Maya Misteri Dunia 4
Maya Misteri Dunia Dan Cinta Karya Jostein Gaarder Bagian 4
satunya yang menghilang ketika kita mati adalah imajinasi kita sendiri yang
merasa terpisah dari seluruh dunia begitu kita memercayai bahwa mimpi kita
bukanlah bagian dari jiwa kita sendiri."
John berterima kasih kepada Laura atas kontribusinya, dan kini adalah giliran
Mario. "Saya seorang Katolik," hanya itu yang diucapkannya, dan ia melambaikan tangan
untuk menunjukkan bahwa tidak ada yang dapat ia tambahkan.
Tetapi, John tidak mengizinkannya mengelak dengan begitu mudah, dan akhirnya
sang pelaut kesepian itu pun menjelaskan.
"Anda semua duduk di sini dan bercakap-cakap dengan begitu entengnya tentang
sesuatu yang dapat Anda lihat, sementara pada kenyataannya kedua mata Anda buta.
Anda berkata dapat melihat semua bintang dan galaksi, evolusi kehidupan di Bumi,
dan bahkan materi genetik. Anda melihat keteraturan muncul dari kekacauan dan
Anda bahkan menyombongkan diri dapat melihat masa lalu hingga saat terjadinya
penciptaan. Dan pada akhirnya, Anda menyatakan telah membuktikan bahwa Tuhan itu
tidak ada! Bravo!" Karena ia tidak melanjutkan, John berusaha membujuknya agar memulai lagi, dan
setelah terdiam sejenak, Mario pun berkata, "Kita sudah pernah datang ke hampir
segala tempat sekarang, dan belum pernah sekalipun menemukan adanya suatu bentuk
ketuhanan. Tidak ada Tuhan yang menunggu kita di atas Puncak Everest. Tidak ada
meja yang telah disiapkan bagi kita di permukaan Bulan. Bahkan, kita belum
pernah melakukan kontak radio dengan Roh Kudus. Tetapi, jika kita bermain petak
umpet, petak umpetlah yang kita dapatkan. Yang saya coba katakan adalah:
siapakah yang memiliki filsafat tentang dunia yang paling naif" Para teolog"
Atau para reduksionis?"
Ketika Evelyn bertepuk tangan singkat, Mario melanjutkan, dan segera menjadi
lebih antusias. Ia menyebutkan bahwa saat muda, ia adalah seorang guru fisika,
dan hingga kini masih mengikuti informasi dengan membaca majalah dan buku-buku
mengenai subjek itu. "Kita telah lama melihat menembus biosfer. Segalanya hanyalah makromolekul,
hanya protein bahkan tidak hanya itu, tetapi tidak lebih dari campuran asam-asam
amino. Luar angkasa juga tidak terlalu menarik. Hanya sebuah Ledakan Dahsyat
yang memulai segalanya. Tidak ada yang misterius mengenai apa pun: efek Doppler,
radiasi latar belakang kosmik, ruang melengkung, atau apa pun di atas sana.
Itulah yang disebut fisika, atau fisika teoretis. Hanya kesadaranlah misteri
yang tersisa, walaupun jika Anda menguraikannya, tidak banyak yang dapat
dikagumi mengenainya, sama seperti hal-hal lainnya di alam semesta ini.
Kesadaran juga hanya tersusun dari atom-atom dan molekul-molekul. Filsafat
mungkin akan mendapatkan libur panjang. Karena tidak ada lagi teka-teki yang
tersisa untuk ditebak. Atau, apakah ilmu pengetahuan yang memerlukan istirahat
untuk berpikir" Mungkin ilmu pengetahuanlah yang hampir mati. Satu-satunya yang
membuat kita khawatir sekarang dan dengan mengatakan "kita", harus saya
tambahkan bahwa kita adalah kaum minoritas adalah dunia itu sendiri. Tetapi,
beri saja beberapa argumen yang rumit, dan kami tidak akan bertanya lebih
lanjut." Evelyn bertepuk tangan lagi, dan Jose dan Bill mengangguk-angguk.
Setelah Mario adalah giliran John.
"Saya telah ungkapkan keyakinan saya bahwa sebenarnya banyak masalah besar yang
kita ajukan dapat diselesaikan dengan satu jawaban sederhana. Kesulitannya
adalah tidak mudah memilih di antara jawaban-jawaban yang ada. Saya juga
berusaha untuk menunjukkan bahwa pertanyaan-pertanyaan mengenai kosmos mungkin
lebih cocok diajukan dalam permainan-permainan saat pesta dibandingkan untuk
analisis ilmiah. Ilmu pengetahuan telah memberi kita teori evolusi, teori
relativitas, fisika kuantum, juga teori Big Bang yang menarik. Baiklah, bagus!
Semua itu bagus. Pertanyaannya lalu apakah ilmu alam telah mulai mendekati
akhir. Walaupun dalam waktu dekat kita akan dapat memetakan seluruh genom
manusia dengan beratus-ratus ribu gen yang ada di dalamnya sepertinya tetap
tidak mungkin hal ini membuat kita menjadi lebih bijak. Peta itu sendiri hampir
pasti akan memajukan bioteknologi dan mungkin membantu menyembuhkan berbagai
penyakit, tetapi kemungkinan besar tidak akan menunjukkan apakah sesungguhnya
kesadaran itu atau menjawab mengapa kesadaran itu ada. Dan kita dapat terus
bertahan dalam situasi seperti itu. Jawaban untuk pertanyaan apakah ada
kehidupan di sebuah galaksi yang jauhnya beberapa ratus juta tahun cahaya dari
kita adalah sesuatu yang tidak akan pernah kita tahu, karena jaraknya terlalu
jauh. Dan walaupun kita selalu
memperdalam pemahaman kita tentang evolusi alam semesta, kita tidak akan pernah
bisa memberikan penjelasan ilmiah mengenai apakah alam semesta itu.
Tetapi, izinkan saya meminjam sebuah perumpamaan dari Laura, yang membandingkan
dunia luar sebagai sebuah mimpi. Ini adalah sebuah alegori yang luar biasa. Jika
dunia ini adalah sebuah mimpi, ilmu pengetahuan berusaha menganalisis apakah
sesungguhnya zat-zat dari mimpi itu sendiri. Ilmu pengetahuan berusaha mengukur
jarak dari satu ujung mimpi ke ujung lainnya. Tetapi, semua orang juga setuju
bahwa waktu dan ruang runtuh jika kita mengintip ke sisi-sisi luar alam semesta
dan jika kita menengok ke belakang hingga saat terjadinya Big Bang, walaupun
sesungguhnya kita membicarakan dua sisi dari sebuah koin yang sama. Karena,
semakin jauh kita melihat ke dalam alam semesta, semakin jauh pula kita melihat
kembali ke dalam sejarahnya. Maka, kita pun mencoba sedapat mungkin untuk
mencari jalan kita dalam mimpi itu. Dan bagus, semua ini memang baik. Tetapi,
kita tidak dapat keluar dari mimpi itu. Kita tidak akan pernah dapat melihatnya
dari luar. Kepala kita terantuk pada batas terakhir mimpi itu sama seperti
seseorang yang autis mungkin membenturkan kepalanya ke dinding."
Aku menuangkan sampanye lagi ke dalam gelas Laura.
"Apakah Anda benar-benar menyingkirkan kemungkinan bahwa suatu hari kita akan
dapat jauh lebih memahami dunia yang kita huni ini?" tanyaku. Ia menggelengkan kepala.
"Justru sebaliknya. Saya punya keyakinan penuh pada intuisi manusia. Tetapi,
jika kita ingin memecahkan teka-teki alam semesta, mungkin seharusnya kita
mencari jawabannya dalam hati, dan siapa tahu teka-teki itu sebenarnya sudah
pernah terpecahkan. Saya sama sekali tidak akan terkejut jika solusi atas
misteri alam semesta telah tersimpan dalam suatu tulisan Yunani, Latin, atau
India Kuno. Dan jawabannya sama sekali tidak perlu begitu rumit, mungkin hanya
sepanjang sepuluh atau dua puluh kata. Sama seperti saya yakin bahwa teori maya
milik Laura dapat disingkat menjadi beberapa kalimat saja. Malam ini kita
mendapatkan jawaban-jawaban eksplisit atas seluruh rangkaian pertanyaan yang
tidak memiliki lebih dari dua alternatif. Saya yakin, tidak ada peralatan modern
yang dapat membuktikan di antara jawaban-jawaban yang kita berikan mana yang
benar dan mana yang benar-benar salah. Bagaimana pendapat Anda, Ana?"
Kini adalah gilirannya. Selama beberapa saat, wanita itu hanya memandang ke luar
ke arah malam tropis. Kemudian, ia menegakkan duduknya dan berkata dengan
bersungguh-sungguh, "Ada sebuah kenyataan lain di balik kenyataan yang kita
saksikan ini. Ketika saya mati, saya tidak akan mati. Anda semua akan meyakini
bahwa saya telah mati, tetapi saya tidak mati. Tidak lama lagi kita akan bertemu
kembali di sebuah tempat lain."
Kata-kata ini mengumumkan akhir dari pesta ini. Arti dari percakapan ini telah
berubah total. Suasana ngeri terasa di sekeliling meja, dan kurasa bukan aku
sendiri yang melihat sebutir air mata mengalir dari mata Jose. Ana melanjutkan,
"Anda semua akan berpikir kalian tengah berada di sebuah pemakaman, tetapi
kenyataannya Anda akan menyaksikan sebuah kelahiran baru ...." Kini Ana menatapku
lurus-lurus. "Ada sesuatu di balik semua ini," ia berkeras. "Di sini kita hanyalah ruh yang
melayang-layang dalam peralihan."
"Sudahlah, cukup," Jose berbisik dalam bahasa Spanyol. "Engkau tidak perlu
melanjutkan." Semua mata tertuju kepada Ana sementara ia berbicara. Saat itulah hal itu
terjadi, Vera, kejadian yang membuatku begitu banyak menceritakan "konferensi
tropis" di Maravu Plantation Resort.
"Kita hanyalah ruh yang melayang-layang dalam peralihan," ulang sang ketua.
Sambil mengatakan hal itu, ia meletakkan satu jarinya di dahi Ana dan berkata,
"Dan ruh yang ini bernama Maya!"
Jose menggelengkan kepalanya dengan gelisah dan merangkul Ana untuk
melindunginya. Tampak jelas bahwa komentar yang terakhir telah membuatnya tidak
senang. Atau mungkin ia hanya tidak suka cara orang Inggris itu menyentuh Ana
dengan jari telunjuknya" Bagiku, reaksinya sulit untuk ditebak.
"Kurasa cukup sudah," ujarnya.
John menggigit bibirnya seolah-olah tiba-tiba sadar bahwa ia telah bertindak
tanpa berpikir. Walaupun begitu, ia berkata, setengah kepada dirinya sendiri,
sambil sekali lagi melirik sekilas ke arah Ana, "Dan juga ada sebuah karya besar
yang terlibat di sini."
Jose menanggapinya dengan menarik Ana dari kursinya.
"Terima kasih!" ujarnya. "Cukup sudah!"
"Ayo, kita pergi!" ujarnya kepada Ana dalam bahasa Spanyol.
Dan mereka pun menghilang ke dalam pepohonan palem. Itu adalah kala terakhir
kami melihat kedua orang Spanyol itu malam itu, tetapi saat itu sudah lewat
tengah malam. Kurasa, setelah satu menit penuh barulah orang-orang mulai berbicara. Kami hanya
duduk di sana memikirkan apa yang telah terjadi di antara John dan Jose. Bill
adalah yang pertama memecah keheningan.
"Anda semua tahu apa yang saya pikirkan?" ujarnya dengan sebuah cengiran lebar.
"Saya berpendapat ada sekitar enam miliar orang yang suka bercakap-cakap di
planet ini, dan kita hanya berada di sini selama delapan puluh hingga sembilan
puluh tahun maksimal. Dan Anda dapat menemukan begitu banyak hal menyenangkan
untuk dikatakan dan begitu banyak omong kosong."
Perlahan Laura bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menjauh dari kelompok
itu. Di atas sebuah meja samping terletak sebuah teko berisi air
es. Diangkatnya teko itu dan ia berjalan ke belakang orang Amerika itu.
Kemudian, ia menuangkan seluruh isi teko, air dan es batu, di atas kepalanya.
Lelaki itu duduk terpaku selama setidaknya dua detik, tanpa bergerak sedikit
pun. Kemudian, ia melompat berdiri dari kursinya, mencengkeram lengan kiri
Laura, menariknya mendekat, lalu memukulnya.
Aku bersimpati terhadap si lelaki hingga saat itu, dan walaupun pukulan itu
tidak keras, lebih seperti sebuah tamparan dengan tangan terbuka, tetap saja
semua ada batasnya. Jelas bahwa orang Amerika itu telah membuat semua orang
tidak bersimpati kepadanya, dan bahkan memandang kedua botol Veuve Clicquot yang
kosong tidak membantu. Laura hanya berjalan dengan tenang kembali ke meja dan
duduk di sampingku tanpa sepatah kata pun.
John mulai berterima kasih kepada kami atas sebuah malam yang menyenangkan. Ia
menambahkan, "Besok, kita tidak harus berpikir terlalu melangit."
Bill meninggalkan meja, begitu pula Mark dan Evelyn kurasa, kedua orang Amerika
muda itu hampir melarikan diri membayangkan akan terjadinya perkelahian lagi.
Mario telah meninggalkan meja bahkan sebelum Laura mengosongkan teko air esnya.
Aku meletakkan tanganku di pipi kiri Laura.
"Sakitkah?" tanyaku.
Ia menggelengkan kepalanya.
"Kelihatannya tidak baik."
Ia berkata, "Kau harus belajar membebaskan dirimu, Frank." "Apa?"
"Tetapi, apa yang kau hilangkan tidak berarti dibandingkan apa yang kau
dapatkan." Diterangi cahaya lilin dari atas meja, aku menatap ke dalam satu mata cokelat.
Jauh di dalam pigmen yang gelap, sebuah garis berwarna hijau berjuang agar tidak
terkalahkan oleh warna cokelat.
"Dan apa yang aku dapatkan?"
"Engkau akan mendapatkan seluruh dunia."
"Seluruh dunia," ulangku.
Ia mengangguk. "Apa yang kau hilangkan mungkin terasa besar dan penting. Tetapi, hal itu tidak
lebih dari sebuah ilusi yang dipaksakan."
"Diri sendiri, maksudmu. Itukah yang merupakan ilusi?"
"Hanya diri kecil. Hanya diri ilusi. Sebenarnya, diri itu sama seperti tidak
ada. Tetapi, engkau memiliki sebuah diri yang lebih besar."
Aku mendengar seseorang mendekat dalam kegelapan, dan detik berikutnya sebuah
teko berisi air dikosongkan di atas kepala kami. Aku tidak percaya bahwa secara
tidak sengaja sebagian besar air tersebut mendarat padaku, walaupun kami duduk
begitu dekat saat hal itu terjadi. Sebelum kami sempat berpikir, siapa pun yang
telah melakukan hal itu telah menghilang.
"Si bodoh itu," ujar Laura penuh kebencian.
Aku berdiri dan menggoyangkan kepalaku. Kemejaku basah kuyup. Begitu pula blus
Laura, dan aku hampir tidak dapat berpikir jernih melihat betapa blus itu
menempel pada kulitnya. "Mungkin sebaiknya kita kembali saja," ujarku. Ia menatapku dengan mata
hijaunya, "Engkau yakin?"
"Yakin sekali," ujarku.
Setelah kami pergi ke arah yang terpisah, barulah kusadari pertanyaannya tadi
tentunya merupakan sebuah undangan.
* Malam itu, aku hampir tidak sabar untuk kembali kepada Gordon. Sebenarnya
hatinya baik, dan mungkin ia benar saat mengatakan tidak banyak gunanya aku
meminum begitu banyak gin hanya agar dapat tidur pada malam hari.
Ia telah mengambil posisi di atas sebuah cermin besar di sebelah kanan meja
tempat tidurku, dan begitu aku menutup pintu di belakangku, aku mendengarnya
berlari dari satu sisi ke sisi yang lain. Tentu saja aku tidak dapat benar-benar
yakin bahwa itu adalah Gordon, karena tentunya ada beberapa tokek di dalam kamar
tidurku, dan aku tidak terlalu bersemangat untuk harus mulai dari awal dan
memperkenalkan diri kepada seekor tokek baru. Tetapi begitu menyalakan lampu,
aku dapat melihat bahwa itu memang dirinya. Aku selalu memiliki semacam bakat
untuk membedakan ciri-ciri setiap
vertebrata, dan tentu saja tokek adalah sebuah individu, sama seperti manusia,
pikirku. Mereka memiliki tingkatan individualitas yang persis sama dengan kita.
Hal itu setidaknya adalah sebuah pendapat yang kuyakin akan didukung oleh
perwakilan WWF yang ada di pulau ini. Selain itu, Gordon adalah seekor tokek
jumbo, mungkin ia adalah yang terbesar dalam kelasnya.
"Aku akan langsung tidur," aku mengumumkan. "Aku mengatakan ini hanya agar
engkau tidak tersinggung jika aku tidak duduk-duduk dulu dan bercakap-cakap
hingga lewat tengah malam."
Aku membuka tas kabinku dan memutar tutup botol gin. Aku menelan satu tegukan
besar, satu tegukan yang cukup besar untuk meyakinkan agar aku tertidur.
"Terus terang, itu sulit kupercaya," ujar Gordon.
"Ha?" "Bahwa engkau akan pergi tidur. Aku juga yakin engkau akan minum lagi dari botol
itu." "Aku sama sekali tidak berencana melakukan hal itu."
"Apakah malammu menyenangkan?"
"Aku tidak ingin membicarakannya. Jika mulai berbicara sekarang, aku tidak tahu
apakah akan bisa berhenti. Lalu, semuanya akan sama seperti kemarin. Kau tahu,
kan, maksudku?" "Aku hanya bertanya apakah malammu menyenangkan."
"Laura adalah seorang panteis," ujarku. "Dan
ia juga seorang penganut monisme yang ekstrem. Aku dapat saja menyebutnya
sebagai penganut monisme vulgar."
"Dengan kata lain, seorang wanita yang cerdas. Ia tidak berputar-putar setengah
tidur seperti beberapa orang yang kutahu. Dan aku yakin, ia juga tidak
membersihkan giginya dengan gin."
"Kemudian, ia membahas tentang maya. Aku pernah mendengarnya sebelumnya, jadi
aku tidak perlu dikuliahi."
"Maya adalah sebuah ilusi tentang dunia," ujar Gordon. "Maya menciptakan ilusi
menyakitkan bahwa diri hanyalah sebuah ego semata, yang terpisah dari Diri yang
Besar dan hanya memiliki beberapa bulan atau tahun untuk hidup. Maya juga
merupakan nama sebuah bangsa di Amerika Tengah, tetapi
hal itu adalah sesuatu yang benar-benar berbeda ii
"Sudah kubilang aku tidak perlu diberi penjelasan. Tetapi Jose bereaksi begitu
aneh ketika orang Inggris itu meletakkan jarinya di dahi Ana dan seakan-akan
mengungkap dirinya yang sebenarnya. 'Ruh yang ini bernama Maya,' ujarnya, dan
kemudian ia bergumam tentang suatu 'karya besar'. Apa yang ia katakan memang
aneh, sangat aneh. Tetapi wanita itu juga bereaksi dengan sangat mengherankan.
Seolah-olah ia tidak tahan diberi tahu secara terang-terangan."
"Ada sebagian orang yang begitu kuat berada dalam cengkeraman maya sehingga
terasa menyakitkan untuk bangun. Ham pir seperti terbangun dari
mimpi buruk." "Omong kosong. Engkau tidak tahu apa yang kumaksud. Engkau bahkan tidak ada di
sana."
Maya Misteri Dunia Dan Cinta Karya Jostein Gaarder di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku ada di mana-mana, Frankie. Hanya ada satu diriku."
"Kumohon, hentikan omong kosong ini."
"Aku hanya mengutarakan pernyataan paling sederhana dan paling nyata dari alam
semesta." "Yaitu?" "Hanya ada satu dunia."
"Baiklah, aku mengerti itu. Hanya ada satu dunia."
"Dan itu adalah dirimu." "Oh, diamlah."
"Engkau harus keluar dari kungkungan diri, Tuan. Cobalah melihat lebih tinggi
dari pusarmu dan ke luar, ke luar ke arah hasil karya alam di sekelilingmu, ke
luar, ke curahan tanpa henti kenyataan yang ajaib."
"Aku berusaha."
"Dan apa yang kau lihat?"
"Aku melihat pepohonan palem di belahan bumi selatan."
"Itu adalah dirimu."
"Kini aku melihat Ana keluar dari dalam pemandian bergelembung di bawah Air
Terjun Bouma." "Itu adalah dirimu."
"Aku mengenali kepalanya, tetapi tidak badannya."
"Sekarang berkonsentrasilah."
"Aku melihat sebuah planet yang hidup."
"Itu adalah dirimu."
"Dan aku melihat sebuah alam semesta yang mengagumkan dengan bermiliar-miliar
galaksi dan kumpulan galaksi."
"Semua itu adalah dirimu."
"Tetapi ketika aku melihat ke luar, ke alam semesta, aku juga melihat ke masa
lalu, ke dalam sejarahnya. Aku benar-benar mempelajari kejadian-kejadian yang
mungkin saja berusia beberapa miliar tahun. Banyak dari bintang yang kulihat
sekarang, pada saat ini juga telah lama berubah menjadi raksasa merah atau
supernova. Sebagian dari mereka telah berubah menjadi katai putih, bintang
neutron yang membara, dan lubang hitam."
"Engkau melihat ke masa lalu dirimu sendiri. Itulah yang disebut sebagai memori.
Engkau berusaha mengingat sesuatu yang telah kau lupakan. Tetapi, itu adalah
dirimu, semua itu." "Aku melihat sebuah sistem tidak teratur yang terdiri dari bulan-bulan dan
planet, asteroid-asteroid dan komet."
"Itu semua adalah dirimu. Karena hanya ada satu realitas."
"Betul. Sudah kubilang aku setuju akan hal itu."
"Hanya ada satu materi dunia, hanya ada satu
zat." "Dan itu adalah aku?" "Itu adalah dirimu."
"Berarti, aku bukanlah seseorang yang lemah?" "Hanya jika engkau menyadari hal
itu. Hanya jika engkau dapat meninggalkan dirimu."
"Betul, tepat sekali. Dan mengapa hal itu begitu sulit?"
"Karena engkau tidak ingin melepaskan dirimu sendiri. Sebenarnya sesederhana
itu." "Bahkan sebuah solusi yang mudah bisa saja sulit dipraktikkan. Contohnya, mudah
sekali bunuh diri." "Engkau tidak primitif seperti itu." "Primitif?"
"Hal itu juga mensyaratkan engkau kehilangan
ego." "Benar juga, dan yang menjadi paradoks adalah bahwa aku mungkin saja melakukan
bunuh diri hanya karena rasa takut akan kematian yang datang dengan perlahan.
Terkadang seorang anak kecil memakan cokelat hanya karena ia khawatir orang lain
memakan cokelatnya. Tetapi kita sudah pernah membicarakan hal ini sebelumnya.
Engkau dengan mudah dapat melepaskan ekormu bila diserang. Aku tidak dapat
melepaskan kedua atau ketiga lipatan otakku. Aku tidak dapat begitu saja
mendatangi sebuah klinik dan meminta dibedah otak hanya karena menderita
kegelisahan kosmik."
"Lagi pula itu tidak akan menyelesaikan masalah. Itu hanya akan membawamu
kembali ke kondisi semula dan engkau tidak akan mendapat kesempatan untuk sadar
kembali. Menurutku, engkau memerlukan seluruh lapisan otakmu untuk proses ini."
"Tidakkah kata-kata itu sedikit terlalu berat diucapkan olehmu?"
"Dengan kata lain, engkau harus mati. Engkau
harus memiliki komitmen terhadap perbuatan berani itu."
"Bukankah baru saja kau katakan bahwa itu bukanlah sebuah solusi?"
"Tetapi, engkau hanya harus mati dalam arti kiasan. Bukan dirimu yang harus
mati. Konsep mengenai 'aku1 yang terlalu dibesar-besarkan yang harus
dihilangkan." "Aku mulai bingung dengan berbagai kata ganti yang kau gunakan."
"Mungkin sekali. Mungkin kita memerlukan sebuah kata ganti yang lain."
"Ada saran?" "Engkau pasti pernah mendengar jenis kata ganti yang disebut 'pluralis
majestatis'." "Tentu saja, yaitu ketika seorang raja atau kaisar merujuk kepada dirinya
sendiri dengan kata ganti 'kami'. Itu disebut kata ganti 'kami' kebangsawanan."
"Menurutku, kita juga memerlukan kata ganti 'aku' kebangsawanan."
"Dan apakah gunanya?"
"Ketika engkau berkata 'aku', engkau hanya bergantung pada konsep ego, yang
sebenarnya salah." "Sekarang engkau mulai berbicara berputar-putar."
"Tetapi cobalah berpikir mengenai planet ini secara keseluruhan, dan juga
seluruh alam semesta, yang di dalamnya planet ini adalah sebuah bagian yang
organik." "Aku coba." "Engkau memikirkan segalanya yang ada." "Aku memikirkan segalanya yang ada."
"Dan seluruh galaksi, segalanya yang meledak lima belas miliar tahun yang lalu."
"Segalanya, betul." "Sekarang katakanlah 'aku'." "Aku."
"Apakah sulit?"
"Sedikit. Tetapi juga sedikit menghibur." "Pikirkan segalanya yang ada.
Kemudian, katakanlah keras-keras kepada dirimu sendiri: 'Ini adalah aku!'"
"Ini adalah aku "Tidakkah itu terasa melegakan?" "Sedikit."
"Itu karena engkau menggunakan kata ganti baru 'singularis majestatis'."
"Benarkah?" "Kurasa, engkau sudah hampir bisa, Frank."
"Bagaimana bisa" Aku hanya berterima kasih akan pelajaran ini, itu saja."
"Kurasa, engkau bisa menjadi seperti aku. Dengan kata lain terselamatkan, dan
benar-benar terbebas dari segala penyakit kejiwaan mengenai keberadaan."
"Tidak, tidak juga. Engkau sedikit ceroboh di
sini." Aku membuka tas kabinku lagi dan menelan seteguk besar isi botol gin. Aku tahu
ia pasti akan mengucapkan komentar sinis, dan beberapa saat
kemudian, ia berkata, "Engkau harus mengakui bahwa engkau tidak mengenal dirimu
sendiri dengan baik."
"Itu tergantung kata ganti jenis apa yang kau gunakan saat ini."
"Belum lama ini engkau mengumumkan akan pergi tidur dan pasti tidak akan
menyentuh minuman lagi."
"Kemudian engkau mulai berbicara. Dan hampir saja kau memperdayaku. Engkau
hampir membuatku berharap diriku adalah seekor tokek." "Apa katamu?"
"Kubilang, engkau mulai berbicara."
"Maksudku, kata ganti mana yang kau gunakan" Siapakah yang mulai berbicara?"
Sungguh lihai. Ia telah membuatku salah langkah lagi. Sebenarnya, memang aku
yang terus melanjutkan percakapan.
"Jadi, engkau tidak banyak mengetahui dirimu sendiri," ujarnya. "Dan engkau juga
punya masalah besar dalam menentukan apa yang kau inginkan."
"Aku mengakui punya beberapa kelemahan sepele," aku mengaku.
Aku merasa tidak kehilangan apa pun dengan melakukan pengakuan ini.
Bagaimanapun, kita tidak perlu terlalu menyembunyikan diri dari seekor tokek.
"Tetapi ada hal lainnya."
"Katakanlah!" "Engkau berbicara kepada diri sendiri." "Haruskah engkau mengingatkanku?" "Kini
engkau menggigit ekormu sendiri, Frank.
Aku menyarankan agar kau putuskan saja ekor itu segera."
"Kalau begitu diamlah!"
"Engkau berbicara kepada diri sendiri."
"Apa?" "Ruh dunia juga berbuat begitu." "Apa?"
"Ruh dunia berbicara kepada dirinya sendiri. Karena hanya ada satu ruh dunia."
"Dan nama sang ruh dunia ini?" "Dirimu sendiri."
Aku terduduk sambil merenungkan apa yang baru saja ia ucapkan.
"Dalam kehidupanku yang selanjutnya, kurasa aku akan mendalami tata bahasa,"
ujarku. "Apa pendapatmu jika tema ini kujadikan disertasi gelar doktorku:
'Identitas dan Status Ontologi. Sebuah Analisis Tentatif mengenai Kata Ganti
Baru Singularis Majestatis'?"
"Bagus sekali, menurut pendapatku. Hanya pada saat itulah bidang linguistik akan
mencapai taraf yang positif. Semua kata ganti yang lain benar-benar maya."
"Dan Ana adalah maya."
"Betul, begitu pula dirinya."
"Karena ia berbicara kepada dirinya sendiri." "Dan siapakah, contohnya, yang
berbicara pada abad ke-4 sebelum Masehi?"
"Pada awalnya Sokrates dan para pengikutnya," ujarku. "Kemudian datanglah Plato
dan murid-muridnya, kemudian Aristoteles dan Theophrastus
yang tentunya melakukan percakapan-percakapan menarik mengenai tokek "berjari
setengah" di sebuah pulau Yunani Lesbos ...."
"Apakah engkau memercayai hal itu?"
"Tentunya engkau tidak akan mengatakan bahwa sejarah pun hanyalah ilusi belaka?"
"Sejarah adalah ruh dunia yang berbicara kepada dirinya sendiri. Ia juga
melakukan hal itu di masa lalu walaupun saat itu ia masih bingung. Saat itu, ia
baru saja terbangun."
"Mereka berjalan-jalan di pasar di Athena. Sokrates adalah seseorang yang
memiliki darah dan daging, manusia yang dihukum mati hanya karena ia mencari
kebenaran. Teman-temannya berdiri mengelilinginya dan menangis. Tidakkah kau
memiliki sedikit pun rasa empati?"
"Aku tidak pernah mengatakan bahwa ruh dunia selalu puas dengan dirinya sendiri.
Aku juga tidak mengatakan bahwa ia selalu sebahagia itu."
"Benar-benar omong kosong."
"Kalau begitu, pergilah lebih jauh ke masa lalu. Siapakah yang berkumpul di
pasar seratus juta tahun yang lalu?"
"Engkau tahu benar jawabannya. Para dinosaurus."
"Dapatkah kau sebutkan nama mereka?" "Tentu saja. Ya, banyak nama." "Sebutkan
saja!" "Maksudmu, nama spesies, genus, dan famili?" "Bukan, kau gila" Maksudku,
dapatkah engkau menyebutkan nama masing-masing individual."
"Tidak. Itu kan masa prasejarah." "Tapi, toh hal itu tidak relevan karena mereka
hanyalah sebuah wahana berjalan dari ruh dunia. Zaman itu berlangsung sebelum
konsep maya benar-benar beredar, sebelum adanya dua atau tiga lipatan yang
berlebihan ini. Maka, itu terjadi sebelum manusia berkhayal akan adanya suatu
engkau dan suatu aku. Pada masa-masa itu, ruh dunia masih utuh dan tidak
terbagi, dan segalanya adalah brahman."
"Dinosaurus adalah brahman. Tidakkah mereka terpesona oleh maya?"
"Betul, itulah yang kumaksud."
"Kini mereka menjadi minyak bumi Shell dan Texaco. Para tetrapoda tak bernama
itu telah menjalani putaran penuh mereka, mereka adalah darah hitam ruh dunia.
Pernahkah engkau memikirkan hal itu" Pernahkah engkau memikirkan bahwa mobil
yang kita kendarai berjalan dengan darah zaman Kapur di dalam tangkinya?"
"Engkau adalah seorang reduksionis tidak kenal jera, Frank. Tetapi yang kau
bilang ada benarnya."
"Ayolah! Aku juga ingin memahami hal ini."
"Jika engkau ada di planet ini seratus juta tahun yang lalu, engkau akan
mengalami ilusi palsu akibat lipatan otakmu yang berlebihan itu bahwa reptil-
reptil itu adalah sekumpulan individu. Engkau akan menganggap yang terbesar di
antara mereka sebagai monster ego raksasa."
"Aku memang pandai membedakan setiap individu, itu benar. Tapi, 'monster' adalah
istilahmu sendiri." "Tetapi, kini mereka telah berubah menjadi sebuah danau minyak yang besar. Kini
mereka menjadi Shell dan Texaco. Tujuh puluh pence seliter, Tuan!" "Itu kalimat
dariku." "Dan nasib yang persis sama menunggumu. Tujuh puluh pence seliter!"
"Aku tahu jika aku tidak menggunakan akal sehat dan mengubah cara pandangku
terhadap situasi." "Betul, jika engkau tidak melakukannya."
"Dan waktuku hampir habis. Tempatku bukan di sini. Aku adalah seorang malaikat
menderita yang telah terlalu lama berinkarnasi."
Sekali lagi aku berjalan menuju tas kabin hitamku.
"Tetapi semoga," ujarku, "esok adalah hari baru."
Kuletakkan botol itu di bibirku dan menenggak satu atau dua tegukan besar.
Sekali ini aku merasa ingin bermurah hati sekaligus menderita karena rasa
bersalah. Aku tidak punya pilihan lain, mengingat berbagai panorama yang telah
diungkapkan oleh Gordon. Apa pun yang terjadi, apalah artinya sakit kepala kecil
besok pagi dibandingkan dengan segala perspektif yang membentang selama berjuta-
juta dan bermiliar-miliar tahun" Satu-satunya jalan keluar yang mungkin dari
wawasan yang begitu kompleks pada malam ini adalah tidur. Kemudian, hari yang
baru akan muncul, baik disertai sakit kepala maupun tidak.
Aku telah bersiap menerima teguran keras. Tetapi, ia hanya berkata, "Aku merasa
kecewa, Frank. Maksudku, engkau merasa kecewa. Engkau kecewa dengan dirimu
sendiri." "Kalau begitu, kita berdua memang harus sedikit kecewa. Dan berbagi tanggung
jawab." "Aku akan langsung tidur, ujarmu. Kemudian, engkau berkata bahwa engkau tidak
akan menyentuh botol itu lagi."
"Ya, memang betul. Dan engkau berkata bahwa engkau tidak terlalu percaya akan
kata-kataku." "Tetap saja aku merasa kecewa."
"Hal itu mudah saja kau ucapkan. Memang mudah untuk menjadi seorang puritan jika
engkau tidak tergoda oleh kenikmatan yang berlebihan, dan juga tidak memiliki
akses untuk hal itu. Bukan engkau yang diberi Big Bang sebagai hadiah pembap-
tisan. Bukan engkau yang dikutuk untuk mengukur tahun cahaya alam semesta dengan
ujung neuron-neuron yang tumbuh terlalu besar. Bukan engkau yang merasakan
jarak-jarak dalam alam semesta menekan otakmu bagaikan seekor unta yang berusaha
melewati lubang jarum."
Aku membuka kemejaku dan membaringkan diri di atas tempat tidur. Kemudian aku
berkata, "Apakah menurutmu aku akan mendapat kekayaan di surga jika aku menjual
seluruh galaksi dan membagi hasilnya dengan orang miskin?"
"Aku tidak tahu," ujarnya. "Tetapi, mungkin tidak lebih mudah bagi seorang
primata postmodern untuk mengucapkan selamat tinggal kepada dunia
ini dibandingkan seorang rabi Yahudi pada zaman dahulu yang berusaha
menyelamatkan dunia."
"Baiklah kalau begitu. Rhubarb, rhubarb, rhubarb ... Sekarang aku akan pergi
tidur." "Tetapi engkau tidak pernah sepenuhnya tertidur."
"Kurasa aku pasti bisa. Targetku adalah dapat tidur dengan empat takaran ganda.
Tetapi malam ini aku mendapatkan delapan penuh. Dengan begitu pasti bisa."
"Maksudku, aku bangun bahkan ketika engkau
tidur." "Silakan." "Maka, tidak seluruh dirimu tertidur." "Cih!"
"Karena tidak ada 'aku1 dan 'kamu'. Kita hanyalah satu."
"Bangunkan aku saat waktu sarapan, ya."
"Baiklah, Tuan. Tetapi pada kenyataannya, engkau akan dibangunkan oleh dirimu
sendiri." Sambil mengucapkan kalimat itu ia berlari melintasi cermin, memanjat dinding,
dan ke langit-langit di atas bantalku.
"Ada apa sekarang?" tanyaku.
"Bukankah aku harus membangunkanmu untuk sarapan?"
Aku hanya berbalik dan memikirkan betapa panjangnya hari itu. Tetapi, aku tidak
menikmati adanya kemungkinan ruh dunia buang air di atasku. []
Merpati Jingga KEMBALI HARUS MENGAKUI MASIH KESULITAN MENGOREK-NGOREK KEMBALI segala
pertengkaranku dengan Gordon si Tokek, walaupun sebenarnya aku masih belum
Maya Misteri Dunia Dan Cinta Karya Jostein Gaarder di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
benar-benar kehilangan kontak dengannya; bahkan di sini di Madrid, aku masih
berkesempatan untuk melakukan percakapan panjang di tengah malam dengannya. Hal
ini sering terjadi dengan kenalan yang pernah menggugah sesuatu dalam dirimu.
Mereka bisa kembali lagi bertahun-tahun setelah pertemuan fisik terputus.
Aku telah duduk dan menulis semalam suntuk. Setelah tertidur beberapa jam, aku
berjalan-jalan singkat melalui Ritz dan melewati Taman Retiro sebelum menyantap
sarapan di Rotunda. Aku hanya perlu berdiri di jendela kedai omelet, dan
beberapa menit kemudian aku akan mendapatkan dua telur goreng, dimasak pada
kedua sisinya, beberapa potong daging babi asin, dan seporsi kacang panggang.
Aku menghabiskan hari terakhirku di Taveuni dengan sebuah pertemuan hangat
dengan para tetua Desa Somosomo. Aku belum sepenuhnya melupakan penelitianku,
dan aku memerlukan data terbaru tentang langkah-langkah yang telah diambil
selama beberapa tahun terakhir untuk melindungi habitat-habitat lama di pulau
itu, juga berbagai macam spesies flora dan fauna. Aku diberi tahu bahwa gubernur Inggris yang
pertama di Fiji adalah Sir Arthur Gordon yang melegenda, yang kepemimpinannya
berlangsung dari 1875 hingga 1880. Mungkin aku pernah mendengar namanya disebut
sebelumnya, tetapi hal itu tidaklah diharapkan karena kini "Pulau Taman" atau
"Garden Island" dengan segera berubah menjadi "Gordon Island". Seperti yang kau
tahu, kesukaanku akan Gordon's London Dry Gin jauh mendahului kunjunganku ke
sini. Ya, Vera, aku sungguh menyadari hal itu, dan aku yakin engkau tidak akan
memercayaiku jika kukatakan bahwa aku hampir tidak pernah menyentuh minuman itu
kecuali jika tengah bepergian. Aku tidak terlalu tahan dengan kesendirian.
Engkau telah mendelegasikan sebagian dari fungsimu kepada Gordon. Rasanya hampir
seperti mendengar suaramu.
Aku sedikit terhuyung-huyung saat menyerbu masuk ke toko desa untuk mencari tahu
apakah mereka menjual vitamin. Tetapi, aku benar-benar hampir terpeleset ketika
bertemu dengan Ana dan Jose di dalam toko kecil itu, sebuah toko pedesaan kecil
yang penuh sesak dengan penduduk lokal. Bersama-sama kami berusaha keluar, dan
karena ini mungkin terakhir kalinya kami bertiga dapat bersama-sama tanpa adanya
orang lain, aku pun mengumpulkan keberanian untuk melakukan konfrontasi
terakhir. Mereka berdua benar-benar tampak lesu sore itu, jelas akibat dari
tingkah laku aneh si orang Inggris malam sebelumnya, tetapi aku merasa tidak
memiliki pilihan lain. Aku akan meninggalkan
tempat itu keesokan paginya, dan mungkin tidak akan pernah bertemu Ana dan Jose
lagi. Di luar toko itu, Jose menyalakan sebatang rokok, sementara Ana membuka tutup
sebuah botol plastik berisi air. Aku menganggapnya sebagai sebuah undangan untuk
percakapan singkat sebelum kami menempuh jalan kami masing-masing. Aku bertanya
tanpa basa-basi. Kutatap mata hitam Ana dan berkata sambil lalu, "Mungkin ini
terdengar aneh, tetapi saya selalu merasa pernah bertemu dengan Anda
sebelumnya." Reaksi pertama Jose adalah menarik si wanita mendekat ke arahnya. Hal ini
mengingatkanku akan kejadian yang kusaksikan di meja makan malam sebelumnya. Si
wanita menatap ke arahnya, hampir seakan meminta izin untuk boleh menjawab
sendiri pertanyaanku. "Tetapi Anda tidak ingat di mana?" ujarnya.
"Saya sesekali berkunjung ke Spanyol."
"Spanyol memiliki lima puluh dua provinsi."
"Tepat sama dengan jumlah kursi dalam parlemen Fiji," komentarku.
"Saya yakin Anda pergi ke Kepulauan Canary," ujarnya bergurau.
Aku menggelengkan kepala.
"Paling sering saya tinggal di Madrid. Mungkin saya pernah melihat Anda di
sana?" Jose jelas berpendapat bahwa percakapan singkat ini telah berubah menjadi sebuah
interogasi. "Ada banyak wanita berambut gelap di Spanyol," ujarnya. "Itu kenyataan, Frank.
Bahkan di Madrid." Aku tidak melepaskan tatapan Ana. Apakah ada secercah reaksi" Apakah iris
matanya yang sedikit membesar menandakan bahwa ingatanku tidak menipuku"
"Apakah orang-orang sering merasa mengenal Anda?" tanyaku.
Sekali lagi wanita itu menatap Jose. Seolah-olah ia memohon izin untuk
membagikan sebuah rahasia kepada diriku, dan si lelaki, tanpa menggerakkan satu
otot pun, menolak. Namun, si wanita tersenyum ramah saat menjawab, "Mungkin Anda
pernah melihat saya di Madrid. Mohon maaf, saya tidak ingat Anda."
Aku menganggap ini sebagai sebuah jawaban yang diplomatis. Ia tahu benar mengapa
aku bertanya. Mereka membawa mobil dan akan pergi ke Vu-na Point di ujung barat daya pulau
itu. Mereka menawarkan untuk mengantarku kembali ke Maravu. Aku berterima kasih
atas tawaran mereka, tetapi berkata bahwa aku lebih suka berjalan kaki menempuh
jarak empat kilometer itu.
Setelah melewati Desa Niusawa, aku berpapasan dengan seorang wanita berpakaian
sporty dengan rambut hitam terkepang dan sebuah ransel kanvas. Laura mengenakan
celana baggy berwarna khaki, sebuah sweater ketat, dan semacam helm pelindung
matahari. Ia tampak lembap dan kotor, tetapi ia telah berjalan ke Puncak Des
Voeux Peak, gunung kedua tertinggi di Taveuni yang tingginya
lebih dari 1.150 meter. Ia tampak lelah. Walaupun begitu, ia tersenyum lebar
kepadaku ketika aku mendekatinya, dan komentar pertamanya adalah, "Aku telah
melihatnya!" Ia melompat-lompat, seperti anak kecil, dari satu kaki ke kaki lainnya, wajahnya
bersinar bagaikan seseorang yang baru saja menemukan agama. Diam-diam aku
bertanya-tanya apakah ia memang mendapatkan pencerahan. Atau mungkin semak-semak
yang terbakar" "Ia sungguh luar biasa," ujarnya. "Aku melihatnya di atas gunung sana sesaat
setelah matahari terbit."
Aku bahkan masih tidak tahu dari mana ia datang, tetapi ia melanjutkan, "Aku
telah melihat merpati Jingga!"
"Kau yakin?" "Cukup yakin." "Di Puncak Des Voeux?"
Ia mengangguk, dan hampir terengah-engah saat berbicara.
"Dan aku ... memotretnya ... dengan telefotoku."
Kini segalanya menjadi jelas, dan jika apa yang dikatakannya memang benar, itu
adalah sebuah prestasi yang luar biasa. Merpati Jingga yang diselubungi mitos
tidak saja sangat langka, tetapi aku juga mendengar bahwa hewan itu belum pernah
di-foto sebelumnya. "Kalau begitu, kau mungkin menjadi orang yang pertama memotretnya," ujarku.
"Aku tahu." "Mungkin juga akan menjadi yang terakhir." "Aku tahu."
"Kau harus mengirimkan satu buah kopinya kepadaku," ujarku iri.
Ia menanggapi dengan menjabat tanganku, yang kuanggap sebagai sebuah janji. Hal
ini berarti bahwa nanti aku harus memberinya alamatku, satu hal yang selalu
kulakukan dengan penuh kewaspadaan saat berada di luar negeri.
Kami mulai berjalan lagi.
"Engkau bisa saja bertanya kepadaku apakah aku juga ingin ikut," ujarku. Ia
tertawa. "Aku tidak sempat! Cepat sekali engkau meninggalkan meja dan pergi tidur."
Laura menjelaskan bagaimana ia bangun pada fajar pagi itu saat keadaan masih
gelap. Ia telah memesan sehari sebelumnya sebuah mobil untuk menuju Desa
Wairiki. Ia berangkat menjalani pendakian sejauh enam setengah kilometer satu
jam sebelum matahari terbit, dibekali dengan sebilah pisau hutan dan sebuah
senter yang dipasang di kepala. Ia memang datang ke pulau ini untuk melihat
merpati Jingga, dan itulah yang ia lakukan.
Dari Puncak Des Voeux, ia mengamati Danau Tagimaucia, yang terbentang di dalam
kawahnya yang telah mati di tengah pulau. Danau itu sebagian besar dipenuhi
tumbuh-tumbuhan yang terapung-apung. Di situlah satu-satunya tempat tumbuhnya
bunga nasional Fiji, tagimaucia atau Medi -
nilla waterhousei, yaitu bunga berwarna merah menyala dengan mahkota berwarna
putih. "Tahukah engkau bagaimana bunga tagimaucia pertama kali muncul?" tanyanya saat
kami menempuh jalan yang berdebu, sambil terus-menerus menghindari kodok-kodok
gepeng. Aku menggelengkan kepala, dan ia menceritakan kepadaku legenda Tagimaucia. Pada
zaman dahulu kala, hiduplah seorang putri Taveuni. Ayahnya, sang kepala suku,
memutuskan bahwa putrinya harus menikahi seorang lelaki yang telah ia pilihkan
untuknya. Tetapi, sang putri mencintai orang lain, dan dalam keputusasaannya, ia
melarikan diri dari desanya ke atas pegunungan. Karena benar-benar kelelahan,
akhirnya ia tertidur di pinggir danau luas tersebut. Dalam tidur, ia menangis
sedih, dan selagi ia bermimpi, air matanya mengalir menuruni pipinya dan berubah
menjadi bunga merah yang indah. Bunga-bunga itu adalah bunga tagimaucia yang
pertama, dan tagimaucia berarti "menangis dalam tidur".
Kupikir, ia hanya menceritakan sebuah cerita romantis kepadaku, tetapi ia
berkata, "Sesuatu yang persis sama pernah terjadi kepadaku."
"Menangis dalam tidur?"
Ia menggelengkan kepalanya.
"Kawin paksa." "Engkau pernah menikah?"
Ia mengangguk singkat. "Tetapi, ada juga versi lain dari legenda mengenai tagimaucia."
Dan kini ia menuturkan cerita yang lain. Pada suatu hari, tinggallah seorang
gadis di Taveuni yang tidak menuruti perintah ibunya dan bermain-main saat
seharusnya ia bekerja. Tiba-tiba, sang ibu kehilangan kesabaran terhadap anak
gadisnya dan mulai memukulinya dengan seikat daun kelapa. Ia mengatakan kepada
putrinya agar pergi dan jangan menampakkan dirinya lagi. Gadis itu berlari pergi
sejauh mungkin dari rumah sambil menangis dan terluka hatinya. Di tengah hutan,
ia menemukan sebatang pohon ivi yang ditumbuhi oleh tanaman merambat. Ia pun
memanjat sulur-sulur tanaman tersebut, tetapi tanaman itu memerangkapnya dan
pada akhirnya ia tidak dapat bergerak. Gadis itu menangis dan menangis, dan air
mata yang mengalir di wajahnya berubah menjadi darah yang terjatuh ke atas
tanaman sulur-suluran dan membentuk bunga yang paling indah. Akhirnya, gadis itu
berhasil membebaskan diri dan berlari pulang kembali. Pada saat itu, ibunya
sudah kembali tenang, dan cerita itu pun berakhir bahagia. Tetapi, para penduduk
Taveuni percaya bahwa bunga yang langka ini berasal dari air mata sang gadis.
"Apakah hal itu juga pernah terjadi pada dirimu?" aku bertanya main-main.
Ia mengangguk dengan serius, tanpa adanya tanda-tanda ironi.
"Terperangkap oleh tanaman merambat?"
Ia menggelengkan kepalanya.
"Dibenci ibuku."
Saat itu ia berhenti dan berpaling ke arahku.
"Akan kuberi tahu sebuah rahasia, Frank." "Ya?"
"Aku adalah seorang anak yang tidak diinginkan."
Dirimu dan setidaknya setengah dari populasi dunia, pikirku.
Tanpa dapat dihindari, aku melihat air mata merebak dari matanya yang hijau.
Maka aku pun mendekatkan diriku kepadanya dan meletakkan kepalanya di leherku.
Kami berdiri seperti itu beberapa lama dan kemudian ia mengangkat kepalanya dan
menatap ke dalam mataku. Kupeluk dirinya erat dan tidak melepaskannya hingga
naluri alamiahku mengatakan bahwa aku harus melepaskannya.
Kami melanjutkan perjalanan menyusuri jalan itu, dan kini giliranku untuk
menceritakan beberapa legenda yang pernah kudengar di Kepulauan Oseania.
Contohnya, ada banyak kisah berisi peringatan bahwa seorang wanita tidak boleh
berada terlalu dekat dengan seekor tokek, karena jika terlalu dekat, wanita itu
dipercaya dapat melahirkan seekor tokek. Aku juga menceritakan kepadanya legenda
tragis mengenai Verana. Verana adalah seorang wanita cantik jelita yang memiliki begitu banyak pengagum
sehingga ia tidak dapat memilih di antara mereka. Sebagai akibatnya, ia selalu
mengeluh bahwa ia tidak memiliki cukup waktu untuk memutuskan. Suatu hari, ia
diberi sebuah ramuan ajaib oleh seorang penyihir. Jika meminum setengahnya, sang
penyihir menjelaskan, ia akan dapat hidup selamanya. Lalu, ia akan memiliki
cukup waktu untuk menemukan lelaki yang ia inginkan untuk hidup bersama. Setelah
menemukan orang yang menurutnya tepat untuk menjadi pasangannya, ia hanya perlu
memberikan sisa ramuan kepadanya, dan suaminya juga akan hidup abadi. Verana pun
meminum ramuan yang menjadi bagiannya dan hidup selama bertahun-tahun tanpa
pernah dapat menetapkan hati untuk satu lelaki pun. Seratus tahun telah berlalu,
dan Verana masih tetap muda dan cantik jelita, tetapi dengan berlalunya waktu,
semakin sulit bagi dirinya untuk memilih kepada siapa ia akan menyerahkan
dirinya. Ia menyadari bahwa ramuan ajaib itu telah membuatnya semakin sulit
untuk memutuskan. Tidak saja kini terlalu banyak lelaki yang dapat dipilih,
tetapi ia juga memiliki begitu banyak waktu untuk mengambil keputusan. Terlebih
lagi, ia tahu bahwa pilihan terakhirnya akan selalu berada di sisinya, tidak
hanya seumur hidup, tetapi selama-lamanya. Setelah dua ratus tahun, Verana telah
bertemu begitu banyak pengagum sehingga tidak dapat lagi mencintai pria mana
pun. Walaupun begitu, ia telah terkutuk untuk hidup di bumi selama-lamanya. Ia
masih hidup di dunia hingga hari ini. Jika seorang pria jatuh cinta kepada
seorang wanita yang tidak dapat memutuskan, lelaki itu harus berhati-hati karena
bisa saja wanita yang ia cintai itu adalah Verana yang dingin dan tidak dapat
ditaklukkan. Banyak lelaki yang telah kehilangan hati dan masa mudanya karena
Verana, tetapi tidak seorang pun yang akan pernah bisa mendapatkannya.
Laura menatapku. "Oh, sungguh sebuah cerita yang menyedihkan!"
Ketika tiba di Pantai Pangeran Charles, kami berjalan-jalan di atas pasir,
menanggalkan sepatu, mengumpulkan kulit-kulit kerang untuk saling kami be rikan,
dan berdiri mengagumi seekor bintang laut berwarna biru tua. Laura berpendapat
bintang laut itu tentunya berasal dari spesies yang namanya dipakai kelas
Asteroidea, karena ia benar-benar menyerupai sebuah bintang. Mungkin,
menurutnya, ada sebuah legenda mengenai sebuah bintang yang terjatuh dari langit
dan diubah menjadi seekor bintang laut. Jika tidak, kami bisa saja menciptakan
sebuah kisah baru. Tidak pernah terlambat untuk menciptakan sebuah mitos.
Hari ini tidak banyak maya maupun ilusi dunia yang keluar dari dirinya. Bagian-
bagian dalam pikirannya seakan begitu berbeda, seperti warna kedua matanya, dan
aku membayangkan mungkin mata hijaunyalah yang telah melihat sang merpati
berdada Jingga dan mata cokelatnya yang membaca filsafat India. Atau, tentunya
mata hijaunyalah yang menemukan bintang laut biru dan mata cokelatnya yang tidak
menghargai nilai seorang manusia.
Saat kami mendaki tebing terjal menuju pepohonan palem, Laura menjelaskan bahwa
malam itu akan ada sebuah pesta besar di Maravu dengan lebih dari seratus tamu
dari pulau itu. Pesta itu mereka sebut sebagai gunusede sebuah makan malam yang
ditarik bayaran, dan keuntungannya akan di -
salurkan untuk kegiatan sosial. Pesta nanti malam bertujuan membantu membayar
uang sekolah bagi anak-anak di desa-desa miskin. Para tamu di Mara-vu tentu saja
juga diundang. "Engkau harus duduk di sebelahku," ujar Laura.
* Beberapa jam kemudian, aku telah berbagi meja dengan Laura, John, dan Mario.
Semua meja kecil telah dipenuhi, dan banyak lagi hadirin yang diharapkan akan
datang. Bill, orang Amerika yang ceria itu, tiba di restoran itu tepat saat Laura cepat-
cepat menawarkan satu tempat kosong di meja kami kepada sang pelaut Italia.
Sehingga, si orang Amerika itu tidak hanya harus menghadapi fakta bahwa meja
kami sudah penuh, tetapi harus duduk di antara orang-orang yang belum pernah ia
temui. Keadaan yang tak menyenangkan ini segera berbalik menguntungkan bagi
dirinya setelah ia tahu bahwa ia semeja dengan Kapena yang terkenal, yang
berasal dari Hawaii; istrinya, Roberta; dan seorang pria menyenangkan bernama
Harvey Stolz. Kapena, seorang berbadan kekar dengan wajah berotot yang terbakar matahari,
tulang pipi yang tinggi, dan gigi-gigi besar berwarna putih, adalah salah satu
pusat perhatian malam itu. Ia adalah seorang nelayan perairan dalam yang
terkenal, yang pada saat berusia dua puluh tiga tahun telah memenangi hadiah
pertama dalam Turnamen Jackpot Lahaina dengan menyeret seekor ikan marlin besar seberat 545 kilogram ke
atas kapalnya. Kini ia berusia pertengahan empat puluhan, telah pensiun dari
kariernya sebagai seorang nelayan perairan dalam, dan pindah ke Taveuni. Di
sini, aktivitasnya adalah mengantarkan para turis memancing di Selat Somosomo
dengan kapalnya yang berteknologi canggih, Makaira. Pagi itu, ia berlayar untuk
menangkap semua ikan yang akan kami makan malam itu; itu adalah bentuk
kontribusinya untuk gunusede tersebut. Koki dari Maravu, Kai, juga ikut berlayar
dan telah memastikan bahwa semua ikan tersebut dibersihkan dan disiapkan dengan
baik. Pada saat acara makan malam itu, Bill memperkenalkan kami kepada Kapena,
Roberta, dan Harvey, sang kepala kelasi di Makaira. Kami pun akhirnya terlibat,
dengan agak enggan, dalam diskusi-diskusi teknis yang mungkin menarik bagi
Maya Misteri Dunia Dan Cinta Karya Jostein Gaarder di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seorang insinyur minyak dan seorang nelayan perairan dalam.
Ana dan Jose duduk di ujung lain dari restoran itu bersama Mark dan Evelyn.
Kedua orang dari Spanyol itu tampak bersemangat untuk berbagi meja dengan
pasangan muda dari Amerika itu. Mungkin ini adalah cara mereka untuk melepaskan
diri. Setelah makan malam, sebuah paduan suara dan orkestra kecil berkumpul. Sebagian
dari para anggotanya bekerja di Maravu seperti tukang kebun Sepo, Sai, dan
Steni, sang bartender Enesi, dan staf rumah tangga Kay dan Vere tetapi ada pula
musisi-musisi dari desa. Dengan diiringi gitar dan
ukulele, mereka menyanyikan lagu-lagu polifonik yang membuai mengenai
Tagimaucia, Maravu, dan semua orang yang telah menempuh perjalanan melewati awan
dari tempat-tempat yang begitu jauh untuk mengunjungi pulau itu. Beberapa
pertunjukan meke juga digelar. Meke adalah sebuah tahan rakyat tradisional yang
dilakukan sambil duduk. Tahan itu menceritakan legenda-legenda Fiji kuno, dengan menggunakan campuran antara lagu, peniruan yang
dilebih-lebihkan, dan gerakan tangan yang penuh semangat.
Setelah tarian-tarian rakyat, Jochen Kiess mendatangi meja kami dan mengundang
kami untuk ikut serta dalam upacara kava. Kava atau yaqona adalah minuman
memabukkan yang terbuat dari akar tumbuhan yang termasuk dalam keluarga lada
Piper methysticum yang mengandung narkotika ringan. Minuman itu disajikan dalam
sebuah mangkuk kayu besar dan diminum dengan menggunakan tempurung kelapa yang
dibelah dua. John sudah pernah mencoba kava sebelumnya dan menolak tawaran
tersebut, tetapi Laura pernah membaca dalam Lonely Planet bahwa menolak undangan
untuk ikut serta dalam upacara kava adalah perbuatan yang tidak sopan-bukan hal
yang baik untuk dilakukan. Tidak lama kemudian, aku, Laura, dan Mario telah
duduk di lantai mengelilingi mangkuk kava. Setiap kali seseorang ditawari
setengah tempurung minuman tersebut, orang-orang bertepuk tangan dan berseru:
"Bula!" Kava tidaklah menyenangkan. Bentuknya seperti air keruh dan rasanya pun tidak
jauh dari itu. Setelah dua gelas, aku merasa sekitar bibirku sedikit mati rasa,
dan setelah tiga gelas, aku merasa lebih santai daripada sebelumnya, tetapi juga
agak mengantuk. Aku ingat melihat Bill berjalan-jalan tanpa rasa hormat di
sekitar kerumunan kava tersebut, dan sekali waktu bahkan memberi tahu Laura
bahwa kava hanyalah sebongkah omong kosong dan gadis baik-baik seharusnya
menghindarinya. Laura menatap ke dalam mataku, dan kurasa ia menggunakan mata cokelatnya.
"Bagaimana rasanya?" tanyanya.
Aku ingin mengatakan bahwa rasanya seperti lima miligram valium dan tidak banyak
lagi yang lain. "Dapatkah engkau merasakan ilusimu runtuh?" ujarnya.
"Secuil, mungkin," ujarku bercanda. "Hanya
ada satu dunia." "Hanya ada satu kesadaran, purusha
"Ini adalah biokimia," ujarku. "Ini adalah 'agama
instan'." Aku tidak tahu apakah ia mengerti apa yang kumaksud, tetapi ia berkata, "Begitu
pula kesadaran sehari-hari. Hanya biokimia. Dan itu membuat kita percaya akan
ilusi materi, prakriti."
"Kata yang aneh."
"Artinya hampir sama dengan maya. Untungnya, beberapa zat kimia dapat membius
bagian-bagian otak yang membuat kita memercayai ilusi dunia."
Bagian-bagian itu tentunya kedua atau ketiga
lipatan otak yang berlebihan itu, pikirku, tetapi kurasa aku tidak benar-benar
mengucapkannya. Laura terus berbicara banyak, walaupun aku tidak dapat mengingat ucapannya
kalimat demi kalimat, tetapi aku ingat ia mengatakan kepadaku bahwa setelah
vedanta, filsafat samkhya adalah yang paling cocok dengan hatinya.
Aku menyadari kava juga memiliki efek diuretik yang kuat dan berpengaruh
terhadap baik pria maupun wanita, karena Lauralah yang pertama kali mengatakan
bahwa ia perlu pergi ke kamar kecil. Kami berdua menganggap agak lucu bahwa ruh
dunia ingin buang air kecil segera setelah ia berhasil menemukan jalannya
kembali kepada dirinya sendiri.
Tidak lama kemudian, kami kembali di meja kami. John duduk bersama birnya. Ia
beranggapan betapa baiknya jika ada tamu yang menginap di Maravu yang
menyumbangkan hiburan. "Tahukah Anda, Ana adalah seorang penari flamenco yang terkenal," ujarnya. "Saya
melihatnya di internet, dan walaupun bahasa Spanyol saya tidak terlalu bagus,
saya masih dapat mengetahui bahwa ia adalah bintang besar di Sevilla saat ini,
'La Estrella de Sevilla'."
Aku tidak tahu apakah kava tadi telah mengubah persepsiku akan waktu, tetapi
rasanya sekejap kemudian kami telah berada di meja pasangan Spanyol itu.
Lauralah yang mengajukan permintaan kami: maukah Ana berbaik hati untuk
menyumbangkan sebuah tahan flamenco" Itu tidak hanya akan menjadi pengalaman
menyenangkan bagi kami semua, tetapi juga semacam ucapan terima kasih kepada
para penari Fiji malam itu.
"Jawabannya adalah tidak," ujar Jose.
"La Estrella de Sevilla John memulai. Tetapi, Jose tidak tergugah oleh bahasa
Spanyolnya itu. "Saya bilang jawabannya adalah tidak," ia menggeram.
Sementara itu, Ana menunjukkan ekspresi wajah terluka dan sedih. Tetapi mengapa"
Mengapa ia begitu terganggu oleh permintaan baik-baik agar ia menari flamenco"
Ataukah Jose telah membuatnya marah karena telah menolak dengan tegas mewakili
dirinya" Aku tidak menemukan jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan ini hingga
beberapa bulan kemudian. Kami pun berusaha mencairkan suasana dan kembali ke meja kami.
Tidak lama kemudian, pasangan-pasangan mulai berdansa. Situasinya tidak jauh
berbeda dengan acara dansa di hotel-hotel pedesaan di Norwegia, dengan seorang
penyanyi solo yang membawakan lagu-lagu populer internasional-sebenarnya hanya
karaoke lagu-lagu Barat. Banyak dari para penduduk desa yang memenuhi lantai
dansa, jadi tidak diragukan lagi gunusede malam ini sukses besar. Dan dengan
adanya sedikit tanda-tanda pertengkaran dan perkelahian di antara kaum pria,
rasanya hampir seperti kembali berada di T0nsberg pada suatu malam musim panas
yang ramai. Perbedaannya adalah langit terang benderang sepanjang malam pada
pesta musim panas di T0nsberg. Malam di Taveuni gelap gulita.
John dan Mario, Laura dan aku duduk di sekeliling meja kami. Kemudian, Mark dan
Evelyn datang dengan membawa kursi mereka karena meja mereka telah disingkirkan
untuk memberi lebih banyak tempat untuk berdansa. Ana dan Jose telah mengambil
tempat di lantai dansa di depan mangkuk kava. Tidak lama kemudian, Bill datang
membawa botol-botol anggur merah.
"Saya yang traktir!" ujarnya. Saat itu waktu sudah mendekati tengah malam, dan
Laura berpaling kepadaku.
"Mari kita pergi!" ujarnya.
Aku tidak berniat menolak tawaran tersebut. Aku masih merasa sedikit pusing
akibat pengaruh air kubangan yang mengandung obat bius itu. Aku telah melewati
hari yang sangat melelahkan dan tidak ada alasan untuk membuang-buang waktu di
tengah kumpulan manusia yang ribut itu. Terlebih lagi, esok paginya, aku akan
memulai perjalananku pulang ke sudut lain dari belahan dunia. Kami pun bangkit
dan berterima kasih kepada semua orang untuk malam yang menyenangkan.
"Engkau akan pergi?" tanya Bill.
"Yap," ujar Laura. "Kami akan pergi."
"Ke mana?" Sungguh sebuah pertanyaan yang aneh, pikirku. Dan sebuah pertanyaan yang bahkan
belum ada jawabannya. Terkadang kau hanya tahu bahwa kau ingin pergi, tanpa tahu
ke mana tujuanmu. Akankah
kami berjalan-jalan di tengah pepohonan palem" Atau berendam tengah malam di
Pantai Pangeran Charles" Atau memuaskan diri dengan melanjutkan minum di pondok
Laura atau pondokku" Bagaimanapun, itu bukanlah urusan Bill. Ia memang berbaik
hati selalu membelikan kami anggur, walaupun seseorang yang pernah bekerja
dengan Red Adair dan menyelamatkan Apollo 13 dari bencana di luar angkasa
tentunya mampu untuk membeli itu semua. Tetapi tidak seharusnya ia beranggapan
dapat membeli teman, pikirku, apalagi Laura.
"Kami akan melihat herbarium, Frank," ujar si wanita.
"Menurutku, sebaiknya engkau tidak melakukannya," jawab Bill.
"Menurutku, ini tidak ada hubungannya denganmu," Laura menjawab balik.
Caranya mengucapkan kalimat ini lebih seperti bergurau dengan sesama teman
dibandingkan mengugat. "Engkau bisa saja melanjutkan mengobrol di sini," si lelaki berkeras.
"Kami akan mengobrol di mana pun kami mau," Laura menyatakan dan pada saat itu
kupikir ia hampir tertawa menghadapi kenekatan lelaki itu.
"Di sini ada anggur," lanjut si orang Amerika. "Ngomong-ngomong, ini adalah
Rioja yang sangat enak."
"Kami hanya memerlukan satu botol saja," ujar Laura sambil menyambar satu botol
dan berjalan keluar memasuki pepohonan palem.
"Masukkan saja itu ke dalam tagihanku," ujarku sambil berlari mengejar Laura.
Tidak lama kemudian, kami telah duduk-duduk di berandaku, dan Bill memang benar;
Rioja itu enak. Udara tropis yang hangat dan lembap terasa bagaikan belaian kain
lembut. "Ia benar-benar seorang yang unik," aku memulai.
Laura menggelengkan kepalanya. "Tingkah lakunya tipikal, sungguh tipikal."
"Apakah kalian bertemu di Bandara Nadi?" "Tidak usah kau pikirkan orang itu,
Frank. Ia tidak begitu menarik."
"Yang jelas, ia sangat blak-blakan." Ia menimbang-nimbang selama beberapa saat,
kemudian berkata, "Bill adalah ayahku." Aku meletakkan gelasku dan bersiul.
"Tentu saja!" seruku. "Sungguh bodoh aku selama ini."
Ia tidak menjawab, tetapi memalingkan mukanya dengan cepat dan aku pun menatap
ke dalam satu matanya yang hijau. Ada sesuatu yang membuatku membayangkan bahwa
ia telah dilahirkan dengan dua mata hijau, tetapi sedikit demi sedikit satu
telah berubah menjadi semakin cokelat saat ia semakin besar. Mungkin mata yang
satu lagi juga berisiko memiliki nasib yang sama.
Aku merasa kesal karena tidak mampu menerka bahwa Bill dan Laura adalah ayah dan
anak yang tengah berlibur bersama di Oseania. Itulah mengapa si wanita duduk
dengan begitu tekun membaca Lonely Planet, dan mengapa si lelaki duduk di meja
si wanita pada malam pertama. Itu juga menjelaskan kemurahan hatinya membelikan
anggur, dan bagaimana si lelaki dapat menenangkan Laura hanya dengan meletakkan
tangannya di Laura, dan mengapa Laura mendorongnya ke dalam kolam, mengapa Bill
duduk di kursi dengan handuk Laura, dan mengapa Laura menyiramkan satu teko air
ke atas lelaki itu ketika ia tidak dapat menyembunyikan ketidaksabarannya
mendengarkan Laura lagi-lagi memberikan kuliah mengenai maya dan ruh dunia. Itu
pula alasan mengapa lelaki itu memperingatkan Laura tentang kava dan tentu saja
mengapa si lelaki mencoba mencegahnya pergi denganku.
"Apakah ia yang mengatur pernikahanmu?"
"Ialah yang mengatur segalanya. Ia mengatur seluruh hidupku sejak aku masih
kecil. Kemudian ia menemukan seorang pengusaha yang benar-benar hebat untukku,
salah seorang rekannya, seorang pengusaha minyak. Untukku. Ia menemukannya
untukku. Dan aku adalah seorang anak yang baik. Pesta pernikahan tradisional
serbaputih dan dua ratus enam puluh tamu, sebagian besar dari perusahaan
miliknya." "Aku tidak menyangka hal seperti itu masih
ada." "Tetapi, aku adalah seorang anak yang baik. Aku tidak ingin mengecewakan
ayahku." "Walaupun engkau seorang anak yang tidak diinginkan?"
"Aku tidak pernah memiliki ibu. Hanya ayah."
"Bukankah kau bilang engkau ditolak oleh ibumu sama seperti Tagimaucia?"
"Itulah mengapa aku tidak pernah memiliki ibu."
"Tetapi, ia masih hidup?"
Ia mengangguk. "Hidup bersama ayahmu?"
Ia mengangguk lagi. "Sudah berapa lama engkau berpisah dengan suamimu?"
"Dua minggu." "Sejak kalian berdua berpisah?"
"Sejak aku meninggalkannya. Aku pindah ke Australia. Kemudian Ayah datang ke
Adelaide. Ia beranggapan sebaiknya kami berlibur bersama."
"Ia ingin engkau kembali kepada suamimu lagi?"
"Tentu saja. Ia menjualku kepadanya." "Dan ayahmulah yang memberimu dana
penelitian itu" Apakah dia yayasan itu?"
Ia mengangguk. "Apakah engkau menyayanginya?"
Ia mengangkat gelasnya dan menyeruput seteguk anggur. Kemudian berkata dengan
penuh keyakinan, "Sangat."
Ia menyeruput lagi, dan kemudian, dengan tersenyum kecil, menambahkan sesuatu
yang membuatku sadar betapa ia sangat mencintai ayahnya.
"Tetapi, ia sungguh konyol. Ia benar-benar menyebalkan."
Aku menyimpulkan bahwa Bill dan Laura menunjukkan contoh kasus serius sikap
overprotektif, fiksasi ayah, dan Elektra kompleks yang tersamar.
Bayangan mengenai penjinak hewan dan harimaunya ternyata tidak terlalu jauh dari
kenyataan. Sambil duduk menikmati Rioja, kami bercakap-cakap mengenai ruh dunia. Sepanjang
waktu ia menatapku dengan mata cokelatnya. Aku menduga, baik komitmennya
terhadap lingkungan maupun konsep-konsep filsafat holistiknya tidaklah tertanam
begitu dalam. Tetapi, toh ia bermata satu. Ia adalah seorang penganut
absolutisme filsafat bermata satu. Dan ia adalah seorang gadis ceria dan sensual
bermata satu yang mengagumi burung langka, legenda kuno, dan bintang laut biru.
Baik mata yang cokelat maupun yang hijau telah menantangku dengan caranya
masing-masing, dan membuatku berpikir keras.
Setelah botolnya kosong, kami pun masuk ke pondok. Dan, ya Laura menghabiskan
malam itu bersamaku. Sebelumnya, ketika mengambil gelas dari dalam kulkas, aku melihat Gordon di
dinding. Sementara Laura sedang berada di kamar mandi, aku mendatanginya,
menatap matanya dengan tegas dan berkata, "Malam ini, diamlah! Mengerti" Malam
ini aku libur tidak berurusan denganmu."
Aku tidak menyentuh botol ginku, dan itu bukan hanya untuk mencegah memprovokasi
Gordon. Mungkin engkau bertanya-tanya mengapa aku menceritakan Laura. Jangan lupa,
engkaulah yang berkata kita tidak saling terikat lagi. Akulah yang berpendapat
bahwa sebaiknya kita membiarkan tahun perpisahan kita berlalu sebelum memulai
hubungan yang baru. Setelah menghadapi berbagai perspektif mendalam yang terus-menerus dipaksakan
oleh Gordon kepadaku, sungguh indah untuk dapat menyerahkan diri kepada seorang
manusia. Aku tidak mampu membayangkan menjalani satu malam lagi dengan ditemani
Gordon. Dan sebenarnya, aku baru akan menceritakan kepadamu kejadian di
Salamanca itu, ketika tiba-tiba engkau mulai tertawa tak terkendali saat aku
menunjuk Ana dan Jose dan memberitahumu bahwa aku bertemu dengan mereka di Fiji.
Ketika aku terbangun keesokan harinya, Laura telah pergi, dan aku tidak pernah
melihatnya lagi. Saat sarapan, kudengar pagi-pagi sekali ia dan Bill telah
berangkat menuju Tonga. Namun, aku telah memberinya alamat rumah dan e-mail ku,
dan beberapa hari sebelum berangkat menuju Salamanca, aku menerima sebuah foto
yang sangat tajam menggambarkan sang merpati langka dengan dadanya yang berwarna
Jingga. Harus kuakui, aku selalu menyimpan foto itu di mejaku, bahkan di sini di
the Palace. Surat yang menyertainya memberitahuku bahwa Laura telah kembali
kepada sang pengusaha, menurutnya karena suaminya telah berubah menjadi
seseorang yang sama sekali baru. Ia bahkan telah mulai mempelajari Bhagavadgita.
Aku akan berangkat dengan menggunakan pesawat pukul 14.00 dari Matei ke Nadi,
kemudian dilanjutkan dengan Air New Zealand menuju Los Angeles pada pukul 08.30 malam
itu. Aku mulai membereskan barang-barangku sebelum pergi sarapan. Tentu saja,
Gordon harus muncul lagi; mungkin juga karena aku telah mencuri-curi seteguk
kecil gin setelah berpuasa malam sebelumnya. Ia masih berdiam di tempat yang
persis sama seperti saat aku melihatnya ketika kami akan pergi tidur.
"Nah, benar, kan," ia memulai.
Aku tahu persis apa yang ia pikirkan, dan aku benar-benar tidak suka
membayangkan ia mungkin terpaku di dinding dan memandang kami semalam suntuk
dengan tatapannya yang terbuka. Tidak hanya ia memiliki kemampuan melihat di
malam hari yang fenomenal, ia juga terlahir tidak dapat menutup matanya terhadap
apa pun. Walaupun begitu, aku berkata, "Dapatkah engkau sedikit lebih
mendetail?" "Kalian semua sama saja dengan kami."
"Aku tidak pernah menyatakan sebaliknya. Aku selalu membiarkan kartuku terbuka
di meja dan menekankan bahwa aku tidak lebih dari seorang vertebrata. Aku selalu
benar-benar terbuka akan hal itu. Aku adalah seorang primata yang semakin tua."
Maya Misteri Dunia Dan Cinta Karya Jostein Gaarder di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Maksudku, seberapa jauh sebenarnya engkau mengenal dirinya?"
"Aku memang harus mengenalnya."
"Bukankah ia telah menikah?"
"Tetapi, pernikahan itu adalah sebuah kesalahan yang menyedihkan."
Ia berkata, "Spesiesmu sungguh pintar membuat alasan."
"Omong kosong."
"Secara umum, spesiesmu pintar menutup-nutupi."
"Kusangka kita tengah membicarakan hal yang sebaliknya."
"Tetapi, kau tahu apa yang kumaksud."
"Aku tahu semua yang kau maksud." "Apa yang benar-benar membedakan dirimu dari
kami yaitu hampir semua yang kau lakukan adalah semacam penyamaran."
"Jika engkau ingin percakapan ini berjalan selayaknya, kusarankan engkau lebih
spesifik lagi." "Tetapi, penyamaran luarmu ini hanya sekadar usaha untuk menyembunyikan
keprimitifan dirimu. Engkau terlahir telanjang sama seperti kami, dan engkau
juga tidak akan terlalu lama lagi berada di atas Bumi ini, sebelum engkau
diambil kembali." "Engkau tidak perlu begitu blak-blakan."
"Engkau akan dipilin kembali ke dalam rahim Gaia untuk menjadi pupuk bagi cacing
dan kecoak." "Kurasa, aku adalah orang terakhir yang perlu diingatkan tentang hal itu."
"Tetapi yang kalian semua lakukan hanyalah berusaha melupakan hal itu."
"Aku tidak termasuk."
"Tidakkah aneh bahwa kau menyebut dirimu sendiri sebagai 'kera telanjang'?"
"Betul." "Maksudku, hewan paling diperlengkapi di dunia, dengan segalanya mulai dari gaun
malam dan jas putih hingga gelar yang bermacam-macam dan cermin untuk dipamerkan di atas
perapian. Belum lagi segala diploma dan keunggulan, etika dan etiket, upacara
dan ritual. Yang aku maksud adalah segala lapisan luar itu, lapisan luar yang
terlalu tebal yang dinamakan kebudayaan, 'peradaban', 'keti-dakalamiahan'."
"Engkau benar juga."
"Kurasa, engkau pernah mendengar cerita tentang baju baru sang raja?"
"Jangan coba-coba melucu."
"Bahkan seekor tokek dapat melihat bahwa semua itu adalah omong kosong. Kami
berkata: Tetapi tentu saja engkau telanjang! Engkau telanjang sama seperti kami.
Tetapi, engkau hanya berbicara dan berlaku sombong, Tuan! Meskipun demikian, di
balik segala omong besar itu, jam biologis terus berdetak tanpa ampun hingga
akhirnya seluruh dunia tiba-tiba berhenti."
"Engkau juga banyak bicara."
"Dalam keadaan yang paling lazim, ujarmu, dan pada semua kejadian yang terjadi
pada waktu ini, engkau menambahkan, selalu penting bagi kita untuk menekankan
bahwa walaupun banyak ciri Picasso muda dapat ditemukan pula dalam karyanya saat
ia lebih dewasa, banyak hal di sini yang mengingatkan akan Schonberg, dan sayang
sekali Puccini tidak pernah menyelesaikan Turandot, karena itu benar-benar opera
terbaik yang ia ciptakan. Dan ngomong-ngomong, tahukah kau bahwa Verdi menulis
La Traviata hanya dalam beberapa minggu.
Dibandingkan dengan Puccini, aku hampir-hampir mengelompokkannya ke dalam musik
ringan ...." Ia berhasil memancingku.
"Kami dilahirkan dalam sebuah kebudayaan," potongku, "dan kami kemudian terasing
darinya. Kami bukan sekadar tamu di Bumi. Kami juga tamu di dalam ruangan-
ruangan yang disebut sebagai Bach dan Mozart, Shakespeare dan Dostoyevsky, Dante
dan Shankara. Kami masuk ke dalam dan terusir dari Zaman Kuno dan Abad
Pertengahan, Masa Renaisans dan Rococo, Era Romantisme dan Modern. Dalam hal
itu, jelas kami berbeda dengan tokek karena sepanjang yang kuingat, sampai
sekarang belum ada universitas untuk tokek, dan yang jelas tidak ada fakultas
pertokekan." "Jangan keterlaluan."
"Jika meninggal, kami tidak hanya kehilangan seluruh kosmos walaupun itu sendiri
dapat menjadi suatu kehilangan yang menyakitkan kami juga mengucapkan selamat
tinggal kepada beribu-ribu jiwa manusia yang kami kenal. Itu jika memang ada
seribu jiwa manusia, karena mungkin kami tak lain dan tak bukan hanyalah
berbagai sisi dari ruh dunia ...."
"Terima kasih, dengan tulus aku berharap engkau belum berubah menjadi seperti
para penganut monisme yang vulgar. Hal itu tidak menular, kan" Maksudku, menular
melalui kedekatan. Aku hanya berusaha menjelaskan bahwa kami lebih harmonis
dengan lingkungan kami, kami puas menjadi seperti apa adanya, alami, benar-benar
alami. Kami memakan nyamuk, buang air, dan bereproduksi. Dan kami
melakukan itu semua dengan penuh sukacita. Kami tidak terbujuk oleh emas palsu
maupun omong kosong intelektual. Kami tidak mulai memberi kuliah tentang
khazanah seni maupun perbandingan musik hanya karena usia kami mendekati usia
pensiun dan belum memiliki cucu."
"Seperti yang telah kukatakan, engkau terlalu banyak bicara. Terkadang engkau
hampir puitis." "Segala yang kau katakan tentang diriku memantul kembali kepadamu sendiri,
Tuan." "Aku sering bertanya-tanya, apakah para penyair minum karena mereka penyair,
atau apakah mereka menjadi penyair karena mereka minum."
"Intinya adalah mereka terlalu banyak berpikir. Tidakkah mungkin untuk berhenti
berpikir" Maksudku, tidak bisakah engkau matikan saja pikiranmu?"
"Tidak, tidak semudah itu. Manusia dikutuk untuk terus berpikir sepanjang
hidupnya. Mungkin dalam skala yang terbatas, kami dapat mengontrol pikiran kami,
tetapi kami tidak dapat mematikan proses berpikir itu sendiri. Untuk dapat
melakukannya, kami harus mengurung diri di sekolah meditasi dengan segala hiasan
struktur keagamaan palsunya yang tolol. Kami bahkan tidak dapat tidur tenang di
malam hari. Kami menjadi sasaran apa pun yang mungkin hadir dalam bentuk mimpi.
Tidak hanya kami hidup dalam masyarakat pencari kesenangan yang ingar-bingar,
tetapi saat kami tidur, alam juga mendirikan bagi kami sebuah panggung untuk
pentas drama kegilaan."
"Memang akhirnya engkau tertidur, tetapi tidak sang primata betina itu. Maaf
jika aku harus mengatakannya begitu blak-blakan, tetapi ia pergi begitu engkau
tertidur." "Aku tidak menyalahkan dirinya."
"Dapatkah engkau mengingat apa yang kau mimpikan semalam?"
"Ya, kebetulan bisa. Aku bermimpi bahwa aku tidak dapat mengingat apakah usiaku
enam belas atau dua puluh empat, dan itu membuatku khawatir. Aku khawatir karena
aku tidak dapat mengingat berapa usiaku. Pada akhirnya, aku memutuskan tidak
banyak berbeda apakah usiaku enam belas atau dua puluh empat, karena aku masih
memiliki hidup yang panjang di hadapanku. Kemudian, tiba-tiba aku terbangun dan
menyadari bahwa usiaku mendekati empat puluh tahun."
"Jadi, engkau keliru menganggap dirimu berumur enam belas atau dua puluh empat
tahun" Itukah yang kau maksud?"
"Cukup sudah," hanya itu yang kukatakan.
Aku terkoyak oleh rasa bersalah karena sekali lagi telah terperangkap.
Seharusnya, aku tidak terlibat lagi dengan pemikiran-pemikiran tokek semacam itu
setelah malam yang kulalui bersama Laura. Aku toh dapat berfungsi dengan baik
tanpa minuman itu. "Tidakkah kau pikir mungkin ada elemen rekonsiliasi dalam sebuah pertemuan
antarkekasih?" tanyaku.
"Dalam sebuah apa?"
"Ini agak sulit untuk dijelaskan. Aku tidak yakin
tokek memiliki banyak kisah cinta. Mungkin ini adalah sesuatu yang hanya terjadi
pada manusia, atau setidaknya primata tingkat tinggi."
"Aku tidak tahu apakah yang kusaksikan semalam pantas disebut sebagai 'tingkat
tinggi' apa pun." "Maksudku, satu-satunya yang dapat menaklukkan kedua atau ketiga lipatan otak
yang berlebih itu dan karenanya menekan kesadaran akan adanya kematian adalah
cinta. Mungkin cinta memiliki efek simpati yang sama seperti gin dan kava, hanya
jauh lebih kuat dan tahan lama."
"Engkau mungkin mengungkapkan sedikit kebenaran. Cinta adalah candu bagi orang-
orang." "Maksudku, kenyataan sederhana yaitu menjadi pasangan sangatlah berbeda dengan
seorang yang sendiri saja."
"Benarkah" Apakah itu suatu aritmetika yang canggih?"
"Bukan." "Kita juga sudah setuju bahwa ia telah menikah. Jadi, kini jumlahnya naik
menjadi bertiga." "Laura sudah berpisah." "Bukankah engkau juga sudah berpisah?"
"Betul." "Maka, kita punya empat sekarang. Apakah ada lagi yang terlibat dalam hubungan
dua orang ini?" "Aku dan Vera sudah tidak hidup bersama lagi." "Jadi, akhirnya engkau sudah
melupakannya" Engkau berkata akan benar-benar meninggalkannya
begitu kembali dari perjalanan Pasifikmu yang panjang ini. Engkau belum lupa,
kan, perjanjian yang kau buat dengan dirimu sendiri?" "Tidak, tidak."
"Tetapi sekarang sudah berakhir dengan Vera."
"Bukan itu yang kukatakan."
"Bukan yang kau katakan" Engkau tidak mengatakan bahwa mulai saat ini dalam
kepalamu hanya ada tempat bagi seorang penganut monisme vulgar yang terfiksasi
kepada ayahnya, seorang wanita dengan rambut hitam yang terkepang dan satu mata
yang hijau dan satu mata yang cokelat?"
"Tidak." "Maka, ini seperti apa yang telah kuduga." "Apa itu?"
"Engkau tidak setia, sama seperti kami."
"Omong kosong. Engkau mengambil kesimpulan terlalu cepat."
"Engkau harus tahu apa yang ada dalam dirimu jika ingin kembali kepada Vera."
"Tidak semudah itu. Emosi manusia sedikit lebih tinggi daripada naluri reptil.
Emosi manusia tidak dapat dikontrol oleh logika biner."
"Maka izinkanlah aku membantumu. Sungguh menyenangkan memiliki seseorang untuk
diajak berbicara, bukan?"
"Sebaiknya aku tidak menjawabnya."
"Jika sekarang engkau dapat memilih antara Vera dan Laura, siapakah yang akan
kau pilih?" "Maksudmu untuk seumur hidupku?"
"Untuk seumur hidupmu. Ataukah segala tun -
tutan idealmu itu sudah mulai memudar?" "Vera atau Laura?"
"Betul, ayolah! Pilihan ada di tanganmu, Tuan!" "Laura hanyalah kisah percintaan
saat liburan." "Dan Vera?"
"Aku akan bertemu Vera dalam sebuah konferensi di Salamanca."
"Mungkin ia akan menjadi kisah percintaan saat konferensi. Mana yang lebih
bergengsi di antara dua percintaan itu?"
Sebelumnya, aku bergerak ke sekeliling ruangan untuk membereskan barang-barangku
sambil berbicara dengan Gordon. Kini aku memukulkan tinjuku pada koper yang baru
saja kututup. Aku benci diriku sendiri karena telah menenggak gin itu. Aku tahu
benar ke mana hal itu akan berujung.
"Cukup!" ujarku. "Sekarang aku akan pergi sarapan."
"Dan aku akan duduk di sini dan menunggu. Aku punya banyak waktu."
"Aku akan pergi dalam beberapa jam."
"Sungguh menyenangkan. Jadi, kini manusia berusaha melarikan diri dari dirinya
sendiri?" "Bagaimanapun, aku akan pulang ke rumah."
"Dan aku akan ada di dalam kopermu. Aku tidak ingat apakah aku pernah
memperkenalkan diri. Tidakkah aku pernah berkata bahwa aku adalah kembaran dari
kesusilaanmu?" "Aku yakin tidak pernah."
"Saudara kembar seperti diriku benar-benar dapat bergerak ke mana pun, Tuan.
Mereka begitu mudah bergerak bagaikan bayangan seseorang yang berusaha melarikan
diri dari dirinya sendiri."
Saat sarapan, aku bertemu si orang Inggris dan kedua orang Spanyol itu. John
memberitahuku bahwa Laura dan Bill telah pergi, dan aku hanya mengatakan bahwa
aku telah tahu hal itu. Tidak ragu lagi John sudah tahu mereka adalah ayah dan
anak, terutama setelah melihat sikap Bill ketika aku dan Laura pergi. Tetapi
tidak ada yang membicarakan hal itu sekarang, dan untungnya ia tidak mengolok-
olok aku dengan menyinggung bagaimana aku dan Laura menghabiskan sebotol Rioja
di berandaku. Pasangan Spanyol itu lebih ceria daripada hari sebelumnya, dan mungkin itu ada
hubungannya dengan kepergianku. Mereka tertawa dan bercanda, dan dengan segera
mulai mengingat-ingat kejadian-kejadian menarik dalam pesta semalam yang mereka
hadiri hingga sekitar pukul 2 pagi. Aku memutuskan untuk mencoba berbicara
secara serius dengan mereka untuk terakhir kalinya sebelum kepergianku, dan
sekali ini menggunakan bahasa Spanyol. Apa pun akibatnya.
Tetapi, hal itu tidak terjadi. Sementara Jose tengah mengalihkan perhatian
selama beberapa saat, tiba-tiba kulihat wajah Ana mulai memucat. Diletakkannya
mangkuk telurnya ke atas piringnya, kulitnya kini pucat pasi, dan kemudian ia
terpuruk ke depan ke atas meja sehingga menyenggol secangkir kopi.
Jose melompat berdiri. "Ana!" teriaknya, dengan nada menyayat hati bagaikan Rodolfo memanggil Mimi
dalam adegan terakhir La Boheme.
Ia menegakkan si wanita di kursinya dan pertama-tama menamparnya pelan. Kemudian
ia memukulnya sekali lagi.
"Ana! Ana!" Setelah beberapa saat, rona di wajah Ana mulai kembali, kemudian ia mulai
menangis. Ia menyandarkan diri kepada Jose, dan si lelaki mendukungnya sementara
ia berjalan terhuyung-huyung menuju pepohonan palem. Kemudian, seakan-akan dalam
gerak lambat, mereka pun melayang pergi di antara pepohonan palem menuju pondok
mereka. Itu adalah terakhir kalinya aku melihat mereka di Fiji. Ketika beberapa jam
kemudian aku kembali ke meja resepsionis untuk keluar, John tengah menulis di
salah satu meja. Aku bertanya apakah ia telah mendengar kabar mengenai kedua
orang Spanyol itu. Ia memberitahuku bahwa seorang dokter telah datang, dan
kondisi wanita itu telah jauh lebih baik.
"Terlalu banyak kava?" tebakku.
"Mungkin," hanya itu yang ia katakan.
Seseorang datang untuk memberi tahu bahwa mobilku telah datang.
"Ke mana Anda akan pergi?" tanya John.
"Pulang," ujarku.
Aku menjelaskan seluruh rencana penerbanganku dari Nadi ke Oslo.
"Tetapi, bukankah Anda akan pergi ke konferensi di Salamanca itu beberapa bulan
lagi?" "Lalu?"
Aku tidak mengerti mengapa ia bertanya.
"Bagaimana dengan Vera?"
Aku hanya mengangkat bahu. Ia berkata:
"Anda akan pergi melalui Madrid, tentu saja?"
"Tentu, tentu."
Tiba-tiba ia mencecarku. "Dan ketika Anda berada di Madrid, mungkin Anda akan mampir di Prado?"
Dengan pertanyaan terakhir ini, seluruh percakapan kami terasa berubah menjadi
ganjil. Kemudian aku teringat pernah menyebutkan bahwa aku menyukai seni, bahwa
Madrid memiliki sebagian dari koleksi seni terbesar di dunia, dan bahwa aku
terutama menyukai Prado. "Mungkin saja," ujarku.
"Anda harus," ia berkeras. "Anda kan tidak bisa datang ke Madrid tanpa
mengunjungi Prado." "Saya tidak menyadari bahwa minat kita sama," komentarku. "Mengapa Anda tidak
mengatakan hal ini sebelumnya?"
"Tolong sebutkan, apakah Anda lebih suka El Greco atau Bosch, Velazquez atau
Goya?" Aku merasa percakapan yang terlalu menggebu-gebu ini tidak sesuai untuk
dilakukan pada saat-saat perpisahan terakhir kami, karena setelah ini mungkin
kami tidak akan pernah bertemu lagi. Aku akan segera menjalani dua penerbangan
antar-benua dan sopir sudah mulai mengangkut tasku.
Aku memikirkan percakapan pendek yang kulakukan dengan Gordon pagi tadi. Aku
memikirkan baju baru sang raja. Aku juga memikirkan kejadian kecil yang dialami
Ana dan pertolongan pertama Jose yang kasar.
"Saya menyukai seluruh tempat itu," ujarku.
"Kalau begitu, menurut saya, Anda sebaiknya meluangkan waktu untuk melihat
seluruh koleksi yang ada dengan teliti."
Sopir menunjuk ke arah jam. Pesawatku akan tinggal landas setengah jam lagi.
"Tolong sampaikan salam hangat saya kepada Ana dan Jose," pintaku.
"Dengan senang hati, Tuan. Dan jika suatu hari Anda ke London
"Sama halnya. Anda akan dapat menemukan nama saya dalam buku telepon. Tetapi
Maya Misteri Dunia Dan Cinta Karya Jostein Gaarder di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berjanjilah Anda akan menyampaikan salam hangat saya kepada mereka. Dan semoga
cepat sembuh untuk Ana!"
Sopir kini mulai membunyikan klaksonnya, dan beberapa jam kemudian aku sudah
duduk di tingkat atas sebuah pesawat jumbo jet menuju Honolulu dan Los Angeles.
[] Engkau Memilih untuk Membagi Dua Duka Kita
BEGITU TIBA DI RUMAHKU DI OSLO, AKU MENENGGELAMKAN DIRI ME ngerjakan laporanku,
dan dua minggu yang lalu aku tiba di Salamanca. Aku begitu penasaran apakah
engkau benar-benar akan muncul, tetapi bahkan lebih penasaran untuk mengetahui
apakah engkau sadar bahwa aku juga akan mengikuti konferensi tersebut. Aku masih
tidak tahu siapa di antara kita yang lebih dulu mendaftar, tetapi aku telah
mengirimkan semacam pendaftaran sebelum pergi ke Pasifik. Dan ketika aku
menelepon dari Taveuni untuk memastikan kedatanganku, namamu sudah tertera dalam
daftar peserta. Barulah setelah kembali ke Oslo, aku diminta membawakan makalah
mengenai migrasi dan keanekaragaman hayati.
Apakah mungkin engkau mendaftarkan diri dalam konferensi ini karena dengan
demikian kita akan mendapatkan kesempatan bertemu" Atau, apakah engkau
memutuskan untuk pergi berdasarkan alasan-alasan profesional, walaupun ada
kemungkinan secara tak sengaja engkau akan bertemu denganku" Toh engkau masih
punya kesempatan membatalkan keikutsertaanmu jika kau memang benar-benar tidak
ingin kita bertemu. Aku tidak tahu apakah sudah mengungkapkan alasan yang jelas, tetapi seperti yang
mungkin akan kau mengerti, aku tidak berani beranggapan kita benar-benar akan
bertemu. Surat pendek yang kau tulis di bulan November masih segar dalam
ingatanku, dan aku masih mengingat percakapan kita berikutnya melalui telepon.
Itu adalah terakhir kalinya kita melakukan kontak.
Tetapi, engkau sungguh-sungguh datang, dan engkau tidak tahu akan bertemu
denganku sebelum membaca jadwal acara terakhir. Kemudian, engkau berpikiran sama
dengan diriku. Bahkan walaupun kita tidak dapat hidup bersama lagi, setidaknya
kita berbagi sebuah duka yang mendalam, dan kita terkutuk untuk terus berbagi
hal itu selamanya. Terkutuk, menurutmu, tetapi terkutuk untuk berbagi. Delapan
bulan telah berlalu sejak kita kehilangan Son-ja, dan setengah tahun sejak
engkau membawa barang-barangmu pergi dari Sognsveien untuk kembali ke keluargamu
di Barcelona. Tentunya engkau juga berpikir bahwa, sekali lagi, kita ditakdirkan bertemu di
sebuah konferensi ilmiah. Segalanya telah berjalan satu putaran penuh. Hampir
sepuluh tahun telah berlalu sejak pertama kali kita bertemu dalam kongres besar
di Madrid itu, dan hanya beberapa bulan kemudian kita memiliki rumah di Oslo.
Ketika melihatmu di lobi Hotel Gran, aku berpendapat engkau tampak lebih
bersinar daripada biasanya. Yang jelas, engkau adalah orang yang berbeda dari
yang kuingat saat minggu-minggu terakhir
yang suram di Oslo itu. Awalnya kita hanya berdiri dan saling menatap, dan
kemudian seperti biasa engkau berkomentar bahwa aku tidak bercukur dengan benar.
Setelah itu, engkau membawaku ke sebuah sudut, dan kita pun saling berpelukan
dan menangis. Aku yakin tidak semua air mata itu hanya untuk Sonja.
Engkau menjelaskan telah mendapatkan sebuah dana riset, dan entah karena dana
ini, atau hanya karena menurutku engkau begitu cantik, aku beranggapan bahwa
engkau telah bersama seorang lelaki lain. Engkau juga mengatakan sesuatu saat
pertama kita bertemu, sesuatu yang kau putuskan harus dinyatakan sejelas-
jelasnya sejak awal. Engkau berkata, sungguh menyenangkan bertemu denganku lagi,
tetapi kita tidak boleh mengungkit kemungkinan untuk bersama lagi karena engkau
yakin kita tidak akan dapat lagi hidup bersama sebagai sepasang suami-istri. Dan
aku ingat bahwa aku menyetujui saja apa yang kau katakan, karena aku begitu
bahagia dapat bertemu denganmu lagi. Aku juga menyadari, tidak ada jalan bagi
kita untuk kembali. Aku berbohong.
Aku tidak tahu apakah sebaiknya menggambarkan situasi ini sebagai jalan buntu.
Apakah dua orang yang setuju sepenuhnya untuk tidak mengambil suatu rute bisa
dibilang menghadapi jalan buntu" Satu-satunya persoalan mungkin hanya seberapa
tulus niat kami masing-masing. Apakah situasinya akan berbeda jika saja salah
seorang dari kami berani mengungkapkan hal yang lain" Seandainya ada sifat kami
berdua yang mirip, tentunya sifat itu adalah harga diri yang tinggi.
Aku tidak perlu bercerita banyak mengenai konferensi itu sendiri, walaupun aku
belum cukup berterima kasih kepadamu atas dukungan yang kau berikan ketika si
pendukung bioliberal dari Amerika itu mulai berargumen bahwa tidak ada lagi
gunanya mencoba mencegah migrasi spesies-spesies tanaman dan hewan. Biarkan alam
yang mengaturnya! ujarnya. Selama ini alam yang selalu melakukannya. Kemudian,
engkau pun menyumbangkan pendapat. Manusia adalah bagian dari alam, katamu, dan
engkau memang akan mengaturnya. Engkau berkata bahwa Dr. Gibbons tidak memahami
makalahku. Engkau menyarankan mungkin akan baik baginya untuk mengulang kembali
kurikulum ekologi SMU nya. Engkau menekankan bahwa manusia telah menunda
terjadinya seleksi alam. Dan bahwa tidak ada penerbangan antar benua pada saat
zaman Jura dan zaman Kapur, bahkan tidak ada lalu lintas kapal antara Gondwana
dan Laurasia. Ingatkah engkau bagaimana ia menjawab" Laissez faire, uj a rn y a.
Laissez passer! Banyak dari para peserta konferensi yang tahu bahwa kita pernah menikah, dan
juga apa yang menyebabkan perpisahan kita. Tetapi jumlahnya tentunya meningkat
tajam setelah pembelaanmu yang gigih atas makalahku. Kita berdua merasa bahwa
tidak seharusnya kita terlalu sering muncul berdua begitu cepat setelah
perpisahan kita. Hal itu dapat menyebabkan gosip-gosip konferensi yang ingin
kita hindari. Semakin sering kita terlihat berdua, semakin banyaklah pembicaraan yang
muncul, dan semakin banyak spekulasi mengenai keadaan di seputar kecelakaan itu.
Kurasa, kita cukup bijaksana dengan berlaku tidak mencolok pada saat itu, dan
sekarang aku hanya ingin menceritakan sedikit mengenai bagaimana aku menjalani
sore dan malam kita yang terakhir.
Aku telah beberapa kali mengunjungi Salamanca sebelumnya, tetapi kota ini benar-
benar baru bagimu. Maka, sebelum makan malam, engkau mendesakku untuk mengajakmu
berjalan-jalan keliling kota universitas tua itu. Aku tinggal lebih lama di kota
itu daripada dirimu, dan kuakui keesokan sorenya aku berjalan mengikuti rute
yang sama lagi. Kita berangkat dari Plaza Mayor, yang menurutmu tentunya adalah
Plaza Mayor tertua dan terindah di Spanyol, dan berjalan menuju Palacio
Monterrey, yang kini dimiliki oleh Duchess of Alba. Bahkan, saat berjalan
melintasi lapangan kecil antara Istana Renaissance dan Iglesia de la Purisima,
kita mulai berbicara mengenai kejadian-kejadian kecil dalam hidup Sonja. Kita
tidak banyak bicara mengenai bangunan-bangunan tua yang terbuat dari batu pasir
berwarna karat yang kini memancarkan warna merah jambu keunguan yang lembut
ditimpa sinar sore yang keemasan. Pada sore itu, istana-istana kuno penuh
sejarah kebudayaan itu tidak lebih dari sebuah latar belakang bagi sebuah
percakapan pelan mengenai seorang putri yang sudah tidak lagi ada di dunia ini.
Aku ingat saat itu aku berpikir jika saja kecelakaan itu tidak terjadi, kau dan
aku mungkin berjalan-jalan seputar Salamanca dengan seorang gadis cilik berusia
lima tahun di antara kita. Konferensi ini tentunya menarik perhatian kita bahkan
dengan adanya seorang anak kecil yang harus dipikirkan dan mengapa Sonja tidak
ikut saja" Kemudian, kita akan berjalan dari lapangan di antara gereja dan Istana
Renaissance terus hingga Casa de las Conchas dengan bagian depannya yang luas
terukir dengan lima ratus kulit kerang. Dan tentu saja Sonja akan berlari ke
dalam tamannya yang indah dan mulai memanjat ke atas sumur sementara engkau dan
aku melihat-lihat ke dalam perpustakaan dan ruang baca. Tidak berapa lama
kemudian, ia mungkin akan berlari menyeberang jalan dan menaiki tangga Biara
Jesuit La Clericia, dan di saat kita melintasi Plaza de San Isodoro, ia mungkin
akan menengadahkan kepalanya dan menunjuk ke puncak-puncak menara yang tinggi
sebelum kita mulai berusaha membujuknya melewati Calle de los Liberos yang
sempit dalam perjalanan kita menuju universitas tua. Ia tentunya akan menyukai
Patio de las Escuelas dan mungkin bertanya patung siapakah yang ada di tengah
lapangan. Engkau akan mengatakan ia adalah Fray Luis de Leon dan bahwa pada
zaman dahulu, ia adalah seorang pengajar di universitas itu, tetapi ia
dimasukkan ke penjara selama lima tahun karena memercayai sesuatu yang berbeda
dengan apa yang diajarkan gereja. Ketika dilepaskan dari penjara dan
mulai mengajar kembali, ia memulai kuliah pertamanya dengan: "Seperti yang kita
bicarakan kemarin Ketika Sonja mendengarnya, ia akan tertawa terbahak-bahak
karena lima tahun telah berlalu sejak Fray Luis terakhir mengucapkan sesuatu
kepada murid-muridnya, bukan kemarin. Lima tahun adalah sama panjang dengan
hidup Sonja, dan itu adalah waktu yang sangat, sangat lama, hampir selama-
lamanya, tetapi selama itulah lelaki itu berada di penjara. Dan engkau, Vera,
mungkin akan menjawab dengan mengajukan kepada Sonja sebuah pertanyaan lain.
Itulah yang biasanya kau lakukan jika ada sesuatu yang tidak ia mengerti.
Mungkin engkau akan bertanya: Menurutmu, mengapa ia memulai dengan kalimat
"Seperti yang kita bicarakan kemarin" jika ia berada di penjara selama lima
tahun" Dan Sonja mungkin akan menjawab bahwa lelaki itu berusaha melupakan
tahun-tahun kesedihan yang ia habiskan di dalam penjara. Atau mungkin Sonja akan
mengajukan pertanyaan lain, itu jika ia belum mulai menunjuk segala medali,
perisai, dan gambar-gambar hewan yang terdapat di sisi depan universitas yang
mengesankan itu. Ia akan melihat lambang tengkorak dengan katak di atasnya jauh
sebelum kita melihatnya, tetapi engkau mungkin tidak akan memberitahunya bahwa
motif tersebut adalah simbol dari analogi antara kematian dan hasrat seksual.
Engkau juga tidak akan menceritakan bahwa lambang itu diletakkan di sana untuk
memperingatkan mahasiswa-mahasiswa muda agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan
asusila, melainkan bahwa karena katak begitu lincah dan suka bermain-main, sama seperti sebagian
orang, tetapi su-atu hari mereka harus berhenti bermain.
Sebelum engkau dan aku selesai mengagumi sisi depan Plateresquenya yang mewah,
Sonja tentunya telah berlari mendahului menuju taman La Escuelas Menores yang
khas dari abad ke-15. Engkau dan aku mungkin akan berjalan dan berbincang-
bincang, sementara dirinya, berdasarkan inisiatifnya sendiri, akan memasuki
Museo de las Universidad dan berdiri dengan khidmat di bawah langit-langit
melengkungnya yang berwarna biru langit yang menunjukkan semua rasi bintang. Ia
mungkin tidak akan mau dibujuk untuk masuk ke ruang kuliah Luis de Leon, jadi
kita tidak akan dapat melihat Ruang Paraninfo dengan Gobelin Belgianya dan
lukisan diri Carlos V karya Goya, tidak lupa perpustakaannya yang terkenal
dengan seluruh incunabulanya yang berharga. Tetapi, kurasa ia akan membawa kita
dengan penuh aksi ke dalam kedua katedral, dan kemudian meminta es krim sehingga
keluarga kita harus menunggu hingga esok lusa untuk mengunjungi Convento de San
Esteban dengan sarang-sarang burung besar jauh di atas dindingnya, Convento de
las Duenas dengan taman-tamannya yang indah, dan Istana Renaissance Fonseca yang
mengelilingi halaman dengan gaya tak bercacat yang dulu digunakan untuk adu
banteng. Kita setuju bahwa membicarakan begitu banyak tentang Sonja sore itu di Salamanca
berdampak baik bagi kita, dan kurasa kita dapat menikmati
pembicaraan itu tanpa adanya penghalang karena kita dikelilingi oleh berabad-
abad kehidupan yang telah lalu. Engkau berkeras ingin aku memperlihatkan seluruh
isi kota universitas tua itu walaupun kita sebenarnya hanya membicarakan Sonja,
tetapi engkau ingin aku melakukannya. Maka, Sonja memang seperti ikut bersama
kita ke Salamanca. Tidak, ia memang tidak lagi hidup, Vera, bukan itu yang
kumaksud, aku bahkan tidak bermaksud mengatakan bahwa kita harus belajar untuk
menerima hal itu. Namun, jika memori kita yang amat berlimpah tentang gadis
kecil itu memiliki sebuah tempat untuk hidup, sebuah lingkaran tempat bergaung,
sebuah unsur dalam sesuatu yang terpelihara, hanya engkau dan akulah yang dapat
menciptakannya. Engkau menuturkan kepadaku beberapa kisah pendek mengenai putriku sendiri yang
belum pernah kudengar sebelumnya, dan hal ini menyakitkan karena aku menyesal
tidak berada bersamanya setiap saat dalam hidupnya di Bumi, walaupun ini juga
memberi harapan untuk dapat belajar mengenalnya lebih baik. Engkau sering
berpaling dan mengusap matamu, Vera, aku melihatnya, dan mungkin engkau juga
menyadari bahwa aku bukan berusaha melihat relief-relief itu dengan lebih jelas
ketika aku memalingkan muka ke arah dinding universitas kuno tempat engkau baru
saja menunjuk ke arah katak dan tengkorak itu. Tetapi, beberapa kali dalam
perjalanan panjang kita itu, terlintas dalam benakku bahwa engkau masih ibu dari
Sonja. Mungkin menyakitkan untuk mengingatkanmu seperti ini, tetapi sore
itu aku berjalan dengan ibu dari seorang gadis kecil. Gadis itu tidak pernah
hidup lebih dari empat setengah tahun, hanya ibu dan ayahnyalah yang akan terus
bertambah tua. Mereka akan menjadi empat puluh dan lima puluh dan enam puluh,
tetapi seorang Sonja berusia empat setengah tahunlah yang akan hidup bersama
mereka sepanjang hidup mereka. Engkau masih ibunya, Vera, dan aku masih ayah
dari anakmu. Setelah acara makan malam penutupan resmi konferensi, kita meninggalkan perayaan
itu, dan sekali lagi engkaulah yang ingin berjalan-jalan ke luar, dan tentunya
engkau tidak lupa betapa engkau berkeras untuk menunjukkan sungai itu kepadaku"
Engkau berkata bahwa engkau berjalan-jalan sendirian menyusuri tepi Tormes pada
sore hari engkau tiba. Dari jembatan Romawi tua, engkau memandang burung-burung,
angsa-angsa, dan bebek-bebek itu, dan tiba-tiba engkau terpukau oleh keindahan
segalanya ketika mendengar burung bulbul bernyanyi saat matahari tengah terbenam
dan Salamanca terhampar di belakangmu bagaikan sebuah permata merah.
Hari telah benar-benar gelap saat kita meninggalkan hotel dan mulai berjalan
menuju sungai, dan Sonja tidak lagi menjadi topik pembicaraan kita. Bahkan pada
awalnya kita tidak banyak bercakap-cakap, tetapi dengan segera aku mulai
berbicara mengenai dirimu dan kehidupanmu, dan kau mengenai aku dan kehidupanku.
Engkau banyak bertanya tentang persinggahan panjangku di Oseania,
dan aku mungkin telah mulai menceritakan sesuatu mengenai kejadian-kejadian di
Taveuni. Kurasa setidaknya aku menyebutkan dan tidak tanpa sedikit menyesali
diri cerita mengenai betapa aku tidak berani mengusir seekor tokek dari botol
gin karena aku terlalu takut makhluk itu menjatuhkannya. Aku bertanya kepadamu
mengenai proyek penelitianmu, dan seingatku pada akhirnya aku mengatakan bahwa
engkau dapat dikatakan sebagai ahli palaean-tropologi terbaik di Spanyol,
setidaknya dalam hal-hal yang berhubungan dengan migrasi prasejarah. Engkau
tersenyum saat itu, Vera, engkau tidak menyanggahnya. Engkau begitu bangga
mendapatkan dana itu. Setelah tiba di tepi sungai, kita berjalan menuju jembatan yang berusia dua ribu
tahun. Mungkin angsa-angsa itu yang membuatmu memikirkan Sonja lagi. Pokoknya,
engkau mulai mengingat-ingat kehidupan keluarga kita di rumah di Oslo, dan kini
hal itu hampir seperti sesuatu yang mistik. Engkau berbicara tentang perjalanan-
perjalanan kita ke Danau Sognsvann dan Ullevilseter, tentang pertama kalinya
Sonja membawa pelampung-lengan ke pantai di Huk, dan tentang saat ia
menghabiskan waktu hampir satu jam untuk keluar dari labirin besar di Taman
Vigeland. Ia menuntut hadiah untuk itu, dan ia pun mendapatkan sebuah es krim
besar di kafe di sana. Aku membiarkanmu terus melanjutkan, tetapi aku berdiri di sana sambil memikirkan
perjanjian yang kita buat mengenai tidak mengungkit-ungkit
kemungkinan penyatuan kembali dua pertiga bagian yang masih tersisa dari
keluarga kita. Aku menyadari mungkin memang tidak ada jalan untuk kembali bagi
kita. Tetapi, aku masih beranggapan betapa pengecutnya kita karena tidak mencoba
sesuatu yang baru. Keinginanku sendiri terbagi dua, dan gagasan untuk memulai
kembali hidup kita dalam kebersamaan juga tidak sepenuhnya menggoda bagiku.
Tetapi, sementara engkau bercerita bagaimana Sonja keluar dari labirin itu, aku
berpikir bahwa kita harus berbicara dengan menggunakan akal sehat.
Engkau tentu menyadari aku tidak berkata-kata karena kemudian engkau bertanya
apa yang kupikirkan, dan berdasarkan pengalamanmu, engkau tahu jika aku diam
sambil termenung, artinya aku tengah tenggelam dalam kesedihan. Aku berkata
tengah memikirkan kita, dan engkau berkata bahwa kau pikir tidak seharusnya aku
memikirkan hal itu. Engkau menyebutkan bahwa satu-satunya alasan segalanya
berjalan begitu lancar di Salamanca adalah karena Sonja. Aku menjawab bahwa
karena Sonjalah aku memikirkan kita, tetapi dengan segera engkau menyibukkan
diri dengan sebuah kisah panjang mengenai bagaimana Sonja hampir tertukar dengan
bayi lain ketika engkau akan keluar dari klinik persalinan. Terakhir engkau
berkata: Jika itu yang terjadi, bukan anakku yang meninggal. Ia akan masih
berada di sini. Sesekali aku teringat bagaimana engkau menceritakan kepadaku mengenai apa yang
terjadi di Sognesveien, dan selalu dengan begitu mendetail
walaupun hal itu terjadi dengan begitu cepat. Engkau juga harus memberikan dua
atau tiga pernyataan kepada polisi. Sejak saat itu, rentetan kejadian itu
menjadi sebuah topik yang tabu, sebuah "itu" atau "yang terjadi", dan aku merasa
kita berdua ketakutan bahwa di sana di Salamanca, kita mungkin akan mengunjungi
kembali adegan-adegan mengerikan itu. Itu akan seperti membuka kembali luka-luka
lama, dan yang kumaksud di sini tidak hanya sakitnya kehilangan Sonja bagi kita,
tetapi juga luka-luka yang saling kita torehkan.
"Yang terjadi" adalah suatu hal yang begitu biasa-biasa saja dan sering terjadi
sehingga membuat segalanya bahkan semakin mengerikan. Engkau menjemput Sonja
dari taman bermain, kau dudukkan dirinya di mobil, dan engkau telah menyalakan
mesin, tetapi kemudian engkau teringat bahwa sandal miliknya tertinggal di ruang
mantel. Engkau pun mematikan mesin dan mencabut kuncinya, tetapi lupa memasang
Maya Misteri Dunia Dan Cinta Karya Jostein Gaarder di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rem tangan maupun memasukkan gigi persneling. Tidak lama engkau pun kembali
dengan membawa sandal itu. Baru saat itulah mobil mulai bergulir karena, seperti
yang selalu kau katakan, takdir telah menikmati kekejamannya dengan membuatmu
melihat segalanya bermula, hanya untuk menyadari kemudian bahwa engkau tidak
mampu berbuat apa-apa. Dan kita tahu apa yang terjadi di tikungan 275 meter
kemudian. Kita tahu apa yang terjadi tiga hari kemudian. Dan kita tahu bahwa
terlepas dari hal lain apa pun yang mungkin menimpa kita, rentetan kejadian itu
adalah sesuatu yang tidak akan pernah kita bicarakan lagi.
Aku telah mengatakannya berkali-kali, tetapi aku harus mengatakannya sekali
lagi, dan sekali ini berbentuk tulisan, agar engkau dapat menyimpannya
selamanya: ini sudah tidak ada lagi hubungannya dengan pengampunan. Engkau telah
kumaafkan berkali-kali. Semuanya telah berlalu dan berakhir, selesai. Aku
mengakui bahwa dalam kesedihanku, aku telah menyalahkanmu. Sekali waktu bahkan
aku menyuruhmu untuk membawa barang-barangmu dan pergi, walaupun aku tak kuasa
menahan tangis saat melakukannya. Kemudian, aku memohon maaf kepadamu atas
dukaku yang merusak segalanya, dan akhirnya engkaulah yang memutuskan untuk
meninggalkanku. Terlalu sering aku menanyakan hal-hal yang sama, pertanyaan-
pertanyaan yang sama yang ditanyakan oleh polisi. Mengapa engkau meninggalkan
Sonja sendirian" Mengapa engkau tidak memasang rem tangan" Mengapa engkau tidak
setidaknya memasukkan gigi persneling" Dan mengapa begitu penting untuk membawa
sandal itu pulang" Ya, demi Tuhan, mengapa engkau begitu menginginkan sandal
itu" Lalu, ada sesuatu yang lain. Engkau datang langsung dari perayaan akhir tahun di
Institut dan di sana engkau minum tiga atau empat gelas sampanye, dan ketika
berangkat, kondisimu melampaui batas yang diperbolehkan untuk menyetir. Engkau
tidak dituntut. Alasan yang diberikan polisi adalah karena engkau telah terlalu
banyak menderita. Itulah kalimat mereka persisnya, engkau telah terlalu
banyak menderita. Jadi, kepolisian ternyata lebih manusiawi dalam menjalankan
tugas mereka dibandingkan orang terdekat dan tersayangmu ini. Jika engkau masih
menyalahkan diri sendiri atas apa yang terjadi, atas teralihnya perhatianmu
sesaat ketika engkau lupa memasang rem tangan, izinkanlah aku berkata bahwa
engkau memiliki lebih banyak alasan untuk menyalahkanku karena terus-menerus
menuangkan garam ke dalam lukamu. Aku memang sengaja, terkadang terencana.
Tetapi, yang berusaha kukatakan adalah bahwa dapat dikatakan kita telah
mengatasi hal itu, dan pada akhirnya kita berbaikan. Engkau pergi ke Barcelona
bukan karena aku belum memaafkan dirimu. Aku bahkan mengatakan bahwa aku pun
bisa sama mudahnya melakukan kecerobohan itu, sama seperti siapa pun dalam
keadaan terburu-buru seperti itu, dan prestasimu sungguh membanggakan di
Institut. Kejadian-kejadian seperti ini kadang terjadi. Sebuah kesialan
mengerikan yang secara acak menimpa sebuah keluarga kecil seperti sambaran
kilat. Kita benar-benar telah berbaikan, Vera. Bukan karena engkau merasa tak dimaafkan
sehingga akhirnya engkau berkemas dan pergi. Kesedihankulah yang membuatmu
pergi, itulah yang tidak dapat kau hadapi, kau sudah cukup kesulitan menghadapi
kesedihanmu sendiri. Karena engkau pun terbebani duka yang sama, walaupun tidak
mudah untuk melarikan diri darinya. Engkau tidak bisa memisahkan
ketidakbahagiaanku yang berkepanjangan dari tuduhan yang dulu kulontarkan.
Tetapi, aku pun tidak terlalu pintar pada minggu-minggu itu, dan jika saja aku
punya keluarga di negara lain, mungkin aku juga akan pergi ke sana. Dan ada
untung pula bagiku bahwa perjalanan panjangku ke Oseania tiba tidak lama
kemudian. Terlalu banyak kesedihan tersimpan di dalam rumah itu, terlalu banyak
kesedihan di bawah atap yang sama, dan engkau memilih untuk membagi dua duka
kita. Kita berdiri di atas jembatan kuno itu sambil melihat ke bawah ke dalam arus
yang deras. Ketika engkau selesai bercerita kepadaku tentang saat Sonja pulang
ke rumah sambil menggenggam uang seratus kroner yang ia temukan dalam saku
mantel salah satu asisten taman bermain, aku nyaris mengingkari janji tulus yang
kita ucapkan satu sama lain di hotel. Aku hampir mengatakan bahwa kita tidak
perlu membicarakannya sekarang, tetapi suatu hari kita berdua harus bertanya
kepada diri sendiri apakah kita tidak akan sedikitnya mencoba mencari jalan
untuk kembali bersama lagi, sebuah jalan baru, tentu saja. Kita tidak perlu
meniti ulang jalan lama yang menyakitkan itu.
Kita berdua menganggap kejadian-kejadian setelah Sonja meninggal adalah hal yang
tak terhindarkan. Tetapi, apakah setiap akhir dan tujuan hanya menunjuk ke satu
arah" Dapatkah suatu kejadian pada saat ini menunjuk ke masa lalu dan memberi
arti yang sama sekali baru terhadap sesuatu yang telah terjadi" Aku tahu bahwa
pertanyaan-pertanyaan yang kutanyakan ini memang berani,
tetapi tidakkah ada kemungkinan kita bersama-sama melakukan sesuatu yang dapat
memberi arti pada kematian Sonja"
Satu-satunya yang berhasil kutanyakan di atas jembatan itu adalah apakah engkau
memiliki seorang teman. Dan engkau bahkan tidak berkesempatan menjawab karena
pada saat itu aku melihat dua sosok di tepi sungai. Mereka berjalan sambil
berpelukan erat, bagaikan dua sosok yang melebur menjadi satu. Aku dapat melihat
mereka dengan jelas karena selama beberapa saat mereka berjalan di depan lampu
sangat terang yang menyinari jembatan itu, sehingga melemparkan bayang-bayang
besar di atas kami; tetapi aku dapat melihat bahwa mereka adalah seorang wanita
berpakaian merah dan seorang pria berpakaian hitam. Aku yakin mereka adalah Ana
dan Jose. Aku pernah melihat mereka bersama sebelumnya, dan kini rasanya hampir
seperti kembali ke tengah pepohonan palem di Maravu.
Aku meletakkan tanganku di bahumu dan menunjuk.
"Itu Ana dan Jose," ujarku, hampir berbisik karena penuh semangat. Engkau
menatapku dengan sebuah senyuman nakal. Sesudah itu, aku bertanya-tanya apakah
senyuman hangat dan menggoda itu merupakan reaksi terhadap namanama yang belum
pernah kau dengar itu, ataukah karena pertanyaan yang baru saja kulontarkan.
Hingga saat itu, sepanjang malam aku hampir tidak mengucapkan sepatah kata pun,
tetapi kini giliranku telah tiba, dan aku pun mulai berceloteh mengenai pasangan aneh yang
kutemui di Taveuni. Dan semakin banyak aku bercerita, semakin lebar senyumanmu
merekah dan semakin keras engkau tertawa.
Alangkah indahnya mendengar tawamu lagi, sejak pagi itu aku belum mendengarnya.
Pagi tadi, engkau begitu bersemangat karena akan ambil bagian dalam tinjauan
musim panas di Institut. Tetapi aku menceritakan kepadamu segala ungkapan yang
mereka deklamasikan satu sama lain di Fiji, aku bercerita mengintip mereka saat
mereka berenang di bawah Air Terjun Bouma, aku menyebutkan bahwa Ana adalah
seorang penari flamenco terkenal, dan bahwa ia tiba-tiba jatuh sakit, dan
tentunya aku juga menceritakan banyak hal lain. Tetapi yang jelas, aku
Warisan Kitab Pusaka 1 Pendekar Kelana Sakti 15 Pedang Ular Emas Payung Sengkala 7
satunya yang menghilang ketika kita mati adalah imajinasi kita sendiri yang
merasa terpisah dari seluruh dunia begitu kita memercayai bahwa mimpi kita
bukanlah bagian dari jiwa kita sendiri."
John berterima kasih kepada Laura atas kontribusinya, dan kini adalah giliran
Mario. "Saya seorang Katolik," hanya itu yang diucapkannya, dan ia melambaikan tangan
untuk menunjukkan bahwa tidak ada yang dapat ia tambahkan.
Tetapi, John tidak mengizinkannya mengelak dengan begitu mudah, dan akhirnya
sang pelaut kesepian itu pun menjelaskan.
"Anda semua duduk di sini dan bercakap-cakap dengan begitu entengnya tentang
sesuatu yang dapat Anda lihat, sementara pada kenyataannya kedua mata Anda buta.
Anda berkata dapat melihat semua bintang dan galaksi, evolusi kehidupan di Bumi,
dan bahkan materi genetik. Anda melihat keteraturan muncul dari kekacauan dan
Anda bahkan menyombongkan diri dapat melihat masa lalu hingga saat terjadinya
penciptaan. Dan pada akhirnya, Anda menyatakan telah membuktikan bahwa Tuhan itu
tidak ada! Bravo!" Karena ia tidak melanjutkan, John berusaha membujuknya agar memulai lagi, dan
setelah terdiam sejenak, Mario pun berkata, "Kita sudah pernah datang ke hampir
segala tempat sekarang, dan belum pernah sekalipun menemukan adanya suatu bentuk
ketuhanan. Tidak ada Tuhan yang menunggu kita di atas Puncak Everest. Tidak ada
meja yang telah disiapkan bagi kita di permukaan Bulan. Bahkan, kita belum
pernah melakukan kontak radio dengan Roh Kudus. Tetapi, jika kita bermain petak
umpet, petak umpetlah yang kita dapatkan. Yang saya coba katakan adalah:
siapakah yang memiliki filsafat tentang dunia yang paling naif" Para teolog"
Atau para reduksionis?"
Ketika Evelyn bertepuk tangan singkat, Mario melanjutkan, dan segera menjadi
lebih antusias. Ia menyebutkan bahwa saat muda, ia adalah seorang guru fisika,
dan hingga kini masih mengikuti informasi dengan membaca majalah dan buku-buku
mengenai subjek itu. "Kita telah lama melihat menembus biosfer. Segalanya hanyalah makromolekul,
hanya protein bahkan tidak hanya itu, tetapi tidak lebih dari campuran asam-asam
amino. Luar angkasa juga tidak terlalu menarik. Hanya sebuah Ledakan Dahsyat
yang memulai segalanya. Tidak ada yang misterius mengenai apa pun: efek Doppler,
radiasi latar belakang kosmik, ruang melengkung, atau apa pun di atas sana.
Itulah yang disebut fisika, atau fisika teoretis. Hanya kesadaranlah misteri
yang tersisa, walaupun jika Anda menguraikannya, tidak banyak yang dapat
dikagumi mengenainya, sama seperti hal-hal lainnya di alam semesta ini.
Kesadaran juga hanya tersusun dari atom-atom dan molekul-molekul. Filsafat
mungkin akan mendapatkan libur panjang. Karena tidak ada lagi teka-teki yang
tersisa untuk ditebak. Atau, apakah ilmu pengetahuan yang memerlukan istirahat
untuk berpikir" Mungkin ilmu pengetahuanlah yang hampir mati. Satu-satunya yang
membuat kita khawatir sekarang dan dengan mengatakan "kita", harus saya
tambahkan bahwa kita adalah kaum minoritas adalah dunia itu sendiri. Tetapi,
beri saja beberapa argumen yang rumit, dan kami tidak akan bertanya lebih
lanjut." Evelyn bertepuk tangan lagi, dan Jose dan Bill mengangguk-angguk.
Setelah Mario adalah giliran John.
"Saya telah ungkapkan keyakinan saya bahwa sebenarnya banyak masalah besar yang
kita ajukan dapat diselesaikan dengan satu jawaban sederhana. Kesulitannya
adalah tidak mudah memilih di antara jawaban-jawaban yang ada. Saya juga
berusaha untuk menunjukkan bahwa pertanyaan-pertanyaan mengenai kosmos mungkin
lebih cocok diajukan dalam permainan-permainan saat pesta dibandingkan untuk
analisis ilmiah. Ilmu pengetahuan telah memberi kita teori evolusi, teori
relativitas, fisika kuantum, juga teori Big Bang yang menarik. Baiklah, bagus!
Semua itu bagus. Pertanyaannya lalu apakah ilmu alam telah mulai mendekati
akhir. Walaupun dalam waktu dekat kita akan dapat memetakan seluruh genom
manusia dengan beratus-ratus ribu gen yang ada di dalamnya sepertinya tetap
tidak mungkin hal ini membuat kita menjadi lebih bijak. Peta itu sendiri hampir
pasti akan memajukan bioteknologi dan mungkin membantu menyembuhkan berbagai
penyakit, tetapi kemungkinan besar tidak akan menunjukkan apakah sesungguhnya
kesadaran itu atau menjawab mengapa kesadaran itu ada. Dan kita dapat terus
bertahan dalam situasi seperti itu. Jawaban untuk pertanyaan apakah ada
kehidupan di sebuah galaksi yang jauhnya beberapa ratus juta tahun cahaya dari
kita adalah sesuatu yang tidak akan pernah kita tahu, karena jaraknya terlalu
jauh. Dan walaupun kita selalu
memperdalam pemahaman kita tentang evolusi alam semesta, kita tidak akan pernah
bisa memberikan penjelasan ilmiah mengenai apakah alam semesta itu.
Tetapi, izinkan saya meminjam sebuah perumpamaan dari Laura, yang membandingkan
dunia luar sebagai sebuah mimpi. Ini adalah sebuah alegori yang luar biasa. Jika
dunia ini adalah sebuah mimpi, ilmu pengetahuan berusaha menganalisis apakah
sesungguhnya zat-zat dari mimpi itu sendiri. Ilmu pengetahuan berusaha mengukur
jarak dari satu ujung mimpi ke ujung lainnya. Tetapi, semua orang juga setuju
bahwa waktu dan ruang runtuh jika kita mengintip ke sisi-sisi luar alam semesta
dan jika kita menengok ke belakang hingga saat terjadinya Big Bang, walaupun
sesungguhnya kita membicarakan dua sisi dari sebuah koin yang sama. Karena,
semakin jauh kita melihat ke dalam alam semesta, semakin jauh pula kita melihat
kembali ke dalam sejarahnya. Maka, kita pun mencoba sedapat mungkin untuk
mencari jalan kita dalam mimpi itu. Dan bagus, semua ini memang baik. Tetapi,
kita tidak dapat keluar dari mimpi itu. Kita tidak akan pernah dapat melihatnya
dari luar. Kepala kita terantuk pada batas terakhir mimpi itu sama seperti
seseorang yang autis mungkin membenturkan kepalanya ke dinding."
Aku menuangkan sampanye lagi ke dalam gelas Laura.
"Apakah Anda benar-benar menyingkirkan kemungkinan bahwa suatu hari kita akan
dapat jauh lebih memahami dunia yang kita huni ini?" tanyaku. Ia menggelengkan kepala.
"Justru sebaliknya. Saya punya keyakinan penuh pada intuisi manusia. Tetapi,
jika kita ingin memecahkan teka-teki alam semesta, mungkin seharusnya kita
mencari jawabannya dalam hati, dan siapa tahu teka-teki itu sebenarnya sudah
pernah terpecahkan. Saya sama sekali tidak akan terkejut jika solusi atas
misteri alam semesta telah tersimpan dalam suatu tulisan Yunani, Latin, atau
India Kuno. Dan jawabannya sama sekali tidak perlu begitu rumit, mungkin hanya
sepanjang sepuluh atau dua puluh kata. Sama seperti saya yakin bahwa teori maya
milik Laura dapat disingkat menjadi beberapa kalimat saja. Malam ini kita
mendapatkan jawaban-jawaban eksplisit atas seluruh rangkaian pertanyaan yang
tidak memiliki lebih dari dua alternatif. Saya yakin, tidak ada peralatan modern
yang dapat membuktikan di antara jawaban-jawaban yang kita berikan mana yang
benar dan mana yang benar-benar salah. Bagaimana pendapat Anda, Ana?"
Kini adalah gilirannya. Selama beberapa saat, wanita itu hanya memandang ke luar
ke arah malam tropis. Kemudian, ia menegakkan duduknya dan berkata dengan
bersungguh-sungguh, "Ada sebuah kenyataan lain di balik kenyataan yang kita
saksikan ini. Ketika saya mati, saya tidak akan mati. Anda semua akan meyakini
bahwa saya telah mati, tetapi saya tidak mati. Tidak lama lagi kita akan bertemu
kembali di sebuah tempat lain."
Kata-kata ini mengumumkan akhir dari pesta ini. Arti dari percakapan ini telah
berubah total. Suasana ngeri terasa di sekeliling meja, dan kurasa bukan aku
sendiri yang melihat sebutir air mata mengalir dari mata Jose. Ana melanjutkan,
"Anda semua akan berpikir kalian tengah berada di sebuah pemakaman, tetapi
kenyataannya Anda akan menyaksikan sebuah kelahiran baru ...." Kini Ana menatapku
lurus-lurus. "Ada sesuatu di balik semua ini," ia berkeras. "Di sini kita hanyalah ruh yang
melayang-layang dalam peralihan."
"Sudahlah, cukup," Jose berbisik dalam bahasa Spanyol. "Engkau tidak perlu
melanjutkan." Semua mata tertuju kepada Ana sementara ia berbicara. Saat itulah hal itu
terjadi, Vera, kejadian yang membuatku begitu banyak menceritakan "konferensi
tropis" di Maravu Plantation Resort.
"Kita hanyalah ruh yang melayang-layang dalam peralihan," ulang sang ketua.
Sambil mengatakan hal itu, ia meletakkan satu jarinya di dahi Ana dan berkata,
"Dan ruh yang ini bernama Maya!"
Jose menggelengkan kepalanya dengan gelisah dan merangkul Ana untuk
melindunginya. Tampak jelas bahwa komentar yang terakhir telah membuatnya tidak
senang. Atau mungkin ia hanya tidak suka cara orang Inggris itu menyentuh Ana
dengan jari telunjuknya" Bagiku, reaksinya sulit untuk ditebak.
"Kurasa cukup sudah," ujarnya.
John menggigit bibirnya seolah-olah tiba-tiba sadar bahwa ia telah bertindak
tanpa berpikir. Walaupun begitu, ia berkata, setengah kepada dirinya sendiri,
sambil sekali lagi melirik sekilas ke arah Ana, "Dan juga ada sebuah karya besar
yang terlibat di sini."
Jose menanggapinya dengan menarik Ana dari kursinya.
"Terima kasih!" ujarnya. "Cukup sudah!"
"Ayo, kita pergi!" ujarnya kepada Ana dalam bahasa Spanyol.
Dan mereka pun menghilang ke dalam pepohonan palem. Itu adalah kala terakhir
kami melihat kedua orang Spanyol itu malam itu, tetapi saat itu sudah lewat
tengah malam. Kurasa, setelah satu menit penuh barulah orang-orang mulai berbicara. Kami hanya
duduk di sana memikirkan apa yang telah terjadi di antara John dan Jose. Bill
adalah yang pertama memecah keheningan.
"Anda semua tahu apa yang saya pikirkan?" ujarnya dengan sebuah cengiran lebar.
"Saya berpendapat ada sekitar enam miliar orang yang suka bercakap-cakap di
planet ini, dan kita hanya berada di sini selama delapan puluh hingga sembilan
puluh tahun maksimal. Dan Anda dapat menemukan begitu banyak hal menyenangkan
untuk dikatakan dan begitu banyak omong kosong."
Perlahan Laura bangkit dari tempat duduknya dan berjalan menjauh dari kelompok
itu. Di atas sebuah meja samping terletak sebuah teko berisi air
es. Diangkatnya teko itu dan ia berjalan ke belakang orang Amerika itu.
Kemudian, ia menuangkan seluruh isi teko, air dan es batu, di atas kepalanya.
Lelaki itu duduk terpaku selama setidaknya dua detik, tanpa bergerak sedikit
pun. Kemudian, ia melompat berdiri dari kursinya, mencengkeram lengan kiri
Laura, menariknya mendekat, lalu memukulnya.
Aku bersimpati terhadap si lelaki hingga saat itu, dan walaupun pukulan itu
tidak keras, lebih seperti sebuah tamparan dengan tangan terbuka, tetap saja
semua ada batasnya. Jelas bahwa orang Amerika itu telah membuat semua orang
tidak bersimpati kepadanya, dan bahkan memandang kedua botol Veuve Clicquot yang
kosong tidak membantu. Laura hanya berjalan dengan tenang kembali ke meja dan
duduk di sampingku tanpa sepatah kata pun.
John mulai berterima kasih kepada kami atas sebuah malam yang menyenangkan. Ia
menambahkan, "Besok, kita tidak harus berpikir terlalu melangit."
Bill meninggalkan meja, begitu pula Mark dan Evelyn kurasa, kedua orang Amerika
muda itu hampir melarikan diri membayangkan akan terjadinya perkelahian lagi.
Mario telah meninggalkan meja bahkan sebelum Laura mengosongkan teko air esnya.
Aku meletakkan tanganku di pipi kiri Laura.
"Sakitkah?" tanyaku.
Ia menggelengkan kepalanya.
"Kelihatannya tidak baik."
Ia berkata, "Kau harus belajar membebaskan dirimu, Frank." "Apa?"
"Tetapi, apa yang kau hilangkan tidak berarti dibandingkan apa yang kau
dapatkan." Diterangi cahaya lilin dari atas meja, aku menatap ke dalam satu mata cokelat.
Jauh di dalam pigmen yang gelap, sebuah garis berwarna hijau berjuang agar tidak
terkalahkan oleh warna cokelat.
"Dan apa yang aku dapatkan?"
"Engkau akan mendapatkan seluruh dunia."
"Seluruh dunia," ulangku.
Ia mengangguk. "Apa yang kau hilangkan mungkin terasa besar dan penting. Tetapi, hal itu tidak
lebih dari sebuah ilusi yang dipaksakan."
"Diri sendiri, maksudmu. Itukah yang merupakan ilusi?"
"Hanya diri kecil. Hanya diri ilusi. Sebenarnya, diri itu sama seperti tidak
ada. Tetapi, engkau memiliki sebuah diri yang lebih besar."
Aku mendengar seseorang mendekat dalam kegelapan, dan detik berikutnya sebuah
teko berisi air dikosongkan di atas kepala kami. Aku tidak percaya bahwa secara
tidak sengaja sebagian besar air tersebut mendarat padaku, walaupun kami duduk
begitu dekat saat hal itu terjadi. Sebelum kami sempat berpikir, siapa pun yang
telah melakukan hal itu telah menghilang.
"Si bodoh itu," ujar Laura penuh kebencian.
Aku berdiri dan menggoyangkan kepalaku. Kemejaku basah kuyup. Begitu pula blus
Laura, dan aku hampir tidak dapat berpikir jernih melihat betapa blus itu
menempel pada kulitnya. "Mungkin sebaiknya kita kembali saja," ujarku. Ia menatapku dengan mata
hijaunya, "Engkau yakin?"
"Yakin sekali," ujarku.
Setelah kami pergi ke arah yang terpisah, barulah kusadari pertanyaannya tadi
tentunya merupakan sebuah undangan.
* Malam itu, aku hampir tidak sabar untuk kembali kepada Gordon. Sebenarnya
hatinya baik, dan mungkin ia benar saat mengatakan tidak banyak gunanya aku
meminum begitu banyak gin hanya agar dapat tidur pada malam hari.
Ia telah mengambil posisi di atas sebuah cermin besar di sebelah kanan meja
tempat tidurku, dan begitu aku menutup pintu di belakangku, aku mendengarnya
berlari dari satu sisi ke sisi yang lain. Tentu saja aku tidak dapat benar-benar
yakin bahwa itu adalah Gordon, karena tentunya ada beberapa tokek di dalam kamar
tidurku, dan aku tidak terlalu bersemangat untuk harus mulai dari awal dan
memperkenalkan diri kepada seekor tokek baru. Tetapi begitu menyalakan lampu,
aku dapat melihat bahwa itu memang dirinya. Aku selalu memiliki semacam bakat
untuk membedakan ciri-ciri setiap
vertebrata, dan tentu saja tokek adalah sebuah individu, sama seperti manusia,
pikirku. Mereka memiliki tingkatan individualitas yang persis sama dengan kita.
Hal itu setidaknya adalah sebuah pendapat yang kuyakin akan didukung oleh
perwakilan WWF yang ada di pulau ini. Selain itu, Gordon adalah seekor tokek
jumbo, mungkin ia adalah yang terbesar dalam kelasnya.
"Aku akan langsung tidur," aku mengumumkan. "Aku mengatakan ini hanya agar
engkau tidak tersinggung jika aku tidak duduk-duduk dulu dan bercakap-cakap
hingga lewat tengah malam."
Aku membuka tas kabinku dan memutar tutup botol gin. Aku menelan satu tegukan
besar, satu tegukan yang cukup besar untuk meyakinkan agar aku tertidur.
"Terus terang, itu sulit kupercaya," ujar Gordon.
"Ha?" "Bahwa engkau akan pergi tidur. Aku juga yakin engkau akan minum lagi dari botol
itu." "Aku sama sekali tidak berencana melakukan hal itu."
"Apakah malammu menyenangkan?"
"Aku tidak ingin membicarakannya. Jika mulai berbicara sekarang, aku tidak tahu
apakah akan bisa berhenti. Lalu, semuanya akan sama seperti kemarin. Kau tahu,
kan, maksudku?" "Aku hanya bertanya apakah malammu menyenangkan."
"Laura adalah seorang panteis," ujarku. "Dan
ia juga seorang penganut monisme yang ekstrem. Aku dapat saja menyebutnya
sebagai penganut monisme vulgar."
"Dengan kata lain, seorang wanita yang cerdas. Ia tidak berputar-putar setengah
tidur seperti beberapa orang yang kutahu. Dan aku yakin, ia juga tidak
membersihkan giginya dengan gin."
"Kemudian, ia membahas tentang maya. Aku pernah mendengarnya sebelumnya, jadi
aku tidak perlu dikuliahi."
"Maya adalah sebuah ilusi tentang dunia," ujar Gordon. "Maya menciptakan ilusi
menyakitkan bahwa diri hanyalah sebuah ego semata, yang terpisah dari Diri yang
Besar dan hanya memiliki beberapa bulan atau tahun untuk hidup. Maya juga
merupakan nama sebuah bangsa di Amerika Tengah, tetapi
hal itu adalah sesuatu yang benar-benar berbeda ii
"Sudah kubilang aku tidak perlu diberi penjelasan. Tetapi Jose bereaksi begitu
aneh ketika orang Inggris itu meletakkan jarinya di dahi Ana dan seakan-akan
mengungkap dirinya yang sebenarnya. 'Ruh yang ini bernama Maya,' ujarnya, dan
kemudian ia bergumam tentang suatu 'karya besar'. Apa yang ia katakan memang
aneh, sangat aneh. Tetapi wanita itu juga bereaksi dengan sangat mengherankan.
Seolah-olah ia tidak tahan diberi tahu secara terang-terangan."
"Ada sebagian orang yang begitu kuat berada dalam cengkeraman maya sehingga
terasa menyakitkan untuk bangun. Ham pir seperti terbangun dari
mimpi buruk." "Omong kosong. Engkau tidak tahu apa yang kumaksud. Engkau bahkan tidak ada di
sana."
Maya Misteri Dunia Dan Cinta Karya Jostein Gaarder di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Aku ada di mana-mana, Frankie. Hanya ada satu diriku."
"Kumohon, hentikan omong kosong ini."
"Aku hanya mengutarakan pernyataan paling sederhana dan paling nyata dari alam
semesta." "Yaitu?" "Hanya ada satu dunia."
"Baiklah, aku mengerti itu. Hanya ada satu dunia."
"Dan itu adalah dirimu." "Oh, diamlah."
"Engkau harus keluar dari kungkungan diri, Tuan. Cobalah melihat lebih tinggi
dari pusarmu dan ke luar, ke luar ke arah hasil karya alam di sekelilingmu, ke
luar, ke curahan tanpa henti kenyataan yang ajaib."
"Aku berusaha."
"Dan apa yang kau lihat?"
"Aku melihat pepohonan palem di belahan bumi selatan."
"Itu adalah dirimu."
"Kini aku melihat Ana keluar dari dalam pemandian bergelembung di bawah Air
Terjun Bouma." "Itu adalah dirimu."
"Aku mengenali kepalanya, tetapi tidak badannya."
"Sekarang berkonsentrasilah."
"Aku melihat sebuah planet yang hidup."
"Itu adalah dirimu."
"Dan aku melihat sebuah alam semesta yang mengagumkan dengan bermiliar-miliar
galaksi dan kumpulan galaksi."
"Semua itu adalah dirimu."
"Tetapi ketika aku melihat ke luar, ke alam semesta, aku juga melihat ke masa
lalu, ke dalam sejarahnya. Aku benar-benar mempelajari kejadian-kejadian yang
mungkin saja berusia beberapa miliar tahun. Banyak dari bintang yang kulihat
sekarang, pada saat ini juga telah lama berubah menjadi raksasa merah atau
supernova. Sebagian dari mereka telah berubah menjadi katai putih, bintang
neutron yang membara, dan lubang hitam."
"Engkau melihat ke masa lalu dirimu sendiri. Itulah yang disebut sebagai memori.
Engkau berusaha mengingat sesuatu yang telah kau lupakan. Tetapi, itu adalah
dirimu, semua itu." "Aku melihat sebuah sistem tidak teratur yang terdiri dari bulan-bulan dan
planet, asteroid-asteroid dan komet."
"Itu semua adalah dirimu. Karena hanya ada satu realitas."
"Betul. Sudah kubilang aku setuju akan hal itu."
"Hanya ada satu materi dunia, hanya ada satu
zat." "Dan itu adalah aku?" "Itu adalah dirimu."
"Berarti, aku bukanlah seseorang yang lemah?" "Hanya jika engkau menyadari hal
itu. Hanya jika engkau dapat meninggalkan dirimu."
"Betul, tepat sekali. Dan mengapa hal itu begitu sulit?"
"Karena engkau tidak ingin melepaskan dirimu sendiri. Sebenarnya sesederhana
itu." "Bahkan sebuah solusi yang mudah bisa saja sulit dipraktikkan. Contohnya, mudah
sekali bunuh diri." "Engkau tidak primitif seperti itu." "Primitif?"
"Hal itu juga mensyaratkan engkau kehilangan
ego." "Benar juga, dan yang menjadi paradoks adalah bahwa aku mungkin saja melakukan
bunuh diri hanya karena rasa takut akan kematian yang datang dengan perlahan.
Terkadang seorang anak kecil memakan cokelat hanya karena ia khawatir orang lain
memakan cokelatnya. Tetapi kita sudah pernah membicarakan hal ini sebelumnya.
Engkau dengan mudah dapat melepaskan ekormu bila diserang. Aku tidak dapat
melepaskan kedua atau ketiga lipatan otakku. Aku tidak dapat begitu saja
mendatangi sebuah klinik dan meminta dibedah otak hanya karena menderita
kegelisahan kosmik."
"Lagi pula itu tidak akan menyelesaikan masalah. Itu hanya akan membawamu
kembali ke kondisi semula dan engkau tidak akan mendapat kesempatan untuk sadar
kembali. Menurutku, engkau memerlukan seluruh lapisan otakmu untuk proses ini."
"Tidakkah kata-kata itu sedikit terlalu berat diucapkan olehmu?"
"Dengan kata lain, engkau harus mati. Engkau
harus memiliki komitmen terhadap perbuatan berani itu."
"Bukankah baru saja kau katakan bahwa itu bukanlah sebuah solusi?"
"Tetapi, engkau hanya harus mati dalam arti kiasan. Bukan dirimu yang harus
mati. Konsep mengenai 'aku1 yang terlalu dibesar-besarkan yang harus
dihilangkan." "Aku mulai bingung dengan berbagai kata ganti yang kau gunakan."
"Mungkin sekali. Mungkin kita memerlukan sebuah kata ganti yang lain."
"Ada saran?" "Engkau pasti pernah mendengar jenis kata ganti yang disebut 'pluralis
majestatis'." "Tentu saja, yaitu ketika seorang raja atau kaisar merujuk kepada dirinya
sendiri dengan kata ganti 'kami'. Itu disebut kata ganti 'kami' kebangsawanan."
"Menurutku, kita juga memerlukan kata ganti 'aku' kebangsawanan."
"Dan apakah gunanya?"
"Ketika engkau berkata 'aku', engkau hanya bergantung pada konsep ego, yang
sebenarnya salah." "Sekarang engkau mulai berbicara berputar-putar."
"Tetapi cobalah berpikir mengenai planet ini secara keseluruhan, dan juga
seluruh alam semesta, yang di dalamnya planet ini adalah sebuah bagian yang
organik." "Aku coba." "Engkau memikirkan segalanya yang ada." "Aku memikirkan segalanya yang ada."
"Dan seluruh galaksi, segalanya yang meledak lima belas miliar tahun yang lalu."
"Segalanya, betul." "Sekarang katakanlah 'aku'." "Aku."
"Apakah sulit?"
"Sedikit. Tetapi juga sedikit menghibur." "Pikirkan segalanya yang ada.
Kemudian, katakanlah keras-keras kepada dirimu sendiri: 'Ini adalah aku!'"
"Ini adalah aku "Tidakkah itu terasa melegakan?" "Sedikit."
"Itu karena engkau menggunakan kata ganti baru 'singularis majestatis'."
"Benarkah?" "Kurasa, engkau sudah hampir bisa, Frank."
"Bagaimana bisa" Aku hanya berterima kasih akan pelajaran ini, itu saja."
"Kurasa, engkau bisa menjadi seperti aku. Dengan kata lain terselamatkan, dan
benar-benar terbebas dari segala penyakit kejiwaan mengenai keberadaan."
"Tidak, tidak juga. Engkau sedikit ceroboh di
sini." Aku membuka tas kabinku lagi dan menelan seteguk besar isi botol gin. Aku tahu
ia pasti akan mengucapkan komentar sinis, dan beberapa saat
kemudian, ia berkata, "Engkau harus mengakui bahwa engkau tidak mengenal dirimu
sendiri dengan baik."
"Itu tergantung kata ganti jenis apa yang kau gunakan saat ini."
"Belum lama ini engkau mengumumkan akan pergi tidur dan pasti tidak akan
menyentuh minuman lagi."
"Kemudian engkau mulai berbicara. Dan hampir saja kau memperdayaku. Engkau
hampir membuatku berharap diriku adalah seekor tokek." "Apa katamu?"
"Kubilang, engkau mulai berbicara."
"Maksudku, kata ganti mana yang kau gunakan" Siapakah yang mulai berbicara?"
Sungguh lihai. Ia telah membuatku salah langkah lagi. Sebenarnya, memang aku
yang terus melanjutkan percakapan.
"Jadi, engkau tidak banyak mengetahui dirimu sendiri," ujarnya. "Dan engkau juga
punya masalah besar dalam menentukan apa yang kau inginkan."
"Aku mengakui punya beberapa kelemahan sepele," aku mengaku.
Aku merasa tidak kehilangan apa pun dengan melakukan pengakuan ini.
Bagaimanapun, kita tidak perlu terlalu menyembunyikan diri dari seekor tokek.
"Tetapi ada hal lainnya."
"Katakanlah!" "Engkau berbicara kepada diri sendiri." "Haruskah engkau mengingatkanku?" "Kini
engkau menggigit ekormu sendiri, Frank.
Aku menyarankan agar kau putuskan saja ekor itu segera."
"Kalau begitu diamlah!"
"Engkau berbicara kepada diri sendiri."
"Apa?" "Ruh dunia juga berbuat begitu." "Apa?"
"Ruh dunia berbicara kepada dirinya sendiri. Karena hanya ada satu ruh dunia."
"Dan nama sang ruh dunia ini?" "Dirimu sendiri."
Aku terduduk sambil merenungkan apa yang baru saja ia ucapkan.
"Dalam kehidupanku yang selanjutnya, kurasa aku akan mendalami tata bahasa,"
ujarku. "Apa pendapatmu jika tema ini kujadikan disertasi gelar doktorku:
'Identitas dan Status Ontologi. Sebuah Analisis Tentatif mengenai Kata Ganti
Baru Singularis Majestatis'?"
"Bagus sekali, menurut pendapatku. Hanya pada saat itulah bidang linguistik akan
mencapai taraf yang positif. Semua kata ganti yang lain benar-benar maya."
"Dan Ana adalah maya."
"Betul, begitu pula dirinya."
"Karena ia berbicara kepada dirinya sendiri." "Dan siapakah, contohnya, yang
berbicara pada abad ke-4 sebelum Masehi?"
"Pada awalnya Sokrates dan para pengikutnya," ujarku. "Kemudian datanglah Plato
dan murid-muridnya, kemudian Aristoteles dan Theophrastus
yang tentunya melakukan percakapan-percakapan menarik mengenai tokek "berjari
setengah" di sebuah pulau Yunani Lesbos ...."
"Apakah engkau memercayai hal itu?"
"Tentunya engkau tidak akan mengatakan bahwa sejarah pun hanyalah ilusi belaka?"
"Sejarah adalah ruh dunia yang berbicara kepada dirinya sendiri. Ia juga
melakukan hal itu di masa lalu walaupun saat itu ia masih bingung. Saat itu, ia
baru saja terbangun."
"Mereka berjalan-jalan di pasar di Athena. Sokrates adalah seseorang yang
memiliki darah dan daging, manusia yang dihukum mati hanya karena ia mencari
kebenaran. Teman-temannya berdiri mengelilinginya dan menangis. Tidakkah kau
memiliki sedikit pun rasa empati?"
"Aku tidak pernah mengatakan bahwa ruh dunia selalu puas dengan dirinya sendiri.
Aku juga tidak mengatakan bahwa ia selalu sebahagia itu."
"Benar-benar omong kosong."
"Kalau begitu, pergilah lebih jauh ke masa lalu. Siapakah yang berkumpul di
pasar seratus juta tahun yang lalu?"
"Engkau tahu benar jawabannya. Para dinosaurus."
"Dapatkah kau sebutkan nama mereka?" "Tentu saja. Ya, banyak nama." "Sebutkan
saja!" "Maksudmu, nama spesies, genus, dan famili?" "Bukan, kau gila" Maksudku,
dapatkah engkau menyebutkan nama masing-masing individual."
"Tidak. Itu kan masa prasejarah." "Tapi, toh hal itu tidak relevan karena mereka
hanyalah sebuah wahana berjalan dari ruh dunia. Zaman itu berlangsung sebelum
konsep maya benar-benar beredar, sebelum adanya dua atau tiga lipatan yang
berlebihan ini. Maka, itu terjadi sebelum manusia berkhayal akan adanya suatu
engkau dan suatu aku. Pada masa-masa itu, ruh dunia masih utuh dan tidak
terbagi, dan segalanya adalah brahman."
"Dinosaurus adalah brahman. Tidakkah mereka terpesona oleh maya?"
"Betul, itulah yang kumaksud."
"Kini mereka menjadi minyak bumi Shell dan Texaco. Para tetrapoda tak bernama
itu telah menjalani putaran penuh mereka, mereka adalah darah hitam ruh dunia.
Pernahkah engkau memikirkan hal itu" Pernahkah engkau memikirkan bahwa mobil
yang kita kendarai berjalan dengan darah zaman Kapur di dalam tangkinya?"
"Engkau adalah seorang reduksionis tidak kenal jera, Frank. Tetapi yang kau
bilang ada benarnya."
"Ayolah! Aku juga ingin memahami hal ini."
"Jika engkau ada di planet ini seratus juta tahun yang lalu, engkau akan
mengalami ilusi palsu akibat lipatan otakmu yang berlebihan itu bahwa reptil-
reptil itu adalah sekumpulan individu. Engkau akan menganggap yang terbesar di
antara mereka sebagai monster ego raksasa."
"Aku memang pandai membedakan setiap individu, itu benar. Tapi, 'monster' adalah
istilahmu sendiri." "Tetapi, kini mereka telah berubah menjadi sebuah danau minyak yang besar. Kini
mereka menjadi Shell dan Texaco. Tujuh puluh pence seliter, Tuan!" "Itu kalimat
dariku." "Dan nasib yang persis sama menunggumu. Tujuh puluh pence seliter!"
"Aku tahu jika aku tidak menggunakan akal sehat dan mengubah cara pandangku
terhadap situasi." "Betul, jika engkau tidak melakukannya."
"Dan waktuku hampir habis. Tempatku bukan di sini. Aku adalah seorang malaikat
menderita yang telah terlalu lama berinkarnasi."
Sekali lagi aku berjalan menuju tas kabin hitamku.
"Tetapi semoga," ujarku, "esok adalah hari baru."
Kuletakkan botol itu di bibirku dan menenggak satu atau dua tegukan besar.
Sekali ini aku merasa ingin bermurah hati sekaligus menderita karena rasa
bersalah. Aku tidak punya pilihan lain, mengingat berbagai panorama yang telah
diungkapkan oleh Gordon. Apa pun yang terjadi, apalah artinya sakit kepala kecil
besok pagi dibandingkan dengan segala perspektif yang membentang selama berjuta-
juta dan bermiliar-miliar tahun" Satu-satunya jalan keluar yang mungkin dari
wawasan yang begitu kompleks pada malam ini adalah tidur. Kemudian, hari yang
baru akan muncul, baik disertai sakit kepala maupun tidak.
Aku telah bersiap menerima teguran keras. Tetapi, ia hanya berkata, "Aku merasa
kecewa, Frank. Maksudku, engkau merasa kecewa. Engkau kecewa dengan dirimu
sendiri." "Kalau begitu, kita berdua memang harus sedikit kecewa. Dan berbagi tanggung
jawab." "Aku akan langsung tidur, ujarmu. Kemudian, engkau berkata bahwa engkau tidak
akan menyentuh botol itu lagi."
"Ya, memang betul. Dan engkau berkata bahwa engkau tidak terlalu percaya akan
kata-kataku." "Tetap saja aku merasa kecewa."
"Hal itu mudah saja kau ucapkan. Memang mudah untuk menjadi seorang puritan jika
engkau tidak tergoda oleh kenikmatan yang berlebihan, dan juga tidak memiliki
akses untuk hal itu. Bukan engkau yang diberi Big Bang sebagai hadiah pembap-
tisan. Bukan engkau yang dikutuk untuk mengukur tahun cahaya alam semesta dengan
ujung neuron-neuron yang tumbuh terlalu besar. Bukan engkau yang merasakan
jarak-jarak dalam alam semesta menekan otakmu bagaikan seekor unta yang berusaha
melewati lubang jarum."
Aku membuka kemejaku dan membaringkan diri di atas tempat tidur. Kemudian aku
berkata, "Apakah menurutmu aku akan mendapat kekayaan di surga jika aku menjual
seluruh galaksi dan membagi hasilnya dengan orang miskin?"
"Aku tidak tahu," ujarnya. "Tetapi, mungkin tidak lebih mudah bagi seorang
primata postmodern untuk mengucapkan selamat tinggal kepada dunia
ini dibandingkan seorang rabi Yahudi pada zaman dahulu yang berusaha
menyelamatkan dunia."
"Baiklah kalau begitu. Rhubarb, rhubarb, rhubarb ... Sekarang aku akan pergi
tidur." "Tetapi engkau tidak pernah sepenuhnya tertidur."
"Kurasa aku pasti bisa. Targetku adalah dapat tidur dengan empat takaran ganda.
Tetapi malam ini aku mendapatkan delapan penuh. Dengan begitu pasti bisa."
"Maksudku, aku bangun bahkan ketika engkau
tidur." "Silakan." "Maka, tidak seluruh dirimu tertidur." "Cih!"
"Karena tidak ada 'aku1 dan 'kamu'. Kita hanyalah satu."
"Bangunkan aku saat waktu sarapan, ya."
"Baiklah, Tuan. Tetapi pada kenyataannya, engkau akan dibangunkan oleh dirimu
sendiri." Sambil mengucapkan kalimat itu ia berlari melintasi cermin, memanjat dinding,
dan ke langit-langit di atas bantalku.
"Ada apa sekarang?" tanyaku.
"Bukankah aku harus membangunkanmu untuk sarapan?"
Aku hanya berbalik dan memikirkan betapa panjangnya hari itu. Tetapi, aku tidak
menikmati adanya kemungkinan ruh dunia buang air di atasku. []
Merpati Jingga KEMBALI HARUS MENGAKUI MASIH KESULITAN MENGOREK-NGOREK KEMBALI segala
pertengkaranku dengan Gordon si Tokek, walaupun sebenarnya aku masih belum
Maya Misteri Dunia Dan Cinta Karya Jostein Gaarder di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
benar-benar kehilangan kontak dengannya; bahkan di sini di Madrid, aku masih
berkesempatan untuk melakukan percakapan panjang di tengah malam dengannya. Hal
ini sering terjadi dengan kenalan yang pernah menggugah sesuatu dalam dirimu.
Mereka bisa kembali lagi bertahun-tahun setelah pertemuan fisik terputus.
Aku telah duduk dan menulis semalam suntuk. Setelah tertidur beberapa jam, aku
berjalan-jalan singkat melalui Ritz dan melewati Taman Retiro sebelum menyantap
sarapan di Rotunda. Aku hanya perlu berdiri di jendela kedai omelet, dan
beberapa menit kemudian aku akan mendapatkan dua telur goreng, dimasak pada
kedua sisinya, beberapa potong daging babi asin, dan seporsi kacang panggang.
Aku menghabiskan hari terakhirku di Taveuni dengan sebuah pertemuan hangat
dengan para tetua Desa Somosomo. Aku belum sepenuhnya melupakan penelitianku,
dan aku memerlukan data terbaru tentang langkah-langkah yang telah diambil
selama beberapa tahun terakhir untuk melindungi habitat-habitat lama di pulau
itu, juga berbagai macam spesies flora dan fauna. Aku diberi tahu bahwa gubernur Inggris yang
pertama di Fiji adalah Sir Arthur Gordon yang melegenda, yang kepemimpinannya
berlangsung dari 1875 hingga 1880. Mungkin aku pernah mendengar namanya disebut
sebelumnya, tetapi hal itu tidaklah diharapkan karena kini "Pulau Taman" atau
"Garden Island" dengan segera berubah menjadi "Gordon Island". Seperti yang kau
tahu, kesukaanku akan Gordon's London Dry Gin jauh mendahului kunjunganku ke
sini. Ya, Vera, aku sungguh menyadari hal itu, dan aku yakin engkau tidak akan
memercayaiku jika kukatakan bahwa aku hampir tidak pernah menyentuh minuman itu
kecuali jika tengah bepergian. Aku tidak terlalu tahan dengan kesendirian.
Engkau telah mendelegasikan sebagian dari fungsimu kepada Gordon. Rasanya hampir
seperti mendengar suaramu.
Aku sedikit terhuyung-huyung saat menyerbu masuk ke toko desa untuk mencari tahu
apakah mereka menjual vitamin. Tetapi, aku benar-benar hampir terpeleset ketika
bertemu dengan Ana dan Jose di dalam toko kecil itu, sebuah toko pedesaan kecil
yang penuh sesak dengan penduduk lokal. Bersama-sama kami berusaha keluar, dan
karena ini mungkin terakhir kalinya kami bertiga dapat bersama-sama tanpa adanya
orang lain, aku pun mengumpulkan keberanian untuk melakukan konfrontasi
terakhir. Mereka berdua benar-benar tampak lesu sore itu, jelas akibat dari
tingkah laku aneh si orang Inggris malam sebelumnya, tetapi aku merasa tidak
memiliki pilihan lain. Aku akan meninggalkan
tempat itu keesokan paginya, dan mungkin tidak akan pernah bertemu Ana dan Jose
lagi. Di luar toko itu, Jose menyalakan sebatang rokok, sementara Ana membuka tutup
sebuah botol plastik berisi air. Aku menganggapnya sebagai sebuah undangan untuk
percakapan singkat sebelum kami menempuh jalan kami masing-masing. Aku bertanya
tanpa basa-basi. Kutatap mata hitam Ana dan berkata sambil lalu, "Mungkin ini
terdengar aneh, tetapi saya selalu merasa pernah bertemu dengan Anda
sebelumnya." Reaksi pertama Jose adalah menarik si wanita mendekat ke arahnya. Hal ini
mengingatkanku akan kejadian yang kusaksikan di meja makan malam sebelumnya. Si
wanita menatap ke arahnya, hampir seakan meminta izin untuk boleh menjawab
sendiri pertanyaanku. "Tetapi Anda tidak ingat di mana?" ujarnya.
"Saya sesekali berkunjung ke Spanyol."
"Spanyol memiliki lima puluh dua provinsi."
"Tepat sama dengan jumlah kursi dalam parlemen Fiji," komentarku.
"Saya yakin Anda pergi ke Kepulauan Canary," ujarnya bergurau.
Aku menggelengkan kepala.
"Paling sering saya tinggal di Madrid. Mungkin saya pernah melihat Anda di
sana?" Jose jelas berpendapat bahwa percakapan singkat ini telah berubah menjadi sebuah
interogasi. "Ada banyak wanita berambut gelap di Spanyol," ujarnya. "Itu kenyataan, Frank.
Bahkan di Madrid." Aku tidak melepaskan tatapan Ana. Apakah ada secercah reaksi" Apakah iris
matanya yang sedikit membesar menandakan bahwa ingatanku tidak menipuku"
"Apakah orang-orang sering merasa mengenal Anda?" tanyaku.
Sekali lagi wanita itu menatap Jose. Seolah-olah ia memohon izin untuk
membagikan sebuah rahasia kepada diriku, dan si lelaki, tanpa menggerakkan satu
otot pun, menolak. Namun, si wanita tersenyum ramah saat menjawab, "Mungkin Anda
pernah melihat saya di Madrid. Mohon maaf, saya tidak ingat Anda."
Aku menganggap ini sebagai sebuah jawaban yang diplomatis. Ia tahu benar mengapa
aku bertanya. Mereka membawa mobil dan akan pergi ke Vu-na Point di ujung barat daya pulau
itu. Mereka menawarkan untuk mengantarku kembali ke Maravu. Aku berterima kasih
atas tawaran mereka, tetapi berkata bahwa aku lebih suka berjalan kaki menempuh
jarak empat kilometer itu.
Setelah melewati Desa Niusawa, aku berpapasan dengan seorang wanita berpakaian
sporty dengan rambut hitam terkepang dan sebuah ransel kanvas. Laura mengenakan
celana baggy berwarna khaki, sebuah sweater ketat, dan semacam helm pelindung
matahari. Ia tampak lembap dan kotor, tetapi ia telah berjalan ke Puncak Des
Voeux Peak, gunung kedua tertinggi di Taveuni yang tingginya
lebih dari 1.150 meter. Ia tampak lelah. Walaupun begitu, ia tersenyum lebar
kepadaku ketika aku mendekatinya, dan komentar pertamanya adalah, "Aku telah
melihatnya!" Ia melompat-lompat, seperti anak kecil, dari satu kaki ke kaki lainnya, wajahnya
bersinar bagaikan seseorang yang baru saja menemukan agama. Diam-diam aku
bertanya-tanya apakah ia memang mendapatkan pencerahan. Atau mungkin semak-semak
yang terbakar" "Ia sungguh luar biasa," ujarnya. "Aku melihatnya di atas gunung sana sesaat
setelah matahari terbit."
Aku bahkan masih tidak tahu dari mana ia datang, tetapi ia melanjutkan, "Aku
telah melihat merpati Jingga!"
"Kau yakin?" "Cukup yakin." "Di Puncak Des Voeux?"
Ia mengangguk, dan hampir terengah-engah saat berbicara.
"Dan aku ... memotretnya ... dengan telefotoku."
Kini segalanya menjadi jelas, dan jika apa yang dikatakannya memang benar, itu
adalah sebuah prestasi yang luar biasa. Merpati Jingga yang diselubungi mitos
tidak saja sangat langka, tetapi aku juga mendengar bahwa hewan itu belum pernah
di-foto sebelumnya. "Kalau begitu, kau mungkin menjadi orang yang pertama memotretnya," ujarku.
"Aku tahu." "Mungkin juga akan menjadi yang terakhir." "Aku tahu."
"Kau harus mengirimkan satu buah kopinya kepadaku," ujarku iri.
Ia menanggapi dengan menjabat tanganku, yang kuanggap sebagai sebuah janji. Hal
ini berarti bahwa nanti aku harus memberinya alamatku, satu hal yang selalu
kulakukan dengan penuh kewaspadaan saat berada di luar negeri.
Kami mulai berjalan lagi.
"Engkau bisa saja bertanya kepadaku apakah aku juga ingin ikut," ujarku. Ia
tertawa. "Aku tidak sempat! Cepat sekali engkau meninggalkan meja dan pergi tidur."
Laura menjelaskan bagaimana ia bangun pada fajar pagi itu saat keadaan masih
gelap. Ia telah memesan sehari sebelumnya sebuah mobil untuk menuju Desa
Wairiki. Ia berangkat menjalani pendakian sejauh enam setengah kilometer satu
jam sebelum matahari terbit, dibekali dengan sebilah pisau hutan dan sebuah
senter yang dipasang di kepala. Ia memang datang ke pulau ini untuk melihat
merpati Jingga, dan itulah yang ia lakukan.
Dari Puncak Des Voeux, ia mengamati Danau Tagimaucia, yang terbentang di dalam
kawahnya yang telah mati di tengah pulau. Danau itu sebagian besar dipenuhi
tumbuh-tumbuhan yang terapung-apung. Di situlah satu-satunya tempat tumbuhnya
bunga nasional Fiji, tagimaucia atau Medi -
nilla waterhousei, yaitu bunga berwarna merah menyala dengan mahkota berwarna
putih. "Tahukah engkau bagaimana bunga tagimaucia pertama kali muncul?" tanyanya saat
kami menempuh jalan yang berdebu, sambil terus-menerus menghindari kodok-kodok
gepeng. Aku menggelengkan kepala, dan ia menceritakan kepadaku legenda Tagimaucia. Pada
zaman dahulu kala, hiduplah seorang putri Taveuni. Ayahnya, sang kepala suku,
memutuskan bahwa putrinya harus menikahi seorang lelaki yang telah ia pilihkan
untuknya. Tetapi, sang putri mencintai orang lain, dan dalam keputusasaannya, ia
melarikan diri dari desanya ke atas pegunungan. Karena benar-benar kelelahan,
akhirnya ia tertidur di pinggir danau luas tersebut. Dalam tidur, ia menangis
sedih, dan selagi ia bermimpi, air matanya mengalir menuruni pipinya dan berubah
menjadi bunga merah yang indah. Bunga-bunga itu adalah bunga tagimaucia yang
pertama, dan tagimaucia berarti "menangis dalam tidur".
Kupikir, ia hanya menceritakan sebuah cerita romantis kepadaku, tetapi ia
berkata, "Sesuatu yang persis sama pernah terjadi kepadaku."
"Menangis dalam tidur?"
Ia menggelengkan kepalanya.
"Kawin paksa." "Engkau pernah menikah?"
Ia mengangguk singkat. "Tetapi, ada juga versi lain dari legenda mengenai tagimaucia."
Dan kini ia menuturkan cerita yang lain. Pada suatu hari, tinggallah seorang
gadis di Taveuni yang tidak menuruti perintah ibunya dan bermain-main saat
seharusnya ia bekerja. Tiba-tiba, sang ibu kehilangan kesabaran terhadap anak
gadisnya dan mulai memukulinya dengan seikat daun kelapa. Ia mengatakan kepada
putrinya agar pergi dan jangan menampakkan dirinya lagi. Gadis itu berlari pergi
sejauh mungkin dari rumah sambil menangis dan terluka hatinya. Di tengah hutan,
ia menemukan sebatang pohon ivi yang ditumbuhi oleh tanaman merambat. Ia pun
memanjat sulur-sulur tanaman tersebut, tetapi tanaman itu memerangkapnya dan
pada akhirnya ia tidak dapat bergerak. Gadis itu menangis dan menangis, dan air
mata yang mengalir di wajahnya berubah menjadi darah yang terjatuh ke atas
tanaman sulur-suluran dan membentuk bunga yang paling indah. Akhirnya, gadis itu
berhasil membebaskan diri dan berlari pulang kembali. Pada saat itu, ibunya
sudah kembali tenang, dan cerita itu pun berakhir bahagia. Tetapi, para penduduk
Taveuni percaya bahwa bunga yang langka ini berasal dari air mata sang gadis.
"Apakah hal itu juga pernah terjadi pada dirimu?" aku bertanya main-main.
Ia mengangguk dengan serius, tanpa adanya tanda-tanda ironi.
"Terperangkap oleh tanaman merambat?"
Ia menggelengkan kepalanya.
"Dibenci ibuku."
Saat itu ia berhenti dan berpaling ke arahku.
"Akan kuberi tahu sebuah rahasia, Frank." "Ya?"
"Aku adalah seorang anak yang tidak diinginkan."
Dirimu dan setidaknya setengah dari populasi dunia, pikirku.
Tanpa dapat dihindari, aku melihat air mata merebak dari matanya yang hijau.
Maka aku pun mendekatkan diriku kepadanya dan meletakkan kepalanya di leherku.
Kami berdiri seperti itu beberapa lama dan kemudian ia mengangkat kepalanya dan
menatap ke dalam mataku. Kupeluk dirinya erat dan tidak melepaskannya hingga
naluri alamiahku mengatakan bahwa aku harus melepaskannya.
Kami melanjutkan perjalanan menyusuri jalan itu, dan kini giliranku untuk
menceritakan beberapa legenda yang pernah kudengar di Kepulauan Oseania.
Contohnya, ada banyak kisah berisi peringatan bahwa seorang wanita tidak boleh
berada terlalu dekat dengan seekor tokek, karena jika terlalu dekat, wanita itu
dipercaya dapat melahirkan seekor tokek. Aku juga menceritakan kepadanya legenda
tragis mengenai Verana. Verana adalah seorang wanita cantik jelita yang memiliki begitu banyak pengagum
sehingga ia tidak dapat memilih di antara mereka. Sebagai akibatnya, ia selalu
mengeluh bahwa ia tidak memiliki cukup waktu untuk memutuskan. Suatu hari, ia
diberi sebuah ramuan ajaib oleh seorang penyihir. Jika meminum setengahnya, sang
penyihir menjelaskan, ia akan dapat hidup selamanya. Lalu, ia akan memiliki
cukup waktu untuk menemukan lelaki yang ia inginkan untuk hidup bersama. Setelah
menemukan orang yang menurutnya tepat untuk menjadi pasangannya, ia hanya perlu
memberikan sisa ramuan kepadanya, dan suaminya juga akan hidup abadi. Verana pun
meminum ramuan yang menjadi bagiannya dan hidup selama bertahun-tahun tanpa
pernah dapat menetapkan hati untuk satu lelaki pun. Seratus tahun telah berlalu,
dan Verana masih tetap muda dan cantik jelita, tetapi dengan berlalunya waktu,
semakin sulit bagi dirinya untuk memilih kepada siapa ia akan menyerahkan
dirinya. Ia menyadari bahwa ramuan ajaib itu telah membuatnya semakin sulit
untuk memutuskan. Tidak saja kini terlalu banyak lelaki yang dapat dipilih,
tetapi ia juga memiliki begitu banyak waktu untuk mengambil keputusan. Terlebih
lagi, ia tahu bahwa pilihan terakhirnya akan selalu berada di sisinya, tidak
hanya seumur hidup, tetapi selama-lamanya. Setelah dua ratus tahun, Verana telah
bertemu begitu banyak pengagum sehingga tidak dapat lagi mencintai pria mana
pun. Walaupun begitu, ia telah terkutuk untuk hidup di bumi selama-lamanya. Ia
masih hidup di dunia hingga hari ini. Jika seorang pria jatuh cinta kepada
seorang wanita yang tidak dapat memutuskan, lelaki itu harus berhati-hati karena
bisa saja wanita yang ia cintai itu adalah Verana yang dingin dan tidak dapat
ditaklukkan. Banyak lelaki yang telah kehilangan hati dan masa mudanya karena
Verana, tetapi tidak seorang pun yang akan pernah bisa mendapatkannya.
Laura menatapku. "Oh, sungguh sebuah cerita yang menyedihkan!"
Ketika tiba di Pantai Pangeran Charles, kami berjalan-jalan di atas pasir,
menanggalkan sepatu, mengumpulkan kulit-kulit kerang untuk saling kami be rikan,
dan berdiri mengagumi seekor bintang laut berwarna biru tua. Laura berpendapat
bintang laut itu tentunya berasal dari spesies yang namanya dipakai kelas
Asteroidea, karena ia benar-benar menyerupai sebuah bintang. Mungkin,
menurutnya, ada sebuah legenda mengenai sebuah bintang yang terjatuh dari langit
dan diubah menjadi seekor bintang laut. Jika tidak, kami bisa saja menciptakan
sebuah kisah baru. Tidak pernah terlambat untuk menciptakan sebuah mitos.
Hari ini tidak banyak maya maupun ilusi dunia yang keluar dari dirinya. Bagian-
bagian dalam pikirannya seakan begitu berbeda, seperti warna kedua matanya, dan
aku membayangkan mungkin mata hijaunyalah yang telah melihat sang merpati
berdada Jingga dan mata cokelatnya yang membaca filsafat India. Atau, tentunya
mata hijaunyalah yang menemukan bintang laut biru dan mata cokelatnya yang tidak
menghargai nilai seorang manusia.
Saat kami mendaki tebing terjal menuju pepohonan palem, Laura menjelaskan bahwa
malam itu akan ada sebuah pesta besar di Maravu dengan lebih dari seratus tamu
dari pulau itu. Pesta itu mereka sebut sebagai gunusede sebuah makan malam yang
ditarik bayaran, dan keuntungannya akan di -
salurkan untuk kegiatan sosial. Pesta nanti malam bertujuan membantu membayar
uang sekolah bagi anak-anak di desa-desa miskin. Para tamu di Mara-vu tentu saja
juga diundang. "Engkau harus duduk di sebelahku," ujar Laura.
* Beberapa jam kemudian, aku telah berbagi meja dengan Laura, John, dan Mario.
Semua meja kecil telah dipenuhi, dan banyak lagi hadirin yang diharapkan akan
datang. Bill, orang Amerika yang ceria itu, tiba di restoran itu tepat saat Laura cepat-
cepat menawarkan satu tempat kosong di meja kami kepada sang pelaut Italia.
Sehingga, si orang Amerika itu tidak hanya harus menghadapi fakta bahwa meja
kami sudah penuh, tetapi harus duduk di antara orang-orang yang belum pernah ia
temui. Keadaan yang tak menyenangkan ini segera berbalik menguntungkan bagi
dirinya setelah ia tahu bahwa ia semeja dengan Kapena yang terkenal, yang
berasal dari Hawaii; istrinya, Roberta; dan seorang pria menyenangkan bernama
Harvey Stolz. Kapena, seorang berbadan kekar dengan wajah berotot yang terbakar matahari,
tulang pipi yang tinggi, dan gigi-gigi besar berwarna putih, adalah salah satu
pusat perhatian malam itu. Ia adalah seorang nelayan perairan dalam yang
terkenal, yang pada saat berusia dua puluh tiga tahun telah memenangi hadiah
pertama dalam Turnamen Jackpot Lahaina dengan menyeret seekor ikan marlin besar seberat 545 kilogram ke
atas kapalnya. Kini ia berusia pertengahan empat puluhan, telah pensiun dari
kariernya sebagai seorang nelayan perairan dalam, dan pindah ke Taveuni. Di
sini, aktivitasnya adalah mengantarkan para turis memancing di Selat Somosomo
dengan kapalnya yang berteknologi canggih, Makaira. Pagi itu, ia berlayar untuk
menangkap semua ikan yang akan kami makan malam itu; itu adalah bentuk
kontribusinya untuk gunusede tersebut. Koki dari Maravu, Kai, juga ikut berlayar
dan telah memastikan bahwa semua ikan tersebut dibersihkan dan disiapkan dengan
baik. Pada saat acara makan malam itu, Bill memperkenalkan kami kepada Kapena,
Roberta, dan Harvey, sang kepala kelasi di Makaira. Kami pun akhirnya terlibat,
dengan agak enggan, dalam diskusi-diskusi teknis yang mungkin menarik bagi
Maya Misteri Dunia Dan Cinta Karya Jostein Gaarder di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
seorang insinyur minyak dan seorang nelayan perairan dalam.
Ana dan Jose duduk di ujung lain dari restoran itu bersama Mark dan Evelyn.
Kedua orang dari Spanyol itu tampak bersemangat untuk berbagi meja dengan
pasangan muda dari Amerika itu. Mungkin ini adalah cara mereka untuk melepaskan
diri. Setelah makan malam, sebuah paduan suara dan orkestra kecil berkumpul. Sebagian
dari para anggotanya bekerja di Maravu seperti tukang kebun Sepo, Sai, dan
Steni, sang bartender Enesi, dan staf rumah tangga Kay dan Vere tetapi ada pula
musisi-musisi dari desa. Dengan diiringi gitar dan
ukulele, mereka menyanyikan lagu-lagu polifonik yang membuai mengenai
Tagimaucia, Maravu, dan semua orang yang telah menempuh perjalanan melewati awan
dari tempat-tempat yang begitu jauh untuk mengunjungi pulau itu. Beberapa
pertunjukan meke juga digelar. Meke adalah sebuah tahan rakyat tradisional yang
dilakukan sambil duduk. Tahan itu menceritakan legenda-legenda Fiji kuno, dengan menggunakan campuran antara lagu, peniruan yang
dilebih-lebihkan, dan gerakan tangan yang penuh semangat.
Setelah tarian-tarian rakyat, Jochen Kiess mendatangi meja kami dan mengundang
kami untuk ikut serta dalam upacara kava. Kava atau yaqona adalah minuman
memabukkan yang terbuat dari akar tumbuhan yang termasuk dalam keluarga lada
Piper methysticum yang mengandung narkotika ringan. Minuman itu disajikan dalam
sebuah mangkuk kayu besar dan diminum dengan menggunakan tempurung kelapa yang
dibelah dua. John sudah pernah mencoba kava sebelumnya dan menolak tawaran
tersebut, tetapi Laura pernah membaca dalam Lonely Planet bahwa menolak undangan
untuk ikut serta dalam upacara kava adalah perbuatan yang tidak sopan-bukan hal
yang baik untuk dilakukan. Tidak lama kemudian, aku, Laura, dan Mario telah
duduk di lantai mengelilingi mangkuk kava. Setiap kali seseorang ditawari
setengah tempurung minuman tersebut, orang-orang bertepuk tangan dan berseru:
"Bula!" Kava tidaklah menyenangkan. Bentuknya seperti air keruh dan rasanya pun tidak
jauh dari itu. Setelah dua gelas, aku merasa sekitar bibirku sedikit mati rasa,
dan setelah tiga gelas, aku merasa lebih santai daripada sebelumnya, tetapi juga
agak mengantuk. Aku ingat melihat Bill berjalan-jalan tanpa rasa hormat di
sekitar kerumunan kava tersebut, dan sekali waktu bahkan memberi tahu Laura
bahwa kava hanyalah sebongkah omong kosong dan gadis baik-baik seharusnya
menghindarinya. Laura menatap ke dalam mataku, dan kurasa ia menggunakan mata cokelatnya.
"Bagaimana rasanya?" tanyanya.
Aku ingin mengatakan bahwa rasanya seperti lima miligram valium dan tidak banyak
lagi yang lain. "Dapatkah engkau merasakan ilusimu runtuh?" ujarnya.
"Secuil, mungkin," ujarku bercanda. "Hanya
ada satu dunia." "Hanya ada satu kesadaran, purusha
"Ini adalah biokimia," ujarku. "Ini adalah 'agama
instan'." Aku tidak tahu apakah ia mengerti apa yang kumaksud, tetapi ia berkata, "Begitu
pula kesadaran sehari-hari. Hanya biokimia. Dan itu membuat kita percaya akan
ilusi materi, prakriti."
"Kata yang aneh."
"Artinya hampir sama dengan maya. Untungnya, beberapa zat kimia dapat membius
bagian-bagian otak yang membuat kita memercayai ilusi dunia."
Bagian-bagian itu tentunya kedua atau ketiga
lipatan otak yang berlebihan itu, pikirku, tetapi kurasa aku tidak benar-benar
mengucapkannya. Laura terus berbicara banyak, walaupun aku tidak dapat mengingat ucapannya
kalimat demi kalimat, tetapi aku ingat ia mengatakan kepadaku bahwa setelah
vedanta, filsafat samkhya adalah yang paling cocok dengan hatinya.
Aku menyadari kava juga memiliki efek diuretik yang kuat dan berpengaruh
terhadap baik pria maupun wanita, karena Lauralah yang pertama kali mengatakan
bahwa ia perlu pergi ke kamar kecil. Kami berdua menganggap agak lucu bahwa ruh
dunia ingin buang air kecil segera setelah ia berhasil menemukan jalannya
kembali kepada dirinya sendiri.
Tidak lama kemudian, kami kembali di meja kami. John duduk bersama birnya. Ia
beranggapan betapa baiknya jika ada tamu yang menginap di Maravu yang
menyumbangkan hiburan. "Tahukah Anda, Ana adalah seorang penari flamenco yang terkenal," ujarnya. "Saya
melihatnya di internet, dan walaupun bahasa Spanyol saya tidak terlalu bagus,
saya masih dapat mengetahui bahwa ia adalah bintang besar di Sevilla saat ini,
'La Estrella de Sevilla'."
Aku tidak tahu apakah kava tadi telah mengubah persepsiku akan waktu, tetapi
rasanya sekejap kemudian kami telah berada di meja pasangan Spanyol itu.
Lauralah yang mengajukan permintaan kami: maukah Ana berbaik hati untuk
menyumbangkan sebuah tahan flamenco" Itu tidak hanya akan menjadi pengalaman
menyenangkan bagi kami semua, tetapi juga semacam ucapan terima kasih kepada
para penari Fiji malam itu.
"Jawabannya adalah tidak," ujar Jose.
"La Estrella de Sevilla John memulai. Tetapi, Jose tidak tergugah oleh bahasa
Spanyolnya itu. "Saya bilang jawabannya adalah tidak," ia menggeram.
Sementara itu, Ana menunjukkan ekspresi wajah terluka dan sedih. Tetapi mengapa"
Mengapa ia begitu terganggu oleh permintaan baik-baik agar ia menari flamenco"
Ataukah Jose telah membuatnya marah karena telah menolak dengan tegas mewakili
dirinya" Aku tidak menemukan jawaban bagi pertanyaan-pertanyaan ini hingga
beberapa bulan kemudian. Kami pun berusaha mencairkan suasana dan kembali ke meja kami.
Tidak lama kemudian, pasangan-pasangan mulai berdansa. Situasinya tidak jauh
berbeda dengan acara dansa di hotel-hotel pedesaan di Norwegia, dengan seorang
penyanyi solo yang membawakan lagu-lagu populer internasional-sebenarnya hanya
karaoke lagu-lagu Barat. Banyak dari para penduduk desa yang memenuhi lantai
dansa, jadi tidak diragukan lagi gunusede malam ini sukses besar. Dan dengan
adanya sedikit tanda-tanda pertengkaran dan perkelahian di antara kaum pria,
rasanya hampir seperti kembali berada di T0nsberg pada suatu malam musim panas
yang ramai. Perbedaannya adalah langit terang benderang sepanjang malam pada
pesta musim panas di T0nsberg. Malam di Taveuni gelap gulita.
John dan Mario, Laura dan aku duduk di sekeliling meja kami. Kemudian, Mark dan
Evelyn datang dengan membawa kursi mereka karena meja mereka telah disingkirkan
untuk memberi lebih banyak tempat untuk berdansa. Ana dan Jose telah mengambil
tempat di lantai dansa di depan mangkuk kava. Tidak lama kemudian, Bill datang
membawa botol-botol anggur merah.
"Saya yang traktir!" ujarnya. Saat itu waktu sudah mendekati tengah malam, dan
Laura berpaling kepadaku.
"Mari kita pergi!" ujarnya.
Aku tidak berniat menolak tawaran tersebut. Aku masih merasa sedikit pusing
akibat pengaruh air kubangan yang mengandung obat bius itu. Aku telah melewati
hari yang sangat melelahkan dan tidak ada alasan untuk membuang-buang waktu di
tengah kumpulan manusia yang ribut itu. Terlebih lagi, esok paginya, aku akan
memulai perjalananku pulang ke sudut lain dari belahan dunia. Kami pun bangkit
dan berterima kasih kepada semua orang untuk malam yang menyenangkan.
"Engkau akan pergi?" tanya Bill.
"Yap," ujar Laura. "Kami akan pergi."
"Ke mana?" Sungguh sebuah pertanyaan yang aneh, pikirku. Dan sebuah pertanyaan yang bahkan
belum ada jawabannya. Terkadang kau hanya tahu bahwa kau ingin pergi, tanpa tahu
ke mana tujuanmu. Akankah
kami berjalan-jalan di tengah pepohonan palem" Atau berendam tengah malam di
Pantai Pangeran Charles" Atau memuaskan diri dengan melanjutkan minum di pondok
Laura atau pondokku" Bagaimanapun, itu bukanlah urusan Bill. Ia memang berbaik
hati selalu membelikan kami anggur, walaupun seseorang yang pernah bekerja
dengan Red Adair dan menyelamatkan Apollo 13 dari bencana di luar angkasa
tentunya mampu untuk membeli itu semua. Tetapi tidak seharusnya ia beranggapan
dapat membeli teman, pikirku, apalagi Laura.
"Kami akan melihat herbarium, Frank," ujar si wanita.
"Menurutku, sebaiknya engkau tidak melakukannya," jawab Bill.
"Menurutku, ini tidak ada hubungannya denganmu," Laura menjawab balik.
Caranya mengucapkan kalimat ini lebih seperti bergurau dengan sesama teman
dibandingkan mengugat. "Engkau bisa saja melanjutkan mengobrol di sini," si lelaki berkeras.
"Kami akan mengobrol di mana pun kami mau," Laura menyatakan dan pada saat itu
kupikir ia hampir tertawa menghadapi kenekatan lelaki itu.
"Di sini ada anggur," lanjut si orang Amerika. "Ngomong-ngomong, ini adalah
Rioja yang sangat enak."
"Kami hanya memerlukan satu botol saja," ujar Laura sambil menyambar satu botol
dan berjalan keluar memasuki pepohonan palem.
"Masukkan saja itu ke dalam tagihanku," ujarku sambil berlari mengejar Laura.
Tidak lama kemudian, kami telah duduk-duduk di berandaku, dan Bill memang benar;
Rioja itu enak. Udara tropis yang hangat dan lembap terasa bagaikan belaian kain
lembut. "Ia benar-benar seorang yang unik," aku memulai.
Laura menggelengkan kepalanya. "Tingkah lakunya tipikal, sungguh tipikal."
"Apakah kalian bertemu di Bandara Nadi?" "Tidak usah kau pikirkan orang itu,
Frank. Ia tidak begitu menarik."
"Yang jelas, ia sangat blak-blakan." Ia menimbang-nimbang selama beberapa saat,
kemudian berkata, "Bill adalah ayahku." Aku meletakkan gelasku dan bersiul.
"Tentu saja!" seruku. "Sungguh bodoh aku selama ini."
Ia tidak menjawab, tetapi memalingkan mukanya dengan cepat dan aku pun menatap
ke dalam satu matanya yang hijau. Ada sesuatu yang membuatku membayangkan bahwa
ia telah dilahirkan dengan dua mata hijau, tetapi sedikit demi sedikit satu
telah berubah menjadi semakin cokelat saat ia semakin besar. Mungkin mata yang
satu lagi juga berisiko memiliki nasib yang sama.
Aku merasa kesal karena tidak mampu menerka bahwa Bill dan Laura adalah ayah dan
anak yang tengah berlibur bersama di Oseania. Itulah mengapa si wanita duduk
dengan begitu tekun membaca Lonely Planet, dan mengapa si lelaki duduk di meja
si wanita pada malam pertama. Itu juga menjelaskan kemurahan hatinya membelikan
anggur, dan bagaimana si lelaki dapat menenangkan Laura hanya dengan meletakkan
tangannya di Laura, dan mengapa Laura mendorongnya ke dalam kolam, mengapa Bill
duduk di kursi dengan handuk Laura, dan mengapa Laura menyiramkan satu teko air
ke atas lelaki itu ketika ia tidak dapat menyembunyikan ketidaksabarannya
mendengarkan Laura lagi-lagi memberikan kuliah mengenai maya dan ruh dunia. Itu
pula alasan mengapa lelaki itu memperingatkan Laura tentang kava dan tentu saja
mengapa si lelaki mencoba mencegahnya pergi denganku.
"Apakah ia yang mengatur pernikahanmu?"
"Ialah yang mengatur segalanya. Ia mengatur seluruh hidupku sejak aku masih
kecil. Kemudian ia menemukan seorang pengusaha yang benar-benar hebat untukku,
salah seorang rekannya, seorang pengusaha minyak. Untukku. Ia menemukannya
untukku. Dan aku adalah seorang anak yang baik. Pesta pernikahan tradisional
serbaputih dan dua ratus enam puluh tamu, sebagian besar dari perusahaan
miliknya." "Aku tidak menyangka hal seperti itu masih
ada." "Tetapi, aku adalah seorang anak yang baik. Aku tidak ingin mengecewakan
ayahku." "Walaupun engkau seorang anak yang tidak diinginkan?"
"Aku tidak pernah memiliki ibu. Hanya ayah."
"Bukankah kau bilang engkau ditolak oleh ibumu sama seperti Tagimaucia?"
"Itulah mengapa aku tidak pernah memiliki ibu."
"Tetapi, ia masih hidup?"
Ia mengangguk. "Hidup bersama ayahmu?"
Ia mengangguk lagi. "Sudah berapa lama engkau berpisah dengan suamimu?"
"Dua minggu." "Sejak kalian berdua berpisah?"
"Sejak aku meninggalkannya. Aku pindah ke Australia. Kemudian Ayah datang ke
Adelaide. Ia beranggapan sebaiknya kami berlibur bersama."
"Ia ingin engkau kembali kepada suamimu lagi?"
"Tentu saja. Ia menjualku kepadanya." "Dan ayahmulah yang memberimu dana
penelitian itu" Apakah dia yayasan itu?"
Ia mengangguk. "Apakah engkau menyayanginya?"
Ia mengangkat gelasnya dan menyeruput seteguk anggur. Kemudian berkata dengan
penuh keyakinan, "Sangat."
Ia menyeruput lagi, dan kemudian, dengan tersenyum kecil, menambahkan sesuatu
yang membuatku sadar betapa ia sangat mencintai ayahnya.
"Tetapi, ia sungguh konyol. Ia benar-benar menyebalkan."
Aku menyimpulkan bahwa Bill dan Laura menunjukkan contoh kasus serius sikap
overprotektif, fiksasi ayah, dan Elektra kompleks yang tersamar.
Bayangan mengenai penjinak hewan dan harimaunya ternyata tidak terlalu jauh dari
kenyataan. Sambil duduk menikmati Rioja, kami bercakap-cakap mengenai ruh dunia. Sepanjang
waktu ia menatapku dengan mata cokelatnya. Aku menduga, baik komitmennya
terhadap lingkungan maupun konsep-konsep filsafat holistiknya tidaklah tertanam
begitu dalam. Tetapi, toh ia bermata satu. Ia adalah seorang penganut
absolutisme filsafat bermata satu. Dan ia adalah seorang gadis ceria dan sensual
bermata satu yang mengagumi burung langka, legenda kuno, dan bintang laut biru.
Baik mata yang cokelat maupun yang hijau telah menantangku dengan caranya
masing-masing, dan membuatku berpikir keras.
Setelah botolnya kosong, kami pun masuk ke pondok. Dan, ya Laura menghabiskan
malam itu bersamaku. Sebelumnya, ketika mengambil gelas dari dalam kulkas, aku melihat Gordon di
dinding. Sementara Laura sedang berada di kamar mandi, aku mendatanginya,
menatap matanya dengan tegas dan berkata, "Malam ini, diamlah! Mengerti" Malam
ini aku libur tidak berurusan denganmu."
Aku tidak menyentuh botol ginku, dan itu bukan hanya untuk mencegah memprovokasi
Gordon. Mungkin engkau bertanya-tanya mengapa aku menceritakan Laura. Jangan lupa,
engkaulah yang berkata kita tidak saling terikat lagi. Akulah yang berpendapat
bahwa sebaiknya kita membiarkan tahun perpisahan kita berlalu sebelum memulai
hubungan yang baru. Setelah menghadapi berbagai perspektif mendalam yang terus-menerus dipaksakan
oleh Gordon kepadaku, sungguh indah untuk dapat menyerahkan diri kepada seorang
manusia. Aku tidak mampu membayangkan menjalani satu malam lagi dengan ditemani
Gordon. Dan sebenarnya, aku baru akan menceritakan kepadamu kejadian di
Salamanca itu, ketika tiba-tiba engkau mulai tertawa tak terkendali saat aku
menunjuk Ana dan Jose dan memberitahumu bahwa aku bertemu dengan mereka di Fiji.
Ketika aku terbangun keesokan harinya, Laura telah pergi, dan aku tidak pernah
melihatnya lagi. Saat sarapan, kudengar pagi-pagi sekali ia dan Bill telah
berangkat menuju Tonga. Namun, aku telah memberinya alamat rumah dan e-mail ku,
dan beberapa hari sebelum berangkat menuju Salamanca, aku menerima sebuah foto
yang sangat tajam menggambarkan sang merpati langka dengan dadanya yang berwarna
Jingga. Harus kuakui, aku selalu menyimpan foto itu di mejaku, bahkan di sini di
the Palace. Surat yang menyertainya memberitahuku bahwa Laura telah kembali
kepada sang pengusaha, menurutnya karena suaminya telah berubah menjadi
seseorang yang sama sekali baru. Ia bahkan telah mulai mempelajari Bhagavadgita.
Aku akan berangkat dengan menggunakan pesawat pukul 14.00 dari Matei ke Nadi,
kemudian dilanjutkan dengan Air New Zealand menuju Los Angeles pada pukul 08.30 malam
itu. Aku mulai membereskan barang-barangku sebelum pergi sarapan. Tentu saja,
Gordon harus muncul lagi; mungkin juga karena aku telah mencuri-curi seteguk
kecil gin setelah berpuasa malam sebelumnya. Ia masih berdiam di tempat yang
persis sama seperti saat aku melihatnya ketika kami akan pergi tidur.
"Nah, benar, kan," ia memulai.
Aku tahu persis apa yang ia pikirkan, dan aku benar-benar tidak suka
membayangkan ia mungkin terpaku di dinding dan memandang kami semalam suntuk
dengan tatapannya yang terbuka. Tidak hanya ia memiliki kemampuan melihat di
malam hari yang fenomenal, ia juga terlahir tidak dapat menutup matanya terhadap
apa pun. Walaupun begitu, aku berkata, "Dapatkah engkau sedikit lebih
mendetail?" "Kalian semua sama saja dengan kami."
"Aku tidak pernah menyatakan sebaliknya. Aku selalu membiarkan kartuku terbuka
di meja dan menekankan bahwa aku tidak lebih dari seorang vertebrata. Aku selalu
benar-benar terbuka akan hal itu. Aku adalah seorang primata yang semakin tua."
Maya Misteri Dunia Dan Cinta Karya Jostein Gaarder di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
"Maksudku, seberapa jauh sebenarnya engkau mengenal dirinya?"
"Aku memang harus mengenalnya."
"Bukankah ia telah menikah?"
"Tetapi, pernikahan itu adalah sebuah kesalahan yang menyedihkan."
Ia berkata, "Spesiesmu sungguh pintar membuat alasan."
"Omong kosong."
"Secara umum, spesiesmu pintar menutup-nutupi."
"Kusangka kita tengah membicarakan hal yang sebaliknya."
"Tetapi, kau tahu apa yang kumaksud."
"Aku tahu semua yang kau maksud." "Apa yang benar-benar membedakan dirimu dari
kami yaitu hampir semua yang kau lakukan adalah semacam penyamaran."
"Jika engkau ingin percakapan ini berjalan selayaknya, kusarankan engkau lebih
spesifik lagi." "Tetapi, penyamaran luarmu ini hanya sekadar usaha untuk menyembunyikan
keprimitifan dirimu. Engkau terlahir telanjang sama seperti kami, dan engkau
juga tidak akan terlalu lama lagi berada di atas Bumi ini, sebelum engkau
diambil kembali." "Engkau tidak perlu begitu blak-blakan."
"Engkau akan dipilin kembali ke dalam rahim Gaia untuk menjadi pupuk bagi cacing
dan kecoak." "Kurasa, aku adalah orang terakhir yang perlu diingatkan tentang hal itu."
"Tetapi yang kalian semua lakukan hanyalah berusaha melupakan hal itu."
"Aku tidak termasuk."
"Tidakkah aneh bahwa kau menyebut dirimu sendiri sebagai 'kera telanjang'?"
"Betul." "Maksudku, hewan paling diperlengkapi di dunia, dengan segalanya mulai dari gaun
malam dan jas putih hingga gelar yang bermacam-macam dan cermin untuk dipamerkan di atas
perapian. Belum lagi segala diploma dan keunggulan, etika dan etiket, upacara
dan ritual. Yang aku maksud adalah segala lapisan luar itu, lapisan luar yang
terlalu tebal yang dinamakan kebudayaan, 'peradaban', 'keti-dakalamiahan'."
"Engkau benar juga."
"Kurasa, engkau pernah mendengar cerita tentang baju baru sang raja?"
"Jangan coba-coba melucu."
"Bahkan seekor tokek dapat melihat bahwa semua itu adalah omong kosong. Kami
berkata: Tetapi tentu saja engkau telanjang! Engkau telanjang sama seperti kami.
Tetapi, engkau hanya berbicara dan berlaku sombong, Tuan! Meskipun demikian, di
balik segala omong besar itu, jam biologis terus berdetak tanpa ampun hingga
akhirnya seluruh dunia tiba-tiba berhenti."
"Engkau juga banyak bicara."
"Dalam keadaan yang paling lazim, ujarmu, dan pada semua kejadian yang terjadi
pada waktu ini, engkau menambahkan, selalu penting bagi kita untuk menekankan
bahwa walaupun banyak ciri Picasso muda dapat ditemukan pula dalam karyanya saat
ia lebih dewasa, banyak hal di sini yang mengingatkan akan Schonberg, dan sayang
sekali Puccini tidak pernah menyelesaikan Turandot, karena itu benar-benar opera
terbaik yang ia ciptakan. Dan ngomong-ngomong, tahukah kau bahwa Verdi menulis
La Traviata hanya dalam beberapa minggu.
Dibandingkan dengan Puccini, aku hampir-hampir mengelompokkannya ke dalam musik
ringan ...." Ia berhasil memancingku.
"Kami dilahirkan dalam sebuah kebudayaan," potongku, "dan kami kemudian terasing
darinya. Kami bukan sekadar tamu di Bumi. Kami juga tamu di dalam ruangan-
ruangan yang disebut sebagai Bach dan Mozart, Shakespeare dan Dostoyevsky, Dante
dan Shankara. Kami masuk ke dalam dan terusir dari Zaman Kuno dan Abad
Pertengahan, Masa Renaisans dan Rococo, Era Romantisme dan Modern. Dalam hal
itu, jelas kami berbeda dengan tokek karena sepanjang yang kuingat, sampai
sekarang belum ada universitas untuk tokek, dan yang jelas tidak ada fakultas
pertokekan." "Jangan keterlaluan."
"Jika meninggal, kami tidak hanya kehilangan seluruh kosmos walaupun itu sendiri
dapat menjadi suatu kehilangan yang menyakitkan kami juga mengucapkan selamat
tinggal kepada beribu-ribu jiwa manusia yang kami kenal. Itu jika memang ada
seribu jiwa manusia, karena mungkin kami tak lain dan tak bukan hanyalah
berbagai sisi dari ruh dunia ...."
"Terima kasih, dengan tulus aku berharap engkau belum berubah menjadi seperti
para penganut monisme yang vulgar. Hal itu tidak menular, kan" Maksudku, menular
melalui kedekatan. Aku hanya berusaha menjelaskan bahwa kami lebih harmonis
dengan lingkungan kami, kami puas menjadi seperti apa adanya, alami, benar-benar
alami. Kami memakan nyamuk, buang air, dan bereproduksi. Dan kami
melakukan itu semua dengan penuh sukacita. Kami tidak terbujuk oleh emas palsu
maupun omong kosong intelektual. Kami tidak mulai memberi kuliah tentang
khazanah seni maupun perbandingan musik hanya karena usia kami mendekati usia
pensiun dan belum memiliki cucu."
"Seperti yang telah kukatakan, engkau terlalu banyak bicara. Terkadang engkau
hampir puitis." "Segala yang kau katakan tentang diriku memantul kembali kepadamu sendiri,
Tuan." "Aku sering bertanya-tanya, apakah para penyair minum karena mereka penyair,
atau apakah mereka menjadi penyair karena mereka minum."
"Intinya adalah mereka terlalu banyak berpikir. Tidakkah mungkin untuk berhenti
berpikir" Maksudku, tidak bisakah engkau matikan saja pikiranmu?"
"Tidak, tidak semudah itu. Manusia dikutuk untuk terus berpikir sepanjang
hidupnya. Mungkin dalam skala yang terbatas, kami dapat mengontrol pikiran kami,
tetapi kami tidak dapat mematikan proses berpikir itu sendiri. Untuk dapat
melakukannya, kami harus mengurung diri di sekolah meditasi dengan segala hiasan
struktur keagamaan palsunya yang tolol. Kami bahkan tidak dapat tidur tenang di
malam hari. Kami menjadi sasaran apa pun yang mungkin hadir dalam bentuk mimpi.
Tidak hanya kami hidup dalam masyarakat pencari kesenangan yang ingar-bingar,
tetapi saat kami tidur, alam juga mendirikan bagi kami sebuah panggung untuk
pentas drama kegilaan."
"Memang akhirnya engkau tertidur, tetapi tidak sang primata betina itu. Maaf
jika aku harus mengatakannya begitu blak-blakan, tetapi ia pergi begitu engkau
tertidur." "Aku tidak menyalahkan dirinya."
"Dapatkah engkau mengingat apa yang kau mimpikan semalam?"
"Ya, kebetulan bisa. Aku bermimpi bahwa aku tidak dapat mengingat apakah usiaku
enam belas atau dua puluh empat, dan itu membuatku khawatir. Aku khawatir karena
aku tidak dapat mengingat berapa usiaku. Pada akhirnya, aku memutuskan tidak
banyak berbeda apakah usiaku enam belas atau dua puluh empat, karena aku masih
memiliki hidup yang panjang di hadapanku. Kemudian, tiba-tiba aku terbangun dan
menyadari bahwa usiaku mendekati empat puluh tahun."
"Jadi, engkau keliru menganggap dirimu berumur enam belas atau dua puluh empat
tahun" Itukah yang kau maksud?"
"Cukup sudah," hanya itu yang kukatakan.
Aku terkoyak oleh rasa bersalah karena sekali lagi telah terperangkap.
Seharusnya, aku tidak terlibat lagi dengan pemikiran-pemikiran tokek semacam itu
setelah malam yang kulalui bersama Laura. Aku toh dapat berfungsi dengan baik
tanpa minuman itu. "Tidakkah kau pikir mungkin ada elemen rekonsiliasi dalam sebuah pertemuan
antarkekasih?" tanyaku.
"Dalam sebuah apa?"
"Ini agak sulit untuk dijelaskan. Aku tidak yakin
tokek memiliki banyak kisah cinta. Mungkin ini adalah sesuatu yang hanya terjadi
pada manusia, atau setidaknya primata tingkat tinggi."
"Aku tidak tahu apakah yang kusaksikan semalam pantas disebut sebagai 'tingkat
tinggi' apa pun." "Maksudku, satu-satunya yang dapat menaklukkan kedua atau ketiga lipatan otak
yang berlebih itu dan karenanya menekan kesadaran akan adanya kematian adalah
cinta. Mungkin cinta memiliki efek simpati yang sama seperti gin dan kava, hanya
jauh lebih kuat dan tahan lama."
"Engkau mungkin mengungkapkan sedikit kebenaran. Cinta adalah candu bagi orang-
orang." "Maksudku, kenyataan sederhana yaitu menjadi pasangan sangatlah berbeda dengan
seorang yang sendiri saja."
"Benarkah" Apakah itu suatu aritmetika yang canggih?"
"Bukan." "Kita juga sudah setuju bahwa ia telah menikah. Jadi, kini jumlahnya naik
menjadi bertiga." "Laura sudah berpisah." "Bukankah engkau juga sudah berpisah?"
"Betul." "Maka, kita punya empat sekarang. Apakah ada lagi yang terlibat dalam hubungan
dua orang ini?" "Aku dan Vera sudah tidak hidup bersama lagi." "Jadi, akhirnya engkau sudah
melupakannya" Engkau berkata akan benar-benar meninggalkannya
begitu kembali dari perjalanan Pasifikmu yang panjang ini. Engkau belum lupa,
kan, perjanjian yang kau buat dengan dirimu sendiri?" "Tidak, tidak."
"Tetapi sekarang sudah berakhir dengan Vera."
"Bukan itu yang kukatakan."
"Bukan yang kau katakan" Engkau tidak mengatakan bahwa mulai saat ini dalam
kepalamu hanya ada tempat bagi seorang penganut monisme vulgar yang terfiksasi
kepada ayahnya, seorang wanita dengan rambut hitam yang terkepang dan satu mata
yang hijau dan satu mata yang cokelat?"
"Tidak." "Maka, ini seperti apa yang telah kuduga." "Apa itu?"
"Engkau tidak setia, sama seperti kami."
"Omong kosong. Engkau mengambil kesimpulan terlalu cepat."
"Engkau harus tahu apa yang ada dalam dirimu jika ingin kembali kepada Vera."
"Tidak semudah itu. Emosi manusia sedikit lebih tinggi daripada naluri reptil.
Emosi manusia tidak dapat dikontrol oleh logika biner."
"Maka izinkanlah aku membantumu. Sungguh menyenangkan memiliki seseorang untuk
diajak berbicara, bukan?"
"Sebaiknya aku tidak menjawabnya."
"Jika sekarang engkau dapat memilih antara Vera dan Laura, siapakah yang akan
kau pilih?" "Maksudmu untuk seumur hidupku?"
"Untuk seumur hidupmu. Ataukah segala tun -
tutan idealmu itu sudah mulai memudar?" "Vera atau Laura?"
"Betul, ayolah! Pilihan ada di tanganmu, Tuan!" "Laura hanyalah kisah percintaan
saat liburan." "Dan Vera?"
"Aku akan bertemu Vera dalam sebuah konferensi di Salamanca."
"Mungkin ia akan menjadi kisah percintaan saat konferensi. Mana yang lebih
bergengsi di antara dua percintaan itu?"
Sebelumnya, aku bergerak ke sekeliling ruangan untuk membereskan barang-barangku
sambil berbicara dengan Gordon. Kini aku memukulkan tinjuku pada koper yang baru
saja kututup. Aku benci diriku sendiri karena telah menenggak gin itu. Aku tahu
benar ke mana hal itu akan berujung.
"Cukup!" ujarku. "Sekarang aku akan pergi sarapan."
"Dan aku akan duduk di sini dan menunggu. Aku punya banyak waktu."
"Aku akan pergi dalam beberapa jam."
"Sungguh menyenangkan. Jadi, kini manusia berusaha melarikan diri dari dirinya
sendiri?" "Bagaimanapun, aku akan pulang ke rumah."
"Dan aku akan ada di dalam kopermu. Aku tidak ingat apakah aku pernah
memperkenalkan diri. Tidakkah aku pernah berkata bahwa aku adalah kembaran dari
kesusilaanmu?" "Aku yakin tidak pernah."
"Saudara kembar seperti diriku benar-benar dapat bergerak ke mana pun, Tuan.
Mereka begitu mudah bergerak bagaikan bayangan seseorang yang berusaha melarikan
diri dari dirinya sendiri."
Saat sarapan, aku bertemu si orang Inggris dan kedua orang Spanyol itu. John
memberitahuku bahwa Laura dan Bill telah pergi, dan aku hanya mengatakan bahwa
aku telah tahu hal itu. Tidak ragu lagi John sudah tahu mereka adalah ayah dan
anak, terutama setelah melihat sikap Bill ketika aku dan Laura pergi. Tetapi
tidak ada yang membicarakan hal itu sekarang, dan untungnya ia tidak mengolok-
olok aku dengan menyinggung bagaimana aku dan Laura menghabiskan sebotol Rioja
di berandaku. Pasangan Spanyol itu lebih ceria daripada hari sebelumnya, dan mungkin itu ada
hubungannya dengan kepergianku. Mereka tertawa dan bercanda, dan dengan segera
mulai mengingat-ingat kejadian-kejadian menarik dalam pesta semalam yang mereka
hadiri hingga sekitar pukul 2 pagi. Aku memutuskan untuk mencoba berbicara
secara serius dengan mereka untuk terakhir kalinya sebelum kepergianku, dan
sekali ini menggunakan bahasa Spanyol. Apa pun akibatnya.
Tetapi, hal itu tidak terjadi. Sementara Jose tengah mengalihkan perhatian
selama beberapa saat, tiba-tiba kulihat wajah Ana mulai memucat. Diletakkannya
mangkuk telurnya ke atas piringnya, kulitnya kini pucat pasi, dan kemudian ia
terpuruk ke depan ke atas meja sehingga menyenggol secangkir kopi.
Jose melompat berdiri. "Ana!" teriaknya, dengan nada menyayat hati bagaikan Rodolfo memanggil Mimi
dalam adegan terakhir La Boheme.
Ia menegakkan si wanita di kursinya dan pertama-tama menamparnya pelan. Kemudian
ia memukulnya sekali lagi.
"Ana! Ana!" Setelah beberapa saat, rona di wajah Ana mulai kembali, kemudian ia mulai
menangis. Ia menyandarkan diri kepada Jose, dan si lelaki mendukungnya sementara
ia berjalan terhuyung-huyung menuju pepohonan palem. Kemudian, seakan-akan dalam
gerak lambat, mereka pun melayang pergi di antara pepohonan palem menuju pondok
mereka. Itu adalah terakhir kalinya aku melihat mereka di Fiji. Ketika beberapa jam
kemudian aku kembali ke meja resepsionis untuk keluar, John tengah menulis di
salah satu meja. Aku bertanya apakah ia telah mendengar kabar mengenai kedua
orang Spanyol itu. Ia memberitahuku bahwa seorang dokter telah datang, dan
kondisi wanita itu telah jauh lebih baik.
"Terlalu banyak kava?" tebakku.
"Mungkin," hanya itu yang ia katakan.
Seseorang datang untuk memberi tahu bahwa mobilku telah datang.
"Ke mana Anda akan pergi?" tanya John.
"Pulang," ujarku.
Aku menjelaskan seluruh rencana penerbanganku dari Nadi ke Oslo.
"Tetapi, bukankah Anda akan pergi ke konferensi di Salamanca itu beberapa bulan
lagi?" "Lalu?"
Aku tidak mengerti mengapa ia bertanya.
"Bagaimana dengan Vera?"
Aku hanya mengangkat bahu. Ia berkata:
"Anda akan pergi melalui Madrid, tentu saja?"
"Tentu, tentu."
Tiba-tiba ia mencecarku. "Dan ketika Anda berada di Madrid, mungkin Anda akan mampir di Prado?"
Dengan pertanyaan terakhir ini, seluruh percakapan kami terasa berubah menjadi
ganjil. Kemudian aku teringat pernah menyebutkan bahwa aku menyukai seni, bahwa
Madrid memiliki sebagian dari koleksi seni terbesar di dunia, dan bahwa aku
terutama menyukai Prado. "Mungkin saja," ujarku.
"Anda harus," ia berkeras. "Anda kan tidak bisa datang ke Madrid tanpa
mengunjungi Prado." "Saya tidak menyadari bahwa minat kita sama," komentarku. "Mengapa Anda tidak
mengatakan hal ini sebelumnya?"
"Tolong sebutkan, apakah Anda lebih suka El Greco atau Bosch, Velazquez atau
Goya?" Aku merasa percakapan yang terlalu menggebu-gebu ini tidak sesuai untuk
dilakukan pada saat-saat perpisahan terakhir kami, karena setelah ini mungkin
kami tidak akan pernah bertemu lagi. Aku akan segera menjalani dua penerbangan
antar-benua dan sopir sudah mulai mengangkut tasku.
Aku memikirkan percakapan pendek yang kulakukan dengan Gordon pagi tadi. Aku
memikirkan baju baru sang raja. Aku juga memikirkan kejadian kecil yang dialami
Ana dan pertolongan pertama Jose yang kasar.
"Saya menyukai seluruh tempat itu," ujarku.
"Kalau begitu, menurut saya, Anda sebaiknya meluangkan waktu untuk melihat
seluruh koleksi yang ada dengan teliti."
Sopir menunjuk ke arah jam. Pesawatku akan tinggal landas setengah jam lagi.
"Tolong sampaikan salam hangat saya kepada Ana dan Jose," pintaku.
"Dengan senang hati, Tuan. Dan jika suatu hari Anda ke London
"Sama halnya. Anda akan dapat menemukan nama saya dalam buku telepon. Tetapi
Maya Misteri Dunia Dan Cinta Karya Jostein Gaarder di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
berjanjilah Anda akan menyampaikan salam hangat saya kepada mereka. Dan semoga
cepat sembuh untuk Ana!"
Sopir kini mulai membunyikan klaksonnya, dan beberapa jam kemudian aku sudah
duduk di tingkat atas sebuah pesawat jumbo jet menuju Honolulu dan Los Angeles.
[] Engkau Memilih untuk Membagi Dua Duka Kita
BEGITU TIBA DI RUMAHKU DI OSLO, AKU MENENGGELAMKAN DIRI ME ngerjakan laporanku,
dan dua minggu yang lalu aku tiba di Salamanca. Aku begitu penasaran apakah
engkau benar-benar akan muncul, tetapi bahkan lebih penasaran untuk mengetahui
apakah engkau sadar bahwa aku juga akan mengikuti konferensi tersebut. Aku masih
tidak tahu siapa di antara kita yang lebih dulu mendaftar, tetapi aku telah
mengirimkan semacam pendaftaran sebelum pergi ke Pasifik. Dan ketika aku
menelepon dari Taveuni untuk memastikan kedatanganku, namamu sudah tertera dalam
daftar peserta. Barulah setelah kembali ke Oslo, aku diminta membawakan makalah
mengenai migrasi dan keanekaragaman hayati.
Apakah mungkin engkau mendaftarkan diri dalam konferensi ini karena dengan
demikian kita akan mendapatkan kesempatan bertemu" Atau, apakah engkau
memutuskan untuk pergi berdasarkan alasan-alasan profesional, walaupun ada
kemungkinan secara tak sengaja engkau akan bertemu denganku" Toh engkau masih
punya kesempatan membatalkan keikutsertaanmu jika kau memang benar-benar tidak
ingin kita bertemu. Aku tidak tahu apakah sudah mengungkapkan alasan yang jelas, tetapi seperti yang
mungkin akan kau mengerti, aku tidak berani beranggapan kita benar-benar akan
bertemu. Surat pendek yang kau tulis di bulan November masih segar dalam
ingatanku, dan aku masih mengingat percakapan kita berikutnya melalui telepon.
Itu adalah terakhir kalinya kita melakukan kontak.
Tetapi, engkau sungguh-sungguh datang, dan engkau tidak tahu akan bertemu
denganku sebelum membaca jadwal acara terakhir. Kemudian, engkau berpikiran sama
dengan diriku. Bahkan walaupun kita tidak dapat hidup bersama lagi, setidaknya
kita berbagi sebuah duka yang mendalam, dan kita terkutuk untuk terus berbagi
hal itu selamanya. Terkutuk, menurutmu, tetapi terkutuk untuk berbagi. Delapan
bulan telah berlalu sejak kita kehilangan Son-ja, dan setengah tahun sejak
engkau membawa barang-barangmu pergi dari Sognsveien untuk kembali ke keluargamu
di Barcelona. Tentunya engkau juga berpikir bahwa, sekali lagi, kita ditakdirkan bertemu di
sebuah konferensi ilmiah. Segalanya telah berjalan satu putaran penuh. Hampir
sepuluh tahun telah berlalu sejak pertama kali kita bertemu dalam kongres besar
di Madrid itu, dan hanya beberapa bulan kemudian kita memiliki rumah di Oslo.
Ketika melihatmu di lobi Hotel Gran, aku berpendapat engkau tampak lebih
bersinar daripada biasanya. Yang jelas, engkau adalah orang yang berbeda dari
yang kuingat saat minggu-minggu terakhir
yang suram di Oslo itu. Awalnya kita hanya berdiri dan saling menatap, dan
kemudian seperti biasa engkau berkomentar bahwa aku tidak bercukur dengan benar.
Setelah itu, engkau membawaku ke sebuah sudut, dan kita pun saling berpelukan
dan menangis. Aku yakin tidak semua air mata itu hanya untuk Sonja.
Engkau menjelaskan telah mendapatkan sebuah dana riset, dan entah karena dana
ini, atau hanya karena menurutku engkau begitu cantik, aku beranggapan bahwa
engkau telah bersama seorang lelaki lain. Engkau juga mengatakan sesuatu saat
pertama kita bertemu, sesuatu yang kau putuskan harus dinyatakan sejelas-
jelasnya sejak awal. Engkau berkata, sungguh menyenangkan bertemu denganku lagi,
tetapi kita tidak boleh mengungkit kemungkinan untuk bersama lagi karena engkau
yakin kita tidak akan dapat lagi hidup bersama sebagai sepasang suami-istri. Dan
aku ingat bahwa aku menyetujui saja apa yang kau katakan, karena aku begitu
bahagia dapat bertemu denganmu lagi. Aku juga menyadari, tidak ada jalan bagi
kita untuk kembali. Aku berbohong.
Aku tidak tahu apakah sebaiknya menggambarkan situasi ini sebagai jalan buntu.
Apakah dua orang yang setuju sepenuhnya untuk tidak mengambil suatu rute bisa
dibilang menghadapi jalan buntu" Satu-satunya persoalan mungkin hanya seberapa
tulus niat kami masing-masing. Apakah situasinya akan berbeda jika saja salah
seorang dari kami berani mengungkapkan hal yang lain" Seandainya ada sifat kami
berdua yang mirip, tentunya sifat itu adalah harga diri yang tinggi.
Aku tidak perlu bercerita banyak mengenai konferensi itu sendiri, walaupun aku
belum cukup berterima kasih kepadamu atas dukungan yang kau berikan ketika si
pendukung bioliberal dari Amerika itu mulai berargumen bahwa tidak ada lagi
gunanya mencoba mencegah migrasi spesies-spesies tanaman dan hewan. Biarkan alam
yang mengaturnya! ujarnya. Selama ini alam yang selalu melakukannya. Kemudian,
engkau pun menyumbangkan pendapat. Manusia adalah bagian dari alam, katamu, dan
engkau memang akan mengaturnya. Engkau berkata bahwa Dr. Gibbons tidak memahami
makalahku. Engkau menyarankan mungkin akan baik baginya untuk mengulang kembali
kurikulum ekologi SMU nya. Engkau menekankan bahwa manusia telah menunda
terjadinya seleksi alam. Dan bahwa tidak ada penerbangan antar benua pada saat
zaman Jura dan zaman Kapur, bahkan tidak ada lalu lintas kapal antara Gondwana
dan Laurasia. Ingatkah engkau bagaimana ia menjawab" Laissez faire, uj a rn y a.
Laissez passer! Banyak dari para peserta konferensi yang tahu bahwa kita pernah menikah, dan
juga apa yang menyebabkan perpisahan kita. Tetapi jumlahnya tentunya meningkat
tajam setelah pembelaanmu yang gigih atas makalahku. Kita berdua merasa bahwa
tidak seharusnya kita terlalu sering muncul berdua begitu cepat setelah
perpisahan kita. Hal itu dapat menyebabkan gosip-gosip konferensi yang ingin
kita hindari. Semakin sering kita terlihat berdua, semakin banyaklah pembicaraan yang
muncul, dan semakin banyak spekulasi mengenai keadaan di seputar kecelakaan itu.
Kurasa, kita cukup bijaksana dengan berlaku tidak mencolok pada saat itu, dan
sekarang aku hanya ingin menceritakan sedikit mengenai bagaimana aku menjalani
sore dan malam kita yang terakhir.
Aku telah beberapa kali mengunjungi Salamanca sebelumnya, tetapi kota ini benar-
benar baru bagimu. Maka, sebelum makan malam, engkau mendesakku untuk mengajakmu
berjalan-jalan keliling kota universitas tua itu. Aku tinggal lebih lama di kota
itu daripada dirimu, dan kuakui keesokan sorenya aku berjalan mengikuti rute
yang sama lagi. Kita berangkat dari Plaza Mayor, yang menurutmu tentunya adalah
Plaza Mayor tertua dan terindah di Spanyol, dan berjalan menuju Palacio
Monterrey, yang kini dimiliki oleh Duchess of Alba. Bahkan, saat berjalan
melintasi lapangan kecil antara Istana Renaissance dan Iglesia de la Purisima,
kita mulai berbicara mengenai kejadian-kejadian kecil dalam hidup Sonja. Kita
tidak banyak bicara mengenai bangunan-bangunan tua yang terbuat dari batu pasir
berwarna karat yang kini memancarkan warna merah jambu keunguan yang lembut
ditimpa sinar sore yang keemasan. Pada sore itu, istana-istana kuno penuh
sejarah kebudayaan itu tidak lebih dari sebuah latar belakang bagi sebuah
percakapan pelan mengenai seorang putri yang sudah tidak lagi ada di dunia ini.
Aku ingat saat itu aku berpikir jika saja kecelakaan itu tidak terjadi, kau dan
aku mungkin berjalan-jalan seputar Salamanca dengan seorang gadis cilik berusia
lima tahun di antara kita. Konferensi ini tentunya menarik perhatian kita bahkan
dengan adanya seorang anak kecil yang harus dipikirkan dan mengapa Sonja tidak
ikut saja" Kemudian, kita akan berjalan dari lapangan di antara gereja dan Istana
Renaissance terus hingga Casa de las Conchas dengan bagian depannya yang luas
terukir dengan lima ratus kulit kerang. Dan tentu saja Sonja akan berlari ke
dalam tamannya yang indah dan mulai memanjat ke atas sumur sementara engkau dan
aku melihat-lihat ke dalam perpustakaan dan ruang baca. Tidak berapa lama
kemudian, ia mungkin akan berlari menyeberang jalan dan menaiki tangga Biara
Jesuit La Clericia, dan di saat kita melintasi Plaza de San Isodoro, ia mungkin
akan menengadahkan kepalanya dan menunjuk ke puncak-puncak menara yang tinggi
sebelum kita mulai berusaha membujuknya melewati Calle de los Liberos yang
sempit dalam perjalanan kita menuju universitas tua. Ia tentunya akan menyukai
Patio de las Escuelas dan mungkin bertanya patung siapakah yang ada di tengah
lapangan. Engkau akan mengatakan ia adalah Fray Luis de Leon dan bahwa pada
zaman dahulu, ia adalah seorang pengajar di universitas itu, tetapi ia
dimasukkan ke penjara selama lima tahun karena memercayai sesuatu yang berbeda
dengan apa yang diajarkan gereja. Ketika dilepaskan dari penjara dan
mulai mengajar kembali, ia memulai kuliah pertamanya dengan: "Seperti yang kita
bicarakan kemarin Ketika Sonja mendengarnya, ia akan tertawa terbahak-bahak
karena lima tahun telah berlalu sejak Fray Luis terakhir mengucapkan sesuatu
kepada murid-muridnya, bukan kemarin. Lima tahun adalah sama panjang dengan
hidup Sonja, dan itu adalah waktu yang sangat, sangat lama, hampir selama-
lamanya, tetapi selama itulah lelaki itu berada di penjara. Dan engkau, Vera,
mungkin akan menjawab dengan mengajukan kepada Sonja sebuah pertanyaan lain.
Itulah yang biasanya kau lakukan jika ada sesuatu yang tidak ia mengerti.
Mungkin engkau akan bertanya: Menurutmu, mengapa ia memulai dengan kalimat
"Seperti yang kita bicarakan kemarin" jika ia berada di penjara selama lima
tahun" Dan Sonja mungkin akan menjawab bahwa lelaki itu berusaha melupakan
tahun-tahun kesedihan yang ia habiskan di dalam penjara. Atau mungkin Sonja akan
mengajukan pertanyaan lain, itu jika ia belum mulai menunjuk segala medali,
perisai, dan gambar-gambar hewan yang terdapat di sisi depan universitas yang
mengesankan itu. Ia akan melihat lambang tengkorak dengan katak di atasnya jauh
sebelum kita melihatnya, tetapi engkau mungkin tidak akan memberitahunya bahwa
motif tersebut adalah simbol dari analogi antara kematian dan hasrat seksual.
Engkau juga tidak akan menceritakan bahwa lambang itu diletakkan di sana untuk
memperingatkan mahasiswa-mahasiswa muda agar tidak melakukan perbuatan-perbuatan
asusila, melainkan bahwa karena katak begitu lincah dan suka bermain-main, sama seperti sebagian
orang, tetapi su-atu hari mereka harus berhenti bermain.
Sebelum engkau dan aku selesai mengagumi sisi depan Plateresquenya yang mewah,
Sonja tentunya telah berlari mendahului menuju taman La Escuelas Menores yang
khas dari abad ke-15. Engkau dan aku mungkin akan berjalan dan berbincang-
bincang, sementara dirinya, berdasarkan inisiatifnya sendiri, akan memasuki
Museo de las Universidad dan berdiri dengan khidmat di bawah langit-langit
melengkungnya yang berwarna biru langit yang menunjukkan semua rasi bintang. Ia
mungkin tidak akan mau dibujuk untuk masuk ke ruang kuliah Luis de Leon, jadi
kita tidak akan dapat melihat Ruang Paraninfo dengan Gobelin Belgianya dan
lukisan diri Carlos V karya Goya, tidak lupa perpustakaannya yang terkenal
dengan seluruh incunabulanya yang berharga. Tetapi, kurasa ia akan membawa kita
dengan penuh aksi ke dalam kedua katedral, dan kemudian meminta es krim sehingga
keluarga kita harus menunggu hingga esok lusa untuk mengunjungi Convento de San
Esteban dengan sarang-sarang burung besar jauh di atas dindingnya, Convento de
las Duenas dengan taman-tamannya yang indah, dan Istana Renaissance Fonseca yang
mengelilingi halaman dengan gaya tak bercacat yang dulu digunakan untuk adu
banteng. Kita setuju bahwa membicarakan begitu banyak tentang Sonja sore itu di Salamanca
berdampak baik bagi kita, dan kurasa kita dapat menikmati
pembicaraan itu tanpa adanya penghalang karena kita dikelilingi oleh berabad-
abad kehidupan yang telah lalu. Engkau berkeras ingin aku memperlihatkan seluruh
isi kota universitas tua itu walaupun kita sebenarnya hanya membicarakan Sonja,
tetapi engkau ingin aku melakukannya. Maka, Sonja memang seperti ikut bersama
kita ke Salamanca. Tidak, ia memang tidak lagi hidup, Vera, bukan itu yang
kumaksud, aku bahkan tidak bermaksud mengatakan bahwa kita harus belajar untuk
menerima hal itu. Namun, jika memori kita yang amat berlimpah tentang gadis
kecil itu memiliki sebuah tempat untuk hidup, sebuah lingkaran tempat bergaung,
sebuah unsur dalam sesuatu yang terpelihara, hanya engkau dan akulah yang dapat
menciptakannya. Engkau menuturkan kepadaku beberapa kisah pendek mengenai putriku sendiri yang
belum pernah kudengar sebelumnya, dan hal ini menyakitkan karena aku menyesal
tidak berada bersamanya setiap saat dalam hidupnya di Bumi, walaupun ini juga
memberi harapan untuk dapat belajar mengenalnya lebih baik. Engkau sering
berpaling dan mengusap matamu, Vera, aku melihatnya, dan mungkin engkau juga
menyadari bahwa aku bukan berusaha melihat relief-relief itu dengan lebih jelas
ketika aku memalingkan muka ke arah dinding universitas kuno tempat engkau baru
saja menunjuk ke arah katak dan tengkorak itu. Tetapi, beberapa kali dalam
perjalanan panjang kita itu, terlintas dalam benakku bahwa engkau masih ibu dari
Sonja. Mungkin menyakitkan untuk mengingatkanmu seperti ini, tetapi sore
itu aku berjalan dengan ibu dari seorang gadis kecil. Gadis itu tidak pernah
hidup lebih dari empat setengah tahun, hanya ibu dan ayahnyalah yang akan terus
bertambah tua. Mereka akan menjadi empat puluh dan lima puluh dan enam puluh,
tetapi seorang Sonja berusia empat setengah tahunlah yang akan hidup bersama
mereka sepanjang hidup mereka. Engkau masih ibunya, Vera, dan aku masih ayah
dari anakmu. Setelah acara makan malam penutupan resmi konferensi, kita meninggalkan perayaan
itu, dan sekali lagi engkaulah yang ingin berjalan-jalan ke luar, dan tentunya
engkau tidak lupa betapa engkau berkeras untuk menunjukkan sungai itu kepadaku"
Engkau berkata bahwa engkau berjalan-jalan sendirian menyusuri tepi Tormes pada
sore hari engkau tiba. Dari jembatan Romawi tua, engkau memandang burung-burung,
angsa-angsa, dan bebek-bebek itu, dan tiba-tiba engkau terpukau oleh keindahan
segalanya ketika mendengar burung bulbul bernyanyi saat matahari tengah terbenam
dan Salamanca terhampar di belakangmu bagaikan sebuah permata merah.
Hari telah benar-benar gelap saat kita meninggalkan hotel dan mulai berjalan
menuju sungai, dan Sonja tidak lagi menjadi topik pembicaraan kita. Bahkan pada
awalnya kita tidak banyak bercakap-cakap, tetapi dengan segera aku mulai
berbicara mengenai dirimu dan kehidupanmu, dan kau mengenai aku dan kehidupanku.
Engkau banyak bertanya tentang persinggahan panjangku di Oseania,
dan aku mungkin telah mulai menceritakan sesuatu mengenai kejadian-kejadian di
Taveuni. Kurasa setidaknya aku menyebutkan dan tidak tanpa sedikit menyesali
diri cerita mengenai betapa aku tidak berani mengusir seekor tokek dari botol
gin karena aku terlalu takut makhluk itu menjatuhkannya. Aku bertanya kepadamu
mengenai proyek penelitianmu, dan seingatku pada akhirnya aku mengatakan bahwa
engkau dapat dikatakan sebagai ahli palaean-tropologi terbaik di Spanyol,
setidaknya dalam hal-hal yang berhubungan dengan migrasi prasejarah. Engkau
tersenyum saat itu, Vera, engkau tidak menyanggahnya. Engkau begitu bangga
mendapatkan dana itu. Setelah tiba di tepi sungai, kita berjalan menuju jembatan yang berusia dua ribu
tahun. Mungkin angsa-angsa itu yang membuatmu memikirkan Sonja lagi. Pokoknya,
engkau mulai mengingat-ingat kehidupan keluarga kita di rumah di Oslo, dan kini
hal itu hampir seperti sesuatu yang mistik. Engkau berbicara tentang perjalanan-
perjalanan kita ke Danau Sognsvann dan Ullevilseter, tentang pertama kalinya
Sonja membawa pelampung-lengan ke pantai di Huk, dan tentang saat ia
menghabiskan waktu hampir satu jam untuk keluar dari labirin besar di Taman
Vigeland. Ia menuntut hadiah untuk itu, dan ia pun mendapatkan sebuah es krim
besar di kafe di sana. Aku membiarkanmu terus melanjutkan, tetapi aku berdiri di sana sambil memikirkan
perjanjian yang kita buat mengenai tidak mengungkit-ungkit
kemungkinan penyatuan kembali dua pertiga bagian yang masih tersisa dari
keluarga kita. Aku menyadari mungkin memang tidak ada jalan untuk kembali bagi
kita. Tetapi, aku masih beranggapan betapa pengecutnya kita karena tidak mencoba
sesuatu yang baru. Keinginanku sendiri terbagi dua, dan gagasan untuk memulai
kembali hidup kita dalam kebersamaan juga tidak sepenuhnya menggoda bagiku.
Tetapi, sementara engkau bercerita bagaimana Sonja keluar dari labirin itu, aku
berpikir bahwa kita harus berbicara dengan menggunakan akal sehat.
Engkau tentu menyadari aku tidak berkata-kata karena kemudian engkau bertanya
apa yang kupikirkan, dan berdasarkan pengalamanmu, engkau tahu jika aku diam
sambil termenung, artinya aku tengah tenggelam dalam kesedihan. Aku berkata
tengah memikirkan kita, dan engkau berkata bahwa kau pikir tidak seharusnya aku
memikirkan hal itu. Engkau menyebutkan bahwa satu-satunya alasan segalanya
berjalan begitu lancar di Salamanca adalah karena Sonja. Aku menjawab bahwa
karena Sonjalah aku memikirkan kita, tetapi dengan segera engkau menyibukkan
diri dengan sebuah kisah panjang mengenai bagaimana Sonja hampir tertukar dengan
bayi lain ketika engkau akan keluar dari klinik persalinan. Terakhir engkau
berkata: Jika itu yang terjadi, bukan anakku yang meninggal. Ia akan masih
berada di sini. Sesekali aku teringat bagaimana engkau menceritakan kepadaku mengenai apa yang
terjadi di Sognesveien, dan selalu dengan begitu mendetail
walaupun hal itu terjadi dengan begitu cepat. Engkau juga harus memberikan dua
atau tiga pernyataan kepada polisi. Sejak saat itu, rentetan kejadian itu
menjadi sebuah topik yang tabu, sebuah "itu" atau "yang terjadi", dan aku merasa
kita berdua ketakutan bahwa di sana di Salamanca, kita mungkin akan mengunjungi
kembali adegan-adegan mengerikan itu. Itu akan seperti membuka kembali luka-luka
lama, dan yang kumaksud di sini tidak hanya sakitnya kehilangan Sonja bagi kita,
tetapi juga luka-luka yang saling kita torehkan.
"Yang terjadi" adalah suatu hal yang begitu biasa-biasa saja dan sering terjadi
sehingga membuat segalanya bahkan semakin mengerikan. Engkau menjemput Sonja
dari taman bermain, kau dudukkan dirinya di mobil, dan engkau telah menyalakan
mesin, tetapi kemudian engkau teringat bahwa sandal miliknya tertinggal di ruang
mantel. Engkau pun mematikan mesin dan mencabut kuncinya, tetapi lupa memasang
Maya Misteri Dunia Dan Cinta Karya Jostein Gaarder di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
rem tangan maupun memasukkan gigi persneling. Tidak lama engkau pun kembali
dengan membawa sandal itu. Baru saat itulah mobil mulai bergulir karena, seperti
yang selalu kau katakan, takdir telah menikmati kekejamannya dengan membuatmu
melihat segalanya bermula, hanya untuk menyadari kemudian bahwa engkau tidak
mampu berbuat apa-apa. Dan kita tahu apa yang terjadi di tikungan 275 meter
kemudian. Kita tahu apa yang terjadi tiga hari kemudian. Dan kita tahu bahwa
terlepas dari hal lain apa pun yang mungkin menimpa kita, rentetan kejadian itu
adalah sesuatu yang tidak akan pernah kita bicarakan lagi.
Aku telah mengatakannya berkali-kali, tetapi aku harus mengatakannya sekali
lagi, dan sekali ini berbentuk tulisan, agar engkau dapat menyimpannya
selamanya: ini sudah tidak ada lagi hubungannya dengan pengampunan. Engkau telah
kumaafkan berkali-kali. Semuanya telah berlalu dan berakhir, selesai. Aku
mengakui bahwa dalam kesedihanku, aku telah menyalahkanmu. Sekali waktu bahkan
aku menyuruhmu untuk membawa barang-barangmu dan pergi, walaupun aku tak kuasa
menahan tangis saat melakukannya. Kemudian, aku memohon maaf kepadamu atas
dukaku yang merusak segalanya, dan akhirnya engkaulah yang memutuskan untuk
meninggalkanku. Terlalu sering aku menanyakan hal-hal yang sama, pertanyaan-
pertanyaan yang sama yang ditanyakan oleh polisi. Mengapa engkau meninggalkan
Sonja sendirian" Mengapa engkau tidak memasang rem tangan" Mengapa engkau tidak
setidaknya memasukkan gigi persneling" Dan mengapa begitu penting untuk membawa
sandal itu pulang" Ya, demi Tuhan, mengapa engkau begitu menginginkan sandal
itu" Lalu, ada sesuatu yang lain. Engkau datang langsung dari perayaan akhir tahun di
Institut dan di sana engkau minum tiga atau empat gelas sampanye, dan ketika
berangkat, kondisimu melampaui batas yang diperbolehkan untuk menyetir. Engkau
tidak dituntut. Alasan yang diberikan polisi adalah karena engkau telah terlalu
banyak menderita. Itulah kalimat mereka persisnya, engkau telah terlalu
banyak menderita. Jadi, kepolisian ternyata lebih manusiawi dalam menjalankan
tugas mereka dibandingkan orang terdekat dan tersayangmu ini. Jika engkau masih
menyalahkan diri sendiri atas apa yang terjadi, atas teralihnya perhatianmu
sesaat ketika engkau lupa memasang rem tangan, izinkanlah aku berkata bahwa
engkau memiliki lebih banyak alasan untuk menyalahkanku karena terus-menerus
menuangkan garam ke dalam lukamu. Aku memang sengaja, terkadang terencana.
Tetapi, yang berusaha kukatakan adalah bahwa dapat dikatakan kita telah
mengatasi hal itu, dan pada akhirnya kita berbaikan. Engkau pergi ke Barcelona
bukan karena aku belum memaafkan dirimu. Aku bahkan mengatakan bahwa aku pun
bisa sama mudahnya melakukan kecerobohan itu, sama seperti siapa pun dalam
keadaan terburu-buru seperti itu, dan prestasimu sungguh membanggakan di
Institut. Kejadian-kejadian seperti ini kadang terjadi. Sebuah kesialan
mengerikan yang secara acak menimpa sebuah keluarga kecil seperti sambaran
kilat. Kita benar-benar telah berbaikan, Vera. Bukan karena engkau merasa tak dimaafkan
sehingga akhirnya engkau berkemas dan pergi. Kesedihankulah yang membuatmu
pergi, itulah yang tidak dapat kau hadapi, kau sudah cukup kesulitan menghadapi
kesedihanmu sendiri. Karena engkau pun terbebani duka yang sama, walaupun tidak
mudah untuk melarikan diri darinya. Engkau tidak bisa memisahkan
ketidakbahagiaanku yang berkepanjangan dari tuduhan yang dulu kulontarkan.
Tetapi, aku pun tidak terlalu pintar pada minggu-minggu itu, dan jika saja aku
punya keluarga di negara lain, mungkin aku juga akan pergi ke sana. Dan ada
untung pula bagiku bahwa perjalanan panjangku ke Oseania tiba tidak lama
kemudian. Terlalu banyak kesedihan tersimpan di dalam rumah itu, terlalu banyak
kesedihan di bawah atap yang sama, dan engkau memilih untuk membagi dua duka
kita. Kita berdiri di atas jembatan kuno itu sambil melihat ke bawah ke dalam arus
yang deras. Ketika engkau selesai bercerita kepadaku tentang saat Sonja pulang
ke rumah sambil menggenggam uang seratus kroner yang ia temukan dalam saku
mantel salah satu asisten taman bermain, aku nyaris mengingkari janji tulus yang
kita ucapkan satu sama lain di hotel. Aku hampir mengatakan bahwa kita tidak
perlu membicarakannya sekarang, tetapi suatu hari kita berdua harus bertanya
kepada diri sendiri apakah kita tidak akan sedikitnya mencoba mencari jalan
untuk kembali bersama lagi, sebuah jalan baru, tentu saja. Kita tidak perlu
meniti ulang jalan lama yang menyakitkan itu.
Kita berdua menganggap kejadian-kejadian setelah Sonja meninggal adalah hal yang
tak terhindarkan. Tetapi, apakah setiap akhir dan tujuan hanya menunjuk ke satu
arah" Dapatkah suatu kejadian pada saat ini menunjuk ke masa lalu dan memberi
arti yang sama sekali baru terhadap sesuatu yang telah terjadi" Aku tahu bahwa
pertanyaan-pertanyaan yang kutanyakan ini memang berani,
tetapi tidakkah ada kemungkinan kita bersama-sama melakukan sesuatu yang dapat
memberi arti pada kematian Sonja"
Satu-satunya yang berhasil kutanyakan di atas jembatan itu adalah apakah engkau
memiliki seorang teman. Dan engkau bahkan tidak berkesempatan menjawab karena
pada saat itu aku melihat dua sosok di tepi sungai. Mereka berjalan sambil
berpelukan erat, bagaikan dua sosok yang melebur menjadi satu. Aku dapat melihat
mereka dengan jelas karena selama beberapa saat mereka berjalan di depan lampu
sangat terang yang menyinari jembatan itu, sehingga melemparkan bayang-bayang
besar di atas kami; tetapi aku dapat melihat bahwa mereka adalah seorang wanita
berpakaian merah dan seorang pria berpakaian hitam. Aku yakin mereka adalah Ana
dan Jose. Aku pernah melihat mereka bersama sebelumnya, dan kini rasanya hampir
seperti kembali ke tengah pepohonan palem di Maravu.
Aku meletakkan tanganku di bahumu dan menunjuk.
"Itu Ana dan Jose," ujarku, hampir berbisik karena penuh semangat. Engkau
menatapku dengan sebuah senyuman nakal. Sesudah itu, aku bertanya-tanya apakah
senyuman hangat dan menggoda itu merupakan reaksi terhadap namanama yang belum
pernah kau dengar itu, ataukah karena pertanyaan yang baru saja kulontarkan.
Hingga saat itu, sepanjang malam aku hampir tidak mengucapkan sepatah kata pun,
tetapi kini giliranku telah tiba, dan aku pun mulai berceloteh mengenai pasangan aneh yang
kutemui di Taveuni. Dan semakin banyak aku bercerita, semakin lebar senyumanmu
merekah dan semakin keras engkau tertawa.
Alangkah indahnya mendengar tawamu lagi, sejak pagi itu aku belum mendengarnya.
Pagi tadi, engkau begitu bersemangat karena akan ambil bagian dalam tinjauan
musim panas di Institut. Tetapi aku menceritakan kepadamu segala ungkapan yang
mereka deklamasikan satu sama lain di Fiji, aku bercerita mengintip mereka saat
mereka berenang di bawah Air Terjun Bouma, aku menyebutkan bahwa Ana adalah
seorang penari flamenco terkenal, dan bahwa ia tiba-tiba jatuh sakit, dan
tentunya aku juga menceritakan banyak hal lain. Tetapi yang jelas, aku
Warisan Kitab Pusaka 1 Pendekar Kelana Sakti 15 Pedang Ular Emas Payung Sengkala 7