Pencarian

Sang Alkemis 2

Sang Alkemis Karya Paulo Coelho Bagian 2


akhirnya lupa pada Bahasa Buana.
@kapuKOrner Si bocah nyaris tak percaya,...
SI BOCAH NYARIS TAK PERCAYA PADA APA YANG DILIHATNYA: oasis itu, lebih dari
sekadar sebuah sumur yang dikelilingi segelintir pohon pelem --seperti yang
pernah dia lihat di satu buku geografi-- ternyata lebih besar daripada kota-kota
di Spanyol sana. Di sana ada tigaratus sumur, limapuluh ribu pohon kurma, dan
tenda warna-warni tak terhitung banyaknya yang tersebar di antaranya.
"Seperti Seribu Satu Malam saja," kata si orang Inggris itu, tak sabar ingin
bertemu dengan sang alkemis.
Mereka dikerumuni anak-anak, yang penasaran ingin melihat hewan-hewan dan orang-
orang yang datang. Para pria di oasis itu ingin tahu apakah mereka melihat ada
pertempuran, dan perempuan- perempuannya saling berebut untuk melihat pakaian
dan batu-batu berharga yang dibawa para pedagang, Kesunyian gurun menjadi mimpi
yang jauh; para pengembara dalam karavan itu bicara tanpa henti, terbahak dan
berteriak, seakan mereka baru muncul dari alam gaib dan sekali lagi mendapati
diri berada di dunia manusia. Mereka merasa lega dan bahagia.
Mereka bersikap waspada di gurun, tapi penunggang onta menjelaskan pada si bocah
bahwa oasis selalu dianggap sebagai wilayah netral, karena mayoritas penduduknya
adalah perempuan dan anak-anak. Ada banyak oasis di seantero gurun itu, tapi
warga suku melakukan pertempuran di gurun, membiarkan oasis-oasis itu menjadi
tempat pengungsian. Dengan agak susah pemimpin karavan mengumpulkan semua pengikutnya dan
menyampaikan perintah-perintahnya kepada mereka. Kelompok itu akan tinggal di
oasis sampai perang suku selesai. Karena mereka tamu, maka mereka harus
menumpang tinggal di tempat orang-orang yang menetap di sana, dan akan diberi
akomodasi terbaik. Begitulah aturan keramahan yang berlaku. Kemudian dia
menyuruh semua orang, termasuk para pengawalnya sendiri, untuk menyerahkan
senjata-senjata mereka kepada orang-orang yang ditunjuk oleh para kepala suku.
"Begitulah aturan perang," pemimpin itu menjelaskan: "Oasis bukan tempat
berteduh buat pasukan atau serdadu."
Si bocah terkejut melihat orang Inggris itu mengeluarkan pistol bersepuh perak
dari tasnya dan menyerahkannya pada orang-orang yang mengumpulkan senjata.
"Mengapa harus bawa pistol?" tanyanya.
"Supaya aku bisa mempercayai orang," jawab lelaki Inggris itu.
Sementara itu, si bocah memikirkan harta karunnya. Makin dekat ia keperwujudan
mimpinya, makin sulit keadaan terasa. Seolah apa yang disebut raja tua itu
"kemujuran pemula" tak berlaku lagi. Dalam mengejar impiannya, dia harus terus
tunduk pada ujian kegigihan dan keberanian. Jadi dia tidak boleh terburu-buru,
jangan tak sabaran. Bila dia mendesak maju karena dorongan hati, dia akan gagal
melihat tanda-tanda dan pertanda yang ditinggalkan oleh Tuhan di sepanjang
jalannya. Tuhan meletakkan mereka di sepanjang jalanku. Dia sendiri dulu terkejut dengan
pikiran itu. Sampai waktu itu, dia menganggap pertanda merupakan hal-hal lumrah
di dunia ini. Seperti makan atau tidur, atau seperti mencari cinta atau mendapat
pekerjaan. Dia tidak pernah berpikir tentang pertanda-pertanda itu sebagai suatu
bahasa yang digunakan oleh Tuhan untuk menunjukkan apa yang seharusnya dia
lakukan. "Jangan tak sabaran," dia mengulang-ulang kepada diri sendiri. "Seperti yang
dikatakan penunggang onta itu: 'Makanlah pada saatnya makan. Dan jalanlah terus
di saat harus terus berjalan.'"
Pada hari pertama itu, semua orang tidur karena kelelahan, termasuk si orang
Inggris. Si bocah disediakan tempat yang jauh dari temannya itu, di sebuah tenda
bersama lima remaja lain yang kira-kira sebayanya. Mereka adalah anak-anak
gurun, dan terpukau mendengar ceritanya tentang kota-kota besar.
Si bocah menuturi mereka kisah hidupnya sebagai gembala, dan baru mau menceritai
mereka pengalaman-pengalamannya di toko kristal itu saat orang Inggris itu masuk
ke dalam tenda. "Kucari-cari kau sepanjang pagi," katanya, ketika dia menuntun si bocah keluar.
"Aku perlu bantuanmu untuk mencari tahu di mana sang alkemis itu tinggal."
Semula mereka mencoba mencarinya sendiri. Seorang alkemis tentu hidup dengan
cara yang berbeda dari semua orang lain di oasis itu, dan pastilah di tendanya
ada tungku yang terus menyala. Mereka mencari ke mana-mana, lalu sadar bahwa
oasis itu jauh lebih besar dari yang mereka bayangkan; ada ratusan tenda di
sana. "Kita sudah buang waktu hampir seharian," kata si orang Inggris, sambil duduk
bersama si bocah di dekat sebuah sumur.
"Mungkin sebaiknya kita tanya orang," saran si bocah.
Lelaki Inggris itu tidak ingin ada orang lain tahu alasan : kehadirannya di
oasis ini, dan masih pikir-pikir. Tapi, akhirnya, dia setuju pada saran si
bocah, yang mampu berbahasa Arab lebih baik daripada dia. Si bocah mendekati
seorang perempuan yang mendatangi sumur untuk mengisi kantong kulit kambingnya
dengan air. "Selamat sore, Bu. Aku sedang mencari tempat tinggal alkemis di oasis ini."
Perempuan itu berkata dia tidak pernah mendengar tentang orang semacam itu, dan
bergegas menjauh. Tapi sebelum dia pergi, dia menasihati si bocah supaya jangan
coba-coba bercakap-cakap dengan perempuan yang berpakaian hitam, karena mereka
wanita yang sudah menikah. Dia harus menghormati adat.
Orang Inggris itu kecewa. Agaknya sia-sia saja dia menempuh perjalanan yang
panjang ini. Si bocah juga sedih; temannya sedang mencari Legenda Pribadinya.
Dan, saat seseorang sedang berada dalam pencarian semacam itu, segenap alam
semesta berusaha membantunya meraih sukses --begitulah yang dikatakan sang raja
tua. Dia tak mungkin salah.
"Aku belum pernah mendengar tentang para alkemis," kata si bocah. "Mungkin orang
sini pun belum ada yang pernah dengar."
Mata lelaki Inggris itu melotot. "Sudahlah! Mungkin orang sini juga tidak ada
yang tahu apa itu alkemis! Cari saja siapa yang menyembuhkan penyakit-penyakit
orang!" Beberapa perempuan berpakaian hitam mendatangi sumur untuk mengambil air, tapi
si bocah tidak akan bicara dengan mereka, meski orang Inggris itu mendesak. Lalu
seorang pria mendekat. "Apakah Bapak tahu orang yang menyembuhkan penyakit-penyakit orang di sini?"
tanya si bocah. "Allah yang menyembuhkan penyakit-penyakit kami," jawabnya, jelas kelihatan
takut pada orang-orang asing itu. "Kalian sedang mencari dukun." Dia mengutip
beberapa ayat Quran, lalu terus jalan.
Seorang lelaki lain muncul. Dia lebih tua, dan membawa ember kecil. Si bocah
mengulangi pertanyaannya.
"Mengapa kamu ingin bertemu dengan orang seperti itu?" tanya orang Arab tadi.
"Karena temanku ini sudah berkelana berbulan-bulan untuk bertemu dengannya,"
kata si bocah. "Kalau ada orang seperti itu di oasis ini, dia pastilah orang yang sangat kuat,"
kata pria tua itu setelah berpikir sejenak. "Kepala-kepala suku pun tidak dapat
menemuinya saat mereka ingin ketemu. Hanya bila dia setuju.
"Tunggulah sampai perang berakhir Kemudian pergilah dengan karavan. Jangan coba-
coba masuk ke dalam kehidupan oasis ini," katanya, lalu melangkah pergi.
Tapi orang Inggris itu gembira. Mereka berada di jalan yang benar.
Akhirnya, seorang perempuan muda yang tidak berpakaian hitam mendekat. Dia
memhawa bejana di bahunya, dan kepalanya tertutup kerudung, tapi wajahnya
terbuka. Si bocah mendekatinya untuk bertanya tentang alkemis itu.
Saat itulah si bocah merasa waktu berhenti, dan Jiwa Buana menyentak dari dalam
dirinya. Ketika dia menatap mata hitam gadis itu, dan melihat bibirnya bersikap
antara tertawa dan diam, dia mengerti bagian terpenting dari bahasa yang
digunakan oleh seluruh dunia --bahasa yang bisa dipahami oleh setiap orang di
bumi dengan hati mereka. Itulah cinta. Sesuatu yang lebih tua dari umat manusia,
lebih purba dari gurun. Sesuatu yang menggunakan daya yang sama kapanpun dua
pasang mata bertemu, seperti rnata mereka kini dan di sini, di sumur ini. Gadis
itu tersenyum, dan itu pastilah sebuah pertanda --pertanda yang telah
dinantinya, bahkan tanpa dia sadari bahwa dia menantinya, sepanjang hidupnya.
Pertanda yang dicarinya bersama dengan domba-dombanya dan dalam buku-bukunya,
dalam kristal-kristal dan dalam kesunyian gurun.
Itulah Bahasa Buana yang murni. Ia tidak membutuhkan penjelasan, sebagaimana
alam semesta tak memerlukan apapun saat berjalan melewati waktu yang tiada
akhir. Apa yang dirasakan si bocah pada saat itu adalah bahwa dia berada di
hadapan satu-satunya perempuan dalam hidupnya, dan bahwa, tanpa perlu kata-kata,
gadis itu rnerasakan hal yang sama. Dia lebih yakin pada hal itu daripada
terhadap apapun di dunia ini. Dia pernah diberitahu oleh orangtua dan kakek-
neneknya bahwa dia harus jatuh cinta dan benar-benar mengenal seseorang sebelum
terikat Tapi mungkin orang-orang yang merasakannya tidak pernah memahami bahasa
universal ini. Karena, jika kita memahami bahasa itu, mudahlah untuk mengerti
bahwa seseorang di dunia menanti kita, entah di tengah gurun atau di kota besar.
Dan saat dua orang itu berjumpa, dan mata mereka bertemu, masa lalu dan masa
depan menjadi tak penting. Yang ada hanyalah momen itu, dan kepastian yang ajaib
bahwa segala yang ada di langit dan di bumi telah dituliskan oleh tangan yang
esa. Itulah tangan yang menimbulkan cinta, dan menciptakan suata jiwa kembar
bagi setiap orang di dunia. Tanpa cinta seperti itu, impian- impian seseorang
akan tak bermakna. Maktub, pikir si bocah. Orang Inggris itu mengejutkan si bocah: "Ayo cepat, tanya dia!"
Si bocah mendekati gadis itu, dan ketika sang gadis tersenyum, dia pun
tersenyum. "Siapa namamu?" dia bertanya.
"Fatima," kata gadis itu, memalingkan wajah.
"Di negeriku banyak perempuan yang bernama itu."
"Itu nama puteri Nabi," kata Fatima. "Para penyerbu membawa nama itu ke mana-
mana." Gadis cantik itu berucap tentang penyerbu dengan bangga.
Orang Inggris itu menyenggolnya, dan si bocah bertanya pada sang gadis tentang
orang yang menyembuhkan penyakit-penyakit manusia.
"Dialah orang yang mengetahui semua rahasia dunia," katanya. "Dia berkomunikasi
dengan para jin di gurun."
Jin-jin itu adalah roh-roh baik dan jahat. Dan gadis menunjuk ke arah selatan,
mengisyaratkan bahwa di sanalah orang asing itu tinggal. Lalu dia mengisi
bejananya dengan air dan pergi.
Si orang Inggris juga menghilang, pergi untuk mencari alkemis itu. Dan si bocah
terduduk lama di sana, di dekat sumur, mengingat suatu hari di Tarifa ketika
angin levanter membawa wangi perempuan itu, dan sadar bahwa dia telah mencintai
gadis tadi bahkan sebelum dia tahu gadis itu ada. Dia tahu cintanya pada gadis
itu akan memungkin- kannya menemukan setiap harta di dunia.
Keesokan harinya, si bocah kembali ke sumur, berharap bertemu dengan sang gadis.
Kagetlah dia melihat lelaki Inggris itu ada di sana, sedang memandangi gurun.
"Siang dan malam aku menunggu," katanya. "Dia muncul bersamaan dengan bintang-
bintang pertama malam. Kukatakan padanya apa yang sedang kucari, dan dia
bertanya padaku apakah aku pernah mengubah timah menjadi emas. Kubilang bahwa
aku datang ke sini justru untuk mempelajarinya.
"Dia menyuruhku mencobanya. Cuma itu yang dikatakannya: 'Pergilah dan cobalah'."
Si bocah diam saja. Orang Inggris malang ini telah berkelana sampai ke sini,
hanya untuk diberitahu bahwa dia harus mengulang apa yang telah begitu sering
dilakukannya. "Kalau begitu, coba saja," katanya pada orang Inggris itu.
"Itulah yang mau kulakukan. Aku akan mulai sekarang."
Ketika orang Inggris pergi, Fatima datang dan mengisi bejananya dengan air.
"Aku datang untuk memberitahu satu hal padamu," kata si bocah. "Aku ingin kamu
menjadi isteriku. Aku mencintaimu."
Bejana gadis itu terjatuh, dan airnya tumpah.
"Aku akan menunggumu di sini setiap hari. Aku telah menyeberangi gurun untuk
mencari suatu harta yang berada di satu tempat dekat Piramida, dan bagiku,
perang itu tampak seperti kutuk. Tapi sekarang ia adalah rahmat, karena ia
membawa diriku padamu."
"Perang akan berakhir suatu hari," kata gadis itu.
Si bocah melihat pelepah-pelepah kurma di sekitar. Dia mengingatkan dirinya
sendiri bahwa dia pernah menjadi seorang gembala, dan dia dapat kembali menjadi
gembala. Fatima lebih penting daripada hartanya.
"Warga-warga suku selalu mencari harta," kata gadis itu, seakan bisa membaca apa
yang sedang dipikirkan si bocah. "Dan perempuan-perempuan gurun bangga pada pria
suku mereka." Dia mengisi kembali bejananya dan pergi."
Si bocah pergi ke sumur itu setiap hari untuk bertemu dengan Fatima. Dia
menceritakan pada sang gadis tentang hidupnya sebagai gembala, tentang raja itu,
dan tentang: toko kristal. Mereka menjadi teman, dan selain limabelas menit yang
dihabiskannya dengan gadis itu, tiap hari waktu seolah tak pernah beranjak.
Ketika dia sudah berada di oasis itu hampir satu bulan, pemimpin karavan
mengundang semua orang yang ikut rombongannya untuk rapat.
"Kita tidak tahu kapan perang akan berakhir, jadi kita tidak dapat meneruskan
perjalanan," katanya. "Pertempuran ini mungkin masih lama, barangkali tahunan.
Kedua pihak sama-sama kuat, dan pertempuran ini penting bagi pasukan perang
keduanya. Ini bukan pertarungan antara baik melawan jahat. Ini perang antara
kekuatan-kekuatan yang bertarung untuk mencapai keseimbangan kekuasaan, dan bila
perang seperti ini mulai, selesainya lebih lama dari perang-perang yang lain
--karena Allah berada di kedua pihak."
Orang-orang kembali ke tempat mereka tinggal, dan si bocah pergi untuk menemui
Fatima sore itu. Dia menceritakan padanya mengenai pertemuan tadi pagi. "Sehari
setelah kita bertemu," kata Fatima, "kamu bilang kamu mencintaiku. Kemudian kamu
mengajariku sesuatu tentang bahasa universal dan Jiwa Buana. Karena itulah, aku
menjadi bagian dari dirimu."
Si bocah mendengarkan nada suara gadis itu, dan merasakannya lebih indah
daripada suara angin di pelepah kurma.
"Aku telah menunggumu di sini di oasis ini sejak dulu. Aku telah melupakan masa
laluku, adat istiadatku, dan cara lelaki gurun mengharapkan perempuannya
berperilaku. Sejak masih kecil, aku telah memimpikan bahwa gurun akan memberiku
hadiah yang indah. Kini hadiahku telah tiba, dan itu adalah kamu."
Si bocah ingin menggenggam tangan gadis itu. Tapi tangan Fatima memegang gagang
kendi. "Kamu telah menceritakan mimpi-mimpimu, tentang raja tua dan hartamu. Dan kamu
telah memberitahuku tentang pertanda. Jadi sekarang, aku tidak takut apapun,
karena pertanda itulah yang telah membawa dirimu kepadaku. Dan aku adalah bagian
dari mimpimu, bagian dari Legenda Pribadimu, seperti katamu.
"Itulah sebabnya aku ingin kamu terus menuju cita-citamu. Bila kamu harus
menunggu sampai perang selesai, tunggulah. Tapi bila kamu harus pergi
sebelumnya, teruskan pencarian mimpimu. Bukit-bukit pasir berubah oleh angin,
tapi gurun tak pernah berubah. Begitulah yang akan terjadi dengan cinta kita.
"Maktub," kata gadis itu. "Bila aku sungguh-sungguh bagian dari mimpimu, kamu
akan kembali suatu hari."
Si bocah merasa sedih saat dia meninggalkan sang gadis hari itu. Dia memikirkan
semua gembala yang menikah yang dikenalnya. Mereka mengalami saat-saat yang
sulit untuk meyakinkan isteri-isteri mereka bahwa mereka harus pergi ke ladang-
ladang yang jauh. Cinta menuntut mereka untuk tinggal bersama orang-orang yang
mereka cintai. Dia memberi tahu Fatima tentang hal itu, pada pertemuan berikutnya.
"Gurun mengambil para lelaki kami dari kami, dan mereka tidak selalu kembali,"
katanya. "Kami tahu itu, dan kami terbiasa dengannya. Mereka yang tidak kembali
menjadi bagian dari awan, bagian dari hewan-hewan yang bersembunyi di jurang-
jurang dan dari air yang keluar dari bumi. Mereka menjadi bagian semuanya..,
mereka menjadi Jiwa Buana.
"Beberapa memang kembali. Dan kemudian perempuan- perempuan lainnya gembira
karena mereka percaya suami-suami mereka pun akan kembali suatu hari nanti. Aku
terbiasa melihat para perempuan itu dan iri pada kebahagiaan mereka. Sekarang,
aku juga akan menjadi salah satu dari perempuan-perempuan yang menunggu.
"Aku ini perempuan gurun, dan aku bangga akan hal itu. Aku ingin suamiku
berkelana sebebas angin yang membentuk bukit-bukit pasir. Dan, jika terpaksa,
aku akan terima kenyataan bahwa dia telah menjadi bagian dari awan, dan hewan-
hewan, dan air gurun."
Si bocah pergi mencari orang Inggris itu. Dia ingin menceritakan padanya tentang
Fatima. Dia kaget melihat orang Inggris itu membangun sendiri tungku perapian di
luar tendanya. Itu adalah tungku yang aneh, dihidupi oleh kayu bakar, dengan
botol transparan memanas di atasnya. Saat lelaki Inggris itu memandang ke gurun,
matanya tampak lebih berbinar dibanding saat dia sedang membaca buku-bukunya.
"Ini adalah tahap pertama dari pekerjaan ini," katanya. "Aku harus memisahkan
sulfurnya. Untuk melakukannya dengan sukses, aku tidak boleh merasa takut gagal.


Sang Alkemis Karya Paulo Coelho di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Perasaan takut gagal itulah yang dulu menahanku mencoba Karya Agung. Sekarang
aku sedang memulai apa yang seharusnya kumulai sepuluh tahun lalu. Tapi
setidaknya aku bahagia karena tidak harus menunggu duapuluh tahun."
Dia terus menyalakan tungku, dan si bocah tinggal sampai gurun memerah jambu
dengan terbenamnya matahari. Dia merasakan desakan untuk pergi ke tengah gurun,
untuk mengetahui adakah kesunyiannya menyimpan jawaban untuk pertanyaan-
pertanyaannya. Dia berkeliling sebentar, memandangi pelepah-pelepah kurma di oasis itu. Dia
mendengarkan angin, dan merasakan batu-batu di bawah telapak kakinya. Di mana-
mana dia menemukan kerang, dan menyadari bahwa gurun itu, di masa silam, adalah
lautan. Dia duduk di atas batu, dan membiarkan dirinya terpana oleh cakrawala.
Dia berusaha menghadapi konsep cinta sebagai hal yang berbeda dari pemilikan,
dan tidak dapat memisahkan keduanya. Tapi Fatima adalah perempuan gurun, dan,
kalaulah ada sesuatu yang dapat membantu dia memahami, sesuatu itu adalah gurun.
Saat dia duduk berpikir di sana, dia merasakan gerakan di atasnya. Memandang ke
atas, dia melihat sepasang elang terbang tinggi di angkasa.
Dia memandangi elang-elang itu sampai mereka pergi mengiringi angin. Meski
penerbangan mereka tampak tak berpola, tapi memberi perasaan tertentu pada si
bocah. Hanya saja dia tidak dapat menangkap maknanya. Dia mengikuti gerakan
burung-burung itu, mencoba membaca apa yang tersirat di sana. Mungkin burung-
burung gurun ini dapat menjelaskan padanya arti cinta tanpa pemilikan.
Dia merasa mengantuk. Dalam hatinya, dia ingin tetap terjaga, tapi dia juga
ingin tidur. "Aku sedang belajar Bahasa Buana, dan semua yang ada di dunia ini
mulai kumengerti..., bahkan terbangnya elang-elang itu," gumamnya. Dan, dengan
perasaan seperti itu, dia bersyukur dapat mencinta. Saat kita jatuh cinta,
banyak hal yang jadi lebih masuk akal, pikirnya.
Tiba-tiba, salah seekor elang itu menukik dari angkasa, menyerang elang lainnya.
Saat elang tadi melakukan hal itu, berkelebat selintas bayangan pada benak si
bocah: pasukan tentara, dengan pedang-pedang terhunus, sedang bergerak menuju
oasis. Bayangan itu segera hilang, tapi ia telah mengguncangnya. Dia sudah
mendengar orang-orang yang bicara tentang fatamorgana, dan dia sendiri pernah
melihatnya: ia adalah hasrat yang, karena kekentalannya, mewujud di atas pasir
gurun. Tapi dia tentulah tidak menghasrati tentara menyerbu oasis itu.
Dia ingin melupakan bayangan itu, dan kembali ke meditasinya. Dia mencoba
berkonsentrasi lagi pada kemerahan gurun, dan batu-batunya. Tapi ada sesuatu di
hatinya yang tidak memungkinkan dia melakukannya.
"Selalulah perhatikan pertanda," kata raja tua itu. Si bocah teringat pada apa
yang dilihatnya dalam bayangan tadi, dan merasa bahwa hal itu memang akan
terjadi. Dia bangkit, dan kembali menuju ke arah pohon-pohon palem. Sekali lagi, dia
merasakan banyaknya bahasa dalam hal-hal yang menyangkut dirinya: kali ini,
gurun aman, dan oasislah yang jadi berbahaya.
Penunggang onta itu duduk di bawah sebatang pohon palem, mengamati matahari
terbenam. Dia lihat si bocah muncul dari balik bukit pasir.
"Tentara bakal datang," kata si bocah. "Aku punya bayangan."
"Gurun memenuhi hati manusia dengan bayangan-bayangan," jawab penunggang onta
itu. Tapi si bocah menceritakan padanya tentang elang-elang itu: bahwa dia melihat
pertarungan mereka dan tiba-tiba merasa dirinya mencebur ke Jiwa Buana.
Penunggang onta itu mengerti apa yang dikatakan si bocah. Dia tahu bahwa setiap
hal yang ada di muka bumi ini dapat mengungkapkan sejarah semua hal. Orang bisa
membuka buku di halaman manapun, atau melihat tangan seseorang; orang dapat
membaca kartu, atau melihat terbangnya burung-burung.., apapun yang dilihat,
orang dapat menemukan suatu hubungan dengan pengalaman dirinya pada momen itu.
Sebenarnya, bukan hal-hal itu
sendiri yang mengungkapkan; manusialah, dengan melihat apa yang sedang terjadi
di sekitarnya, yang dapat menemukan suatu cara menembus ke Jiwa Buana.
Gurun itu penuh dengan orang-orang yang mendapat nafkah hidup berdasarkan
kepandaian mereka menembus Jiwa Buana. Mereka dikenal sebagai peramal, dan
mereka ditakuti oleh para perempuan dan orang-orang tua. Warga suku juga hati-
hati dalam berkonsultasi dengan mereka, karena tak mungkinlah bisa tampil
perkasa dalam pertempuran bila orang sudah tahu bahwa dia ditakdirkan mati.
Warga suku lebih menyukai rasanya bertempur, dan ketegangan karena tak
mengetahui bagaimana akhirnya; masa depan sudah ditulis oleh Allah, dan apa yang
telah ditulisNya selalu untuk kebaikan manusia. Jadi, warga suku hidup hanya
untuk masa kini, sebab masa kini penuh dengan kejutan, dan mereka harus waspada
dengan banyak hal: Di mana gerangan pedang sang musuh" Di manakah kudanya"
Pukulan macam apa yang harus diberikan selanjutnya agar orang tetap hidup"
Penunggang onta itu bukanlah seorang petarung, dan dia telah berkonsultasi
dengan para peramal. Banyak dari mereka benar tentang apa yang mereka katakan,
sedang sebagian lainnya salah. Kemudian, suatu hari, peramal tertua yang pernah
ditemuinya (dan yang paling ditakuti) bertanya mengapa penunggang onta itu
begitu tertarik dengan masa depan.
"Yah... supaya aku bisa melakukan macam-macam," jawabnya. "Dan supaya aku bisa
mencegah terjadinya hal-hal yang tidak kuinginkan."
"Tapi kalau begitu hal-hal itu tidak akan menjadi bagian dari masa depanmu,"
kata peramal itu. "Yah, mungkin aku hanya ingin tahu masa depan supaya aku dapat mempersiapkan
diri untuk apa yang akan terjadi."
"Jika hal-hal baik yang datang, akan menjadi kejutan yang menyenangkan," kata
peramal. "Bila hal-hal jelek, dan kamu sudah tahu sebelumnya, kamu akan sangat
menderita bahkan sebelum hal-hal itu terjadi."
"Aku ingin tahu tentang masa depan karena aku lelaki," kata si penunggang onta
pada peramal. "Dan lelaki selalu menjalani hidupnya berdasar masa depan."
Peramal itu adalah ahli membaca ranting; dia melemparkan ranting-ranting ke
tanah, dan menafsirnya berdasar cara jatuhnya. Hari itu, dia tidak membuat
ramalan apapun. Dia membungkus ranting-rantingnya di sepotong kain dan
memasukannya kembali ke dalam tasnya.
"Aku ini hidup dari meramal masa depan orang," katanya. "Aku tahu ilmu ranting,
dan aku tahu bagaimana menggunakannya untuk menembus tempat di mana semua sudah
tertulis. Di sana, aku dapat membaca masa lalu, mengungkap apa yang telah
dilupakan, dan memahami pertanda-pertanda yang ada di sini saat ini.
"Ketika orang-orang meminta nasihatku, aku bukannya membaca masa depan; aku
menebak masa depan. Masa depan itu milik Tuhan, dan hanya Dia yang dapat
mengungkapkannya, dalam kondisi yang luar biasa. Bagaimana caraku menebak masa
depan" Berdasarkan pertanda-pertanda masa kini. Rahasianya terletak di masa
kini. Kalau kamu memperhatikan masa kini, kamu dapat memperbaikinya. Dan, bila
kamu memperbaiki masa kini, apa yang datang kemudian juga akan menjadi lebih
baik Lupakanlah masa depan, dan jalanilah setiap hari menurut ajaran, percayalah
bahwa Tuhan mencintai hamba-hambaNya. Tiap-tiap hari, pada dirinya, membawakan
suatu keabadian." Penunggang onta menanyakan, dalam keadaan seperti apa Tuhan akan mengizinkannya
melihat masa depan. "Hanya saat Dia, Dia sendiri, mengungkapkannya. Dan Tuhan jarang sekali
mengungkap masa depan. Kalaupun Dia melakukannya, hanya untuk satu alasan: itu
adalah sebuah masa depan yang telah ditulis seperti itu untuk diubah."
Tuhan telah menunjukkan si bocah bagian dari masa depan, pikir penunggang onta.
Mengapakah Dia menginginkan si bocah menjadi perantaraNya"
"Pergi dan bicaralah pada para kepala suku," kata si penunggang onta. "Katakan
pada mereka tentang tentara-tentara yang sedang mendekat."
"Mereka akan menertawaiku."
"Mereka itu orang gurun, dan orang gurun biasa berurusan dengan pertanda."
"Kalau begitu, mereka mungkin sudah tahu."
"Mereka tidak memikirkannya sekarang ini. Mereka percaya bila mereka harus
mengetahui sesuatu yang Allah ingin mereka tahu, akan ada orang yang bakal
memberitahukannya pada mereka. Sudah sering terjadi sebelumnya. Tapi, kali ini,
orang itu adalah kamu." Si bocah memikirkan Fatima Dan dia memutuskan untuk
pergi menemui para kepala suku.
@kapuKOrner Si bocah mendekati penjaga...
SI BOCAH MENDEKATI PENJAGA DI DEPAN TENDA PUTIH BESAR di tengah-tengah oasis.
"Aku ingin ketemu pare kepala suku. Aku membawa pertanda dari gurun."
Tanpa bertanya, penjaga itu masuk ke dalam tenda, dan tetap di sana beberapa
saat. Ketika muncul lagi, dia bersama seorang remaja Arab, yang berpakaian putih
dan keemasan. Si bocah memberitahu anak itu apa yang dilihatnya, dan anak itu
menyuruhnya menunggu di sana. Dia menghilang ke dalam tenda.
Malam pun tiba, dan bermacam-macam serdadu dan pedagang keluar-masuk tenda. Satu
per satu, obor di tenda-tenda padam, dan oasis itu menjadi sesenyap gurun. Hanya
penerangan di tenda besar itu yang masih menyala. Selama itu, si bocah
memikirkan Fatima, dan dia masih belum mampu memahami percakapan terakhirnya
dengan gadis itu. Akhirnya, setelah menunggu berjam-jam, penjaga itu menyuruh dia masuk. Si bocah
terpesona dengan apa yang dilihatnya di dalam. Tak pernah dia bayangkan bahwa, di tengah-tengah gurun sana, ada tenda seperti ini. Lantainya tertutup
karpet terindah yang pernah dipijaknya, dan di puncak bangunan itu tergantung
lampu tempaan emas, masing-masing dengan sebatang lilin yang menyala. Para
kepala suku duduk di bagian belakang tenda yang berbentuk setengah-lingkaran,
bersandar di atas bantal-bantal bersulam sutra. Para pelayan datang dan pergi
dengan baki-baki perak penuh rempah dan teh. Pelayan-pelayan lainnya menjaga api
di hookah. Udara diliputi aroma asap yang manis.
Ada delapan kepala suku, tapi si bocah segera dapat melihat siapa di antara
mereka yang paling penting: seorang Arab berpakaian putih dan kuning emas, duduk
di tengah setengah-lingkaran itu. Di sebelahnya adalah remaja Arab yang
sebelumnya bicara dengan si bocah.
"Siapa ini orang asing yang bicara tentang pertanda?" tanya salah satu kepala
suku, memandang si bocah.
"Aku," jawab si bocah. Dan dia menceritakan apa yang telah dilihatnya.
"Mengapa pula gurun mengungkapkan hal-hal seperti itu pada orang asing, padahal
gurun itu tahu kita telah berada di sini selama beberapa generasi?" kata kepala
suku yang lain. "Karena mataku belum terbiasa dengan gurun," ucap si bocah. "Aku dapat melihat
hal-hal yang mungkin tak terlihat oleh mata yang terbiasa dengan gurun."
Dan juga karena aku tahu tentang Jiwa Buana, pikirnya kepada dirinya.
"Oasis adalah daerah netral. Tak ada orang yang menyerang oasis," kata kepala
suku ketiga. "Aku hanya memberitahu kalian apa yang kulihat. Kalau kalian tidak
mempercayaiku, kalian tidak perlu melakukan apapun."
Orang-orang itu segera membahasnya. Mereka bicara dengan dialek Arab yang tidak
dimengerti si bocah, tapi, saat dia hendak pergi, penjaga memintanya menunggu.
Si bocah jadi takut; pertanda memberitahunya bahwa ada yang tidak beres. Dia
menyesal telah bicara kapada penunggang onta itu tentang apa yang dilihatnya di
gurun. Tiba-tiba, ketua yang di duduk tengah tersenyum sekilas, dan si bocah merasa
lebih tenang. Orang itu tidak ikut serta dalam diskusi tadi, dan sama sekali tak
mengucapkan sepatah kata pun sampai saat itu. Tapi si bocah sudah terbiasa
dengan Bahasa Buana, dan dia dapat merasakan getaran damai di seantero tenda.
Sekarang intuisinya mengatakan bahwa kedatangannya adalah benar.
Diskusi selesai. Para kepala suku terdiam beberapa saat ketika mereka
mendengarkan apa yang dikatakan orang tua itu. Kemudian dia berpaling pada si
bocah: kali ini ekspresinya dingin dan tidak ramah.
"Duaribu tahun silam, di sebuah negeri yang jauh sekali, seorang lelaki yang
percaya pada mimpinya dimasukkan ke penjara bawah tanah dan kemudian dijual
sebagai budak," ucap orang tua itu, sekarang dengan dialek yang dimengerti si
bocah. "Pedagang-pedagang kami membeli orang itu, dan membawanya ke Mesir. Kami
semua mengetahui bahwa siapapun yang percaya pada mimpi juga tahu cara
menafsirkannya." Sesepuh itu melanjutkan, "Saat Fir'aun bermimpi tentang sapi-sapi kurus dan
sapi-sapi gemuk, orang yang sedang kubicarakan ini menyelamatkan Mesir dari
bencana kelaparan. Namanya Yusuf. Dia juga orang asing di negeri asing, seperti
kamu, dan mungkin.seusia denganmu."
Dia menjeda, dan matanya masih tak ramah.
"Kami selalu memperhatikan Tradisi. Tradisi telah menyelamatkan Mesir dari
kelaparan di masa lalu, dan menjadikan orang Mesir sebagai bangsa terkaya.
Tradisi mengajari orang cara menyeberangi gurun, dan bagaimana anak-anak mereka
harus menikah. Tradisi menyatakan bahwa oasis adalah daerah yang netral, karena
kedua pihak mempunyai oasis, dan karenanya keduanya rentan."
Tak ada yang bicara saat orang tua i'm melanjutkan.
"Tapi Tradisi juga menyatakan kita harus mempercayai pesan-pesan gurun. Semua
yang kami ketahui diajarkan kepada kami oleh gurun."
Lelaki tua itu memberi isyarat, lalu semua orang berdiri. Pertemuan selesai
Hookah dimatikan, dan para penjaga berdiri siap. Si bocah akan beranjak pergi,
tapi orang tua itu berkata lagi:
"Besok, kami akan melanggar kesepakatan yang menyatakan bahwa tidak seorang pun
di oasis yang boleh membawa senjata Sepanjang hari kami akan mengintai musuh-
musuh kami. Saat matahari terbenam, orang-orang harus menyerahkan lagi senjata-
senjata mereka kapadaku. Untuk tiap sepuluh musuh yang mati, kamu akan mendapat
sekeping emas. "Tetapi senjata tidak boleh dihunus selain untuk perang. Senjata sama tak
terduganya dengan gurun, dan, bila ia tidak digunakan, saat berikutnya ia
mungkin tak berguna. Jika sedikitnya satu dari mereka tidak terpakai sampai hari
besok berakhir, seseorang akan menggunakannya terhadapmu."
Ketika si bocah meninggalkan tenda, oasis itu hanya diterangi oleh sinar bulan
purnama. Dia berada duapuluh menit dari tendanya, dan mulai melangkah ke sana.
Dia waspada terhadap apa yang akan terjadi. Dia telah berhasil menjangkau Jiwa
Buana, dan sekarang harga untuk itu mungkin adalah nyawanya. Sebuah taruhan yang
menakutkan. Tapi dia telah menempuh taruhan-taruhan yang berbahaya sejak saat
dia menjual domba-dombanya untuk mengejar Legenda Pribadinya. Dan, seperti kata
penunggang onta itu, mati besok tidaklah lebih buruk daripada meninggal di hari
lainnya. Hari-hari ada untuk dijalani atau untuk menandai keberangkatan
seseorang dari dunia ini. Semuanya bergantung pada satu kata: "Maktub."
Berjalan di sepanjang kesunyian, dia tak menyimpan penyesalan. Bila dia mati
besok, itu berarti Tuhan tidak berkenan mengubah masa depan. Setidaknya dia
meninggal setelah menyeberangi selat, setelah bekerja di toko kristal, dan
sesudah mengetahui kesunyian gurun dan mata Fatima. Dia telah menjalani tiap
hari dalam hidupnya dengan penuh sejak dia meninggalkan rumah dulu. Kalau dia
meninggal besok, dia tentulah sudah melihat lebih banyak daripada gembala-
gembala lain, dan dia bangga karena itu.
Tiba-tiba dia mendengar suara menggelegar, dan dia terlempar ke tanah oleh
sejenis angin yang tak pernah dikenalnya. Daerah ini memang tempat angin beliung
dengan debu yang begitu pekatnya hingga menutupi bulan dari pandangan. Di
hadapannya menjulang seekor kuda putih yang sangat besar, mendompak ke arahnya
dengan ringkikan yang menakutkan.
Saat debu yang membutakan itu reda, si bocah tergetar pada apa yang dilihatnya.
Di punggung kuda itu duduk seorang berpakaian hitam-hitam, dengan tenggeran
elang di bahu kirinya. Dia mengenakan sorban, dan seluruh wajahnya, kecuali
mata, tertutup dengan kain hitam. Dia tampak seperti seorang pembawa pesan dari
gurun, tapi sosoknya terlihat lebih kuat daripada sekadar pembawa pesan
lazimnya. Penunggang kuda yang aneh itu mencabut pedang lengkung besar dari sarung yang
tergantung di pelananya. Baja di pedangnya berkilauan dalam cahaya bulan.
"Siapa yang berani membaca makna pertarungan elang itu?" desaknya, begitu
lantangnya hingga kata-katanya seolah menggema melalui limapuluh ribu batang
palem Al-Fayoum. "Akulah yang berani melakukannya," ucap si bocah. Dia teringat gambar Santiago
Matamoros, yang menjulang di punggung kuda putihnya, sementara kaum kafir
bersimpuh di bawahnya. Orang ini tampak sama persis, hanya sekarang peran-
perannya terbalik. "Akulah yang berani melakukannya," dia mengulangi, dan menundukkan kepalanya
untuk menadah penggalan pedang. "Banyak nyawa yang akan terselamatkan, sebab aku
dapat melihat ke dalam Jiwa Buana."
Pedang itu tak memenggal. Orang asing itu malah menurunkannya pelan-pelan,
sampai ujungnya menyentuh kening si bocah. Ia mengucurkan setetes darah.
Penunggang kuda itu sama sekali tidak bergerak, seperti si bocah. Tak terlintas
pada si bocah untuk melarikan diri. Dalam hatinya, dia merasakan perasaan senang
yang aneh, dia sebentar lagi akan mati dalam pencarian Legenda Pribadinya. Dan
demi Fatima. Pertanda itu memang benar bagaimanapun. Di sinilah dia, berhadapan
muka dengan musuhnya, tapi tak ada yang perlu dicemaskan tentang mati --Jiwa
Buana telah menantinya, dan dia akan segera menjadi bagian darinya. Dan, besok,
musuhnya pun akan menjadi bagian dari Jiwa itu.
Orang asing itu masih menempelkan pedangnya dikening si bocah "Mengapa kamu


Sang Alkemis Karya Paulo Coelho di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

membaca makna perkelahian burung-burung itu?"
"Aku hanya membaca apa yang ingin dikatakan burung-burung itu padaku. Mereka
ingin menyelamatkan oasis. Besok kalian semua bakat mati, sebab jumlah orang
yang akan datang ke oasis lebih banyak daripada yang kalian miliki."
Pedang itu tetap di tempatnya. "Kamu ini siapa, kok mau mengubah kehendak
Allah?" "Allah menciptakan tentara, dan Dia juga menciptakan elang-elang. Allah
mengajarkan padaku bahasa burung. Semuanya sudah ditulis oleh tangan yang sama,"
kata si bocah, ingat kata-kata penunggang onta itu.
Orang asing itu menarik pedangnya dari kening si bocah, dan dia merasa sangat
lega. Tapi dia tetap tak sanggup untuk melarikan diri.
"Hati-hatilah dengan ramalan-ramalanmu," kata orang asing itu. "Bila sesuatu
sudah ditulis, tak ada jalan untuk mengubahnya."
"Yang kulihat hanya tentara," kata si bocah. "Aku tidak melihat akibat
pertempurannya." Orang asing itu tampak puas dengan jawaban tersebut. Tapi dia tetap memegang
pedangnya. "Apa yang dilakukan seorang asing di negeri asing?"
"Aku mengikuti Legenda Pribadiku. Sesuatu yang tidak akan kamu pahami." Orang
asing itu memasukkan pedangnya kembali ke sarungnya, dan si bocah tenang.
"Aku harus menguji keberanianmu," kata si orang asing. "Keberanian adalah
kualitas yang terpenting untuk memahami Bahasa Buana."
Si bocah terkejut. Orang asing itu bicara tentang hal-hal yang hanya diketahui
oleh segelintir kecil orang.
"Kamu tidak boleh berhenti, bahkan setelah apa yang terjadi sampai saat ini,"
dia melanjutkan. "Kamu harus mencintai gurun, tapi jangan pernah mempercayainya
sepenuhnya. Karena gurun menguji semua orang: ia menantang setiap langkah, dan
membunuh mereka yang lengah."
Perkataannya mengingatkan si bocah pada sang raja tua.
"Bila para serdadu itu tiba, dan kepalamu masih di bahumu saat matahari
terbenam, datang dan temuilah aku," kata orang asing itu.
Tangan yang tadi menghunus pedang kini menggenggam cemeti. Kuda itu mendompak
lagi, menimbulkan awan debu.
"Di mana tempat tinggalmu?"teriak si bocah, ketika penunggang kuda itu pergi.
Tangan bercemeti itu menunjuk ke arah selatan.
Si bocah telah berjumpa dengan sang alkemis.
@kapuKOrner Keesokan paginya ada Duaribu...
KEESOKAN PAGINYA ADA DUARIBU SERDADU BERPENCAR DI sekitar pohon-pohon palem di
Al-Fayoum. Sebelum matahari mencapai titik puncaknya, limaratus warga suku
muncul di cakrawala. Para serdadu berkuda itu memasuki oasis dari arah utara;
kelihatannya seperti ekspedisi damai, tapi, semuanya membawa senjata yang
disembunyikan di balik jubah mereka. Saat mereka tiba di tenda putih di tengah-
tengah Al-Fayoum, mereka mengeluarkan jambia dan senapan mereka.
Warga oasis mengepung para penunggang kuda itu dari gurun dan dalam setengah jam
semua penyerbu, kecuali satu orang, tewas. Anak-anak sudah disembunyikan di
belakang sebuah kebun palem, dan tidak melihat apa yang terjadi. Para perempuan
tetap tinggal di dalam tenda-tenda, berdoa untuk keselamatan suami-suami mereka,
dan juga tidak menyaksikan pertempuran itu. Seandainya tidak ada mayat-mayat di
atas tanah, oasis itu akan tampak seperti di hari biasa.
Satu-satunya penyerbu yang selamat adalah komandan batalion. Sore itu, dia
dibawa ke hadapan para kepala suku, yang bertanya mengapa dia melanggar Tradisi.
Komandan itu mengatakan orang-orangnya lapar dan haus, letih karena bertempur
berhari-hari, dan memutuskan untuk menduduki oasis supaya dapat kembali
berperang. Kepala suku mengatakan dia merasa iba pada orang-orang suku itu, tapi Tradisi
harus dijunjung tinggi. Dia menjatuhi komandan itu bukuman mati secara tak
hormat. Ia bukan dibunuh dengan pedang atau peluru, tapi digantung di pohon
palem mati, membuat tubuhnya bergoyang-goyang diterpa angin gurun.
Kepala suku memanggil si bocah, dan memberi limapuluh keping emas padanya. Dia
mengulangi kisah tentang Yusuf dari Mesir, dan meminta si bocah menjadi
penasehat di gurun itu. @kapuKOrner Ketika matahari telah tenggelam...
KETIKA MATAHARI TELAH TENGGELAM, DAN BINTANG- bintang pertama muncul, si bocah
mulai melangkah ke arah selatan. Dia akhirnya melihat sebuah tenda kecil, dan
sekelompok orang Arab yang lewat memberitahu si bocah bahwa tempat itu didiami
jin. Tapi si bocah duduk dan menunggu.
Tak sampai bulan meninggi, sang alkemis menampakkan diri. Di pundaknya, dia
membawa dua elang mati. "Aku datang,"kata si bocah.
"Kamu seharusnya tidak ke sini," jawab sang alkemis. "Atau Legenda Pribadimu
yang membawamu kemari?"
"Karena perang suku berkecamuk, tidak mungkin bagiku melintasi gurun. Jadi aku
ke sini." Sang alkemis turun dari kudanya, dan memberi isyarat supaya si bocah masuk ke
tenda bersamanya. Tenda itu seperti tenda-tenda lain di oasis itu. Si bocah
mencari-cari tungku dan peralatan lain yang biasa digunakan dalam alkemi, tapi
tak melihat satu pun. Hanya ada beberapa buku di timbunan, satu kompor masak
kecil, dan permadani-permadani bermotif aneh.
"Duduk. Kita akan minum dan makan elang-elang ini," kata sang alkemis.
Si bocah curiga mereka adalah elang-elang yang dilihatnya kemarin, tapi dia diam
saja Sang alkemis menyalakan api, dan tenda itu segera terisi dengan aroma yang
nikmat. Lebih enak dari bau hookah.
"Mengapa kamu ingin bertemu denganku?" tanya si bocah.
"Karena pertanda," jawab sang alkemis. "Angin berbicara padaku bahwa kamu akan
datang, dan bahwa kamu akan memerlukan bantuan."
"Bukan aku yang dimaksud angin itu. Yang dimaksud adalah orang asing lain,
lelaki Inggris itu. Dialah orang yang mencarimu "
"Dia harus mengerjakan sesuatu dulu. Tapi dia berada di jalan yang benar. Dia
sudah mulai mencoba memahami gurun."
"Lalu, aku bagaimana?"
"Saat seseorang benar-benar menginginkan sesuatu, segenap alam semesta bersatu
untuk membantu orang itu mewujudkan mimpinya," kata sang alkemis, menggemakan
kata-kata raja tua itu. Si bocah mengerti. Ada satu orang lagi yang membantunya
menuju Legenda Pribadinya.
"Jadi kamu mau mengajarku?"
"Tidak. Kamu sudah mengetahui semua yang perlu kamu ketahui. Aku hanya akan
menunjukimu arah ke harta-mu."
"Tapi, di sana ada perang suku," si bocah mengulangi.
"Aku tahu apa yang sedang terjadi di gurun."
"Aku sudah menemukan hartaku. Aku punya seekor onta, aku punya uang dari toko
kristal, dan aku punya limapuluh keping emas. Di negeriku, aku akan jadi orang
kaya." "Tapi tak satu pun dari semua itu yang berasal dari Piramida," kata sang
alkemis. "Aku juga memiliki Fatima. Dia adalah harta terbesar dibanding apa saja yang
telah kudapatkan." "Dia pun tidak ditemukan di Piramida."
Mereka makan dalam diam Sang alkemis membuka sebuah botol dan menuangkan cairan
merah ke dalam cangkir si bocah. Itu anggur ternikmat yang pernah dirasakannya.
"Bukankah di sini anggur diharamkan?" tanya si bocah.
"Yang buruk bukanlah sesuatu yang masuk ke dalam mulut manusia," kata sang
alkemis. "Yang buruk adalah yang keluar dari mulut mereka."
Alkemis ini agak menakutkan, tapi, selama si bocah minum anggur, dia merasa
santai. Seusai makan, mereka duduk di luar tenda, di bawah bulan yang begitu
cemerlang hingga membuat bintang-bintang tampak pucat.
"Minumlah dan senangkan dirimu," kata sang alkemis, tahu bahwa si bocah merasa
lebih bahagia. "Istirahat yang enak malam ini, seolah kamu prajurit yang bersiap
untuk perang. Ingatlah bahwa di manapun hatimu berada, di sana akan kau temukan
hartamu. Kau harus menemukan harta itu, supaya semua yang telah kau pelajari
selama ini dapat dipahami.
"Besok, jual ontamu dan belilah seekor kuda. Onta itu khianat: mereka berjalan
ribuan langkah dan tak pernah kelihatan lelah. Kemudian tiba-tiba, mereka
berlutut dan mati. Tapi kuda letihnya sedikit demi sedikit. Kamu selalu tahu
sejauh apa kamu bisa menyuruh mereka, dan kapan saat mereka akan mati.
@kapuKOrner Malam berikutnya si bocah muncul...
MALAM BERIKUTNYA SI BOCAH MUNCUL DI TENDA ALKEMIS ITU dengan membawa seekor
kuda. Sang alkemis sudah siap, dan dia menaiki kudanya sendiri dan meletakkan
elang di pundak kirinya. Dia berkata pada si bocah, "Tunjukkan padaku di mana ada
kehidupan di gurun. Hanya orang-orang yang mampu melihat tanda-tanda kehidupan
semacam itu yang dapat menemukan harta."
Mereka mulai berkuda di atas pasir, dengan bulan menerangi jalan mereka. Aku
tidak tahu apakah aku sanggup menemukan kehidupan di gurun, pikir si bocah. Aku
belum seakrab itu dengan gurun.
Dia ingin mengatakan hal itu pada sang alkemis, tapi dia takut padanya. Mereka
sampai di tempat bebatuan di mana si bocah pernah melihat elang-elang itu di
langit; tapi sekarang hanya ada kesunyian dan angin.
"Aku tidak tahu bagaimana menemukan kehidupan di gurun," kata si bocah. "Aku
tahu ada kehidupan di sini, tapi aku tidak tahu ke mana mencarinya."
"Kehidupan menarik kehidupan,"jawab sang alkemis.
Dan kemudian si bocah mengerti. Dia mengendurkan tali kekang kudanya, yang
berderap maju di atas bebatuan dan pasir. Sang alkemis mengikuti ketika kuda si
bocah berlari selama hampir setengah jam. Mereka tidak dapat lagi melihat palem-
palem oasis --hanya bulan raksasa di atas mereka, dan cahaya peraknya yang
memantul dari bebatuan di gurun itu. Tiba-tiba, tanpa alasan yang jelas, kuda si
bocah mulai melambat. "Ada kehidupan di sini," kata si bocah pada sang alkemis. "Aku tidak tahu bahasa
gurun, tapi kudaku tahu bahasa kehidupan."
Mereka turun, dan sang alkemis tidak berkata apa-apa. Maju perlahan-lahan,
mereka mencari di antara batu-batu. Sang alkemis tiba-tiba berhenti, dan
berlutut di atas tanah. Ada lubang di sana, di antara bebatuan. Sang alkemis
memasukkan tangannya ke dalam lubang itu, dan kemudian seluruh lengannya, sampai
ke bahu. Ada yang bergerak di sana, dan mata sang alkemis --si bocah hanya bisa
melihat matanya memejam dengan sekuat tenaga. Lengannya tampak seperti bertarung
dengan entah apa di lubang itu. Lalu, dengan gerak yang mengejutkan si bocah,
dia menarik lengannya dan melompat berdiri. Di tangannya, dia memegang seekor
ular pada ekornya. Si bocah juga melompat, tapi menjauh dari sang alkemis. Ular itu berontak dengan
panik, mengeluarkan desis yang memecah kesunyian gurun. Ular itu kobra, yang
bisanya dapat membunuh orang dalam hitungan menit.
"Hati-hati dengan bisanya," kata si bocah. Tapi meski sang alkemis telah
memasukkan tangannya ke lubang tadi, dan pastilah sudah digigit, ekspresinya
tenang saja. "Alkemis itu berusia duaratus tahun," si orang Inggris telah memberitahunya. Dia
pasti tahu cara menghadapi ular-ular gurun.
Si bocah memperhatikan saat teman perjalanannya menuju kudanya dan mengeluarkan
jambia. Dengan pedang lengkungnya itu, dia menggurat lingkaran di pasir, dan
kemudian meletakkan ular itu di dalamnya. Hewan melata itu segera tenang.
"Tak perlu khawatir," kata sang alkemi. "Ular itu tidak akan keluar dari
lingkaran. Kamu telah menemukan kehidupan di gurun, pertanda yang kubutuhkan."
"Mengapa hal itu begitu penting?"
"Karena Piramida dikelilingi oleh gurun."
Si bocah tidak ingin membicarakan Piramida. Hatinya berat, dan dia merasa pilu
sejak tadi malam. Untuk melanjutkan pencariannya atas harta itu berarti dia
harus melupakan Fatima. "Aku akan membimbingmu melintasi gurun," kata sang alkemis.
"Aku ingin tinggal di oasis saja," jawab si bocah. "Aku telah menemukan Fatima,
dan, sejauh yang kuketahui, dia lebih berharga daripada harta."
"Fatima itu perempuan gurun," kata sang alkemis. "Dia tahu bahwa lelaki harus
pergi agar kembali. Dan dia sudah mendapatkan hartanya: kamu. Kini dia berharap
kamu akan menemukan apa yang sedang kau cari."
"Bagaimana seandainya aku memutuskan tetap di sini?"
"Akan kuberitahu apa yang akan terjadi. Kau akan menjadi penasihat di oasis. Kau
punya banyak emas untuk membeli banyak domba dan onta. Kau akan menikah dengan
Fatima, dan kalian berdua akan bahagia selama satu tahun. Kau akan belajar
mencintai gurun, dan kau akan mengenal setiap batang dari limapuluh ribu palem
yang ada di sini. Kau akan menyaksikan mereka tumbuh, menunjukkan bagaimana
dunia ini senantiasa berubah. Dan kau akan semakin pandai memahami pertanda,
karena gurun adalah guru terbaik di sini.
"Suatu saat dalam tahun kedua, kau akan ingat tentang harta itu. Pertanda akan
mulai terus membicarakannya, dan kau akan berusaha mengabaikannya. Kau akan
manfaatkan pengetahuanmu bagi kesejahteraan oasis dan penduduknya. Para kepala
suku akan menghargai tindakanmu. Dan onta-ontamu akan memberimu kekayaan dan
kekuasaan. "Selama tahun ketiga, pertanda akan melanjutkan bicara tentang hartamu dan
Legenda Pribadimu. Kau akan berjalan mondar-mandir di oasis, setiap malam demi
malam, dan Fatima akan bersedih karena dia akan merasa dialah yang mengganggu
pencarianmu. Tapi kau akan mencintainya, dan dia akan membalas cintamu. Kau akan
ingat bahwa dia tak pernah memintamu untuk tinggal, karena seorang perempuan gurun
tahu dia harus menunggu lelakinya. Jadi kau tidak akan menyalahkan dia. Tapi kau
akan sering berjalan di pasir gurun, sambil berpikir bahwa kau mungkin bisa
pergi.., bahwa kamu bisa semakin mempercayai cintamu pada Fatima. Sebab yang
menahanmu di oasis adalah ketakutamnu sendiri bahwa kau mungkin tak akan pernah
kembali. Pada titik itu, pertanda akan mengatakan padamu bahwa hartamu sudah
terkubur selamanya. "Kemudian, suatu saat selama tahun keempat, pertanda akan melupakanmu, karena
kau berhenti mendengarkan mereka. Para kepala suku akan melihat hal itu, dan kau
akan dipecat dari jabatanmu sebagai penasihat. Tapi, setelah itu, kau akan
menjadi pedagang kaya, punya banyak onta dan banyak barang dagangan. Kau akan
menghabiskan sisa-sisa harimu seraya tahu bahwa kau tidak mencari Legenda
Pribadimu, dan bahwa sekarang sudah terlambat.
"Kau hendaknya mengerti bahwa cinta tidak pernah menahan seorang lelaki untuk
mencari Legenda Pribadinya. Bila dia mengabaikan pencarian itu, itu karena ia
bukanlah cinta sejati..., cinta yang berbicara dengan Bahasa Buana."
Sang alkemis menghapus lingkaran di pasir, dan ular itu merayap pergi di antara
bebatuan. Si bocah teringat pada pedagang kristal yang selalu ingin pergi ke
Mekkah, dan pada orang Inggris yang mencari sang alkemis Dia memikirkan
perempuan yang percaya pada gurun itu. Dan dia memandangi gurun yang telah
membawanya kepada perempuan yang dicintainya.
Mereka menaiki kuda masing-masmg, dan kali ini si bocahlah yang mengikuti sang
alkemis kembali ke oasis. Angin mengantarkan suara-suara dari oasis kepada
mereka, dan si bocah mencoba mendengar suara Fatima.
Tapi malam itu, saat dia memandangi kobra di dalam lingkaran, seorang penunggang
kuda asing dengan elang di bahunya berbicara tentang cinta dan harta, tentang
perempuan-perempuan gurun dan tentang Legenda Pribadinya.
"Aku akan pergi denganmu," kata si bocah. Dan dia segera merasakan kedamaian di
hatinya. "Kita pergi besok sebelum matahari terbit," hanya itu jawaban sang alkemis.
@kapuKOrner Si bocah melewatkan malam tanpa...
SI BOCAH MELEWATKAN MALAM TANPA TIDUR DUA JAM sebelum fajar, dia membangunkan
salah satu anak yang tidur di tendanya, dan menyuruhnya menunjukkan padanya di
mana Fatima tinggal. Mereka pergi ke tendanya, dan si bocah memberi temannya
emas yang cukup untuk membeli seekor domba.
Kemudian dia menyuruh temannya untuk masuk ke dalam tenda tempat Fatima sedang
tidur, dan untuk membangunkan dan memberitahunya bahwa dia menunggu di luar.
Remaja Arab itu melakukan apa yang dimima kepadanya, dan diberi emas yang cukup
untuk membeli domba lainnya.
"Sekarang tinggalkan kami," kata si bocah pada anak Arab itu. Ia kembali ke
tendanya untuk tidur, bangga telah membantu penasihat oasis, dan gembira
mendapatkan uang untuk membeli domba sendiri.
Fatima muncul di pintu masuk tenda. Mereka berdua berjalan-jalan di antara
pohon-pohon palem. Si bocah tahu ini merupakan pelanggaran terhadap Tradisi,
tapi hal itu tidak dipedulikannya saat ini.
"Aku mau pergi," katanya, "Dan aku ingin kamu tahu bahwa aku akan kembali. Aku
mencintaimu karena..."
"Jangan berkata apapun," Fatima menyela. "Seseorang dicintai karena ia dicintai.


Sang Alkemis Karya Paulo Coelho di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Tak perlu ada alasan untuk mencintai."
Tapi si bocah melanjutkan, "Aku mengalami sebuah mimpi, dan aku bertemu dengan
seorang raja. Aku menjual kristal dan melintasi gurun. Dan, karena suku-suku
menyatakan perang, aku pergi ke sumur itu, mencari sang alkemis. Jadi, aku
mencintaimu karena segenap alam semesta bersatu membantuku menemukanmu."
Keduanya berpelukan. Itulah saat pertama kalinya yang satu menyentuh yang lain.
"Aku akan kembali," kata si bocah.
"Sebelum ini, aku selalu memandang gurun dengan kerinduan," kata Fatima. "Kini
akan dengan harapan. Ayahku suatu hari pergi, tapi dia kembali pada ibuku, dan
dia selalu kembali sejak itu"
Mereka tidak berkata apa-apa lagi. Mereka berjalan lebih jauh di antara palem-
palem, dan kemudian si bocah meninggalkannya di pintu masuk tendanya.
"Aku akan kembali, seperti ayahmu kembali pada ibumu," katanya.
Dia melihat mata Fatima berlinang.
"Kamu menangis?"
"Aku ini perempuan gurun," katanya, memalingkan wajah. "Tapi bagaimanapun, aku
ini perempuan." Fatima kembali ke tendanya, dan, ketika siang menjelang, dia keluar untuk
melakukan pekerjaan sehari-hari yang telah dia kerjakan bertahun-tahun. Tapi
segalanya telah berubah. Si bocah tidak ada lagi di oasis, dan oasis ini tak
akan lagi punya arti yang sama seperti kemarin. Tempat ini bukan lagi tempat
dengan limapuluh ribu pohon palem dan tigaratus sumur, tempat para peziarah
datang, merasa lega di akhir perjalanan panjang mereka. Sejak hari itu, oasis
menjadi tempat yang kosong baginya.
Sejak hari itu, gurunlah yang menjadi penting. Dia memandangi gurun itu setiap
hari, dan mencoba menduga-duga bintang mana yang diikuti si bocah dalam
pencarian hartanya. Dia menitipkan kecupannya pada angin, berharap angin akan
menyentuh wajah si bocah, dan mengatakan padanya bahwa dia masih hidup. Bahwa
dia menunggunya, seorang perempuan yang menunggu seorang lelaki berani yang
sedang mencari hartanya. Sejak hari itu, baginya gurun hanya mewakili satu hal:
harapan kembalinya si bocah.
@kapuKOrner "Jangan memikirkan apa yang...
"JANGAN MEMIKIRKAN APA YANG KAU TINGGALKAN," KATA SANG alkemis pada si bocah
saat mereka mulai berkuda melintasi pasir gurun. "Segala sesuatu sudah ditulis
di Jiwa Buana, dan akan berada di sana selamanya."
"Para lelaki lebih memimpikan pulang ke rumah daripada pergi," kata si bocah.
Dia sudah terbiasa lagi dengan kesunyian gurun.
"Bila apa yang didapat seseorang terbuat dari bahan yang murni, ia tak akan
pernah rusak. Dan orang dapat selalu kembali. Bila apa yang telah kau peroleh
hanya kilasan sinar, seperti ledakan bintang, kau tak akan menemukan apa-apa
saat kau kembali." Lelaki itu berbicara dengan bahasa alkemi. Tapi si bocah tahu bahwa dia sedang
merujuk pada Fatima. Sulitlah untuk tidak memikirkan apa yang telah dia tinggalkan. Gurun, dengan
tunggal-nadanya yang tiada akhir, membuatnya berkhayal. Si bocah masih dapat
melihat pohon-pohon palem, sumur-sumur, dan wajah perempuan yang dicintainya.
Dia dapat melihat orang Inggris itu sedang melakukan percobaan-percobaannya, dan
penunggang onta yang sebenarnya adalah seorang guru yang tak disadarinya.
Mungkin alkemis ini tak pernah jatuh cinta, pikir si bocah.
Alkemis itu berjalan di depan, dengan elang di bahunya. Burung itu sangat paham
bahasa gurun, dan setiap mereka berhenti, dia terbang jauh untuk mencari buruan.
Di hari pertama, ia kembali dengan membawa kelinci, dan di hari kedua dengan dua
burung. Di malam hari, mereka membentangkan perlengkapan tidur dan menyembunyikan api
unggun mereka. Di gurun malam sangat dingin, dan menjadi semakin gelap seiring
menghilangnya bulan. Mereka terus berjalan selama sepekan, hanya membicarakan
hal-hal yang perlu dilakukan untuk menghindari perang suku. Perang itu
berlanjut, dan terkadang angin mengantarkan bau amis darah. Pertempuran-
pertempuran berlangsung di dekat situ, dan angin mengingatkan si bocah bahwa ada
bahasa pertanda-pertanda, yang selalu siap menunjukkan padanya apa yang tak
dilihat oleh matanya. Di hari ke tujuh, sang alkemis memutuskan membuat tenda lebih awal dari
biasanya. Elangnya terbang mencari buruan, dan sang alkemis menyodorkan tempat
minumnya pada si bocah. "Kau hampir tiba di ujung perjalananmu," kata sang alkemis. "Kuucapkan selamat
padamu untuk pencarian Legenda Pribadimu."
"Dan kamu tidak mengatakan apa-apa sepanjang jalan," kata si bocah "Kukira kamu
bakal mengajariku beberapa hal yang kamu ketahui. Beberapa waktu lalu, aku
berjalan melewati gurun bersama seorang yang mempunyai buku-buku tentang alkemi.
Tapi aku tidak dapat belajar apapun dari buku-buku itu."
"Hanya ada satu cara untuk belajar," jawab sang alkemis. "Melalui tindakan.
Semua yang perlu kau ketahui telah kau pelajari melalui perjalananmu. Kamu hanya
perlu mempelajari satu hal lagi."
Si bocah ingin tahu apakah itu, tapi sang alkemis memandang ke cakrawala,
mencari elangnya. "Mengapa kamu disebut alkemis?"
"Karena memang itulah aku"
"Dan apa yang salah ketika alkemis-alkemis lain mencoba membuat emas dan tak
berhasil melakukannya?"
"Mereka hanya mencari emas," jawab teman perjalanannya. "Mereka mencari harta
dalam Legenda Pribadi mereka, tanpa benar-benar menginginkan menjalani Legenda
Pribadi itu." "Apa yang masih perlu kuketahui?" tanya si bocah.
Tapi sang alkemis kembali menatap cakrawala. Dan akhirnya, elang itu kembali
dengan membawa makanan untuk mereka. Mereka membuat lubang dan menempatkan api
unggun di lubang itu, supaya cahaya apinya tidak terlihat.
"Aku ini alkemis karena memang aku seorang alkemis," katanya, saat dia
menyiapkan makanan. "Aku belajar ilmu itu dari kakekku, yang belajar dari
ayahnya, dan seterusnya, sampai ke penciptaan dunia. Di masa-masa itu, Karya
Agung dapat ditulis di sekadar sebutir zamrud. Tapi manusia mulai menolak hal-
hal yang sederhana, dan ingin menulis risalah, tafsir-tafsir, dan kajian-kajian
filsafat. Mereka juga mulai merasa lebih tahu daripada orang lain. Toh Tablet
Zamrud itu masih ada sampai sekarang."
"Apa yang tertulis di Tablet Zamrud itu?" si bocah ingin tahu.
Sang alkemis mulai menggambar di pasir, dan menyelesaikan gambarnya dalam waktu
kurang dari lima menit. Saat dia menggambar, si bocah memikirkan sang raja tua,
dan alun-alun tempat mereka bertemu hari itu; rasanya seakan itu terjadi
berpuluh tahun silam. "Inilah yang ditulis di Tablet Zamrud itu," kata sang alkemis, saat dia selesai.
Si bocah mencoba membaca apa yang tertulis di pasir.
"lni cuma kode," kata si bocah, agak kecewa. "Seperti yang kulihat di buku-buku
orang Inggris itu." "Bukan," jawab sang alkemis. "Ini seperti pertarungan dua elang itu; ia tidak
dapat dimengerti hanya dengan akal. Tablet Zamrud adalah sebuah perjalanan
langsung menuju Jiwa Buana.
"Orang-orang bijak memahami bahwa dunia alami ini hanyalah suatu citra dan
tiruan surgawi. Keberadaan dunia ini sekadar suatu jaminan bahwa di sana ada
sebuah dunia yang sempurna. Tuhan menciptakan dunia supaya, melalui benda-benda
yang dapat dilihat, manusia mampu memahami ajaran-ajaran rohaniNya dan
kearifanNya yang menakjubkan. Itulah yang kumaksud dengan tindakan."
"Perlukah aku memahami Tablet Zamrud itu?" tanya si bocah.
"Mungkin, bila kamu berada di laboratorium alkemi, ini adalah saat yang tepat
untuk mempelajari cara terbaik guna memahami Tablet Zamrud. Tapi kamu sekarang
berada di gurun. Jadi larutkanlah dirimu ke dalamnya. Gurun akan memberimu suatu
pemahaman tentang dunia; sebenarnya, segala sesuatu di muka bumi ini akan
memberimu pengertian itu. Kamu bahkan tidak perlu memahami gurun: yang perlu
kamu lakukan hanyalah merenungkan butir-butir pasir yang sepele, dan kamu akan
melihat di dalamnya segenap keajaiban penciptaan."
"Bagaimana cara melarutkan diri dalam gurun?"
"Dengarkan hatimu. Ia tahu segala hal, karena ia berasal dari Jiwa Buana, dan
suatu hari ia akan kembali ke sana."
@kapuKOrner Mereka melintasi gurun selama ...
MEREKA MELINTASI GURUN SELAMA DUA HARI DALAM DIAM. Sang alkemis menjadi sangat
berhati-hati, karena mereka mendekati daerah tempat pertempuran dahsyat sedang
berlangsung. Saat mereka meneruskan perjalanan, si bocah mencoba mendengarkan
hatinya. Tidak mudah melakukannya; di saat-saat pertama, hatinya selalu siap menuturkan
ceritanya, tapi belakangan ceritanya tidak benar. Ada saat-saat ketika hatinya
menghabiskan waktu berjam-jam menceritakan kesedihannya, dan di saat lain ia
menjadi sangat emosional terhadap terbitnya matahari di gurun hingga si bocah
harus menyembunyikan air matanya. Hatinya berdebar kencang saai ia bicara pada
si bocah tentang harta, dan melambai saat si bocah terpukau menatap cakrawala
gurun yang tak berbatas. Namun hatinya tidak pernah diam, bahkan saat si bocah
dan sang alkemis terhanyut dalam kesunyian.
"Mengapakah kita harus mendengarkan hati kita?" tanya si bocah, saat mereka
membuat tenda hari itu. "Karena di manapun hatimu berada, di situlah akan kau temukan hartamu."
"Tapi hatiku gelisah," kata si bocah. "Hatiku memiliki impian-impiannya, ia
menjadi emosional, dan ia menjadi bergairah terhadap seorang perempuan di gurun.
Ia menanyakan banyak hal tentang diriku, dan ia membuatku terjaga dari tidur-
tidurku di malam hari, saat aku memikirkan dia."
"Baguslah kalau begitu. Hatimu masih hidup. Terus saja dengarkan apa yang ia
harus katakan." Selama tiga hari berikutnya, kedua pengembara itu melewati sekelompok warga suku
bersenjata, dan melihat lainnya di arah cakrawala. Hati si bocah mulai bicara
tentang takut. Hatinya menuturkan kepadanya cerita-cerita yang telah ia dengar
dari Jiwa Buana, kisah-kisah tentang orang-orang yang mencoba menemukan harta
mereka dan tak pernah berhasil. Kadang-kadang ia menggentarkan si bocah dengan
gagasan bahwa dia mungkin tidak menemukan hartanya, atau bahwa dia mungkin mati
di gurun sana. Di lain waktu, ia berkata pada si bocah bahwa ia sudah puas: ia
telah mendapatkan cinta dan kekayaan.
"Hatiku ini pengkhianat," ujar si bocah pada sang alkemis, saat mereka berhenti
sejenak untuk mengistirahatkan kuda. "Ia tidak ingin aku meneruskan perjalanan
ini." "Itu masuk akal," jawab sang alkemis. "Memang menakutkan bahwa, dalam mengejar
impianmu, kau mungkin kehilangan semua yang telah kau dapatkan."
"Kalau begitu, mengapa aku harus mendengarkan hatiku?"
"Karena kau tak akan pernah lagi mampu membungkamnya Bahkan jika kau berpura-
pura untuk tak mendengar apa yang ia katakan padamu, ia akan selalu ada di sana,
di dalam dirimu, terus mengulang padamu apa yang kau pikirkan tentang hidup dan
tentang dunia." "Maksudmu aku harus mendengarkan, bahkan kalaupun ia khianat?"
"Pengkhianatan adalah pukulan yang datang tanpa terduga. Bila kau memahami benar
hatimu, ia tak akan pernah sanggup berbuat begitu terhadapmu. Sebab kau tahu
mimpi-mimpinya dan harapan-harapannya, dan akan tahu cara menghadapi semua itu.
"Kau tak akan pernah mampu melarikan diri dari hatimu. Jadi, lebih baik
dengarkan apa yang ia harus katakan. Dengan begitu, kau tak akan pernah gentar
pada pukulan yang tak terduga."
Si bocah kembali mendengarkan hatinya selama mereka melintasi gurun. Dia kini
memahami muslihat dan kecohannya, dan menerimanya seperti adanya. Dia tidak
merasa takut lagi, dan lupa dengan keinginannya untuk kembali ke oasis, karena,
suatu sore, hatinya berkata bahwa ia bahagia. "Walau kadang aku mengeluh,"
katanya, "itu karena aku adalah hati seorang manusia, dan memang begitulah hati
manusia. Orang takut mengejar impian-impian mereka yang terpenting, sebab mereka
merasa mereka tak berhak memperolehnya, atau bahwa mereka tak akan mampu
meraihnya. Kami, hati mereka, menjadi gentar hanya dengan berpikir tentang
orang-orang tercinta yang akan pergi selamanya, atau tentang saat-saat yang
seharusnya baik tapi ternyata tidak, atau tentang harta-harta yang mungkin
mestinya sudah ditemukan tapi selamanya terkubur dalam tanah. Karena, saat hal-
hal ini terjadi, kami sangat menderita."
"Hatiku takut kalau ia harus menderita," kata si bocah pada sang alkemis suatu
malam saat mereka melihat langit yang tak berbulan.
"Katakan pada hatimu bahwa takut menderita itu lebih buruk daripada menderita
itu sendiri. Dan bahwa tidak ada hati yang pernah menderita saat ia mengejar
mimpi-mimpinya, karena setiap detik dari pencarian itu adalah detik perjumpaan
dengan Tuhan dan dengan keabadian."
"Setiap detik dari pencarian adalah suatu perjumpaan dengan Tuhan," kata si
bocah pada hatinya. "Jika aku sungguh-sungguh mencari hartaku, hari-hari akan
menjadi bercahaya, karena aku tahu bahwa setiap jam adalah bagian dari mimpi
yang akan kuraih. Jika aku sungguh-sungguh mencari hartaku, di sepanjang
jalannya aku juga menemukan hal-hal yang tak pernah kulihat lantaran aku tak
berani mencoba hal-hal yang tampak mustahil dicapai oleh seorang gembala."
Maka diamlah hatinya sepanjang sore. Malam itu, si bocah tidur pulas, dan, saat
dia bangun, hatinya mulai mengatakan padanya hal-hal yang berasal dari Jiwa
Buana. Hatinya berkata bahwa semua orang yang bahagia mempunyai Tuhan di dalam
diri mereka. Dan kebahagiaan itu dapat ditemukan di sebutir pasir gurun, seperti
kata sang alkemis. Karena sebutir pasir adalah suatu momen penciptaan, dan alam
semesta telah menghabiskan waktu jutaan tahun untuk menciptakannya. "Setiap
orang di bumi mempunyai harta yang menantinya," kata hatinya. "Kami, hati
manusia, jarang mengatakan banyak hal tentang harta-harta itu, karena orang-
orang tak lagi ingin pergi mencarinya. Kami berbicara tentangnya hanya kepada
anak-anak. Kemudian, kami biarkan saja kehidupan berjalan, dengan arahnya
sendiri, menuju takdirnya sendiri. Tapi, sayangnya, sangat sedikit yang
mengikuti jalan yang telah dibentangkan untuk mereka --jalan menuju Legenda
Pribadi mereka, dan menuju kebahagiaan. Kebanyakan orang melihat dunia sebagai
tempat yang menakutkan, dan, karena mereka begitu, dunia sungguh-sungguh
berbalik menjadi tempat yang menakutkan.
"Maka, kami, hati mereka, bicara semakin pelan. Kami tak pernah berhenti bicara,
tapi kami mulai berharap agar kata-kata kami tak didengar: kami tak ingin orang
menderita karena mereka tidak mengikuti hati mereka."
"Mengapa hati orang-orang tidak mengatakan pada mereka supaya terus mengikuti
mimpi-mimpi mereka?" tanya si bocah kepada sang alkemis.
"Karena itulah yang paling membuat hati menderita, dan hati tidak suka
menderita." Sejak saat itu, si bocah memahami hatinya. Dia memintanya, mohon agar ia tak
pernah berhenti bicara padanya. Dia meminta supaya, saat dia melanglang jauh
dari mimpi-mimpinya, hatinya menekannya dan membunyikan tanda bahaya. Si bocah
bersumpah bahwa, setiap dia mendengar tanda bahaya itu, dia akan menyimak
pesannya. Malam itu, dia mengungkapkan semua ini pada sang alkemis. Dan sang alkemis paham
bahwa hati si bocah telah kembali ke Jiwa Buana.
"Jadi apa yang harus kulakukan sekarang?" tanya si bocah.
"Melanjutkan perjalanan ke Piramida," kata sang alkemis. "Dan teruslah
perhatikan pertanda. Hatimu masih mampu menunjukkan padamu di mana harta itu
berada." "Apakah hal itu masih perlu kuketahui?"
"Tidak," jawab sang alkemis, "Yang masih perlu kau ketahui adalah: sebelum
sebuah mimpi terwujud, Jiwa Buana menguji semua yang telah dipelajari di
sepanjang perjalanan. Ia melakukan hal ini bukan karena ia jahat, tapi supaya
kita mampu --sebagai tambahan untuk mewujudkan mimpi-mimpi kita-- menguasai
pelajaran-pelajaran yang kita tekuni saat kita bergerak menuju mimpi itu. Itulah
titik saat kebanyakan orang menyerah. Itulah titik
saat, seperti yang kami ucapkan dalam bahasa gurun, orang mati kehausan ketika
pohon-pohon palem sudah terlihat di cakrawala.
"Setiap pencarian dimulai dengan kemujuran pemula. Dan setiap pencarian berakhir
dengan kemenangan yang telah melewati ujian yang berat."
Si bocah teringat pepatah kuno dari negerinya. Pepatah itu menyatakan bahwa masa
tergelap di malam hari adalah saat menjelang fajar.
@kapuKOrner Dihari berikutnya... DI HARI BERIKUTNYA, MUNCUL TANDA PERTAMA YANG JELAS. Tiga warga suku bersenjata
datang mendekat, dan menanyakan apa yang dilakukan si bocah dan sang alkemis di
sana. "Aku sedang berburu dengan elangku," jawab sang alkemis.
"Kami harus menggeledah kalian untuk melihat apa kalian bersenjata," kata salah
satu warga suku itu. Sang alkemis turun pelan-pelan dari kudanya, dan si bocah berbuat serupa.
"Kenapa kamu bawa uang?" tanya warga suku itu, ketika dia menggeledah tas si


Sang Alkemis Karya Paulo Coelho di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bocah. "Aku memerlukannya untuk pergi ke Piramida," katanya.
Warga suku yang menggeledah bawaan sang alkemis menemukan botol kristal kecil
yang dipenuhi cairan, dan telur kaca berwarna kuning yang sedikit lebih besar
dari telur ayam. "Benda-benda apa ini?" tanyanya.
"Itu Batu Filsuf dan Obat Hidup. Itu adalah Karya Agung para alkemis. Siapa saja
yang menelan obat itu tak akan pernah sakit lagi, dan sepotong pecahan dari batu
itu bisa mengubah segala macam logam menjadi emas."
Orang-orang Arab itu menertawai dia, dan sang alkemis juga ikut tertawa. Mereka
anggap jawaban itu lucu, dan membiarkan si bocah dan sang alkemis melanjutkan
perjalanan dengan semua bawaan mereka.
"Apa engkau sudah gila?" tanya si bocah pada sang alkemis, saat mereka kembali
berjalan. "Buat apa berbuat begitu?"
"Untuk menunjukkan padamu satu pelajaran sederhana dalam hidup," jawab sang
alkemis. "Bila kau memiliki harta yang sangat benilai di dalam dirimu, dan
mencoba untuk memberitahu orang lain tentang hal itu, jarang ada yang percaya."
Mereka meneruskan perjalanan melintasi gurun. Seiring berlalunya hari-hari, hati
si bocah menjadi semakin tenang. Ia tak lagi ingin tahu tentang hal-hal silam
atau mendatang; ia puas dengan sekadar merenungi gurun, dan dengan minum bersama
si bocah dari Jiwa Buana. Si bocah dan hatinya menjadi teman, dan kini yang satu
tidak dapat lagi mengkhianati yang lain.
Saat hatinya bicara padanya, ia memberi dorongan pada si bocah, dan memberinya
kekuatan, karena hari-hari sepi di gurun sana sungguh meresahkan. Hatinya
memberitahu si bocah kekuatan dirinya yang terbesar: keberaniannya melepaskan
domba-dombanya dan mencoba hidup sampai meraih Legenda Pribadinya, dan gairahnya
selama dia bekerja di toko kristal itu.
Dan hatinya memberitahu dia hal lain yang tidak pernah diperhatikan si bocah: ia
mengatakan pada si bocah bahaya-bahaya yang mengancamnya, tapi tak pernah dia
sadari. Hatinya mengatakan bahwa ia pernah menyembunyikan senapan yang telah
diambil si bocah dari ayahnya, karena ada kemungkinan si bocah melukai dirinya
sendiri. Dan hatinya mengingatkan si bocah saat dia sakit dan muntah-muntah di
ladang, setelah itu dia tertidur lelap. Ada dua perampok di jalan di depannya
yang berencana merampas domba-domba si bocah dan membunuhnya. Tapi, karena si
bocah tidak lewat, mereka memutuskan untuk meneruskan perjalanan, mengira bahwa
dia berbelok ke jalan lain.
"Apakah hati seseorang selalu membantunya?" tanya si bocah pada sang alkemis.
"Umumnya hanya hati orang-orang yang berupaya mewujudkan Legenda Pribadi mereka.
Tapi mereka juga membantu anak-anak, para pemabuk, dan juga orang-orang tua."
"Apakah itu berarti aku tak akan pernah terancam bahaya?"
"Itu artinya hati melakukan apa yang ia bisa," kata sang alkemis.
Suatu sore, mereka melewati perkemahan salah satu suku. Di setiap pojok kemah
tampak orang-orang Arab berjubah putih yang indah, dengan senjata siap di
tangan. Orang-orang itu mengisap hookah dan bertukar cerita-cerita dari medan
tempur. Tak ada yang menaruh perhatian pada kedua pengembara itu.
"Tidak ada bahaya," kata si bocah, saat mereka telah melewati perkemahan tadi.
Sang alkemis terdengar marah: "Percayalah pada hatimu, tapi jangan pernah lupa
bahwa kamu berada di gurun. Saat manusia-manusia saling memerangi, Jiwa Buana
dapat mendengar jaritan-jeritan perangnya. "Tiada seorang pun yang luput dari
akibat-akibat segala sesuatu di bumi ini."
Semuanya satu belaka, pikir si bocah. Dan kemudian, seolah gurun ingin
menunjukkan bahwa sang alkemis benar, dua orang berkuda muncul dari belakang
pengembara-pengembara itu.
"Kalian tidak bisa pergi lebih jauh," kata salah satu dari mereka. "Kalian
berada di wilayah tempat suku-suku sedang berperang."
"Aku tidak akan pergi terlalu jauh," jawab sang alkemis, menatap lurus ke dalam
mata penunggang kuda itu. Mereka terdiam sesaat, dan kemudian membiarkan si
bocah dan sang alkemis terus berjalan.
Si bocah mengamati perubahan tersebut dengan perasaan kagum. "Engkau mendominasi
penunggang-penunggang kuda itu dengan caramu menatap mereka," katanya.
"Mata manusia menunjukkan kekuatan jiwanya," jawab sang alkemis.
Betul, pikir si bocah. Dia sudah perhatikan bahwa, ditengah-tengah banyaknya
orang bersenjata di perkemahan tadi, ada satu yang menatap mereka berdua. Ia
berada terlalu jauh sehingga wajahnya bahkan tak terlihat. Tapi si bocah yakin
bahwa orang itu melihat mereka.
Akhirnya, saat mereka melintasi jajaran garun yang merentang sepanjang
cakrawala, sang alkemis berkata bahwa mereka tinggal dua hari perjalanan dari
Piramida. "Bila kita akan segera pergi ke arah kita masing-masing," kata si bocah, "maka
ajarilah aku tentang alkemi."
"Kamu sudah tahu tentang alkemi. Itu tentang penembusan Jiwa Buana, dan penemuan
harta yang telah tersedia untukmu."
"Bukan, bukan itu maksudku. Yang kumaksud adalah soal mengubah timah menjadi
emas." Sang alkemis terdiam sebisu gurun, dan menjawab si bocah baru setelah mereka
berhenti untuk makan. "Semua yang ada di alam semesta ini tumbuh," katanya. "Dan, bagi orang-orang
bijak, emas adalah logam yang paling lama tumbuhnya. Jangan tanya padaku
mengapa; aku tidak tahu. Aku hanya tahu bahwa Tradisi selalu benar.
"Manusia tidak pernah memahami kata-kata orang bijak. Maka emas, bukan dilihat
sebagai simbol evolusi, malah menjadi dasar pertentangan."
"Ada banyak bahasa yang diucapkan oleh benda-benda," kata si bocah. "Pada suatu
waktu, bagiku, lenguh seekor onta tidak berarti apa-apa selain lenguhan semata.
Kemudian ia menjadi tanda bahaya. Dan, akhirnya, ia kembali menjadi sekadar
lenguhan." Tapi kemudian dia berhenti. Sang alkemis mungkin sudah paham semua itu.
"Aku mengenal alkemis-alkemis sejati," lanjut sang alkemis. "Mereka mengunci
diri di laboratorium, dan berusaha untuk tumbuh, seperti emas. Dan mereka
menemukan Batu Filsuf, karena mereka mengerti bahwa saat sesuatu tumbuh, segala
yang ada di sekitar benda itu juga tumbuh.
"Yang lainnya menemukan batu itu tanpa sengaja. Mereka sudah punya bakat, dan
jiwa mereka lebih siap untuk hal-hal seperti itu daripada jiwa orang-orang lain.
Tapi mereka tidak berarti. Mereka sangat jarang.
"Dan kemudian ada yang lain-lain, yang hanya tertarik pada emas. Mereka tidak
pernah menemukan rahasianya. Mereka lupa bahwa timah, tembaga, dan besi
mempunyai Legenda Pribadi sendiri untuk dipenuhi. Dan setiap orang yang
mencampuri Legenda Pribadi hal lain tak akan pernah menemukan miliknya sendiri."
Kata-kata sang alkemis terdengar bagai kutukan. Dia menjangkau dan mengambil
sebuah kulit kerang dari tanah.
"Gurun ini dulunya laut,"katanya.
"Aku tahu," jawab si bocah.
Sang alkemis menyuruh si bocah meletakkan kulit kerang itu di telinganya. Dia
telah sering melakukan hal itu sejak masih kecil, dan mendengar suara laut.
"Laut telah hidup di dalam kulit kerang ini, karena itulah Legenda Pribadinya.
Dan ia tak akan pernah berhenti rnelakukannya sampai gurun sekali lagi tertutup
oleh air." Mereka menaiki kuda masing-masing, dan menapak jalan menuju Piramida Mesir.
@kapuKOrner Matahari tengah tenggelam saat...
MATAHARI TENGAH TENGGELAM SAAT HATI SI BOCAH memperdengarkan tanda bahaya.
Mereka dikelilingi oleh bukit-bukit pasir raksasa, dan si bocah menoleh pada
sang alkemis untuk mencari tahu apakah dia merasakan sesuatu. Tapi dia tampak
tak tanggap terhadap bahaya. Lima menit kemudian, si bocah melihat dua orang
penunggang kuda menunggu di depan mereka. Sebelum dia dapat berkata apa-apa pada
sang alkemis, dua penunggang kuda itu menjadi sepuluh, lalu seratus. Dan
kemudian mereka ada di seantero bukit-bukit pasir itu.
Mereka adalah warga-warga suku yang berpakaian biru, dengan cincin hitam
melengkapi sorban-sorban mereka. Wajah-wajah mereka tersembunyi di balik
kerudung biru, dan hanya mata mereka yang terlihat.
Dari jauh pun mata mereka memancarkan kekuatan jiwa mereka. Dan mata mereka
bicara tentang kematian. @kapuKOrner Keduanya dibawa ke kemah militer...
KEDUANYA DIBAWA KE KEMAH MILITER DI DEKAT SITU. SEORANG serdadu mendorong si
bocah dan sang alkemis ke dalam tenda tempat pak ketua mengadakan rapat dengan
para pembantunya. "Mereka ini mata-mata," kata salah seorang.
"Kami hanya pengembara," jawab sang alkemis.
"Kalian terlihat di perkemahan musuh tiga hari yang lalu. Dan kalian berbicara
dengan seorang serdadu di sana".
"Aku hanya orang yang berkelana di gurun dan tahu tentang bintang-bintang, "kata
sang alkemis. "Aku tidak punya keterangan apapun tantang serdadu atau tentang
gerakan suku-suku. Aku hanya menjadi pemandu bagi kawanku ini."
"Siapa kawanmu itu?"tanya ketua.
"Seorang alkemis," kata sang alkemis. "Dia memahami kekuatan-kekuatan alam. Dan
dia ingin menunjukkan padamu kekuatannya yang luar biasa."
Si bocah mendengarkan dalam diam. Dan dengan takut.
"Apa yang dilakukan orang asing di sini?" tanya seorang yang lain.
"Dia membawa uang untuk diberikan pada sukumu," kata sang alkemis, sebelum si
bocah dapat berkata apa-apa. Dan setelah mengambil tas si bocah, sang alkemis
memberikan keping-keping emas kepada ketua.
Orang Arab itu menerimanya tanpa berkata-kata. Nilainya cukup untuk membeli
banyak senjata. "Apa itu alkemis?" dia bertanya, akhirnya.
"Seorang yang memahami alam dan dunia. Bila dia mau, dia dapat memusnahkan
perkemahan ini hanya dengan kekuatan bayu."
Orang-orang itu tertawa. Mereka terbiasa dengan kerusakan-kerusakan akibat
perang, dan tahu bahwa angin tidak dapat menimbulkan hantaman yang mematikan.
Toh tiap orang merasa hatinya berdetak lebih kencang. Mereka adalah orang-orang
gurun, dan mereka takut pada penyihir.
"Aku mau lihat dia melakukannya," kata ketua.
"Dia perlu tiga hari" jawab sang alkemis. "Dia akan mengubah dirinya menjadi
angin, hanya untuk memperlihatkan kekuatannya. Bila dia tidak dapat
melakukannya, kami dengan rendah hati menawarkan jiwa kami, demi kehormatan
sukumu." "Kamu tidak bisa menawarkan apa yang sudah menjadi milikku," kata pak ketua,
dengan sombongnya. Tapi dia memberi waktu tiga hari pada kedua pengembara itu.
Si bocah gemetar ketakutan, tapi sang alkemis membantunya keluar dari tenda.
"Jangan biarkan mereka tahu kamu takut," kata sang alkemis. "Mereka adalah
orang-orang yang berani, dan mereka memandang rendah pada pengecut."
Tapi si bocah tetap tak sanggup bersuara. Dia baru bisa bicara setelah mereka
berjalan melewati pusat perkemahan itu. Tidak dirasa perlu memenjarakan mereka:
orang-orang Arab itu cukup menyita kuda-kuda mereka. Maka, sekali lagi, dunia
telah menunjukkan banyaknya bahasanya: beberapa saat lalu gurun adalah tempat
yang bebas dan tak tak bertepi, dan kini ia tembok yang tak tertembus.
"Kau serahkan semua milikku! "kata si bocah. "Semua yang kutabung seumur
hidupku!" "Ya, apa gunanya semua itu bagimu kalau kau harus mati?" jawab sang alkemis.
"Uangmu menyelamatkan kita selama tiga hari. Jarang uang menyelamatkan hidup
orang." Tapi si bocah terlalu takut untuk mendengarkan kata-kata bijak. Dia tidak tahu
bagaimana cara mangubah dirinya menjadi angin. Dia bukan alkemis!
Sang alkemis minta teh pada seorang serdadu, dan menuangkannya ke pergelangan
tangan si bocah. Perasaan lega menyelimutinya, dan sang alkemis berkomat kamit
dalam bahasa yang tidak dipahami si bocah.
"Jangan kalah pada rasa takutmu," kata sang alkemis, dengan suara lembut yang
aneh. "Bila kau kalah, kau tak akan mampu bicara pada hatimu."
"Tapi aku tidak tahu bagaimana cara mengubah diriku menjadi angin."
"Bila seseorang menjalani Legenda Pribadinya, dia tahu semua yang perlu dia
ketahui. Hanya ada satu hal yang membuat mimpi tak mungkin diraih: perasaan
takut gagal." "Aku tidak takut gagal. Hanya aku tidak tahu bagaimana caranya mengubah diri
menjadi angin." "Kalau begitu, kamu harus belajar; hidupmu tergantung pada itu."
"Tapi bagaimana kalau aku tidak bisa?"
"Maka kau akan mati di tengah-tengah perjuangan mewujudkan Legenda Pribadimu.
Itu masih jauh lebih baik
daripada mati seperti berjuta-juta orang lainnya, yang bahkan tidak tahu apakah
Legenda Pribadi mereka. "Tapi jangan khawatir," sambung sang alkemis. "Biasanya ancaman kematian membuat
orang jauh lebih menyadari jiwa mereka."
@kapuKOrner Hari pertama berlalu,... HARI PERTAMA BERLALU, ADA PERTEMPURAN BESAR DI DEKAT perkemahan itu, dan
sejumlah orang yang terluka dibawa kembali ke sana. Para prajurit yang mati
digantikan oleh yang lain, dan kehidupan jalan terus. Kematian tidak mengubah
apa-apa, pikir si bocah. "Kau pasti mati nanti," kata seorang prajurit pada jenazah temannya. "Kau bisa
saja mati setelah perdamaian dimaklumatkan. Tapi, bagaimanapun, kau akan mati
juga akhirnya." Di ujung hari itu, si bocah pergi mencari sang alkemis, yang membawa elangnya ke
gurun di luar. "Aku masih belum tahu bagaimana caranya mengubah diriku menjadi angin,"si bocah
mengulangi. "Ingat apa yang sudah kukatakan: dunia hanyalah aspek Tuhan yang terlihat. Dan
bahwa yang dilakukan alkemis adalah membawakan kesempurnaan spiritual ke dalam
hubungan dengan bidang material."
"Apa yang sedang engkau lakukan?"
"Memberi makan elangku."
"Kalau aku tidak dapat mengubah diriku menjadi angin, kita akan mati," kata si
bocah. "Buat apa elangmu itu diberi makan?"
"Kamulah yang mungkin mati," kata sang alkemis. "Aku sudah tahu bagaimana cara
mengubah diriku menjadi angin."
@kapuKOrner Pada hari kedua si bocah...
PADA HARI KEDUA SI BOCAH MEMANJAT TEBING DI DEKAT perkemahan. Para penjaga
mengizinkan dia pergi; mereka telah mendengar tentang penyihir yang dapat
mengubah dirinya rnenjadi angin, dan mereka tidak ingin berada di dekatnya Toh
gurun tidak mungkin dia sebrangi.
Dia menghabiskan sepanjang sore di hari kedua itu memandangi gurun, dan
mendengarkan harinya. Si bocah tahu gurun merasakan ketakutannya.
Mereka berdua berbicara dengan bahasa yang sama.
@kapuKOrner Pada hari ketiga... PADA HARI KETIGA, KETUA BERAPAT DENGAN PARA perwiranya. Dia memanggil sang
alkemis ke rapat itu dan berkata, "Mari kita lihat bocah yang bisa mengubah
dirinya menjadi angin itu"
"Mari," jawab sang alkemis.
Si bocah membawa mereka ke tebing tempat dia berada kemarin. Dia menyuruh mereka
semua untuk duduk. "Akan makan waktu sebentar," kata si bocah.
"Kami tidak buru-buru," jawab ketua. "Kami ini orang gurun."
Si bocah melihat ke cakrawala. Tampak banyak gunung di kejauhan. Ada bukit-bukit
pasir, batu-batu karang, dan tanaman-tanaman yang bergigih untuk hidup di tempat
yang tampak mustahil. Ada gurun tempat dia berkelana selama berbulan-bulan;
meski sepanjang waktu itu dia hanya mengetahui sebagian kecilnya saja. Dalam
bagian kecil itu, dia telah menemukan orang Inggris, kafilah-kafilah, perang
antarsuku, dan oasis dengan limapuluh ribu pohon palem dan tigaratus sumur.
"Apa yang kau inginkan di sini hari ini?"gurun bertanya padanya. "Bukankah
kemarin kau sudah menghabiskan waktu memandangiku?"
"Di sebuah tempat kau menyimpan orang yang kucinta," kata si bocah. "Maka, saat
aku memandangi pasirmu, aku juga sedang menatap dia. Kuingin kembali padanya dan
aku perlu bantuanmu agar aku dapat mengubah diriku menjadi angin."
"Apakah cinta itu?" tanya gurun.
"Cinta adalah terbangnya elang di atas pasirmu. Sebab baginya, kau adalah ladang
hijau, tempat dia selalu kembali dari perburuannya. Dia kenal karang-karangmu,
bukit-bukit pasirmu, dan gunung-gunungmu, dan kau murah hati terhadapnya."
"Paruh burung itu membawa sedikit demi sedikit dariku, diriku," kata gurun.
"Bertahun-tahun, kupelihara mainannya, kuhidupi dengan sedikit air yang kupunya,
dan kemudian kutunjukkan pada elang di mana mainannya itu. Dan, suatu hari,


Sang Alkemis Karya Paulo Coelho di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

ketika aku menikmati kenyataan bahwa mainannya itu hidup di permukaanku, sang
elang menukik dari langit, dan mengambil apa yang telah kuciptakan."
"Tapi itulah sebabnya kau ciptakan buruan itu pertama kali," jawab si bocah.
"Untuk menghidupi elang. Dan elang kemudian menghidupi manusia. Dan, akhirnya,
manusia akan menghidupi pasirmu, tempat buruan itu tumbuh sekali lagi. Begitulah
jalannya dunia." "Jadi itukah cinta?"
"Ya, itulah cinta. Itulah yang membuat buruan menjadi elang, elang menjadi
manusia, dan manusia, pada waktunya, menjadi gurun. Itulah yang mengubah timah
menjadi emas, dan membuat emas kembali ke bumi."
"Aku tidak mengerti apa yang kau katakan," kata gurun.
"Tapi setidaknya kau mengerti bahwa di suatu tempat di pasirmu ada seorang
perempuan yang sedang menungguku. Itulah sebabnya aku harus mengubah diriku
menjadi angin." Gurun tidak menjawab untuk beberapa saat.
Kemudian ia berkata kepada si bocah, "Akan kuberikan pasirku untuk membantu
angin bertiup, tapi, aku tidak mampu berbuat apapun sendirian. Kau harus minta
bantuan angin." Angin sepoi mulai bertiup. Para warga suku itu memandang si bocah dari kejauhan,
berbicara di antara mereka dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh si bocah.
Sang alkemis tersenyum. Angin mendekati si bocah dan menyentuh wajahnya.
Dia tahu percakapan si bocah dengan gurun, karena angin
tahu segalanya. Mereka bertiup melintasi dunia tanpa tempat lahir, dan tanpa
tempat mati. "Tolonglah aku," kata si bocah. "Suatu hari kau pernah mengantarkan suara orang
yang kucintai kepadaku."
"Siapa yang mengajarimu bicara bahasa gurun dan angin?"
"Hatiku," jawab si bocah.
Angin punya banyak nama. Di bagian dunia itu, ia dinamakan sirocco, karena angin
membawa uap lembab dari samudera ke timur. Di negeri jauh tempat asal si bocah,
mereka memanggilnya levanter, karena mereka percaya ia membawakan pasir gurun,
dan pekik-pekik perang bangsa Moor. Mungkin, di tempat-tempat di luar padang
rumput di mana domba-dombanya hidup, orang mengira bahwa angin datang dari
Andalusia. Tapi, sebenarnya, angin tidak datang dari manapun, atau pergi ke
manapun; itulah mengapa angin lebih kuat dari gurun. Suatu hari orang mungkin
menanam pohon-pohon di gurun, dan bahkan beternak domba di sana, tapi mereka tak
akan pernah bisa mengekang angin.
"Kau tak dapat menjadi angin," kata angin. "Kita adalah
dua hal yang sangat berbeda."
"Itu tidak benar," kata si bocah. "Aku mempelajari rahasia-rahasia para alkemis
dalam perjalananku. Di dalam diriku ada angin, gurun, lautan, bintang-bintang
dan semua ciptaan di bumi ini. Kita semua terbuat dari tangan yang sama, dan
kita punya jiwa yang sama. Aku ingin menjadi sepertimu, mampu mencapai setiap
pojok dunia, menyeberangi lautan, meniup pasir yang menutupi hartaku, dan
membawa suara perempuan yang kucintai."
"Aku mendengar apa yang kau bicarakan dengan sang alkemis kemarin," kata angin.
"Dia berkata bahwa semua benda mempunyai Legenda Pribadinya. Tapi manusia tidak
dapat mengubah diri mereka menjadi angin."
"Tolonglah ajari aku menjadi angin sebentar saja," kata si bocah. "Agar kau dan
aku dapat berbicara tentang kemungkinan-kemungkinan ketakterbatasan manusia dan
angin." Rasa ingin tahu angin muncul, sesuatu yang tidak pernah terjadi sebelurnnya. Dia
ingin bicara tentang hal-hal itu, tapi tidak tahu bagaimana mengubah manusia
menjadi angin. Dan lihatlah betapa banyaknya yang sudah diketahui angin cara
melakukannya! Dia sudah menciptakan gurun, mengaramkan kapal-kapal, memusnahkan
seluruh hutan, dan berhembus melalui kota-kota yang penuh musik dan suara-suara
aneh. Ia merasa tidak terbatas, tapi di tempat ini ada seorang bocah yang
berkata bahwa ada hal-hal lain yang mestinya bisa dilakukan oleh angin.
"Inilah yang kita sebut cinta," kata si bocah, merasa bahwa angin bakal
mengabulkan permintaannya. "Bila kau dicintai, kau dapat melakukan apapun untuk
berkreasi. Bila kau dicintai, sama sekali tak perlu memahami apa yang sedang
terjadi. karena semuanya terjadi di dalam dirimu, dan manusia bahkan dapat
mengubah diri mereka menjadi angin. Sepanjang angin membantu, tentu saja."
Angin adalah mahluk yang pongah, dan merasa terganggu dengan apa yang dikatakan
si bocah. Ia mulai bertiup makin kencang, membuat pasir-pasir terbang. Tapi
akhirnya ia harus mengakui bahwa, walau ia sanggup berjalan mengitari dunia, ia
tidak tahu bagaimana mengubah seorang manusia menjadi angin. Dan ia tak tahu
apa-apa tentang cinta. "Dalam perjalanan-perjalananku mengelilingi dunia, aku sering melihat orang-
orang bicara tentang cinta dan mendambakan surga," kata angin, kesal karena
menyadari keterbatasan dirinya. "Mungkin lebih baik bertanya pada surga."
"Kalau begitu, bantu aku melakukannya," kata si bocah. "Penuhi tempat ini dengan
badai pasir yang dahsyat sampai matahari tertutup. Hingga aku dapat melihat
surga tanpa membutakan diri."
Maka angin pun bertiup dengan segenap kekuatannya, dan langit dipenuhi pasir.
Matahari berubah menjadi cakram emas.
Di perkemahan, sulit untuk melihat apapun. Orang-orang gurun sudah terbiasa
dengan angin itu. Mereka menamakannya simum, dan ia lebih buruk dari badai laut.
Kuda-kuda mereka meringkik-ringkik, dan semua senjata mereka terisi pasir.
Di ketinggian, salah seorang komandan berpaling pada ketua dan berkata, "Mungkin
lebih baik ini kita akhiri!"
Mereka hampir tidak dapat melihat si bocah. Wajah mereka tertutup kain biru, dan
mata mereka menunjukkan ketakutan.
"Ayo kita hentikan ini," kata komandan lainnya.
"Aku ingin melihat kebesaran Allah," kata ketua, dengan khidmat. "Aku ingin
lihat bagaimana seorang manusia mengubah diri menjadi angin."
Tapi dia telah mencatat dalam hati nama-nama dua orang yang menampakkan
ketakutan mereka. Segera setelah angin berhenti, dia akan memecat mereka, karena
lelaki gurun sejati tidak takut pada apapun.
"Angin berkata padaku bahwa kau tahu tentang cinta," kata si bocah pada
matahari. "Jika kau tahu tentang cinta, kau juga tentu tahu tentang Jiwa Buana,
karena ia terbuat dari cinta."
"Dari tempatku berada," kata matahari, "aku dapat melihat Jiwa Buana. Ia
berkomunikasi dengan jiwaku, dan bersama-sama kami menyebabkan tanaman tumbuh
dan domba-domiba mencari tempat berteduh. Dari tempatku berada --dan aku sungguh
jauh dari bumi-- aku belajar bagaimana mencintai. Aku tahu bahwa bila aku
sedikit saja mendekati bumi, semuanya akan mati, dan Jiwa Buana tidak akan ada
lagi Jadi kami saling menghayati, dan kami saling membutuhkan, dan kuberi ia
kehidupan dan kehangatan, dan ia beri aku alasan untuk hidup."
"Jadi kau tahu tentang cinta," kata si bocah.
"Dan aku tahu tentang Jiwa Buana, karena kami berbincang lama sekali selama
perjalanan tanpa henti melalui alam semesta ini. Ia memberitahuku bahwa masalah
terbesar adalah, sampai sekarang, hanya mineral dan sayuran yang memahami bahwa
segalanya satu belaka. Bahwa tak perlu lagi bagi besi untuk menjadi sama dengan
tembaga, atau tembaga sama dengan emas. Masing-masing menjalankan fungsi
pokoknya sendiri-sendiri sebagai suatu mahluk yang unik, dan semuanya akan
menjadi simfoni kedamaian bila tangan yang menulis semua ini berhenti pada hari
kelima penciptaan. "Tapi ada hari keenam,"lanjut matahari.
"Kau ini jadi bijak, karena kau mengamati semuanya dari kejauhan," kata si
bocah. "Tapi kau tak tahu tentang cinta. Bila tidak ada hari keenam, manusia tak
akan ada; tembaga akan selalu cuma jadi tembaga, dan timah hanya jadi timah
belaka. Benar bahwa semua punya Legenda Pribadi masing-masing, tapi suatu hari
Legenda Pribadi itu akan terwuiud. Jadi tiap-tiap benda harus berubah untuk
menjadi sesuatu yang lebih baik, dan untuk mencapai Legenda Pribadi yang baru,
sampai, suatu ketika, Jiwa Buana rnenjadi hanya satu."
Matahari memikirkan tentang hal itu, dan memutuskan untuk bersinar lebih terang.
Angin, yang menikmati percakapan itu, mulai bertiup dengan daya yang lebih
besar, sehingga matahari tidak membutakan si bocah.
"Itulah sebabnya mengapa alkemi ada," kata si bocah. "Supaya setiap orang
mencari hartanya, menemukannya, dan kemudian ingin menjadi lebih baik dari
kehidupan sebelumnya. Timah akan memainkan perannya sampai dunia tak memerlukan
timah lagi; dan kemudian timah akan harus berubah menjadi emas.
"Itulah yang dikerjakan para alkemis. Mereka memperlihatkan bahwa, jika kita
berusaha menjadi lebih baik daripada diri kita sekarang, semua yang ada di
sekeliling kita pun rnenjadi lebih baik."
"Baiklah, mengapa kau mengatakan aku tidak tahu tentang cinta?" tanya matahari
pada si bocah. "Karena bukanlah cinta namanya bila statis seperti gurun, bukan pula cinta
namanya bila menjelajah bumi seperti angin. Dan bukan cinta namanya bila melihat
semuanya dari kejauhan, seperti yang kau lakukan. Cinta adalah daya yang
mengubah dan meningkatkan Jiwa Buana. Saat pertama kali aku menjangkaunya,
kupikir Jiwa Buana itu sempurna. Tapi kemudian, dapat kulihat bahwa Jiwa Buana
sama seperti aspek-aspek ciptaan lainnya, dan memiliki hasrat-hasrat dan perang-
perangnya sendiri. Kitalah yang merawat Jiwa Buana itu, dan apakah bumi yang
kita tinggali ini akan menjadi lebih baik atau lebih buruk, tergantung pada
apakah kita menjadi lebih baik atau lebih buruk Dan di situlah daya cinta masuk.
Karena ketika kita mencinta, kita selalu berjuang untuk menjadi lebih baik
daripada diri kita sekarang."
"Jadi apa yang kau inginkan dariku?" tanya matahari.
"Aku ingin kau membantuku berubah menjadi angin," jawab si bocah.
"Alam tahu aku adalah mahluk terbijak," kata matahari. "Tapi aku tidak tahu
bagaimana mengubahmu menjadi angin."
"Lalu, aku harus bertanya pada siapa?"
Matahari berpikir sejenak. Angin mendengarkan dengan seksama, dan ingin
mengatakan pada setiap penjuru dunia bahwa kearifan matahari itu terbatas. Bahwa
matahari tidak dapat menghadapi bocah ini, yang bisa berbicara Bahasa Buana.
"Bicaralah pada tangan yang menuliskan semuanya," kata matahari.
Angin berteriak kegirangan, dan bertiup lebih kencang dari sebelumnya. Tenda-
tenda terhempas ke tanah dari pancangnya, dan hewan-hewan terbebas dari
tambatannya. Di tebing, orang-orang saling berpegangan saat mereka berusaha
bertahan agar tak tergeming.
Si bocah berpaling pada tangan yang menulis semuanya. Saat dia melakukan hal
itu, dia merasakan alam semesta terdiam, dan dia memutuskan untuk tidak bicara.
Arus cinta mengalir dari hatinya, dan si bocah mulai berdoa. Sebuah doa yang tak
pernah ia panjatkan sebelumnya, karena itu adalah doa tanpa pinta atau kata-
kata. Doanya tidak bersyukur karena domba-dombanya menemukan padang rumput yang
baru; tidak meminta agar si bocah dapat menjual lebih banyak kristal; dan tidak
memohon supaya perempuan yang telah dia jumpai terus menunggunya puIang. Dalam
kesenyapan, si bocah memahami bahwa gurun, angin, dan matahari juga mencoba
untuk memahami tanda-tanda yang ditulis oleh tangan itu, dan ingin mengikuti jalan-
jalan mereka, dan mencoba memahami apa yang telah ditulis di satu zamrud. Dia
melihat bahwa pertanda-pertanda tersebar ke seluruh bumi dan langit, dan bahwa
tidak ada alasan atau makna yang melekat pada kehadiran mereka; dia dapat
melihat bahwa baik gurun, atau angin, atau matahari, ataupun manusia, tidak tahu
mengapa mereka diciptakan. Tapi bahwa tangan itu mempunyai alasan untuk semua
ini, dan bahwa hanya tangan itu yang dapat melakukan keajaiban-keajaiban, atau
mengubah laut menjadi gurun...., atau manusia menjadi angin. Karena hanya tangan
itulah yang mengerti bahwa ia adalah desain yang lebih besar yang telah mengubah
alam semesta ke titik saat enam hari penciptaan berkembang menjadi sebuah Karya
Agung. Si bocah menjangkau ke Jiwa Buana, dan melihatnya sebagai bagian dari Jiwa
Tuhan. Dan dia melihat bahwa Jiwa Tuhan adalah jiwanya sendiri. Dan bahwa dia,
seorang bocah lelaki, dapat melakukan keajaiban-keajaiban.
@kapuKOrner Hari itu Simum bertiup...
HARI ITU SIMUM BERTIUP SEAKAN IA TAK PERNAH berhembus sebelumnya. Selama
beberapa generasi mendatang, orang-orang Arab akan menceritakan legenda tentang
seorang bocah yang dapat mengubah dirinya menjadi angin, nyaris menghancurkan
sebuah kemah militer, memenuhi tantangan ketua yang paling berkuasa di seantero
gurun. Saat simum berhenti melanda, semua orang melihat ke tempat si bocah tadi berada.
Tapi dia sudah tidak ada di sana; dia berdiri di sebelah penjaga yang tertutup
pasir, di sisi yang jauh dari perkemahan itu.
Orang-orang itu ketakutan dengan ilmu sihirnya. Tapi ada dua orang yang
tersenyum: sang alkemis, karena dia telah menemukan murid yang sempurna, dan pak
ketua, karena murid itu telah memahami keagunganNya.
Di hari berikutnya, jenderal itu mengucapkan selamat tinggal pada si bocah dan
sang alkemis, dan menyediakan sekelompok pengawal untuk menemani mereka sejauh
yang mereka ingini. @kapuKOrner Mereka berkuda sepanjang hari...
MEREKA BERKUDA SEPANJANG HARI MENJELANG SORE, MEREKA sampai di sebuah biara
Koptik. Sang alkemis turun dari kuda, dan menyuruh pangawal-pengawal itu kembali
ke perkemahan mereka. "Dari sini, kamu akan sendirian," kata sang alkemis. "Kamu hanya tiga jam
jauhnya dari Piramida."
"Terima kasih," kata si bocah. "Engkau telah mengajariku Bahasa Buana."
"Aku hanya membantu apa yang sudah kau tahu."
Sang alkemis mengetuk gerbang biara. Seorang biarawan berpakaian hitam
mendatangi gerbang itu. Mereka berbicara beberapa menit dengan logat Koptik, dan
sang alkemis menyilakan si bocah masuk.
"Aku minta padanya supaya kita dapat menggunakan sebentar dapurnya," sang
alkemis berkata. Mereka menuju dapur di belakang biara. Sang alkemis menyalakan api, dan biarawan
membawakan timah, yang diletakkan sang alkemis di atas panci besi. Ketika timah
itu mencair, sang alkemis mengeluarkan telur berwarna kuning yang aneh dari
kantongnya. Dia mengiris telur itu dalam irisan setipis rambut, membungkusnya
dengan lilin, dan memasukkan ke dalam panci tempat timah itu sudah mencair.
Campuran itu berubah menjadi kemerahan, hampir seperti warna darah. Sang alkemis
memindahkan panci dari api, dan mendinginkannya. Sewaktu dia mengerjakan itu,
dia berbicara dengan biarawan tentang perang antarsuku.
"Kurasa perang itu akan lama berakhirnya," katanya pada biarawan.
Biarawan itu risau. Kafilah-kafilah telah berhenti cukup lama di Giza, menunggu
perang itu berakhir. "Tapi kehendak Tuhan telah berlaku," kata biarawan itu.
"Tepat sekali," jawab sang alkemis.
Saat panci mendingin, biarawan dan si bocah melihatnya. Mereka terpesona. Timah
tadi mengering menjadi bentuk panci itu, tapi ia bukan timah lagi. Ia menjadi
emas. "Bisakah aku melakukannya kelak?" tanya si bocah.
"Ini adalah Legenda Pribadiku, bukan milikmu," jawab sang alkemis. "Tapi aku
ingin memperlihatkan padamu bahwa itu mungkin terjadi.
"Mereka kembali ke gerbang biara. Di sana, sang alkemis membagi piringan itu
menjadi empat bagian. "Ini untukmu," katanya, rnemberikan satu bagian kepada biarawan itu. "Untuk
kemurahan hatimu kepada para peziarah."
"Tapi bayaran ini terlalu besar untuk kemurahanku," ucap sang biarawan.
"Jangan lagi itu diucapkan. Kehidupan mungkin sedang mendengarkan, dan memberimu
lebih sedikit di lain kesempatan."
Sang alkemis berpaling pada si bocah. "Ini untukmu. Untuk mengganti apa yang
telah kau berikan pada jenderal itu."
Si bocah ingin berkata bahwa itu lebih dari yang dia berikan pada sang jenderal.
Tapi dia diam saja, karena dia telah mendengar apa yang diucapkan sang alkemis
pada biarawan tadi. "Dan ini untukku," kata sang alkemis, menyimpan satu bagian. "Karena aku harus
kembali ke gurun, di mana ada perang suku."
Dia mengambil bagian keempat dan menyerahkannya pada biarawan itu.
"Ini untuk anak ini. Kalan-kalau dia memerlukannya."
"Tapi aku akan mencari hartaku," kata si bocah. "Aku sekarang sudah sangat dekat dengannya."
"Dan aku yakin kau akan menemukannya," kata sang alkemis.
"Lalu, ini buat apa?"
"Karena kau sudah kehilangan tabunganmu dua kali. Sekali oleh pencuri, dan
sekali oleh jenderal itu. Aku ini orang tua Arab yang tahayulan, dan aku percaya
pada pepatah-pepatah kami. Ada orang yang bilang, 'Semua yang terjadi satu kali
tidak akan terjadi lagi. Tapi semua yang terjadi dua kali pasti akan terjadi
untuk ketiga kali." Mereka menaiki kuda-kuda mereka.
@kapuKOrner

Sang Alkemis Karya Paulo Coelho di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Aku ingin memberitahumu...
"AKU INGIN MEMBERITAHUMU SEBUAH KISAH TENTANG MIMPI," kata sang alkemis.
Si bocah membawa kudanya mendekat.
"Di Romawi kuno, pada rnasa Kaisar Tiberius, hiduplah seorang lelaki yang baik
dengan dua orang puteranya. Seorang menjadi tentara, dan telah dikirim ke
wilayah-wilayah yang jauh di imperium itu. Putera lainnya adalah penyair, dan
menggembirakan seluruh Roma dengan syair-syair indahnya.
"Suatu malam, sang ayah bermimpi. Satu malaikat muncul padanya, dan mengatakan
bahwa kata-kata dari salah satu anaknya akan dipelajari dan diulangi ke seluruh
dunia bagi semua generasi mendatang. Sang ayah terbangun dari tidurnya dengan
berterima kasih dan menangis, karena kehidupan begitu murah hati, dan telah
mengungkapkan padanya sesuatu yang akan membuat bangga setiap ayah yang
mengetahui. "Tak lama kemudian, sang ayah meninggal sewaktu dia mencoba menyelamatkan
seorang anak yang akan ditabrak kereta tempur. Karena sepanjang hayatnya dia
hidup dengan benar dan jujur, dia langsung masuk surga, tempat dia bertemu
dengan malaikat yang muncul dalam mimpinya.
"'Kau selalu menjadi orang baik,' kata malaikat itu padanya. 'Kau menjalani
hidupmu dengan penuh kasih, dan meninggal dengan terhormat. Kini aku dapat
mengabulkan apapun keinginanmu.'
"'Kehidupan telah berbaik kepadaku,' kata lelaki itu. 'Saat kau muncul di
mimpiku, aku merasa semua upayaku telah dihargai, karena syair-syair anakku akan
dibaca oleh orang-orang selama beberapa generasi mendatang. Aku tidak ingin apa-
apa untuk diriku sendiri. Tapi setiap ayah akan merasa bangga akan kemashuran
yang dicapai seseorang yang dia rawat sebagai anak, dan dididiknya saat dia
tumbuh. Terkadang dari kejauhan aku ingin mendengar kata-kata anakku.'
"Malaikat menyentuh bahu lelaki itu, dan keduanya melesat jauh ke masa depan.
Mereka berada di latar yang sangat luas, dikelilingi oleh beribu-ribu manusia
yang berbicara dengan bahasa yang aneh.
"Orang itu menangis bahagia."
"'Aku tahu bahwa syair-syair anakku abadi,' katanya pada malaikat dengan
berlinang air mata. 'Dapatkah engkau mernberitahuku syair puteraku mana yang
sedang dilantunkan orang-orang ini"'
"Malaikat mendekati lelaki itu, dan, dengan lembut, membimbingnya ke bangku
panjang di dekatnya, tempat mereka kemudian duduk.
"Syair-syair anakmu yang menjadi penyair sangat terkenal di Roma,' kata
Malaikat. 'Setiap orang menyukainya dan menikmatinya. Tapi saat pemerintahan
Tiberius berakhir, puisi-puisinya terlupakan. Kata-kata yang kau dengar sekarang
adalah kata-kata anakmu yang ada di militer.'
"Orang itu menatap malaikat dengan terkejut.
"'Anakmu pergi berperang ke suatu tempat yang jauh, dan menjadi seorang
komandan. Dia lelaki yang sederhana dan baik. Suatu sore, salah seorang
pelayannya sakit, dan tampaknya dia mau meninggal. Anakmu pernah mendengar
tentang seorang rabi yang dapat menyembuhkan penyakit, dan dia berkuda berhari-
hari untuk mencari orang itu. Sepanjang jalan, tahulah dia bahwa orang yang
dicari adalah Putera Tuhan. Dia bertemu orang-orang yang pernah disembuhkan
olehnya, dan mereka mengajarkan pada anakmu ajaran-ajaran orang itu. Jadi,
walaupun dia seorang komandan Romawi, dia beralih ke keyakinan mereka. Tidak
lama kemudian, dia sampai ke tempat di mana orang yang dicarinya sedang
berkunjung. "'Dia mengatakan pada orang itu bahwa salah seorang pelayannya sakit keras, dan
rabi itu bersiap pergi dengannya ke rumahnya. Tapi komandan itu adalah orang
yang beriman, dan, melihat ke dalam mata rabi itu, dia tahu bahwa dia yakin akan
kehadiran Putera Tuhan.' "'Dan inilah yang dikatakan puteramu,' malaikat memberitahu lelaki itu. 'Inilah
kata-kata yang dia ucapkan pada rabi itu waktu itu, dan kata-kata ini tidak
pernah dilupakan: "Tuhanku, aku tidaklah berarti sampai tempatku perlu kau
datangi. Tapi ucapkanlah sepatah kata saja maka pelayanku akan sembuh.'"
Sang alkemis berkata, "Tak peduli apa yang dilakukannya, setiap orang di dunia
memainkan peran sentral dalam sejarah dunia. Dan biasanya ia tidak
menyadarinya." Si bocah tersenyum. Dia tidak pernah membayangkan bahwa pertanyaan-pertanyaan
tentang kehidupan akan jadi begitu penting bagi seorang gembala.
"Selamat tinggal," kata sang alkemis.
"Selamat tinggal," kata si bocah.
@kapuKOrner Si bocah berkuda melintasi...
SI BOCAH BERKUDA MELINTASI GURUN SELAMA BEBERAPA JAM, menyimak baik-baik apa
yang akan dikatakan hatinya. Hatinyalah yang akan memberitahu di mana hartanya
tersembunyi. "Di mana hartamu berada, di sana jugalah hatimu," sang alkemis pernah berkata.
Tapi hatinya berbicara tentang hal-hal lain. Dengan bangga, ia menuturkan kisah
tentang seorang gembala yang meninggalkan kawanan ternaknya untuk mengikuti satu
impian yang dimimpikannya dalam dua kesempatan yang berbeda. Mimpi itu bercerita
tentang Legenda Pribadi, dan tentang banyaknya orang yang berkelana mencari
negeri-negeri yang jauh atau perempuan- perempuan cantik, menghadapi orang-orang
sezaman mereka dengan gagasan-gagasan yang sudah terpola. Mimpi itu bercerita
tentang perjalanan-perjalanan, penemuan-penemuan, buku-buku, dan perubahan.
Saat dia hendak mendaki bukit pasir yang lain lagi, hatinya berbisik,
"Cermatilah tempat jatuhnya airmatamu. Di situlah aku berada, dan di situlah
hartamu." Si bocah memanjat bukit pasir itu dengan perlahan.Bulan pumama muncul lagi di
langit yang berbintang: telah satu bulan berlalu sejak oasis itu ia tinggalkan.
Cahaya bulan menyajikan bayangan melalui bukit-bukit pasir, menciptakan tampilan
seperti laut yang bergelombang; ia mengingatkan si bocah pada hari ketika kuda
itu mendompak di gurun, dan dia datang untuk mengenal sang alkemis. Dan bulan
itu turun di kesenyapan gurun,
dan di perjalanan seseorang dalam pencarian harta.
Saat dia mencapai puncak bukit pasir itu, hatinya melonjak. Di sana, disinari
cahaya bulan dan kecemerlangan gurun, berdirilah dengan khidmat dan megahnya
Piramida Mesir. Si bocah berlutut dan menangis. Dia berterima kasih pada Tuhan karena membuat
dia percaya pada Legenda Pribadinya, dan karena membimbingnya bertemu dengan
seorang raja, seorang pedagang, seorang Inggris, dan seorang alkemis. Dan
terutama karena mempertemukannya dengan seorang perempuan gurun yang berkata
kepadanya bahwa cinta tidak pernah menahan seorang lelaki dari Legenda
Pribadinya. Bila dia mau, dia sekarang dapat kembali ke oasis, kembali ke Fatima, dan
menjalani hidupnya sebagai seorang gembala biasa. Betapapun, sang alkemis
meneruskan tinggal di gurun, meski dia memahami Bahasa Buana, dan tahu bagaimana
mengubah timah menjadi emas. Dia tidak perlu menunjukkan ilmu dan seninya pada
siapapun. Si bocah berkata pada dirinya bahwa, di perjalanan menuju pewujudan
Legenda Pribadinya sendiri, dia telah belajar semua yang perlu dia ketahui, dan
telah mengalami semua yang mungkin diimpikannya.
Tapi di sinilah dia, di titik pencarian hartanya, dan dia mengingatkan dirinya
sendiri bahwa tidak ada proyek yang selesai sampai tujuan proyek itu tercapai.
Si bocah memandang pasir di sekelilingnya, dan melihat bahwa, di tempat
airmatanya jatuh, seekor scarab melesat melintasi pasir. Selama dia di gurun,
dia telah mengerti bahwa, di Mesir, kumbang hitam itu adalah simbol Tuhan.
Pertanda yang lain! Si bocah mulai menggali bukit pasir tadi. Sewaktu dia
melakukannya, dia memikirkan apa yang pernah dikatakan pedagang kristal itu:
bahwa setiap orang dapat membuat piramida dihalaman rumahnya. Kini si bocah bisa
mengerti bahwa dia tidak dapat melakukannya bila dia meletakkan batu di atas
batu sepanjang sisa hidupnya.
Sepanjang malam, si bocah menggali tempat yang telah dipilihnya, tapi tidak
menemukan apa-apa. Dia merasa tertinggal berabad-abad sejak Piramida dibangun.
Tapi dia tidak berhenti. Dia berjuang melanjutkan menggali sambil melawan angin,
yang kadang-kadang meniup pasir kembali ke galian. Tangannya bergetar dan
kelelahan, tapi dia mendengarkan hatinya. Hatinya telah menyuruhnya menggali
tempat airmatanya jatuh. Sewaktu dia mencoba menarik batu-batu yang dijumpainya, dia mendengar langkah-
langkah kaki. Beberapa orang mendekatinya. Punggung-punggung mereka menutupi
cahaya bulan, dan si bocah tidak dapat melihat mata ataupun wajah-wajah mereka.
"Sedang apa kamu di sini?" tanya salah seorang dari mereka.
Karena ketakutan, si bocah tidak menjawab. Dia telah menemukan tempat hartanya
berada, dan takut akan apa yang mungkin terjadi.
"Kami ini pengungsi perang suku, dan kami perlu uang," kata orang yang lain.
"Apa yang kamu sembunyikan di sana?"
"Aku tidak menyembunyikan apa-apa," jawab si bocah.
Tapi seorang dari mereka mendorong si bocah dan menyentakkannya ke dalam lubang.
Yang lainnya, yang memeriksa tas-tas si bocah, menemukan potongan emas.
"Ini ada emas," katanya.
Rembulan menyinari wajah orang Arab yang telah mendorongnya, dan di mata orang
itu si bocah melihat kematian.
"Mungkin dia punya emas lebih banyak lagi yang disembunyikan di dalam tanah."
Mereka menyuruh si bocah terus menggali, tapi tidak menemukan apa-apa. Saat
matahari terbit, orang-orang itu mulai menghajar si bocah. Dia terluka dan
berdarah, bajunya robek-robek, dan dia merasa kematian mendekat.
"Apa gunanya uang bila kau mati" Jarang uang menyelamatkan hidup orang," sang
alkemis pernah berkata. Akhirnya, si bocah berteriak pada orang-orang itu, "Aku
sedang menggali hartaku!" Dan, meski mulutnya berdarah dan bengkak, dia
menceritakan pada para penyerangnya bahwa dia dua kali bermimpi tentang harta
yang tersembunyi di dekat Piramida Mesir.
Lelaki yang tampaknya menjadi pemimpin kelompok itu berkata pada seorang di
antara mereka: "Tinggalkan dia. Dia tidak punya apa-apa lagi. Pasti dia mencuri
emas ini." Si bocah terjatuh ke pasir, hampir pingsan. Pemimpin itu mengguncang tubuhnya
dan berkata, "Kami pergi."
Tapi sebelum mereka pergi, dia kembali pada si bocah dan berkata, "Kamu tidak
akan mati. Kamu akan hidup, dan kamu akan belajar bahwa seorang lelaki tidak
boleh bodoh. Dua tahun lalu, tepat di sini, aku juga mendapat mimpi yang
berulang. Aku bermimpi bahwa aku harus berkelana ke ladang-ladang di Spanyol dan
mencari sebuah gereja yang rusak tempat para gembala dan domba-domba tidur.
Dalam mimpiku, ada pohon sikamor tumbuh di reruntuhan sakristi, dan aku
diberitahu bahwa, jika aku menggali akar sikamor itu, aku akan menemukan harta
terpendam. Tapi aku tidak begitu bodoh sampai mau menyeberangi gurun yang luas
hanya untuk mimpi yang datang
berulang." Dan mereka menghilang. Si bocah berdiri dengan gemetar, dan melihat sekali lagi pada Piramida. Mereka
kelihatannya menertawai dia, dan dia balik menertawai, hatinya dipenuhi
kegembiraan. Sebab kini dia tahu di mana hartanya berada.
@kapuKOrner Epilog SI BOCAH SAMPAI DI GEREJA KECIL DAN TERBENGKALAI SAAT malam tiba. Pohon sikamor
itu masih tegak di sakristi, dan bintang-bintang masih dapat dilihat melalui
atap yang nyaris hancur. Dia teringat kala dia di sana dengan domba-dombanya;
itu adalah malam yang damai.., kecuali mimpinya.
Kini dia di sini bukan dengan ternaknya, tapi dengan sekop.
Dia duduk memandang langit untuk beberapa lama. Kemudian dia mengambil dari
ranselnya sebotol anggur dan meminumnya. Dia ingat malam di gurun kala dia duduk
dengan sang alkemis, saat mereka melihat bintang-bintang dan minum anggur
bersama. Dia memikirkan jalan-jalan yang telah dia lalui, dan dengan cara yang
aneh Tuhan menunjukkan padanya hartanya. Bila dia tak percaya pada arti mimpi
yang berulang, dia mungkin tidak bertemu dengan perempuan Gipsi, raja, pencuri,
atau... "Yah, daftarnya panjang. Tapi jalurnya sudah tertulis pada pertanda, dan
tidak mungkin aku keliru," katanya pada dirinya sendiri.
Dia tertidur, dan ketika dia terbangun, matahari sudah tinggi. Dia mulai
menggali di dasar pohon sikamor itu. "Hai, penyihir tua," si bocah berteriak ke
langit. "Kau mengetahui cerita lengkapnya. Kau bahkan meninggalkan emas di biara
itu supaya aku kembali ke gereja ini. Biarawan itu tertawa saat dia melihatku
kembali dengan pakaian compang-camping. Tak dapatkah kau menolongku waktu itu?"
"Tidak," dia mendengar suara di angin. "Bila aku memberitahumu, kau tidak akan
melihat Piramida. Mereka itu indah bukan?"
Si bocah tersenyum, dan melanjutkan menggali, Setengah jam kemudian, sekopnya
membentur sesuatu yang keras. Satu jam kemudian, di hadapannya tampak sepeti
koin emas Spanyol. Juga ada batu-batu berharga, topeng-topeng emas yang dihiasi
bulu-bulu merah dan putih, dan patung-patung batu bertatahkan permata. Barang-
barang rampasan dari penakluk yang telah lama dilupakan oleh negeri ini, dan
yang tak diceritakan oleh sang penakluk pada anak-anaknya.
Si bocah mengeluarkan Urim dan Thummim dari tasnya. Dia hanya sekali menggunakan
kedua batu itu, suatu pagi di pusat pasar. Hidupnya dan jalannya selalu
memberikan cukup pertanda untuknya.
Dia meletakkan Urim dan Thummim di peti itu. Mereka juga merupakan bagian dari
hartanya yang baru, karena mereka adalah pengingat pada sang raja tua, yang tak
akan pernah dilihatnya lagi.
Benar; kehidupan sungguh-sungguh murah hati bagi mereka yang mengejar Legenda
Pribadi mereka, pikir si bocah. Kemudian dia ingat bahwa dia harus kembali ke
Tarifa untuk dapat memberikan sepersepuluh dari hartanya kepada perempuan Gipsi
itu, seperti yang dia janjikan. "Orang-orang Gipsi itu benar-benar pintar,"
pikirnya. Mungkin karena mereka sering berpindah-pindah.
Angin mulai bertiup lagi. Itu levanter, angin yang datang dari Afrika. Ia tidak
membawa bau gurun, tidak pula ancaman serbuan bangsa Moor. Ia justru
mengantarkan wangi parfum yang sangat dikenalnya, dan sentuhan sebuah kecupan
--kecupan yang datang dari jauh, pelan, pelan, hingga akhirnya sampai di
bibirnya. Si bocah tersenyum. Inilah kali pertama gadis itu melakukannya.
"Aku datang, Fatima," katanya.
@kapuKOrner Gadis Ketiga 4 Anak Berandalan Karya Khu Lung Pengantin Dewa Rimba 1
^