Pencarian

Domba Domba Telah Membisu 1

Domba Domba Telah Membisu The Silence Of The Lambs Karya Thomas Haris Bagian 1


The Silence of the Lambs THOMAS HARIS Domba-domba Telah Membisu
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama Jakarta, 1996
THE SILENCE OF THE LAMBS by Thomas Harris Copyright ? 1988
by Yazoo Fabrications, Inc.
All rights reserved including the right
of reproduction in whole or in part in any form.
Dipersembahkan pada ayahku
DOMBA-DOMBA TELAH MEMBISU
Alih bahasa: Hendarto Setiadi
GM 402 96.420 Hak cipta terjemahan Indonesia:
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama
Jl. Palmerah Selatan 24-26, Jakarta
10270 Diterbitkan pertama kali oleh
Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama,
anggota IKAPI, Jakarta, Oktober 1996
Perpustakaan Nasional : Katalog Dalam Terbitan (KDT)
HARRIS, Thomas Domba-domba telah membisu/Thomas Harris;
alih bahasa, Hendarto Setiadi. - Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama, 1996
480 him. ; 18 cm. Judul Asli : The Silence of The Lambs ISBN 979-605-420-5
I. Judul JJ. Setiadi, Hendarto Dicetak oleh Percetakan PT Gramedia, Jakarta Isi di luar tanggung jawab
percetakan Seorang diri Starling menyusuri koridor remang-remang itu. Ia tidak menoleh ke
sel-sel di kedua sisi. Suara langkahnya berkesan keras baginya. Kecuali itu
hanya ada suara mendengkur dari satu atau dua sel, serta tawa terkekeh-terkekeh
dari sel lain.... Dr. Lecter mengenakan seragam putih rumah sakit jiwa di selnya yang berwarna
sama. Kecuali rambut, mata, dan mulutnya yang merah, segala sesuatu di sel itu
berwarna putih. Wajahnya sudah begitu lama tidak terkena sinar matahari,
sehingga seakan-akan menyatu dengan warna putih yang mengelilinginya; sepintas
lalu timbul kesan wajahnya melayang di atas kerah bajunya. Lecter duduk di meja
di balik jaring nilon yang menghalanginya dari terali. Ia sedang membuat sketsa
pada kertas roti dengan memakai tangannya sebagai model.
Sementara Starling me-nonton, Lecter membalikkan tangan dan, sambil me-regangkan
jari-jemari, menggambar sisi dalam le-ngannya.
Dengan jari kelingking ia menggosok-gosok salah satu garis yang dibuatnya dengan
arang. Starling mendekati terali, dan Lecter menoleh. "Selamat malam, Dr.
Lecter." Ujung lidah Lecter yang merah muncul di antara kedua bibir yang tak kalah
merahnya. Sejenak lidahnya menyentuh bibir atas, tepat di tengah, lalu
menghilang kembali. "Clarice."
Starling mendengar suaranya yang parau, dan dalam hati ia bertanya, sudah berapa
lama sejak pria itu terakhir angkat bicara. Keheningan seakan berdenyut-denyut.
Bab Satu Ilmu perilaku, seksi FBI yang menangani pembunuhan berantai, terletak di lantai
dasar gedung Academy di Quantico, setengah terbenam di dalam tanah. Clarice
Starling tiba di sana dengan wajah merona merah setelah berjalan cepat dari
Hogan's Alley di lapangan tembak. Beberapa batang rumput masih tersangkut di
rambutnya, dan pada jaket seragam FBI Academy-nya pun terdapat noda-noda hijau
bekas rumput, karena ia tiarap dalam latihan menembak tadi.
Di ruang tunggu tidak ada siapa-siapa, sehingga ia menyempatkan diri mengamati
bayangannya pada pintu kaca. Ia tahu ia dapat tampil baik tanpa berdandan.
Tangannya masih berbau mesiu, namun tak ada waktu untuk cuci tangan. Kepala
Seksi Crawford telah menegaskan kata sekarang ketika menyuruhnya datang.
Jack Crawford ternyata seorang diri di ruang kerja bersama yang penuh sesak. Ia
sedang menggunakan telepon di meja orang lain, dan untuk pertama kali setelah
satu tahun, Starling sempat mengamati pria itu. Apa yang dilihatnya membuatnya
prihatin. Biasanya Crawford tampak seperti ahli teknik setengah baya yang fit, tipe orang
yang mungkin membiayai pendidikannya di perguruan tinggi dengan bermain baseball
- catcher andal yang garang dalam menjaga plate. Namun kini ia kelihatan kurus,
kerah kemejanya longgar, dan kulit di bawah matanya yang merah tampak
menggembung. Setiap orang yang bisa membaca koran tahu bahwa seksi Ilmu Perilaku
tengah disorot. Starling berharap Crawford tidak kecanduan alkohol. Tapi di
sini, kemungkinan tersebut sangat kecil.
Crawford mengakhiri percakapan teleponnya dengan membentak, "Tidak." Kemudian ia meraih map yang dikepitnya dan membukanya.
"Starling, Clarice M., selamat pagi," ujarnya.
"Halo." Starling tersenyum tipis, sekadar menjaga tata krama..
"Jangan kuatir. Tidak ada masalah apa-apa. Kau tidak kaget karena dipanggil
kemari, bukan?" "Tidak." Siapa yang tidak waswas kalau begini" Starling bertanya dalam hati.
"Menurut para instruktur, kemajuanmu cukup bagus. Kau termasuk siswa terbaik di
kelasmu." "Mudah-mudahan. Mereka tidak pernah mengumumkan hasil yang kami capai." "Aku
suka bertanya pada mereka dari waktu ke waktu."
Pernyataan ini mengejutkan Starling; semula ia menganggap Crawford sebagai
petugas rekrut yang tidak peduli pada kemajuan para siswa baru.
Ia bertemu Agen Khusus Crawford ketika pria itu tampil sebagai pembicara tamu di
University of Virginia. Mutu seminar-seminar kriminologi yang diadakan Crawford
merupakan salah satu faktor yang membawa Starling ke FBI. Starling sempat
menulis surat ketika ia lulus ujian saringan Academy, tapi tak pernah ada
balasan. Selama tiga bulan mengikuti pendidikan di Quantico pun ia tak
dihiraukan oleh Crawford. Starling berasal dari kalangan yang tak pernah minta
perlakuan istimewa dan tidak biasa mengakrabkan diri, namun ia heran dan
menyayangkan sikap Crawford. Kini, setelah berhadapan langsung, ia kembali
menyukainya, dan hal itu disadarinya dengan rasa menyesal.
Ia langsung tahu ada yang tidak beres dengan pria itu. Crawford memiliki
kepandaian yang khas, di samping kecerdasannya, yang tercermin melalui cara ia
memilih warna dan pakaian, sehingga ia dapat tampil berbeda tanpa menyimpang
dari standar berpakaian tak resmi yang berlaku di FBI. Kini ia tampak rapi namun
kusam, seakan-akan sedang berganti kulit.
"Ada tawaran tugas, dan aku teringat padamu," Crawford berkata. "Tugasnya
sepele, tapi menarik. Duduklah. Singkirkan saja barang-barang Berry dari kursi
itu. Nah, di sini tertulis kau ingin langsung masuk ke seksi Perilaku setelah
menyelesaikan pendidikan."
"Betul." "Kau banyak belajar tentang forensik, tapi tidak punya latar belakang dalam
penegakan hukum. Kami butuh orang dengan pengalaman enam tahun di sini,
minimal." "Ayahku dulu marshall. Aku kenal dunia itu."
Crawford tersenyum tipis. "Kau sarjana psikologi dan kriminologi. Dan berapa
lama kau bekerja di pusat perawatan mental - dua musim panas?"
"Ya, dua." "Lisensi konselormu masih berlaku?"
"Masih dua tahun lagi. Aku memperolehnya sebelum Anda mengadakan seminar di UVA -
sebelum aku memutuskan bergabung di sini."
"Tapi ternyata untuk sementara tidak ada penerimaan pegawai baru." Starling
mengangguk. "Tapi aku beruntung, masih sempat memenuhi persyaratan untuk
diterima sebagai Forensic Fellow.
Dengan demikian, aku bisa bekerja di lab sampai ada tempat lagi di Academy."
"Kau pernah tulis surat bahwa kau akan datang kemari, bukan"
Tapi aku tidak menanggapinya. Seharusnya aku membalas suratmu."
"Anda banyak kesibukan lain."
"Kau paham soal VI-CAP?"
"Itu singkatan dari Violent Criminal Apprehension Program Law Enforcement
Bulletin menyebutkan Anda sedang mengembangkan database, tapi sampai sekarang
belum beroperasi." Crawford mengangguk. "Kami telah mengembangkan kuesioner, untuk semua pembunuhan
berantai yang diketahui di zaman modern."
Ia menyerahkan berkas tebal. "Satu bagian untuk penyelidik, satu untuk korban-
korban yang selamat, kalau ada. Bagian yang biru diisi oleh si pembunuh, kalau
dia bersedia, sedangkan yang merah jambu berisi serangkaian pertanyaan yang
diajukan penyelidik kepada si pembunuh. Baik jawaban maupun reaksinya akan
dicatat." Catat-mencatat. Clarice Starling langsung siaga.
Tawaran pekerjaan yang akan menyusul sudah bisa diciumnya - kemungkinan besar
pekerjaan menjemukan seperti memasukkan data mentah ke dalam sistem komputer
baru. Peluang memasuki seksi Ilmu Perilaku, dalam kapasitas apa pun, sungguh
menggoda, tapi ia tahu bagaimana nasib wanita yang telanjur dicap sebagai
sekretaris - cap itu akan melekat sampai akhir zaman. Starling sadar ia akan
menghadapi pilihan, dan ia ingin mengambil keputusan yang benar.
Crawford sedang menunggu sesuatu - rupanya ia sempat mengajukan pertanyaan.
Starling harus berpikir sejenak sebelum dapat mengingat pertanyaannya:
"Tes apa saja yang sudah pernah kauberikan" Minnesota Multiphasic, pernah"
Rorschach?" "MMPI sudah, Rorschach belum," jawab Starling. "Aku juga pernah melakukan
Thematic Apperception dan memberikan Bender-Gestalt untuk anak-anak."
"Kau mudah takut, Starling?"
"Sejauh ini tidak."
"Begini, kami telah berusaha mewawancarai dan memeriksa ketiga puluh dua
pembunuh berantai yang ada dalam tahanan, untuk mengembangkan database guna
menyusun profil psikologis bagi kasus-kasus yang belum terpecahkan. Sebagian
besar dari mereka setuju - sepertinya mereka ingin membanggakan diri. Dua puluh
tujuh bersedia bekerja sama. Empat orang memilih tutup mulut. Keempat-empatnya
telah dijatuhi hukuman mati, tapi masih menunggu keputusan terhadap permohonan
grasi, jadi sikap mereka bisa dimengerti. Tapi orang yang paling kami incar
belum berhasil kami dapatkan. Aku ingin kau pergi ke rumah sakit jiwa besok dan
mencoba membujuknya." Clarice Starling merasa lega, sekaligus waswas.
"Siapa orangnya?"
"Psikiater itu - Dr. Hannibal Lecter," sahut Crawford.
Di semua lingkungan beradab, penyebutan nama itu membuat semua percakapan
terhenti sejenak. Pandangan Starling tetap tertuju pada Crawford, namun ia pun terdiam sesaat.
"Hannibal the Cannibal," ia akhirnya berkata "Ya."
"Ya, ehm - oke. Aku senang diberi kesempatan ini, tapi aku agak heran - kenapa
justru aku?" "Terus terang, terutama karena kaulah yang bisa kudapatkan,"
ujar Crawford. "Aku tidak yakin dia akan bersedia diwawancarai. Dia sudah pernah
menolak, tapi melalui perantara - direktur rumah sakit jiwa itu. Aku harus bisa
mengatakan bahwa petugas kami sendiri yang mendatanginya dan menanyainya secara
langsung. Ada alasan-alasan yang tidak perlu kauketahui. Tak ada lagi di seksi
ini yang bisa melakukannya."
"Anda dalam keadaan terjepit - Buffalo Bill - dan kejadian-kejadian di Nevada,"
Starling berkomentar. "Persis. Cerita lama - kami kekurangan orang."
"Tadi Anda mengatakan besok - berarti tugas ini harus selesai cepat. Sudah ada
petunjuk mengenai kasus-kasus terakhir?"
"Sayangnya belum ada. "
"Andaikata dia menolak lagi, Anda tetap menginginkan evaluasi psikologis?"
"Tidak usah. Sudah terlalu banyak evaluasi mengenai Dr. Lecter, dan semuanya
berbeda. Crawford menuangkan dua tablet vitamin C ke tangannya, lalu mencampurkan Alka-
Seltzer untuk menenggak keduanya. "Situasinya konyol sekali; Lecter psikiater
dan dia sering menulis untuk jurnal-jurnal psikiatri. Tulisannya bermutu, tapi
tak pernah mengenai kelainan-kelainannya sendiri. Pernah suatu kali dia berlagak
mau mengikuti serangkaian tes yang diadakan direktur rumah sakit jiwa, Chilton -
termasuk duduk dengan alat pengukur tekanan darah pada penisnya sambil
memperhatikan gambar-gambar abstrak - tapi kemudian Lecter mempermalukan Chilton
dengan lebih dulu menerbitkan hal-hal yang dipelajarinya tentang dia. Selain
itu, dia hanya menanggapi korespondensi serius dari mahasiswa-mahasiswa
psikiatri dalam bidang-bidang yang tidak terkait dengan kasusnya.
Kalau dia tidak bersedia bicara denganmu, kuminta kau melaporkan fakta-faktanya
saja. Bagaimana penampilannya, seperti apa selnya, apa saja yang dikerjakannya.
Dan hati-hati terhadap pers waktu kau masuk dan keluar. Maksudku bukan wartawan-
wartawan yang serius, tapi wartawan-wartawan gosip. Bagi mereka, Lecter bahkan
lebih berharga daripada Pangeran Andrew."
"Bukankah pernah ada majalah gosip yang menawarkan lima puluh ribu dolar kepada
Lecter untuk beberapa resep" Rasanya aku masih ingat itu," ujar Starling.
Crawford mengangguk. "National Tattler pasti sudah menyuap staf rumah sakit, dan mereka mungkin akan
segera tahu bahwa kau menuju ke sana."
Crawford mencondongkan badan ke depan sampai jarak di antara
mereka tinggal sekitar setengah meter. Starling memperhatikan kacamata Crawford mengaburkan kulit menggembung di bawah matanya.
Pria itu baru saja berkumur dengan Listerine.
"Nah, sekarang perhatikan baik-baik, Starling."
"Ya, Sir?" "Kau harus sangat berhati-hati dengan Hannibal Lecter. Dr.
Chilton, kepala rumah sakit jiwa itu, akan menjelaskan prosedur yang harus
ditaati saat berhadapan dengan Lecter. Ikuti prosedur itu dengan setepat-
tepatnya. Jangan menyimpang sedikit pun untuk alasan apa pun. Kalaupun Lecter
bersedia bicara denganmu, itu sekadar untuk mengorek keterangan tentang kau. Dia
seperti ular yang melongok ke dalam sarang burung. Kita sama-sama tahu kita
harus fleksibel saat melakukan wawancara, tapi jangan ceritakan hal-hal pribadi.
Kau tahu, bukan, apa yang dilakukannya terhadap Will Graham?"
"Aku membaca laporannya."
"Dia merobek perut Will dengan cutter ketika Will berhasil memojokkannya. Aku
sendiri heran Will bisa selamat. Masih ingat Red Dragon" Lecter menghasut
Francis Dolarhyde untuk mengincar Will dan keluarganya. Muka Will sekarang mirip
lukisan Picasso, gara-gara Lecter. Dia juga mencederai juru rawat di rumah sakit
jiwa. Pokoknya, lakukanlah tugasmu, tapi jangan lupa siapa dia sesungguhnya."
"Anda tahu siapa dia sesungguhnya?"
"Aku tahu dia monster. Selebihnya tak ada yang tahu pasti.
Barangkali kau akan menemukan jawabannya; aku punya alasan tersendiri waktu
memilihmu, Starling. Kau sempat mengajukan beberapa pertanyaan menarik waktu aku
berkunjung ke UVA. Laporanmu akan diserahkan langsung kepada Direktur- kalau isinya jelas dan
terorganisasi dengan baik, Aku yang akan memutuskannya.
Dan laporanmu harus sudah kuterima pukul 09.00, hari Minggu besok.
Oke, Starling, Laksanakan tugasmu." Crawford mengembangkan senyum, namun matanya
tetap redup. Bab Dua Dr. Frederick Chilton, lima puluh delapan tahun, pimpinan Baltimore State
Hospital for the Criminally Insane, mempunyai meja tulis panjang dan lebar, dan
di atasnya tak ada satu pun benda keras maupun tajam. Meja itu dijuluki "selokan
pertahanan" oleh beberapa stafnya, namun ada pula staf yang tidak mengetahui
arti istilah tersebut. Dr. Chilton tidak beranjak dari kursi di belakang meja
ketika Clarice Starling memasuki ruang kerjanya. "Kami sudah sering dikunjungi
detektif di sini, tapi rasa-rasanya belum pernah ada yang secantik ini," Chilton
berkata tanpa bangkit.

Domba Domba Telah Membisu The Silence Of The Lambs Karya Thomas Haris di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Starling langsung tahu bahwa gilap pada tangan pria itu adalah lanolin yang
melekat karena Chilton habis mengusap-usap rambut, dan ia bersalaman seperlunya
saja. "Mrs Sterling, bukan?"
"Starling, Dokter, dengan a. Terima kasih Anda bersedia menerima saya."
"Rupanya FBI juga sudah mulai memanfaatkan gadis-gadis, seperti semua orang
lain, haha." Ia menampilkan senyum yang biasa digunakannya untuk memisahkan dua
kalimat. Giginya tampak kuning akibat nikotin.
"Kantor kami terus mengadakan perbaikan, Dr. Chilton.
Sungguh." "Anda akan tinggal di Baltimore untuk beberapa hari"
Sebenarnya hiburan di kota ini tak kalah seru dibandingkan di Washington atau
New York, asal Anda tahu tempat-tempat yang tepat."
Starling memalingkan wajah agar tidak perlu melihat senyumnya yang
menjengkelkan. "Saya percaya kota ini cukup menyenangkan, tapi saya
diperintahkan menemui Dr. Lecter, lalu kembali sore ini juga."
"Barangkali ada nomor telepon di Washington di mana saya bisa menghubungi Anda
untuk follow-up, kalau diperlukan?"
"Tentu. Penanggung jawab proyek ini adalah Agen Khusus Jack Crawford, dan Anda
selalu bisa menghubungi saya melalui dia."
"Hmm, begitu," ujar Chilton. Pipinya yang kemerahan tidak selaras dengan
rambutnya yang merah kecokelatan. "Tolong perlihatkan identitas Anda." Starling
dibiarkannya berdiri sementara ia memeriksa kartu identitasnya tanpa terburu-
buru. Kemudian ia mengembalikannya dan bangkit dari kursi. "Tidak akan lama.
Mari." "Saya diberitahu Anda akan memberikan pengarahan pada saya, Dr. Chilton," kata
Starling. "Itu bisa sambil jalan." Chilton mengelilingi meja sambil menatap arlojinya.
"Setengah jam lagi saya mau makan siang."
Sial, seharusnya ia bisa membaca orang ini dengan lebih baik, lebih cepat.
Chilton mungkin tidak sebrengsek yang diduganya. Bisa jadi Chilton mengetahui
sesuatu yang berguna. Seharusnya ia meladeni orang itu dengan senyum manis,
meskipun ia tidak biasa melakukannya.
"Dr. Chilton, kunjungan saya sudah disesuaikan dengan jadwal Anda. Siapa tahu
saya akan memperoleh sesuatu dalam wawancara nanti. Mungkin ada beberapa jawaban
Dr. Lecter yang perlu saya bahas bersama Anda."
"Saya rasa tidak. Oh, saya harus menelepon dulu sebelum kita pergi. Silakan
tunggu di luar." "Kalau boleh, saya ingin menitipkan mantel dan payung saya di sini."
"Di luar," sahut Chilton. "Serahkan saja pada Alan di ruang tunggu. Biar dia
yang menyimpannya." Alan memakai seragam mirip piama yang dikenakan para penghuni, la sedang
membersihkan asbak-asbak dengan ujung bajunya. Ia menerima mantel Starling
sambil mengulum lidah. "Terima kasih," ujar Starling.
"Kembali. Berapa sering kau berak?" tanya Alan.
"Maaf?" "Tahinya panjang-panjang?"
"Biar saya gantungkan sendiri mantel saya."
"Kau bisa melihatnya, kan" Kau tinggal bungkuk dan melihatnya keluar, dan
berubah warna waktu kena udara. Pernah kaulakukan itu"
Mirip ekor yang panjang dan cokelat, ya?" Alan tidak mau melepaskan mantel di
tangannya. "Anda dipanggil Dr. Chilton," ujar Starling.
"Saya tidak memanggilnya," kata Dr. Chilton.
"Gantungkan mantel itu di lemari, Alan, dan jangan dikeluarkan sebelum kami
kembali. Ayo." Chilton berpaling kepada Starling. "Saya pernah punya sekretaris,
tapi dia terpaksa diberhentikan karena ada pemotongan anggaran. Sekarang hanya
ada gadis yang menerima Anda tadi. Dia mengetik tiga jam sehari. Setelah itu
hanya ada Alan. Ke mana perginya para sekretaris, Miss Starling?" Kacamatanya memantulkan cahaya
lampu. "Anda membawa senjata?"
"Tidak, saya tidak membawa senjata."
"Tolong buka tas Anda."
"Anda sudah melihat kartu identitas saya."
"Dan di situ tertulis bahwa Anda masih dalam pendidikan. Tolong buka tas Anda."
Clarice Starling meringis ketika pintu baja pertama menutup di belakangnya, dan
gerendelnya kembali ke posisi mengunci. Chilton berjalan menduluinya, menyusuri
koridor hijau yang berbau Lysol. Starling gusar pada dirinya sendiri karena
membiarkan Chilton menggeledah tasnya, dan ia melangkah sambil mengentakkan kaki
agar dapat menguasai kemarahannya.
"Lecter cukup merepotkan," Chilton berkata tanpa menoleh.
"Petugas kami menghabiskan paling tidak sepuluh menit setiap hari untuk membuka
staples dari terbitan-terbitan yang diterimanya. Kami pernah mencoba
menghentikan abonemen-abonemennya, atau paling tidak mengurangi jumlahnya, tapi
dia membuat pengaduan dan dimenangkan oleh pengadilan. Surat-surat yang
diterimanya pada awalnya luar biasa banyak, tapi untung saja sudah berkurang
sekarang, berhubung perhatian pers telah beralih kepada makhluk-makhluk lain.
Mula-mula semua mahasiswa S-2 psikologi yang sedang membuat tesis seakan-akan
berlomba-lomba agar bisa memuat komentar atau analisis dari Lecter. Sampai
sekarang pun jurnal-jurnal kedokteran masih memuat tulisannya, tapi itu lebih
banyak diwarnai unsur sensasi, agar mereka bisa mencantumkan namanya."
"Menurut saya, pembahasannya mengenai adiksi pembedahan dalam Journal of
Clinical Psychiatry cukup bagus," Starling berkomentar.
"Hmm, begitu" Kami telah mencoba mempelajari Lecter. Bagi kami, ini kesempatan
emas untuk membuat penelitian yang akan menjadi tonggak baru dalam dunia
psikologi - orang seperti itu jarang sekali tertangkap dalam keadaan hidup."
"Orang seperti apa?" "Sosiopat sejati, seperti Lecter. Tapi dia tidak bisa
ditembus. Dia terlalu lihai untuk tes-tes standar. Dan dia benar-benar membenci
kami. Saya dianggapnya musuh bebuyutan.
Dan sekarang Crawford mengirim Anda. Cerdik sekali, bukan?"
"Apa maksud Anda, Dr. Chilton?" "Crawford menugaskan Anda, seorang wanita muda,
untuk menaklukkan' Lecter. Rasanya Lecter sudah beberapa tahun tidak bertemu
wanita - paling-paling dia sempat melihat salah satu petugas kebersihan, itu pun
hanya sekilas. Kami sengaja menjauhkan petugas wanita dari sana. Wanita di ruang tahanan hanya
membuat masalah." Persetan kau, Chilton. "Saya lulus dengan pujian dari University of Virginia,
Dokter. Itu bukan sekolah tata krama."
"Kalau begitu, Anda pasti mampu mengingat peraturan yang berlaku di sini: Jangan
ulurkan tangan melewati terali, jangan sentuh terali. Jangan serahkan apa pun
selain kertas tipis. Jangan berikan pena maupun pensil padanya. Dia punya alat
tulis sendiri. Kertas-kertas yang Anda serahkan harus bebas dari staples maupun
jepitan kertas. Semua barang dari dalam dikembalikan lewat celah untuk baki
makanan. Tanpa pengecualian. Jangan terima apa pun yang disodorkannya lewat
terali. Mengerti?" "Mengerti." Mereka telah melewati dua pintu lagi dan memasuki koridor yang tak terjangkau
cahaya matahari. Bangsal-bangsal tempat para pasien diizinkan berbaur bebas
sudah mereka lewati. Kini mereka berada di bagian pengamanan maksimum yang tidak
berjendela, tempat ruang gerak para penghuni dibatasi dengan ketat. Lampu-lampu
koridor dilindungi kisi-kisi logam yang kokoh, bagaikan lampu-lampu di ruang
mesin kapal. Dr. Chilton berhenti di bawah salah satunya. Samar-samar Starling
mendengar suara di balik dinding, suara yang parau karena terlalu banyak
berteriak. "Lecter tidak diizinkan keluar sel tanpa baju pengekang dan penutup mulut," ujar
Chilton. "Saya akan menjelaskan sebabnya.
Selama tahun pertama di sini, Lecter menunjukkan sikap sangat kooperatif, dan
pengamanan di sekitarnya dikendurkan sedikit - harap diingat, ini terjadi sebelum
saya menjabat sebagai kepala rumah sakit.
Pada sore tanggal 8 Juli 1976, dia mengeluh dadanya sesak, dan dibawa ke klinik.
Baju pengekangnya dilepas untuk memudahkan prosedur elektrokardiogram. Ketika
juru rawat hendak menempelkan elektroda, inilah yang dilakukan Lecter
terhadapnya." Chilton menyerahkan foto yang telah kumal kepada Starling.
"Para dokter berhasil menyelamatkan sebelah mata juru rawat itu. Sepanjang
kejadian itu, Lecter tetap dimonitor oleh alat-alat pemantau. Dia mematahkan
rahang si juru rawat agar dapat menjangkau lidahnya. Denyut nadi Lecter tak
lebih dari delapan lima, bahkan ketika dia menelan lidah wanita itu."
Starling tidak tahu mana yang lebih parah, foto itu atau perhatian Chilton, yang
seakan-akan hendak menelannya dengan matanya.
"Dia dikurung di sini," ujar Chilton, lalu menekan tombol di samping pintu ganda
yang terbuat dari kaca tahan benturan yang tebal. Seorang penjaga berbadan besar
membukakan pintu. Starling mengambil keputusan sulit dan berhenti segera setelah melewati pintu.
"Dr. Chilton, kami sangat membutuhkan hasil tes-tes ini. Jika Dr. Lecter
menganggap Anda sebagai musuh - jika dia memang menaruh dendam pada Anda, seperti
yang Anda katakan - mungkin lebih baik kalau saya mendatanginya seorang diri.
Bagaimana menurut Anda?"
Pipi Chilton berkedut-kedut. "Boleh saja. Kenapa Anda tidak mengusulkannya di
ruang kerja saya tadi" Saya bisa minta salah satu petugas mengantar Anda ke
sini, supaya saya tidak buang-buang waktu."
"Saya tentu akan mengusulkannya, kalau saja Anda mau memberikan pengarahan
sebelum kita kemari."
"Rasanya kita takkan berjumpa lagi, Miss Starling. Barney, kalau dia sudah
selesai dengan Lecter, panggil saja orang untuk mengantarnya keluar." Chilton
pergi tanpa menoleh lagi.
Kini hanya ada petugas berbadan besar itu, jam yang tak berbunyi di belakangnya,
serta lemari berpintu anyaman kawat yang berisi Mace dan jaket pengekang, topeng
penutup mulut, dan pistol suntik. Pada rak di dinding terdapat pipa panjang
dengan lengkungan berbentuk U di ujungnya, yang digunakan untuk meringkus
tahanan yang mengamuk. Petugas itu sedang menatap Starling. "Anda sudah
diberitahu Dr. Chilton, jangan sentuh terali?" Suaranya tinggi sekaligus parau.
Starling teringat pada Aldo Ray. "Ya, saya sudah diberitahu."
"Oke. Dia ada di sel terakhir sebelah kanan. Berjalanlah di tengah-tengah
koridor, dan jangan pedulikan apa pun. Anda bisa membawakan surat-surat yang
ditujukan padanya, untuk mencairkan suasana." Petugas itu tersenyum sendiri.
"Letakkan saja di baki dan biarkan ditarik masuk. Kalau bakinya ada di dalam,
Anda bisa menariknya dengan tali, atau bisa juga dia yang mendorongnya keluar.
Dia tidak bisa menjangkau Anda." Petugas itu menyerahkan dua majalah, tiga
koran, dan beberapa surat yang sudah dibuka.
Koridor itu memanjang sekitar tiga puluh meter, dengan deretan sel di kedua
sisi. Beberapa di antaranya merupakan sel dengan dinding berlapis dan jendela
observasi yang panjang dan sempit, bagaikan celah untuk memanah, di tengah daun
pintu. Ada pula yang menyerupai sel penjara biasa, dengan terali menghadap ke
koridor. Clarice Starling menyadari kehadiran sosok-sosok di dalam sel-sel itu,
namun ia memaksakan diri untuk tidak menoleh. Ia sudah hampir sampai di sel
Lecter ketika sebuah suara mendesis, "Baumu bisa kucium dari sini." Starling
berlagak tidak mendengarnya. Ia terus berjalan. Lampu di sel terakhir menyala.
Starling sadar bahwa suara langkahnya telah menduluinya, dan ia beralih ke sisi
kiri koridor untuk memandang ke dalam sambil mendekat.
Bab Tiga Sel Dr. Lecter terletak berjauhan dari sel-sel yang lain. Sel itu berhadapan
hanya dengan lemari di seberang koridor, dan dalam hal-hal lain pun berbeda.
Sisi depannya dibatasi terali, tapi di sebelah dalam terali itu, lebih jauh dari
jangkauan tangan, terdapat pembatas kedua, yaitu jaring nilon yang terentang
dari lantai ke langit-langit dan dari dinding ke dinding. Di balik terali
tersebut, Starling melihat meja yang dibaut ke lantai dan penuh tumpukan buku
softcover serta kertas-kertas, dan kursi bersandaran lurus yang diamankan dengan
cara yang sama. Dr. Hannibal Lecter sedang berbaring di tempat tidur sambil membaca majalah
Vogue edisi Italia. Majalah itu digenggamnya dengan tangan kanan, sementara
tangan kirinya membalik-balik halaman. Tangan kiri Dr. Lecter berjari enam.
Clarice Starling berhenti agak jauh dari terali. "Dr. Lecter."
Suaranya terdengar biasa saja di telinganya.
Pria itu menoleh. ' Sejenak Starling mengira tatapan orang itu berdengung, tapi kemudian ia sadar
bahwa yang didengarnya hanya debur darahnya sendiri. "Namaku Clarice Starling.
Bolehkah aku bicara dengan Anda?"
Ia sengaja bersikap sopan, dan itu tersirat dalam nada suaranya serta jarak yang
diambilnya. Dr. Lecter berpikir sejenak sambil menempelkan jari ke bibir.
Kemudian ia bangkit dan melangkah maju dalam kerangkengnya. Ia berhenti di balik
jaring nilon tanpa memandangnya, seakan-akan jarak itulah yang dianggapnya
pantas. Starling melihat bahwa Lecter pendek dan berbadan kecil; tangan dan lengan pria
itu mengisyaratkan kekuatan terselubung, seperti yang dimiliki Starling.
"Selamat pagi," Lecter berkata, seakan-akan baru membukakan pintu bagi orang
tamu. Suaranya terdengar agak parau, mungkin karena jarang digunakan.
Mata Dr. Lecter berwarna maroon dan memantulkan cahaya sebagai titik-titik
merah. Kadang-kadang titik-titik tersebut seakan-akan memancar bagaikan bunga
api. Ia menatap Starling tanpa berkedip.
Starling maju sedikit. Bulu-bulu di tangannya berdiri dan mendesak lengan
bajunya. "Dokter, kami menghadapi kesulitan dalam menyusun profil psikologis. Aku
bermaksud minta bantuan Anda."
"'Kami' tentu berarti seksi Ilmu Perilaku di Quan-tico.
Tampaknya kau salah satu anak buah Jack Crawford."
"Ya, benar." "Boleh kulihat kartu identitasmu?" Permintaan ini tak diduga oleh Starling. "Aku
sudah menunjukkannya di... atas."
"Maksudmu, kau menunjukkannya kepada Frederick Chilton, Ph.D.?"
"Ya." "Kau tahu latar belakang dia?"
"Tidak." "Asal tahu saja, latar belakang akademiknya kurang meyakinkan. Kau bertemu Alan
tadi" Orangnya menarik sekali, bukan"
Di antara mereka berdua, siapa yang kau pilih sebagai teman mengobrol?"
"Kalau harus memilih, aku pilih Alan."
"Dari mana aku tahu kau bukan wartawan yang menyogok Chilton agar diizinkan
masuk ke sini" Kukira aku berhak melihat kartu identitasmu."
"Baiklah." Starling memperlihatkan kartu ID-nya yang dilaminasi.
"Aku tidak bisa membacanya dari sini. Silakan letakkan di baki."
"Maaf, aku tidak bisa melakukan itu."
"Karena kartu itu termasuk benda keras."
"Ya." "Tanya Barney saja."
Petugas itu datang dan mempertimbangkan permintaan Lecter.
"Dr. Lecter, saya akan mengizinkannya. Tapi kalau Anda tidak mengembalikannya
saat saya minta - kalau kita harus merepotkan semua orang dan mengamankan Anda
dulu untuk mengambilnya - maka saya akan marah. Dan kalau saya sampai marah, Anda
harus diikat sampai saya merasa lebih enak. Makanan lewat selang, celana diganti
dua kali sehari - pokoknya, lengkap. Dan surat-surat untuk Anda akan saya tahan
satu minggu. Mengerti?"
"Tentu,' Barney."
Kartu ID itu ditarik masuk, dan Lecter segera mengamatinya.
"Siswa" Di sini tertulis 'siswa.' Jack Crawford mengirim siswa untuk
mewawancarai aku?" Lecter mengetuk-ngetukkan kartu itu pada giginya yang kecil
dan putih, lalu menghirup baunya.
"Dr. Lecter," ujar Barney.
"Tentu saja." Lecter menaruh kartu itu di baki dan Barney menariknya keluar.
"Aku sedang mengikuti pendidikan di Academy," Starling menjelaskan. "Tapi kita
tidak bicara mengenai FBI - kita bicara soal psikologi. Bisakah Anda memutuskan
sendiri apakah aku memenuhi syarat untuk membahas masalah ini?"
"Hmmmm," Dr. Lecter bergumam. "Terus terang... ini agak licik.
Barney, barangkali Officer Starling ini bisa diambilkan kursi?"
"Dr. Chilton tidak menyinggung soal kursi."
"Kau lupa tata krama, Barney?"
"Anda mau diambilkan kursi" Sebenarnya kami bisa saja menyediakan kursi, tapi
dia tidak pernah... ehm, biasanya tak ada yang berlama-lama di sini."
"Ya, terima kasih," sahut Starling. Barney mengambil kursi lipat dari lemari di


Domba Domba Telah Membisu The Silence Of The Lambs Karya Thomas Haris di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

seberang, menaruhnya di depan sel, lalu meninggalkan mereka berdua.
"Nah," ujar Lecter. Ia duduk menyamping di mejanya, agar dapat menghadap ke arah
Starling. "Apa yang dikatakan Miggs tadi?"
"Siapa?" "Multiple Miggs, di sel sebelah sana. Aku mendengarnya mendesis tadi. Apa yang
dikatakannya?" "Dia bilang, 'Baumu bisa kucium dari sini.'"
"Hmm, begitu. Aku sendiri tidak bisa. Kau menggunakan krem kulit Evyan, dan
kadang-kadang memakai L'Air du Temps, tapi hari ini tidak. Hari ini kau tidak
memakai wangi-wangian. Bagaimana tanggapanmu terhadap ucapan Miggs?"
"Dia menunjukkan sikap bermusuhan karena alasan yang tidak kuketahui. Sayang
sekali. Dia memusuhi orang, orang memusuhi dia.
Timbal balik." "Kau memusuhi dia?"
"Aku menyayangkan bahwa dia terganggu. Selain itu, dia cuma angin lalu. Dari
mana Anda tahu soal parfumku?"
"Aku menciumnya waktu kau membuka tas untuk mengambil kartu ID. Tasmu bagus
sekali." "Terima kasih."
"Ini tasmu yang paling bagus, bukan?"
"Ya." Memang benar, Starling telah menabung untuk membeli tas casual berpotongan
klasik tersebut, yang sekaligus merupakan miliknya yang paling mahal.
"Tas itu jauh lebih bagus daripada sepatumu."
"Mudah-mudahan sepatuku akan menyusul."
"Aku tidak meragukannya."
"Anda sendiri yang membuat gambar-gambar yang ditempel di dinding itu, Dokter?"
"Kau pikir aku memakai ahli interior?"
"Gambar di atas tempat cuci tangan, itu kota di Eropa?"
"Itu Florence. Aku menggambar Palazzo Vecchio dan Duomo, dilihat dari
Belvedere." Anda menggambarnya di luar kepala, dengan segala detailnya?"
"Ingatan, Officer Starling, merupakan pengganti pemandangan bagiku."
"Yang satu lagi adegan penyaliban" Salib di tengah masih kosong."
"Itu Golgotha seusai penurunan Yesus dari salib. Krayon dan Magic Marker di atas
kertas roti. Inilah imbalan yang diterima si pencuri yang dijanjikan surga,
ketika Yesus dibawa pergi."
"Apa itu?" "Kedua kakinya dipatahkan, sama seperti rekannya yang mencemooh Yesus. Kau
benar-benar buta mengenai Injil Yohannes, ya" Kalau begitu, ada baiknya kau
mempelajari karya Duccio - dia melukiskan adegan penyaliban secara akurat.
Bagaimana kabar Will Graham" Seperti apa dia sekarang?"
"Saya tidak kenal Will Graham."
"Kau tahu siapa dia. Anak emas Jack Crawford. Sebelum kau.
Bagaimana wajahnya sekarang?"
"Aku belum pernah bertemu dengannya."
"Ini namanya 'membuka luka-luka lama,' Officer Starling. Kau tidak keberatan
bukan?" Keheningan seakan berdenyut-denyut, dan Starling memecahkannya. "Aku justru berharap kesempatan ini dapat kita gunakan untuk menyembuhkan luka-
luka lama. Aku membawa... "
"Tunggu. Ini bodoh dan salah. Jangan sekali-sekali kaugunakan siasat seperti ini
untuk mengalihkan pembicaraan. Jika siasatmu terbaca, subjekmu akan menutup diri
dan suasana menjadi rusak.
Padahal justru suasanalah yang kauandalkan. Pendekatanmu tadi sudah cukup baik.
Kau bersikap sopan dan menghargai sikap yang sama dariku. Kau sudah dapat
mengembangkan rasa percaya dengan berterus terang mengenai ucapan Miggs, biarpun
kau merasa rikuh. Tapi kemudian kau menggunakan siasat yang begitu mudah terbaca untuk masuk ke
kuesionermu. Ini takkan berhasil."
"Dr. Lecter, Anda pakar psikiatri klinis yang berpengalaman.
Anda pikir aku begitu bodoh sehingga berusaha mengecoh Anda dengan mengandalkan
suasana" Yang benar saja. Aku minta Anda menjawab kuesioner ini. Anda bersedia
atau tidak, itu terserah Anda.
Tapi apa ruginya Anda mempelajarinya dulu?"
"Officer Starling, kau sempat membaca laporan-laporan yang dikeluarkan seksi
Ilmu Perilaku belakangan ini?"
"Ya." "Begitu juga aku. Pihak FBI menolak mengirimkan Law Enforcement Bulletin, tapi
aku memperolehnya dari pedagang buku bekas dan aku juga menerima News dari John
Jay, serta jurnal-jurnal psikiatri. Para pelaku pembunuhan berantai dibagi
menjadi dua kelompok - terorganisasi
dan tidak terorganisasi. Bagaimana pendapatmu?" "Ini sangat... mendasar, tampaknya mereka..."
"Terlalu disederhanakan. Istilah itu lebih tepat. Sebagian besar psikologi
bersifat kekanak-kanakan, Officer Starling, dan psikologi seperti yang
diterapkan di seksi Ilmu Perilaku kira-kira setingkat dengan frenologi. Bidang
psikologi memang kekurangan bibit unggul.
Datangilah fakultas psikologi di perguruan tinggi mana pun dan amatilah para
mahasiswa dan staf pengajar: semuanya penggemar radio amatir, atau orang-orang
dengan gangguan kepribadian lain.
Yang pasti, bukan otak-otak paling cemerlang di kampus.
Terorganisasi dan tidak terorganisasi - betul-betul dangkal.-"
"Bagaimana Anda akan mengubah klasifikasi tersebut?"
"Aku tidak akan mengubahnya."
"Omong-omong soal laporan, aku membaca ulasan Anda mengenai adiksi pembedahan
dan ekspresi wajah sisi kiri, sisi kanan."
"Ya, ulasan-ulasan itu sangat bermutu," ujar Dr. Lecter.
"Aku sependapat, begitu juga Jack Crawford. Dia yang memperlihatkan ulasan-
ulasan tersebut padaku. Itu salah satu sebabnya dia sangat mengharapkan bantuan
Anda." "Crawford" Rupanya dia sangat sibuk kalau dia sampai merekrut tenaga pembantu
dari kalangan siswa."
"Memang, dan dia ingin..."
"Sibuk dengan Buffalo Bill."
"Kukira begitu."
"Bukan. Bukan 'kukira begitu.' Officer Starling, kau tahu persis dia sibuk
dengan Buffalo Bill. Aku sudah menyangka Jack Crawford mengutusmu untuk menanyai
aku tentang itu." "Bukan." "Kalau begitu, kau tidak menangani kasus tersebut."
"Aku datang kemari karena kami memerlukan..."
"Apa saja yang kau ketahui tentang Buffalo Bill?"
"Tak ada yang tahu banyak."
"Apakah semuanya dimuat di koran?"
"Kurasa ya. Dr. Lecter, aku belum melihat informasi rahasia mengenai kasus itu.
Tugasku adalah... " "Berapa banyak wanita yang telah dipakai Buffalo Bill?"
"Sudah lima korban yang ditemukan polisi."
"Semuanya dikuliti?"
"Dikuliti sebagian, ya."
"Pihak pers belum pernah memberi penjelasan mengenai namanya. Kau tahu kenapa
dia disebut Buffalo Bill?"
"Ya." "Katakanlah." "Aku akan mengatakannya kalau Anda bersedia mempelajari kuesioner ini."
"Aku akan mempelajarinya, tapi itu saja. Nah, kenapa?"
"Mula-mula julukan itu sekadar lelucon di seksi pembunuhan Kansas City."
"Ya...?" "Dia dijuluki Buffalo Bill karena dia menguliti hasil buruannya."
Starling menyadari bahwa ia tak lagi merasa takut; sebagai gantinya, ia merasa
murahan. Kalau diminta memilih, ia cenderung memilih yang pertama. "Coba berikan
kuesionermu." Starling menyerahkan bagian yang berwarna biru lewat baki.
Lecter membalik-balik halaman. Setelah dibaca sekilas, kuesioner itu
dikembalikannya ke baki. "Oh, Officer Starling, kaupikir kau bisa membedahku dengan alat tumpul ini?"
"Tidak. Kupikir Anda bisa memberikan komentar dan memajukan studi ini."
"Dan kenapa aku harus berbuat demikian?"
"Karena rasa ingin tahu."
"Mengenai apa?"
"Mengenai alasan Anda berada di sini. Mengenai apa yang terjadi dengan Anda."
"Aku tidak mengalami kejadian apa pun, Officer Starling. Akulah yang terjadi.
Kau tidak bisa memilah-milahku menjadi sekumpulan pengaruh. Kau telah
menyingkirkan penilaian baik dan jahat demi ilmu perilaku. Tak seorang pun kau
anggap salah. Tataplah aku, Officer Starling. Sanggupkah kau berkata bahwa aku
jahat" Betulkah aku jahat, Officer Starling?"
"Kukira Anda telah memperlihatkan perilaku destruktif. Bagiku itu sama saja."
"Jahat sekadar destruktif" Berarti badai pun jahat, kalau semuanya sesederhana
itu. Lalu ada kebakaran. dan hujan es.
Perusahaan asuransi menyebut itu semua 'Kehendak Tuhan.'"
"Disengaja..." ,
"Aku mengumpulkan berita tentang gereja yang ambruk, sebagai hiburan. Kau tahu
kejadian di Sisilia baru-baru ini" Luar biasa!
Dinding depannya menimpa enam puluh lima nenek yang sedang mengikuti misa
khusus. Jahatkah itu" Kalau ya, siapa yang bertanggung jawab" Kalau Dia ada di
atas sana, Dia pasti senang sekali, Officer Starling. Tifus dan angsa - semuanya
berasal dari tempat yang sama."
"Aku tidak sanggup menganalisis Anda, Dokter, tapi aku tahu siapa yang bisa."
Lecter mengangkat sebelah tangan untuk menyuruhnya diam.
Tangannya bagus, Starling menyadari, dengan dua jari tengah yang sama-sama
lengkap. Ini bentuk Polydactyly yang paling jarang.
Ketika Lecter kembali angkat bicara, nada suaranya lembut dan ramah. "Kau ingin
memilah-milah kepribadianku, Officer Starling.
Sungguh ambisius. Hmm, kau tahu kesanku mengenai dirimu, dengan tasmu yang bagus
dan sepatumu yang murahan" Kau kelihatan seperti orang udik. Orang udik dengan
semangat menggebu-gebu tapi punya sedikit selera. Matamu seperti permata tiruan -
berkilau-kilau di permukaan saat kau berusaha mengorek jawaban. Dan kau begitu
cerdas, bukan" Kau tidak mau disamakan dengan ibumu. Tulang-tulangmu memang
berkembang baik berkat gizi yang memadai, tapi kau tak bisa menyangkal bahwa kau
keturunan buruh tambang, Officer Starling. Kau berasal dari West Virginia atau
daerah Okie, Officer" Kau sempat terombang-ambing ketika harus memilih antara
perguruan tinggi dan kesempatan yang ditawarkan oleh Korps Wanita Angkatan
Darat. Betul, tidak" Aku akan memberitahukan sesuatu tentang dirimu, Siswa
Starling. Di kamarmu ada untaian manik-manik berwarna emas, dan kau selalu risih
setiap kali menyadari betapa norak manik-manik itu sekarang, bukan begitu"
Betapa repotnya kau mengumpulkan semuanya satu per satu dulu. Setiap kali
mengucapkan terima kasih, lalu menusuk dan mengikatnya dengan susah
payah, sementara kau sampai berkeringat karena berkonsentrasi penuh. Repot. Repot. Menjemu-u-u-u-k-a-an. Kecerdasan bisa merusak banyak hal, bukan" Dan selera baik tak selamanya
merupakan berkah. Kalau kau renungkan percakapan ini, kau akan teringat wajah
pacarmu yang sakit hati namun tak berdaya ketika kau mencampakkannya.
"Kalau untaian manik-manik itu berkesan kampungan sekarang, apa lagi yang akan
menyusul" Kau suka bertanya-tanya, bukan, sebelum tidur?" ujar Dr. Lecter dengan
nada ramah sekali. Starling menoleh ke arah Lecter. "Anda pandai mengamati, Dokter. Aku takkan
menyangkal apa pun yang Anda katakan. Tapi inilah pertanyaan yang akan kuajukan,
entah Anda suka atau tidak: Sanggupkah Anda menggunakan persepsi yang tajam itu
terhadap diri Anda sendiri" Ini sulit. Aku menyadarinya dalam beberapa menit
terakhir. Bagaimana" Amatilah diri Anda dan catatlah secara jujur segala sesuatu
yang Anda lihat. Rasanya tak ada subjek yang lebih pantas atau lebih kompleks.
Atau barangkali Anda takut menghadapi kenyataan?"
"Kau cukup ulet, ya, Officer Starling?"
"Dalam batas-batas tertentu, ya."
"Dan kau tidak sudi memandang dirimu sebagai orang kebanyakan. Wah, betapa
menyakitkan itu! Dengar baik-baik, Officer Starling, kau bukan orang kebanyakan.
Kau hanya takut dianggap begitu. Berapa ukuran manik-manikmu, tujuh milimeter?"
"Tujuh." "Aku punya saran untukmu. Belilah beberapa batu mata kucing yang sudah diberi
lubang, lalu pasangkan selang-seling dengan manik-manik emasmu. Kau bisa membuat
kombinasi dua-tiga atau satu-dua, terserah mana yang paling bagus menurutmu.
Mata kucing itu akan mencerminkan warna mata dan pantulan cahaya dari rambutmu.
Pernahkah ada yang mengirim kartu Valentine padamu?"
"Yap." "Musim semi sudah tiba. Hari Valentine tinggal satu minggu lagi, ehm, bagaimana,
kau akan mendapatkan kiriman kartu?"
"Siapa tahu." "Ya, siapa tahu. Aku sendiri memikirkan Hari Valentine.
Perayaan itu mengingatkanku pada sesuatu yang lucu. Hmm, aku bisa membuatmu
gembira sekali pada Hari Valentine, Clarice Starling."
"Bagaimana caranya, Dokter Lecter?"
"Dengan mengirimkan Valentine yang bagus. Tapi aku akan memikirkannya lagi.
Sekarang aku mau istirahat dulu. Sampai jumpa, Officer Starling."
"Dan kuesionerku?"
"Aku pernah didatangi petugas sensus yang ingin mengumpulkan dataku. Hatinya kumakan dengan kacang fava dan amarone besar.
Kembalilah ke sekolah, Starling."
Hannibal Lecter, yang sampai detik terakhir bersikap sopan, tidak mau
membelakangi Starling. Ia mundur dari jaring nilon, lalu kembali berbaring di
tempat tidurnya, tanpa menghiraukan wanita itu.
Starling mendadak merasa lemas, seakan-akan baru menyumbangkan darah. Dengan perlahan ia mengembalikan semua kertas ke tas
kerjanya, kuatir kakinya tidak kuat jika ia segera bangkit. Starling terpaksa
menghadapi kegagalan yang begitu dibencinya. Ia melipat kursi dan
menyandarkannya pada pintu lemari.
Ia harus melewati Miggs lagi. Barney kelihatan sedang membaca di ujung koridor.
Starling bisa saja memanggilnya dan minta dikawal.
Tapi persetan dengan Miggs. Orang itu tak berbeda dari pekerja-pekerja bangunan
atau tukang-tukang antar barang yang setiap hari ditemuinya di kota. Starling
mulai menyusuri koridor. Suara Miggs terdengar mendesis di sampingnya dekat
sekali. "Kugigit pergelanganku supaya aku bisl matiiiii - kaulihat darahnya menetes?"


Domba Domba Telah Membisu The Silence Of The Lambs Karya Thomas Haris di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Starling sebenarnya bisa memanggil Barney, tapi karena kaget ia menoleh ke dalam
sel, melihat Miggs menjentikkan jari, dan merasakan cairan hangat menerpa pipi
dan bahunya sebelum ia sempat memalingkan wajah.
Sambil melangkah, ia menyadari bahwa cairan itu sperma, bukan darah, dan bahwa
Lecter memanggil. Suara Dr. Lecter terdengar di belakangnya, lebih parau
dibandingkan tadi. "Officer Starling."
Lecter berdiri dan memanggil Starling yang terus berjalan.
Starling menggeledah tasnya untuk mencari tisu.
Di belakangnya, "Officer Starling."
Starling berupaya untuk tidak kehilangan kendali diri. Dengan langkah mantap ia
menuju pintu. "Officer Starling." Starling mendengar nada baru dalam suara Lecter.
Ia berhenti. Apa sebenarnya yang kucari sampai bisa begini"
Miggs membisikkan sesuatu, tapi Starling tidak memperhatikannya.
Ia kembali berdiri di depan sel Lecter dan melihat sang dokter dalam keadaan
geram, suatu pemandangan yang jarang terjadi. Starling tahu bahwa Lecter bisa
mencium bau cairan yang melekat pada dirinya. Lecter bisa mencium apa saja.
"Aku prihatin kau harus mengalami kejadian ini. Tak ada yang lebih kubenci
daripada sikap tidak sopan."
Pembunuhan-pembunuhan yang telah dilakukan Lecter seolah-olah telah
membersihkannya dari dosa-dosa yang lebih ringan. Atau, Starling berkata dalam
hati, kejadian itu membuat Lecter bergairah.
Starling tak bisa memastikan mana yang benar.
Apa pun sebabnya, manfaatkan kesempatan ini! Ia mengangkat tasnya. "Tolong
pelajari ini untukku."
Mungkin sudah terlambat; Lecter telah tenang kembali.
"Tidak. Tapi aku juga tidak mau kedatanganmu sia-sia. Aku akan memberikan
sesuatu yang lain. Sesuatu yang paling kausukai, Clarice Starling."
"Apa itu, Dr. Lecter?"
"Kemajuan, tentu saja. Semuanya serba kebetulan - aku senang sekali. Berkat Hari
Valentine, aku jadi ingat." Lecter mengembangkan senyum yang sukar ditebak
maknanya. Suaranya begitu pelan, sehingga nyaris tak terdengar. "Carilah
Valentine-mu di dalam mobil Raspail. Kau dengar" Carilah Valentine-mu di dalam
mobil Raspail. Dan. sekarang sebaiknya kau segera pergi; kurasa Miggs belum siap beraksi lagi,
biarpun dia memang gila, bukan begitu?"
Bab Empat Clarice starling merasa bergairah sekaligus hampa. Di antara hal-hal yang
dikatakan Lecter mengenai dirinya ada yang benar, ada pula yang hanya
menyerempet kebenaran. Sepintas lalu ia sempat merasakan hati nuraninya mengamuk
bagaikan beruang yang mengobrak-abrik tenda.
Ia geram karena ucapan Lecter mengenai ibunya, dan ia perlu menyingkirkan
kemarahan itu. Urusan ini urusan pekerjaan.
Starling duduk di dalam mobil Pinto tuanya di seberang rumah sakit dan menarik
napas dalam-dalam. Embun di kaca mobil memberinya sedikit privasi dari para
pejalan kaki di trotoar. Raspail. Ia ingat nama itu. Raspail bekas pasien Lecter dan juga salah satu
korbannya. Sebelum menemui Lecter, Starling hanya diberi waktu satu malam untuk
mempelajari informasi latar belakang orang itu. Berkasnya tebal sekali, dan
Raspail hanya salah satu dari sekian banyak korban. Starling perlu membaca
keterangan-keterangan detail.
Starling sebenarnya ingin segera mulai bekerja, namun ia sadar tak ada perlunya
tergesa-gesa. Kasus Raspail ditutup bertahun-tahun lalu. Tak ada yang terancam
bahaya. Ia punya waktu. Sebaiknya ia mencari informasi dan masukan selengkap
mungkin sebelum melangkah lebih jauh.
Crawford mungkin akan menugaskan orang lain untuk penanganan selanjutnya, namun
risiko itu harus dihadapi Starling.
Starling mencoba menghubungi Crawford dari telepon umum, tapi diberitahu bahwa
atasannya itu sedang memperjuangkan rencana anggaran Departemen Kehakiman di
depan Subkomite Anggaran dari House of Representatives.
Ia bisa saja menanyakan detail-detail kasus Raspail kepada divisi pembunuhan
Baltimore Police Department, tapi pembunuhan bukan tindak pidana federal dan ia
tahu bahwa penyelidikan selanjutnya akan segera diambil alih oleh pihak polisi.
Ia menyalakan mesin mobil dan kembali ke Quantico, ke kantor seksi Ilmu Perilaku
dengan tirai-tirai cokelat bermotif kotak-kotak dan lemari-lemari arsip berisi
neraka. Di situ ia duduk sampai sore, setelah sekretaris terakhir pulang,
mempelajari arsip mikrofilm mengenai Lecter.
Raspail, Benjamin Rene, pria, kulit putih, 46, pemain flute utama untuk
Baltimore Philharmonic Orchestra. Ia pasien di praktek psikiatri Dr. Hannibal
Lecter. Tanggal 22 Maret 1975 ia tidak muncul untuk penampilan di Baltimore. Tanggal 25
Maret mayatnya ditemukan dalam posisi duduk di bangku sebuah gereja kecil di
pedesaan dekat Falls Church, Virginia, hanya mengenakan dasi putih dan jas
tuksedo. Dalam autopsi diketahui bahwa jantung Raspail dicabut dan ia juga
kehilangan kelenjar thymus dan pankreas.
Clarice Starling, yang sejak kecil tahu betul mengenai pengolahan daging,
mengenali organ-organ yang hilang itu sebagai kelenjar-kelenjar perut yang bisa
dimakan. Baltimore Homicide berpendapat bagian-bagian tubuh tersebut muncul dalam menu
makan malam yang diadakan Lecter bagi pimpinan dan konduktor Baltimore
Philharmonic, pada malam setelah Raspail lenyap.
Dr. Hannibal Lecter mengaku tidak tahu-menahu mengenai urusan itu. Pimpinan dan
konduktor Philharmonic menyatakan mereka tidak ingat hidangan yang disajikan
malam itu, biarpun Lecter dikenal selalu menyajikan hidangan istimewa dan kerap
menyumbangkan artikel kepada majalah-majalah tata boga.
Pimpinan Philharmonic kemudian harus menjalani perawatan di sebuah sanatorium
saraf holistik di Basel, karena menderita anoreksia dan
mengalami masalah-masalah yang berkaitan dengan ketergantungan alkohol. Menurut kepolisian Baltimore, Raspail orang kesembilan yang diketahui sebagai
korban Lecter. Raspail meninggal tanpa meninggalkan surat wasiat, dan sanak saudaranya saling
gugat untuk memperebutkan warisan. Pihak pers meliput perkara-perkara hukum itu
selama beberapa bulan, sampai perhatian masyarakat akhirnya mereda.
Sanak saudara Raspail juga bergabung dengan keluarga-keluarga korban Lecter yang
lain, dan berhasil memperjuangkan tuntutan agar semua berkas dan rekaman
psikiater itu dimusnahkan.
Mereka beralasan Lecter mungkin mengungkapkan rahasia-rahasia yang memalukan,
dan berkas-berkas itu merupakan dokumentasi.
Pengadilan menetapkan pengacara Raspail, Everett Yow, sebagai wali atas tanah
dan harta bendanya. Starling harus mengajukan permohonan kepada pengacara itu untuk memeriksa mobil
Raspail. Pengacara itu mungkin ingin mengamankan nama baik Raspail dan, jika
telah mengetahui rencana Starling, mungkin akan memusnahkan barang bukti untuk
melindungi almarhum kliennya.
Starling lebih suka bergerak sendiri, tapi ia memerlukan nasihat dan otorisasi.
Ia seorang diri di kantor Ilmu Perilaku dan bebas melakukan apa saja. Nomor
telepon rumah Jack Crawford ditemukannya di dalam Rolodex.
Ia tidak mendengar telepon berdering, tapi tiba-tiba suara Crawford muncul,
pelan dan tenang. "Jack Crawford."
"Ini Clarice Starling. Kuharap aku tidak mengganggu makan malam Anda." Tak ada
tanggapan. "Lecter menceritakan sesuatu mengenai kasus Raspail tadi. Aku berada
di kantor untuk menyelidikinya lebih lanjut. Lecter memberitahukan ada sesuatu
di dalam mobil Raspail. Aku harus menghubungi pengacara Raspail dulu, dan karena
besok Sabtu - tidak ada pelajaran - aku ingin tanya apakah... "
"Starling, kauingat instruksiku soal informasi mengenai Lecter?"
Suara Crawford begitu datar.
"Aku harus menyerahkan laporan pukul 09.00 hari Minggu."
"Lakukan itu, Starling."
"Baik, Sir." Nada monoton yang mendadak terdengar seakan-akan menusuk telinganya. Starling
langsung meringis. "Keparat!" ia mengumpat. "Dasar bajingan brengsek. Coba kalau kau yang diciprati
Miggs. Apa komentarmu kalau begitu?"
Starling, yang sudah mandi dan memakai baju tidur FBI Academy, sedang menyusun
draft kedua laporannya, ketika teman sekamarnya di asrama, Ardelia Mapp, pulang
dari perpustakaan. Bagi Starling, wajah Mapp yang lebar, cokelat, dan penuh
kebijakan termasuk pemandangan paling menyenangkan yang dilihatnya sepanjang
hari itu. Ardelia Mapp melihat keletihan yang tercermin pada wajah rekannya.
"Apa saja yang kaukerjakan hari ini?" Mapp selalu bertanya dengan santai,
seakan-akan jawaban yang diberikan sama sekali tidak penting.
"Mengorek keterangan dari orang sinting sambil berlepotan air mani."
"Coba kalau aku punya waktu untuk main-main - aku tak habis pikir bagaimana kau
bisa mengaturnya, sambil sekolah lagi."
Sesaat kemudian, Starling baru sadar bahwa ia tergelak-gelak.
Ardelia Mapp tertawa sekadarnya saja. Lelucon itu tak seberapa lucu, namun
Starling tak bisa mengendalikan diri. Air matanya sampai berlinang. Tawanya
seolah-olah terdengar dari tempat yang jauh sekali, dan dalam pandangannya Mapp
mendadak tampak tua. Senyum rekannya itu menyiratkan keprihatinan.
Bab Lima Jack Crawford, lima puluh tiga tahun, duduk di kursi berlengan di kamar
tidurnya. Ia sedang membaca. Di hadapannya ada dua ranjang, keduanya diganjal"
balok sampai setinggi tempat tidur rumah sakit.
Yang satu ranjangnya sendiri; satu lagi ditempati istrinya, Bella.
Crawford mendengarnya bernapas lewat mulut. Sudah dua hari Bella tidak bergerak
maupun berbicara dengan suaminya.
Napasnya terputus sejenak. Crawford mengalihkan pandang dari bukunya dan melirik
tanpa menegakkan kepala. Ia meletakkan bukunya. Bella kembali menarik napas.
Crawford bangkit dan membelai istrinya, lalu mengukur tekanan darah dan denyut
nadi. Dalam beberapa bulan terakhir ia sudah ahli menggunakan alat pengukur tekanan
darah. Crawford enggan beranjak dari sisi istrinya pada malam hari; karena itu, kedua
tempat tidur dipasang berdampingan. Ranjangnya sendiri juga diganjal balok, agar
ia mudah menjangkau istrinya dalam gelap.
Selain tempat tidur yang tinggi dan pipa-pipa yang diperlukan untuk membuat
Bella nyaman, tak ada kesan bahwa kamar itu kamar orang sakit. Crawford memang
ingin mencegah kesan tersebut.
Memang ada bunga, tapi tidak terlalu banyak. Pil-pil tidak tampak sama sekali.
Crawford telah mengosongkan lemari seprai di koridor, mengisinya dengan obat-
obatan dan berbagai peralatan sebelum Bella dibawa pulang dari rumah sakit. (Itu
kedua kalinya ia menggendong istrinya melewati ambang pintu depan, dan ia nyaris
tak sanggup menahan air mata kalau mengingatnya.)
Jendela-jendela dibiarkan terbuka karena adanya gelombang udara panas dari
selatan, tapi udara Virginia terasa segar dan nyaman.
Katak-katak kecil bersahut-sahutan dalam kegelapan malam.
Kamar itu bersih sekali, tapi bulu-bulu karpet sudah mulai menggumpal di sana-
sini - Crawford tidak mau menggunakan alat penyedot debu yang bising di dalam
kamar. Sebagai gantinya, ia memakai alat pembersih karpet manual, meskipun
hasilnya tidak terlalu baik. Ia melangkah ke lemari dan menyalakan lampu. Dua
buah clipboard tergantung di sebelah dalam. Yang satu berisi catatan tekanan
denyut nadi dan tekanan darah Bella. Catatan Crawford dan catatan juru rawat
yang bertugas pada siang hari berselang-seling dalam kolom panjang. Clipboard
yang satu lagi berisi catatan juru rawat mengenai pemberian obat.
Crawford sanggup memberikan obat apa pun yang mungkin dibutuhkan Bella. Sebelum
membawa istrinya pulang, ia sempat berlatih memberi injeksi di bawah bimbingan
juru rawat. Mula-mula ia menyuntik buah limau, lalu pahanya sendiri.
Crawford menatap istrinya selama hampir tiga menit. Selendang sutra yang indah
membungkus rambut Bella bagaikan sorban. Bella sendiri yang memintanya, selama ia masih bisa
meminta. Kini Crawford enggan mengubah kebiasaan itu.
Ia mengoleskan gliserin ke bibir Bella dan mengangkat kotoran dari sudut
matanya. Bella tidak bergerak. Belum waktunya membalikkan badannya.
Crawford memandang ke cermin. Dalam hati ia berkata bahwa ia tidak sakit, bahwa
ia tidak perlu ikut dikubur, bahwa ia baik-baik saja.
Tiba-tiba ia sadar, dan malu sendiri.
Ia kembali ke kursi, namun tak bisa mengingat apa yang sedang ia baca tadi. Ia
meraba buku-buku di sampingnya dan meraih buku yang masih hangat.
Bab Enam Senin pagi, Clarice Starling menemukan pesan dari Crawford di kotak suratnya:
CS: Lanjutkan penyelidikan mengenai mobil Raspail. Gunakan waktu luangmu. Kantor
akan menyediakan nomor kartu kredit untuk telepon interlokal. Hubungi aku
sebelum mengontak pengacara atau pergi ke mana pun. Laporan ditunggu Rabu pukul
16.00. Direktur sudah menerima laporan mengenai Lecter dengan tanda tanganmu. Selamat.
JC SAIC/Seksi 8 Starling gembira. Ia tahu kasus lama itu diberikan Crawford kepadanya sebagai
latihan. Tapi ia pun sadar bahwa Crawford ingin membimbingnya. Crawford ingin
anak didiknya sukses. Dan bagi Starling, ini jauh lebih berarti dibandingkan
sopan santun. Raspail tewas delapan tahun lalu. Barang bukti apa yang dapat
bertahan demikian lama di dalam mobil"
Ia tahu dari pengalaman bahwa berhubung nilai mobil merosot begitu cepat,
pengadilan banding mengizinkan keluarga korban menjual mobil sebelum ada surat
pengesahan hakim, dan uang hasil penjualan dimasukkan ke warisan yang dikuasai
pengacara yang telah ditunjuk. Kemungkinan kecil mobil Raspail masih ditahan
setelah delapan tahun. Selain itu, Starling juga menghadapi masalah waktu. Ia punya waktu luang satu
jam lima belas menit per hari untuk memakai telepon selama jam kerja, dan itu
pun sudah termasuk istirahat makan siang. Sedangkan Rabu sore laporannya sudah
harus diserahkan kepada Crawford. Berarti secara keseluruhan ia punya tiga jam
empat puluh lima menit untuk melacak mobil itu, jika ia menggunakan waktu
belajar dan mengejar ketinggalannya pada malam hari.
Ia memperoleh nilai baik dalam mata pelajaran Prosedur Penyelidikan, dan ia
dapat mengajukan pertanyaan-pertanyaan bersifat umum kepada para instruktur.
Pada waktu makan siang hari Senin, Starling menelepon Baltimore County
Courthouse. Petugas yang menerima telepon menyuruhnya menunggu. Starling sampai
tiga kali menelepon, namun sia-sia. Baru pada jam belajar ia akhirnya berhasil
menghubungi petugas pengadilan yang mau membantu. Orang itu mencarikan berkas
pengadilan menyangkut warisan Raspail.
Starling memperoleh konfirmasi bahwa pengadilan mengizinkan penjualan mobil
Raspail. Petugas yang membantunya juga menyebutkan model dan nomor seri
kendaraan tersebut, serta nama pemilik berikutnya berdasarkan akta jual-beli.
Pada hari Selasa, setengah jam makan siang Starling terbuang percuma untuk
melacak nama itu. Sisa waktunya habis untuk mengetahui bahwa Maryland Department
of Motor Vehicles tidak menggunakan nomor seri untuk melacak satu kendaraan,
melainkan memakai nomor registrasi atau nomor pening terakhir.
Pada Selasa sore, para siswa yang sedang berlatih di lapangan tembak terpaksa
masuk ke dalam ruangan karena hujan deras yang turun. Saat berkumpul di salah
satu ruang konferensi yang lembap akibat keringat dan pakaian basah,
John Brigham, mantan marinir yang kini menjadi instruktur menembak, memutuskan
untuk menguji kekuatan tangan Starling di depan kelas dengan melihat berapa kali
Starling sanggup menarik picu Model 19 Smith & Wesson dalam waktu enam puluh
detik. Starling mencapai angka tujuh puluh empat dengan tangan kiri, menyingkirkan
sehelai rambut yang mengganggu pandangannya, lalu mulai lagi dengan tangan kanan
sementara siswa lain menghitung. Ia berdiri dalam posisi Weaver, dengan kuda-
kuda yang kokoh. Matanya terfokus pada alat bantu bidik sebelah depan, sedangkan
alat bantu bidik sebelah belakang dan sasaran sama-sama kabur. Setelah tiga
puluh detik, ia membiarkan pikirannya berkelana untuk mengalihkan perhatian dari
rasa nyeri di lengannya. Ia menatap sasaran di dinding, yang ternyata sertifikat


Domba Domba Telah Membisu The Silence Of The Lambs Karya Thomas Haris di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

penghargaan dari Interstate Commerce Enforcement Division untuk instrukturnya,
John Brigham. Starling berbisik kepada Brigham sementara siswa yang satu lagi menghitung
setiap bunyi klik yang terdengar.
"Bagaimana caranya melacak mobil... "
".. .enam lima enam enam enam tujuh enam delapan enam... "
"kalau yang kita ketahui hanya nomor seri..."
"...tujuh delapan tujuh sembilan delapan puluh delapan satu..."
"...dan jenis mobil" Nomor pening terakhir tidak ada."
"...delapan sembilan sembilan puluh. Waktunya habis."
"Oke," ujar si instruktur.
"Kuminta kalian memperhatikan ini. Kekuatan tangan adalah faktor penting untuk
menembak tepat saat bertugas. Di antara kalian pasti ada yang kuatir mendapat
giliran berikut. Kekuatiran kalian memang beralasan. Starling jauh di atas rata-
rata dengan kedua tangannya. Dan itu karena dia berlatih. Dia berlatih dengan
meremas-remas alat kecil yang tersedia untuk kalian semua. Sebagian besar dari
kalian hanya pandai meremas" - karena enggan menggunakan terminologi marinir yang
telah mendarah daging, Brigham mencari-cari kata pengganti yang lebih sopan
- "tangan," ia akhirnya berkata.
"Jangan besar kepala, Starling. Jangan pikir kau sudah hebat.
Sebelum lulus, kau harus bisa mencapai angka di atas sembilan puluh dengan
tangan kirimu. Ayo, cari pasangan dan mulai berlatih - cepat."
"Kau jangan, Starling. Kemarilah. Apa lagi yang kauketahui tentang mobil itu?"
Cuma nomor seri dan model. Dan nama satu bekas pemilik, lima tahun lalu."
"Oke, begini. Kebanyakan orang membuat kesalahan dengan meneliti catatan
registrasi untuk melompat dari satu pemilik ke pemilik berikut. Ini takkan
berhasil kalau mobilnya pernah dimutasi ke negara bagian lain. Polisi pun
kadang-kadang melakukan kesalahan ini.
Padahal di komputer hanya ada nomor registrasi dan nomor pening.
Kita semua sudah terbiasa memakai nomor pening atau nomor registrasi, bukan
nomor seri kendaraan."
Suara klik revolver-revolver latih bergagang biru terdengar nyaring di
sekeliling mereka, dan Brigham terpaksa bicara lebih keras.
"Ada satu cara mudah. R.L. Polk and Company, yang menerbitkan buku telepon untuk
berbagai kota - mereka juga mengeluarkan daftar registrasi mobil berdasarkan
model dan nomor seri secara urut. Itu satu-satunya tempat. Mereka banyak
menerima iklan dari pedagang-pedagang mobil. Kenapa kau terpikir untuk bertanya
padaku?" "Anda pernah bertugas di ICC, jadi mestinya Anda sering melacak mobil. Thanks."
"Mau balas jasa" Tingkatkan kekuatan tangan kirimu - setelah itu kita impas."
Ketika masuk ke kotak telepon umum pada jam belajar, kedua tangan Starling
gemetaran begitu hebat, sehingga catatan yang dibuatnya nyaris tak terbaca.
Mobil Raspail sebuah Ford. Di dekat University of Virginia ada dealer Ford yang
sudah bertahun-tahun dengan penuh kesabaran berupaya memperpanjang nyawa Ford
Pinto milik Starling. Kini, dengan kesabaran yang sama, dealer itu membolak-
balik daftar terbitan Polk. Ketika kembali mengangkat gagang, ia melaporkan nama
dan alamat orang yang terakhir mendaftarkan mobil Benjamin Raspail.
Clarice hebat sekali, Clarice pegang kendali. Jangan bercanda saja. Telepon
orang itu di rumahnya di, tunggu dulu, Number Nine Ditch, Arkansas. Jack
Crawford takkan mengizinkan aku pergi ke sana, tapi paling tidak harus dapat
konfirmasi di mana mobil itu sekarang.
Tak ada yang menyahut, dan sekali lagi tak ada yang menyahut.
Nada tunggunya berkesan janggal. Starling mencoba menelepon pada malam hari,
tapi tetap sia-sia. Pada jam makan siang hari Rabu, seorang pria menerima telepon Starling:
"WPOQ Plays the Oldies."
"Halo, saya menelepon untuk... "
"Saya tidak berminat beli panel alumunium dan saya tidak mau tinggal di Florida,
apa lagi yang mau Anda tawarkan?"
Starling mengenali logat pedesaan Arkansas dalam ucapan pria itu. Ia pun
menguasai logat itu, dan waktunya tidak banyak.
"Yes sir, saya akan sangat berterima kasih jika Anda bisa membantu saya. Saya
ingin bicara dengan Mr. Lomax Bardwell" Ini Clarice Starling."
"Telepon dari wanita yang namanya Starling," pria itu berseru kepada seseorang
di rumahnya. "Ada perlu apa dengan Bardwell?"
"Ini kantor perwakilan wilayah Mid-South dari divisi recall Ford.
Mr. Bardwell berhak atas perawatan gratis untuk LTD-nya?"
Saya Bardwell. Saya pikir Anda sales yang mau jualan lewat telepon. Saya tidak
perlu perawatan gratis, saya perlu mobil baru.
Waktu itu saya dan istri saya pas lagi ke Little Rock, ke Southland Mail di
sana." "Yes sir." "Nah, pas kami mau pulang, mesinnya jebol. Olinya langsung bocor dan mengalir ke
mana-mana, dan truk Orkin yang ada gambar kumbang besar itu " Truknya melindas
genangan oli dan langsung meluncur tak terkendali."
"Astaga." "Kios untuk bikin pasfoto kilat diterjang sampai hancur berantakan. Orang yang
ada di dalamnya keluar seperti orang linglung. Saya buru-buru menahannya supaya
tidak melangkah ke tengah jalan."
"Ya ampun. Lalu bagaimana?"
"Apanya yang bagaimana?"
"Bagaimana dengan mobil Anda?"
"Saya telepon Buddy Sipper yang dagang besi tua. dan saya bilang dia boleh
mengambilnya untuk lima puluh dolar, asal diangkut sendiri. Saya rasa semua suku
cadang yang masih bisa dipakai langsung dibongkarnya."
"Anda bisa memberitahukan nomor telepon orang itu, Mr.
Bardwell?" "Untuk apa Anda mau telepon Sipper" Kalau ada yang dapat uang dari mobil itu,
seharusnya sayalah orangnya."
"Saya mengerti, Sir. Saya hanya mengerjakan tugas sampai jam lima, dan saya
disuruh melacak mobil itu. Tolong berikan nomor teleponnya."
"Buku telepon saya hilang. Sudah lama. Maklum saya sudah tua.
Tapi Central pasti tahu nomornya. Katakan saja Sipper Salvage."
"Terima kasih banyak, Mr. Bardwell."
Tempat penampungan besi tua yang kemudian dihubungi Starling mengkonfirmasikan
bahwa mobil itu sudah dipreteli dan dipres untuk didaur ulang. Petugas yang
menerima teleponnya membacakan nomor seri kendaraan tersebut dari buku catatan.
Brengsek, Starling mengumpat dalam hati. Jalan buntu. Hadiah Valentine macam apa
ini " Starling menempelkan kening ke pesawat telepon yang dingin.
Ardelia Mapp mengetuk pintu kotak telepon dan menyerahkan segelas jus jeruk.
"Terima kasih banyak," ujar Starling, masih dengan logat yang digunakannya tadi.
"Aku perlu menelepon satu kali lagi. Kalau masih sempat, kususul ke kafetaria
nanti." "Aduh, kau masih juga memakai logat udik itu?" sahut Mapp.
"Padahal begitu banyak buku yang tersedia untuk membantumu. Aku sekarang selalu bicara dengan bahasa baku. Kau akan dianggap
bodoh kalau bicara seperti tadi." Mapp menutup pintu kotak telepon.
Starling merasa perlu memperoleh informasi tambahan dari Lecter. Barangkali
Crawford akan mengizinkannya kembali ke rumah sakit jiwa jika ia sudah membuat
janji lebih dulu. Starling memutar nomor Dr. Chilton, namun teleponnya diterima
oleh sekretarisnya. Dr. Chilton sedang rapat dengan petugas visum dan asisten jaksa," ujar wanita
tersebut. "Bellau sudah bicara dengan atasan Anda. Tak ada yang perlu dibahas
dengan Anda. Good-bye."
Bab Tujuh "TEMANMU Miggs, diamati," ujar Crawford.
"Kau sudah menceritakan semuanya, Starling?" Ia menatap Starling dengan
pandangan menyelidik yang tak kenal ampun.
"Bagaimana dia meninggal?" Starling merasa hampa, dan ia harus mengatasinya.
"Menelan lidahnya sendiri, menjelang fajar. Chilton menduga atas saran Lecter.
Penjaga yang bertugas malam mendengar Lecter berbisik-bisik kepada Miggs. Lecter
tahu banyak tentang dia. Lecter bicara sebentar dengan Miggs, tapi si penjaga
tidak mendengar apa yang dikatakannya. Miggs menangis sebentar, lalu terdiam.
Kau sudah menceritakan semuanya, Starling?"
"Sudah, Sir. Laporan dan memoku berisi seluruh percakapanku dengan Lecter,
bahkan bisa dibilang kata demi kata."
"Chilton menelepon. Dia mengeluh tentangmu." Crawford menunggu sejenak, dan ia
tampak senang karena Starling tidak memberi tanggapan. "Kukatakan padanya kau
bertindak sesuai peraturan. Chilton berusaha mencegah penyelidikan hak-hak
sipil." "Apakah akan diadakan penyelidikan?"
"Tentu, kalau keluarga Miggs menghendakinya. Civil Rights Division akan
menangani sekitar delapan ribu kasus tahun ini. Mereka dengan senang akan
menambahkan Miggs pada daftar mereka."
Crawford mengamati anak didiknya. "Kau tidak apa-apa?"
"Aku tidak tahu harus bersikap bagaimana."
"Jangan pikirkan kejadian ini. Lecter melakukannya untuk menghibur diri. Dia
tahu dia tidak bisa ditindak, jadi kenapa tidak"
Paling-paling Chilton akan mengambil buku-buku dan WC-nya untuk beberapa waktu."
Crawford merapatkan tangan dan membandingkan kedua jempol.
"Lecter bertanya tentang diriku, bukan?"
"Dia tanya apakah Anda sibuk. Kujawab ya."
"Hanya itu" Kau tidak menutup-nutupi sesuatu karena takut aku tidak suka?"
"Tidak. Semuanya ada dalam laporanku."
"Betul tidak ada lagi?"
"Aku membuat laporan apa adanya. Anda tidak menyangka aku bertukar gosip supaya
dia mau bicara denganku, bukan?"
"Tidak." "Aku tidak tahu apa-apa mengenai pribadi Anda, dan kalaupun tahu, aku takkan
membicarakannya. Kalau Anda meragukanku, sebaiknya masalah ini kita luruskan
sekarang juga." "Tidak perlu. Lanjutkan saja."
"Anda menduga ada sesuatu, atau..."
"Lanjutkan laporanmu, Starling."
"Petunjuk Lecter mengenai mobil Raspail ternyata buntu- Mobil itu dihancurkan
empat bulan lalu di Number Nine Ditch, Arkansas, dan dijual untuk didaur ulang.
Mungkin ada baiknya kalau aku menemui Lecter lagi dan bicara langsung dengan
dia." "Petunjuk itu sudah diusut sampai tuntas?"
"Ya." "Kenapa kau yakin mobil Raspail hanya mobil yang dipakainya sehari-hari?"
"Hanya mobil itu yang terdaftar, dia bujangan, aku berasumsi..."
"Aha, tunggu dulu!" Telunjuk Crawford langsung menuding. "Kau berasumsi. Kau
berasumsi, Starling. Coba lihat." Crawford menuliskan kata assume pada secarik
kertas. Beberapa instruktur meniru kebiasaan ini, tapi Starling berlagak tidak
tahu apa-apa. "Kalau kau berasumsi saat bertugas, kau akan membuat kau dan aku kelihatan
seperti keledai," ujar Crawford sambil menggaris bawahi suku kata ass, w, dan
me. Ia menyandarkan badan. "Kau tidak tahu Raspail kolektor mobil?"
"Tidak. Apakah mobil-mobil itu masih termasuk harta warisannya?"
"Entahlah. Kau sanggup mencari tahu?"
"Ya." "Dari mana kau akan mulai?"
"Aku akan menghubungi pengacara yang ditunjuk sebagai wali."
"Kantornya di Baltimore. Dia keturunan Cina, kalau aku tidak salah," kata
Crawford. "Everett Yow," ujar Starling. "Namanya tercantum dalam buku telepon Baltimore."
"Kau sudah mempertimbangkan masalah surat perintah untuk menggeledah mobil
Raspail?" Nada suara Crawford terkadang mengingatkan Starling pada ulat sok tahu
dalam buku Lewis Carroll.
Starling tidak berani menyinggung hal itu. "Berhubung Raspail sudah meninggal
dan tidak terlibat kejahatan, penggeledahan ini sah jika ada izin dari
pengacaranya, dan segala temuan dapat dijadikan barang bukti dalam urusan hukum
lain," ia berkata. "Persis," sahut Crawford. "Begini saja: Aku akan memberitahu perwakilan
Baltimore bahwa kau akan ke sana. Sabtu besok, Starling.
Gunakan waktu liburmu. Dapatkan bukti itu, kalau memang ada."
Crawford sengaja tidak menoleh ketika Starling pergi. Ia mengambil selembar
kertas dari keranjang sampah dan menaruhnya di meja. Pesan pada kertas itu
menyangkut istrinya, dan ditulis tangan dengan huruf-huruf indah:
O wrangling schools, that search what fire
Shall burn this world, had none the wit
Unto this knowledge to aspire
That this her fever might be it"
Aku turut berduka untuk Bella, Jack.
Hannibal Lecter Bab Delapan EVERETT YOW mengendarai Buick berwarna hitam dengan stiker De Paul University
menempel di jendela belakang. Berat badannya membuat mobil itu agak miring ke
kiri ketika Clarice Starling mengikutinya keluar Baltimore di tengah guyuran
hujan. Hari sudah hampir gelap; waktu Starling sebagai penyelidik sudah hampir
habis dan tidak mungkin diperpanjang. Starling melampiaskan ketidak sabarannya
dengan mengetuk-ngetuk kemudi seirama gerakan wiper, sementara lalu lintas
merayap di Route 301. Yow cerdas, gemuk, dan mempunyai gangguan pernapasan.
Starling menaksir usianya sekitar enam puluh. Sejauh ini pengacara tersebut
cukup kooperatif. Bukan salah Yow bahwa Starling kehilangan waktu satu hari; ia
baru pulang dari perjalanan bisnis ke Chicago selama satu minggu, dan begitu
keluar bandara, ia segera menuju kantornya untuk menemui Starling.
Menurut Yow, Packard klasik milik Raspail sudah disimpan jauh sebelum
kematiannya. Mobil tersebut tidak berlisensi dan belum pernah dijalankan. Yow
sendiri baru satu kali melihatnya, tertutup kain di tempat penyimpanan, ketika
ia mengkonfirmasikan keberadaan kendaraan itu untuk membuat inventaris harta
warisan, tak lama setelah kliennya tewas terbunuh. Jika Penyelidik Starling
bersedia "mengungkapkan dengan segera dan secara jujur" semua temuan yang mungkin dapat
merugikan almarhum kliennya, ia akan mengantarnya ke tempat penyimpanan mobil
itu, demikian dikatakan Yow. Surat perintah tidak diperlukan, dan segala
kerepotan yang menyertainya dapat dihindari Starling dapat menggunakan Plymouth
bertelepon selular dari pool kendaraan FBI selama satu hari, dan oleh Crawford
ia juga telah diberi kartu identitas baru. Kartu itu bertulisan PENYELIDIK
FEDERAL - dan masa berlakunya akan habis dalam satu minggu.
Tujuan mereka adalah Split City Mini-Storage, sekitar empat mil di luar batas kota. Sementara mobilnya merayap di tengah kemacetan, Starling
memakai teleponnya untuk mencari keterangan mengenai tempat penitipan tersebut.
Sampai di tempat tujuan, yang memasang tanda berwarna Jingga manyala, SPLIT CITY
MINI-STORAGE - YOU KEEP THE KEY, ia telah mengetahui cukup banyak fakta.
Split City mempunyai lisensi ekspedisi dari Interstate Commerce Commission, yang
dikeluarkan atas nama Bernard Gary. Tiga tahun lalu, Gary nyaris diseret ke
pengadilan karena tuduhan menadah barang curian, dan kini lisensinya sudah harus
diperpanjang. Yow membelok di bawah tanda itu dan memperlihatkan kuncinya kepada anak muda
berseragam di gerbang. Penjaga itu mencatat nomor polisi kendaraan. Mereka,
membuka gerbang, dan melambai-
lambaikan tangan dengan tidak sabar, seakan-akan ada hal lebih penting yang
harus dikerjakannya. Split City merupakan tempat suram yang senantiasa diterpa angin. Sama halnya
seperti penerbangan hari Minggu dari La Guardia ke Juarez, tempat itu terutama
melayani kebutuhan yang berkaitan dengan perceraian. Sebagian besar barang yang
disimpan di Split City merupakan milik orang-orang yang gagal membina rumah
tangga. Unit-unitnya dipenuhi perabot ruang tamu, perlengkapan makan, kasur bernoda,
mainan, dan foto perkawinan yang kandas di tengah jalan. Pihak kepolisian
Baltimore County yakin Split City juga menyembunyikan harta benda milik
perusahaan-perusahaan yang mengaku bangkrut di pengadilan.


Domba Domba Telah Membisu The Silence Of The Lambs Karya Thomas Haris di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tempat tersebut menyerupai instalasi militer: lahan seluas kurang-lebih lima
belas hektar dipenuhi bangunan-bangunan panjang yang disekat dinding tahan api
menjadi unit-unit sebesar garasi satu mobil, masing-masing dengan pintu gulung
yang dibuka ke atas. Tarif sewanya masuk akal, dan tidak sedikit barang yang
sudah bertahun-tahun tersimpan di sini. Keamanannya terjamin. Tempat itu
dikelilingi dua lapis pagar tinggi, dan patroli anjing berkeliling dua puluh
empat jam sehari. Tumpukan daun basah setebal lima belas senti serta cangkir-cangkir kertas dan
"sampah lainnya menempel pada pintu unit 31
yang disewa Raspail-Kedua sisi pintu diamankan dengan gembok kokoh. Pengamanan
di sisi kiri ditambah lagi dengan sebuah segel.
Everett Yow membungkuk dengan kaku. Starling memegang payung dan senter.
"Tampaknya pintu ini belum dibuka lagi sejak saya terakhir ke sini lima tahun
lalu," kata Yow. "Segel notaris saya masih utuh. Saat itu saya tidak menduga
sanak saudaranya akan begitu rewel, sehingga pembagian harta warisan tertunda
demikian lama." Yow mengambil alih payung dan senter, sementara Starling memotret gembok berikut
segel. "Mr. Raspail menyewa kantor merangkap studio di kota. Tapi saya sudah menutupnya
agar jumlah uang yang diwariskan tidak berkurang untuk membayar sewa," jelas
Yow. "Semua perabot dan perlengkapan lalu diangkut kemari dan disimpan bersama
mobil Raspail dan barang-barang yang sudah lebih dulu ada di sini.. Waktu itu
kami membawa piano, buku-buku dan catatan musik, serta tempat tidur, kalau saya
tidak salah." Yow menancapkan anak kunci. "Gemboknya mungkin beku.
Yang ini keras sekali." Ia sulit membungkuk dan menarik napas secara bersamaan.
Ketika mencoba jongkok, kedua lututnya berderak.
Starling merasa lega karena pintu itu diamankan dengan dua gembok American
Standard. Gembok tersebut memang tampak kokoh, tapi ia tahu ia bisa membongkar
selongsong kuningannya dengan sekrup dan palu yang biasa dipakai untuk mencabut
paku. Masalahnya, di mana ia bisa mendapatkan palu dan sekrup" Ia bahkan tak bisa
menggunakan segala rongsokan yang terkumpul di bagasi Ford Pinto-nya.
Ia menggeledah tasnya dan menemukan semprotan untuk mencairkan es yang biasa ia
pakai pada kunci Pintu mobilnya.
"Anda mau beristirahat sebentar, Mr. Yow" Anda bisa menghangatkan badan di dalam
mobil. Biar saya saja yang mencoba membukanya. Payungnya Anda bawa saja, hujan
sudah hampir berhenti."
Starling menggeser Plymouthnya agar sorot lampu depan terarah ke pintu. Kemudian
ia mencabut tongkat pengukur oli mesin, meneteskan oli ke lubang kunci kedua
gembok, dan menggunakan semprotan antibeku untuk mengencerkan oli. Mr. Yow
tersenyum dan mengangguk dari mobilnya. Starling bersyukur bahwa Yow cerdas; ia
dapat melaksanakan tugasnya tanpa dipersulit.
Hari sudah gelap. Ia merasa kikuk karena tersorot lampu mobil, dan bunyi tali
kipas yang longgar seakan-akan menusuk telinganya.
Starling tidak lupa mengunci pintu. Mr. Yow memang tampak tidak berbahaya, tapi
Starling tidak mau mengambil risiko tergencet pintu.
Dengan susah payah ia membuka gembok pertama, lalu beralih ke gembok kedua, yang
ternyata lebih mudah dibuka.
Pintu gulung itu tetap tak dapat diangkat, walaupun Starling sudah berusaha
sampai pandangannya berkunang-kunang. Yow turun untuk membantu, namun akibat
gagang pintu yang kecil serta hernia yang dideritanya, bantuannya tidak
berpengaruh banyak. "Kita bisa kembali minggu depan, dengan anak saya, atau dengan beberapa
pekerja," Mr. Yow mengusulkan. "Saya ingin pulang dulu sekarang."
Starling tidak yakin ia dapat kembali ke sini; jauh lebih mudah bagi Crawford
untuk mengangkat telepon dan minta perwakilan Baltimore menangani urusan ini.
"Mr. Yow, saya akan buru-buru. Anda bawa dongkrak di mobil Anda?"
Dengan dongkrak terpasang di bawah gagang pintu, Starling menggunakan berat
badannya untuk menekan kunci ban yang berfungsi sebagai pengungkit. Pintu itu
berderit-derit dan naik satu senti. Starling mendapat kesan pintunya melengkung
ke atas di bagian tengah. Ia bekerja dengan sabar, sampai dapat menyelipkan ban
serep sebagai penahan. Kemudian ia menggunakan dongkrak Mr. Yow dan dongkraknya
sendiri di bagian kiri dan kanan pintu, di dekat rel penahan.
Kedua dongkrak itu diungkitnya secara bergantian. Pintunya berhasil diangkat
sampai setengah meter sebelum akhirnya macet sama sekali dan tak mau bergerak
lagi, meskipun Starling telah mengerahkan seluruh berat badannya untuk menekan
batang pengungkit. Mr. Yow maju untuk mengintip di bawah pintu bersama Starling.
Setiap kali membungkuk, ia hanya sanggup bertahan beberapa detik saja.
"Saya mencium bau tikus," komentarnya. "Padahal saya diberitahu di sini
digunakan racun tikus. Kalau saya tidak salah, hal itu juga tercantum dalam
surat kontrak. Pihak pengelola menjamin takkan ada tikus. Tapi Anda juga
mendengar suara mereka, bukan?"
"Ya," ujar Starling. Sorot senternya menerangi sejumlah kardus dan sebuah ban
besar dengan pinggiran putih di bawah kain penutup.
Ban itu kempis. Ia memundurkan mobilnya sampai berkas sinar lampu depan menyorot lewat celah di
bawah pintu. Kemudian ia mengambil salah satu keset karet. "Anda mau masuk ke
situ. Officer Starling?"
"Mobilnya harus diperiksa, Mr, Yow."
Pengacara itu mengeluarkan saputangan. "Saya sarankan Anda mengikat kaki celana
Anda. Untuk mencegah tikus-tikus menyusup."
"Terima kasih atas saran Anda, Sir. Ehm, Mr Yow, seandainya pintu ini tiba-tiba
turun, ha ha, atau jika ada kejadian tak terduga lainnya, dapatkah Anda
menghubungi nomor ini" Ini nomor telepon perwakilan kami di Baltimore. Mereka
tahu saya ada di sini sekarang, dan mereka akan kuatir kalau saya tidak memberi
kabar. Anda mengerti, bukan?"
"Ya, tentu." Yow menyerahkan kunci Packard kepada Starling.
Starling meletakkan keset di aspal basah di depan pintu, lalu berbaring dalam
posisi telentang. Tangannya melindungi lensa kamera sambil menggenggam beberapa
kantong plastik bening untuk menyimpan barang bukti. Kedua kaki celananya
terikat rapat dengan saputangan Yow dan saputangannya sendiri. Hujan gerimis
membasahi wajahnya. Ia mencium bau tikus bercampur bau apak.
Anehnya, yang terlintas dalam benak Starling justru ungkapan dalam bahasa Latin.
Ungkapan itu ditulis di papan tulis oleh instruktur forensiknya pada hari
pertama ia mengikuti latihan, dan merupakan semboyan dokter zaman Romawi kuno:
Primum non nocere. Pertama-tama, jangan perparah keadaan. Dia tidak bilang apa-
apa tentang garasi yang penuh tikus sialan.
Dan tiba-tiba terdengar suara ayahnya, yang menegurnya sambil meletakkan tangan
di pundak saudara laki-lakinya, "Kalau kau tidak bisa bermain tanpa menjerit,
Clarice, lebih baik masuk saja."
Starling mengancingkan kerah blusnya, menegakku bahu, lalu menyusup lewat celah
di bawah pintu. Ia berada di bawah ekor Packard. Mobil itu diparkir di sisi kiri tempat
penyimpanan, nyaris menempel ke dinding. Kardus-kardus tertumpuk tinggi di sisi
kanan, memenuhi tempat yang tersisa.
Starling menggeliat-aeliut sambil telentang, sampai kepalanya masuk ke celah
sempit di antara mobil dan tumpukan kardus. Ia mengarahkan senternya ke atas.
Sejumlah besar sarang labah-labah tampak terentang di antara mobil dan kardus-
kardus. Satu-satunya labah-labah yang perlu diwaspadai adalah labah-labah brown recluse,
dan jenis itu tidak membuat sarang di tempat terbuka, kata Starling dalam hati.
Yang lainnya tidak perlu dihiraukan.
Di samping spatbor belakang ada tempat untuk berdiri. Starling menggeliat-geliut
sampai keluar dari bawah mobil. Wajahnya dekat sekali dengan ban berpinggiran
putih. Ban itu penuh kotoran kering, namun tulisan GOODYEAR DOUBLE EAGLE masih
terbaca jelas. Starling berdiri, pelan-pelan agar kepalanya tidak terbentur, sambil melindungi
wajah dengan kedua tangan dari sarang labah-labah.
Beginikah rasanya memakai cadar"
Suara Mr. Yow terdengar, dari luar. "Oke, Officer Starling?"
"Oke," Starling menyahut. Jawabannya disusul bunyi keresek, dan sesuatu di dalam
piano membunyikan beberapa nada tinggi. Sorot lampu mobil dari luar menerangi
kakinya sampai ke betis. Oh, rupanya Anda sudah menemukan pianonya, Officer
Starling," seru Mr. Yow.
"Itu bukan saya."
"Oh." Mobil itu besar, tinggi, dan panjang. Inventaris Yow mencatatnya sebagai limusin
Packard tahun 1933. Mobil itu ditutupi karpet, dengan sisi berbulu menghadap ke
bawah. Sorot senter Starling menyapunya.
"Anda yang menutup mobil dengan karpet ini, Mr. Yow?"
"Dari dulu sudah begitu dan saya tak pernah membukanya," Yow menjawab dari bawah
pintu. "Saya tidak tahan karpet berdebu.
Raspail yang memasangnya. Saya sekadar memastikan mobilnya memang ada. Orang-
orang yang saya sewa hanya menaruh piano di dinding dan menumpukkan kardus-
kardus di samping mobil. Kemudian mereka langsung pergi lagi. Mereka dibayar per
jam. Kardus-kardus itu berisi lembaran musik dan buku."
Karpetnya tebal dan berat. Starling menariknya, dan seketika debu beterbangan.
Ia bersin dua kali. Sambil berjinjit ia berhasil melipat karpet sampai ke garis
tengah mobil kuno yang tinggi itu. Tirai jendela belakang tertutup. Gagang
pintunya berdebu. Starling harus membungkuk di atas kardus-kardus agar dapat
mencapainya. Ia mencoba menekan gagang. Terkunci. Tak ada lubang kunci di pintu
belakang. Starling harus menggeser banyak kardus agar dapat mencapai pintu
depan, padahal tempatnya terbatas sekali. Ia melihat celah sempit antara tirai
dan tiang jendela belakang.
Starling kembali membungkuk. Ia merapatkan wajah ke jendela dan mengarahkan
sorot senternya ke dalam mobil. Namun yang tampak hanyalah bayangan dirinya
sendiri. Baru setelah menghalangi sinar dengan tangan ia bisa melihat bangku
belakang di balik kaca yang berdebu. Sebuah album tergeletak terbuka. Starling
melihat sejumlah kartu Valentine tertempel, kartu-kartu lama berhiaskan renda.
"Terima kasih banyak, Dr. Lecter." Napasnya mengusik debu pada ambang jendela
dan membuat kacanya berembun. Starling tidak mau menyekanya, sehingga ia
terpaksa menunggu. Sesaat kemudian sorot senternya kembali bergerak, menerangi
selimut kecil yang tergeletak di lantai, lalu beralih ke sepasang sepatu pria
yang penuh debu. Sterling menggeser berkas sinar ke atas. Ia melihat kaus kaki
hitam serta ujung celana tuksedo berisi sepasang kaki.
Tak ada yang masuk kesini dalam lima tahun terakhir - tenang, tenang, jangan
panik. "Oh, Mr. Yow. Mr. Yow?"
"Ya, Officer Starling?"
"Mr. Yow, kelihatannya ada orang yang duduk di dalam mobil ini."
"Astaga. Saya rasa lebih baik Anda keluar saja, Miss Starling."
"Sebentar lagi, Mr. Yow. Kalau Anda bisa bersabar sejenak..."
Sekaranglah waktunya untuk berpikir. Ini lebih penting daripada segala omong
kosong yang bakal kauceritakan pada bantalmu selama hidupmu. Tarik napas dan
kerjakan ini sebaik-baiknya. Jangan sampai ada barang bukti yang rusak. Dan yang
lebih penting lagi, jangan bikin masalah yang tak perlu. Kalau kuhubungi
perwakilan Baltimore dan polisi datang ke sini dan ternyata tidak ada apa-apa,
tamatlah riwayatku. Aku melihat sesuatu yang kelihatan seperti kaki. Mr. Yow
takkan mengajakku kemari kalau dia tahu di sini ada mayat. Starling tersenyum
sendiri; ia sudah mulai bisa berpikir jernih. Tak seorang pun masuk ke sini
sejak kunjungan Yow yang terakhir. Oke, berarti kardus-kardus ini ditaruh
setelah apa yang ada di dalam mobil. Dan itu berarti kardus-kardusnya bisa
kupindahkan tanpa perlu takut mengusik sesuatu yang penting. "Oke, Mr. Yow."
"Ya. Apakah kita perlu memanggil polisi, ataukah Anda sanggup menanganinya
sendiri, Officer Starling?"
"Itu perlu saya selidiki dulu. Tolong tunggu di luar saja."
Masalah kardus ternyata tak kalah rumit dari permainan Rubik's Cube. Starling
mencoba menggeser kardus sambil mengepit senter, tapi senternya jatuh dua kali,
dan akhirnya ia menaruhnya di atas mobil. Ia terpaksa memindahkan kardus ke
belakangnya, dan beberapa kotak berisi buku dapat diselipkan ke kolong mobil.
Ibu jarinya mendadak perih, entah karena digigit serangga atau karena kemasukan
serpihan kayu. Kini ia dapat melihat ke kompartemen pengemudi. Seekor labah-labah telah membuat
sarang di antara setir yang besar dan tongkat persneling. Pemisah antara
kompartemen depan dan belakang tertutup rapat.
Starling menyesal karena lupa meneteskan oli ke kunci Packard sebelum ia
menyusup lewat bawah pintu. Tapi ketika ditancapkan, kunci itu ternyata berputar
dengan mudah. Karena sempitnya tempat, pintu mobil itu hanya bisa dibuka sepertiga. Pintunya
membentur kardus-kardus dengan keras, membuat tikus-tikus berlarian.
Dari piano kembali terdengar dentingan nada tinggi, gau bacin bercampur bau
bahan kimia menyambut Starling. Bau itu mengingatkannya pada sesuatu, namun ia
tak dapat memastikannya. Ia melongok ke dalam, membuka pemisah di belakang tempat duduk pengemudi, dan
mengarahkan senternya ke kompartemen belakang. Yang pertama terlihat adalah
kemeja formal putih. Cahaya senter Starling segera bergerak ke arah wajah, tapi
tidak menemukannya, lalu turun lagi, melewati kancing-kancing yang mengilap,
kelepak jas satin, menuju pangkuan dengan ritsleting terbuka, kemudian kembali
ke atas, ke dasi kupu-kupu dan kerah yang rapi, tempat ujung leher maneken
tampak menyembul. Di atas leher ada benda lain yang hanya sedikit memantulkan
cahaya. Sepotong kain, sebuah tudung hitam, di posisi yang seharusnya ditempati kepala,
besar, seakan-akan menyelubungi kandang burung nuri. Kain beludru, kata Starling
dalam hati. Tudung itu bertengger pada papan kayu lapis yang menjorok ke atas
leher maneken dari tempat menaruh barang di belakang tempat duduk.
Starling mengambil beberapa foto dari kursi depan. Ia memfokuskan lensa dengan
bantuan blitz dan memejamkan mata setiap kali lampu kilat itu menyala. Kemudian
ia menegakkan badan di luar mobil. Dalam keadaan basah dan berlepotan sarang
labah-labah, ia berdiri di tengah kegelapan, memikirkan apa yang harus ia
lakukan selanjutnya. Yang jelas, ia tidak akan memanggil agen khusus yang memimpin perwakilan
Baltimore untuk memeriksa sebuah maneken dengan ritsleting terbuka" beserta buku
berisi kartu Valentine. Setelah memutuskan untuk masuk lewat pintu belakang dan mencopot tudung itu, ia
tidak memberi kesempatan pada dirinya untuk berubah pikiran. ia menjulurkan
tubuh lewat dinding pemisah, membuka kunci pintu belakang, lalu kembali
menggeser-geser kardus agar dapat membuka pintu. Rasanya ia menghabiskan waktu
banyak untuk pekerjaan sederhana itu. Bau dari kompartemen belakang ternyata
jauh lebih keras ketika ia membuka pintu. Ia meraih ke dalam, mengambil album
Valentine dengan memegang tepi-tepinya, lalu memasukkannya ke dalam kantong
barang bukti di atap mobil.
Kemudian ia menggelar kantong lain di bangku belakang.
Per mobil itu berderit-derit ketika ia masuk, dan sosok di dalam pun bergeser
sedikit ketika ia duduk di sampingnya. Tangan kanan yang terbungkus sarung
tangan putih tergelincir dari paha dan merosot ke jok. Starling menyentuhnya
dengan ujung jari. Tangan itu keras. Dengan hati-hati ia menurunkan sarung
tangan. Pergelangan tangan yang tampak di baliknya terbuat dari bahan sintetis
putih. Starling juga melihat tonjolan di balik celana yang sepintas lalu
mengingatkannya pada suatu kejadian konyol di high school.
Dari bawah jok terdengar terdengar bunyi keresek.
Dengan hati-hati Starling menyentuh tudung di hadapannya.
Kain itu menutupi sesuatu yang keras dan licin. Ketika Starling meraba pegangan
di bagian atas, ia langsung tahu benda apa yang tersembunyi dari pandangannya.
Ia tahu ia berhadapan dengan stoples spesimen yang biasa digunakan di
laboratorium, dan ia pun tahu apa isinya. Dengan takut namun tanpa ragu ia
menarik tudung itu sampai terlepas.
Kepala di dalam stoples itu terpenggal rapi di bawah rahang.
Wajahnya menghadap Starling. Matanya sudah lama berubah menjadi putih keruh
akibat alkohol yang mengawetkannya. Mulutnya terbuka, dan lidah yang menyembul
sedikit tampak kelabu. Selama bertahun-tahun alkohol di dalam stoples telah
menguap sedikit, demi sedikit sehingga kepala itu kini terletak pada dasar
stoples, sementara ubun-ubunnya menyembul dari permukaan. Posisi kepala itu agak
miring, dan seakan-akan menatap Starling sambil melongo.
Starling memanfaatkan kesempatan itu untuk memantau perasaannya sendiri. Ia
gembira. Semangatnya berkobar-kobar.
Sejenak terlintas dalam benaknya apakah pantas ia merasa demikian.
Namun nyatanya ia tetap dapat berpikir jernih, meskipun sedang duduk di dalam


Domba Domba Telah Membisu The Silence Of The Lambs Karya Thomas Haris di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mobil tua bersama sebuah kepala terpenggal dan sejumlah tikus, dan itu
membuatnya bangga. "Hmm, Toto," ia berkata, "kita tak lagi di Kansas." Sejak dulu ia ingin
mengucapkan kata-kata itu dalam keadaan stres, tapi ucapan itu berkesan dibuat-
buat dan ia bersyukur tak ada yang mendengarnya.
Ia harus kembali bekerja. Ia menyandarkan punggung dan memandang berkeliling.
Segala sesuatu di dalam mobil itu iditata dan diatur oleh seseorang. Bunga-bunga
kering menggantung dari vas-vas kristal.
Meja limusin itu diturunkan dan ditutup taplak linen. Di atasnya ada karaf
anggur yang berdebu. Seekor labah-labah telah memanfaatkan karaf serta tempat
lilin di sebelahnya untuk membuat sarang.
Starling berusaha membayangkan Lecter, atau siapa pun, duduk di sini bersama
orang yang kepalanya kini menemaninya. Barangkali sambil minum anggur dan
melihat-lihat kartu Valentine. Lalu apa lagi"
Starling menggeledah sosok di sampingnya untuk mencari kartu identitas. Ia
bekerja dengan hati-hati, agar posisi maneken itu tidak banyak berubah, namun
tidak menemukan apa pun. Di dalam kantong jas ada sisa kain yang dipotong untuk
menyesuaikan panjang pipa celana dengan panjang kaki - setelan jas resmi itu
kemungkinan besar masih baru ketika dikenakan pada maneken itu. Starling
menyodok-nyodok tonjolan di celana. Terlalu keras, untuk ukuran high school
sekalipun, katanya dalam hati. Ia merentangkan ritsleting dan mengarahkan
senternya. Di balik ritsleting ia melihat dildo dari kayu yang dipoles.
Ukurannya lumayan besar. Starling bertanya-tanya apakah akhlaknya sudah mulai
rusak. Dengan hati-hati ia memutar stoples dan memeriksa bagian belakang dan samping
kepala, tapi tidak menemukan luka apa pun.
Nama perusahaan pemasok perlengkapan laboratorium tampak tergraver pada
permukaan kaca. Ketika kembali mengamati wajah itu, Starling merasa telah belajar sesuatu yang
akan membantunya di kemudian hari. Melihat wajah dengan lidah yang telah berubah
warna itu ternyata tidak separah bermimpi tentang Miggs yang menelan lidahnya
sendiri. Ia yakin ia sanggup menghadapi apa pun, asal ada hal positif yang dapat
dikerjakannya. Starling masih muda.
Dalam waktu sepuluh detik setelah mobil liputan WPIK-TV yang ditumpanginya
berhenti dengan rem mencuit-cuit, Jonetta Johnson memasang anting-anting,
menyapukan bedak ke wajahnya yang cantik, dan mempelajari situasi. Ia dan kru-
nya biasa memantau frekuensi radio kepolisian Baltimore County, dan mereka tiba
di Split City mendului mobil-mobil patroli.
Yang tampak dalam sorot lampu mobil mereka hanyalah Clarice Starling yang
berdiri di depan pintu garasi sambil menggenggam senter dan kartu identitas.
Rambutnya basah kuyup. Jonetta Johnson langsung mengenalinya sebagai anak baru. Ia turun dari mobil,
disusul juru kamera, dan langsung menghampiri Starling. Lampu-lampu sorot segera
dinyalakan. Mr. Yow merosot begitu rendah di kursi mobilnya, sehingga hanya topinya yang
terlihat dari jendela. "Jonetta Johnson, WPIK news, Anda melaporkan kasus pembunuhan?"
Penampilan Starling kurang meyakinkan sebagai penegak hukum, dan ia pun
menyadarinya. "Saya petugas federal, dan ini tempat kejadian perkara kriminal.
Saya harus mengamankannya sampai pihak berwajib Baltimore... "
Asisten juru kamera telah menggenggam bagian bawah pintu garasi dan berusaha
membukanya. "Tahan," ujar Starling.
"Saya bicara dengan Anda, Sir- Tahan. Harap mundur. Saya tidak main-main.
Bantulah saya di sini." Starling berharap ia mempunyai lencana, seragam, atau
apa pun untuk menegakkan wibawanya.
"Oke, Harry," kata reporter itu. "Ehm, Officer kami ingin bekerja sama dengan
segala cara. Tapi terus terang, kru ini harus dibayar, dan saya perlu tahu
apakah ada gunanya mereka disuruh menunggu di sini sampai polisi datang.
Barangkali Anda bisa memberitahu saya apakah ada mayat di dalam" Kameranya mati,
ini antara kita saja. Kalau memang ada sesuatu, kami akan menunggu. Saya
berjanji kami takkan merepotkan Anda. Bagaimana?"
"Saya akan menunggu kalau saya jadi Anda," Starling menyahut.
"Thanks, Anda takkan menyesal," balas Jonetta Johnson.
"Ehm, saya punya informasi mengenai Split City Mini-Storage yang mungkin berguna
untuk Anda. Tolong arahkan senter ke clipboard ini."
"Mobil liputan WEYE sudah datang, Joney," ujar kru bernama Harry.
"'Coba kita lihat, Officer. Ah, ini dia. Dua tahun lalu ada skandal ketika pihak
berwenang hendak membuktikan bahwa tempat ini mengangkut dan menyimpan - kalau
tidak salah, kembang api?"
Jonetta Johnson melirik melewati pundak Starling.
Starling membalikkan tubuh dan melihat juru kamera tadi berbaring telentang.
Kepala dan pundaknya sudah berada dalam garasi, sementara asistennya berjongkok
di sebelahnya, siap mengoperkan kamera mini.
"Hei!" seru Starling. Ia berlutut di samping orang itu dan menarik-narik
bajunya. "Anda tidak boleh masuk ke situ. Hei! Saya sudah memperingatkan Anda."
Kedua orang itu berusaha menenangkannya. "Kami takkan menyentuh apa pun. Kami
profesional, kau tidak perlu kuatir. Polisi toh akan membiarkan kami masuk.
Santai saja, Sayang." Sikap mereka membuat Starling naik pitam.
Ia bergegas ke dongkrak di sisi pintu dan menggerakkan gagangnya. Pintu garasi
langsung turun lima senti, diiringi suara berderit-derit. Starling kembali
menggerakkan gagang. Kini bagian bawah pintu telah menempel pada dada si juru
kamera. Karena orang itu belum keluar juga, Starling mencabut gagang dongkrak
dan menghampiri juru kamera yang membandel. Sejumlah lampu sorot telah
dinyalakan, dan dalam cahaya yang terang-benderang Starling menggedor-gedor
pintu garasi dengan gagang dongkrak, sehingga si juru kamera dihujani debu dan
karat. "Saya minta perhatian Anda," katanya.
"Sepertinya pendengaran Anda agak terganggu, ya" Keluar dari situ. Sekarang
juga. Kalau tidak, Anda akan ditangkap karena menghalangi petugas hukum."
"Hei, tenang saja," ujar asisten juru kamera. Ia meletakkan tangannya pada
pundak Starling. Starling langsung membalik. Para wartawan di balik cahaya yang
menyilaukan mulai menyerukan pertanyaan, dan di kejauhan terdengar bunyi sirene.
"Singkirkan tanganmu, Bung, dan mundur." Starling menginjak mata kaki si juru
kamera dan memelototi asistennya sambil menggenggam gagang dongkrak. Ia tidak
perlu mengangkat tangan untuk mengancam. Kesan yang diberikannya di depan
kamera-kamera TV sudah cukup buruk.
Bab Sembilan BAU-BAUAN di sayap pengamanan maksimum terasa lebih keras dalam suasana remang-
remang. Pesawat TV di koridor, yang hidup tanpa suara, memantulkan bayangan
Starling pada terali sel Lecter.
Starling tak bisa melihatnya dalam kegelapan di balik terali, namun ia tidak
minta penjaga menyalakan lampu dari posnya. Seluruh sayap akan terang benderang.
Ia tahu kepolisian Baltimore tadi menghidupkan semua lampu sementara mereka
membentak-bentak Lecter dan menghujaninya dengan pertanyaan selama berjam-jam.
Lecter menolak bicara. Ia malah membuat burung origami yang bisa mematuk-matuk
jika ekornya digerakkan naik-turun. Petugas yang memimpin interogasi membuang
burung kertas itu di tempat abu rokok di lobi. Dengan geram ia lalu memberi
isyarat pada Starling untuk mencoba keberuntungannya.
"Dr. Lecter?" Starling mendengar suara napasnya sendiri, juga suara napas dari
sel-sel sepanjang koridor, namun dari sel Miggs yang kosong tak terdengar suara
apa pun. Keheningan itu seakan-akan mengisapnya.
Starling tahu Lecter mengamatinya dari kegelapan-Dua menit berlalu. Kaki dan
punggung Starling terasa pegal akibat pergulatannya dengan pintu garasi, dan
pakaiannya lembap. Ia duduk bersila di lantai, beralaskan mantelnya, cukup jauh
dari terali, dan ia menyibakkan rambutnya yang basah ke belakang agar tidak
menempel pada tengkuk. Seorang pengabar Injil tampak melambai-lambaikan tangan
pada layar TV di belakangnya.
"Dr. Lecter, kita sama-sama tahu apa ini. Mereka pikir Anda bersedia bicara
denganku." Hening. Di ujung koridor seseorang menyiulkan Over the Sea to Skye.
Setelah lima menit, Starling berkata, "Aneh rasanya, pergi ke sana. Kapan-kapan
aku ingin membicarakannya dengan Anda."
Starling tersentak ketika baki makanan muncul dari sel Lecter.
Di baki itu ada handuk bersih yang masih terlipat. Starling tidak mendengar
Lecter bergerak. Ia menatap handuk itu, lalu menggunakannya untuk mengeringkan
rambut. "Thanks," katanya.
"Kenapa kau tidak bertanya tentang Buffalo Bill?" Suara Lecter terdengar dekat,
kira-kira sama tinggi. Rupanya Lecter pun duduk di lantai.
"Anda tahu sesuatu mengenai dia?"
"Mungkin, kalau aku bisa mempelajari berkasnya."
"Bukan aku yang menangani kasus itu," ujar Starling.
"Kasus ini pun akan diambil darimu, kalau kau sudah selesai dimanfaatkan."
"Aku tahu." "Kau bisa mengusahakan berkas Buffalo Bill. Laporan dan foto-foto. Aku ingin
melihatnya." Yeah, pasti.
"Dr. Lecter, Anda yang memulai ini. Sekarang tolong Anda ceritakan orang di
dalam Packard." "Kau menemukan satu orang utuh" Aneh. Yang kulihat hanya kepala. Kira-kira dari
mana sisanya?" "Baiklah. Itu kepala siapa?"
"Apa saja yang sudah kauketahui?"
"Informasiku terbatas pada hasil penyelidikan awal. Pria, kulit putih, sekitar
dua puluh tujuh, giginya ditambal dengan cara Amerika dan Eropa. Siapa dia?"
"Pacar Raspail. Raspail, si pemain flute."
"Apa latar belakang kematiannya - bagaimana dia tewas?"
"Kau selalu bertele-tele seperti ini, Officer Starling?",
"Nanti saja kutanyakan ini."
"Aku akan membantumu menghemat waktu. Bukan aku pelakunya, tapi Raspail. Raspail
menyukai pelaut. Yang ini pelaut Skandinavia bernama Klaus. Raspail tak pernah
menyebut nama lengkapnya." Suara Lecter bergerak turun. Barangkali ia berbaring
di lantai, pikir Starling.
"Klaus semula awak kapal Swedia di San Diego. Raspail mengajar di konservatorium
di sana selama musim panas. Dia tergila-gila pada anak muda itu. Klaus melihat,
kesempatan baik dan meninggalkan kapalnya. Mereka membeli semacam karavan dan
berkeliaran di hutan dalam keadaan telanjang bulat. Raspail menuduh anak muda
itu tidak setia, dan dia mencekiknya."
Pedang Kiri Pedang Kanan 17 Sang Ratu Tawon Pendekar 4 Alis Seri 9 Karya Khulung Kucing Suruhan 12
^