Maya Misteri Dunia 5
Maya Misteri Dunia Dan Cinta Karya Jostein Gaarder Bagian 5
memberitahumu bahwa Ana dan Jose adalah peramal dan itulah mengapa mereka selalu
memenangi permainan kartu. Juga, yang paling penting, aku memberitahumu bahwa
aku yakin pernah bertemu Ana sebelumnya, aku hanya tidak ingat di mana. Tetapi,
engkau hanya tertawa dan tertawa, kelihatannya hampir seperti engkau telah
menyimpan tawamu begitu lama dan hanya menunggu alasan untuk dapat
mengeluarkannya, engkau yakin aku hanya mempermainkanmu. Pertama-tama, engkau
menyatakan bahwa aku menunjuk pasangan itu karena aku ketakutan setelah bertanya
kepadamu mengenai kemungkinan adanya seorang teman, dan tidak berani menunggu
jawabannya. Kemudian, engkau berkata bahwa aku mulai mengarang cerita-cerita
aneh hanya untuk menahanmu tetap di situ di tepi sungai. Teori ketiga adalah
bahwa aku tiba-tiba mengalihkan perhatian kepada sepasang kekasih sebagai
pembuka yang baik untuk mengingkari janji tulus kami. Tetapi, engkau juga
memiliki penjelasan keempat, yang paling kau sukai dan yang kau percayai
sepanjang malam itu. Engkau berkata bahwa aku mulai mengarang cerita-cerita
tidak masuk akal hanya untuk membuatmu tertawa. Dan tawamu akhirnya kau
menyinggung bagian itu tawamu membuatmu begitu senang, seakan-akan engkau
memancarkan kebahagiaan karena mendapatkan kembali harta karun yang kau pikir
telah hilang selamanya. Mungkin, ngomong-ngomong, engkau menyadari bahwa semua
penjelasanmu memiliki satu hal yang sama. Semua menunjukkan bahwa engkau malu.
Aku ingat mempertimbangkan untuk mengejar Ana dan Jose karena tidak lama
kemudian, mereka meninggalkan tepi sungai dan berjalan menjauh ke arah kota.
Tetapi, saat itu aku bersamamu, dan dugaanmu agak benar bahwa aku ingin
menahanmu di sana di tepi Sungai Tormes selama mungkin, di bawah langit malam
yang cerah. Malam itu adalah malam terakhir kita bersama dan aku baru akan
memulai salah satu percakapan terpenting dalam hidupku, aku bahkan hampir
mengingkari sebuah sumpah. Tetapi, ada sesuatu yang lain. Aku tidak mau
mengganggu keintiman hangat yang sekali lagi kusaksikan. Dan lagi, jika tiba-
tiba aku berlari pergi, engkau tentunya akan mengajukan setidaknya empat dugaan
motif dari tindakanku itu, dan mungkin akan kembali tertawa terbahak-bahak.
Engkau tertawa, Vera. Aku tentu sangat kebingungan dan terlihat benar-benar
konyol. Tetapi engkau tertawa!
Hanya sekali aku berhasil menghentikan rentetan tawa yang terus-menerus itu.
Ketika Ana dan Jose menghilang ke kota dan aku mengulang dengan sungguh-sungguh
bahwa aku benar-benar mengenali mereka, engkau berkata, "Mereka hanyalah
sepasang orang gipsi, Frank."
Kita mulai berjalan kembali ke hotel, dan kini ada dua topik yang tabu. Satu
adalah Ana dan Jose. Yang satu lagi adalah Frank dan Vera.
Keesokan harinya, engkau naik kereta pagi menuju Madrid dan terus ke Barcelona,
tetapi aku memberitahumu bahwa aku mungkin akan tinggal satu malam lagi di
Salamanca. Engkau masih tidak memercayaiku, dan engkau tentunya punya dugaan-
dugaan mengapa aku memilih tinggal lebih lama daripada yang kurencanakan.
Aku mengantarmu hingga ke depan pintumu malam terakhir itu. Hanya beberapa bulan
yang lalu kita berbagi tempat tidur yang sama, dan kini rasanya begitu
menyedihkan dan hampa karena kita tidak lagi tinggal dalam satu kamar yang sama.
Maka, dapat dikatakan bahwa kita kini menjadi lebih asing dibandingkan jika kita
belum pernah bertemu sebelumnya.
Keesokan harinya, aku bangun siang. Kemudian berangkat ke kota untuk mencari Ana
dan Jose. Pada awalnya aku mengambil jalan secara acak, dengan bertanya di beberapa tempat
jika saja ada yang mengenal seorang Ana dan seorang Jose, seorang penari
flamenco terkenal dan seorang wartawan TV, tetapi tentu saja hal itu tidak ada
gunanya tanpa nama keluarga mereka.
Aku tidak sarapan sehingga tidak lama kemudian, aku pun memasuki kafe yang ramai
di Plaza Mayor tempat kita makan siang bersama pada hari engkau menyatakan
pikiranmu mengenai kritik Gibbons atas seminarku. Aku memesan tortilla dan bir,
dan nasib baik tentunya tengah tersenyum lebar kepadaku karena tidak lama
kemudian aku melihat Ana bergegas masuk. Ia tidak melihatku, dan ketika aku
berpaling, kulihat Jose duduk di balik sebuah pilar di bagian belakang kafe
tersebut tengah menunggu istrinya. Mungkin ia juga belum melihatku.
Aku menajamkan telingaku dan mendengar mereka saling berbisik dengan penuh
semangat, tetapi mereka terlalu jauh bagiku untuk menangkap apa yang mereka
katakan. Aku memutuskan untuk menyelesaikan omeletku dan pergi untuk menyapa
mereka. Bagaimanapun, itu adalah sebuah kebetulan yang luar biasa bahwa kami
dapat bertemu begitu jauh dari Maravu. Tetapi, tidak lama kemudian, musik
flamenco mulai mengalun dari pengeras suara, dan aku menebak mungkin itu adalah
penghormatan kepada sang penari. Terdengar lagu-lagu bersuara berat mengenai
cinta dan pengkhianatan, hidup dan mati, dan aku menoleh ke arah belakang kafe
untuk melihat. Tubuh Ana hampir seperti bergerak mengikuti musik, dan aku
teringat bahwa kupikir mungkin ia harus menahan diri agar tidak melompat berdiri
dan menari mengikuti irama penuh gairah itu.
Kemudian, wanita itu bangkit, tetapi tidak untuk menari. Secepat ia memasuki
ruangan itu, secepat itu pula ia berlari keluar. Ia berbalik sekali kepada Jose
dan berteriak sepenuh hati: "Aku ingin pulang! Kau dengar" Aku ingin pulang ke
Sevilla!" Rasanya saat itu aku berpikir bahwa ledakan emosi bisa terjadi dalam keluarga-
keluarga terbaik sekalipun, tetapi aku tidak dapat memikirkannya terlalu lama
karena kini giliran Jose yang bergegas melintasi kafe. Aku melompat ke
hadapannya. "Jose?" aku berkata.
"Frank!" ia berseru.
Ia menatapku putus asa dan mengangkat tangannya seolah-olah untuk mengatakan
"Apa yang bisa kulakukan!" atau sesuatu seperti itu. Tetapi, ia tengah terburu-
buru, dan satu-satunya yang ia katakan sambil terus berlari adalah: "Kita harus
bicara, Frank! Pernahkah engkau pergi ke Prado?"
Hanya itu, Vera. Setelah itu, aku berjalan-jalan mengelilingi Salamanca
seharian, tetapi tidak melihat Ana dan Jose lagi.
"Kita harus bicara, Frank! Pernahkah engkau pergi ke Prado?"
Apa maksudnya" Ada apa dengan Prado" Tetapi aku tahu hal ini mengingatkanku akan
sesuatu. Tiba-tiba aku teringat akan percakapan terakhirku dengan John di Maravu
Plantation Resort. Ucapan
selamat tinggalnya pun memuat desakan agar aku melihat Prado. Tetapi tentunya
aku tidak memerlukan dorongan seperti itu, karena akulah yang pertama kali
memberi tahu sang pengarang Inggris itu bahwa aku benar-benar menyukai koleksi
Prado. Tetapi, beberapa hal dapat diartikan secara harfiah. Ketika aku meninggalkan
Maravu setelah kejadian yang tiba-tiba menimpa Ana, John telah berjanji untuk
menyampaikan salamku kepadanya dan Jose. Tentunya John menyinggung kecintaanku
akan karya-karya seni dari Spanyol Ana dan Jose tentunya suka dan senang
mendengar aku menyukai karya-karya seni dari negeri mereka. Tetapi mengapa
Prado" Mengapa tidak Thyssen atau Reina Sofia" Dan mengapa aku harus memilih
siapa yang paling kusuka, Goya atau Velazquez, El Greco atau Bosch" Aku harus
berusaha meluangkan waktu untuk melihat semuanya dengan teliti, itulah yang
dikatakan John. Keesokan hari, pagi-pagi sekali aku mengambil kereta pagi menuju Madrid. Saat
kereta mendaki dataran tinggi, aku duduk sambil menatap dinding-dinding batu
itu. Ada sesuatu di tempat ini yang membuatku teringat akan peternakan-
peternakan musim panas di pegunungan Norwegia.
Ketika melihat dinding-dinding Kota Avila yang bagaikan berasal dari negeri
dongeng, aku teringat akan Santa Teresa, dan kemudian Laura di Maravu Plantation
Resort. Garis asosiasi ini berawal dari aliran agama mistik, lalu ke mata
cokelat Laura walaupun harus kuakui bahwa mata hijau dan kelembutan
yang ia tunjukkan kepadakulah yang paling lama terkenang. Khayalan manis ini
dengan segera tergantikan oleh sebuah ingatan yang tidak pernah dapat
kusingkirkan. Dalam kunjunganku ke Salamanca sebelumnya, aku telah mengunjungi
kapel biarawati di Alba de Tormes, tempat sisa-sisa tubuh Teresa tersimpan
secara cukup mengerikan. Aku melihat salah satu lengannya di balik sebuah pintu
di sebelah kiri sakristi dan jantungnya di balik pintu sebelah kanan. Di kloster
Teresa Centre, aku juga mengamati jari telunjuk Santo John of the Cross, satu
lagi mistikus terkenal dari Spanyol. Mereka berdua memiliki pemikiran-pemikiran
dan pandangan-pandangan yang hebat, dan kini mereka telah beristirahat untuk
selamanya. "Beristirahat dalam bentuk potongan-potongan," pikirku.
Ketika tiba di Stasiun Chamartin di Madrid, aku menaiki kereta menuju Terminal
Atocha. Dari sana, aku berjalan menuju Hotel Palace dan menyewa sebuah kamar
untuk waktu yang tak terbatas. Aku merasa tidak dapat kembali ke Norwegia hingga
aku berhasil menenangkan diri. Dan, tidaklah mudah meninggalkan Spanyol karena
kutahu engkau ada di sana, di Barcelona. Di rumah, hanya ada diriku sendiri yang
kupikirkan: dengan kata lain, tidak ada yang dipikirkan.[]
Bellis Perennis AKU ADALAH SEBUAH TEKA-TEKI BAGI DIRIKU SENDIRI KARENA AKU TIDAK mengunjungi
Prado hingga hampir dua minggu berlalu. Aku merasa bahwa komentar yang kebetulan
kulontarkan mengenai betapa aku sangat menikmati berjalan-jalan dalam galeri-
galerinya yang luas setiap kali aku berada di Madrid sudah terlalu banyak
dimanfaatkan orang. Dan aku juga tidak suka didikte, apalagi digiring langsung.
Namun, aku pergi mengunjungi baik Thyssen dan Reina Sofia dalam dua minggu itu.
Telah bertahun-tahun aku tidak mengunjungi kedua tempat itu.
Aku membawa banyak bahan makalah untuk seminar yang kuberikan di Salamanca, dan
di the Palace aku melanjutkan mengerjakan laporanku yang telah menghabiskan
waktu beberapa bulan. Aku mengambil kesempatan itu untuk mencari beberapa rekan
di Universitas Complutense, menghabiskan pagi-pagiku membaca di Perpustakaan
Nasional, dan untuk pertama kalinya mengunjungi kebun binatang di Casa de Campo.
Aku mengunjungi dua bar flamenco pada malam yang berbeda, bukan dengan harapan
untuk melihat Ana menari, melainkan karena aku terus berharap akan melihat
namanya pada sebuah poster atau brosur. Cepat atau lambat aku harus berusaha
untuk bertemu dengan mereka lagi, tetapi entah mengapa aku tidak ingin mulai
untuk mencari mereka, setidaknya bukan sekarang; rasanya lebih baik hanya
berjalan-jalan berkeliling Madrid saja. Tetapi, mungkin saja aku akan bertemu
dengan seorang wartawan TV di bawah kubah Rotunda di the Palace.
Gaji satu bulan tidak bertahan lama di the Palace, dan alasanku tinggal di
tempat mewah itu bukanlah hanya karena kebiasaan lama atau bahkan bukan karena
kita berdua memiliki kenangan yang sangat istimewa tentang tempat itu, melainkan
karena itu adalah satu-satunya hotel di kota itu tempat engkau mungkin
menanyakan diriku, meskipun kemungkinan itu hanya kecil. Harus kuakui, aku
memang berharap engkau akan mencoba meneleponku di Oslo, setelah apa yang
terjadi malam terakhir itu di Salamanca. Saat itu, setidaknya, aku membuatmu
tertawa lagi. Jika engkau gagal menghubungiku di rumah, mungkin engkau akan
menelepon Institut, walaupun itu akan membuatmu sedih. Mereka akan memberitahumu
bahwa aku berada di Madrid saat ini. Setelah minggu pertama berlalu, aku
memastikan sekretaris di Institut juga mengetahui nama hotelku.
Kemudian, seketika, aku terbangun dari apa yang kini kuanggap sebagai sebuah
mati suri berkepanjangan. Tiba-tiba, pada suatu pagi, aku tersadar betapa
bodohnya diriku selama ini dan betapa buruknya aku telah membiarkan segalanya
berlalu. Aku telah didesak secara khusus untuk pergi ke Prado, tidak hanya untuk berjalan
tanpa tujuan dari satu ruangan ke ruangan lain, tetapi untuk mencari sesuatu
yang khusus. Orang Inggris itu hanya mengungkapkannya seperti sebuah isyarat,
tetapi Jose terdengar hampir seperti memohon. Tentunya Prado adalah sebuah
petunjuk, bukan hanya sebuah tanggapan dari percakapan ringanku mengenai Prado
sebagai sebuah museum yang megah di kamar tidur kami memiliki sebuah Monet, dan
di atas perapian kami telah menggantung sebuah cermin baroque ....
Peristiwa ini terjadi pada Selasa, tepat dua hari sebelum saat penulisan surat
ini. Aku melangkah dengan yakin mengelilingi Plaza Canovas del Castillo, atau
"Neptuno", sebagaimana lapangan itu dikenal oleh penduduk lokal karena adanya
air mancur dan patung Neptunus. Saat berjalan ke arah pintu masuk, aku
menengadah ke arah patung Goya yang terpigura oleh kemegahan Ritz di latar
belakangnya dan pada saat itu, tepat pada saat itu, aku merasa bahwa diriku
semakin hangat. Perjalananku kumulai dari lantai dasar, tanpa terburu-buru, sambil melihat-lihat
para pengunjungnya selain melihat-lihat berbagai hal lain. Tidak lama kemudian,
aku mulai mengamati "El Jardin de las Delicias"-atau "Taman Kesenangan Duniawi"
sebuah karya kaleidoskopis karya Hieronymus Bosch. Jika harus memilih satu
lukisan yang merangkum seluruh perasaanku akan kehidupan dan status manusia
sebagai makhluk vertebrata, aku akan memilih lukisan ini. Sebagai tambahan dari
lebih dari seratus sosok manusia yang begitu menarik, sang pelukis telah meletakkan banyak pula
vertebrata lain dalam komposisinya. Jika aku bermain kata bersambung dan diberi
kata "fantasi", dengan segera aku akan mengatakan Bosch. Jika kata yang
diberikan adalah "Bosch", aku akan berkata "Taman Kesenangan Duniawi". Jika kata
pancingannya adalah "Taman Kesenangan Duniawi", aku akan menjawab dengan "rapuh"
dan jika diizinkan menjawab dengan menggunakan sebuah kalimat utuh, atau bahkan
sebuah percakapan kecil, aku akan menyebutkan betapa luar biasa dan misterius
hidup ini, tetapi oh, betapa rapuh dan halus.
Aku berdiri di hadapan "Taman Kesenangan Duniawi" selama setidaknya setengah
jam, dan itu belum apa-apa lukisan itu pantas mendapatkan setidaknya satu
minggu. Aku mempelajari beberapa detailnya yang paling kecil, walaupun terkadang
aku harus membiarkan orang-orang lain mendekat untuk melihat. Dan kemudian tiba-
tiba, Vera, tiba-tiba aku mendengar sebuah suara yang tidak asing di belakangku.
"Diperlukan waktu bermiliar-miliar tahun untuk menciptakan seorang manusia,"
suara itu berkata. "Dan diperlukan hanya beberapa detik untuk mati."
Sambil berbalik perlahan menghadap Jose, dengan segera aku merasa bahwa kalimat
ini tidak hanya dimaksudkan sebagai sebuah komentar atas lukisan berusia lima
ratus tahun itu, tetapi sebagai sebuah pengumuman bahwa Ana telah meninggal.
Ana telah meninggal, Ana yang tidak mau mengungkapkan di mana aku telah
melihatnya sebelumnya, Ana yang tidak mau menari flamenco, Ana yang tiba-tiba
jatuh sakit di meja sarapan, dan Ana, Ana yang baru beberapa hari sebelumnya
meninggalkan kafe makan siang di Salamanca dengan berteriak ingin pulang ke
Sevilla. Bukan hanya kata-kata bijak itu yang membuatku menyadarinya. Aku menatap sebuah
wajah pucat dan letih yang tampak begitu jauh, jauh sekali dan belum mulai
mencari jalan untuk kembali. Sebuah ingatan visual tebersit dalam kepalaku:
Jose, di Salamanca, memandangku dengan panik dan berseru, "Kita harus bicara,
Frank! Pernahkah engkau pergi ke Prado?" Kini ia meneliti lukisan itu dan
menunjuk ke sebelah kiri pada sepasang kekasih yang terbungkus di dalam bola
kaca. Penuh gairah dan kemarahan, ia berbisik, "Kebahagiaan sama rapuhnya dengan
kaca." Tidak ada yang berkata-kata dalam waktu lama, tetapi aku yakin ia tahu bahwa aku
mengerti. Kami mulai berjalan perlahan melalui galeri demi galeri, dan naik
menuju lantai pertama. Pada satu saat ia berkata, "Selama ini kami tidak
terpisahkan." Aku tidak kuasa berkata-kata, tetapi aku melihat ekspresinya yang pasrah, dan
aku yakin menggeleng-gelengkan kepala karena rasa terkejut dan simpati yang
silih berganti. Tetapi, selama itu pula aku merasa semakin hangat. Kini Jose
membawaku mendekati koleksi Goya, dan tiba-tiba kami sudah berdiri di hadapan
"Maja Telanjang" dan "Maja Berbusana". Hampir saja aku jatuh pingsan. Jose
tentunya menyadari hal itu, karena tiba-tiba ia menggenggam lenganku erat-erat. Itu adalah Ana!
Itu adalah Ana, Vera! Di sinilah aku pernah melihatnya sebelumnya, dan berkali-
kali. Selama ini aku bertanya-tanya apakah melihat dirinya dalam sebuah film
atau bertemu dengannya dalam mimpi. Aku bahkan membayangkan bahwa mungkin aku
telah bertemu dengannya dalam sebuah realitas lain. Tetapi, di sinilah ia
berada. Di sini Ana berbaring di atas sebuah sofa panjang dalam studio milik
Goya, di sini ia tergantung di dinding Prado, sementara turis-turis yang ingin
tahu berkeliaran di sekitarnya.
Saat Jose menggenggam lenganku, aku terbawa kembali ke Air Terjun Bouma di
Taveuni, ketika sekilas aku melihat tubuh Ana. Di sanalah aku menyadari bahwa
aku hanya mengenali mukanya, dan kini aku mengerti mengapa. Ana jauh lebih
langsing daripada maja milik Goya, dan mungkin itulah mengapa aku tidak pernah
menghubungkan mereka, mengapa aku tersesat. Tetapi, bahkan ketika aku melihat
Ana mengenakan gaun merah, aku mendapat dua pikiran sekaligus: satu adalah
keyakinan bahwa aku pernah bertemu dengannya sebelumnya, sementara yang lain
mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
Kini, banyak hal menjadi jelas. John menyinggung tentang internet, dan tentunya
ia tidak mendapat banyak kesulitan dalam mencari gambar karya-karya terbesar
Goya. Kemudian, ia menyarankan agar aku mengunjungi Prado. Tetapi, mengapa ia
tidak menceritakan segalanya kepadaku
saat di Fiji" Kini aku dan Jose berdiri di hadapannya, dan kami mundur beberapa langkah. Aku
terkejut, aku kewalahan, aku ketakutan. Jika saja kedua lukisan itu tidak dibuat
dua abad yang lalu, aku pasti bersumpah Analah yang menjadi modelnya, setidaknya
sebagai wajah sang wanita.
Dan ada hal lain lagi. Ana tidak suka dikenali, dan jelas Jose sama sekali
Maya Misteri Dunia Dan Cinta Karya Jostein Gaarder di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membenci hal itu. "Ada banyak wanita berambut gelap di Spanyol. Itu kenyataan,
Frank. Bahkan di Madrid." Jawaban itu tertanam dalam ingatanku. Sekarang, saat
berdiri di sini, aku dapat membayangkan betapa menyebalkan bagi Ana untuk terus-
menerus dikenali. Tentunya sulit dianggap sebagai wanita yang hidup di Spanyol
dua ratus tahun yang lalu.
Keadaan semakin buruk ketika John Spooke meletakkan jarinya di dahi Ana dan
mengatakan, "Dan ruh yang ini bernama Maya!" Saat itu, John tengah memikirkan
filsafat Vedanta, tentang bayang-bayang tak nyata, tentang ilusi dan tipuan,
tetapi mungkin ia juga memikirkan maja milik Goya, karena bukankah ia juga
menggambarkan Ana sebagai sebuah "karya besar?" Sebenarnya, aku berdiri di sana
di Prado sambil menyaksikan ilusi terbesar yang pernah dijalankan kepada diriku.
Sebuah pikiran mengerikan tebersit dalam kepalaku. Mengapa Ana terkena serangan
tiba-tiba itu di Maravu" Dan mengapa ia meninggal beberapa bulan kemudian"
Apakah ada hubungan antara kemiripannya dengan maja milik Goya dan fakta bahwa
ia meninggal pada usia yang sangat muda" "Ia benar-benar mirip." Jose menggelengkan
kepalanya. "Itu memang dia," ujarnya. "Tapi, itu tidak mungkin."
"Tentu saja itu tidak mungkin. Tetapi ini adalah Ana."
Kami berdiri lama sekali di belakang ruangan itu sambil berbincang-bincang
pelan. "Tahukah engkau sejarah dari lukisan-lukisan ini?" tanyanya.
"Tidak," ujarku.
Kurasa, aku masih belum pulih dari rasa terkejut. Ia melanjutkan.
"Tidak ada yang benar-benar tahu, tidak yang sebenarnya, tetapi memang hanya
sedikit yang diketahui."
Aku tidak sabar. "Dan apakah itu?"
"'La Maja Desnuda1 pertama kali disebutkan oleh Agustin Cean Bermudez dan
pemahat Pedro Gonzales de Sepulveda, yang mendeskripsikannya pada 1800, saat
lukisan itu tergantung di sebuah lemari pribadi dalam istana milik Manuel Godoy
bersama-sama dengan beberapa sketsa klasik lainnya yang menggambarkan
ketelanjangan, seperti 'Venus dan Cupid' karya Velazquez bersama sebuah Venus
abad ke-16 dari Italia. Kedua lukisan ini adalah hadiah dari Duchess of Alba
kepada Godoy." "Godoy memiliki minat khusus terhadap lukisan telanjang?"
"Dapat dikatakan begitu. Dalam lemari ini pula ia memiliki sebuah tiruan patung
Venus karya Titian. Namun, pada saat itu, lukisan mengenai wanita tanpa busana
dilarang, walaupun sketsa-sketsa yang menggambarkan makhluk-makhluk mitologi
yang dibuat lebih idealis seperti Venus sedikit lebih dapat diterima
dibandingkan 'Maja Telanjang'." "Mengapa?"
"Seperti yang dapat kau lihat, maja milik Goya sama sekali tidak tampak seperti
makhluk mitologi. Ia adalah seorang wanita hidup yang terdiri dari darah dan
daging, dan tentu saja, dilukis dari aslinya. Oleh karenanya, lukisan ini lebih
menjurus atau bobrok, dapat dikatakan daripada Venus karya Titian atau
Velazquez, contohnya. Lukisan ini dianggap sebagai pornografi."
"Oh, begitu." "Baik Carlos III maupun Carlos IV mempertimbangkan untuk menghancurkan semua
lukisan seperti itu dari koleksi seni kerajaan, walaupun Godoy tentunya telah
dianugerahi suatu hak istimewa untuk dapat menyimpan lukisan-lukisannya, tetapi
hanya di dalam apartemen pribadinya."
"Apakah ia juga memiliki 'Maja yang Berpakaian'?"
Ia mengangguk. '"La Maja Vestida' kemungkinan besar dilukis setelah 'La Maja Desnuda' karena
karya ini pertama kali disebut dalam sebuah katalog pada 1808, sebuah katalog
yang disusun oleh seorang pelukis Prancis, Frederic Quilliet, yang merupakan
agen Jose Bonaparte. Di situlah untuk pertama kalinya 'La Maja Vestida' dihubungkan dengan
'La Maja Desnuda'." Pada saat ini ia harus merendahkan suaranya untuk mencegah ceritanya terdengar
oleh orang lain. "Apakah engkau tahu apa arti maja" Goya melukis beberapa dari mereka."
"Wanita desa?" aku menebak.
"Atau seorang gadis petani muda, seorang wanita yang menarik dan berpakaian
warna-warni. Persamaannya bagi lelaki adalah majo."
"Mungkinkah Ana disebut sebagai maja?"
Ia menggelengkan kepala dengan tegas.
"Ana adalah seorang gipsi, seorang gitana. Lagi pula, sangat diragukan bahwa
'Maja' adalah judul yang diberikan oleh Goya. Ketika Ferdinand VII menyita harta
milik Godoy pada 1813, sebuah katalog mendeskripsikan subjek dari kedua lukisan
itu sebagai 'Gitanas', wanita-wanita gipsi, dan itu agak berbeda dari maja. Pada
1808 pun wanita dalam kedua lukisan itu disebut sebagai seorang gipsi. Kita
tidak boleh melupakan bahwa 1808 hanya berjarak beberapa tahun setelah karya-
karya itu dibuat, dan sang pelukis sendiri masih hidup, dan baru bertahun-tahun
kemudian ia harus melarikan diri dari Spanyol ke Prancis. Wanita itu pertama
kali dianggap sebagai seorang maja pada 1815. Sejak saat itu, judul itu terus
menempel pada kedua lukisan itu."
Jose berhenti sejenak, tetapi aku memberinya isyarat agar ia melanjutkan. Aku
tidak dapat mengerti arti penting apakah wanita dalam kedua lukisan itu adalah
seorang maja atau seorang gitana. Hal itu tidak mengubah kenyataan bahwa
sesungguhnya Goya melukis sebuah wajah dua abad penuh sebelum wajah itu
terlahir. "Pada Maret 1815," ia melanjutkan, "Goya dipanggil ke hadapan Dewan Inkuisisi
untuk mempertanggungjawabkan kedua lukisan itu. Ia ditanya apakah ia yang
melukis keduanya, alasannya melakukan hal itu, siapa yang menyuruhnya, dan apa
tujuannya. Pertanyaan-pertanyaan ini tidak pernah dijawab, dan hingga saat ini
tidak ada yang tahu pasti siapa yang memerintahkan pembuatan kedua lukisan itu."
Kerumunan di sekitar maja telah menipis, dan aku mendekat untuk sekali lagi
melihat dengan lebih jelas.
"Tidak sulit untuk melihat mengapa engkau mempelajari sejarah kedua lukisan ini
dengan begitu teliti "Seperti yang telah kusebutkan tadi, ada alasan kuat untuk memercayai bahwa
versi yang telanjang diciptakan terlebih dulu. Kedua lukisan itu tergantung di
istana Godoy, dan ia, walau bagaimanapun, tidak sepenuhnya kebal terhadap
Inkuisisi. Mungkin maja yang mengenakan pakaian dilukis untuk digantung di atas
versi yang telanjang. Ada sejumlah bukti yang menunjukkan bahwa kedua lukisan
itu diatur sebagai sebuah lelucon, dengan menunjukkan versi yang mengenakan
pakaian terlebih dulu dan kemudian, dengan menggunakan semacam
mekanisme, memperlihatkan versi yang telanjang. Menelanjangi wanita memang
sebuah kegemaran yang sangat tua."
Sekali lagi aku merasa kembali berada di Air Terjun Bouma. Dengan sengaja aku
telah mengintip melalui jari-jari yang menutup mataku. Ia melanjutkan.
"Sejak 1836 hingga 1901, kedua lukisan ini tergantung di Akademi San Fernando,
walaupun yang telanjang tidak pernah dipertontonkan. Sejak 1901, keduanya
dipindahkan ke Prado, tetapi bahkan di sini pada awalnya 'Maja Telanjang'
ditampilkan dalam sebuah ruangan terpisah dengan izin masuk yang terbatas."
Aku tidak sabar untuk mengetahui lebih banyak karena walaupun aku mendengarkan
semua yang ia katakan, aku hanya dapat memikirkan Ana.
"Apakah kita tahu siapa yang menjadi model bagi lukisan-lukisan itu?" aku
bertanya. Ia mengangkat alis. "Atau model-model," ujarnya.
Aku melihat kedua lukisan itu lagi.
"Mereka persis sama."
"Pergilah mendekat dan teliti keduanya dengan baik sebelum engkau memutuskan."
Aku melakukan apa yang ia suruh. Mungkin "Maja Berpakaian" telah dikerjakan
dengan lebih terburu-buru dan lebih tidak berhati-hati dibandingkan yang
telanjang. Sang subjek tampak lebih arogan dan terlukis lebih baik ketimbang
saudarinya yang telanjang. Jika "Maja Telanjang" telah terlebih dulu
diabadikan ke atas kanvas, mungkin Goya cepat-cepat menciptakan versi yang
mengenakan pakaian untuk menutupi yang telanjang. Tetapi, mereka adalah wanita
yang sama, dan keduanya adalah Ana, bahkan jika hanya kepalanya yang milik Ana,
hanya wajah dan rambut Ana. Lalu ada tonjolan kecil itu, tentu saja. Kini aku
dapat melihat dengan jelas betapa pertama-tama Goya telah melukis tubuh
telanjang seorang wanita, dan kemudian menambahkan wajah wanita lain pada tubuh
itu. Dengan sedikit kesabaran, semua orang dapat melihat bahwa sosok wanita itu
terdiri dari dua bagian, tubuh dan kepala, dan hal ini tampak jelas terutama
pada wanita yang telanjang.
Memang kepala Ana yang kulihat saat ini, tetapi bukan tubuh Ana. Seolah-olah
kepala Ana telah dicangkokkan ke atas tubuh telanjang itu.
Aku berjalan kembali ke Jose.
"Ia menggunakan dua orang model," ujarku. "Satu untuk tubuhnya dan satu untuk
kepala." Ia mengangguk, tetapi tanpa tersenyum. Hal ini bukanlah permainan bagi Jose.
"Model telanjang itu mungkin adalah seorang wanita terhormat," ia berkata,
"sehingga jelas Goya tidak dapat melukis wajahnya."
Maka, ia pun melukis wajah Ana, pikirku.
"Dan apakah kita mengetahui apa pun tentang wanita terhormat ini?" tanyaku.
"Ada beberapa teori. Salah satu yang populer adalah bahwa lukisan ini
diperintahkan dibuat oleh Godoy, yang merupakan favorit sang ratu, dan bahwa
sang model-model yang telanjang adalah wanita simpanannya, Pepita Tudo. Jika
memang ini yang terjadi, semakin pentinglah untuk menutupi identitasnya. Tetapi,
ada juga teori lain." "Lanjutkanlah!"
"Kita tahu bahwa Duchess of Alba memiliki hubungan dekat dengan Goya selama
beberapa waktu, dan bahwa selama 1796 hingga 1797, yaitu saat pembuatan 'Maja
Telanjang', Goya tinggal di tanah pedesaannya di Sanlucar de Barrameda di dekat
muara Guadalquivir. Sejak tahun-tahun pertama abad ke-19, terdengar desas-desus
berkepanjangan bahwa Duchess of Alba sendirilah yang menjadi model bagi 'La Maja
Desnuda'. Desas-desus ini mungkin muncul dari orang pertama, dan semakin tua
sebuah desas-desus, semakin banyak alasan untuk memercayai kebenarannya."
"Oh, begitu," aku berkata. "Oh, begitu!"
"Jika seseorang meneliti lukisan-lukisan Goya lainnya yang menggambarkan sang
Duchess, seperti potret dirinya yang terkenal dari 1797, atau lukisan sang
Duchess tengah menata rambutnya, juga dari 1796 atau 1797, dari bentuk tubuhnya
tidak ada yang akan mencegahnya menjadi model bagi 'La Maja Desnuda'."
"Apakah mereka memiliki hubungan erotis?"
"Hal itu tidak diketahui, walaupun banyak hal yang menunjukkan bahwa Goya tidak
akan berkeberatan untuk itu. Dalam sebuah surat yang ditulis pada 1795, ia
menceritakan sang Duchess yang mengunjunginya di studio untuk dirias. Dan sang
pelukis menambahkan: 'Hal ini memberiku lebih banyak kesenangan daripada
melukisnya di atas kanvas.' Dalam sebuah potret cat minyak sang Duchess di
Sanlucar, ia melukisnya mengenakan pakaian hitam dengan sebuah jubah pendek, dan
sang Duchess mengenakan dua buah cincin bertuliskan 'Alba Goya'. Dan terlebih
lagi, lukisan itu menggambarkan sang Duchess dengan tegas dan otoritatif
menunjuk ke bawah ke pasir yang di situ tertulis 'Solo Goya'. Tak disangkal
lagi, Duchess of Alba adalah seorang wanita yang cantik dan menarik, dan ia
menjadi janda saat Duke of Alba, yang jauh lebih tua darinya, meninggal di
Sevilla pada 9 Juni 1796."
"Jadi, apa yang mencegah mereka memiliki hubungan erotis?"
"Lukisan sang Duchess berada dalam kepemilikan pribadi Goya, sehingga alasannya
mungkin lebih karena fantasi dan harapan daripada kenyataan. Walaupun sang
Duchess sangatlah liberal, aku menduga ia tidak akan mengingini sebuah potret
dirinya yang begitu angkuh. Dan lagi, seberapa besar sih kemungkinan seorang
yang relatif cantik berusia tiga puluh empat akan jatuh cinta kepada seorang
pria sedikit renta berusia lima puluh tahun, yang juga tuli total?"
"Ya, memang Goya menderita suatu penyakit
ii "Walaupun demikian, tidak ada yang menutup kemungkinan bahwa sang Duchess
mungkin adalah model bagi 'La Maja Desnuda'. Kenyataan bahwa
sang pelukis telah begitu sering melukisnya menyiratkan bahwa Goya hampir
sepenuhnya bebas untuk datang dan pergi sesuka hati dalam lingkungan pribadi
sang Duchess. Tetapi, fakta sesungguhnya mengenai hubungan antara Goya dan sang
Duchess tidak akan pernah diketahui dan sudah tidak lagi relevan. Untuk
sementara, mereka adalah kawan yang sangat dekat."
Sambil mengisi waktu, aku terus-menerus menatap wajah sang wanita. Aku tidak
dapat melepaskan Ana dari benakku.
"Hingga sekarang kita hanya membicarakan siapakah orang yang sebenarnya menjadi
tubuhnya," ujarku. "Kita belum membicarakan sedikit pun tentang siapa yang
mungkin menjadi model bagi wajahnya."
Aku tida k bisa yakin apakah aku menangkap secercah kecil senyuman saat ia
berkata, "Itu adalah sebuah cerita yang jauh lebih panjang, dan juga lebih
rumit. Tetapi, lebih dari itu, juga jauh lebih sulit untuk dipahami. Mari kita
pergi." Aku mengangguk. "Apakah engkau sudah cukup melihat?"
Aku mendekati kedua lukisan itu untuk terakhir kalinya. Aku menatap wajah Ana.
Ekspresinya persis sama seperti yang begitu sering kulihat di Taveuni dengan
bibir tipisnya yang terkatup rapat dan mata hitam yang menatapku dengan curiga.
Aku menemani Jose keluar dari koleksi Goya, menuruni tangga menuju lantai dasar
dan keluar ke Plaza de Murillo. Ia berjalan dengan mantap melintasi lapangan ke
arah pintu masuk Kebun Raya. Ia mengeluarkan 200 peseta dan membeli sebuah
tiket, dan aku pun berbuat yang sama. Aku hanya mengikuti di belakangnya.
Kami mulai berjalan melalui Kebun Raya dan segera diserang oleh simfoni berbagai
aroma tanam-tanaman dan pohon-pohonan yang kini, di awal Mei, tengah mengembang
dengan sempurna. Burung-burung pun dalam puncak kesibukan mereka, hampir tidak
mungkin untuk membedakan satu nyanyian burung dari yang lainnya.
Pada awalnya, Jose berjalan beberapa langkah di depan, tetapi setelah beberapa
lama, ia membiarkanku menyusulnya.
"Ana suka sekali pada oasis ini," ia berkata tanpa menoleh untuk melihat ke
arahku. "Setiap kali kami berada di Madrid, ia berkeras untuk berjalan-jalan ke
sini bersamaku, setidaknya sekali sehari, tanpa peduli musim apa. Jika aku
menghadiri rapat, ia mungkin akan menghabiskan setengah hari di sini sendirian,
dan jika rapatku dimulai pukul sepuluh, mungkin baru berjam-jam kemudian aku
datang menjemputnya untuk makan siang. Ia akan selalu menemukan sesuatu yang
baru. Mencari dirinya di Kebun Raya ini adalah semacam permainan kami. Di
manakah aku akan dapat menemukannya hari ini" Berapa lama aku harus mencari" Dan
lebih penting lagi: berita apa yang akan ia bawa untukku" Jika ia melihatku
duluan, terkadang ia menghibur diri dengan bersembunyi dariku dan bahkan
membuntutiku sementara aku berkeliling mencari dirinya. Satu
demi satu, ia mempelajari nama pohon-pohon dan semak-semak yang ada, dan pada
akhirnya ia tahu persis di pohon yang mana setiap burung bersarang."
"Tetapi, engkau kebanyakan bermukim di Sevilla?"
Ia mengangguk, kemudian menggelengkan kepala dan berkata, "Tujuh atau delapan
tahun yang lalu, aku mulai mengerjakan sebuah serial televisi mengenai sejarah
para gipsi di Andalusia. Aku ingin mencoba memunculkan sesuatu yang baru
mengenai evolusi kebudayaan flamenco dalam kuali kuno tempat bercampurnya
tradisi Iberia, Yunani, Romawi, Kelt, Moor, Yahudi, dan tentu saja, Kristen.
Begitulah bagaimana aku bertemu Ana di Sevilla; ia adalah seorang penari
flamenco yang luar biasa dan telah menjadi seorang bailaora yang tersohor sejak
berusia enam belas tahun. Hanya dalam waktu beberapa minggu, kami sudah tak
dapat dipisahkan, dan sejak saat itu, kami tidak pernah menghabiskan satu malam
pun terpisah." Aku masih begitu tersihir oleh kemiripan yang begitu luar biasa antara Ana dan
maja milik Goya sehingga mengalami kesulitan menyerap apa yang ia ceritakan.
Tetapi, ia terus melanjutkan tanpa menatapku.
"Namanya adalah Ana Maria. Itulah yang tertera pada papan iklan, dan begitulah
ia dipanggil oleh seluruh keluarganya. Aku memanggilnya Ana hanya sebagai
panggilan sayang khususku."
"Dan ia juga memiliki nama belakang, tentunya?"
Ia mengangguk mantap, seolah-olah ia telah menunggu pertanyaan itu dilontarkan.
"Maya," ujarnya. "Apa katamu?"
"Nama lengkapnya adalah Ana Maria Maya."
Aku benar-benar tak mampu berkata-kata. Tidak hanya setiap detail dari Ana
menyerupai maja karya Goya, tetapi ia juga bernama Maya. Sekali lagi aku berada
kembali di Taveuni ketika John Spo-oke meletakkan jarinya di alis Ana,
menyatakan dengan caranya yang tiada duanya bahwa ia telah berhasil menemukan
bahwa nama Ana adalah Maya. Jose tidak dapat menerima hal itu.
"Ini tidak mungkin benar," ujarku.
Sekali lagi ia mengangguk.
"Nama itu cukup umum di antara para seniman flamenco dari Andalusia. Yang paling
terkenal, tentu saja, adalah sang baitaor Mario Maya. Tetapi putrinya, Belen
Maya Misteri Dunia Dan Cinta Karya Jostein Gaarder di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Maya, juga memiliki reputasi, begitu pula keponakannya, Juan Andres Maya.
Dinasti flamenco mereka sering disebut sebagai 'Los Maya'. Ana datang dari
keluarga Maya yang lain, atau setidaknya sebuah cabang yang lain."
"Apakah kata itu memiliki arti?"
"Maya adalah nama rempah-rempah dari famili Compositae, bunga aster atau Bellis
perennis. Aku tidak tahu pasti bagaimana bunga cantik itu mendapatkan nama maya
dalam bahasa Spanyol, tetapi mungkin itu adalah sebuah perubahan dari nama bulan
mayo. Di beberapa negara, bunga aster juga
dikenal sebagai 'mayflower1, bunga bulan Mei. Nama Latinnya itu menjelaskan
bahwa tanaman itu berbunga hampir sepanjang tahun. Terlebih lagi, dalam bahasa
Spanyol, maya juga dapat berarti gadis muda, ratu bulan Mei, atau wanita
berkostum atau bertopeng."
"Hampir sama dengan kata yang satu lagi," aku membandingkan. "Hampir sama
artinya dengan maja."
"Tepat sekali. Dan kedua kata itu memiliki asal-usul Indo-Eropa yang sama.
Engkau akan menemukan akar yang sama dari kata untuk bulan Mei atau untuk dewi
Romawi Maia, dalam semua turunan dari kata bahasa Latin magnus atau maior, sama
seperti Plaza Mayor, dalam turunan dari kata bahasa Yunani megas, dalam berbagai
kata Indo-Eropa untuk much, seperti kata maha dalam bahasa Sanskerta."
"Seperti mahatman, sang jiwa dunia?"
Ia mengangguk. "Itulah yang begitu banyak dibicarakan oleh Laura di Maravu," aku berkomentar.
"Ia membicarakan Gaia dan maya, dan di sini di Spanyol menjadi Goya dan maja.
Rasanya hampir seperti ada semacam hubungan."
"Segalanya berhubungan," ujar Jose, dan ketika ia mengatakan hal itu seolah-olah
aku dapat mendengar suara Laura lagi.
Ia masih tidak melihat ke arahku. Sambil berjalan mengelilingi salah satu air
mancur yang terbuat dari marmer, ia berkata, "Ana Maria adalah putri bungsu
dalam sebuah keluarga gipsi terhormat yang telah tinggal di distrik Triana di
Sevilla sejak awal abad ke-19; dan orangtuanya yang malang masih tinggal di
sana, begitu pula dua dari kakek dan neneknya. Salah satu cabang dari
keluarganya dikabarkan merupakan keturunan dari seorang penyanyi cante jondo
terkenal, El Planeta, pencipta dari apa yang kemudian menjadi gaya menyanyi
khusus Aliran Triana. Ia aslinya berasal dari Cadiz dan hidup mulai dari sekitar
1785 hingga 1860. Mungkin ia mendapatkan namanya karena konon ia memercayai
pengaruh bintang dan planet-planet; yang jelas, lagu-lagunya banyak sekali
menyebutkan tentang benda-benda angkasa. Namanya mungkin juga merupakan sebuah
referensi dari dirinya sebagai seorang 'pengembara' atau seorang 'bintang yang
mengembara'. Ia tiba di Sevilla pada awal abad ke-19 dan bekerja di sebuah
peleburan logam di Triana, yang merupakan tempat bekerja yang sangat umum bagi
kaum gipsi pada masa itu. Menurut keluarganya, ia adalah kakek buyut Ana,
walaupun aku tidak dapat menemukan adanya bukti selain dari tradisi keluarga itu
sendiri. Tetapi, setelah tujuh generasi, tentunya kini ia memiliki beberapa
ratus keturunan, mungkin beberapa ribu, dan mengapa tidak mungkin Ana adalah
salah satu di antaranya?" "Lalu?"
"Hanya dalam beberapa minggu, kami menjadi sangat terikat satu dengan yang lain,
sangat terikat, engkau mengerti, tidak seperti biasanya. Dan
ia memperkenalkanku pada sebuah tradisi keluarga yang tidak hanya sangat
menghiburku, tetapi juga yang kupikir dapat berguna dalam serial televisi yang
saat itu mulai aku kerjakan. Ngomong-ngomong, serial itu tidak pernah membuahkan
hasil." "Mengapa tidak?"
"Aku sendiri menjadi seorang gipsi Andalusia. Seorang aficionado, seorang
pencinta sejati dan yang diterima ke dalam misteri kebudayaan flamenco. Aku
merasa telah diadopsi sebagai menantu oleh keluarga yang berpikiran sangat
tradisional, dan aku tidak dapat memproduksi serial televisi mengenai keluargaku
sendiri. Aku mulai tahu terlalu banyak, karena seperti yang telah aku
isyaratkan, dalam tradisi keluarga ini ada juga sisi-sisi rahasianya. Jika ada
sesuatu yang dipelihara para gipsi Andalusia, yang mereka jaga selama lebih dari
lima ratus tahun, itu adalah rahasia mereka. Selama waktu yang lama, mereka
harus bersembunyi dari Inkuisisi. Nah, keluarga Ana memiliki satu kisah istimewa
yang telah diceritakan secara turun temurun selama beberapa generasi, sebuah
kisah luar biasa yang bersumber dari El Planeta dan juga berhubungan dengan
kematian kakek buyut Ana setelah sebuah perkelahian pada 1894. Pertanyaannya
adalah apakah kisah gipsi ini sebutlah ini sebuah legenda jika kau mau dapat
menjelaskan apa yang terjadi pada Ana. Yang jelas, cerita ini terus membayang-
bayanginya selama ia hidup."
"Ini benar-benar menarik."
Ia berhenti di sebuah jalan setapak berbatu -
batu dan menatap mataku lurus-lurus.
"Pertama-tama, sebaiknya aku menceritakan apa yang terjadi."
Kami mulai berjalan lagi.
"Dua tahun setelah aku bertemu Ana, ia didiagnosis mengidap suatu kelainan
jantung. Para dokter tidak dapat mengoperasinya dengan mudah, tidak tanpa
menimbulkan risiko yang cukup besar, tetapi kelainan ini awalnya tidak mengancam
hidupnya bahkan tanpa harus mengubah rutinitas sehari-harinya. Namun, setelah
beberapa tahun, terkadang sirkulasi darahnya begitu memburuk sehingga wajahnya
akan kehilangan darah, walaupun biasanya hal ini hanya berlangsung selama
semenit atau dua menit dan menurut para dokter, tidaklah terlalu berbahaya.
Namun, hal itu cukup menakutkan bagi Ana, dan juga diriku. Pukulan berat baginya
pertama kali datang kurang dari setahun yang lalu ketika ia jatuh pingsan di
atas panggung dan harus dibawa ke rumah sakit. Para dokter terus meyakinkan
kami, walaupun kini mereka berkata bahwa ia harus berhenti menari flamenco.
Tahan itu menuntut stamina yang sangat tinggi, engkau tahu, stamina yang sangat
tinggi. Pada saat yang sama dan aku tidak tahu pukulan mana yang lebih berat
mereka menyarankan agar Ana tidak memiliki anak."
"Bagaimana ia menerima semua ini?"
Ia mendengus marah. "Sangat buruk. Flamenco adalah jiwa Ana. Dan ia juga menginginkan memiliki anak,
bahkan terkadang ia membeli baju bayi jika melihat yang benar -
ia memperkenalkanku pada sebuah tradisi keluarga yang tidak hanya sangat
menghiburku, tetapi juga yang kupikir dapat berguna dalam serial televisi yang
saat itu mulai aku kerjakan. Ngomong-ngomong, serial itu tidak pernah membuahkan
hasil." "Mengapa tidak?"
"Aku sendiri menjadi seorang gipsi Andalusia. Seorang aficionado, seorang
pencinta sejati dan yang diterima ke dalam misteri kebudayaan flamenco. Aku
merasa telah diadopsi sebagai menantu oleh keluarga yang berpikiran sangat
tradisional, dan aku tidak dapat memproduksi serial televisi mengenai keluargaku
sendiri. Aku mulai tahu terlalu banyak, karena seperti yang telah aku
isyaratkan, dalam tradisi keluarga ini ada juga sisi-sisi rahasianya. Jika ada
sesuatu yang dipelihara para gipsi Andalusia, yang mereka jaga selama lebih dari
lima ratus tahun, itu adalah rahasia mereka. Selama waktu yang lama, mereka
harus bersembunyi dari Inkuisisi. Nah, keluarga Ana memiliki satu kisah istimewa
yang telah diceritakan secara turun temurun selama beberapa generasi, sebuah
kisah luar biasa yang bersumber dari El Planeta dan juga berhubungan dengan
kematian kakek buyut Ana setelah sebuah perkelahian pada 1894. Pertanyaannya
adalah apakah kisah gipsi ini sebutlah ini sebuah legenda jika kau mau dapat
menjelaskan apa yang terjadi pada Ana. Yang jelas, cerita ini terus membayang-
bayanginya selama ia hidup."
"Ini benar-benar menarik."
Ia berhenti di sebuah jalan setapak berbatu -
batu dan menatap mataku lurus-lurus.
"Pertama-tama, sebaiknya aku menceritakan apa yang terjadi."
Kami mulai berjalan lagi.
"Dua tahun setelah aku bertemu Ana, ia didiagnosis mengidap suatu kelainan
jantung. Para dokter tidak dapat mengoperasinya dengan mudah, tidak tanpa
menimbulkan risiko yang cukup besar, tetapi kelainan ini awalnya tidak mengancam
hidupnya bahkan tanpa harus mengubah rutinitas sehari-harinya. Namun, setelah
beberapa tahun, terkadang sirkulasi darahnya begitu memburuk sehingga wajahnya
akan kehilangan darah, walaupun biasanya hal ini hanya berlangsung selama
semenit atau dua menit dan menurut para dokter, tidaklah terlalu berbahaya.
Namun, hal itu cukup menakutkan bagi Ana, dan juga diriku. Pukulan berat baginya
pertama kali datang kurang dari setahun yang lalu ketika ia jatuh pingsan di
atas panggung dan harus dibawa ke rumah sakit. Para dokter terus meyakinkan
kami, walaupun kini mereka berkata bahwa ia harus berhenti menari flamenco.
Tahan itu menuntut stamina yang sangat tinggi, engkau tahu, stamina yang sangat
tinggi. Pada saat yang sama dan aku tidak tahu pukulan mana yang lebih berat
mereka menyarankan agar Ana tidak memiliki anak."
"Bagaimana ia menerima semua ini?"
Ia mendengus marah. "Sangat buruk. Flamenco adalah jiwa Ana. Dan ia juga menginginkan memiliki anak,
bahkan terkadang ia membeli baju bayi jika melihat yang benar -
ia memperkenalkanku pada sebuah tradisi keluarga yang tidak hanya sangat
menghiburku, tetapi juga yang kupikir dapat berguna dalam serial televisi yang
saat itu mulai aku kerjakan. Ngomong-ngomong, serial itu tidak pernah membuahkan
hasil." "Mengapa tidak?"
"Aku sendiri menjadi seorang gipsi Andalusia. Seorang aficionado, seorang
pencinta sejati dan yang diterima ke dalam misteri kebudayaan flamenco. Aku
merasa telah diadopsi sebagai menantu oleh keluarga yang berpikiran sangat
tradisional, dan aku tidak dapat memproduksi serial televisi mengenai keluargaku
sendiri. Aku mulai tahu terlalu banyak, karena seperti yang telah aku
isyaratkan, dalam tradisi keluarga ini ada juga sisi-sisi rahasianya. Jika ada
sesuatu yang dipelihara para gipsi Andalusia, yang mereka jaga selama lebih dari
lima ratus tahun, itu adalah rahasia mereka. Selama waktu yang lama, mereka
harus bersembunyi dari Inkuisisi. Nah, keluarga Ana memiliki satu kisah istimewa
yang telah diceritakan secara turun temurun selama beberapa generasi, sebuah
kisah luar biasa yang bersumber dari El Planeta dan juga berhubungan dengan
kematian kakek buyut Ana setelah sebuah perkelahian pada 1894. Pertanyaannya
adalah apakah kisah gipsi ini sebutlah ini sebuah legenda jika kau mau dapat
menjelaskan apa yang terjadi pada Ana. Yang jelas, cerita ini terus membayang-
bayanginya selama ia hidup."
"Ini benar-benar menarik."
Ia berhenti di sebuah jalan setapak berbatu -
batu dan menatap mataku lurus-lurus.
"Pertama-tama, sebaiknya aku menceritakan apa yang terjadi."
Kami mulai berjalan lagi.
"Dua tahun setelah aku bertemu Ana, ia didiagnosis mengidap suatu kelainan
jantung. Para dokter tidak dapat mengoperasinya dengan mudah, tidak tanpa
menimbulkan risiko yang cukup besar, tetapi kelainan ini awalnya tidak mengancam
hidupnya bahkan tanpa harus mengubah rutinitas sehari-harinya. Namun, setelah
beberapa tahun, terkadang sirkulasi darahnya begitu memburuk sehingga wajahnya
akan kehilangan darah, walaupun biasanya hal ini hanya berlangsung selama
semenit atau dua menit dan menurut para dokter, tidaklah terlalu berbahaya.
Namun, hal itu cukup menakutkan bagi Ana, dan juga diriku. Pukulan berat baginya
pertama kali datang kurang dari setahun yang lalu ketika ia jatuh pingsan di
atas panggung dan harus dibawa ke rumah sakit. Para dokter terus meyakinkan
kami, walaupun kini mereka berkata bahwa ia harus berhenti menari flamenco.
Tahan itu menuntut stamina yang sangat tinggi, engkau tahu, stamina yang sangat
tinggi. Pada saat yang sama dan aku tidak tahu pukulan mana yang lebih berat
mereka menyarankan agar Ana tidak memiliki anak."
"Bagaimana ia menerima semua ini?"
Ia mendengus marah. "Sangat buruk. Flamenco adalah jiwa Ana. Dan ia juga menginginkan memiliki anak,
bahkan terkadang ia membeli baju bayi jika melihat yang benar-benar ia suka."
"Maka, kalian pergi ke Fiji?"
Ia membiarkan pertanyaan itu menggantung. "Kemudian, engkau dan aku bertemu di
Salamanca," ujarnya. "Ana dan aku saat itu tinggal di Madrid, tetapi kami tengah
menghabiskan beberapa hari di Salamanca untuk mengunjungi keluargaku. Musik
flamenco tiba-tiba mulai diputar di kafe di Plaza Mayor itu. Yang memainkan
adalah grup yang bekerja dengan Ana di Sevilla beberapa tahun sebelumnya. Aku
dapat melihat bagaimana musik itu mulai memikat tubuhnya. Ia mulai mengetuk-
ngetukkan tangannya ke atas meja dan menjentikkan jarinya, dan akhirnya aku
menyuruhnya untuk berhenti, aku berkata bahwa tidak seharusnya ia menyiksa diri
tanpa guna. Itulah ketika ia tiba-tiba melompat berdiri dan berkata bahwa ia
ingin pulang ke Sevilla. Aku khawatir tidak akan dapat mencegahnya menari,
tetapi akhirnya kami mengunjungi Sevilla dan tinggal dengan orangtua Ana selama
beberapa hari di Triana. Kami belum ke sana selama enam bulan, dan selama
beberapa hari kami melakukan perjalanan panjang ke Taman Maria Luisa, Plaza de
Espana, Taman Alcazar, dan kawasan lama Yahudi di Santa Cruz. Tetapi, ia tidak
mau ikut denganku ke Plaza Santa Cruz, tempat selama beberapa tahun terakhir ia
menari setiap malam. Dari sana pulalah ia dilarikan dengan ambulans, saat
terakhir kali melakukan pertunjukan. Ia tidak pernah mengatakan apa pun mengenai
hal itu, mengenai penyakit jantungnya maupun flamenco. Tetapi, setiap kali kami
mendekati lapangan itu, dengan salib tua dari besi yang menandai tempat pernah
berdirinya sebuah gereja yang kental dengan tradisi, ia akan menarikku memasuki
sebuah gang menuju arah lain."
Kami tiba di sisi lain Kebun Raya itu di mana sebuah lereng penuh tanaman
membatasi kebun itu dengan Claudio Moyano dan barisan panjang toko-toko buku
bekas. Bertahun-tahun lalu, di salah satu toko itu, engkau pernah membeli sebuah
buku tua terjemahan, Victoria, karangan Hamsun. Jose duduk di atas air mancur
marmer, dan aku mengikuti perbuatannya.
"Kami berdua sangat menyukai Taman Alcazar," ia melanjutkan. "Dan akulah yang
memperkenalkan Ana pada taman itu karena walaupun dibesarkan di Sevilla, ia
belum pernah menginjakkan kaki ke dalamnya sebelum aku membawanya ke sana. Sejak
saat itu, tempat itu menjadi tempat pelarian khusus bagi Ana di Sevilla, dan
terkadang kami berjalan-jalan di sana setidaknya dua kali seminggu. Nah, lalu
datanglah hari itu. Pada hari ketiga kunjungan kami ke Sevilla, kami tengah
melakukan tur di taman-taman itu, sebagaimana begitu sering kami lakukan
sebelumnya. Kami merasa bahwa kompleks taman yang tertutup itu bagaikan sebuah
dunia yang terpisah, dan hari itu kami berkelakar bahwa kami dapat mengunci diri
di dalam Taman Alcazar dan menghabiskan sisa hidup kami di sana. Mungkin tidak
seharusnya kami mengatakan hal itu. Tidak seharusnya kami mengatakan hal itu!"
"Dan kemudian," ujarku. "Ada apa kemudian?"
"Kami duduk di sebuah bangku di depan kafe ketika tiba-tiba Ana melihat seorang
kurcaci. Pertama-tama ia menunjuk ke arah Puerta de Marchena dan berkata ia
melihat si kurcaci mengeluarkan kepalanya dari Galeria del Grutesco. 'Ia
memotretku,' ujarnya, seolah-olah hal itu adalah sebuah penghinaan yang tak
termaafkan. Detik berikutnya, kami berdua melihat sosok kecil itu mengintip kami
dari salah satu celah di dinding panjang yang memisahkan Taman Alcazar menjadi
dua, bagian yang lama dan yang baru. Ia memotret kami lagi. 'Itu dia!' Ana
berseru. 'Itulah sang kurcaci dengan lonceng-lonceng yang bergemerencing!'"
"Tetapi, siapakah dia?" aku memotong. "Kurcaci apa?"
Ia tidak menjawab, hanya melanjutkan narasinya.
"Ana melompat berdiri dari kursinya dan berlari mengejar sang kurcaci. Saat itu,
kami melihatnya lagi di bawah Puerta de Marchena. Kurasa, aku berusaha untuk
menahannya, tetapi bahkan akhirnya aku pun ikut mengejar karena sejak
mengenalnya, aku selalu mendengar Ana menyebut-nyebut tentang seorang kurcaci.
Awalnya ia mengejar kurcaci itu dengan berputar ke kiri, melalui pintu gerbang
besi dan kolam tempat patung Merkurius berdiri, kemudian menuruni undak-undakan
menuju Taman Tahan dan terus turun menuju Taman para Wanita, melalui air mancur
Neptunus, melalui pintu gerbang besar dan mengelilingi paviliun Carlos V, ke
dalam Labirin dengan pagar tanamannya yang setinggi satu meter, dan keluar dari
dalamnya lagi, naik ke sepanjang Galeria del Grutesco, menuju sebelah kanan
melalui Puerta del Privilegio, dan akhirnya turun ke Taman para Penyair. Baik
Ana maupun si kurcaci berlari lebih cepat dariku, ditambah lagi aku tertahan
oleh protes para pengunjung yang berpikir bahwa Ana tengah menyiksa seorang
kurcaci malang, walaupun sesungguhnya yang terjadi adalah yang sebaliknya ia
mengejar kurcaci itu hanya untuk mengakhiri segala gangguannya.
Di Taman para Penyair, Ana terjatuh di atas pagar tanaman yang mengelilingi
kolam bagian bawah, sesungguhnya berjarak sangat dekat dari Plaza Santa Cruz
karena kini hanya ada sebuah dinding tinggi yang memisahkan dirinya dari tabtao
flamenco "Los Gallos", tempat sekian lama ia menjadi seorang baitaora yang
hebat. Kerumunan orang telah mengelilinginya sebelum aku berhasil tiba di sana.
Ia masih sadar, tetapi wajahnya hampir biru dan ia bersusah payah untuk
bernapas. Aku mengangkatnya ke atas air mancur marmer yang besar di antara kedua
kolam dan meletakkan dirinya di air selama beberapa menit untuk mendinginkan
tubuhnya yang demam. Aku berhasil berteriak bahwa ia mengidap penyakit jantung,
dan tidak lama kemudian, petugas-petugas ambulans datang dengan membawa tandu."
Jose terduduk untuk waktu yang lama sambil hanya menatap Kebun Raya Madrid.
Tidak ada orang di sekitar kami, tetapi kami dapat mendengar
burung-burung berkicau, dan kini begitu nyaring sehingga hampir menenggelamkan
Maya Misteri Dunia Dan Cinta Karya Jostein Gaarder di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
suara lalu lintas yang datang dari Paseo del Prado. Seolah-olah burung-burung
itu pun tengah bernyanyi tentang kawan mereka yang telah meninggal.
"Bagaimana dengan kurcaci itu?" tanyaku. "Tidak ada yang memikirkan dirinya.
Seolah-olah ia telah ditelan bumi."
"Dan Ana?" "Di rumah sakit, mereka memberinya beberapa suntikan, dan selama beberapa jam
kemudian ia sedikit membaik, tetapi ia tidak pernah turun dari tempat tidur
lagi. Para dokter berkata akan mencoba mengoperasinya bila denyut nadinya telah
kembali normal, tetapi ia tidak bertahan selama itu. Belum seminggu ia
meninggal, dan Jumat ini kami mengadakan sebuah misa perkabungan di Gereja Santa
Ana di Triana." Ia mengangkat kepala untuk menatapku. "Alangkah baiknya jika engkau dapat
meluangkan waktu untuk datang," ujarnya.
"Tentu saja aku akan datang."
"Baiklah!" "Tapi, apa yang dikatakan Ana selama ia berada di rumah sakit" Apakah selama itu
ia sadar?" "Sangat sadar. Ia menceritakan banyak hal kepadaku yang belum pernah kudengar
sebelumnya mengenai sang kurcaci dan El Planeta serta kakek buyutnya yang
meninggal setelah malam yang sial itu, ditambah dengan begitu banyak rahasia
flamenco. Hal terakhir yang ia katakan sebelum jantungnya akhirnya berhenti
berdetak adalah: 'Diperlukan waktu bermiliar-miliar tahun untuk menciptakan
seorang manusia. Dan diperlukan hanya beberapa detik untuk mati.' Itu adalah
kalimatku, sebuah ungkapan perasaanku tentang kehidupan, tetapi perasaan itu
telah memengaruhi dirinya setelah aku menjadi seorang aficionado flamenco. Kata-
kata terakhir yang diucapkan Ana ini adalah ucapan selamat tinggal dan juga
sebuah pernyataan cinta."
Aku tidak sempat bertanya apa yang ia maksud dengan hal itu karena ia bangkit
dengan terburu-buru dan mulai berjalan kembali ke dalam Kebun Raya. Aku
mengikuti di belakangnya.
Sementara aku mendengarnya bercerita mengenai Ana, mata hatiku terus-menerus
melihat kedua lukisan di Prado itu. Apakah ada hubungan antara apa yang ia
ceritakan kepadaku mengenai kurcaci yang dikejar Ana di Taman Alcazar dan
kemiripan luar biasa antara dirinya dan maja Goya"
"Ketika pertama kali engkau bertemu dengan Ana bertahun-tahun yang lalu
Tetapi, ia menyadari ke mana arah bicaraku karena ia mendahuluiku.
"Tidak, aku tidak berpikir mengenai Goya. Kurasa, reaksiku sama denganmu. Aku
merasa yakin pernah bertemu Ana sebelumnya, tetapi perasaan itu mungkin hanyalah
sebuah perwujudan dari cintaku yang penuh gairah terhadapnya."
"Mungkin kita memiliki semacam mekanisme pertahanan yang mencegah kita
menghubungkan seseorang yang kita temui dalam kehidupan nyata
dengan seseorang yang hidup dua ratus tahun yang lalu."
Ia hanya mengangkat bahu. "Dan apa pendapatmu sekarang?" tanyaku. Wajahnya
berubah memancarkan suatu ketegasan.
"Mereka tidak hanya mirip," ia berkata. "Perlahan-lahan mereka berubah menjadi
sama persis. Sejak masih remaja, Ana harus menghadapi kekha-sannya yang ganjil
itu, yang semakin hari semakin menjadi, dan akhirnya di Sevilla ia mendapatkan
nama panggilan 'La Nina del Prado'."
"Engkau berkata 'semakin hari semakin menjadi'?"
"Semakin hari ia semakin menyerupai gitana Goya."
Aku menutup mulutku dengan tangan, dan Jose melanjutkan:
"Dan ia meninggal segera setelah ia menjadi persis sama dengan model sang
seniman. Saat itu, pekerjaan itu telah terselesaikan dan ia tidak meneruskan
hidupnya satu hari pun."
"Tetapi, bagaimana engkau dapat menjelaskan kemiripan yang begitu janggal ini?"
"Ada beberapa penjelasan yang mungkin. Atau lebih tepatnya: seseorang dapat
mengajukan berbagai penjelasan walaupun semuanya hampir sama mustahilnya."
"Aku ingin mendengar semuanya."
Ia berbelok ke kanan, ke arah Paviliun, sambil berkata:
"Nenek buyut-buyut-buyut-buyut Ana mungkin pernah dilukis wajahnya di atas
lukisan yang telanjang "Benarkah?" "Tetapi, berapa besarkah kemungkinan dirinya begitu mirip dengan salah satu
keturunannya" Atau sebaliknya tentu saja: seperti apakah kemungkinan seorang
wanita menjadi persis sama dengan nenek buyut-buyut-buyut-buyutnya" Andalah sang
ahli biologi. Apakah hal itu bahkan mungkin?"
Aku menggelengkan kepala.
"Tidak setelah tujuh generasi. Jika ayah Ana juga diturunkan dari nenek buyut-
buyut-buyut-buyut yang sama yang bukannya mustahil bisa saja dijumpai sejumlah
kemiripan dalam ciri-ciri tertentu. Tetapi sama persis" Lebih mungkin untuk
memenangi hadiah utama lotre tujuh kali berturut-turut lebih besar. Dan hal
seperti itu tidak pernah terjadi."
"Jadi, hal ini tentunya adalah sebuah kebetulan besar," ia berkomentar. "Ana dan
sang gitana Goya benar-benar identik. Kemiripan mereka adalah fakta, seperti
yang kita tahu." Sekali lagi aku menggelengkan kepala tak percaya.
"Tidak ada dua individu yang benar-benar identik. Kita sudah menyingkirkan ide
itu. Apakah engkau memiliki teori-teori lain?"
"Ya, banyak teori lain, dan aku telah memikirkan semuanya dengan saksama."
Aku tidak dapat membayangkan kemungkinan apa yang masih tersisa, tetapi kemudian
ia berkata, dengan seseorang yang hidup dua ratus tahun yang lalu."
Ia hanya mengangkat bahu. "Dan apa pendapatmu sekarang?" tanyaku. Wajahnya
berubah memancarkan suatu ketegasan.
"Mereka tidak hanya mirip," ia berkata. "Perlahan-lahan mereka berubah menjadi
sama persis. Sejak masih remaja, Ana harus menghadapi kekha-sannya yang ganjil
itu, yang semakin hari semakin menjadi, dan akhirnya di Sevilla ia mendapatkan
nama panggilan 'La Nina del Prado'."
"Engkau berkata 'semakin hari semakin menjadi'?"
"Semakin hari ia semakin menyerupai gitana Goya."
Aku menutup mulutku dengan tangan, dan Jose melanjutkan:
"Dan ia meninggal segera setelah ia menjadi persis sama dengan model sang
seniman. Saat itu, pekerjaan itu telah terselesaikan dan ia tidak meneruskan
hidupnya satu hari pun."
"Tetapi, bagaimana engkau dapat menjelaskan kemiripan yang begitu janggal ini?"
"Ada beberapa penjelasan yang mungkin. Atau lebih tepatnya: seseorang dapat
mengajukan berbagai penjelasan walaupun semuanya hampir sama mustahilnya."
"Aku ingin mendengar semuanya."
Ia berbelok ke kanan, ke arah Paviliun, sambil berkata:
"Nenek buyut-buyut-buyut-buyut Ana mungkin pernah dilukis wajahnya di atas
lukisan yang telanjang "Benarkah?" "Tetapi, berapa besarkah kemungkinan dirinya begitu mirip dengan salah satu
keturunannya" Atau sebaliknya tentu saja: seperti apakah kemungkinan seorang
wanita menjadi persis sama dengan nenek buyut-buyut-buyut-buyutnya" Andalah sang
ahli biologi. Apakah hal itu bahkan mungkin?"
Aku menggelengkan kepala.
"Tidak setelah tujuh generasi. Jika ayah Ana juga diturunkan dari nenek buyut-
buyut-buyut-buyut yang sama yang bukannya mustahil bisa saja dijumpai sejumlah
kemiripan dalam ciri-ciri tertentu. Tetapi sama persis" Lebih mungkin untuk
memenangi hadiah utama lotre tujuh kali berturut-turut lebih besar. Dan hal
seperti itu tidak pernah terjadi."
"Jadi, hal ini tentunya adalah sebuah kebetulan besar," ia berkomentar. "Ana dan
sang gitana Goya benar-benar identik. Kemiripan mereka adalah fakta, seperti
yang kita tahu." Sekali lagi aku menggelengkan kepala tak percaya.
"Tidak ada dua individu yang benar-benar identik. Kita sudah menyingkirkan ide
itu. Apakah engkau memiliki teori-teori lain?"
"Ya, banyak teori lain, dan aku telah memikirkan semuanya dengan saksama."
Aku tidak dapat membayangkan kemungkinan apa yang masih tersisa, tetapi kemudian
ia berkata, "Teori yang paling sederhana adalah bahwa Ana sendirilah yang berpose untuk
lukisan yang kau pelajari dengan begitu saksama di museum."
"Tetapi, lukisan itu berusia dua ratus tahun."
"Itu yang mereka katakan."
Ia ragu sejenak, kemudian menambahkan:
"Aku harus memaksa diri untuk mempertimbangkan setiap kemungkinan yang mungkin
maupun tidak mungkin. Jadi selalu ada kemungkinan bahwa Ana memang benar-benar
sudah setua itu ketika ia meninggal."
Aku menatap wajah yang pucat itu. Jika bukan karena kenyataan bahwa aku baru
bertemu Ana dua minggu yang lalu, tentunya aku mencurigai Jose mengalami masalah
kejiwaan serius, atau setidaknya sulit berpikir jernih.
"Ini bukan lelucon," ujarku. "Aku tidak bercanda. Walaupun aku tidak akan
membantah bahwa aku sendiri tidak yakin, lebih tidak yakin daripada yang dapat
kau bayangkan. Akulah yang duduk bersama Ana di atas bangku itu di Taman Alcazar
pada hari ia menjadi serupa persis dengan gitana Goya. Pagi itu ia bahkan
menyisir rambutnya seperti wanita dalam lukisan itu, bahkan riasannya pun sama.
Dapatkah engkau mengerti?"
"Kurasa ya." "Pengalaman mengatakan bahwa tidaklah mungkin Ana adalah model sang Maestro Tua,
tetapi secara logika hal itu bukan tidak mungkin."
"Dengan dasar pemikiran yang begitu liberal seperti ini, tentunya engkau
memiliki beberapa teori lain?" Ia menyentuh dahinya dan berdehem beberapa kali sebelum menjawab.
"Jika gitana milik Goya dilukis pada akhir abad ke-18, mungkin saja, entah
bagaimana, Ana dibentuk sesuai sosok sang model," ia berkata.
"'Dibentuk1 bagaimana?"
"Aku hanya mencoba menata pikiranku. Engkau tentunya tahu cerita mengenai
Pygmalion?" "Metamorfosis karya Ovid," jawabku. "Pygmalion jatuh cinta kepada patung wanita
cantik yang ia ciptakan sendiri. Kemudian, Aphrodite mengasihani-nya dan
menghidupkan patung tersebut. Ada teori lain?"
Ia berhenti sejenak dan merenung sambil menatapku.
"Penampilan mereka begitu mirip sehingga mereka dapat disangka kembar identik."
"Tentu saja," ujarku, walaupun aku tidak terlalu mengerti apa yang ia tuju.
"Apakah engkau berpendapat," ia menambahkan, "bahwa benar-benar tidak mungkin
seorang lelaki yang terlahir dua ratus tahun dari sekarang, persis sama
denganku, bahkan hingga sidik jari dan segala macamnya?"
"Tidak," aku berkata. "Itu tidak mungkin. Beri aku beberapa sel hidup dan sebuah
lemari pembeku yang baik, dan kita dapat membuat klon dirimu dalam dua abad
lagi. Aku harus menekankan bahwa engkau tidak akan mengalami kebahagiaan
'terlahir kembali' itu sendiri."
Aku sendiri tidak melihat pentingnya komentarku itu.
"Maka, mungkin saja sebuah sampel jaringan diambil dari model Goya, dan jaringan
ini secara ajaib diawetkan selama hampir dua abad sebelum sekitar tiga puluh
tahun yang lalu, materi genetik dari salah satu selnya dimasukkan ke dalam
sebuah sel telur tanpa gen."
Seluruh tubuhku terasa merinding, hampir sama seperti ketika Ana dan Jose
berjalan di antara pepohonan palem dan berbicara mengenai penciptaan manusia dan
betapa Adam tidak keheranan.
"Aku tahu maksudmu," ujarku. "Dan tentu saja, itu merupakan sebuah kemungkinan.
Tetapi, banyak yang telah terjadi dalam bidang mikrobiologi dan perawatan
fertilitas selama tiga puluh tahun belakangan."
"Oleh karenanya, itu hampir tidak mungkin," ia menyimpulkan.
"Hampir tidak mungkin, betul. Lebih baik kita tetap pada gagasan mengenai
kebetulan sepenuhnya, walaupun itu cukup menyebalkan. Hal itu mengindikasikan
sesuatu yang biasanya kutolak: bahwa alam menemukan beberapa rute paralel untuk
menuju tujuan yang persis sama. Tetapi, alam tidak bekerja seperti itu. Alam
tidak mengambil lompatan tiba-tiba dan tidak bertujuan."
"Kita pernah membicarakan hal ini sebelumnya."
"Apa itu?" "Sejauh mana alam memiliki tujuan; sesuatu yang harus dicapai oleh alam, sesuatu
yang ingin ditunjukkan atau dimunculkannya. Kita juga membicarakan apakah sesuatu yang
terjadi saat ini dengan suatu cara dapat dilihat sebagai penyebab dari sebuah
kejadian jauh di masa lalu."
Semua itu terjadi dalam "konferensi tropis" yang diprakarsai John Spooke. Banyak
yang telah terjadi setelah itu, dan kini aku teringat akan sesuatu yang lain.
"Mungkin kita semua salah menganggap Goya menggunakan seorang model hidup untuk
wajah dalam lukisannya. Ia hanya perlu menggambar sebuah wajah di atas tubuh
yang telanjang untuk menutupi identitas sang model hanya untuk kamuflase."
Jose tersenyum mantap, karena tentu saja ia pun telah mempertimbangkan hal itu.
"Jadi?" "Jadi, mungkin saja sebuah kebetulan bahwa beberapa abad kemudian, muncul
seorang wanita yang persis sama dengan khayalan sang seniman."
Ia menggelengkan kepala dengan putus asa.
"Sama saja kita kembali kepada Pygmalion. Suatu hari, Tuhan menghidupkan
khayalan Goya." "Aku sudah menyatakan dengan tegas bahwa itu tentunya adalah sebuah kebetulan.
Walaupun dapat dipastikan ini adalah sebuah kebetulan yang sangat luar biasa."
"Maka, 'kebetulan' adalah sebuah kemungkinan. Tetapi, bagaimana jika Goya mampu
melihat rencana Tuhan" Maksudku, mungkinkah seorang seniman visioner seperti dia
juga dapat sedikit meramal?"
Kami tiba di patung dada Carolus Linnaeus.
"Ada teori lain?" tanyaku. "Atau hanya itu?"
Ia mengangguk sedih, seakan menyerah. "Ya, hanya itu," ia mengakui. "Aku sudah
kehabisan ide." Ia berhenti selama beberapa saat sebelum menambahkan, "Tetapi, ada sebuah
penjelasan yang sama sekali berbeda, yang diyakini baik Ana maupun keluarganya.
Itu karena mereka telah menjadi orang gipsi selama beberapa generasi. Aku baru
menjadi gipsi selama beberapa tahun."
Ia melirik sekilas ke arah jam, dan tepat saat aku mengira akan mendengarnya
menuturkan penjelasan Ana sendiri mengenai kemiripannya yang tanpa cela dengan
seorang wanita yang hidup di planet ini dua ratus tahun yang lalu, Jose berkata,
"Sayangnya, aku harus pergi sekarang. Aku sudah seperempat jam terlambat
menghadiri sebuah janji penting."
Aku merasa dicurangi, dan tentunya ia dapat membaca perasaanku, karena sambil
berbalik ia meletakkan tangannya di bahuku dan berkata, "Ada banyak yang perlu
kuurus sekarang. Sebagian tugasku begitu berat, tetapi sebagian cukup
menyenangkan. Menjelajahi Prado untuk mencarimu adalah salah satu tugasku yang
menyenangkan. Tetapi, aku harus memikirkan hal-hal lain."
Setelah mengatakan itu, ia pun bergegas menuju pintu keluar.
Begitu banyak yang masih belum terjawab. Aku tidak mengetahui siapakah kurcaci
di Sevilla itu. Aku tidak mendengar pendapat Ana sendiri mengenai lukisan aneh yang mirip
dengan dirinya. Aku belum mendengar banyak mengenai El Planeta maupun mengenai
kakek buyut Ana. Aku juga memerlukan penjelasan mengenai segala ungkapan aneh
yang terus dikutip oleh Ana dan Jose di Taveuni. Kami belum mengatur janji untuk
bertemu lagi. Atau apakah ia telah mengetahui bahwa aku menginap di the Palace"
Apakah aku telah menyebutkan hal itu"
Satu-satunya yang dapat kuandalkan adalah misa berkabung di Sevilla, Jumat
mendatang, di Gereja Santa Ana. Sekali lagi, kemiripan nama yang muncul hampir
terasa mengesalkan. Tiba-tiba, aku merasa begitu sedih. Aku mendapat ide bahwa mungkin aku dapat
memintamu menemaniku ke Sevilla akhir minggu ini. Kurasa, engkau berutang
kepadaku, setelah tawamu yang begitu menggelegar ketika aku mengenali Ana dan
Jose di tepi Sungai Tormes. Setidaknya, engkau dapat membantuku dengan
mendampingiku dalam sebuah misa berkabung yang sepertinya penting untuk
kuhadiri. Betapa engkau tertawa, Vera. Tetapi, peralihan dari tawa menjadi tangis sungguh
merupakan sebuah perjalanan yang pendek, karena kebahagiaan sama rapuhnya dengan
gelas. Tidak ada yang lebih memahami hal itu daripada kita berdua.
Aku menatap Linnaeus. Mungkin ialah yang memberi nama bunga aster Bellis
perennis. Setidaknya ia mencoba untuk mengerti lebih banyak mengenai dunia yang
luar biasa ini, yang di atasnya
kita semua hanya "numpang lewat".
Dalam perjalanan kembali ke hotel, aku kembali ke Prado dan koleksi Goya. Sekali
lagi aku mempelajari bagaimana rupa Ana Maria Maya pada hari ia mengejar seorang
kurcaci di Taman Alcazar. "La Nina del Prado" tidak berubah banyak dalam
Maya Misteri Dunia Dan Cinta Karya Jostein Gaarder di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
beberapa bulan sejak aku bertemu dengannya di Taveuni. Aku hanya melihatnya
sekilas di Salamanca saat ia berlari keluar dari kafe. Tetapi, kurcaci itu,
kurcaci itu memfoto Ana dari Galeria del Grutesco.
Apa yang ia inginkan dengan foto itu"
Aku membeli sedikit makanan di sebuah bar dan berjalan-jalan berkeliling sebelum
akhirnya kembali ke hotelku. Ketika akhirnya tiba di kamarku, aku berjalan ke
jendela, menatap Neptuno di bawah, lalu ke arah Ritz dan gedung Prado di sisi
seberang Paseo del Prado. Dua lukisan mengenai Ana Maria Maya tergantung di
dalamnya. Pada saat itulah aku memutuskan untuk melakukan segala yang kumampu untuk
membuatmu ikut ke Sevilla. Untuk dapat meyakinkan hal itu, pertama-tama aku
harus menyampaikan seluruh cerita panjang yang telah kususun selama lebih dari
empat puluh delapan jam ini, dengan mengetiknya di lap-topku di hotel ini.
Aku duduk di mejaku, menyalakan komputerku, mencatat bahwa hari itu adalah
Selasa S Mei 1998, dan memulai mengerjakan tulisan ini paragraf demi paragraf.
Yang pertama kali kulakukan adalah memberikan gambaran kasar mengenai apa yang
telah kulihat dan alami di Oseania sejak November hingga Januari; aku menuliskan
mengenai penerbangan dari Nadi ke Matei, aku memberikan gambaran singkat
mengenai Taveuni dan Maravu Plantation Resort, dan aku menjelaskan pertemuan
pertamaku dengan Ana dan Jose. Aku memulai suratku sehari sebelum aku bertemu
Jose di Taman Retiro, sebelum aku mendengar apa yang terjadi pada El Planeta di
Marseilles pada musim panas 1842, dan sebelum aku menemukan apa yang terjadi di
tepi dermaga di Cadiz pada suatu hari pada musim dingin 1790.
Hari ini adalah Kamis, 7 Mei, pukul 4 sore, dan tidak lama lagi aku akan berada
dalam kereta menuju Sevilla. Aku memiliki seikat foto di hadapanku, dan yang
paling menakjubkan dari foto-foto ini bukanlah subjeknya, melainkan apa yang
telah ditulis oleh Ana di belakang tiap foto. Aku juga menyimpan sebuah cerita
tentang alasan mengapa Ana begitu mirip dengan sebuah lukisan yang berusia dua
ratus tahun. Dua hari telah berlalu sejak aku kembali ke kamar hotelku setelah berjalan-jalan
dengan Jose di Kebun Raya. Dalam selama selang waktu itu, menjadi semakin
penting bagiku untuk mengirim surat panjang ini kepadamu. Aku tidak dapat
mengambil risiko tidak dapat menemukanmu sekarang, karena engkau harus, pokoknya
engkau harus ikut denganku ke Sevilla besok. Semoga saat membaca suratku ini,
engkau telah memutuskan untuk pergi. Aku memutuskan untuk meneleponmu saat ini
juga, maka surat yang panjang ini juga mencatat upayaku untuk mengontakmu, sebelum aku
mengirimkan semua yang telah kutulis melalui e-mait. Engkau harus memilih
kalimatmu dengan hati-hati. Dalam beberapa jam lagi, kata-katamu itu akan muncul
lagi di layar komputermu.
Aku duduk di mejaku, mengangkat telepon dan memutar nomormu di Barcelona ....
Tentu saja aku tidak dapat mengingat setiap kata yang terlontar di antara kita.
Namun, demikianlah ingatanku mengenai pembicaraan kita itu.
"Ya, ini Vera."
"Ini aku." "Frank?" "Ana telah meninggal." "Aku tahu." "Apa katamu?"
"Aku tahu Ana telah meninggal." "Tetapi, kamu kan tidak kenal Ana?" "Tidak,
tepat sekali! Aku tidak pernah mengenalnya."
"Tetapi, engkau tahu ia telah meninggal?"
"Apa-apaan semua ini, Frank?"
"Bagaimana engkau tahu ia meninggal?"
"Aku tidak mengerti. Aku tidak tahu mengapa engkau mengarang semua ini."
"Aku tidak ... maksudku, aku tidak tahu apa yang kau maksud dengan 'semua ini'."
"Sudahlah!" "Aku sendirian dalam sebuah kamar hotel, aku berada di sini sudah hampir dua
minggu. Aku hanya ingin seseorang untuk diajak bicara. Aku harus memberi tahu seseorang bahwa Ana
telah meninggal." "Tidakkah kau memberinya nomor teleponku?" "Ia siapa?"
"Ia menyebut dirinya Jose." "Apa?"
"Seorang lelaki baru saja menelepon dan mengatakan ia telah bertemu denganmu di
Taman Re-tiro. Dan bahwa ia telah memberimu sebuah hadiah untuk kita bagi
bersama." "Ia berkata begitu?"
"Dan kemudian, ia mengatakan bahwa Ana telah meninggal."
"Ia berkata begitu kepadamu?" "Tidakkah kau tahu ia menelepon?" "Tidak!"
"Kalau begitu, bagaimana dengan 'hadiah' ini?" "Memang ia pernah menyinggung hal
itu. Bahwa benda itu untuk kita berdua."
"Dengar, aku akan menutup telepon "Halo?"
"Aku akan menutup telepon jika engkau tidak memberitahuku apa yang ia maksud
dengan 'hadiah' ini."
"Aku tidak mengerti mengapa engkau begitu agresif."
"Aku tidak agresif."
"Mudah terpancing, kalau begitu." "Aku juga tidak mudah terpancing. Aku hanya
bertanya 'hadiah' apa itu."
"Hadiahnya berupa beberapa foto. Lalu ada semacam manifesto." "Semacam apa?"
"Manifesto." "Baiklah. Ya, kau saja yang simpan, Frank." "Aku benar-benar tidak tahu bahwa ia
meneleponmu." "Setidaknya engkau pasti tahu bahwa engkau memberinya nomor teleponku."
"Aku tidak memberinya apa pun."
"Apakah engkau memberi tahu namaku?"
"Itu mungkin saja."
"Sebuah 'manifesto'?"
"Bukan itu sebabnya aku menelepon." "Jadi, mengapa engkau menelepon" Aku punya
pekerjaan lain." "Ingatkah engkau bagaimana engkau tertawa pada waktu itu" ... Engkau tidak
mengatakan apa-apa."
"Malam itu memang indah, Frank. Dengarlah, maafkan aku karena sedikit kesal.
Maksudku, barusan tadi. Aku otomatis berpikir bahwa engkaulah yang menyuruhnya
menelepon. Mengenai hadiah untuk kita berdua. Engkau mengerti, kan" Kemudian,
setengah jam setelahnya, engkau menelepon."
"Aku sama sekali tidak tahu ia meneleponmu."
"Aku ingat aku tertawa saat itu. Tentu saja kupikir engkau mengarang segala hal
itu. Dua-duanya begitu tipikal dirimu."
"Keduanya?" "Mengarang cerita kemudian menyuruh seorang kenalan untuk meneleponku mengenai
sebuah hadiah." "Kita kan sudah selesai membahasnya tadi. Jika tidak, aku yang akan menutup
telepon "Halo?"
"Aku sudah duduk di sini siang malam menulis surat untukmu."
"Mengenai kita?" "Mengenai Ana dan Jose." "Kirimkan saja kepadaku. Tentu saja
akan kubaca." "Tetapi tidak banyak waktu, kau tahu. Apakah engkau akan menyalakan internet
malam ini" Aku memerlukan waktu beberapa jam lagi." "Tentu saja."
"Dalam surat yang panjang ini, aku akan memohon bantuanmu. Bahkan jika itu
adalah hal terakhir yang akan pernah kau lakukan untukku." "Apakah yang begitu
penting itu?" "Jika kuberi tahu sekarang, engkau pasti menolak."
"Katakan saja apa itu."
"Aku ingin memintamu ikut denganku ke misa perkabungan Ana besok malam. Di
Sevilla." "Engkau sudah menanyakannya kepadaku." "Sudah?"
"Orang yang meneleponku yang menanyakannya. Aku merasa keduanya pada dasarnya
sama saja." "Ia memintamu datang ke Sevilla?"
"Engkau mengatakan bahwa kau tidak tahu
apa pun mengenai hal ini?"
"Tidak! Maksudku, ya. Aku tidak tahu apa-apa. Tentunya ia menelepon Penerangan."
"Aku berkata bahwa Jumat ini aku tidak bisa pergi. Aku tidak mengenal wanita
itu, Frank." "Engkau mengenalku."
"Ya, tetapi untungnya bukan engkau yang meninggal."
"Aku ingat banyak orang yang menghadiri pemakaman Sonja belum pernah bertemu
dengannya." "Itu berbeda."
"Tidak jika aku mengatakan kepadamu bahwa Ana adalah teman dekatku."
"Aku menyadari hal itu. Tetapi, kita tidak lagi tinggal bersama."
"Apakah engkau akan hadir pada pemakaman ibuku?"
"Sekarang kupikir kelakuanmu mengerikan."
"Kita tidak perlu berdebat mengenai siapa di antara kita yang kelakuannya paling
mengerikan." "Aku tidak berdebat. Aku sudah lelah melakukannya. Kita telah mengucapkan
selamat berpisah, Frank. Kapankah engkau menyadari hal itu?"
"Apakah engkau menjalin hubungan dengan lelaki lain?"
"Menurutku, engkau tidak berhak menanyakan
itu." "Sekarang engkau membuat harga dirimu turun. Aku hanya bertanya apakah engkau
memiliki seorang kekasih."
"Tidak." "Apa?" "Aku tidak akan menikah lagi."
"Bagaimana engkau bisa begitu yakin?"
"Tetapi, aku punya banyak sekali teman baik. Dan kuharap engkau pun begitu."
"Tidak terlalu banyak di sini di Spanyol. Itulah mengapa akan sangat berarti
bagiku jika engkau datang ke Sevilla. Tentu saja aku yang akan membayar segala
pengeluaran." "Aku tidak tahu, Frank. Aku benar-benar tidak tahu."
"Baiklah, kita biarkan saja pertanyaan ini menggantung untuk saat ini. Tetapi,
berjanjilah engkau akan membaca apa yang akan kukirim malam ini."
"Aku sudah bilang akan membacanya. Aku akan meluangkan waktu untuk
melakukannya." "Baiklah. Kita lihat nanti apakah engkau akan berubah pikiran."
"Apakah yang tengah kau tulis ini" Yang waktu itu engkau ceritakan kepadaku di
atas jembatan?" "Sebagian di antaranya, tetapi pada saat itu aku masih belum tahu apa-apa."
"Engkau membuatku penasaran. Tidak dapatkah kau memberiku versi pendeknya?"
"Tidak, itu tidak mungkin. Aku ingin agar engkau mendapatkan keseluruhannya
sekaligus, semua atau tidak sama sekali."
"Kalau begitu, aku akan menunggu hingga malam ini."
"Engkau bisa mendapatkan sebuah teka-teki.
Agar ada sesuatu yang dapat kau pikirkan." "Teka-teki?"
"Bagaimana seseorang yang hidup pada masa sekarang bisa persis sama dengan
seseorang yang pernah hidup dua ratus tahun yang lalu?"
"Aku tidak tahu. Lagi pula, tidak ada yang benar-benar tahu bagaimana rupa
orang-orang yang hidup dua ratus tahun yang lalu."
"Ada banyak lukisan."
"Tetapi, tidak ada dua orang yang persis sama, Frank. Kupikir, engkau
mempelajari genetika?"
"Kubilang itu adalah sebuah teka-teki."
"Apakah engkau habis minum-minum?"
"Jangan mulai lagi hal-hal histeris itu."
"Menurutku, alkohol tidak terlalu cocok untukmu."
"Tahukah kau, engkau mengingatkanku kepada siapa?"
"Aku bertanya apakah engkau habis minum-minum."
"Engkau mengingatkanku akan seekor tokek." "Oh, berhentilah!"
"Maksudku, seekor tokek yang sangat khusus." "Apakah sekarang kau menderita
gangguan saraf?" "Apakah engkau percaya akan kurcaci?"
"Apakah aku percaya akan kurcaci?"
"Lupakan saja. Misa perkabungan itu diadakan di Triana, di Gereja Santa Ana,
pukul tujuh malam." "Kita lihat saja nanti. Tetapi akan kubaca apa yang telah kau tulis."
"Aku tinggal di the Palace."
"Engkau gila. Aku bersyukur kita tidak lagi memiliki rekening bersama."
"Aku tidak akan menulis surat maupun meneleponmu jika aku tidak masih sayang
kepadamu." "Dan aku tidak akan membiarkan sebuah percakapan telepon yang begitu tidak masuk
akal seperti ini berlangsung begitu lama jika aku tidak punya perasaan yang
sama." "Bye, Vera." "Bye. Engkau benar-benar gila, tahukah kau. Tetapi, engkau memang selalu
begitu."[] Kurcaci dan Gambar Ajaib PADA RABU PAGI, AKU TIBA DI PRADO PADA PUKUL SEMBILAN LEWAT SEDIKIT, beberapa
menit setelah galeri itu dibuka. Aku pergi dengan harapan dapat bertemu Jose
lagi karena kami belum menentukan tempat pertemuan yang lain. Kesempatan
berikutnya adalah di Gereja Santa Ana di Sevilla, tetapi di sana tentunya akan
ada banyak orang di sekeliling kami.
Sekali lagi aku melewati "Taman Kesenangan Duniawi" dan menunggu sebentar di
sana, karena di situlah aku telah bertemu Jose sehari sebelumnya. Aku naik
menuju lantai pertama dan tidak lama kemudian berdiri di hadapan kedua maja.
Lama aku berdiri sambil menatap ke dalam mata Ana, dan hampir menyeramkan betapa
ia menatapku kembali tanpa berkedip. Aku tidak akan terkejut jika ia mengedipkan
mata ke arahku. Setelah satu jam, aku meninggalkan galeri itu dan berjalan ke arah Calle de
Felipe IV, menyeberangi Calle Alfonso XII yang hiruk pikuk, dan memasuki Taman
Retiro. Seluruh permukaan rumput di taman itu diselimuti oleh bunga-bunga maya
berwarna kuning, putih, dan merah, oleh bunga aster,
oleh Bellis perennis. Aku menghabiskan waktu berjalan-jalan di sekeliling taman
yang luas itu sambil menonton anak-anak berseragam sekolah, pasangan-pasangan
pelajar, para pensiunan, dan segerombolan kakek dan nenek membawa balita, banyak
dari mereka membawa kantung-kantung makanan untuk tupai. Terdapat kontras yang
begitu besar antara keindahan yang sesungguhnya dari kehidupan sehari-hari dan
betapa biasa hal itu dianggap oleh mereka yang melakukannya. Aku teringat
sesuatu yang pernah dikatakan oleh Ana dan Jose di Taveuni: "Kini, para peri itu
berada dalam dongeng, tetapi mereka tidak menyadarinya. Apakah dongeng benar-
benar akan menjadi dongeng jika ia tidak bisa melihat dirinya sendiri" Apakah
kehidupan sehari-hari akan menjadi keajaiban jika ia terus-menerus berkeliling
untuk menjelaskan dirinya sendiri?"
Aku memutuskan untuk kembali ke Prado lagi, tetapi sebelumnya aku duduk di
sebuah bangku di atas El Parterre yang memiliki banyak petak bunga dan tanaman
yang dipangkas menyerupai berbagai bentuk. Tiba-tiba Jose sudah berdiri di
hadapanku. Seolah-olah seseorang telah memberitahunya tentang tempatku berjalan-
jalan setiap hari di Taman Retiro.
Ia duduk di sampingku di bangku, dan kami tetap di sana selama beberapa jam. Ia
menggenggam selembar koran dan sebuah amplop kuning besar. Ia berkata akan
mengambil kereta tengah hari untuk menuju Sevilla, dan sekali lagi aku
meyakinkannya bahwa aku akan menghadiri misa perkabungan pada Jumat itu. Aku
sama sekali tidak menyebutkan sedikit pun mengenai harapan rahasiaku bahwa
engkau mungkin juga akan datang. Tetapi, mungkin aku pernah menyebutkan namamu
di Fiji. Dan seandainya aku belum menyebutkan nama belakangmu kepadanya, jelas
aku pernah menyebutkannya di hadapan si orang Inggris, yang masih tinggal di
Maravu setelah aku pergi.
Jose duduk di sana selama beberapa menit tanpa berkata-kata. Tidak hanya
wajahnya pucat pasi, tetapi seluruh keberadaannya tiba-tiba hampir menyerupai
hantu. Aku ingat saat itu aku terbayang akan Orpheus yang kembali dari neraka
tanpa Eurydice. Akhirnya, aku memecahkan keheningan.
"Sekarang-sekarang ini tentunya merupakan masa yang sangat sulit bagimu,"
ujarku. Ia mencengkeram apa yang ada di tangannya kuat-kuat.
"Aku telah memikirkan lebih jauh mengenai kemiripan luar biasa antara Ana dan
wanita dalam lukisan Goya," aku melanjutkan. "Aku masih berusaha menerima
pendapat bahwa hal itu merupakan satu kebetulan yang luar biasa."
Ia cepat-cepat mengangguk. Seolah-olah ia berusaha menyusun jalan pikirannya
untuk memberikan penjelasan.
"Tetapi, bukankah engkau mengatakan bahwa Ana dan keluarganya memiliki
penjelasan yang sangat berbeda?"
Sekali lagi ia mengangguk.
"Penjelasan mereka berhubungan dengan sebuah cerita lama, menurutku sih tidak
lebih dari sekadar kepercayaan lama. Semua bermula dengan sesuatu yang terjadi
Maya Misteri Dunia Dan Cinta Karya Jostein Gaarder di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pada El Planeta di Prancis."
"Lanjutkanlah," ujarku. "Kumohon lanjutkanlah!" "Pada musim semi 1842, ia
dikabarkan berangkat untuk menjalani perjalanan suci dari Cadiz menuju Les
Saintes Maries de la Mer di lie de la Carmargue di antara kedua muara Sungai
Rhone. Pada 26 Mei tahun itu, dilaporkan bahwa ia telah tiba di Marseilles. Di
sana ia bekerja sebagai kuli dermaga selama beberapa saat, mengumpulkan uang
untuk perjalanan pulangnya. Beberapa minggu kemudian, ia mengalami sesuatu yang
sejak saat itu dituturkan dari generasi ke generasi, terus hingga saat ini. Ini
adalah sebuah cerita yang diceritakan kepadaku ketika aku pertama kali
berkenalan dengan Ana dan keluarganya. Dan sebaiknya aku menjelaskan dari awal
bahwa kisah yang akan kuceritakan ini memiliki banyak versi yang berbeda, bahkan
di dalam keluarga Maya sendiri. Di sini yang kita hadapi adalah sebuah tradisi
verbal, dapat dibilang sebuah lingkaran mitos tersendiri. Aku belum pernah dapat
menemukan dokumentasi tertulis mengenai tradisi Andalusia ini, bahkan tidak
ditemukan materi-materi dari masa yang lebih belakangan. Tetapi, kabarnya ada
sebuah tradisi Swiss yang sama sekali tidak berhubungan yang konon sama tuanya
dengan tradisi Andalusia ini. Akan kucoba untuk menceritakannya secara singkat.
Oleh karenanya, aku hanya akan menyebutkan fakta-fakta dasarnya."
"Silakan lanjutkan!"
"Pada suatu sore di awal Juni 1842, El Planeta tengah menunggu di tepi dermaga
di Marseilles agar dapat naik ke kapal layar yang berlabuh untuk menurunkan
muatannya. Kapal layar tersebut, yang ngomong-ngomong merupakan sebuah kapal
Norwegia, tampak jelas telah mengalami cuaca buruk. Bahkan, sebelum mereka
selesai memperbaiki jembatan kapal, seorang kerdil memanjat menuruni rantai
kapal dan melompat ke darat. Ia berlari di antara beberapa gudang di tepi
dermaga lalu menghilang."
"Seorang kerdil?"
"Ia adalah seorang kurcaci, benar-benar berpakaian seperti seorang bufon atau
badut istana. Dikisahkan, kostum yang ia kenakan berwarna ungu dan ia memakai
sebuah topi hijau dan merah ditempeli telinga keledai. Baik topi maupun
kostumnya dipenuhi lonceng kereta kecil yang bergemerencing keras saat ia
melesat di antara gudang-gudang untuk bersembunyi. Oleh karenanya, luar biasa
bahwa ia menghilang cukup cepat. Banyak orang di dermaga itu melihatnya, dan
berbagai pertanyaan pun diajukan kepada para pelaut di atas kapal itu untuk
mengetahui identitas kurcaci itu."
"Apa yang mereka katakan?"
"Kapal itu datang dari Teluk Meksiko, dan di suatu tempat di selatan Bermuda,
mereka menyelamatkan kurcaci itu dan seorang pelaut Jerman dari dalam sebuah
perahu. Pelaut itu berkata bahwa sebelumnya mereka berlayar dalam sebuah kapal
layar Maria, yang terbalik beberapa hari sebelumnya, dan
diduga hanya merekalah yang selamat dari antara puing-puing kapal."
"Ia tidak mengatakan apa-apa lagi?"
"Pelaut Jerman tersebut tidak banyak bicara, dan sore itu, di tepi dermaga di
Marseilles, terjadi masalah komunikasi yang serius karena sang orang Jerman
tidak dapat berbahasa Prancis maupun Spanyol. Dengan segera ia pun menghilang
seperti sang kurcaci. Sebuah versi mengatakan bahwa setelah itu, ia menetap
sebagai seorang pembuat roti di sebuah desa di pegunungan Swiss."
"Apakah mereka pernah terlihat lagi?"
"Kurcaci itu, ya. El Planeta hidup susah di antara gudang-gudang di dermaga,
yang ia inginkan hanyalah pulang ke kampung halamannya di Cadiz begitu
mendapatkan uang yang cukup. Setelah muatan kapal layar tersebut selesai
diturunkan, ia pun meninggalkan tempat itu untuk pergi tidur, tetapi dengan
segera ia menyadari ada seseorang yang bersembunyi di antara tong-tong anggur
kosong, seseorang yang tengah menangis sedih. El Planeta mendekat dan di sana ia
menemukan si kurcaci yang tidak bahagia."
"Apakah yang ia katakan?"
"Ia hanya dapat berbahasa Jerman, dan bahasa itu tidak dapat dimengerti oleh
sang gipsi dari Cadiz, sama seperti bahasa Spanyol tidak dimengerti oleh orang
kecil itu. Tetapi, setidaknya sebuah versi kisah pertemuan El Planeta dengan
sang kurcaci menunjukkan bahwa kurcaci itu berusaha menyembunyikan
identitasnya." "Menyembunyikan apa?"
"Ia menyembunyikan kostum badutnya. Sepertinya sungguh penting bagi sang kurcaci
untuk menyembunyikan pakaiannya, sama seperti seorang narapidana yang melarikan
diri berusaha menyembunyikan seragam penjaranya. Ia tidak ingin dikenali, tidak
sebagai badut. Konon El Planeta meminjamkan sebuah man-tel pendek, dan setelah
itu, segala jejak kurcaci itu menghilang dari Marseilles."
"El Planeta tidak pernah melihatnya lagi?"
"Di bagian itu, tradisi terbagi dua. Sebagian mengatakan bahwa El Planeta dan
kurcaci itu hidup bersama selama beberapa hari di antara gubuk-gubuk di tepi
dermaga Marseilles. Dan pada suatu malam, si kurcaci berusaha menceritakan kisahnya dengan menggunakan bahasa isyarat dan gambar-gambar yang ia buat."
"Gambar-gambar?"
"Ia menggambar satu set kartu, satu pak kartu tipe Prancis dengan hati, wajik,
keriting, dan sekop. Kemudian-walaupun masih dalam bahasa Jerman kabarnya ia
mengutip sebuah puisi pendek untuk setiap kartu dari lima puluh dua kartu di
dalam set tersebut. El Planeta berhasil mengingat beberapa dari puisi itu
walaupun dalam bahasa yang tidak dapat ia mengerti. Dalam satu-satunya potret El
Planeta yang masih ada saat ini, yaitu sebuah ukiran pada lempengan tembaga
karya D.F. Lame-yer, banyak orang yang percaya bahwa ia meniru seorang joker,
atau seorang badut istana. Namun yang pasti, ia membawa sebuah kisah mengenai
kurcaci yang penuh teka-teki ke Sevilla, dan cerita itu masih sangat terkenal
ketika sebuah nasib yang aneh menimpa kakek buyut Ana tepat lima puluh dua tahun
kemudian, pada Juni 1894."
"Seratus empat tahun yang lalu," ujarku.
"Seratus empat tahun yang lalu, benar. Kakek buyut Ana bernama Manuel, dan sama
seperti kakek buyutnya sendiri, ia adalah seorang cantaor yang dihormati. Ia
tinggal di Triana, dan distrik itu lama-kelamaan dikenal sebagai el barrio
gitano. Manuel hidup dalam apa yang disebut sebagai zaman keemasan flamenco
dengan berkembangnya ios cafes cantantes di Sevilla. Ia pun menjadi sebuah sosok
yang diselimuti oleh mitos dalam keluarganya, dan diberi nama julukan "El
Solitario", atau Manuel el Solitario. Mungkin ia mendapatkan nama itu karena
dianggap penyendiri, orang luar atau pemikir, dan mungkin juga sebagai orang
yang sangat kesepian. Banyak lagunya bertemakan kesendirian manusia. Dikabarkan,
ia juga adalah seorang pemain kartu yang andal dan gemar bermain solitaire. Ia
adalah seorang penghibur serbabisa yang ahli meramal dengan kartu. Dan mungkin
karena kartu itulah ...."
Jose tiba-tiba terdiam seakan-akan ada sesuatu hal penting yang ia lupakan.
"Ada apa dengan kartu?" aku bertanya, untuk membujuknya melanjutkan kisahnya.
"Mungkin sebaiknya kita memulai dari sisi lain."
"Tidak masalah dari mana engkau memulai, asalkan semuanya menjadi satu pada
akhirnya," ujarku. "Pada suatu malam di musim panas 1894, Manuel el Solitario berjalan di sepanjang
tepian Guadalquivir. Tidak ada yang aneh hari itu: ia selalu berjalan-jalan
melalui daerah Sevilla itu setiap malam setelah menyanyi di cafe cantante milik
Silverio Franconetti. Ibu Silverio adalah seorang gipsi tulen, walaupun Silverio
sendiri dianggap sebagai bukan orang Romani atau orang payo oleh para gipsi di
Sevilla, dan para payo mulai menyanyikan cante gitano baru-baru saja
"Suatu malam di musim panas 1894, Manuel berjalan-jalan di tepian Guadalquivir,"
aku mengulangi. "Dan malam itu mereka berkata bahwa ia melihat sesosok aneh bergerak dalam
kegelapan di tepi sungai, di sisi sebelah Triana, di antara jembatan Puente de
Triana dan jembatan Puente San Telmo, tidak jauh dari Gereja Santa Ana. Mungkin
aku akan berkesempatan untuk menunjukkan lokasi tepatnya kepadamu akhir minggu
nanti, karena Betis masih merupakan tempat yang baik untuk berjalan-jalan pada
sore hari, dengan pemandangannya yang indah jika kita menatap ke seberang sungai
ke arah arena banteng, Torre del Oro dan La Giralda. Tetapi pokoknya, sosok
dalam kegelapan itu konon adalah seorang kurcaci."
"Ada lagi?" aku berseru.
"Kau harus ingat bahwa Manuel sangat mengenal cerita lama mengenai El Planeta
yang bertemu dengan kurcaci di Marseilles ...."
"Walaupun tentunya bukan kurcaci yang
sama." Jose duduk di sana selama beberapa saat, hanya menatap ke arah El Parterre.
Kemudian ia berkata pelan mungkin ditujukan kepada dirinya selain kepadaku
"Bukan, tentunya bukan kurcaci yang sama."
"Pada waktu itu tentunya ia sudah sangat
tua." Jose menggelengkan kepalanya.
"Ia belum tua. Tetapi, Manuel berdiri di sana sambil menatapnya, karena menurut
nenek Ana, ia mulai berpikir tentang pengalaman El Planeta ke Marseilles. Tepat
pada saat itu, sang kurcaci mengisyaratkan kepadanya untuk mendekat dengan
menggunakan telunjuk kirinya persis seperti yang dilakukan El Planeta dalam
lempengan tembaga tua itu. Manuel pun mendekati si kurcaci yang mengenakan
sebuah kostum sederhana yang biasa dikenakan oleh para payo pada saat itu. 'Anda
sedang menghirup udara segar, ya"' ujar si kurcaci, dan dimulailah sebuah
percakapan menarik antara si kurcaci dan Manuel el Solitario."
"Kurcaci yang ini dapat berbahasa Spanyol?"
"Ia bahkan berbicara dengan aksen Andalusia, tetapi dengan sikap yang jelas
menunjukkan bahwa ia tidak dilahirkan di Sevilla, Andalusia, atau di mana pun di
Semenanjung Iberia."
"Dan apakah yang mereka bicarakan?"
"Janganlah berharap terlalu banyak dalam hal ini. Ingat bahwa peristiwa ini
terjadi lebih dari seabad yang lalu, dan aku harus menekankan bahwa
aku telah mendengar banyak versi berbeda tentang percakapan yang terjadi
walaupun 'percakapan' bukanlah kata yang benar-benar tepat. Yang kumaksud adalah
cerita sang kurcaci mengenai asal-usulnya. Aku pernah mendengar kisah ini
diceritakan para sepupu dan sepupu jauh Ana, tetapi sejauh ini aku belum pernah
mendengar cerita yang persis sama dua kali."
"Kalau begitu, pilihlah salah satu! Atau ceritakan saja semuanya."
"Akan kugabungkan semuanya. Versi singkatku hanya akan menyebutkan bagian-bagian
yang ada dalam semua penuturan yang berbeda-beda itu. Toh kita tidak memiliki
banyak waktu." Sebenarnya, aku ingin mendengar sebanyak mungkin, dan sudah mulai khawatir bahwa
ia mungkin kehabisan waktu, sama seperti yang terjadi di Kebun Raya. Orang
Spanyol berkulit putih dengan rambutnya yang pirang dan matanya yang biru ini
semakin menjadi sebuah teka-teki, dan aku tidak terlalu yakin seberapa jauh
dapat memercayai dirinya. Jika ia berusaha membohongiku, aku ingin dapat
menghentikannya sebelum ia menjadikanku bahan tertawaan.
"Lanjutkanlah!" ujarku.
"Kurcaci itu menjelaskan bahwa ia adalah orang yang sama yang telah diberi
mantel oleh El Planeta lima puluh dua tahun sebelumnya, dan sejak awal
sepertinya ia tahu bahwa ia berbicara dengan cucu buyut El Planeta. Selanjutnya,
ia membuka sebuah karung dan mengeluarkan sebuah
mantel sangat tua yang kemudian ia berikan kepada Manuel, mungkin sebagai tanda
ketulusannya. Saat kurcaci itu membuka karungnya, Manuel dapat mendengar suara
lonceng-lonceng yang teredam."
"Tetapi, kurcaci itu belum tua!"
Jose menggelengkan kepalanya.
"Ia berusia kira-kira 40-an."
"Aku mulai dapat memahami mengapa cerita ini membuat Ana tertarik. Tetapi,
apakah yang dikatakan sang kurcaci?"
"Kapal layar yang membawanya ke Marseilles memang menyelamatkannya dari sebuah
perahu di tengah lautan luas di selatan Bermuda dan di dalam perahu itu juga
terdapat seorang pelaut Jerman. Tetapi, mereka bukan dipungut dari laut setelah
kapal mereka tenggelam."
"Kalau begitu, mengapa mereka duduk dalam sebuah perahu di tengah lautan?"
"Sang kurcaci itu berasal dari sebuah pulau vulkanis yang tiba-tiba tenggelam.
Si pelaut Jerman baru tiba di pulau itu selama beberapa hari setelah kapalnya
tenggelam, kapal layar Maria."
"Dan kurcaci itu?"
"Kurcaci itu tiba di pulau tersebut dengan seorang pelaut lain setelah
tenggelamnya sebuah kapal pada 1790. Di sana ia hidup selama lima puluh dua
tahun penuh sebelum berperahu pergi dari pulau itu, karena pada saat itu
retakan-retakan mulai bermunculan dan pada akhirnya pulau itu tenggelam ditelan
ombak." Pada saat itu aku tertawa penuh sarkasme.
"Oh begitu, jadi kurcaci itu datang ke sebuah pulau di Samudra Atlantik tepat
seratus empat tahun sebelum ia bertemu Manuel di Sevilla. Dan pada saat bertemu
Manuel, ia masih dalam usia puncak!"
Tetapi, Jose tidak tersenyum sedikit pun, justru sebaliknya, karena ia
melanjutkan: "Lima puluh dua tahun kemudian, pada suatu malam di bulan Juni 1946, sekali lagi
ia terlihat, kali ini di Plaza Virgen de los Reyes di luar katedral di Sevilla.
Paman buyut Ana bersumpah bahwa ia telah melihatnya di sana. Karena adanya La
Giralda dan dinding-dinding tinggi yang mengelilingi Alcazar, Plaza Virgen de
los Reyes memiliki gema yang sangat baik, dan ia mendengar denting-denting bel
bergemerencing saat badut kecil itu berlari melintasi lapangan menuju Archivo de
Indias dan Puerta de Jerez."
Ia masih bersikap sangat serius, tetapi untuk sekejap aku merasa telah
dibohongi. Mungkin Jose telah menjadi gila, atau setidaknya membual, dan
karenanya mungkin saja Ana tidak benar-benar mati.
"Sekarang mungkin engkau akan memberitahuku bahwa kurcaci yang ini adalah orang
yang sama yang dikejar Ana di Taman Alcazar?"
Ia meletakkan jari telunjuk kanannya di mulutnya dan menggelengkan kepala.
"Tetapi, Ana beranggapan begitu, ia yakin akan hal itu. Hal pertama yang ia
katakan ketika aku berhasil mengejarnya di Taman para Penyair adalah: 'Aku
mendengar lonceng-loncengnya!' Itu adalah kalimat yang ia ulang berkali-kali
sebelum ia meninggal. Kini tahun 1998, tepat lima puluh dua tahun sejak 1946."
Aku telah menghitungnya sendiri. Selalu ada cerita mengenai kurcaci ini setiap
lima puluh dua tahun. "Jadi, kita harus menunggu dan melihat apa yang akan terjadi pada 2050," aku
berucap ringan. "Tetapi tentunya engkau sendiri tidak memercayai cerita-cerita
ini?" Seolah-olah tidak mau memberiku sebuah jawaban langsung, ia hanya mengulangi,
"Ana memercayai setiap kata dalam cerita itu. Selama hidupnya ia telah
mengantisipasi apa yang akan terjadi di Sevilla tahun ini."
"Engkau berkata bahwa Manuel meninggal karena sebuah perkelahian?"
"Dua tahun setelah bertemu si kurcaci di Sevilla, ia tengah bermain kartu dengan
beberapa teman, dan Manuel terus memenangi setiap permainan. Ia suka menggembar-
gemborkan bahwa ia adalah seorang penyihir dengan kekuatan khusus yang
membuatnya mudah menang dalam permainan kartu. Ia melanjutkan dengan
menceritakan seluruh kisah si kurcaci sejak pulau itu tenggelam hingga
pertemuannya dengan El Planeta, dan mengenai pertemuannya sendiri dengan sang
kurcaci di tepi Sungai Guadalquivir."
"Apakah ia bercerita lebih banyak daripada yang telah kau ceritakan?"
"Ia juga menceritakan penciptaan sang kurcaci
"Oh?" "... dan bagian ceritanya yang itulah yang telah menimbulkan perkelahian sial di
Triana itu. Pihak kepolisian telah mengon-firmasi bahwa seorang Manuel telah
dipukuli hingga mati di Triana pada waktu itu. Maka kita berhadapan dengan
sebuah fakta sejarah, setidaknya sehubungan dengan perkelahian itu."
"Ayo lanjutkan!"
"Aku memberitahumu bahwa kurcaci itu datang ke pulau itu setelah sebuah kapal
tenggelam pada 1790. Pernyataan itu hanya sebagian benar."
Aku tertawa. "Seseorang bisa datang ke sebuah pulau pada 1790 atau tidak datang sama sekali.
Ia tidak dapat datang atau pergi sebagian saja."
"Tenanglah. Aku hanya ingin menceritakan sebuah kisah kuno. Sebuah kisah yang
diceritakan oleh si kurcaci kepada Manuel el Solitario. Setelah sebuah kapal
tenggelam pada 1790, seorang pelaut tiba di pulau tersebut sendirian. Ia pun
seorang Jerman, dan satu-satunya yang ada di dalam saku bajunya ketika ia
merangkak menuju daratan adalah satu kotak kartu. Ia benar-benar tinggal seorang
diri di pulau itu selama lima puluh dua tahun yang panjang, dan tidak ditemani
siapa pun kecuali sekotak kartunya. Kartu-kartunya itu dibuat dengan sangat
indah. Setiap kartunya berlukiskan sesosok makhluk dari kepala hingga kaki,
tetapi hampir sepertinya mereka adalah tokoh-tokoh dongeng, karena setiap
karakter itu pendek dan terlihat seperti
para peri yang biasa kau dengar dalam dongeng."
"Mungkin mereka menyerupai orang-orang dalam 'Taman Kesenangan Duniawi'," aku
Maya Misteri Dunia Dan Cinta Karya Jostein Gaarder di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengusulkan. "Apa katamu?"
Aku mengulangi pendapatku, dan ia menjawab: "Mungkin saja, walaupun orang-orang
dalam lukisan karya Bosch itu telanjang. Para peri dalam kartu itu mengenakan
kos-tum-kostum yang sangat indah dari Zaman Pencerahan di Prancis. Dan konon si
kurcaci tergambar dengan mengenakan sebuah setelan berwarna ungu dan sebuah topi
dengan telinga keledai. Pakaiannya ditempeli lonceng-lonceng kecil sehingga akan
berbunyi jika si badut itu bergerak walau sekecil apa pun."
"Aku tidak tahu apakah
"Sang pelaut dari kapal yang karam mengisi hari-hari panjangnya dengan bermain
solitaire, sama seperti yang dilakukan Napoleon dalam pengasingannya di St.
Helena. Setelah beberapa lama, ia mulai memimpikan tokoh-tokoh di dalam
kartunya; merekalah satu-satunya yang telah menemaninya dalam tahun-tahun yang
panjang itu. Begitu nyata ia memimpikan para peri dalam kartu permainan yang
menyerupai manusia itu hingga ia membayangkan bahwa ia juga dapat melihat mereka
pada siang hari. Seolah-olah mereka melayang-layang di sekelilingnya bagaikan
makhluk-makhluk halus. Dengan begitu, ia dapat melakukan percakapan-percakapan
panjang dengan mereka walaupun pada kenyataannya, tentu saja, pelaut kesepian
itu hanya berbicara kepada dirinya sendiri. Tetapi, kemudian pada suatu hari
"Ya?" "... pada suatu hari, peri-peri itu berhasil menemukan jalan keluar dari imajinasi
sang pelaut ke dalam dunia nyata, yaitu di sebuah pulau kosong di Karibia yang
ia huni setelah kapalnya karam. Mereka berhasil membuka portal antara ruang
kreatif dalam alam sadar sang pelaut dan ruang tercipta di bawah langit. Maka,
mereka pun muncul, satu demi satu, seolah-olah mereka melompat keluar dari dahi
sang pelaut, dan setelah beberapa bulan, seluruh tokoh dalam set itu pun muncul.
Yang terakhir muncul adalah sang Joker, ia adalah apa yang sering disebut
sebagai 'pemikiran ulang'. Pelaut itu pun tidak lagi sendirian, dengan segera ia
hidup di dalam sebuah desa dengan dikelilingi oleh lima puluh dua orang peri
dalam ukuran yang sesungguhnya, begitu pula sang badut kecil."
"Ia tentu berhalusinasi. Bertahun-tahun sendirian di pulau itu telah mengacaukan
otaknya. Kurasa, hal itu tidak sulit untuk dipahami."
"Ia pun menanyakan hal yang sama kepada dirinya sendiri, apakah ia
berhalusinasi. Tetapi kemudian, pada 1842, sang pelaut muda tiba di pulau
tersebut setelah Maria tenggelam. Anehnya, ia pun dapat melihat kelima puluh dua
peri tersebut di pulau itu. Walaupun begitu, ia menyadari bahwa sepertinya
mereka tidak sadar siapa diri mereka sebenarnya dan dari mana mereka berasal.
Mereka hanya ada di pulau itu, dan bagi mereka, dunia yang mereka huni itu
tidaklah luar biasa, sama seperti
anggapan kebanyakan manusia. Satu pengecualian adalah sang Joker. Ia tidak
seperti peri-peri yang lain. Ia berhasil menembus tirai ilusi dan akhirnya
mengerti siapakah dirinya dan dari mana ia berasal. Ia menyadari bahwa ia telah
memasuki dunia ini dengan sebuah cara yang luar biasa dan bahwa ia adalah bagian
dari sebuah petualangan yang tidak dapat dijelaskan. Berada di situ adalah
sebuah keajaiban besar bagi sang Joker. Atau jika menggunakan kata-katanya
sendiri, seperti yang dikisahkan oleh Manuel el Solitario: 'Tiba-tiba engkau
berada di sebuah dunia, dan engkau melihat surga dan bumi.' Karena para peri
yang lain menganggap keduanya sebagai hal biasa begitu mereka ada di sini.
Tetapi sang Joker berbeda, ia adalah orang luar yang melihat apa yang tidak
dapat dilihat oleh mereka yang lain. Atau menggunakan kata-katanya sendiri:
'Joker menyelinap dengan gelisah di antara para peri bagaikan seorang mata-mata
dalam dongeng itu. Ia telah mengambil kesimpulan, tetapi tidak dapat
melaporkannya kepada siapa pun. Hanya Jokerlah yang ia lihat. Hanya Joker yang
melihat siapa dirinya.'"
"Kemudian, engkau mengatakan bahwa pulau itu tenggelam ke dalam laut?"
Jose menatapku dengan matanya yang biru, dan aku harus menyingkirkan segala
pikiran bahwa ini hanyalah karangannya.
"Si pelaut tua dan kelima puluh dua peri ikut tenggelam bersamanya. Hanya si
pelaut muda dan Jokerlah yang berhasil keluar dari pulau itu dengan menggunakan
sebuah perahu dayung. Tetapi, ada
suatu hal lain yang harus kau ketahui agar engkau mengerti apa yang terjadi di
kemudian hari." Aku melirik jam.
"Ceritakanlah," ujarku. "Ceritakanlah kepadaku!" Tetapi, waktu berlalu hingga
akhirnya ia berkata, "Baik Joker maupun para peri itu tidak ada yang berubah
sedikit pun selama bertahun-tahun mereka tinggal dengan sang pelaut. Si pelaut
sendiri menjadi semakin tua, tetapi para peri itu tidak ada yang mendapatkan
sedikit pun kerutan maupun noda kotor pada kostum mereka yang berwarna cerah.
Itu karena mereka adalah ruhruh. Mereka bukanlah darah dan daging seperti kita
manusia biasa." "Dan perkelahian itu?"
"Manuel el Solitario selalu memenangi permainan kartu, dan ketika ditanya
mengapa, ia berkata bahwa ia mempelajari beberapa tipuan dari kurcaci yang juga
Kebakaran Burning 3 Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Tengkorak Maut 13
memberitahumu bahwa Ana dan Jose adalah peramal dan itulah mengapa mereka selalu
memenangi permainan kartu. Juga, yang paling penting, aku memberitahumu bahwa
aku yakin pernah bertemu Ana sebelumnya, aku hanya tidak ingat di mana. Tetapi,
engkau hanya tertawa dan tertawa, kelihatannya hampir seperti engkau telah
menyimpan tawamu begitu lama dan hanya menunggu alasan untuk dapat
mengeluarkannya, engkau yakin aku hanya mempermainkanmu. Pertama-tama, engkau
menyatakan bahwa aku menunjuk pasangan itu karena aku ketakutan setelah bertanya
kepadamu mengenai kemungkinan adanya seorang teman, dan tidak berani menunggu
jawabannya. Kemudian, engkau berkata bahwa aku mulai mengarang cerita-cerita
aneh hanya untuk menahanmu tetap di situ di tepi sungai. Teori ketiga adalah
bahwa aku tiba-tiba mengalihkan perhatian kepada sepasang kekasih sebagai
pembuka yang baik untuk mengingkari janji tulus kami. Tetapi, engkau juga
memiliki penjelasan keempat, yang paling kau sukai dan yang kau percayai
sepanjang malam itu. Engkau berkata bahwa aku mulai mengarang cerita-cerita
tidak masuk akal hanya untuk membuatmu tertawa. Dan tawamu akhirnya kau
menyinggung bagian itu tawamu membuatmu begitu senang, seakan-akan engkau
memancarkan kebahagiaan karena mendapatkan kembali harta karun yang kau pikir
telah hilang selamanya. Mungkin, ngomong-ngomong, engkau menyadari bahwa semua
penjelasanmu memiliki satu hal yang sama. Semua menunjukkan bahwa engkau malu.
Aku ingat mempertimbangkan untuk mengejar Ana dan Jose karena tidak lama
kemudian, mereka meninggalkan tepi sungai dan berjalan menjauh ke arah kota.
Tetapi, saat itu aku bersamamu, dan dugaanmu agak benar bahwa aku ingin
menahanmu di sana di tepi Sungai Tormes selama mungkin, di bawah langit malam
yang cerah. Malam itu adalah malam terakhir kita bersama dan aku baru akan
memulai salah satu percakapan terpenting dalam hidupku, aku bahkan hampir
mengingkari sebuah sumpah. Tetapi, ada sesuatu yang lain. Aku tidak mau
mengganggu keintiman hangat yang sekali lagi kusaksikan. Dan lagi, jika tiba-
tiba aku berlari pergi, engkau tentunya akan mengajukan setidaknya empat dugaan
motif dari tindakanku itu, dan mungkin akan kembali tertawa terbahak-bahak.
Engkau tertawa, Vera. Aku tentu sangat kebingungan dan terlihat benar-benar
konyol. Tetapi engkau tertawa!
Hanya sekali aku berhasil menghentikan rentetan tawa yang terus-menerus itu.
Ketika Ana dan Jose menghilang ke kota dan aku mengulang dengan sungguh-sungguh
bahwa aku benar-benar mengenali mereka, engkau berkata, "Mereka hanyalah
sepasang orang gipsi, Frank."
Kita mulai berjalan kembali ke hotel, dan kini ada dua topik yang tabu. Satu
adalah Ana dan Jose. Yang satu lagi adalah Frank dan Vera.
Keesokan harinya, engkau naik kereta pagi menuju Madrid dan terus ke Barcelona,
tetapi aku memberitahumu bahwa aku mungkin akan tinggal satu malam lagi di
Salamanca. Engkau masih tidak memercayaiku, dan engkau tentunya punya dugaan-
dugaan mengapa aku memilih tinggal lebih lama daripada yang kurencanakan.
Aku mengantarmu hingga ke depan pintumu malam terakhir itu. Hanya beberapa bulan
yang lalu kita berbagi tempat tidur yang sama, dan kini rasanya begitu
menyedihkan dan hampa karena kita tidak lagi tinggal dalam satu kamar yang sama.
Maka, dapat dikatakan bahwa kita kini menjadi lebih asing dibandingkan jika kita
belum pernah bertemu sebelumnya.
Keesokan harinya, aku bangun siang. Kemudian berangkat ke kota untuk mencari Ana
dan Jose. Pada awalnya aku mengambil jalan secara acak, dengan bertanya di beberapa tempat
jika saja ada yang mengenal seorang Ana dan seorang Jose, seorang penari
flamenco terkenal dan seorang wartawan TV, tetapi tentu saja hal itu tidak ada
gunanya tanpa nama keluarga mereka.
Aku tidak sarapan sehingga tidak lama kemudian, aku pun memasuki kafe yang ramai
di Plaza Mayor tempat kita makan siang bersama pada hari engkau menyatakan
pikiranmu mengenai kritik Gibbons atas seminarku. Aku memesan tortilla dan bir,
dan nasib baik tentunya tengah tersenyum lebar kepadaku karena tidak lama
kemudian aku melihat Ana bergegas masuk. Ia tidak melihatku, dan ketika aku
berpaling, kulihat Jose duduk di balik sebuah pilar di bagian belakang kafe
tersebut tengah menunggu istrinya. Mungkin ia juga belum melihatku.
Aku menajamkan telingaku dan mendengar mereka saling berbisik dengan penuh
semangat, tetapi mereka terlalu jauh bagiku untuk menangkap apa yang mereka
katakan. Aku memutuskan untuk menyelesaikan omeletku dan pergi untuk menyapa
mereka. Bagaimanapun, itu adalah sebuah kebetulan yang luar biasa bahwa kami
dapat bertemu begitu jauh dari Maravu. Tetapi, tidak lama kemudian, musik
flamenco mulai mengalun dari pengeras suara, dan aku menebak mungkin itu adalah
penghormatan kepada sang penari. Terdengar lagu-lagu bersuara berat mengenai
cinta dan pengkhianatan, hidup dan mati, dan aku menoleh ke arah belakang kafe
untuk melihat. Tubuh Ana hampir seperti bergerak mengikuti musik, dan aku
teringat bahwa kupikir mungkin ia harus menahan diri agar tidak melompat berdiri
dan menari mengikuti irama penuh gairah itu.
Kemudian, wanita itu bangkit, tetapi tidak untuk menari. Secepat ia memasuki
ruangan itu, secepat itu pula ia berlari keluar. Ia berbalik sekali kepada Jose
dan berteriak sepenuh hati: "Aku ingin pulang! Kau dengar" Aku ingin pulang ke
Sevilla!" Rasanya saat itu aku berpikir bahwa ledakan emosi bisa terjadi dalam keluarga-
keluarga terbaik sekalipun, tetapi aku tidak dapat memikirkannya terlalu lama
karena kini giliran Jose yang bergegas melintasi kafe. Aku melompat ke
hadapannya. "Jose?" aku berkata.
"Frank!" ia berseru.
Ia menatapku putus asa dan mengangkat tangannya seolah-olah untuk mengatakan
"Apa yang bisa kulakukan!" atau sesuatu seperti itu. Tetapi, ia tengah terburu-
buru, dan satu-satunya yang ia katakan sambil terus berlari adalah: "Kita harus
bicara, Frank! Pernahkah engkau pergi ke Prado?"
Hanya itu, Vera. Setelah itu, aku berjalan-jalan mengelilingi Salamanca
seharian, tetapi tidak melihat Ana dan Jose lagi.
"Kita harus bicara, Frank! Pernahkah engkau pergi ke Prado?"
Apa maksudnya" Ada apa dengan Prado" Tetapi aku tahu hal ini mengingatkanku akan
sesuatu. Tiba-tiba aku teringat akan percakapan terakhirku dengan John di Maravu
Plantation Resort. Ucapan
selamat tinggalnya pun memuat desakan agar aku melihat Prado. Tetapi tentunya
aku tidak memerlukan dorongan seperti itu, karena akulah yang pertama kali
memberi tahu sang pengarang Inggris itu bahwa aku benar-benar menyukai koleksi
Prado. Tetapi, beberapa hal dapat diartikan secara harfiah. Ketika aku meninggalkan
Maravu setelah kejadian yang tiba-tiba menimpa Ana, John telah berjanji untuk
menyampaikan salamku kepadanya dan Jose. Tentunya John menyinggung kecintaanku
akan karya-karya seni dari Spanyol Ana dan Jose tentunya suka dan senang
mendengar aku menyukai karya-karya seni dari negeri mereka. Tetapi mengapa
Prado" Mengapa tidak Thyssen atau Reina Sofia" Dan mengapa aku harus memilih
siapa yang paling kusuka, Goya atau Velazquez, El Greco atau Bosch" Aku harus
berusaha meluangkan waktu untuk melihat semuanya dengan teliti, itulah yang
dikatakan John. Keesokan hari, pagi-pagi sekali aku mengambil kereta pagi menuju Madrid. Saat
kereta mendaki dataran tinggi, aku duduk sambil menatap dinding-dinding batu
itu. Ada sesuatu di tempat ini yang membuatku teringat akan peternakan-
peternakan musim panas di pegunungan Norwegia.
Ketika melihat dinding-dinding Kota Avila yang bagaikan berasal dari negeri
dongeng, aku teringat akan Santa Teresa, dan kemudian Laura di Maravu Plantation
Resort. Garis asosiasi ini berawal dari aliran agama mistik, lalu ke mata
cokelat Laura walaupun harus kuakui bahwa mata hijau dan kelembutan
yang ia tunjukkan kepadakulah yang paling lama terkenang. Khayalan manis ini
dengan segera tergantikan oleh sebuah ingatan yang tidak pernah dapat
kusingkirkan. Dalam kunjunganku ke Salamanca sebelumnya, aku telah mengunjungi
kapel biarawati di Alba de Tormes, tempat sisa-sisa tubuh Teresa tersimpan
secara cukup mengerikan. Aku melihat salah satu lengannya di balik sebuah pintu
di sebelah kiri sakristi dan jantungnya di balik pintu sebelah kanan. Di kloster
Teresa Centre, aku juga mengamati jari telunjuk Santo John of the Cross, satu
lagi mistikus terkenal dari Spanyol. Mereka berdua memiliki pemikiran-pemikiran
dan pandangan-pandangan yang hebat, dan kini mereka telah beristirahat untuk
selamanya. "Beristirahat dalam bentuk potongan-potongan," pikirku.
Ketika tiba di Stasiun Chamartin di Madrid, aku menaiki kereta menuju Terminal
Atocha. Dari sana, aku berjalan menuju Hotel Palace dan menyewa sebuah kamar
untuk waktu yang tak terbatas. Aku merasa tidak dapat kembali ke Norwegia hingga
aku berhasil menenangkan diri. Dan, tidaklah mudah meninggalkan Spanyol karena
kutahu engkau ada di sana, di Barcelona. Di rumah, hanya ada diriku sendiri yang
kupikirkan: dengan kata lain, tidak ada yang dipikirkan.[]
Bellis Perennis AKU ADALAH SEBUAH TEKA-TEKI BAGI DIRIKU SENDIRI KARENA AKU TIDAK mengunjungi
Prado hingga hampir dua minggu berlalu. Aku merasa bahwa komentar yang kebetulan
kulontarkan mengenai betapa aku sangat menikmati berjalan-jalan dalam galeri-
galerinya yang luas setiap kali aku berada di Madrid sudah terlalu banyak
dimanfaatkan orang. Dan aku juga tidak suka didikte, apalagi digiring langsung.
Namun, aku pergi mengunjungi baik Thyssen dan Reina Sofia dalam dua minggu itu.
Telah bertahun-tahun aku tidak mengunjungi kedua tempat itu.
Aku membawa banyak bahan makalah untuk seminar yang kuberikan di Salamanca, dan
di the Palace aku melanjutkan mengerjakan laporanku yang telah menghabiskan
waktu beberapa bulan. Aku mengambil kesempatan itu untuk mencari beberapa rekan
di Universitas Complutense, menghabiskan pagi-pagiku membaca di Perpustakaan
Nasional, dan untuk pertama kalinya mengunjungi kebun binatang di Casa de Campo.
Aku mengunjungi dua bar flamenco pada malam yang berbeda, bukan dengan harapan
untuk melihat Ana menari, melainkan karena aku terus berharap akan melihat
namanya pada sebuah poster atau brosur. Cepat atau lambat aku harus berusaha
untuk bertemu dengan mereka lagi, tetapi entah mengapa aku tidak ingin mulai
untuk mencari mereka, setidaknya bukan sekarang; rasanya lebih baik hanya
berjalan-jalan berkeliling Madrid saja. Tetapi, mungkin saja aku akan bertemu
dengan seorang wartawan TV di bawah kubah Rotunda di the Palace.
Gaji satu bulan tidak bertahan lama di the Palace, dan alasanku tinggal di
tempat mewah itu bukanlah hanya karena kebiasaan lama atau bahkan bukan karena
kita berdua memiliki kenangan yang sangat istimewa tentang tempat itu, melainkan
karena itu adalah satu-satunya hotel di kota itu tempat engkau mungkin
menanyakan diriku, meskipun kemungkinan itu hanya kecil. Harus kuakui, aku
memang berharap engkau akan mencoba meneleponku di Oslo, setelah apa yang
terjadi malam terakhir itu di Salamanca. Saat itu, setidaknya, aku membuatmu
tertawa lagi. Jika engkau gagal menghubungiku di rumah, mungkin engkau akan
menelepon Institut, walaupun itu akan membuatmu sedih. Mereka akan memberitahumu
bahwa aku berada di Madrid saat ini. Setelah minggu pertama berlalu, aku
memastikan sekretaris di Institut juga mengetahui nama hotelku.
Kemudian, seketika, aku terbangun dari apa yang kini kuanggap sebagai sebuah
mati suri berkepanjangan. Tiba-tiba, pada suatu pagi, aku tersadar betapa
bodohnya diriku selama ini dan betapa buruknya aku telah membiarkan segalanya
berlalu. Aku telah didesak secara khusus untuk pergi ke Prado, tidak hanya untuk berjalan
tanpa tujuan dari satu ruangan ke ruangan lain, tetapi untuk mencari sesuatu
yang khusus. Orang Inggris itu hanya mengungkapkannya seperti sebuah isyarat,
tetapi Jose terdengar hampir seperti memohon. Tentunya Prado adalah sebuah
petunjuk, bukan hanya sebuah tanggapan dari percakapan ringanku mengenai Prado
sebagai sebuah museum yang megah di kamar tidur kami memiliki sebuah Monet, dan
di atas perapian kami telah menggantung sebuah cermin baroque ....
Peristiwa ini terjadi pada Selasa, tepat dua hari sebelum saat penulisan surat
ini. Aku melangkah dengan yakin mengelilingi Plaza Canovas del Castillo, atau
"Neptuno", sebagaimana lapangan itu dikenal oleh penduduk lokal karena adanya
air mancur dan patung Neptunus. Saat berjalan ke arah pintu masuk, aku
menengadah ke arah patung Goya yang terpigura oleh kemegahan Ritz di latar
belakangnya dan pada saat itu, tepat pada saat itu, aku merasa bahwa diriku
semakin hangat. Perjalananku kumulai dari lantai dasar, tanpa terburu-buru, sambil melihat-lihat
para pengunjungnya selain melihat-lihat berbagai hal lain. Tidak lama kemudian,
aku mulai mengamati "El Jardin de las Delicias"-atau "Taman Kesenangan Duniawi"
sebuah karya kaleidoskopis karya Hieronymus Bosch. Jika harus memilih satu
lukisan yang merangkum seluruh perasaanku akan kehidupan dan status manusia
sebagai makhluk vertebrata, aku akan memilih lukisan ini. Sebagai tambahan dari
lebih dari seratus sosok manusia yang begitu menarik, sang pelukis telah meletakkan banyak pula
vertebrata lain dalam komposisinya. Jika aku bermain kata bersambung dan diberi
kata "fantasi", dengan segera aku akan mengatakan Bosch. Jika kata yang
diberikan adalah "Bosch", aku akan berkata "Taman Kesenangan Duniawi". Jika kata
pancingannya adalah "Taman Kesenangan Duniawi", aku akan menjawab dengan "rapuh"
dan jika diizinkan menjawab dengan menggunakan sebuah kalimat utuh, atau bahkan
sebuah percakapan kecil, aku akan menyebutkan betapa luar biasa dan misterius
hidup ini, tetapi oh, betapa rapuh dan halus.
Aku berdiri di hadapan "Taman Kesenangan Duniawi" selama setidaknya setengah
jam, dan itu belum apa-apa lukisan itu pantas mendapatkan setidaknya satu
minggu. Aku mempelajari beberapa detailnya yang paling kecil, walaupun terkadang
aku harus membiarkan orang-orang lain mendekat untuk melihat. Dan kemudian tiba-
tiba, Vera, tiba-tiba aku mendengar sebuah suara yang tidak asing di belakangku.
"Diperlukan waktu bermiliar-miliar tahun untuk menciptakan seorang manusia,"
suara itu berkata. "Dan diperlukan hanya beberapa detik untuk mati."
Sambil berbalik perlahan menghadap Jose, dengan segera aku merasa bahwa kalimat
ini tidak hanya dimaksudkan sebagai sebuah komentar atas lukisan berusia lima
ratus tahun itu, tetapi sebagai sebuah pengumuman bahwa Ana telah meninggal.
Ana telah meninggal, Ana yang tidak mau mengungkapkan di mana aku telah
melihatnya sebelumnya, Ana yang tidak mau menari flamenco, Ana yang tiba-tiba
jatuh sakit di meja sarapan, dan Ana, Ana yang baru beberapa hari sebelumnya
meninggalkan kafe makan siang di Salamanca dengan berteriak ingin pulang ke
Sevilla. Bukan hanya kata-kata bijak itu yang membuatku menyadarinya. Aku menatap sebuah
wajah pucat dan letih yang tampak begitu jauh, jauh sekali dan belum mulai
mencari jalan untuk kembali. Sebuah ingatan visual tebersit dalam kepalaku:
Jose, di Salamanca, memandangku dengan panik dan berseru, "Kita harus bicara,
Frank! Pernahkah engkau pergi ke Prado?" Kini ia meneliti lukisan itu dan
menunjuk ke sebelah kiri pada sepasang kekasih yang terbungkus di dalam bola
kaca. Penuh gairah dan kemarahan, ia berbisik, "Kebahagiaan sama rapuhnya dengan
kaca." Tidak ada yang berkata-kata dalam waktu lama, tetapi aku yakin ia tahu bahwa aku
mengerti. Kami mulai berjalan perlahan melalui galeri demi galeri, dan naik
menuju lantai pertama. Pada satu saat ia berkata, "Selama ini kami tidak
terpisahkan." Aku tidak kuasa berkata-kata, tetapi aku melihat ekspresinya yang pasrah, dan
aku yakin menggeleng-gelengkan kepala karena rasa terkejut dan simpati yang
silih berganti. Tetapi, selama itu pula aku merasa semakin hangat. Kini Jose
membawaku mendekati koleksi Goya, dan tiba-tiba kami sudah berdiri di hadapan
"Maja Telanjang" dan "Maja Berbusana". Hampir saja aku jatuh pingsan. Jose
tentunya menyadari hal itu, karena tiba-tiba ia menggenggam lenganku erat-erat. Itu adalah Ana!
Itu adalah Ana, Vera! Di sinilah aku pernah melihatnya sebelumnya, dan berkali-
kali. Selama ini aku bertanya-tanya apakah melihat dirinya dalam sebuah film
atau bertemu dengannya dalam mimpi. Aku bahkan membayangkan bahwa mungkin aku
telah bertemu dengannya dalam sebuah realitas lain. Tetapi, di sinilah ia
berada. Di sini Ana berbaring di atas sebuah sofa panjang dalam studio milik
Goya, di sini ia tergantung di dinding Prado, sementara turis-turis yang ingin
tahu berkeliaran di sekitarnya.
Saat Jose menggenggam lenganku, aku terbawa kembali ke Air Terjun Bouma di
Taveuni, ketika sekilas aku melihat tubuh Ana. Di sanalah aku menyadari bahwa
aku hanya mengenali mukanya, dan kini aku mengerti mengapa. Ana jauh lebih
langsing daripada maja milik Goya, dan mungkin itulah mengapa aku tidak pernah
menghubungkan mereka, mengapa aku tersesat. Tetapi, bahkan ketika aku melihat
Ana mengenakan gaun merah, aku mendapat dua pikiran sekaligus: satu adalah
keyakinan bahwa aku pernah bertemu dengannya sebelumnya, sementara yang lain
mengatakan bahwa ada sesuatu yang tidak beres.
Kini, banyak hal menjadi jelas. John menyinggung tentang internet, dan tentunya
ia tidak mendapat banyak kesulitan dalam mencari gambar karya-karya terbesar
Goya. Kemudian, ia menyarankan agar aku mengunjungi Prado. Tetapi, mengapa ia
tidak menceritakan segalanya kepadaku
saat di Fiji" Kini aku dan Jose berdiri di hadapannya, dan kami mundur beberapa langkah. Aku
terkejut, aku kewalahan, aku ketakutan. Jika saja kedua lukisan itu tidak dibuat
dua abad yang lalu, aku pasti bersumpah Analah yang menjadi modelnya, setidaknya
sebagai wajah sang wanita.
Dan ada hal lain lagi. Ana tidak suka dikenali, dan jelas Jose sama sekali
Maya Misteri Dunia Dan Cinta Karya Jostein Gaarder di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
membenci hal itu. "Ada banyak wanita berambut gelap di Spanyol. Itu kenyataan,
Frank. Bahkan di Madrid." Jawaban itu tertanam dalam ingatanku. Sekarang, saat
berdiri di sini, aku dapat membayangkan betapa menyebalkan bagi Ana untuk terus-
menerus dikenali. Tentunya sulit dianggap sebagai wanita yang hidup di Spanyol
dua ratus tahun yang lalu.
Keadaan semakin buruk ketika John Spooke meletakkan jarinya di dahi Ana dan
mengatakan, "Dan ruh yang ini bernama Maya!" Saat itu, John tengah memikirkan
filsafat Vedanta, tentang bayang-bayang tak nyata, tentang ilusi dan tipuan,
tetapi mungkin ia juga memikirkan maja milik Goya, karena bukankah ia juga
menggambarkan Ana sebagai sebuah "karya besar?" Sebenarnya, aku berdiri di sana
di Prado sambil menyaksikan ilusi terbesar yang pernah dijalankan kepada diriku.
Sebuah pikiran mengerikan tebersit dalam kepalaku. Mengapa Ana terkena serangan
tiba-tiba itu di Maravu" Dan mengapa ia meninggal beberapa bulan kemudian"
Apakah ada hubungan antara kemiripannya dengan maja milik Goya dan fakta bahwa
ia meninggal pada usia yang sangat muda" "Ia benar-benar mirip." Jose menggelengkan
kepalanya. "Itu memang dia," ujarnya. "Tapi, itu tidak mungkin."
"Tentu saja itu tidak mungkin. Tetapi ini adalah Ana."
Kami berdiri lama sekali di belakang ruangan itu sambil berbincang-bincang
pelan. "Tahukah engkau sejarah dari lukisan-lukisan ini?" tanyanya.
"Tidak," ujarku.
Kurasa, aku masih belum pulih dari rasa terkejut. Ia melanjutkan.
"Tidak ada yang benar-benar tahu, tidak yang sebenarnya, tetapi memang hanya
sedikit yang diketahui."
Aku tidak sabar. "Dan apakah itu?"
"'La Maja Desnuda1 pertama kali disebutkan oleh Agustin Cean Bermudez dan
pemahat Pedro Gonzales de Sepulveda, yang mendeskripsikannya pada 1800, saat
lukisan itu tergantung di sebuah lemari pribadi dalam istana milik Manuel Godoy
bersama-sama dengan beberapa sketsa klasik lainnya yang menggambarkan
ketelanjangan, seperti 'Venus dan Cupid' karya Velazquez bersama sebuah Venus
abad ke-16 dari Italia. Kedua lukisan ini adalah hadiah dari Duchess of Alba
kepada Godoy." "Godoy memiliki minat khusus terhadap lukisan telanjang?"
"Dapat dikatakan begitu. Dalam lemari ini pula ia memiliki sebuah tiruan patung
Venus karya Titian. Namun, pada saat itu, lukisan mengenai wanita tanpa busana
dilarang, walaupun sketsa-sketsa yang menggambarkan makhluk-makhluk mitologi
yang dibuat lebih idealis seperti Venus sedikit lebih dapat diterima
dibandingkan 'Maja Telanjang'." "Mengapa?"
"Seperti yang dapat kau lihat, maja milik Goya sama sekali tidak tampak seperti
makhluk mitologi. Ia adalah seorang wanita hidup yang terdiri dari darah dan
daging, dan tentu saja, dilukis dari aslinya. Oleh karenanya, lukisan ini lebih
menjurus atau bobrok, dapat dikatakan daripada Venus karya Titian atau
Velazquez, contohnya. Lukisan ini dianggap sebagai pornografi."
"Oh, begitu." "Baik Carlos III maupun Carlos IV mempertimbangkan untuk menghancurkan semua
lukisan seperti itu dari koleksi seni kerajaan, walaupun Godoy tentunya telah
dianugerahi suatu hak istimewa untuk dapat menyimpan lukisan-lukisannya, tetapi
hanya di dalam apartemen pribadinya."
"Apakah ia juga memiliki 'Maja yang Berpakaian'?"
Ia mengangguk. '"La Maja Vestida' kemungkinan besar dilukis setelah 'La Maja Desnuda' karena
karya ini pertama kali disebut dalam sebuah katalog pada 1808, sebuah katalog
yang disusun oleh seorang pelukis Prancis, Frederic Quilliet, yang merupakan
agen Jose Bonaparte. Di situlah untuk pertama kalinya 'La Maja Vestida' dihubungkan dengan
'La Maja Desnuda'." Pada saat ini ia harus merendahkan suaranya untuk mencegah ceritanya terdengar
oleh orang lain. "Apakah engkau tahu apa arti maja" Goya melukis beberapa dari mereka."
"Wanita desa?" aku menebak.
"Atau seorang gadis petani muda, seorang wanita yang menarik dan berpakaian
warna-warni. Persamaannya bagi lelaki adalah majo."
"Mungkinkah Ana disebut sebagai maja?"
Ia menggelengkan kepala dengan tegas.
"Ana adalah seorang gipsi, seorang gitana. Lagi pula, sangat diragukan bahwa
'Maja' adalah judul yang diberikan oleh Goya. Ketika Ferdinand VII menyita harta
milik Godoy pada 1813, sebuah katalog mendeskripsikan subjek dari kedua lukisan
itu sebagai 'Gitanas', wanita-wanita gipsi, dan itu agak berbeda dari maja. Pada
1808 pun wanita dalam kedua lukisan itu disebut sebagai seorang gipsi. Kita
tidak boleh melupakan bahwa 1808 hanya berjarak beberapa tahun setelah karya-
karya itu dibuat, dan sang pelukis sendiri masih hidup, dan baru bertahun-tahun
kemudian ia harus melarikan diri dari Spanyol ke Prancis. Wanita itu pertama
kali dianggap sebagai seorang maja pada 1815. Sejak saat itu, judul itu terus
menempel pada kedua lukisan itu."
Jose berhenti sejenak, tetapi aku memberinya isyarat agar ia melanjutkan. Aku
tidak dapat mengerti arti penting apakah wanita dalam kedua lukisan itu adalah
seorang maja atau seorang gitana. Hal itu tidak mengubah kenyataan bahwa
sesungguhnya Goya melukis sebuah wajah dua abad penuh sebelum wajah itu
terlahir. "Pada Maret 1815," ia melanjutkan, "Goya dipanggil ke hadapan Dewan Inkuisisi
untuk mempertanggungjawabkan kedua lukisan itu. Ia ditanya apakah ia yang
melukis keduanya, alasannya melakukan hal itu, siapa yang menyuruhnya, dan apa
tujuannya. Pertanyaan-pertanyaan ini tidak pernah dijawab, dan hingga saat ini
tidak ada yang tahu pasti siapa yang memerintahkan pembuatan kedua lukisan itu."
Kerumunan di sekitar maja telah menipis, dan aku mendekat untuk sekali lagi
melihat dengan lebih jelas.
"Tidak sulit untuk melihat mengapa engkau mempelajari sejarah kedua lukisan ini
dengan begitu teliti "Seperti yang telah kusebutkan tadi, ada alasan kuat untuk memercayai bahwa
versi yang telanjang diciptakan terlebih dulu. Kedua lukisan itu tergantung di
istana Godoy, dan ia, walau bagaimanapun, tidak sepenuhnya kebal terhadap
Inkuisisi. Mungkin maja yang mengenakan pakaian dilukis untuk digantung di atas
versi yang telanjang. Ada sejumlah bukti yang menunjukkan bahwa kedua lukisan
itu diatur sebagai sebuah lelucon, dengan menunjukkan versi yang mengenakan
pakaian terlebih dulu dan kemudian, dengan menggunakan semacam
mekanisme, memperlihatkan versi yang telanjang. Menelanjangi wanita memang
sebuah kegemaran yang sangat tua."
Sekali lagi aku merasa kembali berada di Air Terjun Bouma. Dengan sengaja aku
telah mengintip melalui jari-jari yang menutup mataku. Ia melanjutkan.
"Sejak 1836 hingga 1901, kedua lukisan ini tergantung di Akademi San Fernando,
walaupun yang telanjang tidak pernah dipertontonkan. Sejak 1901, keduanya
dipindahkan ke Prado, tetapi bahkan di sini pada awalnya 'Maja Telanjang'
ditampilkan dalam sebuah ruangan terpisah dengan izin masuk yang terbatas."
Aku tidak sabar untuk mengetahui lebih banyak karena walaupun aku mendengarkan
semua yang ia katakan, aku hanya dapat memikirkan Ana.
"Apakah kita tahu siapa yang menjadi model bagi lukisan-lukisan itu?" aku
bertanya. Ia mengangkat alis. "Atau model-model," ujarnya.
Aku melihat kedua lukisan itu lagi.
"Mereka persis sama."
"Pergilah mendekat dan teliti keduanya dengan baik sebelum engkau memutuskan."
Aku melakukan apa yang ia suruh. Mungkin "Maja Berpakaian" telah dikerjakan
dengan lebih terburu-buru dan lebih tidak berhati-hati dibandingkan yang
telanjang. Sang subjek tampak lebih arogan dan terlukis lebih baik ketimbang
saudarinya yang telanjang. Jika "Maja Telanjang" telah terlebih dulu
diabadikan ke atas kanvas, mungkin Goya cepat-cepat menciptakan versi yang
mengenakan pakaian untuk menutupi yang telanjang. Tetapi, mereka adalah wanita
yang sama, dan keduanya adalah Ana, bahkan jika hanya kepalanya yang milik Ana,
hanya wajah dan rambut Ana. Lalu ada tonjolan kecil itu, tentu saja. Kini aku
dapat melihat dengan jelas betapa pertama-tama Goya telah melukis tubuh
telanjang seorang wanita, dan kemudian menambahkan wajah wanita lain pada tubuh
itu. Dengan sedikit kesabaran, semua orang dapat melihat bahwa sosok wanita itu
terdiri dari dua bagian, tubuh dan kepala, dan hal ini tampak jelas terutama
pada wanita yang telanjang.
Memang kepala Ana yang kulihat saat ini, tetapi bukan tubuh Ana. Seolah-olah
kepala Ana telah dicangkokkan ke atas tubuh telanjang itu.
Aku berjalan kembali ke Jose.
"Ia menggunakan dua orang model," ujarku. "Satu untuk tubuhnya dan satu untuk
kepala." Ia mengangguk, tetapi tanpa tersenyum. Hal ini bukanlah permainan bagi Jose.
"Model telanjang itu mungkin adalah seorang wanita terhormat," ia berkata,
"sehingga jelas Goya tidak dapat melukis wajahnya."
Maka, ia pun melukis wajah Ana, pikirku.
"Dan apakah kita mengetahui apa pun tentang wanita terhormat ini?" tanyaku.
"Ada beberapa teori. Salah satu yang populer adalah bahwa lukisan ini
diperintahkan dibuat oleh Godoy, yang merupakan favorit sang ratu, dan bahwa
sang model-model yang telanjang adalah wanita simpanannya, Pepita Tudo. Jika
memang ini yang terjadi, semakin pentinglah untuk menutupi identitasnya. Tetapi,
ada juga teori lain." "Lanjutkanlah!"
"Kita tahu bahwa Duchess of Alba memiliki hubungan dekat dengan Goya selama
beberapa waktu, dan bahwa selama 1796 hingga 1797, yaitu saat pembuatan 'Maja
Telanjang', Goya tinggal di tanah pedesaannya di Sanlucar de Barrameda di dekat
muara Guadalquivir. Sejak tahun-tahun pertama abad ke-19, terdengar desas-desus
berkepanjangan bahwa Duchess of Alba sendirilah yang menjadi model bagi 'La Maja
Desnuda'. Desas-desus ini mungkin muncul dari orang pertama, dan semakin tua
sebuah desas-desus, semakin banyak alasan untuk memercayai kebenarannya."
"Oh, begitu," aku berkata. "Oh, begitu!"
"Jika seseorang meneliti lukisan-lukisan Goya lainnya yang menggambarkan sang
Duchess, seperti potret dirinya yang terkenal dari 1797, atau lukisan sang
Duchess tengah menata rambutnya, juga dari 1796 atau 1797, dari bentuk tubuhnya
tidak ada yang akan mencegahnya menjadi model bagi 'La Maja Desnuda'."
"Apakah mereka memiliki hubungan erotis?"
"Hal itu tidak diketahui, walaupun banyak hal yang menunjukkan bahwa Goya tidak
akan berkeberatan untuk itu. Dalam sebuah surat yang ditulis pada 1795, ia
menceritakan sang Duchess yang mengunjunginya di studio untuk dirias. Dan sang
pelukis menambahkan: 'Hal ini memberiku lebih banyak kesenangan daripada
melukisnya di atas kanvas.' Dalam sebuah potret cat minyak sang Duchess di
Sanlucar, ia melukisnya mengenakan pakaian hitam dengan sebuah jubah pendek, dan
sang Duchess mengenakan dua buah cincin bertuliskan 'Alba Goya'. Dan terlebih
lagi, lukisan itu menggambarkan sang Duchess dengan tegas dan otoritatif
menunjuk ke bawah ke pasir yang di situ tertulis 'Solo Goya'. Tak disangkal
lagi, Duchess of Alba adalah seorang wanita yang cantik dan menarik, dan ia
menjadi janda saat Duke of Alba, yang jauh lebih tua darinya, meninggal di
Sevilla pada 9 Juni 1796."
"Jadi, apa yang mencegah mereka memiliki hubungan erotis?"
"Lukisan sang Duchess berada dalam kepemilikan pribadi Goya, sehingga alasannya
mungkin lebih karena fantasi dan harapan daripada kenyataan. Walaupun sang
Duchess sangatlah liberal, aku menduga ia tidak akan mengingini sebuah potret
dirinya yang begitu angkuh. Dan lagi, seberapa besar sih kemungkinan seorang
yang relatif cantik berusia tiga puluh empat akan jatuh cinta kepada seorang
pria sedikit renta berusia lima puluh tahun, yang juga tuli total?"
"Ya, memang Goya menderita suatu penyakit
ii "Walaupun demikian, tidak ada yang menutup kemungkinan bahwa sang Duchess
mungkin adalah model bagi 'La Maja Desnuda'. Kenyataan bahwa
sang pelukis telah begitu sering melukisnya menyiratkan bahwa Goya hampir
sepenuhnya bebas untuk datang dan pergi sesuka hati dalam lingkungan pribadi
sang Duchess. Tetapi, fakta sesungguhnya mengenai hubungan antara Goya dan sang
Duchess tidak akan pernah diketahui dan sudah tidak lagi relevan. Untuk
sementara, mereka adalah kawan yang sangat dekat."
Sambil mengisi waktu, aku terus-menerus menatap wajah sang wanita. Aku tidak
dapat melepaskan Ana dari benakku.
"Hingga sekarang kita hanya membicarakan siapakah orang yang sebenarnya menjadi
tubuhnya," ujarku. "Kita belum membicarakan sedikit pun tentang siapa yang
mungkin menjadi model bagi wajahnya."
Aku tida k bisa yakin apakah aku menangkap secercah kecil senyuman saat ia
berkata, "Itu adalah sebuah cerita yang jauh lebih panjang, dan juga lebih
rumit. Tetapi, lebih dari itu, juga jauh lebih sulit untuk dipahami. Mari kita
pergi." Aku mengangguk. "Apakah engkau sudah cukup melihat?"
Aku mendekati kedua lukisan itu untuk terakhir kalinya. Aku menatap wajah Ana.
Ekspresinya persis sama seperti yang begitu sering kulihat di Taveuni dengan
bibir tipisnya yang terkatup rapat dan mata hitam yang menatapku dengan curiga.
Aku menemani Jose keluar dari koleksi Goya, menuruni tangga menuju lantai dasar
dan keluar ke Plaza de Murillo. Ia berjalan dengan mantap melintasi lapangan ke
arah pintu masuk Kebun Raya. Ia mengeluarkan 200 peseta dan membeli sebuah
tiket, dan aku pun berbuat yang sama. Aku hanya mengikuti di belakangnya.
Kami mulai berjalan melalui Kebun Raya dan segera diserang oleh simfoni berbagai
aroma tanam-tanaman dan pohon-pohonan yang kini, di awal Mei, tengah mengembang
dengan sempurna. Burung-burung pun dalam puncak kesibukan mereka, hampir tidak
mungkin untuk membedakan satu nyanyian burung dari yang lainnya.
Pada awalnya, Jose berjalan beberapa langkah di depan, tetapi setelah beberapa
lama, ia membiarkanku menyusulnya.
"Ana suka sekali pada oasis ini," ia berkata tanpa menoleh untuk melihat ke
arahku. "Setiap kali kami berada di Madrid, ia berkeras untuk berjalan-jalan ke
sini bersamaku, setidaknya sekali sehari, tanpa peduli musim apa. Jika aku
menghadiri rapat, ia mungkin akan menghabiskan setengah hari di sini sendirian,
dan jika rapatku dimulai pukul sepuluh, mungkin baru berjam-jam kemudian aku
datang menjemputnya untuk makan siang. Ia akan selalu menemukan sesuatu yang
baru. Mencari dirinya di Kebun Raya ini adalah semacam permainan kami. Di
manakah aku akan dapat menemukannya hari ini" Berapa lama aku harus mencari" Dan
lebih penting lagi: berita apa yang akan ia bawa untukku" Jika ia melihatku
duluan, terkadang ia menghibur diri dengan bersembunyi dariku dan bahkan
membuntutiku sementara aku berkeliling mencari dirinya. Satu
demi satu, ia mempelajari nama pohon-pohon dan semak-semak yang ada, dan pada
akhirnya ia tahu persis di pohon yang mana setiap burung bersarang."
"Tetapi, engkau kebanyakan bermukim di Sevilla?"
Ia mengangguk, kemudian menggelengkan kepala dan berkata, "Tujuh atau delapan
tahun yang lalu, aku mulai mengerjakan sebuah serial televisi mengenai sejarah
para gipsi di Andalusia. Aku ingin mencoba memunculkan sesuatu yang baru
mengenai evolusi kebudayaan flamenco dalam kuali kuno tempat bercampurnya
tradisi Iberia, Yunani, Romawi, Kelt, Moor, Yahudi, dan tentu saja, Kristen.
Begitulah bagaimana aku bertemu Ana di Sevilla; ia adalah seorang penari
flamenco yang luar biasa dan telah menjadi seorang bailaora yang tersohor sejak
berusia enam belas tahun. Hanya dalam waktu beberapa minggu, kami sudah tak
dapat dipisahkan, dan sejak saat itu, kami tidak pernah menghabiskan satu malam
pun terpisah." Aku masih begitu tersihir oleh kemiripan yang begitu luar biasa antara Ana dan
maja milik Goya sehingga mengalami kesulitan menyerap apa yang ia ceritakan.
Tetapi, ia terus melanjutkan tanpa menatapku.
"Namanya adalah Ana Maria. Itulah yang tertera pada papan iklan, dan begitulah
ia dipanggil oleh seluruh keluarganya. Aku memanggilnya Ana hanya sebagai
panggilan sayang khususku."
"Dan ia juga memiliki nama belakang, tentunya?"
Ia mengangguk mantap, seolah-olah ia telah menunggu pertanyaan itu dilontarkan.
"Maya," ujarnya. "Apa katamu?"
"Nama lengkapnya adalah Ana Maria Maya."
Aku benar-benar tak mampu berkata-kata. Tidak hanya setiap detail dari Ana
menyerupai maja karya Goya, tetapi ia juga bernama Maya. Sekali lagi aku berada
kembali di Taveuni ketika John Spo-oke meletakkan jarinya di alis Ana,
menyatakan dengan caranya yang tiada duanya bahwa ia telah berhasil menemukan
bahwa nama Ana adalah Maya. Jose tidak dapat menerima hal itu.
"Ini tidak mungkin benar," ujarku.
Sekali lagi ia mengangguk.
"Nama itu cukup umum di antara para seniman flamenco dari Andalusia. Yang paling
terkenal, tentu saja, adalah sang baitaor Mario Maya. Tetapi putrinya, Belen
Maya Misteri Dunia Dan Cinta Karya Jostein Gaarder di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Maya, juga memiliki reputasi, begitu pula keponakannya, Juan Andres Maya.
Dinasti flamenco mereka sering disebut sebagai 'Los Maya'. Ana datang dari
keluarga Maya yang lain, atau setidaknya sebuah cabang yang lain."
"Apakah kata itu memiliki arti?"
"Maya adalah nama rempah-rempah dari famili Compositae, bunga aster atau Bellis
perennis. Aku tidak tahu pasti bagaimana bunga cantik itu mendapatkan nama maya
dalam bahasa Spanyol, tetapi mungkin itu adalah sebuah perubahan dari nama bulan
mayo. Di beberapa negara, bunga aster juga
dikenal sebagai 'mayflower1, bunga bulan Mei. Nama Latinnya itu menjelaskan
bahwa tanaman itu berbunga hampir sepanjang tahun. Terlebih lagi, dalam bahasa
Spanyol, maya juga dapat berarti gadis muda, ratu bulan Mei, atau wanita
berkostum atau bertopeng."
"Hampir sama dengan kata yang satu lagi," aku membandingkan. "Hampir sama
artinya dengan maja."
"Tepat sekali. Dan kedua kata itu memiliki asal-usul Indo-Eropa yang sama.
Engkau akan menemukan akar yang sama dari kata untuk bulan Mei atau untuk dewi
Romawi Maia, dalam semua turunan dari kata bahasa Latin magnus atau maior, sama
seperti Plaza Mayor, dalam turunan dari kata bahasa Yunani megas, dalam berbagai
kata Indo-Eropa untuk much, seperti kata maha dalam bahasa Sanskerta."
"Seperti mahatman, sang jiwa dunia?"
Ia mengangguk. "Itulah yang begitu banyak dibicarakan oleh Laura di Maravu," aku berkomentar.
"Ia membicarakan Gaia dan maya, dan di sini di Spanyol menjadi Goya dan maja.
Rasanya hampir seperti ada semacam hubungan."
"Segalanya berhubungan," ujar Jose, dan ketika ia mengatakan hal itu seolah-olah
aku dapat mendengar suara Laura lagi.
Ia masih tidak melihat ke arahku. Sambil berjalan mengelilingi salah satu air
mancur yang terbuat dari marmer, ia berkata, "Ana Maria adalah putri bungsu
dalam sebuah keluarga gipsi terhormat yang telah tinggal di distrik Triana di
Sevilla sejak awal abad ke-19; dan orangtuanya yang malang masih tinggal di
sana, begitu pula dua dari kakek dan neneknya. Salah satu cabang dari
keluarganya dikabarkan merupakan keturunan dari seorang penyanyi cante jondo
terkenal, El Planeta, pencipta dari apa yang kemudian menjadi gaya menyanyi
khusus Aliran Triana. Ia aslinya berasal dari Cadiz dan hidup mulai dari sekitar
1785 hingga 1860. Mungkin ia mendapatkan namanya karena konon ia memercayai
pengaruh bintang dan planet-planet; yang jelas, lagu-lagunya banyak sekali
menyebutkan tentang benda-benda angkasa. Namanya mungkin juga merupakan sebuah
referensi dari dirinya sebagai seorang 'pengembara' atau seorang 'bintang yang
mengembara'. Ia tiba di Sevilla pada awal abad ke-19 dan bekerja di sebuah
peleburan logam di Triana, yang merupakan tempat bekerja yang sangat umum bagi
kaum gipsi pada masa itu. Menurut keluarganya, ia adalah kakek buyut Ana,
walaupun aku tidak dapat menemukan adanya bukti selain dari tradisi keluarga itu
sendiri. Tetapi, setelah tujuh generasi, tentunya kini ia memiliki beberapa
ratus keturunan, mungkin beberapa ribu, dan mengapa tidak mungkin Ana adalah
salah satu di antaranya?" "Lalu?"
"Hanya dalam beberapa minggu, kami menjadi sangat terikat satu dengan yang lain,
sangat terikat, engkau mengerti, tidak seperti biasanya. Dan
ia memperkenalkanku pada sebuah tradisi keluarga yang tidak hanya sangat
menghiburku, tetapi juga yang kupikir dapat berguna dalam serial televisi yang
saat itu mulai aku kerjakan. Ngomong-ngomong, serial itu tidak pernah membuahkan
hasil." "Mengapa tidak?"
"Aku sendiri menjadi seorang gipsi Andalusia. Seorang aficionado, seorang
pencinta sejati dan yang diterima ke dalam misteri kebudayaan flamenco. Aku
merasa telah diadopsi sebagai menantu oleh keluarga yang berpikiran sangat
tradisional, dan aku tidak dapat memproduksi serial televisi mengenai keluargaku
sendiri. Aku mulai tahu terlalu banyak, karena seperti yang telah aku
isyaratkan, dalam tradisi keluarga ini ada juga sisi-sisi rahasianya. Jika ada
sesuatu yang dipelihara para gipsi Andalusia, yang mereka jaga selama lebih dari
lima ratus tahun, itu adalah rahasia mereka. Selama waktu yang lama, mereka
harus bersembunyi dari Inkuisisi. Nah, keluarga Ana memiliki satu kisah istimewa
yang telah diceritakan secara turun temurun selama beberapa generasi, sebuah
kisah luar biasa yang bersumber dari El Planeta dan juga berhubungan dengan
kematian kakek buyut Ana setelah sebuah perkelahian pada 1894. Pertanyaannya
adalah apakah kisah gipsi ini sebutlah ini sebuah legenda jika kau mau dapat
menjelaskan apa yang terjadi pada Ana. Yang jelas, cerita ini terus membayang-
bayanginya selama ia hidup."
"Ini benar-benar menarik."
Ia berhenti di sebuah jalan setapak berbatu -
batu dan menatap mataku lurus-lurus.
"Pertama-tama, sebaiknya aku menceritakan apa yang terjadi."
Kami mulai berjalan lagi.
"Dua tahun setelah aku bertemu Ana, ia didiagnosis mengidap suatu kelainan
jantung. Para dokter tidak dapat mengoperasinya dengan mudah, tidak tanpa
menimbulkan risiko yang cukup besar, tetapi kelainan ini awalnya tidak mengancam
hidupnya bahkan tanpa harus mengubah rutinitas sehari-harinya. Namun, setelah
beberapa tahun, terkadang sirkulasi darahnya begitu memburuk sehingga wajahnya
akan kehilangan darah, walaupun biasanya hal ini hanya berlangsung selama
semenit atau dua menit dan menurut para dokter, tidaklah terlalu berbahaya.
Namun, hal itu cukup menakutkan bagi Ana, dan juga diriku. Pukulan berat baginya
pertama kali datang kurang dari setahun yang lalu ketika ia jatuh pingsan di
atas panggung dan harus dibawa ke rumah sakit. Para dokter terus meyakinkan
kami, walaupun kini mereka berkata bahwa ia harus berhenti menari flamenco.
Tahan itu menuntut stamina yang sangat tinggi, engkau tahu, stamina yang sangat
tinggi. Pada saat yang sama dan aku tidak tahu pukulan mana yang lebih berat
mereka menyarankan agar Ana tidak memiliki anak."
"Bagaimana ia menerima semua ini?"
Ia mendengus marah. "Sangat buruk. Flamenco adalah jiwa Ana. Dan ia juga menginginkan memiliki anak,
bahkan terkadang ia membeli baju bayi jika melihat yang benar -
ia memperkenalkanku pada sebuah tradisi keluarga yang tidak hanya sangat
menghiburku, tetapi juga yang kupikir dapat berguna dalam serial televisi yang
saat itu mulai aku kerjakan. Ngomong-ngomong, serial itu tidak pernah membuahkan
hasil." "Mengapa tidak?"
"Aku sendiri menjadi seorang gipsi Andalusia. Seorang aficionado, seorang
pencinta sejati dan yang diterima ke dalam misteri kebudayaan flamenco. Aku
merasa telah diadopsi sebagai menantu oleh keluarga yang berpikiran sangat
tradisional, dan aku tidak dapat memproduksi serial televisi mengenai keluargaku
sendiri. Aku mulai tahu terlalu banyak, karena seperti yang telah aku
isyaratkan, dalam tradisi keluarga ini ada juga sisi-sisi rahasianya. Jika ada
sesuatu yang dipelihara para gipsi Andalusia, yang mereka jaga selama lebih dari
lima ratus tahun, itu adalah rahasia mereka. Selama waktu yang lama, mereka
harus bersembunyi dari Inkuisisi. Nah, keluarga Ana memiliki satu kisah istimewa
yang telah diceritakan secara turun temurun selama beberapa generasi, sebuah
kisah luar biasa yang bersumber dari El Planeta dan juga berhubungan dengan
kematian kakek buyut Ana setelah sebuah perkelahian pada 1894. Pertanyaannya
adalah apakah kisah gipsi ini sebutlah ini sebuah legenda jika kau mau dapat
menjelaskan apa yang terjadi pada Ana. Yang jelas, cerita ini terus membayang-
bayanginya selama ia hidup."
"Ini benar-benar menarik."
Ia berhenti di sebuah jalan setapak berbatu -
batu dan menatap mataku lurus-lurus.
"Pertama-tama, sebaiknya aku menceritakan apa yang terjadi."
Kami mulai berjalan lagi.
"Dua tahun setelah aku bertemu Ana, ia didiagnosis mengidap suatu kelainan
jantung. Para dokter tidak dapat mengoperasinya dengan mudah, tidak tanpa
menimbulkan risiko yang cukup besar, tetapi kelainan ini awalnya tidak mengancam
hidupnya bahkan tanpa harus mengubah rutinitas sehari-harinya. Namun, setelah
beberapa tahun, terkadang sirkulasi darahnya begitu memburuk sehingga wajahnya
akan kehilangan darah, walaupun biasanya hal ini hanya berlangsung selama
semenit atau dua menit dan menurut para dokter, tidaklah terlalu berbahaya.
Namun, hal itu cukup menakutkan bagi Ana, dan juga diriku. Pukulan berat baginya
pertama kali datang kurang dari setahun yang lalu ketika ia jatuh pingsan di
atas panggung dan harus dibawa ke rumah sakit. Para dokter terus meyakinkan
kami, walaupun kini mereka berkata bahwa ia harus berhenti menari flamenco.
Tahan itu menuntut stamina yang sangat tinggi, engkau tahu, stamina yang sangat
tinggi. Pada saat yang sama dan aku tidak tahu pukulan mana yang lebih berat
mereka menyarankan agar Ana tidak memiliki anak."
"Bagaimana ia menerima semua ini?"
Ia mendengus marah. "Sangat buruk. Flamenco adalah jiwa Ana. Dan ia juga menginginkan memiliki anak,
bahkan terkadang ia membeli baju bayi jika melihat yang benar -
ia memperkenalkanku pada sebuah tradisi keluarga yang tidak hanya sangat
menghiburku, tetapi juga yang kupikir dapat berguna dalam serial televisi yang
saat itu mulai aku kerjakan. Ngomong-ngomong, serial itu tidak pernah membuahkan
hasil." "Mengapa tidak?"
"Aku sendiri menjadi seorang gipsi Andalusia. Seorang aficionado, seorang
pencinta sejati dan yang diterima ke dalam misteri kebudayaan flamenco. Aku
merasa telah diadopsi sebagai menantu oleh keluarga yang berpikiran sangat
tradisional, dan aku tidak dapat memproduksi serial televisi mengenai keluargaku
sendiri. Aku mulai tahu terlalu banyak, karena seperti yang telah aku
isyaratkan, dalam tradisi keluarga ini ada juga sisi-sisi rahasianya. Jika ada
sesuatu yang dipelihara para gipsi Andalusia, yang mereka jaga selama lebih dari
lima ratus tahun, itu adalah rahasia mereka. Selama waktu yang lama, mereka
harus bersembunyi dari Inkuisisi. Nah, keluarga Ana memiliki satu kisah istimewa
yang telah diceritakan secara turun temurun selama beberapa generasi, sebuah
kisah luar biasa yang bersumber dari El Planeta dan juga berhubungan dengan
kematian kakek buyut Ana setelah sebuah perkelahian pada 1894. Pertanyaannya
adalah apakah kisah gipsi ini sebutlah ini sebuah legenda jika kau mau dapat
menjelaskan apa yang terjadi pada Ana. Yang jelas, cerita ini terus membayang-
bayanginya selama ia hidup."
"Ini benar-benar menarik."
Ia berhenti di sebuah jalan setapak berbatu -
batu dan menatap mataku lurus-lurus.
"Pertama-tama, sebaiknya aku menceritakan apa yang terjadi."
Kami mulai berjalan lagi.
"Dua tahun setelah aku bertemu Ana, ia didiagnosis mengidap suatu kelainan
jantung. Para dokter tidak dapat mengoperasinya dengan mudah, tidak tanpa
menimbulkan risiko yang cukup besar, tetapi kelainan ini awalnya tidak mengancam
hidupnya bahkan tanpa harus mengubah rutinitas sehari-harinya. Namun, setelah
beberapa tahun, terkadang sirkulasi darahnya begitu memburuk sehingga wajahnya
akan kehilangan darah, walaupun biasanya hal ini hanya berlangsung selama
semenit atau dua menit dan menurut para dokter, tidaklah terlalu berbahaya.
Namun, hal itu cukup menakutkan bagi Ana, dan juga diriku. Pukulan berat baginya
pertama kali datang kurang dari setahun yang lalu ketika ia jatuh pingsan di
atas panggung dan harus dibawa ke rumah sakit. Para dokter terus meyakinkan
kami, walaupun kini mereka berkata bahwa ia harus berhenti menari flamenco.
Tahan itu menuntut stamina yang sangat tinggi, engkau tahu, stamina yang sangat
tinggi. Pada saat yang sama dan aku tidak tahu pukulan mana yang lebih berat
mereka menyarankan agar Ana tidak memiliki anak."
"Bagaimana ia menerima semua ini?"
Ia mendengus marah. "Sangat buruk. Flamenco adalah jiwa Ana. Dan ia juga menginginkan memiliki anak,
bahkan terkadang ia membeli baju bayi jika melihat yang benar-benar ia suka."
"Maka, kalian pergi ke Fiji?"
Ia membiarkan pertanyaan itu menggantung. "Kemudian, engkau dan aku bertemu di
Salamanca," ujarnya. "Ana dan aku saat itu tinggal di Madrid, tetapi kami tengah
menghabiskan beberapa hari di Salamanca untuk mengunjungi keluargaku. Musik
flamenco tiba-tiba mulai diputar di kafe di Plaza Mayor itu. Yang memainkan
adalah grup yang bekerja dengan Ana di Sevilla beberapa tahun sebelumnya. Aku
dapat melihat bagaimana musik itu mulai memikat tubuhnya. Ia mulai mengetuk-
ngetukkan tangannya ke atas meja dan menjentikkan jarinya, dan akhirnya aku
menyuruhnya untuk berhenti, aku berkata bahwa tidak seharusnya ia menyiksa diri
tanpa guna. Itulah ketika ia tiba-tiba melompat berdiri dan berkata bahwa ia
ingin pulang ke Sevilla. Aku khawatir tidak akan dapat mencegahnya menari,
tetapi akhirnya kami mengunjungi Sevilla dan tinggal dengan orangtua Ana selama
beberapa hari di Triana. Kami belum ke sana selama enam bulan, dan selama
beberapa hari kami melakukan perjalanan panjang ke Taman Maria Luisa, Plaza de
Espana, Taman Alcazar, dan kawasan lama Yahudi di Santa Cruz. Tetapi, ia tidak
mau ikut denganku ke Plaza Santa Cruz, tempat selama beberapa tahun terakhir ia
menari setiap malam. Dari sana pulalah ia dilarikan dengan ambulans, saat
terakhir kali melakukan pertunjukan. Ia tidak pernah mengatakan apa pun mengenai
hal itu, mengenai penyakit jantungnya maupun flamenco. Tetapi, setiap kali kami
mendekati lapangan itu, dengan salib tua dari besi yang menandai tempat pernah
berdirinya sebuah gereja yang kental dengan tradisi, ia akan menarikku memasuki
sebuah gang menuju arah lain."
Kami tiba di sisi lain Kebun Raya itu di mana sebuah lereng penuh tanaman
membatasi kebun itu dengan Claudio Moyano dan barisan panjang toko-toko buku
bekas. Bertahun-tahun lalu, di salah satu toko itu, engkau pernah membeli sebuah
buku tua terjemahan, Victoria, karangan Hamsun. Jose duduk di atas air mancur
marmer, dan aku mengikuti perbuatannya.
"Kami berdua sangat menyukai Taman Alcazar," ia melanjutkan. "Dan akulah yang
memperkenalkan Ana pada taman itu karena walaupun dibesarkan di Sevilla, ia
belum pernah menginjakkan kaki ke dalamnya sebelum aku membawanya ke sana. Sejak
saat itu, tempat itu menjadi tempat pelarian khusus bagi Ana di Sevilla, dan
terkadang kami berjalan-jalan di sana setidaknya dua kali seminggu. Nah, lalu
datanglah hari itu. Pada hari ketiga kunjungan kami ke Sevilla, kami tengah
melakukan tur di taman-taman itu, sebagaimana begitu sering kami lakukan
sebelumnya. Kami merasa bahwa kompleks taman yang tertutup itu bagaikan sebuah
dunia yang terpisah, dan hari itu kami berkelakar bahwa kami dapat mengunci diri
di dalam Taman Alcazar dan menghabiskan sisa hidup kami di sana. Mungkin tidak
seharusnya kami mengatakan hal itu. Tidak seharusnya kami mengatakan hal itu!"
"Dan kemudian," ujarku. "Ada apa kemudian?"
"Kami duduk di sebuah bangku di depan kafe ketika tiba-tiba Ana melihat seorang
kurcaci. Pertama-tama ia menunjuk ke arah Puerta de Marchena dan berkata ia
melihat si kurcaci mengeluarkan kepalanya dari Galeria del Grutesco. 'Ia
memotretku,' ujarnya, seolah-olah hal itu adalah sebuah penghinaan yang tak
termaafkan. Detik berikutnya, kami berdua melihat sosok kecil itu mengintip kami
dari salah satu celah di dinding panjang yang memisahkan Taman Alcazar menjadi
dua, bagian yang lama dan yang baru. Ia memotret kami lagi. 'Itu dia!' Ana
berseru. 'Itulah sang kurcaci dengan lonceng-lonceng yang bergemerencing!'"
"Tetapi, siapakah dia?" aku memotong. "Kurcaci apa?"
Ia tidak menjawab, hanya melanjutkan narasinya.
"Ana melompat berdiri dari kursinya dan berlari mengejar sang kurcaci. Saat itu,
kami melihatnya lagi di bawah Puerta de Marchena. Kurasa, aku berusaha untuk
menahannya, tetapi bahkan akhirnya aku pun ikut mengejar karena sejak
mengenalnya, aku selalu mendengar Ana menyebut-nyebut tentang seorang kurcaci.
Awalnya ia mengejar kurcaci itu dengan berputar ke kiri, melalui pintu gerbang
besi dan kolam tempat patung Merkurius berdiri, kemudian menuruni undak-undakan
menuju Taman Tahan dan terus turun menuju Taman para Wanita, melalui air mancur
Neptunus, melalui pintu gerbang besar dan mengelilingi paviliun Carlos V, ke
dalam Labirin dengan pagar tanamannya yang setinggi satu meter, dan keluar dari
dalamnya lagi, naik ke sepanjang Galeria del Grutesco, menuju sebelah kanan
melalui Puerta del Privilegio, dan akhirnya turun ke Taman para Penyair. Baik
Ana maupun si kurcaci berlari lebih cepat dariku, ditambah lagi aku tertahan
oleh protes para pengunjung yang berpikir bahwa Ana tengah menyiksa seorang
kurcaci malang, walaupun sesungguhnya yang terjadi adalah yang sebaliknya ia
mengejar kurcaci itu hanya untuk mengakhiri segala gangguannya.
Di Taman para Penyair, Ana terjatuh di atas pagar tanaman yang mengelilingi
kolam bagian bawah, sesungguhnya berjarak sangat dekat dari Plaza Santa Cruz
karena kini hanya ada sebuah dinding tinggi yang memisahkan dirinya dari tabtao
flamenco "Los Gallos", tempat sekian lama ia menjadi seorang baitaora yang
hebat. Kerumunan orang telah mengelilinginya sebelum aku berhasil tiba di sana.
Ia masih sadar, tetapi wajahnya hampir biru dan ia bersusah payah untuk
bernapas. Aku mengangkatnya ke atas air mancur marmer yang besar di antara kedua
kolam dan meletakkan dirinya di air selama beberapa menit untuk mendinginkan
tubuhnya yang demam. Aku berhasil berteriak bahwa ia mengidap penyakit jantung,
dan tidak lama kemudian, petugas-petugas ambulans datang dengan membawa tandu."
Jose terduduk untuk waktu yang lama sambil hanya menatap Kebun Raya Madrid.
Tidak ada orang di sekitar kami, tetapi kami dapat mendengar
burung-burung berkicau, dan kini begitu nyaring sehingga hampir menenggelamkan
Maya Misteri Dunia Dan Cinta Karya Jostein Gaarder di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
suara lalu lintas yang datang dari Paseo del Prado. Seolah-olah burung-burung
itu pun tengah bernyanyi tentang kawan mereka yang telah meninggal.
"Bagaimana dengan kurcaci itu?" tanyaku. "Tidak ada yang memikirkan dirinya.
Seolah-olah ia telah ditelan bumi."
"Dan Ana?" "Di rumah sakit, mereka memberinya beberapa suntikan, dan selama beberapa jam
kemudian ia sedikit membaik, tetapi ia tidak pernah turun dari tempat tidur
lagi. Para dokter berkata akan mencoba mengoperasinya bila denyut nadinya telah
kembali normal, tetapi ia tidak bertahan selama itu. Belum seminggu ia
meninggal, dan Jumat ini kami mengadakan sebuah misa perkabungan di Gereja Santa
Ana di Triana." Ia mengangkat kepala untuk menatapku. "Alangkah baiknya jika engkau dapat
meluangkan waktu untuk datang," ujarnya.
"Tentu saja aku akan datang."
"Baiklah!" "Tapi, apa yang dikatakan Ana selama ia berada di rumah sakit" Apakah selama itu
ia sadar?" "Sangat sadar. Ia menceritakan banyak hal kepadaku yang belum pernah kudengar
sebelumnya mengenai sang kurcaci dan El Planeta serta kakek buyutnya yang
meninggal setelah malam yang sial itu, ditambah dengan begitu banyak rahasia
flamenco. Hal terakhir yang ia katakan sebelum jantungnya akhirnya berhenti
berdetak adalah: 'Diperlukan waktu bermiliar-miliar tahun untuk menciptakan
seorang manusia. Dan diperlukan hanya beberapa detik untuk mati.' Itu adalah
kalimatku, sebuah ungkapan perasaanku tentang kehidupan, tetapi perasaan itu
telah memengaruhi dirinya setelah aku menjadi seorang aficionado flamenco. Kata-
kata terakhir yang diucapkan Ana ini adalah ucapan selamat tinggal dan juga
sebuah pernyataan cinta."
Aku tidak sempat bertanya apa yang ia maksud dengan hal itu karena ia bangkit
dengan terburu-buru dan mulai berjalan kembali ke dalam Kebun Raya. Aku
mengikuti di belakangnya.
Sementara aku mendengarnya bercerita mengenai Ana, mata hatiku terus-menerus
melihat kedua lukisan di Prado itu. Apakah ada hubungan antara apa yang ia
ceritakan kepadaku mengenai kurcaci yang dikejar Ana di Taman Alcazar dan
kemiripan luar biasa antara dirinya dan maja Goya"
"Ketika pertama kali engkau bertemu dengan Ana bertahun-tahun yang lalu
Tetapi, ia menyadari ke mana arah bicaraku karena ia mendahuluiku.
"Tidak, aku tidak berpikir mengenai Goya. Kurasa, reaksiku sama denganmu. Aku
merasa yakin pernah bertemu Ana sebelumnya, tetapi perasaan itu mungkin hanyalah
sebuah perwujudan dari cintaku yang penuh gairah terhadapnya."
"Mungkin kita memiliki semacam mekanisme pertahanan yang mencegah kita
menghubungkan seseorang yang kita temui dalam kehidupan nyata
dengan seseorang yang hidup dua ratus tahun yang lalu."
Ia hanya mengangkat bahu. "Dan apa pendapatmu sekarang?" tanyaku. Wajahnya
berubah memancarkan suatu ketegasan.
"Mereka tidak hanya mirip," ia berkata. "Perlahan-lahan mereka berubah menjadi
sama persis. Sejak masih remaja, Ana harus menghadapi kekha-sannya yang ganjil
itu, yang semakin hari semakin menjadi, dan akhirnya di Sevilla ia mendapatkan
nama panggilan 'La Nina del Prado'."
"Engkau berkata 'semakin hari semakin menjadi'?"
"Semakin hari ia semakin menyerupai gitana Goya."
Aku menutup mulutku dengan tangan, dan Jose melanjutkan:
"Dan ia meninggal segera setelah ia menjadi persis sama dengan model sang
seniman. Saat itu, pekerjaan itu telah terselesaikan dan ia tidak meneruskan
hidupnya satu hari pun."
"Tetapi, bagaimana engkau dapat menjelaskan kemiripan yang begitu janggal ini?"
"Ada beberapa penjelasan yang mungkin. Atau lebih tepatnya: seseorang dapat
mengajukan berbagai penjelasan walaupun semuanya hampir sama mustahilnya."
"Aku ingin mendengar semuanya."
Ia berbelok ke kanan, ke arah Paviliun, sambil berkata:
"Nenek buyut-buyut-buyut-buyut Ana mungkin pernah dilukis wajahnya di atas
lukisan yang telanjang "Benarkah?" "Tetapi, berapa besarkah kemungkinan dirinya begitu mirip dengan salah satu
keturunannya" Atau sebaliknya tentu saja: seperti apakah kemungkinan seorang
wanita menjadi persis sama dengan nenek buyut-buyut-buyut-buyutnya" Andalah sang
ahli biologi. Apakah hal itu bahkan mungkin?"
Aku menggelengkan kepala.
"Tidak setelah tujuh generasi. Jika ayah Ana juga diturunkan dari nenek buyut-
buyut-buyut-buyut yang sama yang bukannya mustahil bisa saja dijumpai sejumlah
kemiripan dalam ciri-ciri tertentu. Tetapi sama persis" Lebih mungkin untuk
memenangi hadiah utama lotre tujuh kali berturut-turut lebih besar. Dan hal
seperti itu tidak pernah terjadi."
"Jadi, hal ini tentunya adalah sebuah kebetulan besar," ia berkomentar. "Ana dan
sang gitana Goya benar-benar identik. Kemiripan mereka adalah fakta, seperti
yang kita tahu." Sekali lagi aku menggelengkan kepala tak percaya.
"Tidak ada dua individu yang benar-benar identik. Kita sudah menyingkirkan ide
itu. Apakah engkau memiliki teori-teori lain?"
"Ya, banyak teori lain, dan aku telah memikirkan semuanya dengan saksama."
Aku tidak dapat membayangkan kemungkinan apa yang masih tersisa, tetapi kemudian
ia berkata, dengan seseorang yang hidup dua ratus tahun yang lalu."
Ia hanya mengangkat bahu. "Dan apa pendapatmu sekarang?" tanyaku. Wajahnya
berubah memancarkan suatu ketegasan.
"Mereka tidak hanya mirip," ia berkata. "Perlahan-lahan mereka berubah menjadi
sama persis. Sejak masih remaja, Ana harus menghadapi kekha-sannya yang ganjil
itu, yang semakin hari semakin menjadi, dan akhirnya di Sevilla ia mendapatkan
nama panggilan 'La Nina del Prado'."
"Engkau berkata 'semakin hari semakin menjadi'?"
"Semakin hari ia semakin menyerupai gitana Goya."
Aku menutup mulutku dengan tangan, dan Jose melanjutkan:
"Dan ia meninggal segera setelah ia menjadi persis sama dengan model sang
seniman. Saat itu, pekerjaan itu telah terselesaikan dan ia tidak meneruskan
hidupnya satu hari pun."
"Tetapi, bagaimana engkau dapat menjelaskan kemiripan yang begitu janggal ini?"
"Ada beberapa penjelasan yang mungkin. Atau lebih tepatnya: seseorang dapat
mengajukan berbagai penjelasan walaupun semuanya hampir sama mustahilnya."
"Aku ingin mendengar semuanya."
Ia berbelok ke kanan, ke arah Paviliun, sambil berkata:
"Nenek buyut-buyut-buyut-buyut Ana mungkin pernah dilukis wajahnya di atas
lukisan yang telanjang "Benarkah?" "Tetapi, berapa besarkah kemungkinan dirinya begitu mirip dengan salah satu
keturunannya" Atau sebaliknya tentu saja: seperti apakah kemungkinan seorang
wanita menjadi persis sama dengan nenek buyut-buyut-buyut-buyutnya" Andalah sang
ahli biologi. Apakah hal itu bahkan mungkin?"
Aku menggelengkan kepala.
"Tidak setelah tujuh generasi. Jika ayah Ana juga diturunkan dari nenek buyut-
buyut-buyut-buyut yang sama yang bukannya mustahil bisa saja dijumpai sejumlah
kemiripan dalam ciri-ciri tertentu. Tetapi sama persis" Lebih mungkin untuk
memenangi hadiah utama lotre tujuh kali berturut-turut lebih besar. Dan hal
seperti itu tidak pernah terjadi."
"Jadi, hal ini tentunya adalah sebuah kebetulan besar," ia berkomentar. "Ana dan
sang gitana Goya benar-benar identik. Kemiripan mereka adalah fakta, seperti
yang kita tahu." Sekali lagi aku menggelengkan kepala tak percaya.
"Tidak ada dua individu yang benar-benar identik. Kita sudah menyingkirkan ide
itu. Apakah engkau memiliki teori-teori lain?"
"Ya, banyak teori lain, dan aku telah memikirkan semuanya dengan saksama."
Aku tidak dapat membayangkan kemungkinan apa yang masih tersisa, tetapi kemudian
ia berkata, "Teori yang paling sederhana adalah bahwa Ana sendirilah yang berpose untuk
lukisan yang kau pelajari dengan begitu saksama di museum."
"Tetapi, lukisan itu berusia dua ratus tahun."
"Itu yang mereka katakan."
Ia ragu sejenak, kemudian menambahkan:
"Aku harus memaksa diri untuk mempertimbangkan setiap kemungkinan yang mungkin
maupun tidak mungkin. Jadi selalu ada kemungkinan bahwa Ana memang benar-benar
sudah setua itu ketika ia meninggal."
Aku menatap wajah yang pucat itu. Jika bukan karena kenyataan bahwa aku baru
bertemu Ana dua minggu yang lalu, tentunya aku mencurigai Jose mengalami masalah
kejiwaan serius, atau setidaknya sulit berpikir jernih.
"Ini bukan lelucon," ujarku. "Aku tidak bercanda. Walaupun aku tidak akan
membantah bahwa aku sendiri tidak yakin, lebih tidak yakin daripada yang dapat
kau bayangkan. Akulah yang duduk bersama Ana di atas bangku itu di Taman Alcazar
pada hari ia menjadi serupa persis dengan gitana Goya. Pagi itu ia bahkan
menyisir rambutnya seperti wanita dalam lukisan itu, bahkan riasannya pun sama.
Dapatkah engkau mengerti?"
"Kurasa ya." "Pengalaman mengatakan bahwa tidaklah mungkin Ana adalah model sang Maestro Tua,
tetapi secara logika hal itu bukan tidak mungkin."
"Dengan dasar pemikiran yang begitu liberal seperti ini, tentunya engkau
memiliki beberapa teori lain?" Ia menyentuh dahinya dan berdehem beberapa kali sebelum menjawab.
"Jika gitana milik Goya dilukis pada akhir abad ke-18, mungkin saja, entah
bagaimana, Ana dibentuk sesuai sosok sang model," ia berkata.
"'Dibentuk1 bagaimana?"
"Aku hanya mencoba menata pikiranku. Engkau tentunya tahu cerita mengenai
Pygmalion?" "Metamorfosis karya Ovid," jawabku. "Pygmalion jatuh cinta kepada patung wanita
cantik yang ia ciptakan sendiri. Kemudian, Aphrodite mengasihani-nya dan
menghidupkan patung tersebut. Ada teori lain?"
Ia berhenti sejenak dan merenung sambil menatapku.
"Penampilan mereka begitu mirip sehingga mereka dapat disangka kembar identik."
"Tentu saja," ujarku, walaupun aku tidak terlalu mengerti apa yang ia tuju.
"Apakah engkau berpendapat," ia menambahkan, "bahwa benar-benar tidak mungkin
seorang lelaki yang terlahir dua ratus tahun dari sekarang, persis sama
denganku, bahkan hingga sidik jari dan segala macamnya?"
"Tidak," aku berkata. "Itu tidak mungkin. Beri aku beberapa sel hidup dan sebuah
lemari pembeku yang baik, dan kita dapat membuat klon dirimu dalam dua abad
lagi. Aku harus menekankan bahwa engkau tidak akan mengalami kebahagiaan
'terlahir kembali' itu sendiri."
Aku sendiri tidak melihat pentingnya komentarku itu.
"Maka, mungkin saja sebuah sampel jaringan diambil dari model Goya, dan jaringan
ini secara ajaib diawetkan selama hampir dua abad sebelum sekitar tiga puluh
tahun yang lalu, materi genetik dari salah satu selnya dimasukkan ke dalam
sebuah sel telur tanpa gen."
Seluruh tubuhku terasa merinding, hampir sama seperti ketika Ana dan Jose
berjalan di antara pepohonan palem dan berbicara mengenai penciptaan manusia dan
betapa Adam tidak keheranan.
"Aku tahu maksudmu," ujarku. "Dan tentu saja, itu merupakan sebuah kemungkinan.
Tetapi, banyak yang telah terjadi dalam bidang mikrobiologi dan perawatan
fertilitas selama tiga puluh tahun belakangan."
"Oleh karenanya, itu hampir tidak mungkin," ia menyimpulkan.
"Hampir tidak mungkin, betul. Lebih baik kita tetap pada gagasan mengenai
kebetulan sepenuhnya, walaupun itu cukup menyebalkan. Hal itu mengindikasikan
sesuatu yang biasanya kutolak: bahwa alam menemukan beberapa rute paralel untuk
menuju tujuan yang persis sama. Tetapi, alam tidak bekerja seperti itu. Alam
tidak mengambil lompatan tiba-tiba dan tidak bertujuan."
"Kita pernah membicarakan hal ini sebelumnya."
"Apa itu?" "Sejauh mana alam memiliki tujuan; sesuatu yang harus dicapai oleh alam, sesuatu
yang ingin ditunjukkan atau dimunculkannya. Kita juga membicarakan apakah sesuatu yang
terjadi saat ini dengan suatu cara dapat dilihat sebagai penyebab dari sebuah
kejadian jauh di masa lalu."
Semua itu terjadi dalam "konferensi tropis" yang diprakarsai John Spooke. Banyak
yang telah terjadi setelah itu, dan kini aku teringat akan sesuatu yang lain.
"Mungkin kita semua salah menganggap Goya menggunakan seorang model hidup untuk
wajah dalam lukisannya. Ia hanya perlu menggambar sebuah wajah di atas tubuh
yang telanjang untuk menutupi identitas sang model hanya untuk kamuflase."
Jose tersenyum mantap, karena tentu saja ia pun telah mempertimbangkan hal itu.
"Jadi?" "Jadi, mungkin saja sebuah kebetulan bahwa beberapa abad kemudian, muncul
seorang wanita yang persis sama dengan khayalan sang seniman."
Ia menggelengkan kepala dengan putus asa.
"Sama saja kita kembali kepada Pygmalion. Suatu hari, Tuhan menghidupkan
khayalan Goya." "Aku sudah menyatakan dengan tegas bahwa itu tentunya adalah sebuah kebetulan.
Walaupun dapat dipastikan ini adalah sebuah kebetulan yang sangat luar biasa."
"Maka, 'kebetulan' adalah sebuah kemungkinan. Tetapi, bagaimana jika Goya mampu
melihat rencana Tuhan" Maksudku, mungkinkah seorang seniman visioner seperti dia
juga dapat sedikit meramal?"
Kami tiba di patung dada Carolus Linnaeus.
"Ada teori lain?" tanyaku. "Atau hanya itu?"
Ia mengangguk sedih, seakan menyerah. "Ya, hanya itu," ia mengakui. "Aku sudah
kehabisan ide." Ia berhenti selama beberapa saat sebelum menambahkan, "Tetapi, ada sebuah
penjelasan yang sama sekali berbeda, yang diyakini baik Ana maupun keluarganya.
Itu karena mereka telah menjadi orang gipsi selama beberapa generasi. Aku baru
menjadi gipsi selama beberapa tahun."
Ia melirik sekilas ke arah jam, dan tepat saat aku mengira akan mendengarnya
menuturkan penjelasan Ana sendiri mengenai kemiripannya yang tanpa cela dengan
seorang wanita yang hidup di planet ini dua ratus tahun yang lalu, Jose berkata,
"Sayangnya, aku harus pergi sekarang. Aku sudah seperempat jam terlambat
menghadiri sebuah janji penting."
Aku merasa dicurangi, dan tentunya ia dapat membaca perasaanku, karena sambil
berbalik ia meletakkan tangannya di bahuku dan berkata, "Ada banyak yang perlu
kuurus sekarang. Sebagian tugasku begitu berat, tetapi sebagian cukup
menyenangkan. Menjelajahi Prado untuk mencarimu adalah salah satu tugasku yang
menyenangkan. Tetapi, aku harus memikirkan hal-hal lain."
Setelah mengatakan itu, ia pun bergegas menuju pintu keluar.
Begitu banyak yang masih belum terjawab. Aku tidak mengetahui siapakah kurcaci
di Sevilla itu. Aku tidak mendengar pendapat Ana sendiri mengenai lukisan aneh yang mirip
dengan dirinya. Aku belum mendengar banyak mengenai El Planeta maupun mengenai
kakek buyut Ana. Aku juga memerlukan penjelasan mengenai segala ungkapan aneh
yang terus dikutip oleh Ana dan Jose di Taveuni. Kami belum mengatur janji untuk
bertemu lagi. Atau apakah ia telah mengetahui bahwa aku menginap di the Palace"
Apakah aku telah menyebutkan hal itu"
Satu-satunya yang dapat kuandalkan adalah misa berkabung di Sevilla, Jumat
mendatang, di Gereja Santa Ana. Sekali lagi, kemiripan nama yang muncul hampir
terasa mengesalkan. Tiba-tiba, aku merasa begitu sedih. Aku mendapat ide bahwa mungkin aku dapat
memintamu menemaniku ke Sevilla akhir minggu ini. Kurasa, engkau berutang
kepadaku, setelah tawamu yang begitu menggelegar ketika aku mengenali Ana dan
Jose di tepi Sungai Tormes. Setidaknya, engkau dapat membantuku dengan
mendampingiku dalam sebuah misa berkabung yang sepertinya penting untuk
kuhadiri. Betapa engkau tertawa, Vera. Tetapi, peralihan dari tawa menjadi tangis sungguh
merupakan sebuah perjalanan yang pendek, karena kebahagiaan sama rapuhnya dengan
gelas. Tidak ada yang lebih memahami hal itu daripada kita berdua.
Aku menatap Linnaeus. Mungkin ialah yang memberi nama bunga aster Bellis
perennis. Setidaknya ia mencoba untuk mengerti lebih banyak mengenai dunia yang
luar biasa ini, yang di atasnya
kita semua hanya "numpang lewat".
Dalam perjalanan kembali ke hotel, aku kembali ke Prado dan koleksi Goya. Sekali
lagi aku mempelajari bagaimana rupa Ana Maria Maya pada hari ia mengejar seorang
kurcaci di Taman Alcazar. "La Nina del Prado" tidak berubah banyak dalam
Maya Misteri Dunia Dan Cinta Karya Jostein Gaarder di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
beberapa bulan sejak aku bertemu dengannya di Taveuni. Aku hanya melihatnya
sekilas di Salamanca saat ia berlari keluar dari kafe. Tetapi, kurcaci itu,
kurcaci itu memfoto Ana dari Galeria del Grutesco.
Apa yang ia inginkan dengan foto itu"
Aku membeli sedikit makanan di sebuah bar dan berjalan-jalan berkeliling sebelum
akhirnya kembali ke hotelku. Ketika akhirnya tiba di kamarku, aku berjalan ke
jendela, menatap Neptuno di bawah, lalu ke arah Ritz dan gedung Prado di sisi
seberang Paseo del Prado. Dua lukisan mengenai Ana Maria Maya tergantung di
dalamnya. Pada saat itulah aku memutuskan untuk melakukan segala yang kumampu untuk
membuatmu ikut ke Sevilla. Untuk dapat meyakinkan hal itu, pertama-tama aku
harus menyampaikan seluruh cerita panjang yang telah kususun selama lebih dari
empat puluh delapan jam ini, dengan mengetiknya di lap-topku di hotel ini.
Aku duduk di mejaku, menyalakan komputerku, mencatat bahwa hari itu adalah
Selasa S Mei 1998, dan memulai mengerjakan tulisan ini paragraf demi paragraf.
Yang pertama kali kulakukan adalah memberikan gambaran kasar mengenai apa yang
telah kulihat dan alami di Oseania sejak November hingga Januari; aku menuliskan
mengenai penerbangan dari Nadi ke Matei, aku memberikan gambaran singkat
mengenai Taveuni dan Maravu Plantation Resort, dan aku menjelaskan pertemuan
pertamaku dengan Ana dan Jose. Aku memulai suratku sehari sebelum aku bertemu
Jose di Taman Retiro, sebelum aku mendengar apa yang terjadi pada El Planeta di
Marseilles pada musim panas 1842, dan sebelum aku menemukan apa yang terjadi di
tepi dermaga di Cadiz pada suatu hari pada musim dingin 1790.
Hari ini adalah Kamis, 7 Mei, pukul 4 sore, dan tidak lama lagi aku akan berada
dalam kereta menuju Sevilla. Aku memiliki seikat foto di hadapanku, dan yang
paling menakjubkan dari foto-foto ini bukanlah subjeknya, melainkan apa yang
telah ditulis oleh Ana di belakang tiap foto. Aku juga menyimpan sebuah cerita
tentang alasan mengapa Ana begitu mirip dengan sebuah lukisan yang berusia dua
ratus tahun. Dua hari telah berlalu sejak aku kembali ke kamar hotelku setelah berjalan-jalan
dengan Jose di Kebun Raya. Dalam selama selang waktu itu, menjadi semakin
penting bagiku untuk mengirim surat panjang ini kepadamu. Aku tidak dapat
mengambil risiko tidak dapat menemukanmu sekarang, karena engkau harus, pokoknya
engkau harus ikut denganku ke Sevilla besok. Semoga saat membaca suratku ini,
engkau telah memutuskan untuk pergi. Aku memutuskan untuk meneleponmu saat ini
juga, maka surat yang panjang ini juga mencatat upayaku untuk mengontakmu, sebelum aku
mengirimkan semua yang telah kutulis melalui e-mait. Engkau harus memilih
kalimatmu dengan hati-hati. Dalam beberapa jam lagi, kata-katamu itu akan muncul
lagi di layar komputermu.
Aku duduk di mejaku, mengangkat telepon dan memutar nomormu di Barcelona ....
Tentu saja aku tidak dapat mengingat setiap kata yang terlontar di antara kita.
Namun, demikianlah ingatanku mengenai pembicaraan kita itu.
"Ya, ini Vera."
"Ini aku." "Frank?" "Ana telah meninggal." "Aku tahu." "Apa katamu?"
"Aku tahu Ana telah meninggal." "Tetapi, kamu kan tidak kenal Ana?" "Tidak,
tepat sekali! Aku tidak pernah mengenalnya."
"Tetapi, engkau tahu ia telah meninggal?"
"Apa-apaan semua ini, Frank?"
"Bagaimana engkau tahu ia meninggal?"
"Aku tidak mengerti. Aku tidak tahu mengapa engkau mengarang semua ini."
"Aku tidak ... maksudku, aku tidak tahu apa yang kau maksud dengan 'semua ini'."
"Sudahlah!" "Aku sendirian dalam sebuah kamar hotel, aku berada di sini sudah hampir dua
minggu. Aku hanya ingin seseorang untuk diajak bicara. Aku harus memberi tahu seseorang bahwa Ana
telah meninggal." "Tidakkah kau memberinya nomor teleponku?" "Ia siapa?"
"Ia menyebut dirinya Jose." "Apa?"
"Seorang lelaki baru saja menelepon dan mengatakan ia telah bertemu denganmu di
Taman Re-tiro. Dan bahwa ia telah memberimu sebuah hadiah untuk kita bagi
bersama." "Ia berkata begitu?"
"Dan kemudian, ia mengatakan bahwa Ana telah meninggal."
"Ia berkata begitu kepadamu?" "Tidakkah kau tahu ia menelepon?" "Tidak!"
"Kalau begitu, bagaimana dengan 'hadiah' ini?" "Memang ia pernah menyinggung hal
itu. Bahwa benda itu untuk kita berdua."
"Dengar, aku akan menutup telepon "Halo?"
"Aku akan menutup telepon jika engkau tidak memberitahuku apa yang ia maksud
dengan 'hadiah' ini."
"Aku tidak mengerti mengapa engkau begitu agresif."
"Aku tidak agresif."
"Mudah terpancing, kalau begitu." "Aku juga tidak mudah terpancing. Aku hanya
bertanya 'hadiah' apa itu."
"Hadiahnya berupa beberapa foto. Lalu ada semacam manifesto." "Semacam apa?"
"Manifesto." "Baiklah. Ya, kau saja yang simpan, Frank." "Aku benar-benar tidak tahu bahwa ia
meneleponmu." "Setidaknya engkau pasti tahu bahwa engkau memberinya nomor teleponku."
"Aku tidak memberinya apa pun."
"Apakah engkau memberi tahu namaku?"
"Itu mungkin saja."
"Sebuah 'manifesto'?"
"Bukan itu sebabnya aku menelepon." "Jadi, mengapa engkau menelepon" Aku punya
pekerjaan lain." "Ingatkah engkau bagaimana engkau tertawa pada waktu itu" ... Engkau tidak
mengatakan apa-apa."
"Malam itu memang indah, Frank. Dengarlah, maafkan aku karena sedikit kesal.
Maksudku, barusan tadi. Aku otomatis berpikir bahwa engkaulah yang menyuruhnya
menelepon. Mengenai hadiah untuk kita berdua. Engkau mengerti, kan" Kemudian,
setengah jam setelahnya, engkau menelepon."
"Aku sama sekali tidak tahu ia meneleponmu."
"Aku ingat aku tertawa saat itu. Tentu saja kupikir engkau mengarang segala hal
itu. Dua-duanya begitu tipikal dirimu."
"Keduanya?" "Mengarang cerita kemudian menyuruh seorang kenalan untuk meneleponku mengenai
sebuah hadiah." "Kita kan sudah selesai membahasnya tadi. Jika tidak, aku yang akan menutup
telepon "Halo?"
"Aku sudah duduk di sini siang malam menulis surat untukmu."
"Mengenai kita?" "Mengenai Ana dan Jose." "Kirimkan saja kepadaku. Tentu saja
akan kubaca." "Tetapi tidak banyak waktu, kau tahu. Apakah engkau akan menyalakan internet
malam ini" Aku memerlukan waktu beberapa jam lagi." "Tentu saja."
"Dalam surat yang panjang ini, aku akan memohon bantuanmu. Bahkan jika itu
adalah hal terakhir yang akan pernah kau lakukan untukku." "Apakah yang begitu
penting itu?" "Jika kuberi tahu sekarang, engkau pasti menolak."
"Katakan saja apa itu."
"Aku ingin memintamu ikut denganku ke misa perkabungan Ana besok malam. Di
Sevilla." "Engkau sudah menanyakannya kepadaku." "Sudah?"
"Orang yang meneleponku yang menanyakannya. Aku merasa keduanya pada dasarnya
sama saja." "Ia memintamu datang ke Sevilla?"
"Engkau mengatakan bahwa kau tidak tahu
apa pun mengenai hal ini?"
"Tidak! Maksudku, ya. Aku tidak tahu apa-apa. Tentunya ia menelepon Penerangan."
"Aku berkata bahwa Jumat ini aku tidak bisa pergi. Aku tidak mengenal wanita
itu, Frank." "Engkau mengenalku."
"Ya, tetapi untungnya bukan engkau yang meninggal."
"Aku ingat banyak orang yang menghadiri pemakaman Sonja belum pernah bertemu
dengannya." "Itu berbeda."
"Tidak jika aku mengatakan kepadamu bahwa Ana adalah teman dekatku."
"Aku menyadari hal itu. Tetapi, kita tidak lagi tinggal bersama."
"Apakah engkau akan hadir pada pemakaman ibuku?"
"Sekarang kupikir kelakuanmu mengerikan."
"Kita tidak perlu berdebat mengenai siapa di antara kita yang kelakuannya paling
mengerikan." "Aku tidak berdebat. Aku sudah lelah melakukannya. Kita telah mengucapkan
selamat berpisah, Frank. Kapankah engkau menyadari hal itu?"
"Apakah engkau menjalin hubungan dengan lelaki lain?"
"Menurutku, engkau tidak berhak menanyakan
itu." "Sekarang engkau membuat harga dirimu turun. Aku hanya bertanya apakah engkau
memiliki seorang kekasih."
"Tidak." "Apa?" "Aku tidak akan menikah lagi."
"Bagaimana engkau bisa begitu yakin?"
"Tetapi, aku punya banyak sekali teman baik. Dan kuharap engkau pun begitu."
"Tidak terlalu banyak di sini di Spanyol. Itulah mengapa akan sangat berarti
bagiku jika engkau datang ke Sevilla. Tentu saja aku yang akan membayar segala
pengeluaran." "Aku tidak tahu, Frank. Aku benar-benar tidak tahu."
"Baiklah, kita biarkan saja pertanyaan ini menggantung untuk saat ini. Tetapi,
berjanjilah engkau akan membaca apa yang akan kukirim malam ini."
"Aku sudah bilang akan membacanya. Aku akan meluangkan waktu untuk
melakukannya." "Baiklah. Kita lihat nanti apakah engkau akan berubah pikiran."
"Apakah yang tengah kau tulis ini" Yang waktu itu engkau ceritakan kepadaku di
atas jembatan?" "Sebagian di antaranya, tetapi pada saat itu aku masih belum tahu apa-apa."
"Engkau membuatku penasaran. Tidak dapatkah kau memberiku versi pendeknya?"
"Tidak, itu tidak mungkin. Aku ingin agar engkau mendapatkan keseluruhannya
sekaligus, semua atau tidak sama sekali."
"Kalau begitu, aku akan menunggu hingga malam ini."
"Engkau bisa mendapatkan sebuah teka-teki.
Agar ada sesuatu yang dapat kau pikirkan." "Teka-teki?"
"Bagaimana seseorang yang hidup pada masa sekarang bisa persis sama dengan
seseorang yang pernah hidup dua ratus tahun yang lalu?"
"Aku tidak tahu. Lagi pula, tidak ada yang benar-benar tahu bagaimana rupa
orang-orang yang hidup dua ratus tahun yang lalu."
"Ada banyak lukisan."
"Tetapi, tidak ada dua orang yang persis sama, Frank. Kupikir, engkau
mempelajari genetika?"
"Kubilang itu adalah sebuah teka-teki."
"Apakah engkau habis minum-minum?"
"Jangan mulai lagi hal-hal histeris itu."
"Menurutku, alkohol tidak terlalu cocok untukmu."
"Tahukah kau, engkau mengingatkanku kepada siapa?"
"Aku bertanya apakah engkau habis minum-minum."
"Engkau mengingatkanku akan seekor tokek." "Oh, berhentilah!"
"Maksudku, seekor tokek yang sangat khusus." "Apakah sekarang kau menderita
gangguan saraf?" "Apakah engkau percaya akan kurcaci?"
"Apakah aku percaya akan kurcaci?"
"Lupakan saja. Misa perkabungan itu diadakan di Triana, di Gereja Santa Ana,
pukul tujuh malam." "Kita lihat saja nanti. Tetapi akan kubaca apa yang telah kau tulis."
"Aku tinggal di the Palace."
"Engkau gila. Aku bersyukur kita tidak lagi memiliki rekening bersama."
"Aku tidak akan menulis surat maupun meneleponmu jika aku tidak masih sayang
kepadamu." "Dan aku tidak akan membiarkan sebuah percakapan telepon yang begitu tidak masuk
akal seperti ini berlangsung begitu lama jika aku tidak punya perasaan yang
sama." "Bye, Vera." "Bye. Engkau benar-benar gila, tahukah kau. Tetapi, engkau memang selalu
begitu."[] Kurcaci dan Gambar Ajaib PADA RABU PAGI, AKU TIBA DI PRADO PADA PUKUL SEMBILAN LEWAT SEDIKIT, beberapa
menit setelah galeri itu dibuka. Aku pergi dengan harapan dapat bertemu Jose
lagi karena kami belum menentukan tempat pertemuan yang lain. Kesempatan
berikutnya adalah di Gereja Santa Ana di Sevilla, tetapi di sana tentunya akan
ada banyak orang di sekeliling kami.
Sekali lagi aku melewati "Taman Kesenangan Duniawi" dan menunggu sebentar di
sana, karena di situlah aku telah bertemu Jose sehari sebelumnya. Aku naik
menuju lantai pertama dan tidak lama kemudian berdiri di hadapan kedua maja.
Lama aku berdiri sambil menatap ke dalam mata Ana, dan hampir menyeramkan betapa
ia menatapku kembali tanpa berkedip. Aku tidak akan terkejut jika ia mengedipkan
mata ke arahku. Setelah satu jam, aku meninggalkan galeri itu dan berjalan ke arah Calle de
Felipe IV, menyeberangi Calle Alfonso XII yang hiruk pikuk, dan memasuki Taman
Retiro. Seluruh permukaan rumput di taman itu diselimuti oleh bunga-bunga maya
berwarna kuning, putih, dan merah, oleh bunga aster,
oleh Bellis perennis. Aku menghabiskan waktu berjalan-jalan di sekeliling taman
yang luas itu sambil menonton anak-anak berseragam sekolah, pasangan-pasangan
pelajar, para pensiunan, dan segerombolan kakek dan nenek membawa balita, banyak
dari mereka membawa kantung-kantung makanan untuk tupai. Terdapat kontras yang
begitu besar antara keindahan yang sesungguhnya dari kehidupan sehari-hari dan
betapa biasa hal itu dianggap oleh mereka yang melakukannya. Aku teringat
sesuatu yang pernah dikatakan oleh Ana dan Jose di Taveuni: "Kini, para peri itu
berada dalam dongeng, tetapi mereka tidak menyadarinya. Apakah dongeng benar-
benar akan menjadi dongeng jika ia tidak bisa melihat dirinya sendiri" Apakah
kehidupan sehari-hari akan menjadi keajaiban jika ia terus-menerus berkeliling
untuk menjelaskan dirinya sendiri?"
Aku memutuskan untuk kembali ke Prado lagi, tetapi sebelumnya aku duduk di
sebuah bangku di atas El Parterre yang memiliki banyak petak bunga dan tanaman
yang dipangkas menyerupai berbagai bentuk. Tiba-tiba Jose sudah berdiri di
hadapanku. Seolah-olah seseorang telah memberitahunya tentang tempatku berjalan-
jalan setiap hari di Taman Retiro.
Ia duduk di sampingku di bangku, dan kami tetap di sana selama beberapa jam. Ia
menggenggam selembar koran dan sebuah amplop kuning besar. Ia berkata akan
mengambil kereta tengah hari untuk menuju Sevilla, dan sekali lagi aku
meyakinkannya bahwa aku akan menghadiri misa perkabungan pada Jumat itu. Aku
sama sekali tidak menyebutkan sedikit pun mengenai harapan rahasiaku bahwa
engkau mungkin juga akan datang. Tetapi, mungkin aku pernah menyebutkan namamu
di Fiji. Dan seandainya aku belum menyebutkan nama belakangmu kepadanya, jelas
aku pernah menyebutkannya di hadapan si orang Inggris, yang masih tinggal di
Maravu setelah aku pergi.
Jose duduk di sana selama beberapa menit tanpa berkata-kata. Tidak hanya
wajahnya pucat pasi, tetapi seluruh keberadaannya tiba-tiba hampir menyerupai
hantu. Aku ingat saat itu aku terbayang akan Orpheus yang kembali dari neraka
tanpa Eurydice. Akhirnya, aku memecahkan keheningan.
"Sekarang-sekarang ini tentunya merupakan masa yang sangat sulit bagimu,"
ujarku. Ia mencengkeram apa yang ada di tangannya kuat-kuat.
"Aku telah memikirkan lebih jauh mengenai kemiripan luar biasa antara Ana dan
wanita dalam lukisan Goya," aku melanjutkan. "Aku masih berusaha menerima
pendapat bahwa hal itu merupakan satu kebetulan yang luar biasa."
Ia cepat-cepat mengangguk. Seolah-olah ia berusaha menyusun jalan pikirannya
untuk memberikan penjelasan.
"Tetapi, bukankah engkau mengatakan bahwa Ana dan keluarganya memiliki
penjelasan yang sangat berbeda?"
Sekali lagi ia mengangguk.
"Penjelasan mereka berhubungan dengan sebuah cerita lama, menurutku sih tidak
lebih dari sekadar kepercayaan lama. Semua bermula dengan sesuatu yang terjadi
Maya Misteri Dunia Dan Cinta Karya Jostein Gaarder di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pada El Planeta di Prancis."
"Lanjutkanlah," ujarku. "Kumohon lanjutkanlah!" "Pada musim semi 1842, ia
dikabarkan berangkat untuk menjalani perjalanan suci dari Cadiz menuju Les
Saintes Maries de la Mer di lie de la Carmargue di antara kedua muara Sungai
Rhone. Pada 26 Mei tahun itu, dilaporkan bahwa ia telah tiba di Marseilles. Di
sana ia bekerja sebagai kuli dermaga selama beberapa saat, mengumpulkan uang
untuk perjalanan pulangnya. Beberapa minggu kemudian, ia mengalami sesuatu yang
sejak saat itu dituturkan dari generasi ke generasi, terus hingga saat ini. Ini
adalah sebuah cerita yang diceritakan kepadaku ketika aku pertama kali
berkenalan dengan Ana dan keluarganya. Dan sebaiknya aku menjelaskan dari awal
bahwa kisah yang akan kuceritakan ini memiliki banyak versi yang berbeda, bahkan
di dalam keluarga Maya sendiri. Di sini yang kita hadapi adalah sebuah tradisi
verbal, dapat dibilang sebuah lingkaran mitos tersendiri. Aku belum pernah dapat
menemukan dokumentasi tertulis mengenai tradisi Andalusia ini, bahkan tidak
ditemukan materi-materi dari masa yang lebih belakangan. Tetapi, kabarnya ada
sebuah tradisi Swiss yang sama sekali tidak berhubungan yang konon sama tuanya
dengan tradisi Andalusia ini. Akan kucoba untuk menceritakannya secara singkat.
Oleh karenanya, aku hanya akan menyebutkan fakta-fakta dasarnya."
"Silakan lanjutkan!"
"Pada suatu sore di awal Juni 1842, El Planeta tengah menunggu di tepi dermaga
di Marseilles agar dapat naik ke kapal layar yang berlabuh untuk menurunkan
muatannya. Kapal layar tersebut, yang ngomong-ngomong merupakan sebuah kapal
Norwegia, tampak jelas telah mengalami cuaca buruk. Bahkan, sebelum mereka
selesai memperbaiki jembatan kapal, seorang kerdil memanjat menuruni rantai
kapal dan melompat ke darat. Ia berlari di antara beberapa gudang di tepi
dermaga lalu menghilang."
"Seorang kerdil?"
"Ia adalah seorang kurcaci, benar-benar berpakaian seperti seorang bufon atau
badut istana. Dikisahkan, kostum yang ia kenakan berwarna ungu dan ia memakai
sebuah topi hijau dan merah ditempeli telinga keledai. Baik topi maupun
kostumnya dipenuhi lonceng kereta kecil yang bergemerencing keras saat ia
melesat di antara gudang-gudang untuk bersembunyi. Oleh karenanya, luar biasa
bahwa ia menghilang cukup cepat. Banyak orang di dermaga itu melihatnya, dan
berbagai pertanyaan pun diajukan kepada para pelaut di atas kapal itu untuk
mengetahui identitas kurcaci itu."
"Apa yang mereka katakan?"
"Kapal itu datang dari Teluk Meksiko, dan di suatu tempat di selatan Bermuda,
mereka menyelamatkan kurcaci itu dan seorang pelaut Jerman dari dalam sebuah
perahu. Pelaut itu berkata bahwa sebelumnya mereka berlayar dalam sebuah kapal
layar Maria, yang terbalik beberapa hari sebelumnya, dan
diduga hanya merekalah yang selamat dari antara puing-puing kapal."
"Ia tidak mengatakan apa-apa lagi?"
"Pelaut Jerman tersebut tidak banyak bicara, dan sore itu, di tepi dermaga di
Marseilles, terjadi masalah komunikasi yang serius karena sang orang Jerman
tidak dapat berbahasa Prancis maupun Spanyol. Dengan segera ia pun menghilang
seperti sang kurcaci. Sebuah versi mengatakan bahwa setelah itu, ia menetap
sebagai seorang pembuat roti di sebuah desa di pegunungan Swiss."
"Apakah mereka pernah terlihat lagi?"
"Kurcaci itu, ya. El Planeta hidup susah di antara gudang-gudang di dermaga,
yang ia inginkan hanyalah pulang ke kampung halamannya di Cadiz begitu
mendapatkan uang yang cukup. Setelah muatan kapal layar tersebut selesai
diturunkan, ia pun meninggalkan tempat itu untuk pergi tidur, tetapi dengan
segera ia menyadari ada seseorang yang bersembunyi di antara tong-tong anggur
kosong, seseorang yang tengah menangis sedih. El Planeta mendekat dan di sana ia
menemukan si kurcaci yang tidak bahagia."
"Apakah yang ia katakan?"
"Ia hanya dapat berbahasa Jerman, dan bahasa itu tidak dapat dimengerti oleh
sang gipsi dari Cadiz, sama seperti bahasa Spanyol tidak dimengerti oleh orang
kecil itu. Tetapi, setidaknya sebuah versi kisah pertemuan El Planeta dengan
sang kurcaci menunjukkan bahwa kurcaci itu berusaha menyembunyikan
identitasnya." "Menyembunyikan apa?"
"Ia menyembunyikan kostum badutnya. Sepertinya sungguh penting bagi sang kurcaci
untuk menyembunyikan pakaiannya, sama seperti seorang narapidana yang melarikan
diri berusaha menyembunyikan seragam penjaranya. Ia tidak ingin dikenali, tidak
sebagai badut. Konon El Planeta meminjamkan sebuah man-tel pendek, dan setelah
itu, segala jejak kurcaci itu menghilang dari Marseilles."
"El Planeta tidak pernah melihatnya lagi?"
"Di bagian itu, tradisi terbagi dua. Sebagian mengatakan bahwa El Planeta dan
kurcaci itu hidup bersama selama beberapa hari di antara gubuk-gubuk di tepi
dermaga Marseilles. Dan pada suatu malam, si kurcaci berusaha menceritakan kisahnya dengan menggunakan bahasa isyarat dan gambar-gambar yang ia buat."
"Gambar-gambar?"
"Ia menggambar satu set kartu, satu pak kartu tipe Prancis dengan hati, wajik,
keriting, dan sekop. Kemudian-walaupun masih dalam bahasa Jerman kabarnya ia
mengutip sebuah puisi pendek untuk setiap kartu dari lima puluh dua kartu di
dalam set tersebut. El Planeta berhasil mengingat beberapa dari puisi itu
walaupun dalam bahasa yang tidak dapat ia mengerti. Dalam satu-satunya potret El
Planeta yang masih ada saat ini, yaitu sebuah ukiran pada lempengan tembaga
karya D.F. Lame-yer, banyak orang yang percaya bahwa ia meniru seorang joker,
atau seorang badut istana. Namun yang pasti, ia membawa sebuah kisah mengenai
kurcaci yang penuh teka-teki ke Sevilla, dan cerita itu masih sangat terkenal
ketika sebuah nasib yang aneh menimpa kakek buyut Ana tepat lima puluh dua tahun
kemudian, pada Juni 1894."
"Seratus empat tahun yang lalu," ujarku.
"Seratus empat tahun yang lalu, benar. Kakek buyut Ana bernama Manuel, dan sama
seperti kakek buyutnya sendiri, ia adalah seorang cantaor yang dihormati. Ia
tinggal di Triana, dan distrik itu lama-kelamaan dikenal sebagai el barrio
gitano. Manuel hidup dalam apa yang disebut sebagai zaman keemasan flamenco
dengan berkembangnya ios cafes cantantes di Sevilla. Ia pun menjadi sebuah sosok
yang diselimuti oleh mitos dalam keluarganya, dan diberi nama julukan "El
Solitario", atau Manuel el Solitario. Mungkin ia mendapatkan nama itu karena
dianggap penyendiri, orang luar atau pemikir, dan mungkin juga sebagai orang
yang sangat kesepian. Banyak lagunya bertemakan kesendirian manusia. Dikabarkan,
ia juga adalah seorang pemain kartu yang andal dan gemar bermain solitaire. Ia
adalah seorang penghibur serbabisa yang ahli meramal dengan kartu. Dan mungkin
karena kartu itulah ...."
Jose tiba-tiba terdiam seakan-akan ada sesuatu hal penting yang ia lupakan.
"Ada apa dengan kartu?" aku bertanya, untuk membujuknya melanjutkan kisahnya.
"Mungkin sebaiknya kita memulai dari sisi lain."
"Tidak masalah dari mana engkau memulai, asalkan semuanya menjadi satu pada
akhirnya," ujarku. "Pada suatu malam di musim panas 1894, Manuel el Solitario berjalan di sepanjang
tepian Guadalquivir. Tidak ada yang aneh hari itu: ia selalu berjalan-jalan
melalui daerah Sevilla itu setiap malam setelah menyanyi di cafe cantante milik
Silverio Franconetti. Ibu Silverio adalah seorang gipsi tulen, walaupun Silverio
sendiri dianggap sebagai bukan orang Romani atau orang payo oleh para gipsi di
Sevilla, dan para payo mulai menyanyikan cante gitano baru-baru saja
"Suatu malam di musim panas 1894, Manuel berjalan-jalan di tepian Guadalquivir,"
aku mengulangi. "Dan malam itu mereka berkata bahwa ia melihat sesosok aneh bergerak dalam
kegelapan di tepi sungai, di sisi sebelah Triana, di antara jembatan Puente de
Triana dan jembatan Puente San Telmo, tidak jauh dari Gereja Santa Ana. Mungkin
aku akan berkesempatan untuk menunjukkan lokasi tepatnya kepadamu akhir minggu
nanti, karena Betis masih merupakan tempat yang baik untuk berjalan-jalan pada
sore hari, dengan pemandangannya yang indah jika kita menatap ke seberang sungai
ke arah arena banteng, Torre del Oro dan La Giralda. Tetapi pokoknya, sosok
dalam kegelapan itu konon adalah seorang kurcaci."
"Ada lagi?" aku berseru.
"Kau harus ingat bahwa Manuel sangat mengenal cerita lama mengenai El Planeta
yang bertemu dengan kurcaci di Marseilles ...."
"Walaupun tentunya bukan kurcaci yang
sama." Jose duduk di sana selama beberapa saat, hanya menatap ke arah El Parterre.
Kemudian ia berkata pelan mungkin ditujukan kepada dirinya selain kepadaku
"Bukan, tentunya bukan kurcaci yang sama."
"Pada waktu itu tentunya ia sudah sangat
tua." Jose menggelengkan kepalanya.
"Ia belum tua. Tetapi, Manuel berdiri di sana sambil menatapnya, karena menurut
nenek Ana, ia mulai berpikir tentang pengalaman El Planeta ke Marseilles. Tepat
pada saat itu, sang kurcaci mengisyaratkan kepadanya untuk mendekat dengan
menggunakan telunjuk kirinya persis seperti yang dilakukan El Planeta dalam
lempengan tembaga tua itu. Manuel pun mendekati si kurcaci yang mengenakan
sebuah kostum sederhana yang biasa dikenakan oleh para payo pada saat itu. 'Anda
sedang menghirup udara segar, ya"' ujar si kurcaci, dan dimulailah sebuah
percakapan menarik antara si kurcaci dan Manuel el Solitario."
"Kurcaci yang ini dapat berbahasa Spanyol?"
"Ia bahkan berbicara dengan aksen Andalusia, tetapi dengan sikap yang jelas
menunjukkan bahwa ia tidak dilahirkan di Sevilla, Andalusia, atau di mana pun di
Semenanjung Iberia."
"Dan apakah yang mereka bicarakan?"
"Janganlah berharap terlalu banyak dalam hal ini. Ingat bahwa peristiwa ini
terjadi lebih dari seabad yang lalu, dan aku harus menekankan bahwa
aku telah mendengar banyak versi berbeda tentang percakapan yang terjadi
walaupun 'percakapan' bukanlah kata yang benar-benar tepat. Yang kumaksud adalah
cerita sang kurcaci mengenai asal-usulnya. Aku pernah mendengar kisah ini
diceritakan para sepupu dan sepupu jauh Ana, tetapi sejauh ini aku belum pernah
mendengar cerita yang persis sama dua kali."
"Kalau begitu, pilihlah salah satu! Atau ceritakan saja semuanya."
"Akan kugabungkan semuanya. Versi singkatku hanya akan menyebutkan bagian-bagian
yang ada dalam semua penuturan yang berbeda-beda itu. Toh kita tidak memiliki
banyak waktu." Sebenarnya, aku ingin mendengar sebanyak mungkin, dan sudah mulai khawatir bahwa
ia mungkin kehabisan waktu, sama seperti yang terjadi di Kebun Raya. Orang
Spanyol berkulit putih dengan rambutnya yang pirang dan matanya yang biru ini
semakin menjadi sebuah teka-teki, dan aku tidak terlalu yakin seberapa jauh
dapat memercayai dirinya. Jika ia berusaha membohongiku, aku ingin dapat
menghentikannya sebelum ia menjadikanku bahan tertawaan.
"Lanjutkanlah!" ujarku.
"Kurcaci itu menjelaskan bahwa ia adalah orang yang sama yang telah diberi
mantel oleh El Planeta lima puluh dua tahun sebelumnya, dan sejak awal
sepertinya ia tahu bahwa ia berbicara dengan cucu buyut El Planeta. Selanjutnya,
ia membuka sebuah karung dan mengeluarkan sebuah
mantel sangat tua yang kemudian ia berikan kepada Manuel, mungkin sebagai tanda
ketulusannya. Saat kurcaci itu membuka karungnya, Manuel dapat mendengar suara
lonceng-lonceng yang teredam."
"Tetapi, kurcaci itu belum tua!"
Jose menggelengkan kepalanya.
"Ia berusia kira-kira 40-an."
"Aku mulai dapat memahami mengapa cerita ini membuat Ana tertarik. Tetapi,
apakah yang dikatakan sang kurcaci?"
"Kapal layar yang membawanya ke Marseilles memang menyelamatkannya dari sebuah
perahu di tengah lautan luas di selatan Bermuda dan di dalam perahu itu juga
terdapat seorang pelaut Jerman. Tetapi, mereka bukan dipungut dari laut setelah
kapal mereka tenggelam."
"Kalau begitu, mengapa mereka duduk dalam sebuah perahu di tengah lautan?"
"Sang kurcaci itu berasal dari sebuah pulau vulkanis yang tiba-tiba tenggelam.
Si pelaut Jerman baru tiba di pulau itu selama beberapa hari setelah kapalnya
tenggelam, kapal layar Maria."
"Dan kurcaci itu?"
"Kurcaci itu tiba di pulau tersebut dengan seorang pelaut lain setelah
tenggelamnya sebuah kapal pada 1790. Di sana ia hidup selama lima puluh dua
tahun penuh sebelum berperahu pergi dari pulau itu, karena pada saat itu
retakan-retakan mulai bermunculan dan pada akhirnya pulau itu tenggelam ditelan
ombak." Pada saat itu aku tertawa penuh sarkasme.
"Oh begitu, jadi kurcaci itu datang ke sebuah pulau di Samudra Atlantik tepat
seratus empat tahun sebelum ia bertemu Manuel di Sevilla. Dan pada saat bertemu
Manuel, ia masih dalam usia puncak!"
Tetapi, Jose tidak tersenyum sedikit pun, justru sebaliknya, karena ia
melanjutkan: "Lima puluh dua tahun kemudian, pada suatu malam di bulan Juni 1946, sekali lagi
ia terlihat, kali ini di Plaza Virgen de los Reyes di luar katedral di Sevilla.
Paman buyut Ana bersumpah bahwa ia telah melihatnya di sana. Karena adanya La
Giralda dan dinding-dinding tinggi yang mengelilingi Alcazar, Plaza Virgen de
los Reyes memiliki gema yang sangat baik, dan ia mendengar denting-denting bel
bergemerencing saat badut kecil itu berlari melintasi lapangan menuju Archivo de
Indias dan Puerta de Jerez."
Ia masih bersikap sangat serius, tetapi untuk sekejap aku merasa telah
dibohongi. Mungkin Jose telah menjadi gila, atau setidaknya membual, dan
karenanya mungkin saja Ana tidak benar-benar mati.
"Sekarang mungkin engkau akan memberitahuku bahwa kurcaci yang ini adalah orang
yang sama yang dikejar Ana di Taman Alcazar?"
Ia meletakkan jari telunjuk kanannya di mulutnya dan menggelengkan kepala.
"Tetapi, Ana beranggapan begitu, ia yakin akan hal itu. Hal pertama yang ia
katakan ketika aku berhasil mengejarnya di Taman para Penyair adalah: 'Aku
mendengar lonceng-loncengnya!' Itu adalah kalimat yang ia ulang berkali-kali
sebelum ia meninggal. Kini tahun 1998, tepat lima puluh dua tahun sejak 1946."
Aku telah menghitungnya sendiri. Selalu ada cerita mengenai kurcaci ini setiap
lima puluh dua tahun. "Jadi, kita harus menunggu dan melihat apa yang akan terjadi pada 2050," aku
berucap ringan. "Tetapi tentunya engkau sendiri tidak memercayai cerita-cerita
ini?" Seolah-olah tidak mau memberiku sebuah jawaban langsung, ia hanya mengulangi,
"Ana memercayai setiap kata dalam cerita itu. Selama hidupnya ia telah
mengantisipasi apa yang akan terjadi di Sevilla tahun ini."
"Engkau berkata bahwa Manuel meninggal karena sebuah perkelahian?"
"Dua tahun setelah bertemu si kurcaci di Sevilla, ia tengah bermain kartu dengan
beberapa teman, dan Manuel terus memenangi setiap permainan. Ia suka menggembar-
gemborkan bahwa ia adalah seorang penyihir dengan kekuatan khusus yang
membuatnya mudah menang dalam permainan kartu. Ia melanjutkan dengan
menceritakan seluruh kisah si kurcaci sejak pulau itu tenggelam hingga
pertemuannya dengan El Planeta, dan mengenai pertemuannya sendiri dengan sang
kurcaci di tepi Sungai Guadalquivir."
"Apakah ia bercerita lebih banyak daripada yang telah kau ceritakan?"
"Ia juga menceritakan penciptaan sang kurcaci
"Oh?" "... dan bagian ceritanya yang itulah yang telah menimbulkan perkelahian sial di
Triana itu. Pihak kepolisian telah mengon-firmasi bahwa seorang Manuel telah
dipukuli hingga mati di Triana pada waktu itu. Maka kita berhadapan dengan
sebuah fakta sejarah, setidaknya sehubungan dengan perkelahian itu."
"Ayo lanjutkan!"
"Aku memberitahumu bahwa kurcaci itu datang ke pulau itu setelah sebuah kapal
tenggelam pada 1790. Pernyataan itu hanya sebagian benar."
Aku tertawa. "Seseorang bisa datang ke sebuah pulau pada 1790 atau tidak datang sama sekali.
Ia tidak dapat datang atau pergi sebagian saja."
"Tenanglah. Aku hanya ingin menceritakan sebuah kisah kuno. Sebuah kisah yang
diceritakan oleh si kurcaci kepada Manuel el Solitario. Setelah sebuah kapal
tenggelam pada 1790, seorang pelaut tiba di pulau tersebut sendirian. Ia pun
seorang Jerman, dan satu-satunya yang ada di dalam saku bajunya ketika ia
merangkak menuju daratan adalah satu kotak kartu. Ia benar-benar tinggal seorang
diri di pulau itu selama lima puluh dua tahun yang panjang, dan tidak ditemani
siapa pun kecuali sekotak kartunya. Kartu-kartunya itu dibuat dengan sangat
indah. Setiap kartunya berlukiskan sesosok makhluk dari kepala hingga kaki,
tetapi hampir sepertinya mereka adalah tokoh-tokoh dongeng, karena setiap
karakter itu pendek dan terlihat seperti
para peri yang biasa kau dengar dalam dongeng."
"Mungkin mereka menyerupai orang-orang dalam 'Taman Kesenangan Duniawi'," aku
Maya Misteri Dunia Dan Cinta Karya Jostein Gaarder di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
mengusulkan. "Apa katamu?"
Aku mengulangi pendapatku, dan ia menjawab: "Mungkin saja, walaupun orang-orang
dalam lukisan karya Bosch itu telanjang. Para peri dalam kartu itu mengenakan
kos-tum-kostum yang sangat indah dari Zaman Pencerahan di Prancis. Dan konon si
kurcaci tergambar dengan mengenakan sebuah setelan berwarna ungu dan sebuah topi
dengan telinga keledai. Pakaiannya ditempeli lonceng-lonceng kecil sehingga akan
berbunyi jika si badut itu bergerak walau sekecil apa pun."
"Aku tidak tahu apakah
"Sang pelaut dari kapal yang karam mengisi hari-hari panjangnya dengan bermain
solitaire, sama seperti yang dilakukan Napoleon dalam pengasingannya di St.
Helena. Setelah beberapa lama, ia mulai memimpikan tokoh-tokoh di dalam
kartunya; merekalah satu-satunya yang telah menemaninya dalam tahun-tahun yang
panjang itu. Begitu nyata ia memimpikan para peri dalam kartu permainan yang
menyerupai manusia itu hingga ia membayangkan bahwa ia juga dapat melihat mereka
pada siang hari. Seolah-olah mereka melayang-layang di sekelilingnya bagaikan
makhluk-makhluk halus. Dengan begitu, ia dapat melakukan percakapan-percakapan
panjang dengan mereka walaupun pada kenyataannya, tentu saja, pelaut kesepian
itu hanya berbicara kepada dirinya sendiri. Tetapi, kemudian pada suatu hari
"Ya?" "... pada suatu hari, peri-peri itu berhasil menemukan jalan keluar dari imajinasi
sang pelaut ke dalam dunia nyata, yaitu di sebuah pulau kosong di Karibia yang
ia huni setelah kapalnya karam. Mereka berhasil membuka portal antara ruang
kreatif dalam alam sadar sang pelaut dan ruang tercipta di bawah langit. Maka,
mereka pun muncul, satu demi satu, seolah-olah mereka melompat keluar dari dahi
sang pelaut, dan setelah beberapa bulan, seluruh tokoh dalam set itu pun muncul.
Yang terakhir muncul adalah sang Joker, ia adalah apa yang sering disebut
sebagai 'pemikiran ulang'. Pelaut itu pun tidak lagi sendirian, dengan segera ia
hidup di dalam sebuah desa dengan dikelilingi oleh lima puluh dua orang peri
dalam ukuran yang sesungguhnya, begitu pula sang badut kecil."
"Ia tentu berhalusinasi. Bertahun-tahun sendirian di pulau itu telah mengacaukan
otaknya. Kurasa, hal itu tidak sulit untuk dipahami."
"Ia pun menanyakan hal yang sama kepada dirinya sendiri, apakah ia
berhalusinasi. Tetapi kemudian, pada 1842, sang pelaut muda tiba di pulau
tersebut setelah Maria tenggelam. Anehnya, ia pun dapat melihat kelima puluh dua
peri tersebut di pulau itu. Walaupun begitu, ia menyadari bahwa sepertinya
mereka tidak sadar siapa diri mereka sebenarnya dan dari mana mereka berasal.
Mereka hanya ada di pulau itu, dan bagi mereka, dunia yang mereka huni itu
tidaklah luar biasa, sama seperti
anggapan kebanyakan manusia. Satu pengecualian adalah sang Joker. Ia tidak
seperti peri-peri yang lain. Ia berhasil menembus tirai ilusi dan akhirnya
mengerti siapakah dirinya dan dari mana ia berasal. Ia menyadari bahwa ia telah
memasuki dunia ini dengan sebuah cara yang luar biasa dan bahwa ia adalah bagian
dari sebuah petualangan yang tidak dapat dijelaskan. Berada di situ adalah
sebuah keajaiban besar bagi sang Joker. Atau jika menggunakan kata-katanya
sendiri, seperti yang dikisahkan oleh Manuel el Solitario: 'Tiba-tiba engkau
berada di sebuah dunia, dan engkau melihat surga dan bumi.' Karena para peri
yang lain menganggap keduanya sebagai hal biasa begitu mereka ada di sini.
Tetapi sang Joker berbeda, ia adalah orang luar yang melihat apa yang tidak
dapat dilihat oleh mereka yang lain. Atau menggunakan kata-katanya sendiri:
'Joker menyelinap dengan gelisah di antara para peri bagaikan seorang mata-mata
dalam dongeng itu. Ia telah mengambil kesimpulan, tetapi tidak dapat
melaporkannya kepada siapa pun. Hanya Jokerlah yang ia lihat. Hanya Joker yang
melihat siapa dirinya.'"
"Kemudian, engkau mengatakan bahwa pulau itu tenggelam ke dalam laut?"
Jose menatapku dengan matanya yang biru, dan aku harus menyingkirkan segala
pikiran bahwa ini hanyalah karangannya.
"Si pelaut tua dan kelima puluh dua peri ikut tenggelam bersamanya. Hanya si
pelaut muda dan Jokerlah yang berhasil keluar dari pulau itu dengan menggunakan
sebuah perahu dayung. Tetapi, ada
suatu hal lain yang harus kau ketahui agar engkau mengerti apa yang terjadi di
kemudian hari." Aku melirik jam.
"Ceritakanlah," ujarku. "Ceritakanlah kepadaku!" Tetapi, waktu berlalu hingga
akhirnya ia berkata, "Baik Joker maupun para peri itu tidak ada yang berubah
sedikit pun selama bertahun-tahun mereka tinggal dengan sang pelaut. Si pelaut
sendiri menjadi semakin tua, tetapi para peri itu tidak ada yang mendapatkan
sedikit pun kerutan maupun noda kotor pada kostum mereka yang berwarna cerah.
Itu karena mereka adalah ruhruh. Mereka bukanlah darah dan daging seperti kita
manusia biasa." "Dan perkelahian itu?"
"Manuel el Solitario selalu memenangi permainan kartu, dan ketika ditanya
mengapa, ia berkata bahwa ia mempelajari beberapa tipuan dari kurcaci yang juga
Kebakaran Burning 3 Jodoh Rajawali Karya Kho Ping Hoo Tengkorak Maut 13