Sang Penebus 17
Sang Penebus Karya Wally Lamb Bagian 17
Aku mengangguk. "Kami pergi nonton film, lalu pergi ke swalayan five-and-ten
untuk membeli soda. Dan kami dalam perjalanan pulang. Naik bus. Dan ... dan pria
gila ini juga naik. Berjalan ke belakang dan duduk di seberang kami ... di
seberang Thomas dan aku. Dia duduk di sebelah ibuku."
"Teruskan, Dominick. Kau aman di sini. Lepaskan."
"Dan dia mulai ... merabanya. Menyentuhnya. Mengendusnya."
"Jadilah dirimu di bus saat itu untuk beberapa saat. Apa kau takut?"
"Ya." "Marah?" "Ya!" "Apa yang dilakukan ibumu, Dominick" Pria itu menyentuhnya dan dia"
"Diam saja! Itulah yang dilakukannya, diam! Dia duduk tak bicara apa pun karena
dia sangat ... sangat lemah dan
Dr. Patel mengulurkan kotak tisu padaku. "Dia tidak menjerit" Dia tidak berdiri
dan mengatakannya pada sopir bus?"
"Tidak! Dan aku benci itu! .... Dia selalu takut."
"Di bus. Di rumah dengan Ray."
"Itu tidak adil! Aku masih anak-anak!"
"Apa yang tidak adil, Dominick?"
"Aku harus mempertahankan kami bertiga. Diriku
sendiri, dia, dan Ma. Dan bahkan saat itu ... bahkan setelah yang kulakukan ...."
Aku tersedu sekarang. Aku tak bisa menahan diri.
"Dan bahkan meskipun kau melindungi ibumu dan kakakmu berjuang untuk ?mereka ibumu masih lebih mencintai kakakmu dibandingkan kau?"
?Kepalaku mengangguk-angguk. Aku tak bisa bicara. Tak bisa mengatakan
kebenarannya. The boys have the muscles,' The coaches have the brains! The girls have the sexy
legs so let's play the game! (Anak laki-laki punya otot! Pelatih punya otak!
Gadis-gadis punya kaki seksi ayo segera mulai (bertanding)!)
Putri Sheffer, Jesse, menggoyangkan pom-pomnya dengan sungguh-sungguh. Dia sudah
menganggapku teman bahkan sebelum aku menginjakkan kaki ke rumahnya. Selama
setengah jam pertama kunjunganku, aku dibawanya ke ruang bawah tanah untuk
melihat tikusnya, dan ke kamar atas untuk melihat Barbienya. Sekarang aku di
halaman, sehingga aku bisa melihat gerakan cheerleader Midget Footballnya.
Sheffer dan Monica berdiri mengapitku sementara Jesse jungkir balik. "Teoriku
adalah, Olivia-Newton John melahirkan pada hari yang sama denganku dan bayi kami
tertukar," kata Sheffer bergumam. "Tak ada penjelasan lain."
Monica adalah wanita setinggi enam kaki dari Kittery. Dia dan salah satu teman
wanitanya mempunyai bisnis perbaikan rumah bernama Womyn's Work.
"Jadi bagaimana bisnismu?" tanyaku padanya, daguku mengangguk ke arah pikapnya
yang diparkir di halaman. Jesse baru saja jatuh saat jungkir balik dan lututnya
tergores. Dia dan ibunya masuk ke dalam untuk menempelkan Band Aid di lukanya.
Monica mengangkat kedua tangannya dan memberiku isyarat jempol terbalik.
"Dua tahun lalu, saat kami memulai, kami mengira bahwa dengan ekonomi seperti
ini semua orang mempertahankan yang mereka punya memilih memperbaiki daripada
?membeli baru. Tapi bisnis lebih sulit daripada yang kami duga. Partnerku dan aku
sebenarnya bagus benar-benar bagus tapi kami harus melawan prasangka orang."
? ?"Seperti apa?" kataku.
"Seperti, kau butuh penis untuk bisa mengayunkan palu atau meruntuhkan dinding."
Monica tertawa. "Bukan maksudku menyinggungmu, hombre. Lisa bilang kau tukang
cat." "Secara teknis," kataku. "Mungkin tak lama lagi."
"Itu juga yang dikatakan Lisa." Dia dan rekan bisnisnya berusaha melakukan
sedikit diversifikasi, katanya melakukan pekerjaan menata halaman, mungkin juga?mengecat. Mereka akan memutuskannya pada akhir musim nanti apakah mereka bisa
meneruskan bisnis. "Kalau tidak, aku selalu bisa kembali ke pekerjaanku dulu,"
katanya. "System analyst. Membosankan."
Setelah makan malam, Jesse harus memberiku dua pelukan selamat malam sebelum
Monica menggendongnya ke atas untuk tidur. Sheffer mengikuti mereka dengan
setumpuk cucian. Monica turun duluan.
"Jesse anak yang manis," kataku. "Miss Cheerleader, ya?"
"Miss Merepotkan biasanya," kata Monica. "Tapi dia anak baik. Walau lemparan
bisbolnya seperti anak perempuan."
Aku tersenyum. Bertanya bagaimana dia dan Lisa ketemu.
Di tempat penampungan wanita di Easterly, katanya. Dia sedang melakukan
pekerjaan tukang kayu gratis untuk penampungan itu setahun sebelumnya dan
akhirnya menjadi anggota Dewan Direkturnya.
"Yeah" Lisa juga di dewan?" kataku.
Monica mengalihkan pandangannya. "Tidak. Hei, kau mau bir?"
Kami pergi ke dapur. Mengobrol tentang enak tidaknya mempunyai bisnis sendiri.
"Hei," kataku. "Kalau aku memutuskan untuk menjual peralatan mengecatku, kau
tertarik?" Monica bilang bergantung peralatannya, bagaimana kondisinya dan
apakah aku setuju dengan pembayarannya. Kalau mereka memulai pekerjaan sambilan
mengecat, mereka pasti bisa membeli peralatan baru.
Aku suka dia. Suka berada di sana malam itu.
Aku merasa senang di luar dugaanku. Saat aku melihat arloji, jam sudah
menunjukkan pukul sebelas lebih.
Sheffer mengantarku sampai ke mobil. Dia bilang padaku bahwa saat berusia tiga
belas tahun kakak lelakinya yang sulung meninggal karena leukemia. "Dia delapan
tahun lebih tua dariku," katanya. "Pahlawanku. Tapi ya Tuhan, aku tak bisa
membayangkan bagaimana rasanya kehilangan kembaranmu."
"Itu seperti ... seperti kehilangan sebagian dirimu. Aku tak tahu. Dalam banyak
hal kami sangat berbeda. Yang bukan masalah bagiku. Tepat seperti yang
kuinginkan. Tapi selama hidupku, aku ... aku merasa menjadi separuh dari sesuatu,
kau tahu" Sesuatu yang spesial yang unik bahkan dengan segala komplikasinya.
? ?Wow. Lihat. Kembar .... Dan sekarang kekhususan itu keutuhan itu tak ada lagi.
? ?Jadi rasanya aneh. Perlu waktu untuk terbiasa .... Bukannya menjadi adiknya itu
mudah. Bahkan sebelum dia sakit. Dokter Patel bilang aku berduka untuknya untuk
?Thomas dan untuk keutuhan itu juga."
?Sheffer mengulurkan tangan dan memegang tanganku.
"Dia bilang aku harus terbiasa pada status baruku. Yang berhasil hidup. Si
kembar yang sendirian."
Aku bertanya apakah Sheffer ingat hari ketika mereka melepaskan Thomas dari
Hatch. Bagaimana dia berusaha memperingatkanku untuk tidak membiarkan
kesombonganku menghalangi
keselamatan kakakku. "Oh, Dominick," katanya. "Akulah yang sombong. Kau kira aku tidak terkena
penyakit sok kuasa" Menjadi orang yang kuat" Si kembar yang tidak sakit" .... Itu
adalah yang sedang kami bicarakan Dr. Patel dan aku apa yang harus kulakukan ? ?dengan kesombongan dalam diriku. Semua perasaan sok benar ini. Perasaan itu ada
di sana diam tak melakukan apa pun. Seperti aku kurasa."
?Sheffer memelukku. Menggoyang-goyangkanku sedikit. Rasanya menyenangkan dipeluk
seperti itu dipeluk seseorang yang menjadi temanku.
?"Aku akan baik-baik saja," kataku. "Hei, ngomong-ngomong, aku suka pacarmu. Dia
mungkin akan membeli kompresorku."
Aku lelah ketika sampai di rumah. Mematikan lampu dapur dan langsung ke kamar.
Langsung tertidur-fram/ Tapi tiba-tiba pada tengah malam, aku terbangun karena haus. Meraba-raba jalanku
ke dapur untuk segelas jus. Mesin penjawab telepon berkedip-kedip, terpantul di
panggangan roti, microwave. Blink, blink, berhenti. Blink, blink, berhenti. Aku
tak melihatnya sebelumnya. Aku menekan tombol play dan berdiri mendengarkan.
Penelepon pertama adalah Joy. Apakah aku sudah menerima suratnya dulu" Foto
Tyffanie yang dia kirim" Apakah aku tertarik melihat bayinya
langsung" Kalau ya, sebaiknya aku meneleponnya. Mungkin kita bisa bertemu di
tengah jalan atau semacamnya. Joy mengatakan nomornya pelan-pelan dan
mengulanginya lagi. Pesan kedua adalah Dr. Azzi. "Dokter bedah ayah Anda," katanya.
Operasinya berjalan lancar: tak masalah. Dia mengamputasi kakinya sedikit di
atas lutut, seperti dugaan semula. Dia menyesal tak bertemu denganku di rumah
sakit. Saat dia pulang dari rumah sakit pukul delapan malam tadi, ayahku masih
di bawah pengaruh obat bius, tapi beristirahat dengan nyaman.
Di atas lutut" Diamputasi" Apa yang dia bicarakan"
Layanan penjawab telepon Dr. Azzi mengatakan bahwa dia tak bisa dihubungi
kecuali kondisi darurat, tapi kadang dia memeriksa pesannya pada malam hari
sebelum tidur. Wanita yang menerima teleponku berkata bahwa dia akan mengatakan
pada Dr. Azzi kalau aku menelepon.
Itukah sebabnya Ray terus meneleponku" Karena itukah dia pincang"
Diamputasi .... Dan mungkin aku tahu apa yang terjadi kalau aku punya etika untuk membalas
teleponnya. Dia menanam tulip di makam Angela.
Mengganggu aku dan kakakku sepanjang hidup kami.
Aku membuatnya malu hari itu saat Thomas dimakamkan.
Dia mematahkan lengan ibuku .... Tengah malam itu, aku pergi ke kamar. Menjatuhkan
diri di ranjang dan meraih ke bawah. Mengeluarkan manuskrip Domenico. Aku duduk.
Membukanya. Aku akan menyelesaikannya, tak peduli apa isinya. Tak peduli kalau manuskrip ini
membuka rahasiaku. Empat Puluh Lima 17 Agustus 1949 Jadi dengan membuka kembali kuburan pelukis kaca bastardo yang malang itu, aku
mendapatkan apa yang kuinginkan. Aku sudah menunjukkan pada mereka berdua tak
ada gunanya mempermainkan Tempesta.
Aku membuat peraturan baru. Ignazia boleh tidur di kamar belakang pada hari-hari
kerja, tapi sekarang harus mengunjungiku di kamarku di atas setiap Sabtu dan
Minggu. Sedikit kenyamanan sekali atau dua kali seminggu untuk mengganti semua
yang telah kuberikan padanya tidaklah banyak; kataku mengingatkan dia; dalam
pernikahan seorang istri harus memberi selain mengambil. Dengan sedikit kehati-
hatian, dia bisa melakukan kewajibannya untukku tanpa perlu hamil. Dan kalau
terjadi kecelakaan, maka mungkin itu kehendak Tuhan. Mungkin jantungnya lebih
kuat daripada yang dikatakan dokter 'Mehcano itu. Kau mungkin bisa menjadi nonna
berambut putih dengan selusin cucu membuntutimu, kataku padanya. Tuhan Yang
Mahabesar memberkati kehidupan keluarga. Tuhan Maha Memberi.
Ignazia mengancam untuk pergi ke temanku Bapa Guglielmo dan mengadukan peraturan
baruku. "Kalau kau ingin aku menyimpan rahasiamu saat di Italia," kataku, "maka
sebaiknya kau simpan rahasia rumah ini. Tak ada pengaduan saat mengaku. Dan juga
tak ada pengaduan pada Signora Tusia di sebelah atau pada dottore yang membuatmu
takut padaku sejak awal." Terlebih lagi, kataku, aku tak mau dia mengobrol lagi
dengan teman-teman wanita 'Mericana-nya di sekitar rumah. "Mereka akan melihat
mukamu yang sedih dan berpikir kau lebih rendah daripada mereka. Para wanita itu
akan suka melihat rumah orang Italia yang bermasalah. "Mericani baik di depanmu,
tapi di belakangmu mereka memanggilmu "orang Italia kotor". Mereka ingin kita
gagal. Mereka menunggu itu terjadi."
Kereta bayi mahal dari Sears and Roebuck itu berdiri tak berguna di lorong
depan. Ignazia mematuhi aturan baruku dan anak itu semakin besar dan hidup kami
berlanjut. Di sekitar Three Rivers, aku semakin sibuk: mendirikan dewan, menjadi anggota
komisi ini, petugas itu. Aku tak lagi menemui Josephine Reynolds. Terlalu sibuk.
Aku memberikan saran pada para keluarga yang baru datang dari Italia dan paisani
dari pabrik yang ingin pindah dari bedengan rumah milik American Woolen and
Textile ke rumah mereka sendiri. Kalau aku meminta imbalan bagi setiap saran
gratis yang kuberikan, aku pasti jadi
jutawan! Ini adalah imbalan yang kudapat karena pandai mengatur uangku dan
sukses dalam hidup. Setengah kota ingin mendapatkan saran dari Domenico Tempesta
tentang bagaimana menjalani hidup!
Pada musim semi tahun 1924, aku terpilih menjadi // Presidente yayasan Sons of
Italy. (Foto di koran, halaman dua. Itu sedikit mengesalkanku. Graziadio menjadi
presidente tahun kemarin dan mereka memasang foto wajah gendutnya di halaman
pertama.) Di American Woolen and Textile beberapa biang kerok datang dari New
Haven dan menghasut untuk mendirikan serikat pekerja bagi buruh pencelup. Aku
tak suka orang luar itu; mereka memasukkan gagasan gila di kepala pekerjaku.
Ketika Domenico Tempesta bicara menentang serikat itu, maka rencana itu
berantakan. Sang agen, Baxter, membelikan aku sebotol wiski dan menyuruh tukang
jagal mengirimkan ayam kalkun yang sudah disembelih ke rumahku. (Dagingnya
alot). Dia sudah bicara dengan ayah mertuanya, kata Baxter; sekitar setahun dua
tahun mendatang ada rencana untuk mempromosikanku dari bos pencelup menjadi
supervisor malam pabrik nomor 2.
Para politisi juga bicara padaku Demokrat dan Republik. Shanley sang walikota ?meneleponku suatu sore dan mengundangku ke kantornya. Dia memintaku duduk di
depan meja oak-nya yang besar dan menyalakan cerutu hampir sepanjang lenganku.
Agar bisa terpilih lagi November nanti dia
harus berjuang keras, katanya. Dia memerlukan setiap suara yang bisa dia
dapatkan. Orang-orang Italia di kota sejak dulu jarang ikut memilih. Dia
bertanya apakah aku bisa membantunya mengubah itu. "Kau sangat dihormati di
komunitas ini, Domenico," kata Shanley. "Dan tentu saja, kalau kau setuju
bekerja untuk kami, mungkin kami bisa memudahkan sedikit perjanjiannya."
Aku memegang topiku di tangan dan berusaha terlihat seperti imigrante stupido
seperti yang dia kira. "Memudahkan perjanjian bagaimana, Yang Mulia?" tanyaku.
Politisi busuk yang ingin mendapatkan sesuatu harus mau memberikan sesuatu juga.
"Oh, kita bisa membahas itu lain kali," kata Shanley. "Sebuah perjanjian
mungkin. Pertolongan untuk ini atau itu. George B. Shanley tak melupakan teman-
temannya atau pemilihnya. Itu seperti menabung uang di bank." Kukatakan padanya
kalau aku akan memikirkan permintaannya.
Dalam perjalanan pulang dari kantor Demokrat berengsek itu, aku ingat pasangan
sombong di SS Napoiitano dua orang yang berdiri dan memandang pelayan ?menumpahkan air untuk membangunkanku. Aku juga berpikir tentang apa yang
kuteriakkan pada pasangan penumpang dan pelayan sombong itu saat aku terhuyung-
huyung turun tangga: Ada orang yang naik, dan ada orang yang turun. Dan itu
terbukti benar! Aku datang ke negara ini dan berhasil menjadi orang. Paisani
mendengarkan saranku dan sekarang politisi 'Mericano menjilat
pantatku. Setiap orang ingin jadi teman Domenico Tempesta. Aku dipandang sebagai
orang yang bermartabat dan punya status di seluruh Three Rivers, Connecticut.
Di seluruh kota, memang, tapi tidak di dalam rumahku sendiri. Di rumah, istriku
memasak, bersih-bersih dan membuka kedua kakinya untukku setiap malam Sabtu dan
Minggu seperti yang kuperintahkan. Dia patuh menjalankan kewajibannya. Aku sudah
menghilangkan sifat pemberontaknya. Tapi dia menyerah padaku seperti si gadis
Hat-tie di Bickel Road dengan distrazione, indifferenza ... dengan kebencian di
?matanya. Dan selalu, ketika aku terbangun esok paginya, dia sudah pergi dari
ranjangku, turun ke bawah untuk menjahit di kamar belakang atau menyikat dapur
atau mengurusi anaknya anak berbibir sumbing buah perbuatan istriku dengan
?pengangguran rambut merah di Brooklyn.
Ignazia tak lagi berjalan-jalan ke kota untuk melihat-lihat etalase toko dan
belanja makan malam. Sekarang dia belajar menggunakan telepon dan mendiktekan
pesanannya pada Hurok. Wajah dan telinganya akan memerah malu saat dia
meneriakkan pesanannya ke receiver, mengulang-ulang nama barang dan merk hingga
Hurok atau istrinya mengerti apa yang dia inginkan, atau hingga dia membanting
gagang telepon dan menangis. Ignazia semakin mengundurkan diri dari cara-cara
'Mericano; dia hanya menguasai sedikit bahasa Inggris, karena lebih memilih
mengobrol dengan teman kurusnya itu. Tapi kepergian si Monyet telah membuatnya diam.
Ucapan bahasa Inggrisnya tak bisa diperbaiki. Bahkan bahasa Italianya juga
terbatas karena keterbatasan kecerdasan jenis kelaminnya dan dialek kampung
halamannya. Aku membawa koran Italia ke rumah kami, La Sicilia, La Nave. Aku
sendiri membacanya dari depan ke belakang, tapi Ignazia tak peduli pada berita
dari Italia. Dia semakin terkucil.
"Katakan pada istrimu untuk datang ke sebelah dan mengunjungiku, Domenico," kata
Signora Tusia suatu hari di gerbang depan. "Dia sepertinya mengira dinding yang
memisahkan rumah kita adalah Lautan Atlantik!" Tapi Ignazia sudah tak tertarik
berkunjung. Juga tak tertarik menghadiri pesta atau acara sosial sebagai istri
dari Itaiiano yang paling dihormati di Three Rivers, Connecticut. Dia bahkan
tidak menghadiri pengangkatanku sebagai presidente of Figii d'Itaiia. Awalnya
Ignazia bilang dia akan pergi lalu malamnya dia tak mau pergi. Dia terus
menggelengkan kepala sehingga aku berhenti memintanya menemaniku. Dia mengunci
diri di dalam, mengepel, bersih-bersih, dan bermain dengan putrinya yang sumbing
dan bermuka kelinci. Setelah beberapa saat, Ignazia bahkan tak mau menjawab
telepon kalau berdering. Putrinya dan tugasnya sehari-hari dua hal yang dia
lakukan dalam hidup. Suatu malam, sebelum aku berangkat kerja, Ignazia meletakkan sup ayam, poienta,
semangkuk escaroie, dan miju-miju di depanku untuk makan
malam. Aku makan dan makan, dan saat aku memasukkan sesendok poienta terakhir ke
mulutku, gigiku menggigit sesuatu yang keras. Aku meludahkan butiran abu-abu
keras ke tanganku. Ignazia sedang di kamar, menyanyikan lagu pada Concettina dan memainkan boneka
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
anak itu di depan wajahnya. Istriku itu memperlakukan suaminya seperti anjing
dan anaknya seperti seorang putri.
"Apa ini?" kataku.
Ignazia memicingkan mata. "Seperti kerikil kecil." "Ini tadi di makananku."
"Di miju-miju?" Dia mengangkat bahu. "Kadang ada batu yang terbawa."
"Bukan di miju-miju," kataku. "Di poienta."
Dia mengangkat bahu lagi. "Mungkin cuilan batu gilingan saat mereka menghaluskan
jagungnya." Dia mengulurkan tangan. "Berikan padaku. Aku akan membuangnya.
Untung gigimu tak patah."
Aku menggenggam kerikil itu. "Nggak usah," kataku padanya. "Aku akan
membuangnya." Tapi, aku membungkusnya dengan saputanganku dan memasukkannya ke
sakuku. Ignazia tak pernah menunjukkan cintanya padaku, kataku dalam hati, tapi
dia juga tak menunjukkan kebencian yang sangat. Aku memberikan dia dan anak itu
semua yang mereka butuhkan. Bodoh sekali kalau dia berusaha mempermainkanku.
Malam itu saat kerja, aku terus memasukkan tanganku ke saku untuk merasakan
kerikil itu, menggerak-gerakkannya di antara jempol dan
jariku. Apakah ini kerikil atau pecahan kaca" Kaca bening, kataku dalam hati.
Benda ini buram. Tapi ....
Apa lagi yang telah dia berikan padaku untuk kutelan" Awal Minggu perutku
kembung; Sabtu sebelumnya aku pergi tidur dengan perut sakit. Aku menyalahkan
anggur yang jelek, tapi mungkin itu bukan karena anggurnya. Hingga pertengahan
shift-ku malam itu, aku meyakinkan diriku sendiri kalau istriku berusaha
meracuniku bersiap-siap membunuhku seperti yang dilakukannya pada suami ?pertamanya dulu, Gallante Selvi, a buon'anima. Apakah sebaiknya aku pulang dan
memukulnya agar dia berterus terang" Apakah sebaiknya aku menemui Bapa Guglielmo
besok pagi" Menyatakan kecurigaanku pada pastor itu dan meminta nasihatnya" ....
Tidak, itu tak ada gunanya. Domenico Tempesta adalah pria yang memberikan
nasihat sekarang. Guglielmo mungkin akan bilang padaku untuk mengampuni istriku
seperti Yesus yang pemaaf terus menelan masakannya yang beracun dan sebagai
?penebusan dosa, menuliskan resepnya! Aku bersumpah kalau sampai istriku
membunuhku, aku akan membuatnya membayar mahal. Tapi aku membutuhkan bukti.
Ketika arloji sakuku menunjukkan pukul 2.00 pagi, aku pergi ke kantor dan bilang
pada Baxter kalau aku sakit gigi dan harus pulang. Aku tak suka meninggalkan
pekerjaan hanya melakukannya dua kali selama enam belas tahun bekerja di
?American Woolen and Textile. Tapi kalau betina licik itu mencoba meracuniku, aku
harus bertindak cepat. Mencari bukti saat dia tidur. Menangkap basah sebelum dia tahu aku mencurigainya
.... Saat aku sampai di rumah, aku melepaskan sepatuku di pintu depan dan menyalakan
lampu minyak, menyalakannya sangat kecil. Mengendapendap masuk rumah hanya
dengan berkaus kaki, dan masuk ke dapur. Pelan-pelan seperti pencuri, aku
membuka laci, mengorek-ngorek tempat sampah, meraba-raba ke atas rak. Aku
mencari bubuk kaca atau kawat timah atau apa pun resep beracun yang dia gunakan
padaku. Ignazia ada di kamar belakang: aku mendengarnya mengerang dalam tidurnya. Aku
berhenti dan menunggu, lalu mulai mencari-cari lagi. Dia mengerang untuk kedua
kalinya. Lalu terdengar suara bukan suara istriku.?Kalau uskup sialan itu tidak mengunjungiku pagi itu bertahun-tahun lalu kalau
?hinaannya tidak membuatku marah dan melemparkan adukan semen padanya maka rumah
?nomor 66-68 Hollyhock Avenue tak akan pernah mengalami kutukan yang tak bisa
diuraikan oleh Guglielmo dan semua air suci di dunia ini! Kalau McNulty tidak
melanggar propertiku, aku tak akan pernah melihat apa yang kulihat malam itu,
ketika aku mengendapendap seperti pencuri di rumahku sendiri dan masuk rumahku
sendiri hanya dengan memakai kaus kaki. Pada malam mengerikan itu, uskup
berengsek itu pasti tertawa terbahak-bahak dari Neraka mengetahui apa yang akan
kutemukan. Malam itu, kutukan McNulty pada casa di due appartamenti
menunjukkan buahnya yang paling menyakitkan ....
Aku menerangkan lampu berdiri selama beberapa saat di depan pintu kamar
?belakang, lalu membukanya. Aku mencium baunya sebelum melihatnya bau busuk pipa
?tembakaunya. Awalnya, otakku tak bisa memahami apa yang kulihat; mereka berdua, saling
berpelukan seperti monyet .... Ignazia hingga hari ini aku menangisi dosa yang kau
perbuat sehingga melemparkanmu ke Neraka, atas rasa malu yang kau corengkan pada
nama baikku. Mereka menjerit ketika melihatku, buru-buru turun dari ranjang. "Oh, tidak! Oh,
tidak! Oh, tidak!" jerit Ignazia. Prosperine memeluk seprai di depan tubuhnya
dan meraih gunting jahit Ignazia.
Monyet bau sialan itu matanya bersinar liar penuh kebencian dan ketakutan.
Pelan-pelan dia menuju ke pintu, dengan gunting terhunus siap menikamku,
sehingga dia bisa melarikan diri. Untung bagi dia dan untung bagiku juga. Kalau
aku langsung mengerti perbuatan tak wajar yang kulihat kalau aku langsung bisa
?bertindak terhadap apa yang kudapati aku mungkin akan langsung mencekiknya.
?Mungkin berakhir di koran sebagai suami yang malu karena istrinya ....
Aku menangis. Aku malu mengatakannya, tapi aku harus mengeluarkannya ....
Ignazia berusaha lari dariku juga tidak ke pintu belakang seperti temannya,
?tapi ke atas ke kamar anaknya. Aku berhasil menangkapnya di tengah tangga.
"Jangan sakiti Concettina!" dia memohon.
"Bunuh aku kalau kau mau, tapi jangan menyakiti anak yang tak berdosa!"
Aku menyuruhnya tutup mulut, biarkan aku berpikir. Kepalaku hampir pecah!
Ignazia jatuh berlutut, meringkuk di bawah kakiku seperti kelinci yang
ketakutan. Dia tersedu, tercekik, dan memohon agar aku tidak membunuhnya tidak
?mengirimnya ke Neraka dan membuat Concettina kehilangan ibu.
Aku mungkin memandang padanya sekitar semenit atau lebih, otakku berputar untuk
memutuskan apa yang akan kulakukan bagaimana merespons kebejatan moral yang
?kulihat di kamar belakang dan tak bisa kuhilangkan bayangannya dari depan
mataku. Suami mana yang pernah melihat apa yang kulihat malam itu"
Apakah aku harus memaafkan itu, Padre Guglielmo" Itukah yang akan kau katakan
padaku" Bahkan memaafkan itu" ....
"Berdiri!" perintahku padanya. Menjambak rambutnya dan menariknya berdiri. "Kau
adalah istri Domenico Tempesta, bukan kotoran di lantai. Masuk ke kamar mandi
dan bersihkan dirimu. Hilangkan bau setan betina itu." Ignazia akan terbakar di
Neraka tapi itu tak akan terjadi sebelum aku selesai dengannya.?Malam itu aku mengambil kembali apa yang menjadi hakku mengambil apa yang
?harusnya menjadi milikku, melakukan hal-hal yang hanya bisa dilakukan pria pada
wanita. Dan ketika jeritan Ignazia mungkin terdengar melewati dinding ke
rumah Tusia, aku menekankan sikuku di tenggorokannya dan membungkam mulutnya dan
mengambil lagi apa yang jadi hakku. Milikku, bukan milik Monyet berengsek itu!
Sepanjang malam itu, aku mengambil apa yang jadi hakku!
Esok paginya, aku datang ke rumah Signora Siragusa untuk bertanya apakah si
Monyet bersembunyi di sana. Signora bilang dia tidak melihatnya: kesedihan di
matanyalah yang membuatku percaya padanya, lebih dibandingkan dengan kata-
katanya. Dia memegang lenganku dan menahannya. Apa pun masalah di rumahku, kata
Signora, dia hanya berharap aku tidak membuatnya lebih buruk tidak bertindak
?kejam. "Bah!" kataku dan berjalan keluar pintu depan tanpa menutupnya. Biarkan
penghangat ruangan wanita tua sok ikut campur itu merembes keluar. Apa peduliku"
Urusanku adalah urusan-/cu.
Aku tak pulang. Aku pergi ke tempat pembuangan sampah untuk menemui Yeitz, si
pemulung. Sejak sebulan lalu dia berusaha menjual seekor anjing polisi padaku.
Aku memberikan tiga dolar padanya dan dia memberikan tali dan anjingnya. "Tak
pernah ada anjing penjaga sebaik dia," kata Yeitz. "Pemburu yang baik juga. Tapi
dia bisa jadi sangat kejam. Dia lebih suka membunuh daripada membiarkan
buruannya hidup." Kembali ke rumah, dari saku aku mengeluarkan pakaian dalam yang ditinggalkan
Monyet tak bergigi itu dan melambaikannya di depan hidung anjing itu. Dia
mengendus-endus, lalu membawaku melewati
halaman belakang, menaiki Pleasant Hill, dan masuk hutan. Di tanah terbuka, aku
melihat anjing itu telah membawaku ke bagian utara Rosemark's Pond melewati rute
yang tak pernah kulewati sebelumnya. Anjing itu mulai menggonggong dan merangsek
ke pondok memancing tua Rosemark di ujung kolam. Aku menahan talinya sekuat aku
bisa hingga hampir mematahkan lehernya. Lalu aku membawanya pergi dari sana.
Sekarang aku tahu yang perlu aku ketahui. Tak lama lagi aku akan mendapatkan
vendetta-ku. Bagaimana dia berhasil kembali ke Three Rivers, Monyet kotor itu
akan menyesali karena telah datang ke sini. Aku akan membuatnya menyesal karena
mengambil apa yang jadi milik Domenico Tempesta. Dia akan membayar!
Di rumah, aku memaku pintu belakang dan jendela lantai bawah, dan menanam pasak
besi di halaman depan. Dengan rantai yang pa-ling berat, aku mengikat anjing itu
di pasak. Tak seorang pun keluar masuk rumahku tanpa kuinginkan. Ignazia takut
pada anjing itu takut pada gonggongannya dan bagaimana anjing itu selalu
?melompat dan merangsek padanya dan anaknya setiap kali mereka mengintip di
jendela. Ini adalah anjing yang kuinginkan hanya binatang yang menjaga istriku
?yang tak setia yang suaminya bekerja pada malam hari.
Atas perintahku, Ignazia tidur di atas sekarang. Kami suami istri lagi, seperti
kehendak Tuhan. Aku tak pernah berhenti menginginkannya: passione-ku untuknya
tetap membara bahkan setelah
pengkhianatannya yang kejam itu. Kadang, saat aku memuaskan diriku, aku akan
melihat kembali apa yang kulihat pada malam gila itu: si Monyet dan istriku
saling berpelukan dalam dosa dan penyimpangan. Maka aku akan menyelesaikan
urusanku dengan kemarahan, kadang memukulnya kalau Ignazia menangis, lalu aku
akan turun dari tubuhnya menunggu hingga sedu sedannya berhenti, hingga
?napasnya menunjukkan dia sudah tertidur. Lalu aku akan mendekat padanya dan
berbisik di telinganya. "Mungkin aku telah membuat bayi di dalam perutmu ya" ....
Mungkin aku baru saja menanam benih yang akan meledakkan jantungmu dan
mengirimmu ke Neraka."
Cinta dan benci: aku menanggung beban keduanya karena mencintai istri yang tidak
setia, jadi kami saling membelenggu ....
Sedangkan mengenai mona tak bergigi dan bejat itu, aku membereskannya!
"Wah, Domenico, Temanku! Ada apa sampai aku mendapatkan kehormatan ini, Sir?"
kata Shanley berdiri dari meja walikotanya untuk menjabat tanganku, pagi hari
setelah anjing polisi itu membawaku ke pondok di pinggir Rosemark Pond.
Aku mengatakan pada Shanley kalau aku ingin mempertimbangkan untuk menerima
permintaannya agar aku menolongnya merekrut pemilih Italia untuknya sebelum
pemilihan mendatang. "Berita bagus!" katanya. "Perlu dibicarakan! Duduklah, Tuan! Duduk!"
"Aku mempertimbangkannya," kataku. * Tapi
pertama-tama aku ingin minta bantuanmu."
"Apa pun, Domenico," bastardo licik itu tersenyum sehingga gigi emasnya
terlihat. "Apa pun itu, Teman Baikku."
Aku katakan padanya tentang wanita gila dari Italia yang dulu pernah bekerja di
rumahku dan sekarang mengganggu keluargaku. Aku menjelaskan bahwa istriku dan
aku sudah cukup baik memberikan tempat berteduh untuk dia saat kami menikah,
tapi karena kegilaannya dia jadi melawan kami. Kami sudah berusaha menenggang
keanehannya. Aku mengatakan pada walikota itu kalau dia menggumamkan kutukan,
mengutil. Tapi kemudian dia mengancam akan melukai putri kami. "Meskipun
menyedihkan," kataku, "kami harus mengusirnya dari rumah."
"Tentu saja kau harus melakukannya," kata Shanley. "Kau tak punya pilihan, pria
malang." Setelah itu, aku katakan pada walikota bahwa wanita malang itu sudah jadi gila.
Untuk sementara, dia melarikan diri tak jelas ke mana, tapi sekarang dia
kembali. Kemarin malam, kataku, aku melihatnya mengintip di jendela. Anjingku
dan aku sudah melacaknya hingga di pondok dekat Rosemark Pond, di balik Pleasant
Hill. Aku bekerja pada malam hari, kataku. Aku takut dia bisa melukai istri atau
anakku ketika aku tak ada di rumah untuk melindungi mereka. "Dia gila, tapi juga
licik," kataku. "Dia gila seperti rubah," kata sang walikota menyetujui. Dia mengangkat telepon
dan mulai menelepon Kepala Polisi. "Kau sudah menolong kota
ini dengan melaporkan adanya potensi gangguan publik, Temanku," kata Shanley.
"Aku akan minta agar wanita itu ditangkap dan dipenjarakan sebelum tengah hari.
Aku akan meminta Kepala Polisi Confrey memprioritaskan hal ini."
"Scusa," kataku mengangkat tangan untuk menghentikannya. Pak walikota berhenti,
meletakkan telepon. "Aku berpikir ... kalau dia menghabiskan beberapa hari di
penjara, maka masalahnya hanya teratasi beberapa hari. Kalau dia dimasukkan ke
rumah sakit jiwa yang merupakan tempatnya, maka istriku yang malang dan anakku
bisa keluar rumah tanpa takut lagi. Wanita itu gila. Dia bahkan mengatakan
dirinya seorang penyihir!"
"Kau benar!" kata Shanley, menghantamkan tangannya ke meja. "Kau pria yang
pintar, Temanku. Dan berpikir praktis juga. Kalau dia harus dikurung, sebaiknya
kita membebankannya pada negara bagian daripada kota. Hahaha." Dia meminta
sekretarisnya membawakan no-mor rumah sakit jiwa Three Rivers.
Aku menunggu dan mendengarkan ketika Shanley berbicara di telepon dengan
seseorang, lalu seorang lainnya. "Walikota kota yang indah ini, dialah yang
menelepon, kau berengsek!" teriaknya ke telepon. Lalu Dr. Henry Settle, pezzo
grosso rumah sakit jiwa itu menjawab teleponnya.
Mereka bicara basa-basi lalu Shanley akhirnya langsung ke pokok masalah. Dia
menangkupkan tangan ke receiver dan bertanya padaku.
"Apa dia punya keluarga di sini" Kalau dia tak mau
menandatangani surat pendaftarannya mereka membutuhkan keluarga untuk
melakukannya kerabat sedarah untuk memasukkannya dan mengeluarkannya lagi saat?dia sembuh."
Kukatakan padanya sebuah mukjizat kalau sepupu gilaku itu bisa sembuh kalau
?saja bibiku yang malang di Italia melihat putrinya sekarang dia akan menangis
sedih. Shanley mengedipkan mata padaku.
Aku bertemu dengan polisi dan dottore di rumah sakit jiwa. Mereka
mengeluarkannya dari kereta, memberontak dan menggeliat-geliat berusaha
melepaskan diri dari jaket pengikatnya. Ketika si Monyet melihatku, dia
meneriakan semua umpatan yang ada di buku setan!
Setelah aku menandatangani surat-surat yang mereka butuhkan, aku melepaskan
topiku dan memegangnya di tangan, berpura-pura sebagai imigran bodoh lagi.
"Seusai," bisikku pada penjaga. "Bolehkah aku mengucapkan selamat berpisah pada
sepupuku yang malang?" Penjaga bodoh itu mengangkat bahu dan menyeberangi ruangan. Aku mencondongkan
tubuh mendekati Prosperine, pura-pura memberikan ciuman selamat perpisahan pada
cugina-ku. Tapi, aku berbisik di telinganya. "Ada banyak cara untuk membalas
Monyet yang telah mempermainkan Domenico Tempesta!" bisikku. Lalu aku meludahi
wajahnya sebagaimana dia meludahi medaglia-ku. Aku meninggalkannya memberontak,
menjerit, dan mengumpat dalam bahasa Italia yang paling kasar. Aku membalas
Monyet itu untuk selamanya!
Aku tak pernah melihat si Monyet lagi. Sejauh yang kutahu, dia masih tinggal di
tempat untuk orang gila itu. Masih makan dan bernapas, membayar ganjaran karena
telah mempermainkan Tempesta. Aku tak pernah diberi tahu dia sudah mati, tapi
kalau dia sudah mati, maka aku meludahi kuburnya ....
Selama dua puluh enam tahun sekarang melewati tragedi dan kedukaan melalui ? ?usaha keras, kesuksesan, dan jam-jam aku tak bisa tidur aku selalu mengingat
?sedikit kepuasan itu: kenangan saat aku memenangi perangku melawan si Monyet,
ketika aku menggunakan kepintaran yang dianugerahkan Tuhan untuk menghukum setan
betina itu atas dosanya pada Domenico Tempesta.
Bulan September tahun itu, uskup agung di Hartford mengangkat Bapa Guglielmo
sebagai uskup dan memindahkannya ke Bridgeport. Misa untuk Guglielmo diadakan
untuk menghormati pengangkatannya, lalu pesta sesudahnya. Aku menerima undangan
yang cantik, tapi tak bisa datang ke Bridgeport. Aku terlalu sibuk menyisir West
Side dan daerah sekitar pabrik, mengetuk pintu dan mengubah paisani menjadi
pendukung demokrat untuk Walikota Shanley.
Bulan Oktober, Signora Siragusa meninggal dalam tidurnya dan aku membantu putra-
putranya membawa peti matinya ke makam. Aku menangis untuk signora tua itu
seakan-akan dia ibuku sendiri seakan-akan darah dagingnya sama denganku. Kau lihat, Guglielmo" Aku
?masih punya air mata dalam diriku. Masalah yang diberikan Tuhan dan si Monyet
padaku tidak membekukan hati Tempesta! Putra-putra signora tentu saja bersyukur
karena orang terhormat sepertiku membantu mengangkat peti mati ibunya.
Bulan berikutnya, Shanley kalah dalam pemilihan meskipun aku sudah berusaha
keras mendukungnya. Kalah karena usahaku, demikian kata bangsat tak tahu terima
kasih itu pada dua kroninya, Rector dan O'Brien, tepat di depan wajahku. Kami
berempat duduk di kantornya pagi setelah pemilihan, tiga bajingan itu merokok
cerutu. Shanley tak menawariku cerutu. Aku tak pantas lagi mendapatkan cerutu
pana-tela murahannya. "Kalian ingin tahu kenapa kita kalah, anak-anak?" kata Shanley. "Kita kalah
karena tiga Italia bodoh bernama Sacco, Vanzetti, dan Tempesta. Pertama, teman
kita ini menghabiskan hampir lima ratus dolar mendaftar setiap orang Italia di
kota ini yang masih bernapas dan beberapa yang sudah mati. Lalu, dua hari
sebelum pemilihan, dia memutuskan untuk membuka mulutnya ke koran tentang
bagaimana para bajingan anarkis di Massachusetts itu adalah korban malang tak
berdosa. 'Apakah Walikota Shanley mempunyai perasaan yang sama tentang hal ini,
Mr. Tempesta"' 'Oh ya. Walikota mendukung semua warga Amerika Italia.' Seakan-
akan aku harus mengelap pantat setiap orang Italia murahan di kota ini. Pasti
tak akan begitu buruk kalau orang
Italia bodoh yang kita bayar satu dolar per orang untuk mendaftar itu cukup
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pintar untuk tahu bahwa ini adalah perjanjian dalam paket bahwa mereka harus
?mendaftar dan memilih saat pemilihan! Yah, gerombolan Yankee memilih, bukankah
begitu" Mereka keluar penuh dendam sehingga mereka bisa menyelamatkan kita semua
dari para anarkis dan Italia bodoh, dan itulah sebabnya Flint Peterson yang jadi
walikota! Begitulah dia melakukannya, anak-anak: dengan bantuan teman kita ini!"
Aku berdiri dari kursiku dan mengambil topiku. Aku bilang padanya kalau aku
sudah bekerja membanting tulang untuknya dan sekarang tak mau duduk di sini dan
menjadi kambing hitamnya.
"Oh, tidak?" kata Shanley. "Lalu kau ini 'skeppa goata'nya siapa?"
Setelah semua kerja keras yang kulakukan untuknya, dia duduk di sana, mengejek
bahasa Inggrisku, menghinaku! "Persetan kalian bertiga," kataku padanya dan
antek-anteknya. Aku sudah muak dengan para penipu dan politik kotornya itu. Aku
membanting pintu kantor sangat keras sehingga kukira kaca pintunya akan pecah!
18 Agustus 1949 Saat itu tanggal 10 Januari 1925. Hari Selasa. Selasa atau Rabu" Aku tak ingat
sekarang. Tapi aku harus mengingatnya ....
Bulan itu, Angkatan Laut memberikan pesanan cepat pada American Woolen and
Textile. Musim panas sebelumnya, pesanan mereka lebih sedikit
daripada biasanya. Lalu tiba-tiba, pada tengah-tengah musim dingin, mereka butuh
wol untuk sepuluh ribu jaket baru. Angkatan Laut selalu begitu tak punya ?perencanaan dan lalu mereka butuh semuanya dengan cepat! Selama seminggu, aku
bekerja dua shift, hanya tidur tiga empat jam. Aku kelelahan. Aku sampai di
rumah setelah pukul delapan pagi.
Hari itu dingin sangat menusuk. Aku ingat bulan Januari itu lebih hangat
daripada biasanya, lalu tiba-tiba suhu turun di bawah nol. Aku khawatir Ignazia
tidak memasukkan batu bara yang cukup ke pemanas khawatir pipa air akan
?membeku. Anjing itu adalah tanda pertama ada sesuatu yang salah. Dia berbaring miring,
perutnya kempis, mati di atas muntahan berdarah-nya sendiri. Diracuni. Aku
menyodoknya sedikit dengan kakiku, tapi dia tak bergerak. Mati kaku di tanah;
sudah mati beberapa lama.
Ketika aku membuka pintu dan masuk ke dalam, seekor burung terbang melewatiku!
Seekor burung pipit. Aku seharusnya sudah merasa: burung di dalam rumah adalah
pertanda buruk. Aku bukan pria yang percaya takhayul, tapi ada beberapa pertanda
yang tak boleh diabaikan.
Tungku pemanas di ruang duduk dingin membeku. Radiator juga. Kompor di dapur.
Aku berdiri memandang pintu kamar belakang yang tertutup.
Aku memegang gagang pintu yang dingin, tapi takut membukanya takut terhadap apa
?yang akan kulihat. Aku berdiri memandang uap napasku.
Ignazia tak pernah menutup pintu kamar ini pada siang hari. Tak pernah.
Burung sialan itu terbang berputar-putar di ruang duduk, sayapnya menyerempet
dinding, tubuhnya berkali-kali menghantam cermin di atas gantungan mantel.
"Ignazia!" panggilku pada pintu yang tertutup. "Eh! Ignazia!" Tak ada jawaban.
Aku ke atas. "Ignazia" .... Concettina?"
Ranjang kami rapi. Tak ada yang terbalik, tak ada yang tak biasa. Baju dan
barang-barangnya masih di lemari, di laci. Aku pergi ke kamar Concettina. Semua
juga ada di sana .... Aku turun ke ruang bawah tanah, menyalakan pemanas. Butuh waktu untuk
menyalakannya. Kalau pipa-pipa itu membeku, biaya perbaikannya akan sangat
mahal. Aku di ruang bawah tanah selama dua puluh menit, setengah jam, menyekop
batu bara dan melihatnya menyala dan terbakar. Dua kali aku mengira mendengar
langkah kaki di atas kepalaku, tapi saat aku berhenti menyekop, di atas sana
sangat tenang. Ketika aku kembali ke atas lagi, burung pipit itu mati di lantai ruang duduk.
Aku mengambilnya di tanganku dan membawanya ke dapur. Membungkus burung sialan
itu dengan koran dan membuangnya di tempat sampah. Kau pasti mengira serombongan
burung pipit nyasar masuk ke ruang dudukku, dari bekas bulu, darah, dan kotoran
yang ditinggalkannya. Burung kecil dengan tulang yang rapuh.
Aku masih ingat kekacauan yang ditinggalkan burung itu saat mati.
Confessione baik untuk jiwa, ya" Itu yang sering dikatakan Guglielmo padaku. Aku
kehilangan jejaknya setelah dia pindah ke Bridgeport. Aku bahkan tak tahu dia
masih hidup atau sudah mati "Lakukan penebusan dosamu, Domenico. Renungkan
kehidupanmu dan rendah hatilah. Tulislah kisahmu .... Rendah hatilah, Domenico.
Menjadi manusia berarti rendah hati. Apa ada pilihan lain" Jangan mencoba
menjadi Tuhan." Tapi aku tak pernah berhasil dalam hal confessione ....
Mereka menarik mayatnya dari dasar Rosemark's Pond. Aku ada di sana, aku
melihatnya keluar dari air. Dia terjatuh menembus lapisan es yang tipis dan
tenggelam pada tengah malam, kata koroner. Sebelum cuaca dingin datang. Dia bisa
memperkirakan itu dari tubuhnya yang menggembung.
Kukira dia membawa anaknya untuk mati bersamanya juga. Ada bukti: jejak kaki
mereka, bertebaran di salju. Jejak kaki itu menunjukkan adanya usaha perlawanan.
Sekarang, putra dan putri yang dia lahirkan di meja dapurku telah mati. Dia
sudah membunuh suami pertamanya dan sekarang, Semoga Tuhan mengampuni, dia juga
membunuh putrinya. Dia sangat benci padaku hingga bisa melakukan itu. Dia sangat
putus asa hingga tega menenggelamkan orang yang paling dia cintai.
Tapi Concettina masih hidup, bersembunyi di pondok memancing itu, setengah
membeku, tapi masih bernapas. Begitulah polisi
menemukannya isakannya membuat mereka menemukannya. Dan ketika aku menggendong ?dan memeluk gadis yang hampir mati itu di lenganku, tulangnya kecil dan rapuh
seperti tulang burung pipit. Dan aku mendekapnya ke dadaku, melawan dingin,
melawan apa yang telah dilakukan ibunya. Dan sekarang aku menyayanginya.
Keesokan harinya, cerita tenggelamnya Ignazia dimuat di koran, halaman depan.
Setelah itu, sekitar seminggu setelah aku memakamkannya, detail-detail lain
mulai menyebar, menjadi angin yang mengipasi bara imajinasi. Anjing yang
diracuni, jejak ibu dan anak itu .... Seluruh hidupku bahkan saat di
?Italia dengan gembira digosipkan semua orang, yang merayakan nama jelek
?famiglia-ku. Nasib Ignazia menjadi bahan tebakan di antara orang-orang. Warga
Italia di Three Rivers-pa7sar"/-ku yang tak tahu terima kasih berspekulasi
?bahwa Tuhan atau pelayan gila yang kukurung di "bawah tanah" menjadi penyebab
malapetaka itu. Berbulan-bulan setelahnya, gosip menyatakan bahwa Ignazia
diculik pada malam hari oleh pria asing, lalu dibunuh dan dilemparkan ke es
Tapi tak ada pria asing. Tak ada penculikan. Tak ada bukti adanya perlawanan.
Hanya jejak kaki istriku dan anaknya, lalu lubang hitam di tengah kolam.
Sedangkan Concettina, dia diam saja tentang apa yang terjadi malam itu tak
?mengatakan apa pun padaku, juga tidak pada polisi. Hingga hari ini kami tak
pernah membicarakannya .... Dia baru delapan tahun pada malam ketika ibunya
mencoba mengajaknya ke Neraka bersama untuk menghukum Tempesta. Tapi dia tak
berhasil. Aku tak tahu apa yang diingat Concettina.
Setelah kematian Ignazia, para wanita Italia memencet bel rumahku dan berdiri di
depan pintu dengan simpati dan harapan di mata mereka, makanan di tangan mereka.
Di sebelah mereka berdiri putri yang belum menikah, adik yang perawan tua, janda
muda yang dengan sukarela membersihkan rumah besarku dan mengasuh putriku yang
piatu. "Tidak, terima kasih ... tidak, terima kasih." Aku menolak mereka semua.
Setiap malam saat aku pergi kerja, aku membawa anak itu ke apartemen sebelah
tempat dia tidur dan diasuh oleh keluarga Tusia. Anak Tusia, Jennie meninggalkan
bangkunya di SMU demi mencuci, membersihkan rumah, dan memasak untukku. Aku tak
mau wanita lagi dalam hidupku. Tak ada istri lagi. Aku sudah selesai dengan
semua itu .... Dan ketika Jennie Tusia jatuh cinta dan menikahi seorang pelaut
dari Georgia, putriku sudah cukup tua untuk mengambil alih tugasnya. Merawat
rumah ayahnya gadis malang berbibir sumbing yang tak diinginkan siapa?pun.
Dia bukanlah gadis yang nakal. Dia memasak, bersih-bersih, dan pendiam.
Silenzia-nya membuat ayahnya bangga. Concettina punya darah Sisilia di nadinya.
Dia tahu bagaimana menyimpan rahasia.
Nah, dengar itu, Guglielmo. Ini yang kau inginkan bukan"
Pengakuan. Penebusan dosa. Rendah hati. Semoga Tuhan Yang Mahakuasa
menyelamatkan jiwaku! Empat Puluh Ena m ThomdS dan aku hanyut di The Falls, menghilir di Sungai Sachem. Di pinggir
sungai, orang-orang melambai ke arah kami, orang yang kami kenal, orang asing.
Ibu kami ada di sana, dan di belakangnya, di bayangan pepohonan, ada seorang
gadis kecil. Dia melangkah maju, ke bawah matahari. Dia Penny Ann Drinkwater,
hidup lagi, masih anak kelas tiga. Dia memanggil kami, menunjuk ke hilir sungai.
Dari hutan di belakangnya, terdengar suara sirene ....
Aku meraih ke arah suara berdering itu. Menjatuhkan telepon ke lantai. Menarik
kabelnya mendekati ranjang. "Halo?"
Dr. Azzi bilang dia minta maaf karena menelepon sepagi ini, tapi kalau melihat
jadwalnya, sepertinya harinya akan sangat sibuk. Dia baru akan berangkat ke
rumah sakit. Kami bisa bertemu di ruang duduk lantai empat satu jam lagi,
setelah dia memeriksa Ray. Kalau tidak, kami harus menunggu hingga akhir jam
kerjanya. Jam digital merah di meja menunjukkan ... 6.11" "Ya, tentu. Aku bisa datang. Jadi
kau ... kau harus mengamputasinya?" Kita tak boleh menganggap enteng gangrene, katanya. Dia akan menemuiku sekitar
pukul tujuh lewat lima belas.
Aku menutup telepon, menjatuhkan diri ke ranjang lagi. Memejamkan mataku yang
panas. Oke, kataku dalam hati. Mandi, segera ke sana. Lantai empat, bukan" ....
Saat aku menjatuhkan diri ke lantai, terdengar suara gemerisik kaki menginjak
kertas. Di atas selimut, di atas ranjang, bertebaran halaman-halaman manuskrip kakekku.
Aku sudah menyelesaikan membaca kisah Domenico tadi malam. Meskipun kisah itu
mengungkapkan banyak hal buruk: tapi tidak memberikan jawaban dari pertanyaan
yang kucari dan paling kutakuti. Hanya memunculkan lebih banyak pertanyaan,
lebih banyak kecurigaan, dan satu pengungkapan menyedihkan yang tak kucari
sebelumnya: bahwa nenekku, dalam keputusasaannya berusaha membawa ibuku mati
bersamanya. Bahwa saat Ma berumur delapan tahun, dia harus melawan ibunya untuk
mempertahankan hidupnya .... Pengakuan, penebusan, rahasia keluarga: dalam pusaran
frustrasi dan kebebasan. Aku membaca halaman terakhir sejarah Papa dan menangis.
Merobek halaman-halaman itu dari jilidnya, meremasnya, merobeknya. Membuat
manuskrip kakekku menjadi confetti.
Aku terhuyung-huyung ke kamar mandi, kakiku yang telanjang menginjak-injak
kertas yang bertebaran. Dia memasak, bersih-bersih, dia tahu bagaimana menyimpan rahasia ....
Aku masuk ke shower dan mengatur suhu air panas, lebih panas daripada biasanya,
sepanas yang bisa kutahan .... Dia mati sebagai seorang yang gagal: itu jelas.
Semua pengakuan itu, semua kesedihan di penghujung hidupnya: terlalu sedikit,
sudah terlambat .... Rendahkan dirimu, mereka mengatakan itu padanya sepanjang
hidupnya, tapi dia tak pernah bisa melakukannya. Dia menyimpan dendam, mencoba
mengatur kehidupan orang lain seakan dia Tuhan. Dia memasukkan wanita aneh itu
ke rumah sakit jiwa dan membiarkannya membusuk di sana .... Membusuk. Gangrene.
Ini ayahmu menelepon. Kau sudah pulang" Telepon aku, ya"
Aku mandi, keramas. Berdiri diam dan membiarkan air membasuh tubuhku. Dan ketika
akhirnya aku keluar, aku melihat diriku sendiri di kaca, basah, dan telanjang.
Jangan jadi seperti dia, Dominick, kataku ke bayanganku di cermin. Jangan jadi
dia, jangan jadi dia ....
"Dan gangrene basah dan gangrene kering," kata Dr. Azzi. "Yang basah lebih buruk
tentu saja, karena itu berarti ada bakteri. Itulah yang terjadi pada ayah Anda.
Karena itulah kami harus mengamputasinya secepat mungkin. Kalau dibiarkan,
infeksinya akan menyebar ke seluruh tubuhnya. Menghentikan fungsi tubuhnya,
organ demi organ. Ada pertanyaan?"
"Apakah ... apakah jelas diabetesnya yang menyebabkan ini?"
Dr. Azzi mengangguk. "Membahayakan aliran darah di tubuhnya. Dan, tentu saja,
dia mengabaikan gejalanya juga. Dia seperti ayahku: sisa-sisa pria tangguh. Apa
lagi yang bisa kukatakan pada Anda?"
"Apakah, uh ... maaf. Ini terlalu banyak untuk dimengerti sekaligus. Gangrene itu,
itu infeksi sebenarnya, bukan?"
Dr. Azzi menggeleng. "Begini, biar saya mundur sedikit. Saya tidak mengira Anda
tidak tahu apa-apa. Saya mengasumsikan kalau ayah Anda sudah cerita."
Dia berusaha, pikirku. Kalau saja aku mau membalas semua pesan teleponnya itu.
Apa pun hasilnya bagi Ray, aku yakin, aku gagal menjalani ujian etika dan
kesopanan dasar manusia. "Gangrene adalah jaringan yang mati," kata Dr. Azzi.
"Gangrene adalah tempat berkembangnya infeksi. Kakinya tidak mendapatkan oksigen
dan nutrisi yang diperlukan. Tidak mendapatkan gizi. Jaringan otot manusia sama
seperti makhluk hidup lainnya. Kalau kau membuatnya kelaparan, dia akan mati."
Dr. Azzi menjelaskan apa yang akan terjadi dalam sebulan mendatang: terapi
intensif di rumah sakit selama seminggu atau lebih. Lalu transfer ke fasilitas
rehabilitasi subakut sebuah rumah perawatan sehingga Ray bisa belajar berjalan? ?lagi.
Lalu kruk untuk sementara, kaki palsu kalau Ray mau. Beberapa asuransi mau
menanggung biaya pembuatan kaki atau lengan palsu. Tujuannya tentu saja agar dia
bisa pulang lagi. Ray mengatakan dengan jelas kalau dia tak ingin terjebak di
rumah jompo dalam jangka panjang. "Dia tinggal sendirian, ya?"
"Benar," kataku.
"Tangga?" Aku mengangguk. "Di luar dan di dalam."
Pada akhir pertemuan, kami berdiri berjabat tangan. "Dia pasti akan mengalami
masa sulit," kata Dr. Azzi. "Tapi dia akan beradaptasi. Dia cukup beruntung
sebenarnya. Ingatkan itu padanya."
Aku bertanya apa aku bisa menjenguk Ray. Tentu, katanya, tapi dia baru saja
disuntik; dia mungkin akan tidur sepanjang pagi. Tapi aku boleh saja masuk dan
melihat. Aku berjalan di lorong. Menemukan kamar Ray. Masuklah dan tanggung risikonya
sendiri, pikirku. Napasnya terdengar keluar masuk lewat mulutnya. Ada noda darah kering di bagian
depan baju rumah sakitnya, sedikit darah mengambang di infusnya di dekat jarum.
Dia terlihat kecil dan pucat.
Terapi akut, subakut. Gangrene kering dan basah. Bagaimana mungkin aku tidak
mendengar ketakutan dalam suaranya" .... Ini ayahmu telepon. Kau sudah pulang" ....
Tak peduli masa lalu kami, siapa lagi yang dia punya"
Lihat, kataku dalam hati. Terima hukumanmu. Hadapilah.
Jadi, aku memaksakan mataku melihat ke bawah dari wajah Ray yang pucat ke
dadanya yang naik turun, lalu ke ujung ranjang. Perutku bergolak sedikit. Aku
melihat kekosongan di tempat seharusnya kaki kanan Ray berada .... Ingat bekas
luka di pergelangan tangan kakakku yang berwarna pink dan mengilat pergelangan ?kutungnya yang ditutup dengan kulit cangkokan. Aku mendengar kalau dalam
amputasi, dokter tidak menggunakan prosedur laser teknologi tinggi; mereka
menggunakan gergaji. Mengger-gaji otot dan tulang lalu membuang kaki yang mati
begitu saja ... ke mana" Tempat sampah atau mana" Ya Tuhan!
Dia harus tinggal di pusat rehabilitasi untuk sementara rumah
?perawatan sehingga dia bisa belajar berjalan lagi. Yesus, dia akan frustrasi,
?tak bisa ke mana-mana seperti ini. Ray orang yang selalu sibuk dia tak bisa
?diam saja. Perawat wanita yang masuk membuatku terkejut. Dia montok, Asia. Kami saling
mengangguk. "Aku, uh .... Dr. Azzi bilang aku boleh melihatnya. Aku tahu sekarang
bukan jam berkunjung"
"Baiklah," katanya. Dia memakaikan alat pengukur tekanan darah ke lengan Ray,
memompa gelembungnya. Membaca ukurannya, memompa lagi. Corri apa, R.N. Zaman
dulu perawat memakai seragam, bukan kaus Uconn.
"Uh, ada darah di infusnya," kataku. "Kau sudah lihat?"
Perawat itu melihat, mendekat. "Tak masalah," katanya. Dia meletakkan termometer
di bawah lidah Ray, menutup mulutnya, memegangi rahangnya. Ray terus tidur, tak sadar. Obat
yang mereka berikan benar-benar membuatnya KO. Termometer itu berbunyi. Dia
mengeluarkannya dan menulis hasilnya. Aku bertanya bagaimana kondisi Ray.
"Suhunya sudah turun sedikit, tekanan darahnya bagus," katanya. "Apa kau
anaknya"1 Aku terdiam, tak bisa menjawabnya. Ketika dia membuka selimut untuk mengecek
perban, aku memalingkan mataku.
"Terlihat bagus," katanya. "Bagus." Dia menyelimuti Ray lagi. Ray mungkin akan
tidur sepanjang pagi, kata perawat itu, tapi aku boleh tinggal. Aku menggeleng,
bilang kalau aku hanya akan tinggal sebentar lagi saja, lalu kembali lagi nanti
siang. "Tentu," katanya. "Aku akan meninggalkan kalian kalau begitu."
Aku berdiri selama beberapa saat melihatnya tidur.
Mengulurkan tangan. Meraih tangannya. Mengusapkan jariku ke buku-buku jarinya.
Seperti makhluk hidup lainnya. Kalau kau membiarkan sesuatu kelaparan cukup
lama, dia akan mati. Dr. Azzi lebih benar daripada yang dia ketahui ....
Tenggelamnya Thomas di The Falls itu hanyalah penyebab resmi kematiannya: dia
sudah mati di Hatch, terputus dari harapan, dari keluarga. Kakakku mati
kelaparan .... Dan nenekku: dia juga mati dalam kurungan. Kakekku membeli anjing
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penjaga yang mengurung nenekku di rumah terkutuknya itu. Memerkosanya pada akhir
pekan karena nenekku adalah "miliknya". Jadi, dalam keputusasaan, dia melakukan
apa yang sudah dia lakukan sebelumnya. Lari. Melepaskan diri. Menyeret putrinya
ke kolam itu dan .... Papa adalah pria yang baik, Dominick. Kenapa Ma" Karena dia terlihat bagus
dibandingkan yang lainnya" Karena di Hollyhock Avenue semuanya relatif" ....
Aku harus pergi karena kau mengisap semua oksigen dari ruangan, kata Dessa
padaku pagi itu saat dia pergi. Aku harus bernapas, Dominick.
Aku berdiri diam, menyentuh tangan Ray dan akhirnya mengerti .... Dessa tak pernah
berhenti mencintaiku, menyayangiku. Dia tetap peduli. Tapi dia harus
menyelamatkan dirinya sendiri. Dia perlu mengamputasiku dari hidupnya karena aku
membuatnya kekurangan nutrisi. Menginfeksinya. Karena kalau dia tinggal, aku
akan mematikannya sistem demi sistem.
Yah, bagus untukmu Dess, pikirku. Aku senang kau berhasil selamat. Dan air
mataku berjatuhan, menetes di pinggiran ranjang Ray, menyerap ke selimutnya.
Aku pulang sekitar tengah hari meninggalkan pesan untuk Dr. Patel kalau aku ?harus menemuinya secepat mungkin. Aku memanaskan sup, membuka-buka Newsweek
tanpa membaca apa pun. Ketika aku mencuci piring, aku baru sadar kalau aku sudah mencucinya
sebelum ini. Manuskrip Domenico masih di dalam kamar menyebar ke seluruh kamar. Oke, kataku
?dalam hati, kau sudah menyelesaikannya dan sekarang kau membuangnya. Jadi ini
sampah, benar" Masuk dan buang semuanya.
Aku mengambil kantong sampah dan masuk ke kamar.
Memasukkan halaman demi halaman sejarah Pak Tua itu ke kantong plastik. Aku
teringat Ma apa yang dikatakannya padaku tentang hari kematian ayahnya. Dia
?baru saja selesai menulisnya; confessione panjangnya, dia gagal meminta
pengampunan .... Ma mendengar ayahnya menangis di luar sana ingin mendekatinya
?dan menghiburnya, tapi itu melanggar aturan. Dia pasti sangat marah, dan
kemarahannya itulah yang berkuasa di rumah itu .... Aku duduk kembali di ranjang.
Membayangkan Ma di halaman belakang, memunguti kisah sejarah Papa. Dia pasti
merasakan seluruh hidupnya terguncang saat itu. Ayahnya mati; putra kembarnya
tumbuh di dalam dirinya ....
Ma ternyata adalah wanita pemberani. Berani untuk melanjutkan hidup untuk
?membesarkan kami sebaik mungkin. Dan sebelumnya: gadis pemalu di foto tua itu,
yang berdiri di sebelah ayahnya memakai pinafore berkanji, tangannya menutupi
bibirnya yang sumbing. Dia adalah gadis usia delapan tahun yang pemberani,
diseret-seret pada malam hari dalam cuaca dingin yang menggigit oleh
ibunya sendiri yang kehilangan harapan. Gila karena putus asa .... Terlihat adanya
perlawanan, tulis Papa. Sebuah kisah yang diceritakan oleh jejak kaki. Tapi
gadis kecil pemberani dan pendiam itu menyimpan rahasia mengerikan ibunya tak
? mengatakan apa pun pada polisi ataupun ayahnya. Jejak kaki merekalah yang
bercerita. Dalam kemarahan ataupun keputusasaannya, Ignazia berusaha membawa
anaknya mati membunuh putrinya. Tapi Ma melawan. Menyelamatkan dirinya sendiri.?Bersembunyi di pondok tua dan berhasil bertahan hidup, lalu pulang dan tinggal
bersama ayahnya .... Apakah Ma mencintai Papa seperti yang selalu dia katakan" Membencinya" Apakah
kakakku dan aku adalah hasil dari perbuatan dosa" .... "Sejarah Domenico Onofrio
Tempesta" ternyata adalah lorong penuh cermin, hanya jalan simpang siur di
antara jalan-jalan rumit lainnya. Karena di akhir ceritanya, Pak Tua mengakui
semuanya, tetapi juga tak mengakui semuanya. Begitu ayahnya begitu pula
putrinya, pikirku. Mereka berdua tahu bagaimana menyimpan rahasia ....
Aku mengulurkan tangan, mengambil satu halaman dari kantong sampah. Meratakannya
dan membaca. "Aku selalu punya sedikit kepuasan akhirnya: kenangan saat aku
memenangi pertempuranku dengan si Monyet, ketika aku menggunakan kecerdasan yang
dianugerahkan Tuhan untuk menghukum setan betina atas dosa-dosa yang dia /akukan
pada Domenico Tempesta .... * Aku menggelengkan kepala melihat betapa dia tak punya harapan, terisolasi pada
hari terakhir kehidupannya. Domenico juga mati kelaparan.
"Aku tak bilang itu mustahil, Dominick," kata Dr. Patel. "Aku hanya bilang itu
sangat tidak mungkin. Kau tidak bodoh. Kau tak menderita hemofilia atau
komplikasi lainnya. Kalau kau, seperti yang kau bilang adalah produk perbuatan
incest, kau sepertinya berhasil lolos dengan sehat."
Sehat" Aku mengingatkannya kalau kakakku menderita skizofrenia, putriku
meninggal saat berumur empat minggu.
Argumen yang bagus, kata Dr. Patel. Sejauh yang dia tahu tak ada bukti ilmiah
yang menghubungkan incest antara ayah dan anak dengan skizofrenia ataupun SIDS
(Sudden Infant Death Syndrome). Tapi aku boleh saja meneliti topik itu, tapi Dr.
Patel ragu aku akan menemukan bukti yang kuat. Jadi, dia menyimpulkan bahwa yang
kurasakan hanyalah ketakutan neurotik karena perkataan samar yang ditulis
kakekku dalam kisahnya: bahwa ibuku tahu bagaimana menyimpan rahasia. Itu bisa
berarti apa saja, katanya. Rahasia yang dikatakan ibunya padanya, resep rahasia.
Dan tentu saja, rahasia mengerikan tentang bagaimana ibunya yang memberinya
kehidupan berusaha merenggut kehidupan itu darinya.
Incest ayah dan anak: penyebutan Dr. Patel itu,
setidaknya memberi batasan. Meletakkan pikiranku itu dalam kotak tertentu dan
membuatku merasa lebih aman. Apa yang baru saja dia tuduhkan padaku" "Ketakutan
neurotik?" Kata Dr. Patel, dari yang kuceritakan, sepertinya kakekku adalah orang yang
sangat tidak bahagia dan salah arah kasar, egois, dan mungkin paranoid. Tapi
?tak satu pun dari yang kuceritakan membuktikan bahwa dia telah memerkosa
putrinya dan menjadi ayah kakakku dan aku.
"Kalau begitu, aku masih di tempat yang sama seperti sebelum aku membaca kisah
sialan itu," kataku.
"Dan di mana itu, Temanku?"
"Kacau ... tak punya ayah."
Dr. Patel bilang aku harus memikirkan dua hal. Pertama, aku jelas bukannya tak
punya ayah, kalau saja aku mau meluaskan kategoriku bukan hanya sekadar
berdasarkan sperma dan telur. Kalau aku mendefinisikan ayah sebagai seorang pria
dewasa yang hadir dalam perkembangan seseorang sejak dia kecil hingga dewasa,
maka ayahku sedang berbaring di rumah sakit Shanley Memorial sekarang, dirawat
setelah menjalani operasi. Tak peduli seperti apa kelemahan Ray sebagai
orangtua, keberadaannya dalam hidupku konstan. Dia menyaksikan perkembangan-ku.
Dr. Patel juga tidak merasakan bahwa aku tetap stagnan setelah selesai membaca
sejarah kakekku. "Cobalah memahami diriku sebagai seorang antropolog, Dominick,"
katanya. "Mari kita berpikir
sejenak tentang manuskrip sebagai sebuah misteri dengan akhir yang menjelaskan
semuanya, tapi sebagai sebuah perumpamaan. Perumpamaan memberikan pelajaran.
Saat kita selesai membacanya kita menghadapi pelajaran yang diberikannya. Jadi
aku bertanya padamu: apa yang telah diajarkan kisah kakekmu pada dirimu?"
"Apa yang telah diajarkan kisah itu padaku?" Aku menggeser dudukku. Melengos.
"Aku tak tahu. Hati-hati berjalan di atas lapisan es yang tipis" Jauhi monyet?"
Dr. Patel menepukkan tangannya seperti guru sekolah yang kesal. "Tolong
seriuslah!" Mata kami bertemu dan aku mencondongkan tubuh ke depan. "Bahwa aku seharusnya
berhenti menganggap semua orang melakukan dosa padaku," kataku. "Bahwa aku harus
menghilangkan dendam."
Dr. Patel tersenyum. Mengangguk. Bertepuk tangan lagi, kali ini menghargai.
Sengaja atau tidak, kata Dr. Patel, kakekku telah memberikan hadiah yang sangat
berharga: pelajaran dari kegagalannya. Dan aku seharusnya tidak melupakan siapa
yang menjadi perantara kisah itu. Kisah itu datang padaku lewat ibuku, yang
menurut Dr. Patel, mencintaiku dengan sepenuh hati wanita, yang meskipun lemah,?sebenarnya sangat pemberani. Saat mempertahankan hidupnya di kolam malam itu,
dia telah membuat kemungkinan bagi kehidupan Thomas dan aku di dunia. Dia memang
berbuat kesalahan ya, ya, itu tak bisa disangkal tapi bagaimanapun, ibuku
? ?membesarkan dua putranya dengan tulus. Telah melakukan yang terbaik. Dan padakulah dia
mewariskan kisah ayahnya.
"Gunakan hadiah itu, Dominick," kata Dr. Patel. "Belajarlah darinya. Biarkan itu
membebaskanmu." "Apa dia sudah selesai?" petugas pengontrol makanan bertanya padaku, agak kesal
kali ini. Dia sudah masuk dua kali untuk mengambil nampan makan siang Ray yang
belum tersentuh. Di ruang perawat mereka bilang Ray terbangun sekitar pukul
11.00, diberi suntikan morfin lagi, lalu kembali lagi ke Dunia Mimpi.
"Dia masih tidur," kataku. "Ambil saja." Sudah pukul setengah empat sore. Siapa
yang meresepkan penahan rasa sakit ini Dr. Kevorkian, si penggemar euthanasia
?itu" Aku melihat petugas itu berusaha menyeimbangkan nampan Ray di keretanya yang
sudah kepenuhan. Nampan itu tergelincir dan jatuh berkelontangan ke lantai, dan
kami berdua membungkuk untuk membersihkan sup, mengambil sandwich-nya, dan
mengejar apel yang lari. Ketika aku berdiri dan melihat Ray lagi, matanya
terbuka. "Siapa kau?" katanya.
Aku bilang kalau aku Dominick. Bertanya, bagaimana perasaannya"
"Siapa?" "Dominick," kataku. "Anak Connie. Salah satu dari si kembar."
"Oh," katanya. "Kukira kau pengawas."
Pengawas" Aku bertanya apa dia tahu sekarang ada di mana" Ray melihat sekeliling
ruangan, melihat lorong di luar lalu melihatku lagi. "Rumah sakit?"
Aku mengangguk. Mengingatkan kalau dia baru menjalani operasi kemarin. Dia
bertanya kapan pertandingan footbaii akan mulai.
Football! Aku melihat ke TV di dinding. Aku dari tadi menontonnya tanpa
membesarkan volume suaranya saat menunggu dia terbangun. "Tidak ada pertandingan
football sekarang, Ray," kataku. "Sekarang Mei. Musim bisbol. Playoff basket."
Ray mencondongkan tubuh ke depan, melihat ke kakinya yang teramputasi tanpa
memahami sepenuhnya apa yang terjadi. "Apa Edna sudah ke sini menjengukku?"
"Edna?" kataku. "Siapa Edna?"
"Edna," katanya. "Kau tahu, kakakku." Dia menggelengkan kepala, sebal. "Apa
ini?" Ray mengangkat remote TV yang sudah jelek.
"Untuk mengubah saluran," kataku. "Di TV atas itu. Ayo, cobalah. Tombol biru,
bukan yang merah. Yang merah itu tombol untuk memanggil perawat." Ray memencet
tombol merah, lalu yang biru. Menekannya. Channel demi channel bergerak cepat:
opera sabun, CNN, Maytag repairman. Dia berhenti ketika sampai di Oprah.
"Ya?" terdengar suara dari speaker. "Ada yang bisa saya bantu?"
"Oh," kataku. "Dia ... kami memencet tombol
yang salah. Maaf." Click. "Jam berapa pertandingan football-nya dimulai?" tanya Ray lagi. Saat aku
mengingatkannya sekarang bukan musim football, dia memotongku dengan sorakan
Strawberry shortcake! Huckleberry pie!
V-I-C-T-O-R-V Apa kita bisa" Ya! Ya! Ya!
Kita adalah murid B-G-S! Aku memandang ke lorong. Ke Oprah di TV. "Apa itu, uh ... apa BGS?"
"BGS!" katanya. "BGS! Broadway Grammar School! Kau ini bodoh atau apa?"
"Aku tak tahu. Kurasa Tuhan memang ada. Harus ada."
Dessa menggoyang-goyangkan kantong teh celup di cangkirnya.
"Tapi dia tak penuh belas kasih. Itu omong kosong. Dia lebih suka ironi daripada
belas kasih. Dia jenis Tuhan yang bilang kena kau! Suka iseng. Karena yang
terjadi sekarang terlalu sempurna kalau dibilang kebetulan yang acak."
Dessa bilang dia tak mengerti.
"Coba pikir," kataku. "Pertama kakakku mati. Lalu ayah tiriku kehilangan
kakinya, mulai bicara aneh. Kutung II: sekuel. Sempurna."
Dessa bilang, dia yakin bahwa Tuhan memberikan ujian, bukan mengisengi manusia.
Kami duduk di bangku belakang kantin rumah sakit. Sejam lalu, aku menahan pintu
lift karena mendengar langkah tergesa yang juga ingin naik lift. Dan langkah
kaki itu ternyata milik Dessa. Sekarang, kecuali wanita berambut putih di kasir
dan dua penjual permen yang bergosip dua meja dari tempat kami, kantin itu bisa
dibilang kosong. "Dan lagi pula," kata Dessa, "bukankah mereka bilang dia mungkin hanya mengalami
sedikit disorientasi karena biusnya" Bukankah kau tadi bilang kalau kau
terbangun dari operasimu dan mengalami disorientasi juga?" Beberapa menit
sebelumnya aku menceritakan mimpi aneh yang kualami akibat pengaruh morfin saat
di rumah sakit dulu tanpa terlalu membeberkan detailnya: mencekik kakakku saat
dia tergantung di pohon itu, menurunkannya dan akan melemparnya ke sungai. Lucu
juga: dalam halusinasi morfinku aku adalah seorang pembunuh. Ray menjadi pemandu
sorak. Kami berdua diam beberapa saat. Aku menghabiskan kopiku. Mulai merobek cangkir
styrofoam itu seperti mengupas apel. Kami duduk saling berhadapan, memandang
robekan styrofoam yang memanjang berbentuk spiral. "Kau masih ke gereja?"
tanyaku. Aneh rasanya mendengar pertanyaanku, kata Dessa. Dia sudah lama tak
pergi selama beberapa tahun tapi sekarang dia mulai ke gereja lagi. "Ya" ? ?Kenapa?"
"Oh, aku tak tahu," katanya. "Karena tempat ini, sepertinya."
Saat aku bertemu dengannya di lift, aku mengira terjadi sesuatu pada ibunya,
tapi Dessa bilang tidak dia menjadi sukarelawan pendamping di sal anak-anak.
?"Kau harusnya melihat beberapa anak yang kudampingi, Dominick," katanya. "Mereka
sakit parah, tapi begitu berani. Mereka semua seperti mukjizat bagiku."
Dessa menceritakan gadis usia enam tahun yang menderita tumor otak, tapi punya
tawa yang menular sehingga dia bisa membuat seluruh ruangan tertawa. Tentang
bayi-bayi penderita AIDS dengan infeksi mereka, kebutuhan mereka untuk dipeluk
dan diayun. Tentang Nicky, anak lelaki berusia tujuh tahun dengan gangguan enzim
yang pelan-pelan membuatnya tak bisa bicara, kehilangan keseimbangan, dan bahkan
kemampuan menelan. Nicky adalah favoritnya, kata Dessa. "Kau harusnya melihat
bagaimana musik membuat matanya bersinar. Penuh cahaya. Kau ingat lampu lava
yang sering membuat orang terpaku memandangnya" Nicky akan terus memandang dan
memandang lampu itu, seakan-akan semua itu masuk akal menjelaskan padanya
?sesuatu yang tak kita mengerti. Dia punya mata cokelat yang sangat indah,
Dominick. Itu adalah salah satu tempat di mana aku bisa melihat Tuhan, kurasa.
Di mata Nicky." Dessa tertawa, terlihat sedikit malu. "Susah dijelaskan. Aku
pasti seperti cewek era New Age."
Aku menyentuh kakinya dengan kakiku di bawah meja. "Ya, mungkin kau masih bisa
diselamatkan," kataku. "Kau belum membeli kaset Yanni, bukan?"
Anak-anak penderita AIDS mengalami perjuangan yang paling berat, katanya. Mereka
tak mau makan, karena makan membuat mereka semakin sakit. Jadi selain menderita
penyakit parah, anak-anak kecil itu juga berisiko mengalami kekurangan gizi.
Buat sesuatu kelaparan cukup lama dan dia akan mati, pikirku.
"Jadi, apa yang kau lakukan untuk anak-anak ini?"
Dessa bilang dia membacakan cerita untuk mereka, mengayun mereka. Melakukan
terapi binatang peliharaan.
"Terapi binatang?" kataku. "Apa itu?"
Respons anak-anak sangat baik pada binatang, kata Dessa. Ada anjing keren
bernama Marshmallow yang berkunjung seminggu sekali. Mereka punya ikan. Dan
kelinci Zeke dan Zack. "Kami harus sangat berhati-hati karena risiko
?infeksi banyak pembatasan dan aturan tapi anak-anak sangat menyukai binatang."
? ?Sering yang dia lakukan hanyalah memeluk mereka, katanya. Itu mungkin hal paling
bermanfaat yang bisa dia lakukan. "Anak-anak yang sakit parah seperti mereka
menginginkan kedekatan fisik lebih daripada yang lain. Mereka hanya ingin
dipeluk." "Kau yakin ini baik untukmu?" kataku. "Kau yakin ini tak akan membebanimu
terlalu banyak?" Dessa tersenyum, menggeleng. Dia tahu kedengarannya menyedihkan, tapi sebenarnya
tidak. Itulah mukjizatnya. Dia bahagia bersama anak-anak ini menjadi bagian ?dari hari-hari mereka
yang berharga. Dia merasa tenteram lebih daripada yang dia rasakan selama
bertahun-tahun. Aku tersenyum. Berkata bahwa dia rupanya memenuhi janjinya juga akhirnya. "Janji
apa?" "Anak Clapton itu" Anak kecil yang jatuh dari jendela, mimpimu" Kurasa kau
berhasil menangkapnya juga akhirnya." Aku melihat ekspresi bingungnya menjadi
ekspresi mengingat mimpinya itu. Melihat air mata menggenangi matanya.
Apa dia mau ke atas" Bilang halo ke Ray"
Dessa melihat jamnya. Dia ingin sekali, katanya, tapi dia sudah terlambat dia
?akan bertemu Dan untuk makan malam. Tapi, oke, dia akan mampir sebentar dan
bilang halo. Tapi tak bisa tinggal lama.
Saat naik lift kembali ke lantai empat, aku menyadari kalau Dessa baru saja
menyebutkan nama pacarnya dan aku tidak merasa ingin meninju dinding. Ada
kemajuan, pikirku. Semua terapi yang kujalani itu ada gunanya juga. "Bagaimana
kabar Sadie?" tanyaku.
"Oh, Dominick ...." Dessa mengulurkan tangannya padaku. "Dia mati." Tangannya
jatuh ke sisi tubuhnya lagi. "Aku terpaksa memilih agar dia disuntik mati. Aku
menyesal. Aku harusnya meneleponmu."
Aku mengangkat bahu. Bilang padanya tidak apa-apa Sadie adalah anjingnya. Bukan
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
?anjingku. "Dia anjing kita," kata Dessa.
Lift berhenti di lantai tiga, pintu membuka, tak ada siapa-siapa, lalu menutup
lagi. Kami naik lagi. "Dia mati dengan tenang, Dominick." Dessa melangkah mendekat padaku. Sedikit
bersandar padaku. Ketika kami sampai di kamar Ray, dia sedang duduk, minum jus dibantu perawat.
"Aku membawa seseorang yang ingin menemuimu," kataku.
"Hai, Ray," kata Dessa. Ray memandangnya kosong.
"Kau ingat siapa ini?" tanyaku.
Ray menyedot lagi jusnya. Meringis tipis sehingga aku hampir tak melihatnya.
"Hot Lips Houligan," katanya.
Pada hari ketiga setelah operasinya, Ray sudah sadar seratus persen.
"Kegilaannya" itu hanya disebabkan oleh obat bius, seperti kata dokter. Dua
belas hari setelahnya, Ray dinyatakan cukup stabil memakai kruk untuk
dipindahkan ke pusat rehabilitasi subakut.
Rivercrest Convalescent Home mempunyai kertas dinding yang cerah dan staf yang
ceria, dan jadwal terapi fisik harian yang serius, terapi okupasional, dan
bernyanyi bersama. Setiap kali aku berkunjung, aku bertemu jajaran "penjaga"
berkursi roda para orang tua yang menghabiskan sepanjang hari duduk di lobi
?depan, memandang arus pengunjung, karyawan, dan pegawai delivery yang keluar
masuk. Kurasa mereka berharap, mendapatkan berita dari luar tempat parkir.
Beberapa di antara mereka akhirnya kukenal: Daphne, vampir kelompok itu
dengan mantel rumah warna-warni; Maizie yang setiap aku datang dan pergi selalu
bertanya apakah aku ini anaknya, Harold; Warren yang salam universalnya selalu,
"Hello, Cap'n Peacock!"
Duduk di antara para penjaga itu, mengerut dan lesu, adalah wanita tua tak
bernama yang kujuluki Putri Mata Setan. Setiap orang di sana sangat memerhatikan
sang Putri itu; hampir seratus tahun umurnya, dia adalah penghuni tertua
Rivercrest. Dia dan aku tak pernah bertukar kata, seperti yang kulakukan dengan
yang lainnya, tapi matanya yang mulai kabur terlihat selalu mengikutiku setiap
kali aku datang ke sana mengikutiku dari pintu depan hingga ke kamar Ray. Aku ?tahu ini karena kadang aku berhenti dan berbalik dan aku agak takut melihat
caranya memandangku .... Aku biasa memanggil mereka "Para Kru". Daphne, Warren,
dan Sang Putri. Komite penyambutan di stasiun antara kematian dan apa pun yang
datang setelahnya. Rivercrest adalah tempat penyucian dosa yang dilengkapi
dengan kursi roda. Ray murung dan pendiam pada minggu pertama, dan setelah itu dia mengalami
kondisi yang disebut sebagai kondisi "semikooperatif oleh petugas sosialnya.
Pada akhir kampanye dua minggu untuk mendorongnya masuk ke aktivitas dan program
khusus, direktur rekreasi menyerah dan membiarkannya diam di kamarnya dan
cemberut seharian. Dia masih bingung apakah mau memakai kaki palsu. "Kalau aku
ini kuda, mereka pasti mengambil pistol dan menembakku saja."
"Ayah Anda sedang tertekan," kata mereka padaku. Mereka bilang dia kadang
menangis sendiri di kamarnya. Itu wajar. Hal seperti ini butuh waktu.
Aku mulai mengunjunginya hampir tiap hari. Mencucikan baju kotornya setelah
Laundry Services menghilangkan baju favoritnya. Dia tak bisa melakukannya; dan
aku punya banyak waktu. Saat itu, aku sudah menjual peralatan mengecatku pada
partnernya Sheffer atau apalah istilahnya yang benar untuk menyebutnya secara
politis. Aku pergi ke Hartford dan mengikuti ujian untuk memperbarui izin
mengajarku. Mendaftar kursus penyegaran. Aku memang belum tahu apakah aku akan
mengajar lagi, tapi aku pikir sebaiknya aku bersiap-siap, siapa tahu. Aku masih
punya kesempatan hingga akhir musim panas sebelum "ekonomiku jadi sulit".
Kadang, sekolah membutuhkan guru pada saat-saat terakhir. Saat itu, Ray sudah
pulang dan semoga bisa mengurus dirinya sendiri lagi.
Aku membawakan koran terbitan New York dan Boston setiap kali menjenguknya the
?Post, the Herald. Membawakan hamburger dari The Prime Steer satu atau dua kali
seminggu karena semua daging di Rivercrest rasanya seperti "kulit sepatu".
Karena mereka bahkan tak bisa membuat meat loaf. "Yesus, buat apa kamu membawa
ini lagi?" katanya, setiap kali aku membelikannya makanan. "Jangan buang-buang
uangmu. Aku bahkan tak berselera makan." Lalu dia akan makan dengan
rakus menghabiskan semuanya dalam enam atau tujuh menit.
?Staf berpikir, berjalan-jalan keluar selama dua jam mungkin akan membuat Ray
sedikit bersemangat, jadi aku belajar dari ahli terapi fisik bagaimana
membantunya masuk dan keluar mobil, apa yang harus dilakukan kalau dia mau ke
kamar kecil. Kami sama-sama gugup waktu keluar pertama kalinya. Aku membawanya
berkeliling ke Three Rivers, melewati lahan pembangunan kasino besar. "Yesus
Kristus Mahabesar," katanya. "Ini akan jadi besar sekali. Yah, apa masalahnya:
bagus kalau mereka jadi lebih kuat." Keberpihakannya pada suku Wequonnoc sedikit
mengejutkanku; selama ini aku menganggap sepanjang hidupnya Ray selalu iri pada
orang yang mendapatkan keberuntungan lebih.
Kali kedua, kami pergi ke Friendly's untuk makan siang. Saat aku bertanya dia
mau pergi ke mana dalam kunjungan selanjutnya, jawaban Ray mengejutkanku.
"Bagaimana kalau nonton?" katanya.
"Nonton" Ya?" Sejak Thomas dan aku masih kanak-kanak, Ray selalu bilang kalau
bioskop itu buang-buang waktu dan uang saja.
Aku menunjukkan iklan film yang ada di Daily Record. Mengira dia mungkin akan
memilih Dances With Wolves, yang sudah kutonton sekali dan jelek. Naked Gun dan
film Arnold Schwarzenegger yang main di Center Cinema.
"Bagaimana kalau ini?" katanya, jarinya menunjuk iklan Little Mermaid.
"Itu kartun Disney, Ray," kataku. "Film anak-anak."
Dia tahu film apa itu, katanya. Mereka menayangkan iklannya di TV setiap lima
menit, bukan" Kalau begitu aku mau nonton apa" Buat apa aku bertanya padanya"
"Oke, oke," kataku. "Little Mermaid. Kami datang."
Di lobi bioskop, orang-orang anak-anak dan dewasa menatap kruknya, pipa ? ?celananya yang kosong. Ketika dia selesai ke toilet, filmnya sudah mulai. Aku
gugup sekali membantunya menuruni gang bioskop dalam gelap. Tapi setelah kami
duduk, setelah detak jantungku kembali normal dan mulai bisa mengerti inti
ceritanya, aku melihat logika dalam pilihan Ray. Dia perlu melihat cerita
tentang putri duyung yang menginginkan apa yang tak bisa dia punyai kaki dan
? ?lalu mendapatkan apa yang dia inginkan sekaligus yang tak dia inginkan. Sekali,
aku berpaling ke Ray, mengamati wajahnya yang diterangi cahaya dari layar:
rahang terkatup, cemberut. Aku sadar, yang kulihat adalah keberaniannya.
"Nah, kau suka?" tanyaku saat kami kembali ke Rivercrest. "Lumayan," jawabnya
datar. Sampai di Rivercrest, barisan kursi roda itu sudah berbaris di pintu
depan seperti biasanya. "Maaf. Apa kau anakku, Harold?" tanya Maizie padaku,
begitu kami melewati pintu.
Ray menjawab sebelum aku sempat membuka mulut. "Namanya Dominick Birdsey!"
tukasnya ketus. "Dia anak-kuf" Berjalan ke lorong, walaupun begitu jauh, dia
bergumam kesal tentang "cewek
tua" dan "gangguan menyebalkan".
Dalam bulan pertamanya di Rivercrest, Ray mendapatkan dua teman: Stony,
pensiunan pemasang atap yang dulu pernah melawan Willie Pep in Golden Gloves,
dan Norman, yang pernah berperang di Perang Dunia II di Bataan. Norman
mengatakan dulu saat dia masih anak bau kencur yang bekerja di kereta makan
?siang milik ayahnya yang ditarik kuda dia pernah melayani Mae West seiris pai
?rhubarb. Gratis. Mae West sedang di kota itu dalam tur drama komedi bangsawan.
Norman sering diolok-olok mengenai cerita itu. Apa lagi yang diberikan Norman
pada Mae West" Apa yang dia berikan pada Norman" Mungkin yang baru itu apa
?namanya" Madonna" Mungkin dia juga mau mendapatkan sedikit pai rhubarb Norman.
Norman, Stony, dan Ray: The Three Musketeers kata salah satu staf menjuluki
mereka. Mereka bertiga makan bersama di ruang makan. Main pinochie di kamar
Stony. (Hanya radio Stony yang bisa menangkap stasiun radio yang memainkan lagi
Big Band dari New Haven). "Ayah Anda semakin baik," kata petugas sosialnya
padaku. Ray memutuskan dia sebaiknya mencoba kaki palsu itu. Bagaimana rasanya.
Lagi pula, asuransi yang akan membayarnya, jangan buat mereka keenakan.
Ray dan aku kadang menonton bisbol bersama. Main cribbage. Biasanya TV yang
lebih banyak bicara daripada kami berdua. Suatu hari, Ray mulai mengeluh tentang
staf yang tak bisa rapi mencukur janggutnya. Mereka harus menggunakan alat cukur
listrik ada aturan yang mengharuskan itu tapi alat cukur listrik menurutnya
? ?tak bisa mencukur dengan bersih.
"Cukur saja sendiri," kataku.
Dia bilang dia tak bisa tangannya gemetar. Dia mengangkat kedua tangannya,
?menunjukkannya padaku. "Suatu hari kau mungkin masuk ke sini dan menemukan
kepalaku terguling di lantai. Kenapa tidak kau saja yang mencukurku?"
Awalnya aku menolak mengabaikan satu atau dua kali saat dia mengatakannya tapi? ?Ray terus meminta. "Baiklah, baiklah," kataku akhirnya, mendorong kursi rodanya
ke kamar mandi sempit yang berhubungan dengan kamarnya. "Kita akan mencobanya."
Rasanya aneh pertama kali tak wajar menggosok wajahnya dengan sabun, memegang
? ?dagunya dan mencukur bulu-bulu yang tumbuh di lehernya, pipinya yang kendur. Di
keluarga kami, jarang ada sentuhan, apalagi Ray dan aku. Tapi akhirnya aku jadi
terbiasa. Setelah dua kali, rasanya tak begitu aneh. Mungkin justru kesediaanku
mencukur janggut Raylah yang meruntuhkan penghalang di antara kami ....
Karena dicukur membuatnya suka mengobrol. Membuatnya membuka diri. Aku tahu
lebih banyak tentang Ray dari saat aku mencukurnya dibanding apa yang aku
ketahui sebelumnya. Dia kehilangan ayah dan kakak lelakinya karena influenza
tahun 1923, tahun yang sama dengan kelahirannya. Setidaknya dia tumbuh dan
percaya bahwa mereka adalah ayah dan kakaknya. Ketika dia berusia sepuluh tahun, wanita yang selalu
menyatakan dirinya sebagai ibunya sakit terkena demam rematik. Menjelang ajal,
dia mengatakan yang sebenarnya: bahwa dia sebenarnya adalah nenek Ray. Bah-wa
kakak perempuannya, Ednalah yang melahirkan dia.
Saat aku mendengar ceritanya, aku teringat foto berpigura yang dia letakkan di
mejanya di rumah Hollyhock Avenus: foto seorang wanita yang sering kutertawakan
dengan Thomas kami menyebutnya Ma Kettle. Sekarang wanita di foto itu punya
?nama: Edna. Setelah tinggal mereka berdua Edna dan dia mereka berpindah dari tempat satu
? ?ke tempat lainnya. Kalau ada yang mempekerjakan Edna sebagai pelayan, maka
semuanya akan baik-baik saja untuk sementara, kemudian tiba-tiba mereka harus
pindah lagi .... Edna tak bermaksud jahat, kata Ray; dia bukan orang yang buruk.
Tapi dia lemah. "Lemah menghadapi godaan. Terjemahan bebasnya, dia adalah wanita
nakal, kurasa. Dan pemabuk."
Hal paling buruk terjadi ketika Edna menyewa kamar di atas salah satu bar di
pusat kota. "Barisan bar" kata mereka banyak pelanggan. Edna sering membawa
?para pengunjung bar ke rumah, pemabuk demi pemabuk. Suatu malam Ray terbangun
dari tidur nyenyak oleh seorang pria yang duduk di dekatnya, mencoba bermain-
main dengannya. Setelah itu, Ray selalu tidur dengan palu di
sebelahnya. "Mungkin semua baik-baik saja kalau keluargaku yang lain masih
hidup," katanya. "Tapi yang masih ada tinggal kami berdua."
Dia pergi secepat dia bisa, katanya keluar dari sekolah dan masuk Angkatan
?Laut. Edna dipaksanya menandatangani surat melepaskan perwalian. "Awalnya dia
tak mau menandatanganinya," katanya. "Karena aku bisa mendatangkan uang untuknya
dengan mengerjakan pekerjaan sambilan ini dan itu." Tapi akhirnya Edna mau
menandatanganinya pada suatu malam saat dia "sadar dan jernih" pikirannya, dan
Ray langsung pergi dari sana. Dia hanya kembali ke Youngstown sekali, dan itu
adalah untuk memakamkan Edna. Desember 1945: dia ingat karena baru saja keluar
dari Angkatan Laut. Baru saja membeli mobil DeSoto hitam. Mengendarai mobil itu
sepanjang jalan ke Ohio tanpa ban cadangan. Edna meninggal karena gangguan
hati akibat terlalu banyak minum. Baru empat puluh satu tahun dan dia terlihat
?seperti sudah enam puluh satu tahun. Selain sekali itu, dia meninggalkan Ohio
sejak usia tujuh belas tahun dan tak pernah kembali lagi.
Saat perang, dia ditempatkan di Prancis dan lalu ke Italia. Ray menyebutnya It-
ly. Orang Italia adalah orang yang baik, katanya orang yang ramah, bahkan pada
?saat perang. Saat keluar dari Angkatan Laut, dia menjual vacuum cleaner untuk
sementara waktu. Mengencani seorang gadis di Framingham, Massachusetts, tapi tak
bertahan lama. Namanya Olga, gadis Ukraina. Terlalu sering
memerintahnya. Ketika Perang Korea mulai, Ray mendaftar lagi ke militer.
Sebenarnya dia tak perlu mendaftar. Usia wajib militernya hanya tinggal dua
tahun saat itu. Tapi dia selalu merasa berkewajiban untuk membela negaranya,
benar ataupun salah. Dia bahkan tak pernah menanyakan benar atau salahnya. Itu
adalah masalah para politisi dan para pejabat. Dan lagi pula, dia masih
bersemangat untuk berkelahi. Masih banyak kekuatan dan kekerasan dalam tubuhnya
yang perlu penyaluran dan menurutnya sebaiknya itu disalurkan di Korea Utara
daripada ke orang yang duduk sebelahnya dalam sebuah bar, atau orang berengsek
yang memotong jalannya saat menyetir.
"Lalu, setelah aku keluar dari perang itu, saat itulah aku mendapat pekerjaan di
Fuller Brush. Itu hanya pekerjaan sementara hingga aku bisa mencari yang lebih
baik. Tapi itulah bagaimana aku bertemu dengan ibumu. Dia membukakan pintu
untukku dan aku mulai membuka sampel-sampel jualanku, dan tiba-tiba dia
menangis. Tersedu-sedu begitu saja. Awalnya, aku tak tahu apa yang terjadi.
Kukira dia melukai dirinya sendiri atau apa.
"Dia sangat repot mengurus kalian berdua. Hari pertama aku mampir kalian berdua
sedang sakit infeksi telinga. Aku ingat bagaimana kalian berdua membuat dia
kelelahan setengah mati. Dan tentu saja, dia sendirian. Dia kehilangan ayahnya
setahun yang lalu dan apa yang ditinggalkan untuknya hampir-hampir tak cukup ?untuk hidup. Aku merasa sedikit iba padanya. Dia terlalu banyak beban ....
"Tentu, aku juga agak menyukainya. Tubuhnya lumayan bagus. Dan mulutnya itu tak
?pernah menggangguku. 'Bisa dicium seperti mulut orang-orang yang lain,' begitu
yang sering kukatakan padanya. Aku langsung tahu dia wanita yang baik. Agak
pemalu mungkin, tapi aku tak berkeberatan. Aku menyukai orang Italia. Karena
pengalamanku saat perang .... Ibumu sangat berbeda dengan Edna. Dia berbuat
kesalahan itu saja. Setiap orang bisa berbuat salah. Aku juga bukan orang suci
saat di Angkatan Laut. Aku banyak melakukan hal-hal yang seharusnya tak
kulakukan. Lagi pula, aku juga tertarik pada kalian berdua. Double trouble aku
sering memanggil kalian berdua. Kalian berdua adalah anak-anak yang bandel."
Keberadaannya dalam hidupmu selalu konstan, aku teringat perkataan Dr. Patel.
Dia ada di sana, menyaksikan kau tumbuh dewasa.
"Aku tahu aku berbuat kesalahan dengan kalian berdua," kata Ray. "Apalagi dengan
dia. Kau ingat saat hari pemakamannya" Setelahnya saat di rumah" Semua hal yang
?kau tuduhkan padaku itu juga sudah kutuduhkan pada diriku sendiri .... Aku tak
pernah memahami anak itu. Aku dan dia, kami seperti minyak dan air .... Aku tak
pernah punya ayah, kau tahu" Yang kutahu hanyalah bahwa dunia adalah tempat yang
keras. Dan kurasa itu adalah satu hal yang bisa kulakukan untuk kalian berdua.
Membuat kalian tangguh sehingga kalian bisa menghadapi hambatan apa pun yang
akan kalian temui dalam kehidupan .... 'Mereka masih kecil, Ray,' ibumu selalu bilang
begitu setiap saat. Tapi aku tak mau tahu, aku keras kepala. Dan tentu saja, aku
tahu kalian berdua tak begitu menyukaiku. Menganggapku sebagai orang jahat
setiap saat. Orang yang menghancurkan kesenangan setiap orang. Kadang kalian
sedang menertawai sesuatu, dan saat aku masuk, bamf Kalian bertiga langsung
diam." "Itu karena temperamenmu," kataku. "Kami takut padamu."
Ray mengangguk. "Temperamenku buruk. Aku tahu itu. Itu karena asal-usulku. Aku
benci pada dunia kurasa .... Tapi, Yesus, aku sangat marah pada ibumu kalau dia
berusaha turut campur dalam masalah Thomas setiap saat. Itu membuatku kehilangan
kendali .... Dan tentu saja, pada hari ketika aku pulang dan menemukan mereka
berdua di kamar atas, kakakmu memakai topi bodoh itu, sepatu hak tinggi ....
"Aku mengecewakannya aku tahu itu. Aku mungkin mengecewakan kalian berdua.
?Benar?" Aku tak bisa menjawab. Yesus, dia memang brutal pada kami. Tapi dia ada .... Dia
bilang mulut Ma bisa dicium seperti mulut orang lain.
"Semuanya jadi lebih jelas saat kau makin tua," katanya. "Tentu, pada saat itu
semua sudah terlambat."
Aku selesai mencukurnya. Mendorongnya keluar dari kamar mandi ke dekat tempat
tidur. Aku duduk di sebelahnya. "Bukan hanya karena kamu," kataku.
"Kami semua agak kacau, termasuk Ma."
"Dia punya kebiasaan seperti orang lain," katanya. "Tapi dia wanita yang baik."
Jantungku berdegup kencang. Aku hampir-hampir tak bisa mengeluarkannya.
Tak bisa menanyakannya. "Sebelumnya?" kataku. "Saat kau bilang kalian berdua sama-sama bukan malaikat"
Apa kau ... apa Ma pernah bilang padamu siapa dia" Ayah kami?"
Kami saling memandang. Aku menunggu, menahan napas. Seluruh hidupku bergantung
pada jawabannya. "Kami tak pernah membicarakan hal seperti itu," katanya akhirnya. "Punya semacam
perjanjian tak terucap, kurasa. Semua itu adalah sungai yang mengalir di bawah
jembatan .... Kami membiarkan masa lalu terkubur, dia dan aku."
Empat Puluh Tujuh Raket Leo melengkung rendah untuk menangkap bola. Thwock! Bola itu mengenai
dinding belakang, mental tinggi di udara, dan mengenai dinding depan, enam inci
dari lantai. "Dan aku," teriaknya, "adalah Raja RacquetbaII" "Tembakan bagus," kataku
menyerah. "Oke, sudah selesai. Kau menang."
Dia baru saja mengalahkanku tiga kali berturut-turut sesuatu yang tak pernah ?bisa dia lakukan sebelumnya. Basah kuyup penuh keringat, terengah-engah, kami
masuk kamar mandi. "Hei, Birds," panggil Leo dari shower sebelah saat aku sedang keramas. "Kau
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
punya waktu untuk minum?"
Aku bilang tidak bahwa aku harus segera berpakaian dan pergi.
?"Ya" Untuk apa" Kau punya kencan atau apa?"
Aku mematikan air, mengambil handuk. "Kencan dengan petugas sosial Ray," kataku.
"Kami harus membicarakan asuransi Medicarenya."
Itu bohong. Joy meneleponku, tiba-tiba saja, tadi malam. Dia sedang di Three
Rivers mengunjungi teman, katanya; dia ingin tahu apakah dia boleh mampir dan
menemuiku sebelum kembali. Hanya
untuk bilang halo, dan menunjukkan bayinya. Aku awalnya menolak. Untuk apa" Tapi
dia terus memaksa: kita berdua sudah tak bertemu hampir setahun, banyak sekali
yang ingin dia ceritakan padaku. Apakah aku sudah menerima foto Tyffanie"
Foto dari rumah sakit itu: tanpa tahu kenapa aku menempelkanya di pintu lemari
es. Joy berjanji tak akan tinggal lama. Setelah lima belas menit dia akan pergi.
"Pasti mengesalkan, ya?" kata Leo. "Semua omong kosong tentang rumah
peristirahatan itu?"
"Nggak begitu buruk," kataku. "Terutama sekarang setelah Ray agak melunak."
Kalau aku bilang pada Leo tentang Joy, aku pasti mendapat kuliah bahwa aku tak
berutang apa pun pada perempuan jalang itu. Mengingat bagaimana dia mencoba
menjebakku, aku seharusnya bilang persetan padanya dan menutup telepon. Aku
tahu, bersedia menemui Joy adalah hal bodoh; aku tak perlu Leo untuk
memberitahuku itu. Tapi dia cuma minta waktu lima belas menit. Tak begitu lama.
"Hei," kataku. "Pinjam deodoranmu, ya" Aku tadi terburu-buru ke sini. Lupa
semuanya." Sebenarnya, aku tak bisa konsentrasi gugup mengenai kunjungan Joy.?"Hmmm, bagaimana ya, Birdsey," kata Leo. "Aku tak yakin apa aku siap melakukan
komitmen sebesar itu denganmu." Leluconnya kuabaikan. "Hei, Dominick. Coba tebak
apa yang kudengar hari ini" Dari Irene?"
Saat aku berpaling ke Leo, dia sedang
mengenakan celana boxer warna cerah. "Woaaa," kataku. "Silau. Di mana kacamata
hitamku" Sejak kapan kau memakai barang itu?"
"Sejak aku membaca apa pengaruh celana ketat pada spermamu," katanya. "Tapi
dengarkan aku. Aku serius. Dia bilang kalau Big Gene bilang padanya"
"Siapa yang bilang?"
"Irene. Akuntan mereka. Dia bilang Gene bilang padanya bahwa Pak Tua itu
berpikir untuk pensiun akhir tahun ini. Bepergian bersama Thula. Kurasa sejak
Thula jatuh itu mereka agak takut. Memaksa mereka mengevaluasai kembali atau
apalah .... Akhir tahun ini, Birdsey. Belum ada yang tahu."
"Aku tak percaya," kataku. "Apa dia tak harus dipaksa pensiun?"
Aku mengikat sepatu ketsku, ke depan cermin untuk meratakan rambutku. Aku lupa
membawa sisir juga. Kalau aku tahu bertemu dengan Joy akan membuatku segelisah
ini, aku akan menolak. Aku menyisir rambut dengan jari. Tak perlu repot-repot
untuk Joy, aku tak berutang apa pun padanya.
"Hei, Dominick," kata Leo. Ekspresi wajahnya tegang dan berharap, yang kadang
muncul kalau dia menginginkan sesuatu. Aku bisa meraba apa yang akan dia katakan
selanjutnya. "Misalkan dia benar-benar pensiun. Maksudku aku baru percaya kalau
sudah melihatnya juga, tapi misalkan dia pensiun .... Kau pikir aku berkesempatan
jadi General Manager?"
Leo yang malang; dia adalah Rodney Dangerfieldnya Constantine Motors. Bertahun-
tahun di tempat itu dan yang dia inginkan sebenarnya adalah sedikit penghargaan dari
ayah mertuanya. Itu, dan kantor sendiri sebuah meja yang bukan di lantai
?showroom. Tapi jelas bahwa dia akan terlewatkan dan yang akan menjadi General
Manager baru adalah anak Costa, Petes. Gene akan menendang Leo sekali lagi.
Mematahkan hati anaknya Angie dengan menyepelekan suaminya. Itu sudah jelas.
"Kurasa kau punya kesempatan kalau rekananmu punya otak," kataku.
"Kau pikir aku bisa melakukannya?"
Aku memandang wajahnya di belakangku lewat cermin. Jawabanku sangat penting
baginya. "Kau bergurau?" kataku. "Kau akan hebat." Itulah Leo: di balik semua
omong kosongnya, semua gertakannya, sebenarnya dia sedikit kurang percaya diri.
Dia seharusnya meninggalkan diler mobil itu sejak bertahun-tahun lalu.
Leo mengangguk, puas dengan jawabanku. "Ya, waktuku sudah tiba, kukira. Aku
mempunyai angka penjualan terbaik selama empat bulan berturut-turut. Apa aku
sudah mengatakan itu padamu?" Leo memasang dasinya, menutup pintu lokernya. "Aku
sudah empat puluh tiga tahun, Man. Aku adalah ayah dari cucu mereka."
"Hei, ngomong-ngomong masalah itu," kataku, "buat apa kau khawatir dengan
spermamu?" "Aku tak tahu," katanya. "Mesin seks seperti aku memang khawatir tentang hal-hal
seperti itu." Kami meninggalkan gimnasium, berjalan menuju
ke parkiran mobil. Aku mulai keluar dari tempat parkir, kembali gugup tentang
kunjungan Joy, ketika Leo mengklakson, menyuruhku menunggu. Aku menginjak rem,
menurunkan kaca jendelaku. Dia mengarahkan mobilnya ke samping mobilku. "Hei,
aku mendengar hal yang lain juga hari ini," katanya. "Aku seharusnya tak boleh
bilang padamu. Angie akan membunuhku kalau dia tahu. Ini tentang kakaknya."
Tanganku mencengkeram setir lebih erat. Aku menunggu.
"Dia dan Danny berpisah."
Aku diam, mengangguk, tak bisa berpikir.
"Bukan karena wanita lain atau apa. Mereka memutuskan berpisah, tetapi tetap
berteman. Danny ingin kembali ke Santa Fe dan Dessa mau tetap tinggal di sini."
"Apa sudah pasti?"
"Sejauh yang kutahu. Awalnya Dessa mau ikut dengannya, tapi kemudian dia berubah
pikiran. Hei, jangan telepon dia ya, Dominick. Oke" Angie akan membunuhku. Pak
Tua dan Ibunya juga belum tahu."
Kubilang aku akan menutup mulutku. "Jadi ngomong-ngomong, tentang hal yang
satunya" Kau benar-benar berpikir aku punya kesempatan?"
"Apa" .... Ya. Jelas sekali."
"Kau pikir aku bisa mengatasinya" Benar" Jujurlah. Aku kan, tidak mempunyai
gelar di bidang bisnis atau apalah."
"Kau punya gelar di bidang akting," kataku. "Itu
adalah training yang lebih baik untuk bekerja di tempat itu. Dan lagi pula, kau
mempunyai angka penjualan tertinggi selama empat bulan berturut-turut, kau
mengalahkanku di racquetball. Kau tak terkalahkan, Leo."
Dia meringis. Mengangguk setuju. "Aku tak terkalahkan. *
Menyetir pulang ke rumah, aku memikirkan mengapa berita tentang Dessa tidak
membuatku gembira. Aku sudah menunggu bertahun-tahun untuk mendengar apa yang
baru saja dikatakan Leo. Selama bertahun-tahun .... Dia mungkin akan tetap tinggal
di rumah pertanian itu, pikirku. Atau menjualnya mungkin. Kalau Dessa mau
menjualnya, dia sebaiknya mengecat rumah itu dulu. Akan mengurangi lima atau
enam ribu dolar dari harga yang pasaran kalau dia tak mengecatnya lagi. Tapi
sudah jelas, bukan" Kini setelah aku menjual peralatan mengecatku, dia mungkin
akan mengecat rumah itu .... Tapi mungkin dia akan tetap tinggal di sana. Tinggal
sendirian untuk sementara. Aku ingin tahu apa yang akan dia lakukan dengan kotak
surat warna-warni mereka berdua: mengecatnya lagi" Membiarkannya" Constantine-
Mixx, bahagia selamanya .... Meskipun aku sangat ingin membenci Dan The Man, aku
tak pernah bisa. Dari yang kudengar, dia adalah pria yang lumayan baik bahkan ?Leo juga mengakuinya. Dia juga sopan padaku hari itu saat menerima teleponku
setelah kakakku meninggal. Aku harus menghargai itu tapi Dessa tak akan kembali
lagi padaku. Hidup tak seperti itu. Kau tak bisa meneruskan apa yang telah kau tinggalkan. Demi
kesehatan mentalku, aku sebaiknya menghentikan khayalanku ini. Kau lihat ini,
Doc" Apakah kau tidak bangga padaku" .... Tapi mungkin akan berat bagi Dessa
selama dua bulan terakhir ini: memutuskan apakah dia akan pergi atau tinggal.
Aku ingin tahu apakah keputusannya itu ada hubungannya dengan anak-anak itu.
Anak-anak yang sakit di rumah sakit itu ....
Mobil Joy diparkir di depan kondominium, sudah menungguku. Lima belas menit
lebih awal. Aku melewatinya tanpa sadar. Kurasa aku mencari mobil
Toyotanya pikiranku terlalu penuh tentang Dessa. Aku sudah keluar mobil, ?setengah jalan menuju rumah ketika dia memanggil. Keluar dari mobil Civic putih
panjang yang sudah jelek.
Joy, membuka pintu belakang, membuka kursi. Mengangkat bayinya dan
menggendongnya. Joy dengan anaknya: kalau aku tidak berdiri di sana dan
melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, aku tak akan percaya ....
Mereka berdua berjalan ke arahku.
Aku ingin berteriak, pergi. Menjauhlah dariku.
Joy terlihat gugup tertawa, matanya berkaca-kaca . Dia terlihat payah. "Senang
?sekali bertemu denganmu lagi, Dominick," katanya. Sepertinya dia berdandan
terlalu menor. Make-up-nya kebanyakan. Di bawah terang matahari, kau bisa
melihat garis bedaknya di bawah dagu.
"Ini Tyffanie," katanya. Apa Joy sakit" Dia terlihat tak sehat.
Bayi itu sudah lebih besar daripada Angela. Dan lebih tua juga. Mataku turun
dari kepalanya ke telinganya yang ditindik dan ke jari-jari mungilnya. Aku belum
berani memandang wajahnya.
"Mana," kataku. "Biar kutolong membawakan barang-barangmu. Hari-harimu bepergian
dengan sedikit barang sudah selesai, ya?" Aku mengambil kursi bayi yang dia
jinjing, mengangkat tas bayi dari bahunya. "Oh, ya," kataku. "Benar. Apa yang
kulakukan?" Aku meletakkan semuanya lagi. Membuka pintu dengan tanganku yang
gemetaran. "Tempat yang sama," kata Joy ketika masuk. Dengan cara bayi, dia lalu bilang
pada Tyffanie, bahwa di sinilah dulu Mommy tinggal. Joy, yang suka ngomong jorok
saat bercinta yang kadang bahkan membuatku malu. Kini dia bicara dengan cara
?bayi. Tadi malam di telepon ketika menanyakan padaku apa ada kabar baru, aku bilang
padanya tentang kematian kakakku, tentang menjual bisnisku. Aku melewatkan
berita tentang Ray. Mereka berdua tak pernah cocok. Sekarang dia menyebutkan
tentang Thomas lagi mengatakan padaku bahwa dia turut berduka. Tapi hidupku
?sekarang jadi lebih mudah, bukan"
Enam bulan lalu, ucapan Joy itu pasti membuatku jengkel. Membuatku langsung
membantah. Tapi sekarang aku membiarkannya. Bisa dibilang mudah, bisa juga
tidak, kataku. Apa kau sudah makan" Kau mau sandwich"
Dia akan senang sekali, katanya. Bayinya harus
ganti popok. Apa dia boleh menggunakan sofa"
"Silakan," kataku. "Kau tak perlu meminta dulu."
Di dapur, aku mengeluarkan piring, Sprite, bahan sandwich. Aneh juga, aku bisa
melihat foto bayi itu, yang tertempel di kulkas, berkali-kali dalam sehari, tapi
tak bisa melihatnya langsung .... Ya Tuhan, Joy terlihat buruk sekali. Make-up
setebal itu; sepertinya dia mencoba terlalu keras atau apa. "Dada kalkun, kau
mau?" kataku. "Ya. Bagus sekali. Pakai mustard, bukan mayones, kalau kau masih ingat."
Aku sudah mengeluarkan mustard. Apa yang dia pikirkan sepuluh, sebelas bulan,
? dan aku sudah lupa kalau dia tak suka mayones" .... Aneh: buat apa dia meminta
izin menggunakan sofa untuk mengganti popok bayi. Dia yang memesan sofa itu.
Dari katalog. Kami bertengkar saat sofa itu tiba. Aku membalikkan sofa itu dan
menggerak-gerakkan kerangkanya menunjukkan padanya bahwa bahannya murahan, ?menguliahinya tentang betapa bodohnya memesan mebel seharga seribu dua ratus
dolar hanya berdasarkan gambar bagus di majalah. Tak heran kalau dia punya utang
begitu banyak: matanya lebih besar daripada kepalanya. Kami berdua tak pernah
cocok. Kami makan di meja dapur, bayinya duduk di antara kami di kursi plastik kuning.
Setiap kali Joy bicara padanya, tangan Tyffanie bergerak-gerak. Dia tak mirip
dengan foto dari rumah sakit itu lagi. Dia seperti ibunya.
"Kau mau menggendongnya?" tanya Joy padaku.
Aku bilang tidak, terima kasih, tak usah.
"Mana senyumnya?" dia bertanya pada Tyffanie. "Mana senyummu untuk, Dominick?"
Joy memandangku. "Kau mau dipanggil Dominick atau paman Dominick?"
"Terserah," kataku. Aku bukan apa-apanya anak
ini. Joy mencondongkan tubuhnya ke Tyffanie. "Bau bayi itu enak sekali, ya?" katanya.
Dahi mereka bersentuhan, Joy menghirup. "Cium dia, Dominick. Ayo." Dia mendorong
kursi bayi itu ke arahku.
"Tak usah," kataku. Menjauhkan tubuh sedikit.
Ketika dia bertanya pada bayinya apakah paman Dominick, "boleh menciumnya,"
Tyffanie meringis sangat manis dan murni seperti foto bayi di iklan makanan
bayi. Seperti ibunya. Baru enam minggu dan dia sudah tahu bagaimana caranya
merayu. Aku menggigit sandwich-ku. Melihat ke jam dinding. Kalau mereka hanya mampir
selama lima belas menit, sebaiknya Joy segera makan. "Jadi?" kataku.
"Jadi," ulang Joy.
Dia basa-basi sedikit tentang betapa menyenangkan semuanya. Portsmouth
menyenangkan, Tyffanie menyenangkan. Dia tidak menyebutkan si berengsek itu.
Kalau semuanya sempurna, mengapa dia terlihat buruk" Mengapa matanya terlihat
gugup" Kehancuran Hesperus, pikirku frasa yang sering digunakan ibuku.
?Joy bilang dia belum mengerti artinya hidup hingga Tyffanie lahir, tapi sekarang
dia mengerti. Aku ingin bilang, bagus sekali. Katakan saja pendapatmu itu pada Plato atau
Kierkegaard dan semua filsuf lainnya, yang memeras otak mencari tahu makna
hidup. Dia bertanya lagi apakah aku mau menggendong Tyffanie. Aku bilang tidak, terima
kasih. "Ayolah, Dominick," katanya mendesak. "Angkat dia. Dia gampang akrab dengan
orang asing." Aku menggeleng. Menggigit sandwich-ku lagi. Kunjungan ini adalah sebuah
kesalahan. "Bukannya kau ini orang asing," kata Joy. "Aku tak bermaksud begitu. Hei, kalau
aku pembohong yang lebih pintar, kau akan jadi ayah gadis kecil ini, bukan?"
Aku diam memandangnya. Joy melengos, memandangku lagi. "Aku minta maaf telah
melukaimu, Dominick," katanya. "Aku minta maaf untuk semuanya. Kau seharusnya
tak berurusan dengan pecundang seperti aku."
Aku tak menyambut pancingan itu tak mengatakan padanya kalau dia bukan ?pecundang. Tidak mengatakan padanya kalau semuanya sudah dimaafkan karena
sekarang dia adalah seorang ibu. Sekarang setelah dia mengerti arti hidup. Dia
berjanji hanya lima belas menit, tapi dia sudah di sini selama dua puluh lima
menit. Dan belum menyentuh sandwich sialan itu. Makan! Aku ingin berteriak
padanya. Makan dan pergilah!
"Kenapa kau menindik telinganya?" kataku.
Karena dia bayi yang sangat manis, kata Joy. Karena Tyffanie adalah gadis kecil
Mommy yang manis. Yang ditindik itu tulang rawan, katanya. Dia sudah berkonsultasi dengan
dokter anak: Tyffanie tak merasakan apa pun. Dia tak akan pernah melakukan apa
pun yang bisa melukai Tyffanie. "Orangtuamu menyunatmu," kata Joy. "Aku tahu
pasti itu. Apakah itu sakit?"
Tyffanie membentuk huruf O dengan bibirnya membuat gelembung ludah dan
?mengoceh. Joy tertawa dan menirukannya. Tiba-tiba dia berdiri dan mengambil anak
itu dari kursinya, mengangkatnya di depanku. "Nih!" katanya. "Gendong dia,
Dominick! Dia hebat!"
Bayi itu, dengan kaki meronta-ronta, tergantung di antara kami.
Mereka tinggal sekitar setengah jam lagi. Setelah mereka pergi, aku menemukan
dot Tyffanie"binky"nya kata Joy. Terjatuh di lantai dapur. Memangnya kenapa"
Kataku pada diri sendiri. Dia bisa berhenti di swalayan dan membeli lagi hanya
dengan harga tujuh puluh lima sen. Ketika aku ke ruang duduk, aku melihat kalau
dia juga lupa membawa selimut alas ganti. Selimut itu terlipat rapi di lengan
sofa. Aku mengambilnya. Melihat amplop yang dia sembunyikan di bawahnya. Aku
membukanya seakan-akan itu adalah bom surat yang sebenarnya bisa juga dikatakan
?seperti itu. Pukui empat pagi, Tyffanie masih tidur. Aku punya berita buruk ....
Joy berharap punya keberanian untuk mengatakannya secara langsung padaku,
tulisnya; dia menulisnya di surat kalau-kalau dia tak berani melakukannya. Dia
HIV-positif. Dia tahu saat hamil Tyffanie masa yang seharusnya menjadi salah satu masa
?paling bahagia dalam hidupnya. Gaya hidup Thad akhirnya berbalik padanya pada
?mereka berdua. Dia tidak sehati-hati seperti yang dia bilang dengan "hubungan"
kecilnya yang lain. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya dia tak peduli padaku.
Bayinya sudah dites tiga kali dua kali di California dan sekali di sini, di New
?Hampshire. Mukjizat, sepertinya dia tidak terkena virus itu. Setidaknya dokter
yakin Tyffanie tak terkena; tapi dia harus tetap dites hingga usia delapan belas
bulan. Baru mereka akan benar-benar yakin. Tapi tiga dokter yang berbeda bilang
dia akan baik-baik saja. Kalau Tyffanie terinfeksi harusnya sudah terlihat
sekarang. Joy berharap pada itu; kemungkinan bahwa dia tidak berbuat kesalahan pada Tyffanie. Kadang-kadang itulah satu-satunya yang bisa
membuatnya bertahan dari keputusasaan.
Thad tak pernah menjenguk Tyffanie. Ayah yang hebat bukan" Hampir sehebat
ayahku. The Duchess sudah pergi ke Meksiko saat Joy hamil tujuh bulan, tulis Joy. Dia
dan seorang pria lain ini mengejar berita "obat" baru yang tak diedarkan di
Amerika Serikat. Thad sudah menderita AIDS. Dia bilang dia membutuhkan semua
uangnya untuk pengobatan dan mereka bertengkar hebat. Apa yang sebenarnya dia lihat pada
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang berengsek itu selama ini, sehingga selalu terikat padanya" Karena Thad
sebenarnya adalah orang berengsek. Dia menghancurkan seluruh hidupnya, dan
maksudnya bukan hanya HIV.
Joy pergi ke timur sendirian, dia dan bayinya, setelah pertengkaran hebat dengan
ibunya dan suami ibunya yang "bukan manusia". Perjalanannya sangat sulit, dia
harus sering berhenti demi Tyffanie, kadang di tempat-tempat yang tidak nyaman
untuk berhenti. Dia menghabiskan lebih banyak uang daripada yang dia rencanakan.
Tapi dia senang, kembali ke timur. Akhir bulan ini dia akan pindah kembali ke
Three Rivers. Itulah sebagian dari tujuan kunjungan ini, menemukan tempat untuk
tinggal. Dia sudah menyewa apartemen di lantai tiga di Coleman Court. Dia pindah
tanggal 1 Agustus. Dia sudah mendapatkan pekerjaan sebagai pelayan di Denny's. ?Senin hingga Rabu malam sebagai awalnya. Itu hanya sementara. Dia akan mencari
pekerjaan dengan manfaat kesehatan saat dia datang nanti. Induk semangnya akan
mengasuh Tyffanie pada malam hari. Wanita ini punya masalah "besar" beratnya
?lebih dari tiga ratus pon, tapi dia pengasuh anak bersertifikat. Dari yang
dilihat Joy dia hebat dengan anak kecil. Itu saja yang penting.
Tyffanie dan aku adalah dua orang di dunia ini yang berarti baginya, tulisnya.
Dia mencintaiku. Dia masih mencintaiku. Aku menyadari itu sebeium
Serigala Bukit Maut 2 Pendekar Rajawali Sakti 165 Wanita Iblis Pedang Kayu Cendana 1
Aku mengangguk. "Kami pergi nonton film, lalu pergi ke swalayan five-and-ten
untuk membeli soda. Dan kami dalam perjalanan pulang. Naik bus. Dan ... dan pria
gila ini juga naik. Berjalan ke belakang dan duduk di seberang kami ... di
seberang Thomas dan aku. Dia duduk di sebelah ibuku."
"Teruskan, Dominick. Kau aman di sini. Lepaskan."
"Dan dia mulai ... merabanya. Menyentuhnya. Mengendusnya."
"Jadilah dirimu di bus saat itu untuk beberapa saat. Apa kau takut?"
"Ya." "Marah?" "Ya!" "Apa yang dilakukan ibumu, Dominick" Pria itu menyentuhnya dan dia"
"Diam saja! Itulah yang dilakukannya, diam! Dia duduk tak bicara apa pun karena
dia sangat ... sangat lemah dan
Dr. Patel mengulurkan kotak tisu padaku. "Dia tidak menjerit" Dia tidak berdiri
dan mengatakannya pada sopir bus?"
"Tidak! Dan aku benci itu! .... Dia selalu takut."
"Di bus. Di rumah dengan Ray."
"Itu tidak adil! Aku masih anak-anak!"
"Apa yang tidak adil, Dominick?"
"Aku harus mempertahankan kami bertiga. Diriku
sendiri, dia, dan Ma. Dan bahkan saat itu ... bahkan setelah yang kulakukan ...."
Aku tersedu sekarang. Aku tak bisa menahan diri.
"Dan bahkan meskipun kau melindungi ibumu dan kakakmu berjuang untuk ?mereka ibumu masih lebih mencintai kakakmu dibandingkan kau?"
?Kepalaku mengangguk-angguk. Aku tak bisa bicara. Tak bisa mengatakan
kebenarannya. The boys have the muscles,' The coaches have the brains! The girls have the sexy
legs so let's play the game! (Anak laki-laki punya otot! Pelatih punya otak!
Gadis-gadis punya kaki seksi ayo segera mulai (bertanding)!)
Putri Sheffer, Jesse, menggoyangkan pom-pomnya dengan sungguh-sungguh. Dia sudah
menganggapku teman bahkan sebelum aku menginjakkan kaki ke rumahnya. Selama
setengah jam pertama kunjunganku, aku dibawanya ke ruang bawah tanah untuk
melihat tikusnya, dan ke kamar atas untuk melihat Barbienya. Sekarang aku di
halaman, sehingga aku bisa melihat gerakan cheerleader Midget Footballnya.
Sheffer dan Monica berdiri mengapitku sementara Jesse jungkir balik. "Teoriku
adalah, Olivia-Newton John melahirkan pada hari yang sama denganku dan bayi kami
tertukar," kata Sheffer bergumam. "Tak ada penjelasan lain."
Monica adalah wanita setinggi enam kaki dari Kittery. Dia dan salah satu teman
wanitanya mempunyai bisnis perbaikan rumah bernama Womyn's Work.
"Jadi bagaimana bisnismu?" tanyaku padanya, daguku mengangguk ke arah pikapnya
yang diparkir di halaman. Jesse baru saja jatuh saat jungkir balik dan lututnya
tergores. Dia dan ibunya masuk ke dalam untuk menempelkan Band Aid di lukanya.
Monica mengangkat kedua tangannya dan memberiku isyarat jempol terbalik.
"Dua tahun lalu, saat kami memulai, kami mengira bahwa dengan ekonomi seperti
ini semua orang mempertahankan yang mereka punya memilih memperbaiki daripada
?membeli baru. Tapi bisnis lebih sulit daripada yang kami duga. Partnerku dan aku
sebenarnya bagus benar-benar bagus tapi kami harus melawan prasangka orang."
? ?"Seperti apa?" kataku.
"Seperti, kau butuh penis untuk bisa mengayunkan palu atau meruntuhkan dinding."
Monica tertawa. "Bukan maksudku menyinggungmu, hombre. Lisa bilang kau tukang
cat." "Secara teknis," kataku. "Mungkin tak lama lagi."
"Itu juga yang dikatakan Lisa." Dia dan rekan bisnisnya berusaha melakukan
sedikit diversifikasi, katanya melakukan pekerjaan menata halaman, mungkin juga?mengecat. Mereka akan memutuskannya pada akhir musim nanti apakah mereka bisa
meneruskan bisnis. "Kalau tidak, aku selalu bisa kembali ke pekerjaanku dulu,"
katanya. "System analyst. Membosankan."
Setelah makan malam, Jesse harus memberiku dua pelukan selamat malam sebelum
Monica menggendongnya ke atas untuk tidur. Sheffer mengikuti mereka dengan
setumpuk cucian. Monica turun duluan.
"Jesse anak yang manis," kataku. "Miss Cheerleader, ya?"
"Miss Merepotkan biasanya," kata Monica. "Tapi dia anak baik. Walau lemparan
bisbolnya seperti anak perempuan."
Aku tersenyum. Bertanya bagaimana dia dan Lisa ketemu.
Di tempat penampungan wanita di Easterly, katanya. Dia sedang melakukan
pekerjaan tukang kayu gratis untuk penampungan itu setahun sebelumnya dan
akhirnya menjadi anggota Dewan Direkturnya.
"Yeah" Lisa juga di dewan?" kataku.
Monica mengalihkan pandangannya. "Tidak. Hei, kau mau bir?"
Kami pergi ke dapur. Mengobrol tentang enak tidaknya mempunyai bisnis sendiri.
"Hei," kataku. "Kalau aku memutuskan untuk menjual peralatan mengecatku, kau
tertarik?" Monica bilang bergantung peralatannya, bagaimana kondisinya dan
apakah aku setuju dengan pembayarannya. Kalau mereka memulai pekerjaan sambilan
mengecat, mereka pasti bisa membeli peralatan baru.
Aku suka dia. Suka berada di sana malam itu.
Aku merasa senang di luar dugaanku. Saat aku melihat arloji, jam sudah
menunjukkan pukul sebelas lebih.
Sheffer mengantarku sampai ke mobil. Dia bilang padaku bahwa saat berusia tiga
belas tahun kakak lelakinya yang sulung meninggal karena leukemia. "Dia delapan
tahun lebih tua dariku," katanya. "Pahlawanku. Tapi ya Tuhan, aku tak bisa
membayangkan bagaimana rasanya kehilangan kembaranmu."
"Itu seperti ... seperti kehilangan sebagian dirimu. Aku tak tahu. Dalam banyak
hal kami sangat berbeda. Yang bukan masalah bagiku. Tepat seperti yang
kuinginkan. Tapi selama hidupku, aku ... aku merasa menjadi separuh dari sesuatu,
kau tahu" Sesuatu yang spesial yang unik bahkan dengan segala komplikasinya.
? ?Wow. Lihat. Kembar .... Dan sekarang kekhususan itu keutuhan itu tak ada lagi.
? ?Jadi rasanya aneh. Perlu waktu untuk terbiasa .... Bukannya menjadi adiknya itu
mudah. Bahkan sebelum dia sakit. Dokter Patel bilang aku berduka untuknya untuk
?Thomas dan untuk keutuhan itu juga."
?Sheffer mengulurkan tangan dan memegang tanganku.
"Dia bilang aku harus terbiasa pada status baruku. Yang berhasil hidup. Si
kembar yang sendirian."
Aku bertanya apakah Sheffer ingat hari ketika mereka melepaskan Thomas dari
Hatch. Bagaimana dia berusaha memperingatkanku untuk tidak membiarkan
kesombonganku menghalangi
keselamatan kakakku. "Oh, Dominick," katanya. "Akulah yang sombong. Kau kira aku tidak terkena
penyakit sok kuasa" Menjadi orang yang kuat" Si kembar yang tidak sakit" .... Itu
adalah yang sedang kami bicarakan Dr. Patel dan aku apa yang harus kulakukan ? ?dengan kesombongan dalam diriku. Semua perasaan sok benar ini. Perasaan itu ada
di sana diam tak melakukan apa pun. Seperti aku kurasa."
?Sheffer memelukku. Menggoyang-goyangkanku sedikit. Rasanya menyenangkan dipeluk
seperti itu dipeluk seseorang yang menjadi temanku.
?"Aku akan baik-baik saja," kataku. "Hei, ngomong-ngomong, aku suka pacarmu. Dia
mungkin akan membeli kompresorku."
Aku lelah ketika sampai di rumah. Mematikan lampu dapur dan langsung ke kamar.
Langsung tertidur-fram/ Tapi tiba-tiba pada tengah malam, aku terbangun karena haus. Meraba-raba jalanku
ke dapur untuk segelas jus. Mesin penjawab telepon berkedip-kedip, terpantul di
panggangan roti, microwave. Blink, blink, berhenti. Blink, blink, berhenti. Aku
tak melihatnya sebelumnya. Aku menekan tombol play dan berdiri mendengarkan.
Penelepon pertama adalah Joy. Apakah aku sudah menerima suratnya dulu" Foto
Tyffanie yang dia kirim" Apakah aku tertarik melihat bayinya
langsung" Kalau ya, sebaiknya aku meneleponnya. Mungkin kita bisa bertemu di
tengah jalan atau semacamnya. Joy mengatakan nomornya pelan-pelan dan
mengulanginya lagi. Pesan kedua adalah Dr. Azzi. "Dokter bedah ayah Anda," katanya.
Operasinya berjalan lancar: tak masalah. Dia mengamputasi kakinya sedikit di
atas lutut, seperti dugaan semula. Dia menyesal tak bertemu denganku di rumah
sakit. Saat dia pulang dari rumah sakit pukul delapan malam tadi, ayahku masih
di bawah pengaruh obat bius, tapi beristirahat dengan nyaman.
Di atas lutut" Diamputasi" Apa yang dia bicarakan"
Layanan penjawab telepon Dr. Azzi mengatakan bahwa dia tak bisa dihubungi
kecuali kondisi darurat, tapi kadang dia memeriksa pesannya pada malam hari
sebelum tidur. Wanita yang menerima teleponku berkata bahwa dia akan mengatakan
pada Dr. Azzi kalau aku menelepon.
Itukah sebabnya Ray terus meneleponku" Karena itukah dia pincang"
Diamputasi .... Dan mungkin aku tahu apa yang terjadi kalau aku punya etika untuk membalas
teleponnya. Dia menanam tulip di makam Angela.
Mengganggu aku dan kakakku sepanjang hidup kami.
Aku membuatnya malu hari itu saat Thomas dimakamkan.
Dia mematahkan lengan ibuku .... Tengah malam itu, aku pergi ke kamar. Menjatuhkan
diri di ranjang dan meraih ke bawah. Mengeluarkan manuskrip Domenico. Aku duduk.
Membukanya. Aku akan menyelesaikannya, tak peduli apa isinya. Tak peduli kalau manuskrip ini
membuka rahasiaku. Empat Puluh Lima 17 Agustus 1949 Jadi dengan membuka kembali kuburan pelukis kaca bastardo yang malang itu, aku
mendapatkan apa yang kuinginkan. Aku sudah menunjukkan pada mereka berdua tak
ada gunanya mempermainkan Tempesta.
Aku membuat peraturan baru. Ignazia boleh tidur di kamar belakang pada hari-hari
kerja, tapi sekarang harus mengunjungiku di kamarku di atas setiap Sabtu dan
Minggu. Sedikit kenyamanan sekali atau dua kali seminggu untuk mengganti semua
yang telah kuberikan padanya tidaklah banyak; kataku mengingatkan dia; dalam
pernikahan seorang istri harus memberi selain mengambil. Dengan sedikit kehati-
hatian, dia bisa melakukan kewajibannya untukku tanpa perlu hamil. Dan kalau
terjadi kecelakaan, maka mungkin itu kehendak Tuhan. Mungkin jantungnya lebih
kuat daripada yang dikatakan dokter 'Mehcano itu. Kau mungkin bisa menjadi nonna
berambut putih dengan selusin cucu membuntutimu, kataku padanya. Tuhan Yang
Mahabesar memberkati kehidupan keluarga. Tuhan Maha Memberi.
Ignazia mengancam untuk pergi ke temanku Bapa Guglielmo dan mengadukan peraturan
baruku. "Kalau kau ingin aku menyimpan rahasiamu saat di Italia," kataku, "maka
sebaiknya kau simpan rahasia rumah ini. Tak ada pengaduan saat mengaku. Dan juga
tak ada pengaduan pada Signora Tusia di sebelah atau pada dottore yang membuatmu
takut padaku sejak awal." Terlebih lagi, kataku, aku tak mau dia mengobrol lagi
dengan teman-teman wanita 'Mericana-nya di sekitar rumah. "Mereka akan melihat
mukamu yang sedih dan berpikir kau lebih rendah daripada mereka. Para wanita itu
akan suka melihat rumah orang Italia yang bermasalah. "Mericani baik di depanmu,
tapi di belakangmu mereka memanggilmu "orang Italia kotor". Mereka ingin kita
gagal. Mereka menunggu itu terjadi."
Kereta bayi mahal dari Sears and Roebuck itu berdiri tak berguna di lorong
depan. Ignazia mematuhi aturan baruku dan anak itu semakin besar dan hidup kami
berlanjut. Di sekitar Three Rivers, aku semakin sibuk: mendirikan dewan, menjadi anggota
komisi ini, petugas itu. Aku tak lagi menemui Josephine Reynolds. Terlalu sibuk.
Aku memberikan saran pada para keluarga yang baru datang dari Italia dan paisani
dari pabrik yang ingin pindah dari bedengan rumah milik American Woolen and
Textile ke rumah mereka sendiri. Kalau aku meminta imbalan bagi setiap saran
gratis yang kuberikan, aku pasti jadi
jutawan! Ini adalah imbalan yang kudapat karena pandai mengatur uangku dan
sukses dalam hidup. Setengah kota ingin mendapatkan saran dari Domenico Tempesta
tentang bagaimana menjalani hidup!
Pada musim semi tahun 1924, aku terpilih menjadi // Presidente yayasan Sons of
Italy. (Foto di koran, halaman dua. Itu sedikit mengesalkanku. Graziadio menjadi
presidente tahun kemarin dan mereka memasang foto wajah gendutnya di halaman
pertama.) Di American Woolen and Textile beberapa biang kerok datang dari New
Haven dan menghasut untuk mendirikan serikat pekerja bagi buruh pencelup. Aku
tak suka orang luar itu; mereka memasukkan gagasan gila di kepala pekerjaku.
Ketika Domenico Tempesta bicara menentang serikat itu, maka rencana itu
berantakan. Sang agen, Baxter, membelikan aku sebotol wiski dan menyuruh tukang
jagal mengirimkan ayam kalkun yang sudah disembelih ke rumahku. (Dagingnya
alot). Dia sudah bicara dengan ayah mertuanya, kata Baxter; sekitar setahun dua
tahun mendatang ada rencana untuk mempromosikanku dari bos pencelup menjadi
supervisor malam pabrik nomor 2.
Para politisi juga bicara padaku Demokrat dan Republik. Shanley sang walikota ?meneleponku suatu sore dan mengundangku ke kantornya. Dia memintaku duduk di
depan meja oak-nya yang besar dan menyalakan cerutu hampir sepanjang lenganku.
Agar bisa terpilih lagi November nanti dia
harus berjuang keras, katanya. Dia memerlukan setiap suara yang bisa dia
dapatkan. Orang-orang Italia di kota sejak dulu jarang ikut memilih. Dia
bertanya apakah aku bisa membantunya mengubah itu. "Kau sangat dihormati di
komunitas ini, Domenico," kata Shanley. "Dan tentu saja, kalau kau setuju
bekerja untuk kami, mungkin kami bisa memudahkan sedikit perjanjiannya."
Aku memegang topiku di tangan dan berusaha terlihat seperti imigrante stupido
seperti yang dia kira. "Memudahkan perjanjian bagaimana, Yang Mulia?" tanyaku.
Politisi busuk yang ingin mendapatkan sesuatu harus mau memberikan sesuatu juga.
"Oh, kita bisa membahas itu lain kali," kata Shanley. "Sebuah perjanjian
mungkin. Pertolongan untuk ini atau itu. George B. Shanley tak melupakan teman-
temannya atau pemilihnya. Itu seperti menabung uang di bank." Kukatakan padanya
kalau aku akan memikirkan permintaannya.
Dalam perjalanan pulang dari kantor Demokrat berengsek itu, aku ingat pasangan
sombong di SS Napoiitano dua orang yang berdiri dan memandang pelayan ?menumpahkan air untuk membangunkanku. Aku juga berpikir tentang apa yang
kuteriakkan pada pasangan penumpang dan pelayan sombong itu saat aku terhuyung-
huyung turun tangga: Ada orang yang naik, dan ada orang yang turun. Dan itu
terbukti benar! Aku datang ke negara ini dan berhasil menjadi orang. Paisani
mendengarkan saranku dan sekarang politisi 'Mericano menjilat
pantatku. Setiap orang ingin jadi teman Domenico Tempesta. Aku dipandang sebagai
orang yang bermartabat dan punya status di seluruh Three Rivers, Connecticut.
Di seluruh kota, memang, tapi tidak di dalam rumahku sendiri. Di rumah, istriku
memasak, bersih-bersih dan membuka kedua kakinya untukku setiap malam Sabtu dan
Minggu seperti yang kuperintahkan. Dia patuh menjalankan kewajibannya. Aku sudah
menghilangkan sifat pemberontaknya. Tapi dia menyerah padaku seperti si gadis
Hat-tie di Bickel Road dengan distrazione, indifferenza ... dengan kebencian di
?matanya. Dan selalu, ketika aku terbangun esok paginya, dia sudah pergi dari
ranjangku, turun ke bawah untuk menjahit di kamar belakang atau menyikat dapur
atau mengurusi anaknya anak berbibir sumbing buah perbuatan istriku dengan
?pengangguran rambut merah di Brooklyn.
Ignazia tak lagi berjalan-jalan ke kota untuk melihat-lihat etalase toko dan
belanja makan malam. Sekarang dia belajar menggunakan telepon dan mendiktekan
pesanannya pada Hurok. Wajah dan telinganya akan memerah malu saat dia
meneriakkan pesanannya ke receiver, mengulang-ulang nama barang dan merk hingga
Hurok atau istrinya mengerti apa yang dia inginkan, atau hingga dia membanting
gagang telepon dan menangis. Ignazia semakin mengundurkan diri dari cara-cara
'Mericano; dia hanya menguasai sedikit bahasa Inggris, karena lebih memilih
mengobrol dengan teman kurusnya itu. Tapi kepergian si Monyet telah membuatnya diam.
Ucapan bahasa Inggrisnya tak bisa diperbaiki. Bahkan bahasa Italianya juga
terbatas karena keterbatasan kecerdasan jenis kelaminnya dan dialek kampung
halamannya. Aku membawa koran Italia ke rumah kami, La Sicilia, La Nave. Aku
sendiri membacanya dari depan ke belakang, tapi Ignazia tak peduli pada berita
dari Italia. Dia semakin terkucil.
"Katakan pada istrimu untuk datang ke sebelah dan mengunjungiku, Domenico," kata
Signora Tusia suatu hari di gerbang depan. "Dia sepertinya mengira dinding yang
memisahkan rumah kita adalah Lautan Atlantik!" Tapi Ignazia sudah tak tertarik
berkunjung. Juga tak tertarik menghadiri pesta atau acara sosial sebagai istri
dari Itaiiano yang paling dihormati di Three Rivers, Connecticut. Dia bahkan
tidak menghadiri pengangkatanku sebagai presidente of Figii d'Itaiia. Awalnya
Ignazia bilang dia akan pergi lalu malamnya dia tak mau pergi. Dia terus
menggelengkan kepala sehingga aku berhenti memintanya menemaniku. Dia mengunci
diri di dalam, mengepel, bersih-bersih, dan bermain dengan putrinya yang sumbing
dan bermuka kelinci. Setelah beberapa saat, Ignazia bahkan tak mau menjawab
telepon kalau berdering. Putrinya dan tugasnya sehari-hari dua hal yang dia
lakukan dalam hidup. Suatu malam, sebelum aku berangkat kerja, Ignazia meletakkan sup ayam, poienta,
semangkuk escaroie, dan miju-miju di depanku untuk makan
malam. Aku makan dan makan, dan saat aku memasukkan sesendok poienta terakhir ke
mulutku, gigiku menggigit sesuatu yang keras. Aku meludahkan butiran abu-abu
keras ke tanganku. Ignazia sedang di kamar, menyanyikan lagu pada Concettina dan memainkan boneka
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
anak itu di depan wajahnya. Istriku itu memperlakukan suaminya seperti anjing
dan anaknya seperti seorang putri.
"Apa ini?" kataku.
Ignazia memicingkan mata. "Seperti kerikil kecil." "Ini tadi di makananku."
"Di miju-miju?" Dia mengangkat bahu. "Kadang ada batu yang terbawa."
"Bukan di miju-miju," kataku. "Di poienta."
Dia mengangkat bahu lagi. "Mungkin cuilan batu gilingan saat mereka menghaluskan
jagungnya." Dia mengulurkan tangan. "Berikan padaku. Aku akan membuangnya.
Untung gigimu tak patah."
Aku menggenggam kerikil itu. "Nggak usah," kataku padanya. "Aku akan
membuangnya." Tapi, aku membungkusnya dengan saputanganku dan memasukkannya ke
sakuku. Ignazia tak pernah menunjukkan cintanya padaku, kataku dalam hati, tapi
dia juga tak menunjukkan kebencian yang sangat. Aku memberikan dia dan anak itu
semua yang mereka butuhkan. Bodoh sekali kalau dia berusaha mempermainkanku.
Malam itu saat kerja, aku terus memasukkan tanganku ke saku untuk merasakan
kerikil itu, menggerak-gerakkannya di antara jempol dan
jariku. Apakah ini kerikil atau pecahan kaca" Kaca bening, kataku dalam hati.
Benda ini buram. Tapi ....
Apa lagi yang telah dia berikan padaku untuk kutelan" Awal Minggu perutku
kembung; Sabtu sebelumnya aku pergi tidur dengan perut sakit. Aku menyalahkan
anggur yang jelek, tapi mungkin itu bukan karena anggurnya. Hingga pertengahan
shift-ku malam itu, aku meyakinkan diriku sendiri kalau istriku berusaha
meracuniku bersiap-siap membunuhku seperti yang dilakukannya pada suami ?pertamanya dulu, Gallante Selvi, a buon'anima. Apakah sebaiknya aku pulang dan
memukulnya agar dia berterus terang" Apakah sebaiknya aku menemui Bapa Guglielmo
besok pagi" Menyatakan kecurigaanku pada pastor itu dan meminta nasihatnya" ....
Tidak, itu tak ada gunanya. Domenico Tempesta adalah pria yang memberikan
nasihat sekarang. Guglielmo mungkin akan bilang padaku untuk mengampuni istriku
seperti Yesus yang pemaaf terus menelan masakannya yang beracun dan sebagai
?penebusan dosa, menuliskan resepnya! Aku bersumpah kalau sampai istriku
membunuhku, aku akan membuatnya membayar mahal. Tapi aku membutuhkan bukti.
Ketika arloji sakuku menunjukkan pukul 2.00 pagi, aku pergi ke kantor dan bilang
pada Baxter kalau aku sakit gigi dan harus pulang. Aku tak suka meninggalkan
pekerjaan hanya melakukannya dua kali selama enam belas tahun bekerja di
?American Woolen and Textile. Tapi kalau betina licik itu mencoba meracuniku, aku
harus bertindak cepat. Mencari bukti saat dia tidur. Menangkap basah sebelum dia tahu aku mencurigainya
.... Saat aku sampai di rumah, aku melepaskan sepatuku di pintu depan dan menyalakan
lampu minyak, menyalakannya sangat kecil. Mengendapendap masuk rumah hanya
dengan berkaus kaki, dan masuk ke dapur. Pelan-pelan seperti pencuri, aku
membuka laci, mengorek-ngorek tempat sampah, meraba-raba ke atas rak. Aku
mencari bubuk kaca atau kawat timah atau apa pun resep beracun yang dia gunakan
padaku. Ignazia ada di kamar belakang: aku mendengarnya mengerang dalam tidurnya. Aku
berhenti dan menunggu, lalu mulai mencari-cari lagi. Dia mengerang untuk kedua
kalinya. Lalu terdengar suara bukan suara istriku.?Kalau uskup sialan itu tidak mengunjungiku pagi itu bertahun-tahun lalu kalau
?hinaannya tidak membuatku marah dan melemparkan adukan semen padanya maka rumah
?nomor 66-68 Hollyhock Avenue tak akan pernah mengalami kutukan yang tak bisa
diuraikan oleh Guglielmo dan semua air suci di dunia ini! Kalau McNulty tidak
melanggar propertiku, aku tak akan pernah melihat apa yang kulihat malam itu,
ketika aku mengendapendap seperti pencuri di rumahku sendiri dan masuk rumahku
sendiri hanya dengan memakai kaus kaki. Pada malam mengerikan itu, uskup
berengsek itu pasti tertawa terbahak-bahak dari Neraka mengetahui apa yang akan
kutemukan. Malam itu, kutukan McNulty pada casa di due appartamenti
menunjukkan buahnya yang paling menyakitkan ....
Aku menerangkan lampu berdiri selama beberapa saat di depan pintu kamar
?belakang, lalu membukanya. Aku mencium baunya sebelum melihatnya bau busuk pipa
?tembakaunya. Awalnya, otakku tak bisa memahami apa yang kulihat; mereka berdua, saling
berpelukan seperti monyet .... Ignazia hingga hari ini aku menangisi dosa yang kau
perbuat sehingga melemparkanmu ke Neraka, atas rasa malu yang kau corengkan pada
nama baikku. Mereka menjerit ketika melihatku, buru-buru turun dari ranjang. "Oh, tidak! Oh,
tidak! Oh, tidak!" jerit Ignazia. Prosperine memeluk seprai di depan tubuhnya
dan meraih gunting jahit Ignazia.
Monyet bau sialan itu matanya bersinar liar penuh kebencian dan ketakutan.
Pelan-pelan dia menuju ke pintu, dengan gunting terhunus siap menikamku,
sehingga dia bisa melarikan diri. Untung bagi dia dan untung bagiku juga. Kalau
aku langsung mengerti perbuatan tak wajar yang kulihat kalau aku langsung bisa
?bertindak terhadap apa yang kudapati aku mungkin akan langsung mencekiknya.
?Mungkin berakhir di koran sebagai suami yang malu karena istrinya ....
Aku menangis. Aku malu mengatakannya, tapi aku harus mengeluarkannya ....
Ignazia berusaha lari dariku juga tidak ke pintu belakang seperti temannya,
?tapi ke atas ke kamar anaknya. Aku berhasil menangkapnya di tengah tangga.
"Jangan sakiti Concettina!" dia memohon.
"Bunuh aku kalau kau mau, tapi jangan menyakiti anak yang tak berdosa!"
Aku menyuruhnya tutup mulut, biarkan aku berpikir. Kepalaku hampir pecah!
Ignazia jatuh berlutut, meringkuk di bawah kakiku seperti kelinci yang
ketakutan. Dia tersedu, tercekik, dan memohon agar aku tidak membunuhnya tidak
?mengirimnya ke Neraka dan membuat Concettina kehilangan ibu.
Aku mungkin memandang padanya sekitar semenit atau lebih, otakku berputar untuk
memutuskan apa yang akan kulakukan bagaimana merespons kebejatan moral yang
?kulihat di kamar belakang dan tak bisa kuhilangkan bayangannya dari depan
mataku. Suami mana yang pernah melihat apa yang kulihat malam itu"
Apakah aku harus memaafkan itu, Padre Guglielmo" Itukah yang akan kau katakan
padaku" Bahkan memaafkan itu" ....
"Berdiri!" perintahku padanya. Menjambak rambutnya dan menariknya berdiri. "Kau
adalah istri Domenico Tempesta, bukan kotoran di lantai. Masuk ke kamar mandi
dan bersihkan dirimu. Hilangkan bau setan betina itu." Ignazia akan terbakar di
Neraka tapi itu tak akan terjadi sebelum aku selesai dengannya.?Malam itu aku mengambil kembali apa yang menjadi hakku mengambil apa yang
?harusnya menjadi milikku, melakukan hal-hal yang hanya bisa dilakukan pria pada
wanita. Dan ketika jeritan Ignazia mungkin terdengar melewati dinding ke
rumah Tusia, aku menekankan sikuku di tenggorokannya dan membungkam mulutnya dan
mengambil lagi apa yang jadi hakku. Milikku, bukan milik Monyet berengsek itu!
Sepanjang malam itu, aku mengambil apa yang jadi hakku!
Esok paginya, aku datang ke rumah Signora Siragusa untuk bertanya apakah si
Monyet bersembunyi di sana. Signora bilang dia tidak melihatnya: kesedihan di
matanyalah yang membuatku percaya padanya, lebih dibandingkan dengan kata-
katanya. Dia memegang lenganku dan menahannya. Apa pun masalah di rumahku, kata
Signora, dia hanya berharap aku tidak membuatnya lebih buruk tidak bertindak
?kejam. "Bah!" kataku dan berjalan keluar pintu depan tanpa menutupnya. Biarkan
penghangat ruangan wanita tua sok ikut campur itu merembes keluar. Apa peduliku"
Urusanku adalah urusan-/cu.
Aku tak pulang. Aku pergi ke tempat pembuangan sampah untuk menemui Yeitz, si
pemulung. Sejak sebulan lalu dia berusaha menjual seekor anjing polisi padaku.
Aku memberikan tiga dolar padanya dan dia memberikan tali dan anjingnya. "Tak
pernah ada anjing penjaga sebaik dia," kata Yeitz. "Pemburu yang baik juga. Tapi
dia bisa jadi sangat kejam. Dia lebih suka membunuh daripada membiarkan
buruannya hidup." Kembali ke rumah, dari saku aku mengeluarkan pakaian dalam yang ditinggalkan
Monyet tak bergigi itu dan melambaikannya di depan hidung anjing itu. Dia
mengendus-endus, lalu membawaku melewati
halaman belakang, menaiki Pleasant Hill, dan masuk hutan. Di tanah terbuka, aku
melihat anjing itu telah membawaku ke bagian utara Rosemark's Pond melewati rute
yang tak pernah kulewati sebelumnya. Anjing itu mulai menggonggong dan merangsek
ke pondok memancing tua Rosemark di ujung kolam. Aku menahan talinya sekuat aku
bisa hingga hampir mematahkan lehernya. Lalu aku membawanya pergi dari sana.
Sekarang aku tahu yang perlu aku ketahui. Tak lama lagi aku akan mendapatkan
vendetta-ku. Bagaimana dia berhasil kembali ke Three Rivers, Monyet kotor itu
akan menyesali karena telah datang ke sini. Aku akan membuatnya menyesal karena
mengambil apa yang jadi milik Domenico Tempesta. Dia akan membayar!
Di rumah, aku memaku pintu belakang dan jendela lantai bawah, dan menanam pasak
besi di halaman depan. Dengan rantai yang pa-ling berat, aku mengikat anjing itu
di pasak. Tak seorang pun keluar masuk rumahku tanpa kuinginkan. Ignazia takut
pada anjing itu takut pada gonggongannya dan bagaimana anjing itu selalu
?melompat dan merangsek padanya dan anaknya setiap kali mereka mengintip di
jendela. Ini adalah anjing yang kuinginkan hanya binatang yang menjaga istriku
?yang tak setia yang suaminya bekerja pada malam hari.
Atas perintahku, Ignazia tidur di atas sekarang. Kami suami istri lagi, seperti
kehendak Tuhan. Aku tak pernah berhenti menginginkannya: passione-ku untuknya
tetap membara bahkan setelah
pengkhianatannya yang kejam itu. Kadang, saat aku memuaskan diriku, aku akan
melihat kembali apa yang kulihat pada malam gila itu: si Monyet dan istriku
saling berpelukan dalam dosa dan penyimpangan. Maka aku akan menyelesaikan
urusanku dengan kemarahan, kadang memukulnya kalau Ignazia menangis, lalu aku
akan turun dari tubuhnya menunggu hingga sedu sedannya berhenti, hingga
?napasnya menunjukkan dia sudah tertidur. Lalu aku akan mendekat padanya dan
berbisik di telinganya. "Mungkin aku telah membuat bayi di dalam perutmu ya" ....
Mungkin aku baru saja menanam benih yang akan meledakkan jantungmu dan
mengirimmu ke Neraka."
Cinta dan benci: aku menanggung beban keduanya karena mencintai istri yang tidak
setia, jadi kami saling membelenggu ....
Sedangkan mengenai mona tak bergigi dan bejat itu, aku membereskannya!
"Wah, Domenico, Temanku! Ada apa sampai aku mendapatkan kehormatan ini, Sir?"
kata Shanley berdiri dari meja walikotanya untuk menjabat tanganku, pagi hari
setelah anjing polisi itu membawaku ke pondok di pinggir Rosemark Pond.
Aku mengatakan pada Shanley kalau aku ingin mempertimbangkan untuk menerima
permintaannya agar aku menolongnya merekrut pemilih Italia untuknya sebelum
pemilihan mendatang. "Berita bagus!" katanya. "Perlu dibicarakan! Duduklah, Tuan! Duduk!"
"Aku mempertimbangkannya," kataku. * Tapi
pertama-tama aku ingin minta bantuanmu."
"Apa pun, Domenico," bastardo licik itu tersenyum sehingga gigi emasnya
terlihat. "Apa pun itu, Teman Baikku."
Aku katakan padanya tentang wanita gila dari Italia yang dulu pernah bekerja di
rumahku dan sekarang mengganggu keluargaku. Aku menjelaskan bahwa istriku dan
aku sudah cukup baik memberikan tempat berteduh untuk dia saat kami menikah,
tapi karena kegilaannya dia jadi melawan kami. Kami sudah berusaha menenggang
keanehannya. Aku mengatakan pada walikota itu kalau dia menggumamkan kutukan,
mengutil. Tapi kemudian dia mengancam akan melukai putri kami. "Meskipun
menyedihkan," kataku, "kami harus mengusirnya dari rumah."
"Tentu saja kau harus melakukannya," kata Shanley. "Kau tak punya pilihan, pria
malang." Setelah itu, aku katakan pada walikota bahwa wanita malang itu sudah jadi gila.
Untuk sementara, dia melarikan diri tak jelas ke mana, tapi sekarang dia
kembali. Kemarin malam, kataku, aku melihatnya mengintip di jendela. Anjingku
dan aku sudah melacaknya hingga di pondok dekat Rosemark Pond, di balik Pleasant
Hill. Aku bekerja pada malam hari, kataku. Aku takut dia bisa melukai istri atau
anakku ketika aku tak ada di rumah untuk melindungi mereka. "Dia gila, tapi juga
licik," kataku. "Dia gila seperti rubah," kata sang walikota menyetujui. Dia mengangkat telepon
dan mulai menelepon Kepala Polisi. "Kau sudah menolong kota
ini dengan melaporkan adanya potensi gangguan publik, Temanku," kata Shanley.
"Aku akan minta agar wanita itu ditangkap dan dipenjarakan sebelum tengah hari.
Aku akan meminta Kepala Polisi Confrey memprioritaskan hal ini."
"Scusa," kataku mengangkat tangan untuk menghentikannya. Pak walikota berhenti,
meletakkan telepon. "Aku berpikir ... kalau dia menghabiskan beberapa hari di
penjara, maka masalahnya hanya teratasi beberapa hari. Kalau dia dimasukkan ke
rumah sakit jiwa yang merupakan tempatnya, maka istriku yang malang dan anakku
bisa keluar rumah tanpa takut lagi. Wanita itu gila. Dia bahkan mengatakan
dirinya seorang penyihir!"
"Kau benar!" kata Shanley, menghantamkan tangannya ke meja. "Kau pria yang
pintar, Temanku. Dan berpikir praktis juga. Kalau dia harus dikurung, sebaiknya
kita membebankannya pada negara bagian daripada kota. Hahaha." Dia meminta
sekretarisnya membawakan no-mor rumah sakit jiwa Three Rivers.
Aku menunggu dan mendengarkan ketika Shanley berbicara di telepon dengan
seseorang, lalu seorang lainnya. "Walikota kota yang indah ini, dialah yang
menelepon, kau berengsek!" teriaknya ke telepon. Lalu Dr. Henry Settle, pezzo
grosso rumah sakit jiwa itu menjawab teleponnya.
Mereka bicara basa-basi lalu Shanley akhirnya langsung ke pokok masalah. Dia
menangkupkan tangan ke receiver dan bertanya padaku.
"Apa dia punya keluarga di sini" Kalau dia tak mau
menandatangani surat pendaftarannya mereka membutuhkan keluarga untuk
melakukannya kerabat sedarah untuk memasukkannya dan mengeluarkannya lagi saat?dia sembuh."
Kukatakan padanya sebuah mukjizat kalau sepupu gilaku itu bisa sembuh kalau
?saja bibiku yang malang di Italia melihat putrinya sekarang dia akan menangis
sedih. Shanley mengedipkan mata padaku.
Aku bertemu dengan polisi dan dottore di rumah sakit jiwa. Mereka
mengeluarkannya dari kereta, memberontak dan menggeliat-geliat berusaha
melepaskan diri dari jaket pengikatnya. Ketika si Monyet melihatku, dia
meneriakan semua umpatan yang ada di buku setan!
Setelah aku menandatangani surat-surat yang mereka butuhkan, aku melepaskan
topiku dan memegangnya di tangan, berpura-pura sebagai imigran bodoh lagi.
"Seusai," bisikku pada penjaga. "Bolehkah aku mengucapkan selamat berpisah pada
sepupuku yang malang?" Penjaga bodoh itu mengangkat bahu dan menyeberangi ruangan. Aku mencondongkan
tubuh mendekati Prosperine, pura-pura memberikan ciuman selamat perpisahan pada
cugina-ku. Tapi, aku berbisik di telinganya. "Ada banyak cara untuk membalas
Monyet yang telah mempermainkan Domenico Tempesta!" bisikku. Lalu aku meludahi
wajahnya sebagaimana dia meludahi medaglia-ku. Aku meninggalkannya memberontak,
menjerit, dan mengumpat dalam bahasa Italia yang paling kasar. Aku membalas
Monyet itu untuk selamanya!
Aku tak pernah melihat si Monyet lagi. Sejauh yang kutahu, dia masih tinggal di
tempat untuk orang gila itu. Masih makan dan bernapas, membayar ganjaran karena
telah mempermainkan Tempesta. Aku tak pernah diberi tahu dia sudah mati, tapi
kalau dia sudah mati, maka aku meludahi kuburnya ....
Selama dua puluh enam tahun sekarang melewati tragedi dan kedukaan melalui ? ?usaha keras, kesuksesan, dan jam-jam aku tak bisa tidur aku selalu mengingat
?sedikit kepuasan itu: kenangan saat aku memenangi perangku melawan si Monyet,
ketika aku menggunakan kepintaran yang dianugerahkan Tuhan untuk menghukum setan
betina itu atas dosanya pada Domenico Tempesta.
Bulan September tahun itu, uskup agung di Hartford mengangkat Bapa Guglielmo
sebagai uskup dan memindahkannya ke Bridgeport. Misa untuk Guglielmo diadakan
untuk menghormati pengangkatannya, lalu pesta sesudahnya. Aku menerima undangan
yang cantik, tapi tak bisa datang ke Bridgeport. Aku terlalu sibuk menyisir West
Side dan daerah sekitar pabrik, mengetuk pintu dan mengubah paisani menjadi
pendukung demokrat untuk Walikota Shanley.
Bulan Oktober, Signora Siragusa meninggal dalam tidurnya dan aku membantu putra-
putranya membawa peti matinya ke makam. Aku menangis untuk signora tua itu
seakan-akan dia ibuku sendiri seakan-akan darah dagingnya sama denganku. Kau lihat, Guglielmo" Aku
?masih punya air mata dalam diriku. Masalah yang diberikan Tuhan dan si Monyet
padaku tidak membekukan hati Tempesta! Putra-putra signora tentu saja bersyukur
karena orang terhormat sepertiku membantu mengangkat peti mati ibunya.
Bulan berikutnya, Shanley kalah dalam pemilihan meskipun aku sudah berusaha
keras mendukungnya. Kalah karena usahaku, demikian kata bangsat tak tahu terima
kasih itu pada dua kroninya, Rector dan O'Brien, tepat di depan wajahku. Kami
berempat duduk di kantornya pagi setelah pemilihan, tiga bajingan itu merokok
cerutu. Shanley tak menawariku cerutu. Aku tak pantas lagi mendapatkan cerutu
pana-tela murahannya. "Kalian ingin tahu kenapa kita kalah, anak-anak?" kata Shanley. "Kita kalah
karena tiga Italia bodoh bernama Sacco, Vanzetti, dan Tempesta. Pertama, teman
kita ini menghabiskan hampir lima ratus dolar mendaftar setiap orang Italia di
kota ini yang masih bernapas dan beberapa yang sudah mati. Lalu, dua hari
sebelum pemilihan, dia memutuskan untuk membuka mulutnya ke koran tentang
bagaimana para bajingan anarkis di Massachusetts itu adalah korban malang tak
berdosa. 'Apakah Walikota Shanley mempunyai perasaan yang sama tentang hal ini,
Mr. Tempesta"' 'Oh ya. Walikota mendukung semua warga Amerika Italia.' Seakan-
akan aku harus mengelap pantat setiap orang Italia murahan di kota ini. Pasti
tak akan begitu buruk kalau orang
Italia bodoh yang kita bayar satu dolar per orang untuk mendaftar itu cukup
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
pintar untuk tahu bahwa ini adalah perjanjian dalam paket bahwa mereka harus
?mendaftar dan memilih saat pemilihan! Yah, gerombolan Yankee memilih, bukankah
begitu" Mereka keluar penuh dendam sehingga mereka bisa menyelamatkan kita semua
dari para anarkis dan Italia bodoh, dan itulah sebabnya Flint Peterson yang jadi
walikota! Begitulah dia melakukannya, anak-anak: dengan bantuan teman kita ini!"
Aku berdiri dari kursiku dan mengambil topiku. Aku bilang padanya kalau aku
sudah bekerja membanting tulang untuknya dan sekarang tak mau duduk di sini dan
menjadi kambing hitamnya.
"Oh, tidak?" kata Shanley. "Lalu kau ini 'skeppa goata'nya siapa?"
Setelah semua kerja keras yang kulakukan untuknya, dia duduk di sana, mengejek
bahasa Inggrisku, menghinaku! "Persetan kalian bertiga," kataku padanya dan
antek-anteknya. Aku sudah muak dengan para penipu dan politik kotornya itu. Aku
membanting pintu kantor sangat keras sehingga kukira kaca pintunya akan pecah!
18 Agustus 1949 Saat itu tanggal 10 Januari 1925. Hari Selasa. Selasa atau Rabu" Aku tak ingat
sekarang. Tapi aku harus mengingatnya ....
Bulan itu, Angkatan Laut memberikan pesanan cepat pada American Woolen and
Textile. Musim panas sebelumnya, pesanan mereka lebih sedikit
daripada biasanya. Lalu tiba-tiba, pada tengah-tengah musim dingin, mereka butuh
wol untuk sepuluh ribu jaket baru. Angkatan Laut selalu begitu tak punya ?perencanaan dan lalu mereka butuh semuanya dengan cepat! Selama seminggu, aku
bekerja dua shift, hanya tidur tiga empat jam. Aku kelelahan. Aku sampai di
rumah setelah pukul delapan pagi.
Hari itu dingin sangat menusuk. Aku ingat bulan Januari itu lebih hangat
daripada biasanya, lalu tiba-tiba suhu turun di bawah nol. Aku khawatir Ignazia
tidak memasukkan batu bara yang cukup ke pemanas khawatir pipa air akan
?membeku. Anjing itu adalah tanda pertama ada sesuatu yang salah. Dia berbaring miring,
perutnya kempis, mati di atas muntahan berdarah-nya sendiri. Diracuni. Aku
menyodoknya sedikit dengan kakiku, tapi dia tak bergerak. Mati kaku di tanah;
sudah mati beberapa lama.
Ketika aku membuka pintu dan masuk ke dalam, seekor burung terbang melewatiku!
Seekor burung pipit. Aku seharusnya sudah merasa: burung di dalam rumah adalah
pertanda buruk. Aku bukan pria yang percaya takhayul, tapi ada beberapa pertanda
yang tak boleh diabaikan.
Tungku pemanas di ruang duduk dingin membeku. Radiator juga. Kompor di dapur.
Aku berdiri memandang pintu kamar belakang yang tertutup.
Aku memegang gagang pintu yang dingin, tapi takut membukanya takut terhadap apa
?yang akan kulihat. Aku berdiri memandang uap napasku.
Ignazia tak pernah menutup pintu kamar ini pada siang hari. Tak pernah.
Burung sialan itu terbang berputar-putar di ruang duduk, sayapnya menyerempet
dinding, tubuhnya berkali-kali menghantam cermin di atas gantungan mantel.
"Ignazia!" panggilku pada pintu yang tertutup. "Eh! Ignazia!" Tak ada jawaban.
Aku ke atas. "Ignazia" .... Concettina?"
Ranjang kami rapi. Tak ada yang terbalik, tak ada yang tak biasa. Baju dan
barang-barangnya masih di lemari, di laci. Aku pergi ke kamar Concettina. Semua
juga ada di sana .... Aku turun ke ruang bawah tanah, menyalakan pemanas. Butuh waktu untuk
menyalakannya. Kalau pipa-pipa itu membeku, biaya perbaikannya akan sangat
mahal. Aku di ruang bawah tanah selama dua puluh menit, setengah jam, menyekop
batu bara dan melihatnya menyala dan terbakar. Dua kali aku mengira mendengar
langkah kaki di atas kepalaku, tapi saat aku berhenti menyekop, di atas sana
sangat tenang. Ketika aku kembali ke atas lagi, burung pipit itu mati di lantai ruang duduk.
Aku mengambilnya di tanganku dan membawanya ke dapur. Membungkus burung sialan
itu dengan koran dan membuangnya di tempat sampah. Kau pasti mengira serombongan
burung pipit nyasar masuk ke ruang dudukku, dari bekas bulu, darah, dan kotoran
yang ditinggalkannya. Burung kecil dengan tulang yang rapuh.
Aku masih ingat kekacauan yang ditinggalkan burung itu saat mati.
Confessione baik untuk jiwa, ya" Itu yang sering dikatakan Guglielmo padaku. Aku
kehilangan jejaknya setelah dia pindah ke Bridgeport. Aku bahkan tak tahu dia
masih hidup atau sudah mati "Lakukan penebusan dosamu, Domenico. Renungkan
kehidupanmu dan rendah hatilah. Tulislah kisahmu .... Rendah hatilah, Domenico.
Menjadi manusia berarti rendah hati. Apa ada pilihan lain" Jangan mencoba
menjadi Tuhan." Tapi aku tak pernah berhasil dalam hal confessione ....
Mereka menarik mayatnya dari dasar Rosemark's Pond. Aku ada di sana, aku
melihatnya keluar dari air. Dia terjatuh menembus lapisan es yang tipis dan
tenggelam pada tengah malam, kata koroner. Sebelum cuaca dingin datang. Dia bisa
memperkirakan itu dari tubuhnya yang menggembung.
Kukira dia membawa anaknya untuk mati bersamanya juga. Ada bukti: jejak kaki
mereka, bertebaran di salju. Jejak kaki itu menunjukkan adanya usaha perlawanan.
Sekarang, putra dan putri yang dia lahirkan di meja dapurku telah mati. Dia
sudah membunuh suami pertamanya dan sekarang, Semoga Tuhan mengampuni, dia juga
membunuh putrinya. Dia sangat benci padaku hingga bisa melakukan itu. Dia sangat
putus asa hingga tega menenggelamkan orang yang paling dia cintai.
Tapi Concettina masih hidup, bersembunyi di pondok memancing itu, setengah
membeku, tapi masih bernapas. Begitulah polisi
menemukannya isakannya membuat mereka menemukannya. Dan ketika aku menggendong ?dan memeluk gadis yang hampir mati itu di lenganku, tulangnya kecil dan rapuh
seperti tulang burung pipit. Dan aku mendekapnya ke dadaku, melawan dingin,
melawan apa yang telah dilakukan ibunya. Dan sekarang aku menyayanginya.
Keesokan harinya, cerita tenggelamnya Ignazia dimuat di koran, halaman depan.
Setelah itu, sekitar seminggu setelah aku memakamkannya, detail-detail lain
mulai menyebar, menjadi angin yang mengipasi bara imajinasi. Anjing yang
diracuni, jejak ibu dan anak itu .... Seluruh hidupku bahkan saat di
?Italia dengan gembira digosipkan semua orang, yang merayakan nama jelek
?famiglia-ku. Nasib Ignazia menjadi bahan tebakan di antara orang-orang. Warga
Italia di Three Rivers-pa7sar"/-ku yang tak tahu terima kasih berspekulasi
?bahwa Tuhan atau pelayan gila yang kukurung di "bawah tanah" menjadi penyebab
malapetaka itu. Berbulan-bulan setelahnya, gosip menyatakan bahwa Ignazia
diculik pada malam hari oleh pria asing, lalu dibunuh dan dilemparkan ke es
Tapi tak ada pria asing. Tak ada penculikan. Tak ada bukti adanya perlawanan.
Hanya jejak kaki istriku dan anaknya, lalu lubang hitam di tengah kolam.
Sedangkan Concettina, dia diam saja tentang apa yang terjadi malam itu tak
?mengatakan apa pun padaku, juga tidak pada polisi. Hingga hari ini kami tak
pernah membicarakannya .... Dia baru delapan tahun pada malam ketika ibunya
mencoba mengajaknya ke Neraka bersama untuk menghukum Tempesta. Tapi dia tak
berhasil. Aku tak tahu apa yang diingat Concettina.
Setelah kematian Ignazia, para wanita Italia memencet bel rumahku dan berdiri di
depan pintu dengan simpati dan harapan di mata mereka, makanan di tangan mereka.
Di sebelah mereka berdiri putri yang belum menikah, adik yang perawan tua, janda
muda yang dengan sukarela membersihkan rumah besarku dan mengasuh putriku yang
piatu. "Tidak, terima kasih ... tidak, terima kasih." Aku menolak mereka semua.
Setiap malam saat aku pergi kerja, aku membawa anak itu ke apartemen sebelah
tempat dia tidur dan diasuh oleh keluarga Tusia. Anak Tusia, Jennie meninggalkan
bangkunya di SMU demi mencuci, membersihkan rumah, dan memasak untukku. Aku tak
mau wanita lagi dalam hidupku. Tak ada istri lagi. Aku sudah selesai dengan
semua itu .... Dan ketika Jennie Tusia jatuh cinta dan menikahi seorang pelaut
dari Georgia, putriku sudah cukup tua untuk mengambil alih tugasnya. Merawat
rumah ayahnya gadis malang berbibir sumbing yang tak diinginkan siapa?pun.
Dia bukanlah gadis yang nakal. Dia memasak, bersih-bersih, dan pendiam.
Silenzia-nya membuat ayahnya bangga. Concettina punya darah Sisilia di nadinya.
Dia tahu bagaimana menyimpan rahasia.
Nah, dengar itu, Guglielmo. Ini yang kau inginkan bukan"
Pengakuan. Penebusan dosa. Rendah hati. Semoga Tuhan Yang Mahakuasa
menyelamatkan jiwaku! Empat Puluh Ena m ThomdS dan aku hanyut di The Falls, menghilir di Sungai Sachem. Di pinggir
sungai, orang-orang melambai ke arah kami, orang yang kami kenal, orang asing.
Ibu kami ada di sana, dan di belakangnya, di bayangan pepohonan, ada seorang
gadis kecil. Dia melangkah maju, ke bawah matahari. Dia Penny Ann Drinkwater,
hidup lagi, masih anak kelas tiga. Dia memanggil kami, menunjuk ke hilir sungai.
Dari hutan di belakangnya, terdengar suara sirene ....
Aku meraih ke arah suara berdering itu. Menjatuhkan telepon ke lantai. Menarik
kabelnya mendekati ranjang. "Halo?"
Dr. Azzi bilang dia minta maaf karena menelepon sepagi ini, tapi kalau melihat
jadwalnya, sepertinya harinya akan sangat sibuk. Dia baru akan berangkat ke
rumah sakit. Kami bisa bertemu di ruang duduk lantai empat satu jam lagi,
setelah dia memeriksa Ray. Kalau tidak, kami harus menunggu hingga akhir jam
kerjanya. Jam digital merah di meja menunjukkan ... 6.11" "Ya, tentu. Aku bisa datang. Jadi
kau ... kau harus mengamputasinya?" Kita tak boleh menganggap enteng gangrene, katanya. Dia akan menemuiku sekitar
pukul tujuh lewat lima belas.
Aku menutup telepon, menjatuhkan diri ke ranjang lagi. Memejamkan mataku yang
panas. Oke, kataku dalam hati. Mandi, segera ke sana. Lantai empat, bukan" ....
Saat aku menjatuhkan diri ke lantai, terdengar suara gemerisik kaki menginjak
kertas. Di atas selimut, di atas ranjang, bertebaran halaman-halaman manuskrip kakekku.
Aku sudah menyelesaikan membaca kisah Domenico tadi malam. Meskipun kisah itu
mengungkapkan banyak hal buruk: tapi tidak memberikan jawaban dari pertanyaan
yang kucari dan paling kutakuti. Hanya memunculkan lebih banyak pertanyaan,
lebih banyak kecurigaan, dan satu pengungkapan menyedihkan yang tak kucari
sebelumnya: bahwa nenekku, dalam keputusasaannya berusaha membawa ibuku mati
bersamanya. Bahwa saat Ma berumur delapan tahun, dia harus melawan ibunya untuk
mempertahankan hidupnya .... Pengakuan, penebusan, rahasia keluarga: dalam pusaran
frustrasi dan kebebasan. Aku membaca halaman terakhir sejarah Papa dan menangis.
Merobek halaman-halaman itu dari jilidnya, meremasnya, merobeknya. Membuat
manuskrip kakekku menjadi confetti.
Aku terhuyung-huyung ke kamar mandi, kakiku yang telanjang menginjak-injak
kertas yang bertebaran. Dia memasak, bersih-bersih, dia tahu bagaimana menyimpan rahasia ....
Aku masuk ke shower dan mengatur suhu air panas, lebih panas daripada biasanya,
sepanas yang bisa kutahan .... Dia mati sebagai seorang yang gagal: itu jelas.
Semua pengakuan itu, semua kesedihan di penghujung hidupnya: terlalu sedikit,
sudah terlambat .... Rendahkan dirimu, mereka mengatakan itu padanya sepanjang
hidupnya, tapi dia tak pernah bisa melakukannya. Dia menyimpan dendam, mencoba
mengatur kehidupan orang lain seakan dia Tuhan. Dia memasukkan wanita aneh itu
ke rumah sakit jiwa dan membiarkannya membusuk di sana .... Membusuk. Gangrene.
Ini ayahmu menelepon. Kau sudah pulang" Telepon aku, ya"
Aku mandi, keramas. Berdiri diam dan membiarkan air membasuh tubuhku. Dan ketika
akhirnya aku keluar, aku melihat diriku sendiri di kaca, basah, dan telanjang.
Jangan jadi seperti dia, Dominick, kataku ke bayanganku di cermin. Jangan jadi
dia, jangan jadi dia ....
"Dan gangrene basah dan gangrene kering," kata Dr. Azzi. "Yang basah lebih buruk
tentu saja, karena itu berarti ada bakteri. Itulah yang terjadi pada ayah Anda.
Karena itulah kami harus mengamputasinya secepat mungkin. Kalau dibiarkan,
infeksinya akan menyebar ke seluruh tubuhnya. Menghentikan fungsi tubuhnya,
organ demi organ. Ada pertanyaan?"
"Apakah ... apakah jelas diabetesnya yang menyebabkan ini?"
Dr. Azzi mengangguk. "Membahayakan aliran darah di tubuhnya. Dan, tentu saja,
dia mengabaikan gejalanya juga. Dia seperti ayahku: sisa-sisa pria tangguh. Apa
lagi yang bisa kukatakan pada Anda?"
"Apakah, uh ... maaf. Ini terlalu banyak untuk dimengerti sekaligus. Gangrene itu,
itu infeksi sebenarnya, bukan?"
Dr. Azzi menggeleng. "Begini, biar saya mundur sedikit. Saya tidak mengira Anda
tidak tahu apa-apa. Saya mengasumsikan kalau ayah Anda sudah cerita."
Dia berusaha, pikirku. Kalau saja aku mau membalas semua pesan teleponnya itu.
Apa pun hasilnya bagi Ray, aku yakin, aku gagal menjalani ujian etika dan
kesopanan dasar manusia. "Gangrene adalah jaringan yang mati," kata Dr. Azzi.
"Gangrene adalah tempat berkembangnya infeksi. Kakinya tidak mendapatkan oksigen
dan nutrisi yang diperlukan. Tidak mendapatkan gizi. Jaringan otot manusia sama
seperti makhluk hidup lainnya. Kalau kau membuatnya kelaparan, dia akan mati."
Dr. Azzi menjelaskan apa yang akan terjadi dalam sebulan mendatang: terapi
intensif di rumah sakit selama seminggu atau lebih. Lalu transfer ke fasilitas
rehabilitasi subakut sebuah rumah perawatan sehingga Ray bisa belajar berjalan? ?lagi.
Lalu kruk untuk sementara, kaki palsu kalau Ray mau. Beberapa asuransi mau
menanggung biaya pembuatan kaki atau lengan palsu. Tujuannya tentu saja agar dia
bisa pulang lagi. Ray mengatakan dengan jelas kalau dia tak ingin terjebak di
rumah jompo dalam jangka panjang. "Dia tinggal sendirian, ya?"
"Benar," kataku.
"Tangga?" Aku mengangguk. "Di luar dan di dalam."
Pada akhir pertemuan, kami berdiri berjabat tangan. "Dia pasti akan mengalami
masa sulit," kata Dr. Azzi. "Tapi dia akan beradaptasi. Dia cukup beruntung
sebenarnya. Ingatkan itu padanya."
Aku bertanya apa aku bisa menjenguk Ray. Tentu, katanya, tapi dia baru saja
disuntik; dia mungkin akan tidur sepanjang pagi. Tapi aku boleh saja masuk dan
melihat. Aku berjalan di lorong. Menemukan kamar Ray. Masuklah dan tanggung risikonya
sendiri, pikirku. Napasnya terdengar keluar masuk lewat mulutnya. Ada noda darah kering di bagian
depan baju rumah sakitnya, sedikit darah mengambang di infusnya di dekat jarum.
Dia terlihat kecil dan pucat.
Terapi akut, subakut. Gangrene kering dan basah. Bagaimana mungkin aku tidak
mendengar ketakutan dalam suaranya" .... Ini ayahmu telepon. Kau sudah pulang" ....
Tak peduli masa lalu kami, siapa lagi yang dia punya"
Lihat, kataku dalam hati. Terima hukumanmu. Hadapilah.
Jadi, aku memaksakan mataku melihat ke bawah dari wajah Ray yang pucat ke
dadanya yang naik turun, lalu ke ujung ranjang. Perutku bergolak sedikit. Aku
melihat kekosongan di tempat seharusnya kaki kanan Ray berada .... Ingat bekas
luka di pergelangan tangan kakakku yang berwarna pink dan mengilat pergelangan ?kutungnya yang ditutup dengan kulit cangkokan. Aku mendengar kalau dalam
amputasi, dokter tidak menggunakan prosedur laser teknologi tinggi; mereka
menggunakan gergaji. Mengger-gaji otot dan tulang lalu membuang kaki yang mati
begitu saja ... ke mana" Tempat sampah atau mana" Ya Tuhan!
Dia harus tinggal di pusat rehabilitasi untuk sementara rumah
?perawatan sehingga dia bisa belajar berjalan lagi. Yesus, dia akan frustrasi,
?tak bisa ke mana-mana seperti ini. Ray orang yang selalu sibuk dia tak bisa
?diam saja. Perawat wanita yang masuk membuatku terkejut. Dia montok, Asia. Kami saling
mengangguk. "Aku, uh .... Dr. Azzi bilang aku boleh melihatnya. Aku tahu sekarang
bukan jam berkunjung"
"Baiklah," katanya. Dia memakaikan alat pengukur tekanan darah ke lengan Ray,
memompa gelembungnya. Membaca ukurannya, memompa lagi. Corri apa, R.N. Zaman
dulu perawat memakai seragam, bukan kaus Uconn.
"Uh, ada darah di infusnya," kataku. "Kau sudah lihat?"
Perawat itu melihat, mendekat. "Tak masalah," katanya. Dia meletakkan termometer
di bawah lidah Ray, menutup mulutnya, memegangi rahangnya. Ray terus tidur, tak sadar. Obat
yang mereka berikan benar-benar membuatnya KO. Termometer itu berbunyi. Dia
mengeluarkannya dan menulis hasilnya. Aku bertanya bagaimana kondisi Ray.
"Suhunya sudah turun sedikit, tekanan darahnya bagus," katanya. "Apa kau
anaknya"1 Aku terdiam, tak bisa menjawabnya. Ketika dia membuka selimut untuk mengecek
perban, aku memalingkan mataku.
"Terlihat bagus," katanya. "Bagus." Dia menyelimuti Ray lagi. Ray mungkin akan
tidur sepanjang pagi, kata perawat itu, tapi aku boleh tinggal. Aku menggeleng,
bilang kalau aku hanya akan tinggal sebentar lagi saja, lalu kembali lagi nanti
siang. "Tentu," katanya. "Aku akan meninggalkan kalian kalau begitu."
Aku berdiri selama beberapa saat melihatnya tidur.
Mengulurkan tangan. Meraih tangannya. Mengusapkan jariku ke buku-buku jarinya.
Seperti makhluk hidup lainnya. Kalau kau membiarkan sesuatu kelaparan cukup
lama, dia akan mati. Dr. Azzi lebih benar daripada yang dia ketahui ....
Tenggelamnya Thomas di The Falls itu hanyalah penyebab resmi kematiannya: dia
sudah mati di Hatch, terputus dari harapan, dari keluarga. Kakakku mati
kelaparan .... Dan nenekku: dia juga mati dalam kurungan. Kakekku membeli anjing
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
penjaga yang mengurung nenekku di rumah terkutuknya itu. Memerkosanya pada akhir
pekan karena nenekku adalah "miliknya". Jadi, dalam keputusasaan, dia melakukan
apa yang sudah dia lakukan sebelumnya. Lari. Melepaskan diri. Menyeret putrinya
ke kolam itu dan .... Papa adalah pria yang baik, Dominick. Kenapa Ma" Karena dia terlihat bagus
dibandingkan yang lainnya" Karena di Hollyhock Avenue semuanya relatif" ....
Aku harus pergi karena kau mengisap semua oksigen dari ruangan, kata Dessa
padaku pagi itu saat dia pergi. Aku harus bernapas, Dominick.
Aku berdiri diam, menyentuh tangan Ray dan akhirnya mengerti .... Dessa tak pernah
berhenti mencintaiku, menyayangiku. Dia tetap peduli. Tapi dia harus
menyelamatkan dirinya sendiri. Dia perlu mengamputasiku dari hidupnya karena aku
membuatnya kekurangan nutrisi. Menginfeksinya. Karena kalau dia tinggal, aku
akan mematikannya sistem demi sistem.
Yah, bagus untukmu Dess, pikirku. Aku senang kau berhasil selamat. Dan air
mataku berjatuhan, menetes di pinggiran ranjang Ray, menyerap ke selimutnya.
Aku pulang sekitar tengah hari meninggalkan pesan untuk Dr. Patel kalau aku ?harus menemuinya secepat mungkin. Aku memanaskan sup, membuka-buka Newsweek
tanpa membaca apa pun. Ketika aku mencuci piring, aku baru sadar kalau aku sudah mencucinya
sebelum ini. Manuskrip Domenico masih di dalam kamar menyebar ke seluruh kamar. Oke, kataku
?dalam hati, kau sudah menyelesaikannya dan sekarang kau membuangnya. Jadi ini
sampah, benar" Masuk dan buang semuanya.
Aku mengambil kantong sampah dan masuk ke kamar.
Memasukkan halaman demi halaman sejarah Pak Tua itu ke kantong plastik. Aku
teringat Ma apa yang dikatakannya padaku tentang hari kematian ayahnya. Dia
?baru saja selesai menulisnya; confessione panjangnya, dia gagal meminta
pengampunan .... Ma mendengar ayahnya menangis di luar sana ingin mendekatinya
?dan menghiburnya, tapi itu melanggar aturan. Dia pasti sangat marah, dan
kemarahannya itulah yang berkuasa di rumah itu .... Aku duduk kembali di ranjang.
Membayangkan Ma di halaman belakang, memunguti kisah sejarah Papa. Dia pasti
merasakan seluruh hidupnya terguncang saat itu. Ayahnya mati; putra kembarnya
tumbuh di dalam dirinya ....
Ma ternyata adalah wanita pemberani. Berani untuk melanjutkan hidup untuk
?membesarkan kami sebaik mungkin. Dan sebelumnya: gadis pemalu di foto tua itu,
yang berdiri di sebelah ayahnya memakai pinafore berkanji, tangannya menutupi
bibirnya yang sumbing. Dia adalah gadis usia delapan tahun yang pemberani,
diseret-seret pada malam hari dalam cuaca dingin yang menggigit oleh
ibunya sendiri yang kehilangan harapan. Gila karena putus asa .... Terlihat adanya
perlawanan, tulis Papa. Sebuah kisah yang diceritakan oleh jejak kaki. Tapi
gadis kecil pemberani dan pendiam itu menyimpan rahasia mengerikan ibunya tak
? mengatakan apa pun pada polisi ataupun ayahnya. Jejak kaki merekalah yang
bercerita. Dalam kemarahan ataupun keputusasaannya, Ignazia berusaha membawa
anaknya mati membunuh putrinya. Tapi Ma melawan. Menyelamatkan dirinya sendiri.?Bersembunyi di pondok tua dan berhasil bertahan hidup, lalu pulang dan tinggal
bersama ayahnya .... Apakah Ma mencintai Papa seperti yang selalu dia katakan" Membencinya" Apakah
kakakku dan aku adalah hasil dari perbuatan dosa" .... "Sejarah Domenico Onofrio
Tempesta" ternyata adalah lorong penuh cermin, hanya jalan simpang siur di
antara jalan-jalan rumit lainnya. Karena di akhir ceritanya, Pak Tua mengakui
semuanya, tetapi juga tak mengakui semuanya. Begitu ayahnya begitu pula
putrinya, pikirku. Mereka berdua tahu bagaimana menyimpan rahasia ....
Aku mengulurkan tangan, mengambil satu halaman dari kantong sampah. Meratakannya
dan membaca. "Aku selalu punya sedikit kepuasan akhirnya: kenangan saat aku
memenangi pertempuranku dengan si Monyet, ketika aku menggunakan kecerdasan yang
dianugerahkan Tuhan untuk menghukum setan betina atas dosa-dosa yang dia /akukan
pada Domenico Tempesta .... * Aku menggelengkan kepala melihat betapa dia tak punya harapan, terisolasi pada
hari terakhir kehidupannya. Domenico juga mati kelaparan.
"Aku tak bilang itu mustahil, Dominick," kata Dr. Patel. "Aku hanya bilang itu
sangat tidak mungkin. Kau tidak bodoh. Kau tak menderita hemofilia atau
komplikasi lainnya. Kalau kau, seperti yang kau bilang adalah produk perbuatan
incest, kau sepertinya berhasil lolos dengan sehat."
Sehat" Aku mengingatkannya kalau kakakku menderita skizofrenia, putriku
meninggal saat berumur empat minggu.
Argumen yang bagus, kata Dr. Patel. Sejauh yang dia tahu tak ada bukti ilmiah
yang menghubungkan incest antara ayah dan anak dengan skizofrenia ataupun SIDS
(Sudden Infant Death Syndrome). Tapi aku boleh saja meneliti topik itu, tapi Dr.
Patel ragu aku akan menemukan bukti yang kuat. Jadi, dia menyimpulkan bahwa yang
kurasakan hanyalah ketakutan neurotik karena perkataan samar yang ditulis
kakekku dalam kisahnya: bahwa ibuku tahu bagaimana menyimpan rahasia. Itu bisa
berarti apa saja, katanya. Rahasia yang dikatakan ibunya padanya, resep rahasia.
Dan tentu saja, rahasia mengerikan tentang bagaimana ibunya yang memberinya
kehidupan berusaha merenggut kehidupan itu darinya.
Incest ayah dan anak: penyebutan Dr. Patel itu,
setidaknya memberi batasan. Meletakkan pikiranku itu dalam kotak tertentu dan
membuatku merasa lebih aman. Apa yang baru saja dia tuduhkan padaku" "Ketakutan
neurotik?" Kata Dr. Patel, dari yang kuceritakan, sepertinya kakekku adalah orang yang
sangat tidak bahagia dan salah arah kasar, egois, dan mungkin paranoid. Tapi
?tak satu pun dari yang kuceritakan membuktikan bahwa dia telah memerkosa
putrinya dan menjadi ayah kakakku dan aku.
"Kalau begitu, aku masih di tempat yang sama seperti sebelum aku membaca kisah
sialan itu," kataku.
"Dan di mana itu, Temanku?"
"Kacau ... tak punya ayah."
Dr. Patel bilang aku harus memikirkan dua hal. Pertama, aku jelas bukannya tak
punya ayah, kalau saja aku mau meluaskan kategoriku bukan hanya sekadar
berdasarkan sperma dan telur. Kalau aku mendefinisikan ayah sebagai seorang pria
dewasa yang hadir dalam perkembangan seseorang sejak dia kecil hingga dewasa,
maka ayahku sedang berbaring di rumah sakit Shanley Memorial sekarang, dirawat
setelah menjalani operasi. Tak peduli seperti apa kelemahan Ray sebagai
orangtua, keberadaannya dalam hidupku konstan. Dia menyaksikan perkembangan-ku.
Dr. Patel juga tidak merasakan bahwa aku tetap stagnan setelah selesai membaca
sejarah kakekku. "Cobalah memahami diriku sebagai seorang antropolog, Dominick,"
katanya. "Mari kita berpikir
sejenak tentang manuskrip sebagai sebuah misteri dengan akhir yang menjelaskan
semuanya, tapi sebagai sebuah perumpamaan. Perumpamaan memberikan pelajaran.
Saat kita selesai membacanya kita menghadapi pelajaran yang diberikannya. Jadi
aku bertanya padamu: apa yang telah diajarkan kisah kakekmu pada dirimu?"
"Apa yang telah diajarkan kisah itu padaku?" Aku menggeser dudukku. Melengos.
"Aku tak tahu. Hati-hati berjalan di atas lapisan es yang tipis" Jauhi monyet?"
Dr. Patel menepukkan tangannya seperti guru sekolah yang kesal. "Tolong
seriuslah!" Mata kami bertemu dan aku mencondongkan tubuh ke depan. "Bahwa aku seharusnya
berhenti menganggap semua orang melakukan dosa padaku," kataku. "Bahwa aku harus
menghilangkan dendam."
Dr. Patel tersenyum. Mengangguk. Bertepuk tangan lagi, kali ini menghargai.
Sengaja atau tidak, kata Dr. Patel, kakekku telah memberikan hadiah yang sangat
berharga: pelajaran dari kegagalannya. Dan aku seharusnya tidak melupakan siapa
yang menjadi perantara kisah itu. Kisah itu datang padaku lewat ibuku, yang
menurut Dr. Patel, mencintaiku dengan sepenuh hati wanita, yang meskipun lemah,?sebenarnya sangat pemberani. Saat mempertahankan hidupnya di kolam malam itu,
dia telah membuat kemungkinan bagi kehidupan Thomas dan aku di dunia. Dia memang
berbuat kesalahan ya, ya, itu tak bisa disangkal tapi bagaimanapun, ibuku
? ?membesarkan dua putranya dengan tulus. Telah melakukan yang terbaik. Dan padakulah dia
mewariskan kisah ayahnya.
"Gunakan hadiah itu, Dominick," kata Dr. Patel. "Belajarlah darinya. Biarkan itu
membebaskanmu." "Apa dia sudah selesai?" petugas pengontrol makanan bertanya padaku, agak kesal
kali ini. Dia sudah masuk dua kali untuk mengambil nampan makan siang Ray yang
belum tersentuh. Di ruang perawat mereka bilang Ray terbangun sekitar pukul
11.00, diberi suntikan morfin lagi, lalu kembali lagi ke Dunia Mimpi.
"Dia masih tidur," kataku. "Ambil saja." Sudah pukul setengah empat sore. Siapa
yang meresepkan penahan rasa sakit ini Dr. Kevorkian, si penggemar euthanasia
?itu" Aku melihat petugas itu berusaha menyeimbangkan nampan Ray di keretanya yang
sudah kepenuhan. Nampan itu tergelincir dan jatuh berkelontangan ke lantai, dan
kami berdua membungkuk untuk membersihkan sup, mengambil sandwich-nya, dan
mengejar apel yang lari. Ketika aku berdiri dan melihat Ray lagi, matanya
terbuka. "Siapa kau?" katanya.
Aku bilang kalau aku Dominick. Bertanya, bagaimana perasaannya"
"Siapa?" "Dominick," kataku. "Anak Connie. Salah satu dari si kembar."
"Oh," katanya. "Kukira kau pengawas."
Pengawas" Aku bertanya apa dia tahu sekarang ada di mana" Ray melihat sekeliling
ruangan, melihat lorong di luar lalu melihatku lagi. "Rumah sakit?"
Aku mengangguk. Mengingatkan kalau dia baru menjalani operasi kemarin. Dia
bertanya kapan pertandingan footbaii akan mulai.
Football! Aku melihat ke TV di dinding. Aku dari tadi menontonnya tanpa
membesarkan volume suaranya saat menunggu dia terbangun. "Tidak ada pertandingan
football sekarang, Ray," kataku. "Sekarang Mei. Musim bisbol. Playoff basket."
Ray mencondongkan tubuh ke depan, melihat ke kakinya yang teramputasi tanpa
memahami sepenuhnya apa yang terjadi. "Apa Edna sudah ke sini menjengukku?"
"Edna?" kataku. "Siapa Edna?"
"Edna," katanya. "Kau tahu, kakakku." Dia menggelengkan kepala, sebal. "Apa
ini?" Ray mengangkat remote TV yang sudah jelek.
"Untuk mengubah saluran," kataku. "Di TV atas itu. Ayo, cobalah. Tombol biru,
bukan yang merah. Yang merah itu tombol untuk memanggil perawat." Ray memencet
tombol merah, lalu yang biru. Menekannya. Channel demi channel bergerak cepat:
opera sabun, CNN, Maytag repairman. Dia berhenti ketika sampai di Oprah.
"Ya?" terdengar suara dari speaker. "Ada yang bisa saya bantu?"
"Oh," kataku. "Dia ... kami memencet tombol
yang salah. Maaf." Click. "Jam berapa pertandingan football-nya dimulai?" tanya Ray lagi. Saat aku
mengingatkannya sekarang bukan musim football, dia memotongku dengan sorakan
Strawberry shortcake! Huckleberry pie!
V-I-C-T-O-R-V Apa kita bisa" Ya! Ya! Ya!
Kita adalah murid B-G-S! Aku memandang ke lorong. Ke Oprah di TV. "Apa itu, uh ... apa BGS?"
"BGS!" katanya. "BGS! Broadway Grammar School! Kau ini bodoh atau apa?"
"Aku tak tahu. Kurasa Tuhan memang ada. Harus ada."
Dessa menggoyang-goyangkan kantong teh celup di cangkirnya.
"Tapi dia tak penuh belas kasih. Itu omong kosong. Dia lebih suka ironi daripada
belas kasih. Dia jenis Tuhan yang bilang kena kau! Suka iseng. Karena yang
terjadi sekarang terlalu sempurna kalau dibilang kebetulan yang acak."
Dessa bilang dia tak mengerti.
"Coba pikir," kataku. "Pertama kakakku mati. Lalu ayah tiriku kehilangan
kakinya, mulai bicara aneh. Kutung II: sekuel. Sempurna."
Dessa bilang, dia yakin bahwa Tuhan memberikan ujian, bukan mengisengi manusia.
Kami duduk di bangku belakang kantin rumah sakit. Sejam lalu, aku menahan pintu
lift karena mendengar langkah tergesa yang juga ingin naik lift. Dan langkah
kaki itu ternyata milik Dessa. Sekarang, kecuali wanita berambut putih di kasir
dan dua penjual permen yang bergosip dua meja dari tempat kami, kantin itu bisa
dibilang kosong. "Dan lagi pula," kata Dessa, "bukankah mereka bilang dia mungkin hanya mengalami
sedikit disorientasi karena biusnya" Bukankah kau tadi bilang kalau kau
terbangun dari operasimu dan mengalami disorientasi juga?" Beberapa menit
sebelumnya aku menceritakan mimpi aneh yang kualami akibat pengaruh morfin saat
di rumah sakit dulu tanpa terlalu membeberkan detailnya: mencekik kakakku saat
dia tergantung di pohon itu, menurunkannya dan akan melemparnya ke sungai. Lucu
juga: dalam halusinasi morfinku aku adalah seorang pembunuh. Ray menjadi pemandu
sorak. Kami berdua diam beberapa saat. Aku menghabiskan kopiku. Mulai merobek cangkir
styrofoam itu seperti mengupas apel. Kami duduk saling berhadapan, memandang
robekan styrofoam yang memanjang berbentuk spiral. "Kau masih ke gereja?"
tanyaku. Aneh rasanya mendengar pertanyaanku, kata Dessa. Dia sudah lama tak
pergi selama beberapa tahun tapi sekarang dia mulai ke gereja lagi. "Ya" ? ?Kenapa?"
"Oh, aku tak tahu," katanya. "Karena tempat ini, sepertinya."
Saat aku bertemu dengannya di lift, aku mengira terjadi sesuatu pada ibunya,
tapi Dessa bilang tidak dia menjadi sukarelawan pendamping di sal anak-anak.
?"Kau harusnya melihat beberapa anak yang kudampingi, Dominick," katanya. "Mereka
sakit parah, tapi begitu berani. Mereka semua seperti mukjizat bagiku."
Dessa menceritakan gadis usia enam tahun yang menderita tumor otak, tapi punya
tawa yang menular sehingga dia bisa membuat seluruh ruangan tertawa. Tentang
bayi-bayi penderita AIDS dengan infeksi mereka, kebutuhan mereka untuk dipeluk
dan diayun. Tentang Nicky, anak lelaki berusia tujuh tahun dengan gangguan enzim
yang pelan-pelan membuatnya tak bisa bicara, kehilangan keseimbangan, dan bahkan
kemampuan menelan. Nicky adalah favoritnya, kata Dessa. "Kau harusnya melihat
bagaimana musik membuat matanya bersinar. Penuh cahaya. Kau ingat lampu lava
yang sering membuat orang terpaku memandangnya" Nicky akan terus memandang dan
memandang lampu itu, seakan-akan semua itu masuk akal menjelaskan padanya
?sesuatu yang tak kita mengerti. Dia punya mata cokelat yang sangat indah,
Dominick. Itu adalah salah satu tempat di mana aku bisa melihat Tuhan, kurasa.
Di mata Nicky." Dessa tertawa, terlihat sedikit malu. "Susah dijelaskan. Aku
pasti seperti cewek era New Age."
Aku menyentuh kakinya dengan kakiku di bawah meja. "Ya, mungkin kau masih bisa
diselamatkan," kataku. "Kau belum membeli kaset Yanni, bukan?"
Anak-anak penderita AIDS mengalami perjuangan yang paling berat, katanya. Mereka
tak mau makan, karena makan membuat mereka semakin sakit. Jadi selain menderita
penyakit parah, anak-anak kecil itu juga berisiko mengalami kekurangan gizi.
Buat sesuatu kelaparan cukup lama dan dia akan mati, pikirku.
"Jadi, apa yang kau lakukan untuk anak-anak ini?"
Dessa bilang dia membacakan cerita untuk mereka, mengayun mereka. Melakukan
terapi binatang peliharaan.
"Terapi binatang?" kataku. "Apa itu?"
Respons anak-anak sangat baik pada binatang, kata Dessa. Ada anjing keren
bernama Marshmallow yang berkunjung seminggu sekali. Mereka punya ikan. Dan
kelinci Zeke dan Zack. "Kami harus sangat berhati-hati karena risiko
?infeksi banyak pembatasan dan aturan tapi anak-anak sangat menyukai binatang."
? ?Sering yang dia lakukan hanyalah memeluk mereka, katanya. Itu mungkin hal paling
bermanfaat yang bisa dia lakukan. "Anak-anak yang sakit parah seperti mereka
menginginkan kedekatan fisik lebih daripada yang lain. Mereka hanya ingin
dipeluk." "Kau yakin ini baik untukmu?" kataku. "Kau yakin ini tak akan membebanimu
terlalu banyak?" Dessa tersenyum, menggeleng. Dia tahu kedengarannya menyedihkan, tapi sebenarnya
tidak. Itulah mukjizatnya. Dia bahagia bersama anak-anak ini menjadi bagian ?dari hari-hari mereka
yang berharga. Dia merasa tenteram lebih daripada yang dia rasakan selama
bertahun-tahun. Aku tersenyum. Berkata bahwa dia rupanya memenuhi janjinya juga akhirnya. "Janji
apa?" "Anak Clapton itu" Anak kecil yang jatuh dari jendela, mimpimu" Kurasa kau
berhasil menangkapnya juga akhirnya." Aku melihat ekspresi bingungnya menjadi
ekspresi mengingat mimpinya itu. Melihat air mata menggenangi matanya.
Apa dia mau ke atas" Bilang halo ke Ray"
Dessa melihat jamnya. Dia ingin sekali, katanya, tapi dia sudah terlambat dia
?akan bertemu Dan untuk makan malam. Tapi, oke, dia akan mampir sebentar dan
bilang halo. Tapi tak bisa tinggal lama.
Saat naik lift kembali ke lantai empat, aku menyadari kalau Dessa baru saja
menyebutkan nama pacarnya dan aku tidak merasa ingin meninju dinding. Ada
kemajuan, pikirku. Semua terapi yang kujalani itu ada gunanya juga. "Bagaimana
kabar Sadie?" tanyaku.
"Oh, Dominick ...." Dessa mengulurkan tangannya padaku. "Dia mati." Tangannya
jatuh ke sisi tubuhnya lagi. "Aku terpaksa memilih agar dia disuntik mati. Aku
menyesal. Aku harusnya meneleponmu."
Aku mengangkat bahu. Bilang padanya tidak apa-apa Sadie adalah anjingnya. Bukan
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
?anjingku. "Dia anjing kita," kata Dessa.
Lift berhenti di lantai tiga, pintu membuka, tak ada siapa-siapa, lalu menutup
lagi. Kami naik lagi. "Dia mati dengan tenang, Dominick." Dessa melangkah mendekat padaku. Sedikit
bersandar padaku. Ketika kami sampai di kamar Ray, dia sedang duduk, minum jus dibantu perawat.
"Aku membawa seseorang yang ingin menemuimu," kataku.
"Hai, Ray," kata Dessa. Ray memandangnya kosong.
"Kau ingat siapa ini?" tanyaku.
Ray menyedot lagi jusnya. Meringis tipis sehingga aku hampir tak melihatnya.
"Hot Lips Houligan," katanya.
Pada hari ketiga setelah operasinya, Ray sudah sadar seratus persen.
"Kegilaannya" itu hanya disebabkan oleh obat bius, seperti kata dokter. Dua
belas hari setelahnya, Ray dinyatakan cukup stabil memakai kruk untuk
dipindahkan ke pusat rehabilitasi subakut.
Rivercrest Convalescent Home mempunyai kertas dinding yang cerah dan staf yang
ceria, dan jadwal terapi fisik harian yang serius, terapi okupasional, dan
bernyanyi bersama. Setiap kali aku berkunjung, aku bertemu jajaran "penjaga"
berkursi roda para orang tua yang menghabiskan sepanjang hari duduk di lobi
?depan, memandang arus pengunjung, karyawan, dan pegawai delivery yang keluar
masuk. Kurasa mereka berharap, mendapatkan berita dari luar tempat parkir.
Beberapa di antara mereka akhirnya kukenal: Daphne, vampir kelompok itu
dengan mantel rumah warna-warni; Maizie yang setiap aku datang dan pergi selalu
bertanya apakah aku ini anaknya, Harold; Warren yang salam universalnya selalu,
"Hello, Cap'n Peacock!"
Duduk di antara para penjaga itu, mengerut dan lesu, adalah wanita tua tak
bernama yang kujuluki Putri Mata Setan. Setiap orang di sana sangat memerhatikan
sang Putri itu; hampir seratus tahun umurnya, dia adalah penghuni tertua
Rivercrest. Dia dan aku tak pernah bertukar kata, seperti yang kulakukan dengan
yang lainnya, tapi matanya yang mulai kabur terlihat selalu mengikutiku setiap
kali aku datang ke sana mengikutiku dari pintu depan hingga ke kamar Ray. Aku ?tahu ini karena kadang aku berhenti dan berbalik dan aku agak takut melihat
caranya memandangku .... Aku biasa memanggil mereka "Para Kru". Daphne, Warren,
dan Sang Putri. Komite penyambutan di stasiun antara kematian dan apa pun yang
datang setelahnya. Rivercrest adalah tempat penyucian dosa yang dilengkapi
dengan kursi roda. Ray murung dan pendiam pada minggu pertama, dan setelah itu dia mengalami
kondisi yang disebut sebagai kondisi "semikooperatif oleh petugas sosialnya.
Pada akhir kampanye dua minggu untuk mendorongnya masuk ke aktivitas dan program
khusus, direktur rekreasi menyerah dan membiarkannya diam di kamarnya dan
cemberut seharian. Dia masih bingung apakah mau memakai kaki palsu. "Kalau aku
ini kuda, mereka pasti mengambil pistol dan menembakku saja."
"Ayah Anda sedang tertekan," kata mereka padaku. Mereka bilang dia kadang
menangis sendiri di kamarnya. Itu wajar. Hal seperti ini butuh waktu.
Aku mulai mengunjunginya hampir tiap hari. Mencucikan baju kotornya setelah
Laundry Services menghilangkan baju favoritnya. Dia tak bisa melakukannya; dan
aku punya banyak waktu. Saat itu, aku sudah menjual peralatan mengecatku pada
partnernya Sheffer atau apalah istilahnya yang benar untuk menyebutnya secara
politis. Aku pergi ke Hartford dan mengikuti ujian untuk memperbarui izin
mengajarku. Mendaftar kursus penyegaran. Aku memang belum tahu apakah aku akan
mengajar lagi, tapi aku pikir sebaiknya aku bersiap-siap, siapa tahu. Aku masih
punya kesempatan hingga akhir musim panas sebelum "ekonomiku jadi sulit".
Kadang, sekolah membutuhkan guru pada saat-saat terakhir. Saat itu, Ray sudah
pulang dan semoga bisa mengurus dirinya sendiri lagi.
Aku membawakan koran terbitan New York dan Boston setiap kali menjenguknya the
?Post, the Herald. Membawakan hamburger dari The Prime Steer satu atau dua kali
seminggu karena semua daging di Rivercrest rasanya seperti "kulit sepatu".
Karena mereka bahkan tak bisa membuat meat loaf. "Yesus, buat apa kamu membawa
ini lagi?" katanya, setiap kali aku membelikannya makanan. "Jangan buang-buang
uangmu. Aku bahkan tak berselera makan." Lalu dia akan makan dengan
rakus menghabiskan semuanya dalam enam atau tujuh menit.
?Staf berpikir, berjalan-jalan keluar selama dua jam mungkin akan membuat Ray
sedikit bersemangat, jadi aku belajar dari ahli terapi fisik bagaimana
membantunya masuk dan keluar mobil, apa yang harus dilakukan kalau dia mau ke
kamar kecil. Kami sama-sama gugup waktu keluar pertama kalinya. Aku membawanya
berkeliling ke Three Rivers, melewati lahan pembangunan kasino besar. "Yesus
Kristus Mahabesar," katanya. "Ini akan jadi besar sekali. Yah, apa masalahnya:
bagus kalau mereka jadi lebih kuat." Keberpihakannya pada suku Wequonnoc sedikit
mengejutkanku; selama ini aku menganggap sepanjang hidupnya Ray selalu iri pada
orang yang mendapatkan keberuntungan lebih.
Kali kedua, kami pergi ke Friendly's untuk makan siang. Saat aku bertanya dia
mau pergi ke mana dalam kunjungan selanjutnya, jawaban Ray mengejutkanku.
"Bagaimana kalau nonton?" katanya.
"Nonton" Ya?" Sejak Thomas dan aku masih kanak-kanak, Ray selalu bilang kalau
bioskop itu buang-buang waktu dan uang saja.
Aku menunjukkan iklan film yang ada di Daily Record. Mengira dia mungkin akan
memilih Dances With Wolves, yang sudah kutonton sekali dan jelek. Naked Gun dan
film Arnold Schwarzenegger yang main di Center Cinema.
"Bagaimana kalau ini?" katanya, jarinya menunjuk iklan Little Mermaid.
"Itu kartun Disney, Ray," kataku. "Film anak-anak."
Dia tahu film apa itu, katanya. Mereka menayangkan iklannya di TV setiap lima
menit, bukan" Kalau begitu aku mau nonton apa" Buat apa aku bertanya padanya"
"Oke, oke," kataku. "Little Mermaid. Kami datang."
Di lobi bioskop, orang-orang anak-anak dan dewasa menatap kruknya, pipa ? ?celananya yang kosong. Ketika dia selesai ke toilet, filmnya sudah mulai. Aku
gugup sekali membantunya menuruni gang bioskop dalam gelap. Tapi setelah kami
duduk, setelah detak jantungku kembali normal dan mulai bisa mengerti inti
ceritanya, aku melihat logika dalam pilihan Ray. Dia perlu melihat cerita
tentang putri duyung yang menginginkan apa yang tak bisa dia punyai kaki dan
? ?lalu mendapatkan apa yang dia inginkan sekaligus yang tak dia inginkan. Sekali,
aku berpaling ke Ray, mengamati wajahnya yang diterangi cahaya dari layar:
rahang terkatup, cemberut. Aku sadar, yang kulihat adalah keberaniannya.
"Nah, kau suka?" tanyaku saat kami kembali ke Rivercrest. "Lumayan," jawabnya
datar. Sampai di Rivercrest, barisan kursi roda itu sudah berbaris di pintu
depan seperti biasanya. "Maaf. Apa kau anakku, Harold?" tanya Maizie padaku,
begitu kami melewati pintu.
Ray menjawab sebelum aku sempat membuka mulut. "Namanya Dominick Birdsey!"
tukasnya ketus. "Dia anak-kuf" Berjalan ke lorong, walaupun begitu jauh, dia
bergumam kesal tentang "cewek
tua" dan "gangguan menyebalkan".
Dalam bulan pertamanya di Rivercrest, Ray mendapatkan dua teman: Stony,
pensiunan pemasang atap yang dulu pernah melawan Willie Pep in Golden Gloves,
dan Norman, yang pernah berperang di Perang Dunia II di Bataan. Norman
mengatakan dulu saat dia masih anak bau kencur yang bekerja di kereta makan
?siang milik ayahnya yang ditarik kuda dia pernah melayani Mae West seiris pai
?rhubarb. Gratis. Mae West sedang di kota itu dalam tur drama komedi bangsawan.
Norman sering diolok-olok mengenai cerita itu. Apa lagi yang diberikan Norman
pada Mae West" Apa yang dia berikan pada Norman" Mungkin yang baru itu apa
?namanya" Madonna" Mungkin dia juga mau mendapatkan sedikit pai rhubarb Norman.
Norman, Stony, dan Ray: The Three Musketeers kata salah satu staf menjuluki
mereka. Mereka bertiga makan bersama di ruang makan. Main pinochie di kamar
Stony. (Hanya radio Stony yang bisa menangkap stasiun radio yang memainkan lagi
Big Band dari New Haven). "Ayah Anda semakin baik," kata petugas sosialnya
padaku. Ray memutuskan dia sebaiknya mencoba kaki palsu itu. Bagaimana rasanya.
Lagi pula, asuransi yang akan membayarnya, jangan buat mereka keenakan.
Ray dan aku kadang menonton bisbol bersama. Main cribbage. Biasanya TV yang
lebih banyak bicara daripada kami berdua. Suatu hari, Ray mulai mengeluh tentang
staf yang tak bisa rapi mencukur janggutnya. Mereka harus menggunakan alat cukur
listrik ada aturan yang mengharuskan itu tapi alat cukur listrik menurutnya
? ?tak bisa mencukur dengan bersih.
"Cukur saja sendiri," kataku.
Dia bilang dia tak bisa tangannya gemetar. Dia mengangkat kedua tangannya,
?menunjukkannya padaku. "Suatu hari kau mungkin masuk ke sini dan menemukan
kepalaku terguling di lantai. Kenapa tidak kau saja yang mencukurku?"
Awalnya aku menolak mengabaikan satu atau dua kali saat dia mengatakannya tapi? ?Ray terus meminta. "Baiklah, baiklah," kataku akhirnya, mendorong kursi rodanya
ke kamar mandi sempit yang berhubungan dengan kamarnya. "Kita akan mencobanya."
Rasanya aneh pertama kali tak wajar menggosok wajahnya dengan sabun, memegang
? ?dagunya dan mencukur bulu-bulu yang tumbuh di lehernya, pipinya yang kendur. Di
keluarga kami, jarang ada sentuhan, apalagi Ray dan aku. Tapi akhirnya aku jadi
terbiasa. Setelah dua kali, rasanya tak begitu aneh. Mungkin justru kesediaanku
mencukur janggut Raylah yang meruntuhkan penghalang di antara kami ....
Karena dicukur membuatnya suka mengobrol. Membuatnya membuka diri. Aku tahu
lebih banyak tentang Ray dari saat aku mencukurnya dibanding apa yang aku
ketahui sebelumnya. Dia kehilangan ayah dan kakak lelakinya karena influenza
tahun 1923, tahun yang sama dengan kelahirannya. Setidaknya dia tumbuh dan
percaya bahwa mereka adalah ayah dan kakaknya. Ketika dia berusia sepuluh tahun, wanita yang selalu
menyatakan dirinya sebagai ibunya sakit terkena demam rematik. Menjelang ajal,
dia mengatakan yang sebenarnya: bahwa dia sebenarnya adalah nenek Ray. Bah-wa
kakak perempuannya, Ednalah yang melahirkan dia.
Saat aku mendengar ceritanya, aku teringat foto berpigura yang dia letakkan di
mejanya di rumah Hollyhock Avenus: foto seorang wanita yang sering kutertawakan
dengan Thomas kami menyebutnya Ma Kettle. Sekarang wanita di foto itu punya
?nama: Edna. Setelah tinggal mereka berdua Edna dan dia mereka berpindah dari tempat satu
? ?ke tempat lainnya. Kalau ada yang mempekerjakan Edna sebagai pelayan, maka
semuanya akan baik-baik saja untuk sementara, kemudian tiba-tiba mereka harus
pindah lagi .... Edna tak bermaksud jahat, kata Ray; dia bukan orang yang buruk.
Tapi dia lemah. "Lemah menghadapi godaan. Terjemahan bebasnya, dia adalah wanita
nakal, kurasa. Dan pemabuk."
Hal paling buruk terjadi ketika Edna menyewa kamar di atas salah satu bar di
pusat kota. "Barisan bar" kata mereka banyak pelanggan. Edna sering membawa
?para pengunjung bar ke rumah, pemabuk demi pemabuk. Suatu malam Ray terbangun
dari tidur nyenyak oleh seorang pria yang duduk di dekatnya, mencoba bermain-
main dengannya. Setelah itu, Ray selalu tidur dengan palu di
sebelahnya. "Mungkin semua baik-baik saja kalau keluargaku yang lain masih
hidup," katanya. "Tapi yang masih ada tinggal kami berdua."
Dia pergi secepat dia bisa, katanya keluar dari sekolah dan masuk Angkatan
?Laut. Edna dipaksanya menandatangani surat melepaskan perwalian. "Awalnya dia
tak mau menandatanganinya," katanya. "Karena aku bisa mendatangkan uang untuknya
dengan mengerjakan pekerjaan sambilan ini dan itu." Tapi akhirnya Edna mau
menandatanganinya pada suatu malam saat dia "sadar dan jernih" pikirannya, dan
Ray langsung pergi dari sana. Dia hanya kembali ke Youngstown sekali, dan itu
adalah untuk memakamkan Edna. Desember 1945: dia ingat karena baru saja keluar
dari Angkatan Laut. Baru saja membeli mobil DeSoto hitam. Mengendarai mobil itu
sepanjang jalan ke Ohio tanpa ban cadangan. Edna meninggal karena gangguan
hati akibat terlalu banyak minum. Baru empat puluh satu tahun dan dia terlihat
?seperti sudah enam puluh satu tahun. Selain sekali itu, dia meninggalkan Ohio
sejak usia tujuh belas tahun dan tak pernah kembali lagi.
Saat perang, dia ditempatkan di Prancis dan lalu ke Italia. Ray menyebutnya It-
ly. Orang Italia adalah orang yang baik, katanya orang yang ramah, bahkan pada
?saat perang. Saat keluar dari Angkatan Laut, dia menjual vacuum cleaner untuk
sementara waktu. Mengencani seorang gadis di Framingham, Massachusetts, tapi tak
bertahan lama. Namanya Olga, gadis Ukraina. Terlalu sering
memerintahnya. Ketika Perang Korea mulai, Ray mendaftar lagi ke militer.
Sebenarnya dia tak perlu mendaftar. Usia wajib militernya hanya tinggal dua
tahun saat itu. Tapi dia selalu merasa berkewajiban untuk membela negaranya,
benar ataupun salah. Dia bahkan tak pernah menanyakan benar atau salahnya. Itu
adalah masalah para politisi dan para pejabat. Dan lagi pula, dia masih
bersemangat untuk berkelahi. Masih banyak kekuatan dan kekerasan dalam tubuhnya
yang perlu penyaluran dan menurutnya sebaiknya itu disalurkan di Korea Utara
daripada ke orang yang duduk sebelahnya dalam sebuah bar, atau orang berengsek
yang memotong jalannya saat menyetir.
"Lalu, setelah aku keluar dari perang itu, saat itulah aku mendapat pekerjaan di
Fuller Brush. Itu hanya pekerjaan sementara hingga aku bisa mencari yang lebih
baik. Tapi itulah bagaimana aku bertemu dengan ibumu. Dia membukakan pintu
untukku dan aku mulai membuka sampel-sampel jualanku, dan tiba-tiba dia
menangis. Tersedu-sedu begitu saja. Awalnya, aku tak tahu apa yang terjadi.
Kukira dia melukai dirinya sendiri atau apa.
"Dia sangat repot mengurus kalian berdua. Hari pertama aku mampir kalian berdua
sedang sakit infeksi telinga. Aku ingat bagaimana kalian berdua membuat dia
kelelahan setengah mati. Dan tentu saja, dia sendirian. Dia kehilangan ayahnya
setahun yang lalu dan apa yang ditinggalkan untuknya hampir-hampir tak cukup ?untuk hidup. Aku merasa sedikit iba padanya. Dia terlalu banyak beban ....
"Tentu, aku juga agak menyukainya. Tubuhnya lumayan bagus. Dan mulutnya itu tak
?pernah menggangguku. 'Bisa dicium seperti mulut orang-orang yang lain,' begitu
yang sering kukatakan padanya. Aku langsung tahu dia wanita yang baik. Agak
pemalu mungkin, tapi aku tak berkeberatan. Aku menyukai orang Italia. Karena
pengalamanku saat perang .... Ibumu sangat berbeda dengan Edna. Dia berbuat
kesalahan itu saja. Setiap orang bisa berbuat salah. Aku juga bukan orang suci
saat di Angkatan Laut. Aku banyak melakukan hal-hal yang seharusnya tak
kulakukan. Lagi pula, aku juga tertarik pada kalian berdua. Double trouble aku
sering memanggil kalian berdua. Kalian berdua adalah anak-anak yang bandel."
Keberadaannya dalam hidupmu selalu konstan, aku teringat perkataan Dr. Patel.
Dia ada di sana, menyaksikan kau tumbuh dewasa.
"Aku tahu aku berbuat kesalahan dengan kalian berdua," kata Ray. "Apalagi dengan
dia. Kau ingat saat hari pemakamannya" Setelahnya saat di rumah" Semua hal yang
?kau tuduhkan padaku itu juga sudah kutuduhkan pada diriku sendiri .... Aku tak
pernah memahami anak itu. Aku dan dia, kami seperti minyak dan air .... Aku tak
pernah punya ayah, kau tahu" Yang kutahu hanyalah bahwa dunia adalah tempat yang
keras. Dan kurasa itu adalah satu hal yang bisa kulakukan untuk kalian berdua.
Membuat kalian tangguh sehingga kalian bisa menghadapi hambatan apa pun yang
akan kalian temui dalam kehidupan .... 'Mereka masih kecil, Ray,' ibumu selalu bilang
begitu setiap saat. Tapi aku tak mau tahu, aku keras kepala. Dan tentu saja, aku
tahu kalian berdua tak begitu menyukaiku. Menganggapku sebagai orang jahat
setiap saat. Orang yang menghancurkan kesenangan setiap orang. Kadang kalian
sedang menertawai sesuatu, dan saat aku masuk, bamf Kalian bertiga langsung
diam." "Itu karena temperamenmu," kataku. "Kami takut padamu."
Ray mengangguk. "Temperamenku buruk. Aku tahu itu. Itu karena asal-usulku. Aku
benci pada dunia kurasa .... Tapi, Yesus, aku sangat marah pada ibumu kalau dia
berusaha turut campur dalam masalah Thomas setiap saat. Itu membuatku kehilangan
kendali .... Dan tentu saja, pada hari ketika aku pulang dan menemukan mereka
berdua di kamar atas, kakakmu memakai topi bodoh itu, sepatu hak tinggi ....
"Aku mengecewakannya aku tahu itu. Aku mungkin mengecewakan kalian berdua.
?Benar?" Aku tak bisa menjawab. Yesus, dia memang brutal pada kami. Tapi dia ada .... Dia
bilang mulut Ma bisa dicium seperti mulut orang lain.
"Semuanya jadi lebih jelas saat kau makin tua," katanya. "Tentu, pada saat itu
semua sudah terlambat."
Aku selesai mencukurnya. Mendorongnya keluar dari kamar mandi ke dekat tempat
tidur. Aku duduk di sebelahnya. "Bukan hanya karena kamu," kataku.
"Kami semua agak kacau, termasuk Ma."
"Dia punya kebiasaan seperti orang lain," katanya. "Tapi dia wanita yang baik."
Jantungku berdegup kencang. Aku hampir-hampir tak bisa mengeluarkannya.
Tak bisa menanyakannya. "Sebelumnya?" kataku. "Saat kau bilang kalian berdua sama-sama bukan malaikat"
Apa kau ... apa Ma pernah bilang padamu siapa dia" Ayah kami?"
Kami saling memandang. Aku menunggu, menahan napas. Seluruh hidupku bergantung
pada jawabannya. "Kami tak pernah membicarakan hal seperti itu," katanya akhirnya. "Punya semacam
perjanjian tak terucap, kurasa. Semua itu adalah sungai yang mengalir di bawah
jembatan .... Kami membiarkan masa lalu terkubur, dia dan aku."
Empat Puluh Tujuh Raket Leo melengkung rendah untuk menangkap bola. Thwock! Bola itu mengenai
dinding belakang, mental tinggi di udara, dan mengenai dinding depan, enam inci
dari lantai. "Dan aku," teriaknya, "adalah Raja RacquetbaII" "Tembakan bagus," kataku
menyerah. "Oke, sudah selesai. Kau menang."
Dia baru saja mengalahkanku tiga kali berturut-turut sesuatu yang tak pernah ?bisa dia lakukan sebelumnya. Basah kuyup penuh keringat, terengah-engah, kami
masuk kamar mandi. "Hei, Birds," panggil Leo dari shower sebelah saat aku sedang keramas. "Kau
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
punya waktu untuk minum?"
Aku bilang tidak bahwa aku harus segera berpakaian dan pergi.
?"Ya" Untuk apa" Kau punya kencan atau apa?"
Aku mematikan air, mengambil handuk. "Kencan dengan petugas sosial Ray," kataku.
"Kami harus membicarakan asuransi Medicarenya."
Itu bohong. Joy meneleponku, tiba-tiba saja, tadi malam. Dia sedang di Three
Rivers mengunjungi teman, katanya; dia ingin tahu apakah dia boleh mampir dan
menemuiku sebelum kembali. Hanya
untuk bilang halo, dan menunjukkan bayinya. Aku awalnya menolak. Untuk apa" Tapi
dia terus memaksa: kita berdua sudah tak bertemu hampir setahun, banyak sekali
yang ingin dia ceritakan padaku. Apakah aku sudah menerima foto Tyffanie"
Foto dari rumah sakit itu: tanpa tahu kenapa aku menempelkanya di pintu lemari
es. Joy berjanji tak akan tinggal lama. Setelah lima belas menit dia akan pergi.
"Pasti mengesalkan, ya?" kata Leo. "Semua omong kosong tentang rumah
peristirahatan itu?"
"Nggak begitu buruk," kataku. "Terutama sekarang setelah Ray agak melunak."
Kalau aku bilang pada Leo tentang Joy, aku pasti mendapat kuliah bahwa aku tak
berutang apa pun pada perempuan jalang itu. Mengingat bagaimana dia mencoba
menjebakku, aku seharusnya bilang persetan padanya dan menutup telepon. Aku
tahu, bersedia menemui Joy adalah hal bodoh; aku tak perlu Leo untuk
memberitahuku itu. Tapi dia cuma minta waktu lima belas menit. Tak begitu lama.
"Hei," kataku. "Pinjam deodoranmu, ya" Aku tadi terburu-buru ke sini. Lupa
semuanya." Sebenarnya, aku tak bisa konsentrasi gugup mengenai kunjungan Joy.?"Hmmm, bagaimana ya, Birdsey," kata Leo. "Aku tak yakin apa aku siap melakukan
komitmen sebesar itu denganmu." Leluconnya kuabaikan. "Hei, Dominick. Coba tebak
apa yang kudengar hari ini" Dari Irene?"
Saat aku berpaling ke Leo, dia sedang
mengenakan celana boxer warna cerah. "Woaaa," kataku. "Silau. Di mana kacamata
hitamku" Sejak kapan kau memakai barang itu?"
"Sejak aku membaca apa pengaruh celana ketat pada spermamu," katanya. "Tapi
dengarkan aku. Aku serius. Dia bilang kalau Big Gene bilang padanya"
"Siapa yang bilang?"
"Irene. Akuntan mereka. Dia bilang Gene bilang padanya bahwa Pak Tua itu
berpikir untuk pensiun akhir tahun ini. Bepergian bersama Thula. Kurasa sejak
Thula jatuh itu mereka agak takut. Memaksa mereka mengevaluasai kembali atau
apalah .... Akhir tahun ini, Birdsey. Belum ada yang tahu."
"Aku tak percaya," kataku. "Apa dia tak harus dipaksa pensiun?"
Aku mengikat sepatu ketsku, ke depan cermin untuk meratakan rambutku. Aku lupa
membawa sisir juga. Kalau aku tahu bertemu dengan Joy akan membuatku segelisah
ini, aku akan menolak. Aku menyisir rambut dengan jari. Tak perlu repot-repot
untuk Joy, aku tak berutang apa pun padanya.
"Hei, Dominick," kata Leo. Ekspresi wajahnya tegang dan berharap, yang kadang
muncul kalau dia menginginkan sesuatu. Aku bisa meraba apa yang akan dia katakan
selanjutnya. "Misalkan dia benar-benar pensiun. Maksudku aku baru percaya kalau
sudah melihatnya juga, tapi misalkan dia pensiun .... Kau pikir aku berkesempatan
jadi General Manager?"
Leo yang malang; dia adalah Rodney Dangerfieldnya Constantine Motors. Bertahun-
tahun di tempat itu dan yang dia inginkan sebenarnya adalah sedikit penghargaan dari
ayah mertuanya. Itu, dan kantor sendiri sebuah meja yang bukan di lantai
?showroom. Tapi jelas bahwa dia akan terlewatkan dan yang akan menjadi General
Manager baru adalah anak Costa, Petes. Gene akan menendang Leo sekali lagi.
Mematahkan hati anaknya Angie dengan menyepelekan suaminya. Itu sudah jelas.
"Kurasa kau punya kesempatan kalau rekananmu punya otak," kataku.
"Kau pikir aku bisa melakukannya?"
Aku memandang wajahnya di belakangku lewat cermin. Jawabanku sangat penting
baginya. "Kau bergurau?" kataku. "Kau akan hebat." Itulah Leo: di balik semua
omong kosongnya, semua gertakannya, sebenarnya dia sedikit kurang percaya diri.
Dia seharusnya meninggalkan diler mobil itu sejak bertahun-tahun lalu.
Leo mengangguk, puas dengan jawabanku. "Ya, waktuku sudah tiba, kukira. Aku
mempunyai angka penjualan terbaik selama empat bulan berturut-turut. Apa aku
sudah mengatakan itu padamu?" Leo memasang dasinya, menutup pintu lokernya. "Aku
sudah empat puluh tiga tahun, Man. Aku adalah ayah dari cucu mereka."
"Hei, ngomong-ngomong masalah itu," kataku, "buat apa kau khawatir dengan
spermamu?" "Aku tak tahu," katanya. "Mesin seks seperti aku memang khawatir tentang hal-hal
seperti itu." Kami meninggalkan gimnasium, berjalan menuju
ke parkiran mobil. Aku mulai keluar dari tempat parkir, kembali gugup tentang
kunjungan Joy, ketika Leo mengklakson, menyuruhku menunggu. Aku menginjak rem,
menurunkan kaca jendelaku. Dia mengarahkan mobilnya ke samping mobilku. "Hei,
aku mendengar hal yang lain juga hari ini," katanya. "Aku seharusnya tak boleh
bilang padamu. Angie akan membunuhku kalau dia tahu. Ini tentang kakaknya."
Tanganku mencengkeram setir lebih erat. Aku menunggu.
"Dia dan Danny berpisah."
Aku diam, mengangguk, tak bisa berpikir.
"Bukan karena wanita lain atau apa. Mereka memutuskan berpisah, tetapi tetap
berteman. Danny ingin kembali ke Santa Fe dan Dessa mau tetap tinggal di sini."
"Apa sudah pasti?"
"Sejauh yang kutahu. Awalnya Dessa mau ikut dengannya, tapi kemudian dia berubah
pikiran. Hei, jangan telepon dia ya, Dominick. Oke" Angie akan membunuhku. Pak
Tua dan Ibunya juga belum tahu."
Kubilang aku akan menutup mulutku. "Jadi ngomong-ngomong, tentang hal yang
satunya" Kau benar-benar berpikir aku punya kesempatan?"
"Apa" .... Ya. Jelas sekali."
"Kau pikir aku bisa mengatasinya" Benar" Jujurlah. Aku kan, tidak mempunyai
gelar di bidang bisnis atau apalah."
"Kau punya gelar di bidang akting," kataku. "Itu
adalah training yang lebih baik untuk bekerja di tempat itu. Dan lagi pula, kau
mempunyai angka penjualan tertinggi selama empat bulan berturut-turut, kau
mengalahkanku di racquetball. Kau tak terkalahkan, Leo."
Dia meringis. Mengangguk setuju. "Aku tak terkalahkan. *
Menyetir pulang ke rumah, aku memikirkan mengapa berita tentang Dessa tidak
membuatku gembira. Aku sudah menunggu bertahun-tahun untuk mendengar apa yang
baru saja dikatakan Leo. Selama bertahun-tahun .... Dia mungkin akan tetap tinggal
di rumah pertanian itu, pikirku. Atau menjualnya mungkin. Kalau Dessa mau
menjualnya, dia sebaiknya mengecat rumah itu dulu. Akan mengurangi lima atau
enam ribu dolar dari harga yang pasaran kalau dia tak mengecatnya lagi. Tapi
sudah jelas, bukan" Kini setelah aku menjual peralatan mengecatku, dia mungkin
akan mengecat rumah itu .... Tapi mungkin dia akan tetap tinggal di sana. Tinggal
sendirian untuk sementara. Aku ingin tahu apa yang akan dia lakukan dengan kotak
surat warna-warni mereka berdua: mengecatnya lagi" Membiarkannya" Constantine-
Mixx, bahagia selamanya .... Meskipun aku sangat ingin membenci Dan The Man, aku
tak pernah bisa. Dari yang kudengar, dia adalah pria yang lumayan baik bahkan ?Leo juga mengakuinya. Dia juga sopan padaku hari itu saat menerima teleponku
setelah kakakku meninggal. Aku harus menghargai itu tapi Dessa tak akan kembali
lagi padaku. Hidup tak seperti itu. Kau tak bisa meneruskan apa yang telah kau tinggalkan. Demi
kesehatan mentalku, aku sebaiknya menghentikan khayalanku ini. Kau lihat ini,
Doc" Apakah kau tidak bangga padaku" .... Tapi mungkin akan berat bagi Dessa
selama dua bulan terakhir ini: memutuskan apakah dia akan pergi atau tinggal.
Aku ingin tahu apakah keputusannya itu ada hubungannya dengan anak-anak itu.
Anak-anak yang sakit di rumah sakit itu ....
Mobil Joy diparkir di depan kondominium, sudah menungguku. Lima belas menit
lebih awal. Aku melewatinya tanpa sadar. Kurasa aku mencari mobil
Toyotanya pikiranku terlalu penuh tentang Dessa. Aku sudah keluar mobil, ?setengah jalan menuju rumah ketika dia memanggil. Keluar dari mobil Civic putih
panjang yang sudah jelek.
Joy, membuka pintu belakang, membuka kursi. Mengangkat bayinya dan
menggendongnya. Joy dengan anaknya: kalau aku tidak berdiri di sana dan
melihatnya dengan mata kepalaku sendiri, aku tak akan percaya ....
Mereka berdua berjalan ke arahku.
Aku ingin berteriak, pergi. Menjauhlah dariku.
Joy terlihat gugup tertawa, matanya berkaca-kaca . Dia terlihat payah. "Senang
?sekali bertemu denganmu lagi, Dominick," katanya. Sepertinya dia berdandan
terlalu menor. Make-up-nya kebanyakan. Di bawah terang matahari, kau bisa
melihat garis bedaknya di bawah dagu.
"Ini Tyffanie," katanya. Apa Joy sakit" Dia terlihat tak sehat.
Bayi itu sudah lebih besar daripada Angela. Dan lebih tua juga. Mataku turun
dari kepalanya ke telinganya yang ditindik dan ke jari-jari mungilnya. Aku belum
berani memandang wajahnya.
"Mana," kataku. "Biar kutolong membawakan barang-barangmu. Hari-harimu bepergian
dengan sedikit barang sudah selesai, ya?" Aku mengambil kursi bayi yang dia
jinjing, mengangkat tas bayi dari bahunya. "Oh, ya," kataku. "Benar. Apa yang
kulakukan?" Aku meletakkan semuanya lagi. Membuka pintu dengan tanganku yang
gemetaran. "Tempat yang sama," kata Joy ketika masuk. Dengan cara bayi, dia lalu bilang
pada Tyffanie, bahwa di sinilah dulu Mommy tinggal. Joy, yang suka ngomong jorok
saat bercinta yang kadang bahkan membuatku malu. Kini dia bicara dengan cara
?bayi. Tadi malam di telepon ketika menanyakan padaku apa ada kabar baru, aku bilang
padanya tentang kematian kakakku, tentang menjual bisnisku. Aku melewatkan
berita tentang Ray. Mereka berdua tak pernah cocok. Sekarang dia menyebutkan
tentang Thomas lagi mengatakan padaku bahwa dia turut berduka. Tapi hidupku
?sekarang jadi lebih mudah, bukan"
Enam bulan lalu, ucapan Joy itu pasti membuatku jengkel. Membuatku langsung
membantah. Tapi sekarang aku membiarkannya. Bisa dibilang mudah, bisa juga
tidak, kataku. Apa kau sudah makan" Kau mau sandwich"
Dia akan senang sekali, katanya. Bayinya harus
ganti popok. Apa dia boleh menggunakan sofa"
"Silakan," kataku. "Kau tak perlu meminta dulu."
Di dapur, aku mengeluarkan piring, Sprite, bahan sandwich. Aneh juga, aku bisa
melihat foto bayi itu, yang tertempel di kulkas, berkali-kali dalam sehari, tapi
tak bisa melihatnya langsung .... Ya Tuhan, Joy terlihat buruk sekali. Make-up
setebal itu; sepertinya dia mencoba terlalu keras atau apa. "Dada kalkun, kau
mau?" kataku. "Ya. Bagus sekali. Pakai mustard, bukan mayones, kalau kau masih ingat."
Aku sudah mengeluarkan mustard. Apa yang dia pikirkan sepuluh, sebelas bulan,
? dan aku sudah lupa kalau dia tak suka mayones" .... Aneh: buat apa dia meminta
izin menggunakan sofa untuk mengganti popok bayi. Dia yang memesan sofa itu.
Dari katalog. Kami bertengkar saat sofa itu tiba. Aku membalikkan sofa itu dan
menggerak-gerakkan kerangkanya menunjukkan padanya bahwa bahannya murahan, ?menguliahinya tentang betapa bodohnya memesan mebel seharga seribu dua ratus
dolar hanya berdasarkan gambar bagus di majalah. Tak heran kalau dia punya utang
begitu banyak: matanya lebih besar daripada kepalanya. Kami berdua tak pernah
cocok. Kami makan di meja dapur, bayinya duduk di antara kami di kursi plastik kuning.
Setiap kali Joy bicara padanya, tangan Tyffanie bergerak-gerak. Dia tak mirip
dengan foto dari rumah sakit itu lagi. Dia seperti ibunya.
"Kau mau menggendongnya?" tanya Joy padaku.
Aku bilang tidak, terima kasih, tak usah.
"Mana senyumnya?" dia bertanya pada Tyffanie. "Mana senyummu untuk, Dominick?"
Joy memandangku. "Kau mau dipanggil Dominick atau paman Dominick?"
"Terserah," kataku. Aku bukan apa-apanya anak
ini. Joy mencondongkan tubuhnya ke Tyffanie. "Bau bayi itu enak sekali, ya?" katanya.
Dahi mereka bersentuhan, Joy menghirup. "Cium dia, Dominick. Ayo." Dia mendorong
kursi bayi itu ke arahku.
"Tak usah," kataku. Menjauhkan tubuh sedikit.
Ketika dia bertanya pada bayinya apakah paman Dominick, "boleh menciumnya,"
Tyffanie meringis sangat manis dan murni seperti foto bayi di iklan makanan
bayi. Seperti ibunya. Baru enam minggu dan dia sudah tahu bagaimana caranya
merayu. Aku menggigit sandwich-ku. Melihat ke jam dinding. Kalau mereka hanya mampir
selama lima belas menit, sebaiknya Joy segera makan. "Jadi?" kataku.
"Jadi," ulang Joy.
Dia basa-basi sedikit tentang betapa menyenangkan semuanya. Portsmouth
menyenangkan, Tyffanie menyenangkan. Dia tidak menyebutkan si berengsek itu.
Kalau semuanya sempurna, mengapa dia terlihat buruk" Mengapa matanya terlihat
gugup" Kehancuran Hesperus, pikirku frasa yang sering digunakan ibuku.
?Joy bilang dia belum mengerti artinya hidup hingga Tyffanie lahir, tapi sekarang
dia mengerti. Aku ingin bilang, bagus sekali. Katakan saja pendapatmu itu pada Plato atau
Kierkegaard dan semua filsuf lainnya, yang memeras otak mencari tahu makna
hidup. Dia bertanya lagi apakah aku mau menggendong Tyffanie. Aku bilang tidak, terima
kasih. "Ayolah, Dominick," katanya mendesak. "Angkat dia. Dia gampang akrab dengan
orang asing." Aku menggeleng. Menggigit sandwich-ku lagi. Kunjungan ini adalah sebuah
kesalahan. "Bukannya kau ini orang asing," kata Joy. "Aku tak bermaksud begitu. Hei, kalau
aku pembohong yang lebih pintar, kau akan jadi ayah gadis kecil ini, bukan?"
Aku diam memandangnya. Joy melengos, memandangku lagi. "Aku minta maaf telah
melukaimu, Dominick," katanya. "Aku minta maaf untuk semuanya. Kau seharusnya
tak berurusan dengan pecundang seperti aku."
Aku tak menyambut pancingan itu tak mengatakan padanya kalau dia bukan ?pecundang. Tidak mengatakan padanya kalau semuanya sudah dimaafkan karena
sekarang dia adalah seorang ibu. Sekarang setelah dia mengerti arti hidup. Dia
berjanji hanya lima belas menit, tapi dia sudah di sini selama dua puluh lima
menit. Dan belum menyentuh sandwich sialan itu. Makan! Aku ingin berteriak
padanya. Makan dan pergilah!
"Kenapa kau menindik telinganya?" kataku.
Karena dia bayi yang sangat manis, kata Joy. Karena Tyffanie adalah gadis kecil
Mommy yang manis. Yang ditindik itu tulang rawan, katanya. Dia sudah berkonsultasi dengan
dokter anak: Tyffanie tak merasakan apa pun. Dia tak akan pernah melakukan apa
pun yang bisa melukai Tyffanie. "Orangtuamu menyunatmu," kata Joy. "Aku tahu
pasti itu. Apakah itu sakit?"
Tyffanie membentuk huruf O dengan bibirnya membuat gelembung ludah dan
?mengoceh. Joy tertawa dan menirukannya. Tiba-tiba dia berdiri dan mengambil anak
itu dari kursinya, mengangkatnya di depanku. "Nih!" katanya. "Gendong dia,
Dominick! Dia hebat!"
Bayi itu, dengan kaki meronta-ronta, tergantung di antara kami.
Mereka tinggal sekitar setengah jam lagi. Setelah mereka pergi, aku menemukan
dot Tyffanie"binky"nya kata Joy. Terjatuh di lantai dapur. Memangnya kenapa"
Kataku pada diri sendiri. Dia bisa berhenti di swalayan dan membeli lagi hanya
dengan harga tujuh puluh lima sen. Ketika aku ke ruang duduk, aku melihat kalau
dia juga lupa membawa selimut alas ganti. Selimut itu terlipat rapi di lengan
sofa. Aku mengambilnya. Melihat amplop yang dia sembunyikan di bawahnya. Aku
membukanya seakan-akan itu adalah bom surat yang sebenarnya bisa juga dikatakan
?seperti itu. Pukui empat pagi, Tyffanie masih tidur. Aku punya berita buruk ....
Joy berharap punya keberanian untuk mengatakannya secara langsung padaku,
tulisnya; dia menulisnya di surat kalau-kalau dia tak berani melakukannya. Dia
HIV-positif. Dia tahu saat hamil Tyffanie masa yang seharusnya menjadi salah satu masa
?paling bahagia dalam hidupnya. Gaya hidup Thad akhirnya berbalik padanya pada
?mereka berdua. Dia tidak sehati-hati seperti yang dia bilang dengan "hubungan"
kecilnya yang lain. Ini menunjukkan bahwa sebenarnya dia tak peduli padaku.
Bayinya sudah dites tiga kali dua kali di California dan sekali di sini, di New
?Hampshire. Mukjizat, sepertinya dia tidak terkena virus itu. Setidaknya dokter
yakin Tyffanie tak terkena; tapi dia harus tetap dites hingga usia delapan belas
bulan. Baru mereka akan benar-benar yakin. Tapi tiga dokter yang berbeda bilang
dia akan baik-baik saja. Kalau Tyffanie terinfeksi harusnya sudah terlihat
sekarang. Joy berharap pada itu; kemungkinan bahwa dia tidak berbuat kesalahan pada Tyffanie. Kadang-kadang itulah satu-satunya yang bisa
membuatnya bertahan dari keputusasaan.
Thad tak pernah menjenguk Tyffanie. Ayah yang hebat bukan" Hampir sehebat
ayahku. The Duchess sudah pergi ke Meksiko saat Joy hamil tujuh bulan, tulis Joy. Dia
dan seorang pria lain ini mengejar berita "obat" baru yang tak diedarkan di
Amerika Serikat. Thad sudah menderita AIDS. Dia bilang dia membutuhkan semua
uangnya untuk pengobatan dan mereka bertengkar hebat. Apa yang sebenarnya dia lihat pada
Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo
orang berengsek itu selama ini, sehingga selalu terikat padanya" Karena Thad
sebenarnya adalah orang berengsek. Dia menghancurkan seluruh hidupnya, dan
maksudnya bukan hanya HIV.
Joy pergi ke timur sendirian, dia dan bayinya, setelah pertengkaran hebat dengan
ibunya dan suami ibunya yang "bukan manusia". Perjalanannya sangat sulit, dia
harus sering berhenti demi Tyffanie, kadang di tempat-tempat yang tidak nyaman
untuk berhenti. Dia menghabiskan lebih banyak uang daripada yang dia rencanakan.
Tapi dia senang, kembali ke timur. Akhir bulan ini dia akan pindah kembali ke
Three Rivers. Itulah sebagian dari tujuan kunjungan ini, menemukan tempat untuk
tinggal. Dia sudah menyewa apartemen di lantai tiga di Coleman Court. Dia pindah
tanggal 1 Agustus. Dia sudah mendapatkan pekerjaan sebagai pelayan di Denny's. ?Senin hingga Rabu malam sebagai awalnya. Itu hanya sementara. Dia akan mencari
pekerjaan dengan manfaat kesehatan saat dia datang nanti. Induk semangnya akan
mengasuh Tyffanie pada malam hari. Wanita ini punya masalah "besar" beratnya
?lebih dari tiga ratus pon, tapi dia pengasuh anak bersertifikat. Dari yang
dilihat Joy dia hebat dengan anak kecil. Itu saja yang penting.
Tyffanie dan aku adalah dua orang di dunia ini yang berarti baginya, tulisnya.
Dia mencintaiku. Dia masih mencintaiku. Aku menyadari itu sebeium
Serigala Bukit Maut 2 Pendekar Rajawali Sakti 165 Wanita Iblis Pedang Kayu Cendana 1