Pencarian

Sang Penebus 16

Sang Penebus Karya Wally Lamb Bagian 16


Di puncak tangga, raungan Ma menurun dan menjadi sedu sedan. Dia memeluk
tangannya yang patah sambil turun tangga, berjalan miring, bahunya bersandar di
dinding. "Apa ini?" Ma bertanya padaku dengan suara pelan dan gemetar, dan aku
mengikuti matanya yang mengamati jejak kaki kekacauan yang telah disebarkan ?oleh Ray dan aku di seluruh rumah. Ma mengikuti jejak kaki itu ke dapur. Ketika
dia melihat apa yang telah kulakukan, Ma berbalik dan mencariku memandang
?langsung ke mataku. Dia hanya berdiri di sana, melihatku. Genggamannya pelan-
pelan naik ke mulutnya; seluruh tubuhnya gemetar.
Mereka harus naik taksi ke rumah sakit karena mobil Ray di bengkel. Mereka pergi
selama berjam-jam. Ketika pergi, Ray menyuruhku membersihkan dapur, mengepel
jejak kaki di seluruh karpet, dan tidak membiarkan kakakku keluar.
Aku mulai bekerja begitu mereka pergi. Membersihkan tumpahan sup di lantai
dengan handuk, mengepelnya dengan Spic and Span. Mengelap, mengepel lagi,
menyikat dan memvakum karpet ruang duduk. Noda krim di mana-mana tak peduli
?berapa kali aku membersihkan dinding dan meja dapur. Setelah mengepel, lantai
masih terasa lengket di kaki.
Mereka pergi berjam-jam pergi sangat lama sehingga aku membayangkan Ray sudah
?menculik ibu kami. Bahwa mereka telah pergi selamanya. Meninggalkan kami.
Thomas awalnya menjeritjerit Keluarkan aku ... dari ... sini! TOLONG ... keluarkan ...
?aku! Lalu dia tersedu-sedu. Lalu dia sangat diam sehingga kukira dia sudah mati
di sana bahwa Ray mungkin telah membunuhnya. Dari balik pintu, aku duduk dan
?bicara dengannya, bernyanyi untuknya. Dan ketika aku kehabisan lagu dan kata-
kata, aku membacakan berita keras-keras dari edisi TV Guide minggu itu. "Donna
dan Mary Stone mengadakan fashion-show ibu dan anak .... Luke dan Kate
merencanakan pesta ulang tahun kejutan untuk Kakek Amos .... Penunjuk jalan di
tanah liar Flint McCullough diculik oleh Indian Comanche yang
kejam." Thomas tak mau menjawabku. Dia tak mau mengatakan apa pun.
Mereka kembali sekitar pukul sepuluh. Mereka membawa piza. Tangan Ma digips.
Ketika Ray membuka lemari, Thomas muncul,
terhuyung-huyung seperti orang mabuk, matanya berkedip silau, wajahnya masih
bengkak kare-na menangis. "Bolehkah aku pergi tidur sekarang?" itu saja yang dia
katakan. "Apa kau tak mau piza?" tanya Ray padanya.
"Tidak, terima kasih."
Apakah kejadian malam itu yang memicu penyakitnya menggerakkan apa pun yang
?sudah ada di otak Thomas" Biochemistry, biogenetik; tak ada satu pun artikel
yang pernah kubaca tak ada satu pun pendapat ahli yang pernah kudengarkan bisa
? ?menjelaskan mengapa Thomas mendapat penyakit itu dan aku tidak. Apakah kami yang
menyebabkannya ibuku, Ray, dan aku" ....
?"Macet ya, hari ini?" kata si Gigi Palsu. Dia terus-menerus melirikku melalui
kaca spion. Menunggu jawaban.
"Uh, apa?" kataku. "Macet" Ya." "Tapi dari yang kudengar, ini belum apa-apa,"
Dia melirik ke jalan lalu kembali ke spion. "Kau mau lihat macet yang
sebenarnya" Tunggu saja hingga kasino itu buka. Kota ini akan penuh sesak."
Ray bergerak di kursinya. Bersidekap dan menghela napas ....
Ma pergi ke atas untuk menidurkan Thomas, dan tidur, sementara Ray dan aku duduk
di meja dapur, makan piza.
"Dia jatuh," katanya.
"Apa?" "Ibumu. Dia tersandung dan jatuh di tangga saat menurunkan cucian. Jatuh di
tangan yang salah. Kau mengerti?"
Aku memandangnya. Menunggu.
"Apa yang terjadi di rumah ini bukanlah urusan orang lain," katanya. Dia tak
memandangku. Dia memandang ke meja. "Kau mengerti?" tanyanya lagi.
Aku mengangguk. "Baik kalau begitu," katanya. "Bagus. Semua jadi sedikit tak terkendali malam
ini, itu saja. Lupakan saja. Hal seperti ini terjadi di setiap keluarga."
Benarkah" Aku mencoba membayangkan anak-anak di kelasku diseret menuruni tangga,
memberontak dan menjeritjerit. Menumpahkan sup ke lantai dapur.
"Dan kalau mereka berdua memainkan permainan itu lagi kalau kau tahu itu ?terjadi lagi. Ya Ray berdiri. Pergi ke wastafel. "Tapi mereka tak akan
memainkannya lagi. Itu tak akan terjadi lagi .... Tapi kalau ya, kau datang
padaku. Oke?" Aku bertanya pada Ray apakah aku boleh tidur. Please"
"Oke?" "Oke," kataku. Tentu Ray. Aku akan mengorbankan mereka padamu. Seleksi alam.
"Bagus," katanya mengangguk senang. Dia menyalakan rokok. "Bagus. Karena kau dan
aku adalah tim, benar" Kita teman, kau dan aku. Kita saling membantu. Benar?"
Aku mengangguk. Melihat tangannya yang terulur. Menjabatnya.
Dan aku naik tangga mengetahui, bahwa dalam perjuanganku untuk melebihi dia,
Thomas akan selalu menang: bahwa Ma akan selalu menyayangi dia lebih daripada
aku. Bahwa Ray akan selalu lebih membencinya daripada aku. Suka tak suka, kami
adalah dua tim. Thomas dan Ma versus Ray dan aku. Seleksi alam ....
Dan sekarang, inilah kami, duduk di kursi belakang limusin pengurus pemakaman.
Tim yang menang para pemenang dalam setelan bagus, keluar dari pemakaman.
?Mereka berdua sudah dikubur sekarang. Mrs. Calabash dan Mrs. Floon ....
Di rumah Hollyhock Avenue, orang-orang berdiri di dapur, ruang duduk, berbicara
dengan pelan. Apa maksudnya itu menghormati yang telah mati" Takut bahwa suara
?normal akan membangunkannya lagi" Di seberang ruangan aku melihat Sheffer dan
Dr. Patel mendekati Ray mengenalkan diri, dan mengajaknya berbasa-basi. Mereka
?yang lebih banyak bicara; Ray hanya berdiri diam, menganggukkan kepala pada apa
pun yang mereka katakan. Dia tak mau memandang mereka. Sejauh yang kutahu dia
tak pernah membalas telepon
mereka. Dia tak pernah menjenguk Thomas di Hatch; aku tahu pasti itu. Selama
tujuh bulan, tak satu kali pun, aku tahu karena aku selalu mengecek buku tamu
setiap kali ke sana. Jadi, biarkan saja dia berdiri di sana dan merasa tak enak.
Biarkan dia merasa bersalah. Dia pantas mendapatkannya.
Jerry Martineau mendekat, memberikan amlop manila padaku. "Apa ini?" kataku.
"Lihat saja." Aku tersenyum ketika membukanya: foto lama tim basket SMU kami. Martineau bilang
dia mencarinya pagi itu bahwa dia ingin aku memilikinya. Itu adalah foto diam-?diam yang diambil di tengah permainan. Saat kami kelas tiga SMU mungkin saat
?aku masih bergaya rambut ala Beatles. Pemain sudah mulai bertanding, gambar
mereka buram, tapi untuk alasan tertentu, fotografernya memfokuskan pada
Martineau dan aku, di bang-ku cadangan seperti biasanya.
"Hei, mengapa pelatih tidak memainkan Havlicek dan West" "kataku.
Martineau tertawa. Mengingatkanku kalau kami kadang bermain juga: biasanya pada
tiga puluh detik terakhir dari tiap kemenangan yang gagal. "Lihat, aku dulu
kurus sekali," katanya. "Aku ingat, aku sering pulang dari latihan, makan dua
atau tiga sandwich, iaiu duduk dan makan malam lagi. Ngemil semalaman. Itu
adalah hari-hari yang terbaik, ya kan, Dominick" Kemarin, Karen membelikan
celana untukku, ukuran tiga puluh delapan. Menyedihkan bukan" Dan jujur saja
celana itu agak sempit ....
Tapi lihat." Aku mengikuti jarinya yang menunjuk ke titik di bagian atas foto. "Apa?" kataku.
Lalu aku melihatnya: kakakku. Dia duduk di bagian Pep Squad, mulutnya terbuka
lebar, berteriak memberi semangat. Kakakku yang sebenarnya, pikirku. Thomas yang
tidak sakit.... Teh lagi, Mrs. Calabash"
Ya, terima kasih, Mrs. Floon.
Sebuah tangan menepuk bahuku. "Hei, Dominick?" bisik Leo. "Apa kau pikir ayahmu
punya minuman di rumah" Beberapa orang tua di sini mungkin ingin minum."
"Oh," kataku. "Baik." Aku memandang berkeliling mencari Ray, tapi dia sudah
meninggalkan ruangan. "Ada gelas di lemari sana," kataku. "Keluarkan saja. Aku
akan melihat apa yang dia punya."
Yesus, aku bahkan tak teringat untuk menyediakan minuman. Tapi Leo benar.
Kebanyakan pria ingin minum setelah mereka kembali dari pemakaman untuk
?menghapuskan ingatan tentang peti yang diturunkan ke makam.
Old Grand Dad, Canadian Club, Cutty Sark: aku berjalan kembali ke ruang duduk
membawa botol-botol itu. Leo sedang mengelap gelas dengan saputangannya. "Jangan
khawatir," katanya. "Aku hanya membersihkan ingus-ku dengan saputangan ini
sekali saja." Aku memandangnya. "Aku bergurau, Birdsey. Cuma lelucon."
Sam Jacobs dan Mr. Anthony melihat kami
mempersiapkan minuman dan mendekat, tertarik oleh alkohol. "Es?" tanya Leo
padaku. Di dapur, Angie, Vera Jacobs, dan Mrs. Anthony sibuk seperti penari June Taylor.
Aku tak bisa menahan senyum. Pria punya alkohol: wanita punya makanan untuk
disiapkan. "Semuanya terkendali, Sayang," kata Mrs. Anthony. "Kau keluar saja dan santai.
Kami akan siap lima menit lagi."
Dia mengenakan salah satu celemek ibuku celemek kusam dengan tali bahu bermotif?bunga yang selalu dipakai Ma saat aku datang. Aneh rasanya melihat celemek Ma
lagi. Ruangan menjadi gelap. Aku melihat Thomas bergantung di pohon itu tercekik
?tali. Merasakan berat badannya saat aku menurunkannya dan menggendongnya di
bahuku. Angie berdiri di depanku, memandangku. "Uh ... apa yang kau katakan?"
"Sendok saji?" ulangnya. "Kau tahu di mana ibumu menyimpan sendoknya?"
Aku berdiri terpaku. Sendok saji"
"Ada di kotaknya," Ray melewatiku dan menarik laci di tengah memberikan seikat
?sendok pada Angie. "Aku, uh ... Ray" Aku mengeluarkan minuman." Dia mengabaikanku. Berjalan ke
jendela dan berdiri di sana memunggungi para wanita dan aku. "Ray" Kau dengar
?aku" Aku mengeluarkan sebotol rye dan"
"Keluarkan apa pun yang kau mau," tukasnya
pendek. Sialan kau, pikirku. Ini adalah pesta kemenanganmu juga, kau bangsat. Kau kapten
timnya. Ingat" "Dominick?" kata Angie. "Kau baik-baik saja?"
"Ya," kataku. "Tentu." Aku membuka lemari es, membanting kotak-kotak es ke
mangkuk. Di ruang duduk, para pria berdiri membentuk setengah lingkaran, mengobrol.
"Kalau menunggu pensiun, kami mungkin harus menunggu dua tahun lagi," kata Sam
Jacobs. "Tapi lama-lama kau terpengaruh" Rasanya seperti bekerja di kota hantu.
Dan begitu mereka menutup Settle, lupakan saja."
Aku mencoba mengikuti alur pembicaraan, tapi pikiranku terus melayang. Kau kena
kanker, itu seperti sebuah peringatan .... Jangan terlalu banyak krim, Dominick.
Satu semprotan saja. Sisakan yang lain untuk makan malam ... bukan urusan orang
lain. "Tentu saja semua berbeda sekarang," kata Sam. "Semua dicampur terlebih dulu,
dipak terlebih dulu. Demi Tuhan, kalau kau bisa membuka bungkus aluminium foil,
kau bisa masak." Leo memberikan segelas Scotch padaku. "Minum ini dan diam saja," katanya. Ray
masuk dari dapur. Ke arah kami.
"Hei, Pop, kau agak pincang, ya?" tanya Leo padanya. "Kenapa kakimu?"
Tidak kenapa-napa, kata Ray. Kakinya hanya mengatakan kalau dia masih ada, itu
saja. Kalau Leo mau naik ring dan bertarung beberapa ronde,
Ray dengan sukarela akan menendang pantatnya,
gratis. Pakai kaki atau tidak.
"Macho Camacho," Leo tertawa. "Kau mau minum
apa, Pop?" "Tidak," kata Ray. "Susu magnesium.1
"Di Boca Raton," kata Sam. "Tempat anakku
tinggal, mereka bahkan tak pernah mendengar kata
resesi." Leo mengingatkan semua orang bahwa Three Rivers juga belum bangkrut bahwa semua?ramalan tentang kasino itu benar, suku Wequonnoc mungkin akan menyelamatkan
semua kulit putih yang di PHK Electric Boat.
"Itu omong kosong!" celetuk Mr. Anthony. "Mereka pasti mengisap ganja di pipa
perdamaian mereka kalau mereka pikir orang New York akan datang jauh-jauh ke
sini kalau mereka sudah punya Atlantic City." Dia mengatakan pada kami semua
jangan mengharapkan dia akan baik pada orang Indian. "Aku tidak. Mengapa kau dan
aku harus membayar pajak kalau mereka mendapatkan gratis?"
Mr. Anthony tua yang jinak; mengapa dia sangat marah"
"Karena selama dua atau tiga abad, kita menipu leluhur mereka," kataku.
Semua orang diam, memandangku. Tak ada yang berusaha menyangkalku. Adik kembar
almarhum yang malang. Mungkin aku bisa mengatakan apa pun yang kumau hari itu
tanpa ada yang berani menyangkal.
Lalu Mrs. Anthony muncul di pintu dapur. "Oke semuanya! Ayo makan! Dominick,
Sayang" Ray" Mengapa kalian berdua tidak memulainya?"
Semua orang meletakkan minumannya dan berjalan ke dapur. "Kau baik-baik saja,
Dominick?" kata Leo.
Aku mengangkat bahu. "Ayo makan."
"Sebentar," kataku. "Kau duluan."
Aku berpikir tentang Ralph: bagaimana dia datang, tapi tak muncul ke pemakaman
Thomas. Bagaimana, ketika kami masih bekerja bersama, dia naik ke pohon itu,
berdiri di dahan yang menjulur ke air terjun, menggoyang-goyangkannya, menirukan
kejatuhan adiknya .... Dia ditipu orang kulit putih selama hidupnya, dan dia masih
mempertaruhkan leher untuk kakakku di sana. Di Hatch. Dia bisa saja menutup
mulut, berpaling dan membuang memo itu .... Mengapa dia tak boleh mendapat
keuntungan sekarang" Dari kasino" Kuharap Ralph mendapatkan banyak penghasilan
tanpa pajak. Aku menghabiskan minumanku. Menuang lagi. Berdiri diam, hampir menangis.
"Ini," kata Sheffer. "Mangia." Dia mengulurkan sepiring makanan padaku.
Mengajakku duduk bersama Dr. Patel dan dia, di tangga. Jadi aku mengikutinya.
Kami bertiga duduk dan makan.
"Ini sulit bagimu, ya, Dominick?" kata Dr. Patel. "Aku bisa mengatasinya,"
kataku. "Terima kasih telah datang. Kalian berdua. Aku tahu kalian sibuk."
"Apakah kau sudah bisa menerimanya?" tanya Sheffer.
Aku mengangkat bahu. Bilang padanya aku sudah bisa menerimanya, tapi tak
sepenuhnya. "Kemarin aku menelepon meminta tanggalnya diukir di nisannya" Dan
wanita yang menerima teleponku bertanya apa aku bisa datang besok Selasa siang
untuk menandatangani suratnya" Dan aku bilang, "Baiklah". Dan lalu aku berpikir
bahwa tempat itu dekat dengan rumah sakit jadi aku bisa mampir dan
? mengunjunginya." Dr. Patel tersenyum. "Duka adalah proses yang gradual," katanya. "Dua langkah ke
depan, satu langkah ke belakang." Kami bertiga mengangguk-angguk.
Dengan semua orang makan, rumah jadi sepi lagi. Terlalu sepi. Aku melihat ke
seberang ruangan, ke Ray. Dia duduk sendiri, tidak makan, hanya menunggu semua
orang pergi. Wajahnya terlihat agak abu-abu; ya ampun, dia terlihat berantakan
sekali. Aku berpikir orang akan segera pergi setelah mereka makan, tapi tidak. Setiap
orang duduk-duduk, berdiri, berbicara tentang kematian Thomas, tapi dengan cara
berputar-putar. Mr. dan Mrs. Anthony menceritakan tentang masa kecil kakakku dan
aku: ketika aku melompat dengan pogo stick ke rumpun mawar mereka lalu mencoba
memperbaiki tangkai yang patah dengan selotip. Ketika mereka mengajak kami
membeli es krim dan es krim Thomas jatuh dari cone-nya ke tas Mrs.
Anthony yang terbuka. "Oh, dan mereka selalu menemukan alasan untuk mengunjungiku hari Sabtu pagi
ketika aku memanggang kue," kata Mrs. Anthony. "Yang ini adalah Mr. Chocolate
Chip dan kakaknya adalah Mr. Otameal Raisin. Itu saja caraku membedakan mereka."
Dia keliru, tapi siapa yang peduli"
Mr. Anthony menceritakan hari ketika TV kami meledak. Dalam kenanganku usaha Mr.
Anthony menyelamatkan ibuku saat dia lari keluar dari rumah yang terbakar
bukanlah masalah besar. Ma sudah menyelamatkan dirinya sendiri ketika Mr.
Anthony membantu melepaskan mantelnya, melemparnya ke tanah dan menginjak-
injaknya. Tapi dalam versi Mr. Anthony, ibuku adalah kebab yang terbakar dan dia
Indiana Jones. Mr. Anthony menceritakan itu seakan-akan dia adalah pahlawannya.
"Kau sedang pergi waktu itu ya, Ray?" katanya.
Setiap orang berpaling dan memandang ayah tiriku. Rekan setimku. Ray mengangguk.
"Televisinya memang sudah jelek," katanya. "Mereka bilang tak bisa
memperbaikinya, tapi aku mengamuk. Dan mendapatkan ganti gratis dengan model ?yang lebih baik. Menyuruh orang membersihkan rumah dan mengecatnya lagi."
Yesus Kristus, pikirku. Kami bertiga bisa saja mati dalam kebakaran itu, tapi
yang diingat Ray hanyalah bagaimana dia mendapatkan TV yang baru. Bahwa dia
adalah pahlawannya. Aku tak tahan lagi mendengarkan semua omong kosong ini. Mendengarkan cerita
versi mereka. Aku berdiri, berjalan ke dapur mengecek kopi yang tak perlu dicek. Aku pergi keluar


Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

mencari udara segar. Aku berdiri di beranda belakang selama beberapa saat,
menggerak-gerakan kakiku. Aku teringat Thomas, berdiri di sebelahku memandang
air terjun hari itu siang ketika aku berhasil mengeluarkannya dari Hatch. Tuhan
?adalah penyelamatmu, Dominick. Percayalah padaku. Aku menyampaikan perintah
Tuhan .... Di atas di mana" Di kamar. Memainkan permainan bodoh mereka. Mereka selalu bermain di sana.
Aku akan membawanya sepanjang hidupku sejak malam itu menanggung beban karena
?aku telah mengkhianatinya. Karena apa yang telah kulakukan dan tidak kulakukan.
Tapi sekarang apa" Ke mana aku harus pergi"
Leo melongokkan kepalanya di pintu. "Hei, berengsek?" katanya. "Kau mau
ditemani?" "Tidak, makasih."
"Mau minum lagi?"
"Nggak." Dia mengangguk. "Angie baru saja mencoba menelepon kakaknya. Tidak ada jawaban."
"Uh-huh." Beberapa detik berlalu dalam keheningan; kami tak bicara. "Baiklah Sobat," Leo
akhirnya berkata. "Masuklah lagi kalau kau sudah siap."
"Ya." Aku berjalan menaiki tangga semen ke halaman belakang tempat di mana kakekku ?menyepi musim
panas itu. Dia meletakkan Dictaphone sewaannya di beranda depan biar diambil
kembali oleh pemiliknya, memecat stenografer. Meninggalkan omong kosongnya
tentang "panduan bagi pemuda Italia" dan akhirnya menuliskan kisah hidup yang
sebenarnya. Dengan bersungguh-sungguh dia melakukan penebusan dosa yang
diperintahkan oleh pastor bertahun-tahun lalu .... Kakekku mulai menuliskan kisah
hidupnya sejak Ma masih kecil. Dia menyelesaikannya pada hari kematiannya.
Membuat kisah itu menjadi penutup hidupnya .... Berapa usia Ma saat itu" Musim
panas ketika dia menuliskan confessione-nya" Tiga puluh tiga, mungkin" Tiga
puluh empat" Di mata ayahnya dia adalah perawan tua. "Guci retak" yang gagal
memberinya cucu. Semua rahasia yang mereka simpan. Dia tak tahu kalau ibuku
sedang hamil kakakku dan aku .... Dia menangis di sana saat menulis itu, kata Ma
padaku. Ma ingin mendekatinya, menghiburnya, tapi dia tahu bahwa sebaiknya dia
tak mengganggunya saat Papa sedang menyepi di "Sisilia kecilnya". Tahu sebaiknya
tidak mengganggu omerta ....
Aku berpikir tentang Angelo Nardi, stenografer yang dipekerjakan Papa musim
panas itu. Dipekerjakan lalu dipecat, lalu berusaha mempekerjakannya lagi, tapi
gagal. Angelo Nardi yang mungkin juga adalah ayah kami. Siapa lagi yang biasa
datang ke rumah ini" "Memesona," kata Ma. Pria itu sering duduk di dapur
bersamanya. Ma membuatkan kopi untuknya .... Apa pendapat Angelo, imigran yang
baru datang, tentang konflik
keinginan Papa untuk bicara sekaligus menahan lidahnya" Apa yang dia pikirkan
tentang putri Papa yang pemalu" Apakah dia berpikir bahwa Ma adalah mangsa empuk
untuk melewatkan waktu seseorang yang sangat naif sehingga dia bisa datang dan
?pergi sebelum Ma tahu apa yang terjadi" Atau mungkin, gadis itu pantas
mendapatkan sedikit kelembutan sesuatu dalam hidupnya selain melayani Papa"
?Apakah Nardi melakukannya karena kasihan" .... Di kamar mandi pagi tadi, bersiap-
siap untuk pemakaman Thomas, aku menciptakan Angelo sebagai pria yang penuh
belas kasih. Pria yang baik, bukan bajingan. Dan aku berdiri di bawah shower,
air hangat membasuh badanku, membayangkan kembalinya Angelo yang sudah lama
dinantikan .... Melihatnya muncul di pemakaman pagi itu ayah yang selalu
?kutunggu. Aku membayangkan pria yang bermartabat, konservatif dengan setelan dan
dasi, rambut putih seperti salju. "Aku harus datang, Dominick. Aku menyesal
telah melewatkan kehidupan kakakmu, tapi aku tak bisa lagi melewatkan hidupmu.
Maafkan aku, Dominick. Aku ada di sini untukmu sekarang." Dan aku
memaafkannya berdiri di bawah shower dan langsung memaafkannya ....
?Di halaman belakang kakekku sekarang, aku membiarkan air mataku mengalir deras.
Berdiri dan menangis seperti yang dilakukan Papa saat dia butuh untuk menangis
.... Saat aku masih kecil, aku menunggu Rifleman, Sky King .... dan serentetan "ayah
kandung" untuk menyelamatkanku dari Ray.
Dan di sinilah aku sekarang empat puluh satu tahun, si kembar yang kehilangan
?kembarannya dan masih mencarinya. Ayahku. Ayah misteriku yang sempurna.
?Menyedihkan bukan, Dr. Patel" Harapan apa yang masih tertinggal untuk pria ini"
Aku membayangkan Domenico di halaman ini, lebih muda, memeluk mayat putranya
yang telah dia baptis sendiri dengan air cucian piring dan minyak goreng.
Melihat kakak ibuku pasangan jiwanya yang sudah mati .... Bayi-bayi mati, kakak ?yang mati. Pernikahan yang mati. Apa arti semua ini"
Saat aku kembali ke dalam, Martineau sudah pulang, Sheffer dan Dr. Patel sedang
memakai mantelnya. Dokter Patel mengajakku bicara sebentar. "Kita ketemu
Selasa?" bisiknya. "Kita ketemu Selasa."
Aku berdiri di depan pintu, memandang mereka berdua menuruni teras. Mereka
berbalik ketika sampai di trotoar. Melambai. Aku membalas. Dessa melewati mereka
menuju pintu tempatku berdiri.
Dessa, menaiki tangga teras, menuju ke arahku ... Dess.
Dia terlihat sedih: hampir menangis. Sesuatu telah terjadi. Dia membawa pai.
Saat di depanku, dia melingkarkan satu tangannya memelukku dan menekan sedikit.
Aku memejamkan mata dan balas memeluknya. Dia segera menarik diri.
"Aku sudah di mobil, akan ke pemakaman,"
katanya. "Lalu aku ingat ini." Kue pai itu maksudnya; yang diangkatnya di antara
kami berdua. Saat dia kembali ke dalam untuk mengambilnya, telepon berdering.
"Awalnya tak mau mengangkatnya, Dominick, tapi aku punya firasat .... Ibuku
menelepon. Dia terdengar kesakitan. Dia baru saja terjatuh."
"Thula" Apa dia baik-baik saja?"
Aku mengulurkan tangan mengusap air matanya. Dia mengangguk. "Maafkan aku,
Dominick. Aku tak bisa menghubungi Daddy. Aku tahu, Angie pasti sudah ke
pemakaman. Aku tak tahu apa yang harus kulakukan ... aku khawatir pergelangan
kakinya patah, tapi ternyata cuma terkilir walau agak parah. Kami harus menunggu
lama untuk dirontgen. Saat makan siang, semua staf di sana pergi dan ...."
"Tenang saja," kataku. "Kau di sini sekarang." Aku mengulurkan saputanganku
padanya. "Ini."
"Ibuku punya pelayan, tapi tentu saja dia menganggap tak ada orang yang bisa
membersihkan rumahnya seperti dirinya. Selama beberapa minggu ini dia pusing-
pusing, tapi diam saja. Dia sedang berdiri di atas bangku, membersihkan lampu
dan dia mulai pusing .... Aku menyayangi Thomas, Dominick. Aku benar-benar ingin
ada di sana." Aku membawanya ke dalam, membawa painya ke dapur. Saat aku kembali ke ruang
duduk, dia sedang memberitahukan tentang jatuhnya Thula pada Angie dan Leo.
Aku berdiri, memandangnya. Blus putih, celana hitam dan jaket, scarf merah.
Rambutnya sudah mulai banyak yang berwarna perak dibandingkan terakhir kali aku bertemu
dengannya. Va Tuhan, dia cantik .... Dia berencana datang; tapi keadaan tidak
memungkinkan. Aku bisa mengantarnya ke pemakaman nanti kalau dia mau. Akan lebih
baik begitu membawanya ke sana. Hanya kami berdua.
?Aku memandang Leo. Sadar bahwa sejak tadi dia berdiri di sana memandangku
memandangi istriku. Kami berdua saling beradu pandang. Kau tahu, mataku berkata
padanya. Sekuat inilah sebesar inilah cintaku padanya.
?"Hei, ini dia," kata Ray.
Dia ada di tangga, berjalan turun. Leo benar dia pincang. Aku bisa melihatnya
?sekarang. "Bagaimana kabar gadis kecilku?" katanya.
Dessa tersenyum. Mendekatinya. "Hai, Ray."
Dessa tak terlalu suka pada Ray, tapi dia selalu baik padanya. Sopan. "Dia hanya
merasa tak aman, Dominick," katanya kalau aku mengeluh tentang Ray. "Dia bukan
monster." "Ya, dia monster," kataku. "Percayalah padaku." Sekarang aku berdiri,
memandangnya menuruni tangga hingga ke bawah. Memandang mereka berdua
berpelukan. Di depan pintu tadi dia memelukku dengan satu tangan sementara
tangan lain memegang pai. Tapi sekarang Dessa hanya diam, membiarkan Ray
memeluknya erat-erat. Oke, pikirku. Sudah cukup. Waktu sudah habis.
Lalu Ray menangis. Tersedu-sedu. Di depan semua orang .... Aku tak pernah
melihatnya menangis seperti itu. Bahkan juga ketika Ma
meninggal. Tak pernah. Bertahan! Aku ingin berteriak padanya mengingatkannya ?apa yang telah diajarkannya padaku. Bertahan!
Aku segera keluar dari sana. Aku harus segera ke dapur sebelum kepalaku pecah.
Jantungku berdegup kencang: aku mulai gemetaran seperti saat aku dan Thomas
masih kecil ketika Ray mulai marah-marah.
?Lalu, tiba-tiba aku tahu sesuatu: bahwa kematian Thomas bukanlah kecelakaan.
Thomas pergi ke The Falls pagi itu dan membuat keputusan dengan sengaja. Dalam
beberapa detik, aku adalah kakakku. Berkata: Oke, itu sudah cukup. Aku sudah
muak. Sudah selesai. Dan aku melangkah ke depan, seperti yang dilakukan Thomas.
Membuka pintu ke ruang duduk. Melompat ke mana pun arah lompatanku akan menuju.
"Itu karena rasa bersalahnya," kataku mengumumkan. "Itulah sebabnya dia
menangis. Dia mengganggu Thomas sampai mati. Kami berdua melakukannya."
Aku tidak berteriak atau apa; nada bicaraku sama seperti pengurus pemakaman:
keluarga mendiang Thomas Birdsey ingin mengumumkan bahwa adik dan ayah tirinya
bersalah. Semua orang berpaling dan memandangku: pasangan Jacobs, Mr. dan Mrs.
Anthony, Leo, dan Angie. Terjun bebas yang kulakukan ini pasti akan sangat
menyakitkan saat aku sampai dasar, tapi menegangkan juga.
"Bukankah begitu, Ray?" tanyaku padanya. Aku mendekat selangkah ke arahnya: dia
dan Dessa melepaskan pelukan. "Kita satu tim, kau dan aku. Ingat" Perang antar-Birdsey.
Perjuangan menuju finis."
Aku membuatnya terdiam dari tangisnya. Dia berdiri di sana, melotot marah dan
benci padaku seperti pandangan yang biasa dia tujukan pada Thomas. Apa yang
terjadi di rumah ini tetap di rumah ini! Dan aku membalas, berpikir, Persetan
kau, Ray. Persetan bagaimana Ma berlarian ke seluruh rumah menutup semua jendela
saat kau akan meledak, dan semua cerita omong kosong tentang bagaimana lengannya
patah karena jatuh dari tangga, dan omong kosong yang dikatakan dokter bahwa
skizofrenia tidak berhubungan dengan bagaimana Thomas diperlakukan saat dia
kecil. Persetan dengan rahasia keluarga kita, Ray. Selamat datang ke pertunjukan
besar. "Dominick?" kata Dessa. Dan aku berpaling padanya. Mengadukan kasusku padanya.
"Kau tahu berapa kali dia menjenguknya saat Thomas di sana" Di Hatch" Kukatakan
padamu berapa kali. Nol. Tak pernah."
Aku mendekat selangkah ke arah Dessa ke mereka berdua.
?"Agak lucu juga bukan" Veteran tidak hanya satu, tapi dua perang besar. Orang
yang selalu berusaha membuat kami tangguh untuk menghadapi dunia besar yang
jahat." Aku memandang Ray; dia melihat melewati bahuku dan bukannya memandang
mataku. "Kau tak punya rasa takut terhadap kekuatan musuh. Benar kan, Ray"
Tendang pantat orang Korea, ya kan" Tapi, orang gila bertangan satu di rumah sakit forensik
malah membuatmu ketakutan setengah mati .... Hei! Lihat aku Ray. Aku bicara
padamu." Dan dia memandangku. Setidaknya aku menghargainya: dia balas memandangku.
"Aku pergi ke sana, melewati semua tetek bengek \tu-metal detector, penjagaan ke
ruang berkunjung, semua omong kosong keamanan maksimum. Karena dia adalah bahaya
bagi masyarakat, benar, kan" .... Dan dia masuk mereka mengawalnya hingga ke ?ruang berkunjung dan duduk. Menceritakan padaku bagaimana harinya. Apa yang dia
?makan saat makan siang. Siapa yang mencoba membunuhnya siang itu. Lalu, biasanya
sekitar lima menit saat kami bercakap-cakap, dia bilang, 'Bagaimana kabar Ray"
Mengapa Ray tak pernah menjengukku" Apa Ray marah padaku"'"
Ray memejamkan mata. Menelan ludah. Berdiri dan menerima saja.
"Aku kehabisan alasan untukmu, Sobat," kataku. "Hanya sejauh itu yang bisa
dilakukan oleh rekan setim, kau tahu" .... Selama tujuh bulan, Ray" Tak sekali pun
dalam tujuh bulan" Bahkan juga tidak saat Natal" Rupanya tak ada damai dan niat
baik untuk orang gila, ya?"
Saat dia membuka mata lagi, air mata tumpah membasahi pipinya yang keriput dan
abu-abu. Aku mendengar Leo akan mengatakan sesuatu, tapi tanganku terangkat ke
arah suaranya, menghentikannya. Mataku menatap Leo.
"Aku tidak bilang kalau aku pahlawan. Percayalah padaku. Aku membuat hidup
kakakku menderita saat kami kecil. Menderita .... Itulah dulu yang kusukai. Aku
sangat iri padanya. Kebaikannya. Keramahannya. Dia semanis Ma .... Tapi
pergelangan tangannya yang kutung itu. Yang dipotongnya sendiri. Itulah
hukumanku .... Aku duduk di ruang berkunjung dan ya, Tuhan, tempat itu bau; kau
?keluar dari sana dan bau Hatch Forensic Institute akan menempel padamu sepanjang
hari. Di bajumu, di mobilmu .... Aku duduk di sana, menghadapinya dan berkata pada
diriku sendiri, Jangan melihatnya, Dominick,' Lihat matanya. Lihat saja matanya.
Tapi aku tak bisa. Aku harus selalu melihatnya karena ... karena kami berdua
mendorongnya memotong tangannya sendiri. Benar kan, Ray" Kau dan aku" Kita tim,
bukan?" "Hei, Dominick?" kata Leo. "Bagaimana kalau kau dan aku pergi ke"
"Semua orang-orang jahat yang selalu mengejarnya: Noriega, Ayatullah, CIA.
Kamilah Noriega. Benar, Ray" Kamilah pembunuh Kuba yang akan membunuhnya seperti
mereka membunuh JFK. Itu bukan karena otaknya saja. Biochemistrynya: .... Itu
karena kita, Ray. Kita membunuh mereka berdua. Mrs. Calabash dan Mrs. Floon ....
Kita menang, Ray. Ini adalah hari kemenangan. Ini adalah pesta kemenangan kita."
"Aku melakukan yang terbaik untuk anak itu,"
kata Ray. "Untuk kalian berdua ... nuraniku bersih. Aku bahkan tak tahu apa yang
kau katakan ini." Aku tak bisa menahan tawa. "Benarkah, Ray" Nuranimu bersih?" Aku melihat wajah
pucat Mrs. Anthony, matanya yang ketakutan. "Kau mau dengar cerita lain tentang
saat kami kecil, Mrs. Anthony" Biar kuceritakan padamu. Coba lihat. Suatu ketika
Raymondo Hebat ini mengisolasi tangan Thomas dengan lakban. Mengikat kedua
tangannya di pergelangan seperti tawanan perang. Kau tahu kenapa" Kau tahu
kesalahan besar apa yang diperbuatnya" Dia mengunyah lengan bajunya." Aku
mengangkat kedua tanganku mendemonstrasikan dua atau tiga inci dari wajah Mrs. Anthony. "Aku
?masih mengingatnya, menangisi makan malamnya menundukkan wajahnya ke piring
?seperti anjing agar dia bisa makan. Seperti anjing. Benar kan, Ray" Kau dan
nuranimu ingat malam itu"...
"Dan lalu, coba lihat sekarang, ada saat dia memergoki Thomas makan permen
Halloween di gereja. Ingat hari menyenangkan itu, Ray" Ayo kita buka kembali
kasus ini karena ada bukti baru untukmu, Sobat. Kau siap" Kau mendengarkan, Ray"
Akulah yang mengisi kantongku dengan permen sebelum kita berangkat ke gereja.
Aku yang memberikan permen itu padanya, Ray. Aku makan permen sepanjang Misa
itu. Tepat di depanmu. Kau membidik si kembar yang salah, Sobat. Kau selalu
menghajar orang yang salah."
"Kau mau tahu apa yang dikatakan hakim padaku
pada hari aku mengadopsi kalian berdua?" kata Ray. Akulah yang dia
tuju memandang langsung ke mataku. "Dia bilang aku pria yang baik. Mungkin ?hanya satu dari seribu pria yang mau melakukan apa yang kulakukan. Tidak hanya
satu, tapi dua. Kalian berdua .... Aku tidak bilang aku tak berbuat salah. Bahwa
kalau saja waktu terulang aku mungkin akan melakukannya secara berbeda. Tapi
datanglah ke pengadilan itu dan baca kata-kata itu kalau kau mau, Bocah! 19
Maret 1955. Pengadilan Perdata Three Rivers, Connecticut. Karena Yang Mulia
Hakim Harold T. Adams bilang pada sekretarisnya dia ingin kata-kata itu tertulis
di catatan pengadilan! Bahwa aku adalah pria yang baik. Bahwa tak ada satu dari
seribu pria" Keluarkan ... aku ... dari ... sini! TOLONG ... keluarkan ... aku!
"Yah, kalau begitu hakim Harold T. Adams Sekarang aku menangis; tersedu-sedu di
depan seluruh dunia. "Hakim Harold T. Adams pasti sangat bangga padamu malam itu
saat kau menguncinya di lemari mantel. Benar kan, Ray" .... Malam ketika Ma turun
tangga dengan tangan yang patah. Itu malam yang hebat bukan, Ray" Nuranimu
bersih tentang yang itu juga?"
Ray bilang persetan padaku. Mundur keluar dari ruang duduk. Slam\ Pintu dapur
dibanting. Siam1. Mesin mobilnya menyala, berdecit mundur dan melesat
meninggalkan Hollyhock Avenue.
Aku memandang ke sekeliling ruangan, menarik napas, mengamati wajah-wajah yang
kebingungan. "Oke, siapa yang mau kopi lagi?" kataku. "Leo" Mr. Anthony" Mrs. Anthony?"
Leo, Angie, Dessa, dan aku adalah orang terakhir yang tinggal. Seperti dulu,
pikirku: kami berempat, saat masih pengantin baru, suka berkumpul bersama pada
malam Jumat. Bermain kartu, mendengarkan musik, minum bir. Mereka bertiga mulai
memunguti piring dan gelas-gelas kotor. Aku pergi ke dapur, membuka lemari es
Ray. Membuka empat kaleng bir. "Tidak, terima kasih," mereka menolak.
"Ayolah. Aku sudah membukanya. Minumlah." "Tidak, terima kasih."
Cuma aku yang mau. Aku tak bisa menyia-nyiakan bir.
Angie bilang, dia dan Leo harus pergi harus menjemput anak-anak. Shannon di
?tempat latihan softball, Amber di rumah temannya. "Bawa mereka ke sini," kataku.
"Masih banyak makanan sisa untuk sekitar lima puluh anak. Aku sudah berbulan-
bulan tak ketemu mereka." Leo dan Angie saling memandang. Angie terbata-bata
mengemukakan alasan tentang mengapa mereka tak bisa mampir. Leo bilang akan
meneleponku besok dan mereka pergi.
Aku duduk di meja dapur, di antara pencuci mulut yang tak termakan. Mulai


Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

merobek-robek label botol birku. Dessa berdiri di depan wastafel, mengelap
piring dan gelas. "Kau sering bertemu
dengan anak-anak itu?" tanyaku. "Amber dan Shannon?"
Dessa bilang dia mengajak mereka ke mal Sabtu kemarin.
"Aku tak pernah bertemu dengan mereka lagi. Ada apa" Apa karena jadwal mereka
atau aku?" Aku duduk di sana, menunggu, mengelupas label. "Karena kakakmu," katanya.
"Kakakku" Kenapa dengan kakakku?"
Dessa mendekat dan duduk di meja, di seberangku. "Musim gugur lalu, ketika
kakakmu memotong tangannya, Amber ketakutan mendengarnya. Dia terus membayangkan
kau melakukannya. Memotong tanganmu. Dan ketakutannya itu jadi semakin buruk.
Leo tak mau bilang apa pun padamu. Dia tahu kau akan sedih."
"Semakin buruk bagaimana" Apa maksudmu?"
"Amber mulai mengidap berbagai fobia; takut tidur, takut naik bus sekolah.
Sering sudah lewat tengah malam atau bahkan dini hari dan dia masih terjaga. Dan
lalu saat dia akhirnya tertidur, dia terus-menerus terbangun. Dua atau tiga kali
dalam semalam kadang. Mereka membawanya ke spesialis."
Aku memejamkan mata menahan tangis untuk mereka berdua: keponakanku, kakakku.?"Beri dia waktu, Dominick. Dia akan sembuh. Anak-anak menyayangimu. Kau tahu
itu. Hanya saja sekarang ...."
Aku mengangkat botol birku di atas sepiring cream puff. Menggencetnya satu per
satu, melihat cairan puding keluar masuk di pinggir piring.
"Skizofrenia," kataku. "Anugerah yang tak ada habisnya."
Dessa bertanya apa aku tahu Ray kira-kira pergi ke mana.
Aku mengangkat bahu. Bilang aku tak terlalu peduli dia pergi ke mana.
"Kau tahu dosa terburuk yang dia lakukan?" kata Dessa. Aku memandangnya.
Menunggu. "Tak menjadi ayah kandungmu."
Dessa berdiri kembali ke wastafel. Aku bilang padanya kalau dia salah kalau itu
?bukanlah hal yang terburuk. Jauh dari itu.
"Ya, memang," kata Dessa. "Kau sudah memaafkannya untuk semua hal lain, tapi kau
belum bisa memaafkannya karena tak menjadi ayah kandungmu."
Dessa tinggal. Membantuku bersih-bersih. "Benar kok," kataku padanya berulang-
ulang. "Kau tak perlu repot-repot." Dia mengabaikan aku tentu saja; walaupun dia
tak mengakuinya, Dessa bisa menjadi keras kepala seperti ibunya. Tapi aku senang
dia tinggal. Aku bersyukur.
"Aku mau ke kamar mandi," katanya. "Lalu aku akan pergi."
Kembali ke rumah pertanian mereka yang dindingnya mengelupas dengan kotak surat
murahan, pikirku. Kembali padanya.
Aku sedang melihat-lihat album foto Ma ketika dia turun tangga. Aku mengeluarkan
album itu dari bufet untuk memasukkan foto yang diberikan Jerry Martineau dan kemudian terbawa
kenangan. Dan ketika aku menepuk sofa di sebelahku, Dessa membuatku terkejut.
Dia duduk di sebelahku. Kami membuka album itu bersama: Thomas dan aku dengan Mamie Eisenhower; Domenico
memakai baju renang two pieces di Ocean Beach .... Aku akan membuka mulut dan
mengatakan pada Dessa kalau aku sedang membaca kisah hidup kakekku, tapi aku
berubah pikiran. Aku capek; ceritanya rumit. Dessa sudah cukup mendengar tentang
Dominick and Company. "Aku mengkhawatirkanmu," katanya. Aku terus membuka album. Thomas dan aku di
Junior Midshipmen; Thomas, Ray, dan aku di New York World's Fair ....
Kukatakan kalau aku akan baik-baik saja bahwa dalam beberapa hal, kematian ?Thomas terasa seperti sebuah beban yang terangkat. Bahwa aku tidak menyesal aku
mengata-ngatai Ray di depan banyak orang.
"Yah, perasaanmu pasti campur aduk sekarang, Dominick," katanya. "Kau harus
bicara dengan seseorang."
Aku bertanya apa dia mau jadi sukarelawan dan bicara denganku.
"Kau tahu maksudku. Seorang konselor. Ahli terapi."
Aku bilang padanya kalau aku sudah mendahuluinya. Aku mengatakan aku menemui Dr.
Patel. Dia mengangguk. Menggenggam tanganku. "Apa yang membuatmu menemui dokter itu?"
Aku membalik halaman album Ma. Mengangkat bahu. "Karena Thomas terkurung di
Hatch, kurasa. Masalah keamanan maksimum itu: kurasa semua itu terasa seperti
saat dia dikurung di lemari depan .... Awalnya, aku datang ke sana untuk
menceritakan sejarah hidup Thomas. Memberikan latar belakang tentang masa kecil
kami yang bahagia di Happy Valley. Dan lalu ... aku tak tahu, semuanya berubah.
Dia bilang padaku suatu siang kalau Thomas dan aku seperti dua orang yang
tersesat di hutan atau apa. Dia bilang bisa membantuku keluar dari hutan. Lalu
kami mulai membicarakan masalahku."
"Dan bagaimana kemajuannya?" tanya Dessa.
Aku mengangkat bahu. "Dia ke sini tadi, tapi sudah pulang saat kau datang. Dia
lumayan hebat. Tidak terlalu mengorek-ngorek masa laluku .... Kami ... kami berlatih
pengendalian kemarahan. Kukira dia tak akan senang kalau melihat pertunjukan
kecilku tadi." Dessa berkata setidaknya, akhir-akhir ini kemarahanku mengenai target yang
memang kutuju. Aku memandangnya. Mengamati wajahnya. Mengangguk.
"Aku senang kau menemui seorang ahli," katanya. "Kau dan Thomas punya hubungan
yang lumayan kompleks. Kau menghabiskan begitu banyak energi emosionalmu pada
Thomas. Seluruh hidupmu. Sekarang, kau harus mengambil semua
energi itu dan ... menginvestasikannya kembali. Pasti prosesnya akan sangat
rumit." "Kedengarannya seperti omongan psikiater," kataku. "Apa yang kau lakukan"
Mencoba mencuri pekerjaan Dr. Patel?"
Dia serius, kata Dessa. Dia benci melihatku mengatasi kematian Thomas dengan
menghindarinya kemarahanku meledak tak terkendali. Atau menolak rasa
?sakitnya menghentikan prosesnya ketika terasa berat.
?"Kapan akan terasa berat?" kataku. "Apa kau sedang bilang bahwa akan jadi lebih
buruk daripada ini?"
Dessa menggeleng, "Yang kukatakan, Slugger, bahwa ini adalah langkah besar
buatmu terapi. Aku bangga padamu."
?Slugger: dia sudah tak memanggilku begitu selama bertahun-tahun. Aku bertanya
bagaimana kabarnya. Dia berpaling. Memandangku lagi. Lumayan katanya.
"Ya" Lumayan" Ada apa?"
Oh, sebagian besar karena kematian Thomas. Dia benar-benar menyayangi kakakku.
Perjuangannya begitu berat. Dessa bilang dia juga berduka. Dan sekarang
ibunya serangan pusing-pusing itu.?"Kalau yang lainnya baik-baik saja?" tanyaku. 11 Ada hal lain yang
merisaukanmu?" Katakan padaku kalau kau dan dia sudah tak akur lagi, kataku
dalam hati. Katakan kalau kalian berdua akan berpisah.
"Kau sudah banyak pikiran, Dominick," kata Dessa. "Kau tak perlu mendengar
masalahku lagi." "Tidak, katakan padaku. Apa?"
Sadie, katanya. Sadie tak sehat lagi.
"Goofus" Kenapa" Ada apa dengan dia?"
"Dia sudah tua. Jantungnya buruk, ginjalnya. Dokter hewan bilang aku seharusnya
mulai memikirkan kemungkinan langkah
selanjutnya apakah aku ingin melepasnya pergi."
?Aku teringat pada hari aku memberikan Sadie padanya. Pada ulang tahunnya yang
kedua puluh lima. Aku melihat diriku sendiri membuka pintu sepen di apartemen
lama kami, anak anjing itu langsung menuju Dessa. Menjilati kakinya yang
telanjang. Aku mengikatkan pita merah besar ke anak anjing itu. Aku ingat hari
itu dengan baik. Kami berdua duduk, diam. "Dan ada hal lain lagi," kata Dessa akhirnya.
Apa lagi, apa" Kami sampai di mana tadi"
"Apa kau membaca berita minggu lalu" Tentang anak lelaki Eric Clapton" Ya Tuhan,
ini bodoh sekali." "Anak kecil yang jatuh keluar jendela, bukan?" kataku. "Jatuh dari pencakar
langit?" Dessa berdiri. Berjalan ke jendela. "Hei, bukannya aku adalah teman dekat
mereka. Kau yang selalu ngefans pada Clapton. Bukan aku .... Tapi aku tak bisa
berhenti memikirkan anak kecil yang malang itu. Namanya Conor. Aku bahkan
bermimpi tentangnya."
"Itu karena Angela," kataku. Dessa memandangku. "Ceritakan mimpimu padaku."
"Tidak, sudahlah Dominick. Ini bodoh. Kalau dibandingkan dengan apa yang sudah
kau alami" Ya Tuhan."
"Katakan padaku," kataku.
Dalam mimpi Dessa, anak lelaki itu berlutut di pinggiran jendela, melambai ke
bawah ke arah mereka kerumunan orang yang berkumpul di trotoar di bawah. Mereka
?menahan napas setiap kali anak itu bergerak. Dia tak paham kalau itu berbahaya.
"Eric Clapton juga di sana," kata Dessa. "Dan ibu anak itu, dan polisi. Tapi
sepertinya akulah yang bertanggung jawab. Aku terus-menerus berjanji pada semua
orang, aku akan menangkapnya kalau dia jatuh .... Dan aku tahu aku tak akan bisa
menangkapnya, tapi aku terus berjanji. Semua orang mengharapkanku. Lalu anak itu
terpeleset. Dia jatuh ...."
"Itu bukan salahmu," kataku. "Itu bukan salah siapa-siapa. Dia meninggal."
Dessa berpaling menghadapku. Mengangguk. "Mungkin Thomas tak tahan lagi,
Dominick .... Mungkin dia siap untuk berhenti berjuang."
Aku berdiri dan mendekatinya. Memeluknya. Dia menyandarkan wajahnya di dadaku.
Selama beberapa saat kami berpelukan. "Ayo," kataku. "Duduklah."
Thomas dan aku memakai piama Davy Crockett. Memakai toga saat kelulusan SMU ....
Domenico dan Ma, bergandengan tangan di teras depan .... Dessa dan aku pada hari
pernikahan kami. "Hei,
siapa dua orang hippi ini?" kataku. "Mereka sepertinya kukenal." Aku bisa
merasakan Dessa tersenyum.
"Oh, ibuku yang malang," keluh Dessa. "Menikah di pantai dan bukannya di gereja
Yunani. Aku memakai baju petani seharga tiga puluh sembilan dolar bukannya baju
pengantin berlapis mutiara dan ekor sepanjang sepuluh kaki. Sekarang aku tahu
apa yang dimaksudkannya. Dan kau mengenakan sandal itu. Kau tak tahu betapa aku
sedih melihatnya." Sandal, pikirku. Bapa LaVie.
Dessa bilang dia kagum jika ingat betapa dia penuh keyakinan saat itu betapa ?dia percaya diri bahwa dia sudah merencanakan sebuah masa depan, yang justru tak
pernah dia dapatkan. "Lihat betapa mudanya kita," katanya. "Tak heran."
"Lebih baik kalian hati-hati," kataku pada dua pengantin di foto itu. "Hidup
akan mendepak pantatmu."
Aku membalik halaman lagi. Bulan madu kami di Puerto Rico, kami berdua menjadi
orangtua baptis dalam pembaptisan Shannon. Kami sedang bersemangat untuk punya
anak waktu itu: melakukan pemeriksaan dan konseling fertilitas. "Jadi," kataku.
"Bagaimana kabar Dan The Man?"
Dessa bicara tentang betapa sibuknya dia tentang pembeli besar di Santa Fe
?atau apa. "Dominick?" katanya. "Apa kau pernah membicarakan tentang kita" Kau
dan psikiatermu" Atau itu kau anggap sejarah masa lalu?"
Aku tersenyum. "Psikiaterku punya gelar di bidang antropologi," kataku. "Sejarah
masa lalu adalah hal yang membuatnya tertarik." Aku membalik dua halaman lagi di
album itu. "Yeah, aku bicara tentang kita," kataku akhirnya. "Bagaimana kemarahanku
membuatku menjalani vasektomi. Bagaimana di balik semua kemarahan itu aku
sebenarnya ... ketakutan. Percayalah dia justru ingin aku bicara tentang sejarah
?masa lalu. Dia bilang kalau aku ingin punya masa depan, aku harus kembali dan
menghadapi semua ketakutanku. Perbaiki masa lalumu atau apa. Dia sangat suka
kata-kata itu perbaikan, renovasi Aku mungkin harus ke balai kota dan
mendapatkan izin mendirikan bangunan. Aku harus banyak melakukan renovasi."
Dessa mengulurkan tangan dan mengusap lenganku.
"Aku ... aku sedang membaca kisah yang ditulis kakekku, ayah Ma. Auto-biografinya
atau apalah. Ditulis dalam bahasa Italia. Aku meminta seseorang
menerjemahkannya." "Papa," kata Dessa. "Dia adalah pahlawan ibumu." "Dia seorang yang berengsek,"
kataku. "Sok jagoan. Kau pikir aku pemarah, kau belum kenal dia."
Dessa menemaniku sekitar setengah jam lagi. Aku membuat teh untuk kami berdua;
dia memotong dua iris pai cokelatnya untuk kami berdua. Di pintu, aku
mengucapkan terima kasih atas kedatangannya,
karena membersihkan dapur.
"Aku mencintaimu," kataku. "Aku tahu kau tak mau aku begitu, tapi aku tak bisa
menahannya." Dessa mengangguk. Tersenyum. Memintaku untuk terus menemui Dr. Patel.
"Aku bisa ... kalau kau mau, aku bisa mengantarmu ke makam kapan-kapan.
Mengunjungi makam Thomas. Makam Ma .... Mungkin juga mengunjungi makam bayi kita.
Kalau kau mau." Dessa mengangguk. Tersenyum sangat sedih. Dia sudah mengunjungi makam Angela
pagi tadi, katanya. Dia suka mengunjunginya; biasanya dia pergi ke sana sekali
atau dua kali seminggu. Seseorang baru saja menanam bunga di makam Angela,
katanya. Angie mungkin. Atau ayahnya dia lupa bertanya.?Tulip merah dan putih, katanya. Sangat cantik, sehingga membuatnya menangis.
Empat Puluh Tiga 16 Agustus 1949 Setelah acara pesta di ruang bawah tanah gereja, setiap orang meminta bantuan
Domenico Tempesta untuk ini untuk itu.
"Tempesta, kami butuh saranmu "Tempesta, kami membentuk kelompok baru untuk ini
dan itu ...." "Tempesta bisakah kau menolong kami" Kalau kau yang melakukannya,
pasti hasilnya baik."
Aku menjadi anggota Elks and Knights of Columbus dan pengurus terpilih di Sons
of Italy. Aku membantu Partai Republik di kota untuk men-daf-tar para pemilih
keturunan Italia dan diangkat menjadi anggota komisi perencanaan kota (orang
Italia pertama di jabatan itu da-lam sejarah Three Rivers). Aku sangat sibuk,
sehingga aku harus me-ma-sang telepon di rumah. Benda itu selalu berdering.
Selalu ada orang yang membutuhkan bantuanku. "Halo Domenico" .... Selamat siang
Mr. Tempesta." Mulutku capek berkata halo pada semua orang yang menelepon dan
memerlukan sesuatu. Bukan hanya orang Italia yang menelepon. Sekarang, bahkan
Shanley, Walikota Irlandia yang licik itu, tahu bahwa nama depanku adalah Domenico dan
nomor teleponku adalah 817.
"Bagaimana kabar perenungan pribadimu?" tanya Bapa Guglielmo suatu pagi setelah
Misa. Ignazia, anak perempuan itu, dan aku selalu datang ke Misa pukul sembilan
pagi sekarang dan duduk di baris kedua. (Aku mengedarkan kotak sumbangan dan
mengamati para kolektor lainnya untuk Guglielmo menjamin tak ada yang
?memasukkan "jari-jari nakal" dan mengambil uang gereja. Salah satu masalah
pastor itu adalah dia terlalu percaya pada orang.)
Aku tertawa mendengar pertanyaan Guglielmo itu dan mengatakan padanya kalau aku
bahkan hampir tak punya waktu untuk tidur apalagi waktu untuk duduk dan menulis
?empat puluh lima tahun kisah hidupku. Aku mengatakan padanya bahwa
kekhawatirannya itu terlalu berlebihan. Dia seharusnya memikirkan para jemaat
dengan dosa yang lebih besar daripada aku. Keluargaku dan aku baik-baik saja.
Kupikir itu benar ... aku sudah berhenti mengunjungi gadis Hattie itu di Bickel
Road. Aku terlalu sibuk untuk itu sekarang dan terlalu dikenal oleh para orang
? penting di Three Rivers untuk datang dan dikenali orang di tempat itu! Lari dari
satu pertemuan ke pertemuan lainnya membuatku bisa mengalihkan pikiran tentang
tubuh istriku, walaupun kedamaian yang dirasakan Ignazia kini membuatnya lebih
montok dan menggairahkan.
Pekerjaanku sebagai anggota komisi perencanaan membuatku mengenal Mrs. Josephine
Reynolds, seorang stenografer yang bekerja di balai kota dan mencatat pertemuan
kami. Josie tak bisa dibandingkan dengan Ignazia: dadanya kurang besar. Dan
seperti 'Mericana lainnya, dia membuat kopi yang rasanya seperti air cucian
piring. Tapi dia tahu bagaimana menghiburku dan tahu bagaimana harus tutup
mulut. Dia tinggal di sebuah jalan di daerah Willimantic. Aku datang ke sana
kalau bisa, tapi tak terlalu sering. Memberikan sedikit persahabatan padanya
kalau aku sempat. Aku tak akan meliriknya kalau saja jantung istriku tak lemah.
Aku kira kedamaian telah datang ke rumahku. Aku ingin berpikir begitu ingin ?percaya bahwa berkah Guglielmo telah mematahkan kutukan uskup. Tapi di bawah
permukaan, masalah diam-diam memakan isi rumahku seperti rayap di ruang bawah
tanah. Diam-diam rayap sialan bernama Prosperine itu melakukan
kecurangannya merusak kedamaian yang telah kami alami di rumah Hollyhock Avenue
?nomor 66-68. 17 Agustus 1949 Masalah datang kembali ke rumahku pada suatu Minggu siang setelah Misa gereja.
Saat kami tiba di rumah dari Misa hari itu, Ignazia memasak sepanci makaroni dan
pergi berganti pakaian. Aku duduk di meja dapur, membaca koran. Concettina duduk
di sebelahku, bersenandung dan menggambar di kertas lucu. Si
Monyet membuka pintu belakang dan masuk ke dapur, cemberut seperti biasanya.
Wanita itu tak pernah bicara padaku kecuali aku bicara padanya. Dan hari itu,
aku ingin bicara padanya. Hari itu aku mau mengatakan sesuatu.
Sabtu siang, ketika aku datang ke rumah Signora Siragusa untuk mengambil gaji
mingguan si Monyet, wanita tua itu hanya memberikan empat dolar ke tanganku dan
bukannya enam seperti biasanya. Dia melaporkan kalau dua hari pada minggu itu,


Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Prosperine mengatakan dia sakit dan tak mau turun dari loteng. Signora juga
sedang tak enak badan, katanya: dia juga muak mengerjakan pekerjaannya dan juga
pekerjaan Prosperine. Dia lalu mengeluh kalau tak ada pemondoknya yang menyukai
Prosperine. Dia tak pernah tersenyum atau mengobrol. Dua atau tiga kali wanita
tua itu terbangun pada tengah malam karena mendengar suara langkah kaki di
tangga loteng. Signora memperingatkanku, kalau ada makanan atau barang peraknya
yang hilang, dia akan meminta ganti dengan memotong gaji wanita itu. Dan jika
Prosperine mengendapendap ke bawah untuk menemui salah satu bujangan yang
tinggal di lantai dua, dia harus meninggalkan rumah Signora. Karena dia tak
ingin ada skandal di tempat yang diurusnya. Bagaimana kalau Bapa Guglielmo tahu"
Bagaimana kalau polisi datang" Signora tukang gosip itu kemudian mendekat padaku
dan membisikkan kecurigaannya: mungkin Prosperine sakit karena di dalam perutnya
ada bayi. Dia sendiri selalu ingin
tidur pada siang hari saat hamil empat anaknya dulu.
Membayangkan bahwa salah satu pemondok bujang di Signora Siragusa begitu buta
atau bodoh untuk menghampiri si jalang kurus itu membuatku tertawa. Mignotta
gila itu mungkin akan mengebiri pria malang itu! Atau meracuninya keesokan
harinya! Tapi aku tak menertawai dua dolar yang hilang dari tanganku. Aku
mengatakan pada signora kalau aku akan meluruskan masalah ini.
"Eh?" kataku, bahkan sebelum Prosperine melepaskan mantelnya hari itu di
dapurku. "Apa maksudnya kau tidak melakukan pekerjaanmu di rumah signora?"
"Aku melakukan pekerjaanku," katanya.
"Kemarin, aku hanya mendapatkan empat dolar dan bukannya enam. Dia tidak
membayar dua hari ketika kau tinggal di loteng dan tidur."
"Aku sakit," katanya. "Sakit seperti anjing."
"Sakit karena apa?"
Dia diam saja. "Kalau aku sakit aku tetap bekerja," kataku padanya. "Aku bekerja saat sakit."
"Itu kau. Aku lain. Aku beruntung tidak mati karena pneumonia di tempat itu.
Angin bertiup masuk dari sela-sela atap. Wanita itu tak membolehkanku membiarkan
pintu terbuka dan mendapatkan sedikit kehangatan di sana. Tak sedikit pun. Ia
sepelit kamu kalau tentang batu bara."
"Kalau di atas dingin, turunlah ke bawah dan hangatkan tubuhmu dengan bekerja.
Dengan begitu kau akan bisa tidur nyenyak sepanjang malam, tak peduli apa yang dilakukan
angin. Dan jangan cemberut pada para penyewa. Kau sudah cukup jelek tanpa
memonyongkan mulutmu. Signora punya beberapa keluhan tentang disposizione-mu
yang buruk. Dan mengapa mengendapendap ke bawah seperti pencuri pada malam
hari?" "Siapa yang mengendapendap ke bawah seperti pencuri?"
"Signora bilang kau begitu. Dia mendengarmu turun tangga." Aku menutup telinga
Concettina dengan kedua tanganku. "Dia mengira kau bermain-main dengan para pria
di dalam rumahnya." "Bah!" kata si Monyet. "Satu-satunya permainan yang kulakukan adalah aku turun
ke kamar mandi. Atau mencoba menghangatkan tulangku."
"Sebaiknya memang begitu," kataku memperingatkannya. "Aku mengirimmu ke sana
untuk bekerja, bukan main-main dengan para bujangan. Aku sebaiknya mendapatkan
apa yang harus kuterima minggu depan atau aku akan memelintir leher kurusmu."
Aku melepaskan tangan dari telinga Concettina dan menyuruhnya keluar dari dapur.
"Kenapa aku harus bekerja seperti keledai untuk mengisi kantongmu?" Prosperine
menjawabku. "Karena aku memberimu makan dan membiarkan kau tinggal di rumahku selama hampir
dua tahun. Di mana sekarang kau berada kalau tidak karena kemurahan hatiku"
Mungkin menggelandang di jalanan New York."
"Generoso" Kau?" dia tertawa. "Kau lebih pelit daripada siapa pun yang pernah
kutemui." Ignazia masuk dan melihat kami berdua saling membelalak. Dia menggemelontangkan
panci dan berjalan di antara kami berdua. "Prosperine, parutkan keju ini
untukku," katanya. "Domenico pergilah ke lemari makanan kaleng dan ambilkan aku
sekaleng buah persik." Aku berdiri dengan pelan, terus memelototi si Monyet
untuk menunjukkan kalau aku serius. Di pintu ruang bawah tanah, aku mengatakan
kalau aku dan dia akan menyelesaikan pembicaraan kami setelah makan nanti.
"Ngomong saja sampai lidahmu putus," katanya. "Tapi kalau aku sakit, ya berarti
aku sakit." Selama makan siang, kami diam saja. Yang terdengar hanyalah suara sendok dan
garpu berdenting di piring. Bahkan Concettina juga diam. Setiap kali aku
mengangkat kepala dari piringku untuk memelototi Prosperine, aku melihatnya
balas memelototiku. Kalau saja perempuan itu telah menguasai sihir gelap // mai
occhio dari teman penyihirnya di Pescara, mungkin otakku meledak dan mataku
terlompat keluar karena pelototannya itu.
Sudah menjadi kebiasaanku setiap Minggu pagi untuk mengeluarkan medagiia perakku
dari kotak beledu merahnya dan memakainya pergi ke Misa. Aku tetap memakainya
hingga makan siang, hingga aku pergi ke atas, mengganti pakaian gerejaku,
melepaskan sabukku dan tidur siang. Jadi medagiia perak itu masih melingkar di
leherku siang itu ketika kami menyelesaikan makan siang yang panjang dan hening. Ignazia dan Prosperine
berdiri dan mulai membersihkan meja. Aku menunjuk ke kursi si Monyet dan
menyuruhnya duduk lagi. "Bawa anak ini ke dapur bersamamu," kataku pada Ignazia.
Prosperine menghela napas dan duduk. Saat aku mulai bicara, dia mengetuk-
ngetukkan jarinya ke meja, tak mau memandangku: perempuan itu selalu tahu
bagaimana bersikap kurang ajar! Aku melepaskan medali perak itu dari leherku,
mengulurkannya ke seberang meja dan menggoyang-goyangkannya di depan wajah
Prosperine. "Lihat baik-baik," kataku. "Apa kau tahu mengapa ini diberikan
padaku." Dia diam saja. "Ini diberikan padaku sebagai penghargaan atas kerja keras dan usahaku karena ?selalu melakukan lebih daripada yang diharapkan, tak pernah kurang karena tetap
?bekerja tak peduli aku sakit atau sehat."
Kedua tangan Prosperine menggenggam di meja. Helaan napas impazienza. Dia masih
tak mau memandang mataku.
"Memangnya kau pikir kenapa mereka meminta Tempesta sebagai anggota komisi
perencanaan di kota ini" Mengapa kau pikir walikota tahu namaku dan nomor
teleponku" Medagiia ini adalah kemenangan tidak hanya untukku, tapi juga bagi
setiap Italiano yang datang ke la'Merica. Kau harus mengikuti teladan dariku dan
mulai bekerja, yang akan membuatmu bangga. Dan tersenyumlah pada
para penyewa, kau sialan!"
Matanya bergerak dari medali yang bergoyang di depannya ke wajahku, ke medali,
dan ke wajahku lagi. "Telan saja medagiia cantikmu dan buang kotoran," katanya.
Lalu kepalanya bergerak ke belakang dan ke depan dengan cepat, meludahi
medaglia-ku. Ludahnya menetes dari medagiia perakku dari ukiran crucifisso Yesus Kristus dan
?Lampu Pengetahuan dan plop! Jatuh ke taplak meja. Aku berdiri dan mencengkeram
lengan kurusnya, memelintirnya, dan menariknya berdiri.
"Kau sudah keterlaluan," kataku. "Minta ampun atau aku akan memelintir lenganmu
hingga patah. Katakan permintaan maafmu sekeras yang kau bisa, lalu pergilah
dari rumahku dan jangan kembali."
Ignazia berlari masuk. "Hentikan, Domenico!" katanya. "Lepaskan dia sebelum ada
yang terluka. Aku tak mau ada kekerasan di rumahku."
"Tutup mulut dan jangan ikut campur!" aku memperingatkan. "Mona ini meludahi
medagiia perakku." Concettina bersembunyi di balik rok ibunya dan mulai terisak.
Aku menarik keras lengan si Monyet untuk menunjukkan kalau aku serius. "Minta
maaf!" kataku lagi. "Cepat lakukan kalau kau tahu apa yang baik untukmu."
Ignazia mengambil lap dan membersihkan medaliku. "Lakukan apa yang dia bilang,"
kata Ignazia pada si Monyet. "Apa bedanya?"
Tapi perempuan jalang keras kepala itu tak mau minta maaf. Dia malah menurunkan
kepalanya dan menggigit tanganku! Berteriak kesakitan, aku melepaskannya dan mengulurkan tangan memegang rambutnya
yag dikepang. Dia mencoba lari, tapi aku menahan dan menarik rambutnya. Aku
menampar wajahnya dua kali untuk memberinya pelajaran. Mignotta berengsek itu
telah menggigitku! Tangan Ignazia berusaha menampar dan menarikku menjauh darinya. Concettina
menangis. Ibunya menangis. Tapi tidak perempuan gila yang menyebabkan semua
masalah ini. Dia terus memberontak. Tangannya terayun dan memukul hidungku.
Tangannya yang lain berusaha mengambil pisau roti di meja. Aku memegangnya dan
membanting wajahnya ke dinding. Membantingnya lagi. Dia menjatuhkan pisau itu.
Di belakangku terdengar jeritan. Saat aku berpaling aku melihat istri dan anakku
meringkuk di lantai dan gemetaran. Ibu dan anak sama-sama menjerit.
"Bruto! Bru to .'"j e rit istriku. "Monster macam apa yang memukuli wanita
malang dan tak berdaya dan membuat anaknya sendiri ketakutan?"
Aku menunjuk ke Prosperine. "Kau mau seseorang untuk disalahkan" Salahkan dia
ini yang menggigit dan meludah seperti binatang!" Prosperine merangkak di lantai
batuk-batuk dan muntah, seperti anjing yang habis dihajar.
Ignazia berdiri dan membantu teman kurusnya berdiri. Si Monyet mengerang dan
terhuyung, memegang sandaran kursi untuk menegakkan diri.
Ketika dia berbalik dan memandangku, aku melihat salah satu gigi depannya copot
dan satu gigi lagi tergantung hampir lepas, basah terkena darah. Hari-hari di
mana si Monyet itu bisa menggigit sudah usai. Wajahnya terlihat seakan-akan
habis dilempar tomat matang.
"Bruto!" jerit istriku padaku. "Keluar! Tinggalkan kami!" Dia gemetaran, tapi
tak mau menutup mulutnya.
"Diam!" kataku. "Tetangga dan orang di jalan akan mendengarmu!"
"Biar saja mereka dengar!" kata Ignazia. "Biar saja mereka dengar kalau suamiku
yang hebat dan membantu seluruh dunia pulang ke rumah dan mematahkan gigi wanita
tak berdosa!" "Innucenti?" teriakku. "Innucenti" Ha! Ia akan mengambil pisau!" Aku melambaikan
tanganku di depan mata Ignazia untuk menunjukkan di mana si Monyet itu telah
menggigitku, tapi istriku yang histeris mengira aku akan memukulnya juga. Dia
jatuh berlutut, meringkuk, meraung, melindungi kepalanya dengan tangan. "Jangan
pukul aku! Aku mohon, Domenico! Jangan pukul! Jangan pukul aku!"
"Dia yang minta!" teriakku. Aku bilang pada Ignazia untuk berdiri dari
lantai bahwa aku tak akan menyakitinya.?Dia menjerit bahwa aku telah menyakitinya pada malam ketika aku menikahinya dan
membawanya ke penjara ini. Dia tersedu dan berteriak bahwa dia membenciku dan
mengutuk hari ketika dia menjadi istriku!
Aku tak pernah memukulnya lagi sejak malam pertama kami itu selalu memberikan
?yang terbaik untuknya dan anak itu. Tapi Ignazia sama sekali tak menghargainya.
Aku keluar ruangan. Aku bermaksud pergi dari sana dan pergi ke atas untuk
merokok dan menenangkan diri. Tapi aku mau si biang kerok itu keluar dari
rumahku saat aku turun lagi. Aku kembali ke ruang makan dan mengatakan semua itu
pada mereka berdua. Dan ketika aku keluar dari sana lagi, aku membanting pintu.
Tapi yang terdengar bukanlah suara pintu menghantam kosen, hanya suara yang
lembek. Sesuatu menghalangi. Selama sedetik keheningan yang mengerikan. Lalu
jeritan itu mulai lagi. Tangan kecil anak itu memegang kosen pintu. Aku
membanting pintu ke jari-jari kecil Concettina!
Orrible! Mengerikan! Tapi sudah terlambat tak bisa dibatalkan lagi. Itu adalah ?kecelakaan, tapi mendengar jeritan anak itu dan raungan protes Ignazia, aku
bahkan tak bisa menyatakan penyesalanku. Tak bisa mendekati anak itu untuk
melihat sejauh mana kerusakan yang ditimbulkan dari pemberontakan si Monyet pada
keluargaku. Jadi aku naik ke atas, membanting pintu kamarku dan menarik rak
besar untuk menghalangi pintu.
Di seluruh rumah terdengar pintu dibanting, wanita dan anak-anak meraung.
Sepuluh, lima belas menit kemudian, dari jendela lorong atas, aku melihat mereka
bertiga, terburu-buru turun ke jalan. Ignazia paling depan.
Kereta bayi yang kubelikan itu dipenuhi dengan barang-barang mereka. Tangan anak
itu diperban. Prosperine menggandeng tangan anak itu dan menutupkan kain ke
mulutnya. Mereka lari dari rumahku dengan penuh tekad. Dua wanita itu benar-
benar tahu caranya lari! Mereka sudah sering berlatih di Italia dulu. Tapi
mereka tak akan pergi jauh.
Aku tahu mereka pergi ke mana, kalau mereka tak ke sebelah ke istri Tusia. Ke
mana lagi mereka akan lari kecuali ke rumah Signora Siragusa" .... Aku tak
mengejar istriku. Lebih baik membiarkannya pergi daripada membuat masalah dan
menjadi tontonan setiap 'Mericana di Hollyhock Avenue. Setiap pagi, saat sarapan
Ignazia selalu mengatakan padaku berapa uang belanja yang dia butuhkan hari itu
dan aku memberikan apa yang dibutuhkannya. Tak ada tambahan. Dia pasti tak punya
banyak uang. Biarkan dia menjauh dulu, pikirku. Dia akan kembali. Dia akan
kembali merangkak-rangkak begitu tahu tak bisa apa-apa tanpa Tempesta.
Malam itu, sendirian di rumahku, aku mencoba menghapus noda darah Prosperine
dari ruang makan. Aku berhasil menghilangkan sebagian besar noda di karpet, tapi
di dinding dan di kertas dinding agak susah karena nodanya mengering dengan
cepat dan meninggalkan noda cokelat permanen seperti celup di pabrik. Aku
menarik taplak meja dan membakarnya di halaman belakang. Lalu aku masuk lagi dan
memindahkan bufet sehingga menutupi
kertas dinding yang ternoda darah itu.
Aku menelepon dan menelepon temanku Josephine, tapi tak dijawab. Tak ada orang
yang menghibur pria malang yang menginginkan kedamaian dan ketenangan di
rumahnya pada hari Minggu setelah pulang dari gereja pria yang tidak brutal,
?tapi menanggung beban di punggungnya.
Sepanjang malam, aku berbaring di ranjang, tak bisa tidur, walaupun aku perlu
istirahat untuk bekerja esok malam. Apakah jari anak itu patah atau hanya lebam"
Apakah Ignazia benar-benar serius bahwa dia mengutuk hari ketika menikahiku"
?Kalau aku pergi menemui Bapa Guglielmo, aku tahu apa yang akan dia katakan. Dia
akan berkata agar aku memaafkan Prosperine yang hampir menggigit putus
tanganku karena mengambil pisau yang mungkin akan ditikamkannya ke jantungku.
?Maafkan mereka berdua, dia pasti akan bilang begitu, dan mintalah maaf pada
mereka! Rendah hatilah Domenico! Tulis semuanya untuk penebusan dosa.
Aku berdiri dari ranjang, mengeluarkan brankas dari lemari dan membawanya ke
meja dapur. Aku mengeluarkan halaman-halaman yang telah kutulis dan membacanya
lagi, mencoba meneruskan perenunganku. Tapi tak ada gunanya. Aku masih
terguncang teringat suara jeritan Concettina. Aku melihat bekas gigi Prosperine
di tanganku yang memegang pena. Melihat ludahnya menetes di medagiiaku ....
Urusanku dengan Monyet itu belum selesai. Untuk sekali dan selamanya aku akan
mengeluarkan mingia pembunuh yang telah mencuri nama gadis yang mati dan datang
ke Amerika untuk menghancurkan hidupku!
Pada pertengahan minggu, aku sudah muak dengan permainan petak umpet istriku.
Pulang kerja pagi itu, aku berjalan ke rumah Signora Siragusa untuk mengambil
kembali famigiia-ku. Signora tua itu mencoba memarahiku atas apa yang kulakukan pada Prosperine dan
giginya, tapi aku menyingkirkan jari nonna tua itu dari depan wajahku. "Lebih
baik kau diam saja wanita tua," kataku padanya. "Keluhanmulah yang menyebabkan
masalah di rumahku. Pergilah ke atas dan katakan pada istriku untuk mengumpulkan
barang-barangnya. Aku menyuruhnya pulang sekarang."
Signora Siragusa menghela napas dan membuat tanda salib, lalu terhuyung-huyung
ke tangga. Beberapa menit kemudian dia turun lagi. "Dia menyuruhmu pergi," lapor
signora. "Dia bilang lebih baik menikam jantungnya sendiri daripada melihatmu
lagi." Hari kerja sudah mulai; para penyewa sudah pergi bekerja semua. Tak ada orang di rumah yang bisa mencuri dengar urusan Tempesta. Aku melewati signora dan
berteriak dari bawah tangga memanggil istriku.
"Sebaiknya kau turun sekarang, Vioietta! .... Sebelum ada masalah, Vioietta!"
Vioietta" Signora memandangku tak mengerti dan aku membalasnya hingga dia
menggelengkan kepala dan pergi ke dapur. Istriku muncul di puncak tangga. Turun
lima enam langkah dan berhenti. Anak perempuannya juga ikut muncul bersembunyi ?di balik rok ibunya.
Wajah Ignazia pucat dan matanya lebar ketakutan seperti mata rusa. Tangannya
terulur ke belakang punggungnya memegangi anaknya seakan-akan ingin
melindunginya dariku. "Jarinya patah?" tanyaku.
Ignazia menggeleng. "Tidak, berkat kamu," katanya.
"Kau istriku," aku mengingatkannya. "Ambil barangmu dan pulanglah. Aku muak
dengan semua kebodohan ini."
Dia menggeleng lagi, memegang anak itu lebih erat.
Aku bilang aku tak mau menoleransi pembangkangan pekerja di pabrik tekstil dan
aku juga tak mau menoleransi pembangkangan darinya. Ignazia bilang aku boleh
saja berlutut dan memohon, tapi dia tak akan pulang ke rumah di mana wanita dan
anak-anak tak aman dari monster.
"Tangan anak itu tidak sengaja terluka," kataku. "Sedangkan teman kurusmu itu,
dia/ah monster di rumah kita. Perempuan gila itu selalu menghalangi kita selalu
?membawa masalah bagimu dan aku. Tapi sekarang sudah selesai. Aku melarangnya
masuk ke rumahku lagi. Dan katakan padanya aku serius. Sekarang, ambil barangmu.
Kalau terpaksa aku akan menjewer telingamu dan menarikmu sepanjang jalan ke Hollyhock Avenue."
Gemetar, Ignazia bilang aku tak akan menyentuh telinganya atau bagian tubuhnya
yang lain. Dia dan Prosperine sudah bicara sepanjang malam. Mereka akan pergi,
katanya.

Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

"Ke mana?" aku tertawa. "Kembali ke New York dengan dua 'kakak' yang tak sabar
untuk menjualmu" Kembali dengan anak mama pengangguran berambut merah yang masih
menyusu ke ibunya?" Aku tak perlu khawatir, katanya. Dia telah bertahan hidup sebelumnya dan dia
bisa melakukannya lagi. "Kau akan kembali dalam seminggu dengan kekalahan," kataku. "Sementara itu,
katakan padaku apa yang harus kulakukan untuk makan dan mendapatkan baju
bersih?" "Apa peduliku apa yang kau lakukan" Suruh saja puttana 'Mericana dari kota itu
untuk melakukan pekerjaan kotormu segretaria berambut pirang dan cula yang
gemuk!" Aku kaget Ignazia tahu rahasia pribadiku dengan Josephine Reynolds. Tapi
ketika istriku yang pembangkang itu mengatakan tentang hubunganku dengan
sekretaris itu, hatiku melunak. Kurasa aku melihat kecemburuan sebagai seorang
istri di matanya istri yang menginginkan suaminya untuk dirinya sendiri.
?"Kaulah yang kucintai," kataku. "Kau yang selalu kuinginkan. Tapi ketika seorang
istri menolak kebutuhan suaminya, tak ada yang bisa kulakukan
selain pergi ke tempat lain. Sekretaris itu tak berarti apa-apa bagiku.
Kembalilah ke ranjang kita lagi dan aku akan meninggalkannya."
Air mata menggelinding dari matanya. Concettina memandang, membelalak. "Persetan
kau, orang kejam" kata Ignazia. "Kau akan memasukkanku ke dalam peti mati untuk
memuaskan keinginan kotormu! Mengisiku dengan kekotoranmu sehingga aku bisa
mengandung anakmu lagi dan mati!" Lalu dia berbalik, menggendong anaknya dan
naik tangga lagi. Concettina mengintipku dari balik bahu ibunya.
Keesokan siangnya, aku terbangun dari tidurku karena dering bel pintu. Aku
memakai celana dan menuruni tangga, dan ketika aku membuka pintu depan, Signora
Siragusa ada di balik pintu. Dia terlihat tua dan mengerut sedikit ketakutan. ?Dia membawa kabar, katanya. Seperti pengemis, Ignazia dan Prosperine mengganggu
para penyewa dan akhirnya berhasil meminjam uang dari salah satunya (signora
sendiri menolak memberikan uang pada mereka, katanya; dia bilang pada Ignazia
kalau istri seharusnya tinggal di rumah dan menemani suaminya). Sekarang dua
wanita itu bertanya-tanya tentang bagaimana caranya naik trem untuk pergi ke
stasiun kereta api di New London. Mereka berencana naik kereta Sabtu malam ke
New York. Aku sendiri langsung naik trem hari Sabtu yang awal, bukan yang malam yang akan
?membawa dua pelarian itu. Aku beruntung, mereka merencanakan
pelarian mereka pada hari ketika pabrik sedang tidak sibuk.
Aku tiba di stasiun kereta api tiga jam lebih awal dari mereka. Cukup waktu
untuk membeli steik makan malam dan berjalan-jalan, berpikir dan akhirnya
mengobrol dengan seorang polisi muda yang bertugas di stasiun. Kukatakan
padanya, aku akan menjemput sepupuku yang datang dari Providence. Mereka datang
naik kereta yang akan ke New York, kataku, tapi rupanya aku keliru mengira jam
kedatangannya, hahaha. Aku menanyakan tentang keluarga dan pekerjaannya dan
bahkan punya waktu mentraktir perwira Stupido itu dua cangkir kopi dan sepiring
daging goreng. Ketika aku melihat Ignazia, Prosperine, dan anak itu masuk dari
pintu depan stasiusn, agente di poiizia dan aku sudah berteman baik.
"Scusa," kataku padanya. "Aku melihat istri temanku di sana. Dia kelihatannya
bingung. Maukah Anda menunggu di sini, sementara aku menanyakan apa ada masalah"
Aku tak mau mengejutkannya kalau memang tak ada apa-apa."
Polisi itu mengangkat bahu dan berkata dia tak akan pergi ke mana-mana hingga
pukul sepuluh nanti. "Lambaikan tangan saja kalau kau butuh aku," katanya. "Aku
akan mengawasi." Aku mendekati mereka saat mereka menyeberangi lobi yang sesak, membawa tas-tas
mereka ke peron. "Lebih baik kau pulang sekarang, Ignazia," panggilku.
Mereka langsung berbalik kaget mendengar
suaraku. Prosperine mengumpat.
"Temanku, polisi di sana itu, yang di dekat penjualan tiket, sedang menunggu
tanda dariku," kataku. Mata mereka mengikuti jariku yang menunjuk ke polisi itu,
yang menyentuh topinya, mengangguk dan menunggu. "Ikutlah bersamaku atau aku
terpaksa memanggilnya ke sini."
"Panggil saja dia," kata Ignazia. "Panggil dia dan katakan apa yang kau lakukan
pada wanita dan anak-anak." Tapi suaranya yang bergetar menunjukkan
ketakutannya. Anak itu gemetaran di pelukannya. "Papa?"
Saat menunggu mereka datang, aku mengisi kantongku dengan permen. Aku berjalan
mendekati anak itu dan berbicara lembut padanya, memberinya cokelat dan permen.
Aku berbisik di telinga ibunya. "Mungkin aku akan mengatakan tentang kehidupanmu
dulu di Italia pada polisi itu tentang seorang artiste yang mati dan putri
?penjual ikan bernama Vioietta."
Terdengar peluit berbunyi. Kereta api bergemuruh masuk dari Rhode Island. Di
sekeliling kami, para penumpang mulai mengambil tas dan barangnya, mengucapkan
selamat tinggal dan menuju pintu belakang stasiun.
Prosperine menggandeng tangan istriku dan menariknya mengikuti orang-orang itu.
"Fretta!" perintahnya. "Fretta, sebelum terlambat! Kalau kita tidak naik
sekarang, kita tak pernah terbebas darinya."
Ignazia membiarkan temannya menariknya
beberapa langkah, lalu berhenti dan melihat polisi itu dari balik bahunya.
Wajahnya pucat ketakutan.
"Temanku polisi dan aku sudah menyusun rencana," kataku. "Begitu aku memberinya
tanda, dia akan datang untuk melihat masalahnya. Pulanglah denganku, Ignazia,
dan tidak akan ada masalah. Kalau kau naik kereta itu, maka kau akan berakhir di
penjara Pescara. Kau tak akan bisa melihat anakmu lagi kalau aku buka mulut. Aku
bersumpah. Lebih baik kau putuskan sekarang."
"Jangan dengarkan gertakannya!" teriak Prosperine padanya. Dia menarik tangan
Concettina dan menariknya ke kereta. "New York tempat besar. Fretta!"
Ignazia bergerak untuk mengikuti si Monyet dan anaknya, lalu berhenti dan
melihat tanganku yang melambai, dan polisi yang mengangguk dari seberang lobi
stasiun. Dia menjatuhkan barang yang dibawanya dan memegang kepalanya dengan
kedua tangan. "Penjual ikan" Orang mati" Aku tak tahu apa artinya itu!"
teriaknya. Si Monyet mengunci rahangnya, menarik lengannya. Concettina menangis minta ke
ibunya. "Itu artinya," kataku, "bahwa seorang pelukis mati sebelum waktunya karena
menelan kaca dan timah."
"Tidak! Hentikan, sekarang!" Ignazia memohon padaku. "Hentikan!"
Di luar, peluit berbunyi. Si Monyet keluar dari pintu, masih memegang anak itu,
berlari ke kereta api. Ignazia mengambil tas mereka dan lari
mengikutinya. Aku memberi tanda pada polisi itu untuk cepat. Dengan suara keras, aku memanggil
mereka, saat mereka berusaha berdesakan dengan yang lain untuk naik kereta. "Aku
bicara tentang dua wanita pembunuh yang lari dari dosa mereka dan pergi ke
Amerika dengan paspor palsu!"
Para penumpang yang sedang naik kereta berhenti, berpaling dan memandang.
"Lihat, Vioietta!" kataku. "Itu polisinya datang! Dia akan menangkapmu."
Kepala Ignazia terangkat, dia tersengal. "Jangan dengarkan!" teriak Prosperine.
"Fretta!" "Ya, cepatlah, Vioietta!" teriakku pada istriku. "Cepat naik kereta itu. Saat
kau tiba di New York, aku bersumpah, pihak berwajib sudah menunggumu di Grand
Central Station. Aku bersumpah. Lebih mudah mendeportasimu dari New
York mengambil anak itu dan mengirimmu kembali ke Pescara di mana mereka sudah ?tak sabar menghukum istri pembunuh!"
Roda kereta api mulai bergerak. Prosperine menggendong anak itu dan barang, naik
ke kereta. Peluit berbunyi lagi. Ignazia tersedu-sedu, berlari di sisi kereta.
"Fretta!" teriak Prosperine. "Naik! Naik!"
Kondektur memperingatkan Ignazia untuk naik sekarang atau menjauhi kereta.
Prosperine mengulurkan tangannya. Ignazia memegang tangan si Monyet dan naik.
Lalu dia mengambil anaknya dan melompat turun.
"Aku tidak bisa! Aku tidak bisa!" teriak Ignazia
pada temannya, melangkah mundur. "Dia akan mengambil putriku! Aku tidak bisa!"
Prosperine mengacungkan tinjunya padaku, mengumpat-umpat.
"Lebih baik diam selagi kau bisa, perempuan jalang tak bergigi!" teriakku
padanya, berlari di sisi kereta agar dia mendengar teriakanku. "Lebih baik kau
menghilang dari pandanganku atau aku akan memasuk-kanmu ke penjara tempat kau
menunggu mati dan masuk Neraka seperti yang pantas kau dapatkan!"
Ignazia berdiri di peron, memeluk anaknya dan tersedu, mengerang sedih melihat
temannya semakin menjauh. "Aku tidak bisa! Aku tidak bisa! Aku tidak bisa!"
Aku mengangkat tanganku dan menghentikan polisi yang mendekat.
Istriku, anak itu, dan aku pulang ke rumah.
Empat Puluh Empat Aku menghabiskan beberapa minggu sesudahnya memilah-milah barang-barang Thomas,
bertemu dengan Dr. Patel, dan menonton terlalu banyak pertandingan bisbol. Red
Sox: serombongan orang tak punya harapan yang bahkan lebih buruk daripada aku.
Di antara inning pertandingan, aku mencoba memikirkan masa depanku.
Bangun, Birdsey, kataku pada diri sendiri. Ini sudah bulan Mei. Setiap tukang
cat lain sudah mulai keluar dan bekerja. Lalu aku akan mengambil remote dan
mencari pertandingan, mencari-cari alasan. Seperti yang dikatakan dalam buku
tentang kedukaan: kau tak akan bisa melupakan kematian saudara dengan
cepat terutama kembar identik Naik turun tangga sepanjang hari akan memberikan ?terlalu banyak tekanan pada kaki dan pergelanganku. Aku sudah membayar polis
asuransi; sebaiknya aku menggunakannya hingga asuransi itu habis.
Sebenarnya, aku tak pernah suka bekerja mengecat rumah. Aku terjebak dalam
pekerjaan itu karena lari dari mengajar. Mereka yang mulai setelahku, yang lebih
muda, mendapatkan sebagian besar kontraknya sekarang. Danny Jankowski
mempekerjakan empat orang, dua di antaranya fulltime. Dia meneleponku dulu,
bilang dia mendengar aku mungkin akan berhenti dan bertanya-tanya apakah aku
ingin menjual peralatan cuciku. Para burung pemakan bangkai itu sudah mulai
berputar-putar di atasku.
Tapi mengecat rumah bukankah pekerjaan yang tidak memuaskan. Kau mendapatkan
imbalan dari pekerjaanmu, klienmu yang baik. Rasanya menyenangkan saat kau
meninggalkan rumah yang kau cat setelah selesai, dibayar lunas, dan mencerahkan
rumah seseorang yang tadinya suram.
Tapi inilah masalahnya: aku masih ingat wajah Henry Rood saat di loteng itu.
Masih merasakan diriku jatuh. Jankowski bilang dia perlu jawaban tentang
peralatan cuci itu pada akhir minggu. Dan itu sudah dua minggu lalu.
"Ketidakmampuan mengambil keputusan adalah kesalahan fatal Hamlet, Dominick,"
kata Dr. Patel padaku suatu siang.
"Oh, tidak," erangku. "Jangan bilang kalau kau mendapat Ph.D. dalam bidang
Shakespeare juga?" Sejak pertemuan kami yang terakhir: dia meletakkan mainan baru di meja: cairan
kental kehijauan di wadah kaca bujur sangkar. Aku mengulurkan tangan dan
mengambilnya, cairan di dalamnya bergelombang. "Mengecat atau tidak mengecat,"
gumamku. "Itulah pertanyaannya." Tapi saat aku mengangkat pandangan, dokter itu
menggelengkan kepala. "To be or not to be," katanya. "Meneruskan hidupmu atau menciptakan versimu
sendiri dari pengurungan kakakku. Tenggelam atau tidak tenggelam."
Dia keterlaluan, pikirku. Sepuluh menit yang lalu aku menceritakan padanya mimpi
terakhirku. Dalam mimpi ini Dominick sudah mati dan aku, Thomas, di belakang
kemudi mobil jenazah, membawa jenazahnya dan mencari tempat pemakaman.
"Apakah kau sudah menelepon Dinas Pendidikan Negara Bagian?"
Aku menggerak-gerakkan mainan bujur sangkarnya itu, kanan kiri, kanan kiri,
melihat cairan kehijauan bergelombang. "Belum."
"Kenapa?" Aku mengangkat bahu. Dr. Patel mengatakan di sesi sebelumnya bahwa respons
mengangkat bahuku terhadap pertanyaan yang sulit adalah suatu bentuk kekerasan,
bukan respons yang membantu kebiasaan pasif agresif yang harus kuhilangkan. ?Secara resmi, Dr. Patel tidak turut campur dalam masalah tentang apa yang akan
kulakukan selama sisa hidupku, tapi bisa dilihat bahwa dia ingin aku kembali
mengajar. Itu tersirat dari kata-katanya. Sebenarnya awalnya itu adalah ideku;
aku menyebutkan kemungkinan itu sekitar dua atau tiga pertemuan lalu. Tapi sejak
itu, aku mulai mengamati anak SMU lagi. Di mal, di kedai fast food. Mereka jadi
lebih kasar, lebih putus asa atau semacamnya. Semua masalah genk, bahasa
yang kasar. Seminggu sebelumnya aku sedang mengantre di kereta bawah tanah di
belakang dua gadis yang mengenakan jaket Raiders. "Kalau si jalang itu
melabrakku tentang dia, maka aku akan menghantam hidungnya," salah seorang
berkata kepada temannya. "Memangnya dia pikir dia siapa?" Dia gadis yang cantik.
Hispanik. Dengan tubuh indah seperti porselen cina .... Aku membayangkan diriku
berdiri di depan kelas dengan dia duduk di bangku dan teman-temannya mencoba
?mengajari mereka berdua tentang pentingnya sejarah.
"Dominick?" "Apa?" "Mengapa kau belum menelepon?" Aku ingin mengangkat bahu, tapi tak jadi. "Aku
tak tahu. Sibuk." "Ya" Melakukan apa?"
Menonton CNN, C-SPAN. Menonton sejarah bisbol. Bukannya aku berani mengatakan
tentang bisbol itu pada Dr. Patel. "Ingat buku-buku yang kau suruh aku baca?"
kataku. "Tentang proses berduka" Beberapa di antaranya mengatakan wajar jika
kehilangan fokus untuk sementara. Merasa tak terhubung atau apalah. Itu biasa
terjadi." Dia mengangguk, tak berkata apa pun. "Apa" Mengapa kau tersenyum"1
"Apa aku tersenyum?" katanya.
Aku meletakkan mainan bodohnya ke meja lagi. "Aku berniat untuk menelepon. Aku
terus ... memikirkannya hingga terlambat."
"Terlambat?" "Jam kantor sudah selesai. Aku lalu sadar kalau aku lupa menelepon, melihat jam
dan ternyata mereka sudah tutup lima belas menit lalu." Dr. Patel memandangku
tak percaya dan menunggu. "Kurasa aku harusnya menulis memo pengingat. Itulah
yang akan kulakukan: menulis pesan dan menempelkannya di telepon .... Kalau saja
mereka tutup kantor pukul lima dan bukannya empat tiga puluh seperti yang lain."
Jangan sinis begitu, Birdsey, kataku dalam hati. Dia akan mengungkap semua
kebohonganmu. Itu sudah terjadi sebelumnya.
Sambil membuka catatannya, Dr. Patel mengingatkanku kalau dua sesi lalu aku
sudah mendiktekan daftar tujuan untuk diriku sendiri. "Kau ingat, Dominick" Kau
bilang itu akan membuatmu merasa lebih baik, melakukan beberapa hal daripada
terus terombang-ambing. Kau merasa bahwa ketidakmampuanmu membuat keputusan
membuatmu tertekan .... Ah, ini dia. Mari kita kaji kembali daftarnya, ya?"
Memangnya aku bisa menolak!
"Nomor satu," katanya. "Telepon Dinas Pendidikan untuk menanyakan tentang izin
mengajarku. Nomor dua, membuat keputusan akhir tentang bisnisku. Nomor tiga,
membalas kartu dan hadiah tanda simpati. Nomor empat, menjernihkan masalah
dengan Ray." Dia bertanya apakah aku menelepon kembali "gentleman" yang ingin
membeli peralatan mengecatku.
"Bagaimana aku bisa meneleponnya kalau aku
belum memutuskan?" kataku.
"Untuk memberitahunya bahwa kau masih mempertimbangkan tawarannya."
Aku bilang padanya kalau Jankowski tertarik pada peralatanku bukan pada
pertimbanganku. "Lagi pula, dia mungkin sudah membeli ke tempat lain sekarang."
Aku bergerak di kursinya. Apa yang harus aku lakukan" Terburu-buru mengambil
keputusan tentang mata pencaharianku, hanya untuk menyenangkan-nya"
"Bagaimana dengan membalas ucapan simpati?"
"Hmmm?" "Apakah kau sudah membalas orang-orang yang" "Ya, aku sudah melakukan itu." Itu
bohong. Setiap kali aku duduk di meja dapur aku hanya memandangi tumpukan kartu
simpati itu dan mengingkari janjiku sendiri. Aku bahkan belum membuka sebagian
besar kartu itu. "Aku sudah memulai. Baru setengahnya."
Dr. Patel mengangguk senang. Itu akan membuatku bersemangat, katanya, memulai
menyilang poin-poin di daftarku. Dalam beberapa hal, depresi merupakan krisis
energi. Aku sudah mendengarkan dia mengatakan itu sebelumnya; tak ada yang baru.
"Aku akan selesai mengerjakannya saat aku datang ke sini lagi nanti," kataku.
"Pasti. Bukan masalah." Aku memang berniat begitu, mematikan TV dan memulainya
malam nanti. Dr. Patel menutup catatannya. "Bagaimana dengan kisah kakekmu, Dominick?"
"Kenapa dengannya?" Aku tak ingat menaruh
kisah Domenico dalam daftarku.
"Yah, kita sudah tak mengobrol tentang itu selama beberapa waktu. Terakhir kali
kita mendiskusikannya, kau mengatakan padaku betapa menyakitkan membaca itu. Kau
ingat" Kita mendiskusikan apakah akan lebih baik bagimu menyelesaikan kisah itu
atau berhenti." Dia menunggu. Aku tak bisa bicara.
"Kau ingat apa keputusanmu?"
Aku mengangguk. "Aku bilang aku ingin menyelesaikannya. Mengatasinya. Biar
segera berlalu ... tapi aku tak ingat memasukkan itu dalam daftarku."
"Kau memang tidak memasukkannya. Tapi kurasa senyampang kita berbicara tentang
masalah suka menunda-nunda dan hubungannya dengan depresi yang kau rasakan,
mungkin" "Aku hampir menyelesaikannya." "Itulah yang kau katakan padaku terakhir
kali bahwa tinggal lima belas halaman lagi."?"Dengar," kataku. "Alasan kenapa aku depresi adalah karena kakakku meninggal.
Bukan karena daftar bodoh .... Kami kembar, oke" Ini menyakitkan."


Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

Dr. Patel mengangguk. "Bisa dimengerti. Tapi sekarang kita membicarakan tentang"
"Mengapa kau malah memberiku buku-buku itu untuk dibaca semua fotokopi tentang
?kehilangan adalah sebuah proses, tentang kebutuhan khusus seorang anak kembar
yang kehilangan kembarannya kalau ... kalau kau memintaku selesai membacanya
dalam lima belas menit?"
"Aku tidak memintamu menyelesaikannya dalam lima belas menit."
"Maksudku, Thomas terkurung di penjara gila selama tujuh bulan. Lalu dia keluar
dan tenggelam bunuh diri sepertinya dan aku harus melupakannya begitu saja.
? ?'Baiklah itu sudah berlalu. Terus maju. Sudah waktunya melakukan perubahan besar
dalam karierku.'" Dr. Patel mengatakan dia mengerti bahwa kehilangan adalah proses yang
kompleks prosesnya bergerak maju atau mundur, terdiri dari beberapa tahap yang
?memerlukan waktu dan tak selalu bisa diatur atau diramalkan. Dia mengatakan
bahwa untukku, semuanya jadi lebih rumit, mengingat proses kematian Thomas dan
fakta bahwa kami kembar identik dan mempunyai hubungan yang kompleks. Dia
mengakui rasa sakit yang kurasakan, katanya; dia tak menyepelekan ataupun
mengabaikannya. Bagian penting dari pekerjaannya adalah mendengarkan kesaksianku
tentang kematian Thomas, dan bersamaku menganalisis responsku terhadap peristiwa
itu. Tapi sebagai penasihatku untuk mencapai kehidupan mental yang sehat sebagai
si kembar yang bertahan hidup dan katanya, dia ingin menekankan fakta bahwa dia
?penasihatku, bukan musuhku dia tak bisa mengenakan biaya untuk sesi terapi kami
?lalu membiarkan diriku menenggelamkan diri dalam kesedihan. Ya, berduka memang
proses yang menyakitkan. Ya, seseorang yang mengatasi
kehilangan orang terdekat melewati beberapa tahap. Tapi dia tetap hidup.
Seseorang harus mengakui kenyataan kematian orang terdekat, tetapi tetap
menjalani hidupnya. Mimpi atau tidak, aku bukanlah Thomas, katanya. Aku
Dominick. Jantungku berdetak; aku bernapas. Aku harus menghadapi tak hanya
kematian kakakku, tapi juga hidupku.
Dr. Patel melihat daftarnya lagi. "Apa kau sudah menelepon Ray?"
Bingo! Pertanyaan dengan hadiah tertinggi. Semuanya tadi hanyalah pemanasan.
Dalam sesi pertamaku dengan Dr. Patel setelah kematian Thomas, aku mengatakan
padanya tentang kemarahanku di depan umum pada ayah tiriku bagaimana setelah
?dia dan Sheffer pergi hari itu, aku mengamuk ke Ray. Merendahkannya di hadapan
orang-orang. Sesi pertama itu seperti maraton; Dr. Patel membatalkan pasien
selanjutnya dan kami bicara selama hingga lebih satu setengah jam dari jadwalku.
Pada akhir sesi, sebagian besar rahasia keluarga Birdsey berjatuhan seperti
kartu domino: Thomas dan ibuku bermain "ramah-ramahan" di lantai atas; aku
mengadukan mereka ke Ray sore itu ketika dia pulang mendadak. Di sesi itu aku
menjerit, tersedu dan melagukan apa yang dilagukan kakakku malam itu. Keluarkan
aku ... dari ... sini,' TOLONG .... keluarkan ... aku! Ketika kami selesai, Dr. Patel
menemaniku menuruni tangga dan mengantarku hingga ke mobil, memuji
kemajuanku karena telah mengangkat beban
?semua rahasia itu dan dengan bersungguh-sungguh memulai proses kesembuhanku.
Dan aku juga merasa bebanku terangkat. Aku pergi dari kantornya, merasa lelah,
tapi bebas. Tapi itu hanya sebentar; hanya selama perjalanan pulang. Apalagi aku
melewati jalan dengan pemandangan indah lewat rumah lama di Hollyhock Avenue,
? melewati rumah Dessa. Tapi ketika aku berhenti di depan kondominiumku malam \tu-
home sweet home milikku yang
menyedihkan keputusasaan sudah merasuk lagi. Sebagian besar kemarahanku sudah ?hilang, tapi diganti oleh keputusasaan. Putus asa, lelah. Aku merasa kelelahan
sejak itu .... Karena apa gunanya pengakuan tanpa hukuman penebusan dosa, benar Bapa Guglielmo"
Benar, Bapa LaVie" Mencurahkan apa yang ada di kepalamu tak akan bertahan lama,
akan tiba saatnya kau harus berlutut dan merendahkan dirimu. Meminta pengampunan
dari Tuhan Bapa. Atau dalam kasusku, Tuhan Bapa Tiri. Dan sialan betul,
sepertinya lututku tak mau menekuk.
Jadi aku terus menghindari Ray. Tidak menjawab pesan yang sering dia tinggalkan
di mesin penjawab. Tidak ke sana. Aku tak bisa "menjernihkan masalah" dengannya,
tak peduli apakah aku telah menempatkannya dalam daftar tujuanku. Tak peduli
apakah dia sudah ke pemakaman pagi itu dan menanam tulip untuk ibuku, kakakku ...
dan putriku. Dia sering mengunjungi dan menanam bunga di makam Angela.
Aku baru tahu. Hampir delapan tahun. Tapi aku masih tak bisa memaafkannya. Tak
bisa membiarkan yang lalu agar berlalu, menyerah pada keterbatasanku. Dan lagi
pula bagaimana aku bisa membiarkan Ray jadi ayahku kalau aku masih menunggu ayah
kandungku" Masih menunggu ayahku yang sebenarnya muncul dan menyelamatkanku"
"Dominick?" "Apa?" "Ya ampun, perhatianmu ke mana-mana hari ini. Aku bertanya padamu apakah kau
sudah menelepon ayah tirimu."
Aku tak mau menjawab. "Kapan kau merasa akan siap untuk melakukan proses itu?" katanya. "Kapan batas
waktunya?" Aku mengangkat bahu.
Di pintu keluar kantornya, aku berterima kasih padanya, bilang akan menemuinya
hari Jumat perpisahan standar kami. Tapi dokter yang baik itu mengejutkanku.
?Dia membatalkan perjanjian kami Jumat nanti, katanya. Aku harus meneleponnya
jika aku sudah melakukan semua daftarku. Dia akan menantikanku saat itu.
Aku berdiri terpaku, malu sekaligus kesal setengah mati. "Apa maksudnya ini"
Ujian cinta atau apa?"
Dr. Patel bilang mungkin iya. Semoga aku beruntung dan dia menutup pintu.
* Menjawab kartu ucapan simpati tak begitu buruk, saat aku memulainya. Tidak
membukanya justru lebih buruk. Aku mendapatkan kartu dari kru di Sherwin-
Williams, dua kartu dari guru-guru di sekolah tempatku mengajar dulu. Ruth Rood
mengirimkan simpatinya. Dia akan pensiun akhir semester ini katanya. Menjual
rumahnya. Dia dan kakaknya berencana akan bepergian. Aku bahkan tak pernah
mengucapkan simpati atas apa yang terjadi pada suaminya. Kartu simpatinya juga
tak menyebut masalah suaminya.
Aku menulis bagian dalamnya dulu. Membuatnya seresmi mungkin. Membuatnya
seragam. Terima kasih atas kebaikan Anda seiama masa suiit ini. Kami sangat
menghargainya .... Terima kasih atas kebaikan Anda seiama masa suiit ini. Kami
sangat menghargainya .... Mantan mertuaku mengirim amplop berwarna emas dengan
ukuran besar, berisi kartu-kartu Misa dari gereja Yunani. Aku harus ingat untuk
bilang pada Ray: Thomas akhirnya mendapatkan Misa gereja juga. Banyak Misa. Enam
kali Misa gereja Yunani. Pasangan Constantine mengirim bunga ke rumah pemakaman
juga karangan bunga yang besarnya dua kali lipat dari punyaku dan Ray. Tanda
? tangan Big Gene ada di kartu simpati itu, bukan hanya Thula. Aku bertanya-tanya
bagaimana kondisi Thula sekarang sejak dia jatuh hari itu. Aku harus
menanyakannya ke Leo. Pusing bisa berarti banyak hal .... Lucu juga. Setiap kali
aku melihat Big Gene di diler mobil, dia tak pernah menganggapku. Lalu kakakku
mati, dan dia adalah raja dalam mengucapkan belasungkawa .... Karangan bunga besar itu
mungkin akan dimasukkan dalam pengeluaran bebas pajak. Kartu Misanya juga.
Terima kasih atas kebaikan Anda seiama masa suiit ini. Kami sangat
menghargainya. Mrs. Fenneck mengirim kartu juga pustakawan yang menelepon 911 hari itu dan ?datang ke kondominium. Meminta maaf atau dispensasi atau apa pun yang dia
inginkan dariku hari itu. "Suamiku meninggal sebulan lalu," tulisnya. "Aku
berdoa semoga kau tabah dan meminta agar kau juga mendoakanku. Aku senang
kakakmu akhirnya menemukan kedamaian." Yah, damai juga bersamamu, Mrs. Fenneck.
Damai di bumi, kebaikan semoga melimpah pada para janda dan pustakawan. Terima
kasih atas kebaikan Anda seiama masa suiit ini. Kami sangat menghargainya.
Aku tidak mengenali alamat di kartu yang ada di bagian paling bawah, tapi aku
kenal tulisan tangannya. Rupanya itu bukan kartu simpati; tapi pengumuman
kelahiran. Tyffanie Rose. Enam pon, tujuh ons. Delapan belas inci.
Mereka tak berhasil di California, tulis Joy. Mereka pindah ke Timur lagi ke
?Portsmouth, New Hampshire, tempat Thad dulu pernah ditugaskan saat masih di
militer. Thad bekerja sebagai tukang pijat di klinik "kebugaran"; Joy bekerja
sebagai pelayan di restoran Meksiko. Mereka berdua tak akur. Sangat rumit. Dia
harus mengambil keputusan. Tapi Tyffanie adalah bayi yang manis dan tidak
rewel sudah enam minggu, tapi sudah tidur sepanjang malam. "Aku sudah membuat
?berantakan semua hal dalam hidupku, Dominick," tulis Joy. "Tyffanie adalah satu-
satunya hal yang bisa kulakukan dengan benar."
Dia mencantumkan foto-foto yang diambil di rumah sakit yang sekali lagi
membuktikan bahwa kita memang kerabat kera. Tyffanie Rose: nama yang bodoh
dengan ejaan sok manis. Tipikal. Aku mengamati bayi keriput itu, mendoakan
keberuntungannya. Dia akan sangat memerlukan keberuntungan, mempunyai orangtua
Joy dan Thad .... Apa yang harus kau /akukan dengan foto seperti ini" Membuangnya"
Memasukkannya ke laci atau apa" Nona Muka Monyet kecil ini sama sekali tak ada
hubungannya denganku, meskipun ibunya sudah berusaha menipuku dan mengklaimku
sebagai ayah bayinya. Buang saja, kataku pada diri sendiri. Aku berdiri, sudah
sampai setengah jalan ke tempat sampah, lalu berubah pikiran. Memasukkan foto
itu ke kantong bajuku karena aku tak tahu apa lagi yang harus kulakukan. Duduk
lagi membalas kartu-kartu itu.
Aku menstempel semua kartu yang kutulis, menumpuknya di samping telepon.
"Telepon Dinas Pendidikan!" Aku menulis di kertas pesan. Meletakkannya di atas
tumpukan kartu untuk mengingatkan diriku sendiri.
Aku pergi ke ruang duduk dan menjatuhkan diri di sofa. Mengambil remote TV. Aku
akan mengirim kartu-kartu itu pagi-pagi. Emily Post dan Dr. Patel
akan bahagia seperti babi berguling di lumpur. Setidaknya aku bisa menyelesaikan
itu bisa menyilang salah satu daftarku.
?Seinfeld ... The Simpsons ... The Sox. Boston melawan New York malam itu. Bisbol
hanyalah membuang-buang waktu selama tiga jam .... Yah, tapi kartu simpati itu
sudah dibalas semuanya, kataku pada diri sendiri; kau pantas bersantai melihat
tujuh atau delapan inning di TV ....
Saat aku terbangun, TV menayangkan berita malam: Rajiv Gandhi dibakar dalam
upacara. Ratu Elizabeth menganugerahkan gelar satria pada Norman Schwarzkopf
karena melakukan pekerjaan besar membunuh orang-orang Irak. Dan lalu, sesuatu
yang lebih dekat: Duane Taylor dibawa masuk ke gedung pengadilan.
Dia diadili dengan 115 tuduhan pagi itu, kata reporter. Tuduhannya mulai dari
serangan seksual terhadap sebelas pasien mental, hingga melakukan
manipulasi pemanfaatan fasilitas negara secara konsisten dan metodis untuk ?melakukan kegiatan kriminal. Jika dilihat dari gambarnya, Taylor sepertinya
sudah sembuh dari lukanya, tapi dia tak terlihat sombong lagi seperti di Hatch
dulu: di halaman rekreasi dengan topi koboinya, pria besar yang memegang korek
api dan kunci. Dia bisa dihukum seumur hidup, kata reporter, tapi kasusnya
sulit tidak ada saksi yang dapat diandalkan. Ketika Dr. Yup memeriksa kakakku,
?dia menemukan bukti yang tidak konklusif. Tapi aku tak akan membiarkan Taylor lepas. Terbakarlah di
Neraka, kataku pada si berengsek itu saat mereka membawanya, dengan tangan
terborgol di kursi belakang mobil polisi. Matilah selamanya.
Aku mematikan TV, mematikan lampu dapur. Masuk ke kamar, berpikir tak akan bisa
tidur kantukku sudah hilang dan Duane Taylor berengsek itu kini mengganggu
?pikiranku. Aku menyikat gigi, mencuci muka, dan menjatuhkan diri tertelungkup di
kasur. Berbaring dalam kegelapan, memikirkan semua hal di daftarku itu: telepon
Jankwoski tentang peralatan mengecat, telepon Dinas Pendidikan Negara Bagian.
Dokter Patel benar, aku tahu itu: berduka atau tidak, aku harus meneruskan
hidupku. Telepon Ray. Selesaikan membaca kisah kakek ....
Aku mengulurkan tangan ke bawah ranjang, meraba-raba mencari manuskrip Domenico
di kegelapan. "Sejarah Domenico Onofrio Tempesta, Pria Besar yang Berangkat dari
Nol." Begitu aku menyelesaikan membaca ini, aku akan membakarnya di halaman
belakang. Pergi saja kau bajingan sombong.
Bajingan. "Bajingan," kataku. Di kegelapan, keras-keras.
Untuk pertama kalinya mengakui mengapa aku tidak bisa menyelesaikan kisah
Domenico. Karena aku takut. Takut bahwa pada akhir kisahnya, dia mungkin
akan mengatakan kebenaran. Menuliskannya hitam di atas putih .... Apakah karena
itu Ma tak pernah bisa mengatakannya pada kami" Ayahnya memanfaatkan kelemahan
dan kepolosan putrinya yang sumbing" .... Apakah ayah kami bukan stenografer
tampan itu, tapi kakek kami sendiri"
Aku berbaring diam di permukaan lubang hitam, merasakan tarikannya .... Apa karena
itu, Ma" Apakah kau terlalu lemah untuk menolaknya" Apa-kah Thomas dan aku hasil
perbuatan setan" Malam itu setelah aku berhenti gemetaran, setelah aku bisa bergerak lagi aku
? ?berguling dalam kegelapan. Aku mendengar suara gemerisik di bawahku dan
mengulurkan tangan, menyalakan lampu. Mencari-cari dalam saku bajuku ....
Aku memicingkan mata melihatnya Tyffanie Rose. Nona Muka Monyet Kecil. Aku
?mendekatkan foto itu ke bibirku dan menciumnya.
Aku meletakkannya di meja samping ranjangku untuk menyimpannya dan mematikan
lampu lagi. Berbaring di ranjang, tersenyum tanpa alasan, dalam gelap.
Keesokan paginya, aku menyetir ke kantor pos dan mengirimkan kartu-kartu itu.
Berkendara ke pantai dan berdiri di sana, memandang gelombang, menatap camar.
Dalam perjalanan pulang, aku tak masuk ke jalur Three Rivers. Aku menyetir
sampai Hartford dan mengikuti dorongan hati masuk ke Cinema-1 hingga 5DD di
jalur 1-84. Duduk di bioskop dalam gelap, memandang Bruce Willis dan
testosteronnya menyelamatkan dunia. Lagi. Peluru menghantam dinding, man.
Berkuasa itulah yang benar .... Bom saja orang-orang Irak itu. Ikat orang kulit
hitam, hajar dia dengan tongkat. Tinju dan tunjukkan istrimu siapa bosnya ....
Aku menyetir pulang lagi. Menghadap telepon.
Beep. "Dominick" Ini Leo. Hei, aku ingin tahu apakah kau siap untuk kukalahkan
dalam permainan racquetball" Atau kau masih menangisi kakimu yang patah" Alasan
itu sudah basi, Birdsey. Kasih tahu aku."
Beep. "Ini ayahmu yang menelepon. Kau sudah pulang" Telepon aku, ya?" Baik Ray.
Tapi boleh kan, aku menunggu hingga Neraka membeku dulu"
Beep. "Hei Dominick. Ini Lisa Sheffer. Hanya ingin memberi tahu kamu bahwa aku
memikirkanmu .... Hanya ingin tahu bagaimana kabarmu. Jadi telepon aku, oke?"
Beep. "Ray Birdsey. Pukul dua siang. Kau sudah pulang?"
Aku membatalkan pertemuan hari Jumat kita, Dominick. Telepon aku setelah kau
menyelesaikan semua hal di daftarmu ....
Istri Jankowski bilang padaku dia akan menanyakan pada suaminya, tapi dia ragu
kalau suaminya masih berminat. Dia sudah membeli peralatan mencuci Senin kemarin
dari Cumberland, Rhode Island.
Wanita ketiga yang sudah mereka sambungkan padaku di Dinas Pendidikan baru bisa
menjawab pertanyaanku tentang penempatan kembali. Aku harus mengikuti kursus penyegaran,
katanya, lalu ikut ujian, dan menjalani pengajaran di kelas untuk diobservasi
oleh penguji negara bagian.
Lupakan saja, kataku pada diri sendiri. Sudah tertulis di dinding. Kau seorang
tukang cat. Manuskrip Domenico tetap di bawah ranjang.
Aku akan menelepon Ray besok, kataku pada diri sendiri. Aku sudah melakukan
banyak. Aku menyalakan TV, mematikannya lagi. Mengambil Rolodex.
Shea, Sherwin-Williams, Sheffer ....
Dia sering memikirkanku, kata Sheffer. Aku sudah jadi adik yang sangat baik. Dia
hanya ingin tahu aku tidak menyalahkan diriku sendiri.
Aku berterima kasih padanya aku bilang aku belum meng-KO diriku sendiri, belum.?Aku memutuskan untuk membiarkan saja dan tidak mendebat perkataannya tentang aku
menjadi adik yang baik. Dia ingin tahu apa ada kabar baru apa yang kulakukan.
?Tak banyak, kataku. Aku sedang mencoba memutuskan apakah sebaiknya aku menjual
bisnisku. "Benarkah?" katanya. "Kau tak ingin mengecat rumah lagi?"
"Aku tak mau jatuh dari atap lagi."
Saat percakapan itu aku sadar: Sheffer merasa bersalah. Dialah yang menyalahkan
dirinya sendiri. Dialah yang punya ide memasukkan Thomas ke Hope House, tempat dia melarikan diri
malam itu. Ketika mereka mengeluarkan Thomas dengan tiba-tiba dari Hatch,
Sheffer menyatakan bahwa asrama merupakan lingkungan sementara yang lebih aman
bagi Thomas dibandingkan rumahku.
"Dengar, Lisa," kataku. "Aku ingin kamu tahu sesuatu, oke" Tak ada yang
menyalahkan kamu. Kau sudah melakukan semua yang kau bisa untuknya dan /a7u-
termasuk dimarahi saat sidang. Kita semua pasti genius kalau tahu apa yang akan
terjadi." Dia bilang Dr. Patel sudah mengatakan hal yang sama. Ngomong-ngomong dia juga
mulai menemui Dr. Patel. Secara profesional. Bukannya mau tahu, tapi apakah aku
masih menemuinya" "Uh, ya," kataku. "Kadang-kadang." Aku bohong.
Sheffer menyarankanku untuk mendiskusikan dengan Dr. Patel, keputusan yang akan
kuambil tentang masalah bisnisku mungkin dia bisa menolongku mengambil ?keputusan yang lebih "objektif. Omongan petugas sosial.
"Aku sudah membicarakannya dengan dia," kataku.
"Dan?" "Dia berpikir aku seharusnya menutupnya. Kembali mengajar." Kata Sheffer dia


Sang Penebus Karya Wally Lamb di http://cerita-silat-novel.blogspot.com by Saiful Bahri Situbondo

bisa membayangkan diriku berdiri di depan kelas SMU.
Aku juga bisa itulah masalahnya: Aku selalu teringat pada dua gadis kasar yang
?antre di depanku di Subway. Teringat wajah murid-muridku
pada hari saat aku menangis di depan kelas. Hari itu aku meninggalkan kelasku
dan tak pernah kembali lagi. Diana Montague, Randy Cleveland, Josie Tarbox.Anak-
anak itu sekarang pasti sudah dewasa. Punya anak sendiri mungkin. "Ya,
begitulah," kataku pada Sheffer. "Aku mungkin menjual bisnisku. Mungkin juga
tidak.Tapi ngomong-ngomong, aku berterima kasih atas semua yang telah kau
lakukan untuk kakakku. Dari lubuk hatiku yang terdalam, Lisa. Terima kasih."
"Hei, kau tahu?" katanya. "Apa kau mau ketemu kapan-kapan" Datang untuk makan
malam" Aku bisa memasakkan makanan Italia-Yahudi khusus untukmu: spaghetti dan
matzoh balls?" Aku mulai terbata-bata mengatakan terima kasih atas undangannya,
tapi- "Aku tidak mengajakmu berkencan," katanya. "Kalau itu yang kau pikir."
"Oh," kataku. "Yah ..." "Aku tidak berusaha merayumu, paisano. Sungguh. Aku homo,
Dominick." "Oh. Benar. Aku tak berpikir ... maksudku. Aku tak punya masalah dengan .... Yang
benar?" Dia menyarankan agar kami mengulangi percakapan soal makan malam itu. "Halo,
Dominick" Ini Lisa Sheffer. Kau mau datang makan malam kapan-kapan" Bertemu
putriku dan partnerku, Monica?"
Aku tak tahu harus bilang apa lagi, jadi aku bilang oke. Bertanya apa yang bisa
kubawa. "Sebotol chianti dan sebotol Mogen David,"
katanya. "Kita akan mencampurnya."
"Mereka sangat mirip," kataku. "Dalam beberapa hal, mereka lebih mirip kembar
identik daripada aku dan dia."
"Thomas dan ibumu" Ya" Tolong jelaskan."
Lewat telepon aku melaporkan apa yang telah dan belum kulakukan dari daftarku.
Dia memberiku bonus poin karena berencana makan malam dengan Sheffer karena
?"mau bergaul" dan tidak meneruskan mengurung diri. Yang Mulia Dr. Patel
menganugerahiku pertemuan dengannya pada pukul dua.
"Aku tak tahu. Mereka berdua sangat lembut. Tak berdaya .... Setiap tahun dia
pergi ke pertemuan orangtua dan guru dan kami berdua bertanya, "Apa yang
dikatakan guru?" dan setiap tahun, guru demi guru, selalu mengatakan hal yang
sama: betapa aku sangat pintar dan dia sangat manis. Itulah kata yang selalu
mereka gunakan; Thomas sangat 'manis1. Dan dia memang begitu. Tapi
"Ya" Teruskan."
"Dia iemah. Seperti Ma .... aku harus mengurus mereka berdua. Dan kurasa ...."
Dr. Patel menunggu beberapa saat. "Kau berpikir apa, Dominick?"
"Aku berpikir ... oh, mari, ini sulit sekali .... Kurasa itu sebabnya dia lebih
mencintai Thomas. Karena mereka berdua sangat tak berdaya ....
Seolah mereka itu teman sejiwa atau apa."
Dr. Patel menghirup tehnya. Menunggu.
"Apa kau pikir ...T' Aku berhenti, bingung bagaimana mengatakannya. Tanganku mulai
bergetar. "Apa, Dominick" Tanyakan padaku." "Tidak, kemarin aku baru saja berpikir bahwa
mungkin itulah sebabnya ibuku hamil .... Maksudku, itu akan menjelaskan banyak
hal, bukan?" Dr. Patel bilang dia tak mengerti.
"Ma selalu ketakutan terhadap semua hal. Sangat tak berdaya. Jadi aku berpikir:
mungkin dia diperkosa."
"Diperkosa siapa ...?"
"Aku tak tahu. Orang asing. Mungkin ayah kami adalah bajingan tak dikenal yang
menangkap dan menariknya ke gang gelap dan ...."
Aku berdiri, mendekat ke jendela. Bergoyang maju mundur.
"Bukannya dia pasrah saja. Dia pasti melawan. Dia mungkin tak kenal seks hingga
.... Dia mungkin tak tahu apa yang sedang dilakukan lelaki yang menindihnya."
"Tidak" Kau pikir begitu?"
Aku memandang ke luar jendela. Aliran sungai mengalir deras. Pohon-pohon mulai
bersemi. Dalam seminggu atau dua minggu, daun-daun yang rimbun akan menghalangi
pemandangan sungai dari jendela kantor Dr. Patel. Aku berpaling dan
memandangnya. "Suatu kali, saat kami masih kecil, Thomas dan aku tujuh atau ?delapan tahun mungkin. Dan kami
naik bus kota; kami bertiga." "Ibumu, Thomas, dan kau?"
Musibah Pertama 1 Pendekar Slebor 12 Pendekar Wanita Tanah Buangan Misteri Dendam Berdarah 2
^