Sang Penebus 1
Sang Penebus Karya Wally Lamb Bagian 1
Amerika Serikat telah menjadi pelacur dunia, membunuh orang demi mendapatkan
minyak murah demikian pendapatThomas Birdsey.?Dan siang hari itu. Thomas memasukiThree Rivers, perpustakaan umum Connecticut,
menyendiri di salah satu ruang belajar di bagian belakang dan berdoa kepada
Tuhan, semoga pengorbanan yang akan dia lakukan dapat diterima. Thomas berdoa
dalam diam. mengulang-ulang doa Santo Matins. "Dan jika matamu yang kanan
menyesalkan engkau, cungkillah dan buanglah ia... Dan jika tanganmu yang kaitan
menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah ia karena lebih baik bagimu jika
satu dari anggota tubuhmu binasa daripada tubuhmu secara utuh dicampakkan ke
dalam neraka." Lalu dari jaket sweater nya Thomas mengeluarkan pisau upacara Gurkha yangdibawa
ayah tirinya sebagai suvenir dari Perang Dunia II....
Apa yang dilakukan Thomas sungguh tindakan gila. namun barangkali dengan cara
itu dia juga menunjukkan kegilaandunia. ketakwarasan kita.
SANG PenebuS "... Dostoevsky modern dengan sentuhan pop." New York Times Book Review
?"...tes Miserables abad kedua puluh." Glamour
?"Sebuah karya yang kompleks dan kuat... menghanyutkan pembaca dengan arus emosinya
yang deras Baca dan menangislah." St. Louis Post-Dispatch
?mizan qanita Novel #1 NEW YORK TIMES BESTSELLER
W A L L Y LAMB Penerima Anugerah National Endowment for Arts, USA
SANG PENEBUS I KNOW THIS MUCH IS TRUE "Tapi aku tak mau pergi bersama orang-orang gila," kata Alice.
"Oh, kamu nggak bisa menghindar," kata si Kucing. 11 Kita semua gila di sini.
Aku gila. Kamu gila."
" Bagaimana kamu tahu aku gila?" tanya Alice.
"Tentu saja kamu gila," kata si Kucing. " Kalau tidak, kamu nggak akan datang ke
sini." -Lewis Caroll dalam Alice's Adventures in Wonderland
Qanita membukakan jendela-jendela bagi Anda untuk menjelajahi cakrawala batu,
menemukan makna dari I 21 pengalaman hidup dan kisah-kisah yang kaya
inspirasi. ejan 11 a. kisah tentang kegilaan, dosa, dan pengampunan.
SANG PENEBUS: I KNOW THIS MUCH IS TRUE Diterjemahkan dari I Know This Much is
True Karya Wally Lamb Terbitan ReganBooks, New York, 1998
Penerjemah: Esti A. Budihabsari Penyunting Pangestuningsih Proofreader: Enfira
Translation rights HI 2004 by Mizan Pustaka Copyright HI 1998 by Wally Lamb
Published by arrangement with ReganBooks, an imprint of HarperCollins Publishers
Inc. All rights reserved Cetakan I, November 2007 Cetakan II, Februari 2008 Diterbitkan oleh Penerbit
Qanita PT Mizan Pustaka Anggota I KAPI
Jin Cinambo,Cisaranten Wetan No. 135
Ujungberung, Bandung 40394
Telp. (022)7834310 - Faks. (022)7834311
e-mail: qanita@mizancom milis: o.anita@yahoogroups.com
http://www.mizan.com Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KOT) Lamb, Wally
Sang Penebus: I know this much is true/Wally Lamb j penerjemah, Esti A.
Budihabsari; editor, PangestunigsihCet. 2.-Bandung Qanita, 2008. 956 b.; 205 cm.
Judul asli: I know this much is true ISBN 979-3269-66-5
I. Judul. II. Esti A. Budihabsari. III. Pangestuningsih
Didistribusikan oleh: Mizan Media Utama (MMU) Jin Cinambo (Cisaranten Wetan) No. 146
Ujungber ung, Bandung 40294
Telp. (022)7815500 uiunting)- Faks (022)7802288
e-mail: mizanmu@bdgcentrinnet.id
Perwakilan: Jakarta: (021)7661724; Surabaya: (031)60050079,8281857 Makassar:
(0411) 871369 Pujian untuk Sickened "Wally Lamb melakukannya lagi ....
[la] punya pemenang baru di Sickened..." Tampa Tribune
"Banyak sekali yang bagus tentang buku ini....
Buku ini membuka seperti petir dan menghanyutkan Anda tanpa terasa selama hampir
1.000 halamannya .... Potret realistis adalah keahlian Lamb, dan ia memberi banyak
potret itu pada kita dalam buku ini.... Kekuatan terbesar novel ini adalah
realismenya yang kasar." Chicago Sun-Times
"Wally Lamb adalah gabungan antara John Grisham dan Pat Conroy.
la Grisham karena keahliannya bercerita;
Conroy karena bakat menulisnya .... Aku susah berhenti membaca buku ini Fort Worth
Star-Telegram "Eksplorasi penderitaan dan penebusan seorang pria
yang dikembangkan dengan tuntas dan diselesaikan dengan penuh kemenangan."
Publishers Weekly "Saga abad ini. Disusun dengan sangat efektif sehingga pembaca mudah membacanya, terhanyut di
dalamnya .... Sulaman sastra yang kaya dan merupakan penegasan terhadap
kehidupan." Dallas Morning News
"Bikin kecanduan. Novel ini berisi kegilaan, siksaan, cinta tak terbalas dan memakai pakaian lawan
jenis .... Novel yang memberi semangat, terutama karena keahlian Lamb memanusiakan
karakternya dan menjaga selusin alur cerita tetap menyambung." Virginian-Pilot
"Novel yang tak bisa diletakkan ...
dipenuhi dengan tulisan yang indah, ketegangan dramatis
yang tak putus, dan karakter yang membuat pembaca merasa punya ikatan emosi dengan
mereka .... Satu-satunya hal buruk tentang novel Wally Lamb ini adalah bahwa novel
ini terlalu bagus." Denver Post
"Dominick Birdsey adalah seorang pahlawan cerita
epik dan ceritanya yang komikal dan gelap tentang penebusan sangat menginspirasi-Les
Miserables abad kedua puluh." Glamour
"Penuh dengan tokoh yang dikembangkan penuh,
karakter-karakter yang tak terlupakan ... Sickened... bahkan mungkin lebih baik
daripada novelnya yang pertama." San Francisco Examiner
"Dongeng yang kuat dan penuh daya magis...
menghanyutkan ... hiburan tingkat tinggi, penuh daya dan
enerjik, meyakinkan dan tak mudah dilupakan Memphis Commercial Appeal
"Sebuah magnum opus...
Lamb telah menciptakan kisah yang memikat, penuh kepedihan, kemurungan, dan
ketidakpastian kehidupan modern Orlando Sentinel
"Hebat... panjang dan memuaskan ...
buku yang murah hati dan berjiwa besar... [Ini] adalah kisah Setiap Orang,
pencarian mistis, kisah tentang pencip-taan jati diri... Wally Lamb adalah seorang
suhu...." New Orleans Times-Picayune
"Luar biasa .... Karya yang hebat, efeknya tak ada henti." Library Journal
Lamb telah menuliskan sebuah pemenang lagi.
Providence Journal-Bulletin
"Ini adalah buku langka yang sesuai dengan pujian yang didapatnya.
Tetapi novel Wally Lamb, Sickened, memang mengharukan dan memuaskan seperti yang
diklaimnya .... Pencapaian yang mendalam ... novel ini dengan kuat mengisahkan
tantangan-tantangan yang muncul dalam kehidupan, kesulitan-kesulitan yang harus
ditanggung manusia." Baltimore Sun
"Sebuah epik, perjalanan yang penting ....
Penerus yang pantas dari novel pertama Lamb yang sangat
sukses She's Come Undone..." Columbus Dispatch
"Relevan ... sangat memuaskan ...
novel yang menggugah dan tak terlupakan." Chattanooga Free Press
"Buku yang mengagumkan dan ambisius...
novel epik dalam setiap aspeknya ... narasi orang pertama yang menghanyutkan Anda
sejak halaman pertama, dan selalu menegangkan." Denver Rocky Mountain News
"Lamb adalah sang penulis di antara penulis....
Sickened adalah prosa yang ditulis seindah puisi, dengan setiap kata
dan citra yang menjalin sebuah keutuhan. Sebuah karya seni yang mengagumkan,
simetri yang struktural, dan
kesadaran diri yang sastrawi, kekuatan emosinya yang menggemparkan datang dari
eksplorasi kebenaran universal yang tak kenal takut." St. Louis Post-Dispatch
"Sangat menggugah ....
Setiap halaman dipenuhi dengan tulisan yang bagus dan cara penceritaan yang luar
biasa, dan rasanya buku ini berakhir terlalu cepat.... Dengan kecerdikan,
pandangan yang luar biasa, dan emosi yang gamblang, Lamb menghadirkan cerita
universal tentang kasih sayang antarsaudara, konflik Oedipus, dan perjuangan untuk hidup .... Jangan
lewatkan buku ini." Richmond Times-Dispatch
"Setiap waktu yang dihabiskan untuk membaca buku ini memang pantas."
Chattanooga Times "Berkilau ... terlalu bagus untuk diletakkan ... sang pengarang telah melakukan lompatan besar
dengan novel ini." San Antonio Express-News
Buku ini kupersembahkan kepada ayahku dan putra-putraku
Dengan cara-cara yang tak begitu kupahami, kisah ini berkaitan dengan kehidupan
dan kematian orang-orang berikut ini: Christopher Biase, Elizabeth Cobb, Randy
Deglin, Samantha Deglin, Kathy Levesque, Nicholas Spano, dan Patrick Vitagliano.
Kuharap, meskipun sedikit, novel ini bisa memberikan penghormatan pada kenangan
mereka serta pengabdian dan kekuatan orang-orang tercinta yang harus mereka
tinggalkan. Novel Wally Lamb yang ada di tangan Anda ini, Sickened, juga novel pertamanya,
She's Come Undone, tercatat sebagai New York Times Bestseller, "Notable Book of
The Year" dari New York Times Book Review dan menjadi pilihan Oprah's Book Club.
Lamb telah menerima hadiah dari National Endowment for The Arts, New England
Book Award dan Poets and Writers "Writers Helping Writers" Award. Sickened
memenangi "Best Novel of The Year" dari Friend of The Library USA dan Kenneth
Johnson Memorial Book Award. Seorang guru menulis yang dihormati secara
nasional, Lamb saat ini menjadi sukarelawan fasilitator untuk lokakarya menulis
bagi narapidana wanita di Connecticut's York Correctional Institution. Lamb
tinggal di Connecticut bersama istrina, Christine, dan tiga putra mereka. Dia
sekarang sedang menulis novel ketiganya.
Ucapan Terima Kasih AkU Sangat berterima kasih pada Linda Chester, agen sastraku dan temanku, dan
rekannya, Laurie Fox, yang punya peran yang sama besar. Glinda dan Dorothy dalam
satu agensi: berapa besar lagi keuntungan yang perlu dimiliki seorang penulis"
Aku berutang pada Judith Regan, penerbit dan sobatku, atas kesetiaannya,
kepercayaannya yang penuh kesabaran, dan responsnya yang bersemangat terhadap
hasil kerjaku. Grazie, Judith.
Rekan-rekan penulisku berikut ini yang memberikan evaluasi kritis tak terhingga
atas novel ini dalam berbagai tahap, dan aku berterima kasih dan merasa
tersanjung atas respons kolektif mereka yang murah hati. Mereka adalah Bruce
Cohen, Deborah DeFord, Joan Joffe Hall, Rick Hornung, Leslie Johnson, Terese
Karmel, Ann Z. Leventhal, Pam Lewis, David Morse, Bessy Reyna, Wanda Rickerby,
Ellen Zahl, dan Feenie Ziner.
Novel setebal ini ibarat seekor binatang liar yang besar dan sebuah proses
kompleks yang membutuhkan keyakinan, keberuntungan, dukungan moral, dan
pengetahuan melebihi apa yang diketahui pengarang. Aku berterima kasih
sedalam-dalamnya kepada orang-orang berikut ini, yang masing-masing dengan ?berbagai cara menolongku menemukan, menceritakan, dan menerbitkan kisah ini
?(dan dua orang di antaranya membantuku mengambil kembali memori kisah ini dari
hard drive di negeri kenangan antah-berantahku): Elliott Beard, Andre Becker,
Bernice Bennett, Larry Bloom, Cathy Bochain, Aileen Boyle, Angelica Canales,
Lawrence Carver, Lynn Castelli, Steve Courtney, Tracy Dene, Barbara Dombrowski,
David Dunnack, John Ekizian, Sharon Garthwait, Douglas Hood, Gary Jaffe, Susan
Kosko, Ken Lamothe, Linda Lamothe, Doreen Louie, Peter Mayock, Susan McDonough,
Alice McGee, Joseph Mills, Joseph Montebello, Bob Parzych, Maryann Petyak, Pam
Pfeifer, Pit Pinegar, Nancy Potter, Joanna Pulcini, Jenny Romero, Allyson
Salazar, Ron Sands, Maureen Shea, Dolores Simon, Suzy Staubach, Nick Stevens,
Christine Tanigawa, David Teplica, Denise Tyburski, Patrick Vitagliano Jr.,
Oprah Winfrey, Patricia Wolf, Shirley Woodka, Genevieve Young, kru pagi di Sugar
Shack Bakery, dan murid-muridku di Norwich Free Academy dan University of
Connecticut. Aku berutang pada Rita Regan, yang membantuku mengedit dan memberikan saran
tentang hal-hal yang berhubungan dengan Sisilia, dan juga pada Mary Ann Hall,
yang memberikan Tales of My Native Town karya Gabrielle D'Annunzio ke tanganku.
Terima kasih khusus kuucapkan kepada Ethel Mantzaris atas persahabatan dan
dukungan setianya selama ini. Yang terakhir, rasa terima kasih yang dalam hingga tak terungkapkan lewat kata-
kata kusampaikan pada Christine Lamb, pasangan hidup dan cintaku, yang membuatku
bisa menulis. Aku berterima kasih dan menghargai para guru berikut ini, dari sekolah dasar
hingga perguruan tinggi, yang telah mendorong muridnya menuju titik tertinggi
dan merangsang kreativitas: Frances Heneault, Violet Shugrue, Katherine Farrell,
Leona Comstock, Elizabeth Winters, Lenora Chapman, Miriam Sexton, Richard Bilda,
Victor Ferry, Dorothy Cramer, Mildred Clegg, Mary English, Lois Taylor, Irene
Rose, Daniel O'Neill, Dorothy Williams, James Williams, Alexander Medlicott,
Alan Driscoll, Gabriel Herring, Frances Leta, Wayne Diederich, Joan Joffe Hall,
Gordon Weaver, dan Gladys Swan.
Aku sangat beruntung mendapatkan dukungan dari lembaga-lembaga pendukung penulis
dan organisasi berikut selama menulis novel ini: Norwich Free Academy,
Willimantic, Connecticut, Public Library, Homer D. Babbidge Library, University
of Connecticut, dan Connecticut Comission on the Arts.
Novel ini tak mungkin ada tanpa dukungan luar biasa dan pengesahan dari National
Endowment for the Arts.^f^
Satu Siang hari 12 Oktober 1990, kakak kembarku Thomas memasuki Three Rivers,
perpustakaan umum Connecticut, menyendiri di salah satu ruang belajar di bagian
belakang dan berdoa kepada Tuhan, semoga pengorbanan yang akan dia lakukan dapat
diterima. Hari itu, pustakawan kepala menghadiri rapat seharian di Hartford, dan
Mrs. Theresa Fenneck, dari bagian buku anak, bertanggung jawab menggantikannya.
Dia mendekati Thomas dan memintanya memilih memelankan suara atau meninggalkan
perpustakaan. Suara Thomas terdengar sampai ke meja depan, mengganggu pengunjung
yang lain. Kalau mau berdoa, kata Mrs. Fenneck pada Thomas, sebaiknya pergi saja
ke gereja, bukan di perpustakaan.
Sehari sebelumnya, Thomas dan aku sempat menghabiskan waktu bersama selama
beberapa jam. Ritual Minggu siang kami mengharuskan aku mengajaknya keluar dari
Rumah Sakit Settle Building, mentraktirnya makan siang, mengunjungi ayah tiri
kami atau membawanya jalan-jalan, lalu mengembalikannya ke rumah sakit sebelum
waktu makan malam tiba. Di salah satu meja di bagian
belakang restoran Friendly, aku duduk di hadapan kembaranku itu, terpaksa ikut
mengisap asap rokoknya, dan membuka-buka, untuk kesekian kali, buku klipingnya
tentang krisis Perang Teluk. Dia mulai mengkliping sejak Agustus sebagai bukti
bahwa Armageddon atau kiamat sudah dekat bahwa peperangan terakhir antara baik ?dan buruk akan segera dimulai. "Selama bertahun-tahun ini, Amerika hidup dengan
waktu pinjaman, Dominick," katanya kepadaku. "Memainkan peran sebagai pelacur
dunia, tenggelam dalam keserakahan. Kini, kita akan membayar harganya."
Dia sama sekali tak menyadari jari-jariku yang mulai mengetukngetuk meja. "Bukan
maksudku mengalihkan pembicaraan," kataku, "tapi, bagaimana soal kopi?" Sejak
delapan miligram Haldol per hari berhasil memelankan suara Thomas, dia
mendapatkan imbalan setiap pagi di ruang duduk pasien kopi, rokok, dan koran
?yang dibagikan dengan kereta dorong besi berkeriut yang lebih ra-puh daripada
kondisi mentalnya. Seperti kebanyakan pasien di sana, dia dimanjakan oleh kafein
dan nikotin, tetapi koranlah yang menjadi candu utama Thomas.
"Bagaimana mungkin kita tega membunuh orang hanya karena ingin mendapatkan
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
minyak murah" Bagaimana kita bisa membenarkan hal itu?" Tangannya bergerak-gerak
saat berbicara; telapaknya kusam terkena tinta koran. Tangan kotor itu
seharusnya memperingatkan aku memberiku pertanda. "Bagaimana kita bisa?menghindar dari kemarahan Tuhan kalau kita tak menghargai nyawa manusia?"
Pelayan mendekat seorang anak SMU mengenakan baju mini berkancing dua, "Hai,
?aku Kristin," dan "Sabar ya. Aku masih berlatih." Ia menanyakan apakah kami
ingin memulai dengan cheese sticks atau semangkuk sup.
"Kau tidak bisa menyembah Tuhan dan uang, Kristin," kata Thomas kepadanya.
"Amerika akan memuntahkan darahnya sendiri."
Kira-kira sebulan kemudian setelah Presiden Bush mendeklarasikan bahwa "sebuah
?garis telah ditarik di atas pasir" dan konflik mungkin tak bisa dihindari Mrs.
?Fenneck muncul di depan pintuku. Selama ini, dia berusaha mencariku mencari
?tempat tinggalku lewat direktori kota dan pergi begitu saja ke kondominium
tempatku tinggal bersama Joy, membunyikan bel pintu. Dia menunjuk suaminya yang
parkir di pinggir jalan dan menunggunya di Dodge Shadow biru mereka. Dia
memperkenalkan diri sebagai pustakawan yang telah menelepon 911.
"Kakakmu selalu rapi dan bersih," katanya. "Tidak semua orang yang seperti dia
bisa berpenampilan seperti itu. Tetapi, kau harus tegas dengan orang-orang ini.
Sepanjang hari, setiap hari, mobil rumah sakit jiwa menurunkan mereka di tengah
kota dan meninggalkan mereka. Mereka tak punya tujuan, tak punya pekerjaan.
Toko-toko tak mau mempekerjakan mereka apalagi bisnis sedang sulit, tak ada lagi rasa iba. Jadi,
?mereka datang ke perpustakaan dan duduk." Saat berbicara itu, berkali-kali dia
mengejapkan mata hijaunya yang pucat, berusaha mengalihkan pandangannya dari
wajahku. Thomas dan aku adalah kembar identik, bukan fraternal satu telur yang
?dibuahi lalu terbelah dua dan tumbuh terpisah. Mrs. Fenneck tak tahan menatapku
karena seolah sama saja dengan melihat Thomas.
Aku ingat, hari itu sangat dingin dan aku hanya menerimanya di lorong menuju
ruang tamu, tak lebih jauh dari itu. Selama dua minggu, aku mengubah-ubah
saluran TV mengikuti berita terbaru tentang Desert Shield, menelan kembali
kemarahan dan rasa bersalah yang kurasakan akibat tindakan kakakku, dan menyimak
semua omongan reporter dan berita TV para pengisap darah yang mengais-ngais
?peran utama dalam acara TV orang-orang aneh. Aku tidak menawarkan diri pada Mrs.
Fenneck untuk membukakan mantelnya. Aku berdiri saja di sana, tangan terlipat,
kedua genggaman kukepit di ketiak. Apa pun ini, aku ingin ia segera berakhir.
Wanita itu berkata, dia ingin aku memahami beban yang dihadapi para pustakawan
akhir-akhir ini. Dahulu, menjadi pustakawan adalah pekerjaan yang
menyenangkan apalagi dia suka bertemu dengan orang-orang. Tetapi, kini
?perpustakaan menjadi tujuan dengan orang-orang telantar dan tunawisma. Orang-
orang yang sama sekali tak
peduli tentang buku atau informasi. Orang-orang yang hanya ingin duduk dan
berdiam diri atau pergi ke toilet lima menit sekali. Ditambah lagi sekarang
dengan AIDS, narkoba, dan sebagainya. Beberapa hari lalu, mereka menemukan jarum
suntik kotor terjepit di belakang tempat tisu toilet pria. Menurutnya, negara
ini seperti laci-laci lemari yang ditarik keluar dan isinya dibuang ke lantai.
Tadi aku membuka pintu dengan bertelanjang kaki. Kini, kakiku terasa dingin.
"Apa yang Anda inginkan?" tanyaku kepadanya. "Mengapa Anda datang kemari?"
Dia datang, katanya, karena dia tidak berselera makan dan tak bisa tidur nyenyak
sejak kakakku melakukannya. Bukan berarti bahwa dia fan yang harus bertanggung
?jawab, tegasnya. Jelas, Thomas telah merencanakan semuanya dan akan tetap
melakukannya, tak peduli apakah wanita pustakawan itu mengatakan sesuatu
kepadanya atau tidak. Selusin orang atau bahkan lebih mengatakan kepadanya bahwa
mereka melihat Thomas berjalan di kota, bergumam sendiri tentang perang dengan
satu tinjunya terangkat ke udara, seakan-akan terpaku dalam posisi itu. Mrs.
Fenneck juga sudah melihatnya sendiri, dan selalu merasa aneh. "Dia masuk dan
duduk sepanjang siang di bagian terbitan berkala, berdebat dengan koran,"
katanya. "Lalu, tak lama kemudian dia diam. Hanya memandang ke luar jendela dan
mengeluh, menekuk siku dan mengepalkan tangannya. Tetapi, siapa yang mengira
bahwa itu merupakan pertanda"
Orang waras mana yang bisa mengotak-atik dan menduga kalau dia berniat melakukan
itu?" Tak seorang pun, kataku. Tak seorang pun yang bisa menduga.
Mrs. Fenneck berkata bahwa dia telah bekerja selama bertahun-tahun di meja utama
sebelum menjadi pustakawan bagian anak-anak dan dia ingat ibuku, semoga arwahnya
tenang di sisiNya. "Ibumu suka membaca. Buku misteri dan roman, seingatku.
Tenang, selalu sangat menyenangkan. Dan sangat rapi. Sungguh suatu karunia dia
sudah meninggal sehingga tak perlu melihat ini, oh, wanita yang malang. Bukan
berarti mati karena kanker itu menyenangkan, lho." Dia berkata pernah punya
saudara perempuan yang mati karena kanker juga dan seorang keponakan perempuan
yang sekarang sedang berjuang melawan kanker. "Jika kau bertanya kepadaku,"
katanya, "tak lama lagi mereka pasti mendapatkan jawaban mengapa sekarang banyak
sekali kanker, dan jawabannya pasti komputer."
Kalau dia terus mengoceh, pasti aku akan menangis. Aku mungkin mencekiknya.
"Mrs. Fenneck!" tukasku.
Baiklah, katanya, dia akan langsung saja: apakah ayahku atau aku menganggapnya
bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi"
"Anda?" tanyaku. "Mengapa harus Anda?" "Karena aku sempat menegurnya sebelum dia
melakukan itu." Diriku/ah, yang kuanggap bertanggung
jawab karena mengabaikan semua ocehan tentang Islam dan Armageddon, karena ?tidak menghubungi dokter dan mendesak mereka memberinya obat. Dan juga, karena
pergi ke unit gawat darurat dan melakukan apa yang bisa jadi merupakan keputusan
yang salah. Hari Minggu itu di Friendly, Thomas hanya memesan segelas air. "Aku
puasa," katanya, dan aku sengaja diam, tak bertanya, mengabaikan tangannya yang
kotor, memesan cheese burger dan kentang goreng untukku sendiri.
Kukatakan kepada Mrs. Fenneck, bukan dia yang harus bertanggung jawab.
Kalau begitu, apakah aku mau menulisnya hitam di atas putih" Bahwa kejadian itu
tak ada hubungannya dengan dirinya" Itu adalah gagasan suamiku, katanya. Kalau
aku mau menulisnya di selembar kertas, mungkin dia bisa tidur nyenyak atau
memakan sedikit hidangan makan malamnya. Mungkin dia bisa mendapat ketenangan.
Mata kami saling terpaut. Kali ini dia tidak berpaling. "Aku takut," katanya.
Kukatakan agar dia menunggu di teras.
Di dapur, aku mengambil pulpen dan merobek selembar kertas Postit yang diambil
Joy dari kantornya dan diletakkan di dekat telepon kami. (Dia mengambil lebih
banyak dari yang mungkin akan kami gunakan. Kemarin, aku memasukkan tanganku ke
kantong mantel musim dinginnya mencari receh untuk tukang koran dan menemukan
lusinan kertas catatan mini itu. Lusinan.) Tanganku bergetar saat menulis
pernyataan yang akan memenuhi semua keinginan Mrs. Fenneck: makan, tidur, pengampunan legal. Aku
tidak melakukan ini karena kasihan. Aku melakukannya karena aku ingin dia tutup
mulut. Agar dia pergi dari lorong apartemenku. Dan karena aku juga takut. Takut
akan kakakku. Takut menjadi setengah dari dirinya.
Aku kembali ke pintu depan dan mengulurkan tangan ke arah Mrs. Fenneck,
menyumpalkan kertas kuning itu ke kantong mantelnya. Dia berjengit ketika aku
melakukan itu, dan responsnya yang spontan itu memberiku sedikit rasa
puas jenis kepuasan yang rendah, yang nista. Tapi, aku tak peduli. Aku toh, tak?pernah bilang bahwa aku orang yang mudah dicintai. Aku tak pernah bilang bahwa
aku bukan orang yang menyebalkan.
Aku tahu apa yang kutahu tentang kejadian di perpustakaan tanggal 12 Oktober
1990 itu, dari apa yang diceritakan Thomas kepadaku dan dari berita koran yang
muncul di sisi berita tentang operasi Desert Shield. Setelah teguran Mrs.
Fenneck di ruang belajar, Thomas meneruskan doanya dalam diam, mengulang-ulang
doa Santo Matius, bab S, ayat 29 dan 30, "Dan jika matamu yang kanan menyesatkan
engkau, cungkillah dan buanglah itu .... Dan jika tanganmu yang kanan menyesatkan
engkau, penggallah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari
anggota tubuhmu binasa, daripada tubuhmu secara utuh dicampakkan ke dalam
neraka." Dari jaket sweternya, Thomas
mengeluarkan pisau upacara Gurkha yang dibawa ayah tiri kami sebagai suvenir
dari Perang Dunia II. Siang hari sebelumnya, pisau itu masih tergantung dalam
sarungnya, terabaikan di dinding kamar atas di rumah tempat kami berdua tumbuh
besar. Dokter bedah ortopedik yang kemudian merawat kakakku kagum akan tekadnya;
katanya, rasa sakit yang hebat seharusnya membuat Thomas menghentikan
tindakannya itu. Dengan tangan kirinya, Thomas melakukan setiap tahap yang telah
lama dia latih dalam pikirannya. Mulai dengan mengiris pergelangan tangan
kanannya, dia meretas tulang-tulang tangannya, mengamputasi tangannya dengan
bersih dan rapi menggunakan pisau tajam itu. Dengan gerutuan keras, dia
lemparkan telapak tangannya yang putus ke tengah-tengah lantai perpustakaan.
Lalu, dia memegang lukanya dan menarik-narik tulang hasta serta urat nadinya,
menekan dan memilinnya agar sebisa mungkin tertutup. Dia juga mengangkat
lengannya ke atas untuk memperlambat perdarahan.
Ketika pengunjung perpustakaan lainnya sadar atau mengira mereka sadar tentang
? ?apa yang baru saja terjadi, suasana langsung kacau. Beberapa orang lari keluar;
dua orang wanita bersembunyi di belakang rak-rak buku, takut kalau pria gila itu
akan menyerang mereka. Mrs. Fenneck bersembunyi di belakang meja depan dan
menelepon 911. Ketika itu, Thomas sudah berdiri, merambat dari ruang belajar,
terhuyung-huyung ke meja terdekat dan duduk, menyuarakan keluhan
yang menyayat, tetapi tak melakukan apa-apa. Pisau itu tergeletak di ruang
belajar tempat dia meninggalkannya. Thomas mulai mengalami syok.
Tentu saja ada darah, meski tidak sebanyak seharusnya karena Thomas tahu dan
sadar bahwa dia harus menyumbat aliran darahnya. (Waktu kecil, dia mendapatkan
lencana dan sertifikat pelatihan pertolongan pertama tingkat lanjut, lama
setelah aku mengumumkan bahwa Boy Scouts hanya orga-ni-sasi para bajingan.)
Setelah yakin bahwa Thomas tak bermaksud melukai siapa pun kecuali dirinya
sendiri, Mrs. Fenneck berdiri dari belakang meja perpustakaan dan memerintahkan
penjaga perpustakaan untuk menutupi potongan tangan di lantai dengan koran. EMT
dan polisi datang berbarengan. Paramedis dengan segera merawat kakakku,
mengikatnya ke brankar, dan mengepak tangannya yang terpotong di tas plastik
berisi es yang diambilkan seseorang dari lemari es di ruang duduk pustakawan.
Di unit gawat darurat, kakakku sadar dan menolak semua usaha medis untuk
menyambungkan kembali tangannya. Ayah tiri kami, Ray, sedang pergi dan tak bisa
dihubungi. Sedangkan aku saat itu sedang berdiri di perancah, mencuci jendela
bangunan Victoria tiga lantai di Gillette Street, ketika mobil patroli datang
dengan sirene dan lampu biru berkilatan, berhenti di depan jalan masuk. Aku tiba
di rumah sakit ketika Thomas sedang berdebat dengan dokter bedah yang sudah
dihubungi, dan sebagai keluarga terdekat kakakku setelah ayah
kami, aku diminta mengambil keputusan apakah operasi sebaiknya dilanjutkan atau
tidak. "Kami akan membiusnya total, memberinya obat penenang biar dia tidak
mengamuk ketika sadar nanti," janji sang dokter. Dia masih muda dengan rambut
gaya reporter TV tiga puluh tahunan kalau tak salah. Dia berbicara dengan nada ?normal, bahkan tidak berusaha berbisik-bisik di depan kakakku.
"Kalau begitu, aku akan memotongnya lagi," kata kakakku. "Kau kira beberapa
jahitan bisa menahanku melakukan apa yang harus kulakukan" Aku punya perjanjian
dengan Tuhan Yang Mahakuasa."
"Kami bisa mengikatnya selama beberapa hari pertama jika harus," lanjut sang
dokter. "Memberi kesempatan saraf untuk beregenerasi."
"Hanya ada satu penyelamat di alam semesta ini, Dokter," teriak Thomas. "Dan itu
bukan kauf" Dokter dan Thomas, keduanya memandangku. Kukatakan, aku perlu waktu beberapa
menit untuk berpikir, menjernihkan otakku. Aku meninggalkan ruang operasi dan
mulai berjalan ke koridor.
"Kalau begitu, jangan berpikir terlalu lama," kata dokter bedah dari belakangku.
"Saat ini kesempatannya hanya fifty-fifty, dan semakin lama kita menunggu,
kesempatannya semakin sedikit."
Darah berdentum di kepalaku. Aku sayang kakakku. Aku benci dia. Tak ada jalan
keluar tentang siapa dirinya. Tak ada jalan kembali untuk mengubahnya.
Ketika aku sampai di ujung koridor yang buntu, satu-satunya argumen yang muncul
di kepalaku hanyalah argumen yang bodoh: Apakah dia masih bisa berdoa tanpa menangkupkan
kedua tangannya" Masih bisa menuang kopi" Memegangi anunya" Dari ujung lain
koridor kudengar Thomas berteriak. "Itu adalah tindakan religius1. Sebuah
pengorbanan1. Mengapa harus kau yang selalu punya kuasa atas diriku?"
Kuasa: itulah kata kunci yang mendorongku mengambil keputusan. Tiba-tiba si
dokter bedah dengan rambut bevgel itu adalah ayah tiri kami dan semua jagoan
serta pialang kekuasaan yang membuat Thomas menderita. Katakan pada mereka,
Thomas, pikirku. Kau harus berjuang untuk hakmu!
Aku kembali menyusuri koridor dan mengatakan pada dokter bahwa jawabannya adalah
tidak. "Tidak?" katanya. Dia sudah mencuci tangan dan mengenakan pakaian operasi. Dia
memandangku tak percaya. "Tidak?"
Di ruang operasi, dokter lalu mengambil kulit dari paha atas kakakku dan
menggunakannya untuk menutupi pergelangan tangannya yang terpotong. Operasinya
butuh waktu empat jam. Ketika semua selesai, beberapa reporter koran dan TV
telah menelepon rumahku dan berbicara kepada Joy.
Selama beberapa hari berikutnya, narkotik menetes dari selang ke tulang punggung
kakakku untuk mengurangi rasa sakitnya. Antibiotik dan antipsikotik disuntikkan
ke pergelangannya untuk melawan infeksi, juga mengurangi upaya pemberontakannya.
Daftar pengunjung yang "disetujui" membuat media tak bisa menemuinya,
tetapi Thomas dengan tidak sabar dan tegas, menerangkan kepada semua
orang detektif polisi, psikiater, perawat, dan pembersih kamar bahwa dia tak
? ?bermaksud bunuh diri. Dia hanya ingin membuat pernyataan publik yang akan
membangunkan Amerika, membantu kami semua melihat apa yang telah dia lihat,
mengetahui apa yang telah dia ketahui: bahwa negara ini harus menghapuskan
keserakahan yang jahat dan mengikuti jalan yang lebih spiritual kalau kita masih
ingin bertahan hidup, kalau kita tak mau tersandung mayat anak-anak kita sendiri
yang terbantai. Sebelum ini dia adalah Thomas si peragu, katanya, tetapi kini
dia adalah Simon Peter batu fondasi bangunan ordo Tuhan yang baru. Dia telah
?diberkahi, katanya, dengan karunia dan beban kemampuan melihat masa depan. Kalau
saja orang mau mendengar, dia bisa memimpin jalannya.
Dia mengulangi semua ini kepadaku pada malam sebelum dia keluar dari rumah sakit
dan masuk kembali ke Three Rivers State Hospital, yang secara berkala menjadi
rumahnya sejak 197D. "Ka-dang, aku heran mengapa harus aku yang terpilih untuk
melakukan semua ini, Dominick," katanya menghela napas. "Mengapa semua ini
dibebankan kepadaku. Ini sungguh berat."
Aku tidak menjawabnya. Aku tak mampu berbicara sama sekali. Tak mam-pu melihat
tangan yang telah dia potong sendiri meskipun tangan itu sekarang telah bersih ?dan diperban. Alih-alih, aku memandang tangan pengecat rumahku yang kasar
dan bernoda. Memandang tangan kiriku mencengkeram pergelangan tangan kanan.
Keduanya lebih terlihat seperti benda mati, bukan tangan. Aku tak bisa merasakan
apa pun pada kedua tangan itu.^*-
Dua Suatu Sabtu pagi ketika aku dan kakak kembarku berusia sepuluh tahun, televisi
kami tiba-tiba meledak. Thomas dan aku menghabiskan hampir sepanjang pagi itu bermalas-malasan dalam
piama kami, menonton kartun dan mengabaikan perintah Ma agar kami segera pergi
ke atas, mandi, dan berganti baju. Kami seharusnya membantu Ma di luar,
membersihkan jendela. Setiap kali Ray memberikan perintah, Thomas dan aku pasti
langsung menurut, tetapi akhir pekan itu ayah tiri kami sedang pergi berburu
itik dengan temannya Eddie Banas. Mematuhi Ma menjadi tidak wajib.
Ketika itu terjadi, Ma sedang ada di luar memandang ke dalam berdiri di petak
?geranium di atas bangku sehingga dia bisa mencapai jendela ruang duduk. Beberapa
rol rambut masih bertengger di kepalanya. Saku mantelnya penuh dengan tisu. Saat
dia menyemprotkan Windex dan mengelap kaca, tangannya yang bergerak melingkar
terlihat seakan melambai ke arah kami. "Kita sebaiknya keluar dan membantunya,"
kata Thomas. "Bagaimana kalau Ma bilang pada Ray"1
"Ma tak akan bilang," kataku. "Dia tak pernah
bilang." Itu benar. Tak peduli seberapa marah Ma karena kami, dia tak akan menyodorkan
kami untuk dimangsa raksasa lima kaki enam inci yang tidur mendengkur di kamar
tamu lantai atas pada hari kerja, bangun karena bunyi weker tepat pukul 15.30
tiap sore, dan membangun kapal selam pada malam hari. Electric Boat, shift
ketiga. Di rumah kami, kau harus berjingkat-jingkat dan berbisik pada siang hari
dan baru bebas setiap malam pukul 21.30 ketika Eddie Banas, teman Ray yang juga
kerja di shift ketiga, menghentikan mobilnya di depan rumah kami dan membunyikan
klakson. Aku selalu menunggu-nunggu bunyi klakson itu. Mendambakannya. Dengan
bunyi itu, semua anggota tubuh yang kaku tertahan jadi lentur, dada dan tangan
bisa rileks, dan kami kembali bisa bernapas panjang. Kadang-kadang, pada malam-
malam seperti itu, aku dan Thomas merayakan bunyi bantingan pintu truk Eddie
dengan melompat-lompat di atas kasur kami, dalam gelap. Kebebasan dari Ray
mengubah kasur kami menjadi trampolin.
"Hei, lihat," kata Thomas, memandang heran ke arah TV. "Apa?"
Lalu aku pun melihatnya: lingkaran asap tipis muncul dari bagian belakang TV.
Aku ingat, saat itu kami sedang menonton tayangan Howdy Doody Show. Si Badut
Clarabel sedang mengejar seseorang yang membawa sebotol jus. Tiba-tiba,
gambar dan suaranya mati. Api menyambar dinding ruang duduk.
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kukira orang-orang Rusia yang melakukannya bahwa Khrushchev akhirnya
?menjatuhkan bom. Jika hal yang tak terbayangkan terjadi, kata Ray suatu kali
pada saat makan malam, markas kapal selam dan Electric Boat dijamin menjadi
target utama. Kami akan merasakan ledakan bom itu hingga sembilan mil ke arah
Three Rivers. Api akan muncul di mana-mana. Lalu yang terburuk: meleleh. Tangan,
kaki, dan wajah orang-orang akan meleleh seperti keju.
"Tiarap! Berlindung!" teriakku pada Thomas. Aku dan Thomas menjatuhkan diri ke
lantai dalam posisi tiarap seperti yang diajarkan guru pertahanan diri di
sekolah kami. Terdengar ledakan dari arah TV, dan asap hitam tebal membubung.
Hujan kaca mengguyur ruang duduk.
Suara ledakan dan asap membuat Ma tergesa-gesa masuk sambil menjerit. Sepatunya
menginjak kaca saat dia berlari ke arah kami. Ma menggendong Thomas dan
menyuruhku naik ke punggungnya.
"Kita nggak bisa keluar!" teriakku. "Bom!"
"Ini bukan bom!" teriak Ma. "TV-nya!"
Di luar, Ma menyuruh Thomas dan aku berlari menyeberang jalan dan mengatakan
kepada keluarga Anthony untuk menelepon pemadam kebakaran. Ketika Mr. Anthony
menelepon pemadam kebakaran, Mrs. Anthony menghilangkan pecahan kaca dari rambut
kami dengan sikat kecil. Kami
meludahkan dahak yang penuh dengan jelaga. Ketika kami kembali ke trotoar di
depan rumah keluarga Anthony, Ma sudah hilang.
"Di mana ibu kalian?" teriak Mrs. Anthony. "Ia nggak kembali ke sana, kan"
Jesus, Maria, Joseph!"
Thomas mulai menangis. Lalu, Mrs. Anthony dan aku juga mulai menangis. "Cepat!"
teriak Thomas pada suara sirene di kejauhan. Lewat jendela ruang duduk, aku bisa
melihat api melahap gorden berenda rumah kami.
Sekitar semenit kemudian, Ma muncul dari rumah yang terbakar, tersedu-sedu,
mendekap sesuatu erat-erat di dadanya. Satu saku mantelnya terbakar karena penuh
tisu; mantelnya berasap. Mr. Anthony melepas paksa mantel Ma dan menginjak-injaknya. Truk pemadam
kebakaran muncul di tikungan dengan sirene menyala. Para tetangga terburu-buru
keluar dari rumah mereka untuk berkerumun dan menonton.
Bau hangus menguar dari tubuh Ma. Api membakar alisnya dan membuat wajah Ma
hitam legam. Ketika dia mengulurkan tangan untuk merangkul Thomas dan aku,
beberapa helai foto jatuh ke tanah. Saat itulah aku sadar mengapa dia kembali ke
rumah: menyelamatkan album fotonya dari tempat penyimpanan di laci terbawah
lemari keramik. "Semua baik-baik saja sekarang," katanya berulang-ulang. "Semua baik-baik saja,
baik-baik saja." Dan, bagi Ma, semua memang baik-baik saja. Rumah yang dibangun
ayahnya terselamatkan. Kedua putra kembarnya ada dalam pelukan. Album
fotonya utuh dalam genggaman. Baru minggu lalu, aku memimpikan ibuku yang ?meninggal karena kanker payudara sejak 1987 berdiri di dekat jendela
?kondominium tempatku tinggal bersama Joy, memandang kepadaku dan mengatakan
janji dari masa lalu. "Semua baik-baik saja, baik-baik saja, baik-baik saja."
Kadang, selama Ma membuka dan menutup kembali album foto penuh sesak yang sangat
dia sayangi itu, dua penjepit kuningan yang menyatukan sampul depan dan belakang
akan bengkok dan patah, sehingga sebagian besar halaman album itu longgar dan
akhirnya lepas. Album itu telah rusak selama bertahun-tahun, ketika pada Oktober
1986, Ma sendiri tubuhnya dibuka dan ditutup lagi di atas meja bedah Rumah Sakit
Yale-New Haven. Setelah beberapa bulan selalu merasa lelah dan capai, dan
menderita flu yang tak sembuh-sembuh, Ma menemukan benjolan di payudara kirinya.
"Tak lebih besar dari penghapus pensil," katanya kepadaku lewat telepon. "Tapi,
Lena Anthony berkata sebaiknya aku pergi ke dokter, jadi aku pergi."
Payudara kiri ibuku diangkat. Seminggu kemudian, dia diberi tahu bahwa kankernya
telah menyebar ke tulang dan limfa. Dengan keberuntungan dan terapi agresif, ?kata onkologis kepadanya, ibuku mungkin bisa bertahan enam hingga sembilan bulan
lagi. Ayah tiriku, kakak kembarku, dan aku, berjuang sendiri-sendiri dengan perasaan
kami tentang penyakit dan sakitnya Ma hukuman mati yang diterimanya. Masing-masing kami
?berusaha, dengan cara kami masing-masing, untuk menebus perasaan kami pada Ma.
Thomas mulai bekerja di ruang kesenian dan kerajinan di Rumah Sakit Jiwa Settle
Building. Ketika Ma berbaring di rumah sakit, menjalani scaning dan pemeriksaan,
juga diberi racun pembunuh kanker, Thomas menghabiskan berjam-jam merakit dan
mengelem dan melapisi sesuatu yang bernama "kolase gado-gado" sebuah bentuk tak
?keruan yang terdiri dari kacang-kacangan, cincin pengait, kancing, makaroni, dan
kacang polong kering yang membentuk tulisan: TUHAN = CINTA! Ketika diperbolehkan
pulang dari rumah sakit, Ma menggantung hiasan itu di dinding dapur, tempat
ratusan bulatan lengket itu seakan-akan berdenyut hidup sebuah organisme di
?bawah mikroskop, molekul yang melompat-lompat di film sains. Melihat benda itu
selalu membuatku kesal. Ayah tiriku memutuskan akan memperbaiki album Ma yang rusak, untuk pertama dan
terakhir kalinya. Dia mengambil album itu dari laci lemari keramik dan
membawanya ke garasi. Di sana dia memperbaikinya, menguatkan ikatan yang rusak
dengan potongan lembaran aluminium dan baut baja kecil. "Sudah baik sekarang,"
kata Ray kepadaku, memperlihatkan album yang sudah diperbaiki itu. Dia
memegangnya sepanjang lengan dan membukanya ke arah bawah, menggerak-gerakkan
sampulnya naik turun seakan sampul itu adalah sayap bebek buruannya yang
tertangkap. Proyekku untuk ibuku yang sekarat adalah yang paling mahal dan ambisius. Aku
akan merenovasi dapur era 1950-annya yang bernuansa pink, melapisi dinding
semennya yang sudah retak, mengganti lemari-lemari yang berkeriut dengan yang
modern, dan memasang meja di tengah dapur dengan oven dan kompor built-in.
Kurasa aku mendapatkan gagasan itu karena ingin menunjukkan pada Ma bahwa aku
adalah orang yang paling mencintainya ketimbang yang lain. Atau akulah yang
paling bersyukur dari kami bertiga terhadap semua yang dilakukan Ma untuk kami.
Atau aku adalah orang yang paling prihatin atas dirinya karena nasib telah
memberinya, pertama-tama, suami yang pemarah, dan lalu seorang anak skizofrenik,
kemudian nasib kembali menepuknya di bahu dan begitu saja memberinya kanker.
Ternyata belakangan, yang kubuktikan hanya bahwa akulah orang yang paling kukuh
menolak kenyataan. Jika aku mau repot-repot memberi Ma dapur baru yang mahal,
maka sebaiknya dia hidup cukup lama untuk mengapresiasinya.
Aku datang ke rumah ibuku di jajaran rumah kopel dari bata itu pada suatu Sabtu,
pagi-pagi sekali, kurang dari seminggu setelah dia kembali dari rumah sakit. Ray
secara terus terang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap proyekku dan langsung
pergi dengan bersungut-sungut begitu aku tiba. Terlihat pucat dan berjalan
perlahan, Ma memaksakan seulas senyum dan mulai mengeluarkan semua stoples dan
barang-barangnya dari dapur ke tempat penyimpanan sementara. Dia mengamati dari pantry ketika aku
memulai langkah pertama renovasiku, menempa pahatku dengan palu dan
memasukkannya ke sela-sela lis dan dinding. Kulihat tangan Ma menggenggam di
mulutnya, mengetuk dan mengetuk bibirnya.
Diiringi bunyi retakan dan erangan paku yang terlepas dari dinding, lis selebar
empat kaki terlepas dari dinding, memperlihatkan semen dan kayu juga balok
tempat seseorang telah menuliskan catatan dan perhitungan di atasnya. "Lihat,"
kataku, ingin menunjukkan pada ibuku tulisan yang kurasa adalah tulisan tangan
ayahnya. Namun ketika berbalik, baru kusadari bahwa aku berbicara dengan pantry
yang kosong. Saat itu aku tiga puluh enam tahun, belum setahun bercerai dan tidak bahagia.
Kadang tengah malam, aku masih berusaha meraih Dessa, dan ranjang kosong di
sisiku akan membuatku terbangun. Kami menikah selama enam belas tahun.
Aku menemukan ibuku duduk di ruang tamu, berusaha menyembunyikan air matanya.
Album foto yang baru saja diperbaiki Ray ada di pangkuannya.
"Ada apa?" Dia menggeleng, kembali mengetukngetuk bibir dengan genggamannya. "Aku tak tahu,
Dominick. Kau teruskan saja. Hanya saja, dengan semua yang terjadi sekarang ini
...." "Ma tidak menginginkan dapur baru?" tanyaku. Pertanyaanku itu terdengar seperti
ancaman. "Sayang, bukan berarti aku tidak
menghargainya." Dia menepuk tempat kosong di sebelahnya, di sofa. "Ke sini.
Duduklah." Masih berdiri, aku mengingatkan bahwa dia telah mengeluh selama puluhan tahun
tentang dapurnya yang tak punya cukup tempat. Aku menggambarkan kompor yang
kulihat di Kitchen Depot kompor yang nyalanya rata terus, mudah dibersihkan. ?Aku terdengar seperti pramuniaga yang memanduku memasuki satu per satu ruangan
ajaib di Kitchen Depot. Ma berkata, dia tahu dapur baru akan sangat menyenangkan, tapi mungkin yang
benar-benar dia butuhkan sekarang adalah agar semua hal tetap pada tempatnya.
Aku duduk. Menghela napas. Kalah.
"Jika kau ingin memberiku sesuatu," katanya, "beri aku sesuatu yang kecil saja."
"Oke, baiklah," sungutku. "Aku akan membuatkanmu kolase gado-gado seperti
Thomas. Hanya saja, punyaku akan bertuliskan HIDUP ITU MENYEBALKAN. Atau YESUS
KRISTUS SIALAN." Ibuku adalah seorang wanita yang religius, dan kata-kataku itu
sama saja dengan menusukkan pahatku ke jahitan lukanya.
"Jangan bersikap sinis, Sayang," katanya.
Tiba-tiba saja, entah mengapa, aku menangis air mata dan sedu sedan yang
?tertahan mencekik tenggorokanku. "Aku takut," kataku.
"Apa yang kau takutkan, Dominick" Katakan padaku."
"Aku tak tahu," kataku. "Aku takut untukmu."
Tetapi sebenarnya, diriku sendirilah yang kutakutkan. Mendekati usia empat puluh
tahun, aku tak punya istri dan tak punya anak. Kini, aku juga akan kehilangan
ibuku. Ditinggalkan dengan saudaraku yang gila dan Ray.
Ma mengulurkan tangan dan mengelus lenganku. "Sayang," katanya, "ini memang
menakutkan. Tapi, aku menerimanya karena inilah kehendak Tuhan untukku."
"Kehendak Tuhan," ulangku, tetap sinis. Aku menarik lengan bajuku,
mengusapkannya ke mata dan berdehem membersihkan tenggorokanku.
"Beri aku sesuatu yang kecil," ulang Ma. "Kau ingat, musim semi lalu saat kau
mampir dan berkata, 'Hai Ma, masuk ke mobil dan aku akan mentraktirmu minum hot
fudge sundae"' Itu adalah hal yang kusukai. Mampirlah ke rumah, itu saja.
Melihat-lihat album ini denganku."
Terselip di bagian dalam sampul album ibuku adalah dua gambar Thomas dan aku
yang digunting empat puluh tahun lalu dari Three Rivers Daily Record. Kliping
berita yang dilipat itu sudah berwarna cokelat dimakan usia, terasa kering dan
ringan seperti kulit mati. Di foto pertama, kami masih bayi keriput, tubuh kami
yang mengenakan popok saling membentuk tanda petik. KEMBAR IDENTIK LAHIR PADA
TAHUN LAMA, DAN TAHUN BARU, demikian judul berita itu dan seterusnya menerangkan
bahwa Thomas dan Dominick Tempesta lahir di Daniel P.
Shanley Memorial Hospital tanggal 31 Desember 1949 dan pada 1 Januari 195D,
secara berurutan dengan jarak waktu enam menit dan pada tahun yang berbeda. ?(Artikel tersebut tidak menyebutkan ayah kami dan mengatakan bahwa ibu kami yang
tak disebutkan namanya "baik-baik saja". Kami adalah anak haram; kelahiran kami
pasti akan diabaikan oleh koran kalau saja kami bukan bayi tahun baru.) "Thomas
kecil lahir pertama, pada pukul 23.57," tulis berita itu. "Adiknya Dominick
menyusul pada pukul 00.03. Mereka berdua membagi paruh awal dan paruh akhir abad
kedua puluh." Dalam kliping berita kedua, tertanggal 24 Januari 1954, kakakku dan aku telah
menjadi Thomas dan Dominick Birdsey. Kami mengenakan topi pelaut yang sama dan
jaket wol hijau muda dan memberi hormat kepada pembaca Daily Record. Mamie
Eisenhower berjongkok di antara kami berdua, lengannya yang memakai mantel bulu
mink merangkul pinggang kami. Mrs. Eisenhower dengan rambutnya yang pendek dan
topi berbunga, tersenyum ke arah kamera. Sementara Thomas dan aku, berusia empat
tahun, memandang ke arah kamera dengan tatapan bingung dan patuh. Gambar ini
diberi judul IBU NEGARA MENDAPAT PENGHORMATAN GANDA.
Pada hari musim dingin itu, sang istri presiden sedang ada di Groton,
Connecticut, untuk memecahkan sebotol sampanye di USS Nautilus, kapal selam
bertenaga nuklir pertama di Amerika.
Keluarga kami berdiri di tengah kerumunan di bawah panggung kehormatan, mendapat
tiket untuk menjadi tamu resmi karena pekerjaan ayah tiri kami sebagai pemasang
pipa di Electric Boat. EB dan Angkatan Laut bekerja sama membangun Nautilus,
harapan terbesar Amerika untuk mengalahkan Komunisme.
Menurut cerita ibuku, pagi itu dingin dan berkabut, tetapi tepat ketika acara
peresmian kapal selam akan dimulai, matahari tiba-tiba muncul dan menerangi
perayaan itu. Ma sebelumnya berdoa kepada St. Anne agar diberikan cuaca bagus,
dan dia melihat kemunculan matahari yang tiba-tiba ini sebagai keajaiban kecil,
sebuah pertanda yang menegaskan apa yang sudah diketahui semua orang: bahwa
Surga ada di pihak kami, Surga ikut memerangi Komunisme tak bertuhan yang ingin
menaklukkan dunia dan meledakkan Amerika hingga berkeping-keping.
"Itu adalah hari paling membanggakan dalam hidupku, Dominick," kata Ma padaku
pagi itu ketika aku baru saja mulai, lalu menghentikan, renovasi dapurnya, dan
malah duduk di sebelahnya melihat album bersamanya. "Melihat kalian berdua
bersama istri presiden. Aku mengingat hari itu seperti baru terjadi kemarin.
Mamie dan beberapa istri admiral ada di atas panggung VIP, melambai ke arah
kerumunan, dan aku berkata pada ayah kalian, 'Lihat, Ray. Ia menunjuk langsung
ke anak-anak!' Ia berkata, 'Yang benar saja. Mereka hanya bergaya.' Tetapi, aku
yakin bahwa dia melihat kalian berdua.
Itu selalu terjadi. Orang-orang selalu memerhatikan anak kembar. Kalian berdua
selalu spesial." Kenangan bahagianya akan hari-hari yang telah lalu menguatkan suaranya, dan
memberikan semangat pada gerakannya. Masa lampau, foto-foto tua, terang matahari
yang tiba-tiba menyorot dari jendela depan; gabungan semua itu membuatnya senang
dan kurasa sedikit menghilangkan rasa sakit yang dia rasakan
"Lalu, tiba-tiba saja, kita berempat sudah mengikuti beberapa pria dari Dinas
Rahasia menuju ruang duduk di Klub Perwira. Ray masuk dengan percaya diri
tentunya, tetapi aku sangat takut. Kukira kita akan mengalami masalah atau
sejenisnya. Ternyata, kita masuk atas perintah Mrs. Eisenhower. Dia ingin difoto
bersama kedua anak lelakiku!
"Dan mereka juga memperlakukan kita seperti orang terhormat. Ayahmu minum
koktail bersama Admiral Rickover dan beberapa perwira berpangkat tinggi lainnya.
Mereka menanyakan padanya tentang saat ketika dia masih di militer. Lalu,
seorang pelayan membawakan kalian berdua soda jeruk dingin dalam gelas yang
hampir setinggi kalian berdua. Aku takut sekali kalau-kalau salah seorang dari
kalian menumpahkan soda ke baju Mamie."
"Apa yang Ma minum bersamanya?" candaku. "Wiski dan bir?"
"Oh, Sayang, aku sama sekali tak minum apa-apa. Aku benar-benar gugup berdiri
begitu dekat dengannya. Dia memesan Manhattan, seingatku,
dan beberapa biskuit crackers dengan selai. Dia sangat ramah dan tidak sombong.?Dia bertanya padaku apakah aku sendiri yang menjahit baju pelaut yang kau pakai
bersama Thomas. Dia bercerita padaku bahwa dia kadang masih merajut saat
melakukan perjalanan bersama Presiden, tetapi dia tak berbakat menjahit. Ketika
dia berjongkok untuk difoto bersama kalian berdua, dia bercerita pada kalian
tentang cucu laki-lakinya yang sedikit lebih tua dari kalian. David Eisenhower
maksudnya. Suami Julie Nixon. Camp David."
Ma menggelengkan kepalanya dan tersenyum, masih tak percaya semua itu terjadi.
Lalu, dia mengambil selembar Kleenex dari lengan baju mandinya dan mengusap
matanya. "Kakek kalian pasti tak akan percaya," katanya. "Pertama, dia datang ke
negara ini dengan saku baju berlubang, dan yang kemudian terjadi adalah dua cucu
laki-lakinya berteman dengan First Lady Amerika Serikat. Papa pasti sangat
bangga akan itu. Dia akan sombong seperti seekor merak."
Papa. Domenico Onofrio Tempesta kakekku dari pihak ibu, asal namaku adalah figur
? ?sentral di album fotonya sekaligus dalam hidupnya. Papa meninggal pada musim
panas 1949, tanpa menyadari bahwa anak perempuannya yang berusia tiga puluh tiga
tahun yang merawat rumahnya anaknya satu-satunya sedang mengandung anak
? ?kembar. Ketika kami tumbuh besar, kakakku dan aku mengenal Papa sebagai teladan
sempurna berwajah kaku dengan pencapaian cemerlang, tokoh utama dari beberapa lusin foto
menguning, bintang dari ratusan anekdot. Setiap kisah yang diceritakan Ma pada
kami tentang Papa menekankan pesan bahwa dia adalah sang bos, dia menguasai
rumah, bahwa apa yang dia katakan itulah yang terjadi.
Papa beremigrasi ke Amerika dari Sisilia pada 1901 dan berhasil maju karena dia
pintar menggunakan uangnya dan tidak takut bekerja keras, sungguh kami sangat
beruntung! Dia membeli tanah seluas seperempat hektar dari seorang janda petani
dan menjadi imigran Italia pertama yang memiliki tanah di Three Rivers,
Connecticut. Papa menaungkan atap di atas kepala kami, membangun "dengan kedua
tangannya sendiri" rumah bata Victoria di Hollyhock Avenue, tempat kami tinggal
saat kanak-kanak tempat ibuku tinggal sepanjang hidupnya. Papa memiliki kemauan
?baja dan keras kepala sifat yang sangat diperlukan untuk membesarkan seorang
?anak perempuan "sendirian". Jika kami pikir Ray itu kaku, semestinya kami
mengenal Papa! Suatu ketika, saat Ma masih kecil, dia merengek tak mau makan
telur goreng untuk makan malam. Papa membiarkannya merengek dan merengek, lalu
tanpa berkata sepatah pun, meraih ke depan dan mendorong kepala Ma ke piringnya.
"Kuning telur menempel di rambutku dan di ujung hidungku dan bahkan bulu mataku.
Aku menangis keras sekali. Setelah malam itu, aku selalu makan telurku dan tak
pernah rewel lagi!"
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kali lain, ketika Ma masih remaja dan bekerja di
toko Rexall, Papa menemukan sebungkus rokok rahasia milik Ma dan langsung pergi
ke toko obat itu, memaksa Ma memakan salah satu rokok Pali Malinya. Tepat di
depan para pelanggan dan bosnya, Mr. Chase. Dan Claude Sminkey, penjaga mesin
soda yang ditaksir setengah mati oleh Ma. Setelah Papa pergi, Ma berlari keluar
dan muntah di trotoar, menjadi tontonan para pejalan kaki. Dia keluar kerja, dan
merasa sangat malu pada dirinya sendiri. Tetapi dia tak pernah merokok
lagi bahkan tak pernah menyukai bau rokok setelah itu. Papa benar-benar ?membuatnya kapok. Ma telah melanggar aturan ayahnya dan lalu menyesalinya. Jelas
bahwa Papa tidak mau orang yang tinggal di rumahnya main sembunyi-sembunyi dari
dirinya. Tiba-tiba, di tengah kebersamaan kami melihat-lihat album foto itu, Ma
menyuruhku menunggu. Dia ingin mengambil sesuatu. Desah kesakitan pelan
terdengar dari mulutnya saat dia berdiri dan menuju tangga.
"Ma, apa pun itu, biar aku yang mengambilkan-nya untukmu," kataku.
"Tak apa-apa, Sayang," sahutnya dari tangga. "Aku lebih tahu pasti di mana
tempatnya." Aku membuka-buka lembaran album saat menunggu seolah melihat film yang
?terpotong-potong dan tak sempurna tentang keluargaku. Tiba-tiba aku sadar bahwa
ibuku telah menyusun album ini sebagai rekaman perjalanan hidup ayahnya, Thomas,
dan aku. Orang-orang lain hanya muncul di belakang layar: Ray, Dessa,
pasangan Anthony di seberang jalan, Tusia bersaudara dari sebelah. Akan tetapi,
kakekku, kakakku, dan aku, adalah bintang album ibuku. Ma sendiri, malu difoto
dan merasa malu akan bibirnya yang sumbing, hanya muncul dua kali dalam album
foto keluarga. Di foto pertama, dia adalah salah satu anak di barisan murid
sekolah berwajah masam yang berpose di depan St. Mary of Jesus Christ Grammar
School. (Dua tahun lalu, gereja menjual bangunan sekolah yang lapuk itu kepada
sebuah developer dari Massachusetts yang mengubahnya menjadi apartemen. Aku ikut
tender untuk pengecatan bagian dalam, tetapi dikalahkan oleh Paint Plus.) Di
foto kedua, Ma berumur sekitar sembilan atau sepuluh tahun. Dia berdiri di
samping ayahnya yang jangkung di depan beranda rumah di Hollyhock Avenue,
mengenakan gaun seperti karung dan wajah kaku sesuai dengan wajah Papa. Di kedua
foto tersebut, ibuku menutupkan tangan di depan wajahnya untuk menutupi mulutnya
yang cacat. Rupanya itu adalah gerakan tubuh yang telah dia pelajari sejak lama dan dia
praktikkan sepanjang hidupnya: menyembunyikan bibirnya yang sumbing dengan
tangan kanannya permintaan maaf tak henti-hentinya pada dunia karena sebuah
?cacat sejak lahir yang tak bisa dia tolak. Bibir atasnya, sumbing tepat di
bagian kiri gigi seri atas, menampakkan satu setengah sentimeter gusi dan
mengesankan seolah dia selalu mengejek. Tetapi, Ma tak pernah mengejek. Dia
meminta maaf. Dia menutupkan tangan di depan mulutnya bahkan di depan penjaga toko dan penjual
keliling, untuk tukang pos dan guru yang datang pada hari berkunjung ke rumah,
di depan para tetangga, suaminya, dan bahkan kadang pada dirinya sendiri ketika
dia duduk di ruang tamu menonton TV dan bayangannya tampak di layar.
Ibuku hanya sekali menyinggung bibirnya yang sumbing, suatu hari pada 1964
ketika dia duduk di hadapanku di ruang praktik dokter mata. Sebulan sebelumnya,
guru aljabarku di kelas sembilan menyarankan pada ibuku agar mataku dites
setelah memergokiku menyipitkan mata saat melihat ke papan tulis. Namun, aku
menolak. Kacamata hanya untuk anak pintar, untuk pecundang, dan anak aneh. Aku
gusar karena Thomas tidak menderita miopia juga jadi, meskipun kembar, dia tak
?harus ikut-ikutan memakai kacamata jelek seperti aku. Padahal, dia-\ah anak aneh
itu, si kutu buku. Dia yang seharusnya terkena rabun jauh. Jika Ma tetap
memaksaku memakai kacamata, kataku padanya, aku tetap tak akan memakainya.
Namun, Ma bilang kepada Ray, dan Ray mengeluarkan salah satu ultimatum makan
malamnya. Jadi, aku pergi ke Dr. Wisdo, bertingkah seburuk yang kubisa, dan
sengaja gagal membaca tulisan yang ditempel di dinding. Dua minggu kemudian,
bingkai kacamata hitamku yang terbuat dari plastik sedang dipas di wajahku di
ruang praktik berpenerangan fluoresen dengan cer-min yang terlalu banyak.
"Kurasa kacamata itu membuatmu terlihat tampan, Dominick," hibur Ma. "Terhormat.
Ia terlihat seperti Ray Milland muda. Iya kan, Dokter?"
Dr. Wisdo tidak menyukaiku karena kelakuanku yang buruk saat kunjungan pertama
dahulu. "Yah gumamnya enggan, "kalau Anda bilang begitu,
sih." Semua ini terjadi ketika aku mengalami demam pubertas dan Beatle-mania. Musim
panas sebelumnya, di lapangan basket di Fitz Field, seorang anak bernama Billy
Grillo menunjukkan padaku dan Marty Overturf setumpuk buku stensilan kisut
terkena hujan yang dia temukan di taman dalam sebuah tas plastik: Sensuous
Sisters, Lusty Days & Lusty Nights, The Technician of Ecstasy. Aku mengambil dua
buku yang basah oleh embun itu dan membawanya ke meja piknik tempat aku membaca
halaman per halamannya yang sudah mulai memudar, terpesona sekaligus jijik
membaca hal-hal yang dilakukan pria pada wanita, hal-hal yang dilakukan wanita
pada diri mereka sendiri, dan pada satu sama lain. Semua itu membuatku
ternganga. Hari itu aku pulang dari main basket, menjatuhkan diri ke ranjang dan
tertidur, dan terbangun di tengah-tengah mimpi basahku yang pertama. Tak lama
setelah itu, The Beatles muncul di acara Ed Suiiivan. Di balik pintu kamar mandi
yang terkunci, aku mulai menyisir poniku ke depan dan membayangkan fantasi
tentang gadis-gadis yang menjeritjerit melihat The Beatles apa yang bisa ?dilakukan gadis-gadis itu padaku dan apa yang
aku lakukan pada mereka. Jadi, tampak mirip Ray Milland, salah satu bintang film
lama favorit ibuku, adalah hal terakhir yang kuinginkan.
"Bisa diam nggak, sih?" kataku pada Ma, tepat di depan Dr. Wisdo.
"Hei, hei, hei, sudahlah. Sudah cukup," protes Dr. Wisdo. "Anak macam apa yang
bilang 'Diam' pada ibunya sendiri?"
Ma menutupkan tangannya di depan mulut dan mengatakan pada dokter bahwa dia tak
apa-apa. Aku cuma kecewa. Ini bukanlah aku yang sebenarnya.
Memangnya Ma tahu siapa aku sebenarnya, senyumku sinis dalam hati.
Dr. Wisdo berkata bahwa dia harus keluar ruangan beberapa saat dan ketika dia
kembali, dia berharap aku sudah minta maaf pada ibuku yang malang.
Selama beberapa saat, tak satu pun dari kami yang mengatakan sesuatu. Aku cuma
duduk di sana, tersenyum sinis penuh perlawanan pada ibuku, merasa menang
sekaligus merasa buruk. Lalu Ma mengejutkanku. "Kau pikir kacamata itu buruk,"
katanya. "Coba kalau kau seperti aku. Setidaknya kau masih bisa melepas
kacamatamu." Aku langsung tahu yang dimaksudkan ibuku bibir sumbingnya tetapi
? ?penyebutannya yang tiba-tiba itu menghantamku seperti bola salju yang tepat
mengenai mata. Dari semua topik terlarang di rumah kami, dua hal yang paling
terlarang adalah identifikasi ayah biologis Thomas dan aku, dan
cacat ibuku. Kami tak pernah bertanya tentang keduanya karena kami telah
?diajari untuk tidak bertanya dan menghormati kebungkaman yang hampir-hampir suci
itu. Kini, Ma sendiri melanggar satu dari dua aturan tertinggi. Aku melengos,
terkejut, malu, tapi Ma tak berhenti bicara.
"Suatu kali," katanya, "seorang anak laki-laki, anak jahat bernama Harold
Kettlety, mulai memanggilku 'Muka Kelinci'. Aku tak melakukan apa pun padanya.
Tak satu pun. Aku belum pernah mengganggu siapa pun aku bahkan takut pada
?bayanganku sendiri. Suatu hari, tiba-tiba dia memikirkan nama itu dan menurutnya
itu lucu. 'Halo, Muka Kelinci,' bisiknya padaku dari kursi sebelah. Tak lama,
beberapa anak laki-laki lain mengikutinya. Mereka sering mengejarku saat
istirahat dan memanggilku 'Muka Kelinci'."
Aku duduk terdiam, menggoyang-goyangkan kakiku, ingin ibuku
berhenti mengharapkan Harold Kettlety masih anak-anak sehingga aku bisa ?menemukan dia dan merobek wajahnya.
"Jadi, aku mengadu pada guru, dan dia menyuruhku menghadap kepala sekolah,
Mother Agnes namanya. Dia sangat tegas." Jemari Ma menarik-narik tali buku
sakunya sembari berbicara. "Kepala sekolah mengatakan agar aku berhenti
membesar-besarkan masalah. Aku justru memperburuk keadaan, katanya, dengan
membuat masalah ini diketahui semua orang. Aku sebaiknya mengabaikannya saja ....
Lalu, lebih banyak anak laki-laki mengejekku, bahkan anak laki-laki dari kelas
lain. Hingga semua menjadi sangat buruk, membuatku sering sesak napas sebelum
pergi ke sekolah setiap pagi. Di rumah kita, kau tidak bisa tak masuk sekolah
karena sakit kecuali kau menderita campak atau cacar air. Itu adalah hal yang
paling tidak disukai Papa aku tinggal seharian di rumah, tidak sekolah karena
?beberapa anak menyebalkan mengolok-olokku."
Aku ingin ibuku berhenti. Aku tak ingin mendengar luka dalam suaranya melihat
?bagaimana dia meremas dan memelintir tali buku saku itu. Jika ibuku terus
bicara, mungkin dia akan menyerah dan menceritakan semuanya padaku. "Aku tak
mengerti bagaimana cerita cengeng ini ada hubungannya denganku," kataku.
"Bagaimana kalau langsung saja katakan apa maksudmu sebelum aku mati ketuaan?"
Ibuku langsung diam, dan kurasa dia terdiam mengetahui kenyataan bahwa anaknya
sendiri bergabung dengan Harold Kettlety. Dalam perjalanan pulang dari dokter
mata, aku memilih duduk di kursi belakang dan tidak bicara pada ibuku. Dalam
perjalanan, aku mengeluarkan kacamata baruku dari kotak plastik cokelatnya,
membersihkan lensanya dengan kain bersilikon, dan memakainya. Aku memandang ke
luar jendela, diam-diam terkagum-kagum oleh pemandangan dunia yang lebih tajam
dan jernih daripada yang kuingat. Aku tidak mengatakan apa pun tentang ini,
tidak meminta maaf, dan tak berusaha menebus kesalahanku pada ibuku.
"Ma menangis di bawah," kata Thomas padaku di
kamar kami kemudian. Aku sedang latihan angkat berat, melepas kemeja, memakai
kacamata. "Terus, memangnya aku harus apa?" kataku. "Memegang kain lap di depan
hidungnya?" "Cobalah bersikap baik padanya," katanya. "Dia ibumu, Dominick. Kadang, kau
memperlakukan dia seperti tai."
Aku memandang diriku di cermin kamar kami sembari mengangkat beban, mengamati
otot-ototku yang mulai terbentuk dan yang sekarang bisa kulihat lebih jelas
karena kacamataku. "Kenapa tidak kau katakan saja kata itu daripada mengejanya,"
sambarku sinis. "Langsung saja. Bilang 'tai1. Buat dirimu merasa senang."
Thomas sedang mengganti pakaian sekolahnya ketika kami bicara. Kini dia berdiri,
tangan di pinggang, hanya mengenakan celana, kaus kaki, dan leher turtieneck
palsu yang populer di kalangan anak-anak sok baik di sekolah kami. Thomas punya
empat atau lima jenis barang macam itu dengan warna berbeda. Ya ampun, aku benci
leher turtieneck palsu itu.
Aku memandang kami berdua, berdampingan, di cermin. Di sebelahku, Thomas
kelihatan seperti badut kurus. Mr. Pep Squad Captain. Tuan Sok Baik.
"Aku serius, Dominick," katanya. "Kau sebaiknya memperlakukan Ma dengan baik
atau aku akan bilang Ray. Aku pasti bilang. Jangan kira aku nggak berani."
Itu adalah omong kosong dan kami berdua tahu
itu. Aku meraih lempengan barbelku, menambah beban ekstra pada pegangannya dan
mengangkatnya. Gombal. Anak banci sok baik. "Oh, ya ampun, aku takut," ejekku
padanya. "Aku takut banget, hingga pengin eek di celana."
Thomas berdiri diam, seperti Ma, tatapannya yang sebal luluh menjadi penuh
pengampunan. "Cobalah sedikit tenang, aku cuma mau bilang itu, Dominick,"
katanya. "Ngomong-omong, aku suka kacamatamu."
Ketika Ma kembali menuruni tangga pada hari ketika aku urung merenovasi
dapurnya, dia membawa sebuah brankas metal abu-abu. Aku meletakkan album foto,
berdiri dan berjalan ke arahnya. "Ini, Sayang," katanya. "Ini untukmu. Huh,
berat juga." "Ma, tadi kan aku bilang, biar kuambilkan." Aku mengambil brankas itu darinya.
"Apa sih, isinya?"
"Buka dan lihatlah," katanya.
Ma menempelkan kunci di salah satu sisi kotak itu; aku mencandainya tentang
ini kukatakan, untung dia tidak bekerja di Fort Knox. Dia memandang jari-jariku?melepas isolasi, memasukkan kunci ke lubang dan memutarnya. Dalam keseriusannya
menungguku membuka brankas itu, Ma bahkan tak mendengar guyonanku.
Di dalam kotak itu ada sebuah amplop manila besar melengkung di atas kamus kecil
tak bersampul, diikat dengan karet gelang yang langsung putus begitu kusentuh.
Dalam amplop itu terdapat setumpuk kertas tebal seperti sebuah manuskrip. Sepuluh hingga lima
?belas halaman pertama ditik lembaran asli dan salinan karbon. Sisanya ditulis
?dalam tulisan tangan tulisan tangan yang lancip-lancip dan tak beraturan dengan
?tinta bolpoin biru. "Ini bahasa Italia, kan?" tanyaku. "Apa ini?"
"Kisah hidup ayahku," jawab Ma. "Dia mendiktekannya pada musim panas ketika dia
meninggal." Saat aku membalik-balik lembaran-lembaran itu, aroma kertas yang tua dan lapuk
tercium hidungku. "Mendiktekan kepada siapa?" tanyaku padanya. "Padamu, Ma?"
"Bukan dong," katanya. Apa aku masih ingat keluarga Mastronunzios dari gereja"
Tootsie dan Ida Mastronunzio" Ibuku selalu begitu: menganggap bahwa database
ingatanku tentang semua orang Italia di Three Rivers sama besar dengan
ingatannya. "Hmm ...," gumamku
Aku pasti ingat, Ma ngotot. Mereka punya mobil putih besar yang selalu mereka
bawa ke Misa" Ida bekerja di binatu" Berjalan sedikit pincang" Yah, pokoknya,
Tootsie punya sepupu yang datang dari Italia setelah perang. Angelo Nardi, itu
namanya. Dia dulu adalah seorang juru steno di pengadilan Palermo. "Dia juga
tampan sangat memesona. Dia sedang mencari kerja."
?Ayah Ma telah lama mengatakan betapa dia ingin suatu hari duduk dan menceritakan
kisah hidupnya agar bisa menjadi pelajaran bagi para sisiliani lainnya. Dia beranggapan bahwa
anak muda di Old Country pasti ingin membaca bagaimana salah seorang dari mereka
berhasil datang ke Amerika dan sukses. Berhasil membuat kemajuan. Papa berpikir
kisahnya pasti bisa memberikan inspirasi pada mereka untuk melakukan hal yang
sama. Jadi, ketika bertemu dengan sepupu Tootsie itu pada suatu hari di Italian
Club, dia memunculkan gagasan besarnya. Dia akan menceritakan kisahnya pada
Angelo meminta Angelo menuliskannya, lalu mengetiknya.
?Proyek tersebut dimulai secara besar-besaran, menurut ibuku. "Berhati-hati
dengan uang" selama hidupnya, Papa kini tak membatasi pengeluaran untuk
autobiografi inspirasionalnya yang pertama. Dia mengeluarkan beberapa perabot
dari ruang duduk dan menyewa mesin tik untuk Angelo. "Semua oke-oke saja dalam
dua hari pertama," kata Ma. "Tetapi setelah itu, datang masalah."
Papa memutuskan, dia tak bisa menceritakan kisahnya secara bebas dengan adanya
Angelo di ruangan bersamanya menurutnya, dia akan ingat semuanya dengan lebih ?baik apabila dia sendirian. "Jadi, yang terjadi berikutnya, Papa menelepon
sejumlah perusahaan penyedia peralatan menelepon interlokal,yang hampir-hampir
?tak bisa kupercaya, Dominick, karena dia bahkan tak pernah menelepon sepupunya
di Brooklyn untuk mengucapkan Selamat Natal atau Paskah. Merekalah yang selalu
harus menelepon kami tiap
tahun karena Papa tak ingin membuang uangnya. Tetapi untuk proyeknya ini, dia
menelepon ke sana kemari. Akhirnya, dia menyewa sebuah mesin Dictaphone dari
sebuah tempat di Bridgeport." Ma menggelengkan kepala, masih terheran-heran
hingga kini. "Gila, kalau saja kau lihat alat itu ketika sampai di sini! Aku
hampir jatuh karena terkejut pada hari mereka menggotong alat itu masuk rumah."
Dua mesin dinaikkan di kereta beroda, katanya satu untuk orang yang mendikte
?dan satunya lagi untuk stenografer yang pertama-tama mengubah rekaman menjadi
coretan-coretan kemudian mengetiknya. Mereka mendirikan alat itu di ruang duduk
depan dan memindahkan mesin tik Angelo ke kamar tamu. "Angelo yang malang," kata
Ma. "Kurasa dia tak tahu apa yang akan dia hadapi."
Awalnya, Angelo maupun Papa tak tahu bagaimana menjalankan Dictaphone, kata Ma.
Mereka mencoba dan mencoba. Seharian penuh Papa menyumpah-nyumpah! Dia akhirnya
menyuruh Angelo naik bus ke Bridgeport untuk belajar bagaimana menjalankan alat
bodoh itu. "Padahal, orang itu hampir-hampir tak bisa bahasa Inggris, Dominick.
Lagi pula, dia baru saja datang dari Old Country. Tetapi bagaimanapun, dia
berhasil kembali, dan dia tahu bagaimana menjalankan alat itu membuatnya
?berfungsi. "Setiap pagi, Angelo mempersiapkan semua, lalu dia harus meninggal-kan Papa
sendiri. Itulah aturannya. Papa tak mau mendiktekan satu kata
pun hingga dia sendirian. Angelo biasanya datang ke dapur dan menunggu. Jadi,
akhirnya aku kenal dia sedikit. Dia pria yang baik, Dominick, dan sangat tampan.
Aku biasanya membuatkan dia kopi dan kami berbincang tentang ini itu tentang
?hidupnya dulu di Palermo, keluarganya. Aku sering membantu bahasa Inggrisnya.
Dia juga pintar lho; kau menjelaskan sesuatu kepadanya dan dia akan langsung
mengerti. Kau bisa tahu bahwa dia bakal sukses."
Dictaphone itu punya pita plastik merah, kata Ma; tempat suara direkam, kalau
dia tak salah ingat. Papa biasanya duduk di dekat mesin itu selama dua atau tiga
jam setiap kali dan lalu, kalau sudah selesai, dia akan memanggil Angelo dan
Angelo harus segera berlari datang. Angelo kemudian mendorong kereta Dictaphone
itu ke kamar belakang tempat mesin tik diletakkan. Mendengarkan apa yang terekam
di pita tersebut dan mencatatnya dalam steno. Lalu dia mengetiknya. "Tetapi kau
tahu, ayahku benci suara mesin tik. Dia tak ingin mendengar cekiak-cekiik mesin
tik setelah dia selesai mendikte. Semua upayanya mengingat masa lalu itu membuat
dia gampang marah." "Aku tidak mengerti," kataku. "Mengapa dia tidak mendiktekannya saja langsung?"
"Aku tak tahu. Gugup kurasa." Ma mengulurkan tangan dan menyentuh manuskrip
itu mengusapkan jemarinya di atas kata-kata ayahnya. Dia sendiri tak berani
?mendekati ruang
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
duduk ketika Papa berbicara pada Dictaphone. Papa sangat serius tentang itu. Dia
bahkan mungkin menembak Ma kalau berani mendekat.
Ma mengatakan bahwa sistem rumit yang dirancang ayahnya itu stenografer,
?Dictaphone, ruang pribadi untuk pendikte dan yang didikte berjalan lancar
?selama seminggu, lalu sistem itu kemudian juga berantakan. Pertama-tama, ada
salah paham tentang harga sewa peralatan itu. Papa mengira dia membayar delapan
dolar per minggu untuk sewa Dictaphone, tetapi ternyata kemudian dia harus
membayar delapan dolar per hari. Empat puiuh dolar seminggu! "Jadi, dia bilang
persetan pada perusahaan rental itu, lalu dia dan Angelo mendorong kereta
Dictaphone ke beranda depan. Mesin itu dibiarkan di luar selama dua hari penuh
sebelum akhirnya seseorang datang dari Bridgeport dan mengambilnya. Aku sangat
ketakutan ketika mesin-mesin itu berada di luar. Aku bahkan tak bisa tidur.
Bagaimana jika hujan" Bagaimana jika seseorang datang dan mencurinya"
"Tetapi akhirnya, Papa kembali mendiktekan kisahnya langsung ke Angelo. Namun,
itu juga tak berjalan lebih baik daripada waktu pertama kali. Bahkan, menjadi
semakin buruk. Papa mulai menuduh Angelo mengorek-ngorek urusan
pribadinya memintanya menjelaskan bagian ini atau itu ketika Papa sudah ?menceritakan seperti yang dia ingin ceritakan dan tak mau lebih detail lagi. Ya,
ayahku memang bisa sangat keras kepala.
Dia mulai menuduh Angelo yang malang mengubah beberapa hal yang telah dia
kisahkan sengaja memberikan kesan negatif pada ayahku. Angelo akhirnya kapok,
?pria yang malang. Mereka berdua mulai bertengkar seperti kucing dan anjing."
Sekitar pertengahan Juli, Papa memecat Angelo, kata ibuku. Lalu, setelah
beberapa hari, dia menjadi tenang dan menyewanya kembali. Tetapi setelah
beberapa hari Angelo kembali, Papa memecatnya lagi. Ketika Papa berusaha
menyewanya kembali, Angelo menolak. "Dia pindah tak lama setelah itu," kata Ma.
"Ke barat, ke daerah Chicago. Dia menulis satu surat padaku dan aku membalasnya,
cuma itu. Tetapi setelah masalah dengan Angelo dan Dictaphone dan
semuanya semua omong kosong itu Papa akhirnya pergi ke halaman belakang dan
? ?menuliskan semua kisahnya sendiri. Dia menulis hingga akhir musim panas itu. Dia
menaiki tangga belakang tiap pagi, setiap habis sarapan, kecuali saat hujan atau
saat dia merasa tidak enak badan. Dia biasanya duduk di depan meja besinya
dengan kertas dan bolpoinnya. Menulis, sendirian."
Aku membuka lagi lembaran-lembaran manuskrip berdebu itu sekian banyak halaman
?penuh dengan kata-kata asing. "Ma pernah membacanya?" tanyaku pada Ma.
Ma menggeleng. Kontak mata kami terlepas.
"Mengapa tidak?"
"Oh, aku tak tahu, Dominick. Aku mengintipnya sekali dua kali kurasa. Tetapi, aku tak pernah merasa pantas
melakukannya. Bahasa Italiaku juga
sudah berkarat. Kau pasti akan banyak lupa kalau tak pernah menggunakannya."
Kami duduk di sana, berdampingan di sofa, tak bicara. Kurang dari setahun. Ibuku
akan mati. "Tetapi semua itu lucu, kurasa," kata ibuku. "Sangat tidak sesuai untuk pribadi
Papa, melakukan sesuatu seperti itu. Menulis. Dia selalu menyimpan semuanya
sendiri. Kadang, aku bertanya padanya tentang Old Country tentang ibunya dan ?ayahnya atau desa tempat dia besar dan dia biasanya berkata, oh, aku bahkan tak
?ingat semua itu lagi. Atau dia bilang orang Sisilia membuka mata mereka, tetapi
menutup mulut mereka .... Tetapi mu-sim panas itu; dia menyewa Angelo, menyewa
alat itu .... Kadang, aku mendengarnya menangis di sana. Di halaman belakang. Atau
berbicara keras-keras tentang sesuatu. Papa mengalami banyak tragedi dalam
hidupnya, kau tahu" Dua saudara dia yang datang ke sini bersamanya meninggal
saat muda. Dan istrinya juga. Yang dia punya tinggal aku satu-satunya. Hanya
kami berdua." Halaman pertama manuskrip itu ditulis tangan dengan tinta biru, dengan tulisan
berbunga dan melingkar-lingkar. "Aku bisa membaca namanya," kataku. "Apa arti
kata yang lainnya?" "Coba lihat. Tertulis, 'Sejarah Hidup Domenico Onofrio Tempesta, Pria Besar ...'
Umiie" Umiie" Humble f 'Sejarah Hidup Domenico Onofrio Tempesta, Pria Besar yang
Mulai dari Nol'." Mau tak mau aku tersenyum. "Dia punya pandangan yang bagus tentang dirinya
sendiri, ya?" Air mata menggenang di mata Ma. "Dia seorang pria yang hebat, Dominick."
"Ya, benar. Selama kamu makan telurmu. Dan rokokmu."
Ma mengusap kamus kecil yang tak bersampul itu. "Sudah lama aku bermaksud
memberimu ini, Sayang," katanya. "Bawa ini kalau kau pulang nanti. Ini untuk
Thomas juga kalau dia ingin melihatnya, tetapi aku ingin memberikannya padamu,
khususnya, karena kamulah yang sering bertanya tentang Papa."
"Aku?" Ma mengangguk. "Saat kau kecil. Kau lihat kamus ini" Ini adalah kamus yang dia
gunakan begitu datang dari Old Country ke sini kamus yang dia gunakan untuk
?belajar bahasa Inggris."
Aku membuka kamus yang usang itu. Halamannya yang tipis bernoda lemak dan
keringat. Di satu halaman aku menutup jejak jempolnya dengan jempolku dan
memikirkan untuk pertama kalinya bahwa Papa mungkin lebih daripada sekadar foto-
foto tua lebih daripada kisah usang yang diulang-ulang.
?Aku mengajak ibuku ke dapur dan menunjukkan tulisan pensil yang tertulis di
balok kayu. "Ya, ini memang tulisannya," kata Ma. "Aku tak percaya. Lihat itu!
Seakan-akan dia ada di sini lagi."
Aku merangkul dan mengelus bahunya, kain jubah mandinya, kulit dan tulang. "Kau
tahu apa yang kupikirkan, Ma?" kataku. "Kupikir, sebaiknya kau menerjemahkan
kisah Papa." Ma menggeleng. "Oh, Sayang, aku tak bisa. Aku kan sudah bilang, aku sudah banyak
lupa bahasa Italia. Lagi pula, aku juga tak pernah belajar dengan baik. Sangat
membingungkan. Kadang, Papa berbicara dengan bahasa Italia yang dia pelajari di
sekolah di daerah utara kadang, dia bicara bahasa Sisilia. Aku biasanya
? ?mencampuradukkannya .... Dan lagi pula, seperti yang kubilang, kurasa dia tak
ingin aku membacanya. Setiap kali aku keluar ke halaman untuk menjemur pakaian
atau membawakan minuman dingin, Papa menjadi sangat marah padaku. Berteriak dan
mengusirku. 'Jangan campuri urusanku!' katanya. Percaya deh, dia seperti J.
Edgar Hoover menjaga proyeknya itu."
"Tapi Ma, dia sudah mati," aku mengingatkan. "Dia sudah mati selama hampir empat
puluh tahun." Ma berhenti, terdiam. Dia terlihat berpikir keras.
"Apa?" tanyaku. "Apa yang kau pikirkan?"
"Oh, tak ada. Aku hanya ingat hari ketika dia meninggal. Dia sendirian di luar
sana, sendirian ketika mengalami serangan stroke itu." Ma mengeluarkan selembar
Kleenex dari lengan bajunya. Mengusap mata. "Pagi itu juga, ketika sarapan, dia
berkata padaku bahwa dia hampir selesai menulis kisahnya. Agak
mengejutkanku tak biasanya dia memberiku informasi kemajuan tulisannya seperti ?itu karena hingga saat itu, dia tak pernah mengatakan satu patah kata pun
?tentang proyek itu padaku. Tidak secara langsung, maksudku .... Jadi, aku bertanya
padanya, kataku, 'Apa yang akan kau lakukan dengannya, Papa,
setelah kau menyelesaikannya"1 Kupikir dia akan langsung menulis surat pada
beberapa penerbit di Italia sana. Mencoba agar tulisan itu diterbitkan seperti
yang dia bilang. Tetapi, kau tahu apa yang dia katakan" Dia bilang, mungkin dia
akan membuangnya ke tong sampah dan membakarnya. Membakar semuanya setelah dia
selesai menulisnya. Bukan jawaban yang kuharapkan. Setelah semua kesulitan yang
dia alami saat menulisnya ... aku mendengarnya menangis dua kali di halaman
belakang pada pagi terakhir itu satu kali dia benar-benar menangis hingga me-
?ratap. Dan aku ingin mendekatinya, Dominick, tapi aku takut dia akan marah kalau
aku mendekat. Membuat keadaan jadi lebih buruk. Dia sangat tertutup tentang
semua itu. "Lalu, lama kemudian, ketika aku keluar membawakan makan siangnya, dia ada di
sana. Menelungkup, kepalanya di atas meja. Kertas-kertas ini berserakan di semua
tempat: terselip di pagar tanaman, di kandang ayam. Tersebar di seluruh halaman.
"Jadi, aku lari kembali ke rumah dan menelepon polisi. Dan pendeta. Kakekmu tak
pernah ke gereja dia kesal pada St. Mary karena suatu alasan tetapi kupikir,
? ?tak ada salahnya aku menelepon pendeta .... Sungguh mengerikan, Dominick. Aku
sangat ketakutan. Gemetar seperti daun. Dan aku sedang mengandung kakakmu dan
kau ...." Aku mengulurkan tangan. Merangkulnya.
"Setelah aku menelepon, aku kembali keluar dan menunggu. Aku berdiri sekitar
sepuluh atau dua belas kaki darinya, memandangnya. Aku tahu dia sudah mati,
tetapi aku tetap memandangnya, berharap aku mungkin bisa melihatnya mengedip
atau menguap. Berharap dan berdoa kalau aku salah. Tetapi, aku tahu aku tak
salah. Dia tak menggerakkan satu otot pun." Ma kembali mengusap manuskrip Papa.
"Jadi, aku berkeliling halaman mengambil kertas-kertas ini. Itulah satu-satunya
yang kurasa dapat kulakukan untuknya, Dominick. Mengumpulkan
halaman-halaman sejarahnya."
Ruangan sunyi. Matahari bergeser, membuat kami tertutup bayangan.
"Yah, begitulah," kata Ma. "Itu sudah lama sekali."
Sebelum pulang, aku menempelkan lis ke tempatnya semula, menutupi kembali
tulisan dan kalkulasi Domenico di balok kayu. Aku keluar pintu dan menuruni
tangga beranda depan, menyeimbangkan kotak peralatanku, brankas, dan beberapa
bungkus makanan sisa yang dibungkus aluminium foil. ("Aku khawatir kau sendirian
di apartemen itu, Sayang. Wajahmu kelihatan terlalu kurus. Kurasa kau tak makan
teratur. Ini, bawa ini.") Sampai depan pintu truk, aku mendengar Ma memanggil
dan kembali menaiki tangga beranda.
"Kau lupa ini," katanya. Aku mengulurkan tanganku, telapak membuka, dan Ma
membuka genggamannya. Kunci brankas terjatuh ke
tanganku. "La Chiave," katanya. "Apa?"
"La Chiave. Kuncimu. Kata itu baru saja teringat kembali olehku."
"La Chiave," ulangku, dan memasukkan kunci itu ke kantong.
Malam itu, aku terbangun dari tidur nyenyak dengan satu gagasan: ha-diah paling
sempurna untuk ibuku yang sekarat. Gagasan itu sangat sederhana dan tepat hingga
kejelasannya membuatku tak memikirkannya hingga pukul 2.00 dini hari. Aku akan
menerjemahkan, mencetak, dan menjilid kisah Papa agar bisa dibaca ibuku.
Aku berkendara ke universitas dan menemukan kantor Jurusan Bahasa Roman di
lantai teratas bangunan batu yang diapit dua pohon beech raksasa yang meranggas.
Sekretaris menuliskan daftar kemungkinan yang bisa kucoba. Setelah sejam
mengikuti petunjuk yang salah dan pintu-pintu terkunci, aku menaiki tangga
sempit menuju loteng dan mengetuk pintu kantor Nedra Frank, orang terakhir dalam
daftarku. Dia terlihat berumur sekitar empat puluh tahun, tetapi susah ditebak dengan gaya
rambut yang diikat ke belakang dan kacamata berantai. Ketika perempuan itu
membuka-buka kisah kakekku, aku mengamati dadanya (lumayan), tahi lalat di
pipinya, dan kuku jarinya yang bekas digigiti. Dia berbagi kantor dengan seorang
mahasiswa pascasarjana lainnya, mejanya yang berantakan dan meja rekannya yang
rapi sangat berkebalikan.
"Sebagian halaman ini ditulis dalam bahasa Italia standar," katanya. "Dan
sebagian ... terlihat seperti bahasa petani Sisilia. Memang dia
kenapa skizofrenia atau apa?"?Oke, perempuan jalang, terima kasih. Kembalikan manuskrip sialan itu padaku dan
aku akan pergi. "Aku seorang akademisi," katanya, memandangku. Dia mengulurkan manuskrip itu
kembali padaku. "Yang kau minta untuk kulakukan mirip dengan meminta seorang
seniman serius melukis sesuatu yang cocok dengan soda dan kain gorden."
"Oh," kataku. "Oke." Aku sudah mulai berjalan keluar dari kantornya yang beratap
rendah lebih mirip sebuah kloset yang didandani dan tidak begitu bagus.
?Dia menarik napas panjang. "Coba kulihat lagi." Aku mengembalikan manuskrip itu
dan dia membaca beberapa halaman dengan kening berkerut. "Halaman yang ditik
berspasi satu," katanya. "Itu berarti dua kali kerja."
"Yah, sebenarnya "Tulisannya setidaknya bisa terbaca, ... aku bisa menerjemahkan halaman yang
ditulis tangan delapan dolar per halaman. Sementara yang membutuhkan catatan
kaki ada tambahan harga."
"Berapa?" "Mmm, lima dolar per catatan kaki. Maksudku, kalau mau adil ya harus adil, kan"
Jika aku sebenarnya menulis kembali teks, bukan hanya menerjemahkan dan
menginterpretasikan, seharusnya aku mendapat bayaran lebih. Bukan
begitu?" Aku mengangguk. Menghitung di kepala. Sekitar delapan ratus hingga seribu dolar
tanpa catatan kaki. Lebih banyak daripada yang kukira, tetapi jauh lebih murah
daripada renovasi dapur. "Kalau begitu, kau mau melakukannya?"
Dia menarik napas panjang, membiarkanku menunggu beberapa saat. "Baiklah,"
katanya. "Sejujurnya, aku tak tertarik dengan proyek ini, tapi aku butuh uang
untuk mobilku. Kau percaya tidak" Baru satu setengah tahun dan tranny itu sudah
bermasalah." Aku merasa lucu: wanita tipe Marian si Pustakawan ini menggunakan istilah slang
untuk mobil. "Kenapa kau tersenyum?" tanyanya.
Aku mengangkat bahu. "Tak ada alasan. Jenis apa mobilmu?"
"Yugo," katanya. "Kurasa itu juga lucu bagimu?"
Nedra Frank mengatakan padaku bahwa dia ingin empat ratus dolar sebagai uang
muka dan memperkirakan dia butuh satu atau dua bulan untuk menyelesaikan
penerjemahan, mengingat jadwalnya, yang menurutnya "sangat menekan". Ketidakpeduliannya menyinggungku;
dia melirik ke jam dinding dua kali ketika aku menceritakan pencapaian kakekku,
kanker ibu-ku. Aku menuliskan cek untuknya, khawatir bahwa dia bisa saja
meringkas atau melewati beberapa halaman menipuku meskipun dia telah memasang ?harga tinggi, dan aku meninggalkan kantornya merasa sangat tak berdaya menjadi
?subjek analisis dan interpretasinya, caranya yang ketus melihat dunia. Namun begitu, proyek itu
sudah mulai berjalan. Aku meneleponnya beberapa kali dalam beberapa minggu
selanjutnya, ingin mengecek sejauh mana kemajuannya atau melihat apa dia punya
pertanyaan. Tetapi, semua teleponku tidak dijawab.
Setiap kali ibuku menjalani kemoterapi dan radioterapi di Yale-New Haven, Ray
mengantarnya ke sana, menemaninya, makan di kantin rumah sakit dan tidur di
kursi di samping ranjang ibuku. Malam hari, dia kembali ke jalan, berkendara ke
utara di jalur 1-95 tepat pada jadwal shift-nya di Electric Boat. Ketika aku
mengatakan bahwa dia tak perlu melakukan semua itu, dia mengangkat bahu dan
bertanya padaku memangnya apa yang harus dia lakukan.
Apa kau ingin membicarakannya"
Bicara tentang apa" Apa ada yang bisa kulakukan untukmu"
Kau seharusnya mengkhawatirkan keadaan ibumu, bukan aku. Aku bisa mengurus
diriku sendiri. Aku berusaha menengok ke New Haven dua atau tiga kali seminggu.
Aku membawa Thomas bersamaku sesering aku bisa, biasanya pada hari Minggu. Susah
untuk menebak sebaik atau seburuk apa Thomas menghadapi kematian Ma yang semakin
dekat. Seperti yang biasa terjadi dengannya, suasana hatinya bergerak tak
menentu. Kadang, dia terlihat pasrah dan menerima. "Ini keinginan Tuhan,"
keluhnya, meniru Ma sendiri. "Kita harus kuat demi satu sama lain." Kadang, dia
menangis tersedu-sedu dan memukul-mukulkan tinjunya di dashboard-ku. Kali lain,
dia penuh harapan. "Aku tahu Ma akan mengalahkan ini," katanya padaku suatu sore
lewat telepon. "Aku berdoa tiap hari pada Santa Agatha."
"Santa siapa?" tanyaku, dan langsung menyesal telah menanyakannya.
"Santa Agatha," ulangnya. "Santa pelindung terhadap api dan letusan gunung
berapi dan kanker." Dia terus mengoceh tentang santanya yang bodoh: seorang
perawan yang telah dipotong payudaranya oleh peminangnya yang ditolak, tubuhnya
dibakar di atas tiang pancang. Agatha menghentikan letusan gunung berapi, dan
mati sebagai pengantin Kristus, bla, bla, bta.
Suatu pagi pukul 6.00, Thomas membangunkanku dengan teori bahwa sereal Special K
yang biasa dimakan ibu kami untuk sarapan secara sengaja telah diberi
karsinogen. Kellog Cereal Company diam-diam ternyata dimiliki oleh Soviet,
katanya. "Mereka membidik kerabat orang-orang yang sebenarnya mereka kejar. Aku
ada di daftar mereka karena aku melakukan perintah Tuhan." Sekarang setelah dia
menyelidiki, dia bermaksud membuka rahasia itu, tepat di depan wajah kapitalis
mereka. Dia mungkin nanti akan menjadi Man of The Year majalah Time dan harus
bersembunyi. Para penguntit mengikuti orang-orang terkenal. Lihat saja apa yang
terjadi pada John Lennon yang
malang. Apa aku ingat lagu "Instant Karma?" John menulisnya khusus untuk Thomas,
untuk mendorongnya melakukan kebaikan di dunia setelah dia pergi. "Dengar!" kata
kakakku. "Sangat jelas, menyedihkan!" Dia lalu bernyanyi sekaligus berteriak.
Instant karma's gonna get you gonna iook you right in the FACE
You better recognize your BROTHER and join the HUMAN RACE!
* Suatu sore, ketika Thomas dan aku menengok Ma, ranjangnya kosong. Kami
menemukannya di solarium, diterangi cahaya matahari yang datang dari jendela di
langit-langit, duduk sendirian di antara kelompok-kelompok pengunjung lain.
Ketika itu, kemoterapi telah membuat kulitnya menguning dan mengubah rambutnya
menjadi rapuh membuatnya kembali terlihat gosong seperti hari ketika dia ?muncul dari ruang duduk kami yang terbakar di Hollyhock Avenue. Tetapi, meski
botak dan terlihat mengerut dalam jubah mandi pinknya, dia terlihat cantik
bagiku. Thomas duduk menggelesot dan tidak komunikatif sepanjang kunjungan kami.
Sebelumnya, dia ingin mampir di McDonald dalam perjalanan ke rumah sakit dan aku
bilang tidak mungkin kami bisa mampir dalam perjalanan pulang nanti. Di
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
?solarium, dia merajuk dan memandang kosong ke TV dan mengabaikan pertanyaan dan
usaha Ma untuk mengajaknya berbincang. Dia menolak melepas mantelnya. Tak henti-hentinya dia
melihat jam. Aku marah ketika kami pulang, dan lebih marah, ketika dalam perjalanan pulang
itu, dia memotong pidatoku tentang sikap egoistisnya, sekadar untuk bertanya
apakah kami akan mampir ke McDonald. "Kau ngerti nggak sih, sialan?" teriakku.
"Apa kau nggak mau berusaha mengerti bahkan ketika ibumu sekarat?" Thomas
melepaskan sabuk pengamannya dan memanjat sandaran kursi depan, pergi ke
belakang. Duduk di lantai belakang mobil, dia mengambil posisi berlindung.
Aku menghentikan mobil di bahu jalan, menempatkan gigi nol, dan mengatakan
padanya untuk kembali ke depan bahwa aku muak dan lelah terutama dengan semua
?omong kosongnya, muak dengan ocehan-nya, dari semua hal yang harus aku hadapi.
Ketika dia menolak, aku menyeretnya keluar mobil. Dia memberontak dan lari,
menyeberangi jalan raya antar-negara-bagian tanpa melihat kanan kiri. Klakson-
klakson menjerit, rem berdecit liar. Jangan tanya padaku bagaimana dia berhasil
menyeberang. Dan ketika aku berhasil menyeberang, Thomas telah hilang. Aku lari,
panik, menyusuri pepohonan dan rumput membayangkan tubuh Thomas yang tertabrak.
Thomas terpotong menjadi dua, darahnya berceceran dijalan.
Aku menemukannya berbaring di rumput alang-alang di sisi jalan raya sekitar
setengah mil dari mobil kami. Matanya tertutup, mulutnya tersenyum pada
matahari. Ketika aku membantunya
bangun, rumput-rumput bekasnya berbaring rebah membentuk cetakan tubuhnya.
Seperti tempat korban di TKP kriminal. Seperti salah satu malaikat yang dahulu
sering kami buat di atas salju yang baru turun .... Kembali ke mobil, aku
mencengkeram setir untuk menenangkan gemetar tanganku dan mencoba untuk tidak
mendengarkan dan melihat mobil-mobil yang mengerem mendadak menghindari Thomas.
Di Madison, aku berhenti di McDonald dan membelikannya kentang goreng ukuran
besar, Quarter Pounder dengan keju, dan strawberry shake. Jika dia tidak bahagia
sepanjang perjalanan selanjutnya, setidaknya dia diam dan kenyang. Malam itu,
Nedra Frank mengangkat teleponku pada deringan pertama.
"Aku tahu kau sibuk," kataku. Lalu aku mengatakan apa yang baru saja dikatakan
Ray padaku lewat telepon: bahwa kondisi ibuku memburuk.
"Aku sedang mengerjakannya sekarang," katanya. "Aku memutuskan untuk membiarkan
beberapa kata dan frasa Italia utuh sehingga kau bisa menangkap musiknya."
"Musik?" "Bahasa Italia adalah bahasa yang musikal. Aku tak ingin menerjemahkan manuskrip
itu dan membuatnya mati. Tapi kau akan mengenali kata-kata yang kubiarkan baik ?secara kontekstual ataupun fonetik. Atau keduanya. Dan beberapa peribahasa yang
digunakan kakekmu bisa dibilang tak bisa diterjemahkan. Aku membiarkan mereka
utuh, tetapi memberikan keterangan dalam
kurung perkiraan. Sekarang, aku berusaha keras menyisakan hanya sedikit istilah
?Sisilia, dengan asumsi bahwa harus ada orang yang membersihkan rumput liar,
bukan?" "Ya kataku. "Terserah. Lagi pula aku lebih tertarik bahasa Inggrisnya." Ibuku
jelas tak butuh bahasa Sisilia. "Jadi, ... seperti apa dia?" tanyaku. Diam.
"Seperti apa dia?"
"Ya. Maksudku, saat ini kau lebih mengenal kakekku daripada aku. Aku cuma ingin
tahu. Apa kau suka dia?"
"Posisi seorang penerjemah harus objektif. Reaksi emosional bisa menghalangi ...."
Aku baru saja mengalami hari yang buruk. Aku tak punya kesabaran menghadapi
keacuhan akademisnya. "Yah, satu kali ini saja, biarkan emosimu bereaksi,"
kataku. "Untukku."
Ada kesunyian mencekam di ujung lain selama beberapa saat. Lalu, aku mendapatkan
apa yang kuminta. "Aku tak suka dia, sebenarnya, tidak sama sekali. Jauh. Dia
sombong, benci wanita. Dia benar-benar mengerikan." Kini, kesunyian datang dari
diriku. "Kau iihat, kan?" katanya. "Sekarang kau tersinggung. Aku tahu, aku seharusnya
tak menanggalkan objektivitasku."
"Aku tidak tersinggung," kataku. "Aku cuma tidak sabar. Aku ingin semuanya
selesai sebelum ibuku terlalu sakit untuk membacanya."
"Yah, aku melakukan yang terbaik yang aku bisa. Aku kan sudah bilang padamu
tentang jadwalku. Dan ngomong-ngomong, kupikir sebaiknya kau membacanya dulu sebelum kau
memutuskan untuk menyuruh ibumu membacanya. Jika aku jadi kau, aku tak akan
membicarakan ini dengannya dulu." Kini, sikapnya yang tidak objektif membuatku
kesal. Apa hak dia mengatakan apa yang sebaiknya kulakukan dan jangan kulakukan"
Persetan kau, aku ingin mengatakan padanya. Kau kan cuma penerjemah.
Kemoterapi ketiga Ma membuatnya terlalu sakit untuk bisa makan. Bulan Februari,
dia kembali ke rumah sakit dengan berat badan empat puluh lima kilogram dan
terlihat seperti bintang iklan untuk bantuan kelaparan. Saat itu, aku tidak lagi
membawa Thomas menjenguk ibu. Kejadian di jalan raya itu membuatku takut
setengah mati, membuatku sering tak bisa tidur.
"Ini mungkin akan terasa sedikit sakit, Manis," kata perawat, memperlihatkan
jarum infus di depan ibuku.
Ma mengangguk lemah, tersenyum.
"Aku kesulitan menemukan pembuluh yang bagus. Kita coba lagi, oke" Kau siap,
Sayang?" Jarum kembali gagal dimasukkan. Usaha berikutnya juga. "Aku akan
mencoba sekali lagi," katanya. "Dan jika ini tidak berhasil, aku akan memanggil
supervisorku." "Ya, Tuhan! Sialan," gerutuku. Berjalan ke jendela.
Perawat itu berpaling padaku, wajahnya memerah. "Sebaiknya Anda keluar hingga
kami selesai," katanya.
"Tidak," kataku. "Aku lebih suka kalau kau berhenti memperlakukan ibuku seperti
bantalan jarum. Dan karena kau sudah memintaku, aku juga lebih suka kalau kau
berhenti memanggilnya 'manis' dan 'sayang' seakan-akan kita ada di acara gombal
Sesame Street atau apa lagi itu."
Ma mulai menangis karena perkataanku, bukan karena sakit yang dirasakannya. Aku
rupanya punya bakat membuat situasi buruk menjadi lebih buruk. "Aku pergi dulu,
Ma," kataku meraih jaket. "Aku akan menelepon."
Sore itu, aku berdiri di depan jendela apartemenku, memandangi hujan salju yang
tak terduga, ketika Nedra Frank muncul tak terduga dalam mobil Vugo oranyenya,
menabrak trotoar, dan berhenti tidak terlalu mulus. Dia parkir dengan ban
setengah di trotoar setengah di jalan.
"Masuk, masuk," kataku. Dia mengenakan rompi, kaus hangat, dan rok
denim pakaian yang tak kuduga akan dia kenakan. Dia juga membawa koper kecil ?yang menggembung.
"Jadi, sudah selesai?"
"Apa?" Matanya mengikuti pandanganku ke arah kopernya. "Oh, belum," katanya.
"Ini tesis doktoralku. Kompleks apartemen tempat tinggalku kecurian minggu lalu,
jadi aku membawa ini ke mana pun aku pergi. Tetapi, aku sedang mengerjakan
proyekmu. Sedang berjalan." Dia tak menanyakan
apa pun tentang kondisi ibuku.
"Bagaimana kau tahu tempat tinggalku?" tanyaku.
"Kenapa" Memangnya itu sebuah rahasia kelam atau apa?"
"Tidak, aku cuma-"
"Dari cekmu. Aku menyalin alamatmu sebelum aku menguangkannya. Siapa tahu aku
tak bisa menghubungimu lagi. Lalu, aku tadi cuma mau jalan-jalan aku sangat
?tertekan akhir-akhir ini aku melewati jalan ini dan langsung ingat. Hillyndale
?Drive. Ejaannya sangat tak biasa. Apa seseorang mencoba membuatnya terlihat
menarik atau apa" Pura-pura di Inggris?"
Aku mengangkat bahu, menggemerincingkan uang receh di kantongku. "Entahlah,"
kataku. "Ngomong-ngomong, aku memang sebelumnya bermaksud meneleponmu. Tentang manuskrip
itu. Kakekmu menggunakan banyak
peribahasa pepatah pedesaan dan mereka tak bisa diterjemahkan. Kurasa aku akan
? ?membiarkannya dan lalu menjelaskannya di catatan akhir. Apa menurutmu itu oke"
Maksudku, ini kan uangmu."
Bukannya kita sudah bicara ini sebelumnya" Dia cuma jalan-jalan katanya. Gombal.
"Begitu juga boleh," kataku.
Aku menawarkan bir, dia menerima.
"Jadi, kenapa kau tertekan?" tanyaku.
Alasan pertama, dua kelas S-l yang diajarnya bisa dibilang "mati otak". Mereka
tak ingin belajar apa pun; mereka cuma ingin dapat nilai A. Alasan
kedua, kepala jurusannya merasa terancam dengan pengetahuan Nedra tentang Dante
yang lebih baik. Alasan ketiga, rekan sekantornya punya kebiasaan menjijikkan.
Dia membersihkan giginya dengan benang floss di meja. Memotong kuku dengan
pemotong kuku yang membuat potongannya beterbangan ke mejanya. Hari ini saja dia
menemukan dua potongan kuku di pengisap tintanya. Padahal, dia sudah mengatakan
pada temannya itu, jangan memotong kuku di meja .... Dia muak setengah mati dengan
pria-pria akademis, katanya selamanya menyusu pada susu universitas sehingga ?mereka tak harus menghadapi hidup yang sebenarnya. "Apa pekerjaanmu?"
"Aku mengecat rumah," kataku.
"Tukang cat" dia mengerang, menjatuhkan diri ke sofaku. "Sempurna1."
Dia menghabiskan birnya dan menerima tawaran bir lagi. Ketika aku kembali
membawakan birnya, Nedra berdiri di depan rak bukuku, memiringkan kepalanya
untuk membaca judul di punggung buku. "Garcia Marquez, Styron, Solzhenitsyn,"
katanya. "Aku harus bilang, Tuan Tukang Cat. Aku terkesan."
"Yeah," sahutku. "Kau pasti mengira orang bodoh sepertiku akan membaca apa"
? ?Mickey Spillane" HustlerV
"Atau ini," katanya. Dia mengambil trilogi James M. Caine dari rak, mengayun-
ayunkannya seperti sebuah bukti di pengadilan. Dia berjalan ke jendela. "Apakah
hujan salju ini akan tebal" Aku tak pernah memerhatikan ramalan cuaca."
"Itu memang tidak diramalkan," kataku. "Ayo kita lihat apa kata mereka." Aku
menyalakan radio cuaca kecil yang kuletakkan di rak buku. Penyiar mengatakan
salju mungkin turun sekitar delapan hingga dua belas sentimeter. Bagus, pikirku.
Terkurung di salju dengan wanita jalang yang sombong ini.
Nedra mengambil radio cuaca itu, melihatnya dari depan dan belakang, mematikan
dan menyalakannya. "Jadi, kau penggemar cuaca?" katanya.
"Aku bukan penggemar," kataku. "Tapi, kau perlu tahu apa yang akan terjadi di
luar sana kalau kau berkecimpung di dunia pengecatan. Kau harus lebih dulu
tahu." " "Kau harus lebih dulu tahu," ulangnya. "Ya Tuhan, kalian pria semua sama saja."
Dia tertawa suaranya seperti kuku jari yang digesekkan di papan tulis bertanya
? ?padaku apakah aku mau bir. Apakah aku berencana memberinya makan atau hanya
membuatnya mabuk, lalu menendangnya keluar ke salju.
Aku mengatakan aku tak punya makanan, kecuali jika dia suka sup ayam atau Honey
Nuts Cheerios. "Kita bisa pesan piza," katanya.
"Baiklah." "Aku vegetarian. Kalau-kalau kau memerhatikan itu."
Pengantar piza dari Domino datang dua botol bir kemudian. Aku tadi memesan piza
jamur dan zaitun ukuran besar, tetapi tempat kami adalah pemberhentian terakhir sebelum shift-nya
berakhir, katanya, dan yang terting-gal di tas vinil penghangatnya adalah dua
piza pepperoni medium. "Aku yakin, ini kesalahan manajerku yang idiot, bukan
Anda," katanya. Butir-butir salju berkilau di bulu kerah jaketnya, di pinggir
topi Dominonya yang kotor. "Ini," katanya. "Gratis. Aku mau berhenti, kok."
Ketika aku menutup pintu dan berpaling, aku melihat selimutku terpasang di bahu
Nedra Frank. Itu berarti dia sudah masuk ke kamarku.
Di meja dapur, dia mengambili semua irisan pepperoni dan menumpuknya seperti
chip poker, lalu mengurangi minyak di atas piza dengan menempelkan kertas tisu.
Kami membuka enam kaleng bir yang baru.
Hari itu pasti Kamis malam karena Cheers sedang diputar di TV sebuah acara yang?menurut Nedra menyinggungnya secara politis karena semua karakter wanita di sana
pelacur atau wanita jalang. Dia terlambat mengikuti feminisme, katanya, setelah
sebelumnya menjadi gadis kecil ayah, lalu seorang mayoret di SMU, dan budak
seorang suami chauvinis dan penjajah Belanda di Lornadale Road. "Aku harus
menjalani terapi selama tiga tahun hanya untuk mengizinkan diriku kuliah lagi,
untuk mendapatkan gelar Ph.D." katanya. "Rasakan ini" Dia mengarahkan remote ke
Ted Danson, mematikan TV.
"Istriku pernah dimuat di Ms. Magazine," kataku.
"Dia dan temannya Jocelyn." "Kau punya istri?"
"Mantan-\stv\ maksudku. Dia dan temannya mengadakan hari kepedulian bagi para
pengelas wanita di Electric Boat. Lalu mereka berhasil membuat para big boss di
sana menyusun kebijakan tentang pelecehan di tempat kerja dari pekerja pria. Itu
sekitar setahun atau dua tahun setelah EB mulai mempekerjakan wanita di galangan
kapal." "Kau menikah dengan seorang tukang ias?" dia bertanya, senyum sinis di wajahnya.
"Temannya yang tukang las. Dessa punya day care center. 'Kids Unlimited!'
namanya. Tanda seru di akhir."
"Menarik," kata Nedra. Cuma dia tak terlihat tertarik. Dia menyerang piza itu
seperti hiu dalam film Jaws. "Mantan suamiku seorang psikiater," katanya. "Dia
salah satu dokter di rumah sakit jiwa."
Aku hampir saja bilang tentang Thomas, tetapi tak ingin memunculkan kalimat
betapa-kecil-dunia dan mendekatkan hubungan kami. Selain itu, dia pernah mengira
kakekku seorang "skizo". Aku berharap, dia akan pergi sebelum ban-ban mobilnya
yang botak membeku dan membuatnya tak bisa pergi. Agak menakutkan melihat dia
dengan bebas pergi ke kamarku dan mengambil selimutku. Siapa tahu kebebasan
macam apa lagi yang dia lakukan dengan kisah kakekku" Apa lagi yang dia
hilangkan dari kisah itu selain bahasa "petani Sisilia" kakekku"
"Tapi Todd lebih gila daripada pasiennya," kata
Nedra. "Juga kejam. Hampir seperti menikah dengan Marquis de Sade, cuma semuanya
menyakitkan, tidak ada kenikmatan."
"Oh," kataku. "Todd de Sade." Suara tawanya yang meringkik lagi. Aku kembali
menyalakan TV. "Ya, ampun," kataku. "LA Law sudah main. Ini pasti sudah pukul
sepuluh lebih. Aku bisa mengantarmu pulang dengan trukku kalau kau tak ingin
menyetir sendiri di tengah hujan salju macam ini. Trukku four wheel drive."
"Kau bisa menebak jam dengan melihat acara TV?" katanya. "Hebat." Aku membiarkan
dia menduga apa yang dia duga: bahwa aku hanyalah seorang bodoh tak
berpendidikan yang bisa dia manfaatkan untuk melewatkan malam yang sepi. Dulu
ketika aku mengajar di SMU, aku tak pernah menyebut sebuah kelas sebagai "mati
otak". "Jadi, mau" Kuantar pulang?"
"Oh, aku ngerti," katanya. "Kau adalah pahlawan four wheel drive dan aku gadis
dalam kesulitan, begitu kan" Makasih, tetapi tidak."
Dia melepaskan selimutku dari bahunya dan melemparkannya ke sofa. "Ayo kita
dengar musik," katanya. Sebelum aku bisa menjawab ya atau tidak, dia menyalakan
radioku dan mencari-cari gelombang. Sebenarnya, aku lebih suka kalau dia memilih
stasiun yang memutar musik klasik, tapi dia memilih Tina Turner: What's love got
to do, got to do with it"
Dia berpaling padaku dan tersenyum. "Halo, Tuan Tukang Cat." Dia mendekatiku.
Meraih tanganku dan melingkarkannya di pinggulnya.
"Apa ini membuatmu bergairah, Tuan Tukang Cat?" bisiknya. "Apa aku membuatmu
senang?" Aku tak bisa menebak apakah dia sedang menjadi gadis kecil ayah atau
mayoret, atau apa. Aku membayangkan seolah mencium Dessa, tetapi dia lebih gemuk
daripada Dessa. Aku belum pernah bersama wanita sejak bercerai dan selama ini ?kubayangkan hal ini terjadi dalam kondisi berbeda. Setidaknya, aku membayangkan
ini akan menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan. Sebenarnya, aku agak
takut pada Nedra. Hal terakhir yang kubutuhkan dalam hidup adalah orang gila
lain lagi. Aku menginginkan istriku.
"Um, ini sangat menyenangkan," kataku, "tetapi, sedikit tak terduga. Aku tak
yakin aku sudah siap untuk-"
"Aku punya satu," katanya. "Rileks. Ayolah." Dia membimbing tanganku. Lalu tiba-
tiba, di tengah-tengah pergumulan itu, aku mulai tertawa. Beberapa sedakan
pendek awalnya, yang coba kutelan kembali. Lalu lebih buruk: tawa terbahak-bahak
lepas kontrol jenis tawa yang membuatmu terkena serangan batuk-batuk.
?Dia berdiri terpana, tersenyum, terhina. "Apa yang lucu?" dia terus bertanya.
"Apa?" Aku tak bisa menjawab. Tak bisa berhenti tertawa.
Nedra pergi ke kamar mandi. Dia di dalam sana selama lima belas menit penuh,
cukup lama untuk membuatku berpikir apakah seseorang bisa
melakukan bunuh diri dengan overdosis Nyquii atau dengan memotong urat nadi
dengan pemotong kuku. Dia keluar, matanya merah. Tanpa kata, dia memakai mantel
dan mengambil koper kecilnya. Aku berkata bahwa aku tadi gugup bahwa aku masih
?berusaha melupakan semuanya. Bahwa aku benar-benar menyesal.
"Menyesal untuk apa?" tanyanya. "Dengan mendapatkan kesenangan dari merendahkan
wanita" Jangan minta maaf. Kau dilahirkan untuk menjadi pejantan."
"Hei, tunggu," kataku. "Aku tidak"
"Oh, ayolah! Jangan bilang apa-apa lagi! Kumohon!"
Di pintu, dia berhenti. "Mungkin sebaiknya aku menelepon mantan istrimu,"
katanya. "Kami berdua bisa saling bersimpati tentang pelecehan seksual (sexual
harassment) yang kami alami." Dia mengucapkan kata itu dengan cara
alternatif William Henry Harrasment.
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
?"Hei, tunggu dulu. Kau yang merayuku. Bagaimana bisa aku melecehkanmu?"
"Berapa nomornya" Mungkin aku akan meneleponnya. Mungkin foto kami berdua akan
dimuat di Ms. Magazine."
"Hei, tunggu. Kau hanya kukontrak untuk melakukan penerjemahan yang kemahalan.
Yang lainnya adalah idemu. Jangan libatkan istriku."
"Kemahalan" Kemahalan" Terjemahan itu sangat sulit, kau bajingan! Tak tahu
terima kasih" Dia tak menyelesaikan kalimatnya, dan mengayunkan
kopernya ke arahku, memukulku tepat di paha dengan tesis doktoral sialan seberat
sepuluh kilogram itu. Dia membanting pintu dan aku membukanya kembali mengambil segenggam salju, ?memadatkan dan melemparkannya. Gumpalan salju itu mengenai mobil Yugonya.
Nedra mengacungkan jari tengahnya padaku, masuk ke mobil dan menginjak gas. Tak
memerhatikan kondisi jalan, dia langsung ngebut, selip, dan hampir menabrak
mobil pembersih salju yang mengklakson keras.
"Lampumu!" Aku berteriak padanya. "Nyalakan lampumu!"
Bulan Maret, tim onkologi di Yale mulai terdengar seperti penjaja minyak ular.
Ma hampir selalu merasakan sakit; sedikit kenyamanan yang bisa dia dapat berasal
dari pendeta Polandia tua dan sukarelawan pendamping pasien. Musim mengecat
sudah mulai, lebih awal karena musim semi datang lebih awal dan aku tak bisa
melewatkannya. Baru pertengahan April, aku punya waktu dan keberanian untuk
kembali ke universitas dan menaiki tangga sempit menuju kantor Nedra Frank.
Selesai atau tidak, aku ingin kisah kakekku kembali.
Teman sekantor Nedra mengatakan padaku bahwa perempuan sialan itu mundur dari
program doktornya. "Alasan pribadi," katanya, menjelingkan mata ke atas. Meja
Bujukan Gambar Lukisan 3 Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo Tembang Tantangan 25
Amerika Serikat telah menjadi pelacur dunia, membunuh orang demi mendapatkan
minyak murah demikian pendapatThomas Birdsey.?Dan siang hari itu. Thomas memasukiThree Rivers, perpustakaan umum Connecticut,
menyendiri di salah satu ruang belajar di bagian belakang dan berdoa kepada
Tuhan, semoga pengorbanan yang akan dia lakukan dapat diterima. Thomas berdoa
dalam diam. mengulang-ulang doa Santo Matins. "Dan jika matamu yang kanan
menyesalkan engkau, cungkillah dan buanglah ia... Dan jika tanganmu yang kaitan
menyesatkan engkau, penggallah dan buanglah ia karena lebih baik bagimu jika
satu dari anggota tubuhmu binasa daripada tubuhmu secara utuh dicampakkan ke
dalam neraka." Lalu dari jaket sweater nya Thomas mengeluarkan pisau upacara Gurkha yangdibawa
ayah tirinya sebagai suvenir dari Perang Dunia II....
Apa yang dilakukan Thomas sungguh tindakan gila. namun barangkali dengan cara
itu dia juga menunjukkan kegilaandunia. ketakwarasan kita.
SANG PenebuS "... Dostoevsky modern dengan sentuhan pop." New York Times Book Review
?"...tes Miserables abad kedua puluh." Glamour
?"Sebuah karya yang kompleks dan kuat... menghanyutkan pembaca dengan arus emosinya
yang deras Baca dan menangislah." St. Louis Post-Dispatch
?mizan qanita Novel #1 NEW YORK TIMES BESTSELLER
W A L L Y LAMB Penerima Anugerah National Endowment for Arts, USA
SANG PENEBUS I KNOW THIS MUCH IS TRUE "Tapi aku tak mau pergi bersama orang-orang gila," kata Alice.
"Oh, kamu nggak bisa menghindar," kata si Kucing. 11 Kita semua gila di sini.
Aku gila. Kamu gila."
" Bagaimana kamu tahu aku gila?" tanya Alice.
"Tentu saja kamu gila," kata si Kucing. " Kalau tidak, kamu nggak akan datang ke
sini." -Lewis Caroll dalam Alice's Adventures in Wonderland
Qanita membukakan jendela-jendela bagi Anda untuk menjelajahi cakrawala batu,
menemukan makna dari I 21 pengalaman hidup dan kisah-kisah yang kaya
inspirasi. ejan 11 a. kisah tentang kegilaan, dosa, dan pengampunan.
SANG PENEBUS: I KNOW THIS MUCH IS TRUE Diterjemahkan dari I Know This Much is
True Karya Wally Lamb Terbitan ReganBooks, New York, 1998
Penerjemah: Esti A. Budihabsari Penyunting Pangestuningsih Proofreader: Enfira
Translation rights HI 2004 by Mizan Pustaka Copyright HI 1998 by Wally Lamb
Published by arrangement with ReganBooks, an imprint of HarperCollins Publishers
Inc. All rights reserved Cetakan I, November 2007 Cetakan II, Februari 2008 Diterbitkan oleh Penerbit
Qanita PT Mizan Pustaka Anggota I KAPI
Jin Cinambo,Cisaranten Wetan No. 135
Ujungberung, Bandung 40394
Telp. (022)7834310 - Faks. (022)7834311
e-mail: qanita@mizancom milis: o.anita@yahoogroups.com
http://www.mizan.com Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KOT) Lamb, Wally
Sang Penebus: I know this much is true/Wally Lamb j penerjemah, Esti A.
Budihabsari; editor, PangestunigsihCet. 2.-Bandung Qanita, 2008. 956 b.; 205 cm.
Judul asli: I know this much is true ISBN 979-3269-66-5
I. Judul. II. Esti A. Budihabsari. III. Pangestuningsih
Didistribusikan oleh: Mizan Media Utama (MMU) Jin Cinambo (Cisaranten Wetan) No. 146
Ujungber ung, Bandung 40294
Telp. (022)7815500 uiunting)- Faks (022)7802288
e-mail: mizanmu@bdgcentrinnet.id
Perwakilan: Jakarta: (021)7661724; Surabaya: (031)60050079,8281857 Makassar:
(0411) 871369 Pujian untuk Sickened "Wally Lamb melakukannya lagi ....
[la] punya pemenang baru di Sickened..." Tampa Tribune
"Banyak sekali yang bagus tentang buku ini....
Buku ini membuka seperti petir dan menghanyutkan Anda tanpa terasa selama hampir
1.000 halamannya .... Potret realistis adalah keahlian Lamb, dan ia memberi banyak
potret itu pada kita dalam buku ini.... Kekuatan terbesar novel ini adalah
realismenya yang kasar." Chicago Sun-Times
"Wally Lamb adalah gabungan antara John Grisham dan Pat Conroy.
la Grisham karena keahliannya bercerita;
Conroy karena bakat menulisnya .... Aku susah berhenti membaca buku ini Fort Worth
Star-Telegram "Eksplorasi penderitaan dan penebusan seorang pria
yang dikembangkan dengan tuntas dan diselesaikan dengan penuh kemenangan."
Publishers Weekly "Saga abad ini. Disusun dengan sangat efektif sehingga pembaca mudah membacanya, terhanyut di
dalamnya .... Sulaman sastra yang kaya dan merupakan penegasan terhadap
kehidupan." Dallas Morning News
"Bikin kecanduan. Novel ini berisi kegilaan, siksaan, cinta tak terbalas dan memakai pakaian lawan
jenis .... Novel yang memberi semangat, terutama karena keahlian Lamb memanusiakan
karakternya dan menjaga selusin alur cerita tetap menyambung." Virginian-Pilot
"Novel yang tak bisa diletakkan ...
dipenuhi dengan tulisan yang indah, ketegangan dramatis
yang tak putus, dan karakter yang membuat pembaca merasa punya ikatan emosi dengan
mereka .... Satu-satunya hal buruk tentang novel Wally Lamb ini adalah bahwa novel
ini terlalu bagus." Denver Post
"Dominick Birdsey adalah seorang pahlawan cerita
epik dan ceritanya yang komikal dan gelap tentang penebusan sangat menginspirasi-Les
Miserables abad kedua puluh." Glamour
"Penuh dengan tokoh yang dikembangkan penuh,
karakter-karakter yang tak terlupakan ... Sickened... bahkan mungkin lebih baik
daripada novelnya yang pertama." San Francisco Examiner
"Dongeng yang kuat dan penuh daya magis...
menghanyutkan ... hiburan tingkat tinggi, penuh daya dan
enerjik, meyakinkan dan tak mudah dilupakan Memphis Commercial Appeal
"Sebuah magnum opus...
Lamb telah menciptakan kisah yang memikat, penuh kepedihan, kemurungan, dan
ketidakpastian kehidupan modern Orlando Sentinel
"Hebat... panjang dan memuaskan ...
buku yang murah hati dan berjiwa besar... [Ini] adalah kisah Setiap Orang,
pencarian mistis, kisah tentang pencip-taan jati diri... Wally Lamb adalah seorang
suhu...." New Orleans Times-Picayune
"Luar biasa .... Karya yang hebat, efeknya tak ada henti." Library Journal
Lamb telah menuliskan sebuah pemenang lagi.
Providence Journal-Bulletin
"Ini adalah buku langka yang sesuai dengan pujian yang didapatnya.
Tetapi novel Wally Lamb, Sickened, memang mengharukan dan memuaskan seperti yang
diklaimnya .... Pencapaian yang mendalam ... novel ini dengan kuat mengisahkan
tantangan-tantangan yang muncul dalam kehidupan, kesulitan-kesulitan yang harus
ditanggung manusia." Baltimore Sun
"Sebuah epik, perjalanan yang penting ....
Penerus yang pantas dari novel pertama Lamb yang sangat
sukses She's Come Undone..." Columbus Dispatch
"Relevan ... sangat memuaskan ...
novel yang menggugah dan tak terlupakan." Chattanooga Free Press
"Buku yang mengagumkan dan ambisius...
novel epik dalam setiap aspeknya ... narasi orang pertama yang menghanyutkan Anda
sejak halaman pertama, dan selalu menegangkan." Denver Rocky Mountain News
"Lamb adalah sang penulis di antara penulis....
Sickened adalah prosa yang ditulis seindah puisi, dengan setiap kata
dan citra yang menjalin sebuah keutuhan. Sebuah karya seni yang mengagumkan,
simetri yang struktural, dan
kesadaran diri yang sastrawi, kekuatan emosinya yang menggemparkan datang dari
eksplorasi kebenaran universal yang tak kenal takut." St. Louis Post-Dispatch
"Sangat menggugah ....
Setiap halaman dipenuhi dengan tulisan yang bagus dan cara penceritaan yang luar
biasa, dan rasanya buku ini berakhir terlalu cepat.... Dengan kecerdikan,
pandangan yang luar biasa, dan emosi yang gamblang, Lamb menghadirkan cerita
universal tentang kasih sayang antarsaudara, konflik Oedipus, dan perjuangan untuk hidup .... Jangan
lewatkan buku ini." Richmond Times-Dispatch
"Setiap waktu yang dihabiskan untuk membaca buku ini memang pantas."
Chattanooga Times "Berkilau ... terlalu bagus untuk diletakkan ... sang pengarang telah melakukan lompatan besar
dengan novel ini." San Antonio Express-News
Buku ini kupersembahkan kepada ayahku dan putra-putraku
Dengan cara-cara yang tak begitu kupahami, kisah ini berkaitan dengan kehidupan
dan kematian orang-orang berikut ini: Christopher Biase, Elizabeth Cobb, Randy
Deglin, Samantha Deglin, Kathy Levesque, Nicholas Spano, dan Patrick Vitagliano.
Kuharap, meskipun sedikit, novel ini bisa memberikan penghormatan pada kenangan
mereka serta pengabdian dan kekuatan orang-orang tercinta yang harus mereka
tinggalkan. Novel Wally Lamb yang ada di tangan Anda ini, Sickened, juga novel pertamanya,
She's Come Undone, tercatat sebagai New York Times Bestseller, "Notable Book of
The Year" dari New York Times Book Review dan menjadi pilihan Oprah's Book Club.
Lamb telah menerima hadiah dari National Endowment for The Arts, New England
Book Award dan Poets and Writers "Writers Helping Writers" Award. Sickened
memenangi "Best Novel of The Year" dari Friend of The Library USA dan Kenneth
Johnson Memorial Book Award. Seorang guru menulis yang dihormati secara
nasional, Lamb saat ini menjadi sukarelawan fasilitator untuk lokakarya menulis
bagi narapidana wanita di Connecticut's York Correctional Institution. Lamb
tinggal di Connecticut bersama istrina, Christine, dan tiga putra mereka. Dia
sekarang sedang menulis novel ketiganya.
Ucapan Terima Kasih AkU Sangat berterima kasih pada Linda Chester, agen sastraku dan temanku, dan
rekannya, Laurie Fox, yang punya peran yang sama besar. Glinda dan Dorothy dalam
satu agensi: berapa besar lagi keuntungan yang perlu dimiliki seorang penulis"
Aku berutang pada Judith Regan, penerbit dan sobatku, atas kesetiaannya,
kepercayaannya yang penuh kesabaran, dan responsnya yang bersemangat terhadap
hasil kerjaku. Grazie, Judith.
Rekan-rekan penulisku berikut ini yang memberikan evaluasi kritis tak terhingga
atas novel ini dalam berbagai tahap, dan aku berterima kasih dan merasa
tersanjung atas respons kolektif mereka yang murah hati. Mereka adalah Bruce
Cohen, Deborah DeFord, Joan Joffe Hall, Rick Hornung, Leslie Johnson, Terese
Karmel, Ann Z. Leventhal, Pam Lewis, David Morse, Bessy Reyna, Wanda Rickerby,
Ellen Zahl, dan Feenie Ziner.
Novel setebal ini ibarat seekor binatang liar yang besar dan sebuah proses
kompleks yang membutuhkan keyakinan, keberuntungan, dukungan moral, dan
pengetahuan melebihi apa yang diketahui pengarang. Aku berterima kasih
sedalam-dalamnya kepada orang-orang berikut ini, yang masing-masing dengan ?berbagai cara menolongku menemukan, menceritakan, dan menerbitkan kisah ini
?(dan dua orang di antaranya membantuku mengambil kembali memori kisah ini dari
hard drive di negeri kenangan antah-berantahku): Elliott Beard, Andre Becker,
Bernice Bennett, Larry Bloom, Cathy Bochain, Aileen Boyle, Angelica Canales,
Lawrence Carver, Lynn Castelli, Steve Courtney, Tracy Dene, Barbara Dombrowski,
David Dunnack, John Ekizian, Sharon Garthwait, Douglas Hood, Gary Jaffe, Susan
Kosko, Ken Lamothe, Linda Lamothe, Doreen Louie, Peter Mayock, Susan McDonough,
Alice McGee, Joseph Mills, Joseph Montebello, Bob Parzych, Maryann Petyak, Pam
Pfeifer, Pit Pinegar, Nancy Potter, Joanna Pulcini, Jenny Romero, Allyson
Salazar, Ron Sands, Maureen Shea, Dolores Simon, Suzy Staubach, Nick Stevens,
Christine Tanigawa, David Teplica, Denise Tyburski, Patrick Vitagliano Jr.,
Oprah Winfrey, Patricia Wolf, Shirley Woodka, Genevieve Young, kru pagi di Sugar
Shack Bakery, dan murid-muridku di Norwich Free Academy dan University of
Connecticut. Aku berutang pada Rita Regan, yang membantuku mengedit dan memberikan saran
tentang hal-hal yang berhubungan dengan Sisilia, dan juga pada Mary Ann Hall,
yang memberikan Tales of My Native Town karya Gabrielle D'Annunzio ke tanganku.
Terima kasih khusus kuucapkan kepada Ethel Mantzaris atas persahabatan dan
dukungan setianya selama ini. Yang terakhir, rasa terima kasih yang dalam hingga tak terungkapkan lewat kata-
kata kusampaikan pada Christine Lamb, pasangan hidup dan cintaku, yang membuatku
bisa menulis. Aku berterima kasih dan menghargai para guru berikut ini, dari sekolah dasar
hingga perguruan tinggi, yang telah mendorong muridnya menuju titik tertinggi
dan merangsang kreativitas: Frances Heneault, Violet Shugrue, Katherine Farrell,
Leona Comstock, Elizabeth Winters, Lenora Chapman, Miriam Sexton, Richard Bilda,
Victor Ferry, Dorothy Cramer, Mildred Clegg, Mary English, Lois Taylor, Irene
Rose, Daniel O'Neill, Dorothy Williams, James Williams, Alexander Medlicott,
Alan Driscoll, Gabriel Herring, Frances Leta, Wayne Diederich, Joan Joffe Hall,
Gordon Weaver, dan Gladys Swan.
Aku sangat beruntung mendapatkan dukungan dari lembaga-lembaga pendukung penulis
dan organisasi berikut selama menulis novel ini: Norwich Free Academy,
Willimantic, Connecticut, Public Library, Homer D. Babbidge Library, University
of Connecticut, dan Connecticut Comission on the Arts.
Novel ini tak mungkin ada tanpa dukungan luar biasa dan pengesahan dari National
Endowment for the Arts.^f^
Satu Siang hari 12 Oktober 1990, kakak kembarku Thomas memasuki Three Rivers,
perpustakaan umum Connecticut, menyendiri di salah satu ruang belajar di bagian
belakang dan berdoa kepada Tuhan, semoga pengorbanan yang akan dia lakukan dapat
diterima. Hari itu, pustakawan kepala menghadiri rapat seharian di Hartford, dan
Mrs. Theresa Fenneck, dari bagian buku anak, bertanggung jawab menggantikannya.
Dia mendekati Thomas dan memintanya memilih memelankan suara atau meninggalkan
perpustakaan. Suara Thomas terdengar sampai ke meja depan, mengganggu pengunjung
yang lain. Kalau mau berdoa, kata Mrs. Fenneck pada Thomas, sebaiknya pergi saja
ke gereja, bukan di perpustakaan.
Sehari sebelumnya, Thomas dan aku sempat menghabiskan waktu bersama selama
beberapa jam. Ritual Minggu siang kami mengharuskan aku mengajaknya keluar dari
Rumah Sakit Settle Building, mentraktirnya makan siang, mengunjungi ayah tiri
kami atau membawanya jalan-jalan, lalu mengembalikannya ke rumah sakit sebelum
waktu makan malam tiba. Di salah satu meja di bagian
belakang restoran Friendly, aku duduk di hadapan kembaranku itu, terpaksa ikut
mengisap asap rokoknya, dan membuka-buka, untuk kesekian kali, buku klipingnya
tentang krisis Perang Teluk. Dia mulai mengkliping sejak Agustus sebagai bukti
bahwa Armageddon atau kiamat sudah dekat bahwa peperangan terakhir antara baik ?dan buruk akan segera dimulai. "Selama bertahun-tahun ini, Amerika hidup dengan
waktu pinjaman, Dominick," katanya kepadaku. "Memainkan peran sebagai pelacur
dunia, tenggelam dalam keserakahan. Kini, kita akan membayar harganya."
Dia sama sekali tak menyadari jari-jariku yang mulai mengetukngetuk meja. "Bukan
maksudku mengalihkan pembicaraan," kataku, "tapi, bagaimana soal kopi?" Sejak
delapan miligram Haldol per hari berhasil memelankan suara Thomas, dia
mendapatkan imbalan setiap pagi di ruang duduk pasien kopi, rokok, dan koran
?yang dibagikan dengan kereta dorong besi berkeriut yang lebih ra-puh daripada
kondisi mentalnya. Seperti kebanyakan pasien di sana, dia dimanjakan oleh kafein
dan nikotin, tetapi koranlah yang menjadi candu utama Thomas.
"Bagaimana mungkin kita tega membunuh orang hanya karena ingin mendapatkan
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
minyak murah" Bagaimana kita bisa membenarkan hal itu?" Tangannya bergerak-gerak
saat berbicara; telapaknya kusam terkena tinta koran. Tangan kotor itu
seharusnya memperingatkan aku memberiku pertanda. "Bagaimana kita bisa?menghindar dari kemarahan Tuhan kalau kita tak menghargai nyawa manusia?"
Pelayan mendekat seorang anak SMU mengenakan baju mini berkancing dua, "Hai,
?aku Kristin," dan "Sabar ya. Aku masih berlatih." Ia menanyakan apakah kami
ingin memulai dengan cheese sticks atau semangkuk sup.
"Kau tidak bisa menyembah Tuhan dan uang, Kristin," kata Thomas kepadanya.
"Amerika akan memuntahkan darahnya sendiri."
Kira-kira sebulan kemudian setelah Presiden Bush mendeklarasikan bahwa "sebuah
?garis telah ditarik di atas pasir" dan konflik mungkin tak bisa dihindari Mrs.
?Fenneck muncul di depan pintuku. Selama ini, dia berusaha mencariku mencari
?tempat tinggalku lewat direktori kota dan pergi begitu saja ke kondominium
tempatku tinggal bersama Joy, membunyikan bel pintu. Dia menunjuk suaminya yang
parkir di pinggir jalan dan menunggunya di Dodge Shadow biru mereka. Dia
memperkenalkan diri sebagai pustakawan yang telah menelepon 911.
"Kakakmu selalu rapi dan bersih," katanya. "Tidak semua orang yang seperti dia
bisa berpenampilan seperti itu. Tetapi, kau harus tegas dengan orang-orang ini.
Sepanjang hari, setiap hari, mobil rumah sakit jiwa menurunkan mereka di tengah
kota dan meninggalkan mereka. Mereka tak punya tujuan, tak punya pekerjaan.
Toko-toko tak mau mempekerjakan mereka apalagi bisnis sedang sulit, tak ada lagi rasa iba. Jadi,
?mereka datang ke perpustakaan dan duduk." Saat berbicara itu, berkali-kali dia
mengejapkan mata hijaunya yang pucat, berusaha mengalihkan pandangannya dari
wajahku. Thomas dan aku adalah kembar identik, bukan fraternal satu telur yang
?dibuahi lalu terbelah dua dan tumbuh terpisah. Mrs. Fenneck tak tahan menatapku
karena seolah sama saja dengan melihat Thomas.
Aku ingat, hari itu sangat dingin dan aku hanya menerimanya di lorong menuju
ruang tamu, tak lebih jauh dari itu. Selama dua minggu, aku mengubah-ubah
saluran TV mengikuti berita terbaru tentang Desert Shield, menelan kembali
kemarahan dan rasa bersalah yang kurasakan akibat tindakan kakakku, dan menyimak
semua omongan reporter dan berita TV para pengisap darah yang mengais-ngais
?peran utama dalam acara TV orang-orang aneh. Aku tidak menawarkan diri pada Mrs.
Fenneck untuk membukakan mantelnya. Aku berdiri saja di sana, tangan terlipat,
kedua genggaman kukepit di ketiak. Apa pun ini, aku ingin ia segera berakhir.
Wanita itu berkata, dia ingin aku memahami beban yang dihadapi para pustakawan
akhir-akhir ini. Dahulu, menjadi pustakawan adalah pekerjaan yang
menyenangkan apalagi dia suka bertemu dengan orang-orang. Tetapi, kini
?perpustakaan menjadi tujuan dengan orang-orang telantar dan tunawisma. Orang-
orang yang sama sekali tak
peduli tentang buku atau informasi. Orang-orang yang hanya ingin duduk dan
berdiam diri atau pergi ke toilet lima menit sekali. Ditambah lagi sekarang
dengan AIDS, narkoba, dan sebagainya. Beberapa hari lalu, mereka menemukan jarum
suntik kotor terjepit di belakang tempat tisu toilet pria. Menurutnya, negara
ini seperti laci-laci lemari yang ditarik keluar dan isinya dibuang ke lantai.
Tadi aku membuka pintu dengan bertelanjang kaki. Kini, kakiku terasa dingin.
"Apa yang Anda inginkan?" tanyaku kepadanya. "Mengapa Anda datang kemari?"
Dia datang, katanya, karena dia tidak berselera makan dan tak bisa tidur nyenyak
sejak kakakku melakukannya. Bukan berarti bahwa dia fan yang harus bertanggung
?jawab, tegasnya. Jelas, Thomas telah merencanakan semuanya dan akan tetap
melakukannya, tak peduli apakah wanita pustakawan itu mengatakan sesuatu
kepadanya atau tidak. Selusin orang atau bahkan lebih mengatakan kepadanya bahwa
mereka melihat Thomas berjalan di kota, bergumam sendiri tentang perang dengan
satu tinjunya terangkat ke udara, seakan-akan terpaku dalam posisi itu. Mrs.
Fenneck juga sudah melihatnya sendiri, dan selalu merasa aneh. "Dia masuk dan
duduk sepanjang siang di bagian terbitan berkala, berdebat dengan koran,"
katanya. "Lalu, tak lama kemudian dia diam. Hanya memandang ke luar jendela dan
mengeluh, menekuk siku dan mengepalkan tangannya. Tetapi, siapa yang mengira
bahwa itu merupakan pertanda"
Orang waras mana yang bisa mengotak-atik dan menduga kalau dia berniat melakukan
itu?" Tak seorang pun, kataku. Tak seorang pun yang bisa menduga.
Mrs. Fenneck berkata bahwa dia telah bekerja selama bertahun-tahun di meja utama
sebelum menjadi pustakawan bagian anak-anak dan dia ingat ibuku, semoga arwahnya
tenang di sisiNya. "Ibumu suka membaca. Buku misteri dan roman, seingatku.
Tenang, selalu sangat menyenangkan. Dan sangat rapi. Sungguh suatu karunia dia
sudah meninggal sehingga tak perlu melihat ini, oh, wanita yang malang. Bukan
berarti mati karena kanker itu menyenangkan, lho." Dia berkata pernah punya
saudara perempuan yang mati karena kanker juga dan seorang keponakan perempuan
yang sekarang sedang berjuang melawan kanker. "Jika kau bertanya kepadaku,"
katanya, "tak lama lagi mereka pasti mendapatkan jawaban mengapa sekarang banyak
sekali kanker, dan jawabannya pasti komputer."
Kalau dia terus mengoceh, pasti aku akan menangis. Aku mungkin mencekiknya.
"Mrs. Fenneck!" tukasku.
Baiklah, katanya, dia akan langsung saja: apakah ayahku atau aku menganggapnya
bertanggung jawab atas apa yang telah terjadi"
"Anda?" tanyaku. "Mengapa harus Anda?" "Karena aku sempat menegurnya sebelum dia
melakukan itu." Diriku/ah, yang kuanggap bertanggung
jawab karena mengabaikan semua ocehan tentang Islam dan Armageddon, karena ?tidak menghubungi dokter dan mendesak mereka memberinya obat. Dan juga, karena
pergi ke unit gawat darurat dan melakukan apa yang bisa jadi merupakan keputusan
yang salah. Hari Minggu itu di Friendly, Thomas hanya memesan segelas air. "Aku
puasa," katanya, dan aku sengaja diam, tak bertanya, mengabaikan tangannya yang
kotor, memesan cheese burger dan kentang goreng untukku sendiri.
Kukatakan kepada Mrs. Fenneck, bukan dia yang harus bertanggung jawab.
Kalau begitu, apakah aku mau menulisnya hitam di atas putih" Bahwa kejadian itu
tak ada hubungannya dengan dirinya" Itu adalah gagasan suamiku, katanya. Kalau
aku mau menulisnya di selembar kertas, mungkin dia bisa tidur nyenyak atau
memakan sedikit hidangan makan malamnya. Mungkin dia bisa mendapat ketenangan.
Mata kami saling terpaut. Kali ini dia tidak berpaling. "Aku takut," katanya.
Kukatakan agar dia menunggu di teras.
Di dapur, aku mengambil pulpen dan merobek selembar kertas Postit yang diambil
Joy dari kantornya dan diletakkan di dekat telepon kami. (Dia mengambil lebih
banyak dari yang mungkin akan kami gunakan. Kemarin, aku memasukkan tanganku ke
kantong mantel musim dinginnya mencari receh untuk tukang koran dan menemukan
lusinan kertas catatan mini itu. Lusinan.) Tanganku bergetar saat menulis
pernyataan yang akan memenuhi semua keinginan Mrs. Fenneck: makan, tidur, pengampunan legal. Aku
tidak melakukan ini karena kasihan. Aku melakukannya karena aku ingin dia tutup
mulut. Agar dia pergi dari lorong apartemenku. Dan karena aku juga takut. Takut
akan kakakku. Takut menjadi setengah dari dirinya.
Aku kembali ke pintu depan dan mengulurkan tangan ke arah Mrs. Fenneck,
menyumpalkan kertas kuning itu ke kantong mantelnya. Dia berjengit ketika aku
melakukan itu, dan responsnya yang spontan itu memberiku sedikit rasa
puas jenis kepuasan yang rendah, yang nista. Tapi, aku tak peduli. Aku toh, tak?pernah bilang bahwa aku orang yang mudah dicintai. Aku tak pernah bilang bahwa
aku bukan orang yang menyebalkan.
Aku tahu apa yang kutahu tentang kejadian di perpustakaan tanggal 12 Oktober
1990 itu, dari apa yang diceritakan Thomas kepadaku dan dari berita koran yang
muncul di sisi berita tentang operasi Desert Shield. Setelah teguran Mrs.
Fenneck di ruang belajar, Thomas meneruskan doanya dalam diam, mengulang-ulang
doa Santo Matius, bab S, ayat 29 dan 30, "Dan jika matamu yang kanan menyesatkan
engkau, cungkillah dan buanglah itu .... Dan jika tanganmu yang kanan menyesatkan
engkau, penggallah dan buanglah itu, karena lebih baik bagimu jika satu dari
anggota tubuhmu binasa, daripada tubuhmu secara utuh dicampakkan ke dalam
neraka." Dari jaket sweternya, Thomas
mengeluarkan pisau upacara Gurkha yang dibawa ayah tiri kami sebagai suvenir
dari Perang Dunia II. Siang hari sebelumnya, pisau itu masih tergantung dalam
sarungnya, terabaikan di dinding kamar atas di rumah tempat kami berdua tumbuh
besar. Dokter bedah ortopedik yang kemudian merawat kakakku kagum akan tekadnya;
katanya, rasa sakit yang hebat seharusnya membuat Thomas menghentikan
tindakannya itu. Dengan tangan kirinya, Thomas melakukan setiap tahap yang telah
lama dia latih dalam pikirannya. Mulai dengan mengiris pergelangan tangan
kanannya, dia meretas tulang-tulang tangannya, mengamputasi tangannya dengan
bersih dan rapi menggunakan pisau tajam itu. Dengan gerutuan keras, dia
lemparkan telapak tangannya yang putus ke tengah-tengah lantai perpustakaan.
Lalu, dia memegang lukanya dan menarik-narik tulang hasta serta urat nadinya,
menekan dan memilinnya agar sebisa mungkin tertutup. Dia juga mengangkat
lengannya ke atas untuk memperlambat perdarahan.
Ketika pengunjung perpustakaan lainnya sadar atau mengira mereka sadar tentang
? ?apa yang baru saja terjadi, suasana langsung kacau. Beberapa orang lari keluar;
dua orang wanita bersembunyi di belakang rak-rak buku, takut kalau pria gila itu
akan menyerang mereka. Mrs. Fenneck bersembunyi di belakang meja depan dan
menelepon 911. Ketika itu, Thomas sudah berdiri, merambat dari ruang belajar,
terhuyung-huyung ke meja terdekat dan duduk, menyuarakan keluhan
yang menyayat, tetapi tak melakukan apa-apa. Pisau itu tergeletak di ruang
belajar tempat dia meninggalkannya. Thomas mulai mengalami syok.
Tentu saja ada darah, meski tidak sebanyak seharusnya karena Thomas tahu dan
sadar bahwa dia harus menyumbat aliran darahnya. (Waktu kecil, dia mendapatkan
lencana dan sertifikat pelatihan pertolongan pertama tingkat lanjut, lama
setelah aku mengumumkan bahwa Boy Scouts hanya orga-ni-sasi para bajingan.)
Setelah yakin bahwa Thomas tak bermaksud melukai siapa pun kecuali dirinya
sendiri, Mrs. Fenneck berdiri dari belakang meja perpustakaan dan memerintahkan
penjaga perpustakaan untuk menutupi potongan tangan di lantai dengan koran. EMT
dan polisi datang berbarengan. Paramedis dengan segera merawat kakakku,
mengikatnya ke brankar, dan mengepak tangannya yang terpotong di tas plastik
berisi es yang diambilkan seseorang dari lemari es di ruang duduk pustakawan.
Di unit gawat darurat, kakakku sadar dan menolak semua usaha medis untuk
menyambungkan kembali tangannya. Ayah tiri kami, Ray, sedang pergi dan tak bisa
dihubungi. Sedangkan aku saat itu sedang berdiri di perancah, mencuci jendela
bangunan Victoria tiga lantai di Gillette Street, ketika mobil patroli datang
dengan sirene dan lampu biru berkilatan, berhenti di depan jalan masuk. Aku tiba
di rumah sakit ketika Thomas sedang berdebat dengan dokter bedah yang sudah
dihubungi, dan sebagai keluarga terdekat kakakku setelah ayah
kami, aku diminta mengambil keputusan apakah operasi sebaiknya dilanjutkan atau
tidak. "Kami akan membiusnya total, memberinya obat penenang biar dia tidak
mengamuk ketika sadar nanti," janji sang dokter. Dia masih muda dengan rambut
gaya reporter TV tiga puluh tahunan kalau tak salah. Dia berbicara dengan nada ?normal, bahkan tidak berusaha berbisik-bisik di depan kakakku.
"Kalau begitu, aku akan memotongnya lagi," kata kakakku. "Kau kira beberapa
jahitan bisa menahanku melakukan apa yang harus kulakukan" Aku punya perjanjian
dengan Tuhan Yang Mahakuasa."
"Kami bisa mengikatnya selama beberapa hari pertama jika harus," lanjut sang
dokter. "Memberi kesempatan saraf untuk beregenerasi."
"Hanya ada satu penyelamat di alam semesta ini, Dokter," teriak Thomas. "Dan itu
bukan kauf" Dokter dan Thomas, keduanya memandangku. Kukatakan, aku perlu waktu beberapa
menit untuk berpikir, menjernihkan otakku. Aku meninggalkan ruang operasi dan
mulai berjalan ke koridor.
"Kalau begitu, jangan berpikir terlalu lama," kata dokter bedah dari belakangku.
"Saat ini kesempatannya hanya fifty-fifty, dan semakin lama kita menunggu,
kesempatannya semakin sedikit."
Darah berdentum di kepalaku. Aku sayang kakakku. Aku benci dia. Tak ada jalan
keluar tentang siapa dirinya. Tak ada jalan kembali untuk mengubahnya.
Ketika aku sampai di ujung koridor yang buntu, satu-satunya argumen yang muncul
di kepalaku hanyalah argumen yang bodoh: Apakah dia masih bisa berdoa tanpa menangkupkan
kedua tangannya" Masih bisa menuang kopi" Memegangi anunya" Dari ujung lain
koridor kudengar Thomas berteriak. "Itu adalah tindakan religius1. Sebuah
pengorbanan1. Mengapa harus kau yang selalu punya kuasa atas diriku?"
Kuasa: itulah kata kunci yang mendorongku mengambil keputusan. Tiba-tiba si
dokter bedah dengan rambut bevgel itu adalah ayah tiri kami dan semua jagoan
serta pialang kekuasaan yang membuat Thomas menderita. Katakan pada mereka,
Thomas, pikirku. Kau harus berjuang untuk hakmu!
Aku kembali menyusuri koridor dan mengatakan pada dokter bahwa jawabannya adalah
tidak. "Tidak?" katanya. Dia sudah mencuci tangan dan mengenakan pakaian operasi. Dia
memandangku tak percaya. "Tidak?"
Di ruang operasi, dokter lalu mengambil kulit dari paha atas kakakku dan
menggunakannya untuk menutupi pergelangan tangannya yang terpotong. Operasinya
butuh waktu empat jam. Ketika semua selesai, beberapa reporter koran dan TV
telah menelepon rumahku dan berbicara kepada Joy.
Selama beberapa hari berikutnya, narkotik menetes dari selang ke tulang punggung
kakakku untuk mengurangi rasa sakitnya. Antibiotik dan antipsikotik disuntikkan
ke pergelangannya untuk melawan infeksi, juga mengurangi upaya pemberontakannya.
Daftar pengunjung yang "disetujui" membuat media tak bisa menemuinya,
tetapi Thomas dengan tidak sabar dan tegas, menerangkan kepada semua
orang detektif polisi, psikiater, perawat, dan pembersih kamar bahwa dia tak
? ?bermaksud bunuh diri. Dia hanya ingin membuat pernyataan publik yang akan
membangunkan Amerika, membantu kami semua melihat apa yang telah dia lihat,
mengetahui apa yang telah dia ketahui: bahwa negara ini harus menghapuskan
keserakahan yang jahat dan mengikuti jalan yang lebih spiritual kalau kita masih
ingin bertahan hidup, kalau kita tak mau tersandung mayat anak-anak kita sendiri
yang terbantai. Sebelum ini dia adalah Thomas si peragu, katanya, tetapi kini
dia adalah Simon Peter batu fondasi bangunan ordo Tuhan yang baru. Dia telah
?diberkahi, katanya, dengan karunia dan beban kemampuan melihat masa depan. Kalau
saja orang mau mendengar, dia bisa memimpin jalannya.
Dia mengulangi semua ini kepadaku pada malam sebelum dia keluar dari rumah sakit
dan masuk kembali ke Three Rivers State Hospital, yang secara berkala menjadi
rumahnya sejak 197D. "Ka-dang, aku heran mengapa harus aku yang terpilih untuk
melakukan semua ini, Dominick," katanya menghela napas. "Mengapa semua ini
dibebankan kepadaku. Ini sungguh berat."
Aku tidak menjawabnya. Aku tak mampu berbicara sama sekali. Tak mam-pu melihat
tangan yang telah dia potong sendiri meskipun tangan itu sekarang telah bersih ?dan diperban. Alih-alih, aku memandang tangan pengecat rumahku yang kasar
dan bernoda. Memandang tangan kiriku mencengkeram pergelangan tangan kanan.
Keduanya lebih terlihat seperti benda mati, bukan tangan. Aku tak bisa merasakan
apa pun pada kedua tangan itu.^*-
Dua Suatu Sabtu pagi ketika aku dan kakak kembarku berusia sepuluh tahun, televisi
kami tiba-tiba meledak. Thomas dan aku menghabiskan hampir sepanjang pagi itu bermalas-malasan dalam
piama kami, menonton kartun dan mengabaikan perintah Ma agar kami segera pergi
ke atas, mandi, dan berganti baju. Kami seharusnya membantu Ma di luar,
membersihkan jendela. Setiap kali Ray memberikan perintah, Thomas dan aku pasti
langsung menurut, tetapi akhir pekan itu ayah tiri kami sedang pergi berburu
itik dengan temannya Eddie Banas. Mematuhi Ma menjadi tidak wajib.
Ketika itu terjadi, Ma sedang ada di luar memandang ke dalam berdiri di petak
?geranium di atas bangku sehingga dia bisa mencapai jendela ruang duduk. Beberapa
rol rambut masih bertengger di kepalanya. Saku mantelnya penuh dengan tisu. Saat
dia menyemprotkan Windex dan mengelap kaca, tangannya yang bergerak melingkar
terlihat seakan melambai ke arah kami. "Kita sebaiknya keluar dan membantunya,"
kata Thomas. "Bagaimana kalau Ma bilang pada Ray"1
"Ma tak akan bilang," kataku. "Dia tak pernah
bilang." Itu benar. Tak peduli seberapa marah Ma karena kami, dia tak akan menyodorkan
kami untuk dimangsa raksasa lima kaki enam inci yang tidur mendengkur di kamar
tamu lantai atas pada hari kerja, bangun karena bunyi weker tepat pukul 15.30
tiap sore, dan membangun kapal selam pada malam hari. Electric Boat, shift
ketiga. Di rumah kami, kau harus berjingkat-jingkat dan berbisik pada siang hari
dan baru bebas setiap malam pukul 21.30 ketika Eddie Banas, teman Ray yang juga
kerja di shift ketiga, menghentikan mobilnya di depan rumah kami dan membunyikan
klakson. Aku selalu menunggu-nunggu bunyi klakson itu. Mendambakannya. Dengan
bunyi itu, semua anggota tubuh yang kaku tertahan jadi lentur, dada dan tangan
bisa rileks, dan kami kembali bisa bernapas panjang. Kadang-kadang, pada malam-
malam seperti itu, aku dan Thomas merayakan bunyi bantingan pintu truk Eddie
dengan melompat-lompat di atas kasur kami, dalam gelap. Kebebasan dari Ray
mengubah kasur kami menjadi trampolin.
"Hei, lihat," kata Thomas, memandang heran ke arah TV. "Apa?"
Lalu aku pun melihatnya: lingkaran asap tipis muncul dari bagian belakang TV.
Aku ingat, saat itu kami sedang menonton tayangan Howdy Doody Show. Si Badut
Clarabel sedang mengejar seseorang yang membawa sebotol jus. Tiba-tiba,
gambar dan suaranya mati. Api menyambar dinding ruang duduk.
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kukira orang-orang Rusia yang melakukannya bahwa Khrushchev akhirnya
?menjatuhkan bom. Jika hal yang tak terbayangkan terjadi, kata Ray suatu kali
pada saat makan malam, markas kapal selam dan Electric Boat dijamin menjadi
target utama. Kami akan merasakan ledakan bom itu hingga sembilan mil ke arah
Three Rivers. Api akan muncul di mana-mana. Lalu yang terburuk: meleleh. Tangan,
kaki, dan wajah orang-orang akan meleleh seperti keju.
"Tiarap! Berlindung!" teriakku pada Thomas. Aku dan Thomas menjatuhkan diri ke
lantai dalam posisi tiarap seperti yang diajarkan guru pertahanan diri di
sekolah kami. Terdengar ledakan dari arah TV, dan asap hitam tebal membubung.
Hujan kaca mengguyur ruang duduk.
Suara ledakan dan asap membuat Ma tergesa-gesa masuk sambil menjerit. Sepatunya
menginjak kaca saat dia berlari ke arah kami. Ma menggendong Thomas dan
menyuruhku naik ke punggungnya.
"Kita nggak bisa keluar!" teriakku. "Bom!"
"Ini bukan bom!" teriak Ma. "TV-nya!"
Di luar, Ma menyuruh Thomas dan aku berlari menyeberang jalan dan mengatakan
kepada keluarga Anthony untuk menelepon pemadam kebakaran. Ketika Mr. Anthony
menelepon pemadam kebakaran, Mrs. Anthony menghilangkan pecahan kaca dari rambut
kami dengan sikat kecil. Kami
meludahkan dahak yang penuh dengan jelaga. Ketika kami kembali ke trotoar di
depan rumah keluarga Anthony, Ma sudah hilang.
"Di mana ibu kalian?" teriak Mrs. Anthony. "Ia nggak kembali ke sana, kan"
Jesus, Maria, Joseph!"
Thomas mulai menangis. Lalu, Mrs. Anthony dan aku juga mulai menangis. "Cepat!"
teriak Thomas pada suara sirene di kejauhan. Lewat jendela ruang duduk, aku bisa
melihat api melahap gorden berenda rumah kami.
Sekitar semenit kemudian, Ma muncul dari rumah yang terbakar, tersedu-sedu,
mendekap sesuatu erat-erat di dadanya. Satu saku mantelnya terbakar karena penuh
tisu; mantelnya berasap. Mr. Anthony melepas paksa mantel Ma dan menginjak-injaknya. Truk pemadam
kebakaran muncul di tikungan dengan sirene menyala. Para tetangga terburu-buru
keluar dari rumah mereka untuk berkerumun dan menonton.
Bau hangus menguar dari tubuh Ma. Api membakar alisnya dan membuat wajah Ma
hitam legam. Ketika dia mengulurkan tangan untuk merangkul Thomas dan aku,
beberapa helai foto jatuh ke tanah. Saat itulah aku sadar mengapa dia kembali ke
rumah: menyelamatkan album fotonya dari tempat penyimpanan di laci terbawah
lemari keramik. "Semua baik-baik saja sekarang," katanya berulang-ulang. "Semua baik-baik saja,
baik-baik saja." Dan, bagi Ma, semua memang baik-baik saja. Rumah yang dibangun
ayahnya terselamatkan. Kedua putra kembarnya ada dalam pelukan. Album
fotonya utuh dalam genggaman. Baru minggu lalu, aku memimpikan ibuku yang ?meninggal karena kanker payudara sejak 1987 berdiri di dekat jendela
?kondominium tempatku tinggal bersama Joy, memandang kepadaku dan mengatakan
janji dari masa lalu. "Semua baik-baik saja, baik-baik saja, baik-baik saja."
Kadang, selama Ma membuka dan menutup kembali album foto penuh sesak yang sangat
dia sayangi itu, dua penjepit kuningan yang menyatukan sampul depan dan belakang
akan bengkok dan patah, sehingga sebagian besar halaman album itu longgar dan
akhirnya lepas. Album itu telah rusak selama bertahun-tahun, ketika pada Oktober
1986, Ma sendiri tubuhnya dibuka dan ditutup lagi di atas meja bedah Rumah Sakit
Yale-New Haven. Setelah beberapa bulan selalu merasa lelah dan capai, dan
menderita flu yang tak sembuh-sembuh, Ma menemukan benjolan di payudara kirinya.
"Tak lebih besar dari penghapus pensil," katanya kepadaku lewat telepon. "Tapi,
Lena Anthony berkata sebaiknya aku pergi ke dokter, jadi aku pergi."
Payudara kiri ibuku diangkat. Seminggu kemudian, dia diberi tahu bahwa kankernya
telah menyebar ke tulang dan limfa. Dengan keberuntungan dan terapi agresif, ?kata onkologis kepadanya, ibuku mungkin bisa bertahan enam hingga sembilan bulan
lagi. Ayah tiriku, kakak kembarku, dan aku, berjuang sendiri-sendiri dengan perasaan
kami tentang penyakit dan sakitnya Ma hukuman mati yang diterimanya. Masing-masing kami
?berusaha, dengan cara kami masing-masing, untuk menebus perasaan kami pada Ma.
Thomas mulai bekerja di ruang kesenian dan kerajinan di Rumah Sakit Jiwa Settle
Building. Ketika Ma berbaring di rumah sakit, menjalani scaning dan pemeriksaan,
juga diberi racun pembunuh kanker, Thomas menghabiskan berjam-jam merakit dan
mengelem dan melapisi sesuatu yang bernama "kolase gado-gado" sebuah bentuk tak
?keruan yang terdiri dari kacang-kacangan, cincin pengait, kancing, makaroni, dan
kacang polong kering yang membentuk tulisan: TUHAN = CINTA! Ketika diperbolehkan
pulang dari rumah sakit, Ma menggantung hiasan itu di dinding dapur, tempat
ratusan bulatan lengket itu seakan-akan berdenyut hidup sebuah organisme di
?bawah mikroskop, molekul yang melompat-lompat di film sains. Melihat benda itu
selalu membuatku kesal. Ayah tiriku memutuskan akan memperbaiki album Ma yang rusak, untuk pertama dan
terakhir kalinya. Dia mengambil album itu dari laci lemari keramik dan
membawanya ke garasi. Di sana dia memperbaikinya, menguatkan ikatan yang rusak
dengan potongan lembaran aluminium dan baut baja kecil. "Sudah baik sekarang,"
kata Ray kepadaku, memperlihatkan album yang sudah diperbaiki itu. Dia
memegangnya sepanjang lengan dan membukanya ke arah bawah, menggerak-gerakkan
sampulnya naik turun seakan sampul itu adalah sayap bebek buruannya yang
tertangkap. Proyekku untuk ibuku yang sekarat adalah yang paling mahal dan ambisius. Aku
akan merenovasi dapur era 1950-annya yang bernuansa pink, melapisi dinding
semennya yang sudah retak, mengganti lemari-lemari yang berkeriut dengan yang
modern, dan memasang meja di tengah dapur dengan oven dan kompor built-in.
Kurasa aku mendapatkan gagasan itu karena ingin menunjukkan pada Ma bahwa aku
adalah orang yang paling mencintainya ketimbang yang lain. Atau akulah yang
paling bersyukur dari kami bertiga terhadap semua yang dilakukan Ma untuk kami.
Atau aku adalah orang yang paling prihatin atas dirinya karena nasib telah
memberinya, pertama-tama, suami yang pemarah, dan lalu seorang anak skizofrenik,
kemudian nasib kembali menepuknya di bahu dan begitu saja memberinya kanker.
Ternyata belakangan, yang kubuktikan hanya bahwa akulah orang yang paling kukuh
menolak kenyataan. Jika aku mau repot-repot memberi Ma dapur baru yang mahal,
maka sebaiknya dia hidup cukup lama untuk mengapresiasinya.
Aku datang ke rumah ibuku di jajaran rumah kopel dari bata itu pada suatu Sabtu,
pagi-pagi sekali, kurang dari seminggu setelah dia kembali dari rumah sakit. Ray
secara terus terang menyatakan ketidaksetujuannya terhadap proyekku dan langsung
pergi dengan bersungut-sungut begitu aku tiba. Terlihat pucat dan berjalan
perlahan, Ma memaksakan seulas senyum dan mulai mengeluarkan semua stoples dan
barang-barangnya dari dapur ke tempat penyimpanan sementara. Dia mengamati dari pantry ketika aku
memulai langkah pertama renovasiku, menempa pahatku dengan palu dan
memasukkannya ke sela-sela lis dan dinding. Kulihat tangan Ma menggenggam di
mulutnya, mengetuk dan mengetuk bibirnya.
Diiringi bunyi retakan dan erangan paku yang terlepas dari dinding, lis selebar
empat kaki terlepas dari dinding, memperlihatkan semen dan kayu juga balok
tempat seseorang telah menuliskan catatan dan perhitungan di atasnya. "Lihat,"
kataku, ingin menunjukkan pada ibuku tulisan yang kurasa adalah tulisan tangan
ayahnya. Namun ketika berbalik, baru kusadari bahwa aku berbicara dengan pantry
yang kosong. Saat itu aku tiga puluh enam tahun, belum setahun bercerai dan tidak bahagia.
Kadang tengah malam, aku masih berusaha meraih Dessa, dan ranjang kosong di
sisiku akan membuatku terbangun. Kami menikah selama enam belas tahun.
Aku menemukan ibuku duduk di ruang tamu, berusaha menyembunyikan air matanya.
Album foto yang baru saja diperbaiki Ray ada di pangkuannya.
"Ada apa?" Dia menggeleng, kembali mengetukngetuk bibir dengan genggamannya. "Aku tak tahu,
Dominick. Kau teruskan saja. Hanya saja, dengan semua yang terjadi sekarang ini
...." "Ma tidak menginginkan dapur baru?" tanyaku. Pertanyaanku itu terdengar seperti
ancaman. "Sayang, bukan berarti aku tidak
menghargainya." Dia menepuk tempat kosong di sebelahnya, di sofa. "Ke sini.
Duduklah." Masih berdiri, aku mengingatkan bahwa dia telah mengeluh selama puluhan tahun
tentang dapurnya yang tak punya cukup tempat. Aku menggambarkan kompor yang
kulihat di Kitchen Depot kompor yang nyalanya rata terus, mudah dibersihkan. ?Aku terdengar seperti pramuniaga yang memanduku memasuki satu per satu ruangan
ajaib di Kitchen Depot. Ma berkata, dia tahu dapur baru akan sangat menyenangkan, tapi mungkin yang
benar-benar dia butuhkan sekarang adalah agar semua hal tetap pada tempatnya.
Aku duduk. Menghela napas. Kalah.
"Jika kau ingin memberiku sesuatu," katanya, "beri aku sesuatu yang kecil saja."
"Oke, baiklah," sungutku. "Aku akan membuatkanmu kolase gado-gado seperti
Thomas. Hanya saja, punyaku akan bertuliskan HIDUP ITU MENYEBALKAN. Atau YESUS
KRISTUS SIALAN." Ibuku adalah seorang wanita yang religius, dan kata-kataku itu
sama saja dengan menusukkan pahatku ke jahitan lukanya.
"Jangan bersikap sinis, Sayang," katanya.
Tiba-tiba saja, entah mengapa, aku menangis air mata dan sedu sedan yang
?tertahan mencekik tenggorokanku. "Aku takut," kataku.
"Apa yang kau takutkan, Dominick" Katakan padaku."
"Aku tak tahu," kataku. "Aku takut untukmu."
Tetapi sebenarnya, diriku sendirilah yang kutakutkan. Mendekati usia empat puluh
tahun, aku tak punya istri dan tak punya anak. Kini, aku juga akan kehilangan
ibuku. Ditinggalkan dengan saudaraku yang gila dan Ray.
Ma mengulurkan tangan dan mengelus lenganku. "Sayang," katanya, "ini memang
menakutkan. Tapi, aku menerimanya karena inilah kehendak Tuhan untukku."
"Kehendak Tuhan," ulangku, tetap sinis. Aku menarik lengan bajuku,
mengusapkannya ke mata dan berdehem membersihkan tenggorokanku.
"Beri aku sesuatu yang kecil," ulang Ma. "Kau ingat, musim semi lalu saat kau
mampir dan berkata, 'Hai Ma, masuk ke mobil dan aku akan mentraktirmu minum hot
fudge sundae"' Itu adalah hal yang kusukai. Mampirlah ke rumah, itu saja.
Melihat-lihat album ini denganku."
Terselip di bagian dalam sampul album ibuku adalah dua gambar Thomas dan aku
yang digunting empat puluh tahun lalu dari Three Rivers Daily Record. Kliping
berita yang dilipat itu sudah berwarna cokelat dimakan usia, terasa kering dan
ringan seperti kulit mati. Di foto pertama, kami masih bayi keriput, tubuh kami
yang mengenakan popok saling membentuk tanda petik. KEMBAR IDENTIK LAHIR PADA
TAHUN LAMA, DAN TAHUN BARU, demikian judul berita itu dan seterusnya menerangkan
bahwa Thomas dan Dominick Tempesta lahir di Daniel P.
Shanley Memorial Hospital tanggal 31 Desember 1949 dan pada 1 Januari 195D,
secara berurutan dengan jarak waktu enam menit dan pada tahun yang berbeda. ?(Artikel tersebut tidak menyebutkan ayah kami dan mengatakan bahwa ibu kami yang
tak disebutkan namanya "baik-baik saja". Kami adalah anak haram; kelahiran kami
pasti akan diabaikan oleh koran kalau saja kami bukan bayi tahun baru.) "Thomas
kecil lahir pertama, pada pukul 23.57," tulis berita itu. "Adiknya Dominick
menyusul pada pukul 00.03. Mereka berdua membagi paruh awal dan paruh akhir abad
kedua puluh." Dalam kliping berita kedua, tertanggal 24 Januari 1954, kakakku dan aku telah
menjadi Thomas dan Dominick Birdsey. Kami mengenakan topi pelaut yang sama dan
jaket wol hijau muda dan memberi hormat kepada pembaca Daily Record. Mamie
Eisenhower berjongkok di antara kami berdua, lengannya yang memakai mantel bulu
mink merangkul pinggang kami. Mrs. Eisenhower dengan rambutnya yang pendek dan
topi berbunga, tersenyum ke arah kamera. Sementara Thomas dan aku, berusia empat
tahun, memandang ke arah kamera dengan tatapan bingung dan patuh. Gambar ini
diberi judul IBU NEGARA MENDAPAT PENGHORMATAN GANDA.
Pada hari musim dingin itu, sang istri presiden sedang ada di Groton,
Connecticut, untuk memecahkan sebotol sampanye di USS Nautilus, kapal selam
bertenaga nuklir pertama di Amerika.
Keluarga kami berdiri di tengah kerumunan di bawah panggung kehormatan, mendapat
tiket untuk menjadi tamu resmi karena pekerjaan ayah tiri kami sebagai pemasang
pipa di Electric Boat. EB dan Angkatan Laut bekerja sama membangun Nautilus,
harapan terbesar Amerika untuk mengalahkan Komunisme.
Menurut cerita ibuku, pagi itu dingin dan berkabut, tetapi tepat ketika acara
peresmian kapal selam akan dimulai, matahari tiba-tiba muncul dan menerangi
perayaan itu. Ma sebelumnya berdoa kepada St. Anne agar diberikan cuaca bagus,
dan dia melihat kemunculan matahari yang tiba-tiba ini sebagai keajaiban kecil,
sebuah pertanda yang menegaskan apa yang sudah diketahui semua orang: bahwa
Surga ada di pihak kami, Surga ikut memerangi Komunisme tak bertuhan yang ingin
menaklukkan dunia dan meledakkan Amerika hingga berkeping-keping.
"Itu adalah hari paling membanggakan dalam hidupku, Dominick," kata Ma padaku
pagi itu ketika aku baru saja mulai, lalu menghentikan, renovasi dapurnya, dan
malah duduk di sebelahnya melihat album bersamanya. "Melihat kalian berdua
bersama istri presiden. Aku mengingat hari itu seperti baru terjadi kemarin.
Mamie dan beberapa istri admiral ada di atas panggung VIP, melambai ke arah
kerumunan, dan aku berkata pada ayah kalian, 'Lihat, Ray. Ia menunjuk langsung
ke anak-anak!' Ia berkata, 'Yang benar saja. Mereka hanya bergaya.' Tetapi, aku
yakin bahwa dia melihat kalian berdua.
Itu selalu terjadi. Orang-orang selalu memerhatikan anak kembar. Kalian berdua
selalu spesial." Kenangan bahagianya akan hari-hari yang telah lalu menguatkan suaranya, dan
memberikan semangat pada gerakannya. Masa lampau, foto-foto tua, terang matahari
yang tiba-tiba menyorot dari jendela depan; gabungan semua itu membuatnya senang
dan kurasa sedikit menghilangkan rasa sakit yang dia rasakan
"Lalu, tiba-tiba saja, kita berempat sudah mengikuti beberapa pria dari Dinas
Rahasia menuju ruang duduk di Klub Perwira. Ray masuk dengan percaya diri
tentunya, tetapi aku sangat takut. Kukira kita akan mengalami masalah atau
sejenisnya. Ternyata, kita masuk atas perintah Mrs. Eisenhower. Dia ingin difoto
bersama kedua anak lelakiku!
"Dan mereka juga memperlakukan kita seperti orang terhormat. Ayahmu minum
koktail bersama Admiral Rickover dan beberapa perwira berpangkat tinggi lainnya.
Mereka menanyakan padanya tentang saat ketika dia masih di militer. Lalu,
seorang pelayan membawakan kalian berdua soda jeruk dingin dalam gelas yang
hampir setinggi kalian berdua. Aku takut sekali kalau-kalau salah seorang dari
kalian menumpahkan soda ke baju Mamie."
"Apa yang Ma minum bersamanya?" candaku. "Wiski dan bir?"
"Oh, Sayang, aku sama sekali tak minum apa-apa. Aku benar-benar gugup berdiri
begitu dekat dengannya. Dia memesan Manhattan, seingatku,
dan beberapa biskuit crackers dengan selai. Dia sangat ramah dan tidak sombong.?Dia bertanya padaku apakah aku sendiri yang menjahit baju pelaut yang kau pakai
bersama Thomas. Dia bercerita padaku bahwa dia kadang masih merajut saat
melakukan perjalanan bersama Presiden, tetapi dia tak berbakat menjahit. Ketika
dia berjongkok untuk difoto bersama kalian berdua, dia bercerita pada kalian
tentang cucu laki-lakinya yang sedikit lebih tua dari kalian. David Eisenhower
maksudnya. Suami Julie Nixon. Camp David."
Ma menggelengkan kepalanya dan tersenyum, masih tak percaya semua itu terjadi.
Lalu, dia mengambil selembar Kleenex dari lengan baju mandinya dan mengusap
matanya. "Kakek kalian pasti tak akan percaya," katanya. "Pertama, dia datang ke
negara ini dengan saku baju berlubang, dan yang kemudian terjadi adalah dua cucu
laki-lakinya berteman dengan First Lady Amerika Serikat. Papa pasti sangat
bangga akan itu. Dia akan sombong seperti seekor merak."
Papa. Domenico Onofrio Tempesta kakekku dari pihak ibu, asal namaku adalah figur
? ?sentral di album fotonya sekaligus dalam hidupnya. Papa meninggal pada musim
panas 1949, tanpa menyadari bahwa anak perempuannya yang berusia tiga puluh tiga
tahun yang merawat rumahnya anaknya satu-satunya sedang mengandung anak
? ?kembar. Ketika kami tumbuh besar, kakakku dan aku mengenal Papa sebagai teladan
sempurna berwajah kaku dengan pencapaian cemerlang, tokoh utama dari beberapa lusin foto
menguning, bintang dari ratusan anekdot. Setiap kisah yang diceritakan Ma pada
kami tentang Papa menekankan pesan bahwa dia adalah sang bos, dia menguasai
rumah, bahwa apa yang dia katakan itulah yang terjadi.
Papa beremigrasi ke Amerika dari Sisilia pada 1901 dan berhasil maju karena dia
pintar menggunakan uangnya dan tidak takut bekerja keras, sungguh kami sangat
beruntung! Dia membeli tanah seluas seperempat hektar dari seorang janda petani
dan menjadi imigran Italia pertama yang memiliki tanah di Three Rivers,
Connecticut. Papa menaungkan atap di atas kepala kami, membangun "dengan kedua
tangannya sendiri" rumah bata Victoria di Hollyhock Avenue, tempat kami tinggal
saat kanak-kanak tempat ibuku tinggal sepanjang hidupnya. Papa memiliki kemauan
?baja dan keras kepala sifat yang sangat diperlukan untuk membesarkan seorang
?anak perempuan "sendirian". Jika kami pikir Ray itu kaku, semestinya kami
mengenal Papa! Suatu ketika, saat Ma masih kecil, dia merengek tak mau makan
telur goreng untuk makan malam. Papa membiarkannya merengek dan merengek, lalu
tanpa berkata sepatah pun, meraih ke depan dan mendorong kepala Ma ke piringnya.
"Kuning telur menempel di rambutku dan di ujung hidungku dan bahkan bulu mataku.
Aku menangis keras sekali. Setelah malam itu, aku selalu makan telurku dan tak
pernah rewel lagi!"
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
Kali lain, ketika Ma masih remaja dan bekerja di
toko Rexall, Papa menemukan sebungkus rokok rahasia milik Ma dan langsung pergi
ke toko obat itu, memaksa Ma memakan salah satu rokok Pali Malinya. Tepat di
depan para pelanggan dan bosnya, Mr. Chase. Dan Claude Sminkey, penjaga mesin
soda yang ditaksir setengah mati oleh Ma. Setelah Papa pergi, Ma berlari keluar
dan muntah di trotoar, menjadi tontonan para pejalan kaki. Dia keluar kerja, dan
merasa sangat malu pada dirinya sendiri. Tetapi dia tak pernah merokok
lagi bahkan tak pernah menyukai bau rokok setelah itu. Papa benar-benar ?membuatnya kapok. Ma telah melanggar aturan ayahnya dan lalu menyesalinya. Jelas
bahwa Papa tidak mau orang yang tinggal di rumahnya main sembunyi-sembunyi dari
dirinya. Tiba-tiba, di tengah kebersamaan kami melihat-lihat album foto itu, Ma
menyuruhku menunggu. Dia ingin mengambil sesuatu. Desah kesakitan pelan
terdengar dari mulutnya saat dia berdiri dan menuju tangga.
"Ma, apa pun itu, biar aku yang mengambilkan-nya untukmu," kataku.
"Tak apa-apa, Sayang," sahutnya dari tangga. "Aku lebih tahu pasti di mana
tempatnya." Aku membuka-buka lembaran album saat menunggu seolah melihat film yang
?terpotong-potong dan tak sempurna tentang keluargaku. Tiba-tiba aku sadar bahwa
ibuku telah menyusun album ini sebagai rekaman perjalanan hidup ayahnya, Thomas,
dan aku. Orang-orang lain hanya muncul di belakang layar: Ray, Dessa,
pasangan Anthony di seberang jalan, Tusia bersaudara dari sebelah. Akan tetapi,
kakekku, kakakku, dan aku, adalah bintang album ibuku. Ma sendiri, malu difoto
dan merasa malu akan bibirnya yang sumbing, hanya muncul dua kali dalam album
foto keluarga. Di foto pertama, dia adalah salah satu anak di barisan murid
sekolah berwajah masam yang berpose di depan St. Mary of Jesus Christ Grammar
School. (Dua tahun lalu, gereja menjual bangunan sekolah yang lapuk itu kepada
sebuah developer dari Massachusetts yang mengubahnya menjadi apartemen. Aku ikut
tender untuk pengecatan bagian dalam, tetapi dikalahkan oleh Paint Plus.) Di
foto kedua, Ma berumur sekitar sembilan atau sepuluh tahun. Dia berdiri di
samping ayahnya yang jangkung di depan beranda rumah di Hollyhock Avenue,
mengenakan gaun seperti karung dan wajah kaku sesuai dengan wajah Papa. Di kedua
foto tersebut, ibuku menutupkan tangan di depan wajahnya untuk menutupi mulutnya
yang cacat. Rupanya itu adalah gerakan tubuh yang telah dia pelajari sejak lama dan dia
praktikkan sepanjang hidupnya: menyembunyikan bibirnya yang sumbing dengan
tangan kanannya permintaan maaf tak henti-hentinya pada dunia karena sebuah
?cacat sejak lahir yang tak bisa dia tolak. Bibir atasnya, sumbing tepat di
bagian kiri gigi seri atas, menampakkan satu setengah sentimeter gusi dan
mengesankan seolah dia selalu mengejek. Tetapi, Ma tak pernah mengejek. Dia
meminta maaf. Dia menutupkan tangan di depan mulutnya bahkan di depan penjaga toko dan penjual
keliling, untuk tukang pos dan guru yang datang pada hari berkunjung ke rumah,
di depan para tetangga, suaminya, dan bahkan kadang pada dirinya sendiri ketika
dia duduk di ruang tamu menonton TV dan bayangannya tampak di layar.
Ibuku hanya sekali menyinggung bibirnya yang sumbing, suatu hari pada 1964
ketika dia duduk di hadapanku di ruang praktik dokter mata. Sebulan sebelumnya,
guru aljabarku di kelas sembilan menyarankan pada ibuku agar mataku dites
setelah memergokiku menyipitkan mata saat melihat ke papan tulis. Namun, aku
menolak. Kacamata hanya untuk anak pintar, untuk pecundang, dan anak aneh. Aku
gusar karena Thomas tidak menderita miopia juga jadi, meskipun kembar, dia tak
?harus ikut-ikutan memakai kacamata jelek seperti aku. Padahal, dia-\ah anak aneh
itu, si kutu buku. Dia yang seharusnya terkena rabun jauh. Jika Ma tetap
memaksaku memakai kacamata, kataku padanya, aku tetap tak akan memakainya.
Namun, Ma bilang kepada Ray, dan Ray mengeluarkan salah satu ultimatum makan
malamnya. Jadi, aku pergi ke Dr. Wisdo, bertingkah seburuk yang kubisa, dan
sengaja gagal membaca tulisan yang ditempel di dinding. Dua minggu kemudian,
bingkai kacamata hitamku yang terbuat dari plastik sedang dipas di wajahku di
ruang praktik berpenerangan fluoresen dengan cer-min yang terlalu banyak.
"Kurasa kacamata itu membuatmu terlihat tampan, Dominick," hibur Ma. "Terhormat.
Ia terlihat seperti Ray Milland muda. Iya kan, Dokter?"
Dr. Wisdo tidak menyukaiku karena kelakuanku yang buruk saat kunjungan pertama
dahulu. "Yah gumamnya enggan, "kalau Anda bilang begitu,
sih." Semua ini terjadi ketika aku mengalami demam pubertas dan Beatle-mania. Musim
panas sebelumnya, di lapangan basket di Fitz Field, seorang anak bernama Billy
Grillo menunjukkan padaku dan Marty Overturf setumpuk buku stensilan kisut
terkena hujan yang dia temukan di taman dalam sebuah tas plastik: Sensuous
Sisters, Lusty Days & Lusty Nights, The Technician of Ecstasy. Aku mengambil dua
buku yang basah oleh embun itu dan membawanya ke meja piknik tempat aku membaca
halaman per halamannya yang sudah mulai memudar, terpesona sekaligus jijik
membaca hal-hal yang dilakukan pria pada wanita, hal-hal yang dilakukan wanita
pada diri mereka sendiri, dan pada satu sama lain. Semua itu membuatku
ternganga. Hari itu aku pulang dari main basket, menjatuhkan diri ke ranjang dan
tertidur, dan terbangun di tengah-tengah mimpi basahku yang pertama. Tak lama
setelah itu, The Beatles muncul di acara Ed Suiiivan. Di balik pintu kamar mandi
yang terkunci, aku mulai menyisir poniku ke depan dan membayangkan fantasi
tentang gadis-gadis yang menjeritjerit melihat The Beatles apa yang bisa ?dilakukan gadis-gadis itu padaku dan apa yang
aku lakukan pada mereka. Jadi, tampak mirip Ray Milland, salah satu bintang film
lama favorit ibuku, adalah hal terakhir yang kuinginkan.
"Bisa diam nggak, sih?" kataku pada Ma, tepat di depan Dr. Wisdo.
"Hei, hei, hei, sudahlah. Sudah cukup," protes Dr. Wisdo. "Anak macam apa yang
bilang 'Diam' pada ibunya sendiri?"
Ma menutupkan tangannya di depan mulut dan mengatakan pada dokter bahwa dia tak
apa-apa. Aku cuma kecewa. Ini bukanlah aku yang sebenarnya.
Memangnya Ma tahu siapa aku sebenarnya, senyumku sinis dalam hati.
Dr. Wisdo berkata bahwa dia harus keluar ruangan beberapa saat dan ketika dia
kembali, dia berharap aku sudah minta maaf pada ibuku yang malang.
Selama beberapa saat, tak satu pun dari kami yang mengatakan sesuatu. Aku cuma
duduk di sana, tersenyum sinis penuh perlawanan pada ibuku, merasa menang
sekaligus merasa buruk. Lalu Ma mengejutkanku. "Kau pikir kacamata itu buruk,"
katanya. "Coba kalau kau seperti aku. Setidaknya kau masih bisa melepas
kacamatamu." Aku langsung tahu yang dimaksudkan ibuku bibir sumbingnya tetapi
? ?penyebutannya yang tiba-tiba itu menghantamku seperti bola salju yang tepat
mengenai mata. Dari semua topik terlarang di rumah kami, dua hal yang paling
terlarang adalah identifikasi ayah biologis Thomas dan aku, dan
cacat ibuku. Kami tak pernah bertanya tentang keduanya karena kami telah
?diajari untuk tidak bertanya dan menghormati kebungkaman yang hampir-hampir suci
itu. Kini, Ma sendiri melanggar satu dari dua aturan tertinggi. Aku melengos,
terkejut, malu, tapi Ma tak berhenti bicara.
"Suatu kali," katanya, "seorang anak laki-laki, anak jahat bernama Harold
Kettlety, mulai memanggilku 'Muka Kelinci'. Aku tak melakukan apa pun padanya.
Tak satu pun. Aku belum pernah mengganggu siapa pun aku bahkan takut pada
?bayanganku sendiri. Suatu hari, tiba-tiba dia memikirkan nama itu dan menurutnya
itu lucu. 'Halo, Muka Kelinci,' bisiknya padaku dari kursi sebelah. Tak lama,
beberapa anak laki-laki lain mengikutinya. Mereka sering mengejarku saat
istirahat dan memanggilku 'Muka Kelinci'."
Aku duduk terdiam, menggoyang-goyangkan kakiku, ingin ibuku
berhenti mengharapkan Harold Kettlety masih anak-anak sehingga aku bisa ?menemukan dia dan merobek wajahnya.
"Jadi, aku mengadu pada guru, dan dia menyuruhku menghadap kepala sekolah,
Mother Agnes namanya. Dia sangat tegas." Jemari Ma menarik-narik tali buku
sakunya sembari berbicara. "Kepala sekolah mengatakan agar aku berhenti
membesar-besarkan masalah. Aku justru memperburuk keadaan, katanya, dengan
membuat masalah ini diketahui semua orang. Aku sebaiknya mengabaikannya saja ....
Lalu, lebih banyak anak laki-laki mengejekku, bahkan anak laki-laki dari kelas
lain. Hingga semua menjadi sangat buruk, membuatku sering sesak napas sebelum
pergi ke sekolah setiap pagi. Di rumah kita, kau tidak bisa tak masuk sekolah
karena sakit kecuali kau menderita campak atau cacar air. Itu adalah hal yang
paling tidak disukai Papa aku tinggal seharian di rumah, tidak sekolah karena
?beberapa anak menyebalkan mengolok-olokku."
Aku ingin ibuku berhenti. Aku tak ingin mendengar luka dalam suaranya melihat
?bagaimana dia meremas dan memelintir tali buku saku itu. Jika ibuku terus
bicara, mungkin dia akan menyerah dan menceritakan semuanya padaku. "Aku tak
mengerti bagaimana cerita cengeng ini ada hubungannya denganku," kataku.
"Bagaimana kalau langsung saja katakan apa maksudmu sebelum aku mati ketuaan?"
Ibuku langsung diam, dan kurasa dia terdiam mengetahui kenyataan bahwa anaknya
sendiri bergabung dengan Harold Kettlety. Dalam perjalanan pulang dari dokter
mata, aku memilih duduk di kursi belakang dan tidak bicara pada ibuku. Dalam
perjalanan, aku mengeluarkan kacamata baruku dari kotak plastik cokelatnya,
membersihkan lensanya dengan kain bersilikon, dan memakainya. Aku memandang ke
luar jendela, diam-diam terkagum-kagum oleh pemandangan dunia yang lebih tajam
dan jernih daripada yang kuingat. Aku tidak mengatakan apa pun tentang ini,
tidak meminta maaf, dan tak berusaha menebus kesalahanku pada ibuku.
"Ma menangis di bawah," kata Thomas padaku di
kamar kami kemudian. Aku sedang latihan angkat berat, melepas kemeja, memakai
kacamata. "Terus, memangnya aku harus apa?" kataku. "Memegang kain lap di depan
hidungnya?" "Cobalah bersikap baik padanya," katanya. "Dia ibumu, Dominick. Kadang, kau
memperlakukan dia seperti tai."
Aku memandang diriku di cermin kamar kami sembari mengangkat beban, mengamati
otot-ototku yang mulai terbentuk dan yang sekarang bisa kulihat lebih jelas
karena kacamataku. "Kenapa tidak kau katakan saja kata itu daripada mengejanya,"
sambarku sinis. "Langsung saja. Bilang 'tai1. Buat dirimu merasa senang."
Thomas sedang mengganti pakaian sekolahnya ketika kami bicara. Kini dia berdiri,
tangan di pinggang, hanya mengenakan celana, kaus kaki, dan leher turtieneck
palsu yang populer di kalangan anak-anak sok baik di sekolah kami. Thomas punya
empat atau lima jenis barang macam itu dengan warna berbeda. Ya ampun, aku benci
leher turtieneck palsu itu.
Aku memandang kami berdua, berdampingan, di cermin. Di sebelahku, Thomas
kelihatan seperti badut kurus. Mr. Pep Squad Captain. Tuan Sok Baik.
"Aku serius, Dominick," katanya. "Kau sebaiknya memperlakukan Ma dengan baik
atau aku akan bilang Ray. Aku pasti bilang. Jangan kira aku nggak berani."
Itu adalah omong kosong dan kami berdua tahu
itu. Aku meraih lempengan barbelku, menambah beban ekstra pada pegangannya dan
mengangkatnya. Gombal. Anak banci sok baik. "Oh, ya ampun, aku takut," ejekku
padanya. "Aku takut banget, hingga pengin eek di celana."
Thomas berdiri diam, seperti Ma, tatapannya yang sebal luluh menjadi penuh
pengampunan. "Cobalah sedikit tenang, aku cuma mau bilang itu, Dominick,"
katanya. "Ngomong-omong, aku suka kacamatamu."
Ketika Ma kembali menuruni tangga pada hari ketika aku urung merenovasi
dapurnya, dia membawa sebuah brankas metal abu-abu. Aku meletakkan album foto,
berdiri dan berjalan ke arahnya. "Ini, Sayang," katanya. "Ini untukmu. Huh,
berat juga." "Ma, tadi kan aku bilang, biar kuambilkan." Aku mengambil brankas itu darinya.
"Apa sih, isinya?"
"Buka dan lihatlah," katanya.
Ma menempelkan kunci di salah satu sisi kotak itu; aku mencandainya tentang
ini kukatakan, untung dia tidak bekerja di Fort Knox. Dia memandang jari-jariku?melepas isolasi, memasukkan kunci ke lubang dan memutarnya. Dalam keseriusannya
menungguku membuka brankas itu, Ma bahkan tak mendengar guyonanku.
Di dalam kotak itu ada sebuah amplop manila besar melengkung di atas kamus kecil
tak bersampul, diikat dengan karet gelang yang langsung putus begitu kusentuh.
Dalam amplop itu terdapat setumpuk kertas tebal seperti sebuah manuskrip. Sepuluh hingga lima
?belas halaman pertama ditik lembaran asli dan salinan karbon. Sisanya ditulis
?dalam tulisan tangan tulisan tangan yang lancip-lancip dan tak beraturan dengan
?tinta bolpoin biru. "Ini bahasa Italia, kan?" tanyaku. "Apa ini?"
"Kisah hidup ayahku," jawab Ma. "Dia mendiktekannya pada musim panas ketika dia
meninggal." Saat aku membalik-balik lembaran-lembaran itu, aroma kertas yang tua dan lapuk
tercium hidungku. "Mendiktekan kepada siapa?" tanyaku padanya. "Padamu, Ma?"
"Bukan dong," katanya. Apa aku masih ingat keluarga Mastronunzios dari gereja"
Tootsie dan Ida Mastronunzio" Ibuku selalu begitu: menganggap bahwa database
ingatanku tentang semua orang Italia di Three Rivers sama besar dengan
ingatannya. "Hmm ...," gumamku
Aku pasti ingat, Ma ngotot. Mereka punya mobil putih besar yang selalu mereka
bawa ke Misa" Ida bekerja di binatu" Berjalan sedikit pincang" Yah, pokoknya,
Tootsie punya sepupu yang datang dari Italia setelah perang. Angelo Nardi, itu
namanya. Dia dulu adalah seorang juru steno di pengadilan Palermo. "Dia juga
tampan sangat memesona. Dia sedang mencari kerja."
?Ayah Ma telah lama mengatakan betapa dia ingin suatu hari duduk dan menceritakan
kisah hidupnya agar bisa menjadi pelajaran bagi para sisiliani lainnya. Dia beranggapan bahwa
anak muda di Old Country pasti ingin membaca bagaimana salah seorang dari mereka
berhasil datang ke Amerika dan sukses. Berhasil membuat kemajuan. Papa berpikir
kisahnya pasti bisa memberikan inspirasi pada mereka untuk melakukan hal yang
sama. Jadi, ketika bertemu dengan sepupu Tootsie itu pada suatu hari di Italian
Club, dia memunculkan gagasan besarnya. Dia akan menceritakan kisahnya pada
Angelo meminta Angelo menuliskannya, lalu mengetiknya.
?Proyek tersebut dimulai secara besar-besaran, menurut ibuku. "Berhati-hati
dengan uang" selama hidupnya, Papa kini tak membatasi pengeluaran untuk
autobiografi inspirasionalnya yang pertama. Dia mengeluarkan beberapa perabot
dari ruang duduk dan menyewa mesin tik untuk Angelo. "Semua oke-oke saja dalam
dua hari pertama," kata Ma. "Tetapi setelah itu, datang masalah."
Papa memutuskan, dia tak bisa menceritakan kisahnya secara bebas dengan adanya
Angelo di ruangan bersamanya menurutnya, dia akan ingat semuanya dengan lebih ?baik apabila dia sendirian. "Jadi, yang terjadi berikutnya, Papa menelepon
sejumlah perusahaan penyedia peralatan menelepon interlokal,yang hampir-hampir
?tak bisa kupercaya, Dominick, karena dia bahkan tak pernah menelepon sepupunya
di Brooklyn untuk mengucapkan Selamat Natal atau Paskah. Merekalah yang selalu
harus menelepon kami tiap
tahun karena Papa tak ingin membuang uangnya. Tetapi untuk proyeknya ini, dia
menelepon ke sana kemari. Akhirnya, dia menyewa sebuah mesin Dictaphone dari
sebuah tempat di Bridgeport." Ma menggelengkan kepala, masih terheran-heran
hingga kini. "Gila, kalau saja kau lihat alat itu ketika sampai di sini! Aku
hampir jatuh karena terkejut pada hari mereka menggotong alat itu masuk rumah."
Dua mesin dinaikkan di kereta beroda, katanya satu untuk orang yang mendikte
?dan satunya lagi untuk stenografer yang pertama-tama mengubah rekaman menjadi
coretan-coretan kemudian mengetiknya. Mereka mendirikan alat itu di ruang duduk
depan dan memindahkan mesin tik Angelo ke kamar tamu. "Angelo yang malang," kata
Ma. "Kurasa dia tak tahu apa yang akan dia hadapi."
Awalnya, Angelo maupun Papa tak tahu bagaimana menjalankan Dictaphone, kata Ma.
Mereka mencoba dan mencoba. Seharian penuh Papa menyumpah-nyumpah! Dia akhirnya
menyuruh Angelo naik bus ke Bridgeport untuk belajar bagaimana menjalankan alat
bodoh itu. "Padahal, orang itu hampir-hampir tak bisa bahasa Inggris, Dominick.
Lagi pula, dia baru saja datang dari Old Country. Tetapi bagaimanapun, dia
berhasil kembali, dan dia tahu bagaimana menjalankan alat itu membuatnya
?berfungsi. "Setiap pagi, Angelo mempersiapkan semua, lalu dia harus meninggal-kan Papa
sendiri. Itulah aturannya. Papa tak mau mendiktekan satu kata
pun hingga dia sendirian. Angelo biasanya datang ke dapur dan menunggu. Jadi,
akhirnya aku kenal dia sedikit. Dia pria yang baik, Dominick, dan sangat tampan.
Aku biasanya membuatkan dia kopi dan kami berbincang tentang ini itu tentang
?hidupnya dulu di Palermo, keluarganya. Aku sering membantu bahasa Inggrisnya.
Dia juga pintar lho; kau menjelaskan sesuatu kepadanya dan dia akan langsung
mengerti. Kau bisa tahu bahwa dia bakal sukses."
Dictaphone itu punya pita plastik merah, kata Ma; tempat suara direkam, kalau
dia tak salah ingat. Papa biasanya duduk di dekat mesin itu selama dua atau tiga
jam setiap kali dan lalu, kalau sudah selesai, dia akan memanggil Angelo dan
Angelo harus segera berlari datang. Angelo kemudian mendorong kereta Dictaphone
itu ke kamar belakang tempat mesin tik diletakkan. Mendengarkan apa yang terekam
di pita tersebut dan mencatatnya dalam steno. Lalu dia mengetiknya. "Tetapi kau
tahu, ayahku benci suara mesin tik. Dia tak ingin mendengar cekiak-cekiik mesin
tik setelah dia selesai mendikte. Semua upayanya mengingat masa lalu itu membuat
dia gampang marah." "Aku tidak mengerti," kataku. "Mengapa dia tidak mendiktekannya saja langsung?"
"Aku tak tahu. Gugup kurasa." Ma mengulurkan tangan dan menyentuh manuskrip
itu mengusapkan jemarinya di atas kata-kata ayahnya. Dia sendiri tak berani
?mendekati ruang
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
duduk ketika Papa berbicara pada Dictaphone. Papa sangat serius tentang itu. Dia
bahkan mungkin menembak Ma kalau berani mendekat.
Ma mengatakan bahwa sistem rumit yang dirancang ayahnya itu stenografer,
?Dictaphone, ruang pribadi untuk pendikte dan yang didikte berjalan lancar
?selama seminggu, lalu sistem itu kemudian juga berantakan. Pertama-tama, ada
salah paham tentang harga sewa peralatan itu. Papa mengira dia membayar delapan
dolar per minggu untuk sewa Dictaphone, tetapi ternyata kemudian dia harus
membayar delapan dolar per hari. Empat puiuh dolar seminggu! "Jadi, dia bilang
persetan pada perusahaan rental itu, lalu dia dan Angelo mendorong kereta
Dictaphone ke beranda depan. Mesin itu dibiarkan di luar selama dua hari penuh
sebelum akhirnya seseorang datang dari Bridgeport dan mengambilnya. Aku sangat
ketakutan ketika mesin-mesin itu berada di luar. Aku bahkan tak bisa tidur.
Bagaimana jika hujan" Bagaimana jika seseorang datang dan mencurinya"
"Tetapi akhirnya, Papa kembali mendiktekan kisahnya langsung ke Angelo. Namun,
itu juga tak berjalan lebih baik daripada waktu pertama kali. Bahkan, menjadi
semakin buruk. Papa mulai menuduh Angelo mengorek-ngorek urusan
pribadinya memintanya menjelaskan bagian ini atau itu ketika Papa sudah ?menceritakan seperti yang dia ingin ceritakan dan tak mau lebih detail lagi. Ya,
ayahku memang bisa sangat keras kepala.
Dia mulai menuduh Angelo yang malang mengubah beberapa hal yang telah dia
kisahkan sengaja memberikan kesan negatif pada ayahku. Angelo akhirnya kapok,
?pria yang malang. Mereka berdua mulai bertengkar seperti kucing dan anjing."
Sekitar pertengahan Juli, Papa memecat Angelo, kata ibuku. Lalu, setelah
beberapa hari, dia menjadi tenang dan menyewanya kembali. Tetapi setelah
beberapa hari Angelo kembali, Papa memecatnya lagi. Ketika Papa berusaha
menyewanya kembali, Angelo menolak. "Dia pindah tak lama setelah itu," kata Ma.
"Ke barat, ke daerah Chicago. Dia menulis satu surat padaku dan aku membalasnya,
cuma itu. Tetapi setelah masalah dengan Angelo dan Dictaphone dan
semuanya semua omong kosong itu Papa akhirnya pergi ke halaman belakang dan
? ?menuliskan semua kisahnya sendiri. Dia menulis hingga akhir musim panas itu. Dia
menaiki tangga belakang tiap pagi, setiap habis sarapan, kecuali saat hujan atau
saat dia merasa tidak enak badan. Dia biasanya duduk di depan meja besinya
dengan kertas dan bolpoinnya. Menulis, sendirian."
Aku membuka lagi lembaran-lembaran manuskrip berdebu itu sekian banyak halaman
?penuh dengan kata-kata asing. "Ma pernah membacanya?" tanyaku pada Ma.
Ma menggeleng. Kontak mata kami terlepas.
"Mengapa tidak?"
"Oh, aku tak tahu, Dominick. Aku mengintipnya sekali dua kali kurasa. Tetapi, aku tak pernah merasa pantas
melakukannya. Bahasa Italiaku juga
sudah berkarat. Kau pasti akan banyak lupa kalau tak pernah menggunakannya."
Kami duduk di sana, berdampingan di sofa, tak bicara. Kurang dari setahun. Ibuku
akan mati. "Tetapi semua itu lucu, kurasa," kata ibuku. "Sangat tidak sesuai untuk pribadi
Papa, melakukan sesuatu seperti itu. Menulis. Dia selalu menyimpan semuanya
sendiri. Kadang, aku bertanya padanya tentang Old Country tentang ibunya dan ?ayahnya atau desa tempat dia besar dan dia biasanya berkata, oh, aku bahkan tak
?ingat semua itu lagi. Atau dia bilang orang Sisilia membuka mata mereka, tetapi
menutup mulut mereka .... Tetapi mu-sim panas itu; dia menyewa Angelo, menyewa
alat itu .... Kadang, aku mendengarnya menangis di sana. Di halaman belakang. Atau
berbicara keras-keras tentang sesuatu. Papa mengalami banyak tragedi dalam
hidupnya, kau tahu" Dua saudara dia yang datang ke sini bersamanya meninggal
saat muda. Dan istrinya juga. Yang dia punya tinggal aku satu-satunya. Hanya
kami berdua." Halaman pertama manuskrip itu ditulis tangan dengan tinta biru, dengan tulisan
berbunga dan melingkar-lingkar. "Aku bisa membaca namanya," kataku. "Apa arti
kata yang lainnya?" "Coba lihat. Tertulis, 'Sejarah Hidup Domenico Onofrio Tempesta, Pria Besar ...'
Umiie" Umiie" Humble f 'Sejarah Hidup Domenico Onofrio Tempesta, Pria Besar yang
Mulai dari Nol'." Mau tak mau aku tersenyum. "Dia punya pandangan yang bagus tentang dirinya
sendiri, ya?" Air mata menggenang di mata Ma. "Dia seorang pria yang hebat, Dominick."
"Ya, benar. Selama kamu makan telurmu. Dan rokokmu."
Ma mengusap kamus kecil yang tak bersampul itu. "Sudah lama aku bermaksud
memberimu ini, Sayang," katanya. "Bawa ini kalau kau pulang nanti. Ini untuk
Thomas juga kalau dia ingin melihatnya, tetapi aku ingin memberikannya padamu,
khususnya, karena kamulah yang sering bertanya tentang Papa."
"Aku?" Ma mengangguk. "Saat kau kecil. Kau lihat kamus ini" Ini adalah kamus yang dia
gunakan begitu datang dari Old Country ke sini kamus yang dia gunakan untuk
?belajar bahasa Inggris."
Aku membuka kamus yang usang itu. Halamannya yang tipis bernoda lemak dan
keringat. Di satu halaman aku menutup jejak jempolnya dengan jempolku dan
memikirkan untuk pertama kalinya bahwa Papa mungkin lebih daripada sekadar foto-
foto tua lebih daripada kisah usang yang diulang-ulang.
?Aku mengajak ibuku ke dapur dan menunjukkan tulisan pensil yang tertulis di
balok kayu. "Ya, ini memang tulisannya," kata Ma. "Aku tak percaya. Lihat itu!
Seakan-akan dia ada di sini lagi."
Aku merangkul dan mengelus bahunya, kain jubah mandinya, kulit dan tulang. "Kau
tahu apa yang kupikirkan, Ma?" kataku. "Kupikir, sebaiknya kau menerjemahkan
kisah Papa." Ma menggeleng. "Oh, Sayang, aku tak bisa. Aku kan sudah bilang, aku sudah banyak
lupa bahasa Italia. Lagi pula, aku juga tak pernah belajar dengan baik. Sangat
membingungkan. Kadang, Papa berbicara dengan bahasa Italia yang dia pelajari di
sekolah di daerah utara kadang, dia bicara bahasa Sisilia. Aku biasanya
? ?mencampuradukkannya .... Dan lagi pula, seperti yang kubilang, kurasa dia tak
ingin aku membacanya. Setiap kali aku keluar ke halaman untuk menjemur pakaian
atau membawakan minuman dingin, Papa menjadi sangat marah padaku. Berteriak dan
mengusirku. 'Jangan campuri urusanku!' katanya. Percaya deh, dia seperti J.
Edgar Hoover menjaga proyeknya itu."
"Tapi Ma, dia sudah mati," aku mengingatkan. "Dia sudah mati selama hampir empat
puluh tahun." Ma berhenti, terdiam. Dia terlihat berpikir keras.
"Apa?" tanyaku. "Apa yang kau pikirkan?"
"Oh, tak ada. Aku hanya ingat hari ketika dia meninggal. Dia sendirian di luar
sana, sendirian ketika mengalami serangan stroke itu." Ma mengeluarkan selembar
Kleenex dari lengan bajunya. Mengusap mata. "Pagi itu juga, ketika sarapan, dia
berkata padaku bahwa dia hampir selesai menulis kisahnya. Agak
mengejutkanku tak biasanya dia memberiku informasi kemajuan tulisannya seperti ?itu karena hingga saat itu, dia tak pernah mengatakan satu patah kata pun
?tentang proyek itu padaku. Tidak secara langsung, maksudku .... Jadi, aku bertanya
padanya, kataku, 'Apa yang akan kau lakukan dengannya, Papa,
setelah kau menyelesaikannya"1 Kupikir dia akan langsung menulis surat pada
beberapa penerbit di Italia sana. Mencoba agar tulisan itu diterbitkan seperti
yang dia bilang. Tetapi, kau tahu apa yang dia katakan" Dia bilang, mungkin dia
akan membuangnya ke tong sampah dan membakarnya. Membakar semuanya setelah dia
selesai menulisnya. Bukan jawaban yang kuharapkan. Setelah semua kesulitan yang
dia alami saat menulisnya ... aku mendengarnya menangis dua kali di halaman
belakang pada pagi terakhir itu satu kali dia benar-benar menangis hingga me-
?ratap. Dan aku ingin mendekatinya, Dominick, tapi aku takut dia akan marah kalau
aku mendekat. Membuat keadaan jadi lebih buruk. Dia sangat tertutup tentang
semua itu. "Lalu, lama kemudian, ketika aku keluar membawakan makan siangnya, dia ada di
sana. Menelungkup, kepalanya di atas meja. Kertas-kertas ini berserakan di semua
tempat: terselip di pagar tanaman, di kandang ayam. Tersebar di seluruh halaman.
"Jadi, aku lari kembali ke rumah dan menelepon polisi. Dan pendeta. Kakekmu tak
pernah ke gereja dia kesal pada St. Mary karena suatu alasan tetapi kupikir,
? ?tak ada salahnya aku menelepon pendeta .... Sungguh mengerikan, Dominick. Aku
sangat ketakutan. Gemetar seperti daun. Dan aku sedang mengandung kakakmu dan
kau ...." Aku mengulurkan tangan. Merangkulnya.
"Setelah aku menelepon, aku kembali keluar dan menunggu. Aku berdiri sekitar
sepuluh atau dua belas kaki darinya, memandangnya. Aku tahu dia sudah mati,
tetapi aku tetap memandangnya, berharap aku mungkin bisa melihatnya mengedip
atau menguap. Berharap dan berdoa kalau aku salah. Tetapi, aku tahu aku tak
salah. Dia tak menggerakkan satu otot pun." Ma kembali mengusap manuskrip Papa.
"Jadi, aku berkeliling halaman mengambil kertas-kertas ini. Itulah satu-satunya
yang kurasa dapat kulakukan untuknya, Dominick. Mengumpulkan
halaman-halaman sejarahnya."
Ruangan sunyi. Matahari bergeser, membuat kami tertutup bayangan.
"Yah, begitulah," kata Ma. "Itu sudah lama sekali."
Sebelum pulang, aku menempelkan lis ke tempatnya semula, menutupi kembali
tulisan dan kalkulasi Domenico di balok kayu. Aku keluar pintu dan menuruni
tangga beranda depan, menyeimbangkan kotak peralatanku, brankas, dan beberapa
bungkus makanan sisa yang dibungkus aluminium foil. ("Aku khawatir kau sendirian
di apartemen itu, Sayang. Wajahmu kelihatan terlalu kurus. Kurasa kau tak makan
teratur. Ini, bawa ini.") Sampai depan pintu truk, aku mendengar Ma memanggil
dan kembali menaiki tangga beranda.
"Kau lupa ini," katanya. Aku mengulurkan tanganku, telapak membuka, dan Ma
membuka genggamannya. Kunci brankas terjatuh ke
tanganku. "La Chiave," katanya. "Apa?"
"La Chiave. Kuncimu. Kata itu baru saja teringat kembali olehku."
"La Chiave," ulangku, dan memasukkan kunci itu ke kantong.
Malam itu, aku terbangun dari tidur nyenyak dengan satu gagasan: ha-diah paling
sempurna untuk ibuku yang sekarat. Gagasan itu sangat sederhana dan tepat hingga
kejelasannya membuatku tak memikirkannya hingga pukul 2.00 dini hari. Aku akan
menerjemahkan, mencetak, dan menjilid kisah Papa agar bisa dibaca ibuku.
Aku berkendara ke universitas dan menemukan kantor Jurusan Bahasa Roman di
lantai teratas bangunan batu yang diapit dua pohon beech raksasa yang meranggas.
Sekretaris menuliskan daftar kemungkinan yang bisa kucoba. Setelah sejam
mengikuti petunjuk yang salah dan pintu-pintu terkunci, aku menaiki tangga
sempit menuju loteng dan mengetuk pintu kantor Nedra Frank, orang terakhir dalam
daftarku. Dia terlihat berumur sekitar empat puluh tahun, tetapi susah ditebak dengan gaya
rambut yang diikat ke belakang dan kacamata berantai. Ketika perempuan itu
membuka-buka kisah kakekku, aku mengamati dadanya (lumayan), tahi lalat di
pipinya, dan kuku jarinya yang bekas digigiti. Dia berbagi kantor dengan seorang
mahasiswa pascasarjana lainnya, mejanya yang berantakan dan meja rekannya yang
rapi sangat berkebalikan.
"Sebagian halaman ini ditulis dalam bahasa Italia standar," katanya. "Dan
sebagian ... terlihat seperti bahasa petani Sisilia. Memang dia
kenapa skizofrenia atau apa?"?Oke, perempuan jalang, terima kasih. Kembalikan manuskrip sialan itu padaku dan
aku akan pergi. "Aku seorang akademisi," katanya, memandangku. Dia mengulurkan manuskrip itu
kembali padaku. "Yang kau minta untuk kulakukan mirip dengan meminta seorang
seniman serius melukis sesuatu yang cocok dengan soda dan kain gorden."
"Oh," kataku. "Oke." Aku sudah mulai berjalan keluar dari kantornya yang beratap
rendah lebih mirip sebuah kloset yang didandani dan tidak begitu bagus.
?Dia menarik napas panjang. "Coba kulihat lagi." Aku mengembalikan manuskrip itu
dan dia membaca beberapa halaman dengan kening berkerut. "Halaman yang ditik
berspasi satu," katanya. "Itu berarti dua kali kerja."
"Yah, sebenarnya "Tulisannya setidaknya bisa terbaca, ... aku bisa menerjemahkan halaman yang
ditulis tangan delapan dolar per halaman. Sementara yang membutuhkan catatan
kaki ada tambahan harga."
"Berapa?" "Mmm, lima dolar per catatan kaki. Maksudku, kalau mau adil ya harus adil, kan"
Jika aku sebenarnya menulis kembali teks, bukan hanya menerjemahkan dan
menginterpretasikan, seharusnya aku mendapat bayaran lebih. Bukan
begitu?" Aku mengangguk. Menghitung di kepala. Sekitar delapan ratus hingga seribu dolar
tanpa catatan kaki. Lebih banyak daripada yang kukira, tetapi jauh lebih murah
daripada renovasi dapur. "Kalau begitu, kau mau melakukannya?"
Dia menarik napas panjang, membiarkanku menunggu beberapa saat. "Baiklah,"
katanya. "Sejujurnya, aku tak tertarik dengan proyek ini, tapi aku butuh uang
untuk mobilku. Kau percaya tidak" Baru satu setengah tahun dan tranny itu sudah
bermasalah." Aku merasa lucu: wanita tipe Marian si Pustakawan ini menggunakan istilah slang
untuk mobil. "Kenapa kau tersenyum?" tanyanya.
Aku mengangkat bahu. "Tak ada alasan. Jenis apa mobilmu?"
"Yugo," katanya. "Kurasa itu juga lucu bagimu?"
Nedra Frank mengatakan padaku bahwa dia ingin empat ratus dolar sebagai uang
muka dan memperkirakan dia butuh satu atau dua bulan untuk menyelesaikan
penerjemahan, mengingat jadwalnya, yang menurutnya "sangat menekan". Ketidakpeduliannya menyinggungku;
dia melirik ke jam dinding dua kali ketika aku menceritakan pencapaian kakekku,
kanker ibu-ku. Aku menuliskan cek untuknya, khawatir bahwa dia bisa saja
meringkas atau melewati beberapa halaman menipuku meskipun dia telah memasang ?harga tinggi, dan aku meninggalkan kantornya merasa sangat tak berdaya menjadi
?subjek analisis dan interpretasinya, caranya yang ketus melihat dunia. Namun begitu, proyek itu
sudah mulai berjalan. Aku meneleponnya beberapa kali dalam beberapa minggu
selanjutnya, ingin mengecek sejauh mana kemajuannya atau melihat apa dia punya
pertanyaan. Tetapi, semua teleponku tidak dijawab.
Setiap kali ibuku menjalani kemoterapi dan radioterapi di Yale-New Haven, Ray
mengantarnya ke sana, menemaninya, makan di kantin rumah sakit dan tidur di
kursi di samping ranjang ibuku. Malam hari, dia kembali ke jalan, berkendara ke
utara di jalur 1-95 tepat pada jadwal shift-nya di Electric Boat. Ketika aku
mengatakan bahwa dia tak perlu melakukan semua itu, dia mengangkat bahu dan
bertanya padaku memangnya apa yang harus dia lakukan.
Apa kau ingin membicarakannya"
Bicara tentang apa" Apa ada yang bisa kulakukan untukmu"
Kau seharusnya mengkhawatirkan keadaan ibumu, bukan aku. Aku bisa mengurus
diriku sendiri. Aku berusaha menengok ke New Haven dua atau tiga kali seminggu.
Aku membawa Thomas bersamaku sesering aku bisa, biasanya pada hari Minggu. Susah
untuk menebak sebaik atau seburuk apa Thomas menghadapi kematian Ma yang semakin
dekat. Seperti yang biasa terjadi dengannya, suasana hatinya bergerak tak
menentu. Kadang, dia terlihat pasrah dan menerima. "Ini keinginan Tuhan,"
keluhnya, meniru Ma sendiri. "Kita harus kuat demi satu sama lain." Kadang, dia
menangis tersedu-sedu dan memukul-mukulkan tinjunya di dashboard-ku. Kali lain,
dia penuh harapan. "Aku tahu Ma akan mengalahkan ini," katanya padaku suatu sore
lewat telepon. "Aku berdoa tiap hari pada Santa Agatha."
"Santa siapa?" tanyaku, dan langsung menyesal telah menanyakannya.
"Santa Agatha," ulangnya. "Santa pelindung terhadap api dan letusan gunung
berapi dan kanker." Dia terus mengoceh tentang santanya yang bodoh: seorang
perawan yang telah dipotong payudaranya oleh peminangnya yang ditolak, tubuhnya
dibakar di atas tiang pancang. Agatha menghentikan letusan gunung berapi, dan
mati sebagai pengantin Kristus, bla, bla, bta.
Suatu pagi pukul 6.00, Thomas membangunkanku dengan teori bahwa sereal Special K
yang biasa dimakan ibu kami untuk sarapan secara sengaja telah diberi
karsinogen. Kellog Cereal Company diam-diam ternyata dimiliki oleh Soviet,
katanya. "Mereka membidik kerabat orang-orang yang sebenarnya mereka kejar. Aku
ada di daftar mereka karena aku melakukan perintah Tuhan." Sekarang setelah dia
menyelidiki, dia bermaksud membuka rahasia itu, tepat di depan wajah kapitalis
mereka. Dia mungkin nanti akan menjadi Man of The Year majalah Time dan harus
bersembunyi. Para penguntit mengikuti orang-orang terkenal. Lihat saja apa yang
terjadi pada John Lennon yang
malang. Apa aku ingat lagu "Instant Karma?" John menulisnya khusus untuk Thomas,
untuk mendorongnya melakukan kebaikan di dunia setelah dia pergi. "Dengar!" kata
kakakku. "Sangat jelas, menyedihkan!" Dia lalu bernyanyi sekaligus berteriak.
Instant karma's gonna get you gonna iook you right in the FACE
You better recognize your BROTHER and join the HUMAN RACE!
* Suatu sore, ketika Thomas dan aku menengok Ma, ranjangnya kosong. Kami
menemukannya di solarium, diterangi cahaya matahari yang datang dari jendela di
langit-langit, duduk sendirian di antara kelompok-kelompok pengunjung lain.
Ketika itu, kemoterapi telah membuat kulitnya menguning dan mengubah rambutnya
menjadi rapuh membuatnya kembali terlihat gosong seperti hari ketika dia ?muncul dari ruang duduk kami yang terbakar di Hollyhock Avenue. Tetapi, meski
botak dan terlihat mengerut dalam jubah mandi pinknya, dia terlihat cantik
bagiku. Thomas duduk menggelesot dan tidak komunikatif sepanjang kunjungan kami.
Sebelumnya, dia ingin mampir di McDonald dalam perjalanan ke rumah sakit dan aku
bilang tidak mungkin kami bisa mampir dalam perjalanan pulang nanti. Di
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
?solarium, dia merajuk dan memandang kosong ke TV dan mengabaikan pertanyaan dan
usaha Ma untuk mengajaknya berbincang. Dia menolak melepas mantelnya. Tak henti-hentinya dia
melihat jam. Aku marah ketika kami pulang, dan lebih marah, ketika dalam perjalanan pulang
itu, dia memotong pidatoku tentang sikap egoistisnya, sekadar untuk bertanya
apakah kami akan mampir ke McDonald. "Kau ngerti nggak sih, sialan?" teriakku.
"Apa kau nggak mau berusaha mengerti bahkan ketika ibumu sekarat?" Thomas
melepaskan sabuk pengamannya dan memanjat sandaran kursi depan, pergi ke
belakang. Duduk di lantai belakang mobil, dia mengambil posisi berlindung.
Aku menghentikan mobil di bahu jalan, menempatkan gigi nol, dan mengatakan
padanya untuk kembali ke depan bahwa aku muak dan lelah terutama dengan semua
?omong kosongnya, muak dengan ocehan-nya, dari semua hal yang harus aku hadapi.
Ketika dia menolak, aku menyeretnya keluar mobil. Dia memberontak dan lari,
menyeberangi jalan raya antar-negara-bagian tanpa melihat kanan kiri. Klakson-
klakson menjerit, rem berdecit liar. Jangan tanya padaku bagaimana dia berhasil
menyeberang. Dan ketika aku berhasil menyeberang, Thomas telah hilang. Aku lari,
panik, menyusuri pepohonan dan rumput membayangkan tubuh Thomas yang tertabrak.
Thomas terpotong menjadi dua, darahnya berceceran dijalan.
Aku menemukannya berbaring di rumput alang-alang di sisi jalan raya sekitar
setengah mil dari mobil kami. Matanya tertutup, mulutnya tersenyum pada
matahari. Ketika aku membantunya
bangun, rumput-rumput bekasnya berbaring rebah membentuk cetakan tubuhnya.
Seperti tempat korban di TKP kriminal. Seperti salah satu malaikat yang dahulu
sering kami buat di atas salju yang baru turun .... Kembali ke mobil, aku
mencengkeram setir untuk menenangkan gemetar tanganku dan mencoba untuk tidak
mendengarkan dan melihat mobil-mobil yang mengerem mendadak menghindari Thomas.
Di Madison, aku berhenti di McDonald dan membelikannya kentang goreng ukuran
besar, Quarter Pounder dengan keju, dan strawberry shake. Jika dia tidak bahagia
sepanjang perjalanan selanjutnya, setidaknya dia diam dan kenyang. Malam itu,
Nedra Frank mengangkat teleponku pada deringan pertama.
"Aku tahu kau sibuk," kataku. Lalu aku mengatakan apa yang baru saja dikatakan
Ray padaku lewat telepon: bahwa kondisi ibuku memburuk.
"Aku sedang mengerjakannya sekarang," katanya. "Aku memutuskan untuk membiarkan
beberapa kata dan frasa Italia utuh sehingga kau bisa menangkap musiknya."
"Musik?" "Bahasa Italia adalah bahasa yang musikal. Aku tak ingin menerjemahkan manuskrip
itu dan membuatnya mati. Tapi kau akan mengenali kata-kata yang kubiarkan baik ?secara kontekstual ataupun fonetik. Atau keduanya. Dan beberapa peribahasa yang
digunakan kakekmu bisa dibilang tak bisa diterjemahkan. Aku membiarkan mereka
utuh, tetapi memberikan keterangan dalam
kurung perkiraan. Sekarang, aku berusaha keras menyisakan hanya sedikit istilah
?Sisilia, dengan asumsi bahwa harus ada orang yang membersihkan rumput liar,
bukan?" "Ya kataku. "Terserah. Lagi pula aku lebih tertarik bahasa Inggrisnya." Ibuku
jelas tak butuh bahasa Sisilia. "Jadi, ... seperti apa dia?" tanyaku. Diam.
"Seperti apa dia?"
"Ya. Maksudku, saat ini kau lebih mengenal kakekku daripada aku. Aku cuma ingin
tahu. Apa kau suka dia?"
"Posisi seorang penerjemah harus objektif. Reaksi emosional bisa menghalangi ...."
Aku baru saja mengalami hari yang buruk. Aku tak punya kesabaran menghadapi
keacuhan akademisnya. "Yah, satu kali ini saja, biarkan emosimu bereaksi,"
kataku. "Untukku."
Ada kesunyian mencekam di ujung lain selama beberapa saat. Lalu, aku mendapatkan
apa yang kuminta. "Aku tak suka dia, sebenarnya, tidak sama sekali. Jauh. Dia
sombong, benci wanita. Dia benar-benar mengerikan." Kini, kesunyian datang dari
diriku. "Kau iihat, kan?" katanya. "Sekarang kau tersinggung. Aku tahu, aku seharusnya
tak menanggalkan objektivitasku."
"Aku tidak tersinggung," kataku. "Aku cuma tidak sabar. Aku ingin semuanya
selesai sebelum ibuku terlalu sakit untuk membacanya."
"Yah, aku melakukan yang terbaik yang aku bisa. Aku kan sudah bilang padamu
tentang jadwalku. Dan ngomong-ngomong, kupikir sebaiknya kau membacanya dulu sebelum kau
memutuskan untuk menyuruh ibumu membacanya. Jika aku jadi kau, aku tak akan
membicarakan ini dengannya dulu." Kini, sikapnya yang tidak objektif membuatku
kesal. Apa hak dia mengatakan apa yang sebaiknya kulakukan dan jangan kulakukan"
Persetan kau, aku ingin mengatakan padanya. Kau kan cuma penerjemah.
Kemoterapi ketiga Ma membuatnya terlalu sakit untuk bisa makan. Bulan Februari,
dia kembali ke rumah sakit dengan berat badan empat puluh lima kilogram dan
terlihat seperti bintang iklan untuk bantuan kelaparan. Saat itu, aku tidak lagi
membawa Thomas menjenguk ibu. Kejadian di jalan raya itu membuatku takut
setengah mati, membuatku sering tak bisa tidur.
"Ini mungkin akan terasa sedikit sakit, Manis," kata perawat, memperlihatkan
jarum infus di depan ibuku.
Ma mengangguk lemah, tersenyum.
"Aku kesulitan menemukan pembuluh yang bagus. Kita coba lagi, oke" Kau siap,
Sayang?" Jarum kembali gagal dimasukkan. Usaha berikutnya juga. "Aku akan
mencoba sekali lagi," katanya. "Dan jika ini tidak berhasil, aku akan memanggil
supervisorku." "Ya, Tuhan! Sialan," gerutuku. Berjalan ke jendela.
Perawat itu berpaling padaku, wajahnya memerah. "Sebaiknya Anda keluar hingga
kami selesai," katanya.
"Tidak," kataku. "Aku lebih suka kalau kau berhenti memperlakukan ibuku seperti
bantalan jarum. Dan karena kau sudah memintaku, aku juga lebih suka kalau kau
berhenti memanggilnya 'manis' dan 'sayang' seakan-akan kita ada di acara gombal
Sesame Street atau apa lagi itu."
Ma mulai menangis karena perkataanku, bukan karena sakit yang dirasakannya. Aku
rupanya punya bakat membuat situasi buruk menjadi lebih buruk. "Aku pergi dulu,
Ma," kataku meraih jaket. "Aku akan menelepon."
Sore itu, aku berdiri di depan jendela apartemenku, memandangi hujan salju yang
tak terduga, ketika Nedra Frank muncul tak terduga dalam mobil Vugo oranyenya,
menabrak trotoar, dan berhenti tidak terlalu mulus. Dia parkir dengan ban
setengah di trotoar setengah di jalan.
"Masuk, masuk," kataku. Dia mengenakan rompi, kaus hangat, dan rok
denim pakaian yang tak kuduga akan dia kenakan. Dia juga membawa koper kecil ?yang menggembung.
"Jadi, sudah selesai?"
"Apa?" Matanya mengikuti pandanganku ke arah kopernya. "Oh, belum," katanya.
"Ini tesis doktoralku. Kompleks apartemen tempat tinggalku kecurian minggu lalu,
jadi aku membawa ini ke mana pun aku pergi. Tetapi, aku sedang mengerjakan
proyekmu. Sedang berjalan." Dia tak menanyakan
apa pun tentang kondisi ibuku.
"Bagaimana kau tahu tempat tinggalku?" tanyaku.
"Kenapa" Memangnya itu sebuah rahasia kelam atau apa?"
"Tidak, aku cuma-"
"Dari cekmu. Aku menyalin alamatmu sebelum aku menguangkannya. Siapa tahu aku
tak bisa menghubungimu lagi. Lalu, aku tadi cuma mau jalan-jalan aku sangat
?tertekan akhir-akhir ini aku melewati jalan ini dan langsung ingat. Hillyndale
?Drive. Ejaannya sangat tak biasa. Apa seseorang mencoba membuatnya terlihat
menarik atau apa" Pura-pura di Inggris?"
Aku mengangkat bahu, menggemerincingkan uang receh di kantongku. "Entahlah,"
kataku. "Ngomong-ngomong, aku memang sebelumnya bermaksud meneleponmu. Tentang manuskrip
itu. Kakekmu menggunakan banyak
peribahasa pepatah pedesaan dan mereka tak bisa diterjemahkan. Kurasa aku akan
? ?membiarkannya dan lalu menjelaskannya di catatan akhir. Apa menurutmu itu oke"
Maksudku, ini kan uangmu."
Bukannya kita sudah bicara ini sebelumnya" Dia cuma jalan-jalan katanya. Gombal.
"Begitu juga boleh," kataku.
Aku menawarkan bir, dia menerima.
"Jadi, kenapa kau tertekan?" tanyaku.
Alasan pertama, dua kelas S-l yang diajarnya bisa dibilang "mati otak". Mereka
tak ingin belajar apa pun; mereka cuma ingin dapat nilai A. Alasan
kedua, kepala jurusannya merasa terancam dengan pengetahuan Nedra tentang Dante
yang lebih baik. Alasan ketiga, rekan sekantornya punya kebiasaan menjijikkan.
Dia membersihkan giginya dengan benang floss di meja. Memotong kuku dengan
pemotong kuku yang membuat potongannya beterbangan ke mejanya. Hari ini saja dia
menemukan dua potongan kuku di pengisap tintanya. Padahal, dia sudah mengatakan
pada temannya itu, jangan memotong kuku di meja .... Dia muak setengah mati dengan
pria-pria akademis, katanya selamanya menyusu pada susu universitas sehingga ?mereka tak harus menghadapi hidup yang sebenarnya. "Apa pekerjaanmu?"
"Aku mengecat rumah," kataku.
"Tukang cat" dia mengerang, menjatuhkan diri ke sofaku. "Sempurna1."
Dia menghabiskan birnya dan menerima tawaran bir lagi. Ketika aku kembali
membawakan birnya, Nedra berdiri di depan rak bukuku, memiringkan kepalanya
untuk membaca judul di punggung buku. "Garcia Marquez, Styron, Solzhenitsyn,"
katanya. "Aku harus bilang, Tuan Tukang Cat. Aku terkesan."
"Yeah," sahutku. "Kau pasti mengira orang bodoh sepertiku akan membaca apa"
? ?Mickey Spillane" HustlerV
"Atau ini," katanya. Dia mengambil trilogi James M. Caine dari rak, mengayun-
ayunkannya seperti sebuah bukti di pengadilan. Dia berjalan ke jendela. "Apakah
hujan salju ini akan tebal" Aku tak pernah memerhatikan ramalan cuaca."
"Itu memang tidak diramalkan," kataku. "Ayo kita lihat apa kata mereka." Aku
menyalakan radio cuaca kecil yang kuletakkan di rak buku. Penyiar mengatakan
salju mungkin turun sekitar delapan hingga dua belas sentimeter. Bagus, pikirku.
Terkurung di salju dengan wanita jalang yang sombong ini.
Nedra mengambil radio cuaca itu, melihatnya dari depan dan belakang, mematikan
dan menyalakannya. "Jadi, kau penggemar cuaca?" katanya.
"Aku bukan penggemar," kataku. "Tapi, kau perlu tahu apa yang akan terjadi di
luar sana kalau kau berkecimpung di dunia pengecatan. Kau harus lebih dulu
tahu." " "Kau harus lebih dulu tahu," ulangnya. "Ya Tuhan, kalian pria semua sama saja."
Dia tertawa suaranya seperti kuku jari yang digesekkan di papan tulis bertanya
? ?padaku apakah aku mau bir. Apakah aku berencana memberinya makan atau hanya
membuatnya mabuk, lalu menendangnya keluar ke salju.
Aku mengatakan aku tak punya makanan, kecuali jika dia suka sup ayam atau Honey
Nuts Cheerios. "Kita bisa pesan piza," katanya.
"Baiklah." "Aku vegetarian. Kalau-kalau kau memerhatikan itu."
Pengantar piza dari Domino datang dua botol bir kemudian. Aku tadi memesan piza
jamur dan zaitun ukuran besar, tetapi tempat kami adalah pemberhentian terakhir sebelum shift-nya
berakhir, katanya, dan yang terting-gal di tas vinil penghangatnya adalah dua
piza pepperoni medium. "Aku yakin, ini kesalahan manajerku yang idiot, bukan
Anda," katanya. Butir-butir salju berkilau di bulu kerah jaketnya, di pinggir
topi Dominonya yang kotor. "Ini," katanya. "Gratis. Aku mau berhenti, kok."
Ketika aku menutup pintu dan berpaling, aku melihat selimutku terpasang di bahu
Nedra Frank. Itu berarti dia sudah masuk ke kamarku.
Di meja dapur, dia mengambili semua irisan pepperoni dan menumpuknya seperti
chip poker, lalu mengurangi minyak di atas piza dengan menempelkan kertas tisu.
Kami membuka enam kaleng bir yang baru.
Hari itu pasti Kamis malam karena Cheers sedang diputar di TV sebuah acara yang?menurut Nedra menyinggungnya secara politis karena semua karakter wanita di sana
pelacur atau wanita jalang. Dia terlambat mengikuti feminisme, katanya, setelah
sebelumnya menjadi gadis kecil ayah, lalu seorang mayoret di SMU, dan budak
seorang suami chauvinis dan penjajah Belanda di Lornadale Road. "Aku harus
menjalani terapi selama tiga tahun hanya untuk mengizinkan diriku kuliah lagi,
untuk mendapatkan gelar Ph.D." katanya. "Rasakan ini" Dia mengarahkan remote ke
Ted Danson, mematikan TV.
"Istriku pernah dimuat di Ms. Magazine," kataku.
"Dia dan temannya Jocelyn." "Kau punya istri?"
"Mantan-\stv\ maksudku. Dia dan temannya mengadakan hari kepedulian bagi para
pengelas wanita di Electric Boat. Lalu mereka berhasil membuat para big boss di
sana menyusun kebijakan tentang pelecehan di tempat kerja dari pekerja pria. Itu
sekitar setahun atau dua tahun setelah EB mulai mempekerjakan wanita di galangan
kapal." "Kau menikah dengan seorang tukang ias?" dia bertanya, senyum sinis di wajahnya.
"Temannya yang tukang las. Dessa punya day care center. 'Kids Unlimited!'
namanya. Tanda seru di akhir."
"Menarik," kata Nedra. Cuma dia tak terlihat tertarik. Dia menyerang piza itu
seperti hiu dalam film Jaws. "Mantan suamiku seorang psikiater," katanya. "Dia
salah satu dokter di rumah sakit jiwa."
Aku hampir saja bilang tentang Thomas, tetapi tak ingin memunculkan kalimat
betapa-kecil-dunia dan mendekatkan hubungan kami. Selain itu, dia pernah mengira
kakekku seorang "skizo". Aku berharap, dia akan pergi sebelum ban-ban mobilnya
yang botak membeku dan membuatnya tak bisa pergi. Agak menakutkan melihat dia
dengan bebas pergi ke kamarku dan mengambil selimutku. Siapa tahu kebebasan
macam apa lagi yang dia lakukan dengan kisah kakekku" Apa lagi yang dia
hilangkan dari kisah itu selain bahasa "petani Sisilia" kakekku"
"Tapi Todd lebih gila daripada pasiennya," kata
Nedra. "Juga kejam. Hampir seperti menikah dengan Marquis de Sade, cuma semuanya
menyakitkan, tidak ada kenikmatan."
"Oh," kataku. "Todd de Sade." Suara tawanya yang meringkik lagi. Aku kembali
menyalakan TV. "Ya, ampun," kataku. "LA Law sudah main. Ini pasti sudah pukul
sepuluh lebih. Aku bisa mengantarmu pulang dengan trukku kalau kau tak ingin
menyetir sendiri di tengah hujan salju macam ini. Trukku four wheel drive."
"Kau bisa menebak jam dengan melihat acara TV?" katanya. "Hebat." Aku membiarkan
dia menduga apa yang dia duga: bahwa aku hanyalah seorang bodoh tak
berpendidikan yang bisa dia manfaatkan untuk melewatkan malam yang sepi. Dulu
ketika aku mengajar di SMU, aku tak pernah menyebut sebuah kelas sebagai "mati
otak". "Jadi, mau" Kuantar pulang?"
"Oh, aku ngerti," katanya. "Kau adalah pahlawan four wheel drive dan aku gadis
dalam kesulitan, begitu kan" Makasih, tetapi tidak."
Dia melepaskan selimutku dari bahunya dan melemparkannya ke sofa. "Ayo kita
dengar musik," katanya. Sebelum aku bisa menjawab ya atau tidak, dia menyalakan
radioku dan mencari-cari gelombang. Sebenarnya, aku lebih suka kalau dia memilih
stasiun yang memutar musik klasik, tapi dia memilih Tina Turner: What's love got
to do, got to do with it"
Dia berpaling padaku dan tersenyum. "Halo, Tuan Tukang Cat." Dia mendekatiku.
Meraih tanganku dan melingkarkannya di pinggulnya.
"Apa ini membuatmu bergairah, Tuan Tukang Cat?" bisiknya. "Apa aku membuatmu
senang?" Aku tak bisa menebak apakah dia sedang menjadi gadis kecil ayah atau
mayoret, atau apa. Aku membayangkan seolah mencium Dessa, tetapi dia lebih gemuk
daripada Dessa. Aku belum pernah bersama wanita sejak bercerai dan selama ini ?kubayangkan hal ini terjadi dalam kondisi berbeda. Setidaknya, aku membayangkan
ini akan menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan. Sebenarnya, aku agak
takut pada Nedra. Hal terakhir yang kubutuhkan dalam hidup adalah orang gila
lain lagi. Aku menginginkan istriku.
"Um, ini sangat menyenangkan," kataku, "tetapi, sedikit tak terduga. Aku tak
yakin aku sudah siap untuk-"
"Aku punya satu," katanya. "Rileks. Ayolah." Dia membimbing tanganku. Lalu tiba-
tiba, di tengah-tengah pergumulan itu, aku mulai tertawa. Beberapa sedakan
pendek awalnya, yang coba kutelan kembali. Lalu lebih buruk: tawa terbahak-bahak
lepas kontrol jenis tawa yang membuatmu terkena serangan batuk-batuk.
?Dia berdiri terpana, tersenyum, terhina. "Apa yang lucu?" dia terus bertanya.
"Apa?" Aku tak bisa menjawab. Tak bisa berhenti tertawa.
Nedra pergi ke kamar mandi. Dia di dalam sana selama lima belas menit penuh,
cukup lama untuk membuatku berpikir apakah seseorang bisa
melakukan bunuh diri dengan overdosis Nyquii atau dengan memotong urat nadi
dengan pemotong kuku. Dia keluar, matanya merah. Tanpa kata, dia memakai mantel
dan mengambil koper kecilnya. Aku berkata bahwa aku tadi gugup bahwa aku masih
?berusaha melupakan semuanya. Bahwa aku benar-benar menyesal.
"Menyesal untuk apa?" tanyanya. "Dengan mendapatkan kesenangan dari merendahkan
wanita" Jangan minta maaf. Kau dilahirkan untuk menjadi pejantan."
"Hei, tunggu," kataku. "Aku tidak"
"Oh, ayolah! Jangan bilang apa-apa lagi! Kumohon!"
Di pintu, dia berhenti. "Mungkin sebaiknya aku menelepon mantan istrimu,"
katanya. "Kami berdua bisa saling bersimpati tentang pelecehan seksual (sexual
harassment) yang kami alami." Dia mengucapkan kata itu dengan cara
alternatif William Henry Harrasment.
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
?"Hei, tunggu dulu. Kau yang merayuku. Bagaimana bisa aku melecehkanmu?"
"Berapa nomornya" Mungkin aku akan meneleponnya. Mungkin foto kami berdua akan
dimuat di Ms. Magazine."
"Hei, tunggu. Kau hanya kukontrak untuk melakukan penerjemahan yang kemahalan.
Yang lainnya adalah idemu. Jangan libatkan istriku."
"Kemahalan" Kemahalan" Terjemahan itu sangat sulit, kau bajingan! Tak tahu
terima kasih" Dia tak menyelesaikan kalimatnya, dan mengayunkan
kopernya ke arahku, memukulku tepat di paha dengan tesis doktoral sialan seberat
sepuluh kilogram itu. Dia membanting pintu dan aku membukanya kembali mengambil segenggam salju, ?memadatkan dan melemparkannya. Gumpalan salju itu mengenai mobil Yugonya.
Nedra mengacungkan jari tengahnya padaku, masuk ke mobil dan menginjak gas. Tak
memerhatikan kondisi jalan, dia langsung ngebut, selip, dan hampir menabrak
mobil pembersih salju yang mengklakson keras.
"Lampumu!" Aku berteriak padanya. "Nyalakan lampumu!"
Bulan Maret, tim onkologi di Yale mulai terdengar seperti penjaja minyak ular.
Ma hampir selalu merasakan sakit; sedikit kenyamanan yang bisa dia dapat berasal
dari pendeta Polandia tua dan sukarelawan pendamping pasien. Musim mengecat
sudah mulai, lebih awal karena musim semi datang lebih awal dan aku tak bisa
melewatkannya. Baru pertengahan April, aku punya waktu dan keberanian untuk
kembali ke universitas dan menaiki tangga sempit menuju kantor Nedra Frank.
Selesai atau tidak, aku ingin kisah kakekku kembali.
Teman sekantor Nedra mengatakan padaku bahwa perempuan sialan itu mundur dari
program doktornya. "Alasan pribadi," katanya, menjelingkan mata ke atas. Meja
Bujukan Gambar Lukisan 3 Mestika Golok Naga Karya Kho Ping Hoo Tembang Tantangan 25