Pencarian

Domba Domba Telah Membisu 4

Domba Domba Telah Membisu The Silence Of The Lambs Karya Thomas Haris Bagian 4


memandang ke luar jendela van. Fajar di bulan Februari bukan pemandangan
berwarna-warni. Semuanya tampak kelabu serba suram.
Jeff hendak mengatakan sesuatu, tapi Crawford menyuruhnya diam dengan isyarat
tangan. Ego Lecter. Ambisi Chilton. Kecemasan Senator Martin mengenai keselamatan
putrinya. Nyawa Catherine Martin. Putuskan.
"Biarkan dia dibawa," ia akhirnya berkata.
Bab Dua Puluh Sembilan Dr. chilton dan tiga polisi negara bagian Tennessee berbadan tegap berdiri di
pelataran parkir pesawat yang diterpa angin. Matahari baru terbit. Mereka
terpaksa setengah berteriak untuk mengalahkan suara radio dari pintu Grumman
Gulfstream serta ambulans di sisi pesawat itu. Kapten yang memegang komando
menyerahkan pena kepada Chilton. Kertas-kertas yang hendak ditandatangani
berkibar-kibar tertiup angin, dan petugas polisi itu harus ikut memegang
clipboard. "Apakah ini tidak bisa dilakukan sesudah kita mengudara?"
tanya Chilton. "Sir, urusan dokumentasi harus diselesaikan pada saat serah terima dilakukan.
Itu perintah yang diberikan pada saya."
Kopilot pesawat selesai memasang ramp pada tangga pesawat.
"Oke," ia berseru. Dr. Chilton dan ketiga polisi pergi ke belakang ambulans.
Mereka tampak siaga ketika Chilton membuka pintu, seolah menduga ada sesuatu
yang akan meloncat keluar.
Dr. Hannibal Lecter berdiri tegak di gerobaknya, terlilit jaring terpal, dengan
wajah tertutup topeng hoki es. Ia sedang buang air kecil sementara Barney
memegangi wadah penampungnya.
Salah satu polisi mendengus. Kedua rekannya memalingkan wajah.
"Sori," kata Barney pada Dr. Lecter, lalu menutup pintu kembali.
"Tidak apa-apa, Barney," ujar Dr. Lecter. "Aku sudah selesai."
Barney merapikan pakaian Lecter dan mendorongnya ke bagian belakang ambulans.
"Barney?" "Ya, Dr. Lecter?"
"Selama ini kau selalu bersikap sopan padaku. Terima kasih."
"Kembali." "Kalau Sammie sadar lagi, tolong pamitkan aku padanya." .
"Tentu." "Selamat tinggal, Barney."
Penjaga berbadan besar itu membuka pintu dan memanggil para polisi. "Tolong
angkat bagian bawahnya. Kiri-kanan. Kita turunkan bersama-sama. Pelan-pelan."
Barney mendorong Dr. Lecter menaiki ramp dan masuk ke pesawat. Tiga kursi telah
dicopot di sisi kanan. Si kopilot mengikat gerobak Dr. Lecter ke dudukan kursi
di lantai. "Dia mau dibaringkan selama kita terbang?" tanya salah satu polisi.-"Mudah-
mudahan dia pakai celana karet."
"Kelihatannya kau terpaksa menahan kencing sampai di Memphis, kawan," rekannya
berkata kepada Lecter. "Dokter Chilton, boleh saya bicara sebentar dengan Anda?" pinta Barney.
Mereka berdiri di luar pesawat, sementara angin bertiup, membuat debu berputar-
putar di sekitar mereka. "Orang-orang ini tidak tahu apa-apa," kata Barney.
"Saya akan mendapat bantuan setelah kami sampai - penjaga-penjaga psikiatri
berpengalaman. Dia tanggung jawab mereka sekarang."
"Anda yakin dia akan diperlakukan dengan baik" Anda tahu sendiri bagaimana dia -
dia harus diancam dengan kebosanan. Hanya itu yang ditakutinya. Memukulnya tidak
ada gunanya." "Saya takkan mengizinkan itu, Barney."
"Anda akan hadir pada waktu dia diinterogasi?"
"Ya." Dan kau tidak, Chilton menambahkan dalam hati.
"Saya bisa mengawal dia ke sana dan kembali hanya beberapa jam setelah shift
saya berakhir," ujar Barney.
"Dia bukan tugasmu lagi, Barney. Saya akan ada di sana. Saya akan memberitahu
mereka cara menanganinya, setiap langkahnya."
"Sebaiknya mereka memperhatikan penjelasan Anda," Barney berkomentar. "Dia akan
memanfaatkan setiap kesempatan."
Bab Tiga Puluh Clarice starling duduk di tepi tempat tidur di kamar motelnya. Selama hampir
satu menit setelah Crawford menutup pembicaraan, ia terus menatap pesawat
telepon berwarna hitam di hadapannya. Rambutnya acak-acakan dan tubuhnya
terbelit gaun tidur FBI Academy, karena ia terus bolak-balik sepanjang tidurnya
yang singkat. Perutnya serasa baru ditendang.
Baru tiga jam berlalu setelah ia meninggalkan Dr. Lecter, dan dua jam setelah ia
dan Crawford selesai menyusun daftar ciri untuk dibandingkan dengan lamaran-
lamaran di ketiga pusat medis. Dalam waktu demikian singkat, sementara ia tidur,
Dr. Chilton telah mengacaukan semuanya. Crawford sedang dalam perjalanan untuk
menjemputnya. Ia harus bersiap-siap. Persetan. PerSETAN.
PERSETAN. Gara-gara kau dia akan mati, Dr. Chilton. Gara-gara kau dia akan mati,
Dr. Fuck Face. Lecter masih menyimpan sesuatu, dan seharusnya aku bisa
mendapatkannya. Sekarang kesempatan itu hilang, hilang. Hilang percuma. Kalau
Catherine Martin ditemukan mengambang, kau akan kupaksa melihat mayatnya, aku
bersumpah kau akan kupaksa. Satu-satunya kesempatan telah kaurebut dari
tanganku. Aku harus mengerjakan sesuatu yang berguna. Sekarang juga. Apa yang
bisa kulakukan di sini, saat ini juga" Merapikan diri.
Di dalam kamar mandi ada keranjang kecil berisi batang-batang sabun yang masih
terbungkus kertas, beberapa tube shampoo dan lotion, peralatan menjahit,
perlengkapan yang biasa disediakan di motel berkualitas baik.
Ketika melangkah ke shower, Starling teringat dirinya pada usia delapan tahun.
Waktu itu ibunya mendapat pekerjaan membersihkan kamar-kamar motel, dan Starling
biasa membawakan handuk, shampoo, dan sabun yang dibungkus kertas. Ketika ia
berusia delapan tahun ada seekor burung gagak, dan burung gagak ini suka mencuri
barang dari kereta petugas kebersihan motel. Burung tersebut mengambil apa pun
yang berwarna cerah. Gagak itu menunggu kesempatan, lalu mengobrak-abrik
peralatan kebersihan di kereta.
Kadang-kadang, jika terpaksa kabur untuk menyelamatkan diri, burung itu
mengotori seprai-seprai bersih. Salah satu petugas kebersihan sempat melemparnya
dengan pemutih, tapi hanya menghasilkan bercak-bercak putih pada sayap gagak
itu. Gagak berbulu hitam-putih itu selalu menanti-nanti Clarice meninggalkan
keretanya dan membawakan barang-barang untuk ibunya, yang bertugas menggosok
kamar mandi. Ibunya berdiri di ambang pintu kamar mandi motel ketika memberitahu
Starling bahwa ia harus pergi, Pindah ke Montana. Ibunya meletakkan handuk-
handuk di tangan Starling dan duduk di tepi tempat tidur motel, mendekapnya.
Starling masih suka bermimpi mengenai gagak itu, dan kini burung tersebut
mendadak terbayang di depan matanya. Starling mengangkat tangan untuk
mengusirnya dan kemudian, seakan-akan perlu mencari pembenaran untuk gerakan
itu, ia mengusap rambutnya yang basah.
Ia berpakaian dengan cepat. Celana panjang, blus, serta sweter tipis.
Revolvernya yang bermoncong pendek menempel pada rusuknya, sementara speed-
loadernya tergantung dari ikat pinggang.
Blazernya perlu dibenahi sedikit. Benang jahitan di atas speed-loader telah
berjumbai-jumbai. Ia merasa harus sibuk, sibuk, sampai ia berhasil menenangkan
diri. Ia mengambil peralatan jahit yang disediakan oleh motel dan mulai mencopot
benang. Crawford mengetuk pintu.
Bab Tiga Puluh Satu Menurut pengalaman Crawford, wanita yang sedang marah tampak jelek. Rasa marah
menyebabkan rambut mereka acak-acakan di belakang dan mengacaukan rona muka;
mereka juga jadi lupa menutup ritsleting. Setiap ciri yang tidak atraktif
menjadi lebih menonjol. Starling tampak seperti biasa ketika ia membuka pintu
kamar motelnya, namun ia memang marah. Crawford sadar ia mungkin akan mengetahui
sisi lain dari Starling. Wangi sabun dan udara panas lembap menyambut Crawford ketika Starling berdiri di
ambang pintu. Selimut pada tempat tidur di belakangnya telah ditarik sampai
menutupi bantal. "Bagaimana pendapatmu, Starling?"
"Komentarku hanya persetan, Mr. Crawford. Bagaimana menurut Anda?"
Crawford memberi isyarat dengan menggerakkan kepala.
"Drugstore di pojok sana sudah buka. Kita minum kopi dulu."
Udara terasa nyaman untuk bulan Februari. Matahari yang baru beranjak dari ufuk
timur menyinari rumah sakit jiwa dengan cahaya kemerahan ketika mereka lewat.
Jeff mengikuti mereka dengan van, radionya bergemeresik. Ia sempat menyodorkan
gagang telepon ke luar jendela dan Crawford berbicara singkat dengan seseorang.
"Apakah Chilton bisa kukenakan tuduhan menghalangi penegakan keadilan?"
Starling berjalan agak di depan. Crawford melihat otot rahangnya mengencang
setelah mengajukan pertanyaan itu.
"Tidak, tuduhan itu akan ditepisnya dengan mudah."
"Bagaimana kalau dia mengorbankan Catherine, bagaimana kalau Catherine tewas
karena dia" Aku benar-benar ingin menghajarnya. Izinkan aku terus menangani
kasus ini, Mr. Crawford. Jangan suruh aku kembali ke sekolah."
"Dua hal. Kalaupun kau kupertahankan di sini, itu bukan untuk menghajar Chilton,
itu bisa menunggu. Kedua, kalau kau terus dipertahankan, kau akan terpaksa
mengulangi kuliahmu dari awal. Kau akan kehilangan waktu beberapa bulan. Pihak
Academy tidak memberi perlakuan khusus bagi siapa pun. Aku bisa menjamin kau
akan diterima lagi, tapi tak lebih dari itu - kau akan mendapat tempat, hanya itu
yang bisa kujanjikan."
Sejenak Starling mendongakkan kepala. Kemudian ia kembali memandang ke depan.
"Barangkali tidak sepantasnya aku menanyakan hal ini pada atasanku, tapi apakah
Anda ada masalah" Apakah Senator Martin bisa mengotak-atik kedudukan Anda?"
"Starling, dua tahun lagi aku harus pensiun. Kalaupun aku menemukan Jimmy Hoffa
dan pembunuh Tylenol, aku tetap harus berhenti. Jadi, soal kedudukan tidak masuk
dalam pertimbanganku."
Crawford sadar betapa ia ingin tampak arif. Ia tahu pria setengah baya dapat
begitu dikuasai hasrat untuk tampil bijaksana sehingga berusaha mengarang-
ngarang, dan ia pun menyadari betapa berbahaya kecenderungan ini bagi anak muda
yang mempercayai segala ucapannya. Karena itu ia bicara dengan hati-hati, dan
hanya mengenai hal-hal yang diketahuinya. Apa yang dikatakan Crawford kepada
Starling di jalan suram di Baltimore itu dipelajarinya pada serangkaian fajar
yang dingin membeku di Korea, dalam perang yang berlangsung sebelum Starling
lahir. Ia tidak menyinggung soal Korea, karena ia tidak membutuhkannya untuk
menegakkan wibawanya. "Sekaranglah masa yang paling sulit, Starling. Manfaatkanlah masa ini dengan
baik, dan kau akan ditempanya. Kau sedang menghadapi ujian paling berat - jangan
biarkan kemarahan dan frustrasi menghalangi akal sehatmu. Inilah yang
menentukan, apakah kau bisa memimpin atau tidak. Bertindak menuruti emosi takkan
membuahkan hasil. Chilton memang tolol, dan dia mungkin telah mengorbankan nyawa
Catherine Martin. Tapi mungkin juga tidak.
Kitalah satu-satunya kesempatan yang dimiliki Catherine. Starling, berapa suhu
nitrogen cair di lab"'-'
'Apa" Ah, nitrogen cair... minus dua ratus derajat Celsius, kurang lebih. Titik
didihnya sedikit lebih tinggi."
"Kau pernah menggunakannya untuk membekukan sesuatu?"
"Tentu." "Kau harus membekukan sesuatu sekarang. Bekukan urusanmu dengan Chilton.
Peganglah informasi yang kauperoleh dari Lecter dan bekukan emosimu. Kuminta kau
tetap membidik sasaran utama, Starling. Hanya itu yang penting. Kau telah
bekerja keras untuk mencari informasi, kau telah membayarnya dan mendapatkannya,
dan sekarang kita akan memanfaatkannya. Nilai informasi itu tetap sama seperti
sebelum Chilton ikut campur. Hanya saja Lecter kemungkinan besar akan tutup
mulut setelah ini. Bekukan yang lainnya.
Kemarahanmu, frustrasimu, Chilton. Bekukan. Pada waktunya nanti, kita akan
menangani Chilton. Tapi untuk sementara lupakanlah dia.
Supaya kau tetap bisa membidik sasaran utama, yaitu nyawa Catherine Martin. Dan
Buffalo Bill. Kalau kau sanggup melakukan itu, maka kau diperlukan di sini."
"Untuk mempelajari berkas-berkas medis?"
Mereka sudah sampai di depan drugstore.
"Hanya kalau terpaksa. Aku membutuhkanmu di Memphis. Aku sangsi Lecter akan
menceritakan sesuatu yang berguna kepada Senator Martin. Tapi aku ingin kau
berada di sana, sekadar untuk berjaga-jaga - barangkali Lecter mau bicara
denganmu kalau dia sudah bosan mempermainkan Senator Martin. Sebelumnya, kuminta
kau mencari keterangan mengenai Catherine. Selidikilah bagaimana Bill menemukan
dia. Kau sebaya dengan Catherine, dan teman-temannya mungkin mau menceritakan
hal-hal yang takkan mereka ceritakan pada orang yang lebih kelihatan seperti
polisi. "Kita juga masih punya jalur lain. Interpol sedang berusaha mengidentifikasi
Klaus. Kalau jati diri Klaus sudah diketahui, kita bisa mengamati lingkungan
pergaulannya di Eropa dan California, tempat dia berhubungan dengan Benjamin
Raspail. Setelah ini, aku akan ke University of Minnesota - persoalan di sana
perlu diluruskan - dan nanti malam aku akan berada di Washington. Biar aku saja
yang mengantre untuk beli kopi. Panggil Jeff dan van-nya. Empat puluh menit dari
sekarang, kau sudah harus ada di dalam pesawat."
Matahari yang merah telah naik sampai tiga perempat tiang telepon. Trotoar masih
tampak lembayung. Starling melambaikan tangan untuk memanggil Jeff.
Perasaannya sudah lebih enak, lebih ringan. Crawford memang hebat. Ia sadar
pertanyaan mengenai nitrogen tadi disengaja untuk menyinggung latar belakang
forensik yang dimilikinya. Pertanyaan itu bertujuan membuatnya senang, sekaligus
memicu kebiasaan untuk berpikir secara teratur. Starling sempat bertanya-tanya,
apakah pria menganggap manipulasi seperti itu sebagai pendekatan halus.
Anehnya, meskipun tahu telah dimanipulasi, ia tetap terpengaruh. Dan ia pun
menyadari bahwa kepemimpinan merupakan bakat alam yang tidak bisa ditiru dengan
teknik-teknik secanggih apa pun. Di seberang jalan, ia melihat seseorang
menuruni tangga Baltimore State Hospital for the Criminally Insane. Orang itu
Barney, yang tampak lebih besar lagi dari biasanya dengan jaketnya yang tebal.
Barney membawa kotak makan siangnya.
Tanpa bersuara Starling berkata, "Lima menit", kepada Jeff yang menunggu di
dalam van. Kemudian ia menghampiri Barney yang sedang membuka pintu mobil
tuanya. "Barney." Penjaga itu berbalik, tanpa ekspresi. Hanya matanya yang mungkin sedikit lebih
lebar dari biasa. "Apakah Dr. Chilton berpesan bahwa kau tidak perlu kuatir?"
"Apa lagi yang mungkin dikatakannya pada saya?"
"Dan kau percaya?"
Sudut mulut Barney bergerak ke bawah. Ia tidak menjawab ya atau tidak.
"Saya mau minta tolong. Saya ingin kau melakukan sesuatu untuk saya, sekarang
juga, tanpa bertanya. Saya akan bertanya baik-baik. Apa yang tersisa di sel
Lecter?" "Beberapa buku - Joy of Cooking, jurnal-jurnal medis. Berkas-berkas pengadilan
sudah diangkut semua."
"Bagaimana dengan gambar-gambar di dinding?"
"Masih ada di situ."
"Saya menginginkan semuanya dan saya sedang terburu-buru."
Barney berpikir sejenak. "Tunggu," katanya kemudian, dan ia kembali menaiki
tangga. Langkahnya berkesan ringan bagi orang sebesar dirinya.
Crawford sudah menunggu di dalam van ketika Barney keluar lagi sambil membawa
gambar-gambar yang telah digulung dan kertas-kertas serta buku-buku yang telah
dimasukkan ke kantong belanja.
"Anda menyangka saya tahu ada alat penyadap di kursi yang saya bawakan untuk
Anda?" Barney bertanya sambil menyerahkan bawaannya kepada Starling.
"Entahlah, saya belum sempat memikirkannya. Ini, pakai pena saya untuk mencatat
nomor teleponmu di kantong ini. Barney, menurutmu mereka sanggup menangani Dr.
Lecter?" "Saya meragukannya dan saya sudah mengatakannya kepada Dr. Chilton. Tolong
diingat bahwa saya memberitahu Anda, kalau-kalau dia lupa. Anda bisa dipercaya,
Officer Starling. Ehm, kalau Anda berhasil meringkus Buffalo Bill?"
"Yeah?" "Tolong jangan dibawa kemari, hanya karena di sini ada tempat kosong, oke?" Ia
tersenyum. Giginya kecil-kecil.
Mau tak mau Starling membalas senyumnya. Ia melambaikan tangan sambil berlari ke
van. Crawford tampak senang.
Bab Tiga Puluh Dua Grumman gulfstream yang membawa Dr. Hannibal Lecter mendarat di Memphis. Bannya
meninggalkan asap berwarna biru ketika menyentuh landasan. Mengikuti petunjuk


Domba Domba Telah Membisu The Silence Of The Lambs Karya Thomas Haris di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

dari menara, pesawat itu segera menggelinding ke hanggar Air National Guard,
menjauhi terminal-terminal penumpang. Dua kendaraan telah menunggu di dalam
hanggar pertama, ambulans Emergency Service serta sebuah limusin.
Dari balik kaca gelap limusinnya Senator Ruth Martin memperhatikan para polisi
negara bagian menurunkan Dr. Lecter dari pesawat. Ia ingin menghampiri sosok
terikat dan bertopeng itu untuk memaksanya buka mulut, tapi ia terlalu cerdas
untuk berbuat sebodoh itu. Telepon Senator Martin berbunyi. Asistennya, Brian
Gossage, segera meraihnya. "FBI - Jack Crawford," ujar Gossage.
Senator Martin mengambil alih gagang telepon tanpa melepaskan pandang dari Dr.
Lecter. "Kenapa saya tidak diberitahu mengenai Dr. Lecter, Mr. Crawford?"
"Saya kuatir Anda akan bertindak seperti sekarang."
"Saya bukan musuh Anda, Mr. Crawford. Kalau Anda memusuhi saya, Anda akan
menyesal." "Di mana Lecter sekarang?"
"Saya sedang menatapnya."
"Dia bisa mendengar Anda?"
"Tidak." "Senator Martin, dengarkan saya. Kalau Anda ingin memberikan jaminan pribadi
kepada Lecter, silakan. Tapi tolong biarkan Dr. Alan Bloom memberi penjelasan
dulu sebelum Anda menemui Lecter.
Bloom bisa membantu Anda, percayalah."
"Saya sudah punya penasihat ahli."
"Moga-moga lebih ahli dari Chilton."
Dr. Chilton mengetuk jendela limusin dari luar. Senator Martin menyuruh Brian
Gossage turun untuk bicara dengannya.
"Persaingan intern hanya membuang-buang waktu, Mr.
Crawford. Anda mengutus anak muda yang masih hijau untuk menemui Lecter, dengan
membawa tawaran palsu. Saya bisa berbuat lebih baik. Dr. Chilton berpendapat
Lecter akan menanggapi tawaran langsung, dan itu yang akan saya berikan - tanpa
birokrasi, tanpa melibatkan persoalan pribadi, tanpa mempertanyakan
kredibilitas. Kalau Catherine bisa diselamatkan, semuanya akan memperoleh pujian, termasuk
Anda. Kalau dia... tewas, saya takkan peduli pada alasan apa pun."
"Kalau begitu, manfaatkanlah kami, Senator Martin."
Senator Martin tidak menangkap nada marah dalam suara Crawford, hanya sikap
tenang yang bertumpu pada profesionalisme. Ia menanggapinya. "Teruskan."
"Jika Anda mendapatkan sesuatu, biarkan kami yang menindaklanjutinya. Pastikan
kami memperoleh segenap informasi yang ada. Pastikan kepolisian setempat
bersedia bekerja sama. Jangan sampai mereka mengira mereka dapat membuat Anda
senang dengan mengucilkan kami."
"Paul Krendler dari Kehakiman sedang dalam perjalanan ke sini.
Dia akan mengaturnya."
"Siapa yang memegang komando di sini sekarang?"
"Mayor Bachman dari Tennessee Bureau of Investigation."
"Oke. Kalau belum terlambat, halangilah peliputan pihak pers.
Chilton sebaiknya Anda peringatkan tentang ini - dia suka mencari perhatian. Kami
tidak ingin Buffalo Bill mengetahui apa pun. Kalau dia berhasil ditemukan, kami
akan menerjunkan Hostage Rescue Team.
Dia harus diringkus dengan cepat, untuk menghindari situasi penyanderaan. Anda
sendiri yang akan bicara dengan Lecter?"
"Ya?" "Maukah Anda bicara dengan Clarice Starling dulu" Dia sedang menuju ke sini."
"Untuk apa" Dr. Chilton telah merangkum semua bahan untuk saya. Kita sudah
terlalu lama membuang-buang waktu."
Chilton kembali mengetuk kaca. Ia mengatakan sesuatu tanpa bersuara. Brian
Gossage meraih pergelangan tangannya dan menggelengkan kepala.
"Saya menginginkan akses kepada Lecter setelah Anda selesai bicara dengannya,"
ujar Crawford. "Mr. Crawford, dia berjanji akan memberikan nama Buffalo Bill dengan imbalan
berupa berbagai fasilitas. Kalau janjinya tidak dipenuhi, saya tidak peduli dia
diapakan oleh Anda."
"Senator Martin, saya tahu ini masalah sensitif, tapi saya harus mengatakannya
kepada Anda: apa pun yang Anda lakukan, jangan memohon-mohon kepada Lecter."
"Oke, Mr. Crawford. Maaf, saya tidak bisa bicara lama-lama."
Wanita itu meletakkan telepon.
"Kalaupun aku keliru, Catherine takkan lebih mati dari keenam korban sebelumnya
yang kalian tangani," ia bergumam, lalu melambaikan tangan sebagai isyarat agar
Gossage dan Chilton naik ke limo.
Dr. Chilton telah minta agar pihak berwenang menyiapkan ruang kantor di Memphis,
tempat Senator Martin akan bicara dengan Hannibal Lecter. Guna menghemat waktu,
ruang brifing Air National Guard di dalam hanggar ditata ulang secara tergesa-
gesa untuk pertemuan tersebut. Senator Martin diminta menunggu di hanggar,
sementara Dr. Chilton menyiapkan Lecter di dalam ruang kantor dadakan itu. Namun
Senator Martin tidak sanggup menunggu di dalam mobil. Ia berjalan mondar-mandir
sambil menatap atap hanggar yang tinggi dan garis-garis di lantai. Satu kali ia
berhenti di samping pesawat Phantom F-4 lama dan menyandarkan kepala pada sisi
pesawat yang dingin. Pesawat ini lebih tua dari Catherine. Ya Tuhan, jangan
berpikiran macam-macam. "Senator Martin," Mayor Bachman memanggilnya. Chilton
melambaikan tangan dari pintu. Di dalam ruangan itu ada meja untuk Chilton,
serta kursi-kursi untuk Senator Martin dan asistennya serta untuk Mayor Bachman.
Juru kamera video telah siap meliput pertemuan itu. Kehadirannya diakui Chilton
sebagai salah satu tuntutan Lecter.
Penampilan Senator Martin cukup meyakinkan. Setelan jas yang ia kenakan
mencerminkan kekuasaannya. Gossage pun telah disuruh memoles diri.
Dr. Hannibal Lecter menduduki kursi besar yang dibaut ke lantai di tengah
ruangan. Jaket pengaman serta ikat kaki ditutupi selimut yang sekaligus
menyembunyikan rantai yang menahannya di kursi.
Meski begitu, ia tetap memakai 'topeng hoki es agar tidak bisa menggigit.
Kenapa" Senator Martin terheran-heran - gagasan semula adalah mengembalikan
martabat Dr. Lecter dalam suasana kantor. Senator Martin menatap Chilton sambil
mengerutkan kening, lalu berpaling kepada Gossage untuk minta kertas.
Chilton melangkah ke belakang Dr. Lecter dan, sambil melirik ke kamera, membuka
ikatan dan melepaskan topeng dari wajah Lecter.
"Senator Martin, perkenalkan Dr. Hannibal Lecter."
Sikap pamer yang diperlihatkan Chilton menyebabkan Senator Martin merinding.
Segala kepercayaannya pada orang itu mendadak lenyap, dan ia sadar ia berhadapan
dengan orang bodoh. Namun terlambat, ia terpaksa maju terus.
Beberapa helai rambut Dr. Lecter jatuh ke antara matanya yang berwarna merah
maroon. Wajahnya sepucat topengnya. Senator Martin dan Hannibal Lecter
berpandangan, yang satu cerdas luar biasa dan yang satu lagi tak dapat diukur
dengan cara apa pun yang diketahui.
Dr. Chilton kembali ke mejanya dan angkat bicara sambil menatap semua orang:
"Dr. Lecter telah memberi isyarat kepada saya, Senator, bahwa dia hendak
membantu penyelidikan ini dengan menyumbangkan informasi yang dimilikinya.
Sebagai imbalan, dia mengharapkan kebijaksanaan khusus menyangkut kondisi
penahanannya." Senator Martin mengangkat selembar kertas. "Dr. Lecter, ini surat perjanjian
yang akan saya tanda tangani sekarang. Di sini dikatakan bahwa saya akan
membantu Anda. Anda mau membacanya dulu?"
Senator Martin menduga Lecter takkan menjawab, dan ia sudah berpaling ke meja
untuk membubuhkan tanda tangan ketika Lecter berkata,
"Saya tidak mau menyia-nyiakan waktu Anda dan Catherine dengan tawar-menawar
mengenai hal-hal sepele. Sudah terlalu banyak waktu terbuang oleh orang-orang
yang sibuk memikirkan karier mereka. Saya akan membantu Anda, dan saya percaya
Anda akan membantu saya setelah urusan ini selesai."
"Saya takkan mengecewakan Anda. Brian?" - Gossage menyiapkan buku notesnya.
"Buffalo Bill sesungguhnya bernama William Rubin. Dia dikenal sebagai Billy
Rubin. Dia pertama kali mengunjungi saya bulan April atau Mei 1975 karena ajakan
pasien saya, Benjamin Raspail. Dia mengaku bertempat tinggal di Philadelphia,
saya tidak ingat alamatnya, tapi dia menumpang di rumah Raspail di Baltimore."
"Di mana catatan Anda?" Mayor Bachman menyela.
"Catatan saya dimusnahkan atas perintah pengadilan, tidak lama setelah..."
"Seperti apa tampangnya?" Mayor Bachman bertanya.
"Nanti dulu, Mayor. Senator Martin, satu-satunya..."
"Saya membutuhkan usia dan deskripsi fisiknya, apa saja yang Anda ingat," Mayor
Bachman mendesak. Dr. Lecter langsung menutup diri. Pikirannya beralih ke hal lain - studi anatomi
Gericault untuk The Raft of the Medusa - dan ia tidak menunjukkan tanda-tanda
bahwa ia mendengar pertanyaan-pertanyaan berikutnya.
Ketika Senator Martin berhasil meraih kembali perhatiannya, mereka hanya berdua
di dalam ruangan itu. Senator Martin memegang buku notes Gossage.
Dr. Lecter menatapnya. "Bendera itu berbau cerutu," katanya.
"Apakah Catherine diberi ASI dulu?"
"Maaf" Apakah...?"
"Apakah dia diberi ASI?"
"Ya." "Tugas itu membuat haus, bukan...?"
Sorot mata Senator Martin meredup, dan sejenak Lecter menikmati kepedihannya.
Cukup dulu untuk hari ini. Ia melanjutkan,
"Tinggi badan William Rubin sekitar satu delapan lima, dan mestinya dia sekarang
berusia tiga puluh lima tahun. Badannya tegap - ketika bertemu saya, beratnya
kurang-lebih sembilan puluh lima kilo, dan saya kira telah bertambah sejak itu.
Rambutnya cokelat dan matanya biru pucat. Berikan dulu informasi ini kepada
mereka, setelah itu kita lanjutkan."
"Baiklah," ujar Senator Martin. Catatannya diserahkan keluar.
"Saya hanya satu kali bertemu dengannya. Dia sempat membuat janji lagi, tapi
tidak muncul." "Kenapa Anda menduga orang ini Buffalo Bill?"
"Waktu itu pun dia sudah membunuh, dan melakukan hal-hal serupa dengan para
korbannya, dari segi anatomi. Dia mengaku mencari bantuan untuk menghentikan
perbuatannya, tapi sebenarnya dia hanya ingin pamer."
"Dan Anda tidak - dia yakin Anda takkan melaporkannya kepada pihak berwajib?"
"Kelihatannya begitu. Dia memang gemar mengambil risiko. Dia tahu saya tetap
menjaga rahasia-rahasia temannya, Raspail."
"Raspail tahu dia melakukan hal-hal tersebut?"
"Raspail sendiri mempunyai kecenderungan abnormal - tubuhnya penuh bekas luka.
"Billy Rubin pernah menyinggung catatan kriminalnya, namun tidak menyebutkan
detail-detailnya. Saya sempat membuatkan catatan medis singkat. Tak ada yang
istimewa, kecuali satu hal: Rubin bercerita dia pernah terkena penyakit antraks
gading gajah. Hanya itu yang saya ingat sekarang, Senator Martin, dan Anda
tentunya ingin segera pergi. Kalau ada hal yang teringat, saya akan mengabari
Anda." "Apakah Billy Rubin pembunuh orang yang kepalanya ditemukan di dalam mobil itu?"
"Saya kira ya."
"Anda tahu namanya?"
"Tidak. Raspail memanggilnya Klaus."
"Apakah hal-hal lain yang Anda ceritakan kepada FBI memang benar?"
"Paling tidak, sama benarnya dengan hal-hal yang diceritakan FBI kepada saya,
Senator Martin." "Saya telah mengatur akomodasi sementara untuk Anda di Memphis sini. Kita akan
membicarakan situasi Anda dan Anda akan dipindahkan ke Brushy Mountain kalau
urusan ini... setelah urusan ini selesai."
"Terima kasih. Saya ingin minta pesawat telepon, kalau-kalau saya teringat
sesuatu." "Akan saya atur."
"Dan musik. Glenn Gould, Goldberg Variations, kalau Anda tidak keberatan?"
"Baiklah." "Senator Martin, petunjuk apa pun yang Anda peroleh, jangan Anda percayakan
sepenuhnya kepada pihak FBI. Jack Crawford tak pernah mau bekerja sama dengan
instansi-instansi lain. Orang-orang seperti itu memang merepotkan. Crawford
berharap dialah yang akan menangkap Buffalo Bill."
"Terima kasih, Dr. Lecter."
"Saya suka setelan jas Anda," Lecter berkomentar ketika Senator Martin melangkah
keluar. Bab Tiga Puluh Tiga Ruangan demi ruangan, basement Jame Gumb menjalar bagaikan labirin yang
menyesatkan kita dalam mimpi. Ketika ia masih malu-malu, lama berselang, Mr.
Gumb menikmati kesenangannya di ruangan-ruangan paling tersembunyi, jauh dari
tangga. Di pojok-pojok paling jauh terdapat ruangan-ruangan dari kehidupan-
kehidupan sebelumnya yang sudah bertahun-tahun tak pernah dibuka. Beberapa di
antaranya bisa dikatakan masih dihuni, walaupun suara-suara dari balik pintu-
pintu itu sudah lama tak terdengar lagi.
Ketinggian lantai berbeda-beda antara satu ruangan dan ruangan lain, kadang-
kadang sampai tiga puluh senti. Ada ambang pintu yang harus dilangkahi, palang
yang harus dihindari dengan membungkuk. Menggiring sesuatu di hadapan kita -
sesuatu yang berjalan terhuyung-huyung sambil menangis, memohon-mohon, dan
sesekali membenturkan kepala tanpa sengaja - tidaklah mudah, malah bisa dikatakan
berbahaya. Setelah bertambah bijak dan percaya diri, Mr. Gumb tak lagi merasa perlu
memenuhi kebutuhannya di pojok-pojok tersembunyi di basement-nya. Kini ia
menggunakan sejumlah ruangan basement di sekitar tangga, ruangan-ruangan besar
dengan air mengalir dan listrik menyala. Kini basement-nya terselubung kegelapan
pekat. Di bawah ruangan berlantai pasir, di dalam lubang sumur, Catherine Martin
meringkuk tanpa bersuara.
Mr. Gumb berada di basement, namun bukan di ruangan ini.
Ruangan di belakang tangga gelap gulita bagi mata manusia, namun dipenuhi
berbagai bunyi pelan. Air terdengar menetes dan pompa-pompa kecil berdengung-
dengung. Gema-gema kecil membuat ruangan itu berkesan luas. Udaranya lembap dan
sejuk, dan berbau daun. Sayap-sayap mungil menyerempet pipi. Bunyi sengau
terdengar pelan, erangan nikmat, suara manusia.
Ruangan itu tidak diterangi cahaya dengan panjang gelombang yang tampak bagi
mata manusia, tapi Mr. Gumb ada di sini dan ia bisa melihat dengan jelas,
meskipun semuanya terlihat sebagai warna hijau dengan berbagai corak dan
intensitas. Ia mengenakan kacamata inframerah (surplus militer Israel, kurang
dari empat ratus dolar) dan ia mengarahkan berkas sinar senter inframerah ke
kerangkeng kecil berkawat anyam di hadapannya. Ia duduk di tepi kursi
bersandaran lurus. Segenap perhatiannya tertuju pada serangga yang sedang
memanjat tanaman di dalam kerangkeng. Serangga muda itu baru saja keluar dari
kepompong di dalam tanah lembap di dasar kerangkeng dan memanjat dengan hati-
hati, mencari tempat untuk mengembangkan sayapnya yang masih lembap dan menempel
di punggung. Binatang tersebut memilih ranting horizontal.
Mr. Gumb terpaksa memiringkan kepala untuk melihat. Sedikit demi sedikit
sepasang sayap itu dipenuhi darah dan udara.
Dua jam berlalu. Mr. Gumb nyaris tidak bergerak. Ia menghidup-matikan senter
inframerahnya, dan setiap kali senternya menyala kembali, ia menikmati kemajuan
yang telah dicapai serangga itu.
Untuk mengisi waktu, ia mengarahkan senter ke sekeliling ruangan - menyapu
akuarium-akuarium besar berisi cairan berwarna kecokelatan, menerangi benda-benda di dalamnya. Cahayanya beralih ke meja
kerjanya yang besar dan dilengkapi bantalan logam serta pipa pembuangan, lalu
menerpa kerek di atasnya. Tempat cuci tangan memanjang di dinding. Semuanya
tampak hijau. Titik-titik yang berpendar melintasi pandangannya, ngengat-ngengat
kecil yang beterbangan dengan bebas. Ia kembali berpaling ke kerangkeng.
Sayap serangga besar di dalamnya telah terangkat di atas punggung.
Kini sayapnya turun untuk menyelubungi tubuh, dan motif yang terkenal itu
terlihat jelas. Sebuah tengkorak manusia, yang terbentuk oleh sisik-sisik
menyerupai bulu, menatapnya dari punggung ngengat.
Di bawah ujung tengkorak yang gelap terdapat sepasang lubang mata yang hitam
serta tulang pipi menonjol. Tengkorak itu bertumpu pada motif yang menyerupai
bagian atas tulang pinggul.
Tengkorak yang bertumpu pada pinggul, semuanya tergambar alam pada punggung
seekor ngengat. Mr. Gumb riang gembira. Ia membungkuk sedikit dan meniup
serangga di hadapannya, pelan-pelan saja. Ngengat itu mengeluarkan suara gusar.
Diam-diam Mr. Gumb berjalan ke ruang sumur. Ia membuka mulut agar bunyi napasnya
tidak kentara. Ia tak ingin kesenangannya terusik oleh teriakan-teriakan dari


Domba Domba Telah Membisu The Silence Of The Lambs Karya Thomas Haris di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

lubang sumur. Lensa kacamatanya yang menonjol menyerupai mata kepiting. Mr. Gumb
sadar kacamata itu sama sekali tidak indah, namun benda itu sudah sering
menghiburnya di dalam basement yang gelap. Ia membungkuk dan mengarahkan cahaya
yang tak tampak ke dalam lubang. Spesimen di bawah berbaring miring, meringkuk
seperti udang. Sepertinya sedang tidur. Ember plastik masih di sampingnya. Kali
ini talinya tidak putus seperti ketika ia berusaha memanjat dinding yang licin.
Sambil tidur, ia menempelkan sudut kasur ke wajah dan mengisap jempol. Mr.
Gumb memperhatikan Catherine dari atas ke bawah, dan ia mempersiapkan diri untuk
menghadapi masalah-masalah yang menantinya.
Kulit manusia sangat sulit diolah jika seseorang mempunyai standar setinggi Mr.
Gumb. Berbagai keputusan mendasar harus diambil, dan yang pertama menyangkut
penempatan ritsleting. Ia mengalihkan berkas senternya ke punggung Catherine.
Biasanya ritsleting dipasang di sini, tapi kalau begitu, bagaimana ia dapat
mengenakannya seorang diri" Dan ia tidak dapat meminta bantuan orang lain,
meskipun gagasan itu sungguh menggairahkan. Ia mengetahui beberapa tempat di
mana usahanya akan ditanggapi penuh kekaguman - ada sejumlah yacht tempat ia dapat
memamerkan hasil karyanya - tapi itu harus menunggu.
Mr. Gumb tidak dapat menilai warna kulit Catherine dalam cahaya inframerah, tapi
ia kelihatan lebih kurus. Barangkali ia sedang berdiet ketika diculik.
Pengalaman mengajarkan Mr. Gumb untuk menunggu empat hari sampai satu minggu
sebelum mengambil kulit yang diminatinya.
Pengurangan berat badan secara drastis membuat kulit lebih longgar dan lebih
mudah dilepaskan. Selain itu, rasa lapar juga menggerogoti kekuatan subjek-
subjeknya dan menyebabkan mereka menjadi lebih mudah ditangani. Lebih tenang.
Beberapa di antara mereka bahkan menunjukkan sikap pasrah dan tidak peduli.
Meski demikian, Mr. Gumb harus menyediakan ransum sekadarnya untuk menghindari timbulnya perasaan
putus asa serta perilaku destruktif yang dapat merusak kulit.
Ya, spesimen ini telah kehilangan berat badan. Yang satu ini begitu penting bagi
rencananya, sehingga ia tak bisa menunggu terlalu lama, dan ia memang tak perlu
menunggu terlalu lama. Besok sore ia sudah bisa mulai berkarya, atau besok
malam. Paling lambat besok lusa. Tidak lama lagi.
Bab Tiga Puluh Empat Clarice starling mengenali papan nama Stonehinge Villas dari siaran berita TV.
Kompleks hunian di East Memphis itu, yang merupakan campuran flat dan town
house, membentuk huruf U mengelilingi pelataran parkir yang luas.
Starling memarkir Chevrolet Celebrity sewaannya di tengah-tengah lapangan.
Melihat mobil-mobil lain di sekelilingnya - sejumlah Trans-Am dan IROC-Z Camaro - ia
menyimpulkan kompleks tersebut dihuni pekerja-pekerja bergaji besar dan
eksekutif-eksekutif tingkat bawah. Karavan-karavan tanpa sengaja oleh akhir
pekan serta perahu-perahu dengan cat mengilap tampak di bagian terpisah dari
pelataran parkir. Stonehinge Villas - ejaan tersebut mengganggu Starling setiap kali ia melihatnya.
Apartemen-apartemen itu pasti dilengkapi perabot rotan yang dicat putih dan
karpet berwarna peach. Foto-foto di bawah kaca meja tamu. Dinner for Two
Cookbook dan Fondue on the Menu.
Starling, yang hanya memiliki kamar asrama di FBI Academy sebagai tempat
tinggal, selalu sewot mengenai hal-hal seperti itu.
Ia perlu mempelajari latar belakang Catherine Baker Martin, dan rasanya ini
pilihan yang janggal sebagai tempat tinggal putri seorang senator. Starling
telah membaca keterangan biografi singkat yang dikumpulkan FBI, dan di situ
Catherine Martin digambarkan sebagai wanita muda cerdas yang sebenarnya mampu
meraih sukses lebih tinggi. Ia gagal di Farmington dan menghabiskan dua tahun
yang suram di Middlebury. Kini ia mahasiswa Southwestern dan bekerja sebagai
guru praktek. Semula Starling cenderung membayangkan Catherine sebagai anak sekolah swasta
berotak tumpul yang hanya mementingkan diri sendiri dan tidak peduli pada orang
lain. Namun ia sadar ia perlu berhati-hati, karena penilaiannya itu diwarnai
berbagai prasangka. Starling sendiri sempat merasakan sekolah asrama berkat sejumlah beasiswa yang
diterimanya, dan nilai-nilai yang ia peroleh jauh lebih baik daripada pakaian
yang dikenakannya ketika itu. Ia sering melihat anak-anak keluarga kaya yang
dititipkan di sekolah asrama oleh orangtua mereka yang sibuk sendiri. Beberapa
di antara mereka memang brengsek, tapi Starling segera menyadari bahwa sikap
acuh tak acuh selain merupakan cara untuk menghindari kepedihan, juga sering
disalahartikan sebagai dangkal dan tidak peduli. Lebih baik membayangkan
Catherine sebagai anak kecil yang pergi berlayar bersama ayahnya, seperti dalam
film yang ditayangkan di TV ketika Senator Martin memohon belas kasihan. Buffalo
Bill. Dalam hati Starling bertanya, apakah Catherine berusaha menyenangkan
ayahnya ketika masih kecil. Ia bertanya-tanya apa yang sedang dilakukan
Catherine ketika orang-orang datang dan memberitahunya bahwa ayahnya meninggal
akibat serangan jantung pada usia empat puluh dua tahun. Starling yakin
Catherine merindukan ayahnya. Rasa rindu kepada ayah, luka hati yang lazim,
menyebabkan Starling merasa dekat dengan wanita muda ini.
Starling merasa perlu menyukai Catherine Martin, sebab ini memacunya untuk
mengerahkan segala daya dan upaya.
Starling segera mengetahui lokasi apartemen Catherine - dua mobil Tennessee
Highway Patrol diparkir di depannya. Ia melihat sejumlah noda putih pada bagian
pelataran parkir yang paling dekat dengan apartemen Catherine. Rupanya Tennessee
Bureau of Investigation telah mengamankan bercak-bercak oli dengan bubuk batu
apung atau bubuk lainnya yang bersifat lembam. Crawford memang sempat memuji
cara kerja TBI. Starling menghampiri kendaraan-kendaraan rekreasi dan perahu-perahu yang
diparkir di bagian khusus di depan apartemen. Di sinilah Catherine diculik
Buffalo Bill. Cukup dekat dengan apartemennya, sehingga ia merasa tidak perlu
mengunci pintu ketika keluar. Ada sesuatu yang memancingnya keluar, sesuatu yang
berkesan tidak berbahaya.
Starling tahu kepolisian Memphis telah mendatangi semua tetangga untuk minta
keterangan, namun tidak ada yang melihat apa pun, jadi penculikan tersebut
mungkin berlangsung di antara karavan-karavan yang tinggi. Buffalo Bill pasti
mengintainya dari sini. Sambil duduk di dalam kendaraan. Tapi Buffalo Bill tahu
Catherine ada di sini. Berarti ia telah melihatnya di tempat lain, lalu mengikutinya sambil menunggu
kesempatan beraksi. Tidak banyak wanita muda sebesar Catherine. Buffalo Bill tak
mungkin duduk-duduk di sembarang tempat sambil menunggu korban yang cocok. Cara
itu bisa menghabiskan waktu berhari-hari tanpa membuahkan hasil.
Semua korbannya berbadan besar. Semuanya. Ada yang gemuk, tapi semuanya besar.
"Supaya baju itu muat di badannya." Starling merinding ketika teringat ucapan
Dr. Lecter. Dr. Lecter, warga baru kota Memphis.
Starling menarik napas dalam-dalam, menggembungkan pipi, lalu mengembuskan
udaranya pelan-pelan. Coba lihat, apa yang bisa kita ketahui tentang Catherine.
Seorang polisi Tennessee dengan topi Smokey the Bear membukakan pintu apartemen
Catherine Martin. Ketika Starling memperlihatkan kartu identitasnya, petugas itu
mempersilakannya masuk. "Officer, saya perlu memeriksa tempat ini."
Petugas itu mengangguk. "Kalau teleponnya berdering, biarkan saja. Biar saya
yang menerimanya." Pada counter di dapur terbuka, Starling melihat tape recorder
yang disambung ke pesawat telepon. Di sampingnya ada dua pesawat telepon baru.
Satunya tidak dilengkapi tombol-tombol angka - sambungan langsung ke bagian
pengamanan Southern Bell, fasilitas pelacakan telepon di daerah mid-South.
"Ada yang bisa saya bantu?" tanya polisi muda itu.
"Tempat ini sudah selesai digeledah polisi?"
"Apartemennya sudah diserahkan kembali kepada pihak keluarga. Saya hanya
menunggui telepon. Anda bebas memegang barang-barang yang ada di sini, kalau itu
yang Anda maksud." "Baiklah, kalau begitu saya mau melihat-lihat dulu."
"Oke." Polisi muda itu meraih koran yang diselipkannya di bawah sofa, lalu
kembali membaca. Starling ingin berkonsentrasi. Ia menyayangkan ia tidak
sendirian di dalam apartemen, tapi ia sadar ia beruntung tempat itu tidak penuh
polisi. Ia mulai di dapur. Tampak jelas penghuni apartemen itu bukan orang yang gemar
memasak. Catherine pulang sejenak untuk mengambil popcorn, demikian keterangan
yang diperoleh polisi dari pacarnya. Starling membuka freezer. Di dalamnya ada
dua kotak popcorn microwave. Pelataran parkir tidak kelihatan dari dapur. "Anda
dari mana?" Starling tidak mendengar pertanyaan itu. "Anda dari mana?"
Petugas polisi di sofa telah menurunkan koran dan sedang menatapnya.
"Washington," jawab Starling.
Di bawah tempat cuci piring - yap, goresan-goresan pada sambungan pipa, tempat
penampungan kotoran telah dibongkar dan diperiksa. Hmm, FBI cukup teliti. Pisau-
pisau di counter tidak tajam.
Alat cuci piring sempat dinyalakan, namun belum dikosongkan. Lemari es berisi
cottage cheese dan deli fruit salad. Catherine Martin suka membeli fast-food,
kemungkinan besar ia mempunyai tempat langganan, toko drive-in di sekitar
apartemennya. Barangkali ada orang yang sering berkeliaran di tempat itu. Tak
ada salahnya diperiksa. "Anda dari kejaksaan?"
"Bukan, FBI." "Saya dengar Jaksa Agung mau kemari. Sudah berapa lama Anda di FBI?" Starling
menatap petugas polisi itu.
"Begini, Officer, saya perlu menanyakan beberapa hal kepada Anda setelah saya
selesai memeriksa tempat ini. Bagaimana kalau nanti saja kita bicara?"
"Oke." Kamar tidur di apartemen itu bersuasana cerah. Starling menyukainya. Perabot dan
perlengkapan lainnya cukup bagus dan mahal untuk ukuran seorang wanita muda. Ada
sekat Coromandel, dua buah cloisonne pada rak, serta meja tulis dari kayu
walnut. Dan sepasang tempat tidur. Starling mengangkat pinggiran selimut. Roda-
roda pada kaki tempat tidur sebelah kiri terkunci, pada kaki sebelah kanan
tidak. Mungkin Catherine merapatkan keduanya kalau ada keperluan khusus.
Barangkali dia punya pacar gelap. Atau mungkin juga mereka suka menginap di
sini. Mesin penerima teleponnya tidak dilengkapi remote. Dia mungkin harus ada
di sini kalau ibunya menelepon. Mesin penerima teleponnya sama seperti milik
Starling, Phone-Mate standar. Ia membuka panilnya. Kaset-kaset untuk telepon
masuk dan keluar sudah tidak ada. Keduanya digantikan pesan, TAPES
FBI PROPERTY #6. Kamar itu sebenarnya cukup rapi, namun berkesan agak berantakan setelah
digeledah oleh orang-orang bertangan besar, orang-orang yang hendak
mengembalikan semuanya ke tempat semula, tapi selalu meleset sedikit. Tanpa
melihat bekas bubuk untuk mengamankan sidik jari pada semua permukaan licin pun
Starling segera tahu tempat itu telah digeledah.
Starling menyangsikan bahwa penculikan berlangsung di kamar tidur. Kelihatannya
Crawford benar. Catherine disergap di pelataran parkir. Tapi Starling ingin
mengenalinya lebih jauh, dan inilah tempat ia tinggal.
Dalam kabinet di samping ranjang ada buku telepon, Kleenex, kotak berisi alat-
alat kecantikan dan, di balik peti kecil, sebuah kamera Polaroid SX-70 dengan
cable release dan tripod kecil terlipat di sampingnya. Hmmm. Penuh perhatian
Starling mengamati kamera itu.
Ia berkedip dan tidak menyentuhnya.
Lemari pakaianlah yang paling menarik perhatian Starling.
Catherine Baker Martin, pada label binatunya tertulis C-B-M, memiliki banyak
pakaian dan beberapa di antaranya cukup mahal. Starling mengenali sejumlah
label, termasuk Garfinkel's dan Britches di Washington. Hadiah-hadiah dari Mami,
kata Starling dalam hati.
Catherine mempunyai baju-baju berpotongan klasik dengan dua ukuran, yaitu ukuran
berat badannya sekitar 72 dan 82 kg, menurut taksiran Starling. Lalu masih ada
beberapa potong crisis fat pants dan pullover dari Statuesque Shop. Pada rak
gantung ada dua puluh tiga pasang sepatu. Tujuh pasang Ferragamo ukuran IOC,
beberapa pasang Reebok, serta sejumlah sepatu santai. Pada rak paling atas ada
ransel dan raket tenis. Harta benda anak orang kaya, seorang mahasiswa dan guru praktek dengan tingkat
kesejahteraan lebih tinggi dari kebanyakan orang.
Surat-surat menumpuk di meja tulis. Dari bekas teman kuliah di daerah Timur
dulu. Prangko, label alamat. Kertas kado di laci paling bawah, dengan aneka
warna dan corak. Starling memeriksa semuanya satu per satu. Ia sedang berpikir
untuk mencari keterangan dari karyawan toko drive-in setempat, ketika jarinya
menemukan selembar kertas kado yang lebih tebal dan kaku dari yang lainnya. Ia
melewatinya, lalu kembali lagi. Starling terlatih untuk mengenali hal-hal yang
menyimpang; ia menarik lembaran itu dan mengamatinya.
Warnanya biru, terbuat dari bahan yang serupa dengan pengering tinta, dan motif
yang tercetak adalah tiruan kasar gambar Pluto.
Semua anjing pada deretan-deretan itu mirip Pluto, warna kuningnya benar, namun
proporsinya agak meleset.
"Catherine, Catherine," Starling bergumam. Ia mengambil penjepit dari tas dan
menggunakannya untuk memindahkan kertas berwarna itu ke dalam sampul plastik,
yang kemudian diletakkannya di atas tempat tidur.
Di atas meja rias ada kotak perhiasan berlapis kulit, seperti yang lazim ditemui
di kamar asrama wanita muda. Kedua laci di sisi depan berisi perhiasan imitasi,
tak ada yang berharga. Dalam hati Starling bertanya, apakah perhiasan yang asli
disimpan di dalam kol dari karet di lemari es, dan kalau memang begitu, siapa
yang mengambilnya. Ia mencungkil pinggiran tutup kotak itu dan membuka laci rahasia di sisi
belakang. Lacinya kosong. Starling bertanya-tanya, untuk apa laci semacam ini
dipasang - semua pencuri sudah tahu rahasianya. Ia sedang meraih ke balik kotak
perhiasan untuk menutup laci, ketika jarinya menyentuh amplop yang ditempelkan
di sisi bawah. Starling segera mengenakan sepasang sarung tangan katun dan memutar kotak itu.
Lalu ia menarik laci yang kosong dan membalikkannya. Sebuah amplop cokelat
ditempelkan ke sisi bawah laci dengan selotip. Tutupnya sekadar diselipkan,
bukan dilem. Starling mengendus-endus. Amplop itu belum diperiksa untuk mencari
sidik jari. Starling menggunakan penjepit tadi untuk membuka amplop dan
mengeluarkan isinya. Ia menemukan lima foto Polaroid dan mengeluarkan semuanya
satu per satu. Foto-foto itu memperlihatkan sepasang pria dan wanita
bersanggama. Kepala maupun wajah mereka tidak tampak. Dua foto diambil oleh si
wanita, dua oleh pasangannya, dan satu lagi sepertinya dibuat dari tripod yang
ditaruh pada meja di samping tempat tidur. Menentukan skala pada sebuah foto
adalah pekerjaan sukar, tapi dengan bobot 72 kg pada tubuh yang panjang, wanita
itu bisa dipastikan Catherine Martin.
Pasangannya mengenakan semacam cincin gading berukir pada penisnya. Resolusi
foto tersebut tidak memadai untuk mengenali detail-detail cincin. Pria itu telah
menjalani operasi usus buntu.
Starling menyelipkan foto-foto ke dalam kantong-kantong plastik, lalu memasukkan
semuanya ke dalam amplop cokelat yang dibawanya.
Kemudian ia mengembalikan laci rahasia ke tempat semula di kotak perhiasan..
"Perhiasan yang asli sudah saya amankan," sebuah suara berkata di belakangnya.
"Sepertinya tidak ada yang hilang."
Starling memandang ke cermin. Senator Ruth Martin berdiri di ambang pintu. Ia
tampak letih. Starling berbalik. "Halo, Senator Martin. Anda ingin beristirahat"
Saya sudah hampir selesai." Meski sedang letih, Senator Martin tetap terlihat
rapi. Namun di balik penampilannya itu mengintai watak yang mudah meletup, dan
Starling pun menyadarinya.
"Siapa Anda" Saya pikir pihak kepolisian sudah selesai di sini."
"Saya Clarice Starling, FBI. Anda sudah bicara dengan Dr.
Lecter, Senator?" "Dia menyebutkan sebuah nama." Senator Martin menyalakan rokok dan mengamati
Starling dari atas sampai bawah. "Kita tunggu saja apakah informasinya berharga
atau tidak. Dan apa yang Anda temukan dalam kotak perhiasan itu, Officer
Starling" Sesuatu yang berharga?"
"Dokumentasi yang dapat kita periksa dalam waktu beberapa menit," adalah jawaban
terbaik yang dapat dibelikan Starling.
"Dalam kotak perhiasan putri saya" Coba saya lihat."
Starling mendengar suara-suara di ruangan sebelah, dan ia berharap ada yang
menyela percakapannya dengan Senator Martin.
"Anda disertai Mr. Copley, agen khusus kami di Memphis yang..."
"Tidak, dan itu bukan jawaban. Saya tidak bermaksud apa-apa, Officer, tapi saya
ingin tahu apa yang Anda ambil dari kotak perhiasan putri saya." Ia menoleh ke
belakang dan memanggil seseorang. "Paul.
Paul, tolong kemari sebentar. Officer Starling, Anda mungkin kenal Mr.
Krendler dari Departemen Kehakiman. Paul, ini gadis yang ditugaskan Jack
Crawford untuk menemui Lecter." Bagian kepala Krendler yang botak tampak
kecokelatan karena matahari, dan ia kelihatan segar untuk orang berusia empat
puluh.

Domba Domba Telah Membisu The Silence Of The Lambs Karya Thomas Haris di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mr. Krendler, saya tahu siapa Anda. Halo," ujar Starling. Orang penting di
Kehakiman, ya Tuhan, bantulah hambaMu ini.
"Officer Starling menemukan sesuatu di dalam kotak perhiasan putri saya dan
memasukkannya ke amplop cokelat yang dia bawa.
Saya kira ada baiknya kita lihat isi amplop itu, bukan?"
"Officer," kata Krendler.
"Bolehkah saya bicara dengan Anda, Mr. Krendler?"
"Tentu saja. Nanti." Krendler mengulurkan tangan.
Wajah Starling terasa panas. Ia tahu Senator Martin sedang stres, tapi ia takkan
pernah memaafkan Krendler atas keraguan yang tergambar di wajahnya. Sampai kapan
pun. "Silakan," sahut Starling.
Ia menyerahkan amplop yang diminta.
Krendler mengintip foto pertama dan telah menyelipkan kembali tutup amplop
ketika Senator Martin mengambil alih amplop itu dari tangannya.
Starling tak sampai hati menatap wajah Senator Martin saat mengamati foto-foto
itu. Setelah selesai, Senator Martin menghampiri jendela dan menghadap langit
yang mendung, dengan mata terpejam.
Ia tampak tua dalam cahaya yang suram, dan tangannya gemetaran ketika ia mencoba
mengisap rokoknya. "Senator, saya..." Krendler angkat bicara.
"Kamar ini sudah digeledah polisi," ujar Senator Martin. "Saya yakin mereka juga
menemukan foto-foto itu dan cukup tanggap untuk mengembalikan semuanya dan tutup
mulut." "Anda keliru," ujar Starling.
"Foto-foto ini belum ditemukan." Ia sadar wanita itu sedang mengalamicobaan,
tapi persetan. "Mrs. Martin, kita perlu tahu siapa pria pada foto ini, Anda
tentu memahami hal ini. Kalau memang sang pacar, tak ada masalah. Saya bisa
memastikannya dalam waktu lima menit. Foto-foto ini tak perlu disebarluaskan dan
Catherine takkan pernah tahu."
"Biar saya yang menanganinya." Senator Martin menyelipkan amplop itu ke dalam
tas, dan Krendler membiarkannya.
"Senator, apakah Anda yang mengambil perhiasan dari kol karet di dapur?" tanya
Starling. Asisten Senator Martin, Brian Gossage, muncul di pintu. "Maaf, Senator,
terminalnya sudah terpasang. Kita bisa mengikuti pelacakan nama William Rubin di
FBI." "Silakan, Senator Martin," ujar Krendler.
"Saya akan segera menyusul."
Ruth Martin meninggalkan ruangan tanpa menjawab pertanyaan Starling.
Starling mengamati Krendler ketika orang itu menutup pintu kamar tidur. Setelan
jasnyamencerminkan puncak keahlian menjahit dan ia tidak bersenjata. Tumit
sepatunya tampak mengilap karena terus tergosok karpet tebal, dan pinggirannya
masih menyiku. Sejenak Krendler berdiri dengan tangan, pada pegangan pintu, sambil menundukkan
kepala. "Anda sangat teliti," katanya ketika berbalik.
Starling tidak bisa dibujuk semudah itu. Ia membalas tatapan Krendler. "Orang-
orang Quantico selalu ahli dalam menggeledah," ujar Krendler.
"Orang-orang Quantico bukan pencuri."
"Saya tahu itu."
"Masa?" "Sudahlah." "Foto-foto dan kol karet itu akan ditindaklanjuti, bukan?" tanya Starling.
"Ya." "Bagaimana soal nama 'William Rubin' itu, Mr. Krendler "Menurut Lecter, itu nama
asli Buffalo Bill. Ini transmisi kami ke seksi ID dan NCIC. Coba Anda baca."
Krendler menyerahkan transkrip wawancara Senator Martin dengan Lecter, sebuah
salinan buram dari printer dot-matrix."
"Ada komentar?" tanya Krendler setelah Starling selesai membaca.
"Di sini tidak ada apa-apa yang bisa menjeratnya," kata Starling.
"Dia bilang pelakunya pria kulit putih bernama Billy Rubin yang pernah terkena
antraks gading gajah. Apa pun yang terjadi, Anda takkan bisa membuktikan dia
bohong. Paling-paling dia akan mengaku keliru. Mudah-mudahan ini benar. Tapi
mungkin saja dia sekadar mempermainkan Senator Martin; dia sanggup melakukan
itu. Anda pernah... bertemu dengannya?" Krendlef menggeleng sambil mendengus.
"Sejauh yang kita ketahui, Lecter membunuh sembilan orang.
Dia takkan pernah bebas - biarpun dia membangkitkan orang yang sudah mati, dia
tetap takkan dilepaskan. Yang bisa dia lakukan hanya mencari hiburan. Itulah
sebabnya kami bermain-main dengannya... "
"Saya tahu bagaimana Anda bermain-main dengannya. Saya sudah mendengarkan
rekaman Chilton. Saya tidak mengatakan Anda keliru - saya mengatakan Anda berhenti
sampai di sini. Seksi Ilmu Perilaku bisa mengusut temuan Anda - sudut transseksual
itu. Dan besok Anda akan kembali bersekolah di Quantico." Oh, sial.
"Ada lagi yang saya temukan."
Lembaran kertas berwarna di tempat tidur telah luput dari perhatian. Starling
menyerahkannya kepada Krendler. "Apa ini?"
"Kelihatannya seperti kertas bergambar Pluto." Starling menunggu sampai Krendler
menanyakan kelanjutannya.
Pria itu memberi isyarat agar Starling meneruskan penjelasannya. "Saya menduga ini blotter acid. LSD. Mungkin dari pertengahan
tahun tujuh puluhan atau sebelumnya. Sekarang sudah jadi barang langka. Ada
baiknya kita selidiki dari mana dia memperoleh ini. Kita perlu mengadakan tes
untuk memastikannya."
"Anda bisa membawanya ke Washington untuk diserahkan ke lab. Anda berangkat
sebentar lagi." "Kalau Anda tidak mau menunggu, kita bisa menguinya sekarang juga. Kalau polisi
punya standar Narcotics Identification, Kit, kita gunakan tes J, waktunya hanya
dua detik." "Kembali ke Washington, kembali ke sekolah," Krendler menegaskan sambil membuka
pintu. "Saya diinstruksikan Mr.
Crawford... " "Instruksi Anda adalah apa yang saya katakan. Anda tidak di bawah komando Jack
Crawford sekarang. Anda di bawah pengawasan yang sama seperti semua trainee
lain, dan urusan Anda adalah di Quantico, mengerti" Ada pesawat yang berangkat
pukul dua lewat sepuluh. Anda akan berada di atas pesawat itu."
"Mr. Krendler, Dr. Lecter bersedia bicara dengan saya setelah menolak bicara
dengan kepolisian Baltimore. Bisa jadi dia akan melakukannya lagi. Mr. Crawford
berpendapat... " Krendler kembali menutup pintu, lebih keras dari seharusnya.
"Officer Starling, saya tidak perlu menjelaskan apa pun kepada Anda, tapi
begini. Setiap rekomendasi dari Ilmu Perilaku sekadar bersifat saran, dari dulu
sudah begitu. Dan sekarang pun tetap begitu. Jack Crawford seharusnya sudah
mengambil cuti. Saya tidak menyangka dia tetap sanggup bekerja sebaik ini. Dia
gegabah mengambil risiko dengan menutup-nutupi urusan ini dari Senator Martin,
dan sekarang dia kena getahnya. Tapi dengan reputasi seperti yang dia miliki,
Senator Martin pun tak dapat berbuat banyak terhadapnya, apalagi masa pensiunnya
sudah dekat. Kalau saya jadi Anda, saya takkan mencemaskannya."
Sejenak Starling kehilangan kendali diri. "Apakah ada orang lain yang berhasil
menangkap tiga pembunuh berantai" Anda kenal orang lain yang menangkap satu
saja" Tidak seharusnya Anda membiarkan 4
Senator Martin menangani urusan ini, Mr. Krendler."
"Anda pasti sangat cerdas, kalau tidak, Crawford takkan membuang-buang waktu
dengan Anda. Dengarkan baik-baik, sebab saya takkan mengulangi ini: Jagalah
mulut Anda, atau Anda akan saya tempatkan sebagai sekretaris. Rupanya Anda belum
mengerti juga - satu-satunya alasan Anda disuruh menemui Lecter adalah untuk
mencari berita bagi direktur Anda untuk digunakan di Capitol Hill.
Detail-detail sepele mengenai kejahatan-kejahatan kelas kakap, 'cerita orang
dalam' mengenai Dr. Lecter. Direktur Anda membagi-bagikannya seperti permen
sambil memperjuangkan anggaran yang disusunnya. Para anggota kongres tidak
pernah puas mendengar cerita seperti ini. Anda telah melewati batas, Officer
Starling, dan Anda akan ditarik dari kasus ini. Saya tahu Anda diberi ID
sementara. Tolong serahkan pada saya."
"Saya memerlukannya untuk membawa senjata ke dalam pesawat. Pistol inventaris
Quantico." "Pistol. Ya Tuhan! Kembalikan ID itu begitu Anda sampai di sana."
Senator Martin, Gossage, seorang teknisi, dan beberapa petugas polisi berkerumun
di depan video display terminal dengan modem yang disambungkan ke pesawat
telepon. Hotline dari National Crime Information Center mencatat setiap kemajuan
yang diperoleh, sementara informasi dari Lecter diproses di Washington. Berita
yang baru saja, masuk dikirim dari National Center for Disease Control di
Atlanta: Antraks gading gajah menyebar melalui debu yang terisap saat
menggerinda gading Afrika, yang biasa digunakan untuk barang-barang dekorasi. Di
Amerika enkat, penyakit itu ditemui di kalangan pembuat Pisau.
Senator Martin memejamkan mata ketika membaca kata-kata
"pembuat pisau". Matanya perih dan kering. Ia meremas-remas Kleenex di
tangannya. Polisi muda yang membiarkan Starling memasuki apartemen sedang membawakan
secangkir kopi untuk Senator Martin. Ia masih mengenakan topinya.
Starling tidak sudi keluar diam-diam. Ia berhenti di hadapan wanita itu dan
berkata, "Semoga berhasil, Senator. Mudah-mudahan Catherine selamat."
Senator Martin mengangguk tanpa menoleh. Krendler menggiring Starling ke pintu.
"Saya tidak tahu dia tidak boleh masuk kemari," ujar polisi muda tadi ketika
Starling meninggalkan ruangan.
Krendler menemaninya keluar. "Saya sangat menghormati Jack Crawford," katanya.
"Tolong sampaikan padanya bahwa kami semua turut prihatin dengan... masalah
Bella itu. Sekarang kembalilah ke sekolah dan belajarlah dengan giat, oke?"
"Good-bye, Mr. Krendler."
Kemudian Starling seorang diri di pelataran parkir, dengan perasaan aneh bahwa
tak ada yang dipahaminya di dunia ini.
Ia memperhatikan seekor merpati berjalan di bawah karavan-karavan dan perahu-
perahu. Burung itu memungut kulit kacang dan meletakkannya lagi. Bulunya
bergerak-gerak tertiup angin. Starling merasa perlu bicara dengan Crawford.
Sekaranglah masa yang paling sulit, itu yang dikatakannya. Manfaatkanlah masa
ini dengan baik, dan kau akan ditempanya. Kau sedang menghadapi ujian paling
berat - jangan biarkan kemarahan dan frustrasi menghalangi akal sehatmu.
Inilah yang menentukan, apakah kau bisa memimpin atau tidak.
Starling tidak peduli soal kepemimpinan. Kalau aturan mainnya seperti ini, ia
bahkan tak peduli tentang kedudukannya sebagai Agen-Khusus Starling.
Ia teringat gadis malang yang dilihatnya di meja di rumah duka di Potter, West
Virginia Kukunya dicat kerlap-kerlip seperti sepatu bot untuk main ski.
Siapa namanya" Kimberly.
Persetan, mereka takkan melihatku menangis.
Ya Tuhan, semua orang bernama Kimberly, di kelasnya ada empat orang. Tiga orang
bernama Sean. Kimberly dengan nama opera sabunnya
berusaha berdandan, menindik telinganya agar kelihatancantik. Buffalo Bill menatap payudaranya yang rata dan menempelkan
moncong pistol di antara keduanya, lalu menarik picu.
Kimberly, saudaranya yang gemuk dan menyedihkan, yang rajin menghilangkan bulu-
bulu di kakinya. Tidak mengherankan - melihat wajah dan tangan dan kakinya, maka
kulitnyalah yang paling patut dibanggakan. Kimberly, apakah kau sedang marah"
Tidak ada senator yang mencarinya. Tidak ada pesawat jet yang membawa orang
sinting. Sinting adalah kata yang tidak seharusnya ia gunakan. Banyak hal yang
tidak seharusnya ia kerjakan. Laki-laki sinting.
Starling melirik arlojinya. Masih ada waktu satu setengah jam sebelum pesawatnya
berangkat, dan ada satu hal kecil yang masih sempat ia lakukan! Ia ingin menatap
wajah Dr. Lecter saat ia berkata
"Billy Rubin" . Kalau ia tahan menatap mata yang aneh itu untuk waktu cukup
lama, kalau ia dapat melihat jauh ke dalam kegelapan yang menelan setiap kilatan
cahaya mata itu, barangkali ia akan menemukan sesuatu yang berguna. Barangkali
ia akan melihat Lecter tertawa mengejek. Untung saja kartu ID-nya masih
kupegang. Mobilnya meninggalkan jejak ban sepanjang lebih dari tiga meter ketika melaju
dari pelataran parkir. Bab Tiga Puluh Lima Clarice Starling memacu mobilnya di tengah lalu lintas Memphis yang penuh
bahaya. Dua tetes air mata kemarahan telah mengering di pipinya. Ia merasa
ringan dan bebas. Pikirannya yang luar biasa terang memperingatkannya bahwa ia sedang cenderung mencari
perkara, sehingga ia pun berjaga-jaga.
Ia telah melewati gedung pengadilan lama dalam perjalanan dari bandara tadi, dan
kini ia menemukannya kembali tanpa kesulitan.
Pihak berwajib Tennessee tidak mau mengambil risiko dengan Hannibal
Lecter. Mereka bertekad mengamankannya tanpa mempertaruhkan keselamatannya di penjara.
Jawaban mereka adalah bekas gedung pengadilan dan rumah tahanan, sebuah bangunan
kokoh bergaya Gotik yang didirikan ketika tenaga kerja masih gratis. Kini gedung
itu berfungsi sebagai kantor pemerintah kota.
Hari ini bangunan tersebut menyerupai benteng abad pertengahan yang dikelilingi
polisi. Mobil-mobil patroli berbagai instansi - polisi jalan raya, Shelby County
Sheriff's Department, Tennessee Bureau of Investigation, dan Department of
Corrections - memenuhi pelataran parkir. Starling harus melewati pos polisi dulu
sebelum dapat memarkir mobil sewaannya. Kehadiran Dr. Lecter juga menimbulkan
masalah keamanan tambahan dari luar. Telepon-telepon bernada mengancam terus
berdatangan sejak keberadaannya dilaporkan dalam siaran berita pagi; korban-
korbannya mempunyai banyak teman dan saudara yang ingin melihat Lecter mati.
Starling berharap agen FBI setempat, Copley, belum datang. Ia tidak mau membuat
kesulitan untuk orang itu.
Ia melihat bagian belakang kepala Chilton di tengah kerumunan wartawan di rumput
samping tangga utama. Ada dua kamera TV mini.
Starling menyayangkan ia tidak memakai topi atau penutup kepala lainnya. Ia
memalingkan wajah ketika menghampiri pintu masuk.
Polisi yang berjaga di depan pintu memeriksa ID-nya sebelum ia diizinkan
memasuki lobi. Ruangan itu kini menyerupai pos jaga.
Seorang petugas polisi ditempatkan di pintu lift, satu orang lagi di tangga
Sejumlah polisi, yang akan menggantikan rekan-rekan mereka yang bertugas di
luar, sedang membaca Commercial Appeal di sofa-sofa yang terhalang dari
pandangan umum. Meja di seberang lift ditempati seorang sersan. Tanda pengenalnya bertulisan
TATE, CL. "Pers dilarang masuk," Sersan Tate berkata ketika melihat Starling.
"Saya bukan orang pers," sahut Starling.
"Anda dari kejaksaan?" Sersan Tate bertanya setelah membaca kartu pengenal
Starling. "Saya anggota rombongan Deputy Assistant Attorney General Krendler," ujar
Starling. "Yang lain akan menyusul."
Sersan Tate mengangguk. "Segala macam polisi di West Tennessee datang kemari
untuk melihat Dr. Lecter. Untung saja tidak banyak orang seperti dia. Sebelum
naik, Anda perlu bicara dulu dengan Dr. Chilton."
"Kami sudah ketemu di luar," balas Starling. "Urusan ini sudah kami bicarakan di
Baltimore tadi pagi. Di mana saya harus mencatat identitas saya, Sersan Tate" Di
sini?" Sang sersan menjilat gerahamnya dengan lidah. "Ya, di sini," katanya.
"Peraturan penjara, Miss. Semua pengunjung wajib menyerahkan senjata." .
Starling mengangguk. Ia mengeluarkan selongsong-selongsong peluru dari
revolvernya, lalu menyerahkan pistol itu dengan gagang lebih dulu.
Sersan Tate menyimpannya di dalam laci.
"Vernon, antar dia ke atas." Ia menekan tiga angka dan menyebutkan nama Starling
lewat telepon. Lift yang dinaiki Starling - satu-satunya di gedung itu, dipasang


Domba Domba Telah Membisu The Silence Of The Lambs Karya Thomas Haris di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

pada tahun 1920-an - berderak-derak sampai ke lantai paling atas. Pintunya membuka
dan Starling melangkah ke bordes yang dilanjut ke koridor pendek. "Lurus saja;
Ma'am," ujar polisi yang mengantarnya.
Kaca es- pada pintu di ujung koridor bertulisan SHELBY COUNTY
HISTORICAL SOCIETY. Hampir seluruh lantai paling atas bekas gedung pengadilan merupakan ruangan segi
delapan yang dicat putih, dengan lantai dan lis-lis dari kayu ek yang dipoles.
Udaranya berbau lilin dan lem buku.
Dengan perabotannya yang sedikit dan bersahaja, ruangan itu berkesan seperti
gereja. Dua pria berseragam Tennessee Department of Correction sedang bertugas.
Yang kecil bangkit di belakang mejanya ketika Starling masuk. Rekannya duduk di
kursi lipat di ujung ruangan, menghadap ke sel. Ia bertugas mengawasi tahanan
agar tidak melakukan bunuh diri.
"Anda berwenang bicara dengan tahanan ini, Ma'am?" tanya petugas di balik meja.
Tanda pengenalnya bertulisan PEMBRY, T.W., dan di mejanya ad pesawat telepon,
dua pentungan karet, dan sekaleng Chemical Mace. Tongkat panjang disandarkan ke
sudut' dinding di belakangnya. "Ya," jawab Starling. "Saya sudah pernah menginterogasinya."
"Anda tahu peraturannya" Jangan lewati batas."
"Tentu." Satu-satunya sentuhan warna di ruangan itu adalah pembatas polisi berupa kuda-
kuda dengan garis-garis jingga dan kuning serta lampu kerlap-kerlip yang kini
dimatikan. Pembatas itu berjarak satu setengah meter dari pintu sel. Barang-
barang milik Dr. Lecter tergantung pada gantungan mantel di dekatnya - topeng hoki
es dan sesuatu yang belum pernah dilihat Starling, rompi tahanan Kansas.
Rompi itu terbuat darii kulit tebal. Dengan pengikat pergelangan di pinggan dan
gesper di punggung, rompi tersebut mungkin baju pengaman tanpa melihat topeng
dan rompi hitam itu tergantung di depan dinding yang putih.
Starling bisa melihat Dr. Lecter ketika menghampiri sel. Lecter sedang membaca
di meja kecil yang dibaut ke lantai. Ia membelakangi pintu. Di hadapannya ada
sejumlah buku serta salinan arsip Buffalo Bill yang diberikan Starling padanya
di Baltimore. Sebuah tape recorder kecil dirantai ke kaki meja. Janggal rasanya
melihat Lecter di luar rumah sakit jiwa.
Starling sudah pernah melihat sel seperti ini, ketika ia masih kecil. Sel-sel
itu dirakit oleh perusahaan di St. Louis sekitar pergantian abad, dan tak pernah
ada yang membuat yang lebih baik - kerangkeng baja yang mengubah ruang mana pun
menjadi sel. Lantainya terbuat dari lembaran baja yang dipasang di atas batang-
batang baja, dan dinding-dinding serta langit-langit berupa batang-batang baja
sepenuhnya menutupi ruangan itu. Tak ada jendela. Selnya putih bersih dan
terang-benderang. Sekat kertas tipis menghalangi pandangan ke toilet.
Batang-batang putih ini terlihat menonjol di dinding. Kepala Dr.
Lecter tampak kecil dan gelap. Dia seekor cemetery mink. Dia hidup di dalam
rongga dada, di dalam jantung yang telah mengering. Starling segera mengusir
pikiran itu. "Selamat pagi, Clarice," Lecter berkata tanpa menoleh. Ia menyelesaikan
halaman yang sedang dibacanya, menandai halamannya, dan membalik di kursi untuk berpaling kepada Starling.
Tangannya bersandar pada sandaran punggung dan menumpu dagunya. "Dumas berkata
bahwa penambahan seekor gagak ke bouillon di musim gugur, saat burung gagak
sudah gemuk berkat brendi yang diminumnya, akan membantu warna dan rasa air
kaldunya. Kukira kau pun membutuhkan bantuan, bukan begitu, Clarice?"
"Kupikir Anda mungkin menginginkan gambar-gambar dan barang-barang
dari sel Anda, sampai Anda mendapatkan pemandangan yang lebih baik."
"Kau penuh perhatian. Dr. Chilton gembira sekali kau dan Jack Crawford ditarik
dari kasus ini. Atau kau dikirim untuk mengorek informasi untuk terakhir kali?"
Pengawas Lecter telah menghampiri Officer Pembry di meja untuk mengobrol.
Starling berharap mereka tidak dapat mendengar percakapannya dengan Lecter. "Aku
tidak dikirim ke sini. Aku sendiri yang ingin datang."
"Orang-orang akan menyangka kita menjalin asmara. Kau tidak ingin bertanya
tentang Billy Rubin, Clarice?"
"Dr. Lecter, aku sama sekali tidak bermaksud... ehm, meragukan kebenaran
keterangan Anda kepada Senator Martin, tapi apakah menurut Anda aku perlu terus
mempelajari gagasan Anda mengenai... "
"Meragukan - aku suka sekali pilihan katamu. Menurutku kau telah mencoba
mengelabuiku, Clarice. Kaupikir saya mempermainkan orang-orang ini?"
"Kupikir Anda telah memberikan keterangan sebenarnya padaku."
"Sayang sekali kau mencoba mengelabuiku, bukan?" Wajah Dr.
Lecter menghilang di balik lengannya, hingga hanya matanya yang terlihat.
"Sayang sekali Catherine Martin takkan pernah melihat matahari lagi.
"Matahari adalah api yang telah menghanguskan segala harapannya, Clarice."
"Sayang sekali Anda kini berubah pikiran dan memilih menikmati penderitaan orang
lain," sahut Starling.
"Sayang sekali kita tidak sempat menyelesaikan pembicaraan kita. Gagasan Anda
mengenai imago, struktur pemikiran Anda itu, mempunyai... keanggunan yang masih
terus mencengkeramku. Tapi sekarang hanya tersisa puing-puing, bagaikan
lengkungan yang tinggal setengah."
"Setengah lengkungan tidak bisa berdiri. Dan selagi bicara tentang sisa-sisa,
apa yang tersisa dari wewenangmu, Clarice" Apakah lencanamu telah dicopot?"
"Belum." "Apa itu yang menyembul di balik jasmu, alat absensi seperti milik ayahmu?"
"Bukan, itu speedloaderku."
"Jadi, kau berjalan-jalan dengan membawa senjata?"
"Ya." "Kalau begitu, kau perlu melebarkan jasmu. Kau bisa menjahit?"
"Ya." "Bajumu itu kaujahit sendiri?"
"Tidak. Dr. Lecter, Anda sanggup mengetahui setiap rahasia orang lain. Anda
tidak mungkin bicara secara mendalam dengan 'Billy Rubin' ini namun hanya tahu
sangat sedikit tentang dia."
"Kaupikir begitu?"
Kalau Anda memang pernah bertemu, berarti Anda mengetahui segala sesuatu
mengenai dia. Tapi hari ini hanya ada satu detail yang Anda ingat. Dia Pernah
menderita antraks gading gajah. Sayang Anda tidak sempat melihat mereka
tersentak ketika ada kabar dari Atlanta bahwa penyakit itu biasa menyerang
pembuat pisau. Reaksi mereka persis seperti yang Anda bayangkan. Anda patut
mendapatkan suite di Peabody untuk itu. Dr. Lecter, kalau Anda pernah bertemu
dengannya, seharusnya Anda mengenalnya luar-dalam. Kukira Anda tidak pernah
bertemu dan hanya mendengar cerita dari Raspail. Informasi dari tangan kedua
tentu kurang laku dijual kepada Senator Martin, bukan?"
Starling merinding melihat topeng dan rompi hitam itu tergantung di depan
dinding yang putih. Starling bisa melihat Dr.
Lecter ketika menghampiri sel. Lecter sedang membaca di meja kecil yang dibaut
ke lantai. Ia membelakangi pintu. Di hadapannya ada sejumlah buku serta salinan
arsip Buffalo Bill yang diberikan Starling padanya di Baltimore. Sebuah tape
recorder kecil dirantai ke kaki meja. Janggal rasanya melihat Lecter di luar
rumah sakit jiwa. Starling sudah pernah melihat sel seperti ini, ketika ia masih kecil. Sel-sel
itu dirakit oleh perusahaan di St. Louis sekitar pergantian abad, dan tak pernah
ada yang membuat yang lebih baik - kerangkeng baja yang mengubah ruang mana pun
menjadi sel. Lantainya terbuat dari lembaran baja yang dipasang di atas batang-
batang baja, dan dinding-dinding serta langit-langit berupa batang-batang baja
sepenuhnya menutupi ruangan itu. Tak ada jendela. Selnya putih bersih dan
terang-benderang. Sekat kertas tipis menghalangi pandangan ke toilet.
Starling melirik ke belakang. Salah satu petugas sedang memperlihatkan sesuatu
dalam majalah Guns & Ammo kepada rekannya.
"Kukira cerita Anda di Baltimore belum selesai, Dr. Lecter. Aku percaya Anda
tidak membohongiku waktu itu. Sekarang ceritakanlah sisanya."
"Aku sudah membaca semua berkas kasus, Clarice. Kau sudah membaca semuanya"
Segala sesuatu yang perlu kauketahui ada di situ, kalau kau mau membaca dengan
teliti. Inspektur Emeritus Crawford pun seharusnya sudah menemukan jawabannya.
Omong-omong, kau sempat membaca pidato Crawford yang mencengangkan di National
Police Academy tahun lalu" Dia mengutip Marcus Aurelius mengenai kewajiban,
kehormatan, dan ketabahan - kita lihat saja, seberapa tabah Crawford saat Bella
meninggalkannya. Kelihatannya dia menyontek falsafahnya dari Bartlett's
Familiar. Seandainya dia memahami Marcus Aurelius, dia mungkin sudah memecahkan
kasus ini." "Katakanlah bagaimana caranya."
"Kadang-kadang aku lupa generasimu buta huruf, Clarice. Inti ajaran sang Kaisar
adalah kesederhanaan. Dimulai dengan prinsip-prinsip. Untuk setiap hal yang
kauhadapi, tanyalah: Apa sifatnya yang hakiki" Apa sebab-musababnya?"
"Aku tidak memahami maksud Anda."
"Apa yang dia lakukan, orang yang kaucari itu?"
"Dia membunuh..."
"Ah... " Lecter memotong dengan ketus. Sejenak ia memalingkan wajah dari
kekeliruan Starling. "Itu insidental. Apa hal utama, hal pokok yang dilakukannya, kebutuhan apa yang
dipenuhinya dengan membunuh?"
"Kemarahan, kebencian, frustrasi sek..."
"Bukan." 'Kalau begitu, apa?"
"Dia berhasrat mendapatkan sesuatu yang kaumiliki secara alamiah. Itu sifatnya
yang hakiki. Bagaimanakah awal mula kita mendambakan sesuatu, Clarice" Apakah
kita secara sadar mencari-cari" Cobalah jangan asal menjawab;"
"Tidak. Kita sekadar..."
"Tidak. Tepat sekali. Yang kita dambakan adalah yang kita lihat setiap hari.
Bukankah kau setiap hari merasakan tatapan orang-orang yang berpapasan denganmu,
Clarice" Kukira tak, mungkin kau tidak menyadarinya. Dan bukankah kau sendiri
pun demikian?" "Baiklah, kalau begitu tolong beri tahu aku bagaimana... " "
"Sekarang giliranmu memberitahu aku, Clarice. Kau sudah tidak bisa menawarkan
liburan pantai di Pusat Penyakit Kuku dan Mulut.
Mulai sekarang berlaku quid pro quo. Aku harus berhati-hati kalau berurusan
denganmu. Jadi, silakan cerita, Clarice."
"Cerita apa?" "Ada dua hal yang belum kaujelaskan. Apa yang terjadi denganmu dan kuda itu, dan
bagaimana kau mengendalikan kemarahanmu."
"Dr. Lecter, kalau ada waktu aku akan..."
"Kita memandang waktu dengan cara berbeda, Clarice. Hanya ini kesempatanmu."
"Nanti. Begini, aku..."
"Sekarang. Dua tahun setelah kematian ayahmu, ibumu menitipkan kau pada keluarga
sepupunya di peternakan Montana. Kau berusia sepuluh tahun. Secara tak sengaja
kau mengetahui mereka menjual kuda untuk dipotong. Kau lari bersama kuda yang
tidak bisa melihat dengan baik. Lalu?"
"Waktu itu musim panas, kami bisa tidur di tempat terbuka.
Kami melewati jalan desa dan berhasil sampai ke Bozeman."
"Apakah kuda itu mempunyai nama?"
"Mungkin, tapi aku tidak - hal seperti itu tidak ditanyakan untuk kuda yang akan
dipotong. Aku memanggilnya Hannah, nama yang kusukai."
"Kuda itu kaugiring atau kautunggangi?"
"Kedua-duanya. Aku terpaksa menggiringnya ke pagar agar bisa naik ke pelana."
"Kau berjalan dan berkuda sampai ke Bozeman."
"Di sana ada tempat penitipan kuda, tempat penangkaran, atau semacam sekolah
berkuda, sedikit di luar kota. Aku berusaha menitipkan Hannah di sana. Biayanya
dua puluh dolar seminggu untuk kandang terbuka. Untuk kandang tertutup lebih
mahal. Mereka langsung tahu Hannah tidak bisa melihat. Aku menawarkan diri
sebagai penuntun. Untuk anak-anak kecil, supaya mereka bisa naik kuda sambil
dituntun sementara orangtua mereka, ehm, berkuda sungguhan. Kubilang aku juga
bersedia tinggal di sana dan membersihkan kandang-kandang. Salah satu dari
mereka, pemilik tempat itu, menyetujui semua usulku sementara istrinya menelepon
sheriff." "Sheriff itu petugas polisi, seperti ayahmu."
"Tapi awalnya aku tetap takut padanya. Wajahnya besar dan merah. Akhirnya dia
mengeluarkan dua puluh dolar untuk biaya penginapan selama satu minggu,
sementara dia 'meluruskan masalah ini.' Dia bilang tak ada gunanya menyewa
kandang tertutup, karena cuacanya sedang bagus. Kejadian ini tercium oleh pers,
dan beritanya sempat menimbulkan kehebohan. Sepupu ibuku bersedia melepaskanku. Dan aku dimasukkan ke Lutheran Home di Bozeman."
"Panti asuhan untuk anak yatim?"
"Ya." "Dan Hannah?" "Dia ikut. Di panti asuhan itu ada gudang jerami. Hannah dipekerjakan untuk
membajak kebun. Tapi dia harus dituntun terus.
Kalau tidak, semua tanaman yang terlalu pendek untuk dirasakan oleh kakinya akan
diinjaknya. Kadang-kadang dia juga membawa anak-anak berkeliling naik kereta."
"Tapi kemudian dia mati."
"Ya." "Coba ceritakan tentang itu."
"Kejadiannya tahun lalu. Aku diberitahu lewat surat di sekolah.
Usianya diperkirakan dua puluh dua. Dia masih menarik kereta berisi anak-anak
pada hari terakhir hidupnya, dan mati waktu tidur." Dr.
Lecter tampak kecewa. "Mengharukan sekali," katanya. "Kau pernah ditiduri ayah angkatmu di Montana,
Clarice?" "Tidak." "Apakah dia pernah mencobanya?"
"Tidak." "Kenapa kau kabur bersama kuda itu?"
"Karena Hannah mau dipotong."
"Kau tahu kapan dia hendak dipotong?"
"Aku tidak tahu persis. Tapi aku selalu cemas. Dia sudah mulai gemuk."
"Kalau begitu, apa yang mendorongmu" Apa alasan kau memutuskan kabur pada hari
itu?" "Entahlah." "Aku rasa kau tahu."
"Aku selalu cemas."
"Apa yang mendorongmu, Clarice" Kau berangkat jam berapa?"
"Pagi-pagi. Waktu masih gelap."
"Berarti ada yang membangunkanmu. Apa yang membangunkanmu" Kau bermimpi?"
"Aku terbangun dan mendengar anak-anak domba mengembik.
Aku terbangun dalam gelap dan anak-anak domba terus mengembik-embik."
"Anak-anak domba itu sedang disembelih?"
"Ya." "Apa yang kaulakukan?"
"Aku tidak bisa melakukan apa pun untuk mereka. Waktu itu aku hairya... "
"Apa yang kaulakukan dengan kudamu?"
"Aku berpakaian tanpa menyalakan lampu dan menyelinap keluar. Dia ketakutan.
Semua kuda di kandang ketakutan dan berlari-lari. Aku meniup hidungnya, dan dia
mengenaliku. Akhirnya dia menaruh moncongnya di tanganku. Lampu-lampu di gudang
jerami dan di samping kandang domba menyala. Lampu-lampu tanpa pelindung, yang
menghasilkan bayangan-bayangan besar. Mobil pendingin telah datang dan mesinnya
menyala terus, menderu-deru.


Domba Domba Telah Membisu The Silence Of The Lambs Karya Thomas Haris di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Hannah langsung kugiring pergi."
"Sebelumnya kau memasang pelana dulu?"
"Tidak, aku tidak memakai pelana. Aku hanya mengambil tali kekang."
"Dan ketika menyusup ke kegelapan, kau tetap mendengar anak-anak domba di tempat
terang itu?" "Sebentar saja. Hanya ada dua belas ekor."
"Sampai sekarang kau masih suka terbangun, bukan" Terbangun dalam kegelapan
pekat dan mendengar anak-anak domba mengembik-embik?"
"Sekali-sekali."
"Apakah kau menganggap jika kau berhasil menangkap Buffalo Bill seorang diri dan
menyelamatkan Catherine, maka kau bisa membuat anak-anak domba berhenti
mengembik-embik" Kaupikir mereka pun akan selamat dan kau takkan terbangun lagi
dalam gelap dan mendengar mereka mengembik-embik" Clarice?"
"Ya. Aku tidak tahu. Mungkin."
"Terima kasih, Clarice." Dr. Lecter tampak puas sekali.
'Katakanlah siapa namanya, Dr. Lecter," ujar Starling.
"Dr. Chilton," sahut Lecter. "Kukira Anda berdua sudah sempat berkenalan."
Starling tidak segera sadar bahwa Chilton di belakangnya.
Kemudian sikunya ditarik dari belakang.
Starling segera membebaskan diri. Chilton disertai Pembry dan rekannya yang
berbadan besar. "Masuk lift," kata Chilton. Wajahnya tampak merah karena marah.
"Kau tahu Dr. Chilton tidak mempunyai gelar kedokteran?" tanya Dr. Lecter.
"Harap ingat ini di kemudian hari."
"Cepat," Chilton mendesak.
"Bukan Anda yang pegang kendali di sini, Dr. Chilton," kata Starling. Officer
Pembry langsung maju. "Memang bukan, Ma'am. Saya yang bertanggung jawab. Dia
menelepon atasan saya dan atasan Anda. Maaf, tapi saya mendapat perintah untuk
membawa Anda keluar. Silakan ikut saya."
"Sampai jumpa, Clarice. Maukah kau memberitahuku apakah anak-anak domba itu akan
terdiam?" "Ya." Pembry meraih lengan Starling. Pilihannya hanya, ikut atau melawan.
"Ya," Starling berkata. "Aku akan memberitahu Anda.".
"Kau berjanji?"
"Ya." "Kalau begitu, kenapa tidak kauteruskan pengejaranmu"
Bawalah berkas kasus ini, Clarice, aku tidak membutuhkannya lagi."
Lecter mengulurkan tangan dan menyodorkan berkas itu di antara batang-batang
terali, Starling meraih melewati pembatas dan mengambilnya. Sejenak ujung jari
telunjuk mereka beradu. Sentuhan itu membuat mata Dr. Lecter berbinar-binar "Terima kasih, Clarice."
"Terimakasih, Dr. Lecter."
Dan bayangan itulah yang terukir dalam benak Starling. Dr.
Lecter saat tidak bermain-main. Saat ia berdiri di dalam selnya yang putih,
dengan sikap bagaikan penari, dengan tangan terkunci di depan dada dan kepala
sedikit dimiringkan. Starling demikian kencang melewati polisi tidur di bandara, sehingga kepalanya
membentur langit-langit mobil. Ia harus berlari untuk mengejar pesawat yang
mesti dinaikinya atas perintah Krendler.
Bab Tiga Puluh Enam Officer pembry dan Boyle merupakan sipir-sipir berpengalaman yang khusus
didatangkan dari Brushy Mountain State Prison untuk menjaga Dr. Lecter. Keduanya
tenang dan hati-hati, dan merasa tidak perlu memperoleh penjelasan dari Dr.
Chilton mengenai tugas mereka.
Mereka tiba di Memphis sebelum Lecter dan memeriksa selnya dengan saksama.
Ketika Dr. Lecter dibawa ke bekas gedung pengadilan, ia pun segera digeledah. Ia
menjalani pemeriksaan internal oleh juru rawat pria saat masih memakai baju
pengaman. Pakaiannya diperiksa dengan teliti, dan semua kelimannya diperiksa
dengan detektor logam. Boyle dan Pembry membuat kesepakatan dengannya. Mereka bicara dengan tenang di
dekat telinga Lecter sementara ia diperiksa.
"Dr. Lecter, kita bisa membina hubungan baik. Kami akan memperlakukan Anda
seperti Anda memperlakukan kami. Kalau Anda bersikap sopan, kunjungan Anda di
sini akan cukup nyaman. Tapi kami takkan diam saja kalau Anda berulah macam-
macam. Kalau Anda mencoba menggigit, gigi Anda akan kami rontokkan semua.
Kelihatannya Anda mendapat kesempatan bagus di sini. Dan Anda tentu tidak mau
merusaknya, bukan?" Dr. Lecter menatap mereka dengan ramah. Kalaupun ia bermaksud menyahut, ia tak
dapat melakukannya karena rahangnya terganjal batang kayu ketika si juru rawat
mengarahkan senter ke dalam mulutnya dan meraba-raba pipinya dengan jari
terbungkus sarung tangan. Detektor logam berbunyi ketika dirapatkan ke pipinya.
"Apa itu?" si juru rawat bertanya.
"Tambalan gigi," ujar Pembry.
"Coba tarik bibirnya. Wah, Dok, geraham-geraham Anda sudah hampir kedaluwarsa,
ya?" "Sepertinya dia sudah uzur," kata Boyle kepada Pembry setelah mereka mengamankan
Dr. Lecter di dalam selnya.
"Takkan ada masalah selama dia tidak kumat."
Sel itu, meskipun aman dan kokoh, tidak dilengkapi tempat baki yang bisa ditarik
keluar-masuk. Pada waktu makan siang, dalam suasana tidak enak setelah kunjungan
Starling, Dr. Chilton membuat semua orang repot dengan menyuruh Boyle dan Pembry
memasang jaket pengaman dan rantai kaki. Dr. Lecter menurut saja sambil berdiri
membelakangi terali, sementara Dr. Chilton siap siaga dengan kaleng Mace di
tangan. Baru setelah prosedur panjang itu selesai, pintu sel dibuka untuk
membawa baki makanan ke dalam.
Chilton tidak mau menggunakan nama Boyle dan Pembry, meskipun keduanya memakai
tanda pengenal, dan setiap hari memanggil mereka dengan, "Hei, Anda."
Setelah tahu bahwa Chilton bukan dokter sung-guhan, Boyle berkomentar pada
rekannya bahwa orang itu hanya "semacam guru sekolah sialan".
Pembry sempat berusaha menjelaskan kepada Chilton bahwa bukan mereka yang
mengizinkan melainkan petugas di bawah, tapi Chilton yang sedang marah tidak
peduli. Dr. Chilton tidak hadir pada waktu makan malam. Meskipun agak terkejut, Dr.
Lecter tidak keberatan ketika Boyle dan Pembry memutuskan menggunakan metode
mereka sendiri untuk membawa baki makanan ke dalam sel.
"Dr. Lecter, Anda tidak perlu memakai jas malam ini," ujar Pembry. "Saya minta
Anda berbalik, duduk di lantai dan bergeser mundur sampai tangan Anda bisa
dijulurkan lewat terali, dengan lengan lurus ke belakang. Ya, begitu. Angkat
sedikit dan luruskan, luruskan siku Anda." Pembry memborgol Dr. Lecter di luar
terali, dengan batang tegak di antara kedua lengan dan batang horizontal sedikit
di atas tangan. "Sakit, ya" Ya, saya tahu, tapi ini hanya makan waktu sebentar.
Cara ini lebih mudah bagi Anda dan kami."
Dr. Lecter tidak dapat bangkit, biarpun sekadar berjongkok, dan dengan kaki
terbujur lurus di lantai ia pun tak bisa menendang.
Baru setelah Dr. Lecter terikat, Pembry balik ke mejanya untuk mengambil kunci
sel. Pembry menyelipkan pentungan karetnya ke cincin di pinggang, memasukkan
sekaleng Mace ke saku, lalu kembali ke sel. Ia membuka pintu sementara Boyle
membawa baki makanan. Setelah pintunya aman, Pembry membawa kuncinya kembali ke meja sebelum
melepaskan borgol dari. tangan Dr. Lecter. Ia tak pernah mendekati terali dengan
membawa kunci selama Dr. Lecter bebas bergerak di dalam sel. .
"Nah, mudah sekali, bukan?" ujar Pembry.
"Ya. Terima kasih, Officer," jawab Dr. Lecter. "Saya tidak bermaksud membuat
kesulitan" Dr. Lecter menjumput-jumput makanannya sambil menulis dan menggambar serta
mencorat-coret kertas dengan pena berujung lunak. Ia membalikkan kaset dalam
tape recorder yang dirantai ke kaki meja dan menekan tombol play. Glenn Gould
memainkan Goldberg Variations karya Bach pada piano. Musik indah itu mengisi
kerangkeng yang terang benderang serta mangan tempat para penjaga duduk.
Bagi Dr. Lecter, yang duduk tak bergerak di meja, waktu seolah berjalan lambat
dan menyebar. Nada-nada musik seakan-akan saling merenggang tanpa kehilangan
tempo. Ia berdiri dan memperhatikan serbet kertas merosot dari pahanya. Serbet
itu melayang perlahan, menyerempet kaki meja, mengembang, bergerak menyamping,
dan membalik sebelum tergeletak di lantai baja. Ia tidak berupaya mengangkatnya,
melainkan berjalan melintasi sel, melangkah ke balik sekat kertas dan duduk di
tutup toilet, satu-satunya tempat pribadi yang dimilikinya. Sambil mendengarkan
musik yang terus mengalun, ia bersandar pada tempat cuci tangan di sampingnya
sambil bertopang dagu. Matanya yang berwarna merah maroon setengah terpejam. Ia
berminat pada struktur Goldberg Variations. Ah, ini dia, progresi bas dari
sarabande berulang kembali. Ia mengangguk-angguk mengikuti irama, sementara
lidahnya menyusuri tepi giginya. Menyusuri deretan gigi sebelah atas, lalu
sebelah bawah. Rasanya seperti pesiar yang panjang dan menarik bagi lidahnya,
bagaikan berjalan-jalan di Pegunungan Alpen.
Kini ia beralih ke gusi. Ia menyusupkan lidah ke celah antara pipi dan gusi dan
menggerak-gerakkannya pelan-pelan seperti yang kadang-kadang dilakukan orang
saat mengenang masa lalu. Gusinya terasa sejuk. Lidahnya berhenti ketika
menemukan selongsong logam berukuran kecil. Di balik alunan musik ia mendengar
bunyi berderak dan berdengung yang menandakan lift sedang menunjukkan Starling
berkunjung, Puluhan atau bahkan ratusan nada, kemudian pintu lift membuka dan
suara yang tak dikenalnya berkata, "Saya mau ambil baki."
Dr. Lecter mendengar petugas yang lebih kecil mendekati selnya, Pembry. Ia bisa
melihat lewat celah di antara panil-panil sekat.
Pembry berdiri di depan terali.
"Dr. Lecter. Saya minta Anda duduk di lantai sambil membelakangi terali seperti
tadi." "Officer Pembry, Anda keberatan kalau urusan di sini saya selesaikan dulu"
Kelihatannya pencernaan saya agak terganggu karena penerbangan ke sini." Rasanya
lama sekali ia mengucapkan kedua kalimat itu. '
"Baiklah." Pembry berseru kepada orang yang baru datang,
"Nanti saya hubungi kalau bakinya sudah bisa diambil."
"Boleh saya lihat dia sebentar?"
"Nanti saya hubungi." Bunyi lift terdengar lagi, lalu hanya musik.
Dr. Lecter mengambil selongsong itu dan mengeringkannya dengan sepotong tisu
gulung. Tangannya tidak gemetaran, telapaknya tidak berkeringat.
Selama bertahun-tahun sebagai tahanan, dengan rasa ingin tahunya yang luar
biasa, Dr. Lecter telah mempelajari banyak keterampilan rahasia penjara. Dalam
tahun-tahun menyusul penganiayaannya terhadap juru rawat di rumah sakit jiwa
Baltimore, pengamanan terhadap dirinya hanya dua kali kebobolan, kedua-duanya
saat Barney bebas tugas. Suatu kali seorang peneliti psikiatri meminjamkan
bolpoin berujung runcing dan lupa memintanya kembali. Sebelum orang tersebut
meninggalkan gedung, Dr. Lecter telah mematahkan selongsong plastik bolpoin itu
dan membuangnya di WC. Tempat tinta yang terbuat dari logam diselipkannya ke
keliman kasur. Satu-satunya tepi tajam di selnya adalah goresan pada kepala salah satu baut
yang menahan tempat tidurnya di dinding. Tapi itu sudah cukup. Dengan menggosok-
gosok selama dua bulan, Dr. Lecter membuat dua irisan sejajar sepanjang enam
milimeter dari arah ujung yang terbuka. Tempat tinta itu lalu dibelah dua, dua
setengah senti dari ujung yang terbuka. Bagian yang panjang, berikut ujung untuk
menulis, dibuang ke WC. Barney tidak melihat kulit yang menebal di ujung-ujung
jari Lecter akibat menggosok-gosok selama bermalam-malam.
Enam bulan kemudian, seorang penjaga lalai melepaskan jepitan kertas pada
sejumlah dokumen yang dikirim oleh pengacara Dr.
Lecter. Dua setengah senti dari jepitan baja itu diselipkan ke dalam selongsong
bekas tempat tinta, sisanya dibuang ke WC.
Selongsong kecil yang licin dan pendek itu mudah disembunyikan dalam keliman
pakaian, di antara pipi dan gusi, di dalam anus.
Kini, di balik sekat kertas, Dr. Lecter mengetuk-ngetukkan selongsong itu ke
kuku ibu jarinya sampai kawat di dalamnya merosot keluar. Kawat itu sekadar
alat, dan inilah bagian yang paling sulit. Dr.
Lecter menyelipkan kawat itu ke dalam selongsong, dan menggunakannya sebagai
pengungkit untuk menekuk kepingan logam di antara kedua irisan. Ia harus
berhati-hati, sebab kadang-kadang logamnya patah. Tangannya yang kuat bekerja
pelan-pelan. Ah. Kepingan kecil itu kini berdiri tegak lurus pada permukaan selongsong.
Ia telah mendapatkan kunci borgol.
Dr. Lecter meletakkan kedua tangan di punggung. Kunci mungilnya dioper-oper dari
kiri ke kanan dan kanan ke kiri, lima belas kali, sebelum akhirnya disimpan
kembali di dalam mulut. Ia mencuci tangan dan mengeringkan keduanya dengan
saksama. Kemudian, dengan menggunakan lidah, ia menyembunyikan kuncinya di sela-
sela jari tangan kanan. Ia tahu perhatian Pembry akan tertuju pada tangan
kirinya yang aneh pada waktu hendak memasang borgol.
"Saya siap, Officer Pembry," Dr. Lecter memanggil. Ia mengambil tempat di lantai
sel dan merentangkan tangan ke belakang, sampai tangan dan pergelangannya
melewati terali. "Terima kasih Anda bersedia menunggu."
Ia bisa mendengar Pembry di belakangnya sekarang-Pembry meraba pergelangan
Lecter satu per satu, untuk memeriksa apakah ia menyabuninya. Baru kemudian
Pembry memasang borgol erat-erat. Ia kembali ke mejanya, mengambil kunci sel. Di
tengah dentingan piano, Dr. Lecter mendengar bunyi gemerencing ketika Pembry
mengambil ikat kunci dari laci. Kini Pembry datang lagi, berjalan menembus
alunan musik, menerobos udara yang penuh nada bening. Kali ini ia disertai
Boyle. Dr. Lecter mendengar lubang-lubang yang ditimbulkan mereka dalam gema
musik. Pembry kembali memeriksa borgol. Dr.
Lecter mencium bau napas Pembry di belakangnya. Kini Pembry membuka kunci sel
dan membuka pintu. Boyle masuk. Dr. Lecter menoleh. Gerakan itu terasa lambat
sekali baginya, dan semua detail kelihatan teramat tajam - Boyle di meja,
mengumpulkan sisa makan malam sambil mendengus karena semuanya berantakan. Tape
recorder yang sedang berputar, serbet kertas di lantai, di samping kaki meja
yang dibaut. Dari sudut mata, Dr. Lecter melihat bagian belakang lutut Pembry
serta ujung pentungan yang tergantung dari ikat pinggangnya ketika petugas itu
berdiri di luar sambil memegang pintu.
Dr. Lecter menemukan lubang kunci pada borgol sebelah kiri, memasukkan kunci,
dan memutarnya. Borgol itu segera terbuka. Ia memindahkan kunci ke tangan kiri,
menemukan lubang kunci, lalu kembali memasukkan kunci dan memutarnya.
Boyle membungkuk untuk memungut serbet di lantai. Tiba-tiba saja pergelangannya
telah terborgol, dan ketika ia menoleh ke arah Lecter, borgol yang satu lagi
menyambar kaki meja. Dr. Lecter telah berdiri. Ia bergegas ke pintu. Pembry
hendak masuk, tapi Lecter menerjang dengan bahunya, sehingga Pembry terjepit
pintu. Penjaga itu berusaha meraih Mace di sabuknya. Lecter menggenggam ujung
pentungan dan mengangkatnya. Puntiran itu menyebabkan ikat pinggang Pembry
mengencang. Lecter menghantam tenggorokan lawannya dengan siku dan menggigit
wajahnya. Pembry berusaha mencakar Lecter. Hidung dan bibir atasnya dicengkeram
gigi yang mengoyak-ngoyak. Lecter menyentakkan kepala bagaikan anjing membunuh
tikus dan mencabut pentungan dari ikat pinggang Pembry.
Boyle berteriak-teriak di dalam sel. Ia duduk di lantai sambil merogoh-rogoh
kantong untuk mencari kunci borgol. Lecter menghajar perut dan tenggorokan
Pembry dengan ujung pentungan, dan penjaga itu jatuh berlutut. Boyle sudah
berhasil memasukkan kunci borgol. Ia masih berteriak-teriak, dan kini Lecter
berpaling padanya. Lecter membuatnya terdiam dengan menyemprotkan Mace, dan
sementara Boyle terengah-engah, ia mementung tangannya dua kali. Boyle mencoba
berlindung di bawah meja, namun karena tak dapat melihat akibat semprotan Mace,
ia merangkak ke arah yang salah, dan Lecter dengan mudah membunuhnya dengan lima
pukulan terarah. Pembry kini dalam posisi duduk dan ia menangis. Dr. Lecter menatapnya sambil
tersenyum. "Siap, Officer Pembry?" tanyanya.
Pentungan di tangannya berayun datar... tok... menghantam bagian belakang kepala
Pembry, dan orang itu menggelepar-gelepar di lantai, bagaikan ikan.
Denyut nadi Dr. Lecter meningkat sampai lebih seratus, tapi segera normal
kembali. Ia mematikan musik dan pasang telinga.
Ia berjalan ke tangga dan kembali pasang telinga. Ia menguras isi kantong
Pembry, mengambil kunci meja, dan membuka semua laci.
Di laci paling bawah ia menemukan senjata dinas Boyle dan Pembry, sepasang
revolver .38 Special. Kecuali itu, ia mendapatkan pisau lipat di saku Boyle.
Bab Tiga Puluh Tujuh Lobi dipadati petugas polisi. Saat itu pukul 18.30 dan petugas-petugas pos jaga
di luar baru saja melakukan pergantian jaga per dua jam.
Orang-orang yang memasuki ruangan dari udara luar yang dingin menghangatkan
tangan pada sejumlah pemanas bertenaga listrik.
Beberapa di antara mereka bertaruh untuk pertandingan basket Memphis State yang


Domba Domba Telah Membisu The Silence Of The Lambs Karya Thomas Haris di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sedang berlangsung dan ingin tahu bagaimana kedudukannya.
Sersan Tate tidak mengizinkan radio dipasang keras-keras di lobi, tapi salah
satu petugas memakai walk-man. Berkali-kali ia mengumumkan skor terakhir, namun
kurang sering untuk memuaskan para petaruh.
Secara keseluruhan ada lima belas petugas polisi bersenjata di lobi, ditambah
dua sipir yang akan menggantikan Pembry dan Boyle pukul 19.00. Sersan Tate
sendiri masih menunggu penggantinya yang akan bertugas dari jam sebelas malam
sampai jam tujuh pagi. Semua pos melaporkan keadaan aman. Dari sekian banyak ancaman terhadap Dr.
Lecter yang diterima melalui telepon, tak satu pun diwujudkan dengan tindakan.
Pukul 18.45 Tate mendengar lift bergerak ke atas. Ia melihat panah penunjuk di
atas pintu mulai berputar, lalu berhenti di lantai lima.
Tate memandang berkeliling. "Sweeney sudah naik lagi untuk mengambil baki?"
"Saya di sini, Sarge. Bisakah kau menelepon ke atas untuk menanyakan apakah
mereka sudah selesai?"
Sersan Tate menekan tiga angka dan pasang telinga.
"Teleponnya sibuk," katanya. "Coba naik dan tanya mereka." Ia kembali berpaling
pada laporan yang tengah disusunnya untuk shift malam. Petugas patroli Sweeney
menekan tombol lift. Liftnya tidak datang.
"Aneh, dia minta lamb chops tadi," Sweeney bergumam. "Apa lagi untuk sarapan
besok" Sesuatu dari kebun binatang" Dan siapa yang harus menangkapnya" Sweeney."
Panah di atas pintu tetap menunjuk angka lima.
Sweeney menunggu satu menit lagi. "Sial, ada apa ini?" ia mengumpat.
Letusan pistol .38 berdentum di suatu tempat di atas, suaranya bergema di
tangga, dua tembakan beruntun, disusul satu tembakan lagi.
Sersan Tate sudah berdiri sambil memegang mikrofon ketika letusan ketiga
terdengar. "Pos Komando, suara tembakan dari atas di menara. Pos-pos luar
kelihatan aman. Kami akan naik." Orang-orang di lobi berseru-seru, berlari-lari.
Tate melihat panah di atas pintu lift berputar. Panah itu sudah bergerak sampai
angka empat. Suara Tate menggelegar, "Perhatian!
Semua kembali ke pos masing-masing di luar, regu pertama tetap di sini.
"Berry dan Howard awasi lift sialan itu kalau sampai turun!"
Panah penunjuk berhenti pada angka tiga. "Regu pertama, ikut saya.
Periksa setiap pintu sebelum kalian melewatinya. Bobby, ke luar - ambil senapan
dan rompi dan bawa ke atas."
Pikiran Tate jumpalitan ketika ia mulai menaiki tangga. Ia sadar harus berhati-
hati, namun sekaligus ingin menolong para petugas di atas. Ya Tuhan, moga-moga
dia tidak lepas. Sial, tidak ada yang pakai rompi. Sipir-sipir sialan itu bikin
kacau. Ruang-ruang kantor di lantai dua, tiga, dan empat seharusnya kosong dan
terkunci. Pada ketiga lantai itu orang dapat menyeberang dari menara ke gedung
utama dengan melewati ruang-ruang kantor. Di lantai lima tidak bisa.
Tate lulusan sekolah SWAT Tennessee yang terkenal, dan ia tahu apa yang harus
dilakukannya. Ia berjalan di depan dan membimbing anak buahnya yang muda-muda.
Dengan cepat namun hati-hati mereka menaiki tangga sambil saling melindungi.
"Kalau ada pintu yang kalian lewati sebelum diperiksa, pantat kalian akan
kutendang sampai babak belur."
Pintu-pintu di lantai dua gelap dan terkunci.
Kini ke lantai tiga, koridornya tampak remang-remang. Cahaya dari lift yang
terbuka menerangi sebagian lantai. Tate menyusuri dinding seberang, tanpa cermin
yang dapat membantunya melihat ke dalam lift. Telunjuknya siap menarik picu
ketika ia mengintip. Kosong.
Tate berseru ke atas, "Boyle! Pembry! Sial." Ia menempatkan penjaga di lantai
tiga dan kembali bergerak naik.
Lantai empat dibanjiri musik piano yang berasal dari atas. Pintu menuju ruang-
ruang kantor segera membuka ketika didorong. Berkas sinar senternya menerangi
pintu yang terbuka lebar ke bangunan besar dan gelap di baliknya.
"Boyle! Pembry!" Ia meninggalkan dua orang di bordes.
"Awasi pintu. Bobby sedang mengambil rompi. Jangan nekat berdiri di ambang
pintu." Tate menaiki tangga batu mendekati sumber musik. Ia sampai di puncak menara, di
bordes lantai lima. Koridor pendek di hadapannya tampak remang-remang. Cahaya
terang menembus kaca es pada pintu bertulisan SHELBY COUNTY HISTORICAL SOCIETY.
Tate membungkuk di bawah kaca dan melintas di depan pintu.
Ia mengangguk kepada Jacobs di sisi berlawanan, memutar gagang pintu dan
mendorongnya keras-keras. Pintu itu berayun sampai membentur dinding, cukup
keras untuk membuat kacanya pecah. Tate cepat-cepat menyelinap masuk dan
menjauhi ambang pintu sambil mengarahkan revolvernya berkeliling. Tate telah
melihat banyak hal. Ia telah menyaksikan kecelakaan mengerikan, perkelahian, pembunuhan. Selama
berdinas, ia telah melihat enam petugas polisi gugur dalam tugas. Namun yang
kini tampak di hadapannya adalah kejadian paling buruk yang pernah ia lihat
menimpa seorang petugas. Daging di atas kerah baju seragam itu tak lagi menyerupai wajah.
Bagian depan dan atas kepala itu berlumuran darah, dengan daging terkoyak-koyak.
Sebelah bola mata tergelantung di samping hidung, lubang matanya penuh darah.
Jacobs melewati Tate. Kakinya tergelincir pada genangan darah di lantai ketika
ia berjalan ke sel. ia menghampiri Boyle yang masih terborgol ke kaki meja. Usus
Boyle terburai sebagian, wajahnya tercabik-cabik. Percikan darahnya tampak di
mana-mana. Jacobs menempelkan jari ke leher Boyle. "Yang ini mati," ia berseru di tengah
alunan musik. "Sarge?" Seruannya menyadarkan Tate yang terdiam sejenak. Tate mengumpat perlahan, lalu
segera menghubungi pos di bawah melalui radio. "Pos Komando, dua petugas jatuh.
Saya ulangi, dua petugas jatuh. Tahanan menghilang. Lecter menghilang. Semua pos
luar, awasi jendela. Tahanan mengambil seprai, mungkin bermaksud membuat tali.
Konfirmasikan ambulans dalam perjalanan." "Pembry mati, Sarge?" Jacobs mematikan
musik. Tate berlutut. Ketika ia hendak meraba denyut nadi di leher, onggokan mengerikan
di lantai itu mengerang dan dari mulutnya keluar gelembung berdarah.
"Pembry masih hidup." Tate enggan menempelkan mulut ke wajah tak berbentuk di
hadapannya, namun tahu ia harus melakukannya untuk membantu Pembry bernapas. Ia
takkan menyuruh salah satu anak buahnya. Pembry lebih baik mati, tapi ia akan
Dewi Selaksa Racun 2 Goosebumps - Kisah-kisah Hantu Goosebumps 1 Pendekar Pemabuk 3
^