, mengambil posisi yang akan
kupertahan-kan hampir sepanjang hari itu. Mempelajari Al-Quran telah mengajariku
cara menyibukkan diri tanpa bergerak. Juga telah mengajariku kesabaran, sesuatu
yang tidak kumiliki secara naluriah.
Ketika langit membara Jingga dan senja turun, Nouria meletakkan semangkuk air
merah dan memanggil anak-anak untuk makan malam. Yuk, anak yang bernama Anwar
berisyarat sambil menyodorkan sepotong roti basi. Langit menggelap pada setiap
gigitan, dan sudah gulita saat kami masuk ke rumah dinding-tanah yang tak
berjendela itu. Nouria dan keempat anaknya merangkak ke atas selembar kasur busa
yang menutupi lantai tanah di sisi satu dinding; aku membungkus diri dengan
selimut yang dilemparkannya dengan enggan ke arahku, di dinding seberangnya.
Aku berbaring terjaga, awas mendengarkan kawanan hyena menjerit-jerit aneh
sambil berkeliaran di jalanan kota, tulang iga anak-anak yang berderak saat
mereka batuk, kepak sayap kecoak yang beterbangan menabrak dinding, dan bunyi
yang sepertinya tikus yang sedang mencari makanan di sudut. Aku meringkuk, takut
kehilangan jari kaki. Namun, meskipun merasa tidak nyaman, meskipun merasa tertekan karena diusir oleh Syaikh Jami dan terpisah dari Hussein, aku juga
merasa lega. Aku dan Hussein telah melewati neraka. Bukan hanya Maroko, tetapi
seluruh Afrika Utara yang
terbakar. Perbatasan dan penduduk gonjang-ganjing, karena dengan tak adanya
musuh penjajah, orang mengarahkan senjata kepada satu sama lain dan kepada diri
sendiri. Di negeri-negeri yang bergolak ini, kami merasa senang jika sesekali
menemukan kota, tetapi lalu merasakan ketegangan dan kecurigaan warganya, dan
harus bergegas kembali ke keresahan dan keamanan di gurun pasir.
Pemandu Tuareg kami tidak bisa berbahasa Arab atau Prancis atau Inggris, tetapi
kami shalat berjamaah setelah tayamum dengan debu gurun, dan tidur berdampingan
di tanah, serupa mumi yang terbungkus seprai di bawah kabut pasir pada malam
hari. Islam mempersatukan kami, yang gagal dilakukan bahasa dan perbatasan.
Tetapi, lalu tibalah kami di Sudan, tempat kaum Muslim di utara menerapkan hukum
Islam di seluruh negeri, membunuhi orang di selatan: Suku asli Afrika, penganut
animisme, orang Kristen. Tiga hari memasuki Sudan, di suatu tempat di sebelah
selatan Khartoum, aku dan Hussein meninggalkan perkemahan untuk mengambil air
dari oasis di kejauhan. Pemandu kami tinggal di tempat, mengubur adonan roti di
dalam pasir, ketika kami mendengar ledakan. Pasukan utara rupanya telah menandai
perbatasan antara utara dan selatan dengan ranjau darat.
Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku disadarkan tentang wajah-murka Islam.
Malam itu, Hussein tidak seperti biasanya meraih tanganku. "Ini bukan makna
sejati jihad," katanya ke dalam kegelapan tak berbintang. "Jihad adalah perang
suci yang terjadi dalam diri kita. Itulah makna di bawah permukaan. Perjuangan
batin kita dalam meraih kesucian," katanya dengan penekanan, menekan telunjuknya
ke dadanya. "Jihad adalah perang untuk mengalahkan naluri dasar kita. Sama
sekali tak berkaitan dengan orang lain. Satu-satunya hal yang dapat kita
kendalikan adalah diri kita sendiri."
Lega rasanya mendapati diriku kini kembali di tempat yang damai, meskipun aku
tak diharapkan. Di kota para wali ini, yang dikelilingi tembok pelindung. Di
negara yang tidak terlibat perang pascakolonial, karena negara ini, satu-satunya
di Afrika, berhasil mempertahankan kemerdekaannya.
# Aku terbangun pada pagi pertamaku di Harar akibat langit yang gemerisik dengan
paduan suara muazin yang nyaris serempak. Seruan-seruan Allahu Akbar berombak-
ombak menjalari tulang punggungku. Aku meraih kaleng air berkarat untuk
berwudhu, tetapi Nouria merebut kaleng itu dari tanganku.
"Tapi, bagaimana aku shalat?" sergahku.
Dia mengangkat bahu, tak mengerti, jadi aku menunjuk dadaku, aku menunjuk menara
masjid di langit di atas kami, aku mengangkat tangan seakan hendak shalat.
Dia memandangiku penuh ingin tahu dan bergumam, "Masya Allah."
"Ya! Allahu Akbar!" seruku. "Allah Mahabesar!"
Dia mengembalikan kaleng berkarat itu kepadaku dan mengangguk, seolah-olah
berkata, Baiklah kalau begitu. Buktikan.
Masih pagi itu juga, Gishta tiba membawa sekarung mangga dan pisang untuk
sepupunya. Dia berpakaian bagus, mengenakan baju merah mengembang yang bersulam
sutra emas di dada, serta jilbab ungu kemerahan yang tidak serasi. Dia
perwujudan kekayaan Harari, lengkap dengan tangan yang dipenuhi hasil ladang
suaminya. Nouria juga sudah berusaha: pakaiannya sederhana saja, terbuat dari katun biru
muda, tetapi bersih dan dijahit rapi.
Ketika mereka hendak menyelip melalui pagar seng, aku menyambar siku Gishta.
"Masjid?" tanyaku.
Gishta mengangguk dan menatapku menentang, seolah-olah berkata: Ya, masjid.
Memangnya kenapa" Aku menunjuk dadaku dan mengangkat telapak tangan seperti yang kulakukan kepada
Nouria tadi pagi. Gishta menoleh kepada sepupunya dan mengoceh selama semenit,
menunjukku, lalu langit, dan mengayun-ayunkan tangannya, mengakhiri ucapannya
dengan nada bertanya. Kepadaku dia mengucapkan satu kata: "Foh-dah." Dia menyentakkan jilbabnya.
"Ya, ya," kataku dengan bersemangat, lalu mengangkat jari, meminta mereka
menunggu sebentar. Aku masuk ke kamar gelap itu dan mengambil satu-satunya
kerudungku dari ranselku. Biru tua,
polos, tepinya sudah kasar.
Gishta mengeluarkan suara menyedot dan menggeleng.
"Apa salahnya yang ini?" tanyaku
"Ginee?" jawabnya.
Aku mengerutkan kening, tak mengerti.
Dia menggosokkan jempol dan telunjuknya.
Aku masih punya uang, tetapi tidak banyak. Aku menepuk kantongku untuk menjawab,
dan Gishta mengangguk dan berderap keluar pagar, yang kupahami sebagai ajakan
untuk mengikuti. Kami bertiga berjalan banjar satu mendaki bukit ke Faras Magala, pasar induk.
Aku nyaris tak mengenalinya sebagai alun-alun tempat aku dan Hussein turun dari
mobil; pada siang hari tempat itu merupakan persimpangan hiruk-pikuk tempat
sopir taksi dan penjual qat dan pedagang berjual-beli dengan berteriak-teriak,
berusaha terdengar mengatasi lonceng Medhane Alem, gereja dari pergantian abad,
yang berdentang di atas kepala.
Kami menembus pasar dan menuruni jalan di seberangnya, turunan terjal berbatu-
batu yang diapit kaum lelaki yang riuh bekerja dengan mesin jahit kuno. Kami
mampir di salah satu toko kain di pertengahan turunan, di sana beberapa jilbab
cerah dipajang pada kait di bagian dalam pintu.
Gishta menunjuk satu, tetapi aku menggeleng. Terlalu norak.
Aku menunjuk yang lain, tetapi Gishta menggeleng. Terlalu sederhana"
Nouria menarik selembar jilbab sederhana tapi
elegan dari sebuah kait, dengan warna aneka hijau dan biru muda melingkar-
lingkar, yang ditanggapi aku dan Gishta dengan mengangguk setuju serentak.
Nouria melemparkannya longgar di kepalaku dan menyampirkan ujungnya di bahu
kiriku, gaya Harari. Gishta dengan berani merogoh kantongku, memeriksa berapa
banyak persisnya sisa uangku, sebelum menyerahkan dua lembar uang berminyak
kepada pedagang yang merasa geli.
Hussein datang menjengukku ke rumah Nouria setelah kami ke masjid siang itu,
dengan rasa percaya diri yang belum pernah kulihat dalam dirinya sepanjang
tahun-tahun aku mengenalnya: aura tenteram, seolah-olah dalam semalam dia telah
meninggalkan segala kebingungan remaja dan menjadi lelaki dewasa. Masa remajanya
dimulai dengan langkah mundur yang berlanjut ke langkah maju, yang akhirnya
berlanjut ke langkah setelahnya. Perjalanan pertama kami keluar pagar tembok
Abdal Akbar adalah ke makam keramat kecil seorang wali tak bernama, yang
terletak di kumpulan pohon palem di seberang Tamegroute. Hussein terpaksa
membungkuk agar muat masuk pintu. Aku mengikutinya masuk, tetapi bahkan aku pun
nyaris tak bisa berdiri. Di dalam sangat gelap, tetapi aku dapat melihat seorang
tua duduk bersila di sudut ruangan. Dia bergoyang-goyang maju-mundur sambil
mengaji. Hussein mendekatinya di tengah-tengah lantunan, mengambil tangan lelaki itu dari
pangkuannya dan mencium punggungnya. Dia lalu melepaskan
ikatan kristal dupa yang dibelinya dari seorang perempuan Berber buta di pasar,
dari simpul di sudut jubah wolnya, lalu meletakkannya di kaki orang itu. Orang
itu mengambil dupa itu dan melemparkannya secara dramatis ke dalam pot tanah
liat kecil yang berisi arang, menyelimuti kami dengan asap manis dan lengket
yang begitu tebal dan abu-abu sehingga aku tak bisa melihat apa-apa lagi.
"Hussein?" kataku hati-hati. "Hussein?" kataku sedikit lebih lantang ketika dia
tak menjawab. "Apa yang kamu lihat, Lilly?" tanyanya.
"Aku tak melihat apa-apa."
"Tepat." Dia mendesah. "Kehadiran Allah. In= dah, bukan?"
Dalam kehadiran Allah, tak ada kejadian apa-apa yang luar biasa, tetapi mungkin
itulah intinya. Aku tidak merasakan Allah pada saat itu, tetapi aku melihat
ketakjuban dan hasrat Hussein. Hanya itulah diriku: saksi baginya. Namun,
dilihat dalam gelap sama artinya dengan dilahirkan kembali.
Dia memercayai takhayul, mengaitkan jalan menuju kesembuhannya dengan
kehadiranku, dan ingin aku terus mendampinginya, meskipun itu bertentangan
dengan keinginannya menjadi seorang sufi. "Cinta duniawi memecah perhatian," dia
pernah memberi tahuku dulu sekali, ketika aku berusaha membicarakan orangtuaku
dengannya. "Seluruh cinta kita harus ditujukan kepada Allah. Inilah cara sufi.
Terbebaskan dari cinta duniawi itu baik. Baik bagi seorang Muslim. Baik untuk
Allah. Baik untukmu. Tak usah khawatir. Allah akan mengisi hatimu.
Kamu tak perlu bersedih. Seperti yang dikatakan Rumi: 'Apa pun yang hilang
darimu akan datang lagi dalam bentuk lain.'"
Lily Pencarian Cinta Gadis Eropa Karya Camilla Gibb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jelas Hussein sudah siap menyisihkan cinta duniawi dan menolak dunia. Dia telah
mencabut pancang tenda yang menambatkan sudut jubah wolnya ke tanah, lalu
bergerak dengan cara lambat, seperti semua pencari mistis di sepanjang jalan
menuju transendensi. Dia tampak, sejauh yang dapat kukenali dari raut monoton
dan tak bernyawa seorang sufi, tenang.
Sementara itu, kebutuhanku sangatlah mendasar dan duniawi: pangan dan papan,
mencari cara mendapat nafkah. Aku tak bisa memilih menolak dunia.
6 Sebelah Sepatu Lars .^\ku turut membantu pekerjaan rumah tangga Nouria sebisaku. Aku mengambil sapu
dari tangannya, menyapu serangga mati serta kotoran kucing dan kambing, dan
memercikkan air di tanah untuk mengendapkan debu, sehingga Nouria bisa menerima
cucian lebih banyak. Tangannya menggosok hingga lecet, mencuci pakaian perempuan
yang lebih berada, di baskom besar yang diisi dengan air yang setiap pagi dibawa
dalam jerigen oleh putra sulungnya, Anwar, dari sungai di luar tembok kota.
Setelah itu, kami menggunakan air cucian yang cokelat kemerahan untuk membasuh
muka, tangan dan kaki, lalu piring dan pakaian kami sendiri. Setelah airnya
menghitam, kami membuangnya ke jalan, yang kemudian mengalir menuruni bukit dan
akhirnya meresap ke tanah yang kering kerontang.
Anak lelaki Nouria hampir sepanjang hari berkeliaran di pasar, menjual kacang
atau, kalau tak ada pembeli atau kacang, mengemis. Mata mereka
melekat pada kios buah dan sayur, siap menerkam apa pun yang berguling menjauhi
si penjual. Pada akhir hari, mereka memulung apa pun yang basi atau dibuang,
pulang membawa sisa-sisa yang lembek dan rusak, yang dulunya masih bisa disebut
makanan. Sementara itu, anak perempuan kembar Nouria bermain-main hampir sepanjang waktu-
kotor dan tanpa sepatu-di jalan. Aku sering menemukan si adik, Bortucan, duduk
sendirian di jalan, makan tanah. Mengais makanan di mana pun dia bisa.
Kelahiran si kembar mengubah nasib Nouria, meskipun masa depannya memang tak
pernah cerah, karena berlatar belakang Oromo yang miskin. Namun, seperti
sepupunya Gishta, Nouria ingin diterima di tengah bangsa Harari-kekayaan dan
keistimewaan bangsa itu menjadi pemikat bagi mereka-dan telah meniru bahasa,
makanan, dan adat Harari.
Ketika suaminya meninggal-kata orang, karena suatu penyakit misterius yang
disebut "penyakit tanah"-Gishta mendorong Nouria mencari lelaki Harari, seperti
dirinya. Nouria berusaha sebaik-baiknya: selama beberapa tahun dia menjadi
gundik seorang Harari, dan meskipun lelaki itu memberinya uang saku yang
memungkinkan dia menyekolahkan kedua anaknya, lelaki itu tidak mengajaknya
menikah. Ketika Nouria hamil, lelaki itu memutuskan hubungan sama sekali.
Anak lelaki Nouria terpaksa putus sekolah dan kembali ke jalan; Nouria terpaksa
memohon kaum perempuan Harari kaya agar diperbolehkan mencuci
pakaian mereka. Dia tak mau menjadi pembantu rumah tangga lagi, seperti yang
dilakukannya semasa kecil. Dia tak mau kehilangan rumahnya. Rahile kehilangan
air susu ibunya dan menyantap air dan roti basi dan pisang yang menghitam karena
terlalu matang. Namun, Bortucan masih tak mau melepaskan susu ibunya, baik air
susunya keluar ataupun tidak.
Makan malam, yang turut kusiapkan bersama Nouria, adalah makanan sederhana, sup
yang dibuat dari bawang bombai dan kacang koro dan cabai, diserap dengan roti
injera basi yang dicelupkan, atau kadang injera dan cabai merah giling saja.
Kami buang air di sepetak tanah di belakang dapur, cebok dengan tangan kiri,
menuangkan air pada tangan kiri dengan tangan kanan. Kami berjingkat-jingkat
dengan sandal jepit-milikku lungsu-ran dari Gishta-mengarungi petak tanah ini,
kilau cokelatnya yang licin itu tentunya karena kami makan sup encer bau yang
dibuat dari air beracun. Nouria tidak menolak bantuanku karena itu memungkinkan dia mendapat penghasilan
lebih banyak, tetapi kami tidak akrab, sementara kami mulai terbiasa dengan
kesepakatan yang setengah hati itu. Aku tahu, ini bukan semata-mata karena
keterbatasan bahasa. Sebaliknya, anak-anak ternyata merupakan berkah. Kedua anak lelaki itu tak lagi
menatap penasaran dan cekikikan karena ada orang asing di tengah-tengah mereka,
meskipun mereka masih tetap menyeret orang untuk mengintipku di atas
pagar seng bergelombang, lalu meminta bayaran karena telah menyuguhkan hiburan.
Aku melambaikan tangan saja kepada perempuan dan anak-anak yang mengintip, yang
menyebabkan mereka kabur tunggang-langgang. Aku berharap kebaruan yang
dihadirkan sosokku akan memudar, meskipun ribuan orang tinggal di dalam tembok
kota. Aku segera merasa protektif pada Bortucan karena dia membutuhkan jauh lebih
banyak perhatian daripada kakaknya. Aku terkejut saat mengetahui bahwa mereka
berdua kembar, keduanya berusia empat tahun, karena Bortucan, tidak seperti
Rahile, belum bisa bicara dan tidak pernah bermain dengan anak lain. Dia
pemurung, sementara Rahile selalu cerah-ceria. Mungkin, dalam kebisuannya,
kesendiriannya, ada sesuatu yang kukenali dan kupahami.
Dalam panas sore hari, aku duduk di tikar di sudut pekarangan yang teduh,
mengusir lalat dengan kipas, membuat daftar kosakata, dengan rajin mencatat
setiap kata Harari baru yang kupelajari dan berusaha sebaik-baiknya memahami
tata bahasanya. Sebagian besar katanya tampak sangat dekat dengan bahasa Arab,
diturunkan dari akar yang sama, meskipun dirangkai dengan cara yang asing. Dan
aku menemukan bahwa bahasa Arab cukup dipahami sebagian orang. Di antara orang
yang lebih berpendidikan, orang yang memahami Al-Quran, seperti sebagian
tetangga Nouria yang lebih kaya, mengenal bahasa Arab. Nouria sebenarnya tidak
bisa berbahasa Arab, tetapi dia
hafal sejumlah peribahasa Arab.
Anwar bisa sedikit bahasa Arab, yang dipelajarinya ketika bersekolah beberapa
tahun di madrasah. Aku biasa menunjuk sesuatu di halaman-keco-ak, sekarung
gandum, rok yang tergantung di tali jemuran-dan Anwar memberi tahuku kata
Hararinya. Hal terakhir yang dinamainya untukku di halaman adalah tanaman yang
tumbuh di sepatu karet, tetapi dia tak tahu kata untuk bot itu sendiri.
"Di mana yang sebelah lagi?" tanyaku kepadanya.
"Sebelah yang mana?"
"Pasangan yang ini."
"Cuma ada yang satu ini," katanya.
Sedang apa sebelah sepatu lars teronggok di halaman di kota Muslim terpencil di
Afrika ini" "Dan tanamannya. Gunanya untuk apa?" tanyaku kepada Anwar.
Dia mengangkat bahu. "Nggak untuk apa-apa," jawabnya.
"Apa untuk bumbu atau obat?"
"Untuk jadi tanaman saja."
Nggak untuk apa-apa. Untuk jadi tanaman saja. Dalam dunia melarat ketika segala
sesuatu ada manfaatnya, aku merasakan satu tindakan remeh-temeh ini menenangkan
hati. Setelah dia menamai semua benda di halaman untukku, kami pindah ke dalam rumah
bertembok tanah dan menamai isinya yang tidak seberapa itu. Dibekali kata untuk
kasur busa, aku menanyakan di mana aku bisa membeli satu untukku. Dia tampaknya
bangga karena mampu menuntunku ke pasar, ke tempat seorang lelaki yang memotong
sebidang busa menurut petunjuk Anwar.
"Tapi, Anwar, itu terlalu besar," aku memprotes, setelah lelaki itu memotongnya.
"Tidak, tidak, bagus, kok!" katanya, dan meletakkan gulungan busa yang tebal itu
di kepalanya. "Baiklah," desahku, dan merogoh kantongku.
Seperti yang kuduga, gulungan itu terlalu lebar, tidak muat melewati pintu rumah
tanah itu. "Tidak masalah," kata Anwar dan membuka gulungannya di tanah. Dia masuk ke
dapur, kembali membawa pisau, dan memotong lurus di tengah-tengah kasur dengan
pisau itu. Dia membawa setiap potongan masuk ke rumah satu per satu dan
meletakkan pakaiannya di kepala kasur yang kedua.
Kosakataku berkembang selama berbulan-bulan, dengan kata yang dipungut dari
Nouria, dari Gishta ketika dia berkunjung, yang dilakukannya hampir setiap sore,
dan dari perempuan lainnya di lingkungan itu yang sekali-sekali berkumpul di
pekarangan pada hari Sabtu, untuk mengadakan bercha. Mereka menghamparkan
selimut di tanah dan duduk melingkar dan bergosip sambil makan qat. Mereka
mengudap berondong jagung, yang dipanggang dalam penggorengan datar di atas api
terbuka, melemparkan kristal dupa ke bara yang memadam, minum teh, dan mengisap
hookah, yang di sini dikhususkan untuk perempuan. Qat, tembakau, berondong
jagung, dan gosip adalah satu-satunya kemewahan dalam kehidupan miskin Nouria,
hadiah yang dibawakan oleh para tetangganya yang lebih berada.
Aku duduk di tepi lingkaran mereka, Bortucan biasanya di pangkuanku, sementara
aku menyeka hidungnya yang selalu beringus dengan kain lusuh. Beberapa perempuan
menganyam jerami sambil mengobrol, membuat keranjang untuk menghiasi dinding di
rumah yang lebih kaya daripada rumah Nouria. Bortucan sering menyentakkan
dadaku, lalu akhirnya merangkak dengan frustrasi dari pangkuanku ke pangkuan
ibunya, di mana, meskipun dia tidak selalu dijamin mendapatkan air susu, dia
akan mendapatkan kenyamanan.
Aku belajar dari mendengar, dari koreksi saat aku mencoba berinteraksi, dari
paparan dan penyelaman, melalui hari demi hari yang berubah menjadi minggu, yang
menjadi bulan, mendengarkan hanya bahasa itu, dari pengetahuan yang tidak
kupilih. Sebagai balasan kosakata baruku, aku menawari kedua anak lelaki itu bahasa Arab.
Setelah makan malam, kami duduk di samping cahaya api yang meredup di dapur
sesak dan melatih alfabet bersama-sama, menuliskan huruf di batu tulis dengan
kapur. Suatu hari Anwar mendatangiku dengan membawa buku-Al-Quran milikku, hadiah Abdal
Akbar untukku. "Anwar, dari mana kamu mendapatkan ini?" tegurku.
"Dari tasmu," katanya sambil menunjuk rumah. "Kamu nggak boleh membongkar
barangku," kataku, dan langsung malu akan nada posesif dalam suaraku. "Kamu ingin aku
membacakan ini untukmu, begitu ya?" tanyaku dengan lebih lembut.
Dia mengangguk bersemangat.
"Nah, pertama-tama kita harus membasuh tangan. Lalu kita menyatakan niat ..."
"Tunggu!" katanya, lalu berlari mengajak
adiknya. Setiap pagi setelah itu, kami duduk di lubang pintu ruangan gelap yang kami huni
bersama itu, dan mengaji dengan suara lirih selama sejam, dilatari suara
berirama Nouria yang berlutut menggosok pakaian di dalam bak logam besar. Selama
beberapa minggu, kedua anak itu menampakkan pengetahuan mereka tentang ayat demi
ayat, lalu surah demi surah. Mereka berhenti pada ayat terakhir surah kelima.
Jadi di sinilah kami memulai sungguh-sungguh. Dengar dan ulangi. Dengar dan
ulangi. Baris demi baris, ayat demi ayat, persis seperti cara Abdal Akbar
mengajariku dulu. Abdal Akbar menuntun tanganku dan mengatakan ini bunga dan ini batu dan ini
pohon. Di bawah bimbingannya, aku menancapkan akar, kata demi kata. Setiap
ucapan didahului oleh bismil/ahirrahmanirrahim, demi nama Allah yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang. Dunia di dalam Al-Quran itu utuh, dan ada tatanan,
proses, urutan langkah yang logis. Kitab itu adalah antitesis dari kehidupan
mengembara yang kujalani bersama orangtuaku; kitab itu obat penawar bagi
kematian mereka. Selalu ada tempat mendarat yang aman,
bahkan saat aku keliru. Jika aku tergagap membaca suatu kalimat, aku bisa
langsung mundur ke kalimat sebelumnya. Aku selalu bisa kembali ke bagian yang
sudah kuketahui. Inilah cara Islam; Islam diturunkan seperti hadiah dari generasi ke generasi.
Islam menghubungkan kita menembus waktu. Melalui proses ini, anak-anak ini akan
terhubung dengan Abdal Akbar, dengan ayah sekaligus gurunya sebelumnya, dan ayah
sekaligus gurunya sebelumnya lagi, terus menelusuri generasi-generasi hingga ke
sang wali sendiri. Dalam dunia tanpa ayah, aku adalah mata rantai dalam rantai
yang menghubungkan Rasulullah shallallahu 'ataihi wasallam dengan dua bocah
Etiopia yang berdebu. 7 A. .ku dan Nouria menyaring sekarung sorgum dengan cara yang dia ajarkan-menapis
bulirnya di penapis, menyingkirkan sekam longgar dan memunguti pasir dan
kerikil. Setelah selesai, kami menggiling bulirnya di dalam lumpang,
mencampurnya dengan air, lalu meninggalkannya di dalam ember agar berfermentasi.
Kami menggunakan genangan masam yang berdesis itu beberapa hari kemudian untuk
membuat persediaan injera yang cukup untuk persediaan dua minggu bagi kami
semua. Rahile berdiri di samping ibunya pagi itu, menarik-narik lengan bajunya. Nouria
mencoba membuatnya diam: "Ssst. Sebentar, Rahu, sebentar. Jangan ganggu ibumu.
Bermainlah di luar."
Tetapi, Rahile mulai menangis dan menyentak-nyentakkan kakinya. Bortucan,
mungkin dalam semangat kekompakan anak kembar, mengamuk dengan cara yang sama;
dengan mata terpejam erat dan tangan mungil terkepal bulat, dia meninju-ninju
udara dan mengeluarkan erangan aneh, sementara tangis kakaknya semakin nyaring.
Kesucian dan Bahaya "Ya Allah! Ada apa ribut-ribut begini?" seru Gishta sambil masuk ke halaman. Dia
menyandang tas kulit yang berisi qat dan tangannya memegang labu berisi susu
unta. "Kepalamu kejatuhan batu, Rahu" Kamu kerasukan jin?"
"Aku mau absuma! Ab-su-ma! Ab-su-ma!" dia merengek dengan setiap suku kata.
"Apa sih absuma yang dia minta ini?" tanyaku.
"Absuma itu mahal, begitu," kata Nouria sambil menapis gandum dengan tangkas.
"Dia ingin pesta, seperti teman-teman kecilnya di sekitar sini," Gishta
menjelaskan sambil berjongkok bersama kami. "Supaya orang datang dan berkata,
Oh, kamu anak baik, ini, permen ini untukmu, uang ini untukmu, ayo makan madu
lagi." Untuk merayakan ulang tahun" Aku bertanya-tanya, meskipun sepertinya tak ada
orang yang tahu usia mereka. Mungkin aku sekian tahun, kata mereka sambil
mengangkat bahu. Apa pentingnya" Atau, Semasa hidupku pernah terjadi empat
kemarau. "Tapi Nouria benar, pesta ini sangat mahal," Gishta menjelaskan. "Harus
menyembelih beberapa ekor ayam, mungkin juga seekor kambing, untuk memberi makan
semua orang. Lalu, tentu saja, harus bayar bidan."
"Buat apa ada bidan?" tanyaku.
"Karena dialah yang menyebabkan pesta itu ada, Lilly!" seru Gishta tak percaya.
"Tak akan ada pesta kalau tak ada bidan. Kamu kok tak tahu apa-apa" Dia tak tahu
apa-apa, Nouria!" "Aku kan bukan ibunya!" desis Nouria.
Apakah ibuku tak pernah mengajariku apa-apa" Dia pernah menunjukkan cara merajut
sederhana dan cara merangkaikan huruf. Dia pernah mengajariku permainan kartu,
termasuk poker lepas baju, sambil memberi tahuku bahwa kita tidak perlu malu
telanjang. Tetapi, waktu itu aku bingung soal itu, karena sementara mereka
berleha-leha dalam keadaan telanjang atau hampir telanjang, mengisap mariyuana
dan saling memandikan dengan spons, orang lain tetap berpakaian lengkap.
Dia mengajariku dari mana bayi berasal, tetapi tidak ke mana bayi pergi setelah
mati. Abdal Akbar-lah yang mengajariku tentang surga.
Kedua perempuan itu menatapku.
"Apa?" tanyaku.
"Kamu tahu, kamu harus selalu menutup rambut kalau keluar rumah," kata Gishta.
"Dan kamu tak boleh sekali-kali berduaan dengan lelaki, karena setan adalah yang
ketiga," tambah Nouria, peribahasa pertama dalam gudang peribahasa bahasa
Arabnya, yang sebagian besar sepertinya berkaitan dengan hubungan lelaki dan
perempuan. "Dan kamu tahu bahwa saat sedang haid, kamu tak boleh masuk ke masjid atau
menyiapkan makanan, karena haid adalah penyakit dan kotoran," kata Gishta
serius. Aku tak tahu apa hubungan semua ini dengan pesta Rahile, tetapi aku ingin
membantu, jadi kemudian aku menjejalkan sejumlah kecil uang ke
tangan Nouria. Nouria tersenyum kepadaku mungkin untuk pertama kalinya, dan berkata: "Untuk
Rahile maupun Bortucan. Tak bisa hanya salah seorang saja."
Rahile gembar-gembor tentang pesta mendatang selama berminggu-minggu, memberi
tahu semua orang yang mau mendengar. Orang di jalan menepuk kepalanya dan
mengatakan bahwa dia anak baik. Bahkan Bortucan tampak gembira dan tak sabar.
Gishta membuatkan rok yang serasi untuk kedua anak itu untuk acara tersebut, dan
meskipun Bortucan berhasil mengotori bagian depannya dengan tanah setelah
memakainya setengah jam, mereka berdua tumben tampak rapi. Dan gembira.
Rahile bertengger di bangku kayu kecil yang telah dipindahkan ke halaman, duduk
dengan punggung tegak dan mengayun-ayunkan kakinya dengan gembira, sementara
tetangga-tetangga perempuan membanjir masuk melalui pagar yang dibuka. Di
telinga mereka terselip bunga kenikir dan rempah wangi, dan mereka membawa
bungkusan permen yang berkilat-kilat, yang diletakkan di tanah sebelum duduk
Lily Pencarian Cinta Gadis Eropa Karya Camilla Gibb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melingkari Rahile. Gishta mengedarkan nampan berisi cangkir teh kecil dari tanah
liat, tehnya dibuat dari sekam kopi yang direbus dalam susu dan air.
Sebagian besar dari mereka mengabaikanku, sementara aku berdiam di dapur,
menjaga sepanci lagi susu dan air yang akan mendidih di atas api.
Kedua kakak-beradik dari ujung jalan, yang jelas merasa geli denganku, berseru:
"Sebutkan apa kata Harari baru yang kamu terakhir pelajari?"
"Absuma gar," jawabku polos, ingin agar perhatian tetap pada Rahile, yang tampak
sedikit kesal. Mereka terbahak dan mengangkat tangan di atas kepala.
"Absuma gar! Allahu Akbar!" seru yang satu.
"Allahu Akbar!" seru yang lainnya beruntun, sampai riak bisik menyusup ke
kerumunan dan mereka terdiam. Seorang nenek yang bertubuh besar dan bermata sayu
dan berkeriput jeluk di wajahnya yang kuyu memasuki halaman, diikuti seorang
gadis Oromo yang mencengkeram kaki dua ekor ayam yang terjungkir, kakinya
berhias kertas krep. "Abai Taoduda," Nouria terkesima, lalu bergegas maju, jatuh berlutut dan mencium
bagian berdaging tangan perempuan itu, tempat bertemunya jempol dan telunjuk.
Abai Taoduda bertukar salam dengan semua orang, sementara si gadis Oromo
menyerahkan kedua ayam itu kepada Anwar, yang berdiri jauh di belakang, di
samping pagar bersama adiknya. Anwar memegang ayam itu dengan bangga, berbicara
kepada mereka, seolah-olah mereka memprotes pergantian kepemilikan ini.
Si nenek berjalan ke tengah lingkaran dan mengangkat telapak tangannya untuk
memuji Allah. Paduan suara pujian bersahutan di udara. Dia mendekati Rahile di
bangku, menariknya berdiri, dan mencium keningnya, lalu duduk tepat di tempat
Rahile duduk tadi dan menarik gadis itu ke
pangkuannya yang lebar. "Uma Sherifa!" seru si bidan. Sherifa, seorang perempuan buta yang tinggal di
lingkungan ini dan terkenal sebagai penyanyi yang merdu, berdiri. Dia sering
dibayar untuk menyanyi di acara pernikahan, tetapi karena aku belum pernah
diundang ke acara seperti itu, inilah pertama kalinya aku mendengar dia
bernyanyi. Matanya buram oleh lapisan putih, tetapi suaranya sangat jernih
sehingga aku serasa dapat mendengar sungai air segar yang terjun di sisi gunung,
aku dapat melihat tembok yang dibangun di sekeliling kota senti demi senti, aku
dapat merasakan kebahagiaan manis-getir menjadi seorang ge kahat, "putri sang
kota," yang perlindungannya bermanfaat bagi seluruh masyarakat.
Si bidan mengangkat roknya dan membuka kakinya yang montok dan berdekik. Dia
juga mengangkat rok Rahile dan mengikat paha anak itu ke bagian dalam pahanya
sendiri yang empuk itu dengan dua selendang panjang warna hitam. Lalu dia
memasukkan kain ke mulut Rahile, menyuruhnya menggigit kuat-kuat, menarik
lipatan kulit di antara kaki Rahile, dan dengan cepat mengirisnya dengan pisau
logam. "Sedang apa dia?" aku tak tahan berseru.
"Hus!" tegur orang-orang di dekatku.
Aku berdiri sambil menutup mulut, sementara si bidan beberapa kali mengiris
cepat dengan pisau itu, memotong irisan-irisan tipis kulit. Warna menyurut dari
paras Rahile. Gemetar menjalar di seluruh tubuhnya, sementara genangan kental
darah meluas di antara kakinya. Aku kehilangan rasa di bagian bawah tubuhku,
menyaksikan dengan ngeri, sementara darah mulai merayap ke tepi bangku. Rahile
melihatnya dan membungkuk sambil mengeluarkan jeritan kesakitan.
Di latar belakang, salah seekor ayam itu, yang kepalanya dipenggal oleh Anwar
bersamaan dengan tarikan turun pisau si bidan, berlarian liar di sekeliling
halaman. Para tamu menengadah dan menangkupkan tangan di atas mulut: paduan
suara tekak yang penuh perayaan saat mereka melolong ke langit. Aku ingin meraup
darah Rahile dalam tanganku dan mengembalikan warna ke wajahnya. Dia merintih-
rintih, bibirnya gemetar, bulu matanya menggeletar di atas mata yang hampa.
Nouria mengeringkan luka putrinya dengan kain lusuh, lalu si bidan menarik
selendang hingga lepas dan menyelipkan tangannya di bawah ketiak anak itu.
Nouria menyambar pergelangan kaki putrinya yang teronggok lemas, dan mereka
berdua membaringkannya di bangku. Si bidan menjepit kedua lembar kulit sisa di
antara kaki Rahile dan mulai menusuknya secara serampangan dengan sebaris enam
duri tajam. Aku menggigit buku jariku begitu keras, hingga berdarah. Si bidan
memasukkan korek api di celah antara kedua duri terakhir, dan rintihan Rahile
melambat dan menjadi dalam. Dia bernapas berat, seolah-olah melalui selimut.
Abai Taoduda memegang ketiaknya dan menyeretnya, lalu mengangkatnya ke atas
liang kecil yang membakar kayu wangi, agar asapnya membasuh luka. Dia
mengulurkan tangan yang kapalan, dan Nouria menyerahkan abu hangat dari api,
yang ditepuk-tepukkan si bidan di antara duri dengan jarinya yang datar. Dua
orang perempuan memegangi bahu Rahile, sementara si bidan membalutkan perban
pada kedua kakinya, mengikatnya hingga tak bisa bergerak dari pinggul hingga
ujung kaki. Mereka menggotongnya ke dalam gubuk dan membaringkannya di atas
kasur busa. Aku tak tega: Nouria sedang menarik Bortucan ke depan.
"Dia terlalu muda!" aku memprotes.
Bisik-bisik panas di sekelilingku.
Kata Nouria, "Dia cukup tua untuk mengingat rasa sakitnya."
Aku terpaksa membuang muka. Aku harus menyeruak menembus kerumunan dan berdiri
sendirian di jalan. Aku tak mendengar apa-apa dari Bortucan, hanya paduan
sukacita dari kaum perempuan yang melolong. Ayam tak berkepala menyenggol
betisku sambil berlari ke jalan. Anwar mengejarnya beberapa meter sebelum
menerkamnya dan membekapnya dengan dada.
Inilah pesta yang ditunggu-tunggu Rahile.
jK^edua anak perempuan itu diperintahkan berbaring dalam keadaan terikat selama
empat puluh hari, cukup lama agar jaringan bekas luka terbentuk, dan mereka
harus minum sesedikit mungkin supaya korek api itu tidak perlu dilepas untuk
melewatkan air seni. Rahile-meskipun merintih saat harus buang air-memberi
tahuku bahwa dia merasa istimewa, dia merasa dicintai.
Tamu berbaris dan memasuki ruangan satu per satu untuk mengucapkan selamat
kepada kedua anak itu dan memberi mereka permen dan uang serta ciuman di kening.
"Sekarang mereka akan tumbuh menjadi perempuan terhormat," kata Gishta kepadaku
dengan bangga. "Ini peristiwa terbesar dalam hidup perempuan, Lilly-selain
pernikahannya, tentu saja."
Dan pernikahan itu tergantung pada absuma ini, menurut Gishta: tak ada orang
yang berani menikahi gadis yang tidak disunat, seorang sharmuta, gadis yang liar
karena berahi. Gadis seperti itu hanya akan menimbulkan fitnah, kekacauan, dan
aib bagi keluarganya. Namun, Bortucan tampaknya tidak sesehat kakaknya. Dia mengerang dengan sangat
mengenaskan. Aku menyimpulkan bahwa dia pingsan ketika operasi, dan meskipun
esok harinya dia terbangun dan menyesap teh bergula, perbannya basah oleh darah.
Aku membantu Nouria membuka balutan dan mengganti perban, sambil berupaya tidak
menunjukkan rasa ngeriku, khawatir kalau-kalau aku menyebabkan Bortucan semakin
ketakutan. Kakinya sedingin batu dan giginya bergemeletuk saat kami membungkusnya dengan
kain baru. Kami menutupinya dengan selimut dan setiap potong pakaian miliknya.
Dia bolak-balik tidur dan terbangun, menggumam seperti mengigau, dan pada akhir
hari kedua, Nouria sudah cukup cemas sehingga memanggil dukun.
Seorang kakek datang membawa pena bulu dan tinta. Dia duduk di dekat pintu
pondok, dan dari balik bahunya, aku mengamati dia sedang menuliskan beberapa
ayat Al-Quran di secarik kertas kecil yang digulung dan dimasukkannya ke dalam
tabung kulit merah yang tipis. Dia memasang seutas benang di ujung-ujung tabung
tersebut dan menyerahkannya kepada Nouria, yang mengikatkannya pada leher
Bortucan. Aku meraba-raba jimatku. Untuk menghalau jin jahat, demikian keterangan Abdal
Akbar. Tetapi, situasi sekarang ini bukan hasil kerja ruh jahat. Ini
hasil kerja seorang bidan, dengan dukungan penuh setiap perempuan di lingkungan
ini. Ini adalah hasil seorang anak perempuan yang menuntut: "Ab-su-ma !"
Pada hari ketiga, Nouria memanggil tabib. Perempuan bertato dengan rambut cerah
yang diwarnai inai itu merebus ramuan berbau belerang di atas api sampai
mengental menjadi salep seperti tanah liat. Dia mengoleskan campuran ini ke
semua lubang tubuh Bortucan-mulutnya, telinganya, matanya, tempat di antara
duri-dan membawanya keluar pondok, hingga sinar matahari membuat salep itu
mengeras dan luruh. Bortucan terbangun pada hari keempat, perbannya lagi-lagi bersimbah darah.
Sekarang, ratap Nouria, kami harus memanggil dokter. Selama berbulan-bulan aku
tinggal di sini, Nouria belum pernah memanggil dokter, meskipun dia dan anak-
anaknya sering sakit, tanpa sadar tubuh mereka menjadi inang bagi parasit, yang
menyiksa mereka dengan diare, dan menggembungkan perut mereka menjadi balon yang
mengeras. Dokter adalah upaya terakhir dalam komunitas yang telah dikuasai oleh
bidan, dukun, dan tabib. Aku berbaring di antara kedua anak perempuan itu di sudut yang gelap, berusaha
mengalihkan perhatian mereka dengan kisah kedatangan para dai Arab di Abisinia
yang mendengar azan dari muazin pertama Islam ketika sedang melewati pegunungan
timur. Mereka lalu berdoa kepada Tuhan, karena menganggap ini sebuah mukjizat,
Rajawali Sakti Dari Langit Selatan 9 Wiro Sableng 033 Panglima Buronan Pangeran Bunga Bangkai 2
Gadis kecil kulit putih itu bernama Lilly. Kedua orang tuanya tewas secara
misterius. hungga dia dijadikan anak angkat oleh seorang sufi Maroko. Dua budaya
yang amat berbeda membuat dia harus berjuang mengenal hidup.
CUKUP lama Lilly merasa hampa dan terhantui. sampai dia menemukan sosok kakak
dalam diri Hussein. Hussein-lah yang menemaninya hijrah ke Harar Etiopia, sebuah
kota suci bertembok tempat bermukimnya para wali. Di sanalah Lilly belajar Islam
dan menjadi guru mengaji Al Quran.
Namun. tibalah tahun 1984. ketika selengah juta orang mati kelaparan dan
selengah juta lagi meninggalkan Ethiopia. Berpisah dengan Hussein dan anak-anak
didiknya adalah hal tersulit bagi Lilly, terutama dengan Dr. Aziz Abdulnasser.
seorang dokter Idealis yang mulai mengisi hatinya. Lantas bagaimanakah kehidupan
Lilly saat dia mengungsi ke London" Akankah dia menemukan kembali kebahagiaan
yang sempat singgah kepadanya"
Canggih, ambisius, dan novel yang memberikan pengaruh mendalam' -Giller Prize
Jury "Lilly amat mengagumkan dan menglnsiptrasl berbagai kalangan. Novel yang
melukiskan kondisi Etiopia dengan amat ta(am; penuh cinia, toleransi, ketabahan,
dan optimisme. Ethiopian Observer?an international bestseller
Camilla Gibb Penerima City of Toronto Book Award 2000 dan CBC Canadian Literary Award lor
Short Fiction 2001 Pencarian Cinta Gadis Etiopia Berdarah Eropa
'Karakter utama yang memesona ... Sungguh dalam, memikat, dan penuh kekuatan."
Trillium Prize Jury ?"Kisah yang menusuk perasaan ... menimbulkan rasa empati -The Miami Herald
Trillium Book Award Winning 2006 and Oilier Prize Winning 2005
"Tapi aku tak mau berada di tengah-tengah orang gila," komentar Alice.
"Oh, itu tak bisa kamu cegah," kata si Kucing: 11 kita semua di sini gila. Aku
gila. Kamu gila." "Dari mana kamu tahu aku gila?" kata Alice.
"Pasti," kata si Kucing, " kalau tidak, kamu tentu tidak datang ke sini."
Alice'fO s Adventures in Wonderland, Lewis Carroll
?Qanita membukakan jendela jendela bagi Anda untuk menjelajahi cakrawala baru.
?Menemukan makna dari pengalaman hidup dan kisah kisah yang kaya inspirasi.
?Qanita LillY Pencarian Cinta Seorang Gadis Eropa di Etiopia
CMILIA GIBB Untuk Abdi, Biscutti, Agitu, dan the ge waldach cucu-cucu Harar
Pujian untuk Lilly 1 "Karakter utama yang memesona .... Sungguh dalam, memikat, dan penuh kekuatan."
-Trillium Prize Jury "Canggih, ambisius, dan novel yang memberikan pengaruh mendalam -Giller Prize
Jury " ... Kisah yang menusuk perasaan ... menimbulkan rasa empati -The Miami Herald
"Sungguh memikat ... Pencarian jiwa sunyi Lilly menjadikan novel Gibb sebuah karya
indah yang memesona hingga halaman terakhir." -Minneapolis Star Tribune
"Penuh dengan ironi. Novel ini menemukan keindahan di tengah sebuah kehancuran
tragedi manusia ... Dikonstruksi dengan kerumitan dan sensitivitas -Canadian
Literature "Lilly amat mengagumkan dan menginspirasi berbagai kalangan. Novel yang
melukiskan kondisi Etiopia dengan amat tajam; penuh cinta, toleransi, ketabahan,
dan optimisme." -Ethiopian Observer
" ... dikenang karena penggambaran geografis, tema, dan sejarah ... melukiskan
sebuah perbedaan antara budaya lokal dan dunia modern." -The Birmingham Post
"Novel ini akan membawa kita jauh berada di sebuah tempat yang mungkin tak
terduga, dari waktu ke waktu, membuat kita rindu ingin kembali." -San Francisco
Chronicle "Lilly ... merefleksikan sebuah penderitaan, peralihan budaya, problem kesukuan,
politik negara beserta masalah pengungsian di seluruh belahan dunia." -Kirkus
Review "Ditulis secara serius, prosa-prosanya sungguh memikat .... Novel ini dengan
cerdas berhasil mengungkapkan 'bahasa keagamaan dan keterasingan1 -Publishers
Weekly "Karya memukau yang provokatif...." -Booklist
"Lilly menjadi karya universal indah ... mengisahkan pengampunan, kehilangan dan
keinginan untuk kembali ke rumah sejati." -Scotland on Sunday
"Daya tarik luar biasa dari kisah Lilly tentang keterasingan dan kesedihan
serasa membuat para pembaca tak ingin melepaskan satu halaman pun." -Red
Magazine "Kisah menggairahkan dan humanis, bercerita tentang seseorang yang tercerabut
dari tanah kelahirannya, kemiskinan, dan perang ... karya indahnya sangat
diperhitungkan." -Glasgow Evening Times
"Novel ini diperkirakan akan mampu membuat kejutan dalam penganugerahan Orange
dan Man Booker." -The Bookseller (UK)
"Novel tentang Afrika ini disajikan dengan amat cermat, Gibb dengan
kelembutannya berhasil menyuguhkan kompleksitas masyarakat Etiopia." -Time
Magazine "Luar biasa." -Canadian Press
"Cara penulisan Gibb sungguh mengalir, tajam ...
kaya imajinasi, penuh detail, dan menarik perhatian
ii -Literary Review Canada " ... karya mutakhir Gibb menuturkan sebuah tragedi, cinta, dan harapan ... Gibb
menunjukkan kepada kita bahwa masih ada cinta di tengah ketidakpastian -Edmonton
Journal 11 ... sebuah novel penuh makna hidup yang tajam dalam observasi ... luar biasa dan
sungguh kaya." -National Post
"(Gibb) mengombinasikan keharuan dan ketangguhan." -Now Magazine
"Mengagumkan -Ottawa Citizen
"Novel kaya makna yang disusun dengan cermat -Xtra Magazine
Tentang Penulis Camilla Gibb lahir di London, Inggris, dan tumbuh di Toronto. Dia memiliki gelar
Ph.D. dalam bidang antropologi sosial dari Oxford University, dan melakukan
kerja lapangan di Etiopia untuk memperoleh gelar tersebut. Kedua novelnya
sebelum ini, Mouthing the Words, pemenang City of Toronto Book Award tahun 2000,
dan The Petty Details of So-and-so's Life, telah diterbitkan di 18 negara,
menerima resensi pujian dari seluruh dunia. Dia merupakan salah seorang dari 21
penulis dalam "Orange Futures List"-sebuah daftar penulis muda yang patut
diperhitungkan, disusun oleh juri Orange Prize yang bergengsi. Kini dia menjadi
Writer in Residence di University of Toronto. Kunjungilah situs web Camilla Gibb
di www.camillagibb.ca.[] Sang surya melintas Jingga dari timur Arabia, melewati Laut Merah, menyeberangi
gugus gu nung berapi dan gurun pasir, lalu melintasi perbukitan hitam ke tanah
bersemak qat dan kopi di lembah subur yang mengelilingi kota kami yang
bertembok. Malam pergi mengekor kawanan hyena: mereka mendengar kedatangan
matahari sebagai denging menusuk yang tertangkap hanya oleh telinga mereka, dan
bunyi itu menghalau mereka, dengan bibir penuh darah dan rasa panik, pulang ke
gua. Dalam gelap mereka telah berpesta-pora di jalan-jalan rusak di kota: melahap
anjing lumpuh di gang, juga menjilati cangkang telur dan jeroan yang berserakan
di tanah. Warga kota sebenarnya tak punya makanan berlebih untuk dibuang-buang,
tetapi mereka pun tak boleh lalai memberi makan hyena. Jika membiarkan hyena
kelaparan, orang akan kehilangan peran mereka sebagai manusia di bumi liar ini,
dan mempertegang pertalian kencang yang mengikat makhluk-makhluk Tuhan.
Seratus tahun yang lalu, ketika gerbang kota masih ditutup pada malam hari-
kuncinya tersimpan aman di bawah kepala sang emir gila yang lelap-hyena adalah satu-satunya hewan
luar yang diperbolehkan masuk setelah hari gelap. Mereka merangkak melalui pintu
gorong-gorong menembus tembok tanah liat kota. Namun, gerbang kini sepenuhnya
terbuka lebar dan ini telah berlangsung selama puluhan tahun, sebuah simbol
serangan sejarah terhadap pos terdepan Muslim, kota para wali dan ulama yang
didirikan oleh bangsa Arab penyebar Islam ke Abisinia pada abad kesembilan,
bekas ibu kota sebuah emirat yang pernah menguasai wilayah ratusan kilometer.
Namun, meskipun menggugah rasa ngeri, jika ada hyena mati, orang berharap hyena
itu mati di depan pintunya. Dengan mencabuti alisnya dan membuatnya menjadi
gelang, orang merasa yakin terlindung dari buda, mata jahat. Memang terpaksa
menanggung ketidaknyamanan harus melangkahi bangkai seram yang terpanggang
seharian oleh matahari Afrika, tetapi orang boleh yakin bahwa keesokan paginya,
berkat hyena yang tak segan bersikap kanibal, jalan akan kembali bersih
dijilati. Pada awal setiap hari, jerit sengsara anak-anak liar ini semakin sayup dengan
kian riuhnya burung yang cekcok di pepohonan delima dan limau di taman-taman
kota. Lalu terdengar azan: memanggil penduduk kota yang lelap dengan curahan
pujian kepada Allah Yang Mahakuasa. Ada sembilan puluh sembilan muazin di dalam
tembok kota kecil ini-sembilan puluh sembilan muazin untuk sembilan puluh
sembilan masjid. Diperlukan titik permulaan
azan bagi seratus kurang satu muazin hingga menciptakan bunyi unik dan serentak
yang didengar sebagai keilahian di Harar.
Bagian Kesatu London, Inggris 1981-1985
fada suatu malam yang basah di Inggris semasa kepemimpinan Thatcher, sebuah
mukjizat dilahirkan ke jalan penuh lubang di belakang sebuah gedung tua yang
dulu dikenal sebagai Rumah Sakit Lambeth. Empat perempuan, yang berdiri diapit
oleh tong sampah penyok, menengadah ke langit Inggris yang rendah dan bersyukur
kepada Allah atas tanda rahmat-Nya. Dua perempuan menjerit, seorang anak lelaki,
yang pemalu dan lelah, membenamkan wajah di leher ibunya, dan seorang bayi
dengan tahi lalat berbentuk-benua tersengal-sengal. Tangisnya pecah dan terkesan
tanpa malu-malu, dan dengan tangisan itu, seolah dia mengatakan bahwa kami semua
telah tiba di Inggris. Sebelum ini, tak ada dari kami yang cukup berani untuk
berlaku begitu lancang. Aku salah seorang di antara empat perempuan itu. Aku menjalani pelatihan di
gedung terkutuk ini, tempat yang seperti mimpi buruk gotik, bekas
1 Jaringan Bekas Luka rumah-kerja di tempat orang miskin terkurung dan dipilah-pilah-lelaki dari
perempuan, yang tua dan jompo dari yang bertubuh sehat, yang bertubuh sehat dan
baik dari yang bertubuh sehat dan jahat-setiap orang dipaksa memecahkan batu
sesuai target harian untuk mendapatkan upah. Di sebelah gedung kami, terdapat
sebuah rumah sakit tua, yang dulu memiliki Daftar Orang Gila sendiri, termasuk
seorang perempuan bernama Hannah Chaplin, yang tinggal di sana bersama putranya
Charlie yang berusia tujuh tahun, didiagnosis mengidap psikosis akut akibat
penyakit raja singa, sekitar delapan puluh tahun yang lalu.
Namun, aku bukan bagian sejarah ini, meskipun aku pernah masuk ke dalam gedung
ini. Di tempat-tempat yang pernah kudiami, orang tua dan orang jompo dan orang
gila tidak dipisahkan dari kami. Mereka bagian dari kami. Aku bukan bagian
sejarah ini, tetapi semasa kecil aku pernah juga menonton film bioskop Charlie
Chaplin di Tangier yang ruangannya penuh dengan asap rokok. Aku duduk bersila di
antara orangtuaku di bangku kayu dengan permadani bermotif kulit kacang di bawah
kaki, sementara penonton tertawa menggelegar, dipersatukan oleh ungkapan bahasa
tubuh tanpa ucapan kata. Luar biasa bahwa humor bisa dilahirkan di tempat ini. Gedung ini kini dianggap
tidak layak pakai, sudah dijadwalkan untuk dihancurkan, dan aku kini bekerja di
South Western, sebuah rumah sakit yang terutama melayani kaum miskin dari rumah
susun bermasalah di daerah sekitarnya: orang sakit jiwa, pencandu narkoba,
pengangguran berkulit putih, pemohon suaka dan pengungsi dan imigran Karibia-
Afrika dan Asia, yang gelombang terakhirnya membanjir dari daerah-daerah
tercabik Afrika Timur, terutama Eritrea dan Sudan.
Sebagian besar orang yang berhak ini menghindari rumah sakit, karena mereka
terkesima atau bisa jadi malah takut pada petugas dan lembaga negara-petugas
bea, polisi, pegawai negeri sipil, pengacara, pekerja sosial, dan dokter-yang
memiliki raut yang tak terbaca dan formulir yang tak terbaca pula. Aku tahu ini,
karena orang-orang ini tetanggaku. Aku bertemu dengan mereka di lift, di tempat
cuci pakaian, di lorong beton temaram gedung-gedung tinggi di Cotton Gardens
Estate. Aku sudah tinggal di flat-dewan satu-kamar di lantai empat belas di
salah satu gedung ini sejak musim gugur 1974-kompensasi bagi cara kedatanganku.
Wajah kulit putihku dan seragam putihku membuatku tampak seperti pemegang
wewenang di dunia baru ini, tetapi pengalamanku, seperti yang segera diketahui
oleh tetanggaku, berakar di dunia lama. Aku muslimah berkulit putih yang tumbuh
di Afrika, yang kini bekerja di Layanan Kesehatan Nasional. Aku berada di
tengah-tengah, di antara apa yang mereka kenal dan apa yang mereka takuti, di
antara masa lalu dan masa depan, yang tidak benar-benar masa kini. Aku dapat
menerjemahkan formulir untuk mereka sebelum berlutut dan
bersujud di lantai yang sama. Linoleum, beton, karpet pabrik. Lima kali sehari,
di mana pun kami berada, sebesar apa keraguan kami akan diri kami dan dunia di
sekeliling kami. Dulu aku bukan muslimah, tetapi begitu aku dibimbing memasuki kekhusyukan shalat
dan misteri Al-Quran, sesuatu yang bergolak dalam diriku menjadi tenang.
Aku adalah putri dua orang pemberontak penyendiri yang bertemu di Trinity
College Dublin pada tahun 'SO-an: dua orang aneh yang ditarik oleh magnet
kekecewaan yang sama, ke dalam pelukan yang tak terlerai. Alice dan Philip
begitu yakin bahwa gabungan cinta, bahasa, dan kecerdasan yang mereka miliki
telah cukup untuk mengarungi dunia, sehingga mereka mengambil cuti dari kuliah
dan kewajiban-cuti yang berlanjut selama sisa hidup mereka-berangkat dengan
berjalan kaki, bersama diriku yang hanya sebutir telur dalam perut ibuku.
Pengelana, begitu ayahku menyebut kami, meskipun pengembaraan kami tak memiliki
pola musiman. Aku dilahirkan di Yugoslavia, disusui di Ukraina, disapih di
Corsica, dilepaskan dari popok di Sisilia, dan sudah bisa berjalan saat kami
sampai di Al-Gharb. Saat baru saja aku merasa nyaman berbahasa Prancis, kami
pindah ke Spanyol. Ketika aku mulai memiliki sahabat baru, dunia kembali
dipenuhi orang asing. Hingga Afrika, hidup adalah serangkaian percakapan yang
terpenggal, hubungan yang terputus begitu dimulai.
Ada pola umum dalam pidato keberangkatan. "Kalau kita menancapkan akar, akar itu
akan mulai tumbuh. Kau mengerti maksudku?" ayahku biasa berkata, sambil menyikut
tulang igaku. "Tapi kenapa itu jelek?" aku ingat diriku bertanya seraya kami bergoyang dan
berayun menuju Lagi-Lagi Tujuan yang Tak Dipahami.
"Itu hanya membuat perjalanan di antara dua tempat terlalu menyakitkan. Yang
paling penting itu perjalanannya. Sebaiknya kita tidak merusak perjalanan dengan
merindukan apa yang kita tinggalkan dan mencemaskan apa yang kita tuju" adalah
jawaban standar ayahku. Bagi mereka, perjalanan itu berakhir di Afrika, sementara bagiku, perjalanan
baru saja dimulai. Setelah beberapa bulan di Tangier, tempat aku bermain-main di
jalanan medina sementara mereka berbaring-baring telanjang dalam udara panas tak
tertahankan di kamar kami di sebuah hotel bobrok, kami bergerak ke selatan, ke
tempat keramat sufi Bilal Al-Habash di tepi Gurun Sahara di Maroko. Tempat itu
diusulkan teman-teman mereka di Tangier: sang wali dikenal dapat memberkati
perempuan hamil dan kandungannya. Ibuku keguguran tahun sebelumnya, dan kali ini
dia mau mencoba apa pun, salep atau ramuan atau pemberkatan apa pun yang mungkin
bisa menjamin bahwa kandungannya kali ini sehat hingga dilahirkan.
Murid wali tersebut, Abdal Akbar, mulanya menerima kami dengan sedikit ragu,
tetapi melunak setelah meletakkan tangannya di perut ibuku.
Terlambat: bayi itu tak bergerak. Ibuku berpaling, semakin tenggelam dalam
kekecewaan, dan aku selalu merasa bahwa, entah bagaimana, dia menya-lahkanku,
seolah-olah aku telah merampas kemampuannya melahirkan lagi. Beberapa minggu
kemudian, orangtuaku memberi tahuku bahwa mereka ada urusan yang perlu
dibereskan di Tangier, dan mereka meminta tolong Abdal Akbar untuk mengasuhku
akhir pekan itu. Hanya tiga hari.
Aku sudah terbiasa diasuh orang asing, dan Abdal Akbar tampaknya bersemangat
memanfaatkan ketidakhadiran orangtuaku sebagai kesempatan untuk memperkenalkan
Al-Quran kepadaku. Aku sudah menunjukkan keingintahuanku pada buku besarnya yang
berwarna hijau-emas itu dan para sufi berjubah wol yang bergumam dan berayun di
halaman sekitar zawiyah. Sejak dulu aku iri pada anak-anak sekolah, jadi aku
menyambut baik pelajaran dari Abdal Akbar. Ayahku pernah membelikan buku tulis
untukku di Tangier, dan beberapa halamannya sudah kuisi dengan kata-kata Arab
Lily Pencarian Cinta Gadis Eropa Karya Camilla Gibb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
yang kupelajari di jalanan medina. Aku membuka halaman baru untuk kata-kata dari
Al-Quran. Tiga hari menjadi tiga minggu, kecemasanku sedikit terlipur oleh pengulangan
kata-kata baru, sebelum tibanya seorang teman orangtuaku dari Tangier. Muhammed
Bruce Mahmoud adalah mualaf Inggris yang berbadan besar, berjanggut putih dan
bermata hijau-ganggang, yang telah berpuluh-puluh tahun tinggal di Afrika Utara.
Kami sering melewatkan malam bersamanya di kafe kaki lima yang
terang-benderang ataupun bar yang temaram.
Dia tidak menghaluskan kata-kata seperti yang biasa dilakukan orang kepada anak
delapan tahun, meskipun dia tetap merasa bertanggung jawab sebagai penyampai
berita. Orangtuaku tewas di sebuah gang di kota. Dia tidak menyebutkan bagaimana
atau mengapa. Dia dan Abdal Akbar berunding dan memutuskan bahwa pilihan terbaik
adalah aku tetap tinggal di zawiyah daripada kembali ke kota. Aku tak punya
rumah tempat pulang-tak ada kerabat yang kutahu, tak ada orang Inggris yang
kukenal. Abdal Akbar akan menjadi guruku, pembimbingku, ayahku dalam makna
spiritual maupun duniawi. Muhammed Bruce akan menjadi orangtua waliku,
mengunjungiku secara berkala dan menanggung biaya hidupku. Kemudian aku cukup
lama merasa hampa dan terhantui, sementara mereka bekerja keras bersama-sama
untuk mengisi kehampaan dan menggantikan rasa ngeri itu dengan kasih dan Islam.
Maka, bagiku, kedua hal itu sejak awal adalah satu.
Iman telah menemaniku dalam menempuh waktu, geografi, dan pergolakan. Dari
Maroko, ke Etiopia, ke Inggris. Iman yang kini mengikatku dengan para tetangga
Muslimku, di negara yang dianggap orangtuaku-meskipun disebut sebagai tempat
yang gelap dan menekan; ketika matahari tak pernah bersinar, dan bangsa Inggris
(bangsa ayahku) membenci bangsa Irlandia (bangsa ibuku)-sebagai kampung halaman.
Di negara ini yang mereka sebut sebagai kampung halaman, aku menjadi perawat dan
mulai, cukup awal dalam karierku, membawa pulang pekerjaanku ke rumah susun,
untuk memberikan suntikan tetanus, mengobati kutu rambut, menjahit luka,
membagikan pereda rasa sakit, dan menasihati para istri di sofa ruang dudukku
pada jam kosongku. Aku memeluk anak-anak tetanggaku, mendengarkan kisah mereka,
merenung dalam kebisuan mereka, dan, dalam kasus-kasus yang paling serius,
mendesak mereka datang ke rumah sakit, menemani mereka ke sana: lelaki yang
retak tulang dan turun berok, perempuan yang kehilangan banyak darah akibat
aborsi yang gagal, bahkan seorang bocah malang yang kehilangan ujung penisnya
saat orangtuanya bertengkar apakah dia semestinya disunat atau tidak.
Sejujurnya, aku tidak memiliki izin untuk melakukan sebagian hal-hal yang
kulakukan, tetapi kebutuhan itu ada, baik bagi mereka maupun bagiku. Mengobati
tetanggaku serasa memulihkan kemanusiaanku setelah hari-hari steril yang
kulewatkan dengan berkeliling menyuntikkan morfin kepada orang-orang yang
kesakitan, hari-hari ketika "merawat" terasa seperti eufemisme bagi eutanasia.
Aku jelas tidak memiliki izin untuk membidani kelahiran, tetapi ketika aku
berlari hujan-hujanan menuruni jalan-jalan Februari yang gelap, mengikuti kedua
perempuan Eritrea dari gedungku, yang datang menjemputku pada malam mujur pada
1981 itu, bayi Amina sudah akan lahir.
Dua penjemputku itu lantas menunjuk seorang
perempuan Etiopia, yang berjongkok di bawah naungan gorong-gorong. Sudah
terlambat kalau dia mau dipindahkan. Aku mengarahkan dagunya ke cahaya. Wajahnya
tertekuk kesakitan: pembuluh darah di matanya pecah, bibir bawahnya, yang
bergetar dengan doa, berdekik akibat gigitan, dan keringat menuruni pipinya.
Namun, meskipun tubuhnya tegang, dia tidak bersuara lebih keras daripada hujan
yang mengetuk lembut pada gorong-gorong di atas kepala kami. Seorang anak lelaki
yang terbeliak berdiri di samping perempuan itu, tangannya tenggelam dalam
rambut ibunya. Salah seorang perempuan Eritrea melepaskan jilbab yang dikenakannya, mengusap
kening berkerut perempuan malang itu dengan satu sudut, lalu menggunakan
jilbabnya untuk memayungi perempuan yang berjongkok di trotoar ini. Perempuan
Eritrea satunya bergerak untuk memijat perut perempuan itu, tetapi aku segera
menahannya dengan tangan.
"Dia tak memerlukan bantuan," bisikku.
Dan memang tidak. Aku meletakkan tangan di bawah rok lebar perempuan itu,
sementara dia menggigit selendang untuk meredam jeritan. Punggungnya melengkung
akibat lonjakan rasa nyeri, dan seonggok bayi perempuan berambut hitam pun
meluncur keluar. "Alhamdulillah!" kedua perempuan Eritrea itu berseru.
Tiga kilogram, tebakku, seraya mengangkat anak itu di depan wajah ibunya.
Sepuluh jari tangan dan sepuluh jari kaki dan satu tahi lalat besar di pipinya.
Aku memotong tali ari-ari dengan pisau cukur yang kubawa bersama handuk dan
sebotol alkohol gosok. Aku sempat khawatir bahwa aku harus menggunakan pisau itu
untuk hal lain. Andai perempuan itu pernah mengalami infibulasi, penjahitan
labia mayor untuk menutupi vagina, bayi itu mungkin terancam bahaya, bahkan
mungkin saja sudah kehabisan napas saat kami memindahkannya ke ruang operasi.
Jika demikian, aku tentu harus menyayat jaringan bekas luka di situ untuk
membuka saluran kelahiran, dengan risiko mencederai si bayi, dengan risiko
perempuan itu mengalami perdarahan atau syok. Namun, kami beruntung; dia hanya
pernah disunat kecil: klitoris dan labia minor.
Amina menggendong bayi itu dan menyentuh pipinya dengan takjub. "Masya Allah,"
tangisnya, air matanya kini mengikuti jalur keringatnya. "Afrika!" serunya,
mengikuti garis tepi tahi lalat itu dengan jarinya.
Bentuk tahi lalat itu memang mirip dengan benua tersebut. Kami sepakat
menyebutnya mukjizat, meskipun sejujurnya, tahi lalat itu memiliki ekor, yang
membuatnya lebih mirip dengan Amerika Selatan. Tetapi, memang demikianlah
mukjizat: persepsilah yang menjadikannya mukjizat, bukan fakta.
nendang l^jitta melewatkan beberapa minggu pertama hidupnya di kamar tidurku. Menurut
adat, ibu dan bayi harus beristirahat untuk ulma-masa pingit setelah persalinan-
si bayi melahap susu, si ibu melahap madu, keduanya tersembunyi dari panas dan
lalat dan mata jahat. Di sini tidak terlalu panas dan tidak terlalu banyak
lalat, tetapi Amina tetap menjalani ulma karena mata jahat ada di mana-mana.
Bahkan di Inggris. Kami menyampirkan kelambu dari langit-langit untuk menutupi tempat tidurku, yang
akan digunakan ibu dan bayi itu selama empat puluh hari. Kedua perempuan Eritrea
memenuhi permintaan Amina dan mengubur plasenta bayi itu di dasar pohon di taman
terdekat. Aku bertanya-tanya berapa banyak plasenta yang dikubur di Kennington
Park; berapa banyak neo-Nazi mabuk yang tertidur di bawah pohon-pohon di sana,
dan apakah mereka mendapat mimpi yang mengubah hidup saat mereka tidur.
Kami menjejerkan bantal di sepanjang dinding ruang dudukku untuk menyambut para
tetangga perempuan yang datang menjenguk Amina dan bayinya. Selama berminggu-
minggu, flat itu dibanjiri aroma pisang matang, bawang putih, dan dupa yang
membara di atas kertas aluminium yang dipegang di atas api kompor gas di
dapurku. Seluruh ruangan berdengung dengan lagu spontan, doa berkala, dan
obrolan tak putus di antara kaum perempuan yang mengambil alih peran sebagai
teman dan kerabat Amina. Masih belum banyak orang Etiopia lain di London-
setidaknya, hampir tak ada yang tinggal di rumah susun ini-tetapi dengan bantuan
perempuan Eritrea dan Sudan, dan teman-teman Muslim lainnya seperti Mrs.
Jahangir dari ujung lorong, kami berhasil menjadikan masa ini terasa seperti
ulma sungguhan. Amina meninggalkan perkemahan pengungsi di Kenya dan pindah ke kamar penginapan
di Brixton yang begitu penuh sesak sehingga perempuan di sana harus tidur
bergiliran. Suaminya, sejauh pengetahuannya, dipenjarakan di suatu tempat di
Etiopia Selatan. Aku menawarinya semacam jembatan, tetapi kehadirannya di
flatku, tubuh dan jiwanya yang bersujud dan shalat di sampingku, memberiku jalan
untuk kembali ke kehidupan yang telah kutinggalkan. Untuk pertama kalinya
setelah bertahun-tahun, aku merasa seperti bagian dari sesuatu. Untuk pertama
kalinya setelah bertahun-tahun, aku merasa bahagia.
Aku menjalani tujuh tahun yang berat di sini
sebelum kedatangan Amina, yang pada masa itu aku bahkan tak berani mengambil
risiko mengirim surat. Siapa pun yang menerima surat itu bisa didakwa, jika
tidak atas hubungannya denganku secara khusus, maka atas keterkaitannya dengan
Barat secara umum. Aku merasa bersalah untuk hal yang khusus itu dan menanggung
beban-bersama untuk hal yang umum itu. Aku sering bertanya kepada semua orang,
berharap beban itu terangkat. Setiap kali aku memperkenalkan diri kepada
tetangga baru atau pasien yang kuduga orang Etiopia, aku melihat wajah mereka
melunak, rasa tidak percaya digantikan rasa ragu ketika mereka mendengarkan si
perempuan kulit putih yang berbahasa Semit dan beraksen aneh ini mengungkapkan
keping-keping sejarah Etiopia. Aku mengundang mereka minum kopi, mencekoki
mereka dengan kafeina sebelum bertanya: Apakah kamu pernah kenal dengan seorang
dokter" Di perkemahan pengungsi" Dr. Aziz Abdulnasser dari Harar"
Pada hari kedelapan ulma, ketika aku menggendong bayi Amina yang mengenakan
pakaian pantas pakai sumbangan tetangga perempuan, mau tak mau aku bertanya-
tanya. Tak ada sepatah kabar pun selama tujuh tahun, tak ada satu tanda pun,
namun aku tetap berhasil melestarikan khayalan tentang masa depan kami bersama.
Tetapi, realitas mukjizat akan seorang bayi bermata belo dan berkulit warna
karamel ini merengkuhku. Inilah masa depan, hidup dan menendang-nendang dalam
gendonganku. Pada hari sebelum perayaan penamaan, tetangga Bangladesh kami, Mr. Jahangir,
pergi mencari daging kambing. Tradisi mengharuskan kunjungan ke tempat keramat
pada hari kedelapan ulma dan mengorbankan kambing saat pulang. Di sini kami
terpaksa berimprovisasi, seperti dalam banyak hal lain. Mr. Jahangir mendorong
koper beroda istrinya ke Brixton Market dan bertengkar dengan para perempuan
Jamaika yang tak mau membeberkan sumber mereka. Lalu, demikian dia bercerita,
mereka menuntut "uang yang serakah" untuk sisa daging yang biasanya mereka
bungkus dalam roti bekal mereka.
"Tapi aku bukan orang tolol!" kata Mr. Jahangir yang berdiri di ambang pintu
flatku, menggelengkan kepala, tangannya menggenggam pegangan koper bermotif
kotak-kotak itu. Aku menunggu akhir cerita, di mana si lelaki Bangladesh yang baik selalu menang.
Demikianlah semua cerita yang dikisahkan oleh kaum lelaki imigran: pertempuran
yang diakhiri kemenangan, karena dalam konteks hidup yang lebih besar, mereka
merasa tak berdaya (dan perasaan itu beralasan).
"Bolak-balik, bolak-balik, aku bermain dengan mereka," kata Mr. J, sambil
menggambar-gambar lingkaran di udara, "lalu persis ketika mereka menyangka telah
mengalahkanku, aku mengeluarkan kartu truf!" serunya, seluruh tubuhnya ibarat
tanda seru saat dia berjinjit dan berhenti berbicara agar dramatis.
"Apa kartu truf itu, Mr. Jahangir?" tanyaku.
Dia lalu menyusut, memasang postur tersipu-sipu. "Yah, aku berkata: 'Oh, ibu-ibu
yang baik, mungkin tadi aku memberi kesan yang salah. Daging ini bukan untuk
kumakan sendiri, tidak, ini untuk teman-teman Etiopiaku yang baik, bangsa cantik
yang mencintai Kaisar Haile Selassie yang agung."
'"Jah Rastafari!' seru mereka, seakan-akan tuhan mereka baru saja memasuki
ruangam. 'Diber-katilah dia yang datang atas nama Jah-ambil, ambil daging ini
untuk teman-temanmu, saudaraku.'"
"Kamu mengerti" Dari uang banyak yang serakah, menjadi ambil, ambil. Mengenal
sejarah memang bermanfaat. Untungnya aku orang berpendidikan!"
Keesokan paginya Mrs. Jahangir membantuku membuat sup. Kami berdiri
berdampingan, menggoreng bawang putih dan bawang bombai dalam mentega ghee, dan
memperdebatkan bumbu masak.
"Tapi ini sup wat, Mrs. J, bukan kari," aku bersikeras sambil mengganti biji
moster di tangannya dengan biji kelabat. "Tidak lebih baik, atau lebih buruk,
berbeda saja. Tolong."
"Ya, ya, oke," akhirnya dia menyerah sambil melambaikan serbet kepadaku. "Biar
kubuatkan wat-mu yang bau itu."
Aku mencium pipinya. Aku mendengar gemeretak biji moster begitu aku berbalik.
i Rasta, atau gerakan Rastafari adalah agama asli Jamaika yang mengakui Haile
Selassie, kaisar Etiopia, sebagai penjelmaan Tuhan, bagian dari Trinitas, Mesias
yang dijanjikan Alkitab. Amina duduk di tempat tidur di balik kelambu, mengucapkan terima kasih kepada
setiap perempuan yang berbaris masuk ke kamar, atas kedatangan mereka. Dia
berbincang dengan sopan, mengomentari kemujurannya, berbasa-basi dalam bahasa
Arab dan Inggris, bahasa agama dan bahasa pengasingan yang dikuasai semua
perempuan itu. Namun, meskipun tersenyum, dia berjarak. Aku bertanya-tanya
bagaimana perasaannya: selain putranya, Ahmed, dia baru delapan hari mengenal
kami. Setelah semua orang datang dan berjejalan di kamar tidurku yang kecil, aku
menanyakan nama bayi itu kepada Amina. Dia menoleh kepada putranya, yang,
meskipun baru berusia empat tahun, sekarang adalah kepala keluarga (demikian
para perempuan Eritrea menggoda anak itu, dan hanya setengah bergurau).
"Obboleetii," bisik anak itu malu-malu.
"Sister?" tanyaku, tak yakin aku mendengarnya dengan tepat. Adik perempuan"
"Sitta?" dia mengulang, dengan nada persis, melontarkan kata Inggris pertamanya
dalam bentuk pertanyaan. Semua orang terbahak dan bertepuk tangan, dan Ahmed
membenamkan wajahnya di pangkuan ibunya.
* Setelah hari penamaan, sikap formal Amina mulai melonggar. Sepulang kerja setiap
hari, aku membuatkan teh dan duduk di ujung tempat tidur, sementara Amina
menyusui Sitta dan Ahmed menatap lekat-lekat, matanya serupa jendela yang
terbuka lebar, melahap semuanya-sinar matahari, cuaca yang kejam, burung-burung-
sementara kami mengobrol.
Bahasa Inggris Amina lancar; dia bercerita bahwa dulu dia mengajarkannya kepada
pekerja Palang Merah di Etiopia. Dia berbicara dengan nada datar tentang keadaan
yang memaksanya hengkang. Suaminya dikaitkan dengan Front Pembebasan Oromo,
gerakan bawah tanah yang dianggap pemerintahan diktator sebagai penentang
revolusi. Semua bangsa Oromo di kampus pertanian tempat dia mengajar
dipenjarakan di rumah masing-masing. Satu demi satu mereka dibawa untuk
diinterogasi; satu demi satu mereka menghilang.
"Hanya tersisa dua perasaan di Etiopia sekarang: takut dan paranoia," kata
Amina, membicarakan kengerian yang telah melanda negara itu sejak Haile Selassie
digulingkan pada 1974. Surat kabar melaporkan bahwa sang kaisar mangkat akibat
kanker prostat tahun berikutnya, meskipun tak ada yang percaya bahwa dia benar-
benar meninggal secara alamiah. Ada desas-desus bahwa dia dibekap dengan bantal
penuh eter pada waktu operasi yang sebenarnya sukses. Kami merasa kami tak akan
pernah tahu kejadian sebenarnya.
Amina memberiku cerita tangan-pertama tentang kekerasan yang hanya kulihat
sekilas sejak Mengistu berkuasa. "Orang-orang diseret dari rumah dan ditembaki
di jalan di depan keluarga mereka.
Atau dibariskan di alun-alun kota-ya, bahkan di Harar-dan dalam waktu yang lebih
pendek daripada ucapan doa, tanah diliputi warna merah." Qey Shibir, itu sebutan
mereka, tanpa penghalusan atau penyesalan-Teror Merah.
Dan mereka yang sekadar dikirim ke penjara" Aku pernah melihat laporan dari
organisasi Amnesty dan Human Rights Watch: saat itu hampir satu dari lima belas
orang Etiopia sudah dipenjarakan, dan penjara terkenal sebagai rumah penyiksaan
tempat lelaki digantung dari buah zakarnya dan perempuan diperkosa dan disodomi
dengan tongkat panas membara demi mengorek "pengakuan".
Aku tak pernah lagi melihat foto dia. Aku tak tahan membayangkan apa yang
mungkin terjadi. Pada hari keempat puluh, kami membuat bubur sorgum kental dan menggendong Sitta
ke luar, lalu menghujaninya dengan kelopak mawar di bawah langit Inggris yang
muram. Inilah akhir ulma, dan dua minggu lagi Amina akan memiliki flat dua-kamar
sendiri di gedung ini. Bangsa Etiopia tiba-tiba melompat ke depan antrean
perumahan. Inilah awal dasawarsa pengungsi Etiopia.
Pada malam sebelum dia pindah, aku menggeledah laci-laci di dapurku, berusaha
mencari satu setel pisau yang serasi untuknya. Amina duduk di meja dapur dan
menuangkan teh untuk kami, masing-masing secangkir. Dia berbicara di belakang
punggungku, bertanya mengapa aku begitu baik
kepadanya beberapa minggu ini.
Aku tertarik pada Amina karena kesamaan di antara kami. Tak hanya dia berasal
dari Harar, tetapi usia kami sama-saat itu kami 27 tahun, digabung menjadi 54
tahun kehidupan yang terbentang di kanvas Afrika, satu tepinya tersemat
selamanya pada tembok Kota Etiopia yang mengelilingi hidup kami, satu tepi lagi
mengepak-ngepak lepas di atas permadani warna-warni London. Satu sisi melekat
selamanya, meskipun hanya dalam khayalan kami.
Aku perlahan-lahan menarik kursi lain dan duduk di hadapannya. Aku mengambil
cangkir teh dengan kedua tangan, meletakkan siku di meja, dan menghela napas.
"Karena kamu mengingatkanku pada orang-orang ... orang-orang yang kucintai,"
akhirnya aku berkata. "Dan tak seorang pun dari mereka ada di sini."
Dia memajukan tubuh dan mengusap air mata dari pipiku dengan jempolnya. Lalu
dia, yang belum pernah menangis sejak hari putrinya lahir, mengambil persediaan
tisu dan menyerahkannya kepadaku.
"Mungkin mereka akan datang," katanya sambil tersenyum lembut.
S'**3 duduk di pangkuanku, sibuk memutar-mutar jepit kertas di telingaku
Lily Pencarian Cinta Gadis Eropa Karya Camilla Gibb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
sementara aku mengisi amplop. Meskipun dia menjerit tanpa malu-malu saat lahir,
kini, di usia empat tahun, dia sangat pemalu. Mungkin dia akan meninggalkan
sifat ini-Ahmed sudah tidak pemalu lagi-tetapi mungkin kami sendiri yang salah
karena terlalu melibatkannya. Setiap Sabtu pagi dia duduk di sini bersama kami
di kantor asosiasi komunitas, menyaksikan suasana tempat ini yang berubah-ubah
dengan liar. Membuka surat atau menjawab telepon ibarat lotre, mungkin sama-sama
menimbulkan kebahagiaan atau memicu amarah.
Aku sering bertanya-tanya apakah adil memaparkan semua ini kepadanya, tetapi
Amina bersikeras: anak-anaknya harus tahu sejarah mereka, bahkan bagian sejarah
yang menyakitkan. "Dia boleh bermain dengan boneka dan lilin malam," kata Amina,
"asalkan dia tahu asal usulnya."
Asal usul anak itu sedang mengalami salah satu masa terkelam dalam sejarahnya,
dan itu tertera pada wajah semua orang dalam arus deras warga yang memasuki pintu kantor ini,
mencari kabar keluarga mereka dan meminta bantuan dalam hal perumahan,
pendaftaran suaka, pekerjaan, bahasa Inggris.
Sulit mengetahui seberapa banyak yang dipahami Sitta. Yang tak mungkin dia
ketahui adalah bahwa dulu Etiopia tidak seperti ini, bahwa pernah ada masa yang
lebih bahagia. Sementara Sitta duduk di pangkuanku, kakaknya berada di madrasah, mempelajari
Al-Quran bersama-sama anak Iran dan Pakistan di ruang belakang gereja yang
berhias adegan dari Alkitab.
Amina berdiri di belakangku, dengan ceria mengguncang biji kopi dalam piring
kaleng di atas pembakar bunsen yang bertengger di atas lemari arsip. Tadi pagi
kami mendapat telepon dari seseorang kenalan Amina di perkemahan pengungsi di
Kenya. Lelaki itu ingat pada putra Amina dan menanyakannya. Meskipun berita dari
lelaki itu tidak semuanya baik, tetap saja itu berita, dan di tempat yang langka
informasi, ini saja kadang menimbulkan kebahagiaan.
"Apa menurutmu Ahmed masih ingat pada perkemahan?" tanyaku kepadanya.
"Aku tak tahu," jawabnya. "Kurasa dia punya kesan. Tapi belum bisa
mengungkapkannya dalam bentuk kata-kata. Dalam pertanyaan."
Amina menyalakan dupa dan melambaikannya di satu tangan sambil menyanyikan lagu
dengan lirik singkat tapi ampuh. Biji kopi itu berasap dan berde -
guk, berubah dari hijau menjadi cokelat, mengubah ruangan pengap tanpa jendela
ini, di lantai dasar sebuah rumah di daerah kumuh London, menjadi dunia yang
lebih mudah dipahami. Dunia akrab di mana aroma kopi mempererat kaum perempuan,
panggilan aroma ke seluruh lingkungan, memikat perempuan keluar dari rumah untuk
berkumpul, mengobrol, memecahkan misteri dan kesengsaraan dalam alam semesta,
atau setidaknya dalam kehidupan rumah tangga mereka.
* Aku dan Amina mulai membicarakan organisasi ini pada 1982; kami merasa bahwa
kantor ini semakin dibutuhkan di London, di mana orang dapat bertukar nama,
dengan harapan menemukan anggota keluarga. Namun, meskipun kami sering
membicarakannya, kami tidak bertindak. Kami berdalih, itu karena kami terlalu
sibuk: kehidupan sehari-hari menjerat dengan berbagai tuntutannya. Kami saling
menawarkan sedikit kelegaan dalam hal ini: setiap hari Minggu kami memasak
bersama, membuat roti injera untuk persediaan seminggu, dan menyiapkan serta
membekukan beberapa wadah wat. Aku sering mengasuh Sitta, dan aku selalu ada
untuk membantu mengerjakan PR, sementara Amina singgah di pasar untuk membeli
sayur segar dalam perjalanan pulang kerja dan sangat menyukai kegiatan
menyetrika (yang tak kupahami), kegemaran yang kudukung dengan cara mampir dalam
kemeja kusut. "Berikan itu padaku, Lilly," katanya sambil berdecak, menarik-narik lengan
bajuku. "Sungguh, kamu ini memalukan."
Aku pun membuka kancing bajuku dan dia berdecak lagi. "Aku tahu," kataku sambil
memutar mata, "terlalu kurus."
Dia selalu menggodaku tentang hal ini. "Terlalu banyak merokok," tegurnya. "Dan
tidak cukup makan!" Dia menepuk perutnya sendiri dengan riang. Tubuhku ibarat
bisikan, sementara tubuhnya teriakan.
"Suamiku senang sekali pada ..." dia ragu, mencari-cari kata, "duba ini!"
"Labu," aku mengingatkannya.
"Ya, labuku!" Dia tertawa, dan menularkannya.
Aku dan Amina tinggal di flat yang terpisah, tetapi kami berbagi tanggung jawab
rumah tangga, termasuk anak-anak, saling menggoda, kadang bertengkar, dan
memperbandingkan penampilan kami yang sama sekali tidak mirip. Kami seperti
istri madu seorang lelaki saja, meskipun tak punya suami yang sama.
Kesamaan di antara kami berakar di masa lalu. Aku tumbuh di Maroko, di zawiyah
wali besar Etiopia, Bilal Al-Habash, sementara Amina tumbuh di luar tembok kota
kuno, tempat sang wali dilahirkan dan menjadi pelindungnya. Kami berdua sampai
di Harar: aku melalui ziarah pada usia enam belas tahun, Amina melalui asimilasi
pada usia yang sama. Bagi kami berdua, Harar menjadi rumah kami, tempat kami
akil balig, jatuh cinta, tempat yang terpaksa kami tinggalkan.
Semakin banyak yang kami ungkapkan selama beberapa tahun ini, semakin mudah pula
kami menganyam benang-benang putus itu. Kami memahami kehidupan kami dengan
membangunnya kembali sebagai kisah-kisah linear, yang membawa kami dari masa
kecil di Afrika ke jalanan London. Kehidupanku dimulai di Maroko, di bawah
bimbingan Abdal Akbar. Dia menunjukkan jalan Islam kepadaku, melalui Al-Quran
dan para wali dan penempuh jalan mistik yang senantiasa berkumpul di sekitarnya.
Meskipun dia dan Muhammed Bruce sepakat bahwa pendidikanku akan lebih ortodoks,
Abdal Akbar berharap bahwa suatu hari ajaran ini akan membimbingku ke dalam
dunia tasawuf yang lebih esoteris. Di antara para sufi yang tinggal di zawiyah,
aku menemukan sosok kakak dalam diri Hussein. Hussein-lah yang menemaniku hijrah
ke Harar, meskipun sesampainya di sana, perbedaan di antara kami menjadi tampak
jelas, perbedaan yang akhirnya akan menuntunku, sendirian, ke London.
Perjalanan Amina tak kurang luar biasanya. Dia anak bungsu seorang buruh tani
bangsa Oromo yang bekerja di perkebunan hijau di luar kota, dan satu-satunya
anggota keluarganya yang bersekolah. Ketika semua kakak lelakinya dipenjarakan
karena menyelundupkan senjata ke Sudan, ibunya mengambil uang yang gagal
ditemukan polisi, menjahitkan uang itu ke dalam kelim pakaian Amina, dan
mengirimkannya untuk tinggal bersama sepupu di kota. Amina pun terdidik dalam
cara-cara kota, meniru bahasa dan budaya bangsa Harari sebagaimana dilakukan banyak orang Oromo
lain, ingin menjadi orang Harari, karena menjadi Harari berarti menjadi
berbudaya dan kaya. Dia menemukan sosok yang sepemikiran dalam diri Yusuf,
menikah dengannya dan melahirkan anak lelaki, sebelum mereka bertiga terpaksa
kabur ke Kenya. Aku dan Amina tidak saling kenal di Harar, meskipun kami sama-sama berjuang
sebagai orang luar untuk meraih tempat di sana, dan sama-sama merasakan euforia
rasa damai saat memperoleh tempat itu, meskipun hanya sekilas. Kami sekarang
saling kenal, sebagai pengungsi setelah revolusi, kembali menjalani ritual,
melestarikan tradisi kampung halaman di flat kami.
Namun, ada beberapa utas benang yang menggantung lepas, keluar dari tempatnya.
Inilah kisah-kisah cinta. Hal terbaik yang bisa kami lakukan adalah menyimpulkan
benang ini di ujung, supaya tidak terurai lebih jauh. Sejujurnya, kurasa inilah
sebabnya kami menunda-nunda mendirikan organisasi ini. Bukan karena kami terlalu
sibuk, melainkan karena dalam beberapa hal, kami takut akan konsekuensi dari
kegiatan kami. Namun, lalu tibalah tahun 1984, tahun ketika setengah juta orang mati kelaparan
dan setengah juta lagi meninggalkan negara itu. Selama berminggu-minggu, Amina
dan beberapa orang Etiopia lain yang sudah tinggal di gedung saat itu berjejalan
setiap malam di flatku, dengan rasa ngeri menyaksikan pawai mayat hidup yang
sudah hampir hancur jadi debu merangkak di layar televisi. Kami muak pada diri kami sendiri karena
terpikat oleh tontonan pawai kematian ini. Kami benar-benar terpukau oleh
gerakan ini, yang semuanya menuju surga, karena neraka sudah tak ada lagi,
neraka sudah datang ke bumi.
Kami mendirikan asosiasi komunitas tahun itu, mengantisipasi arus masuk
pengungsi. Kami tahu akan ada ribuan-puluhan menjadi ratusan-orang yang
berpindah tempat, keluarga yang tercerai-berai. Mereka yang tidak mati tentu
tercerabut di Etiopia atau melewatkan waktu bertahun-tahun di perkemahan
pengungsi di Somalia, Djibouti, Kenya, dan Sudan. Namun, bukan orang-orang ini
yang akan sampai ke Roma atau London. Yang kemari adalah orang kota, orang
berpendidikan, orang yang memiliki sarana untuk membayar penyelundup, agar bisa
sampai ke sini. Segelintir saja, kebanyakan lelaki, kebanyakan sendirian. Orang-
orang seperti Amina. Dari Dire Dawa ke Nairobi di belakang truk, dari Nairobi ke
London dengan pesawat terbang.
Kantor serupa telah didirikan di Roma setahun sebelumnya. Italia adalah titik
masuk ke Eropa bagi sebagian besar orang Etiopia. Mereka datang naik perahu atau
pesawat terbang; mereka datang secara ilegal atau membawa surat sebagai
pengungsi status-Konvensi yang diincar-incar. Bagaimanapun caranya mereka
datang, mereka tiba dengan emosi campur-aduk: penuh harap, patah semangat, lega,
kekurangan, dan takut. Dan bersalah. Rasa bersalah yang terus-menerus berbuih di
perut; magma di inti bumi. Setiap bulan kantor di Roma mengirimi kami daftar pendatang baru, dengan harapan
kami dapat mencocokkan mereka dengan keluarganya di London. Misi kami adalah
mempertemukan kembali keluarga. Kecocokan jarang terjadi karena komunitas kami
masih relatif kecil di sini, tetapi satu reuni antara kakak-beradik menjalarkan
api harapan dalam diri orang lain. Aku dan Amina memainkan peran kecil dalam
membangun kembali jika bukan keluarga, setidaknya semangat, dan setelah meninjau
setiap daftar, kami membuat salinannya untuk arsip kami dan meneruskan daftar
aslinya ke Amerika Utara, di mana akhirnya semakin banyak kecocokan yang
ditemukan. Pekerjaan kami tidak sealtruistis seperti yang terdengar. Kami masing-masing
mencari seseorang. Suami Amina, Yusuf. Temanku, Aziz. (Betapa lemahnya kata itu,
teman. Di Harari, dia adalah ku-day, "hatiku", dia bagaikan rrata, segumpal
daging yang terselip di antara gigiku, tetapi bahasa Inggris tak memungkinkan
kata seperti itu.) Setiap bulan kami berusaha tidak kelihatan berharap, tetapi kami berharap.
Setiap bulan kami berusaha tidak kelihatan kecewa, tetapi kami kecewa.
Sejujurnya, mempertemukan orang seperti yang kami lakukan ini terasa manis-
getir. Dan dengan berlalunya waktu, manis itu semakin getir. Membuat kami
tenggelam. Nama semakin tak bisa dibedakan, tak mungkin dipahami. Seperti sosok
dia: cara dia muncul di kaca jendela tua yang
bergelembung di pub, dalam kabut pagi yang enggan, bayangannya tak berbentuk dan
hanya sekilas. Harapan Amina-lah yang menjagaku tetap tegak, membuat segalanya tertahankan
manakala nama-nama itu tergelincir bagai air di sela-sela jariku. Dia
menempatkan ember di tanganku dan bersama-sama kami mulai lagi, mengambil nama
satu per satu. Kami membandingkan nama dari Roma dengan daftar nama anggota
keluarga yang kian tebal, dari semua orang yang melewati pintu kantor kecil kami
di London. Dalam setiap kasus, kami memulai dengan menggambar pohon keluarga. Ini perlu
karena orang Etiopia tidak memiliki nama keluarga-nama belakang mereka adalah
nama depan ayahnya. Amina Mergessa adalah putri Mergessa Largassom. Sitta adalah
Sitta Yusuf, sebagaimana Ahmed adalah Ahmed Yusuf, sebagaimana Hussein dan aku
mengambil nama Abdal. Kegiatan memetakan hubungan keluarga ini memiliki dampak yang dahsyat. Kami
menawarkan kopi dan kursi di seberang meja kami kepada setiap tamu baru.
Mengeluarkan lembar-lembar kertas A4 baru dan meletakkannya horizontal. Memulai
pertanyaan: tanggal lahir (hampir selalu perkiraan), tempat asal, latar suku.
Lalu mengorek nama dengan susah payah. Pertama-tama suami, istri, dan anak, lalu
dirunut ke belakang-kakak, adik, orangtua, kakek, nenek-dan ke samping-saudara
kakek-nenek, paman dan bibi, sepupu. Tanda tanya di samping nama orang yang
diyakini menghilang juga,
dan huruf kecil m yang tipis di samping nama orang yang telah meninggal.
Setelah selesai, kami memutar kertas itu. Sebagian besar dari mereka terdiam.
Mereka melihat nama mereka sendiri di tengah-tengah jaring yang rumit ini, dan
mereka tak lagi merasa terlalu sendirian atau tercerabut. Mereka memiliki
keluarga dan tempat sendiri, ini buktinya. Kami memberi mereka salinan untuk
dibawa. Untuk dilipat dan diselipkan di Al-Quran atau Alkitab, diletakkan di
bawah kasur di kamar yang dipenuhi kasur seragam di rumah singgah sementara,
direkatkan di cermin flat satu ruangan, atau ditempelkan di bagian dalam pintu
lemari dapur di flat mereka yang pertama.
Amina mendorongku menggambar keluargaku sendiri dengan cara ini, tetapi sekali
aku mencoba, kegiatan itu ternyata mengecilkan hati: peta itu mirip ladang yang
diseraki puing-puing. Di sisi kiri halaman aku meletakkan Abdal Akbar sebagai
ayah bagiku dan Hussein. Di sebelahnya, Muhammed Bruce Mahmoud. Aku menggambar
garis putus-putus melintasi kertas, seolah-olah menandai langkah kaki dari barat
ke timur melintasi Sahara. Di sisi kanan aku menuliskan "Nouria"-nama perempuan
Oromo miskin yang menampungku di Harar. Aku menghubungkan diriku dengannya pada
halaman itu sebagai kakak, begitu pula dengan sepupunya Gishta. Aku menuliskan
nama anak-anak Nouria di bawah namanya, sangat berharga bagiku, anak-anak yang
kusayangi dan kuajari. Namun, bagaimana dengan lelaki yang kucintai
itu" Aku tak mampu memikirkan cara untuk mencerminkan hubungan ini di atas
kertas. Aku membiarkan Aziz menggantung di tengah halaman, seolah-olah dia awan
tunggal yang mengambang di suatu tempat di atas gurun.
"Tunggu!" seru Amina sambil memungut pensil, begitu kulemparkan.
Aku mengamati, sementara dia menambahkan namanya sendiri di suatu tempat di
tengah halaman yang kosong.
"Madumu," katanya, "dan anak-anak madumu." Dia menambahkan nama Sitta dan Ahmed.
"Tapi tak setetes pun darah mengaitkan diriku dengan siapa pun," kataku.
Amina menghela napas. "Kadang-kadang kamu ini melelahkan. Lilly, sungguh. Oke,
jadi petamu bukan peta hubungan darah. Tapi tak bisakah kamu lihat" Ini peta
cinta." Aku dan Amina menyalin nama dari setiap pohon keluarga baru ke dalam map,
disusun menurut abjad nama depan. Mungkin suatu hari nanti kami akan punya
komputer, tetapi sekarang ini sumber daya kami terbatas; sebagian besar kegiatan
kami dilakukan dengan tangan dan kami mensyukuri hal-hal yang kami miliki.
Kantor ini, misalnya. Ini gudang makanan tua, lengkap dengan rak berlapis kertas
dari tahun 1920-an dan tumpukan ransum kaleng tersembunyi semasa perang. Di luar
pintu kayu yang reyot dan dipalang, Amina menanam bawang
bombai dan bawang putih di taman kecil yang dibuatnya di antara batu-batu bata
yang hampir runtuh. Gedung ini milik Mr. Jahangir, yang sangat sukses mengoperasikan toko sayur di
bagian depan gedung, sehingga dia mampu membeli seluruh gedung itu. Dia dan
istrinya pindah dari rumah susun ke flat lantai satu di gedung ini. Mereka
menawari kami ruangan ini di bagian belakang gedung, di belakang toko sayur,
tanpa syarat. Ini sebagian karena, kata Mr. Jahangir (dan hanya setengah
bergurau), berkat krisis di Etiopia-lah dia menjadi orang kaya.
Ketika Mrs. Jahangir pertama kali memperkenalkan Amina kepada toko sayur
suaminya, dia mengisi tangan Amina dengan bawang putih, jahe, dan cabai, serta
meletakkan kelabat di lidahnya. Amina, yang lidahnya telah ditumpulkan oleh
pasta dan kentang, gembira merasakan sensasi dalam mulutnya, tetapi ketika Mr. J
menawarinya sebutir mangga, wajah Amina membeku seolah-olah seluruh hidupnya
terkilas di depan matanya. Sambil menghirup aroma kulit mangga itu, dia
menangis. Setiap orang Etiopia yang datang ke perumahan ini telah menjalani ritual ini
dengan variasi tertentu. Pada umumnya penghuni jalan ini bersikap baik kepada kami. Mr. J menjual daging
halal, dan dua pintu dari situ adalah Salon Rambut Mecca, dengan ruangan
tertutup khusus di bagian belakang, tempat perempuan berjilbab dapat melepaskan
kerudung tanpa malu. Relawan menawarkan kelas Al-Quran di bagian belakang gereja
setiap hari Sabtu, dan meskipun Masjid Brixton, yang menarik kami untuk shalat
Jumat, hanya berjarak naik bus satu kali, Jasa Rujukan Pengungsi yang terletak
di ujung jalan menawarkan tempat shalat sehari-hari di lingkungan itu, dan
mengosongkan ruang resepsinya setiap senja untuk menerima lutut, kening, telapak
tangan, dan doa lelaki dan perempuan segala warna kulit.
Di sinilah kami meneguhkan kembali tempat kami di dunia. Tempat kami di mata
Allah. Suara shalat berjamaah-nada ketulusan, irama yang setegar dan sepenting
degup jantung-menyentuh hatiku dengan arahnya dan membuatku meyakini bahwa jarak
dapat ditempuh. Inilah satu-satunya hal yang menawariku harapan bahwa, saat
perbatasan dan peperangan dan revolusi memecah-belah dan mencerai-beraikan kami,
ada hal yang satu dan benar yang mempersatukan kami. Ia menjinakkan tanah
Inggris ini. Ada ruangan-ruangan lain yang diubah dengan cara seperti itu, perasaan yang
dibenarkan arahnya, di mana-mana di bumi. Aku tahu dari pengalamanku sendiri,
bahwa orang bisa memetakan ulang sebuah kota seperti ini, mengarahkan diri di
geografi yang aneh ini, menebarkan jejak remah roti di antara tempat-tempat
Lily Pencarian Cinta Gadis Eropa Karya Camilla Gibb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penanda yang menonjol-masjid, restoran, pasar, dan toko sayur-dan meredakan
kekuatan asing di ruang-ruang di antaranya. Kita bisa menemukan jalan. Kita
meraba-raba bahasa, menjelajahi kereta bawah tanah, mencukupkan
uang santunan yang ala kadarnya, menyesuaikan bahan makanan yang asing menjadi
hidangan yang akrab, dan menemukan orang-orang dari kampung halaman di antrean
kantor pemerintah, yang segera menyuntik semangat kita dengan kemungkinan yang
baru dan menghancurkan kita dengan kenangan tentang semua orang yang kita
tinggalkan. Sepuluh tahun yang lalu, orang Etiopia tak memiliki kata "diaspora", ataupun
emigrasi. Hanya ada kata ziarah, perjalanan dengan niat pulang yang tersirat-ke
Makkah atau makam keramat para wali Etiopia yang dicintai-tetapi gagasan
meninggalkan negeri sendiri, kecuali bagi segelintir orang berpendidikan yang
mengejar gelar lebih tinggi di luar negeri, tidak terjangkau pikiran. Suatu
pengkhianatan, bahkan. Amina adalah jangkar dalam komunitas kecil yang berkembang ini. Sementara orang
lain meratapi kerinduan mereka pada injera, Amina mulai membuat roti khas
Etiopia tersebut dengan jawawut alih-alih gandum teff. Kaum perempuan berterima
kasih atas resep darinya, meskipun injera tersebut tak memiliki kepahitannya
yang khas. Tetapi, akhirnya rasa tidaklah sepenting kreativitas. Amina menemukan
pedagang Yaman di Brixton yang menyelundupkan qat dari Djibouti dua kali
seminggu. Kaum lelaki riang-gembira. Roti dan stimulan. Makanan pokok kehidupan.
Amina bukanlah hantu di ranah ini; dia berbeda karena dia menancapkan akar. Dia
mulai dengan mencuci piring di dapur sebuah restoran Punjab,
yang dilakukannya sambil kursus malam bahasa Inggris tingkat lanjut untuk orang
asing di Brixton College. Tak lama kemudian dia juga mulai kursus sekretaris.
Sekarang dia bekerja Senin sampai Jumat di bagian bantuan hukum di Layanan
Rujukan Pengungsi, di samping kaum perempuan Inggris yang berniat baik dan
bernama mantap seperti Marion dan Patricia.
Sementara pengungsi lain memimpikan gunung, hyena, dan sungai, Amina membawa
Sitta dan Ahmed ke kebun binatang di Taman Regent dan memperkenalkan mereka
kepada kadal dan jerapah. Dia membuat perahu kertas dari halaman tabloid untuk
diapungkan Ahmed di Sungai Thames di dekat kaki Jembatan Lambeth. Inggris lama
tampak sergam di seberang sungai. Menara Big Ben dan Gedung Parlemen tentu
menjatuhkan bayangan pada perahu kertas kecilnya andai perahu itu menyeberangi
sungai, tetapi perahu kertas tak bisa mengarungi jarak sejauh itu, dan kami
merasa terasingkan sekaligus bersyukur oleh pemisahan itu.
Kami kenal banyak orang Etiopia di London yang bahkan tidak mengisi flat mereka
dengan perabotan. Harta benda yang mereka peroleh teronggok dalam kotak-kotak
kardus, siap diangkut. Menara kotak kardus yang berisi televisi, oven pemanggang
roti, microwave, pemanas listrik bergoyang-goyang di sebelah kiri pintu, siap
diposkan setiap saat. Mereka tidak berkomitmen pada apa pun. Mereka terapung di
dalam mitos pulang. Ketika biji kopi sudah hampir hitam, Amina menuangkannya dari piring ke lumpang.
Dia yang membawa lumpang itu. Tiba di Heathrow tanpa membawa apa pun selain
Ahmed, dompet pria, dan lumpang itu, Sitta masih dalam kandungan. Dia membuka
bola kertas berlilin yang dikeluarkannya dari saku roknya, dan
mengguncangkannya, mengeluarkan dua polong kepulaga ke tangannya. Dia
menggosokkan kepulaga itu dengan cepat di antara telapak tangannya, menambahkan
abu sutranya dan biji cokelatnya ke dalam campuran, lalu menyerahkan lumpang itu
kepadaku. Sitta meletakkan tangannya di atas tanganku, seolah-olah ingin membantu. Putaran
pergelangan tangan untuk mengulek itu mendatangkan sengatan yang jauh tapi
akrab. Indra yang tiba-tiba dilanda rasa, dan desakan purba untuk mengikuti.
Segala beban terangkat. Sakit kepala tumpul akibat mimpi buruk tentang tubuh-
tubuh yang direnggut dari rumah dan diseret di jalan; tubuh-tubuh yang
dipenjarakan dalam ngeri dan dibiarkan tidur dalam tinja mereka sendiri; tubuh-
tubuh yang dilucuti dari kuku, ekspresi, dan tekad; tubuh-tubuh yang diperkosa
oleh senapan, dicabik dan dirusak dan dipatahkan.
Segala beban terangkat dengan putaran pergelangan tangan. Segalanya menjadi
hidup. Bagian Kedua # Harar, Etiopia 1970-1972 IVlalarn November 1969 itu hening, udara kental dengan aroma buah yang terlalu
matang dan asap kayu, ketika aku dan Hussein turun di alun-alun utama Harar.
Kami keluar dari mobil Mercedes yang kami tumpangi dari ibu kota dan mengendap-
endap pergi. Kemewahan selama tiga hari menempuh jarak berkilo-kilo naik-turun
pegunungan bersemak di bagian belakang mobil bersopir, lengkap dengan asbak yang
penuh cokelat berbungkus kertas emas, telah mencoreng kedatangan kami.
Perjalanan mewah itu tak hanya terasa bertentangan dengan semangat ziarah,
tetapi juga sama sekali tidak mencerminkan sisa perjalanan kami, pengembaraan
berat menempuh daratan, berbulan-bulan yang dilewatkan dengan lecet dan haus dan
bertahan hidup hanya dengan roti berpasir yang dipanggang pemandu Tuareg kami di
dalam pasir. Kami akan bertobat, kata kami kepada diri sendiri, sembari berdiri dalam
bayangan becek masjid dan menengadah kepada bintang-bintang. Tak lama lagi, kami
akan bersujud dalam shalat, di hadapan
makam wali terkasih kami.
Terdengar geretak genderang di tempat agak dekat, dan Hussein mencengkeram
lenganku. Aku menyikutnya agar maju, mengikutinya menuruni bukit melalui jalan-
jalan sempit dan gelap yang diseraki cabikan sayur dan kotoran hewan. Kucing-
kucing berpesta dengan bangkai yang tersebar, sementara kami memegangi tembok di
kedua sisi untuk menjaga keseimbangan. Di hadapan, kami melihat gapura hijau
yang membingkai jalan masuk kompleks yang mengelilingi makam keramat itu.
Melalui gapura itu, gerakan ratusan orang tampak berkilauan laksana sinar
matahari di puncak ombak.
Aku sudah terbiasa dengan gerakan kaum sufi yang seragam, lambat, sunyi di
zawiyah di Maroko, tetapi di sini ibadah jauh lebih semarak: orang Harari kota,
kaum lelaki dalam galabaya putih yang dikelantang dan kupluk rajutan putih,
sedangkan istri, putri, dan saudari mereka gemerlap dalam jilbab cerah dan
selendang bermanik-manik; orang pedesaan, kaum petani Oromo yang bekerja di
ladang Harari, berkulit lebih gelap dan mengenakan warna yang lebih kusam
daripada orang Harari, dan kaum gembala, orang Somali berotot dan istri mereka
yang memakai wewangian mentega dan mengenakan kerudung panjang yang tembus
cahaya. Tuan tanah, buruh tani, dan pengembara. Kekayaan yang mencolok,
pengabdian yang membanting tulang, dan kemiskinan yang berpindah-pindah-
perbedaan duniawi semuanya terhapus di hadirat Allah.
Di depan makam keramat itu, yang berupa bangunan putih kecil berkubah yang
bersandar pada tembok kota, beberapa lelaki yang membentuk setengah lingkaran
menabuh genderang berkulit kencang dengan tongkat berat, melontarkan keringat
dari tubuh mereka dengan setiap pukulan. Keturunan dan murid sang wali, Syaikh
Jami Abdullah Rahman, berdiri di tengah-tengah mereka, serban putihnya adalah
satu-satunya yang terlihat dari jarak sejauh ini, tetapi suaranya yang lantang
terdengar mengatasi kerumunan. Dia sedang memimpin orang ramai dalam serangkaian
zikir, sebagian kukenali sebagai bahasa Arab, sebagian dilantunkan dalam bahasa
asing. Kaum perempuan mengetukkan balok kayu jauh di atas kepala sembari mengulang-
ulang zikir. Tangkai qat dioper dari tangan ke tangan, daunnya digelontor dengan
air yang diminum dari labu yang dikerok. Mulut menjadi hijau, ludah mengering di
bibir, keringat beterbangan saat orang melompat-lompat. Mereka terlalu larut,
sama sekali tak memerhatikan aku atau Hussein. Kami berayun ke kanan-kiri
bersama kerumunan, dan tangkai daun hijau dioper ke tangan kami. Kami tidak
mengenal qat di Maroko, dan daun itu terasa liat dan pahit ketika pertama
dicicipi; aku meludahkannya ke tanah di kakiku.
Qat mendukung ibadah, memungkinkan orang mempertahankan energi selama berjam-jam
dan membawa mereka ke titik ekstase, dan mereka mulai mendesis melalui gigi dan
mata berputar jauh ke belakang sehingga anak matanya menghilang dan mereka berputar-putar dalam
lingkaran buta. Jika kehilangan keseimbangan, mereka didorong berdiri kembali
dengan lembut oleh kerumunan.
"Seperti darwis yang berputar!" Hussein tampak kagum.
Suatu saat, pada dini hari, suara sang syaikh tiba-tiba menguap dan gerakan
orang mulai melambat, hingga kaki mereka terasa berat, diam, dan mereka menghela
napas dalam-dalam dan mulai bergerak pulang. Aku menoleh kepada Hussein dan
memohon kepadanya. Bicaralah kepada syaikh. Sudah waktunya.
Kami datang ke Harar untuk menghormati Waliyullah Bilal Al-Habash serta meminta
berkah dan perlindungannya, karena di kota inilah dibangun makam keramat pertama
dalam serangkaian tempat keramat yang menghormatinya, yang teruntai bak mutiara
kalung di sepanjang pasir Afrika Utara. Zawiyah di Maroko tempat kami tinggal
dan belajar dengan Abdal Akbar terletak di sebelah barat. Abdal Akbar pernah
melakukan ziarah ini, dan seperti semua muridnya, aku dan Hussein dibesarkan
untuk meyakini bahwa perjalanan ini adalah tugas kami, dan hasrat kami.
"Kalian akan berangkat saat Allah menghendaki," Abdal Akbar sering berkata
kepada kami. Tetapi, pertama-tama Hussein harus pulih sepenuhnya dulu. Aku tak pernah tahu
persis apa penyakitnya, hanya dia pernah beberapa lama tinggal di gua di gurun pasir dan
pulang sebagai lelaki yang remuk. Ketika pertama kali datang ke zawiyah, aku
memerhatikan dia karena dia duduk terpisah dari sufi yang lain. Dia bersembunyi
di balik jubah wol sambil menggenggam tasbih dan tak bergerak hingga berhari-
hari. Namun, suatu hari, ketika aku dan Abdal Akbar sedang belajar pagi-pagi, sesuatu
mendorong Hussein mengangkat kepala. Air mukanya benar-benar kosong. Giginya
hitam, bagian putih matanya kuning, dan rambutnya segumpal helai hitam yang
berminyak. Dia tampak begitu tua bagiku, meskipun usianya mungkin baru awal dua
puluhan. Begitu tua dan begitu sedih.
Sejak hari itu, Hussein mencoba bergerak dengan lemah. Ketika aku dan Abdal
Akbar mencapai surat kedua puluh Al-Quran beberapa bulan kemudian, Hussein sudah
berhasil mendorong dirinya berdiri tegak di atas kaki kurus yang gemetar. Dia
serupa laba-laba putih, tangan dan kaki mencuat dari karung wol cokelat. Dia
berdiri menatap kakinya yang kotor, wajahnya tertekuk karena berusaha keras
mempertimbangkan apa yang harus dia lakukan berikutnya. Aku cemas dia akan roboh
dan bertanya kepada Abdal Akbar, apakah sebaiknya aku membantu. "Cobalah," Abdal
Akbar mendorongku. Aku kaget juga saat Hussein membiarkan aku mengambil tangannya yang kerempeng
dan lunglai itu dan meletakkannya di bahuku. Dia lalu
mengangkat kakinya perlahan-lahan, tetapi tak bisa meletakkannya lagi. Aku
mengusulkan dia mencoba melangkah mundur, sebagaimana yang sering dilakukan
ibuku setiap kali dia kehilangan sesuatu. Kunci, pemantik rokok, aku.
Hussein menengadah ke langit dan mempertimbangkan ini, menghela napas yang dalam
dan panjang melalui lubang hidungnya. Dia menyandarkan bobot kerempengnya pada
bahuku dan mengangkat kakinya lagi. "Teguhkan aku," katanya lemah.
Lalu, seekor anjing menggonggong di kejauhan, dan kaki Hussein turun dan
menyentuh tanah di belakangnya. Abdal Akbar berdengap. Begitu pula Hussein.
"Subhanallah," katanya. Mahasuci Allah. "Memang lebih mudah kalau aku tak bisa
melihat di mana kakiku akan mendarat."
"Kamu harus lebih berkonsentrasi kalau kamu tak punya mata," aku mengingatkan.
"Ya. Penglihatan memang membuyarkan konsentrasi," Hussein sepakat, dan dengan
itu, dia memejamkan mata.
Bagi Hussein, ini masalah berjalan mundur ke tempat dia kehilangan arah; bagiku
ini masalah bergerak maju dari kehilangan orangtuaku. Kukira kami bertemu di
suatu tempat di tengah-tengah. Saling menggandeng tangan dan melangkah maju,
memasuki hidup penuh doa dan belajar dan persahabatan.
Pelajaran Al-Quran-ku bersama Abdal Akbar dilengkapi dengan kunjungan bulanan
dari Muhammed Bruce Mahmoud. Dia membawakan beberapa
buku dari perpustakaan yang dipretelinya perlahan-lahan selama beberapa tahun.
Dia agak aneh dan jelas sangat sombong, tetapi aku menyayanginya. "Untuk
peneguhan imanmu, mademoiselle," katanya sambil membungkuk dengan dramatis dan
mempersembahkan tumpukan buku baru untukku.
Muhammed Bruce menceritakan kisah-kisah tentang kampung halaman Bilal Al-Habash
kepadaku, dan dia membual bahwa dia memiliki sobat kental di sana. Dia terutama
bangga akan pertemanannya dengan seorang lelaki bernama Sir Richard Burton. Dia
mengklaim bahwa penjelajah Inggris yang tersohor itu, yang merupakan orang Eropa
pertama yang mengunjungi Kota Harar, adalah paman buyutnya. Muhammed Bruce juga
mengenal kaisar Etiopia, Haile Selassie, Raja di Antara Raja, sang Singa
Penakluk dari Suku Yehuda. Dia bercerita bahwa mereka pernah bermain polo
bersama. Kehidupan kami baik dan bermakna di tempat yang kecil dan damai itu, di alam
swadaya yang memiliki generatornya sendiri. Namun, setelah tujuh tahun ibadah-
mengukur bobot setiap kata, mengunyah bagian-bagian yang keras, merasakannya
larut di dalam mulutku saat aku berdiri, saat aku rukuk, saat aku sujud-
keterpencilan gelembung kami pun pecah.
Pada akhir 1960-an, raja baru berkuasa. Dia merasa berbagai zawiyah dan tarekat
sudah terlalu kuat; mereka adalah rintangan bagi pemerintahannya, setelah
Prancis melepaskan tali kekang. Pasukan raja segera mendobrak pintu zawiyah-
zawiyah di kota tetangga Tamegroute, menyebabkan saudara-saudara di sana
melarikan diri. Sebagian terdampar di pintu kami, meminta perlindungan dari
Abdal Akbar. Dia khawatir bahwa zawiyah kami akan menjadi sasaran berikut, karena kami
menerima dana dari tarekat di Tamegroute dan menampung kaum miskin setempat.
Kami sangat bergantung pada mereka, sebagaimana mereka bergantung pada tarekat
yang lebih besar di utara, yang pemimpinnya, sayangnya, pernah berusaha membunuh
raja. Syaikh terkasih kami mengusulkan bahwa mungkin sudah waktunya Hussein dan
aku berangkat ke Harar. Lalu, usul ini menjadi desakan. Tiba-tiba kapan menjadi
seka= rang, hijrah maupun haji: pelarian selain ziarah. Dia akan menyusul dengan
sufi lainnya, dia berjanji, jika situasi mengharuskan itu.
Jadi, pada Februari 1969, dengan membawa Al-Quran dan surat pengantar dari
Muhammed Bruce kepada kaisar Etiopia (tertanda: "abdimu, hambamu"), haji dan
hijrah kami dimulai. Abdal Akbar menguras peti uang untuk mengirim kami
menyeberangi Sahara untuk mencari perlindungan di Etiopia, sebagaimana sang Nabi
mengirim keluarga dan pengikutnya ke tempat yang disebut Abisinia tiga belas
abad yang lalu. Usiaku enam belas tahun waktu itu.
Kisah ini terasa mulia dan penuh pengorbanan, tanpa menghapuskan kenyataan bahwa
kami melewatkan seminggu lebih hidup mewah di istana kaisar
di Addis Ababa, berkat surat pengantar dari teman dan orangtua waliku, Muhammed
Bruce Mahmoud. Dari situ, atas desakan kaisar, kami diantar ke Harar oleh
seorang penjaga istana. Dan Hussein memang menghapus bagian itu, karena bagi
seorang sufi yang berniat mengisi dirinya dengan makanan iman, memanjakan diri
seperti itu adalah dosa. Hussein kembali dari percakapannya dengan Syaikh Jami dan menemukanku duduk di
lipatan kulit kayu sebuah pohon raksasa. Dia berseri-seri dengan kegirangan yang
langka, dan tersenyum malu-malu, mengisyaratkan agar aku mengikutinya melewati
pintu kayu berukir yang tinggi pada gedung pertama dalam deretan tiga gedung
bercat putih yang persis sama.
Di dalam, sekelompok teman dan kerabat syaikh yang lelah dan berkeringat
terkapar di seluruh balai-balai tanah merah, di ruangan luas yang berdinding
warna pirus berkilap dan dihiasi keranjang dan mangkuk kayu dan piring timah
dari Cina dan peribahasa Arab berhuruf emas yang digantung berbingkai. Fatima,
istri pertama syaikh, tampak pendiam tapi sopan, menawari kami duduk di pojok.
Kami bersandar pada bantal berbungkus sutra dan merapat di balik selimut, dan
aku segera tertidur dengan mendengar gemericik obrolan kaum perempuan dan nada
bas yang berat dari dengkuran kaum lelaki.
Matahari baru saja terbit ketika sosok jangkung Syaikh Jami hampir mengisi
lubang pintu. Kepalaku tersentak dari balai-balai ketika gemuruh suaranya
menghantam keriuhan yang teredam. Pemandangan yang mengerikan: dia besar dan
jelek. Mata birunya berenang dalam gelembung kuning yang menonjol, giginya yang
ternoda tembakau menggantung dari mulutnya seperti stalaktit, rambut merahnya
terurai dari serban ke bahu, dan janggutnya begitu tajam, pasti mampu mengiris
roti. Begitu melihatku, Syaikh Jami berseru marah: "Yee min khowraja" Farenji?" kata
hinaan dalam bahasa yang tak kumengerti.
Hussein melompat maju, bersujud di kaki syaikh itu, memeluk pergelangan kakinya
dan memohon pengertiannya.
"Ya, tentu saja!" seru syaikh, beralih ke bahasa Arab. "Kamu, boleh, tapi mau
apa dia ke sini" Orang Eropa! Di rumahku!"
Dengan hati-hati, aku menaikkan tangan dan berusaha mengenakan kembali kerudung
yang terlepas ke bahu saat aku tidur.
"Abdal Akbar mengutus kami berdua," kata Hussein.
Busung dada Syaikh Jami mereda saat nama itu disebut. "Saudaraku," katanya.
(Atau tepatnya, sebagaimana kami ketahui kemudian, saudara dari satu kakek
buyut, dengan selisih beberapa generasi.)
Lily Pencarian Cinta Gadis Eropa Karya Camilla Gibb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Hussein melanjutkan: "Dia amanat seorang teman yang dulu pernah mengunjungi yang
mulia, seorang lelaki bernama Muhammed Bruce Mahmoud ii
"Berhenti!" syaikh raksasa itu mengaum, "lelaki
itu farenji terakhir yang kutemui! Penipu!" serunya, dan meludah ke lantai di
dekat lutut Hussein. Aku bertanya-tanya, apa gerangan yang pernah dilakukan Muhammed Bruce sehingga
menimbulkan reaksi seperti itu. Dia mengklaim mencintai Harar dan warganya.
Namun, meskipun dia biasanya pemalu, Hussein mengajukan sebuah peribahasa sufi,
seolah-olah meminta syaikh memaafkan Muhammed Bruce. Atau aku. "Pencerahan harus
datang sedikit demi sedikit, atau akan membutakan," katanya.
Syaikh Jami mengerucutkan bibir seolah-olah sedang mengisap limau. Perlahan-
lahan dia melebarkan tangannya, mengajak Hussein berdiri dan ikut sarapan
bersamanya, hidangan besar daging dan nasi bertabur bawang goreng yang baru saja
diletakkan Fatima di salah satu balai-balai.
Gishta, istri termuda syaikh yang berlesung pipi, memegang mangkuk di satu
tangan dan menuangkan air perlahan dari kendi di atas tangan suaminya dengan
tangannya yang lain. Syaikh menggosok-gosokkan tangan dengan kuat dan
menggumamkan sesuatu kepadanya. Istrinya mengangguk dan berpindah ke samping
Hussein, dan menuangkan air ke tangannya juga. Dia menyerahkan mangkuk itu ke
seorang gadis muda di sisinya, lalu meraih lenganku, meskipun bukan untuk
membasuhnya. "Kita mau ke mana?" aku tergagap dalam bahasa Arab, sementara dia menarikku
berdiri. Dia menuntunku ke pintu tanpa berbicara.
"Tapi kenapa?" aku memohon. "Hanya kesalahpahaman kecil, Lilly," kata Hussein
lirih, seolah-olah ada yang bisa pecah. "Segalanya akan beres, insya Allah."
Gishta menuntunku melewati ambang pintu. Aku mencengkeram dinding luar rumah
Fatima. Aku dan Hussein menempuh perjalanan jauh ini bersama-sama, melewati
negeri-negeri yang memusuhi, mencari perlindungan. Dia telah bertahun-tahun
menjadi bayanganku, saudaraku, berutang budi padaku atas kepulihannya. Aku tak
bisa memintanya untuk tidak tinggal; ini sesuatu yang diinginkannya sejak dulu.
Air mata mengalir di wajahku, tetapi Gishta hanya mendorongku maju dengan buku
jari yang menekan pinggang belakangku.
^.ku ingin menghilang, bercampur ke dalam bau busuk di udara, meleleh ke dalam
tembok tinggi-putih kompleks itu yang mengapit di kedua sisi, menjadi yang
mengamati, bukan yang diamati. Hidupku kini berada di tangan seorang perempuan
yang menuntunku ke kiri dan kanan dan kanan dan kiri melalui jalan simpang siur,
sampai-sampai aku yakin kami telah berputar-putar ke tempat semula.
Hari masih pagi, tetapi kegiatan kota sudah masuk gigi dua. Kami melewati para
nenek ompong dan para kakek bungkuk dan para sufi tak berekspresi yang memegangi
tepi selimut wol mereka, para lelaki rapi yang berjanggut pendek dan berkupluk
rajutan, dan kelompok gadis remaja berjilbab yang cekikikan, dan anak-anak
beringus yang berlari mendekatiku dan menyentuhku sambil berseru "Farenji!
Farenji!" dan ibu-ibu gemuk dengan wajah berminyak yang berdiri di pintu sambil
menggendong bayi di pinggul dan berseru kepada Gishta, yang menawarkan jawaban
yang tak kupahami tetapi membuat semua orang tertawa, kecuali aku. Aku meraba-raba jimat pemberian Abdal
Akbar, yang terikat di benang yang kukalungkan di leher. Kantong kulit kecil
yang berisi ayat Al-Quran untuk menghalau jin jahat.
Keramaian itu mereda begitu aku dan Gishta menyeberangi jalan utama dan menuruni
bukit di seberangnya. Kami memasuki bagian kota yang tidak terlalu padat,
lingkungan kumuh yang pagar-pagar temboknya bobrok dan diwarnai debu. Gubuk
darurat yang terbuat dari lembar seng dan sisa kayu telah didirikan di antara
tembok-tembok rusak. Jalan berbau pesing, dan ada orang-orang yang tunadaksa,
yang bahkan tak mau repot mengomentari kehadiranku.
Kami menyelip ke jalan sempit, di sana seorang anak perempuan beringus duduk
sendirian di tanah, memakan tanah. "Bortucan!" Gishta membentak anak itu sambil
menariknya berdiri. "Nouria!" panggilnya sambil menarik salah satu lembar seng
bergelombang yang membentuk pagar di ujung jalan.
Seorang perempuan berkulit hitam muncul dari dapur gelap, wajahnya bernoda
lemak, pakaiannya dijahit tidak rapi dengan benang tebal. Dia berdiri dengan
gaya defensif, meremas-remas tangan. Anak kecil tadi menggelendot ke balik
lututnya. Gishta menunjukku; Nouria menggeleng. Gishta menggeleng; Nouria menunjukku.
Gishta menyambar tangan perempuan itu dan kemudian mengguncang dan membentaknya,
gulungan lemak di sekitar perutnya bergetar, emas dalam mulutnya berkilau,
sampai Nouria menunduk dan mendesah kesal.
Tiba-tiba aku menyadari bahwa Gishta menganggapku sebagai sumber penghasilan
untuk perempuan ini, sepupunya, mengharapkan aku membayar sewa, dan membayar
mahal. Di kemudian hari aku menemukan bahwa desas-desus tentang farenji yang
datang ke Harar naik Mercedes telah menyebar secepat pasukan belalang mengoyak
ladang. Desas-desus yang tampaknya tidak menyebutkan bahwa Hussein juga tiba
dengan cara yang sama. Tetapi dia seorang Arab, lelaki, dan sufi, sementara aku
sebuah misteri dan ancaman.
Kepada induk-semangku yang baru, aku menyerahkan sebagian uang pemberian Abdal
Akbar untuk kami sebagai ongkos perjalanan. Nouria menggulung uang kertas itu
jadi satu dan menyelipkan gulungan itu di antara belahan dada. Dia tidak
terlihat senang. Rumah Nouria berbeda sekali dengan kompleks sang syaikh yang berisi rumah-rumah
bercat putih yang ditata mengelilingi pekarangan penuh pohon. Tempat tinggalnya
tak lebih dari tanah beberapa meter persegi yang berisi rumah bertembok tanah
dan beratap rumput. Di sebelah kiri pintu terdapat sebelah sepatu lars, mewadahi
sebatang tumbuhan yang tampak lusuh. Dapurnya, yang berdinding tanah dan sisa
logam, sempit seperti lemari dan hitam oleh jelaga, doyong di satu sudut. Seekor
kucing menjilati lalat di luka terbuka, seekor kambing ceking mengembik di
pojok, dan udara berbau susu masam dan minyak yang tampaknya
ditinggal gosong di api dapur. Balon asap abu-abu melayang keluar pintu dapur
untuk menyapa kami, dan Nouria mengangkat tangannya dan mengutukku, sebelum
merunduk ke dalam asap. Dua anak lelaki yang kutebak adalah putra Nouria, berusia sekitar tujuh dan
delapan tahun, menatapku melalui celah pagar sepanjang peristiwa ini, dan kini
mereka mendorong adik perempuan satu lagi ke pekarangan, untuk melihatku lebih
dekat. Dia memiliki mata belo dan sarang rambut ikal yang gimbal, seperti si
pemakan tanah. Keempat anak itu kusam akibat lapisan debu dan bopeng-bopeng di
siku dan lutut. "Siapa namamu?" tanyaku kepada anak perempuan itu dalam bahasa Arab.
"Bah!" pekiknya, dan menghilang kembali ke balik pagar untuk merengket di dalam
bayangan kakak-kakaknya. Mereka mendorongnya lagi melalui pagar.
Kali ini aku menunjuk adik perempuannya, yang tak menghiraukanku sambil menusuk-
nusuk gundukan tanah dengan ranting. "Bortucane?" tanyaku.
"Bortucan," anak perempuan yang lebih tua itu membetulkan.
"Dan kamu?" aku menunjuk.
"Rahile." Dengan ragu dia menunjukku.
"Lilly," jawabku.
Ini menyebabkan kedua bocah lelaki di balik pagar tertawa terpingkal-pingkal,
dan mereka mulai menampar-nampar seng, yang menyebabkan ibu mereka membentak
dari dapur. Ancamannya membungkam mereka, tetapi mereka terus menatap melalui
pagar. Aku memejamkan mata dan mengaji dalam hati, mengambil posisi yang akan
kupertahan-kan hampir sepanjang hari itu. Mempelajari Al-Quran telah mengajariku
cara menyibukkan diri tanpa bergerak. Juga telah mengajariku kesabaran, sesuatu
yang tidak kumiliki secara naluriah.
Ketika langit membara Jingga dan senja turun, Nouria meletakkan semangkuk air
merah dan memanggil anak-anak untuk makan malam. Yuk, anak yang bernama Anwar
berisyarat sambil menyodorkan sepotong roti basi. Langit menggelap pada setiap
gigitan, dan sudah gulita saat kami masuk ke rumah dinding-tanah yang tak
berjendela itu. Nouria dan keempat anaknya merangkak ke atas selembar kasur busa
yang menutupi lantai tanah di sisi satu dinding; aku membungkus diri dengan
selimut yang dilemparkannya dengan enggan ke arahku, di dinding seberangnya.
Aku berbaring terjaga, awas mendengarkan kawanan hyena menjerit-jerit aneh
sambil berkeliaran di jalanan kota, tulang iga anak-anak yang berderak saat
mereka batuk, kepak sayap kecoak yang beterbangan menabrak dinding, dan bunyi
yang sepertinya tikus yang sedang mencari makanan di sudut. Aku meringkuk, takut
kehilangan jari kaki. Namun, meskipun merasa tidak nyaman, meskipun merasa tertekan karena diusir oleh Syaikh Jami dan terpisah dari Hussein, aku juga
merasa lega. Aku dan Hussein telah melewati neraka. Bukan hanya Maroko, tetapi
seluruh Afrika Utara yang
terbakar. Perbatasan dan penduduk gonjang-ganjing, karena dengan tak adanya
musuh penjajah, orang mengarahkan senjata kepada satu sama lain dan kepada diri
sendiri. Di negeri-negeri yang bergolak ini, kami merasa senang jika sesekali
menemukan kota, tetapi lalu merasakan ketegangan dan kecurigaan warganya, dan
harus bergegas kembali ke keresahan dan keamanan di gurun pasir.
Pemandu Tuareg kami tidak bisa berbahasa Arab atau Prancis atau Inggris, tetapi
kami shalat berjamaah setelah tayamum dengan debu gurun, dan tidur berdampingan
di tanah, serupa mumi yang terbungkus seprai di bawah kabut pasir pada malam
hari. Islam mempersatukan kami, yang gagal dilakukan bahasa dan perbatasan.
Tetapi, lalu tibalah kami di Sudan, tempat kaum Muslim di utara menerapkan hukum
Islam di seluruh negeri, membunuhi orang di selatan: Suku asli Afrika, penganut
animisme, orang Kristen. Tiga hari memasuki Sudan, di suatu tempat di sebelah
selatan Khartoum, aku dan Hussein meninggalkan perkemahan untuk mengambil air
dari oasis di kejauhan. Pemandu kami tinggal di tempat, mengubur adonan roti di
dalam pasir, ketika kami mendengar ledakan. Pasukan utara rupanya telah menandai
perbatasan antara utara dan selatan dengan ranjau darat.
Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku disadarkan tentang wajah-murka Islam.
Malam itu, Hussein tidak seperti biasanya meraih tanganku. "Ini bukan makna
sejati jihad," katanya ke dalam kegelapan tak berbintang. "Jihad adalah perang
suci yang terjadi dalam diri kita. Itulah makna di bawah permukaan. Perjuangan
batin kita dalam meraih kesucian," katanya dengan penekanan, menekan telunjuknya
ke dadanya. "Jihad adalah perang untuk mengalahkan naluri dasar kita. Sama
sekali tak berkaitan dengan orang lain. Satu-satunya hal yang dapat kita
kendalikan adalah diri kita sendiri."
Lega rasanya mendapati diriku kini kembali di tempat yang damai, meskipun aku
tak diharapkan. Di kota para wali ini, yang dikelilingi tembok pelindung. Di
negara yang tidak terlibat perang pascakolonial, karena negara ini, satu-satunya
di Afrika, berhasil mempertahankan kemerdekaannya.
# Aku terbangun pada pagi pertamaku di Harar akibat langit yang gemerisik dengan
paduan suara muazin yang nyaris serempak. Seruan-seruan Allahu Akbar berombak-
ombak menjalari tulang punggungku. Aku meraih kaleng air berkarat untuk
berwudhu, tetapi Nouria merebut kaleng itu dari tanganku.
"Tapi, bagaimana aku shalat?" sergahku.
Dia mengangkat bahu, tak mengerti, jadi aku menunjuk dadaku, aku menunjuk menara
masjid di langit di atas kami, aku mengangkat tangan seakan hendak shalat.
Dia memandangiku penuh ingin tahu dan bergumam, "Masya Allah."
"Ya! Allahu Akbar!" seruku. "Allah Mahabesar!"
Dia mengembalikan kaleng berkarat itu kepadaku dan mengangguk, seolah-olah
berkata, Baiklah kalau begitu. Buktikan.
Masih pagi itu juga, Gishta tiba membawa sekarung mangga dan pisang untuk
sepupunya. Dia berpakaian bagus, mengenakan baju merah mengembang yang bersulam
sutra emas di dada, serta jilbab ungu kemerahan yang tidak serasi. Dia
perwujudan kekayaan Harari, lengkap dengan tangan yang dipenuhi hasil ladang
suaminya. Nouria juga sudah berusaha: pakaiannya sederhana saja, terbuat dari katun biru
muda, tetapi bersih dan dijahit rapi.
Ketika mereka hendak menyelip melalui pagar seng, aku menyambar siku Gishta.
"Masjid?" tanyaku.
Gishta mengangguk dan menatapku menentang, seolah-olah berkata: Ya, masjid.
Memangnya kenapa" Aku menunjuk dadaku dan mengangkat telapak tangan seperti yang kulakukan kepada
Nouria tadi pagi. Gishta menoleh kepada sepupunya dan mengoceh selama semenit,
menunjukku, lalu langit, dan mengayun-ayunkan tangannya, mengakhiri ucapannya
dengan nada bertanya. Kepadaku dia mengucapkan satu kata: "Foh-dah." Dia menyentakkan jilbabnya.
"Ya, ya," kataku dengan bersemangat, lalu mengangkat jari, meminta mereka
menunggu sebentar. Aku masuk ke kamar gelap itu dan mengambil satu-satunya
kerudungku dari ranselku. Biru tua,
polos, tepinya sudah kasar.
Gishta mengeluarkan suara menyedot dan menggeleng.
"Apa salahnya yang ini?" tanyaku
"Ginee?" jawabnya.
Aku mengerutkan kening, tak mengerti.
Dia menggosokkan jempol dan telunjuknya.
Aku masih punya uang, tetapi tidak banyak. Aku menepuk kantongku untuk menjawab,
dan Gishta mengangguk dan berderap keluar pagar, yang kupahami sebagai ajakan
untuk mengikuti. Kami bertiga berjalan banjar satu mendaki bukit ke Faras Magala, pasar induk.
Aku nyaris tak mengenalinya sebagai alun-alun tempat aku dan Hussein turun dari
mobil; pada siang hari tempat itu merupakan persimpangan hiruk-pikuk tempat
sopir taksi dan penjual qat dan pedagang berjual-beli dengan berteriak-teriak,
berusaha terdengar mengatasi lonceng Medhane Alem, gereja dari pergantian abad,
yang berdentang di atas kepala.
Kami menembus pasar dan menuruni jalan di seberangnya, turunan terjal berbatu-
batu yang diapit kaum lelaki yang riuh bekerja dengan mesin jahit kuno. Kami
mampir di salah satu toko kain di pertengahan turunan, di sana beberapa jilbab
cerah dipajang pada kait di bagian dalam pintu.
Gishta menunjuk satu, tetapi aku menggeleng. Terlalu norak.
Aku menunjuk yang lain, tetapi Gishta menggeleng. Terlalu sederhana"
Nouria menarik selembar jilbab sederhana tapi
elegan dari sebuah kait, dengan warna aneka hijau dan biru muda melingkar-
lingkar, yang ditanggapi aku dan Gishta dengan mengangguk setuju serentak.
Nouria melemparkannya longgar di kepalaku dan menyampirkan ujungnya di bahu
kiriku, gaya Harari. Gishta dengan berani merogoh kantongku, memeriksa berapa
banyak persisnya sisa uangku, sebelum menyerahkan dua lembar uang berminyak
kepada pedagang yang merasa geli.
Hussein datang menjengukku ke rumah Nouria setelah kami ke masjid siang itu,
dengan rasa percaya diri yang belum pernah kulihat dalam dirinya sepanjang
tahun-tahun aku mengenalnya: aura tenteram, seolah-olah dalam semalam dia telah
meninggalkan segala kebingungan remaja dan menjadi lelaki dewasa. Masa remajanya
dimulai dengan langkah mundur yang berlanjut ke langkah maju, yang akhirnya
berlanjut ke langkah setelahnya. Perjalanan pertama kami keluar pagar tembok
Abdal Akbar adalah ke makam keramat kecil seorang wali tak bernama, yang
terletak di kumpulan pohon palem di seberang Tamegroute. Hussein terpaksa
membungkuk agar muat masuk pintu. Aku mengikutinya masuk, tetapi bahkan aku pun
nyaris tak bisa berdiri. Di dalam sangat gelap, tetapi aku dapat melihat seorang
tua duduk bersila di sudut ruangan. Dia bergoyang-goyang maju-mundur sambil
mengaji. Hussein mendekatinya di tengah-tengah lantunan, mengambil tangan lelaki itu dari
pangkuannya dan mencium punggungnya. Dia lalu melepaskan
ikatan kristal dupa yang dibelinya dari seorang perempuan Berber buta di pasar,
dari simpul di sudut jubah wolnya, lalu meletakkannya di kaki orang itu. Orang
itu mengambil dupa itu dan melemparkannya secara dramatis ke dalam pot tanah
liat kecil yang berisi arang, menyelimuti kami dengan asap manis dan lengket
yang begitu tebal dan abu-abu sehingga aku tak bisa melihat apa-apa lagi.
"Hussein?" kataku hati-hati. "Hussein?" kataku sedikit lebih lantang ketika dia
tak menjawab. "Apa yang kamu lihat, Lilly?" tanyanya.
"Aku tak melihat apa-apa."
"Tepat." Dia mendesah. "Kehadiran Allah. In= dah, bukan?"
Dalam kehadiran Allah, tak ada kejadian apa-apa yang luar biasa, tetapi mungkin
itulah intinya. Aku tidak merasakan Allah pada saat itu, tetapi aku melihat
ketakjuban dan hasrat Hussein. Hanya itulah diriku: saksi baginya. Namun,
dilihat dalam gelap sama artinya dengan dilahirkan kembali.
Dia memercayai takhayul, mengaitkan jalan menuju kesembuhannya dengan
kehadiranku, dan ingin aku terus mendampinginya, meskipun itu bertentangan
dengan keinginannya menjadi seorang sufi. "Cinta duniawi memecah perhatian," dia
pernah memberi tahuku dulu sekali, ketika aku berusaha membicarakan orangtuaku
dengannya. "Seluruh cinta kita harus ditujukan kepada Allah. Inilah cara sufi.
Terbebaskan dari cinta duniawi itu baik. Baik bagi seorang Muslim. Baik untuk
Allah. Baik untukmu. Tak usah khawatir. Allah akan mengisi hatimu.
Kamu tak perlu bersedih. Seperti yang dikatakan Rumi: 'Apa pun yang hilang
darimu akan datang lagi dalam bentuk lain.'"
Lily Pencarian Cinta Gadis Eropa Karya Camilla Gibb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Jelas Hussein sudah siap menyisihkan cinta duniawi dan menolak dunia. Dia telah
mencabut pancang tenda yang menambatkan sudut jubah wolnya ke tanah, lalu
bergerak dengan cara lambat, seperti semua pencari mistis di sepanjang jalan
menuju transendensi. Dia tampak, sejauh yang dapat kukenali dari raut monoton
dan tak bernyawa seorang sufi, tenang.
Sementara itu, kebutuhanku sangatlah mendasar dan duniawi: pangan dan papan,
mencari cara mendapat nafkah. Aku tak bisa memilih menolak dunia.
6 Sebelah Sepatu Lars .^\ku turut membantu pekerjaan rumah tangga Nouria sebisaku. Aku mengambil sapu
dari tangannya, menyapu serangga mati serta kotoran kucing dan kambing, dan
memercikkan air di tanah untuk mengendapkan debu, sehingga Nouria bisa menerima
cucian lebih banyak. Tangannya menggosok hingga lecet, mencuci pakaian perempuan
yang lebih berada, di baskom besar yang diisi dengan air yang setiap pagi dibawa
dalam jerigen oleh putra sulungnya, Anwar, dari sungai di luar tembok kota.
Setelah itu, kami menggunakan air cucian yang cokelat kemerahan untuk membasuh
muka, tangan dan kaki, lalu piring dan pakaian kami sendiri. Setelah airnya
menghitam, kami membuangnya ke jalan, yang kemudian mengalir menuruni bukit dan
akhirnya meresap ke tanah yang kering kerontang.
Anak lelaki Nouria hampir sepanjang hari berkeliaran di pasar, menjual kacang
atau, kalau tak ada pembeli atau kacang, mengemis. Mata mereka
melekat pada kios buah dan sayur, siap menerkam apa pun yang berguling menjauhi
si penjual. Pada akhir hari, mereka memulung apa pun yang basi atau dibuang,
pulang membawa sisa-sisa yang lembek dan rusak, yang dulunya masih bisa disebut
makanan. Sementara itu, anak perempuan kembar Nouria bermain-main hampir sepanjang waktu-
kotor dan tanpa sepatu-di jalan. Aku sering menemukan si adik, Bortucan, duduk
sendirian di jalan, makan tanah. Mengais makanan di mana pun dia bisa.
Kelahiran si kembar mengubah nasib Nouria, meskipun masa depannya memang tak
pernah cerah, karena berlatar belakang Oromo yang miskin. Namun, seperti
sepupunya Gishta, Nouria ingin diterima di tengah bangsa Harari-kekayaan dan
keistimewaan bangsa itu menjadi pemikat bagi mereka-dan telah meniru bahasa,
makanan, dan adat Harari.
Ketika suaminya meninggal-kata orang, karena suatu penyakit misterius yang
disebut "penyakit tanah"-Gishta mendorong Nouria mencari lelaki Harari, seperti
dirinya. Nouria berusaha sebaik-baiknya: selama beberapa tahun dia menjadi
gundik seorang Harari, dan meskipun lelaki itu memberinya uang saku yang
memungkinkan dia menyekolahkan kedua anaknya, lelaki itu tidak mengajaknya
menikah. Ketika Nouria hamil, lelaki itu memutuskan hubungan sama sekali.
Anak lelaki Nouria terpaksa putus sekolah dan kembali ke jalan; Nouria terpaksa
memohon kaum perempuan Harari kaya agar diperbolehkan mencuci
pakaian mereka. Dia tak mau menjadi pembantu rumah tangga lagi, seperti yang
dilakukannya semasa kecil. Dia tak mau kehilangan rumahnya. Rahile kehilangan
air susu ibunya dan menyantap air dan roti basi dan pisang yang menghitam karena
terlalu matang. Namun, Bortucan masih tak mau melepaskan susu ibunya, baik air
susunya keluar ataupun tidak.
Makan malam, yang turut kusiapkan bersama Nouria, adalah makanan sederhana, sup
yang dibuat dari bawang bombai dan kacang koro dan cabai, diserap dengan roti
injera basi yang dicelupkan, atau kadang injera dan cabai merah giling saja.
Kami buang air di sepetak tanah di belakang dapur, cebok dengan tangan kiri,
menuangkan air pada tangan kiri dengan tangan kanan. Kami berjingkat-jingkat
dengan sandal jepit-milikku lungsu-ran dari Gishta-mengarungi petak tanah ini,
kilau cokelatnya yang licin itu tentunya karena kami makan sup encer bau yang
dibuat dari air beracun. Nouria tidak menolak bantuanku karena itu memungkinkan dia mendapat penghasilan
lebih banyak, tetapi kami tidak akrab, sementara kami mulai terbiasa dengan
kesepakatan yang setengah hati itu. Aku tahu, ini bukan semata-mata karena
keterbatasan bahasa. Sebaliknya, anak-anak ternyata merupakan berkah. Kedua anak lelaki itu tak lagi
menatap penasaran dan cekikikan karena ada orang asing di tengah-tengah mereka,
meskipun mereka masih tetap menyeret orang untuk mengintipku di atas
pagar seng bergelombang, lalu meminta bayaran karena telah menyuguhkan hiburan.
Aku melambaikan tangan saja kepada perempuan dan anak-anak yang mengintip, yang
menyebabkan mereka kabur tunggang-langgang. Aku berharap kebaruan yang
dihadirkan sosokku akan memudar, meskipun ribuan orang tinggal di dalam tembok
kota. Aku segera merasa protektif pada Bortucan karena dia membutuhkan jauh lebih
banyak perhatian daripada kakaknya. Aku terkejut saat mengetahui bahwa mereka
berdua kembar, keduanya berusia empat tahun, karena Bortucan, tidak seperti
Rahile, belum bisa bicara dan tidak pernah bermain dengan anak lain. Dia
pemurung, sementara Rahile selalu cerah-ceria. Mungkin, dalam kebisuannya,
kesendiriannya, ada sesuatu yang kukenali dan kupahami.
Dalam panas sore hari, aku duduk di tikar di sudut pekarangan yang teduh,
mengusir lalat dengan kipas, membuat daftar kosakata, dengan rajin mencatat
setiap kata Harari baru yang kupelajari dan berusaha sebaik-baiknya memahami
tata bahasanya. Sebagian besar katanya tampak sangat dekat dengan bahasa Arab,
diturunkan dari akar yang sama, meskipun dirangkai dengan cara yang asing. Dan
aku menemukan bahwa bahasa Arab cukup dipahami sebagian orang. Di antara orang
yang lebih berpendidikan, orang yang memahami Al-Quran, seperti sebagian
tetangga Nouria yang lebih kaya, mengenal bahasa Arab. Nouria sebenarnya tidak
bisa berbahasa Arab, tetapi dia
hafal sejumlah peribahasa Arab.
Anwar bisa sedikit bahasa Arab, yang dipelajarinya ketika bersekolah beberapa
tahun di madrasah. Aku biasa menunjuk sesuatu di halaman-keco-ak, sekarung
gandum, rok yang tergantung di tali jemuran-dan Anwar memberi tahuku kata
Hararinya. Hal terakhir yang dinamainya untukku di halaman adalah tanaman yang
tumbuh di sepatu karet, tetapi dia tak tahu kata untuk bot itu sendiri.
"Di mana yang sebelah lagi?" tanyaku kepadanya.
"Sebelah yang mana?"
"Pasangan yang ini."
"Cuma ada yang satu ini," katanya.
Sedang apa sebelah sepatu lars teronggok di halaman di kota Muslim terpencil di
Afrika ini" "Dan tanamannya. Gunanya untuk apa?" tanyaku kepada Anwar.
Dia mengangkat bahu. "Nggak untuk apa-apa," jawabnya.
"Apa untuk bumbu atau obat?"
"Untuk jadi tanaman saja."
Nggak untuk apa-apa. Untuk jadi tanaman saja. Dalam dunia melarat ketika segala
sesuatu ada manfaatnya, aku merasakan satu tindakan remeh-temeh ini menenangkan
hati. Setelah dia menamai semua benda di halaman untukku, kami pindah ke dalam rumah
bertembok tanah dan menamai isinya yang tidak seberapa itu. Dibekali kata untuk
kasur busa, aku menanyakan di mana aku bisa membeli satu untukku. Dia tampaknya
bangga karena mampu menuntunku ke pasar, ke tempat seorang lelaki yang memotong
sebidang busa menurut petunjuk Anwar.
"Tapi, Anwar, itu terlalu besar," aku memprotes, setelah lelaki itu memotongnya.
"Tidak, tidak, bagus, kok!" katanya, dan meletakkan gulungan busa yang tebal itu
di kepalanya. "Baiklah," desahku, dan merogoh kantongku.
Seperti yang kuduga, gulungan itu terlalu lebar, tidak muat melewati pintu rumah
tanah itu. "Tidak masalah," kata Anwar dan membuka gulungannya di tanah. Dia masuk ke
dapur, kembali membawa pisau, dan memotong lurus di tengah-tengah kasur dengan
pisau itu. Dia membawa setiap potongan masuk ke rumah satu per satu dan
meletakkan pakaiannya di kepala kasur yang kedua.
Kosakataku berkembang selama berbulan-bulan, dengan kata yang dipungut dari
Nouria, dari Gishta ketika dia berkunjung, yang dilakukannya hampir setiap sore,
dan dari perempuan lainnya di lingkungan itu yang sekali-sekali berkumpul di
pekarangan pada hari Sabtu, untuk mengadakan bercha. Mereka menghamparkan
selimut di tanah dan duduk melingkar dan bergosip sambil makan qat. Mereka
mengudap berondong jagung, yang dipanggang dalam penggorengan datar di atas api
terbuka, melemparkan kristal dupa ke bara yang memadam, minum teh, dan mengisap
hookah, yang di sini dikhususkan untuk perempuan. Qat, tembakau, berondong
jagung, dan gosip adalah satu-satunya kemewahan dalam kehidupan miskin Nouria,
hadiah yang dibawakan oleh para tetangganya yang lebih berada.
Aku duduk di tepi lingkaran mereka, Bortucan biasanya di pangkuanku, sementara
aku menyeka hidungnya yang selalu beringus dengan kain lusuh. Beberapa perempuan
menganyam jerami sambil mengobrol, membuat keranjang untuk menghiasi dinding di
rumah yang lebih kaya daripada rumah Nouria. Bortucan sering menyentakkan
dadaku, lalu akhirnya merangkak dengan frustrasi dari pangkuanku ke pangkuan
ibunya, di mana, meskipun dia tidak selalu dijamin mendapatkan air susu, dia
akan mendapatkan kenyamanan.
Aku belajar dari mendengar, dari koreksi saat aku mencoba berinteraksi, dari
paparan dan penyelaman, melalui hari demi hari yang berubah menjadi minggu, yang
menjadi bulan, mendengarkan hanya bahasa itu, dari pengetahuan yang tidak
kupilih. Sebagai balasan kosakata baruku, aku menawari kedua anak lelaki itu bahasa Arab.
Setelah makan malam, kami duduk di samping cahaya api yang meredup di dapur
sesak dan melatih alfabet bersama-sama, menuliskan huruf di batu tulis dengan
kapur. Suatu hari Anwar mendatangiku dengan membawa buku-Al-Quran milikku, hadiah Abdal
Akbar untukku. "Anwar, dari mana kamu mendapatkan ini?" tegurku.
"Dari tasmu," katanya sambil menunjuk rumah. "Kamu nggak boleh membongkar
barangku," kataku, dan langsung malu akan nada posesif dalam suaraku. "Kamu ingin aku
membacakan ini untukmu, begitu ya?" tanyaku dengan lebih lembut.
Dia mengangguk bersemangat.
"Nah, pertama-tama kita harus membasuh tangan. Lalu kita menyatakan niat ..."
"Tunggu!" katanya, lalu berlari mengajak
adiknya. Setiap pagi setelah itu, kami duduk di lubang pintu ruangan gelap yang kami huni
bersama itu, dan mengaji dengan suara lirih selama sejam, dilatari suara
berirama Nouria yang berlutut menggosok pakaian di dalam bak logam besar. Selama
beberapa minggu, kedua anak itu menampakkan pengetahuan mereka tentang ayat demi
ayat, lalu surah demi surah. Mereka berhenti pada ayat terakhir surah kelima.
Jadi di sinilah kami memulai sungguh-sungguh. Dengar dan ulangi. Dengar dan
ulangi. Baris demi baris, ayat demi ayat, persis seperti cara Abdal Akbar
mengajariku dulu. Abdal Akbar menuntun tanganku dan mengatakan ini bunga dan ini batu dan ini
pohon. Di bawah bimbingannya, aku menancapkan akar, kata demi kata. Setiap
ucapan didahului oleh bismil/ahirrahmanirrahim, demi nama Allah yang Maha
Pengasih dan Maha Penyayang. Dunia di dalam Al-Quran itu utuh, dan ada tatanan,
proses, urutan langkah yang logis. Kitab itu adalah antitesis dari kehidupan
mengembara yang kujalani bersama orangtuaku; kitab itu obat penawar bagi
kematian mereka. Selalu ada tempat mendarat yang aman,
bahkan saat aku keliru. Jika aku tergagap membaca suatu kalimat, aku bisa
langsung mundur ke kalimat sebelumnya. Aku selalu bisa kembali ke bagian yang
sudah kuketahui. Inilah cara Islam; Islam diturunkan seperti hadiah dari generasi ke generasi.
Islam menghubungkan kita menembus waktu. Melalui proses ini, anak-anak ini akan
terhubung dengan Abdal Akbar, dengan ayah sekaligus gurunya sebelumnya, dan ayah
sekaligus gurunya sebelumnya lagi, terus menelusuri generasi-generasi hingga ke
sang wali sendiri. Dalam dunia tanpa ayah, aku adalah mata rantai dalam rantai
yang menghubungkan Rasulullah shallallahu 'ataihi wasallam dengan dua bocah
Etiopia yang berdebu. 7 A. .ku dan Nouria menyaring sekarung sorgum dengan cara yang dia ajarkan-menapis
bulirnya di penapis, menyingkirkan sekam longgar dan memunguti pasir dan
kerikil. Setelah selesai, kami menggiling bulirnya di dalam lumpang,
mencampurnya dengan air, lalu meninggalkannya di dalam ember agar berfermentasi.
Kami menggunakan genangan masam yang berdesis itu beberapa hari kemudian untuk
membuat persediaan injera yang cukup untuk persediaan dua minggu bagi kami
semua. Rahile berdiri di samping ibunya pagi itu, menarik-narik lengan bajunya. Nouria
mencoba membuatnya diam: "Ssst. Sebentar, Rahu, sebentar. Jangan ganggu ibumu.
Bermainlah di luar."
Tetapi, Rahile mulai menangis dan menyentak-nyentakkan kakinya. Bortucan,
mungkin dalam semangat kekompakan anak kembar, mengamuk dengan cara yang sama;
dengan mata terpejam erat dan tangan mungil terkepal bulat, dia meninju-ninju
udara dan mengeluarkan erangan aneh, sementara tangis kakaknya semakin nyaring.
Kesucian dan Bahaya "Ya Allah! Ada apa ribut-ribut begini?" seru Gishta sambil masuk ke halaman. Dia
menyandang tas kulit yang berisi qat dan tangannya memegang labu berisi susu
unta. "Kepalamu kejatuhan batu, Rahu" Kamu kerasukan jin?"
"Aku mau absuma! Ab-su-ma! Ab-su-ma!" dia merengek dengan setiap suku kata.
"Apa sih absuma yang dia minta ini?" tanyaku.
"Absuma itu mahal, begitu," kata Nouria sambil menapis gandum dengan tangkas.
"Dia ingin pesta, seperti teman-teman kecilnya di sekitar sini," Gishta
menjelaskan sambil berjongkok bersama kami. "Supaya orang datang dan berkata,
Oh, kamu anak baik, ini, permen ini untukmu, uang ini untukmu, ayo makan madu
lagi." Untuk merayakan ulang tahun" Aku bertanya-tanya, meskipun sepertinya tak ada
orang yang tahu usia mereka. Mungkin aku sekian tahun, kata mereka sambil
mengangkat bahu. Apa pentingnya" Atau, Semasa hidupku pernah terjadi empat
kemarau. "Tapi Nouria benar, pesta ini sangat mahal," Gishta menjelaskan. "Harus
menyembelih beberapa ekor ayam, mungkin juga seekor kambing, untuk memberi makan
semua orang. Lalu, tentu saja, harus bayar bidan."
"Buat apa ada bidan?" tanyaku.
"Karena dialah yang menyebabkan pesta itu ada, Lilly!" seru Gishta tak percaya.
"Tak akan ada pesta kalau tak ada bidan. Kamu kok tak tahu apa-apa" Dia tak tahu
apa-apa, Nouria!" "Aku kan bukan ibunya!" desis Nouria.
Apakah ibuku tak pernah mengajariku apa-apa" Dia pernah menunjukkan cara merajut
sederhana dan cara merangkaikan huruf. Dia pernah mengajariku permainan kartu,
termasuk poker lepas baju, sambil memberi tahuku bahwa kita tidak perlu malu
telanjang. Tetapi, waktu itu aku bingung soal itu, karena sementara mereka
berleha-leha dalam keadaan telanjang atau hampir telanjang, mengisap mariyuana
dan saling memandikan dengan spons, orang lain tetap berpakaian lengkap.
Dia mengajariku dari mana bayi berasal, tetapi tidak ke mana bayi pergi setelah
mati. Abdal Akbar-lah yang mengajariku tentang surga.
Kedua perempuan itu menatapku.
"Apa?" tanyaku.
"Kamu tahu, kamu harus selalu menutup rambut kalau keluar rumah," kata Gishta.
"Dan kamu tak boleh sekali-kali berduaan dengan lelaki, karena setan adalah yang
ketiga," tambah Nouria, peribahasa pertama dalam gudang peribahasa bahasa
Arabnya, yang sebagian besar sepertinya berkaitan dengan hubungan lelaki dan
perempuan. "Dan kamu tahu bahwa saat sedang haid, kamu tak boleh masuk ke masjid atau
menyiapkan makanan, karena haid adalah penyakit dan kotoran," kata Gishta
serius. Aku tak tahu apa hubungan semua ini dengan pesta Rahile, tetapi aku ingin
membantu, jadi kemudian aku menjejalkan sejumlah kecil uang ke
tangan Nouria. Nouria tersenyum kepadaku mungkin untuk pertama kalinya, dan berkata: "Untuk
Rahile maupun Bortucan. Tak bisa hanya salah seorang saja."
Rahile gembar-gembor tentang pesta mendatang selama berminggu-minggu, memberi
tahu semua orang yang mau mendengar. Orang di jalan menepuk kepalanya dan
mengatakan bahwa dia anak baik. Bahkan Bortucan tampak gembira dan tak sabar.
Gishta membuatkan rok yang serasi untuk kedua anak itu untuk acara tersebut, dan
meskipun Bortucan berhasil mengotori bagian depannya dengan tanah setelah
memakainya setengah jam, mereka berdua tumben tampak rapi. Dan gembira.
Rahile bertengger di bangku kayu kecil yang telah dipindahkan ke halaman, duduk
dengan punggung tegak dan mengayun-ayunkan kakinya dengan gembira, sementara
tetangga-tetangga perempuan membanjir masuk melalui pagar yang dibuka. Di
telinga mereka terselip bunga kenikir dan rempah wangi, dan mereka membawa
bungkusan permen yang berkilat-kilat, yang diletakkan di tanah sebelum duduk
Lily Pencarian Cinta Gadis Eropa Karya Camilla Gibb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
melingkari Rahile. Gishta mengedarkan nampan berisi cangkir teh kecil dari tanah
liat, tehnya dibuat dari sekam kopi yang direbus dalam susu dan air.
Sebagian besar dari mereka mengabaikanku, sementara aku berdiam di dapur,
menjaga sepanci lagi susu dan air yang akan mendidih di atas api.
Kedua kakak-beradik dari ujung jalan, yang jelas merasa geli denganku, berseru:
"Sebutkan apa kata Harari baru yang kamu terakhir pelajari?"
"Absuma gar," jawabku polos, ingin agar perhatian tetap pada Rahile, yang tampak
sedikit kesal. Mereka terbahak dan mengangkat tangan di atas kepala.
"Absuma gar! Allahu Akbar!" seru yang satu.
"Allahu Akbar!" seru yang lainnya beruntun, sampai riak bisik menyusup ke
kerumunan dan mereka terdiam. Seorang nenek yang bertubuh besar dan bermata sayu
dan berkeriput jeluk di wajahnya yang kuyu memasuki halaman, diikuti seorang
gadis Oromo yang mencengkeram kaki dua ekor ayam yang terjungkir, kakinya
berhias kertas krep. "Abai Taoduda," Nouria terkesima, lalu bergegas maju, jatuh berlutut dan mencium
bagian berdaging tangan perempuan itu, tempat bertemunya jempol dan telunjuk.
Abai Taoduda bertukar salam dengan semua orang, sementara si gadis Oromo
menyerahkan kedua ayam itu kepada Anwar, yang berdiri jauh di belakang, di
samping pagar bersama adiknya. Anwar memegang ayam itu dengan bangga, berbicara
kepada mereka, seolah-olah mereka memprotes pergantian kepemilikan ini.
Si nenek berjalan ke tengah lingkaran dan mengangkat telapak tangannya untuk
memuji Allah. Paduan suara pujian bersahutan di udara. Dia mendekati Rahile di
bangku, menariknya berdiri, dan mencium keningnya, lalu duduk tepat di tempat
Rahile duduk tadi dan menarik gadis itu ke
pangkuannya yang lebar. "Uma Sherifa!" seru si bidan. Sherifa, seorang perempuan buta yang tinggal di
lingkungan ini dan terkenal sebagai penyanyi yang merdu, berdiri. Dia sering
dibayar untuk menyanyi di acara pernikahan, tetapi karena aku belum pernah
diundang ke acara seperti itu, inilah pertama kalinya aku mendengar dia
bernyanyi. Matanya buram oleh lapisan putih, tetapi suaranya sangat jernih
sehingga aku serasa dapat mendengar sungai air segar yang terjun di sisi gunung,
aku dapat melihat tembok yang dibangun di sekeliling kota senti demi senti, aku
dapat merasakan kebahagiaan manis-getir menjadi seorang ge kahat, "putri sang
kota," yang perlindungannya bermanfaat bagi seluruh masyarakat.
Si bidan mengangkat roknya dan membuka kakinya yang montok dan berdekik. Dia
juga mengangkat rok Rahile dan mengikat paha anak itu ke bagian dalam pahanya
sendiri yang empuk itu dengan dua selendang panjang warna hitam. Lalu dia
memasukkan kain ke mulut Rahile, menyuruhnya menggigit kuat-kuat, menarik
lipatan kulit di antara kaki Rahile, dan dengan cepat mengirisnya dengan pisau
logam. "Sedang apa dia?" aku tak tahan berseru.
"Hus!" tegur orang-orang di dekatku.
Aku berdiri sambil menutup mulut, sementara si bidan beberapa kali mengiris
cepat dengan pisau itu, memotong irisan-irisan tipis kulit. Warna menyurut dari
paras Rahile. Gemetar menjalar di seluruh tubuhnya, sementara genangan kental
darah meluas di antara kakinya. Aku kehilangan rasa di bagian bawah tubuhku,
menyaksikan dengan ngeri, sementara darah mulai merayap ke tepi bangku. Rahile
melihatnya dan membungkuk sambil mengeluarkan jeritan kesakitan.
Di latar belakang, salah seekor ayam itu, yang kepalanya dipenggal oleh Anwar
bersamaan dengan tarikan turun pisau si bidan, berlarian liar di sekeliling
halaman. Para tamu menengadah dan menangkupkan tangan di atas mulut: paduan
suara tekak yang penuh perayaan saat mereka melolong ke langit. Aku ingin meraup
darah Rahile dalam tanganku dan mengembalikan warna ke wajahnya. Dia merintih-
rintih, bibirnya gemetar, bulu matanya menggeletar di atas mata yang hampa.
Nouria mengeringkan luka putrinya dengan kain lusuh, lalu si bidan menarik
selendang hingga lepas dan menyelipkan tangannya di bawah ketiak anak itu.
Nouria menyambar pergelangan kaki putrinya yang teronggok lemas, dan mereka
berdua membaringkannya di bangku. Si bidan menjepit kedua lembar kulit sisa di
antara kaki Rahile dan mulai menusuknya secara serampangan dengan sebaris enam
duri tajam. Aku menggigit buku jariku begitu keras, hingga berdarah. Si bidan
memasukkan korek api di celah antara kedua duri terakhir, dan rintihan Rahile
melambat dan menjadi dalam. Dia bernapas berat, seolah-olah melalui selimut.
Abai Taoduda memegang ketiaknya dan menyeretnya, lalu mengangkatnya ke atas
liang kecil yang membakar kayu wangi, agar asapnya membasuh luka. Dia
mengulurkan tangan yang kapalan, dan Nouria menyerahkan abu hangat dari api,
yang ditepuk-tepukkan si bidan di antara duri dengan jarinya yang datar. Dua
orang perempuan memegangi bahu Rahile, sementara si bidan membalutkan perban
pada kedua kakinya, mengikatnya hingga tak bisa bergerak dari pinggul hingga
ujung kaki. Mereka menggotongnya ke dalam gubuk dan membaringkannya di atas
kasur busa. Aku tak tega: Nouria sedang menarik Bortucan ke depan.
"Dia terlalu muda!" aku memprotes.
Bisik-bisik panas di sekelilingku.
Kata Nouria, "Dia cukup tua untuk mengingat rasa sakitnya."
Aku terpaksa membuang muka. Aku harus menyeruak menembus kerumunan dan berdiri
sendirian di jalan. Aku tak mendengar apa-apa dari Bortucan, hanya paduan
sukacita dari kaum perempuan yang melolong. Ayam tak berkepala menyenggol
betisku sambil berlari ke jalan. Anwar mengejarnya beberapa meter sebelum
menerkamnya dan membekapnya dengan dada.
Inilah pesta yang ditunggu-tunggu Rahile.
jK^edua anak perempuan itu diperintahkan berbaring dalam keadaan terikat selama
empat puluh hari, cukup lama agar jaringan bekas luka terbentuk, dan mereka
harus minum sesedikit mungkin supaya korek api itu tidak perlu dilepas untuk
melewatkan air seni. Rahile-meskipun merintih saat harus buang air-memberi
tahuku bahwa dia merasa istimewa, dia merasa dicintai.
Tamu berbaris dan memasuki ruangan satu per satu untuk mengucapkan selamat
kepada kedua anak itu dan memberi mereka permen dan uang serta ciuman di kening.
"Sekarang mereka akan tumbuh menjadi perempuan terhormat," kata Gishta kepadaku
dengan bangga. "Ini peristiwa terbesar dalam hidup perempuan, Lilly-selain
pernikahannya, tentu saja."
Dan pernikahan itu tergantung pada absuma ini, menurut Gishta: tak ada orang
yang berani menikahi gadis yang tidak disunat, seorang sharmuta, gadis yang liar
karena berahi. Gadis seperti itu hanya akan menimbulkan fitnah, kekacauan, dan
aib bagi keluarganya. Namun, Bortucan tampaknya tidak sesehat kakaknya. Dia mengerang dengan sangat
mengenaskan. Aku menyimpulkan bahwa dia pingsan ketika operasi, dan meskipun
esok harinya dia terbangun dan menyesap teh bergula, perbannya basah oleh darah.
Aku membantu Nouria membuka balutan dan mengganti perban, sambil berupaya tidak
menunjukkan rasa ngeriku, khawatir kalau-kalau aku menyebabkan Bortucan semakin
ketakutan. Kakinya sedingin batu dan giginya bergemeletuk saat kami membungkusnya dengan
kain baru. Kami menutupinya dengan selimut dan setiap potong pakaian miliknya.
Dia bolak-balik tidur dan terbangun, menggumam seperti mengigau, dan pada akhir
hari kedua, Nouria sudah cukup cemas sehingga memanggil dukun.
Seorang kakek datang membawa pena bulu dan tinta. Dia duduk di dekat pintu
pondok, dan dari balik bahunya, aku mengamati dia sedang menuliskan beberapa
ayat Al-Quran di secarik kertas kecil yang digulung dan dimasukkannya ke dalam
tabung kulit merah yang tipis. Dia memasang seutas benang di ujung-ujung tabung
tersebut dan menyerahkannya kepada Nouria, yang mengikatkannya pada leher
Bortucan. Aku meraba-raba jimatku. Untuk menghalau jin jahat, demikian keterangan Abdal
Akbar. Tetapi, situasi sekarang ini bukan hasil kerja ruh jahat. Ini
hasil kerja seorang bidan, dengan dukungan penuh setiap perempuan di lingkungan
ini. Ini adalah hasil seorang anak perempuan yang menuntut: "Ab-su-ma !"
Pada hari ketiga, Nouria memanggil tabib. Perempuan bertato dengan rambut cerah
yang diwarnai inai itu merebus ramuan berbau belerang di atas api sampai
mengental menjadi salep seperti tanah liat. Dia mengoleskan campuran ini ke
semua lubang tubuh Bortucan-mulutnya, telinganya, matanya, tempat di antara
duri-dan membawanya keluar pondok, hingga sinar matahari membuat salep itu
mengeras dan luruh. Bortucan terbangun pada hari keempat, perbannya lagi-lagi bersimbah darah.
Sekarang, ratap Nouria, kami harus memanggil dokter. Selama berbulan-bulan aku
tinggal di sini, Nouria belum pernah memanggil dokter, meskipun dia dan anak-
anaknya sering sakit, tanpa sadar tubuh mereka menjadi inang bagi parasit, yang
menyiksa mereka dengan diare, dan menggembungkan perut mereka menjadi balon yang
mengeras. Dokter adalah upaya terakhir dalam komunitas yang telah dikuasai oleh
bidan, dukun, dan tabib. Aku berbaring di antara kedua anak perempuan itu di sudut yang gelap, berusaha
mengalihkan perhatian mereka dengan kisah kedatangan para dai Arab di Abisinia
yang mendengar azan dari muazin pertama Islam ketika sedang melewati pegunungan
timur. Mereka lalu berdoa kepada Tuhan, karena menganggap ini sebuah mukjizat,
Rajawali Sakti Dari Langit Selatan 9 Wiro Sableng 033 Panglima Buronan Pangeran Bunga Bangkai 2