Pencarian

Prahara Raden Klowor 1

Pendekar Cambuk Naga 14 Prahara Raden Klowor Bagian 1


PRAHARA RADEN KLOWOR Oleh Barata ? Penerbit Wirautama, Jakarta
Cetakan Pertama
Dilarang mengutip, memproduksi
dalam bentuk apapun
tanpa ijin tertulis dari penerbit
Serial Pendekar Cambuk Naga
dalam kisah Prahara Raden Klowor
Wirautama, 1991
128 Hal.; 12.18 Cm.; SB. 01.0391.50.14
https://www.facebook.com/pages/Dunia-
Abu-Keisel/511652568860978
1 Gagang kayu itu dihantamkan ke punggung Raden
Klowor. Tanpa tanggung-tanggung lagi, Raden Klowor
memekik kesakitan. Tubuhnya melengkung ke depan
dan berusaha untuk lari. Tetapi, kedua perempuan mu-
da itu segera mengejarnya. Yang satu berteriak:
"Jangan minggat kau, Mata keranjang...!" Setelah itu disusul dengan lompatan
bersaltonya yang lincah.
"Wess...!"
"Huug...!"
Raden Klowor memekik lagi. Kali ini pekik yang ter-
tahan, bagai kehabisan nafas. Ia jatuh, kaki gadis itu menghentak dengan kuat di
punggung Raden Klowor.
Yang berpakaian serba hijau pupus menerkam Raden
Klowor, menjambak rambut dan menarik kepala Raden
Klowor hingga kepala itu mendongak ke atas. Tubuh
Raden Klowor masih dalam keadaan tengkurap. Ia me-
mejamkan mata kuat-kuat menahan sakit dengan mu-
lut mengerang tertahan.
"Kau patut dihajar karena perbuatanmu, Kadal! Aku paling benci jika sedang mandi
ada yang mengintipnya!"
"Tunggu... aku... aku tidak mengintip kalian mandi.
Aku justru...."
"Mulut penipu harus dihajar sampai hancur! Hiih...!"
Yang berpakaian serba merah muda menendang wa-
jah Raden Klowor dengan keras.
"Aaaooww...!" teriak Raden Klowor. Mulutnya berdarah, karena robek pada bagian
kedua bibirnya.
"Setan belang, kau...! Huuhh...!"
"Aaooow...! Caciit...!" Raden Klowor berteriak 'sakit'
dalam keadaan cadel, karena mulutnya kini semakin
berdarah. Pukulan gagang kayu kipas menghantam mu-
lut dua kali. Gadis yang menjambak rambutnya segera
menghentakkan kepala Raden Klowor ke tanah.
"Mampus kau...!"
"Buug... buug... buug...!"
Tiga kali wajah Raden Klowor bagai dibentur-
benturkan ke tanah. Tiga kali pula ia berteriak mengaduh-aduh.
"Wadoow...! Waadoow... waadoww...!"
"Hiii...!"
"Ngeekh...!"
Raden Klowor mendelik karena pinggang belakang
diinjak kuat-kuat oleh gadis berpakaian serba merah
muda. Kemudian Raden Klowor dibiarkan melintir dan
menggeliat kesakitan sambil mengerang bagai ingin me-
nangis. "Sekali lagi kau mengintip kami mandi, ku colok kedua biji matamu, tahu"!"
"Ampuuun...! Aku... aku memang tidak mengintip
kalian mandi. Tidak...!"
"Lantas, mengapa kau berada di tepian sendang,
tempat kami mandi" Kenapa kau berada di semak-
semak itu?"
"Aku... aku sedang mencari telur...."
"Huuh...! Alasan saja!"
"Plaak...!"
Yang berpakaian hijau pupus menampar memakai
kaki, seraya berkata:
"Telurmu yang kau cari..."!"
"Aduuh...! Sumpah...! Sumpah, aku memang sedang
mencari telur burung gemak (puyuh). Bukan mengintip
kalian!" "Hemm...! Mulut pemuda jalang seperti dia mana bi-sa dipercaya, Aweni!" kata
gadis berbaju merah muda.
"Seumur hidup aku tak pernah bisa percaya dengan pemuda mata keranjang, Sayung.
Sungguh!" Kedua gadis itu berbicara saling mengecam Raden
Klowor. Tetapi, diam-diam Raden Klowor sempat berpi-
kir: "O, yang berpakaian serba hijau itu bernama Aweni, dan yang merah bernama
Sayung...."
"Sudah, mari kita tinggalkan pemuda sinting ini!" ka-ta Aweni seraya melangkah
sambil menyampar tangan
Raden Klowor yang bertumpu di tanah. Tentu saja hal
itu membuat Raden Klowor yang hendak berdiri jadi ter-jatuh lagi. Sedangkan
Sayung masih sempat memukul-
kan kayu gagang kipasnya ke kepala Raden Klowor.
"Pletak...!"
Setelah itu melangkah, mengikuti Aweni.
Sebenarnya dongkol sekali hati Raden Klowor. Ia be-
nar-benar geregetan terhadap kedua gadis itu. Ingin rasanya ia menggempur habis
kedua tengkorak kepala
gadis itu, tetapi hal tersebut tak dapat dilakukan. Ia harus sabar, dan tabah.
Ia harus rela membiarkan kedua
gadis itu pergi begitu saja, tanpa harus menanggung
dosa. Kalau saja Raden Klowor mau, bisa saja saat ini ia melemparkan dua batu
dan pasti mengenai kedua kepala gadis itu. Namun, tetap saja ia bertahan diri
untuk berbuat demikian. Ia menghela nafas, mengatur jalan-nya nafas dengan
teratur. Itu dilakukan sebagai pena-
han kemarahannya.
Terbersit pikiran untuk membalas kekonyolan dua
gadis itu. Dan lagi-lagi Raden Klowor harus membuang
perasaan tersebut. Ia harus tenang dan sabar.
Sambil mengusap-usap bibirnya yang robek dan ber-
darah, Raden Klowor meninggalkan tempat tersebut. Ia
menganggap sendang berair bening itu adalah sendang
sial. Karena, gara-gara sendang itulah ia jadi dituduh mengintip perawan mandi,
dan dihajar babak belur begitu. Ah, kasihan juga Raden Klowor itu. Perutnya
lapar. Ingin mendapatkan telur burung gemak, sejenis burung
puyuh. Tetapi, yang diperoleh hanya pukulan dan sik-
saan dari dua orang gadis cantik.
"Hiih...!"
Sayang ia tidak punya waktu untuk membalas. Coba
kalau ia bebas membalas, pasti sudah jadi tape kedua
gadis itu. Sambil melangkah menuju sebuah desa yang tak
jauh dari tepian hutan itu, Raden Klowor masih meng-
geram-geram. Apabila ia ingat nasibnya, dan sadar akan sesuatu yang sedang
dilakukan, maka geraman itu pun
segera diredakan. Tapi, sesekali memang muncul ke-
jengkelan yang membuat Raden Klowor terpaksa meng-
hela nafas berulang-ulang untuk menahan diri.
"Pak...." kata Raden Klowor kepada seorang penjual enau. "Boleh saya minta
sedikit minumannya" Saya haus...!"
Penjual air enau itu menjawab dengan sinis:
"Barang daganganku bukan untuk dibagi-bagikan,
tahu" Air enau ini dijual! Enak saja mau minta! Beli...!"
Raden Klowor menampakkan kesedihannya. Tenggo-
rokan dipegang-pegang seraya berkata:
"Haus sekali. Sedikit sajalah...."
"Tidak! Kalau mau minum harus punya duit untuk
membeli air enauku. Kalau miskin, yah... minum saja
air comberan."
Duh, sakit sekali hati Raden Klowor mendengar kata-
kata itu. Ingin rasanya ia menampar mulut penjual
enau. Tetapi, niat itu ditahannya kuat-kuat. Berusaha dihapus dari dalam hatinya
dengan menghela nafas dan
mengatur hembusannya. Untung ada seorang penjual
kue serabi yang baru saja buka. Air untuk cuci tangan masih bersih, dan Raden
Klowor diizinkan meminum air
ember itu beberapa teguk. Kemudian ia melangkah lagi, mencari desa yang bernama
Desa Punding. Ia diperintahkan oleh Lanangseta untuk menemui Paman Ludiro,
yang telah hidup sebagai petani biasa, dan meninggal-
kan dunia kependekarannya.
Sebab, seperti telah dikisahkan dalam cerita Utusan
Lembah Kubur, bahwa Raden Klowor mengangkat di-
rinya sebagai murid Lanangseta. Mulanya, Lanangseta
tidak mau menerima murid. Tetapi, jurus-jurus kepu-
nyaan Lanangseta bisa tercuri oleh Raden Klowor mela-
lui mimpi-mimpinya yang ajaib. Dan, ketika Raden Klo-
wor terbukti mampu memainkan Cambuk Naga untuk
mengalahkan raksasa Barong Dewa, Lanangseta menja-
di bertanya-tanya dalam hati: "Mungkinkah Cambuk Naga memang harus menjadi
senjata pusaka milik Raden Klowor?"
Tujuan Raden Klowor berkenaan dengan mimpinya
pada suatu malam. Ia bermimpi bertemu dengan Putri
Ayu Sekar Pamikat, pemilik Cambuk Naga sebenarnya.
Raden Klowor mengaku diperintahkan memohon doa
restu kepada bekas pemilik Cambuk Naga setelah Sekar
Pamikat, dan bekas pemilik itu tak lain adalah: Paman Ludiro, seorang abdi setia
Sekar Pamikat dan Lanangseta sampai batas Lanang menikah dengan Putri Bukit
Badai, yakni: Kirana.
Itulah sebabnya, Lanang menyuruh Raden Klowor
menemui Ludiro di Desa Punding. Sekalipun sebenar-
nya Lanang sendiri heran, dan sangsi: Benarkah Raden
Klowor bertemu dengan Sekar Pamikat di alam mim-
pinya" Tetapi, karena rasa gembira Lanang atas kelahiran anak pertamanya itu,
maka ia tak mau banyak pi-
kir. Ia hanya menyebutkan nama Desa Punding, dan
menyuruh Raden Klowor menemui orang yang bernama
Ludiro. Raden Klowor sendiri tanpa menunggu perintah
kedua, ia langsung berangkat dengan satu catatan yang ia terima dari Sekar
Pamikat lewat mimpinya juga. Catatan yang diingat itu ialah: sabar.
Rupanya, tak mudah menemui Paman Ludiro, seka-
lipun orang separoh baya itu sudah menjadi rakyat jela-
ta, dan meninggalkan dunia persilatannya. Tetapi, nyatanya ada-ada saja kendala
dan cobaan selama dalam
perjalanan. Digebuk dua gadis hingga babak belur, di-
hina penjual air enau, dan kali ini malah ada peristiwa yang membuat Raden
Klowor harus menahan diri kuat-kuat, menahan kemarahannya dan mengalah terlalu
le- lah. Dua orang lelaki berkumis menghadangnya. Badan
mereka tegap dan kekar. Masing-masing mengenakan
rompi hitam dan celana biru. Sama warnanya dengan
celana dan baju Klowor: Biru tua! Mereka sama-sama
mengenakan ikat kepala dari kain batik. Sebilah golok terselip di masing-masing
pinggang kedua lelaki bertampang seram itu. Bedanya, yang satu mengenakan
gelang bahar, yang satu tidak. Yang mengenakan gelang bahar adalah orang yang
pertama kali membentak Raden Klowor.
"Berhenti!"
Itu yang membuat Raden Klowor berhenti melang-
kah. "Ada yang perlu saya bantu, Paman?" sapa Raden Klowor dengan berusaha untuk
bersikap ramah.
"Jangan berlagak sopan di hadapanku, ya" Apa kau belum kenal aku" Brogol;
pembeset maling"!" Orang bergelang akar bahar itu menepuk dada. Raden Klowor
yang masih merasakan sakit karena bibirnya pecah,
menyeringai menahan sakit. Tapi, Brogol menyangka
Raden Klowor nyengir dalam penghinaan.
Dicengkeramnya baju Raden Klowor, lalu ditampar-
nya wajah bloon itu dengan kasar.
"Bangsat! Kau menyepelekan aku, ya"!" geram Brogol. "Buk... bukan...! Bukan
menyepelekan, Paman!"
"Lalu, apa maksudmu kau nyengir kuda di depanku, hah"!"
"Sa... saya menahan sakit, Paman. Sakit... ini yang sakit." Raden Klowor
menunjuk mulutnya sendiri.
"Mulut busuk, huuh...!"
"Plok!"
Tangan berjari besar itu menampar wajah Raden
Klowor, seakan semua telapak tangan cukup menutup
seluruh wajah Klowor. Tentu saja Klowor mengaduh dan
terjengkang ke belakang, lalu jatuh di tanah dalam posisi terduduk.
"Hei...!" sapa lelaki yang satunya dengan mata mendelik. "Sebaiknya serahkan
saja pusaka itu! Kau tak akan bisa selamat dengan menyembunyikan pusaka
tersebut."
"Pusaka apa, Paman?" Raden Klowor kebingungan.
"Gibas saja dia, Sumolo...!" kata Brogol kepada temannya yang bernama Sumolo.
"Mengaku saja sebelum kau kuserahkan ke Pade-
mangan!" Sambil berkata begitu, kaki kanan Sumolo yang jem-
polnya sebesar buah duku itu menendang dada Raden
Klowor. Tapi, secara reflek tangan kanan Raden Klowor bergerak ke depan dada;
menangkis tendangan itu.
"Eh, melawan kamu, ya"!" Sumolo semakin geram akibat tendangannya ditangkis.
Kemudian, dengan kasar ia menampar kepala Raden Klowor.
"Plok...!"
"Aaaaoow.... Ampun...!" Raden Klowor terpelanting ke samping dan nyaris
tersungkur. Brogol mencengkeram baju Raden Klowor dari bela-
kang dan mengangkatnya ke atas.
"Lebih baik menyerahkan pusaka itu, daripada mati dalam penyiksaan!"
"Saya... saya tidak tahu soal pusaka! Hemm... memangnya, pusaka apa yang
dicari..."!"
"Berlagak tolol lagi. Huuh...!"
"Plook...!"
Sekali lagi tamparan keras membuat bibir itu berda-
rah kembali. Uuh sakitnya sampai ke ubun-ubun.
Ada beberapa orang yang memperhatikan penangka-
pan itu. Mereka saling berbisik di kejauhan.
"Ada maling tertangkap...! Itu dia malingnya! Katanya dia maling pusaka...! O,
itu yang dicari-cari Ki Demang"
Masih muda kok jadi maling, ya" Kenapa tidak jadi Lu-
rah saja, ya" Kasihan dia... maling sekali saja tertangkap, apalagi kalau maling
kedua kali...! Mati, mungkin!
Wah, dia dipukul tidak melawan..." Tentu saja, dia maling tanpa modal...."


Pendekar Cambuk Naga 14 Prahara Raden Klowor di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dan, banyak lagi celetak-celetuk, bisik-bisik mereka.
Sementara itu, Raden Klowor berusaha meronta dari
cengkeraman Brogol. Tetapi, ia tak berhasil. Bahkan perutnya menjadi mual karena
dihantam berulangkali
dengan tangan Sumolo yang jarinya bagai sebesar pi-
sang ambon. "Saya bukan maling... bukan maling...! Saya bukan maling, dan maling bukan
saya...!" Raden Klowor menjerit kesakitan ketika tulang ke-
ringnya ada yang melempar dengan batu dari jarak
jauh. Lecet, lalu berdarah.
"Serahkan pusaka itu, atau kau mati di sini"!" Brogol menjambak rambut Raden
Klowor dari belakang, dan
mendongakkan kepala itu. Seringai Raden Klowor ber-
samaan dengan kedua mata yang menahan sakit den-
gan memejam kuat-kuat.
"Bukan saya...! Bukan saya malingnya!"
"Putri Demang tak akan rabun matanya. Ia menye-
butkan dengan jelas ciri-cirimu, Bangsat! Dan, ternyata memang benar semua ciri-
ciri itu ada padamu. Mau
menyangkal apa lagi kau, hah! Hihh...!"
"Addoww...!" Klowor memekik lagi karena dagunya dihantam tangan kiri Sumolo.
"Sumpah... saya tidak mencuri apa-apa. Itu semua fitnah. Pasti itu keterangan
palsu, wadoow...!"
Sekali lagi ia menjerit, karena ada yang melemparkan
batu dari jarak jauh, dan mengenai tulang kakinya.
Yang tadi kena! Wah, sudah tentu itu sakit sekali. Pandai juga orang yang
melemparkan batu itu. Tepat dan
jitu! "Brogol, seret saja dia dan hadapkan ke Ki Demang!"
kata Sumolo. Tetapi, Raden Klowor hendak meronta dan
berkata: "Tidak mau...! Aku bukan pencuri... aku bukan...."
"Wadaaoow...!"
Kali ini yang menjerit Sumolo. Matanya jadi terbela-
lak dan garang. Rupanya ada penonton yang hendak
melemparkan batu lagi ke kaki Raden Klowor, tetapi
meleset mengenai lutut Sumolo. Sudah tentu Sumolo
pringas-pringis sambil melotot garang, mencari pelem-
parnya dari arah samping.
"Bangsat mana yang berani melemparkan batu ke lu-tutku, hah"!"
"Sudah, sudah...!" kata Brogol. "Jangan perpanjang soal itu. Ayo, lekas bawa
anak ini ke hadapan Ki Demang...!"
Karena Raden Klowor meronta terus, akhirnya kedua
kakinya diikat, dan kedua tangannya dipegang oleh
Brogol dan Sumolo, kemudian diseret begitu saja, seper-ti mereka menyeret batang
pisang busuk. Sekali lagi, Raden Klowor bagaikan sedang menangis
di dalam hatinya. Kedongkolan menyesak di dalam dada
dan ingin meledak saja rasanya. Ia tak mau membalas
pukulan dan siksaan Sumolo dan Brogol. Padahal ia bi-
sa. Bisa melawan dan pasti bisa menang, karena ada
banyak ilmu dari Lanangseta yang telah berhasil dis-
erapnya dan dikuasainya. Apalagi kalau saja saat itu
cambuk pusaka itu ada di tangan Klowor, huuuh... bisa
jadi berkeping-keping kedua orang bertampang sangar
itu. Sayang sekali dalam perjalanan tersebut, Raden
Klowor tidak diizinkan membawa Cambuk Naga oleh
Lanang, karena suatu alasan. Akibatnya, Klowor tak bi-sa banyak berbuat walau
menerima siksaan sesakit apa
pun. Bahkan ketika ia dilemparkan begitu saja di depan seorang lelaki beruban
tipis yang dipanggil sebagai Demang Gangsir, Raden Klowor hanya bisa mengaduh-
aduh dan mengerang-ngerang kesakitan. Ia buru-buru
membuka ikatan pada kakinya, namun beberapa orang,
termasuk Sumolo dan Brogol segera mengepungnya.
Raden Klowor tak bisa lari ke mana-mana.
"Mana pusaka itu, Jahanam"!"
"Pusaka apa, Pak..."!" seru Klowor dengan warna ke-jengkelannya terlihat. Ia
buru-buru mengurangi teka-
nan suara, agar tak terpancing kemarahannya:
"Jangan berlagak gila di sini, kau"! Mana pusakaku itu"!"
"S... saya tidak mencuri... mencuri apa pun dari si-ni!" "Harus disiksa dulu
dia, baru akan mengaku...!" kata Ki Demang Gangsir kepada Sumolo. Kemudian,
Sumolo memerintahkan kepada salah seorang yang berdiri di
belakangnya tanpa mengenakan baju San berkepala bo-
tak: "Lugut...! Cambuk dia di kamar penyiksaan...!"
Lugut, orang tanpa rambut di kepalanya itu segera
meremas salah satu kaki Raden Klowor dan menyeret-
nya dengan kasar. Raden Klowor hanya bisa berteriak-
teriak dan mencoba bertahan. Tapi, tak berhasil. Ia diikat di antara dua tiang
berjarak satu langkah. Kakinya direnggangkan dan diikat, tangannya direntangkan
dan diikat pula. Sebelumnya, baju yang dikenakan Raden
Klowor telah dibuka, sehingga ketika sebuah cambuk
pendek terbuat dari serat kulit berduri menghantam
pinggangnya, ia menjerit kesakitan. Matanya mendelik, kemudian terpejam kuat-
kuat. Pinggang itu luka ter-gores duri cambuk.
"Kau memilih cambuk itu atau pusaka itu?" tanya Sumolo dengan sinis.
Kebengisannya terasa ingin diludahi Klowor, namun perasaan semacam itu juga
buru- buru dihilangkan dari hati Raden Klowor.
"Saya... saya tidak memilih keduanya...! Saya punya pusaka sendiri yang lebih...
lebih ampuh dari segala pusaka!"
"Taarr...!"
"Aoow...!" pekik Klowor ketika cambuk dikibaskan la-gi dan merobek dadanya.
"Kalau kau keras kepala, maka kau akan mati den-
gan kepala menjadi empuk dan bonyok, tahu"!" ancam Sumolo ketika Ki Demang
Gangsir datang ke kamar penyiksaan itu.
"Aku... aku tidak bersalah!"
"Mencuri pusaka milik orang lain kok tidak bersalah"
Hah, dalil dari mana itu"!"
"Sungguh, Mas... aku tidak mencuri pusaka itu.
Mungkin ada yang salah lihat...!"
"Tarr...!"
Lugut mencambuk lagi setelah diberi kode oleh Su-
molo dengan anggukan kepala. Kini, perut Klowor ber-
darah. Robek beberapa garis. Warna biru memar ada di
mana-mana, termasuk di sekujur wajahnya.
"Ampuuuun... jangan siksa akuu...!"
"Kalau kau serahkan pusaka itu, kami akan mele-
paskan kamu sebagai manusia biasa. Bukan maling!"
kata Demang Gangsir dengan muka kaku dan geram.
"Pusaka apa yang harus kuserahkan..."! Aku tidak tahu, kau kehilangan apa,
Peot!" "Jahanam dia...!"
"Taar.... Taar...!"
Dua kali cambukan membuat Raden Klowor menje-
rit-jerit. Dua goresan berdarah membekas di ketiak dan pundak Klowor. Ia pun
buru-buru menahan diri lagi,
jangan sampai mengeluarkan kata-kata makian atau
kata-kata umpatan kotor.
Kalau mengumpat pun ia tahan, sudah tentu mem-
balas pun ia hindari. Sebisa mungkin Raden Klowor
bertahan, dan bertahan terus. Mengapa harus berta-
han" Mengapa tidak menyerang mereka, toh dia bisa.
Bukankah ilmu orang-orang itu tidak lebih unggul di-
banding ilmu yang dimilikinya dari mimpi"
Tidak. Klowor tidak boleh membalas. Klowor harus
bertahan dan bersabar. Ini perintah dari alam mim-
pinya; perintah dari Sekar Pamikat, bahwa ia harus melakukan semadi sabar, atau
tapa sabar. Tidak boleh
membalas jika diserang, tidak boleh marah, jika disaki-ti. Pesan Sekar Pemikat
lewat mimpi itu disampaikan
guna menambah ilmu pada Raden Klowor, yaitu ilmu
yang selama ini jarang digunakan Ratu Ayu Sekar Pa-
mikat, yaitu jurus Naga Linglung.
Karenanya, sejak kemarin lusa Raden Klowor tidak
pernah mengungkapkan kemarahannya. Sejak menda-
pat serangan dari Aweni dan Sayung, Raden Klowor ti-
dak pernah memberikan balasan. Juga, saat ini, tidak
ada gerakan pembalasan dari Raden Klowor. Ia harus
menerima tuduhan itu, dan menyanggah dengan kata-
kata, bukan dengan gerakan mematikan.
"Saras...!" panggil Ki Demang, dan dari pintu mun-cullah seorang gadis berkebaya
putih dan mengenakan
kain kuning tipis. Wajahnya cantik, rambutnya dikuncir dua, tubuhnya cukup
menggiurkan dengan pinggul lebar dan dada sekal.
"Benarkah pemuda ini yang kau lihat melompat dari jendela kamarku...?" tanya Ki
Demang kepada anak ga-disnya yang bernama Saras. Tapi, setelah menatapinya
beberapa saat. Saras menjawab dengan pasti:
"Oouw... bukan, Rama! Bukan pemuda ini. Ia me-
mang kurus, seperti tubuh pencuri itu. Tinggi badannya memang sama, tapi
wajahnya lebih ganteng pencuri tersebut. Jadi, bukan dia orangnya, Rama...."
Klowor menggeram, dan memang hanya bisa meng-
geram. * * * 2 Panas hati Raden Klowor. Sudah disiksa, disakiti, di-
tuduh maling, eeh... ternyata terbukti tidak bersalah.
Rasa-rasanya gatal dan gemetar sekali tangan Raden
Klowor. Ingin segera menghantam Sumolo, Brogol, Lu-
gut atau Demang Gangsir sendiri.
Yah, untung ada Saras.
Mata bulat indah, wajah mirip boneka itu sempat
membuat Raden Klowor terpana beberapa saat setelah
dibebaskan. Gadis seusia dengannya itu, sering mem-
perhatikan Raden Klowor dengan tatapan yang lain, tapi jelas punya maksud
tersendiri. Itulah satu-satunya
penghibur kemarahan Raden Klowor. Kalau tidak ada
Saras, wah... sangat berat bagi Raden Klowor untuk
menahan kemarahannya.
"Maafkan ayahku...." ujar Saras ketika ia menunggui Klowor dalam pengobatan
seorang pengawal Pademangan yang memang tugasnya mengobati luka.
"Ciri-ciri yang kuberikan kepada mereka tentang
pencuri pusaka itu, memang mirip denganmu. Tapi, aku
yakin, ayahku pasti sangat menyesal bertindak secero-
boh ini." Sekalipun bibir pecah dan perih, meskipun hati pa-
nas dan geram, tetapi Raden Klowor berusaha untuk
memberikan senyum. Namun, ketika ia meringis, ia ma-
lahan mengaduh, karena bagian lukanya pada bibir jadi tertarik. Perih.
"Kurasa tak ada rasa sesal pada diri ayahmu mau-
pun orang-orangnya itu. Buktinya, mereka hanya mele-
paskan aku begitu saja, tanpa ada kata permintaan
maaf sedikit pun."
Dari sipitnya mata yang memar, terlihat sekali ada
segumpal dendam yang ditahan mati-matian oleh Raden
Klowor. Geletukan gigi pun tak dapat dielakkan lagi.
Hanya saja, seringnya Raden Klowor menghela nafas
dan menahannya sampai beberapa saat itu, dapat dis-
impulkan bahwa dia berusaha mengendalikan diri un-
tuk sabar. "Ternyata berat sekali menjalankan tapa sabar itu, ya?" pikirnya seraya ia
membiarkan seorang lelaki se-tengah tua mengobati luka cambuk pada dadanya. Sa-
ras masih berdiri di belakang orang itu dan berbicara dengan hati-hati:
"Mungkin semua itu karena kepanikan ayahku, atas hilangnya pusaka kami."
Setelah menggumam dalam kecemberutan, Raden
Klowor memberanikan diri bertanya:
"Pusaka apa itu sebenarnya" Ujudnya seperti apa?"
Diam sebentar, lalu Saras menjawab:
"Selendang Tirta Dewi."
Raden Klowor mengeja pelan, "Selendang.... Tirta....
Dewi...?" "Seperti kau ketahui sendiri, daerah di sebelah Selatan Gunung Sawi, adalah
daerah tandus, termasuk Pa-
demangan kami ini, pedesaan-pedesaan lainnya, serta
beberapa tanah tak berhuni. Semuanya dalam keadaan
tandus. Tapi kau tahu sendiri juga, bahwa Pademangan
Kumilir ini bisa menjadi daerah yang subur dan banyak air. Ini karena kesaktian
dari pusaka Selendang Tirta Dewi...."
"O, begitu ya?" Raden Klowor manggut-manggut.
"Apabila Selendang Tirta Dewi dikibaskan, dia akan mendatangkan hujan, atau
memancarkan air dari le-reng bebatuan cadas di bagian atas sana. Dan air itulah
yang akan mengalir, mengairi persawahan kami."
".... kalau begitu...." kata Raden Klowor. "Berarti pencuri pusaka itu adalah
berasal dari tempat yang tan-
dus!" "Itu sudah pasti. Kami tahu. Tapi, kami tidak tahu, dari daerah mana dia. Daerah
tandus yang mana?"
Raden Klowor tersenyum dalam gumam. Katanya:
"Sayang aku ada urusan lain. Kalau saja aku sudah bisa menyelesaikan urusanku,
mungkin aku bisa membantumu mencari pusaka tersebut." Klowor melirik Saras,
oh... ada rona kecewa di sudut mata Saras. Kenapa, ya" Hari sudah mulai remang
ketika Raden Klowor keluar dari Pademangan Kumilir. Masih ada sisa perih di
sekujur badannya, tapi ia berusaha untuk tidak merasakan. Masih ada sisa sakit
di hatinya, tapi ia berusaha untuk melupakan. Yang ada dalam benaknya adalah
Desa Punding dan nama Ludiro yang harus dituju. Se-
dangkan Demang Gangsir, Brogol, Sumolo dan yang
lainnya menjadi lenyap begitu saja, seolah tak pernah terjadi bentrokan dengan
mereka. Sebab, orang-orang
Pademangan itu pun menganggap sepi, seakan mereka
tidak pernah berbuat salah kepada Raden Klowor. Ini
sebenarnya menjengkelkan sekali, tapi semadi laku sa-
bar yang sedang dijalani Raden Klowor, memaksa Raden
Klowor untuk tidak bersakit hati dengan masalah itu.
Begitu menuruni bukit yang tidak bisa dibilang ting-
gi, Raden Klowor berhenti melangkah. Terhenyak se-
saat. Matanya terbelalak dengan dahi berkerut. Ada
seorang perempuan yang berlari-lari meminta tolong.
Perempuan itu amat ketakutan. Di belakangnya ada
seorang lelaki brewok yang agaknya amat bernafsu ke-
pada perempuan itu.
"Sumini...! Sumini, berhenti kau! Jangan lari...!" te-riakan lelaki brewok yang
masih berusia muda itu ter-
dengar jelas didengar Raden Klowor.
"Tolooong...! Tolong aku.... Ooh, tolonglah aku...!"
Sumini meratap dan bersembunyi di balik badan Raden


Pendekar Cambuk Naga 14 Prahara Raden Klowor di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Klowor. Perempuan muda yang pakaiannya sudah ro-
bek beberapa tempat itu meratap-ratap memohon perto-
longan dari Raden Klowor. Padahal, Raden Klowor sen-
diri masih bingung dan clingak-clinguk dengan sedikit panik.
"Tolonglah aku...! O, aku... aku hendak diperkosa lelaki itu...! Tolonglah,
lindungilah aku dari kerakusan Mito. Tolonglah jangan diam saja...!"
Sumini memeluk kaki Raden Klowor, bahkan meng-
goyang-goyangkan dengan ratapan dan tangis. Raden
Klowor semakin salah tingkah, sebab baju Sumini su-
dah tak dapat dikatakan sebagai alat penutup dada lagi.
Ngablak! Kelihatan jelas kemulusan dagingnya yang cu-
kup padat dan menonjol itu. Dan, pemandangan terse-
but membuat Raden Klowor menelan ludah sendiri.
Mito, lelaki brewokan yang tidak lagi mengenakan
baju kecuali celana merah itu, segera berhenti tak jauh dari Raden Klowor.
Matanya yang jalang itu memerah,
nafasnya terengah-engah.
"Hei, mau jadi pahlawan kesorean, ya"! Ayo, ming-gir!" hardik Mito dengan
bertolak pinggang. Raden Klowor berusaha menampilkan senyum ramah, sekalipun
ia sendiri sebenarnya ingin menghajar lelaki itu.
"Sabar, Kang. Sabar...!" Raden Klowor menampakkan kesabarannya, sesuai dengan
semadi yang sedang dila-
kukannya. Semadi Sabar!
"Sum...! Ayo, pulang...!"
"Tidak mau! Tidak mau...!" Sumini bergelayutan di kaki Raden Klowor yang punya
tampang masih lebih
ganteng ketimbang Mito. "Carilah perempuan lain yang bisa melayani nafsumu! Aku
tidak mau menjadi budak
birahimu, Mito!"
"Hei, sebagai istri kau tidak pantas bicara begitu, Sum!"
"Aku bukan istrimu! Enak saja kau bicara! Aku belum pernah punya suami siapa
pun, dan tidak men-
ganggapmu sebagai kekasih! Aku dan kamu kan hanya
berteman! Tapi, kamu jangan rakus begitu!"
"Kurang ajar kau, Sum! Tega-teganya mengaku begi-tu di depan seorang pemuda yang
kau anggap lebih
tampan dari aku"! Tega-teganya kau, hah"!"
Tangan Mito berusaha meraih Sumini, tetapi Raden
Klowor berusaha menghalanginya dengan berkata:
"Nanti dulu, Kang...! Sabar, Kang...! Sebaiknya kita bicarakan dengan baik-
baik...!" "Apa-apaan kau ini, hah" Mau merebut istri orang, ya" Jahanam, hiiiat...!"
"Ceprot...!"
"Uuuhhhh...!" Raden Klowor menutup mulutnya dengan kedua tangan. Oh, bibir yang
belum kering dari luka sudah mendapat santapan sekali lagi berupa ton-jokan
keras. Tentu saja pekikannya mulai terlontar tan-da kesakitan. Kesal sekali
hatinya, karena lagi-lagi ia kena hajar tanpa bisa melawan.
"Kuhancurkan mukamu kalau kau masih mengha-
lang-halangi niatku mengambil istri sendiri, huaaitt...!"
"Huuugh...!"
Mata Klowor mendelik, membungkuk, karena perut-
nya ditendang dengan ujung telapak kaki. Kena pada
hulu hati. Nafas Klowor tersedak, mampet. Ia meringis
dengan menahan nafas. Sementara itu, Sumini masih
berlindung di balik tubuh Raden Klowor. Berusaha me-
megangi kaki Raden Klowor agar tubuhnya tidak mudah
ditarik oleh Mito.
"Setan kau, Mito...! Kejam kau...!" teriak Sumini setelah Mito memukul wajah
Raden Klowor dengan kepalan
tangan kanannya, dan membuat darah mengucur dari
hidung Raden Klowor. Pada saat itu, sebenarnya Klowor sudah hendak memberikan
pukulan balasan. Tetapi, ia
menahan diri. Buru-buru menggenggam tangan kuat-
kuat untuk tidak melakukan serang balik kepada Mito.
Oooh... perihnya hati orang jika harus bersabar.
"Ampun, Kang...! Ampuuun...!" teriak Raden Klowor bagai tanpa daya lagi ketika
tangannya dipelintir oleh Mito.
"Sudah pantas tanganmu menjadi patah karena kau
mencoba melindungi Sumini! Dia istriku, dan aku ber-
hak melakukan apa saja! Mengapa kamu melarangnya,
hah" Mengapa kamu menghalangiku, hah"!"
"Aaaauuuh...!" jerit Mito sama kerasnya dengan jeri-tan Raden Klowor, Sumini
tidak tega, dan dengan bera-
ni, nekad, ia memungut batu dan menghantamkannya
ke telapak kaki Mito sampai berdarah.
Mata kaki Mito bengkak mendadak, biru. Tapi di ba-
gian dekat mata kaki itu sudah berdarah karena ditum-
buk batu sekuat tenaga. Untuk menghindari perbuatan
Sumini yang semakin seperti kesetanan itu, Mito me-
nendang wajah Sumini sambil mengaduh-aduh, dan
berjingkat-jingkat satu kaki, menjauhi Raden Klowor.
"Bangsat kau...! Bangsat, bangsat, bangsaaat...!" Mi-to berteriak-teriak sendiri
sambil memegangi kakinya
yang kanan. Ia duduk dan meringis-ringis sampai kepa-
lanya terdongak-dongak.
"Pukul dia!" kata Sumini kepada Klowor. "Pukul, lekas! Mumpung dia tidak
siap...! Ayo, pukul...!"
Raden Klowor hanya diam, masih menyeringai sedikit
menahan sisa sakit. Matanya hanya menatap Mito yang
mengaduh-aduh sambil memegangi kakinya.
"Ayo, pukul dia...! Masa' kamu takut"! Oh, tolonglah aku, hajarlah dia supaya
tidak berani menggangguku
lagi!" Dengan sabar Raden Klowor berkata kepada Sumini
yang telah berdiri di belakangnya:
"Tak baik seorang istri menyuruh orang lain memukul suaminya."
"Dia bukan suamiku! Kau dikelabuhi olehnya! Dia te-tanggaku, yang sudah sering
merusak kegadisan te-
man-temanku, dan kali ini akulah yang akan dijadikan
sasarannya...!"
Mito berpaling, lalu dengan cepat ia meraih batu dan
melemparkannya kepada Raden Klowor.
"Mampus saja kau, Bajingan...!"
"Weees...!"
Batu sebesar genggaman tangan dilemparkan. Gera-
kan batu yang cepat nyata-nyata terarah ke mata Raden Klowor. Dengan gerakan
naluri yang ada, Raden Klowor
segera miringkan kepala. Menghindar.
"Pletak...!"
"Aaaauuuwww...!"
Sumini berteriak seru. Menjerit. Batu itu lolos dari
kepala Raden Klowor, tapi mengenai kening Sumini.
Akibatnya, kening itu berdarah dan Sumini jatuh. Men-
jerit-jerit dengan wajah penuh lumuran darah. Raden
Klowor panik, mulai naik amarahnya kepada Mito. Ia
menggeram dan nyaris mencaci maki Mito. Tetapi, ia
buru-buru sadar, bahwa ia harus menjadi orang sabar
yang mampu meredakan kemarahan hatinya. Sebab itu,
ia harus berkata dalam keadaan panik:
"Mito, Sumini berdarah...! Kau yang melukainya! Lihat! Lihatlah sendiri...!"
Sumini menangis meraung-raung. Semakin panik sa-
ja Raden Klowor melihat hal itu. Pikirannya menjadi
bercabang dan kusut, antara ingin menolong Sumini,
dan menahan kemarahan kepada Mito. Tetapi, ia pun
harus memikirkan bagaimana baiknya menghadapi Mi-
to. Ah, kasihan Sumini. Ia orang tanpa daya. Lemah.
Dikejar-kejar Mito dan diperlakukan dengan seenaknya
sendiri. Kasihan. Seharusnya Raden Klowor memberi
pertolongan. Ah, bingung. Kalau saja tidak sedang menjalankan semadi sabar,
puasa sabar, sudah tentu dari
tadi mata Mito telah membeliak sekarat karena seran-
gan jurus Raden Klowor.
"Mito, tolong hentikan kekejianmu," kata Raden Klowor. "Kasihan Sumini. Lihatlah
sendiri... aku sudah melihatnya, sekarang gantian kau yang melihatnya. Kasi-
han apa tidak kalau dia menjadi berlumur darah begini"
Dilempar memakai batu itu sakit, Mito. Apalagi sampai bocor begini, pasti sakit.
Kalau kau tak percaya, cobalah kepalamu kau lempar batu sendiri sampai
bocor...."
"Sebaiknya kepalamu saja yang kulempar!"
"Eh, jangan! Aku sudah sering kena lempar...! Sudah hapal rasanya...! Jangan
lempar aku," Raden Klowor menggunakan aji kesabaran yang benar-benar diusaha-kan
mati-matian. Dan Sumini masih meraung-raung
sambil mencaci maki Mito dengan kata-kata kotor.
"Dasar bajingan...! Buaya...! Buaya rakus! Maliing...!"
Mito bergerak terpincang-pincang dengan emosi.
"Perempuan busuk! Kurobek mulutmu!"
"Hei, hei... sabar," kata Klowor. "Jangan asal robek saja, kasihan kan" Itu
mulut orang, masa' harus diro-bek. Toh tidak perlu kau robek, mulut itu sudah
robek sendiri...!" kata-kata kasihan yang mencerminkan kesabaran Klowor dibuat
berhenti dengan tamparan tangan
Mito ke mulut Klowor.
Setelah itu, Mito menendang Sumini dengan kasar.
Kepala Sumini tersentak ke belakang, jeritnya makin
kencang. "Jangan...! Jangan galak begitu, ah...!" Klowor mencoba mencegah dengan
kesabaran. "Mampus saja kau, Perempuan laknat...!"
"Aagghh...!"
Sumini tak bisa bernafas, karena perutnya diinjak
oleh Mito. Raden Klowor serba salah. Ia menggeret tangan Mito dengan menahan
kemarahan: "Sudahlah... dia kan seorang perempuan yang...."
"Babi panggang kau, hiiih...!"
Telapak tangan Mito menghentak ke pipi Klowor,
maka jatuhlah Raden Klowor terguling-guling. Kepa-
lanya membentur batu dan,
"Aaaoohh...!"
Ia menjerit menggelepar-gelepar. Ia bergegas untuk
bangun, tapi kepalanya bagai berputar dengan cepat.
Pandangan matanya sedikit kabur, namun ia masih
sempat melihat apa yang dilakukan Mito kepada Sumi-
ni. Rupanya itulah sifat kebinatangan Mito yang se-
sungguhnya. Raden Klowor sempat dibuat semakin gu-
gup. Dengan kasar dan seperti manusia binatang, Mito
merobek-robek kain yang dikenakan Sumini. Lalu ia be-
rusaha menahan gerakan tangan Sumini yang hendak
mencakarnya berulang kali itu. Sebuah pukulan dihan-
tamkan ke wajah Sumini yang sudah berlumur darah.
Sumini akhirnya mengerang bagai orang di ambang ajal.
Ia lemas, tangisnya memanjang dengan suara serak.
Sementara itu, Mito melaksanakan niatnya memperkosa
Sumini dengan lahap.
"Astagaaaa...! Jangan, Mito...! Jangan! Jangan di depanku, eh... jangan berbuat
seperti itu...! Ya, am-
puuun... benar-benar kelewatan kau, Mito...."
Raden Klowor berusaha untuk melangkah mendekati
Mito, ia ingin melarang Mito dengan cara baik-baik agar tidak melakukan
perbuatan terkutuk itu. Tetapi, berulangkali melangkah, ia selalu jatuh.
Melangkah lagi, jatuh lagi. Ia sempoyongan dengan memegangi kepalanya
yang benjol terbentur batu.
"Mito...! Sadarlah...! Dia perempuan lemah, jangan kau paksa dengan....
Auuuh...!" Raden Klowor jatuh kembali, dan kali ini betisnya tertusuk duri yang
ada pada sebuah ranting kering. Ia meringis dan mencabut
duri itu. Lalu, berusaha untuk bangkit, mendekati Mito.
Ia akan menarik tubuh Mito, sebab hatinya sangat ka-
sihan melihat Sumini terengah-engah disekap tangis
yang menyayat hati.
Karena ia bangkit dan jatuh lagi. Akhirnya ia me-
rangkak mendekati Mito yang masih rakus memperla-
kukan Sumini dengan tanpa rasa kemanusiaan lagi.
Sayangnya, begitu Raden Klowor dekat dengan Mito,
kaki Mito menyepaknya kuat-kuat dan Raden Klowor
menggelinding lagi karena tanah di situ masih dalam
kemiringan tertentu.
"Ya, ampuuun...! Manusia macam apa kau sebenar-
nya, Mito. Baru saja mendekat sudah ditendang lagi,"
kata Raden Klowor semakin kebingungan. Ia sudah
menggenggam batu. Ia yakin, sekali lempar pasti akan
mengenai kepala Mito dan bisa membuat Mito kelenger.
Tetapi, ingat dirinya harus bisa bersikap sabar, sesabar-sabarnya, maka batu itu
pun segera dibuang. Klowor
lemas. Lunglai dalam keadaan terduduk di tanah. Ma-
tanya memandang sayu pada segala yang dilakukan Mi-
to terhadap Sumini. Sampai-sampai, akhirnya Klowor
berpaling dan menahan kesedihan sendiri di dalam hati.
Ia punya kuasa untuk menumpas kebejatan moral se-
perti itu, tapi ia tidak bisa melakukannya untuk saat ini. Sumini tergeletak.
Berlumur darah dan kekotoran
aib. Sambil terpincang-pincang, Mito berlalu begitu saja setelah puas menikmati
madu kebahagiaan yang ada
pada Sumini. Ia hanya melirik sinis kepada Raden Klo-
wor yang lututnya terasa lemas, kemudian melangkah
pergi dengan bangga. Ia merasa berdiri sebagai pihak
yang menang. Raden Klowor tak mau memandangnya,
sebab jika ia memandang Mito, maka akan timbul ke-
bencian dan kemarahan yang meluap-luap terhadap le-
laki brewok itu.
Hari semakin sore. Remang-remang.
Suara tangis yang merintih lirih masih terdengar
menyayat hati. Itu pasti suara Sumini. Sumini yang merasa tercampakkan. Ternoda,
dan mungkin tidak lagi
mempunyai hari tuanya lagi. Ia bagai sehelai daun kering, yang diremas tanpa ada
belas kasihan lagi. Ia meratap, dan meratap menembus keheningan sore.
Pelan-pelan, Raden Klowor mendekati dengan hati
penuh keharuan. Sumini makin menyembunyikan wa-
jah ke samping.
"Maafkan aku...!" ucap Klowor pelan sekali, seakan merasa sebagai orang yang
bersalah. Sekali lagi ia
menghela nafas, menggenggam kuat-kuat rambut yang
ada di sampingnya. Dendam dan kemarahannya terta-
han berat sekali.
"Sebenarnya... aku bisa melakukan! Aku bisa!"
"Kau binatang!" geram Sumini dengan tangis yang makin meratap kembali.
"Terima kasih...! Mungkin aku memang binatang di matamu, tapi... semua ini
kulakukan karena... karena
ada sesuatu yang membuatku harus tetap diam. Aku
harus bersabar...!"
"Kau pengecut!"
"Memang, mungkin benar. Aku pengecut. Tapi kura-


Pendekar Cambuk Naga 14 Prahara Raden Klowor di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

sa hanya untuk kali ini saja."
"Kau banci...!"
"Kurasa tidak. Buktinya aku sempat menelan liur ketika Mito melahap mu, dan
aku... hanya melahap rum-
put kering. Ah, semua ini... semua ini...." Raden Klowor tak sempat lagi
merangkai kata. Serba bingung dan ma-lu pada diri sendiri. Benci pada diri
sendiri. Marah pada dirinya juga. Lalu, ia menghirup udara panjang-panjang, dan
menyimpannya di dalam dada, sebagai
penangkal luapan kemarahan pada diri sendiri.
"Hei, mau ke mana kau..."!"
Dengan sempoyongan, Sumini bangkit, lalu berjalan
ke arah puncak bukit. Memang bukit itu tidak terlalu
tinggi. Gampang di daki. Tetapi untuk jiwa yang goyah dan badan yang penuh luka
seperti Sumini, sungguh
berbahaya jika ia berjalan mendaki. Kalau tergelincir, cukup ngeri juga. Paling
tidak akan patah tulang.
"Sumini, sekali lagi aku mohon maaf, atas...!"
"Diam di situ! Jangan ikuti aku! Kita memang tidak saling mengenal!"
Sumini merasa disepelekan. Kecewa sekali. Hara-
pannya akan tertolong oleh Raden Klowor yang menu-
rutnya sejajar dan seimbang dengan Mito, namun ia ju-
stru dijadikan tontonan belaka. Sakit hati Sumini melebihi ditumbuk dengan alu
berduri. Ia benci kepada Mi-
to, namun juga benci kepada Raden Klowor.
"Sumini, apa yang ingin kau lakukan di situ"!"
Sumini tidak banyak bicara. Ia mengisak dalam tan-
gisnya. Ia berdiri di tepi jurang. Paling pucuk dari bukit itu. Ia siap melompat
ke bawah. Sedangkan di bawah
sana, terdapat banyak batu yang mampu meremukkan
kepala manusia yang melompat dari ketinggian bukit.
"Sumini..."!" Raden Klowor tegang dan kebingungan.
"Pergilah. Teruskan perjalananmu, Pengecut...!"
"Aku... aku.... Oh, apa yang ingin kau lakukan"!"
"Mengakhiri hidup. Aku sudah ternoda. Kebanggaan ku, mahkota hidupku sebagai
gadis desa, hilang sudah.
Hancur! Dan aku ingin menyempurnakan kehancuran
ini...!" Ia mengisak sedih.
"Jangan, Sumini. Jangan picik. Masih ada hari tanpa embun. Masih ada embun tanpa
pagi. Buktinya kalau
kita memasak air, akan mendapat embun di balik tutup
pancinya."
Sumini tidak mau tahu semua kata-kata Raden Klo-
wor. Ia memandang ke bawah, siap melompat dengan
jatuh kepala lebih dulu membentur batu.
"Sumini, ingat... kau masih punya setumpuk ke...
hei, Suminiiii...!"
"Wesss...!"
Sumini terjun ke jurang, kepalanya menukik ke ba-
wah. Raden Klowor berteriak penuh ledakan emosi.
Dan, ia memejamkan mata ketika tubuh Sumini ter-
hempas bagai pelepah pisang yang dibuang begitu saja
dari atas bukit.
* * * 3 Sabar, bukan lagi suatu senjata yang berat dijun-
jung, namun juga merupakan senjata yang sulit digu-
nakan. Dalam masa menjalankan puasa sabar itu, Ra-
den Klowor yang bertubuh kurus mulai menyadari apa
makna bersabar diri. Bahwa sesungguhnya, musuh ter-
besar manusia bukan dari orang lain, tetapi dari dalam dirinya sendiri. Betapa
beratnya Raden Klowor melawan nafsunya sendiri, meredam kemarahannya sendiri,
yang terasa lebih mudah menundukkan tokoh sakti dari ma-
na pun. Jangankan melawannya, menghindari gejolak-
nya nafsu amarah, sungguh merupakan pekerjaan yang
berat, barangkali tidak semudah memindahkan gunung
dari tengah pulau ke tepian laut.
Bukan hanya Sumini saja yang menjadi cambuk ke-
sabaran Raden Klowor, bukan hanya Demang Gangsir
saja yang menempa pengendalian diri Raden Klowor,
melainkan banyak lagi peristiwa yang harus dilalui dengan segumpal kesabaran.
Dari hari ke hari, Raden Klo-
wor hanya mampu menghela nafas atau menahan na-
fas, demi menjaga kebrutalan amarahnya.
Sama halnya ketika ia melewati suatu tanah lapang,
tempat beberapa anak yang sedang berlatih silat di bawah asuhan seorang guru. Di
situ Raden Klowor ber-
henti untuk sekedar beristirahat dari perjalanannya
yang panjang. Ada sekitar delapan anak usia di bawah
sepuluh tahun, sedang menirukan jurus-jurus yang di-
ajarkan oleh salah seorang guru berpakaian serba pu-
tih. Raden Klowor menyaksikan latihan itu dengan ter-
senyum senang. Ia merasa menemukan beberapa jurus
yang indah dipandang mata.
"Cantik sekali jurus-jurus itu. Pantas kalau diajarkan kepada anak-anak...!"
pikir Raden Klowor sambil duduk di bawah sebuah pohon.
Tetapi, senyum kagum dari Raden Klowor itu diarti-
kan lain oleh mereka yang berlatih silat.
"Guru, ada orang menertawakan jurus-jurus kita...!"
kata salah seorang anak.
Temannya menyahut:
"Wah, pasti dia menyepelekan jurus-jurus yang sedang kita latih ini."
Yang satunya menyahut:
"Sombong sekali dia. Ayo, kita coba kekuatannya!"
"Ayooooo...!"
Anak-anak itu berlarian menyerang Raden Klowor.
Guru mereka yang sudah tua berteriak-teriak sampai
nafasnya ngos-ngosan. Maksudnya ingin melarang mu-
rid-murid kecilnya bertindak gegabah. Tetapi, tak satu pun murid yang mau
menghiraukan larangan guru.
"Hei, kamu sudah jagoan, ya" Kamu menyangka ju-
rus-jurus kami ini murahan, sehingga pantas diterta-
wakan, ya"!" kata salah seorang kepada Raden Klowor.
Lantang dan tengil sekali anak itu.
"O, aku tidak menertawakan jurus kalian, tapi...!"
"Alaaah... jangan banyak alasan! Katakan saja kalau kamu menghina kami. Hei,
teman-teman... mari kita be-ri pelajaran kepada orang ini, biar kapok!"
"Ayooo...!"
Salah seorang melompat menendang perut Raden
Klowor. Memang tidak begitu sakit tendangan itu, tapi membuat Raden Klowor
kebingungan dikeroyok delapan
anak. Ada yang memukul punggungnya, ada yang me-
nendang kakinya, ada pula yang menggunakan kayu
untuk memukul tulang kakinya.
"Hei, hei... sabar! Aku tidak menghina kalian, Adik-adik. Aku justru...!"
"Plook...!"
"Busyet...!"
Ada pukulan yang sempat menghantam pipi Raden
Klowor. Kalau dilayani, bisa celaka sekali Raden Klowor.
Dan lagi, tak pantas ia marah kepada anak-anak itu,
sekalipun kedongkolan hati meletup-letup.
Untuk menghindarinya, hanya ada satu jalan. Lari!
Dengan langkah lebar Raden Klowor berlari cepat, te-
tapi anak-anak justru mengejarnya sambil berteriak:
"Tangkap...! Tangkap...! Maliiing...! Maliiiing...!"
Akibatnya Raden Klowor menjadi pusat perhatian
masyarakat, bahkan ada yang ikut mengepungnya, ka-
rena ia disangka benar-benar pencuri.
"Bukan. Aku bukan pencuri. Aku bukan maling...!"
"Plak... plok...!"
"Aduh, jangan begitu ah...! Aku bukan maling. Sum-
pah. Anak-anak itu yang...."
Anak-anak segera mengeroyok Raden Klowor. Puku-
lan dan tendangan mereka berebutan.
"Plak, plook... beeet...! Bug... buug...! Wess, plak...!"
Hujan pukulan dan tendangan membuat Raden Klo-
wor tersungkur di bawah sebuah pohon. Ia menutupi
wajahnya dengan kedua lengan yang dirapatkan ke ba-
tang pohon, supaya tidak banyak terkena pukulan.
"Puih...! Cuiih...!"
Eh, pakai diludahi segala. Aduuuh... menyakitkan
hati sekali. Kalau Raden Klowor mau, dengan sekali ge-brak, mungkin tiga atau
empat anak akan sekarat seke-
tika. Tetapi, sekali lagi, demi kesabaran, Raden Klowor hanya mengaduh-aduh dan
meminta tolong kepada siapa pun.
"Hei, ada apa ini"!" bentak seorang lelaki bertubuh agak pendek dengan kulitnya
yang hitam dan rambut
putih samar-samar. Anak-anak yang mengeroyok Raden
Klowor berhenti, mundur beberapa langkah kendati sa-
lah seorang anak berkata:
"Dia menghina jurus-jurus yang kami latih, Ki."
Seorang lelaki berpakaian putih, guru mereka, juga
segera menyusul dan menampar salah seorang anak.
"Plak...!"
"Sekali lagi kau menghasut teman-temanmu untuk
bertindak bodoh seperti ini, ku hukum sendiri kau
sampai mampus!"
"Tapi, guru... dia menghina...."
"Dia tidak menghina! Dia mengagumi jurus-jurus ki-ta!" bentak guru mereka. "Ayo,
kembali ke tempat...!
Kembali ke sana semua! Lekas...!"
Raden Klowor terengah-engah dengan beberapa luka
memar dan lecet-lecet. Setelah guru anak-anak itu me-
minta maaf, dan Raden Klowor melayaninya dengan se-
nyum ramah di sela kesakitan, maka ia pun ditinggal-
kan oleh anak-anak itu. Sementara, seorang lelaki pendek, tapi bukan cebol,
berkulit hitam dan uban tipis, masih memperhatikan Raden Klowor dengan iba. Di
tubuh Raden Klowor banyak sekali luka dan bekas me-
mar. Jelas bukan akibat pukulan dari anak-anak, me-
lainkan karena akibat pukulan orang dewasa yang ter-
jadi beberapa hari yang lalu.
"Apakah kau tidak bisa melawan anak-anak itu?"
tanya lelaki beruban tipis.
"Bisa, Ki...!" jawab Raden Klowor karena tadi mendengar anak kecil itu memanggil
orang tersebut dengan sebutan: Ki.
"Kenapa kau tidak melawan sama sekali" Kenapa
hanya diam saja...?"
"Saya... saya... uuuh...!" Raden Klowor belum selesai menjelaskan, ia sudah
menyeringai karena lehernya terasa sakit bila untuk berpaling.
"Kau banyak menyimpan luka," kata lelaki beruban tipis. "Kau habis dikeroyok
orang, selain anak-anak ta-di?"
"Ya. Saya habis dikeroyok banyak orang, dari tempat yang satu dan tempat yang
lain. Beda masalah, beda
pula pengeroyoknya."
"Hemm... kau pencuri?"
"O, bukan! Sumpah! Saya bukan pencuri. Mereka
hanya salah paham saja, dan ada pula yang sengaja
memanfaatkan saya untuk pukul-pukulan, karena me-
reka tahu saya tidak melawan atau membalas mereka."
"Kenapa hal itu kau lakukan?"
"Saya...." Klowor agak malu mengatakannya. "Saya, terus terang saja, ya Ki....
Saya ini sedang menjalankan tapa, atau semadi."
"Semadi"!" Orang itu berkerut dahi. "Semadi apa"
Tapa apa?"
"Tapa sabar, Ki. Jadi, selama 40 hari saya harus bisa
menahan kesabaran dari segala sesuatu yang memacu
di hati saya. Kemarahan, itu yang utama harus dita-
han." "Hemmm...." Orang beruban tipis itu manggut-manggut.
"Ayo, mampir ke rumahku. Ada obat untuk luluran
tubuhmu, biar tidak terlalu merasa kesakitan...!"
Baik sekali orang beruban putih tipis itu. Biar belum saling kenal, tetapi sikap
ramah dan niat untuk menolong sudah ada pada diri orang tersebut. Raden Klowor
diberi semacam bedak dingin yang dilulurkan pada sekujur tubuhnya. Entah ada
tujuan lain apa yang ter-
sembunyi dari kebaikannya itu, yang jelas Klowor hanya melihat niat baik lelaki
berkulit sedikit hitam itu.
"Agaknya, di sini memang tempat pengobatan ya,
Ki?" tanya Raden Klowor sambil dibalur semacam bedak pada kakinya.
"Tempat khusus pengobatan, sebenarnya bukan.
Aku hanya seorang petani biasa yang hidup sendirian di rumah ini. Aku punya
pengetahuan pengobatan, dan
aku kembangkan untuk membantu mereka yang sakit,
untuk menolong mereka yang tak mampu membayar
ongkos pergi ke dukun."
"Gratis, Ki?"
"Ya. Gratis. Tidak membayar."
"Enak amat mereka. Apa Aki sendiri tidak membu-
tuhkan uang untuk hidup sehari-harinya?"
"Kebetulan, selama aku banyak memberi pertolongan kepada siapa saja, hasil panen
sawahku yang hanya se-petak itu, tak pernah dimakan hama. Mungkin di situ-
lah aku mengenyam hasil kebaikanku. Mungkin itulah
yang dinamakan panen budi baikku selama ini."
"Jadi, menanam kebaikan itu tidak harus menerima upahnya berupa kebaikan dari
orang lain, begitu maksudnya, Ki?"
"Ya. Hasil dari kebaikan yang kita lakukan terhadap sesama manusia, bahkan
sesama mahluk hidup lainnya, adalah hidup yang aman dan tentram. Tak akan
ada rasa kekurangan, karena setiap ada kekurangan ki-
ta akan beranggapan; belum masa panen. Sebentar lagi
pasti ada masa panen tersendiri untuk kita pribadi."
Enak sekali Raden Klowor dilulur dengan bedak obat
sambil diajak bicara panjang lebar tentang hidup dan
kehidupan. Selesai dilulur, Raden Klowor disuguhi mi-
num dan makanan ubi rebus. Kebetulan perut lapar.
Ubi rebus pun disikat habis oleh Klowor, sampai pemi-
liknya tersenyum geli.
"Maaf, habis, Ki...."
"Tidak apa-apa. Menghabiskan suguhan juga suatu
kebaikan tersendiri yang jarang disadari manusia."
Kalau saja Raden Klowor tidak harus segera sampai
ke desa Punding, sudah tentu ia ingin menginap di ru-
mah orang beruban tipis itu. Sayang, sekali, sekarang yang bisa dilakukan hanya
beristirahat sebentar di rumah yang tak begitu besar, namun cukup rapi.
"O, ya... dari tadi aku belum tahu siapa namamu, Nak?"
"Namaku... Raden Klowor, Ki."
"Ooo.... Masih keturunan darah biru, ya?"
"Wah, entah itu, Ki. Yang saya tahu, darahku juga merah, seperti orang-orang
lainnya," jawab Raden Klowor.
"Maksudku, masih keturunan ningrat?"


Pendekar Cambuk Naga 14 Prahara Raden Klowor di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Mungkin juga ya, Ki."
"Lantas, ke mana tujuanmu sebenarnya, Raden Klo-
wor?" "Saya mau pergi ke Desa Punding."
"Lho, ini Desa Punding."
"Hah..."!" Raden Klowor membelalak. "Jadi, sekarang ini aku sudah sampai di Desa
Punding, Ki?"
"Iya. Benar! Dan... ada urusan apa kau ke desa ini"
Maaf, aku bukan ingin turut campur, tapi siapa tahu
aku bisa membantumu, Raden Klowor."
"Urusan soal cambuk, Ki."
"Cambuk" Ooh... kau pedagang cambuk" Atau...
pengrajin cambuk untuk dijual?"
"Bukan," jawab Raden Klowor seraya mencomot ubi rebus yang sudah kedua kalinya
dihidangkan oleh tuan
rumah. "Cambukku ini...." kata Klowor. "Bukan cambuk sembarangan, melainkan cambuk
pusaka." "Cambuk pusaka"! Wah, hebat juga kau diam-diam,
punya urusan tentang pusaka, ya" Pusaka milikmu
sendiri, maksudnya?"
"Hemm... bagaimana, ya" Cambuk itu bisa dikatakan milikku, tapi bukan juga
milikku. Sebab.... Begini, Ki.
Aku diberi sebuah cambuk oleh orang sakti, tetapi saat ini ada yang harus
kulakukan agar cambuk itu benar-benar resmi jadi milikku."
"Wah, beruntung sekali kau. Cambuk apa na-
manya?" "Pusaka... Cambuk Naga...." suara Klowor berbisik, namun justru mengagetkan
orang yang diajak bicara.
Orang beruban tipis itu menatap Raden Klowor tidak
berkedip. Sampai lama.
"Kau,., kau main-main, ya?"
"O, tidak, Ki. Aku sungguh-sungguh diberi pusaka yang bernama Cambuk Naga,
dan...." "Siapa yang memberimu?"
"Secara langsung, orang perempuan yang bernama
Putri Ayu Sekar Pamikat yang memberiku. Dan, cam-
buk itu ada di tangan Pendekar Pusar Bumi, Lanangse-
ta...." Orang beruban tipis itu terbengong tanpa kedip seka-
li pun. Raden Klowor jadi ngeri dipandang demikian.
"Kenapa, Ki" Apakah aku... kurang sopan bica-
ranya?" "Kau... kau menyebukan Putri Ayu Sekar Pamikat.
Sebenarnya, siapa dirimu itu?"
Raden Klowor bingung. Ia mengatakan:
"Aku... aku ya, Raden Klowor, seperti yang kukatakan tadi. Dan, aku akan diberi
hak memegang Cambuk
Naga, kalau aku sudah memohon doa restu, istilahnya,
meminta izin kepada pemegang cambuk yang kedua,
yaitu Paman Ludiro. Dan katanya, Paman Ludiro ada di
Desa Punding ini."
Lama sekali orang itu bagai terkesima oleh penutu-
ran Raden Klowor. Ia sangat mencurigakan Raden Klo-
wor, dan merasa aneh dipandang demikian.
"Kenapa memandangku begitu, Ki" Ada apa sebe-
narnya?" "Akulah Ludiro...."
"Hah..."!" Raden Klowor memekik, ubinya yang hendak disuapkan ke mulut terloncat
jatuh. Raden Klowor
membiarkan. Ia masih sibuk beradu tatapan mata den-
gan orang yang mengaku sebagai Ludiro.
"Lanangseta bergelar Malaikat Pedang Sakti. Dialah yang berhak merawat cambuk
itu. Aku tidak mau menyandang gelar pendekar lagi. Aku sudah hampir tua.
Usiaku di ambang senja. Aku ingin menjadi petani biasa yang tidak sibuk
memerangi keangkara-murkaan.
Hanya pedang Jalak Pati dari Putri Ayu Sekar Pamikat
yang masih kusimpan sebagai kenang-kenangan. Se-
dangkan Cambuk Naga itu kuserahkan pada Lanang.
Cambuk itu, mungkin memang harus ada pemegangnya
yang akan menyandang gelar: Pendekar Cambuk Naga.
Dan... aku tak tahu, kalau hal itu ada pada dirimu,
Klowor." Sangat di luar dugaan perjumpaan itu. Tetapi, amat
menggembirakan hati Raden Klowor. Rasa-rasanya ia
telah menjadi pemilik tetap cambuk tersebut, tanpa ada rasa bersalah kepada
siapa pun. "Paman Ludiro.... Apakah Paman tidak menyangsi-
kan pengakuan saya sedikit pun?"
Ludiro yang beruban tipis itu menggeleng.
"Aku percaya, kau pernah bertemu dengan Putri Ayu Sekar Pamikat, yang kini
menjadi orang suci di Goa Malaikat."
"Mengapa Paman percaya begitu saja" Mengapa saya tidak diselidiki dulu kebenaran
pengakuan saya itu?"
"Semadi Sabar yang kau jalankan itu, sudah pasti atas perintah Putri Ayu Sekar
Pamikat, yang dulu dikenal sebagai Dewi Cambuk Naga."
"Ya. Kok Paman bisa tahu kalau perintah Semadi
Sabar itu turun dari Putri Ayu Sekar Pamikat?"
"Aku adalah pengawal beliau. Aku pernah mendam-
pingi Sekar Pamikat dalam menjalankan Tapa Sabar,
atau Semadi Sabar. Tetapi... dia gagal. Baru yang kedua kalinya berhasil, dan...
tahukah kau, mengapa kau harus melakukan Semadi Sabar?"
"Kalau tidak salah, untuk mendapatkan jurus Naga Linglung. Benarkah begitu,
Paman?" "Benar. Kau benar. Dan, jurus itu tidak bisa diberikan begitu saja. Selain harus
dijalankan oleh pemegang Cambuk Naga. Dan... eh, kau tahu, apa kehebatan jurus
Naga Linglung?"
"Belum, Paman" Bahkan saya belum bisa mem-
bayangkan, seperti apa gerakan seekor naga yang se-
dang linglung?"
Ludiro tersenyum tipis, kemudian berkata:
"Naga Linglung, jurus andalan Putri Ayu yang jarang digunakan. Jika seseorang
sudah berhasil memperoleh
jurus Naga Linglung, maka ia dapat terbang bersama
cambuk itu. Ia bisa berdiri di atas cambuk, dan bahkan bisa membuat cambuk itu
tegak kaku seperti tongkat
dari besi."
"Wow..."! Hebat sekali kesaktian cambuk dan jurus itu?"
"Kalau tidak sakti, bukan pendekar namanya! Justru kesaktian-kesaktian itulah
yang membuat dirimu berhak menyandang gelar: Pendekar Cambuk Naga."
Berbinar-binar mata Raden Klowor membayangkan
kehebatan cambuk dan gelar itu. Ia amat gembira dan
menjadi semakin bangga setelah Ludiro berkata:
"Mungkin tak ada pemegang cambuk lainnya yang
pantas menyandang gelar Pendekar Cambuk Naga yang
abadi, selain kamu. Klowor."
"Kenapa Paman sendiri tidak mau menjadi pemegang cambuk itu secara abadi?"
"Karena, duniaku sudah penuh dengan darah. Su-
dah banyak nyawa yang tercabut oleh tanganku ketika
aku menjadi pemegang pusaka Cambuk Naga. Terus te-
rang saja, aku sudah bosan membunuh. Aku ingin hi-
dup tenang, syukur kalau bisa seperti Putri Ayu Sekar Pamikat. Kalau tidak bisa,
yah... hidup sebagai masyarakat kecil pun sudah cukup tenang. Eh, tapi ngomong-
ngomong.... Sejak kapan kau bertemu dengan Putri Ayu
Sekar Pamikat?"
"Sejak...." Raden Klowor bingung mengingat-ingat.
Sebelum menjawab, sudah menyusul pertanyaan beri-
kutnya: "Di mana kau bertemu dengan beliau, Klowor?"
"Di... di alam mimpi."
Ludiro sedikit menampakkan sikap tak puas dengan
jawaban Klowor. Ia mengulangi pertanyaannya lagi:
"Di Goa Malaikat, maksudmu" Atau di mana?"
"Aku belum pernah melihat seperti apa yang na-
manya Goa Malaikat itu, Paman."
"Hemm..." Lalu...?"
"Yah... cuma bertemu di alam mimpi, Paman. Aku
merasa bertemu dengan beliau, dilatih silat dengannya dan diserahi Cambuk Naga
untuk menjadi pusaka pe-ganganku."
"Di alam mimpi?"
"Benar. Aku sering bermimpi bertemu dengan tokoh-tokoh di dunia persilatan.
Bahkan, sebenarnya aku ini murid dari Jaka Bego."
"Hah..."! Jaka Bego...!" Ludiro terheran-heran dan kaget.
"Jaka Bego itu dewa!" tegas Ludiro kemudian.
"Memang. Dia adalah Dewa Seribu Mimpi, itu menu-
rut pengakuannya di alam impianku. Dan... dialah Pen-
dekar Agung yang ingin kuikuti jejaknya. Aku ingin
menjadi muridnya, tapi harus menjajal dulu ilmunya
Lanangseta, kalau aku menang, aku akan dijadikan
muridnya, tapi kalau aku kalah maka aku harus mau
menjadi murid Lanangseta. Ternyata aku kalah, Paman.
Tetapi, Guru Lanangseta seakan segan menerima aku
sebagai muridnya."
Ludiro manggut-manggut. Matanya menerawang, ba-
gai teringat masa-masa bersama Lanangseta, sebelum
Lanangseta menikah dengan Kirana. Ah, ada kerinduan
yang menyentuh hati Ludiro, tapi sebagai orang yang
ingin tenang, ia harus menahan kerinduan tersebut,
yaitu kerinduan bertempur membasmi kelaliman ber-
sama Lanangseta.
Hanya saja, ada satu hal yang membuat Ludiro men-
jadi terheran-heran serta tak habis pikir: mimpi. Ini sungguh aneh jika Putri
Ayu Sekar Pamikat menurun-kan ilmunya kepada seseorang melalui mimpi. Alangkah
ajaibnya. "Apakah sampai sekarang Lanangseta tidak mau
menerima kamu sebagai muridnya?"
"Masih disangsikan, Paman. Saya belum pernah
mendengar sendiri Guru menyebutku sebagai murid."
"Kemudian...?"
"Kemudian saya buktikan bahwa dia pun hadir da-
lam impian saya dan mengajarkan jurus-jurusnya lewat
mimpi." "Jadi, ada beberapa jurus Lanangseta yang sudah
kau kuasai?"
"Benar, Paman."
"Jurus apa saja itu?"
"Jurus Lindung Bumi, jurus Tebar Besi, dan...."
"Jurus Lindung Bumi sudah kau kuasai"!" Ludiro kaget lagi bercampur heran.
"Benar, Paman. Guru Lanangseta itulah yang mengajarkan lewat mimpi, yaitu ketika
ia berbicara dengan
Jaka Bego."
"Wah... wah... wah...."
"Kenapa, Paman?"
"Itu berarti kau sudah menjadi murid Jaka Bego,
Dewa Seribu Mimpi!"
"Ah, masa begitu, Paman?"
"Iya. Sebab semua jurus, semua ilmu, kau peroleh dari mimpinya. Maksudku, dari
impianmu yang diatur
oleh Jaka Bego. Hanya saja, ingat-ingatlah...! Kalau kau sudah menjadi Pendekar
Cambuk Naga, kau harus sudah siap bertarung dengan siapa pun. Sebab, pemegang
Cambuk Naga, adalah musuh kejahatan di mana pun
berada. Jadi, siapa memegang pusaka itu, maka ia akan mempunyai banyak musuh.
Kalau tak hati-hati, kau
akan mati!"
"Gawat...!" Klowor menggumam dalam hati.
* * * 4 Seperti memang sudah diatur oleh garis ketentuan
hidup, bahwa perjalanan Raden Klowor ke desa Punding
memakan waktu 40 hari pulang pergi. Sebenarnya, ka-
lau ditempuh jalan kaki dari Puri Bukit Bulan, tempat Lanang dan keluarganya
tinggal, menuju rumah Ludiro,
bisa memakan waktu 20 hari. Tetapi, agaknya perjala-
nan Raden Klowor itu ada kaitannya dengan Semadi
Sabar-nya yang sedang dilakukan. Di dalam perjalanan
itulah, Raden Klowor dicoba oleh alam, dicoba oleh kehidupan, dibenturkan kepada
berbagai macam persoa-
lan yang harus dilalui dengan kesabaran. Rupanya Ra-
den Klowor bukan orang yang gampang menyerah. Ia
tangguh. Kukuh. Tabah. Sehingga, tepat hari keempat
puluh ia sampai di hadapan Lanangseta kembali, itulah hari akhir dari Semadi
Sabarnya. Tentu saja kehadiran Raden Klowor menimbulkan
banyak tanda tanya dan perhatian besar bagi Lanangse-
ta dan istrinya. Sebab, Klowor hadir dengan wajah bo-
nyok, banyak luka dan memar di sana-sini. Ada luka
yang sudah kering, ada luka baru, ada luka yang dalam proses penyembuhan.
"Apa yang terjadi selama perjalananmu, Klowor?"
tanya Kirana sambil menggendong bayi lelakinya.
"Banyak sekali, Bibi. Saya disiksa oleh perjalanan.
Dan, saya tak pernah bisa melakukan pembalasan."
"Kenapa?"
"Kesabaran itulah yang membuat saya seperti bola, Bibi."
"Lalu, apa kesimpulanmu?" Lanang bertanya.
"Sabar itu sama dengan bonyok, Guru!"
Lanangseta dan istrinya tertawa mendengar jawaban
itu. Bayi yang digendong itu tidak ikut tertawa, karena
ia belum tahu mengapa manusia harus tertawa.
"Klowor...." kata Lanangseta. "Sebenarnya bukan begitu kesimpulan dari bersabar.
Kesimpulan yang perlu
kau ketahui, bahwa bersabar itu adalah sesuatu yang
berat dilakukan. Untuk menjadi sabar, kita harus me-
lewati kenyataan-kenyataan yang ada dalam kehidupan
manusia. Kita harus merasakan nafsu manusia yang
tercurah di hadapan kita. Dan, kita akan tahu, bahwa
kesabaran itu sebenarnya kunci utama dari perda-
maian. Mungkin kalau tidak berlaku sabar, akan terjadi perang terhadap orang-
orang yang menghinamu, me-mukulmu dan yang menyepelekan kamu. Tetapi, den-
gan berdiri sebagai orang sabar, kau telah menghindari seribu macam permusuhan.
Menghindari permusuhan,
adalah awal dari menuju perdamaian."
Raden Klowor yang duduk bersila di serambi depan,
seakan sedang menerima wejangan tentang sabar di da-
lam kehakikian hidup. Lanangseta berdiri dengan ber-
sandar pada tiang serambi, memandang ke depan, lurus
pada batas cakrawala di ujung laut. Namun, di dalam
hatinya ia mengagumi tekad Raden Klowor dan keber-
hasilannya melakukan Semadi Sabar selama 40 hari,
tidak marah, tidak melawan dan tidak membangkitkan


Pendekar Cambuk Naga 14 Prahara Raden Klowor di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

kemarahan orang lain. Lanang sendiri merasa belum
tentu sanggup melakukan hal itu.
"Guru, apakah dengan begini saya sudah berhak
memiliki pusaka Cambuk Naga?" tanya Klowor.
"Bagaimana menurut Paman Ludiro?"
"Barangkali memang hanya sayalah pemegang Cam-
buk Naga yang abadi. Dan, dengan begitu, maka saya
berhak menyandang gelar Pendekar Cambuk Naga...."
"Kalau memang itu pantas untuk kamu, ambillah
pusaka itu, dan perangilah kejahatan di mana pun kau
berada!" Senyum kegembiraan mekar di bibir Raden Klowor
yang masih pecah-pecah dan mulai kering itu.
Tetapi ketika Raden Klowor bertanya, "Apakah saya sudah resmi menjadi murid Guru
dan diakui"!"
Lanangseta hanya menggumam, kemudian menja-
wab pelan: "Di sini, aku merasa tidak mempunyai murid. Tapi di dalam impianmu, mungkin kau
adalah muridku, Klowor."
"Oh, terima kasih, Guru. Terima kasih...! Guru benar-benar manusia yang murah
Gajahmada 9 Patung Dewi Kwan Im Karya Kho Ping Hoo Kuda Besi 2
^